-------------------------------
----------------------------
054 Pembalasan Pendekar Bule
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG SESAAT BERDIRI MEMANDANGI BANGUNAN BESAR
BERBENTUK JOGLO ITU.
"BANGUNAN BEGINI BESAR TAPI TIDAK SATU MANUSIAPUN KELIHATAN,"
KATA MURID SINTO GENDENG DALAM HATI. DI SAMPING KANAN BANGUNAN TAMPAK SEBUAH
KERETA PUTIH.
TAK JAUH DARI SITU SEEKOR KUDA PUTIH TENGAH MENCARI MAKAN DI HALAMAN
YANG BANYAK DITUMBUHI RUMPUT LIAR. BINATANG INI TAMPAK GELISAH.
SEBENTAR-SEBENTAR DIA MENEGAKKAN KEPALA LALU MERINGKIK. WIRO MENDEKATI KUDA
PUTIH INI LALU MENGUSAP-USAP LEHERNYA SAMPAI BINATANG INI TENANG KEMBALI, MALAH
BALAS MENGGESER-GESERKAN PIPINYA KE BAHU SANG PENDEKAR.
"NENEK HANTU BULAI! APAKAH KAU ADA DI RUMAH?!" WIRO BERTERIAK
MEMANGGIL SESEORANG YANG PUNYA GELAR ANEH YAITU SI PEMILIK RUMAH BESAR.
SUARA SANG PENDEKAR MENGGEMA SESAAT. DIA MENUNGGU. TAK ADA JAWABAN.
WIRO BERSERU SEKALI LAGI. SEKALI LAGI. TETAP HANYA KESUNYIAN YANG MENYAMBUT.
DIA LALU MEMASANG TELINGA. LAPAT-LAPAT DIA MENDENGAR SUARA SEPERTI AIR MENCURAH
DI SEBELAH TIMUR BANGUNAN.
"AGAKNYA ADA AIR TERJUN DI BELAKANG SANA…" PIKIR WIRO. LALU
DIA PUN MELANGKAH CEPAT MENUJU BELAKANG BANGUNAN. TANAH DI BAGIAN BELAKANG BANGUNAN
BERBENTUK JOGLO ITU TERNYATA MENURUN TAJAM MEMBENTUK SEBUAH JURANG KECIL. DI
SEBELAH TENGAH ADA TANGGA YANG DIBUAT DARI SUSUNAN BATU KALI. DI KIRI KANAN
TANGGA TUMBUH RAPAT SEMAK BELUKAR DIPAGARI OLEH POHOH-POHON BESAR. SUARA AIR
YANG MENCURAH ITU DATANG DARI DASAR JURANG.
WIRO MELANGKAH MENURUNI TANGGA BATU DEMI BATU SAMBIL MENGHITUNG
SEMENTARA SEPASANG MATANYA MENGAWASI KEADAAN DI SEKITARNYA. PADA HITUNGAN KE
TIGA BELAS, BERARTI PADA ANAK TANGGA ATAU BATU KALI YANG KE TIGA BELAS,
PENDEKAR 212 HENTIKAN LANGKAH.
"ANGKA TIGA BELAS…" MEMBATIN PEN DEKAR 212. "AKU TIDAK
PERCAYA SEGALA MACAM TAHAYUL, TAPI KAKIKU MENDADAK SAJA TERHENTI PADA LANGKAH
KE TIGA BELAS. HATIKU TIBA-TIBA SAJA MERASA TIDAK ENAK…"
KEDUA MATA MURID SINTO GENDENG MENATAP TAK BERKESIP LURUS-LURUS KE
DEPAN. DI UJUNG TANGGA BATU MELINTANG SEBUAH SUNGAI KECIL DANGKAL PENUH DENGAN
BEBATUAN BERWARNA HITAM. DISEBERANG SUNGAI KECIL INI MENCURAH SEBUAH AIR TERJUN
SETINGGI HAMPIR DELAPAN TOMBAK. YANG DIPERHATIKAN PENDEKAR 212 BUKANLAH AIR TERJUN
ITU, MELAINKAN SEBATANG POHON BERINGIN YANG TUMBUH DI SEBELAHNYA. DAN BUKAN
PULA POHON BERINGIN ITU YANG MENJADI PUSAT PANDANGAN MATANYA, MELAINKAN SESOSOK
TUBUH BERPAKAIAN SERBA PUTIH, BERKULIT BULAI, YANG TERGANTUNG DI AKAR POHON,
KAKI KE ATAS KEPALA KEBAWAH! RAMBUTNYA YANG PUTIH TERGERAI LEPAS,
MELAMBAILAMBAI DITIUP ANGIN. KEDUA TANGANNYA TERKULAI KEBAWAH!
"NENEK HANTU BULAI!" TERIAK WIRO TERCEKAT. TANPA PIKIR
PANJANG LAGI MURID SINTO GENDENG INI MELOMPATI TANGGA BATU, TERJUN KE DALAM
SUNGAI DANGKAL, LARI KE ARAH POHON BERINGIN.
"NENEK BULAI! SIAPA YANG BERBUAT KEJI BEGINI RUPA
TERHADAPMU?!" TERIAK WIRO BEGITU SAMPAI DI HADAPAN SOSOK TUBUH YANG
TERGANTUNG. LALU DIA SEGERA BERTINDAK UNTUK MEMUTUSKAN AKAR YANG MENGIKAT KEDUA
PERGELANGAN KAKI PEREMPUAN TUA ITU.
JUSTRU PADA SAAT ITU ORANG YANG TERGANTUNG MEMBUKA KEDUA MATANYA.
TERNYATA ORANG INI BELUM MATI WALAU MAUT TAK MUNGKIN DIHINDARINYA DALAM WAKTU
BEBERAPA SAAT LAGI! SEPASANG MATA YANG TAMPAK SANGAT MERAH TANDA BANYAK DARAH
TERKUMPUL DISITU MEMBUKA HANYA SESAAT.
"KATAKAN SIAPA KAU YANG MUNCUL DISAAT AKU SEKARAT BEGINI?!"
TIBA-TIBA SI NENEK KELUARKAN SUARA SANGAT PERLAHAN, HAMPIR TIDAK TERDENGAR
DIANTARA DERU AIR TERJUN.
"AKU WIRO SABLENG. MURID EYANG SINTO GENDENG DARI GUNUNG GEDE. AKU
DATANG MEMBAWA PESAN GURU…"
"LUPAKAN SAJA PESAN ITU. SEBENTAR LAGI AKU AKAN MATI…"
"AKU AKAN MENURUNKAN TUBUHMU, NEK…"
"TIDAK USAH! PERTOLONGAN TAK ADA GUNANYA LAGI. UMURKU HANYA
TINGGAL BEBERAPA SAAT…"
PENDEKAR 212 MANA MAU PERDULI. DIA CABUT KAPAK MAUT NAGA GENI 212 DARI
PINGGANGNYA. SINAR BERKILAUAN BERKIBLAT DISERTAI SUARA GAUNGAN DAHSYAT.
CRASSS
SEKALI TABAS SAJA SEMBILAN AKAR GANTUNG POHON BERINGIN PUTUS. TUBUH SI
NENEK BULAI JATUH KE BAWAH. WIRO CEPAT MENYAMBUTNYA, MENDUKUNGNYA BEBERAPA
LANGKAH LALU Dl8ATU TEMPAT YANG BERSIH DAN TERLINDUNG DARI SINAR MATAHARI TUBUH
PEREMPUAN TUA BERGELAR HANTU BULAI ITU DIBARINGKANNYA. WIRO MEMPERHATIKAN DAN
DIAM-DIAM DIA MAKLUM, APA YANG DIKATAKAN SI NENEK ADALAH BENAR. UMUR PEREMPUAN
TUA INI TAK AKAN LAMA LAGI. HANYA KEKUATAN LUAR BIASA YANG DIMILIKINYA MEMBUAT
KEMATIANNYA MASIH BISA TERTUNDA BEBERAPA SAAT SERTA MASIH SANGGUP BICARA.
SALAH SATU BAGIAN PAKAIAN NENEK BULAI TAMPAK ROBEK. LALU ADA BEBERAPA
LUKA MENGOYAK DAGING LENGAN DAN PUNGGUNGNYA.
"NEK, SEBELUM KAU MENGHADAP TUHAN LEKAS KATAKAN SIAPA YANG
MELAKUKAN KEBIADABAN INI ATAS DIRIMU…"
"MURID SINTO GENDENG, APAKAH KAU HENDAK MEMBALASKAN SAKIT HATI
DENDAM KESUMATKU…?"
"AKU BERSUMPAH NEK!" SAHUT WIRO.
"AKU TIDAK MEMINTA, TAPI JIKA KAU MEMANG INGIN BERBUAT KEBAJIKAN
AKU TIDAK MENOLAK. ORANG ITU ADALAH BEBERAPA TOKOH SILAT KAKI TANGAN GANDABOGA,
ADIPATI KARANGANYAR! AKU TIDAK TAHU NAMA MEREKA SATU PERSATU. MEREKA BERJUMLAH
TIGA ORANG. TAPI AKU TAHU MEREKA ADALAH ORANG-ORANGNYA GANDABOGA…"
"BIADAB! MEREKA AKAN MENERIMA KEMATIAN LEBIH MENGERIKAN DARI YANG
KAU DERITA INI NEK…"
"MURID SINTO GENDENG, ADA SATU HAL LAIN YANG LEBIH PENTING…"
"CEPAT KATAKAN NEK…"
"SESAAT SEBELUM TIGA BANGSAT ITU MUNCUL, AKU BARU SAJA MELEPAS
MURID TUNGGALKU BERNAMA PADANARAN. DIA MEWARISI SELURUH KEPANDAIANKU. TAPI DIA
BELUM PUNYA PENGALAMAN MENGARUNGI DUNIA PENUH KELICIKAN INI. WALAU DIA TAK
PERNAH BICARA TAPI AKU TAHU DIMASA KECILNYA ORANG YANG MEMELIHARANYA ADA SILANG
SENGKETA DENGAN ADIPATI KARANGANYAR ITU. DAN DIA PASTI AKAN MENCARINYA… SATU
HAL AKU MOHON PADAMU, SUSUL DIA, BANTU AGAR DIA JANGAN MENDAPAT CELAKA.
AKU…" UCAPAN SI NENEK CUMA SAMPAI DISITU. LIDAHNYA MENDADAK KELU. DARI
TENGGORAKANNYA TERDENGAR SUARA SEPERTI TERCEKIK. NYAWANYA LEPAS MENINGGALKAN
TUBUH KASAR. WIRO PANDANGI WAJAH TUA YANG MALANG ITU SESAAT LALU USAP DAN
TUTUPKAN SEPASANG MATA SI NENEK.
"PADANARAN…" DESIS WIRO. "AKU TAK PERNAH MENGENAL MURID
SI NENEK INI. SATU-SATUNYA JALAN IALAH PERGI KE KARANGANYAR DAN MENYELIDIK…
SILANG SENGKETA. DUNIA INI AGAKNYA TAK PERNAH LEPAS DARI SILANG SENGKETA DAN
DENDAM KESUMAT!" PENDEKAR 212 MENGHELA NAFAS PANJANG DAN GARUK-GARUK
KEPALANYA.
WIRO BANGKIT BERDIRI, MEMANDANG BERKELILING MENCARI-CARI TEMPAT YANG
BAIK DIMANA NENEK BERGELAR HANTU BULAI ITU DAPAT DIKUBURKANNYA. SELAGI DIA
MENCARI-CARI BEGITU TIBA-TIBA ADA SUARA BERDESING HALUS DISERTAI KILATAN
MELESAT DI UDARA, MENYAMBAR KE ARAHNYA!
"PEMBOKONG JAHANAM!" MAKI PENDEKAR 212. KAPAK MAUT NAGA GENI
212 YANG MASIH DIGENGGAMNYA DI TANGAN KANAN DIBABATKAN KEUDARA.
”TRANG… TRANG… TRANG!”
TIGA DARI EMPAT BUAH YANG TADI MENYAMBARNYA MENTAL BERPATAHAN. BENDA
KEEMPAT TERHEMPAS KE KIRI DAN MENANCAP DI BATANG SEBUAH POHON. WIRO MELIHAT
BAYANGAN SESEORANG BERKELEBAT DI UJUNG TANGGA BATU SEBELAH ATAS. SERTA MERTA
WIRO HANTAMKAN TANGAN KIRINYA MELEPAS PUKULAH "SINAR MATAHARI!"
CAHAYA BERKILAUAN MENYAMBAR. HAWA PANAS MENGHAMPAR.
”BUMMM! BYAARR!”
SEMBILAN BATU KALI YANG JADI ANAK TANGGA HANCUR BERMENTALAN. TANAH
DISEKITAR SITU AMBLAS BERHAMBURAN. PEPOHONAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TERSAMBAR
HAWA PANAS PUKULAN SAKTI ITU TAMPAK MENGHITAM SEPERTI DIBAKAR! TAPI BAYANGAN
ORANG YANG TADI DILIHAT WIRO BERHASIL MELARIKAN DIRI DAN LENYAP DARI TEMPAT
ITU.
WIRO MEMAKI DALAM HATI. DIA INGAT PADA BENDA YANG MENANCAP DI POHON,
CEPAT BALIKKAN DIRI DAN MELANGKAH KEARAH POHON ITU. BENDA YANG MENANCAP DI SITU
TERNYATA ADALAH SENJATA RAHASIA BERBENTUK SEBILAH PISAU TIPIS YANG KEDUA
PINGGIRANNYA BERGERIGI TAJAM SEPERTI GERGAJI.
"HEMMMMM…," GUMAM WIRO. "PEMBOKONG TOLOL… KAU
MENINGGALKAN CIRI CIRIMU SENDIRI. KINI AKU TAHU SIAPA DIRIMU…!" PISAU
TIPIS ITU DIMASUKKANNYA KE DALAM SAKU BAJUNYA.
1
RIUHNYA SUARA ANAK-ANAK
bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau ada salah satu pihak
yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang terbuat dari potongan
bambu yang ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak berjumlah delapan anak.
Belasan anak lainnya yang tidak ikut main menonton di pinggir lapangan. Justru
suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai,
"Bermain bola harus
sebelas lawan sebelas!" berteriak seorang anak dari tepi lapangan.
"Betul!" menimpali
kawan disebelahnya.
"Sebaiknya ditambah tiga-
tiga. Biar ramai!"
Anak-anak yang berada
dilapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari pinggir tanah lapangan
berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.
"Ahl Kurang satu! Masakan
yang lain tak Ada yang mau ikut main?!"
"Biar aku yang
main!" tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya berlari
mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur. Semua anak berpaling. Lalu
tampak anak-anak itu mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk
tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua anak itu berseru :
"Huuuuuuu!"
"Bule anak setan! Mana
pandai kau main bola rotan!" kata seorang anak.
"Memandang saja tidak
becus! Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang!" teriak seorang
anak.
Terdengar suara anak-anak
tertawa dan mencemooh.
Seorang anak lain berteriak :
"Kami lebih suka kurang satu dari pada main bersamamu!"
"Kulitmu lain dengan
kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!" Kembali terdengar
suara tawa riuh rendah.
"Monyet bulai! Lekas
menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong kau ramai-ramai dan
cemplungkan ke kubangan kotoran kuda!"
Anak lelaki sepuluh tahun yang
tadi begitu berharap dapat turut serta bermain bola rotan bersama anak-anak
seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola matanya yang kelabu
bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas mata karena tak
tahan sinar matahari pagi yang mulai terik. Rambut- nya sangat pirang, bahkan
sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya putih bulai penuh
bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.
"Kawan-kawan! Monyet
bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam kotoran kuda! Seorang
anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada di lapangan.
Beberapa anak segera bergerak mendekati.
Melihat hal ini anak lelaki
bulai itu cepat-cepat melangkah ke pinggir lapangan sambil berkata :
"Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku menonton
saja dari jauh…"
"Menonton kami bermainpun
kau tidak layak! Pergi dari sini!" teriak seorang anak berkulit hitam
bermata besar. Namanya Suradadi.
"Ayo pergi dari
sini!"
Anak lelaki bulai itu
memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan lalu bergerak, lalu
perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba ada suara anak
perempuan berkala : "Padanaran, jangan pergi dulu…!" Si bulai
hentikan langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil
yang manis itu. "Ada apa Tarini?"
Anak perempuan bernama Tarini
menjawab : "Kau tetap disini saja Padanaran. Aku mau bertanya pada anak
sombong itu!" Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan,
langsung menghadapi Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh
anak- anak yang ada di tempat itu.
"Suradadi, kau dan
kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola. Kenapa kalian sejahat
itu?!"
Bola mata Suradadi yang besar
tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan meledaklah tawa
anak-anak itu.
"Dewi kecil ini hendak
bertindak sebagai pembela rupanya!" berteriak seorang anak.
Suradadi letakkan kedua
tangannya di pinggang lalu berkata : "Kami tidak suka bermain dengan dia
bukan baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama dengan dia. Kami
anak-anak dari orang tua baik-baik. Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu!
Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!’ Gelak tawa menyusul ucapan Suradadi
itu.
Paras Tarini tampak merah
sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun.
"Mulutmu keji amat
Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah atau Ibumu yang
mengajarkan?!" bertanya Tarini.
"Tidak ada yang
mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar tahu kalau ibu
Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu
kawan-kawan…?!"
"Betullllllll!"
jawab semua anak. "Karena itu si Padanaran kulitnya bulai matanya kelabu
rambut dan alisnya
pirang!" Lalu kembali
terdengar mereka tertawa gelak-gelak…
"Kalian semua sama
jahatnya!" teriak Tarini.
Saat itu Padanaran mengulurkan
tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata :
"Sudahlah Tarini. Biarkan
saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Kawan-kawan! Lihat anak bule
ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau Tarini. Pasti kau akan
dibawanya ke sarang hantu
kerajaan ayahnya!" berkata Suradadi.
"Tarini, mari…"
Padanaran tarik tangan Tarini.
"KAU pergilah duluan. Aku
mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang sombong ini. Mentang
mentang anak kepala
dukuh!"
Karena Tarini tak mau diajak
pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di tempat itu.
"Kalian tidak
memperbolehkannya main bola bersama kalian. Mengapa kalian lalu melarangnya
menonton?!" bertanya
Tarini.
"Jawabnya gampang saja
dewi cilik!" sahut Suradadi.
"Aku dan kawan-kawan
tidak suka ditonton oleh anak hantu!"
"Tarini, mari. Jangan
layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku lebih jelek dari kotoran
kuda tidak apa. Jangan sampai mereka juga mempermalukanmu! Kata Padanaran. Lalu
kembali ditariknya lengan anak perempuan itu. Sebenarnya saat itu Tarini sudah
mau mengikuti kata-kata Padanaran dan meninggalkan tempat itu. Justru saat itu
Suradadi menarik tangan Tarini yang lain keras-keras hingga anak perempuan ini
menjerit kesakitan.
Melihat Tarini kesakitan
Padanaran yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan dirinya dihina
terusterusan kini menjadi marah. Dia melompat kesamping dan mendorong dada
Suradadi kuat-kuat hingga anak ini jatuh terduduk di tanah.
"Anak Hantu Bule! Berani
kau mendorong dan menjatuhkanku!" teriak Suradadi. Dia berdiri dan
menerjang dengan tendangan. Yang menyerang Padanaran kemudian bukan hanya
8uradadi seorang tapi belasan kawan-kawannya yang lain juga ikut melayangkan
tangan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan teriakan-teriakan
Tarini. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Padanaran mereka gotong dan
bawa ke ujung barat tanah lapang. Disini terdapat sebuah kolam buatan tempat
pembuatan pupuk dari kotoran kuda. Tubuh Padanaran mereka lemparkan kedalam
kubangan itu. Masih untung kubangan itu dangkal. Walaupun keadaannya
benar-benar memelas tapi Padanaran tak sempat tenggelam. Sehabis melemparkan
Padanaran ke dalam kubangan kotoran kuda itu Suradadi dan teman-temannya
melarikan diri.
"Padanaran!
Padanaran…!" terdengar suara Tarini memanggil berulang kali. Di tepi
kubangan dia berhenti. Memandang kian kemari. Dilihatnya ada sepotong bambu
yang cukup panjang. Potongan bambu ini dimasukkannya ke dalam kubangan.
"Pegang ujungnya Padanaran. Pegang… biar kutarik kau dari dalam
sana…!"
"Aku ingin mati disini
saja, Tarini. Tak usah kau tolong. Di dunia ini memang tak ada orang yang
menyukaiku.." terdengar suara Padanaran dari tengah kubangan.
"Jangan tolol Padanaran!
Lekas kau pegang ujung bambu itu! Ayo!"
Akhirnya Padanaran memegang
dan bergayut pada ujung bambu yang dijulurkan. Dengan susah payah Tarini
menarik hingga akhirnya Padanaran berhasil mencapai tepi kubangan dan naik ke
tanah. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki penuh dengan kotoran
kuda dan busuk.
"Larilah ke sungai! Aku
akan menyusul!" kata Tarini pula.
Ketika anak perempuan itu
sampai di sungai kecil didapatinya Padanaran tengah sibuk membersihkan tubuh
dan pakaiannya. Selesai membersihkan diri anak lelaki itu naik ke darat dalam
keadaan basah kuyup. Tarini menghampiri dan bertanya : "Kau tak apa-apa
sekarang…?"
"Sekujur tubuhku
sakit-sakit. Tulang-tulangku seperti patah. Kepalaku pusing…"
"Kalau begitu kau harus
cepat pulang, ganti pakaian."
"Aku tak berani pulang.
Paman pasti akan marah besar dan menggebukku dengan rotanl" jawab
Padanaran.
"Kalau kau tak pulang
akan lebih celaka lagi, Padanaran! Mari kuantar kau!"
"Kau baik sekali Tarini.
Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan berlipat ganda atas
diriku!"
"Eh, mengapa
begitu?" tanya Tarini heran.
"Kata paman ayahmu pernah
mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu maka ayahmu akan menyuruh
tukang-tukang pukulnya menghajar paman! Sebaiknya kau saja yang pulang duluan,
Tarini…"
Anak perempuan itu terdiam
beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan kepala.
"Aku heran…" kata
anak perempuan itu tersendat, "mengapa semua orang di dukuh Sawahlontar
membencimu. Bahkan pamanmu juga Dari mana mereka dapat cerita bahwa ayahmu
hantu putih…"
“Aku tak pernah mempercayai
hal itu Tarini. Tapi ketika setiap mendamprat paman juga selalu berkata begitu,
mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku ini memang anak hantu.
Kalau tidak mengapa bentukku begini berbeda…"
"Orang-orang itu
keterlaluan. Anak-anak itu juga! Aku benci mereka semua…! Mana ada hantu bisa
beranak!"
"Kau tidak boleh membenci
mereka Tarini. Kau tak boleh membenci siapapun…" kata Padanaran pula. Lalu
dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata : "Kita
pulang saja Tarini. Kau ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada
yang melihat kita berdua-duaan pasti aku akan celaka…"
"Memang kau akan celaka
anak hantu haram jadah!" tiba-tiba terdengar suara membentak keras.
2
KEDUA ANAK ITU SAMA-SAMA
TERKEJUT dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah bulai Padanaran sementara Tarini
merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak perempuan ini cepat
menabahkan hatinya. Dia menunggu dengan tenang apa yang bakal terjadi.
Beberapa langkah di samping
kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang bertubuh tinggi besar dan
berkumis melintang adalah Gandaboga, bukan lain ayah Tarini. Wajahnya yang
garang tampak marah sekali. Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di
dukuh Sawahlontar Gandaboga dikenal sebagai seorang paling kaya karena dialah
satu-satunya juragan sayuran dan ternak, teRmasuk pemilik tambak ikan.
Kekayaannya membuat dia disegani dan lebih dihormati dari pada kepala desa.
Di sebelah belakang Gandaboga
berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah garangnya malah menyeramkan
karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada parut atau cacat bekas luka.
Orang ini berselempang kain sarung hitam dan di pinggang di balik kain sarung
itu tersembul hulu sebilah golok. Dia adalah Jalitanggor, pembantu atau
pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul Gandaboga. Dalam kedudukannya
sebagai tukang pukul, Jalitanggor sering ditugasi untuk bertindak sebagai juru
tagih. Para pedagang atau siapa saja yang terlambat membayar dagangannya pasti
akan didatangi Jalitanggor. Tak jarang orang ini main tendang dan main pukul
jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi hutangnya. Karenanya lambat
laun rasa hormat penduduk terhadap Gandaboga berubah menjadi takut. Apalagi
jika Jalitanggor sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi kiamat rasanya!
"Tarini! Bagus sekali
perbuatanmu!" membentak Gandaboga. "Sudah berapa kali aku memberi
ingat! Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak hantu ini! Ternyata kau berani
melanggar perintahku!"
"Ayah, saya…"
“Jangan banyak mulut!"
teriak Gandaboga.
"Untung anak bernama
Suradadi itu memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah diapa-apakan si bule
haram jadah ini! "Tangannya bergerak lalu terdengar pekik Tarini ketika telinganya
diputar dengan keras laluditarik.
"Pulang sana!"
Tubuh si kecil itu didorong
hingga hampir terkapar jatuh. Tarini menggigit bibir agar tidak menangis.
Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik
rerumpunan semak belukar dia masih sempat berpaling memandang ke arah
Padanaran.
"Maafkan aku Tarini Ini
semua salahku hingga kau mendapat hukuman…" berucap Padanaran.
"Bukan salahmu Padanaran!
Tapi Suradadi anak jahat itulah yang jadi biang gara-gara!" awab Tarini
lalu melanjutkan langkahnya sambll memogangi telinganya yang sakit.
“Sekarang gili iranmu nenerima
hukuman bocah bule tak tahu di untung”. Satu Tangan besar menjambak rambut
pirang Padanaran. Sakitnya bukan main membuat anak itu meringis. Yang
menjambaknya adalah Gandaboga
“Anak hantu! Apa kau tak sadar
kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku ?” Dan kau berani mengajaknya
ketempat sunyi ini ! Apakah yang telah kau lakukan terhadap anakku ?”.
"Saya tidak melakukan
apa-apa. Saya pergi mandi di kali sana. Tarini menolong saya…"
“Plaaak!”
Satu tamparan keras melabrak
wajah Padanaran. Anak ini mengeluh kesakitan. Bibirnya pecah dan darah
mengucur. Pemandangannya menjadi gelap dan tedua kakinya terasa lunglai.
Kemudian dalan keadaan seperti itu tubuhnya dibantingkan ke tanah.
"Juragan, apa y ig harus
saya lakukan terhadap bocah sialan ini?!" terdengar Jalitanggor bertanya.
Suara besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk menghunus golok.
"Tendang saja ke sungai
sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku perintahkah agar kau
langsung menyembelihnya!" jawab Gandaboga. la tinggalkan tempat itu.
"Anak keparat! ada-ada
saja yang menjadikan urusanku!" maki Jalitanggor. Kaki kanannya bergerak,
tubuh Padanaran melesat jauh dan rubuh di tengah sungai.
Semak belukar sebelah kanan
tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradadi bersama enam orang kawannya.
Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi sungai dimana sosok tubuh Padanaran
melingkar tak bergerak.
"Rasakan olehmu tuyul
bule!" teriak Suradadi begitu sampai di hadapan Padanaran.
"Anak Hantu mau jual
lagak! Masih untung pembantu juragan Gandaboga tidak menggorok batang lehermu!
Kalau tidak pasti kau ludah Jadi bangkai saat ini! Ha… ha… ha…!" Enam anak
lainnya ikut tertawa. Dalam sakitnya Padanaran tak kuasa membuka kedut matanya.
Tapi telinganya menangkap jelas dan mengenali bahwa yang bicara itu adalah
Suradadi, anak kepala dukuh Sawahlontar.
Sesaat kemudian terdengar
suara Suradadi dan kawan-kawan, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Langit tampak
mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun…"
Tak lama setelah Suradadi dan
kawan-kawannya pergi Padanaran berusaha bangkit berdiri. Sulit dan sakit terasa
sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu terdengar guruh menggelegar.
Hujan kemudian turun deras sekali. Padanaran masih tertegak tak mampu
melangngkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau pulang dalam keadaan
babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih parah lagi dia
akan kena hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau pergi kemana?
Apapun yang akan terjadi
Padanaran akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya dimana dia tinggal
sejak ibunya meninggal dan ayahnya lenyap entah kemana. Dia tidak pernah
melihat apalagi mengenali ayahnya. Kata orang ayahnya melenyapkan diri begitu
dia lahir dalam keadaan mengejutkan karena bulai. Ada yang mengatakan ayahnya
kabur karena malu. Ada lagi yang menuturkan bahwa ayahnya lari ke sebuah gunung
sepi dan mati membunuh diri disitu sementara ibunya karena tidak terawat dengan
baik meninggal dunia seminggu setelah melahirkannya.
"Ah, kenapa buruk amat
nasibku…?" membatin pilu Padanaran. "Mengapa aku dilahirkan berbeda
seperti ini… Betulkah ayahku hantu putih…?"
3
HUJAN MASIH MENCURAH LEBAT
ketika Padanaran memasuki halaman rumah. Dari halaman dia dapat melihat seorang
lelaki berselubung kain sarung duduk di kursi kayu dekat pintu depan sambil
menghisap rokok. Itulah Randuwonto sang paman. Padanaran sudah punya firasat
akan mengalami sesuatu. Namun dia melangkah terus. Belum lagi dia sampai di
bawah cucuran atap, Randuwonto tampak mencampakkan rokoknya ke tanah lalu
terdengar suaranya.
"Anak hantu! Masih ingat
pulang kau rupanyal"
"Paman, maafkan saya.
Saya terhalang oleh hujan…" menyahut Padanaran lalu melangkah masuk ke
serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri dari duduknya.
Matanya menatap besar-besar.
"Hemm… kau terhalang
hujan katamu?!" Ujar lelaki berusia hampir setengah abad itu.
“Tapi mengapa kulihat
pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu bau kotoran kuda. Mukamu
benjat benjut dan bibirmu pacah berdarah!" Padanaran diam saja sambil
tundukkan kepala.
"Kau tidak tuli! Lekas
katakan apa yang teah kau lakukan?!" bentak Randuwonto.
"Saya dikeroyok
anak-anak, paman…" jawab Padanaran akhirnya memberi tahu.
"Kau dikeroyok! Bagus!
Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali kukatakan agar kau jangan
berkelahi!"
"Saya terpaksa
melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya bertahan. Tapi
mereka banyak sekali. Saya terlempar kedalam kubangan kotoran kuda…!"
"Hanya itu saja yang
terjadi?!" Padanaran terdiam, sulit untuk menjawab.
“Anak hantu! Lekas jawab.
Hanya itu yang kau alami?!" bentak Randuwonto.
"Tidak paman… Saya juga
mendapat hukuman dari juragan Gandaboga serta pembantunya Jalitanggor…"
memberi tahu Padanaran.
Terkejutlah Randuwonto
mendengar kata-kata Padanaran itu. "Kau hanya menimbulkan silang sengketa
diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!"
“Waktu itu saya berada di
sungai membersihkan tubuh dan baju. ‘Lalu datang Tarini anak perempuan juragan
Gandaboga. Di saat yang sama juragan itu muncul disana. Saya disangka melakukan
apa-apa terhadap anaknya. Saya ditampar olehnya. Pembantunya kemudian menendang
saya…."
"Akan lebih baik jika
mereka membunuhmu saja saat itu!" ujar Randuwonto. Saat itu dari dalam
rumah muncul seorang perempuan bersama seorang anak lelaki seusia Padanaran.
Perempuan itu adalah istri Randuwonto sedang anak lelaki itu adalah anaknya
jadi saudara sepupu Padanaran bernama Rangga.
Padanaran hanya tundukkan
kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa Gandaboga dan Jalitanggor
tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan berakhir pula
penderitaan hidupnya.
"Sepuluh tahun bersama
kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Sebaiknya kau angkat kaki dari sini
Padanaran…!"
"Mas Randu…" Istri
Randuwonto hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak dan diperintahkan
masuk oleh suaminya. Perempuanadik almarhumah ibu Padanaran itu yang memang
sangat takut pada suaminya segera saja masuk ke dalam rumah, meninggalkan
Rangga seorang diri dekat pintu.
"Maafkan saya paman. Saya
tidak bermaksud menyulitkan paman…" terdengar kata-kata Padanaran.
"Tidak bermaksud… Tidak
bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan kini kesabaranku sudah
sampai pada puncaknya anak hantu! Kau telah menyulut silang sengketa dengan
juragan Gandaboga! Hubungan dagangan denganku pasti diputuskan. Segala
hutangnya pasti akan segera ditagih! Kalau kepalamu ini bisa kupakai untuk
menyelesaikan semua urusan itu, sudah kupatahkan batang lehermu saat ini
juga!"
"Paman, kalau memang
kematian saya bisa menolongmu, saya rela diapakan saja…" berucap
Panadaran.
Randuwonto yang tengah
melangkah mundar mandir menahan kemarahannya kini jadi meledak mendengar
kata-kata keponakan istrinya itu.
"Anak keparat! Kumpulkan
pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!" teriak Randuwonto.
"Saya… saya harus pergi
kemana paman…?"
"Perduli setan kau mau
pergi kemana!" sentak Randuwonto. Dijambaknya rambut pirang Panadaran lalu
anak itu dilemparkannya keluar serambi.
"Paman… saya mohon
maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini…"
"Anak setan! Benar-benar
keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi!" teriak Randuwonto. Kini
kakinya yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul Padanaran. Anak ini
terlempar jauh dan jatuh di halaman yang becek. Bagi Padanaran sakit yang
diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan hati diperlakukan
seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi kemana. Jika orang
sudah tidak sudi memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia memaksa untuk tetap
tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya
yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung Padanaran melangkah menuju
pagar halaman. Saat Itu ada suara orang berlari di belakangnya. Lalu ada suara
memanggil.
"Padanaran tunggu
dulu…" Padanaran berpaling. Dilihatnya Rangga berlari mendatangi. Adik
sepupuhnya ini tegak menundukkan kepala. "Padan… aku tak bisa menolongmu
menghalangi kehendak ayah…Maafkan aku Padan…"
Padanaran berusaha tersenyum
dan menjawab. "Tidak jadi apa Rangga. Kau saudaraku yang sangat baik. Kau
anak yang sangat berbakti pada orang tuamu. Aku harus pergi Rangga. Selamat
tinggal…"
“Tunggu Padan…" Dari
dalam sakunya Rangga mengeluarkan sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah
burung-burungan terbuat dari batu.
"Kau ingat
burung-burungan ini? Kau dulu yang mengajarkan bagaimana cara membuatnya. Kau
ambillah. Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan…."
Padanaran ragu sesaat. Akhirnya
diambilnya juga burung-burungan dari batu itu. "Terima kasih Rangga. Aku
pergi sekarang…" Padanaran memasukkan burung-burungan itu kedalam saku
pakaiannya, memegang tangan Rangga erat-erat lalu tinggalkan tempat itu.
4
HUJAN MASIH TURUN DENGAN DERAS.
Padanaran berjalan sepembawa kakinya. Pakaiannya basah kuyup, sekujur tubuhnya
dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda sebentar lagi malam akan turun.
Di bawah sebatang pohon besar Padanaran akhirnya hentikan langkah dan memandang
berkeliling. Saat itulah disadarinya bahwa di depannya ada sebuah jalan kecil
becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini terletak pekuburan Jatiwaleh.
Pekuburan dimana makam ibunya berada.
Padanaran berpikir ejenak.
Akhirnya anak ini memutuskan, sebelum pergi-pergi entah kemana-sebaiknya dia
menyambangi pusara Ibunya terlebih dahulu. Maka Padanaranpun melangkah
menyeberangi jalan kecil itu. Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak
sulit bagi Padanaran mencari makam ibunya karena dia memang sering datang
kesitu, terutama jika hatinya sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan
hidup. Tak jarang dia bangun pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang
diri seolah-olah mengadukan nasib dirinya yang malang pada sang ibu yang berada
di alam lain itu.
Kilat menyambar. Pekuburan itu
sekejap menjadi terang benderang. Padanaran bersimpuh di samping makam ibunya
yang kayu nisannya sudah rusak karena lapuk dan tanahnya penuh ditumbuhi rumput
liar.
"Ibu… Aku anakmu datang
bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku menyambangimu. Aku tidak
tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu. Walau aku tidak tahu mau
pergi kemana. Aku pergi sekehendak jalan hidupku yang malang. Kalau ibu masih
hidup tentu nasibku tidak seperti ini…" Padanaran diam sejenak. Dia
menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita yang dihadapinya saat itu, dia
tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan air mata apalagi sampai
menangis!
"Ibu aku tak percaya
ayahku adalah hantu putih seperti yang dikatakan teman-teman. Seperti yang juga
dikatakan paman. Kalau dia masih hidup aku pasti akan mencarinya. Aku mohon
petunjukmu ibu…" Sampai disini anak lelaki itu kembali terhenti
menyuarakan suara batinnya. "Ibu… aku harus pergi sekarang. Anakmu mohon
doa restumu…"
Padanaran bangkit berdiri
perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang tegak dlbelakangnya.
Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling. Astaga!
"Tarini!" seru
Padanaran. "Bagaimana kau bisa berada disini?!"
"Aku… aku menyelinap dari
rumah. Aku sangat mengawatirkan dirimu Padanaran. Ayah dan Jalitanggor pasti
melakukan apa-apa padimu…"
Padanaran menggeleng.
"Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergis setelah kau berlalu
jawab Padanaran sengaja berdusta.
"Sampai di rumah aku
langsung masuk kamar lalu diam-diam menyelinap lewat jendela. Aku pergi ke
sungai. Tapi kau tak ada lagi disitu, Aku mengendap-endap kerumahmu. Rangga
mengatakan kau diusir pamanmu. Dia tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti
bisa menduga kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah bercerita kalau kau
sering ke makam Ibumu sedang sedih … Tenyata kau memang ada disini."
"Tarini kau baik sekali
padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang Tarini. Cepat. Nanti kalau
ayahmu atau Jalitanggor mengetahui kau tak ada di rumah, lalu mereka mencarimu
dan menemui kita berdua lagi disini, kau pasti akan kena damprat… Pulanglah
Tarini, lekas…"
"Aku hanya kepingin tahu,
kau mau pergi kemana Padanaran…?" bertanya anak perempuan itu.
"Aku sendiri tidak tahu
mau pergi kemana…," jawab Padanaran bingung.
"Kau tidak boleh pergi
Padanaran. Kau harus tetap di Sawahlontar ini…"
"Tapi disini tak ada
orang yang menyukai Tarini. Tak ada yang mau menerimaku. Bahkan pamanku
mengusirku…"
"Tidak semua orang benci
padamu Padanaran. Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya alasan
mengapa harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku temanmu…"
Padanaran memegang kedua
tangan Tarini erat-erat. "Kau temanku yang baik… sangat baik yang pernah
kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua ucapanmu. Kalau kelak
nanti aku kembali ke Sawahlontar ini, kaulah yang kelak akan kucari…"
Tarini hanya bisa diam. Anak
ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Padanaran agar tidak pergi.
Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seperti letusan berulang kali. Lalu suara sesuatu menggelinding
ditimpali suara kaki-kaki kuda yang kemudian disusul oleh suara nyanyian. Suara
nyanyian perempuan!
Dibawah hujan lebat
Dua sahabat berpegang erat
Satu hendak berangkat
Satunya ditinggal tercekat
Yang pergi berkuat hati
Yang tinggal tabahkan hati
Kalau memang jodoh pasti akan
bersatu hati
Aku datang menjemput
Jangan kalian terkejut
Yang lelaki akan kuangkut
Yang perempuan jangan merengut
Lalu kembali terdengar suara
seperti letusan, Tar… tar… tar…!
Padanaran dan Tarini
berpaling. Dua anak inibukan saja terkejut tapi tampak seperti ketakutan.
Betapakan tidak. Ini adalah satu pemandangan yang luar biasa. Di bawah hujan
lebat dan cuaca gelap seperti itu tampak muncul sebuah kereta putih ditarik
oleh seekor kuda putih.
Orang yang menjadi saisnya
adalah seorang nenek mengenakan jubah serba putih yang basah kuyup. Kepalanya
ditutup oleh sehelai selendang putih yang diikatkan seperti topi. Dibawah
selendang putih itu tampak tergerai rambut pirang sebahu. Yang membuat orang
ini menjadi lebih angker ialah kenyataan bahwa dia memiliki wajah putih bulai
beralis mata pirang, berbola mata kelabu! Di tangan kanannya dia memegang
sebuah cambuk yang setiap kali dihantamkannya mengeluarkan suara letusan keras
dan di ujung cambuk yang menggeledek itu seperti ada percikan api!
Tarini langsung merapatkan
diri pada Padanaran seraya berbisik : "Padanaran… apa-kah kita tengah
berhadapan dengan setan kuburan…?"
Padanaran tak berani menjawab.
Dia cepat merangkul anak perempuan itu, bertindak melindunginya ketika
dilihatnya orang berjubah putih hentikan kereta dan melompat turun ke tanah
lalu melangkah ke tempat mereka berdiri.
"Ha… ha… ha… Sepasang
anak baik-baik. Sayang hanya satu yang berjodoh denganku!" Nenek berjubah
putih bermuka bulai itu kedip-kedipkan matanya. "Anak lelaki bulai, kau
ikut bersamaku….!"
"Ikut… ikut bersamamu…?
Ikut kemana?" tanya Padanaran. Berdiri dekat-dekat seperti itu dia melihat
bahwa sepasang mata si nenek sama kelabunya dengan kedua bola matanya. Lalu
wajah dan sepasang tangannya yang tersembul dari balik jibah juga sama bulai
dengan kulitnya.
"Ikut kemana itu tidak
jadi urusan. Bukankah kau memang sudah bertekad untuk meninggalkan dukuh
Sawahlontar ini…?"
"Eh, bagaimana kau bisa
tahu…?!" tanya Padanaran heran.
Si nenek tertawa panjang. Lalu
terdengar dia berucap : "Tujuh puluh tahun hidup di dunia, adalah tolol
kalau tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku! Dengar, namamu Padanaran bukan?
Pamanmu bernama Randuwonto. Kawanmu yang cantik ini bernama Tarini, ayah nya
bernama Gandaboga… Betul begitu tidak?"
Padanaran dan Tarini hanya
bisa tertegun melongo di bawah curahan hujan. Si nenek kembali membuka mulut:
"Di Sawahlontar kau tidak punya teman kecuali anak perempuan ini. Di
Sawahlontar tak ada yang menyukai dirimu kecuali sahabatmu yang satu ini.
Kulitmu sama bulai denganku. Rambutmu sama pirang denganku, matamu sama kelabu
seperti mataku. Nah mengapa kita tidak sama-sama pergi, minggat dari desa yang
tidak mau menerima kehadiranmu ini…?"
"Nenek, siapapun kau
adanya kau tak boleh membawa kawanku ini…" kata Tarini lalu memegang kedua
tangan Padanaran kuat-kuat.
Si nenek tertawa lebar dan
usap rambut anak perempuan itu. "Anak baik," kata si nenek pula.
"Aku membawa sahabatmu itu bukan untuk maksud jahat. Kau tunggu sajalah.
Sepuluh tahun dimuka kalau dia kembali menemuimu maka dia telah menjadi seorang
pemuda yang hebat luar biasa…!"
"Hebat luar biasa
bagaimana nek…?" tanya Tarini pula.
"Ah, kau banyak bertanya
anak. Itu berarti kau anak cerdas. Tapi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu
tadi…”
"Juga kau tidak mau
mengatakan siapa dirimu nek? Kau tahu-tahu berada di pekuburan ini seolah-olah
muncul dari perut bumi…" ujar Tarini.
"Hik… hik… hik! Kalian
berdua pasti menyangka aku setan hantu yang kesasar dibawah hujan lebat! Hik…
hik… hik. Aku manusia biasa seperti kalian. Tapi mulut manusia yang jahil
memberi gelar Hantu Bulai padaku. Hik… hik…. hik…"
Begitu tawa si nenek berakhir
dia ulurkan tangannya dan tahu-tahu Padanaran sudah ada dalam kempitan tangan
kirinya tanpa bisa berkutik lepaskan diri!
"Nek! Jangan bawa
temanku!" seru Tarini. Dia hendak mengejar ke depan. Tapi dengan lalu
lompatan aneh si nenek tahu-tahu sudah melompat naik ke atas kereta putih. Di
lain kejap kuda penarik kereta itu meringkik keras dan ketika digebrak binatang
inipun lari ke jurusan timur pekuburan. Tarini lari mengejar. Namun sesaat
kemudian anak ini menyadari dia tak mungkin melakukan pengejaran. Anak ini
hentikan larinya dan hanya bisa memandang ke arah kejauhan dimana kereta putih,
kuda putih, si nenek berjubah putih dan Padanaran lenyap di kegelapan!
5
DALAM KEADAAN KEDUA TANGAN
terikat di belakang Randuwonto dipapah dan didorong ke balik semak belukar itu.
Hujan turun rintik-rintik. Empat orang lelaki mengelilinginya. Yang pertama
berkumis melintang berbadan tinggi besar yang bukan lain adalah Gandaboga sang
juragan kaya dari dukuh Sawahlontar. Di sebelah kanannya berdiri si tukang pukul
Jalitanggor. Dua orang lainnya adalah anak buah Jalitanggor.
"Juragan ,"
terdengar suara Randuwonto. "Mengapa kau membawaku ke pekuburan
malam-malam begini. Mana gerimis lagi!"
"Diam! Tutup mulutmu!
Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!" bentak Gandaboga.
Lalu disepaknya betis Randuwonto hingga lelaki ini hampir roboh.
Gandaboga memandang ke depan
lalu berpaling pada Jalitanggor. "Mengapa belum kelihatan anak itu…?"
dia bertanya.
"Sebentar lagi dia pasti
muncul. Sabar saja, juragan…," jawab sang pembantu. Baru saja dia berkata
begitu tiba-tiba dari arah pintu masuk pekuburan tampak muncul sesosok tubuh
kecil, melangkah dengan cepat tanpa ada rasa takut.
"Dia sudah muncul
juragan…" bisik Jalitanggor.
Gandaboga mengangguk. Sepasang
matanya tidak berkesip. Dia memandang dengan rasa hampir tak percaya. Anaknya
Tarini malam- malam gelap dan gerimis serta angin dingin kencang begini,
mendatangi pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya sang pembantu Jalitanggor
telah memberikan laporan. Namun dia tak mau percaya begitu saja kalau tidak
melihat sendiri. Dan saat itu dia benar- benar menyaksikan apa yang dikatakan
oleh pembantunya bahwa Tarini sering datang ke pekuburan, berdiri di dekat
sebuah makam lalu berseru berulang-ulang mengatakan sesuatu.
Seperti yang disaksikannya
sendiri saat itu dilihatnya anak perempuannya itu tegak di dekat sebuah makam.
Anak ini tanpa rasa takut memandang berkeliling lalu dia mengangkat kedua
tangannya dan berseru.
"Nenek Hantu Bulai…
Datanglah…! Muncullah! Bawa aku serta! Nenek Hantu Bulai…datanglah! Bawa aku
bersamamu biar aku bisa bertemu dengan sahabatku Padanaran! Nenek hantu Bulai…
mengapa kau tak mau datang…?!" Capai berseru-seru tanpa ada jawaban Tarini
duduk menjelepok di samping makam. Setelah itu dia berdiri lagi lalu kembali
berseru seperti tadi.
"Ah Nenek Hantu Bulai…
Mengapa kau tak datang membawaku…" Tarini tampak kecewa dan keletihan.
"Randuwonto!" desis
Gandaboga. "Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan setan! Datang ke
pekuburan malam-malam. Berteriak memanggil hantu dan minta dirinya di bawa agar
bisa bertemu dengan Padanaran! Ini semua gara-gara keponakanmu yang bulai
celaka keparat itu!"
"Juragan, saya tidak
mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…" jawab
Randuwonto yang menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu tengkuk
merinding. Keponakan saya itu sendiri lenyap sejak beberapa hari lalu…"
"Menurut pembantuku
setiap saat datang kemari anakku selalu berdiri dekat makam itu. Katakan makam
siapa itu?!" bertanya Gandiboga.
"Kalau saya tidak keliru,
itu adalah makam ibu Padanaran…" jawab Randuwonto.
"Kurang ajar! Kalau
begitu anakku memang telah kena guna-guna. Ada yang memasukkan roh jahat ke
dalam tubuhnya hingga diluar sadarnya dia datang ke tempat ini! Katakan siapa
yang dipanggilnya dengan sebutan Hantu Bulai itu?!"
"Mana saya tahu juragan.
Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkannya…"
"Kau dusta!"
”Plaaakkk!”
Gandaboga menampar pipi kanan
Randuwonto hingga orang ini terpekik kesakitan. Suara pekikannya itu mengejutkan
Tarini. Anak ini berpaling. Gandaboga segera memerintahkan Jalitanggor untuk
menangkap anak itu. Ketika Jalitanggor keluar dari balik semak-semak dan Tarini
melihatnya, anak perempuan ini sementara melarikan diri. Tapi sebentar saja dia
segera terkejar dan dipegang oleh Jalitanggor.
Tarini berteriak-teriak ketika
dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.
"Juragan… anak ini
keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat yang masuk dalam
tubuhnya…" berkata Jalitanggor.
Padahal keringat dingin itu
adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula dengan air hujan
rintikrintik yang membasahi Tarini.
Gandaboga percaya saja pada
kata-kata pembantunya. "Seperti rencana semula, hidupkan obor. Gali makam
ibu Padanaran itu. Apapun yang kalian temukan didalamnya segera bakar."
Lalu dengan suara lebih perlahan Gandaboga meneruskan ucapannya. "Manusia
bernama Randuwonto ini tidak ada gunanya dibiarkan hidup. Hutangnya tak pernah
dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut menjadi biang kerok
keanehan yang dialami anakku, Bunuh dan masukkan dia dalam kuburan itu"
Dua buah obor dinyalakan.
Makam ibu Padanaran digali. Semua itu disaksikan Tarini dalam keadaan keletihan
karena tadi terus-menerus berteriak. Tak lama kemudian ditemukan tulang
belulang dan sepotong tulang tengkorak. Sesuai perintah Gandaboga tulang-tulang
itu diguyur dengan minyak lalu dibakar. Gandaboga kemudian memberi isyarat.
Randuwonto diseret ke tepi kuburan. tahu firasat, Randuwonto berteriak
ketakutan : "Apa yang hendak kalian lakukan, terhadapku?!"
Sebagai jawaban Gandaboga
mendorong tubuh Randuwonto hingga orang ini jatuh masuk ke dalam liang kubur.
Randuwonto berteriak keras. Dalam keadaan kedua tangan terikat tidak mungkin
baginya untuk mencoba keluar dari dalam lobang itu. Apalagi saat itu Gandaboga
telah menyambar sebatang linggis lalu menghantam kepala Randuwonto dengan benda
itu.
Tubuh Randuwonto terkapar di
liang kubur. Kepalanya rengkah dan darah membasahi kepala serta wajahnya.
Tarini yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan dalam dukungan
ayahnya!
"Timbunkan tanah cepat!
Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang datang!" perintah
Gandaboga. Dua anak buah Jalitanggor segera menimbun liang kubur. Tak lama
kemudian orang-orang itu lompat meninggalkan pekuburan menaiki sebuah gerobak
ditarik dua ekor kuda.
6
HANYA BEBERAPA SAAT setelah
orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan malam, tiba-tiba dari balik
serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok tubuh. Yang melompat ini ternyata
seorang anak lelaki kecil dan bukan lain adalah Rangga, putera Randuwonto,
saudara sepupu Padanaran.
”Ayah…! Ayah…!”, pekik si anak
seraya lari menghambur menuju gundukan tanah merah dimana ayahnya dibunuhsecara
keji lalu ditimbun.
Rangga jatuhkan diri di atas
tanah merah, menangis menjerit memanggil ayahnya. Panggilannya yang mengenaskan
itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya lenyap ditelan hembusan
angin sementara hujan gerimis mulai membesar.
Rangga tak menyadari berapa
lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan tubuhnya basah kuyup dan
rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan anak ini berdiri lalu
melangkah pergi sambil terus menangis.
Keesokan paginya dusun
Sawahlontar menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah Randuwonto banyak orang
berkerumun. Istri Randuwonto menangis sambil memeluki anak lelakinya yaitu
Rangga yang kelihatan berwajah pucat dan pakaian kotor serta basah. Pada
orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang telah terjadi yakni sesuai
dengan apa yang dilihat Rangga.
"Mas Randu dibawa! Sampai
saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan anakku benar. Mas Randuwonto
dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh…! Dibunuh oleh juragan Gandaboga dan
pembantupembantunya…!" Begitu istri Randuwonto berucap diantara tangisnya
yang memilukan.
Seorang lelaki separuh baya
mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Rangga sesaat lalu berkata :
"Bune Rangga, cerita anakmu perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya
memang begitu. Aku tak habis pikir bagaimana anak sekecil ini malam-malam pergi
ke pekuburan lalu katanya dia…"
"Rangga tidak dusta. Anak
ini tidak pernahberdusta!" menyahuti istri Randuwonto.
"Malam tadi Jalitanggor
dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara membentak-bentak lalu
memaksa mas Randuwonto mengikutinya mereka. Ternyata mas Randuwonto dibawa ke
rumah juragan Gandaboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke pekuburan
Jatiwaleh. Anakku kemudian menyaksikan ayahnya dibunuh, dipentung dengan
batangan besi lalu dipendam…!"
Lelaki separuh baya itu
menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Rangga :
"Rangga kau tidak
berdusta. Benar bahwa kau melihat ayahmu dibunuh dan dikubur…?"
Rangga menganggukkan kepala
lalu memeluk ibunya erat-erat. Anak dan ibu itu kemudian sama-sama bertangisan.
Seorang lelaki berpakaian biru
gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah Suto Kenongo kepala dukuh
Sawahlontar merangkap kepala desa di wilayah itu. Melihat kemunculan kepala
desa tangis istri Randowonto semakin mengeras.
"Tenang bune Rangga…
Tenang. Hentikan tangismu…," berkata Suto Kenongo. "Dari orang-orang
di luar rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki tangannya juragan
Gandaboga. Lalu anakmu katanya melihat ayahnya dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh
tadi malam. Apa semua itu betul adanya, bune Rangga…?" Ibu Rangga
mengangguk.
Suto Kenongo termenung
sejurus. Lalu dia berkata : "Ini bukan urusan kecil, bune Rangga. Jika kau
menuduh juragan Gandaboga telah membunuh suamimu maka tuduhan itu harus ada
buktinya…"
"Anakku yang menyaksikannya!.
Dia melihat sendiri ayahnya dipentung dengan besi. Juragan Gandaboga yang
melakukan itu. Lalu pembantu-pembantunya memendamnya dalam tanah…"
"Kesaksian anak sekecil
ini sulit dijadikan pegangan…," ujar kepala desa pula.
"Kalau tidak percaya…,"
tiba-tiba membuka mulut si kecil Rangga, "pergi saja ke Jatiwaleh! Bongkar
kuburan itu. Pasti mayat ayah akan kita temukan!"
Semua orang yang ada disitu
sama tergerak hati mereka dan sama- sama mengeluarkan ucapan setuju. Mereka
mendesak agar Suto Kenongo sendiri yang memimpin per-jalanan dan penyelidikan
ke pekuburan Jatiwaleh.
"Ah ini urusan
kapiran!" kata Suto Kenongo dalam hati sambil mengusap dagunya. Hati
kecilnya diam-diam mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini
terkait dengan nama Gandaboga, juragan kaya raya sedesa yang sekaligus memiliki
kekuasaan besar mau tak mau kepala desa itu merasa tidak tenang.
Suto Kenongo berpaling pada
orang banyak lalu berkata : "Baik, kalian pergi duluan ke pekuburan
Jatiwaleh. Aku patut memberi tahu urusan ini pada juragan Gandaboga. Aku nanti
akan menyusul ke pekuburan…"
***
GANDABOGA DUDUK DI KURSI JATI
berukir sambil mengunyah tebu manis kesukaannya. Di sebelahnya berdiri pembantu
kepercayaannya Jalitanggor. Setelah mencampakkan ampas tebu ke halaman rumah,
Gandaboga berpaling kearah Suto Kenongo yang saat itu tegak di hadapannya dekat
tangga.
"Cerita yang kau dengar
itu, apakah kau mempercayainya Suto Kenongo?" bertanya Gandaboga lalu
mengambil lagi sepotong tebu manis.
"Saya… Tentu saja saya
tidak mempercayainya…," jawab sang kepala desa.
"Bagus! Kalau begitu
mengapa kau capai-capai datang kemari?"
"Juragan, apa yang saya
percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk. Mereka memaksakan
untuk membongkar kubur di Jatiwaleh itu…"
"Suto Kenongo! Jabatanmu
adalah kepala dukuh dan kepala desa! Betul begitu…?!" Suara juragan
Gandaboga terdengar mulai meradang.
"Betul juragan,"
menyahuti Suto Kenongo.
"Nah, kalau begitu adalah
kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak berpikir gila mempercayai apa
kata anak dan istri Randuwonto itu! Kau bukannya melakukan itu, malah datang
kemari tanpa juntrungan! Seharusnya kau mencegah penduduk untuk tidak ke
Jatiwaleh, apalagi kalau sampai membongkar kuburan itu!"
"Saya… Kalau saya tidak
segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa…"
"Suto Kenongo! Kau telah
menjadi kepala desa selama hampir tujuh tahun. Katakan siapa yang memungkinkan
kau mendapatkan jabatan itu?! Ayo jawab!"
"Semua itu karena
kekuasaan juragan…" jawab Suto Kenongo.
"Apakah kau masih ingin
memiliki jabatan itu Suto?!" tanya Gandaboga pula.
"Tentu juragan. Tentu
saja saya menginginkannya."
"Kalau begitu lekas
angkat kaki dari sini. Pergi ke Jatiwaleh dan lakukan apa saja. Yang penting
penduduk tidak berpikir bahwa kematian Randuwonto ada sangkut pautnya dengan
diriku! Cegah mereka membongkar kuburan itu! Kau dengar itu Suto…?"
"Saya dengar juragan.
Hanya saja… Bagaimana saya melakukannya? Apa yang harus saya katakan pada
penduduk…?"
"Kepala desa tolol!"
yang membentak adalah Jalitanggor. "Itu urusanmu! Jangan bertanya pada
juragan Ganda!"
Suto Kenongo tundukkan kepala.
Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa kali kepala desa ini segera
tinggalkan rumah kediaman juragan Gandaboga dan memacu kudanya menuju pekuburan
Jatiwaleh.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak
Naga Geni 212
Begitu Suto Kenongo berlalu,
Gandaboga berpaling pada Jalitanggor. "Ada tugas baru untukmu Jali!"
"Katakan saja juragan. Saya segera akan melakukannya!" jawab sang
pembantu. "Culik anak Randuwonto itu dan bunuh! Sekarang Jali!"
"Sekarang juragan!" jawab Jalitanggor lalu tinggalkan tempat itu.
7
KETIKA SUTO KENONGO sampai di
pekuburan Jatiwaleh tenyata kuburan telah digali dan mayat Randuwonto kelihatan
terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan. Walau sebagian wajahnya
bercelemong tanah dan ada gelimangan darah namun semua orang yang menyaksikan
sama mengenaldan memastikan bahwa yang ada dalam kubur itu memang adalah
jenazah Randuwonto.
Di pinggir kubur istri
Randuwonto merasakan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Dia menjerit lalu
menangis. Sambil memeluk anaknya yang ketakutan perempuan ini melangkah
sempoyongan, dipapah oleh dua orang. Saat itulah Suto Kenongo turun dari
kudanya dan berhadapan dengan ibu serta anak yang malang itu.
"Kepala desa…," ucap
istri Randuwonto dengan suara bergetar. "Semua orang sudah menyaksikan
kebenaran ucapan anakku. Semua mata melihat bahwa mayat yang ada dalam lobang
itu adalah mayat suamiku! Ada darah di kepala dan mukanya. Kepalanya rengkah!
Pertanda bahwa dia memang dipentung, dibunuh!"
Suto Kenanga tak tahu apa yang
musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang berkeliling dia berteriak
menyuruh orang banyak kembali ke Sawahlontar.
"Walau mayat dalam lobang
dikenali sebagai ayah Rangga,.namun urusan ini belum tuntas. Masih perlu dicari
dan dibuktikan siapa pembunuh Randuwonto! Kalian semua kembali ke dukuh!"
Suara orang banyak yang
bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda bahwa mereka tidak suka
mendengar ucapan dan melihat sikap kepala desa itu.
"Keterangan anak mas
Randu jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat mas Randu! Bukti apa lagi
yang diperlukan?!" berkata seseorang.
"Yang harus dilakukan
ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati!" seorang lain berkata dengan
suara keras.
Suto Kenongo melotot dan
membentak :
"Soal lapor melapor
adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang berani mendahuluiku!
Semua kembali ke dukuh! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu
kembali!"
Baru saja kepala desa itu berucap
begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu memasuki pekuburan. Penunggangnya
sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran takut tertabrak.
Dua penunggang kuda ini mengenakan pakaian merah. Wajah dan kepala
masing-masing ditutup dengan kain merah pula. Selagi semua orang, termasuk
kepala desa tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua penunggang kuda itu,
tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri Randuwonto
dan anak lelakinya berada.
Cepat sekali gerakan penunggang
kuda satu ini. Tahu-tahu Rangga sudah dirampasnya dari pegangan ibunya lalu
dibawa kabur.
"Rangga! Anakku
diculik!" teriak ibu si anak.
Orang banyak tentu saja
terkejut. Beberapa orang diantaranya berusaha mengejar. Bahkan kepala desa
setelah terkesiap sebentar segera melompat ke punggung kudanya. Namun
penunggang kuda kedua cepat memintas. Dia bukan saja menghalangi tetapi
pergunakan sebatang tongkat kayu untuk menghantam. Dua orang terkapar kena
pukulan tongkat. Kepala desa dengan nekad coba melompati penunggang kuda itu.
Namun sodokan ujung tongkat pada perutnya membuat kepala desa ini jatuh ke
tanah..
"Bangsat penculik!"
teriak kepala desa. Dari balik bajunya dia mengeluarkan sebuah pisau kecil.
Senjata tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang kuda sebelah
belakang yang tadi menyodok perutnya dengan tongkat. Ternyata orang yang
dibokong dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia
mendengar suara berdesing di belakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang
dipacunya dan sama sekali tanpa menoleh dia sabatkan tongkat kayunya
kebelakang. Ujung tongkat menghantam pisau hingga mencelat jauh. Dua penunggang
kuda itu, satu diantaranya mengempit tubuh Rangga di tangan kiri sesaat
kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak
berteriak-teriak dan suara jerit raung ibu Rangga.
***
DI SEBUAH LEMBAH SUNYI dua
orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain merah itu hentikan kuda
masing-masing.
"Kita selesaikan disini
saja Jali " penunggang yang mengempit Rangga membuka mulut. Rangga sendiri
saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena ketakutan yang amat
sangat sewaktu dilarikan di atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah
belakang me-mandang seantero lembah. Lalu tangan kirinya membuka kain penutup
muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah Jalitanggor, pembantu dan
tangan kanan juragan Gandaboga. Sekali lagi dia memandang berkeliling,
mengamati dan memasang telinga. Lalu kepalanya dianggukkan.
Orang di sebelah depan turun
dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon waru. Dia berpaling pada
Jalitanggor dan bertanya:
"Aku atau kau yang
melakukannya Jali…?"
"Aku biasa membunuh
orang-orang besar, jago-jago ternama. Masakan kau suruh aku mengotori tangan
memancung anak kecil itu! Lakukan sendiri olehmu! Untuk itu kau dibayar!"
terdengar Jalitanggor menjawab. Lalu dia lemparkan tongkat di tangan kirinya ke
arah orang yang masih mengempit Rangga.
"Pentung kepalanya!
Selesai urusan kita!"
Orang dibawah pohon menyambut
tongkat yang dilemparkan. Tubuh Rangga kemudian dijatuhkannya di kaki pohon.
Jatuh di tanah yang keras membuat Rangga siuman dan be-gitu membuka mata dia
terkejut mendapatkan dirinya berada di tempat yang serba asing itu. Di sebelah
kiri dilihatnya sosok tubuh Jalitanggor. Sedang di hadapannya ada orang yang
kepala dan mukanya ditutup dengan kain merah. Orang ini menimang-nimang sebuah
tongkat di tangan kanannya. Tangan kirinya tampak membetot lepas kain merah
yang menutupi kepalanya.
Kelihatanlah satu wajah yang
sangat pucat seolah-olah tidak berdarah, laksana wajah mayat. Keseraman tampang
manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua pipi dan sepasang rongga mata
yang cekung. Tampang seram ini tampak menyeringai. Rangga menjerit ketakutan
melihat tampang mengerikan ini. Lalu tiba-tiba dilihatnya si muka cekung
menghujamkan tongkat di tangan kanannya kearah kepalanya. Si anak kembali
menjerit sambil tekapkan kedua telapak tangannya kemuka. Ujung tongkat menderu
ke arah kening Rangga. Anak itu menjerit sekali lagi.
”Wuuuttt!”
”Traaakk!”
Sebuah batu sebesar kepalan
melesat di dekat pohon waru langsung menghantam ujung tongkat kayu yang akan
menghunjam di batok kepala Rangga. Ujung tongkat patah sedang tongkat itu
sendiri terlepas dari pegangan orang berwajah cekung. Telapak tangannya terasa
pedas dan panas. Jalitanggor terkejut, melompat turun dari kudanya dan
memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
"Keparat dari mana yang
berani main gila!" teriak si muka cekung marah sekali. Baru saja dia
berteriak begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan plaak, benda
ini menghantam mulutnya hingga dia berteriak kesakitan. Ketika memperhatikan ke
bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya itu adalah sebuah kulit
pisang!
"Jahanam, berani
mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Si Muka Mayat Dari Goa
Kepala Ular!" si muka cekung kembali mendamprat marah. Dan untuk kedua
kalinya pula sebuah kulit pisang menghantam tepat dimulutnya! Manusia yang
mengaku bernama Si Muka Mayat ini memaki panjang pendek sambil meludah- ludah.
Ludah yang disemburkannya bercampur darah karena lemparan pisang yang keras
telah membuat bibirnya pecah! Jalitanggor diam-diam merasa tidak enak. Tapi
sikapnya lebih tenang dari pada Si Muka Mayat.
"Muka Mayat, mendekat
kemari..," ujar Jalitanggor setengah berbisik. Ketika si muka cekung itu
mendekat, Jalitanggor berbisik:
"Ada orang pandai tengah
mempermainkan kita. Hati- hati…"
"Jangankan orang pandai,
setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan kupecahkan kepalanya, kubeset
kulitnya dan kupanggang tubuhnya!" jawab Si Muka Mayat Dari Goa Kepala
Ular. Kedua tinjunya dikepalkan kuat-kuat.
Baru saja orang itu selesai
berucap tiba-tiba dari atas pohon waru berdaun lebat itu terdengar suara berkerontang
beberapa kali. Ini adalah seperti suara bebatuan yang berada dalam kaleng lalu
digoyang kuatkuat. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tawa mengekeh.
Kemudian dari atas pohon waru tampak meluncur sesosok tubuh
Suara kerontangan itu
terdengar lagi beberapa kali. Di lain kejap orang yang meluncur sudah sampai di
tanah. Dia tegak membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat. Sikapnya
seolah-olah tidak melihat atau merasakan kehadiran kedua orang itu di tempat
tersebut.
Orang yang turun dari pohon
ini memegang sebuah kaleng rombeng di tangan kirinya sementara tangan kanan
memegang sebatang tongkat kayu. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari
bawah caping menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut
usia. Pakaiannya yang lusuh penuh tambalan. Orang ini gerakkan tangan kirinya
mengguncang kaleng rombeng. Kembali terdengar suara keras yang memekakkan
telinga. Di punggung orang bercaping ini ada setandan kecil pisang. Sebagian
diantaranya telah dipotesi. Jelas dialah tadi yang melempar Si Muka Mayat
dengan kulit pisang dua kali berturut-turut.
"Olala…ladalah….Anak
sekecil ini hendak dipateni. Apa salahnya!! apa dosanya! terde ngar orang
bercaping berkata. "Nak, mari kugendong. Lalu kau ikut aku…!" Orang
itu membungkuk. Ujung tongkat di tangan kanan-nya diselipkan dibawah pinggang
Rangga yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan ketakutan.
"Huuppp!" Orang
bercaping berseru.
Di lain saat Jalitanggor dan
Si Muka Mayat melihat bagaimana tubuh Rangga yang tadi terbujur di tanah kini
seperti terkait melesat ke atas dan bukk…jatuh tepat di atas bahu kiri orang
bercaping!
"Anak, kau tenanglah.
Jangan takut. Aku bukan orang jahat seperti dua kunyuk itu!" sitopi caping
berkata membujuk dan menenangkan Rangga yang dipanggulnya di bahu kiri. Lalu
sambil melangkah pergi membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat, orang ini
goyang-goyangkan tangan kirinya. Suara batu-batu dalam kaleng rombeng menggema
keras menusuk pendengaran.
Jalitanggor dan Si Muka Mayat
saling pandang. Sesaat kemudian keduanya melompat menghadang langkah si topi
caping.
8
BEGITU MELOMPAT KE HADAPAN
orang bercaping Si Muka Mayat langsung hantamkan tangan kanannya mengepruk
kepala sedang Jalitanggor membuat gerakan untuk merampas Rangga yang ada
dipanggulan bahu kiri. Sementara Rangga hanya bisa menyaksikan kejadian itu
dengan mata melotot. Entah mengapa, meskipun saat itu dia masih merasa takut
terhadap Jalitanggor dan Si Muka Mayat namun ada rasa terlindung berada dalam
panggulan orang bercaping itu. Tadi dia berusaha mengintip ke bawah caping
untuk melihat wajah orang itu. Dan dia ternyata melihat sesuatu yang aneh.
Si Muka Mayat yang tengah
lancarkan pukulan maut dan Jalitanggor yang hendak merampas Rangga mendadak
sontak hentikan gerakan masing-masing dan sama-sama mundur satu langkah. Di
hadapan mereka orang berpakaian tambalan tampak menggoyangkan kepalanya. Caping
bambu diatas kepalanya secara aneh tiba-tiba naik ke atas. Kelihatanlah kini
wajah orang itu. Ternyata dia adalah seorang kakek berambut kelabu. Tapi yang
anehnya ialah sepasang matanya seperti yang tadi diintip Rangga.
Kakek ini seperti tidak
memiliki bola mata hitam. Keseluruhan matanya berwarna putih. Dan saat itu dia
mendongak ke langit seperti memperhatikan sesuatu dengan matanya yang aneh itu.
"Bangsat tua ini buta
atau bagaimana….?" membatin Si Muka Mayat. Sementara Jalitanggor tegak
terkesima dan diam-diam merasa sangat tidak enak. Dia merasa lebih baik tidak
membuat urusan dengan orang tua aneh ini karena dia sudah menduga sejak semula
orang ini bukan manusia sembarangan. Tapi mengingat tugas yang diberikan
juragan Gandaboga padanya, mau tak mau anak bernama Rangga itu harus
dirampasnya, harus didapatkannya!
Sementara itu caping bambu
yang di kepala si kakek yang tadi secara aneh naik ke atas, perlahan-lahan kini
turun kembali.
"Pengemis busuk! Siapa
kau adanya?!" Si Muka Mayat membentak. Dia melihat keanehan tapi dia tidak
merasa takut. Selama ini dia telah nenyandang nama besar sebagai tokoh silat
yang ditakuti di wilayah selatan. Masakan terhadap kakek yang dianggapnya buta
dan tak lebih dari seorang pengemis tukang sulap ini dia harus merasa ngeri.
Si kakek tidak menjawab. Hanya
kaleng rombeng di tangan kirinya digoyang beberapa kali hingga mengeluarkan
suara berkerontangan keras dan membuat Si Muka Mayat dan Jalitanggor merasa
liang telinga masing-masing seperti ditusuk. Keduanya tersurut satu langkah.
"Rupanya harus kurobek
dulu mulutmu baru mau menjawab!" ujar Si Muka Mayat.
Si kakek kembali kerontangkan
kaleng rombengnya. Lalu terdengar suaranya: "Minggirlah kalian. Beri aku
jalan! Malam-malam begini mencari urusan! Bukankah lebih baik tidur?!"
Mendengar ucapan kakek ini
bukan saja Jalitanggor dan Si Muka Mayat, tapi Ranggapun sempat melengak
keheranan.
"Dasar buta tolol! Siang bolong
kau bilang malam!" merutuk Jalitanggor.
"Siapa yang tolol?!"
Si kakek tertawa mengekeh." "Aku tahu sekali saat ini memang siang
bolong. Kita berada di Lembah Batuireng. Kalian mengenakan pakaian merah.
Membawa dua ekor kuda coklat. Yang satu jongosnya juragan Gandaboga, satunya
lagi pentolan persilatan yang dari bau tubuhnya tak lama lagi akan jadi mayat!
Ha…ha..ha….Apakah aku tua bangka buta yang tolol?!"
Rangga yang ada di atas bahu
kiri si kakek jadi terlongong- longong. Bagaimana orang tua yang kelihatan buta
ini tahu begitu banyak? Atau mungkin dia hanya pura-pura buta? Di lain pihak
Jalitanggor dan Si Muka Mayat tampak berubah wajah masing-masing. Jalitanggor
kedipkan matanya pada kawannya. Lalu dia melangkah berputar ke belakang si
kakek. Si Muka Mayat membuka mulut, bicara bermanis-manis: "Ah kakek mata
putih, ternyata kau adalah kawan segolongan. Harap maafkan kalau tadi-tadi kami
bertindak kasar…."
Di sebelah Jalitanggor
bergerak semakin dekat. Tiba-tiba sekali kedua tangannya melesat ke depan untuk
menarik tubuh Rangga.
"Kek!" seru Rangga.
Tidak diberitahu seperti
itupun kakek buta itu bukanya tidak tahu apa yang terjadi. Tanpa menoleh, tanpa
beringsut dia pukulkan tongkat kecilnya ke belakang.
”Wutt!”
Terdengar pekik Jalitanggor.
Orang ini melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tampak mengelupas
panjang dan mengucurkan darah. Ujung tongkat si kakek bukan saja memukul tapi
secara aneh menggurat luka lengan itu!
Melihat kejadian ini Si Muka
Mayat tak dapat lagi menahan amarahnya. Didahului suara menggereng keras dia
melompat sambil lepaskan satu pukulan ke arah dada si kakek. Kembali orang tua
bercaping ini pergunakan tongkatnya untuk menangkis sementara tangan kirinya
mulai menggoyang kaleng rombengnya.
Si Muka Mayat yang tadi
menggebrak dengan pukulan ke arah dada secepat kilat tarik serangannya karena
memang hanya tipuan belaka. Disaat yang sama kaki kanannya melesat kirimkan
tendangan ke selangkangan si kakek sedang dari sebelah belakang Jalitanggor
yang masih dalam kesakitan ikut lancarkan serangan, menumbuk dengan kepalan
tangan kiri tapi yang diserangnya bukan si kakek, melainkan kepala Rangga.
Jelas dia hendak segera membunuh anak ini!
Kakek bercaping goyangkan
kalengnya seraya bergerak ke kiri. Kaki kanannya diajukan kemuka memalang di
depan tubuhnya sebelah bawah. Serentak dengan itu dia meliukkan pinggang dan
tangan kirinya menggebuk kesamping.
”Krontang!”
Kaleng dan batu berbunyi keras
disusul jeritan Jalitanggor karena kaleng rombeng itu menghantam pelipis
kirinya dengan keras. Darah mengucur. Tubuhnya sempoyongan hampir jatuh kalau
tidak cepat-cepat menyandarkan diri ke batang pohon waru.
"Keparat bangsat rendah.
Kucincang tubuhmu!" menggembor marah Jalitanggor. Seumur-umur baru sekali
ini dia menghadapi lawan yang mampu menciderainya dalam dua satu-dua gebrakan
saja. Maka dari balik pakaian merahnya diapun menghunus golok besarnya.
Di sebelah depan Si Muka Mayat
yang melihat kuda-kuda si kakek kini hanya bertumpu pada kaki kiri,
tendangannya yang tadi mengarah ke selangkangan kini dirubah dan diarahkan ke
kaki kiri lawan.
Saat itu kakek bercaping
tengah memusatkan perhatian pada serangan golok Jalitanggor yang datang
membabat dari belakang. Menyangka tendangan Si Muka Mayat tetap mengarah
selangkangannya yang sudah terjaga, maka dia biarkan saja serangan itu.
Ternyata kaki Si Muka Mayat kini mencari sasaran di kaki kiri yang dijadikannya
kuda-kuda. Tak mungkin baginya untuk merunduk atau melompat guna menghindari
serangan Si Muka Mayat karena besar bahayanya tabasan golok Jalitanggor akan
menghantam punggungnya bahkan mungkin mengenai kepala anak yang ada di bahu
kirinya.
”Bukk!”
Kaki kiri si kakek terangkat
ke atas begitu tendangan Si Muka Mayat mengenai sasarannya. Tak ampun lagi
kakek itu jatuh terduduk ditanah. Di saat itu pula tabasan golok datang. Dan
betul seperti dugaannya. Senjata maut itu berkelebat ke arah batok kepala
Rangga!
Kakek bercaping cepat
hantamkan tongkatnya ke belakang. Tapi dari depan lagi-lagi Si Muka Mayat
kirimkan tendangan. Kali ini mengarah tangan kanannya seperti sengaja agar dia
tidak bisa menangkis tabasan golok Jalitanggor. Mau tak mau orang tua itu
dengan cepat pergunakan tangan kirinya yang memegang kaleng untuk menangkis!
”Trang!”
Kaleng dan tongkat beradu
keras. Si kakek merasakan tangannya perih. Bagian kaleng yang robek terkena
hantaman golok melukai pinggiran telapak tangannya. Kaleng rombeng itu terlepas
dari pegangannya dan terguling di tanah tapi kepala Rangga selamat dari tabasan
golok maut. Sebaliknya golok Jalitanggor secara aneh tampak menjadi bengkok
seperti sepotong kawat yang kena ditekuk! Selagi dia kebingungan melihat
keadaan goloknya itu, satu tepukan menghantam paha kirinya. Terjadilah hal yang
luar biasa!
Tukang pukul juragan Gandaboga
itu merasa seolah-olah kaki kirinya telah berubah menjadi sebuah batu besar
yang luar biasa beratnya. Demikian beratnya hingga dia tidak mampu
menggerakkannya. Dan sebelah kaki itu laksana tertanam ke dalam tanah!
Di sebelah depan, Si Muka
Mayat Dari Goa Ular mendapat bagian yang tak kalah "sedapnya". Begitu
melihat kaki lawan menendang dan mengacaukan gerakannya untuk menangkis, kakek
bercaping yang telah pergunakan kaleng di tangan kiri untuk menangkis, kini
susupkan ujung tongkat kedepan. Secara aneh ujung tongkat ini menggurat diatas
permukaan telepak kaki kanan Si Muka Mayat. Serta merta saja saat itu orang ini
merasakan rasa geli seperti digelitik terus-terusan. Demikian hebatnya rasa
geli itu hingga dia menjatuhkan diri di tanah sambil pegangi kaki dan menjerit-
jerit. Digaruknya telapak kakinya, dipencetnya bahkan ditotoknya namun rasa
geli itu bukannya lenyap atau berkurang malah semakin menjadi-jadi. Si Muka
Mayat berguling-guling di tanah sambil tiada hentinya menjerit kegelian.
Selangkangan celananya kelihatan basah tanda orang ini telah kencing alias
ngompol habis-habisan! Perlahan-lahan kakek bercaping bangkit berdiri.
"’Sayang aku masih punya
pantangan untuk tidak boleh mencelakai orang secara keterlaluan! Kalau tidak
kalian berdua akan lebih babak belur lagi dari ini!"
Lalu kakek bercaping itu putar
tubuhnya tinggalkan tempat itu.
"Kek… kalengmu
ketinggalan!" tiba-tiba Rangga mengingatkan.
Si kakek tersenyum dan usap
kepala anak itu.
"Biarkan saja. Cuma
kaleng rombeng! Nanti kita buat lagi yang baru katanya.
"Kek, aku bisa jalan
sendiri. Sebaiknya aku turun saja… Tak perlu dipanggul seperti ini!" kata
Rangga pula. Sebelum si kakek menjawab dia sudah meluncur turun.
"Anak baik… anak bagus!
Melangkahlah terus di depan. Aku akan mengikuti…"
"Kek… Matamu putih semua.
Apakah kau buta atau bagaimana? Tapi mengapa bisa tahu keadaan sekelilingmu
…?"
Orang tua itu tertawa lebar.
"Itulah satu rahasia Tuhan yang aku tidak bisa menjawabnya, Rangga…"
"Eh, bagaimana kau bisa
tahu namaku kek?" tanya Rangga heran. "Siapa sih kau
sebenarnya?"
"Aku tidak punya nama.
Banyak yang menyebutku pengemis, tukang minta-minta. Ada yang bilang aku ini
tukang pijat. Ha … ha . ha ..! Tapi aku adalah aku. Kakek Segala Tahu Ha …
ha..ha.
***
9
KUDA YANG DITUNGGANGINYA
berwarna hitam. Si penunggang mengenakan pakaian serba putih, memberikan satu
pemandangan yang kontras. Apalagi orang muda itu memiliki pula kulit bulai yang
kemerahan tersengat sinar matahari.
Ketika dia memasuki dukuh
Sawahlontar hari itu kebetulan hari pasar. Kemunculannya menarik perhatian
semua orang yang ada di pasar di ujung kampung itu. Mulut berbisik satu sama
lain. Gunjing dan cerita bertebaran.
Seorang pedagang sayur
berkata: "Jika keponakan almarhum Randuwonto bernama Padanaran itu masih
hidup, kira-kira dia seperti dan seusia anak muda penunggang kuda yang lewat
tadi!"
"Siapa tahu dia memang
Padanaran, keponakan Randuwonto yang lenyap hampir sepuluh tahun silam …"
ikut bicara pedagang yang lain disamping pedagang sayur tadi.
"Dari pada menduga tidak
karuan, mengapa tidak ada yang mengikutinya, mencari tahu kemana dia
menuju?!" seorang pedagang dipasar berkata.
"Eh, betul juga
katamu!" membenarkan pedagang ikan. Lalu bersama beberapa orang kawannya
dia berlarilari kecil ke jurusan yang tadi ditempuh pemuda bulai berkuda
hitam.
Sementara itu si penunggang
kuda telah sampai dihadapan sebuah rumah yang tak pantas lagi disebut rumah,
tetapi merupakan sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Dinding dan atapnya
penuh lubang.
Penunggang kuda itu sesaat
menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. "Kenapa jadi sepi dan begini
rupa keadaannya? Kelihatannya rumah ini tidak didiami …" Perlahan-lahan
pemuda ini turun dari kudanya. Melangkah ke arah pintu yang tertutup. Tiga
langkah dari hadapan pintu gubuk dia berseru.
"Paman ! Bibi…! Rangga!
Kalian ada didalam…?!"
Tak ada sahutan. Pemuda
berkulit bulai itu merasa tidak enak. Dia hendak berseru memanggil sekali lagi
ketika tiba-tiba dilihatnya pintu gubug perlahan-lahan terbuka mengeluarkan
suara berkereketan. Lalu satu sosok tubuh perempuan berpakaian sangat lusuh dan
banyak robeknya muncul di ambang pintu. Perempuan ini lebih tua dari usia
sebenarnya.
Tubuhnya kurus tinggal kulit
pembalut tulang. Rambutnya yang tidak tersisir dan banyak uban tergerai lepas
acak-acakan.
Kedua matanya menatap sayu ke
arah pemuda, dihadapannya sedang keningnya tampak mengerenyit. Keadaan
perempuan ini tidak ubah seperti pengemis. Bola mata kelabu pemuda berkulit
bulai tampak seperti membesar. Benarkah ini? Benarkah apa yang disaksikan saat
itu?!
"Bibi! Kaukah ini
bibi….?!"
Kerenyit di kening perempuan
itu tampak semakin banyak. Kedua matanya yang tadi menatap kuyu kini kelihatan
membesar. Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar "Padanaran….! Tidak salahkah
penglihatan dan dugaanku…?"
Digosoknya kedua matanya
berulang-ulang.
"Padanaran… Benar kau ini
yang datang nak?"
"Bibi!" Pemuda bulai
itu langsung menghambur dan jatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan di
ambang pintu sambil pegangi kedua kakinya.
Perempuan itu meraung lalu
jatuhkan diri dan peluk erat-erat tubuh si pemuda. Padanaran….Kau kembali juga
akhirnya. Kemana kau selama sepuluh tahun ini…Kau menghilang dan tahu-tahu
sudah sebesar ini…."
"Kemana saya akan saya
ceritakan nanti, bi. Katakan dulu mana paman dan adik saya Rangga…"
Mendengar pertanyaan itu
perempuan berpakaian lusuh dan robek-robek itu kembali meraung. Si pemuda
membimbingnya lalu membawanya masuk ke dalam gubug. Sampai di dalam dia
saksikan sendiri perubahan keadaan rumah itu dengan sepuluh tahun yang lalu.
Satu-satunya benda yang ada di dalam gubug itu hanyalah sebuah balai-balai kayu
tanpa tikar maupun bantal. Si pemuda mendudukan bibi nya di atas balai-balai
itu. Diantara sesenggukannya perempuan itu tanpa diminta kini memberikan
penjelasan tentang suaminya dan puteranya bernama Rangga.
"Manusia biadab!"
gertak pemuda bulai yang memang Padanaran adanya. "Paman Randuwonto
dibunuhnya. Pasti dia juga yang jadi biang keladi penculikan Rangga untuk
menghilangkan jejak. Gara- gara kau juga bibi sampai terlantar begini!
Gandaboga manusia iblis! Aku bersumpah membunuhmu membalaskan sakit hati
paman….!" Padanaran terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya perlahan:
"Rangga adikku…Dimana
gerangan kau berada…."
"Sepuluh tahun telah
berlalu Padanaran. Bibi merasa anak itu tidak hidup lagi…" berkata ibu
Rangga.
Dari dalam saku pakaiannya
pemuda itu keluarkan sebuah benda. Diciumnya benda itu beberapa kali. Lalu
diperlihatkannya pada ibu Rangga.
"Apa itu
Padanaran…?" bertanya ibu Rangga. "Mataku tidak awas lagi sejak
beberapa tahun ini…"
"Burung-burungan dari
batu bi. Rangga yang membuatnya. Dia memberikannya pada saya waktu pergi
sepuluh tahun lalu …"
Perempuan itu mengusap
burung-burungan batu itu dengan air mata berlinangan.
"Bibi… Izinkan saya pergi
”
"Kau mau kemana
Padanaran?"
"Mencari juragan
Gandaboga! Saya harus membalaskan sakit hati paman
"Selama hidupnya pamanmu
tidak bersikap baik terhadapmu. Tak perlu kau memikirkan membalaskan segala
rasa sakit hati. Lagi pula Gandaboga bukan seorang juragan lagi sekarang ini.
Dia tidak lagi tinggal di dukuh Sawahlontar ini
"Apa maksud bibi dia
tidak jadi juragan lagi? Dimana manusia iblis itu berada seka rang.?! Kemanapun
dia pergi akan saya cari!"
Ibu Rangga gelengkan kepala
dan usut air matanya.
"Juragan Gandaboga telah
diangkat jadi Adipati Karanganyar sejak dua tahun lalu. Semua ladang dan
ternaknya diurus oleh kepala desa Suto Kenongo. Ketika Suto Kenongo dipanggil
ke Karanganyar untuk jadi pembantu Gandaboga, anaknya Suradadi menggantikannya
sebagai kepala desa…"
"Suradadi..," desis
Padanaran. "Anak nakal yang sering mencelakaiku …" Padanaran
berpaling pada bibinya lalu berkata: "Bibi…, saya berangkat ke Karanganyar
sekarang juga!"
"Jangan Padanaran ….
Jangan! Berbahaya bagi keselamatan dirimu jika kau berani mencari perkara
dengan Adipati Gandaboga
"Bibi tak usah kawatir.
Hukum dan kebenaran harus ditegakkan," jawab Padanaran. Lalu pemuda ini
menyerahkan sekeping perak dan digenggamkannya ke tangan bibinya.
"Pergunakan untuk
keperluan bibi. Kalau urusan saya selesai, saya akan menjenguk bibi lagi disini
"Jangan pergi Padanaran …
Jangan pergi nak
Padanaran balikkan tubuhnya.
Dia lalu melangkah kepintu. Satu langkah di luar rumah pemuda ini hentikan
langkahnya. Di pekarangan rumah hampir sepuluh orang dilihatnyat berkerumun
seperti memang sengaja menunggu dirinya.
"Pemuda bulai!"
tiba-tiba salah seorang dari yang berkerumun menegur. "Dulu di kampung
kami ini ada seorang anak bulai bernama Padanaran. Dia lenyap sepuluh tahun
silam. Kalau dia masih hidup kira-kira seusiamu. Harap maafkan kalau kami
bertanya, apakah kau Padanaran? Kami merasa yakin kau memang Padanaran. Karena
dulu dia tinggal di rumah ini!"
"Katakan apa kalian
bermaksud baik atau jahat terhadapnya?!" bertanya Padanaran.
"Ah… Kalau mengenang masa
kecil memang banyak diantara kami yang nakal dan sering menggangumu. Tapi kini
sudah sama-sama besar begini persahabatanlah yang kami cari menjawab salah
seorang dari orang-
orang yang mengerumuni si
bule.
"Kalau begitu jawabmu,
aku memang Padanaran!"
Mendengar kata-kata Padanaran
itu maka orang banyak lalu mendatanginya. Ada yang menyalami, ada
yang merangkul dan ada yang
menepuk-nepuk bahunya.
‘Kau jadi pemuda gagah
sekarang Padanaran. Punya kuda bagus lagi
"Aku tidak berubah.
Buktinya kulitku tetap bule, mataku kelabu dan rambutku pirang!"
Orang-orang yang ada disitu
tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Padanaran.
"Sahabat-sahabat… Aku
terpaksa meninggalkan kalian. Nanti aku pasti kembali ke kampung kita
ini!"
"Ah, kau kelihatan tergesa-gesa.
Ada urusan apa rupanya Padanaran?" bertanya lelaki disebelah kanan.
"Aku harus berangkat ke
Karanganyar untuk mencari bekas juragan Gandaboga yang sekarang katanya
telah jadi Adipati
"Ah Gandaboga,"
berkata seorang pemuda yang di pasar berjualan daging, kawan sepermainan
Padanaran di masa kecil walau tidak akrab. "Dia sekarang jadi Adipati,
jadi orang hebat, berkuasa dan tambah kaya. Dulu dia tinggal disini. Tapi
setelah jadi Adipati apa yang diperbuatnya untuk kampung kita? Malah dia
menaikkan pajak hasil
pertanian dan peternakan. Kaki tangannya sering mundar mandir memeras penduduk
"Apakah pembantunya yang
bernama Jalitanggor itu masih ikut bersamanya?" tanya Padanaran.
"Masih dan dia yang jadi
momok penduduk nomor satu. Jahat dan kejam. Dia berkomplot dengan kepala
desa, memeras rakyat,
mengganggu istri dan anak gadis orang
"Tapi bukankah kepala
desa disini sekarang adalah Suradadi, anak kampung asli dukuh Sawahlontar?
Masakah dia sejahat itu ….?"
Karena melihat tak ada yang
berani memberikan jawaban maka Padanaran kembali berkata: "Para sahabat
aku minta diri dulu, harus
segera ke Karanganyar mencari Adipati itu ….!"
Baru saja Padanaran berkata
begitu, satu suara bertanya dengan nada kasar dan merendahkan.
"Ada keperluan apa seorang
pemuda bule jelek mencari Adipati Karanganyar Gandaboga?!"
10
ORANG-ORANG YANG MENGERUMUNI
Padanaran berpaling. Mengetahui siapa yang barusan datang ke tempat itu mereka
semua bersurut mundur dan berpencar. Padanaran sendiri melihat seorang pemuda
sebayanya, berpakian bagus duduk diatas seekor kuda coklat belang putih.
Tampangnya keren tapi jelas memasang mimik merendahkan. Senyumnya bukan dari
hati yang bersih tapi penuh ejekan.
Padanaran mengingat-ingat. Dia
rasa-rasa mengenali wajah pemuda itu. Ah, benarkah dia…? Terakhir sekali dia
melihat orang ini sepuluh tahun lalu, dimasa kanak-kanaknya. Terbayang kejadian
itu di mata Padanaran. Ketika dia dilemparkan kedalam kubangan tahi kuda.
"Memang dia… Tak salah
lagi. Hemm …Lagaknya keren amat, tapi tidak mencerminkan seorang kepala desa
yang berwibawa, melindungi dan membina penduduknya
"Suradadi! Apa kau tak
kenal lagi siapa aku…?!" tegur Padanaran sambil tersenyum polos. Suradadi,
putera Suto Kenongo yang sekarang menjadi kepala desa di usianya yang sangat
muda sunggingkan seringai lalu angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
"Tentu saja aku ingat dan
kenal dirimu bule! Bukankah kau anak yang dilahirkan dari seorang ayah
keturunan hantu bulai yang lenyap sepuluh tahun lalu dan tahu-tahu kini muncul
eh masih saja tetap berkulit bulai, bermata kelabu dan berambut pirang! Ha … ha
… ha ..!" Suradadi tertawa gelak-gelak di atas kudanya.
Orang banyak merasa tidak enak
mendengar ucapan Suradadi itu. Baru saja bertemu mengapa bicara menghina
seperti itu? Semua kenakalan dimasa kecil mengapa diungkap dan diulang lagi
begitu rupa?
Tapi Padanaran sendiri
tenang-tenang saja malah sambil tersenyum dia menjawab.
"Diriku memang tidak
berubah Suradadi. Tapi kampung dan desa kita ini mengalami banyak
perubahan!"
"Kau betul! Dukuh
Sawahlontar ini kini lebih maju, penduduknya lebih makmur! Semua itu karena aku
yang jadi kepala desa sekarang!" Suradadi berkata sambil tudingkan ibu
jari tangan kanannya ke dada.
Orang banyak yang ada disitu
sama memaki dalam hati. "Kepala desa jahanam! Kerjamu hanya memeras
penduduk, mempermainkan anak istri orang!"
"Padanaran, kemunculanmu
mencurigakan ….!"
"Mencurigakan bagaimana
maksudmu?!" tanya Padanaran tidak mengerti.
"Kau tadi kudengar
berkata akan pergi ke Karanganyar mencari Adipati Gandaboga. Katakan apa
urusanmu?!"
"Urusanku adalah
urusanku. Karenanya aku tidak akan menjawab pertanyaanmu, Suradadi!"
"Heh! Kau tahu tengah
berhadapan dengan siapa bule jelek hina dina?!" bentak Suradadi.
"Aku tahu, aku tengah
berhadapan dengan seorang kepala desa!"
"Bagus! Dulu saja masih
anak-anak aku tidak memandangmu sebelah mata. Apalagi kini sebagai kepala desa!
Kau tak lebih dari kotoran kuda busuk! Karenanya harus tahu diri dan jangan
berani bicara seenak utilmu!" (util = perut)
"Suradadi, kita semua
manusia biasa. Kebetulan saja kau jadi kepala desa. Jabatan yang mungkin kau
dapat oleh pengangkatan, bukan pilihan penduduk. Kau layak bertanya, aku punya
hak tidak menjawab!"
Habis berkata begitu Padanaran
berpaling pada orang banyak dan berkata: "Para sahabat, aku pergi
sekarang. Lain hari kita bertemu lagi
Merasa dilecehkan dan dihina
dihadapan orang banyak Suradadi majukan kudanya tiga langkah lalu kakinya
menendang ke arah dada Padanaran.
Seperti diketahui sepuluh
tahun lalu Padanaran diambil oleh Nenek Hantu Bulai. Selama sepuluh tahun dia
digembleng oleh nenek sakti itu. Kepandaiannya kini bukan sembarangan.
Sebaliknya Suradadi juga telah menguasai bermacam-macam ilmu silat. Namun semua
lebih banyak pada ilmu silat luar saja. Tenaga dalam boleh dikatakan dia tidak
memiliki. Walaupun begitu karena terlatih ber- tahun-tahun, tendangan maupun
pukulannya bisa mencelakakan bahkan mendatangkan maut bagi siapa saja yang
diserangnya. Tendangan kaki kanannya tadi, kalau sempat melabrak dada Padanaran
pasti tulang dadanya akan amblas, jantungnya akan melesak dan maut tak bisa
dihindarkan lagi.
Dengan bergerak sedikit ke
samping, Padanaran ulurkan tangan lalu tangkap pergelangan kaki kanan Suradadi.
Dapatkan dirinya hendak didorong jatuh, Suradadi lekas hantamkan tangan
kanannya ke batok kepala Padanaran. Yang dihantam rundukkan kepala. Pukulan
Suradadi mengenai tempat kosong. Tubuhnya terhuyung kemuka. Ditambah dengan
sentakan yang dilakukan Padanaran pada kaki kanannya yang masih dicekalnya, tak
ampun lagi Suradadi mental ke atas, jungkir balik di udara tapi ketika jatuh
dia terkejut. Dia tidak jatuh di tanah tetapi jatuh dalam pelukan sesosok tubuh
berpakian putih, yang menggendongnya demikian rupa seperti menggendong anak
orok!
Padanaran dan semua orang yang
ada disitu juga terheran-heran. Mereka sama sekali tidak melihat kapan
munculnya pemuda itu, tahu-tahu dia sudah muncul disitu dan menggendong kepala
desa Suradadi secara lucu seperti menggendong bayi!
Pemuda tak dikenal itu berpakaian
serba putih, berikat kepala putih, berambut gondrong dan cengar-cengir
seenaknya. Meski semua orang terheran-heran, namun dalam hati mereka, termasuk
juga Padanaran, diamdiam bertanya-tanya, jangan-jangan pemuda tak dikenal ini
adalah kawan si kepala desa.
Yang paling merasa heran
tentunya adalah Suradadi sendiri. Dia sudah bersiap-siap untuk memasang
kudakuda begitu jatuh di tanah, tapi tahu-tahu ada yang memeluk dan
menggendong tubuhnya.
Sambil menggeliat dan memutar
kepala dia membentak : "Keparat, siapa kau yang memperhinakanku seperti
anak kecil?!"
Orang yang dibentak keluarkan
siulan lalu menyeringai. "Kalau memang kau tidak sudi ditolong ya silahkan
saja jatuh ke tanah!" Lalu pemuda berambut gondrong itu lepaskan
gendongannya. Tapi dia tidak hanya sekedar melepaskan saja. Karena sambil
menjatuhkan dia juga kerahkan tenaga dalam hingga tubuh Suradadi bukan jatuh
biasa tapi seperti dihempaskan!
Kepala desa yang masih muda
itu terpekik kesakitan ketika punggungnya menghantam tanah. Tulang belakangnya
serasa remuk, pemandangannya berkunang karena belakang kepalanya membentur
tanah. Sesaat dia diam tak berkutik sambil pejamkan mata. Tapi tiba- tiba
didahului satu bentakan keras, Suradadi melompat berdiri. Begitu berdiri
tangannya kiri kanan langsung menggebuk. Luar biasa sekali gerakan memukul
pemuda ini. Dalam waktu sekejapan enam hantaman tangan kiri kanan melabrak dada
si gondrong berbaju putih!
Anehnya yang dipukul tetap
saja tegak tak bergeming. Hal ini membuat Suradadi menjadi marah. Jotosanjotosannya
diteruskan bertubi-ubi. Yang dipukul masih tetap tenang-tenang saja, malah
tegak sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala! Sewaktu Suradadi mulai
mengarahkan pukulan kemukanya, barulah si gondrong itu membuat gerakan
berkelit. Dibarengi dengan gerakan tangan kanan dan buuk! Tinju kanannya
sengaja dihantamkan ke tinju kanan Suradadi.
Untuk kesekian kalinya kepala
desa itu terpekik. Dia melangkah mundur sambil pegangi tangan kanan. Ketika
diteliti ternyata dua jarinya patah, bagian tangan lainnya lecet merah!
Apa yang dialaminya bukan
membuat Suradadi sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar
cabang atas, tapi kepala desa itu justru diamuk hawa amarah.
Sreett!
Suradadi cabut sebilah golok,
langsung menyerbu si gondrong dengan senjata itu. Serangan Suradadi tampak
dahsyat. Golok menderu kian kemari, membacok dan membabat serta menusuk. Tapi
itu hanya satu jurus saja. Memasuki jurus kedua Suradadi berseru kaget. Semua
orang menyaksikan bagaimana pemuda gondrong dengan gerakan terhuyung-huyung
seperti orang mabuk tiba-tiba saja ulurkan tangan kanan dan tahu-tahu golok di
tangan Suradadi kena dirampasnya. Begitu cepatnya gerakan si gondrong sehingga
Suradadi tidak sempat lagi melihat bagaimana golok itu diputar dan gagangnya
kemudian dipukulkan kejidatnya!
Suradadi menjerit. Keningnya
benjut dan luka. Darah mengucur.
"Bangsat! Bangsat!"
teriak Suradadi beringas. Kedua matanya mendelik dan tampak merah. Mulutnya
komat kamit seperti orang membaca mantera. Tiba-tiba tangan kirinya tampak
sudah memegang sebilah pisau berwarna hitam yang memancarkan sinar redup.
Dengan senjata di tangan dia menyerbu si gondrong Saat itulah Padanaran masuk
ke dalam kalangan perkelahian seraya berseru: "Suradadi, hentikan
perkelahian ini. Ingat diri, jangan kalap. Kau bisa celaka!"
"Setan! Kau yang bakal
celaka duluan! Semua ini gara-gara kamu! Mampuslah!" Suradadi tikamkan
pisau hitamnya ke perut Padanaran. Pemuda bulai ini merasakan ada angin yang
menyerang mendahului sebelum pisau itu menyambar. Ini satu pertanda bahwa
senjata itu ada isinya. Dengan cepat Padanaran bergerak berkelit. Dari samping
dia coba memukul sambungan siku Suradadi agar senjatanya terlepas. Tapi
Suradadi membalik tak terduga dan kini pisaunya itu menusuk ke arah leher
Padanaran!
Murid Nenek Hantu Bulai itu
kertakkan rahang. Dia berseru keras dan keluarkan jurus ke-empat dari ilmu
silat yang diajarkan gurunya. Kedua lututnya menekuk. Kedua tangannya melesat
ke atas. Satu menangkis serangan pisau, satunya lagi memukul ke arah ulu hati lawan.
Inilah jurus yang oleh gurunya disebut dengan nama "macan putih keluar
dari liang makam"
Dukkk!
Pisau di tangan kiri Suradadi
mental ketika tangan kanan Padanaran menghantam tepat pergelangannya.
Bukkkk!
Suradadi terpental, terkapar
ditanah sambil merintih-rtntih. Ada darah mengalir disela bibirnya. Padanaran
dekati pemuda ini. Ketika kemarahannya mengendur, ada rasa kasihan dalam hati
pemuda ini. Dia ulurkan tangan untuk bantu membangunkan Suradadi, tapi Suradadi
sendiri tidak disangka-sangka tiba-tiba melepaskan satu tendangan keras ke arah
selangkangan Padanaran. Jika pemuda bulai ini tidak sanggup selamatkan diri
maka tendangan itu akan membuatnya meregang nyawa, paling tidak cacat
seumur-umur.
Padanaran bukan tidak punya
kesempatan untuk menangkis atau mengelakkan serangan ganas itu, tapi si
gondrong yang sangat marah melihat kelicikan kepala desa itu langsung saja
menggebrak. Tubuhnya melayang setinggi lutut. Kaki kirinya melesat.
Bukkk!
Suradadi menjerit keras.
Tubuhnya terguling enam langkah. Dan semua orang melihat bagaimana pergelangan
kaki kanan kepala desa itu patah tulangnya. Kaki itu kini terkulai
tergontai-gontai!
"Padanaran kalau kau
ingin ke Karanganyar lekas pergi sekarang. Biarkan kepala desa sontoloyo itu
aku yang mengurusnya. Ada tiga orang tua di tiga desa yang menginginkan
kepalanya karena dia telah merusak anak gadis mereka!"
"Saudara… Kau mengenal
namaku. Kau menolong aku dalam urusanku. Siapakah dirimu yang begitu baik
ini…?" bertanya Padanaran.
Yang ditanya garuk-garuk
kepala."’Namaku Wiro Sableng. Aku hanya menjalankan pesan gurumu …."
"Heh, kau kenal
guruku?!"
Si gondrong mengangguk.
"Pergilah. Aku akan menyeret Suradadi ke hadapan tiga keluarga itu untuk
mempertanggung jawabkan kebejatannya
"Hati-hati saudara …. Kudengar
ayahnya tangan kanan Adipati Karanganyar
Pendekar 212 murid Sinto
Gendeng dari gunung Gede tersenyum. "Jika kau tidak takut pada Adipati dan
pembantu-pembantunya itu, apakah berarti aku harus takut….?"
Lalu Wiro melangkah ke tempat
Suradadi terkapar. Dijambaknya leher pakaian kepala desa ini lalu diseretnya
sepanjang jalan!
11
HALAMAN BELAKANG GEDUNG
Kadipaten Karanganyar yang luas dihias berbagai macam arca batu dan dipagar
dengan tembok setinggi tiga tombak agaknya bakal menjadi tempat pembantaian
bagi pemuda berpakaian biru penuh tambalan, mengenakan caping bambu. Di tangan
kirinya dia memegang sebuah kaleng rombeng sedang di tangan kanannya memegang
sebatang tongkat kayu.
Saat itu pakaian pemuda baju
biru tampak robek-robek, kulitnya luka-luka di beberapa bagian. Mata kirinya
lebam sedang bibirnya sebelah bawah pecah mengucurkan darah. Tapi caping
bambunya masih bertengger di kepalanya seolah-olah dipantek tak bisa lepas.
Pemuda baju biru ini bertahan
mati-matian terhadap keroyokan tiga orang penyerang. Yang pertama adalah
Jalitanggor, lelaki bertampang menyeramkan dengan tubuh tinggi besar dan
memegang sebilah golok. Orang kedua seorang lelaki berpipi dan bermata cekung
yang bukan lain adalah Si Muka Mayat Dari Goa Kapala Ular. Pengeroyok ketiga
seorang pemuda bertampang keren yang dari luar tampak halus budi pekertinya
tapi ternyata berhati sekejam iblis. Dia bernama Manik Tunggal, pemuda yang
konon kabarnya telah dijodohkan dan dicalonkan untuk jadi suami Tarini, anak
perempuan Gandaboga. Meskipun baru berusia 23 tahun tapi ternyata dia telah
memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, melebihi yang dimiliki
Jalitanggor. Seperti Si Muka Mayat, Manik Tunggal hanya mengandalkan tangan
kosong sedang Jalitanggor bersenjatakan golok.
Pemuda bercaping menghadapi
pengeroyok sambil tiada henti menggoyangkan kaleng rombengnya hingga terdengar
suara berkerontangan. Ilmu silat yang dimainkannya dengan mengandalkan tongkat
kayu di tangan kanan dan sesekali menghantam dengan kaleng rombengnya merupakan
ilmu silat yang langka. Namun agaknya dia hanya memiliki tiga jurus yang selalu
diulang-ulangnya dalam mengahadapi para pengeroyok hingga ketiga orang itu
berhasil mengetahui kelemahannya dan setelah berkelahi lebih dari dua puluh
jurus, meski sempat melukai bagian dada Jalitanggor namun akhirnya pemuda
bercaping itu terdesak hebat. Siapakah adanya pemuda ini?
Menjelang pagi empat pengawal
di gedung Kadipaten itu memergoki seorang pemuda berbaju biru yang menyusup
tengah mencari kamar tidur Adipati Gandaboga. Terjadi perkelahian kilat. Tiga
pengawal roboh mandi darah dimakan ujung tongkat dan hantaman kaleng rombeng si
pemuda. Tapi pengawal ke empat berhasil membangunkan penghuni gedung lainnya.
Maka Si Muka Mayat, Jalitanggor dan Manik Tunggal yang kebetulan menginap di
tempat itu segera keluar dari kamar masing-masing, mengurung pemuda bercaping
dan langsung mengeroyok.
Ketika perkelahian berkecamuk
sepuluh jurus, Adipati Gandaboga keluar dari kamar tidurnya diiringi seorang
gadis jelita berbadan sintal yang jadi gendaknya sejak satu bulan belakangan
ini. Bersama mereka mengiringi seorang kakek berpakaian merah gombrong yang
dipinggangnya melilit sebuah ikat pinggang penuh disisipi pisau-pisau kecil
tipis berjumlah seratus pisau. Dia dikenal dengan julukan Pisau Gergaji Terbang
karena pisaunya berbentuk mata gergaji pada kedua sisinya yang tajam.
Disamping si kakek melangkah
seorang nenek bermuka panjang yang selalu tertawa-tawa seperti orang kurang
ingatan. Perempuan tua ini konon adalah kekasih si Pisau Gergaji Terbang yang
telah hidup bersama selama tiga puluh tahun tanpa kawin syah. Dia dikenal
dengan julukan Sepasang Lengan Iblis karena memiliki sepasang tangan berwarna
hitam yang tak mempan senjata tajam dan mengandung racun pembunuh! Bersama
dengan Si Muka Mayat kedua tua bangka kekasih inilah yang mendatangi tempat
kediaman Nenek Hantu Bulai atas perintah Gandaboga, membokong nenek sakti itu,
menggebuknya babak belur lalu menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah.
Ke empat orang ini melangkah
menuju bangku panjang terbuat dari batu yang terletak dekat taman di ujung kiri
halaman belakang. Gandaboga duduk sambil memangku gendaknya sedang kakek -nenek
itu duduk disampingnya sambil berpegang-pegangan tangan. Mereka duduk menonton
perkelahian tiga lawan satu itu.
Saat itu pemuda bercaping
sudah terdesak hebat di sudut kanan tembok. Tongkatnya sudah kutung dibabat
golok Jalitanggor sementara Si Muka Mayat dan Manik Tunggal kirimkan serangan
menggebu tiada putus-putusnya. Tiba-tiba pemuda yang jadi bulan-bulanan
pengeroyokan itu berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas.
Breet!
Cakaran tangan Si Muka Mayat
merobek dada pakaiannya. Kulit dada pemuda baju biru ikut terluka. Dari sebelah
belakang Manik Tunggal kirimkan satu pukulan ke arah punggung, tapi masih dapat
dikelit hingga hanya mengenai pinggul. Dalam keadaan seperti itu pemuda baju
biru masih sempat loloskan diri dari kepungan dan lari ke arah Adipati dan
gendaknya duduk berpangku-pangkuan.
Pisau Gergaji Terbang dan
Sepasang Lengan Iblis cepat berdiri dan menyongsong kedatangan si pemuda sambil
siapkan penyerangan. Tapi Adipati Gandaboga mengangkat tangannya dan berkata:
"Biarkan saja! Cecunguk ini seperti hendak mengatakan sesuatu! Hai monyet!
Lekas buka mulutmu! Katakan siapa dirimu dan apa maksudmu berani menyusup ke
gedung Kadipaten!"
Si baju biru meludah ke tanah.
Lalu perlahan-lahan buka caping bambunya. Sepasang matanya memandang tak
berkesip ke arah Adipati Karanganyar itu penuh kebencian. Mulutnya yang
berdarah membuka.
"Manusia durjana! Kau
mungkin tidak kenal lagi siapa diriku! Tapi aku tidak pernah melupakan tampang
biadabmu!"
"Bangsat rendah! Berani
kau bicara kurang ajar terhadap Adipati!" teriak Jalitanggor. Berbarengan
dengan Manik Tunggal dia melompat hendak menerkam si baju biru. Tapi lagi-lagi
Gandaboga mengangkat tangan dan berseru. "Biarkan saja! Ajalnya tak akan
lama! Kalian bisa mencincang tubuhnya sebentar lagi sampai puas. Tapi biarkan
dia menceloteh dulu! Aku ingin dengar kelanjutan bicaranya! Ayo kunyuk! Teruskan
bicaramu! Katakan siapa dirimu!"
"Aku Rangga. Putera
Randuwonto yang kau bunuh di pekuburan Jatiwaleh sepuluh tahun silam! Kau juga
yang merencanakan penculikan atas diriku karena aku satu-satunya saksi hidup
yang melihat pembunuhan atas diri ayahku!"
"Ah! Monyet sialan ini
ternyata anak kampung Sawahlontar bernama Rangga! Sepuluh tahun lalu kau lolos
dari kematian, mengapa bertindak tolol dan datang sendiri mengantarkan
jiwa?!" ujar Gandaboga. Dia bicara sambil mengusap-usap dada gadis yang
duduk dipangkuannya.
Pemuda baju biru meludah
ketanah. Mengenakan capingnya kembali lalu berkata:
"Aku datang kemari untuk
minta nyawa anjingmu Adipati keparat!"
Gandaboga tertawa bergelak.
Dia memandang ke arah Jalitanggor dan Si Muka Mayat lalu berkata: "Aku
ingin melihat dia mampus saat ini juga! Bunuh bangsat ini cepaattt!"
Si Muka mayat dan Jalitanggor
bergerak. Manik Tunggal ikut menggebrak dari samping. Kembali tiga pengeroyok
berkelebat ganas. Kembali pula Rangga mempertahankan diri. Namun hanya sembilan
jurus dia sanggup membalas gebrakan lawan. Jurus kesepuluh kakinya kena disapu
tendangan Manik Tunggal. Si Muka Mayat lalu menghantamkan satu jotosan ke arah
dagu dan golok Jalitanggor yang membabat ke arah leher kali ini tak mungkin
lagi dielakkan oleh Rangga.
Dalam keadaan dikejar maut
begitu rupa tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak:
"Jangan bunuh! Dia
sahabatku diwaktu kecil!"
Semua gerakan maut tertahan
dan semua orang palingkan kepala. Dari tangga belakang gedung Kadipaten berlari
seorang dara mengenakan pakaian tidur panjang berwarna biru muda berbunga-bunga
kuning dan hijau. Wajahnya cantik sekali. Ternyata dia adalah Tarini, puteri
dan anak tunggal Adipati Gandaboga.
Melihat anaknya ini Gandaboga
segera menegur keras: "Tarini! Lekas masuk ke kamarmu! Ini bukan urusan
anak-anak sepertimu!"
"Ayah, saya akan masuk
jika ayah melepaskan pemuda itu pergi.. "sahut Tarini.
"Tidak, dia harus mampus.
Dan kau harus masuk ke kamarmu! Manik, bawa calon istrimu ke dalam kamar!"
"Calon istri?
Puaaah!" Tarini berteriak lantang. "Aku bukan calon istri
siapa-siapa. Apalagi dijodohkan dengan kintel satu ini! Ayah, bukanlah sudah
berapa kali hal itu saya katakan padamu.. ?"
Gandaboga hilang kesabarannya.
Gendak yang sedang dipangkunya diturunkannya lalu dia melangkah cepat ke tempat
puterinya berdiri. Gadis ini ditariknya ke kamar tidur secara paksa. Sesaat
kemudian Gandaboga kembali ke halaman belakang dan berteriak marah.
"Kalian semua tunggu apa
lagi? Bunuh pemuda keparat itu!"
Jalitanggor yang pertama sekali
bergerak mengayunkan goloknya. Justru dia pula yang pertama kali mengalami
celaka!
***
PADA SAAT JALITANGGOR
mengayunkan goloknya untuk menebas leher Rangga, tiba-tiba dari arah tembok
sebelah kiri melesat sebuah benda hitam. Benda ini menyambar deras dan menancap
di pergelangan tangan Jalitanggor setelah terlebih dahulu memutus urat-urat
nadi. Jalitanggor menjerit kesakitan dan lepaskan goloknya. Dia
terhuyung-huyung kebelakang dan menjerit ngeri ketika melihat darah memancur
dari urat-urat besarnya yang putus.
Sebuah benda aneh terbuat dari
batu hitam berbentuk seekor burung menancap di pergelangan tangannya.
Burung-burungan ini menancap pada bagian ekornya yang lancip. Semua orang
tersentak kaget tapi tidak satupun yang bertindak menolong Jalitanggor yang
kesakitan dan kebingungan itu. Mereka berpaling ke arah tembok halaman belakang
sebelah kiri dimana tampak berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih
berambut pirang dibawah siraman sinar matahari pagi.
Sepasang mata Rangga seperti
hendak mendelik ketika pandangannya membentur pemuda bulai di atas tembok.
"Padanaran . . . diakah itu . . .? tanyanya dalam hati. Pasti dia.
Burung-burungan batu itu! Ah pasti dia! Ya Tuhan terima kasih kau telah
mempertemukan kami kembali. Matipun aku tak menyesal kalau sudah melihat
wajahnya!" Selagi Jalitanggor mencak-mencak kesakitan, Rangga pergunakan
kesempatan untuk melompat bangkit dan lari ke arah Padanaran.
"Saudaraku Rangga, mereka
telah menganiayamu! Aku akan membalaskan sakit hatimu! Juga membalaskan sakit
hati kematian paman!"
"Padanaran, Tuhan Maha
Besar. Kita hadapi mereka bersama-sama. Tapi hati-hati. Dua kakek nenek dan si
muka cekung itu paling berbahaya …" menerangkan Rangga.
"Bangsat bulai! Kau
manusia atau setan?!" teriak Adipati Gandaboga sementara para pembantu
kepercayaannya tegak menyebar berjaga-jaga. Dari caranya dia melemparkan mainan
dari batu yang tepat menancap di lengan Jalitanggor itu semua tahu kalau kini
ada seorang berkepandaian tinggi yang bukan berada di pihak mereka. Seorang yang
kehebatannya jauh lebih tinggi dari Rangga yang muncul untuk membalaskan sakit
hati. Apakah pemuda bulai di atas tembok itu juga mempunyai niat yang sama…?
"Aku manusia! Tapi bisa
jadi setan yang mampu mencekikmu!" jawab orang di atas tembok.
"Keparat! Jangan bicara
ngaco! Lekas katakan siapa dirimu!" teriak Pisau Gergaji Ter bang lalu
tangannya bergerak dan dua pisau andalannya meluncur ke arah tembok. Orang
diatas tembok berseru keras, melompat dan melayang turun ke dalam halaman belakang
gedung Kadipaten.
"Kalau kalian ingin tahu
namaku baik, akan kukatakan! Aku Padanaran. Pemuda dari dukuh Sawahlontar.
Sepuluh tahun silam kau yang bernama Gandaboga membunuh pamanku Randuwonto.
Hari ini aku datang untuk balas meminta nyawamu!"
Gandaboga tertawa gelak-gelak,
yang lain-lainnya tegak dengan pandangan mengejek. Tiba-tiba ada satu suara
keras yang berteriak menindih suara gelak Gandaboga.
"Aku juga pemuda dari
Sawahlontar! Datang mencari tiga pembunuh pengecut…!"
Kalau tadi semua mata
memandang ke arah Padanaran, kini semua berpaling ke sisi barat tembok,
termasuk Padanaran sendiri. Disitu duduk berjuntai sambil uncang-uncang kedua
kakinya seorang pemuda berpakian putih berambut gondrong. Mulanya tiada henti
menyeringai sedang dari mulutnya terdengar suara bersiul tiada henti.
"Kurang ajar! Bangsat
gila dari mana yang kesasar kemari!" maki Gandaboga lalu dia memerintahkan
Pisau Gergaji Terbang untuk mengusir pemuda gondrong itu. Sebaliknya si kakek
berbisik pada sang Adipati: "Biarkan saja pemuda sinting satu itu. Kita
tengah menghadapi si bulai. Biar aku membereskannya lebih dulu…"
Adipati Gandaboga akhirnya
anggukkan kepala menyetujui.
Ketika melihat si gondrong di
atas tembok sana Padanaran tak habis pikir bagaimana pemuda yang menolongnya dan
mengaku bernama Wiro Sableng itu begitu cepat sampai di tempat. "Kalau
tidak memiliki ilmu lari andal, dia pasti tak akan sampai disini hanya terpaut
beberapa saat denganku," begitu Padanaran membatin. Lalu pemuda ini
berpaling ke arah Gandaboga, maju beberapa langkah sambil berucap:
"Adipati, apakah kau sudah siap menerima kematian?"
Gandaboga memaki panjang
pendek. Sambil mendelik marah dia memerintahkan:
"Bunuh monyet bulai
ini!"
Sepasang Lengan Iblis lebih
dulu tertawa cekikikan baru menyerbu. Si Pisau Gergaji Terbang mendengus dua
kali lalu melompat kedalam kalangan. Manik Tunggal yang ingin berebut pahala
serta nama tak tinggal diam sementara Si Muka Mayat berusaha menolong
Jalitanggor tapi terlambat karena pembantu kepercayaan Gandaboga ini sudah
keburu menemui ajal karena banyak darahnya yang terbuang. Sebenarnya
Jalitanggor mampu menotok urat besarnya untuk menghentikan darah. Tapi karena
begitu ngeri melihat darahnya sendiri, dia sampai bingung dan tidak melakukan
apa-apa.
"Bangsat, biar aku yang
mencekik leher dan menghancurkan kepala si bulai itu!" teriak Si Muka
Mayat setelah dapatkan kawannya telah menemui ajal! Dia langsung ikut menyerbu.
Padanaran kini dikeroyok oleh empat pesilat cabang atas. Dengan mengandalkan
ilmu warisan gurunya si Nenek Bulai mungkin sulit bagi empat orang itu untuk
mengalahkan atau menciderainya. Tapi seperti yang dipesankan sang guru kepada
Wiro, Padanaran masih hijau dalam pengalaman. Karenanya begitu empat orang
menggebrak Pendekar 212 wiro Sableng keluarkan suitan panjang dan melompat
turun dari atas tembok.
Sesaat murid Eyang Sinto
Gendeng dari puncak gunung Gede ini perhatikan jalannya perkelahian empat lawan
satu itu. Lalu tiba-tiba dia melompat ke depan, memotong arus pertempuran. Dia
memilih Pisau Gergaji Terbang sebagai lawannya karena dianggapnya manusia satu
inilah yang paling tinggi ilmunya dan berbahaya.
"Pemuda gila kesasar! Kau
mencari mati! Benar-benar minta mampus!" teriak si kakek. Jarak mereka
terpisah empat langkah. Dalam jarak sependek ini orang tua itu masih sempat
menghamburkan dua pisau dari tangan kanan dan dua lagi dengan tangan kiri.
Wiro sambut serangan lawan
dengan pukulan sakti "dinding angin berhembus tindih menindih" Empat
pisau terbang yang melesat ke arahnya mencelat mental membuat kaget si pemilik.
Seumur hidup kakek itu belum pernah melihat serangannya dipukul mentah-mentah
seperti itu. Didahului dengan jeritan keras dia gerakkan lengan baju
gombrangnya. Terdengar suara klik-klik. Dari balik lengan baju kiri kanan
menonjol keluar dua buah pisau besar berbentuk gergaji dan berujung lancip.
Setiap si kakek menggerakkan tangannya, pisau-pisau gergaji itu mengeluarkan
suara berdesir menggidikkan. Paling tidak dalam tiga jurus pemuda yang
dianggapnya sinting itu akan mandi darah dihantam sepasang pisau, begitu si
kakek berpikir. Tapi ketika tiga jurus lewat dia tidak mampu menciderai lawan
hatinya jadi was-was. Serta merta dia rubah permainan silatnya dengan tubuhnya
tiba-tiba lenyap, hanya tinggal bayangan merah pakaian gombrong nya.
Menghadapi lawan dengan
gerakan kilat begini rupa Pendekar 212 melompat menjauhi lalu menghantam dengan
pukulan-pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Di jurus ke
sebelas Wiro berhasil menangkap lengan kanan lawan. Meskipun lengannya sempat
terserempet pinggiran pisau dan mengucurkan darah, tapi Wiro berhasil
membanting kakek itu keras-keras ke tanah hingga terkapar bergedebukan. Tapi
hebatnya begitu jatuh orang tua ini langsung melompat bangkit. Sambil bangkit
tangan kirinya sempat berkelebat.
Breet!
Kaki celana kiri Pendekar 212
robek besar. Betisnya mengucurkan darah.
"Setan alas!" maki
Wiro. Kaki kanannya melesat ke depan. Tubuh tua yang masih setengah bangkit itu
terpental beberapa langkah tapi kembali berusaha bangkit. Hanya kali ini dia
tak mampu melakukannya. Perutnya serasa pecah. Pemandangannya gelap. Pisau
Gergaji Terbang hanya bisa terduduk ditanah megapmegap. Wiro mendekati untuk
mengirimkan satu tendangan lagi ke kepala lawan. Tapi selintas pikiran muncul’
dibenaknya. Dia tidak menendang kepala orang tua ini, melainkan menotok urat
besar dipinggangnya hingga si Pisau Gergaji Terbang tak bakal mampu bangkit dan
melarikan diri.
Perkelahian antara Padanaran
yang dikeroyok Sepasang Lengan Iblis, Si Muka Mayat dan Manik Tunggal berjalan
seru. Warisan ilmu yang diberikan nenek Hantu Bulai benar-benar luar biasa. Si
Muka Mayat dan Sepasang Lengan Iblis yang sudah makan asam garam ilmu dan
duniapersilatan sempat memaki-maki karena beberapa kali hampir saja keduanya
kena gebukan tangan atau tendangan Padanaran. Apalagi ketika Rangga yang tak
mau hanya jadi penonton terjun ke dalam kalangan. perkelahian. Tiga pengeroyok
jadi kalang kabut. Melihat hal ini Gandaboga bawa masuk gendaknya kedalam kamar
lalu keluar lagi seorang diri membawa sebilah keris berluk sembilan yang
memancarkan warna putih. Ketika dia masuk ke dalam,kalangan pertarungan keadaan
serta merta berubah.
Keris di tangan Adipati
Karanganyar itu memang bukan senjata sembarangan. Orang hanya mampu mendekati
sampai dua langkah. Ada hawa aneh yang memerihkan sekujur tubuh jika lawan
berani mendesak mendekati. Akibatnya kalau tadi Padanaran dan Rangga berada di
atas angin maka kini dua pemuda ini jadi terdesak hebat.
Pendekar 212 yang sudah gatal
tangan tak menunggu lebih lama. Segera pula masuk ke dalam kalangan
pertempuran. Dia jadi kaget ketika merasakan sendiri hawa aneh yang keluar dari
keris putih di tangan Gandaboga.
"Keris keparat itu harus
disingkirkan dulu ." kata Pendekar 212 dalam hati. Tangannya bergerak ke
pinggang. Sinar putih menyilaukan tiba-tiba berkiblat. Hawa panas menghampar
dan suara seperti ribuan tawon mengamuk menderu. Lalu trang!
Keris sakti di tangan
Gandaboga terpental. Pemiliknya terhuyung-huyung engan muka pucat. Wiro
masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Lalu berpaling pada Padanaran
dan Rangga dan berkata: "Kalian berdua hadapi musuh besar kalian itu. Tiga
pengeroyok ini biar serahkan padaku …!"
Menyadari bahwa memang
Gandaboga adalah musuh besar yang telah membunuh ayah dan paman mereka maka
Rangga dan Padanaran segera melompat ke hadapan Gandaboga. Perkelahian seru
segera terjadi diantara mereka. Nenek kekasih Si Pisau Gergaji Terbang
memandang tak berkesip pada Wiro Sableng.
"Gondrong! Aku tadi
melihat kau mengeluarkan sebilah senjata berupa kapak bermata dua. Apakah kau
manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 … ?!"
Wiro tak menjawab dengan
menghantamkan pukulan sinar matahari! Ketiga orang itu terpekik dan melompat
mundur. Hawa panas yang hebat menerpa ganas.
Bummm!
Tanah di depan ketiga lawannya
berubah menjadi lobang besar berwarna hitam. Debu dan pasir membubung ke udara.
"Pukulan sinar
matahari!" teriak Sepasang Lengan Iblis. Serta merta lelehlah nyali nenek
ini ketika kini dia benar-benar menyadari siapa adanya pemuda berambut gondrong
itu. tanpa tunggu lebih lama dia melompat ke kiri melarikan diri. Wiro tak
tinggal diam. Dia yakin si nenek ini adalah salah satu dari tiga orang yang
membunuh si nenek Hantu Bulai. Sambil gulingkan diri di tanah, Wiro menyambar
tiga pisau tipis di pinggang kakek Pisau Gergaji Terbang. Sesaat kemudian
senjata itu melesat di udara mengeluarkan suara bersuit.
Di seberang sana terdengar
pekik Sepasang Lengan Iblis. Nenek ini tersungkur jatuh di tanah, menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Tiga pisau menancap di tengkuknya
terus menembus leher, di pinggang dan satu lagi membeset lambungnya hingga
ususnya membusai keluar. Dia menemui ajal sebelum sempat memperlihatkan
kehebatan sepasang lengannya yang hitam.
"Jumilah . . .
"teriak si Pisau Gergaji Terbang ketika melihat kekasihnya menemui ajal
seperti itu. Dia berusaha berdiri tapi tak bisa. Kakek ini sesenggukkan lalu
menangis seperti anak kecil.
Ketika semua itu terjadi si
Muka Mayat pergunakan kesempatan untuk lari tapi Wiro cepat menghadang dan
menotok dadanya hingga manusia satu ini tertegak kaku.
Rangga berkelahi menghadapi
Manik Tunggal. Walaupun ilmu silat Rangga lebih rendah, tapi berkelahi satu
lawan satu begitu rupa tidak mudah bagi Manik Tunggal untuk mengalahkan Rangga.
Sebaliknya perkelahian antara Gandaboga dan Padanaran hanya berlangsun seru
selama tiga jurus-.Jurus keempat Adipati Karanganyar itu kena digebuk bagian
dadanya hingga terjungkal tapi masih sempat berpegangan pada sebuah arca.
Sebelum dia mampu berdiri tegak tiba-tiba Padanaran telah mendatangi dengan
keris putih milik Gandaboga yang dipungutnya dari tanah.
"Jangan bunuh! Demi Tuhan
jangan bunuh!" teriak Gandaboga lalu jatuhkan diri berlutut.
"Kau membunuh pamanku!
Hari ini kau terima balasannya!" suara Padanaran bergetar. Keris di tangan
kanannya ditusukkan.
"Padanaran! Jangan bunuh
ayahku! Ampuni selembar nyawanya!" Satu suara berteriak lalu terdengar ada
orang yang lari mendatangi.
"Tarini!" seru.
Padanaran ketika dilihatnya siapa yang berteriak. Gadis itu kawan baiknya
semasa kecil lari mendatangi. Gerakan tangan Padanaran serta merta terhenti.
Tapi dari samping tiba- tiba saja Rangga muncul melompat. Kedua tangannya
memegang lengan Padanaran yang memegang keris sakti erat-erat lalu
didorongkannya kuat-kuat ke depan. Keris yang dipegang oleh tiga tangan itu
menghunjam di leher Gandaboga. Adipati Karanganyar ini keluarkan seruan
tertahan. Matanya melotot. Lehernya sampai ke muka dan sebagian dadanya
kelihatan menjadi biru tanda ada racun yang menjalar dari keris sakti ber warna
putih itu.
Tarini menjerit keras ketika
melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Dia lari menubruk Gandaboga, memeluk
sayang ayah tapi aneh, tak ada air mata yang keluar dari sepasang matanya yang
bagus itu.
"Pembunuh keparat! Kalian
membunuh calon mertuaku!" teriak Manik Tunggal lalu berusaha mencekik
Rangga. Tapi dari belakang datang Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kalau calon mertuamu
memangnya ke napa?! Pergi sana!" bentak Wiro. Lalu buk! Wiro tendang
pantat pemuda itu hingga Manik Tunggal jatuh tengkurap di tanah.
Sesaat Padanaran tertegun lalu
perlahan-lahan dia lepaskan pegangannya di hulu keris. Tubuh Gandaboga
terhuyung dan jatuh menelentang. Lalu pemuda ini usap kepala Tarini dan
berkata: "Maafkan aku Tarini . . ." Sehabis berkata begitu Padanaran
berpaling pada Rangga, memberi isyarat. Lalu kedua pemuda itu melangkah
tinggalkan tempat itu. Ketika melewati mayat Jalitanggor, Padanaran merunduk
mencabut burung-burungan batu yang masih menancap di lengan orang itu,
membersihkan darahnya, berpaling pada Rangga lalu masukkan burung-burungan batu
itu ke dalam saku bajunya.
Saat itulah baru terdengar
suara tangisan Tarini. Tiba-tiba gadis ini berdiri dan berteriak memanggil:
"Padanaran! Aku ikut
bersamamu" Gadis ini lari menyusul pendekar bule yang melangkah bersama
Rangga, namun begitu mendengar suara si gadis dia berpaling hentikan langkah.
Manik tunggal yang melihat hal
itu buru-buru bangkit berdiri. "Tarini! Kembali! Tarini.. " Lalu
pemuda ini berusaha mengejar. Tapi baru lari tiga langkah datang Wiro dari
samping.
"Tarini… Tarini… Ini
untukmu!"
Bukkkk!
Untuk kedua kalinya tendangan
Wiro mendarat di pantat Manik Tunggal. Pemuda ini terhempas ke tanah. Mukanya
mencium tanah keras sekali dan dia pingsan disitu juga.
Pendengar 212 garuk kepala
beberapa kali. Memandang kearah tiga orang yang melangkah pergi di kejauhan.
Akhirnya diapun menyusul ketiga orang itu. Dia lalu memberi tahu Padanaran
bahwa nenek Hantu Bulai gurunya telah tiada. Dan dua dari tiga orang
pembunuhnya berada dalam keadaan tertotok di halaman belakang gedung Kadipaten.
TAMAT