-------------------------------
----------------------------
065 Hari Hari Terkutuk
SATU
Bangunan besar itu dari luar
tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan hanya sebuah lampu minyak yang
berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu masuk yang berada dalam
keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Tak
lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman depan yang gelap.
Lelaki pertama bertubuh tinggi
besar dengan wajah penuh brewok dan kumis tebal melingtang. Pakaiannya serba
hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain hitam dan di pinggang kirinya
tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo Panaran. Dari gerak geriknya
kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari rombongan yang baru datang ini.
Orang kedua bernama Bargas
Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya selalu berminyak. Baju
dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju merahnya dia membekal sebuah
clurit besar.
Lelaki ketiga berbadan kurus
kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat pucat tidak beda mayat. Dia
mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di pinggangnya melingkar sebuah
rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia satu ini dikenal dengan
nama Tunggul Anaprang.
Orang terakhir bernama Legok
Ambengan, mengenakan baju dan celana serta ikat kepala warna hijau. Tubuhnya
bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip sepasang golok pendek.
Belum sempat keempat orang ini
turun dari kuda masing-masing, dari samping kiri kanan bangunan besar yang
kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh
rata-rata tinggi besar. Kelimanya membekal golok besar di pinggangnya
masing-masing.
Walau empat penunggang kuda
yang dating memiliki tampang sangar namun lima orang berseragam hitam itu
kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah seorang dari mereka sambil
bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
“Kalian berempat kami lihat
baru sekali ini datang kemari. Betul…….?”
Empat penunggang kuda saling
pandang satu sama lain lalu sama-sama menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan
yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada kawan di sampingnya.
“Tunggul kau jawab saja
pertanyaan monyet itu!”
Tunggul Anaprang lalu membuka
mulut. “Kami berempat memang baru sekali ini kemari. Kenapa kau bertanya? Apa
kau yang punya tempat ini?”
“ Aku dan kawan-kawan bertanggung
jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi orang-orang baru ada
aturannya sendiri!” jawab orang berbaju hitam yang masih tegak sambil bertolak
pinggang. “Pertama turun dari kuda masing-masing. Orangorangku akan membawa
binatang itu ke halaman belakang.”
“Hemm begitu? Bagus juga
pelayanan di tempat ini,” kata Kebo Panaran. Dia memberi isyarat pada
kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas kuda.
Dua orang anak buah si baju
hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun bintang itu ke halaman
belakang.
“Sekarang kalian harus
menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali kalian datang tidak
perlu.”
Legok Ambengan berpaling pada
Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan matanya. “Berapa besarnya uang keamanan
itu?” bertanya Legok Ambengan kemudian.
“Seperlima dari jumlah uang
yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong kalian!” jawab Ranggas.
“Kami sama sekali tidak
membawa uang!” kata Kebo Panaran lalu tertawa gelak-gelak. Tiga kawannya
ikut-ikutan tertawa.
Merasa dipermainkan Ranggas
jadi marah.
“Jika kalian tidak punya uang,
lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian kami tahan!”
“Begitu?” Ujar Kebo Panaran
sambil usap-usap berewoknya. “Mulai saat ini kau dan teman-temanmu dipecat
sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas minggat dari hadapanku!”
Terkejutlah Ranggas mendengar
ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini disertai juga dengan gejolak amarah.
Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo Panaran sambil melayangkan tamparan.
Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba
dari samping satu tangan mencekal lengan Ranggas. Sekali sentak saja tubuh
Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya meringis kesakitan. Dua orang
anak buah kepala keamanan itu berteriak marah melihat atasan mereka
diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya mencabut golok di
pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak Bargas Pati yang
tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok pertama membacok ke arah
batok kepala yang botak sedang golok kedua membabat ke arah pinggang. Bargas
Pati hanya ganda tertawa melihat serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang
kawannya berkelebat.
“Bukk……..Bukkk!”
Terdengar dua kali suara
bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak buah Ranggas. Keduanya
terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang mengucurkan darah, satunya lagi
menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan darah. Golok mereka berjatuhan ke
tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan menghantam
muka meraka. Selagi keduanya terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah
Kebo Panaran tadi ganti beraksi.
Kembali dua orang yang
berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu tergelimpang roboh di
tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan remuk tulang dadanya!
Dua orang anak buah Ranggas
yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman belakang berseru kaget ketika mereka
kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya serta merta mencabut
golok masing-masing lalu menyerang Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan. Namun
nasib mereka tidak berbeda dengan dua kawannya terdahulu. Begitu keduanya
menyerang, Legok dan Tunggul menyambutnya dengan tendangan yang membuat
keduanya terpental hampir satu tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi
perutnya yang kena tendang.
Satunya lagi terkapar dengan
mulut hancur dan gigi-gigi rontok.
Ranggas yang sedang menderita
kesakitan karena tangannya masih dipuntir di belakang punggung terbeliak kaget
melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau berhadapan dengan serombongan
orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal yang masih belum diketahuinya
apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.
Melihat kepada keadaan pakaian
dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis Ranggas sulit mempercayai keempat
orang itu adalah orang baik-baik.
“Kebo Panaran mau diapakan
monyet satu ini?” Tanya Bargas Pati yang menelikung tangan Ranggas.
Kebo Panaran berpaling pada
Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang “Kalian tahu apa yang harus
dilakukan?”
Mendengar ucapan Kebo Panaran
itu kedua anak buahnya segera memndekati Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya
Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan dan tendangan-tendangan. Sekujur
muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak karuan lagi. Ketika Bargas Pati
melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi dia cukup kuat untuk tidak jatuh
pingsan.
Pada saat itu tiba-tiba pintu
bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian mewah keluar sambil berkipas-kipas.
Dia memperhatikan apa yang terjadi di halaman depan itu sesaat lalu berkata.
“Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi memberi pelajaran pada
anak-anak buahku?”
Kebo Panaran dan tiga temannya
sama-sama berpaling ke pintu. Mereka perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas
itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Gandul Wirjo! Tidak sangka
kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul ini!” berseru Kebo Panaran lalu
melangkah besar-besar menghampiri orang di depan pintu diikuti oleh ketiga anak
buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu lalu berpaling pada ketiga anak
buahnya dan berkata “Kalian lihat dia sudah jadi orang kaya sekarang! Tapi
tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha…. Ha… ha….
Ayo kita beri salam pada
sahabat lama ini!” Kebo Panaran dan tiga orang lainnya segera menyalami lelaki
bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik bangunan besar itu.
“Kalian ke mari tentu punya
maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak kesampaian. Jangan di luar saja.
Mari masuk!”
Gandul Wirjo membuka pintu
lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya masuk ke dalam diikuti si pemilik
bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo berpaling pada Ranggas yang masih
terkapar kesakian di tanah.
“Kerjamu sebagai kepala
keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang yang hendak kau kerjakan.
Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!”
Ranggas diam saja. Tapi dalam
hati dia memaki habis-habisan.
Di dalam bangunan. Kelima
orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau harum kayu cendana. Mereka
bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo Panaran berkata. “Bagaimana kalau
obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku dan teman-teman ingin
bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi.”
Gandul Wirjo tersenyum.
“Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan kesenangan. Memang sejak perang
berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan cantik-cantik.” Pemilik bangunan
besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari atas meja lalu digoyang-goyangkan
dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang perempuan muda muncul. Tiga
diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung mengelilingi Kebo Panaran dan
kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau memijit-mijit bahu, ada juga yang
mengusap-usap lengan orang-orang itu.
“Para sahabat, kalian silahkan
memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.
Semua aku berikan denga
cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan dimasa mendatang!”
Kebo Panaran memilih perempuan
yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di dagu kirinya. Bargas Pati menarik
lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya montok luar biasa. Satu demi satu
perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka ke kamar masing-masing. Tinggal
kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk memandangi dua orang perempuan yang
tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua perempuan ini cocok dengan
seleranya.
“Tunggul, kau tunggu apa lagi?
Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin mau berbuat macam-macam. Membawa
keduanya sekaligus ke dalam kamar?”
bertanya Gandul Wirjo.
Tunggul Anaprang menggeleng
“Tak satupun yang ku suka……..”
“Matamu terbalik sahabatku!
Kedua permpuan ini tidak jelek dan masih muda-muda!” kata Gandul Wirjo pula.
“Terserah kamu mau bilang apa,
tapi aku tidak naksir satupun dari mereka.
Buatkan saja aku kopi, biar
aku istirahat di sini dan tidur barang seketika. Atau mungkin kau masih ada
persediaan perempuan yang lain?”
Gandul Wirjo menyuruh masuk
kedua perempuan pelacur yang masih berdiri di tempat itu. Setelah keduanya
masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang sekaligus menjadi mucikari itu
berkata pada Tunggul Anaprang.
“Dulu di masa sebelum dan di
waktu peperangan kau adalah sahabatku paling dekat. Aku tidak akan melupakan
hal itu terus terang memang ada satu simpananku.
Baru datan sore tadi. Aku
bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawankawan datang. Tapi demi
persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu.
Hanya untuk yang satu ini tak
mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat…..”
“Ah, jangan begitu Gandul,”
kata Tunggul Anaprang pula.
“Kau lihat saja dulu orangnya
Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.
Wajah cantikluar biasa. Dia
pasti orang baik-baik.”
Kedua orang itu sampai di
hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu satu ini lebih besar dari
pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah pelacuran itu.
Gandul Wirjo mengeluarkan
sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya pintu. Sebuah lampu minyak besar
di atas meja menerangi kamar yang ternyata sangat bagus. Sebuah ranjang
berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu disebuah kursi rendah,
dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya memang membuat
jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak. Rambutnya hitam panjang
tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas sehingga
Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung mulus. Betisnya
yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak ketakutan.
“Bagaimana?” bisik Gandul
Wirjo.
“Benar-benar luar biasa. Dari
mana kau dapat yang satu ini? Aku percaya pada ucapanmu kalau dia sebelumnya
perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak takut-takut. Wajahnya betul-betul
mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi istri…?”
“Itu bisa urus kemudian
sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau membayar?”
Mendengar pertanyaan Gandul
Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk
uang dimasukkannya ke dalam genggaman pemilik rumah pelacuran itu. Malah
kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong kecil berisi sejumlah uang dan
dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.
“Keluarlah cepat. Aku sudah
tidak tahan!” kata Tunggul Anaprang pula.
Dibukanya pintu kamar
lebar-lebar lalu didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu Gandul Wirjo lenyap
Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya sekali. Sambil
menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara jelita. Sesaat
Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang sangat cantik
itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa entah
dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.
“Siapa namamu anak manis?”
Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu perempuan yang duduk di kursi.
Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan Tunggul Anaprang kuat-kuat lalu
menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat lelaki itu jadi tambah terangsang.
Tunggul Anaprang tertawa
lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu dan darahnya menjadi panas.
Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini segera hendak membuka
pakaian pelacur muda itu.
“Tunggu dulu….” Perempuan itu
berkata. “Kita masih banyak waktu. Tiduran saja. Raden Mas tentu letih. Biar
saya pijiti dulu….”
Tunggul Anaprang tertawa
mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.
“Jangan panggil aku dengan
sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul Anaprang. Gelarku si Rantai Maut.
Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.
Terserah mana yang kau suka!”
Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu perempuan itu.
Terangsang oleh nafsu yang
sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama sekali tidak melihat adanya sambaran
cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu ketika dia mendengar nama dan gelar
yang dikatakannya.
“Berbaringlah dulu. Biar saya
pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang.
Sampai pagi kalau mau….”
Meskipun sudah sangat ingin
memeluki dan menciumi pelacur muda itu namun Tunggul Anaprang mengalah juga.
Tanpa banyak cerita dia berbaring menelentang.
“Tengkurap dulu. Biar
punggungnya saya pijiti dulu.”
Tunggul Anaprang tersenyum dan
mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.
Dia membalikkan diri lalu
menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti punggungnya. Tapi tanpa
diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke balik kebayanya.
DUA
Matahari memang belum terbit.
Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di dalam bangunan saat itu Kebo
Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani oleh Gandul Wirjo sudah
duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan pisang goreng hangat.
Karena ditunggu-tunggu Tunggul
Anaprang masih belum muncul Kebo Panaran mulai jengkel.
“Semua sudah tahu kita harus
berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si Tunggul Anaprang itu masih belum
muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih pasangan. Kini malah dia yang
paling lama! Sialan!”
“Dia selalu begitu! Seenaknya
sendiri!” Ikut mengomel Legok Ambengan.
Lalu berdiri sambil membetulkan
ikat kepalanya. “Biar akan kugedor kamarnya!” Dia berpaling pada Gandul Wirjo.
Tunjukkan padaku kamarnya!”
Gandul Wirjo melangkah lebih
dulu. Legok Ambengan mengikuti dari belakang. Sampai di hadapan pintu besar
berukir pemilik rumah Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan.
Dua kali dan sampai tiga kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya.
Pintu itu ditinjunya keraskeras seraya berteriak.
“Tunggul! Keparat kau! Lekas
bangun! Kita harus segera berangkat!”
Meski sudah digedor dan
teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak ada jawaban.
“Gila! Masakan dia tidur
begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” maki Legok Ambenga.
“Memang aneh,” kata Gandul
Wirjo pula. “Kalau Tunggul tidak terbangun, masakan perempuan yang ada
bersamanyajuaga tidak terbangun?”
“Akan kugedor dan kupanggil
sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini akan kudobrak!” kata Legok
Ambengan pula.
“Jangan didobrak! Rusak
pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang daipakainya!”
“Perduli setan!” jawab Legok
Ambengan. Dia kembali menggedor dan berteriak lebih keras. Tapi seperti tadi,
tak ada suara jawaban.
“Setan betul si Tunggul itu!”
Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah menjauhi pintu. Sebelum Gandul Wirjo
sempat mencegah Legak Ambengan sudah meloncat dan menerjang pintu dengan kaki
kanannya. Pintu yang cukup tebal itu berderak jebol lalu terpentang lebar.
Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar
seruan keras dari kedua orang ini. Seperti melihat setan kepala tujuh keduanya
menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan dimana Kebo Panaran dan dua lainnya
duduk menunggu.
“Kalian mengejutkan aku saja!”
Teriak Kebo Panaran marah. “Ada apa?
Tampang kalian pucat seperti
kain kafan!”
“Kebo…..Tunggul Anaprang…”
Suara Legok Ambengan seperti tercekik.
Tangannya gemetar menunjuk ke
arah kamar. “Di…di…dia dibunuh!”
Serta merta Kebo Panaran dan
kedua kawannya melompat dari kursi dan lari memasuki kamar yang pintunya jebol
terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran langsung tertegun. Mukanya mengelam!
“Keparat! Siapa yang melakukan
ini?!” teriaknya.
Di atas tempat tidur terbujur
tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan menelungkup, masih berpakaian lengkap.
Lehernya hampir putus akibat tebasan sebilah golok besar yang masih menancap di
leher itu. Darah yang mulai megering membasahi tempat tidur dan ada yang
mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup kedua mukanya dengan kedua tangan.
Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok Ambengan berdiri di luar pagar,
tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo tertegun dengan muka pucat!
Tiba-tiba Kebo Panaran
membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo dan mencekal leher pakaian
lelaki pemilik tempat pelacuran itu.
“Siapa yang tidur dangan
kawanku adi malam? Pasti pelacur itu pembunuhnya!”
Pucat ketakutan, dengan
terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. “Tunggul tidur dengan seorang pelacur muda.
Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia pelacur baru. Baru datang
sore kemarin….Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang membunuh Tunggul….”
Kebo Panaran menarik leher
pakaian andul Wirjo kuat-kuat lalu membanting lelaki itu ke dinding kamar
hingga Gandul merintih kesakitan.
“Kalau bukan pelacur yang
tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa?
Setan?! Hanya mereka berdua
dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar terbuka! Berarti sehabis
membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri lewat jendela. Dan tak
satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!”
“Sulit kupercaya Kebo,” kata
Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang benjut sewaktu terbanting ke
dinding tadi. “ apa alasan pelacur itu membunuh Tunggul?”
Kebo Panaran sesaat jadi
terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah pelacuran itu. Sementara itu dari
beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya ikut bangun dan keluar mendengar
ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh ketika menyaksikan mayat Tunggul
Anaprang yang masih ditancapi golok itu.
“Apapun alasannya yang jelas
kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!”
“Kebo Panaran,” Membuka mulut
Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo berkomplot dengan orang-orang
kerajaan!”
Pucatlah wajah Gandul Wirjo
mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.
“Demi Tuhan! Aku bersumpah
tidak punya hubungan apa-apa dengan orangorang kerajaan!”
“Siapa peraya ucapanmua
Gandul!” kata Kebo Panaran seraya satu tangannya mengusap-usap wajah lelaki
yang dicekalnya itu. “Kau dulu termasuk orang-orang yang berperang melawan
penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau
enak-enak saja membuka usaha
di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada orang-orang kerajaan yang
mengambil tindakan! Aneh bukan? Lalu kau punya seorang pelacur yang baru
kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur itu yang membunuh kawanku
Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul? Kau merencanakan semua ini. Kau
menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau tuju.
“Demi Tuhan Kebo! Aku
bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa adanya pelacur itu belum sempat
kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya……”
“Sialan! Aku tidak menanyakan
kau sudah menidurinya atau belum!” bentak Kebo Panaran. “Katakan cirri-ciri
pelacur yang tidur bersama Tunggul malam tadi!”
“Orangnya masih muda. Wajahnya
bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia mengenakan kain panjang dan kebaya
berkembang-kembang. Di….. di pipi kirinya ada tahi lalat.”
“Bagus!” desis Kebo Panaran.
“Keteranganmu itu memberi keampunan padamu untuk tidak mati dengan leher
ditabas!”
Tangan kanannya bergerak ke
pinggang.
Gandul Wirjo melihat golok
keluar dari sarungnya. Dia berteriak.
“Kebo! Jangan! Aku benar-benar
tidak ada sangku paut dengan kematian Tunggul….. Akh…..”
Ucapan pemilik rumah pelacuran
itu terputus begitu golok di tangan kanan Kebo Panaran amblas masuk ke dalam
perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo membeliak seperti hendak melompat dari
sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu berubah menjadi pucat. Dia merasakan panas
darahnya sendiri keluar mengucur dari perutnya yang robek besar!.
Kebo Panaran dorong sosok
tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki tempat tidur. Lalu dia berpaling
pada Legok Ambengan. “Kau ahli mencari jejak.
Bangsat pembunuh itu harus
dapat kita kejar!”
Legok Ambengan mengangguk.
“Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur itu pasti sudah lari jauh!”
Kebo Panaran, Legaok Ambengan
dan Bargas Pati segera keluar dari rumah besar itu. Di luar udara masih gelap.
Legaok Ambengan yang memang memiliki keahlian mengusut segala macam jejak
memperhatikan keadaan halaman samping dekat jendela kamar di mana Tunggul
Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan lampu minyak matanya yang tajam melihat
adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki
ini menuju ke kandang kuda.
“Orang itu melarikan diri
dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur…” kata Legok Ambengan.
“Kalau begitu segera kita
kejar ke arah Timur!” kata Kebo Panaran pula.
Ketiga orang ini lari ke
kandang kuda. “Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga. Berarti yang seekor lagi
dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!” Saking marahnya Kebo
Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!
TIGA
Perlahan-lahan udara mulai
terang walau dinginnya malam masih menusuk menjelang pagi itu. Ketika sang
surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi terang benderang, untuk pertama
kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas tergantung dekat buntalan barang
di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih tetapi penuh dengan noda-noda
darah.
“Heh, kertas apa ini?”
bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak lalu dia berseru.
“Kawan-kawan! Berhenti dulu!”
“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas
Pati seraya menghentikan lari kudanya.
Legok Ambengan ikut
menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama memandang pada orang yang
jadi pemimpin mereka itu.
KeboPenaan menunjuk pada
gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.
“Aku tidak tahu benda apa ini.
Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di sini!”
Bargas Pati usap kepala
botaknya. “Coba kau ambil saja dan buka gulungannya. Jangan-jangan sehelai
surat…”
“Surat berdarah….” Desisi
Legok Ambengan.
Dengan perasaan tidak enak
Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu hingga ikatannya, sehelai
benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.
Gulungan kertas itu ternyata
sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau tulisan di atas kertas begitu
buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo Panaran masih bisa
membacanya dengan jelas.
Surat ini kutulis dengan darah
salah seorang dari kalian. Aku tidak akan berhenti sampai kalian berlima
kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar kemanapun kalian pergi. Kalian tidak
ada tempat untuk lari!
Paras Kebo Panaran sesaat
tampak pucat.
“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas
Pati.
“Berikan padaku surat itu!”
kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran menyerahkan kertas yang dipegangnya pada
kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang
ini kemudian sama-sama membaca isi surat yang ditulis dengan darah itu.
Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung pucat.
“Membaca isi surat itu….” kata
Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.
“Yang menulisnya tidak bisa
tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi bagaimana aku bisa
mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat apalagi nyali
untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu melenyapkan diri dangan
meninggalkan surat berdarah ini!”
“Dalam waktu tiga bulan segala
sesuatunya bisa terjadi…. Mungkin perempuan itu berguru pada seorang pandai.
Setelah memiliki bekal ilmu yang cukup dia lalu turun tangan melakukan balas
dendam terhadap kita. Korban pertamanya telah jatuh! Kawan kita Tunggul
Anaparang!”
“Omonganmu membuat aku lebih
sulit percaya Bargas Pati,” menyhut Kebo Panaran.
“Nyatanya dia bisa mwmbunuh
Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu Kebo. Tapi bekerja dengan memakai
otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin dibantu oleh Gandul Wirjo,
mungkin juga tidak.”
“Kurasa kita telah berbuat
satu kesalahan,” kata Legok Ambengan.
“Apa maksudmu?” Tanya Kebo
Panaran sambil memandang ajam pada kawannya itu.
“Pada peristiwa tiga bulan
lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi sekalian. Tak ada saksi atas
perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!” jawab Legok Ambengan pula.
Bargas Pati usap-usap lagi
kepala botaknya. “Kalau ingat peristiwa itu justru sebenarnya kita tidak boleh
berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas pimpinan yang kita hormati…”
“Tutup mulutmu Bargas Pati!”
hardik Kebo Panaran. “Aku tidak suka mendengar kau bicara begitu! Semua sudah
terjadi! Kita bersama yang melakukannya! Kenapa sekarang harus disesali? Kau
sendiri meniduri perempuan itu sampai beberapa kali! Ingat?”
Bargas Pati terdiam. Kebo
Panaran lanas kembali membuka mulut. “Sampai saat ini ada satu teka-teki yang
belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar Parangkuning. Perempuan itu
menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah Lor Kameswara. Di mana dia
sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah dia berkomplot dengan istri
Lor Kameswara?”
“Kalau hal itu sulit
kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana mungkin dia berkomplot dengan
Antini?!” ujar Bargas Pati.
“Betul sekali Kebo. Hal itu
tidak masuk akal!” berkata Legok Ambengan.
“Tapi sudahlah. Kita tak perlu
berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah tambah jauh. Sebaiknya kita
teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau siapapun dia melarikan
diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan sampai di
sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat ini
ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh menempuh jalan itu.
Sebab jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu tidak tahu betul seluk
beluk daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang
sebelumnya.
Kurasa kita bisa mengambil
jalan memintas dan memotong arah larinya.”
“Aku dan Bargas Pati mengikuti
apa katamu saja Legok Ambengan,” kata Kebo Panaran. Makin cepat kita menempuh
jalan memintas yang kau katakan itu makin bagus. Kita berangkat sekarang saja!
Kau jalan di depan! Tapi…… ucapan Kebo Panaran terhenti. “Aku khawatir,
jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah jadi koban pula. Dibunuh istri Lor
Kameswara!”
“Tidak, dia memang lenyap
entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas si pembunuh masih menyebut
kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita perempuan itu masih hidup.”
Kebi Panaran mengangguk-angguk
membenarkan kata-kata Legok Ambengan itu.
Ketika rombongan tiga
pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang dikatakn Legok Ambengan
udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang benderang mendadak menjadi
gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu bertebaran menutupi langit.
Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali cahaya sambaran kilat.
Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya turun membasahi bumi.
“Kita mau mencari tempat
berteduh atau meneruskan pengejaran?” Tanya Legok Ambengan.
Bargas Pati maunya berhenti
dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.
Tapi Kebo Panaran punya jalan
pikiran lain.
“Hanya orang-orang tolol yang
takut pada hujan! Teruskan pengejaran.
Bukankah kita harus
cepat-cepat sampai di balik bukit sana?”
“Aku setuju kita meneruskan
pengejaran” kata Legok Ambengan. Aku kawatir hujan membuat mataku kurang awas
dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang kita kejar. Ayo kita teruskan
perjalanan.”
Hujan yang sangat lebat dan
lama membuat arus kali besar itu menjadi deras dan ganas. Di beberapa tempat
air kali meluap melewati tebing kali dan membanjiri daratan sekitarnya
sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan berhenti.
Kebo Panaran dan
kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca buruk seperti ini. Namun
demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan berhenti di tepi kali
yang sedang banjir.
“Celaka!” kata Legok Ambengan.
“Air hujan dan banjir membuat aku tidak dapat mengenali jejak yang ditinggalkan
orang yang kita kejar!”
“Keparat!” maki Kebo Panaan
sambil mengusap mukanya yang basah.
“Kerahkan seluruh kepandaianm
Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia telah membunuh kawan kita Tunggu
Anaprang!”
Legok Ambengan menggigit
bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya, bergerak menyusuri tepi kali ke
arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati mengikuti.
Di satu tempat Legok Ambengan
hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda kehijau-hijauan yang terapung-apung
di atas genangan air di tepi kali.
“Bendad apa itu?” Tanya Bargas
Pati.
“Kotoran kuda….” Sahut Legok
Ambengan. “Kita mengejar ke arah yang beanar kawan-kawan!” Lelaki itu tampak
gembira. “Kotoran kuda itu pasti kotoran kuda orang yang kita kejar!”
Mendengar itu Kebo Panaran
serta merta menyentakkan tali kekang kudanya dan mendahului bergerak ke hulu
kali yang arusnya tampak tambah deras.
Saat itu udara masih gelap
karena langit yang masih mendung tebal dan hujan yang terus mendera turun. Di
kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut. Sesaat udara menjadi terang
benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan kebetulan memnadang ke
arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.
“Aku melihat seorang
penunggang kuda di depan sana!”
“Pasti dia!” teriak Legok
Ambengan.
Ketiga orang itu lalu sama
memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.
Tak lama kemudian meraka
berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang ini kelihatannya seperti dalam
bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan terhalang oleh banjir besar. Hendak
menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja tidak mungkin.
Kebo Panaan dan kawan-kawannya
sampai di tempat itu. Melihat ada tiga orang berkuda muncul, penunggang kuda
tadi cepat membalikkan tunggangannya ke arah kanan dan siap untuk melarikan
diri.
“Jangan lari!” teriak Kebo
Panaran.
Baru saja Kebo Panaran
membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah perahu disusul terdengarnya
suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu jelas. Ditelan oleh deru
hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.
EMPAT
Ini merupakan satu pemandangan
aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali yang arusnya ganas mengerikan
sementara hujan lebat masih terus menderu turun, dalam cuaca yang masih gelap
tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu ini terombang-ambing tidak
menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai tinggi setengah tombak lalu
dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali. Namun perahu itu kemudian
muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan oleng dan hampir terbalik,
tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat arus, perahu itu sepertinya
tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi dibenamkan ke dasar kali.
Yang lebih gilanya, di aas
perahu itu tampak duduk seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya yang
gondrong serta pakaiannya telah basah kuyup oleh air hujan dan terpaan air
kali. Namun dia enak saja duduk di atas
perahunya yang penuh air itu
sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang sedang kegirangan tanpa menyadari
betapa bahaya maut mengancamnya!
Hujan turunlah terus…..asyik!
Air kali mengamuklah
terus….asyik!
Perahuku jelek tak mungkin
tenggelam….asyik!
Aku bersahabat dengan
hujan……asyik!
Aku bersahabat dengan air
kali…..asyik!
Tapi demi Tuhan jangan ada
buaya di kali ini!
Suara nyanyian itu disusul
denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap mukanya yang basah dia kembali
melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai pada suatu saat dia melihat
ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang banjir itu. Penunggang
kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus.
Tampaknya dia tengah bingung
karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir di depannya menghadang
mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.
Membelok kanan jalan terhalang
oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya jalan adalah kembali ke arah
datangnya semula. Dalam keadaan seperti itu, sebelum pemuda berkuda ini sempat
mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang muncul tiga penunggang kuda.
Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan tampang-tampang mereka tampak garang
sekali.
Tiga penunggang kuda itu bukan
lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.
“Jangan lari!” teriak Kebo
Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di depan sana hendak memutar
tunggangannya dan siap kabur!
Karena memang sudah terkurung
pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak bergerak sehingga Kebo Panaran dan
kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya.
Bargas Pati menggerendeng
“Bukan perempuan yang kita kejar!”
Kebo Panaran juga hendak
ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia segera mengenali kuda yang
ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang dicuri di penginapan milik
Gandul Wirjo!
“Itu kudaku yang
ditungganginya!” kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut golok besarnya.
“Anak muda! Lekas kaakan siapa
dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu?!” menghardik Legok Ambengan.
Pemuda di depan ketiga orang
itu memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip.
“Aku tidak kenal kalian. Kuda
ini milikku. Apa kalian hendak merampok?!”
“Pemuda kurang ajar! Kutabas
batang lehermu!” teriak Kebo Panaran seraya memajukan kudanya. “Jawab
pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan saat ini juga!”
“Namaku Jaliteng. Kuda ini
milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal beberapa waktu lalu.”
“Siapa orang yang menjual kuda
itu?” tanya Bargas Pati.
“Seorang perempuan muda.
Cantik…..”
“Hemmm….” Kebo Panaran
usap-usap janggutnya yang basah.
“Aku mau pergi. Menyingkirlah.
Jangan menghadang jalan!” pemuda tadi berkata.
Kebo Panaran melirik pada
kedua temannya. Lalu berbisik “Aku curiga padanya. Bagaimana pendapat kalian?”
“Pemuda itu harus kita
geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru.
“Lemparkan buntalan yang kau
bawa. Kami ingin memeriksa!”
Pemuda di atas kuda memegang
buntalan yang tergantung di leher kudanya lalu menjawab. “Ada hak apa kau
memeriksa aku? Lekas menyingkir sebelum aku jadi marah!”
Kebo Panaran dan kedua
kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan pemuda cakap itu.
“Turun daru kudamu! Berlutut
di hadapan kami dan serahkan buntalan!” menghardik Kebo Panaran.
“Perampok-perampok picisan!
Rasakan dulu senjataku ini!” Pemuda di atas kuda berteriak. Tangan kanannya
bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur ke arah Kebo Panaran, Bargas
Pati dan Legok Ambengan.
Bagi orang biasa, serangan
tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan membahayakan keselamatan
bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi bagi pemuda yang duduk
cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus kali, lemparan tiga pisau
terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai cukup aliran tenaga
dalam. Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo Panaran, Baras Pati dan Legok
Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu berhasil mementahkan
serangan lawan Kebo Panaran berteriak “Legok! Lekas kau cincang pemuda itu!”
“Srett! Srett!”
Di bawah hujan lebat Legok
Ambengan cabut sepasang goloknya dari pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya
di tangan kiri kanan Legok Ambengan menyerbu. Pemuda yang diserang tidak
tinggal diam. Dari balik punggungnya dia mencabut sebilah pedang. Begitu Legok
Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.
“Trang…! Trang….!”
Pedang dan dua golok saling
beradu.
Pemuda di atas kuda diam-diam
mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat tangannya yang memegang pedang
bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia mundurkan kudanya lalu coba
menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.
Legok Ambengan menangkis. Kali
ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak mau melakukan bentrokan senjata.
Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan tangan kiri dia melepas dua pisau
terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu dihantam mental oleh Legok Ambengan
dengan kedua goloknya.
Kebo Panaran yang sudah tidak
sabaran melihat jalannya perkelahian segera menyerbu dangan golok di tangan.
Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu terdesak hebat.
Dalam satu bentrokan hebat
golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas.
Pemuda ini berseru kaget.
Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai salah mengambil arah.
Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah menggila! Tak ada
kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran, Bargas Pati dan
Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok besar. Bargas
Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok Ambengan
memegang sepasang golok.
Pemuda berambut gondrong di
atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia menggaruk-garuk kepala beberapa kali lalu
berteriak.
“Sahabat! Naik ke atas kudamu!
Melompat ke mari!” Lalu pemuda di atas perahu mendayung perahunya menuju tepian
kali.
Sesaat pemuda cakap di atas
kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan untuk lari adalah melompat ke
atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan melakukannya. Baginya perahu
itu masih terlalu jauh untuk dilompati!
“Sahabat! Cepat! Melompat ke
atas perahuku!” Teriak si gondrong di atas perahu. Dia tambah mendekatkan
perahunya ke pinggir kali.
“Melompatlah kalau kau mampu!”
kata Kebo Panaran sambil menyeringai.
Goloknya berkelebat.
“Craassss!”
Kuda tunggangan si pemuda
meringkik keras ketika golok Kebo Panaran membabat lehernya. Binatang ini
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda di atas kuda itu
terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari perahu di atas kali.
Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar perahunya untuk mneyambut
jatuhnya pemuda tadi.
“Bangsat kurang ajar!” maki
Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya tinggi-tingg. Lalu senjata ini
dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu tubuhnya masih melayang di atas
kali.
Terdengar pekik si pemuda
ketika mata golok sempat mengiris daging bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh
darah. Kakinya melejang dan kedua tangannya menggapai-gapai akibat rasa takut
dan sakit yang jadi satu. Sakit karena luka di bahu kirinya cukup besar. Takut
karena sebentar lagi dirinya akan amblas masuk ke dalam air kali yang menggila
sedang dia sama sekali tidak bisa berenang.
Pada saat yang menegangkan itu
pemuda gondrong di atas perahu ternyata dapat menyorongkan perahunya dalam
waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang
jatuh kembali menjerit sedang perahu itu terlonjak ke atas lalu miring ke kiri.
Pemuda berambut gondrong cepat mengimbangi dengan membuat gerakan-gerakan lucu.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari pinggiran kali tampak melesat dua buah
senjata. Ternyata Legok Ambengan telah melemparkan sepasang goloknya kearah
pemuda gondrong di atas perahu.
“Walah!” Si gondrong sesaat
tampak bingung. Saat itu dia tengah berusaha agar perahu jangan sampai
terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali menjerit lalu mengerang
kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini malah memegangi kaki
pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya benar-benar hilang dan
tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan seperti ini dua golok terbang daang
menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.
Selagi tubuhnya melayang jatuh
ke dalam kali yang berarus deras, pemuda gondrong itu gerakkan tangan kanannya
ke pinggang.
“Kunyuk yang berlagak jadi
pahlawan, rasakan sepasang golokku!” teriak Legok Ambengan dari atas kudanya
sambil bertolak pinggang sementara Kebo Panarandan Bargas Pati menyeringai.
Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan melemparkan sepasang golok selama ini
sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini sudah sama memastikan bahwa pemuda
yang melayang jatuh ke kali akan ditambus golok pada dada dan perutnya.
Namun apa yang terjadi
kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget.
LIMA
Di atas kali kelihatan warna
terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu terdengar suara sperti gaung
ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya lembab dingin mendadak menjadi
panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali berturut-turut. Dua golok
yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.
Yang satunya patah dua lalu
jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke Pinggir kali, tepat di depan
Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini memperhatikan golok
yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu berada dalam keadaan
bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!
Kebo Panaran, Bargas Pati dan
Legok Ambengan sama-sama ternganga dan sama-sama memandang ke tengah kali. Saat
itu mereka lihat perahu di tengah kali meluncur ke seberang padahal tidak ada
yang mendayung sedang pemuda yang tadi terjatuh di dalamnya masih terbujur dan
merintih pegangi bahunya “Aneh, ke mana lenyyapnya pemuda gondrong di atas
perahu tadi!” kata Kebo Panaran.
Selagi Kebo Panaran dan dua
temannya masih berada dalam keadaan tercekat heran tiba-tiba dari dalam air
kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang ke pinggir kali, menyambar
kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.
“Praakkk!”
Pendayung itu patahdua. Kening
kuda remuk. Binatang ini meringkik keras lalu berputar kencang dan kabur hingga
Legok Ambengan terpelanting dan jatuh duduk pada bagian tanah yang becek!
“Bangsat kurang ajar!” kutuk
Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi pantat celananya yang basah dan
ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke tengah kali. Saat itu pemuda
gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan lagi di atas perahu sambil
menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya ditekankan ke pelipis lalu
jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.
“Keparat! Berani dia mengejek
kita! Teriak Legok Ambengan sambil kepalkan kedua tinju. “Kalau bertemu akan
kupaahkan batang lehernya!”
“Kurasa dia bukan seorang
pemuda sembarangan Legok,” kata Kebo Panaran.
“Pasti tadi dia membuat mental
sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam senjata yang hebat! Dan pasti dia
pula yang melemparkan pendayung itu selagi menyelam di dalam air!”
“Aku tidak perdulikan bangsat
gondrong itu!” kata Bargas Pati. “Yang membuatku jengkel ialah lolosnya orang
yang kita kejar….”
“Tolol! Yang kita kejar
sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan pemuda seperti banci itu!” bentak
Legok Ambengan.
“Kau yang tolol! Belum tentu
dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia ketakutan ketika hendak kita
geledah!” balas mendamprat Bargas Pati.
“Kudanya masih ada di situ.
Bargas, coba kau periksa buntalannya!” kata Kebo Panaran.
Bargas Pati turun dari
kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah satu benda yang keluar
adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.
“Kebo lihat! Apa kataku!”
teriak Bargas Pati. “Pemuda tadi pasti Antini istri Lor Kameswara. Buktinya
dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!”
“Kurang ajar! Jadi dia rupanya
yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!
Jelas memang dia yang membunuh
Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau membuat rakit dangan segera!
Bangsat itu tidak boleh lolos!” Memandang ke depan Kebo Panaran melihat perahu
yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta pemuda yang terluka telah mencapai
pinggiran kali dan berhenti.
Di atas perahu si gondrong
membungkuk seraya berkata. “Sahabat, mari kugotong kau ke daratan….”
Pemuda ini tersentak kaget
ketika orang yang hendak ditolongnya membuka mulut dan berkata dengan suara
keras. “Jangan sentuh!”
“Eh, bagaimana ini?” Si
gondrong garuk-garuk kepalanya. “Kau sanggup berdiri sendiri dan berjalan dalam
banjir? Arus banjir di daratan sana cukup keras….”
“Aku sanggup berdiri dan
bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi menolongku.” Pemuda yang terbujur
di atas lantai perahu yang basah itu berusaha bangkit dangan berpegangan pada
pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit tanda dia menahan sakit. Dengan
terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang tingginya sampai sepaha.
“Saudara, kau terluka cukup
parah…”
“Aku bisa mengobatinya nanti.
Sudah jangan perdulikan diriku…” Pemuda itu melangkah terus melawan arus air
yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari kali.
Si gondrong geleng-geleng
kepala. “Pemuda aneh….” Katanya dalam hati lalu turun dari perahu dn melangkah
mengikuti pemuda di depannya.
“Kuharap kau jangan
mengikutiku!” Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.
“Agaknya ada sesuatu yang kau
takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebab mengapa orang-orang di seberang kali
sana hendak mencelakaimu.”
“Benar atau tidaknya itu bukan
urusanmu!” jawab si pemuda sambil perbaiki kait ikat kepalanya.
“Namamu siapa dan kau
sebenarnya tangah menuju kemana?”
Yang ditanya balas bertanya. “
Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku?
Mengapa ingin tahu? Bukankah
aku sudah mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu?”
“Aku tidak butuh terima
kasih….”
“Kalau begitu sebutkan saja
siapa dirimu!”
“Namaku Wiro Sableng. Tujuan
perjalananmu sama dengan tujuan perjalananku,” jawab si gondrong.
“Hemmm….. Dari namamu saja aku
sudah pantas berhati-hati….”
“Kau keliwat menghina,
sahabat….”
“Tidak, siapa bilang aku
menghina….”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tersenyum. “Kau tidak hendak mengatakan namamu?” Tanya Wiro.
“Tidak perlu. Dan sekali lagi
aku bilang! Jangan mengikutiku!”
“Sudahlah kau boleh pergi ke
mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi aku sudah tahu namamu!” kata Wiro
pula.
“Heh?!” Pemuda di depan Wiro
hentikan langkah dan berpaling padanya.
“Kau tahu namaku? Dari mana?
Dari siapa?! Jangan menipu. Coba kau katakana siapa namaku kalau kau memang
tahu!”
“Kalau tidak Sumini ya
Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Paras si pemuda yang cakap
tampak menjadi merah. Dalam hati dia membatin
“Apa dia tahu siapa diriku?”
Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro.
Tanpa diketahuinya sebuah
batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke arahnya.
Wiro berteriak memberi tahu
tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya hingga pemuda itu terdorong keras
dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang bukan kepalang akibat hantaman
batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu untuk bangkit. Tubuhnya segera
tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu terseret oleh arus.
“Tol…tolong…!” teriak pemuda
itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan
dan semakin tak berdaya diseret arus banjir.
“Tolong…… teriakan pemuda itu
kembali terdengar.
Wiro melangkah bergerak
meotong arah hanyutnya si pemuda.
“Tolong…..!”
Tubuh si pemud hanyut di
belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini gerakkan tangan kanannya ke
belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian pemuda itu lalu diseretnya
sambil terus melangkah.
Hujan mulai mereda.
Di satu tempat yang hanya
sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia terkejut ketika didapatinya orang
yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan. Acuh tak acuh Wiro bujurkan
tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu dengan kakinya
ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang sempat terminum
keluar mengucur dari mulutnya.
Wiro membungkuk memeriksa luka
di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup besar. Kalau tidak segera dibersihkan
dan diobati pasti akan membusuk. Wiro balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap
ke arah dada.
“Dadanya kelihatan seperti
rata. Tapi aku yakin…..” Wiro garuk-garuk kepalanya. Akhirnya tangannya
bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.
Meraba dan memijat lalu cepat
ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya terasa menyentuh bagian tubuh yang
membusung. “Tidak salah,” katanya. Dalam hati.
“Untung tidak kupijat
kuat-kuat….. Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia.
Biar lukanya kuobati lebih
dulu.”
Baru saja Wiro berkata dalam
hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Satu bentakan keras
terdengar.
“Pemuda kurang ajar! Berani
kau mengerayangi tubuh muridku!”
“Bukkk!”
Satu tendangan menghantam
punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang Sinto Gendeng ini terpelanting!
ENAM
Untuk beberapa lamanya Wiro
terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian putihnya di sebelah depan
serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.
Sambil mengernyit kesakitan
Wiro memandang ke samping untuk melihat siapa yang bausan telah menghantamnya.
Orang itu ternyata seorang
nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik berwarna kelabu. Dia
mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga kedua kakinya tidak
kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi kedua tangannya. Tpai
mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan nenek tak dikenal
ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga sebentuk pisau.
Sambil garuk-garuk kepala dan
masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu duduk di tanah.
“Nenek muka pucat, aku tidak
kenal kau. Mengapa membokong aku dengan tendangan?” bertanya Wiro.
“Kau tidak perlu kenal siapa
aku! Masih untung aku cuma menendangmu!
Seharusnya sudah kupecahkan
kepalamu!” Si nenek menjawab dengan mata melotot dan membentak. Suaranya halus
aneh tapi melengking.
“Kenapa kau hendak membunuhku?!”Tanya
Wiro lagi seraya berdiri.
“Kenapa? Monyet! Kau masih
bisa bertanya? Apa kau masih tidak tahu kesalahanmu?!”
“Aku tidak merasa berbuat
salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda itu!” jawab Wiro.
“Setan alas! Kau berdalih
menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau meraba memegang-megang dada
muridku!”
“Ah” Wiro menyeringai. “Kalau
kau cemburu aku memegangi dada pemuda itu, jangan-jangan dia bukan muridmu!
Lelaki meraba lelaki apa salahnya? Janganjangan kau punya hubungan asamara gila
dengan pemuda ini!”
Si nenek keluarkan suara
melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.
Dari ujung lengan jubahnya
keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro yang saat itu masih
setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata bukan hanya
pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau
belati.
Pisau terbang ini bersiuran
deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!
“Tua bangka edan!” maki Wiro.
Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.
Pukulan tangan kosong dan
pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di sebatang pohon. Begitu lolos
dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu menuding dengan telunjuk
tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.
“Dengar nenek muak pucat! Siapapun
pemuda itu berada dalam keadaanterluka. Kau lihat bahu kirinya….”
“Aku tidak buta! Aku melihat!
Tapi kau cuma mengarang cerita!”
‘Sialan!” maki Wiro. Sudahlah!
Jika pemuda itu memang muridmu kau uruslah sendiri!” Wiro jadi jengkel lalu
balikkan diri hendak tinggalkan tempat itu sementara paemuda yang tadi
ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Si nenek berteriak marah.
“Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa kau kira aku akan biarkan kau
pergi begitu saja?! Ulurkan dulu tangan kananmu yang tadi menggerayangi tubuh
muridku biar kupatahkan!”
“Eh tua bangka ini benar-benar
sial dangkalan!” kata Wiro dalam hati. Dia alirkan separuh dari tenaga dalamnya
ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan si nenek seraya ulurkan tangan itu.
“Kau mau mematahkan tanganku?
Lakukanlah!” kata Wiro seraya membelintangkan tangan kanannya di depan hidung
si nenek.
“Manusia sombong! Lihat!
Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!
Nenek muka pucat melompat
sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan pinggiran telapak tangannya dia
menghantam lengan Wiro.
“Krakkk! Krakkk!”
Terdengar suara berderak patah
dua kali berturut-turut.
“Rasakan!” teriak si nenek
sambil menyeringai puas dan melompat mundur.
Namun ketika dia memandang ke
depan si nennek jadi melengak. Yang barusan dipukulnya patah bukannya lengan
pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah ranting pohon!
Pendekar 212 tertawa mengakak.
“Nenek muka pucat rambut
jabrik!” kata Wiro pula sambil senyum-senyum.
“Kau bilang matamu tidak buta
tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau paahkan? Bukan tanganku tapi
ranting kayu butut!”
Si nenek sendiri memang sudah
terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat dia menduga apa yang telah
terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda. Lalu bagaimana kemudian dia
jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas dilihatnya masih utuh tidak
cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga!
Sebenarnya apakah yang telah
dilakukan Pendekar 212?
Ketika melangkah ke hadapan si
nenek Wiro sempat menyambar sepotong ranting kayu yang ada di dekat situ. Si
nenek tidak melihatnya karena perhatiannya tertuju pada tangan kanan yang
dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.
Sewaktu si nenek memukulkan
kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro turunkan tangan kanannya. Lalu
sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu.
Tentu saja yang kemudian
dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting tadi!
Kalau saja nenek muka pucat
itu sadar akan keahlian orang mempermainkannya pasti selanjutnya dia tidaka
akan gegabah lagi. Namun dalam marahnya dia tidak dapat berpikir banyak.
Didahului suara menggembor perempuan tua ini berkelebat. Sebilah belati melesat
keluar dari lengan jubahnya kiri kanan, masuk ke dalam genggamannya. Lalu
dengan sepasang senjata ini dia melompat menyerang Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang masih
tertwa-tawa gak terlambat membuat gerakan mengelak.
“Brett!”
Pisau di tangan kiri si nenek
sempat membabat dada kirinya. Maisih untung hanya baju putihnya saja yang kena
disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke samping. Lawan memburu dengan
ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.
Pendekar 212 sambutt serangan
si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari
Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk sempoyongan seperti orang mabuk
yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut ketika setelah tiga jurus
menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat mencapai sasaran.
Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya.
Tubuhnya berubah jadi
baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya menderu-deru menikam dan
membabat.
Jurus-jurus ganas si nenek
membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus.
Wiro kerahkan tenaga dalamnya
pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang memancar dari kedua tangannya
emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti tertahan oleh satu kekuatan
yang tidak terlihat.
“Hemmm….Pemuda ini ternyata
memilii tenaga dalam tinggi,” meyadari si nenek. Mak diapun berlaku cerdik. Dia
mulai keluarkan serangan-serangan tipuan dangan tangan kanan sedanga angan
kirir melancarkan serangan sungguhan.
“Tua bangka ini licik juga!”
kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan mundur sebagai pancingan. Ketika
lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya lalu tangannya bergerak melancarkan
jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.
Tangan kanannya mencuat ke
atas, laksana seekor naga mematuk ke arah tangan kanan si nenek. Perempuan tua
ini berseru kaget dan cepat tarik tangan kananya. Tapi terlambat. Lima ujung
jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan dikeraskan telah lebih dulu menghujam
di pergelangan tangannya.
Si nenek terpekik. Pisau yang
dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh Wiro. Sambil melompat mundur
kesakitan, dengan mata melotot nenek itu memandang tak berkesip pada Pendekar
212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan
kanan menimang-nimang belati milik si nenek.
“Pemuda mesum! Siapa kau
sebenarnya?” bertanya si nenek.
“Kau yang lebih tua coba
katakana siapa dirimu sesungguhnya!” membalas Wiro.
Ucapan ini membuat si nenek
jadi tidak enak. Dia berkata. “Saat ini aku bersedia mengalah. Biar urusan kita
anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku mengurus muridku itu.” Wiro tertawa.
‘Maaf saja Nek. Aku terpaksa
jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau menerangkan siapa dirimu, juga
mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan pemuda ini, terpaksa aku yang
memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau harus pergi mencari tukang
gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!”
Si nenek tmapak marah sekali
dan menjadi mengkelap.
“Siapa aku tidak bisa
kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!” jawab si nenek hambpir berteriak.
Wiro menyeringai. “Kau boleh
pergi dengan aman Nek!” katanya.
“Aku akan membawa serta muridku!”
“Tidak bisa!”
“Keparat! Kenapa tidak bisa?!”
“Aku tahu siapa muridmu
sebenarnya!”
Si nenek melengak. “Maksudmu
apa?!” bentak orang tua ini.
“Muridmu bukan seorang lelaki!
Tapi seorang permpuan!”
Si nenek terpekik. Lalu
seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di tangan kanannya ada sebuah
benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Menyangka benda itu
adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan tangan kiri yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar suara letupan keras yang disertai
menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi tempat
sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi pemandangan.
Tangan di depan matapun sulit
untuk dilihat.
Ketika akhirnya asap hitam itu
perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat itu menjdai terang seperti semula,
Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadaphadapan menjadi terkejut. Pemuda
yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di tempat itu!
“Muridku lenyap! Kau yang
punya gara-gara!” teriak si nenek marah sekali.
“Tua bangka goblok! Kalau kau
tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi tidak akan terjadi urusan gila
begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!”
balik mendamprat Wiro. Saat
itu matanya melihat ujung ranting di salah satu semak belukar bergoyang-goyang.
Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika ditelitinya dia merasa
yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang pingsan tadi.
Berarti siapapun yang
melarikan pemuda itu , orangnya lari ke jurusan sini. Tanpa pikir panjang Wiro
segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia ikut berkelebat ke
jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan tubuh dan
tegak menghadang.
“Aku tak suka kau ikuti! Uusan
bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di mana aku muncul!”
“Pemuda sombong! Kemana aku
pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi manusia sontoloyo macam kau!”
“Kalau begitu kau tetaplah di
sini! Tua bangka jelek!” tukas Wiro. Dia dorongkan kedua tangannya ke arah si
nenek.
Perempuan tua itu berseru
keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin deras laksana topan prahara.
Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras. Dia kerahkan seluruh
kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua tangannya. Tak ampun
lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya terbanting ke sabatang
pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke batang poon
itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro yang barusan
melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera telah lenyap
dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek berhasil
melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar 212.
Dia berkelebat ke arah
lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki ketika menyadari bahwa
dia telah kehilangan jejak pemuda itu!
TUJUH
Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan jejak orang yang
dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam hati.
“Aneh, jejak orang itu sama
sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak mungkin orang itu lari tanpa
menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat Dewa?”
Wiro memandang lagi berkelilig
lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.
“Heh….?!” Mudrid Sinto Gendeng
keluarkan suara keheranan. Beberapa akar gantung pohon-pohon besar yang ada di
tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak ada angin yang bertiup, tidak
kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing atau binatang pohon lainnya.
“Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang menyentuhnya…..”
Wiro memutuskan masuk ke dalam
rimba belantara di kaki bukit itu. Belum lama dia bergerak di antara kerapatan
pepohonan dan semak belukar tiba-tiba didengarnya suara orang menarik nafas panjang
berulang kali. Lalu ada suara berkata.
“Gila! Panas sekali hari ini!”
Murid Sinto Gendeng jadi
melengak. “Siapa yang bicara?!” tanyanya dalam hati seraya memandang kekiri dan
kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara itu.
“Hujan baru saja reda. Udara
masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata panas sekali hari ini! Dia yang
gila agaknya!”
“Uhhh….Uhhh…. Panas betul!”
Terdengar lagi suara orang
tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak belukar di sebelah kanan. Wiro
cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu menyibaknya.
“Sialan! Tak ada siapa-siapa
di sini!” maki Pendekar 212 ketika dia tidak menemui orang yang tadi bicara.
Padahal jelas suaranya datang dari arah belik semak belukar itu!
“Uhh…Uhhh… Panasnya
benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!
Untung hujan tidak turun.
Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!”
“Benar-benar gila!” maki Wiro
lagi. “Siapa yang bicara seperti itu?!” Dia melangkah cepa ke arah kiri. Karena
suara yang barusan didengarnya datang dari balik sebatang pohon besar. Namun
begitu sampai di balik pohon tetap saja dia tidak menemukan siapapun! Murid
Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir keras. “Orang yang barusan
bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara.
Hingga suaranya terdengar
datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada di tempat itu. Tapi
otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm…. Orang gila harus dilayani
secara gila!” Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia mulai menceloteh.
“Gila! Memang gila udara hari
ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas batok kepala! Ah, ingin rasanya
mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas! Sialan!”
Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi
tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara orang tadi. “Nah apa kataku! Udara
hari ini memang panas! Buktinya ada orang gila yang barusan berucap begitu!”
“Sial dangkalan! Aku dikatakan
gila!” Wiro bantingkan kaki. Tangan kanannya diangkat lalu dipukulkan ke arah
rerumputan semak belukar. Dari balik semak belukar itu tadi datangnya suara
yang mengatakannya orang gila.
“Braakkk!”
Semak belukar mental
berantakan terkena pukulan tangan kosong mengandung tanaga dalam yang
dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan kesakitan, apalagi jeritan.
Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi tegak terdiam di
tempatnya. “Setan, aku benar-benar dipermainkan!”
Baru saja Wiro membatin
serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar berucap. “Kekasihku, ada
orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir saja!”
Suara terdengar tepat di atas
kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.
Astaga! Sekali ini rupanya
orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan suara lagi. Karena
suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan ternyata dia memang ada
di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa orang yang
bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan kanannya ada
sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke wajah yang
penuh keringat!
Orang aneh ini mengenakan
pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya juga sengaja dipakai terbalik.
Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang bagian depan yang ada
kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar merah dan tubuhnya
gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai sehelai peci hitam yang
kupluk kebesaran.
Yang lebih membuat Wiro
terkejut adalaj ketika menyaksikan, pemuda yang tengah dicarinya ternyata ada
di samping si orang aneh, masih dalam keadaan pingsan dan punggung bajunya
terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung terkatung-katung dan
bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang mangait bajunya patah,
tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.
“Manusia aneh. Kepandaiannya
pasti luar biasa!” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala. Lalu dai
berseru. “Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau turunkan sahabatku yang
terkait di ujung ranting itu!”
Orang di atas pohon memandang
ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya menyeringai. “Di atas dunia, orang gila tidak
punya sobat tidak punya sahabat!” katanya membalas seruan Wiro tadi.
“Edan!” maki Wiro dalam hati.
“Orang di atas pohon! Kau melarikan sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau
kau mempermainkan jiwanya di ujung ranting itu dan samapai jatuh, aku akan
menggebukmu sampai setengah mati!”
“Digebuk setengah mati itu
justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk mati betulan!” jawab orang gemuk
di atas pohon.
“Gemuk konyol!” teriak Wiro.
“Kalau sudah mampus kau mana bisa merasakan enak atau tidak enak!”
“Eh! Makianmu membuat udara
tambah panas!” kata orang di aas pohon lalu kembali berkipas-kipas. “Jangan
berani memaki lagi! Nanti aku kipas!”
“Kalau kau tidak segera
menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan mengambilnya dan jangan menyesal
kalau kau kebagian bogem mentah atau tendangan dariku.” Mengancam Wiro.
“Hidup delapan puluh tahun
sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula siapa percaya kalau orang ini
adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan?!” bertanya si gemuk bulat di atas
pohon.
“Persetan dangan urusan bukti
membukti. Yang jelas kau telah melarikan sahabatku itu. Kini kau mempermainkan
jiwanya dan menggantungnya di ujung ranting!” Dalam pada itu Wiro jadi
terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon mengaku usianya delapan puluh tahun.
Padahal melihat wajah dan keadaan kulit badannya paling bantar dia berusia dua
puluh lima tahun!”
“Ternyata kau bukan saja gila,
tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan orang ini!”
“Lalu bagaimana dia bisa
tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di pohon itu!”
“Soal sama-sama di satu pohon
bisa saja merupakan kebetulan!” jawab orang itu seenaknya lalu tertawa
gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel.
“Bagaimana dia bisa tergantung
di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri padanya kalau dia sudah siuman!
Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang di tempat ini embuat
udara jadi tambah panas!” Lalu si gemuk di atas pohon kembali berkipas-kipas.
“Kalau kau tidak mau
menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik ke atas pohon!”
“Sudahlah, jangan banyak
omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini karena sebenarnya dia adalah
kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!
Jangan kira aku tidak tahu
siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!”
“Kunyuk berkopiah kupluk di
atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya pemuda itu. Jangan-jangan dia
sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!” Lalu Wiro bertanya. “Hai! Bagaimana
kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah perempuan?”
Yang ditanya tersenyum-senyum
lalu menjawab. “Ada dua buah bisul besar di dadanyakiri kanan! Ha… ha… ha…!
Meskipun jengkel tapi Wiro
tidak dapat menahan ledakan tertawanya mendengar kata-kata orang di atas pohon.
Selagi dia tertawa bergelak, orang itupun ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya
bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda itu terkait ikut
bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan jatuh ke tanah.
Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke atas.
Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin menyambar.
Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar sosok tubuh pemuda
yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.
Orang gemuk berpakaian
terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.
Gerakannya acuh tak acuh. Tapi
gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan berbahaya yang mengeluarkan
dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau dia terpaksa mengelak.
Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda tergantung di ujung ranting
menjadi gagal.
Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.
Tangan kiri lepaskan pukulan
Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak bergoyang-goyang tapi hanya sesaat.
Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan acuh tak acuh dia babatkan kipas
di tangan kanannya ke bawah.
Murid Eyang Sinto Gendeng
merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu satu gelombang angin yang dasyat
luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba bertahan. Kerahkan seluruh tenaga
luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya terbanting jatuh dan terjengkang
di tanah!
Untuk beberapa saat lamanya
Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepatcepat dia jatuhkan diri dan
berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu orang di atas pohon
menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak melancarkan
serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil
berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.
Wiro memutar otak. “Kalau
kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin aku akan menemui kesulitan.
Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal celaka!” Wiro garuk-garuk
kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. “Pangeran! Hari sudah hampir malam.
Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.
Bagaimana kalau Pangeran
segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku yang mendukungnya?!”
“Eh! Siapa yang memanggil aku
dengan sebutan Pangeran!” Si gendut muka bulat di atas pohon memandang kian ke
mari celingak celinguk dengan sikap lucu dan tentunya tidak lupa
berkipas-kipas.
“Saya yang memanggil Pangeran.
Hamba sahaya Pengeran!” jawab Wiro dari bawah pohon.
Si gemuk tertawa gelak-gelak.
“Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.
Tapi seorang Raja Di Raja!”
“Ah! Maafkan hamba sahayamu
ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru kemarin saja kau telah diobatkan
jadi Raja Di Raja,” kata Wiro sambil menahan geli.
“Bagaimana Sri Baginda? Kita
pulang sekarang? Permaisuri tentu sudah tak sabar menunggu Sri Baginda di atas
tilam….”
“Lagi-lagi kau kampret tolol!
Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin!
Belu punya permaisuri!
Mungkin…. Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!” kata si gemuk sambil menunjuk
dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan dikaitkannya di ujung
ranting.
“Ah, lagi-lagi hamba berlaku
tolol! Orang itu memang pantas menjadi permaisuri Sri Baginda. Tapi dia dalam
keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak akan membawanya turun lalu
mengobatinya lebih dulu?!”
Si gemuk tampak terkejut. Dia
memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung ranting. “Astaga! Kampret kau betul!
Calon permaisuriku ini terluka bahu kirinya.
Harus diobati dengan cepat………”
“Izinkan hamba membawa turun
sang permaisuri itu Sri Baginda,” kata Wiro.
“Kampret! Aku tidak percaya
padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh makhluk macammu!” jawab si gemuk.
Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-turut.
Setelah itu dia ulurkan tangan
kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.
Dengan satu gerakan yang
enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun sambil membimbing tubuh si
pemuda!
Begitu ampai di bawah si gemuk
membaringkan tubuh si pemuda di tanah.
Dia berpaling pada Wiro.
“Hamba sahayaku!” katanya.
“Saya Sri Baginda…”
“Dari atas kulihat tampangmu
jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah jelek!
Wiro melengak jengkel tapi
geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala dia berkata. “Sri Baginda, kita harus
segera kembali ke Istana. Sebagai hamba sahaya, saya bersedia memanggul tubuh
permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya, silahkan pergi, apakah Sri
Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut lebih dulu? Istana kita
cukup jauh dari sini.”
“Istana kita cukup jauh dari
sini katamu? Hemm….. Betul. Sekali ini kau betul kampret! Lalu santapan apa
yang hendak kau berikan padaku?”
Di dekat sini ada sebatang
pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat manis. Dengan izin Sri Baginda
saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga buah…”
“bagus , pergilah cepat!” kata
si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja Di Raja.
Wiro cepat menyelinap di
antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya dia telah melihat sebuah pohon
yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu namun dia tahu kalau buah yang
rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan maka dalam waktu beberapa saat
saja orang yang memakannya akan mulas perutnya lalu akan bocor terus-terusan
sampai isi perutnya kosong!
Tapi baru saja Wiro bergerak
dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar memanggil. “Tunggu!”
“Sial! Apa lagi maunya si
gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak ditipu?!”
DELAPAN
Wiro hentikan langkah dan
berbalik. “Ada apa Sri Baginda memanggil saya?” tanaya Wiro.
“Permaisuriku…..”
“Kenapa dengan permaisuri Sri
Baginda?” Tanya Wiro “Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus
segera diobati!”
“Ah, maafkan hamba Sri
Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak memeriksa lukanya?”
“Coba kau telungkupkan
tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba tempat-tempat yang terlarang!
Wiro menyeringai. “Masakan
hamba berani berlaku kurang ajar terhadap seorang calon permaisuri!” kata Wiro
pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda dibalikannya hingga kini terbujur
menelungkup. Si gendut jongkok di samping kiri.
Dengan ujung kipasnya
dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan luka yang cukup dalam
di bahu itu.
“Hemm…… Kalau aku tahu siapa
orang yang melukai bahu calon permaisuriku ini, akan kupatahkan batang
lehernya!” kata si gendut. Lalu dia berlutut dan angkat tangan kanan yang
memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak mengempis. Wiro maklum kalau orang
ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Srettt!”
Kipas di tangan si gendut
membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur tubuh si pemuda yang
tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Selesai mengusap si
gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang celananya yang
terbalik.
Masih dalam keadaan berlutut
si gendut kemudian usap-usapkan tangannya satu sama lain. Ketika telapak tangan
itu diangkat Wiro melihat warna kulit telapak kanan telah berubah menjadi
sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin keluar dari telapak tangan
kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.
Perlahan-lahan si gendut
menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan ditempelkan di luka pada bahu
kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu diangkat. Ketika tangan
kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si pemuda sembuh sama
sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah sembuh tapi si pemuda
masih tetap tertelungkup pingsan.
“Si gendut gila ini
benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!” kata Wiro dalam hati penuh kagum.
“Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah menceritakan tentang
manusia satu ini….” Lalu Wiro bertanya. “Sri Baginda, apakah sekarang hamba
boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?”
“Ya, kau boleh pergi
sekarang….” Jawab si gendut tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok tubuh si
pemuda yang tergeletak di tanah.
Wiro segera berlalu. Tak lama
kemudian dia muncul membawa tiga buah berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan
buah pertama. Kelihatan isinya yang putih dan menebar bau harum. Tenggorokan si
gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro menyerahkan buah itu serta merta
dimakannya sengan rakus sampai mulutnya mengeluarkan suara menyiplak.
“Enak sekali. Manis sakali!
Buah apa ini namanya? Tanya si gendut. Sebentar saja buah pertama itu sudah
lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan minta buah kedua. Wiro segera
memberikan buah kedua. “Ah luar biasa sedapnya!” kata si gendut dengan mata
sampai terbalik-balik.
“Satu lagi Sri Baginda……”
Si gendut mengangguk tapi
kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya kini terbalik-balik lain, tidak
seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua tangan di atas perut. “Mulas!
Perutku mulas!” Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?”
Si gendut hendak marah. Tapi
perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia salah tingkah. “Sialan!”
teriaknya.
“Ikuti hamba Sri Baginda. Ada
tempat yang aman untuk buang hajat…” kata Wiro lalu ditariknya tangan si gendut
dan dibawanya menyusup ke balik beberapa semak belukar. Di balik serumpunan
semak belukar lebat dia berhenti. “Nah di sini tempat yang baik Sri Baginda.
Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di sini….”
“Eh, kau mau kemana?” Tanya si
gendut sambil melorotkan celananya.
“Hamba akan mencari air untuk
pembersih Sri Baginda!” jawab Wiro.
“Tak usah air. Daun saja!”
kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.
“Daun di hutan ini kebanyakan
ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti selangkangan Sri Baginda jadi lecet
dan Sri Baginda punya perabotan menjadi bengkak dan gatal!”
“Ah sudah ! Pergi sana! Jangan
lama-lama….”
Si gendut mengerenyit.
Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti macet.
Begitu lenyap dari pemandangan
si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera lari ke tempat di mana pemuda tadi
masih tergeletak pingsan. Dengan cepat dipanggulnya tubuh pemuda itu lalu
berkelebat lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.
Di sebelah timur di bagian
hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu sudah memasuki rembang petang.
Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya sedikit ketika dibaringkan di
tanah.
“Aku harus benar-benar
memastikan dia memang permpuan…” kata Wiro dalam hati. Lalu murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan kain penutup kepala si pemuda.
Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah rambutnya yang hitam panjang. Wiro
membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.
Ternyata rambut itu panjangnya
sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini kelihatan aslinya. Wajah seorang
permepuan muda berparas cantik sekali.
“Hemmm….” Wiro garuk-garuk
kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba
perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya membentur Wiro. Mulutnya
terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya seraya berkata. “Saudara
jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang sahabat….
Tekapanku akan kulepaskan.
Tapi ingat, jangan menjerit….” Wiro kawatir kalau ssampai perempuan itu
mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila berkepandaian tinggi
itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya mulut perempuan itu
bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak berteriak.
“Dengar namaku Wiro Sableng.
Aku menemukanmu di kali sewaktu kau diserang oleh tiga orang yang aku tidak
kenal…..”
Sepasang mat aperempuan itu
terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba
mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke
bahu kiri. Wiro cepat berkata. “Waktu kau melompat ke dalam perahuku, salah
seorang penyerang berhasil melukai bahu kirimu. Tapi sekarang luka itu sudah
sembuh. Ada seorang sakti yang mengobatimu!”
“Orang sakti? Bukan kau…?”
Tanya perempuan itu dengan suara halus perlahan.
“Bukan, aku idak memiliki ilmu
sehebat dia….”
“Sekarang dimana orang sakti
itu…?”
“Jauh di dalam hutan sana. Aku
sengaja membawamu lari daridia karena dia hendak mengambilmu jadi permaisuri….”
Perlahan-lahan perempuan itu
bangkit dan duduk di tanah. “Kau jangan bicara ngacok!”
“Aku tidak ngacok Saudari,”
jawab Wiro. “Aku akan ceritakan padamu apa yang telah terjadi setelah kau jatuh
pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku ingin kau memberi tahu namamu lebih
dulu….”
“Saudari….?!” Tiba-tiba
perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba kepalanya. Baru disadarinya
rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan tergerai lepas. Sesaat
wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk
mengatakan namanya.
“Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan kawan-kawannya….”
“Siapa Kebo Panaran?” Tanya
Wiro.
Yang ditanya tidak menjawab.
Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak kedua matanya berkaca-kaca. Tidak
dapat membendung tangisnya akhirnya perempuan muda ini menangis. Mula-mula perlahan,
tapi lama-lama tangisnya jadi keras.
Wiro melangkah bingung mundar
mandir sambil garuk-garuk kepala. “Saudari hentikan tangismu. Kalau terdengar
oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku tak akan sanggup lagi menolongmu!”
Perempuan muda yang duduk di
tanah mengusap pipi dan kedua matanya.
Suara tangisnya perlahan-lahan
menyurut. “Aku tak mampu mengingat lagi… Ceritakan apa yang terjadi selama aku
pingsan.”
Wiro lalu menuturkan apa yang
terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu diserang oleh tiga penunggang kuda
samapi dia diculik oleh si gendut gila dan akhirnya berhasil dilarikan oleh
Wiro sampai ke tampat itu.
“Kau telah menolongku. Aku tak
athu harus berterima kasih begaiman. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini…”
“Kita bisa pergi sebentar
lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa sebelumnya kau menyamar sebagai
seorang pemuda?”
Perempuan itu meraba rambutnya
kembali. “Orang-orang yang menyerangku di pinggir kali, salah satu diantaranya
adalah manusia terkutuk Kebo Panaran itu. Dua lainnya Bargas Pati dan Legok
Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku bersumpah untuk membunuh mereka…”
“Rupanya ada satu perkara
besar antara kau dangan orang-orang itu?”
Perempuan itu mengangguk.
“Perkara besar. Amat besar,” katanya perlahan.
“Jika kau tidak mau
menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau berada dalam bahaya
besar…”
Perempuan itu terdiam sesaat.
“Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam
perang saudara. Selama masa peperangan aku dibawa ke mana-mana. Setelah aku
kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari bahaya…”
‘Maafkan aku, aku kira kau
masih gadis…” kata Wiro sambil tersenyum dan menggaruk kepala. Ucapan ini
membuat perempuan di hadapannya menjadi merah parasnya. Wiro segera mengalihkan
pembicaraan. “Kau ingin kita segera pergi dari sini sekarang juga?”
“Tunggu, ada hal penting yang
ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah hitam dan berambut kasar itu. Ketika
kau berkelahi dengan dia apakah kau menciderainya?”
“Tidak. Ada keraguan pada
diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang gurumu…”
“Dia memang guruku walau hanya
sempat mengajarku lima silat selama tiga bulan…” kata perempuan muda itu pula.
“Aku harus segera mencarinya. Aku butuh bantuannya menghadapi tiga manusia
terkutuk itu.”
Wiro hanya berdiam diri.
Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa lama lalu bertanya. “Kau kecewa
kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku dan apa yang telah terjadi
padaku?”
Wiro hanya tersenyum dan
gelengkan kepala.
“Kurasa kau orang baik dan
mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukaakan siapa diriku. Namaku Antini.
Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas.
Dibunuh secara keji oleh Kebo
Panaran dan tiga kawannya….”
SEMBILAN
Bukit kecil subur itu terletak
di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh dari Banyuurip. Di sebuah
rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad tengah membersihkan
biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melakukan pekerjaan
itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup melelahkan dan
membuat tubuhnya pegal serta keringatan.
Karena tenggorokannya terasa
kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi air putih lalu meneguknya.
Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat lima orang penunggang kuda
muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah rumahnya.
Tak berapa lama kemudian
muncul lima penunggang kuda itu sudah memasuki halaman. Ternyata mereka empat
orang lelaki berpakaian kumal berambut panjang riap-riapan dan bertampang
sangar. Yang satu lagi seorang perempuan berpakaian dan berikat kepala kuning.
Wajahnya tak kalah seram dengan empat lelaki itu.
Kelima penunggang kuda
berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda masing-masing. Yang sebelah depan
yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan berkumis tebal berdiri berkacak
pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil menyeringai.
“Lor Kameswara! Kau tidak
mengenali kami lagi?!” Tanya si berewok dengan suara lantang.
“Astaga! Kalau tidak mendengar
suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!”
menyahut lelaki di dalam rumah
lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si tinggi hitam berewok. Dia juga
memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama mereka satu persatu. “Bargas
Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar Parangkuning!”
Orang yang terakhir yakni
perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya bergelantungan selusin pisau
belati tertawa tinggi lalu berkata. “Tidak salah kalau dia tidak mengenal kita
lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak seperti ini! Hik…hik…hikkk!
Empat kawannya menyeringai
sedang si pemilik rumah yang bernama Lor Kameswara tertawa lebar. Dia
mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di atas sehelai tikar lebar.
“Kau kelihatan hidup tentram
di sini Lor Kameswara,” kata lelaki bernama Bargas Pati. Kepalanya botak.
Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala serba merah.
Yang bernama Legok Ambengan
ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.
“Kau sudah jadi petani kopi
rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat pada waktunya untuk dapat
menikmati kopi hasil kebunmu!”
“Jangan kawatir. Akan ku
buatkan kopi untuk kalian berlima,” kata Lor Kameswara. Lalu di bertanya
“Selama ini kemana saja kalian menghilang?”
“Siapa bilang kami
menghilang!” kata Kebo Panaran sambil mengusap berewoknya. Dia berpaling pada
kawan yang duduk di sebelahnya. “Legok, coba kau katakana pada bekas pimpinan
kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!”
Legok Ambengan yang berpakaian
serba hijau dengan dua golok tersisip di pinggangnya kiri kanan bersandar ke
dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua kakinya dia berkata “Satu bulan setelah
pertemuan kita terakhir, kami berhasil menjebak serombangan pasukan kerajaan.
Mereka berjumlah dua belas orang dan membawa barang-barang cukup berharga.
Setelah itu kami berhasil menyusup masuk ke dalam rumah kediaman Pangeran
Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.
Bahkan dua orang selir sang
Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua bulan.
Kami juga sempat bergabung
dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami berhasil mengumpulkan
sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita dapatkan di masa perang
tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh dibilang sudah jadi
orang-orang kaya baru…”
“Kalau begitu kalian semua
bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran lagi” kata Lor Kameswara.
“Maunya memang begitu”
menyahuti Kebo Panaran. “Tapi kami merasa peperangan belum selesai. Itu pula
sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas pimpinan kami di masa perang. Sampai
saat ini kami tetap menganggapmu sebagai pemimpin. Kami datang untuk minta kau
pimpin kembali guan melanjutkan perjuangan”
Sesaat Lor Kameswara seperti
tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. “Kawan-kawan, sakit hai
kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa lenyap samapi kapanpun. Tetapi
adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani hidup sebagai penjahat dan
perampok malah berani memasuki tempat kediaman Pangeran Blorong menculik dua
selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian akan jadi sasaran pengejaran seumur
hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa celaka!”
“Kau kedengarannya seperti
takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana keberanian yang pernah kau tunjukkan
di masa perang dahulu?”
“Kebo Panaran, sekarang
keadaan sudah berubah,” kata Lor Kameswara pula.
“Maksudmu berubah bagaimana?”
Tanya Legok Ambengan. “Apanya yang berobah. Kau bilang perang sudah berakhir.
Kami mengatakan tidak!”
“Kau keliru Legok. Perang
nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri Baginda yang lama tewas di tangan
Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
sahabat-sahabatku!”
Kebo Panaran tertawa. “Kau
keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan
yang masih setia dengan Raja lama kini menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka
melakukan perang susup atau perang gerilya. Walau sedikit demi sedikit tetapi
secara pasti mereka menggerogoti kekuatan Kerajaan hingga satu ketika akan
lumpuh dan hancur!”
“Kekuatan pasukan yang setia
pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencarpencar.
Mereka mudah dihancurkan oleh
pasukan Kerajaan.”
Kebo Panaran geleng-gelengkan
kepala. “Buktinya sampai saat ini pasukan Kerajaan tidak mampu menghancurkan
kami berlima!”
“Mungkin sekarang tidak
sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang benar-benar kuat. Mereka
memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh serta dibantu oleh
belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi…”
“Itu betul,” memotong Bargas
Pati. “Tetapi apakah kita akan jadi patah semangat hanya karena kelemahan yang
tidak berarti itu? Kita bisa mengumpulkan harta dan uang untuk membeli atau
membuat senjata. Untuk menggembleng semua perajurit kita bahkan kalau perlu
membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!”
“Aku yakin tidak semudah itu
melakukannya sahabat-sahabat,” kata Lor Kameswara pula.
“Sudahlah, tak usah kita
ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau belum. Yang jelas kami
minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan kumpulkan kawan-kawan. Bentuk
pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara.”
Yang bicara adalah Ambar
Parangkuning.
Di masa perang saudara antara
Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara terjalin hubungan mesra. Tapi hubungan itu
keburu diketahui oleh istri Lor Kameswara sehingga perempuan ini dalam marahnya
melarikan diri. Malang baginya di tengah jalan dia diserang penyakit menular
dan akhirnya menemui ajal. Lor Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa
besar. Setelah perang selesai dia sama sekali tidak mau melanjutkan hubungan
dengan Ambar Parangkuning walau perempuan ini sebenarnya sangat mengharapkan
untuk diambilnya jadi istrinya. Lor Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri
di tempat sepi.
“Maafkan aku Ambar,” menjawab
Lor Kameswara. “Aku sudah terlalu tua memimpin satu perjuangan yang sia-sia.
Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin baru. Aku ingin di sisa usiaku
menikmati hidup yang tenteram….. Aku akan hidangkan kopi untuk kalian.” Lalu
Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian dia
keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di atas nampan terdapat enam buah
cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi panas. Di atas nampan itu masih
ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang goreng.
Kepulan asap kopi yang harum
serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur kelima orang itu jadi
berdecak.
Hidung mereka kembang kempis.
Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi membesar. Seorang perempuan sanga muda,
mungkin masih gadis, berkulit kuning langsa dan berwajah cantik sekali serta
memiliki potongan tubuh yang menggiurkan melangkah di belakang Lor Kameswara.
Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya si jelita yang menurut dugaan
mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.
Kebo Panaran mengusap
berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul Anaprang membasahi bibir dangan
ujung lidah berulang kali sedang Legok Ambengan dan Bargas Pati seperi orang
tersirap sihir, memandang tak bergerak dan tak berkedip. Ambar Parangkuning
tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam dadanya muncul satu getaran rasa
cemburu.
“Tidak kusangka kau menyimpan
seorang dara jelita di rumah ini, Lor Kameswara!” kata Kebo Panaran pada Lor
Kameswara tetapi matanya memandang pada perempuan itu dengan pandangan mata
seperti hendak menelanjangi.
“Kami tahu dari istrimu dulu
kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan bidadari ini Kameswara?” Tanya Tunggul
Anaprang pula sambil mengusap muka yang pucat berulang kali.
Lor Kameswara tersenyum. “Ini
Antini, istriku….” Menerangkan Lor Kameswara.
Karena tidak menduga sama
sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut dan ada yang keluarkan
seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning kelihatan berubah.
“Istrimu katamu Kames?” Tanya
Bargas Pati.
“Betul…?” Lor Kameswara
meletakkan nampan di lantai yang beralaskan tikar. Kelima kawannya jadi saling
pandang.
“Kini aku tahu. Rupanya ini
sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan perjuangan, tak mau lagi ikut perang
karena kini kau sudah punya istri cantik jelita!” kata Kebo Panaran.
“Boleh saja kau bilang begitu.
Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin hidup tenteram….”
Tunggul Anaprang menyeringai.
“Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini sebenarnya pantas jadi anakmu! Ha…
ha… ha!”
Paras istri Lor Kameswara jadi
merah mendengat kata-kata itu. Lor Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan
ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun dia tenang saja. “Antini masih keponakan
mendiang istriku. Dia anak baik. Kami tahu perbedaan umur kami yang menyolok.
Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau tidak ada dia, siapa yang akan
merawat tubuh keropok ini!”
“Kau benar-benar tua bangka yang
beruntung…” kata Legok Ambengan sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya
menuangkan kopi hangat ke dalam enam cangkir tanah.
“Selagi masih hangat silahkan
kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya agar dicicipi,” mempersilahkan tuan
rumah.
Namun tidak ada satu orangpun
yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning, leleaki yang lima itu sama
memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.
Betisnya yang putih bagus dan
tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki yang selama ini hanya berada dalam
rimba belantara menjadi terangsang dan berangan-angan kotor. Beberapa lama
kemudian baru mereka meneuk minuman masing-masing.
“Sedap sekali kopi buatan
istrimu,” memuji Legok Ambengan. “Kapan aku bisa mendapatkan istri seperti
istrimu itu!” Ucapan lelaki ini membuat kawankawannya yang lain tertawa
bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam dalam jalan pikiran
masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya, Legok Ambengan kedipkan
mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti kedipan mata itu membalas
dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. “Aku ingin mencuci muka.
Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak sumur?”
“Di halaman belakang. Mari
kuantar,” kata Lor Kameswara pula.
“Tak usah, aku bisa pergi
sendiri!” Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke dalam rumah, terus menuju halaman
belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari sumur itu yang hendak dilakukannya.
Melainkan dia ingin melihat Antini yang cantik jelita tadi, yang telah membakar
aliran darahnya.
Istri Lor Kameswara itu
ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman belakang, tengah menampi beras
membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini , langsung saja perempuan ini
disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini terkejut dan terpekik keras.
Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras berserakan di tanah.
Di serambi depan Lor Kameswara
melompat dari duduknya begitu mendengar suara jeritan istrinya dari belakang
rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri, Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu
Anaprang telah mendahului dan tegak mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang
masih tetap duduk di atas tikar.
Perempuan ini sebenarnya sudah
maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa yang hendak dilakukan tiga
kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun kebencian karena merasa
dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia tidak melakukan apa-apa.
Di belakang sana kembali
terdengar jeritan Antini.
“Minggir!” bentak Lor
Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan cepat menekan kedua bahunya dari
belakang.
“Kau hendak kemana Kameswara?
Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita belum selesai…’ kata Legok Ambengan.
Lor Kameswara merasa kedua bahunya seperti ditekan oleh dua batu besar yang
beratnya puluhan kati. Jelas Legok Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya.
“Singkirkan kedua tanganmu
Legok!” bentak Lor Kameswara.
“Tidak, kecuali kalau kau
mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami lagi dan berperang melawan
Kerajaan!”
Di halaman belakang lagi-lagi
terdengar jeritan Antini.
“Keparat! Aku tahu ada maksud
kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!
Awas! Jika terjadi sesuatu
dengan istriku kalian semua akan kubunuh!” Habis berkata begitu Lor Kameswara
tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan bahunya lalu sambil
menjatuhkan diri dia membetot orang yang di belakangnya itu.
Gerakan Lor Kameswara secepat
kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain pasti akan terbetot dan
terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok Ambengan.
Tubuhnya memang terbanting ke
depan tapi tidak sampai terhampar di lantai serambi.
Kedua kakinya membuat gerakan
cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan bangkitnya Lor Kameswara.
Karena Legok Ambengan perlu
saat untuk mengimbangi dirinya, maka kesempatan ini dipergunakan oleh Lor
Kameswara untuk menghantam lelaki ini dengan satu jotosan keras kea rah
dadanya.
“Bukkk!”
Legok Ambengan terlempar. Dari
mulutnya keluar seruan kesakitan disusul dengan mengucurnya darah dari mulut.
Jelas dia mengalami luka di dalam yang parah.
Tetapi manusia ini seperti
mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia menerjang ke depan sambil
menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor Kameswara. Ludah campur
darah menodai wajah Lor Kameswara.
Mendidih darah bekas perwira
Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor Kameswara kembali hendak menggasak
orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan saat itu Tunggul Anaprang dan
Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan tangan kosong yang dahsyat.
Sebagai seorang bekas perwira
Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki kepandaian tinggi disbanding dengan
kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun dikeroyok tiga membuat dia serta merta
terdesak.
“Aku tidak harus melayani
masing-masing keparat ini. Aku harus menolong Antini. Sesuatu terjadi di
belakang sana!” kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki kanannya menendang mencari
sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu tangan kirinya menderu ke
arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini membuat gerakan menghindar Lor
Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah Tunggul Anaprang. Serangkum
anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu kalau bekas pimpinannya itu
memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak berani menangkis karenanya
cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi dua orang lainnya belum
sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang dan lari ke dlaam rumah,
terus berkelebat ke halaman belakang.
“Kebo Panaran keparat! Kubunuh
kau!” teriak Lor Kameswara ketika menyaksikan apa yang terjadi di halaman
belakang dekat sumur.
SEPULUH
Kebo Panaran seperti orang
kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu mesum semakin membakar tubuh
lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu tersingkap lebar. Saat itu Legok
Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta Ambar Parangkuning sudah berada
pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini menahan nafas menyaksikan
keindahan dada Antini.
“Kebo! Jangan kau makan
sendiri daun muda berwajah bidadari itu!” seru Tunggul Anaprang. Lalu dia
melompat dan mendekap Antini dari samping dan menciumi oeremouan ini. Di saat
yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo Panaran dengan kemarahan yang tidak
dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah muka Kebo Panaran. Perkelahian seru
segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari bahwakeadaan istrinya yang sedang
dibelanya itu justru saat itu makin berbahaya.
Tunggul Anaprang, Bargas Pati
dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi tubuh Antini yang benjerit-jerit
tiada henti hingga suaranya serak.
“Manusia-manusia iblis!”
kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh meninggalkan Kebo Panaran, berkelebat
ke arah Legok Ambengan. Tangannya bergerak cepat menyambar satu dari dua golok
yang tergantung di pinggang Legok.
Dengan senjata itu lalu dia
mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawankawannya segera pula menghunus
senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut golok besarnya. Tunggul Anaparang
loloskan rantai besi yang menggelung pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan
celurit besarnya sedang Legok Ambengan juga sudah mencabut goloknya yang kini
hanya tinggal satu.
Kini perkelahian baralih dari
hanya mempergunakan tangan kosong menjadi perkelahian dengan senjata tajam.
Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak ikut mengeroyok dan tetap tegak di
tempatnya.
“Antini! Lari….. Selamatkan
dirimu!” teriak Lor Kameswara ketika dia menyadari dirinya mulai terdessak.
Tapi sang istri malah belas berteriak “Kangmas Kames. Saya memilih mati
bersamamu……” Lalu perempuan muda ini menyambar sebilah parang yang tersisip di
dinding belakang rumah. Namun belum sempat dia menyentuh senjata ini Tunggul
Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan menyambar pinggangnya. Kedua
orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya, ketika berada di sebelah atas!
Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi tubuh Antini.
“Kangmas Kames! Tolong….
Tolong!”
“Tunggul! Setan kau!” teriak
Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para pengeroyoknya, langsung saja dia
berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya yang tengah dinodai oaring. Namun
saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati menyambar.
Lor Kameswara masih sempat
melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi terlambat. Ujung clurit
membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka yang terbuka. Antini
menjerit keras.
Selagi Lor Kameswara tertegun
sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang koyak. Golok yang tadi dipegangnya
sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo Panaran dating dari samping menusukkan
goloknya ke perut Lor Kameswara.
“Jangan bunuh dia!” Satu suara
membentak.
“Heh?!” gerakan tangan kanan
Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke samping, “Heh?! Betul kau yang
barusan bicara Ambar?!”
Ambar Parangkuning memandang
tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran membuat sesaat lelaki ini jadi
tertegun.
“Rupanya kau masih mencintai
dia, Ambar?!”
“Saat ini kita bukan bicara
soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan kehormatan! Betapa keji pribadimu
hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan sendiri! Lebih busuk lagi karena kau
diam-diam mengatur untuk menodai istrinya!
Aku tidak suka hal ini!”
“Jika kau tidak suka, kau
boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan sampai kami seleai!” Yang
bicara adalah si botak Bargas Pati.
“Kalian biadab semua! Rutuk
Ambar Parangkuning lalu putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lor Kameswara merasakan
tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang keluar dari luka di pipinya. Walau
amarahnya masih mendidih namun dia seperti lumpuh dan tak mampu melawan ketika
tendangan Legok Ambengan menghanam pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar
di tanah. Lalu satu tendangan pada kepalanya membuat pemandangannya serta merta
gelap. Megap-megap dan boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara
coba bangun. Namun tusukan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya.
Darah menyembur muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang
malang ini terguling di tanah tanpa berkutik lagi.
Melihat suaminya menemui ajal
seperti itu ditambah dia tidak bisa melepaskan diri dari cengekraman Tunggul
Anaprang, Antini seperti gila hanya bisa menjerit serak.
“Bunuh! Bunuh saja aku!”
teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.
Kebo Panaran tertawa mengekeh.
Sambil menyeka golok berdarahnya ke celana hitamnya orang ini melangkah
mendekati Tunggul Anaprang yang masih bersama Antini.
“Jangan rakus! Jangan dimakan
sendiri Tunggul!” kata Kebo Panaran sambil mencekal baju biru Tunggul Anaprang
lalu menariknya ke atas kemudian dibanting lagi ke tanah! Dan berkata “Kau dan
yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan cemplungkan ke dalam sumur!”
“Jang… jangan….” Kata Antini
perlahan yang sudah lemas tak punya kekuatan lagi.
Sesuai perintah Kebo Panaran
tiga orang kawannya segera menggotong jenazah Lor Kameswara. Lalu jenazah itu
dilemparkan ke dalam sumur!
Kebo Panaran menyeringai. Dia
berjongkok di samping Antini yang masih terbaring tak berdaya di tanah. “Tak
ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda dan lebih gagah dari suamimu si tua
bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau selamat ikuti saja apa mauku dan mau
kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang sebentar!”
“Iblis! Manusia durjana!
Pergi!
Kebo Panaran hanya ganda
tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang besarnya. Lalu berlutut di
samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah tak punya daya apa-apa lagi.
Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.
Dadanya bergoncang keras
ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya….Lalu dilihatnya wajah lain di atas
tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi….. Ini adalah hari paling terkutuk
bagi perempuan muda yang malang itu.
Menjelang rembang petang
keempat orang itu berkumpul di halaman depan rumah Lor Kameswara.
“Eh, kuda Ambar Kuning tidak
kelihatan!” kata Bargas Pati sambil mengusap mukanya yang penuh keringat.
“Dia benar-benar sudah kabur
rupanya!” menyahuti Legok Ambengan.
“Kabur atau kemanapun dia tak
usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti akan bergabung lagi dengan kita.
Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu saja.
Apa dia tidak ingin bagian
dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan di tempat rahasia itu?!”
Kebo Panaran meludah ke tanah. “Sudah jangan banyak bicara lagi. Cepat
tinggalkan tempat terkutuk ini!”
Besamaan dengan tenggelamnya
sang surya dan keadaan mulai gelap karena malam segera tiba, di halaman depan
rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu bayangan. Dengan cepat bayangan ini
bergerak menuju halaman belakang. Begitu sampai di halaman belakang orang yang
muncul ini terdengar menghela nafas panjang.
Lalu dia melangkah mendekati
sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang ini ternyata seorang nenek
muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong menjela tanah.
Beberapa lama dia hanya tegak
memandangi sosok tubuh tak bergerak itu dengan muka membesi dan kedua tangan
terkepal. Lalu orang ini membungkuk.
Dipegangnya pergelangan tangan
kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. “Mati…?”
pikirnya. Lalu diturunkannya
kepalanya , diletakkan di atas dada Antini. Perlahan sekali, antara terdengar
dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak jantung. “Ah, dia masih
hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-cepat membawanya dari sini
dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong apakah batin dan
perasaannya bisa diselamatkan?”
Nenek berjubah hitam itu cepat
memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum pergi dia berpaling kea rah sumur di
mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawankawannya telah mencemplungkan Lor
Kameswara ke dalam sumur itu.
“Ah, dia tak mungkin bisa
kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat itu….” Si nenek menghela nafas
sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama
Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan kesunyian.
Antini tidak tahu berapa lama
dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya dirinya tergolek dalam sebuah goa
batu yang dinding-dindingnya terasa dingin.
Perempuan malang ini sesaat
menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan mengingat-ingat. Tiba-tiba
satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.
Langsung dari mulutnya
terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau saja tidak ada yang
muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak muncul di tempat
itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.
“Anakkua, tabahkan hatimu. Aku
tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi jagat ini, lebih dalam dari laut dan
lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau ingat pada Tuhan. Dialah yang telah
menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau harus tabah anak. Aku akan
menolongmu….”
Antini bangkit dan duduk
bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang menimpanya telah membuat satu
perubahan besar dalam diri perempuan yang masih sangat muda ini. Kalau dulu dia
merupakan seorang perempuan yang lenbut dengan segala kehati-hatian, kini dia
tampak begitu kasar dan berani walau sinar matanya tidak dapat menyembunyikan rasa
takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.
“Kau boleh panggil aku Nenek
Tidar,” jawab si nenek muka pucat. “Kau tak usah takut padaku. Aku tahu semua
yang telah kau alami…..”
Mendengar ucapan itu Antini
langsung menjerit.
“Tenang…..Tenang anakku,” kata
Nenek Tidar. “Kau tidak usah takut. Saat ini kau berada di tempat yang aman.
Dengar, aku akan berusaha menolongmu…”
“Menolongku Nek? Bagaimana
mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan dan kesucianku yang telah dirusak
manusia-manusia durjana itu….”
“Kalau itu memang aku tidak
dapat mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.
Tetapi kesucian dan kehormatan
dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa mendapatkannya kembali.”
“Aku tidak mengenal kau.
Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga….”
Si nenek menyeringai. “Dalam
soal tolong menolong tidak harus kenal satu sama lain lebih dahulu. Juga tak
perlu rasa curiga padaku…..”
“Nek, kau tahu apa yang ingin
kulakukan saat ini?” tanya Antini.
Si nenek menggeleng. “Coba kau
katakan, anakku.”
“Aku ingin bunuh diri!
Menyusul suamiku!” Habis berkata begitu Antini kembali menjerit lalu menangis
keras.
Nenek Tidar menghela nafas
dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai rambut perempuan muda di hadapannya
itu.
“Anakku, jika kau bunuh diri
dan mati, berarti selesailah kejahatan yang dilakukan oleh keempat manusia
durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan dilupakan orang. Berarti
mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau seperti gila menghadapi
kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau tidak merasa gila untuk
bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka lakukan terhadapmu?
Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian suaamimu?! Mereka telah
membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak bertekad untuk balas memberikan
hari-hari terkutuk pada mereka?”
Si nenek memmandang tak
berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam dengan meulut terkancing. Tetapi
kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan satu sinar menyeramkan. Sinar
itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata itu kini tampak berkaca-kaca
lagi.
Kemudain terdengar suara
Antini berkata “Tentu saja Nek, siaa orangnya yang tidak punya niat membalaskan
sakit hati dendam kesumat. Api aku yang lemah ini punya kemampuan apa?
Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu menindak kelima manusia
terkutuk itu.”
“Asal kau mau, kau pasti dapat
melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau harus mempunyai kepandaian silat
serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam….”
“Aku sama sekali tidak
memiliki kepandaian apapun!” jawab Antini.
“Anak, kau tak usah khawatir.
Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu singkat. Tiga kali purnama kurasa sudh
cukup bagimu untuk menguasainya. Aku maklum kalau tiga bulan tidak mungkin
bagimu untuk berbuat banyak dalam menghadapi manusia-manusia terkutuk itu.
Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua yaitu ilmu penyamaran dan mempergunakan
akal serta pikiran. Kecerdikan selalu dapat mengalahkan kekuatan atau musuh
yang bagaimanapun hebatnya….Nah yang jadi pertanyaan kau mau mendekam selama
tiga bulan di tempat ini bersamaku?”
Antini tak segera menjawab.
Dia seperti berpikir-pikir. Kemudaian perlahanlahan kepalanya dianggukkan.
Si nenek terawa lebar. Antini
memperhatikan ada satu keanehan pada wajah orang tua ini tapi dia belum dapat
menerka keanehan apa yang tersembunyi di balik wajah tersebut. Hanya ada satu
pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa sebenarnya perempuan tua ini dan
mengapa dia mau memberikan pertolongan….
Antini memandang pada Pendekar
212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah menyelamatkannya. Lalu apakah dia dapat
dipercaya? Dari nama dan gerak geriknya Antini merasa bimbang. Sejak malapetaka
besar yang menimpa suaminya dan dirinya sendiri kepercayaan terhadap lelaki
boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap dia melihat lelaki langsung timbul
rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa ingin membunuh semua lelaki yang
ada di dunia ini!
Wiro sendiri setelah mendengar
penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada perempuan malang ini. Dalam
hatinya timbul rasa ingin menolong.
“Jadi selama tiga bulan kau
digembleng oleh Nenek Tidar itu?” Antini mengangguk.
“Tiga bulan waktu yang sangat
singkat. Apapun ilmu yang kau miliki sekarang ini rasanya belum cukup untuk
dapat membalaskan dendam kesumat sementara dirimu sendiri akan jadi bulan-bulanan
maa bahaya.”
“Aku tahu. Nenek Tidar juga
berkata begitu. Itu sebebnya dia berpesan agar aku mempergunakan akal dan
kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan.
Dengan kepandaian menyamar
yang diajarkan terbukti aku berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Aku
berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu aku dapat membunuh Tunggul Anaprang.
Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan dapat menghabisi mereka
semua. Yang paling aku incar adalah Kebo Panaran….”
“Masalahnya yang kau hadapi
bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya.
Kalau kau percaya padaku, aku
bersedia membantumu.”
Antini memandang lagi pada
Pendekar 212. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Tapi apakah aku
percaya padamu, itu hal lain. Biar aku melakukan pembalasan sendiri. Kalaupun
aku mati, aku pasrah. Mungkin itu lebih baik bagiku!” Murid Eyang Sinto Gendeng
hanya bisa garuk-garuk kepala.
SEBELAS
Rumah makan Simpang Tiga yang
memang terletak di simpang tiga Jati Gombol milik Among Kuntoro sangat terkenal
akan kelezatan masakannya. Selain itu harganya tidak mahal, cukup terjangkau
oleh mereka dari golongan bawah sekalipun.
Siang itu Wiro duduk di satu
sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang dipesannya. Dia tak lama menunggu,
seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu menggunakan pakaian serta kopiah
merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang dapur dating membawakan
pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum.
Begitu pelayan hendak pergi
Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata “Dulu kau menyamar sebagai pelacur.
Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan terjadi hari ini, Antini?”
Wajah pelayan yang celemongan
tampak menjadi pucat. Dalam hati dia berkata “Matanya tajam sekali.” Lalu
pelayan ini bertanya “Bagaimana dia bisa mengenali diriku?”
“Kau mengajarkan agar berlaku
cerdik. Nah aku hanya mengikuti ajaranmu.
Kau bisa merubah pakaian dan
wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari.
Tapi kau tidak bisa merobah
kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu memandang.”
“Kalau kau sudah tahu jangan
macam-macam. Aku tak mau segala rencana yang sudah kususun akan menjadi
berantakan gara-gara keusilanmu!” Si pelayan yang memang Antini adanya
merengutkan tangannya. Baru saja dia melangkah masuk ke bagian dalam rumah
makan, di halaman depan dua pengunggang kuda yang baru dating menambatkan kuda
masing-masing lalu masuk ke dalam rumah makan dengan sikap seolah-olah tempat
itu milik mereka. Orang pertama berkepala botak gemuk dengan wajah berminyak.
Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Sebuah celurit besar
tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain adalah Bargas Pati.
Teman Bargas Pati yang
mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta membekal dua buah golok tentu
saja adalah Legok Ambengan. Kedua orang ini duduk terpisah satu meja dari
tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil angkat kaki.
Seorang pelayan bukan Antini
mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.
“Kami sudah lapar. Kau
melayani seperti siput! Siapkan ikan bakar dan ayam goreng.
Jangan lupa sayuran. Cepat!
Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi air putih di meja ini!”
Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di depannya terlonjak kaget.
Si pelayan membungkuk lalu
cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu ruangan dalam Antini
memperhatikan. “Mereka hanya dating berdua. Kebo Panaran dan perempuan bernama
Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja dulu aku kerjakan….”
Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.
“Agar kau tidak kena semprot
dua monyet itu, biar aku yang menyiapkan dan menghidangkan makanan mereka.”
Di tempat duduknya Wiro
memperhatikan dengan sudut mata. “Dari cerita Antini, jangan-jangan dua orang
ini adalah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya sesuatu akan terjadi di tempat
ini….”
Tak selang berapa lama,
pelayan muda itu muncul membawa makanan yang dipesan Bargas Pati dan Legok
Ambengan, lengkap dengan minuman.
“Pelayan muka banci! Untung
kau yang datang. Kalau pelayan tadi pasti sudah kutampar karena lama sekali!”
Si pelayan membungkuk dan
meletakkan semua makanan dan minuman di atas meja dengan sigap. “Mungkin ada
pesanan lain?” Tanya si pelayan dengan hormat sekali. Bargas Pati mengusap
kepalanya yang botak lalu tertawa. “Suaramu halus seperti tikus cerurut! Sudah
pergi sana!” Setelah membungkuk si pelayan memutar tubuh dan kedua orang itu
segera saja menyantap makanan mereka. Sambil makan mereka bicara dengan suara
perlahan.
“Kalau nanti Kebo Panaran
datang, sebaiknya kita bicarakan soal harta dan uang yang kita sembunyikan
itu,” akta Bargas Pati.
“Maksudmu?” Tanya Legok
Ambengan sambil menggeragot paha ayam goreng.
“Aku kawatir. Tempat kita
menyembunyikan uang dan harta itu sewaktuwaktu bisa bocor….”
“Kalau Ambar Parangkuning yang
kau takutkan, bukankah kita sudah memindahkan barang dan uang itu ke tempat
lain?” ujar Legok Ambengan.
“Sebaiknya harta kekayaan itu
segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar yang minggat itu.” kata Bargas
Pati pula.
“Kalau sudah dibagi lantas
apa?”
Belum sempat Bargas Pati
menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tibatiba dia merasakan perutnya seperti
dibalik-balik. “Sialan! Perutku mulas!”
“Gila! Aku juga!” kata Legok
Ambengan. Lalu cepat-cepat dia meneguk tuak dalam kendi maksudnya agar mulasnya
hilang. Justru rasa mulas itu makin menggila.
“Tunggu aku di sini. Aku akan
mencari kakus dulu!”
“Aku juga! Kita sama-sama ke
belakang! Sialan!” maki Bargas Pati seraya bangkit dari kursinya. Sambil
bergegas ke bagian belakang rumah makan Bargas Pati kembali mengomel. “Keparat!
Ada yang tidak beres dengan makanan dan minuman di sini! Selesai buang hajat
kita harus selidiki, Legok!”
“Aku setuju. Akan kupatahkan
batang lehernya kalau nanti ternyata makanannya ada yang basi atau mengandung
racun!”
Sampai di belakang ternyata
hanya ada satu kakus. Dan saat itu sedang diisi seorang tamu. “Kurang ajar.
Siapa di dalam. Lekas keluar!” teriak Bargas Pati lalu digedornya pintu kakus.
Terdengar suara orang di dalam. Lalu pintu terbuka sedikit.
Satu kepala bermuka bopeng
muncul “Ada apa…” Orang ini bertanya. Bargas Pati cekal kerah pakaian orang itu
lalu menariknya dengan kasar keluar kakus. Si bopeng yang hanya mengenakan baju
tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.
“Hai! Apa-apaan ini! Aku belum
selessai! Apa kau sudah gila?!”
Bargas Pati bantingkan orang
itu ke lantai lalu masuk ke dalam kakus sambil membantingkan pintu. Sementara
itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan, dalam keadaan kalang kabut enak saja
menongkrong dekat cucian piring. Seorang perempuan tua yang nyinyir yang
sedangmembasuh sayuran dekat tempat itu mengomel.
“Tua bangka edan! Jangan di
situ!”
“Perempuan celaka! Apa
katamu!” teriak Legok Ambengan. Lalu “Plaakk!”
Tangan kanannya menampar
hingga perempuan itu terbanting ke dekat sumur.
Dari dalam rumah makan
bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia adalah Among Kuntoro pemilik
rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi maka dia cepat berkata.
“Saudara tamu, seratus langkah
di belakang sana ada sebuah parit. Airnya cukup bersih. Pergilah kesana…”
“Setan! Kenapa kau tidak
bilang dari tadi!”
Legok Ambengan lalu lari ke
arah yang ditunjuk pemilik rumah makan.
Seperti yang dikatakn memang
tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair jernih.
Disitu ditemuinya juga sebuah
dinding gedek yang rupanya memang dibuat untuk orang yang hendak buang hajat.
Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik dinding gedek itu.
Kembali ke dalam kakus rumah
makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati mandi keringat. Tapi sekarang dia
benar-benar merasa lega setelah buang hajat. “Gila!
Baru sekali ini aku mengalami
begini! Pasti ada yang tidak beres dengan makanan di sini. Ada orang yang
bermaksud jahat! Masakan hanya aku dan Legok saja yang jadi begini?! Keparat
betul!”
Selagi si botak gemuk ini
mengomel dalam hati seperti itu tanpa diketahuinya sebuah benda meluncur dari
atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata adalah seutas ambang hitam yang
ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa suara tali itu meluncur terus
melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati merasakan ada sesuatu
yang menyentuh bagian belakang kepalanya lalu melihat ada benda yang lewat di
depan mata dan hidungnya, dia pergunakan tangan untuk menangkapnya.
“Seran! Apa pula ini….?!”
Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.
Baru Bargas Pati sadar apa
yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya menarik ali itu. Namun jiratan
semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri semakin kencang gelungan
tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang di atas kepalanya seperti
ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat kencang. Kedua mata si botak
ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya mulai terjulur.
Ketika di sebelah atas kembali
tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak lagi berpijak ke lantai kakus,
terdengar suara berderak patah dan tanggalnya atulang leher lelaki ini. Kedua
kakinya melejang-lejang bebeapa kali. Setelah itu tubuhnya tak berkutik lagi.
Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di atas atap bangunan kakus
cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!
Tak lama kemudian Legok
Ambengan muncul di belakang rumah makan.
Celana hijaunya basah kuyup.
Selesai membuang hajat dia berusaha mencuci celana itu. Bagaimanapun dicucinya
bau busuk yang melekat di situ masih tercium santar.
Begitu sampai di pintu
belakang rumah makan, dia berteriak. “Mana pemilik rumah makan ini!”
Among Kuntoro bergegas
mendatangi dengan wajah ketakutan. “Ada yang tidak beres dengan masakanmu! Aku
dan kawanku kau beri makanan basi pasti!”
“Tidak bisa jadi, semua
makanan baru dimasak pagi tadi,” jawab Among Kuntoro. “Kalau makanan di sini
tercemar mengapa hanya saudarar tamu berdua saja yang diserang mules?”
“Kalau begitu pasti ada yang
menaruh sesuatu di makanan kami! Kau harus bertanggung jawab!”
“Maafkan saya saudara tamu.
Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu terjamin…”
“Diam!” sentak Legok ambengan.
‘Aku dan kawanku minta ganti kerugian.
Kau harus bayar sepuluh
ringgit perak pada kami berdua!”
“Saudara tamu. Bagaimana bisa
begitu. Saya…”
“Kalau tidak kau berikan, akan
kaim bakar rumah makan ini dan kupatahkan batang lehermu!”
Pucatlah wajah Among Kuntoro.
Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas Pati. “Mana kawanku?!” tanyanya
berteriak.
“Di….dia masih di dalam kakus….”
jawab Among Kuntoro.
“Dalam kakus…. Mengapa lama
sekali?!” Legok Ambengan tiba-tiba saja merasa tidak enak. Untuk pergi ke
parit, buang hajat lalu mencuci celana dan kembali ke rumah makan itu jelas dia
membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang sebegitu mustahil Bargas Pati
juga mendekam dalam kakus. Maka dia melangkah menuju kakus dan menggedor
pintunya.
“Bargas! Jangan kau ngeram
dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit perak menunggu kita!”
Tak ada jawaban dari dalam
kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi dia berbalik lagi dan kembali
menggedor.
“Bargas! Kau tuli apa bisu?!
Ayo cepat keluar!”
Tetapi tak ada jawaban dari
dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak jadi curiga. “Kalau kau masih tak
menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!”
mengancam Legok Ambengan.
Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar suara ribut-ribut dan ingin
tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah makan. Seorang diantaranya
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setetlah beberapa kali menggedor
dan berteriak memanggil-manggil kawannya itu dan tetap tak ada jawaban, Legok
Ambengan pergunakan kaki kanannya untuk menendang pintu kakus. Pintu yang
terbuat dari kayu tipis dan rapuh itu pecah berantakan. Legok Ambengan
menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang masih menempel. Namun kemudian, ketika
dia memandang ke dalam kakus, satu teriakan keras keluar dari mulutnya. MUkanya
pucat dan kedua kakinya yang gemetar bersurut ke belakang!
Rumah makan yang ramai itu
menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati akhirnya ditemukan dalam kakus
dalam keadaan tergantung. Mata mencelet, lidah terjulur. Ada darah keluar dari
hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas Pati tergantung hanya
mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai kakus.
“Seseorang telah membunuh
temanku!” teriak Legok Ambengan marah.
Dalam marahnya dia melompat ke
hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher orang ini. “Kau bertanggung jawab atas
kematian temanku! Katakan siapa yang menggantungnya!”
Tentu saja pemilik rumah makan
itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan jadi kalap. Tinjunya menderu menghantam
muka si pemilik rumah makan hingga hidungnya patah dan darah mengucur. Tubuh
Among Kuntoro kemudian
dibantingnya ke lantai. Ketika
hendak diinjaknya satu suara terdenagr berkata.
“Kawanmu itu mungkin saja
bunuh diri! Coba kau periksa dulu….!”
“Bangsat! Siapa yang barusan
berani bicara?!” bentak Legok Ambengan. Dia memandang berkeliling. Dengan geram
dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang pintunya terpentang lebar. Saat
itulah baru Legok Ambengan melihat kalau di kerah baju merah yang dikenakan
Bargas Pati teselip secarik kertas. Legok Ambengan masuk ke dalam kakus dan
berjingkat untuk dapat mengambil kertas itu. Begitu gulungan kertas dibuka
berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali bentuk tulisan itu. Sama
dengan tulisan yang ditinggalkan pembunuh Tunggul Anaprang yang dibunuh di
rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis dengan darah, yang ini
ditulis dengan kayu arang.
Di situ tertulis dengan jelas
:
Orang kedua dari kalian tamat
riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu giliran untuk menghadap roh suamiku
di pintu akhirat!
“Jadi….. jadi dia….” Desis
Legok Ambengan dengan bibir bergetar. “Janganjangan dia masih ada di tempat
ini….” Legok Ambengan memandang berkeliling.
Pandangannya membentur wajah
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku rasa-rasa pernah melihat tampang ini
sebelumnya. Tapi di mana…” Selagi Legok Ambengan mengingat-ingat kedua matanya
jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi membawakan makanan dan minuman
pesanannya. “Eh….Tampangnya memang lain.
Tapi sosok tubuhnya sama besar
dengan pemuda di kali tempo hari. Dan…” Legok Ambengan kembali berpaling pada
Wiro. Dia ingat! “Pemuda gondrong ini adalah orang yang menolong pemuda di kali
itu….”
Sekali lompat saja Legok
Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro.
“Mana temanmu itu…. Lekas
katakan di mana dia!”
“Temanku banyak. Satu
diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab Wiro seenaknya. “Teman yang
mana maksudmu?!”
Amarah Legok Ambengan jadi
mendidih. Surat yang dipegangnya ditempelkannya ke kening Wiro. “Temanmu di
kali dulu. Dia yang menulis surat ini.
Pasti!”
“Ah, temanku semua buta huruf.
Tak pandai menulis tak tahu baca…”
“Setan kau berani
mempermainkanku!” teriak Legok Ambengan marah. Lalu tinjunya melayang ke muka
Pendekar 212.
Namun jotosan murid Eyang
Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok Ambengan lebih dulu. Orang ini
terpekik dan terpental dampai tiga langkah.
“Manusia haram jadah!” rutuk
Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sepasang golok andalannya
kini tergenggam di tangan kiri kanan. “Setan gondrong! Kucincang tubuhmu!”
teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.
Wiro cepat menyingkir. Orang
serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan memburu Wiro dengan kedua
goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan.
Dia mendengar suara berdesing
di belakangnya. Goloknya diputar di belakang punggung.
“Trang!”
Sebuah pisau belati terbang
terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya satu dari empat serangan pisau
terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu berhasil dielakkan. Yang ketiga dan
keempat menancap di punggung kiri dan pinggang kanannya!
Legok Ambengan menjerit keras.
Dalam keadaan terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh untuk melihat siapa yang
membokongnya. Dia melihat pemuda pelayan berkopiah merah tegak bertolak
pinggang memandang tak berkesip dengan padangan angker ke arahnya.
“Kau… Kau Antini….” Desis
Legok Ambengan.
Sambil menyeringai si pelayan
buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada di situ kecuali Wiro melengak ketika
melihat di atas kepala si pemuda tergelung rambut hitam panjang. Pemuda itu
goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung tanggal dan jatuh ke bahu.
“Astaga! Pelayan ini perempuan
rupanya!” seseorang berseru.
“Tidak disangka wajahnya
cantik sekali.” Seorang lain ikut berkata sementara si pemilik rumah makan
yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak pernah menyangka kalau
pelayan yang baru bekerja beberapa hari itu ternyata adalah seorang perempuan
muda berparas sungguh jelita.
Dalam keadaan seperti itu si
pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah mendekati Legok Ambengan.
Setengah jalan dia membungkuk dan dengan cepat mengambil golok milik Legok
Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang lemas karena banyak mengeluarkan
darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis dengan goloknya sewaktu Antini
membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.
“Trang!” Golok di tangan Legok
Ambengan mental.
“Jangan! Jang….” Teriakan
Legok Ambengan putus berubah menjadi jeritan dahsyat ketika Antini menyorongkan
goloknya ke bagian bawah perut lelaki itu.
Darah muncrat mengerikan. Saat
itu Antini sendiri merasakan tubuhnya menjadi limbung. Selagi dia terhuyung dan
tersandar ke dinding bangunan rumah makan, Pendekar 212 cepat mendatanginya.
“Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di halaman samping. Lekas tinggalkan tempat
ini!” Tanpa banyak bicara Antini mengikuti saja ketika dengan cepat Wiro
menarik dirinya meninggalkan tempat itu.
Sementara rumah makan dalam
keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.
DUA BELAS
Wiro dan Antini memacu kuda
masing-masing menuju Selatan sementara sinar sang surya yang tadinya putih
silau dan terik kini berangsur menjadi lembut kekuningan tanda hari mulai
memasuki rembang petang.
“Ke mana tujuanmu sekarang?”
Tanya Wiro.
“Masih ada dua orang manusia
terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan perempuan bernama ambar
Parangkuning itu”
“Terus terang aku memuji
ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil membunuh tiga dari lima manusia
terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah. Setahuku di dekat sini ada sebuah
telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat dan diberi minum. Dekat
telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan lelah sambil merumput…”
Antini tidak menyahut. Tapi
ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil jalan menuju telaga yang
dikataknannya itu, Antini iktu membelok.
Telaga itu terletak di sebuah
lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohonpohon rimbun serta bebatuan.
Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro dan Antini turun dari kudanya
masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran rumput segar. Wiro
membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di atas sebuah batu
merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.
“Perutku lapar. Sayang kita
tak membekal makanan…” kata Wiro sambil merebahkan diri di atas rerumputan dan
memandang ke langit lepas. Dari balik
pakaiannya Antini mengeluarkan
sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya ternyata beberapa potong kue.
Makanan itu diberikannya kepada Wiro. “Kalau lapar makanlah…”
Wiro mengambil sepotong kue.
Sambil mengunyah dia berkata. “Kue itu pasti kau curi di rumah makan itu.”
Antini tersenyum.
“Ah! Ini kali pertama aku
melihatmu tersenyum!” kata Wiro.
“Aku memang mencuri keu-kue
ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik dariku. Kau makan dan minum di
rumah makan itu, lalu enak saja ngeloyor tidak membayar!”
“Astaga! Kau betul!” kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya berselomotan minyak kue yang
dimakannya. “Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang membayar.”
“Siapa?” tanya Antini heran.
“Kau!” jawab Wiro.
“Aku?” Antini jadi heran.
“Betul. Kau sudah bekerja di
rumah makan itu beberapa hari. Berapapun kecilnya pasti kau harus menerima
upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah pembayar makanan dan minuman yang
kusantap siang tadi!”
Mau tak mau Antini tidak dapat
menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan merdu. Namun suara tawa ini terhenti
sewaktu salah seekor kuda yang masih merumput tiba-tiba mengeluarkan suara
meringkik. Wiro cepat bangkit sedang Antini sudah melompat dari atas batu.
“Aku melihat bayangan
seseorang di balik pepohonan sana!” kata Wiro lalu berkelebat mengejar. Tapi
begitu sampai di dekat deretan pohon-pohon, bayangan yang dimaksudnya sudah
lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.
Dilihatnya perempuan muda itu
tengah mengambil sesuatu yang tersisip di kelebatan bulu-bulu leher kudanya.
Benda itu adalah segulung kertas.
“Kertas ini sebelumnya tak ada
di sini….” kata Antini.
“Ada orang yang
melemparkannya. Pasti dia berkepandaian tinggi kerana bukan perkerjaan mudah
menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher kuda. Coba kau buka.
Kurasa sepucuk surat…”
Antini membuka gulungan kertas
itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini ternyata diberati dengan sepotong
kayu pangjang kecil. Dengan adanya kayu itu, seseorang akan lebih mudah untuk
melemparkan gulungan kertas. Dengan dada berdegub Antini membuka gulungan
kertas. Seperti yang dikatakan Wiro, kertas itu ternyata memang sepucuk surat.
Kebo Panaran berada di Goa
Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia akan ada di tempat itu pada purnama
hari ketiga belas.
“Purnama hari ketiga belas….”
desis Pendekar 212. “Berarti besok malam…”
“Aku akan segea menuju ke
sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam perjalanan dari sini!” kata Antini.
“Tunggu dulu!” kata Wiro
sambil cepat memegang tangn perempuan itu.
Sebelumnya jangankan dipegang,
diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali ini dia diam saja. Malah ajukan
pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga Wiro sendiri yang
lepaskan pegangannya.
“Kau tahu siapa kira-kira yang
membuat dan mengirimkan surat ini?” tanya Wiro. “Bukan mustahil ada seseorang
yang hendak menjebakmu”
“Siapa?” tanya Antini. “Kebo
Panaran?”
“Memang sulit diduga. Tapi
menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya.
Dia pasti akan membunuhmu
begitu melihatmu berada di sini…”
“Kita patut curiga. Tapi bukan
tidak mungkin ada seorang teman yang tak mau diketahui memberikan kisikan ini…”
“Misalnya si gemuk yang
menculik dan tergila-gila padamu itu,” kata Wiro pula yang membuat paras Antini
jadi bersemu merah.
“Seperti dulu-dulu, aku tak
ingin kau mengikuti perjalananku…” Pendekar 212 tampak kecewa.
Antini tersenyum. “Tapi sekali
ini kau akan kuajak. Mungki aku perlu bantuanmu…”
Wiro tertawa lebar. “Aku ada
usul,” katanya. Kita harus menyamar.
Pergunakan kepandaianmu untuk
merubah dirimu dan juga diriku…”
“Tidak terlalu sulit untuk
merubah dirimu jadi seekor kambing misalnya,” kata Antini. Keduanya lalu sama
tertawa mengekeh.
Penyamaran yang dibuat Antini
cukup meyakinkan. Wiro telah berubah menjadi seorang kakek berjanggut putih
sedang Antini sendiri menjadi seorang nenek berambut awut-awutan. Mereka memacu
kuda masing-masing dan sama-sama tertawa jika melihat keadaan diri satu sama
lain.
Kedua orang itu sampai di kaki
bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan harinya. Sesuai dengan namanya
bukit ini merupakan satu bukit yang selain ditumbuhi pepohonan merah yang
berusia ratusan tahun. Berbagai binatang hutan terdengar memecahkan kesunyian.
“Menurut bunyi surat, Kebo
Panaran akan berada di tempat ini malam nanti.
Bagaimna kalau kita mencari
goa itu lebih dulu lalu menyelidikinya. Jika kita memang dijebak, siang-siang
begini akan lebih mudah mengetahuinya daripada menunggu sampai malam tiba”
Wiro berpikir sejenak. “Aku
setuju pendapatmu, mari…” Lalu keduanya bergerak menyusuri kaki timur bukit itu
sampai akhirnya menemukan yang disebut Goa Srindil itu. Goa itu terlihat jelas
karena terletak dilamping bukit yang terbuka.
Sebuah tangga batu kelihatan
menuju ke mulut goa.
“Itu pasti goanya.” kata Wiro.
Antini mengangguk dan hendak melompat.
Tapi Wiro memberi isyarat.
“Kita harus berhati-hati. Aku akan melakukan sesuatu untuk membuktikan tidak
ada yang menjebak kita di tempat ini.” Pendekar 212 lalu kerahkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak berubah menjadi putih menyilaukan
disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat tangan kanan itu dan
diarahkan ke bukit batu merah di lamping kanan mulut goa.
Ketika tangan kanan itu
dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih menyilaukan membuat Antini
bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan sakti itu menghantam dinding bukit
terdengar suara menggelegar. Bukit batu merah itu seperti meledak. Hancuran
batu berbongkah-bongkah beterbangan di udara.Antini yang tidak menyangka kalau
si pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa seperti itu jadi tercengang-cengang
kagum. “Kalau ada orang di dalam goa atau di sekitar sini, pasti dia akan
muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat saja!” kata Wiro.
Setelah menunggu sekian lama
tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid Sinto Gendeng turun dari
kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. “Kau tunggu di sini, biar aku yang
menyelidiki ke dalam goa.”
“Aku ikut bersamamu!” kata
Antini.
“Aku khawatir masih ada bahaya
yang tersembunyi,” jawab Pendekar 212.
Tapi sekali ini Antini memaksa
hingga Wiro akhirnya mengalah. Keduanya menyelinap di balik pepohonan, menaiki
angga batu yang licin berlumut dengan hatihati dan akhirnya sampai di mulut
goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Setelah
matanya jadi biasa, dia dan juga Antini mulai dapat melihat jelas isi goa. Goa
Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam pada bukit Batu Merah itu. Tak
terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan dedaunan yang telah mongering.
Wiro masuk. Antini mengikuti.
“Tak ada apa-apanya dalam goa
ini, “ kata Wiro. Lalu dia melangkah mendekati tumpukan daun-daun kering.
Tumpukan dedaunan itu ditendangtendangnya dengan kakinya. Tiba-tiba dia melihat
sesuatu tersembunyi dibalik tumpukan daun-daun kering. Kini Wiro pergunakan
kedua tangannya untuk menyelidiki dan mengangkat daun-daun kering itu.
“Antini lihat!” seru Wiro.
Antini segera mendatangi.
Di balik daun-daun kering yang
disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu berlapiskan emas. “Apa isi peti
itu?” tanya Antini berbisik. “Bisa harta pusaka atau uang. Bisa juga kosong.
Tapi bisa juga berisi mayat!”
Antini tersurut selangkah
mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng itu ternyata hanya diikat
dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan untuk membukanya.
Di dalam peti itu kelihatan
tumpukan berbagai macam perhiasan-perhiasan, uang perak dan uang emas. Lalu ada
cangkir dan piring terbuat dari porselen serta perunggu berrlapis emas.
“Bagaimana barang dan uang ini
bisa berada di tempat ini?” tanya Antini heran.
“Aneh memang.Orang yang
mengirim surat itu pasti tahu peti ini berada di sini. Anehnya mengapa dia
tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam peti ini?!” ujar Wiro pula
sambil garuk-garuk kepala. Dimasukkanya kedua tangannya ke dalam tumpukan uang
dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti tangan kanannya
memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah tengahnya.
Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan mengangkatnya ke
atas.
“Astaga! Ini mahkota
Kerajaan!” seru Wiro ketika melihat benda apa yang barusan ditariknya dari
dasar peti.. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan batubatu permata warna
warni.
“Aku ingat……” kata Antini.
“Ketika lima manusia terkutuk itu datang ke rumahku, salah seorang dari merreka
pernah menyebut harta pusaka yang mereka miliki. Yang bisa dijual atau ditukar
untuk dibelikan senjata guna melawan Kerajaan.
Pasti ini harta yang
dimaksudkan itu!”
“Kerajaan memang pernah
mengumumkan tentang lenyapnya mahkota ini.
Kepada siapa yang menemukan
dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar.
Hemm…. Pasti ini barang-barang
hasil rampokan kelima orang durjana itu. Karena kini hanya dua orang yang masih
hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti benar juga isi surat itu bahwa
Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini. Mungkin dia muncul untuk mengambil
peti ini.”
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang Wiro?” tanya Antini.
Pendekar 212 memasukkan
mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti ditutupnya. “Sebentar lagi
malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul.
Kebo panaran akan muncul di
sini. Kita bersembunyi di sekitar sini, menunggu kemunculannya!”
“Aku sudah sangat ingin
mencincang tubuhnya saat ini juga!” kata Antini.
Lalu melangkah meninggalkan
goa mengikuti Pendekar 212.
TIGA BELAS
Datangnya malam terasa lama
seperti merayap. Ketika akhirnya sang surya tenggela dan rimba belantara di
kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita, diamdiam Antini jadi merinding
juga. Di kejauhan terdengar suara auman binatang hutan.
Suara jengkerik dan kodok terdengar
di mana-mana.
“Kau takut…?” bisik Wiro
ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke dekatnya. Ketika Atini hendak
menjawab cepat Wiro memberi isyarat agar perempuan itu jangan bicara. Laludia
berbisik. “Aku mendengar suara derak rodaroda gerobak di kejauhan…” Dia
memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit dari arah mana sebelumnya
mereka datang. “Lihat, ada nyala api di kejauhan sana…”
Saat itu selain terdengar
suara gemeletak roda-roda gerobak, dari arah selatan memang juga kelihatancahay
aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang itu adalah nyala sebuah
obor yang diikatkn pada bagian depan sebuah gerobak kecil yang ditarik seekor
kuda besar.
Di atas gerobak hanya ada satu
orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala obor yang terang membuat jelas
keadaan sosok manusia satu ini. Tampangnya yang garang dan sangar hampir
tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia mengenakan ikat kepala dan
pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di pinggangnya.
“Memang dia binatangnya!”
bisik Antini.
“Maksudmu Kebo Panaran?”
Antini mengangguk. “Dia cuma
datang sendirian. Iblis perempuan bernama Ambar Parangkuning itu tidak ikut
bersamanya. Aneh, ke mana menghilangnya iblis perempuan itu?”
Gerobak mencapai bagian bukit
di mana terdapat tangga batu yang menuju ke mulut Goa Srindil.
“Aku akan membunuhnya saat ini
juga!” kata Antini lalu bergerak dari tempatnya. Wiro cepat menangkap pinggang
perempuan ini.
“Jangan kesusu,” bisik Wiro.
“Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia pasti akan mengambil peti itu.
Tapi bukan mustahil dia tidak datang sendirian.
Mungkin dia membawa kawan yang
sengaja mengawal dari kejauhan…”
“Perduli ama apa dia membawa
pengawal manusia atau setan sekalipun. Aku akan mencincang tubhnya sampai
lumat!”
“Antini, sabar kataku. Kebo
Panaran pasti berkepandaian jauh lebih tinggi dari yang lain-lainnya yang telah
kau bunuh. Jadi harus berhati-hati….. Tunggu samapi kita mendapat kesempatan
paling baik.”
“Menungu sampai kapan?”
“Aku akan beri tahu kapan
saatnya kita harus bergerak,” jawab Wiro pula.
Lalu dari balik pinggangnya
dia mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu berkilauan dalam gelapnya
malam. “Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini untuk menghadapi Kebo
Panaran. Aku khawatir jika kau hanya menghadapinya
dengan tangan kosong….”
“Aku masih membekal setengah
lusin pisau belati pemberian guruk…”
“Jika terjadi perkelahian di
dalam goa, pisau terbang itu tak akan banyak gunanya,” kata Wiro pula.
Antini memperhatikan Kapak
Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro.
“Senjata apa ini? Kapak?
Bermata dua dan beratnya pasti luar biasa….”
“Coba kau pegang dulu.”
Antini mengambil senjata itu.
“Astaga. Enteng sekali!” kata Antini agak keras hingga Wiro terpaksa
cepat-cepat menutup mulutnya.
Saat itu Kebo Panaran tampak
sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil obor yang terikat di bagian depan
gerobak lalu mulai menaiki tangga batu menuju mulut Goa Srindil di lamping
bukit Batu Merah. Di mulut goa lelaki itu tampak berhenti sesaat. Dia memandang
ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan dia melihat ada sesuatu perobahan
pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di tempat itu. Dia menghirup
udara dalam goa dalam-dalam. “Hemmm… ada orang masuk ke sini sebelumnya,”
katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang pendek di dinding goa. Lalu
dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun kering.
Hatinya lega sedikit melihat
peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan cepat dibukanya tali pengikat
peti lalu tutup peti. Dia benar-benar lega ketika melihat isi peti itu tidak
berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali kembali. Kebo Panaran
siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan kirinya hendak
menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang nenek-nenek
berpakaian serba putih denga rambut awut-awutan tegak di depannya. Di tangan
kanannya dia memegang senjata aneh yaitu sebatang kapak bermata dua yang
masingmasing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan alang
kepalang.
“Tua bangka! Siapa kau! Setan
atau manusia?!”
Si nenek yang bukan lain
adalah Antini keluarkan suara tawa mengekeh.
“Orang yang mau mampus memang
layak bertanya. Aku tua bangka malaikat maut yang akan mencabut nyawamu Kebo
Panaran!”
“Eh! Kau kenal namaku?!” kejut
Kebo Panaran.
Si nenek kembali mengekeh.
“Malaikat maut selalu tahu pasti nama dan siapa orang yang bakal diajaknya
minggat ke akhirat. Hik… hik… hik… Aku sudah menyediakan tempat yang baik
untukmu di liang neraka!”
“Keparat gila!” hardik Kebo
Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak di pintu goa. Dia cepat
berpaling. Di mulut goa dilihatnya tegak seorang kakek berjanggut putih. Si
kakek tertawa mengekeh dan berkata “Aku malaikat emannya malaikat yang hendk
emncabut nyawamu itu! Ha… ha… ha… Aku sengaja berdiri di sini agar kau tidak
bisa kabur!”
“Keparat! Siapa mau kabur!
Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari sini akan kupecahkan kepala
kalian!”
“Mau memecahkan kepalaku?
Silahkan!” kata si kakek berjanggut yang tentunya adalah Pendekar 212. Lalu dia
ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.
Saking marahnya Kebo
Panaranlantas saja menghantam kepala itu dengan tinju kanan.
Gerakannya cepat serta
mengeluarkan suara menderu.
“Bukk!”
Kebo Panaran mengeluh tinggi.
Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar 212, melainkan sebuah batu besar yang
dengan cepat disorongkan Wiro melindungi kepalanya. Batu itu hancur lebur tapi
tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!
Sadarlah Kebo Panaran kalau
saat itu dia tidak berhadapan dengan orang-orang sinting. Si kakek berjanggut
jelas memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak mana dia mampu berbuat seperi
itu. Dia berpaling pada si nenek yang saat itu tegak menyeringai.
“Kebo Panaran! Kau sudah siap
untuk dicincang?” Kapak di tangan si nenek berputar-putar hingga cahayanya yang
menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan mata Kebo Panaran.
“Tua bangka buruk sepertimu
hendak mencincang Kebo Panaran? Huh!”
Kebo Panaran mendengus dan
segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali dia mengayunkan tangn golok
besar itu berkelebat ke arah leher si nenek. Antini cepat angkat Kapak Maut
Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan menangkis. Di antara gaungan
Kapak Naga Geni 212 terdengar suara berdentrangan.
“Trang!”
Mata golok dan mata kapak
saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget seraya melompat mundur. Golok di
tangannya gompal besar dan senjata itu hampir terlepas. Tangannya sendiri
terasa panas kesemutan.
“Tua bangka edan. Siapa kau
sebenarnya?!” tanya Kebo Panaan membentak sambil melirik ke arah kakek yang
menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai tidak enak. Si nenek memiliki
senjata aneh yang luar biasa. Sedang si kakek samapi saat itu hanya bertangan
kosong. Maka Kebo Panaran melompat ke arah mulut goa.
Ujung goloknya secepat kilat
ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum dia sempat menusukkan senjata itu
Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih menghantam dengan tangan
kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran sehingga lelaki ini
terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu si nenek
yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat babatkan goloknya ke
pinggang. Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam dengan Kapak Maut
Naga Geni 212. Terdengar suara bergaung laksana tawon ngamuk yang disertai
berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar.
Untuk kedua kalinya kapak dan
golok saling bentrokan. Kali ini Kebo Panaran tak sanggup bertahan. Goloknya
bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental.
Sebelum dia bisa bergerak
salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah menempel di tenggorokannya.
“Nenek…aku tidak kenal siapa
kau. Aku tidak ada permusuhan apapun denganmu. Jika kau dan kawanmu inginkan
harta itu, kita bisa berunding. Aku tidak keberata membagi tiga isi peti itu!”
Si nenek terawa tinggi. Lalu
gerakkan tangan kirinya ke atas kepala.
Rambutnya yang awut-awutan
tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang asli, panjang hitam terjela ke
pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi dia masih belum dapat
memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput itu.
“Kau belum mengenali diriku
Kebo Panaran?” Si nenek menyeringai. Lalu dia usap wajahnya yang buruk. Selapis
topeng tipis tersingkap lepas dan kini kelihatanlah wajahnya yang asli.
“Kau… kau istri Lor
Kameswara….! Kau…. Kau Antini….!” Kata Kebo Panaran penuh kejut dan wajah
berubah pucat.
“Bagus! Akhirnya kau mengenali
diriku manusia terkutuk. Saat kematianmu sudah datang!” Antini angkat tangannya
yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Tiba-tiba Kebo Panaran
jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. “Antini dosaku memang besar. Tai aku
yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku bersalah besar dan bertobat….”
“Penyesalan selalu datang
terlambat manusia iblis!”
Dengar Antini. Dalam peti itu
ada harta kekayaan yang tidak terniali harganya.
Jika ka mengampuni diriku
separuh harta itu akan jadi milikmua. Kau akan hidup kaya raya. Kau bisa
mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih muda….”
“Manusia keparat! Makan dulu
kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya melesat ke dada Kebo Panaran hingga
terdengar suara bergedebuk dan lelaki itu terkapar di lantai. Tapi dia cepat bangkit
dan berlutut kembali.
“Ampuni selembar nyawaku
Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau ambil. Asal kau memprbolehkan aku
pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan benar.
Aku tidak akan melakukan
kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan pemberontakan….”
“Hemm…. Bagaimana dengan
kawanmu yang satu lagi. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu?!”
“Aku tidak tahu dia berada di
mana. Dia menghilang sejak peristiwa itu…”
jawab Kebo Panaran. “Tapi aku
tahu satu tempat di mana dia berada. Aku punya petanya…” Lalu Kebo Panaran
memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya.
Ketika tangan itu keluar yang
dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta melainkan sebuah benda bulat hitam.
Dengan cepat benda itu dipencetnya. “Tesss!” terdengar satu letusan kecil.
Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.
Antini dan Wiro merasakan mata
mereka menjadi perih, nafas sesak. Lutut mereka tertekuk lalu keduanya terjatuh
ke lantai goa. Antini merasakan ada tangan yang menarik Kapak Naga geni yang dipegangnya.
Dia berusaha mempertahankan tapi daya dan kekuatannya seperti lenyap.
Begitu berhasil merampas Kapak
Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran berkelebat ke pintu goa. Namun baru saja dia
sampai di luar satu tangan berkelebat ke dadanya dan satu totokan bersarang di
tubuhnya membuat Kebo Panaran tidak mampu bergerak lagi, apalagi melarikan dri.
“Perempuan laknat! Siapa
kau?!” teriak Kebo Panaran ketika melihat orang yang menotoknya adalah seorang
nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam.
Nenek itu tertawa mengekeh.
“Anak manusia, kejahatanmu
sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan dan lebih tinggi dari langit.
Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini kau sudah ditakdirkan untuk
menemui kematian di tangan perempuan yang telah kau rusak kehormatannya dan keu
bunhu suaminya!”
Saat itu asap hitam yang ada
di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus.
Udara segar bertiup masuk
sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak pulih kembali. Kedua matanya
tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masingmasing berangsur lenyap.
Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke mulut goa mereka apatkan
Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memakimaki seorang perempuan tua
berjubah hitam.
Begitu melihat si nenek
berambut kelabu kasar ini, Antini langsun berteriak “Guru!”
“Ah, jadi inilah manusia yang
dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu….” kata Wiro dalam hati.
“Nek, syukur kau muncul. Kalau
tidak manusia terkutuk ini pasti sempat melarikan diri!” Antini melompat ke
hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas kembali Kapak Maut Naga Geni 212 yang
dipegang Kebo Panaran di tangan kanannya.
Nenek Tidar melirik sesaat
pada muridnya lalu memperhatikan Pendekar 212.
Dengan tangan kanannya dia
menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa lalu melpaskan totokan di tubuh lelaki
itu. “Muridku Antini, saatmu melakukan pembalasan!” Lalu dengan cepat
dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.
Mendengar ucapan gurunya
Antini yang memang sudah tidak sabaran segera melompat ke hadapan Kebo Panaran.
Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada Kebo Panaran. Lelaki ini cepat
mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini kembali memburu dengan senjata
mustika di tangannya. Kebo Panaran yang sebenarnya sudah putus asa berkelabat
kian kemari menghindari sambaran kapak maut.itu. Namun di satu sudut goa dia
tidak mampu lagi mengelak. Salah satu mata kapak membabat bahu kanannya.
Lelakiinimenjerit setingi langit. Darah muncrat dari bahunya yang hampir putus!
Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari mulutnya terdengar suara
aneh. Suara seperti gerungan dan teriakan kesakitan serta suara seperti orang
merta.
“Antini ampuni di…..”
Ucapan Kebo Panaran terputus.
Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat.
Kali ini mencari sasaran di
pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung keras menggidikkan. Sekujur
tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini berkelebat kembali. Kali ini
menghantam ke bagian bawah perut Kebo Panaran. Ketika senjata itu membelah
selangkangannya, tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Kebo Panaran.
Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya kena dibacok tadi.
Tubuh Kebo Panaran terjatuh ke
lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini membacokkan kapak itu berulang
kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran.
Mengerikan sekali. Kapala dan
tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotongpotong dalam kepingan-kepingan
menggidikkan.
Ketika Nenek Tidar memegang
bahunya dan berkata “Antini muridku, cukup.
Jangan ikuti kemauan setan.
Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya…”
Pendekar 212 cepat mengambil
Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini.
Antini sendiri menutupi
mukanya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Di antara tangisnya terdengar
suaranya berkata “Masih ada, masih ada satu lagi yang harus kucari dan kubumuh.
Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu…!”
“kau akan menemukannya,
antini. Kau pasti akan menemuinya.” Bekata Nenek Tidar.
“Guru….Kau…kau tahu di mna
orang satu itu berada?”
“Dia ada di dekat sini Antini.
Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!” jawab Nenek Tidar.
“Guru, apa maksudmu….? Tanya
Antini seraya menurunkan kedua tangannya dan memandang tepat-tepat pada
perempuan tua di depannya.Wiro sendiri juga tampak heran dan berusaha
menduga-duga. “Jangan-jangan…”kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Belum sempat
dia menyelesaikan ucapannya Nenek Tidar menggerakkan tangan kanannya ke muka.
Dia seperti menarik sesuatu dari wajahnya.
Kagetlah Antini ketika melihat
wajah asli si nenek. Tapi dia masih belum yakin. Si nenek yang kini berwajah
jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah itu ternyata dia
mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali penuh.
“Kau……..Orang kelima itu! Kau
Ambar Parangkuning!” teriak Antini.
Perempuan di hadapan Antini
mengangguk dan tersenyum kecut. “Tidak salah.
Aku memang Ambar Parangkuning.
Salah satu dari lima manusia durjana yang melakukan perbuatan terkutuk itu….Aku
yang mnegirimkan surat bahwa Kebo Panaran akan berada di sini. Lalu aku ikut
muncul ke tempat ini agar kau dapat menyelesaikan segala dendam kesumatmu
secara tuntas. Aku sudah siap untuk menerima kematian. Hukuman atas diriku
tidak berbeda dengan empat kawanku lainnya….”
Antini menjerit keras. Dia
melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro. Tapi
sang pendekar berkelebat dan memegan lengan Antini seraya berkata. “Jangan kau
turutkan ajakan setan Antini. Saat ini kau harus berpikir panjang sebelum
mengambil keputusan…”
“Aku haru membunuh dia! Dia
salah seorang dari manusia-manusia terkutuk itu! Mereka membunuh suamiku!
Mereka merusak kehormatanku secara keji….”
“Antini…” kata Ambar
Parangkuning dengan suara tersendat. “Aku menyesal telah bergabung dengan
orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan sebiadab itu. Apa yang
kami setujui bersama ialah meneruskan perjuangan meruntuhkan kekuasaan Sri
Baginda yang baru. Namun mereka kemudian menyimpang dari cita-cita perjuangan.
Mereka mulai merampok, membunuh dan merusak kehormatan anak istri orang. Puncak
kebengisan mereka terjadi ketika mereka membunuh suamimu Lor Kameswara lalu
memperkosamu bergantian. Aku berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah
sebabnya sejak kejadian itu aku menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus
mencari jalan untuk dapat lepas dari beban dosa yang begitu besar dan berat.
Itu sebabnya aku membawamu dan mengambil dirimu menjadi murid. Dengan
kepandaian yang tidak seberapa itu aku ingin agar kau mampu melkaukan
pembalasan membunuh semua musuh suamimu dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku!
Antini, aku yang berdosa ini siap menerima kematian…”
Kedua mata Antini tidak
berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya.
Sang pendekar menggelengkan
kepalanya berkali-kali.
“Ingat Antini, dia tidak sama
dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun dia termasuk dalam kelompok mereka
tapi jelas dia tidak ikut membunuh suamimu, juga tidak ikut merusak dirimu.
Inga juga jasanya yang telah mengusahakan agar kau dapat membalaskan sakit hati
dendam kesumatmu….”
“Anak muda,” kata Ambar
Parangkuning. “Segala jasa dan apa yang aku perbuat tidak ada artinya. Aku tak
ingin berlindung di balik semua itu untuk dikasihani. Antini, lakukanlah Nak….”
Antini menangis sesenggukan.
“Tidak….Aku tidak akan membunuhmu.
Kau…kau boleh pergi. Kalau kau
pergi bawa serta peti berisi harta itu…”
Ambar Parangkuning tampak
tercengang. “Tidak salahkah pendengaanku?” ujarnya perlahan.
“Pergilah. Aku tahu kau orang
baik. Bahkan aku harus berterima kasih pada hari itu kau menyelamatkanku dan
mengambilku jadi murid. Pergilah, biar kita berpisah dengan hati sama tenteram
dan tanpa rasa dendam…”
Sepasang mata Ambar Parangkuning
berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah mendekati peti kayu berlapis seng.
Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling sesaat pada Antini dan Pendekar
212.
“Aku hanya akan mengambil
benda dalam peti ini.” Lalu Ambar Parangkuning mengeluarkan mahkota emas
bertahta berlian dari dalam peti.
“Mahkota ini adalah milik
Kerajaan, siapapun yang memerintah saat ini. Aku merasa brkewajiban untuk
mengembalikannya ke Keraton.” Ambar Parangkuning menutup peti kembali lalu dia
melangkah mendekati Antini. “Aku berterima kasih atas pengampunan yang kau
berikan. Aku berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu di masa depan.” Ketika
Ambar Parangkuning memeluknya, Antini merangkul tubuh perempuan itu erat-erat.
“Selamat tinggal Antini….”
kata Ambar Parangkuning.
“Selamat jalan guru….” Balas
Antini yang membuat hati Ambar Parangkuning jadi sangat terenyuh. Lalu dia
cepat-cepat melangkah ke mulut goa. Di lain saat perempuan lenyap dalam
kegelapan malam.
Lama Antini tertegun did lama
goa. Khirnya dia berpaling pada Wiro. “Kau juga ingin pergi…?” tanya Antini.
Pendekar 212 menggeleng. “Kau
kulihat sangat letih. Sebaiknya kau beristirahat saja di sini sambil menunggu
pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu….”
Dengan kakinya Wiro tending
mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar goa. Lalu dengan daun-daun
kering dibersihkannya lantai goa itu.
Antini duduk di salah satu
goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar dia berucap “Peti itu Wiro….
Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil rampokan….Harus kita
kembalikan…”
“Kembalikan pada siapa?” tanya
Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro berkata. “Kurasa tidak ada salahnya kau
menyimpan isi peti itu untuk bekal masa depanmu…. Kau telah kehilangan
segal-galanya….”
Antini menggeleng. “Aku akan
menjual rumah dan lading mendiang suamiku.
Itu akan kujadikan modal hidup
di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Peti itu kuserahkan
padamu….”
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
“Terus terang aku memang tertarik dangan isi peti itu. Tapi lebih terus terang
aku tak mau memilikinya….”
“Lalu akan kita apakan harta
kekayaan itu….” tanya Antini.
“Sebaiknya malam ini hal itu
tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat.
Tidurlah sepuasmu. Aku akan
menjagamu di mulut goa sana…”
“Di mulut goa? Kenapa mesti di
mulut goa? Kenapa tidak sama-sama di dalam sini?”
Wiro tertawa. “Kau tidak lagi
membenci atau takut pada laki-laki?”
Antini tertawa lebar. “Perlu
apa takut pada seorang kakek tua renta yang tidak punya daya apa-apap sepertimu
ini!”
Astaga! Wiro baru sadar. Saat
itu dia masih mengenakan topeng tipis dengan wajah seorang kakek lengkap dengan
janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro menanggalkan topeng samaran itu.
“Nah, kalau keadaanmu seperti
ini sekarang, aku harus berhati-hati…” kata Antini pula.
Wiro tertawa bergelak. “Harus
kau buktikan dulu, apa memang kau harus berhati-hati terhadapku,” kata Wiro
seraya menggeser duduknya. Lalu tangannya dilambaikan ke arah obor. Obor padam.
Goa serta merta diselimuti kegelapan. Antini terpekik. Dalam takutnya tanpa
disadarinya dia menggeser duduknya mendekati Wiro.
Dalam gelap Wiro tertawa
bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan perempuan itu memegang jari-jari
tangannya.
TAMAT