Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
095 Jagal Iblis Makam Setan
SATU
SEPASANG mata Sika Sure
Jelantik bergerak liar menatap tajam ke arah kegelapan di eliling gubuk di mana
dia berada. Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur di tanah lam keadaan kaku karena
ditotok oleh si nenek.
Aneh, jelas barusan aku
mendengar suara orang! Juga suara tawa keparatnya! Tapi mana bangsatnya?!” Sika
Sure Jelantik memaki dalam hati. Ke dua matanya terus meliar coba menembus
kegelapan. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa. “Jangan-jangan suara angin
menipu pendengaranku!” Lalu perempuan tua ini kembali palingkan wajahnya ke
arah murid Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu dengan
cepat ulurkan ke dua tangannya untuk menanggalkan jubah sakti Kencono Geni yang
dikenakan Wiro.
Saat itulah kembali dari dalam
gelap terdengar suara tertawa cekikikan. “Hik… hik! Nenek tak tahu diri! Kau
masih mau meneruskan maksudmu membugili pemuda itu?! Hik… hik!”
Sika Sure Jelantik pukulkan
tangan kanannya ke tanah hingga tanah itu membentuk lobang dan salah satu tiang
gubuk bergoyang keras lalu jatuh ke tanah. Dengan marah si nenek membentak.
“Manusia atau setan sekalipun!
Kenapa sembunyikan diri di dalam gelap! Unjukkan tampangmu!”
“Sika, tinggalkan pemuda itu.
Kau tak bakal dapat apa-apa darinya!” Orang di dalam gelap menjawab ucapan si
nenek.
“Hemmm… Kau tahu namaku!
Berarti kau seorang yang aku kenal! Jangan terlalu pengecut memperlihatkan
diri!”
“Jika itu maumu, apa susahnya!
Tapi jangan kecewa karena kau tak bakalan bisa melihat wajahku!” jawab suara
dalam gelap. Lalu terlihat satu bayangan hitam berkelebat disertai suara siuran
angin. Tahu-tahu di depan gubuk yang kini atapnya miring karena salah satu
tiangnya roboh, duduk menjelepok di tanah seorang berpakaian serba hitam.
Seperti dikatakannya tadi si nenek tak bakal melihat wajahnya. Karena orang ini
duduk sambil menutup mukanya dengan ke dua tangan. Meski Sika Sure Jelantik
memang tidak dapat melihat wajah orang itu namun dia sudah mengetahui siapa dia
adanya.
“Iblis Pemalu! Permainan
konyol apa yang sedang kau lakukan saat ini?! Ucapan-ucapanmu tadi benar-benar
membuatku marah! Kalau bukan kau orangnya saat ini pasti kau sudah kubunuh!”
“Nenek Sika, aku malu! Justru
aku yang harus bertanya. Permainan konyol apa yang hendak kau perbuat terhadap
pemuda itu!”
“Apa urusanku tak perlu kau
banyak cingcong! Kau menunjukkan sikap aneh. Bukankah kita sebelumnya datang
dalam satu rombongan bersama dua teman lainnya? Mana Pengiring Mayat Muka Hijau
dan Datuk Gadang Mentari?!”
Sambil terus menutupi wajahnya
dibalik dua tangan, Iblis Pemalu menjawab. “Aku malu tak dapat mengatakan
dimana adanya Pengiring Mayat Muka Hijau. Tapi si Datuk Gadang Mentari sudah
mati menemui ajal! Memalukan sekali datang jauh-jauh dari tanah seberang hanya
mencari mati di tanah Jawa! Bukankah kau sendiri menyaksikan kematiannya di
lembah batu itu?”
“Jadi gadis bernama Anggini,
murid tua Gila itu benar-benar membunuh sahabat kita Datuk Gadang Mentari….”
“Huss…! Jangan berkata yang
memalukan! Tua bangka itu bukan sahabatku. Aku berada bersama rombongannya
hanya ikut-ikutan saja!”
“Rupanya kau bukan cuma
seorang pemalu. Tapi juga pengkhianat. Teman dibunuh orang kau biarkan saja!”
“Datuk Gadang Mentari bukan
temanku! Kau juga bukan temanku! Aku malu berteman dengan kalian!”
Wiro Sableng yang sejak tadi
mendengar percakapan ke dua orang itu diam-diam merasa aneh melihat perubahan
sikap orang berjuluk Iblis Pemalu itu. Untuk menyelidik tentu saja tidak
mungkin. Tahu kalau kini Iblis Pemalu tidak lagi sehaluan dengan si nenek maka
murid Sinto Gendeng ini lantas tertawa bergelak.
“Nenek jelek! Kau dengar orang
tak mau berteman denganmu! Aku saja yang orang lain merasa malu! Apa kau tidak
merasa malu?!”
“Tutup mulutmu! Jangan ikut
campur urusanku!” bentak Sika Sure Jelantik marah sekali hingga sekujur
tubuhnya bergetar. Dia berpaling pada Iblis Pemalu yang saat itu tertawa
cekikikan mendengar ucapan Wiro.
“Mana dia merasa malu!” ujar
Iblis Pemalu.
“Nenek tua ini tidak punya
kemaluan! Astaga! Maksudku tidak punya rasa malu! Hik… hik… hik!”
“Aku tidak merasa rugi tidak
menjadi sahabatmu! Kalau kau tidak berteman denganku, harap lekas angkat kaki
dari sini! Jangan membuat aku muak!” Membentak Sika Sure Jelantik pada Iblis
Pemalu dengan mata dipelototkan.
“Ah, diriku bisa membuatmu
jadi muak! Memalukan sekali! Kalau kau memang muak melihatku, sebelum kau
muntah apa salahnya kau saja yang minggat dari sini?! Atau mungkin itu kau
anggap sesuatu yang memalukan?!”
Semakin marah Sika Sure
Jelantik mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu. Namun dia masih bisa menimbang.
Kalau memperturutkan kemarahannya mau saat itu dia menghantam dan membunuh
Iblis Pemalu dengan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Namun dari pada mencari perkara
lebih baik mengalah dan membawa Wiro Sableng dari tempat itu. Maka tanpa banyak
bicara dia segera membungkuk, siap memanggul tubuh Pendekar 212. Tapi di
sampingnya Iblis Pemalu terdengar berkata.
“Aku memintamu pergi seorang
diri! Tidak membawa serta pemuda itu! Jangan melakukan hal yang memalukan nenek
Sika!”
“Iblis Pemalu, harap kau
jangan keliwat menekan! Pemuda ini milikku! Aku boleh membawanya kemana saja!
Aku boleh melakukan apa saja terhadapnya!”
“Memalukan sekali! Mana ada
aturan seperti itu?!” ujar Iblis Pemalu dengan dua tangan masih terus
dipergunakan menutupi, wajahnya.
Sika Sure Jelantik angkat
kepalanya ke atas lalu keluarkan tawa panjang. “Sekalipun kau raja di raja
rimba persilatan, jangan mengira kau bisa mengatur diriku! Jangan kau berani
bergerak di tempatmu! Atau kau akan mampus percuma!”
Tanpa mengacuhkan Iblis Pemalu
si nenek Sika Sure Jelantik dengan gerakan cepat menarik salah satu tangan Wiro
hingga sosok murid Sinto Gendeng ini melayang ke atas dan “bluk!” Tahu-tahu
sudah berada di atas bahu kirinya.
Iblis Pemalu ternyata tak
tinggal diam. Sebelum Sika Sure Jelantik berkelebat pergi melarikan Wiro dia
sudah berkelebat dan tegak menghadang jalan si nenek.
“Kau benar-benar mencari
mampus!” hardik Sika Sure Jelantik. Tangan kirinya dihantamkan ke arah. Iblis
Pemalu. Lima larik sinar sangat hitam menggebubu dalam gelapnya malam.
“Memalukan!” terdengar seman
Iblis Pemalu.
“Memalukan!” ikut berteriak
murid Sinto Gendeng. Dia sengaja memanasi si nenek.
Lima larik sinar maut terus
mencuat dari lima kuku jari Sika Sure Jelantik.
“Mampus!” teriak si nenek
sambil menyeringai ketika melihat bagaimana lima sinar mautnya hanya tinggal
sejengkal lagi dari tubuh yang jadi sasaran!
Tapi laksana gaib ditelan bumi
sosok Iblis Pemalu mendadak sontak lenyap dari pemandangan. Lima larik sinar
hitam pukulan sakti Kilat Kuku Akhirat mendarat pada sebuah batu besar di depan
serumpunan semak belukar. Batu dan semak belukar sama-sama mencelat berhamburan
hancur beran
takan!
“Kurang ajar! Bagaimana
mungkin dia bisa lolos dari pukulan saktiku!” ujar Sika Sure Jelantik dan cepat
memutar tubuh memandang berkeliling.
“Nenek Sika, kau letakkan saja
pemuda itu di tanah lalu pergi dari sini. Bukankah itu lebih baik bagimu dari
pada berbuat lain yang bisa memberimu malu besar?!”
Si nenek cepat putar tubuhnya
ke kiri. Dilihatnya Iblis Pemalu tegak di atas atap gubuk yang hampir rubuh.
Tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan kanan menutupi wajah.
“Kalau kau memang inginkan
pemuda ini, mengapa kau tidak berani merampasnya dari tanganku? Pengecut
memalukan!” Sika Sure Jelantik mengejek seraya keluarkan suara mendengus dari
hidung dan mulutnya.
Iblis Pemalu, tertawa mengekeh
seraya usap-usap wajahnya dengan tangan kanan.
“Aku sudah memberi kesempatan
padamu. Tapi kau tidak mau mempergunakan! Sungguh memalukan! Jika kau inginkan
aku merampas pemuda itu dari tanganmu lihat saja bagaimana jadinya!”
Habis berkata begitu tubuh
Iblis Pemalu lenyap dari atas atap.
“Wutttt!”
Sika Sure Jelantik berseru
kaget ketika tiba-tiba ada sambaran angin di samping kanan. Lalu ada satu
tangan hendak mencengkeram tengkuk pemuda yang ada di panggulannya. Si nenek
cepat membungkuk seraya hantamkan siku kanannya. Serangannya meleset. Tiba-tiba
si nenek membuat gerakan berputar. Dengan mengandalkan kaki kirinya sebagai
tumpuan Sika Sure Jelantik berputar dalam gerakan setengah lingkaran. Kaki
kanannya menendang dan “bukk!”
Sosok Iblis Pemalu yang tadi
ada di belakangnya mencelat kena hantaman kaki kirinya.
“Memalukan!” Iblis Pemalu
berseru sambil menahan sakit. Tangan kiri memegang perutnya yang kena tendang sedang
tangan kanan tetap menutupi wajahnya. Selagi dia berusaha mengimbangi diri Sika
Sure Jelantik tak mau memberi kesempatan. Tangan kanannya dipukulkan. Lima
larik Kilat Kuku Akhirat menyambar ke arah Iblis Pemalu.
“Tamatlah riwayatmu sekarang
manusia sinting geblek!” teriak Sika Sure Jelantik dengan mata berkilat-kilat
dan mulut sunggingkan senyum maut.
Di depan sana Iblis Pemalu
tiba-tiba memutar tubuhnya. Dalam keadaan membelakangi lawan ke dua tangannya
dipukulkan ke belakang.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dalam gelap kelihatan dua
larik cahaya putih bergulung-gulung membentuk dua lingkaran aneh. Sika Sure
Jelantik berseru kaget ketika melihat lima larik sinar sakti pukulan Kilat Kuku
Akhiratnya masuk ke dalam dua lingkaran cahaya putih, ikut tergulung lalu dua
lingkaran putih bersama lima larik sinar hitam berbalik menghantam ke arahnya!
Dalam keadaan seperti itu Sika
Sure Jelantik masih mampu berpikir cepat. Bukan dia saja yang harus
menyelamatkan diri dari hantaman maut itu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng juga
harus diselamatkan. Kalau sampai pemuda itu menemui ajal tambah sulit baginya
untuk mencari tahu di mana beradanya musuh besarnya si Tua Gila itu!
Maka si nenek pun melakukan
satu hal yang hebat!
*
* *
DUA
SIKA Sure Jelantik lemparkan
tubuh Pendekar 212 ke atas. “Hekkk!” Suara seperti orang muntah melesat keluar
dari tenggorokan murid Sinto Gendeng ini begitu tubuhnya yang dilemparkan ke
atas jatuh membelintang di atas cabang pohon. “
Tua bangka sialan!” maki Wiro.
“Untung tubuhku nyangsrang di sini! Kalau amblas ke tanah pasti nyawaku tidak
ketolongan!” Wiro memandang ke bawah. Cabang pohon dimana tubuhnya terbelintang
tanpa bisa bergerak berada sejarak lebih empat tombak dari tanah! Rasa gamang
dan ngeri karena khawatir akan jatuh sementara dirinya masih berada dalam
keadaan tertotok membuat murid Sinto Gendeng ini seperti mau membuang hajat
besar. “Nenek jelek! Turunkan aku dari atas pohon.”
Sika Sure Jelantik mana
perdulikan teriakan Wiro. Begitu bahunya lepas dari beban sosok tubuh Wiro si
nenek lesatkan dirinya ke atas. Gulungan cahaya putih dan sinar pukulan Kilat
Kuku Akhirat lewat hanya setengah jengkal di bawah kakinya. Bagian bawah
jubahnya terasa panas. Ketika dia meneliti ternyata ujung jubahnya telah
berubah menjadi abu! Diam-diam tengkuk si nenek menjadi dingin, “iblis Pemalu.
Aku mengenalnya baru satu minggu! Siapa makhluk aneh tapi dahsyat ini
sebenarnya? Aku tak pernah melihat wajahnya. Tadi waktu melepaskan pukulan
berbentuk dua gulungan sinar putih dia. pergunakan ke dua tangannya. Tapi dia
sengaja membelakang hingga tampangnya tetap tidak kelihatan! Tanah Jawa
benar-benar sarat dengan manusia berkepandaian tinggi!”
“Memalukan! Bagaimana mungkin
seranganku tidak mengenai sasaran!” Iblis Pemalu mengomel. Saat itu dari atas
dilihatnya Sika Sure Jelantik melayang turun. Sepasang kaki si nenek menghunjam
ke arah kepalanya. Iblis Pemalu tak tinggal diam. Dua tangan menutup wajah. Dua
kaki dihentakkan ke tanah. “Settt!” Tubuhnya lenyap. Tahu-tahu sudah berada di
udara, membuat si nenek terkejut sekali karena lawan berada demikian dekat
dengannya dan “wutt… wutt!” Dua kaki Iblis Pemalu menerjang ke depan. Dalam
keadaan seperti itu tak ada jalan lain bagi Sika Sure Jelantik selain balas
menghantam dengan ke dua kakinya pula.
Maka terjadilah perkelahian
saling tendang di udara. Suara beradunya kaki terdengar tiada henti dan baru
lenyap ketika Sika Sure Jelantik tampak limbung lalu jatuh terkapar di tanah
tak kuasa bangkit kembali. Dia berusaha mengatupkan mulut rapat-rapat namun tak
urung suara erangannya terdengar juga.
Iblis Pemalu melayang turun ke
tanah. Untuk beberapa lamanya dia tampak tegak terbungkuk-bungkuk. “Memalukan….
Memalukan….” Kata-kata itu keluar dari mulutnya berulang kali. Kedua tangan
menutupi wajah. Sepasang matanya memperhatikan Sika Sure Jelantik lewat
celah-celah jarinya.
“Aku meminta pemuda itu secara
baik-baik. Kau bersikap keras kepala. Memalukan! Sekarang lihat apa akibatnya!
Berdiri pun kau tak sanggup! Dan aku sendiri! Huh! Rasanya mau putus kaki ini!”
Di atas pohon Wiro berteriak.
“Sobatku iblis Pemalu! Jangan mengoceh saja! Tolong turunkan aku!”
Iblis Pemalu memandang ke atas
pohon yang gelap. Lalu tertawa cekikikan. Dengan muka ditutupi ke dua tangannya
dia balas berteriak. “Aku malu melihatmu di atas pohon sana! Memang tak ada
tempat lain yang lebih baik bagimu! Hik… hik.. hik!”
“Jangan bergurau! Turunkan aku
dari atas pohon keparat ini!”
“Memalukan! Kau memerintah
menurunkanmu! Apa aku yang meletakkanmu di atas cabang pohon?!”
“Jangan ngaco! Memang bukan
kaul Tapi apa salahnya kau segera menolong diriku!” jawab Wiro yang jadi sangat
jengkel.
“Nenek jelek itu yang melempar
kau ke atas pohon. Dia memang tak punya malu! Minta padanya agar menurunkan kau
sekarang juga!”
Sika Sure Jelantik yang
tergeletak di tanah menyeringai menahan sakit. “Iblis Pemalu keparat! Kau
meminta aku menurunkan pemuda gendeng itu! Baik! Kau saksikan sendiri bagaimana
caraku menurunkannya!” Habis berkata begitu si nenek hantamkan tangan kanannya
ke atas. Lima larik sinar pukulan Kilat Kuku Akhirat menderu ke arah Wiro.
“Tobat! Tamat riwayatku!”
teriak Wiro dengan mata melotot. “Iblis Pemalu! Lakukan sesuatu!”
Tapi Iblis Pemalu cuma tutup
mukanya rapat-rapat dan gelengkan kepala.
“Setan alas! Nyawaku
benar-benar tidak bisa tertolong!” keluh Pendekar 212.
“Wuttt!”
Sesaat lagi Wiro akan menemui
ajal ditembus lima larik sinar maut tiba-tiba sebuah benda putih halus melesat
di kegelapan malam tanpa suara sedikitpun. Wiro merasakan ada sesuatu yang
mengikat ke dua pergelangan kakinya. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya terasa
laksana dibetot dan berputar di udara. Di sampingnya cabang pohon tempat dia
tadi terjuntai melintang hancur berantakan dihantam sinar Kilat Kuku Akhirat.
“Apa yang terjadi dengan
diriku?!” ujar Wiro. Tubuhnya berputar di udara laksana terbang. Perlahan-lahan
tubuh itu melayang ke bawah, makin ke bawah dan akhirnya “bukk!” Wiro
terbanting keras menelungkup. Bukan di tanah. Tapi di atas sosok tubuh Sika
Sure Jelantik! Kakinya saling bertumpuk dengan kaki si nenek. Perut dan dadanya
berbenturan keras dengan perut dan dada Sika Sure Jelantik. Bahkan mulutnya pun
saling bertempelan dengan mulut si nenek hingga keduanya seolah sedang
berciuman mesra!
Sika Sure Jelantik memaki
panjang pendek. Wiro keluarkan suara seperti mau muntah dan meludah berulang
kali. “Sialan! Ludahnya masuk ke dalam mulutku!” rutuk murid Sinto Gendeng.
Dalam kegelapan terdengar
suara orang tertawa terkekeh-kekeh! Si nenek menggereng marah. Wiro pasang
telinga baik-baik. Saat itu tubuhnya yang tak mampu bergerak akibat totokan
masih tertelentang menelungkup di atas badan si nenek.
“Aku rasa-rasa mengenali suara
tawa itu. Jangan-jangan… Ah, apa benar dia?”
“Jahanam! Berani kau mencium
mulutku!” Sika Sure Jelantik berteriak marah. Tangannya kiri kanan dipukulkan
ke arah batok kepala Wiro. Ini merupakan satu serangan mengepruk yang dapat
memecahkan kepala murid Sinto Gendeng itu.
Wiro yang seolah tidak sadar
bahaya maut mengancamnya balas berteriak. “Siapa suka mencium nenek bau
macammu!”
Sesaat lagi dua tangan si
nenek akan menghancurkan kepalanya tiba-tiba Wiro merasa benda aneh yang
menjirat dua pergelangan kakinya disentakkan. Tubuhnya yang masih tertelungkup
di atas tubuh si nenek terbetot ke kiri lalu terguling di tanah. Hal ini
menyelamatkannya dari serangan maut Sika Sure Jelantik. Saat itu pula sebuah
benda halus panjang melayang di sampingnya. Ujung benda ini laksana seekor ular
mematuk ke arah jalan darah di pangkal leher Wiro. Serta meria saat itu juga
totokan yang menguasai dirinya buyar! Mulutnya langsung membuka. Dia menguap
lebar-lebar. Sepasang matanya meredup seperti mengantuk. Ulahnya ini tidak lain
akibat pengaruh ilmu tidur yang diberikan Si Raja Penidur padanya tempo hari.
Sesaat kemudian setelah menyadari dirinya bebas dari totokan Wiro cepat
gulingkan diri mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi diambil dan
diletakkan Sika Sure Jelantik di tanah. Baru saja senjata ini disimpannya di
balik pakaian tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras.
“Aku mencium bau badanmu!!”
Nenek yang cidera ke dua kakinya ini mencoba bangkit berdiri tapi tidak bisa.
Seperti gila dia berteriak. “Sukat Tandika! Jangan bersembunyi! Lekas unjukkan
diri menerima kematian!” Si nenek gerak-gerakkan tangan kanannya ke berbagai
arah, Siap menghantam dengan pukulan sakti paling hebat yang dimilikinya yakni
Jalur Hitam Bara Dendam. Ini merupakan pendalaman dari ilmu Kilat Kuku Akhirat
yang memang direncanakannya untuk dipergunakan membunuh Tua Gila. Tangan kiri
si nenek bersitekan ke tanah untuk menopang tubuhnya. Sepasang matanya
jelalatan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba ada sambaran angin di
belakangnya. Si nenek membalik, siap menghantam dengan pukulan sakti Kilat Kuku
Akhirat. Tapi terlambat. Satu totokan bersarang di punggungnya. Langsung saat
itu sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang dalam keadaan seperti merangkak.
“Jahanam! Siapa berlaku
pengecut menotok dari belakang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku malu melakukannya. Tapi
apa boleh buat! Nenek liar sepertimu harus dibuat jinak! Hik… hik… hik!”
“Iblis Pemalu keparat!” rutuk
si nenek.
Iblis Pemalu melangkah
mendekati Pendekar 212. “Tadi dia menotokmu dan hendak menelanjangimu! Aku
barusan telah menotoknya. Dia tak bisa bergerak lagi! Apa kau mau membalas
menelanjanginya?! Hik… hik… hik!”
“Apa enaknya melihat tubuh tua
keriput seperti yang dimilikinya! Memalukan saja!” jawab Wiro menimpali ejekan
iblis Pemalu walau sebenarnya dia masih jengkel pada orang ini karena tadi
tidak menolongnya turun dari cabang pohon.
Iblis Pemalu tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan Wiro.
“Dua manusia gila! Aku
bersumpah akan membunuh kalian!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku mau pergi dari sini. Malu
lama-lama berada di tempat ini. Kau mau kemana? Mau pergi sama-sama denganku
asal kau tidak malu saja?!” tanya Iblis Pemalu pada Wiro.
“Aku, hemm…. Biar aku di sini
dulu menemani nenek-nenek ini. Kasihan kalau dia sampai mati kedinginan di
tempat ini….”
“Terserah padamu. Tapi awas,
jangan kau gerayangi tubuh tua bangka itu. Jangan melakukan sesuatu yang
membuat malu aku malu sebagai temanmu! Aku pergi sekarang,” kata Iblis Pemalu.
“Tunggul Jangan pergi dulu!
Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” kata Wiro pula. Lalu tanpa menunggu
jawaban orang dia memandang berkeliling. Dia tahu siapa yang barusan
menolongnya. Maka diapun berseru. “Kakek Tua Gila, mengapa masih bersembunyi?!”
Sika Sure Jelantik yang
diam-diam juga sudah memastikan bahwa Tua Gila bekas kekasihnya yang kini
menjadi manusia paling dibencinya di atas dunia ini berada di tempat itu, serta
merta salurkan tenaga dalam ke tangan kanan menyiapkan serangan maut Jalur
Hitam Bara Dendam. Lima kukunya yang panjang mengeluarkan sinar hitam angker
dan sepertinya ada asap tipis keluar dari tangannya. Matanya memandang liar
berkilat. Begitu Tua Gila muncul dari dalam kegelapan langsung akan dihantamnya
dengan pukulan sakti itu. Tapi dia lupa bahwa saat itu sekujur tubuhnya berada
dalam keadaan tertotok. Walau secara luar biasa dia masih sanggup menyalurkan
tenaga dalam dan menyiapkan pukulan Jalur Hitam Bara Dendam namun dia tidak
mampu menggerakkan apa lagi mengangkat tangan kanannya itu untuk menyerang.
Di dalam gelap terdengar suara
orang batuk-batuk beberapa kali. Lalu berkelebat muncul satu bayangan. Tapi
orang ini ternyata bukan Sukat Tandika alias Tua Gila!
*
* *
TIGA
SIKA Sure Jelantik menyumpah
habis-habisan ketika dia menyadari kalau tak mampu menggerakkan tangan kanan
untuk melepas pukulan Jalur Hitam Bara Dendam. Dalam keadaan seperti itu dia
merasa agak lega sedikit walau sepasang matanya membeliak berkilat. Yang muncul
di tempat itu bukanlah Sukat Tandika alias Tua Gila kekasihnya di masa muda.
Iblis Pemalu yang belum sempat
meninggalkan tempat itu memandangi orang yang datang lewat sela-sela jari ke
dua tangannya yang dipergunakan menutupi wajah.
Wiro garuk-garuk kepala,
memandang tak berkesip dan bertanya-tanya siapa adanya orang yang berdiri di
bawah bayangan gelap pohon besar di sampingnya.
“Aku memang tidak kenal pada
perempuan tua ini. Tak pernah melihatnya sebelumnya. Tapi mengapa wajahnya mengingatkan
aku pada seseorang…?” Murid Sinto Gendeng membatin.
Orang yang muncul di tempat
itu adalah perempuan tua berjubah hitam. Dia mengenakan sebentuk topi
menyerupai tanduk kerbau, terbuat dari kain berbenang perak. Di bawah topi
rambutnya yang putih panjang menjela punggung dan dada. Walau wajahnya
keriputan dimakan usia namun masih ada bayangan kecantikan yang dimilikinya di
masa muda. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak, salah seorang tokoh
silat penguasa Gunung Singgalang yang seperti telah dituturkan dalam Episode
sebelumnya (Asmara Darah Tua Gila) menyeberang dari Andalas ke tanah Jawa dalam
mencari musuh besarnya yaitu Tua Gila.
“Kau siapa?!” membentak Sika
Sure Jelantik.
“Ya, kau siapa?!” Wiro
ikut-ikutan bertanya.
Iblis Pemalu tetap berdiri
memandang dengan muka ditutup.
Nenek berjubah hitam
menyeringai. Kepalanya digoyangkan hingga rambutnya yang putih panjang
tersingkap ke belakang. Walau wajahnya kini kelihatan menyeluruh namun baik
Sika Sure Jelantik maupun Wiro tetap saja tidak mengenali siapa adanya nenek
satu ini.
“Nenek yang terkapar di
tanah!” Sabai Nan Rancak berkata dengan nada sinis. Dia menatap ke arah Sika
Sure Jelantik, sama sekali tidak perdulikan Pendekar 212. “Kau tidak kenal
diriku. Tapi aku kenai kau siapa adanya. Bukankah kau yang bernama Sika Sure
Jelantik? Nenek culas yang pernah menyamar jadi dukun sakti di suatu pulau?!
Yang datang ke tanah Jawa ini untuk mencari seorang kakek bernama Sukat Tandika
alias Tua Gila alias Iblis Gila Pencabut Jiwa alias Pendekar Gila Patah Hati?!”
Berubahlah paras angker Sika
Sure Jelantik. “Setan tua ini tahu banyak tentang diriku! Aku sama sekali tidak
mengenali siapa dia adanya! Sial keparat!”
“Nenek, kau mengenali tua
bangka satu ini, kau sendiri siapa?!” Wiro beranikan diri ajukan pertanyaan.
“Tutup mulutmu! Aku bicara
dengan dia! Dan aku belum mendapat jawaban! Pada gilirannya aku akan bicara
denganmu!” sentak Sabai Nan Rancak.
“Aduh galaknya si muka keriput
ini!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Walau dalam keadaan Cidera ke
dua kaki dan tak berdaya karena tertotok Sika Sure Jelantik tetap saja galak.
Dia menjawab dengan lantang.
“Tua bangka rongsokan! Rupanya
namaku demikian terkenalnya hingga kau tahu siapa diriku! Dan tentang dirimu
yang sudah lapuk dimakan rayap usia, apa perduliku untuk mau tahu!”
Sabai Nan Rancak mendongak
lalu tertawa panjang.
“Bicaramu memang hebat! Tapi
aku tahu jiwamu tergoncang besar! Aku merasa tidak ada gunanya bicara lebih
panjang denganmu!” Sabai Nah Rancak berpaling pada Wiro Sableng. “Aku juga
kenal siapa dirimu anak muda! Jangan kau berani beranjak dari tempatmu sebelum
aku mendapat keterangan!”
“Malam begini gelap tak ada
bulan tak ada bintang. Penerangan apa yang bisa aku berikan padamu?!” ujar Wiro
seenaknya sambil senyum-senyum.
“Orang yang mau mampus
bicaranya memang sering tidak karuan!” balas Sabai Nan Rancak.
Murid Sinto Gendeng jadi
terkesiap mendengar ucapan orang tapi tetap saja tak mau kalah. “Nek, kau
rupanya manusia hebat luar biasa. Sampai-sampai tahu kalau ada yang akan mati.
Kalau dibanding usiamu dengan usiaku, bukankah kau yang lebih bau tanah alias
dekat liang kubur?!”
“Sobatku! Kau betul! Memalukan
saja si tua bangka ini bicaranya!” Iblis Pemalu berteriak lalu tertawa
gelak-gelak.
“Hemmm… Ada satu lagi orang
gila rupanya di tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak tak mau kalah mengejek.
“Heran, kenapa orang-orang gila selalu memilih mati berkawan-kawan daripada
sendiri-sendiri! Hik… hik… hik!”
Di balik ke dua tangannya
wajah Iblis Pemalu tampak mengerenyit menahan tawa sedangkan Wiro kelihatan
tegak melongo dan garuk-garuk kepala.
“Kau!” tiba-tiba Iblis Pemalu
gerakkan tangan kirinya dan menuding tepat-tepat kepada Sabai Nan Rancak. “Kau
datang laksana munculnya hantu malam. Memalukan! Kau tahu banyak tentang orang
lain tapi tidak mau memberi tahu siapa diri sendiri! Memalukan! Biaraku
beritahu pada orang-orang di sini siapa kau adanya!”
Sabai Nan Rancak sesaat jadi
tercekat tapi dia diam tak bergerak dan tak membuka mulut walau dalam hati dia
berusaha menduga-duga siapa adanya manusia aneh yang terus-terusan menutupi
wajahnya dengan tangan. “Kau tidak beda dengan nenek tua bernama Sika Sure
Jelantik itu! Kau datang jauh-jauh dari seberang bukankah punya maksud sama
dengan dia?!”
Berdebar dada Sabai Nan Rancak
mendengar kata-kata Iblis Pemalu itu.
“Manusia aneh bermulut
panjang! Apa maksudmu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Kau berkeliaran sampai di
sini bukankah karena juga mencari Tua Gila? Orang yang di masa mudamu menjadi
kekasihmu!”
“Jahanam!” teriak Sabai Nan
Rancak. Tubuhnya berkelebat. Tangan kirinya lancarkan satu pukulan keras ke
arah dada Iblis Pemalu. Tapi yang diserang bergerak cepat hindarkan diri dan
tahu-tahu sudah tegak empat langkah di samping kanan Sabai Nan Rancak.
“Kau malu rahasiamu aku bongkar?
Ha… ha… ha!” Iblis Pemalu tertawa gelak-gelak. “Sika Sure Jelantik, kalau kau
dulu kawin dengan Sukat Tandika, maka nenek satu ini akan menjadi madumu! Ha…
ha… ha…! Benar-benar hidup yang memalukan!”
Baik Sika Sure Jelantik maupun
Sabai Nan Rancak sama bersemu merah wajah masing-masing dalam gelap.
“Orang gila! Siapa kau
adanya!”
cak menegur. Suaranya tetap
keras.
“Siapa aku itulah satu hal
memalukan untuk diberi tahu!” jawab Iblis Pemalu pula. “Tapi aku tidak malu
memberi nasihat! Sebaiknya kau yang bernama Sabai Nan Rancak kembali saja ke
pulau Andalas. Tanah Jawa terlalu keras bagimu! Kau tidak akan mendapatkan
keberuntungan!”
“Aku memang tidak mencari
untung datang ke sini. Aku mencari nyawa orang!” jawab Sabai Nan Rancak. Lalu
dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku tahu siapa kau adanya anak muda!
Lekas kau suruh keluar gurumu! Aku tahu dia ada di tempat ini! Tapi takut
memperlihatkan diri!”
“Bukan takut! Mungkin malu!”
ujar Iblis Pemalu.
“Jika kau punya kepentingan
dengan Tua Gila, harap kau mencari dan mendapatkannya sendiri!” jawab Wiro.
“Baik! Kalau begitu biar kau
kubuat mampus dulu baru si Tua Gila itu mau menunjukkan diri!”
Habis berkata begitu Sabai Nan
Rancak kembangkan telapak tangan kanannya lalu diangkat dan diarahkan pada Pendekar
212 Wiro Sableng.
Dalam gelap satu sosok yang
sejak tadi mendekam tak bergerak diam-diam merasa cemas. “Dia hendak menghantam
anak itu dengan pukulan sakti Kipas Neraka! Celaka! Jangankan dia, akupun tak
sanggup menerima pukulan maut itu!” Lalu orang ini sibakkan semak belukar di
depannya. Dia melompat keluar seraya berteriak.
“Tahan serangan!”
Seorang kakek berpakaian putih
kini tegak antara Wiro dan Sabai Nan Rancak.
“Manusia jahanam Sukat
Tandika!” Teriak Sika Sure Jelantik. Dia serasa mau terbang untuk melumat tubuh
kakek itu.
“Kakek Tua Gila!” seru Wiro.
“Ha… ha! Jadi ini dia si tua
bangka memalukan itu!” Ikut bicara Iblis Pemalu.
Sesaat Sabai Nan Rancak tampak
tergoncang. Matanya mendelik memandangi Tua Gila yang tegak menatap ke arahnya
dengan pandangan kosong.
“Waktu di pantai Andalas kau
bisa lolos! Waktu kau terluka oleh keris Datuk Angek Garang kau masih bisa
selamat karena ada orang bercadar menolongmu! Di malam yang gelap ini agaknya
tidak manusia tidak juga hantu yang akan menyelamatkan nyawamu!”
Tua Gila hanya berdiam diri
mendengar Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya masih terus memandangi tak
berkesip walau tampak sayu.
“Manusia dan hantu mungkin
tidak akan menolongnya! Tapi Tuhan Yang Kuasa pasti menolong!” Ujar Pendekar
212.
“Betul sekali! Tuhan memang
tidak pernah malu menolong umatNya yang kesusahan!” menimpali Iblis Pemalu lalu
tertawa mengekeh.
“Akan kita lihat apa Tuhanmu
memang akan menolong!” ujar Sabai Nan Rancak pula dengan mata berapi-api. Lalu
dua tangannya sekaligus diangkat ke atas.
Tua Gila merasakan tengkuknya
dingin. Dia ingat keterangan Putri Andini dulu bahwa bagaimana pun saktinya
dirinya dia tak akan sanggup menghadapi pukulan sakti Kipas Neraka yang
dimiliki Sabai Nan Rancak.
“Dia mengangkat dua tangan
sekaligus. Berarti hendak menghantamku dengan dua pukulan Kipas Neraka! Satu
saja aku tak sanggup menghadapi, apa lagi sampai dua hantaman. Aku pasrah
menerima kematian!”
Tiba-tiba Iblis Pemalu
berseru.
“Orang tua! Jangan tegak diam
memalukan! Lakukan sesuatu agar kau tidak mati penuh penyesalan!”
Tua Gila hanya menyeringai
mendengar kata-kata itu. Dia tetap tak bergerak di tempatnya. “Banyak urusanku
yang masih terbengkalai. Tapi maut agaknya datang lebih cepat! Kematian mungkin
satu-satunya jalan yang dapat melepaskan diriku dari segala beban bathin dan
pikiran!”
Sabai Nan Rancak gerakkan ke
dua tangannya. Mendadak sontak saat itu juga dua larik sinar memerah melesat
keluar dari telapak tangan Sabai Nan Rancak. Dua sinar lurus mengerikan ini
mengembang seperti kipas. Sekalipun saat itu Tua Gila berusaha menyelamatkan
diri maka keadaannya sudah terlambat sekali. Tak ada lagi ruang Untuk
menyingkir apa lagi menangkis.
“Pukulan Kipas Neraka!” teriak
Iblis Pemalu yang mengenali pukulan sakti yang dilepaskan Sabai Nan Rancak.
“Kek!” teriak Wiro melihat Tua
Gila diam saja seolah sengaja memasang badan. Dengan cepat Pendekar 212
melompat menghadang dua tebaran sinar merah yang panas luar biasa. Dia yang
masih mengenakan jubah Kencono Geni mengandalkan kesaktian jubah itu untuk
melindungi Tua Gila. Namun dia hanya mencari celaka karena bersama-sama dengan
si kakek dia mungkin akan menemui ajal dihantam pukulan Kipas Neraka itu!
“Sobat tolol memalukan!
Mengapa mau-mauan mencari mati?!” teriak Iblis Pemalu.
Pada saat yang menegangkah itu
tiba-tiba ada bayangan kuning berkelebat. Wiro terpental ke kiri sedang Tua
Gila jatuh terduduk di tanah lalu terguling sampai dua tombak!
*
* *
EMPAT
ORANG berpakaian dan bercadar
kuning berOrang berpakaian dan bercadar kuning berlutut di kegelapan malam.
Hanya kaki kirinya saja yang bersitekan ke tanah. Dua tangan di angkat ke depan
dengan telapak terkembang. Sepasang mata menatap tak berkesip ke arah dua larik
sinar merah yang datang menerpa dengan sangat ganas.
Dua tangan bahkan sekujur
tubuh orang bercadar kuning ini tampak bergoncang keras. Pakaiannya serta meria
basah oleh keringat. Di kening dan bagian sekitar matanya muncul
butiran-butiran keringat. Ini satu pertanda dia tengah mengerahkah tenaga luar
dan dalam untuk melawan satu kekuatan besar yang hendak menyapunya.
Apa yang terjadi sungguh luar
biasa. Dua larik pukulan Kipas Neraka yang melesat keluar dari dua tangan Sabai
Nan Rancak tertahan satu jengkal di depan dua tangan orang bercadar kuning.
Perlahan-lahan tebaran sinar merah yang berbentuk kipas tampak menciut dan
akhirnya kembali ke asalnya yakni bentuk garis lurus. Ketika orang bercadar
perlahan-lahan mendorongkan ke dua tangannya maka dua larik sinar merah ikut
terdorong seolah-olah masuk kembali ke dalam tangan Sabai Nan Rancak.
“Jurus Menghormat Kipas
Neraka!” teriak Sabai Nan Rancak dengan paras berubah dan mundur beberapa
langkah. Dia sama sekali tak bisa mempercayai serangan mautnya tadi bisa
dimentahkan begitu saja. “Orang bercadar! Siapa kau! Dari mana kau mempelajari
jurus Menghormat Kipas Neraka tadi?!”
Orang bercadar perlahan-lahan
bangkit berdiri. Tua Gila, Wiro dan Iblis Pemalu terkagum-kagum melihat apa
yang barusan terjadi.
“Manusia aneh bercadar kuning!
Untuk ke tiga kalinya dia menolongku! Ah….” Tua Gila goleng-goleng kepala.
Setelah mengusap keningnya
yang basah dan mengatur gejolak jalan darahnya, orang bercadar berkata.
Ucapannya seperti orang berpantun.
“Saling hormat pada sesama
adalah kewajiban manusia. Di mata Tuhan manusia satu tidak ada kelebihannya
kecuali ketakwaannya/Menjatuhkan hukuman, bersikap pongah dalam keadilan adalah
kesesatan yang menyedihkan. Karena setiap manusia tidak lepas dari pada
kesalahan. Mana ada hidup yang paling enak dari pada mencari tenteram di masa tua.
Masa muda hanyalah kenangan buruk dan indah yang akan punah ditelan usia.”
“Jahanam! Aku bertanya kau
menjawab dengan syair keparat!” teriak Sabai Nan Rancak tak dapat lagi menahan
amarahnya.
“Siapa bertanya tak akan sesat
di tengah jalan. Siapa berpura bertanya akan sesat di ujung jalan. Mengapa
tidak kembali ke awal jalan?”
Sabai Nan Rancak berteriak
keras. Tubuhnya melayang di udara. “Orang gila! Mari kutunjukkan padamu jalan
ke neraka!”
“Wuttt!”
Satu jotosan yang luar biasa
cepatnya menderu ke arah kepala orang bercadar kuning.
“Kemarahan pangkal kesesatan.
Kesesatan adalah temannya setan. Setan adalah kehancuran!”
“Bukkk!”
Sabai Nan Rancak terpekik.
Tubuhnya mencelat dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah. Ketika dia
memeriksa tangan kanannya yang tadi dipergunakan untuk menyerang matanya jadi
mendelik. Tangan itu kini berubah menjadi putih karena kulitnya telah
terkelupas hingga tulang-tulangnya kelihatan putih menonjol!
“Kurang ajar! Apa yang kau
lakukan terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak. Seperti kalap, penuh nekad dia
kembali menerjang. Saat itulah Tua Gila cepat menghadangnya dan dengan sikap
tenang serta suara lembut kakek ini berkata.
“Sabai, jangan celakakan diri
sendiri. Orang itu bukan tandinganmu. Kembalilah ke Andalas. Janah Jawa bisa
menjadi neraka bagimu! Kalau tiba saatnya aku akan menyusul. Apa pun yang kau
harapkan dariku, termasuk nyawaku kelak akan kuserahkan padamu! Hanya ingat
satu hal yang kukatakan tempo hari padamu. Ada seseorang entah kau sadari atau
tidak telah memanfaatkan dirimu melakukan perbuatan-perbuatan aneh….”
“Setan tua jahanam!” teriak
Sabai Nan Rancak. “Aku tidak butuh nasihatmu!” Tangan kiri si nenek berkelebat.
Bukkk!”
Tua Gila tidak menyangka
ucapan baiknya akan dibalas dengan satu hantaman ke arah dadanya. Orang tua ini
terpental dua tombak dan tertelentang di tanah muntahkan darah segar.
“Kek!” seru Wiro seraya
memburu. Namun saat itu walau terluka di dalam Tua Gila masih bisa berdiri. Dia
tersenyum pahit. “Aku tak apa-apa…” katanya ketika Wiro memegangi lengannya.
“Akan kubunuh jahanam itu!”
teriak Wiro.
“Sudahlah! Dia sudah tak ada
lagi di sini. Sudah pergi!” kata Tua Gila pula.
Wiro berpaling, memandang
berkeliling. Ternyata memang benar Sabai Nan Rancak tak ada lagi di tempat itu.
“Kek,” ujar Wiro setengah
berbisik. “Orang bercadar kuning yang tadi menolongmu juga tak ada lagi….”
“Astaga!” Tua Gila memandang
berkeliling. “Temanmu yang selalu menutupi mukanya itu juga lenyap!” ujar si
kakek.
“Pada kemana mereka? Pergi
begitu saja!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Km! mau tak mau pandangan Wiro
dan Tua Gila tertuju pada si nenek Sika Sure Jelantik. Melihat dirinya
dipandangi begitu rupa si nenek membentak.
“Sukat Tandika! Kalau kau
memang laki-laki lepaskan totokanku dan terima kematianmu di tanganku!”
“Nenek jelek!” bentak Wiro
yang jadi naik darah. “Kalau mulutmu tak bisa diam nanti kusumpal dengan ini!”
Wiro lalu cabut umbi besar keladi hutan dan menyorongkan ke mulut si nenek. Di
depan mulut Sika Sure Jelantik keladi hutan itu digoyang-goyangkannya kian
kemari sengaja mempermainkan hingga si nenek memaki habis-habisan.
“Wiro, hentikan perbuatanmu!”
Tua Gila mengambil keladi hutan dari tangan Wiro dan mencampakkannya di tanah.
Dia tegak dekat Sika Sure Jelantik. “Sika, kau terluka parah. Menurut
penglihatanku tulang kakimu kiri kanan patah!”
“Apa perdulimu?!” hardik Sika
Sure Jelantik. Sebenarnya perempuan tua ini sudah tahu keadaan kakinya. Memang
benar ada bagian-bagian tulang kakinya yang patah akibat beradu tendangan
dengan Iblis Pemalu.
“Dengar, aku akan membawamu ke
satu tempat yang baik dan mengobati kakimu yang cidera sampai sembuh. Mungkin
kesempatan ini bisa kita pergunakan untuk bicara dari hati ke hati….”
“Kek,” tiba-tiba Wiro
menyeling. “Kurasa aku lebih baik pergi saja. Agar kau bisa leluasa
menyelesaikan urusanmu dengan bekas pacarmu ini!”
“Anak setan! Jangan kau berani
bicara kurang ajar!” bentak Tua Gila. “Jangan kau berani pergi tanpa izinku!”
Wiro hanya tertawa bergumam
sementara Sika Sure Jelantik unjukkan wajah merah cemberut.
“Aku tidak sudi ditolong!
Jangan berani menyentuh tubuhku!”
“Sika, harap kau pergunakan
akal sehat! Jangan keras kepala tidak karuan. Aku menolongmu dengan ikhlas.
Tidak ada pamrih atau maksud agar kau memaafkan segala perbuatanku di masa
lalu….”
“Kek, kalau dia tidak mau
ditolong biar saja. Kabarnya di sini banyak binatang buas, ular berbisa. Belum
lagi segala hantu dedemit yang konon doyan meniduri nenek-nenek peot seperti
dia!” Wiro kembali mempermainkan si nenek saking kesalnya melihat tindak tanduk
Sika Sure Jelantik yang tidak mau ditolong oleh Tua Gila.
Sementara Sika Sure Jelantik
memaki tiada henti Tua Gila angkat si nenek dan memanggulnya di bahu kiri. Dia
berpaling pada Wiro. “Aku akan membawanya ke satu tempat. Harap kau
mengikuti….”
“Kek, bukannya lebih bebas
jika kalian hanya berdua saja?!”
“Jangan bergurau terus-terusan
anak geblek! Ikuti aku! Banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu!”
“Kek, apa kau sudah berpikir
sepuluh kali? Nenek itu sudah bersumpah hendak membunuhmu! Apa tidak salah
kaprah kalau kau kini menolongnya?!”
“Aku tahu apa yang aku
lakukan!” jawab Tua Gila pula dengan mata cekung melotot.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ketika Tua Gila berkelebat pergi mau tak mau dia terpaksa mengikuti.
*
* *
LIMA
TUA Gila membawa Sika Sure
Jelantik ke sebuah kaki bukit di mana terdapat sebuah goa dan satu mata air
kecil tak jauh dari sana. Keesokan paginya selagi Sika Sure Jelantik masih
tertidur lelap dan Pendekar 212 mandi di mata air Tua Gila mengambil beberapa
jenis dedaunan di dalam hutan. Daun-daun ini ditumbuknya hingga lumat lalu
diborehkannya pada kaki kiri kanan si nenek yang cidera. Lima ranting pohon
yang lurus-lurus kemudian diikatkannya sepanjang kedua kaki si nenek.
“Jika satu minggu kau bisa
menjaga diri, tidak banyak bergerak apa lagi berjalan, tulang-tulangmu yang
patah bisa bertaut kembali. Minggu berikutnya kau pasti sembuh…” berkata Tua
Gila.
“Aku tidak suka kau tolong!
Aku tidak akan berterima kasih!” jawab Sika Sure Jelantik ketus.
Tua Gila menyeringai. “Kau
tidak suka ditolong itu urusanmu. Kau tidak mau berterima kasih aku tidak
meminta. Aku hanya merasa punya kewajiban untuk menolongmu!”
“Agar aku mau melupakan semua
perbuatan terkutukmu di masa lalu?! Jangan mimpi! Jangan mengharap!”
Tua Gila menyeringai. “Kau
tahu sifatku Sika. Seumur hidup sampai sekarang aku tak pernah bermimpi atau
mengharap!”
“Manusia busuk! Mengapa tidak
kau bunuh saja aku saat ini!” teriak Sika Sure Jelantik. Mukanya kelihatan
tegang membesi. Tenggorokannya turun naik lalu tampak ada air mata mengambang
di ke dua matanya dan perlahan-lahan menetes membasahi pipinya yang keriput.
Tua Gila kelihatan seperti tercekat. Jelas dia terpengaruh dengan kesedihan
hati yang diperlihatkan si nenek.
Menyaksikan hal ini Wiro yang
baru datang segera menarik Tua Gila ke satu tempat lalu berbisik. “Kek, kau
sudah menjalankan kewajibanmu. Buat apa melayani tua bangka tak tahu diri itu!
Lepaskan saja totokannya lalu kita tinggalkan tempat ini. Habis perkara!”
tua Gila memegang bahu Wiro
dan berkata. “Perkara tidak baka la n habis seperti dugaanmu. Lagi pula aku
tidak sejahat dugaan orang. Aku menolongnya karena aku merasa itu kewajibanku.
Aku menolongnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa. Apa lagi memohon agar
dia mau memaafkan segala dosa perbuatanku di masa muda. Aku ingin dia tetap
hidup agar dia bisa melakukan apa yang diinginkannya. Yaitu membunuhku….”
“Kek, jalan pikiranmu telah
dipengaruhi suara hatimu!” ujar murid Sinto Gendeng.
“Itu ujar-ujar yang selalu
diucapkan orang persilatan. Jangan jalan pikiran dipengaruhi hati karena bisa
membawa celaka, tapi orang lupa pikiran dan hati bersumber pada satu sumber
yang sama. Yakni kebenaran.”
“Kek, aku rasanya lucu
mendengar kau berfilsafat….”
“Keren betul bicaramu anak
muda! Sudah! Lebih baik kau ikut aku ke mata air. Ada beberapa hal yang perlu
kubicarakan denganmu!”
Wiro hanya bisa garuk kepala
dan mengikuti si kakek menuju mata air.
Di dalam goa Sika Sure
Jelantik semakin deras mengucurkan air mata. Walau Wiro dan Tua Gila tadi
bicara berbisik-bisik namun karena memiliki pendengaran yang tajam si nenek
sempat mendengar semua ucapan ke dua orang itu. Hatinya terasa perih seperti
disayat-sayat. “Kenapa jalan nasibku begini sengsara? Mengapa aku tidak segera
saja mati dalam kesengsaraan ini. Sukat Tandika, jika saja….” Si nenek tak
dapat meneruskan suara batinnya. Dadanya menggemuruh ditelan perasaan.
Begitu sampai di mata air yang
dikelilingi pepohonan rindang Tua Gila segera bicara.
“Hal pertama yang ingin
kutanyakan padamu, apa kau kenal dengan seorang dara bernama Puti Andini?”
Wiro tersenyum. “Aku tak ingat
apa pernah menceritakannya padamu. Tapi karena kau bertanya aku akan menjawab
Kek. Gadis itu bergelar Dewi Payung Tujuh. Berasal dari pulau Andalas. Bukankah
nenek bernama Sabai Nan Rancak itu adalah gurunya?”
“Hemmm, anak ini tahu banyak
tentang Puti Andini. Apa dia juga tahu gadis itu adalah cucuku?” membatin Tua
Gila. “Lanjutkan keteranganmu. Apa lagi yang kau ketahui tentang gadis itu,
Wiro.”
“Dia pernah disuruh oleh
gurunya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Juga diperintah untuk
membunuhku….” (Baca Episode berjudul Wasiat Dewa).
Tua Gila anggukkan kepala.
“Kau sudah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa. Sampai saat ini dia tidak
membunuhmu. Apa kau mengira gadis itu masih punya niat jahat terhadapmu?”
“Beberapa kali pertemuan
memang dia tidak menunjukkan niat buruk itu. Tapi hati orang siapa tahu?” ujar
Wiro pula.
“Kalau begitu bisa kubilang
antara kau dan Puti Andini tidak ada lagi masalah atau perselisihan apa lagi
silang sengketa?”
Wiro garuk-garuk kepala. “Yah,
bisa saja dikatakan begitu. Bagiku dari dulu tak ada masalah apa-apa. Malah aku
berhutang budi dan nyawa padanya. Waktu aku luka parah dan keracunan dihantam
Tiga Bayangan Setan, kalau bukan dia yang menolong pasti aku sudah menemui
ajal. Kurasa walaupun dia masih bersikap tidak baik padaku, aku tetap akan
menghormatinya….” (Mengenai Tiga Bayangan Setan harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Wasiat Dewa).
“Hemmm… Menghormati katamu, itu
kata yang sulit ditafsirkan karena banyak mengandung arti….”
“Maksudmu Kek?” tanya Wiro.
“Apa kau punya rasa suka
terhadap Puti Andini?” Tua Gila langsung saja bertanya. Lalu dia tertawa
terkekeh-kekeh ketika dilihatnya murid Sinto Gendeng itu memandang padanya
dengan mata membeliak dan mulut ternganga.
“Harap kau tidak masukkan
dalam hati, anak muda. Aku hanya bergurau!” kata Tua Gila pula. Namun Wiro
maklum dibalik gurauan itu Tua Gila memang punya maksud sesuatu.
“Jangan-jangan sejak muridnya
dibunuh komplotan Sabai Nan Rancak orang tua ini sudah mengangkat si gadis jadi
muridnya,” pikir Pendekar 212 pula.
“Pada bulan purnama empat
belas hari mendatang aku akan bertemu dengan gadis itu di pinggiran timur
Telaga Gajah Mungkur. Kalau kau suka kau boleh ikut bersamaku ke sana….”
Semakin keras dugaan Wiro
bahwa si kakek memang punya maksud tertentu.
“Hemm… Terus terang aku suka
ikut denganmu. Tapi aku ada urusan lain. Aku harus mencari seorang sahabat yang
terakhir sekali kutinggalkan dalam keadaan terluka….”
“Siapa sahabatmu itu. Seorang
pemuda atau seorang gadis hah?! Ah, dari sinar matamu aku tahu dia pasti
seorang gadis berwajah cantik. Kalau bukan seorang gadis kau mana mau bersusah
payah segala!”
“Namanya Anggini. Murid
tunggal tokoh silat bergelar Dewa Tuak….”
“Ah!” Tua Gila jadi kaget.
Lalu bertanya. “Anggini! Murid sahabatku si Dewa Tuak. Sejak pertemuan terakhir
di Pangandaran lama sudah aku tidak mendengar kabarnya. Apa saat ini dia masih
bersuka-suka dengan kekasihnya si Ratu Pesolek itu? Ha… ha… ha! Wiro, apa yang
terjadi dengan murid Dewa Tuak?”
Wiro lalu menuturkan
penghadangan yang dilakukan oleh empat orang yaitu Iblis Pemalu, Pengiring
Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik dan Datuk Gadang Mentari.
“Sika Sure Jelantiklah yang
mencelakai Anggini. Aku tak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Seorang sahabat
menemaninya ketika kutinggal pergi….”
“Sika Sure Jelantik…” kata Tua
Gila sambil menghela nafas panjang. “Sulit membuatnya mau mengerti. Kalau
Anggini sampai celaka jangan harap dia lolos dari maut! Dewa Tuak pasti akan
mengejarnya sampai ke liang neraka sekalipun!”
“Mengenai Iblis Pemalu,” kata
Wiro pula. “Siapa dia sebenarnya? Apakah dia berpihak pada orang-orang golongan
putih atau kaki tangan golongan hitam?”
“Siapa dia adanya memang sulit
diketahui. Dia muncul belum lama. Ketinggian ilmunya serta tindak tanduknya
yang aneh membuat namanya mencuat dengan jelas. Walau kelihatannya dia bukan
orang baik-baik tapi aku yakin dia bukan kaki tangan orang-orang Lembah
Akhirat. Namun sikapnya yang aneh dan sering berubah mendatangkan prasangka
bahwa manusia satu ini gampang ditarik ke kiri atau ke kanan. Dia hanya
mengikut arah angin atau mana sukanya saja walau cuma sesaat. Orang seperti dia
harus dibaik-baiki, harus pandai memuji dan menyanjung. Aku seolah yakin bahwa
sifatnya yang seperti pemalu itu hanya dibuat-buat saja. Biar kita lupakan dulu
Iblis Pemalu. Sebaliknya aku menyirap kabar bahwa Anggini telah membunuh Datuk
Mangkuto Kamang….”
“Itu fitnah yang tak karuan
juntrungannya Kek,” jawab Wiro.
“Justru karena fitnah itulah
perlu diselidiki.
Akhir-akhir ini banyak
kejadian hebat di dunia persilatan pulau Andalas dan Tanah Jawa. Sesama
golongan putih saling baku hantam. Lalu belum lagi lenyapnya tokoh-tokoh rimba
persilatan secara aneh. Satu di antaranya adalah kakek sakti berjuluk Dewa
Sedih. Dia lenyap dan kabarnya berada dalam kekuasaan orang-orang Lembah
Akhirat…. Saudaranya si Dewa ketawa pasti akari mengobrak-abrik Lembah Akhirat.
Namun keanehan yang berselubung maut menyungkup Lembah Akhirat. Aku khawatir
Dewa Ketawa akan mengalami nasib sial….”
“Kau tahu siapa sebenarnya
yang menjadi penguasa Lembah Akhirat itu Kek?”
“Dia hanya dikenal dengan
panggilan Datuk Lembah Akhirat. Beberapa tokoh kabarnya berusaha menyelidik. Namun
satu persatu mereka lenyap tak tahu rimbanya….”
“Mengenai kepergianmu ke
Telaga Gajah Mungkur menemui Puti Andini, agaknya ada satu urusan penting di
sana?”
Tua Gila mengangguk. “Ini satu
urusan yang sebetulnya perlu aku beri tahu padamu beberapa tahun yang silam.
Namun mungkin baru saat ini tepat untuk kukatakan. Kau pernah mendengar riwayat
sebilah pedang bernama Pedang Naga Suci 212!”
Wiro kerenyitkan kening
mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Aku memiliki Kapak Naga Geni 212. Kau
menyebut Pedang Naga Suci 212. Apa ada hubungan satu dengan lainnya?” tanya
murid Sinto Gendeng pula.
“Kapak dan pedang itu
merupakan dua senjata yang sebenarnya tidak terpisahkan. Berasal dan merupakan
warisan dari seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Waktu aku
dan gurumu si Sinto Gendeng menjadi murid Kiai yang diam di Gunung Gede itu,
kami diwarisi dua senjata. Seharusnya aku mendapatkan Kapak Naga Geni 212, tapi
Sinto Gendeng mendahului, malah dia melarikan Pedang Naga Suci 212.”
Tua Gila lalu menuturkan
riwayat dua senjata sakti itu yang didengar Wiro dengan penuh perhatian.
(Mengenai riwayat Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212 harap baca
Episode terdahulu berjudul Pedang Naga Suci 212).
Lama Wiro termenung mendengar
penuturan -Tua Gila. Dia coba mengingat-ingat. “Kek, kalau aku tidak salah
mengingat, waktu kapak mustika sakti itu diberikan padaku, Eyang Sinto pernah
berkata Kapak Naga Geni 212 itu dia yang membuat. Dia menghabiskan waktu
sepuluh tahun untuk menciptakannya….”
Tua Gila tertawa mengekeh.
“Gurumu itu namanya bukan Sinto Gendeng kalau tidak melakukan atau bicara
gendeng. Mungkin dia tidak bermaksud buruk berdusta padamu. Mungkin dia berkata
begitu agar kau tidak mensia-siakan jerih payahnya dan agar kau merawat senjata
itu sebaik-baiknya.”
“Mungkin juga begitu…” kata
Wiro perlahan.
“Aku menaruh firasat bahwa
Pedang Naga Suci 212 berjodoh dengan Puti Andini. Itu sebabnya dia kusuruh
pergi menyelidik dan mencari pedang mustika itu di Telaga Gajah Mungkur…. Aku
sendiri tidak berminat mendapatkan dan memilikinya…. Aku sudah terlalu tua.
Urusan rimba persilatan kini berada di tangan kalian orang-orang muda….”
“Mana bisa begitu Kek. Kami
yang muda-muda hanya dianggap sebagai sapu lidi pembersih. Sementara para tokoh
yang sudah tua-tua berbuat macam-macam mengotori dunia persilatan!”
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
Begitu tawanya mereda Wiro berkata.
“Kek, tentunya kau punya satu
alasan mewarisi pedang sakti itu pada Puti Andini, bukan hanya sekedar firasat.
Atau mungkin gadis itu sudah kau angkat jadi muridmu pengganti Sati?”
ENAM
YANG ditanya tak segera
menjawab. Kemudian sekulum senyum menyeruak di wajah orang tua ini. Satu senyum
pahit yang menandakan keperihan hati. Karena Sati, satu-satunya murid Tua Gila
yang namanya barusan diucapkan Wiro telah tewas dibunuh Datuk Angek Garang di
pulau Andalas beberapa waktu yang lalu.
“Hemm…. Kau betul. Alasan
utamaku adalah dia kuanggap seorang gadis pendekar sejati. Masih suci dan
bersih. Masa depannya dalam dunia persilatan penuh dengan tantangan. Berarti
dia perlu satu senjata yang diandalkan.”
“Bukankah dari gurunya Sabai
Nan Rancak gadis itu telati memiliki satu ilmu kepandaian dan senjata berupa
tujuh buah payung?” ujar Wiro.
Tua Gila tertawa lebar. “Itu
juga betul. Walau dia kelak memiliki pedang sakti itu, tentu saja dia tidak
boleh melupakan ilmu payungnya yang hebat. Selain itu, aku berhutang jiwa
padanya. Waktu aku dalam keadaan tak berdaya dan hampir mati di tangan Sabai
Nan Rancak serta teman-temannya, Puti Andini menyelamatkan diriku….”
Dalam hatinya Tua Gila merasa
bimbang. Apakah akan diceritakannya pada Wiro bahwa Puti Andini sebenarnya
adalah cucunya sendiri. Sebaliknya dalam hatinya Wiro juga bertanya-tanya.
“Kurasa ada satu hal lain yang sangat kuat membuat kakek ini memberi tahu
tentang pedang itu pada Andini. Dia tadi tidak menjawab ya atau tidak apakah
dia telah mengangkat Puti Andini menjadi muridnya,”
“Apa yang ada dalam benakmu
Wiro?” tanya Tua Gila ketika dilihatnya Wiro seperti termenung.
“Aku cuma khawatir Kek.
Bagaimana kalau kelak pedang itu sampai jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak. Kau
bisa lebih celaka lagi….”
Mulut Tua Gila tampak
berkomat-kamit. “Aku cukup percaya pada gadis itu. Buktinya dia berani
menanggung akibat berhadapan dengan gurunya demi menyelamatkan diriku…. Lagi
pula ada semacam petunjuk bahwa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212
kelak akan bersatu kembali. Bukan itu saja. Aku menyirap kabar sekitar lima
tahun silam. Kapak dan Pedang itu mempunyai seorang anak yaitu sebilah keris
yang tak kalah saktinya dengan sepasang induknya….”
Mendengar ucapan Tua Gila itu
Pendekar 212 terdiam namun otaknya cepat bekerja. “Kalau Kapak dan Pedang kelak
akan bersatu bahkan punya anak, jangan-jangan kakek ini hendak menjodohkan aku
dengan Puti Andini. Gila betul! Ada hubungan apa sebenarnya antara Tua Gila
dengan gadis dari seberang itu….”
“Eh, kau kembali kulihat
memikirkan sesuatu!” Tua Gila menegur.
Wiro menyeringai. “Aku coba
memasukkan ke dalam akalku bagaimana mungkin sebilah kapak dan pedang bisa
punya anak sebilah keris….”
Tua Gila tertawa lebar. Dengan
jari telunjuk tangan kanannya ditekannya dada murid Sinto Gendeng seraya
berkata. “Itu kelak yang harus kau selidiki, Wiro. Omong-omong bagaimana soal
perjodohanmu…?”
“Perjodohanku?” balik bertanya
Wiro karena tidak mengerti. “Apa maksudmu Kek?”
“Kau berkura-kura dalam
perahu. Berpura-pura tidak tahu. Bukankah Dewa Tuak pernah kasak-kusuk dengan
Sinto Gendeng hendak menjodohkanmu dengan Anggini murid tunggalnya itu?”
Wiro hendak tertawa membahak
tapi akhirnya sambil garuk-garuk kepala dia menjawab. “Baik Eyang Sinto Gendeng
maupun Dewa Tuak tak pernah mendesak kalau mereka memang menginginkan
perjodohan itu….”
“Lalu…. Hem… jadi terserah
pada kalian yang muda-muda kalau begitu?”
“Bisa saja kau katakan seperti
itu Kek. Namun kami pun tidak pernah membicarakan hal itu. Anggini seorang
gadis yang segala sesuatunya tak bisa harus ditentukan oleh orang lain….”
“Bagus…. Bagus!”
“Bagus bagaimana maksudmu
Kek?” Wiro mengejar dengan pertanyaan. Dalam hati semakin berat dugaannya bahwa
Tua Gila memang ingin menjodohkannya dengan Puti Andini. “Kalau tidak apa
perlunya dia menanyakan hubunganku dengan Anggini. Dia tampak senang ketika
kuberi tahu bahwa guru masing-masing tidak mendesak dan aku ataupun Anggini tak
pernah lagi membicarakan soal perjodohan itu.”
“Maksudku,” jawab Tua Gila
pula. “Aku gembira kalian bisa berlaku benar-benar sebagai orang dewasa dan
serba matang menghadapi masa depan….” Tua Gila lalu angguk-anggukkan kepalanya
beberapa kali. Lalu dia menyambung ucapannya.
“Ada satu hal lagi yang ingin
kusampaikan padamu. Seseorang menitipkan sebuah kalung sakti bernama Kalung
Permata Kejora. Kalung itu seharusnya aku serahkan pada Sabai Nan Rancak. Orang
yang menitipkan tidak tahu kalau aku punya bentrokan besar dengan si nenek dari
Gunung Singgalang itu. Celakanya justru kalung itu yang katanya sanggup
membunuhku. Sekarang kalung itu tak ada padaku….”
“Hemmm, sudah kau serahkan
pula pada seorang gadis cantik?” tanya Wiro.
“Anak setan! Jangan mengejek!”
bentak Tua Gila dengan mata lebar melotot.
Wiro menahan tawa sambil
garuk-garuk kepala.
“Kalung mustika itu lenyap.
Aku yakin pasti jatuh masuk ke dalam laut sewaktu diserang oleh Sika Sure
Jelantik. Dia menginginkan Kalung Permata Kejora itu….”
“Kurasa benda itu belum ada di
tangannya….”
“Benar, otakmu cerdik juga.
Setiap kali hendak membunuhku dia selalu menanyakan di mana beradanya kalung
itu. Aku khawatir kalau-kalau benda itu jatuh ke tangan orang lain….”
“Apa Sabai Nan Rancak tahu
kalau kalung itu berada padamu?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Aku pernah mengatakan padanya
tapi tidak memberi tahu di mana beradanya karena memang aku sendiri tidak tahu
benda itu hilang entah di mana….”
“Kalau begitu besar
kemungkinan kalung itu masih berada di dasar laut tempat kau diserang oleh Sika
Sure Jelantik. Atau barangkali juga berada di tangan anak buah Ratu Duyung….”
Tua Gila jambak-jambak rambut
putihnya yang tipis. “Aku tidak yakin Ratu Duyung mengambil benda itu sewaktu
aku pingsan di tengah laut. Kalau dia menemukan pasti akan dikembalikan padaku.
Lagi pula waktu aku meninggalkan tempat kediamannya aku tidak bertemu dengan
dia. Menurut anak buahnya Ratu Duyung tengah berada di satu tempat untuk satu
urusan penting…. Kapan terakhir sekali kau bertemu dengan dia?”
Wiro coba mengingat. “Waktu
itu aku sedang bersama Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung tiba-tiba muncul.
Agaknya dia merasa tidak enak atau cemburu melihat aku berdua-duaan dengan
Bidadari Angin Timur lalu pergi begitu saja tanpa sempat membicarakan apa-apa.
Bidadari Angin Timur sendiri kemudian pergi pula tanpa setahuku. Agaknya dia
juga menanam rasa cemburu besar terhadap Ratu Duyung.”
Tua Gila tertawa terkekeh dan
goleng-golengkan kepalanya berulang kali.
“Kek, apa yang lucu? Ada apa
kau ketawa?”
“Aku wajib mengingatkan
dirimu, anak muda! Kau tahu akibat ulahku di masa muda, terlalu banyak punya
kekasih di hari tua begini semua mereka itu menjadi musuhku! Ingin membunuhku!
Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi atas dirimu!”
“Aku memang banyak kenalan
gadis-gadis cantik Kek. Tapi mereka semua adalah teman-teman biasa, mungkin
kuanggap sebagai saudara. Soal kekasih yang aku suka cuma seorang. Yaitu
Bidadari Angin Timur….”
Tua Gila kembali tertawa.
“Sifat pemuda dan pemudi kalau sering berdekatan, walau tadinya tidak ada
hubungan apa-apa bisa saja terjadi sesuatu. Kau tahu, anak muda. Kalau di satu
tempat misalnya kau hanya berdua saja dengan seekor kambing. Lama-lama kambing
itu bisa saja kau lihat cantik juga, seperti cantiknya seorang gadis! Hik… hik…
hik! Apa lagi seorang gadis sungguhan walau tadinya kau tidak menyukainya. Jadi
hati-hati anak muda! Jangan sampai nanti ada yang bilang gurunya kencing
berdiri muridnya kencing menungging! Ha… ha… ha…!”
Tua Gila usap dua matanya yang
lebar dan berair. Dia memandang ke langit.
“Matahari sudah tinggi. Cukup
lama kita meninggalkan nenek itu….”
“Kalau begitu kita segera saja
kembali ke goa,” kata Wiro.
“Ya, tapi masih ada satu hal
yang ingin kusampaikan padamu….”
“Apa lagi Kek?” tanya Wiro
kurang sabaran.
“Belakangan ini ada kabar yang
meriwayatkan adanya satu makam disebut Makam Setan di sebuah pulau di pantai
barat Andalas…. Aku jadi ingat pada peristiwa yang kita alami beberapa waktu
lalu. Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bangsat yang menjerumuskan kita ke dalam
makam batu! Mungkinkah dia masih hidup?”
“Apa yang membuatmu berpikiran
seperti itu Kek?” tanya Wiro.
“Di pantai barat pulau Andalas
ramai dibicarakan orang tentang sebuah kuburan yang diberi nama Makam Setan.
Kalau ternyata makam ini ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di
Langit….”
“Mengapa setan tua itu masih
kau pikirkan Kek? Dia sudah lama jadi jerangkong di liang batu itu!” kata Wiro
pula. “Baiknya kita segera kembali ke goa Kek.”
Tua Gila mengangguk.
Ketika mereka sampai di goa di
kaki bukit, Sika Sure Jelantik tak ada lagi di tempat itu.
“Apa yang terjadi?” ujar Tua
Gila sambil memandang berkeliling.
“Jangan-jangan nenek itu kabur
melarikan diri,” ujar Wiro.
“Tidak mungkin. Kakinya masih
cidera. Lagi pula dia masih dalam keadaan tertotok ketika kita tinggalkan.
Sesuatu telah terjadi. Ada orang yang menculiknya! Kau tunggu di sini. Aku akan
menyelidik keadaan sekitar sini.”
Tak lama kemudian Tua Gila
muncul kembali. “Tak ada tanda-tanda ke mana lenyapnya nenek itu.”
Wiro menunjuk ke tanah di
depan mulut goa. “Ada bekas-bekas telapakan kaki. Lebih dari dua orang.”
“Kau betul, aku bisa
membedakan jejak mereka dengan bekas kaki kita! Bagaimana sekarang…?”
“Aku harus mencarinya,” jawab
Tua Gila.
“Kau bermaksud mencari nenek
itu? Buat apa mempersusah diri? Padahal dia benci setengah mati padamu!”
“Soal kebencian itu tidak ada
hubungannya dengan kelenyapannya! Aku harus menyelidik, Wiro.”
“Nenek brengsek itu hendak
membunuhmu! Mengapa kini kau mengkhawatirkan dirinya? Ingat urusan di masa
muda? Kalau kau berpikir sampai ke situ, dia benar-benar akan membuatmu celaka!
Heran…. Nenek jelek begitu saja masih ada yang mau menculik….”
“Jaga mulutmu anak muda!”
hardik Tua Gila dengan berang. “Terserah kau mau bilang apa. Bagaimana pun aku
harus mencarinya….”
“Jangan harap sekali ini aku
mau ikut denganmu Kek,” kata Wiro.
Tua Gila tampak
cemberut/Dengan ketus dia menjawab. “Aku juga tidak mengajakmu!” Tua Gila siap
berkelebat pergi.
“Tunggui” seru Wiro.
“Anak setan! Apa lagi maumu?!”
bentak Tua Gila. Bola matanya seperti mau keluar dari rongganya yang cekung.
Wiro menunjuk ke batang pohon
besar di belakang Tua Gila. “Lihat! Ada guratan tulisan di batang pohon itu!”
,”Kau bergurau atau hendak
menipuku anak muda?!”
“Siapa bergurau! Siapa menipu!
Lihat dan baca sendiri!” ujar Wiro setengah kesal. Lalu melangkah melewati si
orang tua mendekati pohon besar.
Tua Gila putar tubuhnya. Apa
yang dikatakan Pendekar 212 memang bukan senda gurau. Pada batang pohon yang
kulitnya terkelupas ada sebaris tulisan berbunyi: “Jika ingin mencari Sika Sure
Jelantik silahkan datang ke Lembah Akhirat!”
“Jahanam!” rutuk Tua Gila.
“Nenek itu agaknya diculik
oleh orang-orang Lembah Akhirat Kek!” kata Wiro dengan suara bergetar.
“Pasti! Aku memang akan menuju
ke sana! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sika akan aku ratakan seluruh
Lembah Akhirat!”
“Kek, jangan terlalu
bersemangat menolong bekas kekasihmu itu….”
“Tutup mulutmu! Diam!” bentak
Tua Gila.
Wiro garuk-garuk kepala.
Bagaimana aku harus memberitahu monyet yang jauh lebih tua dariku ini!” katanya
dalam hati. “Kalau kau tidak memperbolehkan aku bicara terserah saja! Mulutku
jadi tidak pegal karena tak perlu banyak bicara! Tapi kalau semua ini hanya
tipuan belaka, kau akan celaka tiga belas Kek. Aku khawatir orang-orang Lembah
Akhirat menjebakmu dengan sengaja menculik nenek itu. Kalaupun kau sanggup
membebaskan Sika Sure Jelantik lalu apa untungmu? Apa sebenarnya maumu
menyelamatkan orang yang jelas-jelas telah mencoba membunuhmu sampai beberapa
kali!”
“Sudah! Kau urus urusanmu. Aku
urus urusanku!” Habis berkata begitu Tua Gila lantas berkelebat tinggalkan
tempat itu.
“Dasar orang tua gila!” gerutu
Wiro sendirian.
TUJUH
APA sebenarnya yang telah
terjadi dengan Sika Sure Jelantik? Hanya sesaat setelah Tua Gila dan Wiro
sampai di tepi mata air tempat mereka berbincang-bincang tiba-tiba muncul tiga
orang bertampang dan berpakaian aneh di depan goa. Dua orang mengenakan jubah
merah, memiliki wajah dan rambut berwarna merah seperti dicat. Masing-masing
memegang sebatang tongkat yang bagian tengahnya ditancapi sebuah tengkorak
kepala manusia.
Orang ke tiga adalah yang
paling angker di antara manusia-manusia aneh ini. Dia mengenakan jubah gombrong
warna merah. Wajahnya tanpa alis, berwarna merah dan hidungnya ditancapi
sepotong tulang manusia. Di atas kepalanya bertengger rambut merah pekat,
keriting kecil dan lebat berbentuk batok kelapa.
Dari ciri-ciri ke tiga orang
itu jelas sudah bahwa mereka adalah orang-orang dari Lembah Akhirat. Yang
berpakaian gombrong dikenal dengan julukan Pengiring Mayat Muka Merah, salah
satu dari tiga tangan kanan pembantu Datuk Lembah Akhirat.
“Kita sudah terlalu lama
meninggalkan Lembah Akhirat! Kalau hari ini tidak berhasil mencari tahu di mana
adanya Pengiring Mayat Muka Hijau, kita harus segera kembali!” Berkata
Pengiring Mayat Muka Merah sambil memandang ke arah goa. Setelah memperhatikan
tanah di depan goa dia melanjutkan. “Ada bekas-bekas kaki walaupun tersamar.
Cepat kalian menyelidik ke dalam goa!”
Dua lelaki bermuka merah yang
memegang tombak berkepala tengkorak serta meria menyelinap masuk ke dalam goa.
Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka keluar lagi dan memberi tahu.
“Ada seorang nenek bertampang
angker tergeletak di lantai goa. Dua kakinya dalam keadaan cidera. Tubuhnya
kaku tak bisa bergerak….”
“Sudah mampus atau masih
hidup?!” sentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Masih hidup. Pasti masih
hidup karena ada hembusan nafas keluar dari hidungnya dan erangan halus dari
mulutnya.”
Pengiring Mayat Muka Merah
mendorong anak buahnya ke samping lalu melompat masuk ke dalam goa. Seperti
yang diterangkan tadi di lantai goa tampak terbujur seorang nenek berjubah
hitam. Sepasang kakinya dilumuri ampas berwarna hijau dan diikat dengan
beberapa ranting kayu. Dua mata si nenek yang tertutup perlahan-lahan membuka.
Lalu mulutnya menghardik.
“Siapa kalian? Setan atau
masih bisa disebut manusia?!”
Dua anak buah Pengiring Mayat
Muka Merah tersurut saking kagetnya disentak demikian. Pengiring Mayat Muka
Merah tampak tenang. Dia memperhatikan tampang si nenek dengan seksama lalu
menyeringai.
“Nenek sakti Sika Sure
Jelantik! Sungguh peruntungan kami besar sekali hari ini. Tidak menyangka akan
bertemu dengan seorang tokoh besar sepertimu!”
“Kau kenal diriku! Huh! Kau
sendiri siapa?!” Sika Sure Jelantik kerutkan kening dan pelototkan mata.
“Kami orang-orang Lembah
Akhirat. Aku Pengiring Mayat Muka Merah, pembantu kepercayaan Datuk Lembah
Akhirat!”
Tampang si nenek sesaat
berubah. “Mereka bukan orang baik-baik. Aku sudah menyirap kabar orang-orang
Lembah Akhirat jahat dan busuk. Penuh tipu daya dan kejam luar biasa!”
“Aku tidak suka melihat
tampang-tampang kalian! Lekas keluar dari dalam goa ini!”
“Kau tidak suka kami tidak
jadi apa. Tapi kami justru suka dirimu!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.
“Kulihat dua kakimu cidera. Agaknya ada tulang yang patah, ijinkan kami
menolongmu.”
“Aku tidak butuh
pertolonganmu! Keluar!”
“Kami akan keluar jika itu
maumu. Tapi aku merasa kasihan. Kau agaknya merasa tidak perlu ditolong karena
telah ada yang menolong.. Bukan begitu?”
“Apa urusanmu!”
“Kami memang tidak ada urusan.
Tapi ada satu hai yang perlu aku beri tahu padamu,” kata Pengiring Mayat Muka
Merah. “Siapapun yang kau anggap telah menolong mengobati cidera pada kedua
kakimu sebenarnya orangnya telah menipu dirimu. Dia sebenarnya bermaksud jahat
dan keji!”
“Jangan bicara ngacok!”
“Pertama, kalau orang hendak
menolong, mengapa tubuhmu dalam keadaan tertotok?! Kedua obat yang dipakai
melumuri dua kakimu yang cidera adalah ramuan tumbuk berasal dari dedaunan
beracun!”
Sepasang mata Sika Sure
Jelantik kembali mendelik. “Kau mau menipuku!”
“Apa untungnya aku menipumu?
Dengar, dalam waktu dua hari ke dua kakimu akan mulai membusuk akibat racun
jahat. Racun kemudian akan menjalar ke sekujur tubuhmu. Kalau jantungmu tak
sampai berhenti berdetak dan kau masih bisa bertahan hidup maka anggota badanmu
akan lumpuh dan kedua matamu akan buta!”
Paras Sika Sure Jelantik
semakin berubah.
“Jika kau tidak mau kami
tolong, maka tidak ada gunanya kami berlama-lama di sini. Selamat tinggal nenek
yang malang….”
Sika Sure Jelantik memandang
berkeliling.
“Kau mencari orang yang katamu
telah menolongmu?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. “Dia pasti sudah lama meninggalkan
kau di sini. Membiarkan dirimu menderita sengsara dan menemui kematian secara
perlahan-lahan….” Habis berkata begitu Pengiring Mayat Muka Merah memberi
isyarat pada ke dua anak buahnya. Mereka lalu sama bergerak menuju mulut goa.
“Tunggu!” seru Sika Sure
Jelantik.
“Hemm…. Ada sesuatu yang
hendak kau katakan Nek?” tanya Pengiring Mayat Muka Merah.
“Kau tadi mengatakan hendak
menolongku…”
“Benar!”
“Bagaimana caranya?”
“Kami memiliki sejenis obat
yang ampuh. Kau bisa sembuh dalam waktu satu hari satu malam….” “Kalau begitu
lakukanlah. Mana obat itu!”
Pengiring Mayat Muka Merah
melangkah mendekati sosok Sika Sure Jelantik. “Obat itu tidak kami bawa saat
ini. Obat itu tersimpan di Lembah Akhirat. Kami akan membawamu ke sana jika kau
memang suka ditolong!”
“Jahanam! Bangsat bermuka
merah ini jangan-jangan memang hendak menipuku!” membatin Sika Sure Jelantik.
Pengiring Mayat Muka Merah
letakkan telapak tangan kirinya di atas kening si nenek lalu berkata. “Tubuhmu
agak panas. Pertanda racun jahat dari tumbukan dedaunan itu mulai bekerja.
Waktumu sangat terbatas. Perjalanan ke Lembah Akhirat tidak dekat. Jika kita
berangkat sekarang, lusa pagi baru sampai. Kurasa nyawamu masih bisa
tertolong….”
Sika Sure Jelantik memandang
melotot ke langit-langit goa. Dari mulutnya terdengar kutuk serapah walaupun
perlahan. “Tua Gila keparat! Kau benar-benar jahanam!”
“Ah, jadi itukah orangnya yang
telah mencelakaimu Nek?” ujar Pengiring Mayat Muka Merah dengan seringai penuh
arti. “Kau tak usah khawatir! Kalau kau sudah sembuh Datuk Lembah Akhirat pasti
akan menolongmu mencari jalan agar kau bisa membalas dendam….”
“Dari dulu-dulu aku memang
sudah punya niat untuk membunuhnya! Tapi belum kesampaian…!” kata Sika Sure
Jelantik pula yang jelas sudah terpengaruh oleh kata-kata bujukan orang.
“Maksudmu akan kesampaian.
Selain itu siapa tahu kau berjodoh dengan Kitab Wasiat Malaikat….”
“Apa betul kitab sakti itu
benar-benar ada?” tanya si nenek yang semakin terpikat
“Tentu saja ada. Datuk Lembah
Akhirat yang memegangnya. Dia akan memberikan pada seseorang yang dianggapnya
cocok. Siapa tahu Datuk Lembah Akhirat suka dan memberikan kitab itu padamu.
Datuk sangat menghormat dan menyukai orang tua secantikmu ini….”
Sika Sure Jelantik tersenyum
mendengar ucapan terakhir Pengiring Mayat Muka Merah itu. Maka dia pun berkata.
“Baik, kalian boleh membawa aku ke Lembah Akhirat!”
“Kau melakukan keputusan yang
tepat Nek!” ujar Pengiring Mayat Muka Merah. Lalu pembantu Datuk Lembah Akhirat
ini memberi isyarat pada dua anak buahnya. Ke dua orang itu segera menggotong
sosok Sure Jelantik dan membawanya ke luar goa.
Sebelum meninggalkan tempat
itu dengan jari-jari tangannya Pengiring Mayat Muka Merah mengupas permukaan
kulit pada batang pohon besar. Lalu dengan sepotong patahan ranting dia
menggurat permukaan batang pohon, menuliskan sebaris kalimat.
*
* *
DELAPAN
SUTAN Alam Rajo Di Bumi
menatap wajah Sabai Nan Rancak beberapa saat lalu berkata. “Aku gembira dengan
kemunculanmu yang tiba-tiba ini Sabai. Selama kau pergi banyak terjadi hal-hal
yang menghebohkan dalam rimba persilatan pulau Andalas. Beberapa tokoh golongan
putih dibunuh. Para pembunuh walau sulit dijajagi siapa adanya tapi aku
berhasil mencari tahu. Kebanyakan setelah membunuh mereka menghilang ke tanah
Jawa. Seperti dara bernama Anggini, murid Dewa Tuak. Dia kabur setelah
diketahui membunuh Datuk Mangkuto Kamang. Agaknya ada orang-orang tertentu yang
dikirim ke sini untuk mengacau….”
“Aku kembali membawa kabar
buruk,” berkata Sabai Nan Rancak dengan suara agak tersendat. Waktu bicara dia
memandang ke jurusan lain seolah tidak berani menatap wajah orang di
hadapannya.
Sutan Alam Rajo Di Bumi
tersenyum. “Kabar apapun yang kau bawa bagiku tidak menjadi persoalan Sabai.
Aku gembira melihat kau kembali. Apakah selama ini kau ada merasa rindu padaku
Sabai?”
“Bagaimana dengan dirimu
sendiri. Apakah kau merindui diriku?” balik bertanya Sabai Nan Rancak. Kali ini
dia bertanya dengan menundukkan kepala.
“Kau tahu bagaimana hatiku
padamu. Rasanya ingin aku balikkan langit. Ingin kutarik matahari agar siang
berganti malam dan malam cepat berganti siang. Agar aku segera dapat bertemu
denganmu….”
“Sutan….”
“Ah, kau lagi-lagi memanggilku
dengan sebutan itu. Sudah berapa kali aku mengatakan, jika kita berdua-dua
seperti ini kau harus memanggilku dengan nama asliku!”
Sabai Nan Rancak tersenyum.
“Suto, Suto Abang….” kata si nenek akhirnya menyebut nama asli Sutan Alam Rajo
Di Bumi. “Aku khawatir, kerinduanmu akan berubah menjadi kemarahan setelah tahu
kegagalan apa yang kubawa pulang ke Singgalang ini.”
“Kau boleh membawa seribu
kegagalan Sabai. Hatiku tidak akan berubah…. Kau tahu Bagaimana aku
mengasihimu. Aku membutuhkan dirimu. Kau membutuhkan diriku…. Kita orang-orang
yang patah hati diterjang cinta dan bertemu dalam satu perasaan…” Sutan Alam
alias Suto Abang diam sesaat. Diulurkannya tangannya memegang jari-jari si
nenek. “Aku sudah mengatakan isi hatiku. Apalagi yang kau khawatirkan Sabai?”
“Terus terang aku menaruh
khawatir kalau lama-lama hubungan kita ini diketahui orang luar….”
Lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu bangkit dari kursi batu yang didudukinya. “Selama kita sama-sama
memegang rahasia rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Manusia hidup bercinta
adalah hal yang lumrah saja. Mengapa kita harus dikecualikan?”
“Aku masih punya satu
kekhawatiran lain Suto,” kata Sabai Nan Rancak pula.
“Hemm…. Katakan saja padaku….”
ujar Sutan Alam sambil membelai wajah si nenek dengan jari-jari tangannya.
“Aku khawatir kalau-kalau
Sinto Weni….”
“Jangan kau sebut nama itu! Dalam
sisa hidupku ini aku tidak ingin lagi mendengar nama Sinto Weni atau Sinto
Gendeng!”
“Tapi bagaimanapun dulu dia….”
“Dia perempuan pengkhianat.
Ketika Sukat Tandika meninggalkannya mentah-mentah dia melarikan cintanya
padaku. Namun kemudian dia tergila-gila dengan kakakku sendiri! Hingga aku
akhirnya disingkirkan secara halus, dilempar ke pulau Andalas ini!”
“Kau salah Suto. Tidak ada
yang menyingkirkan atau melemparkanmu ke sini. Aku sering mendengar tuduhanmu
terhadap Sinto Gendeng….”
“Aku bilang jangan sebut nama
itu!” teriak Sutan Alam dengan suara menggeledek dan dua tangan terkepal
kencang. Tampangnya membesi mengerikan. Saking tak dapatnya dia menahan luapan
amarah. Kakek ini tiba-tiba balikkan badan dan hantamkan tangan kanannya ke
dinding goa.
Tanpa suara, tanpa bunyi,
tanpa siuran angin tangan kanannya sampai sebatas pergelangan amblas masuk ke
dalam batu goa yang keras. Ketika perlahan-lahan tangan itu ditarik batu di
sekitarnya ikut terbongkar dan di dinding goa kini kelihatan satu lobang besar!
“Pukulan Malaikat Maui Mendera
Bumi itu membuat aku ngeri Suto…” kata Sabai Nan Rancak. “Maafkan kalau aku
telah membuatmu marah. Aku tidak bermaksud….” Sabai terdiam sesaat. “Namun
kalau aku masih boleh bicara, aku tidak yakin dia bergila-gila dengan kakakmu
Suto. Aku dengar perempuan itu keras hati. Mungkin kau hanya korban fitnah.
Mungkin juga perempuan yang kau benci itu mengarang lalu menyebar cerita dusta.
Yang jelas ada sesuatu yang sampai saat ini belum dapat kau singkapkan. Lain
dari itu kau tidak pernah menceritakan siapa dan dimana adanya kakakmu itu. Kau
seolah satu manusia terdiri dari dua sisi saling berbeda. Sisi pertama kau
begitu terus terang padaku. Namun pada sisi kedua sepertinya kau menyembunyikan
sesuatu padaku….”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias
Suto Abang tertawa lebar. “Kau pandai bicara, itu yang membuat salah satu
alasanku mencintai dirimu. Namun dengar Sabai. Aku tidak ingin membicarakan
masa silam. Lebih baik kau yang menceritakan pengalamanmu di tanah Jawa,” kata
Sutan Alam mengalihkan pembicaraan.
Lama Sabai Nan Rancak terdiam.
Lalu dengan suara perlahan sambil memegang jari-jari tangan Sutan Alam Rajo Di
Bumi nenek berjubah hitam itu berkata. “Kabar buruk pertama yang bisa
kuceritakan adalah tewasnya sahabat kita Datuk Angek Garang….”
“Kabar itu memang sempat
kudengar dari seorang nelayan mata-mata kita belum lama berselang. Hanya saja
belum diketahui siapa si pembunuh adanya…” ujar Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Aku menduga keras pelakunya
adalah seorang kakek aneh yang dijuluki Kakek Segala Tahu….”
“Hemmm….” Sutan Alam usap-usap
muka tuanya yang masih klimis. “Manusia satu itu memang bukan orang
sembarangan. Kehebatannya bisa disejajarkan dengan para tokoh langka seperti
Dewa Tuak, si keparat Sinto Gendeng dan Tua Gila sendiri. Malah boleh dikata
kakek Segala Tahu memiliki kehebatan tertentu yang tidak dimiliki tokoh
lainnya. Jika memang dia yang membunuh Datuk Angek Garang, kita harus melakukan
sesuatu agar diantara sesama golongan putih tidak merebak silang sengketa berkepanjangan.
Berita apa lagi yang kau bawa dari tanah Jawa?”
“Sementara itu orang-orang
Lembah Akhirat semakin sering meninggalkan markas mereka untuk melakukan
hal-hal yang mereka katakan sebagai menyelamatkan golongan putih dari bencana
bentrokan satu sama lain….”
“Apakah kau juga menyirap
kabar mengenai Kitab Wasiat Malaikat?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Kitab itu memang telah
menjadi pembicaraan para tokoh rimba persilatan. Banyak di antara mereka yang
mendatangi Lembah Akhirat. Namun kabar lebih lanjut tidak diketahui. Mereka
yang masuk ke Lembah Akhirat tak pernah keluar lagi. Kalaupun kembali muncul di
luaran sepertinya mereka membekal satu tugas.”
“Orang-orang Lembah Akhirat
memang aneh. Mereka bukan orang jahat, tapi juga sukar dikatakan orang-orang
baik. Kau harus berhati-hati terhadap mereka Sabai. Kabarnya sudah ada satu dua
kaki tangan Datuk Lembah Akhirat berkeliaran di pulau Andalas ini. Aku ingin
melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang ada di Lembah Akhirat yang kabarnya
begitu menggegerkan. Namun kau tahu waktuku sangat terbatas. Usiaku sudah
begini lanjut. Lagi pula aku merasa sudah saatnya mulai menjauhi segala macam
urusan dunia.”
“Kalau kau mempercayai, aku
sanggup mewakili. Namun tanpa tambahan ilmu pengetahuan atau kesaktian agaknya
sulit sekali bagiku untuk kembali ke Tanah Jawa.”
“Jangan terlalu berputus asa
Sabai. Adakah satu kejadian yang membuatmu kini merasa takut kembali ke Jawa?”
“Bukan rasa takut Suto. Tapi
rasa was-was…” Jawab Sabai Nan Rancak.
Sutan Alam Rajo Di Bumi
tersenyum. Kepalanya didekatkan ke muka si nenek untuk mencium pipi, leher dan
kuduknya hingga Sabai Nan Rancak menggeliat dan keluarkan suara mendesah.
“Rasa was-was adalah permulaan
dari rasa takut. Ceritakan terus terang apa yang kau alami dan menyebabkan kau
mempunyai perasaan seperti . itu…” kata Sutan Alam setengah berbisik ke telinga
Sabai Nan Rancak.
Si nenek yang terangsang oleh
ciuman Sutan Alam lebih dulu berusaha menindih gejolak darahnya baru berikan
keterangan.
“Dua kali aku hampir dapat
menghabisi Tua Gila. Namun dua kali dia diselamatkan oleh seorang perempuan
aneh berkepandaian tinggi mengenakan pakaian dan penutup wajah warna kuning.
Yang membuat aku benar-benar merasa terpukul, dia sanggup menahan pukulan Kipas
Neraka dan mendorong hawa sakti yang kumiliki masuk kembali ke dalam ke dua
tanganku. Aku tidak malu mengatakan bahwa jika orang itu mau dia bisa membuatku
celaka waktu menghantam balik seranganku!”
“Jadi kau tidak mengalami
cidera ketika orang itu menghantam balik pukulan saktimu?” tanya Sutan Alam
dengan kening berkerut.
“Untungnya tidak,” jawab Sabai
Nan Rancak.
“Lalu apa yang terjadi dengan
tangan kananmu. Kulihat ada tanda-tanda kulit dan daging tangan kananmu
mengelupas!”
“Cidera ini terjadi dalam
bentrokan ke dua. Aku berusaha menghantam kepalanya. Agar bisa membunuhnya
dengan cepat. Orang bercadar menangkis dan inilah akibatnya!”
“Hemmmm….” Sutan Alam
bergumam. “Kita harus mencari tahu siapa adanya orang itu. Kalau tidak pasti
bahaya yang lebih besar akan menimpa dunia persilatan. Orang-orang golongan
putih agaknya sudah terpecah-pecah oleh hasut dan fitnah. Kau tak usah
khawatir. Aku akan mengobati lukamu itu.” Sekarang apakah masih ada hal lain
yang hendak kau sampaikan?”
“Ada satu tokoh baru muncul
yang memiliki kepandaian setara Tua Gila. Orang ini memperkenalkan diri dengan
julukan Iblis Pemalu! Walau dia kelihatan berpihak pada kelompok Tua Gila namun
sulit diduga apakah dia benar-benar seorang tokoh golongan putih….”
“Tanah Jawa semakin dipenuhi
tokoh-tokoh aneh berkepandaian tinggi. Kita harus melakukan sesuatu Sabai. Kau
memang perlu mendapat tambahan ilmu baru. Di samping itu kita harus bertindak
memakai siasat. Hanya sayang aku tidak dapat memberikan ilmu kepandaian apa-apa
padamu. Seperti kau ketahui aku disumpah untuk tidak menurunkan ilmu kepandaian
apapun pada siapapun….”
“Termasuk ilmu Pukulan
Malaikat Mendera Bumi tadi?”
Si kakek maklum kalau sejak
lama Sabai Nan Rancak sangat menginginkan memiliki ilmu pukulan sakti itu.
Perlahan-lahan dia anggukkan kepalanya lalu bertanya mengalihkan pembicaraan.
, “Apakah kau pernah mendengar
cerita tentang sebuah makam yang disebut Makam Setan? Terletak di sebuah pulau
sunyi dan angker serta rahasia di pesisir barat Andalas?”
“Dulu kau juga pernah
menerangkan. Aku hanya tahu sedikit dan memang pernah berencana untuk
menyelidik. Namun karena hasrat ingin mengejar Tua Gila rencana menyelidik
Makam Setan itu jadi tertunda….”
“Aku akan mengobati cidera di
tanganmu itu. Lalu memberi tahu apa yang aku tahu mengenai Makam Setan. Mungkin
itu satu harapan besar bagimu sebelum kembali ke tanah Jawa. Aku sangat yakin
makam itu menyimpan sesuatu yang hebat. Jika kita bisa menguasai makam berarti
kita akan menguasai rimba persilatan pulau Andalas. Dan lebih dari itu tanah Jawa
akan berada dalam genggaman kita. Semua urusan itu kupercayakan padamu Sabai.”
“Aku berterima kasih atas
petunjuk dan kepercayaanmu Suto. Apa benar kabar yang aku sirap bahwa makam itu
ada sangkut pautnya dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Seorang tokoh paling
hebat di pulau Andalas ini yang lenyap begitu saja sejak beberapa waktu lalu?”
“Justru itulah yang harus kau
selidiki. Namun aku memang menduga keras makam itu ada hubungannya dengan diri
Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku beritahukan padamu bahwa tokoh tersebut
memiliki dua senjata sakti yang sulit dicari tandingannya. Pertama sebuah
Mantel Sakti. Mantel ini mengandung satu kekuatan dahsyat yang jika dihantamkan
bisa menumbangkan pohon besar, menghancurkan batu. Jika seseorang sampai kena
angin pukulan mantel tubuhnya akan mental dalam keadaan hancur. Kalaupun dia
bisa bertahan hidup maka jalan darahnya akan tertutup, urat-urat dalam tubuhnya
akan hancur!”
“Luar biasa! Belum pernah aku
mendengar senjata sehebat itu!” kata Sabai Nan Rancak.”
“Senjatanya yang ke dua.
Berupa butir-butir Mutiara Setan. Senjata ini sanggup menembus tembok atau
batu. Dapat kau bayangkan bagaimana kalau dipakai menghantam manusia! Nah
Sabai, jika kau bisa menyelidiki hal ihwal Datuk Tinggi dan mencari jalan
mendapatkan dua senjata itu apapun urusanmu di tanah Jawa, siapa pun musuhmu
kau tak usah was-was lagi. Semua akan beres! Namun ada satu hal perlu kukatakan
padamu. Jika kau mendapatkan dua senjata itu atau salah satu dari keduanya, kau
harus menemuiku terlebih dahulu. Kita perlu mengatur siasat…. Bagaimana
menurutmu. Ada yang hendak kau katakan Sabai?”
Sabai Nan Rancak gelengkan
kepala. “Semua keteranganmu sudah jelas bagiku Suto.”
“Bagus! Sekarang lupakan semua
urusan dunia. Kau butuh istirahat. Aku akan menemanimu. Kau suka Sabai…?”
“Sebentar Suto. Tadi kau
bilang selanjutnya kita harus bertindak memakai siasat. Apa yang ada dalam
otakmu yang penuh akal itu Suto?”
“Aku mendengar Pendekar 212
Wiro Sableng anak murid si keparat Sinto Gendeng dan juga murid Tua Gila berada
dalam malapetaka besar, kehilangan ilmu kepandaian dan kesaktian. Kalau kau
nanti kembali ke Jawa yang harus kau cari lebih dulu bukannya Tua Gila tapi
Pendekar 212. Bunuh pemuda itu, maka Tua Gila ataupun Sinto Gendeng pasti akan
keluar dari sarang mereka. Saat itulah kau bisa menghabisi mereka!”
“Tujuanku semula hanya
membunuh Tua Gila. Mengapa kini kau tambahkan dengan membunuh Sinto Gendeng?”
bertanya Sabai Nan Rancak.
“Keadaan bisa berubah. Setiap
perubahan bisa mendatangkan keuntungan bagi kita jika kita mau memutar otak!”
Sabai Nan Rancak anggukkan
kepala. “Kau memang pintar Suto…. Dan licik!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi alias
Suto Abang tertawa bergelak. “Jika kita ingin menghadapi kehidupan, pergunakan
otak, pergunakan kelicikan. Kalau tidak orang lain akan mengotaki dan
melicikkan diri kita. Kita harus kokoh tegar seperti banteng ketaton tapi juga
harus licik seperti seekor ular!”
Sutan Alam melangkah ke arah
dinding goa. Tiga langkah di depan dinding tiba-tiba terdengar suara
berkereketan. Dinding batu menggeser aneh. Sutan Alam tersenyum dan anggukkan
kepala memberi isyarat pada Sabai Nan Rancak lalu melangkah masuk ke dalam
ruangan batu.
Sabai Nan Rancak mengikuti
dengan cepat. Sebelum batu kembali bergeser menutup masih kelihatan sepasang,
kakek dan nenek itu saling berpeluk berpagut-pagutan.
*
* *
SEMBILAN
DALAM gelapnya malam dan
dinginnya udara menjelang pagi serta gencarnya deru angin yang bergabung dengan
deru ombak, lelaki muda pemilik pukat merapatkan perahunya itu ke lamping
gundukan batu karang. “Ne
k, aku hanya bisa
mengantarkanmu sampai di sini.” Si pemilik perahu berucap.
Sabai Nan Rancak pelototkan
mata lalu memandang ke depan, ke arah gugusan batu karang yang berbaris seolah
membentengi pulau kecil di kejauhan sana.
“Tujuanku adalah pulau di
balik batu karang itu. Kurang ajar sekali kau berani menurunkan aku masih di
tengah laut begini rupa!”
“Nek, pulau yang kau tuju
hanya tinggal dekat. Air laut di kawasan ini tidak dalam, hanya sebatas
pinggul. Kau bisa turun dari perahu dan menuju ke pulau dengan mudah. Jika kau
tak mau pakaian mu basah, kau bisa melompat dari satu batu karang ke batu
karang rendah yang membujur sampai ke pulau sana….”
“Kau benar-benar kurang ajar!
Berani mengajariku! Aku tidak akan membayar sewa perahumu!”
“Jangan Nek! Jangan lakukan
itu! Aku sudah menyabung nyawa mau mengantarmu ke sini!” kata pemilik perahu
setengah meratap.
“Katakan mengapa kau tidak mau
membawa aku sampai ke pulau sana?”
“Sudah kubilang berulang kali.
Itu pulau setan.
Ada seribu keangkeran di sana.
Berani ke sana jangan mengharap bisa kembali hidup-hidup….”
“Memangnya di pulau itu ada
apa?!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Jawabnya hanya satu kata Nek.
Maut!”
Sabai Nan Rancak tertawa
mengekeh.
Mendadak di kejauhan dari arah
pulau lapat-lapat terdengar suara aneh.
“Seperti suara lolongan
anjing…” desis Sabai Nan Rancak.
“Kurasa itu baru satu saja
dari keanehan yang menyeramkan. Aku minta bayaranku sekarang juga Nek….”
“Hemmm….” Sabai Nan Rancak
bergumam. Dari batik jubah hitamnya dikeluarkannya sesuatu lalu diberikannya
pada pemilik perahu.
Yang diberikan bukan uang tapi
sepotong kecil perak. Semula lelaki itu hendak mengembalikan perak ini pada
Sabai. Tapi setelah menilai akhirnya dia berkata. “Masih kurang Nek. Paling
tidak kau harus memberikan tiga keping perak sebesar ini….”
“Kalau kau mau menunggu sampai
aku kembali, aku akan berikan kau sepuluh keping perak sebesar itu! Apa
jawabmu?!”
“Menunggu di sini, tidak
mendarat ke pulau sana?”
Sabai mengukur jarak antara
perahu di mana dia berada, memperhatikan letak batu-batu karang rendah yang
bersusun ke arah pulau lalu anggukkan kepala.
“Berapa lama aku harus menunggu
Nek? Aku khawatir….”
“Apa yang kau khawatirkan?!”
sentak Sabai Nan Rancak.
“Aku menunggu ternyata kau
tidak pernah kembali…”
“Maksudmu aku menemui kematian
di pulau setan itu?!”
“Ki… kira… kira begitu Nek.”
Sabai Nah Rancak tertawa
bergelak. “Aku memang tidak punya nyawa rangkap. Tapi aku pasti kembali! Tunggu
di sini dan jangan berani menipu!” Dari balik jubahnya si nenek keluarkan
segulung tali. Dia membuat semacam buhul besar. Buhul ini dilemparkannya hingga
masuk dan menjirat di ujung lancip batu karang di samping perahu. Ujung satunya
lagi diikatkan ke tiang besar perahu. Lalu dia berpaling pada pemilik perahu
dan sambil menyeringai berkata. “Tali ini bukan tali biasa. Buhul dan ikatannya
bukan ikatan biasa. Tak ada yang bisa melepaskah. Jangan harap kau bisa memutus
tali dengan senjata tajam atau membakar dengan api! Berarti kau tetap di sini
sampai aku kembali! Hik… hik… hik!”
Masih tertawa panjang Sabai
Nah Rancak lesatkan tubuhnya ke batu karang datar yang tersembul di depan
perahu. Dari sini dia melompat lagi ke batu karang di depannya. Demikian
beberapa kali hingga akhirnya dia mencapai pasir pantai pulau di balik barisan
batu-batu karang meruncing tinggi.
“Hebat!” kata pemilik perahu
dalam hati yang memperhatikan kepergian si nenek. “Nenek itu pasti sebangsa
setan juga. Kalau tidak mengapa dia berani pergi ke Pulau Setan itu!”
Di pasir pantai pulau sesaat
Sabai Nan Rancak tegak tak bergerak. Empat rongsokan perahu yang hanya tinggal
kepingan-kepingan papan lapuk bergeletakan di atas pasir pantai pulau. Sabai
pasang telinganya baik-baik. Sepasang matanya memandang menembus kegelapan. Dia
tidak melihat sesuatu yang bergerak namun dia dapat mendengar suara aneh dari
arah timur pulau. Suara itu adalah suara orang mendesah panjang yang sesekali
berubah menjadi teriakan-teriakan seperti orang mencaci-maki. Lalu terdengar
pula suara lolongan anjing. Semua suara itu ditimpali oleh deru angin dan debur
ombak serta gemerisik daun-daun pohon kelapa. Jika bukan Sabai Nan Rancak yang
berada di tempat itu pasti orang sudah merasa ngeri dan dingin kuduknya. Dan
kalau bukan Sabai yang berkepandaian tinggi tidak mungkin akan menangkap suara
desah berkepanjangan yang bersumber dari satu tempat cukup jauh di sebelah
timur pulau.
Selain dari itu bagi si nenek menginjakkan
kaki di pulau itu membawa kenangan tersendiri walaupun merupakan satu kenangan
pahit memerihkan yang sampai saat itu membekas sangat dalam di lubuk hatinya.
Pulau itu dulu adalah salah satu tempat kediaman Tua Gila alias Sukat Tandika,
pemuda yang pernah menjadi kekasihnya Di pulau itu mereka memadu cinta berkasih
sayang hingga akhirnya Sabai Nan Rancak berbadan dua. Sebelum bayi yang
dikandungnya lahir Tua Gila meninggalkannya begitu saja. Si nenek menarik nafas
panjang beberapa kali.
Setelah memperhatikan keadaan
sekelilingnya sekali lagi baru Sabai Nan Rancak berkelebat cepat ke arah timur.
Karena pulau itu tidak seberapa besar maka cepat sekali dia sampai di tempat
itu yang ternyata gugusan batu karangnya lebih besar dan tinggi. Sabai menyeruak
di antara lamping-lamping batu karang dan hentikan langkahnya di satu tempat
gelap di bawah bayang-bayang batu karang tinggi.
Di antara kerapatan
pohon-pohon besar dan batu-batu cadas membentuk setengah lingkaran terlihat
satu lapangan datar. Di salah satu ujung lapangan tampak dua buah batu nisan
hitam berlumut tersembul dari permukaan tanah. Bagian badan dari makam hanya
merupakan satu timbunan tanah datar yang ditumbuhi rerumputan dan alang-alang
liar.
“Dua Makam Setan! Keanehan
yang menggidikkan…” kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Pandangannya kemudian
membentur pada dua onggok jerangkong tengkorak manusia yang tulang-tulangnya
tidak lagi memutih tetapi telah terselubung tanah dan lumut. Lalu di kiri kanan
dua makam terpancang beberapa buah tiang kayu. Pada dua tiang tergantung dua
jerangkong manusia dalam keadaan terkulai. Keadaan di tempat itu benar-benar
menggidikkan. “Ada empat orang korban pembunuhan keji. Pasti terjadi beberapa
lama lalu. Siapa kira-kira pelakunya?”
Sabai Nan Rancak melangkah
mendekati dua makam bernisan batu hitam itu. Langkahnya tertahan ketika di
kejauhan tiba-tiba terdengar suara raungan anjing. Lalu keadaan kembali sunyi.
Si nenek diam sesaat kemudian palingkan kepalanya ke arah makam di sebelah
kiri. Dari arah makam itu sekonyong-konyong terdengar suara-suara aneh.
“Duk… duk… duk… duk!”
“Suara apa itu,” pikir Sabai
Nan Rancak. Tanah yang dipijaknya terasa bergetar. “Seperti suara sesuatu
dipukul berulang-ulang. Inikah yang dimaksud Suto Abang dengan Makam Setan
itu?” Sabai meneruskan langkahnya. Gerakannya kembali tertahan begitu dari
liang makam sebelah kiri terdengar seperti suara orang meraung. “Dalam makam di
sebelah kiri jelas ada makhluk hidup! Aneh! Mana mungkin? Orang yang sudah
dikubur masih hidup…?”
Langit masih kelam, malam
masih gelap dan tiupan angin serta deru ombak di laut terdengar lebih keras.
Sabai tenangkan gejolak
hatinya. Kalau tadi dia hanya melangkah maka kini dia membuat satu kali
lompatan dan gerakannya ini membawa dia serta merta berada di samping kiri
makam. Di sini dia tegak berdiam diri, tak berani membuat suara. Telinganya
dipasang dan matanya menatap makam tak berkesip. Lalu ada suara orang mendesah.
Sunyi sesaat. Menyusul suara teriakan memaki. Tak jelas apa yang diteriakkan
atau dimaki. Tapi suara yang seolah terpendam itu jelas berasal dari dalam
liang makam di hadapannya.
Sabai perhatikan nisan makam
yang terbuat dari batu hitam. Lalu kepalanya didekatkan agar bisa melihat apa
yang tertulis di batu itu. Selain gelap, batu nisan itu juga kotor berselimut
tanah. Dengan tangan kirinya Sabai mengusap permukaan batu nisan.
“Astaga!” si nenek keluarkan
suara tercekat ketika yang tertulis di batu nisan hitam itu adalah nama “Tua
Gila”. “Bagaimana mungkin? Orangnya masih hidup tapi kubur lengkap dengan
namanya sudah ada di tempat ini…?!” Si nenek beranjak ke makam satunya. Seperti
tadi dia menggosok bagian datar batu nisan. Kembali dia tersentak. Di batu
nisan satunya ini tertera nama “Wiro Sableng”!
“Rahasia apa sebenarnya yang
ada dibalik keanehan seram dua makam ini?” pikir Sabai Nan Rancak.
Baru saja dia membatin begitu
tiba-tiba dari makam di sebelah kiri kembali terdengar suara “Duk… duk… duk…
duk!” Menyusul suara orang berteriak-teriak tak karuan. Karena tidak jelas
Sabai Nan Rancak tempelkan telinga kirinya pada batu nisan hitam di makam
sebelah kiri.
“Duk… duk… duk,..!”
Sabai kerahkan tenaga dalam
lalu ketuk-ketuk batu nisan hitam.
“Duk… duk… duk… duk!”
Suara pukulan dari dalam liang
kubur terdengar makin keras dan terus-terusan.
“Hai! Siapa di dalam makam?!”
Tidak sabaran Sabai Nan Rancak berteriak. Tentu saja dengan pengerahan tenaga
dalam hingga suaranya bergema keras di malam yang kelam menjelang pagi itu.
“Duk… duk… dukkk! Siapa yang
berteriak di luar sana?! Setan atau manusia harap sudi membebaskan diriku dari
makam jahanam ini!”
Terdengar lagi suara pukulan
yang menggetarkan batu nisan disusul lapat-lapat suara seseorang minta tolong.
“Kau sendiri manusia atau
setan?!” balik berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku manusia tapi mungkin
sudah dua pertiga jadi setan!” jawab orang di dalam makam. “Lekas bebaskan
diriku dari liang keparat ini!”
“Aku tidak membawa peralatan!
Bagaimana mungkin bisa menggali makammu?!” seru si nenek.
“Aku akan tunjukkan
rahasianya. Makam ini terbuat dari batu! Melangkah ke belakang batu nisan.
Periksa tanah sekitarnya. Kau akan menemukan sebuah tonjolan batu hitam. Tekan
batu itu kuat-kuat. Batu penutup makam akan terbuka!”
*
* *
SEPULUH
SABAI Nan Rancak melangkah ke
bagian belakang batu nisan hitam makam sebelah kiri itu. Kakinya
digeser-geserkan ke tanah sampai akhirnya dia menyentuh sesuatu. Si nenek
membungkuk, pergunakan tangannya untuk menggali. “
Aku sudah menemukan batu hitam
di belakang nisan!” berteriak Sabai Nan Rancak.
“Bagus! Demi setan aku
berharap peralatan rahasianya tidak macet!” Orang di dalam makam berseru.
“Peralatan rahasia apa?!”
tanya Sabai tidak mengerti.
. “Tak perlu bertanya! Tekan
batu itu dengan tanganmu. Kalau tidak ada gerakan pergunakan kakimu! Lakukan
cepat! Ratusan hari mendekam di liang neraka ini nyawaku rasanya sudah sampai
di tenggorokan!”
Sabai Nan Rancak tidak
melakukan apa-apa. Dia diam saja tapi otaknya bekerja.
“Hai! Apakah sudah kau
lakukan?!” Makhluk di dalam liang makam berteriak. … “Sebelum aku menolongmu
kita perlu membuat perjanjian lebih dulu!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Jahanam! Perjanjian apa?!”
“Pertama terangkan dulu siapa
dirimu?!”
Orang di dalam liang makam tak
segera menjawab. Lalu dia malah terdengar bertanya. “Mengapa kau ingin tahu siapa
diriku?!”
“Kalau ternyata aku hanya
menolong seorang bangsa kecoak, apa untungnya?! Mungkin juga kau benar-benar
setan yang hendak mengganggu mempermainkan diriku! Bukankah makammu ini yang
disebut orang sebagai Makam Setan?!”
“Setan! Dari suaramu aku tahu
kau seorang perempuan! Kau manusia licik!”
“Terserah kau mau bilang apa!
Kau mau mengatakan siapa dirimu atau aku segera pergi saja dari tempat celaka
ini!”
“Tunggu! Aku akan terangkan
siapa diriku! Sialan! Kau benar-benar menambah siksaanku!” jawab orang di dalam
makam. “Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Nah kau sudah tahu! Apa kau puas
sekarang?! Ayo tepati janjimu! Tekan batu hitam itu!”
“Jangan kau berani
mengaku-aku! Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan manusia sembarangan! Bagaimana
mungkin dia bisa berada dalam makam ini dan masih hidup?!
“Kau benar-benar perempuan
sialan! Kalau kau ingin bertanya jawab nanti saja setelah aku keluar dari
tempat celaka ini!”
“Mana bisa begitu. Aku yang
akan menolongmu, aku yang harus mengatur: Aku tidak percaya kau adalah Datuk
Tinggi Raja Di Langit. Bagaimana kau bisa membuktikannya?!” teriak Sabai Nan
Rancak.
“Perempuan setan! Aku tidak
perlu memberikan segala macam bukti! Jika kau tidak percaya pergi saja ke
neraka! Ratusan hari dikubur di sini aku sebenarnya sudah pasrah mampus sejak
dulu-dulu…!”
“Hemm…. Siapa yang menguburmu
hidup-hidup di Makam Setan ini?!” Sabai ajukan pertanyaan sekaligus memancing
agar orang mau memberi keterangan.
“Dua jahanam! Satu tua bangka
sedeng satunya pemuda edan keblinger! Mereka bernama Tua Gila dan Wiro Sableng!
Dua makam batu di pulau ini sebenarnya aku sediakan untuk mereka!”
Tentu saja Sabai Nan Rancak
jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu. Dia
lantas teruskan pancingannya. “Setahuku Datuk Tinggi Raja Di Langit memiliki
kepandaian dan kesaktian tidak lebih rendah dari dua orang itu! Bagaimana
mungkin kau bisa mereka pendam di tempat ini?!”
“Aku kena tipu licik mereka!”
“Begitu? Hemm…. Lalu mayat
siapa yang ada di makam satunya?!”
“Makam itu kosong! Wiro
Sableng berhasil meloloskan diri!”
“Katamu kau sudah terpendam
selama ratusan hari di makam ini! Bagaimana mungkin kau masih bisa hidup?”
tanya Sabai selanjutnya.
“Setan menolongku! Makam batu
ini lembab berlumut! Aku tidak kekeringan dan tidak kelaparan! Hanya dua
anggota tangannya menjadi lemah, sulit digerakkan!”
“Kalau kau benar Datuk Tinggi
Raja Di Langit apakah kau masih membekal Mantel Sakti dan Mutiara Setan, dua
senjata andalanmu?!”
Orang di dalam liang kubur tak
segera menjawab.
“Kau tidak menjawab berarti
kau tidak tahu menahu perihal dua senjata itu. Jadi kau sebenarnya bukan Datuk
Tinggi Raja Di Langit!”
“Kurang ajar! Omonganmu banyak
amat! Pergi saja sana! Aku memilih mampus dari pada melayani dirimu! Setan
betul!” Orang di dalam liang kubur memaki panjang pendek.
“Aku akan menolongmu keluar
dari Makam Setan ini. Tapi kita harus membuat perjanjian.”
“Perjanjian apa?!”
“Kalau kau berhasil
kubebaskan, aku minta kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setanmu padaku!”
“Kau benar-benar manusia
licik!”
“Terserah padamu! Memilih mati
atau masih ingin hidup untuk membalaskan sakit hatimu pada Tua Gila dan Wiro
Sableng?!”
“Setan betul! Aku mengalah!
Dua benda yang kau sebutkan itu akan kuberikan padamu kalau aku bebas!”
“Bagus!” seru Sabai Nan
Rancak. Si nenek kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan tangan kanan ditekannya
batu hitam di tanah. Batu itu tidak bergerak sedikitpun.
“Batu hitam tidak bergerak!”
Sabai memberi tahu.
“Celaka! Mungkin peralatan
rahasianya sudah karatan. Macet! Kerahkan tenaga dalammu! Atau injak batu
dengan kakimu kuat-kuat!” teriak orang di dalam makam.
Sabai Nan Rancak bangkit
berdiri. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan. Lalu dengan kaki itu
diinjaknya kuat-kuat batu hitam yang menonjol di tanah. ,
Terdengar suara berderak.
Tanah makam bergetar. Rumput dan alang-alang liar yang tumbuh di atasnya tampak
bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan tampak tanah dan tetumbuhan liar itu
terangkat ke atas. Hawa busuk menebar keluar dari dalam liang makam membuat
Sabai Nan Rancak tersurut beberapa langkah, mau muntah dan terpaksa menutup
hidungnya!
Pada saat batu penutup makam
membuka setengah dari dalam liang dengan susah payah tampak merayap keluar
sesosok tubuh yang membuat Sabai Nan Rancak merinding saking bergidiknya.
Sosok tubuh itu adalah sosok
seorang kakek berambut panjang riap-riapan. Kumis, janggut, dan cambang
bawuknya jadi satu menjulai lebat. Sepasang matanya yang besar seolah terpuruk
ke dalam rongga yang dalam. Ke dua pipinya kempot tak bertulang. Tubuhnya kurus
kering terbungkus pakaian yang hancur tak karuan rupa hingga nyaris telanjang.
Dia menyeringai mengeluarkan suara desau seperti gerengan harimau dari mulutnya
yang bergigi dan memiliki taring seolah binatang. Sekujur tubuhnya menebar bau
sangat busuk!
Yang membuat si nenek jadi
merinding ialah menyaksikan keanehan pada sepasang kaki orang ini. Mulai dari
bawah lutut sampai ke ujung jari, dua kaki orang ini tidak berdaging sama
sekali. Hanya merupakan tulang putih pipih laksana badan pedang bermata dua!
Apa yang telah menyebabkan ke dua kakinya tidak berdaging lagi?
Seperti dituturkan dalam
serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan untuk melumpuhkan tenaga dalam
Tua Gila dan Wiro yang hendak disekapnya di dalam dua makam batu itu, Datuk
Tinggi Raja Di Langit telah menebar sejenis bubuk. Begitu dia dilempar masuk ke
dalam liang batu itu maka dia sendiri menjadi korban bubuk beracunnya. Walaupun
begitu karena ilmunya yang tinggi dia tidak sampai menderita lemah atau lumpuh
keseluruhan. Hanya ke dua tangannya saja yang tidak bisa digerakkan. Ke dua
kakinya yang masih bisa digerakkan dipergunakannya untuk menendangi batu
penutup makam. Suara tendangannya itu disamping suara teriakannya diharapkan
akan terdengar oleh siapa saja yang berada di pulau dan dapat memberi
pertolongan. Selama ratusan hari tersekap dalam liang batu Datuk Tinggi hidup
dari lumut lembab yang bertumbuhan di Seantero liang batu. Dia bernasib untung
karena antara liang penyanggah dan lapisan batu penutup makam terdapat celah
yang walaupun sangat tipis masih bisa memasukkan hawa segar dari luar.
Selama ratusan hari disekap
selama itu pula dia menendangi batu penutup makam dengan ke dua kakinya. Tidak
terasa ke dua kakinya menjadi kebal. Dia tidak mengalami rasa sakit sama sekali
ketika dua kaki yang dipakai untuk menendang, lama-lama kulit dan dagingnya
terkelupas hingga terkikis habis hanya tinggal tulang-tulang yang memutih dan
kebal rasa. Ternyata kelak sepasang kaki yang tinggal tulang ini dapat
diandalkan sebagai senjata dahsyat yang akan menggegerkan rimba persilatan.
“Astaga, inikah Datuk Tinggi
Raja Di Langit itu?!” pikir Sabai Nan Rancak dalam hati.
Tiga langkah dari hadapan si
nenek sosok tubuh kurus dan bau itu tersungkur menelentang di tanah. Berulang
kali dia menarik nafas panjang berusaha menghirup udara segar, Lalu matanya
yang besar berputar memandang ke arah Sabai.
“Betul kau Datuk Tinggi Raja
Di Langit?” tanya Sabai agak meragu.
Yang ditanya tidak menjawab.
“Setelah kutolong harap kau
tidak lupa perjanjian kita! Mana Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang harus kau
berikan padaku?!”
Orang yang diajak bicara masih
diam hanya desau nafasnya terdengar seperti gerengan harimau.
“Kau tidak tuli, jangan
berpura-pura tidak mendengar!” Sabai Nan Rancak jadi jengkel karena
ucapan-ucapannya tidak dijawab.
“Perempuan tua! Beri
kesempatan padaku untuk bernafas menghirup udara segar. Beri kesempatan padaku
untuk mengatur jalan darah dan hawa dalam tubuhku! Aku bukan orang yang suka
ingkar janji! Jadi jangan bicara macam-macam! Tunggu sampai aku siap….”
“Boleh saja, tapi jangan coba
menipuku! Aku sama sekali tidak melihat Mantel Sakti dan Mutiara Setan yang
jadi senjata andalanmu itu.”
“Aku akan beri tahu di mana
dua benda itu beradanya. Sebentar lagi! Harap kau suka bersabar. Dua tanganku
terasa lumpuh! Aku harus mengatur jalan darah dan mengerahkan tenaga dalam
untuk memberi kekuatan!”
“Kau tak bakal bisa
melakukannya dengan cepat! Ratusan hari kau tersekap di liang setan itu, mana
mungkin kau mengharap kesembuhan dalam sekejapan mata!” kata Sabai Nan Rancak.
“Kalau kau tidak sabaran
silahkan pergi! Aku tidak mau berurusan dengan nenek-nenek cerewet, bicara
melulu dan tidak sabaran!”
Sabai Nan Rancak menjadi
sangat jengkel. Kalau tidak mengharapkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan itu,
mungkin sejak tadi dia sudah tinggalkan manusia itu, tentu saja setelah
memberikan satu gebukan padanya.
Beberapa saat berlalu.
Perlahan-lahan Datuk Tinggi Raja Di Langit bergerak duduk. Ke dua bahunya
digoyang-goyangkan. Walau dua tangannya belum bisa digerakkan, namun
jari-jarinya tampak bergeletar.
“Aku tidak akan memberikan
Mantel dan Mutiara Setan itu pada orang yang aku tidak tahu nama atau
gelarannya…. Katakan siapa dirimu adanya!” Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Di Langit
membuka mulut.
“Namaku Sabai Nan Rancak. Aku
berasal dari puncak Gunung Singgalang!”
Kening sang datuk nampak
mengerenyit. Mata besarnya tak berkesip memandangi Sabai Nan Rancak.
“Aku pernah mendengar namamu.
Bukankah kau seorang yang punya hubungan dengan bangsat laknat bernama Tua Gila
yang berhasil lolos dari pendaman Makam Setan?!”
“Dulu, puluhan tahun silam
memang aku punya hubungan dengan dirinya. Saat ini dia adalah musuh besar yang
harus kuhabisi nyawanya!” jawab Sabai Nan Rancak.
Datuk Tinggi menyeringai.
“Kalau kau membuat perjanjian, aku juga ingin membuat perjanjian!”
“Apa maksudmu?” tanya si
nenek.
“Aku berikan Mantel dan
Mutiara Setan padamu. Tapi kau harus berjanji tidak akan membunuh Tua Gila.
Bangsat tua itu harus aku yang membunuhnya!”
Sabai Nan Rancak tertawa
pendek. “Perjanjian seperti itu tidak ada gunanya. Yang ingin membunuh Tua Gila
bukan cuma kita berdua. Siapa cepat dia yang dapat!”
“Kenapa kau inginkan nyawa
bangsat tua itu?!” tanya Datuk Tinggi Raja Di Langit.
“Itu bukan urusanmu! Kau
sendiri mengapa mau membunuhnya?!”
“Dia membunuh adikku Datuk
Sipatoka….”
Sabai Nan Rancak terkesiap
mendengar jawaban itu. Dia tahu betul riwayat Datuk Sipatoka yang pernah ingin
menguasai dunia persilatan pulau Andalas. Dalam hati dia berkata. “Manusia
jahat dan biadab seperti Datuk Sipatoka memang pantas dilenyapkan dari muka
bumi. Datuk yang satu ini pun aku tidak percaya padanya!” Lalu dia berkata:
“Aku sudah memberi tahu siapa namaku. Sekarang mana Mantel dan Mutiara Setan
itu? Lekas berikan padaku!” .
Datuk Tinggi tertawa lebar.
“Rupanya kau tidak percaya padaku! Dua benda sakti itu ada dalam makam batu di
sebelah kanan. Kau tahu bagaimana membuka batu penutup makam- Ada tombol di
belakang nisan batu hitam!”
Tanpa menunggu lebih lama si
nenek segera melompat ke belakang makam di sebelah kanan yang batu nisannya
bertuliskan nama Wiro Sableng.
Dengan cepat dia menemukan
batu hitam menonjol di tanah. Sekali kerahkan tenaga dalam dan injakkan kakinya
di batu itu maka terdengar suara berderak. Lalu ada suara siuran dan
perlahan-lahan batu penutup makam yang tertutup tanah dan ditumbuhi rerumputan
serta alang-alang liar bergerak ke atas hingga akhirnya berhenti. Walau berdiri
dekat kepala makam namun Sabai tidak dapat melihat isi makam itu karena sangat
gelap.
“Mantel dan Mutiara Setan itu
ada di dalam liang batu. Tunggu apa lagi? Mengapa kau tak segera mengambilnya?”
berseru Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Sabai Nan Rancak tidak
bergerak dari tempatnya. Hatinya bimbang. Dia menaruh curiga. Selain tidak
dapat menduga berapa dalamnya lobang makam batu itu serta tidak bisa melihat
karena gelap, dia juga menaruh curiga kalau-kalau begitu masuk Datuk Tinggi
menurunkan batu penutup makam hingga dia tersekap di Makam Setan itu!
“Kau saja yang turun ke dalam
makam mengambil dua benda sakti Itu lalu menyerahkannya padaku!” Berkata Sabai
Nan Rancak.
“Nenek, kau benar-benar rewel
dan banyak pinta! Aku sudah memberi malah kau memerintah seolah aku ini
kacungmu!”
“Kau memang bukan kacungku!”
tukas Sabai. “Tapi jangan lupa! Jika aku tidak menolongmu kau akan jadi
jerangkong busuk dalam Makam Setan itu!”
Sambil mengomel Datuk Tinggi
melangkah ke tepi makam.
“Gelap! Aku tidak bisa melihat
apa-apa. Sebaiknya kita menunggu sampai hari terang. Sebentar
lagi pagi datang. Aku sudah
melihat ada saputan sinar kekuningan di sebelah timur.”
“Jangan-jangan kau hendak
memperdayaiku!” Kata Sabai Nan Rancak.
“Perempuan setan!” carut Datuk
Tinggi.
Sabai Nan Rancak tersenyum dan
melangkah mendekati si kakek. Ketika nenek itu hanya tinggal satu langkah dari
hadapannya tiba-tiba dalam keadaan masih duduk di tanah Datuk Tinggi Raja Di
Langit hantamkan kaki kirinya. Maksudnya hendak menjegal kaki Sabai lalu
mendorongnya ke dalam makam batu sebelah kiri.
Tapi Sabai Nan Rancak yang
sejak tadi memang telah berlaku waspada dengan cepat melompat. Serimpungan kaki
Datuk Raja Di Langit mengenai tempat kosong lalu menghantam pinggiran batu
penutup makam.
“Traakkk!”
Sabai Nan Rancak mengira kaki
yang hanya tinggal tulang itu hancur berpatahan. Tapi alangkah kagetnya dia
ketika menyaksikan bukan kaki si kakek yang patah sebaliknya batu tebal penutup
makam yang terbelah seolah papan dibabat sebilah pedang sakti! Sang Datuk
sendiri melengak kaget melihat apa yang terjadi. Dia sanggup memutus batu tebal
penutup makam sedang kaki atau tulang kakinya sama sekali tidak merasa sakit
sedikitpun!
Dalam kagetnya Sang Datuk
menjadi lengah. Sebaliknya Sabai Nan Rancak tidak mau berlaku ayal. Dengan
cepat dia menyergap si kakek dengan satu totokan dahsyat. Sang Datuk sekilas
masih sempat melihat gerakan orang. Dia angkat tangan kanannya untuk menangkis.
Namun saat itu baik tangan kanan maupun tangan kirinya masih berada dalam
keadaan lemas tidak berdaya hingga dia tidak mampu mengangkatnya. Totokan si
nenek bersarang telak di dada kanannya.
“Perempuan jahanam! Aku memang
curiga padamu sejak tadi-tadi!” Ternyata totokan yang dilancarkan Sabai hanya
membuat tubuh Datuk Tinggi kaku tetapi jalan suaranya masih terbuka.
“Tua bangka tidak tahu diri.
Aku telah menolongmu! Janjimu belum lagi kau tepati. Barusan kau yang lebih
dulu menyerangku! Masih untung aku tidak segera membunuhmu Saat ini juga!”
“Perempuan jahanam! Kau akan
menyesal kalau tidak membunuhku!”
Sabai tertawa panjang. Dia
pergi duduk bersandar pada sebuah batu besar di pinggir lapangan. Kedua matanya
dipejamkan. Dia sengaja tidur-tidur ayam sambil menunggu datangnya pagi.
*
* *
SEBELAS
SEBENARNYA Datuk Tinggi Raja
Di Langit memiliki kemampuan membuyarkan totokan. Namun saat itu keadaannya
masih sangat lemah. Bagaimanapun dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya dia hanya, mampu menggerakkan sedikit ke dua tangan dan menggetarkan
bagian-bagian tertentu dari tubuhnya.
“Perempuan jahanam!” maki
Datuk Tinggi. “Aku harus bisa mengembalikan kekuatanku! Aku harus mampu
mengerahkan tenaga dalam sebelum matahari terbit. Aku tidak akan memberikah
Mantel Sakti dan senjata rahasia Mutiara Setan itu padanya!”
Mantel dan Mutiara Setan itu
memang menjadi andaian Datuk Tinggi karena pada dasarnya dia tidak memiliki
kesaktian lain atau ilmu silat tinggi. Sepanjang hidupnya dia mencurahkan
perhatian pada dua hal. Pertama mempelajari pengembangan tenaga dalam untuk
dijadikan dasar penggunaan ilmu bertahan dan menyerang yang mengandalkan Mantel
Sakti. Hal kedua ialah ilmu melempar untuk penggunaan senjata rahasia Mutiara
Setan. Selama ini Datuk Tinggi telah banyak berhasil hingga namanya mencuat
dalam rimba persilatan sebagai salah satu momok yang ditakuti. Itulah sebabnya
saat itu dia berusaha mati-matian memulihkan tenaga dalam dan kekuatannya.
Kalau Mantel Sakti dan Mutiara Setan sampai jatuh ke tangan Sabai Nan Rancak
berarti dia tidak punya apa-apa lagi untuk diandalkan. Namun di saat itu ada
satu hal yang membuatnya heran, gembira, tetapi juga jadi bingung sendiri.
“Tadi sewaktu terabasan kakiku
gagal menghantam kaki perempuan setan itu, batu atos penutup makam yang jadi
sasaran. Batu itu terbelah putus. Tulang kakiku sama sekali tidak terasa sakit!
Kakiku yang hanya tinggal tulang pipih memutih telah berubah menjadi satu
senjata hebat yang benar-benar tidak bisa kupercaya! Aku harus memanfaatkan
kehebatan ini! Gila, dipendam orang selama ratusan tahun aku kini memiliki satu
kehebatan yang tidak terduga! Hemmm… Aku yakin akan membuat nama: besar dalam
rimba persilatan. Tua Gila! Wiro Sableng! Tunggu pembalasanku! Hemmm…. Sekarang
biar aku mengurus perempuan tua bangka dajal ini lebih dulu!”
Di bawah pohon perlahan-lahan
Sabai Nan Rancak buka ke dua matanya yang meram-meram ayam. Di arah timur sinar
terang tampak semakin jelas tanda sang surya segera akan terbit. Di dekat makam
dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terbujur tak bergerak, menghadap ke arah
makam. Ke dua tangan terkulai di tanah. Sepasang mata tertutup tapi si nenek
tahu kalau mata: itu tidak terpejam dan terus-terusan mengawasi gerak-geriknya.
“Setan itu tengah berusaha
keras memulihkan dirinya. Aku melihat ada getaran-getaran halus di beberapa
bagian tubuhnya. Aku harus bertindak cepat!” Sabai Nan Rancak bangkit berdiri
lalu melangkah cepat mendekati makam yang batu nisan hitamnya bertuliskan nama
Wiro Sableng. Sinar terang di kejauhan yang jatuh di atas makam membuat si
nenek kini dapat melihat apa yang ada di dalam makam. Lumut menempel di
mana-mana. Lalu tetumbuhan liar, rumput dan alang-alang. Cacing-cacing besar
menggeliat-geliat di satu sudut makam. Juga ada beberapa ekor kalajengking
hitam pekat. Kemudian sepasang mata si nenek membentur sebuah benda lebar
berwarna hitam yang tampak kotor diselimuti tanah bercampur lumut. Tak jauh
dari. benda hitam ini ada sebuah kantong kain tebal yang juga terbungkus tanah
dan lumut.
“Mantel Sakti, Mutiara Setan!”
desis Sabai Nan Rancak dengan dada berdebar keras. Dia melirik ke kiri. Datuk
Tinggi Raja Di Langit masih tetap duduk bersila seperti tadi di tempatnya.
Sabai mengukur kedalaman makam batu. Dia yakin dengan satu kali melompat lalu
menggenjot dia bakal mampu menyambar mantel dan kantong lalu melesat kembali
keluar dari dalam makam. Setelah memperhitungkan segala sesuatunya maka tanpa
menunggu lebih lama Sabai Nan Rancak melompat terjun ke dalam makam batu.
Tangan kirinya menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan. Tangan kanan
menarik Mantel Sakti. Lalu ke dua kakinya dihentakkan ke lantai makam. Saat itu
juga tubuhnya berkelebat melesat ke atas.
“Wuuuttt!”
Sabai Nan Rancak terpekik
kaget. Begitu sebagian tubuhnya keluar dari dalam makam ada satu benda putih
menyambar. Kalau dia tidak cepat membuang diri ke samping lalu pergunakan
sanding batu makam untuk menjejakkan kaki melontar diri ke samping niscaya
benda putih itu akan menghantam pinggangnya. Sabai tidak jelas benar benda apa
yang barusan menyerangnya. Dia cepat berpaling. Kagetlah si nenek.
Di hadapannya, di tepi makam
dilihatnya Datuk Tinggi Raja Di Langit terduduk setengah berlutut. Muka dan
matanya yang seangker iblis menatap tajam ke arahnya.
“Tak bisa kupercaya! Dalam
keadaan seperti ini dia ternyata mampu melepaskan diri dari totokanku! Barusan
dia menyerangku dengan kaki tulangnya! Tapi agaknya kekuatannya masih belum
pulih keseluruhan. Dari pada mencari perkara lebih baik aku segera saja angkat
kaki dari sini!”
Si nenek segera memutar tubuh
siap tinggalkan tempat itu.
“Perempuan jahanam) Kembalikan
Mantel Sakti dan Mutiara Setanku!” teriak Datuk Tinggi dengan mata berapi-api.
Setengah beringsut dia bergerak mendekati Sabai.
Si nenek menyeringai buruk.
“Ini kesempatanku untuk mencoba kehebatan Mantel Sakti ini!” pikir Sabai. Lalu
dia berseru. “Kau inginkan mantel dan senjata rahasiamu! Culas curang! Kau
sudah berjanji menyerahkannya padaku! Tapi tak jadi apa! Kau menginginkannya
silahkan ambil sendiri!” Sabai acung-acungkan mantel dan kantong kain, membuat
sang Datuk meluap amarahnya. Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Kaki
kirinya menyambar, membabat ke arah kaki Sabai. Si nenek tidak tinggal diam.
Dia melompat menjauh seraya kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan
mengebutkan Mantel Sakti yang dipegangnya.
“Wussss!”
Satu gelombang angin laksana
badai dan deburan air bah menyambar ke arah Datuk Tinggi. Lumut dan tanah yang
menempel di mantel itu ikut berlesatan.
Datuk Tinggi berteriak keras.
Dia cepat jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun tak urung tubuhnya masih
kena tersapu hingga mental sampai tiga tombak. Di sebelah sana dua buah batu
penutup makam tanah kubur dan batu-batu nisan hitam amblas berantakan dihantam
sambaran Mantel Sakti!
Datuk Tinggi merasakan
tubuhnya seperti hancur. Dia meneliti dengan cepat. Tak ada bagian tubuhnya
yang cidera. Hanya dadanya terasa berdebar dan jalan darahnya agak kacau. Ini
membuatnya jadi heran. “Ada kekuatan aneh melindungi diriku. Orang lain pasti
sudah remuk dihantam angin Mantel Sakti tadi!”
Di depan sana Sabai Nan Rancak
masih tegak sambil menyeringai. “Kau masih inginkan mantel dan senjata
rahasiamu ini Datuk? Ayo, aku memberi kesempatan padamu untuk mengambilnya!”
“Perempuan jahanam! Kucincang
tubuhmu!” teriak Datuk Tinggi lalu gulingkan diri ke arah si nenek. Tapi saat
itu Sabai tak mau melayani lagi. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu,
cepat-cepat menuju ke pantai pulau tempat perahu sewaan menunggunya. Dengan
cekatan si nenek melompat dari batu karang datar ke batu karang lainnya hingga
akhirnya dia sampai di atas perahu besar.
Satu kejutan membuat si nenek
melengak. Ada orang bersuara parau tiba-tiba menegurnya.
“Rejekimu besar sekali hari
ini Nek. Mantel Sakti di tangan kanan. Kantong Mutiara Setan di tangan kiri!
Apakah kau mau berbagi rejeki denganku?!”
Sabai Nan Rancak palingkan
kepalanya ke arah kanan dari jurusan mana datangnya suara orang menegur.
“Siapa kau!” sentak Sabai Nan
Rancak.
Orang yang dibentak dongakkan
kepala lalu tertawa keras.
“Lain yang dicari lain yang
kutemui! Tapi apa salahnya berkenalan berbasa-basi!”
“Jahanam! Kalau tidak lekas
menjawab kulempar kau ke dalam laut!” Sabai Nan Rancak angkat tangan kanannya
yang memegang mantel. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Lalu berteriak.
“Pemilik perahu! Di mana kau?!”
“Aku di sini Nek….” Ada
jawaban dari sebelah kanan.
*
* *
DUA BELAS
SAAT itu matahari telah
terbit. Keadaan di laut cerah dan terang. Di sebelah kanan, di lantai perahu
Sabai Nan Rancak melihat lelaki pemilik perahu duduk tersandar. Mulutnya pecah
dan hidungnya hancur. Darah menutupi sebagian wajahnya. S
abai berpaling ke arah lambung
perahu. Orang bersuara parau yang tadi menegurnya tegak sambil berkacak
pinggang. Orang ini ternyata kakek berpakaian kembang-kembang. Mukanya tertutup
bedak tebal. Pipinya diberi merah-merah. Alisnya melintang tebal dan rambutnya
dikepang enam. Pada setiap kepangan digantungi kertas dan kain-kain
warna-warni. Dia memiliki bibir dower tebal dan dilapisi cat merah mencorong.
“Pasti orang gila ini yang
telah mencelakai pemilik perahu,” membatin Sabai Nan Rancak. “Aku tidak kenal
padamu! Mengapa berani berada di atas perahu sewaanku? Lekas menyingkir!”
Hardik si nenek.”
“Aha! Aku tidak tahu kalau ini
perahu sewaanmu. Pantas waktu tadi aku naik ke sini, monyet bau ini marah.
Karena, mulutnya keiewat kurang ajar terpaksa aku menggebuknya sedikit! Ha… ha…
ha…!”
“Keparat! Dalam keadaan
seperti ini bagaimana tahu-tahu ada orang gila datang mengganggu!” Sabai
bercarut sendiri dalam hatinya.
“Orang gila! Jika kau tidak
lekas menyingkir aku benar-benar akan membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke
laut!” Mengancam Sabai.
“Jangan terlalu galak sobat!
Aku datang ke sini tidak bermaksud mencari lantaran denganmu! Aku datang dari
jauh mencari bangsat tua berjuluk Datuk Tinggi Raja Di Langit! Satu tahun yang
silam dia telah membunuh adikku Kiyai Surah Ungu, bergelar Pangeran Tanpa
Mahkota, berasal dari Banten.”
“Aku tidak percaya orang gila
sepertimu punya adik seorang Pangeran!” tukas Sabai.
“Terserah mau percaya atau
tidak bukan urusanku! Aku hanya ingin menuntut balas. Tahu-tahu aku ketemu kau!
Ha… ha… ha! Kalau dulu ketemu di waktu masih muda-muda pasti sedap juga ya?!
Tapi tak jadi apa! Aku tahu betul Mantel Sakti dan kantong berisi senjata
rahasia itu adalah milik Datuk Tinggi Raja Di Langit! Bagaimana bisa berada di
tanganmu? Apakah kau mencurinya?!”
“Enak saja menuduh aku
pencuri! Aku mendapatkan dua senjata sakti ini setelah membunuh Datuk Tinggi!
Sebentar lagi kau akan jadi korbanku berikutnya!”
“Ah, kau pasti seorang nenek
Sakti hebat luar biasa! Tapi mengapa aku harus takut ancamanmu? Kalau belum
melihat mayat sang Datuk bagaimana aku percaya kau sungguhan telah membunuhnya?
Itu sebabnya aku mengusulkan agar kita berbagi rejeki. Berikan salah satu
senjata sakti itu padaku. Aku akan menerima yang mana saja!”
“Baik! Aku akan berikan Mantel
Sakti padamu! Harap kau suka menerima!”
Habis berkata begitu si nenek
kebutkan Mantel Sakti di tangan kanannya.
“Wuttt!”
Perahu kayu itu bergetar keras
ketika angin laksana badai menyambar. Tiang layar berderak-derak. Semua benda
yang ada di lantai perahu termasuk sosok lelaki pemilik perahu hancur dan
mental masuk ke dalam laut. Air laut bergelombang muncrat.
Kakek aneh bermuka seperti
dirias tersentak kaget. Dia keluarkan bentakan parau lalu melompat tinggi dan
tahu-tahu seperti seekor burung elang dia sudah hinggap di puncak tiang perahu
layar!
“Srettt! Sett… settt! Wuttt!”
Sabai Nan Rancak berseru kaget
ketika tiba-tiba kain layar perahu bergerak kencang dan dengan ganas menggulung
ke arahnya. Mantel Sakti di tangan kanannya hampir-hampir terlepas mental kalau
dia tidak cepat jatuhkan diri dan bergulingan di lantai perahu. Dalam keadaan
seperti itu si nenek tak memperhatikan lagi keadaan jubah hitamnya yang
tersibak berantakan kian kemari. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. Menyusul suara orang berucap.
“Nek, kau ini malu-maluin
saja! Auratmu tersingkap ke mana-mana! Untung kau pakai celana dalam! Kalau
tidak! Walah! Pasti aku akan menyaksikan sepotong serabi bulukan! Ha… ha… ha!
Benar-benar memalukan!”
Saat itu jubah hitam Sabai Nan
Rancak memang tersingkap lebar dari pinggang ke bawah.
Sabai Nah Rancak terkesiap
kaget. Cepat si nenek rapikan jubah hitamnya dan melompat bangkit. Dia
palingkan kepalanya ke kiri.
“Dari cara bicaranya,
rasa-rasanya memang dia! ujar Sabai dalam hati ketika pandangannya membentur
sesosok tubuh berpakaian ringkas hitam yang duduk berjongkok di pinggir perahu
sambil menutupi wajahnya dengan ke dua tangan. “Anehi bagaimana dia tahu-tahu
bisa berada di tempat ini. Jangan-jangan sejak di tanah Jawa dulu dia telah
menguntit diriku!” Sabai Nan Rancak seperti mau mengeluh melihat kehadiran
orang itu yang akan menambah buruknya suasana. Tapi setelah memutar akal maka
dia cepat berseru.
“Sobatku, bukankah kau Iblis
Pemalu! Aku gembira bertemu dengan kau!”
“Sobatku? Aku sobatmu? Aha rasanya
tidak pernah begitu! Sungguh memalukan!”
“Hai! Jangan malu-malu
mengakui! Kau datang tepat pada waktunya. Sebagai sobat lama aku akan
memberikan salah satu dari benda sakti ini!”
“Ah, itu bagus juga! Tapi aku
malu menerimanya!” jawab orang berpakaian hitam yang mencangkung di pinggiran
perahu.
“Tak usah malu! Aku memang
sudah merencanakan untuk memberi sesuatu padamu karena kau orang baik! Tapi di
tempat ini….”
Ucapan Sabai Nan Rancak
terputus. Sudut matanya melihat satu gerakan di arah pantai. Ketika dia
berpaling dan memperhatikan ternyata di tepi pasir tampak tegak berdiri
terbungkuk-bungkuk Datuk Tinggi Raja Di Langit. Orang ini tengah bersiap-siap
terjun ke laut. Sesaat dia seperti menggapai-gapai lalu meracau masuk ke dalam
air laut sedalam sepinggang. Perlahan-lahan tapi pasti dia akan segera sampai
ke perahu di mana Sabai berada.
“Celaka! Bangsat tua itu
agaknya sudah pulih kekuatannya. Bagaimana ini…?” Sabai memandang ke atas tiang
layar. Saat itu kakek berbaju kembang-kembang tengah meluncur turun sambil
tertawa parau. Si nenek berpaling pada Iblis Pemalu. Lalu berteriak. “Sobatku!
Kau tolong hadapi dulu orang tua gila itu! Aku akan mengayuh perahu. Kau harus
menolong! Jangan membuat aku malu!”
“Ya… ya! Aku akan menolong!
Tapi awas! Rapikan dulu pakaianmu! Jangan sampai aku melihat dua kali! Bisa
sialan aku! Memalukan sekali! Hik… hik… hik!”
Sabai Nan Rancak cepat
berkelebat ke kiri untuk menarik lepas tali pengikat perahu yang dibuhulkan
pada satu tonjolan runcing batu karang. Dia berhasil. Selagi kebingungan
mencari kayu pendayung kakek bermuka dirias sudah injakkan kaki di atas lantai
perahu. Tapi Iblis Pemalu dengan menutupi wajah cepat menghadangnya.
“Orang tua bermuka cemongan!
Jangan berbuat hal yang memalukan! Kau bilang datang ke sini mencari Datuk
Tinggi! Mengapa membuat keonaran dengan orang lain! Memalukan!”
“Orang gila! Kasihan mengapa
kau bisa kesasar ke tempat ini?! Kalau mencari mati apa tidak bisa mencari
tempat yang lebih enakan?!” Kakek baju kembang-kembang tertawa bergelak.
“Memalukan!” teriak Iblis
Pemalu. “Mengatakan aku gila! Padahal kau sendiri yang gila mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan menemui kematian
sebagai orang gila!”
“Jahanam! Berani kau menghina
diriku!” Kakek bermuka dirias jadi marah mendengar ejekan orang. Dua tangannya
yang sejak tadi terlindung di balik lengan bajunya yang panjang tiba-tiba
diangkat ke atas dan menyambar ke muka Iblis Pemalu yang ditutupi ke dua
tangannya. Ternyata kakek itu hanya memiliki tiga jari dan tiga kuku panjang
pada masing-masing tangannya.
“Aha! Aku mengenali siapa
dirimu! Momok Berdandan Jari Tiga! Memalukan! Tangan jelek begitu saja
diperlihatkan!”
Habis mengejek begitu Iblis
Pemalu cepat melompat mundur. Tapi seolah bisa diulur, tangan kanan si kakek
memanjang dan “Wuttt!” Tiga kuku jarinya yang panjang mencakar ke arah kepala
Iblis Pemalu. Untuk melompat mundur lagi sudah tidak mungkin bagi Iblis Pemalu
karena saat itu punggungnya telah menyentuh pinggiran perahu. Mau tak mau dia
angkat tangan kirinya menangkis sementara tangan kanan masih tetap menutupi
wajahnya.
“Bukkk!”
Beradunya dua tangan membuat
dua orang itu sama-sama berseru kesakitan. Kakek baju kembang-kembang berjuluk
Momok Berdandan Jari Tiga terpental sampai dua tombak. Ketika lengan tangannya
disingkapkan dia terkejut melihat daging tangannya telah menggembung merah. Dia
cepat berdiri dan pandangi Iblis Pemalu dengan mata melotot. Saat itu Iblis
Pemalu sendiri terbungkuk-bungkuk menahan sakit namun dari mulutnya keluar
suara tawa cekikikan. Nyali si kakek baju kembang mau tak mau menjadi goncang.
Dia mendengar kabar Datuk Tinggi orang yang dicarinya memiliki kepandaian
tinggi. Kini, belum lagi berjumpa dengan pembunuh adiknya itu, dia berhadapan
dengan seorang lelaki muda tidak dikenal yang ternyata mempunyai ilmu
kepandaian tidak sembarangan.
*
* *
TIGA BELAS
MANUSIA gila! Katakah siapa
kau adanya! Mengapa mau saja disuruh nenek buruk itu?! “Kakek gila! Siapa
diriku tak usah kau tahu! Jangan membuat aku malu! Nenek itu tak suka padamu!
Mengapa masih nangkring di atas perahu ini! Ayo lekas pergi! Kalau tidak aku
akan membuatmu benar-benar menjadi malu besar!” Momok Berdandan Jari Tiga
tertawa parau. “Masih muda sudah gila! Sungguh aku kasihan dan merasa malu
padamu monyet berpakaian hitami Jika kau memang tahu malu mendekatlah padaku!
Akan kuajari kau bagaimana caranya agar tidak tahu malu! Ha… ha…ha…!”
Ditertawai orang Iblis Pemalu
ikut-ikutan tertawa. “Banci gila! Lelaki berdandan seperti perempuan! Apa tidak
malu?!”
Mendidihlah amarah Momok
Berdandan Jari Tiga mendengar ejekan itu. Didahului bentakan parau dia
menyergap ke depan. Dari jari tengah tangan kiri mencuat selarik sinar hitam
pekat sedang dari jari tengah tangan kanan melesat sinar biru kelam. Inilah
ilmu yang sangat diandalkan si kakek, yang disebut Dua Larik Sinar Kematian.
Selama ini tidak pernah ada lawan yang bisa menghindar dari maut jika dia sudah
mengeluarkan ilmu kesaktian itu. Iblis Pemalu sendiri tampak tersirap kaget.
Walau masih tertawa namun dia cepat menghindar dengan melompat dua tombak ke
kiri. Si kakek memburu dengan ikut melompat. Sinar hitam memang luput tapi
sinar biru menghajar ke arah kepala Iblis Pemalu.
Sabai Nan Rancak tercekat
menyaksikan hal itu. Dia gerakkan tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti.
Maksudnya hendak menangkis serangan maut itu dan sekaligus menghantam Momok
Berdandan Jari Tiga. Tapi mendadak sinar hitam yang mencuat dari tangan kirinya
membalik dan menyambar ke arah Sabai. Nenek ini berteriak keras. Mau tak mau
dia terpaksa tarik tangan kanannya. Pada saat itu sinar biru yang menghantam ke
dada Iblis Pemalu hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari sasarannya.
Iblis Pemalu masih juga
tertawa. Namun mukanya di balik dua tangannya tampak berubah. Pada saat yang
menegangkan itu, tiba-tiba sesosok tubuh entah dari mana datangnya melesat ke
atas perahu. Kepalanya menumbuk pinggul Iblis Pemalu dengan keras, membuat
Iblis Pemalu terlempar jauh dan roboh di lantai perahu. Namun tumbukan ini
menyelamatkan nyawa Iblis Pemalu, Karena sinar biru mematikan yang akan
membunuhnya menjadi lewat setengah jengkal dari tubuhnya!
Orang, yang menumbuk Iblis
Pemalu saat itu tampak mencoba bangkit terhuyung-huyung. Keadaannya basah kuyup
dan nyaris telanjang. Rambut, janggut, kumis maupun berewoknya riap-riapan.
Ketika rambutnya yang menutupi muka disibakkan, kelihatanlah tampangnya yang
angker menyeringai. Gigi-gigi besar berbentuk taring binatang mencuat dari
mulutnya.
“Hampir putus nyawaku!
Memalukan!”
Sementara Iblis Pemalu
berteriak begitu dua orang di atas perahu yakni Sabai Nan Rancak dan Momok
Berdandan Jari Tiga sama-sama terkesiap.
“Manusia satu ini benar-benar
luar biasa! Dia sanggup menyeberangi pantai dan naik ke atas perahu!” membatin
Sabai Nan Rancak. Nenek ini segera memutar otak. Dia sudah dapatkan Mantel
Sakti dan Mutiara Setan. Mengapa menghabiskan waktu dan merepotkan diri
berlama-lama di atas perahu itu. Tapi dia mau kemana kalau tidak kabur memakai
perahu!
Momok Berdandan Jari Tiga yang
tadinya begitu bernafsu hendak membunuh Iblis Pemalu alihkan perhatiannya pada
orang yang basah kuyup riap-riapan. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor
ketika akhirnya dia bisa mengenali siapa adanya kakek kurus kering bermuka
setan ini.
“Datuk Tinggi Raja Di Langit!
Setahun aku mencarimu! Kau muncul dengan sosok begini rupa! Aku berpikir apakah
malaikat maut masih mau dan tidak jijik membetot lepas nyawamu dari tubuhmu?!”
Yang berucap dengari suara keras itu adalah Momok Berdandan Jari Tiga.
“Kakek aneh! Laki-laki tapi
berdandan macam perempuan, berpakaian berbunga-bunga seperti perempuan! Apa di
bawah perutmu juga ada perkakas seperti perempuan?!” Datuk Tinggi menjawab tak
kalah lantang lalu tertawa bekakakan. Tiba-tiba dia palingkan kepala pada Sabai
Nah Rancak. Dia keluarkan suara menggeretak. “Urusan kita belut lesai! Jangan
berani beranjak dari tempat ini!”
Sabai Nan Rancak menjawab
dengan suara mendengus.
“Datuk Tinggi pembunuh adik
kandungku! Mungkin kau tidak bakal dapat menyelesaikan urusan dengan nenek itu!
Aku lebih dulu datang menagih nyawamu!”
“Anjing tua berdandan slebor!
Siapa adikmu yang pernah aku bunuh!”
“Kiyai Surah Ungu, Pangeran
Tanpa Mahkota berasal dari Banten!” jawab Momok Berdandan Jari Tiga.
“Oh, dia rupanya!” ujar Datuk
Tinggi lalu tertawa gelak-gelak. “Kiyai itu memang pantas disingkirkan!”
“Apa kesalahannya hingga kau
membunuhnya!”
“Kesalahannya sepele saja! Dia
datang menyambangi makam Tua Gila sahabatnya! Padahal aku sudah menyebar niat!
Siapa saja sahabat Tua Gila yang datang ke makam harus menemui ajal!”
“Aneh!” kata Momok Berdandan
sambil cibirkan bibirnya yang dower.
“Apa yang aneh?!” sentak Datuk
Tinggi.
“Aku dengar Tua Gila masih
hidup! Kau mengatakan dia sudah mati dan dimakamkan! Jangan-jangan otakmu sudah
tidak karuan!”
Mendengar ucapan orang Datuk
Tinggi tertawa mengekeh. “Apa Tua Gila masih hidup atau sudah mati, aku tidak
begitu perduli. Dan kau datang sangat terlambat!”
“Apa maksudmu?!”
“Mayat kakakmu sudah berubah
jadi jerangkong! Di pulau sana ada beberapa jerangkong! Kalau kau suka aku
bersedia menunjukkan yang mana jerangkong < kakakmu. Tapi syaratnya kau
harus mampus dan jadi setan lebih dulu! Ha… ha… ha!”
“Orang gila calon mayat! Orang
yang mau mampus bicaranya memang tidak karuan! Mari kutunjukkan jalan agar kau
bisa menghadap Penguasa Neraka lebih cepat!”
Habis berkata begitu Momok
Berdandan Jari Tiga angkat ke dua tangannya. Tangannya yang berjari dan berkuku
tiga menyembul dari balik lengan jubah yang dalam. Langsung selarik sinar hitam
pekat dan biru kelam menderu menghantam ke arah Datuk Tinggi Raja Langit.
“Pasti mampus!” kata Sabai Nan
Rancak begitu melihat Momok Berdandan lancarkan serangan ke arah Datuk Tinggi.
Iblis Pemalu pelototkan mata di sela-sela jari-jari tangannya yang menutupi
wajah. Seperti Sabai dia juga yakin kalau kakek bermuka setan itu akan menemui
ajalnya dilanda dua larik sinar maut serangan kakek yang mukanya dirias.
Namun ke dua orang ini
terkesiap dan jadi merinding ketika melihat apa yang kemudian terjadi. Sebelum
dua larik sinar menembus tubuhnya Datuk Tinggi yang masih tegak
terhuyung-huyung tiba-tiba membuat gerakan jungkir balik. Kepalanya yang
berambut basah riap-riapan kini menjejak lantai perahu. Dua tangannya yang
masih agak lemah menopang berusaha mengimbangi dan menunjang tubuhnya. Sinar
hitam menyambar di samping kaki kanan sedang sinar biru lewat di antara ke dua
kakinya.
Dari mulut Datuk Tinggi
tiba-tiba melesat keluar suara seperti lolongan anjing. Bersamaan dengan itu
tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Di udara tubuh ini bergerak
berputar aneh. Dua kaki terkembang. Lalu secepat kilat tubuh itu melesat ke
depan. Dua kaki yang kini hanya berupa tulang putih pipih setajam pedang
membuat gerakan seperti menggunting.
Momok Berdandan Jari Tiga
keluarkah seruan tertahan. Suara seruannya lenyap berganti dengan suara
menggidikkan.
“Crassss!”
Kepala Momok Berdandan putus
laksana ditabas pedang maha tajam lalu melesat mental dan jatuh ke atas
gundukan batu karang rata yang menyembul di permukaan air untuk kemudian mental
dan akhirnya masuk ke dalam lauti
Tubuhnya yang tanpa kepala
terhuyung-huyung. Sepasang tangannya menggapai-gapai kian kemari. Dua larik
sinar biru dan hitam sesaat masih mencuat. Darah bergejolak menyembur dari
kutungan lehernya tanda masih ada tenaga dalam yang menguasai tubuhnya. Sesaat
kemudian tubuh itu terjengkang di lantai perahu, menggeliat dan melejang-lejang
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Pada saat putusnya leher si
kakek, Iblis Pemalu melompat ke samping Sabai Nan Rancak. Tangan kanan menutupi
wajahnya dan tangan kiri memegang lengan si nenek. Orang ini berbisik.
“Ini satu tindakan memalukan!
Tapi kau sudah dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Buat apa berlama-lama
di sini! Ayo ikut aku kabur!”
“Kita mau kabur kemana.
Sekeliling kita hanya laut!” jawab Sabai Nan Rancak. Setelah tadi dia
melepaskan ikatan tali yang mengikat perahu ke batu karang, gelombang telah
membawa perahu itu ke tengah laut.
“Aku menyembunyikan sebuah
perahu di balik gugusan batu karang sebelah sana! Sekali ini kita benar-benar
membuat malu besar! Ayo lompat! Lekas!”
Belum sempat Sabai Nan Rancak
menjawab Iblis Pemalu sudah menarik lengannya. Ke dua orang itu melompati pagar
perahu di sebelah buritan.
“Kalian mau lari kemana!” satu
teriakan menggeledek di belakang. Lalu “Wuttt!”
Dua benda putih bergerak
memotong!
“Craaasss!”
Sabai Nan Rancak terpekik.
Salah satu ujung mantel yang dipegangnya di tangan kanan terbabat putus oleh
tulang kaki kiri Datuk Tinggi yang coba mengejar. Lalu sang Datuk sendiri
terpelanting ke belakang ketika Sabai masih sempat menggebrakkan Mantel Sakti
yang dipegangnya. Ketika Datuk Tinggi coba mengejar kembali Sabai dan Iblis
Pemalu telah lenyap di bawah permukaan laut!
Datuk Tinggi Raja Di Langit berteriak
marah! Suara teriakannya seperti lolongan anjing. Lalu seperti kerasukan setan
dia berkelebat kian kemari. Sepasang kakinya menghantam apa saja yang ada di
depannya. Tiang perahu besar patah ditabasnya, dinding dan lantai perahu
robek-robek. Sekali lagi suara lolongan melesat dari tenggorokannya lalu sang
Datuk terkulai lemah. Tubuhnya terkapar di lantai perahu. Matanya mendelik.
Dari mulutnya keluar kutuk serapah tiada henti!
*
* *
EMPAT BELAS
DUA perahu besar tiba-tiba
muncul di balik gugusan batu karang tinggi, langsung, mengapit pukat yang
porak-poranda. Di perahu sebelah kiri seorang berpakaian kebesaran perang
menatap tajam ke arah perahu pukat di atas mana Datuk Tinggi Raja Di Langit
masih terkapar bercarut-marut.
“Panglima, saya yakin orang
yang kita minta menyelidik telah mendarat di pulau ini.” Seorang lelaki
berpakaian perwira muda yang tegak di sebelah lelaki berpakaian perang berkata.
“Tiga hari kita menunggu, dia
tidak muncul. Di tempat ini ada sebuah pukat dalam keadaan porak-poranda. Aku
merasa was-was. Coba kau dan beberapa anak buahmu menyeberang ke pukat itu.
Lakukan pemeriksaan!”
Perwira muda itu memberi
isyarat pada empat orang anak buahnya. Kelima orang ini lalu melompat ke atas
perahu yang diapit. Hanya sesaat berlalu, dari arah perahu itu mendadak
terdengar bentakan-bentakan. Lalu salah seorang prajurit berlari menemui sang
Panglima. Mukanya pucat dan mulutnya sulit mau bicara.
“Prajurit! Jaga sikapmu! Ada
apa?!” Panglima membentak.
Si prajurit menunjuk ke arah
perahu. “Kami menemui mayat kakek sakti itu di geladak pukat! Hanya sosok
tubuhnya! Kepalanya putus entah ke mana!”
“Apa?!” Sang Panglima
tersentak kaget. Tanpa tunggu lebih lama dia segera turun dari anjungan dan
melompat ke atas perahu. Selusin prajurit mengikuti. Dari perahu besar satunya
seorang perwira muda juga ikut melompat ke atas perahu pukat bersama sepuluh
prajurit.
Di atas perahu pukat perwira
muda tadi dan tiga prajurit tampak tengah mengelilingi seorang kakek bermuka
setari yang pakaiannya penuh robekan dan nyaris telanjang. Sepasang kakinya
sebatas lutut ke bawah hanya merupakan tulang pipih memutih. Ada noda-noda
darah pada kaki tulang itu. Ketika sang panglima mengalihkan pandangannya ke
samping kiri, berubahlah parasnya. Di situ, di lantai perahu tergeletak sosok
tubuh tanpa kepala. Dari pakaian nya yang berkembang-kembang Panglima dan semua
orang yang ada di sana sudah jelas tahu siapa adanya mayat tanpa kepala itu.
“Perwira! Siapa yang membunuh
Momok Berdandan Jari Tiga utusan Penyelidik itu?!” bertanya Panglima.
Dua orang Perwira Muda yang
ada di tempat itu tak bisa menjawab karena memang tidak tahu apa yang terjadi.
Tiba-tiba kakek kurus tinggi berwajah setan keluarkan tawa mengekeh.
“Aku Datuk Tinggi Raja Di
Langit yang membunuh tua bangka tak berguna itu. Rupanya dia adalah orang yang
kalian suruh menyelidiki diriku? Ha… ha… ha! Mengirim orang tolol lihat saja
akibatnya!”
Mendengar manusia berwajah
setan itu menyebut dirinya, semua orang yang ada di situ menjadi gentar.
Beberapa di antaranya sampai tersurut mundur.
“Jadi kau makhluknya yang
bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!” berkata sang Panglima.
“Setan alas! Aku sudah
sebutkan siapa diriku! Kalian sendiri siapa?!”
“Kami orang-orang Kerajaan!
Setahun lalu kami punya bukti-bukti kau telah membunuh Kiyai Surah Ungu, putera
Sri Baginda yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota!”
“Orang sudah menjadi setan
setahun silam! Kalian datang untuk mengambil mayatnya atau apa?! Dia sudah jadi
jerangkong di pulau sana!”
“Kau mengakui perbuatanmu! Kau
juga mengakui sebagai pembunuh utusan kami! Berarti tidak ada pengampunan bagi
dirimu! Serahkan dirimu! Tiang gantungan sudah sejak lama menunggumu!”
Datuk Tinggi Raja Di Langit
tertawa bergelak.
“Kalian datang jauh-jauh bukan
saja mencari perkara. Tapi juga mencari mati!”
Datuk Tinggi tiba-tiba
melompat setinggi satu tombak. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik.
Sesaat kemudian dia tegak di lantai perahu, kepala dan tangan di sebelah bawah
sedang dua kaki mengembang ke atas.
“Tua bangka gila! Akrobat apa
yang hendak kau perlihatkan pada kami!” bentak sang Panglima sementara dua
Perwira Muda dan belasan prajurit yang ada di sana menyaksikan perbuatan Datuk
Tinggi Raja Di Langit terheran-heran.
“Makhluk-makhluk pengantar
nyawa! Dulu aku bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Mulai saat ini gelar itu
akan aku kubur ke pusar bumi di dasar laut! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis
Dari Makam Setan! Siapa yang mau mati duluan silahkan mendekat!”
Perwira Muda yang berada di
sebelah kiri memberi isyarat pada lima anak buahnya.
“Tangkap orang gila ini!”
perintahnya.
“Bunuh jika melawan! “kata
sang panglima yang menyetujui tindakan bawahannya itu.
Lima prajurit menghunus
senjata lalu menyergap.
Tubuh Datuk Tinggi yang kini
menyebut dirinya sebagai Jagal Iblis Dari Makam Setan melesat ke udara,
berputar tiga kali berturut-turut lalu dua kakinya yang mengembang menghantam
dalam gerakan setengah lingkaran. Tiga prajurit yang mengurungnya menjerit. Dua
tergelimpang di lantai perahu dengan leher hampir putus. Yang ke tiga
terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang bobol!
Dua prajurit lainnya
terkesima. Muka mereka sepucat kain kafan menyaksikan apa yang terjadi.
“Perwira! prajurit!” teriak
Panglima. “Cincang makhluk iblis itu!”
Dua Perwira Muda dan hampir
dua puluh prajurit segera menghambur dengan senjata di tangan.
“Trang… trang… trang…!”
Suara berdentrangan terdengar
tidak berkeputusan ketika Datuk Tinggi alias Jagal Iblis Dari Makam Setan
gerakkan dua kakinya menangkis dan balas menyerang. Sepasang kaki yang hanya
merupakan tulang putih itu seolah dua bilah pedang tajam yang mengamuk di
udara. Pekik jerit memenuhi perahu. Enam prajurit dan seorang Perwira Muda
terkapar berlumuran darah. Lima di antaranya tidak bernafas lagi. Satu-satunya
yang masih hidup adalah si Perwira Muda. Tangannya yang tadi memegang pedang
kini telah buntung sebatas pergelangan. Dia menjerit tiada henti.
Jagal Iblis Dari Makani Setan
tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing membuat semua
orang jadi tercekat.
“Ambil Jaring Neraka!” teriak
Panglima.
Perwira Muda satunya yang
masih hidup melompat tinggalkan kalangan pertempuran. Tak lama kemudian dia
muncul bersama dua orang prajurit bertubuh tinggi besar. Dua prajurit ini
membawa sebuah jaring besar terbuat dari kawat baja. Jaring ini mengeluarkan
suara bergemerisik menakutkah. Tapi Jagal Iblis Dari Makam Setan hanya ganda
tertawa melihat benda itu.
“Libas!” teriak Perwira Muda
memberi perintah. Dua prajurit bertubuh besar gerakkan sepasang tangan, mereka.
“Sreeettt!”
Jaring kawat baja itu menebar
di udara, menyapu ke arah sosok Jagal Iblis yang masih tegak dengan kepala ke
bawah kaki ke atas. Tiba-tiba dua kaki tulang putih itu berkelebat dan berputar
laksana titiran. Terdengar suara putus robeknya jaring kawat baja. Disertai
jeritan susui menyusul. Dua prajurit bertubuh besar menemui ajal lebih dulu.
Keduanya mati dengan pinggang hampir putus. Menyusul si Perwira Muda. Semua
orang hanya melihat sosok tubuhnya terkapar di lantai perahu. Kepalanya tak ada
lagi!
Semua orang yang masih hidup
menjadi gempar. Serempak mereka melompat menjauhi lantai perahu kalangan
perkelahian yang kini basah tergenang darah!
Jagal Iblis Dari makam Setan
tertawa panjang.
Panglima yang melihat kejadian
itu dengan mata kepala sendiri merasa dingin tengkuknya. Meski nyalinya
tergetar hebat namun sebagai pimpinan dia tidak mau memperlihatkan. Dia segera
mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. – Senjata ini bukan
senjata sembarangan. Merupakan sebuah mustika hadiah Sri Baginda karena
jasa-jasanya. Karena dilapisi sejenis perak maka pedang ini memancarkan cahaya
putih menyilaukan.
“Panglima! Kau mau maju
sendiri atau mengajak belasan anak buahmu?!” Jagal Iblis Dari Makam Setan
ajukan pertanyaan yang jelas-jelas sengaja mengejek.
Sang Panglima menjawab dengan
mengirimkan satu tebasan. Yang di arahnya adalah bagian leher lawan yang berada
di sebelah bawah.
“Wuuuuuttt!”
Kaki kanan Jagal Iblis Dari
Makam Setan menyambar ke arah leher lawan. Sang Panglima cepat merunduk sambil
teruskan membabat dengan pedangnya. Demikian derasnya sambaran senjata ini
hingga mengeluarkan suara bersiuran dan ada hawa dingin menyambar keluar dari
badan pedang.
“Wuuuuuttt!”
Tiba-tiba kaki kiri Jagal
Iblis ganti berkiblat. Yang di arah adalah bagian perut. Mau tak mau sang
Perwira terpaksa tarik pulang serangannya dan pergunakan senjata untuk
menghantam kaki kiri lawan. “Trangg!”
Pedang dan kaki beradu
mengeluarkan suara berdentrangan seolah kaki tulang putih itu sebilah senjata
tajam yang atos.
“Traaaak!”
Panglima Kerajaan berseru
tegang ketika bentrokan senjata dengan kaki membuat pedangnya patah dua! Dia
melompat coba selamatkan diri. Tapi malang salah satu kakinya terpeleset oleh
licinnya darah yang menggenangi lantai perahu. Tak ampun lagi tubuhnya
terhuyung jatuh. Di saat yang bersamaan laksana sebuah gunting raksasa kaki
kiri dan kaki kanan Jagal Iblis Dari Makam Setan datang menyambar. Sang
Panglima mengalami nasib sama dengan Momok Berdandan Jari Tiga serta Perwira
Muda dan beberapa prajuritnya. Mati dengan kepala teria bas putus!
Sisa-sisa prajurit yang masih
hidup runtuh dan leleh nyali mereka. Semua berserabutan menghambur lari ke
perahu besar masing-masing.
Datuk Tinggi Raja Di Langit
alis Jagal Iblis Dari Makam Setan tertawa panjang lalu berjungkir balik.
Kembali tegak dengan kaki ke bawah kepala di atas.
*
* *
DI ATAS perahu kecil Iblis
Pemalu duduk melipat kaki. Wajahnya disembunyikan di belakang sepasang telapak
tangannya yang diletakkan di atas paha.
Sabai Nan Rancak yang duduk di
ujung perahu menghadapi Iblis Pemalu pandangi orang itu dengan berbagai
perasaan. Ada rasa aneh, heran tetapi juga ada rasa penuh curiga. Setelah pulau
kecil itu lenyap di kejauhan Sabai Nan Rancak membuka mulut berusaha mengorek
keterangan.
“Waktu di tanah Jawa tempo
hari kau menunjukkan sikap bermusuhan denganku. Sekarang kau kelihatannya
sengaja menolongku! Iblis Pemalu kau menyembunyikan maksud busuk apa dalam
hatimu terhadapku?!”
“Uhhhh….” Iblis Pemalu
menggeliatkan tubuhnya seperti orang bangun tidur namun wajahnya tetap saja
disembunyikan di balik ke dua paha dan ke dua tangannya. “Pada dasarnya aku
tidak pernah merasa punya musuh! Buat apa! Memalukan saja! Sudah tua bangka
mencari musuh! Hanya anak-anak tolol yang suka bermusuhan hanya gara-gara
urusan sepele! Hidup paling enak adalah menjadi sahabat semua orang! Tidak
memalukan! Aku juga tidak merasa menolongmu!. Apa untungnya? Buktinya kau malah
mencurigai diriku mengandung dan menyembunyikan maksud busuki Sungguh aku merasa
malu!
Ucapan polos itu membuat wajah
si nenek menjadi merah karena jengah terasa diejek. Maka dia coba bicara
berbaik-baik. “Waktu di atas perahu aku berjanji memberikan salah satu dari dua
senjata sakti milik Datuk Tinggi. Aku tidak akan mengingkari janji!”
Kau boleh memilih salah satu
dari dua senjata ini. Mantel Sakti atau Mutiara Setan di dalam kantongi”
Iblis Pemalu geleng-gelengkan
kepalanya. “Kau tahu siapa diriku! Aku sangat malu menerima pemberian apa saja.
Apalagi kalau disangkutpautkan dengan pertolongan. Seolah aku ini orang yang
suka mencari pamrih! Aku malu menerima tawaranmu. Tapi aku tidak malu
mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu….”
Aku bukan orang baik!” kata
Sabai Nan Rancak.
Iblis Pemalu tertawa panjang
di balik paha dan telapak tangannya.
“Mengapa kau tertawa. Ada
sesuatu yang kau anggap lucu?!” tanya Sabai Nan Rancak heran.
“Manusia tidak bisa menilai
dirinya sendiri. Orang lain yang menilai orang lain. Jangan sebaliknya karena
itu hanya akan memalukan saja! Aku bilang kau orang baik! Karena begitu aku
melihatnya. Aku tidak malu mengatakan begitu….”
Sabai Nan Rancak menarik nafas
dalam.
“Mengapa kau menarik nafas?
Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?! Coba katakan kalau kau tidak malu! Aku
juga tidak malu mendengarkannya!”
“Terlalu banyak yang
mengganjal di hatiku!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya! Aku tahu kau punya
silang sengketa dengan Tua Gila. Lalu dengan muridnya bernama Wiro Sableng itu.
Entah dengan siapa lagi. Mungkin dengan Datuk Tinggi Raja Di Langit itu…. Mungkin
kau masih punya banyak persoalan lain yang aku tidak tahu. Aku malu menanyakan.
Kau juga pasti malu menceritakan. Itu namanya hidup. Semua sudah tersurat
sebelum kita dilahirkan! Apa kau anggap takdir itu memalukan?”
“Takdir…. Kau anggap jalan
hidup seseorang itu adalah satu takdir?!”
“Aku tidak malu mengatakan
iya! Karena manusia hanya bisa berbuat tapi takdir yang menentukan! Mengapa
harus malu mengakuinya? Mengapa harus malu menghadapi hidup! Biar segala yang
memalukan menjadi bagian diriku si buruk ini!”
Sabai Nan Rancak tertawa.
“Nah, nah! Tawamu sekali ini
polos. Benar-benar keluar dari lubuk hati yang putih. Aku suka, aku tidak malu
mendengarnya. Nek, sebenarnya kalau manusia mau kembali kepada hati nurani,
kembali ke lubuk sanubarinya segala urusan di dunia ini mudah-mudah saja. Tak
bakal ada silang sengketa. Tak akan ada dendam kesumat. Tak akan ada
permusuhan, apa lagi pembunuhan! Tak sampai membuat kita jadi malu besar! Tapi
apa mau dikata. Begitu yang namanya hidup di dunia. Memalukan!”
Lama Sabai Nan Rancak pandangi
orang yang duduk di hadapannya itu yang terus-terusan selalu menutupi wajahnya.
“Manusia satu ini tampaknya serba aneh. Sikap dan bicaranya. Tapi aku merasa
sebenarnya dia seorang pandai berhati polos.”
“Iblis Pemalu, kalau aku boleh
bertanya siapakah kau ini sebenarnya?” tanya si nenek sambil mendayung
membelokkan perahu lalu mengatur arah layar.
Perlahan-lahan Iblis Pemalu
angkat kepalanya dari atas paha. Namun dua tangannya tetap menutupi hingga
Sabai Nan Rancak tetap tak bisa melihat jelas raut wajah orang yang duduk dekat
di hadapannya itu.
Dari sela-sela jarinya
sepasang mata Iblis Pemalu pandangi wajah Sabai Nan Rancak. Dipandang seperti
itu si nenek jadi gelisah dan diam-diam tergetar hatinya. Jantungnya berdebar.
Seolah pandangan mata orang di depannya itu menimbulkan satu kontak yang terasa
aneh dalam dirinya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa
Iblis Pemalu.
“Nenek, kau ini bagaimana. Kau
sudah tahu siapa namaku. Bagaimana sifatku. Bagaimana tindak tandukku. Mengapa
kau masih bertanya siapa aku sebenarnya?! Ah! Aku jadi malu! Malu sekali!”
Sabai Nan Rancak ulurkan
tangannya memegang lengan kanan Iblis Pemalu. Si nenek terkejut ketika
jari-jarinya menyentuh lengan orang itu, kulit lengan itu terasa lembut dan
sangat halus. Debaran di dada Sabai kembali muncul. Dengan suara perlahan dia
berkata. “Siapapun kau adanya aku tahu ada sesuatu yang membuatmu sengaja
menunjukkan sikap aneh, seperti orang pemalu. Itu bukan sikapmu yang
sesungguhnya. Kau mungkin marah atau mungkin malu sekali mendengar kata-kataku
ini. Namun….”
Sapai Nan Rancak tidak
meneruskan ucapannya karena saat itu Iblis Pemalu telah berdiri. Dua tangannya
masih terus menutupi Wajahnya. “Siapapun adanya diriku, aku tetap aku!
Memalukan!” Terdengar suara Iblis Pemalu. Tapi suaranya kali ini terasa ada
getaran anehnya.
“Ada perahu mendatangi!”
Tiba-tiba iblis Pemalu berkata seraya berpaling ke arah kiri.
Sabai Nan Rancak memandang ke
jurusan yang diperhatikan Iblis Pemalu. Apa yang dikatakan memang benar. Sebuah
perahu kecil meluncur pesat dari arah daratan pulau Andalas. Setelah dekat
penumpangnya hanya satu orang tua dan bertampang luar biasa aneh yang membuat
baik Sabai Nan Rancak maupun Iblis Pemalu jadi agak bergeming.
Orang itu tegak di atas perahu
yang diapungkan sekitar dua tombak dari perahu dimana Sabai dan iblis Pemalu
berada. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kayu pendayung. Tubuhnya tinggi
besar sehingga perahu yang ditumpanginya tampak kecil. Dia mengenakan pakaian
serba hitam. Sepasang alisnya bergabung menjadi satu membentuk satu alis aneh
yang tebal. Pada wajahnya yang hitam legam terdapat dua belas lubang hitam.
Rambutnya jabrik kasar seperti ijuk. Yang membuatnya lebih mengerikan, adalah
sebuah lubang luka yang belum kering dan masih bernanah menggeroak di bawah
bahu kanannya!
Orang bermuka angker ini
menyeringai lalu berseru. “Sabai Nan Rancak! Dicari di daratan sulit sekali, di
tengah laut baru bertemu!”
“Kalau aku tidak keliru,
apakah kau yang di atas perahu adalah orang gagah yang dijuluki Hantu Balak
Anam?!” Sabai Nan Rancak balas berseru.
Si tinggi besar di atas perahu
kecil tertawa bergelak.
“Kalau tidak ada urusan
penting, tak bakal kau mencariku sampai ke tengah laut begini!”
“Kau pandai menerka!” jawab
Hantu Balak Anam. “Memang pertemuan ini kurang mengenakkan.” Hantu Balak Anam
melirik pada Iblis Pemalu lalu bertanya. “Siapa orang aneh yang selalu menutupi
wajahnya dengan dua tangan itu?!”
“Dia seorang sahabat baikku,
tak perlu dirisaukan!” jawab Sabai Nan Rancak.
“Aku percaya saja padamu.
Walau biasanya setahuku orang-orang aneh selalu membawa urusan pelik!”
“Hantu Balak Anam. Ada apa kau
mencariku?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku datang membawa satu
pertanyaan!”
Si nenek tersenyum. “Hanya
untuk satu pertanyaan kau sampai-sampai bersusah payah mencegatku di tengah
laut! Apa pertanyaan yang hendak kau ajukan itu? Ingin sekali aku
mendengarnya!”
“Apakah kau punya hubungan
tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?”
Pertanyaan itu membuat si
nenek terkejut tapi dia pandai menjaga agar air mukanya tidak berubah.
“Sutan Alam Rajo Di Bumi yang
di puncak Singgalang itu! Siapa tidak kenal dirinya! Semua tokoh silat di pulau
Andalas kurasa pernah berhubungan dengannya! Ada sesuatu yang luar biasa
agaknya?”
“Aku punya firasat dia adalah
biang racun segala kerusuhan di pulau Andalas!”
Sabai Nan Rancak tertawa
panjang. “Kau ini ada-ada saja Hantu Balak Anam….”
“Kau mau buktinya!” ujar Hantu
Balak Anam. Baju hitamnya dirobeknya di bagian pundak dan dada kanan hingga
luka berlubang yang tembus dari dada sampai ke punggung terpentang jelas
mengerikan. “Ini buktinya Sabai Dia hendak membunuhku dengan ilmu kesaktian
Sepasang Api Neraka!”
“Ah, kalau ada silang sengketa
di antara kalian hanya kalian berdua yang dapat menyelesaikan….”
“Silang sengketa sudah
terjadi. Lantai sudah terjungkat! Urusan antara aku dengan dia hanya selesai
jika salah satu dari kami menemui ajali” Hantu Balak Anam kelihatan bernafsu
sekali. “Sabai, kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau punya hubungan tertentu
dengan Sutan Alam?”
“Hemm…. Bagaimana aku harus
menjawab. Hubunganku dengan dia biasa-biasa saja….”
“Biasa-biasa bagaimana?! Aku
ingin tahu!”
“Seperti hubungan para tokoh
golongan putih lainnya!”
“Kau perempuan. Sutan Alam
laki-laki! Jangan berusaha menyembunyikan sesuatu Sabai!”
“Hantu Balak Anam. Selama ini
kita memang kurang dekat tapi ada pertalian persahabatan antara kita. Jika kau
bicara yang bukan-bukan apa lagi berani kurang ajar, aku akan menambahkan
sepuluh lubang di sekujur tubuhmu!”
Hantu Balak Anam tertawa
bergelak.
Iblis Pemalu sejak tadi sudah
gatal mulut hendak bicara. Tapi Sabai Nan Rancak memberi isyarat agar dia diam
saja hingga tidak membuat suasana bertambah keruh.
“Kalau kau tidak ada
pertanyaan lain, kami akan meneruskan perjalanan!”
Hantu Balak Anam lambaikan
tangannya. “Satu ha! harus kau ingat baik-baik Sabai. Jika di kemudian hari
ketahuan kau memang punya hubungan tertentu dengan Sutan Alam, aku akan kembali
menemuimu. Pada saat itulah aku terpaksa membunuhmu!”
“Ajal datangnya memang tidak
terduga Hantu Balak Anam. Akan kita lihat siapa yang duluan mati di antara
kita!” jawab Sabai Nan Rancak seraya lontarkan seringai dingin.
Hantu Balak Anam celupkan
dayungnya ke dalam air. Perahu kecilnya berputar lalu melesat ke arah timur.
“Manusia memalukan! Siapa dia
Nek?” bertanya Iblis Pemalu.
“Seorang tokoh di daratan
Andalas. Dulu sikapnya baik-baik saja. Kini seperti ada yang menyengatnya.”
“Lalu siapa pula Sutan Alam
Rajo Di Bumi yang disebutnya tadi? Manusia memalukan juga?”
Sabai tersenyum. “Sutan Alam
seorang tokoh sahabat segala tokoh golongan putih rimba persilatan pulau
Andalas. Ada lagi yang hendak kau tanyakan Iblis Pemalu?”
iblis Pemalu menatap si nenek
dari celah-celah jari tangannya. “Nek, kini kau sudah memiliki dua senjata
dahsyat. Kau akan jadi seorang tokoh besar. Kau tidak akan pernah merasa malu
lagi. Tidak sembarang orang sanggup menghadapimu. Tentunya kini kau bersemangat
mencari Tua Gila, musuh besarmu itu.”
“Aku memang telah memiliki dua
senjata hebat. Tapi tugasku jadi tambah berat…” jawab Sabai Nan Rancak.
“Eh, mengapa kau bicara
memalukan seperti itu? Bukankah berarti kau akan lebih mudah menghabisi kakek
itu? Memalukan) Kau berkata tugasmu jadi berat. Memangnya ada yang menugaskanmu
melakukan semua itu?! Jangan mau jadi orang suruhan Nek. Jangan sampai dirimu
dibuat malu!”
Sabai Nan Rancak terdiam.
Kemudian dia tampak tersenyum.
“Kalau tugasmu memang berat
agar tidak memalukan apakah menurutmu aku bisa menolong?!”
“Apa yang jadi tugasku adalah
urusanku sendiri. Terima kasih kau mau membantu. Tapi kurasa aku bisa
melakukannya sendiri.”
“Ah, bagaimana ini Nek. Aku
jadi malu mendengarnya. Tadi kau bilang tugasmu jadi berat. Mau ditolong kau
menolak malu. Apa sebenarnya tugas beratmu itu Nek?”
“Aku harus membunuh Tua
Gila….”
“Itu aku sudah tahu. Kau tidak
malu mengatakan aku tidak malu mendengarkan! Apa tugas lainnya yang kau katakan
sebagai tambah berat itu?”
Sabai Nan Rancak tak segera
menjawab. Dia merasa bimbang memberi tahu. Namun setelah berpikir tak ada
salahnya memberi tahu maka dia pun berkata. “Selain Tua Gila aku juga harus
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sinto Gendeng.”
Sepasang mata Iblis Pemalu
memancarkan kilatan aneh mendengar keterangan si nenek. Tapi kemudian dia
tertawa cekikikan. “Benar kataku tadi Nek. Hidup dan kehidupan manusia tidak
lebih dari sebuah, takdir! Kebanyakan merupakah takdir memalukan. Hik… hik…
hik. Aku sendiri merasa malu karena tidak tahu bagaimana cara matiku kelak!
Mati karena sakit atau mati dibunuh orang! Aku malu! Hik… hik… hik! Tapi Nek,
bagaimana kalau Datuk Tinggi mengejarmu?”
“Dia akan mati dengan senjata
miliknya sendiri yang diberikan padaku!” jawab Sabai.
“Ah, memalukan! Senjata makan
tuan!”
“Aku ingin bertanya, apakah
Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu sahabatmu?” Sabai ajukan pertanyaan sambi!
menatap tajam pada Iblis Pemalu.
“Uhhhh! Memalukan! Aku sudah
bilang aku tidak punya musuh di dunia ini. Malah yang namanya Sinto gendeng aku
belum pernah melihat ujudnya! Memalukan sekali!”
“Apa yang aku katakan padamu
ini adalah rahasia kita berdua. Jika sampai bocor, terpaksa aku membuat
kepalamu menjadi bocor!”
“Kepala bocor! Aduh malunya!”
kata Iblis Pemalu. Lalu dia kembali duduk mencangkung di lantai perahu. Seperti
tadi kepalanya yang ditutup tangan kini ditempelkannya di atas ke dua pahanya.
“Kita harus segera melanjutkan
perjalanan menuju daratan besar pulau Andalas,” kata Sabai Nan Rancak.
“Ya… ya! Memalukan kalau kita
sampai kemalaman di tengah laut!” jawab Iblis Pemalu.
Sabai Nan Rancak ambil dua
buah kayu pendayung. Begitu dia mengayuh perahu itu seolah melesat, meluncur
pesat di atas permukaan air laut.
TAMAT