Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
073 Guci Setan
SATU
Lereng gunung Merbabu di stu
malam buta tanpa bulan tanpa bintang.
Udara dingin bukan kepalang.
Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat behkan sulit ditembus
pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Ketika
angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam dingin yang luar
biasa.
Sekali terdengar lolongan
anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api
bergerak cepat sekali menuju ke timur. Bersamaan dengan itu terdengar suara
menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus menjalar perut
gunung.
Dalam kegelapan yang kini
mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat sosok tinggi besar
bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah seorang laki-laki berpakaian
serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya kelihatan penuh ditumbuhi bulu
lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua lengan dan kakinya. Tampangnya
yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut gondrong awut-awutan, kumis
lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok cambang bawuk yang meranggas
liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan berkilat-kilat oleh nyala api.
Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat puluhan namun keadaan dirinya
yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur hampir setengah abad.
Ada beberapa keanehan yang
membuat orang bergidik pada manusia satu ini, yang berlari di sebelah depan. Di
bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan yang sudah tidak bernafas
lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu lalu. Mayat ini tidak sampai rusak
atau membusuk karena sebelumnya telah disiram dengan sejsnis obat pengawet.
Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu adalah mayat seorang perempuan
muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang membeliak menghapus
kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga rambut panjang
riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam melintang.
Lelaki tinggi besar ini
ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung dengan sebatang
besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah roda bergerigi. Dengan
roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung dalam kecepatan
sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya sering-sering tertinggal
jauh.
Dalam pelukan tangan kanannya
orang berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci yang bagian luarnya
berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling dengan gambar tengkorak
manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta lidah api. Nyala api
inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yang dilalui dan
terutama sekali menerangi tampang seram orang itu.
Di sebelah belakang lelaki
yang memanggul mayat perempuan dan membawa guci berapi berlari cepat tiga orang
berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak kalah seram dan buas. Yang
satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi bertampang hijau sedang yang
ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka memanggul sebuah pikulan di
bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas bahu tergantung sebuah keranjang yang
terbuat dari rotan.
“Ramada!” seru salah satu dari
ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam pada orang yang
membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa seabad. Kuharap saja kita
tidak pergi kea rah yang salah!”
“Betul sekali Ramada!” ikut
membuka mulut lelkai bermuka hijau. “Kalau sampai tersesat di gunung ini
celakalah kita!”
“Tenggorokanku sudah kering!
Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah kita tidak bisa
berhenti barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain merah ketiga yaitu yang
mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya orang yang di
sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian terdengar suaranya
keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi terdiam kecut.
“Kalian bertiga
kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku Ramada
tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu ini
seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian yang
merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan
kotoranmu sambil berlari!”
Tiga lelaki berpakai merah
jadi terbungkam kecut.
“Aku ingin mendengar jawaban
kalian!” Orang bernama Ramada berteriak.
“Maafkan kami Ramada!” kata
ketiga orang itu berbarengan.
Ramada meludah ke tanah. Dia
terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang anak buahnya itu mengikuti
tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari sekitar sepenanakan
nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api kecil. Ramada segera
melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya.
Mereka berlari lebih kencang
menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah nyala sebuah obor kecil
yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis. Obor ini tergantung pada
sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang sekelilingnya dibatasi
dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya digembok sampai tiga
buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang labah-labah. Ada
enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya udara malam.
Sebuah makam terbuat dari batu
tampak menghitam angker dalam bangunan beratap seng itu. Di atas makam ada
taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di atas sebuah batu rendah
panjang tampak duduk bersila seorang lelaki berjanggut dan berkumis putih.
Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat.
Blangkon dan pakaian hitam
yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini duduk bersila memejamkan mata.
Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia tengah bersemedi maka ini
adalah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan kepalanya
hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling
pada tiga orang di belakangnya.
“Kita tidak salah datang ke
tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo dan orang yang bersemedi itu
pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng Lentut.”
Tiga orang lelaki berpakaian
merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi meraka belum berani
membuka mulut lagi. Takur salah berucap.
Ramada maju mendekati pintu
besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras keras lalu berkata dengan suara
keras.
“Ki Ageng Lentut, salam
bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk aku datang untuk
meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku ketahui!”
Orang yang duduk di samping
makam tidak bergerak. Kepalanya masih tertunduk dan tangannya masih terletak di
atas bahu.
Ramada menunggu sebentar.
Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang di samping makam maka
diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya tadi.
Tapi orang di samping makam
tetap saja tidak bergerak dan tidak memberikan jawaban.
Ramada mulai jengkel. “Sialan!
Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”
Dia berpaling pada salah
seorang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu itu dan lemparkan pada
si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!”
Orang yang bernama Jalak Item
yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak bimbang. “Ramada….” Katanya
setengah berbisik, “aku kawatir kita berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan.
Kuncen itu….”
“Setan! Kataku ambil batu di
dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!” bentak Ramada.
Jalak Item terpaksa
membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera melempar. Hatinya
berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan Jalak Biru. Kedua
orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun mengeluarkan
ucapan.
“Jalak Item! Kau tunggu apa
lagi!” bentak Ramada.
Jalak Item akhirnya garakkan
tangannya yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu dilemparkannya kea rah
kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru
menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.
Sejengkal lagi batu besar itu
akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara aneh batu itu berbalik mencelat
kencang kea rah Jalak Item.
“Jalak Item! Awas kepalamu!”
teriak Jalak ijo.
Jalak Item cepat melompat
mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu itu datangnya secepat
setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item dengan telak.
Crrooootttt!
Batu besar menghancurkan mata
kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat keluar. Jeritan Jalak Item
setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan berguling-guling beberapa
kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu bagian leher anak buahnya
itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus mengucur dari matanya
yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item hingga tampak mengerikan.
Dari arah makam tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara orang menegur.
“Tamu-tamuku yang terhormat,
apakah kalian mendapatkan kesulitan?
Mungkin aku isa membantu?!”
Jalak Ijo dan Jalak Biru
melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya sementara tangan
kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada memalingkan kep[ala kea
rah makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti
tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.
“Hemmm…. Kalau bukan dia tadi
yang bicara siapa lagi?” kata Ramada dalam hati. “Jika saja aku tidak sangat
membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya anjing keparat ini saat ini
juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa panjang lalu berkata.
“Ki Ageng Lentut, ternyata
nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!”
“Tamu-tamu yang datang dari
jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen dekat makam berkata. Kepalanya
terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan menerima tamu pada saat obor
di tiang timur habis minyaknya dan padam!”
“Terima kasih. Kami berempat
akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu pagar makam terkunci. Ada tiga
gembok besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!”
ujar Ramada.
DUA
Dari arah makam terdengar
suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya
tengakat sedikit.
“Aku tahu kehebatan tangan dan
kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh
persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa menghancurkan tiga buah gembok besar
itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada gunanya? Merusak itu tidak ada
manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah benda-benda pusaka yang
usianya hampir dua kali usiamu!”
Dalam hatinya Ramada jadi
tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi dia hanya menundukkan kepala,
tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi bagaimana dia tahu nama dan
diriku? Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!”
“Kuncen makam Pangeran Banowo
bernama Ki Ageng Lentut. Bagaimana kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku
Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
Sang kuncen di samping makam
tertawa perlahan.
“Di dunia ini siapa manusianya
yang berjalan laksana angin di atas roda besi yang hebat kalau bukannya Ramda
Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang mampu membuatmu berlari dengan
kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau badanmu! Tidak salah lagi. Kau
memang Ramada Suro Jelantik!”
Ramada memaki lagi dalam hati
lalu menarik nafas dalam dan akhirnya menyeringai.
“Ki Ageng Lentut, kuncen makam
Pangeran Banowo. Kami ingin masuk, harap kau suka membuka tiga buah gembok!”
Akhirnya Ramada berkata.
“Baiklah, aku akan bukakan
pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan kanannya lalu digerakkan
tiga kali.
Trekk….terkk…..treekkkk!
Terdengar suara berkereketan
tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar di pintu pagar makam tampak
tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan dengan itu pintu besi yang
berat bergeser membuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.
“Para tamu dari jauh silakan masuk….”
Terdengar kuncen makam berkata.
Tanpa ragu-ragu Ramada
melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru mengikuti dari belakang.
Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak ikut masuk. Kuncen
keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!”
Dari arah makam sang kuncen
menyahuti. “Setiap amal perbuatan ada ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan
ganjaran yang baik. Kalau jahat akan mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal
manusia mau memilih yang mana. Kalau sampeyan tidak mau diajak masuk, siapa mau
memaksa…?”
“Sudah! Kau tinggal saja di
luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak buahnya itu lalu meneruskan
langkah masuk ke dalam makam.
Ki Ageng Lentut mengangkat
kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan wajahnya lebih jelas. Satu wajah tua
kelimis dengan janggut dan kumis putih yang terpelihara rapi. Keningnya tinggi
dan rahangnya tampak kokoh.
“Ramada, aku tak mengira
banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut.
Pandangannya menyambar ke arah
guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. “Dan bukan Ramada namanya
kalau tidak membawa benda-benda aneh.
Kau boleh meletakkan jenazah
yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci itu dekat batu tempat
dudukku!”
“Maafkan aku Ki Ageng Lentut.
Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.
Tapi guci ini biar tetap
kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik.
Sang kuncen tersenyum.
“Ah, rupanya guci itu jauh
lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan cantik yang kau bawa.”
“Kira-kira begitu Ki Ageng
Lentut,” jawab Ramada.
Sang kuncen usap janggut
putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada dalam dekapan tangan kanan
Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang terbujur di atas makam. Lalu
dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa ini?”
“Mayat istriku Ki Ageng….”
Ki Ageng Lentut keluarkan
seruan tertahan disertai pandangan mata seperti tidak percaya. Lalu
digeleng-gelengkannya kepalanya.
“Ah, rupanya tokoh besar dunia
persilatan dating membawa nasib malang.
Aku turut berduka Ramada.
Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku melihat istrimu mati dengan
sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat lehernya. Setahuku istrimu
menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah.
Bagaimana mungkin dia bisa
menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada.
Membawa mayat istrimu
kemana-mana…..”
“Aku akan membawanya sampai ke
neraka sekalipun. Aku tidak akan menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!”
“Jadi istrimu mati dibunuh
orang!”
“Betul sekali Ki Ageng. Aku berusaha
mencari tahu siapa orangnya. Tapi sampai saat ini masih gelap. Itu sebabnya aku
datang dari jauh untuk menemuimu guna mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku
membawa guc keramat yang bernama Guci Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau
yang bisa melihat kealam ghaib lewat guci ini.”
Kuncen makam Pangeran Banowo
itu memandangi guci di tangan Ramada dengan sepasang mata berkilat-kilat.
“Guci Setan…..” desisnya.
“Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci misterius yang bisa mendatangkan
sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta angkara murka! Guci yang
selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan orang
pandai ke tangan orang pandai
lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia persilatan.
Bagaimana benda keramat ini
sampai berada di tanganu Ramada?”
“Panjang ceritanya Ki Ageng.
Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan untuk menuturkan riwayat Guci Setan
ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat lewat guci, siapa kiranya
manusia keparat yang telah membunuh istriku.”
“Jika itu maksud tujuanmu, aku
akan membantu. Mudah saja melakukannya.
Memang hanya aku yang mampu
untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat guci sakti itu. Letakkan guci itu
di hadapanku Ramada.”
“Tidak Ki Ageng. Apapun yang
akan kau lakukan guci ini tetap harus berada dalam dekapanku,” jawa Ramada Suro
Jelantik.
Kuncen tua itu tersenyum. “Kau
tidak percaya padaku rupanya Ramada?”
“Kepercayaan di atas dunia ini
kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng.
Terserah, kau mau menolongku
dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.”
“Baiklah, jika kau memang
lebih suka begitu aku tidak akan membantah.
Sekarang katakana berapa
banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku sebagai upah melakukan
permintaanmu?”
Ramada Suro Jelantik
menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang bawuknya yang meranggas kasar.
“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah
membayarnya tadi!”
“Eh, apa maksudmu Ramada?”
tanya kuncen makam terheran-heran.
“Aku sudah membayar dengan
mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur hingga kini dia menjadi cacat buta
seumur hidup! Apa itu belum cukup?!”
Berubahlah paras Ki Ageng
Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi cepat dipotong oleh
Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu akibat salah anak buahku
sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan sahabat dalam dunia
persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental ke jurusan lain!
Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti itu!”
Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu
dia berkata “Kurasa aku….”
Ramada Suro Jelantik
menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak Ijo, kurasa binatang
peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk di atas atap makam.
Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam labah-labah itu?”
Jalak Ijo menyeringai. Pikulan
di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang ada di ujung pikulan diletakkannya
di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan itu dibukanya.
Begitu penutup keranjang terbuka tiba-tiba melesat sebuah benda panjang
berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai suara mendesis.
“Ular Kobra!” seru Ki Ageng
Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di atas batu yang didudukinya.
“Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun.
Sekali patuk saja jangankan
manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang celaka itu dariku! Aku sangat
bendi pada segala macam ular!”
Ramada tersenyum lebar. Dia
melirik pada Jalak Ijo.
“Ayo tunggu apa lagi. Beri
makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labahlabah.
Lebih baik dari pada harus
mematuk kepala kuncen makam ini!”
Jalak Ijo yang memegang
keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk keranjang itu tiga kali
seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk di atas atap
sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!”
Kobra hijau di dalam keranjang
menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba binatang ini melesat ke atas. Ketika
kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang, di bawah atap seng tiga ekor
labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula!
Jalak Ijo Menyeringai.
Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya kembali.
Kuncen makam Pangeran Banowo
tak berani bergerak. Berkesippun hampir tidak dilakukannya. “Ular beracun itu
kecepatannya seperti setan. Aku harus berhatihati.
Mungkin belum saatnya aku
menjalankan rencana….”
Selagi kuncen berpikir begitu
terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada anak buahnya yang seorang lagi.
“Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga sudah lapar. Sayang hanya tingal
tiga ekor labah-labah di atas sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Biar mereka berebut rejeki
sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan mendapat santapan enak,” jawab
Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya pikulannya dari bahu. Keranjang
rotan yang tesangkut di ujung pikulan itu diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan
dibukanya penutup keranjang. Begitu penutup terbuka menjalar keluar tujuh ekor
kelabang berwarna biru. Kepala, kakikaki dan ekornya bergerak kian kemari.
Kembali Ki Ageng Lentut
bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang didudukinya. Ramada tersenyum
dan berkata “Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya racun tujuh Kelabang Biru itu
tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau membuat erakan yang
keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!”
“Kalian membawa
binatang-binatang celaka!” kaata Ki Ageng Lentut tak berani keras-keras.
“Jalak Biru. Beri makan
binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula.
Jalak Biru mengetuk penutup
keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan malam cuma ada tiga. Terserah
bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak BIru meniup kea rah keranjang.
Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan suara aneh lalu ketujuhnya melesat ke
atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil menyambar tiga ekor labah-labah.
Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam keranjang rotan. Selesai menelan
mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun pula ke dalam keranjang. Jalak
Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali.
Ki Ageg Lentut menarik nafas
lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini seperti kembali lagi.
“Ki Ageng Lentut, apakah kau
masih ingin meminta bayaran?” bertanya Ramada pada sang kuncen. Orang tua
berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya berulang kali dengan
wajah pucat.
“Nah sekarang pergunakan
kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa yang telah membunuh istriku.”
Kata Ramada pula.
“Baik, baik. Akan kulakukan,”
kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu tempatnya duduk lalu berdiri di
hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu dalam gelungan tangan kanannya.
Mula-mula Ki Ageng Lentut
meletakkan kedua telapak tangannya di atas mulut guci yang mengepulkan asap
putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya dipejamkan. Multunya berkomat
kamit. Beberaa saat kemudian kelihatan sekujur tubuh kuncen itu bergetar keras.
Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut guci ikut bergetar. Lalu dari
mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat.
Petunjuk bumi petunjuk langit.
Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.
Ada orang ingin minta
pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memberi petunjuk.”
Beberapa saat berlalu.
Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat begaimana sekujur tubuh Ki
Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya tampak mengeriput dan
wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya membesar. Telinganya
mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang besar. Lalu dari
multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain, halus menggeletar.
“Aku penghuni dan penguasa
Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin kau tanyakan? Tapi katakan dulu siapa
namamu.”
Sesaat Ramada memandang
tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah dan keadaan tubuh kuncen
penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak buahnya yaitu Jalak Ijo dan
Jalak Biru.
“Penghuni dan penguasa Guci
Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….”
“Apa keperluanmu Ramada?”
tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain.
“Aku ingin mengetahui siapa
pembunuh istriku,” jawab Ramada.
Terdengar suara mengekeh.
“Setahuku kau punya empat
istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh orang?”
Sesaat paras Ramada nampak
berubah. Dia berdehem beberapa kali lalu menjawab. “Istri tua dan istri keduaku
minggat entah kemana. Istri ketiga sudah kucerai karan main gila dengan orang
lain…”
“Ah, jadi istri mudamu rupanya
yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan. “Siapa nama istrimu yang
malang itu?”
“Namanya Dardini….”
“Hemm….jadi kau ingin tahu
siapa embunuhnya?”
“Betul. Siapa orangnya dan
dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada.
Kuncen itu melangkah lebih
dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas mulut guci dimana
kepulan asap dan jilatan lidah api. Kalau Ramada telah membuktikan kehebatannya
sanggup memegang dan mendekap guci yang panas tanpa cidera, maka kuncen makam memperlihatkan
kesaktiannya dimana kedua tangannya sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati
api.
“Api di dalam guci, penghuni
dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.
Air di alam gaib. Masuk dan
isilhah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam
gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.”
Baru saja kuncen itu berkata
begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.
Bersamaan dengan itu kepulan
asap putih menghilang.
Lalu dari dalam guci terdengar
suara seperti ada air dicurahkan. Ramada merasa guci yang dipegangnya itu
menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebarlebar dn memandang ke dalam guci.
Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air yang tingginya sampai setengah
badan guci. Air ini secara anh berputar-putar dena bersamaan dengan itu
terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di dalam guci.
TIGA
Ki Ageng Lentut mendorong
kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya. Lalu memandang ke dalam guci.
“Air keramat dan angin sakti
telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar. Sekarang perlihatkan
mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada Suro Jelantik kematian
iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati dibunuh orang. Perlihatakan
kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!”
Putaran air aneh di dalam guci
semakin keras begitu juga tiupan angin halus.
Guci bergoncnag keras. Ramada
terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat agar tidak terlepas dari dekapannya.
Perlahan-lahan putaran air
dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu suara tiuapan angin halus mulai
lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua matanya. Ketika mata itu dibuka
kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air dalam guci tak bergereak lagi.
Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah melafatkan sesuatu
agaknya. Lalu terdengar dia berucap.
“Aku penghuni dan penguasa
Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang di permukaan air dalam guci.
Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas.
Makin jelas….tambah jelas.
Ah…..ternyata seorang pemuda…..”
“Kuncen, kau mengenali siapa
pemuda itu?!” tanya Ramada Suro Jelantik yang rupanya sudah tidak sabar utnuk
mengetahui siapa adanya orang yang membunuh istrinya.
Sang kuncen yang wajahnya dan
kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram pendek. “Manusia anjing!”
meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi kau berani menyelak bicara,
kupevahkan kepalamu!”
“Bangsat sialan!” maki Ramada
Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia merobek mulut kuncen tua itu.
“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan
suara bergetar menahan marah lalu mengusap mukanya yang keringatan.
Ki Ageng Lentut menurunkan
kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.
“Betul…..memang seorang
pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya diikat setangan warna putih. Dia
juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya sombong sekali. Cengar-cengir
seperti orang kurang waras….”
Ki Ageng Lentut mengangkat
kepalanya. “Ramada, itu yang aku lihat di permukaan air dalam guci. Pembunuh
istrimu adalah seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan pakaian putih….”
“Jauh-jauh aku datang menempuh
hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa memberi tahu seperti itu! Sama
sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada ratusan orang berpakaian putih!
Ada ratusan orang berambut gondrong! Kuncen makam Pangeran Banowo, kau
benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang pandai mengetahui seribu
satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang akan datang ternyata omong
kosong belaka!”
Kuncen tua itu tertawa.
“Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah memotong! Katakn aku yang
salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!”
“Lalu apa lagi yang hendak kau
katakana? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya pemuda itu?!”
Ki Ageng Lentut usap-usap
janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya.
Sesaat setelah dia menatap
lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke dalam guci.
“Hemmm….angin meniup baju
pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot, tanda kekuatan yang hebat. Eh, apa
itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan dadanya. Ada rajah tiga buah angka di
dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki Ageng Lentut berubah keras membesi.
Dia mengangkat kepala, menatap manusia bernama Ramada Suro Jelantik. “Anak
manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi.
Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro Sableng. Tokoh silat muda yang dikenal
dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Benar-benar tidak disangka!
Pendekar yang begitu diagung-agungkan ternyata adalah seorang pemerkosa dan
pembunuh keji biadab!”
Tampang angker Ramada Suro
Jelantik tampak seganas harimau lapar yang terluka. Sekujur tubuhnya
bergeletar.
“Pendekar 212 keparat!Akan
kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu!
Kulumat sekujur tubuh dan
tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang mendidih tidak terkendali
lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.
Tiang besi penyanggah atap
seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada. Atap di atasnya langsung
jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi Ramada lebih dahulu
membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing.
“Jadi dia pembunuhnya! Kuncen!
Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu untuk melihat dimana pemuda
keparat itu saat ini berada!”
Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut
kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat pemandangan seperti ada laut.
Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi tak dapa kupastikan apakah
dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..”
“Kuncen!”
“Tunggu dulu! Dalam guci aku
melihat gambaran apa yang telah terjadi dengan istrimu. Aku melihat satu
bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di depannya….”
“Itu tempat kediamanku!!” kata
Ramada pula.
“Gelap….. PErtanda saat itu
malam hari. Ada bayangan putih berkelebat.
Orang ini menerobos masuk ke
dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang perempuan berbaring tidur di atas
ranjang…”
“Itu pasti istriku Dardini!”
kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.
Ki Ageng Lentut memandang
kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun…..
Terjadi perkelahian tapi
singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok perempuan itu. Dalam keadaan
tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh pakaiannya dibuka dengan
paksa. Lalu….. Ya ampun….. Orang itu memperkosa istrimu Ramada…..”
“Jahanam!” teriak Ramada
sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk. Tapi Ki Ageng Lentut cepat
berkata.
“Duduk kembali Ramada. Apa
yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….”
Untuk beberapa saat lamanya
Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur tubuh bergetar dan keringatan.
Kemudian akhirnya dia duduk kembali di hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat
lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia memperkosa istrimu. Tapi lihat! Istrimu
tiba-tiba bisa melepaskan totokannya. Hebat sekali!
Kembali terjadi perkelahian. Istrimu
berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku melihat ada cahaya menyilaukan
berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak
bermata dua! Jelas ini adalah Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya
menghadapi senjata sakti itu Ramada.
Satu bacokan mendarat dekat
pangkal lehernya….. Istrimu roboh. Pemuda itu melarikan diri….”
Geraham Ramada terdengar
bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari terus. Aku akan segera
menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng!
Bantu aku menemukan pendekar
jahanam itu!”
“Sudah kubilang tadi Ramada.
Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin di Selatan, mungkin juga di
Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya.
Pergi ke puncak gunung Gede
kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto Gendeng. Bunuh tua bangka
itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari sarangnya mengunjukkan diri
untuk mencarimu?! Aku sudah letih Ramada. Aku penghuni dan penguasa Guci Setan
segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau ingin petunjukku lebih lanjut
kau boleh menghubungiku…”
“Tunggu dulu!” kata Ramada
setengah berteriak.
Ki Ageng Lentut yang kemasukan
roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang.
Kedua tangannya diletakkan di
atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya yang tadi hitam pekat dan
berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya.
Wajahnya yang mengerikan juga
kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya yang tadi membesar kini
mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigi giginya
yang menyembul besar, kembali
ke bentuk semula.
Dari dalam guci kelihatan asap
putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak lidah api menjilat keluar.
Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di atas batu. Sekujur
tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi halus menggeletar kini
terdengar seperti semula.
“Ramada…. Kau sudah
mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin bersemedi dan tidur
dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat kaki dari tempat ini.”
“Ki Ageng Lentut, aku…..”
Ramada Suro Jelantik hentikan
ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu pejamkan kedua mata, kaki
disilangkan di atas batu dan kedua tangannya diletakkan di atas bahu.
“Sialan!” maki Ramada. Dia
meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bentuan Jalak Ijo dan Jalak Biru
mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu kirinya. Di tangan kanannya
Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!” makinya lagi. “Kita harus segera
pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan.
Gunung Gede jauh di sebelah
Barat.”
“Kita pasti akan mendapatkan
kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,”
kata Jalak Ijo.
Di depan makam Jalak Item
masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi mengucur dari mata kirinya yag
hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang terus-terusan.
“Kau mau ikut atau tinggal di
sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.
Perlahan-lahan Jalak Item
berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawan-kawannya melainkan
melangkah dulu kea rah bangunan makam.
“Kuncen keparat! Matamu boelh
kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.
Kau dengar baik-baik. Satu
hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa yang kau lakukan padaku. Aku
akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan mengorek kedua matamu sekaligus!”
Di atas batu kuncen Ki Ageng
Lentut teidak bergerak. “Kuncen bangsat!”
rutuk Jalak Item. Dia meludah
makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan tempat itu sambil tangan
kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.
EMPAT
Meski di langit matahari
bersinar terik namun di puncak Gunung Merbabu itu udara tetap saja terasa
dingin. Satu bayangan putih berkelebat cepat.
Mula-mula gerakannya terlihat
di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu muncul lagi di ketinggian
yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan gerakan sebat ini
ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup lama sebelum
akhirnya menemui makam Pangeran Banowo.
Makam Itu kosong, diselimuti
kesunyian dan udara dingin.
“Aku datang terlambat!
Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar 212 dalam hati lalu
memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga bunga yang sudah
layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah lama padam.
Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam yang terbuat dari
seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan kening ketika di
lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kai. “Agaknya dia tidak sendirian di sini.
Siapa bersama dia? Kemana mereka sekarang?”
Wiro memperrhatikan halaman
liar sekitar makam. Lalu matanya membentur bercak-bercak hitam di tanah. Lalu
mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak kehitaman itu. “Bekas-bekas darah
yang sudah mongering….” Katanya dalam hati.
“Sesuatu telah terjadi di
tempat ini.” Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu melangkah kembali kea rah makam.
Baru saja sampai di depan pintu pagar makam yang bergembok tiga tiba-tiba dia
mendengar suara derap kaki kuda. Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling ke jurusan
datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda tadi serta merta lenyap. Wiro
garuk-garuk kepala. “Mungkin aku salah dengar,” katanya sambil garuk-garuk
kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya yang mampu menunggang kuda
begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar makam, Wiro memanjat pintu
itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan keadaan makam, beberapa
tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar yang lebat, seorang
dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah berkata pada
orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.
“Paman,lihat! Pemuda tak
dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang ajar…..!” Tangannya bergerak
menurunkan sebuah busur dari bahunya.
“Jangan-jangan dia pula yang
telah merusak salah satu tiang atap makam….!”
Menyahuti lelaki berambut
putih di sebelah sang dara.
“Kurang ajar! Lihat! Dia kini
bahkan berani membaringkan diri, tidur menelentang di atas makam ayahanda! Saya
tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan tambus tubhnya dengan lima anak
panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian biru itu menarik lima anak panah
dari tabung bambu di punggungnya. Begitu disusupkan ke tali busur dia segera
membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang karena keletihan enak saja
merebahkan diri di atas makam batu Pangeran Banowo.
“Tunggu dulu Dewi…. Aku punya
firasat pemuda itu bukan orang sembarangan…..”
“Paman! Bagaiman kau ini!
Oarng telah mengotori bahkan merusak makam ayahanda kau masih bilang tunggu!
Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita hajar!
Lagi pula ini saatnya kau
menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!”
“Dengar Dewi. Aku akan kelur
dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan orang itu. Kau tetap berada di
sini. Bukan mustahil dia datang tidak sendirian….”
Dewi Santiastri si gadis tak
menjawab. Namun begitu pamannya melangkah ke arah makam dia segera melompat
dari semak belukar. Lima anak panah yang terpentang di busurnya dibidikkan ke
arah Pendekar 212 yag masih asyik-asyikan berbaring-baring di atas batu makam
bahkan sambil bersiul-siul perlahan! Murid Sinto Gendeng ini baru melompa
tebangun ketika sepasang telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki.
“Astaga! Ada orang mendatangi.
Sudah dekat baru aku dengar langkahnya.
Pasti dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan ke depan. Dia
melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar enam puluh
tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar makam.
Yang membuatnya tercekat
adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih itu ada seorang dara
berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas pertanda bahwa setiap
saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang dibidikkan ke
arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara membentak
dengan keras.
“Pemuda kurang ajar! Jangan
senyum-senyum cengengesan! Berani kau bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan
panah-panah ini!”
“Astaga….! Eh, apa-apaan ini!
Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang ajar? Di mana? Kapan? Kenalpun
tidak. Melihatmupun baru sekali ini!” Wiro berpaling pada lelaki berambut putih
yang tegak di pagar makam. Dengan mimik keheranan dia bertanya “Bapak, dapatkah
kau menjelaskan apa masalahnya? Dan siapa kalian bedua? Gadis cantik itu
puterimu?”
“Anak muda, seperti yang
dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!”
“Aku telah berlaku kurang
ajar?!”
“Kau telah memasuki makam
salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar! Dengan cara memanjat”
“Ah….!” Wiro memandang
berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu kembali menatap lelaki di
hadapannya. “Mungkin benar aku telah berlaku kurang ajar.
Tapi kau lihat sendiri. Pintu
pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….”
“Memanjat seperti monyet!”
mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja melompati pagar. Malah berani
tidur di atas makam ayahku!”
“Ah, bagaimana ini! Harap
maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu kalau ini adalah makam ayahmu.
Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah makam salah seorang leluhur Kerajaan.
Aku mana bisa menduga begitu? Setahuku orangorang penting Kerajaan dimakamkan
di satu tempat khusus di pinggiran kota….”
“Bcaramu banyak amaat! Paman,
menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam manusia kurang ajar ini!”
Sang paman mengangkat
tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan melepas anak-anak panahnya.
“Anak muda, sekalipun kau
tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang namanya manusia beradab dan
berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki makam seseorang tanpa izi
keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu tidur-tiduran!”
“Aku memang salah besar!” Wiro
berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari seseorang. Tapi yang kucari sudah
lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri di atas batu makam yang dingin
sejuk itu…. Aku memang salah besar. Mohon aku diberi maaf…”
“Karena tertangkap basah kau
lalu berdalih tengah mencari seseorang dan keletihan! Enak saja becaramu!
Paman, menyingkirlah….”
“Tunggu Dewi. Biar aku bicara
dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman.
“Orang muda, tahukah kau saat
ini berada di makam siapa?”
“Aku tidak tahu,” jawab Wiro
Sableng.
Makam yang barusan kau panjat
pagarnya dan kau tiduri adalah makam Pangeran Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis
ini adalah puteri Pangeran Banowo.
Aku sendiri adalah Pangean
Banuarto.”
Sepasang mata Pendekar 212
jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura.
“Mohon maafmu. Aku tidak tahu
tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku juga tidak tahu kalau ini adalah
makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah menolong diriku.”
“Paman! Jangan dengarkan
ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar berbuat salah kini malah bilang
ayahanda pernah menolongnya! Kadal ini pandai bicara paman. Hati-hatilah! Jangan
sampai kita dikelabi.”
“Anak muda, katakan siapa
namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat ini. Aneh rasanya kalau ada
seseorang di puncak Gunung Merbabu.”
“Namaku Wiro…. Aku memang
benar mencari seseorang di tempat ini.
Hanya saja mohon dimaafkan aku
tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.”
“Paman! Kau lihat bagaimana
dia melakukan kebohongan!” kata Dewi Santiastri.
Pangeran Banuarto tidak begitu
memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia mencoba mengingat-ingat apakah pernah
mendengar nama Wiro itu sebelumnya.
Akhirnya dia berkata.
“Anak muda, melihat ada obor
yang sudah padam di salah satu tiang makam, berarti kau sejak malam tadi telah
berada di tempat ini.”
Wiro menggeleng. “Aku barusan
saja datang. Waktu datang obor itu sudah ada di sini dalam keadaan padam.”
“Lalu mengapa kau merusak
salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran Banuarto pula.
“Bukan aku yang merusaknya.
Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu ketika aku datang.”
“Bohong! Pendusta besar!”
teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi menahan kesabaran dan
kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan busur lebih dalam.
Ketika tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah melesat dengan
mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang ke arah
lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi tak bisa
berbuat apa.
Murid nenek sakti dari Gunung
Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia bisa melompat secepat kilat tak
mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima anak panah yang menyerang lima
bagian tubuhnya yang berbeda.
“Celaka!” keluh Wiro. “Seumur
hidup belum pernah aku melihat kepandaian memanah seperti ini! Setan sekalipun
takakan bisa lolos dari bidikkannya!”
Sadar kalau dia tidak akan
dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat maka Pendekar 212 segera lepaskan
pukulan sakti “benteng topan melanda samudra”
Serangkum angin deras menderu.
Pangeran Banuarto berseru kaget dan cepat menyingkir. Tapi badannya sebelah
kanan masih sempat disambar angin pukulan sakti itu hingga melintir dan
terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh pasti dia
akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu Dewi Santiastri juga berteriak
kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang tepat di tengah jalur hantaman
pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi tubuhnyapun terpental jauh,
mencelat ke udara.
Di udara gadis puteri mendiang
Pangeran Banowo ini membuat ggerakan aneh.
Tubuhnya yang kena hantaman
angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut lalu tubuh itu tampak
melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di cabang sebuah pohon
besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan mampu meredam pukulan
sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya kelihatan pucat tanda ada
bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat turun, si gadis
merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh
berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.
“Dewi… Kau tak apa-apa…?”
“Saya tidak apa-apa paman.
Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..”
Pangeran Banuaro memapah
keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu mendudukkannya di akar pohon itu.
Sementara itu dari arah makam terdengar suara orang mengeluh. Ketika Pangeran
Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah makam mereka melihat pemuda
berambut gondrong itu tersandar ke paga makam sebelah dalam sambil memegangi
paha kanannya. Sebatang panah tampak menancap di paha itu. Celana putihnya
berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak panah menyerbunya dihantam dengan
pukulan “benteng topan melanda samudra” hanya empat panah yang sanggup dibuat
mental. Satu anak panah masih sempat menyusup menghantam pahanya.
Rahang Pendekar 212 tampak
menggembung menahan sakit. Wajah dan tubuhnya basah oleh keringat. Dia
berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak panah yang mennancap di
pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya lalu dibatingkannya ke
lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia melompati pagar makam dan berdiri di
hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya.
Sepasang mata Pendekar 212
memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.
“Dengan melukaiku seperti ini,
apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!”
Si gadis hanya bisa diam dan
terbelalak. Mukanya masih sangat pucat.
Sementara Pangeran Banuarto
terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata apa-apa.
Dari balik pakaiannya Wiro
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu melemparkannya dekat kaki Dewi
Santiastri.
“Apa ini?” tanya Pangeran
Banuarto.
“Gadis keponakanmu itu
mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau tidak segera minum obat itu,”
Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya dan melangkah pergi.
Pangeran Banuarto memandang
pada Dewi Santiastri. “Kalau dia manusia jahat, dia tidak akan memberikan obat
ini untukmu….” Si gadis hanya bisa mengangguk. Melihat orang begitu baik dan
polos terhadapnya ada bayangan rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran
Banuarto cepat berdiri dan berseru.
“Anak muda! Tunggu! Jangan
pergi dulu!”
Wiro hentikan langkahnya dan
berpaling. Pangeran Banuarto berlari mendatanginya. “Aku menyesalkan ada
kesalah pahaman antara kita bertiga.
Tujuanku dan Dewi ke puncak
gunung ini adalah untuk menziarahi makam Pangeran Banowo….”
“Ada yang aku tidak mengerti.
Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia dimakamkan di pekuburan keluarga stana.
Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.
Jauh dari Kotaraja. Jauh dari
keluarga Istana.”
“Apa yang kau katakan betul.
Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo pernah berpesan pada istrinya. Aku
mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin dimakamkan di puncak Gunung
Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak berani menyalahi pesan itu.
Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran Banowo akhirnya dimakamkan di
puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu.
Pemakamannya dengan upacara
kebesaran Kerajaan….”
Saat itu Dewi Santiastri telah
datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat memegang bahunya. Wajah si gadis
tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak usah kawatirkan saya. Obat yang
tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa air. Saya merasa lebih sehat
sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar 212.
Dia hendak mengatakan sesuatu
namun Wiro mendahului.
“Aku kagum dengan kepandaianmu
memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar…?”
“Namaku Dewi Santiastri.
Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan sebutan den ayu segala….” Lalu
pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang
berlumuran darah. “Aku tidak
tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benarbenar menyesal….”
Wiro tertawa. Dia berkata pada
Pangeran Banuarto. “Pangeran,” katanya, “Keponakanmu memberikan sau pelajaran
baik padaku. Aku harus lebih banyak belajar dan berlatih silat agar gerakanku
lebih cepa hingga kelak akan sanggup berkelit dari serangan panahnya. Aku harap
saja panah itu tidak beracun….”
“Tidak, panah itu tidak
beracun,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Menyangkut hal apa?” tanya
Wiro.
“Ketika masih hidup ayah
memang pernah bercerita tentang seorang pendekar besar muda usia. Bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau orangnya?”
Wiro tertawa. “Nama kami bisa
saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang setoloku ini bisa menyandangnya?”
Si gadis jadi terdiam beberapa
saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pamannya sudah bicara
duluan.
“Anak muda, terus terang
selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, perjalanan kami ke sini sebenarnya
juga tengah menyirap kabar.”
“Menyirap kabar? Kabar
apakah?” tanya Wiro.
“Sebuah benda keramat milik
Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia, lenyap dari tempat
penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu jika disalah gunakan
bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan Pangeran Banuarto. “Kebetulan aku
yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya beberapa tahun lalu aku sudah
mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan saja karena lebih banyak
bahayanya dari pada manfaatnya.”
“Kalau aku boleh tahu, benda
apakah itu gerangan, Pangeran?” bertanya Pendekar 212.
“Sebuah guci keramat. Bernama
Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu yang baik tetapi juga sesuatu yang jahat
pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku tahu bahwa kau seorang dari dunia
persilatan maka aku minta bantuanmu untuk mencari tahu dan menyirap kabar di
mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.
Kami mendengar selentingan
yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya tibatiba satu bulan yang
lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah dibawa e
daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat sedikit sehingga
tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.”
“Pangeran Banuarto, aku tidak
bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan berusaha membantumu. Kita berpisah di
sini….”
“Saudara,” Dewi Santiastri
berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu sulit bagimu berjalan kaki,
apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….”
Pendekar 212 tersenyum lebar.
“Terima kasih. Kebaikan hatimu telah membuat lukaku sembuh! Lihat!” lalu Wiro
angkat paha kanannya yang tadi tertancap panah. Dengan tangan kanannya dia
memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama sekali tidak sakit. Sudah sembuh!”
Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar 212 manahan sakit yang amat
sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi Santiastri dan pamannya.
“Kau harus mamakai kudanya,”
kata Pangeran Banuarto.
“Saya masih sanggup berjalan.
Bahkan berlari!” kata Wiro. Lalu dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi
larinya terpincang-pincang. Padahal ini disengaja. Pangeran Banuarto dan Dewi
Santiastri sama-sama tersenyum.
“Entah mengapa aku justru
punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212.”
“Saya justru sudah tahu kalau
dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Waktu tadi dia mengeluarkan
bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan bajunya yang tidak dikancing
tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di dadanya yang bidang dan
berotot….”
“Keponakanku!” kata Pangeran
Banuarto sambil memegang kedua bahu Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari
tadi-tadi kau katakan?”
Si gadis tidak menjawab. Hanya
di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin bertemu lagi dengan pemuda
berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu kemudian melangkah ke arah
bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya menunjuk ke arah makam.
“Paman! Lihat! Tiang atap yang
patah sudah tersambung kembali!”
Pangeran Banuarto berlari
mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya memang betul. Tiang yang patah
kini kelihatan dalam ke adaa lurus.
Bagian patahan sebelah atas
bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring lagi.
“Siapa yang telah
memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuarto.
“Hanya kita bertiga tadi di
tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak melakukannya. Paman juga. Berarti….”
“Berarti dia yang
melakukannya!” kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini mengusap rambutnya
yang putih berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya?
Dlamkeadaan terluka pula!”
Diam-diam Dewi Santiastri
semakin merasakan penyesalan yang mendalam di lubuk hatinya. “Kalau saja aku
dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu maaf padanya. Bisakah aku
menemuinya lagi?”
LIMA
Di cabang paling atas pohon
setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek duduk berjuntai sambil
uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh, entah dia sedang
meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut putihnya yang sepanjang
dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya baru berhenti bilamana
dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam tabung bambu dan
diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di belakang
punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh minuman
keras itu.
Untuk kesekian kalinya dia
meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia memandang ke arah pepohonan di
sekelilingnya.
“Panas terik menggila! Tak ada
burung tak ad angin!” si kakek seperti menggerutu pada dirinya sendiri. “Aneh,
mengapa aku berada di puncak pohon ini?
Astaga, jangan-jangan aku
sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku masih bisa menghitung jari-jari tanganku
sebelah kiri ini. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam….Eh! Apa ada jari tangan
manusia enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah mabuk!”
Walau jalan pikirannya seperti
itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan bibir tabung bambu ke mulutnya. Lalu
gluk…. Gluk….gluk tuak dalam bambu ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak
murni yang menebar bau harum itu si kakek seka mulutnya dengan kain biru yang
terselempang di dadanya. Setelah itu sambil kembali uncang-uncang kaki seperti
anak kecil yang kesenangan dia menyanyi lagi. Tapi tiba-tiba orang tua ini
hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan.
Telinganya dipasang baik-baik.
Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan disertai suara-suara kaki berlari.
Orang tua itu mendongak ke
langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu dia memaki sendiri. “gila!
Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di bawah situ!” Lalu
si kakke memandang ke bawah pohon. “nah, apa kataku! Ada empat bayangan
berkelebat. Aduh, cepat sekali. Terutama yang di depan itu.
Heh…..aneh. Dia seperti
memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas roda yang berputar
menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh, di bahu kirinya dia
memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini?
Hemmm….ada tiga orang berlari
di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.
Apa isi keranjang rotan yang
mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang sayuran. Hik…hik…hik! Mereka
berlari cepat di siang bolong di lereng Gunung Gede! Sepertinya mereka punya
satu keperluan penting! Ah, perduli setan dengan mereka. Selama mereka tidak
mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka.
Eh, kenapa yang di depan itu
tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari.
Hemmmm tampang-tampang mereka
kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium sampai kemari!”
Di bawah pohon keempat orang
itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik dan tiga orang anak buahnya yaitu
Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu Jalak Ijo dan Jalak Biru.
“Ada apa kau berhenti Ramada?”
tanya Jalak Ijo.
“Aku mencium bau sesuatu.
Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di lereng gunung begini ada
bau seperti ini!”
Tiga orang anak buah Ramada
sama meninggikan kepala lalu mengendus dalam-dalam. “Kau betul Ramada,” kata
Jalak Ijo. “Aku juga dapat mencium bau aneh itu. Pasti ada seseorang di sekitar
sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto Gendeng itu tempat kediamannya di
sekitar sini.”
“Bagus! Kalau begitu coba kalian
periksa pada tiga jurusan sampai sejarak seratus tombak! Aku menunggu di sini!”
Jalak Ijo dan kawan-kawannya
segera melakukan apa yang diperintah oleh Ramada. Tak lama kemudian ketiganya
muncul satu persatu.
“Aku tidak menemukan apa-apa,
Ramada,” kata Jalak Item.
“Aku juga. Tak ada bangunan
atau tempat kediaman di sekitar sini,” menerangkan Jalak Ijo
“Sama, tak ada orang tak ada
rumah,” kata Jalak Biru pula.
Di atas pohon kakek berjanggut
putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet itu mancari kian kemari. Tidak
tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau yang mereka cium sudah
pasti bau arak kayanganku ini!”
“Ramada,” di bawah pohon Jalak
Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan perjalanan atau kau tetap menginginkan
mencari sumber bau harum itu sampai dapat?”
“Sudah, kita teruskan saja
perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.”
Jawab Ramada Suro Jelantik.
“Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui dan bereskan secepatnya!”
Ramada lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang disambung dengan sebuah roda
besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar pasir dan tanah di sebelah
belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul.
Ketika sang surya mulai
condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai di puncak Gunung Gede.
Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan kediaman Sinto Gendeng,
nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ramada dan tiga anak buahnya
berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih tampak kokoh. Pintu gubuk tertutup,
begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu benar-benar diselimuti
kesunyian.
‘”Sinto Gendeng! Kami datang
dari jauh untuk menemuimu! Mengapa bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada
berteriak.
Tak ada jawaban atau suara
apapun dari dalam gubuk.
Ramada berteriak sekali lagi.
Tetap saja tak ada jawaban.
“Mungkin tua bangka itu tak
ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo.
“Untuk memastikan coba kau dan
kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada Suro Jelantik pula.
Jalak Ijo dan dua temannya
meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu lewat pintu depan yang ternyata
tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk.
Di depan rumah Ramada menunggu
dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba menghibur diri dengan mengelus-elus tubuh
istri mudanya yang telah jadi mayat seraya berkata perlahan “Tenang Dardini,
tenang. Lewat kematiian tua bangka keparat itu kita pasti bisa memancing
kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan kutabas batang lehernya.
Kuminum darahnya lalu kulumat daging dan tulang belulangnya! Setelah itu kau
akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.
Kau akan tidur dengan tenang.
Sabar istriku. Sabar….. Aku akan membuatkan makam yang sangat bagus untukmu.
Aku akan….”
Ucapan Ramada Suro Jelantik
terputus. Dari dalam rumah terdengar suara jeritan tiga kali berturut-turut.
Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga anak bauhnya.
“Jalak Ijo! Jalak Item! Jalak
Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!”
Baru saja Ramada Suro Jelantik
berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda melesat keluar dari dinding-dinding
gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan, dua dari samping kiri.
Ramada mendelik besar ketika
menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat dinding gubuk lalu bergulingan di
tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak Item dan Jalak Biru!
“Anjing kurap! Apa yang
terjadi?!” teriak Ramada marah sekali.
Tiga anak buahnya berusaha
bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening Jalak Ijo dan Jalak Biru kelihatan
benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item megap-megap sambil pegangi
perutnya. Ketiganya lalu berusaha secepat mungkin mengambil pikulan
masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah. Begitu mereka
memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas.
“Kalau aku tidak bisa membunuh
tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh diri!” teriak Jalak Item.
“Aku juga!” menyahuti Jalak
Ijo.
“Sama dengan aku!” kata Jalak
Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.
Tiba-tiba pintu gubuk yang
tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari dalam gubuk muncul satu sosok
tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi serta panjang. Suara tawa
ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak buahnya mengiang sakit tetapi
juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu mereka malah tambah
terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau perempuan tua penghuni gubuk di
puncak Gunung Gede itu begini angkernya!
ENAM
Orang yang keluar dari dalam
gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.
Kulitnya ini tidak lebih dari
selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak bungkuk pasti terlihat
bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung sekali. Mukanya cekung di bagian mata
dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu juga rambutnya yang hanya
tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah itu menancap lima
buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan
pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu justru langsung
menancap di kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang hitam gelap
memandang berputar ke arah empat orang yang ada di halaman gubuk. Lalu dari
mulutnya meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang ompong mengucur
keluar air liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah pohon di
seberang halaman.
Terdengar suara berderik
sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke tanah. Hal itu membuat
Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi terkesima. Namun orang-orang
ini mana mengenal rasa takut.
“Ramada, biar kubunuh nenek
keparat itu sekarang juga!” kata Jalak Ijo seraya tangannya bergerak hendak
membuka penutup keranjang rotannya di mana tersimpan ular kobra beracun yang
diberi nama Ratu Hijau. “Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal lepas dari
dirinya. Biar aku bicara dulu padanya….”
Di ambang pintu si nenek masih
tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair mulutnya terdengar suara membentak.
“Puluhan tahun hidup di puncak
Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan tamu aneh dan kurang ajar. Berani
masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau mencuri atau memang munta mati?!”
“Tua bangka edan! Kami datang
memang untuk mencuri. Bukan mencuri harta bendamu karena pasti dalam gubukmu
hanya ada barang-barang rombengan yang tidak ada harganya!”
Si nenek tertawa cekikikan.
“Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk comberan! Mulutmu pandai
bicara. Coba jelaskan apa yang hendak kau curi dari tempat ini!”
“Aku kemari untuk mencuri
nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.
Sepasang mata cekung dan hitam
si nenek tampak seperti mengeluarkan kilatan aneh. Lalu mulutnya kembali
tertawa panjang.
“Kalau kau hendak mencuri
nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri jantungmu?!” Hik…hik…hik…!”
“Nenek iblis!” teriak Ramada.
Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah kau manusianya yang
bernama Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!”
“Kalau aku memang Sinto
Gendeng lalu kenapa? Kalau aku bukan Sinto Gendeng lantas bagaimana?!” si nenek
bertanya.
“Iblis ngacok!” hardik Ramada
mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini diturunkannya lalu
dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat akar sebatang pohon. “Muridmu si
Wiro Sableng itu telah memperkosa istriku! Lalu membunuhnya! Apa kau kira bakal
ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau?!”
Si nenek hentikan tawanya. Dia
dongakkan kepala beberapa saat lalu memandang dengan mata berkilat-kilat pada
Ramada Suro Jelantik. “ini adalah fitnah paling keji yang pernah didengar
telinga tua ini!”
“Ini bukan fitnah!” teriak
Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid celakamu itu!”
“Betul!” menyahuti Jalak Biru.
“Muridmu membunuh perempuan itu dengan Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri
luka besar di pangkal leher jenazah!” Si nenek terdiam.
“Tua bangka jahanam. Kau
terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau Sinto Gendeng guru Pendekar
212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”
Si nenek menyeringai seperti
setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto Gendeng tidak akan melakukan
kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku menjadi muak melihat
tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman gubukku! Kalian semua
adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci!
Bermuka berwarna-warna! Lekas
minggat dari sini!”
Ramada mendengus keras.
Didahului dengan suara teriakan keras dia menerkam ke arah si nenek yang memang
adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang ada roda besi bergerigi mencelat ke
depan.
Rrrrrrrr!
Gigi-gigi roda besi yang
berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.
Seumur hidupnya Sinto Gendeng
belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia berteriak nyaring. Tubuhnya yang
bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu menghantam tangga batu di depan
gubuk. Tangga batu itu tebongkar berkepingkeping!
Ramada menyeringai. “Sebentar
lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!”
“Betul begitu? Aku malah ingin
sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata Sinto Gendeng. Lalu dia tertawa
cekikikan.
Seperti terbakar Ramada Suro
Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya.
Tangan kirinya ikut melepaskan
pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap tidak melepaskan Guci Setan.
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng
berkelebat kian kemari. Selama enam jurus diserang terus-terusan dia hanya
membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus ketujuh si nenek mulai balas
melancarkan serangan-serangan. Gerakannya seperti main-main saja tetapi Ramada
merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang menghantamnya. Sadar kalau
lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro Jelantik segera keluarkan
jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang sementara roda besinya
mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala jurusan.
Eyang Sinto Gendeng walaupun
kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja dia berlaku tenang. Malah dia
tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan serangan lawan. Jika Ramada
berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan kanannya pastilah benda iu
sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah istrinya yang
diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si nenek lalu
mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan
lawan.
“Bangsat sialan!” maki Ramada
Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habis-habisan untuk menyelamatkan
Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa tidak sanggup, pada jurus ke 28
lelaki ini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan ke atas. Guci ini melesat
ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di antara kelebatan
daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada menghadapi
Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek kelihatan
terdesak.
“Manusia bau! Ilmu silatmu boleh
juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau hadapi jurus seranganku ini!” Dua tangan
si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan seolah hndak memukul sisi tubuh
lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung jarinya disatukan ke depan.
Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.
“Sepasang naga menyusup awan!”
teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus serangannya. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari kuncup lurus ke depan dan
seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah jantung dan tenggorokan
Ramada Suro Jelantik.
Kejut manusia berkaki buntung
ini bukan alang kepalang. Dia cepat menyingkir dengan membuang diri ke samping
kiri. Tusukan pada tenggorokannya
lewat tapi yang mengarah
jantung terus melesat.
“Haram jadah! Aku terpaksa
berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya ditendangkan ke depan, mengarah perut
Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil
celaka . Tapi dia juga tidak mau melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan
menggeser kakinya dua langkah ke kanan, Sinto Gendeng teruskan hantamannya
walaupun kini dia tidak bisa menghantam secara telak.
Bukkk!
Lima jari tangan si nenek
mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit keras. Tubuhnya terbanting ke
tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih tinggi.
Rrrrrrr
Sinto Gendeng terpekik sewaktu
roda besi Ramada Suro Jelantik merobek pakaiannya di bagian perut!
Tampang si nenek menkjadi
kelam membesi.
“Kurang ajar!” si nenek geram
sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang masih tertelentang di tanah dengan
mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di dekat jantungnya setelah terkena
hantaman si nenek tadi.
“Manusia setan! Apakah kau
pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek sambil angkat tangan
kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak.
Ramada Suro Jelantik memang
pernah mendengar kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Dia tak mau berlaku
ayal. Dia segera melafatkan satu mantera kesaktian. Roda besi di ujung kaki
kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar hitam menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng
lepaskan pukulan “sinar matahari” dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan
kaki kirinya ke atas menyambuti serangan lalu dengan cerdik menggulingkan diri
di tanah.
Bummmm!
Bummm!
Terdengar dua letusan keras.
Cahaya putih berkiblat
disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari roda besi Ramada
berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari” yang dilepaskan
si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat dari dua dentuman
sebelumnya.
Puncak Gunung Gede laksana
dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada hampir terduduk di tanah. Sinto
Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh bergoyang-goyang. Mukanya yang
hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup keras. Di seberangnya tubuh
Ramada Suro Jelantik nampak menggeliat geliat dekat tangga batu. Bahu kanannya
tampak hangus dihantam pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya orang ini
mempunyai kekautan luar biasa. Dalam keadaan terluka parah begitu dia melompat
tegak. Darah semakin banyak mengucur dari mulutnya tapi dia tidak perduli.
Sepasang matanya yang merah memandang laksana bara api pada Sinto Gendeng.
Tiba-tiba dari mulunya terdengar teriakan keras.
“Anak-anak! Keluarkan binatang
peliharaan kalian!” Bunuh tua bangka keparat ini!”
“Eh, apa yang hendak dilakukan
manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto Gendeng. Dia berputar, menghadap ke
arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru yang berada di halaman, terpisah di
tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat tiga orang bermuka hijau,
hitam dan biru itu embuka penutup keranjang rotan masingmasing.
Lalu terdengar suara berdesir
aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa melesat ke arah si nenek!
“Edan!” teriak Sinto Gendeng.
Dia cepat mengangkat kedua
tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar matahari” satu lagi menghantamkan
pukulan “segulung ombak menerpa karang”!
TUJUH
Dari keranjang rotan Jalak
Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru, menyerbu ke arah Sinto Gendeng
dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular kobra hijau melesat keluar
dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo. Lalu dari sebelah kanan Jalak
Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking berwarna hitam.
Lima belas binatang beracun
ganas ini serentak menyerbu si nenek!
Seumur hidupnya Sinto Gendeng
belum pernah mendapat serangan begini banyak dan ganas. Dalam pada itu
telinganya menangkap suara menderu dari arah belakang. Berarti Ramada Suro
Jelantik dalam waktu bersamaan telah menyerang pula dengan roda bergerigiinya
dari belakang!
“Edan! Gila! Teriak si nenek.
Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Bersamaan dengan itu dia
jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada.
Putaran roda besi bergerigi
membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto Gendeng.
Trang…..trang!
Terdengar suara beradunya
benda-benda keras disertai percikan bunga api.
Roda besi Ramada ternyata
telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala Sinto Gendeng hingga
hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga buah gerigi roda besi
di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras kesakitan. Kakinya
laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai dua tombak!
Walau selamat dari roda maut
Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas dari bahaya. Pukulan sinar matahari
yang dilepaskannya ke depan berhasil menghantam ular kobra besar yang
dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya sebelum terkena hantaman pukulan sakti yang
mematikan itu, ular kobra ini seolah tahu bahaya yang mengancamnya. Melesat
tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka
hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa serangannya bakal gagal,
terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari”
menghantamnya dengan telak.
Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar jauh. Hangus leleh
laksana dipanggang. Nyawanya putus!
Pukulan “segulung ombak
menerpa karang” yang dilepas Sinto Gendeng dengan tenaga dalam penuh membuat
hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan enam ekor kelabang biru yang dilepaskan
Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor kala hitam dan kelabang biru masih
sempat lolos. Dua binatang beracun ini menancap di tubuh si nenek. Kalajengking
hitam menancap di leher dekat telinga kirinya sedang kelabang biru menenmbus
bahu kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh ke tanah.
Ramada Suro Jelantik cepat
mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan roda besinya ke arah leher Sinto
Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si nenek pasti lehernya akan
putus dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Pada saat yang genting itu
tiba-tiba ada suara berseru “Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa yang berani
mencelakaimu akan kuhancurkan batok kepalanya!”
Bersamaan dengan suara seruan
itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari arah kanan. Lalu ada cairan harum
menyembur keras. Ramada Suro Jelantik tahu daangnya bahaya cepat tari kakinya
lalu jatuhkan diri bergulingan.
Brettt! Breetttt!
Baju hitam Ramada robek besar
di bagian punggung. Kulit punggungnya mengepulkan asap laksana ditempel besi
panas.
“Anak-anak! Ada orang datang!
Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada lalu dia melesat ke atas pohon di
mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan kilat disambarnya benda itu.
Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil jenazah istrinya. Sekali lagi dia
berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya suara deru roda besinya yang menggerus
tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak Biru segera berlari mengejar
pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan masing masing.
Mayat Jalak Ijo mereka
tinggalkan begitu saja.
Sebelum Ramadad dan tiga anak
buahnya sampai de tempat kediaman Sinto Gendeng, orang tua berjanggut putih dan
berpakaian selempang kain biru di atas pohon kembali meracau seorang diri.
“Empat manusia aneh tadi. Yang
satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya memikul keranjang. Masing-masing
memiliki muka berwarna warni. Eh, ada keperluan apa mereka berada di gunung
ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku menerkaya.” Di kakek lalu teguk
tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya tuak ini” kata si kakek. “Eh,
pikir-pikir aku sendiri mengapa sampai berada di sini?
Astaga! Aku sampai lupa. Aku
datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat.
Jangan-jangan empat orang tadi
juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka jelas keempatnya bukan orang
baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto Gendeng. Jangan-jangan
keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek.
Baiknya aku segera berangkat
ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak kayangan ini!” Si kakek teguk
lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini meler berjatuhan di bibirnya.
Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat enteng, dia melompat dari cabang
pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya laksana kapas melayang turun ke
tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak tanah dia segera hendak
berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.
“Eh, aku ke sini seharusnya
tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul!
Kalau dia sampai tidak datang
akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya urusan ain-main?!” Si kakek
memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak melihat seorangpun di sekitar
situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak terdengar suara apapun. Akhirnya
dia tinggalkan tempat itu., menghambur menuju puncak Gunung Gede.
Dia datang tepat pada saat
Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap untuk menjagal lehernya dengan
roda bergerigi di ujung kaki kirinya.
Si kakek segera teguk tuaknya
lalu minuman ini disemburkannya ke arah Ramada Suro Jelantik. Tuak kayangan
bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di tangan si kakek bisa berubah
menjadi senjata yang sangat berbahaya. Dengan minuman itu dia telah menjadi
seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dialah
tadi yang menyembur Ramada dengan tuak saktinya hingga Sinto Gendeng selamat
dari roda maut yang siap memutus lehernya.
Sebetulnya si kakek ingin
mengejar Ramada namun lebih penting baginya menyelamatkan Sinto Gendeng.
Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya kabur orang tua ini cepat mendatangi
Sinto Gendeng. Menyangka si kakek adalah salah seorang musuhnya Sinto Gendeng
yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat tangan kanannya, siap untuk
menghantam.
“Sinto! Kau mau membunuhku
degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat berseru.
“Eh!” sinto Gendeng jadi
terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu.
Bukankah kau….?”
“Sudah! Jangan banyak bicara
dulu. Ada dua binatang beracun menancap di tubuhmu! Biar aku singkirkan lebh
dulu!”
Kakek berjanggut putih yang
membekal dua buah tabung bambu berisi tuak itu mencabut kalajengking hitam yang
menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan jari-jari tangannya diremasnya
binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek kelihatan membesar
sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno Gendeng yang bekas ditancapi kala hitam
tadi tampak menggembung.
“Racun jahat,” kata si kakek
dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran darahnya. Tubuhnya terasa
panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku ini pasti akan celaka. Ah, agaknya
aku tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal itu.
Muridku celaka itu mana dia!
Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”
Sinto Gendeng yang sedang
ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si kakek. “Eh apakah kau sedang
mengomeli diriku?!” tanyanya.
“Jangan bicara Sinto! Keadaanmu
berbahaya. Masih ada satu binatang beracun di tubuhmu!” kata si kakek. Lalu
kelabang biru yang menempel di bahu kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti
kala hitam tadi binatang ini diremasnya sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu
kanan Sinto Gendeng ternyata juga bengkak besar tanda racun sudah memasuki
tubuhnya.
“Sinto, keadaanmu berbahaya.
Ubuhmu panas…..”
“Panas? Aku malah merasa
kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!” kata Sinto Gendeng.
“Tunggu, aku mau melakukan apa
yang bisa membendung racun yang ada dalam tubuhmu,” kata si kakek. Lalu degnan
sebuah pisau kecil ditorehnya luka bengkak pada leher dan bahu kanan Sinto
Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.
Si kakek pergunakan mulutnya
untuk menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia meneguk tuaknya. Dengan tuak
itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu Sinto Gendeng. Tidak sampai
di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si nenek.
“Sobatku Dewa Tuak,” Sinto
Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku bersyukur dan berterima kasih kau
menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….”
“sudah, jangan bicara banyak
dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,”
ujar si kakek yang ternyata
adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang sejak beberapa tahun ini
jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.
“Kedatanganku tadinya untuk
membicarakan satu masalah penting denganmu.
Tapi melihat keadaanmu seperti
ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan itu.” Dewa Tuak lalu
mendukung tubuh Sinto Gendeng.
“Gila! Tubuhmu kurus kering
begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak seperti mengeluh. Sinto Gendeng
didukungnya masuk ke dalam rumah lalu dibaringkannya pada sebuah tempat tidur
kayu. “Sinto, racun dalam tubuhmu jahat sekali. Aku tidak bisa menjamin kau
bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus mencari seorang tabib ulung dan
membawamu turun gunung.”
Sinto Gendeng batuk-batuk
beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri.
Kalau nyawaku mau minggat dari
tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”
Sinto Gendeng masih bisa tertawa
cekikikan.
Dewa Tuak geleng-gelengkan
kepala.
“Tubuhku terasa dingin. Mana
tuak keparatmu itu? Aku minta barang beberapa teguk biar tubuhku dan darahku
jadi hangat!”
Dewa Tuak menurunkan tabung
tuaknya dari punggung lalu mendekatkan mulut tabung ke mulut Sinto Gendeng.
Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak itu dengan lahap.
“Sinto, kau dengar baik-baik.
Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk
menemui tabib yang kukatakan
itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar tabib itu saja yang aku bawa
ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku Anggini mungkin sekali
akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di puncak Gunung Gede ini….”
Sinto Gendeng tersenyum. “Aku
tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan pertemuan di sini. Pasti urusan yang
itu juga….”
“Keadaanmu membuat aku
terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain kali saja kita bicarakan
lagi….”
“Kalau umurku masih panjang,”
kata Sinto Gendeng.
“Jangan bicara bagitu Sinto….”
“Kalau saja Kapak Naga Geni
212 ada di sini segala macam racun yang mendekam dalam tubuhku pasti bisa
disedot….” Kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau begitu, bagaimana jika
aku mencari muridmu dan membawanya ke sini?” minta pendapat Dewa Tuak.
“Dalam waktu seribu hari belum
tentu kau bakal dapat menemuinya.”
Dewa Tuak maklum apa yang
dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak mudah mencari Wiro Sableng.
“Sinto, sebenarnya siapa
orang-orang yang mencelakaimu itu?” bertanya Dewa Tuak.
“Aku tak kenal mereka.
Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan dipanggil oleh anak
buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto Gendeng.
“Ramada….Ramada…..” Dewa Tuak
mengulang-ulang nama itu. “Rasanya aku pernah tahu manusia keparat satu itu.
Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah nama lengkapnya Ramada…..Ramada Suro
Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia jahat tapi juga bukan orang baik-baik.
Dia tidak diterima dalam golongan hitam dan tidak diperdulikan dalam golongan
putih. Cuma memang belakangan ini, sejak dia punya beberapa orang anak buah,
kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat kejahatan. Kau yakin tidak punya silang
sengketa denga orang-orang itu?”
Sinto Gendeng menggeleng.
“Ramada datang membawa tuduhan bahwa muridku Wiro Sableng telah memperkosa dan
membunuh istrinya….”
“Jadi yang dibawa-bawanya itu
adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada hal yang kurasa aneh. Sekalipun
muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan, mengapa dia dan anak buahnya
nekad hendak membunuhku?!”
“Ada sesuatu yang tidak beres
Sinto,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana kalau aku menghubungi sahabat kita
Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk.”
“Terserah padamu Dewa Tuak.
Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia tidak mudah.” Jawab Sinto Gendeng.
Dia menarik nafas dalam lalu melanjtukan ucapannya.
“Aku melihat Ramada membawa
sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin pernah melihat benda itu di masa mudaku.
Sebuah guci keramat milik Kerajaan berasal dari zaman Singosari. Guci itu
sangat berbahaya jika sampai jatuh dalam tangan orang-orang jahat….”
Dewa Tuak terdiam sesaat.
Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus pergi sekarang. Kalau muridmu
datang dia tentu akan merawatmu sampai aku kembali.”
Sinto Gendeng menarik nafas
dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri merasa dingin. Dewa Tuak
memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sinto berbisik “Tinggalkan satu
tabung tuak untukku.”
“Tentu Sinto. Kau boleh minum
tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan tabung tuaknya yang masih penuh
lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat tidur, dekat kepala Sinto
Gendeng.
DELAPAN
Menjelang petang dua
penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung Merbabu. Keduanya bukan lain
adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi Saniastri yang baru saja
menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si gadis yang juga merupakan kakak
Pangeran Banuarto.
Setelah berdiam diri beberapa
lamanya, Dewi Santiastri membuka pembicaraan di antara mereka. “Paman,
sebenarnya kalau tidak ada pesan dari almarhum ayahanda ingin saya memindahkan
makam beliau ke pinggiran Kotaraja…”
“Maksudmu memang baik. Tapi
pesan orang yang meninggal harus dihormati.
Aku takut kalau-kalau nanti
ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….”
Si gadis terdiam. Lalu dia
mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama Wiro itu, apakah benar dia
seorang pendekar sakti mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru
angin?”
“Begitu kabar yang aku
dengar….”
“Tapi mengapa salah satu anak
panah saya mempu melukainya?”
Pangeran Banuarto tersenyum.
“Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja ilmu panahmu sudah meningkat
jauh!”
Dewi Santiastri tersenyum.
Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu tiba-tiba di lereng gunung
yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan berblangkon hitam. Janggut
dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya dingin angker. Dari caranya
berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang perjalanan kedua orang yang
berkuda itu.
“Orang tua, siapa kau?”
bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu saja dia tak akan menyangka
kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di tempat itu.
Orang yang ditegur
menyeringai. “Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan Pangeran Banuarto,” orang
itu berkata.
“Eh, kau tahu siapa aku!”
Pangeran Banuarto semakin heran.
Orang berblangkon hitam
kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut.
Bertahun-tahun aku menjadi
kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar barang sepeserpun! Apa salah
kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang piutang?!”
Pangeran Banuarto dan
keponakannya jadi saling pandang mendengar kata kata orang yang tidak mereka
kenal itu. Si gadis membuka mulut.
“Kami tidak pernah merasa
mempunyai kuncen untuk mengurus makam ayahanda….”
“Ah kalau begitu kau seorang
anak yang sangat tidak berbakti!”
“Jaga mulutmu!” bentak
Pangeran Banuarto.
Dibentak begitu orang yang
mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu hanya menyeringai. “Aku sudah
menghitung-hitung berapa bayaran yang harus kuterima. Semuanya sekitar sepuluh
tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku mohon kalian jangan segera
membayarnya saat ini!”
“Orang gila! Kami tidak
membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada tidak akan kami berikan! Antara
kita tidak ada sangkut paut apa-apa!”
“Pangeran, jangan berkata
begitu. Aku telah merawat….”
“Tunggu dulu!” sentak Dewi
Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam ayahandaku, mengapa makam begitu
kotor dan ada tiangnya yang patah?!”
“Soal tiang patah itu karena
ada seorang gila datang mengamuk. Tapi aku telah mengusirnya hingga makam tidak
lebih rusak….”
“Kau dusta! Aku tahu kau
dusta!” kata Dewi Santiastri pula.
“Jadi kalian tidak mau
membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.
“Siapa sudi!” teriak Dewi
Santiastri.
“Baiklah, kalau kalian tidak
mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang
merugi, bukan aku. Namun jika
kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…”
“Apa maksudmu?!” tanya
Pangeran Banuarto.
“Usiaku memang sudah agak
lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan seorang pemuda dua puluh tahun.
Kulihat keponakanmu itu berparas cantik.
Bagaimana kalau dirinya saja
yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!”
“Manusia rendah bermulut
kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah.
Dewi Santiastri tidak kalah
marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya
melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki kanannya langsung ditendangkan
ke kepala orang itu.
“Ah, tidak dikira putrid
almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,”
kata si kuncen sambil
tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap pergelangan kaki
kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi Santiastri dibuatnya mencelat
ke atas.
Sambil memekik marah puteri
mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik di udara. Kedua tangannya bergerak
menyambar busur dan tiga anak panah. Masih dalam keadaan melayang di udara si
gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si kuncen. Yang diserang berseru kaget.
Untung dia bisa berlaku cepat melompat menghindari tiga serangan anak panah itu
walau satu anak panah masih sempat menyerempet blangkonnya hingga blangkon itu
robek besar.
“Hem, gadis ini berbahaya. Dia
harus ditangani lebuh dulu,” membatin Ki Ageng Lentut yangwajahnya sempat pucat
akibat keganasan ilmu panah Dewi Santiastri tadi. Pada saat itu Pangeran
Banuarto telah melompat turun dari kudanya.
Dengan tangan kosong dia
menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan melintangkan lengan
kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling baradu. Pangeran Banuarto
mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempatan
ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kearah Dewi Santiastri yang saat itu
sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak panah. Namun sebelum dia
mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini telah menyergap si gadis.
Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya.
Dia berhasil.
Trakkk!
Busur patah dua begitu
menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya yang terluka mengucur darah.
Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali menyergap bagian
pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku tidak bisa
bergerak lagi.
“Keparat jahanam! Apa yang kau
lakukan pada keponakanku?!” teriak Pangeran Banuarto.Tangan kanannya yang masih
sakit akibat bentrokan tadi dipukulkannya ke perut sang kuncen.
Bukkk!
Jotosan itu tepat mengenai ulu
hati Ki Ageng Lentut!
“Mampus!” teriak Pangeran
Banuarto karena dia sudah memastikan perut orang tua itu akan jebol dan hancur
di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya tadi bukan pukulan sembarangan.
Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga disertai aji “wesi kuning” yang
sanggup mematahkan pohon menjebol dinding. Tapi sang pangeran jadi terbelalak
ketika melihat, jangankan jebol atau muntah darah bergeming sedikitpun tubuh
sang kuncen tidak! Malah dia tampak menyeringai dan berkata mengejek.
“Aji wesi kuning tidak ada
gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang gilirankmu menerima pukulanku!” Habis
berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat tangan kanannya ke atas. Telapak tangan
membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu telapak tangan yang diarahkan pada
Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan saja. Apa yang terjadi membuat
Dewi Santiastri terpekik.
Dari telapak tangan Ki Ageng
Lentut menyembur keluar suara mendesis keras disertai hawa panas luar biasa.
Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil menghantam degnan kedua tangan.
Bummmm!
Lereng Gunung Merbabu itu
terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak dengan lutut menekuk sedang
tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya kelihatan sedikit pucat. Tapi
dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus dan tampangnya tampak
berdarah lagi.
Lain halnya dengan Pangeran
Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya saling bentrokan dengan hawa panas
yang keluar dari telapak tanagn si kuncen, tubuhnya langsung mencelat mental.
Ambruk di tanah berguling-guling sampai beberapa tombak. Ketika gulingannya
tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan pakaian dan sebagian kulit tubuhnya
laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi dan Dewi Santiastri tahu
kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya gadis ini berteriak.
Ki Ageng Lentut menyeringai
sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar dia tertawa mengekeh.
Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran Banuarto. Di satu tempat
dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan ranting yang ujungnya
tajam ini dia lalu menoreh angka 212 di kening Pangeran Banuarto. Ranting
dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh.
Tubuh Pangeran Banuarto
didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali tuanmu ke Kotaraja!”
Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat hingga binatang ini
menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur.
Ki Ageng Lentut menyeringai
dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.
“Manusia durjana! Pergi!
Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke arahnya.
“Tenang kekasihku, tenang. Kau
akan kubawa bersenang-senang. Kau akan merasakan satu kenikmatan dunia yang
belum pernah kau ketahui salama ini!”
“Manusia iblis! Setan! Pergi!”
teriak Dewi Santiastri.
Ki Ageng Lentut sampai di
hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi, tangan kanannya enak saja
secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis itu. Jeritan dan makian si
gadis terdengar berkepanjangan.
“Kekasihku, apakah kau pernah
ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan pertanyaan seraya menyusupkan
tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi Santiastri.
“Manusia jahanam! Kau bunuh
saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak Dewi Santiastri.
“Jangan bilang begitu
kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ kita akan bersenang-senang
biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu kalau kau memang mau mati
boleh-boleh saja….”
“Jahanam! Lepaskan!” teriak
Dewi. “Lepaskan!”
Ki Ageng Lentut tertawa
mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri lalu dilarikannya kea rah
puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas langkah tiba-tiba
terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada semburan angin di
samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh gadis yang ada di
bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia hentikan larina dan
berpaling.
“Keparat….. Dia rupanya!” Ki
Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat siapa yang ada di depannya.
“Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat ini juga. Tapi tak ada
gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu apa menyusahkan diri!”
Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari saku pakaian
hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda gondrong yang kini
mendukung Dewi Santiastri.
Blusssss!
Benda yang dilemparkan meletus
di udara. Asap pekat kelabu membumbung membungkus tempat itu. Pemuda yang
mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang sangat
dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut telah lebih dulu menghambur
pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana pohon-pohon dan semak belukar
patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam pukulan “dewa topan menggusur
gunung.”
Pendekar 212 Wiro Sableng
baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang rata lalu melepaskan totokannya.
Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki tubuh si pemuda.
“Wiro, syukur kau datang.
Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi orang jahat itu telah
membunuh paman Pangeran Banuarto….”
Wiro terkejut sekali. Dia
memandang berkeliling.
“Mayat paman dinaikkannya ke
atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu kini telah dalam perjalanan ke
Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas kuda dia telah menoreh angka
212 pada kening mayat…..”
“Apa!” sepasang mata Pendekar
212 sampai melotot ketika mendengar ucapan di gadis. Dewi Santiastri lalu
menerangkan lebih rinci.
“Kurang ajar! Apa maksud orang
itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir.
“Hemmmmm…. Jelas dia berusaha
memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa mayat pamanmu sampai di Kotaraja
semua orang akan segera tahu bahwa akulah pembunuh Pangeran Banuarto.”
“Tapi aku bisa menjadi saksi
bahwa bukan kau yang melakukan hal itu,” kata Dewi pula.
“Memang bisa, tapi namaku
sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin mengejar kuda yang membawa jenazah
pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja pasti aku akan segera ditangkap. Kurang
ajar betul! Kau tahu siapa orang tua berkumis dan berjanggut putih tadi itu?”
“Dia mengaku kuncen makam
ayahandaku. Padahal kami tidak pernah membayar seorang kuncenpun….”
“Kau pernah melihat orang itu
sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta asalnya?” tanya Wiro.
“Baru sekali ini aku
melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia mengaku bernama Ki
Ageng Lentut.”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. “Ki Ageng Lentut….Ki Ageng Lentut….Aku pernah dengar nama itu. Aku
ingat! Dia seorang pengukir patung kayu di Pangadegan. Rasanya tak mungkin dia
yang melakukan. Tapi aku pernah mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm
hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?”
“Tua, kumis dan janggutnya
sudah putih. Blangkon dan pakaiannya serba hitam….”
“Tepat sama dengan cirri-ciri
juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan kupecahkan kepalanya!” Wiro
kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih agak meragu.
“Kita harus pergi dari sini.
Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang luar Kotaraja. Begitu sampai di
Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana yang kau kenal baik dan
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi atas diri pamanmu.”
“Aku akan melakukan itu Wiro.
Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita bersama-sama menemui pejabat itu? Aku
kenal seorang Tumenggung yang punya hubungan baik dengan Sultan”
“Terlalu besar bahayanya.
Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton, aku tak mungkin masuk ke
dalam Kotaraja.”
“Aku mengerti. Jadi kau
antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,” kata Dewi Santiastri.
Pendekar 212 memapah gadis itu
lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.
“Kuda kita cuma satu? Bagaimana
dengan kau?”
Wiro tersenyum. “Asal kau
tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti dari belakang.”
“Kalau begitu….” Si gadis
meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku Wiro.”
Tanpa disuruh dua kali Wiro
Sableng langsung naik punggung kuda besar itu.
Apa yang diperkirakan Pendekar
212 Wiro Sableng memang benar. Begitu mayat Pangeran Banuarto sampai di
Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212 Wiro Sableng segera dicap sebagai
pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri menemui pejabat yang dikenalnya
lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak Istana tidak begitu saja
mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu mungkin saja
berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto karena kini
hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang paman.
SEMBILAN
Malam yang gelap di pinggiran
timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin setelah hujan turun cukup
lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang sesekali ditimpali suara
kodok.
Di dalam rumah kayu, orang tua
berjanggut dan berkumis putih itu duduk di atas tikar tengah asyik memperhalus
ukiran kepala seekor burung garuda besar.
Sebenarnya matanya sudah
sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam itu juga karena esok pagi
pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan mengambilnya.
Sesekali orang tua ini
menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan blangkon hitamnya.
Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng Lentut merasa panas
dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat.
Tengah dia asyik menekuni
pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki di depan rumah. Sesaat
kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga ditendang orang dari luar.
“Hai! Setan dari mana yang
datang mengamuk malam-malam buta di rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut marah
sekali.
Baru saja dia berteriak begitu
tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang pemuda berambut
gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk melumat juru ukir itu.
“Orang gila! Siapa kau?! Kau
merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?”
Ki Ageng Lentut letakkan
ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat.
Pahat kecil yang tajam luar
biasa tepentang di tanagnnya.
“Benar kau orangnya yang
bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.
“Eh setan sialan! Ditanya
malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang gila?”
“Namku Wiro. Aku ingin
jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!”
“Kalau kau sudah tahu siapa
aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu pintu rumahku. Kalau tidak
wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!”
“Orang tua, kau telah membunuh
Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan karena perbuatanmu menoreh angka 212
di kening jenazah pangeran itu!”
“Eh…..eh…! Tunggu dulu! Kau
benar-benar orang gila kesasar. Kalau kaupun aku tidak! Enak saja menuduh….”
“Di mana kau sekitar empat
hari lalu?!”
“Orang gila seharusnya aku
tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar aku membuat pengecualian. Sejak
satu minggu terakhir ini aku tidak pernah meninggalkan rumah ini !”
“Dusta!”
“Anjing edan! Lihat pahat!”
teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di tangannya berkelebat.
Pendekar 212 Wiro Sableng
cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan gerakan orang tua itu. Pipinya
terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat sekali ke wajahnya.
Jengkel melihat serangannya
hanya mengenai tempat kosong, si orang tua membuat gerakan berputar. Ketika
tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat ke udara.
Bukkkk!
Murid Eyang Sinto Gendeng
terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng Lentut mendarat di rahang
kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya terasa pening. Kehebatan ilmu
silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa memang dialah yang telah
membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi Santiastri.
“Tua bangka berkedok pengukir
suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui!
Jangan harap kau bisa lolos
dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan bertubi-tubi.
Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan menghindar bahkan balas
menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya menjadi lamban maka tubuh
dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar 212. Darah mengucur dari
hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini berusaha berlindung di
belakang ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro melabrak patung itu dengan
tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.
Ki Ageng Lentut meraung keras.
Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada melihat ukiran burung garuda itu
hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan setan dia bergulingan di lantai
sambil memegangi beberapa bagian ukiran yang hancur. Wiro tidak menunggu lebih
lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki Aggeng Lentut. Si orang tua
malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan nyawanya melayang. Dia
menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.
Sesaat lagi kaki kanan
Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng Lentut tiba-tiba atap rumah yang
terbuat dari rumbia itu jebol di dua bagian.
Bersamaan dengan itu terdengar
dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru “Pendekar 212! Tarik pulang
seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!”
Suara kedua adalah suara
perempuan. “Kalau otak ditelan perasaan begini jadinya. Tarik pulang tendangan
atau kuhancurkan kakimu!”
Lalu dari atas atap sebelah
kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari atap sebelah kiri menyambar
satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang mengeluarkan hawa sangat
dingin hingga murid Eyang Sinto Gendeng merasa tengkuknya jadi merinding!
Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng Lentut yang dicapnya sebagai
pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak menculik dan memperkosa Dewi
Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar menarik tendangannya dengan
cepat.
Byuuuuurrrrr!
Craaaaatttt!
Lantai papan berlobang di enam
tempat akibat semburan cairan aneh berbau harum. Lalu di bagian lain lantai
yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu akibat hantaman sinar biru
tadi!
Pendekar 212 leletkan lidah
dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa terbang. Kalau tadi dia tidak
segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur dan terbabat putus! Wiro
angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat dua pemandangan yang kontras
sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai menangisi patungnya yang
hancur.
Di sebelah depan kanan Wiro
saat itu berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain biru. Di punggungnya
tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih menjela sampai ke bahu.
Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di dinding kanan rumah dia
segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.
Dia hendak berseru memanggil
nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika dia melihat sosok kedua yang
berdiri di samping kiri ruangan.
Di situ tegak seorang dara
berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang dikenakannya sehingga walaupun
nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa terang namun Wiro masih dapat
melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh yang luar biasa bagusnya.
Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti berhenti.
Wajah dara itu ternyata cantik
bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai sampai di dada berwarna coklat
kepirangan.
“Gila, mengapa di saat seperti
ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata Pendekar 212 dalam hati. Untuk
beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apa-apa selan tegak tertegun.
Kakek berjanggut putih yang
memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk
beberapa kali. Pendeka 212
segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan menjura dalam-dalam
memberikan penghhormatan.
“Dewa Tuak, harap maafkan
kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya terjadi begitu mendadak dan
membuatku agak bingung.”
Dewa Tuak tertawa lebar.
“Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung, anak muda. Bagaimana aku bisa
muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu di sini satu mukjizat yang
membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang kuncen bernama Ki Ageng
Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung Gede. Gurumu dalam
bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur bernama Ramada Suro Jelantik.
Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya lalu membunuh
perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang sudah diawet.
Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil membunuhmu!
Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?”
Untuk beberapa saat lamanya
Wiro tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak, kau kenal
diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin aku melakukan kejahatan keji
seperti itu….”
“Tiga orang anak buah Ramada
memberi kesaksian bahwa kau yang memperkosa dan membunuh istri pimpinan
mereka!”
Wiro geleng-geleng kepala.
“Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus dijernihkan!”
“Bagus kalau kau mau bertindak
begitu. Jangan harap aku akan membantumu.
Aku punya urusan yang lebih
penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto Gendeng dikeroyok dan diserang
dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya digerayangi racun yang mematikan.
Hanya Kapak Naga Geni 212 yang mampu menyesot racun ganas itu dari tubuhnya.
Ddia hanya punya waktu dua minggu.
Berikan senjata mustika itu
padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….”
“Dewa Tuak, sebagai muridnya
bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak Maut Naga Geni 212 ke sana….”
“Tidak Wiro!” jawab Dewa Tuak
sambil menggelengkan kepala. Dia mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah
meneguk minuman itu beberapa kali dan menyeka bibirnya dengan belakang telapak
tangan orang tua ini melanjutkan katakatanya.
“Urusanmu menyelamatkan gurumu
serahkan padaku. Kau bereskan urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..”
“Dewa Tuak kau tadi mengatakan
aku salah turun tangan. Maksudmu….?’
Dewa Tuak belum sempat
menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri membuka mulut. “Juru ukir
bernama Ki Ageng Lentut itu bukan orang yang kau cari….”
“Lalu….?” Wiro bertanya heran.
“Kau harus memecahkan sendiri
teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak tantangannya. Kau harus memecahkan
setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang akan dipecahkan orang!” jawab sang
dara.
Wiro hanya bisa tegak
ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.
Tiba-tiba Dewa Tuak membuat
gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro merasakan seperti dia dihembus
angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang terselip di pinggangnya lenyap.
“Dewa Tuak! Tunggu dulu!” seru
Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih sudah melompat ke atas. Dia menerobos
lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak mengejar tapi langkahnya tertahan karena
dara berbaju biru tipis cepat sekali menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro
dapat melihat wajah cantik yang benar benar sempurna. Hidungnya mencium bau
harum yang keluar dari tubuh dan rambut si gadis.
“Orang hendak menyelamatkan
gurumu, mengapa kau masih banyak cerewe?!” sang dara tiba-tiba menegur.
“Aku tidak cerewet!” jawab
Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Eh, kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku orang yang tadi hendak
membuat buntung kaki kananmu dengan “pedang kilat biru”. Untung kau tidak
berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah jadi seorang pendekar buntung
seperti Ramada itu!”
“Eh,kau kenal Ramada yang
memfitnah aku memperkosa dan membunuh istrinya?”
“Kenal atau tidak itu bukan
urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang memperkosa lalu membunuh
istrinya….”
“Kau!” Wiro hendak mendamprat
marah tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan gadis di depannya.
Si gadis kemudian berkata
lagi. “Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah menghancurkan barang yang sangat
berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu memperbaiki ukiran burung garuda itu
kembali?”
“Aku tak mampu melakukannya,”
kata Wiro perlahan sambil memandangi si pengukir yang menelungkup di lantai
menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.
“Aku harus mengakui aku
menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”
“Jangan salahkan orang lain.
Kau yang punya perbuatan kau yang harus bertanggung jawab.”
Ucapan itu membuat mulut Wiro
Sableng terkancing. “Kau, kau seperti sedang menghakimiku. Apakah kau juga akan
menjatuhi hukuman padaku?”
Wajah cantik itu menyeringai
sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan menghukum dirimu!”
“Aku sudah bilang menyesal!”
kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan tangan kanannya ke dalam telapak
tangan kirinya.
Wiro mengeruk saku bajunya.
Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya diletakkan di atas tikar.
“Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut ku harap kau bersedia
menerimanya sebagai ganti rugi….”
Dara di depan Pendekar 212
tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan mengembalikan ukiran burung
garudanya yang telah kau hancurkan!”
“Lalu….lalu aku harus berbuat
apa?!”
Sang dara tak menjawab.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Tubuh si
gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan laksana kilat serta cahaya biru
berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu ukiran burung garuda yang
bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu juga yang
sedang dipegang oleh si pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas tikar pecahan
ukiran kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda, utuh seperti
semula.
Wiro bersurut mundur. Ki Ageng
Lentut ternganga dan matanya mendelik tak percaya.
“Itu yang diinginkan orang tua
ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta benda!”
Wiro palingkan kepalanya
memandang pada gadis di hadapannya. Untuk beberapa lamanya sepasang mata mereka
saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat
jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke atas menerobos atap yang jrbol tanpa
meunggu lebih lama murid Eyang Sinto Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh
beberapa puluh langkah, di satu tempat gadis itu hentikan langkahnya dan
berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia membentak.
“Perlu apa kau mengikutiku?!”
“Aku tidak mengikutimu. Aku
hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau kau punya nama harap memberi
tahu.”
“Untuk apa?!”
“Bukan untuk apa-apa. Kau tadi
telah memberikan satu pelajaran sangat baik padaku….”
Si gadis tertawa. Wiro seperti
terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di pipi kiri kanan si gadis.
“Bagi seorang pendekar,
pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain.
Tapi dari dalam dirinya
sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu saja persoalannya. Sederhana
bukan?”
Untuk pertama kalinya dalam
hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti seekor kodok dalam tempurung.
“Kau tak mau memberi nama tak
jadi apa. Kepandaianmu luar biasa.
Gerakanmu cepat tak terlihat
mata laksana angin. Bihar aku panggil kau Bidadari Angin Timur. Terma kasih.
Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam diriku.
Yan tidak akan aku lupakan
seumur hidupku. Terima kasih….” Perlahan-lahan Pendekar 212 memutar tubuhnya.
Dua langkah dia berjalan tiba-tiba dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua
tombak di depannya. Wiro berpaling ke belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya
semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di situ tak terlihat lagi si baju biru
itu.
Saat itu sebenarnya Wiro ingin
sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa jengkel, malu dan rasa bersalah
bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya seperti tidak perduli diri lagi
Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana dan sambil melangkah.
“Sialan!” katanya memaki entah
memaki dirinya sendiri entah memaki gadis cantik berpakaian biru tipis tadi.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro mendogak ke atas pohon di depannya.
Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah satu cabang pohon.
“Hanya orang tolol yang mau
ngompol di celana!” kata si gadis sambil melambaikan tangannya.
“Astaga! Bagaimana dia tahu
aku kencing di celana?!” kata Wiro sambil memegangi bagian bawah perutnya yang
basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon sang dara tak ada lagi di tempat itu.
Hanya suara tawanya saja yang terdengar di kejauhan.
“Mungkin dia benar-benar
bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana kalau dia hantu jejadian?
Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya.
Jangan-jangan dia kuntilanak!”
Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding sendiri.
SEPULUH
Orang tua berjanggut putih
panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada Ramada dan dua orang anak
buahnya.
“Hari ini aku bukan lagi
kuncen penjaga makam Pangeran Banowo.
Namakupun bukan lagi Ki Ageng
Lentut.”
Rahang Ramada Suro Jelantik
menggembung tanda ada hawa amarah di rongga dadanya. “Tunggu dulu!” katanya
memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa kau kini berubah rupa dan pakaian?!”
Orang tua itu tertawa
perlahan. “Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku dan bagaimana caraku
berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah satu-satunya manusia yang mampu
menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang ada dalam Guci Setan itu. Jika
kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak silahkan angkat kaki dari
hadapanku!”
Ramada mencekal leher jubah
orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar baik-baik! Salah seorang anak
buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan Sinto Gendeng. Petunjukmu
ternyata membawa celaka!”
“Dan kau telah membuat sebelah
mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah marahnya.
“Kalian bicara seperti orang
tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari pembunuh istrimu. Apa kau kira
begitu gampang tanpa pengorbanan? Ingat! Aku hanya memberi petunjuk. Apa kau
mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli!
Apa akibatnya pada kalian aku
tidak mau tahu!”
Kalau diperuntukkan
kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik orang tua itu sampai mati.
Dengan suara bergetar dia bertanya “Lalu kami harus memanggilmu apa sekarang?!”
“Diriku sekarang adalah
seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo Bumi,” jawab orang tua
berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!”
Ramada Suro Jelantik memandang
pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item dan Jalak Biru. “Binatang-binatang
peliharaan kalian sudah lengkap semua?”
Jalak Biru dan Jalak Item
sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan kalajengking mereka terbunuh di
tangan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu, keduanya telah mendapatkan kala dan
kelabag baru.
“Kalau dia menipu kita, aku
tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata Jalak Item yang menaruh dendam
kesumat pada si kakek. Dia membuka penutup keranjang rotannya yang berisi tujuh
ekor kala hitam beracun. Hal yang sama dilakukan oleh Jalak Biru yang keranjang
rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.
“Tak ada yang menipu kalian.
Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!”
jawab orang tua yang minta
dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu.
“Kalau kalian memang tidak
perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak dilakukan dari tadi?”
Ramada dan dua anak buahnya
terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang sejak tadi dipanggul diturunkan lalu
dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan kecil yang terletak di satu
kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia berkata “Kalau pembunuh istriku
sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua bangka keparat ini!”
Tiba-tiba orang tua yang duduk
bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan menatap Ramada lekat-lekat hingga
Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah orang tua itu mengetahui apa
yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci Setan itu ke tanah dan
dekatkan padaku!” si orang tua berkata.
Ramada berjongkok di hadapan
orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai
kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu mendekatkan Guci Setan ke hadapannya
tanpa melepaskan benda itu dari pegangan kedua tangannya.
Seperti dulu, sewaktu masih
memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo,
orang tua ini letakkan kedua tangannya di atas mulut guci yang mengeluarkan
kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati kamit. Perlahan-lahan matanya
dipejamkan. Beberapa saat kemudian kelihatan sekujur tubuh Sangkolo Bumi
bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan “Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi
petunjuk langit. Lenyap asap padamkan api. Munculkan air keramat. Ada orang
meminta tolong. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!”
Bersamaan dengan akhir ucapan
itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya
menyeramkan sekali. Hidung dan kedua matanya membesar, begitu juga
gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang.
Dari mulutnya keluar
pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.
“Aku penghuni dan penguasa
Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Matanya memandang tak berkedip
pada Ramada Suro Jelantik.
“Aku Ramada. Aku ingin
mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng saat ini berada…. Dimana aku bisa
membunuhnya!”
“Api di dalam guci, penghuni
dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci
Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam gaib….”
Perlahan-lahan api di dalam
guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam guci terdengar seperti ada air
mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini bergoyang keras hingga Ramada
harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi mendekatkan kepalanya ke mulut
guci.
“Penguasa guci telah elihat
air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang bernama Ramada ingin mengetahui
dimana pembunuh istrinya berada. Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212!”
Guci yang dipegang Ramada
kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi melafatkan sesuatu lalu terdengar
suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke Timur. Masuk ke Girimulyo pada
saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang kau cari tepat pada saat sang
surya berada di titik tertingginya.”
Mendengar kata-kata dari alam
gaib itu Ramada segera mengangkat Guci Setan dari hadapan Sangkolo Bumi. Dia
cepat mendukung jenazah istrinya kembali lalu memberi isyarat pada kadua anak
buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang itu tinggalkan si juru ramal
begitu saja.
“Manusia-manusia tidak tahu
peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian lihat sendiri apa yang bakal
terjadi.”
Hari pasar di Girimulyo jatuh
pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh para pedagang dan para
pembeli yang berdatangan dari berbagai penjuru. Di pagi
yang sama seorang anak lelaki
berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu gerbang gedung Kepatihan.
Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan kertas “Apa ini?” bertanya
pengawal.
“Ada seorang meminta saya
menyerahkannya kemari,” jawab si anak lalu cepat-cepat pergi dari situ.
Pengawal tadi membuka lipatan
kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro Sableng alias Pendekar 212
pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar Girimulyo siang ini. Saat yang
baik untuk menangkapnya.
Menjelang tengah hari pasar
sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual beli tapi banyak juga yang
asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara lain adu ayam,
permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah satu pusat
keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku sebagai ahli
meramal tegal di tangah-tengah lingkaran orang banyak. Lalu dia melangkah
mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap
kali sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru.
“Aku Sangkolo Bumi, juru ramal
yang mampu meramal di delapan penjuru angin. Siapa yang ingin diramal nasibnya
silahkan maju dan masuk ke dalam kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian.
Jangan malu-malu. Di tempat lain aku memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua
aku berikan cuma-cuma. Aku tidak memungut bayaran! Kepandaianku merupakan
sedekah bagi siapa yang suka kutolong!”
Sekalipun dipungut bayaran
akan banyak orang yang minta diramal nasibnya.
Apalagi tidak perlu merogoh
kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian langka. Jarang ada peramal
yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di tempat umum seperti yang
dilakukan orang tua berambut dan berjubah putih itu.
Orang banyak berdesak-desakan
minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani mereka satu persatu sampai
akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga orang penunggang kuda di kejauhan.
Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan memegang sebuah guci. Di
belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan biru. Ketiganya tentu saja
adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak Biru.
Juru ramal Sangkolo Bumi
menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.
Di antara orang banyak yang
membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda berambut gondrong. Dengan gerakan
cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil tersenyum dan berkata.
“Anak muda, wajahmu tampan,
tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku ramalkan?”
“Terima kasih juru ramal. Lain
kali saja,” jawab si pemuda.
“Ah jangan malu apalagi takut.
Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali dalam sepuluh tahun. Mari ulurkan
tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di masa depan. Aiapa tahu kau
bernasib baik…”
Walaupun tidak mau namun
karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan kanannya dan membawanya ke
tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa mengikuti saja. Padahal
tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru ramal itu ternyata
memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat gandakan tenaganya namun
dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan membiarkan saja dirinya ditarik
ke tengah kalangan.
Sampai di tengah lingkaran
orang banyak sang juru ramal menarik tangan kanan si pemuda lalu membalikkan
telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada telapak tangan
pemuda itu. Keningnya kemudian tampak mengernyit. Tiba-tiba kelihatan wajah
sang juru ramal Sangkolo Bumi berubah seperti orang terkejut besar. Kedua
matanya memandang mendelik pada si pemuda.
“anak muda, tidak kusangka kau
rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras hingga semua orang memandang ke arah
mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau darah! Kau seorang pembunuh! Astaga! Aku
kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Kau pembunuh dan
pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau juga yang membunuh Pangeran Banuarto!
Demi Tuhan! Orang banyak! Tangkap pemuda ini!”
Orang banyak yang ada di
tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar teriakan si juru ramal.
Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang bergerak atau melakukan
sesuatu.
Saat itu dari arah Timur tiga
orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro Jelantik, Jalak Item dan Jalak Biru
mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir bersamaan dari jurusan Selatan
muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang Perwira Tinggi yang ada parut
di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak angker.
“sialan! Apa-apaan ini?!”
teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh juru ramal Sangkolo Bumi.
“Pendekar 212! Kali ini kau
tak akan lolos dari kematian!” kata Sangkolo Bumi.
Si pemuda berusaha menarik tangannya
yang dicekal. Tapi pegangan si orang tua laksana jepitan besi.
“Kurang ajar! Orang ini pasti
bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku.” Begitu si pemuda berkata
dalam hati. Lalu dengan marah dia membentak.
“Juru ramal keparat! Siapa kau
sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri pemuda ini berkelebat mengirimkan
hantaman ke muka Sangkolo Bumi.
Sambil tertawa mengekeh juru
ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan kanannya menangkis.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Baik si pemuda maupun si orang
tua sama-sama terlempar satu tombak ke belakang dan terjengkang di tanah.
Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang banyak berlarian menjauh. Tapi
yang ingin melihat perkelahian dari dekat hanya beranjak beberapa langkah.
SEBELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng
sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik.
Sepasang matanya menatap tajam
pada orang tua yang terhantar di tanah di hadapannya. Dia tidak kenal siapa
adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasarasanya dia pernah melihatnya tapi
kapan dan entah dimana.
“Astaga! Sepasang mata orang
ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam hati begitu dia manyadari adanya
kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu lengan kirinya berdenyut
sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah membuat lengannya tampak
bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun tampak menggembung
kemerahan. “Aku mencium bahaya besar!” kata Wiro dalam hati. Dia cepat melompat
tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu juga membuat gerakan
kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya. Keduanya saling
berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah bercampur heran maka
sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram. Keduanya matanya
menyorotkan sinar pembunuhan!
“Juru ramal! Katakan siapa kau
sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri seorang bernama Ramada! Malah aku
memang sedang mencarinya karena dia telah mencelakai guruku! Juga bukan aku
yang membunuh Pengeran Banuarto!”
Juru ramal berjubah putih
dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.
“Caranya mendongakkan kepala!
Aku yakin pernah melihat orang ini sebelumnya! Lalu suara tawanya! Rasa-rasanya
pernah kudengar. Dan sepasang mata itu! Dia menagku bernama Sangkolo Bumi.
Mungkin nama palsu!” Selagi Wiro berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang
juru ramal berkata “Katamu kau tidak pernah membunuh istri orang bernama
Ramada! Malah kau mengatakan orang itu mencelakai gurumu! Bagus! Coba kau
katakan hal itu langusng pada orangnya sendiri! Dia sengaja datang ke tempat
ini untuk menabas batang lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis
berkata begitu si juru ramal mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu
terdengar ringkikan kuda keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga
penunggang kuda berhenti di tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru.
“Ada orang membawa mayat!”
beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh.
Yang lain-lain mengikuti
dengan air muka membayangkan rasa ngeri.
Murid Eyang Sinto Gendeng
kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal tiga penunggang kuda yang
aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa mayat perempuan yang sudah kaku tapi
tidak busuk dan ada sebuah guci mengepulkan asap serta menjulurkan lidah api di
tangan kanannya. Apakah dia yang bernama Ramada Suro Jelantik? Tokoh silat dari
Timur? Dua kawannya memikul keranjang rotan, bertampang hitam legam dan biru
gelap….” Selagi Wiro berkata dalam hati begitu rupa kembali terdengar suara si
juru ramal. “Pendekar 212! Katamu bukan kau yang membunuh Pangeran Banuarto!
Coba kau jelaskan sendiri pada rombongan pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo
Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro mengikuti arah yang ditunjuk si juru ramal.
Dari arah Timur tampak serombongan penunggang kuda berseragam pasukan Kerajaan
berjumlah sekitar dua puluh orang.
Di depan sekali memimpin
seorang Perwira Tinggi bermuka garang.
Ramada yang memanggul mayat
istrinya di bahu kiri dan memegang Guci Setan di tangan kanan, dengan gerakan
enteng dan cepat melompat turun dari kudanya. Malihat cara orang bergerak
Pendekar 212 segera maklum kalau manusia bertampang seram ini memiliki
kepandaian tinggi. “Gerakannya sangat cepat dan enteng. Kaki kiri buntung,
dipasangi roda besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi senjatanya,”
pikir Wiro.
Begitu berdiri di tanah Ramada
segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya mengelilingi Pendekar 212. Lalu
dia berhenti empat langkah di hadapan sang pendekar.
Saat itu terdengar juru ramal
Sangkolo Bumi berkata “Ramada! Tak perlu ragu! Pemuda itu adalah Pendekar 212
Wiro Sableng yang kau cari salama ini! Dia yang memperkosa istrimu lalu
membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!”
“Setan alas juru ramal
keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan kalau tak mau kusobek mulutmu!”
teriak Wiro marah sekali.
Di hadapannya Ramada mendengus
keras.
“Jadi ini jahanamnya yang
bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar 212!” Ramada meludah ke
tanah. “Hari ini kau akan menerima pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah
bersumpah untuk meneguk darahmu!”
Habis berkata begitu Ramada
turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu mayat yang kaku menyeramkan ini
disandarkannya pada sebuah gerobak hingga merupakan satu pemandangan yang
mengerikan di mata semua orang yang ada di tempat itu.
Perlahan-lahan Ramada putar
tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.
Lalu dia memberi isyarat pada
Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini segera melompat turun dari kuda
masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang ujungnya tergantung keranjang
rotan berisi tujuh ekor kalajengkinghitam dan tujuh ekor kelabang biru. Kedua
orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada agak ke belakang.
Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan masing-masing siap membuka penutup
keranjang rotan!
Ketika Ramada hendak bergerak
meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro, murid Sinto Gendeng ini cepat
berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu tidak waras! Aku
bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah kenal dengan tukang
akrobat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan anak buahmu telah
mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu itu bisa bebas
dari hukumanku!”
Ramada Suro Jelantik
menyeringai dan mendengus berulang kali.
“Ramada! Jangan percaya
omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia bisa berdusta begitu karena
istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi kesaksian!”
Murid Sinto Gendeng memandang
ke arah orang tua berjubah putih itu. “Aneh, kenalpun tidak. Mengapa orang tua
keparat itu sangat membenci diriku?”
“Kau boleh bersumpah mati di
depan pintu neraka!” membentak Ramada.
Rahangnya menggembung. Marah
sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh Pendekar 212 tadi. Lalu dari
balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok besar berbentuk empat persegi
dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok ini berwarna putih berkilat tetapi
anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada ujung gagangnya ada seuntai
rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau tajam luar biasa.
Pendekar 212 belum pernah
melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu.
Ketika Ramad memutar senjata
ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan sinar hitam. Lalu pisau
di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara bersuit.
Murid Eyang Sinto Gendeng
mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur maju tiga langkah. Golok besar
membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang golok menusuk ke arah dada!
Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan sangat berbahaya itu
sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah” yang
kehebatannya tidak beda dengan sebuah batu besar yang menggelundung dahsyat ke
arah Ramada.
Dia jelas melihat bagaimana
tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman pukulan saktinya. Tapi bukan
alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini ketika tiba-tiba saja kaki
kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi yang berputar hebat
menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan melompat ke samping kiri.
Tapi tidak terduga tiba-tiba golok empat persegi bermata dua di tangan kanan Ramada
memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya terbabat putus! Murid
Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya.
Ramada keluarkan suara
menggereng dari tenggorokannya. “Sebentar lagi lehermu akan ku babat putus!”
kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya.
Lalu memberi isyarat dengan
anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu arti isyarat ini segera
membuka tutup keranjang rotan masing-masing. Didahului teriakan Ramada Suro
Jelantik melompat ke arah Wiro.
Goloknya kembali berkelebat.
Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa melancarkan serangan roda bergigi
yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya.
DI sat yang bersamaan dua anak
buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang rotan.
Dalam keadaan seperti itu
murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa guci di tangan kiri Ramada
pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau tidak benda itu tak
akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan. Maka Pendekar 212 mulai
mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya.namun matanya yang tajam juga
sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada dua anak buahnya. Dia
juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru itu menggerakkan
tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya tanpa menunggu lebih
lama Wiro siapkan dua puklan sakti. Yang pertama pukulan “sinar matahari” di
tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Suro Jelantik.
Sedang tangan kiri aji pukulan
“benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada Jalak Biru. Karena Jalak Biru
terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak mungkin menghantam
sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang bermuka hitam ini. Untuk
menghindarkan serangan Jalak Item maka Wiro terpaksa harus merubah
kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di depan
Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan kanan Wiro yang
sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke depan.
Wuuuuussss!
Sinar putih menyilaukan dan
sangat panas berkiblat. “Ramada, awas! Itu pukulan “sinar matahari!” Yang
berteriak memberi ingat adalah si juru ramal Sangkolo Bumi. Selagi Wiro merasa
heran mengapa orang tua itu bisa tahu nama pukulan saktinya yang dilepaskannya,
orang yang diserang malah berteriak lantang.
“Siapa takut?!” teriak Ramada.
Roda besi di ujung kaki kirinya menderu semakin deras. Golok empat persegi di
tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga sinar hitamnya tampak
berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap melepas pukulan “benteng topan melanda
samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa hal itu tidak bisa
diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan Ramada Suro
Jelantik.
Serangan Ramada memang bukan
alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih pukulan sakti yang dilepaskan
Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki kanannya. Bersamaan dengan itu
kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi bergerigi yang ada di ujung kaki
kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar roda besi beradu dengan
sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar suara keras berkereketan
enam kali berturut-turut. Ramada Suro Jelantik berteriak keras. Di ujung
kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya hingga mencuat
ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang berada jauh di
ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak berdosa berkaparan di tanah.
Tubuh mereka hangus hitam
mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar matahari” yang berhasil
dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada!
Tubuh Ramada sendiri tampak
melesat sampai dua tombak ke udara lalu dengan dua kali jungkir balik dia
mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam dan tertutup kumis serta
cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah.
Dua matanya mendelik besar
ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi gigi roda besinya somplak!
Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar Matahari” yang
mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera lawan bahkan tidak bisa
membuat leleh roda besi itu!
Apa yang terjadi membuat
Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya untuk melepaskan pukulan
“benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak Biru. DI saat itu Jalak Biru
telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor kelabang beracun berwarna
biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro.
Celakanya pula di saat yang
sama dengan penuh amarah Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda
bergeriginya sedang golok di tangan kanannya diputar dengan sebat, membuntal
dalam serangan ganas mengarah bagian dada ke atas!
Murid Eyang Sinto Gendeng
berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke balik pinggang, maksudnya hendak
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi mendadak mukanya jadi pucat. Astaga!
Dia baru sadar. Senjata mustika itu telah dibawa oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede
untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng yang keracunan akibat serangan
binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro Jelantik!
“Celaka!” keluh Wiro. Pendekar
ini cepat melompat mundur. Tapi lima kelabang berwarna biru beracun dan
sambaran roda besi bergerigi seta golok di tangan kanan Ramada datang lebih
cepat.
Di saat yang sangat genting
itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di udara. Bersamaan dengan itu
ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya dan tahu-tahu kaki kiri
Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia tinggi besar ini jatuh ke
tanah!
Ramada Suro Jelantik
menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian sang juru ramal tua
Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi.
Dalam hati orang tua ini
berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi kisruh tak karuan.
Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!”
DUA BELAS
Di udara lima buah anak panah
melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan berseru tegang ketika melihat
bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap untuk menancapi tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai dihantam lima buah panah itu!
Wiro Sableng berpaling ke
belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat dilihatnya Dewi Santiastri,
puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima buah anak panah lagi siap
dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk di tanah dengan mulut
ternganga dan muka pucat tanpa darah.
“Terima kasih Dewi……” kata
Wiro.
Si gadis lemparkan senyum
kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah Jalak Item ketika dilihatnya
anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan binatang-binatang beracun
peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh ekor kelajengking hitam.
Dewi lepaskan sartu dari lima
buah anak panah yang direntang. Jalak Item terpekik. Telapak tangan kanannya
tembus ditancapi panah. Darah mengucur.
Penutup keranjang
dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak panah kedua, Jalak
Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah mengucur deras ke
pangkuannya.
Ramada Suro Jelantik begitu
berdiri baru menyadari kalau golok besar empat persegi bermata dua yang tadi
dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam gengamannya. Memandang ke
depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana senjata yang sangat
diandalkannya itu kini berada dalam tangan seorang gadis berpakaian ringkas
serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa mengerti bagaimana
gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja dia bisa mendorong
tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup merampas goloknya tanpa
dia sempat merasakannya.
Meski gadis itu tidak
mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali Wiro melihatnya, namun murid
Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya dengan cepat.
“Bidadari Angin Timur….” desis
Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah menyelamatkan nyawaku hari ini!”
katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Sang dara memang adalah gadis
cantik berambut pirang dan dulu berpakaian serba biru yang pada pertemuan
pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama Bidadari Angin Timur oleh sang
pendekar.
“Perempuan-perempuan dajal!
Siapa kalian yang berani mencampuri urusanku?!” teriak Ramada Suro Jelantik.
Dara berpakaian serba merah
tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak berkesip ke arah
tokoh silat dari Timur itu. Merasa seperti dipandang rendah Ramada berkata
“Gadis baju merah berambut pirang! Kau jangan kemana-mana! Tetap di tempatmu
sampai aku menyelesaikan urusan dengan pemerkosa dan pembunuh istriku itu!”
Dengan tangan kanannya Ramada menuding ke arah Wiro.
“Setan! Apa kau punya bukti
menuduhku sembarangan!”
“Aku tidak perlu bukti! Guci
Setan ini yang memberi tahu!”
“Dan Guci Setan tak pernah
berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.
“Bangsat setan alas!” maki
Wiro dalam hati sambil memandang berang pada orang tua itu yang sebaliknya
melempar seringai buruk padanya.
Tiba-tiba terdengar suara
menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah melompat dan menyerbu ke
arah Wiro.
Di saat yang sama terdengar
deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian ada orang membentak.
“Atas nama Kerajaan hentikan
perkelahian!”
Semua orang berpaling. Seorang
bermuka garang dengan seragam dan tanda pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul
diiringi sekitar dua puluh orang perajurit.
“Bagus! Orang-orang yang
dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si Perwir Tinggi sambil memandang
ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan Pendekar 212.
“Kau!” bentak sang perwira
sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat pada Ramada. “Kau
pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik.
Kerajaan telah mencarimu selama
dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada dalam dekapan tangan kirimu itu!
Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu serahkan dirimu untuk menerima
hukuman!”
Ramada menyeringai. “Perwira,”
katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah.
“Aku muak mendengar segala
ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini!
Jangan lupa membawa anak –anak
buahmu!”
Perwira Tinggi Kerajaan itu
tertawa bergelak.
“Bagus! Aku suka pada orang
yang punya nyalin besar sepertimu! Kita akan lihat nanti apakah kau masih punya
nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di ruang penyiksaan!”
Sang Perwira berpaling pada
Wiro. “Kau!” bentaknya. “Kau pasti pemuda gondrong bernama Wiro Sableng,
berjuluk {endekar 212 yang telah membunuh Pangeran Banuarto!”
“Aku tidak pernah membunuh
Pangeran itu!” jawab Wiro.
Perwira Tinggi tadi mendengus.
“para penjahat memang pintar berdalih! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara
banak setelah lidahmu kusuruh potong!”
Tia-tiba ada satu suara
berkata. “Perwira, saya bersaksi pemuda itu bukan orang yang membunuh paman
saya Pangeran Banuarto….”
Perwira Tinggi dan semua orang
yang ada di tempat itu sama memalingkan kepala.
“Ah, den Ayu Dewi Santiastri,
putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan mendiang Pangeran Banuarto rupanya!
Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di sini. Apa kepentinganmu membela
pemuda asing yang telah membunuh pamanmu itu?”
‘Sudah saya katakan! Bukan dia
pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi seorang yang mengaku kuncen makam
ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut!”
Sementara juru ramal Sangkolo
Bumi yang sudah memperkirakan keadaan akan sangat buruk bagi Ramada segera
berkata “Ramada, keadaan tidak menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu
padaku. Biar aku selamatkan dulu.
Kau bisa mengambilnya di
tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin menolongmu. Lekas…..!”
Ramada sesaat terdiam dan
berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu mungkin sangat benar. Saat
itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi juga Perwirra Tinggi
Kerajaan dan duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian merah itu jelas
bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan Pangeran Banuarto yang
pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul dengan memperlihatkan ilmu
panahnya yang meakjubkan, menghancurkan bintang beracun milik Jalak Biru serta
meluai Jalak Item.
Tanpa pikir panjang Ramada
Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke arah si juru ramal.
“Tangkap! Lekas pergi dari
sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak tadi dikepitnya di lengan kiri
dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak antara Ramada dan si orang
tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan itu melayang di udara
dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba empat anak panah melesat ke
udara. Dua berjajar di sisi kiri, dua lagi di sebelah kanan. Lalu terjadilah
satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong jalannya Guci yang
melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan kemudian dibawa melesat
ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat anak panah kemudian
menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu terjepit tak
bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang si juru
ramal tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat yang
bersamaan, satu sosok berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini
bukannya menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal
lalu menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.
“Keparat!” maki Sangkolo Bumi
marah sekali ketika mengetathui yang merangkul tubuhnya ternyata adalah Jalak
Item, anak buah Ramada Suro Jelantik. Dia mencoba melepaskan diri sambil
menghantamkan siku kanannya ke belakang.
Bukkkk!
Traaaakkkk!
Jalak Item menjerit keras. Dua
tulang iga di sisi kanannya melesak patah.
Sementara Ramada Suro Jelantik
dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat guci yang tadi dilemparkan kini
terselip di antara empat buah anak panah yang menancap di batang pohon segera
memburu untuk mengambilnya, kawatir benda itu jatuh ke tanah dan pecah
berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh benda itu tiba-tiba satu
bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa cepatnya.
Ramada dan si perwira tinggi
jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadri mereka telah keduluan oleh gadis
berambut pirang yang tidak dikenal itu.
Sang perwira hendak menyerang
si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di sebelah sana Jalak Item yang berada
dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang iganya berteriak sambil masih
memegangi pinggang sang juru ramal.
“Perwira! Yang membunuh
Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!”
Sangkolo Bumi berteriak marah.
Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak Item terhempas ke tanah.
“Keparat! Kau mencari kematia
berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi.
“Ki Ageng Lentut! Sangkolo
Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam Pangeran Banowo atau juru
ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang membunuh Pangeran Banuarto!” Rupanya
dendam kesumat Jalak Item akibat perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar
menjadid juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi itu tidak bisa dipendam lagi.
Meledak saat itu juga.
“Keparat! Tutup mulutmu!”
teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.
Praaaaakk!
Jalak Item tergelimpang roboh
di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro
Jelantik sesaat terkesiap
melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia menghajar juru ramal
tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan lebih penting. Dia berkelebat ke arah
gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh Pendekar 212.
Sementara itu Perwira Tinggi
Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua puluh anak buah agar mereka
segera mengurung dan menangkap juru ramal berjubah putih itu yang oleh Jalak
Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran banuarto. Namun begitu mereka
bergerak, Sangkolo Bumi menyongsong dengan serangan-serangan ganas.
“Bidadari Angin Timur…….” Kata
Wiro sambil mendekati gadis berbaju merah itu. “Kau mau menolongku? Biar kunyuk
berewokan ini aku yang menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu.
Rambut putih dan jubah panjangnya aku yakin hanya samaran belaka. Lakukan
sesuatu hingga kau bisa membuka kedok siapa dia sebenarnya.
“Kau takut menghadapi orang
tua jelek itu?” tanya gadis berambut pirang yang membuat wajah Pendekar 212 jadi
bersemu merah.
“Aku tidak pernah takut pada
siapapu,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu aku tidak punya perselisihan
langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan untuk menghajarnya. Kau
sendiri tahu dia dan anak buahnya telh melukai guruku!”
Gadis yang oleh Wiro diberi
julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum kecil. “Tampangmu tolol, tapi otakmu
cerdik juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi Ramada!” Lalu si gadis
menyerahkan golok besar empat persegi panjang itu ke tanan Pendekar 212. Baru
saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap dari hadapannya. Sebelum
masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur melayang ke atas pohon. Guci
Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara ranting-ranting pohon
berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati Perwira Tinggi
Kerajaan dan berkata “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!”
Meskipun merasa tersinggung
diperintah begitu rupa namun si perwira sadar bahwa menyelamatkan guci di atas
pohon adalah jauh lebih penting dari pada melakukan hal-hal lain. Terlebih
ketika gadis di hadapannya berkata “Serahkan pembunuh Pangeran Banuarto itu
padaku. Kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya!”
Tanpa banyak bicara lagi
Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas pohon. Dari atas pohon dia
dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau tangannya sudah gatal
untuk turun tangan sendiri.
Ternyata juru ramal itu
memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia menghajar
perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya higga mereka menemui ajal
sekelompok demi sekelompok.
Melihat anak buahnya menemui
kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira Tinggi di atas pohon jadi mendidih
amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga keselamatan Guci Setan milik Kerajaan,
perwira itu melompat turun. Selagi tubuhnya melayang dia lepaskan beberapa
senjata rahasia berbebuk paku ke arah Sangkolo Bumi.
Sang juru ramal ganda tertawa.
Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan paku yang menyerangnya mental
cerai berai.
“Manusia keparat! Jadi kau yang
membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang perwra marah. Masih di udara kaki
kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua itu.
Praaaakkkkk!
Kepala itu pecah tapi bukan
kepala si juru ramal yang rengkah. Malainkan kepala salah seorang anak buahnya
sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan Perwira Tinggi itu
akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke samping lalu menarik tubuh
seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke
atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang, kepala perajurit
itulah yang kena hantam tendangan sang perwira!
“Keparat!” maki Perwira Tinggi
sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini melemparkan tubuh perajurit yang
kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang perwira jatuh terduduk di tanah.
Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua untuk keluar dari keroyokan
sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas pohon.
“Sangkolo Bumi, juru ramal
keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak menipuku! Aku tahu sejak lama
sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak Ramada Suro Jelantik ketika
melihat si juru ramal berada di atas pohon sambil memegang Guci Setan.
Di atas pohon Sangkolo Bumi
tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja tolol!” katanya.
“Lekas turun dan serahkan guci
itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau tidak menyerahkannya
padaku!” teriak Ramada.
“Dulu kau pernah bersumpah
hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan pembunuh istrimu itu sudah ada di
hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak mencari urusan denganku? Apa kau
takut menghadapi Pendekar 212?
Ha….ha…ha….!”
“Setan alas!” teriak Ramada.
Dia melomapt sambil menyorongkan roda besinya. Roda ini menderu keras menggerus
bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya putus. Pohon itu tumbang dengan
suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki Ageng Lentut itu sudah lebih
dahulu melayang turun.
Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.
Lima anak panah melayang pesat
ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika mengetahui lima anak panah itu
menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan tangan kirinya ke bawah. Lima
anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke tanah. Lalu tubuhnya tampak
melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung alap-alap orang tua ini
menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya berkelebat.
Praaaakkkk!
Dewi Santiastri menjerit
keras.
Kepala kuda tunggangannya
pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek langit. Si gadis sendiri cepat
melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa dia masih sempat mencabut
tiga buah anak panah lalu merentangnya di tali busur untuk kemudain melepasnya
ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah sempat menyerempet jubah putih
orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris kulit bahunya namun ini sudah
cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat marah.
Tangan kanannya diangkat untuk
melepaskan satu oukulan tangan kosong. Namun dari samping Ramada Suro Jelantik
datang menyerangnya. Satu jotosan yang dilepaskan orang ini menghantam dagu si
orang tua dengan keras dan telak hingga juru ramal ini terpuntir keras. Selagi
tubuhnya sempoyongan begitu rupa Ramada tendangkan kaki kirinya ke arah bawah
perut. Roda besi bergerigi itu menggerus ke arah selangkangan si orang tua.
“Ki Ageng Lentut! Sangkolo
Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro Jelantik.Tapi dugaannya bahwa
dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua itu tidak menjadi kenyataan.
Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru ramal tua itu berhasil
menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat dan
dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai dua jengkal.
Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik kakinya
keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.
Bukkkk!
Ramada merasakan dadanya
seperti mau meledak.
Selagi tubuhnya terlempar ke
belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya, Sangkolo Bumi kirimkan
tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan laksana ledakan keras keluar dari
mulut Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah tak berkutik
lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya tidak pernah
kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak penah mengtahui siapa pemerkosa dan
pembunuh Dardini sebenarnya.
Sangkolo Bumi tegak
menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu pada Dewi
Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat oelh jalak Biru.
Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya keranjang
rotanyang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang biru yang
masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ekor ditangkisnya
dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya dihantamnya
dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia
menangkap kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah
Ramada yang tidak menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa miliknya
sendiri itu dalam kejutnya telambat menghindarkan diri cari selamat.
Kelabang Biru itu menancap
tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak Biru terdengar mengerikan.
Sambil menekap mukanya dia menghambur meninggalkan tempat itu.
Ki Ageng Lentut alias Sangkolo
Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh.
Sebelum berkelebat pergi dia
memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu berkata “Pendekar 212, kau
masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat langit di atas langit! Tidak
mengerti tingginya puncak gunung dan dalmnya dasar laut!”
“Apa maksudmu? Siapa kau
sebenarnya?!” bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si orang tua dia memberi isyarat
pada gadis berbaju merah.
“Kau akan menemukan jawaban
pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!”
kata si orang tua pula. Dia
menggeser kakinya.
Dari samping kiri tiba-tiba
Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur dengan lima anak panah
terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut itu, berarti
kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap di tempatmu! Sedikit saja
kau berani bererak lima anak panah ini akan amblas ke dalam tubuhmu!”
“Kau dengar ucapan gadis itu!
Apakah kau tidak mau menyerahkan diri?!
Serahkan Guci Setan itu
padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di samping Dewi
Santiastri.
Si orang tua ganda tertawa.
“Puteri Pangeran Banowa, jika
aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari kesenangan, apakah kau masih hendak
memanahku?!”
“Tua bangka bermulut kotor!”
hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya lebih dalam.
“Perwira, kau inginkan guci
ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil sendiri?!”
“Keparat! Saatnya aku
mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi Kerajaan.
Si orang tua kembali tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan merah berkelebat. Dengan tangan
kirinya dia menghantam ke samping. Tapi terlambat. Tubuhnya seperti digulung
ombak. Lalu terdengar suara breeeetttt…..breeeettttt beberapa kali
berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek tapi tanggal lepas dari
tubuhnya. Bagitu juga rambutna yang putih panjang tampak tercampak ke tanah.
Selembar topeng tipis yang selama ini menutupi wajah dan sebagian kepalanya
jatuh di depan kakinya.
Kini kelihatanlah wajahnya
yang asli. Wajah seoran gpemuda berambut tebal hitam dengan kening menonjol.
Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan
wajahnya membayangkan rasa
angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah anggal itu kini terlihat pakaian
hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak gunung berwarna biru,
berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinar-sinar mentari berupa
garis-garis merah.
Apa yang telah dilakukan
Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sangguh tidak didugaoleh orang itu.
Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa seperti diusap bebrapa
kali. Ketika Sangkolo Bumi hendak menyergap gadis itu, Pendekar 212 cepat
memotong gerakannya.
Pendekar 212 menggeram “Aku
sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam hati. Lalu murid Sinto Gendeng
ini berteriak keras.
“Pangean Matahari! Kelicikanmu
dengan memperalat Ramada tidak kesampaian! Aku yakin kau iblisnya yang
memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat! Apa lagi sekarang yang ada
dalam otak busukmu?!”
Pangeran Matahari menyeringai.
“Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak. Tuduhanmu benar! Sayang maksudku
tidak kesampaian. Nyawamu masih betah berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia
ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali ini kau lolos lagi dari lobang jarum
kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran Matahari tidak akan berhenti sampai akhirnya
kau berlutut di hadapanku dan menggali liang kuburmu sendiri!”
Habis berkata begitu manusia
yang sebe,umnya menyamar menjadi kuncen makam Pangeran Banowo dengan nama Ki
Ageng Lentut dan juga pura-pura manjadi juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi
ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.
Pendekar 212, Perwira Tinggi
Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.
Lima anak panah melesat
mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sobuk menyelamakan diri Perwira
Tinggi Kerajaan coba marampas Guci Setan dari tangannya namun lagi-lagi dia
gagal karena tendangan Pangeran Matahari menghantam perutnya lebih dulu hingga
dia terpental dan pingsan.
Jotosan Pendekar 212 berhasil
menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari.
Walaupun tidak telak tapi
cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam.
Namun kali ini Pangeran
Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas menghantam. Pukul memukul
jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran Matahari karena saat itu dia
memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari oleh Pangeran Matahari
maka dengan segala kelicikannya dia berkata “Pendekar 212! Lain kali kita
bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!”
lalu Pangean Matahari membuat
geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu.
namun apa yang dilakukannya
adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.
“Awas! Asap menutup
pandangan!” teriak Wiro.
Ketika terdengar letusan dan
asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur telah
lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan, satunya lagi ke arah
kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan diri ke arah
selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang punya kecepatan
laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan satu
geakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahari.
“Betina keparat! Aku lebih
suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak Pangeran Matahari marah. Dia
angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu mendadak sontak manjadi
redup. Dari telapak tangan kanan orang yang dijuluki pengean segala cerdik,
segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini melesat keluar
sinar kuning, hitam dan merah.
“Pukulan Gerhana Matahari!”
teriak Wiro. “Bidadari Angin Timur lekas menyingkir!” Murid Eyang Sinto Gendeng
dengan cepat hantamkan tangan kanannya, melepaskan pukulan “sinar matahari”
Terdengar saru dentuman keras. Si gadis berbaju merah cepat menyingkir ketika
sinar putih berkilau dan sinar hitam, merah dan kuning mencuat ke udara laksana
hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang keras. Guci Setan terlepas dari
pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu letusan lagi membuat
tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat di sampingnya!
Ketika sinar putih, hitam,
merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang bermentalan ke udara luruh
kembali ke tanah Pangean Matahri telah lenyap dan Pendekar 212 dapatkan dirinya
jatuh terelungkup di tanah, hampir berdempetan dengan gadis berpakain merah
itu. Wajah mereka bertempelan dan hidung mereka saling beradu satu sama lain.
“Kau tak apa-apa……?” tanya
Pendekar 212.
Si gadis hanya menjawab dengan
kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak berdiri. Tapi Wiro lekas menahan
punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa mati berdempetan seperti ini
alangkah bahagianya.”
“Mudah-mudahan malaikat maut
mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis seraya menarik tangan Wiro dan
berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun ketika melihat beberapa
langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya tinggal merupakan kepingan-kepingan
belaka.
Dua orang terdengar
mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya
puteri mendiang Pangeran Banowo itu.
“Berkat bantuan sahabatku
berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.
Hanya sayang manusia jahat
berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro.
Deai Santiastri memandang pada
Guci Sean yang pecah berserakan di tanah.
“Sayang guci pusaka itu kini
hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”
“Mungkin itu lebih baik!
Hancurnya Guci Setan berarti lenyapna segala masalah yang sering mendatangkan
malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,”
menyahuti Perwira Tinggi
Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.
Aku harus segera melapor pada
Patih.”
Dewi Santiastri mengangguk.
Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau ikut bersama kami?’
“Aku ingin sekali. Tapi ada
hal penting yang harus kulakukan. Aku harus segera pergi ke puncak Gunung ede
untuk menjenguk guruku yang sedang sakit keras….. Aku berjanji akan menemuimu
sepulang dari sana….”
Dewi Santiastri mengangguk.
“Kau kecewa karena dulu aku pernah mencideriamu?’
“Aku sudah melupakan hal itu,”
jawab Wiro.
Dewi Santiastri memandang pada
gadis berpakaian merah di samping Wiro.
Diam-diam dia mengagumi
kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat mendengar Wiro
menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar bidadari. Aku
hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi isyarat pada
Perwira Tinggi di sebelahnya.
Setelah kedua orang itu pergi
Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya.
“Aku ingat pertama kali aku
melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau mengenakan pakaian biru
yang sangat tipis….”
“Saatku untuk pergi….” Kata
gadis berpakaian merah seolah tidak acuh dengan ucapan si pemuda.
“tunggu dulu, ada satu hal yan
hendak kutanyakan….” Kata Wiro. Namun sekali berkelebat gadis itu telah lenyap
dari hadapannya.
Pendekar 212 hanya bisa
tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.
Tidak salah kalau kuberi nama
Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja, padahal banyak yang ingin
aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu apa namanya?!”
Dengan langkah berat Pendekar
212 tinggalkan tempat itu. Namun satu bayangan biru yang berkelebat beberapa
langkah di hadapannya membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi terkesiap
kaget dan cepat-cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar untuk menjaga
segala kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak terdengar suara apa, juga
tidak kelihatan satu gerakanpun.
Ketika Wiro berpaling ke
balakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di balik pohon itu tahu-tahu
telah tegak gadis cantik jelita yang disebutnya dengan panggilan Bidadari angin
Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi mengenakan pakaian merah,
melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis seperti yang dikenakan pada
pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan lidah. Kedua matanya
membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula.
“Apanya yang bukan main?”
tanya si gadis.
“Aku tak habis pikir,
bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?”
Si gadis tersenyum. “Aku juga
tak habis pikir,” katanya.
“Tentang apa?”
“Tentang dirimu! Bagaimana kau
bisa membuka pakaian secepat ini?”
Wiro memperhatikan pakaian
yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti disapu angin. Tubuhnya berputar
tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa, murid Sinto Gendeng ini
berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju dan celana panjang
putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana bagian dalam!
Pakaiannya kelihatan
bertebaran di depan kakinya.
“Gila! Bagaimana bisa jadi
begini? Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini?
Untung aku tidak
ditelanjanginya sampai bugil!” teriak Wiro. Dia memandang berkeliling. Di
depannya terdengar suara tawa cekikikan. Memandang ke depan dilihatnya gadis
berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil melambaikan
tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.
“Gadis nakal! Kau berani
mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa menjahilimu!” teriak Wiro. Lalu
enak saja dia membuat gerakan seperti hendak menanggalkan celana dalamnya.
Di depan sana Bidadari Angin
Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar tubuh melarikan diri. Wiro cepat
tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu mengambil baju dan celana panjangnya
yang ercampakan di tanah, sekali lompat saja dia segera mengejar gadis itu.
Beberapa hari kemudian ketika
Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul di puncak Gunung Gede, sepasang
kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil tertawa-tawa dan masing-masing
memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.
Kakek nenek ini bukan lain
adalah Dewa Tuak dan Sinto Gendeng yang berhasil diselamatkan dari racun binatang
berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212.
TAMAT