Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
072 Purnama Berdarah
1
HUJAN lebat mendera Pantai
Selatan. Suara hujan yang diterpa hembusan angin keras yang datang dari laut
menimbulkan suara menggidikkan di telinga siapa saja yang mendengarnya. Di
bawah hujan lebat itu seorang penunggang kuda memacu tunggangannya sepanjang
tepian pantai, menembus hujan dan deru angin ke arah timur. Tepat di satu bukit
karang yang menjulang orang ini hentikan kudanya. Sambil menepuk tengkuk
binatang itu dia berkata. “Jangan ke mana-mana. Tunggu di sini sampai aku kembali!”
Seperti mengerti akan ucapan
orang, kuda itu mendekatkan kepalanya ke bahu tuannya dan menjilat bahu itu
beberapa kali. Ketika petir kelihatan menyambar di tengah laut, penunggang kuda
tadi telah lenyap dari tempat itu. Dia melompat ke sebuah celah sempit di kaki
bukit karang. Di dalam celah itu ada bagian bukit yang berbentuk seperti tangga
kasar. Orang ini menaiki tangga itu dengan gerakan cepat. Tangga batu karang
itu licin dan ada yang berselimutkan lumut. Hujan lebat membuat udara menjadi
redup gelap. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi tak mungkin orang itu bisa
menaiki tangga batu begitu cepat.
Di puncak tangga batu
membentang sebuah pedataran batu yang penuh dengan gerunjul-gerunjul karang
runcing. Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit berbentuk dinding setinggi
lima tombak. Pada salah satu bagian di kaki dinding inilah kelihatan sebuah
lobang besar yang merupakan mulut goa. Orang tadi bergegas menuju pintu goa. Di
mulut goa dia berhenti sebentar. Dia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut
lalu baru masuk ke dalam.
Bagian dalam goa batu karang
itu terasa hangat dan merupakan satu terowongan lurus sedalam sepuluh tombak.
Di ujung terowongan kelihatan menyala sebuah lampu minyak yang meliuk-liuk
terkena tiupan angin dari luar. Di belakang lampu ini terhampar sehelai kulit
binatang yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang berupa kepala seekor
srigala menghadap ke dinding goa sebelah kiri. Di atas kulit binatang itu, di
sebelah kanan tampak satu sosok tubuh terbalut kulit binatang tegak kepala di
bawah kaki ke atas. Kedua telapak tangan menjejak kulit di lantai goa sedang
sepasang kaki bersilang di sebelah atas. Rambutnya yang panjang riap-riapan
terjulai ke bawah dan wajahnya tertutup oleh janggutnya yang panjang menjulai.
Udara di dalam goa itu menebar bau tidak sedap.
Orang yang barusan masuk dalam
keadaan basah kuyup sesaat tegak memperhatikan sosok tubuh yang tegak kepala ke
bawah kaki ke atas itu. Lalu mulutnya terbuka berucap, “Eyang Srigala Karang,
saya datang untuk kedua kali!”
Tubuh yang tegak kaki ke atas
kepala di bawah itu tidak bergerak. Namun di balik janggut panjang yang
menutupi hampir keseluruhan wajahnya, sepasang matanya terbuka sedikit.
Menyusul mulutnya bersuara, “Kemala, kau datang untuk kedua kali. Berarti hatimu
telah tetap untuk meminta agar aku meluluskan keinginanmu?!”
“Betul sekali Eyang Srigala
Karang.” Orang ini ternyata adalah seorang perempuan.
“Bagus kalau begitu. Aku sudah
katakan bahwa sekali kau memutuskan meminta bantuanku, berarti kau harus memenuhi
segala syarat dan aturan!”
“Saya akan memenuhi,” jawab
Kemala yang pakaian dan rambutnya basah kuyup.
“Aku sudah katakan. Kalau kau
melanggar syarat dan aturan maka apa yang kau minta akan berbalik mencelakai
dirimu sendiri!”
“Saya sudah mengerti hal itu
Eyang.”
“Apa yang kau minta segera
terkabul. Setelah kau melihat sendiri nanti, maka baru aku akan mengatakan
syarat-syaratnya.”
“Eyang, apakah tidak sebaiknya
Eyang mengatakan lebih dulu syarat-syarat itu?” ujar Kemala.
“Kau yang meminta bantuan, aku
yang menentukan syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi syarat yang tidak
sukar?”
Orang yang berdiri di depan
lampu minyak diam sejurus. Maka terdengar orang yang disebut dengan Eyang
Srigala Karang itu berkata. “Aku tidak suka pada orang-orang yang datang dengan
hati meragu bimbang. Jika perasaan itu ada dalam hati sanubarimu, cepat-cepat
saja meninggalkan goa ini! Aku tidak punya terlalu banyak waktu mengurusi tamu
sepertimu! Aku mau dengar jawabanmu!”
“Saya tidak ragu. Apapun nanti
syarat dari Eyang akan saya penuhi.” kata Kemala pula.
Eyang Srigala Karang keluarkan
suara tawa mengekeh, membuat orang di depannya sesaat jadi tercekat. “Aku akan
pertemukan kau dengan makhluk yang akan menjadi sahabat dan suruhanmu!” kata
Eyang Srigala Karang. Lalu tangan kiri sang Eyang tampak terangkat dari atas
tikar kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah kepala srigala yang
dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali berturut-turut. Pada akhir
usapan ketiga tiba-tiba asap kelabu mengepul keluar dari dua telinga, mata, dan
hidung yang ada di kepala srigala yang telah dikeringkan itu. Bersamaan dengan
itu terdengar suara seperti gerengan atau auman binatang. Demikian kerasnya
suara ini hingga lantai dan dinding goa bergetar. Kemala tercekat sesaat. Kedua
matanya dibuka lebar-lebar. Dia menyaksikan bagaimana kepulan asap itu
berbuntal menjadi satu. Lalu berubah menjadi sosok seekor binatang buas berupa
srigala yang mengerikan. Kedua mata binatang ini berwarna merah, laksana bara
api. Telinganya mencuat ke atas. Mulutnya sampai ke gigi, taring, dan lidahnya
tampak basah oleh darah. Begitu juga dua kaki depannya yang memiliki kuku-kuku
panjang runcing. Binatang ini berputar menghadap ke arah Kemala lalu menggereng
keras. Kemala merasakan nyawanya seperti terbang. Tapi perempuan ini cepat
menguasai dirinya kembali.
“Kawanmu ini harus kau panggil
dengan nama Datuk. Jika kau ingin menemuinya dan menyuruh dia melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang menjadi keinginanmu, maka kau cukup menyebut namanya tiga
kali berturutturut. Dia akan muncul di hadapanmu menunggu perintah. Dia hanya
akan melakukan satu perintah saja yaitu mencabik-cabik sampai mati setiap orang
yang kau inginkan. Namun ingat, pembunuhan itu hanya bisa kau lakukan pada
malam bulan purnama. Lain dari saat yang telah ditentukan itu, Datuk tidak akan
melakukannya. Dia hanya akan berkeliaran di mana-mana atau muncul jika kau
panggil, tapi tidak akan melakukan perintah membunuh!”
“Mengapa Datuk hanya bisa
melakukan pembunuhan pada malam bulan purnama saja Eyang?” tanya Kemala.
“Begitu yang telah ditentukan
oleh alam gaib dan ilmu gaib. Tak seorang pun bisa merobahnya. Malam bulan
purnama adalah malam yang indah. Malam kebanyakan orang lelaki dan perempuan
saling bermesraan dan merasakan saat-saat paling bahagia!” jawab Eyang Srigala
Karang. “Kau harus menerima ketentuan ini. Kau telah berjanji.”
“Ya, saya menerimanya Eyang,”
kata Kemala pula dengan suara perlahan.
Eyang Srigala Karang tertawa
mengekeh. “Aku tahu, kau ingin membunuh dan membunuh sebanyak dan secepat
mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti, dalam waktu singkat puluhan orang akan
menjadi korbanmu. Sekarang siapkan dirimu untuk menerima syarat-syarat yang
harus kau lakukan.”
Kemala tegak lurus-lurus tak
bergerak.
“Syarat pertama! Setiap
setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga malam purnama, seorang pemuda
yang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti srigala akan muncul di
kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya
termasuk bermesraan dengannya…”
“Eyang!” seru Kemala terkejut
sekali dan parasnya langsung berubah.
“Kau tak boleh menolak, tak
layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dirobah! Ingat ucapan-ucapanku
sebelumnya!”
“Tapi Eyang, saya…”
“Berani kau bicara lagi maka
Datuk akan kusuruh mencabik-cabik sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai
kaki!”
Datuk, si srigala bermata
merah itu keluarkan suara lolong raungan keras. Dua sinar merah api seperti
berkelebat keluar dari kedua matanya, menyambar ke arah Kemala. Gadis ini tersentak
mundur.
Eyang Srigala Karang kembali
mengekeh. “Datuk, mulai saat ini kau bertuan pada gadis di hadapanmu ini. Ikuti
segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat, kau hanya boleh membunuh pada
malam bulan purnama!”
Srigala itu kembali meraung panjang.
“Sekarang kau boleh pergi
Datuk!”
Eyang Srigala Karang mengusap
kepala srigala yang sudah dikeringkan tiga kali berturut-turut. Binatang
bermata merah itu perlahan-lahan berubah menjadi asap lalu lenyap dari
pemandangan.
“Syarat kedua dan terakhir!”
terdengar Eyang Srigala.
Kemala terdiam. Sepasang
matanya menatap ke arah wajah yang tertutup janggut itu.
“Tanggalkan seluruh
pakaianmu!”
Kemala seperti mendengar petir
menyambar di depan hidungnya! “Apa kata Eyang?!”
“Tanggalkan semua pakaian yang
melekat di tubuhmu!”
“Apa maksud Eyang?!” tanya
Kemala. Suaranya keras pertanda ada hawa amarah memasuki dirinya.
“Apa maksudku tak perlu kau
ketahui! Aku memerintahkan supaya kau membuka seluruh pakaianmu! Seka
rang juga! Ini syarat yang
harus kau lakukan!”
“Syarat gila!” teriak Kemala.
Eyang Srigala Karang tertawa
panjang. “Jika kau menolak perintah, Datuk akan muncul membunuhmu!”
“Saya tidak takut! Syarat yang
Eyang katakan tidak mungkin saya lakukan!”
“Apa sulitnya membuka
pakaian!”
“Membuka pakaian memang mudah!
Tapi ada maksud busuk dalam diri Eyang hendak mencemari saya!”
Eyang Srigala Karang kembali
tertawa. Begitu suara tawanya sirap dari mulutnya keluarlah suara seperti
raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap gulita.
Tiba-tiba tubuhnya yang sejak
tadi berdiri di atas kedua tangannya bergerak berjumpalitan. Kini dia tegak di
atas kedua kakinya. Wajahnya yang sejak tadi tertutup oleh janggutnya yang
panjang sekarang terlihat jelas. Ternyata dia memiliki wajah mirip seekor srigala,
lengkap dengan gigi-gigi serta taring-taring besar runcing. Kedua telinganya
panjang mencuat ke atas. Keseluruhan wajahnya sampai ke telinga tertutup oleh
selapis bulu-bulu berwarna coklat. Lalu kedua matanya menyerupai sepasang mata
Datuk makhluk srigala itu. Berwarna merah laksana bara api!
“Kalau kau tidak mau membuka
sendiri pakaianmu, terpaksa aku yang akan melakukannya!” kata Eyang Srigala
Karang.
Eyang Srigala Karang
mengulurkan tangan kanannya ke depan ke arah Kemala. Ketika tangan itu membuat
gerakan-gerakan aneh, terjadilah hal yang sulit dipercaya. Seluruh pakaian yang
melekat di tubuh Kemala seolah-olah terbang, lepas bertanggalan hingga kini
gadis itu tegak menjerit dalam keadaan bugil. Kemala berteriak tiada henti
sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya.
Eyang Srigala Karang tertawa
panjang.
“Syarat harus dipenuhi! Aturan
harus diikuti! Ah…! Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus dan mulus. Mendekatlah
kemari biar dapat kujamah…”
“Manusia keparat! Kau rupanya
tidak lebih dari seorang dukun cabul!” teriak Kemala.
“Kau tidak lebih baik dariku!
Kau meminta ilmu hitam untuk melampiaskan kebusukanmu! Mendekat kataku!”
“Tua bangka cabul! Aku
bersumpah akan membunuhmu!”
“Kalau kau tidak mau mendekat,
biar aku yang mendatangi!” kata Eyang Srigala Karang pula. Lalu dia maju
selangkah demi selangkah.
Kemala yang dalam keadaan
terancam tampak tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Kalau tadi kedua
tangannya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapatdapatnya, kini dia
sengaja menurunkan kedua tangan itu dan mengembangkan kedua tangannya ke
samping. Gerakan ini membuat sepasang mata api Eyang Srigala Karang menjadi
silau oleh pemandangan yang membakar nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap
menyerahkan diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya diulurkan
hendak menjamah dada si gadis.
Sesaat lagi jari-jari tangan
yang kotor menjijikkan itu akan menyentuh payudara Kemala, tiba-tiba gadis ini
keluarkan bentakan keras. Tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya menghantam ke
depan.
Bukkk!
Eyang Srigala Karang berseru
kesakitan. Tubuhnya terpental membentur dinding akibat jotosan Kemala yang
telak menghantam dada kirinya. Jantungnya seperti berhenti berdenyut. Kedua
mata apinya membelalak. Dia sama sekali tidak menyangka akan dihajar seperti
itu.
“Kau… kau…” kata orang tua
bermuka srigala itu sambil berdiri tertatih-tatih dan memegangi dadanya yang
mendenyut sakit. “Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang nafsuku! Lihat… lihat
apa yang akan kulakukan!” Eyang Srigala Karang lalu menggerakkan kedua
tangannya membuka pakaiannya sendiri yang terbuat dari kulit binatang yang
dikeringkan.
“Manusia terkutuk!” teriak
Kemala.
Dampratan itu dibalas dengan
tawa mengekeh oleh Eyang Srigala Karang. Tapi tawanya lenyap begitu tendangan
Kemala menabas salah satu kakinya hingga tubuhnya terbanting ke lantai goa.
Sambil meringis kesakitan orang tua ini masih bisa berusaha berdiri. Dia tegak
terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan mata berapi-api. Ternyata meskipun
memiliki ilmu gaib yang aneh, orang tua ini sama sekali tidak menguasai
kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan Kemala mendarat di
tubuhnya, Eyang Srigala Karang melolong kesakitan. Hidungnya yang dihantam
jotosan keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih menguasai dirinya
daripada nafsu bejatnya. Dia sama sekali tidak menduga kalau gadis di
hadapannya memiliki kepandaian silat. Orang tua ini melompat ke arah kepala
srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala srigala itu dengan
tangan kirinya. Jelas dia hendak memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa
yang hendak dilakukan orang tua itu kembali berkelebat. Kali ini pukulannya
melanda lambung Eyang Srigala Karang. Selagi tubuh orang tua itu tertekuk ke
depan, Kemala menyambar dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu
kepala itu ditariknya kuat-kuat, dibantingkan ke dinding goa karang!
Praaakk!
Untuk kesekian kalinya
terdengar suara jeritan keras dan panjang dari mulut Eyang Srigala. Keningnya
tampak rengkah dan darah membasahi wajahnya yang tertutup bulu-bulu halus
berwarna coklat itu. Tapi dia belum mati. Suara menggereng kini terdengar
berkepanjangan dari tenggorokannya. Kemala cepat menyambar pakaiannya yang
terhamparan di lantai goa lalu berkelebat menuju mulut goa. Di luar sebelum melenyapkan
diri dia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut.
Eyang Srigala Karang merangkak
mendekati kepala srigala yang diawetkan. Namun sebelum berhasil mencapainya,
tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin banyak mengucur dari luka
mengerikan di keningnya. Dalam keadaan sekarat orang tua ini melafatkan sesuatu
yang diakhiri dengan ucapan: “Datuk Putra datanglah. Aku perlu dirimu…”
Begitu ucapan itu berakhir
terdengar suara menderu seperti gemuruh ombak memecah di tepi pantai. Lalu
dalam goa, entah dari mana datangnya muncul sosok tubuh seorang pemuda yang
mengenakan destar. Wajahnya tampan namun dia memiliki sepasang telinga yang
panjang mencuat ke atas serta berbulu seperti telinga seekor srigala. Sedang
kedua matanya berwarna biru dan pandangannya menggidikkan. Di samping si pemuda
mendekam sosok lain yang ternyata adalah sang Datuk, yaitu srigala bermata api.
“Orang tua, aku sudah datang.
Katakan kepentinganmu!” Pemuda berdestar hitam dan bertelinga seperti srigala
berkata.
“Kau lihat apa yang terjadi
pada diriku! Gadis itu yang melakukan. Gadis bernama Kemala itu! Aku akan
segera menemui kematian! Tapi aku akan mati secara penasaran! Aku ingin
pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu! Suruh Datuk mencabik-cabik
tubuhnya!”
Pemuda bernama Datuk Putra
gelengkan kepala. “Perjanjian apa yang sudah kau buat dengan gadis itu tidak
bisa dirubah. Dia memiliki kekuatan untuk menguasai dan memerintah Datuk…”
“Aku tidak peduli! Kau harus
melakukan sesuatu, Datuk Putra!” kata Eyang Srigala Karang hampir berteriak
tapi kemudian dia mengeluh kesakitan sambil memegangi dadanya.
“Aku akan perhatikan
permintaanmu. Cuma mungkin belum bisa dilakukan apa-apa sebelum 40 kali bulan
purnama. Kau melakukan kekeliruan. Meminta syarat yang seharusnya tidak menjadi
syarat! Kau terjebak oleh nafsu kotormu sendiri!”
Eyang Srigala Karang terbujur
di lantai goa. Kedua matanya yang merah kini telah tertutup darah dari
rengkahan kepalanya.
Pemuda dari alam gaib bernama
Datuk Putra berpaling pada srigala bermata api di sampingnya. “Kau sudah
mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana dia berada. Pergilah…”
Srigala yang mulut dan kedua
kaki depannya bergelimangan darah itu meninggikan kepalanya, menggereng
beberapa kali, lalu memutar diri dan melompat ke mulut goa. Datuk Putra
membungkuk mengambil lampu minyak. Minyak lampu itu disiramkannya ke sekujur
tubuh Eyang Srigala Karang. Lalu disulutkannya api pelita ke salah satu bagian
tubuh si orang tua.
Wussss!
Serta merta api besar
menggebubu membakar tubuh Eyang Srigala Karang. Datuk Putra tetap berada dalam
goa itu sampai seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan api yang secara aneh
tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan bau daging terpanggang. Selain itu ketika
api akhirnya padam, tubuh itu kini hanya tinggal berbentuk seonggok tulang
belulang yang hitam menggosong!
Dengan sisa-sisa tikar kulit
binatang yang sebagian terbakar hangus termasuk kepala srigala yang
dikeringkan, Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang Srigala Karang.
Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi pantai. Dia mendongak ke langit
yang sampai saat itu masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian tikar kulit berisi
tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilemparkannya jauh-jauh ke tengah laut.
“Kau aman di tempatmu yang
baru,” kata Datuk Putra seraya memandang ke tengah laut. “Jika kau berkeras
untuk muncul di dunia ini kembali, kau harus sanggup menanggung segala
akibatnya. Kita memang orang-orang dari dunia gelap dan hitam. Tapi berbuat
kekeliruan tidak ada ampunannya!”
Di tengah laut tampak
halilintar menyambar. Lautan sekilas jadi terang benderang. Datuk Putra
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Daun
telinganya yang mencuat panjang ke atas tampak bergerak-gerak tiada henti. Lalu
seperti tadi kemunculannya yang entah dari mana, sesaat kemudian tubuhnya pun
lenyap entah ke mana!
2
SEBENARNYA saat itu sedang
musim penghujan. Hampir tiap hari, siang atau malam hujan turun. Namun pada
siang dan malam hari pesta perkawinan Rumini, puteri Kepala Desa Cadas Brantas,
dengan seorang pemuda bernama Randu Wulung yang kabarnya adalah seorang perwira
muda di jajaran pasukan kerajaan, udara tampak cerah. Siang hari ketika upacara
pernikahan dilangsungkan tidak setetes hujan-pun turun. Begitu pula pada malam
harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama tiga belas hari
tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang.
Yang punya hajat tentu saja
merasa bersyukur sedang para tamu ikut senang sambil bertanya-tanya pawang
hujan dari mana yang dipakai oleh tuan rumah sehingga begitu ampuh mencegah
turunnya hujan.
Lewat tengah malam pesta
perkawinan usai sudah. Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan
pemain gamelan sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa yang tadinya ramai kini
tampak sunyi walau masih ada dua lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan
terus di beranda depan.
Pagi harinya Kepala Desa dan
isterinya telah lama bangun. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan karib
kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah besar sambil menikmati kopi
hangat dan sarapan pagi.
“Sepasang pengantin yang
berbahagia rupanya masih tertidur pulas…” kata seorang di antara keluarga yang
masih merupakan paman pengantin perempuan sambil senyum-senyum.
“Maklum saja. Namanya
pengantin baru,” menyahuti anggota keluarga yang lain lalu menghirup kopi
hangatnya sampai mengeluarkan suara keras.
Obrol punya obrol tak terasa
pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar.
“Tak enak rasanya kalau mereka
masih terus di dalam kamar. Matahari sudah tinggi,” kata Kepala Desa pada
istrinya. “Coba kau bangunkan mereka…”
Istri Kepala Desa bangkit dari
duduknya. Lalu melangkah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak
kamar pengantin. Perempuan ini mengetuk pintu kamar. Mengetuk sampai berulang
kali dan karena tak ada jawaban akhirnya dia kembali ke ruang tengah,
memberitahu pada suaminya.
“Mereka mungkin masih sangat
pulas. Jadi harus keras mengetuk membangunkan mereka,” kata Kepala Desa. Dia
bangkit berdiri. “Sudah, biar aku saja yang membangunkan.”
Kepala Desa Cadas Brantas
mengetuk pintu kamar pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan
lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil nama anak
perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban.
Beberapa orang anggota
keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu
kamar. “Coba ketuk lebih keras,” kata salah seorang dari mereka.
Kepala Desa kali ini bukan
lagi mengetuk, tapi menggedor pintu kamar.
“Aneh, apa mereka begitu pulas
hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” kata Kepala Desa sambil memandang pada
orang-orang yang ada di depan pintu.
“Tak ada lobang tempat
mengintip. Berarti tak ada jalan lain. Kita harus mendobrak pintu!” kata
seorang anggota keluarga yang berbadan tinggi besar. “Kalau Kangmas izinkan
tentunya.”
Kepala Desa Cadas Brantas
meraba dagunya lalu mengangguk, “Ya, kita dobrak saja,” katanya menyetujui.
Lelaki tinggi besar tadi
mundur beberapa langkah sementara semua orang yang ada di pintu bersibak ke samping.
Dengan kaki kanannya yang kuat orang tinggi besar menghantam pintu kamar hingga
pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu terpentang lebar, Kepala Desa masuk
ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di antaranya istrinya sendiri. Begitu
masuk ke dalam kamar hampir semua orang secara berbarengan keluarkan seruan
keras. Isteri Kepala Desa paling keras jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan
kedua tangan lalu terhuyung-huyung dan pasti roboh kalau tidak lekas ada yang
memegangi.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi
di sini?!” teriak Kepala Desa. “Anakku Rumini! Randu Wulung!”
Hari itu juga tersiar kabar
mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Cadas Brantas. Sepasang pengantin
baru, Rumini dan Randu Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Rumini
terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai
dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing
penuh dengan robekan-robekan besar. Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam.
Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging tubuh dua
manusia malang itu. Yang lebih mengerikan, wajah Rumini dan Randu Wulung hampir
tak bisa dikenali. Karena wajah-wajah mereka juga tampak koyak robek
mengerikan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi kamar bahagia itu diperciki
darah mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding.
Jelas sepasang pengantin itu
menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?!
Menurut dugaan orang banyak,
sepasang pengantin itu menemui ajal karena dikoyak muka dan tubuhnya dengan
sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
“Aku tidak punya musuh. Siapa
yang begitu jahat menghabisi nyawa anak menantuku! Kejam! Jahat luar biasa!”
kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil mengepalkepalkan kedua tinjunya dan
berulang kali mengusap mukanya. Sementara itu istrinya berada dalam kamar masih
menangis dan sesekali menjerit memilukan. Rumini adalah anak mereka
satu-satunya. Bilamana gadis itu meninggal dunia karena sakit mungkin tidak
demikian hebat duka kedua orang tuanya. Namun Rumini mati dibunuh orang, secara
luar biasa kejam begitu rupa! Pada hari perkawinannya pula! Orang tua mana yang
bisa pasrah!
“Bapak Santiko,” kata seorang
lelaki separuh baya berbadan tegap. Dia adalah Gandar Seto, Perwira Tinggi
atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri datang ke Cadas Brantas untuk
menghadiri pesta perkawinan pemuda bawahannya itu. Karena istrinya kurang
sehat, perwira ini membawa serta anak perempuannya sebagai wakil sang ibu. Anak
perempuan Gandar Seto yang bernama Ratih Kiranasari bertubuh tinggi semampai,
berkulit putih dan memiliki wajah termasuk cantik. Namun dalam usianya yang
hampir memasuki 30 tahun itu dia masih juga belum bersuami, belum menemukan
jodoh. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu ganjalan tidak enak dalam diri
sang ayah. Pada masa itu kebanyakan gadis sudah menikah dan berumah tangga di
usia 16 atau 17 tahun. Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda dari itu.
Karenanya tidak disalahkan kalau banyak orang berpendapat bahwa Ratih
Kiranasari sudah termasuk yang disebut perawan tua.
Malam itu Gandar Seto dan
puterinya menginap di rumah seorang kenalan di desa Cadas Brantas. Pagi harinya
ketika hendak berangkat ke Kotaraja, begitu mendengar berita duka kematian sepasang
pengantin yang menggegerkan itu, dengan bergegas Perwira Tinggi ini mendatangi
rumah duka yang sebelumnya merupakan rumah pesta perkawinan itu. Setelah
menyuruh anak gadisnya tetap berada dalam kereta, Gandar Seto segera turun dan
masuk ke dalam rumah.
Perwira Tinggi ini sudah
sering melihat kematian orang. Baik di medan perang maupun ketika menumpas para
penjahat dan perampok pengacau Kerajaan. Namun belum pernah dia menyaksikan
dengan mata kepala sendiri kematian yang mengerikan begini rupa.
“Ganas. Kejam sekali!” kata
Ganda Seto dalam hati. Lalu dia menemui Kepala Desa Santiko yang duduk terkulai
di sebuah kursi besar.
“Bapak Santiko,” tegurnya
sambil memegang bahu Kepala Desa itu. “Saya tahu ini cobaan yang sangat berat
dan besar bagimu dan istri. Namun saya harapkan kau bisa tabah menghadapinya.
Saya berjanji untuk menyelidiki kematian Rumini dan Randu. Saya sendiri nanti
yang akan memancung batang leher pembunuh biadab itu!”
Kepala Desa itu menatap wajah
Gandar Seto sesaat lalu dianggukkannya kepalanya yang berwajah pucat itu
perlahan sekali.
“Saya tidak punya musuh. Baik
di masa muda saya maupun saat ini. Siapa orangnya yang begitu kejam dan berhati
keji membunuh anak menantuku pada malam hari bahagia mereka.”
“Setahu saya Randu Wulung juga
tidak punya musuh. Dia disenangi orang di dalam maupun di luar jajaran pasukan
kerajaan. Dia seorang calon perwira tinggi yang diharapkan Sri Baginda
menggantikan kami yang sudah tua-tua ini. Saya dan tentu saja kerajaan sangat
kehilangan dirinya…” Perwira Tinggi itu diam sesaat. Lalu dengan suara rawan
dia meneruskan ucapannya. “Hidup ini memang aneh. Dalam keanehan itu ada
berbagai rasa jahat, iri hati dan kedengkian. Bukan mustahil bawahan saya
menjadi korban ketiga hal tersebut.”
“Raden Gandar…” kata Kepala
Desa Cadas Brantas dengan suara bergetar. “Tolong… kau usutlah perkara ini
sampai berhasil menangkap pembunuhnya.”
“Saya berjanji. Tadi pun saya
sudah coba melakukan penyelidikan singkat. Agaknya si pembunuh masuk lewat
jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam keadaan terbuka. Ada
beberapa bagian daun jendela yang menunjukkan tanda-tanda bekas dicongkel.”
“Maafkan kalau saya ingin
memberitahukan sesuatu,” kata seorang anggota keluarga. Dia adalah lelaki
tinggi besar yang tadi mendobrak pintu kamar untuk dapat masuk ke dalam.
Kepala Desa Cadas Brantas dan
Perwira Tinggi Gandar Seto berpaling pada orang ini.
“Apa yang hendak kau
beritahukan Padullah?”tanya Santiko.
“Malam tadi saya hampir
tertidur waktu lapat-lapat saya mendengar suara seperti lolongan binatang di
kejauhan. Terdengarnya seperti suara raungan anjing. Tetapi setelah saya simak
saya yakin betul itu bukan suara lolongan anjing. Saya tidak dapat memastikan
suara lolongan binatang apa. Mungkin anjing hutan atau srigala. Tapi kita tahu
sendiri di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau srigala hutan. Walau hati
saya mendadak jadi tidak enak, saya mencoba memejamkan mata, tidur. Lalu saya
mendengar ada suara halus. Suara seperti jendela atau pintu terbuka. Tapi saya
ragu saat itu. Mungkin saja yang saya dengar adalah hembusan angin malam atau
desah daun-daun pepohonan yang tertiup angin. Lalu akhirnya saya tertidur…”
Baik Kepala Desa Santiko
maupun Perwira Tinggi Gandar Seto kelihatannya sama-sama tidak tertarik dengan
apa yang dikatakan Padullah itu.
“Saya menunda kepulangan ke
Kotaraja pagi ini. Saya tetap di sini sampai kedua jenazah dimakamkan,” kata
Gandar Seto pula. “Namun puteri saya Ratih Kiranasari akan saya suruh pulang
lebih dulu. Saya akan keluar untuk memberitahu padanya.”
Perwira Tinggi itu lalu
menemui puterinya. Gadis itu akhirnya berangkat ke Kotaraja hanya ditemani
kusir kereta. Sebelum pergi Gandar Seto berkata pada anaknya agar begitu sampai
di Kotaraja dia menghubungi seorang pejabat Keraton, memberitahu apa yang telah
terjadi dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.
3
KERETA yang dikemudikan kusir
tua itu meluncur meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk mencapai Kotaraja
kendaraan ini harus menempuh satu daerah berbukit-bukit kemudian melewati
kawasan rimba belantara Jati Mundu. Hutan Jati Mundu merupakan hutan penghubung
kawasan luar kota dengan pinggir timur Kotaraja. Hutan ini menjadi pusat lalu
lintas semua orang yang mau ke atau meninggalkan Kotaraja. Hutan Jati Mundu
tidak terlalu luas, tetapi pohon-pohon yang tumbuh di dalamnya besar-besar,
berusia ratusan tahun hingga batang-batangnya banyak yang diselimuti lumut. Di
samping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun demikian, walau keadaannya
seperti itu, tidak ada orang yang merasa takut melewati rimba belantara ini.
Hutan Jati Mundu dikenal aman. Tak ada binatang buas seperti harimau atau ular.
Bukan pula jadi tempat persembunyian atau sarangnya orang-orang jahat seperti
begal dan rampok.
Setelah melewati jalan menurun
di kaki bukit, kereta yang dikemudikan kusir tua itu mulai memasuki hutan Jati
Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka dan satu wajah cantik
muncul.
“Pak Tua, tak usah melarikan
kuda terlalu cepat. Perlahan saja. Saya letih, mau mencoba tidur sebelum sampai
di Kotaraja. Malam tadi saya menghadiri pesta perkawinan sepasang pengantin
yang malang itu sampai larut. Jadi kurang tidur…”
Kusir kereta berambut putih
itu menoleh. “Saya menurut apa kata Den Ayu saja. Tapi bukankah ayah Den Ayu
berpesan agar kita cepat-cepat sampai di Kotaraja lalu menghubungi seorang
pejabat di sana?”
“Kau betul Pak Tua, Kotaraja
tidak terlalu jauh dari sini. Lagi pula hari masih pagi. Memang ada pesan yang
harus disampaikan. Namun semua itu tidak akan menolong menghidupkan sepasang
pengantin yang terbunuh itu. Jadi perlahan-lahan saja Pak Tua. Saya tak mau
tidur singkat saya terganggu.”
“Baik Den Ayu. Saya akan
menuruti apa kata Den Ayu,” jawab kusir kereta. Lalu dalam hati orang tua yang
sudah mengabdi puluhan tahun pada ayah sang dara itu membatin. “Kasihan.
Wajahnya cantik, budi pekertinya tak ada yang tercela. Kenapa belum ada juga
laki-laki yang berkenan di hatinya untuk dijadikan suami? Atau mungkin benar
kata-kata orang, Den Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu memilih. Kasihan kalau
dia nanti benar-benar jadi perawan tua seumur hidupnya.” Lalu sesuai dengan
yang diperintahkan anak majikannya itu kusir kereta memperlambat lari kuda.
Memasuki Hutan Jati Mundu
udara terasa redup dan sejuk. Hari masih terlalu pagi. Belum ada satu orang pun
yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar suara kicau
burung-burung hutan yang bertengger di pepohonan atau berterbangan kian kemari.
Di bagian lain hutan Jati
Mundu seorang pemuda pejalan kaki yang melewati hutan itu sambil bersiul-siul
membawakan lagu tidak menentu tiba-tiba tergagau dan tersurut mundur ketika di
hadapannya muncul sosok tubuh seekor binatang bermoncong panjang. Semula
dikiranya seekor anjing hutan. Tapi ketika diperhatikan binatang itu lebih
banyak berupa seekor srigala liar.
Yang membuat si pemuda
khawatir ialah menyaksikan moncong binatang itu berselomotan cairan merah.
Ketika binatang ini menggereng kelihatan gigi-gigi dan taringtaringnya yang
besar runcing juga tertutup cairan merah. Si pemuda memperhatikan sepasang kaki
depan binatang. Seluruh kuku-kuku srigala liar ini panjang runcing berkeluk
juga diselimuti cairan merah. Lalu pada beberapa bagian bulu tubuhnya yang
berwarna coklat terang tampak ada percikan-percikan cairan berwarna sama.
Ketika lidahnya dijulurkan jelas kelihatan cairan merah bercampur dengan
ludahnya.
“Darah…” desis si pemuda dalam
hati. “Mungkin binatang ini baru saja menyantap seekor kelinci hutan atau anak
menjangan. Tapi mungkin juga barusan membunuh orang!” Pikirnya lebih jauh. Yang
membuat pemuda ini bertindak waspada bukan saja karena melihat darah itu namun
menyaksikan adanya kilapan sinar aneh pada sepasang mata srigala hutan yang
berwarna merah itu! “Srigala biasa tidak memiliki dua mata merah bersinar
seperti itu. Makhluk apa sebenarnya yang ada di depanku ini?” Lalu pemuda ini
ingat. “Setahuku, kata orang di hutan Jati Mundu ini jangankan binatang buas,
seekor lalat pun tak bakal ditemui. Tapi bagaimana hari ini aku tiba-tiba
berhadapan dengan makhluk celaka ini? Nasibku yang apes atau bagaimana?!”
Srigala bermata merah itu
membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing kemerahan mencuat
mengerikan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya merunduk dan
kedua kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda siap menerkam.
“Binatang ini hendak
menyerangku,” kata si pemuda. Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang.
Sebilah kapak bermata dua yang memancarkan cahaya putih berkilau kini
tergenggam di tangan pemuda itu. Dalam hati dia berkata, “Binatang atau iblis
serang diriku! Niscaya kubelah kepalamu dengan Kapak Naga Geni 212 ini!”
Entah mengapa srigala bermata
aneh angker itu perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya ditarik,
kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. Setelah menggereng sekali lagi
binatang ini lalu memutar diri, melompat masuk ke dalam serumpunan semak
belukar dan lenyap!
Si pemuda menarik nafas lega.
Sambil tangan kirinya menggaruk kepalanya yang berambut gondrong, tangan
kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik pakaiannya. Si pemuda yang
tentu saja Pendekar 212 dari Gunung Gede bernama Wiro Sableng itu siap
meneruskan perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan lagi sekedar
untuk menenteramkan perasaan akibat melihat binatang aneh tadi. Namun
gerakannya tertahan.
Telinga Wiro menangkap suara
derak roda kereta dan derap kaki kuda di dalam hutan itu. Dia cepat bergerak ke
jurusan datangnya suara.
Di pinggir sebuah jalan tanah
yang cukup lebar dalam hutan pemuda ini berhenti. Sesaat kemudian sebuah kereta
ditarik seekor kuda dan dikemudikan oleh kusir tua berambut putih muncul dari
kelokan jalan. Pemuda ini cepat menyongsong. Sambil mengangkat tangan kanannya
dia berseru.
“Pak Tua! Hentikan dulu
keretamu!”
***
Beberapa saat sebelum kereta
itu dihentikan. Ratih Kiranasari berada di pinggiran hutan Jati Mundu. Gadis
ini membawa sebuah keranjang bambu berisi manggis dan mangga hutan yang
besar-besar dan matang. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Udara pagi
itu cerah dan segar sekali. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi sejuk. Tibatiba
satu jeritan keluar dari mulut sang dara ketika mendadak sekali seekor binatang
berbentuk srigala melompat keluar dari semak-semak di tepi jalan dan merunduk
siap menerkam dirinya.
Binatang ini keluarkan
gerengan aneh. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi, taring dan lidah
yang berselomotan darah. Sehabis menggereng binatang ini melompat menyergap
Ratih Kiranasari. Moncongnya terbuka lebar sedang sepasang kaki depan yang
berkuku runcing menerjang siap merobek muka dan tubuhnya!
Sekali lagi puteri Perwira
Tinggi itu menjerit. Lalu tubuhnya tersentak. Kedua matanya terbuka. Sekujur
tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya memburu sesak. Dia
menyibakkan tirai jendela di sampingnya. Disadarinya kereta saat itu berhenti
di tengah hutan. Digosoknya kedua matanya. Ternyata dia barusan bermimpi. Lalu
dia menarik tirai jendela sebelah depan dan memanggil kusir kereta.
“Pak Tua, ada apa kau
menghentikan kereta?”
“Ada seorang tak dikenal
menghentikan kereta,” jawab kusir tua itu.
Lewat jendela kecil di
belakang kusir kereta itu, Ratih Kiranasari memandang ke luar, ke arah jalanan
di depannya. Di sebelah sana dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong,
berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak mengangkat tangan lalu melangkah
mendekati kereta yang berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa saat lamanya
seperti terpana melihat pemuda itu. “Pakaiannya sederhana, tubuhnya tegap penuh
otot, wajahnya tampan dan mulutnya setiap saat melempar senyum. Siapa gerangan
pemuda ini yang membuat hatiku jadi tergetar. Jelas dia bukan seorang petani
atau pencari kayu di rimba belantara ini..”
Selagi puteri Perwira Tinggi
ini bertanya-tanya dalam hati seperti itu, di luar sana didengarnya suara kusir
tua berkata pada si pemuda.
“Anak muda, ada apa kau
menyuruh aku menghentikan kereta?” tanya kusir kereta. Melihat gelagatnya
pemuda ini bukan orang jahat, rampok atau begal. Dia sama sekali tidak membawa
senjata dan tampangnya tidak seram. Meskipun heran namun kusir tua itu tidak
menaruh curiga apalagi takut.
Pemuda di depan kereta
menjawab. “Ada seekor binatang buas gentayangan di rimba belantara ini. Jika
kau hendak meneruskan perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya menyiapkan golok atau
parang!”
Kusir tua itu menatap wajah
pemuda gondrong itu sesaat lalu sambil tertawa dia berkata, “Anak muda, puluhan
tahun aku hidup di wilayah ini. Ratusan kali aku melewati hutan Jati Mundu ini.
Belum pernah diketahui orang ada binatang buas di sini. Juga rampok atau begal.
Dan melihat wajah dan sikapmu kau tentu bukan seorang penjahat!”
Si gondrong balas tertawa.
“Terima kasih kau mengatakan aku bukan orang jahat. Tapi kau harus percaya pada
keteranganku tentang binatang buas itu. Aku barusan saja melihatnya dalam hutan
ini. Mungkin dia masih berkeliaran di sekitar sini. Mulut dan sepasang kaki
depannya penuh darah tanda dia baru saja membunuh makhluk bernyawa. Entah
binatang entah manusia! Jadi hati-hatilah. Kau hendak menuju ke mana, Pak Tua?
Apa yang kau bawa dalam kereta?”
Pertanyaan terakhir Wiro
Sableng membuat kusir tua itu mulai curiga. “Kalau memang ada binatang buas di
sekitar sini, mengapa kau sendiri tidak takut dan meninggalkan hutan ini?”
tanya kusir tua itu pula.
Yang ditanya jadi garuk-garuk
kepala. Lalu dia berkata. “Terserah kaulah, Pak Tua. Aku hanya memberitahu agar
kau berhati-hati…”
Kusir tua itu hendak
menyentakkan tali kekang kuda agar binatang itu berjalan kembali. Namun di
belakangnya terdengar suara Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis ini telah
memperhatikan pemuda yang tegak di depan kereta itu. Lewat jendela kecil di
belakang punggung kusir kereta Ratih berkata. “Pak Tua, jangan pergi dulu.
Suruh pemuda itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara dengannya.”
“Akan saya beritahu Den Ayu,”
jawab kusir kereta. Lalu dia berkata pada si pemuda. “Anak muda, puteri
majikanku ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke samping kereta sebelah kiri.”
“Ah, ada seorang puteri
rupanya dalam kereta. Sungguh aku tidak menduga,” jawab pemuda tadi lalu dia
melangkah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain tirai jendela
tersingkap dan satu wajah jelita muncul menjenguk keluar.
“Hemm… Ini rupanya sang
puteri. Wajah dan dandanannya anggun. Kulitnya putih tapi agaknya sudah agak
berumur.” kata Wiro menilai dalam hati.
“Saudara, apa betul kau
memberitahu kusir kereta ada seekor binatang buas di hutan ini?”
“Betul sekali. Saya barusan
sempat melihatnya. Hampir saja saya hendak diterkam dijadikan mangsa.”
Ratih Kiranasari tersenyum.
Waktu tersenyum ini kelihatan lesung pipit muncul di kedua pipinya dekat dagu.
“Rupanya binatang itu takut padamu,” katanya. Lalu dia bertanya. “Binatang buas
yang kau lihat itu apakah sebangsa harimau atau singa. Atau ular besar?”
“Bukan, bukan harimau atau
singa. Bukan juga ular besar. Tapi seekor anjing hutan. Seekor srigala… Mulut,
gigi dan lidah serta sepasang kaki depannya berlumuran darah. Kedua matanya
berwarna merah dan menyorotkan sinar angker!”
“Aneh,” kata Ratih.
“Apanya yang aneh?” bertanya
si pemuda.
“Apa yang kau katakan begitu
sama dengan apa yang barusan aku mimpikan. Tadi aku sempat tertidur dalam
kereta. Dalam mimpi aku sedang berjalan di hutan lalu muncul binatang berbentuk
srigala itu. Aku terbangun sewaktu binatang ini siap menerkamku.”
Si pemuda garuk-garuk kepala.
“Ya betul aneh. Bagaimana mungkin mimpimu sama dengan apa yang saya lihat.
Sebaiknya kau segera meneruskan perjalanan. Tutup rapat-rapat semua jendela…”
“Terima kasih kau memberitahu
tentang srigala itu. Kalau aku boleh bertanya, apakah kau tinggal di sekitar
sini?” tanya Ratih.
“Saya datang dari jauh.”
“Apakah kau punya nama?”
Pendekar 212 tertawa lebar.
“Setiap orang tentu saja punya nama…”
“Lalu siapa namamu?”
“Wiro…”
“Cuma Wiro? Pendek amat!”
“Sebetulnya ada sambungannya.
Tapi sudahlah…” Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum. Dia
sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya yaitu Sableng!
“Orang tak mau memberitahu
masakan aku memaksa,” kata Ratih pula. “Jika kau benar melihat srigala dalam
mimpiku itu berkeliaran di hutan Jati Mundu ini, terus terang aku merasa
khawatir. Aku harap kau menolong tidak setengah-setengah.”
“Maksudmu?” tanya Wiro.
“Apakah kau mau ikut menemani
kami sampai di Kotaraja?”
Wiro tak menjawab. Terdengar
Ratih Kiranasari berkata lagi. “Hitung-hitung sebagai pengawal. Kalau binatang
buas menyeramkan itu muncul menghadang, melihat kau tentu dia akan lari. Tak
berani mengganggu…”
Wiro garuk-garuk kepala dan
memandang pada kusir kereta. Orang tua ini berkata setengah berbisik. “Ikuti
saja permintaan anak majikanku. Tidak banyak pemuda yang beruntung mendapat
tawaran begini baik darinya. Kurasa dia suka padamu!”
Wiro menyeringai. “Kebetulan
saya memang hendak ke Kotaraja. Baiklah, saya akan menemanimu.”
Ratih tersenyum gembira. Wiro
melompat ke atas kereta. Duduk di depan di samping kusir tua. Si gadis berkata.
“Jika kau mau kau boleh duduk di dalam sini.”
“Terima kasih. Biar saya duduk
di sini saja,” jawab Wiro.
Kusir tua menarik tali kekang
kuda. Begitu kereta mulai bergerak berbisik pada Wiro, “Tidak pernah aku
melihat pemuda setololmu. Diajak duduk di dalam sana mengapa kau menolak?”
Wiro menyengir. “Bagaimana
kalau kau saja yang duduk di sampingnya. Biar aku yang mengemudikan kereta.”
Kusir tua itu tertawa
gelak-gelak. “Anak muda, kau yang disukainya, bukan si tua bangka ini!”
Wiro tertawa. “Siapa nama
gadis cantik itu?” tanyanya.
“Ratih Kiranasari,” jawab
kusir kereta.
“Nama bagus orangnya pun
cantik…”
“Anak muda, ketahuilah tidak
banyak pemuda yang beruntung sepertimu. Bisa diajak seperjalanan seperti saat
ini.”
“Maksud Pak Tua apa?”
“Puteri majikanku itu kata
kebanyakan orang cantik tapi tinggi hati. Banyak pemuda yang menyukainya, ingin
memperistrikannya. Tapi karena merasa anak seorang Perwira Tinggi dia berlagak
jual mahal. Banyak pilih. Akibatnya sampai saat ini dia masih belum kawin.
Orang mulai usil. Mengatakan dia sebagai perawan tua.”
“Belum kawin tapi benar-benar
masih perawan, kan?” ujar Wiro.
“Anak muda. Aku punya firasat
puteri majikanku ini suka padamu,” bisik si orang tua.
“Kau ngaco saja Pak Tua! Seorang
puteri pejabat tinggi suka pada pemuda gelandangan macamku? Kau tahu sendiri,
dia minta aku ikut seperjalanan karena khawatir dengan binatang buas itu…”
“Eh, soal binatang buas itu
apakah bukan karanganmu saja. Maksudmu sebenarnya adalah ingin berkenalan
dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan dia memang suka padamu. Tampangmu tidak
jelek-jelek amat!”
Wiro tersenyum pencong
mendengar ucapan kusir tua itu.
“Dengar,” Kusir itu kembali
membuka mulut. “Jika kau memang suka padanya, aku mau membantu mengatakan pada
orang tuanya. Kalau sampai kau dipungut jadi menantu, wah kau bakalan diberikan
jabatan lumayan di Kotaraja. Tapi jika hal itu benar-benar terjadi jangan lupa
hadiah untukku!”
“Makin lama makin tak karuan
igauanmu!” tukas Wiro. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba di sebelah
belakang terdengar jeritan Ratih Kiranasari.
Wiro singkapkan tirai jendela
kecil di belakangnya. Ratih dilihatnya duduk ketakutan. Mukanya pucat dan
matanya membeliak memandang keluar jendela.
“Ada apa?” tanya Wiro sementara
kuda penarik kereta memperlihatkan ulah aneh.
“Bin… binatang itu…” kata
Ratih dengan suara gugup ketakutan. Dia menunjuk ke luar jendela dengan tangan
gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar meringkik. Wiro berpaling ke arah yang
ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang menakutkan gadis itu.
Di balik semak-semak sepanjang
jalan yang dilalui kereta, kelihatan bayangan sosok tubuh srigala bermata merah
yang sebelumnya sempat ditemui Wiro. Binatang ini bergerak sejajar dan searah
jalannya kereta. Kusir kereta sibuk berusaha menenangkan kuda yang tampak
ketakutan.
“Pak Tua,” kata Wiro,
“Jalankan terus kereta ini.” Lalu dia siap-siap melompat.
“Kau hendak ke mana?” tanya
kusir kereta.
“Saya berusaha agar binatang
itu tidak menyerang kereta,” jawab Wiro. Lalu dia melompat turun dari kereta
dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan kereta.
Di satu kelokan jalan srigala
buas itu memutar larinya mendekati Wiro.
“Anak muda, binatang itu
hendak menyerangmu!” teriak kusir kereta. Dari dalam kereta Ratih Kiranasari
juga sudah melihat apa yang bakal terjadi. Gadis ini menutup wajahnya dengan
kedua tangan seraya berdoa agar Wiro selamat dari binatang buas itu.
“Jangan perdulikan saya!”
teriak Wiro. “Larikan terus kereta!” Lalu dia hentikan larinya. Srigala bermata
api dengan moncong dan kaki depan berselomotan darah yang merasa ditantang,
lari ke arah Wiro. Pendekar 212 siapkan pukulan Kunyuk Melempar Buah di tangan
kanan. Ketika binatang itu hanya tinggal lima langkah dari hadapannya dia
segera angkat tangan kanannya untuk menghantam. Tapi srigala bermata api
tiba-tiba hentikan gerakan dan kini dia malah duduk di tengah jalan dengan
lidah basah berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap tajam ke arah Wiro.
Melihat binatang ini tak jadi
menyerang, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede hentikan pula gerakannya
menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahanlahan rundukkan tubuhnya.
Kedua kaki depannya dilunjurkan dan dagunya diletakkan di atas kedua kakinya
itu. Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak memandang sayu ke
arah Wiro. Dari mulutnya terdengar suara seperti anjing menggerang halus pilu
dan jinak. Sikapnya seperti minta dikasihani.
“Aneh, binatang apa ini
sebenarnya. Mengapa dia tibatiba berubah seperti menderita sesuatu yang
menyakitkan dan bersikap jinak.” Dengan agak ragu Wiro melangkah mendekati
srigala itu. Tiba-tiba binatang ini mengangkat kepalanya dan melolong panjang.
Lolongannya tidak terdengar buas, tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian Wiro
sempat kaget dan tersurut dua langkah. Kemudian dilihatnya srigala itu kembali
meletakkan kepalanya di atas kedua kakinya.
Setelah memperhatikan sejenak
Wiro beranikan diri lagi mendekati srigala itu. Tangan kanannya tetap disiapkan
untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah jika sewaktu-waktu srigala
itu tiba-tiba menerkam dan menyerangnya. Semakin dekat Wiro padanya semakin
memilukan terdengar suara erangan binatang ini.
“Makhluk berbentuk srigala,
apapun kau adanya, jika kau bersikap bersahabat, aku pun akan bersahabat
denganmu…” kata Wiro bicara pada srigala itu.
Sepasang mata yang sayu merah
tampak berkedipkedip beberapa kali. Wiro ulurkan tangan kirinya. Dibelainya
kepala lalu tengkuk srigala itu.
“Ah, kau ternyata mau
bersahabat denganku!” kata Wiro. “Kalau begitu biar aku pergi. Jangan turuti
aku. Sekali kau masuk ke Kotaraja orang-orang pasti akan membunuhmu.”
Wiro mengusap lagi kepala
binatang itu. Ketika dia hendak bergerak pergi, srigala ini menjulurkan
lidahnya yang basah berdarah dan sempat menjilat punggung telapak tangan kiri
si pemuda. Wiro mengernyit jijik dan cepat menjauh.
Pada saat itu terdengar suara
derap kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Wiro berpaling. Ternyata kereta
yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan oleh kusir tua itu muncul
kembali.
Srigala yang melunjur di
tengah jalan tiba-tiba bangkit dengan cepat. Kedua daun telinganya berdiri
tegang ke atas. Dari mulutnya terdengar suara menggereng keras lalu binatang
ini melompat ke balik semak-semak dan lenyap dalam rimba belantara.
“Pak Tua, kenapa kau
kembali?!” tanya Wiro begitu kereta berhenti di sampingnya.
“Den Ayu Ratih yang menyuruh.
Dia khawatir kau diapaapakan oleh binatang itu. Ternyata tadi kau malah
kulihat mengusap-usap kepalanya!”
Tirai samping jendela terbuka.
Wajah cantik Ratih Kiranasari muncul. “Wiro, kau tidak apa-apa?”
Wiro tersenyum. “Binatang itu
ternyata aneh. Tampangnya memang mengerikan. Tapi ternyata dia tidak menyerang
saya…”
Ratih memperhatikan tangan
kiri si pemuda. “Ada noda darah di tangan kirimu,” katanya kemudian.
Wiro memperhatikan. Memang di
punggung tangan kirinya ada noda darah bekas jilatan lidah srigala tadi. Wiro
mengambil setangkai daun. Dengan daun ini disekanya noda darah itu. Wiro lalu
melompat ke atas kereta.
“Pak Tua lekas putar kereta.
Kita harus meninggalkan hutan ini cepat-cepat!”
4
GANDAR Seto dan istrinya
sama-sama memandang pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak berkedip
dan wajah yang menyatakan keheranan. “Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini,
Salah satu di antaranya adalah dirimu Ratih,” kata Perwira Tinggi itu pada
puterinya.
Ratih Kiranasari hanya bisa
menatap wajah kedua orang tuanya sesaat lalu tundukkan kepala.
Sang ibu memegang lengan anak
gadisnya itu lalu berkata. “Anakku, kami berdua tidak merasa heran jika kau
mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang terus terang kami memang
sangat mendambakan agar kau segera menemukan seorang calon suami. Aku dan ibumu
sudah sama lanjut dan ingin melihat kau punya suami, lalu punya anak, cucu
kami. Tapi kalau pemuda itu ternyata seorang pemuda yang tidak diketahui
asal-usul dan juntrungannya, tentu saja kami sangat keberatan anakku. Batalkan
saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami.”
“Jangan-jangan dia seorang
pemuda gelandangan!” kata Gandar Seto pula menimpali ucapan istrinya.
“Saya memang tidak tahu asal
usulnya. Namun saya yakin dia bukan gelandangan…”
“Buktinya kau ketemu dia di
Hutan Jati Mundu. Dia tidak tinggal di Kotaraja dan juga bukan orang sekitar
sini. Lalu siapa sebenarnya pemuda yang kau katakan itu?”
“Ayah, dia seorang pemuda yang
punya ilmu. Buktinya saya lihat sendiri dia bisa menjinakkan seekor srigala
buas di hutan itu.”
Perwira Tinggi itu tertawa
gelak-gelak.
“Di Jati Mundu tak ada
binatang buas. Apalagi srigala. Yang kau lihat dijinakkannya itu jangan-jangan
hanya seekor kambing hutan!”
“Ayah, saya tidak terlalu
bodoh membedakan mana kambing dan mana srigala. Binatang yang saya lihat
diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!”
“Mungkin saja kambing betina!
Jelas tidak punya tanduk!” tangkis sang ayah.
“Kalau ayah dan ibu tidak
percaya tanyakan saja pada Pak Tua Tejo, kusir kita. Dia ikut melihat apa yang
saya saksikan.” Ratih terus berusaha meyakinkan kedua orang tuanya.
“Sudahlah anakku. Taruh pemuda
itu punya ilmu kepandaian dan dia memang bisa menjinakkan binatang buas dalam
Hutan Jati Mundu seperti katamu. Tapi satu hal harus kau ingat, kami orang
tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami lebih
suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup daripada punya menantu yang
memberi malu dan menurunkan derajat kami!”
Berubahlah paras Ratih
Kiranasari mendengar katakata ayahnya itu. Kedua bola matanya tampak seperti
membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat membuat ayah dan ibunya
tercekat. Gadis ini bangkit dari kursinya.
“Ayah dan ibu terlalu
diperbudak oleh kedudukan, jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa!
Semua manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging! Saya tidak
meminta ayah ibu menjodohkan saya dengan pemuda yang ayah katakan sebagai
gelandangan itu karena dia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya benar-benar
tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya menjadi
perawan tua hanya karena gila jabatan dan derajat!”
“Ratih!” teriak Gandar Seto
keras sekali.
Ratih sendiri saat itu sudah
bangkit berdiri lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari
dalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Gandar Seto dan istrinya
berusaha masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ratih
menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras.
Gandar Seto geleng-gelengkan
kepala. Kedua suami istri itu saling pandang beberapa ketika. Perwira Tinggi
ini akhirnya mengangkat bahu dan berkata. “Biarkan saja. Nanti kalau dia sudah
tenang pasti mengerti sendiri.”
“Saya rasa ada baiknya kau
menemui kusir kita itu Ppak,” berkata sang istri.
Paras Perwira Tinggi itu
tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat lalu berkata. “Nah, nah… nah!
Rupanya hatimu mulai mendua. Kalau kau memang ingin bermenantukan gelandangan
yang kata anakmu itu pandai menjinakkan binatang buas, silahkan kau temui dan
bicara sendiri dengan Tejo!” Habis berkata begitu Gandar Seto tinggalkan
istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil membanting pintu. Tinggal kini sang
istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian dia
kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi tetap saja tak ada
jawaban.
Perempuan ini akhirnya masuk
ke dalam kamar menemui suaminya.
“Yang saya takutkan, Pak-ne,”
katanya, “Jika kita terlalu keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri,
minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.”
“Kalau dia memang mau minggat
aku tidak akan mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehilangan
anak daripada menerima malu besar. Kalau dia kabur bersama pemuda gelandangan
itu, akan kubunuh kedua-duanya!” kata Gandar Seto dengan wajah keras membesi.
***
Di bagian belakang gedung
kediaman Perwira Tinggi Gandar Seto ada sebuah gudang besar didampingi kandang
kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu ada sebuah rumah kecil.
Malam terasa dingin. Meski di langit ada bulan purnama empat belas hari namun
halaman belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan. Dalam kegelapan inilah
tampak seseorang mengendapendap menuju bagian depan bangunan kecil. Di depan
pintu dia berhenti, memandang berkeliling sebentar lalu mulai mengetuk.
Walaupun bagian dalam rumah berada dalam keadaan gelap namun penghuninya
ternyata belum tidur. Begitu pintu diketuk terdengar suara orang bertanya dari
dalam.
“Siapa?”
“Pak Tua Tejo, buka pintu.
Cepat! Saya mau bicara…?”
Pintu segera terbuka. “Den Ayu
Ratih? Malam-malam begini Den Ayu menemui saya ada apakah?”
Orang yang datang itu ternyata
adalah Ratih Kiranasari, puteri Perwira Tinggi. Dia langsung masuk ke dalam
rumah kecil itu, tegak bersandar di pintu. Ketika kusir tua Tejo hendak
menyalakan lampu minyak, gadis itu cepat mencegah.
“Ada apa sebenarnya, Den Ayu?”
Dengan singkat dan cepat Ratih
menceritakan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.
“Lalu, mengapa Den Ayu datang
ke mari? Apa yang bisa saya lakukan?”
“Pak Tua Tejo tahu di mana
pemuda bernama Wiro itu menginap di Kotaraja?”
“Saya tidak tahu. Bukankah
sewaktu berpisah kemarin pagi saya dengar Den Ayu berjanji akan menemuinya lagi
di satu tempat?”
“Betul, tapi masih dua hari
lagi. Saya perlu bertemu dengan dia sekarang juga. Saya akan minta dia menemui
kedua orang tua saya.”
“Itu satu maksud yang baik.
Tapi saya sarankan jangan sekarang-sekarang ini. Mereka lagi bingung. Mungkin
juga marah. Beri kesempatan barang beberapa hari. Kalau mereka sudah tampak
biasa-biasa saja baru pemuda itu disuruh datang.”
Ratih terdiam.
“Maaf Den Ayu. Kalau pemuda
bernama Wiro itu dipertemukan dengan kedua orang tua Den Ayu, apa yang harus
dilakukannya? Melamar Den Ayu?”
“Siapa meminta dia melamar
aku?!”
“Lalu… Ah, saya mungkin tidak
mengerti. Katakan saja apa yang harus saya lakukan,” kata kusir tua Tejo.
“Pak Tua harus mulai mencari
pemuda itu malam ini juga! Pak Tejo harus menolong saya!”
“Tentu. Pasti saya mau
menolong. Tapi mencari pemuda bernama Wiro itu malam-malam begini rasanya satu
pekerjaan sia-sia belaka…”
Ratih Kiranasari tampak
kecewa.
“Den Ayu, masuk kembali ke
dalam gedung. Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi hal ini. Kalau ada penjaga
yang sempat melihat Den Ayu ada di tempat ini saya khawatir mereka bisa salah
sangka…”
Tanpa berkata apa-apa gadis
itu keluar dari rumah kecil itu. Kusir tua Tejo memandang sambil menggelengkan
kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar kembali ke rumah dan tidur,
orang tua ini menutupkan pintu kembali. Ternyata Ratih tidak kembali ke dalam
rumah. Seperti orang yang berjalan sambil tidur gadis ini melangkah sepembawa
kakinya. Penjaga yang terkantuk-kantuk di pintu gerbang sama sekali tidak
melihat gadis ini lewat di depannya.
***
“Nandang, hari sudah larut
malam. Aku khawatir ada ronda dusun melihat kau berada di sini…” kata perempuan
yang duduk sambil mendekap pemuda di sampingnya. Saat itu mereka duduk di atas
sebuah bangku panjang sambil bersandar pada batang pohon besar di sebelah
belakang.
“Halaman ini luas sekali.
Banyak pohon dan semaksemaknya. Mata ronda dusun tak akan dapat memandang
sampai ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kau matikan. Kalaupun ada
yang memperhatikan pasti mereka mengira kau sudah tidur, Sarti.” Menjawab
pemuda yang mendekap tubuh langsing Sarti.
“Sinar bulan purnama cukup
terang. Saya khawatir Nandang…”
“Ah, apa yang harus
dikhawatirkan. Bukankah kau sendiri tadi yang meminta agar kita duduk
bermesraan di tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas hari yang
indah itu?”
Sarti terdiam. Untuk kesekian
kalinya dirasakannya jarijari tangan pemuda itu meraba dan memeras lembut
dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan darahnya menjadi panas.
“Lagi pula, Sarti…” kata si
pemuda berbisik ke telinga Sarti. “Kau tidak mengajakku masuk ke dalam rumah
kali ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita melewati malam yang begini indah
seperti malam-malam sebelumnya.”
“Nandang, aku khawatir suamiku
akan kembali malam ini. Kalau dia sampai menemukan kita di dalam kamar, di atas
tempat tidur…”
“Aku yakin Sentot pasti tidak
akan pulang malam ini. Paling cepat besok pagi. Aku tahu banyak yang harus diurusnya
di Wates. Ajak aku ke kamarmu Sarti…”
“Jangan malam ini Nandang.
Waktu kita masih banyak.”
“Kalau begitu kita lakukan di
sini saja? Lihat bulan purnama itu. Indah sekali…”
“Jangan Nandang…” menolak
Sarti tapi dia tidak berusaha menepiskan sepasang tangan si pemuda yang mulai
melucuti pakaiannya.
“Kita tidak pernah bermesraan
di tempat terbuka seperti ini. Apalagi ada rembulan yang begitu indah. Tidakkah
kau merasakan dorongan yang meluap-luap dalam tubuhku, kekasihku…?” bisik
Nandang sambil menciumi telinga Sarti hingga perempuan muda ini menggelinyang.
Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya. Angin malam bertiup dingin tapi
Sarti merasakan badannya seperti dikobari api. Dari mulutnya terdengar suara
sesalan halus. “Aku menyesal dan akan menderita seumur hidup mengapa ayah
mengawinkan aku dengan Sentot yang hampir dua puluh tahun lebih tua dariku.
Sementara gadisgadis dusun kulihat kawin dengan pemuda-pemuda gagah…”
“Jangan sesali hidup ataupun
orang tuamu,” kata Nandang pula seraya tangannya meluncur ke bawah. “Lupakan
Sentot. Bukankah aku akan selalu berada di dekatmu setiap saat kau membutuhkan
diriku?”
Sarti menyusupkan kepalanya ke
dada Nandang. “Aku memang membutuhkanmu Nandang. Aku tak bisa berpisah
denganmu. Bawa aku ke mana kau pergi…”
“Akan tiba saatnya Sarti.
Pasti…” jawab Nandang lalu merebahkan istri Sentot di atas bangku panjang.
Sambil tersenyum Sarti memperhatikan pemuda kekasihnya itu membuka bajunya. Di
atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar indah sekali. Belum
pernah Sarti melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan itu seperti
bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya, menciumi lehernya dengan
penuh nafsu. Sarti memagut punggung pemuda ini kuat-kuat. Tapi tiba-tiba sekali
dilepaskannya.
“Ada apa, Sarti?” bertanya
Nandang.
5
MELIHAT wajah Sarti yang
seperti ketakutan Nandang memandang berkeliling. Lalu dia bertanya sekali lagi.
“Ada apa…?” “Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak. Aku khawatir
ada orang mengintai perbuatan kita…”
“Itu hanya perasaanmu saja.
Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini,” kata Nandang pula lalu ciumannya
bertubitubi mendarat di wajah, leher dan dada Sarti. Sesaat perempuan ini jadi
hanyut lupa diri. Namun di lain ketika kedua tangannya mendorong dada Nandang
ke atas.
“Eh, apa-apaan kau ini,
Sarti?” Nandang jadi kesal.
“Apa kau tidak mendengar? Ada
suara gemerisik semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di sebelah
sana…” Sarti memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan pohon salak.
“Supaya kau tidak ketakutan
terus biar aku menyelidik ke sekitar pohon salak itu. Ada-ada saja kau Sarti.
Kau tunggu di sini…”
Sarti menutupi tubuhnya dengan
kain panjang. Nandang memegang lengannya seraya berkata. “Awas kalau kau
mengenakan pakaianmu kembali. Aku akan menyelidik. Cuma sebentar. Pasti kau
hanya takut tak beralasan… Tak ada apa-apa di sekitar sini.”
Nandang bangkit berdiri. Dia
tidak perduli lagi kalau saat itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dalam keadaan bugil pemuda ini melangkah ke arah pohon salak. Dia datang dari
sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau bayangan apa pun di situ. Nandang
meneruskan langkahnya memutari pohon salak ke sebelah belakang. Juga tidak ada
apa-apa.
“Sarti… Sarti… Jangan-jangan
dia hanya mempermainkan aku,” kata Nandang. Dia segera hendak meninggalkan
tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah cahaya aneh di sebelah kiri.
Pemuda ini cepat berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan
kirinya dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar mendekam duduk
dengan moncong terbuka. Kedua matanya berwarna merah, memancarkan sinar aneh
menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam
mengerikan. Suara nafas makhluk ini terdengar seperti gerengan harimau. Tengkuk
Nandang menjadi dingin. Namun jika dia menoleh ke samping kanan binatang itu,
terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar bulan purnama tegak seorang
perempuan berwajah cantik, mengenakan kemben dan kain panjang halus. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih. Kalau binatang di
sampingnya menyorotkan pandangan yang mengerikan sebaliknya perempuan cantik
ini tampak tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan bahwa di balik
senyum itu tersembunyi satu bayangan angker menyeramkan.
“Kau… kau siapa…?” tanya
Nandang dengan suara agak tersendat.
Perempuan muda dan cantik di
depannya tidak menjawab. Kedua matanya memperhatikan tubuh si pemuda yang sama
sekali tidak mengenakan apa-apa. Pandangan perempuan itu membuat Nandang sadar akan
keadaan dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya berusaha menutupi bagian bawah
tubuhnya.
Si cantik di depannya kembali
tersenyum. “Tak usah kau menutupi aurat. Aku suka melihat tubuhmu yang tegap!”
Ucapan itu tentu saja membuat
dada Nandang jadi berdebar. “Ah, wanita muda cantik berpengawal anjing besar
ini jangan-jangan seorang peri…” membatin Nandang.
“Anak muda, apakah kau mau
membagi kesenangan yang kau berikan pada perempuan di atas bangku itu padaku?”
Tiba-tiba si cantik di bawah bulan purnama berkata.
Semakin menggeletar sekujur
tubuh Nandang.
“Aku tidak tahu siapa kau
adanya…”
“Namaku Kemala. Apakah nama
itu tidak bagus?”
“Bagus sekali. Sebagus
orangnya…” jawab Nandang.
Perempuan cantik itu tertawa
perlahan. “Kau pemuda pandai memuji dan merayu. Pantas perempuan itu
tergilagila padamu meski sudah jadi istri orang. Sekarang jawab pertanyaanku
tadi.”
Nandang tak bisa menjawab.
“Apa wajahku lebih buruk dari
istri Sentot. Apa tubuhku lebih jelek dari perempuan kekasih gelapmu itu?”
Nandang harus mengakui bahwa
wajah perempuan di depannya jauh lebih cantik dari Sarti, juga potongan
tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun tetap saja dia tidak mau
menjawab.
“Kau tidak mau membagi
kebahagiaan itu padaku?” Si cantik bertanya lagi sambil mengusap kepala
binatang di sampingnya.
“Dengar, aku…”
“Sudahlah! Tak usah banyak
bicara lagi!” Si cantik menghentikan usapannya pada kepala srigala besar di
sampingnya lalu berkata. “Datuk, lakukan tugasmu…”
Sepasang mata srigala ini
membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar
suara lolongan panjang. Nandang merasakan nyawanya seperti terbang dan lututnya
bergetar goyah. Sebelum sempat dia melakukan sesuatu tiba-tiba srigala besar
itu sudah melompat dan menerkamnya. Nandang berteriak keras. Tapi suara
teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang berkuku panjang menyambar
lehernya. Batang leher Nandang koyak besar mengerikan. Tulang lehernya patah.
Darah menyembur muncrat!
Di atas bangku panjang di
bawah pohon Sarti setengah terlompat ketika mendengar suara lolongan binatang
dari arah pohon salak. Lalu menyusul suara teriakan orang.
“Itu Nandang…” kata Sarti
dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Cepat-cepat dia menutupi tubuhnya dengan
kain panjang lalu dengan dada berdebar dia melangkah ke arah pohon salak ke
jurusan mana tadi lenyapnya Nandang.
“Nandang… Nandang…” memanggil
Sarti. Tak ada jawaban. “Nandang kau di mana…?” Sarti sampai di dekat pohon
salak lalu memandang perkeliling. Tiba-tiba satu jeritan keras keluar dari
mulut Sarti. Kedua matanya seperti hendak tanggal dari rongganya. Hanya
beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh Nandang. Tubuh tanpa pakaian
itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali
lagi. Salah satu matanya mencuat keluar, hidungnya tanggal dan mulutnya sobek.
Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan darah!
Sarti membalikkan tubuh untuk
melarikan diri dalam ketakutannya. Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul
seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut berlumuran darah terbuka
mengerikan. Kedua matanya seperti bara api menyala! Untuk kedua kalinya Sarti
menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya terserandung akar pohon yang
menonjol di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk. Srigala besar melangkah
mendekati. Saat itulah dalam takutnya Sarti melihat ada sosok seorang perempuan
cantik melangkah di belakang srigala besar itu.
“Tolong… tolong…!” jerit
Sarti.
“Perempuan serakah! Tak ada
yang bakal bisa menolongmu!” Si cantik di belakang srigala berkata. “Sudah
punya suami tak cukup bagimu! Masih mau main gila dengan lelaki lain! Apa kau
kira hanya kau satu-satunya perempuan yang hidup di dunia ini?!”
“Tolong! Siapa kau…?!” teriak
Sarti.
“Datuk, bunuh perempuan itu!”
Mendengar perintah itu srigala
besar meraung panjang lalu menerkam tubuh Sarti. Perempuan ini masih sempat
menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar dengan suara tubuh
yang dicabik-cabik srigala itu.
Sosok tubuh Sarti terbujur di
tanah dalam keadaan hancur koyak mengerikan. Si cantik bernama Kemala yang
rambutnya tergerai lepas ke bahu sesaat memperhatikan tubuh itu tanpa
bergeming. Lalu dia berkata pada binatang di depannya.
“Datuk, kau boleh pergi
sekarang. Kita bertemu lagi tiga puluh hari di muka. Tepat pada saat purnama
tiga belas hari muncul di langit.”
Srigala bermata merah itu
memutar tubuhnya lalu merunduk seperti menyembah. Setelah menggereng keras
binatang ini melompat ke kiri dan lenyap dalam kegelapan malam.
Tempat itu kini kembali sunyi
senyap. Di langit rembulan masih tampak seindah sebelumnya. Hanya kini ada awan
hitam bergerak menutupi.
Perempuan yang tinggal seorang
diri di tempat itu terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajahnya
dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan dengan bertiupnya
angin malam yang dingin.
6
ISTRI Gandar Seto tidak bisa
memicingkan matanya sementara suaminya sudah tertidur ngorok di sebelahnya.
Pikiran perempuan ini masih mengingat pada ketegangan yang terjadi antara dia
dan suaminya di satu pihak dan dengan puteri mereka Ratih Kiranasari. Setelah
bolak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini turun dari tempat tidur. Di
luar kamar dia termenung sesaat sebelum kemudian melangkah menuju kamar tidur
anaknya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu dari dalam. Tetapi entah
mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung membukanya. Agak heran
ternyata dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke
dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun cahaya rembulan yang menyeruak
masuk lewat lobang angin cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi
kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh puterinya!
“Ke mana anak itu…?” bertanya
istri Perwira Tinggi ini dalam hati. Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah
memastikan Ratih tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat keluar. Dia
memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan. Dia segera menuju
ke pintu depan, membuka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak tertidur
pulas. Penjaga yang biasa meronda tidak kelihatan. Perempuan ini tidak dapat
lagi menahan rasa khawatirnya. Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar,
membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka lenyap entah ke mana.
“Jangan-jangan dia telah
diculik pemuda asing itu Pakne!” kata istri Gandar Seto.
Gedung kediaman Perwira Tinggi
itu menjadi heboh. Semua pengawal dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan
mereka diperintahkan untuk segera mencari Ratih Kiranasari. Namun orang-orang
itu termasuk Gandar Seto sendiri tidak tahu harus mencari ke mana. Tejo si
kusir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah
menemuinya dan menanya apakah dia tahu di mana beradanya pemuda bernama Wiro.
“Kini kalau dia tiba-tiba lenyap jangan-jangan dia mencari pemuda itu. Den Ayu
Ratih, kenapa senekad itu dirimu…”
Gerak gerik kusir tua yang
tidak seperti biasanya itu terlihat oleh Gandar Seto. Perwira Tinggi ini jadi
curiga. Dia menghampiri orang tua ini dan berkata. “Pak Tejo, sikapmu agak lain
kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi dengan anakku… Selain kami orang
tuanya kau adalah orang yang paling dekat dengan Ratih. Apa yang kau ketahui
Pak Tejo?!”
“Saya… saya tidak tahu…” Kusir
tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga mulai ketakutan.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara derap kaki kuda.
“Ada orang datang!” seru
seorang pengawal.
Semua orang yang ada di depan
gedung sama berpaling ke arah pintu gerbang. Seekor kuda ditunggangi dua orang
memasuki halaman dan sampai di tangga depan gedung. Semua orang karuan saja
jadi terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang adalah Ratih Kiranasari
sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang tali kekang kuda adalah seorang
pemuda tak dikenal berambut gondrong.
Gandar Seto melompat. Dengan
cepat dipegangnya pinggang puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang
matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari rambut sampai ke kaki.
“Ratih, kau tidak apa-apa? Kau
barusan dari mana?!”
Gadis itu tak menjawab. Ibunya
sudah sampai pula di tempat itu, memeluknya lalu membimbingnya ke dekat tangga
gedung. Gandar Seto kini membelalak memandang pada si gondrong yang masih duduk
di atas kuda dan yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau siapa?!” bentak Perwira
Tinggi itu keras sekali.
Wiro segera turun dari
punggung kuda. Dia membungkuk dengan sikap hormat. “Saya Wiro. Saya…” jawab
Pendekar 212. Belum sempat dia meneruskan ucapannya Gandar Seto sudah
mendamprat.
“Jadi kau pemuda gelandangan
yang…”
“Ayah! Jangan menghina dia!”
Tiba-tiba terdengar teriakan Ratih Kiranasari.
Perwira Tinggi itu melotot ke
arah anaknya. Hampir terlompat makian dari mulutnya. Dengan suara bergetar dia
berkata. “Kau membelanya! Benar rupanya kau menyukai pemuda ini! Anak tak tahu
diri. Memberi malu orang tua!” Gandar Seto berpaling pada Wiro. “Berani kau
main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta lalu kau kembalikan lagi
dengan cara seperti ini! Benar-benar kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!”
Gandar Seto melompat ke
hadapan Wiro.
“Perwira, biar saya jelaskan
dulu…” kata Wiro.
Namun jotosan Perwira Tinggi
itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk!
Wiro terjajar dan terpuntir ke
belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan bengkak. Ratih Kiranasari
berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat memegang pinggang ayahnya
ketika lelaki ini hendak menghajar Wiro kembali.
“Jangan, Ayah! Jangan pukul
dia! Dia yang menolong saya…”
“Menolongmu? Dia? Si
gelandangan ini? Apa yang sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah
ini lalu kau bilang dia menolongmu!”
“Tidak, saya pergi dari rumah
mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika dia menemui
saya, saya tergolek di sebuah pondok di pinggiran Desa Gedangan. Dia lalu
membawa saya pulang ke mari…”
“Ceritamu tidak masuk akal!
Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya hingga bisa keluar malam-malam
untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada anak
gadisku?!”
Gandar Seto mendorong Ratih
Kiranasari ke samping lalu dia menyerbu Wiro dengan ganas. Si gadis menjerit
keras. Dia melompat di antara ayahnya dan Pendekar 212. Wiro tahu betul
serangan yang dilancarkan oleh Perwira Tinggi itu bukan serangan main-main atau
hanya sekedar melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan ganas yang bisa
membunuhnya karena jelas dirasakannya serangan itu disertai tenaga dalam
tinggi. Di Kotaraja siapa yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi Gandar Seto
yang dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan memiliki aji kesaktian yang jika
dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya menjadi sekeras dan seatos besi. Apa
saja yang kena gebuk atau tendangannya pasti akan hancur binasa, termasuk tubuh
manusia jika kena dihantamnya! Dan kini agaknya dia telah mengeluarkan aji
kesaktiannya itu untuk menyerang Wiro yang dianggapnya telah melakukan sesuatu
yang memalukan atas diri puterinya.
Ratih yang sudah tahu akan
ilmu yang dimiliki ayahnya itu dan takut Wiro akan mendapat celaka cepat
menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya sehingga Perwira
Tinggi itu kini jadi sulit bergerak.
“Anak setan! Lepaskan
rangkulanmu!” teriak Gandar Seto. “Atau kepalamu ikut aku pecahkan saat ini
juga!”
“Jangan ayah! Dia tidak
bersalah! Dia tidak melakukan apa-apa! Dia menemukan saya dalam keadaan
setengah sadar lalu membawa saya ke mari!”
“Anak setan! Siapa percaya
ucapanmu!” Gandar Seto menggerakkan tubuhnya tapi Ratih pun mengencangkan
rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak selain membentak dan
memaki habis-habisan.
“Wiro! Pergilah! Lari cepat!”
teriak Ratih. Gadis ini khawatir dia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnya
melemparkannya ke tanah.
Pendekar 212 sesaat masih
tertegak di tempat itu. Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih
sakit lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu.
“Pengawal! Jangan biarkan
bangsat ini lari! Tangkap dia!” teriak Gandar Seto sambil berusaha melepaskan
diri dari pelukan puterinya. Delapan orang pengawal segera menyerbu ke arah
Wiro.
“Wiro! Lari!” teriak Ratih
sekali lagi.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya. Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di atas punggung kuda.
Namun empat orang pengawal masih sempat mengejarnya. Pengawal kelima malah
sudah merangkul leher kuda tunggangannya. Di saat itu pula Gandar Seto hampir
dapat melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya.
Wiro gerakkan kaki kiri
menendang salah seorang pengawal yang coba menarik pinggangnya. Orang ini
terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil menjerit-jerit kesakitan. Pengawal
yang coba menahan lari kuda dengan merangkul leher binatang itu dihantamnya
dengan satu pukulan ke atas batok kepalanya hingga melosoh jatuh dan pingsan
dengan mata melotot. Ketika kudanya mulai bergerak, seorang pengawal lagi
berusaha menghalangi sambil membabatkan sebilah golok pendek. Wiro jambak
rambut orang ini lalu menyeretnya sampai belasan langkah. Di satu tempat orang
ini dihempaskannya ke tanah. Begitu jatuh, kaki kiri kuda sebelah belakang
menginjak dadanya. Terdengar suara berderak patahnya tulang-tulang iga.
Pengawal ini menjerit pendek lalu diam entah pingsan entah mati.
“Kejar!” teriak Gandar Seto
marah sekali. Beberapa orang pengawal segera menyiapkan kuda. Namun gerakan
mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara kentongan dipukul orang dari
arah selatan. Lalu disahuti oleh kentongan lain dari jurusan berbeda. Malam
yang tadinya sepi ini kini jadi ramai oleh suara kentongan.
“Anak kurang ajar!” hardik
Gandar Seto marah. Tangan kanannya melayang dan, plakk! Tamparannya mendarat di
pipi Ratih Kiranasari yang sampai saat itu masih memeluki tubuhnya. Darah
kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri. Perlahan-lahan gadis ini
lepaskan pegangannya lalu melangkah pergi. Sang ayah seperti sadar apa yang
telah dilakukannya cepat mengejar, namun saat itu ada dua orang penunggang kuda
memasuki halaman. Begitu sampai di hadapan Gandar Seto keduanya melompat turun
dan menjura. Salah seorang dari mereka berkata.
“Perwira, kami dari Desa
Gedangan. Kepala Desa meng–Zutus kami untuk memberikan laporan. Satu hal
mengerikan telah terjadi di desa kami…”
“Apa yang terjadi di desamu?!”
tanya Gandar Seto dengan rahang menggembung tanda menahan amarah.
“Seorang pemuda desa bernama
Nandang ditemukan mati dalam keadaan muka dan tubuh tercabik-cabik. Di samping
mayatnya tergeletak mayat Sarti, istri penduduk desa bernama Sentot. Keadaannya
sama. Mati dengan tubuh koyak-koyak mengerikan…”
“Gila!” teriak Gandar Seto.
Orang desa yang satu lagi
terdengar menambahkan. “Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan tanpa pakaian sama
sekali…”
Gandar Seto kepalkan kedua
tinjunya. Kepalanya mendongak. Di langit tak sengaja dia melihat rembulan empat
belas hari. Di mata Perwira Tinggi ini, bulan purnama yang begitu indah
terlihat seperti sebuah bola api yang mengerikan. Sekilas kembali terbayang
kematian mengerikan yang terjadi malam kemarin atas diri bawahannya Randu
Wulung dan Rumini, sepasang pengantin yang sangat malang itu. Semua mereka
menemui kematian dengan cara yang sama! Biadab mengerikan!
“Jangan-jangan pemuda gondrong
bernama Wiro itu yang melakukannya…” desis Gandar Seto.
Ucapan yang meskipun perlahan
ini ternyata masih sempat terdengar oleh Ratih Kiranasari yang saat itu
sesenggukan tenggelam dalam pelukan ibunya. Si gadis mengangkat kepalanya. Lalu
berkata, “Ayah! Kau sungguh keterlaluan! Kini kau menuduh pemuda itu sebagai
pembunuh Nandang dan Sarti!”
Amarah Gandar Seto menggelegak
kembali. Dengan langkah-langkah besar dia mendekati puterinya. Tangan kanannya
diangkat siap untuk menampar lagi. Namun kali ini Perwira Tinggi ini masih bisa
menguasai dirinya. Perlahan-lahan tangannya diturunkan kembali. Dia memandang
berkeliling. Begitu dia melihat kusir tua Tejo, dia segera berkata. “Siapkan
kudaku! Kita harus menemui Patih Kerajaan malam ini juga! Keamanan Kotaraja
terancam. Dua pembunuhan terjadi dua malam berturut-turut! Seorang pemuda
gelandangan yang sangat aku curigai gentayangan bebas! Aku yakin dia makhluk
jahatnya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu!”
7
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
menatap wajah kusir tua yang basah oleh keringat itu beberapa saat lalu sambil
menggaruk kepala dia berkata, “Kotaraja dan tempat-tempat ramai lainnya tidak
aman bagiku sekarang ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar Seto kabarnya telah
mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap diriku hidup atau mati! Gila!
Aku dituduh sebagai pembunuh sepasang pengantin Randu Wulung dan Rumini. Lalu
aku juga dikatakan yang menghabisi pemuda sesat Nandang dan Sarti di Gedangan.
Edan!”
“Anak muda, harap kau jangan
marah. Apa betul bukan kau yang membunuh keempat orang itu?”
Kedua mata Pendekar 212
memandang mendelik. “Pak Tua, kalau bukan kau yang bicara begitu sudah kubetot
lepas lidahnya…”
“Jangan marah padaku Wiro.
Itulah anggapan semua orang di Kotaraja dan sekitarnya saat ini. Atau mungkin…”
“Mungkin apa?” tanya Pendekar
212 jadi tambah jengkel.
“Perwira Tinggi majikanku juga
punya anggapan semua korban itu mati akibat koyakan binatang buas. Lalu dia
ingat pada cerita puterinya tentang srigala yang ditemukan di Hutan Jati Mundu.
Jangan-jangan srigala itu binatang peliharaanmu…”
“Itu lebih gila! Lebih edan!”
kata Wiro.
“Kalau tidak mengapa binatang
buas itu begitu jinak padamu, anak muda…?”
“Itu yang aku tidak mengerti,”
jawab Wiro sambil garukgaruk kepala. Lalu dia berkata, “Saat ini aku tidak
lebih dari seorang buronan. Tapi belum ada seorang petugas pun dari Kotaraja
mengetahui kalau aku ada di sini. Kau berhasil mencari dan menemukanku, Pak
Tua. Sungguh hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu.”
“Terus terang, aku disuruh
oleh Den Ayu Ratih. Dia ingin bertemu dengan kau malam ini…”
“Hemmm…” Wiro kembali
garuk-garuk kepala.
“Kau harus menemuinya Wiro.
Dia merindukan dirimu tanda dia benar-benar menyukaimu. Katanya sudah satu
minggu lebih dia tidak melihatmu…”
Wiro mengusap pipi kanannya
yang masih kelihatan bengkak akibat jotosan Gandar Seto tempo hari.
“Anak muda, aku tahu kau tentu
sangat membenci ayahnya karena telah memukulmu. Lebih dari itu dia juga telah
menuduhmu dan menjadikan dirimu sebagai seorang buronan. Namun jangan kau
melihat semua itu. Den Ayu Ratih memerlukanmu.”
“Baiklah Pak Tua. Di mana aku
harus menemuinya?” tanya Pendekar 212.
“Kau tahu reruntuhan Candi
Blorok di timur desa Tumpakrejo?”
Wiro berpikir sebentar lalu
mengangguk.
“Den Ayu Ratih akan datang ke
sana. Tepat pada pertengahan malam…”
“Sendirian?”
“Aku minta menemaninya. Tapi
dia bersikeras akan datang seorang diri…”
“Baiklah. Aku akan menunggu di
Candi Blorok,” kata Wiro.
Tejo si kusir tua tersenyum.
Sebelum pergi dia memberi hormat dan berkata. “Anak muda, kau orang baik. Kalau
kau nanti memang berjodoh dengan puteri majikanku itu nasibku tentu akan tambah
baik…”
***
Di langit tak ada bulan.
Bintang pun cuma ada satu
dua. Malam gelap, sunyi dan
dingin. Bangunan Candi Blorok yang beberapa bagiannya sudah runtuh tampak
menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu bayangan putih berkelebat di
belakang candi lalu lenyap dalam kegelapan dan tahu-tahu dia sudah berada di
pelataran candi sebelah dalam. Sesaat dia memandang berkeliling. Setelah
memastikan tak ada orang lain di tempat itu, dia lalu pergi duduk di atas
sebuah arca tanpa kepala.
“Memang lebih baik biar aku
yang menunggu,” kata orang ini dalam hati. Dia memandang ke langit di atasnya.
“Belum tengah malam,” dia kembali membatin. Lalu pikirannya mengelana jauh.
“Walaupun gadis itu menyukaiku setengah mati dan aku memang ada rasa senang
padanya, tapi untuk berjodoh dengan dirinya… Ah! Ini satu hal yang berat.
Bahkan tidak mungkin. Apa yang akan dibicarakannya malam ini? Kalau dia
merayuku dengan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya dan aku tidak bisa
bertahan bisa celaka diriku!” Orang yang duduk di atas arca buntung ini lalu
garuk-garuk kepala. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar ada
suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin keras tanda
semakin dekat dan memang mengarah ke candi di mana dia berada.
Orang itu bangkit dari arca
yang didudukinya. Di samping kiri candi dilihatnya mendatangi seorang
penunggang kuda. “Ah, dia datang…” Orang ini menarik nafas lega dan tersenyum.
Namun kemudian kedua matanya menyipit dan senyumnya lenyap. “Eh, bukan dia.
Penunggang kuda itu seorang lelaki, bukan Ratih…” Orang ini melangkah ke
dinding candi sebelah kiri agar bisa melihat lebih jelas. Begitu dia mengenali
penunggang kuda itu parasnya jadi berubah oleh rasa kejut. “Astaga! Itu Perwira
Tinggi Gandar Seto! Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini?!
Jangan-jangan…”
Orang yang datang menunggang
kuda coklat memang adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. Dari pakaian ringkas yang
dikenakannya serta sebilah golok besar yang terselip di pinggangnya jelas kalau
kedatangannya ke tempat itu bukan suatu kebetulan belaka. Dan ini segera
terbukti. Setelah hentikan kudanya di depan Candi Blorok, Perwira Tinggi itu
lalu berteriak.
“Manusia buronan bernama Wiro!
Lekas serahkan diri! Kau sudah terkurung! Jangan harap bisa lolos!”
Murid Eyang Sinto Gendeng yang
memang adalah orang yang berada dalam Candi Blorok seperti disentakkan. Kedua
matanya membesar ketika memandang berkeliling. Dari kegelapan di seputar
bangunan candi muncul banyak sekali orang. Jumlah mereka tidak kurang dari
seratus. Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian
pasukan kerajaan.
“Kurang ajar! Aku dijebak!”
maki Pendekar 212 dengan kedua tangan terkepal. Dia kembali memperhatikan
keadaan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Seto kini dilihatnya
berjejer enam orang penunggang kuda. Empat di antara mereka adalah
perwira-perwira muda Kerajaan yang dari sikap mereka jelas memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Murid Eyang Sinto Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan kehadiran empat
perwira muda itu maupun puluhan prajurit yang telah mengurung seantero bangunan
Candi Blorok. Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi sendiri terlebih lagi
adalah dua orang yang berada di kiri kanannya. Orang di sebelah kiri seorang
nenek berambut putih jarang, berkulit hitam. Sekilas tampangnya seperti Eyang
Sinto Gendeng. Di keningnya ada sebuah benjolan hampir menyerupai tanduk
pendek. Bibirnya sumbing hingga seluruh gigi atasnya yang masih utuh berwarna
hitam tonggos kelihatan menjorok ke luar, menjijikkan. Di tangan kirinya nenek
ini memegang sebuah pendupaan berisi bara api menyala dan menabur asap kelabu
berbau aneh. Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi si nenek memegangnya
tenang-tenang saja seperti memegang sebuah kayu.
Pendekar 212 mengingat-ingat.
“Kalau aku tidak salah duga nenek berbibir sumbing itu dikenal dengan julukan
Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silatnya tidak seberapa. Tetapi
pendupaan di tangan kirinya itu telah membuat dirinya menjadi momok nomor satu
dan ditakuti di tanah Jawa ini!” Lalu dalam hati Wiro memakimaki dirinya
sendiri habis-habisan yang telah berlaku bodoh hingga sampai tertipu dan
terjebak di tempat itu. “Kusir tua keparat itu, dia ternyata ular kepala dua!”
Wiro mengalihkan perhatiannya
pada kakek berpakaian merah yang menunggangi kuda di sebelah kanan Perwira
Tinggi Gandar Seto. Kepalanya yang gundul sengaja dicat merah. Ketika
menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat merah. “Si Bayangan Api…” desis
Wiro. “Aneh, mengapa jago-jago tingkat tinggi ini bisa bergabung dengan
orang-orang Kerajaan?” pikir Wiro lagi.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini
tidak tahu bahwa secara diam-diam Gandar Seto telah melakukan penyelidikan atas
dirinya. Dari beberapa sumber dia kemudian mengetahui bahwa pemuda bernama Wiro
itu sebenarnya adalah Wiro Sableng yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa sebenarnya orang buronannya maka
itulah sebabnya Gandar Seto membawa serta si Bayangan Api dan Iblis Sumbing
Pembawa Pendupa Maut, ditambah dengan empat orang perwira muda berkepandaian
tinggi dan puluhan prajurit.
Beberapa orang di Kotaraja
yang kenal siapa adanya Pendekar 212 tidak menyetujui cara Gandar Seto yang
langsung melakukan pencarian terhadap Wiro. Mereka mengusulkan agar menghubungi
Sinto Gendeng terlebih dahulu di Gunung Gede karena mereka tidak bisa percaya
begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah menjadi orang jahat dan melakukan
pembunuhan keji di beberapa tempat. Namun Gandar Seto dapat meyakinkan Patih
Kerajaan bahwa tindakannya adalah benar dan harus cepat dilaksanakan sebelum
pemuda buronan itu kembali melakukan pembunuhan lagi. Di samping itu Gandar
Seto juga menyimpan dendam tertentu terhadap Pendekar 212. Dia menganggap
pemuda ini juga menjadi biang racun yang hendak menjerat puterinya.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!”
teriak Gandar Seto. “Apakah kau nyatanya begini pengecut tidak berani
menyerahkan diri?!”
Wiro tentu saja terkejut
ketika orang menyebut gelar dan nama panjangnya. “Dari mana keparat ini tahu
siapa diriku,” katanya dalam hati dan masih tetap berlindung di balik dinding
candi.
Dari atas kudanya Perwira
Tinggi Gandar Seto kembali berteriak. “Pendekar 212! Jika kau tidak mau
menyerahkan diri maka aku akan menyerbu ke dalam candi!”
“Sialan! Dia benar-benar tahu
kalau aku berada di tempat ini!” maki murid Eyang Sinto Gendeng. Sambil
mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya dia keluar dari balik dinding
dan melangkah menuruni bagian depan Candi Blorok. Tiga langkah dari depan
reruntuhan tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada Gandar Seto dan
bertanya.
“Aku sudah berada di
hadapanmu. Katakan apa keperluanmu Perwira Tinggi!”
“Kau yang harus mengatakan apa
kau mau ditangkap hidup-hidup dengan tubuh utuh atau ingin menyerahkan diri
setelah sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki kami cincang lumat!”
Gandar Seto menjawab dengan pelipis bergerak-gerak dan rahang menggembung tanda
dia mulai mendekati puncak amarahnya.
“Perwira, kau ingin menangkap
dan mencincang diriku! Katakan apa salahku!”
Gandar Seto keluarkan suara
mendengus. “Lagakmu sungguh hebat! Kau membunuh secara keji empat orang tak
berdosa. Kau bahkan menculik puteriku…”
“Tuduhan dusta! Kau punya
bukti kalau aku yang membunuh empat orang itu? Kau juga punya bukti bahwa aku
menculik puterimu? Padahal puterimu sendiri mengatakan aku tidak menculiknya.
Aku menemuinya dalam keadaan setengah sadar di dekat Gedangan!”
Perwira Tinggi itu
menggerakkan tangannya. Empat orang perwira muda melompat turun dari kuda
masingmasing, langsung mengurung Pendekar 212.
“Manusia iblis ini tidak boleh
dibiarkan hidup lebih lama. Cincang sampai lumat!” perintah Gandar Seto
kemudian.
Empat golok besar mengeluarkan
suara berseresetan begitu dicabut dari sarungnya. Tanpa menunggu lebih lama
keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wiro. Empat bilah golok besar
berkelebat dalam kegelapan malam.
Murid Eyang Sinto Gendeng
berteriak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk. Bersamaan dengan itu dia
hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua orang perwira muda berteriak kesakitan.
Tubuh mereka mencelat mental lalu terhampar di tanah. Megap-megap sebentar
setelah itu pingsan tak berkutik lagi.
Dua bilah golok lagi datang
membabat dari belakang. Murid Eyang Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah.
Tibatiba tubuh itu membalik sambil kaki kanan menendang. Terdengar dua kali
suara bergedebukan. Dua perwira muda yang tadi menyerang dari belakang
sama-sama menjerit. Yang satu langsung roboh begitu tulang kering kaki kirinya
patah dihantam tendangan Wiro. Satunya lagi mencelat lalu terkapar di tanah
dengan perut pecah. Nyawanya tidak ketolongan lagi!
Selagi Wiro bergerak bangkit,
Gandar Seto yang sudah gatal tangan menarik tali kekang kudanya. Binatang ini
melompat ke depan ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu Perwira Tinggi lepaskan
satu pukulan jarak jauh. Serangkum angin menderu menyambar Pendekar 212 membuat
tubuhnya bergetar keras. Dia merasakan seperti ada sebuah jaring yang tak
kelihatan membungkus tubuhnya. Sebelum dirinya menjadi tidak berdaya, Wiro
jatuhkan tubuh ke tanah lalu berguling ke kiri guna menghindari injakan empat
kaki kuda tunggangan Gandar Seto. Ketika Perwira Tinggi itu berusaha memutar
kudanya dan hendak menyerang kembali, Pendekar 212 untuk pertama kalinya
lepaskan serangan balasan. Dia berlaku cerdik. Dia tidak menghantam ke arah
Gandar Seto. Yang ditujunya justru kuda tunggangan Perwira Tinggi itu. Kuda
betina ini meringkik keras sewaktu angin pukulan jarak jauh yang dilepaskan
Wiro melabrak rusuknya. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Selagi penunggangnya
berusaha mengendalikan kuda itu, Wiro kembali menghajar dengan pukulan sakti
berikutnya yaitu Benteng Topan Melanda Samudera.
Angin sederas topan prahara
membuat kawasan di sekitar Candi Blorok jadi bergetar. Gandar Seto dan kudanya
terhempas ke kiri. Sebelum binatang ini jatuh tersungkur Perwira Tinggi itu
sudah lebih dulu melompat ke udara. Gerakannya melompat disertai dengan gerakan
mencabut golok besar di pinggang. Begitu dia menukik, tubuhnya kelihatan
melesat ke arah Wiro. Senjata di tangannya menyambar ganas. Yang diincar adalah
batang leher murid Sinto Gendeng itu!
Untuk kesekian kalinya Wiro
terpaksa jatuhkan diri. Hanya kali ini gerakan mengelak itu disertai dengan
tendangan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata.
Kraakk!
Terdengar suara patahan tulang
begitu kaki kanan Wiro menghajar lengan Gandar Seto. Perwira Tinggi ini
menjerit keras. Goloknya terlepas mental sedang tangan kanannya kelihatan
mengambai-ambai!
Semua orang yang ada di tempat
itu tentu saja sangat terkejut menyaksikan apa yang terjadi. Gandar Seto yang
dikenal dengan julukan Manusia Besi, memiliki tubuh atos tak mempan senjata
tajam, kini ternyata mengalami hari naas. Kena diciderai hingga patah lengan
kanannya! Iblis Sumbing diam-diam merasa tidak enak sedang si Bayangan Api
sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir. Rupanya nama besar Pendekar 212
bukan satu nama kosong belaka!
Beberapa orang perajurit cepat
bergerak hendak menolong Perwira Tinggi yang cidera itu. Namun saat itu kakek
berpakaian dan berkepala botak merah sudah mendahului. Sekali dia berkelebat
turun dari kudanya, tubuhnya berubah laksana sambaran api. Di lain kejap
tahu-tahu dia sudah merangkul Gandar Seto yang kemudian dibawanya ke tempat
yang lebih aman.
“Harap kau tidak bergerak dari
tempat ini Perwira. Kulihat cideramu cukup parah!” kata si Bayangan Api. “Biar
aku yang akan menangkap pemuda itu. Aku akan menghajarnya sampai lumat lebih dulu
sebelum kuhabisi nyawanya…”
Ketika dia hendak melangkah
mendekati Wiro, nenek berjuluk Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut sudah
memajukan kudanya seraya berkata. “Sobatku, kau jaga saja perwira itu. Biar aku
yang menangani kecoak satu ini!” Lalu sambil meninggikan tangannya yang
memegang pendupaan, nenek itu mengarahkan kudanya mendekati Wiro. “Manusia
bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede! Apa kau sudah tahu kalau nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan lagi?”
Karena mulutnya sumbing maka
kata-kata yang diucapkannya terdengar lucu dan sulit dimengerti Wiro.
Seumur-umur baru kali itu dia mendengar orang sumbing bicara. Maka pemuda ini
pun berkata.
“Nek, kalau bicara biar betul.
Jangan telo seperti orok! Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan!” Brengseknya
waktu bicara ini Wiro sengaja menirukan suara si nenek yang tidak karuan! Tentu
saja hal ini membuat Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menjadi marah setengah
mati. Tangan kirinya yang memegang pendupaan diturunkan sejajar bahu. Kepulan
asap kelabu berbau aneh semakin menggebubu.
Tiba-tiba dari mulut yang
sumbing itu keluar suara pekik menggidikkan. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima buah senjata rahasia
berbentuk paku menyambar ke arah murid Sinto Gendeng.
Dari sinar redup hitam yang
keluar dari lima buah senjata rahasia itu Wiro segera maklum kalau
senjatasenjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka dia segera menghantam
dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Lima senjata rahasia berbentuk paku
mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa nyaring. Kepalanya
merunduk seperti hendak mencium Wiro. Pendupaan di tangan kirinya didekatkan ke
mulut. Wiro kirimkan satu jotosan kilat ke lambung lawan yang masih berada di
atas punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba sekali si nenek meniup. Asap kelabu
berbau aneh menyambar ke arah muka Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menutup
jalan nafasnya dan berusaha melompat menjauhi. Namun terlambat! Hawa aneh yang
keluar dari asap kelabu itu telah lebih dahulu menyusup memasuki hidung dan
mulutnya. Saat itu juga Wiro merasakan kepala dan kedua matanya menjadi sangat
berat. Sekujur anggota badannya terasa lemah. Dia seperti amblas ke dalam
sebuah lobang gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh tergelimpang di depan
kaki kuda tunggangan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Nenek tua ini tertawa mengekeh
lalu memandang pada si Bayangan Api. “Kau tunggu apa lagi sahabatku? Lekas
ringkus pemuda itu. Kita bawa ke hadapan Patih Kerajaan agar dia segera
dijatuhi hukuman mati. Atau ada yang akan mempesianginya saat ini juga?!”
“Aku yang akan menghabisinya!”
kata Gandar Seto lalu dengan susah payah berusaha berdiri. “Pinjami golokmu!”
katanya pada seorang prajurit yang tegak di sampingnya.
“Dimas Gandar. Tak perlu
susah-susah. Biar kuseret pemuda keparat ini ke hadapanmu!” kata si Bayangan
Api pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan kaki Wiro. Tubuh pemuda itu
kemudian diseretnya ke hadapan si Perwira Tinggi. Rahang Gandar Seto tampak
menggembung. Matanya berkilat. Golok yang di tangan kiri digenggamnya
erat-erat. Begitu sosok Wiro dilemparkan di hadapannya, dengan bergegas Perwira
Tinggi ini ayunkan senjatanya ke arah batang leher Pendekar 212!
8
MURID Sinto Gendeng hanya bisa
terima nasib. Dia menghadapi kematian dengan sepasang mata tidak berkesip
sementara golok di tangan kiri Gandar Seto membabat deras ke bawah. Sesaat lagi
bagian tajam dari senjata itu akan menebas putus batang lehernya tiba-tiba
entah dari mana munculnya satu bayangan berkelebat. Gerakan tubuhnya
mengeluarkan angin deras. Tubuh Gandar Seto tahu-tahu terjajar sampai tiga
langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek disusul dengan terlepas mentalnya
golok yang ada di tangan kirinya!
“Manusia kurang ajar! Siapa
kau?!” teriak Perwira Tinggi itu. Ketika dia dan semua orang yang ada di situ
memandang ke depan, mereka menyaksikan satu pemandangan yang sulit dipercaya!
Seorang gadis berpakaian hijau
gelap tegak di tengah kalangan perkelahian dengan memanggul tubuh Pendekar 212
di bahu kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi kebengisan ini tidak
melenyapkan kecantikan wajahnya.
“Ada bidadari nyasar dan ikut
campur urusan kita…” kata si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh.
“Siapa kau?’“ Gandar Seto
kembali membentak.
“Mengapa kau menginginkan
pemuda itu?!” ikut membentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Lalu si Bayangan Api
menimbrung kembali. “Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!”
Gadis di tengah kalangan
menyeringai sinis.
“Siapa aku kalian tak layak
bertanya. Mengapa aku inginkan pemuda ini bukan urusan kalian. Apa hubunganku
dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui?!”
“Gadis cantik! Lagakmu sombong
banget!” kata si Bayangan Api sambil usap-usap kepalanya yang gundul dan dicat
merah itu. Mata kirinya dikedipkan berkali-kali. “Dengar, berikan pemuda itu
pada kami!”
“Untuk apa?!” tanya gadis
cantik itu.
“Kau tak layak bertanya!”
jawab si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh. Kedua tangannya diulurkan ke
depan. “Lekas serahkan pemuda itu padaku! Atau aku akan mengambilnya
bersama-sama tubuhmu sekaligus!”
“Tua bangka buruk berkepala
seperti pantat monyet!” bentak si gadis yang memanggul Wiro. “Kalau kau merasa
mampu coba kau rampas pemuda ini dariku!”
Tampang si Bayangan Api jadi
tampak merah seperti udang rebus. “Gadis yang masih bau pupuk! Rupanya kau
tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara kurang ajar seenaknya!”
“Aku cukup tahu siapa kau!
Gelarmu si Bayangan Api. Kau mengerjakan apa saja asal dibayar. Seperti tadi aku
bilang, kepala botakmu yang merah sama dengan pantat monyet.”
Tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. Yang tertawa ternyata adalah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
“Kau gadis kocak! Celotehmu enak didengar. Aku mulai suka denganmu. Gadis
jelita, apakah kau juga tahu siapa diriku?” Sambil berkata begitu nenek
berbibir sumbing yang keningnya ada benjolan seperti tanduk ini melangkah
mendekati si gadis. Yang didekati tenang saja seolah tidak takut sama sekali.
“Kau minta aku menerangkan
siapa dirimu?!” Gadis di tengah kalangan sunggingkan senyum. “Aku mulai dengan
usiamu nenek tua! Umurmu saat ini kalau aku tidak salah duga sudah hampir tujuh
puluh! Benar?!”
“Eh, kau benar!” jawab si
nenek dan diam-diam merasa heran.
“Kau datang dari Madura,
mencari makan di tanah Jawa. Betul?!”
“Ah, kau juga betul!” jawab
Iblis Sumbing mangkel tapi tambah heran.
“Kau dijuluki orang Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa Maut!”
“Kau gadis hebat. Pasti kau
seorang tokoh persilatan baru yang mulai naik daun!” Memuji si nenek.
“Apa sudah cukup penjelasanku
tentang dirimu?!”
“Eh!” Si nenek jadi agak
tersentak. Kini dia mulai merasa tidak enak. “Apa lagi yang kau ketahui tentang
diriku?”
“Banyak!”
“Misalnya?”
“Bukan misalnya. Tapi
nyatanya! Kau mau dengar?”
“Bilang saja!”
“Kau tidak bakalan malu
nantinya?!”
“Gadis sialan! Malu? Mengapa
musti malu?!”
Si gadis perdengarkan suara
tertawa panjang. “Baiklah, akan kukatakan apa adanya. Bibirmu sumbing bukan
cacat dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu itu!”
“Astaga!” Si nenek terkejut
dalam hati. “Siapa gadis ini sebenarnya. Mengapa dia tahu banyak tentang
diriku?”
“Orang itu membuatmu cacat
dalam satu perkelahian. Gara-gara kau menculik anak gadisnya. Betul…?”
Wajah buruk Iblis Sumbing
berubah gelap. “Cukup! Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan pemuda itu padaku
dan lekas minggat dari sini!”
“Ha… ha…! Sekarang kau takut
sendiri mendengar ocehanku. Padahal aku belum selesai! Aku tahu kau bangsa
perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu. Karena itu seumur-umur kau tidak
pernah kawin! Kau lebih suka bercinta dengan perempuan…”
“Gadis sundal haram jadah!
Biar kurobek mulut kotormu!” Iblis Sumbing menggembor lalu tangan kirinya
tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang tundukkan kepala dan
pukulkan tangan kanannya untuk menangkis. Karena menganggap enteng, si nenek
tidak berusaha menghindari terjadinya bentrokan lengan.
Bukkk!
Gadis jelita yang memanggul
tubuh Wiro merasakan lengannya bergetar keras. Sebaliknya Iblis Sumbing
keluarkan jerit kesakitan. Tangannya seperti dipukul besi. Rasa sakit pada
lengannya itu menjalar ke seluruh tubuh hingga dia terhuyung-huyung sampai tiga
langkah. Marah dan malu membuat si nenek jadi kalap.
Didahului oleh satu teriakan
dahsyat si nenek melompat ke depan. Pendupaan di tangan kirinya diturunkan ke
muka. Asap kelabu mengepul deras. Lalu dia meniup kuatkuat, Wusss!
Asap kelabu yang menebar bau
aneh dan sangat berbahaya menderu ke muka si gadis, langsung masuk ke rongga
hidung dan mulutnya. Sesaat dia tampak seperti kelagapan. Iblis Sumbing tertawa
panjang. Sekejapan lagi gadis ini akan tidak berdaya, limbung lalu jatuh
seperti apa yang telah terjadi dengan pemuda yang barusan ditolongnya.
Tetapi alangkah terkejutnya si
nenek ketika melihat gadis di hadapannya itu bukannya jatuh malah dari mulutnya
terdengar suara tawa panjang menimpali suara tawanya sendiri! Selagi perempuan
tua ini dibungkus rasa kaget tiba-tiba si gadis runcingkan mulutnya dan meniup
asap kelabu yang mengepul keluar dari dalam pendupaan.
Wusss!
Kepulan asap itu kini
berhembus deras ke arah si pemilik pendupaan. Senjata makan tuan!
Iblis Sumbing menjerit keras.
Kedua matanya terasa perih dan karena dia barusan membuka mulut begitu lebar,
kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus memasuki rongga-rongga
pernafasan. Akibatnya tak tertolong lagi. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Mata
dan kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak ampun lagi tubuhnya amblas
jatuh ke tanah.
Kakek bergelar si Bayangan Api
cepat menolong Iblis Sumbing sementara Gandar Seto melompat ke arah gadis yang
memanggul Wiro sambil berteriak pada anggota pasukannya untuk bantu menyerang.
Puluhan perajurit berserabutan melakukan penyerangan. Gadis yang jadi
bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya tibatiba mencelat ke atas.
Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuhnya. Sulit sekali dicari orang pandai
yang mampu melompat setinggi itu sambil membawa beban manusia di bahunya!
“Kejar! Jangan biarkan dia
melarikan diri!” teriak Gandar Seto.
Beberapa perajurit melemparkan
golok dan tombak mereka. Tetapi tak satu pun yang mengenai sasaran,
“Keparat! Seharusnya aku
membawa serta pasukan panah!” maki Gandar Seto. Dalam keadaan salah satu
tangannya patah begitu rupa Perwira Tinggi ini mencoba menyusul melompat ke
atas sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi hantamannya luput. Sosok
tubuh si gadis dilihatnya berkelebat turun ke arah kiri candi.
“Biar aku yang mengejar!” Di
bawah sana terdengar suara teriakan si Bayangan Api. Seperti angin dia
berkelebat ke samping kiri Candi Blorok. Dia masih sempat melihat bayangan si
gadis. Serta merta kakek ini lepaskan pukulan sakti. Tapi serangannya hanya
menghantam pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini hancur berserakan.
“Gadis keparat! Apa kau kira
bisa lolos dari tanganku!” kertak si Bayangan Api. Tidak percuma dia mendapat
gelar seperti itu. Sekali dia bergerak tubuhnya tenyap dan hanya bayangan merah
tertinggal di belakangnya. Saat itu dia sudah berada di bagian candi yang lain.
Di satu tempat gelap dia kembali melihat bayangan orang yang dikejarnya. Dengan
geram orang tua berkepala botak ini keruk saku pakaian merahnya. Setengah lusin
senjata rahasia berupa panah-panah kecil berwarna merah melesat dalam kegelapan
malam meninggalkan cahaya merah panjang seperti nyala api di ekornya.
“Pasti kena!” kata si Bayangan
Api penuh yakin karena selama ini tidak ada yang bisa lolos dari serangan
senjata rahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah lesatan senjatanya, Tapi
dia jadi terperangah dan berseru kaget ketika tiba-tiba dari depan dilihatnya
ada satu gelombang angin dahsyat yang membuat lima panah merah yang tadi
dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah dirinya sendiri pada lima sasatan
yang sulit dielakkan!
“Perempuan celaka. Kurang
ajar!” maki si Bayangan Api panjang pendek. Dia jatuhkan diri ke tanah. Tiga
anak panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke empat menembus leher
pakaiannya. Anak panah ke lima menancap di bahu kirinya. Si botak tua ini
menjerit kesakitan!
9
HAWA aneh berasal dari asap
kelabu pendupaan Iblis Sumbing yang membuat Pendekar 212 jadi lumpuh tak
berdaya perlahan-lahan keluar dari rongga hidungnya setiap dia bernafas.
Perlahan-lahan pula dia mulai sadar dan ingat apa yang telah dialaminya. Dalam
keadaan masih lemas dia hanya bisa berdiam diri di atas panggulan bahu kiri
perempuan yang melarikannya. Wiro berusaha melihat wajah orang yang menolongnya
itu tapi tak berhasil.
“Kuharap saja tuan penolongku
ini bukan seorang nenek sakti berwajah menyeramkan,” kata Wiro dalam hati. “Bau
tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya tinggi sekali. Dia memiliki tenaga luar
biasa. Siapa perempuan ini sebenarnya?” Wiro coba mengingat-ingat. “Mungkin
Pandansuri, anak angkat mendiang Raja Rencong Dari Utara? Tak mungkin dia
berada sejauh ini sampai ke tanah Jawa. Barangkali Anggini, murid Dewa Tuak…”
Wiro berusaha memutar kepalanya agar dapat melihat wajah perempuan yang
memanggulnya. Tapi masih susah. “Anggini selalu mengenakan pakaian ungu.
Agaknya bukan dia. Astaga! Jangan-jangan Dewi Bunga Mayat!” Wiro kembali
mengingat lebih dalam. “Ah, bukan dia. Dewi Bunga Mayat selalu berkebaya putih
dan mengenakan kain panjang. Tubuhnya menebar harum bunga kenanga. Yang
mendukungku ini memiliki wewangian semerbak yang tak pernah aku baui
sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya…”
Selagi berpikir-pikir seperti
itu tiba-tiba Wiro merasakan orang yang memanggulnya menghentikan larinya. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya diturunkan, dibaringkan di atas tanah. Wiro tidak
perdulikan di mana dia berada. Yang dilakukannya saat itu adalah segera melihat
wajah orang di sampingnya itu. Hati sang pendekar jadi berdebar. Kedua matanya
membesar dan mulutnya berdecak melihat bahwa orang yang menolongnya ternyata
seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju ringkas warna biru.
Seperti mendapat kekuatan Wiro
bangkit dan duduk di tanah. Karena si gadis bersimpuh di sebelahnya maka tubuh
dan wajah mereka berada begitu dekat. Sepasang mata bening sang dara memandang
tak berkedip padanya.
“Gadis cantik tuan penolong.
Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana. Kalau aku boleh tahu siapa kau
ini adanya?”
Gadis di samping Wiro
tersenyum mendengar ucapan itu.
“Tolong menolong adalah satu
keharusan dalam dunia persilatan. Memberitahu siapa diriku bukan satu
keharusan,” berkata sang dara.
Wiro tertawa lebar. “Ah,
bagaimana aku akan mengingat budi orang. Kalau namanya saja aku tidak tahu… Dan
aku bukan cuma berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah menyelamatkan diriku dari
nenek bermulut sumbing itu.”
“Sudah, hal itu tidak perlu
diingat-ingat lagi. Yang penting sekarang kau sudah selamat. Dan aku harus
segera meninggalkan tempat ini.”
Wiro memandang berkeliling.
Ternyata dia dan gadis penolongnya itu berada di puncak sebuah bukit kecil.
Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri, cepat Wiro memegang tangannya. Untuk
sesaat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Sahabatku yang cantik.
Sebelum pergi beritahu siapa namamu. Dan katakan apa yang harus kulakukan untuk
membalas kebaikanmu.”
Gadis itu masih menatap Wiro
beberapa jurus lamanya lalu berkata. “Aku bisa memberikan seribu nama padamu.”
“Kalau begitu sebutkanlah.
Siapa tahu aku bisa menghafalnya,” jawab Wiro sambil menahan tawa.
“Kau cerdik dalam kelucuanmu
Pendekar 212!”
“Eh, dia tahu siapa diriku!”
membatin Wiro.
“Namaku Kemala. Panggil aku
dengan nama itu.”
“Namamu indah, wajahmu cantik.
Aku benar-benar seperti kedatangan bidadari.” Wiro lalu lepaskan pegangannya
pada tangan si gadis. “Terima kasih. Aku akan mengingat nama itu sepanjang
zaman. Kalau saja aku bisa bertemu lagi kelak…”
“Pendekar 212. Ada satu cara
jika kau memang ingin membalas budi kebaikanku.”
“Katakanlah.”
“Temui seorang gadis bernama
Ratih Kiranasari. Dia menyukaimu. Bukan cuma suka tapi juga cinta. Bawa dia ke
mana kau pergi. Ambil dia jadi istrimu…”
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi
melengak. Perlahanlahan dia bangkit berdiri. Gadis bernama Kemala juga
berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.
“Permintaanmu terlalu berat.
Tidak mungkin kupenuhi. Bagaimana kau bisa tahu…”
“Kabulkan saja harapanku. Sekarang
aku harus pergi,” kata sang dara.
“Tunggu!” ujar Wiro. “Aku bisa
memenuhi permintaanmu menemui puteri Perwira Tinggi itu. Tapi aku tak mungkin
membawanya ke mana aku pergi. Apa lagi mengambilnya jadi istri. Orang
gelandangan macam aku ini…”
Gadis di hadapan Wiro maju
selangkah. “Kalau dengan aku, kau mau…?!” Wiro jadi salah tingkah dan
garuk-garuk kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak keras membuat
debaran pada dadanya.
Kemala berdiri sangat dekat di
hadapannya. Dia dapat merasakan hembusan nafas gadis cantik itu. Si gadis
berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan Pendekar 212. Kedua
tangannya digelungkan di belakang leher Wiro. Kepalanya diangkat. Sesaat
kemudian bibirnya menempel di permukaan bibir Wiro. Ketika sang pendekar
memberikan reaksi, Kemala mengecup bibir pemuda itu penuh nafsu. Wiro siap
merangkul dan balas melumat bibir yang membara itu. Namun dia hanya merangkul
angin. Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di satu tempat dia
berhenti lalu mengusap wajahnya dua kali. Setelah itu dia pun lenyap dari
tempat itu.
Di atas puncak bukit itu kini
hanya Pendekar 212 seorang diri tenggelam dalam kegelapan malam.
Wiro termangu sambil
garuk-garuk kepala. “Ilmunya luar biasa. Kecupannya membuat aku seperti mau
gila. Gadis aneh. Muncul menolong secara aneh. Perginya juga aneh. Sebelum
pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana aku harus kawin dengan puteri
Perwira Tinggi itu? Ayahnya saja benci setengah mati padaku. Ingin membunuhku!
Ah! Bagaimana ini! Daripada kawin biar aku menanggung dosa mungkir janji!
Melanggar pesan orang! Kalau dengan dia sih… ah!” Wiro tidak meneruskan
ucapannya.
***
Tepat tigapuluh hari berlalu
sejak kematian mengerikan menimpa diri Sarti dan Nandang di Desa Gedangan, pagi
hari itu Kotaraja digemparkan oleh peristiwa pembunuhan yang bentuk serta
keadaannya sama dengan yang dialami Sarti dan Nandang serta Randu Wulung dan
Rumini. Korban kali ini adalah puteri sulung seorang bangsawan yang baru
melangsungkan perkawinan selama tiga bulan di mana sang isteri berada dalam
keadaan hamil muda. Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar tidur.
Sekujur muka serta badan luka dicabik-cabik mengerikan.
Perwira Tinggi Gandar Seto
didampingi oleh Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut serta si Bayangan Api pagi
itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan kanannya yang patah tampak
dibalut dan masih belum begitu sembuh.
Tanpa banyak basa basi dan
peradatan segala, Perwira Tinggi itu langsung saja bicara menyangkut masalah
besar yang telah menggemparkan Kotaraja itu.
“Paman Patih, ini adalah kali
yang ketiga sepasang orang yang sedang berkasih-kasihan menemui ajal. Dibunuh
secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk melakukan sesuatu…!”
Patih kerajaan mengusap
janggut putihnya. “Apa yang hendak kau lakukan Dimas Gandar?”
“Saya akan memperbanyak
menyebar mata-mata di seluruh negeri. Si pembunuh harus segera dibekuk batang
lehernya! Kalau tidak pasti korban-korban berikutnya akan segera menjadi mangsa
si pembunuh biadab itu!”
Patih kerajaan mengangguk.
“Aku setuju sekali maksudmu itu Dimas Gandar. Kalau aku tidak salah ingat,
bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau sudah tahu siapa orangnya. Yaitu
seorang pendekar sesat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212? Bukti perbuatan jahatnya masih tampak pada tangan kananmu yang
cidera.”
Paras Perwira Tinggi Gandar
Seto tampak menjadi kemerahan.
“Betul sekali Paman Patih.
Pencarian atas dirinya tetap kami lakukan… Hanya saja saya mulai merasa adanya
sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan dia pelakunya.”
“Semua urusan kuserahkan
padamu Dimas Gandar. Kalaupun bukan dia orangnya, apakah kau tidak bermaksud
menangkap pemuda itu? Bagaimanapun juga dia telah mencelakaimu. Dan pernah
menculik puterimu.”
Gandar Seto terdiam.
“Bagaimana keadaan puterimu
sekarang Dimas Gandar?” Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan setelah melihat
sang perwira seperti tertekan tidak enak.
“Ratih Kiranasari ada dalam
keadaan baik-baik saja Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu.”
Patih tua itu mengangguk. Dia
memandang pada dua orang yang ikut menemani bawahannya itu lalu berkata.
“Kulihat kau membawa serta dua orang sahabat berkepandaian tinggi yang bisa
diandalkan. Lalu apa sulitnya menangkap si pembunuh biadab dan mencari Pendekar
212 Wiro Sableng?”
Karena Gandar Seto tak bisa
menjawab maka si Bayangan Api lalu membuka mulut. “Seperti Paman Patih ketahui
kami bertiga pernah menjebaknya di Candi Blorok. Tapi kita lihat saja hasilnya.
Pendekar 212 bukan seorang pendekar tingkat bawah. Kami memang berniat untuk
memburunya sampai kapan pun. Namun sekali ini kami tidak saja harus
mengandalkan kepandaian tapi juga kecerdikan. Apalagi tiga kali pembunuhan itu
kami rasa ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan kekejian nyata yang kita
lihat.”
“Hem… aneh bagaimana
maksudmu?” tanya Patih Kerajaan,
“Tiga kali pembunuhan terjadi
atas diri lelaki perempuan yang merupakan pasangan saling berkasih sayang,
walau satu pasang yaitu Nandang dan Sarti merupakan pasangan sesat memalukan.
Lalu hal lain yang kami perhatikan, ketiga pembunuhan itu terjadi pada setiap
bulan purnama. Selanjutnya kematian mereka dalam cara yang sama yaitu mati
seperti dicabik-cabik binatang buas. Menurut beberapa orang yang mengetahui,
menjelang saat terjadinya peristiwa mengerikan itu terdengar seperti suara
lolongan anjing! Hal lain, Den Ayu Ratih, puteri Perwira Tinggi Gandar Seto
mengatakan pernah melihat seekor srigala berkeliaran di Hutan Jati Mundu. Bukan
mustahil binatang ini pembunuhnya. Tapi dia tidak seorang diri. Pasti ada yang
memelihara dan memerintahkannya. Kami bertiga tadinya yakin Pendekar 212 yang
memelihara binatang buas itu. Namun seperti tadi yang dikatakan Perwira Tinggi
Gandar Seto, kami mulai merasa ragu. Apa benar dia terlibat dalam semua pembunuhan
itu atau tidak.”
“Segala keanehan akan tetap
terpendam aneh. Semua hal yang bersifat rahasia akan tetap tidak terungkap jika
kita tidak memecah dan mengungkapkannya. Oleh karena itu sekali lagi aku
katakan, kalian bertiga aku tugaskan untuk menyingkap keanehan dan misteri ini,
menangkap pelakunya. Entah dia itu seekor binatang buas, seorang manusia atau
punsetan iblis! Jika kalian merasa masih kurang kuat, aku bersedia menghimpun
beberapa orang pandai lagi untuk membantu…”
“Terima kasih atas petunjuk
Paman Patih,” kata Gandar Seto pula. “Biarlah kami bertiga dulu meneruskan
pengusutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga tambahan kami tentu akan
memberitahu Paman Patih. Sekarang kami bertiga mohon diri…”
Patih Kerajaan berdiri dari
kursinya lalu mengantarkan ketiga orang itu sampai ke pintu.
10
MALAM sebelum pagi yang
menggemparkan itu. Seorang berpakaian biru gelap berlari kencang dari jurusan
timur. Dari rambutnya yang riap-riapan jelas dia adalah seorang perempuan.
Hampir dia sampai ke pinggiran Kotaraja di kawasan timur itu tiba-tiba
perempuan ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari menimpa kepala
dan tubuhnya. Ternyata perempuan ini adalah seorang gadis muda berwajah cantik
jelita.
Si gadis menoleh ke belakang.
Lalu memandang berkeliling. “Jelas tadi kurasa ada seseorang mengikuti. Tapi
tahu-tahu dia lenyap seperti ditelan bumi. Biar kupancing.”
Gadis itu melanjutkan larinya
kembali. Sambil berlari dia memasang telinganya tajam-tajam. Sekitar duapuluh
langkah berlari telinganya kembali menangkap ada seseorang membayang-bayanginya
dari belakang. Di satu tempat kembali gadis ini hentikan larinya lalu membalik
dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana dia merasa pasti beradanya
orang yang mengikutinya.
Wuuuttt!
Angin pukulan yang deras
bersiuran di kegelapan malam.
Braaak!
Sebatang pohon waru kecil
patah dan tumbang dengan suara berisik. Hanya itu yang terdengar lalu sepi
lagi. Tak ada suara orang menjerit atau mengeluh kesakitan terkena pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi yang tadi dilepaskan si gadis.
Dengan jengkel gadis itu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Tapi dia
jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya terdengar suara menggemuruh
seperti deburan ombak. Lalu entah dari mana asal muasalnya tahu-tahu di hadapan
si gadis berdiri seorang pemuda berdestar hitam. Wajahnya tampan tapi kedua
telinganya lancip mencuat ke atas serta berbulu seperti telinga seekor anjing
hutan atau srigala. Sepasang bola matanya bercahaya biru dalam kegelapan malam.
Sesaat si gadis tampak tercekat. Namun dia segera dapat menguasai dirinya.
Dalam hati dia membatin. “Seperti perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala
Karang ternyata dia memang datang… Bagaimana aku menolaknya…”
“Gadis bernama Kemala. Kau
pernah melihat diriku. Apa kau masih mengenali…?”
“Aku mengenali,” jawab si
gadis yang ternyata Kemala adanya.
“Katakan siapa diriku!” Pemuda
bertelinga srigala dan bermata biru memerintah.
“Kau Datuk Putra. Pendatang
dari dunia gelap. Penguasa rimba belantara alam gaib hitam…”
“Bagus! Kau ternyata tidak
lupa siapa diriku. Tapi apakah kau juga ingat perjanjian yang kau buat dengan
Eyang Srigala Karang?”
Kemala terdiam.
“Jawab pertanyaanku Kemala!”
“Sebetulnya aku tidak punya
perjanjian apa-apa dengan orang tua itu. Tapi dia memang mengatakan sesuatu
tentang dirimu. Bahwa kau kelak akan muncul kalau aku sudah melakukan tiga kali
pembunuhan…”
“Memang betul begitu. Tapi apa
kau juga ingat apa yang harus kau lakukan untukku?”
Kembali Kemala tak bisa
menjawab.
Pemuda bermata biru yang
disebut dengan nama Datuk Putra tersenyum. “Perjanjian yang kau buat dengan
Eyang Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku. Sekarang ikuti aku…”
katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah pergi.
Kemala memperhatikan.
Gadis ini terkejut ketika dia
melihat bahwa Datuk Putra bukan melangkah di rimba belantara atau di satu
kawasan tepi Kotaraja yang penuh semak belukar. Tapi pemuda bermata biru itu
dilihatnya melangkah menaiki tangga panjang yang berlapiskan permadani biru indah
sekali. Di kiri kanan jalan berderet bunga-bunga aneka warna yang menyebar bau
harum semerbak. Datuk Putra melangkah perlahan, menaiki anak tangga satu demi
satu. Di depan sana kelihatan sebuah bangunan besar berbentuk istana, terang
benderang bermandikan cahaya putih kebiruan, hijau dan merah lembayung.
Kemala mengedipkan kedua
matanya berulang kali. Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang dilihatnya memang
satu kenyataan. Dia tidak bermimpi. Dan entah apa yang mendorongnya, gadis ini
menggerakkan kedua kakinya. Selangkah demi selangkah mengikuti Datuk Putra
menaiki tangga menuju pirttu yang terbuka dari bangunan berbentuk istana.
Di depan pintu Datuk Putra
tampak menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh, berpaling ke arah Kemala
yang saat itu baru saja menjejakkan kedua kakinya di anak tangga teratas.
“Kekasihku, masuklah…”
terdengar Datuk Putra berkata sambil membuat gerakan tangan yang mempersilahkan
Kemala masuk ke dalam istana.
Otak si gadis walaupun sangat
terpukau dengan suasana sekelilingnya tapi masih bisa bekerja baik.
“Kekasihku…? Dia memanggil aku kekasih…? Apa sebenarnya yang hendak
dilakukannya padaku?” Lalu kembali Kemala ingat akan ucapan Eyang Srigala
Karang beberapa bulan lalu. “Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada
tiga malam purnama, seorang pemuda yang memiliki sepasang telinga panjang ke
atas seperti srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda
ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya… kau tak boleh
menolak. Tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dirobah!”
“Masuklah…” Datuk Putra
kembali mempersilahkan seraya membungkuk dengan sikap hormat seorang pangeran
mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan Kemala melangkah memasuki pintu
besar istana. Datuk Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan besar di balik
pintu itu ternyata adalah sebuah kamar yang luar biasa indahnya. Di lantai
terhampar permadani tebal dan lembut. Di dinding tirai aneka warna menghias. Di
tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur yang rangka-rangkanya berwarna
kuning berkilauan seolah terbuat dari emas. Bau ruangan itu benar-benar luar
biasa harumnya.
“Kau harus melayani pemuda
ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengannya…” Kembali
terngiang suara Eyang Srigala Karang di kedua telinga Kemala. Bulu kuduk gadis
ini jadi merinding. Dia membalikkan diri hendak menuju ke pintu dan segera
meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun pintu besar itu bergerak
dan menutup dengan cepat, menimbulkan suara keras.
“Kemala, tak ada yang perlu
ditakutkan. Menurut perjanjian seharusnya aku datang ke kamar tidurmu. Tetapi
sekarang kita malah berada di suatu tempat yang maha indah. Mengapa harus
takut? Jangan sia-siakan waktu. Kita punya kesempatan bersenang-senang sampai
sebelum matahari terbit.”
“Datuk Putra, apa yang hendak
kau lakukan?”
“Ah, merdu sekali suaramu
menyebut namaku.” kata pemuda bertelinga srigala dan bermata biru itu. “Kita
kemari dan berada di tempat ini untuk memenuhi perjanjian. Nah mendekatlah
padaku agar kita bisa bermesraan…”
“Aku tidak sudi…” kata Kemala
seraya melangkah mundur mendekati pintu.
Datuk Putra tersenyum. Kedua
tangannya bergerak menanggalkan kancing-kancing pakaiannya. Dia menatap pada
Kemala dengan pandangan mesra lalu berkata. “Kekasihku, ikuti apa yang aku
lakukan. Buka pakaianmu.”
“Tidak…!” jawab Kemala. Di
hadapannya dilihatnya Datuk Putra benar-benar membuka seluruh pakaiannya.
Sesaat kemudian selagi dia berada dalam keadaan takut dan jijik menyaksikan
pemandangan di depannya, tiba-tiba Datuk Putra melompat ke arahnya. Dari
tenggorokkannya terdengar suara menggembor seperti suara srigala. Sekali terkam
saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukannya.
“Tidak! Lepaskan!” teriak si
gadis. Kedua tangan Datuk Putra bergerak. Kemala menjerit. Entah bagaimana
kedua tangan pemuda itu tahu-tahu berhasil menanggalkan pakaian atasnya hingga
Kemala kini berada dalam keadaan polos di sebelah atas. Sepasang tangan Datuk
Putra kini bergerak ke bawah. Saat itu rasa takut Kemala berubah menjadi
amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya. Dua tangannya ikut bekerja.
Tubuh Datuk Putra tiba-tiba
mental ke atas. Selagi tubuh pemuda ini mengapung jatuh, Kemala gerakkan tangan
kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat menghantam ke arah dada Datuk Putra.
Pemuda bermata biru ini membuat gerakan jungkir balik di udara. Lalu tubuhnya
melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya berputar lalu di lain kejap pemuda ini
sudah tegak di sudut kamar yang luas itu. Dia berpaling ke atas ketika
terdengar suara bergemuruh. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Kemala
menghantam tembok ruangan sebelah atas kiri hingga hancur berantakan dan kini
kelihatan sebuah lobang di dinding itu.
“Kekasihku, tidak kusangka kau
mempunyai ilmu kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih sedap bermesraan
dengan orang secantik dan sepandaimu ini…”
Sambil berkata begitu Datuk
Putra melangkah mendekati Kemala. Wajahnya tampak begitu mesra. Tapi begitu dia
hanya satu langkah saja lagi dari hadapan si gadis tibatiba dari mulutnya
keluar suara lolongan dahsyat. Bersamaan dengan itu luar biasa cepatnya tangan
kanannya melesat menghantam ke batok kepala Kemala!
“Manusia ingkar janji! Pecah
kepalamu!” bentak Datuk Putra.
Suara lolongan yang dahsyat
membuat Kemala sesaat jadi tercekat. Untung gadis ini cepat menguasai diri dan
sadar bahaya maut yang mengancam. Dengan cepat tangan kirinya dipukulkan
melintang ke atas.
Bukkk!
Dua lengan saling beradu
sampai menimbulkan suara keras. Kemala merasakan lengan kirinya seperti dipukul
dengan besi. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai. Sebaliknya Datuk Putra tampak
menyeringai. Tubuh atau lengannya tidak bergeming sedikit pun. Namun tiba-tiba
seringainya lenyap seperti direnggut setan. Lengan kanannya yang tadi beradu
keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa panas seperti disengat bara
api. Sengatan ini menjalar ke seluruh tubuhnya dengan cepat, membuat getaran
yang menyakitkan laksana disayat pisau berapi. Datuk Putra cepat kerahkan
tenaga dalam untuk melindungi diri dan menumpas rasa sakit. Namun baru saja dia
hampir berhasil menguasai diri tiba-tiba tinju kanan Kemala menderu menghantam
lambungnya.
Datuk Putra menjerit keras.
Tubuhnya terlontar ke belakang, menghantam dinding ruangan dengan keras.
“Gadis iblis!” desis Datuk
Putra seraya bangkit berdiri. “Kau bukan saja mengingkari janji, tapi berani
berbuat kurang ajar. Melakukan kesalahan besar!” Datuk Putra melolong keras.
Kedua tangannya diangkat ke atas. Ternyata kedua tangan itu telah berubah
menjadi dua kaki depan srigala. Kuku-kukunya mencuat keluar mengerikan.
“Kau akan mati dengan tubuh
tercabik-cabik. Seperti kau membunuh korban-korbanmu!” Sekali lagi Datuk Putra
melolong. Wajahnya yang tampan mendadak berubah menjadi seperti seekor srigala.
Mulutnya membuka lebar. Lidahnya terjulur dan gigi-giginya tampak besar
runcing, taringnya mencuat mengerikan.
“Makhluk iblis! Kau kira aku
takut padamu!” hardik Kemala. Begitu Datuk Putra yang kepala dan kakinya telah
berubah jadi srigala itu mengembor dan menerkamnya, si gadis angkat kedua
tangannya ke atas lalu serentak dido
rongkan ke depan.
Wuttt! Wuuuttt!
Dua larik gelombang angin yang
mengeluarkan sinar hitam keluar dari telapak tangan Kemala kiri kanan. Tubuh
Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik cahaya hitam itu menghantam
tubuhnya. Dari mulutnya keluar suara raungan keras lalu tampak ada cairan merah
mengalir dari sela-sela lidah dan giginya! Makhluk manusia berkepala srigala
ini jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat karena di lain kejap dia cepat
berdiri. Kepala dan kedua tangannya kembali ke bentuk semula.
“Gadis laknat! Aku tidak
main-main lagi. Serahkan dirimu atau kau mati saat ini juga!” berkata Datuk
Putra. Daun telinganya yang seperti srigala bergerak-gerak.
“Aku mau lihat apa kau
benar-benar bisa membunuhku!” jawab Kemala lalu gadis ini tertawa panjang.
Mukanya yang cantik membersitkan sinar bengis.
“Kalau begitu terimalah
kematianmu saat ini juga!” kata Datuk Putra. Kedua matanya yang biru memandang
tak berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala. Tiba-tiba cahaya biru pada
kedua bola matanya menjadi terang benderang. Di lain saat dua larik sinar biru
keluar menderu dari sepasang mata pemuda dari alam gaib itu.
Wusss!
Wusss!
Kemala sempat terpekik. Lalu
cepat menghindar.
Dua larik sinar biru menderu
dan menghantam Kemala. Masih setengah jalan gadis ini sudah dapat merasakan
hawa sangat panas yang keluar dari kedua sinar angker itu. Didahului oleh satu
bentakan garang tubuh Kemala terangkat ke atas lalu seperti melayang tubuh ini
berkelebat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di samping kepala si
gadis, terus menghantam dinding ruangan besar. Kain tirai menjadi hangus dan
api mulai berkobar di ruangan itu. Di belakang kain tirai, dinding ruangan
hancur berkeping-keping.
“Kepandaianmu tinggi, ilmumu
bagus!” memuji Kemala. “Sayang kau kurang cepat!” Lalu gadis ini balas
menghantam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam yang membersitkan bau
menggidikkan menderu menghantam Datuk Putra. Pemuda ini terbanting ke dinding.
Tubuhnya sebelah kanan jelas tampak hangus, namun tak ada bau daging terbakar
pertanda dia memang bukan makhluk manusia adanya! Tiba-tiba dia menggerang lalu
berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala.
“Kau kira aku sudah kalah? Kau
kira kau bisa membunuh diriku? Ha… ha… ha… Nyawamu ada di tanganku Kemala!”
Selangkah demi selangkah Datuk Putra maju mendekati Kemala.
“Makhluk iblis keparat!” maki
Kemala dalam hati. Lalu dia berbisik. “Datuk, Datuk, Datuk datanglah cepat. Kau
kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!”
Tiba-tiba ada suara
menggelegar di atas atap bangunan. Menyusul menerobosnya satu sosok panjang
berwarna coklat. Sesaat kemudian seekor srigala besar yang kuku-kuku kaki depan
dan mulutnya berselemotan darah mendekam di samping Kemala. Sepasang matanya
mengeluarkan sinar merah laksana bara api.
“Datuk, bunuh makhluk di
depanmu! Cabik-cabik tubuhnya!”
Srigala yang dipanggil dengan
nama Datuk itu menggereng keras. Punggungnya naik ke atas. Kedua kakinya
dijulurkan ke depan sedang kepalanya merunduk. Binatang ini siap menerkam Datuk
Putra.
Melihat hal ini Datuk Putra
cepat membentak.
“Datuk! Kau berada di bawah
kekuasaan Eyang Srigala Karang. Orang tua itu berada dalam kekuasaanku! Kau
haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis keparat itu!”
Datuk Srigala menggereng.
Binatang dari alam gaib ini tampak seperti bimbang. Melihat hal ini Kemala
cepat berkata.
“Datuk! Kau berada di bawah
kekuasaanku! Tidak ada yang berhak memerintahmu selain aku! Jalankan apa yang
aku katakan! Bunuh Datuk Putra!”
Mendengar ini Sang Datuk
kembali keluarkan suara menggereng. Lalu melolong panjang. Sesaat kemudian
tubuhnya melompat ke arah Datuk Putra.
“Datuk! Jangan! Pergi! Bunuh
gadis itu!” teriak Datuk Putra. Tapi tak ada gunanya. Datuk srigala tidak patuh
padanya. Sesuai perintah Kemala binatang jejadian itu mulai mencabik dan
mengoyak Datuk Putra mulai dari kepala sampai ke kaki. Hanya dalam waktu
beberapa kejapan saja tubuh pemuda itu sudah hancur luluh dikoyak dan dicabik
Datuk srigala. Satu keanehan dilihat Kemala. Walau tubuh Datuk Putra cabik dan
koyak, namun tidak ada setetes darah pun keluar dari luka-luka mengerikan di
tubuhnya itu!
Dari mulut Datuk Putra
terdengar suara seperti air mendidih lalu bersamaan dengan lenyapnya suara itu
terlihat kepulan asap membungkus sosoknya. Setelah itu tubuh yang dibungkus
asap itu terangkat ke atas, melayang di udara dan lenyap lewat dinding kamar
yang jebol.
Bersamaan dengan lenyapnya
tubuh Datuk Putra terjadi lagi satu keanehan. Bangunan besar berupa istana
megah itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan dirinya berada di satu daerah
liar penuh semak belukar di kawasan timur Kotaraja.
“Eh, aku berada di tempat
sebelumnya aku tadi berada…” kata gadis itu dalam hati. Dia menoleh ke samping
ketika mendengar suara gerengan halus. Dilihatnya Datuk Srigala mendekam di
tanah di sampingnya. Kemala mengusap kepala binatang ini. “Datuk, kini tak ada
lagi yang menguasai kita. Kotaraja berada dalam genggaman kita. Kerajaan berada
dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah Jawa ini! Kita bisa berbuat sesuka apa yang
kita maui. Aku bisa mendapatkan pemuda mana saja yang aku sukai. Namun… Kau
tahu Datuk, hanya ada satu pemuda yang mengikat lubuk hatiku… Di manakah dia
berada saat ini…?” Kemala terdiam sejurus.
Datuk Srigala melunjurkan
kepalanya di atas kedua kaki depannya lalu menggereng halus. Kemala kembali
mengusap kepala binatang ini. “Kau boleh pergi sekarang Datuk. Ingat, besok
malam bulan purnama hari empat belas kau akan kupanggil lagi. Korban kita
sekali ini bukan manusia sembarangan. Seorang pangeran yang main gila dengan istri
seorang perajurit!”
Datuk Srigala kedip-kedipkan
matanya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu sekali berkelebat binatang
ini pun lenyap di kegelapan malam.
11
GEDUNG kediaman Perwira Tinggi
Gandar Seto diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di pintu gerbang memang ada
tiga orang pengawal berjagajaga. Namun sikap mereka santai-santai saja dan
sesekali terdengar suara gelak tawa ketiganya. Dengan mudah Wiro melompati
tembok sam–ping yang tidak seberapa tinggi. Begitu memasuki halaman dalam dia cepat
menyelinap di antara pohon-pohon pisang, lalu bergerak mendekati sebuah
jendela. Dia tahu betul ini adalah jendela kamar tidur Ratih Kiranasari. Sesaat
Wiro hendak mengetuk jendela itu, tahu-tahu entah dari mana datangnya, muncul
saja dua orang pengawal yang rupanya sedang melakukan perondaan.
“Pencuri tengik! Berani kau
hendak mencuri di rumah Perwira Tinggi Kerajaan?!” Salah seorang dari dua
pengawal membentak.
Kawannya tanpa banyak menunggu
langsung menghunjamkan ujung golok ke perut Wiro. “Jebol lambungmu pencuri tak
tahu diuntung!”
Murid Eyang Sinto Gendeng
keluarkan suara siulan dari mulutnya. Tangannya kiri kanan bergerak. Saat itu
juga dua pengawal merasakan tubuh mereka menjadi kaku. Sekujur badan tak kuasa
digerakkan lagi. Mulutpun seperti terkunci tak mampu mengeluarkan suara lagi.
Keduanya telah kena ditotok oleh sang pendekar. Wiro memandang kedua orang
pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telunjuk tangan kirinya di atas
bibir.
“Kalian berdua tenang-tenang
saja di sini. Aku tak begitu suka diganggu.” kata Wiro pula lalu kembali
mendekati jendela. Sekali lagi dia hendak mengetuk, namun sekali lagi pula
gerakannya tertahan. Dari samping terdengar suara seseorang menegur.
“Kalau Den Ayu Ratih
Kiranasari yang kau cari, dia tidak ada dalam kamar itu…”
Wiro berpaling. Yang menegur
ternyata Tejo. Kusir tua itu berdiri di hadapannya. Wiro ingat akan perbuatan
kusir tua ini beberapa waktu yang lalu hingga dia terjebak dan hampir
tertangkap oleh Perwira Tinggi Gandar Seto kalau tidak ditolong oleh Kemala si
gadis misterius. Mengingat hal itu ingin sekali Wiro menampar orang tua ini.
“Sekali ini apakah kau bicara
sungguhan Pak Tua? Kau menjebakku beberapa waktu lalu. Ingat?”
“Saya bekerja mencari makan di
sini, anak muda. Saya terpaksa melakukan hal itu karena diperintahkan oleh
majikan saya Perwira Tinggi Gandar Seto…”
“Apakah dia juga yang
memerintahkan untuk mengatakan bahwa anak gadisnya tidak ada di kamarnya
malammalam buta begini?” tanya Wiro.
“Sekali ini saya tidak bicara
dusta, anak muda. Di rumah hanya ada istri majikan saya saja seorang diri. Para
pembantu sudah tidur di kamar masing-masing.”
“Hem… sedang ke mana majikanmu
Pak Tua?”
“Saya tidak tahu ke mana. Tapi
tadi begitu malam tiba saya lihat Perwira Tinggi Gandar Seto dijemput oleh
beberapa orang. Dua di antara mereka adalah nenek berbibir sumbing dan kakek
berkepala botak merah. Lalu ada seorang kakek tinggi kurus yang selalu
mempermainkan sebuah bola besi yang ada rantainya dan bergerigi…”
“Yang bermulut sumbing itu pastilah
Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut dan kakek botak niscaya si Bayangan Api.”
“Saya tidak tahu jelas gelaran
kedua orang itu. Namun saya rasa memang mereka.”
“Ke mana orang-orang itu
pergi?” tanya Wiro.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi
saya mendengar mereka menyebut-nyebut nama seorang pangeran…”
“Pangeran? Pangeran mana?
Pangeran siapa?”
“Kalau saya tidak salah dengar
mereka menyebut nama Pangeran Rono Kuworo. Mereka kemudian meninggalkan gedung
ini, mengambil jalan ke arah barat.”
“Lalu apakah Den Ayu Ratih
Kiranasari juga ikut bersama rombongan orang-orang itu?”
Kusir tua Tejo menggeleng.
“Inilah yang saya tidak mengerti. Saya hanya melihat secara kebetulan. Ketika
hendak keluar minta rokok pada pengawal, saya lihat Den Ayu Ratih melompat
keluar dari jendela. Sebetulnya saya hendak menegur apa yang tengah
dilakukannya. Tapi dia keburu berlalu. Jangan-jangan dia menyelinap keluar
untuk mencarimu, anak muda…”
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana harus mencari gadis itu?” pikir
murid Sinto Gendeng dalam hati. Akhirnya ditinggalkannya tempat itu dan berlari
menuju ke barat.
***
Rumah kayu di tengah ladang
itu diselimuti kegelapan. Cahaya bulan purnama empat belas hari yang cukup
terang tidak mampu menerobos pohon beringin berdaun lebat yang tumbuh di
sebelah rumah.
Di tempat gelap, di balik
serumpunan semak belukar empat orang mendekam tanpa bergerak tanpa bersuara.
Setelah berada di tempat itu cukup lama, salah seorang dari mereka mulai resah
dan bosan berdiam diri terusterusan. Dia berbisik, “Mungkin sekali orang yang
kita tunggu tidak datang malam ini…”
Orang di sebelahnya balas
berbisik. “Aku yakin dia akan datang. Mungkin sebentar lagi. Soalnya seorang
prajuritnya mendengar jelas pesan yang disampaikan lewat seorang temannya.”
“Kita tunggu saja. Jika
pembunuh keji itu memang masih gentayangan di sekitar sini, pasti dia akan
muncul melakukan niat terkutuknya…”
“Berhenti berbicara. Aku
mendengar suara kaki kuda mendatangi!”
Orang-orang yang tadi bicara segera
menutup mulut. Memang betul. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda
mendatangi dari kejauhan. Tak lama kemudian di balik sebatang pohon cempedak
hutan kelihatan muncul sesosok tubuh berpakaian hitam bersama kuda
tunggangannya. Di bawah pohon orang ini berhenti sebentar. Kelihatannya dia
seperti tengah memperhatikan suasana. Ketika dirasakannya semua serba aman,
maka dia turun dari kuda lalu menuntun binatang itu ke arah rumah kayu. Di satu
tempat dia menambatkan kudanya pada sebatang pohon kecil lalu melangkah ke
bagian belakang rumah. Perlahan-lahan dia mengetuk pintu belakang.
“Pangeran…?”
Dari dalam rumah terdengar
suara perempuan perlahan sekali.
“Betul. Lekas bukakan pintu…”
“Tunggu, saya akan nyalakan
lampu minyak dulu.”
“Jangan bodoh. Jangan nyalakan
lampu. Buka saja pintunya,” kata lelaki di pintu belakang.
Pintupun kemudian terbuka.
Lelaki tadi menyelinap lenyap ke dalam rumah.
“Gelap sekali Pangeran,
bukankah lebih baik menyalakan lampu minyak?” Parempuan di dalam rumah membuka
mulut.
“Sebenarnya aku tidak suka ada
penerangan di dalam sini. Tapi baiklah. Aku sudah lama tidak melihat kecantikan
parasmu dan keindahan tubuhmu…”
Lalu sebuah lampu minyak
dinyalakan. Sinarnya kecil dan redup sekali. Tetapi orang yang dipanggil dengan
sebutan pangeran sudah dapat melihat jelas perempuan di hadapannya. Langsung
saja dia memeluk dan menciumi perempuan itu.
“Aku hampir gila tidak
melihatmu sekian lama. Banyak sekali pekerjaanku di Kotaraja…”
“Bagaimana dengan suami saya,
Pangeran?”
“Kau tak usah khawatir. Sesuai
permintaanmu, usulanku menaikkan pangkatnya jadi prajurit kepala telah
dikabulkan Pimpinan Pasukan di Kotaraja…”
“Saya mengucapkan terima kasih
Pangeran. Saya sudah menyiapkan ranjang untuk kita berdua…”
“Bagus. Kau seharusnya pantas
menjadi selir seorang pangeran sepertiku. Bukan istri seorang prajurit…”
“Tapi bukankah saya sudah
bersedia untuk menjadi milik Pangeran selama-lamanya?” Perempuan itu membawa
masuk lampu minyak ke dalam kamar. Lelaki tadi mengikutinya. Begitu masuk ke
dalam kamar lelaki ini terus saja merebahkan diri di atas ranjang. Setelah
menyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan itu berdiri di tepi
ranjang, Satu demi satu dia menanggalkan pakaiannya. Terakhir sekali dia
membuka gelungan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas
di depan dadanya. Melihat kepada raut wajah dan bentuk tubuh perempuan ini
paling tinggi usianya sekitar duapuluh tahun dan belum pernah melahirkan.
Sedang orang yang dipanggil dengan sebutan pangeran berusia hampir enampuluh.
Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih.
“Mulailah Arini…” bisik
pangeran itu seraya mengusap tubuh perempuan yang tegak di samping tempat
tidur.
Dari mulut perempuan bernama
Arini tiba-tiba terdengar suara nyanyian. Nyanyian itu terdengar merdu walaupun
perlahan. Sambil menyanyi dia menggerakkan tangan, kaki dan pinggul dan
sesekali dadanya seperti seorang penari. Kedua mata sang Pangeran terbuka
lebar. Dia sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi dia tak pernah bosan
dan inilah yang membuatnya selalu tergilagila pada perempuan muda istri
seorang prajurit yang malam itu tengah menjalankan tugas di Kotaraja. Sambil
mendengar suara nyanyian halus dan tarian yang membakar darahnya itu, sang
Pangeran mulai menanggalkan pakaiannya.
Di luar rumah, di balik semak
belukar. Terdengar suara rutuk perlahan. “Memang gila! Tidak kusangka Pangeran
Rono Kuworo begini mesum pekertinya. Isterinya sudah tiga. Gundiknya tidak
terbilang. Masih saja dia menyempatkan diri menggauli isteri orang lain…”
“Pangeran itu mungkin tidak
salah…” jawab kawan di sebelahnya.
“Tidak salah bagaimana
maksudmu? Jelas dia melakukan perbuatan kotor! Kau kira apa yang dikerjakannya
malam-malam begini mendatangi perempuan itu?!”
“Saya bilang Pangeran itu
tidak salah. Yang salah adalah istri prajurit itu. Mengapa dia terlalu cantik
dan menggiurkan begitu rupa…”
“Sudahlah, kenapa bertengkar!
Kalian kira kita ini berada di tempat apa?” Seorang di antara mereka menengahi.
“Semua diam. Kita tunggu saja
apa yang akan terjadi. Kuharap semua sesuai dengan rencana…”
Baru saja orang yang satu ini
berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara lolongan srigala, panjang
menggidikkan. Empat orang di balik semak belukar sempat tercekat. Salah seorang
dari mereka berbisik. “Makhluk pembunuh itu tidak berapa jauh dari sini. Kita
tunggu saja dan bersiaplah.”
Di atas sebatang pohon tak
jauh dari rumah kayu di mana Pangeran Rono Kuworo dan Arini tengah
bergelunggelung di atas tempat tidur, tanpa setahu empat orang yang sembunyi
di balik semak belukar, dalam kegelapan mendekam seorang berpakaian serba
putih. Seperti empat orang yang ada di balik semak itu, diapun telah sempat
menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu dia mengambil sikap menunggu
dan tersentak ketika telinganya mendengar suara lolongan srigala di kejauhan.
Di atas sebatang pohon lain,
diam-diam mendekam pula sesosok tubuh gemuk luar biasa sambil mengipasi
wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas lipat dari kertas.
Mulutnya tidak berhenti komat kamit menggeragot sebuah mangga hutan. Begitu
mangga habis dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar cengir seorang diri
di atas pohon, si gendut yang mengenakan baju serta celana terbalik ini dan
memakai sebuah peci hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang berkeliling.
Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan biji mangga itu pada salah
seorang yang bersembunyi di balik semak belukar di bawah sana atau pada pemuda
berpakaian putih gondrong yang mendekam di atas pohon dekat rumah kayu. Si
gendut ini akhirnya memilih orang yang di atas pohon. Tangannya yang memegang
biji mangga bergerak melempar. Gerak lemparannya seperti acuh tak acuh saja.
Tapi begitu melesat biji mangga itu laksana terbang menderu ke arah sasaran.
Orang di atas pohon terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga
menghantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang pendek tapi cepat menutup
mulutnya. Padahal empat orang itu di bawah sana sudah sempat mendengar
keluhannya tadi.
“Bangsat sialan! Siapa yang
menyambit keningku!”
Di bawah sana, di balik semak
belukar empat orang yang bersembunyi saling pandang. “Aku mendengar suara
seperti orang mengeluh kesakitan…”
“Betul,” menyahuti kawan di
sebelahnya. “Datangnya dari atas sana…” Dia lalu menunjuk ke atas pohon besar
di belakangnya.
“Diam semua! Tidak kalian
dengar suara lolongan makhluk hantu dan derap kaki kuda yang semakin
mendekat?!” ujar lelaki ke tiga yang memegang bola besi.
Dalam kegelapan malam
tiba-tiba terasa ada angin menderu. Sesaat kemudian dekat rumah kayu kelihatan
dua sosok makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh sosok tubuh itu. Namun
empat orang yang ada di balik semak belukar dan dua orang yang mendekam di atas
pohon dapat melihat dengan jelas siapa adanya makhlukmakhluk itu.
“Lihat!” bisik salah seorang
dari empat orang di balik semak-semak. Suaranya bergetar.
“Astaga…” Menyahuti yang lain.
“Aku belum buta. Aku mengenali sekali. Perempuan muda itu adalah orang yang
tempo hari menolong Pendekar 212 ketika hendak kutabas batang lehernya! Jadi
dia rupanya biang bahalanya…”
“Dia membawa seekor srigala
besar bermata seperti bara api. Mengerikan. Pasti binatang itu yang jadi
suruhannya dalam melakukan pembunuhan!”
Di atas pohon orang berpakaian
putih seperti tak percaya akan pemandangannya.
“Kemala… Ah! Kalau tidak
melihat sendiri tidak percaya aku! Dia datang bersama binatang itu. Dia pemilik
srigala penyebar maut itu…?”
Di bawah sana gadis yang tegak
di samping srigala besar dengan mulut dan kaki depan penuh lumuran darah sesaat
memandang berkeliling. Tidak seperti biasanya kali ini dia tiba-tiba saja
merasa tidak enak.
“Seperti ada makhluk-makhluk
lain di sekitar sini…” Katanya dalam hati. Dia memandang lagi ke sekitarnya.
Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya mengusap kepala srigala
itu.
“Datuk, jalankan tugasmu.
Bunuh kedua manusia mesum di dalam rumah itu!”
Srigala besar itu menggereng.
Kepalanya mendongak ke atas. Mulutnya terbuka dan lidahnya menjulur. Sepasang
matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang angker sekali. Tiba-tiba
binatang ini menggereng sekali lagi. Lebih keras. Lalu tubuhnya melesat ke
depan. Dinding rumah yang terbuat dari kayu laksana sehelai kertas tipis saja.
Hancur berantakan kena seruduknya. Sesaat kemudian di dalam rumah terdengar pekik
jerit Pangeran Rono Kuworo dan Arini mengerikan sekali. Lalu sunyi!
Dari dinding rumah yang jebol
kelihatan keluar srigala tadi. Moncong dan kedua kaki depannya kelihatan
berlumur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping si gadis.
“Bagus Datuk. Kau menjalankan
tugasmu dengan baik. Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini!” kata si gadis
pula.
Pada saat itulah empat orang
yang bersembunyi di balik semak belukar, kalau tadi mereka seolah terpukau oleh
apa yang terjadi, kini mereka seperti disentakkan dan sama-sama melompat
keluar!
“Makhluk-makhluk iblis! Kali
ini kalian tidak bisa lolos lagi!” Satu dari empat orang itu membentak.
Srigala besar menggereng. Si
gadis terkejut dan cepat memandang berkeliling. Empat orang telah mengurungnya.
Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang seorang yaitu kakek kurus tinggi
yang memegang bola besi berantai tidak diketahuinya siapa adanya.
“Tiga cecunguk tidak tahu
diri! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak membuat kalian kapok! Kalian berani
muncul lagi, malah membawa seorang kawan!”
Iblis Sumbing Pembawa Pendupa
Maut menggembor lalu berkata. “Perempuan durjana! Kau dan binatang peliharaanmu
hanya bisa hidup sampai malam ini! Dosa kalian sudah lewat dari takaran! Cuma
kematian satusatunya penebus dosa-dosamu!”
Si gadis yaitu Kemala tertawa
perlahan. “Nenek sumbing, bicarapun kau belum pandai, mau menghabisi kami pula.
Tua bangka tidak tahu diri! Nanti kujejali lagi mulutmu dengan asap pendupaan
yang kau bawa itu!”
Lelaki yang tangannya diikat
kain mendengus. Dia bukan lain adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. “Iblis
perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas katakan mengapa kau
membunuhi orang-orang itu?”
“Ah, kau tentunya Perwira
Tinggi Gandar Seto!” jawab Kemala. “Dengar Perwira. Aku memberi keampunan bagi
jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak perlu kau perdulikan.
Mereka memang layak mampus di tempat ini! Malam ini juga!”
Dua orang di samping Gandar
Seto tentu saja merasa tersinggung. Kakek-kakek yang memegang bola besi dan
dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada kakek botak di
sebelahnya. “Bayangan Api, kucing betina itu sepertinya tidak memandang sebelah
mata pada kita. Untung wajahnya cantik. Kalau dia bisa melayaniku barang
semalaman mungkin bisa kukurangi hukuman bagi dirinya…”
Celakanya apa yang dikatakan
kakek tinggi kurus itu terdengar oleh Kemala. Maka gadis ini pun melotot.
“Tua bangka cabul! Kau sama
saja dengan lelaki-lelaki lain! Sudah bau tanah masih saja hendak mengumbar
nafsu! Kau layak mati pertama sekali!”
“Bagus, aku mau tahu bagaimana
rasanya mati di tangan gadis secantikmu. Tapi eh…! Apa betul kau masih gadis,
masih perawan? He… he… he!
“Keparat! Terima kematianmu!”
teriak Kemala. Gadis ini melompat ke depan. Tangan kanannya menderu ke arah
kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam. Bola besi bergerigi dan
berantai di tangan kanannya menyapu ke depan.
Wuuuttt!
Bola besi itu lenyap dan kini
hanya kelihatan sinar hitam disertai angin dingin menggidikkan. Si gadis
terkejut ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas lehernya. Dengan cepat dia
tinjukan tangan kirinya.
Buukkk! Byuuurrr!
Kemala tersurut satu langkah.
Tangan kirinya merah dan lecet. Gadis ini tampak menahan rasa kagetnya. Tapi
yang lebih terkejut adalah kakek bergelar si Pelumat Jagat. Dia melompat mundur
sampai tiga langkah. Parasnya berubah putih. Di tangan kanannya kini dia hanya
memegang rantai. Bola besinya ternyata hancur lebur dihantam pukulan tangan
kiri Kemala!
“Celaka! Jangan-jangan gadis
ini bukan manusia biasa. Tapi makhluk jejadian yang memiliki ilmu hitam! Kalau
tidak segera dihabisi bisa berabe!” Lalu dia berpaling pada tiga kawannya.
“Para sahabat! Tak perlu sungkan! Lekas keroyok gadis dajal ini!”
Mendengar seruan si Pelumat
Jagat, Gandar Seto segera hunus golok besar dengan tangan kiri sedang Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa sudah lebih dulu melompat sambil meniupkan asap
pendupaannya. Kali ini dia tidak mengandalkan asap pendupaan yang mengandung
hawa aneh tapi tidak mempan terhadap si gadis, melainkan dia meniup untuk
melesatkan jarum-jarum beracun yang ada di atas bara api! Begitu dia meniup
selusin jarum merah membara menderu ke arah Kemala. Si Bayangan Api tidak
tinggal diam, dia melompat ke dalam kalangan pertempuran setelah terlebih dulu melepaskan
lima senjata rahasia berupa anak panah berwarna merah!
Kemala tampaknya tenang-tenang
saja melihat empat serangan pengeroyok itu. Sebaliknya orang berpakaian putih
di atas pohon tidak dapat lagi menahan diri melihat bahaya yang mengancam si
gadis. Sambil lepaskan satu pukulan sakti dia melompat turun dari atas pohon!
“Pukulan Sinar matahari!”
teriak si Bayangan Api ketika dia melihat ada suara menggemuruh disertai
berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan.
Empat pengeroyok cepat
melompat mundur.
Bummm!
Sinar pukulan yang menebar
hawa sangat panas itu menghantam tanah hingga terbongkar. Bumi laksana dilanda
lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur dan semua senjata yang dipakai
untuk menyerbu mental ke udara bersama batu dan pasir serta tanah yang
beterbangan. Di tanah kini kelihatan sebuah lobang besar!
“Ha… ha! Seorang sahabat telah
membuat liang kubur bagi kalian! Siapa yang mau masuk lebih dahulu?!” berseru
Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar 212 Wiro Sableng tegak dengan
kaki terpentang, menatap ke arah empat orang yang mengurung.
“Dicari-cari tidak bertemu.
Sekarang malah datang sendiri! Dua tangkapan sekaligus! Besar nian rejeki
kita?” kata Gandar Seto begitu melihat Pendekar 212 berada di tempat itu.
“Sudah kuduga, pemuda keparat
ini punya hubungan tertentu dengan gadis iblis ini! Ternyata betul! Sayang
seorang pendekar sakti mandraguna yang disegani dalam dunia persilatan ternyata
berkomplot dengan gadis pembunuh!” membuka mulut Si Bayangan Api.
“Kalian orang tua-tua terserah
mau bilang apa. Tapi aku tidak sudi melihat empat orang tokoh silat mengeroyok
seorang gadis!”
“Yang kami keroyok bukan gadis
biasa. Tapi gadis iblis!” jawab Gandar Seto. “Kau mau menolongnya? Berarti
bersiaplah untuk mampus!”
“Kalian tidak mampu
melawannya. Ilmunya jauh berada di atas kalian. Jangan jadi orang-orang tolol.
Pergi dari tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!”
“Ternyata kau pun memang sudah
benar-benar sesat seperti iblis betina itu! Kawan-kawan mari kita berjibaku
menyingkirkan sepasang iblis ini!” teriak si Bayangan Api.
Keempat orang itu siap hendak
menyerbu kembali. Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212.
“Wiro, tunggu!” tiba-tiba
Kemala berseru.
“Kemala, tinggalkan tempat ini
cepat. Biar aku yang melayani empat tua bangka ini!” ujar Pendekar 212.
“Mengapa kau atau aku harus
mencapaikan diri menghadapi orang-orang ini? Biar Datuk yang membereskan
mereka?” kata Kemala pula seraya melangkah mendekati srigala besar. Tangan
kanannya mengusap kepala binatang itu yang segera menggereng dan dongakkan
kepalanya.
“Kemala, aku ingin kau tidak
melakukan pembunuhan lagi. Aku akan coba menyadarkan keempat orang itu. Aku
minta agar kau segera meninggalkan tempat ini!”
Si gadis hendak membantah tapi
melihat air muka Pendekar 212 dia menjadi bimbang. Akhirnya dia berkata
perlahan. “Datuk, mari kita pergi..”
Srigala yang tadi tampak buas
kini kelihatan ikut jinak. Dia membalikkan diri mengikuti langkah tuannya. Tapi
baru satu langkah bergerak tiba-tiba dari atas pohon melayang turun sebuah
benda bulat berputar-putar, lalu bluk! Se-orang pemuda berbadan gendut buntak,
bermuka bulat yang selalu keringatan tahu-tahu tegak menghadang di depan Kemala
dan Datuk Srigala. Di tangan kanan pemuda gendut itu ada sebuah kipas lipat
dari kertas yang dikipaskipaskannya kian kemari. Kepalanya disungkup dengan
sebuah peci hitam kupluk.
“Gadis dan srigala, kalian
tidak boleh pergi dulu sebelum kalian kubebaskan dari sekapan iblis pembawa
ilmu hitam!”
“Gendut keparat! Siapa kau
yang berani menghadang jalanku?!” bentak Kemala sementara srigala di sampingnya
mulai kelihatan beringas.
“Aku seorang sahabat. Pemuda
yang kau sukai itu juga sahabatku! Kepercayaan pada sahabat adalah di atas
segala-galanya!”
“Gendut! Aku tak kenal dirimu,
apa lagi menjadi sahabatmu!” bentak Kemala.
Si gendut tertawa.
“Persahabatan itu tidak selalu harus saling kenal…”
Kemunculan pemuda gendut
berpeci kupluk dan mengenakan pakaian terbalik ini membuat Wiro terkejut.
Beberapa waktu yang lalu dia muncul secara tiba-tiba seperti saat ini untuk
menyelamatkan seorang gadis. Kini dia muncul kembali dan berkata hendak
membebaskan Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! “Si gendut ini ngaco
atau bagaimana…?” kata Wiro pula. Selagi dia berpikir-pikir seperti itu dari samping
tiba-tiba sekali si Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak
menyerangnya. Dari jurusan lain Gandar Seto dan Iblis Sumbing juga ikut
bergerak menghantam ke arah Kemala.
Si gendut tampak jengkel
sekali. Setelah memaki panjang pendek dia melompat mundur. “Manusia-manusia
tolol! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!”
12
SI BAYANGAN Api walau memiliki
kepandaian silat tinggi namun dia tidak membawa senjata. Memang dia membekal
senjata rahasia berupa panah-panah merah tapi dalam perkelahian jarak pendek
begitu rupa senjata rahasia itu tidak mungkin dipergunakan. Hal yang sama juga
terjadi dengan si Pelumat Jagat. Bola besi yang merupakan senjata andalannya
telah dihancurkan oleh Kemala. Sebenarnya kedua tokoh silat ini menghadapi
Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi saat itu murid Eyang Sinto Gendeng
sudah langsung keluarkan senjata mustikanya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212.
Setiap senjata ini dibabatkan atau dibacokkan terdengar suara bergemuruh
laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar panas putih menyilaukan yang keluar dari
kedua mata kapak membuat dua lawannya menjadi semakin ciut nyali masing-masing.
Karena tak berani mendekat kedua kakek ini berusaha menggempur dengan
pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Si
Pelumat Jagat sesekali bertindak curang, coba menyerang dari belakang. Namun
semua serangan lawan dibuat mental oleh sambaran-sambaran Kapak Maut Naga Geni
212.
Setelah menggempur
habis-habisan sampai limabelas jurus gerakan si Bayangan Api tidak lagi secepat
kilat dan tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu juga si Pelumat
Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua kakek ini mulai main mata,
saling memberi isyarat bahwa lebih baik mereka kabur saja dari tempat itu.
Begitu ada kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat lalu satu
menghambur ke kiri, satunya lagi ke arah kanan.
Murid Eyang Sinto Gendeng
cepat hendak hantamkan pukulan Sinar Matahari ke arah si Pelumat Jagat dan
lepaskan jarum-jarum rahasia dari mulut kapak ke arah si Bayangan Api namun
setelah berpikir maksudnya itu segera dibatalkan. Sebenarnya buat apa mengejar
orang-orang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti hanyalah menjalankan
tugas untuk menumpas kejahatan Kemala. Dan dia sudah menyaksikan sendiri tadi
bagaimana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya membunuh Pangeran Rono
Kuworo serta istri prajurit yang serong itu. Meski dia belum menyaksikan mayat
kedua orang itu, namun seperti kejadian yang sudah-sudah dua orang di dalam
rumah pasti menemui ajal dengan tubuh tercabik-cabik.
Wiro putar tubuh memperhatikan
perkelahian yang terjadi antara Kemala yang dikeroyok oleh Iblis Sumbing dan
Perwira Tinggi Gandar Seto. Baik Gandar Seto maupun Iblis Sumbing sangat
bernafsu untuk dapat menghabisi lawannya saat itu juga. Si nenek berulang kali
tiupkan asap kelabu dari pendupaan yang ada di tangan kirinya. Tujuannya bukan
untuk membuat lawan menjadi lemas oleh hawa yang keluar dari dalam asap. Dari
perkelahian pertama sebelumnya dia sudah tahu Kemala memiliki ilmu kebal yang
tak sanggup ditembus oleh asap pendupaannya. Karenanya asap itu ditiup untuk
menghalangi pemandangan lawan sehingga dia bisa bergerak leluasa dalam
melancarkan serangan-serangan. Tetapi Kemala bukan lawan yang mudah dikecoh.
Setelah mengambil sikap bertahan selama sepuluh jurus tiba-tiba gadis ini
berseru.
“Datuk! Lekas kau hajar nenek
bermulut sumbing itu. Jangan diberi ampun! Aku akan melayani Perwira Kerajaan
ini!”
Mendengar ucapan tuannya itu
srigala besar menggereng keras. Kedua matanya memancarkan sinar membara.
Didahului oleh suara meraung yang menggidikkan binatang ini kemudian melompat
ke arah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Si nenek yang menganggap remeh
serangan binatang ini pergunakan kaki kirinya untuk
menendang.
Bukkk!
Tendangan kaki kanan Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa Maut memang tepat mengenai bagian dada srigala bermata
api. Binatang ini mencelat sampai dua tombak. Tapi apa yang dialami si nenek
sendiri membuat pemuda gendut berkopiah kupluk dan juga Pendekar 212 jadi
merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi langit. Kaki kanannya sebatas
paha sampai ke betis ternyata telah koyak lebar dan dalam. Meskipun gelap tapi
tulang tungkainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di tangan kirinya jatuh.
Belum sempat benda ini menyentuh tanah tiba-tiba srigala itu kembali
menyerbunya dengan ganas. Raungan si nenek tertindih oleh suara raungan
binatang itu. Leher Iblis Sumbing tampak robek. Urat-uratnya mencuat putus dan
darah menyembur. Dadanya terkuak menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu di
sebelah bawah perutnya robek membusai semua isi yang ada di dalamnya!
Pemuda gendut mengeluarkan
suara mau muntah menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang Sinto Gendeng
mengerenyit sambil menutup mulut dengan tangan kiri sementara tengkuknya
merinding dingin. Dia sempat tertunduk ngeri. Ketika dia mengangkat kepalanya
kembali, sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi!
“Gusti Allah!” seruan itu
keluar dari mulut Perwira Tinggi Gandar Seto begitu dia sempat melihat apa yang
terjadi atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Sekujur tubuhnya bergetar
hebat dan tiba-tiba saja dia seperti tidak punya tulang belulang lagi, lemas
dan ketakutan setengah mati.
“Perwira, aku memberi
kesempatan padamu. Jika kau tidak segera minggat dari sini aku akan suruh
binatang itu mengoyak tubuhmu!” kata Kemala pula dengan pandangan mata tak
berkedip.
“Jangan! Jangan!” Hanya itu
ucapan yang bisa dikeluarkan oleh Gandar Seto. Lalu dia memutar tubuh dan lari
meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya.
Kemala menarik nafas dalam.
Dia memandang berkeliling. Pandangannya bertemu dengan pandangan Pendekar 212
yang saat itu melangkah mendekatinya dengan wajah seolah tak percaya.
“Kemala…” desis Wiro begitu
dia sampai di hadapan si gadis.
“Wiro, kini kau tahu siapa
diriku. Kau pasti amat menyesal. Kau hendak melakukan sesuatu terhadapku?”
meluncur kata-kata itu dari mulut Kemala.
Wiro menggeleng lalu menggaruk
kepala. “Aku… aku tak tahu harus bicara apa. Harus melakukan apa. Terus terang
memang aku tidak menyangka…”
Si gadis tampak tersenyum.
“Apakah kau sudah menemui Ratih Kiranasari, gadis yang mencintaimu itu?”
“Eh! Tunggu dulu!” Tiba-tiba
pemuda gendut yang sejak tadi asyik menyaksikan jalannya perkelahian berseru.
“Aku mau bicara!”
“Gendut tak tahu diri! Jangan
campuri urusan kami!” sentak Kemala.
“Sobatku, lebih baik kau
dengarkan kata-katanya,” ujar Wiro pula pada si gendut berkopiah kupluk
“Busyet! Kau yang harus
mendengarkan aku Wiro?! Jangan sampai terjebak! Kau tak tahu siapa adanya gadis
ini!” menjawab si gendut.
“Eh! Apa maksudmu?” tanya Wiro
pada si gendut lalu berpaling pada Kemala dan kembali menoleh pada pemuda gemuk
di hadapannya itu.
Kemala sendiri saat itu
mendadak berubah wajahnya. Dia memandang ke arah bulan purnama empat belas hari
di langit. Mulutnya terbuka. “Datuk, lekas kau bunuh pemuda gendut itu!”
Srigala bermata api meraung
keras. Tubuhnya merunduk. Si gendut melompat mundur seraya berseru pada Wiro.
“Sobat! Lekas kau berikan padaku batu hitam pasangan Kapak Naga Geni 212!
Cepat!”
Srigala besar itu semakin
merunduk. Kedua kaki depannya tenggelam ke dalam tanah tanda dia hendak membuat
satu terkaman yang hebat luar biasa.
“Wiro lekas! Berikan padaku
batu hitam keramat pasangan Kapak Naga Geni 212!” teriak si gendut sekali lagi.
Dalam heran dan bingungnya
tentu saja Wiro tidak memenuhi permintaan si gendut itu. Tiba-tiba srigala
besar melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut lalu lari lintang pukang
selamatkan diri ke balik pohon beringin besar. Walaupun gerakannya terlihat
lamban dan benarbenar seperti orang ketakutan tetapi anehnya si gendut ini
ternyata berhasil lolos dari terkaman srigala.
Melihat serangannya gagal
binatang ini menggereng marah. Dia membalik dan kembali menyerang. Kali ini si
gendut melompat ke atas. Kedua tangannya menangkap akar gantung besar pohon
beringin. Tubuhnya yang gendut digoyangnya. Hebat sekali, tubuh yang beratnya
hampir 150 kati itu berayun-ayun lalu melesat ke depan. Terkaman srigala lewat
setengah jengkal di bawah selangkangannya! Si gendut menjerit. Pegangannya
dilepaskan dari akar gantung. Tubuhnya jatuh melesat tepat ke arah Wiro. Kedua
orang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah, bergulingan beberapa kali lalu
tampak si gendut berdiri lebih dahulu. Ketika Wiro berdiri pula dilihatnya si
gendut memegang sebuah benda hitam di tangan kanannya. Wiro cepat meraba
pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat persegi pasangan Kapak Naga Geni 212 yang
selalu disimpannya di balik pinggang pakaian telah lenyap. Benda itu kini
berada dalam genggaman si gendut berpeci kupluk!
“Gendut sialan! Kau hendak
berbuat apa dengan batu mustika itu! Lekas kembalikan!” teriak Wiro dan hendak
melompat untuk merampas batu hitam miliknya.
“Sahabat, sabar dulu! Justru
hanya benda ini yang mampu menolong srigala jejadian itu bebas dari ilmu hitam,
dari sekapan iblis! Juga hanya batu mustika ini yang sanggup membebaskan
sebagian pengaruh iblis dalam diri Kemala!”
“Aku tidak mengerti maksudmu!”
teriak Wiro masih marah.
“Kalau kau belum mengerti
makanya lihat saja!” jawab si gendut. Lalu dia melangkah ke arah srigala
bermata api yang kembali hendak menerkamnya. Dengan cepat si gendut ini
acungkan ke depan batu mustika hitam di tangan kanannya. Terjadilah hal yang
aneh. Raungan srigala mendadak berubah kuncup dan kini mengecil tak ubah
seperti suara seekor anjing yang ketakutan dimarahi tuannya. Binatang ini
bersurut sambil rundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari
kedua matanya, menyerang ke arah si gendut. Orang yang diserang cepat menangkis
dengan batu hitam di tangannya. Dua larik sinar merah tadi kelihatan bergetar
keras lalu membalik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua mata srigala.
Binatang ini meraung panjang. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh
itu tampak dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap hitam
sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok tulang belulang putih, membujur rapi
seperti ruas-ruas tulang srigala.
“Datuk…!” jerit Kemala ketika
menyaksikan apa yang terjadi. Dia memburu hendak menjatuhkan diri di atas
tumpukan tulang belulang itu.
“Jangan!” teriak si gendut
seraya mendorongkan tangan kirinya. Serangkum angin deras menyambar membuat
gerakan tubuh Kemala tertahan lalu perlahan-lahan terjajar mundur. Baru saja
dia menjauh sejarak tiga langkah tibatiba terdengar letusan-letusan keras.
Tulang belulang di tanah bermentalan kian kemari lalu lenyap tak berbekas
seperti asap dihembus angin malam!
Kemala memutar tubuhnya ke
arah si gendut. Sepasang matanya membersitkan sinar pembunuhan. Kedua tangannya
diangkat ke atas.
“Kau… Kau membunuh Datuk.
Sekarang kau harus jadi pengiring kematiannya!” Kemala menjerit panjang. Suara
jeritannya hampir menyerupai lolongan srigala. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke
arah si gendut. Melihat hal ini si gendut cepat angkat tangannya yang memegang
batu mustika hitam milik Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti kesilauan Kemala
menutupi kedua matanya dengan tangan kiri. Tapi terlambat. Sebagian cahaya
rembulan yang memantul di atas batu hitam berbalik menembus kedua matanya.
Gadis ini menjerit. Sekali ini suara jeritannya asli suara jeritan manusia.
Lalu tubuhnya jatuh terkapar di tanah! Si gendut menarik nafas lega. Dia
keluarkan kipas kertasnya lalu mengipasi muka dan lehernya yang basah oleh keringat!
“Kemala!” teriak Wiro seraya
berlari dan jatuhkan dirinya di samping gadis itu.
Ketika Wiro meletakkan kepala
Kemala di atas pangkuannya dan membelai kening gadis itu, dia merasakan
seseorang meletakkan sesuatu di atas kepalanya. Wiro memegang benda yang
diletakkan itu lalu berpaling.
Si gendut tegak di sampingnya.
Sambil menyeringai dia berkata. “Sahabat, aku telah menyelamatkan gadis itu
dari sekapan ilmu iblis. Ketahuilah, batu hitam yang kau miliki itu adalah
raja-diraja penolak segala ilmu hitam. Kau memilikinya selama bertahun-tahun,
tapi tak pernah tahu bagaimana memanfaatkannya. Gadismu itu kini sudah selamat.
Tapi baru setengahnya. Yang setengah lagi hanya kau yang bisa melakukannya…”
Wiro pegang benda di atas
kepalanya. Ternyata si gendut tadi telah meletakkan batu hitam mustika miliknya
seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wiro memasukkan batu itu ke balik
pakaiannya. Ketika dilihatnya si gendut hendak pergi, Pendekar 212 cepat
bangkit dan berkata.
“Gendut! Jangan pergi dulu!
Aku perlu petunjukmu! Katamu gadis itu baru selamat setengahnya. Yang setengah
lagi aku harus melakukannya. Melakukan apa? Bagaimana?”
“Kau lihat wajah gadis itu?”
“Tentu saja aku melihatnya!”
“Cantik sekali bukan?!”
“Bujang Gila Tapak Sakti!”
teriak Wiro menyebut nama si gendut. “Bukan saatnya kau bergurau!”
“Siapa yang bergurau?!” sahut
si gendut pula. “Jelas gadis itu cantik. Tapi itu bukan parasnya yang asli!”
“Eh! Apa maksudmu?”
“Sobatku. Biar aku tolong kau
sekali lagi. Tadi kukatakan dia baru tertolong setengah. Kini kutambah
seperempat lagi. Yang seperempatnya kau yang melakukan! Setuju?”
Karena bingung Wiro mengatakan
setuju saja.
Si gendut yang bergelar Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Ingat sobat, janji harus kau penuhi. Kau
harus menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang seperempat lagi!”
Habis berkata begitu si gendut
ini betulkan letak pecinya lalu duduk di samping tubuh Kemala. Kedua telapak
tangannya diusapkan satu sama lain. Lama-lama kedua tangan itu tampak menjadi
sangat merah dan mengeluarkan asap putih yang menimbulkan hawa sangat dingin.
Si gendut membungkuk. Dengan hati-hati kedua tangannya yang dingin itu
diusapnya ke sekujur wajah Kemala.
Kedua mata Pendekar 212
membeliak besar ketika melihat apa yang terjadi. Di bawah cahaya bulan purnama
empat belas hari dilihatnya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit wajah Kemala
berubah. Ketika si gendut mengangkat tangannya dan wajah telah sempurna
perubahannya, murid Eyang Sinto Gendeng jadi ternganga lebar. Kerongkongannya tersekat
dan lidahnya seolah kelu. Dia hanya mampu mengeluarkan suara desis perlahan.
“Ratih Kiranasari…”
Gadis yang tergeletak di tanah
itu memang Ratih Kiranasari adanya!
Perlahan-lahan Bujang Gila
Tapak Sakti bangkit berdiri. Dia memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata.
“Tinggal seperempat lagi sobatku. Itu kau punya pekerjaan. Gadis itu akan
pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya bilamana kau tidak menolongnya!”
“Katakan bagaimana cara aku
menolongnya!” jawab Wiro pula.
“Sesuai janji kau tidak akan mengelak
atau mencari dalih!”
“Tidak!”
“Kau tahu Kemala menyukai
dirimu?”
Wiro mengangguk.
“Sekarang kau lihat sendiri
Kemala ternyata adalah Ratih Kiranasari.”
“Pantas… pantas dia menyuruh
aku menemui Ratih. Ternyata orangnya sama. Dia-dia juga…” Wiro garuk-garuk
kepala. “Aku ingat sekarang. Bau harum tubuh Kemala sama dengan wanginya tubuh
Kiranasari”
Bujang Gila Tapak Sakti
tersenyum. “Sobatku, sekarang kau dengar baik-baik. Ratih Kiranasari akan sadar
dari pingsannya jika kau menggauli dirinya…”
Paras Pendekar 212 karuan saja
menjadi berubah merah. Matanya melotot. “Gendut, kau jangan bergurau!”
“Aku tidak bergurau sobatku.
Ini persoalan hidup atau mati seseorang. Gadis itu telah terlanjur terjebak
dalam ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu pemuda pun yang mau mencintai
dan bersedia dijadikan suaminya. Dalam dirinya muncul dendam. Dendam ini tak
dapat dikuasainya hingga dirinya terjebak dalam ilmu hitam. Dia harus membunuh
setiap orang yang sedang berkasihkasihan. Ingat, tiga perempat kehidupan dunia
hitamnya telah musnah. Kini tinggal yang seperempat. Obatnya yang aku katakan
tadi…”
“Gila!”
“Ini bukan gila! Hanya itu
satu-satunya jalan penangkal ilmu hitam agar keluar dari tubuhnya. Aku akan
pergi agar kau bisa melakukan apa yang aku katakan!”
“Tunggu!” kata Wiro seraya
cepat memegang tangan si gendut.
“Tunggu apa lagi sobatku?”
tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Bagaimana, hemmm… Bagaimana
kalau kau saja yang melakukannya?!”
Si gendut tertawa
terpingkal-pingkal. “Sobatku, aku sih mau-mau saja. Tapi tidak bakalan mempan!
Dia akan tertolong kalau digauli oleh lelaki yang dicintainya. Nah, aku tahu
sekali gadis itu mencintaimu. Bukan aku si gajah bunting ini! Nah, carilah
tempat yang baik agar kau benarbenar senang melaksanakannya.”
Habis berkata begitu Bujang
Gila Tapak Sakti tepuktepuk bahu Wiro. Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara dirasakannya si gendut masih
terus menepuk-nepuk bahunya.
“Gendut,” kata Wiro seraya
berpaling pada orang yang tegak di sebelahnya.
Astaga! Ternyata si gendut itu
tak ada lagi di sampingnya. Tetapi anehnya tepukan-tepukan tangannya masih
terasa di bahunya! Sadarlah Wiro kalau sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti itu
sudah lama meninggalkan tempat itu. Dengan kesaktiannya dia bisa membuat
tepukan-tepukan tangan di bahu sang pendekar padahal dirinya sudah berada di
tempat lain!
Cahaya bulan purnama semakin
terang. Wajah Ratih Kiranasari semakin jelas kelihatan dan tampak bertambah
cantik. Dirinya seolah seorang bidadari yang sedang tertidur lelap.
Perlahan-lahan Wiro mengangkat tubuh gadis itu.
“Bujang Gila Tapak Sakti!”
katanya. “Kalau ternyata kau menipu diriku, akan kucari kau sampai ke langit ke
tujuh sekali pun!”
TAMAT