Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
086 Delapan Sabda Dewa
SATU
WALAU matahari tertutup awan
kelabu tebal namun udara dipermukaan laut terasa panas bukan main. Wiro
pandangi baju dancelana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia
berpikir-pikir apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung
yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian putih dekil itu.
Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu. Mungkin itu sebabnya dia
merasa sangat panas. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang
ditumpangi Dewa Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di
permukaan laut.
Sesaat wajah cantik jelita
serta sepasang mata biru mempesona Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata
Pendekar 212. “Gadis aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik
kalau merasa tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat
permintaannya…”
Wiro geleng-geleng kepala
sambil usap tengkuknya, “Menurut penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya
ada sebuah pulau aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu.
Dia tak mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa.
Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di tenggara.
Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir. “Mungkin terletak jauh
di balik gugusan pulau itu.” Setelah memandang ke langit, Wiro akhirnya
memutuskan untuk menuju ke pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.
Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang tadinya sangat panas
perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja dia teringat pada manusia
bercaping yang tubuhnya penuh koreng itu.
“Aku tak dapat memastikan
siapa adanya itu manusia sialan yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa
dia berusaha membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira
sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku mau memberi
ampun…”
Selagi pendekar 212
berpikir-pikir seperti itu, mendadak sepasang telinganya mendengar suara
sesuatu diantara desau angin laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu
yang tengah dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia
tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan air laut ada
sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro palingkan kepala ke kiri. Hal yang
sama dirasakannya. Ada benda bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah
kiri. Hatinya berdetak tidak enak.
“Ikan buas tidak akan secerdik
itu menghadang perahu dari dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm…
saatnya aku mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!” Cepat
Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya pada kedua matanya. Dia
memandang lekat-lekat ke arah permukaan air laut di sebelah kiri perahu dan
kedipkan sepasang matanya dua kali.
“Huh!” Murid Sinto Gendeng
jadi melengak sendiri. Dengan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu
Duyung saat itu samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat
hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk tombak pendek
bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya ke kanan hal yang sama
terlihat. Seorang berkulit sangat hitam menyelam dalam laut, meluncur cepat ke
arah perahunya, membawa senjata tombak bermata dua!
Dua makhluk dalam air mencapai
tepi perahu dalam waktu yang bersamaan.
“Byarr! Byarr!”
Dua makhluk yang menyelam
mencuat ke permukaan air. Saat itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit
sangat hitam, berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir
mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.
Wiro perhatikan bagian tubuh
dua makhluk yang menyembul dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan
dan bagian tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip. Selain
itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu kehebatan
mereka adalah kemampuan untuk berenang jarak jauh dan menyelam di bawah
permukaan air laut.
“Siapa kalian?” bentak
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dua makhluk hitam menyeringai.
Ternyata bukan Cuma mata dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah
dan gigi mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka berbentuk
kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta barisan gigi-gigi itu
bergelimang cairan merah seperti darah! Dari mulut kedua mahkluk hitam ini
kelular suara jeritan keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak
hitam bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan kepala
bagian kanan Wiro.
“Kurang ajar!” maki Wiro.
Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro
hantamkan pendayung di tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.
“Bukkk!” “Traakk!”
Kayu pendayung menghantam dada
makhluk hitam sebelah kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya
makhluk yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan kayu
pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika dia baru saja
sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam air laut bergerak
mendekatinya dan langsung menyerbu lagi.
Kali ini mereka pergunakan
tombak masing-masing untuk menusuk bagian bawah perut Pendekar 212!
Sambil melompat cepat ke udara
Wiro keluarkan jurus “kincir padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke
arah kepala makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di
sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.
“Praakk!”
Tendangan kaki kanan Wiro
menghantam kepala makhluk sebelah kiri.
“Pecah kepalamu!” ujar Wiro
begitu dilihatnya lawan mencelat mental lalu amblas ke dalam laut.
Makhluk di sebelah kanan
keluarkan pekik keras melihat kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke
atas dan coba menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi
gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro menghantam dadanya
lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang satu ini terpental dan masuk ke
dalam laut diiringi jerit menggidikkan.
Wiro menarik nafas lega. Dalam
hati dia mengomel. “Belum lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang
yang ingin membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit kulit
berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat Wiro mengakhiri kata
hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar teriakan keras.
“Huaahhh!” “Huaahhh!”
Dua makhluk berkulit hitam
yang tadi disangkanya sudah menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat
muncul dari dalam laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga
di lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.
Meskipun terkejut besar
melihat kejadian itu karena menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya
namun Wiro tak punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak
untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh ini telah
menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke punggung dan bagian
belakang kepala!
“Mereka tidak main-main.
Mereka memang ingin membunuhku!” ujar Wiro.
Secapt kilat dia melompat lalu
jatuhkan diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan
tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak ke samping.
Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang disebut “membuka jendela
memanah matahari”.
Hantaman tangan Wiro memukul
mental dua tombak di tangan dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan
menyodok masuk ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.
“Buukk!”
Makhluk yang kena hantaman
tendangan menjerit keras. Tapi tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua
tangannya mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha
melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan satu jotosan ke
dada Pendekar 212!
Wiro merasa dadanya seperti
amblas! Tangan kanannya dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng
topan melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya menjerit keras dan
mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya
yang dicekal. Perahu kecil bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak
keras dan gerakkan kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh
murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke dalam laut!
Di dalam air, Wiro cepat
berenang berusaha mencapai perahu. Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki
kepandaian luar biasa dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di
dalam laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat
pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai perahu, salah
satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu sudah berada di
belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil menendang membuat gerakan
jungkir balik di dalam air. Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik
dua lawan sudah menggempurnya kembali.
“Makhluk-makhluk hitam ini
rupanya tahan pukulan dan tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar
matahari. Tapi…” Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan
pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya dan apakah
pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di daratan?
Makhluk pertama hanya tinggal
satu tombak di depan Wiro. Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya
ke tangan kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu sebatas
siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka legalah Wiro. Dia segera
lipat gandakan tenaga dalamnya.
Di depan sana makhluk yang
berada paling depan terkesiap dan hentikan gerakannya berenang sewaktu
dilihatnya tangan kanan Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut
di sekitar tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahanlahan
berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti hendak merebus mereka.
Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah
makhluk paling depan.
Sinar putih menyilaukan
berkiblat dalam laut. Satu gelombang air yang mendadak sontak menjadi panas
laksana mendidih membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam
paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke kiri tapi
gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat. Tubuhnya kelihatan
menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat jauh kemudian seperti sehelai daun
kering melayang jatuh ke dasar laut.
“Heemm… mana kawannya…,” ujar
Wiro dalam hati sambil memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan
lawan tadi mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada lebih
lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di hidung dan mulutnya.
Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan yang kedua tiba-tiba ada satu
lengna mencekal lehernya. Ketika dia coba melepaskan diri, tangan yang lain
menjambak rambutnya. Dua tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak
mematahkan batang leher Pendekar 212!
Wiro hantamkan dua sikutnya
sekaligus ke belakang.
“Bukkk!” “Bukkk!”
Hantamannya tepat mendarat di
tubuh orang yang mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah
cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang. Matanya pedas
tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air laut mengucur masuk ke
dalam tenggorokannya lewat mulut dan hidung!
“Celaka! Tamat riwayatku!”
ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun
cekalan makhluk yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan!
Sementara itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah. Sekujur
tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja. Lawan yang membuat
Wiro tidak berdaya ternyata berlaku cerdik. Sambil terus mencekal berusaha
mematahkan batang leher Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro
bergerak semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang.
Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.
– == 0O0 == –
DUA
PADA saat yang sangat
menetukan itu dimana ajal Pendekar 212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya
tinggal sekejapan mata saja lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang
paling dekat dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si
nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang Dewa
Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir sekali muncul wajah
Ratu Duyung.
“Ra… tu…” Wiro membuka mulut.
“Tolong diriku…” tapi ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk
semakin banyak ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang.
Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna putih. Hidungnya
kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulubulu halus panjang. Nenek ini
menyeringai memperlihatkan gigigiginya yang kecil serta lidahnya yang merah.
Lalu sepasang matanya yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaat
membuat Wiro jadi tersentak.
“Nenek Neko… Nenek Muka
Kucing…” ujar Wiro. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak
Wiro ingat sesuatu.
“Koppo… Ilmu Mematahkan
Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua
tangannya bergerak memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang
mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”
Makhluk hitam menggeliat.
Wajahnya menunjukkan kesakitan setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua
matanya membeliak. Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat
keluar. Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan lalu
berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu mematahkan tulang yang
disebut koppo silahkan baca serial Wiro Sableng berjudulSepasang Manusia
Bonsai)
Wiro sendiri yang tak ada niat
mengejar cepat naik ke permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan
megap-megap. Ada cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling.
Di kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak. Dengan susah
payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahanlahan dia naik ke atas perahu.
Rasa sakit pada dadanya belum lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak.
Sekujur tubuhnya terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari
persendian. Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar kepalanya. Sepasang
matanya terpentang lebar ketika melihat siapa adanya orang yang duduk berjuntai
di atas sebua perahu putih yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa
diketahuinya.
“Makhluk Pembawa Bala. Manusia
celaka…!” Wiro berusaha bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali
ke lantai perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara tawa
mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh koreng membusuk.
Tiba-tiba sosok Makhluk
Pembawa Bala yang mengenakan pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia
mendarat di atas perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat
itu sudah tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak dengan
satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak dada Wiro. Dia
mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar suara tawa bergelak.
“Mujur tak dapat diraih,
celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau masih bias lolos dari tangnaku, saat
ini jangan harap bisa lepas! Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di
tanganku! Ha… ha… ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki
kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar 212 yang
terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!
Hanya setengah jengkal lagi
kaki kanan Makhluk Pembawa Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar
212 tibatiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas
merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada yang putih polos
sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar. Keenam gadis ini bukan lain
adalah anak buah Ratu Duyung penguasa lautan di kawasan itu.
“Tahan!”
Enam gadis berteriak
berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling
dan melihat siapa yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain
cadar jadi berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan
gelisah.
“Jangan berani mencampuri
urusanku!” Makhluk Pembawa Bala membentak.
Enam gadis diam saja namun
diam-diam mereka luruskan jari telunjuk tangan kanan masing-masing.
Melihat tidak ada yang
bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro.
Pada saat itu juga enam jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka
mengangkat jari masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru
berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk Pembawa Bala
dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran. Makhluk Pembawa Bala berseru
keras. Cepat dia tarik serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar
jeritan orang ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana
dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang kelihatan hangus.
“Kalau kau bermaksud
meneruskan niat jahat membunuh lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi
bagianmu lebih dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia
setengah ikan membentak.
Mulut orang bercaping yang
terlindung di balik kain penutup komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar.
Dia maklum jangankan enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis
anak buah Ratu Duyung.
“Katakan pada Ratumu, lain
kali sebaiknya dia sendiri yang dating untuk bertemu muka denganku!”
“Ratu kami tidak layak hadir
di depan manusia tak berguna sepertimu!” jawab salah seorang gadis. Makhluk
Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat dari atas perahu Wiro, masuk ke
dalam perahu putihnya.
“Sebelum kau pergi dari sini
kami perlu mengajukanbeberapa pertanyaan!” Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa
jeri terhadap enam gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas.
“Jangan membuat aku jadi
marah! Katakan apa mau kalian!?”
“Kami perlu tahu siapa kau
sebenarnya dan apa perlunya sejak sekian lama gentayangan di kawasan ini!”
“Hemm… Itu rupanya pertanyaan
kalian?” Makhluk Pembawa Bala mendongak lalu tertawa bergelak.
“Katakan pada Ratumu, jika dia
mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan kalian!”
“Kau minta mampus! Terima
kematianmu!” Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa Bala.
Orang ini cepat menyambar
caping di atas kepalanya. Lalu dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu
dikibaskannya menangkis serangan enam larik sinar biru.
“Wussss!”
Makhluk Pembawa Bala menjerit
keras. Caping bambu di tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping
itu bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam laut. Si
Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas perahu sampai beberapa
tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. Enam gadis cantik anak buah Ratu
Duyung menunggu sampai beberapa lamanya.
“Tubuhnya tidak muncul lagi…,”
berkata gadis di ujung kanan.
“Pasti dia sudah jadi mayat
dan tenggelam ke dasar laut. Beberapa hari di muka baru mayatnya akan
mengambang di permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang?” salah satu dari mereka bertanya. “Sesuai perintah Ratu kita harus
menolong pemuda ini. Ada darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka
dalam cukup parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan
dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada. Sesaat dia
pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. Pada bagian tengah dada
terdapat rajah tiga angka yang tak asing lagi. Angka 212. Entah sadar entah
tidak, gadis ini lalu mengusap dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini
kawan di sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani berbuat
macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin saktinya dan melihat apa
yang kau lakukan, kita semua di sini habis dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”
Wajah gadis yang barusan
mengusap dada Pendekar 212 tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab,
“Tak perlu bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat
tertarik pada pemuda gagah ini…”
“Sudah! Lekas totok saja
tubuhnya. Aku segera akan memasukkan obat ke dalam mulutnya!”
Gadis pertama segera
mengusapkan dua ujung jarinya di bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu
gadis kawannya memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro.
Sekali lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di dalam
mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam tenggorokannya terus ke perut.
“Sebelum matahari tenggelam
dia akan siuman dan luka dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu
kita harus mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu
tempat…”
Enam orang gadis itu lantas
berenang smbil mendorong perahu kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng
masih terbujur dalam keadaan pingsan.
– == 0O0 == –
TIGA
PANGERAN Matahari merangkul
gadis yang duduk di pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang
kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam katakana apa
hasil peneyelidikanmu…”
Si gadis tersenyum. Sepasang
lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai
rambut di belakang kepala Pangeran Matahari.
“Eh, apa yang salah?” tanya
sang Pangeran. “Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu hasil
penyelidikanku!”
Pangeran Matahari tertawa
lebar. Ditekapnya kedua pipi si gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat.
Sambil menggeliat gadis dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran
Matahari cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan
besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua sudah
rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”
Si gadis tampak cemberut tapi
serta merta pejamkan matanya dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran
Matahari menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.
“Aku tidak tahan. Benar-benar
tidak tahan Pangeran…” bisik si gadis setengah memelas.
Pangeran Matahari tarik
kepalanya lalu berkata. “Ceritakan padaku hasil penyelidikanmu…”
Si gadis melihat sepasang mata
Pangeran Matahari memandang tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang
membuatnya jadi tak berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan
kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau ingin
ketahui, Pangeran?”
“Pertama sudah pasti
menyangkut musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit
di luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan dengan membawa kepala
Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang kau ketahui?”
“Kemungkinan mereka memang
telah membunuh Pendekar 212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi
setahuku tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu
sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup dijadikan tanda atau
bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar sudah tewas? Atau mungkin dua senjata
itu palsu belaka?”
Pangeran Matahari mengusap
pinggul si gadis lalu gelengkan kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak
palsu. Tapi menyaksikan kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada
hanya mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu…“
“Turut penyelidikanku, juga
berdasarkan beberapa keterangan orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui
lagi berada di mana. Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat
di tengah laut di selatan muara Kali Opak….”
“Hemmm…. Kalau keteranganmu
benar mengapa kaki tanganku di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar
Pangeran Matahari pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut
pendek kasar.
“Kawasan laut selatan berada
di bawah pengawasan penguasa tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah
seorang dari mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi
di kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami benturanbenturan aneh….”
“Ratu Duyung dari dulu memang
tidak pernah mau tunduk terhadap kita…” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah
saatnya kita memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah
manusia setengah ikan itu….”
“Pangeran,” kata gadis yang
duduk di pangkuan Pangeran Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat
sekarang ini sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan
besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan… “
“Hemmm…. Kau betul. Usulmu aku
terima!” kata Pangeran Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis
itu.
“Kau lihat sendiri Pangeran.
Aku tidak seperti gadis-gadis lain yang jadi kekasihmu. Mereka hanya
menyediakan badan. Aku bukan cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran….”
Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk bahu si gadis dia berkata. “Itulah
kelebihanmu, kekasihku. Itu sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.”
“Kalau begitu apakah sekarang
kita bisa bersenang-senang?” tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke
pinggul sang Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang
bagus mulus dan putih.
Pangeran Matahari mengusap
paha itu berulang kali lalu berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau
suka bersabar. Kau harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa
yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia sudah menemui
ajal?”
“Nada suaramu masih saja
membayangkan rasa was-was Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba
ke bagian dada Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang
dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke dada sang
Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa harus merasa gelisah
dan selalu memikirkan Pendekar 212?”
“Ada ujar-ujar mengatakan
bahwa punya satu musuh sudah terlalu banyak sedang punya seribu teman masih
kurang banyak!” Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lagi, pergi
dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan saat ini?”
“Kataku harap kau bersabar.
Masanya akan datang aku akan jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih
tunggalku….” Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri,
”Kalau begitu ada baiknya aku
minta diri sekarang juga,” katanya. Dia membungkuk sedikit untuk memeluk dan
mencium Pangeran Matahari.
Namun dengan gerakan nakal dia
menggoyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta
merta merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk maka dia
merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang Pangeran selalu menolak ajakan si
gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat menahan gelegak
darahnya. Dia berdiri dan siap hendak mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba,
“Braaakkk!"
Pintu ruangan terpentang.
Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian
terpekik, cepat-cepat menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu
melompat tinggalkan tempat itu.
Pangeran Matahari tak kurang
terkejutnya. Tampangnya merah mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya
berubah seperti jadi empat persegi!
Orang yang terkapar di lantai
hanya mengenakan sehelai cawat hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai
ke kaki berwarna sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke
punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya merah.
Pangeran Matahari kerenyitkan
kening. Kedua matanya mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang
tangan manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari
tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih menggidikkan.
“Jahanam! Apa yang terjadi
dengan dirimu! Mana kawanmu?!”
Pangeran Matahari membentak
seraya melangkah ke hadapan orang hitam yang terkapar di lantai.
“Ka… kawanku mati!” jawab
orang hitam.
“Mati?! Apa yang terjadi?!”
“Dia… dia mati dibunuh
Pendekar 212….”
Tampang Pangeran Matahari
berubah. Alisnya berjingkrak dan daun telinganya seperti mencuat mendengar
ucapan orang hitam itu. Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si
hitam ini mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.
“Lekas katakan apa yang
terjadi!” bentak Pangeran Matahari.
“Mohon maafmu Pangeran… Kami
tidak berhasil menjalankan tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri
kau bisa saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!”
Kembali sepasang mata Pangeran
Matahari memperhatikan kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya.
Tulang-tulangnya mencuat berpatahan…. “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai
orang ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku dia tidak memiliki
ilmu kepandaian begini rupa….”
Pangeran Matahari mendongak.
Otaknya berpikir keras. Tetap saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam.
“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya
Pendekar 212!” bentak sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian
mematahkan tulang seperti ini! Aku tahu betul!”
“Saya bersumpah memang dia
yang melakukan. Kami mencegatnya di pantai selatan…”
Pangeran Matahari terdiam
sesaat. “Jika kau memang telah berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin
mencocokkan ciri-ciri jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana
keadaan rambutnya?”
“Hitam lebat dan… dan
gondrong..,” jawab si hitam. “Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di
keningnya?” Si hitam menggeleng. “Hemmmmm….” Pangeran Matahari bergumam.
Kecurigaan bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan
pakaian serba putih?”
“Ti… tidak Pangeran. Dia
mengenakan baju dan celana hitam….”
“Jahanam! Jelas orang itu
bukan Pendekar 212! Seumur hidupnya dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam!
Kau berani mendustaiku!”
”Saya bersumpah saya tidak
berdusta Pangeran…”
“Manusia keparat! Aku tanya
padamu, apa benar kawanmu sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya
bungkukkan tubuhnya sedikit.
“Dia memang telah menemui ajal
Pangeran. Saya menyaksikan sendiri…” jawab si hitam yang masih terkapar di
lantai sambil menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena sebelumnya
dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya.
Di hadapan si hitam Pangeran
Matahari menyeringai.
Tiba-tiba seringai itu lenyap
lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau susullah temanmu! Aku tidak
butuh manusia jelek dan tolol macammu!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari
ayunkan tangan kanannya.
Bersamaan dengan itu dia
alirkan tenaga dalam dari bagian dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis.
Pangeran Matahari tahu betul
bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau susah. Karenanya dia
sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab iblis itu.
“Praakkk!”
Kepala manusia hitam rengkah
mengerikan. Tubuhnya terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi!
Masuk ke ruangan dalam
Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah bantalan tebal
dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi. Pakaian tipisriya dipergunakan
menutupi auratnya yang penting tapi itu pun tidak mampu menutupi seluruh
tubuhnya.
“Aku hampir yakin kalau
Pendekar 212 memang sudah menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh besarku itu….”
“Apakah sampai saat ini kau
masih merahasiakan tentang diriku terhadap mereka?” Pangeran Matahari
mengangguk.
“Sebaliknya bagaimana dengan
saudaramu. Aku tidak ingin….”
“Kau tak usah khawatir
Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak mendengar mengenai dirinya. Entah berada
di mana…” jawab si gadis yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan
kakinya dan balik pakaian tipis.
Memandangi tubuh si gadis
pikiran sang Pangeran jadi berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk
bersenangsenang kini setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam
dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si gadis.
Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu ditariknya.
– == 0O0 == –
EMPAT
SINAR sang surya yang siap
tenggelam membuat air laut kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang
mendorong perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan
berkata.
“Kita mengantar sampai di sini.
Di kejauhan ada sebuah pulau. Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda
ini ke sana. Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh
berada terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak bertebaran di sekitar
kawasan ini.”
Lima gadis lainnya tidak
menjawab. Dalam hati sebenarnya mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar
212 itu sampai ke daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun
kelimanya tak berani membantah.
“Mudah-mudahan dia cepat sadar
dan selamat. Mari kita kembali…”
“Tunggu dulu,” salah seorang
dari lima gadis tiba-tiba berkata.
“Ada apa?!” “Aku mendengar
seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan…”
Empat gadis lainnya picingkan
mata dan pasang telinga. Lalu hampir berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang
bertindak sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang didengar
lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau angin laut dan alunan
gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.
Kalaupun memang yang kalian
dengar adalah suara orang menyanyi maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula
yang menyanyi di tengah lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu.
Dibalik setiap keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian tak perlu
banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”
Enam gadis cantik yang tubuh
atas polos sedang sebatas pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu
melepaskan tangan masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian
keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.
Perahu tanpa kemudi tanpa
dikayuh itu meluncur perlahan dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di
kejauhan kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak
kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di bawah sinar
matahari yang tenggelam dan udara yang mulai menggelap pulau itu kelihatan
angker. Keangkeran itu bisa membuat siapa saja jadi merinding karena dari
pertengahan pulau yang gelap dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah
tiba-tiba sayupsayup sampai terdengar suara orang menyanyi.
Laut selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang
menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu
kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk
Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian
dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa
tertambat seluruh harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas
menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Orang yang menyanyi itu duduk
bersila di atas salah satu puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk
dimakan usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambailambai
tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun masih bisa terlihat
keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya sebelah kanan yaitu mulai dari
pertengahan kening, hidung, mulut dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya
senantiasa ada segumpal sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada
henti. Bahkan ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya
namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah mulutnya kosong tak berisi
apa-apa!
Di hadapan orang tua berjubah
putih ini, di atas batu, terletak benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini
mengeluarkan sinar angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat
panas. Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa panas melainkan
satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin menjadi-jadi malah kini hawa
di tempat itu terasa sangat dingin. Si orang tua bermuka biru sebelah
sampai-sampai kertakkan rahang menahan gigil kedinginan.
“Saatnya sudah tiba…” kata
orang tua bermuka belang dalam hati. Seluruh kekuatan luar dalam dikumpulkannya
agar tubuhnya tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda
bercahaya di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil orang tua ini
angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung jarinya yang kurus keriput
kelihatan bergetar kaku.
“Batu sakti batu pembawa
petunjuk…” si orang tua berucap dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi,
membubung ke angkasa.Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak
manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada petunjuk. Di dalam
dirinya ada kekuatan untuk menangkal malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan
dan satu kekuasaan di delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan
itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk. Terbanglah tinggi
membubung angkasa. Melayanglah turun menukik bumi. Cari dan dapatkan anak
manusia penerima Delapan Sabda Dewa!”
Getaran tangan kanan si orang
tua semakin keras. Benda di atas batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan.
Didahului dengan teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.
“Byaaarrr!”
“Wussssss!”
Benda di atas batu bersinar.
Tempat itu laksana diterangi sinar kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib.
Benda terang di atas batu melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya
terang. Di udara benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan
kecepatan yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu
melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya semula di atas
batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di mana terdapat sebuah
batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu karang runcing.
KITA kembali dulu pada saat
tak lama setelah enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil
di dalam mana Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan….
Perahu kecil dipermainkan
ombak, meluncur perlahan ke arah pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar
berwarna merah sedang di sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan
batu-batu karang runcing laksana memagari.
Satu gelombang besar tiba-tiba
muncul di tengah laut, menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan
olaholah dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada dalam
keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima tombak, hancur berkeping-keping.
Tubuh Wiro tampak berputar seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua
puncak runcing batu karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring.
Keningnya membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal yang aneh. Pada
saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro masih berada
dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya membentur tonjolan batu yang
menimbulkan luka serta kucuran darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan sempat
bangkit sambil dua tangannya bersitekan ke batu.
“Apa yang terjadi dengan
diriku. Di mana aku saat ini…. “ Dia memandang berkeliling sementara telinganya
mendengar suara deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang
yang memagari pulau batu merah itu.
“Aku mendengar suata deburan
ombak. Berarti…. Eh, aku seperti mendengar suara orang menyanyi….” Murid Sinto
Gendeng memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara nyanyian
itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang diulang-ulang itu. Perlahan-lahan
dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya melihat puncak-puncak bukit batu
yang menghitam dalam kegelapan.
“Aku akan pergunakan ilmu
pemberian Ratu Duyung. Ilmu Menembus Pandang….” Wiro segera kerahkan tenaga
dalam dan atur jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat
memusatkan pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak meraba.
Ada cairan mengalir di
keningnya, turun ke pipi kiri. Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan
terakhir cahaya matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah
yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.
“Apa yang terjadi dengan
diriku…. Aku terluka,” pikir Wiro. Dia mendadak saja merasa ngeri melihat
darahnya sendiri.
Pendengarannya dipasang baik
baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh kalau ada orang menyanyi di tempat ini.
Manusia atau jinkah yang menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya
tadi….”` Wiro siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Tiba-tiba dia
jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar sangat
terang melayang turun ke bumi.
“Bintang jatuh…”pikir Wiro.
Kemudian disadarinya kalau benda bercahaya itu melayang jatuh ke arahnya.
“Astaga!” Wiro berseru
kaget.Dia berusaha menggulingkan diri. Tapi benda bercahaya datangnya laksana
kilat. Jatuh menghantam kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri
lalu amblas masuk ke dalam kepalanya!
“Wusss!” Kepala dan sekujur
tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang
benderang. Dia seperti melihat ada ratusan bintang menyilaukan di depan
matanya. Saat itu juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak gunung
hingga dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemeletakan. Wiro
berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit tangannya yang menahan
tubuhnya terkulai lemah ke samping. Badannya jatuh terbujur di atas batu
miring. Kesadarannya perlahanlahan sirna.
Di atas batu miring tubuhnya
yang sedingin es itu tidak bergerak sedikit pun. Kedua matanya terpentang
lebar. Namun dia tidak melihat apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia
seperti orang tidur nyalang. Satu kejadian aneh menyelubungi Pendekar 212. Dia
tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke dalam alam pada
masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam. Anehnya dirinya sendiri seolah-olah
berada dalam pusaran waktu itu!
– == 0O0 == –
LIMA
LAUT utara tampak tenang.
Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di langit tak berawan kawanan burung laut
terbang melintas di atas kapal besar terbuat dari kayu. Di buritan kapal Ageng
Musalamat memeluk kakek berjubah dan bersorban putih erat-erat, mencium kedua
pipinya berulang kali dan berusaha menahan titiknya air mata.
“Muridku Ageng Musalamat,
negeri Cina sangat jauh dari sini. Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang
mudah. Kau telah memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu
kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi dirimu. Berarti
kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu. Lebih dari itu kau membawa
serta empat puluh orang yang sebagian besar adalah murid-muridmu yang merupakan
juga murid-muridku. Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu…. “
“Wali Astanapura yang saya
sebut dengan hormat sebagai Eyang Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta.
Perjalanan besar ini memang bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu
pengetahuan serta kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang empat puluh
akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula kembali pulang ke tanah Jawa
ini.” Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala.
“Bagaimanapun baiknya keadaan
dan sambutan orang di sana, satu hal harus kau ingat bahwa negeri itu adalah
tanah asing. Jadi kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan
berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Jangan pamerkan
sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai. Mungkin di negeri sana semua
yang kau miliki itu tidak ada artinya sama sekali. Ingat peribahasa yang
mengatakan mulut kamu harimau kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit
dijunjung. Pesankan pada anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu. Itu
tiang agama yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”
“Terima kasih Eyang. Saya akan
selalu ingat baik-baik semua pesan Eyang…. “
“Selamat jalan muridku. Doaku
bersamamu….”
“Selamat tinggal Eyang. Doakan
agar kami kembali cepat ke tanah Jawa ini….” Wali Astanapura yang dipanggil
oleh muridnya itu dengan sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala.
“Kau harus kembali ke sini
tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri Ageng Musalamat….”
“Saya mendengar dan saya
berjanji Eyang…” jawab Ageng Musalamat.
Eyang Ismoyo berpaling pada
seorang pemuda yang tegak di belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati
berhias ukiran Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya
kepada Eyang ismoyo.
“Ageng Musalamat,” kata Eyang
Ismoyo seraya membuka penutup kotak kayu,
“Kotak ini berisi sebuah
senjata sakti mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya
terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatannya lebih atos
daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu sakti di Bali yang masih
merupakan kakekku. Ketika dibuat senjata ini tidak bernama. Ayahku kemudian
memberinya nama yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti
ini padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda persahabatan
yang tulus.” Eyang Ismoyo membuka penutup peti.
Satu cahaya kuning membersit
keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat hingga lelaki berusia empat
putuh tahun ini mengerenyit kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih
dapat melihat sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak
kayu. Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu menyerahkannya pada muridnya
seraya berkata.
“Simpan senjata mustika ini di
tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu mengawasinya. Tak ada seorang pun
yang akan sanggup mencurinya….”
“Maksud Eyang ada satu
kekuatan yang melindunginya?” tanya Musalamat. Eyang Ismoyo menunjuk ke atas.
“Tuhan Yang Maha Kuasa yang
melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha mencuri atau
merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau selama berada dalam titipan
yang sah maka orang jahat itu tak akan sanggup melakukan. Keris ini akan
menjadi sangat berat seolah seberat gunung batu!” Ageng Musalarnat menerima
kotak kayu itu dengan hatihati. Lalu sang guru berkata.
“Sebelum layar terkembang,
sebelum kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup belum
pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti kamar ketiduran tuan
puteri…?” Eyang Ismoyo memegang bahu muridnya.
Walau sentuhan itu biasa-biasa
saja namun Musalamat merasa ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut
kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah Musalamat kalau gurunya
bukan hanya sekedar ingin melihat kamar di dalam kapal. Apa yang diduga
Musalamat ternyata benar. Begitu masuk ke dalam kamar di bawah buritan Eyang
Ismoyo langsung mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di
dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih lebar yang
menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih dikeluarkannya sebuah
benda berupa lembaran-lembaran daun lontar yang sudah sangat tua membentuk sebuah
kitab. Sepasang mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan
gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno yang tergurat di
sampul kitab.
“Kitab Putih Wasiat Dewa…”
kata Ageng Musalamat dalam hati dengan dada berdebar.
“Muridku, aku yakin kau pernah
mendengar tentang kitab sakti ini…” Ageng Musalamat mengangguk.
“Saya sudah lama tahu kalau
Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,” jawab Musalamat sambil
matanya tidak lepas dari kitab tua yang berada di tangan sang guru.
“Kitab ini dibuat dan ditulis
isinya oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya
tidak diketahui. Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita
masih belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua kekuatan, semua
kesaktian datang dari langit, daripada apa yang mereka sebut para Dewa. Walau
demikian apa yang mereka pelajari dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah
satu perbuatan sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang tidak
tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama dan peradaban
itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan. Muridku, Kitab Wasiat Dewa
ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti ini diwariskan padaku sekitar lima
belas tahun yang lalu. Aku telah membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun
aku merasa kepandaian apa yang aku dapat dari kitab ini masih belum sempurna.
Harus banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan kesaktian yang
ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah lanjut dan tubuhku sudah
sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu menemui ajal sebelum aku dapat mengerti
seluruh isi kitab ini. Kau masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih
kuat. Kurasa kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku.
Aku tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa ini
kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya beberapa lembar
ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal dari kitab ini akan mampu
menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas segala kejahatan. Orang yang
memberikan kitab ini padaku pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan
mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa dunia
persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan…“ Eyang Ismoyo
menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng Musalamat.
Sang murid yang tidak menduga
hal itu akan terjadi tersurut mundur dengan muka pucat.
“Eyang… Sa… saya tidak berani
menerima kitab sakti ini…” kata Ageng Musalamat dengan suara bergetar.
“Kau tidak berani. Apakah kau
mau mengatakan apa sebabnya?” tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang
mata muridnya.
“Saya… saya merasa tidak layak
memilikinya. Saya insan kecil yang tak mungkin mampu…” “Muridku…” memotong
Eyang Ismoyo.
“Di mata Tuhan semua manusia
itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain adalah ketakwaan
terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain ialah dari patuh pada larangan
dan kukuh pada ajaranNya. Aku mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu.
Jangan siasiakan kepercayaan itu…”
“Eyang…”
“Aku pernah mendapat petunjuk
dalam mimpi. Kau akan mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan
purnama. Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu cukup
lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan menyelami serta
mempelajari isinya… Terimalah!” Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran
ketika menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.
“Terima kasih atas kepercayaan
guru. Amanat Eyang tidak akan saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk
dalam-dalam. Eyang Ismoyo tersenyum.
Tiba-tiba dia melangkah ke
pintu. Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya. “Ada apa Eyang?” tanya
Ageng Musalamat.
“Ada seseorang mencuri dengar
pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua. Mendengar ini Ageng Musalamat
segera membuka pintu dan memeriksa keluar.
“Tak ada siapa-siapa…”
katanya. Tapi dia yakin pendengaran sang guru tidak salah. “Orangnya tentu
telah menyelinap pergi. Muridku, ada seorang culas di antara empat puluh anak
buahmu.”
“Saya menyesalkan kebodohan
saya. Padahal saya telah memilih mereka dari orang-orang yang paling saya
percayai. Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu keberangkatan
hari ini saya batalkan.” Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu
muridnya.
“Jangan habiskan waktu untuk
melakukan hal itu. Jika kau sudah tahu ada seorang yang bersifat lancung yang
harus kau lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam
perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu, kuperintahkan padamu
untuk melemparkannya ke dalam lautan! Aku pergi sekarang.” Sri Ageng Musalamat
cepat menyalami tangan gurunya dan menciumnya dengan khidmat.
Lalu orang tua itu
diantarkannya sampai ke daratan. Ketika kapal besar itu mulai meluncur
meninggalkan pantai utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa
orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia baru bergerak
sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas pemandangan. Dari saku jubahnya
dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu sambil melangkah orang tua ini mulai
berzikir. Jauh di lubuk hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan
bertemu lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.
“Entah aku yang akan
meninggalkan dunia fana ini lebih dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan
berat…” membatin si orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala
malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali ke tanah Jawa.”
– == 0O0 == –
ENAM
LAUT malam mengalun tenang.
Itu adalah malam pertama kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng
Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama berada di
anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid Eyang Ismoyo itu turun ke
bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu
menggeser papan kecil di langit-langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar
dikeluarkannya Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu
duduk di atas ranjang.
Ageng Musalamat sengaja
menyembunyikan kitab sakti itu di atas loteng kamar tidur karena khawatir ada
yang berniat jahat. Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru
kalau ada seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di dalam kamar.
Sejak siang tadi sebenarnya
Ageng Musalamat ingin membuka dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa
tidak tenang. Hal ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan
menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau sampai dia tidak
dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang akan celaka tapi rimba persilatan
di tanah Jawa akan mengalami bencana.
Ageng Musalamat memperbesar
lampu minyak di atas kepala tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik
sampul Kitab Wasiat Dewa.
Pada halaman pertama tertera
serangkaian tulisan dalam aksara Jawa kuno berbunyi:
Bilamana datang kebenaran maka
meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan mungkin bisa
berjaya.
Tapi pada saat kebenaran dan
keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu membendungnya.
Kejahatan membakar dan merusak
laksana api.
Tetapi api itu sendiri
sebenarnya adalah kekuatan dahsyat Yang diarahkan para Dewa untuk membakar
mereka.
Bilamana api memusnahkan
mereka maka penyesalan tiada berguna.
Ageng Musalamat membaca
rangkaian kalimat itu sampai tiga kali lalu pejamkan mata merenungi dan
meresapi. Sesaat kemudian baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang
terbuat dari daun lontar itu.
Di halaman ini terdapat gambar
kepala seekor harimau putih yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian
bawah tertera tulisan berbunyi:
Putih lambang kesucian dan
kebenaran.
Harimau lambang keberanian dan
kejantanan.
Barang siapa berjodoh dengan
kitab ini maka kemana pun dia pergi harimau putih akan menjadi kekuatan,
menjaganya dari segala musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.
Setelah mengerti betul apa
yang tertulis di halaman kedua itu maka barulah Ageng Musalamat membalik
memasuki halaman ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara
Jawa kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca dengan perlahan dan
hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.
DELAPAN SABDA DEWA
Barang siapa berjodoh dengan
Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat,
menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang
telah disabdakan.
Delapan Sabda Dewa adalah
delapan jalur keselamatan.
Tanah – Sabda Dewa Pertama
Manusia berasal dan dijadikan dari tanah
Kepada tanahlah manusia akan
kembali
Karenanya manusia tidak boleh
congkak dan takabur dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari gumpalan debu
yang hina.
Yang kuasa kemudian memberikan
kehormatan, menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki pikiran yang
membedakannya dengan binatang.
Tanah bagian dari bumi ciptaan
Yang Kuasa diberikan kepada manusia untuk tempatnya berlindung diri,
berkaum-kaum dan mencari rezeki.
Karenanya tidaklah layak kalau
manusia merusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta berbuat kejahatan
di atasnya.
Tanah dan bumi diberikan Yang
Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia.
Karenanya manusia wajib
berterima kasih dengan jalan memeliharanya.
Tanah tempat kaki berpijak.
Dimana bumi dipijak di situ
langit dijunjung
Ketika tanah dijadikan ajang
pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa
Mengapa manusia tidak berpikir
dan berterima kasih?
Air – Sabda Dewa Ke-dua
Lebih dari separuh bumi
diciptakan Yang Kuasa dalam bentuk air Air mengalir di bumi dan mengalir di
tubuh manusia.
Air sumber kehidupan Air
membawa berkah Mengapa manusia tidak berpikir?
Mengapa manusia berlaku keji
mencemari air, membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan di atas air
Air selalu mengalir dari atas
ke bawah
Bukankah itu satu petunjuk
bahwa mereka yang di atas harus menolong mereka yang di bawah?
Pada saat manusia lupa dan
tidak berterima kasih atas segala berkah
Maka para Dewa berseteru
dengan mereka
Azab Yang Kuasa pun turunlah
Dan air berubah menjadi
bencana.
Api – Sabda Dewa ke-tiga
Ketika kecil menjadi kawan
Sewaktu besar menjadi lawan
Mengapa manusia tidak mau
berpikir dalam mencari manfaat daripada kualat?
Api membakar seganas iblis
Di dalam tubuh manusia ada api
yang mampu merubah manusia menjadi iblis
Barang siapa tidak mampu
melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis manusia akan
menjadi api puntung neraka.
Para Dewa terhempas dalam
perkabungan.
Udara – Sabda Dewa Ke-empat
Udara sumber kehidupan
Dihembuskan Yang Kuasa ke
dalam jalan pernapasan jantung sanubari manusia
Udara tidak terlihat oleh
mata, tidak teraba oleh tangan
Di dalam yang tidak terlihat
dan tidak tersentuh itu ada berkah yang maha besar
Mengapa manusia masih mau
berlaku culas
Mencemari udara dengan
berbagai kebusukan
Ketika jalan napas tak dapat
lagi menerima hawa kotor,
Para Dewa siap melihat
kematian mengenaskan Mengapa manusia tidak berpikir?
Bulan – Sabda Dewa Ke-lima
Sumber kesejukan dunia ini
muncul dikala malam
Tiada keindahan melebihi malam
dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang lembut
Mengapa manusia tidak bisa
selembut sinar rembulan?
Padahal manusia memiliki
pikiran, bulan tidak
Padahal manusia memiliki hati,
rembulan tidak
Bukankah kelembutan sinar
rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih dari orang tua terhadap
anaknya
Kasih seorang pemuda pada
gadis curahan hatinya
Kasih sesama insan
Bahkan binatang pun mempunyai
rasa kasih
Lalu mengapa manusia terkadang
melupakannya?
Mengapa kasih dapat berubah
menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari siapa para Dewa akan
mendapat jawaban?
Matahari – Sabda Dewa Ke-enam
Ketika bumi berputar dan
matahari menerangi jagat
Cahaya terang menjadi berkah
bagi seisi alam
Yang kuasa tidak ingin para
makhluk dalam kegelapan
Tetapi mengapa banyak diantara
mereka yang sengaja mencari memeluk kegelapan?
Tidakkah manusia berpikir
Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari cahaya matahari?
Ketika bumi menjadi gelap
karena sinar matahari terhalang rembulan,
Apakah manusia merenungi arti
semua ini?
Mengapa ummat mengeluh
teriknya matahari
Padahal diakhir dunia kelak
mereka akan didera oleh seribu teriknya matahari
Padahal bukankah para Dewa
telah memberi ingat akan azab setiap dosa?
Kayu – Sabda Dewa Ke-tujuh
Siapa yang menanam akan menuai
Itu janji Maha Pencipta
Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah
Sang Pencipta tiada akan
melupakannya
Karena Dia Maha Melihat dan
Maha Mengetahui
Lalu mengapa kemudian manusia
merusak benih, merusak yang tumbuh di atas tanah
Padahal mereka perlu
tetumbuhan untuk dimakan
Padahal mereka butuh pepohonan
untuk berlindung
Adakah manusia merasa bisa
hidup tanpa pohon dan kayu?
Ketika badai mengamuk dan
pepohonan tumbang sama rata dengan tanah
Ketika para Dewa merenung
mengingat dosa
Ummat manusia masih saja
berbuat kerusakan
Padahal mereka punya otak
untuk berpikir dan punya hati untuk merasa.
Batu – Sabda Dewa Ke-delapan
Ketika gunung batu meletus
Para Dewa bersujud minta ampun
Manusia menjerit, terhenyak
dalam ketakutan
Tapi hanya seketika
Sesaat mereka terlepas dari
bencana kembali mereka lupa dan tegakkan kepala dengan congkak
Batu dijadikan Maha Pencipta
agar manusia mempergunakannya untuk melindungi diri dari keganasan alam
Agar manusia ingat bahwa
keteguhan iman harus dipegang sekukuh batu
Ketika iman runtuh seperti
runtuhnya gunung batu
Para Dewa menangis meminta
ampun
Apakah mata dan hati manusia
telah berubah menjadi batu, buta dan bisu tiada rasa?
Kanjeng Sri Ageng Musalamat
terpekur lama meresapi apa yang barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa…”
katanya dalam hati sambil memejamkan mata.
“Sungguh luar biasa. Tak
pernah kubaca tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat
mendalam. Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum mengenal
agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar pemikiran sang
penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa yang dimaksud penulis
dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh silat, para pemuka agama atau Dewa
sungguhan…?” Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya
“Isi kitab ini mengandung
makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus ingat pada ajaran Sang
Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan perduli lingkungan. Delapan
Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh
batu…. Lalu dimanakah letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran silat atau
ilmu kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa dunia
persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru beberapa halaman. Masih
ada halaman lain yang harus kubaca dan kuteliti…”
Perlahan-lahan Sri Ageng
Musalamat pergunakan jari-jari tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya
yakni halaman kelima. Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari itu
laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.
“Astagfirullah, dua jari
tanganku menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman
keempat untuk membuka halaman ke lima….” Ageng Musalamat kerahkan tenaga
luarnya
“Celaka! Kini lima jariku
semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut dan berubah air mukanya. Selain heran dan
terkejut ada sekelumit rasa penasaran dalam dirinya
“Membalikkan halaman kitab
daun lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi kaku
tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin jari-jariku bisa
pulih dan aku mampu membuka halaman kelima….“ Berpikir sampai disitu Ageng
Musalamat kerahkan tenaga dalam murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan
terus ke ujungujung lima jarinya.
Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat lelaki ini keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda
menahan sakit yang amat sangat. Tangan kanannya seperti disambar petir
terbanting ke samping dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia
memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah
menjadi sangat merah laksana tersiram air panas. Selagi Ageng Musalamat
tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan yang amat sangat tiba-tiba kamar di
mana dia berada itu laksana runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman
harimau. Bersamaan dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam
kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang membuat bulu
tengkuknya merinding!
“Ya Tuhan, lindungi diriku.
Apa yang sesungguhnya terjadi. Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak
sanggup menghadapinya…” Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang
sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting ke dinding
kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat Dewa. Kedua matanya
membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya muncul dua bayang-bayang aneh yang
samar-samar membentuk sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar!
– == 0O0 == –
TUJUH
WALAU dua sosok di hadapannya
tidak beda seperti asap tipis namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa
sosok pertama adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi
hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh langitlangit kamar. Orang
ini mengenakan selempang kain putih dan memegang sebuah tongkat kayu berwarna
putih. Sepasang matanya berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng
Musalamat yang saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan tersandar ke
dinding kamar. Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat
menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak seekor harimau putih
yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh sampai sepinggang orang tua
berselempang kain putih itu.
Sepasang mata harimau besar
ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak berkesip pada Ageng Musalamat.
Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya masih gemetar Ageng
Musalamat bertanya.
“Or… orang tua…. Siapa kau
adanya?” Dalam hati dia yakin saat itu bukan berhadapan dengan manusia dan
harimau sungguhan. Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang
peliharaannya? Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni makhluk
halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diamdiam membaca
berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada Yang Maha Kuasa.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat…”
orang tua berbentuk bayangan dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu.
“Seratus tahun lalu aku
dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku sudah lama ditelan bumi.
Kalau aku bisa muncui dan berdiri di hadapanmu saat ini, itu tidak lain
semata-mata adalah karena Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di
sampingku adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah lama
bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul dan ikut
bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk memberitahu padamu bahwa
Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh dengan dirimu…”
“Da… Datuk Rao…. Aku tak
mengerti maksudmu,” kata Ageng Musalamat. “Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan
kirimu itu tidak berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di
dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan membaca sampai
halaman ke empat. Dalam empat halaman itu sesungguhnya kau telah mempelajari
hal-hal besar yang orang lain tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya
sebelumnya….”
“Orang tua, harap maafkan
kalau kukatakan aku masih tidak mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu
dengan kitab ini?”
“Kami adalah sesepuh terakhir
yang diserahi tugas untuk menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh
jatuh ke tangan orang yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai
mempelajarinya….”
“Kitab ini aku terima dari
guruku Eyang ismovo Jeiantik yang dikenal dengan panggilan Wali Astanapura…”
“Kami tahu hal itu…” kata si
orang tua pula.
“Beliau menyerahkan disertai
pesan bahwa aku harus mempelajari serta menyelami isi kitab ini. Kelak aku akan
memiliki ilmu sangat berguna untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai
dunia persilatan di jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan….
Dia telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena sudah terlalu
tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku…. “
“Kami tahu, tapi ada yang kau
tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab
Wasiat Dewa itu…. “ Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan
orang tua berupa bayangan dan asap itu.
“Kami menitipkan Kitab Wasiat
Dewa padanya melalui seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas
tahun tanpa sekali pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan
pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak harus
diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang itu ternyata
adalah dirimu…. “
“Kalau kau sudah tahu hal itu
berarti tidak ada halangan bagiku untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang
ada di dalamnya.”
“Tidak Ageng Musalamat. Kau
tidak boleh mempelajari isinya. Karena kau hanyalah seorang perantara yang
dititipkan untuk menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan
diri dan nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun harus
menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau percayai…. “
Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat,
apakah kau mendengar dan mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya
Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Aku mendengar, tapi terus
terang harap dimaafkan sulit aku bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu
sudah ditelan bumi seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai
hal-hal yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini…?”
“Ada hal-hal yang memang tak
bisa dicerna oleh otak manusia, karena semua itu terjadi dengan kodrat dan
kuasanya Tuhan. Bila manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu
melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa dirinya sendiri. Namun
apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam hal-hal yang tak bisa dicerna
akal dan pikiran itu. Kami hanya meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa
baik-baik, jangan membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman lima.
Dan bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang sangat kau
percayai….”
“Siapa orangnya…?” tanya Ageng
Musalamat.
“Kau akan tahu sendiri pada
dua puluh tahun mendatang…” jawab Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Datuk….”
“Kau berjanji akan mematuhi
apa yang kami minta?”
“Aku tak mungkin berjanji…. “
“Kalau begitu bersumpahlah!”
kata Datuk Rao Basaluang Ameh. Ageng Musalamat menangkap nada suara yang
mengandung ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum
kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari tangannya
kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa dengan mengerahkan tenaga
dalam untuk membuka halaman ke lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya
bukan saja menjadi kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas!
Sesaat Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya.
“Jangan-jangan orang tua ini
yang telah melakukannya…” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Kalau aku menolak
permintaannya pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini….”
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat,
aku tahu apa yang ada dalam benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh
berucap, membuat Ageng Musalamat terkesiap.
“Jika kau merasa tidak sanggup
menjaga Kitab Putih Wasiat Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas
membaca seluruh isinya, maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu
padaku!" Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat. Tongkat kayu
putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat.
Saat itu juga tubuh Ageng
Musalamat tersedot ke depan. Keningnya menempel di ujung tongkat. Sementara
sekujur tubuhnya terasa kaku dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo
ini.
“Datuk Rao… Aku, aku berjanji
akan menjaga Kitab Wasiat Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang
paling kupercaya….“
“Kau tidak akan mengingkari
janji?”
“Tidak Datuk….“
“Bagus. Tapi harap kau ingat.
Jika kau berlaku curang dan mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka
besar…“
“Aku tidak akan mengingkari
janji Datuk,” kata Ageng Musalamat pula.
Datuk Rao Basaluang Ameh tarik
tongkatnya sedikit. Ujung tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng
Musaiamat. Tapi sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke dinding
kamar.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat,
kami tahu beban berat bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan
berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah
ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya…”
“Apa maksud Datuk Rao?” tanya
Ageng Musalamat.
“Kau akan kami berikan satu
jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga
diri….”
“Datuk hendak mengajarkan tlmu
silat Harimau Dewa. Di dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin…”
"Ilmu ini tidak perlu
dilatih secara lahir. Pada saat kau memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu
menghadapi musuh…”
“Ilmu aneh luar biasa. Jika
Datuk tidak bergurau maka saya menghaturkan terima kasih…”
“Mendekatlah ke sini Ageng
Musalamat. Duduk di lantai di hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. Ageng
Musalamat turun dari atas ranjang kayu.
“Letakkan Kitab Putih Wasiat
Dewa di atas pangkuanmu.” Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang
dikatakan si orang tua berbentuk samar.
Setelah Ageng Musalamat duduk
di hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk Rao keluarkan sebuah
benda yang memancarkan sinar kekuningan. Benda ini ternyata adalah sebuah
saluang terbuat dari emas. (Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang
biasanya terbuat dari bambu). Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya.
Sesaat kemudian menggemalah
suara alunan seruling, lembut berhibahiba. Harimau putih besar di samping sang
Datuk tiba-tiba melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang
nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu membuka mulutnya
lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala Ageng Musalamat sampai ke pangkal
leher masuk ke dalam mulutnya. Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan
adanya hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya langsung
pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya terus mengalir ke tangannya
kiri kanan.
– == 0O0 == –
DELAPAN
PEMUDA berpakaian biru berikat
kepala merah dan bertubuh tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu
kamar. Dari balik tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki
separuh baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid Ageng Musalamat.
Lelaki yang melangkah dari
balik peti menegur pemuda yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat.
“Cagak Guntoro, sedang apa kau
di situ? Air mukamu kulihat aneh.” Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget
oleh teguran yang tiba-tiba itu.
“Kakak Munding Sura, syukur
kau datang. Aku mendengar suara suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita
Kanjeng Sri Ageng Musalamat.” Munding Sura tersenyum.
“Kau baru sekali ini
mengarungi laut naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut
tentu telah mempengaruhi pendengaranmu.”
“Aku tidak tertipu pendengaran
sendiri kakak Munding. Aku barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di
sana. Aku yakin dia berada dalam kamar…”
“Malam belum larut, tidak
mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk kamar untuk tidur…” kata Munding Sura pula.
“Suara-suara aneh apa yang
tadi kau dengar?”
“Suara seperti orang jatuh.
Mungkin juga suara orang dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng
bicara. Tapi lawan bicaranya tak kedengaran suaranya…”
“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira
pimpinan kita tidak waras bicara sendirian dalam kamar? Hemm… mungkin dia
memang sudah tertidur lalu mengigau…. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat
ini. Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam…“
Munding Sura hendak berlalu
tapi Cagak Guntoro cepat memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu
saja tanpa menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?”
“Lalu apa yang ada di
benakmu?” tanya Munding Sura.
Cagak Guntoro tidak menjawab.
Dia melangkah mendekati pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban.
Pemuda ini mengetuk sekali
lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?” Tetap tak
ada jawaban.
Cagak Guntoro memandang pada
Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak.
“Buka pintunya. Kalau terkunci
buka paksa!” kata Munding Sura.
Cagak Guntoro coba membuka pintu.
“Dikunci dari dalam…”
bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan bahunya untuk
mendorong.
Sekali mendorong pintu kamar
terbuka. Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti. Namun belum
sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini melompat mundur sambil
berbarengan keluarkan seruan tertahan.
Di dalam kamar yang tak
seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng Musalamat tampak terbujur di atas ranjang
kayu. Punggungnya tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun
lontar dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat tampak tak
kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua anggota rombongan itu
terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka itu telah berubah menjadi kepala
seekor harimau putih. Kejadian ini hanya terlihat sebentar karena sesaat
kemudian perlahan-lahan wajah Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya
semula. Cuma hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terkatup.
“Apa yang terjadi dengan
pimpinan kita? Barusan mukanya seperti harimau…” kata Cagak Guntoro dengan
suara bergetar karena masih diselimuti rasa ngeri.
“Aku mencium bau kemenyan,”
balas berbisik Munding Sura.
“Yang begini merupakan
tanda-tanda ilmu hitam…”
“Tidak mungkin Kanjeng Sri
Ageng memiliki ilmu hitam. Kita semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro
pula.
“Jangan-jangan ada seseorang
telah berbuat jahat terhadapnya. Kita harus segera membuat dia sadar…” Munding
Sura masuk ke dalam kamar.
Namun saat itu perlahan-lahan
Sri Ageng Musalamat membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera ingat
akan apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang karena
dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam kamar.
“Cagak Guntoro, Munding Sura!
Ada apa kalian berada dalam kamarku?!” tanya Ageng Musalamat.
“Maafkan kami berdua Kanjeng
Sri Ageng. Kami tidak bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar
suara gaduh dalam kamar….”
“Betul Kanjeng. Saya mendengar
suara seperti sosok tubuh terbanting ke dinding…. Kami mengetuk pintu kamar.
Juga memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi apa-apa
dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk…,” Begitu Cagak Guntoro menerangkan.
“Waktu masuk kamar ini
terselubung bau kemenyan…” menambahkan Munding Sura.
“Begitu masuk kami lihat
Kanjeng tersandar ke dinding. Mata terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur
sekarang Kanjeng sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta diri….”
“Tunggu…” kata Ageng
Musalamat.
“Selain suara orang terbanting
ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain…?”
“Kami mendengar Kanjeng bicara
dengan seseorang. Tapi waktu kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini
selain Kanjeng…. “ Menjawab Cagak Guntoro.
“Hemmm…. Berarti mereka tidak
mendengar suara auman harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling
dan suara Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat. Munding Sura
melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng Musalamat dan masih dalam
keadaan terbuka.
Melihat orang melirik baru
Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya.
Lalu dia bertanya. “Apa kalian
masih mencium bau kemenyan di kamar ini?” Dua anak murid menggeleng.
“Kalian boleh pergi. Tak usah
khawatir. Tak ada apa-apa di sini. Aku berterima kasih kalian punya perhatian
atas keselamatanku…. Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian
katakan padaku?” Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura.
Pemuda itu memandang maksudnya
untuk memberi isyarat pada lelaki itu apakah akan diceritakan saja bagaimana
tadi mereka menyaksikan wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau
putih. Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga Cagak Guntoro
terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu.
Sampai di geladak Munding Sura
memegang lengan Cagak Guntoro lalu bertanya berbisik.
“Waktu di dalam kamar tadi kau
berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat
memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”
“Sempat, tapi aku tak tahu
buku apa. Tulisannya kecil-kecil. Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno.
Aku tidak begitu pandai membaca tulisan Jawa kuno… Kenapa kau menanyakan kitab
itu?” “Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan Kanjeng tadi…”
“Hem, bagaimana kau bisa
menduga begitu kakak Munding Sura?” tanya Cagak Guntoro.
Munding Sura terdiam lalu
mengangkat bahu.
“Kurasa Kanjeng tidak suka
kita membicarakan apa yang tadi kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja
kejadian itu….”
“Kurasa begitu…” kata Cagak
Guntoro. Lalu dia menepuk bahu Munding Sura dan berbisik.
“Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada
di ujung buritan sana…. Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini
beranginangin. Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas dan
pengap.”
*
* *
Sambil berpegangan pada pagar
kayu kokoh di buritan kapal sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya.
Di balik pakaiannya tersimpan
Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di dalam kamar, kitab
itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia pergi.
Memandang ke arah lautan luas
yang menghitam dalam kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang
telah,dialaminya.
“Dua puluh tahun…. Menurut
orang tua yang muncul secara aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa
pada seorang yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas
mengatakan jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan menjadi
penguasa dunia persilatan. Hemmm… mengapa orang tua itu berdusta? Kalau saja
sebelumnya dia menceritakan terus terang padaku bahwa kitab ini tidak berjodoh
rasanya bebanku tidak akan seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak
mengetahui kalau dirinya, dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab
Wasiat Dewa sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh? Lalu siapa pula
gerangan orang yang beruntung itu?” Ageng Musalamat menarik napas dalam
berulang kali.
“Waktu kutanya apakah ada hal
lain yang hendak disampaikan, Cagak Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan
sesuatu. Tapi Munding Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat
bicara. Atau mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan.
Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.” Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan
berpikir-pikir di buritan kapal.
Dia baru beranjak dari situ
ketika angin laut terasa semakin kencang dan lembab. Ketika dia mendorong pintu
kamar dan masuk ke dalam, langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti
kayu berukir tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya
tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka tutupnya untuk
memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan
senjata mustika itu masih berada dalam peti.
“Peti ini sebelumnya berada di
atas meja kecil sana. Bagaimana mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada
seseorang yang coba mencurinya…“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan
Eyang Ismoyo.
Barang siapa bermaksud jahat
dan mencuri keris sakti itu maka senjata itu akan berubah beratnya laksana
segunung batu! Ageng Musalamat coba mereka-reka.
“Ada seseorang menyelinap
masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar kamar
tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu mengangkat dan
lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk. Pencuri laknat. Ada pengkhianat
dan pencuri di atas kapal ini. Celakanya dia adalah salah seorang dari
murid-muridku!” Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan buritan.
Cagak Guntoro ditemuinya lebih
dulu. Pemuda ini terduduk di salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak
bengkak dan luka. Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.
“Hemm…. Dia rupanya,” kata
Ageng Musalamat dalam hati.
Dia melangkah mendekati orang
yang mengurut dan menepuk bahunya.
“Pergilah… Biar aku yang
meneruskan mengurut kakinya.” “Kanjeng…. Tak usah. Biarkan saja dia…” kata
Cagak Guntoro.
Namun pandangan mata pimpinan
mereka membuat pemuda yang tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat
itu. Setelah mereka berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di depan
Cagak Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata.
“Hemmm… Cidera kakimu cukup
parah. Apa yang terjadi Cagak Guntoro?”
“Kakiku kejatuhan salah satu
besi penahan tiang layar kapal…“
“Pasti kau tidak berhati-hati.
Malu rasanya pemuda sehebatmu bisa dihajar lawan tidak bernapas seperti besi
itu!” Ageng Musalamat menyeringai.
Lalu tangan kirinya bergerak
memegang kaki kanan muridnya itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan
sembarangan karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh
kesakitan.
“Dengar, aku bisa meremukkan
tulang kakimu mulai dari ujung jari sampai ke mata kaki…” kata Ageng Musalamat
dengan suara tajam dan pandangan mata tak berkesip.
“Kanjeng…. Apa maksudmu?”
tanya Cagak Guntoro sambil menahan sakit.
“Katakan apa yang sebenarnya
terjadi! Kakimu itu cidera bukan karena kejatuhan besi kapal!”
“Aku tidak berdusta Kanjeng.
Perlu apa….”
“Waktu aku berada di buritan
kau menyelinap masuk ke dalam kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris
Kiyai Sabrang Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau
tidak mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh menimpa kaki
kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro tampak berubah mukanya.
“Kanjeng… aku tak pernah
berdusta padamu…. Mengingat budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang
tua sendiri…“
“Kedua orang tuamu sudah mati!
Tak perlu disebut-sebut. Aku tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu
kupungut dari pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan.
Hebat kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah membuktikan. Dengan
mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu bagaimana saktinya senjata
itu!" Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggelenggelengkan
kepalanya berulang kali.
“Menurut pesan Eyang Ismoyo
manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau memberi pengampunan.
Kedudukanmu sebagai murid aku cabut. Derajatmu sekarang sama dengan pembantu
yang harus melayani semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti
bahwa memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka aku akan
memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!” Kanjeng Sri Ageng Musalamat
bantingkan kaki kanan Cagak Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan
tempat itu.
“Kanjeng!” panggil Cagak
Guntoro.
“Kau keliru Kanjeng. Aku
bersumpah bahwa aku tidak….” Ageng Musalamat tidak perduli.
Dia melangkah terus dan
akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang menghubungkan
bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu Ageng Musalamat berpapasan
dengan Munding Sura. Anak muridnya ini segera ditariknya ke salah satu sudut di
bawah tangga.
“Aku perlu penjelasan darimu
Munding Surya. Kuharap kau menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!”
Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun Munding Sura menjawab
juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak kau tanyakan?”
“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro
berada di kamar, aku menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak
dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku. Namun kau seolah
memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian berdua cepat-cepat
meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu yang kalian tidak mau mengatakan!”
“Kanjeng….”
“Aku menunggu Munding Sura.
Katakan cepat!”
“Waktu kami masuk ke dalam
kamar, kami lihat Kanjeng Sri Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke
dinding kamar. Kami tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau
pingsan. Cuma kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya….”
“Maksudmu?” tanya Ageng
Musalamat.
“Muka Kanjeng tidak seperti
muka manusia….”
“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat.
“Jangan kau bicara ngelantur…“
“Saya tidak ngelantur. Juga
tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi
muka seekor harimau putih…“ Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak
demikian terkejutnya Ageng Musalamat.
“Mukaku berubah menjadi muka
seekor harimau putih katamu?!” Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan
kepala.
Ageng Musalamat tegak tak
bergerak. Ingatannya kembali pada apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok
Datuk Rao dan seekor harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan
membuka mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke dalam
mulutnya, dia jatuh pingsan.
“Orang ini tidak berdusta,”
membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao.
“Kau lebih beruntung dari
orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya… Kau akan
kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau
pergunakan untuk menjaga diri…“
“Berarti….” Ageng Musalamat
usap-usap dagunya,
“Datuk Rao memang telah
memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau Dewa…”
– == 0O0 == –
SEMBILAN
KEDATANGAN rombongan Kanjeng
Sri Ageng Musalamat disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow.
Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di Kotaraja.
Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu rombongan tamu yang
datang adalah orang-orang Muslim maka dia sengaja mengirimkan orang-orang
seagama untuk menyambut kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan.
Seorang penterjemah yang juga
disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan mendampingi Ageng
Musalamat kemana dia pergi. Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak
lelaki kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi selesai
sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa sebuah pipa panjang
khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau. Seseorang membakar tembakau itu hingga
menebar asap yang harum. Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.
“Ah, rupanya para sahabat di
sini tahu kalau aku dulunya adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun
belakangan ini aku berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk
kesehatan. Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku
berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri Ageng
Musalamat tertawa lebar.
Diusapnya kepala anak lelaki
itu berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung saja
dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggitinggi ke udara.
“Terima kasih… terima kasih…”
kata Ageng Musalamat berulang kali seraya membungkuk.
Dia berpaling pada anak lelaki
yang barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah lama
diharapkannya.
“Anak ini walau kurus tapi
memiliki bentuk tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang
bola matanya jernih dan pandangannya mencerminkan satu kekuatan yang tidak
mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan yang seperti dia….” Ageng
Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya.
“Anak gagah, siapa namamu?”
Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si penterjemah apa yang ditanyakan orang si
anak dengan sikap tegak dan suara lantang menjawab.
“Nama saya Ki Hok Kui. Saya
anak petani miskin di desa Chungwei!”
“Anak hebat!” memuji Ageng
Musalamat.
“Orang tuamu pasti bangga
punya anak sepertimu…”
Setelah Bu Tjeng memberitahu
si anak tampak tersenyum lalu membungkuk.
“Orang tuaku telah tiada.
Mereka meninggal enam tahun lalu waktu terjadi air bah besar di pantai timur!”
“Ah…”
Ageng Musalamat
manggut-manggut terharu. Namun dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada
diri Ki Hok Kui. Anak ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia
mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
“Anak ini mampu menekan
perasaannya. Menjawab kesedihan dengan senyum menghias bibir….”
Ageng Musalamat kembali
mengusap kepala Ki Hok Kui.
“Aku menyesal mendengar kau
seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama. Aku juga seorang yatim piatu. Tapi
kau tak usah takut. Kesusahan hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat
sekuat batu karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang
pelabuhan Seochow!”
Ki Hok Kui kembali tersenyum.
“Saya memang sudah pernah
mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu….” Anak ini menyebut kata Kanjeng
dengan Kan-jieng.
Tentu saja Ageng Musalamat
jadi terkejut. Orang-orang yang ada di sekitar situ juga terheran-heran
mendengar ucapan anak itu.
“Ki Hok Kui, kau bilang
barusan pernah mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Kapan… di mana? Padahal
kita baru saja saling bertemu saat ini.”
“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok
Kui pula.
“Satu tahun lalu saya pernah
bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu. Begitu melihat
Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah orang yang saya lihat
dalam mimpi itu dan bicara pada saya….”
Sesaat Ageng Musalamat jadi
terkesiap mendengar keterangan si anak. Begitu juga anggota rombongan yang
lain.
“Ternyata anak ini punya daya
ingat yang kuat….” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Aku yang baru berusia empat
puluh tahunan terkadang sering-sering lupa pada hal-hal yang belum lama
terjadi. Hemm…. “ Ageng Musalamat tertawa lebar.
“Apakah kau punya saudara Ki
Hok Kui? Kau tinggal di kota ini?”
Ki Hok Kui menggeleng.
“Saya tidak punya saudara
tidak punya sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin
seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali naik haji ke
tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?”
Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak.
“Gurumu itu pasti ulama hebat!
Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan pergi nanti langsung
dari daratan Tiongkok ini….” Ageng Musalamat tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui.
“Anak gagah, apakah kau akan
menyertai rombongan kami ke Kotaraja?” Si anak mengangguk. “Kalau begitu kita
berangkat sekarang….” “Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti
saya menyusul….” “Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng
Musalamat pula.
Si anak menunjuk ke langit.
“Matahari sudah tinggi
Kan-jieng…. Saya belum sembahyang Zuhur.” Ageng Musalamat terkejut.
“Astagfirullah, semoga Tuhan
mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum sempat
sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar…. Hok Kui, apakah ada
mesjid di sekitar sini?”
“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak
jauh dari sini ada satu bangunan besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya
bersih. Airnya banyak untuk wudhu….”
“Kalau begitu antarkan kami ke
sana. Kita sembahyang berjamaah di tempat yang kau katakan itu.” Ki Hok Kui
membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan dipegangnya lengan Ageng Musalamat,
membawanya ke sebuah bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana.
*
* *
Walaupun rombongan mengendarai
beberapa kereta dan gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca
yang buruk membuat mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai
di Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat sebuah telaga
kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya ingin terus berjalan namun
kuda-kuda penarik kereta dan gerobak serta kuda-kuda tunggangan perlu
beristirahat setelah satu hari suntuk berjalan terus menerus.
Di dalam kamarnya setelah
selesai metakukan sembahyang sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas
sehelai tikar permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara derap
kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan.
Tak lama kemudian terdengar
suara bentakan-bentakan keras. Ageng Musalamat yang satu kemah dengan
penterjemah Bu Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar
dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang menjemput
dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang kuda. Selain mengenakan
pakaian serba hitam, tujuh penunggang kuda ini juga memakai kain hitam penutup
wajah masing-masing. Di belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung
gagang pedang.
Mereka memiliki rambut hitam
lebat. yang dikuncir di atas kepala. Anehnya rambut di sebelah atas ikatan
kuncir berwarna kuning keemasan.
“Kami datang mencari kepala
rombongan tamu yang datang dari seberang!”
Penunggang kuda di sebelah
kiri depan berseru. Tidak seperti enam temannya, dia satu-satunya yang
mengenakan mantel merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak
dikenal itu. Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang diucapkan
orang itu.
“Ini aneh, bagaimana dia tahu
diriku dan apa perlunya mencariku?” bisik Ageng Musalamat.
“Sebentar lagi persoalannya
akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan utusan Raja tengah melangkah ke hadapan
penunggang kuda bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban.
Lu Liong Ong, seorang lelaki
bertubuh kurus tinggi, berpakaian merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di
Kotaraja serta memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si
mantel merah.
“Aku Lu Liong Ong pimpinan
rombongan penjemput tamu dari tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika
kau ada keperluan harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa
kalian adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau memakai
sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara denganku!” Orang
bermantel terdengar mendengus.
“Lu Liong Ong!” orang ini
keluarkan suara lantang.
“Kami tahu kau pejabat tinggi
salah satu orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami tidak
berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!”
“Aku minta kau turun dari kuda
kalau bicara denganku! Enam orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk
melakukan hal yang sama!” Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam
penutup mukanya.
Dia memandang berkeliling pada
enam orang anak buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan
mantel merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong membuatnya
agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan atur kuda-kuda kedua
kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh sambaran angin mantel yang hebat
itu! Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari punggung
kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang dulu ke atas lalu
ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak tanah tidak sedikit suarapun
terdengar.
Rupanya orang ini sengaja
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua orang yang ada di
situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang diketahuinya memiliki kepandaian
tinggi.
“Hemm…. Orang ini sengaja
memamerkan ginkangnya,” membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan
tubuh)
Enam penunggang kuda lainnya
segera pula melompat turun dari tunggangan masing-masing. Begitu berdiri berhadap-hadapan
Lu Liong Ong segera berkata.
“Sekarang katakan siapa kalian
ini dan apa maksud kedatangan kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah
dengan kain bukan tindakan orang-orang bermaksud baik!”
“Menurut aturan kami tidak
layak memberitahu siapa kami adanya. Tapi mengingat kau adalah pejabat
Kerajaan, kami sedikit berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau
jangan banyak cingcong lagi!”
“Katakan saja langsung siapa
kalian!” kata Lu Liong O.ng menahan jengkel.
“Kami utusan Lo Sam Tojin,
Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang
yang datang dari Jawa…” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai
besar di daratan Tiongkok)
Terkejutlah semua orang-orang
Kerajaan yang ada di tempat itu. Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku
tenang namun wajahnya jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada
penterjemah Bu Tjeng.
“Orang-orang itu bermaksud
menjemputmu… Itu istilah halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara
paksa….”
“Mau menculikku?!”
– == 0O0 == –
SEPULUH
SI PENERJEMAH, Bu Tjeng,
mengangguk membenarkan.
“Tapi mengapa? Siapa mereka
sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.
“Selama beberapa tahun Lo Sam
Tojin dikenal sebagai salah satu pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia
dan para pengurus partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan
meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut serta. Mereka
membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun dan mendirikan satu perkumpulan
yang mereka beri nama Perkumpulan Kuncir Emas. Dari satu perkampungan kecil,
lembah Pek-hun menjadi satu kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo
Sam Tojin semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk sebuah
partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami Perkumpulan Kuncir Emas
bukan perkumpulan baik-baik. Mereka sering melakukan perampokan dan pembunuhan
walau yang mereka rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau
pejabat-pejabat yang diketahui melakukan korupsi.”
Lu Liong Ong rangkapkan dua
tangan di depan dada. Lalu bertanya.
“Apakah Lo Sam Tojin
memberitahu padamu apa maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa
itu?”
Lelaki bermantel merah kembali
tertawa pendek.
“Kami bukan anak buah yang
tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal yang tidak layak kami
ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami datang untuk menjemput orang itu.
Mana dia! Lekas suruh dia keluar!”
“Selama orang itu berada
bersama kami, sebagai tamu Raja maka tidak ada satu orang lainpun boleh
memintanya! Aku sudah tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian
sebenarnya hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu Raja!”
“Kalau kau sudah tahu mengapa
tidak segera menyerahkan orang itu pada kami?!”
“Aku perintahkan kau dan anak
buahmu segera meninggalkan tempat ini!” bentak Lu Liong Ong.
“Lu Liong Ong, tadi kami sudah
bilang kami mengambil sikap hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan
tidak ingin mencari urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam
Tojin maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan mahal!”
Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan di depan
dada.
“Kami memang sudah lama
mendengar dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan Kuncir
Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik. Tinggalkan tempat
ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada Lo Sam Tojin. Jika dia tidak
segera membubarkan perkumpulannya maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu.
Lo Sam Tojin akan ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan
pengadilan baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”
Orang bermantel merah tertawa
gelak-gelak. Enam temannya ikut-ikutan tertawa.
“Lu Liong Ong! Kami tahu kau
seorang pembesar Kerajaan. Tapi mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau
menuduh kami ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap
kami?!”
Ditantang seperti itu walau
dia jadi marah tapi Lu Liong Ong tetap tenang.
“Saatnya akan tiba! Pasukan
Kerajaan akan menyerbu lembah Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih
untung saat ini kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi
sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat angkat kaki!”
Orang bermantel tertawa
gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada enam anak buahnya dan berkata.
“Kawan-kawan, percuma bicara
dengan manusia satu ini! Bereskan dia!” Mendengar kata-kata pimpinan mereka
enam orang berseragam hitam melompat ke depan.
Mereka menebar demikian rupa
hingga Lu Liong Ong terkurung di tengah-tengah. Melihat kejadian ini Ageng
Musalamat cepat tinggalkan kemah. Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki
Hok Kui. Anak ini mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling
pada Bu Tjeng. Orang ini segera memberitahu.
“Hok Kui mengkhawatirkan
keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah karena orang itu
datang hendak menculikmu.”
Ageng Musalamat tersenyum.
“Anak baik! Kau tak usah
mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat jahat terhadap
rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rombongan tamu tapi kami tak bisa
lepas tangan begitu saja.”
“Kalau Kan-jieng berkata
begitu mana saya berani melarang. Berarti kita akan menonton satu perkelahian
seru!” kata Ki Hok Kui pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.
Sementara itu di depan sana,
dalam gelapnya malam enam orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang
Lu Liong Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang
adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri dengan ilmu
silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika gebrakan pertama yang
mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh lawan. Keenamnya cepat menyerbu
kembali. Perkelahian berlangsung hebat. Saat itulah Ageng Musalamat berteriak
pada beberapa orang anak buahnya. Lima anak murid Ageng Musalamat, yang
memiliki kepandaian tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian.
Melihat ini Lu Liong Ong
berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng Musalamat dan berkata.
“Pimpinan kami meminta agar
kau menyuruh mundur lima orang itu!”
“Tapi dia dikeroyok secara
curang!” jawab Ageng Musalamat.
“Tak usah khawatir, Lu Liong
Ong akan mampu menghadapi mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit
Kerajaan yang ada di antara kami akan membantu!”
Mendengar ucapan Bu Tjeng itu
Ageng Musalamat terpaksa menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan
mundurnya mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah kalangan.
Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka kini keadaan jadi
terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan. Perkelahian tangan kosong
berjalan seru. Walau dikeroyok begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu
bertahan bahkan dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok
pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan seranganserangan balasan.
Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua orang tergelimpang muntah darah
akibat dimakan tendangan lawan. Lu Liong Ong kertakan rahang.
Otaknya yang cerdik serta
matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan pertahanan enam
orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke salah satu ujung barisan lalu
menggempur habis-habisan. Lawan pertama terkapar di tanah dengan leher patah
akibat hantaman pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban
kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan lelaki
bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak berkutik
lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat tendangan kaki kanan Lu Liong
Ong. Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat semangat
berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas.
Dua orang yang masih tinggal
walau kini menghadapi lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi
takut. Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya
menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau melihat korban
jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan melompat ke tengah kalanggn
perkelahian. Dia sempat merobohkan dua prajurit yang menyerang anak buahnya
hingga mencelat mental dan menemui ajal dengan kepala pecah!
“Tahan! Lu Liong Ong aku
lawanmu!” Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.
“Korban sudah jatuh dipihakmu
dan pihakku! Memang pantas kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan
lekas menyerah dan berlutut!”
“Pejabat jahanam! Makan dulu
tanganku ini!” bentak si mantel merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau
pukulan.
Tangan kanannya berkelebat
mengibaskan mantel merahnya.
“Wussss!”
Mantel itu bertabur di udara.
Sinar merah memancar dalam kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu
Liong Ong.
“Orang itu memiliki tenaga
dalam tinggi,” membatin Ageng Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian
dan melihat bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh.
Selagi dia berusaha
mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan lancarkan satu jotosan ke pelipis
kirinya! Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua lengan saling beradu. Entah
karena kedudukan kedua kaki Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan
tubuhnya yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat,
beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh keras ke tanah.
Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel mendatangi dengan satu tendangan ke
arah tulang rusuknya. Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi
tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu Liong Ong,
gulingkan tubuhnya.
Si mantel merah tersaruk ke
depan namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong membuat
gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu melesat ke atas. Di
udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong berkelebat ke arah si mantel merah.
Inilah jurus silat bernama soan hong liap in yang berarti “angin berpusing
mengejar awan.”
Orang bermantel keluarkan
seruan kaget ketika tahu-tahu kaki kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini
benar-benar merupakan serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri.
Meski serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang cepat.
Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak
lalu tergelimpang di tanah. Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si
mantel merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang
terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si kuncir emas itu.
Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang ini melompat bangkit. Lu Liong
Ong tampak agak tercekat ketika melihat lawannya tidak cidera malah masih
sanggup berdiri dan melangkah ke arahnya.
“Lu Liong Ong, kesempatanmu
untuk berdoa pada Thian hanya sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan
saja!”
“Manusia sombong tapi tolol!
Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu kemari untuk mencari mati!” Si mantel merah
kembaii keluarkan suara menggembor.
Lalu didahului bentakan keras
tubuhnya berkelebat. Sinar merah mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua
matanya perih. Ada hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat
melihat apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya serangan.
Dengan cepat dia melompat ke kiri.
“Bukkkkk!”
Lu Liong Ong mengeluh tinggi.
Mantel merah menghantam punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini
terpental ke depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak
hingga tak sampai jatuh ke tanah.
Namun baru saja dia
membalikkan badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar ke
badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu dia coba menarik
napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya. Beberapa orang anak buahnya
berseru kaget melihat kejadian ini. Saat itu si mantel merah sudah berkelebat
lag!. Tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya
menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti patahlah
tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!.
Ketika si mantel merah siap
mematahkan leher Lu Liong Ong, di udara malam, melewati kepala beberapa orang
yang ada di tempat itu, melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah
merasakan ada satu tangan memegang bahu kirinya. Mendadak sontak tangan kirinya
menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi. Bersamaan dengan itu di
belakangnya ada satu suara menegur dalam bahasa yang tidak dimengertinya.
“Orang gagah bermantel merah.
Kau telah memenangkan perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada
untungnya bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong….” Si mantel merah berpaling.
Pandangannya membentur wajah Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.
“Kau pasti orang asing yang
datang dari negeri seberang itu…” Ageng Musalamat masih tersenyum.
Tidak menjawab karena memang
dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah. Sebaliknya si mantel merah
juga tidak mengerti apa yang tadi diucapkan Ageng Musalamat. Ki Hok Kui segera
mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat berkata.
“Paman Bu Tjeng, kau harus
lekas ke sana. Dua orang itu saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak
mengerti satu sama lain!”
“Kau benar!” kata Bu Tjeng
lalu melompat dan berdiri di antara Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih
mencekal si pejabat tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu.
Ageng Musalamat kembali
mengatakan sesuatu pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan.
“Orang ini memintamu agar
melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya membunuh. Dia juga
menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin hingga kau diutus untuk
menjemputnya?” Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan mengendur
amarahnya.
Sepasang pandangan mata lembut
Ageng Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya pada Lu Liong
Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah setengah sadar setengah
pingsan. Beberapa orang prajurit segera menggotongnya ke tempat aman.
“Orang asing. Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia
mengutusku untuk menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat
kediamannya.”
“Ah, Ketuamu tentu seorang
yang sangat baik hati. Belum pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang
ke tempatnya. Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada
Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang menjadi tamu
Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi izin aku akan datang sendiri
menyambanginya di lembah itu…” Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk
memberi hormat.
Ketika dia hendak membalikkan
badan si mantel merah berseru.
“Orang asing! Tunggu!” Si
mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng Musalamat.
“Peraturan di Perkumpulan
Kuncir Emas sangat keras. Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan
tidak berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan memisahkan
kepalaku dari tubuhku!” Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika
dia mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.
“Jika kau tidak sanggup
mengikuti aturan Perkumpulan, mengapa tidak keluar saja?”
“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam
Tojin akan membunuhku dan seluruh keluargaku!”
“Ah… Rupanya susah juga hidup
ini bagimu…” kata Ageng Musalamat sambil usap-usap dagunya.
“Sebelum pergi Lo Sam Tojin
mengatakan sesuatu padaku…”
“Hemmm, aku ingin
mendengarkan….”
“Katanya, jika aku tidak bisa
membawamu ke lembah Pek-hun maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris
emas yang hendak kau persembahkan pada Raja….” Ageng Musalamat terkejut.
Bagaimana orang ini bisa tahu aku membawa keris itu, pikirnya.
“Rupanya kabar menebar secepat
kilat dan tak ada rahasia yang bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa
sebilah keris emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan
menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”
Beberapa orang anak murid
Ageng Musalamat maju ke hadapan pimpinan mereka, serentak menegur keras
menyatakan ketidak senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar
setengah pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang hendak
dilakukan Ageng Musalamat.
“Tamu terhormat Kanjeng…! Jika
kau serahkan keris itu padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja
dan rakyat Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan
jatuh terduduk di tanah.
“Sahabatku pejabat Lu Liong
Ong, kau tak usah khawatir… Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng
Musalamat sambil tersenyum dan kedipkan matanya.
Ageng Musalamat memberi
isyarat agar si mantel merah mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah.
Hampir semua orang yang ada di tempat itu mengikuti. Sampai di dalam kemah yang
diterangi lampu minyak Ageng Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat
dari kayu yang terletak di atas tumpukan barang.
“Buka penutup peti dan lihat
isinya…” Ageng Musalamat berkata pada si mantel merah.
Bu Tjeng cepat menterjemahkan
ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia khawatir orang
akan menjebaknya. Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang tersenyum dan
anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati peti kayu jati berukir itu.
Dia ulurkan tangan membuka penutup peti. Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar
kuning membersit keluar. Si mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan
telapak tangan kiri.
“Apakah benda itu yang diminta
oleh Ketuamu paderi Lo Sam?” tanya Ageng Musalamat.
Si mantel merah mengangguk
setelah mendengar kata-kata Bu Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng
kembali menterjemah.
“Kau boleh mengambil senjata
itu, membawanya pergi dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.”
”Ah…. Terima kasih… terima
kasih…” kata si mantel merah sambil membungkuk berulang kali.
Dia tidak menyangka kalau
orang akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu cepat
ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat peti dari tumpukan
barang. Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah yang
tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya terhuyung ke depan. Peti
kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit itu seperti berubah menjadi
sebuah batu besar yang amat berat. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap
saja dia tak sanggup bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya
menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia kerahkan tenaga
dalam.
“Krakk! Kraaak!”
Si mantel merah menjerit
keras. Sambungan tulang bahunya kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu
lepas dari pegangannya dan bukkk! Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang
melindungi kakinya berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak
merah tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit
berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.
Ageng Musalamat membungkuk
mengambii peti kayu berisi keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya
bahu si mantel merah.
“Katakan pada Ketuamu, kau
telah berusaha tapi tak sanggup membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata
ini tidak berjodoh dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang…“ Si mantel merah
hendak berteriak marah.
Tapi ketika dilihatnya orang
bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar aneh memancar
dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa banyak bicara lagi dia segera
keluar dari dalam kemah.
– == 0O0 == –
SEBELAS
MALAM pertama sampai ke
Kotaraja rombongan Ageng Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan
malam yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan khusus
dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng Musalamat menyerahkan
keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada Raja. Sebagai balasan, Raja
memberikan seuntai tasbih yang terbuat dari batu giok berwarna hijau pekat.
Tasbih itu bukan tasbih biasa karena mampu menolak racun serta memiliki
kekuatan besar.
Perjamuan itu menjadi semarak
karena dipertunjukkan berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah
malam, perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam yakni
sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana. Selama dua hari rombongan
diajak melihat-lihat beberapa tempat berpemandangan indah.
Pada malam ketiga sesuai yang
telah diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah gedung yang
biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk perunjukan kepandaian silat. Acara
kali ini tidak dihadiri oleh Raja, tapi beberapa pejabat penting termasuk
Kepala Barisan Pengawal Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut
hadir. Lu Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam
perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo hari. Tuan
rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan kosong dan mempergunakan
senjata diseling dengan pertunjukan akrobat. Setelah itu giliran murid-murid
Ageng Musalamat ganti memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang
merupakan bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak tuan
rumah dan tamu dari tanah Jawa.
Agaknya dalam rangka
persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak berani menurunkan
tangan keras. Walau begitu pertandingan itu berjalan cukup seru dan tidak
henti-hentinya mendapatkan sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir. Ketika
pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara malam itu tiba-tiba sebuah benda
kuning melesat di udara lalu menancap di atas panggung. Ketika semua orang
memperhatikan benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang
pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada bagian tengah
bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar berupa kunciran rambut. “Bendera
Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang mengenali. Tempat itupun
menjadi gempar. Belum berhenti getaran besi bendera yang menancap di lantai
panggungm belum reda suara gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar
suara tawa mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelapkelip.
“Braakk!”
Loteng di atas panggung
ambruk. Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak tepat di
samping kanan bendera kuning.
“Lo Sam Tojin!” beberapa orang
yang duduk di barisan depan sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking
kagetnya.
Ageng Musalamat sendiri yang
ada di barisan kursi terdepan mendadak saja merasa berdebar. Kedua matanya
memandang tak berkesip pada orang yang di atas panggung. Orang di atas panggung
ternyata adalah seorang kakek mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam.
Mukanya berwarna kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir,
dicat dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi membuat keseluruhan
diri orang ini menjadi angker untuk dipandang. Apalagi sepasang matanya tak
bisa diam, selalu jelalatan. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat
besi berwarna kuning.
“Apakah kalian sudah selesai
mempertunjukkan kebodohan masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.
“Tak ada yang menjawab! Bagus!
Itu berarti kalian menyadari kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu
kembali tertawa bergelak-gelak.
Seseorang berpakaian kebesaran
militer yang duduk di barisan depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang
ini adalah Suma Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.
“Lo Sam Tojin! Tindakanmu
sungguh kurang ajar sekali! Lekas turun dari panggung dan tinggalkan tempat
ini!”
“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat
di Kotaraja ini tidak angkuh semua!” Lo Sam Tojin menjawab.
“Apa maksudmu?!” sentak Suma
Tiang Bun dengan mata mendelik.
“Beberapa hari lalu, seorang
pejabat bernama Lu Liong Ong sesumbar jual omongan besar mau menyerbu
kediamanku di lembah Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu
itu? Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh kemari.
Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal bernama Suma Tiang Bun
dengan sikap hormat memintaku untuk berlalu. Ha… ha… ha…!”
Merah padam muka Kepala
Barisan Pengawal Istana itu. Dia cepat memandang berkelliling dan siap
berteriak pada para pengawal untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo
Sam Tojin tapi alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun
anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan kelihatan
sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah tertutup kain hitam,
rembut kuning dikucir di atas kepala! Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali
tertawa mengekeh.
“Jenderal Suma!,” teriak Lo
Sam Tojin, “kau tak usah khawatir. Semua anak buahmu berada di gudang belakang.
Semua tertidur pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!”
Terkejutlah Suma Tiang Bun
mendengar ucapan Lo Sam Tojin itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki
gemuk pendek yang tegak di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala
Balatentara Daerah Timur.
“Jenderal, aku minta
bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di
tempat ini. Aku akan menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!” Jenderal Tjia
mengangguk.
“Hati-hati Jenderal Suma. Lo
Sam Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung membantumu begitu
selesai menyusun kekuatan!” Begitu Jenderal Tjia bergerak.
Suma Tiang Bun berkelebat ke
atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.
“Ha… ha…! Aku jadi sungkan
berhadapan denganmu Jenderal Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku
Cuma memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh, pakaianmu itu
tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha… ha… ha..!”
“Tojin sesat! Tutup mulutmu!
Aku masih memberi kesempatan terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!”
“Ho… ho! Terus terang aku
kemari bukan mencarimu. Tapi mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang
itu jangan harapa aku akan minggat dari sini!”
“Kau akan menyesal. Sebentar
lagi pasukan besar akan mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal
bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
“Heemm… begitu?!” dua mata Lo
Sam Tojin berputar-putar dan jelalatan kian kemari.
“mari kita main-main sebentar.
Sudah lama aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang Jenderal
sepertimu!”
“Kalau kau memang minta
digebuk, aku tuan besarmu tidak akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun
lalu melompat ke depan melancarkan serangan.
“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong
cut tong! Siapa takut?!” ejek Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke
depan. (Ouw liong cut tong = Naga hitam keluar goa).
Jenderal Suma Tiang Bun tentu
saja terkejut ketika mendengar Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang
dilancarkannya. Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma
dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun Lun Pay. Sedang
Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh itu. Jadi dia sudah tahu
semua jurus-jurus ilmu silat Partai.
“Jenderal Suma! Kalau
kepandaianmu cuma sebegitu sungguh mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi
Kepala Barisan Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu
dengan jurus yang sama!” Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan
tongkat besi kuningnya.
Ketika serangan lawan berupa
jotosan keras siap melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.
“Jurus ouw liong cut tong
sejati!” Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua orang yang
berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan paderi melancarkan serangan
tahu-tahu…
“Buukkk!”
Jenderal Suma terpental satu
tombak ke belakang. Dari mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia
memperhatikan tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah. Rasa
sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah tak mampu
dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia melompat ke depan. Kini terjadi
perkelahian seru. Lima jurus Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan
seranganserangan ganas.
Tapi Lo Sam Tojin berubah
laksana bayang-bayang. Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh
kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang besar berkelebat
mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin berseru keras ketika dapatkan
dirinya tenggelam dalam tekanan serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan
sepasang tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut gempuran
lawan.
“Wuuss…! Wuuss…!”
Dua larik sinar hitam menderu
keluar dari ujung lengan jubah hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan
berhasil dielakkan Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri
menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini terpental.
Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar keras. Dari mulutnya ada
darah meleleh. Sang Jenderal menderita luka dalam yang cukup parah.
“Paderi keparat! Biar
kupatahkan kepalamu dari tubuh detik ini juga!” kertak Suma Tiang Bun.
“Srett!”
Dia cabut pedang yang tersisip
di pinggangnya. Sekali dia menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur
menyambar ke leher Lo Sam Tojin. Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke
pinggang. Selarik sinar kuning berkiblat.
“Traangg!”
Bunga api memercik di atas
panggung ketika pedang Suma Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam
Tojin. Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka
genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu bentrokan
senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental. Di atas pangung Lo Sam
Tojin angkat tongkat besinya ke udara. Semua orang terkesiap ketika melihat
bagaimana pedang Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot,
melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning. Dengan cepat Lo
Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa mengekeh.
“Jenderal Suma! Aku akan
membelah tubuhmu dengan pedang milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa
Giam lo ong! Ha… ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).
Jenderal Suma berusaha
menyelamatkan diri dari sambaran pedang dengan melompat ke belakang. Dia
menyambar sebuah jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat
dia menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari porselen hancur
berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam Tojin menderu dari atas ke
bawah, mengarah batok kepala Jenderal Suma. Rupanya tojin ini benar-benar
hendak membuktikan katakatanya yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal!
Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan Kerajaan yang dibawa
Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua puluh orang anak buah Lo Sam Tojin.
Walau mereka berjumlah lebih
sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam waktu singkat
mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal Tjia sendiri saat itu yang
telah melihat bahaya maut mengancam Jenderal Suma segera melompat ke atas
panggung. Selagi tubuhnya melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Lo Sam Tojin sama sekali tidak
menghindar sewaktu merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan
darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala Suma Tiang Bun,
kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning bertabur. Angin laksana badai
mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia. Orang gemuk pendek ini berseru kaget
ketika tubuhnya terpental ke bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi
diri agar tidak jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin
tahutahu melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga Jenderal
Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di ulu hatinya! Orang
banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar. Terlebih ketika melihat bagaimana
pedang di tangan Lo Sam Tojin siap pula membelah kepala Jenderal Suma!
– == 0O0 == –
DUA BELAS
SESAAT lagi Jenderal Suma akan
menjadi mayat dengan kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari
barisan kursi paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu
ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat kakek bermuka
kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih sanggup meneruskan bacokannya
namun mata pedang meleset jauh, tak dapat membelah kepala Jenderal Suma
melainkan hanya membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian Suma
Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin. Semua orang
berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak buah Perkumpulan Kuncir Emas
tanpa diberi aba-aba sama-sama hentikan pertempuran dan memandang ke atas
panggung. Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap
mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia memegang
seuntai tasbih.
“Tamu asing itu! Dia
menyelamatkan Jenderal Suma!” seseorang berseru.
Suasana menjadi gempar sesaat
namun segera sirap. Semua mata ditujukan ke atas panggung. Sepasang mata Lo Sam
Tojin yang selalu jelalatan tak bisa diam kini terpentang lebar, memandang tak
berkesip pada orang berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng
Sri Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke dagu. Pedang
di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah hingga menancap di lantai
panggung.
“Dicari susah sekali! Dijemput
tak mau datang! Tahu-tahu saat ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing
dari tanah Jawa yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah
keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha… ha… ha!”
Karena tidak tahu apa yang
dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang
paderi makin keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan
pedang yang menancap di lantai panggung.
“Desss!”
“Wuuut!”
Pedang yang menancap melesat
ke atas, berputar laksana baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang tasbih. Tasbih ini
adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari Raja Tiongkok sebagai balasan
keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang diberikannya pada Raja.
“Tring.. tring… tring!”
Terdengar suara berdentringan
beberapa kali. Bunga api memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat
terkejut dan cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih
seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir Emas tak
kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng Musalamat walau ditujukan pada
pedang yang berputar namun ada hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur
terhuyung-huyung. Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh
berdentrangan di bawah panggung.
“Orang asing, aku mengagumi
kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin seraya membungkuk. Ageng Musalamat balas
menghormat.
“Aku tak punya waktu lama. Aku
ingin kau ikut bersamaku ke lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku
perlukan untuk bantu membangun Partai Kuncir Emas…“
Lalu Lo Sam Tojin berikan tanda
dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya. Ageng Musalamat
gelengkan kepala dan goyangkan tangannya. Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo
Sam Tojin. Ke dua tangannya didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi
apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan jubahnya melesat
angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal bergoyang keras
bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh Kanjeng Agung Musalamat
bergoncang hebat.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin
seraya lipat gandakan tenaga dalamnya.
Mukanya yang kuning kelihatan
seperti mengkerut. Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah
putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil membungkuk dan
mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya berputarputar kian kemari.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin,
sekali lagi.
Ageng Musalamat bertahan
mati-matian agar tidak roboh. Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah
panas laksana dia menginjak bara api!
“Kalau aku bertahan, cepat
atau lambat aku akan jatuh! Orang tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam
luar biasa! Aku harus mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!”
Ageng Musalamat melirik pada
pecahan jambangan porselen yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri.
Mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan.
Tiba-tiba kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana senjata rahasia,
puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan pecahan porselen menancap
di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan porselen ini menancap demikian rupa
laksana disisipkan dengan hatihati dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam
Tojin yang terluka ataupun tergores! Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat
kuning maka semua orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah
sepucat mayat!
Kakek ini menyadari kalau mau
Ageng Musalamat tadi pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan
porselen itu.
“Orang asing…” kata Lo Sam
Tojin dengan suara bergetar.
“Aku menaruh kagum padamu! Aku
juga menaruh hormat! Kalau aku tidak bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk
kujadikan guru besar Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat
ini cukup membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu…” Lo Sam Tojin
membungkuk berulang kali.
Ageng Musalamat membalas
penghormatan itu dengan cara yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali.
Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan!
“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang
berteriak dari bawah panggung.
Ageng Musalamat cepat
mengangkat kepalanya. Sebenarnya tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu
datang dari depan. Ketika melihat ke depan terkejutlah dia! Lima ekor ular aneh
berwarna hitam dengan sirip di kepala dan di badan melesat ke arahnya.
“Ular iblis pencabut nyawa!”
teriak beberapa orang di bawah panggung.
Ular terbang yang diberi
julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu adalah senjata rahasia paling
berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di
dalam sebuah kantong di balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu
kaku. Tapi begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat
dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk sasaran!
Ageng Musalamat tanpa pikir
panjang jatuhkan diri ke atas lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar
sebat. Tiga ular beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung.
Dua lainnya dihantam hancur dengan tasbih. Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia
menerjang ke depan, menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari
tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng Musalamat melihat
lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah menjadi cakar besi membara! Inilah
ilmu hitam yang paling diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu
musuhpun sanggup menghadapinya.
Orang banyak di bawah
panggung, terutama para pejabat tinggi yang tahu betul akan keganasan ilmu yang
dimiliki Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa
menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka terkoyak, perut
jebol dan isi perut membusai. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya
secara tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan. Di atas
panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng Musalamat berubah menjadi kepala
seekor harimau putih. Selagi dia tertegun kecut lawan telah melompat ke
hadapannya. Ageng Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang
tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya.
Tasbih dalam genggamannya
menderu menabur sinar angker. Dia mendengar suara bergedebukan berulang kali.
Lalu…
“Praaakkk!” Rahang kiri Lo Sam
Tojin remuk.
Tubuhnya terpelanting namun
sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur. Sepasang matanya menggembung
bengkak dan mengeluarkan darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi
hebatnya kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan miring.
Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng Musalamat hingga jubah putih
orang ini penuh dengan noda merah. Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya.
Tapi sikapnya tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu
serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke depan, menghujani
muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi ini terhuyung-huyung, berusaha
berdiri sambil memegang tirai panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di
dagunya. Darah menyembur.
Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke
bawah panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi, tidak
bernapas lagi!
“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam
Tojin mati!” teriak beberapa orang.
Tempat itu menjadi gempar.
Beberapa orang anggota Kuncir Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah
seribu menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang. Di atas panggung
Ageng Musalamat memandang ke bawah. Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak
sempat melihat datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di
bawah sana berteriak mengingatkannya.
“Kanjeng guru! Awas!” Dia
kenal suara itu.
Dia merasa telah ditolong dan
diselamatkan. Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro, murid
yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang berusaha mencuri keris
Kiyai Sabrang Tujuh Langit.
“Berarti… Jangan-jangan aku
telah salah menjatuhkan hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati.
– == 0O0 == –
TIGA BELAS
KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua
Perkumpulan Kuncir Emas menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di
pegunungan Kun Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian
orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang utusan khusus
Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Mereka membawa hadiah-hadiah
besar dan menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka
berkunjung ke markas mereka. Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak
menerima hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan menerima
undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun. Namun utusan Ketua Partai Kun
Lun memaksa agar Ageng Musalamat mau menerima hadiah itu. Setelah saling
bersitegang akhirnya Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah kemudian
disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuhan di Hsin Yang
yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui tinggal. Ketika berita
tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja meminta Ageng Musalamat datang.
Kepadanya Raja menghadiahkan satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang.
Di situ dibangun belasan rumah
yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya selama mereka suka.
Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi Ageng Musalamat namun dengan
halus kedudukan bagus itu ditolaknya. Lama kelamaan tempat kediaman Ageng
Musalamat semakin berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir
semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba persilatan di daratan
Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu nama besar. Maklum saja karena
selama ini tidak ada satu orang pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu
mengalahkan atau menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian
ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada masa itu.
(kang-ouw = dunia persilatan)
Diam-diam beberapa Partai
berusaha memperebutkan Ageng Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini
mengajarkan kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka memilih
diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia membuka satu
perguruan silat yang jumlah muridnya selalu bertambah. Ki Hok Kui termasuk
salah seorang murid yang paling disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Anak yang cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga
dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa. Sampai dua tahun dimuka
jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih
tetap lowong. Untuk sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma
Tiang Bun.
Namun entah dari mana asalnya
tersiar kabar bahwa Raja akan mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan
Kepala Balatentara Daerah Timur itu. Tanpa melakukan penyelidikan benar
tidaknya berita itu Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap
Kanjeng Sri Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas kedudukan
rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahankannya. Rasa tidak sukanya itu
ditebar demikian rupa hingga satu demi satu dia berhasil mengumpulkan
orang-orang penting bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat
yang bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal Suma tidak sampai
disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk memberikan laporan yang
memburukkan nama Ageng Musalamat. Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu
kalau banyak orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil
perduli. Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasabiasa saja. Dia
lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya yang melebar hingga berdampingan
dengan Hsin Yang.
Akhirnya keseluruhan kota
dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang. Setelah bertahun-tahun tinggal di
Hsin Yang rasa betah perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa.
Bahkan akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli seagama.
Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak buahnya. Akibatnya Hsin
Yang semakin berkembang dan tak dapat lagi dikatakan kota kecil. Sebagian
penduduknya hidup dari bertani dan sebagian lainnya mencoba berdagang.
Nama kota Hsin Yang menjadi
harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Jumlah pengikut dan anak murid
Ageng Musalamat bukan hanya ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang
telah dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup berbahagia
dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura menempuh jalan berbeda. Sampai
saat itu dia tidak kawin dan sering mengelana sampai berbulan-bulan untuk
mengembangkan ilmu silat pada penduduk setempat. Ratusan keluarga besar Ageng
Musalamat hidup rukun di Hsin Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat
laun membuat para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak
enakan ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
TANPA terasa telah dua puluh
tahun Ageng Musalamat bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia
tidak dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah pada
murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan selama dua puluh tahun Ki
Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan.
Pada saat dia berusia tiga
puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng Musalamat berhasil diserapnya.
Bahasa Jawanyapun tak kalah medok dengan orang-orang yang datang dari tanah
Jawa itu. Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu kekuatan besar
rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari dia dipanggil ke istana.
Ternyata satu pertemuan penting yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi
termasuk Jenderal Suma telah diatur.
Dalam pertemuan Raja
mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng Musalamat diangkat menjadi Tikoan
berkedudukan di Hsin Yang dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali
ini Ageng Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu. (Tikoan =
jabatan sederajat Bupati) Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat
menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang yang tidak
menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang pernah diselamatkan nyawanya
oleh Ageng Musalamat maka disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan
baru itu.
“Heran,” kata Jenderal Suma
pada kawan-kawannya.
“Ilmu pemikat apa yang dipakai
oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali memberi tahu Raja akan
perbuatan-perbuatannya yang buruk dan berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya
menjadi Tikoan….”
Seorang perempuan tinggi
semampai berpakaian bagus dan berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma.
Dia adalah salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma
Tiang Bun ke dalam kelompoknya.
“Untuk menjatuhkan batu
karang, ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan
dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah bekas anak buah
Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan banyaknya itu bersumpah untuk
membalas dendam kematian Ketua mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar
yang bisa kita jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa
anak murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak keterangan
tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?”
“Hemmm…. Apa rencana besar
yang barusan kau katakan itu Louw Bin Nio?” Perempuan separuh baya itu
tersenyum dan kedipkan matanya dengan genit.
“Jika kau ingin tahu bukan di
sini tempatnya,” jawab Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada
di situ.
Mendengar ucapan ini dan
melihat pandangan Louw Bin Nio semua orang yang ada di situ menjadi maklum.
Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio
sambil menggoyangkan pinggulnya yang besar.
Perempuan ini adalah seorang
tokoh silat istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi
kekasih gelap Jenderal Suma. Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah
kamar. Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan penuh
nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.
“Sudah berapa lama kita tidak
berkasih-kasihan Suma Tiang Bun…”
“Hampir dua minggu. Maafkan
aku Bin Nio Urusanku banyak sekali akhir-akhir ini….”
“Sekarang lupakan semua urusan
itu. Darahku sudah panas Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!”
Lalu jarijari tangan Louw Bin Nio bergerak.
Dia bukan membuka pakaian
Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu. Justru hal inilah
yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa memuaskannya dengan hubungan
badan yang aneh-aneh sementara istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan
sosok dingin sedingin salju di puncak Thay San.
– == 0O0 == –
EMPAT BELAS
SALAH satu tantangan dalam
hidup manusia ialah kemampuan untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam
tergoda oleh setan hingga memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari
Taman Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia, menggoda
agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri Kanjeng Sri Ageng
Musalamat. Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap hasutan setan
yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa
yang selalu dibawanya kemana-mana.
Malam itu entah mengapa,
sewaktu hasutan setan menghantuinya, dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan
semakin keras dorongan untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di
halaman ke lima dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang
akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak sebuah
ruangan tempat dia biasa bersunyi diri. Dari balik jubah putihnya
dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya
gemetar. Tengkuknya mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya
ditutupnya kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat,
apa yang kau khawatirkan? Kau tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki
gunung batu membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau
dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi penguasa dunia
persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi sekarang kau berada jauh dari
tanah Jawa. Mana mungkin dia mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima
kitab sakti itu, dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan
memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu…” Ageng Musalamat menggigit
bibirnya sendiri.
Berkali-kali dia menarik napas
dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan kanannya walaupun masih gemetar
bergerak membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa! Begitu halaman ke lima
Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng
Musalamat!
Ternyata halaman itu kosong!
Tak ada gambar tak ada
tulisan. Dibaliknya halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!
“Orang menipuku…“ kata Ageng
Musalamat terperangah.
“Datuk Rao Basaluang Ameh
mendustaiku. Halaman kelima dan halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara tiupan seruling di kejauhan. Suaranya mengalun lembut
berhiba-hiba lalu menderam suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat.
Parasnya menjadi pucat pasi.
“Datuk Rao…” desisnya.
Baru saja dia menyebut nama
itu di hadapannya muncul dua kepulan asap putih yang dengan cepat berubah
membentuk sosok tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih
bernama Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada
Ageng Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng Musalamat
jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi orang tua itu mundur dua
langkah hingga dia menangkap angin.
“Sayang sekali… Sayang sekali
Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau
telah mengulang berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak
sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke tiga. Di dalam
tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak berpikir mencari manfaat dari pada
kualat?!”
“Maafkan diriku Datuk! Aku
mengaku bersalah, mengaku berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa
menebus dosa kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap.
“Mengapa kau tergoda melanggar
pantangan, Ageng Musalamat?”
“Aku terhasut setan Datuk! Aku
mohon maafmu. Lagi pula ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak
ada apaapanya. Halaman itu kosong!” Datuk Rao tersenyum.
“Matamu tidak seperti mata
malaikat. Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha Kuasa
hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!” Tenggorokan Ageng Musalamat
turun naik. Matanya membeliak dan wajahnya seputih kain kafan.
“Aku mohon ampunmu Datuk.
Tolong diriku…”
“Kesalahan telah dibuat.
Larangan telah dilanggar. Penyesalan tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak
tahu nasib apa yang akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama
hatihatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab Wasiat Dewa
pada orang yang paling kau percaya!” Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu
mulai meniup.
Suara seruling itu seperti
tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao Bamato Hijau membuka mulut
keluarkan suara auman. Bersamaan dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah
sosok asap ke dua makhluk itu.
*
* *
Sepanjang malam Kanjeng Sri
Ageng Musalamat tak bisa memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang
matanya sempat hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda,
menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai pengawal di
gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.
“Tikoan! Tikoan Kan-jieng
Musalamat! Bangun! Buka pintu!” Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang.
Telinganya dipasang kembali
khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.
“Tikoan Musalamat! Buka pintu!
Cepat!”
“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada
apa dia pagi-pagi buta begini menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur…”
Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang itu cepat-cepat turun
ke bawah.
Begitu pintu dibuka masuklah
muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang pengawal.
”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat
dan napasmu sesak?” Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro.
Muridnya yang satu ini juga
sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.
“Lekas tinggalkan kota ini
Tikoan. Seluruh penduduk harus diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok
Kui yang kini telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan
telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng Musalamat, kecuali
ilmu Harimau Dewa.
“Tinggalkan kota?! Mengungsi?!
Eh kalian ini tidak habis minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat.
“Demi Tuhan, Kan-jieng….”
“Katakan ada apa?!” Ageng
Musalamat membentak.
“Pasukan Kerajaan. Ribuan
jumlahnya. Mereka hendak menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua!
Hsin Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!” Paras Ageng Musalamat
jadi berubah.
“Bicara yang benar Hok Kui, jangan
terburu-buru…” Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan,
“Raja menerima laporan dari
Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng berserikat dengan orang-orang Mongol
untuk meruntuhkan takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa
sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol ditujukan pada
Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan serta siasat penyerbuannya ke
Kotaraja….”
“Fitnah!” teriak Ageng
Musalamat dengan kedua tangan dikepal.
“Kan-jieng tahu Jenderal Suma
sudah sejak lama tidak menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja
begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara Kerajaan terdiri
dari enam gelombang masing-masing berjumlah dua ribu orang akan sampai di sini.
Selagi ada waktu harap Kanjieng mencari jalan selamat…”
Ageng Musalamat gelengkan
kepala.
“Bahaya sebesar apapun yang
akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak Guntoro lekas beritahu penduduk
dan ungsikan mereka. Aku tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas
itu!”
”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma
tidak sendirian. Dia membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat
golongan hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan julukan
Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada yang melihat Munding
Sura bersama Jenderal Suma!”
Terkejutlah Ageng Musalamat.
Dia sudah lama mendengar hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio.
Perempuan satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana!
Lain dari itu dia tidak
menduga kalau Munding Sura murid yang dulu begitu dipercayanya ternyata adalah
seorang pengkhianat.
“Seribu Jenderal Suma boleh
datang. Seribu tokoh silat istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin
Nio boleh unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak
akan meninggalkan Hsin Yang!” Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan
Kitab Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui.
Ternyata muridnya inilah orang
yang paling dipercayanya.
“Hok Kui, selamatkan kitab ini
dan segera tinggalkan tempat ini!”
“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui.
“Saya tidak akan pergi! Saya
siap bertempur bersama Kan-jieng!”
“Jangan berani membangkang Hok
Kui!”
“Saya ingin mati bersama
Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui.
“Plaaaakkkk!”
Satu tamparan melayang di pipi
Ki Hok Kui.
Tamparan yang dilancarkan
penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang rahang manusia. Tapi jangankan
cidera, bergeming sedikitpun tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia
dijuluki Tiat Tow Hou atau Harimau Kepala Besi.
“Hok Kui! Ini perintah! Kalau
kau tidak melaksanakan kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat.
Ki Hok Kui mundur dua langkah.
Ageng Musalamat maju mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa
ke dalam baju muridnya itu.
“Kitab itu lebih berharga dari
nyawaku! Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!” Tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara menderu seperti air bah mendatangi.
Menyusul suara tiupan
terompet. Paras Ki Hok Kui berubah.
“Astaga! Saya tidak menyangka
balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat…. “
“Lekas pergi dari sini Kui
Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata.
“Bangunkan istri dan para
nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh mungkin dari Hsin Yang.”
Ketika Ageng Musalamat melihat
Hok Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah.
“Kau tunggu apa lagi?!” Dengan
muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya air mata Ki Hok Kui melangkah
mundur ke pintu. Sebelum berkelebat dia berkata.
“Kan jieng guruku tercinta,
saya berdoa untuk keselamatanmu!”
– == 0O0 == –
LIMA BELAS
PERAHU kecil itu
terapung-apung dipermainkan ombak. Di dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya
tinggal ku!it pembalut tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya
yang tadi putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari.
Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha mengangkat
tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya menunggu hancur. Orang
ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid terpandai dan paling dipercaya Ageng
Musalamat.
Setelah mengetahui bahwa
balatentara Kerajaan secara ganas benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan
membantai setiap orang yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok
Kui lalu menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang guru
dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini dia mendapat
beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Dia sudah selamat tapi
kitab itu hendak diapakannya? Kalau dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan
akan diserahkan pada siapa?
Seperti mendapatkan satu
kekuatan gaib Ki Hok Kui walau berada dalam keadaan sangat lemah duduk di
lantai perahu. Dua matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.
“Pulau..” desisnya.
Digosoknya dua matanya dengan
rasa tidak percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah
pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah? Tiba-tiba dia
mendengar satu suara seperti berdesir di belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya
dipalingkan. Pucatlah paras cekung Ki Hok Kui.
“Astaga! Bagaimana mungkin
mereka bisa mengejar sampai di sini!” Ratusan tombak di belakang perahu kecil
Hok Kui kelihatan sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang
utama jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang telah
terjadi? Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan membantai
semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui terpaksa melarikan diri
dan dia memilih arah timur yang lebih banyak diketahui seluk beluknya. Sewaktu
Ki Hok Kui sampai di Nanchang, Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa
Ki Hok Kui diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat
Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan.
Munding Sura yakin kitab itu
telah diserahkan oleh Ageng Musalamat kepada Hok Kui untuk diselamatkan.
Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat itu dikabarkan
melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow. Tujuan sang Jenderal bukan saja
untuk mengikis habis semua anak murid Ageng Musalamat tapi juga untuk
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di
Seochow. Di sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil
dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura mempunyai
dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma Tiang Bun. Menurut
pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui melarikan diri menuju tanah Jawa.
Pemburuan di lautpun dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak
begitu memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru mereka berhasil
mengejar perahu Kui Hok. Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya
menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan.
Di kawasan inilah Jenderal
Suma berhasil mengejarnya. Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan.
Masingmasing perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi Jenderal
Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat istana. Perahu kedua yang
meluncur di samping perahu sang Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias
Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat
golongan hitam.
Tiga perahu lainnya
masing-masing berisi seorang perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat. Dalam
waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera terkejar. Lima perahu besar
mengurungnya. Lima belas orang berkepandaian tinggi langsung menyerang. Ada
dengan tangan kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orang sengaja
melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang Pencabut Nyawa sesuai
dengan gelarnya dan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lihay
melancarkan serangan laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan
sebilah golok panjang. Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau
Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang hebat tidak
mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri. Apalagi keadaannya saat itu
sangat lemah pula.
Jenderal Suma berulang kali berteriak
agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat
tersembul dari balik dada bajunya. Tapi Hok Kui pantang menyerah.
“Louw Bin Nio!” teriak
Jenderal Suma yang sudah tidak sabaran.
“Bunuh bangsat itu. Rampas
kitab putih di dadanya!”
“Dengan senang hati
kekasihku!” jawab Iblis Terbang Pencabut nyawa.
“Tapi biar kupesiangi dulu
tubuhnya!” Habis berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui.
Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.
“Crass! Craass! Crass!
Craass!”
Jeritan-setinggi langit
menggelegar keluar dari mulut Hok Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah
membabat buntung dua tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal
paha! Darah membanjiri lantai perahu. Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa
panjang.
Ketika dia hendak merampas
Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok Kui, murid Ageng Musalamat ini
perlaku nekad. Dengan sisa tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan
tubuh, mencebur masuk ke dalam laut!
“Munding Sural Lekas terjun!
Kejar dan ambil kitab di balik bajunya!” teriak Jenderal Suma.
Tidak pikir panjang lagi si
pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justru pada saat itulah
seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di atas lima perahu, empat belas
penumpangnya hanya bisa tercekat ketika melihat air laut mendadak berwarna
merah. Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga belas
orang lainnya sama tersentak kaget.
Ternyata di sekitar perahu
mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.
“Kembali ke kapal!” teriak
Jenderal Suma Tiang Bun.
Empat perahu cepat dikayuh
kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor
ikan hiu besar menabrak perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh
silat yang terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu! Louw Bin
Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan setan. Kalau tidak dipegangi
dia pasti akan melompat ke dalam laut menyusul Suma Tiang Bun.
*
* *
Di atas batu miring sosok
tubuh Pendekar 212 tidak bergerak. Sekujur badannya dibungkus hawa aneh
sedingin es. Sepasang matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa.
Tiba-tiba
“Wusss!”
Sekujur tubuh murid Eyang
Sinto Gendeng itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi
terdengar suara,
“Wusss!”
Dari kepala Pendekar 212
melesat keluar sebuah benda bersinar terang. Benda ini melayang ke udara dalam
kecepatan luar biasa dan akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam. Bersamaan
dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak menggeliat lalu bergerak duduk. Dia
memandang celingak-celinguk terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali.
Akhirnya murid Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.
“Aneh, barusan ini aku
bermimpi atau bagaimana? Aku melihat seorang bernama Kanjeng Sri Ageng
Musalamat. Aku melihat Kitab Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina
melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor bergelar
Tjui-bihun… Tjui… Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya dalam bahasa Cina!” Wiro
kembali garuk-garuk kepala.
“Ki Hok Kui… Lelaki Cina yang
dibuntungi tangan dan kakinya itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab
Putih Wasiat Dewa. Tapi dia kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk
kepala lagi dan kembali memandang berkeliling.
Lalu dia ingat pada Delapan
Sabda Dewa. Dan bicara seorang diri. “Delapan Sabda Dewa… Tanah, Air, Api,
Udara, Bulan, Kayu… Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja
Wiro berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.
Laut Selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun
menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan
dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh
harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan
abadi menghadap Sang Pencipta.
“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti
aneh!,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu
dan melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.
T A M A T