Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
084 Wasiat Dewa
SATU
LIDAH Tiga Bayangan Setan
terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk dengan mata basah
memerah.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang?!” tanya Elang Setan.
“Aku bersumpah akan membunuh
Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Jangan tolol! Tingkat
kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini dia memiliki Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Kita harus pergunakan akal!
Cari kesempatan waktu dia lengah!”
“Kalau begitu kita terpaksa
mengikuti kemana dia pergi!” kata Elang Setan pula.
“Aku benar-benar tidak suka
ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan kukupas! Kulitmu kujembreng kujadikan
mantel!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Aku yakin bisa membunuhnya. Ilmu Tiga
Bayangan Setanku pasti bisa menaklukannya….Ayo kita ikuti dia!”
Kedua orang itu segera
mengejar Pangeran Matahari. Tahu orang mengikuti sang Pangeran menghentikan
langkah dan berbalik.
“Kenapa kalian mengikutiku?!”
tanya Pangeran Matahari membentak dengan mata melotot.
“Maafkan kami. Bukankah kami
merupakan anjing-anjing pengawalmu? Jadi kemana Pangeran pergi kami harus
mengikuti.” jawab Tiga Bayangan Setan.
Pangeran Matahari menyeringai.
Dalam hati dia berkata. “Siapa percaya pada kalian! Menurut mauku sebaiknya
kubunuh saja keduanya saat ini daripada menyusahkan dikemudian hari. Tapi
hemmm…. Sebelum mereka mampus ada baiknya kuperalat lebih dulu….” Sang Pangeran
lalu dongakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda dia tengah berfikir
keras. Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua orang di depannya.
“Kalian berdua tak usah
mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.
“Lalu… lalu apa yang kami
lakukan? Menunggu sampai datangnya saat kematian seratus hari dimuka tanpa kau
memberi obat penawar? Pangeran harap kasihani selembar nyawa kami…” kata Elang Setan
setengah meratap.
“Kalian kembali ke sumur batu
itu! Aku akan mengatur kedatangan seseorang….”
“Kembali ke sumur batu…?” ujar
Elang Setan sambil memandang pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa… apa yang kami lakukan di
sumur itu?” Tiga Bayangan Setan ajukan pertanyaan.
“Tunggu sampai orang yang
kumaksud itu datang!”
“Siapa dia adanya Pangeran?”
tanya Elang Setan.
“Seorang pemuda bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar 212!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng!”
seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hampir bersamaan dengan muka berubah.
“Begitu dia muncul di sumur
batu dia harus segera kalian bunuh!”
“Pangeran…. Pendekar 212 bukan
manusia sembarangan….”
“Jika dia bukan manusia
sembarangan apa berarti dia setan? Rupanya kalian takut…?
“Selama hidup kami tidak
mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan seperti ini sulit bagi kami….”
“Setan alas! Aku tidak perduli
apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan! Aku punya seribu! Dan dengar,
ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Pendekar 212 harus tidak tahu
kalau aku yang menyuruh kalian untuk membunuhnya! Kalian dengar?!”
“Kami dengar,” jawab Tiga
Bayangan Setan.
“Bagus! Aku pergi sekarang!”
“Pangeran! Tunggu…!” seru
Elang Setan.
“Kau tidak dapat memastikan
kapan Pendekar 212 muncul. Jika sampai lewat seratus hari dia tidak datang,
kami sudah mati konyol akibat racun dalam tubuh. Kemana kami harus mencarimu?”
“Manusia anjing! Kau tidak
layak mengatur diriku! Jika aku tidak memberimu obat penawar dalam waktu
seratus hari berarti itu nasib kalian yang jelek! Ha… ha…ha…!”
Pelipis Tiga Bayangan Setan
menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup rapat-rapat tanda kedua orang
ini tengah berusaha menahan meledaknya amarah yang saat itu membakar diri
masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal itu. Sambil
menyeringai dia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu lama menunggu kematian
sampai seratus hari di muka, aku bersedia mengirimmu ke liang neraka saat ini
juga!” Lalu sang Pangeran mendongak dan angkat tangan kanannya.
“Tunggu!” seru Tiga Bayangan
Setan.
“Jangan!” ujar Elang Setan
cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan berjaga-jaga di sumur batu
itu!”
“Bagus! Sekarang
menggonggonglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran Matahari balikkan diri lalu
tinggalkan tempat itu.
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan menggonggong beberapa kali. Sambil keluarkan suara menyalak seperti
anjing itu tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua tinjunya. Dengan cepat
dua kepalan itu diangkat ke atas lalu saling diadu di atas kepala. Tiga bayangan
seperti asap mengepul di kepalanya. Dia hendak keluarkan ilmu kesaktiannya
yaitu melepas tiga makhluk raksasa jejadian tapi Elang Setan cepat menarik dan
menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga bayangan raksasa serta merta
lenyap.
“Jangan tolol! Kau mungkin
bisa membokongnya dari belakang! Tapi kita berdua tidak bakalan lolos dari
kematian! Kau saksikan apa yang terjadi dengan Ratu Pesolek!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan
bergoncang keras akibat menahan kekuatan sakti yang tadi dilepas dan kini terpaksa
masuk kembali ke dalam tubuhnya.
“Apa kau percaya dia bakal
muncul memberi obat penawar racun yang ada di tubuh kita?” sentak Tiga Bayangan
Setan.
“Aku memang tidak percaya
padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik menghabiskan sisa hidup
seratus hari sambil mencari jalan dari pada langsung mampus saat ini juga!”
jawab Elang Setan.
Dengan menghentakkan kaki Tiga
Bayangan Setan kembali ke sumur batu. Saking kesalnya tongkat sakti Wesi
Ketatton yang tergeletak di tanah milik Jarot Ampel yang mati dibunuhnya
beberapa waktu lalu diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah.
“Aku bersumpah akan mengorek
jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan Setan. Lalu kita santap
bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang Setan setengah membujuk
sambil pegang bahu saudara angkatnya itu.
“Aku akan bersamadi,” kata
Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru yang ada di dalam sumur bisa
memberi petunjuk.”
“Aku memilih tidur saja…” kata
Elang Setan pula lalu duduk bersandar pada kaki sebatang pohon.
DUA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil dongakkan kepala menghirup
udara pagi dalam-dalam.
“Aneh… di rimba belantara
begini ada bau harum,” katanya dalam hati sambil terus menghirup dan mencium. Hidungnya
kelihatan kembang kempis dan mulutnya termonyong-monyong. “Mungkin ada bidadari
yang kebetulan turun ke hutan ini? Heh…. Aku rasa-rasa pernah mencium bau harum
seperti ini sebelumnya….”
Murid nenek sakti Eyang Sinto
Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat tangan kanannya ke atas. Telapak
dikembangkan dan diputar-putar ke berbagai jurusan. Di satu arah dia hentikan
gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari arah sana. Berarti bau
harum itu datang dari situ.”
Wiro melangkah ke jurusan yang
diduganya sebagai sumber datangnya bau harum. Pada langkah kedua belas
telinganya menangkap suara air mengucur. “Mungkin ada pancuran di sebelah
sana…” pikir Wiro. Dia berjalan terus hingga langkahnya sampai di hadapan
batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan bau harum justru
datang dari balik batu. Lalu sesekali terdengar suara orang menyanyi. Suara
perempuan. Wiro bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun keladi
hutan disibakkannya, sang pendekar hampir keluarkan seruan tertahan. Cepat Wiro
tutup mulutnya dengan tangan kiri tapi sebaliknya sepasang matanya terbuka
lebar-lebar.
“Di dalam hutan ada
pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!”
kata Wiro dalam hati lalu dia
mencari tempat yang lebih baik agar bisa melihat lebih jelas.
Di bawah sana, hanya sejarak
kurang dua puluh langkah dari tempat Wiro mengintai ada sebuah telaga kecil.
Pada sisi kanan telaga terdapat dinding batu yang tak seberapa tinggi. Dari
bagian atas batu mengucur air membentuk sebuh air terjun kecil. Telaga kecil
itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah satu batu berdiri
seorang gadis tinggi semampai yang sambil menyanyi-nyanyi kecil membuka
gulungan rambutnya. Ternyata dia memiliki rambut berwarna pirang, digerai lepas
sampai ke pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian, tubuh dan
rambutnya menebar bau harum yng tercium sampai ke hidung Wiro.
“Rambut dan bau wangi itu…”
desis Wiro. “Sayang dia membelakangi. Aku tak dapat melihat wajahnya. Tapi jika
melihat pada bentuk dan warna pakaiannya… aku hampir pasti dia adalah….”
Ucapan membatin murid Sinto
Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras dilihatnya sambil terus
bernyanyi-nyanyi kecil gadis itu mulai membuka pakaian birunya. Si gadis hanya
membuka bagian atas lalu membiarkan pakaian itu lepas dan merosot jatuh ke atas
batu. Wiro tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menggaruk
kepala habis-habisan. Sepasang matanya melotot tidak berkesip dan seperti mau
melompat dari rongganya.
“O ladalah! Benar-benar polos.
Bagaimana aku bisa tahan menyaksikan pemandangan ini. Apakah aku harus
ikut-ikutan membuka pakaian dan menyebur ke dalam telaga? Memandang
terus-terusan bisa membuat aku jadi setengah gila!” murid Sinto Gendeng tarik
nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika dia coba menggeser kakinya,
tiba-tiba tanah yang dipijaknya bergerak longsor.
“Celaka!” Wiro keluarkan
seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan berusaha menggapai batu di
sampingnya tapi batu itu licin. Tangannya luput sementara tanah di bawah kedua
kakinya semakin keras longsornya. Tak ampun lagi sang pendekar jatuh
terperosok. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh langkah, ketika dia coba melompat
tubuhnya terpelanting karena tanah yang dipijaknya ternyata basah dan licin. Tak
ampun lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling. Wiro tergeletak
jatuh tepat di samping batu di mana gadis berambut pirang baru saja
menanggalkan pakaiannya. Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia menyambar
pakaian dan mengenakannya kembali. Pada saat sosok Wiro tergeletak di samping
batu di bawahnya si gadis keluarkan teriakan marah.
“Pemuda lancang! Minta mati
berani mengintai orang mandi!”
Begitu berteriak si gadis
hantamkan tumit kanannya ke leher Wiro. Ini merupakan satu serangan maut yang
dalam keadaannya seperti itu tak mungkin dielakkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng. Murid Sinto Gendeng hanya bisa berteriak dan coba lindungi lehernya
dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan oleh ujung batu!
“Tamat riwayatmu pengintai
lancang!”
Wiro hanya bisa melotot
menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan serangan maut tahan
gerakan kaki kanannya. Matanya masih mendelik dan wajahnya yang cantik masih
terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar seruan.
“Kau!”
Kalau tadi Wiro merasa
nyawanya seolah sudah terbang dan wajahnya sudah sepucat mayat, kini dia
menarik nafas lega dan berusaha bangkit dengan cepat.
“Wiro Sableng! Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212!”
Wiro sesaat tertegun lalu
balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!”
“Demi Tuhan! Aku tidak
menyangka kalau kau orangnya yang berlaku kurang ajar! Berani mengintip
perempuan mandi!”
Wiro berdiri. “Tunggu…. Jangan
salah sangka!”
“Kau sudah tertangkap tangan!
Masih hendak mungkir?!”
Wiro garuk-gruk kepala.
“Tidak, tunggu dulu. Biar aku jelaskan. Aku tadi berada di hutan sebelah sana.
Ketika berjalan aku mencium bau harum. Aku ingat betul bau itu adalah harumnya
tubuh, rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wiro hentikan ucapannya. Wajah gadis
cantik di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia lalu meneruskan. “Kemudian
kudengar ada suara air mengucur, juga suara perempuan menyanyi. Aku sampai
dekat batu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah kulihat sosok tubuhmu.
Karena kau membelakangi aku tak segera mengenali. Lalu tibatiba tanah yang
kupijak longsor. Aku jatuh sampai ke sini…. Percayalah aku tidak berbuat kurang
ajar mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”
“Kau tidak berdusta?” tanya si
gadis.
“Aku bersumpah tidak
berdusta!” jawab Wiro seraya angkat kedua tangannya ke atas. “Lagi pula
kalaupun hal ini terjadi, mengingat hubungan kita dimasa lalu kurasa kau bisa
memaafkan….”
Si gadis diam saja. Dalam hati
Wiro jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya gadis itu tersenyum dan rapatkan
pakaian birunya.
“Kalau kau mau mandi silahkan
saja. Aku akan pergi dari sini sampai kau selesai….”
“Ada apa kau tahu-tahu bisa
muncul di tempat ini Wiro?” tanya si gadis.
“Aku sengaja mengambil jalan
pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di pantai laut selatan. Kau
sendiri mengapa berada disini?”
Si gadis menarik nafas
panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jarijari tangan kanan dia
berkata. “Dunia ini sempit juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu secara
tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke Kartosuro….”
“Hemm…. Rupanya kau punya
urusan penting di sana.”
“Sangat penting Wiro. Aku
harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kartosuro. Ada satu tugas maha besar
yang harus kuselesaikan….”
Pendekar 212 ingat akan
pertemuannya dengan Si Raja Penidur, Sinto Gendeng dan Kakek Segala tahu di
puncak Merbabu beberapa waktu lalu. Sambil tersenyum Wiro berkata. “Rasanya aku
tahu urusan apa kau pergi ke bukit kecil di pinggiran Kartosuro itu.”
“Hah?! Kau malang melintang
kemana-mana. Punya banyak kenalan orang-orang pandai. Tidak heran kalau kau
mungkin tahu apa urusanku. Tapi aku mau menguji. Coba kau sebutkan!” kata si
gadis pula.
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Aku mendengar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Iblis. Kabarnya
berada di bukit itu. Tersimpan secara aneh dalam sebuah sumur….”
Paras si gadis berubah.
“Parasmu berubah, berarti
dugaanku betul!” kata Pandekar 212.
“Kau memang hebat! Aku tidak
akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga begitu tepat….”
“Mencari sebuah benda keramat
atau benda sakti sama saja dengan mengadu nyawa. Kau harus hati-hati kalau
memang bermaksud mendapatkan kitab itu.”
“Eh, mengapa kau bilang begitu
Wiro?”
“Aku yakin bukan kau saja yang
menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak orang-orang lain berkepandaian
tinggi. Jika satu benda dicari oleh banyak orang berarti akan terjadi
perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”
“Hemmm…. Kau mungkin betul.
Tapi aku tidak takut mengadu nasib!”
“Aku tahu kau memiliki
kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhatihati. Karena kalau kau
bisa mendapatkan kitab itu, yang lain-lain bisa bergabung dan mengeroyokmu
untuk merampas kitab itu.”
“Terima kasih atas nasihatmu.
Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab sakti itu?” tanya si gadis pula.
Wiro garuk-garuk kepala “Tentu
saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang bersamaan ada hal lain yang
lebih penting harus dikerjakan….”
“Aku tidak secerdikmu. Jadi
tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau mengatakan…?”
Wiro Sableng tertawa. Lalu
menjawab. “Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengatakannya padamu.”
“Juga mengingat hubungan kita
di masa lalu?” ujar si gadis.
Wiro garuk-garuk kepala.
“Sampai saat ini kau tidak pernah memberitahu siapa namamu. Aku memberi
panggilan padamuu Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik bidadari dan
gerakanmu secepat angin….”
“Kau boleh terus memanggilku
dengan nama itu…”ujar si gadis seraya tersenyum. (Siapa adanya gadis yang
diberi nama Bidadari Angin Timur ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul
Guci Setan)
Wiro tatap lekat-lekat wajah
yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…”
katanya dalam hati.
“Kecantikanmu sejak dulu tak pernah kulupakan. Justru pada pertemuan ini
mendadak rasa rinduku menggelora. Gila betul!” Di hadapannya si gadis masih
tersenyum. “Senyum itu menimbulkan munculnya dua lesung pipit di wajahnya.
Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”
“Kau seoleh termenung
memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku dengan sebutan Bidadari Angin
Timur itu?”
“Ah, tentu saja mau!” jawab
Wiro cepat. Lalu dengan polos dia berkata. “Terus terang aku tidak pernah
melupakan dirimu sejak pertemuan kita gara-gara Guci Setan itu….”
Satu getaran aneh yang tak
pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Gila,
mengapa aku tiba-tiba begitu kangen pada gadis ini. Ingin memeluknya, ingin
menciumnya. Apakah aku sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah! Bagaimana ini!” Wiro
lagi-lagi garuk-garuk kepala.
Apa yang ada dalam pikiranmu
Wiro…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan seraya menatap dalam-dalam ke mata
sang pendekar membuat Wiro jadi salah tingkah.
“Aku… aku juga gembira
mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wiro.
“Pertemuan ini satu hal yang
sangat berarti bagiku.”
“Bagiku juga… Lalu, apakah kau
mau menyertaiku ke Kartosuro?”
“Tentu…tentu saja aku mau….
Tapi….” Wiro ingat akan tugas dari tiga tokoh silat yang salah satu adalah
gurunya sendiri.
“Ah, hatimu bimbang. Aku tak
ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau berjalan bersamaku lagi….” Suara
Bidadari Angin Timur terdengar sedih. Hati Pendekar 212 jadi luluh. Ketika si
gadis membalikkan tubuhnya Wiro cepat pegang tangannya dan berkata.
“Saat ini kau lebih penting
bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”
“Sungguh?” tanya Bidadari
Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari tangan sang pendekar.
Wiro anggukkan kepala. Si
gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wiro lalu perlahan-lahan menarik wajah
sang pendekar hingga akhirnya dua bibir mereka saling bertemu.
“Aneh… Mengapa dia jadi begini
berani? Karena gembira aku mengantarkannya ke Kartosuro? Atau karena kangen.
Atau….”
Murid Sinto Gendeng tak bisa
berfikir lebih lama karena saat itu pelukan dan ciuman Bidadari Angin Timur
membuat dirinya serasa terbakar. Ketika dia balas merangkul tubuh si gadis,
Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping hingga tak ampun lagi
keduanya masuk ke dalam telaga.
TIGA
AKU mencium bau busuk…” kata
Wiro. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya. Dia mendongak sebentar lalu
menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari kita selidiki….”
Kedua orang itu dengan cepat
bergerak menuju datangnya sumber bau busuk di lereng bukit kecil. Tiba-tiba si
gadis hentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Ada mayat yang sudah tak
karuan rupa bergeletakan di sana….”
Wiro sibakkan semak belukar
dan memandang ke arah yang ditunjuk Bidadari Angin Timur. “Bukan hanya satu
mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah membusuk. Dikerubungi belatung dan
lalat….” Wiro meludah ke tanah. “Sebagian hanya tinggal tulang belulang
belaka….”
“Mengerikan sekali keadaan di
tempat ini….”
“Sebaiknya kita pergi saja,”
kata Wiro.
“Tunggu! Wiro lihat…” suara
gadis di sebelahnya terdengar bergetar.
“Apa…?”
“Di sebelah sana. Sumur batu….
Aku merasa pasti itu sumur yang aku cari. Tempat tersembunyinya Kitab Wasiat
Iblis,” bisik si gadis.
Wiro memandang ke arah sumur
batu itu. Lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi kecuali suara lalat
yang beterbangan di atas bangkai-bangkai manusia itu.
“Kau tunggu di sini. Aku akan
menyelidik. Jika kuberi tanda baru bergerak.” Si gadis anggukkan kepala dan
berbisik. “Hati-hati. Jangan kau biarkan aku sendirian terlalu lama disini.”
Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wiro.
Wiro cepat mendekati sumur
batu, melangkahi mayat-mayat yang membusuk.
“Gelap, berkabut…. Sumur ini
pasti dalam sekali.” Kata Wiro dalam hati begitu dia berdiri di tepi sumur dan
memandang ke dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur
ini? Bangkai-bangkai manusia itu. Siapa mereka? Korban saling bunuh antara
pemburu kitab sakti?” Wiro perhatikan bagian sebelah atas sumur yang agak
terang. Dia melihat ada ulir berbentuk tangga menurun sepanjang dinding sumur.
“Aku tidak berminat
mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya mudah apa salahnya
menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur aku mencium bau busuk. Pasti ada mayat
di dalam sana….”
Wiro berpaling ke arah
semak-semak tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. “Sahabatku
cantik! Silahkan datang ke sini! Wiro memanggil. Tak ada jawaban.
“Bidadari Angin Timur! Aku di
sini!” seru Wiro. Dia menunggu sesaat. “Eh, apa gadis itu sudah dicekik hantu
bisu hingga tak bisa menjawab?!” Wiro memanggil lebih keras. “Bidadari Angin
Timur!”
Tiba-tiba dari balik semak
belukar terdengar suara tawa bergelak, membuat Pendekar 212 terkejut bukan
main.
“Ada sesuatu yang tidak
beres!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia cepat melangkah ke arah semak belukar
tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun belum sempat dia
mencapai tempat itu dari balik semak belukar muncul dua orang bertampang
angker.
Orang pertama mengenakan jubah
hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar sebaliknya mata kiri hampir
tertutup. Kepalanya botak aneh karena hanya yang sebelah kiri sedang bagian
kanan memiliki rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian tertutup kumis dan
cambang bawuk lebat.
“Manusia apa ini, jelek
angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling
pada orang kedua. Yang pertama sekali diperhatikannya adalah bentuk sepasang
tangan orang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu tidak berbentuk
tangan manusia tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging wajah orang ini
hancur seperti dicacah sedang hidungnya tinggi bengkok. Sepasang matanya
mengerikan karena bagian bawahnya menggembung merah dan selalu basah . “Aku
rasarasa kenal dua kadal angker ini”, membatin Wiro.
Yang membuat Pendekar 212 jadi
tersentak kaget ialah karena dua manusia tak dikenal itu keluar dari semak
belukar sambil menyeret bidadari Angin Timur.
“Bidadari!” seru Wiro seraya
hendak melompat. Tapi dua orang yang menyeret si gadis lebih dulu menyongsong
menghadang, melepas si gadis begitu saja hingga jatuh tertelungkup di tanah.
“Dia tidak bergerak, juga
tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah membokongnya dengan totokan hebat!”
“Siapa kalian?!” Bentak Bentak
Wiro.” Apa yang kau lakukan terhadap sahabatku?!”
Dua orang yang dibentak
menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban pertama aku yang menjawab.
Aku datuk dunia persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan Setan!”
“Cocok!” seru Wiro.
Tiga Bayangan Setan
kerenyitkan kening dan pelototkan matanya yang gembung.”Apa maksudmu cocok?!”
“Mukamu memang seperti setan!”
“Kurang ajar!” Tiga Bayangan
Setan menggembor marah dan langsung hendak menyerang Wiro. Tapi teman
disebelahnya berkata.”Kau belum memperkenalkan diriku…”
Mulut Tiga Bayangan Setan
komat-kamit sebentar baru bicara. “Dia dikenal dengan julukan Elang Setan!”
“Aha! Juga cocok! Muka seperti
setan tangan seperti cakar elang. Boleh aku bertanya…?”
“Bangsat!” Kau mau tanya
apa?!” bentak Elang Setan.
“Dengan tangan seperti itu
bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi…bagaimana kau cebok?! Lalu
kulihat cakar kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu kau ngupil?!”
“Setan alas minta mampus!”
Elang Setan berteriak keras lalu melompat sambil tangan kanannya membeset
kearah leher Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng
maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam dan merah bertabur keluar dari
tangan kanan Elang dia cepat mundur dua langkah sambil dorongkan tangan kanan
melepas pukulan “benteng topan melanda samudera”.
Elang Setan Keluarkan seruan
tertahan ketika merasakan ada satu gelombang angin laksana tembok yang tak
kelihatan menahan gerakannya. Ketika dia kerahkan tenaga untuk menembus kedua
kakinya malah terangkat ke atas.
“Kurang ajar!” Kau kira aku
tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak Elang Setan. Dia melesat dua
tombak ke atas lalu jungkir balik di udara. Di lain kejap tubuhnya meluncur
laksana sebatang tombak. Dua tangan terpentang lurus. Satu diarahkan ke muka
Wiro, satunya lagi ke bagian dada tepat di arah jantung. Sebelum serangan
sampai dua larik sinar merah bercampur hitam menerpa lebih dahulu!
“Serangan ganas! Dia hendak
mencakar hancur mukaku dan menjebol dadaku!”
Wiro kertakkan rahang. Cepat
dia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin menggidikan menampar mukanya
sebelah sewaktu serangan cakar elang lawan lewat di samping kepalanya.
Ternyata serangan Elang Setan
kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja memperlambat gerakan serangannya agar
mudah dihindar. Namun bersamaan dengan itu cakar setan tanmgan kanannya melesat
ke dada.
“Serahkan jantungmu!” teriak
Elang Setan sambil tertawa bergelak karena dia yakin serangan mautnya itu akan
berhasil. Sadar kalau dia tak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan maka
Wiro cepat kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. Dua
lengan beradu keras.
“Bukkk!”
Suara tawa Elang Setan
mendadak sontak terputus berganti dengan seruan kesakitan. Tubuhnya terpental
sampai empat langkah lalu terjengkang di tanah. Walau sangat kesakitan tapi dia
cepat melompat berdiri. Dalam hati dia merasa tidak percaya. Sepasang lengannya
itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran Matahari
menghantamkan tangannya ke sumur batu, justru bibir sumur batu yang gompal
sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentrokan dengan lengan
Wiro dia merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati, di
hadapannya dilihatnya Wiro masih tetap berdiri walau lengan kirinya tampak
membengkak merah.
Elang Setan melompat ke
samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia ini benar-benar berbahaya.
Sesuai tugas kita harus membunuhnya saat ini juga!”
Apa yang dibisikan Elang Setan
sempat terdengar oleh Wiro. Sang Pendekar serta merta membentak.
“Siapa yang menugaskan kalian
membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”
EMPAT
TIGA Bayangan Setan dan Elang
Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga rupanya!” ujar Tiga Bayangan
Setan. “Siapa yang menugaskan kami membunuhmu tak usah kau tanyakan. Jika masih
penasaran nanti tanyakan saja pada setan kuburan! Ha…ha… ha…!”
Elang Setan pegang bahu
saudara angkatnya itu lalu berkata. “Tapi mungkin kita akan mempertimbangkan
untuk tidak membunuhnya kalau dia menyerahkan barang berharga yang
dimilikinya….”
“Apa maksudmu?!” bertanya Wiro
sambil melirik ke arah sosok Bidadari Angin Timur yang tertelungkup tak
berdaya, tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dalam hati Wiro membatin.
“Setahuku gadis itu memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya laksana kilat.
Kalau dia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua manusia keparat ini memiliki
kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku hati-hati.”
“Kami mendengar kau membekal
satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata dua berikut pasangannya batu
api hitam mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua benda itu pada kami, kami
akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara adalah Tiga Bayangan Setan.
Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wiro segera maklum kalau dua orang di
hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya. “Apa yang kumiliki tidak untuk
dipertukarkan. Tapi jika kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua benda itu
aku tukar dengan dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wiro tertawa
gelak-gelak.
Tiga Bayangan Setan maju
selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia pentang dada dan menantang.
”Kau mau berbuat apa unutuk ambil nyawaku silahkan lakukan! ”Pilih tempat yang
empuk agar nyawaku enak keluarnya. Ha…ha…ha!”
“Manusia jelek gundul sebelah!
Kau akan menyesal berani bicara keliwat takabur!” Begitu selesai bicara
Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke depan. Tangan kanannya melesat dalam
jurus ”kepala naga menyusup awan.” Yang di arah adalah dada Tiga Bayangan Setan,
tepat di bagian jantung.
“Bukkk!”
Tubuh Tiga Bayangan Setan
mencelat sampai dua tombak. Sesaat dia terkapar dan tersandar ke dinding sumur
batu. Wajahnya yang angker sama sekali tidak menunjukkan bayangan rasa sakit,
malah melontarkan seringai mengejek. Dari mulutnya tak ada darah yang mengucur.
“Seharusnya jantungnya pecah
dan saat ini sudah konyol! Gila! Ilmu kebal apa yang dimiliki setan alas gundul
sebelah ini?!” ujar Wiro dalam hati sambil perhatikan tinju kanannya.
Tiga Bayangan Setan keluarkan
tawa bergelak lalu berdiri: Dia berpaling pada Elang Setan dan berkata.
“Berikan tombak Wesi Ketaton itu padanya…”
Elang Setan mengambil tombak
besi yang separuh amblas di tanah lalu melemparkannya pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Cara Elang Setan melemparkan Senjata itu tidak sembarangan. Salah
tangkap atau kurang cepat memegangnya bagian runcing atau bagian yang berbentuk
pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wiro. Sambil merunduk Wiro tangkap
tombak yang dilemparkan dengan tangan kiri.
“Astaga! Setahuku ini adalah
senjata Tubagus Kasatama, orang tua bergelar Dewa Berjubah Kuning Berongkat
Besi!” membatin murid Sinto Gendeng begitu dia pegangi dan perhatikan tongkat
besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan orang tua kepercayaan Keraton itu?”
“Kau mengenali senjata itu
Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Dan kau ingin tahu dimana
pemiliknya sekarang berada, apa yang telah terjadi dengan dirinya?!” menimpali
Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit akibat bentrokan dengan
Wiro tadi.
“Apa yang telah kalian lakukan
terhadap orang tua itu?!” sentak Wiro.
Tiga Bayangan Setan tertawa
panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan orang tua itu. Saat ini pasti dia
sehat-sehat dan tenang-tenang berada di dalam akhirat!”
“Jadi kalian telah
membunuhnya?!” Wiro melotot besar.
“Saudara angkatku hanya
mengorek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau dia kemudian menemui kematian
mana bisa kami dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan lalu tertawa
terbahak-bahak.
“Jahanam!” rutuk Wiro. Sebagai
orang yang punya hubungan dekat dengan Keraton di barat dan timur, Wiro kenal
baik dengan Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Bertongkat Besi. Saking
marahnya Wiro kerahkan tenaga dalam dan siap untuk lepaskan ”pukulan sinar
matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana, sambil bersandar ke
dinding sumur Tiga Bayangan Setan kembali menantang.
“Pukulanmu tadi terlalu empuk!
Sungguh memalukan karena dilepas oleh orang yang katanya punya nama besar dalam
dunia persilatan dan sampai dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Ternyata kau tidak punya kepandaian apa-apa! Bagaimana selama ini kau bisa
menipu dunia persilatan?!”
Murid Sinto Gendeng merasa
terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan Setan.
“Nah, nah! Ternyata kau masih
punya nyali untuk melawanku. Silahkan pergunakan tombak sakti itu! Kau boleh
menusuk tubuhku dengan ujung yang runcing, atau membabat putus leherku dengan
bagian yang bulat pipih setajam mata pisau!”
“Manusia sombong! Aku mau tahu
sampai dimana kehebatanmu!” Wiro pindahkan tombak Wesi Keraton ke tangan
kanannya. Karena tangan itu telah dialiri tenaga dalam penuh maka tombak sakti
sampai mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Kau boleh pilih bagian yang
kau suka! Mukaku, dada atau perut! Atau kau suka bagian di bawah perutku?!”
Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak. Dia memandang tak berkesip ketika Wiro
dengan kecepatan kilat melompat ke hadapannya. Tongkat besi di tangan kanan
ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana terdapat tiga guratan
aneh!
Kepala Tiga Bayangan Setan
seolah terlontar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak beranjak dari dinding
sumur batu. Bersamaan dengan kilatan aneh keluar dari tiga guratan di
keningnya. Lalu terdengar suara berdentrang. Ujung runcing tombak yang ditusukkan
Wiro ke kening orang itu patah. Wiro sendiri merasakan tangannya bergetar keras
dan seolah memegang besi panas hingga dia terpaksa lepaskan senjata itu.
Menyaksikan tombak sakti bisa patah sedang kening Tiga Bayangan Setan tidak
cedera sedikitpun, Pendekar 212 ambil keputusan untuk lancarkan serangan sakti
berupa “pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit dicari tandingannya dan
merupakan pukulan sakti dikenal paling mematikan dalam rimba persilatan.
Sebagai tokoh silat golongan
hitam yang menjadi menjadi momok dimana-mana tentu saja Tiga Bayangan Setan
segera menduga pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan lawan begitu
dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 berubah menjadi putih berkilau laksana
perak mendidih!
“Pukulan sinar matahari! Aku sudah
lama mendengar kehebatannya. Tapi kalau tidak dibuktikan mana aku mau percaya!”
ujar Tiga Bayangan Setan.
“Manusia setan ini benar-benar
sangat takabur!” kata murid Sinto Gendeng yang jadi kalap karena dipandang
enteng begitu rupa. Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke tangan kanan.
Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!
“Wusss!
Sinar putih menyilaukan
disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga Bayangan Setan yang saat
itu masih berdiri bersandar ke dinding sumur batu. Meski percaya diri namun
Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal. Tubuhnya melesat ke atas setinggi
dua tombak. Dua tangannya mengepal lalu diadukan satu sama lain di atas kepala.
Pukulan sinar matahari
menghantam sumur batu hingga hancur berkeping-keping. Walau pukulan sakti itu
tidak mengenai sasarannya namun hawa panas membuat kaki jubah hitam yang
dikenakan Tiga Bayangan Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur bertebar ke
berbagai penjuru menutupi pemandangan.
“Jahanam! Pukulan sakti itu
benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan walau tubuhnya tidak cidera
sedikitpun.
Mau tak mau hati Pendekar 212
Wiro Sableng diam-diam jadi tergetar juga melihat lawan sanggup meloloskan diri
dari pukulan saktinya. Dua kepalan Tiga Bayangan Setan meletup keluar tiga
sosok yang mula-mula berupa asap namun dalam waktu sekejapan saja berubah
menjadi tiga sosok makhluk berbentuk raksasa, rambut riap-riapan, taring
mencuat dan mata merah. Ketiganya keluarkan suara menggereng lalu serentak
ulurkan tangan kanan, memukul kearah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
Seumur hidup baru sekali ini
murid Sinto Gendeng melihat ilmu hitam begitu hebat. Dia melompat jauhkan diri.
Ketika Tiga Bayangan Setan berusaha menyergap dan tiga raksasa jejadian
lancarkan serangan Wiro langsung menghantam dengan “pukulan sinar matahari”!
Wusss!”
Sinar putih dan panas
berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga makhluk raksasa
keluarkan raungan keras.
“Bummmm!”
“Bummmm!”
Dua ledakan keras menggelegar.
Tiga Bayangan Setan jatuh
terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan mental
seolah-olah tanggal dari batok kepalanya, berubah jadi asap. Tapi makhluk
raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan keras dia
melesat ke depan. Kalau sebelumnya sosoknya sampai sedada kini makhluk rakasasa
jejadian ini keluar utuh dari batok kepala Tiga Bayangan Setan sementara dua
temannya tadi musnah akibat hantaman pukulan sakti yang dilepaskan Wiro
perlahan-lahan kembali ke bemtuknya semula!
“Bunuh!” teriak Tiga Bayangan
Setan.
Makhluk raksasa yang di tengah
menghantam kearah Wiro.
“Jin dan segala macam makhluk
jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Wiro. Secepat
kilat dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya.
Mata kapak kalau diadu dengan batu hitam akan mengeluarkan lidah api. Inilah
yang dilakukan segera oleh Wiro. Namun sebelum tangannya bergerak Tiga Bayangan
Setan berteriak memberi perintah.
“Rampas!”
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru
kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa yang sebelah tengah berubah menjadi
panjang dan menyambar kearah dua senjata mustika yang dipegangnya.
Wiro cepat menghindar dengan
melompat ke belakang. Begitu ada kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga
Geni 212. Wiro sengaja menerobos diantara dua tangan yang terjulur. Yang
diarahnya adalah batok kepala raksasa di sebelah tengah. Namun alangkah
kagetnya murid Sinto Gendeng ini ketika lebih cepat dari gerakannya, tangan
raksasa jejadian sebelah kanan bergerak mendahului mencengkram mata kapak
sedang tangan kiri memukul kearah batok kepalanya!
Pendekar 212 hanya punya
kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa dia mau selamatkan senjata mustikanya
atau hindarkan kepalanya dari kehancuran!
“Setan alas keparat!” Wiro
masih sempat memaki. Dia tak kuasa mempertahankan Kapak Naga Geni 212 dari
renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat. Senjata mustika sakti itu terlepas
pegangannya karena mau tak mau dia harus selamatkan kepala!
Ketika hantaman pada kepalanya
berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha menerjang ke muka untuk dapatkan
senjatanya kembali. Tapi sosok raksasa sebelah kiri tiba-tiba hantamkan tangan
kanannya. Wiro merasa seperti di gebuk balok besar. Dari mulutnya keluar
jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan
terkapar di tanah tak berkutik lagi.
“Kita berhasil membunuhnya!”
teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger! Nama kita akan mencuat
setinggi langit! Aku mau tahu siapa tokoh persilatan yang tidak merinding
mendengar nama kita! Ha…ha…ha!”
Tiga sosok raksasa jejadian di
atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil meyeringai puas dia berkata pada
Elang Setan. “Ambil batu hitam di tangan kiri pemuda itu. Kita perlu segera
mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu peristiwa besar ini. Tugas dari
dia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih kita menunggu munculnya
Pendekar 212. Saatnya kita minta dia memberikan obat penawar racun dalam tubuh
kita.”
Saat itu tiba-tiba udara
menjadi redup seolah matahari tertutup awan tebal. Tiga Bayangan Setan
memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit dilihatnya ada
pemandangan aneh.
“Elang Setan! Lihat!” Tiga
Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit.
Saat itu di langit tampak
tujuh paying tujuh warna dalam keadaan terkembang meluncur demikian rupa
laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang memanjang dalam bentuk
garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan berada, tujuh payung bergerak berputar membentuk lingkaran dengan payung
warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh payung warna warni
secara aneh terbang di udara saja sudah merupakan keanehan. Apalagi saat itu
jelas terlihat ada sesosok tubuh bergantungan pada tangkai payung berwarna
merah. Cara orang ini bukan memgang payung dengan tangannya tapi justru kedua
kakinya yang menjepit gagang payung. Jadi saat itu keadaan tubuhnya
menggelantung kaki ke atas kepala ke bawah. Dari bentuk dan warna pakaian serta
rambunya yang tergerai jatuh ke bawah dapat diduga orang yang bergantung pada
gagang payung merah adalah seorang perempuan.
“Aneh…”desis Elang Setan.
“Aku mencium bau bahaya…”
berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah dapatkan senjata mustika itu. Buat apa
mencari urusan baru. Lekas ambil batu hitam itu. Aku akan membawa si gadis!”
Tiga Bayangan Setan bergerak
cepat ke tempat Bidadari Angin Timur tergeletak sedang Elang Setan berkelebat
merenggut batu hitam sakti dari genggaman tangan kiri Pendekar 212.
LIMA
Pangeran Matahari mendera kuda
tunggangannya habis-habisan hingga binatang itu lari seperti kesetanan. Ketika
hari mulai gelap, memasuki sebuah lembah di utara Tegalrejo baru dia
memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun terus, penuh semak
belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa halangan seolah dia sudah
tahu seluk beluk jalan yang ditempuhnya.
Pangeran Matahari usap-usap
leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik, kuda cerdik. Empat tahun tak
pernah ke sini ternyata kau masih ingat jalan! Di dekat goa sana banyak tumbuh
rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti boleh makan sepuasmu!”
Lewat sepeminuman teh kuda
yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di hadapan sebuah gundukan batu
besar, diapit oleh dua batang pohon besar serta tertutup oleh semak belukar
tinggi. Disekitar tempat itu tumbuh banyak sekali rumput segar gemuk.
“Kita sudah sampai…” kata
Pangeran Matahari. “Kau boleh istirahat dan makan rumput sepuasmu!”
Lalu sang Pangeran turun dari
kudanya. Baru saja dia menginjakan kaki di tanah binatang itu tiba-tiba
mengangkat kepalanya dan keluarkan suara menggembor. Pangeran Matahari yang
tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap kudanya.
“Kau mengetahui sesuatu yang
aku belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran Matahari usap-usap bagian atas hidung
binatang itu. Sang kuda menggembor lagi, lalu meringkik halus.
“Hemmm… Terima kasih… Kau
mengingatkan agar aku berlaku waspada!” Sang Pangeran buka matanya lebar-lebar
dan memandang berkeliling. Tapi dia memang tidak memperhatikan tapi kini dia
bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi tak ada tanda-tanda bekas
rumput terpijak. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi yang bisa punya
pekerjaan seperti ini….” Pangeran Matahari besarkan mata, pasang telinga lalu
memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika dia mendongak ke atas,
dadanya berdebar. Pada cabang pohon di sebelah kanan gundukan batu besar
sesosok tubuh kelihatan menelungkup membelintang. Ada cairan mengucur dari
bagian kepalanya.
“Kudaku , kau pergilah
merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada apa-apa di tempat ini…”
bisik sang Pangeran pada kudanya. Lalu dia putar tubuhnya. Sekali kedua kakinya
menekan tanah, tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat kemudian dia sudah
berada di cabang pohon dimana ada sosok tubuh tergeletak membelintang. Pangeran
Matahari membungkuk berusaha untuk melihat wajah orang. Tapi kepalanya laksana
disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala orang di cabang pohon itu
hancur mengerikan, tak bisa dikenali! Siapapun dia adanya orang ini sudah jadi
mayat. Jelas dia dibunuh orang!
Pangeran Matahari perhatikan
pakaian orang. Pakaian ringkas warna coklat. Pada pinggangnya melilit sebuah
rantai besi yang diganduli puluhan kepingan-kepingan besi berbentuk segitiga
tajam.
“Senjata andalannya ini tak
sempat dipergunakan. Lawan keburu menghabisinya…” pikir Pangeran Matahari. Dari
atas cabang pohon dia bisa melihat keadaan di bawahnya lebih jelas. Tak ada
gerakan, tak ada suara. Kehitaman mendekam dimana-mana. Akhirnya dia melompat
turun kembali. “Siapapun orang yang membunuh lelaki di cabang pohon itu pasti
dia sudah meninggalkan tempat ini… Mungkin aku harus membatalkan niat untuk
tinggal di tempat ini. Paling tidak aku hanya bisa pergunakan untuk sekedar
bermalam…”
Pangeran Matahari lalu
mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya menuju gundukan batu
besar.”Semak belukar tak terusik. Belum ada yang masuk ke tempat ini…” Pangeran
Matahari merambas pohon-pohon jalar yang menutupi gundukan batu. Ketika semak
belukar dan pohon jalar yang tersingkir, bagian depan gundukan batu besar itu
ternyata adalah mulut sebuah goa besar.
Sang Pangeran tak segera
masuk. Dia dongakkan kepala lalu menghirup udara dalam-dalam.”Udara segar
bercampur bau minyak. Berarti memang tak ada manusia yang masuk ke sini. Dan
minyak obor-obor di dalam sana masih utuh…”
Bagian dalam goa itu cukup
besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran Matahari. Dia melangkah ke
dinding kanan, meraba-raba sampai akhirnya tangannya menyantuh sebuah obor
besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat obor dinyalakan. Keadaan
dalam goa kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri kelihatan lagi sebuah obor
yang segera dinyalakan oleh sang Pangeran hingga keadaan dalam goa jadi terang
benderang.
Pada bagian tengah goa sebelah
dalam ada sebuah batu tinggi berbentuk rata yang keseluruhannya telah
diselimuti lumut kehijauan. Pada ujung batu sebelah kanan berdiri satu patung
manusia berkepala singa yang bagian atasnya berlobang. Pada lobang ini menancap
sebuah obor kecil. Setelah menyalakan obor kecil ini Pangeran Matahari buka
mantelnya lalu mengembangkannya di atas batu rata. Duduk di atas batu Pangeran
Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan mata dan tubuhnya untuk
beberapa lama tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan tidak
terdengar. Apa yang dilakukan sang Pangeran saat itu adalah mengatur jalan
nafas dan peredaran darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.
Sesaat kemudian sepasang mata
Pangeran Matahari tampak terbuka, wajahnya kelihatan merah. “Kitab Wasiat Iblis
yang ada padaku membawa perubahan besar. Sebelumnya tak pernah aku merasa jalan
darah, pernafasan dan hawa sakti dalam tubuhku begini luar biasa…”
Dari balik baju hitamnya sang
Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya sesaat terasa bergetar. Sampul
kitab berwarna hitam, terbuat dari daun lontar kering yang dicelup dalam
sejenis dawai. Beberapa bagian dari sampul kitab ini sudah gugus dimakan usia.
Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan kitab di atas
pangkuannya lalu membuka sampulnya. Pada halaman pertama kitab daun lontar itu
tertera tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Iblis”. Dihalaman kedua yang keadaannya
sangat rusak samar-samar tertera tulisan dalam huruf-huruf Jawa kuno berbunyi :
”Kitab ini berjodoh bagi siapa
saja yang
sanggup membunuh lawan sambil
tersenyum, meneguk darah musuh seperti meneguk
tuak harum, melahap jantung
seteru seperti menyantap daging panggang.”
Pangeran Matahari katupkan
rahangnya rapat-rapat. Dia membuka halaman ketiga yang ternyata merupakan
halaman terakhir. Di situ ada sebaris tulisan dalam aksara sangat kecil dan
rusak hingga untuk membacanya lebih jelas Pangeran Matahari terpaksa
mendekatkan kitab itu ke obor yang ada di atas kepala patung singa.
“Induk kekuatan segala ilmu
hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu
hitam selalu satu langkah di
depan ilmu putih, Kekuatan ilmu hitam selalu satu jengkal
di atas ilmu putih. Siapa yang
memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk segala
induk dari kekuatan dunia
iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh
hanya satu. Yang satu itu
tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa
dunia ini yang berjodoh hanya
perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia
pergi. Serahkan semuanya pada
kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan
puasa tiga kali setiap Kemis
malam Jum’at Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan
tercapai. Tak ada satu
kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi!”
Sesaat Pangeran Matahari duduk
sambil dongakkan kepala ke langit-langit goa batu. Dia ingat kehebatan Kitab
Wasiat Iblis sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu Pesolek. Dia belum sempat
melakukan sesuatu ketika nenek sakti itu menyerangnya. Tahu-tahu dari dada, di
balik pakaian hitamnya dimana Kitab Wasiat Iblis tersimpan melesat cahaya hitam
pekat, menghantam lawan hingga menemui ajal dalam keadaan mengerikan yaitu
hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!
“Kekuatan hebat dalam kitab
ini bekerja sewaktu aku diserang Ratu Pesolek. Berarti Kitab Wasiat Iblis ini
memang berjodoh dengan diriku…” Pangeran Matahari cium kitab hitam itu beberapa
kali lalu meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis kitab mustika
sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki selama jagat
terkembang aku akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari menyeringai.
Bayangan Pendekar 212 muncul
di pelupuk matanya. “Manusia Wiro Sableng, tunggu kedatanganku. Sekali ini kau
tak bakal bisa lolos dari tangan mautku!”
Perlahan-lahan Pangeran
Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di atas kepala. Ketika dia
hendak memasukkan kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba terdengar suara
tiupan keras.
“Bleppp!”
Obor besar di dinding kanan
goa batu padam!
“Siapa?!” bentak Pangeran
Matahari lalu cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke balik pakaiannya. Tak ada
jawaban.
“Berani bergurau di tempat ini
berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari lantang hingga suaranya
menggema di dalam goa batu itu. Tetap saja tak ada jawaban.
“Kurang ajar!”
Baru saja Pangeran memaki
seperti itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.
“Bleppp!”
Kini obor besar di dinding
kiri goa padam hingga bagian depan goa menjadi kelam. Satu-satunya obor yang
masih menyala adalah di atas kepala patung manusia berkepala singa. Obor ini
menerangi batu rata dan sosok Pangeran Matahari yang duduk di atasnya.
“Mematikan lampu minyak bisa
kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi membunuh api obor yang begitu besar hanya
bisa dilakukan oleh manusia berkepandaian sangat tinggi!” membatin Pangeran
Matahari.
Pada saat itu tiba-tiba muncul
satu sosok memasuki mulut goa. Pangeran Matahari cepat mengambil mantelnya dan
berdiri. Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan untuk melancarkan pukulan
maut “Telapak Merapi”.
Di pertengahan goa sosok yang
masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari tidak dapat melihat wajah orang
ini karena terlindung oleh kegelapan. Dia hanya bisa melihat bagian paling
bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah hitam. Ujung kakinya
tersembul dari balik jubah. Dia tidak memakai kasut. Orang ini ternyata
memiliki kaki sangat hitam dengan kuku-kuku panjang juga berwarna hitam.
“Hanya guruku si Muka Bangkai
yang tahu tempat ini. Kalau ada orang lain muncul disini jelas dia membawa
maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.
“Tamu tak diundang. Melangkah
ke tempat terang. Aku mau melihat tampangmu sebelum nyawamu kubikin terbang ke
neraka!”
Pangeran Matahari menyangka
ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan mungkin dia akan langsung diserang.
Ternyata salah. Dua kaki hitam berkuku panjang bergerak maju dan berhenti dua
langkah di hadapan batu datar.
Cahaya api obor kecil di
kepala patung manusia berkepala singa menerangi sosok tubuh itu. Kini Pangeran
Matahari dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya. Orang ini bertubuh
sangat jangkung, mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang memakai sorban hitam
hampir menyentuh bagian atas goa. Sepasang tangannya menjulang ke samping,
begitu panjangnya hingga ujung jari sampai betis. Orang ini memiliki muka
sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya obor mukanya tampak berkilat-kilat.
Dua matanya yang besar dilingkari serbuk hitam. Karena dua mata ini berwarna
merah maka pandangannya tampak menyorot menggidikan. Dari sela mulutnya yang
terus menerus berkomat kamit menetes keluar cairan berwarna merah karena dalam
mulutnya dia selalu mengunyah tembakau campur daun sirih.
“Heran!” Kata Pangeran
Matahari. “Ada makhluk jelek tak tahu diri masuk ke dalam goaku! Katakan siapa
kau adanya!”
Manusia bersorban hitam
sunggingkan senyum sinis baru menjawab. Suaranya parau seperti tercekik.
“Aku adalah orang yang dilihat
gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh puluh hari lalu!”
Jantung Pangeran Matahari
berdetak keras. Kejutnya bukan olah-olah namun dia cepat balas lontarkan
seringai buruk dan berkata. “Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani ngaco
dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk urusan
yang tidak-tidak!”
Si jangkung berjubah dan
bersorban hitam tertawa pendek.
“Aku tidak bicara ngaco! Kau
yang berdusta dan pandai menyembunyikan keterkejutanmu!”
“Manusia berkulit sehitam
arang ini punya kemampuan menduga hatiku,”membatin Pangeran Matahari. Lalu dia
membentak. “Jangan membuat aku muak ! Lekas katakan siapa dirimu, apa
kepentinganmu lalu lekas minggat dari hadapanku!”
Tangan kanan sang Pangeran
tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur penuh.
“Aku datang dari jauh. Di
timur aku dikenal dengan julukan Datuk Sengkang Makale. Di barat aku dijuluki
Hantu Tinggi Pelebur Jiwa. Di utara orang-orang memanggilku Sepasang Tangan
Kematian. Lalu di selatan orang-orang menggelariku Pencabut Roh Bersorban
Hitam. Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu!”
“Pangeran Matahari tertawa
lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya. Tapi tak satupun membuatku merinding.
Ha…ha…ha…! Sudah, sekarang katakan apa kepentinganmu datang kesini. Kalau sudah
lekas angkat kaki dari hadapanku! Goa ini jadi busuk akibat bau badanmu!”
“Aku datang untuk meminta
Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”
Paras Pangeran Matahari
berubah. Tapi dia lekas mengumbar suara tawa bergelak lalu berkata. “Manusia
muka hitam sinting! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?!”
“Aku lebih dari tahu siapa
tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama Anom. Ditakdirkan sebagai seorang
Pangeran terlantar karena ibumu hanya istri ketiga dari penguasa Kerajaan. Kau
hampir mampus kalau tidak diselamatkan oleh kakek sakti berjuluk Setan Muka
Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari dia kau menerima segala kepandaian silat dan
kesaktian. Dari petunjuk yang aku berikan dalam mimpinya maka kau berhasil
mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan. Nah apakah kurang lengkap semua keteranganku?!”
Untuk beberapa saat lamanya
Pangeran Matahari tegak seperti patung. Mulutnya ternganga. Dia dongakan kepala
lalu angkat tangan kanannya ke atas. Orang muka di hadapannya menyeringai dan
berkata.
“Jangan teruskan gerakanmu,
atau kau akan jadi debu saat ini juga!”
Pangeran Matahari yang dikenal
sebagai pendekar segala cerdik, segala akal, segala congkak dan segala licik
merasa sangat dihina oleh ucapan dan ancaman Datuk Sengkang Makale. Dia meludah
ke lantai lalu berkata. “Aku hanya bersedia menukar Kitab Wasiat Iblis itu
dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi Pelebur Nyawa!”
“Jika aku boleh menawar,
bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab ditambah nyawamu?!”
Rahang Pangeran Matahari
menggembung. Sepasang matanya membeliak berapiapi. Datuk Sengkang Makale tertawa
gelak-gelak
“Aha! Agaknya kau punya dua
nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar Pangeran Matahari.
“Kau sudah melihat sendiri ada
manusia mampus yang mayatnya melintang di cabang pohon! Mayat itu sekarang
kedinginan! Apa kau mau menemaninya?!”
“Siapa orang itu?! Kenapa kau
membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.
“Dia seorang tokoh dari utara
menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun. Aku membunuhnya karena dia mencoba
bersaing untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis! Kalau aku bisa membunuhnya riwayatmu
malam ini?!”
Pangeran Matahari tahu betul
bahwa orang yang mati itu bukan tokoh sembarangan. Jika si korban hitam
bergelar Hantu Tinggi Pelebur Nyawa ini mampu membunuhnya jelas dia memang
memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar berjiwa congkak, Pangeran
Matahari anggap enteng orang di depannya malah kembali dia meludah.
“Orang sombong sepertimu
biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh cerai-berai!”
Si jangkung Hitam terus saja
tertawa. Tiba-tiba dia semburkan gumpalan tembakau dan sirih yang sejak tadi
dikunyahnya. Benda ini melesat deras kearah patung singa berkepala manusia dan
amblas dalam patung batu itu!
“Pangeran, kita akan lihat
siapa yang tolol diantara kita. Siapa yang tidak sadar tingginya langit akan
mampus lebih dulu!” Habis berkata begitu si hitam ini ulurkan kaki kanannya ke
lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu dipijaknya lalu kakinya
diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari tersentak ke depan. Mulut
dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia cepat kerahkan tenaga dalam
untuk bertahan. Tak urung butir-butir keringat memercik di keningnya. Bibirnya
bergetar. Sang Datuk tertawa mengekeh.
“Manusia jahanam! Dengan
kepandaian picisan itu apa kau kira mampu menghindar dari kematian?!” bentak Pangeran
Matahari. Tangannya yang sudah menyiapkan pukulan “Telapak Merapi” didorongkan
ke arah orang tinggi hitam yang hanya berada empat langkah di depannya.
“Wussss!”
Dari telapak tangan kanan
Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh dan menggoncang goa batu.
Bersamaan dengan itu udara terasa sangat panas. Jangankan tubuh manusia, batu
sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan sakti ini. Tapi di
hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun bergeming malah
hadapi serangan maut itu dengan tangan kiri ditolakkan di pinggang sedangkan
tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk lurus-lurus ke
langit-langit goa!
Terjadi suatu hal yang hebat
dan membuat Pangeran Matahari terbeliak besar. Sinar hitam pukulan saktinya
laksana tersedot, tertarik kearah jari telunjuk Datuk Sengkang Makale. Suara
gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna. Sebaliknya jari telunjuk
sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika jari itu
dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat. Cahaya hitam dan angin keras
menderu. Atap goa batu hancur berantakan. Lantai batu bergetar hebat lalu
terbelah. Kalau sang Pangeran tak cepat melompat, kedua kakinya akan terperosok
ke dalam belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar segala cerdik segala congkak
itu tegak tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!
“Barusan aku hanya menyedot
dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu Pangeran!” kata Datuk Sengkang
Makale. “Yang setengah lagi biar kukembalikan padamu!”
Lalu sang Datuk jentikkan
telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari. Sinar hitam berkiblat!
Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya sendiri yang diredam
lalu dilepas kembali oleh lawan untuk menyerang dan menghabisi nya! Sadar
bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal. Secepat kilat
dia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam dengan pukulan
“Gerhana Matahari”.
Namun sebelum pukulan maut itu
sempat dilepas mendadak dia merasakan dadanya dia merasakan dia merasakan
dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari dada Pangeran Matahari
menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya disertai berkiblatnya sinar
hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di neraka. Sinar hitam maut
yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!
Lolongan setinggi langit
keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya mencelat keluar goa, sesaat
menyangsrang di semak belukar lalu jatuh di atas rerumputan. Asap mengepul.
Ketika Pengeran Matahari
keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi dengan nenek sakti
berjuluk Ratu Pesolek. Sosok jangkung Datuk Sengkang Makale yang punya empat
julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan kepulan
asap tipis!
Pangeran Matahari keluarkan
Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini terasa hangat. Perlahan dan
hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di batu goa lalu dia jatuhkan diri
menyembah.
“Junjunganku Kitab Wasiat
Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”
Lalu kitab itu diciumnya
berulang kali, diletakkannya di atas kepalanya kemudian dia melangkah masuk
kembali ke dalam goa.
ENAM
Tujuh payung warna warni yakni
merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu melayang turun menuju lereng bukit
tak jauh dari sumur batu dimana sosok Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah
sampai lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan menyentuh tanah, perempuan
yang bergelantungan pada payung itu lalu melompat ke samping. Di lain kejap dia
sudah tegak di tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip payung merah menancap di
tanah. Sekali lagi secara aneh terdengar suara clep! Payung warna merah yang
tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.
Perempuan yang tegak di
samping payung merah ternyata adalah seorang gadis berwajah sangat cantik.
Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua pipinya kelihatan
merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang alisnya sangat hitam
menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia mengenakan pakaian ringkas
warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam, tergerai lepas dipermainkan
angin bukit.
Enam payung yang masih
terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu menyusul turun mengitari
payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang payung yang lancip
menancap di tanah. Satu persatu pula secara aneh enam payung yang tadi
terkembang menguncup!
Gadis di tengah kelilingan
payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit di sekitar sumur batu itu
dilanda bau busuk beberapa mayat yang bertebaran di sana-sini. Tapi si gadis
seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia melangkah kearah sumur batu
lalu menatap ke dalam.
“Aku yakin memang ini sumur
yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan aku datang terlambat. Benda yang
kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi aku melihat ada dua orang meninggalkan
bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda itu. Sebaiknya aku naik ke
udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”
Gadis cantik itu melangkah kea
rah payung merah yang menancap di tanah. Tibatiba dia hentikan langkah dan
membalik. Matanya memperhatikan sosok tubuh Pendekar 212.
“Banyak mayat di tempat ini.
Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama menemui ajal! Pasti dua orang yang
kulihat tadi yang membunuhnya… Hemm…apakah perlu memeriksa siapa dia adanya?”
Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati tubuh Pendekar 212 yang
terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan tubuh pemuda itu hingga
terlentang. Sesaat dia pandangi muka Pendekar 212.
“Ada bekas darah di sekitar
mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini mati akibat luka dalam yang
amat parah. Hemmm… Tak pernah aku melihat dia sebelumnya.” Setelah
memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak. Angin bukit bertiup
kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada. Saat itulah dia tak
sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada si pemuda.
Gerakan kaki si gadis yang
hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang matanya yang bening membesar.
”Dua satu dua…!” desisnya. “Astaga!” Bukankah dia…” Gadis ini sesaat tampak
meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahanlahan dia berlutut. Tangannya
diulurkan memegang lengan kiri Wiro. “Tak ada denyutan nadi….Dia memang
benar-benar sudah mati! Ah…. Bagaimana ini? Padahal menurut guru aku harus…” Si
gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212, menatap terus menerus. Lalu
mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian dada. “Bekas pukulan aneh…”
katanya dalam hati. Lalu menyambung. “Nasib manusia memang di tangan Yang Kuasa.
Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya ternyata dia sudah menjadi
mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa kulakukan adalah mengubur
jenazahnya!” Gadis itu kembali memandang berkeliling. Di lereng bukit sekitar
lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon rindang. “Mungkin di bawah
pohon itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis bangkit berdiri lalu membungkuk.
Tangan Wiro kiri kanan
dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia menyeret mayat Pendekar
212 ke arah pohon besar di bawah sana. Baru enam langkah dia menyeret sosok
tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk.
“Mayat hidup!” Si gadis
terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu melompat menjauh dengan
wajah berubah. Tubuh Wiro yang tadi terangkat karena pegangannya dilepas jadi
terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat gadis tadi jadi
tambah ketakutan.
“Astaga! Jelas tadi dia sudah
mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis dalam hati ketika dilihatnya
sosok Wiro berbalik ke kanan lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri. Tapi
dalam sikap merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari mulutnya keluar suara
keluhan disertai kucuran darah. Wiro angkat kepalanya. Pandangannya kabur.
Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya.
“Demi Tuhan, siapapun kau
adanya to… tolong….”
“Dia benar-benar masih hidup!”
ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai kembali dia cepat mendatangi.
DUA mata yang terbuka itu tak
dapat mengenali benda-benda apa yang ada di atas tubuhnya. Dia hanya melihat
samar-samar warna hijau, merah, kuning dan entah warna apa lagi. Pendekar 212
pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru dibukanya.
“Aneh, benda-benda apa ini?”
otaknya mulai mampu berpikir. “Tubuhku terasa sakit. Tulang-tulangku seperti
luluh. Tenggorokanku kering seperti terbakar. Mulutku pahit. Dadaku uh…
mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh, berada dimana aku ini…?” Wiro
merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada orang melangkah di
dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru kembangkembang itu
membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu bergerak
seperti disibakkan. Kelihatan satu wajah.
Wiro pejamkan kedua matanya.
Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali.
“Heh… Jangan-jangan aku ini
memang sudah mati dan masuk sorga. Buktinya aku melihat wajah cantik rambut
panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wiro perlahan tapi cukup terdengar
oleh orang yang berada di sampingnya.
“Hik… hik… hik…”
Wiro terkejut mendengar ada
suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi tertahan-tahan. Matanya berputar
memandang kian kemari. “Astaga…. Jangan-jangan yang kulihat tadi bidadari
jejadian alias hantu perempuan!” kata Wiro lalu berusaha berdiri. Namun dia
cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung. Rambut tergerai dan wajah
cantik lenyap, berganti dengan satu sosok utuh mulai dari kaki sampai kepala
yang duduk du hadapan Pendekar 212.
“Si..siapa kau…? Berada dimana
aku saat ini?” Wiro bertanya. Kepalanya terasa berat. Dia kuatkan diri berusaha
agar tidak rubuh. Tapi tak bisa.
Gadis di hadapan Wiro
menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah. Sebaiknya kau berbaring saja
dulu…”
“Aku…aku lemah?” Wiro
memandang berkeliling sampai matanya kembali menatap kearah wajah cantik di
depannya. “Memangnya aku kenapa…?” Wiro turunkan kepalanya. Wajahnya langsung
berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju serta dadanya yang tersingkap.
Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di dadanya. Saat itu kembali
rasa sakit menyerang dadanya membuat dia merintih panjang. Lalu kembali Wiro
menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.
“Pertama aku menemuimu, kukira
kau sudah mati. Aku mengubur jenazahmu…” si gadis berniat hendak memberitahu.
“Tengkukku merinding mendengar
ucapanmu. Apa betul…” Wiro berucap.
Tangan kanannya hendak
menggaruk kepala tapi dia masih tak mampu menggerakkan. Malah saat itu tubuhnya
terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di tanah.
“Baiknya kau jangan banyak
bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah. Hanya kekuasaan Allah yang
membuatmu masih hidup saat ini… Berbaring seperti itu lebih baik bagimu.”
“Allah memang Maha Besar. Maha
Penolong. Apa… apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Otakku masih belum mampu
mengingat….”
“Jangan banyak berpikir,
jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…”
“Mana mungkin aku berbuat
begitu. Itu sama saja seperti mati sungguhan…” kata Wiro.
“Terserah. Kalau kau mau
sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika orang-orang yang ingin membunuhmu itu
muncul kembali dan kau masih dalam keadaan seperti ini, tamat riwayatmu!”
“Eh, siapa yang ingin
membunuhku…?” Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak mukanya mengernyit. Dadanya
mendenyut sakit seperti ada yang meremas di sebelah dalam.
“Telan ini…” kata gadis
berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda berwarna hitam sebesar ujung
jari kelingking.
“Apa ini…? Tahi kambing?”
Tanya Wiro.
Paras si gadis berubah
menunjukkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi harus pada tempatnya.
Aku memberimu obat tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan saja obat ini! Kau
boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!”
Murid Sinto Gendeng jadi
terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru marah. Aku tidak kenal kau.
Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya memperpanjang umur, bukan
sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada sebuah kantong kecil berisi
obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam mulutku…”
Gadis berbaju biru angkat
tangannya. “Kantong kain butut dan bau ini?!” ujarnya seraya memperlihatkan
sebuah kantong kain yang memang milik Wiro.
“Jangan menghina! Dalam
kantong itu ada obat pemberian guruku!”
Si gadis tersenyum lebar.
“Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu lebih buruk lagi!”
“Kau keliwat menghina!” Wiro
berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik hingga dia batuk-batuk sampai
keluar air mata. Dia coba bangkit dan ulurkan tangan mengambil kantong kain di
tangan si gadis. Namun dia hanya mampu bergerak sedikit lalu jatuh lagi ke tanah.
“Apapun obat yang ada dalam
kantong ini tak akan mampu menolong dirimu! Kau bukan menderita luka dalam
akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis. Hanya obat iblis pula yang
mampu menyembuhkanmu…”
“Maksudmu …?” Wiro melirik
pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang di tanganmu itu obat iblis!”
“Terserah kau mau menyebutnya
apa. Kau mau menelannya atau tidak?”
“Tidak…” jawab Wiro.
“Kalau begitu tak ada gunanya
aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal. Selamat bertemu dengan teman-temanmu…”
Eh teman-temanku siapa?!”
Tanya Wiro heran.
“Yang sudah meninggal lebih
dulu darimu!” jawab si gadis lalu letakkan kantong kain milik Wiro dan cepat
berdiri.
Dalam hati Pendekar 212
seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya malah muncul senyum lebar.
“Tunggu!”
“Aku tak punya waktu
melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut sebuah tiang yang
menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat baru Wiro mengenali bahwa banda
itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro memandang ke atas.”Ah,
kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas tubuhku ini adalah
payung semua…” piker Wiro. “Tujuh payung terkembang…Bagaimana dia bisa
memakainya semua? Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa benar dia hendak menolongku…?”
“Hai, kau betulan mau pergi?!”
Wiro bertanya.
“Kau tidak membutuhkan
pertolongan…”
“Siapa bilang?!” tukas Wiro.
Si gadis hentikan gerakannya
yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada Wiro dengan pandangan mengkal.
“Baik, aku bersedia menerima
pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih…Tapi boleh aku tahu dulu siapa
dirimu sebenarnya? Kau pasti punya nama dan …Hek!”
Wiro tercekik. Ternyata si
gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke dalam mulutnya. Begitu
berada dalam mulut obat itu keluarkan letupan halus. Wiro merasakan mulut dan
seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras. Perlahanlahan kulitnya
terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit mukanya kelihatan
menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan akhirnya turun
terus sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa nafasnya sangat
sesak. Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia hanya melihat
kegelapan lalu tak tahu apa-apa lagi.
TUJUH
Pendekar 212 sadar akan
dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit. Perlahan-lahan dia buka
kedua matanya. Dia coba berpikir. Ternyata daya ingatannya telah jernih
kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan lagi dalam tubuhnya walau
rasa sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam keadaan terbaring di tanah dia
memutar mata, memandang berkeliling.
“Benda kuning warna-warni itu…
Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis cantik berpakaian biru kembang kuning
itu…” Wiro bangkit duduk. Lalu berdiri. “Aneh, kekuatanku sudah pulih. Pasti
berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika dia hendak memandang
lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro ingat akan senjata mustikanya.
Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba kian kemari. Jantungnya bergemuruh.
“Kapak Naga Geni 212! Batu
hitam sakti!” teriak Wiro keras tapi bergetar.
“Celaka! Dua senjata mustika
itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!
Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua manusia setan itu!” Wiro terduduk lemah di
tanah. Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua tangannya, lalu
kedua kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.
“Ya Tuhan! Pa yang terjadi
dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku pasti juga!” Wiro usap
wajahnya. “Celaka! Jangan-jangan…” Wiro berucap sambil mengusap-usap ke dua
tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia memang sudah hitam
sejak dilahirkan!
Udara di atas Wiro tiba-tiba
redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya yang surya. Bersamaan dengan itu
terdengar suara perempuan berkata.
“Kau tak usah khawatir. Warna
hitam itu nanti akan hilang sendirinya. Keadaanmu akan pulih jika bulan purnama
muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!”
Wiro palingkan kepala dan
mendongak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tujuh payung
warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan terkembang. Pada gagang payung
warna merah tampak bergantung gadis cantik berpakaian biru berbunga-bunga.
“Ah dia rupanya! Luar biasa!
Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu terbang dengan payung sementara
enam payung mengiring seolah mengawalnya!” Wiro berdecak kagum lalu lambaikan
tangan.
“Sahabat, turunlah! Aku ingin
bicara banyak denganmu!” seru Wiro.
“Urusanku di tempat ini sudah
selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!”
gadis baju biru menjawab.
Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit lalu perlahan-lahan naik
ke atas.
Murid Sinto Gendeng garuk
kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk kepala!” murid Sinto Gendeng
merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung terbang semakin jauh dia segera
berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit menurun dengan sendirinya
dengan payung-payung itu bertambah jauh.
“Kulompati terlalu jauh!
Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wiro melihat sebuah pohon besar dengan
cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. “Tujuh payung bakal melewati pohon
itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wiro lari ke arah pohon, memanjatnya
dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah mana tujuh payung akan
lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang di atasnya namun
jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah payung yang
paling dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro kerahkan
tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon. Tubuhnya melesat ringan ke
atas.
Wiro berhasil menangkap gagang
payung warna ungu, yakni payung yang berada di sebelah tengah. Gadis berpakaian
biru berada dua payung di sebelah depannya.
“Hai! Apa yang kau lakukan?!”
teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu sugah bergantungan pada gagang
payung ungu.
“Aku mau ikut kemana kau
pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak denganmu!” jawab Wiro. Lalu
ketika ada kesempatan dia melesat ke samping dan berhasil menangkap gagang
payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari si gadis sementara
tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di atas bukit. Wiro
sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara seperti itu dia
merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali kecil berair
jernih.
“Kau tak bisa mengikutiku! Kau
harus turun!” berteriak si gadis.
“Tidak! Kalau kau mau turun
aku baru ikut turun! Jawab Wiro.
“Jangan memaksa aku melakukan
kekerasan!”
“Ahai! Gadis secantikmu mana
tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wiro sambil tertawa lebar.
“Kau mau mengujiku! Baik! Aku
akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan suara keras. Dia tampak marah
karena merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai melambai-lambai tertiup angin.
Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!
Payung hijau yang digelantungi
murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup dengan keras. Ujungnya memukul tangan
dan kepala Wiro. Pendekar 212 mengeluh keras. Bukan saja karena kesakitan
tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga dia tak bisa bergerak.
Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung cuma terbuat dari kertas dan
ruas-ruas bambu namun bagaimanpun dia berusaha tetap saja Wiro tak bisa
melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas dia berusaha tetap saja
Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak sampai-sampai sementara
tangan kanannya yang memegang payung selain sakit terjepit juga terasa mulai
lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.
Di sebelah kiri bawahnya
terdengar suara tawa cekikikan.
“Sialan! Dia menertawaiku!”
memaki Wiro. “Kalau bukan gidas cantik sudah kukencingi dia saat ini. Aduh…!
Bagaimana ini?!” Jepitan payung di kepala Wiro semakin keras. Tangan kanannya
bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah Wiro melihat bukit cukup jauh
di bawah sana. “Kalau aku harus melepaskan payung celaka ini lebih baik aku
memilih jatuh masuk ke dalam kali sana…” pikir Wiro. Karena tak sanggup lagi
menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wiro akhirnya
terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya melayang ke
bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara murid Sinto
Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar 212
melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika
Wiro berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!
Payung merah berguncang keras
ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri dari pelukan Wiro. Seumur
hidup baru kali ini dia dipeluk orang seperti itu. Oleh laki-laki pula!
“Pemuda kurang ajar! Lepaskan
diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang keenakan memeluk gadis cantik
itu malah tertawa gelak-gelak.
“Aku sedang keenakan, bodoh
dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!” jawab Wiro seenaknya.
“Benar-benar manusia kurang
ajar!” Si gadis marah sekali. Tangan kirinya digebukkan.
“Bukkk!”
Tubuh Wiro menggeliat ketika
gebukan si gadis menghantam bahu kirinya dengan keras. Sakitnya bukan main.
Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek dia bukannya berteriak
kesakitan malah berseru.
“Aduh! Enaaak!”
Karena beban yang ditahan
payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka perlahan-lahan payung
itu melayang ke bawah.
“Kau benar-benar tidak mau
melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali berteriak.
“Kita turun saja sama-sama,
mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud kurang ajar!” jawab Wiro dan
tambah memperkencang pelukannya.
Si gadis hilang sabarnya. Kaki
kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah perut Pendekar 212. Kali ini
Wiro benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu tak sadar kalau saat itu
dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua tangannya berada dipakai
menekap bagian bawah perutnya.
“Hancur keponakanku!”
Tubuh Pendekar 212 melayang
jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke tanah tidak terlalu jauh. Lagi
pula dia masih bisa memilih jatuh dengan mencebur masuk ke dalam anak sungai
berair jernih!
Dalam keadaan basah kuyup Wiro
berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara payung merah tempat gadis
cantik bergantung perlahan-lahan kembali melayang naik ke udara diikuti oleh
enam payung warna-warni lainnya. Bersamaan dengan jatuhnya Wiro ke anak sungai
tadi, dari balik pakaian gadis baju biru melayang jatuh pula secarik kertas.
Tepat ketika Wiro mencapai pinggiran sungai, kertas itu jatuh di atas sebuah
batu.
“Eh, kertas apa ini..?” ujar
Wiro. Dia mendongak ke atas.
Di udara gadis baju biru
tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke bawah. “Astaga! Kertas
itu…” katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya Wiro ulurkan tangan
hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera berteriak. “Jangan
sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua kakinya
digerak-gerakkan. Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh payung merah yang
digelantunginya melesat kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali dia
sudah menjejakkan kaki di depan batu di mana kertas tadi terjatuh. Namun dia
kalah cepat karena saat itu Wiro telah lebih dulu mengambil kertas itu. Ketika
diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas kosong. Tak ada tulisan ataupun
gambar di atasnya.
“Kembalikan kertas itu
padaku!” ujar si gadis di hadapn Wiro
“Aneh, hanya sehelai kertas
kosong mengapa dia begitu bersikeras memintanya…?” pikir Wiro dalam hati lalu
membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.
“Hai! Kau tuli tidak mendengar
orang berkata?!” bentak si gadis.
Wiro tersenyum lalu ulurkan
tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi jari-jari si gadis akan
menyentuh kertas itu Wiro tarik tangannya hingga orang hanya menangkap angin.
Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. Merasa di permainkan gadis baju biru
menjadi marah. Dia bukan saja berusaha merampas kertas itu tapi sekaligus
kirimkan serangan.
“Serangannya ganas sekali…”
membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan kiri si gadis sempat melabrak
ulu hatinya. Selagi tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan kanan lawan menyambar
ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah bagaimana pegangannya
pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar lalu masuk ke dalam
sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu tempat tertahan di
antara dua buah batu.
Wiro melihat perubahan aneh
pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya selembar kertas kosong mengapa
dia begitu ngotot?!’ pikir Wiro. Sambil pegangi perutnya yang tadi dihantam
dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai. Matanya yang ditujukan pada
kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-tiba terpentang lebar. “Aneh,
tadi kertas itu kosong tak ada apa-apanya. Kini aku lihat seperti ada sesuatu
di situ….” Wiro bergerak menuruni tebing sungai.
“Tetap di tempatmu! Jangan kau
berani menyentuh kertas itu!” Gadis di belakangnya berkata. Suaranya bukan
merupakan ancaman kosong karena saat itu juga melompat ke hadapan Wiro dan
dorongkan kedua tangannya dan dada sang pendekar. Jarak dua tangan dan dada
terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin dingin menyambar tanpa suara
sama sekali, membuat murid Sinto Gendeng terlempar sampai dua tombak. Dia jatuh
terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi sungai, semua
dalam keadaan kuncup!
Karena sebelumnya dadanya
pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa jejadian yang keluar dari kepala
Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di bagian yang sama, akibatnya
Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyunghuyung ketika coba berdiri.
Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan darah. Luka
dalamnya ternyata kambuh kembali.
“Hanya karena sehelai kertas
kau tega mencelakaiku…” desis Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam dan atur jalan
nafas serta darah.
Si gadis tak menjawab. Malah
balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan cepat. Di satu tempat dia siap
untuk melompat, mengambil kertas yang tersangkut di celah dua buah batu sungai.
Pada saat dia membungkuk, dari
belakang tiba-tiba menderu satu gelombang angin deras. Si gadis tak sempat
melihat apa yang terjadi. Tapi dia maklum kalau ada orang menyerang dengan satu
pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke samping. Namun tak urung
sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya sebelah kiri. Tak ampun lagi
gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke dalam sungai!
Wiro yang barusan lepaskan
pukulan “segulung ombak menerpa karang” dalam keadaan menahan sakit pada
dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk melompat ke atas salah satu batu
dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air melewati celah di
antara dua batu.
“Hai!” terdengar seruan gadis
baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang secepatnya sebelum Wiro
berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia masih jauh sewaktu Wiro
meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata murid Sinto Gendeng
terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu. Meskipun air sungai
membuat tulisan itu luntur namun Wiro masih bisa merangkainya satu sama lain
dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.
Muridku Puti Andini.
Karena keperluan sangat
penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.
Seperti yang aku pesankan
dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke tanah Jawa.
Cari pemuda bergelar Pendekar
212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.
Bagaimana caranya terserah
padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jika kau mengalami kesulitan.
Wiro ambil kertas basah itu
dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika gadis yang berenang sampai
di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.
“Kau inginkan kertas ini?
Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas yang basah dan hampir
robek itu ke atas batu.
Si gadis usap mukanya yang
basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia berkata seolah pada diri
sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa yang tertulis di
kertas itu…”
DELAPAN
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak Gunung Merapi. Namun selewatnya
pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak memungkinkan mereka meneruskan
perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa tinggalkan binatang-binatang itu di
satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan kaki.
“Ini tempat terkhir kita
mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita berdua bakal celaka…”
kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat bahkan setengah berlari
menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh semak belukar dan onak
duri.
Hari itu adalah hari kesembilan
puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun kematian yang telah mereka
telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat beralasan megapa kini
mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang Pangeran guna
mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.
“Tiga Bayangan, aku masih
tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat penawar kita intai saat
dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu bisa kita habisi,
berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
“Apa yang ada diotakmu juga
merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat Iblis ada
apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara membiokong.
Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu Pesolek…”
“Kalau begitu kita akan celaka
seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.
“Jangan dulu putus asa, “kata
Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang ampuh. Misalnya menjebak
Pangeran sialan itu…”
“Menjebak bagaimana?” Tanya
Elang Setan.
“Setahuku dia adalah seorang
pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang gadis untuk
merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu akan
menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab tersebut….”
“Rencanamu masuk akal. Sayang
gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu tidak dia bisa kita
jadikan jebakan…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa.
“Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu bengkak sebelah. Singa betina
seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita yang dijebaknya masuk liang
kubur…”
Semakin tinggi menuju puncak
Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang udara bertambah dingin
padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya bersinar terik terang
benderang.
Tak berapa lama kemudian kedua
orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur Gunung Merapi.
“Itu bangunannya. Kuharap dia
benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah riwayat kita!” kata Elang
Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung terbuat dari kayu jati
beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati sebuah tangga. Di
sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar. Dengan
cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan Elang
Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
“Pangeran Matahari! Apa kau
ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!”
Sunyi tak ada jawaban. Dua
orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk lagi lebih
keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
“Pangeran Matahari! Kami Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami berhasil menjalankan
tugas!”
Tetap saja tak ada jawaban
dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan memanggil. Mungkin dia
sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke dalam,” kata Elang
Setan.
Tiga Bayangan Setan mengangguk
tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu terbuka keduanya segera
menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.
“Celaka! Nyawa kita tak akan
ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!” kata Elang Setan seraya
melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.
Namun baru saja keduanya
sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu menghadang di situ.
“Pangeran Matahari!” seru
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu menjura
dalam-dalam.
Di ambang pintu orang yang
tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar Gunung Merapi
warna biru di bagian dada.
“Hemmm…cara kalian menghormat
seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut di hadapan
Pangeran Matahari!”
Dibentak seperti itu Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut patuh walau dalam
hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka diberlakukan demikian
hinanya sebelumnya.
“Hemmm… Aku sudah menduga
kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari kalian mengatakan
datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas! Kalian boleh berdiri
dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan Setan, kau yang
menjelaskan!”
Dua orang itu serentak
berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.
“Pangeran Matahari, sesuai
tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…”
Sepasang mata Pangeran
Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang persegi dan
dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya didongakkan. Lalu
terdengar dia berkata.
“Tiga Bayangan Setan. Coba
bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”
“Aku Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Dimana dan bagaimana
kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.
“Di bukit di luar Kartosuro.
Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan Kitab Wasiat Iblis
itu, “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas setelah terkena pukulan salah
satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”
“Hemmm…” Pangeran Matahari
bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya yang congkak tidak
berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun di kepalamu bisa
keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu telah membunuh
Pendekar 212?”
“Yang sebelah kiri, Pangeran,
“jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagian mana yang dihantam
makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari. “Kepala atau
tubuh?!”
“Tepat di bagian dadanya
Pangeran.”
Untuk beberapa saat lamanya
Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu perlahan-lahan dia mengalihkan
pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang lekat-lekat tak berkesip
seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa merinding.
“Apa yang ada di benak manusia
ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah tidak yakin aku telah membunuh
musuh besarnya itu!”
“Tiga Bayangan Setan, katamu
kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke
hadapanku?!”
Mendengar kata-kata Pangeran
Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang.
“Tapi Pangeran,” yang menjawab
adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah memerintah begitu…”
“Elang Setan, tutup mulutmu!”
bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang Setan. “Tiga Bayangan
Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut lancang kalau tidak
ditanya!”
“Maafkan aku Pangeran, “kata
Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran Matahari tujukan
pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa jawabanmu?!” bentaknya.
“Aku mohon maafmu Pangeran.
Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami tidak mendengar hal
itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya sesuatu yang
mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang sudah tamat
riwayatnya!”
“Apa sesuatu itu?!” Tanya
Pangeran Matahari dengan suara datar.
Dari balik pakaiannya Tiga
Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan cahaya terang
menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak tapi juga berseru gembira.
“Kapak Maut Naga Geni 212!”
Elang Setan tidak mau
ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia keluarkan sebuah batu
hitam empat persegi.
Batu mustika hitam pasangan
Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari berseru.
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu saja dengan cepat segera
diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata berkilatkilat dia perhatikan kapak
dan batu hitam.
“Kalian berdua memang hebat!”
memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212 dibabatkannya ke udara. Terdengar
suara seperti ribuan tawon berdengung disertai berkiblatnya sinar putih perak
menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas. Pangeran Matahari geleng-geleng
kepala lalu tertawa panjang.
“Pangeran, dua benda sakti itu
apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng telah menemui
ajal di tangan kami?!”
Pangeran Matahari tidak segera
menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala. Setelah itu diarahkan
pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya. Sesaat dia
angguk-anggukkan kepala baru berkata.
“Aku sudah memuji kalian
sebagai manusia-manusia, sebagai pembantupembantu, sebagai pengawal-pengawalku
yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah satu pekerjaan yang besar!”
Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang dan simpan batu
hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia bertanya: “Apa ada hal lain
yang hendak kalian sampaikan?”
“Memang ada Pangeran,” jawab
Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami berada di bukit
Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis cantik berpakaian serba
biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu. Setelah Pendekar 212
tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada Pangeran. Tapi di
tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil meloloskan diri!”
“Hemmm… Itu sebabnya kulihat
mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup keras…” ujar Pangeran
Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah khawatir. Kejadian itu tidak
akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada lagi yang hendak kalian
katakan?!”
“Mengenai obat penawar itu,
“kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah Pangeran telah berjanji akan
memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?”
“Kalian tak usah khawatir.
Obat itu memang sudah kusiapkan!”
Wajah Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega. Mereka memperhatikan
bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran keluarkan dua butir obat
berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil seorang satu. Telanlah. Racun
kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum kalian sempat menghitung sampai
sepuluh!”
Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing sebutir obat itu dari
telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke dalam mulut dan segera
menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-gelak. Mendadak saja dua
orang itu merasa syak.
“Pangeran…” Tiga Bayangan
Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran memberi isyarat
dengan melambaikan tangan kiri.
“Racun seratus hari kini
berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”
Kaget dua orang itu di hadapan
Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak sontak pucat putih
sperti kertas.
“Pangeran! Kau sudah berjanji!
Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan hampir berteriak dan
pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang melotot pada sang Pangeran
dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang meluap.
“Kau menipu kami Pangeran!”
ujar Elang Setan.
Pangeran Matahari semakin
keras tawanya.
“Kalian harus berterimakasih
karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga ratus hari dimuka!
Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!”
“Sesuai perjanjian….”
“Setan alas keparat! Siapa
yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga Bayangan Setan.
“Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit ke luar Kartosuro
itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng, bawa kepalanya
ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari sekarang!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga. Elang Setan beranikan diri
membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh dari sini. Kalau kami sampai di
sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak busuk atau dimakan binatang
buas….”
“Plakkkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi
Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan jadi tambah gembung. Sekujur
tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku tangannya mencuat lurus.
Pangeran Matahari menyeringai.
“Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang Pangeran sambil memandang
pada Elang Setan.
Elang Setan hendak membuka
mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang bahunya dan berkata.
“Mari kita tinggalkan tempat ini….” Katanya.
Sesaat Elang Setan masih
memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu perlahan-lahan dia
putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya menuruni tangga rumah
panggung.
“Ingat! Kalian punya waktu
seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma punya umur tiga ratus hari
dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending aku tidak
menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu. Ha…ha…ha…!”
“Jahanam keparat!” maki Elang
Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Krakkkkk!”
Kayu pegangan tangga hancur
berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari tambah keras. Sesaat
setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran Matahari menghentikan
tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan berseru. “Kekasihku! Kau
boleh turun sekarang!”
Dari atas atap rumah tiba-tiba
melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu turun ke lantai rumah dia langsung
memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas dengan penuh nafsu. Dua
tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis. Hidung dan bibirnya menjalar
di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si gadis terpekik penuh
rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang putih jenjang.
SEMBILAN
Gadis bernama Puti Andini itu
tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk beberapa lamanya wajahnya
disembunyikan dibalik kedua tangannya.
Wiro pandangi gadis itu sambil
berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis menimbulkan perkara. Kini Kitab
Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita sama. Semakin banyak keterangan
yang harus kukorek dari gadis ini.”
Sewaktu Puti Andini turunkan
tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada Wiro, murid Sinto
Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu. “Aku harus mengakui,
kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia ingin membunuhku apa
artinya…”
Puti Andini naik ke atas batu.
Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang dipegangnya agak licin.
Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk naik keatas batu. Untuk
beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya perlahan-lahan
diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan. Sepuluh jari saling
mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Detak
jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212 biasa-biasa saja.
Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke atas batu lalu
dibantunya melompat ke tebing sungai. Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai
Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu. “Kepandaian
manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja. Begitu
terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”
Karena pakaian biru
berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari bahan yang agak
tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti membungkus tubuhnya
sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk belahan auratnya.
Puti Andini tiba-tiba balikkan
badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung hijau yang tadi sempat memukul
kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.
“Kau mau kemana?!” tanya
Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung merah dari tanah.
Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu membuat terkembang
payung hijau yang tadi kuncup.
“Aku…. Aku harus pergi,” jawab
si gadis.
“Mencari Kitab Wasiat Dewa
atau kembali ke gurumu?”
“Apa yang aku lakukan dan
kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”
“Kau betul! Tapi ada banyak
hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi… Kuharap kau mau…”
“Kau terlalu keras kepala.
Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”
“Hemmm… Bukan aku, tapi kau
yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia berseru. “Lihat batu!”
Meski tidak mengerti apa yang
hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah batu di tengah sungai.
Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan melesatnya selarik sinar putih
panas menyilaukan.
“Wussss!”
“Braakkk…byaar!”
Batu besar di tengah sungai
hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam keadaan hangus. Sebagian
ada yang dikobari api.
“Batu saja bisa terbakar, apa
lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”
Sesaat panas Puti Andini
tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli akan yang barusan
dilakukan Pendekar 212.
“Mengancam orang dengan
pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!”
Murid Sinto Gendeng hampir
terlonjak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”
“Apa itu tengil?!” tanya Puti
Andini tidak mengerti.
Wiro mau memaki panjang pendek
saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa pertanyaan. Tapi jika
kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu seberapa kerasnya kepalamu
dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”
“Hemmm, begitu…? Baiklah.
Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu. Apa saja yang ingin
kau tanyakan?”
“Pertama kejadian di bukit
itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok menjatuhkanku hingga
pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau berpayung di atas, tentu kau
melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa menceritakan apa yang kau lihat?”
“Cuma sekilas. Semuanya
terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng bukit. Salah seorang
diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan mengenakan pakian biru….”
“Itu pasti Bidadari Angin
Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah menculiknya! Keselamatan Gadis
itu pasti terancam!”
“Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.
“Kau kenal mereka…?”
Puti Andini menggeleng. “Aku
hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus dimusnahkan!”
“Gurumu yang berkata begitu?
Atau memberimu tugas begitu?!”
Si gadis tidak menjawab. “Apa
lagi yang ingin kau tanyakan…”
“Jika kuhubungkan apa yang
tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan terhadapku jelas sekali
berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan menyelamatkan diriku…”
“Aku membunuhmu jika kau sudah
memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan padaku!” jawab Puti Andini.
Wiro menyeringai lebar.
Si gadis sadar kalau ucapan Wiro
tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa yang sebenarnya yang harus
dilakukannya.
“Siapa gurumu…?”
Puti Andini tidak menjawab.
“Baik, kau tidak memberi tahu.
Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan seorang tokoh silat dijuluki Tua
Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”
“Siapa yang tidak kenal tua
bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya gara-gara patah hati…”
Hampir saja terlompat hardikan
dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua Gila adalah guru malah
sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa adanya Tua Gila harap
baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)
“Kau menyebut orang tua itu
dengan nada permusuhan….”
“Dia memang bermusuhan dengan
guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!” jawab Puti Andini.
“Aku tidak ada permusuhan
dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan agar kau
membunuhku?!” tukas Wiro Sableng.
“Kau tak usah khawatir.
Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa itu…”
“Sialan… Enak saja kau
bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.
“Jika kau tak ada pertanyaan
lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!”
“Tunggu! Kau harus menjelaskan
mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”
“Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga
mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau tidak percaya coba
berkaca di air sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang. Karena tak tahu mau
berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke tanah sungai
hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis malah tertawa
terpingkal-pingkal!
“Puti Andini !” teriak Wiro.
‘Jangan kau berani bicara main-main!”
“Wiro Sableng!” balas
berteriak si gadis.
“Eh, bagaimana kau tahu namaku?!”
Wiro keheranan.
“Waktu kau pingsan aku melihat
ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi tahu siapa kau adanya….”
Jawab Puti Andini pula.
“Waktu aku sadar kali pertama
keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini. Saat aku siuman kembali baru
kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam legam. Kau telah
melakukan sesuatu padaku!”
“Kau benar! Lalu apakah kau
menyesali diri dan memilih mati daripada menerima keadaan seperti ini? Tubuhmu
yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat jahat. Waktu obat yang
kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu selamat tapi kulitmu
menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui kematian mengenaskan?
Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya sementara. Sudah kukatakan
sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu, warna hitam itu akan serta
merta lenyap…”
“Bagaimana kalau bulan purnama
tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus menerus…”
Puti Andini tertawa dan
geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil. Muncul tidaknya bulan
purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan atau udara mendung!”
“Sial! Aku tak tahu harus
bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garukgaruk kepalanya berulang
kali.
“Kau masih ada pertanyaan?!”
“Ya…ya! Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau sempat melihat mereka
melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur.”
“Selatan,” jawab Puti Andini
pendek.
“Aku bersumpah akan membunuh
pencuri-pencuri senjataku itu!”
“Kau mungkin bisa membunuh
Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga Bayangan Setan itu!” kata
Puti Andini.
“Aku tahu dia kebal pukulan
sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya nyawa rangkap!” jawab
Wiro meradang.
“Masalahnya bukan apakah dia
punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa dibunuh sampai dunia
kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!”
“Lalu apa kau tahu kelemahan
manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar.
“Mengenai diri seorang manusia
iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”
“Apa maksudmu?!” Tanya Wiro.
“Untuk mengetahui kelemahan
Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat golongan hitam yang
aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk. Sebelum kau bisa
mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya lebih dulu!”
“Dimana aku bisa menemukan
orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212. “Menyelidiki seorang iblis
harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”
Habis berkata begitu Puti
Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala. Bersamaan dengan
itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang menancap di tanah
melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya ke tanah. Payung
merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis terangkat ke
udara. Wiro hendak mengejar. “Jangan kau berani mengikuti!”
Wiro tidak peduli. Dia
melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu sudah naik
setinggi kepala.
“Dasr sableng keras kepala!”
terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak membuat gerakan
berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning, hijau, putih, hitam dan
ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin yang dahsyat. Lalu
di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing menghantam kearah Pendekar
212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi menghunjam ke dada dan
perut!
Wiro berseru tegang. Secepat
kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh yang paling aman adalah
anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar 212 lenyap di bawah air.
Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang ke tepi, enam buah
payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah dimana Puti Andini
bergantung.
Wiro geleng-geleng kepala.
Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara dia berkata. “Kau tak
mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya kepentingan dengan Kitab
Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”
Setelah Puti Andini lenyap
bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.
“Apa yang harus kulakukan
sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan? Atau mencari
Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin Timur… Seumur
hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto Gendeng garuk
kepalanya berulang-ulang.
SEPULUH
Muara Kali Opak ramai oleh
perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan sibuk memunggah ikan. Para tengkulak
hilir mudik memborong ikan dengan harga semurah mungkin yang kadang-kadang
membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti itu Wiro berusaha mencari perahu
sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak satu pun pemilik yang mau
disewa. Selain mereka letih, rata-rata saat itu mereka sudah mengantongi uang
cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu pada seorang pemuda
tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal, berkulit dan bermuka
hitam jelek pula!
Wiro tegak bersandar pada sebuah
perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan barang – barangnya. Sebelumnya
Wiro sudah bicara dengan orang ini. Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu
mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang, kau masih belum dapat perahu
sewaan?”
Wiro delikkan mata dan memaki
dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan muka pantat dandang. Ini
gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam akibat obat yang diberikan
oleh Puti Andini. Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.
“Anak muda, sebenarnya kemana
tujuanmu?”
“Sebuah pulau. Didiami oleh
seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Kau tahu letak pulau itu?”
“Kami para nelayan memang
pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa membuktikan bahwa
si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari sini kau bisa
lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di laut selatan ini.
Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk mencari si Raja Obat
yang belum tentu ada?”
Wiro garuk-garuk kepala. Dia
ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu.
“Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa itu. Tapi kalau begini
susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal menemukan orang tua itu.
Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan dimana kitab sakti itu
beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari kitab sakti itu.
Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam di pantai utara!
Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
Dari dalam saku pakaiannya
Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga ini ditimang-timangnya.
Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. “Aku tidak tertarik dengan perak itu kalau
kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak seorang nelayan atau pemilik
perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang mungkin tidak kau ketahui…”
“Apa?!” Tanya Wiro sambil
terus menimang-nimang kepingan perak.
“Saat ini harihari menjelang
bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah pusaran air. Tidak
terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana dari laut selatan ini.
Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari. Jangankan perahu, gunungpun
sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke dasar samudera!”
“Ah, ternyata nelayan di sini
pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar bukit tetap saja tak ada
yang mau mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia berpaling pada nelayan di
sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui dan ingin kau beritahu?”
Nelayan pemilik perahu tertawa
lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau akan bertemu dengan
seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu ke laut…”
“Dimana aku bisa menemui
nelayan aneh itu. Siapa namanya?”
“Dia muncul dan lenyap secara
tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja satu dua hari bahkan
berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini menyebutnya dengan
panggilan Makhluk Pembawa Bala!”
“Eh, kenapa kalian memberi
nama begitu padanya?”
“Karena dia menderita sejenis
penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah sembuh-sembuh. Sekujur
tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan manusia, kuda atau
gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa lekas bertemu
dengannya. Agar kau ketularan…!” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu tinggalkan
Wiro.
Murid Sinto Gendeng kenbali
garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau dan tahu kediaman si Raja Obat,
tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia muncul.”
Lima hari berlalu . Wiro
berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan berpenyakit cacar
yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi berlalu.
Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh. Siang
itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan memecah
di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang. Wiro
berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu sampai
sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari sini.
Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini, urusan
nantilah!”
Wiro menghela nafas dalam.
Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak pagi-pagi. Saat itu
tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke tengah laut biru laksana
sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang besar. Sepasang matanya
membesar dan tak berkesip.
Di tengah laut kelihatan
sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak menembus gelombang
menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali lalu terus
memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa benda
di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar. Seolah
tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur pesat
kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro melihat dan
menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan sebuah caping lebar. Wajahnya
ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak menggunakan pendayung untuk
mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di samping kiri perahu putih.
Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian kemari. Gerakannya inilah
yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara gemuruh gelombang.
“Orang aneh di atas perahu
jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”
Berpikir begitu murid Sinto
Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa. Hujan rintik mulai
melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya sementara
perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa
jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping kiri perahu angkat tangan
kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba berputar, membalik ke arah
tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang besar muncul. Suara
gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro berada.
“Astaga! Hai! Awas! “ teriak
Wiro.
Namun gelombang besar telah
menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja perahu itu pun
lenyap.
“Pasti amblas ke dalam laut!”
pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari mati. Bunuh diri!” Wiro
geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut terdengar suara orang
berteriak. Wiro memperhatikan.
“Eh….” Murid Sinto Gendeng
jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba muncul dipermukaan
laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu, berjingkrak-jingkrak sambil
berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya basah kuyup.
“Aneh, kurasa tadi dia sudah
ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak kecil ini kegirangan!
Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya! Aku harus tahu siapa
adanya manusia aneh ini!”
Saat itu sekitar sepuluh
tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu satu gelombang
besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan kanannya dan
menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara setinggi lima
tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke dalam laut,
perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
“Sekarang jangan harap dia
mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto Gendeng. Mendadak. “Hai!” Wiro
berseru kaget.
Didorong oleh sebuah ombak
besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan laut. Penumpangnya
tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri kanan perahu. Dua tangannya
disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut mengikuti yang dialun
ombak.
Laksana sebatang anak panah
melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat menuju menuju
pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata melesat ke arah
Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru kaget dan
jatuhkan diri ke pasir.
“Wusss!”
Perahu putih menyambar hanya
setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar suara braaakk!
Dalam keadaan menelungkup di
atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih dilihatnya melabrak gubuk tempat
dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur berantakan. Perahu tergelimpang
ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
“Eh, di mana orang bercaping
itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba ada suara tawa
bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali. Wiro cepat bangkit
berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat terkejut. Orang
bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa, duduk
berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya
ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin
bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di atas pohon tiba-tiba
melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti seekor tringgiling,
menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
“Hancur kepalamu!” seru Wiro
tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu jatuh dengan kepala
lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi dia kecele karena
dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di lain kejap tahu-tahu
orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.
“Sedap sekali permainanku hari
ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru pergi….” Lalu orang ini
berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang
mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng dengan cepat perhatikan orang
itu.
“Tubuhnya bau busuk, amis!
Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit. Koreng-koreng yang
mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!” Wiro teringat pada ucapan
seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di depannya sambil
menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
“Bapak bercadar…Kau pasti yang
dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala. Kalau betul…”
Belum sempat Wiro meneruskan
ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret perahu menuju ke laut
orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.
“Buseett! Kalau memang ada
makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau melihatnya! Hik…hik…!” Dari
mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika diperhatikan, Wiro
melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu berwarna merah dan basah
di bagian mulut.
“Tak pelak lagi! Memang dia!”
kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu walau kemudian dia
memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan bernanah!
“Walau kau tak mau mengakui
siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk Makhluk Pembawa Bala
itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan. Dengar, aku butuh pertolonganmu.
Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke laut…”
“Jangan berani menanam budi
padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!” Orang berpenyakit cacar
berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan sebagian perahunya sudah
masuk ke dalam air laut.
“Aku butuh pertolonganmu… Kau
pasti bisa menolongku!”
“Untuk urusan ini apakah kau
sanggup membayar dengan nyawamu?!”
Wiro jadi tertegun mendengar
ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.
“Aku tahu kau minta diantar ke
sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa kau sudah bersiap-siap
menghadapi kematian?!”
“Soal mati hidup di tangan
Tuhan! Aku tidak takut!”
Orang bercaping keluarkan
suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah dan warna merah.
“Kau betul. Kematian anak
manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak manusia yang berlaku
tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya adalah kau sendiri!”
“Aku tidak perduli walau
menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk menyelamatkan dunia
persilatan!” kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan bicara.
“Oh begitu….? Rupanya kau ini
malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana ada yang hitam gosong
sepertimu!”
Dalam hati Pendekar 212 jadi
memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu. Tanpa perduli orang tidak
suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam laut. Begitu perahu putih
mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping langsung melompat naik.
Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat. Pemilik perahu jadi
marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
“Siapa mengizinkanmu naik ke
atas perahuku?!”
“Memang tak ada yang
mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu. Antarkan aku ke
pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru Angin!”
“Kau mau kutendang dari atas
perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik orang bercaping.
“Jika kau mengancam begitu aku
juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan kuhancurkan perahu
ini!”
Diancam seperti itu orang
berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu tertawa gelak-gelak.
“Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau akan menghancurkan
perahuku. Hik..hik!”
Hilang sabarnya Wiro
berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol perahumu!”
Habis berteriak begitu Wiro
langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu. “Braak!”
Lantai perahu yang terbuat
dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro sendiri jeblos masuk ke dalam
lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian tengahnya terendam ke dalam
air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid Sinto Gendeng ini jadi
terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tidak mampu menarik lepas
tangannya dari lubang yang menjepit.
“Celaka! Bagaimana bisa
begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping. Orang bercaping
dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain sambil
tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh koreng
cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha mengeluarkan
tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan kedua
kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
“Gila! Tanganku!” teriak Wiro.
“Ha..ha…!” Orang bercaping
tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya. Pernah kau merasa
digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut runcing seperti tombak?!
Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan. Kalaupun tanganmu selamat
apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha…ha…ha!”
“Kurang ajar! Apa yang kau
lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab
malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyanggoyangkan kedua kakinya yang ada
dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu melesat tambah cepat.
“Kalau kau tidak melepaskan
tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti! Biar kita tenggelam
dan mampus sama-sama!” teriak Wiro mengancam.
“Pemuda muka hitam, kau masih
galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu menggerakan tanganmu
sebelah kiri?!”
“Mengapa tidak?!” jawab murid
Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar matahari sementara hujan
yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti. Orang bercaping tenang saja
malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga penuh dia hantamkan
tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup. Wiro merasa lengan
kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu dia tidak mampu lagi
menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih menyilaukan menjadi
surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
“Ha…ha…ha! Ha…ha…ha…!” Orang
bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang. Wiro merasakan
kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wiro
melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut. Walau jelas perahu ini
berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu terkejar perahu itu
sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua perahu meluncur
bersisi-sisian. Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang
perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah
sana.
“Heh… penumpangnya perempuan.
Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!
Astaga!” Wiro terkejut tapi
juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin Timur!”
Wiro lambaikan tangan kirinya.
Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba berteriak. Lebih celaka lagi!
Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang sedikitpun!
“Jahanam! Manusia caping bau
busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro merutuk setengah mati. “Kuharap
gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak mendekat. Pasti dia bisa
melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pertolonganmu!”
Perahu yang ditumpangi gadis
berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak. Tapi kemudian bergerak
ke kanan, menjauhi perahu putih.
“Celaka! Kenapa menjauh? Gadis
itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro sangat kecewa tapi juga
jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat! Mustahil dia tidak mengenaliku!
Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat itu hitam legam mulai dari
kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak mengenali dan
terus saja pergi? Hik…hik!”
“Jahanam!” maki murid Sinto
Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu ada gadis cantik
di perahu itu?!”
Perahu putih itu semakin jauh
ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar di kejauhan.
SEBELAS
Dalam keadaan tak bisa
bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara matahari bersinar terik,
Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah dipanggang. Yang membuatnya jengkel
setengah mati, orang bercaping di samping perahu enak-enak saja duduk
uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil. Laut luas menghampar,
tak kelihatan pantai tak tampak pulau.
“Hendak dibawa kemana aku
ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi bala bagiku!”
Tiba-tiba suara nyanyian orang
bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
“Lihat berkeliling!
Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro merasakan ada
angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja kini dia bisa
menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar menjadi kecut
ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan hiu sebesar
manusia!
Wiro membuka mulut hendak
meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata walau kini dia mampu
menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya tetap saja tak bisa
mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya dingin.
“Tanganku…” kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit di
lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar
pasti bunting!”
“Anak muda, kau kulihat
ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan itu sebenarnya
makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”
Wiro putar kepala dan beliakan
matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu menyerang apa kau sendiri bisa
selamat?!” ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari dalam mulut. Tiba-tiba dia
merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang berada di dalam laut. Ada
rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk memperhatikan, dilihatnya ada warna
merah di air laut. “Tanganku luka! Warna merah itu pasti darahku…! Celaka!
Manusia jahanam ini
benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar membayangkan apa yang akan
segera terjadi. Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di
dalam laut telah melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka
menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin
lama goncangan makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian
kemari, hanya menunggu terbalik saja.
“Selamat tinggal anak muda!”
“Heh! Mau kemana makhluk
celaka ini?!”
Dari salah satu bagian lantai
perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah benda empat persegi
dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar cepat orang itu
meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu pergunakan dua
utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada Wiro, lambaikan
tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat tinggal anak muda!
Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat!
Ha…ha…ha!” Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu
melompat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki
kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur
ke depan!
“Jahanam betul!” rutuk murid
Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat di depan matanya.
“Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku selamatkan diri dari mati
tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar laut. Semoga takdir Tuhan
mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata setengah meratap dan masih bisa
mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling dekat muncul di depannya.
Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul Si Raja Penidur. Setelah
itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti, disusul dengan Tua Gila.
Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada bayangan biru
berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. “Bidadari Angin Timur… Kita
tak akan bertemu lagi selama-lamanya…”
“Braaaakk!-Braaakk!”
Dua ekor ikan hiu menghantam
dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah, terbelah dua. Lantai
sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang terjepit kini terlepas
bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam
keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya. Sebelum tubuhnya tenggelam
masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor ikan hiu yang berada di
sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip. Binatangbinatang haus darah
ini menyerbu ke arahnya!
Di saat yang bersamaan
tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa kali. Pada
saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari tubuh
Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara
menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan
nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang
kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu
ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai
tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti
takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau
ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap.
Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang
berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak
sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi yang ujungnya
memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata adalah
makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di
sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
PERTAMA sekali yang didengar
kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya ialah alunan suara
petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium bau harum semerbak.
Perlahan-lahan Wiro buka kedua
matanya. Memandang ke atas lalu melihat berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur
di atas sebuah tilam sangat bagus.
“Ruangan apa ini…?” pikir
Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh, kakiku bisa bergerak…” Dia gerakkan
tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia mencoba bangkit ternyata
dia mampu duduk di atas pembaringan itu. “Dimana aku ini?”
Ruangan dia berada saat itu
ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit kamar terbuat dari bahan
aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh tempat. Wiro angkat tangan
kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal lengan. Dia coba
berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa yang telah
dialaminya sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam ke dalam
laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul
tabir kelabu aneh…” Wiro pandangi lagi lengan kanannya. “Luka di tanganku di
taburi sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan
diriku…”
“Srett…srett…srett…srettt!”
Tiba-tiba tirai biru muda yang
menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sinto Gendeng hampir tersentak.
Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak berkesip.
“Jangan-jangan aku benar sudah
mati. Dan masuk ke dalam sorga… Buktinya saat ini aku dikelilingi selusin
gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus. Mengenaskan pakaian yang
membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya aku ini betulan di sorga?”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Dosaku bertumpuk. Masakan aku bisa masuk sorga
semulus ini…?” Wiro memandang berkeliling. Perhatikan gadis-gadis cantik itu.
Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam yang ketat, terbelah di bagian
sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul, lalu terbelah lagi di bagian
dada sebelah atas.
“Cantik semua. Kalian ini
siapa…Aku berada dimana?” tanya Wiro lalu perlahanlahan dia turun dari berjuluk
Makhluk Pembawa Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini makhluk tipuan ciptaan
si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan membuat murid Sinto Gendeng jadi
tidak enak dan bercuriga.
“Hai! Tak ada satupun dari
kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?” Wiro memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba dua gadis bergeser
ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah maju seorang gadis membawa
sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat besar. Di atas nampan ini
ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, juga
terbuat dari kain hitam. Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu
membungkuk. Karena dada pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang
payudaranya yang putih kencang seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang
Sinto Gendeng merasa jantungnya seperti mau tanggal menyaksikan!
“Tamu dari daratan silahkan
membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami bawa ini.” Gadis
pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata. Wiro jadi tertegun. Saat itu
pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga kotor dan bau.
“Kalian gadis-gadis baik. Mau
memberikan salinan untukku. Baik, aku akan berganti pakaian. Tapi harap kalian
meniggalkan tempat ini…”
Gadis pembawa pakaian dan
sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik…hik! Mereka sama-sama tertawa.
“Kenapa tertawa?” Tanya Wiro
heran. “Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam. Kalian tahu ini bukan kulitku
asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah dengan kulit kalian itu…!”
Ruangan itu riuh oleh suara
tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat berkeliling, memperhatikan
bagaimana dada-dada putih montok para gadis berguncangguncang sewaktu mereka
tertawa.
Salah seorang dari para gadis
lalu berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu menghadap Ratu. Kurang
pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan kotor serta bau itu…”
“Ratu …Ratu…apa…?” Wiro jadi
heran.
“Kami tidak diperkenankan
terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian,” gadis yang membawa
nampan kerang memberi tahu.
“Ya… ya aku akan berganti
pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat ini…” kata murid Sinto
Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada di atas nampan
kerang.
“Kami tidak diperkenankan
meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti pakaian di depan kami…”
“Hah ! Apa?!” Wiro letakkan
kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau begitu biar aku tidak jadi ganti
pakaian!”
“Kau tamu yang berada di
tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah. Jangan membuat Ratu
menunggu terlalu lama…”
“Walah! Siapa Ratu kalian?
Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan, makhluk jejadian, sebangsa peri
atau apa?!”
“Sekali lagi kami beri tahu,
kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan berganti pakaian atau
kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala penderitaanmu…”
“Gila!” Wiro memaki tapi
cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
”Maafkan ucapan burukku tadi.
Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita membuka pakaian di
hadapan kalian!”
“Aturan mengatakan begitu!
Kami semua harus mematuhi!” kata salah seorang dari dua belas dara cantik.
“Ah, bilang saja sebenarnya
kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!”
Dua belas wajah cantik
kelihatan menjadi merah.
Gadis pembawa pakaian maju
mendekat dan berkata dengan air muka tegang. “Dengar pemuda jahat! Kau tinggal
memilih…”
“Aku suka kalau kalian
mengeroyokku…” ujar Wiro masih bergurau.
Gadis pembawa pakaian menoleh
pada teman di sampingnya lalu mengangguk. Melihat isyarat anggukan itu gadis
yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang terkembang diarahkan pada Wiro.
Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh
Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan Wiro. Tubuhnya laksana berpijar-pijar.
Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss… wusss… wussss.
Tubuh Pendekar 212 mengepulkan
asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan dirinya tanpa pakaian lagi alias
bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia memandang berkeliling mencari
kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di tubuhnya tapi tak berhasil
menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke aurat sebelah bawah. Dua belas
gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa nampan berisi pakaian hitam
berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian hitam ini?”
“Kalian ini… Ah!” Wiro jadi
garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya. Lupa kalau sepasang
tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya. Ketika dia sadar
cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi dengan
suara tawa para gadis!
“Kalian benar-benar
mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!” Pakaian di atas nampan
kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan sambil berbalik, maksudnya paling
tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu. Tapi percuma saja
karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi kemanapun dia
menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-gadis cantik
itu.
Wiro merasa nafasnya sesak
begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai destar dia bertanya.
“Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana…bagus?!”
“Hitam semua!” celetuk salah
seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan itu.
Sebelum tinggalkan tempat itu
Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi dikenakannya.
“Jangan khawatir,” jawab gadis
yang berjalan di depannya. “Kelak jika kau meninggalkan tempat ini pakaian
butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala isi yang menempel di
situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku pakaian hingga kau
begitu khawatir akan pakaianmu?”
Wiro tertawa. Tentu saja tidak
ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu. Yang dikhawatirkannya adalah
hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias Bunga alias Dewi Bunga
Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup menghubungkan
dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia sewaktuwaktu ingin bertemu
atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).
“Ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan,” kata Wiro sambil melangkah mengikuti gadis-gadis cantik itu.
Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah memperhatikan betis dan paha serta
pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari belahan pakaian. Tak ada yang
mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu teruskan maksudnya bertanya.
“Kita ini berada dimana…? Di
daratan atau di dasar laut?”
“Kita berada di atas permukaan
laut. Di awang-awang,” seorang gadis kemudian menjawab.
“Ini yang aku tidak mengerti.
Seingatku aku jatuh ke dalam laut…Mengapa kini kau katakan berada di
awang-awang? Mana mungkin aku bisa berjalan di udara…”
“Bangunan ini memang berada di
udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa sepertimu tentu saja sulit
percaya dan dibuat mengerti…”
“Lalu kalian ini apakah bukan
manusia sepertiku juga?”
“Hentikan semua pembicaraan!
Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu menunggu.”
“Ratu…” mengulang Pendekar 212
Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu dengan perempuan sakti
bergelar Ratu Pantai Utara. “Di laut utara ada Ratu, ternyata di pulau pantai
laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana yang paling cantik antara
keduanya…” kata murid Sinto Gendeng konyol. (Harap baca serial Wiro Sebleng
berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
DUA BELAS
Dalam setiap langkah yang
dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan itu berada di
awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu terdengar semakin jelas
dan bau harum bertambah semerbak.
Pendekar 212 dibawa memasuki
sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya redup hingga
mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai dari pintu masuk tegak
berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke ruangan itu.
Di ujung ruangan, menghadap ke
pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar yang sandarannya berbentuk
seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi seseorang yang duduk di
bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari manikmanik berwarna putih
perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya, baju yang dikenakannya
juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang satu ini memang
melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis lain banyak
senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak menunjukkan air muka
ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang terbuat dari kerang tapi
berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah ketika memandang mata
orang itu. Sepasang bola matanya berwarna biru dan memancarkan pesona aneh
kalau tidak mau dikatakan angker. Di pangkuannya ada sebuah cermin besar
berbentuk bulat.
“Ini rupanya Sang Ratu…” kata
Wiro dalam hati.
Dua belas gadis yang membawa
Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi penghormatan. Ketika salah seorang
dari mereka melihat Wiro dan berkata, “Jangan berlaku kurang ajar! Lekas
berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan…”
Didorong dengan tiba-tiba
membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan. “Ratu Duyung…?
Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia. Pinggul ke bawah
mempunyai kaki, bukan seperti ikan…”
“Kalau kau tak segera
menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan pentungan tulang ikan hiu
sampai tujuh puluh kali!” Satu cara mengancam di belakang Wiro.
Murid Sinto Gendeng terpaksa
lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke hadapan sang Ratu lalu
membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya yang nakal coba mencuri
pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang tersingkap. Ketika dia
berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat bahwa di salah satu
sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas meja ini terletak
sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di samping
pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab. Karena
jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu. Namun
mendadak saja dadanya berdebar.
Salah seorang gadis pengantar
maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu. Setelah membungkuk dia
berkata.
“Penghormatan untukmu ya Ratu
Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan. Perintah telah kami jalankan. Orang
yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami antarkan ke hadapanmu. Kami
menunggu petunjuk lebih lanjut.”
Orang yang disebut sebagai
Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada Wiro lalu jari-jari tangan
kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu digerakkan memberi isyarat
agar Wiro mendekat.
Murid Eyang Sinto Gendeng maju
tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat kecantikan Sang Ratu dalam jarak
sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari memandang ke arah meja bulat
berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan. Karena dia jadi lebih pendek
dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat Dewa!
Lupa dirinya berada dimana
Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja bulat. Beberapa orang gadis
berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda berkulit hitam itu. Sebaliknya
Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika jari-jari tangan Wiro hampir
menyentuh buku di atas meja bulat di samping pendupaan, Ratu Duyung menekan
salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar suara desingan halus. Lalu
lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212 jatuh
terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja yang
tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding lantai
batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan diri
keluar dari lobang itu!
Perlahan-lahan Ratu Duyung
bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang terletak di pangkuannya
dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah anggun mendekati lobang
tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang itu. Dalam keadaan lain
melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan menggiurkan
bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh dan tak mampu keluar
selamatkan diri.
“Kadang-kadang kecerobohan
bisa membawa celaka seseorang…” kata Ratu Duyung.
“Ratu, demi Tuhan aku tidak
bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wiro.
“Sumpah anak manusia tidak
berlaku di tempat ini!”
Sang Ratu sunggingkan senyum
sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah tombol di bawah meja bulat.
Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun perlahan-lahan dua buah
pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika bergerak terus dua
batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala Pendekar 212 yang
berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali
mengancamnya.
“Ratu! Aku akan jelaskan…”
“Kau tak perlu menjelaskan
apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk bahwa memang kau
tengah mencari kitab sakti itu…”
“Kau benar dan aku tidak
berdusta, “ jawab Wiro. “Tadi aku begitu terkejut dan lupa diri. Aku
menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang aku cari. Bukan
untuk mengambilnya!”
Ratu Duyung tertawa. “Kau
bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol! Jika kau memang mencari
kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil! Orang-orangku telah
menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya menyadari budi orang
malah hedak mencuri!”
“Terserah kau mau bilang apa!
Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut melihat kitab itu ada di tempat
ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu seharusnya berada di tempat lain….!”
“Begitu?!” Ratu Duyung kembali
tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas membara
perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak ujung-ujungnya
dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar lima belas
jengkal.
“Aku tidak tahu di pihak mana
kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada kelompok manusia-manusia jahat
atau termasuk dalam golongan orang-orang putih yang berbuat kebajikan demi
tenteramnya dunia persilatan….”
“Jangan berkhotbah di
hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua golongan yang kau
katakan!” Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke kursi batunya.
Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia memberi tanda pada
seorang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita yang datang
malam tadi!”
Gadis yang diperintah segera
meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia muncul kembali. Di
belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata sipit hampir
merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia mengenakan
pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu dikenakan
Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang
dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil
tiada hentinya tertawa-tawa.
Wiro melengak kaget melihat
siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru memanggil tapi tak jadi
karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan dianggap lagi-lagi berlaku
ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir akan keselamatan dirinya.
Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing turun semakin mendekati
kepalanya!
Sampai di hadapan Ratu Duyung
orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada sang Ratu.
“Tamu terhormat maafkan aku
mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting yang kami hadapi. Kau
lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana?! Nyawanya tergantung
pada penjelasan yang akan kau berikan.”
Orang tua gemuk berpaling
kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk. Pada saat si gemuk
memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.
“Apa ini orang yang kau
maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap mengarungi segala
bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa itu….?”
Si Gemuk kembali memandang
pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu dia melihat si gendut
menggeleng dan berkata. “Bukan, bukan dia orangnya…Ha…ha.. ha!”
“Jadi kau tidak mengenalinya?”
Tanya Ratu Duyung.
“Tidak, aku tidak kenal dengan
manusia bermuka gosong itu!” Lalu kembali orang ini tertawa gelak-gelak hingga
sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Sialan si gendut Kerbau
Bunting itu!” maki Wiro dalam hati. “Apa matanya sudah lamur tidak mengenali
diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka gosong. Tapi eh…!”
“Kalau begitu kematiannya
tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!” bertanya Ratu Duyung.
“Perduli apa dengan nyawanya!”
jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. “Kau boleh kembali ke tempat
peristirahatanmu!” kata Ratu Duyung pula.
Ketika si gendut hendak
memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. “Dewa Ketawa!
Jangan pergi dulu! Kau harus
menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak kenal diriku!”
Si gendut yang dipanggil Wiro
dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia berpaling. Menatap
tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. “Anak setan muka hitam itu tahu
darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang sipit. “Siapa
kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.
“Aku Wiro Sableng, sobat
keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali diriku?!”
“Puah!” si gendut tertawa
gelak-gelak. “Wiro Sableng Pendekar 212?!”
“Betul! Murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede!” sambung Wiro. Dia mendongak ke atas. Dua batang besi merah
membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya.
Orang yang dipanggil Wiro
dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga matanya yang sipit
kucurkan air mata. “Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak gosong hitam
sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku sudah buta?!”
“Buta mungkin belum tapi bisa
saja sudah lamur!” teriak Wiro.
“Manusia bermuka hitam!”
membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani menghina tetamuku!”
“Aku tidak menghina! Aku yakin
dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku. Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita
terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang milik Keraton yang dicuri
orang?!”
Si gendut sesaat terdiam. Dia
seperti berpikir-pikir. “Ya aku ingat! Waktu itu kau masuk ke dalam tanah
bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah jadi mayat
hidup…!”
“Nah, kau ingat peristiwa itu.
Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau ketakutan mau dicium
oleh Nyi Bulan….?!”
“Eh!” si gendut Dewa Ketawa
usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Para gadis anak
buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.
“Sekarang kau harus mengatakan
pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng, Pendekar 212 yang tengah
menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Tidak bisa…” kata Dewa Ketawa
sambil kembali tertawa-tawa.
“Gila! Apa yang tidak bisa!
Mengapa tidak bisa?!” ujar Wiro hampir berteriak karena di atasnya dua batang
besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari batok kepalanya.
“Pendekar 212 yang aku kenal
mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui diriku!”
“Sesuatu terjadi dengan
diriku!” jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa perkelahiannya dengan Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan seorang yang datang menolongnya
dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang parah. Nyawanya berhasil
diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan wajahnya menjadi
hitam legam.
Orang tua gendut itu
goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya hendak meninggalkan
tempat itu.
“Dewa Ketawa!” teriak Wiro.
Si gendut hentikan langkah.
Tanpa berpaling dia berkata. “Pendekar 212 yang aku kenal memiliki satu senjata
mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan sebutan Kapak Maut Naga
Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu padaku, mungkin aku bisa
mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu!”
“Aku tak menunjukkan senjata
itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti pasangannya dicuri oleh Tiga
Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!”
“Hemmm… Kalau begitu bagaimana
aku bisa menolong?” ujar Dewa Ketawa seraya tersenyum-senyum sambil garuk-garuk
dagu. “Hemmm…Aku ingat ada rajahan angka 212 di dadamu. Itu mungkin bisa
menolong….”
“Sudah kubilang sekujur kulit
tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!”
“Sayang sekali. Agaknya kau
memang harus menemui ajal secara mengenaskan di dalam liang batu itu!” kata
Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba dia
berpaling dan tertawa gelak-gelak.
“Jahanam gendut itu tertawa
seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!”
Wiro merutuk dan memandang ke
atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat jengkal!
“Ada satu cara untuk
membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar 212…”
“Apa itu! Lekas kau katakan!
Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus batok kepalaku!” teriak Wiro.
“Waktu pertama kali kita
bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang celaka itu apa sebutanku
memanggilmu? Nah ayo lekas kau jawab!”
“Sobatku Muda!” teriak Wiro.
“Begitu kau memanggil diriku!”
“Eh, memang benar!” kata Dewa
Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata. “Itu
belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Gila! Apa lagi maumu?!”
teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya tinggal tiga
jengkal.
“Kau masih ingat bagaimana kau
memanggil aku waktu itu?!” tanya Dewa Ketawa.
“Apa sulitnya mengingat!”
jawab Wiro. “Kau kupanggil Sobatku Gendut! Terkadang kupanggil kau Kerbau
Bunting!”
“Ha…ha…ha…!” tawa Dewa Ketawa
meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa lagi semua anak
buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.
“Sekarang aku yakin, kau
memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa adanya Bujang Gila Tapak
Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang
Gila Tapak Sakti)
“Kalau begitu!” ujar Wiro
seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing hanya tinggal satu
jengkal di atas kepalanya, “Lekas minta pada tuan rumah untuk menghentikan
gerakan dua besi maut itu!”
“Ratu Duyung…” ujar Dewa
Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah ketakutan setangah mati, “Aku
minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan benda kematian itu!”
Ratu Duyung tak segera
melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih dulu. “Jadi sekarang
kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar Pendekar 212, orang yang tempo
hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?”
“Ya…ya…ya! Memang dia!” jawab
Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak.
Ratu Duyung melangkah
mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di bawah meja. Saat itu
juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti meluncur pada jarak
hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro. Murid Sinto Gendeng
menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam maka akan jelas
kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
“Pendekar 212 kau sudah
selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata Dewa Ketawa.
“Aku belum seluruhnya
selamat!”teriak Wiro.
“Eh, apa maksudmu?!” Tanya
Dewa Ketawa.
“Kau lihat sendiri! Tubuhku
masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah dinding batu menekan terus.
Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!”
Dewa Ketawa tertawa membahak.
Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu Duyung, kurasa kau juga tidak sampai hati
membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi pergedel!”
Untuk pertama kalinya Wiro
melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya menekan salah satu bagian
lengan kursi batu. Empat dinding batu yang menggencet tubuh Pendekar 212
perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan Wiro segera melompat
keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu mau tak mau padangan
Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada di atas meja.
“Pendekar 212, kau masih
penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja! Kau sentuh pun
kini tak ada yang melarang!” terdengar Ratu Duyung berucap.
Sesaat Wiro merasa ragu. Dia
memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa Ketawa yang masih tegak di
ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti itu si Gendut sunggingkan
tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja bulat.
“Ternyata kitab sakti ini
berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek Segala Tahu…” Dengan
tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia tersentak. Buku
diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
“Kitab palsu! Hanya terbuat
dari lilin!” kata Wiro. Tawa bergelak. “Pendekar 212,” ujar Sang Ratu. “Apa
yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama kecerobohan selain tidak
disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar. Kedua, perasaan hati yang
meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat melihat kebenaran suatu
benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah pangkal segala
keselamatan!”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
“Terimakasih atas pelajaran
yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih padamu dan semua gadis yang
ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini pasti aku sudah menemui ajal,
berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada beberapa hal yang tidak
jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan diriku. Agaknya sebelumnya
keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu dan juga berdasarkan
keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana tiruan Kitab Wasiat
Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana adanya kitab yang asli?
Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai tamu seperti si Gendut itu…”
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
“Sejak kau kami yakini adalah
Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan di tempat ini,” berucap Ratu
Duyung.
“Tapi karena di tempat ini
hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadisgadis cantik, jadi jangan sekali-kali
kau mencoba berbuat macam-macam!” Yang bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup
ucapannya dengan tawa kepala.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ratu Duyung bertepuk tiga kali
lalu berkata.”Pertemuan hari ini cukup sampai di sini. Pertanyaanmu yang belum
terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok. Harap antarkan Pendekar 212 ke
tempat peristirahatannya!”
Seorang gadis segera mendekati
Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Sebelum melangkah pergi Wiro
membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung. Lalu dia cepat-cepat
mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia ditunggui oleh Dewa
Ketawa.
“Sobatku Muda. Kau beruntung
bisa selamat….Ha…ha…ha…!”
“Dewa Ketawa, aku ada
pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di awang – awang?”
“Memangnya kau tak percaya?”
balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar biasa itu.
“Akalku tak bisa menerima…”
“Ha…ha…ha! Itu perbedaan
antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan pikiran bagi kita manusia
biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika terlalu memikirkan.
Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam nanti….Ha…ha…ha!”
“Satu lagi pertanyaanku. Turut
pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu sebagai tamu di tempat ini ada
sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa…Betul?”
Dewa Ketawa mengangguk lalu
tersenyum lebar.
“Apa yang kau ketahui tentang
kitab itu Sobatku Gendut?” Tanya Pendekar 212.
“Tidak banyak. Cuma satu
perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang kitab berasal dari
daratan Tiongkok….”
Wiro tercengang mendengar
ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di satu tempat gadis pengantar
membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke kanan. Sebelum berpisah Wiro
memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
“Sobatku Gendut, kulihat kau
mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.
Pasti ini pakaian pemberian
anak buahnya Ratu Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh mereka berbugil dulu
sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”
Dewa Ketawa tertawa keras
hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang dilakukan mereka
terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma denganmu mereka lebih
untung!”
Apa maksudmu?”Tanya Wiro.
“Tubuh gendut buruk berlemak
macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik. Sebaliknya walau
kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih kencang….!
Ha…ha…ha!”
Pendekar 212 pencongkan
mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa Ketawa berlalu
sambil terus mengumbar tawa keras.
TAMAT