Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
113 Hantu Santet Laknat
SATU
LANGIT malam bertambah gelap
ketika bulan sabit tertutup lenyap dibalik awan hitam. Di kejauhan terdengar
suara auman binatang buas dari arah rimba belantara Lasesatbuntu. Suara tiupan
angin berdesirdingin. Tiba-tiba ada suara sayap menggelepar di udara. Lalu
tampak dua titik merah bercahaya melayang dari jurusan Gunung Latinggimeru.
Dua titik merah ini ternyata
adalah sepasang mata seekor kelelawar besar yang terbang menuju puncak sebuah
bukit batu berbentuk kerucut tumpul. Di atas bukit batu ini tampak mendekam
duduk satu sosok tubuh kurus kering memiliki wajah seperti seekor burung gagak
hitam. Mulut dan hidungnya jadi satu membentuk paruh. Sepasang matanya kecil
tanpa alis. Tubuhnya mengenakan sehelai pakaian dari jerami kering warna hitam.
Dari sikapnya duduk makhluk
ini seperti tengah bersemadi. Tapi anehnya sementara dua tangannya diletakkan
di atas batu, dua kakinya dinaikkan ke atas disilangkan di atas bahu kiri
kanan. Orang ini adalah dukun seribu jahat seribu keji yang di Negeri
Latanahsilam dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat.
Banyak orang telah jadi korban
kejahatannya. Antara lain Lakasipo (Baca Bola Bola Iblis) dan Lawungu (baca
Rahasia Kincir Hantu). Kemudian nenek dukun jahat ini juga telah menguasai Latandai
hingga orang berjuluk Hantu Bara Kaliatus ini menjadi kaki tangannya yang mau
melakukan apa saja termasuk membunuh istrinya sendiri karena si nenek sudah
mencuci otaknya (baca Episode Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul Hantu Bara
Kaliatus.)
Kelelawar bermata merah
bercahaya berputar dua kali di sebelah Timur lalu melesat ke arah puncak batu
kerucut tumpul. Suara kepakan sayap binatang ini masuk ke telinga si nenek
Membuat dia segera buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Bibirnya
bergetar ketika dia mengucap.
"Junjungan telah datang
…."
Kelelawar hitam keluarkan
suara pekikan aneh. Hantu Santet Laknat turunkan dua kakinya. Lalu dia bersujud
di atas batu. Ketika dia bangkit kembali kelelawar bermata merah telah
mengapung di udara, hanya satu tombak di sebelah depan atas kepalanya. Kepakan
sayapnya yang menimbulkan angin deras membuat rambut dan pakaian si nenek
melambai-lambai.
"Junjungan selamat datang
aku ucapkan! Sudilah Junjungan memberi tahu maksud kedatangan!" Si nenek
kembali bersujud hingga keningnya menempel di batu lalu dia duduk tak bergerak,
menatap ke atas, menunggu Kelelawar hitam yang mengapung di udara keluarkan
suara memekik halus. Sayapnya berhenti bergerak. Lalu sosok hitamnya mengepul,
berubah menjadi asap. Asap ini secara aneh kemudian membentuk satu sosok sangat
angker.
Hantu Santet Laknat yang juga
bertampang angker tetap saja mengkirik kuduknya walau sebelumnya sudah beberapa
kali dia melihat sosok seram tersebut Makhluk yang mengapung dalam kegelapan
malam di atas bukit batu berbentuk kerucut tumpul itu adalah satu sosok
berjubah hitam yang wajahnya berupa tengkorak Tangan dan kakinya yang tersembul
dari bagian bawah jubah serta ujung lengan jubah berupa jerangkong tulang
belulang putih. Sepasang mata tengkorak yang hanya merupakan lobang besar
mengeluarkan cahaya kemerahan.
Di atas batok kepala yang
putih bertumbuhan rambut-rambut putih panjang, melambai-lambai ditiup angin
malam. Tiba-tiba rambut yang menjulai ke bawah itu berjingkrak ke atas, tegak
berdiri, kaku laksana kawat Dua bolongan mata pancarkan cahaya merah lebih
terang. Mulut tengkorak yang didereti barisan gigi-gigi besar bergerak
membentuk seringai menggidikkan. Dari sela-sela giginya keluar kepulan asap.
Sesaat kemudian makhluk muka tengkorak tubuh jerangkong yang tertutup jubah
hitam itu keluarkan ucapan. Suaranya bergema aneh, seolah keluar dari satu
liang dala.
"Hantu Santet Laknat,
tiada kekecewaan paling hebat selain kekecewaan terhadap dirimu. Semua apa yang
kau lakukan menemui kegagalan! Aku sudah cukup bersabar diri. Mungkin sudah
saatnya kau meninggalkan Negeri Latanahsilam. Kukirim kembali ke tempat asalmu
di dasar Samudera Labiruhijau!"
Si nenek bernama Hantu Santet
Laknat keluarkan suara tercekat dari hidung dan mulutnya yang jadi satu berbentuk
paruh burung. Lalu buru-buru dia jatuhkan diri, bersujud di hadapan makhluk
yang disebutnya dengan panggilan junjungan.
"Wahai Junjungan, bukan
aku membela diri. Semua tugas telah aku laksanakan. Namun apa yang kemudian
terjadi sungguh di luar dugaan …."
Makhluk muka tengkorak
menyeringai. Dari mulutnya berhembus keluar asap putih.
"Hantu Santet Laknat, kau
memang tidak mebela diri. Tapi kau pandai mencari akal untuk berdalih! Aku
ingin tahu apa yang kau maksudkan dengan kejadian di luar dugaan itu!"
"Junjungan, kalau kau mau
mendengar, akan kuterangkan satu persatu," kata Hantu Santet Laknat Lalu
nenek bermuka burung gagak hitam ini angkat kepalanya yang sejak tadi bersujud
menempel di atas batu.
"Kejadian pertama,
menyangkut Lakasipo yang kemudian dijuluki Hantu Kaki Batu itu. Junjungan pasti
tahu bagaimana aku berhasil membangkitkan roh istrinya yang bernama Luhrinjani.
Lalu kusuruh dia menjebak suaminya sendiri hingga sepasang kaki Lakasipo
tenggelam dalam cairan yang berubah menjadi batu! Tapi kemudian tak terduga ada
seorang makhluk aneh bersama dua kawannya muncul menolong Lakasipo. Jika
Junjungan mau men-dengar, biar aku menceritakan apa yang terjadi
sejelas-jelasnya ."
Makhluk muka tengkorak
berambut putih riap riapan enyeringai. Dari hidung dan mulutnya kembali
mengepul asap putih. Sedangkan dari dua matanya memancar cahaya kemerahan. Dia
keluarkan suara mendengus lalu berkata.
"Tak ada salahnya aku
mendengar ceritamu, Hantu Santet Laknat Paling tidak aku mau membandingkan apa
yang kau bilang sama dengan apa yang aku ketahui. Jika kau berdusta, kau tahu
apa akibatnya!"
"Aku tidak berdusta wahai
Junjungan. Akan kuceritakan semua padamu …." Lalu si nenek bermuka burung
gagak hitam itu memulai penuturannya ….
* * *
Dalam keadaan sang surya yang
sebentar lagi akan tenggelam Lakasipo mendukung jenazah Luhrinjani, istrinya
yang menemui ajal, mati bunuh diri di jurang batu tak jauh dari Bukit Batu
Kawin. Dia melangkah mendekati lubang batu yang telah disiapkannya sebagai
makam sang istri. Jenazah perempuan yang hanya sempat dikawininya selama tiga
hari itu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam lubang. Tak ada orang lain di
tempat itu. Hanya alam semata yang menyaksikan penguburan Luhrinjani. Mendadak
cuaca berubah. Gulungan awan hitam entah dari mana datangnya muncul menutupi
langit Petir mendera sabung menyabung, guntur menggelegar. Lalu hujan lebat
turun membasahi bumi. Lakasipo merasa tidak enak.
Dia memandang ke langit Gelap.
Sesaat gerakannya menurunkan jenazah ke dalam lubang jadi tertahan. Kilat
menyambar. Sekejapan udara menjadi terang benderang. Saat itulah Lakasipo
melihat bagaimana sepasang mata jenazah Luhrinjani yang barusan dibaringkannya
di liang batu dan sejak tadi tertutup tiba-tiba kelihatan membuka.
Bukan itu saja! Wajah
perempuan yang sudah jadi mayat itu juga tampak tersenyum!
"Luhrinjani ..!. desis
Lakasipo. Tubuhnya bergetar. Cahaya kilat lenyap. Bukit batu Latinggihijau
kembali diselimuti kegelapan. Sesaat Lakasipo asih terkesiap. Namun begitu
sadar dia cepat mengambil sebuah batu besar berbentuk pipih dan menutupkannya
di atas lubang makam. Enam buah batu kemudian disusunnya di atas batu pipih
penutup makam itu. Sebelum bertindak pergi, di bawah hujan lebat dan dalam
keadaan basah kuyup Lakasipo pandangi makam istrinya. Lalu mulutnya berucap
perlahan..
"Wahai Luhrinjani ….
Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah melupakan dan
memaafkan semuanya…. Kau lihat sendiri Luhrinjani, aku sudah menyiapkan satu
makam untuk diriku di samping makammu." Lakasipo melirik kearah sebuah
makam kosong yang sebelumnya sengaja dibuatnya di sebelah kubur sang istri.
"Aku akan meninggalkanmu
Luhrinjani. Aku akan sering-sering mklihatmu. Tenanglah dalam peristirahdanmu.
Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu. Selamat tinggal wahai Luhrinjani
…." Lakasipo cium batu makam di bagian kepala lalu bangkit berdiri.
Hujan mulai reda tapi cuaca
masih kelam. Lakasipo turuni bukit Latinggihijau, berjalan ke tempat dia
meninggalkan Laekakienam, kuda tunggangannya. Belum lama menunggangi kuda itu,
tiba-tiba Lakasipo melihat ada satu bayangan putih berkelebat di hadapannya.
Kuda hitam berkaki enam bertanduk dua itu angkat empat dari enam kakinya lalu
meringkik keras. Sepasang matanya yang merah pancarkan sinar aneh.
Lakasipo cepat usap tengkuk
tunggangannya,
”Tenang Lae. … Tenang. Tak ada
yang perlu kau takutkan." Lakasipo memandang berkeliling. Saat itu dia
sudah mencapai kaki bukit Latinggihijau. Sudut matanya menangkap sesuatu di
arah kiri. Laekakienam kembali menunjukkan gelagat gelisah. Lakasipo cepat
berpaling. Bayangan putih itu kembali muncul di kejauhan sana. Di antara
deretan pepohonan. Ada satu sosok perempuan berpakaian putih. Meliuk-liuk
seperti asap tertiup angin. Ketika dia memperhatikan wajah perempuan itu tersiraplah
darah Lakasipo! Wajah itu adalah wajah Luhrinjani!
"Luhrinjani …" desis
Lakasipo.
"Bagaimana mungkin!
Barusan saja aku menguburkanmu di makam batu …."
Sosok putih di antara deretan
pepohonan tiba-tiba lambaikan tangan seolah memanggil Lakasipo. Lalu
lapat-lapat ada suara.
"Lakasipo …. Lakasipo
suamiku. Datanglah keari. Tolong diriku. Keluarkan aku dari alam gelap.
Lakasipo …."
"Wajah itu wajah
Luhrinjai! Suara itu suara Luhrinjani …." desis Lakasipo.
"Lakasipo …. Turun dari
kudamu. Kemarilah …. Tolong diriku wahai suamiku …." Mula-mula Lakasipo
masih diselimuti rasa takut dan heran. Lalu dia mulai bimbang. Matanya digosok
berulang kali.
"Aku tidak bermimpi.
Sosok itu memang Luhrinjani," Lakasipo segera turun dari kudanya. Setengah
berlari dia menghampiri sosok Luhrinjani. Dia berlari di sela-sela pepohonan
melompati semak belukar, tidak lagi memperhatikan jalan yang dilaluinya.
"Wahai Lakasipo suamiku
…. Lekaslah. Lari lebih cepat Jarak kita hanya tinggal dekat…" Sosok
Luhrinjani kembali memanggil-manggil. Lakasipo lompati serumpunan semak belukar
pendek. Namun begitu turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam dua buah
lubang sedalam pangkal betis. Kalau tidak cepat dia imbangi diri pasti akan
tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi alangkah terkejutnya Lakasipo.
Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua kakinya. Lalu dia mendengar
suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia memandang ke bawah mukanya
jadi pucat.
Dua kakinya dilihatnya
terpendam dalam cairan aneh berwarna kelabu berbuih-buih. Begitu gejolak buih
berhenti, cairan telah berubah menjadi keras, memendam sepasang kaki Lakasipo
ke tanah.
"Apa yang terjadi …
?!" Lakasipo membungkuk Meraba cairan beku yang memendam dua kakinya.
"Betul!" ujar
Lakasipo dengan suara bergetar.
"Tidak mungkin!" Dia
gerakkan kakinya berusaha melepas diri. Sia-sia saja. Dia memukul dengan dua
tangannya berulang kali. Pukulan yang sanggup menghancurkan batu karang itu
bahkan tidak sanggup membuat bergeming batu keras yang memendam dua kakinya.
Lakasipo segera keluarkan ilmu pukulan sakti bernama "Lima Kutuk Dari
Langit". Lima lariksinar hitam menggidikkan menghantam batu.
"WUSSSS! Bummmm!"
Sinar hitam berbalik mental ke
udara disertai dentuman keras. Tapi dua kakinya tetap saja terpendam dalam batu
keras yang tidak hancur, retakpun tidak. Lakasipo penasaran. Dia kembali
kerahkan ilmunya. Hawa Sakti dikerahkan pada dua kakinya. Dia keluarkan
kesaktian bernama "Kaki Roh Pengantar Maut." Cahaya hitam memancar
dad kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup. Dan celakanya hawa sakti yang tadi
dikerahkannya seolah berbalik mencengkeram dua kakinya. Sakitnya bukan
kepalang.
"Celaka! Apa yang terjadi
dengan diriku! Pasti ada orang jahat …" Lakasipo ingat pada sosok
Luhrinjani. Ketika dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu bergerak
seperti melayang datang ke arahnya.
"Luhrinjani …."
Tiba-tiba terdengar suara
berdentrangan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah rantaiditangan
kanannya. Pada kedua ujung rantai ada sebentuk jopitan besi besar.
"Luhrinjani! Betul kau
yang ada di hadapanku ini?" tanya Lakasipo. Luhrinjani menyeringai. Wajah
itu mendadak berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut ini mencuat enonjolkan
gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya aeolah leleh hingga membentuk tulang
tengkorak. Dua mata berubah menjadi sepasang rongga mengerikan. Rambutnya yang
hitam juga lenyap. Kepalanya kini telah menjadi sebuah kepala tengkorak putih.
Lalu dua tangan yang tersembul dari balik pakaian putih bergantian pula menjadi
tulang belulang mengerikan.
Lakasipo keluarkan seruan
tertahan saking kagetnya. Sosok tengkorak merunduk. Dengan satu gerakan sangat
cepat makhluk ini mejapit pangkal betis Lakasipo kiri kanan.
"Kau! kau bukan
Luhrinjani! kau makhluk jahat jejadian!" teriak Lakasipo. Sosok tengkorak
tertawa melengking.
"Takdir buruk telah jatuh
atas dirimu Lakasipo! Kau akan terpendam dalam dua batu seumur hidupmu. Tubuhmu
akan rusak, busuk dan hancur luar dalam. Kau akan mengalami siksaan hebat
sebelum menemui ajal!"
"Makhluk jahanam! Kau
pasti suruhan orang jahat! Katakan siapa yang menyuruhmu?!" teriak
Lakasipo.
"Kau akan mendapatkan
jawaban lama sekali Lakasipo," jawab makhluk muka tengkorak
"Setelah sosokmu berubah
menjadi jerangkong dan rohmu melayang di langit hampa!" Lakasipo hantamkan
tangan kanannya. Pukulan "Lima Kutuk Dari Langit" menderu. Lima larik
sinar hitam berkiblat
"Bummmm!"
Pukulan sakti menghantam telak
sosok putih di depan sana.
"Braaakkk!
Byaaarrr!"
Sosok putih hancur berantakan.
Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkong bertaburan di udara. Lalu
berubah menjadi asap lenyap tanpa bekas. Lakasipo meraung keras. Dia hantamkan
pukulan sakti bertubi-tubi. Namun akhirnya dia lemas sendiri dan jatuh terduduk
di tanah. (Secara lebih lengkap kisah di atas dapat Anda baca dalam Episode
pertama Petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul "Bola Bola
Iblis" )
* * *
DUA
SI NENEK bermuka burung gagak
hitam bersujud di batu. Begitu bangkit dia langsung berkata.
"Wahai Junjungan, itulah
kisah bagaimana aku telah mencelakai Lakasipo. Aku berhasil melakukannya sesuai
dengan permintaan Lahopeng, musuh besar Lakasipo. Junjungan, bukankah aku juga
telah memberi tahu padamu sebelum aku menyantet Lakasipo melalui roh istrinya
hingga dua kakinya tenggelam dalam dua buah batu. Namun seperti kataku tadi,
secara tidak terduga muncul satu makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang. Walau sosoknya hanya sejari kelingking tapi dia mampu menolong
Lakasipo… ."
Makhluk yang dipanggil dengan
sebutan Junjungan menyeringai buruk lalu rangkapkan dua tangan jerangkongnya.
"Hantu Santet Laknat aku
tahu sebetulnya kau lebih banyak dipengaruhi oleh Lahopeng hingga menempuh cara
keliru dalam menyantet Lakasipo. Sebenarnya kau bisa membunuh orang itu dengan
ilmu Lintah Penyedot Jantung! Dalam waktu sepenanakan nasi saja Lakasipo pasti
sudah menemui ajal! Mengapa harus memakai jalan sulit berbelit, menyantet lewat
roh halus segala?!"
Hantu Santet Laknat terdiam.
Lalu dia buru-buru jatuhkan diri bersujud dan berkata.
"Kalau caraku memang
keliru, aku mohon maafmu wahai Junjungan …."
"Apa yang kau terima dari
Lahopeng sebagai upah?" Sang Junjungan bertanya.
"Dia memberikan beberapa
butir batu permata. Semua sudah kutelan," jawab si nenek bermuka gagak
hitam. Sang Junjungan menyeringai.
"Kau sengaja menelan
batu-batu permata itu. Berarti kau masih ingin mempertahankan llmu Bersalin
Wajah yang kau miliki …"
"Kira-kira memang begitu
wahai Junjungan," jawab Hantu Santet Laknat
"Sekarang aku ingin kau
menerangkan tentang makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang, yang
katamu muncul tak terduga menolong Lakasipo …."
" Aku akan terangkan
padamu wahai Junjungan. Aku akan terangkan …" kata Hantu Santet Laknat
pula setelah lebih dulu bersujud tempelkan keningnya di atas batu.
"Orang itu masih muda.
Namanya Wiro Sableng, konon dia berjuluk Pendekar 212 …."
"Dua satu dua …"
engulang sang Junjungan.
"Apa artinya itu?"
"Mohon maafmu wahai
Junjungan. Aku sendiri tidak mengerti apa arti tiga buah angka itu …."
"Kau harus menyelidikinya
nanti. Mungkin di situ terletak kehebatannya. Tapi bisa juga sekaligus letak
kelemahannya …. Teruskan keteranganmu Hantu Santet Laknat!"
"Pemuda itu muncul
bersama dua temannya. Yang satu seorang bocah bernama Naga Kuning. Satu lagi
seorang kakek bau pesing karena selalu kencing di celana. Dipanggil dengan
sebutan Setan Ngompol."
"Air kencing…"
berkata sang Junjungan.
"lngat hal itu Hantu
Santet Laknat Cairan itu salah satu benda terlarang yang bisa mencelakai
dirimu…."
"Aku selalu ingat hal itu
wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula. Lalu dia lanjutkan
keterangannya.
"Wiro bertemu dengan
Lakasipo dalam rimba belantara. Tadinya Lakasipo hendak membunuh pemuda itu dan
dua kawannya. Tapi entah bagaimana mereka kemudian jadi bersahabat Bahkan
pemuda inilah yang kemudian menolong Lakasipo. Mula-mula ia pergunakan sebuah
senjata aneh. Sebilah kapak bermata dua…..”
"Sebilah kapak bermata
dua katamu?"
"Betul sekali
Junjungan," jawab si nenek.
”Tunggu, coba kusirap dulu senjata
itu adanya. Sampai dimana kehebatannya…."
Makhluk tengkorak berjubah
hitam dongakkan kepalanya. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Dari dua
rongga matanya memancar cahaya kemerahan sedang dari hidung dan sela mulutnya
membersit keluar asap putih. Sesaat kemudiaan dia berucap.
"Kapak itu menyimpan
banyak kesaktian. Semua berasal pada kekuatan api putih. Kau harus berhati
hati. Kau harus mengusahakan untuk mendapatkannya …."
"Akan aku lakukan
Junjungan…!"
Sang Junjungan kembali
mendongak. Matanya kembali memancarkan cahaya merah dan asap putih lagi-lagi
berhembus keluar dari hidung dan mulutnya.
"Tapi Hantu Santet
Laknat… Menurut apa yang aku sirap dari alam gaib, bukan kapak itu yang mampu
membebaskan Lakasipo! Dalam alam gaib kulihat ada sesosok binatang berbulu
putih polos. Seekor harimau …."
"Benar Junjungan. Setelah
gagal membebaskan Lakasipo dengan dua larik sinar hijau yang keluar dari
matanya, pemuda itu lantas keluarkan satu ilmu kesaktian aneh. Dia memelihara
seekor harimau putih bermata hijau. Harimau jejadian inilah yang kemudian mampu
memutus rantai besi pengikat kaki Lakasipo. Juga binatang ini menggali tanah
batu tempat Lakasipo terpendam hingga akhirnya dia bisa keluar dari dalam
tanah!"
"Aku harus menyirap
kembali ke alam gaib!" kata sang Junjungan. Lagi-lagi dia mendongak ke
langit dan rangkapkan dua tangan di atas dada jubah hitam. Sesaat kemudian dia
memandang pada Hantu Santet Laknat. Rambut putih di atas kepalanya kelihatan
tegak kaku seperti kawat
"Nenek bermuka burung gagak!"
katanya.
"Kau benar-benar menemui
seorang lawan tangguh. Dua larik sinar hijau yang katamu keluar dari sepasang
matanya adalah senjata sakti gaib bernama Sepasang Pedang Dewa! Aku tidak bisa
menduga Dewa dari mana yang memberikan ilmu itu padanya. Ketika dia menolong
Lakasipo bukankah keadaan dirinya masih sebesar kelingking?"
"Benar Junjungan …."
"Karena sosoknya yang
kecil, dia tidak mampu menghimpun kekuatan. Tapi sekarang sosoknya sama besar
dengan mahkluk di Negeri Latanahsilam. Kehebatan Sepasang Pedang Dewa tidak
bisa dianggap enteng. Kau benar-benar harus hati-hati terhadap orang itu Hantu
Santet Laknat. Lalu harimau putih yang kau sebutkan itu, binatang gaib tersebut
memang pelindung yang mengikutinya kemana dia pergi. Walau dia tidak bisa
menghancurkan dua batu bundar yang membungkus kaki Lakasipo tapi harimau putih
itu sangat berbahaya!"
Hantu Santet Laknat terdiam
sejenak Lalu berkata.
"Sebenarnya aku tidak
takut pada pemuda itu wahai Junjungan. Aku yakin bisa membunuhnya jika berhadapan!"
"Jangan menganggap enteng
makhluk satu ini Hantu Santet Laknat. Dia bukan saja punya ilmu kesaktian
hebat, tapi juga memiliki akal dan otak cerdik!"
"Kalau begitu aku minta
petunjukmu wahai Junjungan," memohon Hantu Santet Laknat
"Dengar baik-baik apa
yang aku ucapkan!" kata sang Junjungan pula.
"Jika seseorang merasa
sanggup menguasai musuh, maka dia harus menghancurkan musuh itu. Tapi jika dia
merasa belum atau tidak sanggup maka dia haws merangkul musuh tersebut,
menjadikannya sahabat Pada saatnya dia merasa mampu maka baru dia menghancurkan
sang musuh!"
"Aku mengerti apa yang
kau katakan itu Junjungan. Tapi yang belum jelas, apa yang harus aku lakukan
terhadap pemuda bernama WiroSableng itu?" tanya Hantu Santet Laknat pula.
"Kau harus enjebaknya
agar dia tidak bisa kembali pulang ke negerinya! Aku tahu kau punya otak cerdik
dan akal panjang! Kau harus enjebak pemuda itu masuk ke dalam Rimba
Lasesatbuntu. Buat dia tak bisa keluar lagi. Buat dia mendekam seumur hidupnya
dalam rimba belantara itu. Dengan demikian segala npa yang kau lakukan tidak
akan mendapat gangguan …."
Hantu Santet Laknat
mengangguk-angguk.
"Kalau begitu petunjukmu
akan aku lakukan …."
"Tapi! Seperti ucapanku
tadi!" berkata sang Junjungan.
"Jika kau menghadapi
perlawanan dan kau tidak sanggup melawannya, kau harus menjalankan rencana ke
dua. Kau harus merangkul musuh berbahaya itu! Kau harus memperlakukannya
sebagai suami! Kau harus mengawininya!"
Sosok si nenek Hantu Santet
Laknat tersentak saking kagetnya mendengar ucapan sang Junjungan.
"Wahai Junjungan,
bagaimana mungkin aku mengawini pemuda itu … ?"
"Mengapa tidak mungkin?
Dia laki-laki, kau perempuan? Apa kesulitannya? Lain halnya kalau kalian
sama-sama lelaki atau kalian dua duanya perempuan!"
"Maksudku …. Maksudku
bukan itu wahai Junjungan! Tekad-ku sudah bulat untuk membunuhnya dari pada di
belakang hari menimbulkan malapetaka bagi diriku. Tapi untuk mengawininya
…."
"Hantu Santet Laknat, apa
kau pernah melihat sendiri? Pernah bertemu muka dengan pemuda bernama Wiro
itu?" tanya sang Junjungan pula.
"Selama ini memang belum
pernah Junjungan."
"Makin cepat kau bertemu
dengan pemuda itu makin baik! Lihat saja nanti bagaimana sikap dan perasaanmu
setelah melihatnya!"
"Junjungan, kalau
maksudmu aku akan tertarik padanya mungkin jauh panggang dari api. Bukankah kau
tahu bahwa hanya ada satu orang yang aku cintai di dunia ini? Yaitu Hantu Muka
Dua."
Muka tengkorak sang Junjungan
menyeringai. Dari mulutnya mengepul asap putih.
"AKu tidak ingin kau
memutus cinta dengan Hantu Muka Dua. Tapi jika aku jadimu sudah sejak lama aku
tinggalkan makhluk keji satu itu. Setiap hari dia bergelimang dosa dengan gadis
cantik, Apa kau merasa dirimu bisa bersaing dengan gadis-gadis itu walau kau
punya llmu Bersalin Wajah? Karena itu lagi-lagi kuminta agar kau segera mencari
pemuda bernama Wiro itu. Jika kau meang tidak suka padanya dan tidak ingin
merangkulnya, tidak ingin berselingkuh dengan kekasihmu si Hantu Muka Dua, maka
kau tinggal menjebloskan Wiro ke dalam rimba Lasesatbuntu."
"Aku akan lakukan apa
katamu.wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat mengambil sikap
mengalah.
"Sekarang mengenai
muridmu bernama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus itu!" kata makhluk muka
tengkorak dan jerangkong berjubah hitam.
"Bukankah kau telah
memerintahkannya untuk membunuh Lakasipo dan istrinya sendiri yang bernama
Luhsantini itu? Jangan kau berdusta! Semua tugas itu belum terlaksana!"
"Aku mohon maafmu
Junjungan. Hantu Bara. Kaliatus meang sedang kucari-cari karena sejak beberapa
lama ini dia tidak muncul. Setahuku dia memang pernah hendak mencoba membunuh
istrinya Luhsantini. Tapi muncul seorang gadis sakti penunggang kura-kura
terbang bernama Luhjelita. Gadis ini menolong Luhsantini hingga maksud Hantu
Bara Kaliatus membunuh istrinya gagal. Dia juga gagal membunuh Lakasipo!"
"Murid seperti itu tidak
ada gunanya. Kau harus cari dia! Perintahkan sekali lagi untuk membunuh
Lakasipo dan Luhsantini. Jika dia gagal lagi aku perintahkan padamu untuk
membunuh murid tak berguna itu! Kau harus sadar Hantu Santet Laknat! Lakasipo
adalah salah satu musuh besarmu yang selalu berusaha mencari dan membunuhu.
Karena dia sudah tahu kaulah yang menyantet dirinya!" Hantu Santet Laknat
mengangguk perlahan.
"Akan aku lakukan apa
katamu wahai Junjungan."
"Sekarang mengenai
manusia bernama Lawunqu!" berucap sang Junjungan.
"Kau gagal membunuh
manusia satu itu padahal sekujur tubuhnya sampai tulang belulangnya telah
diselubungi luka borok membusuk akibat santetanmu! Mengapa kau gagal membunuh
manusia itu?! Apa yang telah terjadi?!"
"Aku mohon aafmu wahai
Junjungan. Seperti. kejadian yang lain-lainnya, peristiwa satu inipun gagal
akibat ulah tak terduga. Padahal racun ular yang aku susupkan ke tubuh Lawungu
adalah racun paling jahat! Kali ini yang punya pekerjaan adalah Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab …."
"Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab!" mengulang makhluk muka tengkorak
"Aku sudah lama mendengar
kalau dia memang bersekutu dengan Lawungu dan juga Lasedayu! Tapi kesaktiannya
tidak cukup mampu untuk menyembuhkan santetanmu terhadap Lawungu. Kecuali ada
satu kekuatan atau kesaktian lain …."
"Aku menyirap kabar dia
menemukan sendok emas sakti bernama Sendok Pelangkah atau Sendok Pemasung
Nasib. Dengan benda itu dia mengobati Lawungu!" Menjelaskan Hantu Santet
Laknat (Harap baca Episode sebelumnya berjudul "Rahasia Kincir
Hantu")
"Aku kecewa! Benar-benar
kecewa! Semua ilmu kepandaian yang aku berikan Upadamu seolah tidak ada artinya
dan gunanya. Sendok sakti itu! Bagaimana bisa jatuh ke tangan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab?"
"Dari kabar yang aku
sirap, konon Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merampasnya dari tangan Hantu Muka
Dua!"
"Kalau Hantu Muka Dua
bisa dipercaya seperti itu berarti memang benar kabar yang aku dengar bahwa
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah makhluk paling tinggi kepandaiannya di
Negeri Latanahsilam. Wahai, kau harus memutar otak, mempergunakan kelicikan
untuk menyingkirkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi buat dulu dia
menderita tersiksa batin sebelum kau habisi …."
"Caranya bagaimana wahai
Junjungan?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Kudengar dia punya dua
orang cucu yang cantik-cantik. Bernama Luhkemboja dan Luhkenanga. Mungkin kau
bisa melakukan sesuatu atas diri mereka. Biar Hantu Sejuta Tanya Hantu Sejuta
Jawab tahu rasa! Sekarang apa kau tahu dimana beradanya Sendok Pemasung Nasib
itu?"
"Aku memang tengah
menyelidik dan menyirap kabar. Aku akan berusaha mendapatkannya…."
"Sendok emas sakti itu
harus kau dapatkan. Tapi yang penting bagimu saat ini adalah mencari pemuda
asing bernama Wiro itu!"
"Aku akan segera
melakukannya wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula.
"Jangan lupa
menyelesaikan urusan nyawa dengan Lakasipo dan Luhsantini. Aku akan mengawasi
prilaku serta semua perbuatanmu di Negeri Latanahsilam. Sekali lagi kau
mengecewa-kan aku, riwayatmu akan kuakhiri selama-lamanya. lngat hal itu Hantu
Santet Laknat! Jika aku masih merasa kasihan padamu mungkin aku hanya akan
mencabut semua kepandaian yang pernah aku berikan padamu. Tapi itu baru
kemungkinan saja. Karena aku lebih suka melihat kau terjelapak tanpa nyawa!
lngat itu baik-baik!" Kuduk Hantu Santet Laknat terasa dingin.
"Aku akan ingat, wahai
Junjungan," kata si nenek muka gagak lalu sujud di atas batu. Ketika dia
mengangkat kepalanya kembali makhluk kepala tengkorak badan jerangkong sudah
tidak ada lagi.
* * *
TIGA
KUDA hitam berkaki enam dan
memiliki sepasang tanduk di kepalanya tegak di puncak bukit batu dengan sikap
gagah. Di atasnya duduk Hantu Kaki Batu, memandang ke arah lembah batu
dibawahnya. Di kejauhan menjulang Gunung Labatuhitam.
"Sunyi, tak kelihatan ada
makhluk apapun di bawah sana. Apakah sejak berpisah dengank tempo hari dia
memang kembali ke sini atau pergi ke tempat lain?" Hantu Kaki Batu alias
Lakasipo bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau dia memang tidak
ada di tempat ini kemana aku harus mencari?" Lakasipo memandang seputar
lembah yang dipenuhi bebatuan hitam berbagai bentuk dan ukuran sambil usap-usap
tengkuk laekakienam, kudaraksasa tunggangannya.
"Lae, keluarkan
ringkikanmu. Beri tanda bahwa kita berada di tempat ini!" kata Lakasipo
berucap pada kuda hitamnya. Mendengar ucapan itu kuda hitam berkaki enam angkat
empat kaki depannya lalu keluarkan suara ringkikan keras, menggelegar dan
bergema di seantero kawasan bukit dan lembah batu. Begitu suara gema ringkikan
kuda lenyap, suasana di tempat itu kembali sunyi. Lakasipo memandang lagi,
menyelidik ke setiap sudut lembah.
"Mungkin aku harus turun
menyelidik ke lembah. Setahuku di bawah sana ada satu goa. Mungkin dia tengah
melatih ilmu atau bersemadi hingga tidak mendengar suara ringkikan
Laekakienam." Berpikir begitu Lakasipo segera tepuk pinggul kudanya. Namun
sebelum binatang bermata merah ini bergerak melangkah tiba-tiba dari arah
langit sebelah utara terdengar suara suitan keras. Mendongak ke atas Lakasipo
melihat satu makhluk hitam bersayap lebar, melesat terbang ke arah bukit di
mana dia berada, ditunggangi seorang lelaki berambut panjang melambai-lambai.
"Walet raksasa!" desis Lakasipo.
"Penunggangnya pasti si
jahanam Latandai! Masih hidup rupanya makhluk keji satu itu!" Baru saja
Lakasipo berkata begitu tiba-tiba dari atas sana melesat dua buah benda berapi
yang mengeluarkan cahaya merah seperti ekor panjang. Satu menghantam ke arah
kepala Laekakienam, satu lagi menyambar ke jurusan kepala Lakasipo. Lakasipo
keluarkan seruan keras. Tangan kirinya menepuk pinggul Laekakienam. Kuda hitam
raksasa ini meringkik dahsyat lalu melompat ke kiri. Binatang ini selamat
karena benda merah berbuntut api lewat hanya setengah jengkal dari sisi kiri
kepalanya. Benda ini yang ternyata adalah sebuah bara menyala amblas masuk ke
dalam lamping batu. Lamping batu kepulkan asap tebal lalu
"krakkk! Byaaarr!"
Dinding batu itu hancur
berantakan! Ketika menggebrak pinggul kudanya Lakasipo sendiri saat itu telah
melesat dari punggung kuda, membuat gerakan jungkir balk Sambil melayang turun
dia hantamkan kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola.
"Byaaarr!"
Benda merah menyala yang
hendak menghantam kepalanya mencelat mental, hancur bertaburan. Lakasipo
sendiri merasa kakinya seperti disengat api Termiring- miring dia tegak di atas
batu bukit Ketika diperhatikan temyata ada bagian batu yang membungkus kakinya
telah menjadi gompal dan hangus di salah satu bagian.
Di udara, penunggang walet
raksasa tertawa bergelak, Setelah berputar dua kali walet hitam itu menukik
turun. Saat itulah Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima jari tangan
menjentik keras.
Lima larik sinar hitam
membeset ke udara, menggempur walet raksasa dan penunggangnya dari lima jurusan.
Seperti tahu bahaya walet raksasa menggebrakkan sayapnya. Binatang ini menukik
tajam sementara penunggangnya melompat sebat, lalu laksana terbang dia melayang
ke bawah dan turun di atas bukit batu, terpisah sejarak dua belas langkah dari
hadapan Lakasipo.
Sepasang alisnya menjungkat ke
atas ketika mendengar suara walet hitam menguik di udara pertanda binatang itu
mengalami kesakitan hebat Nyatanya, salah satu dari lima larikan sinar hitam
berhasil menghantam sayapnya, merobek hangus bagian kulitnya dan menghancurkan
jaringan tulang-tulangnya. Sebagian dari sayap itu kelihatan menciut pendek
Dalam keadaan oleng dan sayap mengepulkan asap walet hitam ini mendarat di atas
sebuah batu berbentuk miring. dari mulutnya tiada henti keluar suara menguik
kesakitan.
"Hantu Kaki Batu
jahanam!" merutuk orang yang barusan melompat dari punggung walet hitam
dan berhasil selamatkan diri dari serangan larikan sinar hitam. Rahangnya
menggembung. "llmu Lima Kutuk dari Langit yang dimilikinya benar-benar
berbahaya!”
“Dia harus bayar mahal apa
yang telah dilakukannya! Dia telah melukai walet tungganganku!" Orang yang
tegak di hadapan Lakasipo itu bertubuh tinggi besar tapi tidak sekekar
Lakasipo.
Berdirinya agak terbungkuk
seolah ada sesuatu yang berat di bawah perutnya. Gerakannya walau kelihatan
hebat, tapi mata orang pandai akan melihat bahwa sebenarnya dia bergerak
lamban. Rambutnya panjang acak-acakan. Pipi kirinya ada cacat besar bekas luka.
Tangan kirinya sebatas siku ke bawah disambung dengan sejenis logam biru yang
dipenuhi tonjolan tonjolan runcing. Yang hebat dan juga aneh ialah keadaan
bagian tubuhnya di sebelah dada sampai ke perut. Seolah ada api di sebelah
dalam, bagian tubuhnya itu meancarkan cahaya kemerah-merahan. Cahaya ini
berasal dari bara menyala yang mendekam di dalam tubuhnya.
Beberapa waktu silam dari
dukun jahat si nenek Hantu Santet Laknat dia pernah mendapatkan satu ilmu
dahsyat yang disebut Bara Setan Penghancur Jagat. Di kepala, dada dan perutnya
menempel dua ratus bara menyala yang bisa dijadikannya senjata ganas luar
biasa. Kejahatan dan kekejian yang dibuatnya menyebabkan Peri Bunda enjatuhkan
kutuk. Baa menyala yang tadinya ada di luar tubuhdimasukkan ke dalam perutnya!
Membuat dia menderita tersiksa setengah mati.
Dalam keadaan antara hidup dan
mati dia melakukan tapa di satu tempat terpencil hingga akhirnya dia mampu
meredam panasnya bara menyala yang ada di dalam tubuhnya. Malah kemudian bara
menyala itu kembali dapat dipergunakannya sebagai senjata seperti barusan yang
dilakukannya terhadap Laekakienam dan Lakasipo.
"Hantu Kaki Batu! Kau
masih berani datang ke tempat ini mencari istriku Luhsantini! Benar-benar
berani mati!" Lakasipo tertawa bergelak.
"Hantu Bara Kaliatus
ternyata kau masih hidup! Tapi sayang, otakmu sudah miring! Apa kau tidak
sadar, sejak kau hendak membunuhnya yang ke dua kali, sejak itu pula dia tidak
sudi lagi menjadi istrimu?! Baginya kau tidak lebih dari pada iblis biadab dari
pusaran neraka jahanam!" Mendidih amarah Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus.
"Makhluk jahanam!
Perampas istri orang! Kalau Luhsantini ada di sini biar perempuan celaka itu
menyaksikan bagaimana aku memanggang tubuhmu sampai gosong!"
" Jangan bicara terlalu
sombong hantu laknat! Cacat di pipi kirimu bekas hantaman rantai kakiku, serta
cacat di lengan kirimu bekas hajaran Luhsantini masih membekas nyata! Apa kau
mau minta tambahan hajaran baru dariku?! Atau mungkin kau minta barang di bawah
pelutmu aku buat tambah besar dari yang ada sekarang?!" (Seperti
dituturkan dalam Episode berjudul "Hantu Bara Kaliatus” atas nasihat nakal
Naga Kuning Lakasipo telah menotok urat besar di pangkal paha Hantu Bara
Kaliatus. Akibatnya anggota rahasia lelaki itu menjadi gembung besar seperti
orang kondor. lnilah yang membuat gerakannya menjadi lamban).
Tambah mendidih amarah Hantu
Bara Kaliatus mendengar kata-kata Lakasipo itu. Rahangnya menggembung, mulutnya
berkomat-kamit. Dia angkat tangan kirinya tinggi-tinggi melewati kepala.
"Bleeepp … bleepp …
bleeppp!"
Dari belasan tonjolan runcing
yang ada di sekujur lengan besi Hantu Bara Kaliatus membersit nyala api
berwarna biru gelap mengeluarkan suara mendesis tak berkeputusan.
"Hantu Kaki Batu, sayang
sekali! Kau tidak menyadari bahwa kau akan menemui kematian lebih cepat dari
yang kau duga!"
"Nyawa manusia tidak
berada dalam kuasa manusia lainnya! Karenanya jangan bicara berpongah diri!
Mungkin kau yang lebih dulu akan kujebloskan ke alam Roh!" Bersamaan
dengan selesai ucapannya Hantu Kaki Batu melompat. Kaki kirinya yang terbungkus
bola batu berdesing mencari sasaran di pinggul Hantu Bara Kaliatus dalam jurus
yang disebut "Kaki Roh Pengantar Maut." Dari kaki serta bulatan batu
membersit sinar hitam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya lepaskan pukulan
"Lima Kutuk Dari Langit"!
Hantu Bara Kaliatus seolah
menganggap enteng serangan maut yang dilancarkan lawan. Sambil tertawa
mengejekdia gerakkan tangan kirinya. Terjadilah hal yang membuat kejut Hantu
Kaki Batu bukan alang kepalang. Begitu Hantu Bara Kaliatus menggerakkan tangan
kirinya yang sebagian terbuat dari logam aneh, dari belasan tonjolan runcing,
bergulung keluar larikan larikan api panjang berwarna biru, sangat panas.
Gulungan api ini berbentuk demikian rupa seperti jaringan besar yang dengan
cepat menghantam dan menggulung ke arah Hantu Kaki Batu!
"Api lblis Penjaring
Roh!" teriak Lakasipo menyebut ilmu yang dikeluarkan lawannya itu.
"Setahuku ilmu ini hanya
dimiliki oleh Hantu Santet Laknat! Celaka! Bagaimana jahanam ini bisa
memilikinya!"
"Dress!"
Bola batu di kaki kiri
Lakasipo terpental.Tubuhnya ikut terpelanting sampai tiga tobak. Lalu jatuh
terbanting di tanah.
"Wuss! Wusssss! Wusssss!
wussssss!"
Lima larik sinar hitam pukulan
sakti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo hancur bertaburan
berubah menjadi asap begitu saling bentur dengan jaringan api biru. Dengan uka
pucat dan sekujur tubuh sakit Lakasipo cepat bangkit berdiri. Namun
"wuuutttt!"
Jaringan Api lblis cepat
berkelebat menggulung dan membungkus tubuhnya.
"Cessss! Cessss!
Cessss!"
Tubuh Lakasipo terpanggang
hangus di beberapa bagian. Lelaki ini menjerit kesakitan. Dia berusaha lepaskan
diri dari jaring api biru tapi sia-sia saja. Semakin dicoba semakin banyak
bagian tubuhnya yang terluka hangus!
"Celaka! Aku tak bisa
membebaskan diriku! Aku akan terpanggang hancur dalam jaring api ini!" Di
hadapan Lakasipo. Hantu Bara Kaliatus berkacak pinggang dan tertawa bergelak.
Sekali dia meniup maka api biru yang membersit dari tonjolan tonjolan runcing
di tangan kirinya pun padam. Tapi jaring api biru masih tetap membungkus sosok
Lakasipo dan semakin panas hingga Lakasipo merasa tubuhnya seolah mulai
meleleh!
"Bara Kaliatus keparat!
Apa hubunganmu dengan Hantu Santet Laknat?!" Berteriak Laksipo.
"Ha …. ha …. ha! Jadi kau
rupanya mengenali ilmu kesaktian yang kini menjaring sekujur tubuhmu! Ha … ha …
ha! Dengar baik-baik wahai makhluk malang! Aku adalah murid si nenek sakti
berjuluk Hantu Santet laknat yang kau tanyakan itu! Ha … ha … ha … ha!"
Dalam sakitnya Lakasipo
terkejut bukan main. Lebih-lebih ketika mendengar Hantu Bara Kaliatus
meneruskan ucapannya.
"Dendam kesumatku
terhadapmu hari ini terbalas sudah! Sekaligus aku berhasil pula melaksanakan
tugas dari guruku! Selamat tinggal Hantu Kaki Batu! Sebelum matahari tenggelam
sekujur tubuhmu akan berubah menjadi bangkai meleleh!"
Lakasipo mendongak langit.
Saat itu sang surya telah jauh menggelincir ke arah barat. Tak lama lagi
matahari akan segera tenggelam. Berarti umurnya memang tak akan lama. Dia coba
gerakkan tangan untuk menghantam tapi
"cesss!"
Sedikit saja dia bergerak,
jaring api melukai dan menghanguskan tubuhnya!
"Hantu .Bara Kaliatus
jahanam! Kelak para Dewa akan menjatuhkan hukuman atas dirimu!" Hantu Bara
Kaliatus yang sudah berjalan beberapa langkah menghampiri walet tunggangannya
balikkan diri. Sambil menyeringai dia berkata.
"Kalau kau merasa punya
Dewa, panggilah! Berteriak minta tolong! Agar kau bisa keluar dari Api lblis
Penjaring Roh! Ha … ha … ha!" Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak lalu
tinggalkan tempat itu.
"Terkutuk kau Latandai!
Terkutuk kau Hantu Bara Kaliatus!" teriak Lakasipo. Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus tidak perdulikan teriakan caci maki Lakasipo. Sambil terus
tertawa dia menghampiri walet hitam. Dia tahu walau binatang itu menderita
cidera akibat hantaman Lakasipo tadi, sang walet masih bisa menerbangkannya
meninggalkan lembah batu itu. Namun tiga langkah di hadapan walet raksasa, kaki
Hantu Bara Kaliatus seolah terpantek ke tanah. Matanya membeliak begitu
menyaksikan bagaimana kepala walet tunggangannya berada dalam keadaan hancur.
Dua sayap dan kakinya menggelepar dan melejang-lejang beberapa kali lalu diam
tak berkutik lagi. Hantu Bara kaliatus berteriak marah.
"Jahanam berani mati!
Siapa membunuh waletku?!" Sebagai jawaban tiba-tiba menggema suara
cekikikan dari balik sebuah batu besar di samping kiri Hantu Bara Kaliatus.
Lelaki ini segera membalik dan menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala
Hitam!. Dengan ilmu kesaktian inilah dulu dia hendak membunuh istrinya atas
suruhan Hantu Santet Laknat!.
Dua belas sinar hitam menderu
angker. Dua belas lobang kelihatan di batu itu. Asap mengepul lalu
"braakk … byaaarrr!"
Batu besar hancur berantakan
berkeping-keping. Pecahan dan debunya beterbangan ke udara mmenertupi
pemandangan. Ketika kepingan batu dan debu surut jatuh ke tanah dan keadaan
terang kemlbali, di depan sana tampak berdiri dua orang. Yang pertama seorang
kakek yang berdiri terbalik secara aneh yakni dua tangan dijadikan kaki sedang
sepasang kaki berada di sebelah atas.
Orang ke dua seorang perempuan
cantik berpakaian serba merah. Saat itu Lakasipo berada di dalam keadaan cidera
berat. Hampir sekujur tubuhnya hangus akibat bersentuhan dengan Api lblis
Penjaring Roh. Sakitnya bukan olah-olah. Lututnya sudah goyah, pemandangannya
berkunang-kunang. Walau samar-samar dia masih bisa mengenali siapa adanya dua
orang di seberang sana.
* * *
EMPAT
MULUT Lakasipo bergetar ketika
perlahan, antara terdengar dan tiada dia menyebut nama kedua orang itu.
"Hantu Langit
Terjungkir…. Luhsantini…." Kakek yang tegak di atas dua tangannya itu
memang Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir adanya. Sedang perempuan cantik
berpakaian serba merah adalah Luhsantini, bekas istri Hantu Bara Kaliatus.
Melihat kemunculan istrinya,
Hantu Bara Kaliatus yang sedang marah karena menemukan walet terbang
tunggangannya dalam keadaan mati pecah kepala jadi bertambah marah. Sekali
lompat saja dia telah berada di hadapan Luhsantini.
"Perempuan laknat! lstri
celaka! Pasti kau yang telah membunuh walet tungganganku! Kepalanya
hancur!"
"Makhluk keji tak mengenal
tobat! Tangan kirimu sudah kuhancurkan! Apa itu tidak cukup menjadi pelajaran?
Rupanya kau memang minta kuhancurkan kepalamu seperti aku menghancurkan kepala
walet hitam itu!" Balas mendamprat Luhsantini. Hantu Bara Kaliatus
keluarkan suara menggembor. Mulutnya berteriak.
"lstri celaka!
Dicari-cari tidak bertemu! Sekarang malah muncul sendiri mengantar nyawa!"
Rahang Hantu Bara Kaliatus menggembung lalu begitu dia meniup ke depan, dua
buah bara menyala melesat menyerang Luhsantini. Tapi Luhsantini cepat
menyingkir selamatkan diri
"Makhluk keji! Haram
bagimu menyebut diriku istri!"
"Kalau begitu biar
kusebut kau gendak Lakasipo alias Hantu Kaki Batu! Mungkin kau lebih senang
dipanggil begitu!" Penuh luapan amarah kembali Hantu Bara Kaliatus
menyergap Luhsantini. Dia melompat sambil kembali semburkan dua bara api yang
ada dalam perutnya. Jelas sekali dia benar-benar ingin membunuh Luhsantini.
Perempuan ini cepat berkelebat
dan siap balas menyerang. Namun dari samping kakek yang tegak kepala ke bawah kaki
di atas gerakkan dua kakinya. Dua larik angin dahsyat berwarna ke biruan
menebar hawa dingin melabrak ke depan.
Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus tersentak kaget ketika hantaman angin itu sanggup membuat dua bara api
yang disemburkannya terpental kesamping hingga Luhsantini selamat dari
serangannya. Selain itu sambaran angin tadi sempat membuat dia terhuyung huyung
sampai dua langkah.
"Tua bangka jahanam!
Siapa kau!" teriak Hantu Bara Kaliatus walau diam-diam dia sudah bisa
menduga siapa adanya kakek aneh berpakaian compang camping dan berdiri kaki ke
atas kepala ke bawah ini. Kakek yang dibentak keluarkan suara mengekeh. Dua
kakinya digerakkan kembali, siap untuk menghantam, tapi di sebelahnya
Luhsantini berkata.
. "Kakek Hantu Langit
Terjungkir, harap kau suka menolong lelaki dalam jaring api biru itu! Biar aku
melayani jahaman sesat yang otaknya sudah dicuci oleh si dukun santet Hantu
Santet Laknat ini!" Mendengar ucapan Luhsantini Hantu Langit Terjungkir
berkata
"Hati-hatilah. Perhatikan
gerak tangan kirinya! llmu jaring api birunya sangat berbahaya!" Sehabis
memberi ingat begitu si kakek segera berkelebat ke arah sosok yang terjebak
dalam jaring api. Dari jauh dia tidakbegitu jelas dan tidak mengenali siapa
adanya orang itu. Tapi begitu berdekatan, terkejutlah si orang tua.
"Lakasipo …."
Katanya menyebut nama itu dengan suara bergetar.
"Kau rupanya …. Aku
memang tengah mencarimu. Sejak kau datang ke Lembah Seribu Kabut, aku selalu
teringat padamu dan ingin bertemu denganmu …."
"Kek, aku tak dapat
menyalahkanmu," jawab Lakasipo. Saat itu tubuhnya yang penuh luka dan
hangus sudah mulai goyah. Tegaknya menghuyung. Pemandangannya seperti kabur.
Dia kumpulkan seluruh tenaga untuk bisa keluarkan ucapan menyam-bung kata
katanya tadi.
"Kau tentu masih merasa
sangat penasaran. Karena kebodohan dan kelalaianku hingga sendok emas sakti
yang bisa mengembalikan kesaktianmu amblas dilarikan orang!" Kepala si
kakek yang berada di sebelah bawah kelihatan digelengkan beberapa kali.
"Wahai … Bukan! Sendok sakti
itu memang sangat penting artinya bagi penyembuhan diriku yang menderita
tersiksa penuh sengsara ini. Tapi jauh lebih penting ada hal lain yang hendak
aku bicarakan denganmu. Menyangkut rahasia aku sebagai seorang ayah dan
…."
"Kek, aku …." Belum
habis Hantu Langit Terjungkir bicara Lakasipo sudah memotong. Saat itu sosoknya
yang berada di dalam jaring api biru tersandar ke belakang.
"Cesss!”
Daging punggungnya yang
bersentuhan dengan jaring api langsung luka. Lakasipo keluarkan jerit
kesakitan. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah leleh. Dia jatuh terkulai.
Pingsan tak sadarkan diri.
"Jaring jahanam! Kalau
tidak kutolong sesaat lagi dia pasti akan hangus menemui ajal! Para Dewa beri
aku kemampuan menolong dirinya!" Enteng sekali, laksana kabut mengambang
di udara, sosok Hantu Langit Terjungkir naik ke atas. Lalu laksanakan kilat
gerakannya berubah cepat luar biasa, melompat ke bagian atas jaring Api lblis
Penjaring Roh lalu mencengkram!
"Cesss! Cesssss!"
Telapak tangan kiri kanan
Hantu Langit Terjungkir hangus terkelupas. Sakitnya bukan kepalang tapi si
kakek cuma kelihatan menyeringai. Dia kerahkan tenaga dalamnya yang secara aneh
berpusat di kening. Dari tubuhnya kelihatan memancar asap kebiru-biruan. Ketika
mulutnya meniup ke bawah maka menyemburlah cahaya biru menebar hawa dingin luar
biasa.
"Ceeessssssss!"
Jaring Api lblis Penjaring Roh
yang merupakan pancaran api biru panas luar biasa keluarkan suara mendesis
panjang laksana diguyur air es. Asap biru membubung ke udara. Warna birunya bukan
saja menjadi redup tapi hawa panasnya serta merta lenyap.
Jaring biru itu kini tidak
bedanya seperti terbuat dari tali biasa. Lakasipo selamat dari kematian walau
hampir sekujur tubuhnya hangus terkelupas dan saat itu dia masih tergeletak tak
sadarkan diri. Dengan dua tangannya Hantu Langit Terjungkir berusaha merobek
putus jaring api biru. Tapi luar biasanya jaring yang sudah berubah dingin itu
atos sekali. Bagaimanapun si kakek mengerahkan kesaktiannya tetap saja dia
tidak mampu menjebol jaring guna mengeluarkan Lakasipo yang masih terjerat.
"Jaring jahanam! Setahuku
Hantu Santet Laknat tidak memiliki kepandaian menciptakan jaring seperti ini.
Kalau tadi makhluk bertangan logam itu mengaku murid si nenek, niscaya dukun
jahat itu dapatkan ilmu keparat ini dari seseorang. Aku harus mencari tahu
siapa adanya …. Tapi perduli setan! Yang penting saat ini anakitu sudah
berhasil aku selamatkan. Kalau perlu aku akan membawanya dalam keadaan masih
berada dalam jaring itu.
Mungkin benar kabar yang
pernah ku dengar. Hanya ada beberapa orang saja di Negeri Latanahsilam ini yang
sanggup menjebol jaring celaka itu. Satu diantaranya si nenek berjuluk Hantu
Lembah Laekatakhijau. Tapi tak bisa kuduga apa nenek itu masih hidup. Yang
kedua seorang setengah waras berjuluk Hantu Raja Obat atau Hantu Seribu Obat.
Tapi salah-salah meminta bisa isi perutku dibedolnya dijadikan ramuan
obat!"
Hantu Langit Terjungkir alias
Lasedayu pandangi sosok Lakasipo yang melingkar di dalam jaring api biru. Mata
orang tua ini tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan tubuhnya melayang ke bawah.
Dari sisi kanan kembali dia memperhatikan. Kini pandangan matanya dipusatkan
pada bagian belakang atas tangan kanan Lakasipo.
Di antara daging yang terluka
dan hangus dia masih bisa melihat tanda aneh dekat ketiak lelaki itu. Yakni
tanda menyerupai sekuntum bunga dalam lingkaran. Tetesan air mata jatuh
membasahi kening Hantu Langit Terjungkir.
"Aku yakin …. Yakin
sekali. Dia salah seorang dari mereka. Wahai Dewa …. Beri aku petunjuk. Yang
penting saat ini selamatkan nyawanya. Sembuhkan luka lukanya …."
Baru saja Hantu Langit
Terjungkir berucap seperti itu tiba-tiba disampingnya ada suara orang berkata.
"Tua bangka tolol!
Memakai tangan sebagai kaki! Kau menangis meneteskan air mata! Apa orang di
dalam jaring itu sudah menemui ajal? Menyingkirlah! Aku mau tahu siapa yang
mampus! Orang atau binatang! Jangan-jangan dia! Kalau benar dial sungguh sial
nasib diriku!" Setelah itu
"buuuut … !"
Ada suara orang kentut! Lalu
ada satu tangan mendorong. Seperti diketahui walau Hantu Langit Terjungkir
telah kehilangan banyak ilmu kesaktian akibat dirampas oleh Hantu Muka Dua,
namun sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut dia berhasil menghimpun tenaga
dalam baru dan menciptakan ilmu kesaktian. Tidak mudah untuk mendorong sosok
tubuhnya.
Tapi gerakan orang barusan
ternyata mampu membuat si kakek terhuyung-huyung dan sepasang tangannya
tergeser satu jengkal ke kiri! Satu sosok berpakaian kuning kemudian lewat
disamping Hantu Langit Terjungkir, ulurkan kepala memperhatikan ke dalam jaring
api biru.
"Huh! Hanya seekor kadal
raksasa mati hangus! Apa perlunya ditangiskan?!" Si baju kuning berkata
lalu tertawa cekikikan. Kemudian
"buuuuttt!"
* * *
LIMA
HANTU Langit Terjungkir
delikan matanya. Yang tegak di depan jaring ternyata seorang nenek yang sekujur
tubuhnya serba kuning mulai dari rambut sampai ke kaki. Di punggungnya dia
memanggul sebuah keranjang besar terbuat dari rotan penuh dengan bulu dan
kotoran ayam. Saking marahnya mendengar Lakasipo dianggap seekor kadal raksasa
si kakek membentak.
"Matamu kuning belekan!
Pantas! Manusia hidup kau katakan kadal! Kalau bisamu cuma mengigau dan kentut
lekas angkat kaki dari tempat ini!" Tanpa berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir si nenek muka kuning yang bukan lain adalah Luhkentut alias Nenek
Selaksa Angin alias Selaksa Kentut songgengkan pantatnya lalu
"buuutttt … !"
Dia kentut seenaknya! Setelah
itu dia tertawa cekikikan. Sepasang matanya yang kuning sesaat melirik ke arah
Hantu Langit Terjungkir. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan mukanya yang kuning
kelihatan berkerenyit.
"Heh …. Rasa-rasanya aku
pernah melihat tampangmu sebelumnya. Apakah aku pernah mengenal dirimu?!"
"Lebih baik kau tidak
kenal diriku! Siapa sudi kenal dengan nenek-nenek busuk sepertimu!"
Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin alias Hantu Sclaksa Angin tertawa lalu
"buutt!"
Dia kembali terkentut-kentut.
"Tua bangka tidak tahu
diri! Jangan kira Cuma kau saja yang bisa kentut! Aku juga bisa!" Teriak
Hantu Langit Terjungkir. Lalu dari mulutnya dia keluarkan suara
"buuuttlt … !"
Hantu Selaksa Angin mendongak
ke langit lalu tertawa gelak-gelak.
"Kau memang hebat dalam
keanehanmu! Pertama kulihat kau pergunakan tangan sebagai kaki, sementara kaki
cuma diuncang-uncang di udara! Lalu kalau aku kentut dari pantat kau pandai
kentut dari mulut! Apa tidak aneh dan hebat?! Hik.. hik … hik!" Hantu
Langit Terjunkir memaki panjang pendek.
Sebelumnya dia memang sudah
mendengar sifat dan kelakuan nenek satu ini. Maka dia berucap.
”Tidak heran kalau penyakit kentutmu
tidak pernah sembuh! Sifat, ucapan dan perbuatanmu selalu seperti orang tidak
waras!"
"Siapa bilang aku tidak
bisa sembuh! Ada seorang pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang
tengah menolongku! Aku pasti sembuh! Buktinya sekarang kentutku sudah tidak
panjang lagi seperti dulu!"
"Tua bangka tolol! Masih
banyak urusanku di tempat ini. Lekas menyingkir dari sini! Jangan mengganggu
orang dengan mulut dan pantatmu!"
"Huh! Bicara sombongnya!
Wahai! Kalau tidak kebetulan lewat di sini, dan mengira kadal hangus itu pemuda
penolongku, perlu apa aku berada di tempat hi!" Si nenek cibirkan
bibirnya. Dia melirik pada si kakek, lalu perhatikan acuh tak acuh perkelahian
yang terjadi antara Luhsantini dengan Hantu Bara Kaliatus. Si nenek kembali
songgengkan pantatnya dan
"buu ttt… !" Lalu
dia putar tubuh hendak pergi.
"Tunggu!" Hantu
Langit Terjungkir berseru.
"Pemuda asing yang kau
katakan itu. Apakah namanya Wiro Sableng?"
"Apa perdulimu! Siapapun
namanya apa urusanmu?!" tukas Luhkentut.
"Buuumt!" saking
geramnya Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti orang kentut dari
mulutnya.
"Aku memang harus
perduli. Pemuda itu pernah menyelamat kan diriku! Dengar kau nenek buruk muka
kuning! Jika kau berani mencelakai pemuda itu, akan kurajam tubuhmu! Akan
kubuat kau jadi matang seperti ikan asap!" Si nenek songgengkan pantatnya.
Kembali hendak keluarkan kentut. Tapi tak jadi. Seperti tadi mukanya yang
kuning kembali tampak mengerinyit.
"lkan asap …." ujar
si nenek mengulang.
"Aku pernah mendengar
nama hidangan itu. lkan pindang … ! Itu nama lainnya! Wahai …. Apakah aku
pernah mengenal dirimu sebelumnya kakek aneh yang pergunakan dua tangan sebagai
kaki?!"
"Sudah kubilang aku tidak
sudi kena! denganmu! Lekas angkat kaki dari tempat ini!" teriak Lasedayu
alias Hantu Langit Terjungkir. Si nenek menyeringai.
"Aku akan pergi. Kau tak
usah khawatir. Siapa sudi berlama-lama di tempat celaka ini! Tapi sebelum pergi
aku mau lihat dulu tampangnya yang tertutup janggut dan kumis menjulai itu!
Siapa tahu aku memang pernah kenal dirimu!" Lalu dengan satu gerakan cepat
Nenek Selaksa Kentut alias Selaksa Angin menyambar dua kaki Hantu Langit
Terjungkir. Maksudnya dia hendak membalikkan tubuh si kakek sebagaimana
mestinya yaitu kepala ke atas kaki ke bawah. Dengan demikian dia bisa melihat
lebih jelas sosok serta wajah si kakek.
Namun sebelum sempat hal itu
dilakukannya tiba-tiba di arah kiri terdengar suara bergemuruh seperti ada
pohon yang tumbang lalu menyusul jeritan perempuan. Gerakan si nenek jadi
tertahan sementara Hantu Langit Terjungkir begitu mendengar suara jeritan serta
merta berkelebat ke kiri.
Apa yang terjadi?
Sesaat setelah tadi Hantu
Langit Terjungkir meninggalkan Luhsantini karena hendak menolong Lakasipo yang
terjerat dalam jaring api biru, tanpa menunggu lebih lama Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus menyergap ke arah Luhsantini yang bekas istrinya itu.
"Perempuan laknat, istri
terkutuk! Sebelum kubunuh kau lekas katakan dimana berada anakku si
Lamatahati?!" Mendendar ucapan Hantu Bara Kaliatus itu Luhsantini langsung
mendamprat!
"Jangan kau berani
menyebut Lamatahati sebagai anakmu! Bukankah dulu kau hendak membunuhnya
bersama diriku di tepi kawah Gunung Latinggimeru?! Manusia durjana! Sebelum kau
membunuhku biar aku lebih dulu mencabut nyawamu! Biar kemudian para Dewa
menggiring Rohmu ke pusaran neraka atas langit" Habis berkata begitu
Luhsantini berkelebat Tangan kanannya laksana kilat menyambar ke arah dada
Hantu Bara Kaliatus. Dari sambaran angin yang mendahului datangnya pukulan,
Hantu Bara Kaliatus maklum kalau serangan Luhsantini tidak bisa dianggap remeh.
Karena dia tidak bisa bergerak cepat akibat tubuhnya sebelah bawah yang
menggembung besar maka Hantu Bara Kaliatus langsung jatuhkan diri, jatuh
punggung ke tanah.
"Bukkkk!"
Pukulan Luhsantini menghantam
lamping batu Di sebelah depan batu itu tidak kelihatan bergeming sedikitpun,
apa lagi retakatau jebol. Tapi luar biasanya, disebelah belakang lamping batu
keluarkan suara berderak lalu retak-retak. Satu per satu retakan itu kemudian
berderai jatuh, mengepulkan asap seperti hangus! lnilah kehebatan lima pukulan
yang selama ini dipelajari dan diyakini Luhsantini, disebut Di balik Labukit
Menghancurkan Lagunung!
Melihat serangannya luput,
Luhsantini tak tinggal diam. Selagi Hantu Bara Kaliatus masih tertelentang di
tanah dia cepat mengejar dengan serangan ke dua. Kalau tadi tenaganya yang
bekerja maka kini kaki kanannya membuat gerakan menghunjam. Tumit Luhsantini
menderu ke arah kening Hantu Bara Kaliatus.
"lstri laknat perempuan
jahanam!" teriak Hantu Bara Kaliatus seraya gulingkan diri ke kanan.
"Terima kematianmu!"
Sambil bangkit, dalam keadaan setengah duduk Hantu Bara Kaliatus kerahkan
tenaga dalam lalu menyambar.
"Wuutt! Wuuuuttt!"
Latandai keluarkan ilmu Bara
Setan Penghancur jagat. Tiga bara merah menyala menyambar cepat dan ganas ke
arah Luhsantini. Satu mengarah kepala. Yang ke dua mencari sasaran di dadanya,
sedang bara ke tiga menderu ke bagian bawah perutnya.
Melihat tiga serangan dahsyat
mengancam dirinya mau tak mau Luhsantini batalkan gerakannya menghantam kepala
lawan. Dengan cepat perempuan ini berkelebat ke kanan sambil lepaskan satu
pukulan tangan kosong. Luhsantini berhasil menghantam mental bara menyala yang
menyerang ke arah kepalanya. Walau serangan sangat berbahaya itu dapat
ditangkis, namun tak urung tangan kanannya bergetar hebat sedang ujung lengan
panjang pakaian merahnya kepulkan asap. Ujung lengan itu ternyata telah hangus!
Dengan melompat tadi,
Luhsantini juga berhasil menghindari batu bara ke dua yang melesat ke arah
dadanya, Namun serangan ke tiga masih sempat menyerempet pinggulnya. Perempuan
ini terpekik kesakitan. Bukan saja pinggul pakaian merahnya robek hangus tapi
daging pinggulnya ikut terserempet luka! Selagi Luhsantini tertegak menahan sakit,
Hantu Bara Kaliatus telah berada di hadapannya. Menyeringai sambil angkat
tangan kirinya yang disambung dengan logam.
"Gendakmu sudah
kujebloskan dalam jaring api biru! Sekarang giliranmu!" Hantu Bara
Kaliatus kertakkan rahang. Tangan kirinya digerakkan. Dari pentolan pentolan
runcing di sepanjang lengan palsu yang terbuat dari logam itu, melesat keluar
larikan-larikan sinar biru, bergulung membentuk jaring. Lalu menyambar ke arah
Luhsantini! Perempuan itu cepat menghindar, melompat dan berlindung ke balik
sebatang pohon.
"Wuuusss!"
Jaring api yang disebut Api
lblis Penjaring Roh menyambar. Laksana senjata tajam membelah air begitulah
kelihatan jaring api itu melewati batang pohon. Begitu lewat batang pohon serta
merta berubah hangus hitam kebiru-biruan lalu tumbang dengan suara bergemuruh.
Luhsantini cepat menyingkir namun dia terkesiap kaget ketika tiba-tiba saja,
cepat sekali. Di atasnya jaring api biru telah menyambar ke bawah, siap
menjerat tubuhnya! Perempuan ini keluarkan pekik ngeri seraya coba menghantam
dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun sia-sia
saja!
Sekejapan lagi Luhsantini akan
dilibas Api lblis Penjaring Roh tiba-tiba menyambar satu gelombang kabut
memencarkan warna kebiru-biruan dan menebar hawa dingin luar biasa. Begitu
kabut ini bersentuhan dengan jaring api biru terdengar suara "ceesss.
..cessss" berkepanjangan. Cahaya jaring biru kelihatan menjadi redup. Hawa
panasnya serta merta menjadi lenyap. Tapi gerakan jaring yang hendak menjerat
sosok Luhsantini tetap tidak tertahankan.
Sesaat kemudian perempuan itu
sudah terlibat dalam jaring. Masih untung larikan-larikan api jaring telah
berubah menjadi seperti tali-tali biasa. Kalau tidak niscaya sekujur wajah dan
tubuh Luhsantini akan menjadi terbakar hangus!
"Celaka!" Di sebelah
sana Hantu Langit Terjungkir berseru kaget melihat bagaimana Luhsantini telah
masuk dalam libatan jaring. Bagaimana pun dia berusaha meloloskan diri tetap
saja tidak berhasil. Si kakek sendiri saat itu tengah berusaha mengatur jalan darah
dan pernafasannya. Bentrokan antara kabut saktinya tadi dengan api jaring biru
telah membuat tubuhnya tergoncang hebat luar dalam. Begitu keadaannya pulih
kembali, cepat dia berkelebat mendekati Luhsantini. Tangannya bergerak kian
kemari untuk merobek dan memutus jaring. Sia-sia belaka! Hantu Bara Kaliatus
keluarkan suara tawa bergelak.
"Jangan harap dia bisa
keluar dari dalam jaring itu! Tidak ada satu makhlukpun bisa membebaskannya!
Aku memang tidak berhasil membunuh mereka. Tapi aku sudah cukup puas
menjebloskan keduanya seumur hidup dalam Api lblis Penjaring Roh Ha… ha …
ha!" Hantu Bara Kaliatus balikkan badannya lalu tinggalkan tempat itu.
"Makhluk keparat!"
teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Kemana kau lari akan
kukejar! Tapi sebelum kau mati di tanganku ada sesuatu yang perlu
kutanyakan!" Melihat si kakek hendak mengejar Hantu Bara Kaliatus jadi
marah tapi juga khawatir.
"Kakek yang tegak
menyungsang ini memiliki kepandaian tinggi! Keadaanku membuat aku tak bisa
bergerak cepat. Dia pasti mampu mengejarku! Jahanam! Aku harus dapat
mencegahnya!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar lalu meniup ke
arah si kakek. Yang keluar kali ini bukan lesatan bara api tetapi satu
gelombang api. Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika dia dapatkan dirinya
tiba-tiba terkurung kobaran api. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam yang ada
di kening ke kaki kanannya. Satu larikan besar kabut dingin membeset udara
begitu si kakek tendangkan kaki kanannya. Kabut ini lalu bergulung-gulung
menyambar kobaran api.
"Wusss … wussss!"
Kobaran api !enyap. Namun
Hantu Bara Kaliatus tak ada lagi di tempat itu.
"Kurang ajar!" Hantu
Langit Terjungkir memaki. Dia meman-dang berkeliling. Memperhatikan Lakasipo
yang ada dalam jaring. Melihat pada nenek bermuka dan berpakaian serba kuning.
Sesaat dia tampak bimbang.
"Apa yang harus aku
lakukan …. Lakasipo sementara dalam keadaan aman walau masih dilibat jaring.
Nenek muka kuning itu nanti saja kuselidiki siapa dirinya. Biar aku mengejar
Hantu Bara Kaliatus. Aku tadi sempat melihat ada tanda bunga dalam lingkaran di
lengan kanannya sebelah belakang. Wahai, bagaimana mungkin ada darah dagingku
sejahat dirinya? Seganas itukah kutuk Dewa terhadap diriku? Aku harus
menyelidiki, harus tahu siapa dia sebenarnya sebelum aku salah menjatuhkan
tangan maut!" Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir segera
berkelebat ke arah yang diduganya lenyapnya Hantu Bara Kaliatus.
"Kek! Jangan pergi!"
teriak Luhsantini ketika melihat Hantu Langit Terjungkir berkelebat pergi. Saat
itu dia masih terus berusaha menjebol jaring agar bisa lolos. Tapi si kakek
keburu lenyap. Luhsantini alihkan pandangannya pada nenek muka kuning.
"Wahai! Menurut
penglihatanku kau adalah seorang ber-kepandaian tinggi. Mengapa tidak mencoba
membebaskan diriku dan menolong pemuda itu?!"
"Buuttt!" si nenek
men jawab dengan terkentut lalu tertawa cekikikan membuat Luhsantini menjadi
merah wajahnya dan menggerutu marah.
"kalau bisamu cuma kentut
melulu, harap pergi saja dari sini!"
Nenek Selaksa Angin pencongkan
mulutnya.
"Aku memang mau pergi.
Aku mau mengejar kakek aneh tadi! Aku harus harus mencari jawab apa aku kenal
padanya atau tidak!"
"Perempuan tua tidak
bermalu! Kakek itu jelas tidak sudi berkenalan denganmu, mengapa kau kejar
kejar? Jangan-jangan kau bangsa tua bangka gatal!" Luhsantini mendamprat
saking marahnya. Dimaki seperti itu si nenek jadi marah. Tangan kanannya
bergerak dan
"plaak!" Tamparannya
melayang ke pipi kanan Luhsantini. Tamparan yang cukup keras itu membuat
Luhsantini terbanting dan terguling-guling dalam jaring. Pipi kanannya serasa
lebam dan tulangnya seolah pecah. Terhuyung-huyung Luhsantini bangkit dan
menggapai-gapai dalam libatan jaring. Dalam sakit dan juga marahnya tiba-tiba
dia melihat salah satu tali jaring di bagian mana tadi tamparan si nenek
mendarat berada dalam keadaan putus! Berarti nenek muka kuning itu memiliki
kesaktian yang mampu memutus jaring!
"Tua bangka gatal!
Mengapa kau cuma menamparku satu kali?! Ayo tampar lagi! Lakukan
sepuasmu!" Tiba-tiba Luhsantini berteriak. Si nenek pelototkan matanya.
Dia hendak bergerak maju dan benar-benar hendak menampar Luhsantini. Tapi
tiba-tiba dia hentikan gerakannya dan menyeringai. Setelah kentut dua kali dia
berkata.
"Jangan kira aku tidak
tahu akal busukmu! Kau minta aku menampar agar bisa memutus tali-tali
jaring!"
"Buutt!" Si nenek
kentut.
"Perlu apa menolongmu.
Lebih baik aku mencari kibul ayam jantan. Tinggal enam belas ekor lagi! Aku
akan segera sembuh! Hik. .. hik!" Si nenek songgengkan pantatnya ke arah
Luhsantini lalu kentut lagi dua kali berturut-turut. Setelah itu sekali
berkelebat perempuan tua itupun lenyap. Luhsantini memaki habis-habisan.
"Nenek otak miring!
Mencari kibul ayam jantan katanya! Apa artinya kibul? Tua bangka tidak
berbudi!" Luhsantini kemudian periksa bagian jaring yang putus. Dia coba
menarik-narik dan memasukkan kepalanya.
Tapi lobang di jaring masih
sangat kecil. Jangankan kepalanya, kepalannya saja tak bisa disusupkan. Dalam
bingungnya karena tidak tahu apa yang hendak dilakukan Luhsantini memandang ke
arah sosok Lakasipo yang masih terjerat di dalam jaring satunya. Dia tak dapat
memastikan apakah lelaki itu hanya pingsan saja atau sudah menemui ajal.
"Lakasipo!
Lakasipo!" Luhsantini memanggil berulang-ulang. Namun sosok Lakasipo tidak
bergerak. Hanya ada suara erangan pendek keluardari mulutnya. Setelah itu
keadaan di tempat itu kembali sunyi senyap.
Sementara di langit sang surya
semakin mendekati ufuk tenggelamnya. Sebentar lagi tempat itu akan menjadi
gelap. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba semak belukar di sebelah kiri
terkuak. Tiga sosok muncul dan salah satu diantaranya berucap.
"Seruan yang
memanggil-manggil nama Lakasipo tadi pasti datang dari tempat ini! Tapi tak ada
siapa siapa di sini!"
"Hei! Lihat di sebelah
sana! Ada orang tergeletak di dalam jaring aneh!" Suara ke dua berseru
Menyusul orang ke tiga ikut berteriak.
"Di sebelah situ juga ada
jaring satu lagi! Ada orang terjebak di dalamnya!"
"Kawan-kawan! Kau lekas
memeriksa orang di dalam jaring sebelah sana! Aku akan berusaha menolong orang
satunya!" Ketika orang yang bicara ini melompat ke hadapan jaring dimana
Luhsantini berada kagetlah dia karena dia masih bisa mengenali siapa adanya
perempuan itu.
"Bukankah …. Bukankah kau
orangnya yang bernama Luhsantini?" orang itu bertanya sambil garuk garuk
kepala. Luhsantini memperhatikan dari dalam jaring. Matanya penuh selidik.
"Kau siapa?"
"Aku Wiro, saudara angkat
Lakasipo. Mungkin kau tidak mengenali diriku. Karena pertama kali bertemu
dengan kawan-kawan sosok kami bertiga masih sebesar jari!" Sepasang mata
Luhsantini pandangi Pendekar 212. Dia melirik pada sosok dua orang di sebelah
sana yakni Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
"Wahai! Aku ingat riwayat
kalian bertiga!"
"Apa yang terjadi
denganmu? Siapa orang yang ada di dalam jaring sebelah sana …."
"Dia Lakasipo."
Terkejutlah Wiro mendengar jawaban Luhsantini itu. Dia memandang berkeliling.
Lalu bertanya.
"Aku harus menolongmu!
Ceritakan bagaimana kejadiannya sampai dirimu terjebak dalam jaring aneh
ini!"
"Jangan perdulikan
diriku. Lebih baik kau menolong Lakasipo lebih dulu. Keadaannya gawat …"
kata Luhsantini.
"Kalau begitu …."
Wiro garuk kepalanya lalu melangkah cepat menghampiri Lakasipo yang tergeletak
di tanah, berada dalam jaring. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol berusaha
membebaskan lelaki itu. Namun akhirnya mereka bingung sendiri karena apapun
yang mereka coba tidak sanggup memutus jaring api biru.
"Wiro! Keluarkan kapakmu.
Mungkin itu bisa dipakai memutus jaring celaka ini …." Dari. balik jaring
tiba-tiba terdengar suara orang berucap. Suara Lakasipo. Tanpa banyak cerita
murid Sinto Gendeng segera keluarkan KapakMaut NagaGeni212. Cahaya matahari
yang hendak tenggelam memantuk kuning kemerahan di permukaan dua mata kapak.
Ketika Wiro hendak membungkuk mencari bagian yang baik di sebelah kaki jaring
untuk dibacok dengan kapak sakti, tiba-tiba ada satu bayangan biru berkelebat
dan tegak di hadapan Wiro. Pendekar 212 angkat kepalanya.
"Luhcinta!" ujar
murid Eyang Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Tentu saja Pendekar 212 merasa gembira dapat bertemu kembali dengan gadis
cantik jelita itu. Namun dibalik kecantikan si gadis saat itu Wiro melihat ada
satu bayangan rasa gelisah.
"Wiro, ada satu hal
sangat penting ingin kubicarakan denganmu. Harap kau sudi mengikutiku … !"
Suara Luhcinta terdengar lirih pertanda memang ada satu tekanan batin yang
tengah dialaminya saat itu. Si gadis tahu Wiro akan,memenuhi kehendaknya.
Karenanya tanpa menunggu jawaban Wiro dia segera berkelebat pergi.
"Kalian berdua tunggu di
sini. Aku tidak akan lama," kata Pendekar 21 2. Lalu dia segera berkelebat
pula ke arah lenyapnya Luhcinta.
"Seharusnya dia
tinggalkan kapak saki itu. Agar kita bisa menolong Lakasipo!" kata Naga
Kuning.
"Dia segera kembali. Dia sendiri
bilang tak bakal lama!" menyahut Si Setan Ngompol.
"Kau orang tua yang
seperti tidak pernah muda saja Kek! Seorang pemuda dan seorang pemudi
berdua-dua di satu tempat sunyi, mana mungkin mau sebentar saja. Apa lagi
Luhcinta kelihatannya seperti punya masalah besar!" Apa yang dikhawatirkan
Naga Kuning, bocah aneh yang sebenarnya adalah kakek berusia 120 tahun itu
menjadi kenyataan, Sampai matahari tenggelam dan kegelapan mencekam di lembah
batu itu, Pendekar 212 tak kunjung muncul.
"Apa kataku. Jangan-jangan
sesuatu telah terjadi dengan Wiro! Kek, kau tunggu di sini. Aku akan
menyelidik!" Si Setan Ngompol yang takut ditinggal sendirian langsung
terkencing.
"Aku ikut bersama!"
katanya pada Naga Kuning seraya pegangi celana si bocah. Berjalan beberapa
tindak Naga Kuning hentikan langkahnya.
"Bagaimanadengan
Luhsantinidan Lakasipo?" Anak ini bertanya pada Si Setan Ngompol lalu
memandang pada Luhsantini. Dari balik jaring terdengar perempuan itu berucap.
"Jangan perdulikan
diriku! Lekas cari Wiro. Lakasipo perlu lekas ditolong. Keadaannya gawat!"
"Kami segera mencarinya!
Bertahanlah!" berkata Setan Ngompol. Lalu tetap masih sambil pegangi
pantat celana Naga Kuning dia berkata.
"Ayo jalan duluan! Arah
sana! Aku lihat si gondrong itu tadi menuju ke sana!" Si kakek menunjuk ke
arah deretan pohon-pohon besar dan semak belukar yang merupakan bagian luar
atau tepi rimba belantara yang disebut Lasesatbuntu.
* * *
ENAM
PENDEKAR 212 berlari cepat
melewati deretan pepohonan dan semak belukar tinggi. Luhcinta berada di sebelah
depannya. Walau saat itu cahaya sang surya yang hendak tenggelam mulai redup
namun karena Luhcinta tak berapa jauh di depannya dengan mudah Wiro bisa
mengikuti lari si gadis.
Sebentar saja kedua orang itu
telah masuk jauh ke dalam rimba belantara. Di satu tempat sosok Luhcinta
lenyap. Wiro hentikan larinya, memandang berkeliling.
"Luhcinta! Dimana
kau?!" Wiro memanggil. Suaranya bergema dalam rimba belantara yang mulai
gelap itu. Tak ada jawaban. Wiro menunggu. Sesekali terdengar suara desir
dedaunan yang saling gesek oleh tiupan angin.
"Luhcinta?!" Wiro
memanggil kembali. Setelah ditunggu tetap tak ada jawaban Wiro bersiap untuk
mengerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Namun tak
jadi karena saat itu lapat-lapat mendadak dia mendengar suara orang menangis.
"ltu seperti suara
Luhcinta! Ada apa dia menangis …." Wiro sibakkan serumpunan semak belukar
lalu bergerak cepat ke arah datangnya suara orang menangis. Suara tangisan itu
terdengar semakin jelas tanda semakin dekat. Namun sampai sekian lama Wiro
masih belum juga menemukan Luhcinta. Sementara itu tanpa disadarinya Wiro telah
masuk makin jauh ke dalam rimba belantara Lasesatbuntu.
Di satu tempat Wiro akhirnya
hentikan langkah. Udara bertambah kelam. Wiro mulai menyadari keanehan yang
dihadapinya.
"Suara tangis gadis itu
dekat sekali. Aku seperti bisa meraba-nya jika tanganku kuulurkan. Tapi
sosoknya tetap tidak kelihatan …."
"Luhcinta! Kau berada di
mana?!" Wiro berteriak.
"Wiro …. Aku di sini ….
Di balik pohon," ada suara perempuan menjawab. Di samping kiri Wiro memang
ada sebuah pohon besar yang akar gantungnya menjulai sarat menimbulkan satu
peman-dangan angker. Pendekar 212 segera mendekati pohon ini, sibakkan
akar-akar gantung di sekitarnya. Begitu dia sampai di balik pohon besar, memang
benar di situ dilihatnya Luhcinta duduk di atas akar besar yang menonjol di
tanah. Gadis ini duduk dengan bahu tersentak-sentak menahan sesenggukan.
Wajahnya ditutup dengan kedua tangan.
"Luhcinta …." Wiro
pegang bahu si gadis.
"Ada apa sampai kau
menangis. Kalau memang mau bicara mengapa jauh-jauh masuk ke dalam hutan. Di
sini keadaannya gelap. Hawanya tidak enak. Mari kita "kembali ke lembah
batu sana. Kalau memang ada sesuatu, kau bisa mengatakannya parjang lebar di
sana. Selain itu ada dua orang sahabat yang perlu kita tolong."
"Wiro, biar kita
berdua-dua dulu di sini barang sesaat. Memang ada ganjalan hati yang hendak aku
keluarkan agar kau tahu," kata Luhcinta pula.
"Kalau begitu maumu
baiklah," jawab Wiro. Sang pemuda menduga jangan-jangan gadis ini hendak
membicarakan peristiwa belum lama berselang. Menyangkut hubungannya dengan
Luhjelita, Peri Angsa Putih serta Peri Bunda. Sambil membelai rambut Luhcinta
dia berkata.
"Usap air matamu,
turunkan dua tanganmu biar aku bisa melihat wajahmu yang cantik. Setelah itu
katakanlah apa yang hendak kau sampaikan …." Luhcinta hentikan suara
isaknya. Perlahan-lahan dia turunkan kedua tangannya. Saat itu seolah datang
dari atas pohon mendadak terdengar suara tawa bergelak.
Demikian hebatnya tawa itu
hingga Wiro merasa tanah di sekitar pohon bergetar sepetai ada lindu. Dalam
kejutnya murid Sinto Gendeng serta merta mendongak memandang ke atas pohon.
Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di situ.
"Aneh!" pikir Wiro.
"Luhcinta, kau mendengar
suara orang tertawa tadi?" bertanya Wiro seraya palingkan kepala,
memandang kepada Luhcinta kembali. Seperti melihat setan kepalatujuh begitulah
kaget-nya sang pendekar ketika melihat baik sosok maupun wajah yang duduk
dihadapannya saat itu bukan lagi Luhcinta. Tapi satu sosok seorang nenek
berjubah hitam. Wajahnya luar biasa angker karena hidung dan mulutnya menjadi
satu membentuk paruh burung.
Sepasang matanya yang kecil
menyembul tanpa allis berputar-putar r6emandangi Wiro. Sesaat kemudian nenek
ini keluarkan suara tawa "bergelak yang sama dengan suara bergelak
sebelumnya.
"Siapa kau?!" bentak
Wiro.
"Luhcinta! Kau tengah
bergurau mempermainkanku atau bagaimana?"
"Hik … hik … hik! Siapa
bemama Luhcinta! Siapa bergurau mempermainkanmu! Hik … hik … hik!" Suara
si nenek tinggi kecil, mendenging dan menyentak. Wiro yang mulai mencium adanya
bahaya di balik keanehan ini segera kerahkan tenaga dalamnya untuk
sewaktu-waktu bisa menghantam.
"jika kau bukan Luhcinta
berarti kau setan rimba belantara! Makhluk jejadian! Jangan berani
mempermainkan, apalagi bermaksud jahat mencelakaiku!" Si nenek kembali
tertawa panjang. Sambil tertawa dia bangkit berdiri. Wiro mundur beberapa
langkah.
Astaga, si nenek kurus hitam
dan agak bungkuk ini ternyata satu kepala lebih tinggi dari dia.
"Pendekar212 Wiro
Sableng, saat ini kau memang sudah celaka!"
"Nenek sialan! Apa
maksudmu?! Siapa kau sebenarnya? Mana Luhcinta?!"
"Luhcinta tak pernah ada
di tempat ini! Hik … hik. .. hik! Yang ada hanyalah aku. Hantu Santet
Laknat!"
"Hantu Santet
Laknat!" Wiro berseru tegang. Kejapan itu juga dia ingat semua penuturan
Lakasipo. Juga kejadian yang menimpa Lawungu.
"Kau menipuku! Kau
memperdayaiku masuk ke dalam rimba belantara ini!"
"Kau memang sudah
tertipul Sudah terjebak dalam rimba Lasesatbuntu! Seumur hidup kau tak bakal
bisa keluar lagi dari tempat ini! Dewa sekalipun tak bakal bisa menolongmu! Hik
… hik … hik! Nasibmu memang malang anak muda!"
Hantu Santet Laknat tertawa
panjang lalu melangkah mundur. Sebaliknya Wiro cepat bergerak. Sekali lompat
saja dia sudah mencekal rambut putih di kepala si nenek dengan tangan kiri
sementara tangan kanan mencengkeram di leher.
"Tua bangka keparat! Aku
memang sudah lama mendengar kejahatanmu! Antara kita tidak ada permusuhan!
Mengapa kau hendak mencelakai aku? Siapa menyuruhmu?!" Si nenek hanya
menjawab dengan tawa cekikikan.
Wiro gerakan dua tangannya.
Sosok si nenek dibanting-kannya ke tanah hingga mengeluarkan suara
bergedebukan. Tapi hebatnya si nenek cepat bangkit dan kembali tertawa panjang
melengking-lengking. Dengan dua tangannya Wiro tangkap leher si nenek. Namun
dia tak mampu meneruskan gerakannya untuk mencekik atau mematahkan leher kurus
itu. Seperti ada satu kekuatan aneh membendung apa yang hendak dibuatnya. Tiba-tiba
si nenek gerakkan kedua tangannya.
"Bukk … bukkk …
bukkk!" Jotosan keras melanda dada Pendekar 21 2. Berteriak kesakitan Wiro
terpaksa lepaskan cengkeramannya di leher si nenek. Terhuyung-huyung dia cepat
imbangi diri lalu tidak menunggu lebih lama Wiro menghantam tubuh si nenek
dengan pukulan sakti Segulung Ombak Menerpa Karang. Serangkum angin sedahsyat
prahara melabrak tubuh si nenek. Jangankan tubuh manusia, sesuai dengan
hebatnya nama pukulan sakti itu, batu karangpun bisa dihancur leburkannya.
Sosok Hantu Santet Laknat
mencelat ke udara. Pukulan Wiro yang terus melabrak pohon besar di belakang si
nenek membuat pohon itu bergoncang keras. Batangnya berderak, di sebelah bawah
akar-akarnya bergeletar lalu "braakk!" Pohon besar miring bergemuruh
dan tumbang setelah batangnya terlebih dulu hancur berkeping-keping.
Wiro melompat, mencari sosok
Hantu Santet Laknat yang dipastikannya sudah ikut hancur dan berkaparan di
sekitar tumbangan pohon. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Pendekar 212 memaki
panjang pendek. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa, panjang
melengking-lengking di belakangnya. Wiro berbalik. Hendak menghantam dengan
pukulan Sinar Matahari. Tapi dia sama sekali tidak melihat sosok si nenek.
Dalam keadaan seperti itu Wiro merasa ada cairan meleleh di bibirnya. Ketika
dia mengusap dan memperhatikan ternyata darah.
"Aku terluka di dalam.
.." kata Wiro dalam hati dan kini baru ingat kalau tadi dadanya telah
dihantam bertubi-tubi oleh Hantu SantetLaknat
"Nenek jahanam itu. Kalau
mau dia bisa membunuhku dengan pukulannya. Tapi dia tidak melakukan! Pasti dia
menyem- bunyikan maksud lebih jahat dan lebih keji terhadapku!" Murid
Sinto Gendeng usap dadanya yang mendenyut sakit.
Perlahan-lahan dia dudukdi
tanah. Mengatur jalan darah, pernafasan dan kerahkan tenaga dalam ke dadanya
yang sakit
* * *
DALAM gelapnya malam, di atas
pohon di pinggir kawasan rimba Lasesatbuntu, Hantu Santet Laknat mendekam tak
bergerak. Sepasang matanya yang tanpa alis terpejam. Paruh burungnya bergerak-gerak.
Saat itu pikirannya sedang kacau. Hatinya terus menerus membatin.
"Betul apa yang diucapkan
Junjungan. Ternyata pemuda itu memiliki wajah cakap serta perawakan gagah
sempurna. Wahai …. Bersyukur aku masih bisa menahan diri hingga pukulanku tadi
tidak sampai merenggut nyawanya. Wahai, apakah hatiku telah tergoda? Junjungan,
apakah aku benar harus mengikuti ucapanmu? Mengawini pemuda itu, menjadikannya
sebagai suamiku? tapi bagaimana mungkin? Keadaan rupaku yang seperti ini tidak
memberi jalan baginya untuk menyukai diriku. Apalagi dia sudah mengetahui
kejahatan yang aku lakukan terhadapnya. Aku memang memiliki ilmu kesaktian
bernama llmu Bersalin Wajah. Dengan ilmu itu aku bisa merubah diri setiap saat
aku suka. Merubah wajah dengan wajah siapa saja yang aku suka. Tetapi hal itu
tak bisa abadi …. Apa yang harus aku lakukan … ?"
Hantu Santet Laknat duduk tak
bergerak, mendekam sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Wajah Pendekar
212 Wiro Sableng selalu terbayang sekalipun dia memejamkan kedua matanya.
"Pemuda itu …. lakasipo
dan Hantu Muka Dua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dirinya. Mungkin
aku harus mengurangi, menarik sebagian manteraku agar dia tidak celaka di dalam
hutan. Setelah itu apa yang harus kuperbuat? Menemuinya? Bercinta dengannya?
Aku harus tahu siapa gadis idamannya. Untuk bersalin wajah menjadi Luhcinta
rasanya teralu berbahaya. Aku harus mencari wajah seorang lain yang disukainya.
Mungkin Luhjelita…?".
* * *
TUJUH
DALAM gelapnya malam Wiro
berusaha mencari jalan keluar dari rimba belantara gelap itu. Bukan saja dia
tidak berhasil keluar tanpa disadarinya dia malah tersesat semakin dalam ke
dalam hutan. Di satu tempat Wiro menemukan sebuah telaga kecil. Dia berhenti di
sini dan memutuskan untuk tetap berada di tempat itu sampai matahari terbit
Malam terasa lama.
Udara mencucuk dingin.
Kesunyian menimbulkan rasa tidak enak bagi Wiro selain saat itu dadanya masih
mendenyut sakit. Sesekali terdengar suara aneh dikejauhan. Entah suara binatang
buas entah suara makhluk halus penghuni rimba belantara. Sepanjang malam Wiro
tak bisa tidur karena selalu diganggu oleh puluhan bahkan mungkin ratusan
nyamuk hutan yang seperti berlomba-lomba ingin menghisap darahnya.
Menjelang pagi, serasa
matanya, mau terpejam karena tak sanggup menahan kantuk tiba-tiba Wiro melihat
sesuatu bergerak di seberang telaga kecil.
"Manusia, seperti
perempuan. Dalam gelap tubuhnya kelihatan putih. Astaga …. Perempuan itu nyaris
tidak berpakaian di sebelah atas … ." Wiro bangkit berdiri. Melihat Wiro
bergerak orang di seberang telaga serta merta menyelinap ke balik semak
belukar.
"Tunggu! jangan lari! Aku
bukan orang jahat!" Berseru Wiro. Cepat dia memutari telaga Namun ketib
sampai di balik semak belukar sosok itu tak ada di sana.
"Jangan-jangan yang
kulihat tadi hantu penghuni rimba belantara ini …” pikir Wiro dengan tengkuk
merinding. Dia kembali ke tempatnya semula. Menunggu kalau-kalau sosok tadi
terlihat kembali. Tapi orang itu ternyata tidak muncul lagi. Wiro memandang ke
arah timur. Langit masih tampak gelap pertanda sang surya masih lama baru akan
terbit.
Tiba-tiba terdengar suara
seperti ada satu benda meluncur di dalam air. Wiro palingkan kepalanya menatap
tajam-tajam ke dalam telaga. Kejut pemuda ini bukan alang kepalang ketika
tiba-tiba pandangannya membentur satu sosok panjang, hitam berkilat melesat
keluar dari dalam telaga, langsung menyambar ke arahnya!
"Ular besar!" seru
Wiro, Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauhi tepi telaga. Namun
dari arah kanan tiba-tiba ada yang menyambar.
”Wuuuuttt!"
"Bukkkk!"
Wiro mengeluh tinggi. Tulang
pinggulnya serasa hancur. Binatang panjang yang keluar dari dalam telaga
ternyata telah menghantamnya dengan ujung ekornya. Lalu binatang ini yang
memang menyerupai ular tapi memiliki dua kepala keluarkan desisan keras,
kembali melesat ke arah Wiro.
Kali ini Wiro tak tinggal
diam. Sambil tekuk lututnya sedikit dan menahan sakit pada pinggulnya Wiro
hantamkan satu jotosan ke pangkal leher ular kepala dua.
"Bukkkk!"
Pukulan yang dilancarkan dengan
jurus bernama Kepala Naga menyusup Awan itu dengan telak mendarat di leher ular
kepala dua Jangankan benda hidup, batu sekalipun pasti akan hancur berantakan
dihantam pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi itu. Namun justru saat
itu Wiro sendiri yang jatuh terkapar dan mengeluh kesakitan. Tangan kanannya
dikibas-kibaskan. Sakit bukan main seolah jari-jarinya ada yang remuk!
"Ular kepala dua ini
pasti binatang jejadian!" pikir Wiro.
"Ular biasa pasti sudah
mampus kena hantamanku tadi!" Saat itu Wiro tak bisa berpikir lebih lama.
Dalam gelap ular kepala dua yang tadi hanya sempoyongan dilanda pukulan Wiro
sambil keluarkan suara mendesis kembali menyerang. Tubuhnya yang hitam berkilat
berubah lunrs. Laksana tombak besi yang dilemparkan dengan sebat, binatang ini
melesat ke arah selangkangan Wiro.
"Kurang ajar! Mengapa
barangku yang diincarnya!" maki Pendekar 212. Dengan cepat dia melompat.
Lalu dari atas kirimkan tendangan ke kepala ular. Hebat sekali binatang ini
bukan saja mampu mengelak dengan cara rundukkan kepala, tapi tiba-tiba sekali
bagian belakang tubuhnya berkelebat demikian rupa.
"Wuuuutttt!"
Sebelum dia sadar apa yang
terjadi tahu-tahu Wiro dapatkan dirinya sudah dilibat ular hitam besar itu
mulai dari pinggang sampai ke dada. Kepalanya dan kepala ular saling berhadap
hadapan. Binatang berkepala dua ini buka mulutnya lebar-lebar. Dalam gelap Wiro
dapat melihat bagian dalam dua mulut ular, Lidahnya merah bercabang.
Gigi-giginya panjang runcing, memancarkan sinar aneh.
"Wuuuuttt!"
Dua kepala ular menyambar
ubun-ubun pendekar 212. Wiro hantamkan dua tangannya ke atas. Satu memukul,
satu lagi berusaha mencekal leher binatang itu. Celakanya, dua gerakan tangan
Wiro itu tidak satupun menemui sasaran!
"Tamat riwayatku!"
Wiro masih berusaha
menggerakkan kepalanya ke samping untuk menghindarkan patukan ular. Namun
sia-sia saja! Sesaat lagi ubun-ubun di batok kepala Pendekar 212 akan jebol
dihantam patukan dua kepala ular, tiba-tiba dari kegelapan melesat selarik
sinar hitam. Laksana pedang sinar itu membabat pangkal leher ular kepala dua.
”Crassss”
Leher itu putus. Darah muncrat
menyembur kepala dan pakaian Wiro. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera betot
tubuh ular yang melingkar menggulung dirinya lalu dibantingkannya ke sebuah
batu di tepi telaga. Lalu dia memandang berkeliling. Dia tak melihat
siapa-siapa.
"Orang pandai yang
barusan menolongku!" Wiro berseru.
"Harap sudi perlihatkan
diri untuk menerima ucapan terima kasihku!" Tak ada jawaban. Tak ada
gerakan. Wiro seka kepala dan mukanya yang berselomotan darah ular. Dia hendak
membungkuk ke telaga, bermaksud mencuci mukanya. Tapi khawatir kalau kalau ada
lagi ular seperti tadi, pendekar ini segera urungkan niatnya.
"Lebih baik aku menjauh
dari telaga keparat ini!" Wiro lantas mencari tempat yang dirasakannya
lebih aman. Di atas sebatang pohon yang tidaK terlalu tinggi dan berdaun jarang
akhirnya dia duduk di salah satu cabang. Kantuknya sudah lenyap sejak
tadi-tadi.
"Hantu Santet Laknat! Ini
semua gara-gara nenek keparat itu! Aku tidak ada permusuhan dengan dia. Mengapa
dia mencelakai diriku seperti ini. Janganjangan…!" Wiro garukk kepalanya.
"Mungkin karena aku
sahabat atau saudara angkat Lakasipo Mungkin dia tahu aku pernah menolong
lelaki itu. Jadi menganggap aku sebagai musuhnya. Gila betul!"
Sementara itu di tempat lain
dalam gelap dan dinginnya malam menjelang pagi Hantu Santet Laknat mendekam tak
bergerak di balik sebuah batu berlumut. Saat itu dia dibayangi rasa takut
"Kalau Junjungan
mengetahui aku tadi telah menyelamatkan pemuda itu, .bukan saja aku akan kena
damprat. Hukuman berat pasti akan dijatuhkannya atas diriku!" pikir si
nenek. Namun hati kecilnya menyahuti.
"Perlu apa takut pada
Junjungan. Bukankah dia sendiri menyuruhku agar mengawini pemuda itu?
Menjadikannya sebagai suamiku?! Kalau siang tiba kau harus melakukan sesuatu!
Kau harus dapatkan pemuda itu! Lupakan Hantu Muka Dua! Kau hanya tergila
seorang diri padanya! Bertepuk sebelah tangan! Kau harus mendapatkan pemuda
bernama Wiro itu! Harus!"
* * *
"RIMBA belantara aneh
…" kata Wiro yang saat itu masih mendekam di atas pohon berdaun jarang.
"Suara kicau burungpun
terdengar menyeramkan!" Dia memandang ke arah timur. Langit di ufuk sana
mulai kelihatan terang pertanda sang surya sebentar lagi akan muncul memperlihatkan
diri menerangi jagat.
Dari atas pohon Wiro memandang
ke arah telaga kecil. Di tepi telaga tampak bangkai besar ular hitam masih
tergeletak. Kicau burung semakin riuh. Di kejauhan ayam hutan mulai berkotek
bersahut-sahutan. Langit di sebelah timur semakin terang. Wiro melompat turun
dari atas pohon melangkah menuju telaga. Bangkai ular ditendangnya dengan kaki
kiri hingga terpental jauh. Dia memperhatikan keadaan didalam dan sekitar
telaga. Setelah memastikan tempat itu benar-benar aman baru dia masuk ke dalam
telaga untuk membersihkan diri.
Ketika dia keluar dari telaga
Wiro dapatkan matahari telah muncul di sebelah timur.
"Aku harus keluar dari
hutan celaka ini!" kata Wiro dalam hati. Karena tidak tahu arah mana yang
harus ditempuhnya, Wiro lalu memilih berjalan ke jurusan timur. Menyongsong
sang surya yang baru terbit Dia berjalan cepat di antara pepohonan dan semak
belukar lebat. Di satu tempat terbuka berupa pedataran yang ditumbuhi rumput
liar Wiro hentikan langkahnya. Cahaya matahari yang sedang bergerak naik saat
itu baru mencapai ujung pedataran.
Wiro kemudian sengaja
melangkah ke ujung pedataran ini agar dirinya bisa tersiram sinar matahari.
Sebagian pakaian dan rambut di kepalanya saat itu masih basah kuyup sehabis
dicuci di telaga. Hatinya merasa lega sedikit karena saat itu sakit di dadanya
telah jauh berkurang. Hanya pikirannya masih dibungkus oleh teka-teki siapa
kira-kira orang yang telah menolongnya dari serangan maut ular kepala dua tadi
malam,
"Mungkinkah Peri Angsa
Putih, atau Peri Bunda … ?" Ketika Wiro mencapai ujung pedataran, sewaktu
sinar matahari menyentuh dirinya terjadilah hal yang tidak terduga dan
benar-benar mengejutkan. Pakaian putih yang dikenakannya mendadak sontak
mengepulkan asap laksana terbakar. Di lain kejap seluruh pakaian itu lenyap
tidak berbekas! Kini dia berdiri dalam keadaan bugil polos. Kapak Naga Geni 212
dan batu hitam pasangannya jatuh ke tanah. Wiro jadi kalang kabut. Cepat-cepat
dia mengambil dua benda sakti itu lalu cepat-cepat pula dia menutup auratnya
sebelah bawah dengan tangan kiri.
"Gila! Apa yang terjadi?
Mana mungkin sinar matahari bisa membuat sirna pakaianku!" Dia memandang
berkeliling.
"Untung tak ada orang
lain! Benar-Benar gila! Bagaimana mungkin aku berkeliaran dalam hutan ini, mencari
jalan keluar, bertelanjang bulat seperti ini?! Kalau sampai bertemu orang lain,
orang perempuan matilah aku! Kemana aku sembunyikan perabotan di bawah
perutku!" Wiro hendak menggaruk kepalanya dengan tangan kiri Tapi tak
jadi. Karena kalau tangan kirinya diangkat ke atas berarti aurat di bawah perut
yang ditutupinya akan terbuka melompong!
"Gila! Aku harus
bagaimana?!" Wiro memaki panjang pendek
"Jangan-jangan ini
lagi-lagi pekerjaannya Hantu Santet Laknat! Nenek celaka jahanam!".
* * *
DELAPAN
SETIAP kali Naga Kuning
menepuk lepas tangan si Setan Ngompol yang selalu memegang celananya, kembali
si kakek menjambret pakaian bocah itu.
"Kakek geblek! Bagaimana
aku bisa berlari cepat kalau kau selalu memegangi pantat celanaku!" Naga
Kuning mengomel.
"Jangan salahkan
diriku!" jawab Setan Ngompol.
"Aku menaruh firasat
hutan ini celaka! Kita bakal menghadapi bahaya tak terduga! Sudah satu malaman
kita di dalam hutan! Kita seperti berputar-putar tak karuan. Wiro tak kunjung
ditemukan!" Jawab Setan Ngompol sambil tangan kirinya ditekapkan ke bawah
perut.
"Naga Kuning, baiknya
kita kembali saja ke lembah batu …."
"Tidak bisa! Kita harus
mencari Wiro sampai dapat. Aku juga punya firasat kalau si sableng itu sedang
dihadang marabahaya!"
"Malam gelap, dingin. Di
dalam rimba seram begini rupa! Aku …." Serrrr. Si kakek tak sanggup lagi
menahan kencingnya. Dia beser sambil terus lari mengikuti Naga Kuning.
"Sebentar lagi bakal
siang. Apa tidak kau lihat langit di sebelah timur sudah mulai terang?!"
Bocah ini pukul lengan orang tua itu hingga lepas. Tapi kembali si kakek
ulurkan tangan pegangi pantat celana Naga Kuning.
"Kek! Lebih baik kau
berteriak-teriak memanggil Wiro. Mungkin bisa menolong menemukannya lebih
cepat!"
"Di dalam rimba belantara
angker begini rupa aku tak berani berteriak Salah-salah leherku bisa dicekik
dedemit penghuni hutan!" Saking kesalnya Naga Kuning menjawab.
"Kalau di sini memang ada
dedemit bukan lehermu sebelah atas yang dicekiknya. Tapi lehermu sebelah bawah
yang peot bau pesing itu!"
"Anak samba!! Jangan Kau
menakut-nakuti diriku!" kata si kakek pula dan perkencang pegangannya pada
pakaian si bocah. Tak lama kemudian mentari mulai kelihatan muncul di ufuk
timur. Keadaan yang tadinya gelap kini menjadi terang, membuat lega hati si
Setan Ngompol.
"Ada pedataran berumput
di sebelah sana!" Naga Kuning berseru sambil menunjuk ke arah barat
"Kita menuju ke sana! Aku
perlu istirahat! Dadaku sudah sesak. Nafasku tinggal satu-satu !" Kedua
orang itu berjalan cepat di sela-sela kerapatan pepohonan dan menyeruak di
antara semak belukar. Hanya tinggal beberapa tombak lagi mereka akan sampai di
ujung pedataran rumput liar tiba-tiba ada satu hawa aneh datang dari depan,
mendorong mereka hingga Naga Kuning yang berada di sebelah depan terhuyung
keras ke belakang, mendorong si kakek, membuatnya hampir jatuh! Menyangka si
bocah sengaja hendak bercanda lagi, si Setan Ngompol mengomel marah.
"Anak geblek! Masih
berani kau main-main! Jangan kau kira perbuatanmu barusan lucu! Kalau aku
sampai jatuh dan pantatku cidera, kupencet barang bututmu!"
"Siapa main-main? Apa
maksudmu?!" Naga Kuning mendamprat tak kalah marahnya
"Mengapa kau barusan
pura-pura terhuyung-huyung? kalau bukan sengaja mau mendorongku sampai
jatuh!"
"Siapa pura-pura! Perlu apa
mendorong tubuh rongsokan macam kau! Kau tahu, ada angin aneh menyambar dari
depan!"
"Dusta besar! Aku tidak
merasa apa-apa!"
"Kalau tidak percaya
majulah. Jalan ke arah sana …." Setan Ngompol menyeringai. Masih
menganggap si bocah bergurau. Dia melangkah ke depan. Baru berjalan tiga
langkah tiba-tiba ada angin menyambar keras, membuatnya terpental dan jatuh
duduk di tanah, langsung terkencing-kencing. Mukanya pucat
"Ada yang tidak beres.
Tempat ini pasti tempat angker. Lekas pergi dari sini …" kata Setan
Ngompol seraya bangkit berdiri. Naga Kuning memandang berkeliling. Meski
hatinya mulai was-was namun dia ingin mencoba sekali lagi. Kali ini dia tidak
berjalan cepat tapi melangkah perlahan-lahan. Pada langkah ke empat tubuhnya
seperti membentur sebuah tembok yang tidak kelihatan. Dia tidak bisa meneruskan
langkah. Dua tangannya diacungkan ke depan. Dia menyentuh sesuatu yang keras
tapi tidak berujud. Dia coba mendorong. Daya dorongnya membalik ke arah dirinya
sendiri. Makin keras dia mendorong makin keras daya balik mendera tubuhnya.
"Ada apa … ?"
bertanya Setan Ngompol ketika dilihatnya wajah Naga Kuning bukan saja
keringatan tapi juga memutih pucat.
"Ada kekuatan aneh.
Seperti ada tembok kaca yang tak terlihat menghalang di depan sini ….”
"Coba kau hantam dengan
pukulan sakti! Masakan tidak jebol! Mana ada tembok yang tidak kelihatan! Kau
punya bisa-bisa sendiri Naga Kuning!" kata Setan Ngomnpol sambil menahan
kencing karena kakek ini memang sudah ketakutan.
"Kau saja yang
memukul!" sahut Naga Kuning. Karena kesal terus-terusan tidak dipercaya
anak ini lantas dorong punggung si kakek hingga Setan Ngompol hampir tersungkur
dan pancarkan air kencing.
"Bocah sialan!" maki
Setan Ngompol. Tapi diam diam dia kerahkan juga tenaga dalam ke tangan kanan lalu
memukul ke depan.
"Bukkk!"
Jotosan Setan Ngompol
menghantam sesuatu yang tidak kelihatan. Si kakek terpekik kesakitan. Tangan
yang tadi memukul dikibas-kibas sementara tangan kiri bum-buru menekap bagian
bawah perut tapi air kencingnya sudah keduluan mancur.
"Kalau sudah tahu rasa
baru percaya!" kata Naga Kuning sambil mencibir. Lalu dia memandang ke
jurusan depan. Tiba-Tiba anak ini berteriak.
"Kek! Lihat!"
"Ada apa lagi?!"
sembur Setan Ngompol yang masih kesakitan.
"Lihat si sableng itu!
Dia ada di sana! Mengapa dia telanjang begitu rupa? Sudah benar-benar sableng
dia rupanya!" Mendengar ucapan Naga Kuning si kakek Setan Ngompol segera
palingkan kepala, memandang ke jurusan yang ditunjuk.
"Astaga!" Kagetlah
si Kakek.
"Apa yang terjadi dengan
anak itu! Jangan-Jangan dia sudah dipukau setan hingga jadi gila! Bertelanjang
bulat begitu rupa! Lihat, perabotannya gundal-gandil kemana-mana! Gila betul!
Wiro! Hai! Wiro!" Setan Ngompol berteriak. Suara teriakannya keras dan
menggema di seantero rimba belantara karena dia berteriak disertai pengerahan
tenaga dalam. Naga Kuning juga ikut berteriak memanggil-manggil Wiro. Malah
anak ini berlari kedepan, tapi terhempas kembali seolah ada dinding yang tak
kelihatan telah ditabraknya.
"Wiro!" teriak Naga
Kuning sambil lambai-lambaikan tangan.
"Wiro! Anak
sableng!" Setan Ngompol kembali berteriak. Di ujung sana, dekat pedataran
rumput liar, Pendekar 212 kelihatan berjalan kian kemari seperti orang bingung.
Dia memandang ke langit, berpaling ke kiri atau ke kanan, memandang
berkeliling. Sekali-sekali tangannya menggaruk-garuk kepala. Agaknya dia sama
sekali tidak mendengar teriakan Naga Kuning dan Setan Ngompol! Dan memang aneh
luar biasa bagi Setan Ngompol dan Naga Kuning karena saat itu Wiro sama sekali
tidak mengenakan pakaian. Dia berjalan polos kian kemari sambil memegang kapak
sakti dan batu hitam.
"Aneh! Masakan dia tidak
mendengar teriakan kita!" ujar Setan Ngompol. Naga Kuning juga terheran
heran.
"Sepertinya ada sesuatu
yang membatasi antara kita dengan dia. Dinding tak kelihatan itu …. Kita bukan
saja tak bisa melintasi tempat ini, malah suara kita juga tidak bisa tembus ke
sebelah sana!" kata Naga Kuning. Otaknya bekerja. Dia melihat sebuah batu
sebesar kepalan. Batu ini diambilnya lalu dilemparkannya ke arah Wiro di ujung
lapangan.
Tapi "blukkk!" Batu
sebesar kepalan itu mental kembali. Kalau tidak lekas merunduk batu itu akan
medarat di kening Setan Ngompol. Terkencing-kencing si kakek memaki panjang
pendek.
"Bocah edan! Kau mau
membuat somplak kepalaku!"
"Wiro! Hai! Kau budek
atau tuli? Torek hah?!" Naga Kuning kembali berteriak Tapi sia-sia saja.
Wiro tetap tidak mendengar padahal jarak mereka hanya terpisah kurang dari
tujuh tombak.
"Jangan-jangan anak itu
sudah dicium setan congek hingga telinganya jadi tuli!" kata Naga Kuning
"Aku.khawatir dia bukan
cuma tuli, tapi matanya juga ikut-ikutan tidak beres. Masakan kita berada
sedekat ini dia tidak bisa melihat!" ujar Setan Ngompol pula.
"Kita cari jalan
berputar. Mungkin bisa tembus! Jalan ke ujung sana baru membelok ke arah
pedataran rumput!" kata Naga Kuning. Setan Ngompol setuju.
Dua orang itu lari ke ujung
timur. Setelah cukup jauh mereka membelok ke kiri. Tapi "buukk..
bukkk!" Kembali sosok mereka menghantam dinding yang tidak kelihatan. Selagi
terhuyung-huyung tiba-tiba Naga Kuning berseru.
"Dia lenyap! Wiro
lenyap!"
Saat itu Pendekar 212 yang
tadi berada di dekat lapangan sebelah sana kini memang lenyap tak kelihatan
lagi.
"Kemana kita harus
mencari? Apa yang terjadi dengan anak itu?!" Setan Ngompol tampak bingung
sekali dan tak putus-putusnya menekapkan tangan ke bawah perut.
"Aku tidak percaya pada
segala macam setan, jin atau dedemit!" berkata Naga Kuning.
"Jangan-jangan ada orang
jahat berkepandaian tinggi me-nguasai kawasan rimba belantara ini sengaja
hendak mencelakai Wiro!" berbisik Naga Kuning.
"Kalau cuma masih namanya
manusia, bagaimana pun tinggi kepandaiannya pasti bisa kita tembus. Kau boleh
saja tidak percaya. Tapi kurasa kita tengah berhadapan dengan sebarisan jin
atau dedemit penguasa hutan! Kita harus mencari seseorang untuk minta bantuan.
Aku punya firasat kalau tidak ditolong si Wiro itu tak bakal bisa keluar dari
hutan ini sampai kiamat dan kita tak bisa tembus masuk ke dalam!"
"Kalau mau minta tolong
pada siapa?" tanya Naga Kuning.
"Nanti kita selidiki.
Yang penting kita harus tinggalkan tempat ini sebelum kita berdua juga
ditelanjangi!" Walau dia sendiri yang berkata begitu tapi rasa takut tak
bisa dibendungnya. Begitu Naga Kuning lari meninggalkan tempat itu si kakek
segera mengikuti sambil terkencing-kencing.
* * *
SEMBILAN
WIRO duduk dengan paha
dirapatkan. Kapak Naga geni 212 dan batu hitam diletakkannya di atas pangkuan.
Memandang ke langit dilihatnya matahari mulai menggelincir ke barat Sampai saat
itu dia masih bingung karena tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan
dirinya.
Apa lagi setelah hampir
setengah harian dia mengelilingi rimba belantara itu namun tidak kunjung bisa
keluar. Tanpa setahunya sepasang mata mengintip dari balik serumpunan semak
belukar lebat Tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda hijau melayang di
udaraa lalu jatuh di tanah, beberapa langkah di hadapannya.
Pendekar 212 tidak segera
memperhatikan benda apa yang jatuh di tanah itu. Sebaliknya perhatiannya lebih
tertuju pada arah datangnya benda tersebut Saat itu dia melihat ujung semak
belukar di sebelah sana tampak bergerak-gerak. Tanpa sadar akan keadaan dirinya
dan mengira ada orang bermaksud jahat padanya dia cepat melompat ke arah semak
belukar sambil putar Kapak Maut Naga Geni 212 di atas kepala. Sinar putih
berkilauan bergulung di udara, suara seperti tawon mengamuk menderu.
Begitu Wiro menjejakkan kaki
di tanah di balik semak belukar, satu pekikan perempuan melengking keras di
tempat itu. Meman-dang ke depan Wiro dapat kan dirinya berhadap-hadapan dengan
seorang gadis cantik berkulit hitam manis. Karena hanya mengena-kan pakaian
terbuat dari daun-daun hijau yang disambung-sambung, maka lekuk-lekuk tubuhnya
yang bagur dan kencang terlihat cukup jelas. Ketika melihat Wiro yang tanpa
pakaian tegak di hadapannya, kembali si gadis terpekik keras dan balikkan
badannya lalu lari ke balik semak belukar lain di sebelah kiri.
Murid Eyang Sinto Gendeng baru
sadar akan keadaan dirinya dan jadi kalang kabut berusaha menutupi aurat. Dalam
bingungnya dia hampir hendak lari, berlindung ke balik semak belukar yang sama
di mana gadis tadi bersembunyi.
"Gila! Apa yang terjadi
dengan diriku! Aku takut dan malu bertemu orang. Malah kini bertemu seorang
gadis. Siapa dia?! Manusia sungguhan atau makhluk halus jejadian? Jangan-jangan
dia Hantu Santet Laknat yang kembali merubah diri hendak mencelakaiku! Mungkin
juga dia sosok orang yang kulihat malam tadi … ?"
Wiro lalu berlindung ke
belakang semak belukar di mana sebelumnya gadis berbaju daun hijau tadi pertama
kali sembunyi. Dari sini dia bisa melihat benda hijau yang masih tergeletak di
tanah. Ketika diperhatikannya sekali lagi baru dia menyadari. Benda hijau itu
adalah rangkaian daun-daun hijau yang dibentuk demikian rupa hingga merupakan
sehelai celana pendek walau agak mekar di sebelah bavrlah, menyerupai pakaian
perempuan.
"JanganJangan gadis itu
hendak berbuat baik. Sengaja melemparkan pakaian dari daun itu untukku!
Ah!" Wiro garuk garuk kepala. Dia memandang ke arah semak belukar di
seberang sana. Si gadis agaknya masih sembunyi ditempat itu. Wiro perhatikan
kembali pakaian dari daun lalu berjingkat-jingkat sambil dua tangan yang
memegang kapak dan batu hitam ditutupkan ke auratnya sebelah bawah, dia
melangkah mendekati pakaian itu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil pakaian
dari daun itu tiba-tiba dari balik sermak belukar terdengar si gadis berseru.
"Tunggu!"
"Sial!" Wiro memaki
karena terkejut dan hentikan langkahnya. Dia cepat tutup auratnya sebelah bawah
lalu berpaling ke arah semak belukar.
"Ada apa ini sebenarnya?
Kau siapa?! Apa celana dari daun itu bukan untukku?!" Dari balik semak
belukar terdengar jawaban.
"Celana itu memang
untukmu! Tetapi kau tidak boleh menyentuh dengan tanganmu! Ambil celana dengan
jalan menjepit dengan jari-jari kaki kananmu! Lalu lemparkan ke udara. Sebelum
jatuh sambut dengan kepalamu! Jika celana itu memang ditakdirkan menjadi
pakaianmu, celana itu akan langsung melekat di tubuhmu!" Wiro tentu saja
terheran-heran mendengar penjelasan itu. Sambil garuk-garuk kepala dia
membatin.
"Aneh-aneh saja! Ambil
celana musti dengan kaki segala!" Lalu Wiro berkata ditujukan pada gadis
di belakang semak belukar.
"Aku tidak tahu apa kau
tengah menolangku, sedang mem-permainkan diriku atau menyembunyikan kejahatan
di balik semua ke keanehan ini! Orang gila saja pasti tahu mana ada orang
mengenakan celana dengan cara menjepit dan melemparkannya ke udara! Gila dan
aneh! Aneh dan gila! Mengapa musti begitu?!" Dari baliksemak belukardi
seberang sana kembali terdengar suara orang menjawab.
"Kau berada di dalam
rimba Lasesatbuntu…."
"Hutan
Lasesatbuntu!" ujar Wiro. Dia ingat, Lakasipo pernah menuturkan keangkeran
hutan ini. Lalu dia ajukan pertanyaaan.
"Apa kau penguasa rimba
belantara ini?"
"Bukan! Kita senasib…."
"Apa maksudmu
senasib?!" tanya Wiro lagi.
"Jangan banyak bertanya
dulu. Dengar, sebagian dari kawasan hutan Lasesatbuntu ini berada di bawah
pengaruh ilmu hitam. Tak tembus pandang, tak tembus suara. Para Peri dan para
Dewa pun tidak sanggup menembus, melihat dan mendengar apa yang terjadi di
sini! Jika celana itu memang layak bagimu maka begitu menyentuh kepalamu dia
akan bergerak turun menutupi tubuhmu dari pinggang ke bawah." Wiro terdiam
sesaat. Pakaian dari daun itu terletak di tanah di tempat terbuka. Jika dia
melakukan apa yang dikatakan si gadis, dari tempatnya bersembunyi gadis itu
akan dapat melihatnya jelas sekali.
"Aku akan lakukan apa
yang kau katakan! Tapi harap kau jangan memperhatikan!"
"Siapa sudi
memperhatikan! Dari tadipun aku sudah mem-balikkan diri!" jawab si gadis
dari balik rerumpunan semak belukar. Wiro ulurkan kaki kanannya.
"Sialan! Mengapa aku jadi
keluarkan keringat dingin!" Murid Sinto Gendeng ini memaki sendiri di
dalam hati. Pakaian dari daun itu dijepitnya dengan jari-jari kaki kanan lalu
seperti yang dikatakan gadis berkulit hitam manis itu Wiro lemparkan benda itu
ke udara. Begitu melayang jatuh dia cepat sambut dengan kepalanya.
”wuuuttt!”
"Seettt!”
Pakaian dari daun itu melewati
kepala Wiro, turun ke dada terus ke perut seolah dia tidak memiliki dua tangan
yang menghalangi gerak. Sesaat kemudian pakaian itu telah melingkar mentutupi
auratnya mulai dari pinggang sampai ke paha.
"Aneh! Benar-benar aneh!
Seperti sulap saja!" kata Wiro sambil garuk kepala. Dia ingat pada gadis
yang sembunyi di balik semak belukar.
" Aku sudah berpakaian!
Terima kasih kau sudah menolongku! Aku akan menemuimu!" Di belakang semak
belukar Wiro kembali berhadap-hadapan dengan gadis berkulit hitam manis tadi.
"Aku tidak mengenalmu.
Kau telah memberikan pakaian dari daun aneh ini padaku! Siapa kau sebenarnya.
Apa maksudmu dengan Ucapan kita senasib tadi?"
"Namaku Luhtinti. Aku
sahabat Lakasipo. Laki-laki itu pernah menolongku dari tangan jahat Hantu Muka
Dua!"
"Namaku Wiro. Aku juga
sahabat Lakasipo!" Luhtinti mengangguk.
"Aku pernah mendengar
riwayat dirimu dan dua sahabatmu dari Laksipo," kata si gadis pula.
Tiba-tiba Wiro ingat.
"Aku harus keluar dari
hutan ini. Lakasipo dalam bahaya! Dia masuk dalam sebuah jaring iblis milik nenek
jahat berjuluk Hantu Santet Laknat! Aku harus menolongnya.
"Kau tak bisa berbuat
apa-apa …. Kau tak mungkin bisa keluar dari dalam rimba belantara ini. Kau
berada di bawah pengaruh dan kekuasaan ilmu hitam Hantu Santet Laknat!"
Wiro terkejut
”Apa?! Bagaimana kau bisa
tahu?! Jangan-jangan kau adalah kaki tangan nenek jahat itu!"
"Aku senasib denganmu!
Hantu Santet Laknat menjebloskaan aku ke dalam rimba belantara ini atas
perintah Hantu Muka Dua. Dulu aku adalah budak .Hantu Muka Dua yang dipaksa menjadi
kaki tangan pembantunya bersama empat orang gadis lain. Ketika aku melarikan
diri bersama Lakasipo, dia menuduhaku sebagai pengkhianat Karena dia punya
pantangan membunuh maka dia menyuruh Hantu Santet Laknat untuk menghukumku. Aku
dijebloskan ke dalam rimba belantara ini! Tak mungkin bisa keluar lagi untuk
selama-lamanya.
Ketika pertama aku dijebloskan
ke dalam rimba ini, hal yang kau alami juga terjadi atas diriku. Pakaianku
musnah secara aneh begitu tersentuh sinar matahari. Aku membuat dua pakaian
dari daun. Satu kupakai sendiri, satu lagi yang kau kenakan itu …."
(Mengenai riwayat Luhtinti baca Episode berjudul "Peri Angsa Putih")
"Celaka… celaka,…"
Wiro berucap berulang kali. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti
diselipkannya ke pinggang celana yang terbuat dari sambungan-sambungan
daun-daun hijau itu yang ternyata selain tebal juga cukup kuat.
"Kita memang telah
dilanda celaka dihantam bala!" menyahuti Luhtinti.
"Apa benar katamu, kita
selama-lamanya akan terpendam dalam rimba belantara ini. Tak bisa keluar dan
orang dari luar juga tak bisa menolong kita termasuk para Peri dan Dewa?!”
"ltulah nasib kita
…" jawab Luhtinti sedih.
"Aku tidak percaya! Pasti
ada cara! Pasti ada jalan! Setiap ilmu hitam bagaimanapun hebatnya pasti ada
titik kelemahannya! Pada titik kelemahan itu kita dapat menghancurkannya!"
"Aku sudah tiga purnama
berada dalam rimba celaka ini. Gerak dan pandanganku terbatas. Setiap aku coba
mencari jalan ke-luar, aku hanya berputar-putar dan selalu kembali ke tempat
semula. Aku ingin menjerit, ingin menangis! Bahkan kadang-kadang timbul jalan
sesat dalam benak dan hatiku! lngin bunuh diri saja! Tapi …."
Murid Eyang Sinto Gendeng
pandangi wajah dan sosok Luhtinti. Jika tidak dalam keadaan seperti itu dia
akan menyadari betapa gadis berkulit hitam manis ini bukan saja memiliki wajah
cantik jelita tapi juga tubuh yang sangat bagus dan tersingkap di sana-sini
penuh menggairahkan. Sebaliknya Luhtinti yang berada dalam keadaan lebih tenang
setiap dia menatap paras sang pendekar dadanya terasa berdebar. Dia harus
mengakui, tidak ada pemuda di Negeri Latanahsilam yang memiliki wajah segagah
pemuda asing ini.
Wiro kepalkan dua tangannya.
Lalu dia ingat akan "llmu Menembus Pandang" yang di dapatnya dari
Ratu Duyung. Pada Luhtinti dia berkata.
"Kita pasti bisa keluar
dari sini! Aku akan berusaha!" Lalu Wiro salurkan tenaga dalamnya ke
kepala. Matanya dikedipkan dua kali berturut-turut. Dia memandang berkeliling.
Seperti diketahui dengan ilmu itu Wiro bisa melihat apa saja dikejauhan
sekalipun terhalang sesuatu.
Namun saat itu sampai dia
cucurkan keringat dingin dan sepasang matanya menjadi perih dia tidak mampu
melihat apa-apa. Yang terlihat tetap saja semak belukar, pohon-pohon dan
benda-benda lain yang ada di sekelilingnya.
"Aku tak mampu …"
ujar Wiro perlahan antara kecewa dan marah.
"Wahai, sudah nasib kita
seperti ini …."
"Aku tak mau menyerah
pada nasib!" kata Wiro keras.
"Kalaupun aku harus
menemui ajar di dalam rimba celaka ini, nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat
itu harus kuhabisi lebih dulu!" Tiba-tiba Wiro mencium bau aneh. Nafasnya
mendadak menjadi sesak. Dadanya mendenyut sakit. Tenggorokannya terasa panas.
Dia batuk-batuk berulang kali. Lalu ada cairan mengalir keluar dari hidungnya.
Wiro meraba ke bawah bibir.
"Hidungku berdarah!"
kata Wiro terkejut. Hal yang sama juga terjadi dengan Luhtinti. Tapi dia tampak
lebih tenang.
"Hawa aneh itu datang
lagi …" kata si gadis. Dia memberi isyarat pada Wiro agar cepat
mengikutinya meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian setelah berjalan cukup
jauh bau aneh itu lenyap.
"Hawa aneh itu …"
menerangkan Luhtinti.
"Bisa muncul setiap saat
secara tak terduga. Dan itu bukan cuma satu-satunya siksaan yang bakal kau
alami. Ada hawa aneh yang membuat mata menjadi perih berair serta hidung dan
telinga mengeluarkan cairan. Ada hawa aneh yang membuat kulit terasa gatal.
Ketika digaruk rasa gatal berubah menjadi rasa melepuh. Lalu belum lagi
gangguan binatang-binatang jejadian …."
"Tadi malam aku diserang
ular aneh kepala dua. Pasti semua ini perbuatannya Hantu Santet Laknat!"
"Siapa lagi kalau bukan
dia …."
"Kau berjalan terus. Kita
ini mau kemana?" bertanya Wiro.
"Dalam rimba belantara
ini ada satu tempat yang sedikit agak aman. Sebuah goa batu …. Masih jauh dari
sini. Cepat ikuti aku …." Tak lama berjalan mengikuti Luhtinti sekonyong
konyong Wiro mendengar ada suara orang memanggil-manggil di belakangnya.
"Wiro … ! Wiro!"
"Wiro! Hai! Kami ada di
sini!"
Pendekar 212 segera hendak
berpaling. Tapi Luhtinti cepat berteriak.
"Jangan menoleh! Jangan
menyahuti!"
"Memangnya kenapa?"
tanya Wiro heran.
"Yang memanggilmu itu
adalah suara gaib dari alam roh jahat yang berada dalam kekuasaan Hantu Santet
Laknat!"
"Mana mungkin!"
sahut Wiro.
"Aku kenali betul! Itu
suara dua sahabatku! Naga Kuning dan kakek berjuluk si Setan Ngompol."
"Percaya padaku wahai
sahabat! Kita berada dalam rimba Lasesatbuntu! Rimba seribu celaka seribu
petaka. Kita berada di bawah kekuasaan Hantu Santet Laknat! Suara-Suara yang
kau dengar itu adalah tipuan jahat semata!"
"Kalau … kalau aku
menoleh apa yang terjadi?" tanya Wiro.
"Jika kau sampai menjawab
apa lagi menoleh, kepalamu akan berubah tempat. Bagian muka akan berada di
sebelah belakang, yang belakang akan menghadap ke depan. Kau akan tersiksa
begini rupa selama tiga puluh hari tiga puluh malam!"
"Aku tidak percaya!"
kata Wiro.
"Aku pernah mengalami
sendiri pertama kali dijebloskan ke dalam rimba belantara ini!"
menerangkan Luhtinti.
Di belakang sana masih
terdengar suara Naga Kuning dan Setan Ngompol memanggil-manggil.
"Tapi bagaimana kalau
suara itu sungguhan suara sahabat-sahabatku. Mereka mungkin dalam bahaya!"
"Percaya padaku
Wiro!"
"Tapi Luhtinti …."
"Kalau kau tidak percaya
dan tidak mau ikuti nasehatku, silakan saja. Menolehlah! Berpaling ke belakang!
Tapi nanti jangan menyesal!" kata Luhtinti dengan muka pucat.
Murid Eyang Sinto Gendeng
gerakkan kepalanya. Tapi setengah jalan dia merasa jerih juga dan hentikan
gerakannya. Luhtinti hembuskan nafas lega.
"Ayo, lekas ikuti aku!
Goa itu masih jauh dari sini." Wiro geleng-geleng kepala dan kembali
berjalan mengikuti si gadis. Baru saja mereka melangkah pergi di belakang sana
terdengar suara tawa keras, melengking tinggi menggetarkan seantero rimba
belantara.
"Gila …" rutuk
Pendekar 212.
Setelah berjalan cukup jauh
Wiro beranikan diri ajukan pertanyaan.
"Kalau tadi aku menoleh,
apa hanya kepalaku sebelah atas saja yang berubah tempat? Kepala sebelah bawah
apa juga ikut berpindah ke belakang?"
"Aku tak mengerti
maksudmu. Coba ulangi pertanyaanmu …." kata Luhtinti. Wiro menyeringai.
Dia diam saja tidak mengulangi pertanyaannya.
"Hai, apa yang kau
tanyakan tadi?"
"Tidak, tidak apa-apa …
!" jawab Pendekar 212. Luhtinti hentikan langkahnya dan menatap sejurus
pada Wiro. Wajah si gadis kemudian tampak bersemu merah. Cepat-Cepat dia
palingkan kepala dan melangkah pergi. Wiro kembali menyeringai seraya
garuk-garuk kepala. Di sebelah depan Luhtinti berkata dalam hati.
"Lakasipo memang pernah
menuturkan riwayat dan sifat-sifat pemuda asing ini. Tapi tidak kusangka, dalam
keadaan seperti ini dia masih bisa bicara kurang ajar! Sableng …. Wiro Sableng.
Kata orang di negeri sana Sableng artinya sinting, tidak waras. Di sini artinya
kencing kuda …. dua-duanya betul. Otak pemuda ini memang agaknya sedikit kurang
waras dan mulutnya bicara meluncur seperti kencing kuda!" Luhtinti tertawa
sendiri.
"Kulihat kau tertawa. Ada
apa Luhtinti…?" bertanya Wiro.
"Tidak, tidak ada
apa-apa," jawab si gadis. Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
"Ah, dia ganti membalas
rupanya!" kata Wiro dalam hati.
* * *
SEPULUH
WIRO pegang lengan Luhtinti.
Sambil memandang berkeliling dia berkata.
"Keadaan di tempat ini
aneh sekali. Barusan saja aku masih melihat matahari di langit dan cuaca terang
benderang. Mengapa tahu-tahu di sini keadaan redup, matahari mendadak lenyap,
udara berubah gelap seolah-olah siang telah berganti dengan malam. Atau saat
ini hari sebenarnya memang telah malam? Aku menangkap suara jengkerik tiada
henti di sekitar sini. Lalu ada suara kodok …."
Disentuh lengannya begitu rupa
membuat Luhtinti jadi berdebar. Si gadis balas letakkan jari jari tangannya
yang halus di atas tangan Wiro.
"lnilah kawasan yang
kukatakan sedikit aman bagi kita …. Di luar sana sebenarnya hari masih siang.
Tapi di sini siang malam sama saja. Suara jengkerik dan kodok tak pernah putus
…."
"Katamu ada sebuah goa ….
Aku tidak melihat apa-apa," kata Wiro pula. Luhtinti menunjuk pada tiga
pohon besar yang tumbuh berdampingan.
"Di balik pohon besar
sebelah kanan ada satu gundukan tanah tertutup semak belukar liar. Lalu ada
barisan batu-batu besar. Di bawah salah satu batu besar sebelah tengah ada
sebuah lobang setinggi kepala manusia. ltulah pintu goa…."
"Menurutmu tempat ini
cukup aman bagi kita. Memangnya Hantu Santet Laknat tidak bisa memburu kita
sampai ke sini?"
"Nenek jahat itu bisa
saja gentayangan sampai kesini. Tapi setahuku dia tidak begitu suka mendatangi
tempat ini. Selama aku berada di tempat ini, apalagi di dalam goa, seolah-olah
kekuatan jahatnya tidak bisa menyentuh diriku."
"Tapi kau tak bisa
mendekam terus menerus di dalam goa itu!" kata Wiro.
"Betul, tapi selama aku
tidak tahu cara lain untuk menyelamatkan diri maka goa ini satu-satunya tempat
aku berlindung …. Ikuti aku. Di luar sana sebentar lagi hari akan memasuki
senja. Senja akan berubah menjadi malam. Jika malam tiba Hantu Santet Laknat
selalu gentayangan membuat hal-hal aneh untuk mencelakai diriku …."
Luhtinti dan Wiro melewati deretan tiga pohon besar.
Sementara itu suara jengkerik
dan kodok serta binatang malam lainnya terdengar semakin keras dan berada di
mana-mana. Seperti yang dikatakan si gadis, di bawah salah satu batu besar itu
kelihatan sebuah lobang setinggi manusia. Tanpa ragu-ragu Luhtinti segera
memasuki lobang yang merupakan mulut goa. Wiro bimbang sejenak. Tiba-Tiba ada
hawa dingin menerpa sekujur tubuhnya, membuat Wiro menggeletar menggigil.
"Hawa aneh, pasti
perbuatan jahat Hantu Santet Laknat …." pikir Wiro. Cepat-Cepat dia masuk
ke dalam goa. Walau keadaan di dalam goa redup namun disini udara terasa lebih
hangat.
"Kau tidak memiliki lampu
minyak atau obor?" bertanya Wiro pada Luhtinti.
"Api adalah kawannya
makhluk jahat seperti Hantu Santet Laknat Aku tidak pernah menyalakan apapun di
dalam goa ini."
"Lalu di dalam sini apa
yang akan kita lakukan?" tanya Wiro.
"Kita berlindung dari
ilmu hitamnya Hantu Santet Laknat. Paling tidak kau bisa beristirahat…"
"Mana mungkin aku
beristirahat?" Aku harus mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu menolong
Lakasipo dan sahabatnya bernama Luhsantini yang terjebak dalam jaring Hantu
Santet Laknat!" Luhtinti menarik nafas dalam.
"Dulu, hari-hari pertama
aku tersesat ke dalam rimba belantara celaka ini, aku juga selalu berusaha
mencari jalan untuk keluar dari hutan ini. Tapi setelah berminggu-minggu tidak
membawa hasil aku sadar. Yang harus aku lakukan ialah bagaimana bisa
mempertahankan hidup dan menjaga agar tidak berubah pikiran alias gila!
Menyelamatkan diri sendiri saja tidak bisa, apalagi hendak menolong orang di
luar sana!"
Wiro terdiam walau kurang
setuju dengan ucapan gadis berkulit hitam manis itu. Di luar suara berisik
binatang malam masih terus terdengar berkepanjangan masuk dan bergaung sampai
ke dalam goa. Bersamaan dengan masuknya suara binatang binatang malam tanpa disadari
kedua orang itu, ikut bersama hembusan angin masuk pula satu hawa aneh.
"Aku letih dan ingin
istirahat…" kata Luhtinti dari sudut goa. Lalu dia menguap.
"Aku juga letih. Perutku
lapar …" jawab Wiro. Mulutnya terbuka. Seperti Luhtinti dia juga ikut –
ikutan menguap.
* * *
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
tidak tahu berapa lama dia terbaring lelap di lantai goa. Ketika terbangun dia
dapati ada satu sosok hangat dan harum terbaring rapat di sebelahnya. Satu
tangan halus melintang merangkul di atas dadanya. Darah sang pendekar mengalir
lebih cepat. Badannya terasa panas dan kencang. Setiap dia menghela nafas, bau
harum tadi masuk ke dalam alur pernafasannya, membangkitkan rangsangan aneh.
Wiro berusaha memalingkan kepala untuk mengetahui siapa gerangan yang tidur di
sebelahnya sambil memeluk tubuhnya. Sebelum dia sempat melihat wajah orang,
satu suara berbisik hangat di telinganya.
"Wiro, kau sudah
bangun…?" Lalu ada satu benda lembut, hangat dan basah menjilati daun
telinganya, membuat Pendekar 212 jadi merinding menggeliat.
"Luhtinti?" Wiro
menyebut nama gadis itu karena suara yang barusan didengar dan dikenalinya
adalah suara Luhtinti. Cepat-cepat Wiro bangkit dan duduk. Karena si gadis
tidak mau melepaskan rangkulannya, sosoknya jadi ikut bangkit dan kini terduduk
diatas
pangkuan Wiro.
"Wiro, ada sesuatu yang
ingin kukatakan padamu. Aku lupa memberi tahu sebelumnya …. "!
"Aku …. Luhtinti aku
…."
"Aku ingat satu cara yang
bisa membuat kita keluar dari dalam rimba Lasesatbuntu ini …."
"Katakanlah," jawab
Wiro ketika Luhtinti hentikan ucapannya.
"Tapi harap kau dudukdi
lantai. Kalau kau duduk di pangkuanku rasanya aku tak bisa bernafas!"
Luhtinti tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan Wiro, lepaskan
rangkulannya dan duduk di lantai. Walau keadaan di dalam goa itu redup dan agak
gelap namun Wiro masih bisa melihat bahwa saat itu di sebelah atas Luhtinti
tidak mengenakan apa-apa lagi. Dadanya yang polos kencang menantang. Senyumnya
tidak berkeputusan dan sepasang matanya menatap tidak lepas-lepas dari wajah
Wiro.
"Kau seperti berubah. Ada
apa Luhtinti?" tanya Wiro.
"Wahai, aku terlalu
bergembira, Wiro. Seperti kau katakan tadi aku ingat ada satu cara yang bisa
membuat kita mampu keluar dari rimba belantara terkutuk ini!"
"Kalau begitu lekas kau
katakan agar kita secepatnya berusaha melakukan," jawab Wiro. Bau harum
yang merebak dari tubuh dan rambut si gadis membuat darah sang pendekar tambah
bergejolak. Apalagi jika sesekali dia memberanikan diri memandang ke dada
Luhtinti. Kemudian matanya melihat pakaian hijau bagian atas yang sebelumnya di
kenakan Luhtinti terletak di lantai goa. Wiro ambil pakaian yang terbuat dari
daun-daun ini lalu menutupkannya ke dada si gadis.
"Bicaralah Luhtinti.
Katakan bagaimana caranya kita bisa keluar dari rimba belantara Lasesatbuntu
ini."
"Caranya sangat sederhana
Wiro," kata si gadis dengan wajah ditengadahkan disertai layangan senyum
dan mata membesar.
"Kau mengawini aku,
mengambil aku jadi istrimu …." Pendekar 21 2 tersentak mendengar kata-kata
Lu htinti itu. Si gadis sebaliknya malah tertawa panjang.
"Ucapanku belum selesai.
Kau sudah seperti ketakutan …" kata Luhtinti seraya pegang lengan Wiro.
"Perkawinan ini hanya
sekedar untuk memusnahkan kekuat-an hitam. Hantu Santet Laknat yang mengurung
kita di hutan ini. Kau tidak perlu selama-lamanya mengambil diriku sebagai
istri. Begitu kekuatan hitam Hantu Santet Laknat musnah, kau boleh saja
meninggalkan diriku …."
"Tapi ….”
"Dengar dulu,"
potong Luhtinti.
”Jangan kau mengira perkawinan
ini harus melalui segala macam upacara atau meminta izin para Peri dan Dewa.
Cukup kita melakukan hubungan sebagai suami istri di dalam goa ini. Itu sudah
berarti kau mengawini diriku …."
"Hal itu tidak mungkin
kulakukan Luhtinti!" kata Wiro.
"Mengapa tidak
mungkin?!"
"Perkawinan adalah
sesuatu yang suci dan sakral! Mana mungkin kita kawin seperti kucing atau ayam
begitu saja. Luhtinti tertawa panjang.
"Kita ini memang bukan
kucing dan bukan juga ayam! Jadi kalau kita kawin bukan berarti kita kawin
kucing atau kawin ayam! Lagi pula perkawinan kita adalah demi untuk
menyelamat-kan diri dari malapetaka yang bisa mencelakai kita sampai
kiamat!"
"Aku memilih celaka
sampai kiamat …" kata Wiro tegas sambil bangkit berdiri. Dia segera ingat
akan peristiwa yang dialaminya di Puri Pelebur Kutuk milik Ratu Duyung ketika
berusaha menyelamatkan diri sang Ratu dari kutukan jahat yang akhirnya membuat
Wiro kehilangan semua kesaktian (Mengenai Ratu Duyung harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu terdiri dari 8 Episode sedang mengenai
peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng
berjudul Tua Gila Dari Andalas, terdiri dari 11 Episode)
Kini untuk bisa selamat dari
tangan Hantu Santet Laknat dan keluar dari rimba belantara Lasesatbuntu, apakah
memang dia harus melakukan hubungan badan dengan Luhtinti? Wajah Luhtinti
tampak berubah sedih mendengar ucapan Wiro tadi.
"Wahai, kenapa kau
berpikiran begitu dangkal? Bagiku keselamatan diriku sendiri sudah tidak
kupikirkan lagi, Wiro. Aku justru ingin membantu menyelamatkan dirimu. Apalagi
kau mengata-kan bahwa dua orang sahabatmu di luar sana yang mungkin berada
dalam bahaya. Lalu kau sendiri pula yang mengatakan bahwa Lakasipo dan
Luhsantini terjerat dalam jaring Hantu Santet Laknat. Kuharap kau mau mempertimbangkan.
Semua yang akan kita lakukan bukan mencari kesenangan pribadi. Tapi untuk
menolong dirimu dan diri orang lain. Atau mungkin kau tidak ingat lagi untuk
kembali ke negeri asalmu di tanah Jawa sana?"
Pendekar 212 pandangi wajah
Luhtinti tak berkesip.
"Semua yang kau katakan
itu benar adanya. Tapi melakukan hubungan badan denganmu tak mungkin aku
lakukan …." Luhtinti tersenyum. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Pakaian daun yang menutupi dadanya jatuh ke lantai goa. Kembali dada gadis ini ter-singkap
polos. Tubuhnya kemudian dirapatkan ke badan Wiro yang tegak tersandar ke
dinding goa.
Lalu dua tangan Wiro
dibimbingnya ke pinggulnya. Ketika Wiro menyentuh pinggul gadis itu, dia tidak
merasakan apa-apa kecuali memegang kulit yang lembut dan halus. Wiro melirik ke
bawah. Dadanya bergoncang. Dia tidak tahu entah kapan dan bagaimana caranya si
gadis telah membuka pakaiannya disebelah bawah. Karena saat itu dilihatnya
Luhtinti tegak tanpa sehelai daunpun menutupi auratnya!
" Wiro ,lakukanlah. Demi keselamatanmu
dan sahabat-sahabatmu…." Luhtinti berkata lirih, wajahnya ditengadahkan,
lidahnya yang merah basah tergantung antara bibirnya yang seperti delima
merekah dan bergetar halus.
"Luhtinti, aku tidak bisa
melakukan permintaanmu …." Aku yakin kau bisa. Jika kau mau…. Jika tidak ,
berarti kau bukan saja tega mencelakai diri sendiri tapi juga tega membiarkan
sahabat-sahabatmu menemui malapetaka!" Sambil berkata Luhtinti semakin
rapatkan tubuhnya ke badan Wiro.
Dua tangannya merangkul ke
pinggang dan punggung Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan tubuh Wiro dibawanya
luruh jatuh ke lantai goa. Ketika gadis itu hendak menanggalkan pakaian di
tubuh Wiro, sang Pendekar segera sadar. Dia melompat berdiri dan lari ke luar
goa.
"Wiro!" Luhtinti
bangkit berdiri, menyambar pakaian daunnya lalu mengejar. Wiro sengaja
menyembunyikan diri di tempat gelap, di antara dua batu besar dibalik
serumpunan semak belukar. Di sekelilingnya suara jangkrik ditingkah suara kodok
terdengar tidak berkeputusan. Sambil duduk Wiro genggam kapak saki Naga Geni
212 yang diletakkannya di pangkuannya.
"Luhtinti, aku menaruh
curiga. Jangan-jangan gadis itu me-nyembunyikan satu niat jahat Mengapa dia
tiba-tiba menunjukkan sikap jalang? Waktu bertemu pertama kali rambut dan
tubuhnya tidak wangi. Tapi tadi baunya harum sekali. Dan bau harum itu
merangsang darah di tubuhku. Di sengaja memakai minyak pemikat Gila, hampir
saja! Jika dia memang tahu rahasia keluar dari hutan terkutuk ini
seharusnya…."
"Wiro. …!” Pendekar 212
tersentak. Memandang ke depan Luhtinti tahu-tahu sudah tegak di hadapannya.
Gadis ini telah mengenakan pakaian daunnya.
"Mungkin aku telah
melakukan satu kesalahan besar. Aku …. Aku harus minta maaf padamu …." Si
gadis duduk bersimpuh di tanah di hadapan Wiro. Murid Sinto Gendeng usap-usap
gagang kapak saktinya.
"Tak ada yang harus
dimaafkan Luhtinti. Aku tahu maksudmu baik Hanya saja aku tidak bisa melakukan
apa yang kau minta …."
"Aku tak ingin
membicarakan hal itu lagi. Udara di luar sini terasa dingin. Baiknya kita masuk
kembali ke dalam goa. Aku berjanji tidak akan menganggumu lagi …."
"Kau saja masuk ke dalam
goa," kata Wiro sambil terus mengusap-usap kapaknya dan pandangi lobang
lobang senjata itu. Entah mengapa saat itu muncul saja niat di hati murid Eyang
Sinto Gendeng untuk meniup kapak itu seperti meniup suling. Apa lagi di
sekitarnya suara jangkerik dan kodok masih menggema terus. Wiro angkat
kapaknya, dekatkan ujung gagang kapala kapak yang berbentuk kepala naga.
Jika mulut kepala naga itu
ditiup, dan lobang-lobangnya ditelusuri dengan jari-jari tangan maka senjata
itu memang akan mengeluarkan suara seperti suling. Kalau meniupnya dengan
mengerahkan tenaga dalam maka suara yang keluar akan terdengar sangat keras,
bisa-bisa memekakkan telinga. Wiro menatap ke arah Luhtinti sebentar lalu
berkata.
"Aku ingin berada
ditempat ini barang beberapa saat. Aku ingin sendirian …." Luhtinti merasa
tidak enak mendengar ucapan Wiro itu. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa.
Perlahan-lahan gadis ini bangkit berdiri. Tetapi gerakannya tertahan sewaktu
melihat Wiro mendekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga itu ke
bibirnya.
"Wahai, apa yang hendak
kau lakukan Wiro?" tanya si gadis.
"Senjataku ini memiliki
beberapa keandalan. Satu diantaranya bisa ditiup dijadikan suling. Aku ingin
menenangkan pikiran. Siapa tahu aku masih ingat beberapa nyanyian lama. Kalau
tiupan serulingku buruk, jangan kau tertawakan …."
"Wiro! Jangan kau lakukan
itu!" kata Luhtinti tiba-tiba seraya bangkit berdiri. Wajahnya tampak
lain.
"Eh, jangan melakukan apa
maksudmu?" tanya Wiro heran
"Jangan tiup kapakmu!
Jangan keluarkan suara seruling di tempat ini!"
"Memangnya kenapa? Jika
kau tidak suka suara tiupan serulingku masuk saja ke dalam goa dan tekap dua
telingamu rapat-rapat!" kata Wiro pula. Lalu kembali dia dekatkan mulut
naga pada gagang Kapak Maut Maga Geni 212 ke bibirnya. Belum sempat dia meniup
Luhtinti berteriak seraya melompat.
"Wiro! Hentikan perbuatan
itu! Jangan! Kau mengundang bencana besar!"
"Bencana apa?" tanya
Wiro.
"Aku tak bisa mengatakan.
Yang penting jangan meniup kapakmu. Simpan senjata itu!" Melihat air muka
si gadis, mendengar nada suaranya yang keras Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
curiga. Tanpa perdulikan Luhtinti Wiro meniup. Kali ini Luhtinti benar-benar
marah rupanya. Sekali dia bergerak tangannya menyambar hendak merampas Kapak
Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro.
Namun Wiro tidak tinggal diam.
Masih tetap duduk kaki kanannya diajukan ke depan, menahan perut Luhtinti
hingga gerakannya merampas tidak bisa dilakukan. Selagi si gadis berusaha
menurunkan kaki Wiro sambil memukul, Pendekar 212 tiup kapak saktinya. Karena
dia meniup dengan pengerahan tenaga dalam maka suara yang keluar menggema keras
menusuk telinga.
"Jangan!" teriak
Luhtinti seraya menekap telinganya. Wiro meniup terus, lebih keras dan tak
karuan karena selain masih terus menahan tubuh Luhtinti dengan kakinya agar
gadis itu tidak bergerak lebih dekat, dia juga harus mengelak kian kemari
karena Luhtinti mulai melepaskan pukulan-pukulan. Ternyata pukulan si gadis
bukan sembarangan karena mengeluarkan angin tajam pertanda ada pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Luhtinti kembali berteriak.
Dadanya yang kencang beroncang keras. Dari ubun-ubunnya ada asap putih mengepul
tipis. Wajahnya yang cantik tampak mengerenyit mengkirik. Bibirnya
bergerak-gerak seperti tengah melafatkan mantera. Sepasang matanya mendelik.
Pendekar212 meniup
kapaksaktinya lebih keras. Luhtinti menjerit dahsyat! Di udara yang redup gelap
terdengar suara berderak seperti ada benda rengkah dan siap runtuh. . Daun
pepohonan kelompok demi kelompok tampak jatuh berluruhan. Suara jengkerik dan
kodok yang tadi terdengar tidak berkeputusan lenyap seperti ditelan bumi. Lalu
di sela-sela jari tangan Luhtinti yang dipakai untuk menekap telinganya kiri kanan
kelihatan ada cairan merah mengalir. Darah!
"Aku sudah curiga!"
kata Wiro dalam hati. Matanya tak berkesip terus mengawasi Luhtinti. Tiupan
serulingnya semakin menggila. Kemudian terjadilah beberapa keanehan. Kawasan
sekitar goa yang tadinya redup perlahanlahan menjadi terang. Peman-dangan yang
tadinya sangat terbatas berangsur-angsur menjadi luas dan jauh. Lalu yang sama
sekali tidak terduga dan membuat pendekar 212 jadi merinding ialah perubahan
yang terjadi atas diri Luhtinti.
Pakaian Luhtinti yang sebelumnya
berupa daun-daun hijau kini berubah menjadi sehelai jubah hitam. Ketika Wiro
melirik dirinya sendiri dia juga kaget karena dapatkan pakaian putihnya yang
sebelumnya sirna secara aneh kini telah melekat kembali dl badannya sementara
celana yang terbuat dari daun-daun hijau masih menempel diatas pakaian
putihnya. Namun Wiro tidak perdulikan keanehan yang ada pada dirinya karena dia
lebih memperhatikan apa yang terjadi pada Luhtinti. Wajah si gadis yang tadinya
hitam manis cantik jelita ini berubah menjadi satu wajah menyeramkan dengan
sepasang mata kecil menonjol tanpa alis. Mulut dan hidungnya jadi satu
membentuk paruh bengkok dan hitam. Kalau tadi rambut serta tubuhnya menebar bau
harum semerbak, kini sebaliknya memancarkan bau busuk!
"Hantu Santet
Laknat!" teriak Wiro kaget.
"Jadi kau rupanya!"
Si nenek menyeringai geram.
"Aku menawarkan madu, kau
lebih suka minum racun! Aku menawarkan kenikmatan hidup, kau lebih suka menelan
hazab!" Habis berkata begitu si nenek keluarkan suara jeritan melengking
seperti hendak merobek langit. Dua tangannya lalu didorongkan ke depan!
* * *
SEBELAS
WIRO maklum selain memiliki
ilmu hitam jahat si nenek juga menguasai ilmu silat dan kesaktian tinggi serta
kelicikan tipu daya tak terduga. Karenanya dia bertekad untuk menghadapi Hantu
Santet Laknat habis-habisan.
Dua gelombang angin menyapu
kearahnya. Wiro membentak garang. Sesaat suara tiupan seruling lenyap. Sambil
melompat ke atas dan jungkir balik di udara Wiro yang memegang kapak sakti di
tangan kiri kembali meniup senjata itu. Kali ini dengan pengerahan hampir tiga
perempat tenaga dalamnya! Wiro maklum sudah kelemahan ilmu hitam Hantu Santet
Laknat dalam menyirap kawasan rimba belantara Lasesatbuntu. Yaitu tidak sanggup
bertahan dan buyar terhadap kekuatan bunyi yang dahsyat!
Mungkin itu sebabnya dia tidak
terlalu suka berada di kawasan sekitar goa yang selalu dihantui suara jangkrik
dan kodok terus menerus. Walau suara-suara binatang itu tidak sampai
membuyarkan ilmu hitamnya namun hatinya selalu tidak tentram jika telinganya
mendengar suara aneh berkepanjangan.
Kawasan rimba belantara dimana
dua orang yang bertempur itu berada semakin terang. Daun-daun pepohonan tambah
banyak yang rontok. Tanah terasa bergetar. Tapi Hantu Santet Laknat yang
menderita cidera pada dua telinganya tidak merasa gentar. Marah besar melihat
dua serangannya tadi luput, si nenek kembali menggebrak. Sepasang matanya yang
kecil menonjol ke depan mengeluarkan asap. Wiro mengira dari dua mata itu akan
melesat dua larik sinar mematikan.
Tapi ternyata tidak. Malah
secara tak terduga dari mulut si nenek yang berbentuk paruh melesat keluar dua
larik kobaran api berbentuk sinar aneh warna biru. Sinar api ini
bergulung-gulung membentuk jaring yang kemudian dengan kecepatan kilat menebar
ke arah Pendekar 212.
"Api lblis Penjaring
Roh!" seru Pendekar 212 begitu mengenali benda yang melesat ke arahnya
itu. Jaring inilah sebelumnya yang telah menjerat Lakasipo dan Luhsantini.
Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bagaimana keadaan kedua orang itu. Hantu
Santet Laknat keluarkan tawa mengekeh lalu sentakkan mulutnya yang berbentuk
paruh.
"WUSSSSS!”
Jaring api biru menyambar ke
arah kepala Pendekar 212. Wiro hantamkan tangan kanannya, melepas pukulan Sinar
Matahari. Sinar putih panas terang benderang berkiblat!
"Bummmm!"
Sinar biru dan putih saling
bentrokan di udara! Tanah bergetar seperti dilanda gempa. Pendekar 212
keluarkan seruan keras. Tubuhnya terpental sampai dua tombak lalu terbanting di
tanah. Hawa panas mendera seolah badannya diselubungi kobaran api. Ketika dia
bangkit berdiri, kagetlah murid Sinto Gendeng ini. Kapak Maut Naga Geni 212
tidak ada lagi di tangan kirinya! Memandang ke depan, ternyata senjata itu
telah berada dalam jaring api biru yang mengambang di udara, dikendalikan oleh
Hantu Santet Laknat lewat hidung dan mulutnya yang berbentuk paruh.
Walau kapak sakti yang masih
berada dalam jaring api biru itu tidak mengalami kerusakan namun sulit bagi
Wiro untuk merampasnya kembali.
"Tua bang ka jahat!
Kembalikan kapak itu padaku!" Si nenek keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Pemuda tolol! Jangan
bersombong diri mengira bisa mengalahkanku! Kapak ini akan kukembalikan padamu
asal kau mau bersumpah! Bersedia menjadi kekasih peliharaanku!"
"Tua bangka tidak tahu
diri! lblis penjaga neraka pun tidak sudi bergendak denganmu! kau akan menyesal
jika tidak segera mengembalikan kapak itu padaku!"
"Begitu? Hik.. hik …
hik!" si nenek kembali mengekeh.
"Kau inginkan kapak
silakan mengambil sendiri!" Lalu Hantu Santet Laknat goyangnya kepalanya.
Jaring.api iblis serta merta lenyap. Kapak Naga Geni 212 kini berada di tangan
kiri si nenek. Dengan tangan kanannya Hantu Santet Laknat tiba-tiba merorotkan
bagian dada jubah hitamnya sebelah atas hingga dia kini tegak dalam keadaan
setengah telanjang. Gagang Kapak Naga Geni 212 diciumnya sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Bagian gagang yang berbentuk kepala naga dihisap-hisapnya
dengan cara menjijikkan. Lalu senjata itu diletakannya di atas dadanya yang
peot. Secara aneh kapak sakti itu menempel di dadanya.
"Wahai! Kau tunggu apa
lagi? Kau inginkan kapakmu kembali, silakan ambil!" berseru Hantu Santet
Laknat sambil berkacak pinggang dan senyum-senyum genit
"Jahanam!" rutuk
Pendekar 212. Sesaat dia hanya bisa tegak dengan mata mendelik.
"Ho … ooo! Kau tak mau
mendekati diriku, tak mau mengambil kapak karena takut menyentuh dadaku yang
buruk. Jangan takut anak muda! Saat ini aku bukan lagi Hantu Santet Laknat si
nenek buruk. Tapi aku adalah gadis-gadis yang mengasihimu! Lihat! Kau tinggal
memilih mana yang kau suka! Pandang baik-baik!"
Saat itu Pendekar 212 memang
masih memandangi si nenek dengan penuh geram. Tapi mendadak dia berseru kaget
dan tersurut beberapa langkah. Sosok dan wajah Hantu Santet Laknat mendadak
berubah menjadi wajah sosoksetengah telanjang Ratu Duyung, lalu berubah menjadi
sosok dan wajah Anggini lalu Pandansuri dan malah Bunga alias Suci, gadis yang
telah meninggal di tanah Jawa itu. Begitu terus berganti-ganti.
"Astaga! Bagaimana
mungkin dia bisa melakukan itu!" membatin Wiro dengan tubuh bergetar.
"Kau tidak ingin
mengambil kapak dan menyentuh dadaku?! Aku kekasihmu! Bidadari Angin
Timur!" Sosok di depan Wiro berucap. Dan saat itu Wiro benar-benar melihat
sosok utuh serta wajah cantik Bidadari Angin Timur tegak, tersenyum di hadapannya
dalam keadaan dada membusung putih dan polos. Selagi Wiro terpana tak bergerak
sepcrrti itu tiba-tiba di udara melesat cahaya biru dan "wuttt!"
Hantu Santet Laknat pergunakan kelengahan lawan untuk menyerang. Api lblis
Penjaring Roh Kembali melesat, menebar menjirat ke arah Pendekar 212.
"Kau tak akan bisa lolos!
Kali ini kau tak akan bisa menyelamatkan diri! Masuk ke dalam jaring! Masuk ke
dalam jaring!" Suara Hantu Santet Laknat mengiang aneh di telinga Wiro.
Ternyata nenek jahat ini telah pergunakan ilmu kesaktiannya yang disebut
Menyadap Suara Batin. Ucapannya itu masuk ke telinga Wiro, menyerap ke dalam
otak dan hatinya. Antara sadar dan tidak murid Sinto Gendeng kini bukan cuma
berdiri diam, tapi malah melangkah maju seolah menyambut kedatangan jaring api
birir yang hendak menggulung dirinya dari atas!
"Wiro awas!" satu
teriakan keras tiba-tiba menggeledek di tempat itu, membuat Pendekar 212 segera
sadar dan cepat jatuhkan diri di tanah, bergulingan sambil lepaskan satu
pukulan sakti dalam jurus Tangan Dewa Menghantam Rembulan. Ini adalah salah
satu dari tujuh inti jurus pukulan sakti yang didapatnya dari sebuah kitab
sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh, makhluk yang dianggap setengah
manusia setengah Dewa.
(Baca serial Wiro Sableng
berjudul "Delapan Sabda Dewa" yang merupakan Episode ke 4 dari 8
Episode)
"Buummmm!"
Satu ledakan dahsyat
menggelegar di udara. Sosok Wiro terhenyak amblas sampai satu jengkal ke dalam
tanah! Sekujur tubuhnya seperti memar dan tulang belulangnya laksana
terpanggang. Dadanya mendenyut sakit Dari sela bibirnya mengalir darah! Di atas
sana jaring api biru terpental sampai dua tombak. Tapi kembali melayang cepat
ke bawah. Kali ini tidak menyerang ke arah Wiro, tapi pada orang yang tadi
berteriak memberi peringatan padanya.
Terhuyung-huyung Wiro keluar
dari dalam lobang di tanah. Ketika dia memandang ke depan terkejutlah Pendekar
212. Semula dia tidak mengenali. Tapi kemudian sadar, orang yang hendak dilibas
jaring api biru itu adalah Luhtinti yang kini mengenakan pakaian berwarna
hitam. Pakaiannya yang terbuat dari daun daun hijau masih melekat di tubuhnya.
"Celaka Luhtinti! Dia
pasti tak bisa menyelamatkan diri dari jaring api itu! Aku tak mungkin
menolongnya!" Tiba-tiba Wiro ingat Dari mulutnya kelisar seruan keras.
"Sepasang Pedang
Dewa!"
Saat itu juga dari sepasang
mata Pendekar 212 memancar dua larik sinar hljau berbentuk sepasang pedang.
Sesaat lagi jaringan api biru akan jatuh menimpa dan menggulung Luhtinti, dua
pedang aneh itu berkiblat ganas. Udara dibeset oleh dua larik sinar hijau. Lalu
"taar … taarrr!"
Dua ledakan keras menggelegar.
Wiro terbanting ke tanah. Luhtinti terpekik dan terguling-guling babak belur
tapi selamat Di sebelah sana Hantu Santet Laknat menjerit keras. Tubuhnya mencelat
sampai tiga tombak lalu muntahkan darah hitam! Tertatih-tatih si nenek bangkit
berdiri. Dari kepalanya mengepul asap putih. llmu sepasang Pedang Dewa yang
juga didapat Wiro dari Datuk Basaluang Ameh sirna. Jaring api biru lenyap entah
kemana.
Tapi luar biasanya ternyata si
nenek masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya! Dia meludah
ke tanah lalu memandang beringas pada Wiro.
"Jangan kira kau bisa
mengalahkan aku, anak muda! Kapak saktimu menjadi milikku! Hik … hik …
hik!" Si nenek kembali meludah.
"Lain waktu aku akan
kembali! Tidak untuk membunuhmu! Tapi untuk bercinta denganmu! Kau tak akan
kulepas sampai hari kiamat sekalipun! Aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu!
Hik … hik … hik! Selamat tinggal anak muda. Selamat tinggal kekasihku! Hik …
hik … hilt…!" Pendekar212 jadi merinding mendengar kata-kata Hantu Santet
Laknat itu.
Sosok si nenek berkelebat dan
di mata Wiro dia seperti melayang terbang ke udara hingga dia tidak mungkin
mengejar. Padahal ini adalah tipuan ilmu hitam belaka karena sebenarnya saat
itu Hantu Santet Laknat hanya berjalan biasa meninggalkan tempat itu.
"Kembalikan
kapakku!" teriak Wiro. Di udara Wiro melihat Hantu Santet Laknat melayang
terbang semakin jauh dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
""Mati aku!" keluh
Wiro sambil tepuk keningnya sendiri lalu jatuhkan diri. Untuk beberapa lamanya
dia terduduk menjelepok di tanah. Kemudian pandangannya membentur sosok
Luhtinti yang tergelimpang pingsan. Ketika tubuh gadis itu bergerak menggeliat
Wiro segera mendekati untuk menolong
"Luhtinti …. Kau betulan
Luhtinti?!" tanya Wiro. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu lagi-lagi
adalah jelmaan ilmu hitam Hantu Santet Laknat. Luhtinti buka dua matanya.
"Wiro …" katanya
perlahan.
"Syukur kau masih hidup.
Tadinya aku sudah putus asa …."
"Tunggu! Bagaimana aku
tahu kau adalah Luhtinti yang asli. Bukan jejadian Hantu Santet Laknat!"
kata Wiro sambil tetap menjaga jarak dan berlaku waspada.
"Aku memang tidak bisa
membuktikan …" kata Luhtinti pula.
"Tapi jika kau bersangsi,
wahai, tinggalkan saja diriku sekarang juga!" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Kalau begitu biar aku
yang membuktikan," kata Wiropula. Lalu Pendekar 212 ulurkan tangan
kanannya ke dada si gadis seraya berkata.
"Jika kau masih inginkan
kita bersenang senang di dalam goa, apa boleh aku meraba dadamu lebih
dulu?" Berubah paras Luhtinti. Sepasang matanya mendelik.
"Aku tidak percaya pada
pendengaranku! Bagaimana mungkin kau berbuat dan berucap seperti itu
padaku?!" Wiro menyeringai. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
"Sekarang aku yakin kau
Luhtinti betulan …."
"Aku tak mengerti.
Memangnya ada apa … ?" tanya si gadis.
"Kalau kau Luhtinti
jejadiannya Hantu Santet Laknat, waktu aku katakan hendak meraba dadamu tadi
pasti kau sudah membuka pakaianmu dan angsurkan diri!" Merahlah paras
Luhtinti.
Nanti aku ceritakan bagaimana
nenek keparat itu hendak mengelabuiku. Sekarang terangkah apa yang terjadi
dengan dirimu." Wiro lalu menolong Luhtinti bangkit dan duduk. Maka
Luhtinti lantas menuturkan.
"Malam tadi sewaktu kita
berada dalam goa. Tiba tiba Hantu Santet Laknat muncul. Dia menginjak ulu
hatiku dengan kakinya hingga aku tidak sadar. Ketika tadi aku siuman kudapati
diriku dicampakan si nenek di satu tempat tak jauh dari sini. Tubuhku
terbungkus pakaianku sendiri yang dulu pernah sirna terkena sentuhan matahari.
Selain pakaian ini, seperti kau lihat aku masih mengenakan daun-daun hijau
ini." Luhtinti lalu membuka dan campakkan daun-daun hijau di atas
pakaiannya itu. Wiro mengikuti, menanggalkan dan membuang celana daunnya.
"Aku yakin telah terjadi
sesuatu yang membuat musnah ilmu hitam si nenek. Lalu aku mendengar suara
bentakan-bentakan serta tawa cekikikan Hantu Santet Laknat Aku cepat-cepat
menuju ke sini …."
"Aku harus berterima
kasih sekali lagi padamu. Kalau tadi kau tidak berteriak memberi ingat, aku
pasti sudah dilibas nenek celaka itu di dalam jaring apinya!" Wiro ingat
pada Lakasipo, Luhsantini dan kawan kawannya.
"Aku harus meninggalkan
tempat ini. Aku musti mencari kawan-kawanku. Menolong Lakasipo dan
Luhsantini."
"Aku ikut
bersamamu!" kata Luhtinti pula
"Eh …." Wiro
pandangi si gadis sambil garuk-garuk kepala.
"Ada apa?" tanya
Luhtinti
"Sebenarnya aku lebih
suka kau mengenakan pakaian dari daun itu. Dari pada pakaian hitam yang
menyembunyikan kebagusan tubuhmu ini!"
"Pemuda bermata
gatal!" kata Luhtinti seraya memencet hidung Pendekar 21 2 hingga Wiro
terpekik kesakitan.
* * *
MESKI keadaannya babak belur
dan dia tidak dapat menjaring Wiro namun Hantu Santet Laknat masih terhibur
karena dia berhasil mendapatkan senjata sakti Kapak Maut Naga Geni 212 milik
Wiro Sableng. Lagi pula seperti yang tadi diucapkannya tanpa malu si nenek
memang telah jatuh cinta pada pendekar kita. Sambil berjalan dia berkata
sendirian
"Kapak sakti ini akan
kubawa ke Gunung Latinggimeru. Akan kubuang ke dalam kawahnya! Biar terpendam
seumur umur! Betapapun aku mencintainya aku tetap harus berjaga-jaga!"
Habis berkata begitu si nenek lantas meludah. Ludahnya masih bercampur darah
pertanda dia menderita luka di dalam.
Baru saja Hantu Santet Laknat
meludah, bahkan ludahnya belum sempat jatuh ke tanah tiba-tiba ada satu suara
di belakangnya berkata.
"Dari pada jauh jauh dan
susah-susah pergi ke Gunung Latinggimeru untuk membuang kapak itu, lebih baik
serahkan saja padaku!"
"Pemiliknya dicintai tapi
barangnya mau dibuang! Hik … hik … hik! Lucu juga nenek peot satu ini!"
Kejut Hantu Santet Laknat bukan kepalang. Dalam hati dia membatin.
"Walau keadaanku seperti
ini, tapi adalah aneh! Aku sampai tidak tahu dan tidak mendengar kalau ada
beberapa orang mengikuti langkahku disebelah belakang! Agaknya mereka memiliki
kepandaian tinggi!" Dengan cepat si nenek memutar badan.
* * *
DUA BELAS
KARENA mengejar setengah hati
dan sambil mencari ayam jantan, akhirnya si nenek berjuluk Nenek Selaksa Angin
alias Selaksa Kentut itu kehilangan jejak Hantu Langit Terjungkir. Tapi nenek
kurang waras ini agaknya tidak begitu perduli. Siang itu dia tampak duduk di
bawah sebatang pohon rindang. Keranjang besar berisi tiga ekor ayam terletak di
hadapannya. Di sekitarnya tujuh ekor ayam bergelimpangan mati dengan dubur
amblas karena telah dicabuti kibulnya untuk disantap.
Si nenek lunjurkan sepasang
kakinya. Dadanya sesak turun naik Sambil usap-usap perutnya dia memandang ke
arah keranjang.
"Aku sudah menelan tujuh
puluh empat kibul ayam jantan. Tinggal tiga ekor itu. Huh … aku akan sembuh!
Pasti sembuh! Kalau tidak, pemuda asing itu akan kucabut duburnya, akan kubetot
ususnya! Tiga ekor lagi …. Tapi aku benar-benar kenyang! Rasanya mau muntah!"
Luhkentut alias Nenek selaksa Kentut usap-usap perutnya yang gembul. Lalu
"buut … prett!" Dia
terkentut!
Sekali ini si nenek memandang
berkeliling, lalu pegang-pegang pantatnya sendiri. Bola matanya yang kuning
berputar-putar.
"Kentutku terdengar aneh
sekali ini! Buutnya pendek lalu ada prettnya! Hik … hik. .. hik! Enak juga
kedengarannya! Jangan Jangan aku memang siap sembuh!" Girang sekali si
nenek jadi bersemangat. Lalu dia ambil salah seekor ayam dalam keranjang.
Dengan cepat binatang itu dipesianginya. Dijebol ujung duburnya lalu dimakan
mentah-mentah. Begitu habis disambarnya ayam ke dua. Masih megap-megap dia
tancap ayam ke tiga! Dengan mata mendelik setelah menelan kibul ayam yang
terakhir si nenek berteriak seraya melompat.
"Tujuh puluh tujuh! Aku
sudah menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam! Aku sudah sembuh!" Si nenek
merasakan geli-geli di sekitar duburnya. Lalu
"butt.. prett!" Dia
kentut lagi, dengan suara aneh tidak seperti biasanya.
"Heh, bagaimana ini! Aku
masih kentut! Berarti belum sembuh! Kurang ajar! Apakah aku telah tertipu! Aku
harus mencari anak itu!"
Tiba-tiba semak belukar di
samping kiri si nenek bergerak. Luhkentut cepat berbalik seraya hendak
menghantam dengan tangan kanannya.
"Nek, jangan! Ini
kami!" Satu suara berseru lalu dua sosok berkelebat dan muncul di hadapan
Luhkentut!
"Kalian!" hardik si
nenek muka kuning dengan mata melotot!
"Mana kawanmu yang
bernama Wiro Sableng itu?!"
"Kami justru
kehilangannya!" jawab salah satu dari dua orang yang barusan datang yang bukan
lain adalah Naga Kuning.
"Kami tengah mencarinya!
Dia lenyap dan tak muncul lagi setelah mengikuti seorang gadis bernama
Luhcinta," menerangkan orang ke dua yaitu si kakek berjuluk si Setan
Ngompol.
"Hemm. … Dia berani
menipuku, sekarang malah asyik bercinta dengan gadis bernama Luhcinta itu!
Kurang ajar! Kau bakal menerima pembalasanku Wiro! Aku setengah mati menelan
tujuh puluh tujuh kibul ayam jantan! Penyakit kentutku ternyata tidak
sembuh!"
"Butt..l prett!"
"Nek jangan salahkan
sahabat kami! Jika mendengar kentutmu kurasa kau sudah hampir sembuh …."
"Hampir sembuh bagaimana!
Apa kau tuli tidak mendengar aku masih kentut-kentut?!" bentak si nenek
kepada Setan Ngompol hingga kakek ini terpancar air kencingnya.
"Tunggu Nek," Naga
Kuning menyahuti.
"Kau memang masih
kentut-kentut. Tapi apa kau tidak menghitung? Sekarang kentutmu jauh berkurang.
Tidak terus-terusan seperti dulu. Lagi pula kalau dulu kentutmu panjang buuttt.
.. buuuutttt. .. buuttt! Sekarang kau cuma kentut pendek-pendek saja. Butt! Dan
sekali-sekali. Lalu ada tambahan Prett! Apa itu tidak berarti kau sudah hampir
sembuh malah kentutmu terdengar indah lucu?!"
"lndah lucu bapak
moyangmu! Aku tetap harus mencari pemuda itu! Kalian berdua harus menunjukkan
dimana dia berada!"
"Kami tidak tahu Nek,
sungguh!" jawab Naga Kuning.
"Sahabatku nenek muka
kuning," Setan Ngompol ikut bicara.
"Jika kau hendak
mencelakai Wiro padahal dia telah menolong menyembuhkan penyakit kentutmu,
paling tidak mengurangi, bisa-bisa kau bakal kena . kutuk!"
"Kekek mata lebar kuping
sumplung! Kena kutuk apa maksudmu? Apa telingamu yang sebelah lagi mau kuambil
dan kupindah ke selangkanganmu?!"
"Serrr!" Kencing si
kakek langsung terpencar. Tergagap-gagap Setan Ngompol berkata.
"Maksud kami berdua baik.
Memberi tahu agar kau tidak salah kaprah …."
"Aku tidak mengerti! Apa
itu salah kaprah!" bentak Luhkentut.
"Begini Nek," Naga
Kuning coba menerangkan.
"Sahabat kami Wiro
Sableng telah menolongmu. Walau penyakit kentutmu tidak sembuh seluruhnya tapi
dibanding dulu sudah jauh berbeda. Kini kau Cuma kentut sekali-sekali. Kentutmu
jadi pendek. Lalu ada sedikit hiasan Prett dibelakangnya! Kau bukannya
berterima kaSih pada sahabatku itu, tapi malah mau mencelakainya. Mencelakai
orang yang telah menolong bisa-bisa penyakit kentutmu kambuh kembali. Malah
lebih parah, lebih panjang! Bagaimana kalau kau nanti kentut sambil kepulkan
asap dari duburmu!"
Habis berkata begitu Naga
Kuning tekap hidung dan mulutnya mencegah jangan sampai tersembur tawanya.
"Anak kurang ajar! Jangan
kau berani menakut nakuti diriku! Kuperas peralatanmu baru tahu rasa!"
Nenek muka kuning ulurkan tangannya ke bagian bawah perut Naga Kuning. Si bocah
tentu saja cepat-cepat melompat selamatkan diri. Setan Ngompol walau agak
takut-takut segera berkata.
"Anak itu tidak
menakut-nakuti. Kalau kau tidak percaya padanya harap percaya padaku. Kita
sama-sama tua.."
"Aku tua wajar, kau tua
terjemur, bau dan buruk!" semprot Nenek Selaksa Kentut. Si Setan Ngompol
tersurut dua langkah. Sambil menahan kencing dengan suara perlahan dia berkata.
"Terserah padamu. Aku
hanya memberi tahu. Kalau kau sampai salah kaprah bisa celaka. Apa kau suka
nanti setiap kentut kau juga sekaligus mencret?!" Naga Kuning membuang
muka menahan tawa. Si Setan Ngompol pura-pura membetulkan celananya padahal
sudah tidak sanggup menahan kencing. Kedua orang ini melirik ke arah si nenek
muka kuning.
Saat itu Luhkentut tampak
terdiam seperti berpikir pikir Diam diam dia merasa kecut Apalagi mendengar
ucapan si kakek. Bagaimana kalau nanti dia benar benar kentut dan mencret hanya
gara-gara hendak mencelakai pernuda bernama Wiro Sableng itu? Si nenek
melangkah mondar-mandir. Diam diam dia mengakui dan sebenarnya merasa senang
karena kentutnya kini memang hanya tinggal sekali-sekali. Walaupun kentut,
suaranya tinggal pendek dan ada tambahan Prett yang oleh si bocah bernama Naga
Kuning itu disebut sebagai sesuatau yang "indah"
Satu senyum akhirnya menyeruak
di wajah si nenek. Dia memandang pada dua orang di hadapannya.
"Baiklah, aku memang
pantas berterima kasih pada sahabatmu bernama Wiro Kencing Kuda itu. Kebaikan
seharusnya memang musti dibalas dengan kebaikan. Aku akan rnencarinya untuk
berterima kasih bukan untuk mencelakainya …."
"Kau memang orang yang
rendah hati tinggi budi!" memuji Setan Ngompol
"Baik hati dan en gg….
Lumayan cakep!" kata Naga Kuning menyambungi.
"Cakep? Apa itu
cakep?" tanya Luhkentut tak mengerti.
"Cakep artinya kau cantik
selangit tembus!" jawab Naga Kuning. Si nenek tertawa mengekeh.
"Kau pandai memuji Tapi
dibalik pujianmu itu kau masih bercanda nakal mempermainku! Mana ada di dunia
ini nenek-nenek punya kecantikan selangit tembus! Kau salah berucap. Bukan
selangit tembus tapi selangit gosong! Hik … hik … hik!" Setelah mendongak
ke langit sebentar si nenek berkata.
"Kita segera saja mencari
sahabatmu itu. Aku khawatir anak murid Hantu Santet Laknat bernama Hantu Bara
Kaliatus itu telah berbuat macam-macam mencelakai orang!" Naga Kuning lalu
menceritakan di mana dan bagaimana terakhir kali dia dan Setan Ngompol melihat
Wiro dalam keadaan tanpa pakaian berada di satu pedataran liar dalam rimba
belantara Lasesatbuntu.
"Kawanmu itu sudah kena
sirap nenek dukun jahat itu! Kalau kita sampai terlarnbat bisa-bisa mereka
berdua sudah jadi suami istri!"
"Suami istri?" Naga
kuning terkejut.
"Apa?!" Setan
Ngompol tersentak kaget, tak percaya pada pendengarannya.
"Kurasa anak itu belum
cukup gila untuk mau bercinta dengan si nenek buruk bau itu!" Luhkentut
menyeringai.
"Hantu Santet Laknat
bukan dukun jahat namanya kalau tidak mampu menyirap menipu orang. Setahuku dia
punya ilmu hitam yang disebut llmu Bersalin Rupa. Dia bisa merubah diri menjadi
gadis paling cantik di muka bumi ini. Apa sahabatmu si Sableng itu tidak akan
terangsang?"
"Celaka! Wiro benar-benar
dalam bahaya besar!" kata Naga Kuning.
"Aku punya dugaan, kalau
Hantu Santet Laknat menjebak pemuda seperti sahabatmu itu, dia pasti punya satu
maksud tersembunyi! Kita berangkat sekarang juga ke rimba Lasesatbuntu!"
"Nek, sebelum pergi, aku
mau tanya apa potongan kuping kananku masih ada padamu?" bertanya Setan
Ngompol harap-harap cemas.
"Aku tak tahu aku simpan
dimana kupingmu itu! Entah sudah kubuang entah sudah kujadikan makanan
anjing!"
"Celaka!" Setan
Ngompol tersurut pucat dan keluarkan kencing. Tangan kanannya mengusap-usap
telinga kanannya yang tak ada daunnya lagi karena memang sudah diambil oleh
nenek tukang kentut itu waktu berada di goa tempat disembunyikannya patung
Luhmintari (Baca Episode berjudul Hantu Langit Terjungkir)
Kemampuan si nenek mengambil
dan memindah bagian-bagian tubuh manusia ini dimungkinkan karena dia mempunyai
ilmu yang disebut Menahan Darah Memindah Jazad
"Memangnya kenapa kau
tanyakan kupingmu itu?!" bertanya Luhkentut.
"Sesuai perjanjian,
kuping itu untuk jadi jaminan bahwa kau bisa disembuhkan. Sekarang kau sudah
bisa dikatakan sembuh. Lagi pula bukankah kita ini sekarang sudah
bersahabat?" Setan Ngompol berkata sambil tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya.
Si nenek muka kuning tertawa
masam. Dia meraba-raba pakaian kuningnya, rnencari-cari disetiap sudut sosok
tubuhnya. Meraba sampai di bawah perut si nenek berhenti. Matanya yang kuning
menatap pada Setan Ngompol lalu dikedipkan. Si nenek kemudian balikkan badannya
sambil mengangkat pakaian kuningnya ke atas. Sesaat kemudian ketika dia kembali
membalik, potongan kuping kanan Setan Ngompol sudah berada di tangan kirinya.
"lni, kau ambillah
kembali! Aku memang tidak butuh lagi kupingmu ini!" Setan Ngompol menerima
potongan kupingnya. Benda itu terasa hangat, basah dan bau pesing.
"Nek, kau letakkan di
mana kupingku ini tadi … ?" tanya Setan Ngompol.
"Kakek tolol! Coba kau
cium sendiri! Kau pasti sudah tahu kusimpan dimana daun telingamu itu!"
jawab si nenek lalu berpaling pada Naga Kuning. Kedua orang ini kemudian sama-sama
tertawa cekikikan.
"Aku … !" Setan
Ngompol kibas-kibaskan potongan daun telinganya.
"Bagaimana ini ….
Bagaimana aku menempelkannya ke telingaku kembali. Nek … !" Luhkentut
ambil daun telinga yang dipegang si kakek lalu ditempelkannya ke telinga kanan
Setan Ngompol. Tapi tempelannya ternyata terbalik. Bagian daun telinga yang
seharusnya menghadap ke depan diletakkannya di sebelah belakang. Akibatnya
Setan Ngompol merasa bising karena telinga" kirinya menangkap suara dari
depan senang telinga kanan menangkap suara dari sebelah belakang. Naga Kuning
yang mengetahui hal ini diam saja sambil menahan ketawa.
"Sudah?! Kau puas
sekarang?!" tanya Luhkentut.
"Pu … puas Nek. Tapi ….
Ah, aku tak tahu apa yang salah pada diriku! Tempat ini tiba-tiba seperti bising
…."
"Kek," kata Naga
Kuning.
"Kau seperti masih
menyesali diri. Seharusnya kau berterima kasih pada nenek itu. Dia telah
mengembalikan potongan daun telingamu …."
"Aku memang berterima
kasih!" jawab Naga Kuning.
"Tapi kau tahu dimana dia
menyirnpan kupingku ini?" kata Setan Ngompol dengan mata melotot.
"Sudahlah, mengapa hal
itu diributkan. Kau sudah dapatkan telingamu kembali dan sudah dipasangkan
ditempatnya semula!"
"Tapi apa kau tidak
melihat tadi?! Dia meletakkan kupingku di anunya!"
"Sudahlah Kek, seharusnya
kau berterima kasih dan merasa senang. Si nenek sudah menyimpan dan menempatkan
daun teli-ngamu di tempat yang paling aman, sedap hangat dan terhormat …"
"Sedap bapak moyangmu!
Daun telingaku malah basah dan bau!" kata Setan Ngompol. Naga Kuning
tertawa cekikikan. Tanpa perdulikan si Kakek dia segera melangkah menyusul
nenek muka kuning yang sudah berjalan duluan menuju rimba Lasesatbuntu.
Di sebelah belakang si kakek
berjalan mengikuti. Sesekali dia usap daun telinganya yang basah. Lalu
tangannya didekatkan ke lobang hidung.
"Sial …. Tapi hemmm….
Baunya lama-lama terasa enak-enak sedap. Betul juga omongan bocah sialan
itu!" Si kakek lalu mesem-mesem tertawa. Melangkah sambil mengendus-endus
jari-jari tangannya.
TAMAT