Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
116 Hantu Selaksa Angin
1
SENGATAN sinar matahari di
wajah dan sekujur badannya menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Perlahan-lahan dia buka kedua matanya tapi serta merta dipicingkan kembali, tak
tahan oleh silaunya cahaya matahari. Sambil melindungi matanya dengan tangan
kiri Wiro mencoba bangkit dan duduk di tanah.
“Ampun, sekujur tubuhku sakit
bukan main. Tulangtulang serasa copot. Kepalaku mendenyut tak karuan. Apa yang
terjadi dengan diriku…?” Wiro buka kembali sepasang matanya. Lalu memandang berkeliling.
Dia dapatkan dirinya berada di satu kawasan berbatu-batu di kaki sebuah bukit
kecil. Pakaiannya kotor bahkan ada robekanrobekan di beberapa tempat. Lengan
serta kakinya lecet. Ketika dia meraba kening sebelah kiri ternyata kening itu
benjut cukup besar. Di depan sana dia melihat beberapa pohon besar
bertumbangan. Semak belukar berserabutan dan bertebaran di mana-mana.
“Kaki bukit batu… Pohon-pohon
tumbang… Sunyi. Di mana ini… Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” Wiro
kembali memandang berkeliling. Dia coba mengingat-ingat sambil menggaruk
kepala. Seperti diceritakan dalam episode terdahulu, “Rahasia Perkawinan Wiro”,
sebelum dinikahkan oleh Lamahila, si nenek juru nikah itu telah memberi minuman
yang disebut Embun Murni kepada Wiro. Akibat meneguk minuman aneh itu Wiro
menjadi seperti hilang kesadarannya dan mau melakukan apa yang dikatakan si
nenek. Bahkan dia tidak sadar kalau telah melakukan upacara pernikahan dengan
Hantu Santet Laknat yang berubah ke ujud aslinya, berupa seorang dara cantik
jelita bernama Luhrembulan.
“Edan!” Wiro tepuk keningnya
sendiri. “Otakku tak bisa bekerja! Jangan-jangan otakku sudah tak ada lagi
dalam batok kepala!” Wiro jitak-jitak keningnya sendiri hingga mengeluarkan
suara tuk… tuk… tuk. Pendekar ini lalu menyeringai sendiri. “Ah…! Dari bunyinya
jelas otakku masih ada dalam kepala. Tapi mengapa aku tak bisa berpikir, tak
bisa mengingat-ingat! Agaknya aku harus menenangkan diri, atur jalan nafas dan
peredaran darah!
Jangan-jangan telah terjadi
sesuatu dengan diriku!” Wiro ingat pada senjatanya. Dia susupkan tangan ke
balik pakaian. Dia merasa lega. Ternyata Kapak Maut Naga Geni 212 masih
terselip di pinggangnya. Lalu batu sakti hitam pasangan kapak juga ada di dekat
senjata itu.
Untuk sesaat Wiro genggam hulu
kapak sakti bermata dua itu. Hawa sejuk memasuki tangannya, perlahan-lahan
mengalir ke dalam tubuh. Di dalam aliran darah hawa sejuk itu berubah menjadi
hangat. Bilamana perasaan dan pikirannya menjadi tenang, Wiro rubah duduknya
jadi bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha, mata dipejamkan. Begitu
dirasakannya ada ketenangan dalam dirinya, sang pendekar mulai mengerahkan hawa
sakti serta mengatur pernafasan dan aliran darah dalam tubuhnya. Tak selang
berapa lama didahului dengan menghirup udara segar lewat hidung, kemudian
perlahan-lahan menghembuskannya lewat mulut, Wiro buka sepasang matanya.
“Hemmm… Syukur otakku tidak
sableng benaran. Kini aku ingat apa yang terjadi. Aku berada di puncak bukit
ketika tiba-tiba badai datang mengamuk. Mungkin aku dihantam badai celaka itu,
terlempar ke bawah bukit ini.
Sebelum terlempar aku ingat
betul. Ada satu suara memanggil namaku. Siapa dia…? Luh… Luhrembulan! Astaga…!
Bukankah gadis cantik penjelmaan Hantu Santet Laknat itu yang memanggil aku
sebagai suaminya? Katanya aku dan dia telah dinikahkan oleh Lamahila. Ya Tuhan!
Bagaimana semua itu bisa terjadi?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
serta merta bangkit berdiri.
Dia memandang ke puncak bukit.
“Luhrembulan… Apakah dia masih ada di atas bukit itu? Jangan-jangan badai telah
mencelakainya. Apakah aku harus menyelidik naik ke atas bukit? Tapi kalau aku
memang sudah jadi suaminya, bisabisa aku… Gila! Aku tak mau cari penyakit.
Lebih baik segera aku angkat kaki saja dari tempat ini!” Wiro layangkan lagi
pandangan ke arah puncak bukit lalu tanpa menunggu lebih lama dia segera
balikkan badan untuk melangkah pergi. Tapi belum sempat langkah dibuat tibatiba
dari balik serumpunan semak belukar melesat dua sosok tubuh. Lalu dari atas
sebatang pohon miring, laksana seekor burung besar melayang turun seorang
berpakaian serba hitam. Dari sepasang matanya menyambar dua larik kobaran api.
Murid Eyang Sinto Gendeng
tersurut satu langkah. Dia cepat memasang kuda-kuda. Dua kaki tegak merenggang
seperti dipantek ke tanah. Dua tangan disilang di depan dada. Saat itu dia
dapatkan dirinya telah dikurung oleh tiga orang. Ternyata tidak cuma tiga!
Orang ke empat muncul dari balik tumbangan pohon besar. Dia melangkah sambil
menggoyang sebuah rebana yang ada kerincingannya di tangan kiri. Mukanya yang
kempot keriputan cengar-cengir. Barisan giginya tonggos berserabutan ke depan.
Setiap langkah yang dibuatnya seperti orang menari mengikuti suara kerincingan
yang sesekali diseling tabuhan rebana. Di punggungnya tersisip sebuah payung
terbuat dari rangkaian daun-daun kering. Lalu di sebelah bawah kelihatan
celananya yang di bagian belakang selalu didodorkan ke bawah hingga pantatnya
yang hitam kasap tersingkap ke mana-mana!
“Pelawak Sinting palsu!
Jahanam ini dulu yang hampir mencelakaiku di sarangnya Hantu Muka Dua…”
membatin Wiro. “Kabarnya sejak didamprat saudara kembarnya Si Pelawak Sinting
asli, dia telah berubah baik. Sekarang dia muncul di sini! Apa membawa niat
baik atau niat jahat! Apa dia muncul bersama yang lain-lain ini?”
Wiro melirik ke samping kiri.
Di situ tegak sosok berjubah hitam berwajah dan bertubuh jerangkong. Makhluk
ini bukan lain adalah Sang Junjungan, guru Hantu Santet Laknat. Sebelumnya Wiro
memang tidak pernah melihat makhluk ini hingga tidak mengetahui siapa dia
adanya.
Orang ke tiga berdiri
berdampingan dengan orang ke empat. Yang di sebelah kanan ternyata adalah Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Otaknya yang terletak di atas kepala tampak
mendenyut keras, mukanya mengelam pertanda orang tua berkepandaian tinggi ini
tengah berusaha menindih hawa amarah yang saat itu menggelegak di dadanya. Dua
matanya memandang garang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Sebaliknya Wiro
balas memandang dengan hidung dan mulut dipencongkan. Dalam hati dia berkata.
“Bangsat tua yang otaknya di luar kepala ini yang telah mencelakai diriku.
Kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat, tendangan beracunnya pasti membuat
aku saat ini sudah berada di alam roh! Sialan betul!”
Di sebelah Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab tegak seorang kakek berpakaian serba ungu. Dialah Lawungu, kakek
yang pernah disantet oleh Hantu Santet Laknat. Berkat sebuah sendok sakti
terbuat dari emas bernama Sendok Pemasung Nasib kakek yang hampir meregang
nyawa ini berhasil ditolong dan disembuhkan.
Tidak beda dengan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab, kakek satu ini juga memandang penuh geram pada Wiro.
Seperti dituturkan dalam
episode “Badai Fitnah Latanahsilam”, demi menolong Pendekar 212 Wiro
Sableng, Hantu Santet Laknat
mengikat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan ular jejadian yang sebenarnya
adalah tali yang terbuat dari akar gantung pohon besar. Ilmu hitam si nenek
ternyata berhasil membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak berdaya. Hantu
Santet Laknat kemudian melarikan Wiro, membawanya ke sebuah gubuk di satu bukit
di mana dia memberikan pengobatan pada sang pendekar hingga sembuh.
Begitu juga Lawungu. Ketika
dia muncul dan hendak menolong Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Naga Kuning dan
Setan Ngompol bersama Betina Bercula yang juga muncul tak terduga di tempat itu
segera bertindak. Kakek satu ini berhasil mereka lumpuhkan dengan jalan
menotok. Setelah itu baik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab maupun Lawungu
dipermainkan habis-habisan oleh ketiga orang itu. Lawungu dikencingi mulutnya
oleh Setan Ngompol sedang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pakaiannya sebelah
bawah perut disusupi berbagai binatang seperti kalajengking, kodok, semut
rangrang, kadal, cacing dan sebagainya.
Bagaimana kini dua kakek sakti
itu bisa membebaskan diri lain tidak adalah berkat pertolongan Si Pelawak
Sinting palsu yang kebetulan lewat di tempat itu. Semula Si Pelawak Sinting
yang otaknya agak miring angin-anginan ini tidak mau menolong kedua orang itu.
Namun setelah dibujuk-bujuk akhirnya dia mau juga melepaskan ikatan di tubuh
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab lalu memusnahkan totokan yang membuat kaku
tegak Lawungu. Malah kemudian karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan dua
kakek itu, Si Pelawak Sinting palsu mengikuti perjalanan keduanya.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab dan Lawungu jelas tidak bersahabat denganku! Sebelumnya mereka hendak
menggantungku. Nyawaku pasti amblas kalau tidak ditolong Hantu Santet Laknat.
Si muka jerangkong ini melihat gerak-geriknya dia juga tidak berada di pihakku.
Entah si Pelawak Sinting brengsek itu…” Begitu Wiro membatin. Dia memutuskan
berdiam diri. Menunggu apa yang hendak diperbuat orang-orang yang telah
mengurungnya itu. Ternyata Wiro tidak menunggu lama. Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab membuka mulut pertama kali. Suaranya keras lantang dan bergetar.
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
PEMUDA asing seribu laknat
seribu keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Kali ini jangan harap bisa lolos
dari tanganku!”
“Orang tua! Percuma otakmu
berada di luar kepala. Kau pasti masih saja menuduhku sebagai perusak dan penganiaya
dua cucumu!”
“Hal itu sudah jelas!” ikut
bicara Lawungu. “Sebelum sahabatku ini membunuhmu lekas kau memberitahu di mana
beradanya nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat itu!”
Seperti diketahui, Lawungu
membekal dendam kesumat sangat besar terhadap si nenek karena Hantu Santet
Laknatlah yang telah menyantet tubuhnya hingga hampir menemui ajal dalam
keadaan membusuk. Sebenarnya diam-diam Lawungu dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
juga tengah mencari Setan Ngompol dan Naga Kuning yang beberapa waktu lalu
telah mengerjainya. Tapi karena ada rasa takut terhadap Naga Kuning, maka
Lawungu tidak menanyakan tentang kedua orang itu pada Wiro.
Wiro melirik ke arah orang
bermuka tengkorak berbadan jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Sang
Junjungan. Orang ini tegak tak bergerak. Rambut putih di batok kepalanya
kelihatan aneh. Di dalam sepasang matanya yang bolong kelihatan cahaya merah
seperti ada kobaran api di dalam kepalanya. “Agaknya si makhluk jerangkong ini
tidak datang bersama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan kakek jubah ungu itu,”
Wiro menduga dalam hati.
Tiba-tiba ada suara
kerincingan disusul suara rebana ditabuh. “Na… na… na… Ni… ni… ni!” Di sebelah
sana si Pelawak Sinting mulai menyanyi sambil menari. Pantatnya tersingkap
ogel-ogelan kian kemari!
“Jahanam sinting! Berhenti
menabuh rebana! Tutup mulut dan berhenti menari! Aku tidak membawamu kemari!
Kau yang mengikuti perjalanan kami berdua. Jadi harap kau tahu diri! Jangan
mengacau urusan orang lain! Kalau tidak bisa berdiam diri lindang hapus dari
sini!” Yang membentak penuh marah adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Dibentak seperti itu Si
Pelawak Sinting tampak kaget. Mukanya yang keriput sampai pucat sesaat. Lalu dia
geleng-geleng kepala. “Nasibku buruk amat! Karena hati gembira aku menari dan
menyanyi. Tapi orang menganggap aku mengacau! Aku diusir pergi! Mungkin suaraku
tidak bagus! Tarianku buruk!”
“Pelawak Sinting! Jangan kau
mengomel tak karuan di sini!” Lawungu ikut membentak.
Si Pelawak Sinting letakkan
rebananya di atas kepala. Lalu di atas rebana ini diletakkannya gagang daun
payung. Walau melangkah sambil goleng-golengkan kepala tapi rebana dan payung
itu tidak jatuh. Sembari berjalan ke arah satu pohon besar kakek ini menjawabi
bentakan Lawungu dengan gerutuan.
“Terima kasih! Aku tidak
mengomel. Hanya saja apa kau tidak bisa mengingat budi orang? Kalau aku tidak
menemukan kalian berdua, kalau bukan aku yang menolong kalian akan mati
membusuk di tengah rimba belantara! Tidak kalian usirpun aku memang ingin
pergi!
Orang sinting macamku mana
cocok di satu tempat dengan orang-orang hebat seperti kalian!” Si Pelawak
Sinting songgengkan pantatnya lalu teruskan langkahnya. Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab marah bukan main. Lawungu hendak mengejar kakek itu tapi Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab cepat memberi isyarat dan berkata.
“Biarkan saja orang gila itu
pergi! Kita tidak membutuhkannya lagi! Urusan kita adalah dengan pemuda jahanam
ini!”
“Na… na… na! Ni… ni… ni!
Terima kasih! Begitulah sifat manusia. Ketika membutuhkan, mengemis bahkan
menjilat pantat orangpun mau! Hik… hik! Tapi kalau sudah terlepas dari
kesulitan, uhhh… Sombongnya minta ampun. Hik… hik… hik!” Sambil melangkah ke
arah pohon besar di depannya Si Pelawak Sinting palsu terus nyerocos. “Orang
bijak berkata bahwa orang tua-tua itu menjadi pegangan hati dan perasaannya,
menjadi cermin otak dan jalan pikirannya, menjadi panutan sikap dan
tindakannya. Tapi kalian berdua semakin tua semakin lupa diri. Tidak heran
kalau berkat dan perlindungan para Dewa tidak sampai atas diri kalian! Musibah
berkepanjangan. Tidak heran makhluk yang namanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab kini tidak punya kemampuan lagi untuk jadi tempat bertanya dan tempat
mencari jawab! Na… na… na! Ni… ni… ni! Hik… hik!”
Wajah Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab menjadi merah padam mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting palsu
itu. Wiro sendiri sempat tercengang tapi sekaligus membatin.
“Jangan-jangan apa yang
dikatakan kakek sinting itu benar adanya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah
kehilangan kepandaiannya dalam mengetahui banyak hal. Karena sikap dan
perbuatannya telah banyak menyimpang. Tidak lagi mendapat restu Yang Kuasa!”
Otak di atas kepala Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendenyut keras seperti hendak meledak keluar. “Tua
bangka jahanam ini harus kupatahkan batang lehernya sekarang juga!” katanya
penuh geram.
“Sabar wahai kerabatku! Jangan
sampai terpancing! Manusia tak berguna itu bisa kita urus kemudian. Yang
penting pemuda ini dulu!” Kembali Lawungu memberi ingat sahabatnya itu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab terpaksa tekan amarahnya yang meluap. Dia dan Lawungu berpaling kembali
menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng. Akan halnya Si Pelawak Sinting ternyata
kakek ini tidak benarbenar pergi. Begitu dia kelindungan di balik pohon, dengan
satu lompatan enteng dia melesat ke atas pohon lalu duduk di salah satu cabang.
Luar biasanya walau dia membuat lompatan cukup tinggi, rebana dan payung di
atas kepalanya tidak bergerak seolah menempel erat. Kerincingan yang ada di
sekeliling rebana juga tidak mengeluarkan suara sedikitpun!
“Pemuda asing! Apa kau
mendadak jadi bisu! Tidak mau menjawab pertanyaanku! Di mana beradanya Hantu
Santet Laknat! Kami tahu dia yang membawamu setelah mencelakai sahabatku ini!”
Lawungu kembali membuka mulut.
“Dia memang membawaku. Dia
mengobati luka dalam akibat tendangan beracun kakek yang otaknya di luar
kepala ini! Setelah menolong
diriku dia pergi begitu saja. Di mana dia kini berada aku tidak tahu!”
“Hemmm…” Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab keluarkan suara bergumam. “Setelah menerima budi orang kau
unjukkan sikap baik, sengaja melindungi dirinya. Tidak mau memberitahu di mana
dia berada! Makin jelas bagiku kalau kau memang terlibat cinta dengan nenek
jahat buruk itu!”
Wiro jadi kesal. Dalam hati
dia membatin. “Tua bangka berotak geblek! Kalau kau melihat ujud asli Hantu
Santet Laknat, rasanya aku berani bertaruh mencungkil mataku sendiri. Kau pasti
terpikat habis-habisan padanya!” Wiro pandangi otak si kakek yang bertengger
berdenyut di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng lalu meneruskan ucapannya.
“Aku memang tidak tahu di mana
nenek itu berada! Bukan karena ingin melindunginya. Tapi karena aku orang tolol
tidak tahu apa-apa! Sebaliknya kau orang pintar! Percuma kau bernama Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab kalau tidak mampu mengetahui di mana Hantu Santet
Laknat berada. Mungkin benar ucapan Si Pelawak Sinting tadi. Kau telah
kehilangan kepandaianmu karena kelewat sombong! Mulai hari ini biar kuganti
namamu menjadi Hantu Sejuta Tolol Sejuta Dungu!”
Mendidihlah amarah Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendengar ejekan Pendekar 212. Apalagi Lawungu ikut
membakar.
“Sahabatku! Orang tak mau
memberi keterangan. Apalagi yang ditunggu. Kita habisi dia sekarang juga!”
“Kau benar Lawungu! Tanganku
memang sudah gatal ingin menghajarnya! Dia tidak layak berada lebih lama di
bumi Latanahsilam ini! Tempatnya adalah alam kematian! Rohnya akan tergantung
sengsara antara langit dan bumi! Aku lebih puas jika aku sendiri yang
menghabisinya!”
Begitu selesai berucap Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab langsung menerjang.
Sebenarnya melihat Wiro dalam
keadaan hidup merupakan satu tanda tanya besar bagi kakek sakti yang otaknya
ada di luar batok kepala ini. Sebelumnya dalam satu perkelahian dia berhasil
menghantam dada Pendekar 212 dengan Tendangan Hantu Racun Tujuh. Selama ini
tidak ada satu orangpun yang selamat dari tendangan itu. Kalaupun mampu
bertahan maka dalam waktu dua hari akhirnya akan menemui ajal. Kalau Wiro masih
hidup berarti memang ada seorang berkepandaian tinggi yang telah menolongnya.
Tetapi sulit dipercaya kalau Hantu Santet Laknat yang menolong pemuda ini.
Walau tadi dia menuduh Wiro mempunyai hubungan asmara dengan Hantu Santet
Laknat namun setahu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab si nenek sejak lama
berseteru hebat dengan Wiro dan kawan-kawannya.
Sosok Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab melesat di udara. Kakek sakti ini siap melancarkan pukulan yang
disebut Menara Mayat Meminta Nyawa. Ini merupakan salah satu serangan sangat
berbahaya. Jelas si kakek memang ingin membunuh Wiro. Sang pendekar tentu saja
tidak tinggal diam. Sebelumnya dia mempunyai rasa hormat dan kagum terhadap
orang tua ini. Ternyata sifat dan sikap serta bicara Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab jauh berbeda dengan apa yang diduganya. Karenanya Wiropun tidak
sungkan-sungkan lagi. Begitu dirinya diserang dia segera siapkan pukulan Sinar
Matahari di tangan kanan sedang tangan kiri digerakkan untuk melancarkan
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Tiba-tiba dari arah kiri menggelegar
satu bentakan. Suara bentakan ini seolah datang dari liang jurang batu yang
dalam hingga untuk beberapa lamanya menggema di seantero tempat.
“Tahan serangan!”
Menyusul berkelebat satu
bayangan hitam, membuat gerakan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertahan.
Sosoknya sesaat seperti mengapung di udara lalu terdorong ke samping.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab terkejut besar. Terlebih ketika dia melihat yang barusan memapaki
serangan mautnya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng adalah si jubah hitam muka
tengkorak tubuh jerangkong.
“Makhluk salah ujud! Tempatmu
seharusnya di neraka! Jadi kalau kau sesat datang kemari jangan berani
mencampuri urusan orang!” Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak marah.
“Setahuku bukankah kau adalah guru Hantu Santet Laknat. Kita memang tidak
berada di satu pihak. Tapi adalah aneh kau membela pemuda asing yang menjadi
musuh muridmu itu! Malah bukankah kau yang selama ini memberi perintah pada
Hantu Santet Laknat untuk menghabisi pemuda asing ini bersama teman-temannya?!
Jangan memaksa diriku untuk ikut menghabisi dirimu saat ini juga!”
Makhluk muka tengkorak yang
dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan tertawa bergelak.
“Otak anehmu rupanya tahu
banyak. Kau tentunya makhluk paling pintar di bumi Negeri Latanahsilam ini.
Tapi mengapa tadi pemuda itu menyebutmu sebagai Hantu Sejuta Tolol Sejuta
Dungu! Ha… ha… ha…! Orang tua berotak aneh! Kau dengar baik-baik. Langit di
atas bumi Latanahsilam ini boleh tetap sama. Samudera yang mengelilingi negeri
ini juga tetap sama. Tapi ujud hubungan manusia bisa berubah!”
“Apa maksudmu?” tanya Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
“Sahabatku! Kau tidak perlu
bicara berpanjang lebar pada makhluk yang kesasar datang dari liang kubur ini!
Kau bunuh pemuda asing itu! Aku biar menghabisi jahanam sesat bermuka tengkorak
bertubuh jerangkong ini!” Yang bicara adalah Lawungu.
Ketika Sang Junjungan memapasi
serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Pendekar 212 sebenarnya juga merasa
heran. Semula dia menduga makhluk muka tengkorak itu menghalangi serangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab karena dia tidak ingin kedahuluan. Karena pasti dia
juga membekal maksud untuk membunuh dirinya. Namun mendengar ucapan si muka
tengkorak tadi, hati sang pendekar jadi bertanya-tanya.
Setuju akan ucapan Lawungu
maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab segera menyerbu. Dari tangan kanannya yang
dihantamkan ke arah Wiro menderu keluar satu gulungan sinar putih sebesar
batang kelapa. Dalam jarak beberapa langkah dari Wiro tiba-tiba sinar ini
memecah menjadi tujuh! Inilah kedahsyatan ilmu pukulan yang disebut Menara
Mayat Meminta Nyawa!
Di bagian lain Lawungu sudah
menghantam pula ke arah si muka tengkorak. Dua tangannya dipukulkan ke depan.
Dua larik sinar ungu berkiblat dari ujung-ujung lengan jubahnya! Si muka
tengkorak berseru keras ketika merasakan tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki laksana dihimpit dua dinding batu!
“Pukulan Bumi Langit
Menghimpit Roh!” teriak si muka tengkorak mengenali pukulan yang dilepaskan
Lawungu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
SETELAH berteriak makhluk muka
tengkorak tubuh jerangkong yang dikenal dengan panggilan Sang Junjungan itu
angkat dua tangannya di depan dada, lalu ditepiskan ke kiri dan ke kanan.
Bersamaan dengan itu dia goyangkan kepalanya. Dari sepasang matanya yang hanya
merupakan bolongan melesat keluar dua larik lidah api. Lalu dari dua tangannya
yang tadi dipukulkan menyilang menderu satu gelombang angin yang dahsyatnya
bukan alang kepalang!
Wusss! Wusss!
Bummm!
Sang Junjungan terpental dua
tombak.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede terbeliak kaget ketika melihat apa yang terjadi dengan sosok Sang
Junjungan. Akibat pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang dilancarkan Lawungu,
tubuh makhluk muka tengkorak badan jerangkong itu ciut gepeng laksana habis
digencet dua batu besar! Walau masih berdiri tapi tingginya hanya tinggal
selutut. Dari tubuh gepeng itu mengepul asap kelabu. Dari mata, telinga, liang
hidung dan mulutnya mengucur cairan putih.
“Aneh, apakah makhluk ini
memiliki darah berwarna putih…” pikir Wiro. Dia terus memperhatikan.
Tubuh gepeng Sang Junjungan
berdiri dengan lutut goyah, terhuyung limbung. Jubah hitamnya menjela-jela di
tanah dan kelihatan hangus robek di beberapa bagian, menyembulkan sosok tubuhnya
yang hanya merupakan tulang belulang putih. Sang Junjungan gerak-gerakkan
kepalanya berulang kali. Dua tangannya digeliatkan ke samping. Lalu sepasang
kakinya yang tinggal pendek dihentak-hentakkan ke tanah. Rambut putihnya
berjingkrak tegak seperti kawat. Tiba-tiba, rrrttttt!
Seperti sebuah benda kenyal
terbuat dari karet, tubuh Sang Junjungan membal ke atas, berubah panjang,
kembali ke bentuknya semula!
Di bagian lain kakek berjubah
ungu Lawungu terduduk di tanah. Mukanya yang penuh keriput kelihatan merah
kelam dan mengepulkan asap seperti udang baru direbus. Bahu dan dadanya
tersentak-sentak. Dari mulutnya mengucur darah merah. Jubah ungunya tak karuan
rupa, hangus dan cabik-cabik di sana-sini. Matanya terbelalak memandang ke arah
Sang Junjungan.
“Seumur hidup baru kali ini
pukulan Bumi Langit Menghimpit Roh yang kulepaskan tidak sanggup memusnahkan
lawan! Seharusnya dia sudah hancur ludes berkeping-keping.” Lawungu batuk-batuk
beberapa kali.
Dari mulutnya menyembur darah
kental. “Aku terluka di dalam…” si kakek menyadari apa yang terjadi dengan
dirinya. Dua tangannya cepat ditekapkan ke dada untuk mengalirkan tenaga dalam.
Dengan susah payah Lawungu
coba bangkit berdiri. Mukanya semakin mengelam merah ketika di depan sana
makhluk muka tengkorak keluarkan suara tertawa mengekeh. Tiba-tiba dari atas
pohon terdengar suara rebana ditabuh, disusul gema suara kerincingan. Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab melirik ke atas pohon besar.
Ternyata Si Pelawak Sinting
palsu berada di atas pohon itu, duduk berjuntai di salah satu cabang sambil
memukul rebana dan menggoyang kerincingannya. Ketika tahu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab melirik ke arahnya, kakek geblek ini julurkan lidahnya! Sang
Junjungan kembali tertawa mengekeh. Lalu dia hentikan tawanya dan memandang
dengan dua bolongan merah yang merupakan mata di kepala tengkoraknya.
“Sudah lama aku mendengar
kehebatan pukulan sakti Bumi Langit Menghimpit Roh! Ternyata hanya ilmu kosong
tak ada apa-apanya! Lawungu, apa kau masih punya daya menghadapiku barang dua
tiga jurus lagi?!”
Rahang Lawungu sampai
menggembung dan keluarkan suara bergemeretak saking marahnya mendengar ejekan
orang. Kakek ini jadi kalap.
“Makhluk sesat keparat! Aku
mengadu nyawa denganmu! Tempatmu di pusaran neraka! Aku akan kembalikan kau ke
sana!”
Wuuuttt!
Tubuh Lawungu berkelebat.
Sosoknya berubah menjadi bayang-bayang ungu. Dibarengi suara menggemuruh
bayang-bayang ungu itu kemudian menebar menjadi lima, melabrak ke arah Sang
Junjungan. Inilah serangan yang disebut Badai Lima Penjuru. Sosok Sang
Junjungan seolah dihantam badai yang datang dari lima penjuru, semuanya
melabrak dari arah depan!
Makhluk muka tengkorak
keluarkan teriakan keras. Lalu melompat setinggi dua tombak. Sambil menghindari
serangan Badai Lima Penjuru orang ini pukulkan dua tangannya ke depan. Belasan
larikan sinar biru menggelegar di udara, bergulung membuntal membentuk dua
jaring besar yang kemudian menukik menerpa ke arah Lawungu.
“Api Iblis Penjaring Roh!”
seru Lawungu kaget. Dia yang sudah tahu kehebatan jaring api biru ini segera
jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauh. Jaring pertama jatuh di atas
sebuak semak belukar. Semak belukar ini langsung tenggelam dan musnah dalam
kobaran api. Jaring kedua mendarat di atas sebuah batu besar. Batu ini
bergemeretak keras, hancur lebur dalam kepingan berwarna merah menyala!
Lawungu usap mukanya yang
pucat. Tengkuknya keluarkan keringat dingin. Nyalinya bukan saja ciut akibat
serangan ganas dua buah jaring api biru tadi, tapi dia juga jadi terperangah
karena serangan Badai Lima Penjuru yang dilancarkannya hanya menghantam udara
kosong lalu menyambar beberapa pohon besar hingga bertumbangan.
Dalam hati Lawungu membatin.
“Kalau aku terus melayani makhluk ini dalam pertempuran jarak jauh, cepat atau
lambat aku pasti akan kena dicelakainya. Tak ada jalan lain. Aku harus
mengeluarkan ilmu Menyatu Jazad Dengan Alam. Tubuhnya harus aku pantek ke pohon
atau ke batu. Tapi bagaimana caranya aku bisa merangsak mendekatinya!”
Sementara itu di bagian yang
lain Pendekar 212 Wiro Sableng tengah menghadapi serbuan serangan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Tubuh si kakek telah berubah menjadi bayang-bayang putih.
Tendangan dan pukulannya mendera ganas. Wiro yang sebelumnya pernah berkelahi
melawan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan hampir menemui ajal akibat
tendangan Hantu Racun Tujuh berlaku sangat hati-hati.
Dalam lima jurus pertama Wiro
keluarkan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila.
Walau dia bisa mengimbangi namun ada rasa khawatir lawan akan berhasil menjebol
pertahanannya. Maka murid Sinto Gendeng menghantam dengan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera, disusul dengan terjangan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Selagi lawan dibikin sibuk Wiro lanjutkan gerakannya dengan jurus-jurus hebat
dari ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tersentak kaget ketika merasakan gelombang serangan lawan mengeluarkan
hawa aneh yang membuat tubuhnya tertekan ke belakang sementara kuda-kuda
sepasang kakinya menjadi berat, membuat dia sulit bergerak cepat walau memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Karenanya tidak menunggu lebih lama kakek
ini segera keluarkan ilmu andalannya yaitu Memeluk Bumi Menghantam Matahari.
Tangan kiri Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab mendadak berubah menjadi panjang. Meluncur seperti ular besar,
melibat ke bagian belakang Wiro. Bersamaan dengan itu tangan kanannya datang
menggebuk dari depan. Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan ketika tibatiba
merasa lehernya kena dicekal lalu ditarik ke depan. Di saat yang sama dari
depan datang melabrak jotosan tangan kanan lawan yang mempunyai daya berat atau
bobot sebesar lima puluh kati!
Wiro cepat bentengi dirinya
dengan jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Dua tangannya menghantam ke kiri
dan ke kanan.
Bukk! Bukkk!
Dua lengan saling beradu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hampir tidak percaya ketika merasa dua kakinya
terangkat dari tanah sampai satu jengkal. Tangan kanannya yang dipakai menjotos
seperti dihantam pentungan besi. Sambil menahan sakit kakek ini terpaksa
melompat mundur. Wiro yang menyangka berhasil mendesak lawan dengan cepat
kirimkan serangan susulan dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Tangan
kanannya laksana kilat menyusup ke atas, mencari sasaran di dagu si kakek.
Tetapi justru saat itu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah menunggu dengan
ilmu yang bisa membuat lawan menjadi kaku dan gagu tanpa menyentuh. Tangan
kanannya diletakkan di otak di atas kepalanya. Lalu tangan kiri dipukulkan di
depan.
“Pukulan Membuhul Urat Mengikat
Otot! Wiro! Cepat menghindar!” Tiba-tiba ada orang berteriak.
Pendekar 212 serta merta
ingat. Dengan ilmu itulah dulu dia pernah dilumpuhkan oleh Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Ketika dia dibawa lari diselamatkan Hantu Santet Laknat dia hanya
mampu memusnahkan kelumpuhan pada jalan suaranya tapi dia sama sekali tidak
sanggup membebaskan tubuhnya dari kekakuan.
“Benar-benar goblok kalau aku
sampai dua kali kena dikerjai kakek sialan ini!” pikir Wiro. Tapi entah mengapa
dua kakinya mendadak seperti hilang rasa. Otaknya masih bekerja menyuruhnya
segera melompat tapi saat itu Wiro merasa seolah dia tidak punya kaki lagi!
“Celaka!” keluh murid Sinto
Gendeng. “Kakek sialan ini pasti punya ilmu aneh! Aku tak bisa menggerakkan
kaki! Aku tak bisa melompat selamatkan diri!”
Sesaat lagi angin pukulan yang
melumpuhkan itu akan menyentuh muka dan tubuh Pendekar 212 mendadak ada suara
siutan keras. Sebuah benda ungu melayang di udara, memapas antara Wiro dan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu terdengar suara orang berteriak.
“Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab! Tahan serangan!”
Kakek berjubah putih yang
otaknya di atas kepala itu tersentak kaget Dia cepat menarik pulang tangannya
ketika menyadari apa dan siapa yang melayang di hadapannya itu. Namun
terlambat! Angin pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot telah lebih dulu menerpa
sosok yang melayang di depan Wiro. Begitu terkena sosok ini langsung kaku dan,
buukkk! Jatuh bergedebuk keras di tanah!
“Lawungu!” teriak Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab lalu dengan cepat dia jatuhkan diri menubruk sosok Lawungu
yang tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku. Mulutnya terbuka tapi suaranya
yang keluar hanya suara megapmegap.
Sang Junjungan tertawa
mengekeh sambil rangkapkan tangan di depan dada. Dialah tadi yang telah melemparkan
sosok Lawungu untuk dipakai sebagai tameng melindungi Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sebelumnya antara Lawungu dan Sang Junjungan kembali terjadi
pertempuran hebat. Ternyata Lawungu tidak mampu menghadapi lawannya. Delapan
jurus di muka dalam keadaan terdesak hebat, Sang Junjungan berhasil
menggebuknya dengan beberapa pukulan. Ketika dia terhuyung hampir roboh, Sang
Junjungan yang melihat bahaya besar mengancam Wiro segera sambar tubuh Lawungu
lalu dilemparkannya ke arah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah melepas
pukulan Membuhul Urat Mengikat Otot, Akibatnya tak ampun lagi serangan yang
melumpuhkan itu menghantam kawan sendiri!
Suara tawa Sang Junjungan
membuat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti dipanggang. Darahnya mendidih.
Otak di dalam selubung bening di atas kepalanya mendenyut keras dan mengepulkan
asap!
Perlahan-lahan dilepaskannya
sosok Lawungu yang tadi dirangkulnya. Kepalanya diangkat. Sepasang matanya
membeliak memandangi makhluk muka tengkorak. Tibatiba tokoh utama rimba
persilatan Latanahsilam ini kebutkan lengan jubahnya kiri kanan. Didahului
suara menderu dan sambaran sinar putih, sepuluh benda berbentuk paku hitam
melesat ke arah makhluk muka tengkorak. Karena masih asyik tertawa ketika
menyadari kalau dirinya dibokong orang, sepuluh paku hitam itu telah berada
dekat sekali di depan kepala dan tubuhnya!
“Kurang ajar! Pembokong
curang!” teriak Sang Junjungan. Dia cepat bergerak namun masih kalah cepat
dengan datangnya sambaran sepuluh paku.
Tiba-tiba dari samping
berkiblat satu sinar putih menyilaukan. Lalu di antara suara seperti tawon
mengamuk terdengar suara berdentringan. Delapan paku hitam patah bermentalan.
Dua lainnya terlempar entah ke mana. Sekilas Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
masih sempat melihat sosok senjata kapak bermata dua sebelum lenyap ke balik
pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari atas pohon kembali terdengar tabuhan
rebana dan suara nyaring kerincingan si Pelawak Sinting. Kekeh panjang Sang
Junjungan yang tadi sempat terhenti sewaktu diserang senjata rahasia yang
dilepaskan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, kini kembali meledak. Di atas pohon
Si Pelawak Sinting menimpali dengan tabuhan rebana dan goyangan kerincingan.
Walau darahnya mendidih,
amarahnya menggelegak, namun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab masih bisa
menggunakan jalan pikiran sehat. Dalam keadaan seperti itu tidak ada gunanya
dia melanjutkan pertempuran melawan dua musuh yang ternyata memiliki kepandaian
tinggi itu. Dengan cepat dia angkat tubuh Lawungu lalu dipanggul di bahu kanan.
Setelah lemparkan pandangan menyorot pada Sang Junjungan dan Wiro, kakek ini
segera berkelebat pergi dari tempat itu. Sang Junjungan hentikan tawanya,
mengusap muka tengkoraknya dengan telapak tangan yang hanya merupakan tulang
belulang putih lalu berpaling ke arah Wiro.
“Anak muda! Lekas datang ke
hadapanku!” Tiba-tiba Sang Junjungan berkata dengan suara lantang keras.
“Ah, makhluk salah kaprah ini
pasti marah padaku! Aku lupa menghaturkan terima kasih. Padahal dia tadi sudah
menyelamatkan diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!” Sambil
garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke hadapan Sang Junjungan. Hatinya agak
bimbang dan juga kecut. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat makhluk
bermuka tengkorak dan bertubuh jerangkong yang bukan saja memiliki kepandaian
tinggi tapi juga bisa bicara! Sekaligus angker menyeramkan!
“Orang tua…” Wiro menegur.
“Tunggu dulu!” Sang Junjungan
memotong. “Bagaimana kau bisa tahu aku ini orang tua! Padahal mukaku tidak
berkulit tidak berdaging! Mukaku berbentuk tengkorak terdiri dari tulang! Dan
gigi-gigiku masih utuh semua!” Wiro garuk-garuk kepalanya tak bisa menjawab.
Sang Junjungan tertawa
mengekeh. Wiro merasa kuduknya dingin. Suara makhluk itu ketika bicara apalagi
sewaktu tertawa terdengar aneh, seperti keluar dari jurang batu yang dalam.
“Celaka betul makhluk satu ini. Aku tak tahu apa dia lawan atau teman.”
“Makhluk muka tengkorak…”
“Wahai! Itu lebih tepat!
Teruskan ucapanmu! Apa yang hendak kau ucapkan!” Sang Junjungan berkata.
“Tadi kau telah menyelamatkan
diriku dari serangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku mengucapkan terima
kasih padamu.”
Sang Junjungan mendongak ke
langit lalu kembali tertawa mengekeh.
“Tapi ada satu hal yang jadi
pertanyaan bagiku!” Wiro berkata. “Antara kita tidak saling kenal sebelumnya.
Mengapa kau menolongku?”
“Anak muda! Kau bernasib
untung! Ketahuilah, sebelumnya justru aku telah memerintahkan seseorang untuk
membunuhmu!”
Wiro terkejut “Lalu… lalu
mengapa sekarang kau malah menyelamatkan diriku?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Hal itu harus dan wajib
kulakukan. Karena kau adalah menantuku!”
Kaget Wiro bukan olah-olah.
Dia sampai tersurut dua langkah. Matanya memandang membelalak, mulut ternganga.
“Apa… apa maksudmu?” tanya
Wiro dengan suara bergetar.
“Dengar baik-baik anak muda.
Belum lama ini aku menyirap kabar bahwa kau telah melangsungkan pernikahan di
Bukit Batu Kawin dengan Hantu Santet Laknat yang konon telah berubah ujud
menjadi seorang gadis cantik jelita bernama Luhrembulan…”
“Aku tidak pernah…”
“Bicaraku belum habis!”
menukas Sang Junjungan.
“Hantu Santet Laknat adalah
muridku. Lebih dari itu dia telah kuanggap sebagai anak! Kalau kau kawin dengan
dia bukankah berarti kau adalah menantuku? Yang juga bisa kuanggap sebagai anak
pula?!”
“Celaka… celaka!” keluh Wiro
berulang-ulang. Air mukanya tampak pucat. Ketika makhluk muka tengkorak
melangkah mendekatinya, mau tak mau Wiro bertindak mundur.
“Anak muda, lekas kau berlutut
di hadapanku. Aku mertuamu! Kau harus menaruh hormat dan patuh pada diriku! Ha…
ha… ha!”
Wiro garuk kepalanya
habis-habisan. Rasa takut membuat saat itu dia jadi kepingin kencing. Makhluk
di hadapannya itu memiliki kesaktian luar biasa. Jika dia menolak berlutut
makhluk itu pasti akan marah besar. Tapi jika dia mematuhi berlutut buntutnya
bisa jadi panjang.
“Sialan betul! Aku tidak tahu
makhluk ini apa lelaki apa perempuan. Atau banci! Aku harus mencari akal…”
pikir murid Sinto Gendeng. Dia lalu melangkah mendekati makhluk muka tengkorak
dengan tubuh membungkukbungkuk, seolah siap untuk berlutut di hadapan ‘sang
mertua’.
Melihat sikap Wiro, Sang
Junjungan dongakkan kepala tengkoraknya lalu tertawa panjang mengekeh. Saat
itulah Wiro tiba-tiba membalikkan badannya lalu melompat ke balik pohon besar.
Dari sini dia melesat ke belakang semak belukar lalu ambil langkah seribu, lari
sekencang yang bisa dilakukannya.
“Menantu kurang ajar! Menantu
tidak tahu diri! Mengapa kau berani lari?!” teriak Sang Junjungan marah sekali.
Di atas pohon besar tiba-tiba
terdengar suara rebana ditabuh diseling suara kerincingan.
“Sang Junjungan! Jangankan dia
anak manusia! Aku saja yang buruk ini kalau jadi menantumu pasti tidak bisa
nyaman melihat tampangmu! Mana ada di negeri ini orang yang mau jadi menantu
makhluk salah ujud sepertimu! Ha… ha… ha!”
“Monyet sinting di atas pohon!
Siapa sudi mengambilmu jadi menantu! Berpakaian saja tidak keruan! Pantat hitam
gosongmu kau tebar ke mana-mana! Coba kau makan dulu bekas tanganku ini!” Sang
Junjungan gerakkan tangan kanannya.
Di atas pohon Si Pelawak
Sinting tertawa gelak-gelak. Goyang dan tabuh rebananya lalu melompat lenyap,
tepat ketika pukulan tangan kosong yang dilepaskan Sang Junjungan sampai dan
menghantam cobang pohon tempatnya tadi duduk berjuntai. Cabang pohon itu hancur
berkeping-keping!
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
OMBAK besar bergulung dahsyat
dan memecah di teluk Labuntusamudera di kawasan selatan Negeri Latanahsilam.
Seorang berpakaian serba kuning berlari kencang, berkelebat ke arah timur teluk
tak lama setelah sang surya memunculkan diri siap menerangi jagat raya. Ketika
segulung ombak luar biasa besarnya menderu di arah teluk, sosok berpakaian
kuning itu yang ternyata adalah seorang nenek bermuka kuning hentikan larinya.
Tiga buah sunting di atas kepalanya bergoyang-goyang. Nenek ini yang bukan lain
adalah Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut alias Luhkentut diam
sejenak. Dua matanya berkilat-kilat besar menatap ke arah laut. Didahului suara
teriakan nyaring dia melompat setinggi dua tombak. Begitu dua kakinya menginjak
pasir dia kembali lari. Kali ini bukan menyusuri teluk tapi malah ke arah laut,
menyongsong datangnya gelombang ombak besar.
Byuuurrrrr! Ombak setinggi
rumah itu bergulung lalu menimbun sosok berpakaian kuning dan akhirnya memecah
di pasir hitam Teluk Labuntusamudera.
Butt… prett! Nenek berpakaian
kuning pancarkan angin keras dari bagian bawah tubuhnya lalu tertawa
gelak-gelak. Sekujur tubuhnya mulai dari atas kepala sampai ke kaki dan juga
seluruh pakaian kuningnya basah kuyup. Dia baringkan tubuhnya di atas pasir.
Dua kakinya dinaikkan ke atas dan ditendang-tendangkan. Kembali dari bagian
bawah tubuhnya keluar suara butt prett-butt prett.
Beberapa kali ombak kecil
datang mengguyur tubuhnya. Puas berbasah-basah Hantu Selaksa Angin bangkit
berdiri lalu setengah berlari menuju pertengahan teluk. Di satu tempat yang
kelindungan di balik kerapatan pohon-pohon kelapa dan semak belukar nenek ini
menemukan sebuah goa batu. Tanpa ragu-ragu dia segera masuk ke dalam goa
tersebut.
Bagian dalam goa berbentuk
segi empat dengan atap batu menyerupai kerucut. Udara di tempat ini terasa
sejuk. Hantu Selaksa Angin melangkah ke sudut kanan goa di mana terdapat
hamparan tikar jerami kering. Perlahanlahan si nenek mendudukkan dirinya di
atas tikar jerami itu. Dia menatap sejurus ke langit-langit goa yang berbentuk
kerucut lalu dari mulutnya meluncur ucapan.
“Wahai guruku, Datuk Tanpa
Bentuk Tanpa Ujud, aku muridmu datang menghadap…”
Suara si nenek menggema
perlahan di dalam goa batu itu. Dia menunggu tak bergerak sambil sepasang
matanya yang kuning menatap terus ke langit-langit goa. “Tak ada jawaban,
jangan-jangan dia tak ada di sini… Atau mungkin dia marah karena sejak pergi
dulu aku tak pernah mengunjunginya di tempat ini.” Hantu Selaksa Angin
membatin. Setelah menunggu sesaat lagi dia kembali mengulang. “Guru, apakah kau
ada di dalam goa? Aku muridmu datang menghadap.”
Tiba-tiba di ujung kerucut
langit-langit goa kelihatan satu bintik kecil memancarkan cahaya putih terang.
Lalu terdengar suara halus menggema di dalam goa.
“Hantu Selaksa Angin muridku.
Aku gembira kau akhirnya muncul. Tadinya aku merasa kecewa karena setelah
belasan tahun baru sekali ini kau kembali ke goa. Sejak kau meninggalkan goa
belasan tahun silam aku menyirap kabar di luar sana telah terjadi banyak hal.
Aku berharap rakhmat akan menjadi bagian penghuni Negeri Latanahsilam. Tetapi
justru malapetaka dan bencana terjadi di mana-mana, maksiat dan dosa berkubang
di hampir setiap penjuru negeri. Muridku, harap kau ceritakan padaku apa yang
telah kau alami dan lakukan selama ini. Bagaimana dengan penyakit dirimu,
apakah kau berhasil mendapat kesembuhan? Yang paling penting apakah selama ini
kau telah mampu mengetahui siapa dirimu adanya?”
“Wahai Guru, aku gembira kau
telah menyirap apa yang terjadi di luaran sana. Hingga aku tidak perlu menutur
berpanjang lebar. Mengenai perihal penyakitku, aku berhasil menemukan seorang
pemuda asing dan dua kawannya. Konon mereka datang dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang. Pemuda inilah yang telah memberitahu obat yang harus kumakan agar
penyakit kentutku lenyap. Belasan tahun aku kentut terus-terusan tanpa bisa
ditahan. Gara-gara ubi yang menjadi makanan satu-satunya selama aku berada di
goa ini…”
Di langit-langit goa kembali
ada kelihatan bintik yang memancarkan sinar terang tadi. Lalu menyusul suara
menggema dari makhluk yang dipanggil guru oleh si nenek.
“Jadi penyakit kentutmu
benar-benar telah lenyap wahai muridku?”
“Lenyap habis seluruhnya
memang tidak. Masih ada tertinggal sedikit. Tapi justru aku sengaja tak mau
menghilangkannya. Karena terdengarnya indah bagus. Begitu kata pemuda yang
menolongku itu…”
Gema tawa sang guru yang
dipanggil dengan nama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud mememuhi goa. Bintik terang
kembali bercahaya.
“Muridku, dulu kentutmu
panjang dan berulang-ulang. Aku ingin mendengar bagaimana bunyinya sekarang
setelah diobati oleh pemuda asing itu…”
“Kalau guru memang mau
mendengar, akan kulakukan. Mohon maafmu Guru. Terus terang sejak tadi
sebenarnya aku memang sudah tidak tahan mau kentut!” kata Hantu Selaksa Angin
pula sambil menekap mulutnya menahan ketawa. Lalu butt prett! Dia pancarkan
kentutnya. Karena berada di dalam ruangan batu maka kentut itu menggema
beralun-alun!
Kembali sang guru yang tidak
kelihatan rupa ataupun ujudnya itu tertawa gelak-gelak. “Muridku, obat apa yang
telah diberikan pemuda itu hingga kau mendapatkan kesembuhan seperti sekarang
ini?”
“Dia meyuruh saya makan kibul
ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah…”
“Kibul ayam. Benda apa itu,
bagaimana ujudnya?” bertanya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.
“Itu Guru… Bagian lancip yang
menempel di pantat ayam…” menerangkan Hantu Selaksa Angin.
“Aha…!” Datuk Tanpa Bentuk
Tanpa Ujud berseru lalu tertawa gelak-gelak (Mengenai riwayat kibul ayam ini
harap baca episode sebelumnya berjudul “Hantu Langit Terjungkir”).
“Muridku, jika kau sudah puas
dengan kentutmu yang indah itu, berarti kau telah mencapai kesembuhan. Apakah
kau telah menghaturkan terima kasihmu pada pemuda dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang itu?”
“Aku memang merencanakan untuk
mencarinya dan menyampaikan rasa terima kasihku. Namun sebelum hal itu
kesampaian kuketahui dia ternyata seorang jahanam besar…”
“Jahanam besar bagaimana
maksudmu, muridku?”
“Dia menimbulkan bencana busuk
dan keji di manamana!”
“Bencana busuk keji yang
bagaimana?”
“Dia ternyata seorang pemuda
hidung belang. Dia telah merusak kehormatan seorang gadis baik-baik bernama
Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua orang cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Kabarnya dia juga berselingkuh dengan Peri Angsa Putih. Lalu diketahui
pula dia juga yang telah menghamili Peri Bunda!”
Sang Datuk yang tidak
kelihatan ujudnya terdengar mendesah dan tarik nafas dalam. “Muridku, kalau
benar pemuda itu telah menebar kekejian di mana-mana sungguh sangat
disayangkan. Namun antara kau dengan dirinya ada hutang piutang yang harus
dilunasi. Dalam membalas budi seseorang kau tidak boleh melihat siapa dia
adanya. Dia pernah menolong dirimu, berarti kau harus berusaha membalas
budinya…”
“Aku telah melakukan banyak
hal untuknya. Juga menolong dua temannya…”
“Kalau itu kau rasakan pantas
dan sudah cukup memang tak perlu kau berbuat terlalu banyak. Tapi mengenai
kekejian yang dikabarkan telah dilakukannya, kurasa harus kau selidiki
kebenarannya. Tidak baik menuduh seseorang busuk, jahat dan keji kalau tidak
ada saksi jujur dan bukti nyata…”
“Mengenai kemesuman yang
dilakukan pemuda itu terhadap dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, tokoh
itu sendiri yang bicara memberi kesaksian…”
“Muridku, Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab memang adalah satu tokoh besar dan sangat dihormati di Negeri
Latanahsilam. Bukan saja karena ilmu silat dan kesaktiannya yang tinggi, tapi
juga karena dengan kemampuannya melihat ke masa depan dan masa silam, membaca
segala sesuatu yang bersifat gaib. Namun belakangan ini rasa-rasanya dia telah
banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dia terlalu banyak mendekatkan diri
dalam urusan dunia dan kepentingan diri sendiri. Akibatnya lama kelamaan dia
kehilangan kemampuan untuk melihat ke dalam alam gaib. Aku meragukan
kemampuannya. Apakah dia memang masih bisa diandalkan sebagai tokoh tempat
bertanya dan mencari jawab. Sebagai contoh, dia hanya menurutkan kata hati,
kemarahan dan dendam kesumat atas musibah yang menimpa dua cucunya. Tapi apakah
dia pernah menyelidik? Aku menyirap kabar dua cucunya itu mempunyai kelainan
yang menjijikan… Jadi muridku, dalam segala suatu perkara, penyelidikan adalah
sangat penting. Jangan hanya percaya pada apa yang kita dengar saja. Jangan
hanya percaya pada berita yang disampaikan orang dari mulut ke mulut…”
“Nasihatmu akan aku perhatikan
Datuk…”
“Sekarang ada hal lain yang
lebih penting dari penyakit kentutmu itu. Yaitu mengenai penyakit yang
menyangkut ingatanmu pada masa silam. Apakah kau sudah mendapatkan kesembuhan?
Apakah kau sudah mengetahui siapa dirimu sebenarnya serta riwayat atau asal
usul dirimu?”
Karena Hantu Selaksa Angin
alias Hantu selaksa Kentut tidak segera menjawab, sang Datuk yang tidak
kelihatan orangnya dan hanya terdengar suaranya berkata. “Sekedar mengingatkanmu
wahai muridku. Seperti yang aku pernah ceritakan padamu, kau kutemukan
tergeletak pingsan di atas lumpur hitam di antara batu-batu besar yang
bertebaran di muara sungai Lahulupanjang. Mungkin kau salah satu korban yang
dihanyutkan banjir besar yang sebelumnya terjadi di kawasan utara. Perutmu
gembung sampai ke dada. Aku memerlukan tujuh hari tujuh malam untuk
mengeluarkan air kotor yang ada dalam perut dan rongga dadamu. Ketika hari ke
dua belas kau siuman ternyata kau tidak ingat siapa dirimu, tak ingat apa yang
telah terjadi dengan dirimu. Juga tidak ingat asal usulmu. Kemudian kuketahui
ada satu luka besar di belakang kepalamu. Mungkin ini akibat benturan dengan
benda keras. Aku rasa, benturan inilah yang telah mempengaruhi daya ingatanmu…”
Mendengar penjelasan sang
Guru, Hantu Selaksa Angin pegang dan usap-usap bagian belakang kepalanya. Dia
merasakan ada bagian kepala yang agak menonjol. Cidera luka yang telah sembuh
dan meninggalkan bekas. Sang Datuk teruskan ucapannya.
“Namun… muridku, aku juga
menaruh dugaan.
Hilangnya daya ingatmu mungkin
juga disebabkan oleh satu penderitaan sangat berat yang bersarang mulai dari
hati sampai ke pikiranmu. Kemudian, ketika kau siuman kau mempunyai satu sifat
aneh. Yakni suka akan warna dan benda apa saja yang berwarna kuning. Itu
sebabnya kau membuat sendiri jubah berwarna kuning. Mengecat wajahmu dengan
jelaga kuning. Memakai sunting dan subang serta kalung dan gelang warna kuning.
Selama bertahun-tahun aku memberi pelajaran ilmu silat dan kesaktian padamu di
dalam goa ini, aku berusaha menyembuhkan kesadaranmu. Tetapi tidak berhasil.
Mungkin selama kau berada di luar sana ada sesuatu yang mampu membuat kau
mengingat-ingat siapa dirimu sebenarnya?”
Si nenek terdiam sejurus. Lalu
gelengkan kepala.
“Aku yakin selama belasan
tahun di luaran kau bertemu banyak orang. Apakah tidak satupun di antara mereka
yang menimbulkan rasa ingat dalam dirimu…?”
“Aku tidak bisa memastikan
wahai Guru. Hanya saja…”
Hantu Selaksa Kentut mendongak
ke langit-langit ruangan, memperhatikan bintik terang yang ada di ujung kerucut
pertanda gurunya masih berada di tempat itu. “Hanya saja satu kali aku memang
pernah bertemu beberapa kali dengan seorang kakek aneh. Dia berjalan dan
mempergunakan dua tangannya sebagai kaki. Kakek ini dijuluki Hantu Langit
Terjungkir. Satu kali dia pernah menyebutkan ‘asap’. Samar-samar aku ingat dulu
ada seseorang yang sangat suka pada ikan asap atau ikan pindang itu. Tapi aku
lupa siapa orangnya. Aku berusaha menyelidik, meneliti wajah kakek itu. Walau
aku berhasil melihat jelas-jelas wajahnya tapi kesadaranku tetap saja tidak
muncul. Daya ingatku tidak datang. Aku tidak bisa mengetahui siapa dia
sebenarnya.”
“Aku bisa membantu. Menurut
kabar yang aku sirap nama sebenarnya dari kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir itu adalah Lasedayu. Dia pernah mendekam selama puluhan tahun di
Lembah Seribu Kabut. Apakah nama dan penjelasanku ini bisa menimbulkan satu
daya ingat dalam benakmu wahai muridku?”
Nenek wajah kuning berusaha
keras mengerahkan daya ingatnya. Matanya dipejamkan. Namun sampai keringat
memercik di keningnya dia tak mampu mengingat.
“Maafkan diriku Guru. Aku
tidak tahu siapa adanya orang bernama Lasedayu itu.”
“Kalau begitu aku sarankan
padamu agar kau mencari kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir itu. Ikuti ke
mana dia pergi sampai kau mendapatkan satu petunjuk mengenai dirinya.”
“Hal itu akan aku lakukan
Guru…”
“Selain itu kau juga harus
berusaha mencari Hantu Raja Obat. Siapa tahu dia bisa menyembuhkan penyakitmu.”
“Baik Guru. Petunjukmu akan
aku laksanakan. Maaf Guru, aku mau kentut dulu…”
Butt… prett!
Sang Guru yang dipanggil
dengan sebutan Datuk Tanpa Bentuk Tanda Ujud tertawa panjang. “Muridku, belum
lama berselang beberapa kali aku mendapat petunjuk dari alam gaib. Suatu senja
ketika aku berada di tempat ini, tiba-tiba ada satu cahaya terang menggantung
di depan goa.
Hidungku membaui sesuatu yang
sangat harum. Aku berusaha mendekati cahaya itu agar bisa melihat lebih jelas.
Namun seperti ada satu kekuatan yang membuat aku tidak bisa mendekati cahaya
itu. Kemudian kudengar satu suara gaib berkata padaku. ‘Wahai anak manusia,
ketahuilah, akan terjadi satu peristiwa besar di bumi Negeri Latanahsilam ini.
Karena itulah, sebelum hari kejadian, lakukan sesuatu. Carilah Allah. Dialah Tuhanmu
Seru Sekalian Alam, Maha Besar dan Maha Pengasih Maha Penyayang, Penguasa
Tunggal Jagat Raya, Pencipta Langit dan Bumi serta Makhluk yang ada di
antaranya termasuk dirimu.’ Muridku, apakah kau mendengar kata-kataku?”
“Aku mendengar wahai Datuk,” jawab
nenek muka kuning.
“Aku tidak mengerti ucapan
gaib itu. Aku berusaha membuka mulut hendak bertanya tapi mulutku terkatup,
lidahku seperti terkancing. Kemudian cahaya terang benderang yang ada di depan
goa lenyap. Begitu juga bau harum semerbak. Saat itu mendadak aku bisa membuka
mulut dan bertanya. ‘Suara dari alam gaib! Siapakah kau adanya?!’ Di kejauhan
terdengar jawaban. Tapi ucapannya hanya pengulangan dari kata-kata yang
kudengar sebelumnya. Aneh, apa kiranya yang akan terjadi di Negeri Latanahsilam
ini. Lalu siapa yang dimaksudkan dengan Allah oleh suara gaib itu. Siapa pula
Tuhan. Bagaimana aku harus mencari? Setahuku bukankah para Dewa yang menjadi
junjungan dan pelindung kita semua di negeri ini?”
“Tunggu dulu!” Hantu Selaksa
Angin berkata. “Aku ingat, aku pernah mendengar. Orang-orang dari negeri seribu
dua ratus mendatang itu. Kalau aku tidak salah mereka pernah menyebut nama itu.
Tuhan… Gusti Allah…”
“Kalau benar begitu wahai
muridku, ada satu tugas baru lagi bagimu. Selidikilah melalui orang-orang itu
siapa adanya Tuhan dan Gusti Allah itu. Tapi yang lebih penting saat ini bagimu
ialah mendahului mencari kesadaran atau dirimu sendiri…”
“Aku mengerti Datuk…”
“Aku telah memberi banyak ilmu
kepandaian padamu. Pergunakan semua itu di jalan yang baik. Jika kau tidak ada
pertanyaan atau ingin mengatakan sesuatu, aku akan segera meninggalkan tempat
ini.”
“Datuk Guruku, sebelum kita
berpisah, aku mohon, sudilah Datuk memperlihatkan bentuk diri dan ujud Datuk
padaku… Selama belasan tahun kita bersama, banyak pelajaran dan budi baik yang
aku terima darimu. Tapi tidak barang sekalipun aku pernah melihat jazad
darimu.”
Bintik terang di langit-langit
goa yang berbentuk kerucut kelihatan bersinar menyilaukan. Lalu terdengar suara
sang Datuk. “Muridku, saat ini aku belum bisa memperlihatkan diri. Dan aku
tidak bisa berjanji kapan aku bisa terlihat oleh mata insani sepertimu. Harap
kau tidak kecewa. Suatu kali kita pasti akan bertatap ujud. Selamat tinggal
muridku. Datanglah ke goa ini jika kau menemukan sesuatu…”
“Terima kasih Datuk,” kata
Hantu Selaksa Angin lalu membungkuk sampai keningnya hampir menyentuh lantai
goa. Karena duduk dalam sikap menungging si nenek tidak bisa menahan kentutnya.
Akibatnya butt prett! Kentutnya memancar. Di langit-langit goa bintik terang
lenyap, pertanda Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud tak ada lagi di tempat itu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
SEBELUM mengikuti apa yang
akan dilakukan Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut setelah dia
meninggalkan goa di teluk Labuntusamudera itu, kita kembali pada Luhcinta dan
Luhsantini. Seperti dikisahkan dalam episode sebelumnya, “Rahasia Perkawinan
Wiro”,
kedua orang itu meninggalkan
Bukit Batu Kawin setelah menyaksikan upacara pernikahan Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Hantu Santet Laknat yang berubah menjelma menjadi seorang gadis
cantik bernama Luhrembulan. Karena datang terlambat Luhsantini dan Luhrembulan
tidak mengetahui siapa sebenarnya Luhrembulan itu.
Luhcinta yang masih berada
dalam keadaan pingsan akibat tidak tahan melihat upacara pernikahan Wiro dengan
Luhrembulan, oleh Luhsantini dilarikan ke goa di mana mereka sebelumnya berada.
Luhsantini membaringkan Luhcinta di lantai goa lalu setelah memeriksa keadaan
gadis itu, istri Hantu Bara Kaliatus ini cepat-cepat mengerahkan tenaga
dalamnya ke tubuh Luhcinta melalui pergelangan tangan dan dada. Karena
pingsannya Luhcinta bukan akibat cidera atau luka dalam maka sesaat kemudian
gadis ini sadarkan diri.
Begitu siuman, belum lagi dia
membuka mata dari mulutnya keluar desahan halus. “Wiro… Wiro. Kau tahu
perasaanku terhadapmu. Sampai hati kau…” Ingatan Luhcinta semakin pulih. Dia
berusaha menahan isak lalu membuka matanya. Pandangannya membentur wajah
Luhsantini. “Kau…” desis Luhcinta karena tidak mengira kalau ada orang lain di
tempat itu. Mungkin malu karena telah ketelepasan bicara, Luhcinta balikkan
dirinya menghadap ke dinding goa.
Luhsantini diam memperhatikan.
Dalam hati dia berkata. “Dugaanku ternyata benar. Gadis ini memang mencintai
pemuda asing bernama Wiro itu… Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya?
Pernikahan Wiro dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin dibatalkan.
Berarti Luhcinta akan
kehilangan orang yang dicintainya selama-lamanya…”
“Luhsantini…” tiba-tiba
terdengar suara Luhcinta.
“Aku di sini Luhcinta. Ada
apa? Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu…?”
“Aku tahu, aku ingat. Kau
pasti yang membawaku dari bukit itu ke sini… Aku berterima kasih padamu,
Luhsantini.”
“Benar, kau tak usah khawatir.
Kau tidak cidera atau mengalami luka apa-apa…”
“Aku tahu. Walau tak ada
cidera atau luka yang terlihat di mata namun… Ada luka yang tak mungkin
terlihat oleh mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya wahai Luhsantini.”
Luhsantini jadi terdiam haru
mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
“Luhsantini…”
“Yaa…?”
“Apakah benar apa yang kita
saksikan di Bukit Batu Kawin itu?” tanya Luhcinta. Air mata yang tak terbendung
mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat. Luhsantini tak kuasa menjawab.
Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa seseorang menyelinap dan
mencuri dengar semua pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta. Dari pakaian hitam
serta mukanya yang tertutup lapisan tanah liat berjelaga hitam sudah dapat
diterka orang ini adalah Si Penolong Budiman, manusia aneh berkepandaian
tinggi.
“Kau masih ada di sampingku
Luhsantini?”
“Ya, aku masih di sini. Di
dalam goa ini bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu…”
“Kau baik sekali. Aku sangat
berterima kasih. Tetapi mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku tadi?”
Luhsantini gigit bibirnya.
Matanya jadi ikut berkaca-kaca karena dia bisa merasakan keperihan hati
Luhcinta kehilangan orang yang dikasihinya. “Kau harus tabah, Luhcinta…”
“Aku cukup tabah Luhsantini.
Sejak kecil kesengsaraan hidup telah mendera diriku. Laksana hantaman palu
godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang yang sanggup kukuh dalam
ketabahan. Tetapi, mengapa kejadian dan perubahan yang satu ini begitu
tiba-tiba? Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya? Aku masih belum
bisa menemukan ayahku dan kini aku kehilangan seorang calon ayah.” Luhcinta
seka air mata yang berderai jatuh di pipinya.
Di luar goa, Si Penolong
Budiman sesaat tampak termenung. “Tidak kusangka dia sangat mencintai pemuda
itu. Ah…” Orang ini menarik nafas dalam lalu gelenggelengkan kepalanya.
“Ketabahan tidak mengajarkan
kita untuk berputus asa wahai Luhcinta…” terdengar suara Luhsantini.
“Aku tidak putus asa. Tapi
cobaan ini datangnya begitu bertubi-tubi…”
“Luhcinta, jangan sampai
kehilangan pemuda itu kau seolah menemui jalan buntu dalam hidupmu. Seolah kau
sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan menghadang sebuah jurang batu
yang dalam dan gelap. Aku sendiri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari
keadaanmu. Aku kehilangan suami dan juga kehilangan seorang anak darah dagingku
sendiri. Kau jauh masih beruntung. Masa depan masih terbuka lebar di
hadapanmu…”
“Aku menyangsikan wahai
Luhsantini, apakah aku masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa
yang bisa diambil sebagai pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib
seperti ini…” Luhcinta kembali menyeka air matanya.
“Luhcinta, siapakah gadis yang
beruntung mempersuamikan pemuda itu?”
Saat itu seperti terngiang
kembali di telinga Luhcinta suara lantang Lamahila si juru nikah. “Wiro Sableng
dan Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi.
Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung
antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah
resmi menjadi suami istri.”
Luhcinta mendadak merasa
sekujur tubuhnya menjadi dingin. Dia menggigil. Melihat ini Luhsantini berkata.
“Cuaca memang buruk
akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan unggun. Biar goa ini
menjadi hangat…”
“Tidak usah Luhsantini, aku
masih bisa menahan gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi… kau tahu siapa adanya
gadis yang menjadi istri Wiro itu?”
“Aku tak pernah melihat gadis
itu sebelumnya. Lamahila menyebut namanya Luhrembulan. Satu nama yang juga
rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di Negeri Latanahsilam ini…”
“Apapun keanehan yang terjadi
rasanya tidak mungkin Wiro mengawini seorang yang tidak dikenalnya. Berarti
Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal Luhrembulan…”
“Sulit aku menduga wahai
Luhcinta. Aku merasa seperti ada keanehan dalam semua kejadian ini…”
“Kejadian bagaimana maksudmu?”
“Entahlah, aku tidak bisa
mengatakan tapi aku dapat merasakan,” jawab Luhsantini. Lalu sambil membelai
rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. “Maafkan kalau pertanyaanku ini menyinggung
perasaanmu wahai Luhcinta. Namun aku ingin tahu, apakah selama ini pemuda itu
mengetahui kalau kau mencintainya…?”
“Aku tak tahu. Aku tak bisa
menduga,” jawab Luhcinta dengan mata basah menatap tak berkedip pada
Luhsantini.
“Kau tak pernah mengatakan
terus terang padanya dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa kau mencintainya?”
Luhcinta tersenyum sedih.
“Luhsantini, kita ini samasama perempuan. Mana mungkin perempuan berlancang
diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang pemuda?”
“Aku mengerti…”
“Lagi pula sejak beberapa
waktu belakangan ini aku banyak diselimuti rasa bingung.”
“Kau bingung? Apa yang
membuatmu bingung?”
“Pertama, kenyataan bahwa
begitu banyak gadis dan perempuan jatuh cinta terhadap pemuda itu…”
“Wahai! Bagaimana kau bisa
berkata begitu. Apa kau punya bukti…?”
“Untuk melihat seorang jatuh
cinta tidak perlu bukti segala. Dari sikap, cara bicara, bahkan cara memandang
saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang mencintai seorang lainnya.”
“Kalau kau tahu coba katakan
siapa saja yang menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda asing itu!”
“Misalnya saja Luhjelita. Lalu
Luhtinti. Yang paling gila Si Hantu Santet Laknat. Kemudian Peri Angsa Putih.
Dan terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri Sesepuh!”
Luhsantini geleng-gelengkan
kepala lalu sambil tersenyum. “Untung aku tidak termasuk dalam daftarmu…”
“Masih ada hal lain yang
menimbulkan kebingungan dalam diriku,” melanjutkan Luhcinta.
“Apa?”
“Di seluruh Negeri
Latanahsilam kini tersiar kabar kalau Wiro telah melakukan hubungan mesum
dengan Luhjelita. Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah melakukan hubungan badan dengan Hantu
Santet Laknat. Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda itu telah menghamili
Peri Bunda!”
Di luar goa kembali Si
Penolong Budiman menarik nafas dalam mendengar pembicaraan kedua orang itu.
Namun sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga terdengar sampai ke dalam
goa.
“Tunggu…” bisik Luhsantini.
“Aku merasa ada seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik…”
“Kita sama-sama menyelidik”
kata Luhcinta lalu bangkit berdiri.
“Tak ada siapa-siapa!” kata
Luhsantini sambil memandang sekitar goa. “Padahal tadi jelas sekali aku
mendengar seperti ada suara orang menarik nafas…”
“Kita masuk saja. Mungkin
hanya suara desau angin atau dedaunan yang saling bergesek,” kata Luhcinta. Dia
memegang lengan Luhsantini. Kedua orang itu masuk kembali ke dalam goa.
Ke mana lenyapnya Si Penolong
Budiman? Ketika menyadari kehadirannya sudah diketahui orang dengan cepat
manusia berwajah tanah liat ini melesat ke satu pohon besar berdaun lebat. Dia
mendekam bersembunyi di sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini masuk kembali ke
dalam goa cepat-cepat dia melompat ke pohon yang lain lalu lenyap tak kelihatan
lagi. Sepanjang larinya kembali ke telaga di mana dia meninggalkan Hantu Langit
Terjungkir, hatinya terasa goncang. Batinnya berulang kali berkata.
“Gadis itu… Dia mencintai
pemuda asing itu? Luhcinta, dia mencintai Wiro! Ah…!”
Kembali ke dalam goa. Luhcinta
dan Luhsantini melanjutkan pembicaraan mereka. “Aku tidak menyalahkan begitu
banyak gadis dan perempuan bahkan sampai ke bangsa Peri jatuh cinta terhadap
pemuda asing itu. Selain kegagahan wajahnya serta ketinggian ilmunya, dia mudah
bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu orang mencintainya, apakah dia
mencintai salah satu dari mereka?”
“Pertanyaanmu itu sudah
terjawab Luhsantini. Wiro telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya. Berarti
gadis itulah yang dicintainya.”
Luhsantini menarik nafas
panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. “Seperti kataku tadi, ada
keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal bernama
Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang akan
mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa
pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar sungguh
sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta, kalau
boleh aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita perpanjang.
Jangan kau sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu sendiri.”
“Aku setuju,” jawab Luhcinta
perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Luhsantini, kau tidak tahu atau
mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam
perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran. Sejak lama aku berputus asa
karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak dapat
menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku. Dari kenyataan yang ada aku terlahir
sebagai seorang anak dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa
malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut manusia?”
“Luhcinta… apa yang ada dalam
pikiran dan hatimu?” bertanya Luhsantini ketika dilihatnya sepasang mata
Luhcinta tampak memandang sayu dan kosong. Ada sekelumit senyum menyeruak di
bibir Luhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang
memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di
lain ketika Luhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta berkata. “Luhsantini, aku
ingin menyelidik. Harus! Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis bernama
Luhrembulan itu!”
Luhsantini pandangi wajah
Luhcinta seketika. Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta tidak perlu
melakukan hal itu. Namun khawatir perasaan dan jiwa si gadis akan semakin
tertekan Luhsantini akhirnya berkata.
“Jika itu keinginanmu,
sebaiknya kita datangi tempat kediaman si juru nikah Lamahila!”
“Tepat! Kita cari nenek itu
sekarang juga!” kata Luhcinta. Kedua orang itu segera bangkit berdiri.
Namun sebelum sempat melangkah
ke mulut goa tibatiba di luar sana terdengar suara tawa bergelak dahsyat
sekali.
“Dua perempuan di dalam goa!
Jangan kalian berani menyelidik persoalan menyangkut anak dan menantuku! Ini
peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau berani lancang melanggar!”
Di luar goa terdengar deru
angin keras sekali. Menyusul berkiblatnya cahaya merah seperti ada lidah api
membeset turun dari langit.
Wussss!
Bummmm!
Braaakkk!
Mulut goa batu hancur
berkeping-keping. Kepingannya berpelantingan di udara, berubah menjadi
bara-bara menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat jatuhkan diri ke
lantai batu. Lidah api menderu lewat di atas punggung mereka.
“Kurang ajar! Siapa berani
main gila terhadap kita!”
teriak Luhsantini marah.
Sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi,
perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar. Tapi sampai di luar
tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di kejauhan terdengar suara bergelak,
menggema di seantero tempat lalu lenyap.
“Aneh, tak bisa kuduga siapa
adanya manusia itu!” kata Luhsantini.
“Dia menyebut Luhrembulan dan
Wiro sebagai anak dan menantunya! Siapa dia?!” kata Luhcinta pula sambil
kepalkan tinju.
“Melihat pukulan yang
dilancarkannya bukan mustahil dia adalah Hantu Bara Kaliatus…” ujar Luhsantini.
“Tapi kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak punya anak perempuan…”
“Mungkin tanpa setahumu,
suamimu itu telah kawin dengan perempuan lain? Bukankah perpisahan kalian
berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?”
Luhsantini menatap wajah
Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya lengan gadis itu
seraya berkata. “Aku tidak tahu Luhcinta, tak bisa aku menduga… Masakan selama
ini tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara Kaliatus punya istri lagi dan
punya anak? Wiro sebagai menantunya? Wahai! Tak masuk di akalku!” Luhsantini
terdiam beberapa saat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana sekarang? Apa yang akan
kita lakukan?”
“Walau ada orang mengancam,
aku tetap akan menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku akan mencari nenek juru
nikah bernama Lamahila itu…” jawab Luhcinta penuh kepastian. Tekadnya teguh dan
bulat sudah!
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
KITA ikuti dulu ihwal kakek
berjuluk Hantu Langit Terjungkir yang aslinya bernama Lasedayu, ayah kandung
dari empat orang anak yang terlahir membawa tanda bunga dalam lingkaran pada
lengan sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua orang yang
memiliki tanda tersebut yakni Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dan Latandai alias
Hantu Bara Kaliatus.
Pagi itu Hantu Langit
Terjungkir tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh dari tepi telaga.
Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai kaki. Tangan
kanannya yang cidera akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan masih
dibalut dengan segulung pelepah pisang. Begitu sosok berjubah hitam bermuka
dilapisi tanah liat hitam muncul di hadapannya, dia segera menegur.
“Sahabat bermuka tanah liat,
sejak pagi kau menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu kembali
kulihat kau berubah sikap…”
“Kek, apa maksudmu?” tanya
orang bermuka tanah liat yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan panggilan
Si Penolong Budiman.
“Walau wajahmu tertutup tanah
liat hitam, tetapi aku tahu kau sedang diselimuti rasa gundah yang amat sangat.
Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah begitu adanya?”
“Anu Kek… Bagaimana tanganmu
yang patah?”
Hantu Langit Terjungkir
tertawa mengekeh. Sambil pegang lengannya yang cidera dia berkata. “Tanganku
sudah banyak kesembuhannya. Tapi jangan kau mengalihkan pembicaraan. Apa yang
merisaukan hatimu? Katakan dari mana kau sejak pagi buta tadi?”
Karena didesak akhirnya Si
Penolong Budiman bercerita juga. “Kau ingat ceritaku bahwa Luhsantini dan
Luhcinta berada di sebuah goa tak jauh dari telaga ini?”
“Wahai! Aku memang sudah
menduga kau pasti menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar berada, ke situ
biasanya kumbang melayang. Tentu banyak sekali yang kalian bicarakan…”
“Tidak Kek, aku memang ke sana
tapi bukan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri dengar
pembicaraan dua perempuan itu…”
“Kau bangsa orang yang suka
menguping rupanya.
Coba kau ceritakan apa saja
yang kau dengar,” kata Hantu Langit Terjungkir pula. Lalu dia rebahkan tubuhnya
di tanah.
Si Penolong Budiman menuturkan
semua pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa
sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.
“Pemuda asing itu. Namanya
Wiro Sableng. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi mengenai
gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku mengetahui siapa dirinya.
Setahuku di Negeri Latanahsilam ini tidak ada gadis bernama seperti itu…” Si
kakek menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
“Sahabatku, aku merasakan dari
nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau menyebut nama Luhcinta, ada suatu
getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu wahai sahabatku?”
“Kek, aku…”
Hantu Langit Terjungkir
tertawa mengekeh. “Katakan saja terus terang…”
“Dia mencintai pemuda asing
bernama Wiro Sableng itu!”
“Kalaupun memang begitu tapi
sekarang apa artinya lagi? Bukankah si pemuda telah kawin dengan gadis bernama
Luhrembulan? Kau punya kesempatan besar untuk mendapatkan Luhcinta… Kau harus
cepat, jangan membuang-buang waktu!”
“Kau ini ada-ada saja Kek.
Mukaku saja begini! Mana ada gadis yang mau padaku!” Si Penolong Budiman
gelenggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Kek, tidak mungkin…”
“Maksudmu tidak mungkin dia
mau denganmu? Ha…ha… ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat itu kau memiliki
wajah tak kalah gagah dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Sekarang
tinggal terserah padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan wajahmu di balik
tanah liat?”
“Aku telah bersumpah tidak
akan menanggalkan tanah liat ini sebelum apa yang tengah kuselidiki terungkap
secara nyata!” Si Penolong Budiman lupa kalau dia pernah memperlihatkan wajah
aslinya pada Luhcinta.
“Kerabatku,” kata Hantu Langit
Terjungkir. “Jangan suka mudah bersumpah. Lagi pula urusan selidik menyelidik
itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau harus cepat-cepat berusaha
mendapatkan Luhcinta. Jika kau malu, aku mau jadi perantara menemuinya.
Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju?!”
“Jangan Kek! Aku harap jangan
kau lakukan hal itu!”
“Aneh kau ini! Mau tapi malu.
Suka tapi berpura-pura!”
“Aku tidak malu, aku tidak
berpura-pura…”
“Lalu apa sebenarnya?!
Jangan-jangan kau ini sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha… ha… ha!”
“Aku tidak bisa mengatakan
padamu Kek…”
“Kalau begitu katakan pada
kami!” tiba-tiba ada suara menyeruak. Membuat kaget Hantu Langit Terjungkir dan
Si Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi tempat itu tanpa mereka
mendengar dan mengetahui lebih awal, itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa
mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu lama, dari balik sebuah
batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul dua sosok. Satu mengenakan
jubah hijau pekat satunya lagi berjubah kuning gelap.
Hantu Langit Terjungkir goyangkan
kepalanya agar bisa melihat jelas siapa yang datang. Si Penolong Budiman cepat
bangkit berdiri dan memutar tubuh. Yang berjubah kuning gelap adalah seorang
kakek berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata
kiri besar membeliak. Di pinggangnya kakek ini membekal sebilah senjata
berbentuk clurit besar berwarna hitam legam.
Di sebelah kakek berjubah
kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang penampilannya luar biasa aneh dan
menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya seperti terkelupas. Hidungnya
nyaris gerumpung. Bola mata kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di
pipinya yang tidak berdaging. Nenek ini tidak mempunyai tangan kanan alias
buntung. Tapi di atas keningnya menempel satu potongan tangan yang ternyata
adalah kutungan tangan kanan sendiri! Seperti si kakek dia membekal sebilah
clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah dua tua bangka aneh
ini? Dalam rimba persilatan Latanahsilam mereka pernah dikenal dengan julukan
Sepasang Hantu Bercinta. Si kakek bernama Lajahilio sedang si nenek bernama
Luhjahilio. Selama puluhan tahun mereka mengelana, hidup bersama bermesraan
tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki Sepasang Hantu Bercinta.
Seperti banyak para tokoh di
masa itu, sepasang kakek ini ternyata telah jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan
dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka bentrokan dengan berbagai
pihak. Terakhir sekali mereka bertempur menghadapi Luhcinta. Walau Luhcinta
banyak mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar kembali ke jalan yang
benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama si nenek yang terus
mendesak Luhcinta dengan serangan-serangan ganas. Akhirnya terpaksa Luhcinta
menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut Pukulan Kasih Mendorong Bumi.
Si nenek amblas ke dalam dinding batu. Ketika kakek kekasihnya menariknya
keluar dari batu, dirinya menjadi cacat mengerikan, terutama di bagian wajah,
dada dan perut. Kulit serta dagingnya terkelupas, menyembulkan tulang putih
menggidikkan! Mata kanannya terbetot keluar! (Mengenai riwayat Lajahilio dan
Luhjahilio harap baca dua episode sebelum ini berjudul “Rahasia Patung
Menangis” dan “Rahasia Mawar Beracun”).
Saat itu Hantu Langit
Terjungkir telah bangkit berdiri, dua tangan menginjak bumi, dua kaki naik ke
atas. Dari balik celah-celah rambut putihnya dia perhatikan gerakgerik dua tamu
tak diundang itu.
Si Penolong Budiman walau
berdiri dengan sikap tenang sambil rangkapkan dua tangan di depan dada namun
penuh waspada. Luhjahilio perhatikan Hantu Langit Terjungkir dengan wajah sinis
sementara mata kanannya yang melotot keluar bergerak-gerak mengerikan. Mata
kirinya melirik sekilas pada Si Penolong Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu
dia berkata.
“Hantu Langit Terjungkir, aku
mengenali siapa dirimu. Kau bangsa manusia yang tidak pernah berdusta!”
“Terima kasih atas pujianmu
itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud tersembunyi!” menyahuti Hantu
Langit Terjungkir.
Luhjahilio kembali sunggingkan
wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang menempel di atas keningnya kelihatan
bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio mendekat dan berbisik. “Aku tidak takut
pada manusia yang hidup menyungsang itu. Tapi harap kau berhati-hati pada
manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu. Kalau aku tidak salah
menduga, bukankah dia berjuluk Si Penolong Budiman? Ingat, dia yang dulu
menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!” (Baca episode berjudul “Rahasia
Patung Menangis”).
“Aku ingat!” jawab si nenek.
“Tapi kau diam sajalah Lajahilio. Biar aku yang bicara. Biar aku yang mengatur!
Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Hantu
Langit Terjungkir!” Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun
itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.
Luhjahilio kemudian alihkan
perhatiannya pada Hantu Langit Terjungkir. “Makhluk yang hidupnya menyungsang,
kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu di mana beradanya gadis
bernama Luhcinta itu!”
Sementara Si Penolong Budiman
terkejut mendengar pertanyaan si nenek, Hantu Langit Terjungkir keluarkan tawa
mengekeh. Diam-diam Si Penolong Budiman khawatir kalau Hantu Langit Terjungkir
memberitahu di mana beradanya Luhcinta. Maka dia memberi isyarat dengan kedipan
mata. Namun dia tidak mengetahui apakah si kakek mengerti arti isyaratnya itu.
“Luhjahilio…” kata Hantu
Langit Terjungkir. “Biasanya hanya seorang pemuda yang menanyakan di mana
beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang neneknenek buruk justru yang
mengajukan pertanyaan… Aku mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si
Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha… ha… ha!”
“Tua bangka keparat! Jangan
kau berani menghina istriku!” hardik Lajahilio marah besar. Dia hendak
menerjang tapi cepat dipegang oleh Luhjahilio.
“Istrimu katamu…?!” ujar Hantu
Langit Terjungkir sambil sibakkan rambut putih yang menutupi wajahnya. Bola
matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu tertawa gelak-gelak. “Sejak
kapan kau kawin dengan nenek itu? Siapa yang mengawinkan kalian? Ha… ha… ha!
Kalian mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri bicara tidak karuan!”
Lajahilio tak dapat lagi
menahan amarahnya. Sekali terjang saja kaki kanannya menderu ke arah dada Hantu
Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali mengenai sasarannya dada
Hantu Langit Terjungkir pasti akan hancur luluh!
“Lajahilio! Kau buas sekali!
Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk itu tidak mau bermesraan
denganmu! Ha… ha… ha!”
Hantu Langit Terjungkir
kerahkan hawa sakti yang didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut (Baca
Episode berjudul “Rahasia Kincir Hantu”). Sekujur badannya mendadak sontak
memancarkan sinar kebirubiruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek
berubah laksana kabut, melesat mumbul ke atas. Tendangan Lajahilio mendera
udara kosong kemudian menghantam pohon besar tempat Hantu Langit Terjungkir
tadi tegak bersandar.
Braakkk!
Pohon yang batangnya seukuran
pemelukan manusia itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara menggemuruh
tumbang ke tanah!
Lajahilio menggembor keras
lalu berteriak. “Hantu salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari
senjataku ini!” Lalu manusia berjubah kuning gelap ini gerakkan tangan kanannya
ke pinggang di mana terselip senjatanya yang berbentuk sebuah clurit besar
berwarna hitam legam. “Kekasihku, jangan turutkan amarahmu! Biarkan aku bicara
dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya kurasa bisa kita urus kemudian!”
Lajahilio banting kaki
mendengar kata-kata si nenek. Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya itu,
tapi si nenek mencekalnya dengan kencang. “Turuti kemauanku! Atau kau tidak
ingin aku punya kesempatan untuk membalas dendam?!”
“Huh!” Lajahilio unjukkan
tampang merengut. Masih penuh geram dia sisipkan senjatanya kembali ke
pinggang.
Si nenek Luhjahilio berpaling
pada Hantu Langit Terjungkir. “Sekarang harap kau memberitahu di mana beradanya
gadis bernama Luhcinta itu! Jika kau berani macam-macam aku akan biarkan
kekasihku mencincang tubuhmu mulai dari kaki sampai kepala!”
“Nenek sesat! Orang telah
memindahkan tangan kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah cukup menjadi
pelajaran dan peringatan bagimu! Tapi rupanya kau memang tidak bisa dibuat
sadar!”
“Keparat hidup menyungsang!
Jangan banyak mulut di hadapanku! Tanganku sebenarnya sejak tadi sudah gatal
untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan di mana gadis bernama Luhcinta
itu atau mampus sekarang juga?!” Tangan kiri si nenek bergerak ke pinggang di
mana tergantung clurit putih berkilat.
Hantu Langit Terjungkir tidak
takut ancaman orang. Sambil menyeringai dia berkata.
“Aku baru memberitahu kalau
kau mau mengatakan mengapa kau mencari gadis itu?” tanya Hantu Langit
Terjungkir pula.
“Kau bertanya aku akan
menjawab!” kata si nenek pula. “Kau lihat keadaan mukaku! Kau lihat dada dan
perutku. Putih hanya tinggal tulang belulang. Lihat hidungku! Lihat mata
kananku yang terjulur keluar! Ini semua adalah akibat perbuatan gadis bernama
Luhcinta itu! Dia memukulku hingga melesak masuk ke dalam dinding batu!”
“Wahai! Kau memang patut
dikasihani! Tetapi mengapa gadis itu menghajarmu kalau tidak ada sebab
musababnya?!”
“Tua bangka jahanam! Jangan
kau memperpanjang pembicaraan dengan segala macam pertanyaan! Lekas katakan di
mana Luhcinta berada!” Tangan kiri si nenek bergerak menggenggam gagang clurit
besar yang memantulkan cahaya angker berkilauan terkena sinar matahari. Di
sampingnya si kakek yang jadi kekasihnya tidak tinggal diam. Dia juga segera
menghunus senjatanya.
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
TAHAN! Tunggu! Jangan
mengeroyok aku dengan dua sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki
senjata berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana senjata itu sekarang?!
Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup?! Ha… ha… ha!”
Wuuttt!
Clurit putih di tangan kiri
Luhjahilio berkelebat dan tahutahu bagian tajamnya sudah melingkar di leher
Hantu Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher kakek ini pasti akan amblas
putus.
Seperti diketahui, ilmu
kepandaian Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu telah amblas dirampas Hantu
Muka Dua. Peristiwanya terjadi ketika Hantu Muka Dua dengan mempergunakan
sebuah sendok emas sakti yang didapatnya dari makhluk bernama Lamanyala,
berhasil mencungkil pusar Lasedayu yakni bagian tubuh yang menjadi pusat segala
kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi, namun secara diam-diam
di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu berhasil menghimpun
kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapat diandalkan dan bukan
sembarangan orang bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau lehernya sudah dikalungi
Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa cengar-cengir, malah
julur-julurkan lidahnya. Lalu dia berkata. “Aku hidup sudah puluhan tahun.
Sudah lebih dari cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat ini, aku akan sangat
berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!”
“Tua bangka gila! Kau benar-benar
minta mati! Aku masih mau memberi kesempatan! Katakan di mana Luhcinta!”
“Wahai…! Kalau kau sangat
mendesak baiklah akan aku katakan. Harap kau pasang telinga. Dengar baik-baik!”
“Kek, jangan kau beritahu!”
teriak Si Penolong Budiman.
“Jangan campuri urusan orang!”
bentak Lajahilio. Sekali berkelebat tahu-tahu ujung clurit hitamnya sudah
mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali tangan itu bergerak,
jebollah perut orang dan ususnya akan berhamburan keluar!
Si Penolong Budiman tampak
tenang saja. Tapi diamdiam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua tangannya.
Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu jiwa dengan Lajahilio.
“Tenang… Tenang semua!” Hantu
Langit Terjungkir berkata. “Aku akan beritahu di mana gadis itu berada…”
“Katakan cepat! Dari tadi kau
cuma berceloteh tak karuan!” bentak Luhjahilio.
“Gadis itu berada di tempat
yang aku tidak tahu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula lalu tertawa
gelak-gelak.
“Keparat jahanam! Mampus kau!”
teriak Luhjahilio.
Tangan kirinya yang memegang
clurit putih siap disentakkan.
Di sebelah sana Lajahilio juga
tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap menekankan ujung clurit
hitamnya untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun dalam keadaan yang
sangat menegangkan itu tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.
Butt! Prett!
Gerakan bayangan yang sangat
sebat disertai bunyi suara kentut mau tak mau menyita perhatian Sepasang Hantu
Bercinta yang siap menghabisi Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan suara kentut yang muncul. Di
saat bersamaan dua larik sinar kuning berbentuk tombak menderu ke arah
Luhjahilio dan Lajahilio!
“Tombak Kuning Pengantar
Mayat!” teriak Luhjahilio dan Lajahilio hampir berbarengan. Tampang sepasang
kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan. Keduanya sama-sama jatuhkan diri
menghindari sambaran sinar kuning sambil tetap meneruskan niat untuk menghabisi
dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong
Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki Hantu Langit
Terjungkir yang ada di udara tibatiba sekali melesat ke bawah. Dua tumitnya
menghantam ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu betul kehebatan dua
kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri batok kepalanya akan amblas dihantam
dua tumit Hantu Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya tersita pada serangan
lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara tangan kirinya bekerja, menarik
clurit besar yang melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Tapi sekali ini
si nenek kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan. Hantaman dua kaki yang
dilancarkan Hantu Langit Terjungkir ke arah kepala Luhjahilio sebenarnya hanya
tipuan belaka. Begitu perhatian lawan terbagi dan membuat gerakan mengelak,
Hantu Langit Terjungkir cepat melesat mumbul ke atas untuk lepaskan leher dari
kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan.
Bukkkk!
Kraaakkk!
Luhjahilio terpental dua
tombak, bergulingan di tanah sambil keluarkan suara raungan. Dari mulutnya
menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh entah ke mana. Ketika
dia bangkit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang remuk dilabrak
jotosan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya yang sebelumnya
terbujur kini tak kelihatan lagi. Mata itu kini hanya tinggal lobang digenangi
darah menggidikkan. Matanya yang satu bergerak liar kian kemari mencari
cluritnya. Kemudian nenek ini keluarkan seruan tertahan ketika di sebelah sana
dilihatnya kekasihnya tergeletak tak bergerak!
Walau lolos dari maut, namun
Hantu Langit Terjungkir ternyata mengalami cidera cukup parah. Ketika tadi dia
menghantam si nenek, dia pergunakan tangan kanannya. Kakek ini lupa kalau
tangannya itu masih dibalut dan belum sembuh betul dari patah akibat hantaman tongkat
tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu dipergunakan menghantam dada
lawan, tak ampun lengan yang patah itu ambruk kembali! Si kakek terguling di
tanah, menggeliat-geliat menahan sakit. Si Penolong Budiman cepat menghampiri
orang tua ini, mendukungnya dan membawanya ke tempat yang aman dekat sebuah
batu besar di tepi telaga.
“Kek, kau tak apa-apa?”
“Sial betul nasibku! Mengapa
aku begitu tolol pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini pasti sudah
patah lagi! Celaka betul!”
“Aku akan menolongmu. Mari
kulihat dulu lenganmu,”
kata Si Penolong Budiman
sambil hendak membuka pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.
“Jangan pikirkan diriku. Awasi
dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak segan-segan membokong kita
secara curang!”
“Tak usah khawatir Kek. Si
nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek satu itu agaknya tak akan
sadar dalam waktu satu minggu!”
Apa yang terjadi dengan
Lajahilio seperti yang disaksikan oleh si nenek kekasihnya?
Ketika tadi sinar kuning
berbentuk tombak menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Lajahilio jadi
terbagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk menambus perut Si Penolong
Budiman. Karena itu sambil jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya
demikian rupa. Namun manusia muka tanah liat telah lebih dulu bergerak. Tangan
kiri memukul lengan Lajahilio hingga dirinya terpental ke samping. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya perlahan saja. Dari
tangan kanan itu menyembur keluar selarik sinar hitam yang merebak berbentuk
kipas. Dalam larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar terang aneh seperti
bunga api.
“Pukulan Menebar Budi!” teriak
Lajahilio. Kakek ini serta merta menyingkir selamatkan diri. Tapi terlambat.
Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari dada sampai ke lutut!
Wuuuusss!
Lajahilio menjerit keras.
Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi.
Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak hangus mengepulkan asap
hitam!
Pukulan yang barusan
dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut Pukulan Menebar Budi.
Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri Latanahsilam
dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni
Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari ke Tujuh.
Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Lajahilio adalah Pukulan Menebar Budi
Hari Pertama.
Akibatnya seperti disaksikan
sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan Menebar Budi Hari ke Dua,
saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi. Rupanya manusia muka tanah
liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga tidak mau menjatuhkan tangan
terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu dekat maka akibat yang menimpa
Lajahilio sungguh parah walau orang ini tidak sampai meregang nyawa.
“Jahanam! Kau membunuh
kekasihku!” teriak Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga mengalami
cidera parah ini jatuhkan diri ke atas tubuh Lajahilio lalu menggerung keras.
Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik disusul
suara butt prett!
“Luhjahilio nenek sesat! Kau
dan kekasihmu samasama tak tahu diri! Masih untung orang tidak membunuh
kekasihmu itu! Kau sendiri, apa peringatanku masih kurang jelas? Aku sudah memindahkan
tangan kananmu ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup jahat dan sesat!
Apa tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke selangkangan?! Hik… hik…
hik…!”
Mata kanan Luhjahilio kucurkan
darah. Mata kirinya bergerak berputar memandang ke arah sosok serba kuning yang
tertawa cekikikan di hadapannya.
“Hantu Selaksa Angin! Aku
menyatakan perang tujuh turunan denganmu! Kau akan rasakan pembalasanku!”
Nenek muka kuning songgengkan
pantatnya lalu butt prett! Dia pancarkan kentutnya. “Tua bangka tolol! Anak
saja kau tidak punya, apalagi cucu! Bagaimana kau bisa bicara tak karuan
menyatakan perang tujuh turunan?! Hik… hik… hik! Bagusnya kau lekas angkat kaki
dari tempat ini! Bawa kekasihmu itu selagi bisa diselamatkan!”
Luhjahilio meludah ke tanah.
Ludahnya bercampur darah. Dengan matanya yang tinggal satu dia membeliak
memandang ke arah Si Penolong Budiman.
“Makhluk muka tanah liat,
nasibmu tak akan kalah sengsara dari nenek keparat itu! Lihat saja pembalasanku
nanti!” Habis berkata begitu Luhjahilio lalu coba mengangkat tubuh kekasihnya.
Maksudnya hendak didukung di pundak kirinya. Ternyata dia tidak mampu
melakukan.
“Aku mau menolongmu mendukung
kakek butut itu. Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan kau mau bayar aku
dengan apa?! Hik… hik… hik!”
Mendengar ejekan Hantu Selaksa
Angin itu Luhjahilio jadi mendidih amarahnya. Melupakan keadaan dirinya sendiri
dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang tergeletak di tanah lalu menyerbu
Hantu Selaksa Angin. Dalam satu gebrakan saja dia sudah kirimkan dua babatan
dan satu bacokan.
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin pancarkan
kentutnya lalu cepat berkelebat. Ketika lengan jubah kirinya dikebutkan,
selarik cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu menolong Hantu Langit
Terjungkir dan makhluk muka tanah liat, nenek muka kuning itu kembali lepaskan
pukulan Tombak Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang dengan pukulan sakti itu,
namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja menerjang dengan clurit besar di
tangan kiri. Hantu Selaksa Angin arahkan pukulan saktinya ke tangan kiri lawan.
Cahaya kuning berbentuk tombak
kembali berkiblat di udara.
Traanggg!
Luhjahilio terpekik keras.
Clurit hitamnya patah dua dan terlepas mental. Tangan kirinya bergetar keras
dan ada rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar dalam keadaan seperti
itu dia tak bakalan dapat menghadapi lawan, Luhjahilio banting-banting kaki.
Dengan tangan kirinya dia cekal leher berjubah kuning Lajahilio lalu seret si
kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk serapah.
“Nenek sesat! Kalau saja kau
tahu diri akan kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!” kata nenek muka
kuning mengantar kepergian Luhjahilio.
Mendengar ucapan itu
Luhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.
“Aku tidak perlu belas
kasihanmu nenek muka comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan nyawamu ke
pusaran neraka langit ke tujuh!”
Butt prett!
Hantu Selaksa Angin alias
Hantu Selaksa Kentut jawab ucapan Luhjahilio dengan pancaran kentutnya lalu
tertawa cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio meninggalkan tempat itu bersama
kekasihnya, Hantu Selaksa Angin berpaling ke arah orang bermuka tanah liat yang
tengah menolong Hantu Langit Terjungkir. Nenek muka kuning ini segera
mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si kakek lalu berkata. “Huh! Seperti
anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi mengerang tak putus-putus!”
Hantu Langit Terjungkir
sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. “Tua bangka tukang kentut! Kau
rupanya! Kau tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau yang cidera!”
Si kakek tempelkan belakang
tangan kirinya ke bibir lalu preettt! Dia tirukan suara kentut si nenek. Hantu
Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih pandai menirukan kentutku! Padahal
suara dan irama kentutku sudah berbeda dari dulu! Hik… hik… hik! Makhluk yang
hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu kau pernah mengancam diriku.
Mau membuat aku jadi ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau
melakukannya?!” (Baca episode berjudul “Hantu Santet Laknat”).
“Nenek muka kuning! Aku sedang
menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan! Lama-lama aku jadi muak melihat
dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”
“Tua bangka tak tahu diri!”
“Nenek sialan, apa maksudmu?!”
“Rupanya kau masih suka
melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek sepertiku ini! Itu sebabnya kau
suruh aku pergi!”
“Nek,” Si Penolong Budiman
menengahi pembicaraan.
“Orang tua ini sedang
kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau jangan mengajaknya bicara
dulu…”
“Manusia muka tanah liat!
Lagakmu seperti tabib ahli saja! Apa kau punya kemampuan menolong tukang ikan
pindang itu?!”
“Nenek muka kuning itu ingin
kubuat jadi ikan pepes rupanya!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Dulu kau suka ikan asap ikan
pindang. Sekarang kau suka ikan pepes. Nanti kau suka ikan apa lagi? Hik…
hik…hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah apa kau mau
menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Memangnya kau tabib atau
dukun? Puah!” Hantu Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
“Aku memang bukan tabib, juga
bukan dukun. Apalagi dukun beranak! Hik… hik… hik! Tapi sekali lihat saja aku
sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai membusuk! Tak ada harapan untuk
disembuhkan!”
Hantu Langit Terjungkir jadi
terdiam. Dia melirik pada Si Penolong Budiman. Manusia muka tanah liat ini
berkata. “Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia menakut-nakuti dirimu. Aku pasti
bisa menolongmu…”
“Aku hanya memberitahu!” kata
Hantu Selaksa Angin.
“Kalau tangan kananmu sampai
busuk dan kelak kau cuma punya satu tangan, apakah kau masih bisa berjalan
dengan mempergunakan hanya satu tangan? Tua bangka tolol! Kelak kau berjalan
dengan tangan kiri. Makan dengan tangan kiri! Lalu cebok dengan tangan kiri
juga! Hik… hik… hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang tolol! Kalau bukan
guruku yang menyuruh mencarimu, mana sudi aku melihat tampangmu yang lebih
jorok dari pengemis ini!” Setelah berkata begitu si nenek segera bergerak
hendak tinggalkan tempat itu.
Hantu Langit Terjungkir
kembali melirik pada Si Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini berseru. “Nenek
muka kuning! Tunggu dulu! Aku bersedia menjawab pertanyaanmu. Tapi aku ingin
agar kau mengobati tanganku lebih dulu!”
“Kalau aku mengobatimu lebih
dulu, apa nanti kau akan memenuhi janji menjawab pertanyaanku?”
“Nek, kakek sahabatku ini
bukan orang berhati culas. Kalau setelah kau obati ternyata dia ingkar, biar
aku mematahkan tangannya yang satu lagi!” kata Si Penolong Budiman pula.
Butt prett!
Yang berbunyi bukanlah kentut
si nenek muka kuning, tapi suara mulut dan tangan Hantu Langit Terjungkir
sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa
cekikikan. “Baik, aku akan tolong kakek sahabatmu ini. Tua bangka jelek, ayo
ulurkan tangan kananmu!”
Masih dalam keadaan berbaring
Hantu Langit Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera. Si nenek perhatikan
tangan itu sesaat. “Hemmm… apa kataku. Tanganmu sudah busuk. Malah kulihat
sudah mulai ada belatungnya kecil-kecil!”
Hantu Langit Terjungkir jadi
kaget. Dia buka matanya lebar-lebar memperhatikan. Tapi dia tidak melihat
apa-apa. Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek. Hantu Selaksa Angin
tertawa cekikikan. “Kau mana bisa melihat belatungnya. Matamu hanya bisa
melihat gadis cantik. Bukan begitu? Hik… hik… hik!”
“Kau mau menolongku atau mau
bersenda gurau?!” Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
“Walah, sudah tua bangka kau
masih cepat marah. Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang juga akan kuobati
tanganmu!” Si nenek buang sisa-sisa pelepah pisang yang masih menempel di
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir. Caranya melakukan hal itu seenaknya saja
hingga si kakek menjerit-jerit kesakitan.
Butt prett!
“Jangan cengeng!” bentak si
nenek muka kuning setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang patah sementara mulutnya
berkomat-kamit Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan itu di bagian siku.
Lalu dipelintirnya kuat-kuat!
Klek!
Tangan kanan Hantu Langit
Terjungkir tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit setinggi langit. Saking
sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si nenek cepat injak
dadanya. “Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!”
bentak si nenek.
“Uh… uh… uh…” Hantu Langit
Terjungkir terpaksa menahan rasa sakitnya walau muka dan badannya sampai mandi
keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah mendekati sebatang pohon.
Potongan tangan Hantu Langit Terjungkir ditempelkannya di pohon itu. Lalu,
krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang besar dan panjangnya kira-kira sama
dengan tangan si kakek. Potongan cabang pohon itu lalu enak saja
disambungkannya ke tangan kanan Hantu Langit Terjungkir.
“Untuk sementara kau pakai
dulu cabang pohon itu sebagai pengganti tanganmu yang patah!” kata si nenek
sambil menyeringai.
Si Penolong Budiman tersentak
kaget. Hantu Langit Terjungkir sendiri membeliak besar.
“Kau menipuku!” teriak Hantu
Langit Terjungkir marah.
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
NENEK muka kuning pancarkan
kentutnya. Butt prett!
Lalu unjukkan wajah cemberut.
“Siapa yang menipumu kakek buruk?!”
“Tadi kau mengatakan akan
mengobati tanganku yang patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di
pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!”
“Walah, memang begitu caraku
menolongmu!” jawab Hantu Selaksa Angin.
“Aku lebih suka kau kembalikan
tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu seperti ini!” ujar Hantu Langit
Terjungkir sementara Si Penolong Budiman tertegak tak tahu mau berbuat atau
bicara apa.
“Ck… ck… ck… Kau benar-benar
bangsa manusia yang tidak tahu ditolong orang. Aku telah pergunakan ilmu
Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu bukan ilmu sembarangan. Aku
menghabiskan waktu belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja
aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya
kuganti dulu dengan batang kayu? Nanti kalau tanganmu yang di pohon sudah
bertaut kembali tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya semula! Paling lama
kau hanya menunggu beberapa hari sampai tanganmu sembuh! Nanti aku pasti akan
memasangkannya ke tanganmu itu kembali!”
“Cara pengobatanmu tidak masuk
akal! Kau menipuku…!” teriak Hantu Langit Terjungkir.
“Itulah kalau hidup cuma tahu
ikan asap, hanya tahu ikan pindang! Sekarang kau juga tahu ikan pepes! Ditolong
orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan! Apa tanganmu yang kusambung
dengan cabang pohon itu terasa sakit?”
“Memang tidak! Tapi aku tidak
sudi punya tangan batang kayu seperti ini!”
“Sombongnya manusia satu ini!”
mengomel si nenek.
“Selama puluhan tahun kau
hidup kaki ke atas kepala ke bawah. Apa kau pernah berkata tidak sudi hidup
menyungsang seperti itu?!”
Mendengar ucapan si nenek,
Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam.
“Nek, bagaimana kalau selama
di pohon terjadi apaapa dengan tangan kakek sahabatku itu?” Si Penolong Budiman
bertanya.
“Apa maksudmu manusia muka
tanah liat?”
“Mungkin saja potongan tangan
itu dipagut dan dimakan ular. Atau dimakan musang…”
“Kalau kau memikir sampai di
situ mudah saja jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan itu berjaga-jaga siang
malam di bawah pohon sampai tangannya sembuh! Kalau nanti tangannya masih saja
dijadikan santapan binatang hutan, mungkin itu sudah nasibnya! Hik… hik…hik!
Bukankah tugasku hanya menolongnya? Bukan menjadi pengawal tangan buntungnya?
Kalau kau merasa sahabatnya kau harus membantunya!”
Butt prett! Si nenek kentut
dulu lalu meneruskan ucapannya. “Sekarang sesuai perjanjian kau harus menjawab
beberapa pertanyaanku.”
“Aku tidak akan menjawab
apapun!” Hantu Langit Terjungkir berkata setengah berteriak.
Si nenek tampak jengkel.
Matanya yang kuning memandang tajam pada Hantu Langit Terjungkir. “Aku sudah
menduga kau akan ingkar janji. Tapi tak jadi apa! Aku akan pergi, tapi tanganmu
kubawa serta!”
Lalu dengan mulut
berkomat-kamit si nenek hendak tanggalkan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir
yang menempel di batang pohon.
“Kek, sebaiknya kau menjawab
saja apa yang hendak ditanyakannya. Kurasa tak ada susahnya. Daripada urusan
menjadi panjang tak karuan…” Si Penolong Budiman memberi nasihat
“Aku…! Wahai! Sialan! Sudah!
Baik aku akan jawab. Apa yang mau kau tanyakan!” Hantu Langit Terjungkir
akhirnya mengalah juga.
Hantu Selaksa Angin tatap
wajah si kakek beberapa saat baru berkata. “Kau dikenal dengan nama Hantu
Langit Terjungkir. Waktu lahir kau pasti punya nama. Aku ingin tahu siapa
namamu sebenarnya.”
“Kau menanyakan namaku segala!
Apa juga perlu hari dan bulan lahirku? Rupanya kau mau meramal menujumi diriku
atau bagaimana?”
“Jangan banyak bicara yang tak
karuan. Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu kakek buruk?”
Hantu Langit Terjungkir
pandangi nenek muka kuning itu mulai dari sunting yang menancap di kepalanya,
turun ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung sampai ke kaki. Semuanya
serba kuning. Dalam benak dan hati si kakek berbagai pertanyaan muncul. Sambil
melangkah seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir membatin.
“Nenek aneh serba kuning ini.
Siapa dia sebenarnya? Aku yakin dia sengaja memoles wajahnya dengan semacam cat
kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi nanti aku akan balas bertanya…”
“Kalau kau memang ingin tahu,
nama asliku Lasedayu.”
“Lasedayu… Lasedayu…” Si nenek
ketuk-ketuk keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. “Hemmm…Aku tak tahu
apa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu!
Aku tidak kenal nama itu!”
“Lebih bagus kau tidak kenal
siapa diriku!” menyahuti si kakek.
“Aku memang tidak ingin. Kalau
saja guruku tidak menyuruh…”
“Siapa gurumu?” bertanya Si
Penolong Budiman.
“Aku tidak punya kewajiban
menjawab pertanyaanmu muka hitam!”
“Kau tak mau menjawab tak jadi
apa,” kata Si Penolong Budiman tenang.
“Sudah tua bangka begini
apakah kau punya istri, Lasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
“Kalau aku tak punya istri apa
kau mau jadi istriku?!” tanya Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Butt prett! Si nenek pancarkan
kentutnya. Setelah tertawa cekikikan dia berkata. “Jawab saja pertanyaanku!”
“Aku tak punya istri!”
“Maksudmu kau tidak pernah
kawin? Tak pernah punya anak?!”
“Nenek muka kuning! Aku tidak
suka semua pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau bagaimana?”
“Jangan-jangan kau kaki tangan
Hantu Muka Dua.” Si Penolong Budiman menimpali.
“Aku bukan kaki tangan Hantu
Muka Dua! Soal menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!”
“Untuk apa?!” sentak Hantu
Langit Terjungkir.
“Aku tidak tahu!” jawab si
nenek.
“Tua bangka sakit! Otakmu
pasti tidak waras!” kata Hantu Langit Terjungkir pula.
“Aku memang bisa bertindak
tidak waras. Misalnya, tanganmu yang di pohon itu kubuat remuk hingga kau tidak
punya tangan kanan lagi seumur-umur. Bagaimana, mau kita coba? Mau kubuktikan
kalau diriku bisa tidak waras?!”
Ketika si kakek tidak
menjawab, Hantu Selaksa Angin tertawa gelak-gelak. “Kakek buruk. Kau belum
menjawab pertanyaanku. Apa kau pernah kawin? Kalau pernah siapa nama istrimu.
Lalu apa kau pernah punya anak?”
“Nenek muka kuning, kau harus
jawab pertanyaanku dulu. Apa perlu kau menyelidiki diriku?”
“Sudah kukatakan tadi. Guruku
yang menyuruh!”
“Siapa gurumu?!”
“Aku tidak tahu!”
“Betul-betul gila! Kau disuruh
gurumu tapi kau tidak tahu siapa gurumu!”
“Aku tidak dusta! Karena aku
memang tidak pernah melihat ujudnya!”
“Kau punya guru, tapi tidak
tahu ujudnya! Gurumu angin atau sebangsa kentut yang keluar dari pantatmu
itu?!”
“Jangan kau berani menghina
guruku. Tua bangka bermulut tak karuan. Kau yang gila, bukan aku! Aku tak mau
lagi bicara denganmu!”
“Bagus, sekarang aku yang
bicara! Aku yang bertanya! Siapa namamu sebenarnya?”
“Aku tidak tahu!”
“Apa kau pernah punya suami?”
“Hik… hik! Jika aku tak punya
suami apa kau mau jadi lakiku? Hik… hik!”
“Sialan betul!” maki Hantu
Langit Terjungkir.
Sebaliknya si nenek
banting-banting kaki lalu tanpa banyak bicara lagi putar tubuhnya. Setelah
pancarkan kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
“Syukur nenek sinting itu
sudah pergi!” kata Hantu Langit Terjungkir lega. Tetapi sebenarnya si nenek
tidak pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata kedua orang itu diam-diam
dia menyelinap kembali, melompat ke atas sebatang pohon berdaun lebat di
seberang telaga. Dari sini dia mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Si
Penolong Budiman sambil kerahkan kesaktiannya untuk mendengar apa yang
dibicarakan kedua orang itu.
“Nenek muka kuning itu
benar-benar aneh…” kata Hantu Langit Terjungkir. “Apa maksudnya menyelidiki
diriku. Katanya disuruh gurunya. Tapi dia tidak tahu mau memberitahu siapa
gurunya.”
“Kau tidak bisa mengenali atau
menduga siapa dia adanya, Kek?” tanya Si Penolong Budiman. Hantu Langit
Terjungkir gelengkan kepala.
“Aku menduga dia tengah
menyelidiki dirimu dan masa silammu Kek.”
“Bisa saja. Tapi untuk apa?”
“Kuncinya ada pada gurunya.
Sayangnya dia tidak mau memberitahu siapa gurunya! Katanya dia tak pernah
melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?”
“Sebaiknya kita tidak
membicarakan nenek sinting itu!” kata Hantu Langit Terjungkir pula. Tiba-tiba
dia ingat dan berseru. “Wahai! Celaka diriku!”
“Ada apa Kek?”
“Tanganku yang menempel di
pohon! Kalau tulangnya yang patah bertaut kembali, bagaimana aku
menyambungkannya ke tubuhku?!” Wajah si kakek jadi pucat.
“Berarti dalam waktu beberapa
hari di muka nenek itu akan datang kembali mencarimu Kek.”
“Kalau dia datang, kalau
tidak…!”
Di atas pohon di seberang
telaga Hantu Selaksa Angin senyum-senyum mendengar percakapan kedua orang itu.
“Lasedayu… Lasedayu…” katanya
berulang kali dalam hati.
“Ah, aku tidak kenal nama itu.
Aku tidak ingat lagi…” Si nenek pukul-pukul kepalanya sendiri.
***
PAGI hari ke empat ketika
Hantu Langit Terjungkir bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama
sekali diperhatikannya adalah pohon di mana tangan kanannya yang patah
ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin. Sekali ini begitu dia memandang ke pohon
langsung dia tersentak kaget dan melompat bangun sambil berseru memanggil Si
Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini
serta merta terbangun pula. “Ada apa Kek?”
“Tanganku! Lihat ke pohon
sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah dibawa lari binatang
hutan! Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu benar-benar
telah menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu
biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!”
Hantu Langit Terjungkir
pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.
Si Penolong Budiman dapat
merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi
pelajaran!”
katanya. Dia perhatikan si
kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-tiba manusia bermuka tanah
liat ini berseru keras. “Kek!”
“Ada apa?!” tanya Hantu Langit
Terjungkir kesal.
“Tangan kananmu Kek! Kau
memukuli kepalamu dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”
“Astaga!” Si kakek baru sadar
dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik besar. Ternyata tangannya yang
sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah berubah dengan tangannya yang
sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat cabang pohon yang tadinya
dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah. Si kakek usap-usap
tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan ke bawah.
Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!
“Nenek itu! Wahai! Aku telah
berburuk sangka! Ternyata dia tidak menipuku. Ternyata dia benar-benar
menolongku! Tanganku yang patah dan telah sembuh disambungkannya kembali!”
Hantu Langit Terjungkir
memandang pada Si Penolong Budiman dengan sepasang mata berkaca-kaca. “Dosa
besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning itu menyembuhkan tanganku
yang patah. Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan dia melakukan. Pasti
malam tadi!”
“Kek, kalau dia melakukan
secara diam-diam berarti dia menolongmu tanpa menginginkan balas jasa. Berarti
hatinya polos. Tapi mungkin juga…” Si Penolong Budiman tidak meneruskan
ucapannya. Tapi justru malah tersenyum.
“Tapi apa muka tanah liat? Kau
tidak meneruskan ucapanmu. Kau tersenyum seperti ada yang lucu…”
“Kek, dia menolongmu secara
diam-diam mungkin karena dia malu…”
“Malu? Aku tak mengerti…”
“Setahuku, jika seorang
perempuan malu-malu terhadap seorang lelaki berarti dia menyimpan satu perasaan
tertentu…”
“Perasaan tertentu apa
maksudmu?” tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
“Maafkan aku Kek. Mungkin nenek
itu suka padamu,” jawab Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir
berteriak. “Gila kau! Aku dan dia sudah tua bangka begini masih mau
bersuka-sukaan! Gila!”
Si Penolong Budiman tertawa
lebar. “Yang namanya cinta itu Kek, kalau datang tidak memilih waktu, tempat
dan usia!”
“Kau gila!” Hantu Langit
Terjungkir tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba tawanya berhenti.
Dia pandangi muka yang tertutup tanah liat kering itu. Mulutnya terbuka tapi
tak ada suara yang keluar.
“Kau hendak mengatakan apa
Kek? Ada suatu perasaan yang tiba-tiba mengendap di lubuk hatimu?”
“Aku tidak tahu! Tapi nenek
itu ternyata seorang yang baik sekali. Kalau saja aku bisa menemuinya lagi. Aku
akan mengucapkan terima kasih padanya…”
“Hanya mengucapkan terima
kasih saja Kek?”
“Lalu apa lagi?!”
“Bagaimana kalau terbukti dia
memang menyukai dirimu. Apakah kau mau padanya. Maksudku mau kawin dengannya?”
Wajah Hantu Langit Terjungkir
menjadi merah. Namun sambil senyum-senyum dia berkata. “Nenek itu, mana mungkin
dia suka padaku. Aku terus-terusan dikatakannya kakek buruk. Lagipula keadaanku
yang selalu kaki di atas kepala di bawah begini…”
“Justru mungkin karena
keadaanmu inilah yang menimbulkan rasa kasihan dalam dirinya padamu. Rasa
kasihan berganti dengan rasa suka…”
Si kakek garuk-garuk pipinya
yang tidak gatal. “Aku… Hemmm… Kalau dia memang punya hati terhadapku, rasanya
tak ada salahnya aku membalas dengan perasaan yang serupa…”
“Kau mau kawin dengan Hantu
Selaksa Angin itu Kek?”
“Yaaa… Aku mau apalagi nenek
satu itu memang aneh, tapi rasa-rasanya aku cocok dengan dirinya. Selama
puluhan tahun, sejak aku kehilangan istri dan anakanakku, aku hidup sengsara
sebatang kara. Mungkin para Dewa menakdirkan sudah saatnya hidupku harus
berubah…”
“Kalau begitu sehabis mandi di
telaga kita cari saja nenek itu. Sekalian kita mencari Lakasipo dan Hantu Bara
Kaliatus yang menurutmu kau yakin adalah sebagai dua dari empat anakmu yang
lenyap itu…”
“Cari nenek itu dulu! Dua
anakku bisa menyusul kemudian!” kata Hantu Langit Terjungkir seraya kedipkan
matanya lalu tertawa gelak-gelak.
Di seberang telaga, di atas
pohon berdaun rimbun Hantu Selaksa Angin dengan kesaktiannya walaupun agak
sayup-sayup masih dapat mendengar semua percakapan Hantu Langit Terjungkir dan
Si Penolong Budiman.
Wajahnya yang kuning tampak
berseri-seri. Senyum tak henti-hentinya menyeruak di mulutnya. Berulang kali
dia mengusapi wajahnya. Lalu dalam hati dia berkata. “Kakek satu itu sebenarnya
tak buruk-buruk amat Walau keadaannya seperti itu tapi hatinya pasti baik. Katanya
dia mau kawin dengan aku! Hik… hik… hik! Bagaimana ini! Aku harus memberitahu
Sang Datuk. Aku harus menemui Guru! Hik… hik… hik! Ada orang yang mau mengawini
aku! Wahai bagaimana rasanya kawin! Apakah dulu aku pernah kawin…?! Aku tak
ingat lagi! Hik… hik… hik.” Tanpa mengeluarkan suara dan goyangan pada pohon,
nenek muka kuning ini berkelebat turun dan lenyap di arah timur telaga.
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
HUJAN turun dengan lebat
membuat malam menghitam pekat. Sesekali halilintar menyambar menerangi jagat.
Lalu suara guntur menggelegar seperti hendak menjungkirbalikkan bumi. Di bawah
hujan lebat itu dua bayangan berkelebat ke arah selatan. Ketika sekali lagi
kilat menyabung dan keadaan terang benderang sesaat, kelihatanlah bahwa dua
bayangan itu adalah dua sosok perempuan berwajah cantik. Mereka bukan lain
adalah Luhcinta dan Luhsantini yang tengah dalam perjalanan menuju tempat
kediaman Lamahila.
Luhsantini yang mengetahui
letak rumah juru nikah terkenal di Negeri Latanahsilam itu berlari di sebelah
depan. Sebenarnya mereka bisa saja berhenti mencari tempat berteduh. Namun
karena sudah terlanjur diguyur hujan keduanya terus saja melanjutkan
perjalanan. Selain itu Luhcinta mendesak terus agar bisa menemui Lamahila
secepatnya.
Lamahila memiliki beberapa
rumah namun dia lebih sering berada di rumah yang terletak di sebuah bukit
kecil di selatan, tak jauh dari kawasan pantai. Karena bukit itu tidak terlalu
banyak ditumbuhi pepohonan maka dari jauh bangunan kediaman sang juru nikah
telah terlihat menghitam dalam kegelapan malam dan curahan air hujan.
Bangunan itu cukup besar,
berhalaman luas. Kedua orang yang mendatangi langsung menuju pintu depan.
“Tak ada nyala dian atau obor
di dalam rumah. Janganjangan nenek itu tak ada di sini…” kata Luhcinta.
“Kita masuk saja. Setahuku
Lamahila memang suka bergelap-gelap,” jawab Luhsantini. Dia melangkah ke depan
pintu yang terbuat dari papan tebal. Sambil mengetuk keras Luhsantini
berteriak.
“Nenek Lamahila! Nenek
Lamahila! Kau ada di rumah?!”
Sampai berulang kali pintu
diketuk dan diteriaki namun tak ada jawaban, Luhsantini hendak mengetuk untuk
kesekian kalinya. Saat itulah dia menyadari kalau pintu papan itu ternyata
tidak dikunci.
“Kawasan ini memang aman. Tapi
adalah aneh kalau si nenek tidak mengunci rumahnya. Ini di luar kebiasaannya…”
kata Luhsantini. Lalu dengan tangan kirinya dia mendorong. Daun pintu terbuka
mengeluarkan suara berkereketan. Lewat celah pintu kedua orang itu memandang ke
dalam.
“Gelap… Agaknya nenek itu
memang tidak ada di sini,”
Luhsantini berkata setengah
berbisik. Dia mendorong lagi daun pintu lebih lebar.
“Nenek Lamahila! Kau ada di
dalam?!” Luhsantini memanggil. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba kilat menyambar
dan guntur menggelegar membuat dua perempuan ini sama-sama terkejut.
“Kalau nenek itu memang tidak
ada di rumah, apa yang akan kita lakukan?” tanya Luhsantini.
“Kita menumpang berteduh saja.
Menunggu sampai pagi. Siapa tahu nenek itu kemudian muncul,” jawab Luhcinta.
Luhsantini membuka pintu lebih
lebar. Ketika dia hendak melangkah masuk mendadak ada suara berkelik disusul
suara mendesir. Luhcinta yang mendengar lebih dulu dengan cepat menarik tangan
Luhsantini. Kedua orang itu jatuh saling tindih di lantai serambi rumah kayu.
Dua benda hitam berdesing di atas mereka.
“Apa-apaan kau ini?!” tanya
Luhsantini. Luhcinta menjawab dengan acungan jari telunjuk tangan kanannya.
Sambil menunjuk dia goyangkan
kepala ke kiri. Berubahlah paras Luhsantini. Pada tiang serambi rumah besar
tampak menancap dua buah pisau berbentuk aneh. Gagangnya masih bergetar
bergoyang-goyang.
“Ada orang memasang peralatan
rahasia di dalam rumah. Diarahkan ke pintu. Jika pintu dibuka peralatan itu
akan bekerja, melesatkan senjata pembunuh. Siapa yang berada di depan pintu dan
terlambat menyelamatkan diri akan ditambus pisau-pisau itu!”
“Manusia pengecut! Akan
kuhajar habis-habisan orang yang memasang peralatan rahasia itu!” kata
Luhsantini geram seraya beringsut menjauhi pintu. “Tapi apa maunya Lamahila
memasang peralatan pembunuh itu?!”
“Bukan dia yang memasang.
Orang lain,” jawab Luhcinta. “Saat ini aku mengawatirkan, jangan-jangan
Lamahila sendiri berada dalam bahaya. Bagaimana kalau kita masuk menjebol atap?”
“Setuju!” jawab Luhsantini.
Di bawah hujan yang masih
mengucur lebat dua perempuan itu bergerak ke samping rumah. Mereka mendapatkan
bagian tanah yang agak tinggi. Dari sini keduanya lalu melompat setinggi dua
tombak. Naik ke atas wuwungan atau atap yang terbuat dari jerami.
“Kau siap?” tanya Luhsantini.
Tangan kanannya diangkat ke samping kepala. Begitu Luhcinta mengangguk
Luhsantini hantamkan tangan kanannya ke bawah. Serangkum angin dahsyat menderu
membobolkan atap rumah. Sebuah lobang besar terkuak. Tanpa menunggu lebih lama
dua orang ini terjun ke bawah. Di lain saat mereka telah berada di dalam rumah
kayu. Sesaat mereka sengaja tegak tak bergerak untuk membiasakan mata dengan
kegelapan.
“Rumah ini kosong…” bisik
Luhcinta.
“Kita periksa dulu. Kau di
sebelah depan, aku di bagian belakang.” Luhsantini bergerak lebih dulu.
Tiba-tiba dia hampir terpekik dan serta merta hentikan langkah lalu menghindar
ke samping.
“Ada apa?” tanya Luhcinta.
“Aku menginjak sesuatu.
Sepertinya tubuh manusia…”
Luhsantini memperhatikan ke
lantai. Luhcinta mengikuti pandangan kerabatnya itu. Keduanya langsung berubah
pucat ketika melihat apa yang tergeletak di lantai. Sosok si juru nikah
Lamahila. Tergeletak tertelentang di lantai. Dua buah pisau seperti yang tadi
hampir mencelakai dua perempuan itu menancap di kening dan lehernya. Muka serta
dada nenek sang juru nikah ini bersimbah darah mengerikan. Dalam keadaan begitu
rupa, tiba-tiba di luar sana terdengar suara tawa aneh, seolah keluar dari
liang jurang yang dalam.
“Dua perempuan tolol! Aku
sudah melarang kalian untuk menyelidik perihal anak dan menantuku! Kalian
mengabaikan! Kini kalian muncul di tempat ini, membunuh nenek juru nikah
bernama Lamahila itu!”
“Siapa kau?!” teriak
Luhsantini.
“Kami tidak membunuh! Nenek
ini sudah jadi mayat pada saat kami masuk ke dalam rumah!” berteriak Luhcinta.
Kembali di luar sana menggema
suara tawa. “Jangan berdusta! Aku melihat sendiri kalian berdua melemparkan
masing-masing sebilah pisau ke arah Lamahila. Satu menancap di kening. Satu
menembus lehernya! Kalian masih hendak berdusta?!”
“Tuduhan busuk dan keji!”
teriak Luhcinta.
“Kau berani bicara tak berani
ujukkan muka!”
“Biarlah aku jadi orang
pengecut! Kalian berdua memang orang-orang gagah berani. Berarti kalian juga
harus berani mempertanggungjawabkan pembunuhan atas diri Lamahila! Aku akan
segera menyebar kabar ke suluruh Negeri Latanahsilam! Ha… ha… ha!”
“Jahanam kurang ajar! Makhluk
di luar sana sengaja menjebak dan memfitnah kita!” kata Luhsantini.
“Suaranya datang dari samping
rumah sebelah kanan!”
bisik Luhcinta. Dia memberi
isyarat pada Luhsantini. “Kau terus layani dia bicara. Aku akan naik ke atas
atap dan menghantamnya dari sana!” Begitu habis bicara Luhcinta melesat ke atas
atap rumah lewat bagian yang jebol. Di dalam rumah Luhsantini kembali
berteriak. “Makhluk pengecut! Walau kau tidak berani unjukkan muka tapi dari
suaramu aku sudah bisa menduga siapa kau adanya!”
“Hebat! Dugaan tidak ada
artinya dibanding dengan kenyataan yang akan aku sebar luaskan di Negeri
Latanahsilam. Dua perempuan bernama Luhcinta dan Luhsantini membunuh Lamahila.
Marah besar karena nenek itu telah menikahkan pemuda asing bernama Wiro dengan
seorang gadis! Ha… ha… ha! Cemburu dan keputus-asaan memang bisa merubah
seseorang menjadi pembunuh tanpa perasaan! Ha… ha… ha!”
Sementara di dalam rumah
Luhsantini terus berusaha melayani ucapan-ucapan orang di luar sana, di atas
atap Luhcinta sudah mengetahui di mana kira-kira beradanya orang yang bicara
dengan suara menggema aneh itu. Tak menunggu lebih lama dia lepaskan satu
pukulan bertenaga dalam tinggi ke balik serumpun semak belukar. Dia sengaja
melepaskan pukulan yang disebut Tangan Dewa Merajam Bumi. Dengan pukulan ini
lawan bukan saja bisa cidera berat tapi serta merta menjadi lumpuh dan tak bisa
melarikan diri lagi. Semak belukar rambas bertaburan. Di dalam gelap terdengar
suara orang mengeluh.
“Kena!” teriak Luhcinta.
Dinding di samping kanan rumah Lamahila jebol. Sosok Luhsantini melesat keluar.
Perempuan ini rupanya tak
sabar untuk keluar dari rumah lewat atap. Dia langsung menghantam jebol dinding
bangunan lalu menerobos keluar.
“Luhcinta! Di sebelah sini!
Aku melihat ada sosok melarikan diri di sebelah sini!” teriak Luhsantini seraya
menghambur ke arah kegelapan. Dari atas atap, masih di bawah hujan lebat
Luhcinta melayang turun sambil kembali menghantam ke arah yang ditunjukkan
Luhsantini.
Luhsantini sendiri telah
mendahului pula dengan satu pukulan ganas. Dua pukulan sakti melanda bukit
kecil itu. Tiba-tiba dari arah yang menjadi sasaran hantaman dua perempuan itu
berkiblat dua jalur lidah api! Menyambar ke arah Luhsantini dan Luhcinta.
Karena datangnya lidah api ini lebih cepat dari pukulan tangan kosong yang
mereka lepaskan, baik Luhcinta maupun Luhsantini terpaksa menyingkir selamatkan
diri. Ketika mereka hendak mengejar kembali mereka tidak menemukan siapa-siapa.
Luhcinta usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Bisa kau menduga siapa orang
yang melarikan diri itu?” tanya Luhcinta.
“Suaranya sama dengan suara
orang yang mengancam dan menghancurkan goa beberapa waktu lalu… Kita harus
bertindak cepat sebelum tersiar fitnah di Negeri Latanahsilam bahwa kita telah
membunuh Lamahila.”
“Kita tidak berbuat, mengapa
harus takut?!” ujar Luhcinta pula.
“Aku ingat sesuatu,” kata
Luhsantini. “Lamahila punya seorang pembantu. Namanya Laduliu. Dia pasti tahu
apa yang berlangsung di Bukit Batu Kawin. Dia pasti tahu siapa adanya
Luhrembulan!”
“Kau tahu tempat kediaman
orang itu?” tanya Luhcinta.
“Ikuti aku! Tempatnya cukup
jauh. Mungkin menjelang dinihari kita baru sampai di sana.”
“Kita harus bertindak cepat
Luhsantini, Aku khawatir pembantu bernama Ladului itu tengah terancam pula
nyawanya!”
Dalam gelapnya malam dan
lebatnya hujan, dua perempuan itu berkelebat lenyap meninggalkan bukit kecil.
Apa yang diduga Luhcinta ternyata memang betul. Ketika bersama Luhsantini dia
sampai ke tempat kediaman Ladului di kaki timur Bukit Batu Kawin, orang itu
mereka temui dalam keadaan tak bernyawa lagi. Laduliu menemui ajal dengan cara
sama seperti dialami Lamahila. Dua buah pisau menancap di leher dan dada tepat
jantungnya!
“Kejam sekali! Aku bersumpah
mencari sampai dapat siapa pembunuh keji itu!” kata Luhcinta sambil kepalkan
jari-jari tangannya.
Luhsantini melangkah ke pintu.
Namun dia berpaling kembali, memperhatikan mayat Laduliu.
“Ada apa Luhsantini?” tanya
Luhcinta.
“Tunggu dulu. Mayat ini. Aku
mau memeriksa sekali lagi…” jawab Luhsantini. Lalu perempuan ini berbalik dan
jongkok di samping mayat Laduliu. Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat
wajah dan sosok mayat. “Ini bukan Laduliu!” kata Luhsantini sesaat kemudian.
“Aku ingat betul. Pembantu Lamahila bernama Laduliu itu bertubuh agak kurus,
sudah tua. Yang mati ini bertubuh agak gemuk dan masih muda…”
Paras Luhcinta berubah.
Seberkas harapan muncul dalam hatinya. “Berarti… Jangan-jangan si pembunuh
telah kesalahan tangan. Salah sasaran. Dia menemui orang ini di dalam rumah,
mengiranya Laduliu lalu membunuhnya…”
“Jalan pikiranmu sama
denganku!” kata Luhsantini.
“Berarti kita masih ada
kesempatan. Mencari Laduliu!”
Luhcinta pegang tangan
kerabatnya itu lalu menariknya.
“Kita harus bertindak cepat…”
katanya. Kedua perempuan itu segera tinggalkan tempat tersebut.
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
HANTU Selaksa Angin lari
sekencang yang bisa dilakukannya. Saking cepatnya dia berlalu hanya kelebatan
warna kuning jubahnya saja yang kelihatan. Setelah mendengar percakapan Hantu
Langit Terjungkir dengan Si Penolong Budiman nenek ini dengan perasaan hati
penuh gembira meninggalkan telaga, lari menuju kawasan pantai selatan di mana
terletak Teluk Labuntusamudera. Di teluk ini terdapat sebuah goa. Seperti
diceritakan sebelumnya di dalam goa inilah si nenek selalu menemui gurunya,
suatu makhluk tanpa ujud bernama Sang Datuk yang hanya dikenal lewat suaranya
saja.
“Lasedayu! Lasedayu! Aku mau
kawin! aku mau kawin dengan kakek itu! Hik… hik… hik…! Bagaimana rasanya kawin!
Apa aku pernah kawin sebelumnya? Aku tak ingat Tapi hik… hik! Pantatku rasanya
jadi gatal!”
Ketika matahari mulai condong
ke barat, sepasang telinga Hantu Selaksa Angin mulai mendengar deru ombak di
kejauhan. Hatinya gembira. Debur ombak yang terdengar pertanda dia sudah dekat
ke tempat tujuan. Agar lebih cepat sampai di goa, Hantu Selaksa Angin sengaja
menempuh jalan setapak, memintas langsung tanpa harus berputar mengikuti teluk.
Selagi berlari kencang dengan
perasaan penuh suka cita tiba-tiba si nenek kerenyitkan kening. Di jalan
setapak yang lurus dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana ada seorang
kakek mengenakan jubah coklat gelap, berkepala agak botak. Kumis, janggut dan
alis putih. Kakek ini duduk menjelepok seenaknya di tengah jalan. Sepasang
matanya terpejam-pejam. Tangan kirinya memegang sebatang pipa berwarna kuning
yang asyik disedotnya sampai pipinya terkempot-kempot. Asap tembakau yang
menebar bau harum aneh mengepul dari ujung pipa kuning. Ketika Hantu Selaksa
Angin sampai di hadapan si kakek, karena jalan setapak itu kecil dan sempit
dengan sendirinya dia tidak bisa terus lewat dan terpaksa berhenti. Berdiri
sedekat itu Hantu Selaksa Angin jadi berdebar dadanya. Pipa kuning si kakek tak
dikenal ternyata terbuat dari emas murni! Hati si nenek jadi tergerak. Seperti
diketahui nenek satu ini sangat suka pada setiap benda berwarna kuning, apalagi
yang terbuat dari emas. Sampai saat itu di lehernya masih tergantung kalung
sendok emas sakti yang pernah dirampasnya dari tangan Lakasipo sewaktu hendak
diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir.
“Pipa dari emas. Wahai
bagusnya! Siapa gerangan adanya kakek beralis putih ini?” membatin Hantu
Selaksa Angin. Diam-diam hatinya mulai tergoda ingin memiliki pipa emas itu.
Namun begitu dia ingat Lasedayu yang ingin mengawininya itu, si nenek serta
merta menegur.
“Makhluk tolol! Mengapa
melintang di tengah jalan! Aku mau lewat! Harap beri jalan!”
Kakek beralis putih yang duduk
di jalan setapak sedot pipanya dalam-dalam sampai dua pipinya menjadi kempot
lalu hembuskan asap tembakau dari mulut dan hidungnya. Bau harum aneh tembakau
menebar ke mana-mana. Perlahan-lahan si kakek buka dua matanya. Dua mata ini
tidak segera memandang ke arah si nenek, tapi mendongak dulu ke arah langit.
Lalu dari mulutnya yang ompong keluar suara tawa berderai, lama dan panjang.
Dia tertawa seperti dibarengi satu perasaan mendalam hingga dari sudut-sudut
matanya meleleh air mata.
“Tujuh hari tujuh malam
menunggu! Ternyata tidak siasia!
Akhirnya orang yang aku tunggu
datang juga!” Ucapan itu keluar dari mulut kakek berjubah coklat tua.
“Kakek tolol! Tujuh hari tujuh
malam kau menunggu! Menunggu siapa?! Ayo lekas menyingkir atau mau kuinjak
kepalamu yang botak!”
Si kakek yang duduk di tanah
cabut pipanya dari sela bibir, memutar bola matanya menatap ke arah si nenek
sambil hembuskan lagi asap tembakau dari mulutnya. Lalu dalam keadaan masih
duduk dia bungkukkan badan memberi hormat.
“Tujuh hari tujuh malam
menunggu. Siapa lagi kalau bukan menunggu dirimu wahai nenek agung berwajah
kuning! Nenek tercantik di kawasan Negeri Latanahsilam! Hatiku senang, hatiku
puas! Jerih payahku menunggu saat ini telah terbayar! Aku mengucapkan selamat
datang dan selamat bertemu denganmu wahai Hantu Selaksa Angin alias Hantu
Selaksa Kentut!”
Butt prett!
Si nenek pancarkan kentutnya.
Setelah pandangi si kakek dengan sepasang matanya yang kuning, dia berkata.
“Baru sekali bertemu kau sudah
memuji! Pujianmu membuat aku curiga! Siapa kau adanya kakek alis putih! Mengapa
berani menghadang jalanku! Apa keperluanmu sengaja menunggu aku di tempat ini
sampai tujuh hari tujuh malam!”
Si kakek alis putih kembali
membungkuk.
“Aku yang rendah bukan orang
terkenal seperti dirimu. Hingga kalaupun kusebutkan siapa diriku kau pasti
tidak tahu…”
“Kau tak perlu bicara panjang
lebar. Katakan saja siapa namamu apa keperluanmu! Kalau kau terlalu banyak
bicara akan kusumpal mulutmu dengan kentutku!”
“Maafkan diriku wahai Hantu
Selaksa Angin. Orang hebat sepertimu tentu banyak kepentingan, banyak urusan.
Aku harus tahu diri, tak boleh mengganggu terlalu lama. Wahai, jika kau ingin
tahu namaku, panggil saja diriku yang rendah ini Hantu Berpipa Emas!”
“Hantu Berpipa Emas! Tak
pernah aku dengar nama itu sebelumnya!” kata si nenek sambil cibirkan mulut.
“Itulah! Sudah kukatakan tadi,
aku bukan orang terkenal seperti dirimu…”
Dalam hati si nenek berkata.
“Kau bisa saja bukan orang terkenal. Tapi aku dapat mengukur. Kau memiliki ilmu
kepandaian tinggi di balik sikapmu yang penuh hormat dan pandai bicara!”
“Kau sudah menyebut siapa
dirimu! Sekarang katakan apa keperluanmu menghadang diriku di tengah jalan
begini rupa!”
“Maafkan diriku! Aku bukan
menghadangmu wahai Hantu Selaksa Angin. Aku menunggumu di sini. Tujuh hari
tujuh malam penuh sabar. Aku menunggumu karena hendak menyerahkan satu barang
sangat berguna!”
“Barang apa?!” tanya si nenek.
Hantu Berpipa Emas cabut
pipanya dari mulut lalu mengetuk-ngetukkan pipa ini ke pahanya hingga tembakau
yang menyala jatuh ke tanah. Ujung pipa ditiup-tiupnya beberapa kali sampai
bersih, lalu badan pipa emas itu disekanya dengan ujung jubahnya hingga
berkilat-kilat. Setelah membersihkan, pipa itu diangsurkannya ke arah si nenek.
“Pipa emas ini. Benda inilah
yang akan kuserahkan padamu! Harap kau sudi menerima dengan hati gembira karena
aku menyerahkan dengan hati ikhlas!”
Walau setengah tak percaya
bakal mendapat rezeki besar seperti itu si nenek sambil tersenyum ulurkan
tangannya hendak mengambil pipa. Namun sebelum sempat jari tangannya menyentuh
pipa emas itu si kakek alis putih tiba-tiba menarik pipa.
“Kurang ajar! Kau
mempermainkan aku!” bentak si nenek gusar.
“Harap maafkan diriku yang
rendah wahai Hantu Selaksa Angin,” kata si kakek alis putih sambil membungkuk.
“Siapa berani mempermainkanmu. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu terlebih dulu
sebelum menyerahkan pipa emas ini padamu…”
“Mengatakan apa?!” sentak
Hantu Selaksa Angin jadi tak sabaran.
“Maksudku begini… Pipa ini
jelas-jelas dan pasti akan kuserahkan padamu. Tapi sebagai gantinya aku minta
sesuatu darimu. Pasti kau tidak keberatan dan setuju saja…”
“Kau minta ganti sesuatu?
Sesuatu apa?” tanya si nenek.
“Aku tahu, di balik dada
pakaianmu tergantung sebuah sendok emas. Kalungmu sudah begitu banyak. Sendok
buruk yang satu itu tentu tak ada harganya bagimu. Ini terimalah pipa emasku.
Berikan padaku sendok emas itu…”
Hantu Selaksa Angin tak segera
menjawab. Tangan kirinya meraba ke dada di mana tergantung sendok emas yang
disebut Sendok Pemasung Nasib. Kebimbangan terlihat di wajahnya yang kuning.
Melihat ini Hantu Berpipa Emas segera membuka mulut.
“Apa yang kau bimbangkan.
Sendok butut yang ada padamu walau terbuat dari emas tak ada artinya dengan
pipa ini. Pipa emas ini belasan kali lebih berat dari sendok itu. Jika kau
gantung di lehermu, kau akan kelihatan lebih gagah dan agung! Apa kau tidak
suka pada pipa emas ini?”
“Aku suka, tapi sendok yang
kau minta tak bisa kuberikan!”
“Wahai, mengapa begitu?”
“Sendok itu sudah kujanjikan
pada seseorang yang pernah menolongku!”
Hantu Berpipa Emas kembali
perdengarkan tawa berderai sampai air matanya membasahi sudut-sudut matanya.
“Janji masa sekarang setipis
kabut di pagi hari. Begitu mentari muncul kabutpun hilang! Janji masa sekarang
sulit dipertahankan, apalagi kalau kita memiliki kepentingan dan pilihan lebih
utama. Aku tahu, bukankah sendok emas itu hendak kau berikan pada seorang
pemuda asing bernama Wiro Sableng?!”
Terkejut si nenek mendengar
kata-kata Hantu Berpipa Emas itu. “Bagaimana kau bisa tahu?!”
“Tak ada gunanya sendok itu
kau berikan pada pemuda asing itu wahai Nenek Selaksa Angin. Lagipula pemuda
itu entah berada di mana sekarang. Mungkin juga sudah menemui ajal karena
banyak pihak yang ingin merenggut nyawanya! Bukankah dia yang selama ini
dikabarkan berbuat mesum di mana-mana?!”
Kebimbangan semakin nampak di
wajah si nenek. Si alis putih kembali mengipas. “Sendok itu selama ini hanya
bisa kau jadikan sebagai hiasan tak berguna. Tapi kalau kau memiliki pipa ini,
lihat apa yang bakal dapat kau lakukan!” Habis berkata begitu si kakek kerahkan
tenaga dalamnya lalu hantamkan pipa kuning ke arah sebuah batu besar yang
terletak sekitar tiga tombak di sebelah sana.
Wusss!
Selarik sinar kuning
berkiblat.
Byaaarr!
Batu besar di sebelah sana mengeluarkan
suara seperti hancur tapi tetap terlihat utuh tak bergerak. Namun ketika si
kakek meniup ke depan, batu besar itu berubah menjadi debu dan beterbangan ke
udara!
Sementara Hantu Selaksa Angin
terkejut dan terbelalak, Hantu Berpipa Emas tergelak-gelak sampai kucurkan air
mata.
“Hantu Selaksa Angin, harap
maafkan diriku yang rendah. Jangan anggap aku sengaja membanggakan ilmu
kepandaian padamu. Aku hanya sekedar ingin memperlihatkan bahwa pipa emas ini
jauh lebih berharga daripada sendok butut itu!”
Si nenek tak dapat lagi
menahan dorongan hatinya. Segera saja dia tanggalkan Sendok Pemasung Nasib dan
menyerahkannya pada si kakek. Padahal sendok sakti ini adalah satu-satunya
benda yang bisa mengembalikan kesaktian Hantu Langit Terjungkir serta
membuatnya bisa berdiri secara wajar kaki di bawah kepala di atas. Pada ujung
sendok emas itu masih melekat pusar Hantu Langit Terjungkir yang dulu dicungkil
oleh Hantu Muka Dua. Pusar itu kini seperti telah membatu, kotor tertutup debu
tebal. Begitu sendok diangsurkan ke arahnya, Hantu. Berpipa Emas langsung
menyambar. Lalu sambil membungkuk dia mengucapkan terima kasih berulang kali.
“Aku sudah memberikan sendok
yang kau minta! Sekarang lekas serahkan pipa emas itu!” kata si nenek seraya
ulurkan tangannya, siap untuk mengambil.
“Wahai! Aku sampai terlupa!”
kata si kakek. Perlahanlahan dia bangkit berdiri. Astaga! Ternyata kakek ini
memiliki tubuh jangkung luar biasa. Sosoknya sampai satu setengah kali tinggi
si nenek hingga Hantu Selaksa Angin terpaksa memandang mendongak padanya.
“Hantu Selaksa Angin, aku siap
menyerahkan benda yang kau minta!” berucap si kakek. Lalu dia ulurkan tangannya
yang memegang pipa emas. Hanya sesaat lagi si nenek akan menyentuh pipa itu,
tiba-tiba Hantu Berpipa Emas gerakkan tangan kanannya. Cahaya kuning
berkelebat. Ujung pipa menyambar ke kepala Hantu Selaksa Angin.
Praakkk!
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
HANTU Selaksa Angin menjerit
keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak, tergeletak di jalan setapak. Ketika
dia mencoba bangkit kelihatan luka besar menguak di keningnya. Mukanya yang
kuning bersimbah darah. Baru saja nenek ini mampu berlutut di tanah, Hantu
Berpipa Emas sudah melompat ke hadapannya dan tertawa bergelak.
“Nenek tolol! Ilmumu boleh
setinggi langit tapi otakmu ternyata sedangkal kubangan! Ha… ha… ha!”
“Kau menipuku! Keparat
jahanam! Kau menipuku! Kau menyerangku secara pengecut! Kau bakal merasakan
pembalasanku!”
“Kau tak akan punya kesempatan
membalas dendam nenek tolol! Karena aku akan menghabisi riwayatmu saat ini
juga!”
Sekujur tubuh Hantu Selaksa
Angin bergetar dilanda hawa amarah. Dua tangannya dinaikkan ke dada, jari-jari
yang terkepal dibuka. Dua larik sinar kuning yang kemudian berubah menjadi
putih memancar pada dua tangan si nenek. Bau harumnya setanggi menyambar
hidung. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat dingin.
“Ha… ha… ha! Kau hendak
keluarkan Pukulan Salju Putih Latinggimeru! Aku mau lihat sampai di mana
kehebatan ilmu kesaktian itu. Tapi harap kau terima dulu hadiah dariku!” Kakek
alis putih tertawa bergelak. Lalu wuuutt! Kaki kanannya menderu ke dada orang.
Kalau tadi darah mengucur keluar dari luka di kening si nenek maka kini darah
menyembur dari mulutnya akibat tendangan jarak dekat itu. Untuk kedua kalinya
Hantu Selaksa Angin terkapar di tanah, menggeliat-geliat keluarkan erangan
panjang dan megap-megap sulit bernafas.
“Nenek tolol, mana kentutmu!
Aku mau dengar kentutmu yang butt preett itu!” ejek Hantu Berpipa Emas. Tangan
kanan memegang pipa emas, tangan kiri memegang Sendok Pemasung Nasib.
Dalam keadaan setengah sekarat
Hantu Selaksa Angin melapat aji kesaktian untuk merubah dirinya menjadi
kepompong. Namun Hantu Berpipa Emas tidak memberi kesempatan. Dengan pipa emas
di tangan kanannya kembali dia menghantam kepala si nenek. Yang jadi sasaran
kali ini adalah bagian belakang kepala di atas telinga kanan di mana ada cacat
bekas luka lama. Untuk kesekian kalinya Hantu Selaksa Angin terpental. Terkapar
di tanah. Dua sunting yang menancap di kepalanya hancur. Rambutnya yang kuning
berubah menjadi merah oleh kucuran darah dari luka besar hantaman pipa emas.
“Aku tak ingin mati… Aku tak
mau mati! Aku akan kawin! Lasedayu… Guru… Aku harus menemui Guru…”
kata-kata itu keluar dari
mulut si nenek. Dia kumpulkan seluruh sisa tenaga yang ada dan berusaha bangkit
berdiri.
“Sudah mau mampus masih
sempat-sempatnya mengigau!” kata Hantu Berpipa Emas lalu tertawa gelakgelak.
Dia sisipkan pipa emasnya ke
pinggang. Lalu pindahkan Sendok Pemasung Nasib ke tangan kanan. Begitu Hantu
Selaksa Angin mencoba berdiri, Hantu Berpipa Emas tusukkan sendok emas ke
tenggorokan si nenek!
Pada saat itulah tiba-tiba
menggelegar satu suitan keras. Disusul berkiblatanya sinar putih menyilaukan.
Hawa panas tiba-tiba menghampar laksana matahari terik berada satu jengkal di
atas kepala. Serentak dengan itu suara aneh seperti seribu tawon mengamuk
terdengar menyakitkan telinga.
Craaassss!
Hantu Berpipa Emas keluarkan
jeritan setinggi langit. Tubuhnya terlempar dua tombak lalu bergulingan di
tanah. Darah membersit ke mana-mana. Di udara tampak melayang dua buah benda.
Yang pertama adalah potongan tangan kanan Hantu Berpipa Emas. Benda kedua
adalah sendok emas yang tadi hendak dicucukkan kakek itu ke leher Hantu Selaksa
Angin!
Satu bayangan putih berkelebat
ke udara, dengan cepat menyambar sendok emas. Lalu dengan gerakan jungkir balik
dua kali berturut-turut bayangan putih itu melayang turun ke tanah. Tepat di
samping Hantu Selaksa Angin yang saat itu megap-megap berusaha keras mencoba
berdiri. Tapi roboh kembali. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, bayangan putih
tadi cepat merangkul pinggangnya.
“Nek, bertahanlah! Aku akan
menolongmu!”
Hantu Selaksa Angin masih bisa
membuka matanya untuk melihat siapa yang menolong dirinya. “Kau…”
katanya perlahan lalu butt
prett. Sehabis pancarkan kentutnya si nenek langsung pingsan. Orang yang
menolongnya cepat melakukan totokan pada beberapa jalan darah si nenek. Darah
yang mengucur dari kepala dan meleleh dari mulut Hantu Selaksa Angin serta
merta berhenti. Sambil memanggul sosok si nenek, si penolong memutar tubuh ke
arah Hantu Berpipa Emas yang saat itu jatuh berlutut di tanah sambil pegangi
tangan kanannya yang buntung dan masih terus mengucurkan darah. Dalam menahan
sakit, matanya berkilat-kilat memandang ke arah orang yang tadi menyerang dan
membabat putus tangan kanannya.
“Kapak bermata dua…” desis
Hantu Berpipa Emas.
“Pasti dia pemuda asing yang
dikatakan Hantu Muka Dua…” Hantu Berpipa Emas kumpulkan seluruh kekuatannya.
Dia sanggup berdiri namun sekujur tubuhnya saat itu terasa seperti dipanggang.
Ujung tangannya yang buntung hangus kehitaman.
“Aku keracunan. Kapak bermata
dua itu pasti mengandung racun jahat! Celaka!” Hantu Berpipa Emas menggembor
keras lalu balikkan tubuhnya. Terhuyunghuyung kakek ini lari sekencang yang
bisa dilakukannya. Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. Dia putar Kapak Naga
Geni 212 di tangan kanannya lalu meniup. Darah Hantu Berpipa Emas yang tadi
masih menempel di mata kapak serta merta sirna.
“Sebentar lagi sore akan
memasuki senja. Ke-mana harus kubawa nenek tukang kentut ini!” Wiro memandang
berkeliling sambil berpikir-pikir.
Tiba-tiba secara aneh, seolah
mengetahui apa yang dipikirkan Wiro, si nenek buka matanya sedikit. Dari
mulutnya keluar suara perlahan. “Berjalan ter… terus ke arah kiri. Di balik
seder… sederetan pohon kelapa yang tumbuh rapat. Ada satu goa. Bawa aku masuk
ke sana… Aku mau kawin! Aku harus bertemu Guru memberitahu!”
“Nek, kau mengigau atau
bagaimana?!” tanya Wiro.
Namun si nenek hanya menjawab
dengan kentut satu kali lalu pingsan kembali!
“Tua bangka geblek! Sudah mau
mati masih juga bisa kentut!” kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia masukkan
senjatanya ke balik baju putih, simpan Sendok Pemasung Nasib di balik pinggang.
Lalu seperti yang dikatakan si nenek dia segera berlari cepat ke arah kiri. Tak
lama berlari Wiro temukan goa yang dikatakan si nenek. Tanpa ragu-ragu dia
segera masuk. Di dalam goa yang sejuk itu Wiro bujurkan sosok Hantu Selaksa
Angin di atas lantai.
Baru saja sosok si nenek
terbaring tiba-tiba di atas langit-langit goa yang berbentuk kerucut kelihatan
satu cahaya putih berkilat. Bersamaan dengan itu entah dari mana datangnya, di
atas lantai goa jatuh dua buah benda. Ketika diperhatikan ternyata daun pisang
yang dilipat-lipat.
“Aneh, tak ada orang lain di
goa ini. Satu-satunya jalan masuk adalah pintu goa sebelah sana. Bagaimana dua
bungkus daun pisang itu bisa berada di dalam goa? Siapa yang melemparkan?
Jangan-jangan goa ini goa siluman! Jangan-jangan si nenek tadi hanya mengigau
menyuruh aku membawanya ke tempat ini!”
Baru saja murid Sinto Gendeng
berkata dalam hati seperti itu, mendadak cahaya aneh di langit-langit goa
menyala lebih terang. Lalu berkumandang satu suara halus.
“Anak muda berbudi baik. Lekas
kau ambil dan bungkus daun pisang di atas lantai…”
Wiro tersentak kaget. Dia
memandang seputar ruangan. Berpaling ke mulut goa. Dia tak melihat siapa-siapa.
“Anak muda, lekas lakukan apa
yang aku katakan!”
“Siapa kau?!” Wiro bertanya
sambil kembali memandang berkeliling.
“Siapa diriku nanti ada yang
bakal menerangkan. Sekarang lekas lakukan apa yang aku katakan. Dalam bungkusan
daun pisang sebelah kanan ada sejenis bubuk putih. Masukkan bubuk itu ke dalam
mulut Hantu Selaksa Angin. Buat agar dia bisa menelan seluruh bubuk. Kalau
sudah, ambil bungkusan daun pisang kedua. Tebarkan bubuk hitam dalam bungkusan
itu ke semua luka yang ada di dada dan kepala Hantu Selaksa Angin. Aku
berterima kasih padamu wahai anak muda!”
“Sunyi, yang bicara tadi itu
apa sudah meninggalkan goa ini atau bagaimana?” pikir Wiro sambil garuk-garuk
kepala. Dia ingat pada ucapan makhluk tanpa ujud tadi. Wiro segera mengambil
bungkusan daun pisang di lantai sebelah kanan. Begitu dibukanya bungkusan itu
memang berisi bubuk putih. Dengan cepat bubuk itu dimasukkannya ke dalam mulut
si nenek. Lalu dengan satu totokan perlahan, lidah si nenek yang tadinya kelu
bergerak demikian rupa hingga seluruh bubuk yang ada dalam mulutnya masuk ke
dalam tenggorokan.
Wiro mengambil bungkusan daun
pisang kedua. Di dalam bungkusan daun pisang ini ditemuinya bubuk hitam. Sesuai
ucapan makhluk tanpa ujud tadi murid Sinto Gendeng tebarkan bubuk itu pada
kening, kepala bagian belakang serta dada Hantu Selaksa Angin yang cidera berat
akibat keganasan kakek bernama Hantu Berpipa Emas yang kini telah melarikan
diri. Dengan ujung jubah kuning yang dikenakan si nenek Wiro bersihkan
noda-noda darah di muka dan kepala Hantu Selaksa Angin. Sambil menunggu apa
yang bakal terjadi dengan si nenek, Pendekar 212 perhatikan seputar ruangan goa
berbentuk empat persegi itu. Beberapa kali dia mendongak memperhatikan
langit-langit goa berbentuk kerucut. Pada ujung kerucut dia melihat satu titik
putih, bersinar seperti permata.
“Goa aneh. Udara di sini
terasa sejuk. Apakah ini tempat kediaman nenek tukang kentut ini? Sombong amat
dia punya goa sebagus ini!” kata Wiro dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya sosok si
nenek menggeliat. Lalu ada suara erangan halus. Wiro membungkuk dan tepuk-tepuk
pipi kanan Hantu Selaksa Angin.
“Nek, sadar Nek. Nek…!”
Namun nenek itu tidak segera
siuman. Wiro garuk kepalanya. “Mungkin harus kubantu dengan tenaga dalam dan
kapak sakti.” Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya kapak
memantul ke dinding dan atap goa. Ketika bertemu dengan titik putih di langit-langit
goa, titik putih memancarkan cahaya terang, menyambar ke arah kapak. Begitu
menyentuh mata kapak, cahaya terang itu berpijar terang dan memecah menjadi
empat lalu setiap pecahan melesat ke arah empat sudut atap goa. Saat itu juga
tempat itu menjadi terang benderang.
“Apa yang terjadi?!” ujar Wiro
terheran-heran seraya pandangi empat titik bercahaya terang di empat sudut atas
goa. Saat itu tiba-tiba menggema satu suara yang sulit diduga oleh Wiro dari
arah mana datangnya karena suara itu seolah datang dari empat sudut goa.
“Anak muda, sinar jati diriku
mampu bersatu dengan cahaya sakti senjatamu! Itu satu pertanda kita saling
berjodoh!”
Murid Sinto Gendeng tersentak
kaget. “Yang bicara ini lelaki atau perempuan?” pikir Wiro. “Makhluk tanpa ujud
itu menyebut-nyebut soal jodoh. Jangan-jangan dia minta kawin dengan aku!
Celaka!”
“Orang yang barusan bicara!
Siapa kau? Apakah aku bisa melihat dirimu?!”
“Anak muda, teruskan dulu
usahamu menolong muridku. Nanti kita bicara lagi,” jawab suara yang orangnya
tidak kelihatan itu.
“Aneh… benar-benar aneh,”
membatin Wiro. Lalu dia letakkan dua tangannya di atas mata kapak.
Perlahanlahan dia mulai kerahkan tenaga dalam dari perut, naik ke dada lalu
disalurkan pada dua tangannya. Begitu tenaga dalam memasuki kapak dan mengalir
ke dalam dada si nenek, sosok Hantu Selaksa Angin tersentak keras. Dari
mulutnya keluar suara erangan panjang. Lalu begitu suara erangan lenyap, dari
bagian bawah tubuh si nenek memancarkan kentut. Kali ini tidak seperti
biasanya, kentut si nenek panjang bertalu-talu seolah-olah tidak ada
putus-putusnya dan menebar bau busuk sekali.
“Sialan! Bisa tanggal
hidungku!” maki Wiro. Dia segera ambil kapaknya, menghambur keluar goa dan
meludahludah berulang kali sambil gosok-gosok hidungnya. Tak selang berapa lama
di dalam goa terdengar suara dari orang tanpa ujud tadi.
“Anak muda, kau telah
menyembuhkan muridku! Aku berterima kasih padamu. Sekarang masuklah kembali ke
dalam goa!”
Sambil menekap hidungnya
karena khawatir tempat itu masih dipenuhi bau kentut busuk, Wiro masuk ke dalam
goa. Begitu masuk dilihatnya nenek muka kuning telah duduk di lantai, bersandar
ke dinding, memandang ke arahnya. Si nenek tersenyum padanya. Tapi ketika
melihat Wiro menekap hidungnya dia langsung bertanya.
“Mengapa kau masuk sambil
memencet hidung! Memangnya aku atau tempat ini bau?”
“Tadi memang bau Nek. Kentutmu
membuncah tempat ini! Hidungku seperti disambar petir!”
“Kentutku tak pernah bau! Saat
ini aku tidak mencium bau apa-apa! Jangan kau mengada-ada…!”
“Tadi Nek, waktu aku
menolongmu. Mungkin sekarang baunya sudah hilang!” kata Wiro pula lalu lepaskan
jarinya yang dipakai memencet hidung. “Benar Nek, sekarang bau kentut busuknya
sudah hilang!”
Hantu Selaksa Angin tertawa
cekikikan.
“Nek, tadi ada orang bicara di
tempat ini. Ada suara tapi orangnya tidak kelihatan…”
“Tunggu!” si nenek memotong.
“Tadi kau bilang menolongku. Menolong apa?”
Belum sempat Wiro menerangkan
tiba-tiba suara tanpa ujud memenuhi seantero goa.
“Muridku Hantu Selaksa Angin,
pemuda itu telah menyelamatkan jiwamu. Dia membawamu ke tempat ini dalam
keadaan sekarat bersimbah darah… Apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya?”
Hantu Selaksa Angin tampak
kaget “Guru aku…” Si nenek perhatikan pakaiannya. Dua tangannya, lalu mengusap
muka dan meraba rambutnya. Lalu ditariknya belasan kalung yang bergelantungan
di lehernya. Matanya memperhatikan gelang-gelang kuning di kedua tangannya.
Kemudian satu-satunya sunting kuning yang masih melekat di kepalanya
dicabutnya. Dia memandang berkeliling lalu menatap ke langit-langit goa. “Datuk
Tanpa Bentuk Tanpa Ujud! Apa yang terjadi dengan diriku…?!”
“Wahai, apa maksud
pertanyaanmu itu, muridku?”
“Jubah kuning ini, sunting
kuning, gelang kuning, kalung-kalung kuning. Kulit tanganku. Bahkan rambutku!
Semua berwarna kuning! Mengapa aku berdandan seperti ini?! Apa yang terjadi
dengan diriku!”
“Muridku, sesuatu agaknya
telah terjadi dengan dirimu. Suaramupun kini terdengar berubah! Wahai para Dewa
jika ini benar-benar terjadi aku bersimpuh di hadapanmu menghaturkan rasa
terima kasih atas rakhmatmu…”
“Guru…”
“Muridku, selama ini kau
menyebut dirimu Hantu Selaksa Angin, terkadang Hantu Selaksa Kentut. Kau juga
acap kali memakai nama Luhkentut! Jika rakhmat penyembuhan dari para Dewa telah
menjadi bagianmu, aku bertanya sekarang. Apakah kau ingat siapa namamu
sebenarnya?”
“Namaku sebenarnya?” ujar
Hantu Selaksa Angin. “Kau bergurau Guru. Masakan aku tidak ingat namaku
sendiri. Aku Luhpingitan…”
“Muridku! Dewa telah
memberikan kesembuhan padamu! Ingatanmu telah pulih kembali! Wahai! Bagaimana
keajaiban ini bisa terjadi?! Muridku, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan
lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kesembuhan benar-benar telah kau alami!”
“Aku tidak mengeri Guru…” ujar
si nenek. Dia berpaling pada Wiro dan bertanya. “Kau mengerti?” Murid Sinto
Gendeng menggaruk lalu gelengkan kepala.
“Muridku, aku pernah
menuturkan padamu perihal riwayat pertama kali aku menemui dirimu. Aku akan
mengulanginya kembali. Kau kutemukan pertama kali tergeletak pingsan di muara
sungai Lahulupanjang. Menurut kabar yang aku sirap pada masa itu, di sebelah
utara telah terjadi malapetaka air bah besar. Mungkin sekali kau salah satu
korban yang dihanyutkan banjir tetapi selamat tak sampai menemui ajal. Apakah
kini penuturanku itu bisa mengingatkanmu pada apa yang sebenarnya telah kau
alami puluhan tahun silam?”
Sepasang mata kuning Hantu
Selaksa Angin terbuka lebar, memancarkan sinar aneh. Dia menatap ke
langitlangit kamar, memandang seputar ruangan lalu memperhatikan ke arah mulut
goa. Tiba-tiba nenek ini mulai terisak-isak. Suara isakannya berubah menjadi
tangisan dan berlanjut menjadi ratapan panjang yang menyayat hati.
“Nek, kenapa kau menangis…?”
tanya Wiro heran.
“Muridku… Kau menangis, kau
meratap sedih. Berarti pikiranmu mengingat sesuatu yang terjadi di masa silam.
Katakan padaku muridku. Hentikan tangismu. Ceritakan padaku riwayat masa silam
darimu wahai Luhpingitan…”
“Guru…” Hantu Selaksa Angin
meraba ke bagian belakang kepalanya, di dekat telinga sebelah kanan. “Guru, aku
ingat, bukankah kau pernah mengatakan, ketika kau menemui diriku di muara
sungai, pada bagian belakang kepalaku ini ada satu luka besar akibat benturan
benda keras. Mungkin kepalaku menghantam batu besar sewaktu dihanyutkan banjir.
Siang tadi aku berkelahi melawan seorang mengaku bernama Hantu Berpipa Emas.
Dia hendak merampas sebuah sendok emas…” Si nenek ingat.
Dia segera tanggalkan semua
kalung yang menggelantung di lehernya. Lalu menjerit “Sendok itu! Sendok emas
sakti itu hilang!” Si nenek langsung hendak menggerung.
Wiro cepat keluarkan Sendok
Pemasung Nasib yang ada dalam saku bajunya dan menyerahkannya pada si nenek.
“Sendok yang kau cari itu kebetulan berhasil kurebut kembali dari Hantu Berpipa
Emas…” Wiro letakkan sendok emas itu di pangkuan si nenek.
Luhpingitan lepaskan nafas
lega.
***
Kapak Maut Naga Geni 21212
MURIDKU, barang milikmu yang
hilang ternyata diselamatkan pemuda itu. Lagi-lagi kau berhutang budi besar
padanya. Sekarang teruskan ceritamu…” kata sang guru yang ada suara tapi tidak
menunjukkan ujud itu.
“Hantu Berpipa Emas menghantam
kepalaku sampai dua kali dengan pipanya. Satu kali di kening, satu lagi di
bagian belakang kepala. Tepat di bagian yang dulu pernah cidera akibat benturan
keras! Guru, mungkin hantaman kakek jahat itu tepat di tempat dulu aku
kehilangan ingatan, secara tak sengaja membuat ingatanku kini kembali pulih!”
“Benar muridku. Tapi itu
adalah sebab belaka. Yang Kuasa justru yang menyembuhkan dirimu. Teruskan
ceritamu, Luhpingitan.”
“Seingatku waktu itu memang
terjadi bencana banjir besar di kawasan tempat kediamanku. Penduduk setempat
tidak berdaya melawan keganasan alam. Aku dan empat anakku dihanyutkan banjir…”
Sampai di sini si nenek kembali tak dapat menahan tangis.
“Tabahkan hatimu wahai muridku!
Kuatkan jiwamu! Teruskan kisahmu…”
“Datuk… Guru… Aku dan empat
anakku dihanyutkan banjir besar. Kami terpisah bercerai berai. Sampai saat ini
aku tidak tahu apakah keempat anakku, semuanya lakilaki, selamat dari
malapetaka…” Sampai di sini Luhpingitan tak dapat lagi menahan tangisnya.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa diam termangu mendengar penuturan si
nenek.
Sang guru yang tak berwujud
menunggu sampai tangis muridnya mereda. “Luhpingitan, kau bercerita tentang
empat anakmu. Apakah kau ingat nama-nama mereka?”
“Waktu itu mereka masih
kecil-kecil. Aku dan suamiku masih belum sempat memberi mereka nama…”
“Kau dan suamimu! Wahai, kau
menyebut suamimu. Apakah kau ingat siapa nama suamimu?”
“Tentu aku masih ingat Guru.
Namanya Lasedayu!” Wiro tersentak kaget.
Si nenek kerenyitkan kening.
“Kau kenal pada Lasedayu?”
“Nek, aku pernah bertemu
beberapa kali dengan kakek itu. Dia yang selama ini dikenal dengan nama Hantu
Langit Terjungkir! Dia pernah menuturkan riwayat malangnya padaku! Sendok emas
yang ada di pangkuanmu itu justru pernah aku minta untuk menolong dirinya!”
Luhpingitan terpekik.
“Lasedayu! Dia! Wahai para Dewa! Dialah yang menyatakan bersedia mengawini
diriku. Dia…dia suamiku! Aku bertemu dengannya belum lama ini. Aku malah sempat
mempermainkannya! Betapa kurang ajarnya diriku ini! Aku harus segera ke telaga
itu! Aku harus segera menemuinya…”
Si nenek hentikan ucapannya
lalu menutup mulut menahan tawa. “Guru, sebenarnya kedatanganku ke sini adalah
untuk memberitahu padamu bahwa kakek bernama Hantu Langit Terjungkir alias
Lasedayu itu mau mengawini diriku. Ternyata dia adalah suamiku sendiri! Dia tak
perlu mengawini diriku! Karena aku adalah istrinya! Pantas dia menyebut ikan
asap, ikan pindang! Dia memang suka sekali makanan itu!” Si nenek bangkit
berdiri. “Guru, aku minta diri. Wiro kuharap kau mau menyertaiku ke telaga di
mana suamiku berada. Kita sama-sama menyerahkan sendok emas sakti ini untuk
menyembuhkan dirinya…”
“Muridku,” tiba-tiba sang
Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud keluarkan suara kembali. “Aku gembira kau telah
mengalami kesembuhan. Kegembiraanku malah bertambah karena kau tahu siapa dan
di mana beradanya suamimu yang bernama Lasedayu itu. Sewaktu kau pingsan tadi
aku telah berkata pada pemuda asing ini yang ternyata adalah seorang baik-baik.
Aku berkata padanya bahwa dia berjodoh dengan diriku…”
Sampai di situ Wiro cepat
dekati Luhpingitan dan berbisik. “Nek, gurumu ini laki-laki atau perempuan?”
“Aku sendiri tidak tahu!
Mengapa kau bertanya…?”
“Aku khawatir dia mau minta
kawin dengan aku!” jawab Wiro.
“Gila kau! Betapa lancangnya
mulutmu!” kata si nenek sambil delikkan mata.
Saat itu goa dipenuhi suara
tawa Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. “Anak muda, bicara soal jodoh bukan berarti
selalu menyangkut perkawinan. Ketika aku melihat kapak bermata dua yang kau
pergunakan untuk menolong Luhpingitan, aku segera maklum kalau inti ilmu
kepandaian dan kesaktian yang kumiliki sebenarnya bersumber sama dengan senjata
yang kau punyai itu. Aku tak bisa menjelaskan dan bagimu mungkin tak masuk
akal. Tapi melihat bagaimana titik putih di ujung kerucut bersatu dengan cahaya
senjatamu lalu memecah menjadi empat, itulah satu pertanda bahwa nenek moyang
kita berasal dari rumpun yang sama…”
“Aku tidak mengerti…” kata
Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Kau tak perlu mengerti,”
jawab makhluk tanpa ujud.
“Aku sudah mewariskan banyak
ilmu kepandaianku pada Luhpingitan. Aku bermaksud meneruskannya padamu wahai
anak muda. Kau akan menerima semua ilmuku dari Luhpingitan…”
“Aku tak berani menerima. Aku
tidak punya maksud…” Si nenek muka kuning tertawa cekikikan. “Wiro, kau
mendengar apa ucapan guruku. Ucapan itu berarti perintah bagiku. Saat ini aku
ingin segera menemui suamiku. Setelah itu semua ilmu kepandaian yang ada padaku
akan kuajarkan padamu…”
“Maafkan aku Nek. Bukan aku
menolak atau bermaksud sombong. Tapi betul-betul aku tidak berani menerima
kebaikan hatimu itu…”
“Anak muda, saat ini kau
menolak, kami tak bisa memaksa. Tapi di lain waktu jika hatimu terbuka jangan
segan-segan memberitahu muridku bahwa kau bersedia menerima semua pelajaran
ilmu kesaktian darinya. Saat ini biarlah aku berikan satu ilmu kepandaian yang
mungkin ada gunanya bagi dirimu kelak di kemudian hari. Menataplah ke
langit-langit goa. Pusatkan perhatianmu pada titik cahaya yang ada di ujung
kerucut…”
“Datuk, aku tidak berani…”
Ucap Wiro terputus karena
tiba-tiba Luhpingitan mencekal kepalanya dari belakang lalu didongakkan ke atas
hingga kepala Wiro terpentang dan matanya memandang ke arah titik yang
memancarkan cahaya terang di atas goa. Saat itu juga terdengar suara berdesir.
Titik bercahaya itu melesat ke arah mulut Wiro yang agak terbuka.
Hekkk!
Wiro keluarkan suara tercekik
ketika ada hawa sejuk aneh meluncur masuk ke dalam mulutnya, melewati
tenggorokan terus masuk ke dalam tubuhnya. Bersamaan dengan itu empat cahaya
terang yang ada di empat sudut langit-langit goa menderu ke arah kepala Wiro.
Kembali murid Sinto Gendeng merasakan ada hawa sejuk menjalari tubuhnya mulai
dari kepala sampai ke kaki.
“Anak muda bernama Wiro, kau
kini menguasai ilmu yang disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Dengan ilmu
itu kau bisa bicara dan suaramu terdengar di empat penjuru hingga orang yang
berniat jahat terhadapmu akan bingung dan ketakutan sendiri…”
“Guru… Datuk… Aku…”
Sang Datuk keluarkan suara
tertawa lalu berkata. “Jika kau tempelkan jari telunjuk dan ibu jari tangan
kananmu lalu kau bicara, maka suaramu akan terdengar di empat penjuru.”
“Datuk, aku… Aku ingat. Hantu
Tangan Empat juga memiliki ilmu seperti yang kau berikan padaku ini. Empat
Penjuru Angin Menebar Suara. Apakah…?”
“Tak perlu heran. Hantu Tangan
Empat pernah menjadi muridku puluhan tahun silam. Tapi karena orangnya bersifat
angin-anginan aku hanya memberikan satusatunya ilmu itu padanya. Sekarang aku
harus pergi. Selamat tinggal anak muda. Jika ada kesempatan, di lain waktu kita
akan bertemu lagi. Muridku Luhpingitan, aku segera meninggalkan goa ini. Ingat,
kau punya kewajiban untuk mengajarkan semua kesaktianmu pada pemuda itu…”
“Akan aku lakukan Datuk,” kata
Luhpingitan pula.
Wiro merasa ada angin
menyambar di hadapannya. Lalu di atas sana cahaya putih benderang di atas
langitlangit yang berbentuk kerucut sirna tanpa bekas.
“Guru sudah pergi. Sekarang
saatnya kita meninggalkan goa ini,” kata Luhpingitan pula. Lalu tanpa malu-malu
nenek ini pegang lengan Wiro dan menariknya keluar goa. Di luar ternyata sang
surya mulai menggelincir memasuki titik tenggelamnya.
Sambil berlari mengikuti si
nenek Wiro berkata. “Nek, aku gembira kau mengalami kesembuhan dan bisa
mengingat masa silammu kembali. Tapi aku melihat satu kelainan pada dirimu.”
Hantu Selaksa Angin hentikan
larinya. “Kelainan apa maksudmu, Wiro?”
“Sejak kau keluarkan kentut
yang baunya gila-gilaan itu, kuperhatikan kau tidak kentut-kentut lagi!”
“Eh, apa iya?” si nenek jadi
bertanya sambil usap-usap pantatnya.
“Aku tidak dusta. Aku mengira
mungkin kau tidak mau berlaku kurang ajar di hadapan gurumu,” kata Wiro pula.
“Memang, seharusnya aku sudah
kentut beberapa kali hah? Kalau aku tidak kentut-kentut bisa jadi penyakit
kentutku sudah sembuh keseluruhan. Biar kucoba dulu!” Si nenek lalu angkat
sedikit jubah kuningnya lalu songgengkan pantatnya. Sampai matanya mendelik dan
keningnya keringatan tetap saja kentutnya tidak mau keluar. Si nenek keluarkan
suara mengedan.
“Sudah Nek, jangan dipaksa!”
kata Wiro. “Nanti yang keluar bukan angin tapi induknya alias kecepirit!”
Tapi Hantu Selaksa Angin masih
mau mencoba. Dia goyang-goyangkan pantatnya yang disonggengkan. Kentutnya tak
mau juga keluar.
“Sudah Nek, ayo kita lanjutkan
perjalanan. Jangan dipaksa kentut kalau memang tidak bisa!”
Si nenek tidak perduli. Dan
kembali goyang-goyangkan pantatnya. Saking kesalnya Wiro tepuk pantat Hantu
Selaksa Angin dengan tangan kirinya.
Butt prett!
Si nenek langsung pancarkan
kentutnya. Lalu dia tertawa cekikikan melihat Wiro melompat jauhkan diri.
TAMAT