Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
109 Rahasia Kincir Hantu
1
GEMURUH suara kincir raksasa
itu terdengar tidak berkeputusan. Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri
menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap rumah kincir seorang kakek
berkepala teleng, mengenakan caping bambu duduk uncang-uncang kaki sambil
menghisap pipa yang menebar bau serta asap aneh berwarna merah. Sambil
hembuskan asap merah dari mulut dan hidungnya kakek ini memandang berkeliling.
Dalam hati dia berkata. "Sudah tiga minggu berlalu sepi-sepi saja. Apakah
orang sakti dan pandai di negeri ini sudah habis semua? Atau masih ada tapi
tidak punya nyali untuk menjajal kincirku, takut menghadapi tantanganku? Kalau
begini naganaganya urusanku tidak bakal rampung!"
Di puncak bangunan terpancang
sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai kaku ditiup
angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa
mengantuk!" katanya setengah memaki. Kakek ini lalu menatap kehalaman luas
di depan rumah kincir. Seperti menghitung-hitung dia berucap.
"Satu… dua… sembilan…
empat belas… ah! Sudah ampat belas orang sakti menemui kematian. Sudah tujuh
purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka membekal benda yang kucari.
Kalau sampai dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku! Siapa
diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!" Caping di atas
kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng gelisah
berulang kali.
Sementara itu di atas satu
pohon besar di seberang halaman rumah kincir, tiga sosok tubuh mendekam di
balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping. Mereka bukan
lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, bocah konyol bernama Naga Kuning dan si
kakek berjuluk Setan Ngompol.
" Keterangan saudara kita
Lakasipo ternyata betul. Kita akhirnya menemukan benda aneh yang disebut Kincir
Hantu itu," berkata Naga Kuning dengan suara sangat perlahan.
"Tengkukku mengkirik, aku
setengah mati berusaha menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat semua keanehan
mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa adanya kakek teleng bercaping itu?
Tukang jaga atau pemilik Kincir Hantu itu…?" Yang bicara adalah Si Setan
Ngompol.
Wiro garuk kepalanya.
"Kincir itu berputar karena arus air yang datang dari sebelah kanan. Air
dicurahkan ke saluran di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk mengairi
pesawahan. Tapi aku tidak melihat sawah atau ladang di sekitar sini. Lalu ke
mana air itu perginya, untuk apa…? Dan ini yang gila! Empat belas mayat yang
sudah jadi jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua jerangkong
tidak memiliki kaki. Putus seperti ditebas sesuatu…."
"Kurasa kakek di atas
atap itu yang membunuhi semua orang itu! Lihat saja dia sengaja menancapkan
bendera kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning tanda perkabungan,
tanda kematian?!"
"Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak bisa menahan kencing!" kata Setan
Ngompol sambil menepuk bahu Wiro.
"Tunggu dulu!" kata
Naga Kuning. "Dari sikapnya kakek itu seperti menunggu seseorang…."
"Mungkin menunggu korban
berikutnya," menyahuti Wiro. "Semua korban berkaki putus. Jika memang
hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk dada atau perut atau menabas
lehernya? Sungguh aneh…. Kek, sebaiknya kita tunggu agar bisa melihat sendiri
apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker Ini!"
"Kalau begitu biar aku
turun. Kalian mau menunggu sampai tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku
tidak mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu dia menggeser kakinya, siap
hendak melompat turun. Namun niatnya ini jadi urung ketika mendadak satu
bayangan berkelebat disertai seruan keras.
"Lateleng! Aku datang
untuk menjajal kehebatan Kincir Hantumu!"
Sesaat kemudian seorang lelaki
gagah, berjanggut dan berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi
merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di depan rumah kincir.
Matanya menatap ke arah kakek bercaping lalu berpaling memperhatikan kincir
besar yang berputar dengan suara gemuruh.
Di atas atap rumah kincir
kakek teleng berdiri lalu buka capingnya dan menjura memberi hormat pada orang
yang tegak di halaman.
"Wahai kerabat yang
datang! Aku rasa-rasa mengenal dirimu! Tapi dari pada kesalahan menduga
sebaiknya kau suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"
Orang di depan rumah kincir
usap janggutnya, permainkan sebentar ujung kiri kumis lebatnya lalu menjawab.
"Aku Lakerashati. Orang
di Latanahsilam menyebutku Si Hati Baja! Apakah keteranganku cukup bagimu wahai
Lateleleng?"
"Lakerashati! Bergelar Si
Hati Baja! Sungguh satu kehormatan kau mau mendatangi tempat burukku ini!
Mendengar seruanmu tadi, apa benar kau berniat hendak menjajal kehebatan Kincir
Hantu milikku ini?"
Si Hati Baja angkat tangan
kanannya dan menjawab. "Itu yang aku inginkan! Tetapi apakah imbalan
seperti yang dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak mau tertipu!
Aku tidak mau menjadi korban karena ketololan seperti orang-orang ini!" Si
Hati Baja memandang seputar halaman dimana berkaparan empat belas jerangkong.
Dalam hati dia berkata. "Jerangkongjerangkong ini sepertinya tidak membusuk
lebih dulu. Ada sesuatu yang membuat mereka bisa langsung jadi tulang belulang
seperti ini!"
Di atas atap rumah kincir
kakek bernama Lateleng tertawa mengekeh. "Aku Lateleng seumur hidup tak
pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri selama tiga kali putaran di
atas Kincir Hantu akan menerima hadiah sebuah kitab berisi ilmu kesaktian yang
sanggup membuat seseorang memanggil dan memelihara tujuh macam Jin. Inilah
kitabnya!"
Dari balik capingnya kakek
teleng itu lalu keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun yang sangat liat.
Bagian depan kitab itu ada tulisan berbunyi "Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin." Kitab itu diacungkannya ke arah Si Hati Baja lalu dimasukkannya
kembali ke balik
caping. "Tetapi sesuai
dengan syarat yang sudah kutentukan! Segala akibat menjajal Kincir Hantu adalah
menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja, apakah kau menerima syarat
itu?"
"Aku menerima!"
jawab Si Hati Baja.
"Kuharapkan kakimu
benar-benar sekuat baja! Kudoakan agar kau bisa berdiri di atas Kincir Hantu
selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi! Ketahuilah siapa saja
yang ingin menjajal kehebatannya di atas Kincir Hantu sedikitnya harus berusia
enam puluh tahun’. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"
"Hampir delapan puluh
tahun!"
Lateleng tersenyum. Dalam hati
dia berkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam. Berarti ada
kemungkinan dia memiliki benda itu!"
"Aneh! Mengapa kakek itu
pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata Naga Kuning yang
mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si Setan Ngompol.
"Hati Baja, apakah kau
sudah siap?!" Dari atas atap terdengar suara Lateleng bertanya.
"Aku sudah siap dari
tadi!" jawab Lakerashati alias Si Hati Baja.
"Bagus!" Lateleng
tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa
menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang menancap di atas atap.
Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya
ke atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas kincir! Pada
saat kincir berputar dan bendera kuning berada di bagian paling atas, kau harus
melompat ke atas kincir. Kau harus bertahan sampai bendera kuning mencapai
bagian atas kincir sebanyak tiga kali! Jika kau mampu melakukan itu maka kau
akan mendapatkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"
Si Hati Baja tertawa jumawa.
"Baru tiga kali putaran. Tiga puluh putaran pun aku sanggup!"
Lateleng tertawa lebar.
"Ucapanmu membuat aku kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita mulai
sekarang?!"
"Dengan segala
hormat!" jawab Si Hati Baja seraya sunggingkan senyum dan sedikit
tundukkan kepala.
"Lihat bendera!"
seru Lateleng dari atas atap.
Tangannya yang memegang
bendera bergerak. Bendera kuning melesat ke bawah lalu menancap di pinggiran
kayu yang merupakan roda kincir. Karena kincir berputar ke kiri maka bendera
ikut berputar ke jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuning itu lenyap
di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi di sebelah kanan dan ikut naik
ke atas sesuai putaran kincir. Sesaat sebelum putaran kincir mengantar bendera
kuning ke bagian paling tinggi, Lateleng berseru.
"Hati Baja!
Sekarang!"
2
LAKERASHATI alias Si Hati Baja
gentakkan kaki kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng ke
udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning yang menancap di roda
kincir yang berputar. Karena roda berputar, agar dia tetap bisa bertahan di
atas kincir maka Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas
kepingankepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan mengantar air dan
sengaja menghadap ke jurusan berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil
tertawa-tawa Si Hati Baja melakukan hal itu. "Pekerjaan begini mudah! Anak
kecil yang baru belajar ilmu silat kampunganpun sanggup melakukannya!"
katanya dalam hati.
Tak selang berapa lama bendera
kuning kelihatan muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu, borgerak di
atas roda kincir, mendekati sepasang kaki Si Hati Baja yang berlari-lari kecil.
"Satu!" teriak
Lateleng dari atas atap.
Si Hati Baja mendongak ke atas
dan menyeringai.
Lateleng cabut pipanya dari
sela bibir. Lalu dengan ujung pipa diketuknya pinggiran kincir. Putaran kincir
yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah kencang dan mengeluarkan
suara bergemuruh. Untuk mengimbangi Hati Baja mempercepat larinya, hingga walau
kincir bergerak lebih cepat dia masih tetap berada di atas kincir tanpa
kesulitan apa-apa.
Di atas pohon berdaun rimbun
di seberang halaman rumah kincir Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa bersuara. Mereka masih
terheran-heran apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Hanya untuk mendapatkan
sebuah buku aneh, seseorang diuji kepandaiannya begitu mudah. Lalu kalau cuma
itu yang dilakukan mengapa ada empat belas mayat berkaki buntung berkaparan di
halaman sana?! Keanehan apa sebenarnya yang tersembunyi di balik kaki-kaki
buntung itu?! Lalu mengapa kincir itu dinamakan Kincir Hantu?
Bendera kuning muncul untuk ke
dua kalinya disisi kanan kincir raksasa. Begitu sampai di hadapannya, seperti
tadi Lateleng sedot pipanya, kepulkan asap merah lalu cabut pipa itu dan
ketukkan ke pinggiran kincir begitu bendera kuning sampai di putaran tertinggi.
"Dua!" berseru kakek
kepala teleng itu.
Kincir raksasa bergemuruh
lebih keras dan putarannya juga semakin cepat. Tanah halaman bahkan sampai
pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada bergetar keras.
"Gila! Apa yang
terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya
yang mendadak basah karena tak dapat menahan kencing.
Di atas kincir yang berputar
Si Hati Baja tetap tenang. Masih tersenyum-senyum dia percepat gerakan kakinya
untuk mengimbangi dan menjaga agar dia tetap berada di sebelah atas kincir.
"Kek, kalau cuma
begitu-begitu saja kukira kau bisa menjajal Kincir Hantu itu…." kata Naga
Kuning pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang, kau sudah keduluan orang
memakai tarbus merah itu!"
Setan Ngompol diam saja karena
masih tegang memegangi bagian bawah perutnya. Wiro memperhatikan semua yang
terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut matanya melihat bendera kuning untuk
ke tiga kalinya muncul di sisi kincir sebelah kanan.
"Putaran ke tiga…. Orang
bertopi merah agaknya segera akan mendapatkan kitab sakti itu!" Naga
Kuning kembali berkata dengan suara perlahan.
Si Hati Baja menyeruakkan
senyum ketika dia melihat bendera kuning untuk kali ke tiga berputar ke arah
tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir.
Dia mempercepat larinya dan
menjaga keseimbangan kaki serta tubuh.
"Lateleng! Sebentar lagi
kau harus menyerahkan kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir Hantumu yang
digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha… ha… ha!" Si Hati Baja
tertawa bergelak.
Kakek bercaping di atas atap
rumah ikut-ikutan tertawa lalu sedot pipanya dalam-dalam.
"Aku siap menyerahkan
kitab sakti ini padamu wahai Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk
capingnya, di bawah mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin.
"Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai bendera kuning mencapai
putaran sebelah atas!"
SI Hati Baja menyeringai.
Hatinya girang sekali karena bendera kuning hanya tinggal satu langkah
didepannya. Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu lewat di
bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga. Diam-diam tangan kanannya dialiri
tenaga dalam sambil membatin. "Kalau kakek ini menipuku, akan kuhantam
dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."
Bendera kuning sampai di depan
kaki Si Hati Baja. Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba di atas atap kakek
kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu Kincir Hantu
mengeluarkan suara dahsyat. Di antara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu
terdengar suara aneh berkepanjangan.
"Clak… clak… clak…!"
Pantulan sinar putih membersit
dari pinggiran roda kincir, membuat dua mata Hati Baja sakti silau. Dia
bermaksud mengusap matanya dengan tangan kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba
jeritan setinggi langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah kakinya
kelihatan darah menyembur! Saat itu juga sosok Si Hati Baja seperti terlempar
setinggi dua tombak ke udara lalu jatuh bergedebukan di tanah halaman di depan
rumah kincir. Dua potong benda menyusul jatuh ke tanah! Air yang mengalir di
sisi kiri kincir raksasa tampak berubah merah!
"Astaga! Apa yang
terjadi!" ujar Naga Kuning, lalu cepat-cepat tekap mulutnya karena sadar
kalau-kalau suaranya terdengar sampai ke atap sana.
Si Setan Ngompol picingkan dua
matanya yang belok jereng. Dua tangan langsung pegangi bawah perutnya yang
kembali mengucur tak karuan!
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk kepalanya. "Gusti Allah!" Dia mengucap. "Sepasang kaki orang
itu!"
Di atas atap kakek bernama
Lateleng tegak berdiri, membuka capingnya dan menjura ke bawah, ke arah Si Hati
Baja yang terkapar di tanah, mengerang sambil menggeliat-geliat.
"Wahai Hati Baja,
ternyata kakimu tidak terbuat dari baja! Kau tidak mampu mencapai tiga kali
putaran. Sayang… sayang sekali!" "Manusia jahanam! Kau
menipuku!" teriak Si Hati Baja.
"Aku menipumu
katamu?Tipuan apa yang kulakukan padamu?!" tanya si kakek sambil
tenggerkan kembali capingnya di atas kepala.
"Apa yang kau sembunyikan
di permukaan kincir jahanam itu!" Si kakek geleng-gelengkan kepala lalu
berkata. "Jangan berpikir, apa lagi menuduh yang bukan-bukan
wahai Hati Baja! Seharusnya
kau berhati polos. Mengakui kau tidak mampu berdiri selama tiga kali putaran di
atas kincirku!"
"Bangsat tua?!
Aku…."
Tubuh Si Hati Baja mendadak
menggigil lalu kelojotan. Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di atas atap dengan satu pukulan
sakti. Namun dia tak punya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua kakinya
yang kini buntung sebatas pergelangan tersentaksentak.
Di atas atap Lateleng tertawa
mengekeh. Sekali dia mengenjot dua kaki maka seperti seekor burung besar
tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak tepat di samping sosok Si Hati
Baja.
"Hati Baja… Hati Baja,
wahai! Nasibmu malang amatl Akan kulihat apakah kaju memang membekal benda yang
aku cari?!"
Habis berkata begitu si kakek
sedot pipanya dalamdalam. Begitu mulutnya penuh dengan asap merah, asap itu
lalu disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai dari kepala sampai ke
kaki yang buntung. Juga pada dua potong kaki Si Hati Baja yang tergeletak tak
jauh dari situ. Hal itu dilakukannya sampai tiga kali.
Di atas pohon Wiro dan dua
kawannya kembali tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.
"Lihat!" kata Wiro
dengan muka pucat seraya menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki
berjanggut itu berubah menjadi jerangkong putih!"
Naga Kuning melongo seperti
tak percaya. Kakek Si Setan Ngompol cepat-cepat palingkan muka tak berani
memandang. Namun tak urung kencingnya sudah mengucur!
Wiro dan Naga Kuning terus
memperhatikan. Kakek kepala teleng melangkah lebih dekat ke sosok Si Hati Baja
yang telah berubah menjadi tulang belulang. Lalu dia membungkuk. Mengangkat
kaki kiri orang itu. Si kakek tampak gelengkan kepala. Kaki yang barusan
dipegangnya dilepas begitu saja. Kini dia mengangkat kaki kanan yang buntung.
Seperti tadi dia kelihatan seperti memeriksa ke dalam rongga tulang kaki itu
lalu kembali mencampakkannya. Kini dia memungut dua kutungan kaki Si Hati Baja.
Memeriksa dan membalikbalikkannya.
"Kurang ajar! Aku tidak
menemukan benda yang kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki buntung yang kin!
hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya ke tanah hingga menancap
amblas sampai setengahnya!
Dengan penuh perasaan jengkel
Lateleng tegak berkacak pinggang. Di bawah caping sepasang matanya memandang
tajam ke arah pohon besar. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali tetesan-tetesan
air yang jatuh dari sela-sela daun.
"Hemmmmm…. Tak ada hujan
tak mungkin ada embun. Mengapa ada air menetes dari atas pohon?" Si kakek
bergumam. Dia putar badannya lalu melesat ke atas atap rumah kincir. Dia
menunggu sampai roda kincir yang berputar mengantar bendera kuning ke atas.
Begitu sampai di atas, bendera ini dicabutnya lalu ditancapkannya di tempat
semula yakni di atas atap. Sekali lagi matanya memandang tajam ke arah pohon
besar di seberang halaman.
Pendekar 212 Wiro Sableng,
Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan serasa terbang nyawa
masing-masing ketika mendadak dari atas atap si kakek teleng berseru.
"Tiga makhluk yang
sembunyi di atas pohon! Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong
begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"
"Celaka! Kakek itu sudah
tahu kita sembunyi disini!" kata Naga Kuning.
"Bagaimana dia bisa
tahu…." kata Setan Ngompol masih tetap berpaling dan dengan suara serta
tubuh gemetaran.
Wiro memandang berkeliling.
Daun-daun pohon besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat. Sekalipun kakek
itu tadi berada di halaman bawah sana sulit baginya untuk melihat Namun!
Pandangan Wiro membentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang karena
kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas. Wiro mengurut pandangannya ke atas. Matanya
sampai pada sosok Si Setan Ngompol yang basah di bagian bawah.
"Sial! Kek, kau yang
membuat apes!" kata Wiro. "Eh, mengapa aku yang kau salahkan?!"
jawab Si Setan Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng. Wiro tak sempat
berdebat karena saat itu Naga Kuning berteriak. "Awas! Kakek itu menyerang
kita!"
3
PENDEKAR 212 dan Si Setan
Ngompol palingkan kepala ke arah rumah kincir. Benar apa yang diteriakkan Naga
Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara kincir hantu masih terus
berputar menggemuruh, kelihatan menyambar tiga buah benda sebesar kepalan,
berbentuk bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas halaman di depan
rumah kincir, tiga benda itu berpijar terang lalu meletus keras dan berubah
bentuk.
Kalau tadi merupakan tiga buah
bola-bola merah muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan membeset ke
arah tiga jurusan yang semuanya mengarah ke pohon besar di mana Wiro dan
kawan-kawannya bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu persatu di
arahkan pada Pendekar 212, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
"Lompat!" teriak
Wiro.
Tiga sosok berkelebat jungkir
balik dari atas pohon, melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Wiro
berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari pohon besar. Hal yang sama
dilakukan pula oleh si Setan Ngompol dan Naga Kuning.
"Wusss!"
"Wusss!"
"Wusss!" Tiga larik
asap merah melabrak pohon besar.
Semula Wiro dan kawan-kawannya
mengira pohon besar itu akan segera hancur berantakan atau dilalap kobaran api.
Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan membuat mereka jadi merinding. Pohon
besar itu kini berubah menjadi pohon mati yang walau masih tegak tapi berada
dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting sampai ke akar yang tersembul di
atas tanah! Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan Wiro, Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol kalau sampai kena dihantam oleh tiga larik asap merah itu! Mereka
bisa berubah menjadi jerangkong seperti yang tadi mereka saksikan apa yang
terjadi dengan diri Si Hati Baja!
Setan Ngompol megap-megap
seperti orang mau tenggelam. Di atas matanya melotot besar sedang di bawah
kencingnya mancur tidak ketolongan!
"Tua bangka kepala teleng
itu! Dia hendak menjadikan kita tulang belulang alias jerangkong! Aku nekad
untuk menghajarnya!" Lalu kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kanan, siap menghantam dengan pukulan bernama Setan Ngompol Mengencingi
Bumi. Padahal saat itu celananya sudah basah kuyup di sebelah bawah!
"Aku juga!" berseru
Naga Kuning. Bocah yang sebenarnya adalah kakek berusia seratus tahun lebih ini
angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk seperti mau mencengkeram. Tangannya
perlahan-lahan berubah menjadi kebiruan. Naga Kuning hendak melepas satu
pukulan sakti bernama Naga Murka Merobek Langifl. Selama ini jarang sekali
bocah ini keluarkan pukulan sakti tersebut. Ini satu pertanda bahwa dia
benar-benar marah.
"Tahan!" Pendekar
212 cepat berseru lalu cepat melompat ke hadapan dua orang itu, menghalangi
gerakan mereka.
"Apa-apaan ini?!"
teriak Naga Kuning.
"Kau sudah gila? Mau
mampus dimakan seranganku?!" membentak Si Setan Ngompol.
"Sahabatku, harap kalian
bersabar. Jangan berlaku nekad! Kalau diturutkan hawa amarah, sudah tadi-tadi
aku mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita bertiga dia
sendirian masakan kita bisa kalah! Tapi kalau sampai kakek itu bisa lolos dari
hantaman kita dan balas menyerang, kita bisa celaka. Kepandaiannya sulit
diukur! Biar aku bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga Kuning, kuharap
kau mau mengeluarkan kesaktianmu yang bernama Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh.
Ingat dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati ketakutan melihat Ilmumu
itu?"
Naga Kuning mengangguk
perlahan.
"Akan aku lakukan
Wiro," katanya. "Tapi jika kau keburu mati duluan dihantam kakek
teleng itu jangan salahkan diriku!"
Wiro berbalik lalu melangkah
ke tengah lapangan. Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti di kiri kanannya.
Sampai di tengah lapangan murid Sinto Gendeng hentikan langkah lalu lambaikan
tangan kirinya ke arah kakek teleng di atas atap. Tangan kanan yang sudah
dialiri tenaga dalam setiap saat siap melepaskan Pukulan Sinar Matahari.
, "Orang tua di atas
atap!" Wiro berseru. "Kami bukan seterumu! Kami datang bukan mencari
permusuhan! Kami datang bersahabat! Kami tiga perantau jauh yang tertarik dan
ingin melihat sendiri kehebatan Kincir Hantumu! Mohon maaf jika kehadiran kami
terasa mengganggumu!"
Lateleng tidak segera
menjawab. Dari bawah capingnya dia pandangi tiga orang itu. Dia hisap pipanya
dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke udara kakek ini lalu tertawa
mengekeh.
"Tiga perantau asing!
Datang dari jauh! Wahai! Sungguh hebat! Yang satu berambut gondrong pandai
bicara! Satunya lagi bocah ingusan berlagak orang gagah! Yang terakhir
kakek-kakek yang mengencingi pohon rindangku! Apa itu namanya kedatangan yang
bersahabat?"
"Mohon maatmu orang tua!
Kakek sahabatku ini punya penyakit suka ngompol!" menjelaskan Wiro.
"Apa itu ngompol?!"
tanya Lateleng tidak mengerti.
"Suka kencing tak karuan
karena per di selangkangannya sudah dol!" menjawab Naga Kuning.
Lateleng geleng-gelengkan
kepala. Dia menuding ke arah Pendekar 212. "Kau tadi bilang ingin melihat
sendiri Kincir Hantuku! Hemmm…. Berarti kalian hendak mencoba menjajal
kincirku. Rupanya masih ada makhluk yang lebih tolol dari pada manusia berjuluk
Hati Baja yang sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!"
Setan Ngompol terus saja
mengucur air kencingnya mendengar ucapan Lateleng itu.
"Maaf Kek! Maksud kami
bukan itu…!"
"Kau gondrong, masih
muda! Juga kawanmu yang belia itu. Belum cukup umur untuk menjajal Kincir
Hantu. Tinggal tua bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri! Apa kau sudah
siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan mengharap imbalan kitab Kesaktian
Menguasai Tujuh Jin?!"
Setan Ngompol cepat gelengkan
kepala dan goyanggoyangkan ke dua tangannya. Di sebelah bawah semakin keras
kucuran air kencingnya!
Sementara itu Kincir Hantu
mulai bergerak perlahan dan akhirnya berhenti.
"Orang tua di atas
atap," Wiro cepat menjawab. "Kami bertiga, apa lagi kakek sahabatku
ini mana berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu! Terus terang
kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada maksud untuk menjajalnya!"
Kakek teleng cuma menyeringai
sinis mendengar ucapan Wiro.
"Kalau kau tidak
bermaksud, wahai! Bagaimana sekarang kalau aku yang mengundang?!" ujar
Lateleng pula lalu membuka capingnya dan menjura kearah Si Setan Ngompol.
"Tidak…. Jangan! Maafkan
aku! Maafkan kami bertiga!" kata Setan Ngompol dengan muka pucat.
"Aku tidak punya
kepandaian apa-apa. Aku dan kawankawan akan segera meninggalkan tempat ini.
Kami mohon maafmu. Kami segera pergi…." Si Setan Ngompol cepat balikkan
diri.
"Tunggu!" Lateleng
membentak. "Dua kawanmu yang belum cukup umur itu boleh pergi. Tapi kau
yang bau kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani bergerak apa lagi
melangkah!"
"Celaka! Mati aku!"
keluh Si Setan Ngompol dan serrr…. Air kencingnya semakin banyak tumpah
membasahi celananya yang memang sudah kuyup!
"Orang tua!" seru
Wiro. "Kami tidak punya niat melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang
saja. Mohon maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"
"Pemuda gondrong banyak
cakap! Kalau begitu biar kau yang kuundang naik ke atas kincir ini! Hari ini
aku mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling rendah enam puluh tahun
saja yang boleh menjajal kehebatan Kincir Hantu!"
Wajah murid SintoGendeng jadi
berubah. Tangan kirinya pulang balik menggaruk kepala. "Maaf Kek! Lain
kali saja aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih ada keperluan lain.
Kami sudah cukup puas sudah melihat kincirmu yang hebat!"
"Mana bisa
begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani kau bergerak satu langkah,
nyawamu tertolong! Kecuali jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling
pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"
Terbakarlah darah Pendekar 212
mendengar ucapan si kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai dia
menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak berminat melayani
undanganmu!"
"Wiro," kata Naga
Kuning. "Biar aku saja yang melayani kakek sombong kepala teleng itu!
Kalau dia masih banyak mulut akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari
Langit Ke Tujuh!"
"Ha… ha! Bocah ingusan
itu ternyata lebih punya nyali dari padamu pemuda perantau berambut gondrong!
Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping berteriak mengejek lalu
tertawa mengekeh.
"Kakek kepala teleng! Aku
terima tantanganmu!" teriak Wiro. Kesabarannya buyar. Dia terpancing. Naga
Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang pendekar sudah melesat
ke atas dan di lain kejap sudah berdiri di atas roda kincir.
Begitu berada di atas kincir
Wiro cepat perhatikan roda yang berputar. Memeriksa. Dia tidak melihat hal-hal
yang mencurigakan. Semua bagian roda itu seperti kincir biasa adanya, terbuat
dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak ada sesuatu yang berbentuk benda tajam
terbuat dari logam. Lalu benda apa yang telah menabas putus sepasang kaki Si
Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat belas orang lainnya itu tentunya?!
"Celaka! Aku punya firasat dia bakal mendapat celaka besar!" kata Si
Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya. Naga Kuning walau tidak
menjawab tapi diam-diam bocah ini merasa sangat khawatir. Dia memberi isyarat
pada kakek bermata jereng itu. Ke dua orang ini segera menyiapkan pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi di tangan kanan masing-masing. Jika terjadi
sesuatu dengan Wiro mereka langsung akan menghantam kakek bercaping di atas
atap. Diatas atap Lateleng tegak berdiri, buka capingnya membungkuk
menjura."Orangmuda! Apakah kau sudah siap?!" “Kau boleh mulai!"
jawab Wiro. Tapi matanya masih memperhatikan roda kincir. "Gila! Tidak ada
apa-apanya “ kata Wiro dalam hati. "Aku yakin keparat kepala teleng ini
menyembunyikan sesuatu!"
Lateleng tersenyum. Dia
melirik ke tangan kanan wiro lalu sambil berkata. “Tangan kananmu bergetar
halus. Bukankah itu satu pertanda bahwa kau tengah mengerahkan tenaga dalam?”
“Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan rasa kaget karena tidak
menyangka kakek kepala teleng itu tahu apa yang tengah dilakukannya. “Terus
terang aku tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala kemungkinan. Apa kau
takut?!"
Lateleng tertawa lebar.
"Aku penguasa tunggal di tempat ini! Kincir Hantu adalah milikku!
Sebenarnya kau yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan pukulan sakti untuk
menyerang?!"
"Orang tua! Dari tadi kau
bicara saja! Kapan akan mulai!" Menantang Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek kembali menjura.
"Dengan segala senang hati! Kita akan mulai sekarang! Jika kau bisa
bertahan di atas kincir sebanyak tiga kali putaran, kitab Kesaktian Menguasai
Tujuh Jin jadi milikmu!"
"Aku tidak butuh segala
kitab begituan!" jawab Wiro. "Aku ingin membuat perjanjian
denganmu!"
"Oohooo! Apa yang ada
dalam benakmu wahai pemuda dari rantau jauh?!" tanya si kakek teleng.
Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan membeliak.
"Jika aku sanggup
bertahan sampai tiga kali putaran, Kincir Hantu ini menjadi milikku! Kau boleh
angkat kaki dari sini!"
Orang tua di atas atap tertawa
bergelak. "Kau cerdik tapi licik!"
"Jadi kau takut menerima
permintaanku?!"
"Wahai! Siapa bilang! Kau
terlalu takabur anak muda! Itu berarti separuh dari nyawamu sudah kau berikan
padaku! Ha… ha… ha!" Lateleng cabut bendera kuning di atas atap lalu
ditancapkannya di kayu roda kincir. Bersamaan dengan itu kincir raksasa itu keluarkan
suara menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di bawah sana Naga Kuning
dan Setan Ngompol memperhatikan dengan penuh tegang.
4
KETIKA kincir mulai bergerak
dan berputar ke kiri Pendekar 212 segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan.
Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan tenaga dalam. Maksudnya
hendak mencoba menjebol kayu kincir untuk melihat apa yang tersembunyi di
sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali!
Selagi Wiro mencari akal apa
yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran
kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir bergetar lalu
menggemuruh berputar lebih cepat.
Di sebelah depannya Wiro
melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah ke dua
kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek, memandang ke bawah ke arah dua
temannya lalu kembali memperhatikan kincir yang berputar semakin cepat, membuat
dia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera kuning muncul
kembali untuk ke dua kalinya. Kincir berputar semakin kencang. Dengan Ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak perlu merasa khawatir
akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun cepatnya kincir itu berputar. Malah
seenaknya pemuda konyol ini berlari melompat-lompat di atas kincir sambil
bersiul-siul kecil. Namun karena dia masih belum dapat memecahkan teka teki
atau rahasia yang tersembunyi di balik keangkeran kincir itu tetap saja hatinya
merasa tidak enak.
"Pemuda konyol
sombong!" Kakek bercaping mendumal dalam hati. "Sekarang kau masih
bisa bersiul-siul. Sebentar lagi baru kau tahu rasa!"
"Dua!" berteriak
Lateleng. Seperti tadi kembali dia ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir.
Kincir itu sekali lagi bergetar keras diantara suara gemuruhnya. Si kakek
balikkan capingnya dan perlihatkan pada Wiro kitab Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin. "Kurang dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi
milikmu!"
Wiro tidak perdulikan ucapan
si kakek. Sambil berlari sepasang matanya terus memperhatikan kincir yang
berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di sebelah depan bendera kuning
muncul untuk kali ke tiga! Wiro mendadak merasa tambah tegang. Di halaman rumah
kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan tidak berkesip. Bergerak
dari sisi kanan menuju ke kiri, mendekati dua kaki Pendekar 212!
Lateleng sedot pipanya
dalam-dalam. Lalu pipa dicabut dan diketukkan ke pinggiran kincir.
"Tiga!" berseru
kakek kepala teleng itu.
Kincir Hantu menggemuruh
dahsyat seolah di situ memang ada puluhan hantu yang tengah menggereng marah.
Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang. Mereka memandang penuh tegang ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek sudah tidak memegangi
bagian bawah perutnya lagi. Percuma saja. Dalam keadaan sangat tegang seperti
itu dipegangpun kencingnya tetap mengucur tak berkeputusan. Wiro sendiri
berusaha menguasai diri. Matanya memperhatikan keadaan penuh waspada. Dadanya
bergetar ketika kemudian dari bagian bawah roda kincir sebelah kanan bendera
kuning menyembul muncul dan bergerak cepat ke arahnya!
Lateleng kembali acungkan
kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin sambil berseru. "Wahai anak muda! Kau
hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh denganmu!"
Wiro tidak perdulikan seruan
orang. "Kakek itu sepertinya sengaja hendak mengalihkan perhatianku!"
Membatin Pendekar 212.
Hanya satu langkah lagi
bendera kuning akan lewat di bawah dua kaki Wiro tiba-tiba terdengar suara aneh
berkepanjangan.
"Clak… clak… clak!"
"Suara aneh itu!"
seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat betul. Suara seperti itu terdengar sebelum
dua kaki Si Hati Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada dalam bahaya.
"Wiro! Awas!
Kakimu!" teriak Naga Kuning.
Murid Eyang Sinto Gendeng
memang sudah memasang telinga dan berlaku waspada sejak tadi-tadi. Namun dia
tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba dari arah pinggiran
roda kincir membersit sinar putih menyebabkan Pendekar 212 kesilauan dan untuk
sesaat tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar putih menyilaukan ini
juga melesat secara aneh ke arah Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ke dua orang
ini berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan tangan masing-masing.
"Aku tidak dapat melihat
apa-apa!" seru Naga Kuning.
"Aku juga! Aneh, sinar
menyilaukan itu membuat kencingku terasa lebih panas! Anuku sampai
bergeletar!" menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.
Di atas roda kincir Pendekar
212 berseru kaget ketika mendadak dua kakinya terasa sangat berat. Bagaimanapun
dia kerahkan tenaga berusaha melompat, dia hanya mampu mengangkat kakinya ke
atas sejarak seujung kuku!
"Celaka! Apa yang
terjadi!" Wiro kerahkan tenaga dalam. Terbayang olehnya apa yang terjadi
dengan Si Hati Baja.
"Clakk!"
Tanpa terlihat oleh Pendekar
212 yang masih kesilauan, sebuah benda putih menyilaukan menderu memapas ke
arah kaki kanannya.
Saat itulah tiba-tiba terjadi
satu keanehan yang berlangsung sangat cepat. Satu tangan menyambar ke bawah,
merangkul dada dan ketiak Wiro. Bersamaan dengan itu tubuhnya terangkat ke
atas. Wiro merasa seolah dibetot ke atas menembus langit. Ketika dua matanya
bisa melihat wajar kembali, dia dapatkan dirinya tergolek dan berada di satu
tempat di balik serumpunan semak belukar. Sepasang mata sang pendekar
terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di hadapannya.
Murid Sinto Gendeng segera
melompat bangkit.
"Luhrinjani…" desis
Pendekar 212. Belum lagi habis rasa tegangnya atas apa yang barusan dialaminya
di atas sana, kini tengkuknya jadi merinding. Karena dia tahu sosok yang ada di
hadapannya saat itu sebenarnya telah mati beberapa waktu yang silam!
"Kau…!"
" Kita tidak banyak
waktu. Lekas tinggalkan tempat Ini sebelum kakek di atas rumah kincir turun ke
tanah lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat angkat kaki dari
sini!"
"Tapi bagaimana…."
Sosok perempuan berwajah ayu,
mengenakan pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera putih, rambut tergerai
lepas dan melambai-lambai ditiup angin perlihatkan wajah tidak sabaran. Dengan
tangan kirinya makhluk ini mencekal leher baju Pendekar212. Sekali dia bergerak
Wiro seolah diajak melayang terbang. Di dekat pohon besar perempuan itu menukik
menyambar Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar biasa sekali. Seperti menenteng
tiga anak kucing, perempuan berpakaian putih bergerak cepat seolah melayang.
Di atas atap kincir kakek
kepala teleng tidak tinggal diam. Dia cepat kenakan capingnya di atas kepala
lalu menggembor marah menyaksikan apa yang terjadi.
Tangan kanannya digoyangkan
tiga kali berturut-turut.
Tiga larik asap merah
menyambar ke bawah.
"Kita serang!"
teriak Naga Kuning yang pertama kali melihat datangnya tiga larik asap merah
itu. Si setan Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah menyaksikan
keganasan asap merah serangan Kakek teleng itu segera menghantam lepaskan
pukulan Sinar Matahari.
"Bummm! Bummm!
Bummm!"
Tiga dentuman dahsyat
menggetarkan seantero tempat. Sosok perempuan berpakaian putih bergoyang keras
lalu melayang jatuh ke tanah, tapi tetap dalam keadaan tegak. Wiro merasakan
sekujur tangan kanannya berdenyut sakit dan kaku.
DI atas atap rumah kincir
Lateleng delikkan mata.
"Wahai! Aku hanya melihat
selarik sinar putih menyilaukan. Lalu ada hawa panas menyambar. Tiga larik asap
merahku buyar walau cahaya putih itu berhasil dihancurkan. Wahai! Siapa yang
menghantam! Perempuan jejadian itu atau pemuda berambut gondrong?! Jahanam
betul! Aku harus menyelidik ke bawah. Mengejar dan membantai mereka
semua!" Lalu seperti seekor alap-alap kakek itu terjunkan diri dan
melayang ke bawah.
"Kita dikejar!" kata
Naga Kuning setengah berteriak.
Wiro kembali siapkan pukulan
Sinar Matahari.
Perempuan berpakaian putih
cepat berucap." Kalian bertiga lekas tegak lurus-lurus. Jangan bergerak,
jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang kukatakan, niscaya kakek itu
tidak akan melihat kita!"
"Kakek itu tidak buta!
Siang bolong begini masakan dia tidak bisa melihat kita!" ujar Naga
Kuning. Seperti Wiro dia juga siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan.
"Wahai! Jangan berlaku
bodoh! Jika mau selamat ikuti ucapanku!" kata Luhrinjani pula, perempuan
berpakaian putih itu.
"Ikuti saja apa yang
dikatakannya…" bisik Wiro karena dia tahu perempuan berpakaian putih itu
bukan makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang memiliki kepandaian tinggi
berkat pertolongan Para Peri Dari Langit Ke Tujuh. Hal ini diketahuinya dari
Lakasipo beberapa waktu lalu.
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol lalu tegak lurus-lurus, tidak bergerak dan tidak bersuara. Hanya mata
mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng. Kakek pemilik Kincir Hantu
ini begitu menjejakkan kaki di halaman luas segera berkelebat kian ke mari,
mencari-cari sambil mulutnya terus menerus mengeluarkan suara mengomel.
"Barusan mereka ada di
sekitar sini! Bagaimana mungkin bisa lenyap seperti ditelan bumi!" Si
kakek buka capingnya. Untuk beberapa lamanya dia berdiri diam. Hanya kepalanya
yang dipalingkan kian ke mari disertai mata membeliak. "Kurang ajar betul!
Mereka benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram marah.
Apa yang terjadi? Berkat ilmu
kesaktian yang dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat ke empat orang itu.
Padahal saat itu Wiro dan dua kawannya norta perempuan berpakaian putih hanya
satu langkah saja di samping kirinya. Seandainya si kakek menggerakkan
tangannya ke samping pasti dia akan menyentuh sosok Si Setan Ngompol yang saat
itu tegak tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya mengucur jatuh.
Ilmu kesaktian yang dimiliki
Luhrinjani itu bernama Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu Adalah salah
satu dari beberapa ilmu kesaktian yang diturunkan Para Peri Dari Negeri Atas
Langit kepada perempuan bernasib malang itu. Namun bagaimanapun hebatnya
kesaktian tersebut celakanya kesaktian ini tidak membuat Luhrinjani mampu
melenyapkan kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata Lateleng. Sambil
dekapkan capingnya di depan dada sepasang mata’ kakek teleng itu perhatikan
tanah yang basah tepat di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.
Lateleng mendekat lalu
berjongkok di depan tanah yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan mata. Untung
dia masih ingat ucapan Luhrinjani agar tidak bergerak. Padahal tadi ketika
melihat Lateleng mendekatinya, malah jongkok di depannya nyawanya serasa
terbang dan dia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi bagian bawah
perutnya! Naga Kuning berdiri laksana patung sambil menggigit bagian bawah
bibirnya. Berusaha menahan ketegangan.
Pendekar 212 berdiri menahan
nafas. Kepalanya terasa gatal dan dia hampir tak dapat menahan diri hendak
menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri dengan sikap tenang sambil
memperhatikan gerak-gerik Lateleng.
Setelah jongkok di depan Setan
Ngompol, Lateleng ulurkan tangan, menepuk-nepuk tanah yang basah oleh air
kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang basah didekatkannya ke
hidungnya.
"Hue!" Si kakek
keluarkan suara seperti orang mau muntah. Dia meludah habis-habisan. "Bau
pesing jahanam!" Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu kebetulan di
salah satu cabang pohon kelihatan seekor tupai besar sedang kencing. Selesai
kencing binatang ini melompat ke cabang pohon lainnya dan lenyap dari
pemandangan.
"Tupai celaka! Kau
rupanya!" Lateleng kembali memaki. Lalu dia berdiri dan melesat kembali ke
atas atap. Dari atas atap rumah kincir ini dia memeriksa Kincir Hantunya dan
merasa lega karena tidak ada bagian yang rusak akibat bentrokan asap merah
saktinya dengan pukulan Sinar Matahari tadi.
Setan Ngompol menarik nafas
lega. "Tupai kencing di atas pohon itu telah menyelamatkanku dan
kawan-kawan! Bagaimana aku membalas budi binatang itu," kata si kakek
jereng dalam hati.
"Kita aman
sekarang," Luhrinjani berkata dengan suara perlahan. "Ikuti
langkahku. Kita bergerak tiga tangkah lurus ke depan, lalu berbelok tiga
langkah ke kanan, berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi sampai
kita melewati pohon cempedak hutan di depan sana…."
Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol mengikuti apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah melewati pohon
cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan berpaling pada ke tiga orang
itu. "Saat ini kita berada cukup jauh dari kawasan Kincir Hantu. Wahai,
aku gembira bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi juga heran. Terakhir sekali
aku melihat kalian, sosok kalian hanya sebesar jari. Bagaimana sekarang bisa
berubah sebesar ini?"
Wiro lalu menceritakan
pertemuannya dengan luhclnta serta Hantu Raja Obat.
"Kalian beruntung!"
kata Luhrinjani. Dia menatap Pendekar 212 sesaat lalu meneruskan ucapannya.
"Dan kau tiga kali beruntung…."
"Apa maksudmu
Luhrinjani?" tanya Wiro pula.
"Keuntungan pertama, kau
selamat dan diobati oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua, kaki kananmu tak
sampai putus dibabat Kincir Hantu. Coba kau lihat apa yang telah terjadi dengan
kasutmu sebelah kanan…."
Wiro angkat kaki kanannya
sedikit lalu perhatikan kasut yang dikenakannya. Berubahlah paras sang
pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulit Itu ternyata telah
terbabat putus sampai setengahnya. Wiro memandang pada Luhrinjani. "Kalau
kau terlambat menolongku, berarti kakiku yang putus…. Aku dan Juga kawan-kawan
sangat berterima kasih padamu Luhrinjani. Sekarang apakah kau mau mengatakan
keuntungan ketiga itu?"
Yang ditanya tersenyum.
"Tak mungkin kukatakan di depan dua sahabatmu ini. Nanti saja aku
ceritakan kalau ada kesempatan…."
"Antara kami bertiga
tidak ada rahasia. Mengapa tidak diceritakan sekarang saja?" kata Wiro.
Sementara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol lalu membisiki kakek ini.
"Aku khawatir, jangan-jangan perempuan ini telah jatuh cinta pada sang
pangeran sableng sahabat kita ini!"
Setan Ngompol menyeringai dan
menyahuti. "Buruk nian nasib kita kalau begitu. Semua perempuan cantik
naksir padanya. Kita lalu kebagian apa?! Hik…hik… hik…!"
Luhrinjani menatap Pendekar
212 sesaat lalu menggeleng. "Ketahuilah, Hantu Raja Obat adalah makhluk
aneh yang hati dan jalan pikirannya bisa berubah dalam sekejapan mata! Apa
kalian pernah mendengar berapa banyak manusia yang tidak disenanginya dijadikan
Godokan obat lalu dijarang dalam periuk tanah di atas kepalanya yang
bersorban?"
Wiro mengangguk. Naga Kuning
jadi merinding. Setan Ngompol langsung mulas perutnya. Apa yang dikatakan
Luhrinjani memang benar adanya dan pernah ada orang yang memberi tahu
sebelumnya.
"Luhrinjani, Lakasipo
telah menganggap kami sebagai saudara angkat. Berarti kaupun adalah saudara
kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari
tangan kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu…."
Luhrinjani anggukkan kepalanya
dengan perlahan. Parasnya yang cantik kemudian tampak berubah sayu. Dia menatap
jauh ke depan dengan pandangan kosong.
"Luhrinjani, kulihat
perubahan pada wajahmu. Seolah ada satu ganjalan kesedihan di hatimu.
Apakah…."
Luhrinjani menghela nafas
panjang. "Langkahku jauh sampai ke sini karena menyirap kabar bahwa
suamiku Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai, aku tidak menemukannya.
Mungkin kau dan kawan-kawan mengetahui gerangan dimana Lakasipo berada?"
Yang menjawab Naga Kuning.
"Terakhir kami bersamanya ketika bertemu dengan Hantu Raja Obat. Saat Itu
dia mengatakan hendak pergi menemui seseorang. Tapi dia tidak menyebut siapa
orangnya, hanya menyebut tempat di mana orang itu berada…."
Luhrinjani mendongak ke langit
lalu pejamkan matanya sesaat. Dia berpaling pada Naga Kuning. "Mungkin
suamiku menyebut nama sebuah gunung…?"
"Betul sekali!"
sahut Naga Kuning.
Wiro menyambung. "Aku
ingat, kalau tidak salah Lakasipo menyebut nama gunung itu. Gunung
Labatuhitam…."
"Wahai!" Wajah
Luhrinjani tampak berubah. Suaranya bergetar ketika berkata. "Demi Para
Dewa dan Mara Peri. Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan bumi.
Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui perempuan itu…."
"Perempuan siapa maksudmu
Luhrinjani?" tanya SI Betan Ngompol yang bersuara setelah sejak tadi diam
saja.
"Tak bisa kukatakan.
Wahai, aku harus pergi sekarang…. Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Apakah
kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"
"Kami pernah mendengar
dari Lakasipo," jawab Wiro. "Menurut Lakasipo dukun jahat itulah yang
mencelakai dirinya atas permintaan Lahopeng…" (Baca: "Bola Bola
Iblis")
"Tahu dimana dukun itu
berada?"
Wiro dan dua kawannya
sama-sama gelengkan kepala.
"Karena tak ada yang
ingin kutanyakan lagi, aku harus pergi sekarang," kata Luhrinjani pula.
"Kakak sahabatku! Tunggu
dulu!" berkata Naga Kuning. "Bolehkah aku menanyakan ilmu apa yang
kau pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu tidak mampu
melihat kita semua?"
"Aku tidak dapat memberi
tahu padamu. Tidak sekarang, entah nanti…" jawab Luhrinjani. Perempuan ini
segera balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Wiro menunggu sampai
Luhrinjani terpisah agak jauh dari Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, lalu
dengan cepat dia menyusul,
"Luhrinjani, aku terpaksa
bersikap keras kepala. Aku ingin kau mengatakan apa keberuntunganku yang ke
tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar jika kau mengatakannya
sekarang…."
Luhrinjani menatap dalam-dalam
ke mata Pendekar 212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi agak
tercekat, apa lagi kalau dia ingat yang di hadapannya itu sebenarnya adalah roh
halus dari orang yang sudah lama mati!
"Wahai! Kau memaksa
rupanya. Tapi baiklah. Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang ke tiga
ialah ada seorang gadis cantik berhati baik jatuh cinta padamu…."
"Siapa?!" tanya Wiro
kaget karena tidak menyangka hal itu yang akan diucapkan Luhrinjani. "Kau
terkalah sendiri…" jawab Luhrinjani sambil tersenyum. "Peri Angsa
Putih…?" tanya Wiro. Luhrinjani tidak menjawab dan masih tetap mengulum
senyum. "Luhjellta?" tanya Wiro lagi. Luhrinjani masih tersenyum
seperti tadi.
"Kami kaum perempuan
tidak ingin membuka rahasia pribadi isi hati sesama kami. Cobalah kau
Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah mengatakan padamu,"
jawab Luhrinjani. Lalu perempuan berpakaian serba putih ini melangkah pergi.
Wiro kembali mengejar. Tapi
aneh! Sekali ini wa laupun dia berjalan setengah berlari tetap saja dia tak
mampu mendekati perempuan itu. Ketika dia perhatikan bagian bawah kaki
Luhrinjani, serta merta Pendekar 212 hentikan langkahnya. Sepasang kaki
luhrlnjani ternyata tidak menginjaktanah! Ketika Wiro memandang lagi ke depan,
perempuan itu telah lenyap sepertl ditelan bumi! (Mengenai Luhrinjani harap
baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis")
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya. "Ada seorang lain yang sebelumnya telah mengatakan
padamu…" katakata Luhrinjani itu terngiang kembali di telinga Wiro.
"Siapa..,?" Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum dia mampu
mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk raksasa putih muncul di udara lalu
menukik ke bawah dan sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah, beberapa langkah
di hadapan Pendekar 212. Tapi karena saat itu pikiran sang pendekar masih
dicekat oleh rasa menduga-duga maka dia seolah tidak melihat makhluk putih itu.
5
“WAHAI sahabat bernama Wiro
yang konon berjuluk Pendekar 212, gerangan apakah yang meresapi pikiranmu
hingga mata seolah tertutup kabut dan telinga seperti terhalang angin?"
Wiro tersentak kaget.
"Peri Angsa Putih…" katanya begitu dia menyadari siapa yang duduk di
atas punggung angsa putih raksasa. "Maafkan, aku sampai tidak…."
"Teka teki hidup yang
tidak terjawab memang membuat seseorang bisa bingung, jadi lupa diri dan lupa
keadaan sekelilingnya…."
Wiro coba tersenyum dan
garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. "Apakah Peri cantik ini
sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani tadi?"
Saat itu Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol telah berada pula di tempat itu. Keduanya menjura memberi
penghormatan. "Sahabatku Peri cantik bermata biru, kami senang bisa
bertemu lagi denganmu," kata Naga Kuning.
"Aku juga merasa gembira
bisa melihat kalian semua," jawab Peri Angsa Putih sambil tersenyum lalu
melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik baik saja…."
"Peri Angsa Putih, apakah
pertemuan ini suatu kebetulan saja atau memang kau sudah kangen lalu punya niat
menemui kami? Eh, maksudku kangen pada sahabatku Wiro?" tanya Naga Kuning
sambil senyum-senyum. Di lain pihak Wiro menduga kemunculan sang Peri adalah
untuk membicarakan masalah bunga mawar beracun tempo hari.
Pertanyaan Naga Kuning itu
membuat wajah Peri Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro ulurkan tangan
mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini melintir kesakitan.
Sebenarnya sejak beberapa
waktu lalu Peri Angsa Mutlh memang berusaha mencari Wiro. Dia ingin menemui
sang pendekar untuk menjernihkan persoalan bunga mawar beracun yang hampir
merenggut nyawa Wiro dan yang menurut Luhjelita berasal dari dirinya. (Mengenai
perselisihan segi tiga antara Wiro, Peri Angsa Putih dan Luhjelita harap baca
serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Tangan Empat" dan "Hantu
Muka Dua") Namun niatnya untuk membicarakan hal Mu menjadi sirna ketika
tadi secara tidak sengaja dia sempat mendengar ucapan-ucapan Luhrinjani yang
menyebut tentang seorang gadis cantik berhati baik yang jatuh cinta pada Wiro.
Untuk menutupi rasa malu dan sekaligus kekecewaannya untung Peri Angsa Putlh
dapat mencari akal mengeluarkan jawaban.
"Wahai, sebagai sahabat
tentu saja aku selalu Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain itu memang aku
ingin menemui Wiro…."
"Nah! Apa kataku!"
ujar Naga Kuning pula sambil menepuk bahu Si Setan Ngompol hingga kakek ini
tersentak kaget dan langsung terkencing.
Wiro menatap wajah sang Peri.
"Kau ingin membicarakan perihal bunga mawar kuning itu…" tanya
Pendekar212.
Peri Angsa Putih goyangkan
tangannya dan gelengkan kepala. "Kalau bukan itu mungkin perihal
kesalahanmu memukul diriku waktu bertengkar dengan Luhjelita," kata Wiro
pula.
"Bukan, bukan itu,"
jawab Peri Angsa Putih. "Aku mencarimu untuk meminta kembali selendang
sutera biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan anak buah Hantu
Muka Dua beberapa waktu lalu." (Baca "Hantu Muka Dua")
Sesaat Wiro jadi terpana dan tatap
Peri Angsa Putih dengan pandangan penuh tanda tanya. "Aku punya firasat
sebenarnya dia bukan mencari selendang itu," kata murid Sinto Gendeng
dalam hati. Lalu dia berucap. "Selendang itu memang ada padaku. Kau tentu
ingat selendang itu terjatuh di tanah. Sementara kau pergi begitu saja.
Aku…." Wiro tidak melanjutkan ucapannya. Sebenarnya dia ingin selendang
milik Peri Angsa Putih itu tetap ada padanya. Namun yang empunya datang
meminta. Apapun alasannya dia harus mengembalikan. "Sebenarnya aku…."
Lagi-lagi Pendekar 212 tidak bisa lanjutkan kata-katanya. Ketika dia berusaha
menatap mata biru Peri Angsa Putih, dia merasa seolah yang berada di hadapannya
saat itu adalah Ratu Duyung, penguasa kawasan samudera di tanah Jawa yang juga
memiliki sepasang mata berwarna biru.
Dari balik pakaiannya Wiro
keluarkan selendang biru milik Peri Angsa Putih dalam keadaan terlipat rapi
serta menebar bau harum semerbak. "Selama selendang ini ada padaku, aku
merasakan satu kesejukan dalam diriku," kata Wiro seraya meluruskan
lipatan selendang biru.
"Dengan selendang ini
dulu kau menyelamatkan jiwaku. Sebenarnya… aku ingin selendang ini tetap berada
di tanganku…."
Peri Angsa Putih terkejut
karena tidak menyangka Wiro akan berkata seperti itu. Sesaat dia jadi bingung
sendirl karena sebenarnya dia memang bukan muncul untuk mencari selendang itu.
"Wahai, tidak kusangka
dia akan mengatakan perasaan hatinya begitu polos. Menyesal aku meminta
selendang itu kembali…" kata Peri Angsa Putih dalam hati.
"Tapi aku sadar selendang
ini bukan milikku. Selama ini aku menyimpannya baik-baik. Jika ada Iwylnnnya
yang- rusak atau kotor aku mohon maaf. Kuaerahkan kembali selendang ini padamu,
Peri Angan Putih. Terimalah…."
"Ya… ya! Selendang itu
memang harus dikembalikan!" kata Naga Kuning menggoda Wiro.
SI Setan Ngompol sambil
senyum-senyum dan terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang pakaiannya
orang perempuan. Masak laki-laki ke mana-mana membawa selendang. Milik orang
lain pula! Hik… hik! sungguh tidak pantas!"
Wiro delikkan mata pada ke dua
kawannya itu. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang memegang selendang. Sesaat
Peri Angsa Putih hanya berdiam diri, Diam-diam dia menyesali segala perbuatan
dan ucapanya tadi. "Aku telah berlaku tolol!" kata Peri Angsa Putih
dalam hati. "Seharusnya tidak perlu kuminta kembali selendang itu. Jika
selendang itu tetap ada padanya bukankah berarti setiap saat dia akan selalu
Ingat padaku!"
Setelah berdiam diri cukup
lama akhirnya dengan berat hati Peri Angsa Putih ulurkan tangan menerima
selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa lamanya gadis ini masih tegak
berdiri menatap dengan pandangan sayu pada Pendekar 212 sementara Wiro sendiri
menatap sang peri dengan pandangan kecewa.
Naga Kuning dan Si Setan
Ngompol kini diam-diam ikut merasakan ada sesuatu yang saling mengganjal di
antara ke dua orang itu.
"Wiro," Peri Angsa
Putih berucap perlahan. "Mungkin kau masih mengira akulah yang hendak
meracuni dirimu dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini aku bersumpah demi Para
Dewa dan Para Peri serta semua roh antara langit dan bumi. Aku tidak melakukan
hal itu. Aku ingin mendengar tanggapan langsung dari dirimu sendiri saat Ini
juga. Katakanlah sesuatu…."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Namun…."
"Namun apa Wiro?"
Peri Angsa Putih bertanya dengan nada tidak sabaran.
"Seandainya Luhjelita
juga mengucapkan sumpah seperti sumpahmu tadi, lalu siapa di atara kalian yang
bisa ku percaya?"
Mendengar ucapan Wiro itu
sepasang mata Peri Angsa Putih tampak berkaca-kaca. "Wahai, kalau hal itu
kau tanyakan padaku maka jawabku adalah ini. Percayailah sumpahnya. Jangan
percaya pada sumpah seorang Peri sepertiku!"
Habis berkata begitu Peri
Angsa Putih balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu. Wiro seperti tersadar dan
hendak memanggil tapi yang dilakukannya hanya diam tak bergerak.
"Anak tolol! Mengapa kau
berucap seperti itu pada Perl Angsa Putih!" Tiba-tiba kakek Setan Ngompol
berkata.
"Kok, apa maksudmu?"
tanya Wiro.
"Kau tahu! Tidak ada satu
gadispun di dunia ini yang mau dibanding-bandingkan dengan gadis lain oleh
seorang pemuda yang diam-diam disukainya…."
"Maksudmu Peri Angsa
Putih menyukaiku?" tanya Wiro.
Naga Kuning pencongkan
mulutnya. "Aku yang bocah saja bisa melihat. Kau yang punya diri tidak
tahu diri! Jika kau tidak suka pada gadis itu dan kebetulan dia suka padaku,
jangan nanti kau jadi menyesal!"
"Anak muda," kata
Setan Ngompol menyambung bicara. "Apa kau tidak melihat bagaimana dua mata
Putri Angsa Putih jadi berkaca-kaca ketika kau membandingkannya dengan Luhjelita,
perawan genit yang gentayangan ke mana-mana memikat lelaki itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku…. Ah, sebenarnya aku juga menyukai Peri Angsa Putih," kata Wiro
pula,Dia diam sejenak. "Tapi…."
"Nah, tapinya ini yang
bikin brengsek! Suka tapi masih ada tapi!" kata Naga Kuning lalu pasang
muka merengut.
Sementara itu tanpa setahu ke
tiga orang itu, disatu tempat yang terlindung, seorang perempuan berwajah putih
jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke atas ketika mendengar
ucapan Wiro yang mengatakan sebenarnya dia juga menyukai Peri Angsa Putih,
Dalam hati dia berkata lirih. "Kalau hati pemuda asing Itu benar sudah
tertambat pada Peri Angsa Putih, agaknya buruk nian nasib diriku. Padahal aku
sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau saja aku mendapatkan
dirinya. Aku telah berusaha. Namun agaknya aku tidak mendapat restu. Mungkin
cara yang kutempuh salah. Ah…." Leher jenjang perempuan cantik itu tampak
bergerak turun naik. Dia menggigit bibirnya kencang-kencang untuk menahan
linangan air mata. Setelah mengusap bagian bawah cuping hidungnya perempuan ini
lalu berkelebat pergi ke arah sang surya yang memancarkan sinar terik
menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol melihat
bayangannya maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya biru yang serta
merta lenyap tanpa mereka bisa melihat dengan jelas apa adanya.
"Aku tidak bermaksud
menyakiti hati Peri Angsa Putih. Kalian tahu, banyak hutang budi kita
padanya…."
"Dia sudah pergi. Apa
gunanya bicara begitu?"ujar Naga Kuning.
"Apa yang kita lakukan
sekarang?" tanya Setan Ngompol.
"Aku akan menunggu sampai
malam datang…’ kata Wiro.
"Eh, apa yang ada di
benakmu wahai Kakak Wiro?" tanya Naga Kuning sambil miringkan kepalanya.
Katakata dan gerakannya jelas meledek sang pendekar.
"Begitu malam datang aku
akan kembali ke tempat Kincir Hantu itu!"
"Gila! Apa yang hendak
kau lakukan?!" tanya Naga Kuning.
"Aku mau menyelidik.
Rahasia apa sebenarnya yang ada di balik kincir itu…."
"Serrr!" Kencing Si
Setan Ngompol mengucur begitu mendengar kata-kata Wiro.
"Kakimu hampir amblas!
Kita semua hampir jadi jerangkong! Dan kau bilang mau pergi kesana kembali!
sungguh edan!"
"Terserah kalian mau
bilang apa! Niatku sudah tetap. Aku harus menyelidik. Belasan orang mati
mengerikan. Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"
"Kami memang tidak mau
ikut! Akhir-akhir ini ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak anehnya!"
kata Naga Kuning pula, bocah yang sesungguhnya adalah kakek berusia lebih dari
seratus tahun. (Mengenal Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul
"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)
Naga Kuning berpaling pada
Setan Ngompol. Sesaat kedua orang ini saling pandang. Si kakek hanya diam saja.
*
* *
TIGA orang itu tegak di bawah
pohon besar, memandang tak berkesip ke arah lapangan. Sekeliling mereka dicekam
kegelapan malam.
"Wiro, apa kita tidak
kesasar ke tempat yang salah?" Naga Kuning keluarkan suara. Dari suaranya
jelas bocah ini berada dalam keadaan tercekat.
"Ini pohon besar yang
dihantam kakek bercaping itu. Di depan kita terbentang halaman luas. Tempatnya
jelas sama! Tapi memang adalah aneh kalau rumah kincir dan kincirnya tak
kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.
"Rumah dan Kincir Hantu
bisa lenyap! Ada yang tak beres. Aku khawatir ada bahaya mengancam kita!
Menyesal aku ikut bersama kalian!" kata Setan Ngompol dan seperti biasa
dua tangannya cepat pegangi bagian bawah perutnya.
"Aku tidak mengerti.
Rumah dan kincir sebesar itu tahutahu bisa lenyap! Mungkin sengaja
dipindah?" berucap Naga Kuning.
"Orang sakti manapun
tidak mungkin memindahkan bangunan sebesar itu!" kata Si Setan Ngompol.
"Mungkin ini salah satu
rahasia Kincir Hantu yang harus kita pecahkan. Siang hari masih nongkrong di
depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin kakek itu punya ilmu seperti
yang dimiliki Luhrinjani? Aku perlu menyelidik lebih dekat ke sana…."
Naga Kuning pegang pinggang
celana Wiro. "Jangan gegabah. Keanehan di dalam kegelapan. Bagaimana kalau
ini semua hanya merupakan satu jebakan. Sebelum kau sampai ke ujung lapangan
sana mungkin berbagai senjata rahasia akan bertabur menembus tubuhmu. Bukan
mustahil kakek kepala teleng itu mendekam di tempat gelap sana. Lalu kalau ada
yang datang, dalam jarak dekat dia akan semburkan asap pipanya! Apa kita semua
mau jadi jerangkong?"
"Kau betul juga!"
kata Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. "Lalu apa yang harus kita
lakukan?"
"Segera pergi saja dari
tempat celaka ini!" kata Si Setan Ngompol yang sejak tadi sudah dilamun
rasa takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning mengatakan hal yang
sama. Tapi Pendekar 212 masih penasaran. Dia dekati satu pohon kecil setinggi
kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan batang pohon itu patah dua.
Lalu Wiro lemparkan bagian atas pohon ke arah di mana sebelumnya rumah dan
kincir berada.
"Braaakk!"
Pohon jatuh di ujung
lapangan.Tidak ada gerakan. tak ada suara. Tidak terjadi apa-apa. Wiro
berpaling pada dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol unikkan apa arti
pandangan itu.
"Kalau kau tetap keras
kepala, silakan saja menyelidik ke sana…" kata Naga Kuning pula. "Aku
dan kakak Ini menunggu di sini."
Wiro anggukkan kepala. Dia
mulai melangkah. Dia berjalan tidak langsung menempuh lapangan terbuka dari
arah depan, tapi bergerak dulu ke kanan, menyisi sepanjang tepi lapangan lalu
membelok ke kiri. Di ujung sana dia membelok lagi ke kiri. Kini bergerak ke
arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir Hantu berada. Sebegitu jauh tak
terjadi apa-apa. Namun ketika murid Sinto Gendeng hanya tinggal satu tombak
saja lagi dari perkiraan letak bangunan, mendadak dalam kegelapan malam
berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan, menderu ke arah Pendekar 212.
"Senjata rahasia! Wiro
awas!" teriak Naga Kuning memperingatkan.
Wiro memang sudah mendengar
kemudian mellhat gerakan dua benda bersinar biru itu. Sambil jatuhkan diri Wiro
hantamkan tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dua
benda biru terpental. Namun!
"Blaaarr!"
"Blnaarr!"
Dua ledakan dahsyat menggema
di udara malam. Dua buah benda biru hancur bertaburan membentuk keping-keping
aneh. Keping-keping ini kemudian berubah menjadi larikan-larikan panjang. Lalu
laksana tangantangan gurita, larikan-larikan sinar biru itu menyambar
mencengkeram ke arah Pendekar 212.
Wiro gulingkan dirinya di
tanah. Menyingkir kesisi lapangan sebelah kanan dari arah mana tadi dia datang
lalu kembali lepaskan satu pukulan sakti bernama Dewa Topan Menggusur Gunung.
Sepuluh larik sinar biru yang
seperti tangan-tangan gurita yang tadi hendak mencengkeramnya mencelat buyar ke
udara. Namun luar biasanya, buyaran yang berjumlah dua puluh empat ini berubah
menjadi seperti dua benda biru yang pertama kali menyerang Wiro, menderu dengan
kecepatan setan dalam gelapnya malam, menyambar ke arah sosok Pendekar 212!
"Celaka!" ujar Setan
Ngompol melihat apa yang terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan tangan
kanannya. Serangkum angin menebar bau pesing menderu ke ujung lapangan. Inilah
pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit.
Naga Kuning tidak tinggal
diam. Begitu melihat Wiro berada dalam keadaan bahaya dia segera menghantam
tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam kegelapan malam, memapaki
gerakan dua puluh empat benda biru yang menyerbu Pendekar 212.
Wiro kertakkan rahang. Tangan
kanannya yang sudah disiapkan untuk melepas pukulan Sinar Matahari berkelebat
ke depan.
Selarik sinar putih
menyilaukan disertai hamparan hawa panas laksana sambaran kilat menyambar ke
depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.
Letusan-letusan seperti hendak
mengoyak gendanggendang telinga berdentuman di tempat itu. Tanah bergetar.
Pepohonan berderak. Semak-semak berserabutan dan debu serta pasir beterbangan
ke udara.
Ketika keadaan tenang kembali
Wiro dan kawankawannya sudah menjauhkan diri dari tanah lapang. Setan Ngompol
terbatuk-batuk sambil pegangi bawah perutnya. Naga Kuning tegak dengan tubuh
gemetar karena tangannya yang tadi dipakai untuk menghantam benda-benda biru
itu kini terasa seperti kaku dan panas. Wiro sendiri yang melepas pukulan Sinar
Matahari dengan mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya merasakan dadanya
berdebar dan aliran darahnya tak karuan.
"Sebaiknya kita
tinggalkan tempat celaka ini! Kendali jika ada diantara kalian yang mau mampus
percuma!" kata Si Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.
Wiro dan Naga Kuning sepakat
untuk pergi dari tempat Itu. Namun baru sama bergerak satu langkah tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah tinggi disertai suara
membentak.
"Kalian bertiga memang
sudah ditakdirkan mampus percuma!"
Belum habis kejut Wiro dan
kawan-kawannya melihat kelebatan bayangan hitam yang disusul bentakan garang
itu, mendadak tiga buah benda bercahaya merah menyerupai bara api melesat ke
arah mereka!
"Sialan! Siapa lagi yang
punya pekerjaan ini!" teriak Wiro. Dia cepat melompat selamatkan diri
sambil mendorong dua kawannya.
Tiga benda merah melesat di
samping mereka lalu amblas ke dalam sebuah batu besar di dekat rerumpunan semak
belukar. Batu itu serta merta dikobari api lalu bergemeretak pecah menjadi
empat bagian, hangus menghitam dan kepulkan asap.
Setan Ngompol jatuh terduduk
di tanah. Naga Kuning tertelungkup dengan muka pucat Wiro memandang ke arah
kegelapan, kejurusan datangnya serangan tadi. Dia melihat sesosok tubuh tinggi
besar. Salah satu tangannya buntung. Di bagian perut orang ini sebelah dalam
seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
6
UNTUK sementara waktu kita
tinggalkan dulu Wiro dan dua sahabatnya yang tengah mendapat serangan di malam
gelap oleh seseorang yang belum diketahui siapa adanya.
Dalam Episode sebelumnya
(Hantu Muka Dua) telah diceritakan bagaimana kakek utusan Para Dewa bernama
Lamanyala menemui putera bungsu Laselayu yang tengah bertapa di sebuah pulau
karang. Iamanyala memberi tahu, jika pemuda itu mengikuti apa yang dikatakannya
maka kelak dia akan menjadi seorang sakti mandraguna, dijuluki Hantu Muka Dua
karena nantinya dia akan menjalani hidup dengan memiliki dua muka kembar.
Selanjutnya dia akan menjadi pelambang Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.
Untuk mendapatkan semua itu maka pertapa muda Itu harus pergi ke Negeri
Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di negeri itu dan merampas
ilmu kesaktian yang mereka miliki. Kemudian si pemuda yang oleh Lamanyala
diberi nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut. Disitu bertapa seorang
sakti yang bukan lain adalah Lasedayu dan sebenarnya adalah ayah kandung
Labahala sendiri. Konon pada masa itu Lasedayu adalah yang paling sakti di
seluruh negeri, melebihi kehebatan Hantu Tangan Empat yang merupakan dedengkot
para Hantu sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu, Labahala harus
mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu. Lamanyala kemudian membekali
Labahala dengan sebuah benda yakni sendok aneh bergagang pendek dan terbuat
dari emas murni. Sendok ini merupakan satu benda sakti dan diberi nama Sendok
Pemasung Nasib.
Dengan sendok inilah Labahala
harus mencungkil pusar Lasedayu.
Labahala tidak pernah tahu
bahwa pertapa sakti di Lembah Seribu Kabut yang akan didatanginya itu adalah
ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja mengatur semua itu karena dendam
kesumatnya terhadap Lasedayu. Bukan saja Lasedayu telah mengambil Jimat Hati
Dewa titipan Para Dewa, tetapi juga karena Lasedayu telah membuat kakek itu
menjadi mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah kanan hancur dan
tinggal merupakan satu gerakan besar begitu rupa sehingga tulang iga, sebagian
isi dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas, luar biasa seram mengerikan!
Selain itu antara Lamanyala dengan Para Dewa di Atas Langit telah terjadi perselisihan
hebat Para Dewa tidak menyukai cara yang ditempuh Lamanyala dalam menjatuhkan
hukuman atas diri Lasedayu yang dianggap semata-mata hanya merupakan
pelampiasan dendam pribadi. Dalam amarahnya Lamanyala akhirnya menyatakan tidak
bersedia lagi menjadi Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dengan demikian
dia bebas melakukan apa saja menurut kehendak hatinya.
LEMBAH Seribu Kabut….
Saat itu malam baru saja
sampai ke ujungnya. Udara terasa dingin mencucuk dan kegelapan masih mencekam
di semua penjuru. Di kawasan selatan Negeri Latanahsilam satu bayangan
berkelebat cepat ke arah timur dimana terletak satu kawasan yang disebut Lembah
Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama demikian karena jangankan malam atau pagi
hari, pada siang hari saja selagi matahari bersinar terik, kabut menyungkup
seantero lembah menutup pemandangan.
Bayangan tadi berlari cepat
menembus kegelapan dan udara dingin, langsung ke pusat lembah. Di satu tempat
dia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar suara lolongan binatang buas
penghuni lembah. Orang ini memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa,
kecuali pepohonan, semak belukar, bebatuan. Semua menghitam dalam kegelapan.
Kabut dan kegelapan malam membuat pandangannya sangat terbatas.
"Sunyi… gelap dan dingin.
Di mana aku harus mencari orang sakti bernama Lasedayu itu…." Orang Ini
berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi dia memandang berkeliling.
Pandangannya membentur sebuah batu besar. Rasa letih membuat dia melangkah
mendekati batu lalu duduk di sana. "Mungkin aku harus menunggu sampai
matahari terbit. Jika hari sudah terang aku akan memeriksa seluruh lembah ini.
Bukan mustahil dia tinggal di dalam sebuah goa…."
Karena batu yang didudukinya
itu agak datar maka orang ini baringkan dirinya. Perjalanan jauh membuat
sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga tiba-tiba dia bangkit
dan duduk di atas batu. Ada suara seperti langkah kaki di sebelah kanan. Namun
memandang ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa. Rasa tegang
perlahan-lahan merayapi hati orang ini.
"Mungkin berbahaya kalau
aku sampai ketiduran…" pikir orang itu. Lalu dia duduk bersila di atas
batu. Sesaat terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti bernama Lamanyala
itu. Dia coba membayangkan bagaimana kirakira sosok dan tampang manusia
bernama Lasedayu. Dalam keadaan seperti itu orang ini tidak mengetahui kalau
dari sebelah atas, sebuah benda besar perlahanlahan melayang turun ke arah
kepalanya. Dia baru menyadari ketika serangkum angin sangat halus menyapu
tengkuknya.
Saat itu bibir lembah di
sebelah timur kelihatan mulai terang pertanda sang surya siap memperlihatkan
dirinya kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas batu dongakkan kepalanya
ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah benda tiba-tiba menekan dari atas, membuat dia tidak
bisa mendongak atau memutar kepala. Dia kerahkan tenaga bahkan tenaga dalam,
tetap saja dia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan benda di atas
kepalanya itu.
"Makhluk kurang ajar!
Siapapun kau adanya pantas kubantai saat ini juga!" Orang di atas batu
membentak lalu secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!
Selarik sinar hijau berkiblat
dalam keremangan di akhir malam yang segera berganti siang itu.
Tindihan di atas kepala orang
ini mendadak lenyap. Satu bayangan berkelebat dua tombak ke atas.
Serangan yang dilancarkan
orang di atas bahu cepat luar biasa. Tapi sasaran yang diserang bergerak lebih
cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau setelah menembus kabut dan udara
kosong menghantam satu pohon hcsar. Pohon ini langsung berubah menjadi Hijau
Ialu meleleh tumbang seolah berubah menjadi lumpur hijaui Benar-benar luar
biasa mengerikan.
" Pukulan Hantu Hijau
Penjungkir Roh!" Satu suara berseru di sebelah atas.
Orang yang lepaskan pukulan
melompat turun dari batu. Ketika dia memandang ke atas, kakinya langsung
tersurut. Sejarak tiga tombak di atas batu dia melihat seorang tua dalam sikap
duduk bersila, mengapung di udara sambil rangkapkan dua tangan di muka dada.
Sepasang matanya memandang tajam pada orang di bawahnya. Satu tangan kemudian bergerak
mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna kelabu.
"Bukan main! Orang tua
itu memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa! Juga ilmu meringankan tubuh yang
sangat langka! Dia mampu mengapung di udara seperti duduk enak-enakan di lantai
yang lembut!"
"Anak muda yang muncul di
penghujung malam, Malam kabut dan udara dingin. Wahai, siapa kau adanya. Apakah
kau berpunya nama?"
Orang di depan batu sesaat
tegak diam tak menjawab. Apa perlu dia menjawab pertanyaan orang itu. Tapi dia
harus mengetahui jelas siapa adanya orang tersebut. Jadi dia memang perlu
membuka mulut untuk bicara.
"Guruku yang pertama
memberi aku nama Lajundai. Guruku yang ke dua menamakan aku Labahala!. Terserah
kau mau memanggil aku siapa! Tapi pantas kau ketahui aku muncul menyandang satu
gelar besar! sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu apakah kau makhluknya
yang bernama.Lasedayu, penghuni dan penguasa Lembah Seribu Kabut ini?!"
Orang tua di atas sana
kerenyitkan kening. Alis matanya yang lebat tebal mencuat ke atas. Lalu tampak
dia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan di atas dada.
"Kau punya dua orang
guru. Tentu kau adalah seorang pemuda sakti. Wahai anak muda, coba kau beri
tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke dua itu!"
"Kau tak layak bertanya
dan aku tak layak menjawab!"
Orang yang mengapung di udara
tertawa datar.
"Jangan tertawa! Tak ada
yang lucu, katakan saja apa kau orangnya yang bernama Lasedayu?!"
menghardik Lajundai alias Labahala.
"Kau seperti orang yang
kesusu. Ada sesuatu yang membuat kau tidak sabaran! Jangan kau keliwat memaksa
anak muda! Pukulan yang tadi kau lepaskan adalah Pukulan Hantu Hijau Penjungkir
Roh. Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh bernama Hantu
Lumpur Hijau yang diam di Kubangan Lumpur. Bagaimana kau bisa memilikinya. Apa
kau murid atau punya hubungan tertentu dengan dirinya?!"
Labahala tertawa lebar. Sambil
angkat tangan acungkan tinju dia berkata. "Aku bukan murid bukan kerabat
Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh itu aku rampas dari
Hantu Lumpur Hijau!"
"Kau rampas dari Hantu
Lumpur Hijau? Wahai! Kau tentu bergurau…."
"Siapa bilang aku
bergurau! Lihat! Aku juga telah merampas beberapa kesaktian yang dimiliki Hantu
Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kau mengenali ilmu kesaktian yang akan
kuperlihatkan ini?!"
Begltu berucap maka tubuh
Labahala berubah menjadi asap berwarna merah lalu tanpa mengeluarkan suara,
bergulung berputar seperti gasing, membentuk kerucut terbalik. Orang tua di
atas sana buka dua tangannya yang disilangkan di depan dada. Dia terkejut besar
ketika merasakan tubuhnya mulai tersedot ke arah kerucut asap itu! Buru-buru
dia mengapung naik sampai setinggi tiga tombak!
‘Ilmu Tangan Hantu Tanpa
Suara!" seru orang diatas sana dengan air muka berubah.
Di bawahnya Labahala hentikan
putaran tubuhnya lalu dia kembali ke ujudnya semula. "Sekarang kau percaya
aku tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?! Dan apakah kau masih belum
mau memberi tahu apakah kau ini Lasedayu atau bukan?!"
"Aku akan memberi tahu
siapa diriku. Tapi aku perlu tahu dulu bagaimana kau bisa mendapatkan semua
Ilmu milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"
"Sudah kukatakan! Aku
merampas semua ilmu itu" jawab Labahala.
*
* *
7
PERLAHAN-LAHAN orang yang
duduk mengapung di udara bergerak turun hingga kini dia hanya lima jengkal saja
dari atas batu datar di hadapan Labahala.
"Aku memang orang yang
bernama Lasedayu. Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam. Aku tidak
membenarkan perbuatanmu merampas ilmu kesaktian para Hantu yang berada di bawah
kekuasaanku. Kau harus kembalikan semua ilmu rampasan itu dengan cara
menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku! Lekas ulurkan dua tanganmu!"
Labahala tertawa bergelak
mendengar kata-kata orang bernama Lasedayu yang bukan lain adalah ayah
kandungnya sendiri.
"Lasedayu, aku memang
sudah mendengar nama besarmu! Tapi bukan berarti aku harus tunduk dan dapat kau
perlakukan seperti Para Hantu lainnya! Aku justru datang untuk memaklumkan
bahwa mulai hari ini kau berada dalam kekuasaanku! Aku adalah Raja Diraja Para
Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu!"
"Siapapun kau adanya aku
tidak peduli! Lekas ulurkan dua tanganmu!" membentak Lasedayu. Tubuhnya
yang mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.
"Lasedayu, kau punya mata
tapi tidak melihat tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa melihat tapi tidak
menampak dan tidak tahu dalamnya lautan Lasamuderahijau! Lihat wajahku
baik-baik!"
Labahala lalu usap wajahnya.
Saat itu juga kepalanya berubah jadi memiliki dua muka berbentuk muka raksasa
berwarna merah! Hidung besar, bibir tebal dilengkapi taring yang mencuat.
Rambut panjang awutawutan dan sepasang mata melotot besar berwarna merah
seperti api!
Lasedayu tersentak kaget,
sampai-sampai melambung satu tombak ke atas.
"Makhluk jejadian! Siapa
kau sebenarnya?!" bentak Lasedayu.
"Aku bukan makhluk
jejadian! Aku adalah Hantu Muka Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh Penjuru Angin
Negeri Latanahsilam! Jangan kau berani bertingkah di hadapanku!"
Dalam kagetnya Lasedayu
menyadari bahwa dia tidak boleh berlaku ayal. Dia maklum kalau makhluk di
hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum terjadi hal yang tidak diingini
dia memutuskan untuk menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa tunggu lebih lama
dia segera lepaskan satu pukulan, mengantar Ilmu kesaktian yang disebut Pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Perut Bumi!.
Serangkum angin sedahsyat
puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu ke bawah. Labahala yang
tidak menyangka bakal diserang secara mendadak begitu rupa berteriak marah
dalam kagetnya dan buru-buru selamatkan diri. Dia melesat ke kiri lalu membuat
gerakan berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang batu besar! Di depan
sana dia menyaksikan bagaimana pukulan Lasedayu yang tidak mengenai sasarannya
menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta terkelupas seluruh
permukaan kulitnya hingga dalam waktu sekejapan mata hanya tinggal bagiannya
yang berwarna putih, lalu roboh tumbang dengan suara bergemuruh!
Sesaat bulu kuduk Labahala mau
tak mau jadi merinding juga. Dalam hati dia membatin. "Mungkin ini ilmu
yang menurut Lamanyala bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumil
Luar biasa! Jika manusia sampai kena sasarannya pasti akan menemui ajal dengan
tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku harus dapatkan ilmu kesaktian
itu! Semua petunjuk Lamanyala ternyata benar adanya!"
Kejut Lasedayu bukan kepalang.
Bukan saja ketika melihat lawan sanggup selamatkan diri dari ilmu kesaktian
yang sangat diandalkannya itu, tetapi juga ketika menyaksikan bagaimana
Labahala tahu-tahu sudah berada di sebelah belakangnya, di balik batu besar.
Cepat Lasedayu berbalik.
Saat itu sinar sang surya yang
baru terbit telah mencapai bibir sebelah timur Lembah Seribu Kabut. Sinarterangnya
jatuh ke pusat lembah, memantul pada sebuah benda kuning yang berada dalam
genggaman Labahala.
Lasedayu lindungi dua matanya
ketika sinar kuning itu menyapu mukanya dan membuat pemandangannya sesaat
menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung di udara dia melesat ke kiri.
Ketika dia bisa melihat dengan jelas kembali kagetnya bukan alang kepalang.
Pemuda bernama Labahala dengan muka raksasa kembar mengerikan itu sudah berada
di depannya. Dalam jarak sedekat itu baru Lasedayu melihat benda apa yang ada
di tangan Labahala.
"Sendok Emas Pemasung
Nasib!" teriak Lasedayu. Kaki kanannya langsung dihantamkan ke arah kepala
Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok emas di tangan lawan menderu
laksana kilat ke arah perutnya.
"Settttt….
Craaasss!" Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur dari
pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan dua telapak tangan untuk menutup
luka besar di perut, membendung muncratan darah. Dengan tubuh sempoyongan dia
melayang turun dan jejakkan kaki di tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat
pemuda bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai. Di tangan kanannya,
di atas sendok emas {bergagang pendek melekat sebuah benda sebesar {ujung ibu
jari kaki, berbentuk daging merah hidup ‘bergerak-gerak! Itulah pusar Lasedayu
yang berhasil [dicungkil oleh Labahala dengan Sendok Pemasung Nasib yang
didapatnya dari kakek bernama Lamanyala!
Dengan kesaktian yang
dimilikinya Lasedayu mampu menutup luka besar di bagian pertengahan perutnya.
Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai bergeletar. Dua kakinya goyah.
Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang dimilikinya
berangsur-angsur sirna. Pandangan matanya yang membeliak besar dan galak kepada
Labahala berubah kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah tidak memiliki
tulang, urat dan otot lagi. Mukanya berubah pucat dan menjadi tiga kali lebih
tua, seolah telah menjadi kakek-kakek!
Labahala tertawa mengekeh
sambil acungkan sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging pusar yang tadi
hidup berdenyut-denyut kini diam dan seolah berubah menjadi batu, menyatu
dengan sendok emas itu!
Labahala tertawa bergefak.
"Lasedayu! Pusarmu sudah berada di tanganku! Kesaktianmu seluruhnya
berpindah ke dalam tubuhku! Ha… ha… ha!"
Labahala gerakkan tangan
kanannya, siap untuk menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu ke balik pakaian
kulit kayu yang dikenakannya.
"Selamat tinggal
Lasedayu! Ha… ha… ha…!"
Sambil memutar badan untuk
berkelebat pergi Labahala masukkan sendok emas ke balik pakaiannya. Namun
mendadak terjadi hal yang tidak terduga.
Didahului satu siuran angin
serta satu gelombang kabut yang menutupi pemandangan, di udara berkelebat satu
bayangan serba putih. Lasedayu mencelat dan terbanting ke tanah oleh sambaran
angin itu sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan sampai beberapa
langkah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri tiba-tiba satu tangan laksana
kilat menyambar ke arah lehernya, seperti pedang yang hendak membabat putus.
Ketika dia berusaha mengelak sambil palangkan tangan kiri tahu-tahu ada lagi
satu tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika menyadari sendok emas
yang masih ditempeli pusar Lasedayu tak ada lagi dalam genggaman tangan
kanannya!
"Jahanam berani
mati!" teriak Labahala marah sekali. Dia hantamkan tangan kiri kanan. Yang
kiri lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang tangan kanan menghantam
pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan ke dua ini baru
saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum mantap namun kekuatannya sanggup
membuat lawan berubah menjadi tulang belulang! Bayangan putih yang diserang
membuat gerakan
aneh. Tubuhnya melesat ke atas
namun di sebelah bawah, ujung pakaiannya yang berbentuk seperti jubah memapas
dahsyat, mengeluarkan angin deras, membuat tanah laksana dilanda gempa.
"Plaakk… plakkkk…
plaakk!"
Dua larik angin pukulan sakti
yang dilepaskan Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting ke tanah.
Begitu dia melompat bangkit bayangan putih tadi telah berkelebat ke arah
matahari terbit dan akhirnya lenyap dalam sinar menyilaukan yang membutakan
pemandangan!
Dua muka raksasa Labahala
menggeram. Dua pasang matanya seperti mau melompat keluar dan taring-taring
dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!
"Jahanam! Dia merampas
sendok emas itu! Kurang ajar! Aku bersumpah mencari tahu siapa adanya bangsat
pencuri itu!" Labahala marah besar. Seperti orang kalap dia menghantam
kian ke mari, menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu tanpa pedulikan
lagi Lasedayu yang tergeletak tak bergerak di tanah, Lajundai alias Labahala
segera tinggalkan tempat itu.
Matahari pagi bergerak naik.
Kabut melayang tu-run ke bagian paling bawah Lembah Seribu Kabut. Lasedayu
mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya yang luka dia berusaha bangkit dan
duduk menjelepok di tanah. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darahnya lalu mencoba bangun berdiri tibatiba dari arah barat bibir
lembah kelihatan nyala api aneh bergerak cepat menuruni lembah. Demikian
cepatnya hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah berada di hadapan Lasedayu.
Lasedayu terkesiap kaget
ketika mengenali siapa adanya makhluk yang tubuhnya dikobari api itu. Dia bukan
lain adalah Lamanyala, kakek sakti yang dulu pernah menjadi Utusan Para Dewa.
Sisi kanan tubuhnya berlubang besar mengerikan. Kakek ini tegak berkacak
pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap mencoba berdiri.
"Wahai Lasedayu, apakah
kau sadar bagaimana kutukanku beberapa puluh tahun silam kini telah menjadi
kenyataan?!"
"Tua bangka jahanam. Kau
rupanya! Apa maksud ucapanmu barusan?!" suara Lasedayu masih keras dan
garang.
"Hidup keluargamu morat
marit! Kau tak tahu dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu dimana ke empat
anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah
kehilangan seluruh kesaktianmu! Kau sekarang tidak beda dengan bangkai hidup
tak ada gunanya! Ha… ha… ha… ha… ha! Dan sekarang kutukan paling menyiksa akan
kau alami!"
Kakek bernama Lamanyala itu
angkat tangan kirinya. Telapak tangan dibuka dikembangkan dan diarahkan pada
Lasedayu.
"Bangkit…. Tegak!
Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari ini kau
akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan
dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur! Ha… ha…ha!"
Lamanyala gerakkan tangan
kirinya. Secara aneh sosok Lasedayu yang tadi susah payah berdiri kini bangkit
tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke atas, berputar dengan kepala
menghadap ke tanah.
Mau tak mau Lasedayu harus
ulurkan tangan menjaga agar bukan kepalanya yang menempel di tanah.
" Bagus Lasedayu! Wahai
bagus sekali! Kau sudah mengerti rupanya! Ha… ha… ha! Kaki ke atas kepala ke
bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk berjalan! Itulah kehidupan
barumu Lasedayu! Ha…ha…ha!"
Lasedayu keluarkan suara menggembor.
Tiba-tiba dia mengejar ke arah si kakek. Seperti yang dikatakan Lamanyala tadi,
Lasedayu benar-benar pergunakan dua tangannya sebagai kaki.
Lamanyala tertawa
terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal Lasedayu! Ha… ha… ha!" Sekali
berkelebat si kakek lenyap ke balik kabut ‘yang menggantung di dasar lembah.
*
* *
8
ORANG TUA berjubah putih itu
melompat ke dalam perahu yang rupanya memang sudah menunggunya di tikungan
sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak pinggiran sungai ke perahu cukup
jauh namun sedikit pun perahu itu tidak bergerak. Jelas dia seorang yang
memiliki ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat tinggi. Selain itu
ada satu hal sangat aneh dan sangat mengerikan pada orang ini yakni bagian
kepalanya. Otaknya tidak berada di dalam batok kepala melainkan berada dan
terlihat menyembul di luar kepala mulai dari atas kening sampai ubun-ubun. Otak
ini terbungkus oleh sejenis selubung bening seperti lapisan kaca dan terlihat
selalu bergerak hidup!
Pemilik perahu, seorang lelaki
muda bermuka hitam penuh ketakutan segera saja mengayuh perahunya menuju ke
hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah tikungan perahu membelok
menyeberang lalu merapat di tepian sungai di mana terdapat sebuah gubuk kecil
tak berdinding. Tanpa berkata apa-apa, orang tua berjubah melompat ke daratan.
Tubuhnya melayang laksana terbang melewati atap gubuk lalu lenyap diantara
kerapatan pepohonan. Waktu membuat gerakan melompat meninggalkan perahu tadi
lagi-lagi perahu itu tidak bergeming sedikitpun.
Pemilik perahu yang kini
merasa lega gelengkan kepala. "Manusia aneh mengerikan! Seumur-umur baru
kali ini aku melihat manusia otaknya berbungkah di luar kepala! Manusia aneh!
Tapi apa betul dia manusia sungguhan? Ihhh! Datang dan pergi bicara.hanya
dengan isyarat tangan dan gerakan mata! Wahai…. Bahkan dia tidak memberi upah
sama sekali!"
Orang ini menghela nafas
panjang. Mendadak pandangannya membentur sebuah benda berkilauan yang menancap
di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda Itu sesaat lalu dicabutnya. Begitu
memperhatikan satu seruan kecil keluar dari mulutnya.
"Orang tua aneh.
Benar-benar aneh! Aku telah berburuk sangka. Ternyata dia meninggalkan
lempengan perak ini sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah gerangan. Aku
pernah menyirap kabar dulu ada seorang tua tinggal di pedalaman sana. Memiliki
ilmu kesaktian yang hampir setingkat kesaktian Para Dewa. apa dia
orangnya?" Pemilik perahu itu timang-timang lempengan perak lalu
menciumnya berulang kali. Orang tua berjubah putih yang otaknya terletak diluar
batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang panjang putih bukan saja
menutupi kepala bagian belakang sampai ke punggung, tapi juga menjulai di
sebelah depan menutupi wajahnya. Walau matanya terhalang namun dia mampu
berlari dengan kecepatan luar biasa. Sesekali dia sengaja menerjang pepohonan
yang menghadang di depannya seperti tidak sabar untuk menghindar. Saat itu dia
memang tengah berpacu dengan waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting.
Kemampuannya untuk sampai di tujuan dalam waktu secepat mungkin akan
menyelamatkan nyawa seseorang. Sambil lari sesekali dia mendongak ke atas
memperhatikan matahari. Kalau dia sampai di tujuan pada saat matahari mencapai
titik tertingginya berarti dia akan gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.
Sambil berlari dalam hati
tiada putusnya dia mengucap. "Lawungu! Jangan kau mati dulu! Wahai Para
Dewa, Para Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit! Tolong sahabatku
itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut keras.
Berlari sejauh lima ratus
tombak orang tua ini sampai di satu kawasan hutan yang banyak ditebari
batu-batu besar. Di satu tempat dia membelok ke kiri dan sampai di hadapan
sebuah lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Tanpa ragu orang tua ini
masuk ke dalam goa itu.
Di dalam goa yang hanya diterangi
oleh sebuah obor kecil, tergolek sesosok tubuh. Kaki kanannya mulai dari
telapak sampai ke lutut diselimuti luka besar yang telah memborok dan menebar
bau sangat busuk.
"Sahabatku Lawungu, aku
merasa bahagia! Hari ini aku dapat melunasi hutang nyawa itu!" Si orang
tua berucap lalu membungkuk. Sosok di lantai goa tidak bergerak. Orang tua ini
sesaat menjadi kecut.
Jangan-jangan dia terlambat!
Orang yang hendak ditolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!
"Lawungu!" Orang tua
itu pegang dada Lawungu, orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi lega begitu
merasakan masih ada denyutan jantung walau sangat perlahan dan lemah. Lalu dia
kerahkan tenaga dalam dan alirkan ke dalam tubuh orang itu. Sesaat kemudian
orang tua bernama Lawungu keluarkan suara mengerang.
"Lawungu! Buka matamu!
Aku datang!"
Lawungu buka dua matanya yang
sejak tadi terpejam. Mengerikan sekali. Sepasang mata itu tertutup genangan
nanah! Orang tua berjubah putih tercekat kaget!
Walau tidak melihat namun
Lawungu masih bisa mengenali siapa yang ada di dekatnya dari suaranya.
Mulutnya terbuka. Suaranya
bergetar.
"Wahai sahabatku Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab, apakah kau berhasil mendapatkan satu-satunya benda
yang mampu menyembuhkan borok, membunuh racun ular dalam darahku dan menyelamatkan
jiwaku?!"
"AkU berhasil sahabatku!
Aku membawanya Lawungu!" Lalu orang tua berjubah putih yang ternyata
adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat terkenal di Negeri
Latanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat tinggi keluarkan sendok emas
dari balik jubahnya. Karena sahabatnya tidak bisa melihat maka Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke tangan kanan Lawungu.
Begitu sendok emas sakti itu
berada dalam genggaman Lawungu, satu hawa aneh menjalar masuk kedalam tubuhnya
lalu mengalir ke dua jurusan yakni kaki kanan dan sepasang matanya. Seperti
bara api kejatuhan tetesan air dua mata serta kaki kanan busuk Berborok dari
Lawungu keluarkan suara "cess…cess…cess!" Lalu ada kepulan asap.
Genangan nanah di duamata orang tua itu seperti mendidih! Tubuh Lawungu
menggeliat dan gerahamnya bergemeletakan menahan sakit yang amat sangat. Namun
penuh harapanLawungu genggam erat-erat sendok emas itu.
"Sendok Pemasung
Nasib…" desis orang tua ini yang usianya hampir seumur Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kau kerjakan. Cepat
lakukan. Aku telah lama menunggu saat ini. Aku sudah siap! Semoga Para Dewa
memberkahimu wahai sahabatku!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab luruskan kaki kanan Lawungu yang telah membusuk. Dia menekan urat besar
di beberapa bagian kaki sebelah atas.
"Tabahkan hatimu wahai
sahabatku!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku tahu sakitnya
seperti ditusuk besi panas! Tapi wahai sahabatku, bertalianlah! Kesembuhan akan
menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"
" Lakukan cepat! Aku
sudah siap sahabatku!" kata Lawungu pula.
Dengan menggigit bibir Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib ke telapak kaki kanan
Lawungu.
"Crosss!"
Darah bercampur nanah dan
daging yang telah membusuk muncrat mengerikan dan menjijikkan. Sendok emas yang
ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan mengerahkan tenaga dalam
amblas ke dalam kaki kanan Lawungu, masuk menembus tulang sampai sebatas
pergelangan kaki! Lawungu menjerit setinggi langit. Dinding dan langit-langit
goa laksana mau runtuh. Lalu dia jatuh pingsan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
sendiri terduduk terkulai di lantai, tersandar ke dinding goa. Keringat
membasahi sekujur tubuhnya.
"Hantu Sejuta Tanya….
Sahabatku…." Lawungu berucap sambil putar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Mataku! Aku bisa melihat
kembali!"
Kakek berjubah putih sibakkan
rambut yang menjulai di depan mukanya lalu memperhatikan dua mata Lawungu.
Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini kelihatan putih bening
dengan dua bola mata hitam, menatap berseri ke arahnya.
"Terima kasih Dewa!"
seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Hantu Sejuta Tanya!
Lihat! Kaki kananku juga sembuh!" berseru Lawungu sambil angkat kaki kanannya
lalu melompat berdiri! Memang sungguh luar biasa. Berkat Sendok Pemasung Nasib
yang kini berada dalam kaki Lawungu, kaki kanan orang tua itu yang tadinya
hanya merupakan borok membusuk kini kembali utuh seperti semula.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab ikut berseru gembira lalu melompat dan memeluk sahabatnya itu. Untuk
beberapa lamanya dua orang tua ini saling berangkulan.
"Kau telah menolongku.
Kau menyelamatkanku dari kematian yang mengerikan!" Apa yang diucapkan
Lawungu memang benar. Kalau sampai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terlambat
menolongnya maka dia akan menemui ajal secara tersiksa karena sebelum menemui
kematian tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan.
"Jangan kau berkata
begitu wahai sahabatku Lawungu! Kau pun pernah menyelamatkan nyawaku. Kau
sembuh berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang, seumur hidupmu kau akan ke
mana-mana membawa sendok sakti itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para Dewa
menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa mengurangi kekuatan dan melenyapkan
kesembuhanmu! Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga dalam serta
kesaktianmu!"
"Setelah sengsara sekian
lama kini aku jadi makhluk paling beruntung!" kata Lawungu pula. Dia
menggosok matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang kali.
"Setelah mendapat
kesembuhan, apa yang akan kau lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab.
"Apakah aku perlu
mengatakan? Lalu apa artinya kau dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab!"
Kakek berjubah putih tertawa
datar. "Aku tahu kau akan mencari nenek berjuluk Hantu Santet Laknat
itu!"
"Perempuan celaka itu
akan kuhajar habis-habisan sebelum nyawanya kubuat minggat dari tubuh!"
kata Lawungu dengan rahang menggembung dan mata membeliak besar. "Aku
tahu, dia yang mengirimkan ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku! Dendam di
masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila! Tunggu bagianmu!"
Saking marahnya Lawungu tendangkan kaki kanannya.
"Braakkk!"
Dinding goa yang terkena
tendangan serta merta hancur, membentuk satu lobang besar. Lawungu terbelalak
dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena sebelumnya walau ilmu kesaktiannya
tinggi namun untuk menjebol dinding goa batu yang sangat tebal itu dengan
tendangan tak bakal mampu dilakukannya. Kini dia sanggup membuat dinding goa
itu berlobang besar hanya dengan satu tendangan yang dilakukan secara tidak
sengaja!
*
9
DI DALAM bangunan batu di
puncak bukit yang kelak di kemudian hari akan dibangun apa yang dikenal sebagai
Istana Kebahagiaan, Lajundai alias Labahala alias Hantu Muka Dua tengah
bermesra-mesraan dengan empat orang gadis jelita. Seorang pembantu memberitahu
bahwa tamu yang sejak lama ditunggu sudah berada di halaman, menunggu izin
untuk masuk.
Biasanya dalam keadaan seperti
itu Hantu Muka Dua akan marah besar jika diganggu. Namun tamu yang datang
memang seorang penting yang sudah ditunggunya sejak lama. Dia telah menebar
selusin orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang Itu. Satu tahun berlalu
baru mereka berhasil. Dengan cepat Hantu Muka Dua mengenakan pakaiannya, lalu
bergegas keluar.
Saat itu matahari yang baru
tenggelam masih meninggalkan sinar kuning keemasan di langit dan menyapu puncak
bukit. Di bawah sinar kekuningan yang mulai pupus berubah menjadi kegelapan, di
bawah bayang-bayang satu batu besar berbentuk pilar tegak berdiri seorang kakek
berwajah tirus, berpakaian compang camping. Di tangan kirinya ada sebuah
tongkat terbuat dari batu yang memancarkan sinar biru redup.
"Hantu Muka Dua,"
sang tamu menegur. "Sebelum pembicaraan dimulai, aku harap jangan
sekali-kali menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi
dan langit bisa mendengar. Angin yang bertiup menebar kabar ke delapan penjuru.
Aku tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat ini!"
Hantu Muka Dua yang saat itu
berpenampilan dalam wajah lelaki separuh baya berkulit kuning di sebelah depan
dan hitam pekat di sebelah belakang diam sejenak mendengar kata-kata tamunya
itu. Lalu perlahan-lahan dia mulai tertawa. Lama-lama tawanya itu berubah
menjadi kekehan panjang.
"Wahai! Tertawa terkadang
bisa menyehatkan tubuh. Tapi bukan mustahil suatu ketika tertawa bisa membuat
seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus yang rupanya tidak
suka mendengar tawa Hantu Muka Dua.
Kalau saja orang lain yang
berkata seperti itu, mungkin Hantu Muka Dua sudah melompatinya dan menghajarnya
habis-habisan. Dia adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam.
Tidak bisa orang lain bicara seenaknya terhadapnya. Tapi karena dia memerlukan
orang itu maka Hantu Muka Dua menahan luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang
tidak sempat berubah menjadi sepasang wajah raksasa yang biasanya terjadi kalau
dia sedang marah.
Hantu Muka Dua hentikan
tawanya. "Kau tak mau disebut namamu! Apa susahnya! Biar aku memanggilmu
dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"
Wajah tirus si kakek yang
memegang tongkat batu biru sesaat tampak berubah. "Kalau kau menyebut aku
Kera Sakti Tak Bernama maka mulai sekarang aku akan memanggilmu Orang Hutan Tak
Berekor. Kau setuju…?"
Amarah Hantu Muka Dua hampir
meledak. Dalam menahan didihan kemarahannya, dua kakinya sampai melesak satu
jengkal ke dalam tanah. Dalam hati dia berkata. "Kalau urusan ini sudah
selesai, akan kusuruh orang mencincang tubuh jahanam satu ini sampai
lumat!"
"Aku setuju saja. Karena
semua orang tahu Orang Hutan jauh lebih pandai dan cerdik dari pada kera
biasa!" Hantu Muka Dua akhirnya lontarkan ucapan Itu lalu sunggingkan
seringai mengejek.
Orang tua yang diberi nama
Kera Sakti Tak Bernama balas menyeringai lalu berkata. "Sekarang katakan
padaku apa keperluanmu meminta aku datang ke tempat ini. Tapi! Sebelum kau
memberitahu aku ingin agar kau lebih dulu membunuh dua belas orang anak buahmu
yang telah kau tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya saat ini juga,
di tempat ini di hadapanku!"
Kejut Hantu Muka Dua bukan
alang kepalang. Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Mukanya yang dua langsung
berubah menjadi muka raksasa berwarna merah dan garang!
"Hemmmm!" Kakek yang
disebut Kera Sakti Tak Bernama bergumam." Kau kulihat marah. Tak ada satu
orang pun boleh marah padaku! Itu aturanku sejak puluhan tahun lalu. Aku tidak
merasa perlu membuat urusan denganmu! Selamat tinggal Orang Hutan Tak
Berekor!"
"Wahai! Tunggu! Jangan
salah sangka! Jangan bercepat marah!" Hantu Muka Dua berseru. Dua mukanya
yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi wajah lelaki separuh
baya.
Kakek bermuka tirus hentikan
gerakannya yang sempat hendak berbalik pergi itu. Dua alisnya naik ke atas.
Tatapannya seperti hendak menembus batok kepala Hantu Muka Dua.
"Sahabatku," kata
Hantu Muka Dua pula dengan suara bergetar karena terpaksa harus menindih
amarah. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala
Nafsu dia benar-benar merasa dikurang ajari dan direndahkan oleh si kakek di
hadapannya itu. "Kuharap kau mau bersabar untuk mendengar satu cerita
mengapa aku sampai memintamu datang ke mari."
"Saat ini aku tidak butuh
ceritamu! Aku ingin kau segera memenuhi permintaanku tadi. Dua belas orang anak
buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kau tidak melakukan, pembicaraan kita cukup
sampai di sini!"
"Mudah saja memenuhi
permintaanmu itu! Tapi apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi penasaran.
"Tadi sudah kukatakan!
Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar! Angin bisa
menebar kabar! Apalagi manusia! Punya telinga, mata dan mulut! Dan jumlah
mereka dua belas orang pula! Kau terima permintaanku atau kau boleh masuk
kembali ke sarangmu di bangunan batu itu!"
"Aku bisa menerima
permintaanmu!" jawab Hantu Muka Dua walau dalam hati dia memaki
habis-habisan. Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk tangan tiga kali.
Seorang gadis berambut panjang muncul. Dia menjura lalu tegak menunduk menunggu
perintah.
"Dua belas orang yang
berada di dalam kebun di belakang bangunan batu, lekas kau suruh mereka segera
ke sini!"
Si gadis rundukkan tubuhnya
sedikit, menjura lalu tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dua belas orang
lelaki muncul di tempat itu. Hantu Muka Dua meminta mereka tegak berjejer di
depan satu dinding batu.
"Kalian telah berjasa
besar berhasil menemui dan meminta kakek ini datang ke sini. Hari ini aku akan
memberi hadiah besar pada kalian!"
Mendengar ucapan Hantu Muka
Dua tentu saja dua belas orang itu menjadi sangat gembira. Sebelumnya mereka
memang telah menerima hadiah dari Hantu Muka Dua karena bisa menyelesaikan
tugas dengan baik. Kini diberitahu bahwa mereka akan mendapat hadiah besar,
tentu saja semuanya merasa senang.
Maka ke dua belas orang itu
tegak berjejer dengan sikap gagah dan wajah berseri-seri.
Hantu Muka Dua gerakkan ke dua
tangannya seperti hendak mengambil sesuatu di balik pakaian kulit kayu yang
dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tangan itu dipukulkannya ke depan. Dua
larik sinar merah berkiblat disusul menderunya dua gelombang angin dahsyat. Dua
belas orang yang berjejer di depan dinding batu keluarkan seruan kaget.
Beberapa di antara mereka yang mengenali pukulan maut itu segera melompat cari
selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa meloloskan diri. Dua belas anak
buah Hantu Muka Dua itu terpental menghantam dinding batu di belakang mereka
lalu jatuh berkaparan. Tubuh mereka mengepulkan asap merah. Begitu asap sirna
kelihatanlah satu pemandangan mengerikan. Sosok dua belas orang itu kini hanya
tinggal tulang belulang berserakan!
Hantu Muka Dua berpaling pada
kakek di depannya. "Kera Sakti Tak Bernama, kau saksikan sendiri kehebatan
pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Aku sudah melakukan apa
yang,kau minta! Apa kau puas?!"
Orang tua itu silangkan
tongkat birunya di depan dada, menyeringai sesaat lalu berkata. "Kau sudah
melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang hendak kau ceritakan
padaku. Apa yang kau tanyakan dan apa yang hendak kau suruh aku
melakukan!"
"Kau pernah mendengar
sebuah benda yang disebut Sendok Pemasung Nasib?" bertanya Hantu Muka Dua.
Kakek yang dipanggil dengan
sebutan Kera Sakti Tak Bernama mendongak ke langit hitam kelam. Sesaat kemudian
terdengar dia berucap.
"Puluhan tahun silam
benda milik Para Dewa itu dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam. Ada kabar
yang mengatakan sendok tersebut sebelum lenyap dipergunakan untuk mencelakai
seorang sakti bernama Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang kakek
pikun, berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan dijuluki Hantu Langit
Terjungkir…"
"Wahai, pengetahuanmu
ternyata cukup luas!" memuji Hantu Muka Dua.
Si kakek menatap lekat-lekat
ke wajah Hantu Muka Dua. "Di antara kabar yang kusirap menyatakan kau
adalah murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan Tak Berekor?!"
Hantu Muka Dua meludah ke
tanah. "Aku tidak berguru pada orang setolol Lasedayu! Justru aku telah
merampas semua ilmu yang dimilikinya karena makhluk tolol seperti dia tidak
layak memiliki berbagai ilmu kesaktian!" Hantu Muka Dua berkata sambil
busungkan dada. "Kau tadi mengatakan sendok sakti itu lenyap. Kau tahu ke
mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang mencurinya atau di mana beradanya
sekarang?"
Kakek di hadapan Hantu Muka
Dua gelengkan kepala.
"Ketahuilah wahai Kera
Sakti Tak Bernama! Aku memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari Sendok
Pemasung Nasib itu sampai dapat lalu menyerahkannya padaku! Aku mendapat kabar
bahwa Hantu Langit Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Jadi kau
punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung Nasib dan membunuh orang bernama
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak kau
lakukan lebih dulu!"
"Apakah Lasedayu masih
diam di Lembah Seribu Kabut?" tanya si kakek.
"Setahuku dia lenyap dari
lembah itu sejak empat puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari tahu di mana
dia berada…."
Kera Sakti Tak Bernama
menyeringai lalu berkata. "Diriku adalah diriku! Aku bukan bangsa manusia
yang suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan mengerjakan apa-apa
sebelum tahu apa imbalan balas yang kau berikan padaku…."
Hantu Muka Dua tersenyum walau
dalam hati dia keluarkan rutukan. "Ketahuilah, sejak aku mempermaklumkan
diri sebagai Raja Diraja di Negeri Latanahsilam ini segala sesuatunya berada
dalam genggaman kekuasaanku, termasuk dirimu! Jika ada orang merasa dan
menganggap diri paling sakti di negeri ini, aku akan menjungkir balikkannya dan
melempar rohnya hingga tergantung antara langit dan bumi semudah aku
membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap mereka yang mau membantuku, tersedia
imbalan yang luar biasa besarnya. Untukmu aku telah menyiapkan satu jabatan
tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kau akan kuberikan kekuasaan penuh
di wilayah Negeri Latanahsilam sebelah timur. Harta kekayaan berlimpah ruah
akan mengelilingimu. Lalu aku tidak lupa menyediakan kesenangan hidup yang
selalu didambakan setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak Bernama, harap kau suka
mengikuti aku masuk ke dalam bangunan batu…."
Hantu Muka Dua putar tubuhnya
lalu berjalan ke arah bangunan batu. Si kakek mengikuti dari belakang namun
diam-diam dia siapkan satu pukulan sakti di tangan kiri sedang ke tongkat batu
biru yang ada di tangan kanannya dia alirkan tenaga dalam. Bagaimanapun dia
masih belum mempercayai manusia bermuka dua yang dijuluki sebagai Hantu Segala
Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.
Masuk ke dalam bangunan mereka
sampai ke sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka Dua bersenang-senang
dengan empat orang gadis cantik. Saat itu ke empat gadis tersebut masih ada di
ruangan tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian. Melihat kemunculan
Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu hendak melanjutkan bermesraan dengan
mereka. Namun betapa terkejutnya ke empat gadis ini ketika Hantu Muka Dua
berkata.
" Harap kalian suka
melayani kakek sahabatku ini!"
Kakek yang diberi nama Kera
Sakti Tak Bernama itu sesaat diam tegak tak bergerak seolah dia tidak tertarik
pada ke empat gadis jelita itu. Tapi begitu Hantu Muka Dua lenyap di balik
sehelai tirai kayu si kakek segera melompati gadis paling dekat, langsung
memeluk dan menciuminya.
. Dari balik tirai Hantu Muka
Dua mengintai menyeringai. "Bandot tua, puaskan nafsumu! Lain hari begitu
kau dapatkan Sendok Pemasung Nasib, dirimu akan kujadikan bangkai tak
berguna!"
10
KITA kembali kepada apa yang
terjadi dengan tiga sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning serta kakek
berjuluk Si Setan Ngompol (baca bagian akhir Bab Lima).
Ketika orang itu memandang tak
berkedip pada sosok tubuh dalam kegelapan yang barusan menyerang mereka dengan
tiga benda menyala seperti bara api.
"Astaga!" kata Naga
Kuning sambil menggamit Wiro. "Makhluk bertangan buntung itu, bukankah dia
yang bernama Latandai alias Hanfu Bara Kaliatus?!"
"Memang dia," jawab
Wiro.
Setan Ngompol pegang erat-erat
bagian bawah perutnya. "Bagaimana dia bisa muncul di sini. Bukankah waktu
itu dia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri bersama walet
terbang…."
"Lihat perutnya,"
balas berbisik Wiro. "Ada cahaya kemerahan. Berarti bara api yang jadi
senjata andalannya masih mendekam di situ. Luar biasa kalau dia masih bisa
hidup!"
Sosok yang tegak dalam
kegelapan itu memang Latandai yang berjuluk Hantu Bara Kaliatus adanya. Seperti
dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Bara
Kaliatus") karena melakukan siasat keji terhadap istrinya yang bernama
Luhsantini, Hantu Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk. Bara api yang ada di
kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam perutnya. Dalam keadaan
menderita luar biasa Hantu Bara Kaliatus melarikan diri, terbang bersama walet
raksasa tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus pergi memencilkan diri ke
satu tempat. Di sini dia bersamadi siang malam di bawah terik sinar matahari
serta dinginnya udara malam. Tak kenal panas tak peduli hujan. Samadinya yang
luar biasa membuat Para Peri menjadi khawatir karena bukan mustahil Hantu Bara
Kaliatus akan mendapat satu kekuatan baru hingga mampu memiliki kesaktian dan
menjadikan bara menyala yang ada dalam perutnya sebagai senjata dahsyat seperti
sebelumnya.
Dugaan Para Peri tidak meleset
malah secara tidak terduga muncul Hantu Santet Laknat Nenek sakti berhati jahat
yang merupakan guru Latandai ini membantu muridnya hingga Latandai berhasil
mendapatkan kesaktian baru. Puluhan bara api yang mendekam dalam perutnya mampu
dilontarkannya keluar lewat mulutnya, dijadikan senjata dahsyat! Berarti apa
yang selama ini disebut ilmu "Bara Setan Penghancur Jagat" akan
muncul kembali di rimba persilatan Negeri Latanahsilam. Bedanya kalau dulu bara
itu berada dikepala dan bagian luar tubuh Hantu Bara Kaliatus maka sekarang
berada dalam perutnya!
Pada pertemuan dengan muridnya
Itu si nenek Hantu Santet Laknat tidak lupa menegaskan kembali perintah yang
pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.
"Dari beberapa tugas yang
aku berikan padamu, baru satu yang kau laksanakan. Kau hanya bisa membunuh
Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya, Latandai?!" tanya
si nenek dengan pandangan mata tajam seperti memantek batok kepala Latandai.
"Mohon maafmu Nek. Aku
memang belum melaksanakan dua tugas lainnya yaitu membunuh Luhsantini istriku
sendiri dan manusia bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu itu…. Aku mendapat
halangan besar ketika hendak melakukannya…."
"Peduli setan segala
macam halangan! Bagaimana pun juga kau harus membunuh mereka atau kau yang akan
kubuat meregang nyawa!"
"Aku akan membunuh mereka
sesuai perintah…."
"Harus kau lakukan!
Apalagi istrimu Luhsantini telah bercinta dengan Lakasipo!"
Berubahlah paras Hantu Bara
Kaliatus mendengar ucapan si nenek. Rahangnya menggembung, gerahamnya
bergemeletakan dan darahnya seperti mendidih.
"Mereka berdua pasti
kubunuh Nek. Pasti!" Hantu Bara Kaliatus menggeram dan kepalkan dua
tinjunya. Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan lebih terang.
"Jangan lupa seorang
pemuda asing dari negeri seribu dua ratus mendatang bernama Wiro Sableng! Kau
juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"
"Akan aku lakukan
Nek," kata Hantu Bara Kaliatus. "Bagus, lebih cepat kau melakukan
lebih baik. Tapi awas dan ingat! Jika kau sampai tidak melaksanakan, hukuman
dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"
"Aku mengerti Nek, semua
perintahmu akan aku laksanakan!" kata Hantu Bara Kaliatus pula seraya
membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan Hantu Santet Laknat tinggalkan
Latandai….
Hantu Bara Kaliatus pandangi
tiga orang di hadapannya dengan mata berkilat-kilat dan pelipis bergerak-gerak.
Lalu dia membentak.
"Kalian tiga makhluk yang
dulu kerdil’. Sebelum kubunuh kalian bertiga lekas beritahu di mana beradanya
kawan kalian bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"
"Kami tidak tahu!"
Naga Kuning yang menjawab.
"Bagus! Kalau begitu kau
yang mati duluan!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar. Otot
perutnya menyentak.
Cahaya merah bergerak dari
perutnya, meluncur ke dada terus ke tenggorokan. Di lain kejap
"wussss!"
Sebuah bara api melesat ke
arah kepala Naga Kuning. Bocah ini berseru keras, jatuhkan diri ke tanah seraya
hantamkan tangan kirinya, membalas serangan orang. Selarik sinar biru menyambar
ke arah perut Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning mendarat telak di perut
Hantu Bara Kaliatus.
"Deessss!"
Naga Kuning, juga Wiro serta
Setan Ngompol melengak kaget ketika melihat bukan saja perut Hantu Bara
Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti yang memancarkan sinar biru itu,
tetapi sinar biru itu sendiri malah berbalik menghantam ke arah Setan Ngompol.
Kakek ini berteriak kaget, selamatkan diri jungkir balik. Air kencingnya
muncrat ke mana-mana!
Melihat ilmu kesaktian Hantu
Bara Kaliatus seperti berlipat ganda dari sebelumnya, Pendekar 212 tak mau
berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan serangan tangan kosong. Hantu
Bara Kaliatus menggeram berang. Dia balas menghantam. Perkelahian seru
berlangsung hebat Masing-masing pihak merasa asing dengan jurus-jurus silat
yang dimainkan lawan hingga ke duanya saling berhati-hati.
Lewat tujuh jurus Hantu Bara
Kaliatus yang hanya memiliki satu tangan itu karena tangan kirinya buntung
sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini, istrinya sendiri) mulai terdesak.
Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai keluarkan ilmu silat "Orang Gila" yang
dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya melesat aneh kian ke
mari. Gerakannya seperti orang mabok. Seolah mudah dipukul oleh lawan tapi
ternyata setiap serangan Hantu Bara Kaliatus selalu meleset Dada Hantu Bara
Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun
lawan memiliki kekuatan luar biasa. Walau tubuhnya sampai beberapa kali
terpental oleh jotosan Wiro, namun dia sanggup berdiri lagi, memasang kuda-kuda
baru dan lancarkan serangan balasan.
Satu kali Wiro sengaja
menghantam bagian perut lawan yang memancarkan sinar merah. Pendekar 212
berseru kaget karena begitu tangannya menyentuh kulit perut lawan, hawa panas
luar biasa menyengat. Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian punggung
telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah seperti terpanggang!
Hantu Bara Kaliatus tertawa
mengejek. Lalu dia buka lebar-lebar mulutnya.
"Wiro! Awas!" teriak
Naga Kuning.
Tanpa diberitahu pun Wiro
sudah maklum apa yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat pemuda ini melompat
ke kiri. Dari samping dia kemudian siap lepaskan satu pukulan sakti. Namun saat
itu Si Setan Ngompol sudah mendahului. Apa yang dilakukan kakek ini sungguh
gila! Pada saat air kencingnya mancur akibat ketegangan luar biasa dia sengaja
menampungnya dengan dua tangan. Lalu dengan jurus yang disebut Setan Ngompol
Mengencingi Pusara air kencing itu dicipratkannya ke arah Hantu Bara Kaliatus.
Walau cuma air tapi karena diberi kekuatan tenaga dalam maka tetesan-tetesan
yang terkecil sekalipun akan sanggup menembus batu!
Hantu Bara Kaliatus tidak mau
berlaku sembrono. Dia tahu ke tiga orang itu adalah orang-orang yang datang
dari negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka begitu air kencing menyiprat
dia segera berkelebat menjauhkan diri. Namun masih ada air kencing yang sempat
mengenai perutnya.
"Cesss… cesss…
cessss!"
Suara seperti benda berapi
terpercik air terdengar berkepanjangan. Asap mengepul dari perut Hantu Bara
Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak mampu menciderai perut
lawan, apalagi sampai menembusnya! Sebaliknya Hantu Bara Kaliatus malah tertawa
bergelak. Sekali dia membuka mulutnya, tiga bara api sekaligus melesat keluar,
melesat ke arah tiga bagian tubuh Si Setan Ngompol yaitu kepala, dada dan
bagian bawah perut! Mendapat serangan tak terduga dan mengarah tiga bagian
tubuhnya itu si kakek jadi kalang kabut. Walau dia bergerak luar biasa cepat,
dia hanya mampu menghindari serangan bara api yang menyambar ke kepala dan
dadanya. Bara api ke tiga, yang menyambar ke arah bagian bawah perutnya tidak
sanggup dielakannya.
"Celaka
perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan muka pucat. Dia telah berusaha
melompat sambil kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan lewat di
bawah selangkangannya, tapi percuma saja!
Naga Kuning dalam kagetnya tak
sempat berbuat apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri berusaha mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya, namun terlambat. Dia akhirnya
memutuskan untuk menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. Masih tetap
terlambat tak ada gunanya!
Dalam keadaan luar biasa
gentingnya itu tiba-tiba dari balik pohon besar berkelebat mengapung satu
bayangan besar disertai bentakan garang.
"Siapa berani mencelakai
tiga saudaraku!"
Satu ringkikan keras
menggelegar.
Lalu "tranggg!"
Bara api yang menyambar
selangkangan Si Setan Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk bola hitam
somplak. Sosok yang mengapung di udara terdorong sampai setengah tombak tapi
masih bisa jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan yang secepat
kilat bisa berubah menjadi kuda-kuda menyerang!
Setan Ngompol jatuh terduduk
di tanah. Sambil usap-usap bagian bawah perutnya dia berulang kali mengucap.
"Nasibmu masih untung
buyungl Ada orang yang menolongmu!"
"Serrrrrr."
Karena diusap-usap dan masih
dalam keadaan cemas tegang, sibuyung akhirnya kembali memancur!
11
HANTU Bara Kaliatus menggeram
marah ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Sebaliknya Wiro dan dua
temannya sama-sama menunjukkan kegembiraan karena yang muncul dan yang barusan
menolong Si Setan Ngompol adalah Hantu Kaki Batu Lakasipo. Dengan hantaman bola
batu di kaki kanannya Lakasipo berhasil membuat mental bara api yang hendak
merenggut nyawa Si Setan Ngompol. Bola batu yang disebut sebagai Bola
Iblis itu kelihatan gompal
besar di salah satu sisinya.
Sejak bentrokan di Gunung
Labatuhitam dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus telah menaruh dendam
kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu Santet Laknat dia
mendapat kabar kalau Luhsantini, bekas istrinya telah bermain cinta dengan
musuh besarnya itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda ketika
dia melihat siapa perempuan berpakaian merah yang tegak di samping Lakasipo
saat itu. Bukan lain adalah Luhsantini, bekas istrinya sendiri!
Bara api dalam perut Hantu
Bara Kaliatus pancarkan cahaya terang. Dari tenggorokan orang ini keluar suara
menggembor. Dia memandang membeliak pada Lakasipo." Makhluk keparat! Aku
memang sedang mencarimu! Sekarang kau datang sendiri antarkan nyawa!"
Lakasipo menyeringai lalu
menjawab. "Kau salah menduga wahai makhluk bermuka manusia tapi berhati
iblis! Aku datang justru hendak menjemput nyawamu!"
"Jahanam terkutuk!"
maki Hantu Bara Kaliatus. Dia alihkan pandangannya pada Luhsantini dan
tumpahkan kemarahannya pada perempuan ini.
"Wahai! Benar rupanya
kabar yang kusirap! Kau telah menjadi gendak lelaki berkaki batu ini! Istri
yang dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang pelacur!"
Wajah cantik Luhsantini
menjadi merah padam. Perempuan ini segera membuka mulut menukas.
"Latandai! Jangan
bermimpi menganggap aku masih istrimu! Perbuatan kejimu telah menyebabkan kita
mencari jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu yang berbisa!
Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan kau masih menyebutku sebagai
istri! Wahai! Apa kau lupa kau pernah hendak membunuhku sampai dua kali? Apa
kau lupa juga telah mencelakai anak kandung darah dagingmu sendiri? Hingga
Lamatahati menjadi cacat seumur hidupnya? Apa kau lupa bagaimana para Peri
mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam dasar samudera!"
"Masih untung anak itu
cuma cacat! Mauku dia harus mati! Karena dia adalah anak haram jadah hasil
hubunganmu dengan pemuda bernama Lasingar yang sudah kuhabisi itu! Kau juga
memberikan tubuhmu pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kau menjadi gendak
peliharaan laki-laki berkaki batu itu!"
"Mulutmu beracun! Hatimu
berbisa! Otakmu kotor penuh pikiran keji! Dulu aku berharap agar Lamatahati,
anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi saat ini aku memutuskan biar
tanganku sendiri menamatkan riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami ibu dan anak
sudah melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara langit dan bumi sudah
lama menunggu rohmu!"
Habis berkata begitu
Luhsantini lalu melompat kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya lepaskan pukulan
sakti bernama Di BalikLabukit Menghancur Lagunung. Kehebatan pukulan ini,
bagian depan sasaran yang kena dipukul tidak akan mengalami cidera atau cacat
sedikit pun. Namun bagian belakang sebaliknya akan mengalami kehancuran
mengerikan!
"Perempuan jalang tak
berguna! Mampuslah kau!” teriak Hantu Bara Kaliatus. Dia menganggap enteng
serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget ketika merasakan
sambaran angin yang sangat dahsyat menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus
segera maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih tinggi dari
sebelumnya! Maka tanpa berlak ayal dia segera balas menghantam dengan pukulan
Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah
Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai anaknya sendiri yang
masih bayi.
Lakasipo cepat dorong
Luhsantini ke samping hingga perempuan itu terjajar sampai satu tombak.
Bersamaan dengan itu Lakasipo
hantamkan kaki kanannya. Bola batu membabat ke perut Hantu Bara Kaliatus. Walau
kesaktiannya berpusat pada bagian perut dan perut itu seolah kebal atos namun
Hantu Bara Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola batu yang membungkus dua kaki
Lakasipo bukan bola batu biasa. Itu adalah hasil pekerjaan santet si dukun keji
jahat bernama Hantu Santet Laknat yang juga adalah gurunya sendiri.
Dua belas larik sinar hitam
menyambar udara kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo berhasil dielakkan
oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat dari hantaman bola batu, Hantu Bara
Kaliatus segera semburkan dua bara api. Dia membuat gerakan seperti hendak
menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba dia membalik dan arahkan semburan bara
apinya pada Luhsantini.
"Luhsantini awas!"
teriak Lakasipo. Dia cepat melompat lalu hantamkan kaki batunya. Namun dua bara
api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap siaga cepat bertindak. Murid
Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga tenaga dalam ini berhasil membuat
mental salah satu dari dua bara api. Celakanya, bara api yang satu lagi masih
terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini arahnya agak meleset.
Didahului teriakan keras
Luhsantini melompat selamatkan diri. Namun seperti hidup dan punya mata bara
api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol yang berada di dekat situ
segera ulurkan tangan membetot Luhsantini hingga perempuan ini terpelanting
jungkir balik.
"Wusssss!"
Bara Setan penghancur Jagat
itu masih sempat menyerempet bahu kiri pakaian merah yang dikenakan Luhsantini
hingga kejap itu juga bahu kiri pakaiannya dikobari api. Luhsantini menjerit
keras. Naga Kuning cepat menolong. Sambil melompat dia kerahkan tenaga dalam ke
mulutnya lalu meniup. Kobaran api yang membakar pakaian Luhsantini serta meria
padam.
"Luhsantini! Kau tak
apa-apa?!" teriak Lakasipo.
Perempuan itu tidak menjawab,
melainkan terus menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus, lancarkan serangan
bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung. Dikeroyok dua Hantu Bara Kaliatus
jadi kelabakan.
Lakasipo bukan saja menggempur
dengan serangan Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga pergunakan tangan kosong,
bertubi-tubi menghantamkan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Luhsantini yang
selama memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata telah mendapat
gemblengan dari seorang tokoh rahasia hingga kalau dulu dia hanya seorang
perempuan yang tidak tahu apa-apa kini berubah menjadi pendekar berkepandaian
tinggi dan menghujani Lakasipo dengan serangan-serangan gencar. Membuat lawan
tidak sempat melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam perut.
Lama kelamaan Hantu Bara
Kaliatus tidak dapat lagi mengimbangi serbuan ke dua orang itu. Dia hanya bisa
melakukan gerakan mengelak atau mundur terusterusan. Kalau sampai Wiro atau
salah satu dari dua temannya ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran celakalah
dirinya. Apalagi beberapa kali pukulan Luhsantini menyerempet tubuhnya. Walau
tidak mengalami cidera berarti namun tubuhnya terasa sakitsakit terserempet
pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung itu. Sadar kalau bahaya besar
bakal mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus keluarkan satu suitan keras. Dalam
gelapnya malam, di udara tiba-tiba melayang satu makhluk besar menebar bau
busuk. Ternyata makhluk ini adalah walet raksasa tunggangan Hantu Bara
Kaliatus.
Kepakan sayap binatang ini
menimbulkan angin luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang yang ada di bawah
sana tergontai-gontai bertahan agar tidak jatuh terpelanting, Hantu Bara
Kaliatus melesat ke punggung walet raksasa. Luhsantini cepat mengenjot tanah.
Sebelum Hantu Bara Kaliatus melesat kabur dia masih sempat daratkan satu
pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung di paha kiri bekas suaminya Itu.
Karena dalam keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak namun masih
sempat terdengar keluhan kesakitan keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus. Walet
hitam juga keluarkan pekik kesakitan pertanda pukulan yang dilepaskan
Luhsantini ikut mengenai tubuh binatang itu!
Luhsantini melompat turun di
tanah, tegak mendongak ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang bahu
perempuan ini.
"Tak usah kecewa. Satu
saat pembalasan akan menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau tidak apa-apa
wahai Luhsantini?" Yang bertanya adalah Lakasipo. Lelaki ini cepat
memeriksa bahu di balik pakaian yang terbakar. Dia merasa lega karena kulit
bahu itu hanya lecet saja.
Luhsantini palingkan wajahnya.
Dia tersenyum pada Lakasipo yang barusan bicara dan mengkhawatirkan,
keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di Gunung Labatuhitam tempo
hari (baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Bara Kaliatus") walau
mereka lama tidak bertemu namun antara ke dua orang ini telah terjalin satu
sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.
Melihat keadaan ke dua kaki
Lakasipo serta mengetahui riwayat lelaki itu di masa lalu timbullah rasa hiba
Luhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa hiba berubah menjadi suka dan
selanjutnya rasa suka itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.
Lakasipo bukan tidak tahu
kalau Luhsantini jatuh hati terhadapnya. Selain itu dia juga mengetahui riwayat
perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Nasib seolah
mempersatukan mereka. Dia tidak bisa menipu diri bahwa dia pun mengasihani dan
menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo terkadang muncul rasa
kebimbangan. Luhsantini memiliki paras jelita. Namun hati Lakasipo seolah
bercabangcabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap perempuan ini dan
dia ingin menemuinya di Gunung Labatuhitam, ingatan dan perasaan Lakasipo terbagi
pada Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan ini entah mengapa dia
selalu terkenang pada dara cantik bernama Luhcinta. Selain itu ada rasa
khawatir kalau-kalau mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani muncul secara
mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah diri menyamak di hati
Lakasipo mengingat keadaan kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola
batu itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna namun dia merasa
seolah-olah itu juga merupakan satu cacat pada dirinya. Dia telah berusaha
dengan berbagai cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi tidak ada
satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah batu tersebut. Satu-satunya
jalan adalah mencari Hantu Santet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk
mengobati memusnahkan santetnya.
Wiro walau gembira melihat
kedatangan Lakasipo namun karena lelaki itu datang bersama Luhsantini maka dia
merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum lama pergi akan muncul kembali di
tempat itu secara tidak terduga. Ingin memberi tahu pada saudara angkatnya itu
Luhsantini berada terlalu dekat. Selagi dia mencari akal bagaimana cara memberi
tahu pada Lakasipo, Lakasipo bertanya padanya bagaimana dia dan kawan-kawan
bisa berada di tempat itu. Wiro lalu menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka
dengar yang membuat mereka berkeinginan untuk melihat dengan mata kepala
sendiri Kincir Hantu itu, sampai pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang
siang dan awal malam tadi.
"Katamu kincir itu lenyap
begitu malam datang. Wahai aku yakin kincir itu masih tetap di tempatnya
semula. Tak mungkin ada yang memindahkan…" kata Lakasipo.
Luhsantini ikut bicara.
"Mungkin sekali ada satu kekuatan sakti menyungkupi rumah dan kincir itu,
membuat mata kita tidak mampu melihatnya. Bukankah orang bernama Lateleng itu
memiliki semacam ilmu asap?"
Lakasipo anggukkan kepala
menyetujui pendapat Luhsantini. "Sejak beberapa waktu lalu aku memang
sudah mendengar cerita mengenai kincir itu. Kita tunggu sampai pagi hari. Aku
juga ingin menyelidik rahasia apa yang ada di balik kincir itu. Aku punya
firasat, jika terjadi satu peristiwa besar di negeri ini yang berkaitan dengan
keanehan dan keanehan itu berakhir pada kematian maka biasanya di belakangnya
Hantu Muka Dualah yang punya pekerjaan. Sekitar empat puluh tahun silam pernah
tersiar berita tentang lenyapnya seorang sakti bernama Lasedayu yang diam di
Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek yang digelari Hantu Langit
Terjungkir. Ada yang mengatakan orang tua ini sebenarnya adalah Lasedayu itu.
Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian setahun lalu tersiar pula berita
menghilangnya se-orang kakek sakti yang biasa dipanggil dengan sebutan Si
Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon punya kebiasaan mengelana ke
berbagai pelosok negeri untuk melakukan pekerjaan aneh-aneh. Mulai dari orang
baik sampai yang jahat. Berita menarik paling akhir yang kudengar ialah rencana
seorang tokoh bernama Lawungu hendak membuat perhitungan dengan Hantu Santet
Laknat yang juga adalah musuh besarku! Di balik semua itu tersiar pula kabar
bahwa tentu Muka Dua mengaku-aku kalau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah
gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri tidak pernah muncul
seolah menyembunyikan diri. Lalu di balik semua keanehan itu muncul Kincir
Hantu dan pemiliknya seorang mengaku bernama Lateleng. Siapa Lateleng ini
adalah satu hal sangat menarik untuk diketahui. bisa jadi dia sebenarnya adalah
Lasedayu. Tapi bukan mustahil pula Lateleng ini sebenarnya adalah Si Tongkat
Biru Pengukir Bumi. Bagaimana memecahkan semua rahasia ini sungguh soal yang
pelik…."
"Kelihatannya memang
begitu, Lakasipo," kata Wiro. "Karenanya sebaiknya kita lebih dulu
mulai dengan menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari gerak
gerik Lateleng yang kulihat siang tadi, dia seperti mencari sesuatu pada diri
orang-orang yang jadi korbannya. Aku curiga, kitab Kesaktian Menguasai Tujuh
Jin adalah cerita kosong belaka! Hanya dipakai untuk menarik perhatian agar
orang-orang berdatangan ke sini untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka dijebak
dan menemui ajal dalam jebakan itu!"
"Tapi setahuku kitab itu
memang pernah ada.
Hanya saja dikabarkan lenyap
lima puluh tahun lalu. Bukan mustahil Lateleng memang memilikinya…" kata
Lakasipo pula.
"Lalu apa sebenarnya yang
dicari kakek teleng itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang datang ke
tempatnya?!"
"Dia sulit dituduh
melakukan pembunuhan. Bukankah orang-orang itu datang sengaja untuk menjajal
kehebatan Kincir Hantu. Apalagi dengan janji akan diberikan kitab sakti kepada
siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali putaran di atas roda
kincir…" jawab Lakasipo pula. Sejenak dia berpikir lalu baru melanjutkan
ucapannya. "Menurutmu, seperti yang kau saksikan dan malah kau alami
sendiri, ada keanehan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu mendadak terasa
berat, tak bisa melompat "
"Keanehan itu bisa saja
hasil perbuatan Lateleng dengan mengerahkan tenaga dalam membuat siapa saja
yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat ke dua kakinya. Tak sanggup
melompat, tak sanggup menghindari benda yang kemudian menabas dua
kakinya…" ujar Wiro.
"Benda yang menabas kaki
itu!" kata Lakasipo pula. "Kau coba menyelidiki apa adanya. Tapi
tidak berhasil. Waktu hal itu akan terjadi, lebih dulu sepasang matamu silau
oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di atas roda kincir…."
"Aku curiga roda itu
dipasangi sesuatu benda yang berkilauan saat kejatuhan sinar sang surya. Sayang
aku tak bisa mencari tahu benda apa itu adanya. Aku coba menghancurkan kayu
roda kincir dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja! Tapi…."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Pada saat korban terakhir, lelaki berjuluk Si Hati Baja menemui ajal,
sebelumnya kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda kincir yang membuat dia
kesilauan. Hal yang sama juga terjadi dengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu
merupakan satu hal yang diandalkan maka aku bisa menduga Lateleng hanya
melayani orang-orang yang datang pada siang hari. Karena pada malam hari tidak
ada sang surya!" Wiro pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala
dia berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul secara tibatiba
menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi jerangkong seperti yang
lain-lainnya itu."
Lakasipo melirik ke arah
Luhsantini dan diam-diam menahan rasa kejut mendengar ucapan Pendekar 212 tadi.
Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan karena Luhsantini berada di
dekat situ. Sebaliknya Luhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau sampai roh
mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di tempat itu secara
tidak terduga, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
Wiro memandang pada dua
kakinya yang hampir amblas di atas putaran roda Kincir Hantu. Kemudian dia
perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja. Lalu dia berkata. "Aku
sepakat denganmu. Besok pagi kita lakukan penyelidikan. Tapi hati-hati.
Lateleng dan Kincir Hantunya bisa menebar maut secara tak terduga…."
"Aku mencari tempat untuk
istirahat dulu. Kalian jangan ke mana-mana," berkata Luhsantini lalu dia
tinggalkan orang-orang itu.
Baru saja perempuan itu lenyap
di balik rerumpunan semak belukartiba-tiba di udara terdengar suara menguik.
Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan malam.
Ketika Wiro mengenali siapa
yang datang, dia segera membisiki Lakasipo. "Hantu Kaki Batu, kau punya
tamu yang tidak terduga. Sungguh bahagia malam ini kau bakal ditemani dua orang
perempuan cantik…."
"Jangan kau berkata
begitu. Bisa saja dia muncul bukan mencariku, tapi mencarimu," sahut
Lakasipo.
"Kita lihat saja,"
kata Setan Ngompol pula. "Jika kalian tidak mau menerimanya, aku tidak
keberatan untuk menemaninya ngobrol sampai pagi hari! Malah kalau perlu
mengobrol sampai mengompol!" Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan.
"Tua bangka gendeng tak
tahu diri!" maki Naga Kuning.
12
MAKHLUK besar yang melayang
turun itu ternyata adalah seekor kura-kura terbang berwarna coklat.
Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis cantik genit
Luhjelita.
Sambil tertawa lebar gadis ini
melompat turun dari atas punggung kura-kura coklat. Sebelumnya secara diam-diam
dia telah menguntit perjalanan Wiro. Gadis ini merasa perlu menemui pemuda itu
untuk menjernihkan perselisihan yang terjadi antara dia dengan Peri Angsa Putih
yang juga menyangkut diri Wiro. Dia berhasil mengetahui kalau Wiro dan dua
kawannya tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat di mana Kincir Hantu
terletak. Maka dia segera mengejar ke sana. Namun dia tidak menyangka kalau di
tempat itu juga ada Lakasipo. Seperti telah dituturkan sebelumnya (baca serial
Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa Putih") sebenarnya Luhjelita pernah
jatuh hati pada Lakasipo. Namun setelah Pendekar 212 berubah sosok menjadi
sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam, kegagahan sang pendekar membuat
hati si gadis kini jadi terpaut pada pemuda itu.
Karena tadi Luhsantini telah
beranjak pergi, Luhjelita tidak tahu kalau perempuan itu juga ada di tempat
itu.
Selagi Luhjelita tegak kikuk
di bawah pandangan Wiro dan Lakasipo, Si Setan Ngompol mendatangi gadis itu.
"Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga bernama Luhjelita. Ini satu pertemuan
tidak disangka. Banyak orang gagah di tempat ini. Siapakah yang kau cari?"
"Jelas bukan mencarimu!
Karena kau tidak termasuk orang gagah!" menyahuti Naga Kuning sambil
monyongkan mulutnya pada si kakek lalu tekap hidung menahan tawa. Setan Ngompol
delikkan mata dan cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning meringis
kesakitan.
Luhjelita tersenyum. "Aku
gembira melihat banyak sahabat di sini. Aku…." Gadis itu memandang pada
Wiro. "Aku ingin bicara denganmu. Wahai…."
"Sebelum kalian berdua
bicara, aku perlu bicara denganmu lebih dulu, Luhjelita," kata Lakasipo.
Sementara itu Luhsantini yang
semula hendak beristirahat membaringkan badan telah berada di tempat itu,
terbangun oleh suara menguik dan deru sosok Laecoklat, kura-kura raksasa
tunggangan Luhjelita. Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu melihat
Luhjelita, Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul gadis itu. Sewaktu
dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus hendak membunuhnya di kawah Gunung
Latinggimeru, Luhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada dalam
dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia berhutang budi dan nyawa pada gadis
berpakaian Jingga itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo dengan
Luhjelita, Luhsantini batalkan niatnya menemui gadis itu. Dadanya berdebar dan
rasa cemburu membuat parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya antara
Lakasipo dan Luhjelita ada hubungan yang agaknya bukan Cuma hubungan biasa.
"Wahai Lakasipo, orang
gagah dan sakti di Negeri Latanahsilam, gerangan apakah yang hendak kau
bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.
"Peristiwa ketika aku
ikut bersamamu ke Goa Pualam Lamerah…" jawab Lakasipo.
"Ah, celaka! Dia masih
ingat peristiwa itu. Bagaimana aku harus bicara…." Luhjelita jadi merasa
tidak enak. Namun sambil lontarkan senyum genit dia berkata.
"Kukira hanya aku saja
yang mengingat-ingat peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah melupakan. Aku
sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah saatnya aku harus ke sana. Mungkin
bersamamu…?"
Lakasipo gembungkan rahangnya pertanda
lelaki ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita barusan. "Aku ingin kau
berterus terang wahai Luhjelita. Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku di
Goa Pualam Lamerah itu?"
Wajah Luhjelita kelihatan
berubah. Sepasang matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam naik ke
atas. "Wahai, Lakasipo. Nada pernyataanmu seperti menuduh! Memangnya apa
yang telah aku lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi tanpa cidera barang
sedikit pun!"
"Bukan mustahil kau
sengaja memancing menjebakku ke goa itu. Karena sebelumnya kau telah berserikat
dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahutahu muncul di tempat itu.
Berniat jahat hendak membunuhku. Sementara kau sendiri lenyap entah ke
mana!"
"Terus terang aku memang
melarikan diri. Tapi aku tidak memancing atau menjebakmu. Kau tertidur di dalam
goa. Mungkin karena keletihan perjalanan jauh. Aku meninggalkanmu di satu
ruangan yang aman lalu melarikan diri karena Hantu Muka Dua hendak
membunuhku!"
"Hantu Muka Dua hendak
membunuhmu? Wahai! Tak percaya aku! Bukankah dia kekasihmu?!"
Wajah Luhjelita menjadi sangat
merah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya. Di batinnya dia berkata.
"Kalau kau tahu wahai Lakasipo, walau sekarang aku tidak lagi tertarik
padamu, tapi waktu itu aku benar-benar jatuh cinta padamu…."
"Mungkin aku bukan gadis
baik-baik Lakasipo. Tapi untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai kekasihku,
walau kiamat Negeri Latanahsilam ini sampai tujuh kali rasanya hal itu tidak
mungkin terjadi…."
"Lalu apakah kau tidak
mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di goa itu?!" tukas Lakasipo.
Luhjelita melirik pada
Pendekar212 Wiro Sableng. Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak ada…. Tidak
ada terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kau berburuk sangka terhadapku.
Apa kau kira aku telah melakukan sesuatu yang tidak senonoh terhadap dirimu?!
Aku tahu di luaran orang menyebut aku sebagai gadis binal tukang rayu dan
tukang bujuk, menebar cinta palsu murahan. Aku tidak sehina itu. Apalagi
terhadap dirimu yang aku…." Luhjelita seolah tersadar. Cepat dia putuskan
ucapannya lalu tutupkan dua tangannya kemukanya.
Lakasipo terdiam. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang bersuara. Lalu terdengar suara Luhjelita menahan
sesenggukan.
Di balik semak belukar gelap,
Luhsantini tegak tak bergerak walau ada gemuruh di dadanya. Dari pembicaraan
antara Lakasipo dan Luhjelita semakin keras dugaan perempuan itu bahwa antara
ke dua orang tersebut sebelumnya pernah terjalin satu hubungan. "Goa
Pualam Lamerah…" kata Luhsantini dalam hati. "Aku pernah mendengar
nama itu sebelumnya. Sikap dan cara bicara Lakasipo tadi seolah menunjukkan
ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini merupakan satu perubahan yang
mendadak sejak dia berada di dekatku? Kasihan gadis itu…. Aku merasa berdosa
kalau mungkin aku merebut kekasihnya…." Memikir sampai ke situ Luhsantini
akhirnya balikkan diri, tinggalkan tempat itu.
Wiro garuk-garuk kepala. Naga
Kuning saling bertukar pandang dengan Setan Ngompol. Naga Kuning berbisik pada
kakek ini. "Aku jadi kepingin tahu apa kelanjutan ucapan gadis itu.
Jangan-jangan dia telah jatuh cinta pada saudara kita itu…."
"Hussss! Jangan kau
berlancang mulut! Melihat gerak-geriknya aku yakin bukan Lakasipo yang
disukainya tapi kawan kita si sableng satu ini!" ujar Si Setan Ngompol.
"Masih lega aku kalau dia
mencintai Wiro, bukannya kau!" kata Naga Kuning kembali menggoda lalu
tundukkan kepala menahan tawa.
Merasa tidak ada gunanya dia
berada lebih lama lagi di tempat itu sementara dia tidak mampu menahan gejolak
hatinya, Luhjelita segera putar tubuh hendak berlalu. Namun suara Wiro membuat
langkahnya tertahan.
"Sahabatku Luhjelita,
tunggu dulu…."
Si gadis turunkan dua
tangannya, menatap ke arah Wiro. Dia diam menunggu apa yang hendak dikatakan
Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu sejak beberapa waktu lalu pendekar
itu menaruh syak wasangka besar terhadapnya. Apakah seperti Lakasipo Wiro juga
hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak? Menambah kekecewaan dan
sakit hatinya?
"Ada beberapa hal yang
ingin kubicarakan denganmu. Tapi tidak tepat waktunya kalau dibicarakan
sekarang…."
Luhjelita jadi lega.
"Pemuda ini jauh lebih punya perasaan dibanding dengan lelaki berkaki batu
bernama Lakasipo itu," kata si gadis dalam hati.
"Tongkat biru itu,"
Pendekar 212 berkata seraya menunjuk ke sebuah tongkat batu yang memancarkan
warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita. "Setahuku kau tidak
pernah membawa tongkat atau memiliki senjata seperti itu. Kalau aku boleh
bertanya, sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang itu milikmu?"
Pertanyaan Pendekar 212 Wiro
Sableng membuat terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Luhjelita sendiri
dan yang ke dua adalah Lakasipo. Hantu Kaki Batu segera berbisik pada Wiro.
"Wahai, kalau kau tidak
menyebut aku sampai tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku sebelumnya
tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap
tanpa diketahui ke mana perginya?"
Wiro anggukkan kepala.
Sepasang matanya tetap menatap Luhjelita. Dia menatap dengan pandangan
biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan hawa amarah atau
kebencian. Hal itu membuat Luhjelita agak lega sedikit Maka gadis cantik dengan
rambut tergulung di atas kepala itu menjawab polos.
"Tongkat ini memang bukan
milikku. Aku menemukannya di satu tempat "
"Apakah kau tahu siapa
pemiliknya?"
"Kalau aku tak salah
menduga tongkat batu biru ini adalah milik seorang bergelar Tongkat Biru
Pengukur Bumi…."
Wiro melirik pada Lakasipo
membuat Luhjelita menduga-duga apa arti lirikan itu.
"Kalau aku boleh bertanya
lagi, di manakah pemilik tongkat itu sekarang berada?" ujar Wiro pula.
"Orang tua itu kutemukan
sudah jadi mayat. Tubuhnya" Luhjelita tidak meneruskan ucapannya, dia
cepat beralih kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya."
"Terima kasih atas
keteranganmu," kata Wiro lalu tersenyum.
Senyuman itu membuat hati
Luhjelita seperti diguyur air yang sangat sejuk. Dia tidak menyangka akan
menerima senyuman itu dari pemuda yang dianggapnya telah membenci dirinya.
"Aku…." Luhjelita
tidak tahu mau bicara apa. Lalu dicabutnya tongkat batu biru dari pinggangnya.
"Tongkat ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkin lebih tepat
jika berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita menyebut "kalian"
namun tongkat biru itu dilemparkannya ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat
menangkapnya. Pada saat tongkat itu berada dalam genggaman Wiro, saat itu pula
Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar kemudian adalah gemuruh
kepakan sayap kura-kura terbang tunggangannya.
*
* *
13
LIMA orang yang berlindung di
balik semak belukar itu memandang tegang tak berkedip ke arah Kincir Hantu yang
mulai berputar menggemuruh begitu sang surya muncul terang di ufuk timur.
"Kincir sudah berputar,
aku masih belum melihat kakek bernama Lateleng itu…" kata Lakasipo. Sambil
bicara dia melirik ke arah Luhsantini yang sejak pagi tadi tak banyak bicara.
"Itu muncul
orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba seraya menunjuk ke depan. "Dia
ada di atas atap rumah kincir!"
Semua mata serta meria
memandang ke atas rumah kincir. Menang benar. Di atas atap kelihatan seorang
yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan karena tertutup caping. Di mulutnya
terselip sebuah pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap di sebelah
belakangnya menancap sebuah bendera berwarna kuning.
Wiro memandang pada semua
orang yang ada di situ. "Kalian sudah siap semua?" Semua yang ditanya
termasuk Luhsantini anggukan kepala.
Lima orang itu lalu keluar
dari balik semak belukar, menyeberangi lapangan. Bergerak menuju Kincir Hantu.
Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro. "Melihat pipa dan warna asap
yang mengepul, aku ingat pada seorang tokoh langka berjuluk Si PenghembuRoh.
Setahuku dia satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian sangat ganas. Dengan
cara meniup asap dia bisa merubah sosok manusia menjadi jerangkong seperti yang
berserakan di ujung lapangan sana…."
"Kalau begitu bangsat tua
di atas atap itu pastilah Si Penghembus Roh itu!" kata Wiro pula.
"Aku ragu. Ciri-cirinya
tidak seperti tokoh langka itu…" jawab Lakasipo pula. Lalu dia hentikan aliran
tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya "duk… duukk… duukk!"
Bola-bola batu yang membungkus kaki Lakasipo mengeluarkan suara keras. Tanah
bergetar dan membentuk lobang-lobang.
Tiba-tiba kakek bercaping di
atas atap rumah kincir bangkit berdiri. Lima orang itu yang berjalan di tanah
lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol belum apa-apa sudah mulai
basah bagian bawah celananya karena tegang.
Di atas atap rumah kincir,
kakek bernama Lateleng sedot pipanya lalu hembuskan asap merah tinggitinggi ke
udara. Setelah itu dia buka capingnya dan menjura ke arah orang-orang yang
berdiri di tanah lapang di depan Kincir Hantu.
"Ada serombongan tamu
datang berkunjung! Aku Lateleng sungguh mendapat kehormatan besar! Tapi mataku
belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan mencari kitab Kesaktian
Menguasai Tujuh Jin! Kau yang berambut gondrong dan kau kakek berkuping lebar
serta kau budak konyol berpakaian serba hitam berambut seperti ijuk! Bukankah
kalian bertiga perantau asing yang kemarin muncul di sini dan sempat membuatku
jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali unjukkan muka di tempat
ini?! Kalau hari ini aku marah besar jangan harap kalian bertiga bisa melihat
matahari tenggelam sore nanti!"
Pendekar 212 angkat tangan
kirinya lalu menjawab. "Aku datang membawa dua teman. Mereka ingin mencoba
kepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kau berani menerima
tantangan?!"
Kakek di atas rumah kincir
menatap tajam pada Lakasipo yang berkaki batu dan Luhsantini. Dalam hati dia
menggeram. "Jahanam berambut gondrong itu! Dia benar-benar membuat
kesulitan besar padaku! Si kaki batu itu mungkin saja dia menyembunyikan benda
yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku tahu betul kehebatan batu yang
dijuluki Bola Bola Iblis itu. Apa aku sanggup menghancurkannya? Lalu perempuan
berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi temanku bersenang-senang. Tapi kini
malah bisa menimbulkan bahaya bagiku!"
Walau hatinya merasa tidak
enak namun kakek. kepala teleng umbar tawa bergelak. "Wahai kalian berlima
dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih merasa segar dan berhati senang.
Tapi dalam sekejap pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah aku
perintahkan pada kalian semua agar segera angkat kaki tinggalkan tempat ini.
Kecuali perempuan berpakaian merah! Dia boleh tetap berada di sini
menemaniku!"
Lakasipo mendengus keras.
Luhsantini perlihatkan muka geram sementara Naga Kuning mencibir dan Si Setan
Ngompol bersungut-sungut Wiro diam sesaat. Lalu sambil menggaruk kepala dia
membatin. "Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu seperti pernah
kudengar sebelumnya…."
"Lakasipo, kakek teleng
itu agaknya jerih melihat bola-bola iblis di ke dua kakimu," bisik Naga
Kuning.
Wiro menggaruk kepalanya
kembali seraya berkata. "Dia mengincar Luhsantini. Tapi bukan mustahil dia
menyembunyikan sesuatu…. Kalau dugaanku betul…."
Sementara itu Kincir Hantu
berputar terus dengan suara menggemuruh menggetarkan tanah lapangan.
"Kakek di atas rumah
kincir!" Pendekar 212 berteriak. "Perempuan cantik baju merah ini
menjadi milikmu jika kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini menjajal
kehebatan kincirmu!"
"Wiro, lancang sekali
mulutmu!" teriak Luhsantini marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol melongo.
Lakasipo pelototkan mata.
Tangan kirinya langsung mencekal tengkuk baju Pendekar 212. Suaranya menggeram
marah ketika berkata setengah berteriak. "Jangan kau berani menjual
sahabat! Perlu apa memaksa kalau si kepala teleng itu takut menerima tantangan
kita?!"
Wiro menyeringai. "Kalau
dia memang takut lebih baik kita tinggalkan tempat ini! Tapi apa tidak
sebaiknya sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu itu! Rumah kincirnya
sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas atap itu sekalian!"
"Weehh! Kemarin garang
amat! Sekarang kecut seperti banci!" mengejek Naga Kuning lalu tertawa
gelak-gelak.
"Mungkin dia perlu diberi
semangat! Diberi minum air kencingku!" menyambung Si Setan Ngompol yang
akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.
Menggelegak amarah Lateleng
mendengar ucapanucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi dia pandai menutupi
sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak.
Di bawah sana Wiro ikut-ikutan
tertawa. Tapi tawa penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan suara mengekeh. Naga
Kuning, Setan Ngompol dan Luhsantini susul menyusul keluarkan tawa.
"Sudah teleng ternyata
pengecut!" berteriak Naga Kuning.
"Kepala atas teleng tapi
kepala bawah tahu perempuan cantik! Hik… hik… hik!" berseru Si Setan
Ngompol.
"Rupanya di sini tidak
ada kaca! Membuat tua bangka itu tidak tahu dia buruk rupa!" menyusul
teriakan Luhsantini.
Ditertawai, diejek dan dicaci
maki seperti itu menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng. Amarahnya meluap.
Darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah terbakar. Berulang kali dia
mengusap mukanya depan belakang seolah ada sesuatu yang berusaha ditahannya.
"Manusia-manusia jahanam!
Siapa pengecut! Siapa penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki batu! Aku
terima kesombonganmu! Silakan melompat ke atas kincir! Aku mau lihat sampai di
mana kehebatanmu!"
Orang tua di atas atap rumah
kincir akhirnya terpancing marah dan menerima tantangan. Padahal semua ucapan
dan ulah Wiro serta kawan-kawannya tadi hanya sandiwara belaka yang sudah
diatur demikian rupa memang untuk menjebak si kakek teleng itu. Begitu
pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama Lakasipo segera melesat ke
atas kincir! Dua kaki batunya hinggap di atas permukaan roda kincir tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, membuat Lateleng merasa jerih lalu diam-diam
alirkan tenaga dalam ke tangan kirinya.
Di saat yang sama Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol serta Luhsantini telah melesat pula ke atas atap rumah
kincir.
"Kalian mau apa?! Lekas
turun!" teriak Lateleng marah.
"Kami hanya mau
menyaksikan permainan gila ini dilakukan tanpa kecurangan!" jawab Wiro seenaknya
tapi tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip Kapak Maut Naga Geni
212. Sepasang matanya meneliti seputar atap rumah kincir. Pandangannya
membentur sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari permukaan atap dan
berada tak jauh dari kaki Lateleng. Murid Sinto Gendeng yang cukup punya
pengalaman tentang berbagai peralatan rahasia segera saja mencurigai tonjolan
kayu itu adalah satu peralatan yang ada hubungannya dengan Kincir Hantu. Mulai
saat itu gerak-gerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu tidak lepas dari
perhatian Pendekar 212.
Si Setan Ngompol tegak di atas
atap sambil pegangi bawah perutnya yang mengucur habis-habisan. Dia menyeringai
kecut, ketika Lateleng melotot padanya. "Aku tidak mau berbuat apa-apa.
Bukankah aku sahabatmu yang akan memberimu minuman penyegar jika kau kehausan?
Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai bersinar terik?" Sambil berucap
kakek bermata jereng ini siapkan pukulan sakti Sct.m Ngompol Mengencingi
Pusara.
Kakek teleng bantingkan
capingnya di atas kepala dan memaki panjang pendek dalam hati. Dia berpaling
pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak acuh sambil mengorek hidungnya, begitu
asyik hingga matanya meram melek. "Aku naik ke atap cuma pingin tahu
permainan sulap apa yang ada di tempat ini!" Naga Kuning berucap sambil
melirik pada Lateleng yang memelototinya. Padahal saat itu di tangan kirinya
dia sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek Langit
Ketika Lateleng berpaling ke
arah Luhsantini, perempuan cantik ini lemparkan senyum manis lalu berkata
dengan suara merdu. "Wahai kakek gagah pemilik Kincir Hantu. Bukankah kau
minta aku menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu menjanjikan diriku
untukmu jika kau menerima tantangan si kaki batu itu? Sekarang aku adalah
milikmu."
Selagi si kakek teleng
kelihatan seperti terkesiap, Luhsantini cabut bendera kuning di atas atap lalu
serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima bendera itu namun dalam
hati dia membatin. "Orang-orang ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu.
Gila! Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan mereka! Jahanam betul!
Untung sampai saat ini mereka masih belum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas
kalian! Yang empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!"
"Kakek gagah, apakah kita
bisa mulai?" bertanya Luhsantini dengan suara merdu serta layangkan
senyum.
"Ya… ya! Kita segera
mulai!" jawab Lateleng. Lalu dia berpaling pada Lakasipo. "Makhluk
berkaki batu, aku belum tahu namamu. Harap suka memberitahu karena aku tidak
ingin kau menemui kematian tanpa aku tahu siapa dirimu sebenarnya!"
" Aku Lakasipo, berjuluk
Hantu Kaki Batu!" jawab Lakasipo.
"Hemmmm…." Lateleng
bergumam. Dalam hati dia merutuk. "Hantu keparat, aku sudah tahu siapa kau
sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Lateleng pindahkan pipanya ke
tangan kiri. Wiro memperhatikan tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran,
pertanda dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan kanan berada di hulu
kapak, Pendekar 212 siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kiri.
Lateleng tancapkan bendera
kuning di roda kincir yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke
pinggiran roda kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir Hantu menggemuruh dan
berputar kencang. Lakasipo mulai berlari-lari di atas roda kincir. Semua orang
yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam sama menyiapkan
pukulan-pukulan sakti. Atap rumah kincir itu agaknya dalam waktu tidak berapa
lama lagi akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!
*
* *
14
GEMURUH suara Kincir Hantu
seolah masuk menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada di tempat itu,
terutama Lakasipo yang berlari melawan putaran roda. Tak lama kemudian bendera
kuning muncul di sisi kanan kincir, bergerak mendekati kaki Lakasipo. Dengan
gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera kuning lewat di bawahnya bersama
kucuran air menuju ke sisi kiri.
Mulut Lateleng tampak
menyeringai namun dibawah caping yang melindungi sebagian mukanya, sepasang
mata kakek ini melirik tajam kian ke mari, memperhatikan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan kawan-kawannya.
"Dua!" seru Lateleng
sambil ketukkan pipa ke pinggiran roda kincir begitu bendera kuning lewat di
bawah kaki Lakasipo. Putaran kincir berubah tambah kencang. Suara gemuruhnya
menggetarkan rumah kincir serta lapangan di bawah sana. Lakasipo mempercepat
larinya. Setiap saat lelaki ini saling memberi isyarat mata dengan Pendekar 212
Wiro Sableng. Tapi semua gerak-gerik ke dua orang ini tidak lepas dari
perhatian si kakek teleng.
Tak selang berapa lama bendera
kuning muncul lagi di sisi kanan. Lateleng cabut pipanya lalu kepulkan asap
merah ke udara.
“Tiga!" Kincir Hantu
berderak keras lalu berputar lebih kencang. Gemuruh suaranya kali ini seolah
hendak meruntuhkan langit dan menjungkir balikkan rumah kincir, membuat
orang-orang yang ada di atas atap bangunan tergontaigontai dan sesekali terlonjak
ke atas.
"Lakasipo! Kau harus
bertahan! Putaran kincir hanya tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu akan
segera menjadi milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa
menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"
Lakasipo tidak acuhkan ucapan
orang. Dia sudah mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek itu berusaha
mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak tawanya. Lakasipo malah
kerahkan tenaga dalam ke arah kaki. Terjadilah hal yang hebat. Kaki-kaki batu
itu menghantam kayu hitam roda kincir, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk
berkepanjangan diseling suara berderak seolah kincir itu siap untuk runtuh
hancur berantakan. Walau demikian, luar biasanya tidak ada bagian kincir yang
pecah atau rusak.
Lateleng sesaat menjadi cemas.
Namun seringai segera tersungging di mulutnya ketika bendera kuning muncul
kembali di sisi kanan sebagai penutup putaran yang akan berakhir begitu
mencapai sepasang kaki batu Lakasipo.
"Saatmu akan segera
sampai Lakasipo! Nyawamu tak akan tertolong!" kata Lateleng dalam hati.
Dia sedot pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang yang ada di atas
atap.
Walaupun dua kaki batu itu
tampak berat sekali menghunjam roda kincir namun dengan kesaktiannya yang
ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo mampu berlari ringan. Dia kelihatan
tenang-tenang saja padahal dadanya menggemuruh dilanda kecemasan. Wiro dan yang
lain-lainnya saat itu telah berada di puncak ketegangan.
Bendera kuning bergerak cepat.
Hanya tinggal dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.
"Lakasipo! Kau memang
hebat! Aku tidak menyesal menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin
padamu!" berseru Lateleng. Lalu kakek ini keluarkan suitan keras dan
panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kaki kirinya bergerak menginjak
tonjolan kayu yang menyembul di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan suara
gemuruh dahsyat menyeramkan. Di antara suara gemuruh itu terdengar suara aneh.
"Clak… clak… clak!"
Dari pinggiran roda kereta
mendadak mencuat sinar putih menyilaukan, menyambar wajah Lakasipo, membutakan pemandangannya.
Luar biasanya cuatan sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata semua
orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar menyilaukan itu sempat membutakan
pemandangan mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu bergerak.
"Celaka! Aku tidak bisa
mengangkat dua kakiku!" teriak Lakasipo.
Lalu "traannggg!"
Kaki batunya sebelah kiri dihantam benda keras tajam berkilat hingga terbelah
dua. Lateleng buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan asap merah ke arah Wiro
dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut bergerak menghantam. Selarik sinar
hijau menderu ke arah tiga sasaran yakni, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Siapa saja yang
terkena akan menemui ajal dengan tubuh hijau meleleh seperti lumpur!
Walau semua itu terjadi dengan
cepat namun Wiro sempat menyadari bahwa Lateleng sama sekali tidak menyerang
Luhsantini! Apakah ini karena dia memang tidak ingin menciderai perempuan yang
dijadikannya teman bersenang-senang itu atau ada alasan lain.
Wiro dan tiga orang lainnya
yang sejak tadi sudah mengambil sikap penuh waspada, begitu melihat Lateleng
berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke empat orang ini
segera menghantam ke arah Lateleng yang saat itu telah pula melancarkan pukulan
sakti Hantu Hijau Penjungkir Langit.
Wiro lepaskan pukulan Sinar
Matahari lalu jatuhkan diri dan bergulingan di atas atap. Kapak Naga Geni 212
yang sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah tonjolan kayu yang dipijak
Lateleng. Bukan saja dia hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu
tapi sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri Lateleng. Namun si kakek
bertindak cepat selamatkan kakinya. Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk
menendang kepala Wiro, Si Setan Ngompol dan Naga Kuning telah lebih dulu
menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi kakek ini terdorong jatuh ke bawah.
Bahunya menghantam pinggiran roda kincir. Satu jeritan dahsyat menggelegar dari
mulut Lateleng. Darah tampak mengucurdari bahu kirinya akibat benturan dengan
lempengan benda tajam putih yang mencuat di pinggiran roda kincir. Ketika jatuh
ke tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit selangkangan Si Setan Ngompol hingga
wajahnya dan kepalanya basah kuyup oleh kucuran air kencing!
Di atas atap rumah kincir
letusan-letusan dahsyat menggelegar seperti mau meruntuhkan langit. Pukulan
sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap merahnya yang bisa
merontokkan daging tubuh Itu bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari yang
dilepaskan Wiro, pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang dilepaskan Setan
Ngompol serta pukulan Naga Kuning Merobek Langit yang dihantamkan Naga Kuning.
Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung yang
dilepaskan Luhsantini.
Atap rumah kincir hancur
berantakan dan beterbangan di udara. Rumah kincir roboh bergemuruh. Kincir
Hantu bergetar hebat lalu ambruk jadi tiga bagian, menggelinding di tanah
lapang.
Pada saat letusan menggelegar
Lakasipo cepat mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya membuat gerakan jungkir
balik di udara, melayang turun ke tanah dengan kaki lebih dulu.Tubuh dan
pakaian mereka kotor oleh hancuran atap dan bangunan rumah kincir.
Di bagian lapangan yang lain
Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah lebih dulu melompat ke tanah simpan Kapak Naga
Geni 212-nya lalu lari ke arah Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sedang
bergumul dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi mengenakan capingnya
yang telah mental hancur akibat tersambar letusan di atas atap. Kitab yang ada
di bawah caping itu ikut musnah dan tidak diketahui apakah benar-benar kitab
asli atau hanya tiruan belaka.
Digumul berdua Lateleng
menghantam kian kemari, membuat Setan Ngompol dan Naga Kuning berpelantingan ke
tanah. Ke dua orang ini cepat bangkit menyerang. Mereka tidak mau kehilangan si
kakek teleng yang jelas hendak coba melarikan diri. Naga Kuning hanya sempat
menarik celana panjang si kakek hingga Lateleng melarikan diri cuma mengenakan
baju dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia kelabakan dengan luka
di bahu kirinya.
"Bahuku… darah…. Aku
terlukai Wahai!" Sambil lari Lateleng mengeluh tak berkeputusan. Tangan
kanannya memegangi bahu kiri sementara tangan kiri yang terluka itu dicobanya
untuk mengusapi kepalanya depan belakang.
Lakasipo dan Wiro berusaha mengejar.
Namun gerakan mereka mendadak tertahan ketika memperhatikan ke depan, kepala
Lateleng telah berubah. Kakek itu kini memiliki satu kepala dengan dua muka.
Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!
"Astaga! Hantu Muka Dua!
Dia Hantu Muka Dua!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam! Kau mau lari ke
mana!" teriak Lakasipo lalu lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Lima
larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana Lateleng yang memang
sebenarnya adalah Hantu Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya noda-noda
kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah. Wiro dan Lakasipo sama-sama
terduduk di tanah. Selagi Lakasipo pandangi batu di kaki kanannya yang kini
hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangkit berdiri. Dia melangkah menghampiri
salah satu hancuran roda kincir. Ketika Wiro memeriksa ternyata di sepanjang
pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan baja putih berbentuk
empat persegi yang ujungnya sangat tajam. Dengan menekan alat rahasia berupa
tonjolan kayu di atas atap, baja-baja putih itu mencuat keluar dari balik
lapisan kayu, memantulkan sinar menyilaukan begitu kejatuhan sinar matahari dan
menabas kaki orang yang ada di atasnya!
"Cerdik dan keji!"
ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala. "Yang aku belum mengerti mengapa
Hantu Muka Dua melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya yang dicari bangsat
kepala dua itu? Senjata sakti mandraguna…?" Sambil garuk-garuk kepala
Pendekar 212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan roda kincir lalu
melangkah mendapatkan Lakasipo untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu.
Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba seorang kakek berpakaian
ungu gelap penuh debu. Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada di
tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati Lakasipo yang masih terduduk di
tanah, didampingi Naga Kuning, Luhsantini dan Si Setan Ngompol.
Kakek tak dikenal itu berhenti
di hadapan Lakasipo, sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu itu lalu setelah
melirik pada sepasang kaki batu Lakasipo dia berkata.
"Puluhan hari aku habisi
untuk melakukan perjalanan ini. Ternyata tidak sia-sia. Wahai, apakah kau orang
yang bernama Lakasipo, bergelar Hantu Kaki Batu?"
Lakasipo tidak segera
menjawab. Dia menaruh curiga pada kakek tak dikenalnya itu. Khawatir
kalau-kalau si kakek adalah kaki tangan atau anak buah Hantu Muka Dua. Wiro
membuka mulut memberi jawaban.
"Dia memang Lakasipo. Kau
sendiri siapa adanya Kek?"
Yang ditanya palingkan
kepalanya ke arah Wiro, pandangi Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke kaki
lalu berkata. "Orang muda kau adalah manusia hebat dalam kesederhanaan.
Hidupmu penuh suka karena begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu. Penuh
suka walau ujian dan bahaya mengancam di mana-mana. Aku senang bertemu denganmu
"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Kek, apa mungkin kau seorang juru ramal?!" tanya Wiro pula.
Kakek berpakaian ungu itu
tersenyum. "Aku datang dari jauh mencari Lakasipo untuk menyerahkan satu
benda sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana selama beberapa
tahun." Habis berkata begitu si kakek lalu duduk di hadapan Lakasipo. Dia
singsingkan bagian bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki
kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di situ, si kakek hantamkan
tangan kanannya ke pergelangan kaki kanan.
"Praaakk!"
Kaki hancur dan tulangnya
patah. Anehnya tak ada darah yang mengucur! Enak saja kakek ini tarik kakinya
yang patah itu lalu dari dalam rongga tulang kakinya dia mengeluarkan sebuah
benda berupa sendok bergagang pendek terbuat dari emas. Pada bagian sendok yang
ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan yang sudah membatu dan menempel erat
kedasar sendok. Semua orang jadi merinding menyaksikan apa yang dilakukan si
kakek.
"Sendok ini bukan benda
sembarangan. Bernama Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan serahkan pada
seorang bernama Lasedayu yang dikenal dengan julukan Hantu Langit Terjungkir.
Dia pernah tinggal di Lembah Seribu Kabut. Di mana dia berada sekarang tidak
kuketahui…."
Tidak peduli orang yang jadi
kaget mendengar kata-katanya, dan tidak peduli apakah orang mau memenuhi
permintaannya si kakek masukkan sendok emas itu ke dalam genggaman tangan kanan
Lakasipo. Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak berusaha menolak. Malah dia
memperhatikan apa yang kemudian dilakukan kakek yang duduk di depannya itu.
Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang hancur patah. Lalu dia mengusap
satu kali, meniup satu kali. Kaki yang hancur patah itu utuh kembali!
Wiro garuk-garuk kepala. Naga
Kuning melongo monyong. Si Setan Ngompol mendelik menahan kencing sedang
Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah tangan kanan Lakasipo.
" Kek, siapa kau ini
adanya?" tanya Lakasipo ketika dilihatnya kakek itu bangkit berdiri. Dia
segera pula bangun dari duduknya.
Si kakek tersenyum.
"Wahai! Namaku bukan satu hal yang penting. Selamat tinggal orang-orang
gagah…." Sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu sudah berada di
ujung lapangan lalu lenyap.
"Gila!" Pendekar 212
berkata setengah berseru.
"Eh, siapa yang
gila?!" tanya Naga Kuning.
"Hantu Muka Dua! Untuk mendapatkan
sendok butut itu saja dia sampai membunuh lima belas orang. Aku dan Lakasipo
hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk kepala.
"Walau Hantu Muka Dua
gila atau edan tapi masih sempat meninggalkan satu kenang-kenangan untuk
sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga Kuning.
"Apa maksudmu bocah
geblek?!" kata Setan Ngompol sambil delikkan mata.
Dari balik punggungnya Naga
Kuning keluarkan celana milik Hantu Muka Dua yang berhasil dibetotnya hingga
lepas tertinggal.
"Kek," kata Naga
Kuning pula sambil tersenyum pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua sengaja
meninggalkan celana ini karena dia tahu kau tidak punya celana. Yang sekarang
kau pakai selain tak pantas disebut celana juga sudah leleh bau pesing! Nah
ambillah celana pemberiannya ini, segera pakai. Tak usah malu-malu!" Habis
berkata begitu Naga Kuning tertawa cekikikan dan lemparkan celana Hantu Muka
Dua hingga menyangkut di bahu kiri Si Setan Ngompol.
"Anak kurang ajar! Berani
kau mempermainkan aku! Siapa sudi memakai celana makhluk jahat itu!" kata
Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.
"Yang jahat Hantu Muka
Dua. Celananya ‘kan tidak Kek!" jawab Naga Kuning pula.
"Bocah sialan!"
mengomel si kakek tapi tangannya kemudian mengambil celana itu dari bahunya.
Lalu masih pelototkan mata pada Naga Kuning dia melangkah ke balik semak-semak.
Semua orang yang ada di tempat itu tertawa bergelak. Tak lama kemudian sebuah
benda melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga Kuning. Bocah ini
kelagapan kalang kabut dan memaki panjang pendek. Ternyata yang menyungkup
kepalanya itu adalah celana basah kuyup bau pesing milik Si Setan Ngompol!
TAMAT