Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
081 Dendam Manusia Paku
GEROBAK yang ditarik kuda
cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan kecil menurun berbatu-batu.
Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot dan memiliki cuma
satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak bisa
dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda
menggerakkan kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya
nyaris terlempar.
“Kuda jahanam! Aku memang
ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki bermata satu. Kembali
dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak tersentak ke belakang. Dari
hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak
berhenti.
Di balik tikungan, jalan
semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar bergelimpangan menyembul ke
permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah tampak Waduk Selorejo. Dalam
musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk itu tak lebih dari
sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar serta
tebing batu.
“Binatang jahannam ini
benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak pasti meluncur ke lembah.
Aku tidak mau celaka, edan!”
Lelaki di atas gerobak
pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi ke tiang
gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk, dia
menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang
dengan tangan kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia
mampu membuat gerakan jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat
menjejak sebuah batu besar di bibir waduk.
Dari atas batu itu dia melihat
kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah satu rodanya mental, meloncat
ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik keras beberapa kali
lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul
melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!
Lelaki brewokan yang mata
kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas panjang peti besi
diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.
“Pemandangan hebat!” tiba-tiba
ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu terdengar tawa mengekeh. Dia
cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki kepandaian luar biasa
tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini? Jawabnya
hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki
bertelanjang dada ini segera berdiri.
“Aku sudah menunggu lama!
Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak suka berbicara
mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” orang
yang bicara kembali tertawa
mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang selalu berputar liar kian
kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah punuk. Kakek
ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih
awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia
memegang sebuah kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu
tampak membuyut ke bawah.
Lelaki di atas batu melompat
turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang diletakkan di atas
batu itu. “Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal kawasan
timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari
Gunung Welirang?”
Si kekek mata juling
menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberikan penghormatan pada
Yang Mulia?” ujarnya.
“Ah!” lelaki bertelanjang dada
menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan penghormatan.
Kakek yang dipanggil Yang
Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya berputar-putar. “Aku
sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok besar kawasan utara
selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara Selatan?!”
Lelaki mata picak menyerangai.
“Nama yang barusan kau sebut itu memang aku orangnya yang Mulia!”
“Ah! Akhirnya kita bertemu
juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang tiada tandingan.
Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa mempertunjukkan
kehebatanmu di hadapanku?!”
“Yang Mulia Datuk Bululawang,
waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma dengan segala pertunjukan
yang tidak-tidak?!”
“Kau betul Warok Patiraja!
Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini benar-benar adalah
Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan menyerahkan
sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah menjadi incaran
puluhan tokoh dunia persilatan!?” Pada akhir ucapannya, si kakek gerakkan
sedikit tangan kirinya yang memegang kantong tebal.
Si mata picak menggerendeng
dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun berkata. “Kalau itu
maumu, harap lihat batu di seberang sana…” katanya sambil menunjuk ke arah
sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar
tiga tombak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar
kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang dada arahkan
pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata
kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara “Wusss” disertai
membersitnya sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”
Batu besar di sebelah sana
retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-keping. “Luar biasa! Benar-benar
luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara selatan!” si kakek
memuji sambil geleng-geleng kepala.
“Sekarang giliranku. Buktikan
bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia sakti yang mampu menjebol
tembok batu dengan tangan kosong!”
Si kakek tertawa panjang
mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. “Rupanya kau masih kurang percaya kalau
aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu terbungkuk-bungkuk
tubuh pendek berpunuk itu
melangkah mendekati sebuah batu besar yang tingginya hampir sama dengan tinggi
kepalanya.
“Perhatikan baik-baik apa yang
akan aku lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan mengulang kedua kali. Apapun
yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung hanya sekejapan
mata!” Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si kakek gerakkan
tangan kanannya. Terdengar suara “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas
masuk ke dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi
kelihatan lobang besar yang tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
“Hebat sekali!” memuji Warok
Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas batu di sampingnya. “Sesuai
perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kantong itu barang untukku?!”
Datuk Bululawang telan
ludahnya lalu mengangguk. “Boleh aku melihat isi peti ini?” tanya si kakek.
Warok Patiraja cepat membuka
dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi dibuka, membersitlah
sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.
“Semua berjumlah duapuluh
batang…” berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang menyeringai. Mata julingnya
memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi
bibir.
Warok Patiraja tutup peti dan
memasang grendelnya kembali. “Boleh aku melihat isi kantong itu?” tanyanya.
“Silahkan lihat sendiri!” ujar
si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya pada Warok.
Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit kantong.
Begitu kantong dibuka, dia
melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah sejengkal. Paku-paku
ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada tiga puluh
paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas ?!”
tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
Warok Patiraja mengangguk.
“Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam peti!” katanya.
Si kakek mengangguk. “Sekarang
kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan. Kelak jika kau sudah menjadi
raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa padaku!”
katanya sambil menyeringai dan
mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu aku menurunkan peti itu. Kau
meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”
Warok Patiraja ikat tali
penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu ke sabuk besar di
pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi berisi
duapuluh batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si
kakek. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke
pinggangnya.
Warok Patiraja menjerit
dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan tulang pinggangnya
terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian usus besar Warok ikut
terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran
darah!
Si kakek tertawa tinggi.
“Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu bercita-cita gila hendak
jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah, lalu sekali
renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok.
Benda ini cepat disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat
dia sudah berada di atas batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing
keranjang kosong dengan mudah ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia
berpaling pada Warok dan mengumbar tawa mengekeh.
“Dasar tolol! Mana ada rampok
yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha… ha… ha…! Selamat tinggal
Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau
bisa jadi raja diraja akhirat!
Ha… ha… ha…!”
Saat itu Warok berada dalam
keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya semakin banyak
membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada sebuah
batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat… Kau kira
kau bisa kabur begitu saja…”
Mata kanan Warok Patiraja
keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah sosok Datuk
Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya tidak
bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus
dengan batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya
terhalang dari pandangan mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu
tempat Warok masih sempat melihat sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus
yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.
Bibirnya bergetar. “Wusss!”
sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar
jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti yang keluar
dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di udara.
Kakek ini jatuhkan diri ke
tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai membasahi jubah merahnya.
Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari tangan
kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok dia
tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan.
Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk, Warok Patiraja
berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan mata kanannya. Dia maju
beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat lututnya
menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk Selorejo.
Gadis berpakaian ringkas warna
ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan lalu membelok tajam memasuki
kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas kepala dan selendang
ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh didepannya
membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak bukit
itu.
Agaknya dia tidak akan sampai
ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah terkuras seluruh
tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.
Semakin jauh dia masuk ke
pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang memecah di pantai. Udara
pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena hembusan angin
dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih
sejuk.
Menjelang rembang petang, kuda
dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki bebukitan. Namun justru di
situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak sanggup lagi
berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu tersungkur,
gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab
keras.
“Binatang hebat! Aku tak akan
memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa meninggalkanmu di tempat
ini. Aku dikejar waktu…” si gadis memandang berkeliling.
Hatinya merasa lega ketika dia
melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya tidak terlalu
bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.
Dipetiknya beberapa helai
daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil. Lalu dengan benda itu
diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda yang terbujur
di tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.
“Aku harus pergi sekarang…
Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman…”
setelah mengusap leher dan
kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian serba ungu ini segera berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat matahari
tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam keremangan, dia berlari
menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu yang pintunya
tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun
pepohonan itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia
berseru. “Guru, saya datang! ”
Tak ada sahutan. “Guru, saya
Anggini muridmu datang sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.
Dari dalam bangunan batu
terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan orang tua itu sedang
sakit,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.
Tiba-tiba ada suara seperti
orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu menebar bau tuak
harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
“Ah, dia ada di dalam
rupanya,” kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum. Kembali dia melangkah
maju. Mendadak, “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar yang
bergelantungan menutupi pintu
bangunan batu tenggelam dalam kobaran api. “Muridku, masuklah! Aku memang sudah
lama dan penat menunggumu! ”
Anggini sang murid tentu saja
jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam bangunan sementara satu-satunya
jalan masuk tertutup oleh kobaran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli anggini?!
Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk?!” terdengar suara orang di dalam bangunan
agak gusar.
“Guru…”
“Jangan bicara saja,
masuklah!” orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak hilang kesabaran.
Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan tangan ke
leher membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya
mengibaskan selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gelombang angin menderu
dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak daun-daun pohon jalar
yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta padam
sementara pohonnya sendiri
tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin tadi.
Ketika sang dara melompat
masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar kembali di lehernya.
Di dalam bangunan kini
terdengar suara tawa bergelak. Lalu, “gluk-gluk-gluk” menyusul suara seperti
seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan, Anggini
sempat terkesiap. “Ah, belum berubah juga dia rupanya…” lalu gadis ini
cepat-cepat menjura lalu duduk bersimpuh di lantai.
“Hebat…! Jurus Selendang Dewa
Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan tadi sungguh sempurna! Kalau
tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan kepandaianmu! Ha…ha…ha…!”
“Guru, harap maafkan murid.
Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian saya yang rendah!”
Orang di hadapan si gadis
tertawa mengekeh. Lalu, “gluk-gluk-gluk” enak saja dia meneguk sejenis minuman
keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini adalah seorang tua
berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang
kain biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di
lantai sambil uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu
lagi. Bumbung ini berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan
Tuak Kayangan. Dan si orang tua ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang
dedengkot rimba persilatan di masa itu!
“Guru, apakah kau selama ini
sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya.
“Ya.. ya Aku selalu sehat dan
baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk bumbung-bumbung
bambu di pangkuannya.
“Saya gembira mendengar hal
itu….” kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru meneruskan ucapannya. “Sesuai
pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di hadapan guru.
Gerangan apakah guru memanggil
saya?”
“Ah, kau rupanya tak mau
berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan.” Dewa Tuak tersenyum lebar. Dia
usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan ucapan.
“Baiklah, aku memang perlu
bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia persilatan dalam waktu dekat
ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk sepertiku ini
tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan… ”
“Rupanya ada tokoh-tokoh sesat
golongan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.
“Bisa dikatakan begitu. Tapi
pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku tuturkan padamu… ”
Puncak Gunung Kelud. Langit
tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali tidak kelihatan menyembul.
Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara hujan turun
rintik-rintik dan udara terasa
sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang
Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya beralaskan sehelai kulit
kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam, tubuh tak
bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang
menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus
tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu
rupa, tapi dia masih memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat
latihan jasmani dan kekuatan rohani serta hawa sakti yang sudah mencapai
tingkat tinggi dan jarang orang menguasainya.
Di hadapan Eyang Gusti Kelud
saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya mengenakan sehelai
cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada leher dan dadanya
terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki muda ini
tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar
aneh kalau tak dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada
di hadapannya. Dia sudah berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti
Kelud masih saja bersemadi. Sampai kapan dia harus menunggu? Kalau dengan orang
lain mungkin dia berani mengganggu semadi itu atau meninggalkan si kakek begitu
saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja dia tak berani berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang
pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum kelihatan.
Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher
Eyang Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek
akan mengakhiri semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat
getaran-getaran teratur pada bagian dada orang tua itu. Setelah itu kepalanya
bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua matanya sedikit demi
sedikit.
Begitu melihat mata sang guru
membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-dalam.
Kepalanya hampir menyentuh
kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti itu sampai dia mendengar
suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Arto Gampito, kau boleh
mengangkat tubuhmu.”
Lelaki muda itu cepat angkat
tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang pada orang tua di hadapannya.
Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat perubahan besar
telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
“Dua puluh tahun lebih aku
mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar sejati.
Ternyata semua itu sia-sia
belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau turunkan malapetaka ini pada
muridku? Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua dosanya. Jangan
dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih muda, jalan
hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu…”
“Eyang, saya datang menghadap
Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati Eyang…”
“Sandaka, aku senang melihat
kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu seperti ini…”
berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.
“Saya tahu bagaimana perasaan
Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.
Semua yang terjadi adalah
kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang menanggung hukuman atas
segala dosa…”
“Sandaka, apa yang sudah
terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu ketika ada suatu
kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti dulu lagi.
Namun yang sangat aku sesalkan
adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika kau kulepas tahun lalu
aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati apalagi berhubungan dengan
Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau berada di sini,
aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan dirimu.
Dia terpikat pada dirimu.
Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh cinta
padanya…!”
“Eyang, saya tahu dosa dan
kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun lalu walau memiliki
kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi
saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular… Saya tidak mampu
mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari
genggamannya…”
Orang tua di hadapan Sandaka
menarik nafas panjang. “Jangankan kau, orang yang berkepandaian tinggi seratus
kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular, seumur hidup
tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur hidup akan jadi
budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam darahmu. Tak
mungkin dibersihkan lagi…!”
Lama Sandaka termenung
mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang tua itu memang benar
adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan hubungan badan sampai
beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari kekuasaan
perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah
hal itu baik atau buruk.
“Eyang, kalau memang begini
keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa pun. ”
“Hukuman bisa saja dilakukan
atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain. Mungkin juga oleh dirimu
sendiri… ”
“Maksud Eyang, saya sebaiknya
bunuh diri saja?” tanya Sandaka.
Orang tua itu tersenyum pahit.
Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.
“Aku tidak menganjurkan kau
melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu kekuatan pun di dunia ini yang
sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.
Cuma, aku melihat masih ada
satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk mengobatinya, harus melenyapkan
sumbernya… ”
“Maksud Eyang? ”
“Sanggupkah kau membunuh Dewi
Ular? ”
Paras Sandaka Arto Gampito
tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan cahaya menggidikkan
di kedua mata muridnya. “Sandaka, coba kau perhatikan dirimu.
Pakaianmu hanya selembar cawat
seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun
Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.
Itu pun tidak bisa lama dan
tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu hijau juga akibat pengaruh
cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan hamba
sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa saja
yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan
yang menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular… ”
Eyang Gusti Kelud Agung
hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar lalu kulit tubuh sampai
ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam diri
Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. “Orang tua ini harus
kubunuh!
Harus kubunuh! Tapi dia
guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus kubunuh sekarang juga!
”
Sandaka berdiri. “Kau mau ke
mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
“Saya terpaksa harus mem…”
Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih bisa menguasai diri. “Saya
harus pergi sekarang juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat.
“Tunggu dulu Sandaka. Masih
ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat penting karena masih menyangkut
kehidupan masa depanmu… ”
“Saya sudah tidak punya masa
depan Eyang….” Sandaka segera hendak beranjak pergi.
“Dengarkan dulu apa yang akan
kukatakan, baru kau boleh pergi… ”
“Jika Eyang memaksa, saya
terpaksa… ”
“Membunuhku?” ujar si orang
tua dengan senyum kecut. “Kau boleh membunuhku setelah mendengar penuturanku… ”
Warna kulit dan bola mata
Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda dia berusaha keras
menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya. “Kalau begitu
katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang…!”
“Sembilan puluh tahun yang
lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita tentang tigapuluh buah
paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang syekh sakti
yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya
penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup
membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan
ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang
tidak dapat dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi
kau kelak akan berada di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat…”
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung
terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar oleh berkelebatnya suatu
bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu terdengar
suara orang berkata. “Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau berada di
sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!”
Seorang perempuan muda
berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang terbuat dari sutera
halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau
tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di
konde besar di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular
terbuat dari emas, memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
“Dewi…!” seru Sandaka lalu
cepat bangkit mendatangi perempuan itu.
“Kekasihku…!” jawab Dewi Ular
seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu Sandaka sampai di hadapannya,
langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular julurkan
lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras. Tidak hanya
sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya
baringkan diri di lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan
berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung
tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
“Manusia-manusia kotor! Keluar
kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi menginjak puncak Gunung Kelud
ini! ”
Dewi Ular tertawa tinggi.
Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda merah. Lalu dia
melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu,
Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam
ucapannya! Betul…? ”
“Aku memang mendengar Dewi,
tapi aku tidak peduli! ”
Dewi Ular kembali tertawa
panjang. “Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan tak berguna. Apa
pendapatmu Sandaka? ”
“Memang aku juga merasa
begitu…” jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung
kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari pengaruh
jahat perempuan iblis ini! ”
Dewi Ular cuma ganda tertawa
mendengar ucapan orang tua itu. “Apa tindakan kita terhadap manusia-manusia
tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.
“Harus dibasmi. Harus
disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-orang semacam dia! ”
“Sandaka!” seru Eyang Gusti
Kelud Agung.
“Kekasihku, aku senang
mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan! Bunuh tua
bangka tak berguna itu! ”
Eyang Gusti Kelud Agung cepat
berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito maju dua langkah mendekatinya.
Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini mengedipkan kedua
matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala dan dada
sang guru.
Orang tua itu membentak keras.
Sambil menyingkir ke samping, dia cepat membentengi diri dengan dua buah
pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari dua telapak
tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan sinar
kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”
Dua ledakan menggelegar. Asap
kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan dinding ruangan runtuh. Lantai
mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular terlempar jauh, lalu jatuh di
tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus, kelihatanlah tubuh
Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya
hancur dan sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap.
Sandaka merasakan dadanya
mendenyut sakit. Nafasnya memburu. “Kau tak apa-apa…? ” bisik Dewi Ular.
“Hanya merasa sesak sedikit…”
jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat gurunya, lalu berkata, “Guruku… dia
tewas… ”
“Orang tua itu bukan gurumu!”
tukas Dewi Ular. “Dia tak lebih dari seorang tua bangka tolol! Tak ada gunanya!
Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku bangga punya kekasih
sepertimu!” Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di
tanah. “Tempat ini terlalu dingin…” bisik Dewi Ular. “Dalam perjalanan ke sini
aku melihat ada sebuah pondok kayu… ”
“Kalau begitu, kita segera
menuju ke sana…” jawab Sandaka.
“Ya… memang itu mauku. Tapi
apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih dulu? ”
Habis berkata begitu, Dewi
Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga payudaranya yang besar dan putih
menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan langsung saja
mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.
Selagi Anggini masih termangu
mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali teguk dengan lahap tuak dalam
bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan. “Apa yang ada dalam
benakmu Anggini? ”
“Penuturanmu mengerikan sekali
guru,” jawab Anggini. “Kalau Sandaka bisa membunuh gurunya sendiri semudah
membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain! ”
“Justru itulah yang ditakutkan
orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat tinggi dalam dunia persilatan
telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi korbannya… Aku
dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar terdengar kabar
bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal dengan nama
Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang
mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-paku itu untuk
kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan sebagian
besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran
tersiar kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka
ia akan menguasai rimba persilatan… ”
“Berarti kejahatan akan
berlangsung terus… ”
“Mungkin begitu muridku. Namun
siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik dari pada saat ini dia
dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih bisa ditumpas dari
pada Dewi Ular. ”
“Saya teringat pada senjata
rahasia yang dulu guru berikan,” kata Anggini sambil meraba pinggang pakaiannya
di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia berbetuk paku terbuat
dari perak. “Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku memanggilmu ke
mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah
paku sakti keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau
harus hati-hati Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu. ”
Ucapan Dewa Tuak membuat
Anggini merasa tidak enak. “Lalu apa yang harus diperbuat guru?” tanya gadis
itu.
“Aku minta kau segera mencari
pendekar 212 Wiro Sableng…” Dewa Tuak menghentikan katra-katanya ketika
dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.
“Eh, ada sesuatu dalam
benakmu? ”
“Dewa Tuak, saya lebih suka
kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada mencari pemuda itu…”
“Hem… aku tahu mengapa kau
bicara begitu,” kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa gelakgelak. “Kau kecewa
padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai membahas soal perjodohan
kalian.”
“Saya tidak pernah kecewa!”
jawab Anggini tegas walau diam-diam hati sanubarinya memelas. “Saya hanya ingin
mengatakan ini kepadamu guru. Jika orang tidak suka, mengapa harus memaksa?”
“Hemm…” Dewa Tuak bergumam
sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. “Tidak ada yang tidak suka. Tidak
ada yang memaksa. Tapi… sudahlah. Urusan perjodohanmu sudah kubicarakan lagi
dengan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu sewaktu aku menyambanginya di puncak
Gunung Gede. Urusan sekarang yang lebih penting adalah soal Sandaka. Sudah
diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup melumpuhkannya.
Di tangan siapa paku itu
sekarang juga sudah diketahui. Yang belum diketahui adalah kapan Sandaka tidur.
Dia hanya mampu ditundukkan pada saat tidur. Dalam setahun tidurnya hanya
sekali. Itupun tidak lama. Jadi kau harus mencari tahu kapan dan di mana
tidurnya.
Kau juga harus mendapatkan
paku sakti itu agar tidak ke jatuh ke tangan orang yang sama brengseknya
seperti Dewi Ular…”
“Saya seperti mencari sebutir
kelapa di tengah samudera luas…” Dewa Tuak tertawa mendengar jawaban muridnya.
“Itu sebabnya aku minta kau segera mencari Pendekar 212.
Kalau sudah ketemu, segera
hubungi Kakek Segala Tahu, pasti orang tua itu bisa menjelaskan yang kau
perlukan.”
“Kalau begitu pesan guru
segera saya lakukan. Bolehkah saya minta diri sekarang?”
“Tentu saja, tapi tidak perlu
buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk berbincangbincang. Apa kau tidak
ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa teguk?”
Si kakek tutup ucapannya
dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.
Lemparan itu bukan sembarang
lemparan karena ujung bumbung bambu melesat menyambar ke arah dada Anggini.
Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan Anggini.
Anggini cepat menggeser kaki,
dan tubuhnya dimiringkan ke kanan, tangan kirinya diangkat sedikit. Dan di lain
kejap, bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan kirinya!
***
212
Sosok dalam gelap itu
menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa suara seperti setan
bergerak. Sesaat dia berhenti. Ada keraguan dalam hatinya. “Jangan-jangan dia
tidak berada di sini. Bagaimana aku harus menyampaikan pesan? Di tengah jalan
ada seekor kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada orang yang baru datang
berkunjung sebelum aku ke tempat ini. Berarti ada satu atau dua orang dalam
bangunan batu itu. Tapi mengapa keadaan sunyi? Tak ada lampu menyala. Aku tahu
betul kebiasaan orang tua itu. Tidak bisa tidur kalau tidak ada lampu…”
Baru saja orang di depan pintu
bangunan batu membatin seperti itu, tiba-tiba ada suara menegur. “Hanya manusia
jahat biasanya menyelinap ke tempat orang!” Lalu, “Wutt!!”
orang di depan pintu merasakan
sambaran angin di bagian belakang kepalanya.
“Hemm… hanya manusia licik
yang menyerang dari belakang!” Orang ini membalik dengan cepat seraya angkat
tangannya melidungi kepala. “Bukk” Dua lengan beradu keras dalam kegelapan. Si
penyerang terpental sampai tiga langkah dan keluarkan pekikan keras. Yang
menangkis terjajar satu langkah.
“Aku seperti mengenali suara
itu!” kata penangkis sambil menahan bahu kanannya yang terasa mendenyut. Dia
besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak bisa mengenali wajah
itu. Yang jelas suaranya adalah suara perempuan. Dia tidak bisa berpikir
panjang-panjang karena sosok di depannya kembali menyerang dengan cepat.
“Gila! jurus-jurus serangannya
ganas dan menyerang bagian yang mematikan!” membatin yang diserang. Karena
mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan, beberapa serangan lawan berhasil
mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka orang ini berseru.
“Hentikan serangan. Antara
kita mungkin sudah saling kenal! ”
“Seorang kenalan tidak akan
menyusup seperti seorang pencuri! ”
“Hai aku bukan pencuri! ”
“Kalau begitu maling! ”
“Juga bukan. Aku ke mari
mencari seseorang! ”
“Lalu kau siapa? ”
“Katakan dulu siapa kau? ”
“Kurang ajar!” si perempuan
memaki lalu kembali hendak menyerbu. Kali ini dia melepaskan benda di leher
yang sejak tadi melilitnya. Hal ini dilihat orang di hadapannya.
Sehelai selendang!
“Astaga! Benar dugaanku! Kau
pasti Anggini! Murid tokoh silat Dewa Tuak yang aku segani!” Si penyerang
terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah mundur beberapa langkah
sambil memandang dengan mata dibesarkan, berusaha mengenal orang di depannya.
“Wiro…! ”
“Anggini..! ”
Dari dalam bangunan terdengar
suara tawa mengekeh disusul… “gluk… gluk…gluk” suara orang minum dengan lahap.
Tidak lama kemudian keluarlah sosok tubuh orang tua berjanggut putih. “Dewa
Tuak…” Orang di depan Anggini memanggil lalu memberi hormat.
Dewa Tuak tertwa
tergelak-gelak sambil bolang-balingkan bumbung bambu berisi tuak di depan
dadanya, sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi berbagai
rasa.
“Pendekar 212 sableng! Kau
datang pada saat yang tepat! Hingga muridku tidak susah mencarimu!” kata Dewa
Tuak sambil berpaling kepada muridnya lalu berkata. “Aneh, kenapa kau seperti
patung dan gagu? Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini, Anggini? ”
Kalau saja tidak gelap, Wiro
dan kakek Dewa Tuak niscaya melihat pipi Anggini yang bersemu merah karena
jengah.
“Tentu… tentu saja kami
bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu….” ujar Anggini.
“Betul…,”sahut murid Eyang
Sinto Gendeng. “Kalau tidak salah hampir tiga tahunan…. ”
“Rejeki…, pertemuan, maut dan
langkah, memang bukan maunya manusia. Itu semua kekuasaan Gusti Allah. Tapi
kalau aku boleh nanya, gerangan apa yang membawamu ke mari Wiro?” habis
bertanya, kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mendongak.
“Gluk… Gluk… Gluk…!” Lahap
sekali dia meneguk tuak kayangan yang beraroma harum itu.
“Saya diminta Eyang Sinto
menemuimu. ”
“Hemmm, pesan apa yang kau
bawa anak muda? ”
“Menyangkut masalah besar yang
kini tengah berlangsung di rimba persilatan di tanah Jawa ini… Munculnya pemuda
berkesaktian luar biasa bernama Sandaka Arto Gampito, hamba
sahaya dan budak nafsu Dewi
Ular. ”
“Apa saja yang diketahui
gurumu tentang orang itu? ”
“Dewi Ular akan mempergunakan
Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa tokoh silat tingkat tinggi telah
dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi beberapa waktu lalu pendekar silat
dari timur bergabung dengan jago dari selatan. Mereka berjumlah empat belas
orang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng. Namun
semua disapu habis! Sulit dipercaya ada orang memiliki kepandaian seperti itu….
”
“Sandaka bukanlah manusia
lagi,” kata Dewa Tuak. “Dia berubah menjadi mahluk setengah iblis setengah
dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang mengalir dalam
tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam. Selama
tidak bisa dibersihkan dari pengaruh cairan itu, selama itu pula dia akan
merajalela menuruti perintah Dewi Ular….”
“Saya dengar dia bahkan sudah
membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud Agung…”
Dewa Tuak mengangguk
membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. “Siang tadi aku baru menceritakannya
kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman mengerikan. Kau
tahu apa yang dilakukan pemuda sesat itu di puncak Gunung Kelud setelah membunuh
gurunya sendiri? Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayat gurunya!”
Sesaat tempat dekat bangunan
itu dalam kesunyian itu lalu terdengar suara Wiro bertanya.
“Menurutmu kek, apakah ada
satu cara menghentikan malapetaka besar ini? ”
“Saat ini aku hanya mengetahui
satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan memantek tubuhnya dengan 30
paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu kini justru menjadi rebutan
di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai dirinya. Kalau
dia dari golongan hitam, kejadian buruk akan terulang. Seperti Dewi Ular, orang
itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka tidak
akan sehebat berada dibawah pengaruh cairan Dewi Ular… ”
“Berabe juga urusannya,” ujar
Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kek apakah sudah diketahui siapa pemilik paku
sakti itu atau di mana beradanya? ”
“Tiga puluh paku baja putih
murni itu berada di tangan seorang pendekar yang berjuluk Yang Mulia Datuk
Bululawang dari gunung Welirang… ”
“Datuk Bululawang?” mengulang
Wiro.
“Ya, kau kenal dia? ”
“Siapa tidak kenal dia. Datuk
cabul yang suka melakukan hubungan tidak senonoh dengan sesama jenisnya!” sahut
Wiro.
Dewa Tuak tertawa terkekeh.
“Sulit aku bayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam rimba persilatan ini,”
kata kakek tua sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, sang Datuk
harus dikuasai lebih dahulu, dirampas paku sakti itu dari tangannya…” berkata
Anggini.
Dewa Tuak mengangguk-angguk.
“Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi tentu saja tidak mudah
menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan orang lain juga menghendaki
paku itu, sudah belasan orang mati sebelum maksud mereka kesampaian.
Kalaupun paku bisa dikuasai,
tidak gampang memantek tubuh Sandaka. Ada kabar pemuda itu tidur hanya sekali
dalam setahun. Pada saat itulah pemantekan bisa dilakukan. Tapi gilanya, siapa
yang tahu kapan dan di mana dia tidur? ”
“Memang banyak sekali sulit
dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sinto berpesan, sehabis dari sini harus
mencari Kakek Segala Tahu… ”
“Ah, tua bangka sahabatku itu!
Lama aku tidak mendengar ihwalnya, apakah dia masih hidup atau bagaimana?
Kalian harus mencarinya. ”
Wiro melirik ke Anggini.
“Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian adalah aku dan Anggini? ”
“Ya betul, kau dan Anggini
harus segera pergi mencari tua bangka satu itu. Harus cepat agar tidak
terlambat! ”
“Aku sih mau-mau saja…,” kata
Wiro dalam hati. “Tapi aku lihat gadis itu biasa-biasa saja dan sikapnya acuh
tak acuh. Tadi dia bilang senang bertemu denganku. Mulutnya bilang begitu,
hatinya dia mendekam satu ganjalan. Dia seperti benci kepadaku…. ”
“Hai,” seru Dewa Tuak. “Kalian
berdua mengapa berdiam saja? Tidak dengar aku bilang apa? ”
“Saya dengar kek, dan saya
akan lakukan pesanmu itu,” kata Wiro.
“Anggini?!” ujar si kakek
tanpa berpaling pada muridnya.
“Saya juga dengar guru, saya
juga akan lakukan pesanmu! ”
“aku gembira mendengar ucapan
kalian berdua. Nah sekarang kalian tunggu apa lagi? ”
“Maksud kakek?” tanya Wiro dan
Anggini.
“Kalian berdua sama tololnya!
Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si tua bangka Segala Tahu itu! ”
Anggini melengak tapi tidak
berani buka mulut. Sebaliknya Wiro langsung berkata. “Pergi malam-malam begini
kek? ”
“Lalu apa menunggu pagi baru
berangkat?” sentak Dewa Tuak.
“Maksud saya mungkin kau masih
kangen dengan muridmu dan ingin ngobrol… ”
“Obrolanku sudah habis.
Sekarang kalian saja yang ngobrol satu sama lain dalam perjalanan. Lagian
kalian kan sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang harus kalian bicarakan.
Aku mau tidur…” Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu lalu tanpa
peduli lagi dia berpaling lalu melangkah menuju pintu bangunan batu.
“Apa yang kita lakukan
sekarang?” tanya Wiro pada Anggini.
“Kalau guruku sudah bilang
begitu, tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka kita segera pergi! ”
Wiro garuk kepala. “Mungkin
ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi dan ngobrol dalam
perjalanan… ”
Maksud Dewa Tuak meminta kedua
muda mudi itu lekas pergi dan melakukan perjalanan bersama, selain memang untuk
mencari kakek Segala Tahu, sebenarnya ada tujuan tersembunyi dari si orang tua.
Seperti diketahui, sejak lama Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Malah sudah beberapa kali permintaan itu sudah disampaikan
kepada Eyang Sinto Gendeng.
Namun baik guru sang pendekar
maupun Wiro sendiri tidak terlalu tertarik. Sinto Gendeng pernah bilang biar
urusan jodoh itu anak-anak sendiri yang mengatur. Jika mereka suka sama suka
tentu ikatan jodoh itu akan terjalin dengan sendirinya.
Di pihak Anggini memang
diam-diam mencintai Wiro, namun sebaliknya si Wiro lebih menganggap si gadis
sebagai adiknya sendiri, walau terus terang dia sangat mengagumi kebaikan
perilaku dan hati si gadis, di samping wajahnya yang cantik.
Tidak seperti yang diinginkan
Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu, ternyata dalam perjalanan menuruni bukit
mereka lebih suka diam membisu. Wiro yang lama-lama salah tingkah akhirnya
membuka pembicaraan. “Lama kita tidak bertemu. Apakah kau selama ini baik-baik
saja Anggini?”
“Yah, mau dibilang baik
kenyataannya semua kesulitan kuhadapi, walau semua bisa kulalui.
Yang jelas aku bisa melihat
dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau sendiri bagaimana?” balik
bertanya sang dara.
“Tidak beda dengan kau.
Kesulitan dan bahaya menghadang di mana-mana. Buktinya sekarang ini kita
menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala Tahu, menurutmu
apa yang harus kita lakukan?”
“Kau lebih berpengalaman dan
pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau yang mencari jalan,” jawab
Anggini.
“Aku rasa kita perlu membagi
pekerjaan… waktu kita sempit sekali.”
“Hemm… membagi pekerjaan
bagaimana?” tanya Anggini.
“Kau mencari tahu di mana
sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup menghadapi sendiri lakukanlah,
kalau tidak, minta bantuan sahabat dari golongan putih. Apapun yang kau
lakukan, paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu…”
“Lalu kau sendiri melakukan
apa?”
“Aku akan mencari Datuk
Bululawang, berusaha merampas paku sakti itu dari tangannya.
Aku juga mencari Kakek Segala
Tahu…”
Anggini yang berjalan cepat di
samping Wiro berpikir sejenak. Kemudian dia berkata.
“Bagaimana kalau diatur
begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang, kau yang
mencari Dewi Ular…”
“Heh!” Wiro agak tercekat
mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat hingga selangkah di depan
Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu. Dilihatnya sang dara
tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wiro.
“Setahuku Datuk Bululawang memiliki
kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis. Aku tidak merendahkan kepandaianmu
sendiri, namun rasanya lebih baik… ”
“Rupanya kau takut bertemu dan
menghadapi Dewi Ular?” memotong Anggini lalu tertawa lebar. “Dia hanya seorang
perempuan cantik, apa yang ditakutkan? Lagi pula, siapapun dia, aku yakin tidak
akan bisa mengalahkanmu. ”
“Ah, dia memojokkanku..” ujar
Wiro dalam hati. “Atau sengaja menjebakku. Tapi kenapa?
Karena aku tidak pernah
memberikan jawaban atas perjodohan itu?” dia melangkah terus.
“Bagaimana?” Anggini bertanya.
“Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang karena takut
menghindari pertemuan dengan si cantik Dewi Ular itu? ”
“Siapa takut padanya!” Wiro
jengkel dan menjawab agak keras.
“Bagus! Pekerjaan sudah
dibagi, di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi Ular, aku mencari Kakek
Segala Tahu dan Datuk Bululawang… ”
“Hemmm..” Wiro garuk-garuk
kepala. “Kalau begitu maumu aku terpaksa mengikut saja… ”
“Jangan bilang terpaksa.
Katakan iya atau tidak. Itu saja! ”
Dalam gelap, sambil berjalan
cepat, Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah Anggini.
Gadis itu balas memandang.
“Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?”
dalam hati Wiro bertanya. “Anggini kau tidak suka padaku…” Wiro akhirnya
bertanya.
Si gadis tertawa kecil.
“Kenapa kau bertanya begitu?” Wiro lagi-lagi terpojok. Tapi karena hatinya
mulai panas, maka dia bicara apa adanya saja. “Mungkin soal perjodohan itu…?”
Anggini mendongak ke atas.
Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan kegelapan malam, wajahnya
tampak anggun sekali. “Apa perlunya menyebut dan menghubung-hubungkan hal itu.
Kalau tidak suka, siapa yang bisa memaksa!”
Mendengar kata-kata itu Wiro
hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan terus.
“Anggini tunggu! Mungkin kau
salah menduga….” Gadis itu berjalan terus. Wiro cepat menyusul dan memegang
lengannya. “Anggini kita perlu bicara agar tidak ada lagi ganjalan di hati kita
masing-masing… ”
Tapi gadis itu menarik
tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wiro. “Aku rasa tidak ada
yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama tahu. Ada
ganjalan atau tidak, bagiku tidak ada masalah. ”
“Dengar Anggini, kita harus
bicara dulu dengan tenang,” Wiro berusaha membujuk sambil memegang bahu
setengah memeluk.
Anggini mendorong tubuhnya
dengan halus. “Ingat kita sedang menghadapi urusan besar!
Jangan habiskan waktu dengan
pembicaraan yang tidak ada artinya…. ”
“Katamu tidak ada artinya.
Bagiku sangat berarti!”jawab Wiro.
“Kalau bagimu sangat berarti,
apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku? Adakah kau memberi sedikit saja
kejelasan pada guru ataupun padaku? ”
“Ah, kau memang mempersoalkan
masalah jodoh itu. Aku minta maaf. Mungkin aku dan guruku Eyang Sinto Gendeng
berlaku alpa dan buta… ”
“Kalian orang-orang pandai
yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu? Sebaliknya aku dan guruku
adalah manusia biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak tahu malu!”
tukas Anggini.
Wiro merasa dadanya mendenyut
seperti tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.
“Anggini.. masalah ini bisa
kita selesaikan secara baik… ”
“Jadi benar kataku tidak perlu
dibicarakan saat ini! ”
Langkah Wiro kembali terhenti.
Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik nafas panjang.
Dadanya teras bergolak. Dia
melompat mengejar, sampai di hadapan gadis itu dia berkata.
“Kau kubebaskan dari segala
urusan. Biar aku sendiri yang mencari Kakek Segala Tahu, Datuk dan Dewi Ular!”
kata Wiro dengan suara keras.
Tak kalah lantangnya Anggini
menyahut. “Baik, lakukan semua itu olehmu karena kau seorang pendekar hebat!
Aku akan mencari Arto Gempito!” habis berkata begitu Anggini memutar tubuhnya
dan berkelebat pergi.
Wiro jadi terkesima. “Gila!
Kenapa urusan jadi kapiran begini?!” ujarnya. Dia bantingkan kaki kanannya ke
tanah, lalu berkelabat ke jurusan lain. Tapi setelah beberapa lama berlalu dia
hentikan langkahnya, berputar ke arah tadi dia datang. “Gadis itu, ah,
bagaimana ini?
Biar kubujuk dia sekali lagi.
Kalau tidak mau, ya sudah!” Wiro segera mengejar ke jurusan perginya Anggini.
Setelah lari dalam gelap
menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya, selintas pikiran muncul dalam
benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. “Hampir tiga tahun aku tidak
melihatnya. Setelah bertemu, mengapa aku bersikap begitu kasar padanya? Aku
telah berlaku bodoh. Memojokkannya soal perjodohan itu. Mungkin semua itu bukan
salahnya! Kini dia memikul beban berat mencari Datuk Bululawang, Kakek Segala
Tahu dan Dewi Ular.
Bagaimana kalau dia juga sampai
jatuh ke tangan perempuan iblis itu?”
Karena pikirannya kacau balau,
Anggini hentikan larinya. Sesaat dia tegak terdiam termangumangu. Di depannya
ada sebuah pohon besar dengan beberapa cabang menjulur kokoh.
“Sebaiknya aku duduk saja dulu
di atas pohon sana, menunggu sampai hari pagi. Tiba-tiba saja tubuhku terasa
letih, aku perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat.”
Berpikir sampai di situ, murid
Dewa Tuak itu segera melesat ke atas pohon. Dia merebahkan tubuhnya di atas
salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera memicingkan mata.
Ingatannya masih tertuju pada
Pendekar 212. Lalu dia sadar akan apa yang dikatakannya pada pemuda itu, bahwa
dia akan mencari Sandaka Arto Gampito. “sungguh aku telah berlaku tolol!”
katanya dalam hati. “Kalau guru tahu apa yang terjadi ini, pasti dia akan marah
besar, Uh…!”
Selagi gadis ini berpikir dan
berkata-kata dalam hati seperti itu, telingan tiba-tiba menangkap suara sesuatu
di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki yang sangat perlahan. “Wiro…?”
ujar Anggini lalu memandang ke
bawah.
Pada saat yang sama, dua
bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua sosok tubuh melayang ke
atas pohon. Yang pertama langsung tegak di atas cabang tempat dia berbaring.
Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas pohon begitu gelap, tapi
karena sangat dekat, Anggini masih dapat melihat siapa adanya dua orang itu.
Yang berdiri di atas cabang
pohon tempatnya berbaring adalah seorang kakek berpakaian rombeng bermuka aneh
celemongan belang belentong. Entah dibedaki entah dicat. Wajah keriputan itu
tertutup oleh warna merah, hitam, putih dan kuning. Di ketiak kirinya, si kakek
mengepit sebuah tongkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata adalah seekor
ular kuning hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya
sambil tiada hentinya tersenyum-senyum.
Anggini melirik ke atas. Pada
cabang di atas kepalanya duduk berjuntai seorang pemuda.
Seperti si kakek, dia juga
mengenakan pakaian rombeng penuh tambalan. Wajahnya bulat dan mulutnya tiada
henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan cepat dia
bangkit dan tegak di atas cabang pohon.
“Kalian siapa?!” Anggini
bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini sebelah kiri dicat
putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. “Mangar!” si kakek membuka mulut
sambil melambaikan tangannya pada pemuda ynag duduk menjuntai di cabang pohon
sebelah atas. “Dia bisa bicara! Kau dengar tidak?!”
Pemuda di atas pohon tertawa
lebar lalu menjawab. “Tentu saja aku dengar kek! Suaranya merdu! Ha… ha… ha!”
“Suara merdu, paras cantik!
Apa lagi?!” si pemuda lalu uncang-uncangkan kedua kakinya.
“Dua orang gila rupanya! Kakek
dan cucunya!” ujar Anggini dalam hati.
“Kau tak salah memilihkan
jodoh untukku, Kek!” kata si pemuda lagi. Si orang tua tertawa mengekeh,
sementara Anggini seperti disentakkan mendengar ucapan pemuda itu.
“Kalian ini siapa dan bicara
apa?!” bentak Anggini. “Jangan membuat aku jadi marah! ”
“Aih! Gadis cantik rupanya
bisa juga marah! Coba marah! Aku mau lihat!” berkata si kakek.
“Pasti tambah cantik,” ujar si
anak muda pula.
Anggini hilang sabarnya.
“Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas pohon ini! Kalau tidak jangan
salahkan kau aku gebuk! ”
“Aduh, tidak sangka calon
istrimu ini galak juga rupanya Mangar!” kata si kakek sanbil geleng-geleng
kepala dan tertawa-tawa.
“Kurang ajar!” teriak Anggini
marah. Dia loloskan selendang sutera ungu yang melilit di lehernya.
Melihat ini, kakek bermuka
celemongan cepat angkat kedua tangannya seraya berkata.
“Tunggu, sabar dulu anak
gadis. Aku kenal kau sejak lama. Namamu Anggini dan kau adalah muridnya kakek
sakti bergelar Dewa Tuak, betul kan…?”
Diam-diam Anggini jadi heran
bagaimana orang tua tidak dikenal ini tahu akan dirinya.
“Orang tua muka belang! Kalau
kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan mengatakan apa keperluanmu, aku
benar-benar akan menghajarmu!”
“Kau mengancam! Baiklah aku
jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar Pemgemis Sinting Muka
Belang. Pemuda itu bernama Mangar, dia muridku dan belum punya gelar. Ha… ha
…ha..! Ketahuilah, aku mencarimu dan sengaja membawa serta muridku karena aku
ingin menjodohkan kau dengan dia…!”
“Gila! Kalian berdua
benar-benar sinting!”
“Boleh-boleh saja kau berkata
begitu adikku cantik!” pemuda bernama Mangar menyeletuk.
“Sikap dan tutur bicaramu
membuat aku ingin segera menikahimu! Kek, bagaimana ini? Aku sudah tidak tahan
mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan calon istriku ini!”
“Kurang ajar!” teriak Anggini
marah. Selendang ungu di tangan kanannya berkelebat ke atas. “Wuttt!” “Kraak!”
Cabang pohon tempat pemuda
berpakaian rombeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak ampun lagi melayang jatuh
ke bawah. Tapi setengah jalan dia berjungkir balik lalu melesat dan tahutahu
dia sudah duduk di atas bahu kakek bergelar Pengemis Sinting Muka Belang yang
saat itu masih berdiri di atas cabang pohon di hadapan Anggini. Dua orang gila
ini lalu tertawa tergelak-gelak.
“Gadis cantik, jangan kesusu
marah. Dengar dulu lanjutan ucapanku. Aku sudah berniat dan memutuskan kau
harus jadi suami muridku!”
“Gila! Siapa sudi!” teriak
Anggini.
“Sudi atau tidak itu urusan
nanti! Yang jelas aku saat ini juga akan melamarmu agar suka jadi istri Mangar.
Dan untuk mas kawinnya bukan kami yang bayar, tapi kau! Ha… ha…ha!”
“Benar-benar edan!” teriak
murid Dewa Tuak. Selendang ungu yang memang menjadi senjata andalannya kembali
dihantamkan ke depan. Ujung selendang menyambar ke arah muka belang si kakek.
Walau cupa selendang terbuat dari sutera halus, namun di tangan Anggini benda
itu telah berubah menjadi sekeras pentungan besi. Sesaat lagi ujung selendang
siap menghancurkan muka Pengemis Sinting Muka Belang, tiba-tiba pemuda yang
duduk di atas bahu si kakek gerakkan kaki kanannya.
“Wuttt!” Satu gelombang angin
dengan deras menerpa ke arah Anggini. Murid Dewa Tuak ini terkejut ketika dia
merasakan laksana didorong sebuah tembok yang tidak kelihatan.
Bukan saja ujung selendangnya
terhempas ke samping, tapi tubuhnya ikut bergoyang keras hingga kedua kakinya
bergetar.
Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya, gadis ini cepat mengimbangi diri dan balas menghantam
dengan tangan kanan.
Serangkum angin panas menderu
ke arah dada Pengemis Sinting Muka Belang. Setengah jalan, Anggini jentikkan
telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Angin serangannya secara aneh mendadak
sontak memecah dua. Satu menyambar ke perut si kakek muka belang, dan satunya
lagi menghantam ke arah tenggorokan pemuda bernama Mangar! Inilah jurus
serangan sakti yang disebut Memecah Angin Meruntuh Mentari Menghancurkan Bulan.
Kini dua lawan ganti terkejut.
Anggini menyeringai. “Rasakan oleh kalian. Masakan salah satu seranganku tak
akan mengena!” kata gadis ini dalam hati. Namun apa yang dilihatnya kemudian
membuat dia tercekat. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada si kakek,
orang tua ini tiba-tiba jatuhkan dirinya ke kiri. Tubuh sang cucu yang ada di
atas bahunya ikut miring ke kiri. Dua sosok tubuh mendadak kaku seolah berubah
jadi kayu. Kakek muka
belang gelungkan kedua kakinya
pada cabang pohon tempat dia berdiri. Sesaat kemudian seolah berubah menjadi
titiran, dua sosok tubuh kaku itu berputar dengan deras hingga mengeluarkan
deru angin yang keras.
Selagi Anggini terkesiap
melihat apa yang dilakukan orang, tiba-tiba tubuh-tubuh yang berputar kencang
berpisah. Satu melesat ke kiri, satu lagi ke kanan. Sebelum tahu apa yang
terjadi Anggini merasakan tangan kiri dan kanannya dicekal orang. Dia berusaha
meronta lepaskan diri tapi lengannya seolah dibelenggu dua japitan besi.
“Kena Kek!” terdengar suara
pemuda bermuka bulat berseru.
“Betul!” si kakek menjawab.
“Ayo kita bawa dia ke bawah!” Anggini merasakan tubuhnya dibawa melayang ke
tanah tanpa dia sanggup berbuat sesuatu apa. Dua tangannya yang dicekal kini
terasa kaku tak bisa digerakkan. Selendangnya jatuh entah ke mana!
Satu sosok bayangan berkelebat
cepat di bawah pohon. Tanpa melihat, telinga dan nalurinya mengetahui kalau di
atas pohon ada tiga orang berkelahi. Bayangan ini berlari terus namun mendadak
berhenti ketika menyadari ada sebuah benda bergelung di lehernya. Di ambilnya
benda itu. “Sehelai selendang ungu…” Orang ini berucap perlahan sambil
memainkan selendang sutera yang lembut itu dalam genggamannya. “Ada bau
harumnya, pertanda milik seorang perempuan… Mungkin salah satu dari mereka yang
tengah bergulat di atas pohon?!”
Diperhatikannya lagi selendang
itu. Pada salah satu ujungnya tertera tiga buah angka, 212.
Lalu dia berpaling ke jurusan
dari mana tadi dia datang. Di kejauhan dia mendengar suara dua orang tertawa
tergelak-gelak, lalu suara ketiga suara perempuan memaki marah. “Kek, aku ingin
menelanjanginya saat ini juga! Aku sudah tidak tahan! Persetan dengan segala
upacara perkawinan! ”
“Boleh saja! Kau mau melakukan
apa padanya aku mana mau peduli Mangar! Tapi yang penting cari dulu benda sakti
itu. Aku yakin dia selalu membawa ke mana dia pergi! ”
“Bangsat kurang ajar! Angkat
tanganmu dari tubuhku! ”
“Waw! Waw! Tubuh begini mulus!
Bukan main! ”
“Bedebah jahanam! Aku
bersumpah akan mematahkan lehermu! ”
“Ohoi! Aku rela mati di
tanganmu asal sudah bisa melihat kebagusan tubuhmu dan menikmatinya! Ha… ha…
ha…! ”
Diam sejenak. Lalu, “Kek! Aku
menemukan benda itu! ”
“Bagus! Lekas serahkan padaku
dan tinggalkan tempat ini! ”
“Apa!? Bukankah… ”
“Ya… ya! Terserah padamu kau
mau berbuat apa! Aku sudah dapat paku sakti ini! Aku pergi duluan! ”
“Aku tak bakal lama Kek! Apa
kau tak mau menunggu dulu! Mungkin juga mau melihat bagaimana aku
bersenang-senang dengan gadis cantik jelita ini?! ”
“Aku sudah lebih dari puas
mendapatkan benda ini! Kau boleh mengurusi gadis itu sesukamu. Tapi ingat, dua
malam di muka, kau menemuiku di tempat yang sudah ditentukan!” Yang bicara ini,
Pengemis Sinting Muka Belang, balikkan tubuhnya dan berkelebat pergi membawa
kantong kain milik Anggini yang di dalamnya tersimpan lebih dari tiga lusin
senjata rahasia berupa paku perak.
Mangar putar tubuhnya lalu
melangkah mendekati Anggini yang saat itu tertegak kaku dengan kedua tangan
terentang ke samping. “Pemuda keparat! Apa yang hendak kau lakukan! Berani kau
menyentuh tubuhku…!”
“Mengapa aku tidak berani!”
jawab Mangar lalu tangan kanannya bergerak menarik robek dada pakaian ungu
Anggini. Gadis ini terpekik. Mangar keluarkan suara menggeru melihat dada yang
tersingkap polos itu. Kedua tangannya meremas penuh nafsu.
Namun dia tak bisa menikmati
apa yang dilakukannya itu lebih lama. Dua larik cahaya hijau menyambar ke arah
kepala Mangar. Cucu yang juga murid Pengemis Sinting Muka Belang ini tak
terdengar menjerit dan tak sempat mengetahui apa yang membunuhnya. Kepalanya
hancur berkeping-keping! Darah dan kepingan tulang serta daging muncrat.
Sebagian mengenai wajah dan pakaian Anggini, membuat gadis ini menjerit ngeri
setengah mati.
Mangar yang kini tanpa kepala
mengepulkan asap di bagaian lehernya yang putus. Tubuh yang kini menjadi kehijauan
itu jatuh tergelimpang. Dalam keadaan kesakitan dan muka masih pucat seperti
mayat, tiba-tiba Anggini melihat sosok seorang pemuda hanya mengenakan selembar
cawat berdiri di hadapannya. Memandang tepat ke arahnya dengan sepasang matanya
yang hijau menggidikkan. Ada kilatan cahaya aneh dalam dua mata itu, yang
kemudian perlahan-lahan meredup lalu lenyap.
“Kau… kau tak apa-apa…?”
pemuda bercawat bertanya. Suaranya serak bergetar. Sepertinya dia tengah
menahan gejolak yang ada dalam tubuhnya.
“Kau…” Anggini merasa lidahnya
kelu. “Kau menolongku, terima kasih…” Gadis ini diam sebentar, berpikir.
“Ciri-ciri manusia ini sepertinya…”
“Apa yang ada dalam benakmu?”
tiba-tiba pemuda itu bertanya. “Kau… kau… Bukankah kau pemuda bernama Sandaka
itu…?” Kilatan sinar aneh kembali membersit di sepasang mata hijau si pemuda.
“Kita tidak pernah kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kau bisa
tahu namaku…?”
“Orang-orang rimba persilatan
banyak membicarakan dirimu…”
“Aku sudah tahu hal itu…” kata
pemuda bercawat yang memang adalah Sandaka Arto Gampito, pemuda yang menjadi
budak nafsu Dewi Ular itu. “Ini punyamu…?” Sandaka ulurkan selendang ungu yang
dipegangnya.
Anggini mengangguk. Dia tak
bisa menggerakkan tangan untuk mengambil selendang itu.
Sandaka ulurkan tangannya lalu
lingkarkan selendang ungu itu di leher Anggini. Sepasang mata hijau si pemuda
tiba-tiba menatap ke arah dada yang tersingkap. Dua bola mata menyorotkan sinar
aneh, membuat Anggini jadi bergeming. Tiba-tiba dua tangan Sandaka bergerak ke
arah dada gadis itu. Anggini semula hendak berteriak mengancam. Namun ketika
dilihatnya Sandaka hanya menarik ujung bajunya dan merapatkannya hingga dadanya
tertutup, diam-diam gadis ini menjadi lega. “Aneh, dia tidak sejahat yang
dipergunjingkan orang…”
“Apa yang ada dalam benakmu?”
Sandaka bertanya yang membuat Anggini jadi tercekat.
“Tidak… tidak ada apa-apa…”
“Aku tahu kau memikirkan
sesuatu…” kata si pemuda. Lalu dia berpaling pada mayat tanpa kepala yang
tergeketak di tanah. “Siapa manusia itu? Kenapa dia hendak berlaku jahat
padamu?”
“Namanya Mangar. Dia cucu
seorang kakek muka belang mengaku berjuluk Pengemis Sinting Muka Belang. Dia
merampas barang milikku… Kini sudah dilarikan kakeknya.”
“Barang apa?”
“Senjata rahasiaku. Sekantung
paku…”
Sandaka bersurut dua langkah.
Sepasang matanya kelihatan menyala hijau. Tampangnya jadi sangat seram yang
membuat Anggini kembali bergidik. “Paku terbuat dari baja murni?!”
Murid Dewa Tuak menggeleng.
“Paku itu terbuat dari perak putih… ”
Wajah Sandaka perlahan-lahan
tampak berubah tenang. “Mengapa mereka merampas benda itu darimu? ”
“Aku tak tahu… Mungkin ada
sangkut pautnya dengan dirimu… ”
“Kau tahu banyak tentang
keadaanku! Siapa namamu? ”
“Anggini… ”
“Kurasa aku bisa berteman
denganmu. Jadi kau harus ikut kau…” Anggini menggeleng dan cepat berkata. “Kau
telah menolongku. Aku berterima kasih. Itu sudah cukup. Jangan kau bawa diriku…
”
“Kau takut padaku? ”
“Kau… kau mungkin orang baik.
Tapi kau berada di bawah suatu kekuatan jahat… ”
Dua bola mata Sandaka
membesar. “Maksudmu Dewi Ular…” tanyanya dengan suara bergetar. Anggini tak
menjawab “Aku perlu teman untuk tukar pikiran. Kurasa kau orangnya.
Kau harus ikut aku Anggini! ”
“Tidak, kau pergi sajalah! ”
Sandaka membuka mulutnya
lebar-lebar. “Kau menguap!” ujar Anggini.
“Sudah setahun aku tak pernah
tidur. Kurasa waktunya sudah hampir tiba. Mungkin satu atau dua hari di muka.
Jika aku tidur, harus ada seseorang menjaga diriku… ”
“Dewi Ularmu bisa melakukan
itu…” kata Anggini pula.
“Ada sesuatu yang tidak beres
dalam diriku. Setiap kali aku menyadari hal ini, timbul dendam besar terhadap
perempuan itu… ”
“Di hadapanku kau berkata
begitu. Aku mencium maksud jahat tersembunyi terhadap diriku dalam otakmu…
Bukankah kau kekasih Kunti Arimbi alias Dewi Ular? ”
“Dia suka padaku. Aku memang
tergila-gila padanya. Tetapi tetap saja aku merasa ada yang tidak beres. Belum
selang berapa lama aku bahkan telah membunuh guruku sendiri atas perintahnya… ”
“Berarti kau juga bisa
membunuh siapa saja atas kemauan perempuan itu, termasuk diriku! ”
Sandaka menyeringai. “Kalau
itu memang terjadi, angap saja itu sudah suratan takdirmu! ”
“Gila!” teriak Anggini.
Sandaka kembali menyeringai. Dia rundukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat
Anggini sudah berada di atas panggulan bahu kirinya. “Turunkan! Lepaskan
diriku! ”
teriak Anggini. Sandaka
tertawa lebar. Ketika dia hendak berkelebat meninggalkan tempat itu, tiba-tiba
satu bayangan berkelebat menghadangnya disusul suara membentak keras.
“Turunkan gadis itu!”
Anggini kenali suara orang
yang membentak. Dia segera berseru, “Wiro!” Dua bola mata hijau Sandaka
memandang ke depan. Enam langkah di depannya berdiri seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian serba putih. “Lepaskan gadis itu!” murid Sinto Gendeng kembali
membentak.
Sandaka menyeringai. “Kalau
kau merasa sanggup mengambilnya, silakan coba!” Sepasang mata pemuda ini
mengeluarkan kilauan aneh. Dua mata itu mengedip. “Wussss! Wussss!”
Dua sinar hijau menyambar
dengan dahsyat ke arah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget. Dia cepat menyingkir
seraya menangkis dengan menghantamkan tangan kanan ke depan. Sinar putih
menyilaukan merambas menghantam dua larik sinar hijau maut yang keluar dari
sepasang mata Sandaka. “Bummmmm!”
Wiro terbanting ke tanah.
Sekujur tubuhnya seperti kaku dan panas. Terhuyung-huyung dia berdiri. Dadanya
berdenyut sakit. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk. Sandaka dan Anggini tak
kelihatan lagi bayangannya. Tengkuknya merinding ketika melihat bagaimana
pakaian putihnya telah berubah menjadi kehijau-hijauan! Dia memandang
berkeliling. Dan lebih merinding lagi melihat bagaimana beberapa pohon di
sekitarnya hancur rambas mengepulkan asap kehijauan!
“Celaka… mengapa jalan nafasku
mendadak menjadi sesak…?” Wiro pegang dadanya. Dia cepat kerahkan tenaga dalam.
Tapi terlambat. Dia mengeluh tinggi ketika kepalanya serasa dipalu. Lalu
perlahan-lahan pemandangannya menjadi gelap. Bersamaan dengan itu mukanya jadi
kehijauan.
Sesaat lagi dia akan roboh tak
sadarkan diri ketika tiba-tiba ada suara berkerontang mengiang di dua liang
telinganya. Dia mengenali suara itu tapi hanya bisa berdesah. “Ah Kek… aku yang
muda terpaksa mendahuluimu…”
Murid Sinto Gendeng keluarkan
suara mengerang panjang. Sebelum tubuhnya tersungkur ke tanah, tiba-tiba ada
satu bayangan berkelebat. bersamaan dengan itu ujung sebuah tongkat butut
menotok dengan telak urat besar di lehernya sebelah kanan. Lalu ada suara orang
menarik nafas panjang. “Sekejapan saja aku terlambat menotok jalan darahnya,
nyawa anak edan ini pasti tak akan ketolongan!” Lalu di tempat itu kembali
menggema suara kerontang
kaleng.
Sinar terang sang surya yang
baru terbit membuat kelopak mata yang tertutup itu bergerakgerak lalu perlahan
membuka. “Anak setan! Kau sudah siuman rupanya!” Itu suara pertama yang ditangkap
Wiro sebelum dia mendengar suara kerontangan kaleng yang seperti hendak
merobek-robek gendang telinganya. Dia topangkan kedua sikunya ke tanah. Dengan
susah payah dia mencoba bangkit sambil buka mata. Di hadapannya terpampang
wajah keriputan di bawah caping lebar menyeringai padanya.
“Bersyukur pada Gusti Allah!
Kau tak sampai mampus oleh racun mata Sandaka…” Agak lama murid Sinto Gendeng
memahami ucapan orang tua di hadapannya. Lalu dia ingat apa yang terjadi.
Sebelum dia jatuh pingsan, ada totokan melanda urat besar di lehernya. Totokan
itulah yang menolongnya.
“Tuhan memang Maha Besar dan
Maha Penolong! Tapi kalau kau tidak muncul tepat pada saatnya dan menotok jalan
darahku, mana mungkin saat ini aku masih bisa bernafas! Aku berterima kasih padamu
Kek…!”
“Kau berterima kasih padaku
puah! Apa kau kira Dewa Tuak akan berterima kasih padamu anak tolol?!” ujar
orang tua bercaping berpakaian rombeng penuh tambalan. Dia mengepit tongkat
butut di ketiak kanan sedang di tangan kiri ada sebuah kaleng butut yang selalu
mengeluarkan suara berisik setiap dikerontangkan.
“Eh, apa maksudmu Kek?” tanya
Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba ingatannya pulih menyeluruh.
“Astaga! Anggini!” katanya setengah berseru dengan wajah berubah. “Pemuda bercawat
itu! Sandaka! Dia menculik Anggini!”
Si kakek gelengkan kepalanya
dengan wajah rawan. “Bebanmu jadi tambah berat, aku tak tahu kenapa sampai jadi
begini. Tapi aku melihat ada satu ganjalan antara kau dan gadis itu…”
Wiro tarik nafas dalam. “Aku
merasa bersalah. Aku minta petunjukmu Kek, apa yang harus aku lakukan?”
“Menurut penglihatanku, untuk
beberapa waktu gadis itu cukup aman…”
“Cukup aman katamu Kek? Apa
kau sudah sin…” Wiro tak teruskan ucapannya. “Kau tahu sendiri siapa Sandaka.
Pembunuh edan tak pandang bulu! Aku bukan saja mengkhawatirkan nyawa gadis itu,
tapi juga kehormatannya…!”
“Menurut apa yang aku tahu,
ada hari-hari di mana Sandaka berada di luar pengaruh bejat Dewi Ular.
Mudah-mudahan saja saat ini dia dalam keadaan seperti itu. Ini bukan berarti
kita hanya berlepas tangan. Gadis itu biar aku yang mencarinya, kau tetap saja
pada apa yang menjadi tugasmu…”
“Aku tahu tugasku. Mencari
Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Tetapi sesuatu terjadi sebelum Sandaka
melarikan Anggini. Ada orang yang melarikan diri dari tempat ini, meninggalkan
satu sosok mayat tanpa kepala itu…” Wiro menunjuk pada mayat Mangar.
Kakek Segala Tahu
goyang-goyangkan kaleng rombengnya. “Kau bisa melihat siapa orang itu Kek?”
tanya Wiro.
Kakek Segala TAhu kembali
kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata, “Tak dapat kupastikan siapa
orangnya. Kawannya yang satu ini tak punya kepala. Mana mungkin aku
mengenalinya. Tapi turut penglihatanku, orang yang kabur itu telah mencuri
sesuatu dari murid Dewa TUak… Mungkin kau bisa menduga-duga? ”
“Maksudmu ada hubungannya
dengan kejadian besar dalam rimba persilatan saat ini? ”
“Tentu, ada kaitannya dengan
Sandaka dan Dewi Ular… ”
Wiro termenung. Garuk-garuk
kepala. Dia hampir menyerah ketika tiba-tiba dia ingat pembicaraan di tempat
kediaman Dewa Tuak di puncak bukit. “Kuharap saja dugaanku tak meleset. Orang
itu merampas paku perak yang menjadi senjata rahasia Anggini.”
“Kau betul anak edan. Tapi
mengapa dia merampasnya?” tanya Kakek Segala Tahu pula.
“Mudah saja jawabnya Kek. Dia
mengira paku itu adalah paku baja putih murni yang bisa melumpuhkan Sandaka!”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kalengnya. “Kita tak punya waktu banyak. Aku akan mengejar pemuda itu. Tugasmu
mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Sang datuk yang dipanggil dengan
sebutan Yang Mulia memiliki paku baja murni itu. Menurut penglihatanku, dia
memang mempunyai keinginan menguasai rimba persilatan. Tapi karena temahak, dia
juga ingin mencari untung sendiri. Berpura-pura menjual atau menukarkan paku sakti
itu dengan benda-benda berharga. Pada gilirannya baru dia akan melumpuhkan dan
menguasai Sandaka. Hanya satu yang belum aku tahu, kapan pemuda itu akan tidur.
Datuk Bululawang pasti tahu kira-kiranya…”
“Aku tak akan membuang waktu
Kek. Aku akan segera mencari sang datuk dan Dewi Ular…”
“Baik, kita berpisah di sini!”
kata si kakek, lalu kerontangkan kaleng bututnya. Baru saja dia hendak putar
langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa melengking tinggi dan panjang di
kecerahan pagi. Kakek Segala Tahu tercekat, Pendekar 212 lekas bangkit berdiri.
“Aku mencium bahaya besar!”
ujar si kakek. Lalu dia mengambil sebuah benda di bawah caping bambunya.
Secepat kilat benda itu dilemparkannya ke dalam mulut Wiro seraya berbisik,
“Lekas kau telan benda dalam mulutmu itu!”
“Kek…”
“Anak edan tolol! Telan saja
benda yang dalam mulutmu itu kalau tidak mau celaka!” sentak Kakek Segala Tahu
lalu kerontangkan kalengnya.
Meski tidak mengerti, namun
Wiro akhirnya cepat menelan benda yang ada dalam mulutnya.
Mulut, lidah dan
tenggorokannya terasa pahit. Dia hampir muntah tapi cepat ditahan. Saat itu
suara tawa terputus dan kini di hadapan Wiro dan Kakek Segala Tahu berdiri
seorang perempuan muda cantik luar biasa.
Perempuan ini tegak di atas
gundukan tanah yang agak ketinggian. Angin pagi meniup pakaian hijau tipis yang
membungkus tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, Pendekar 212 dapat melihat sosok
tubuh perempuan itu dengan jelas. Dadanya berdebar, darahnya terasa mengalir
lebih cepat dan wajahnya menjadi hangat. Terlebih lagi ketika angin pagi
menghembuskan bau harum yang keluar dari tubuh perempuan itu. Di atas kepalanya
perempuan ini memakau sebuah mahkota berbentuk kepala ular. Sepasang mata ular
ini terbuat dari sepasang permata berwarna hijau memancarkan sinar berkilauan.
“Anak tolol, apa kau sudah
tahu saat ini siapa yang berdiri di hadapan kita…?” Kakek Segala Tahu berbisik.
Meski terangsang melihat kecantikan dan aurat di balik pakaian hijau tipis itu,
namun ditanya seperti itu mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi bergetar juga
hatinya. Dia mengangguk dan dengan lidah agak kelu serta suara tersendat dia
menjawab, “Aku sudah tahu Kek, aku…”
Ucapan Wiro terputus.
Perempuan cantik bermahkota di hadapan mereka membuka mulut.
“Pemuda gagah berambut
gondrong. Kudengar tadi kau berucap hendak mencariku.
Peruntunganmu lagi mujur
rupanya. Kau usah susah-susah mencari. Aku Dewi Ular sudah muncul di
hadapanmu…”
Wiro berdehem beberapa kali
sementara Kakek Segala Tahu mendongak memandang ke langit. “Ada keperluan apa
kau mencariku? Maksud buruk atau baik?! ”
“Hmmm…” Wiro bergumam. “Bisa
buruk bisa baik,” jawabnya kemudian.
“Katakan dulu yang baiknya…”
ujar Dewi Ular sambil tersenyum.
“Aku sudah lama mendengar nama
besarmu. Selain sebagai orang berkepandaian tinggi dengan julukan angker,
kabarnya kau juga cantik jelita. Ternyata kabar itu tidak bohong. Aku merasa
untung bisa bertemu denganmu saat ini.”
Kunti Arimbi alias Dewi Ular
tersenyum. “Lalu apa buruknya? ”
“Nama besar dan tindakanmu
telah menggegerkan rimba persilatan Tanah Jawa. Kau melakukan
pembunuhan-pembunuhan keji dengan meminjam tangan seorang pemuda yang masuk ke
dalam perangkapmu… Ini membuat repot dan marah semua orang… ”
“Hmmm… apa kau juga
ikut-ikutan repot?” tanya Dewi Ular sambil menatap tajam pada Wiro namun
bibirnya tersenyum.
Murid Sinto Gendeng tertawa.
Di sebelahnya Kakek Segala Tahu memaki. “Anak tolol!
Mengapa pakai tertawa segala
bicara dengan iblis perempuan itu! ”
“Dewi Ular, aku menyirap kabar
bahwa kau ingin menguasai rimba persilatan. Tapi cara yang kau lakukan sesat
dan keji… Semua orang menentang perbuatanmu itu, termasuk aku… ”
“Kalau aku menguasai dunia
persilatan secara baik-baik, apakah kau mau membantu? ”
Pertanyaan ini membuat mulut
Pendekar 212 terkancing sesaat. “Mungkin saja… Hanya sayang kau telah terlanjur
masuk ke jalan sesat. Tak mungkin keluar lagi…” Dewi Ular angkat kepalanya.
Lehernya tampak jenjang dan putih. Dia tertawa perlahan lalu memandang pada
Wiro sambil mengedipkan matanya dua kali.
“Anak muda, buruk dan baik, kebajikan
dan kekejian di masa sekarang ini tergantung dari mana orang memandang.
Kalaupun pandangannya benar maka batas antara keduanya setipis kabut pagi yang
akan lenyap begitu sang surya menampakkan diri. Agar kau lebih mengenal diriku
dan apa yang akan aku kerjakan, kuanggap kau perlu ikut denganku… ”
“Ikut denganmu? Ke mana?”
tanya Wiro berlagak bodoh.
Dewi Ular tertawa. “Banyak
yang bisa kita kerjakan berdua… Kalau dunia persilatan bisa kukuasai, apa kau
tidak merasa senang berada di sampingku, jadi orang kepercayaanku? ”
“Ah, tidak sangka kau baik
sekali. Tapi aku khawatir di balik kebaikan itu ada maksud terselubung. Lagi
pula bukankah kau sudah punya pemuda gagah bernama Sandaka Arto Gampito itu? ”
“Hai, tidak sangka ternyata
kau merasa cemburu pada pemuda satu itu. Hik… hik… hik! ”
Tampang Wiro jadi bersemu
merah. “Siapa cemburu padanya? Dia siapa, kau siapa dan aku ini siapa?! ”
Dewi Ular kembali tertawa.
“Anak muda aku akan tetap membawamu. Suka atau tidak suka.
Kalau kau berlaku baik aku pasti
baik padamu. Imbalan yang bakal kau dapat berlipat ganda… Jangan kau andalkan
kepandaian yang kau miliki untuk melawanku… Aku butuh bantuanmu untuk
menyingkirkan beberapa tokoh silat kawakan. ”
“Coba kau tanyakan siapa saja
tokoh yang dimaksudkannya itu…” bisik kakek Segala Tahu.
“Eh, siapa si tua bangka
berbisik-bisik di sampingmu itu…?” tanya Dewi Ular seolah baru melihat
kehadiran Kakek Segala Tahu di tempat itu.
“Tidak usah pedulikan dia. Aku
hanya ingin tahu siapa-siapa tokoh silat yang hendak kau singkirkan itu? ”
“Aku tidak keberatan
mengatakannya,” jawab Dewi Ular sambil tersenyum. “Pertama kita berdua akan
mencari Datuk Bululawang. Bukankah kau mengincar manusia satu itu? Kau
membantuku dan aku membantumu… ”
“Tapi kita punya alasan berbeda!”
jawab Wiro.
“Kau cukup cerdik!” puji Dewi
Ular sambil kerdipkan mata kirinya. “Jelas alasan kita berbeda tapi tujuan kita
sama. Mengapa perlu diributkan? ”
Di sampingnya, Kakek Segala
Tahu berbisik. “Jangan berdebat dengan perempuan iblis itu.
Kau punya kesempatan merampas
paku baja putih dari Datuk Bululawang… ”
“Siapa korbanmu selanjutnya?”
Wiro bertanya.
“Seorang dedengkot rimba
persilatan. Berbobot lebih dari 160 kati. Tukang ngorok namanya si Raja
Penidur… ”
“Kurang ajar, dia sahabatku
dan sudah kuanggap sebagai guru atau kakek sendiri!” teriak Wiro.
Dewi Ular tertawa panjang.
“Itu anggapanmu. Tapi menurut anggapanku dia adalah penghalang besar untuk
mencapai cita-citaku! ”
“Benar-benar perempuan Iblis,”
teriak Wiro dalam hati. “Siapa lagi korbanmu selanjutnya, ” murid Sinto Gendeng
bertanya.
“Seorang nenek jelek bernama
Sinto Gendeng! ”
“Perempuan iblis, Sinto
Gendeng adalah guruku!” teriak Wiro.
“Kalau gurumu memangnya
kenapa? Apa dia tidak boleh mati?” tukas Dewi Ular sambil tertawa cekikikan.
“Jahanam!” Pendekar 212 tidak
dapt lagi menahan kesabarannya. Dia hendak melompati perempuan di hadapannya,
tapi kakek Segala Tahu mengulurkan tongkatnya menahan. “Aku sudah lama tidak
bergerak badan!” katanya. “Biar aku meluruskan tulang reotku dan mengendurkan
urat-urat yang sudah kaku! ”
Abis berkata begitu, Kakek
Segala Tahu kiblatkan tongkat butut di tangan kirinya. Benda ini bergetar keras
dan memijarkan cahaya redup. Bersamaan dengan itu tangan kanannya kerontangkan
kaleng rombeng. Suara berisik menggelegar di tempat itu.
“Tua bangka tidak tahu diri!
Kau hanya merusak pemandangan dan pendengaranku saja!” hardik Dewi Ular. Dia
angkat tangan kanannya. Telapak dibuka dan dihadapkan ke arah ujung tongkat
yang datang menusuk ke bagian kepalanya.
“Crasss!” Tongkat itu jelas
menembus telapak tangan Dewi Ular disertai suara menggidikkan. Tapi tidak ada
darah mengucur. Tapak tangan sama sekali tidak terluka apa lagi berlubang.
“Ilmu Sihir” desis Wiro dalam
hati sementara Kakek Segala Tahu tetap tenang saja. Sambil kerontongkan kaleng
di tangan kanannya tongkat di tangan kiri kembali berkelebat. Tapi kali ini
tongkat tidak dipakai untuk menyerang lawan, malah ditusukkan ke perut sendiri.
“Crasss!” Tongkat menembus
perut. Perut jebol berlubang. Tapi tidak ada darah. Malah ketika ditarik
ususnya muncrat! Wiro kernyitkan kening sedang Dewi Ular sempat tergagau
melihat apa yang terjadi.
“Kek!” seru Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. “Ayo serang lagi! Aku pasti bisa menirukan apa yang kau lakukan!”
kata Kakek Segala Tahu.
“Tua bangka sombong! Lihat
seranganku!” teriak Dewi Ular merasa direndahkan. Dua tanganya disorongkan ke
depan.
“Wutt! Wutt!!”
“Sett! Sett!”
Sepasang tangan yang
dipukulkan lurus ke depan itu berubah menjadi dua ekor ular. Yang di kiri
berwarna hijau pekat sedang yang kanan berwarna coklat kemerahan!
“Wuttt! Bettt! Bettt!” Tongkat
kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu membabat di udara.
“Dess! Dess! ”
“Traakkk! ”
Bagian belakang kepala ular
jadi-jadian hancur dan putus dihantam tongkat. Sebaliknya tongkat kayu Kakek
Segala Tahu patah dua.
Selagi Kakek Segala Tahu
terkejut melihat kejadian itu, tiba-tiba dua kepala ular yang buntung dan jatuh
ke tanah melesat ke atas, menancap di leher kiri kanan.
Wiro berteriak kaget. Kakek
Segala Tahu pergunakan tangan kiri dan kanan untuk membetot lepas kepala ular
itu dari lehernya lalu meremasnya sampai hancur! Sadar bahaya besar mengancam
jiwa, kakek ini segera ambil dua butir obat dari balik capingnya dan cepat
menelannya. Tiba-tiba dia meraung. Dadanya seperti ditusuk besi panas. Dari
mulutnya keluar busa darah.
“Kek!” teriak Wiro seraya
bergerak hendak merangkul orang tua itu. Namun dari samping Dewi Ular kebutkan
pakaian hijaunya. Selarik cahaya hijau menyambar membuat Pendekar 212 terpaksa
menyingkir dan melompat mundur.
“Perempuan iblis! Kau membunuh
kakekku,” teriak Wiro menggeledek.
“Oo, jadi dia kakekmu! Kenapa
tidak bilang dari tadi? Tadi kau bilang tak usah pedulikan.
Kasihan ajalnya sudah di depan
mata!”
“Perempuan jahanam! Rasakan
ini” dalam marahnya, murid Sinto Gendeng mengerahkan semua tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Serta merta lengan sebatas siku ke bawah menjadi putih perak
menyilaukan. Tangan itu kemudian dihantamkan ke arah Dewi Ular. Pukulan Sinar
Matahari!
Cahaya putih yang sangat panas
menyambar ke arah Dewi Ular. Perempuan itu hanya tercekat sesaat. Kedua
lututnya menekuk. Di lain kejap tubuhnya melesat ke atas. Gerakan perempuan ini
luar biasa cepatnya. Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya. Dari
atas Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua larik sinar hijau yang
membawa angin sederas topan prahara menyambar Pendekar 212. Pukulan Sinar
Matahari menghantam amblas beberapa pohon dan semak belukar yang serta merta
kemudian dikobari api.
Sebaliknya, dua larik pukulan
yang dilepaskan Dewi Ular membuat Pendekar 212 seperti ditindih gunung. Dia
berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan”
dan “Benteng Topan Melanda Samudra.”
Akibat yang terjadi luar
biasa. Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke atas berbuntalbuntal
disertai letusan-letusan keras. Kelihatannya dua pukulan sakti yang dilepaskan
Wiro mampu memusnahkan serangan lawan. Nyatanya tidak, karena dikejapan
berikutnya ketika tubuhnya masih melayang di udara, Dewi Ular dorongkan dua
telapak tangannya ke bawah.
Dua pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Celaka! Jahanam ini ternyata
luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!” keluh Wiro sambil menjauh cari selamat.
“Bummmm! Bummm!”
Serangan Dewi Ular menghantam.
Tanah, pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan. Di tanah kelihatan dua buah
lobang sedalam dua jengkal.
Wiro merasa kedua lututnya
goyah ketika dia berusaha bangkit. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah keluar.
Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua langkah di
depannya. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Siap
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Dewi Ular bergerak mendahului. Kedua
tangannya dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di bagian tengah.
Perut Dewi Ular tersingkap polos dan putih. Pusarnya menyembul. Wajahnya
kelihatan menjadi kaku, pandangan matanya menyorot mengidikkan.
Tiba-tiba dari pusar perempuan
itu melesat sebuah benda yang ternyata adalah seekor ular hitam berkepala
putih. Binatang ini melesat ke arah Wiro langsung mematuk bagian dadanya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh
tinggi. Dada pakaiannya yang robek tampak basah oleh darah. Kepalanya pening.
Tubunya mendadak terasa sangat dingin hingga dia menggigil dan akhirnya roboh
tak sadarkan diri.
Letih berteriak minta
diturunkan dan dilepaskan, akhirnya Anggini hanya bisa berdiam diri.
Dalam kegelapan malam
menjelang pagi, Sandaka melarikannya laksana terbang. Anggini sendiri memiliki ilmu
lari cepat dan dia pernah melihat beberapa orang tokoh silat berlari sangat
cepat, namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki Sandaka.
Lamalama tanpa disadarinya akhirnya gadis itu tertidur. Pemuda bercawat itu
memanggul dan melarikannya ke arah Barat.
Ketika Anggini terbangun dari
tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus membawanya lari. Dalam hati
murid Dewa Tuak ini membatin. “Luar biasa! Sejak malam sampai siang begini dia
masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan kecepatannya pun tak berkurang.
Apa dia tidak haus dan lapar? Apa dia tidak akan berhenti untuk istirahat?
Anehnya lagi, sekujur tubuhnya
sama sekali tidak mengeluarkan keringat… ”
“Apa yang ada dalam benakmu?!”
tiba-tiba Sandaka bertanya membuat Anggini terkejut.
“Dia mempunyai kepandaian
membaca pikiran orang. Sudah berapa kali kejadian setiap aku berpikir dan
membatin dia lantas bertanya.” Lalu gadis itu berkata. “Kau lari secepat setan.
Hendak kau bawa ke mana aku
ini? Apa kau tidak mau melepasku? ”
“Sekarang ini apapun yang
terjadi aku tidak akan melepaskanmu. Sudah aku katakan aku perlu teman untuk
bicara, untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan banyak bicara agar
kita lekas sampai. ”
“Sampai ke mana?” tanya
Anggini.
“Lihat saja nanti. Perjalanan
masih cukup jauh, mungkin malam hari kita baru sampai. ”
Anggini terdiam. Dalam
benaknya muncul berbagai pikiran. Dari yang dilihatnya pemuda bernama Sandaka
itu tak sejahat seperti kata orang. Walau dia tidak tahu mau dibawa ke mana
tapi entah mengapa dia merasa aman. Lalu tiba-tiba muncul wajah Wiro di pelupuk
matanya.
Bagaimana keadaan pemuda itu
sekarang? Terakhir sekali dilihatnya pemuda itu terbanting ke tanah akibat
bentrokan pukulan sakti dengan Sandaka.
“Siapa yang sedang kau
pikirkan?” pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.
“Lagi-lagi dia tahu aku sedang
memikirkan sesuatu,” kata gadis itu dalam hati.
“Aku tahu kau pasti memikirkan
pemuda itu. Aku dengar kau menyebut namanya Wiro… ”
“Kau telah mencelakainya! ”
“Dia mencari penyakit.
Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya?! ”
“Aku bukan miliknya, Juga
bukan milikmu!” jawab Anggini.
Sandaka menyeringai dan terus
berlari. “Dia memiliki pukulan sakti yang hebat. Kalau aku lambat bertindak,
bisa celaka… Sudahlah. Aku tak suka membicarakan pemuda itu. Lebih baik kau
tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.”
Dalam hati Anggini mengumpat.
Namun saat itu dia memang tidak punya daya. Kedua tangannya masih meregang
kaku. Dia coba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu gelagat cepat mengancam.
“Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku, jangan kira aku tidak
tega mematahkan tulang keringmu! ”
Dalam kesal dan tak bisa
berbuat apa-apa akhirnya Anggini memilih tidur saja. Kedua matanya dipejamkan.
Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas bahu Sandaka. Sewaktu dia
bangun, didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap. “Lama sekali aku
tertidur. Di mana aku berada saat ini?” Anggini berpikir-pikir sambil memandang
berkeliling. Gelap. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam
lainnya.
“Pemuda itu, di mana dia…?”
Anggini bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang lagi berkeliling dan
didapatinya dirinya terbaring di satu tempat. KemudiaN disadarinya kedua
tangannya tidak meregang kaku lagi. Segera dia bangkit berdiri. Ketika
diperhatikan lebih seksama tempat dia berbaring tadi, ternyata sebuah gundukan
tanah ditumbuhi rumput liar.
Dia memperhatikan lebih
seksama lagi. Astaga! Gundukan tanah itu adalah sebuah makam!
Kuburan! Dia keluarkan pekik
kecil. Dengan rasa tegang dia dekati salah satu ujung gundukan di mana
terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk. Di situ tertera sebaris
tulisan. Selain keadaan yang gelap, tulisan itu juga sudah tidak kentara lagi.
Anggini membungkuk mencoba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.
Tiba-tiba satu tangan dingin
memegang bahunya. Si gadis terlompat dan berseru kaget.
“Namanya Mantili…” terdengar
satu suara berkata di belakangnya. Anggini putar tubuh dengan cepat.
“Ah, dia rupanya..” desis
murid Dewa Tuak ini sedikit lega. “Si… siapa orang yang bernama Mantili yang
barusan kau sebutkan itu? ”
“Kau ingin tahu nama di papan
nisan itu bukan? Orang yang dikubur di sini seorang gadis bernama Mantili. ”
“Apa maksudmu membawa aku ke
tempat ini? Kau sengaja membaringkan aku di atas kuburan! Siapa gadis bernama
Mantili itu? ”
“Pertanyaanmu banyak sekali.
Akan kujawab satu per satu!” sahut Sandaka. “Pertama, maksudku membawamu ke
mari karena kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling aman di dunia. Kedua,
aku sengaja membaringkan kau di atas kubur agar kau menyadari bahwa sebenarnya
hidup manusia itu dekat sekali dengan liar kubur alias kematian! ”
“Jangan-jangan dia hendak
membunuhku…” pikir Anggini.
“Katakan apa yang ada dalam
benakmu!” Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak berkedip.
“Tidak, aku tidak memikirkan
apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis bernama Mantili itu… ”
Sepasang mata Sandaka
kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup, wajah pemuda ini
kelihatan sedih, lalu terdengar suaranya perlahan. “Gadis itu kekasihku. Kami
sudah merencanakan kawin. Tapi dia keburu menemui ajal. Mati dibunuh orang!”
wajah Sandaka berubah tegang membesi. Dua bola matanya memancarkan kilatan
sinar hijau.
“Siapa yang membunuhnya?”
tanya Anggini ingin tahu.
“Aku!” jawab Sandaka keras
tapi wajahnya biasa saja.
Anggini memandang membeliak
pada pemuda bercawat itu. “Katamu gadis bernama Mantili ini kekasihmu. Bahkan
kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya? Apa dia
mengkhianatimu?”
Sandaka menggeleng. “Aku
membunuhnya karena diperintah Dewi Ular!”
Kini bukan saja dua mata
Anggini yang membeliak, tapi mulutnya juga terbuka lebar mendengar ucapan
Sandaka. “Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya karena diperintah Dewi
Ular! Aku tidak mengerti manusia macam apa kau ini adanya!”
Sandaka menatap Anggini dengan
pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua mata pemuda ini menggidikkan
membuat si gadis tersurut dua langkah. “aku tidak gila! Aku hanya tidak bisa
melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular… ”
“Apa kau tidak punya niat
untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari kekuasaannya yang keji? ”
“Aku tidak melakukannya. Aku
tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam terhadapnya! Dendam tapi juga
suka! ”
“Aneh! ”
“Apa yang aneh?!” tanya
Sandaka dengan suara bergetar.
“Kini otakmu kelihatannya
seperti waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari membunuh kekasihmu itu…
”
“Sejak beberapa waktu lalu
memang ada kelainan dalam diriku. Otakku sepertinya berubah jernih walau sangat
perlahan… ”
“Mungkin pengaruh jahat Dewi
Ular atas dirimu mulai lenyap… ”
“Itu tidak mungkin. Tidak ada
yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari perempuan itu. Aku menyukainya.
Dia membuat diriku benar-benar jadi lelaki perkasa… ”
“Tadi kau bilang ada kelainan
dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan saat ini…?” tanya Anggini.
“Hmmmm… Tidak ada hal lain.
Kecuali aku mulai mengantuk. Ingin tidur tapi belum bisa.
Kalau aku tidur, kau harus
menjagaku… ”
Murid Dewa Tuak terdiam. Dia
berpikir. “Kalau dia benar-benar tidur, berarti ini kesempatan baik bagiku
untuk melumpuhkannya… ”
“Apa yang ada di benakmu? Kau
merancang sesuatu yang licik?!” tanya Sandaka curiga.
Anggini cepat gelengkan
kepala. “Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi aku tidak tahu berapa lama kau
tidur. Satu hari, satu minggu atau satu bulan? ”
“Sekalipun aku tidur satu
tahun, kau tetap harus menjagaku! Awas jika kau berani membantah! Tanganku
sudah agak lama tidak memecahkan batok kepala manusia! ”
“Manusia edan!” maki Anggini dalam
hati. “Bagaimana ada manusia berkeadaan seperti dia di dunia ini?! ”
“Aku tahu kau memaki dalam
hatimu!” terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka lebarlebar. Dia menguap.
“Mungkin saatnya aku mulai mencoba tidur… ”
Lalu dia melangkah mendekati
makam kekasihnya. Sesaat dia memandang pada Anggini.
Setelah itu direbahkannya
tubuhnya di atas kuburan itu. “Tolong jaga diriku. Tempat ini paling aman namun
jika ada orang yang muncul dan bermaksud jahat, kau tahu apa kewajibanmu! ”
“Kewajiban apa?! ”
“Membunuh orang itu! ”
“Gila! ”
Sandaka menyeringai. Sambil
pejamkan kedua matanya, pemuda ini berkata. “Jangan coba melarikan diri dari
sini. Jangan coba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan menyesal! ”
Sandaka menguap lebar-lebar.
Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah bangkit dia lalu memandang pada gadis di
dekatnya lalu berkata. “Kau tahu namaku, aku belum tahu namamu… ”
“Aku sudah mengatakannya
padamu. Namaku Anggini…! ”
“Anggini… Oh ya… Anggini …”
Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas makam kekasihnya itu.
Dalam hati Anggini
menduga-duga pemuda ini mulai linglung entah diserang kantuk atau memang
otaknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika dia dengar Sandaka
mendengkur. “Ngorok… berarti dia sudah mulai pulas…” membatin Anggini. Dia
berpikir keras tindakan apa yang harus dilakukannya. “Sebaiknya kulumpuhkan
dulu dirinya dengan totokan. Kalau dia sudah tidak berdaya, baru aku pikirkan
apa yang selanjutnya akan kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan
mudah. Yang paling mudah menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai
dengan cepat dan dunia persilatan terbebas dari malapetaka besar. ”
Memikir sampai di situ Anggini
melangkah dengan hati-hati. Tanpa suara mendekati Sandaka. Jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya diluruskan. dipentang sedemikian rupa hingga
memiliki kekuatan seperti dua potong besi. Sebagai murid Dewa Tuak yang
merupakan salah seorang dedengkot rimba persialatan, gadis ini membekal ilmu
totokan tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya karena sanggup
melumpuhkan, jangankan manusia biasa, seekor gajah pun bisa kaku tegang
dibuatnya.
Sandaka ngorok terus. Anggini
mendekat cepat tanpa suara. Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah dada kiri
pemuda yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya. Anggini sengaja melakukan
totokan ke urat besar yang berada di dekat jantung pemuda itu. Ini memang satu
totokan dahsyat dan sangat berbahaya. Sekali seseorang kena ditotok di bagian
ini, pasti sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu. Namun jika meleset dari titik
kelumpuhan itu, maka orang yang ditotok bisa meregang nyawa karena totokan akan
membuat jantungnya pecah!
Inilah totokan yang oleh Dewa
Tuak dinamakan “Seribu Lumpuh Seribu Ajal”.
Hanya seujung kuku totokan
dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka ketika tibatiba satu cahaya
hijau pekat menyambar keluar dari dada pemuda itu.
Anggini keluarkan seruan
tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke lengan
terus menjalar ke siku terasa seperti disengat hawa sangat panas.
Gerakannya menotok tertahan
seolah dia menusuk tembok baja. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam penuh untuk
melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak terlihat, tubuhnya
terpental sampai tiga langkah. Kalau dia tidak cepat mengimbangi diri, gadis
ini pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat dia tertegun pandangi Sandaka
yang tampak masih terbaring pulas dan terus mengorok, sementara dia sendiri
pergunakan tangan kiri untuk mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.
Cahaya hijau di atas dada
Sandaka tampak meredup lalu senyap seolah amblas masuk ke dalam dada pemuda
itu. “Sulit kupercaya dalam keadaan tidur seperti itu dia bisa melindungi diri
bahkan menghantamku…” membatin Anggini. Dia berpikir sejenak. Lalu
perlahan-lahan dia tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya. Benda ini
adalah senjata andalan murid Dewa Tuak. Pada salah satu ujungnya tertera angka
212. Angka itu dibuat Wiro dengan ujung jarinya beberapa tahun lalu, pada suatu
malam sehabis mereka memadu cinta. Mau tak mau Anggini sekilas teringat apa
yang terjadi di antara dia dengan Pendekar 212 malam itu.
Mukanya berubah merah dan
terasa panas.
“Gila! Mengapa dalam keadaan
seperti ini aku mengingat dirinya dan kejadian malam itu?!”
Anggini memaki sendiri dalam
hati. (Untuk membaca hubungan apa yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng
dengan gadis murid Dewa Tuak itu, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Maut
Bernyanyi di Pajajaran)
“Aku tidak suka melakukan ini.
Tapi agaknya tak ada jalan lain. Tak mungkin dilumpuhkan.
Terpaksa aku harus
membunuhnya!” Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke selendang yang
dipegangnya. Walau masih kelihatan lembut, tapi sebenarnya selendang itu telah
berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi!
Selangkah demi selangkah gadis
itu mendekati sosok Sandaka yang mendengkur. Tangan kanannya diangkat ke atas.
Dalam jarak yang sangat dekat, Anggini lalu hantamkan selendang suteranya ke
arah kepala Sandaka.
“Wutttt!”
Sinar ungu berkelebat. Ujung
selendang sekeras besi menderu ke arah kening Sandaka.
Jangankan kepala manusia, batu
pun pasti akan hancur berantakan dihantam selendang tersebut. Namun itu tidak
terjadi. Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran, keluar cahaya hijau terang
sekali, menghantam ke atas.
Anggini terpekik. Tubuhnya
mencelat. Selendang di tangannya terlepas. Bobot berat dan kerasnya lenyap.
Selendang ini melayang lembut di udara lalu jatuh ke tanah, robek besar di
ujungnya yang tadi dipakai menghantam kepala Sandaka. Anggini sendiri saat itu
tergeletak di tanah. Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan, mendenyut sakit
bukan kepalang dan hampir tidak bisa digerakkan lagi.
Di hadapannya, di atas kuburan
itu sosok Sandaka sama sekali tidak bergerak. Suara dengkurannya menggema dalam
kegelapan malam. Walau menahan sakit yang amat sangat, saat itu mau tak mau
Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski dia maklum kehebatan pemuda
itu banyak ditentukan oleh Dewi Ular yang menguasainya. Terhuyunghuyung Anggini
bangkit. Pada saat itulah dia mendengar suara orang tertawa mengekeh disusul
berkelebatnya satu sosok berjubah merah.
Seorang kakek bermata juling
tegak di depan Anggini, di seberang kuburan di mana Sandaka masih enak-enakan
tidur mendengkur. Orang tua ini bertubuh pendek dan di punggungnya ada punuk
besar. Di keningnya terikat sehelai kain merah. Tangan kirinya buntung sebatas
bahu. Di bagian ini, jubahnya tampak seperti hangus dan ada noda darah
mengering. Yang hebatnya di atas kepalanya manusia ini menjunjung sebuah peti
besi. Kedua matanya yang juling bergerak-gerak kian ke mari, menatap pulang
balik dari Anggini kepada sosok Sandaka.
Murid Dewa Tuak yang tadinya
hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan perhatikan orang tua di
depannya dengan penuh waspada, sambil menduga-duga siapa adanya orang tua
berpunuk, bertubuh pendek dan mengenakan jubah robek berwarna merah menyala di
seberang kuburan itu.
Orang tua pendek goyangkan
kepalanya sedikit. Peti besi yang ada di kepalanya melayang ke bawah. Peti ini
disambutnya dengan kaki kiri lalu dengan perlahan-lahan peti diletakkannya di
atas tanah. “Aku tidak yakin tua bangka itu pemain akrobat!” kata Anggini dalam
hati. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Kek! siapa kau?”
Mata juling orang yang ditanya
berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan tawa. “Gadis cantik tapi tolol!
Seharusnya aku yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau yang punya hak
menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan tua bangka
lain, gadis secantik kamu bisa jadi lalapannya! Ayo bilang, siapa dirimu! Apa
sangkut pautmu dengan pemuda yang sedang ngorok di atas makam sana?”
Waktu memaki dan berucap, si
kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap memandang ke arah Sandaka denga
mata berlikat-kilat. Beberapa kali dia leletkan lidah basahi bibir. Dalam hati
dia berkata. “Luar biasa! Belum pernah aku melihat tubuh muda sekokoh ini! Ah,
bagaimana ini? Apa aku kerjai atau urusan besar ini aku selesaikan lebih
dahulu?” Si kakek buntung melirik ke arah Anggini lalu berkata. “Aku tidak suka
kau berada di sini. Kau
kubebaskan pergi. Lekas
sebelum aku berubah pikiran!”
“Kau tidak punya hak
mengusirku. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan pemuda itu untuk
menjaganya selama dia tidur!”
Kakek berpunuk tertawa
mengekeh. “Hemmm… benar dugaanku. Jadi kau ada hubungan apa-apa dengan pemuda
di atas makam. Dengar gadis tolol! Aku tidak hanya berhak mengusirmu tapi juga
membunuhmu pun aku punya seribu hak! Sekarang terserah kepadamu.
Mau mencari selamat dan pergi
cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur di tempat ini!?”
“Manusia buntung!” tiba-tiba
ada suara membentak. “Gadis cantik itu biar aku yang mengurus! Kau tua bangka
buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum dia marah dan mematahkan
batang lehermu?!”
“Kurang ajar!” teriak kakek
berpunuk. “Siapa berani menghina cari perkara!” Dia memutar tubuhnya lalu
kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.
“Wuttt! Wusss!”
Satu sinar merah menderu.
Sosok yang baru saja muncul bergerak cepat menghindari serangan kakek berpunuk
mata juling. Sambaran merah menghantam batang pohon kamboja besar hingga
patah-patah dan roboh.
Di hadapan Anggini dan kakek
berpunuk, tegak seorang tua bermuka belang celemongan mengempit sebatang
tongkat terbuat dari seekor ular kuning hitam dikeringkan. Dia mengenakan
pakaian rombengan penuh tambalan. Di tanan kirinya dia memegang sebuah kantong
ungu. Mulutnya senyum tiada henti. Sikapnya menunjukkan dia berotak kurang
waras. Anggini segera kenali si kakek. Lagi pula kantong ungu adalah miliknya
yang berisi senjata rahasia paku perak.
“Pengemis sinting Muka
Belang!” teriak Anggini. “Pencuri keparat! Lekas kau kembalikan kantong itu
padaku!”
Si kekek tua belang tertawa
lebar. “Gadis cantik, gara-gara dirimu cucuku menemui ajal di tangan pemuda itu!
Kau minta kantong berisi paku ini? Baik! Aku pasti mengembalikan, malah dengan
tambahan satu paku sorga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha.. ha!”
“Dajal bermulut kotor!” teriak
Anggini marah sekali. Sekali dia berkelebat serangannya berupa tendangan
mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang. Di tua menunggu sesaat
lalu tangannya bergerak mencabut tongkat ular dari kepitannya. Ketika tongkat
itu dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat menyongsong serangan Anggini.
Sebelum kedua sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras
disertai sinar merah menyambar.
Pengemis Sinting Muka Belang,
keluarkan seruan tertahan dan cepat melompat mundur ketika dirasakannya kepala
tongkat ularnya bergetar keras. Dengan wajah berubah dipandangnya kakek
berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya orang itu.
Selama ini hampir tidak ada
orang yang bisa menandingi kehebatan tongkat ular. Maka dia pun membentak.
“Tua bangka buntung berpunuk!
Siapa kau?” Yang ditanya ganda tertawa, lalu mendongak seraya berkata. “Sejak
tangan kiriku buntung, banyak cecunguk dan segala macam kecoa tidak lagi
mengenali diriku. Namun aku tetap aku. Kau pernah mendengar seorang tokoh yang
dipanggil Yang Mulia?” Kakek buntung turunkan kepalanya, menatap tajam pada
Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka
Belang jadi berubah. “Kau… jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang?!” Si
Buntung tertawa panjang.
Pengemis Sinting Muka Belang
jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah orang di hadapannya berkata. “Kau datang
membawa sebuah kantong. Apa isi kantong itu?” Pengemis Sinting Muka Belang
tidak menjawab.
“Tidak menjawab pun aku sudah
tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah paku?
Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan
lalu bisa menguasai pemuda yang tidur di atas makam itu?”
“Keparat! Bagaimana dia bisa
tahu…!” menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang. Yang mulia Datuk Bululwang
keluarkan kantong dari balik jubah merahnya. Benda ini ditimangtimangnya
sebentar lalu berkta. ”Paku yang kau bawa itu tidak ada apa-apanya, ini paku
yang asli!”
“Hah!?” Pengemis Sinting Muka
Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling pada Anggini. Gadis ini
tercekat dalam keadaan tegak. “Kakek sinting, jangan bermimpi kau akan jadi
raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini lebih
lama.
Jika paku dalam kantong itu
memang milik gadis ini, lekas kau kembalikan padanya lalu cepat minggat dari
sini!”
Pengemis Sinting Muka Belang
mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun dia tidak mau kalah sebelum
bertanding. “Datuk Bululawang, siapa tidak kenal padamu. Tapi jangan terlalu
mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai momok yang doyan
menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku!
Puah!”
Pengemis Sinting Muka Belang
lalu meludah ke tanah.
Paras Datuk Bululawang berubah
sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang sekeras batu karang. “Penghinaan
sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut pemcabut nyawamu sendiri!”
Sang Datuk simpan kantong kain yang dipegangnya. Di lain kejap tubuhnya melesat
ke depan. Anggini hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat di depannya.
Sesaat kemudian terjadilah
perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan. Pengimis Sinting Muka Belang
kiblatkan tongkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan. Sinar hitam
kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk. Sesekali terdengar suara
mendesis dan dari mulut tongkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.
Datuk Bululawang cepat tutup
jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun tongkat ular di tangan
lawan. Dua jurus pertama dia layani semua gempuran Pengimis Sinting Muka Belang
dengan tenang. Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara. Memasuki jurus ketiga
gerakan sang datuk berubah ganas. Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan deru
angin deras. Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari. Setiap gerakan
tangan mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin. Jurus kelima
dia mulai membuka serangan. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat. Tangan
kanan yang menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk
bayang-bayang lebih dari satu.
“Celaka! Aku tidak dapat
mengetahui mana tangan yang asli!” keluh Pengemis Sinting Muka Belang. Di mulai
gugup menghadapi lawan. Karenanya dia mulai mengeluarkan jurusjurus mautnya.
Sambil menghantam dengan
tongkat ularnya dari mulutnya keluar jerit pekik teriakan aneh yang bukan saja
menyakitkan telinga tepi bisa membuat kacau serangan musuh.
Namun Datuk Bululawang yang
sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.
“Orang lain bisa kacau balau
oleh pekik gilamu itu! Tapi aku Yang Mulia Datuk Bululawang mana bisa tertipu!
Ha… ha… ha…! Lihat serangan!” teriak Datuk Bululawang. Tangan kanannya untuk
kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga buah. Tangan
pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah anggota rahasianya. Tangan
kedua berkelebat ke leher, laksana sebuah tali besar siap membelit
tenggorokannya.
“Pesssttt!”
Pengemis Sinting Muka Belang
semburkan racun dari mulut tongkat ularnya. Bersamaan dengan itu dia melompat
ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu pukulan tangan kosong
mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.
Saat itu mendadak dengkur
Sandaka terputus. Lalu terdengar pemuda itu terbatuk-batuk beberapa kali.
“Celaka kalau dia sempat bangun kacau semua urusanku!” kata Datuk Bululawang
penuh khawatir. “Aku harus bergerak cepat!”
Tetapi sesaat kemudian dia
jadi lega karena dengkur Sandaka terdengar lagi. Namun dia tidak mau lagi
membuang-buang waktu.
“Wuttt! Bettt!”
“Krakkk!”
Pengemis Sinting Muka Belang
menjerit keras. Tubuhnya terpental. Tongkat ularnya terlepas.
Ujung tongkat itu masih dalam
genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi kutungan patah akibat hantaman
keras Datuk Bululawang. Lalu terjadilah hal mengerikan. Selagi Pengemis Sinting
Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan, sang datuk mendatanginya. Tangan
kanannya melesat ke depan.
“Crasss! Krakkk!”
Perut Pengemis Sinting Muka
Belang jebol. Tulang-tulang iganya berpatahan. Ketika tangan itu ditarik, isi
perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut merojol keluar. Ia menjerit setinggi
langit. Datuk tertawa terkekeh. Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke
muka Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini
tampak mengerikan.
Anggini sampai mengernyitkan
wajahnya, merinding melihat hal itu. Dia memandang ke jurusan lain ketika tubuh
Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah, menggelepar beberapa kali
lalu tidak bergerak lagi. Ketika gadis itu berpaling kembali, Datuk tengah
melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur. Dari mulutnya
terdengar suara merapal seperti tengah membaca mantera.
“Apa yang tengah dilakukan
orang ini…?” Bertanya Anggini dalam hati. Dia memungut selendangnya yang
tercampak di tanah lalu cepat-cepat mendekati mayat Pengemis Sinting Muka
Belang. Dari balik pakaian orang ini ditemukan kantong berisi paku perak yang
merupakan senjata rahasianya. Sambil menimang kantong itu dia memandang ke arah
sosok Sandaka di atas kuburan. Gadis ini berpikir cepat lalu dia bergerak
mendekati makam. Dari dalam kantong dikeluarkannya tujuh buah paku perak.
Melihat yang dilakukan
Anggini, Datuk menghentikan langkahnya. Mulutnya berhenti membaca mantera lalu
berkata. “Kau hendak melumpuhkan pemuda itu dengan pakupakumu? Jangan mimpi.
Aku sudah bilang agar cepat kau lekas pergi dari sini! Atau kau akan menyesal
sendiri!”
Dihina senjata rahasianya
sebagai paku butut dan dicap mimpi, murid Dewa Tuak jadi marah.
Dengan kertakkan rahang dia
kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku lalu paku itu bergerak.
Terdengaar suara berdesing di udara malam. Tujuh perak melesat hampir tidak
kelihatan. Tujuh bagian tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari batok
kepalanya sampai pergelangan kaki.
Sesaat lagi tujuh buah paku
perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh Sandaka tiba-tiba dari
dalam tubuh pemuda itu memacar cahaya hijau. Begitu ujung paku mencapai ujung
cahaya semuanya mencelat mental, ada yang menancap di pohon atau menyangkut di
semak belukar. Anggini terkejut bukan kepalang. Dia dekati paku yang mental
lalu jatuh ke tanah. Ternyata senjata rahasianya itu telah bengkok dan leleh
mengepulkan asap.
Datuk Bululawang tertawa
mengekeh. “Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih dari paku butut! Kalau
kurang puas, apa kau mau coba lagi?” Meski marah tapi Anggini tutup mulut.
Dilihatnya sosok Datuk
Bululawang melangkah mengelilingi sosok Sandaka di atas makam sambil mulutnya
meracau entah merapal apa. Dia hentikan langkah ketika kaki kirinya menginjak
sebuah benda keras. Mulut manusia berpunuk itu menyeringai. Dengan ibu jari
kaki kirinya dicongkelnya benda itu. Ternyata sebuah batu hitam sebesar dua
kali kepalan.
“Paku sudah di tangan, palu
sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah aku ketahui!
Apa lagi yang aku tunggu?!”
Datuk Bululawang keluarkan
kantong berisi paku baja putih murni dari balik jubah merahnya.
Lalu diambilnya batu hitam
yang barusan dicongkel dari dalam tanah. Setelah itu dia bergerak mendekati
sosok Sandaka di arah kepala.
Anggini maklum apa yang akan
terjadi. Datuk Bululawang hendak melumpuhkan Sandaka lalu menguasai pemuda itu!
“Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia persilatan tidak akan lolos dari
malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai pemuda itu!” Tanpa berpikir
panjang lagi murid Dewa Tuak itu langsung berkelebat, menyerang Datuk
Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus “Bumbung Sakti Membelah
Akhirat!”
Karena tangan kanannya masih
sakit, dia pergunakan tangan kiri untuk menyerang. Tangan kiri itu diangkat
tinggi ke atas untuk menyerang ke batok kepala Datuk Bululawang. Serangan angin
dasyat ini segera terasakan oleh Datuk Bululawang.
“Gadis kurang ajar!” gertak si
kakek. Tangan kanannya yang memegang batu dan kantong kain berisi paku
digoyangkan. Ujung jubahnya mengebut. “Wusss!” Angin dasyat menyambar.
Anggini terpekik. Sesaat
tubuhnya seperti mengapung di udara.
Ketika Datuk Bululawang putar
tangan kanannya, tak ampun lagi gadis ini menelungkup di tanah. Dia mengerang
sebentar lalu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Entah pingsan atau mati.
Datuk Bululawang menyeringai
buruk. Kantong paku dibukanya. Sinar terang putih memancar keluar. Ia tuang
tiga puluh paku di tanah. Paku-paku itu seperti menyala dalam kegelapan malam.
Diam-diam tengkuknya terasa dingin dan agak bergeming juga ketika paku pertama
ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka. Lalu dengan mempergunakan batu,
dipantekkannya paku sampai masuk setengah di kening pemuda itu.
Kepala dan tubuh Sandaka
kelihatan bergerak sedikit. Bahkan matanya seperti membuka.
Dengkurannya terhenti. Namun
kemudian tubuh itu diam lagi, suara mendengkur terdengar kembali dan dua buah
mata si pemuda berlahan-lahan terkatup lagi. Sementara darah kelihatan mengucur
dari kening yang dipaku itu!
Datuk Bululawang cepat
mengambil paku kedua. “Aku pasti berhasil! Pasti!” Paku kedua dipantekkan tepat
di ubun-ubun Sandaka. Sepasang kaki Sandaka tersentak lalu diam. Paku ketiga
sampai ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala pemuda itu. Darah
mengucur. Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat
mengerikan.
Terlebih ketika empat lagi
paku dipantekkan di wajah Sandaka. Sisa paku baja putih murni dipantekkan di
dada, perut dan kaki sandaka.
Ketika paku terakhir
dihujamkan di kaki kanan Sandaka, mendadak dari mulut pemuda itu keluar suara
mengerang panjang. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di depan Datuk
Bululawang. Orang tua berpunuk ini sampai melompat mundur tiga langkah saking
kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri. Kepala, wajah dan sekujur
tubuh Sandaka sampai ke kaki basah oleh darah. Sepasang matanya memancarkan
cahaya hijau. Memandang berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.
Betapapun hebatnya sang datuk
diam-diam hatinya bergetar juga. “Tiga puluh paku sudah kupantek! Apakah dia
sekarang berada dalam kekuasaanku? Pandangan matanya yang hijau sangat buas.
Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau tiga puluh
paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku, celaka diriku!”
Datuk Bululawang angkat tangan
kanannya. “Anak muda! Katakan siapa namamu!” orang tua bertangan buntung itu
ajukan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam saja. Malah kilatan cahaya
yang keluar dari matanya semakin tajam menyorot. “Kau punya telinga tidak
mendengar aku bertanya? Kau punya mulut mengapa kau tidak menjawab?! Kau berada
dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak
ada siapa pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk
Bululawang yang menentukan masa depanmu! Jadi kau harus tunduk dan patuh
terhadap perintahku! Kau dengar?!”
Mulut Sandaka masih tidak
bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak membuat gerakan mengangguk.
Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega. “Katakan siapa namamu?”
“Aku Sandaka…”
“Bagus!” ujar Datuk Bululawang
penuh girang. “Katakan kepada siapa kau harus tunduk dan patuh!”
“Hanya kepadamu…”
“Siapa diriku? Siapa namaku?”
“Kau… kau adalah Yang Mulia
Datuk Bululawang…!”
Datuk Bululawang tertawa
mengekeh. “Ternyata semua berjalan sesuai aku harapkan. Tapi aku harus
mengujinya sekali lagi…” kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu dia menunjuk
pada sosok Anggini yang menelungkup di atas tanah. “Kau kenal siapa gadis itu?”
“Aku tidak mengenal Datuk…”
“Berarti jalan pikirannya
tidak bisa berjalan ke masa lampau,” kata Datuk dalam hati.
“Kalau aku perintahkan kau
membunuh gadis itu apa jawabmu?!”
“Aku akan melakukan perintahmu
sekarang juga!” jawab Sandaka.
Dua matanya seperti menyala.
Lalu kakinya hendak melangkah mendekati sosok Anggini.
Datuk Bululawang angkat tangan
kananya, “Tak usah sekarang!” katanya. Sandaka berhenti melangkah. Kini sang
Datuk yang mendatangi. Kalau tadi sosok pemuda itu sangat mengerikan baginya,
kini tiba-tiba ada perubahan aneh. Tubuh berlumuran darah itu justru membuatnya
merangsang. Nafasnya memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas. Sesaat setelah
memandangi sosok Sandaka, Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba dada
dan perut Sandaka. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Mata
julingya bergerak liar dan tenggorokannya turun naik.
“Tanggalkan cawatmu!” perintah
Datuk Bululawang. Kali ini suaranya tidak lagi membentak tapi berubah lembut.
Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk itu. Datuk
Bululawang seperti terbakar oleh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam
tubuhnya melihat sosok telanjang Sandaka. “Berbaringlah di tanah…” bisiknya.
Sandaka kembali lakukan apa
yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di tanah. Datuk Bululawang
menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu dia
berbaring di samping tubuh Sandaka. “Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau
harus melayaniku… kau suka…?” bisik Datuk Bululawang.
“Apa yang Datuk Bululawang
suka, aku juga suka…” jawab si pemuda.
Tua bangka perpunuk itu
tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur tubuh Sandaka. Keringat
seperti membakar Datuk Bululawang. Nafasnya memburu. “Kau hebat Sandaka. Kau
akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia persilatan…”
bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka.
Baru saja tua bangka yang
mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan sesuatu tibatiba terdengar
suara pekikan keras perempuan merobek kesunyian malam. “Terlambat!
Celaka aku datang terlambat!”
Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas menghantam ke arah Datuk
Bululawang.
Secepat kilat orang tua itu
melompat. “Jahanam! Siapa yang berani menyerang diriku!”
teriak Datuk Bululawang marah
sekali. “Sandaka! Bersiaplah membunuh korban pertamamu!”
Ketika siuman, Wiro
mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur berkasur empuk
dilapisi kain penutup indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah
terbuat dari kain hijau. “Siapa yang memberi aku pakaian ini…?” pikir Pendekar
212 seraya memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali.
Udara sekelilingnya menebar bau harum semerbak menyegarkan.
“Aneh…” Kata Wiro dalam hati.
“Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali tidak ada jendela dan pintunya?”
Lalu dia berpikir lagi. “Berapa lama aku berada di tempat ini?
Mungkin belum lama. Buktinya
perutku tidak terasa lapar dan aku tidak kehausan…”
Wiro bangkit. Sesaat dia duduk
di tepi tempat tidur. Otaknya mulai bekerja. Dia ingat apa yang telah
dialaminya. Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular. Si kakek
roboh akibat racun dua ekor ular iblis peliharaan Dewi Ular. Entah bagaimana
keadaan orang tua itu sekarang. Jangan-jangan sudah menemui ajalnya. Dia
sendiri juga jatuh ke tangan Dewi Ular setelah dipatuk oleh ular hitam kepala
putih yang keluar dari pusar perempuan itu.
Ingat sampai di situ, Wiro
singkap jubahnya di bagian dada, tempat ular mematuknya.
“Aneh, tak ada tanda apa-apa.
Tubuhku malah sehat-sehat saja, malah segar bugar. Siapa yang mengobati diriku…
Siapa yang membawaku ke mari? Tak pelak lagi, pasti perempuan iblis itu!” Wiro
memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat masing-masing sebuah
tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiran-ukiran
itu menampilkan sosok ular berbagai rupa, mulai dari yang kecil sampai besar.
“Dewi Ular membawaku ke tempat
ini. Pasti dia mengandung maksud jahat seperti yang dikatakannya padaku. Dia
ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa tokoh silat. Si Raja
Penidur, bahkan guruku Eyang Sinto Gendeng! Gila! Aku harus mencari jalan
keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak
berjendela!” Pendekar 212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk
kepala. “Agaknya aku harus menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti!” Maka
Wiro segera salurkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Pada saat itulah tiba-tiba ada
suara halus merdu menegur. “Kekasihku Pendekar 212, rupanya kau sudah sadar?
Aku gembira melihat kau segar bugar…”
Wiro melengak. Dia membuka
mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan. Sama sekali dia tidak
melihat sosok orang yang berbicara itu. “Eh, siapa yang barusan bicara
menyebutku sebagai kekasih?!” ujar Wiro dengan suara dikeraskan. “Kalau bangsa
manusia, terus terang aku tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus
jejadian apalagi!”
Terdengar suara tawa merdu.
“Akan kita lihat apakah kau menolak jadi kekasihku setelah aku unjukkan diri…”
Sepasang telinga Wiro menangkap ada suara desiran halus, seperti sesuatu
meluncur. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Kejut murid Sinto Gendeng bukan
kepalang.
Tadi dia tidak melihat binatang
itu di sana. Kini mengapa tahu-tahu ada di situ?
Di salah satu tiang kayu besar
meluncur turun seekor ular hijau besar dan panjang luar biasa.
Bersamaan dengan itu bau harum
semerbak semakin santar. Sampai di lantai ruangan binatang ini menggelungkan
tubuhnya. Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan kepala hingga mencapai
ketinggian kepala manusia. Wiro tegak di sudut kamar dengan dada berdebar dan
siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu
menyerangnya.
Malah tiba-tiba secara anehnya
wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna membentuk bayang-bayang.
Bayang-bayang ini kemudian menjelma menjadi sosok tubuh seorang perempuan
mengenakan pakaian hijau, tegak membelakangi Wiro. Pakaian hijau yang melekat
di tubuhnya demikian tipisnya, hingga auratnya sebelah belakang kelihatan
seperti bugil. Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.
Wiro merasakan jantungnya
seperti mau copot. Perempuan di hadapannya ternyata memiliki wajah cantik luar
biasa. Di kepalanya yang rambutnya dikonde, ada sebuah mahkota kecil berbentuk
kepala ular. “Dewi Ular…” desis Wiro tercekat. Matanya hampir tak berkesip
melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.
“Kau mengenaliku, aku senang
sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau tidak merasa bahagia?”
Wiro terdiam sesaat. Lalu dia
berkata. “Kau membunuh kakekku, orang tua bergelar Kakek Segala Tahu itu…”
“Ah, rupanya pikiranmu masih
pada jembel tua itu! Tak perlu kau merisaukannya. Racunracun ularku tidak
sampai membuatnya mati…”
“Kau merencanakan menguasai
dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak manusia bernama Sandaka itu. Kau
hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh tokoh silat Si Raja Penidur dan
guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng…!”
Dewi Ular tertawa perlahan Dia
goyangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung dalam bentuk konde terbuka jatuh
menjulai, tergelai di punggungnya. “Aku tidak membantah bahwa aku memang ingin
menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas diri beberapa tokoh
silat, termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan memperbudak dan
memperalat pemuda bernama Sandaka itu. Aku juga tidak menolak tuduhanmu bahwa
aku akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih, saling bantu adalah
lumrah saja. Bukankah begitu?”
“Siapa bilang aku kekasihmu?
Aku justru punya tugas untuk melenyapkanmu dari muka Bumi ini!”
Dewi Ular tertawa panjang.
Bahunya digoyangkan, menyusul pinggulnya. Murid Sinto Gendeng merasa lututnya
goyah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat bagaimana Dewi Ular kini tak
mengenakan apa-apa lagi. Gerakan bahu dan pinggulnya tadi telah membuat pakaian
sutera tipisnya merosot dan jatuh ke lantai kamar.
Dua kaki melangkah perlahan
mendekati Wiro. Dua buah paha mulus bergerak menggoyang pinggul dan pinggang
langsing. Di sebelah atas, dua buah payudara yang kencang bergoyang menantang.
Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wiro Sableng.
“Wiro, banyak orang lelaki
membenci diriku karena tidak tahu apa yang aku bisa berikan pada mereka. Kau
salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar lagi kita akan
lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka…”
Perlahan-lahan Dewi Ular
tanggalkan jubah yang melekat di tubuh Wiro. Pendekar 212 merasakan tubuhnya
laksana terbakar. Darahnya menggelegak. Nafsunya berkobar. Entah sadar entah
tidak, akhirnya dia membalas rangkulan Dewi Ular. Sesaat kemudian keduanya
sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur. Nafas Dewi Ular panas memburu.
Wiro merasa tubuhnya seperti meledak-ledak oleh guncangan nafsu. Namun ada
sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, yang membuat Dewi Ular jadi sangat
kecewa dan marah dalam gejolak birahinya.
“Manusia tidak berguna!
Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!”
Murid Sinto Gendeng menggeram.
Dia memandang ke bagian bawah tubuhnya. Mukanya tampak merah. “aneh… Nafsuku
menggelegak tapi mengapa…”
“Manusia tidak berguna!
Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di Sumur Seratus Ular!”
Dewi Ular melompat turun dari
atas ranjang. Tubuhnya yang harum basah oleh keringat.
Tiba-tiba di salah satu
dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang secara perlahan berubah
menjadi kemerahan lalu membentuk lingkaran yang berkelip-kelip. Paras Dewi Ular
tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu. Dia menyambar pakaian
hijaunya, mengenakannya dengan cepat. Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati
dalam kamar.
Sepasang tangan dan kedua
kakinya digelungkan pada tiang itu. Perlahan-lahan tubuhnya menjadi samar lalu
berubah menjadi ular besar hijau. Binatang ini menjalar cepat ke atas
langit-langit kamar lalu menghilang dari pemandangan.
Begitu sosok ular lenyap,
terdengar suara. “Manusia tak berguna! Kau beruntung umurmu masih kuperpanjang
beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak niscaya saat ini sudah
kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular.”
Wiro hantamkan tangan kanannya
ke arah tiang di mana tadi sosok Dewi Ular berubah jadi ular hijau dan lenyap.
Suara angin laksana topan prahara melanda kamar itu. Tempat tidur dan semua
benda yang ada dalam kamar hancur berantakan. Tapi tiang kayu dan dinding kamar
serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wiro sendiri jatuh jungkir
balik di lantai akibat terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya.
Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang-kunang.
“Keparat! Bagaimana aku bisa
keluar dari ruangan celaka ini?!” keluh Pendekar 212. “Apa yang terjadi hingga
perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini?!” Wiro duduk terkulai di
lantai, tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya. Kalau dia menghantam lagi
ruangan dengan pukulan sakti lainnya, bukan mustahil dia sendiri bisa celaka
bahkan mati konyol di tempat itu.
Selagi dia berpikir-pikir
seperti itu, sekilas dia teringat apa yang barusan dialaminya. “Aneh, aku
begitu bernafsu pada perempuan itu. Tapi kenapa aku jadi tiba-tiba tidak mampu?
Hilang kejantanan? Aneh…
Benar-benar aneh!” Wiro garuk-garuk kepala sambil memandang ke bawah.
“Jangan-jangan… Eh, jangan-jangan ini perbuatan Kakek Segala Tahu yang
memberikan obat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga aku tak sanggup
melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular. Berarti aku diselamatkan dari cairan
tubuh perempuan terkutuk itu! Kalau tidak, nasibku akan sama dengan Sandaka!
Tapi… Ya Tuhan!
Gila! Sampai berapa lama aku
kehilangan kejantanan seperti ini? Seumur hidupku?! Celaka!
Benar-benar celaka! Aku harus
mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja dia benar-benar belum menemui ajal.
Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja aku tidak mampu! ”
Selagi dia terhenyak duduk tak
berdaya seperti itu, tiba-tiba terdengar suara halus entah datang dari mana.
“Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan terkutuk itu, lekas
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Hantam salah
satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu
penyanggahnya rapuh terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini! ”
Wiro berdiri. “Eh, siapa yang
barusan bicara?!” dia berseru.
“Setan! Turut saja apa yang
aku bilang! Kalau kau buang waktu, semua urusan bisa jadi kapiran! Dunia
persilatan tak bakal bisa diselamatkan!” kembali terdengar suara halus.
Wiro garuk-garuk kepala. “Eh
yang bicara ini apakah… Guru!
Eyang! Engkaukah itu?! ”
“Budak tolol! Lekas kau
lakukan apa yang aku perintah! ”
Pendekar 212 tertawa lega.
“Pasti itu Eyang Sinto Gendeng…” serunya. Lalu segera saja dia keluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Sekali mata kapak dan batu hitam diadu
satu sama lain, satu lidah api menyembur ke arah tiang besar di sebelah kiri.
Sesaat kemudian kamar itu
sudah dibuncah api. Terdengar suara berkereketan. “Celaka! Aku bisa terpanggang
hidup-hidup di tempat ini!” teriak Wiro.
Tiba-tiba di atas kepalanya
terdengar suara berdentum. Atap ruangan hancur berantakan. Ada angin merambas
masuk. Di sebelah atas Wiro dapat melihat langit malam. Lalu muncul sosok kurus
kering bungkuk bermuka reot menyeramkan. Di kepalanya ada lima buah tusuk konde
berwarna perak. “Guru! Benar kau rupanya!” seru Wiro seraya hendak menjura
memberi hormat.
“Anak tolol! Bukan saatnya
memakai segala peradatan! Lekas melompat keluar dari dalam kamar itu! Atau kau
memang sudah kepingin mampus ditembus api?! ”
“Eyang! Terima kasih kau telah
menolongku!” seru Pendekar 212 lalu sekali dia menggenjot tubuhnya melayang ke
atas.
Begitu dia menginjakkan kaki
di tanah. Eyang Sinto Gendeng sudah tegak di hadapannya.
“Kita harus segera mengejar ke
arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!” Eyang Sinto unjukkan dua buah benda yang
dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu berwarna kuning
seperti terbuat dari emas.
“Benda apa itu Eyang?” tanya
Wiro.
“Dua buah paku emas! ”
“Paku emas?! ”
“Ya, ini satu-satunya benda
yang mampu menolong pemuda bernama Sandaka itu untuk lepas dari kekuatan jahat
yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup membunuh Dewi Ular, makhluk
setengah manusia setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada dua di dunia.
Kalau salah atau meleset memakainya, maka akan celaka umat Tanah Jawa ini.
Memakainya juga tidak bisa
sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka, paku harus menancap di kepala anggota
rahasianya… ”
“Gila! Bagaimana aku bisa
melakukannya?! ”
“Aku tidak mau susah payah
memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!” bentak Eyang Sinto Gendeng.
“Lalu bagaimana cara
menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?” tanya Wiro pula.
“Perempuan itu jelas tidak
punya kemaluan seperti Sandaka! ”
“Anak setan sialan!” maki
Eyang Sinto Gendeng. “Tentu saja mana ada perempuan yang anggota rahasianya
seperti laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan tepat di pusar
perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu! ”
Wiro terdiam. Sebetulnya dia
mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sinto Gendeng hendak susupkan dua paku
emas itu ke tubuh Wiro, tapi seolah baru melihat kalau sang murid saat itu
tidak berpakaian sama sekali. “Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari
pakaian. Aku tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak! ”
Wiro segera bergerak.
“Tunggu!” seru Eyang Sinto Gendeng. Dia mengeluarkan sebuah benda bulat hitam
seujung kelingking. “Lekas kau telan ini! ”
“Apa itu Nek?” tanya Wiro.
“Sebelumnya aku telah berjumpa
dengan Kakek Segala Tahu… ”
“Ah, bagaimana keadaan orang
tua itu. Dewi Ular telah… ”
“Dia tak kurang suatu apa.
Untung keburu kutemui, dan sebelumnya dia juga telah menjaga diri dengan obat
penolak racun. Dia kutinggal di sebuah pondok di tengah hutan. Saat ini mungkin
masih ngorok…” menerangkan Sinto Gendeng. “Aku mendapat penjelasan darinya
bahwa kau diberikan obat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa
manggutmanggut… Kalau tidak, darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni
cairan tubuh Dewi Ular… ”
“Astaga!” kejut Wiro dengan
muka berubah. “Jadi itu rupanya kekuatan obat yang disuruhnya telan. Pantas
burungku tidak bisa mengepakkan sayap…” Wiro garuk-garuk kepala.
“Nah ini! Lekas telan obat
ini!” Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu pada Wiro.
Tanpa ragu sang murid segera
menelannya. Lalu dia bertanya. “Nek, obat yang barusan aku telan ini untuk apa?
Mau membuat burungku jadi lebih rapuh? ”
Si nenek gelengkan kepala.
“Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar kau nanti bisa meyakinkan
Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan! ”
“Jadi… jadi Eyang sengaja
hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu dia mencelekai diriku? ”
“Kau mau tidur dengan dia
sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi ingat, kau harus
punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu, tapi
menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular… ”
“Wah berat Nek! Kalau akau tak
sanggup menahan diri bagaimana?” tanya Wiro.
“Kalau begitu lebih bagus kau
bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!” sahut Eyang Sinto Gendeng. Lalu tanpa
banyak bicara lagi dia berkelebat pergi.
Begitu orang yang memekik
menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke hadapannya.
Ternyata yang muncul adalah
Dewi Ular. “Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu!
Celaka!” Dewi Ular berteriak
keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan Sandaka yang
ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki serta penuh
gelimangan darah.
“Kekasihku…” ujar Dewi Ular
seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan hendak merangkul pemuda itu.
“Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini… ”
“Sandaka!” Datuk Bululawang
berteriak. “Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan biarkan dia memelukmu! ”
“Sandaka!” balas berteriak
Dewi Ular. “Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah kekasihku! Kau harus tunduk
dan patuh padaku! Ayo lekas pergi! ”
Dewi Ular yang hendak memeluk
si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana sepasang mata Sandaka
memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang berpaku-paku dan
tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa dan tanda
pembunuhan!
“Celaka! Paku-paku keparat itu
benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia hanya mengikut pada perintah
dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua bangka keparat ini!”
Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gelombang angin sedahsyat topan
prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir. Namun
lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek. Baru
saja dia mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya
melancarkan jotosan ke pelipis kirinya.
Datuk Bululawang umbar tawa
mengekeh . Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya. Dia seperti membiarkan
kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun diam-diam tangan kanannya melesat ke perut
Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.
Dewi Ular yang sudah tahu
keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal. Dia tekankan kedua tumitnya
ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Dari rongga bawah pakaian hijaunya
melesat keluar dua ekor ular hijau. Dua binatang jejadian ini langsung melesat
ke arah Datuk Bululawang.
“Desss! Prakkk!”
Kepala ular hijau sebelah
kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang. Namun dia tidak mampu
menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke arah matanya.
Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur
menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar
hijau menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur
berkeping-keping.
Dewi Ular terpekik dan cepat
bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia memandang ke kiri di mana
Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu pemuda itulah yang
barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari
kedua matanya.
“Sialan! Aku tak mungkin bisa
melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini aku terpaksa
mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul! ”
“Sandaka! Lekas kau habisi
perempuan itu!” teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya gelagat Dewi Ular
hendak melarikan diri.
Manusia paku yang kini berada
di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang menggereng keras. Dengan satu
kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan Dewi Ular.
Dia kedipkan kedua matanya.
Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular melompat ke balik sebatang pohon
seraya menghantam dengan tangan kanan.
“Wusss!”
“Braaak!”
Batang pohon besar hancur
berantakan. Pohon tumbang dengan suara bergemuruh. Seluruh kulit sampai ke
ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman. “Kejar dia Sandaka!
Jangan sampai lari! Dia harus
mati di tanganmu!” teriak Datuk Bululawang.
Di balik pohon yang tumbang,
Dewi Ular robek pakaiannya di bagian perut. Pusarnya menyembul di antara
keputihan perutnya. Ketika Sandaka muncul di depan sana untuk mengejarnya, Dewi
Ular gerakkan perutnya. Seekor ular hitam berkepala putih melesat keluar dari
pusar perempuan itu. Binatang jejadian ini kelihatannya memiliki panjang yang tidak
terbatas karena tubuhnya terus memanjang sampai akhirnya mencapai tempat
Sandaka berada, sementara ekornya masih berada dalam perut Dewi Ular!
“Wuuuuutttt!”
Kepala ular putih menyambar.
Mulutnya mematuk ke muka Sandaka. Pemuda ini cepat merunduk lalu membalik.
Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular jejadian itu dan langsung
dicengkeram. Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan kepala.
Saat itulah Sandaka kedipkan
kedua matanya.
“Wusss! Wussss!” Dua larik
sinar hijau berkiblat.
Dewi Ular menjerit panjang
ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur lebur. Perutnya terasa panas.
Cepat dia pegang perutnya di bagian pusar. Sebelum Sandaka datang mengejar,
perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.
“Kejar dia Sandaka! Cepat!
Jangan biarkan lolos!” teriak Datuk Bululawang. Sandaka segera berkelebat.
Namun saat itu ada dua bayangan menghadangnya. Satu seorang nenek tua berbadan
bongkok bermuka perot dan berkulit sangat hitam. Satunya lagi seorang pemuda
gendeng aneh mengenakan pakaian seperti pakaian perempuan. Kedua orang ini
bukan lain adalah guru dan murid Eyang Sinto Gendeng si nenek sakti dari Gunung
Gede, dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Datuk! Ada yang coba
menghadangku!” kata Sandaka. Datuk Bululawang telah melihat kehadiran kedua
orang itu. Dia segera mengenali si nenek, tapi tak mampu mengenali Wiro.
Tanpa pikir panjang dia
berteriak beri perintah. “Singkirkan mereka Sandaka! Bunuh! ” Sandaka
menggerang.
“Wiro! lekas kau hantam dia
dengan salah satu dari dua paku emas itu!” eyang Sinto Gendeng berbisik.
“Aku memang sudah siap
melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia mengenakan cawat. Mana aku bisa
menduga yang mana kepala anggota rahasianya!” menyahuti Wiro sementara paku
emas sudah berada dlaam genggamannya.
“Sialan! Yang menonjol itu
pasti kepalanya!” kata si nenek setengah berteriak.
“Mungkin benar. Tapi kalau
bukan bagaimana? Kita bisa celaka semua! Nek, aku minta kau menyerang kakek
buntung yang menguasai pemuda itu. Sandaka pasti bertindak menolongnya. Aku
akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau merorotkan cawatnya…”
“Anak setan! Akalmu kuterima!”
jawab Eyang Sinto Gendeng sambil tertawa cekikikan lalu dengan tongkat butut di
tangannya dia menyerbu Datuk Bululawang.
“Tua bangka tolol! Jauh-jauh
dari Gunung Gede kau datang hanya mencari mampus!” teriak Datuk Bululawang
seraya kebutkan lengan jubah kanannya. Ujung tongkat butut di tangan si nenek
bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan. Sinto Gendeng ganda
tertawa.
Dia sengaja lepaskan
tongkatnya. Selagi tongkat ini melayang ke atas, dia cabut dua buah tusuk
kondenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.
“Wutttt! Wuuuuut!”
Dua tusuk konde melesat ke
arah Datuk Bululawang. Dari samping, Sandaka berkelebat menghadang serangan
Sinto Gendeng. Dengan tangan kirinya, tusuk konde yang pertama dihantamnya
sampai mental. Tusuk konde kedua dengan tenang diterimanya dengan tubuhnya.
Tusuk konde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka. Sambil menyeringai,
Sandaka cabut tusuk konde itu lalu meremasnya hingga hancur.
Saat itu tongkat yang melayang
ke atas telah turun dan cepat ditangkap oleh Sinto Gendeng.
Begitu tongkat berada dalam
genggamannya, dia kembali menyerbu sang datuk. Sekali ini si nenek menyerang
bukan hanya dengan tongkat. Tangan kirinya ikut bergerak dan menghantam dengan
“Pukulan Sinar Matahari” yang dahsyat.
Lima jari tangannya
didorongkan sambil membuat gerakan mencengkeraman. Biasanya sekali jari-jari
tangannya menyentuh bagian tubuh lawan, pasti langsung bisa dibuat jebol lalu
disentakkan kembali. Tapi sekali ini bagaimanapun dia kerahkan tenaga luar dan
dalam, jari tangannya tidak mampu menjebol. Padahal tubuh nenek kurus kering
itu tinggal kulit pembalut tulang. Keringat dingin mengucur dan kedua matanya
yang juling berputar-putar.
Sinto Gendeng tertawa
berlagak. “Bagaimana Datuk…? Kau tak sanggup menjebol tubuhku?
Mustahil!! Kau manusia sakti
luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba persilatan. Masak menjebol perut
tipis peot begini saja kau tidak sanggup?!”
“Jahanam!” maki Datuk
Bululawang. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Sinto yang memiliki
wajah seperti tengkorak tertawa.
“Ilmu siluman apa yang hendak
kau keluarkan Datuk busuk?” ejek Sinto. Dia menahan nafas. Tangan Datuk Bululawang
lengket dan disedot. Bagaimanapun sang Datuk Bululawang kerahkan tenaga
berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja. Malah rasa panas
tiba-tiba menjalar dari perut si nenek, terus mengalir ke tangan, lengan dan
sekujur tubuhnya.
“Datuk Bululawang! Saat
kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian menjadi raja diraja
rimba persilatan. Namun di masa lalu kebejatanmu sudah terkenal. Kau merusak
anak-anak muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh orang-orang persilatan tanpa
sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!”
“Dajal tua! Aku memilih mati
bersama!” teriak Datuk Bululawang. Mulutnya didekatkan ke leher Sinto Gendeng.
Maksudnya dia hendak menggigit putus urat leher si nenek. Tapi lebih cepat dari
gerakan kakek berpunuk ini, dua tangan Sinto Gendeng berkelebat ke atas
kepalanya mencabut dua buah tusuk konde perak. Lalu secepat kilat tusuk konde
itu ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.
“Crass!”
“Crass!”
Dua bola mata Datuk Bululawang
pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit setinggi langit! “Sialan!” maki
Sinto Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka tengkoraknya. Tangan
kanannya dikemplangkan ke batok kepala Datuk Bululawang. Saat itu
Sandaka meloncat dan berseru.
“Jangan bunuh! Beri aku kesempatan balas dendam kesumat sakit hati!”
Sinto Gendeng hentikan
gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang berpaku-paku pemuda lalu
menyeringai. “Manusia paku aku luluskan permintaanmu! Silahkan lakukan apa yang
kau mau!” kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang ke
perutnya. Sandaka mendekat. Semula Sinto mengira Sandaka akan memukul hancur
kepala atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang. Ternyata tangan kanannya
menyelinap ke bawah jubah Datuk Bululawang. Terdengar sesuatu hancur dalam
remasan Sandaka. Datuk Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika
anggota rahasianya diremas hancur oleh Sandaka.
Sinto Gendeng merinding
mendengar suara berderak hancur anggota rahasia Datuk Bululawang. Segera ia lepaskan
tangan Datuk Bululawang dari sedotan perutnya. Dalam keadaan limbung Datuk
Bululawang akhirnya jatuh terkapar di tanah, menjerit dan melejanglejang tiada
henti.
“Kau tidak membunuhnya?” tanya
nenek dengan mulut dimencongkan.
“Kematian terlalu enak bagi
dia. Biarkan dia hidup seperti itu. Lebih hina seperti binatang,” jawab
Sandaka.
Tempat itu sunyi beberapa
ketika. Sinto Gendeng bangkit dari peti yang didudukinya. Dia berpaling kepada
muridnya. “Anak setan, kurasa tugasku sudah selesai. Selanjutnya kuserahkan
kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan…”
Dengan ujung tongkat, nenek
ketuk-ketuk peti besi di dekatnya. “Aku yakin ada sesuatu yang sangat berharga
dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya, serahkan kepada
murid Dewa Tuak untuk membantu!” Lalu Sinto berpaling kepada Anggini.
“Sampaikan salam hormatku
kepada gurumu. Katakan aku tidak dapat menyambanginya. Aku harus cepat-cepat
kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan nafas dan dadaku
karena sudah terlalu kotor!”
Anggini hanya menunduk tidak
berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan anggukan kepala. “Aku pergi
sekarang…”
“Eyang! Ada yang hendak saya
tanyakan…” Wiro cepat berkata. Anggini ikut menimpali.
“Benar, saya pun ada sesuatu
yang ingin dipertanyakan. Sekalian menyampaikan pesan guru saya….”
Sinto Gendeng seperti sudah
maklum apa yang akan ditanyakan oleh kedua pemuda pemudi ini, yakni menyangkut
perjodohan mereka yang terkatung-katung sejak lama. Setelah batuk beberapa kali
Sinto berkata. “Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan apa yang hendak
kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya menyelesaikan urusan besar daripada
membicarakan masalah ini. Biar aku sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk
menuntaskan persoalan!” Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi.
Anggini berpaling pada Wiro
dan berkata. “Kau dengar, dia akan menemui guruku untuk membicarakan kita? Aku
yakin sampai sepuluh tahun ke depan tidak akan melakukannya.
Kalaupun berjumpa guru pasti
ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!”
Wiro tegak garuk-garuk kepala,
tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Kemudian baik Anggini dan Wiro sama-sama
menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.
“Ke mana dia? ”
“Kurasa mengejar Dewi Ular,”
jawab Anggini.
“Bagaimana kau bisa tahu? ”
“Dendam kesumatnya kepada
perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan. Dia membunuh kekasih calon
istrinya sendiri akibat pengaruh jahat Dewi Ular. Yang di sana itu makamnya…. ”
“Dia pantas membalas dendam,
tapi aku rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu lagi. Dia akan dibunuh oleh
Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar dan menolongnya,
tapi ke mana? ”
“Ke tempat kamu pernah disekap
dulu,” ujar Anggini.
“Tempat itu sudah hancur porak
poranda…. ”
Anggini berpikir sebentar.
“Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya tempat di sebuah pegunungan
Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi Lor Ampenan…. ”
“Candi Lor Ampenan, aku tahu
tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusia-manusia aneh yang berpesta
sambil berhubungan badan di tempat terbuka… ”
“Ah, pengalamanmu sungguh luas
rupanya,” ujar Anggini, membuat wajah Wiro memerah.
“Aku akan mengejar ke sana!”
Wiro mengambil keputusan.
“Tunggu dulu! Bagaimana dengan
peti itu?” tanya Anggini.
“Peti itu? Eh, itu menjadi
urusanmu!” jawab Wiro.
“Enak saja! Dari pada
berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja… ”
Wiro memandang peti itu sambil
garuk-garuk kepala. Dia lalu melangkah mendekati peti itu.
Dengan sebuah batu gerendel
pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka, terlihat tumpukan batangan
emas memancarkan sinar kuning benderang. “Setelah tahu isinya, kau masih mau
meninggalkan peti besi ini di sini?” tanya Wiro sambil tertawa, lalu tanpa menunggu
jawaban si gadis dia berkelebat cepat ke arah barat.
Meski berhasil mencapai Candi
Lor Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan mengandung batu pualam di
pantai selatan, namun sampai pagi muncul dan matahari naik, Pendekar 212 Wiro
Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular. Apalagi tidak diketahui
jelas apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau goa.
Dengan perasaan jengkel murid
Sinto Gendeng kembali ke Candi Lor Ampenan. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir
sang pendekar sambil duduk di tangga batu, bersandar pada tubuh sebuah stupa
berbentuk naga. Melihat bentuk stupa ini murid Sinto Gendeng ingat pada senjata
saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga. Disibakkannya
pakaiannya. Baru dia sadar bahwa sampai saat itu dia masih mengenakan pakaian
perempuan.
Pakaian ini ditemukannya
direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana dia disekap. Daripada telanjang lebih
baik dia kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.
Wiro keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212 dari balik pakaiannya. Sesaat kapak itu hanya diletakkan di pangkuan
sambil diusap-usap. Kemudian dia ingat kalau senjata ini juga merupakan suling
keramat. Wiro angkat kapak sakti dan mendekatkan mulut kapak ke bibirnya lalu
mulai meniup.
Dia tidak tahu lagu apa yang
dimainkan dan berapa lama dia bersuling ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau
harum semerbak. “Dia datang…” suara hati Wiro bergetar. “Dari jurusan kiriku….”
Seolah tidak mengetahui murid Sinto Gendeng terus meniup sulingnya.
Dia tidak menunggu lama. Satu
bayangan hijau berkelebat. Di lain kejab Dewi Ular telah berdiri di hadapannya.
Wajahnya yang cantik tampak seperti tidak berdarah dan tatapannya penuh
selidik. “Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira aku akan menerima
seperti dulu? Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?”
Wiro berhenti meniup
sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum amarahnya meledak dia ajukan
pertanyaan. “Bagaimana kau bisa lolos dari tempat itu? Bagaimana kau dapatkan
pakaian itu? Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa otakmu sudah miring? ”
Wiro turunkan Kapak Naga Geni
212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti baru menyadari, Dewi Ular
perhatikan senjata itu dengan seksama. “Waktu di kamar aku terlalubodoh tidak
mengamankan senjata itu…. ”
“Dewi, nenek sakti yang jadi
guruku menolongku dari sekapanmu di kamarmu yang indah.
Lalu karena pakaianku lenyap
akibat ledakan dan kobaran api dan hanya mendapatkan pakaian ini, ya aku
gunakan seadanya. Lalu mengenai otakku, kalau kau nanya apakah otakku sudah
miring, kurasa belum… ”
“Kenapa kau datang ke tempat
ini?! Sengaja mencariku dengan maksud jahat?! ”
“Kau betul. Aku kemari memang
sengaja mencarimu. Untuk membuktikan aku sebenarnya bukan lelaki banci. Bukan
pemuda yang sudah kehilangan kejantanannya… ”
“Eh, apa maksudmu..?! ”
“Kalau Dewi Ular masih
bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih, aku akan buktikan bahwa
aku bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin… ”
Paras Dewi Ular berubah
kemerahan. Kedua matanya memandang bagian bawah pemuda itu seolah mau
menembusnya. “Pendekar 212, waktu aku menarik diri dari perkelahian dengan
Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira aku kehilangan keberanian dan
kesaktian. Aku masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Jadi
jika kau bermaksud menipuku, sekarang nyawamu sudah dalam genggamanku!”
“Dewi, aku berkata apa adanya.
Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau tidak berkenan lagi melihatku,
izinkan aku pergi…” Wiro membuat suaranya seperti orang sedih, lalu perlahan-lahan
dia berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular memperhatikan Wiro
yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.
“Wiro! Tunggu!” Dewi Ular
berseru. “Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan diriku!
Ternyata kau bukan seorang
jantan yang aku idamkan?! ”
“Aku rela kau bunuh menurut
sukamu. Dicincang, dibakar, diapakan saja! ”
Dewi Ular tersenyum. Dia
melangkah mendekati pemuda itu lalu merapatkan tubuhnya lekatlekat dan
merangkul Wiro kencang-kencang.
“Dia menguji kelakianku…”
membatin murid Sinto Gendeng. Dia segera simpan Kapak Naga Geni 212 lalu balas
merangkul Dewi Ular, malah sambil tangannya disusupkan ke balik pakaian hijau
tipis perempuan cantik itu.
Dewi Ular merasa badannya
menggeletar ketika diam-diam dia merasakan memang ada kelainan pada diri Wiro.
Digigitnya dada Wiro dengan beringas hingga Wiro kesakitan.
“Tempatku tidak jauh dari
sini, ikuti aku…” kata Dewi Ular sambil melihat ke arah bagian bawah tubuh
Wiro.
Tempat yang dikatakan Dewi
Ular itu adalah sebuah bangunan terbuat dari Batu pualam beratap ijuk, terletak
di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan ada sebuah jurang sedalam
hampir enam puluh kaki. Bagian depan bangunan terbuka sehingga dapat melihat
bebas ke pemandangan yang menawan. Dewi Ular bersandar ke dinding batu pualam,
menghadap ke bagian depan bangunan. Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka
untuk memancing. Murid Sinto Gendeng beringsut mendekat. Dalam hati membatin.
“Kalau aku tidak kuat menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan
mungkin aku sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sinto Gendeng… ”
“Tempat ini agak panas… aku
mulai keringatan. Dewi, apakah aku boleh membuka pakaian?” Dewi Ular tersenyum
lalu tertawa merdu. “Seharusnya dari tadi kau buka pakaian itu. Setelah itu
tolong kau bukakan pakaianku.. ”
Tubuh Wiro menggelora menahan
rangsangan yang membuat nafasnya memburu dan panas.
Selesai membuka pakaiannya,
dia melakukan apa yang dikatakan Dewi Ular, yaitu membuka kain sutera hijau
itu.
Selagi Wiro menanggalkan
pakaiannya, sepasang mata wanita itu tidak lepas-lepasnya menatap ke bagian
bawah tubuh Wiro. Sambil berbisik dia berkata. “Kau tidak berdusta, sekarang
aku melihat sendiri kau benar-benar seorang lelaki…. ”
Dewi Ular menggayutkan kedua
tangannya ke leher Wiro. Lalu dengan penuh nafsu wanita itu mendorong tubuh
Wiro ke lantai dan menindihnya. “Aku tidak menyesal kehilangan Sandaka. Kau
pengganti yang lebih hebat… ”
“Kita belum melakukannya Dewi.
Aku belum membuktikan…” bisik Wiro yang membuat Dewi Ular mengerang lirih lalu
menindih pemuda itu kuat-kuat.
“Kalau begini terus aku tidak
punya kesempatan melakukan hal itu…” Wiro membatin.
Lalu pura-pura seperti orang
yang dirangsang nafsunya membolak-balik tubuhnya.
Bersamaan dengan itu tangannya
mengambil paku emas yang diikatkan di balik rambutnya yang gondrong.
“Dewi, aku akan melakukannya..
”
“Lakukan cepat Wiro! Tubuhku
seperti kau panggang…”
Tangan Wiro meluncur ke bawah.
Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan itu mengusap perutnya. Wiro
memegang paku emas erat-erat. Usapannya sampai ke pusar Dewi Ular. “Wiro, aku
merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau…” Ucapan Dewi Ular hanya sampai di
situ. Paku emas di tangan Wiro menusuk deras dan amblas ke dalam pusarnya.
Dewi Ular menjerit keras. Dia
memandang ke bawah ke arah pusarnya. “Paku emas!!” teriak Dewi Ular dengan muka
pucat. “Manusia keparat!” sepasang mata Dewi Ular menyorong garang. Sinar hijau
berkilauan, tapi serta merta lenyap. Dia kedipkan matanya, tidak ada sinar maut
yang keluar. Dia coba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher pemuda itu untuk
mencekik. Tapi dengan mudah Wiro menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.
Darah mengucur dari pusar Dewi
Ular yang berlubang. Di antara kucuran darah kelihatan kepulan asap hitam
berbau busuk. Wiro cepat bangkit dan cepat jambak rambut perempuan itu lalu
menyandarkan tubuhnya ke dinding batu. Mahkota kepala ularnya menggelinding
jatuh ke lantai batu.
“Bangsat penipu…!” kutuk Dewi
Ular. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya. Didahului satu jeritan dia lancarkan
tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup telak sehingga murid
Sinto Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai. Dewi Ular cepat bangkit.
Dia menyambar Kapak Naga Geni
212 yang diletakkan Wiro di bagian depan bangunan.
Wiro tak mau berlaku ayal. Dia
cepat melompati perempuan itu dan hantamkan tangan kanan memukul lengannya.
Dewi Ular menjerit kesakitan. Senjata mustika yang sempat dipegangnya terpaksa
dilepaskan dan jatuh berkerontang di lantai pualam. Sambil menahan sakit Dewi
Ular berusaha berdiri. Darah berbau busuk semakin banyak mengucur dari pusarnya
yang ditancapi paku emas.
“Pendekar 212…” desis Dewi
Ular. Dia bersandar ke dinding sambil sedikit demi sedikit bergeser menuju
bagian depan bangunan. “Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati, penuhi
dulu satu permintaanku…” Dia bergerak lagi menuju bagian depan bangunan.
“Katakan apa permintaanmu!”
ujar Wiro.
“Tiduri diriku. Di sana, dekat
jurang sana. Kalau sudah kau lakukan, kau boleh membunuhku dan membuang mayatku
ke dalam jurang!”
Pendekar 212 kernyitkan
kening.
“Jangan takut… Aku tidak akan
meracuni tubuhmu seperti kulakukan terhadap Sandaka. Saat ini aku…” Ucapan Dewi
Ular putus sampai di situ. Dengan satu gerakan kilat, perempuan ini jatuhkan
diri meluncur di atas lantai batu pualam yang licin menuju bagian depan
bangunan di mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.
“Sial! Mengapa aku tidak cepat
mengamankan senjata itu!” rutuk Wiro menyesali kebodohannya sendiri. Dia berusaha
mengejar. Namun gagang kapak telah keburu dipegang oleh Dewi Ular. Begitu dia
hendak mengangkat senjata sakti ini, tiba-tiba sebuah kaki yang ditancapi paku
dan bergelimang darah menginjak badan kapak.
Dewi Ular terpekik dan
melompat menjauhi diri. Sosok tubuh yang menginjak kapak membungkuk mengambil
senjata itu. Sandaka! Wiro hendak berteriak agar Sandaka segera menyerahkan
senjata itu padanya. Namun sesaat dia jadi bimbang. Kemudian dilihatnya Sandaka
melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212
didepan dada. Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu
kelihatan luar biasa mengerikan.
“Kekasihku…. Jangan….! Apa
yang hendak kau lakukan?!” seru Dewi Ular. Sandaka tidak menjawab. Mukanya
semakin angker.
“Sandaka kekasihku… Dengar…
Kita bisa hidup seperti dulu lagi… ”
“Perempuan iblis! Tutup
mulutmu!” bentak Sandaka menggeledek. “Kau tipu diriku dengan kecantikan dan
tubuhmu. Kau racuni badan dan otakku lalu kau kuasai.! Di bawah pengaruh
jahatmu kau perintahkan aku membunuh orang-orang tak berdosa. Kekasihku
Mantili.
Guruku Eyang Gusti Kelud
Agung… ”
“Kau salah sangka Sandaka.
Semua itu aku lakukan demi masa depan kita. Bukankah kita ingin sama-sama
menguasai dunia persilatan? ”
“Perempuan durjana! Kau tak
akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan mengirimmu ke liang akhirat
lebih dulu! ”
Kapak sakti di tangan Sandaka
menderu. Sinar terang memancar dan suara seperti ratusan tawon mengamuk
memenuhi tempat itu.
“Sandaka! Jangan…!” teriak Dewi
Ular.
Mata kapak berkiblat
menghantam bahu kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit keras. Darah berwarna
kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.
“Sandaka… jangan bunuh
diriku…” Dewi Ular memohon sambil meratap.
Kapak di tangan Sandaka
berkelebat lagi. “Crasss! ”
Senjata itu menghujam telak di
dada Dewi Ular. Kembali terdengar jeritan mengerikan di tempat itu. Tubuh Dewi
Ular bergulingan di lantai, menggelinding ke tanah lalu berhenti dekat
pinggiran jurang. Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah, Dewi Ular mencoba
bangkit dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.
“Ampun Sandaka! Jangan bunuh
diriku…!”
Sandaka melompat turun dari
bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar 212.
“Tolong…!” jeritnya memelas.
Sandaka sampai di hadapannya.
Kaki kanan manusia paku ini berkelebat. “Bukkk! ”
Tendangan yang keras
menghantam tepat bagian dada Dewi Ular yang robek besar. Tak ampun lagi,
tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang. Suara jeritannya menggema
sampai ke dasar jurang batu itu.
Untuk beberapa lamanya Sandaka
masih tegak di tepi jurang. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya membalik. Kapak
Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Dia melangkah ke hadapan Wiro mengulurkan
tangan menyerahkan senjata sakti itu. Wiro cepat mengambilnya. Tanpa berkata
apa-apa, Sandaka putar kembali tubuhnya. Dia melangkah lagi ke tepi jurang.
“Apa yang ada di benak manusia
ini?!” pikir Wiro. Tiba-tiba dia berteriak keras. “Sandaka!
Jangan!” Wiro berusaha
mengejar. Tapi sia-sia saja. Sandaka keburu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang
batu.
Murid Sinto Gendeng baru
memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam enam puluh kaki itu ketika
telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi. Si penunggang kuda ternyata
gadis berpakaian ungu yang bukan lain adalah Anggini.
“Apa yang terjadi di sini…?”
tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di mana-mana.
Dia bertanya dengan muka
dipalingkan ke jurusan lain.
Astaga! Wiro baru sadar kalau
saat itu dia sama sekali tidak berpakaian. Dia segera menghambur masuk ke dalam
bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.
Keluar dari bangunan, dia baru
menceritakan apa yang terjadi pada Anggini. Gadis ini hanya bisa menarik nafas
dalam.
“Satu malapetaka besar telah
lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari mendatang…? ” kata Anggini
perlahan.
“Peti berisi batangan-batangan
emas itu,” ujar Wiro. “Kau tinggalkan di mana? ”
“Jangan khawatir. Kutanam di
makam Mantili, kekasih Sandaka…” jawab Anggini. Gadis ini memandang ke langit
yang tiba-tiba saja berubah mendung. “Sebentar lagi akan turun hujan agaknya.
Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro… ”
“Kau pergilah duluan. Di kaki
bukit batu ini tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu aku di sana.
”
“Kuda ini cukup kuat untuk
kita tunggangi berdua… ”
Wiro tersenyum. “Badan dan
pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan… ”
“Kau betul. Badan dan
pakaianmu kotor. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh sekali. Namun satu hal aku
tahu. Hatimu bersih… ”
Wiro gigit bibirnya. “Untuk
pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!”