Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
078 Pendekar Dari Gunung Fuji
1
SUARA siulan Pendekar 212
berhenti, berganti dengan decak penuh kagum. Saat itu dia berada di kaki Gunung
Fuji, memandang gunung berketinggian lebih dari 11.000 kaki yang sebagian besar
dikelilingi salju abadi.
Wiro rapatkan kerah baju
tebalnya. Musim dingin segera berakhir namun di kaki gunung, udara seperti
tidak mengalami perubahan walau matahari tampak terang benderang. Di
sekelilingnya pohon-pohon Sakura bertebaran. Kebanyakan tertutup salju tipis.
Dari dalam saku baju Wiro
keluarkan sebuah botol terbuat dari kaleng putih, lalu membuka tutupnya dan
meneguk isinya.
Wajahnya yang tadi pucat, kini
tampak kemerahan. “Kalau saja aku bisa dapatkan tuak, rasanya pasti lebih segar
dari sake ini. Tapi masih untung masih ada sake dari pada tidak sama sekali,
bisa mati kedinginan, Uhh…!”
Wiro masukan botol minuman ke
sakunya. Ketika hendak meninggalkan tempat, langkahnya terhenti oleh suara kaki
kuda. Wiro berpaling dan melihat seekor kuda coklat polos tak berapa jauh dari
dirinya. Seekor binatang liar yang kesasar. Tapi ketika mendekat, ada pelana.
Berarti dugaannya salah. Wiro dekati kuda coklat tadi. Langkahnya terhentak
ketika melihat noda merah di pelana dan badan kuda. Ketika memperhatikan tanah,
juga terdapat bercak merah. Bercak darah!
Pendekar 212 melangkah menuju
arah darah di tanah. Noda itu lenyap di dekat serumpunan belukar basah. Dia
kembali ke arah semula dan melacak darah dari arah kiri. Darah itu ternyata
menuju ke arah Gunung Fuji yang menjadi tujuannya. Kuda itu masih
menggesek-gesekan lehernya tapi tidak meringkik lagi. Wiro melangkah mendekati,
usap-usap leher dan memperhatikan bercak darah di pelana. Wiro mengusap bercak
di pelana lalu memperhatikan. Memang bercak darah.
Dengan dedaunan yang dipetik
di sekitar situ, Wiro bersihkan noda darah, lalu dengan menepuk leher kuda, ia
berujar, “Sobatku kau tentu sebelumnya membawa tuanmu yang terluka. Tapi entah
di mana dia sekarang. Saat ini biar aku yang menjadi tuanmu. Antarkan aku ke
Gunung Fuji,” setelah itu pendekar 212 langsung melompat ka atas pelana dan
menuju ke arah timur.
Walaupun jalan mendaki dan
licin, namun karena mengikuti jalan kecil yang sudah dibuat orang sebelumnya,
kuda coklat itu mampu berlari cepat. Ketika matahari tepat berada di atas Wiro,
ia telah berada ratusan kaki ke arah timur. Di sebuah ujung terlihat rumah
kayu. Di serambinya yang luas tampak empat sosok tengah mengelilingi tubuh yang
terbaring di lantai, berbantalkan kain tebal. Ketika mendengar suara kuda
mendekati, keempat orang itu segera berpaling. Dua orang melompat, dan yang
seorang berseru. “Pembunuh itu berani datang lagi!”
Dua orang menggerakkan
tangannya ke punggung. Terdengar suara gemeresek hampir bersamaan.
Dua orang tadi sudah berada di
halaman rumah yang tertutup salju tipis. Tangan keduanya sudah memegang sebilah
katana (pedang panjang) yang berkemilau terkena sinar matahari.
Saat Wiro sampai di hadapan
mereka, kedua orang itu sudah siap menyerang. Dua bilah pedang berkelebat.
Pendekar 212 berseru lalu meloncat dari atas pelana kuda. Dua katana menderu,
dan kuda coklat itu meringkik saat dua sabetan mengenai tubuh kuda. Darah
mengucur dari leher dan tubuh kuda sambil terus menjauh menuju ka arah barat.
“Tunggu dulu!” seru Wiro
ketika melihat dua pemuda sedang menghadang dan siap menyerangnya.
Kedua pemuda itu sesaat tampak
ragu, tapi akhirnya mereka menghentikan langkah. Sesaat mereka saling
berpandangan lalu memperhatikan Wiro penuh curiga. Sementara itu dari dalam
rumah terdengar suara halus bergetar.
“Apa yang terjadi
murid-muridku…?”
“Sensei! Kau tak boleh bicara.
Kau terluka berat!” yang menjawab adalah seorang gadis berwajah bulat yang
rambutnya dikuncir sebahu. Yang bertanya tadi adalah seorang tua dengan kimono
biru gelap dan terbaring di lantai serambi. Bagian tubuhnya dibalut dengan kain
tebal. Kain ini tampak basah oleh darah! Ternyata si orang tua sedang menderita
luka cukup parah. Kedua orang yang dari tadi berada di sana sudah sadar jika
yang dipanggil sensei itu sulit disembuhkan. Namun nyatanya masih bisa
mengeluarkan suara.
“Aku bertanya apa yang terjadi
Akiko…?”
Gadis bernama Akiko yang duduk
sambil mengusapi kening gurunya yang terluka parah itu menahan nafas sesaat
lalu dekatkan kepala ke telinga orang tua itu. “Salah seorang dari pembunuh itu
datang lagi, sensei…”
“Pembunuh itu datang lagi
katanya…? Tidak mungkin… Tidak mungkin Akiko!” Dengan mata yang masih tertutup,
orang tua yang dipanggil dengan sebutan sensei ini berkata pada muridnya yang
satu. “Ichiro, apa betul yang dikatakan Akiko tadi?”
Pemuda di samping kanan
seorang tua memandang ke arah halaman di mana dua saudara seperguruannya dengan
katana dalam genggaman dua tangan, tengah menghadapi seorang pemuda yang
barusan melompat dari kuda. “Memang ada yang datang sensei. Pakaian dan kuda
yang ditungganginya sama dengan salah seorang pembunuhmu. Namun aku meragukan
dugaan dua saudara. Orang yang datang ini adalah Gaijin… (sebutan untuk orang
asing).”
“Gaijin… Orang asing
maksudmu?” Orang tua yang terbaring berbantalkan gulungan kain batuk-batuk
beberapa kali. Dari sela bibirnya tampak ada darah yang keluar.
Akiko cepat menyeka darah itu
dengan sehelai sapu tangan seraya berbisik. “Sensei, jangan bicara lagi…”
Tapi si orang tua tidak
perdulikan. “Aku ingin melihat siapa yang datang. Aku memang tengah menunggu
seseorang sejak tiga tahun lalu..”
Lalu, walaupun dengan susah
payah, orang tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Namun lehernya terkulai dan
kepalanya jatuh kembali ke atas gulungan kain. “Sensei…!” Akiko terpekik.
“Anak-anak…, bawa aku ke dojo
(ruangan tertutup tempat berlatih silat)… Kalau aku memang ditakdirkan harus
mati, aku ingin mati di ruang latihan itu…”
“Baik sensei, kami akan
lakukan apa yang kau minta…” jawab Ichiro.
Sementara itu di halaman rumah
yang tertutup salju tipis, salah seorang pemuda yang memegang katana tukikkan
ujung pedangnya hampir mencium panah. Dalam ilmu pedang di Jepang, ini
merupakan salah satu kedudukan senjata yang sangat berbahaya. Karena ujung
pedang yang kelihatannya jauh dari sasaran itu tiba-tiba bisa melesat membabat
kaki, pinggang atau perut, bisa juga menebas leher atau menghantam kepala!
“Pemuda asing! Katakan siapa
dirimu?! Apa keperluanmu datang ke mari?!”
“Namaku Wiro Sableng! Aku
datang untuk menemui Horoto Yamazaki, seorang tua yang bergelar Pendekar Pedang
Matahari!” jawab Wiro. Lalu dia melirik ke arah serambi rumah di mana dia
melihat ada seorang tua terbaring didampingi seorang gadis dan seorang pemuda.
Wiro menduga, orang tua itu pastilah orang yang hendak ditemuinya. Apa yang
tengah terjadi di serambi sana?
Kemudian pemuda di samping si
orang tua tambak berdiri dan berteriak. “Kunio! Kenichi! Bantu kami menggotong
sensei ke ruang latihan!” Dua pemuda yang tengah menghadang Pendekar 212 Wiro
Sableng menatap tajam ke arah Wiro lalu keduanya saling memberi isyarat. Yang
satu segera berbalik dan lari ke arah serambi. Satunya lagi menyusul, namun
sebelum pergi sempat berkata.
“Pemuda asing! Tetap di
tempatmu! Jangan kau berani bergerak, walaupun hanya satu langkah!”
Wiro tidak menjawab, tapi
dalam hati dia berkata. “Setan! Jauh-jauh aku datang ratusan ribu langkah,
sampai di sini malah diperintah tidak boleh melangkah!” Ketika pemuda itu
berlari ke serambi, tanpa peduli Wiro melangkah pula ke arah bangunan.
Empat orang murid menggotong
sensei mereka ke dalam dojo Di sebelah dalam ternyata bangunan itu luas sekali
dan memiliki tempat latihan beralaskan tatami (alas lantai berbentuk
kotak-kotak).
Berbagai macam senjata
terdapat di sudut-sudut dan dinding ruangan.
Sang guru dibaringkan di
tengah dojo, di atas sebuah kasur jerami. Ketika itulah keempat murid menyadari
bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka berpaling ke arah pintu dojo dan
keempatnya menjadi marah. “Gaijin kurang ajar!” membentak Kunio Ota lalu
melompat ke ambang pintu di arah mana Wiro tengah melangkah masuk. Sambil
menghunus pedangnya, pemuda ini kembali menghardik. “Kami tidak mengundangmu
masuk! Aku malah sudah memperingatkan agar kau tidak boleh bergerak satu
langkah pun!”
Wiro menyeringai dan bungkukkan
badan lalu berkata, “Shitsurei shimasu, ga… (maafkan saya, tapi) di luar sana
dingin sekali. Lagi pula saya datang untuk menemui tuan rumah di sini…”
Telinga orang tua yang
terbaring di atas kasur jerami mendengar suara Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum murid-muridnya yang
marah melakukan sesuatu, orang tua ini cepat membuka mulut.
“Kunio, orang yang kau bentak
itu… Apakah dia orang asing yang kau maksudkan…?”
“Betul sensei!” sahut Kunio
Ota. “Dia telah berlaku lancang, masuk ke dalam ruangan ini!”
“Maafkan kalau ini tindakan
yang kurang sopan!” Wiro menyahuti. “Namun saya datang dari jauh.
Dari negeri ribuan pulau di
selatan untuk menemui tuan rumah! Bagaimana saya bisa menemuinya kalau bergerak
satu langkah pun tidak diizinkan?!”
Tiga pemuda murid si orang tua
bergumam marah. Hanya Akiko yang tampak tenang dan memandang ke arah Wiro tanpa
emosi sama sekali. “Orang asing, mendekatlah ke mari…” orang tua itu tiba-tiba
berkata.
Ketika Wiro melangkah, Kunio
Ota masih berusaha menghalangi. Namun tubuh pemuda ini merasa ada hawa aneh
keluar dari tubuh Wiro yang membuat tubuhnya terdorong dan kakinya terhuyung
dua langkah. Begitu Wiro lewat, dia cepat-cepat menyusul namun tidak berani
menghalangi lagi.
Wiro sampai di hadapan orang
tua yang terbaring di atas kasur jerami. Merasakan orang sudah ada di dekatnya,
orang tua itu membuka sepasang matanya yang sipit.
“Ah, kau memang pemuda asing
Gaijin, katakan namamu! Dari mana kau datang, apa keperluanmu…?!”
“Saya Wiro Sableng. Saya
datang dari Tanah Jawa, negeri seribu pulau jauh di selatan. Saya datang
membawa pesan dan surat dari guru saya. Apakah saya…” Wiro untuk pertama
kalinya melihat darah yang membasahi kain merah yang menutupi perut orang tua
itu. “Astaga! Kau terluka parah orang tua!” seru Pendekar 212.
“Jangan perdulikan apa yang
terjadi atas diriku. Teruskan ucapanmu… orang muda!” kata si tua.
“Apakah saya berhadapan dengan
Yamazaki san? Seorang samurai besar dan jago pedang berjuluk Pendekar Pedang
Matahari…?”
Orang tua itu tersenyum. Sepasang
matanya membesar sedikit. “Samurai…” desisnya. “Pendekar Pedang Matahari…”
sambungnya. “Semua itu nama besar yang tidak ada harganya lagi…”
“Sensei!” seru sang murid
bernama Ichiro Loki. “Jangan berkata seperti itu!”
Hiroto Yamazaki alias Pendekar
Pedang Matahari tersenyum kecut. “Hari ini aku si tua yang dulu begitu
diagungkan kini sudah dikalahkan oleh dua orang lawan. Apa aku masih pantas
menyandang semua nama besar itu? Pemuda asing siapa nama gurumu..?”
“Saya diutus oleh guru. Guru
saya bernama Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede di Tanah Jawa sebelah
barat…”
Mendengar keterangan pendekar
212 itu, untuk pertama kalinya muka pucat si tua berkimono itu tampak cerah.
Dia tersenyum lebar. “Sungguh satu kehormatan sebelum mati aku bertemu dengan
murid kawan lamaku. Anak muda, kalau kau benar murid Sinto Gendeng sahabatku
itu, perlihatkan dulu tanda pengenalmu!”
Wiro yang sebelumnya sudah
dipesan oleh guru Sinto, mendengar ucapan Yamazaki segera menyingkapkan baju
tebal dan baju putih yang dikenakannya. “Ah…, inezumi (rajah atau tatto) itu
212…. aku percaya kau memang murid kawan lamaku,” kata si orang tua begitu
melihat angka 212 di dada Wiro. Namun kemudian ia menyambung. “Tapi tatto
seperti itu mudah dipalsukan dan ditiru orang. Perlihatkan senjatamu…” Murid
Sinto Gendeng meragu. Lalu ia selinapkan juga tangannya ke balik pakaian.
Begitu tangan kanan itu keluar
dari balik pakaian maka berkelibatlah sinar putih perak menyilau di ruangan
latihan itu. Empat murid Hiroto Yamazaki terkesiap melihat Kapak Maut Naga Geni
212 yang ada dalam genggaman Wiro. Belum pernah mereka melihat senjata mustika
sedemikian mengesankan dengan sinar yang angker seperti itu.
“Kau memang murid sahabatku
Sinto Gendeng…” kata Yamazaki . “Waktuku tidak lama lagi. Serahkan surat Sinto
Gendeng yang kau bawa…!”
“Yamazaki-san .. surat akan
saya berikan. Tapi bagaimana jika terlebih dahulu kamu mengizinkan aku
memeriksa lukamu? Keselamatanmu lebih penting dari pada surat yang kubawa…”
Hiroto Yamazaki kembali
sunggingkan senyum. Lalu membuka mulut. “Ada ujar-ujar yang mengatakan: Seorang
kesatria baru menguasai sepenuhnya kehidupan seorang Samurai bila dia selalu
siap menghadapi kematian. Karena itu kau tak usah memikirkan keselamatanku
Wiro-san.
Aku justru beruntung diberi
kesempatan dewa untuk bertemu denganmu. Mana surat itu…?!”
“Sensei,” tiba-tiba Kunio Ota
membuka mulut. “Siapapun adanya pemuda ini saya tetap menaruh curiga. Dia
muncul dengan kuda milik pembunuhmu. Saya melihat noda darah di punggung kuda.
Mustahil tidak ada kaitannya dengan kedua pembunuh itu…!”
“Wiro-san… bisakah kau
menjawab ucapan muridku itu?” Orang ini sebenarnya percaya penuh dengan pemuda
itu, namun dia juga ingin semua muridnya mendengar penjelasan langsung dari
Wiro sendiri.
“Kuda coklat itu saya temui di
kaki Gunung Fuji. Binatang itu bersikap jinak dan aku tunggangi sampai kemari.
Saya tidak tahu siapa pemiliknya…”
“Bukan mustahil pemuda ini
kawanan pembunuh dan disuruh menyamar untuk memastikan kematian sensei atau
bagaimana…” kata Ichiro Loki
“Mungkin juga ia diminta
menyelidiki sesuatu di sini!” untuk pertama kalinya murid perempuan bernama
Akiko Besso mengeluarkan suara.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia
menjawab. “Segala kecurigaan bisa terjadi. Saya pikir tidak perlu diperpanjang
lagi. Guru kalian sedang sakit parah…” Dari balik bajunya Wiro keluarkan sebuah
lipatan kertas pada Hiroto Yamazaki. “Terimalah, ini surat dari guru saya…”
Yamazaki menerima dan membuka dengan tangan gemetar lalu membacanya.Sahabatku
Hiroto
Aku mengharapkan kau dalam
keadaan baik-baik dan sehat. Dunia ini kadang terasa sempit, kadang terasa luas
dan jauh. Seperti halnya kita. Ternyata aku hanya mampu mengutus muridku untuk
menemuimu di kaki Gunung Fuji yang sejuk dan indah ini. Sesuai janji kita empat
puluh tahun silam, muridku memberi petunjuk mengenai Pukulan Sinar Matahari.
Itu jika kau bermaksud memilikinya. Untuk keperluan itu kau tidak perlu ganti
imbal apa-apa. Ini sesuai dengan kepribadian seorang samurai yang tidak kenal
pamrih.
Sahabatmu
Sinto Gendeng
Hiroto Yamazaki menurunkan
tangannya dan meletakkan surat Sinto di atas dadanya. “Aku bahagia… aku bisa
pergi dengan tenang,” lalu dia berpaling kepada Pendekar 212 dan berkata,
“Wiro-san aku tidak mungkin lagi punya waktu mempelajari Pukulan Sinar matahari
yang hebat itu…, jika kamu tidak keberatan dan mereka mau, ajarkanlah pada
murid-muridku. Mungkin dengan ilmu itu mereka bisa membuat perhitungan dengan
pembunuhku…” lalu satu demi satu Yamazaki memperkenalkan nama muridnya itu.
Wiro membungkuk. “Akan aku
lakukan apa yang kau minta Yamazaki -san.”
“Bagus… aku punya firasat
hanya kau yang bisa membantu muridku menghadapi orang Lembah Hozu yang jahat
dan kejam. Lebih dari itu, aku mendapatkan petunjuk seorang pendekar akan
muncul di Gunung Fuji ini. Seorang yang pantas disebut dengan Pendekar Gunung
Fuji. Kaulah orangnya Wiro-san…”
Wiro tak berani menjawab.
Diam-diam dia melirik kepada murid Yamazaki. Kelihatan sekali dari raut muka
mereka tidak senang dengan ucapan gurunya itu. Ketika Wiro menegakkan badan
kembali, terdengar jeritan Akiko Besso. Tiga murid lainnya ikut berseru. Wiro
menatap sosok dan wajah Yamazaki. Kedua matanya tertutup. Orang tua itu tidak
bergerak dan tidak bernafas lagi.
Salju turun lagi
perlahan-lahan. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di tangga depan rumah kediaman
mendiang Hiroto Yamazaki. Di salah satu ruangan di dalam sana, empat orang
murid Yamazaki tengah bersembahyang dihadapan abu sang guru yang diperabukan
tiga hari lalu.
Wiro teguk sake dalam botol
kaleng. Ketika baru saja dia menyimpan botol minuman itu ke dalam saku baju
tebalnya, dibelakangnya dia mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Wiro
berpaling. Ichiro Loki, Kunio Ota dan Kenichi Asano melangkah dari ruangan
dalam. Wiro berdiri menyambut ketiga pemuda itu. Dia belum melihat Akiko. Gadis
itu mungkin masih bersembahyang di dalam.
“Gaijin!” menegur Kunio Ota,
“Kami tidak suka melihat kau masih ada di tempat ini! Apakah itu belum jelas
bagimu?”
“Cukup jelas Ota-san. Saya
hanya menunggu keputusan dari kalian mengenai ucapan mendiang Yamazaki-san.
Yaitu menyangkut ilmu Pukulan Sinar Matahari yang beliau minta untuk diajarkan
pada kalian. Jika kalian suka…?”
“Kami cukup punya kepandaian.
Kami sudah memutuskan bahwa kami tidak perlu segala macam pelajaran ilmu
pukulan dirimu!” menukas Kunio Ota.
“Apakah Akiko Bessho
berpendapat begitu juga?” Tanya Wiro. “Cukup satu saja murid Pendekar Pedang
Matahari berkata. Itu berarti berlaku dan mewakili semuanya!” jawab Kunio Ota
pula.
“Jika memang begitu keputusan
kalian, saya tidak memaksa. Saya hanya menjalankan pesan guru saya dan pesan
sensei kalian. Sekarang saya minta diri…” Wiro membungkuk. Ichiro dan Kenichi
balas membungkuk. Hanya Kunio Ota yang tidak mau balas menghormat. Ketika Wiro
berbalik dan hendak melangkah pergi tiba-tiba pemuda ini berkata, “Tunggu
dulu!”
Wiro berpaling dan menunggu.
“Kau datang dengan maksud hendak mengajarkan sesuatu pada sensei. Sebelum
menghembuskan nafas, sensei meminta agar kau mengajarkan ilmu Pukulan Matahari
pada kami. Tampaknya kau ini seperti seorang yang luar biasa. Memiliki
kepandaian tinggi, bahkan merasa lebih tinggi dari guru kami sendiri!”
“Saya tidak mengatakan maupun
merasa begitu!” jawab Wiro. “Seperti saya katakan, saya hanya menjalankan
pesan. Jika kalian merasa tidak perlu atau tidak suka tidak menjadi apa.”
Kunio Ota berbisik-bisik
dengan dua pemuda lainnya. Yang dua mengangguk-angguk. Lalu Kunio berkata.
“Sebelum kau pergi, kami ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu dalam
ilmu bela diri, dan kami tidak suka sebagai orang asing kau merasa lebih hebat
dari kami di negeri kami sendiri!”
“Saya tidak merasa lebih
hebat. Karenanya tidak ada gunanya kalian menguji saya,” jawab Wiro.
“Kalau hanya untuk menunjukkan
kebodohan, mengapa jauh-jauh datang kemari!” mengejek Kunio Ota, lalu pemuda
ini tertawa diikuti oleh dua kawannya.
“Terima kasih atas tertawa
kalian yang tidak sedap didengar dan dilihat!” Wiro bungkukkan diri lalu
memutar langkahnya. Tahu-tahu Kunio Ota sudah menghadang di depannya. Diam-diam
Wiro merasa kagum akan kecepatan gerakan orang ini dan hampir tanpa suara.
“Kami menantangmu! Kami
menunggu di dojo. Jangan kau berani menolak karena itu berarti penghinaan bagi
kami!”
Pendekar 212 menyeringai.
“Justru bagiku yang menantang adalah pihak yang menghina!” Jawab Wiro kasar dan
kini mulai jengkel. Dia melewati ketiga pemuda itu lalu sebelum mereka masuk ke
dalam ruang latihan yang besar, murid Sinto Gendeng sudah lebih dulu berada di
situ!
“Silakan siapa di antara
kalian yang hendak menunjukkan kebolehannya lebih dulu. Aku orang bodoh hanya
siap menerima petunjuk!” Lalu Wiro melompat ke tengah dojo.
Kunio Ota maju ke hadapan
Wiro. “Dengan tangan kosong atau pakai senjata?” murid Hiroto Yamazaki itu
bertanya.
“Aku lebih suka tangan
kosong!” jawab Wiro sambil usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.
Baru saja Wiro menyahut
demikian, Kunio Ota langsung berteriak keras dan menghantam dengan tangan
kanannya ke arah muka Pendekar 212. Dari suara angin pukulan lawan, murid Sinto
Gendeng segera memaklumi kalau Kunio Ota menggabungkan kekuatan tenaga dalam
dan tenaga luarnya dalam melancarkan serangan. Hal semacam ini jarang dilakukan
orang karena memang tidak mudah untuk menjalankannya.
2
Wiro angkat tangan kirinya
untuk menangkis. “Bukk!” Dua lengan saling beradu. Wiro Sableng terpental
hingga menghantam dinding sedang Kunio Ota jatuh duduk di atas tatami.
Murid Sinto Gendeng merasakan
lengannya sakit bukan kepalang. Rasa sakit ini anehnya menjalar cepat ke
sekujur tubuh hingga dia menggigil seperti orang kedinginan. Ketika
diperhatikannya lengan kanannya, lengan itu tampak bengkak merah dan biru!
Wiro memaki panjang pendek dan
merasa menyesal mengapa tadi dia hanya mengerahkan tenaga dalamnya sedikit saja
sehingga dia kini mendapat cedera. Sebenarnya Wiro sangat menghormati keempat
murid Hiroto Yamazaki itu, apalagi gurunya Eyang Sinto Gendeng telah berpesan
agar mampu membawa diri sebaik-baiknya di negeri orang. Wiro sesaat tegak diam
sambil usap-usap lengan kanannya yang mendenyut sakit.
Kunio Ota melompat berdiri di
atas tatami. Dengan sikap dan air muka penuh mengejek dia berkata.
“Kalian lihat sendiri! Dengan
kemampuan seperti itu dia menyombongkan diri hendak memberi pelajaran pukulan
sakti pada kita! Kepalanya malah tambah besar karena sensei menyebutnya
Pendekar Gunung Fuji! Cuah!” Kunio Ota meludah ke lantai. “Gaijin! Siapapun kau
adanya kami harap kau segera meninggalkan tempat ini! Kami hendak meneruskan
sembahyang menghormati arwah guru…!”
Wiro mengangguk. Dia melangkah
ke hadapan meja sembahyang di mana disimpan abu Hiroto Yamazaki. Dia membungkuk
dalam-dalam beberapa kali. Lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Begitu Wiro lenyap, Kenichi
Asano berkata. “Mari kita teruskan sembahyang. Kunio Ota, kau yang tua di
antara kita. Kau yang memimpin upacara…” Lalu Kenichi, Akiko dan Ichiro memberi
jalan pada Kunio untuk maju ke hadapan meja sembahyang. Tetapi orang yang
diminta untuk memimpin acara sembahyang itu tetap diam saja di tempatnya.
“Apa yang terjadi?” Tanya
Akiko heran, begitu juga Kenichi. Ichiro Loki memeriksa sekujur tubuh Kunio,
mengangkat-angkat kedua tangannya. Setiap diangkat, kedua tangan itu kembali ke
kedudukannya semula secara kaku. Kenichi dekatkan telinga kirinya ke dada
Kunio. “Aku mendengar detak jantungnya! Dia masih hidup! Tapi mengapa tidak
bisa bergerak tidak bisa bersuara?” ujar Kenichi sesaat kemudian, seraya
memandang heran pada saudara-saudara seperguruannya.
“Aku ingat sejenis ilmu aneh
yang datang dari daratan Tiongkok dan mulai dikembangkan di negeri ini…”
berkata Kenichi.
“Maksudmu ilmu menotok jalan
darah?” tanya Ichiro.
Kenichi mengangguk, “Kunio
bukan hanya ditotok jalan darahnya sehingga kaku, tapi jalan suaranya juga
terbendung hingga dia tak sanggup bicara!”
“Lalu siapa yang menotoknya?”
tanya Akiko.
“Ya! Siapa…?!” ikut bertanya
Ichiro.
“Siapa lagi kalau bukan si
gaijin itu!” sahut Kenichi.
“Ah mana mungkin!” tukas
Ichiro. “Aku tidak melihat pemuda asing itu menggerakkan tangannya atau
mendekati Kunio. Dia tadi hanya melangkah ke meja sembahyang lalu meninggalkan
ruangan ini… Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Atau barangkali ada hantu di
tempat ini?”
“Tidak ada hantu di sini
Ichiro. Aku yakin pemuda itu yang melakukannya. Dia memiliki kecepatan yang
hanya bisa dilakukan oleh seorang ninja!”
“Kalau begitu dia bukan
manusia sembarangan. Tapi mengapa ketika beradu pukulan dengan Kunio tadi dia
terpental jauh dan lengannya tampak bengkak wajahnya memperlihatkan rasa
sakit!” kata Akiko pula.
“Hemmm…” Akiko Bessho menggumam.
Dia melangkah memutari tubuh Kunio Ota.
“Bagaimana kita membebaskan
Kunio dari totokan ini. Kenichi…?” Kenichi Asano mendekati Kunio. Dia memeriksa
beberapa tubuh pemuda itu. Ketika dia menyingkapkan kerah baju Kunio,
dilihatnya ada tanda merah pada pangkal leher sebelah kiri. Kenichi kerahkan
tenaga dalamnya ke ujung ibu jari tangan kanan lalu dia mulai mengurut pangkal
leher Kunio. Selang beberapa ketika Kunio terdengar keluarkan suara keluhan
pendek. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau tidak dipegang oleh Ichiro.
“Kau sadar apa yang kau alami
Kunio?” bertanya Akiko.
“Entahlah. Aku mendengar suara
kalian. Tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa membuka mulut…” jawab Kunio Ota.
“Gaijin itu telah menotok urat
besar di pangkal lehermu!”
“Hah?” Kunio raba pangkal
lehernya. “Bagaimana dia bisa melakukannya? Dia bukan orang Cina! Hanya
pendekar-pendekar Cina yang punya ilmu kepandaian menotok orang!”
Kenichi menarik nafas dalam.
“Ilmu menotok itu sudah ada ratusan tahun lalu. Mungkin lebih dulu dipelajari
di negeri si gaijin itu dari pada di sini. Dia telah memberi pelajaran padamu
dan pada kita.
Paling tidak dia kini membuat
mata kita lebih terbuka. Kurasa waktu kau menjajalnya tadi dia tidak melayani
sepenuh hati…”
Merahlah peras Kunio Ota.
“Adik Kenichi, kau seperti mengejek aku! Aku akan cari orang itu dan
mengajaknya untuk adu kekuatan sampai seratus jurus!”
Ichiro gelengkan kepala. “Aku
tidak setuju. Ada hal lain yang lebih penting harus kita lakukan. Mencari dua
orang pembunuh sensei!”
“Kau betul kak Ichiro,”
menyatakan Akiko. “Hal itu harus kita bicarakan sekarang! Tetapi bagaimana
kalau kita terlebih dahulu mengamankan barang-barang pusaka milik sensei…?”
“Ah…? Kau betul Akiko!” kata
Kenichi. “Mari kita sama-sama masuk ke dalam kamar tidur sensei…” Lalu keempat
orang itu tinggalkan ruangan sembahyang, menuju ke kamar tidur mendiang Hiroto
Yamazaki. Hanya sesaat kemudian saja, di dalam kamar itu mendadak terjadi
kegegeran!
Keempat anak murid Hiroto
Yamazaki itu telah menemukan senjata-senjata pusaka milik guru mereka, yakni
sebilah katana dan seperangkat busur serta anak panah. Tetapi setelah
menggeledah seluruh sudut kamar, membalik kasur, membongkar lemari dan
memeriksa lapisan-lapisan loteng dan dinding kamar, mereka sama sekali tidak
menemui sebuah kitab kuno berisi pelajaran Kendo yang amat langka.
Keempat anak murid yang baru
saja ditinggal mati guru mereka itu saling pandang. “Kitab itu sangat berharga
sekali. Sensei malah menganggapnya sama berharganya dengan nyawanya sendiri.
Sensei belum sempat
mengajarkan keseluruhannya pada kita. Dan kini kitab itu lenyap!” Kenichi Asano
berkata sambil melangkah mundar-mandir dalam kamar.
“Aku punya dugaan keras Gaijin
itulah yang telah mencurinya!” kata Kunio Ota pula seraya mengepalkan tinjunya!
“Kurang ajar! Kita harus cari
dia sampai dapat!” kata Ichiro Loki. Kunio Ota cabut pedangnya dari balik
punggung lalu melangkah ke hadapan meja sembahyang di mana terletak abu Hiroto
Yamazaki. Sambil melintangkan katana di depan dadanya pemuda ini berkata
“Sensei, aku muridmu Kunio Ota, bersumpah di hadapan abumu akan memenggal
batang leher pencuri itu!” lalu pemuda ini mendahului yang lain-lainnya keluar
dari ruangan sembahyang itu.
“Aku heran…” Kata Akiko pada
Ichiro dan Kenichi. “Jika memang betul pemuda asing itu yang mencuri kitab
tersebut, bagaimana mungkin dia mengetahui tempat sensei menyimpannya. Sejak
beliau meninggal, kamar ini selalu diawasi paling tidak oleh dua orang di
antara kita. Lalu jika dia memang murid sahabat guru kita, masakan begitu culas
melakukan pencurian…”
“Jangan-jangan dia murid palsu
yang menyamar datang kemari padahal maksud sebenarnya adalah untuk mencuri
kitab itu!” ujar Ichiro pula.
“Tapi dia telah memperlihatkan
bukti-bukti dirinya pada sensei. Dan guru kita mengakui kebenaran tanda-tanda
yang diperlihatkannya…”
“Saat itu guru kita tengah
dalam keadaan sekarat,” berkata Kenichi. “Besar kemungkinan dia tidak lagi
dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu…”
“Jadi pemuda itu datang
jauh-jauh hanya untuk mencuri kitab Kendo milik guru!” kata Akiko.
“Mungkin itu hanya sebagian
kecil saja dari maksud kedatangannya ke negeri kita ini. Pasti dia membekal
maksud lain yang lebih jahat!” berkata Ichiro.
“Kalau begitu aku setuju
dengan rencana Kunio. Manusia satu itu harus dipenggal batang lehernya!” kata
Kenichi pula.
“Rencana harus diatur
sekarang,” kata Ichiro. “Aku dan Kenichi akan mengejar pembunuh guru. Akiko,
Kunio mencari pemuda asing itu.”
“Hati-hatilah kalian berdua,”
kata Akiko. “Jika dugaan kita benar bahwa pembunuh guru adalah kelompok sesat
orang-orang Lembah Hozu, mereka sangat berbahaya. Mereka ahli memainkan panah
beracun!” Kenichi dan Ichiro mengangguk.
Ichiro berkata, “Beritahu pada
Kunio bahwa aku dan Kenichi akan berangkat besok malam agar bisa sampai Lembah
Hozu dua hari kemudian. Kita bertemu lagi di sini pada Gesuyobi (hari Senin)
minggu pertama bulan depan…”
“Baik! Kita bertemu lagi di
sini hari Senin pertama bulan depan…” mengulang Akiko Bessho.
Malam itu udara tidak seberapa
dingin. Di langit, bulan setengah lingkaran muncul tanpa tersaput awan. Dua
bayangan bergerak cepat di antara kerapatan pepohonan di Lembah Hozu. Sesekali
terdengar suara burung malam di kejauhan.
Orang yang lari di depan
sesaat berhenti lalu berbisik kepada kawannya. “Kenichi, sebentar lagi kita
akan memasuki kawasan Lembah Hozu. Periksa lapisan besi yang menutupi dada dan
punggungmu…”
Kenichi lalu memeriksa baju
besi tipis yang melindungi dada dan punggungnya. Ichiro melakukan hal yang
sama.
“Bagaimana dengan senjata
peledak?” Ichiro kembali berkata. Kenichi memeriksa lima buah benda bulat
sebesar kepalan yang terbuat dari besi. Kelima benda ini tergantung di
pinggangnya dan merupakan senjata peledak yang bisa menghancurkan bangunan.
Ichiro juga membekal lima senjata peledak yang sama.
“Orang-orang Lembah Hozu
biasanya suka minum-minum sampai larut malam. Berarti kita harus bersabar
menunggu sampai menjelang pagi, pada saat mereka mulai keletihan dan setengah
mabuk…” Kenichi mengangguk mendengar ucapan Ichiro itu. Keduanya kemudian
bergerak kembali dalam kegelapan malam dan udara dingin.
Akhirnya kedua orang murid
mendiang Hiroto Yamazaki itu sampai di bibir Lembah Hozu sebelah selatan. Jauh
di bawah sana mereka melihat nyala obor banyak sekali. Di hadapan sebuah meja
pendek, tampak sekitar sepuluh orang lelaki berpakaian dan berikat kepala serba
putih duduk berkeliling. Setiap orang ditemani oleh seorang Geisha (wanita
pelayan pada tempat-tempat tertentu). Semuanya asyik menyantap makanan dan
meneguk minuman. Sesekali terdengar suara gelak tawa. Lalu ada seorang
perempuan separuh baya yang duduk agak terpisah memetik Shamusen (instrumen
musik dengan tiga senar).
“Setahuku kelompok mereka ada
tujuh belas orang, mana tujuh lainnya…?” berbisik Ichiro. Kenichi tak menjawab,
ia memandang ke arah lembah seperti tengah menghitung-hitung. “Kau membawa
teropong…?” bertanya Ichiro. Kenichi lalu menyerahkan sebuah teropong kecil.
Ichiro menarik habis teropong satu lensa ini lalu mengintai ke arah lembah.
Satu demi satu dia mengawasi muka-muka yang ada di lembah. Dia mengenali wajah
orang keempat dan kesembilan, lalu berbisik pada Kenichi. “Aku mengenali wajah
dua pembunuh sensei. Mereka ada di bawah sana…”
Kenichi mengangguk. “Mereka
ada di sana, aku tidak sabar lagi Ichiro. Apakah baiknya kita langsung
menyerbu…?”
Baru saja Kenichi berkata
begitu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari arah timur lembah.
Bersamaan dengan itu, sepuluh
orang yang berada di meja bawah sana serentak melompat berdiri sambil mencabut
katana dari punggung masing-masing. Para Geisha berlarian ke satu arah.
Perempuan yang memainkan
shamusen berhenti memainkan peralatan musik itu dan ikut lari ke arah lenyapnya
para Geisha.
“Celaka!” bisik Ichiro.
“Agaknya mereka telah mengetahui kedatangan kita.” Baru saja Ichiro Ioki
berkata begitu, di atas mereka terdengar suara berdesing. “Awas, serangan
panah!” teriak Ichiro.
Dia segera menunduk dan cabut
katana-nya. Kenichi juga segera mencabut pedangnya dan melompat ke balik sebuah
pohon besar. Dua buah anak panah menancap di batang pohon itu. Ichiro putar
pedangnya ketika terdengar suara berdesing untuk kesekian kalinya. “Trang…!
Trang…!” Dua anak panah runtuh ke bawah.
“Para pembokong itu ada di
atas pohon sebelah sana!” bisik Ichiro. Dia segera mencabut senjata peledak
yang ada di pinggangnya. Sebuah anak panah menghantam bahunya. Untung bagian
bahu itu masih terlindung baju besi yang dipakainya hingga dia tidak cedera
sedikit pun. Ichiro bergerak dua langkah ke samping kanan lalu lemparkan
senjata peledak ke arah pohon besar di mana tadi dia melihat bayangan tiga
orang pembokong bersenjatakan panah.
Terdengar suara berdentum.
Nyala terang bola api berkilat, sesaat keadaan terang benderang. Di atas pohon
besar yang hancur porak poranda, terdengar jeritan tiga orang. Ketiganya
terlempar jatuh ke tanah dan telah mati lebih dahulu dalam keadaan
terkutung-kutung sebelum tubuh masing-masing mencium tanah.
“Kenichi! Orang-orang di
lembah berusaha mencapai tempat ini! Lekas kau cegat dengan senjata peledak!”
berteriak Ichiro ketika dilihatnya di bawah sana sepuluh lelaki yang tadi duduk
mengelilingi meja kini berlari sangat cepat menaiki lereng lembah menuju tempat
di mana dia dan Kenichi berada.
Kenichi menyelinap di balik
kerapatan pepohonan lalu loloskan sebuah senjata peledak. Tak lama kemudian
terdengar suara berdentum di arah timur. Beberapa pohon dan semak belukar
rambas.
Namun tidak terdengar suara
jeritan. Di lain saat malah terdengar orang-orang lembah berteriak.
“Kurung yang satu ini! Tangkap
hidup-hidup!”
Lalu terdengar suara senjata
saling beradu disertai bentakan-bentakan. Ichiro masih sempat mendengar suara
jeritan Kenichi ketika di hadapannya tiba-tiba muncul enam orang bersenjatakan
pedang. Dia tidak sempat mencabut senjata peledaknya. Dengan katana , Ichiro
hadapi keenam lawan yang datang. Namun saat itu sebatang anak panah beracun
yang dilepaskan lawan dari tempat gelap berhasil menancap di paha kanannya.
Dengan kertakkan rahang
menahan sakit, Ichiro cabut anak panah itu. Namun sebagian racun panah telah
larut dalam aliran darahnya! “Manusia-manusia Lembah Hozu keparat! Kalian telah
membunuh guru! Majulah untuk menerima hukuman!” teriak Ichiro. Terdengar suara
tertawa bergelak dalam gelap. Lalu enam sosok tubuh melompat. Enam katana
menggebrak berbarengan.
Ichiro menangkis tiga tebasan
pedang. Tiga lainnya dielakkan dengan jalan melompat ke belakang.
Ketika salah seorang lawan
kembali menyerbu, Ichiro keluarkan suara mengerang dan katana yang digenggam
dengan kedua tangannya berkelebat ganas. Satu jeritan menggema dalam kegelapan
malam. Orang di depan Ichiro menggeletak dengan perut robek. Lima kawannya
berteriak marah lalu serempak menyerang.
“Kita berhasil menangkap yang
satu ini!” terdengar suara orang berteriak.
“Ah! Mereka berhasil menangkap
Kenichi!” keluh Ichiro, lalu putar pedangnya dengan sebat.
Terdengar suara berdentangan.
Tiga sosok bayangan muncul lagi dari dalam gelap. Kini ada delapan orang yang
mengeroyok Ichiro. Tak ada kemungkinan bagi pemuda ini untuk menghadapi begitu
banyak lawan. Dia membuat gerakan seperti katak, melompat dan berhasil menjauhi
para pengeroyok. Sebelum lawan-lawannya mengejar, dia segera loloskan sebuah
senjata peledak.
“Awas bola peledak!” teriak
seseorang. “Bummmm!” Ledakan keras menggema. Lidah api muncrat ke berbagai
jurusan. Dua jeritan terdengar bersama rambasnya semak belukar dan tumbangnya
sebatang pohon. Ichiro lari sekencang yang bisa dilakukannya sementara luka di
paha kanannya terasa semakin sakit. Kaki kanannya seperti kaku. Dua anak panah
melesat menghantam punggungnya, namun baju besi yang dikenakannya berhasil
melindungi.
Ichiro lari terus hingga ia
sampai di mana dia dan Kenichi sebelumnya meninggalkan kuda masing-masing.
Ichiro cepat naik ke atas pelana dan menghambur tinggalkan tempat itu. Ketika
orang-orang Lembah Hozu sampai di tempat itu, Ichiro sudah terlalu jauh, tak
mungkin dikejar lagi.
Ichiro sampai di tempat
kediaman gurunya sesaat sebelum matahari terbit. Dia langsung masuk ke dalam
kamar dan mengambil secarik kertas serta alat penulis. Dengan tubuh panas
dingin akibat racun panah yang mulai bekerja menyerang jantung dan
paru-parunya, Ichiro mulai menulis. Lalu dengan membawa kertas itu dia masuk ke
dalam ruangan sembahyang dan berlutut di depan abu gurunya. “Sensei, harap
maafkan diriku. Sebagai murid, aku merasa tidak layak lagi hidup. Aku tidak
dapat membela nama guru. Aku tidak berhasil menumpas orang-orang Lembah Hozu.
Malah mereka berhasil menangkap Kenichi. Aku malu untuk hidup lebih lama.
Sensei aku mohon ampunmu… Aku harus menebus kebodohanku dengan melakukan
Seppuku… (bunuh diri)”
Ichiro letakkan kertas yang
tadi ditulisnya di kaki meja sembahyang, lalu mencabut katana-nya siap
ditikamkan ke perutnya. Tiba-tiba di saat yang tepat dua tangan kokoh menahan
gerakan tangan Ichiro. Sebelum pemuda ini jatuh pingsan, dia masih sempat
melihat wajah orang yang barusan mencegahnya melakukan bunuh diri itu!
Dua orang berkelebat masuk ke
dalam ruangan sembahyang dan keduanya sama berseru keras ketika melihat tubuh
Ichiro tergeletak menelungkup di atas tatami. Paha kanannya dibalut. Tak berapa
jauh dari situ tergeletak katana milik pemuda ini. Lalu di dekat kaki meja
sembahyang ada sehelai kertas bertuliskan huruf-huruf kanji.
Ternyata dua orang yang
barusan datang adalah Akiko Bessho dan Kunio Ota. “Kau lekas periksa
keadaannya! Aku akan membaca apa yang tertulis di kertas ini!” kata Kunio.
Setelah membantu Akiko membalikkan tubuh Ichiro, Kunio mengambil kertas di kaki
meja lalu membacanya.
Saudara-saudaraku seperguruan,
terlalu memalukan bagiku untuk hidup. aku bukan saja gagal menuntut balas
terhadap orang-orang Lembah Hozu yang telah membunuh sensei, tetapi mereka
bahkan berhasil menangkap Kenichi! Maafkan diriku. Hanya ada satu jalan untuk
menutup rasa malu menebus kegagalan itu, yakni dengan melakukan seppuku Ichiro
Ioki
“Orang tolol!” maki Kunio
sambil membanting surat itu ke lantai. Lalu dia beringsut mendekati Akiko yang
bersimpuh di lantai, tengah berusaha menyadarkan Ichiro dari pingsannya.
“Ichiro… Ichiro! Bangun… Ayo buka matamu!” kata Akiko berulang kali sambil
menepuk-nepuk pipi saudara seperguruannya itu.
“Ada keanehan kulihat…”
berkata Kunio sambil memandangi sosok Ichiro.
3
“Apa maksudmu,” tanya Akiko.
“Ichiro jelas hendak melakukan
harakiri (bunuh diri). Karena itu dia menulis surat untuk kita.
Tetapi entah mengapa dia tidak
melakukannya. Paha kanannya dibalut dan ada rembesan darah.
Mungkin sekali pahanya ditusuk
panah beracun orang-orang Lembah Hozu. Kalau betul, lalu mengapa saat ini dia masih
hidup? Siapa yang membalut luka beracun di pahanya?”
Terdengar keluhan pendek. “Dia
siuman!” pekik Akiko gembira. Lalu kembali gadis ini menepuk-nepuk pipi Ichiro.
“Sadar Ichiro… Sadar! Katakan pada kami apa yang terjadi!” kata Akiko pula.
Perlahan-lahan Ichiro membuka
kedua matanya. “Dia… di mana… di…dia…?” suara itu keluar terbata-bata dari
mulut Ichiro.
“Dia siapa maksudmu Ichiro?”
tanya Kunio.
“Dia… dia… Gaijin itu…”
“Gaijin…?” mengulang Akiko
sambil saling pandang dengan Kunio. “Maksudmu pemuda asing yang muncul membawa
surat untuk sensei tempo hari…?”
“Betul…”
“Apa yang telah dilakukannya
terhadapmu Ichiro? Katakan apa dia telah berlaku jahat terhadapmu…?!”
Ichiro membasahi bibirnya yang
kering dan kesat lalu gelengkan kepala. Dia berusaha bangun dan duduk. Saat
itulah dia melihat paha kanannya dalam keadaan dibalut. “Ah…pasti dia… Pasti
dia lagi yang menolongku. Dia mencegahku melakukan bunuh diri. Lalu mengobati
luka beracun di pahaku dan membalutnya… Ah…!”
“Ichiro! Jalan pikiranmu
terganggu karena tekanan jiwa. Mungkin juga akibat racun panah orang-orang
Lembah Hozu. Bagaimana mungkin orang yang telah kita pastikan mencuri kitab
Kendo milik sensei kini kau sebut sebagai penolong!?” ujar Kunio pula.
“Sebelum pingsan, aku masih sempat
melihat sekilas wajahnya… Memang dia. Pasti dia!”
“Kau harus beristirahat. Mari
kupapah ke kamar tidurmu,” kata Akiko lalu membantu Ichiro berdiri.
Pada saat itulah seseorang
muncul di ambang pintu. Ichiro yang pertama sekali melihatnya langsung berseru:
“Gaijin…!”
Akiko dan Kunio sama palingkan
kepala. Benar saja. Pemuda asing itu tampak tegak di sana. Kunio langsung
membentak. “Pencuri kitab! Kau berani datang minta mati!” Tanpa memberi
kesempatan, begitu membentak Kunio langsung menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng
dengan satu jotosan keras yang diarahkan ke dada kiri. Ini adalah satu serangan
maut karena bisa menghancurkan jantung orang yang diserang!
“Jepang satu masih belum kapok
rupanya… Apa-apaan dia memakiku pencuri kitab?!” ujar Wiro dalam hati.
Sebelumnya memang Kunio telah menantang Wiro, bahkan sempat ditotok menjadi
kaku dan gagu. Tapi saat itu kembali dia menghantam lebih dulu penuh kemarahan.
Murid Sinto Gendeng cepat
berkelit hindarkan serangan berbahaya itu. Sadar orang mengelak, Kunio ubah
pukulannya menjadi gerakan menjambret. Pendekar 212 terkejut ketika dia
merasakan bagaimana jari-jari tangan kanan lawan cepat sekali telah menggenggam
dada bajunya. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Kunio telah membantingkan
tubuhnya ke lantai ruangan!
“Gila! Bagaimana dia bisa
membantingku secepat kilat seperti itu?” maki Wiro dalam hati sambil menahan
sakit. Selagi Wiro terhenyak keliangan, kaki kanan Kunio cepat sekali telah
menginjak tenggorokannya. “Di mana kau sembunyikan buku guru yang telah kau
curi?!”
“Buku… buku apa?” tanya Wiro
heran dan mengernyit sakit.
“Kau pandai berlagak orang
asing! Tapi kepura-puraanmu tidak laku di sini! Kembalikan buku itu atau hancur
lehermu saat ini juga!”
“Aku tidak tahu menahu tentang
segala macam buku sialan! Bagaimana kau bisa menuduhku mencurinya?!”
“Karena hanya kau satu-satunya
orang luar yang ada di tempat ini!” jawab Kunio.
“Lalu apakah pencuri itu mesti
selalu orang luar?!” tanya Wiro yang membuat Kunio melengak marah.
“Ucapanmu berarti menuduh kami
anak-anak murid Hiroto Yamazaki yang mencuri kitab guru! Benar-benar kurang
ajar! Matilah!” Kunio hentakkan kaki kanannya kuat-kuat ke batang leher Wiro
Sableng.
“Kunio! Jangan bunuh dia,”
berseru Ichiro. Tapi kaki kanan Kunio terus saja bergerak.
Dalam keadaan menyangka bahwa
pemuda asing itu benar-benar tidak berdaya dan siap menemui ajalnya, tiba-tiba
Akiko dan Ichiro melihat bagaimana tangan Wiro yang bebas dengan sebat
menghantam ke arah kaki kiri Kunio laksana pedang menebas!
Kunio Ota menjerit
berjingkat-jingkat. Kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk membalikkan diri
dan sekaligus mencengkeram kaki kanan lawan. Kini terjadi hal luar biasa yang
tidak bisa dipercaya Akiko dan Ichiro. Tubuh Kunio tiba-tiba saja mencelat
keatas. Kepalanya menghantam tembus langit-langit kamar yang terbuat dari
kertas. Tubuh Kunio kemudian jatuh ke lantai.
Hebatnya, pemuda ini bukan
saja mampu jatuh dengan kedua kaki menginjak tatami lebih dahulu, tapi seperti
membal tubuhnya kemudian melesat ke arah Wiro. Kedua tinjunya menderu lebih
dahulu. Dengan mudah Wiro berhasil menangkap kedua tangan lawannya dan siap
untuk membantingkannya ke lantai.
Namun lagi-lagi Pendekar 212
dibikin penasaran dan kesakitan, karena tiba-tiba saja lawan membuat gerak aneh
dan kini malah kedua tangannya yang kena dicengkeram. Sebelum Wiro sempat
lepaskan diri, tiba-tiba tubuhnya sudah terangkat, lalu bukk! Tubuh Pendekar
212 dibanting ke lantai! Belum lagi dia sempat bangun, Kunio jatuh diri seperti
berlutut lalu tinjunya kiri kanan mendera dada murid Sinto Gendeng.
Meskipun jotosan-jotosan Kunio
tidak disertai kekuatan tenaga dalam, namun kekuatan tenaga luarnya saja bukan
main hebatnya. Wiro merasakan ada cairan asin dan panas dimulutnya. Wiro
melengak kaget ketika menyadari dirinya mengalami luka dalam!
Sebelum jotosan-jotosan lawan
kembali bertubi-tubi menghantam dada dan perutnya, Pendekar 212 susupkan satu
sodokan keras ke perut Kunio. Pemuda ini keluarkan suara seperti kerbau
melenguh.
Di lain saat tubuhnya terjajar
dan meluncur di atas tatami, dan baru berhenti begitu menabrak sebuah tiang
kayu. Sebelum Kunio sempat bangun, Pendekar 212 sudah memiting lehernya dan
mengangkat tubuh Kunio hampir dua jengkal dari atas lantai. “Kau hanya ada satu
pilihan Kunio!” desis Wiro. “Mengaku salah dan minta ampun!”
“Aku memilih mati daripada
bertindak seperti banci!” teriak Kunio. Tangannya coba menyikut, tapi Wiro
semakin mengunci lehernya.
“Pemuda asing! Kalau kau bunuh
dia, aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!” tiba-tiba Ichiro berteriak. Wiro
memang tidak berniat membunuh Kunio Ota. Begitu pemuda itu pingsan karena
kesulitan bernafas, Wiro lantas lepaskan cekikannya. Kunio terbujur di lantai.
Tiba-tiba Wiro menangkap suara
berdesing di samping kirinya disertai kilauan sesuatu yang menyambar ke
arahnya. Wiro cepat jatuhkan diri dan berguling. Di ujung kamar dia cepat
berdiri.
Di seberangnya, Akiko Bessho
tegak memegang sebilah katana! Jadi gadis inilah barusan yang coba membabat
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sewaktu Akiko hendak
menerjang, Wiro cepat menyambar pedang yang tersembul di balik punggung Kunio.
Lalu, Trang…! trang…! trang…! Suara beradunya pedang memenuhi ruangan itu.
Serangan Akiko ganas sekali.
Gadis ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang hulu pedang. Dia menyerang
dengan kekuatan penuh! Wiro seperti terdesak pada permulaannya. Pemuda ini
harus mengakui kehebatan permainan pedang sang dara. Agar tidak sampai melukai
gadis berwajah bulat ini, Wiro sengaja mainkan jurus-jurus silat pertahanan.
Namun ketika dia didesak
habis-habisan, murid Sinto Gendeng ini terpaksa keluarkan jurus-jurus silat
orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Gerakannya seolah-olah kacau.
Namun di balik kekacauan itu tersembunyi suatu kekuatan yang hebat.
Selagi Akiko kerahkan seluruh
tenaga untuk menggempur Wiro, murid Sinto Gendeng malah mempermainkannya. Dalam
satu gebrakan keras, Wiro berhasil memukul lepas pedang di tangan si gadis!
Akiko menjerit bukan karena cedera, tapi malu dan penasaran. Dia lari ke sudut
ruangan. Di sini dia duduk bersila sambil memejamkan mata. Dia berusaha
mengatur jalan darahnya yang bergejolak. Begitu merasa sudah menguasai dirinya
sepenuhnya kembali, gadis ini bergulingan di lantai untuk mencapai pedangnya
yang tadi terlepas mental. Lalu begitu hulu pedang tergenggam dalam kedua
tangannya, gadis ini langsung menyerbu Wiro kembali.
“Tunggu dulu…!” seru Pendekar
212.
Akiko Bessho tidak peduli
seruan orang. Pedang di tangannya menderu dan berkelebat laksana kilat. Di
antara empat orang muridnya, mendiang Hiroto Yamazaki memang telah memberikan
ilmu pedang secara khusus pada gadis ini sehingga sekali sebilah katana berada
dalam genggaman dua tangannya, maka dirinya bisa berubah laksana malaikat
penyebar maut! “Breettt… bretttt… bret…!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
berseru kaget dan cepat melompat mundur dengan wajah pucat. Baju putih tebal
yang dikenakannya robek besar di kedua bagian. Robekan ketiga adalah pada
bagian pinggang celananya. Tali celana ini putus, ketika melompat, tak ampun
lagi merosot ke bawah.
Selagi Wiro menarik celananya
ke atas, sambil meletakkan pedang di tangan kanannya, Akiko kembali menyerbu.
“Akiko… hentikan seranganmu,”
teriak Ichiro. “Bagaimanapun aku berhutang nyawa pada gaijin itu!” Namun
terikan itu tidak ada gunanya. Ujung pedang Akiko sudah merebas dan menyambar.
“Breettt!” Lengan kiri pakaian
Wiro robek memanjang dan kali ini tidak hanya pakaiannya yang robek tapi juga
bagian tubuhnya kena toreh. Darah langsung mengucur membasahi lengan dan lantai
ruangan.
Rasa sakit dan keadaan
terdesak membuat Pendekar 212 kalap. Dengan tangan kiri yang masih memegang
kolor, Wiro mengangkat tangan kanan. Dia sudah siap mengerahkan semua tenaganya
dengan penuh. Tapi mendadak dia terbayang wajah Hiroto Yamazaki, lalu wajah
gurunya Sinto Gendeng. Wiro kendurkan tenaga dalamnya lalu menghantam.
Satu gelombang angin
menghantam ke depan. Akiko merasakan tubuhnya terdorong. Semakin dicoba
melawan, semakin keras tubuhnya terdorong. Gadis ini nekad melabrak. Akibatnya
dia seperti berkelahi seorang diri sementara lawannya berada beberapa langkah
di depannya.
Akiko Bessho berteriak marah.
Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pedang di tangan kanannya bergetar
keras dan mengeluarkan suara siur. Gadis ini sempat maju mendekati Wiro namun
kemudian justru jatuh terpelanting di lantai dengan sekujur tubuh mandi
keringat.
Akiko menjerit lagi dan
seperti sedang putus asa, ia membanting pedangnya ke lantai. “Curang, kamu
curang, menggunakan ilmu sihir. Tidak berani menghadapi ilmu pedang dengan
pedang,” teriak Akiko. Wiro hanya bisa menyeringai mendengar teriakan gadis
itu. Sambil pegang lengan kirinya yang terluka, dia menuju pintu. Ichiro
memegang bahu Akiko dan membantu gadis itu berdiri. Lalu kepada Wiro dia
berujar, “Maafkan adik seperguruanku. Aku akan meminta dia merawat lukamu…”
“Terima kasih,” jawab Wiro
yang kini lenyap sudah amarahnya dan mulai kasihan melihat Akiko.
“Aku bisa merawat lukaku
sendiri. Ada dua hal yang perlu aku katakan pada kalian. Pertama, aku tidak
memiliki ilmu sihir. Kedua, dan ini yang penting, lekas tinggalkan tempat ini.
Orang-orang Lembah Hozu pasti akan menyerbu ke mari menuntut balas kematian
teman-teman mereka.”
“Jika mereka datang kami akan
membunuh mereka semua!”
“Kami akan mencincang dua
pimpinan mereka yang telah membunuh guru…” kata Ichiro.
“Jangan bodoh. Jumlah mereka
lebih banyak dan mereka sedang menyandera Kenichi, kalian tidak akan bisa
berbuat apa-apa. Lebih baik mengalah sementara sambil menyusun langkah baru.”
Sehabis bicara, Wiro mengambil
kotak berisi abu Hiroto.
“Hai hendak kau bawa ke mana
benda itu,” teriak Akiko.
Wiro melangkah ke hadapan si
gadis lalu mengulurkan kotak besi pada Akiko seraya berkata, “Ini benda
berharga yang paling berharga yang harus kalian selamatkan sebelum orang Hozu
menyerbu.” Lalu berpaling kepada Ichiro. “Tolong tinggalkan tempat ini, jika
Kunio masih pingsan dan mereka datang ke tempat ini, maka dia akan menjadi
sasaran.”
Selesai berkata, Wiro langsung
meninggalkan tempat itu dan Ichiro serta Akiko seketika saling berpandangan.
Akhirnya Ichiro membuka mulut, “Apa yang dikatakan pemuda asing itu benar.
Selama Kenichi berada di
tangan orang Lembah Hozu, kita tidak bisa berbuat banyak! Kita musti
meninggalkan tempat ini Akiko. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!”
Di luar, langit tampak semakin
terang dan sebentar lagi sang surya akan terbit. Dari kejauhan, dari arah
tenggara terdengar suara-suara bersahut-sahutan. Sepasang mata Akiko dan Ichiro
tampak
sama-sama membesar. “Mereka
benar-benar datang,” desis Ichiro. Tanpa bicara lagi ia langsung memanggul
Kunio Ota yang masih dalam keadaan pingsan. Ichiro memberi tanda kepada Akiko,
namun ragu. Tapi tidak lama kemudian ia meloncat mengikuti kakak seperguruannya
itu meninggalkan tempat.
“Kita tidak mungkin lari jauh.
Sekali mereka melihat, kita akan dikejar. Sebaiknya menyelinap dan bersembunyi
di Goa Wanigawa.” Akiko setuju lalu mendahului lari. Mereka menuju kerapatan
pepohonan di arah timur menuju sebuah goa yang tersembunyi di balik semak
belukar. Dari dalam goa bisa melihat ke arah bekas rumah Hiroto Yamazaki yang
luas. Goa ini disebut Wanigawa yang berarti “Kulit Buaya” karena bagian
dalamnya bergerujul seperti kulit buaya.
Baru saja mereka memasuki goa,
segerombolan orang-orang Lembah Hozu yang berjumlah sekitar dua puluh orang
muncul menunggang kuda. “Periksa bangunan itu!” teriak seorang pemimpin
gerombolan. Lima orang turun dari kuda dan langsung memeriksa dengan pedang
terhunus, sementara sepuluh orang lainnya mengelilingi bangunan dengan membawa
panah beracun yang siap membidik siapa saja yang keluar dari bangunan.
Dua orang Lembah Hozu tampak
kuluar dari bangunan sambil memberi isyarat bahwa rumah telah kosong, tidak
orang dan benda yang bisa dijarah. “Kurang ajar, mereka pasti melarikan diri,”
ujar lelaki bertubuh kurus yang menunggang kuda putih.
Kawan yang berada di
sebelahnya ikut berteriak, “Bakar bangunan itu!” Maka enam orang segera
melaksanakan perintah. Dalam waktu sekejap, bekas rumah Hiroto yang didiami
bersama empat muridnya itu hilang dilalap api.
Di dalam goa Wanigawa, Akiko
kepalkan kedua tangannya. “Aku ingin sekali membunuh keparat-keparat dari
Lembah Hozu itu. Ichiro perhatikan kuda putih dan lelaki di sampingnya. Aku
ingat betul dia yang mengeroyok sensei dan membunuhnya…”
“Kau betul Akiko. Yang kurus
jangkung itu adalah Massashigi Sakaji. Kawannya, kalau tidak salah adalah
Minoru Shirota. Mereka adalah dua dari empat pemimpin Lembah Hozu. Keduanya
sudah terkenal sejak dua puluh tahun lalu.”
“Tanganku sudah gatal ingin
membunuh kedua bangsat itu. Bagaimana jika aku membokong mereka dengan sumpit
beracun?” Dari balik pakaiannya, Akiko keluarkan sebuah sumpitan yang terbuat
dari kuningan lengkap dengan pelurunya sebesar ujung jari berbentuk bulat dan
berduri-duri di beberapa bagian.
“Jangan!” cegah Ichiro. “Jarak
mereka terlalu jauh. Peluru sumpit tidak bisa sampai ke sana. Di samping itu,
tindakanmu sama saja dengan memberi tahu tempat persembunyian kita ini.” Akiko
bantingkan kaki karena kesal. Tiba-tiba didengarnya Ichiro berseru. “Akiko!
Lihat! Ada seseorang di atas atap bangunan rumah!”
Bagaimana terkejutnya Ichiro,
begitu pula kagetnya Akiko. Di atas atap bangunan di bawah sana, pada bagian
yang belum sempat disentuh kobaran api, di balik kepulan asap, kedua orang ini
melihat sosok seorang laki-laki berpakaian dan berikat kepala putih tegak
bertolak pinggang di atas wuwungan rumah.
Orang-orang Lembah Hozu yang
masih ada di sekitar bangunan itu juga tampak terheran-heran melihat ada orang
di atas atap bangunan yang mereka bakar. “Ichiro…” kata Akiko sambil memegang
lengan pemuda itu. “Apakah kau tidak mengenali orang di atas atap itu? Bukankah
dia gaijin bernama Wiro Sableng itu…?”
Ichiro Ioki usap kedua matanya
berulang kali. “Astaga! Kau betul! Apa yang dilakukan pemuda asing itu di sana?!
Sudah gila dia agaknya!” ujar Ichiro.
“Dia sengaja mencari mati!”
kata Akiko pula. “Ninja sekalipun tidak berani melakukan hal seperti itu
siang-siang begini!”
“Aku jadi tak habis pikir,”
kata Ichiro pula. “Siapa sebetulnya pemuda itu. Sikapnya selalu merendah dan
terkadang tampak seperti orang tolol!”
Di atas atap bangunan, orang
yang berdiri di sana memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu dengan
mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menjadi keras sekali, Wiro
berteriak.
“Orang-orang Lembah Hozu!
Kalian semua dengar! Jika kalian tidak segera membebaskan Kenichi dan
menyerahkan dua pembunuh Yamazaki-san, maka Lembah Hozu akan menjadi lembah
bangkai bagi kalian!”
Semua orang Lembah Hozu
mendongak dan sama memandang ke atas atap. “Eh, manusia atau setan gunung yang
ada di atas atap itu?!” berkata salah seorang pimpinan Lembah Hozu. Lalu dia
berpaling pada dua kawan di sebelahnya. “Masashigi! Minoru! Orang itu
menghendaki diri kalian!”
“Tak pernah kulihat tampang
manusia itu sebelumnya!” berkata Masashigi Sakaji. “Ada di antara kalian yang
mengenalinya?”
Semua orang menggelang.
“Wajahnya seperti bukan orang
sini. Logat bicaranya aneh!” berkata Minoru Shirota. Lalu sambungnya sambil
menyeringai, “Siapapun dia adanya, aku ingin melihat warna darahnya! Merah atau
hitam… Ha… ha… ha…!”
“Orang-orang Lembah Hozu!”
dari atas atap, Wiro kembali berteriak. “Sebelum para dewa marah, lekas
tinggalkan tempat ini! Ingat ucapanku! Bebaskan Kenichi dan serahkan dua
pembunuh Yamazaki-san. Aku beri waktu tujuh hari. Jika siang hari kedelapan
Kenichi dan dua pembunuh itu tidak muncul di ujung lembah sebelah timur, kalian
akan tahu rasa!”
Orang-orang Lembah Hozu
berteriak marah mendengar seruan Wiro itu. Masashigi Sakaji balas berteriak.
“Saat ini kami sudah ada di sini! Dua orang yang kau tuduh jadi pembunuh juga
ada di sini! Mengapa tidak langsung menjatuhkan hukuman tapi hanya bermulut
besar?!”
“Aku tidak terlalu tolol
mempertaruhkan nyawa Kenichi!” sahut Wiro.
“Kalau begitu biar nyawa
busukmu kami habisi lebih dulu!” teriak Minoru Shirota. “Sebelum kau mati,
harap jelaskan siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Hiroto Yamazaki!”
“Aku penguasa Gunung Fuji!”
jawab Wiro membual dengan suara keras. “Berarti tak ada seorang pun boleh
melawan kehendakku, kecuali mereka yang sudah bosan hidup dan ingin jadi
bangkai!” teriak Wiro seraya menunjuk tepat-tepat ke arah Minoru Shirota.
“Penguasa Gunung Fuji” teriak
Minoru lalu meludah ke tanah. Orang-orang Lembah Hozu lainnya tertawa keras dan
sunggingkan tampang mengejek ke arah Wiro. Masashigi Sakaji yang sudah tidak
sabaran saat itu memberi isyarat kepada enam orang yang membawa busur dan
panah. Keenam orang ini langsung cabut anak panah dan rentangkan tali busur.
Enam panah beracun dibidikkan ke arah Pendekar 212 yang masih tegak di atas
atap bangunan.
Ketika Masashigi jentikkan
jari-jari tangan kanannya, enam orang yang merentang busur serta merta
melepaskan panah masing-masing. Enam panah beracun melesat ke atas atap.
Di atas atap tiba-tiba tampak pemuda
yang jadi sasaran telah memegang sebilah katana. Senjata ini diputar laksana
titiran. Enam kali terdengar suara berdentrang dan enam anak panah luruh ke
bagian bawah bangunan yang dimakan api.
Kini orang-orang Lembah Hozu
baru terbuka mata mereka. Selagi mereka masih mendelik menyaksikan kejadian
tadi, Wiro Sableng lemparkan senjata di tangannya ke bawah. Di lain kejap,
salah seorang yang tadi memanah menjerit keras lalu roboh ke tanah dengan perut
tertembus pedang.
Kini orang-orang Lembah Hozu
menjadi sangat marah. Semua mereka berteriak keras. Dua orang di atas kuda
bergerak mengelilingi bangunan sambil memutar-mutar tali yang di ujungnya ada
pengait besi. Lima orang yang memegang panah kembali membidikkan senjatanya.
Yang lain-lain mencabut pedang lalu mengurung bangunan. “Runtuhkan bangunan!
Jangan sampai bangsat itu lolos!” teriak Masashigi.
4
Dua orang yang memegang tali
berkait segera menarik tiang-tiang kayu yang masih utuh. Dua bagian bangunan
langsung ambruk. Atap bangunan di mana Pendekar 212 berdiri miring ke kiri.
Selagi dia mengimbangi diri
agar tak terperosok jatuh, lima anak panah beracun menderu ke arah lima bagian
tubuhnya!
Murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini keluarkan bentakan keras. Lalu dari tangan kanannya tampak
memancar sinar berwarna perak. Ketika tangan itu dihantamkan, menghamparlah
hawa panas disertai sambaran cahaya menyilaukan! Lima anak panah mental leleh!
Lalu terdengar suara ledakan dahsyat! “Buummmm!”
Tanah berlapis salju di depan
bangunan yang terbakar, mencuat bertaburan ke udara. Dua ekor kuda terpelanting
dan menjatuhkan penunggangnya. Di bagian lain terdengar tiga jeritan lalu tiga
sosok tubuh tergeletak hangus di atas salju! Masashigi dan Minoru dan yang
lain-lainnya masih sempat menyingkir. Tapi muka mereka kini tampak seputih
salju Gunung Fuji!
Ketika keadaan kembali tenang,
semua orang lagi-lagi dibikin kaget. Kini kaget karena pemuda yang tadi berada
di atas, tak tampak lagi sosoknya! Para pimpinan orang-orang Lembah Hozu
memandang berkeliling. Pemuda yang mereka cari tetap tak ada lagi, laksana
amblas ditelan gunung! “Tinggalkan tempat ini!” Minoru Shirota berteriak
memberi perintah. Orang-orang Lembah Hozu yang saat itu memang sudah merasa
ngeri karena seumur-umur belum pernah mengalami hal seperti itu, serta merta
bergerak meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Masashigi mendekatkan kudanya
ke kuda Minoru lalu berkata, “Terus terang aku tidak takut kepada pemuda tadi,
walau kepandaiannya setinggi langit! Tapi untuk mencegah hal-hal yang tidak
diingini, kurasa kita harus menghubungi nenek sihir Arashi. Hanya dia agaknya
yang bisa menghadapi kekuatan aneh yang dimiliki pemuda itu!”
“Ya… ya…!” jawab Minoru
Shirota. “Nenek Arashi akan menghancur luluhkan tubuhnya sampai berbentuk
sekepal daging cincang!”
Sementara itu dalam goa,
Ichiro dan Akiko masih terbengong-bengong menyaksikan apa yang terjadi tadi.
“Tak percaya kalau aku tidak melihat sendiri…” Ujar Ichiro.
“Pemuda asing itu…” desis
Akiko. “Apa yang dikatakan sensei memang mungkin benar Ichiro….
Seorang pendekar baru telah
muncul di Gunung Fuji… Hawa panasnya terasa sampai ke dalam goa ini. Kurasa
itulah pukulan sinar matahari yang dikatakan guru. Luar biasa!”
“Hanya para tukang sihir
pemilik ilmu hitam yang mampu melakukan hal seperti itu…” kata Ichiro.
“Tapi dia bukan tukang sihir…”
bisik Akiko, masih terkagum-kagum. “Ah, ke mana kita harus mencarinya sekarang?
Dia lenyap begitu saja…!”
Ichiro menatap paras adik
seperguruannya sesaat. Dia tahu apa yang ada dalam benak dan hati adiknya itu.
Sama seperti yang kini diinginkannya. Tapi dia malu untuk mengatakan karena
sebelumnya dia dan Kunio serta Kenichi telah menganggap rendah pemuda itu.
“Jika kalian mencarinya
haruslah dengan maksud yang sama seperti maksudku! Dia telah mencuri kitab guru
dan mencelakai diriku! Baginya hanya ada satu hal, mati!” Ichiro dan dan Akiko
sama berpaling. Saat itu Kunio Ota ternyata sudah siuman dari pingsannya dan
tengah tegak bersandar ke dinding goa.
“Ah! Kunio! Kau sudah sadar…!”
seru Ichiro.Lalu bersama Akiko menghampiri pemuda itu.
Rumah teh Mangetsu terletak di
suatu bukit di luar Kyoto. Sepanjang hari tempat ini ramai dikunjungi orang
yang ingin melepas dahaganya. Selain teh yang dihidangkan memang nikmat,
pelayanan di sini pun sangat baik.
Pendekar 212 duduk di sudut
ruangan dekat jendela. Seorang pelayanan perempuan datang membawakan
pesanannya. Sebelum pergi pelayan itu menunjuk bangku kosong di samping Wiro
dan bertanya, “Tuan, apakah ingin saya temani?” Wiro tersenyum. “Arigatoo
Gozaimashita, terima kasih, Saya lebih suka duduk sendiri.” Pelayan itu lalu
pergi.
Setelah memandang berkeliling,
Wiro mengangkat cangkir dan meneguk tehnya. Baru saja ia meletakkan cangkir di
atas meja, di pintu tampak muncul seorang, yang dari pakaian dan keranjang
bututnya, jelas seorang pengemis. Wajahnya tak kelihatan karena tertutup tudung
jerami lebar.
Begitu pengemis itu melangkah
masuk, seorang pelayan menghadangnya. “Pengemis tidak boleh berada di rumah teh
ini. Lekas keluar!”
Tenang saja pengemis itu
melepaskan lipatan kecil dan menyerahkan pada si pelayan. “Maksudmu pemuda
asing itu?” Si pelayan berpaling ke arah Wiro duduk. Si pengemis mengangguk
lalu putar tubuh dan pergi. Pelayan lalu menghampiri Wiro lalu meletakkan
lipatan kertas di atas meja.
“Pengemis tadi meminta saya
menyerahkan ini kepada Tuan.” Meski heran Wiro mengambil kertas dan membuka
lipatannya. Di situ tertera kalimat pendek berbunyi. Temui aku di Puri Nanzen,
Penting!
“Aneh! Tak ada pengirim.
Diakah yang ingin bertemu?” Murid Sinto Gendeng menggaruk kepalanya. Wiro
cepat-cepat menghabiskan minumannya. Setelah membayar, ia meninggalkan rumah
teh itu menuju ke bagian barat kota.
Puri Nanzen sebuah puri besar
yang dibangun oleh pendeta Zen puluhan tahun lalu. Bagian luarnya dikelilingi
pepohonan rimbun, berumput dengan dua telaga kecil, dan jalan setapak yang
diberi batu-batuan. Untuk beberapa lamanya Wiro memperhatikan bangunan itu.
Sepi. Tak tampak orang di sana. Desah angin satu-satunya yang tertangkap di
telinga Wiro.
“Jangan-jangan aku jadi
permainan pengemis sinting,” berkata Wiro dalam hati. Dia melangkah ke tepi
telaga di sebelah kanan. Berhenti di sini, memandang sekeliling baru melangkah
menuju tangga puri. Bagian luar puri merupakan serambi terbuka yang
mengelilingi bangunan utama. Wiro melangkah memutari bangunan itu. Akhirnya dia
kembali ke tangga sambil berpikir-pikir. Bukan mustahil ada orang yang
menjebaknya. Tapi siapa? Orang-orang Lembah Hozu? Dua hari belakangan ini
memang banyak kejadian yang dihubungkan dengan tindak-tanduk orang-orang Lembah
Hozu.
Wiro duduk beberapa saat.
Ketika tidak ada juga orang yang muncul, dengan kesal berteriak, “Pengemis
bertopi jerami, di mana kau?” Tidak ada jawaban. Desau angin menambah dinginnya
udara. Pendekar 212 berdiri sambil berteriak dan memaki, “Sialan! Aku
benar-benar kecele!” Wiro langkahkan kakinya menuruni tangga.
Tiba-tiba dari samping
terdengar suara berdesir. Wiro menoleh. Tiga buah benda bulat sebesar ibu jari
melesat ke arahnya. Senjata rahasia! Sambil mengerang ia menghantam dengan satu
tangan kosong. Tiga senjata rahasia mengeluarkan suara letusan dan buyar di
udara. “Mengundang lalu membokong benar-benar perbuatan rendah!” teriak Wiro.
Baru saja memaki sebuah benda
melesat berkilauan. Ternyata sebuah katana pendek. Pendekar 212 cepat melompat
ke samping. Pedang meleset dan menancap di serambi. “Edan!” maki Wiro, lalu
mencabut pedang yang menancap di tiang sambil menelitinya. Wiro tidak mengerti
maksud pelempar pedang itu. Dengan kesal akhirnya dihujamkan ke lantai puri. Saat
itulah dia melihat ada sesuatu melayang di atas pohon besar di samping puri.
Wiro hendak menghantam tapi cepat sekali lenyap. Saat dikejar hingga di samping
puri, tidak ada apa-apa lagi.
“Yang melayang tadi jelas
sosok manusia. Dia tak mungkin ada bersembunyi di halaman sini…”
Wiro perhatikan pohon-pohon
besar di sekelilingnya. Jangankan manusia, burung pun tak ada yang hinggap di
pepohonan itu.
“Aku ada di dalam sini”
terdengar suara dari dalam puri. Wiro cepat berpaling. “Siapa di dalam sana?”
“Masuklah cepat! Aku tak ingin
ada orang melihatmu!” terdengar lagi suara dari dalam puri, lalu pintu dorong
bangunan itu bergeser ke samping.
Wiro penasaran dan jengkel. Ia
siapkan satu pukulan sakti di tangan lalu melompat memasuki puri lewat pintu
yang terbuka. Begitu masuk, pintu dorong tertutup kembali. “Kau!” teriak Wiro
ketika melihat sosok pengemis. “Kau mengundangku ke mari lalu hendak membunuhku
secara pengecut! Membokong! Apa apaan ini!?”
“Sabar jangan cepat marah
Wiro. Mari kita bicara. Ada beberapa yang perlu kita rundingkan!” jawab
pengemis.
Wiro menundukkan kepala,
maksudnya hendak mengintai wajah di bawah tudung itu. Namun itu tak perlu
dilakukannya karena seketika si pengemis membuka tudungnya. Ketika melihat
wajah pengemis itu, terkejutlah Wiro. “Akiko! Aku benar-benar tidak
mengenalimu. Suaramu-pun aku tidak kukenal!”
Gadis murid mendiang Hiroto
Yamazaki itu tersenyum. “Aku tadi bicara dengan suara perut. Makanya kamu tadi
tidak mengenali suaraku yang seperti laki-laki… Sekarang suaraku bagaimana…?”
“Ah! Sekarang kudengar suara
aslimu. Suara perempuan. Hai katakan apa-apaan yang kamu lakukan ini Akiko?
Mana yang lain-lain…?!”
“Sssst… jangan bicara terlalu
keras. Di jepang, dinding dan pohon bisa mendengar…” ujar Akiko Bessho. “Aku
sengaja menyamar karena di luar sangat gawat. Aku melihat ada gerakan-gerakan
tertentu yang dilakukan orang Lembah Hozu…”
“Kau betul. Mereka melakukan
penyelidikan di mana-mana. Aku tidak mengerti ada pasukan resmi membantu
mereka…”
“Berarti mereka punya hubungan
dengan penguasa.”
“Betul,” kata Akiko. “Bukan
itu saja. Mereka melakukan penyelidikan dengan sewenang-wenang. Beberapa orang
mereka siksa, bahkan ada yang dibunuh…!”
“Apa yang mereka selidiki?”
tanya Wiro.
“Apalagi kalau bukan mencari
jejak kita?” jawab Akiko. “Termasuk mencarimu!” kata gadis itu kemudian. “Semua
ini karena ancaman yang kau katakan sewaktu orang-orang Lembah Hozu membakar
rumah sensei!”
“Astaga! Jadi aku telah
melakukan kesalahan besar…?”
“Aku tidak bilang begitu.
Namun itulah kenyataan yang terjadi. Kita semua harus hati-hati. Orang-orang
Lembah Hozu telah membayar mata-mata untuk mencari kita… Apakah kau tidak
merasa diikuti orang ketika menuju kemari…?”
“Heh?!” Wiro memandang
lekat-lekat ke arah Akiko. “Aku tak tahu. Jangan-jangan kecurigaanmu
beralasan!”
“Di samping itu, aku punya
masalah dengan Kunio Ota…,” berkata Akiko.
“Apa masalahmu? Bagaimana
keadaan pemuda pemberang itu?”
“Dia tidak setuju ketika aku
mengambil keputusan mencarimu. Dia khawatir…”
“Khawatir atau cemburu…?” Wiro
memotong. Paras Akiko menjadi sangat merah. Wiro tertawa perlahan.
“Kunio tetap yakin bahwa kau
yang mencuri kitab pelajaran Kendo milik guru. Jika kau jujur, maukah kau
mengatakan bahwa kau tidak mencari buku pelajaran ilmu pedang yang langka itu?”
“Siapa dewa yang paling kamu
hormati, Akiko?” tanya Wiro.
“Dewa matahari…,” jawab sang
dara.
“Nah, demi dewamu itu, aku
bersumpah tidak mencuri buku atau apapun di tempat kediaman gurumu!”
“Sumpahmu tak ada harganya!”
kata Akiko pula.
“Eh, kenapa begitu?” tanya
Wiro heran.
“Kepercayaanmu dan
kepercayaanku berlainan. Bagaimana mungkin kau mengangkat sumpah dengan
kepercayaan orang lain!?”
“Ah begitu? Kau mungkin
benar,” kata Wiro sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau begitu aku bersumpah
atas nama persahabatan kita! Bisa kau terima sumpahku sekarang?”
“Masih belum.”
“Kenapa?”
“Soalnya kita belum tentu
bersahabat. Aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya. Muncul di sini entah
membawa niat jahat atau apa…”
“Ah…” Wiro geleng-geleng
kepala.
“Kau keliru Akiko. Jika kau
sengaja mencariku dan menginginkan pertemuan ini, berarti kau telah menunjukkan
rasa persahabatan. Kalau kau tidak percaya dirimu, apa perlunya mencari diriku
dan menyamar segala!”
“Aku menyamar agar tidak
ketahuan orang-orang Lembah Hozu dan Kunio. Kunio mengancam membunuhku jika aku
menemuimu,” Akiko menutup wajahnya seperti menahan tangis.
Wiro dekati gadis itu dan
pegang bahunya. “Maafkan kalau aku membuatmu menjadi marah dan bingung. Tapi
aku betul-betul tidak mencuri sesuatu pun. Justru aku ingin menyelidiki pencuri
itu dan menemukannya kembali.”
Perlahan-lahan Akiko turunkan
kedua tangannya. Sepasang mata bening gadis ini menatap ke bola mata pendekar
212. “Betulkah kau hendak membantu menemukan buku itu kembali?” Tanya sang dara.
Wiro mengangguk. “Tadi kau
hendak merundingkan beberapa urusan. Urusan apa?”
“Urusan pertama tentang kitab
yang hilang. Terima kasih kamu bersedia membantu. Yang kedua, ini yang penting.
Cara menghadapi orang-orang Lembah Hozu. Kau telah mengancam dan memberi waktu
tujuh hari kepada mereka. Bisa saja sesuatu terjadi kepada mereka. Bagaimana
membuktikan ancamanmu? Kau tidak bisa menghadapi mereka seorang diri. Aku
mendengar orang-orang Lembah Hozu meminta bantuan nenek Arashi.”
“Siapa nenek yang memiliki
nama begitu hebat? Nenek Topan?” tanya Wiro.
“Seorang jago sihir kawakan.
Dia bisa mencabut pohon dengan akarnya lalu melemparkan ke arahmu!” jawab
Akiko.
Wiro keluarkan suara berdecak.
“Belum pernah aku mendengar kehebatan seperti itu, aku ingin sekali
melihatnya!”
“Jangan bicara takabur
Wiro-san…”
“Hanya itulah urusan yang
ingin kau bicarakan?” tanya Wiro kemudian.
“Masih ada yang lainnya.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kita bisa
menyelamatkan Kenichi?”
“Itu memang bukan urusan
mudah. Orang-orang Lembah Hozu itu memang menjaga Kenichi secara ketat. Kau tak
usah memikirkan….”
“Dia saudara seperguruanku.
Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?!”
“Jangan salah sangka dulu
Akiko. Bicaraku tadi belum selesai. Urusan Kenichi biar aku yang mengatur asal
kau mau membantu…”
“Aku sendiri hanya punya
kemampuan terbatas….” kata Akiko.
“Ah, kau terlalu merendah.
Buktinya kau tadi menunjukkan kehebatanmu dengan melempar senjata rahasia serta
sebilah katana!”
Merahlah paras Akiko Bessho.
“Yang kulakukan tadi bukan mencelakaimu. Itu untuk membuktikan bahwa kau
seorang yang bisa diandalkan. Apa yang dikatakan sensei bukan cerita kosong…”
Wiro tertawa lebar, “Kau tahu
Akiko, di negeriku banyak sekali orang yang pandai bicara. Tapi perempuan di
sana bersikap diam. Tidak ada yang pandai bicara, apalagi berkelit lidah
sepertimu saat ini… Kalau tadi pedangmu sempat menembus jantungku, tentu aku
tidak akan pernah mendengar alasan yang kau katakan, iya kan?”
“Nah, sudah selesaikah urusan
ini atau ada urusan lain?”
“Masih ada satu lagi. Ini yang
terakhir.”
“Katakanlah!”
“Sebenarnya aku malu
menyampaikannya …”
“Katakan saja Akiko,” ujar
Wiro.
Akiko Bessho diam sesaat.
Tampaknya seperti ragu. “Ah, baiknya kubatalkan saja mengatakannya kepadamu,”
kata gadis ini.
Wiro menggeleng. “Memendam
sesuatu tidak baik… Kau tidak percaya padaku. Atau malu. Bukankah kita
bersahabat?” ujar Wiro seraya mengambil topi jerami lebar dari tangan Akiko
lalu mengenakannya di kepalanya. “Tampangku pasti seperti pengemis beneran!”
kata Wiro, yang membuat Akiko tertawa geli. “Sekarang apakah kau tidak akan
mengatakannya?”
“Baiklah, aku akan terus
terang saja,” jawab Akiko. “Ini menyangkut pesan gurumu dalam surat yang dulu
kau bawa untuk sensei. Apakah kau masih bersedia mengajarkan ilmu pukulan sakti
bernama Pukulan Sinar Matahari itu?”
“Ah..! Itu rupanya!” kata Wiro
seraya tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Untukmu pintu selalu terbuka,
Akiko. Bagaimana dengan saudara-saudara seperguruanmu yang lain?”
“Ichiro sebenarnya ingin juga
mempelajari kesaktian itu. Tetapi dia merasa malu karena sudah terlanjur
mengejekmu. Kenichi tak masuk hitungan karena masih berada dalam sekapan
orang-orang Lembah Hozu. Tinggal Kunio. Dia pasti akan membunuhku jika tahu aku
menemuimu, apalagi sampai belajar padamu.”
“Hemmmm, begitu? Kau sungguhan
ingin mempelajari Pukulan Sinar Matahari?”
Akiko mengangguk. “Aku ingin
pada saat kau mendatangi Lembah Hozu pada hari kedelapan, aku sudah menguasai
ilmu itu.”
“Semua itu tergantung pada
tingkat tenaga dalam yang kau miliki dan kemampuanmu menghapal bacaan tertentu
secara cepat…”
“Aku akan belajar
sungguh-sungguh, siang malam…!”
5
“Bukan itu saja masalahnya
Akiko. Tapi ada satu hal yang sangat berat dan kurasa tak mungkin kau lakukan…”
“Apakah itu? Apa yang harus
aku lakukan?”
“Orang yang akan mempelajari
pukulan sakti tersebut harus dalam keadaan tanpa pakaian…”
“Apa?!” Akiko Bessho
tersentak. “Gila! Aku harus telanjang?! Ilmu macam apa itu! Persetan dengan
ilmu itu! Lebih baik aku tak mendapatkannya!” sang dara tampak berang dan
membalik membelakangi Wiro.
Pendekar 212 tertawa mengekeh.
Akiko cepat membalik. “Mengapa kau tertawa?!” tanya Akiko gusar.
“Kau seperti anak kecil!
Percaya saja apa yang kukatakan tadi!”
“Jadi… Apa maksudmu
sebenarnya?”
“Untuk belajar pukulan sakti
itu tidak perlu harus telanjang segala! Aku hanya bergurau! Senang melihat
pipimu merah kalau marah!”
“Gaijin kurang a…” Akiko tidak
teruskan ucapannya.
Di hadapannya Wiro memberi
isyarat. Ketika Wiro melangkah keluar dari puri, Akiko mengikuti.
Di salah satu halaman Puri
Nanzen terdapat dua buah batu yang masing-masing hampir dua kali besar kepala
manusia. Wiro menunjuk pada batu sebelah kanan. “Alirkan tenaga dalammu ke
tangan sebelah kanan, lalu pukul batu itu.”
“Kau hendak menguji atau
bagaimana?”
“Terserah kau mau bilang apa.
Tapi aku harus melihat dulu tingkat tenaga dalammu. Aku percaya kau pasti sudah
memiliki tingkat yang tinggi, nah cobalah…!”
Perut Akiko tampak mengempis,
bibirnya terkatup rapat. Kedua kakinya menekuk dan tubuhnya turun perlahan.
Tangan kanan diangkat ke atas. Lalu terdengar bentakan keras keluar dari
mulutnya.
Bersamaan dengan itu tangan
kanannya memukul. “Praaakkk!” Batu hitam di sebelah kanan yang jadi sasaran
hancur berantakan.
“hebat!” memuji Wiro. Dia
membungkuk dan memungut serta memperhatikan pecahan-pecahan batu. “Kau
mempunyai dasar tenaga dalam yang baik. Malam nanti kita mulai latihan…”
“Terima kasih,” kata Akiko,
seraya menjura beberapa kali. Lalu gadis itu bertanya, “Sebagai imbalan, apakah
yang harus kulakukan untukmu?”
Murid Sinto Gendeng menatap
wajah bulat di depannya beberapa saat. Lalu senyum menyeruak di mulutnya. Akiko
jadi curiga. Buru-buru gadis ini berkata, “Jangan kau berani meminta yang
bukan-bukan…!”
“Aku ingat pada kepandaianmu
mengubah suara tadi. Maukah kau mengajarkannya padaku?”
Tiba-tiba Wiro mendengar suara
berucap, “Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam suratnya mengatakan tidak ada
pamrih. Mengapa sekarang kau justru meminta imbalan…?”
“Astaga! Itu suara Hiroto
Yamazaki!” ujar Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga tampak merah mukanya,
pemuda ini berpaling ke kiri dari arah mana tadi dia mendengar suara itu
datang.
“Kau mencari siapa?” tanya
Akiko dengan senyum di bibir.
“Aku barusan mendengar…” Wiro
tak meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko tampak berusaha menahan tawa.
Kini Wiro sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi pasti telah mempergunakan
kepandaian berbicara dengan perutnya, meniru suara mendiang gurunya! Mau tak
mau Wiro hanya bisa menyengir.
Sambil garuk kepala, pemuda
ini serahkan topi jerami kembali pada Akiko. Belum sempat topi itu disentuh si
gadis, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Wiro berteriak memberi peringatan.
Akiko melompat ke samping kanan, Wiro ke arah kiri. Dua bilah golok pendek
menderu dan menancap ditopi jerami yang masih berada dalam genggaman Pendekar
212.
Pada saat itu pula lima orang
berpakaian merah melayang turun dari atas dua buah pohon besar yang ada di
taman Puri Nanzen. Akiko keluarkan seruan kaget. “Komplotan pembunuh bayaran
Teruko!”
Lima orang berpakaian serba
merah menyebar mengurung Akiko dan Wiro. Mereka terdiri dari empat orang
laki-laki yang wajahnya dilumuri pupur berwarna merah sedang rambut dicukur
pendek berdiri dan juga berwarna merah. Orang kelima ternyata seorang nenek
berpipi cekung tetapi masih memiliki rambut hitam lebat disanggul rapi. Mukanya
celemongan tidak karuan.
Meski jelas kelima orang itu
tidak bermaksud baik, namun murid Sinto Gendeng masih bisa bergurau. “Kalian
ini para pemain sandiwara kabuki (semacam sandiwara tradisional Jepang) mengapa
bisa kesasar ke mari…?!”
“Pemuda asing gila! Apa dia
tidak tahu gelagat tengah menghadapi siapa!” Akiko Bessho memaki dalam hati.
Gadis ini gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda. Tangan kanannya tergantung
sedemikian rupa, siap untuk mencabut katana yang tersembunyi di punggung
pakaiannya.
Empat lelaki berambut merah
keluarkan suara mendengus marah mendengar ucapan Wiro tadi.
Sebaliknya si nenek malah
keluarkan suara tertawa cekikikan! Dia mengerling genit ke arah Wiro lalu
berpaling pada Akiko. “Mendiang Hiroto Yamazaki pasti tidak tenteram di akhirat
melihat murid perempuannya bersuka-sukaan dengan seorang pemuda asing!”
“Tua bangka kurang ajar!
Tampangmu jelek, mulutmu kotor!” teriak Akiko marah. Tangan kanannya mulai
bergerak ke arah punggung.
Perempuan berwajah celemongan
ganda tertawa. “Mukaku memang jelek, mulutku suka usil! Hikk… hik…hik..!” jawab
si nenek. Lalu sambungnya, “Tapi banyak lelaki suka padaku, Hikk… hik…hik…!”
“Aku tidak heran!” menyahuti
Akiko. “Siapa yang tidak kenal dengan nenek Teruko! Perempuan binal yang sudah
jadi pelacur sejak usia empat belas tahun!”
“Anak perawan! Mulutmu sudah
kelewatan! Anak-anak, bunuh dia!” perintah Teruko pada keempat anak buahnya.
“Sreet…!” empat bilah katana pendek dicabut berbarengan. Empat lelaki bermuka
dan berambut merah itu langsung mengurung Akiko. Si nenek sendiri sambil
tertawa-tawa melangkah mendekati Wiro, kedipkan matanya dan berkata, “Pemuda
asing, tampangmu cukup menawan. Jika malam ini kau mau menginap di rumahku, aku
akan ampunkan kau punya nyawa. Siapa namamu sayang…?”
Sambil berkata begitu enak
saja dan cepat sekali si nenek mencuil dagu Wiro. Murid Sinto Gendeng merasakan
tengkuknya merinding. “Kau ini siapa? Kenal pun baru kali ini, mengapa enak
saja bicara soal pengampunan nyawaku?” tanya Wiro.
Si nenek tertawa dan kedipkan
lagi matanya. “Namaku Teruko. Aku ketua komplotan Teruko yang bisa disewa untuk
melakukan apa saja! Saat ini aku mendapat pekerjaan untuk membunuhmu dan gadis
itu! Apa kau tidak berterima kasih kalau aku kini mengampunimu?”
“Perlu apa mengampuni diriku?
Apa aku punya kesalahan padamu?”
“Oooo…” Wiro ikut-ikutan
runcingkan mulut. “Siapa yang menyewa kalian?”
“Itu rahasiaku! Tapi di atas
ranjang malam ini mungkin aku akan mengatakannya!” jawab si nenek lalu tertawa
tersipu-sipu.
“Tidak kau katakan pun aku
sudah tahu. Pasti orang-orang Lembah Hozu!”
“Ah, ternyata otakmu cerdas.
Aku suka pemuda-pemuda cerdas sepertimu…” kata nenek Teruko pula.
Saat itu terjadi perkelahian
antara Akiko dengan empat anak buah Teruko. Seperti diketahui, Akiko adalah
satu-satunya murid pewaris ilmu pedang paling pintar dari Hiroto Yamazaki.
Katana yang tergenggam di kedua tangannya menderu ganas menghadapi empat pedang
pendek keempat pengeroyoknya. Para pengeroyok yang tidak menyangka bakal
mendapatkan perlawanan keras, sambil berteriak-teriak memperapat kurungan dan
lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk beberapa lamanya Akiko
sanggup membendung serangan empat lawannya, tetapi setelah berkelahi lebih dari
sepuluh jurus, walaupun sempat melukai lengan salah seorang pengeroyok, pada
akhirnya gadis ini mulai terdesak. Keselamatannya terancam.
“Hentikan serangan kalian!
Jangan main keroyok!” teriak Wiro. Masih dengan memegang topi jerami yang
ditancapi dua bilah golok, Wiro segera melompat ke tengah pertarungan. Namun
ada seorang menarik pinggang celananya. Ketika dia berpaling, ternyata nenek
Teruko yang melakukan! Nenek itu tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata!
“Tua bangka sialan!” maki Wiro
dalam hati. Lalu dia membentak, “Perintahkan empat anak buahmu menghentikan
pengeroyokan! Lalu cepat pergi dari sini!” Dalam keadaan marah Wiro hampir
tidak sadar kalau tangan si nenek masih memegangi pinggang celananya. Tiba-tiba
tangan itu cepat sekali menyusup ke dalam celana Wiro.
Pendekar 212 tergagap kaget.
Hampir saja anggota terlarangnya disentuh jari-jari tangan kurang ajar nenek
Teruko. Saking marahnya, Wiro langsung gebukkan topi jerami di tangan kanannya
ke muka Teruko! Perempuan tua itu tertawa cekikikan. Dia terpaksa menarik
tangan kanannya yang jahil. Sambil mundur dua langkah, dia silangkan lengan
kiri untuk menangkis gebukan topi jerami.
“Braakkk!” Topi jerami milik
Akiko itu hancur berantakan. Dua bilah golok yang tadi menancap di topi
mencelat ke udara. Begitu senjata itu jatuh ke bawah, nenek Teruko melompat
keatas. Di lain kejap, kedua golok itu sudah berada dalam genggaman si nenek!
Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu telah dilemparkannya ke arah Akiko
Bessho, padahal saat itu si gadis berada dalam keadaan terdesak hebat!
Akiko bukannya tidak melihat
kedatangan dua golok yang menyebar ke arahnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa
karena saat itu empat lawan menyerbu dengan dahsyat! Kalau pedangnya dipakai
untuk menangkis dua golok, tubuhnya tidak terlindung lagi dari gempuran pedang
para pengeroyok!
Dalam keadaan genting seperti
itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Pendekar 212. “Akiko! Tangkis dua golok
terbang!” Bersamaan dengan itu, murid Eyang Sinto Gendeng dorongkan kedua
tangannya ke arah empat pengeroyok yang berpakaian dan berwajah serta berambut
merah. Dua gelombang pukulan sakti bernama “Dewa Topan Menggusur Gunung” yang
didapatnya dari Tua Gila, seorang sakti dari pulau Andalas, menghantam dahsyat.
Empat orang murid nenek Teruko berteriak kaget saat menyadari tubuhnya laksana
terseret badai. Mereka berusaha bertahan sambil mengejar Akiko dengan ujung
senjata masing-masing.
Tapi, “Wusssss!” Keempat
lelaki itu mencelat mental, bergulingan di tanah dan untuk beberapa saat
tergeletak dengan muka merah mereka tampak babak belur! Salah seorang mencoba
berdiri, tapi terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali. Dari mulutnya meleleh
darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
“Trang… trang…!” Seperti yang
diteriakkan Wiro, Akiko kini mampu mempergunakan pedangnya untuk menghantam
mental dua golok pendek yang tadi dilemparkan nenek Teruko. Selamatkan gadis
ini dari serangan maut. Akan halnya nenek Teruko si kepala komplotan kegetnya
bukan kepalang. Dia memang gusar melihat Akiko lolos dari kematian. Namun yang
membuatnya tersirap adalah pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 212, yang
sempat membuat empat anak buahnya terpental dan babak belur terkapar di halaman
puri.
“Pemuda asing ini luar biasa!
Ilmu pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi. Ada hubungan apa pemuda ini
dengan nenek sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa jadi hitome bore (cinta pada
pandangan pertama) padanya! Jika aku bisa memanfaatkan dirinya, tidak sulit
menjadi orang nomor satu di negeri ini!”
Nenek Teruko maju dua langkah
mendekati Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat anak buahnya yang cedera, si
nenek berkata, “Anak muda, ternyata kau memiliki pukulan sakti sehebat badai.
Apa sangkut pautmu dengan nenek Arashi?”
Wiro yang pernah mendengar
nama nenek tukung sihir itu menjawab, “Aku tidak ada sangkut paut dengan segala
macam nenek-nenek, termasuk denganmu!”
“Ah, jangan begitu anak muda.
Dengar… aku bersedia menjadikan kau sebagai wakilku. Kita bekerja sama, gajimu
enam tail perak sebulan! Pasti kau mau menerima!”
“Wiro-san! Jangan terpancing!”
teriak Akiko.
“Pasti aku menolak!” sahut
Wiro, membuat si nenek terperangah.
“Anak bodoh, setahun bekerja
denganku, kau bisa membangun puri sebagus puri Nanzen ini! Apa itu tidak
hebat?”
“Aku tidak suka jadi orang
hebat. Nenek, aku minta kau meninggalkan tempat ini dan jangan ganggu kami
lagi!” kata Wiro.
“Enak saja kau berucap
begitu…!”
“Lalu maumu apa?”
“Kuberi susu kau minta jelaga.
Kuberi madu kau minta racun! Sekarang bersiaplah untuk mati!” kata nenek
Teruko. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan senjata tombak aneh. Ujung
satunya berupa sebilah pedang pendek, sedang ujung lainnya berbentuk bulat
penuh dengan lobang kecil.
Melihat ini, Akiko segera
mendekati Wiro dan berbisik. “Hati-hati dengan ujung tombak berbentuk bulat. Di
dalamnya tersimpan racun yang bisa membuat mata buta serta menutup jalan
nafas!”
“Terima kasih, kalau begitu
lekas kita tutup jalan nafas dan kau berdiri dekat pohon sana!” kata Wiro.
Sebagai pendekar yang sudah kebal terhadap segala jenis racun, sebenarnya Wiro
tidak khawatir. Namun murid Sinto Gendeng tidak mau menganggap rendah orang.
“Wutttt!” Nenek Teruko
kiblatkan senjatanya. Dari lobang kecil pada ujung berbentuk bola serta merta
menebar benda berbentuk butir pasir halus. Begitu menyentuh udara meletus dan
berubah menjadi asap hitam yang baunya busuk luar biasa, membuat jalan
pernafasan sesak dan mata perih.
Selagi asap menutup
pemandangan, si nenek pergunakan kesempatan tusukkan ujung pedang ke arah perut
lawan!
Pendekar 212 berseru keras.
Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu setengah tombak. Dari atas dia langsung
melepas pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek menyambar ke arah pergelangan
tangannya. Selagi Wiro menarik kembali serangannya, senjata lawan sudah
menyemburkan asap lagi.
Wiro merasakan jalan
pernafasannya sesak. Kaki kirinya melesat mencari sasaran nenek Teruko. Si
nenek cepat sekali menundukkan kepala dan tiba-tiba tombak dengan cepat menusuk
ke atas selangkangan Wiro. “Nenek gila, gerakannya cepat sekali,” maki Wiro.
Mau tidak mau dia membuang diri ke samping. Untuk menghindari serangan, dia
langsung melepas serangan “Kunyuk Melempar Buah”.
Nenek Teruko gusar besar
melihat serangannya yang susul menyusul mampu dielakkan lawan.
Asap beracunnya tidak berhasil
mencelakakan pemuda itu. Dan kini dari atas kini dia merasakan ada gundukan
batu raksasa yang siap menimbunnya. Sambil memutar tombaknya, nenek melompat
mundur. Tangan kirinya dipukulkan ke atas. Dia memang memiliki pukulan sakti
mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi begitu pukulannya bertemu dengan pukulan
lawan, menjeritlah wanita tua bermuka celemongan ini. Tangan kirinya terkulai
lemas, lalu terbanting di tanah. Dia tidak lagi bisa menggerakkannya!
“Celaka! Apa yang terjadi
dengan tanganku ini!” si nenek mengeluh dalam hati. Selagi kebingungan seperti
itu, tendangan Wiro sampai di badan tombak yang ada di tangan kanannya.
Tak pelak lagi, pedang itu
terpental jatuh di atas rumput taman puri Nanzen dalam keadaan bengkok!
Nenek Teruko berseru tegang.
Empat anak buahnya terkesiap kaget. Saat itu Pendekar 212 telah menjejakkan
kedua kakinya di atas tanah kembali sambil bertolak pinggang dan berkata.
“Kalau pelajaranku tadi belum membuatmu kapok, bersiaplah menerima pelajaran
susulan!”
Wajah nenek Teruko membesi.
Pandangan matanya garang sekali. Dia berteriak keras. Tangan kanannya sesaat
kemudian bergerak ke punggung dan memegang sebilah katana. “Kalau kau mampu
mengalahkanku dalam ilmu kendo, baru aku mengaku kalah! Keluarkan senjatamu!”
Wiro memberi isyarat kepada
Akiko yang tegak dekat pohon. “Biar aku yang melayani nenek buruk itu” ujar
sang dara sambil cabut pedangnya. “Pinjami aku katana-mu,” ujar Wiro. Meski
tidak senang karena ingin sekali mencoba kehebatan nenek Teruko, akhirnya Akiko
lemparkan juga pedangnya pada Wiro.
“Kau akan menerima pelajaran
berikutnya dariku nenek Teruko…” kata Wiro sambil menyeringai, begitu katana
ada dalam genggaman tangannya. Tidak seperti orang-orang Jepang, Wiro memegang
pedang hanya dengan sebelah tangan. Si nenek balas menyeringai. Melihat Wiro
hanya memegang pedang dengan sebelah tangan, perempuan tua ini merasa dihinakan
sekali. Padahal Wiro memang tidak bisa memegang pedang dengan dua tangan!
Didahului jeritan keras, nenek
Teruko memulai serangan. Pedangnya membabat setengah lingkaran.
Wiro menyeruduk maju.
Gerakannya jelas sangat berbahaya karena senjata lawan dapat memenggal leher
dan pinggang saat itu juga. Tapi saat pedang lawan hendak menyentuh tubuhnya,
tiba-tiba Wiro terhuyung ke kiri dan menyeruduk ke kanan. Gerakan-gerakan itu
seperti orang mabuk. Tapi anehnya, dua kali serangan nenek Teruko dapat
dielakkannya! Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua Gila.
“Iblis! Aku lebih baik
melakukan harakiri (bunuh diri) jika tidak bisa mencincang tubuhmu!” teriak
nenek Teruko marah. Dari mulutnya keluar jeritan tinggi. Senjata di tangannya
kembali membabat.
Pendekar 212 membuat gerakan
aneh. Lalu tangan kanannya yang memegang pedang tampak menggebrak ke depan,
memotong arah sambaran senjata lawan. Sesaat pedang akan beradu, si nenek
tiba-tiba meluncurkan pedangnya ke bawah!
Wiro kaget melihat gerakan
tidak terduga ini. Cepat dia melompat ke belakang. Tapi ujung pedang nenek
masih sempat menyambar lengan baju sebelah kanan! “Breet!” Lengan baju itu
robek besar.
Si nenek keluarkan suara
tertawa nyaring. “Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi perutmu yang robek,” kata
si nenek sesumbar.
Wiro mencibir. “Lihat pedang!”
teriaknya, lalu memainkan jurus-jurus langka dari ilmu silat orang gila. Sambil
berkelahi dari mulutnya muncul suara siulan!
“Bagus, Menyanyilah terus!
Nyanyianmu itu adalah nyanyian kematian yang mengantarkanmu ke pintu kematian,”
kata nenek Teruko pula.
Tapi nenek malah keluarkan
seruan keras ketika ujung pedang lawan menyambar tepat di depan hidungnya!
Tengkuknya terasa dingin. Dia tahu betul, kalau mau, pemuda itu bisa membuat
hidungnya sumplung! Hati nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar katana-nya dengan
sebat. Suara pedang menderu-deru laksana titiran menggempur ke arah lawan.
Tiba-tiba nenek sadar bahwa gempurannya tidak akan menghasilkan apa-apa, karena
lawannya sudah tidak ada lagi di depannya!
“Jangan lari!” teriak nenek
Teruko.
“Siapa yang lari nek! aku di
sini!”
Nenek Teruko berpaling.
“Keparat!” pemuda lawannya sedang duduk enak-enakan di atas batu di taman yang
berumput sambil meneguk sebotol sake!
Dengan pedang di tangan nenek
Teruko melompat ke arah Wiro, sementara Wiro dengan tenang menutup kembali
botol minumannya. Saat itulah pedang di tangan nenek Teruko menyambar. Wiro
lemparkan botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke atas batu. Begitu senjata
lawan lewat, dia cepat melompat menyambut botol dan membabatkan pedangnya ke
bawah.
Dari tempatnya berdiri, Akiko
berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat akrobat maut Wiro. Kekagumannya
ternyata tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya, Wiro
benar-benar melakukan serangan. Pedang di tangan pemuda itu lenyap berubah
menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara bersiuran. Nenek Teruko mundur
morat-marit.
“Wuuuut!” Pedang Wiro
menyambar gulungan konde di kepala. Konde itu terlepas mental! Kini
kelihatanlah rambut asli yang tadi tertutup di bawah konde itu. Ternyata rambut
si nenek sudah putih semua! Wiro tertawa tergelak-gelak melihat rambut palsu
nenek terpental, sementara rambut aslinya yang putih tergerai awut-awutan.
Sebaliknya wajah nenek Teruko
tampak kelam membesi. Kuduknya basah oleh keringat dingin.
Sepasang matanya membara.
Mimiknya seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya.
Nenek Teruko maju dua langkah.
Tiba-tiba nenek tua itu menjatuhkan dirinya, berlutut lalu membungkuk
dalam-dalam seraya berkata, ”Aku mengaku kalah!” lalu laksana kilat kedua
tangannya yang memegang pedang menghujamkan senjata itu ke perutnya!
“Trangg!” Hanya seujung kuku
pedang itu akan menembus perut si nenek, Pendekar 212 lemparkan pedang di
tangannya. Senjata itu berhasil menghantam lepas pedang yang hendak dipakai
harakiri oleh nenek.
6
Nenek Teruko angkat kepalanya.
Sepasang matanya memandang tidak berkedip ke arah Wiro. Jelas perempuan tua ini
berusaha sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air mata. Perlahan-lahan dia
kemudian berdiri. “Terima kasih! Aku benar-benar tidak akan melupakan pelajaran
darimu!” lalu dia membungkuk dalam-dalam.
“Tunggu dulu!” seru pendekar
212 ketika si nenek meninggalkan tempat sambil mengajak anak buahnya. Nenek
Teruko menghentikan langkahnya dan berpaling pada Wiro. “Aku dan Akiko tahu
sesungguhnya kau bukan wanita jahat. Aku perlu bantuanmu….!”
Si nenek menjura. “Aku
berhutang budi dan nyawa padamu. Bantuan apa yang kau inginkan, silakan
katakan!” Wiro lalu mengajak nenek mendekat pohon tempat Akiko berdiri. Ketiga
orang itu tampak membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah Hozu berada dalam
keadaan gelap, sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong tubuh Akiko yang
terikat kedua tanganya dan ditekuk di belakang punggung. Di sampingnya,
berjalan seorang anak buahnya yang berpakaian serba merah, muka dilumuri pupur
merah sedangkan rambutnya juga berwarna merah. Di tengah lembah si nenek
berhenti melangkah. Dia memandang berkeliling. Di balik kerapatan pepohonan
tampak bangunan tanpa dinding. Namun dia tidak melihat seorang pun.
“Aneh…,” kata si nenek
perlahan tapi cukup terdengar oleh Akiko. “Tidak ada obor, bangunan itu kosong
melompong, tak satu pun kelihatan. Apa yang terjadi?!”
Akiko berpaling pada perempuan
tua itu. Lalu sunggingkan senyum dan berkata, “Tidak ada yang aneh! Hari ini
adalah hari kedelapan. Hari terakhir jatuhnya ancaman pemuda asing yang oleh
guruku dijuluki Pendekar Gunung Fuji! Orang-orang Lembah Hozu yang membayarmu
pasti sudah pagi-pagi kabur ketakutan! Ternyata mereka manusia pengecut!”
Baru saja gadis itu berkata
demikian tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring disusul melayangnya beberapa
sosok tubuh dari pepohonan. Dan enam orang bersenjatakan panah sudah mengepung
nenek Teruko, Akiko dan anak buah nenek. Masing-masing mengarahkan sebatang
anak panah beracun ke ketiga orang itu.
Lalu terdengar satu suara.
“Orang-orang Lembah Hozu tidak ada yang pengecut! Lidahmu pantas dicabut nona
Akiko!” Bersamaan dengan itu muncul sosok berpakaian putih berikat pinggang dan
kepala kain merah. Orang ini adalah Masashigi Sakaji, salah seorang pembunuh
Hiroto Yamazaki.
Begitu melihat pembunuh
gurunya, Akiko berteriak marah dan dalam keadaan tangan terikat kebelakang ia
berusaha mendekati Masashigi Sakaji. Tapi nenek Teruko cepat mencekal leher
pakaiannya. “Manusia banci! Kau mengeroyok dan membunuh guruku! Aku menantangmu
bermain pedang sampai seratus jurus! Mana kawanmu satu lagi?!”
Sakaji tertawa terkekeh. Dia
mendekati si gadis lalu, “Plaaak!” Tamparannya melayang ke pipi Akiko.
Gadis itu terpekik dan dari
pipinya mengucurkan darah. “Pengecut busuk!” teriak Akiko lalu meludahi muka
Sakaji dengan ludah bercampur darah.
Masashigi Sakaji, orang kedua
di Lembah Hozu seperti dipanggang rasa marah. Setelah membersihkan mukanya
dengan lengan pakaian langsung saja dia mencabut katana.
“Tunggu!” ujar nenek Teruko
seraya maju ke depan.
“Apa maumu Teruko,” sentak
Masashigi. “Gadis ini berada dalam kekuasaanku. Jika kau melunasi sisa
pembayaranku, silakan mau berbuat apa saja padanya!”
“Tua bangka tidak tahu diri!
Datang tidak memberi laporan apa-apa sekarang minta bayaran! Apa hasilmu
memata-matai murid Yamazaki dan pemuda asing itu?!”
“Tiga anak buahku tewas. Masih
untung aku bisa menangkap hidup-hidup gadis ini sebagai imbalan! Sekarang kau
menyerapah tidak karuan! Aku mau bicara dengan Minoru Shirota dan Sumio
Matsuura! Antarkan aku kepadanya!” nenek Teruko memandang beringas kepada
Masashigi Sakaji.
Ingin sekali Sakaji mengepruk
kepala nenek bermuka celemongan itu. Tapi mengingat ada hubungan sangat akrab
dengan orang-orang Lembah Hozu, yaitu Sumio Matsuura, lagi pula nenek menerima
tugas langsung dari Sumio, maka Sakaji menahan diri. Dia menggoyangkan kepala
memberi tanda. Orang yang membawa panah menurunkan busur masing-masing. Dengan
muka masam Masashigi memberi isyarat nenek mengikutinya.
Dalam gelap malam, rombongan
itu melangkah memasuki hutan cukup jauh, akhirnya tampak nyala lampu di sebelah
depan. Lalu kelihatan beberapa buah bangunan. Sayup-sayup terdengar suara
pedang beradu. Begitu mendekati bangunan di rimba pinus itu, terkejutlah Akiko
melihat apa yang telah berlangsung di halaman samping salah satu bangunan.
Kenichi Asano, saudara seperguruannya sedang melatih orang-orang Lembah Hozu
ilmu pedang kendo yang jelas-jelas ciptaan dari Hiroto Yamazaki. Lebih
mengejutkan lagi, sesekali Kenichi melihat buku yang terletak di atas batu. Lalu
melanjutkan latihan lagi. Dan buku di atas batu itu adalah milik Yamazaki yang
hilang! Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah Kenichi menjadi tawanan
orang-orang Lembah Hozu? Mengapa justru dia yang melatih dan memberikan ilmu
pedang bersama-sama? Lebih dari itu bagaimana buku berharga itu bisa sampai di
tempat itu?
“Kenichi!” teriak Akiko tidak
tahan dan tidak sabar lagi. Kenichi yang sedang latihan pedang terkejut dan
berpaling. Wajahnya mendadak berubah pucat. Suaranya bergetar.
“Akiko… apa yang terjadi atas
dirimu? Bagaimana kau bisa ke tempat ini?”
Akiko menatap wajah saudara
seperguruannya itu beberapa saat lalu menjawab. “Apa yang terjadi atas diriku
dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini tidak penting Kenichi! Justru aku
ingin meminta penjelasanmu! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Bukankah kau
tawanan orang-orang Lembah Hozu?! Kau juga harus menjelaskan bagaimana buku
milik sensei berada di tempat ini!”
“Di sini bukan tempat dan
saatnya bertutur cakap!” satu suara dari balik bangunan. Tiga orang muncul dari
balik kegelapan. Di sebelah depan adalah Sumio Matsuura, pemimpin orang-orang
Lembah Hozu. Di belakangnya mengikuti Minoru Shirota, orang ketiga dalam
komplotan.
Di samping kiri Sumio
melangkah terbungkuk-bungkuk seorang perempuan tua, jauh lebih tua dari nenek
Teruko, mengenakan pakaian aneh karena diganduli tabung bambu sepanjang
sejengkal.
Nenek itu juga memiliki
tongkat bambu berwarna aneh, setengah biru setengah merah. Sepasang mata
perempuan tua ini tidak bisa diam, selalu berputar-putar dan jelalatan ke sana
ke mari. Inilah orang yang disebut nenek Arashi alias nenek Topan atau nenek
Badai. Sejak bentrok dengan Pendekar 212, orang-orang Lembah Hozu meminta nenek
ahli sihir itu membantu menjaga segala kemungkinan.
Sumio berpaling ke nenek
Teroko dan menegur. “Sahabatku Teruko! Kau datang membawa tawanan berwajah
cantik. Kalau tidak salah, bukankah dia murid perempuan satu-satunya dari
Hiroto?”
“Kau betul Sumio. Untuk dapat
menangkapnya harus mengorbankan tiga anak buahku!”
“Hemmmm……, begitu…?” ujar
Sumio. Sepasang matanya menatap tidak bergesip ke arah anak buah nenek Teruko
yang berambut dan bermuka merah. “Apa yang kau lakukan terhadap gadis ini?”
tanya Sumio.
“Kalau kau membayar lunas saja
bayaranku, gadis ini jadi milikmu! Terserah mau kau jadikan apa! Menjadi
gundikmu atau membunuhnya!”
“Jangan melakukan hal yang
bukan-bukan terhadap adik seperguruanku!” satu suara menegur dengan keras. Yang
berkata ternyata Kenichi Asano.
Minoru Shirota mendehem
beberapa kali. “Asano-san, sejak kau menjadi bagian dari kami, lupakan sebutan
dan hubungan adik-kakak seperguruan!”
“Tapi…” memotong Kenichi.
“Tidak ada tapi-tapian!
Tugasmu di sini adalah melatih ilmu pedang, tidak mencampuri dalam urusan kami
lainnya!”
“Kenichi… Jadi kau…” ujar
Akino tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dipotong oleh Sumio.
“Dugaanmu benar nona Akiko.
Saudara seperguruanmu telah menjadi saudara seperguruan kami. Dia mengajarkan
ilmu pedang ciptaan gurumu!”
Mata Akiko terbelalak
memandang ke arah Kenichi. Yang dipandang menoleh ke jurusan lain.
“Kenichi, jadi kau yang
mencuri buku guru. Lalu bergabung dengan manusia jahat Lembah Hozu! Malah kau
gunakan buku itu sebagai dasar untuk melatih! Kau benar-benar pengkhianat busuk
paling keji di dunia ini! Terkutuk!”
Paras Kenichi seputih kertas.
Tubuhnya bergetar. Sesaat pemuda itu tampak bimbang.
Lalu dia berkata kepada Misuo,
“Saya minta kebebasan bagi Akiko. Kalau kalian mencelakainya, aku tidak akan
teruskan pelajaran ilmu silatnya. Buku itu akan kubawa dan aku akan tinggalkan
tempat ini!”
Baik Sumio, Minoru dan Sakaji
sama-sama tertawa mendengar ucapan Kenichi. “Kami membayarmu besar untuk
bergabung bersama kami dan membawa buku pedang itu. Jika kau berniat pergi
silakan. Tapi terpaksa kau harus meninggalkan sesuatu di sini, nyawamu!” kata
Sumio.
“Tidak ada satu orang pun di
sini bisa memaksaku! Kalau kau mencelakaiku dan juga gadis itu, kalian tidak
akan mendapatkan ilmu pedang ciptaan mendiang guruku itu seutuhnya!”
“Apa maksudmu?!” tanya Sumio
keras. “Sebelum ke mari, aku telah merobek sebagian dari buku itu. Yang separoh
bagian belakang aku sembunyikan di suatu tempat, separuhnya lagi itulah yang
aku bawa ke mari!”
“Hemm… bagus sekali
perbuatanmu Kenichi!” kata Sumio. Tampangnya menunjukkan kemarahan.
“Kamu mengkhianati ke kiri dan
ke kanan! Silakan ambil buku itu dan minggat dari sini! Tapi seperti kataku
tadi, nyawamu tinggal di sini!”
Tiba-tiba ada suara berteriak.
“Ada penyusup di atap!”
Suara suitan terdengar
bersahut-sahutan. Belasan orang-orang Lembah Hozu dengan berbagai macam senjata
segera mengurung bangunan di sebelah kiri di mana tampak dua sosok tubuh
merayap di atas atap. Minoru Shirota dan Masashigi Sakaji ikut berkelebat
mendekati bangunan.
Sedang Sumio dan nenek Arashi
tetap di tempat masing-masing.
Dalam gelapnya malam Akiko
tidak mengenali siapa adanya kedua orang itu. Namun setelah memandang dengan
seksama, kagetlah gadis ini. Dua orang di atas atap sana bukan lain Ichiro Ioki
dan Kunio Ota. “Ichiro… Kunio…” desis Akiko. “Kenapa kalian senekad itu?!”
“Manusia-manusia tolol!” di
samping Akiko nenek Teruko ikut menyerapah. Lalu sambungnya,
“Nona Akiko, sesuai
perjanjian, tugasku hanya sampai di sini. Hidup matimu sekarang ada di tangan
sendiri!”
Setelah berkata begitu nenek
Teruko langsung hendak berkelebat pergi. Tapi tahu-tahu nenek Arashi sudah
mencegatnya sambil tertawa mengekeh. “Mau lari ke mana kau Teruko? Sumio
mungkin tidak mendengar, tapi aku tidak tuli. Ucapanmu tadi cukup jelas mampir
di kedua telingaku!”
“Aku tidak mengerti maksud
ucapanmu!” kata nenek Teruko, padahal wajahnya tampak berubah.
Nenek Arashi tertawa panjang.
“Kau dibayar bukan untuk berkhianat! Kau layak mampus duluan Teruko!” Nenek
Arashi menghembus kuat-kuat ke depan.
“Wusss!” Asap hitam mendadak
menebar di tempat itu, kemudian bergulung dan sesaat kemudian berubah membentuk
sepasang tangan hitam panjang yang laksana kilat menyambar ke arah batang leher
nenek Teruko!
“Sepasang Tangan Iblis!”
teriak nenek Teruko ketika mengenali ilmu sihir yang dikeluarkan nenek Arashi.
Cepat-cepat ia jatuhkan diri ke tanah, cabut katana yang ada di balik
punggungnya, lalu sambil bergulingan di tanah, perempuan tua ini sapukan
pedangnya membabat sepasang kaki nenek Arashi!
“Wusss!” Untuk kedua kalinya
mengebu asap dari mulutnya. Kali ini asap berwarna putih. Ketika nenek Teruko
melihat ke depan, tersiraplah darah perempuan tua ini. Asap putih tadi telah
berubah membentuk sosok tubuh perempuan tua yang jelas mirip sekali dengan
dirinya! Jalan pikiran nenek Teruko serta merta menyangka bahwa dia tengah
menyerang dirinya sendiri.
Cepat dia tahan serangan
pedangnya. Justru saat itu nenek Arashi kirimkan satu tendangan ke arah kepala.
Yang terakhir ini tidak punya kesempatan lagi untuk berkelit selamatkan kepalanya!
Sementara itu di atas atap,
dalam keadaan gugup karena penyusupannya diketahui, Ichiro dan Kunio segera
menyulut api untuk membakar bangunan. Baru saja api menyala dan mulai membakar
atap, dari bawah enam anak panah beracun melesat ke atas atap. “Awas panah
beracun!” teriak Ichiro yang mendengar lebih dulu suara desingan anak-anak
panah itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri sama rata dengan atap.
Akan halnya Kunio, pemuda ini
juga sempat jatuhkan diri tapi kakinya terpeleset. Tak ampun lagi, Kunio menggelinding
ke bagian atap sebelah bawah. Pemuda ini jungkir balik dua kali berturut-turut
lalu turun di tanah dengan kaki lebih dulu. Namun begitu menginjak tanah, tiga
ujung katana tiba-tiba menuding di depan hidung, pelipis kiri dan kepala bagian
belakangnya!
Yang memegang pedang di
sebelah depan bukan lain Masashigi. “Murid Yamazaki, aku hargai keberanianmu
menyusup ke tempat kami! Tapi untuk itu kau harus membayar mahal!” Masashigi
putar pergelangan tangannya.
“Craass!” Ujung katana merobek
pipi kiri Kunio. Darah mengucur, tapi pemuda ini berusaha keras untuk tidak
menjerit. Tangannya bergerak hendak menghunus pedangnya, namun pengurung di
samping kiri babatkan senjatanya, membuat Kunio terpaksa tarik pulang tangannya
kembali.
Sekarang pemuda ini sama
sekali tak berdaya di bawah ancaman tiga pedang maut!
Ketika nenek Teruko hendak
berkelebat pergi, Akiko Bessho cepat dan dengan mudah membuka ikatan tangannya
yang memang ikatan bohongan. Dara ini langsung mencabut katana-nya dan menyerbu
ke tempat di mana Kunio tegak dalam keadaan tidak berdaya.
Masashigi merasakan ada angin
dingin menyambar punggungnya. Katana yang ditudingkannya di depan hidung Kunio
segera diputar dengan gerakan membabat ke belakang. “Trang!” Katana milik
Masashigi saling bentrokan dengan katana di tangan Akiko. Gadis ini melompat ke
kiri sambil berteriak keras. Pedangnya berkiblat. Orang yang memegang pedang
dan menudingkan ke bagian belakang kepala Kunio menjerit. Pinggang kirinya
sampai ke perut robek besar. Orang ini langsung roboh, menggeliat beberapa kali
lalu tewas!
Ilmu pedang matahari yang
sudah diwarisi Akiko dari Hiroto Yamazaki memang luar biasa hebat dan ganasnya.
Jika saja saat itu dia bukan berhadapan dengan tokoh-tokoh Lembah Hozu, mungkin
dalam beberapa gebrakan saja dia akan berhasil membereskan lawan-lawannya.
Namun Masashigi Sakaji dan
Minoru Shirota bukan orang-orang sembarangan. Walaupun dengan cara mengeroyok,
kedua orang ini telah berhasil merobohkan dan menewaskan Hiroto Yamazaki yang
dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Matahari. Padahal selama bertahun-tahun
Yamazaki menjadi tokoh nomor satu dalam kendo di seluruh kawasan Jepang.
Kita kembali pada perkelahian
antara dua nenek, yaitu Teruko dan Arashi. Saat itu nyawa nenek Teruko terancam
oleh tendangan maut yang dilancarkan nenek Arashi ke arah kepalanya tanpa dia
mampu menangkis atau berkelit.
Dalam keadaan yang sangat
kritis itu tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan merah. angin deras
bersiur dan tubuh nenek Arashi tergontai keras lalu terjajar ke samping.
Tendangannya hanya mengapung di udara. Nenek Arashi terkejut besar ketika
melihat yang barusan mendorongnya hingga terjajar begitu rupa adalah anak buah
nenek Teruko yang berpakaian serba merah, bermuka serta berambut merah.
Sumio Matsuura tak kalah
kagetnya menyaksikan hal ini. Dia tahu betul Teruko memiliki empat orang anak
buah yang berkepandaian tinggi. Namun kepandaiannya itu tidak cukup ampuh untuk
dapat membuat nenek Arashi terpelanting begitu rupa! Maka kedua orang itu pun
menjadi curiga.
“Bangsat! Siapa kau
sebenarnya?!” sentak Sumio Matsuura.
Sepasang mata nenek Arashi
berputar-putar dan berkilat-kilat saking marahnya. “Setahuku, anak buah
perempuan kampret ini mememiliki rambut merah pendek! Yang satu ini mengapa
berambut gondrong!?”
Terdengar tawa nenek Teruko.
Sambil bangkit berdiri perempuan tua ini berkata, “Mata kalian cukup tajam!
Gaijin, perlihatkan dirimu yang asli!”
Si “anak buah” lalu buka baju
dan pakaian merahnya. Di balik pakaian merah itu ternyata ada sehelai pakaian
putih. Baju yang tidak terkancing memperlihatkan dada penuh otot. Di dada itu
terpampang rajah tiga buah angka. Orang ini pergunakan baju merah yang barusan
dibukanya untuk menyeka wajahnya yang berlumuran pupur merah dan juga
membersihkan rambutnya. Kelihatan kini wajahnya, ternyata wajah seorang pemuda
asing!
Walau wajah itu bersih dan
kelihatan jelas kini, namun baik Sumio maupun nenek Arashi tetap tidak
mengenali karena sebelumnya mereka memang belum pernah melihat orang ini. Namun
sesaat kemudian nenek Arashi mulai dapat menduga-duga.
“Kau yang jadi pimpinan
orang-orang Lembah Hozu?!” tiba-tiba pemuda itu maju satu langkah ke hadapan
Sumio dan ajukan pertanyaan.
Meledaklah amarah Sumio
Matsuura. Tangannya bergerak hendak mencabut pedang tapi nenek Arashi memberi
isyarat. Perempuan ini lalu maju ke hadapan si pemuda lalu menegur, “Apakah kau
orangnya yang digembar-gemborkan sebagai Penguasa Gunung Fuji?”
“Kau memang tengah berhadapan
dengan Pendekar Gunung Fuji, Arashi!” yang menjawab adalah nenek Teruko.
“Bangsat tua! Diam!” hardik
Arashi. “aku tidak bertanya padamu!” lalu dia berpaling pada si pemuda, “Jawab
pertanyaanku!”
Yang ditanya menyeringai.
“Siapapun diriku tidak perlu dipersoalkan! Jika kalian semua mau selamat,
bebaskan Kenichi, serahkan dua pembunuh Hiroto Yamazaki. Setelah itu kalian
boleh pergi dari sini!”
Nenek Arashi pelototkan
matanya lalu tertawa bergelak. Sumio Matsuura juga ikut tertawa bekakakan.
“Seekor rubah kesasar yang masih bau apak mau jual lagak di depanku!” mengejek
nenek Arashi.
“Jauh-jauh kesasar ke mari
hanya untuk mengantar nyawa!” menimpali Sumio.
“Perlihatkan kehebatanmu
padaku!” tantang Arashi.
“Kau meminta! Aku
mengabulkan!” sahut si pemuda. Laksana kilat tangannya menyelinap ke pinggang.
Lalu berkilatlah sinar putih panas menyilaukan. Hanya sesaat, karena sesaat
kemudian pemuda itu lenyap dari hadapan Sumio dan Arashi. Lalu terdengar suara
menderu dahsyat laksana ribuan tawon mengamuk. Menyusul terdengar suara jeritan
dua orang Lembah Hozu yang bersama-sama dengan Masashigi tengah mengancam Kunio
Ota dengan pedang.
Kedua orang itu roboh ke tanah
mandi darah, sedang Masashigi Sakaji masih untung sempat melompat. Tapi
wajahnya tampak seputih kain kafan ketika melihat bagaimana pakaiannya di
bagian dada robek besar disambar senjata, entah senjata apa!
Semua orang Lembah Hozu yang
ada di tempat situ sama terkesiap dan ternganga. Mereka memandang pada pemuda
asing berambut gondrong yang tegak sambil memegang sebilah senjata berupa kapak
bermata dua! Tiba-tiba Sumio sadar. Dia tiba-tiba berteriak pada orang-orang
yang ada di sana. “Jangan diam saja, cincang pemuda asing ini!”
Lalu Sumio mencabut pedangnya.
Masashigi yang barusan lolos dari maut sesaat tampak ragu.
Namun kemudian segera maju
mendekati si pemuda dengan pedang di tangan. Minoru Shirota datang dari jurusan
lain juga membekal sebilah katana. Lalu ada enam orang lainnya yang ikut
mengurung lawan tunggal itu, sementara Sumio kembali berteriak. “Kalian tunggu
apa lagi, cincang dia!”
“Tunggu!” tiba-tiba nenek
Arashi keluarkan suara. Tubuhnya yang bungkuk melangkah, sengaja mengelilingi
pemuda di hadapannya beberapa kali. “Cuma orang begini, kenapa kalian capaikan
diri turun tangan. Biar aku yang membereskannya!”
Habis berkata begitu, nenek
Arashi pukulkan tongkat bambu merah biru ke arah si pemuda.
Terdengar letupan halus
disertai munculnya dua sinar terang, satu biru dan lainnya merah. Dua sinar ini
terpecah menjadi masing-masing selusin. Nenek Arashi kembali pukulkan
tongkatnya. Duapuluh empat sinar tiba-tiba berubah jadi potongan-potongan
tangan berkuku panjang yang secara serentak menyerbu si pemuda. Yang
mengerikan, potongan-potongan tangan itu di bagian pergelangannya tampak
seperti terpotong dan mengeluarkan darah!
“Ilmu iblis apa ini!” maki si
pemuda yang tentunya Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Dia membabat dengan
Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara seperti tawon menderu
dan hawa panas menghampar! Tetapi duapuluh empat potongan tangan merah biru itu
secara aneh melesat kian kemari menghindari serangan kapak. Lalu belasan di
antaranya mulai berkelebat ke arah Wiro. Mencakar, membetot, menusuk ke bagian
kepala, dada, perut, bahkan selangkangannya!
“Breett…breett…breett!”
Pakaian Wiro robek di tiga
bagian. Pendekar ini berteriak kaget lalu cepat-cepat melompat mundur sambil
kembali sapukan senjata mustikanya. Dua buah tangan sempat kena bacok tapi
tidak mempan, hanya terpental beberapa jengkal! “Edan!” maki Wiro. Entah
mengapa tengkuknya mulai dingin.
7
“Bunuh! Bunuh! Cakar! Korek
matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot kemaluannya!” terdengar suara
nenek Arashi lalu perempuan tua itu tertawa mengekeh.
Seperti kesetanan, murid Sinto
Gendeng ayunkan kapaknya kian kemari. Tetapi serangan tangan-tangan aneh itu
tidak bisa terbendung. Malah kini satu cakaran sempat menggapai pipi kirinya.
Meskipun serangan itu tidak
begitu telak, namun pipi Wiro tampak tergurat lalu mengucurkan darah!
“Iblis! Perempuan iblis!”
rutuk Pendekar 212. Lalu dia ingat. Segala macam ilmu sihir tidak akan berdaya
terhadap api. maka cepat-cepat Wiro keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut
Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Batu hitam ini diadukannya kuat-kuat ke
salah satu mata kapak.
Wuusss!
Lidah api menderu, menyambar
ke arah potongan-potongan tangan. Tapi ternyata semburan api itu tidak beda
laksana tiupan angin saja. Tidak mampu memusnahkan duapuluh empat potongan
tangan berkuku panjang! Penasaran, Pendekar 212 simpan batu apinya kembali,
pindahkan kapak ke tangan kiri lalu tangan kanannya dialiri tenaga dalam penuh!
Tangan itu sampai ke lengan berubah putih laksana perak. Wiro memukul.
“Buummm!”
Lembah Hozu bergetar ketika
pukulan sinar matahari dengan kekuatan tenaga dalam penuh melabrak ke depan.
Orang-orang lembah cepat menyingkir ketika merasakan adanya hawa sangat panas
menyambar dari sinar pukulan yang menyilaukan.
Tapi si nenek Arashi hanya
ganda tertawa. Pukulan sinar matahari lewat lalu menghantam bangunan di
belakang sana hingga hancur porak poranda. Tapi duapuluh empat potongan tangan
tidak satu pun yang musnah! Malah kini mereka kembali menyerbu, memaksa
Pendekar 212 mundur terus dan kucurkan keringat dingin.
“Bunuh! Bunuh! Cakar! Cakar!
Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot kemaluannya!” kembali
terdengar suara nenek Arashi yang disusul tawa kekehnya.
Selagi semua orang menyaksikan
bagaimana nenek Arashi hendak mencelakakan Wiro dengan ilmu sihirnya,
kesempatan ini dipergunakan oleh Kenichi Asano untuk mengambil buku ilmu pedang
yang diletakkannya di atas batu waktu melatih tadi. Namun baru saja buku itu
berada dalam genggamannya, tiba-tiba Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota sudah
melompat ke hadapannya.
Terpaksa murid Yamazaki yang
culas ini cabut pedangnya.
Perkelahian dua lawan satu
terjadi. Dalam beberapa kali gebrakan saja Kenichi sudah terdesak hebat!
Melawan salah satu saja dari dua tokoh Lembah Hozu itu Kenichi belum tentu
menang, apalagi dikeroyok dua begitu.
“Dua bangsat pembunuh guru!
Serahkan batang leher kalian padaku!” satu teriakan menggeledek disertai
menderunya pedang menyambar ke arah leher Minoru Shirota. Yang masuk ke arana
pertempuran ternyata Akiko Bessho.
“Akiko Bessho! Jangan kira aku
tidak tega mencincang tubuhmu yang bagus!” teriak Minoru marah seraya menangkis
serangan si gadis. Di saat yang sama, Kunio Ota yang mukanya berlumuran darah,
serta Ichiro Ioki yang baru saja melompat turun dari atas atap bangunan yang
terbakar setelah lebih dahulu merobohkan seorang lawan, ikut terjun ke arena
perkelahian. Kini pertarungan menjadi empat melawan dua!
Mula-mula kelompok Akiko
tampak menguasai perkelahian, bahkan mendesak dua tokoh Lembah Hozu itu,
Kenichi bertempur mati-matian seolah-olah ingin menebus dosanya. Namun dua
lawan yang lebih banyak pengalaman itu secara perlahan tapi pasti balas
mendesak. Ketika dua orang Lembah Hozu masuk membantu dan di bagian lain empat
orang lagi mulai menghujani kelompok Akiko dengan panah-panah beracun, maka
kacau balaulah keadaan ke empat murid Hiroto Yamazaki itu!
Kunio Ota mengeluh tinggi
ketika sebatang anak panah menembus punggungnya. Ichiro Ioki terpaksa melompat
mundur ketika senjata salah seorang lawan berhasil memapas bahunya dan darah
membasahi pakaiannya. Sekujur badannya bergetar kesakitan!
Murid Sinto Gendeng tidak tahu
apa yang harus dilakukannya lagi. Kapak Naga Geni 212 tidak mempan.
Pukulan-pukulan saktinya tidak sanggup membendung serbuan duapuluh empat
potongan tangan! Dalam keadaan pakaian penuh robek, wajah terluka serta dada
dan bahu berkelukuran, Wiro terpaksa mundur terus. Sesekali dia harus melompat
kian ke mari untuk menghindari serangan tangan-tangan sihir yang ganas itu.
“Celaka! Aku tak bisa mundur
terus! Tak bisa menghindar terus!” keluh Wiro. Di depan sana, dilihatnya Akiko
dan saudara-saudara seperguruannya didesak hebat oleh kelompok Sumio Matsuura.
Semakin kacau pendekar ini jadinya.
Untuk kesekian kalinya baju
pendekar ini robek besar disambar cakaran sebuah tangan. Kulit di bawah pakaian
yang robek itu terasa perih tanda dagingnya ikut kena cakar. Masih untung kuku-kuku
yang mencakar itu tidak mengandung racun. Walaupun demikian, bukan berarti
dirinya akan terlepas dari cengkeraman maut!
“Gila! Apa lagi yang harus
kulakukan!” Wiro hampir sampai di titik keputusasaan. Kedua matanya
mencari-cari di mana beradanya nenek Arashi. Otaknya coba berpikir keras. Kalau
ilmu sihirnya tidak bisa dilawan, mengapa tidak langsung menghajar sumbernya,
yaitu si nenek sihir itu sendiri?
Tapi dari tempatnya berdiri,
Wiro sama sekali tidak melihat perempuan tua itu. Pandangannya terhalang oleh
semacam kabut tipis yang berwarna biru kemerahan! Itulah tabir sihir yang
keluar dari tongkat di tangan nenek Arashi.
“Tongkat itu! Tongkat sihir
itu yang harus kuhancurkan!” pikir Wiro. Namun manusia yang memegang tongkat
sama sekali tidak kelihatan. Tiba-tiba Pendekar 212 ingat. “Ada satu yang belum
kulakukan! Senjata dan pukulan sakti tidak bisa tembus, tapi suara sanggup
menembus dinding besi dan dinding karang setebal apapun!”
Wiro melompat mundur sejauh
dua tombak. Lalu tegak dengan dua kaki terkembang. Gagang Kapak Maut Naga Geni
yang berbentuk kepala naga lengkap dengan mulutnya ditempelkan ke bibirnya.
Jari-jari tangannya menekan pada enam lobang yang ada di gagang kapak di bawah
kepala naga. Tenaga dalam dipusatkannya di perut. Lalu seperti layaknya meniup
sebuah seruling, Wiro mulai meniup bagian mulut kepala naga. Meniup bukan
dengan hawa yang ada dalam mulut dan tenggorokannya, tetapi dengan tenaga dalam
tinggi yang dikerahkannya dari perut terus ke dada sampai ke mulut.
Serta merta Lembah Hozu
dibuncah oleh lengking dahsyat yang keluar dari “seruling” yang ditiup Wiro.
Nenek Arashi kernyitkan kening sewaktu gelombang suara yang dahsyat menembus
asap biru merah terus mencucuk kedua liang telinganya! Mula-mula liang
telinganya bergetar keras lalu menyusul rasa sakit yang amat sangat. Kedua
telinganya serasa ditusuk besi panas!
Perempuan tua ini cepat tutup
kedua telinganya. Di lain pihak Wiro terus semakin kuat meniup.
Jari-jari tangan si nenek
ternyata tidak sanggup melindungi liang-liang telinganya! Gelombang suara yang
keluar dari kapak sakti terus menerobos. Kalau tadi perhatiannya dapat
dipusatkan pada ilmu sihirnya yang mampu menciptakan potongan-potongan tangan
yang berwarna merah dan biru, kini perhatiannya jadi terbagi dan mengendur!
Potongan-potongan tangan itu tampak bergerak tidak seganas tadi lagi.
Sepertinya mengambang di udara sambil menggapai-gapai lemah. Lalu satu demi
satu jatuh ke tanah lalu lenyap!
Nenek Arashi bertahan terus!
Mulutnya berusaha merapal sesuatu. Tongkatnya dipukulkan ke depan. Asap ungu
membersit di udara, namun segera lenyap kembali pertanda si nenek tidak bisa
lagi memusatkan kekuatan ilmu sihirnya akibat suara lengking Kapak Naga Geni
212 yang ditiup Wiro. Perempuan itu malah tersentak kaget ketika dirasakannya
ada cairan meleleh keluar dari kedua liang telinganya. Darah!
Nenek Arashi berseru tegang.
Sepasang matanya tampak berkilat-kilat dan jelalatan kian kemari.
Dia masih sempat melihat
potongan tangan terakhir ciptaan sihirnya jatuh ke tanah lalu lenyap tak
berbekas. Si nenek menggeram marah. Tak ada jalan lain! Dia harus menyerang
pemuda itu.
Tubuhnya yang bungkuk melompat
ke depan. Tongkat merah-birunya menusuk ke arah Pendekar 212. Justru inilah
kesalahan terbesar si nenek. Kemampuan ilmu sihirnya tidak sehebat ilmu
silatnya.
Begitu si nenek menusuk dengan
tongkatnya, Wiro berhenti meniup. Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkannya ke
depan. Nenek Arashi terpekik ketika merasakan ada hawa panas menyambar disertai
dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan dan suara menderu. Dia cepat
berkelit ke samping. Tapi terlambat. Senjata lawan sempat menghantam tongkat
bambunya hingga mental dan berantakan. Nenek Arashi merasakan tangan kanannya
sakit sekali seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Perempuan itu menggembor
marah. Dia loloskan tabung-tabung bambu yang menggandul di pinggangnya. Tabung
bambu yang berjumlah enam buah dan saling dihubungkan dengan ikatan tali ini
berisi air keras yang sangat berbahaya. Sekali seseorang kena siramannya pasti bagian
tubuhnya akan rusak hancur mengerikan!
Nenek Teruko yang sudah
mengetahui isi tabung itu segera berteriak memperingatkan pada Wiro.
“Gaijin, hati-hati tabung
bambu itu berisi air keras,! Wuuttt! Byaaarrr… byarrr!”
Enam tabung bambu melesat di
udara lalu secara aneh menderu turun ke arah Wiro. Dua tabung dari enam tabung
itu menumpahkan air keras ke arah muka dan perut Wiro. Sambil melompat menjauh,
Pendekar 212 menghantamkan kapak mustikanya ke depan. Sinar menyilaukan
berkiblat.
Air keras yang muncrat dari
dua tabung berbalik ke arah nenek Arashi. Empat tabung lainnya hancur
berantakan. Isinya muncrat-muncrat dan lagi-lagi mengarah ke tubuh dan muka
nenek.
Terdengar jeritan dari nenek
tukang sihir itu berulang kali. Tubuhnya yang bungkuk langsung jatuh
tergelimpang di tanah menggeliat-geliat. Air keras yang mengenai tubuh dan
mukanya membuat dagingnya mengkerut, mengepul dan mengeluarkan asap! Pakaiannya
hangus. Sebentar saja nenek Arashi berubah menjadi mahluk mengerikan. Dia coba
berdiri tapi jatuh kembali. Mencoba lagi, jatuh lagi. Kali terakhir jatuh,
tubuh itu tidak bergerak lagi!
Melihat kematian nenek Arashi
yang menjadi andalan mereka, Sumio Matsuura dan kawan-kawannya menjadi gentar.
Terlebih ketika mendengar Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Kapak Maut Naga Geni
212 di tangan kanan melangkah ke arah mereka. Sumio, Masashigi dan Minoru serta
hampir duapuluh orang-orang Lembah Hozu lainnya melompat menjauhi Akiko, Ichiro
yang dalam keadaan terluka serta Kenichi. Sementara Kunio Ota tergeletak di
tanah dalam keadaan sekarat akibat racun panah yang menghujam di punggungnya.
Sumio Matsuura yang melihat
keadaan bakal tidak menguntungkan lagi baginya dan orang-orangnya, secara
tiba-tiba melompat ke arah Kenichi, orang yang paling dekat dengannya. Kenichi
Asano jadi terganggu pucat ketika sebilah katana yang dipegang Sumio dari
belakang tiba-tiba sudah membelintang di tenggorokannya! “Tinggalkan tempat ini
atau kugorok lehernya!” yang mengancam Sumio.
Akiko dan Ichiro terkesiap.
Apa yang dilakukan Sumio begitu cepat sehingga mereka tidak bisa berbuat
apa-apa. Sebaliknya Pendekar 212 terus melangkah mendekati. “Satu langkah lagi
kau berani maju, kusembelih pemuda ini!” kembali Sumio mengancam. Dia tidak
main-main.
“Gaijin! Akiko! Ichiro!”
tiba-tiba Kenichi berteriak. “Jangan pedulikan nyawaku! Serang mereka!
Hancurkan mereka, aku rela mati menebus dosa-dosaku!” Akiko dan Ichiro saling
pandang. Mereka menoleh ke arah Wiro yang masih terus melangkah mendekati
Sumio.
“Berhenti!” teriak Akiko. Wiro
hentikan langkahnya. Tetapi Sumio yang merasa tidak bakal bisa lolos, tiba-tiba
saja dengan sadis menggerakkan tangannya yang memegang pedang. Darah langsung
menyembur!
“Kenichi!” teriak Akiko dan
Ichiro berbarengan. Keduanya langsung menyerbu Sumio dengan pedang di tangan.
Begitu Kenichi roboh bergelimpang, dia tewas dengan tangan kanan masih memegang
buku ilmu pedang milik gurunya.
“Serahkan durjana satu ini
padaku! Kalian selesaikan urusan dengan Masashigi dan Minoru!” terdengar suara
Wiro keras lalu pemuda ini berkelebat mendahului ke arah Sumio Matsuura.
Sebenarnya Sumio merupakan
orang pertama dengan kepandaian tinggi di antara orang-orang Lembah Hozu. Namun
saat itu dirinya sudah dihantui oleh rasa takut. Ketika kapak Naga Geni 212
berkelebat, dia hanya terkesiap. Lalu dengan sangat lambat dia acungkan
pedangnya untuk menangkis. “Trang!”
Kapak dan pedang beradu. Sumio
berseru kesakitan. Pedangnya patah jadi dua. Lalu dilihatnya senjata lawan
kembali menderu. Kali ini dia sama sekali tidak punya kesempatan untuk
selamatkan diri. Kapak Naga Geni 212 membalik. Sumio menjerit keras ketika
salah satu ujung kapak menghujam dadanya. Kedua tangannya menggapai-gapai ke
udara. Tubuhnya terbanting. Orang ini kemudian mati dengan luka di dada.
Sebagian tubuhnya hangus!
Melihat kawan mereka tewas
begitu rupa, nyali Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota menjadi leleh. Terlebih
anak buah mereka yang juga ada di sekitar situ. “Minoru, apa pendapatmu?” bisik
Masashigi.
“Aku malu mengatakannya,”
jawab Minoru. “Tapi tidak ada pilihan lain, tinggalkan tempat ini!”
Mendengar ucapan kawannya itu
Masashigi segera berteriak. “Semua yang memegang panah lekas menyerbu musuh!”
Saat itu ada delapan orang Lembah Hozu memegang busur panah. Mendengar
perintah, mereka segera merentang busur. Di saat itu pula Masashigi Sakaji dan
Minoru pergunakan waktu untuk menyelamatkan diri.
Pendekar 212 cepat mengambil
tindakan. Dia berteriak pada Akiko untuk mengejar kedua orang yang berusaha
kabur itu. Dia sendiri hantamkan pukulan sinar matahari dengan tangan kiri ke
arah orang Lembah Hozu yang siap melancarkan serangan panah beracun. “Buummmm!”
Sinar putih menyilau menderu.
Hawa panas menyengat dan di depan sinar terdengar pekikan kematian. Enam orang
Lembah Hozu mencelat dengan tubuh hangus. Langsung tewas begitu tergelimpang di
tanah. Empat lainnya selamat tetapi pakaian dan beberapa bagian tubuh mereka
melepuh! “Kawan-kawan, pemimpin kita melarikan diri, tunggu apa lagi, segera
tinggalkan tempat ini,” ujar salah seorang mereka.
Orang-orang Lembah Hozu segera
berhamburan masuk ke dalam hutan. Wiro tidak mempedulikan, dia segera melesat
ke kanan ke arah Akiko dan Ichiro yang berhasil mencegat Masashigi dan Minoru
yang melarikan diri dan kini sedang bertarung satu lawan satu.
Dengan ilmu pedang yang
dimilikinya, Akiko tidak gentar menghadapi Masashigi Sakaji. Paling tidak dia
akan mempu menghadapi musuh besar yang telah membunuh gurunya. Justru dia
mengkhawatirkan Ichiro yang terluka parah saat melawan Minoru. Jika tidak
segera ditolong, Ichiro bisa menemui ajal di tangan Minoru. Dalam keadaan
begitu, tiba-tiba nenek Teruko meloncat membantu Ichiro. Di tangan kanannya
tergenggam golok pendek.
“Keparat! Masih di sini
bangsat tua ini rupanya!” maki Minoru. Dia maju selangkah berusaha membereskan
Ichiro lebih cepat. Tapi gebrakan yang dibuat nenek bermuka celemotan itu dapat
menahan serangan. Ketika Teruko dan Ichiro maju bersamaan, Minoru malah
terdesak.
Pendekar 212 yang
memperhatikan setiap gerak Akiko berseru. “Nona Akiko, walau mempelajari baru
beberapa hari, mengapa kau tidak pergunakan jurus sinar matahari?!”
Akiko terkesiap sesaat.
Sebaliknya Masashigi diam-diam merasa terkejut. Apa benar dia menguasai pukulan
yang lebih hebat dari semua ilmu sihir nenek Arashi? Dilihatnya Akiko menyilangkan
pedang di depan dada. Sepasang matanya memandang tajam. Mulutnya bergerak
sedang tangan kiri bergerak ke atas. Wiro melihat tangan itu berubah keputihan
tapi tidak memancarkan sinar menyilaukan.
“Kerahkan seluruh tenaga
dalammu!” teriak Wiro. Lengan yang memutih itu tampak laksana sinar, pertanda
Akiko sedang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Aku harus mendahului!” kata
Masashigi sambil melompat ke depan dan membabatkan pedangnya.
“Hantam!” teriak Wiro ketika
melihat Akiko ragu-ragu. Mendengar teriakan itu, si gadis langsung hantamkan
tangan kirinya ke arah lawan. “Wuss!”
Sinar putih melesat walau
kurang putih dan kurang panas. Di depan sana Masashigi keluarkan suara keras.
Tubuhnya tersapu lalu terjengkal jatuh. Pakaiannya sebelah depan hangus dan
kulitnya melepuh. Namun pukulan yang dilepas Akiko yang masih dasar itu tidak
mampu membunuhnya.
Penasaran, Akiko kembali
hendak menghantamkan lagi tangan kirinya. Tapi saat itu tangannya tidak
mengeluarkan sinar putih lagi.
Wiro cepat berteriak, “Jangan!
Pergunakan pedangmu!”
“Ah!” Akiko sadar belum bisa
melepaskan pukulan sinar matahari untuk kedua kalinya dalam waktu secepat itu.
Maka dengan pedang di tangan dia menerjang ke Masashigi yang berusaha bangkit
berdiri.
Katana di tangannya menderu, Masashigi
mencoba menangkis. “Traaannng! Celaka!” keluh Masashigi ketika tangannya
tergetar keras dan pedangnya terpelanting. Sebelum pedang lawan memburu, dia
jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tapi orang ini salah arah. Dia justru
bergulingan ke arah Pendekar 212.
Gulingannya terhenti ketika
tubuhnya membentur kaki Wiro. Melihat itu Masashigi berteriak.
“Bangsat! Aku tidak menyesal
mati jika bisa membunuhmu dulu!” Lalu Masashigi tusukkan pedangnya ke arah
Wiro. Murid Sinto Gendeng itu tidak berusaha menghindar karena dia melihat
Akiko lebih dahulu berkelebat dan mengayunkan pedangnya. Darah muncrat di
celana putih Wiro ketika pedang Akiko menembus dalam leher Masashigi. Pembunuh
Hiroto Yamasaki itu mengerang pendek menggeliat sesaat, lalu tidak berkutik
lagi.
Akiko jatuhkan diri berlutut
dan seperti hendak menangis. “Perempuan Jepang pantang menangis,” ujar Wiro
sambil memegang bahu Akiko. “Apakah kamu tidak melihat kedua mayat yang
membunuh gurumu.”
Mendengar itu Akiko
menggenggam erat pedang di tangannya, berdiri dan membalik. Saat itu Ichiro
seperti kesetanan dibantu nenek Teruko sedang menghujamkan pedang ke perut
Minoru.
Orang ini mengeluarkan
lolongan beberapa kali sebelum akhirnya roboh mati ke tanah.
Ichiro berdiri
terhuyung-huyung. Luka dibahunya banyak mengeluarkan darah. Akiko menubruk
saudara seperguruannya ini. Keduanya saling berpelukan dengan dada sesak
menahan tangis.
Ketika selesai berpelukan
mereka melihat sekeliling dan yang terlihat hanya nenek Teruko satu-satunya
yang masih berada di tempat itu. Bahkan Kunio Ota juga ikut lenyap! “Eh, kemana
dia?!” ujar Akiko, lalu berpaling pada nenek Teruko.
“Kau tak usah kawatir
kehilangan gaijin itu. Dia sengaja meninggalkan tempat ini lebih dahulu untuk
mengobati luka racun panah Kunio. Dia pesan akan menunggu kalian di lereng
Gunung Fuji,” kata Teruko. “Kalau begitu kita segera menyusul setelah mengurus
jenazah Kenichi dan mengamankan buku milik sensei,” kata Akiko pula.
Nenek Teruko mengangguk.
“Urusanku di sini sudah selesai, aku minta undur diri…” ujarnya.
Tapi Akiko segera memegang
kepala nenek itu seraya berkata, “Tidak, kau tidak boleh pergi. Antara kita
sekarang ada ikatan utang budi yang kuat. Kau harus ikut kami ke lereng gunung
Fuji…”
Nenek Teruko tersenyum lebar.
“Mana berani aku menolak permintaanmu, nona Akiko. Aku sendiri masih ingin
sekali bertemu si gaijin itu. Ilmunya banyak dan aneh-aneh. Siapa tahu aku
kebagian sepertimu, selain itu, hi… hik… hikkk!” Si nenek tidak teruskan
ucapannya.
“Selain itu apa…?” tanya Akiko
Bessho.
“Selain itu … hemmm…, gaijin
itu tampan sekali wajahnya. Hik… hik… kalau aku masih muda sepertimu, pasti
akan aku ikuti ke mana dia pergi. Sayang aku sudah tua, keriputan dan jelek.
Berdandan saja tidak bisa. Lihat pupurku yang celemongan, hik… hik…!”
***
TAMAT