-------------------------------
----------------------------
053 Kutukan Dari Liang Kubur
1
PEREMPUAN TUA BERWAJAH SETAN
itu memacu kuda penarik gerobak sekencang-kencangnya. Walau gerobak telah
meluncur cepat namun tangan kanannya terus saja mencambuki punggung kuda
coklat. Dari mulutnya tiada henti terdengar kata-kata makian.
"Murid tak berguna!
Memberi malu guru! Sialan! Kau akan terima hukuman! Kau akan terima hukuman!
Jangan salahkan aku si jelek Wiku Ambar ini berlaku kejam! Diberi madu minta
racun! Kau akan rasakan hukumanku murid tolol! Kau mencoreng mukaku di dunia
persilatan dengan lumpur comberan!"
Lalu perempuan tua itu
mencambuk lagi punggung kuda coklat hingga binatang itu berlari seperti
kesetanan. Sambil memacu kuda gerobak sepasang mata perempuan tua itu memandang
kian kemari. Yang dicarinya ialah sebuah pohon besar. Tempat dimana dia akan
melaksanakan niatnya.
"Pohon besar! Pohon
celaka! Mengapa tidak juga kutemui!" Kembali perempuan bernama Wiku Ambar
itu memaki. Cambuk di tangan kanannya berkelebat lagi. Kuda Coklat meringkik
keras.
Di atas gerobak yang terbuka
itu tampak menggeletak sesosok tubuh berpakaian biru gelap. Dia ternyata adalah
seorang gadis berwajah cantik berkulit kuning langsat. Melihat keadaannya yang
tidak mampu bergerak maupun bersuara jelas sang dara berada dalam keadaan tertotok.
Dan yang menotok adalah perempuan tua itu, yang bukan lain adalah gurunya
sendiri. Gerobak memasuki jalan yang menikung. Wiku Ambar terus menggebrak kuda
coklat hingga gerobak ini hampir terbalik ketika membelok. Di balik tikungan
jalan membentang lurus dan di kiri kanan jalan tampak tumbuh pohon-pohon besar.
Wiku Ambar menyeringai. Dia mencari pohon yang paling besar dan paling tinggi
lalu tarik tali kekang kuda kuat-kuat, memaksa binatang itu hentikan larinya
dengan mendadak. Roda-roda kereta mengeluarkan bunyi mendenyit keras,
meninggalkan jejak panjang dan dalam di tanah jalanan. Debu dan pasir
beterbangan ke udara. Kuda coklat meringkik keras lalu tertegak diam dengan
kepala merunduk ke bawah.
Perempuan tua kembali
menyeringai. Dia melirik ke arah sosok tubuh muridnya lalu mendongak seraya
berkata, "Pohon hukuman sudah kutemukan. Hukuman harus dilaksanakan. Biar
hapus coreng memalukan di muka tua ini!"
Lalu Wiku Ambar mengambil
segulung tali dari atas lantai gerobak. Salah satu ujung tali ini dicantoli
kaitan besi. Perempuan ini pegang bagian tali satu tombak di bawah kaitan lalu
memutar-mutarnya beberapa kali hingga tali dan kaitan itu mengeluarkan suara
menderu keras.
"Huah!" Wiku Ambar
berteriak dan lemparkan tali ke atas. Kaitan besi melesat tinggi dan akhirnya
mengait di cabang pohon paling atas. "Lebih baik kutinjau dulu ke atas
sana!" berkata Wiku Ambar dalam hati. Lalu dengan gerakan enteng dan cara
yang aneh, perempuan tua ini memanjat tali menuju ke atas pohon. Sampai di atas
dia meneliti keadaan pohon itu, memperhatikan ke bawah dan memandang
berkeliling. "Aku tak salah pilih. Ini memang tempat yang cocok untuk
menghukum anak itu!" Lalu dengan cepat Wiku Ambar meluncur turun. Sampal
di atas gerobak perempuan tua ini segera panggul tubuh muridnya dibahu kiri.
Dia pergunakan ujung tali untuk mengikat tubuh sang dara ke tubuhnya. Lalu
seperti tadi meski kini dia memanggul beban yang berat Wiku Ambar enak saja
memanjat tali, naik ke atas pohon.
Sosok tubuh muridnya
dibaringkan menelungkup diatas cabang besar. Ini bukan satu pekerjaan mudah
membaringkan tubuh yang kaku diatas cabang pohon yang begitu tinggi. Tapi
gerakan Wiku Ambar cekatan sekali. Dalam waktu singkat dia sudah membaringkan
tubuh dara berpakaian biru itu menelungkup di atas cabang. Lalu dari saku besar
pakaiannya Wiku Ambar keluarkan segulung tali halus yang lebih pantas disebut
benang berwarna putih berkllau-kilau seolah dibuat dari sutera. Dengan benang
itu diikatkannya tubuh muridnya pada cabang pohon hingga sekalipun ada badal
melanda, tubuh itu tak akan jatuh ke bawah.
Setelah mengikat tubuh
murldnya dengan benang aneh itu Wiku Ambar keluarkan lagi sebuah benda dari
dalam saku besar. Benda ini diletakkannya pada cabang pohon yang berada tepat
dibawah cabang dimana sang murid terbujur menelungkup. Ternyata benda itu
adalah seekor burung merpati hutan berwarna kelabu. Binatang ini bertengger di
atas cabang pohon tanpa bergerak ataupun keluarkan suara. Wiku Ambar tertawa
lebar sambil usap-usap kedua tangannya.
"Hukuman sudah
dilaksanakan. Sebelum pergi aku ingin dengar apa yang akan kau ucapkan. Mungkin
juga kau kini berubah pikiran!"
Setelah berucap begitu Wiku
Ambar lepaskan totokan di leher murldnya untuk membuka jalan suara. Tapi sang
murid hanya diam dan memandang saja pada gurunya, tak mau membuka mulut
mengatakan apa-apa.
"Cempaka! Apakah kau
masih tetap pada jalan pikiranmu semula? Atau sekarang mau merubahnya?"
Yang ditanya tetap diam saja.
"Benar-benar murid tak
tahu diri. Apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan masa depanmu sendiri!
Mengapa kau menolaknya? Mengapa kau lebih tega mencoreng muka memberi malu
diriku. Mengapa kau lebih suka menerima hukuman seperti ini?!"
Gadis bernama Cempaka itu
masih diam. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak berkesip pada wajah
tua menyeramkan itu.
"Cempaka! Kau tidak tuli
dan jalan suaramu sudah kubuka! Ayo buka mulutmu!" Jawab
pertanyaanku!" Wiku Ambar jadi tak sabaran lalu membentak.
Bibir sang murid tampak
bergerak. Akhirnya terdengar juga suaranya berkata. "Jadi karena aku
mempunyal pendapat dan jalan pikiran yang berbeda maka guru tega menghukumku
seperti ini…"
"Murid bodoh! Ini bukan
cuma perbedaan pendapat dan jalan pikiran! Tapi kau telah mencoreng malu besar
ke mukaku! Kau telah mengguyur diriku dengan air comberan! Semua orang di dunia
persilatan mentertawaiku! Dan terutama sekali aku benar-benar tak punya muka
dan harga diri lagi terhadap sahabatku Ronggo Gampito serta muridnya yang
bernama Jatayu itu!"
"Guru hampir dua puluh
tahun aku menerima kebaikan darimu. Sebagai murid aku telah mengabdikan diri
sebaik yang bisa kulakukan. Namun bagi masa depanku, aku tak ingin seorangpun
yang menentukan. Termasuk guru. Kalaupun kedua orang tuaku masih hidup, aku
akan melakukan hal yang sama seandainya mereka memaksakan kehendak…."
"Murid tidak membatas
guna! Jadi kau tetap pada pendirianmu hah? Tidak mau merubah? Bahkan tidak mau
memandang sebesar mata terhadapku?!
"Guru, selama hayat
dikandung badan aku tetap menghormati guru. Hanya saja untuk urusan yang satu
itu aku tidak dapat memenuhinya!"
Wiku Ambar gerakkan tangan
kirinya.
Braak!
Cabang pohon di sebelah kiri
patah dan jatuh ke bawah kena hantaman tangan perempuan tua itu yang tak dapat
lagi mengendalikan amarahnya.
"Kau dengar baik-baik
Cempaka! Mulal detik ini hukuman jatuh atas dirimu. Jika kau tidak mau
merubahnya maka kau akan menemul ajal secara perlahan-lahan di atas pohon ini!
Namun aku masih memberikan satu kesempatan terakhir. Jika kelak pikiranmu
berubah maka pergunakan mulutmu untuk meniup burung merpati yang bertengger di
bawahmu. Begitu burung Itu merasakan tiupanmu, dia akan terbang ke tempat
kediamanku. Jika aku melihat burung Ini muncul, itu pertanda bahwa kau bersedia
memenuhi permintaanmu. Maka aku akan datang kemari untuk membebaskanmu!"
Habis berkata begitu Wiku
Ambar totok kembali jalan darah di leher muridnya tapi dia juga menekan salah
satu bagian tengkuk gadis itu. Sebelum pergi dia berkata lagi, "Aku masih
mengharapkan kau akan berubah pikiran. Mulutmu memang tak bisa bicara atau
bersuara. Tapi kau bisa meniup. Nah, tiuplah merpati itu…!"
Setelah menatap wajah muridnya
sesaat, Wiku Ambar meluncur turun dengan tali. Lalu tali itu digulungnya,
dicampakkan ke atas gerobak.
"Huah!" Wiku Ambar
berseru. Cambuk di tangan kanannya berkelebat tiga kali. Kuda penarik gerobak
menghambur ke depan.
***
2
KESUNYIAN MALAM DIROBEK OLEH
berbagai suara yang menakutkan. Mulai dari suara burung hantu sampai pada suara
mendesis di antara semak belukar. Lalu suara menggereng dan sesekali ada lolongan
anjing hutan di kejauhan.
Cempaka mendengar semua
suara-suara itu sepanjang malam. Sebagai seorang yang telah mendapat gemblengan
ilmu silat luar dalam semua itu tidak mendatangkan rasa takut dalam dirinya.
Hanya dinginnya udara malam, apalagi menjelang pagi membuat gerahamnya
bergemeletukan. Untuk memperkuat daya tahan terhadap udara dingin, gadis itu
atur jalan nafas, kerahkan tenaga dalam yang disertai pengaturan jalan darah.
Sang dara tahu kalau dia tidak
akan merubah ptkirannya. Bahwa dia tidak akan memenuhi permintaan gurunya.
Karena itu dia sadar pula bahwa dia akan menemul kematian dalam keadaan terikat
di atas cabang pohon itu. Ajalnya akan sampai entah kapan tetapi pasti. Kecuali
jika ada yang menolongnya. Tapi siapa yang tahu kalau dia berada di atas pohon
tinggi itu. Dari bawah, kerimbunan daun-daun pohon membuat orang tak mungkin
melihatnya.
Menjelang matahari terbit dia
mendengar banyak sekali suara kicau burung. Suara-suara yang menakutkan malam
tadi lenyap tiada bekas. Memandang ke bawah Cempaka melihat burung merpati
kelabu itu masih tetap bertengger di tempatnya semula, tidak bergerak tidak
bersuara seolah-olah sebuah batu saja.
"Merpati aneh…."
kata Cempaka dalam hati.
Makin terang hari, Cempaka
merasa tubuhnya bertambah hangat. Namun bagaimanapun juga terbaring menelungkup
dan terikat seperti itu merupakan satu siksaan yang tak dapat dibayangkan.
"Dunia penuh keanehan.
Bagaimana mungkin hubungan antara guru dan murid yang berjalan selama dua puluh
tahun tiba-tiba saja berubah menjadi satu malapetaka hanya karena aku tidak
bersedia memenuhi permintaan guru?" membatin Cempaka. "Dan aku akan
menemul ajal dalam keanehan itu…" katanya lagi dalam hati.
Menjelang tengah hari sang
dara mulai merasa haus dan lapar. Untuk menghilangkan siksaan haus serta lapar
yang mulai menyerang itu Cempaka pejamkan kedua matanya, tutup jalan
pendengaran, atau jalan nafas dan mulai bersamadi. Dia tidak menyadari ketika
siang berubah menjadi sore dan sore disusul oleh malam. Ini adalah malam kedua
gadis itu terikat di atas cabang pohon dengan segala penderitaannya. Pagi
kembali muncul dan siang datang merayap. Semakin siang semakin sulit bagi
Cempaka untuk berusaha bersamadi sekhusuk mungkin. Perlahan-lahan dibukanya
kedua matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah burung merpati kelabu itu.
Masih tetap di tempatnya semula, sedikitpun tidak berpindah! Binatang itu
seolah di pantek ke cabang pohon. Tapi bagaimana mungkin dia tetap di sana
tanpa ingin mencari makan atau air?
Lalu telinga Cempaka menangkap
suara gaduh di udara. Dia berusaha memutar kedua bola matanya. Ternyata
serombongan buruk gagak hitam tampak barputar-putar di udara. Siang kemarin
Cempaka juga telah melihat rombongan burung-burung nazar itu terbang ke atas
pohon. Kini mereka muncul kembali.
"Mereka agaknya sudah
siap menunggu mayatku. Atau mungkin berniat segera menggasak tubuhku
hidup-hidup begini…. ?" pikir Cempaka dalam hati. Tengkuknya terasa
dingin. Dan untuk pertama kalinya gadis ini merasakan sekujur auratnya menjadi
sangat letih. Di udara burung-burung nazar itu masih terus terbang
berputar-putar beberapa kali lalu akhirnya melayang lenyap ke arah timur.
Cempaka merasa lega sedikit.
Namun tiba-tiba telinganya menangkap suara derap kaki kuda dikejauhan, makin
dekat dan akhirnya dia melihat siapa yang datang dari arah tikungan jalan. Ada
dua ekor kuda mendatangi. Di sebelah depan ditunggang oleh seorang pemuda
berpakaian merah. Keningnya diikat dengan kain juga berwarna merah. Wajahnya
ditumbuhi berewok yang sengaja dicukur tipis dan rapi. Pemuda ini memiliki
sepasang mata besar, berkilat dan pandangannya dingin tapi tajam.
Di belakang binatang
tunggangan pemuda berbaju merah ada kuda kedua. Penunggangnya seorang kakek
berpakaian putih yang tergeletak melintang di atas pinggang kuda. Orang tua ini
berada dalam keadaan tertotok baik aurat maupun jalan suaranya. Dagunya sebelah
kiri nampak memar bekas pukulan benda keras. Matanya sebelah kanan bengkak
merah dan kebiruan di bagian rongganya. Mata satu ini hampir tertutup. Meskipun
sudah tua tetapi orang ini memiliki tubuh tegap gempal. Otot dan urat-urat di
lengan dan betisnya tampak menonjol. Sambil menunggang kuda, pemuda baju merah
selalu memandang ke kiri dan ke kanan seolah-olah mencari sesuatu. Tak berapa
jauh dari pohon besar di mana Cempaka terikat dia hentikan kudanya, memandang
berkeliling lalu mengangguk beberapa kali.
"Ini tempatnya yang
paling cocok," katanya dalam hati. Lalu dia berpaling pada orang tua yang
menggeletak di atas kuda di belakangnya dan berkata. "Tempat yang paling
cocok untukmu sudah kutemukan Ki Tali Kumba. Sekarang terserah padamu apa
memang mau mati atau ingin panjang umur!"
Setelah berkata begitu si
pemuda keluarkan suara sultan keras. Dari kelokan jalan Cempaka melihat muncul
dua penunggang kuda. Keduanya berpakalan hitam yang sudah lusuh dan banyak
robek. Kelihatannya mereka adalah orang-orang desa yang biasa bekerja keras.
Yang satu membawa pacul, satunya lagi membawa alat berbentuk sekop.
Pemuda baju merah menunjuk ke
arah kerapatan pepohonan besar di mana salah satu di antaranya adalah pohon
tempat Cempaka berada.
"Dua tombak di belakang
pohon paling besar sana. Gali!" Si baju merah memerintah pada dua orang
lekaki berpakalan hitam. "Tidak perlu lobang besar, tapi harus cukup dalam
sampai sebatas leher!"
Dua orang di atas kuda yang
barusan saja turun sama-sama berpaling pada si baju merah. Satu diantara mereka
bertanya, "Sebatas leher …. Maksud raden sebatas leher apa? Sebatas leher
siapa…?"
"Jangan banyak tanya.
Tugasmu hanya menggali. Untuk Itu kalian kubayar! Gali saja, aku akan memberi
tahu jika sudah cukup dalam!"
Dua tukang gali tak berani
berkata apa-apa lagi. Mereka mengerling sekilas pada sosok tubuh orang tua yang
tergeletak di atas punggung kuda. Lalu keduanya melangkah ke arah yang tadi
ditunjuk si pemuda dan mulai menggali. Sambil menggali salah seorang dari
mereka berbisik, "Setahuku orang tua berbaju putih itu tidak mati. Hanya
pingsan. Apakah lobang ini digali untuk menguburnya …?"
"Kurasa memang iya. Aku
punya firasat tidak enak. Kalaupun dia sudah mati mengapa bukan kubur biasa
yang harus kita buat….?"
Bisik-bisik itu rupanya sempat
terdengar oleh pemuda berpakaian merah. Dia segera mendatangi dan membentak.
"Apa yang kalian
bicarakan berbisik-bisik! Tugas kalian bekerja gali lobang. Bukan
ngobrol!"
"Maafkan kami raden.
Lobang segera siap!" jawab orang yang memegang sekop.
"Kerja saja jangan banyak
mulut!" bentak pemuda itu.
Dua pekerja meneruskan
menggali tanpa berani bicara atau berbisik satu sama lainnya. Tak lama kemudian
lobang dengan ukuran yang diminta itu selesai. Bentuknya agak bulat seukuran
tubuh manusia. Tingginya sekitar satu setengah tombak yaitu sekira ketinggian
leher manusia.
"Cukup!" pemuda baju
merah berseru. "Sekarang kalian berdua minggir dulu…." Pemuda itu
turun dari kuda. Ditariknya tubuh orang tua yang menggeletak di atas punggung
kuda lalu dipanggulnya. Dia melangkah menuju lobang. Di tepi lobang dia
membungkuk. Tidak susah baginya untuk memasukkan kedua kaki orang tua itu ke
dalam lobang. Lalu perlahan-lahan tubuh tua itu diluncurkannya ke dalam lobang.
Luncuran tubuh terhenti begitu kedua kaki menyentuh dasar lobang dan tubuh
orang tua itu tertanam tepat sebatas leher!
Kepala yang menyambul dari
atas lobang itu tidak bergerak. Sepasang mata yang melotot juga tidak berkesip.
"Timbun!" pemuda
baju merah memerintah pada dua orang yang barusan menggali lobang itu. Dua
orang itu tampak ragu-ragu.
"Keparat! Kalian tidak
mendengar perintahku?!" bentak pemuda baju merah.
"Raden. Orang tua
itu…."
"Orang tua itu
kenapa?!" hardik si pemuda lalu plaak! Satu tamparan dilayangkannya ke
muka orang yang tadi membuka mulut hingga bibirnya luka dan berdarah.
Sakit dan takut orang ini
akhirnya pergunakan paculnya untuk menimbunkan tanah ke lobang di mana orang
tua berbaju putih itu berada. Kawannya segera pula angkat sekopnya membantu.
Dalam waktu singkat tanah sudah menimbun sosok tubuh si orang tua. Dengan kedua
kakinya pemuda tadi menginjak-injak timbunan tanah agak lebih keras.
"Tugas kalian selesai!
Sekarang akan kuberikan bayarannya!" Pemuda itu berkata dan mengeruk saku
pakaiannya. Dari saku itu dikeluarkannya sebuah kantong kain yang dari
deringnya yang terdengar jelas berisi uang. Kantong itu diulurkannya pada orang
yang memegang pacul. Yang diulurkan maju beberapa langkah untuk menerimanya,
namun sebelum sempat tangannya menyentuh kantong uang itu, tangan kanan pemuda
baju biru tiba-tiba melesat ke kepalanya.
Praakk!
Kepala itu langsung rengkah.
Orangnya berteriak keras lalu roboh. Paculnya tercampak ke tanah.
"Raden! Kau….!"
teriak pekerja yang memegang sekop dengan muka pucat saking terkejut dan tak
percayanya melihat kematian temannya seperti itu. Ketika pemuda itu melangkah
mendatanginya serta merta dia membalikkan tubuh ketakutan dan lari sekencang-kencangnya
dari tempat itu.
Si baju merah tertawa
bergelak. Dia mengambil pacul yang tercampak di tanah. Benda ini diputarnya dua
kali lalu dilemparkannya ke arah orang yang lari!
Terdengar satu pekik kematian.
Orang penggali lobang itu tampak tersungkur di tanah. Kedua kakinya
melejang-lejang beberapa kali lalu diam. Dia mati dengan pacul menancap dan
hampir memutus lehernya!
Dengan cepat pemuda baju merah
menaikkan mayat dua pekerja itu ke atas kuda masingmasing lalu menggebrak
binatang itu hingga keduanya lari tinggalkan tempat Itu.
***
3
SETELAH DUA EKOR KUDA yang
membawa dua mayat penggali lobang itu lenyap di kejauhan, sambil mengusap-usap
berewoknya pemuda tadi melangkah menuju lobang lalu berjongkok dekat tubuh yang
ditanam. Dua jari tangannya ditusukkan ke salah satu bagian leher. Kepala si
orang tua masih tetap kaku tak bisa bergerak, tapt sepasang matanya kini
kelihatan bergerak dan jalan suaranya yang tadi dibikin gagu kini terbuka.
Sepasang mata itu menatap penuh kebendan pada pemuda yang berjongkok
dihadapannya.
"Kali Mundu murid laknat!
Kenapa kau melakukannya tanggung-tanggung?! Kenapa tidak segera kau bunuh saja
diriku?!" Kepala yang ditanam itu mendamprat.
Yang didamprat keluarkan suara
tertawa mengejek.
"Justru sebagai murid aku
masih berbaik hati memberikan kesempatan terakhir padamu Tali Kumba! Siapa tahu
kau mau menunjukkan di mana barang yang aku inginkan. Lantas nyawamu akan
kuampuni! Kau akan kukeluarkan dari lobang maut yang jadi liang kuburmu ini!
Dan kau akan bisa menikmati hidup di dunia ini beberapa belas tahun lagi!"
Orang tua yang dipanggil
dengan nama Tali Kumba itu menyeringai lalu berkata. "Dekatkan mukamu
padaku. Akan kuberi tahu di mana Kitab Ilmu Silat Empat Penjuru Angin itu
berada….!"
"Bagus! Itu belum
terlambat guruku!" uja Kali Mundu lalu membungkuk dan dekatkan mukanya ke
dekat muka si orang tua.
Cuuhhh!!!
Bukan keterangan yang didapat
oleh pemuda baju merah itu tapi semburan ludah!
"Tua bangka
keparat!" maki Kali Mundu.
Tangan kanannya dihantamkan
menjotos. Kalau sebelumnya mata kanan sang guru yang telah dihantamnya hingga
bengkak besar, kini mata kiri orang tua itu yang jadi korban. Mata itu langsung
bengkak merah dan keluarkan darah!
Walau rasa sakit dan kemarahan
dalam dirinya bukan alang kepalang tapi orang tua bernama Tali Kumba itu tampak
menyeringai bahkan berkata mengejak, "Manusia pengecut! Kau hanya berani
memukul, menjotos tapi tak berani langsung membunuhku! Pengecut!"
"Kau akan mampus Tali
Kumba! Akan mampus! Tak usah mengemis memintanya padaku! Siksaan seperti di
neraka akan kau alami sebelum ajalmu sampai! Kecuali…." Kali Mundu seka
ludah yang menempel di mukanya lalu meneruskan kata-katanya…. "kecuali
jika kau mau memberi tahu dimana kitab itu kau simpan!"
Sang guru tertawa. "Manusia
jahat tapi tolol! Apapun yang kau lakukan terhadap diriku jangan harap aku
bakal memberi tahu dimana buku itu!"
"Baik! Akan kita
lihat!"
Kali Mundu keluarkan sebuah
pisau kecil dan acungkan senjata itu di depan mata Tali Kumba.
"Pisau sekecil itu sulit
untuk menggorok batang leherku!" kembali mengejek si orang tua.
"Siapa bilang aku akan
menggorok batang lahermu tua bangka keparat! Aku bilang kau akan mati secara
perlahan! Tersiksa dulu baru mampus!"
"Tua bangka sepertiku tak
pernah takut mati! Aku akan mati tetapi rohku akan gentayangan. Membayangi ke
mana kau pergi. Ha…. ha…. ha…. !"
"Roh busukmu akan kukirim
ke neraka! Ha… ha… ha! Ha…. ha…. ha…!"
Orang tua itu balas tertawa.
"Murid sesat! Empat tahun cukup lama untuk mewariskan sebagian dari ilmu
kepandaianku. Tapi kau tidak sabar. Kau serakah seperti ayahmu! Kau
menginginkan kitab itu padahal enam tahun di muka semua isinya sudah kuwariskan
penuh padamu! Kau serakah seperti ayahmu!"
"Bangsat! Jangan
sebut-sebut ayahku!" teriak Kali Mundu. Lalu tangan kanannya yang memegang
pisau kecil bergerak.
Sreet!
Pipi kanan Tali Kumba robek
besar ditoreh pisau kecil itu. Darah langsung mengucur!
4
KEPALA YANG BERLUMURAN DARAH
ITU tampak menggeletar. Pelipis kiri kanan bergerak cepat tanda Ki Tali Kumba
tengah menahan sakit dan juga amarah. Di atas pohon tinggi, Cempaka yang
menyaksikan kejadian itu menyumpah habis-habisan.
"Manusia biadab! Laknat
terkutuk! Memperlakukan guru sendiri seperti itu! Jahanam …. !" Dia diam
sesaat lalu merenung. Gurunya sendiri yaitu Wiku Amber semula dianggapnya
sebagai manusia yang kejam. Ternyata kini dia melihat adanya manusia yang
seribu lebih kejam dari gurunya itu!
Di udara terdengar suara
berkesiuran sayapsayap yang mengepak. Pemuda bernama Kali Mundu mendongak lalu
menyeringai.
"Tua bangka Tali Kumba
" desisnya. "Buka matamu lebar-lebar. Lihat apa yang beterbangan di
atas sana. Ha…. ha…. ha!"
Di tempatnya terikat Cempaka
yang mendengar kata-kata Kali Mundu Itu memandang ke alas. Dia melihat
burung-burung nazar pemakan mayat beterbangan berputar-putar. Beberapa
diantaranya mengeluarkan suara keras. Sesaat Cempaka berpikir-pikir apa maksud
Kali Mundu menyuruh gurunya membuka mata meiihat ke atas Tiba-tiba saja gadis
murid Wiku Ambar itu dapat menerka.
"Jahanam terkutuk!
Benar-benar jahat biadab!" teriak Cempaka dalam hati. Di bawah sana KI
Tali Kumba terdengar menyahuti. "Aku tak perlu melihat ke atas. Aku tahu
di atas sana tengah beterbangan burung-burung pemakan mayat….!"
"Bagus! Kau cerdik Tali
Kumba. Berarti kini kau tahu kematian bagaimana yang bakal kau hadapi ….Ha….
ha…. ha….!"
"Kau kira aku takut Kali
Mundu….?" ujar orang tua yang tubuhnya ditanam sebatas leher itu sedang
mukanya berlumurah darah.
"Mungkin kau hanya
berpura-pura Tali Kumba. Banyak memang orang yang tidak takut menghadapi
kematian. Asal saja kematian itu wajar. Tapi maut yang bakal kau hadapi sungguh
mengerikan! Burung-burung nazar itu sudah mencium bau darahmu. Sebentar lagi
mereka akan menukik turun mendatangi tempat ini. Mematuki kulit kepalamu,
mencongkel kedua matamu, melahap hidung, telinga dan pipimu! Lalu jika tak ada
lagi daging kepalamu yang bisa mereka santap, burung-burung nazar itu akan
mematuki tempurung kepalamu, mencongkel otakmu! Kau al:an menderita sejuta
kesakitan lalu mampus perlahan-lahan! Kecuali…. Tentu saja masih ada kecualinya
Tali Kumba. Katakan di mana kitab silat ilu kau sembunyikan…!"
"Kali Mundu saat ini kau
tidak lagi berhadapan dengan Tali Kumba. Tapi dengan roh yang siap mengutukmu!
Manusia anjing berhati iblis! Dengar baik-baik. Dari liang kubur tempat kau
menanam tubuhku ini kutukku akan menimpa darimu! Mulai saat ini bencana dan
malapetaka akan menjadi bagianmu. Kau akan hidup dalam malapetaka sampai
akhirnya mampus dalam malapetaka! Tuhan akan mendengarkan permintaan orang yang
teraniaya!"
"Kalau begitu kenapa
tidak minta tolong saja pada Tuhanmu agar membebaskan dirimu dari malapetaka
saat ini? Ha ha….ha…!"
"Kali Mundu, kau telah
menganiaya diriku. Kini kau menghina nama Tuhan. Kutukanku dan kutukan Tuhanmu
akan jadi satu menghancurkan hidupmu!
"Kentut busuk!"
teriak Kali Mundu lalu bangkit berdiri. Kaki kanannya diletakkannya di atas
kepala gurunya. Lalu dengan tumitnya didorongnya kepala itu keras-keras!
"Kau telah memilih kematianmu sendiri Tali Kumba. Kau boleh menyimpan
rahasia tapi aku pasti akan mendapatkan kitab Ilmu silat itu!"
Habis berkata begitu Kali
Mundu melangkah ke tempat kudanya menunggu, naik ke punggung binatang ini dan
tinggalkan tempat itu menuju ke selatan. Di udara burung-burung nazar terbang
semakin rendah dan suara mereka bertambah bising. Salah seekor dari mereka
keluarkan suara aneh dan keras lalu menukik ke bawah. Puluhan kawannya
mengikuti. Di lain saat Cempaka yang ada di atas pohon melihat bagaimana
puluhan burung pemakan mayat itu tahu-tahu sudah ada di bawah sana dan mulai
mematuk serta menggerogoti kepala Ki Tali Kumba orang tua yang malang itu.
Cempaka pejamkan kedua matanya, tak berani menyaksikan apa yang terjadi.
Perutnya yang kosong lapar mendadak terasa mual. Dia seperti hendak muntah,
tapi tak ada yang keluar dari mulutnya selain desau nafas. Akhirnya gadis ini
pingsan di tempatnya terikat.
***
5
RUMAH KAYU ITU TERLETAK di
puncak bukit di tenggara Samigatuh tak berapa jauh dari aliran Kali Progo.
Inilah tempat kediaman Ki Tali Kumba. Ke sinilah Kali Mundu memacu kudanya.
Terakhir kali dia berada di situ adalah sekitar satu bulan yang lalu. Tapi saat
itu dia belum berani mengatakan niatnya untuk meminta Kitab Ilmu Silat Empat
Penjuru Angin itu.
Baru sekitar satu minggu lalu
dia mengemukakan hasratnya itu pada sang guru. Namun permintaannya ditolak. Ki
Tali Kumba meminta agar dia terus bersabar belajar dan melatih diri sampai enam
tahun di muka. Karena itu berarti sama saja dengan dia telah memiliki serta
mewarisi seluruh isi kitab silat yang memang termasuk lamgka dalam dunia
persilatan itu. Hanya saja Kali Mundu merasa tidak sabar malah memasang niat
jahat dalam hatinya. Di suatu tempat, dengan segala kelicikannya dia berhasil
melumpuhkan sang guru dengan jalan minotok. Dalam keadaan tak berdaya Tali
Kumba dipaksanya untuk memberi tahu di mana kitab silat itu berada. Ketika sang
guru menolak maka di hajarnya orang tua itu. Seperti diceritakan sebelumnya
Tali Kumba kemudian dibawa ke suatu tempat dan dikubur hidup-hidup.
Melewati jalan yang cukup
sulit akhirnya Kali Mundu sampai di puncak bukit. Alangkah terkejutnya pemuda
baju merah ini ketika mendapatkan rumah kediaman gurunya berada dalam keadaan
hancur berantakan. Pintu dan jendela bertanggalan. Dinding dan atap ambrol.
Bagian dalamnya porak poranda. Kasur tipis ketiduran gurunya jelas bekas
ditoreh orang!
"Apa yang terjadi?!
Jangan-jangan aku kedahuluan!" membatin Kali Mundu lalu melompat turun
dari kuda dan memeriksa reruntuhan rumah itu dengan seksama. Reruntuhan dinding
dan atap ditelitinya. Dia juga menggali beberapa bagian dari lantai tanah. Tapi
dia tidak menemukan apa yang dicarinya.
"Celaka! Jangan-jangan
aku memang sudah didahului orang!" Kali Mundu meninju-ninju telapak tangan
kirinya dengan tangan kanan seraya memandang berkeliling.
Saat itulah tiga bayangan
hitam berkelebat dan tahu-tahu tiga manusia bertubuh sama-sama kurus dan
sama-sama jangkung telah berada di hadapan pemuda berpakaian merah itu.
Masingmasing mereka membekal sebilah golok panjang sedang lengan serta
pergelangan kaki memakai gelang bahar besar. Ketiganya menyeringal dan
kelihatanlah barisan gigi-gigi mereka yang besarbesar berwarna aneh, yaitu
biru!
Kali Mundu perhatikan tiga
pendatang ini dengan cepat. Dari ciri-ciri mereka dia segera tahu tengah
berhadapan dengan siapa dirinya saat itu.
Sambil mengusap berewoknya
Kali Mundu berkata. "Hemmm…. Kalian pastilah Tiga Iblis Bergigi
Biru!"
"Tepat sekali sahabat
mudaku! Matamu tak salah lihat, mulutmu tak salah mengucap. Kami memang Tiga
Iblis Bergigi Biru dari muara Kali Porong. Kami pendatang baru dalam dunia
persilatan.
Tapi sembilan tokoh silat
sudah kami bunuh. Dua perguruan silat dan satu pesantren sudah kami hancurkan.
Bahkan serombongan pasukan dari Kotaraja yang coba menghadang kami di hutan
Dadali pulang ke Kotaraja tinggal nama belaka! Kurasa cukup sekian dulu
keteranganku! Hik … hi … hi ….!" Yang barusan angkat bicara adalah si
kurus jangkung yang tegak diapit oleh kedua kawannya.
Kali Mundu mengangguk-angguk.
Dia sudah maklum kalau kemunculan tiga manusia berpakaian serba hitam ini tidak
membawa maksud baik.
Namun dia tak dapat menduga
apa tujuan kemunculan mereka sebenarnya. Maka pemuda itupun bertanya.
"Jauh-jauh datang kemari tentu kalian membawa maksud tertentu. Atau mungkin
hanya kebetulan lewat di sini hingga ini adalah pertemuan yang tidak
disengaja….?"
Orang yang di tengah berpaling
pada kawannya yang tegak di samping kiri. "Silahkan kau yang
menjawab!" katanya pula.
Si teman menyeringai dulu baru
membuka mulut. "Jauh berjalan banyak dilihat. Membekal maksud tentu ada
makrifat. Kami tidak hanya kebetulan lewat disini. Dan pertemuan ini bukan
sesuatu yang tidak disengaja. Sejak pagi buta tadi kami bertiga telah
menunggumu di puncak bukit ini!"
"Hemm…. begitu?" ujar
Kali Mundu. Otaknya bekerja cepat. Dia berpaling sebentar ke arah reruntuhan
rumah gurunya lalu berkata. "Kalau begitu kalian bertigalah yang telah
memporakporandakan rumah guruku. Dan kelihatannya kalian bukan hanya sekedar
menghancurkan. Kalian mencari sesuatu!"
Tiga orang jangkung kurus itu
sama-sama keluarkan suara tertawa bergelak, membuat Kali Mundu terpaksa menahan
rasa jengkelnya.
"Setelah kau menganiaya
dan membunuh Ki Tali Kumba, apa kau masih pantas menyebut orang tua itu sebagal
gurumu? Ha…ha…ha…!" Lelaki yang di tengah berkata lalu tertawa yang
ditimpali oleh dua kawannya.
"Kurang ajar!" maki
Kali Mundu dalam hati. "Tiga keparat itu rupanya tahu apa yang aku
lakukan!" Setelah diam sesaat dia berkata dengan nada geram, "Apapun
yang terjadi antara aku dan Ki Tali Kumba bukan urusan kalian!"
"Itu memang betul.
"Menyahuti lelaki di ujung kiri. "Tapi kami kemari membawa urusan
sendiri! Kami yakin kau bisa membantu. Bukan begitu teman-teman…. ?" Dua
lelaki lainnya sama mengiyakan lalu menyeringai memandang pada Kali Mundu.
"Dengar, aku tidak punya
waktu banyak. Lekas katakan apa keperluan kalian!" kata Kali Mundu pula.
"Kami datang untuk
meminta Kitab Ilmu Silat Empat Penjuru Angin!" jawab si jangkung di
sebelah tengah dengan suara tegas dan tandas.
Terkejutlah Kali Mundu
mendengar ucapan itu. Tapi dia cepat merubah air mukanya. Sambil menggeleng dan
tertawa lebar dia berkata. "Rupanya kehebatan kitab langka itu telah
tersebar ke mana-mana. Tidak kusesalkan kalian sengaja mencarinya. Yang kusesalkan
ialah kitab itu tak ada padaku !"
"Jangan dusta!"
"Kami telah membongkar
dan memeriksa pondok kediaman Ki Tali Kumba. Buku itu tak ada disini. Siapa
lagi yang menyimpannya kalau bukan kau?!"
"Kalau aku sendiri datang
kemari dengan keperluan yang sama untuk mencari buku itu, bagaimana kalian bisa
berprangsaka bahwa buku itu ada padaku?!" tukas Kali Mundu.
Si jangkung di sebelah kanan
berkata, "Teman-teman, manusia satu ini banyak akalnya. Licik!"
"Betul!" menyahuti
kawannya di ujung yang lain. "Siapa percaya padanya!"
Yang di tengah lalu menimpali.
"Sobat muda, kami tak mau membuat urusan yang tidak enak denganmu.
Kalaupun sampai ada urusan pasti ada pemecahannya. Bagaimana kalau pemecahan
itu kita dahulukan. Berikan saja kitab itu pada kami! Urusanpun jadi beres!
Mudah saja bukan…?!"
"Kitab itu tak ada
padaku! Kalaupun ada tak nanti aku berikan pada kalian. Ada hak apa kalian
memintanya dengan paksa…?"
"Ah, kau salah sangka
sobat muda! Kami tidak meminta dengan paksa. Tapi meminta dengan janji
keselamatan nyawamu!" jawab si kurus tinggi di sebelah tengah. Dua
kawannya tertawa gelak-gelak.
Melihat gejala yang tidak enak
ini apalagi mengetahui ketiga orang itu telah menggeledah rumah Tali Kumba dan
tak berhasil menemukan kitab ilmu silat yang juga tengah dicarinya maka Kali
Mundu berpikir sebaiknya dia tinggalkan saja bukit itu. Di lain kesempatan dia
akan kembali lagi ke situ guna melakukan penyelidikan ulang.
"Para sahabat…"
berkata Kali Mundu. "Sayang aku tak punya banyak waktu. Kalian mau meneruskan
memeriksa rumah itu bahkan seluruh puncak bukit ini silahkan saja aku harus
pergi sekarang juga!"
"Ah, siapa yang ingin
melarang kau mau pergi ke mana sobat muda. Hanya saja sebelum kau pergi kaml
harus menggeledah dirimu dulu. Bukan mustahil kitab itu kau sembunyikan di
balik pakalanmu!"
Marahlah Kali Mundu mendengar
ucapan itu.
"Kallan jangan keliwat
memaksa dan menghina! Kesabaranku ada batas….!"
"Eh, lalu apa kesabaran
kami tidak ada batasnya?" ujar si jangkung yang di tengah dengan ketus.
"Kalau begitu kalian
sengaja mencari sliang sengketa. Biar kalian menyandang gelar menakutkan, biar
kalian bertiga apa kallan sangka aku takut ?" Tiga orang di hadapan Kali
Mundu tertawa gelak-gelak.
"Anak manusia satu ini
memang tidak penakut. Gurunya saja dihabisi, apa lagi kita. Kawankawan
bersiaplah!"
Melihat orang-orang Itu memang
sengaja merencanakan kekerasan maka tanpa menunggu lebih lama Kali Mundu segera
berkelebat. Yang diincarnya adalah lelaki paling tengah yang paling banyak
bicaranya.
Yang diserang segera berkelit.
Dua kawannya bergerak ke samping demikian rupa hingga kini Kali Mundu terkurung
di tengah-tengah. Begitu lawan terjepit, Tiga Iblis Bergigi Biru Itu langsuny
menggebrak!"
Dua jotosan dan satu tendangan
berkelebat mencari sasaran di tubuh Kali Mundu. Empat tahun jadi murid Ki Tali
Kumba dan baru mempelajari kurang dari setengah dari ilmu silat Empat Penjuru
Angin ternyata telah cukup membuat Kali Mundu menjadi seorang pendekar yang
tidak bisa diperlakukan sembarangan. Dia membuat gerakan berputar setengah
lingkaran. Dua tangan dan kaki kiri berkelebat.
Bukk!
Bukk!
Dukk!
Dua pengeroyok terpental
sambil pegangi lengan mereka yang tampak merah bengkak. Orang ketiga
terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya yang dimakan tendangan!
Kagetlah Tiga Iblas Bergigi
Biru. Mereka tidak menyangka ilmu silat tangan kosong Empat Penjuru Angin
demikian luar biasanya hingga dalam satu jurus saja ketiganya kena dilabrak
begitu rupa!
Seperti sudah berjanji lebih
dahulu ketiga mengeroyok segera menghunus golok masingmasing. Mata mereka
menyorotkan sinar pembunuhan!
6
SEPERTI DIKETAHUI ILMU SILAT
yang dimiliki Kali Mundu adalah yang dipelajarinya dari Ki Tali Kumba. Selama
empat tahun digembleng dia telah menyelesaikan empat persepuluh bagian dari
Kitab Ilmu Silat Empat Penjuru Angin yang dijadikan pegangan oleh sang guru.
Sampai tahun keempat itu semua pelajaran adalah menyangkut ilmu silat tangan
kosong dan tenaga dalam serta sedikit pukulan sakti. Itu diteruskan sampai
tahun ke enam. Memasuki tahun ke tujuh barulah meningkat pada ilmu silat
mempergunakan senjata. Ini tidak berarti bahwa pada permulaan penggemblengan Ki
Tali Kumba sama sekali tidak memberikan pelajaran mempergunakan senjata. Dia
telah mengajarkan bagaimana mempergunakan senjata serta bagaimana menghadapi
lawan yang bersenjata. Namun semua itu menyangkut hal yang pokokpokok dan masih
sangat mendasar.
Ketika tiga lawan dilihatnya
mencabut golok masing-masing, Kali Mundu mau tak mau merasa tercekat juga. Dia
tahu kelemahannya dalam perkelahian bersenjata. Apalagi saat itu dia sama
sekali tidak memiliki senjata apapun Maka diapun bersiap dengan pukulan sakti
yang pernah diajarkan Ki Tali Kumba padanya. Dengan cepat dia mengerahkan
tenaga dalam ke tangan kanan.
"Manusia-manusia pengecut!
Sudah mengeroyok sekarang pakai senjata pula!" gertak Kali Mundu.
"Majulah biar kuhajar kalian satu demi satu!"
Begitu lawan kelihatan
bergerak maka Kali Mundu hantamkan tangan kanannya.
"Awas pukulan
sakti!" teriak salah seorang dari Tiga Iblis Bergigi Biru ketika dia
mendengar angin deras bersiur keluar dari telapak tangan Kali Mundu. Serta
merta dia balas menghantam dengan tangan kiri sementara dua kawannya cepat
menghindar seraya tusukkan golok ke bagian kiri kanan Kali Mundu.
Dalam hal tenaga dalam
ternyata kemampuan Kali Mundu masih berada dibawah tingkat tenaga dalam lawan.
Ketika lawan balas menghantam akibatnya dia merasakan tubuhnya seperti di
dorong hingga dia jadi terhuyung-huyung dan dadanya mendenyut sakit.
Di saat yang sama menyadari
ada dua serangan senjata datang dari sisi kiri dan kanan dengan cepat Kali
Mundu rundukkan diri tapi masih terlambat
Tusukan pedang dari arah kiri
sempat dielakkannya. Yang dari arah kanan datangnya cepat sekali. Hingga
mesktpuri dia sempat merunduk namun bahunya masih kena diserempet! Pakaiannya
robek, daging bahunya tersayat luka!
Melihat darahnya sendiri
mengucur membasahi pakaian Kali Mundu menjadi kalap. Dengan nekat dia coba
merampas golok salah seorang lawan. Tapi kenekatannya ini harus dibayar mahal.
Sebelum tangannya yang sebelah
kiri sempat merampas senjata lawan yang terdekat, satu sambaran golok
berkelebat dari samping.
Craasss!
Kali Mundu terpekik.
Tiga jari tangan kirinya yaitu
ibu jari, telunjuk dan jari tengah putus ditebas golok! Pemuda itu serta merta
melompat jauh-jauh. Tampak dia menggigit bibir menahan sakit sedang mukanya
pucat seperti kain kafan.
"Aku tak bakal menang
menghadapi tiga keparat ini!" pikir Kali Mundu. Maka sebelum Tiga Iblis
Bergigi Biru kembali menyerbu dengan cepat pemuda ini balikkan tubuh lalu
melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu.
"Kawan-kawan! Kita kejar
dia ….!" berseru salah satu dari Tiga Iblis Bergigi Biru.
"Saat ini belum perlu
kita terlalu menyusahkan diri," menyahuti kawannya. "Kitab itu masih
belum ada padanya…."
Sebelum meninggalkan puncak
bukit ketiga orang itu berusaha memeriksa bangunan pondok yang telah porak
poranda. Menyelidik setiap sudut lantai tanah bahkan sampai-sampai memeriksa
batu-batu besar dan pepohonan yang ada di sekitar situ. Namun tetap saja mereka
tidak berhasil menemukan kitab yang mereka cari.
"Tinggalkan saja tempat
ini. Kita berpencar. Dua di antara kita segera menuju puncak Gunung Merbabu.
Kabarnya Ki Tali Kumba memiliki pertapaan disana. Mungkin kitab yang kita cari
disembunyikan di situ. Aku sendiri akan menguntit Kali Mundu. Bukan mustahil
dia bisa membawa kita ke tempat di mana kitab itu berada. Selain Gunung Merbabu
dia pasti akan mengetahui tempattempat lain yang sering dikunjungi orang tua
itu dan dijadikan tempat kediaman sementara."
"Aku setuju dengan
pendapatmu. Ki Tali Kumba memang punya kebiasaan berpindahpindah tempat
tinggai. Kita berpisah disini…"
Lalu ketiga orang itupun
berpencar. Dua menuju keselatan. Yang seorang lagi berkelebat ke arah larinya
Kali Mundu.
***
7
SIULAN YANG KERAS membawakan
lagu tak menentu itu mendadak sontak berhenti ketika bau yang amat busuk
menyambar hidung orang yang bersiul.
"Gila! Bau busuk apa ini!
Mau rontok bulu hidungku!" Orang itu memandang berkeliling sambil
memandang berkeliling. Dia tidak melihat sumber bau busuk itu. Tak ada mayat
atau bangkai binatang, apalagi manusia. Sambil menutup hidung dia meneruskan
langkahnya. Kirakira melangkah sepuluh tindak tiba-tiba matanya terpancang pada
sebuah benda yang menyembul di tanah di antara pepohonan besar.
"Benda itu kelihatannya
seperti…. " Orang itu tak sempat meneruskan kata-katanya. Apa yang
dilihatnya membuat tengkuknya menjadi dingin.
Dia menggosok kedua matanya
beberapa kali seperti tak percaya akan apa yang dilihatnya. Lalu dengan langkah
tertahan-tahan dia mendekati benda yang menyembul itu.
"Astaga memang batok
kepala manusia rupanya! Tengkorak!" Orang ini besarkan mata sambil terus
menutup hidung. Menurut dugaannya tengkorak itu masih belum lama karena masih
ada bekas-bekas darah dan lemak yang mengering. Kedua matanya kosong
mengerikan. Yang menyeramkan ialah bagian ubun-ubun tengkorak yang tampak
bolong menganga besar memperlihatkan bagian kosong dibawahnya.
"Eh…. Sepertinya bukan
cuma tengkorak Ada bekas timbunan tanah. Seperti ada sambungannya." Untuk
memastikan orang ini memungut sebuah ranting kering lalu mencungkil tanah di
bagian leher. Ternyata ditemuinya bagian bawah leher yang membusuk belatungan.
Dicongkelnya lagi sambil menahan rasa jijik. Dia menemukan bahu! Sampal di sini
dia hentikan mencongkel. Rasa ngeri membuat orang ini melangkah mundur sambil
garuk-garuk kepala. "Apa yang terjadi disini? Sulit kupercaya! Seseorang
dikubur hidup-hidup! Gila! Jangan-jangan aku ini sudah kesasar di neraka
…!"
Orang ini memandang
berkeliling, memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tak ada satu bendapun yang
dapat dijadikannya petunjuk. Dia berpikir-pikir apakah akan mengurus mayat tak
dikenal itu namun akhirnya memutuskan untuk pergi saja.
"Aku tak mau terlibat
segala urusan aneh mengerikan begini rupa!" Sebelum pergi dia memandang
lagi berkeliling lalu menatap ke atas pepohonan besar dan rimbun yang ada di
tempat itu. Akhirnya dia langkahkan kaki bertindak pergi. Dua langkah berjalan
dia kembali mendongak ke atas. Sepertinya ada sesuatu yang dilihatnya
samar-samar di atas sana.
"Ah, tak ada
apa-apa!" katanya. Lalu melangkah kembali. Tapi langkahnya serta merta
tertahan. Ekor matanya melihat sesuatu. Dia mendekati pohon paling besar dan
paling tinggi di tempat itu dan jadi terheran-heran ketika melihat sesosok
tubuh perempuan berpakaian biru gelap berbaring menelungkup di atas cabang
pohon paling atas. Rambutnya tergeral riap-riapan hingga orang di bawah pohon
tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Masih banyak perempuan
gila di dunia ini rupanya…" kata orang tadi pula seraya garukgaruk kepala.
"Tidur di atas pohon besar di tepi rimba belantara sementara di bawahnya
berkecamuk bau busuk dari mayat manusia yang kepalanya berubah jadi tengkorak
secara aneh!"
Orang ini geleng-geleng
kepala. Di udara terdengar suara burung-burung melayang. Ketika diperhatikannya
tenyata sekelompok burung-burung nazar tengah terbang berputar-putar.
"Hem…, jangan-jangan
burung-burung itu yang telah menggeragoti kepala manusia ini! Tapi siapa yang
menguburnya begini rupa ? Seperti disengaja… Bukan mustahil tubuh perempuan di
atas sana sudah jadi mayat pula. Tapi tak mungkin…. Tak mungkin. Kalau tubuh di
atas itu juga telah jadi bangkai, pasti sudah habis digerogoti oleh burung-burung
nazar itu. Sebaiknya aku memanjat ke atas sana dan memeriksa…."
Lalu orang ini melompat ke
cabang pohon yang paling rendah. Dari sini dia naik lagi ke cabang pohon di
atasnya, demikian seterusnya hingga akhirnya dia sampai di cabang paling atas
di mana terbaring sosok tubuh Cempaka dalam keadaan terikat.
Di sentuhnya betis kaki yang
tersingkap. Terasa dingin. Mati ? Tapi dia tak percaya. Dengan hati-hati orang
itu merayap di atas tubuh yang terbaring itu lalu mendekatkan telinganya ke
punggung. Walau sangat perlahan dia masih bisa mendengar degup jantung tanda
kehidupan. Sewaktu dia hendak menyibakkan rambut yang tergeral menutupi wajah,
matanya membentur sosok burung merpati kelabu yang bertengger di cabang sebelah
bawah.
"Satu keanehan lagi….
Mengapa burung itu berada di sana dan seperti kaku tak bergerak….?"
Dia berpikir sejenak.
"Ah, persetan dengan merpati itu…" Katanya kemudian. Lalu dia
meneruskan menyibakkan rambut panjang yang tergerai itu. Ketika rambut berhasil
disingkapkannya terlihatlah wajah perempuan itu. "Astaga… Kurasa sudah
jadi mayat belatungan. Ternyata masih segar. Cantik lagi! Hanya sedikit pucat.
Eh, tidur atau pingsankah si jelita ini…. ?" Orang itu coba menepuk-nepuk
punggung gadis yang terbaring di atas cabang. Tak ada sahutan, tak ada gerakan
apapun.
Orang itu pandangi tubuh
tersebut sambil garuk kepala tak habis pikir. "Aneh, ilmu apa yang
dimilikinya hingga dia bisa enak-enakkan berbaring di atas cabang ini tanpa
jatuh?!" Orang itu ulurkan tangan untuk menepuk kembali punggung si gadis.
Pada saat itulah kedua matanya baru melihat benang sutera yang sangat halus
melingkar di beberapa bagian tubuh sang dara, mengikatnya erat-erat ke cabang
pohon!
"Seseorang membawa gadis
ini kemari lalu mengikatnya dengan benang aneh! Kalau bukan pekerjaan
orang-orang persilatan masakan ada setan yang melakukan pekerjaan ini!"
Lantas orang itu pergunakan tangannya untuk memutus benang sutera kelabu itu.
Tetapi astaga! Bagaimanapun dia berusaha benang itu tak bisa diputuskan!
"Sialan masakan aku kalah
oleh benang ini!" maki orang itu. Lalu dia kerahkan tenaga dalam dan
kembali mencoba. Tetap saja dia tak bisa memutuskan benang sutera itu!
"Gila! Hanya ada dua atau tiga orang di dunia persilatan yang memiliki
benang seatos ini. Satu diantaranya Dewa Tuak. Tapi kakek sahabatku itu
mustahil dia mau melakukan pekerjaan seperti ini….!" Setelah berpikir
sejenak akhirnya orang itu meraba ke balik pakalannya. Ketika tangannya keluar
dari balik pakaian menyambarlah sinar putih menyilaukan di atas pohon itu.
Sinar itu ternyata keluar dari sebuah senjata mustika yakni sebilah kapak
bermata dua. Pada bagian tajam dari kedua mata kapak jelas tampak tertera
ukiran tiga buah angka yaitu angka 212. Jadi orang yang naik di atas cabang
pohon itu bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede!
Wiro dekatkan mata kapak
saktinya ke gulungan benang yang mengikat tubuh si gadis ke cabang pohon dengan
hati-hati.
Del!…. del!!…. del!!! …..
del!!!
Empat ikatan utama langsung
putus begitu mata kapak diiriskan ke benang sutera itu. Yang lainnya cukup
dengan ditarik hingga kendor dan terlepas. Begitu ikatan benang terlepas sosok
tubuh Cempaka bergeser ke kiri dan hampir jatuh kalau Wiro tidak lekas-lekas
memegangnya. Cepat-cepat Pendekar 212 menyimpan senjata mustikanya ke balik
pakaian. Ketika dia berusaha menarik sosok tubuh itu, sang gadis yang pingsan
siuman sesaat lalu pingsan lagi. Waktu siuman sebentar itu Cempaka sempat
menghembuskan nafas panjang. Tiupan nafasnya menyentuh tubuh burung merpati
yang berada di cabang pohon sebelah bawah. Terjadilah hal yang aneh. Begitu
tiupan nafas menyentuh bulu-bulunya, merpati kelabu yang sejak empat hari lalu
itu diam seperti batu tiba-tiba menggerakkan kepala, merentangkan kedua
sayapnya lalu melesat terbang menuju ke timur!
Karena sibuk menolong si
gadis, Wiro tidak memperhatikan keanehan burung merpati itu. Bukan pekerjaan
mudah menolong gadis yang sudah empat hari terikat di atas cabang pohon itu.
Apalagi dirinya dalam keadaan pingsan hingga tak mempunyai kemampuan untuk
berpegang ke tubuh Wiro. Salah bergerak atau sempat tergelincir, tubuh pingsan
itu akan jatuh ke bawah!
Khawatir tubuh sang dara jatuh
ketika dipanggul dan dibawa turun, Pendekar 212 akhirnya tanggalkan baju
putihnya lalu merobeknya di beberapa bagian, menyambungnya satu sama lain
hingga menjadi seutas tali yang cukup panjang. Dengan tali ini diikatnya tubuh
Cempaka ke tubuhnya. Dan lagi-lagi ini bukanlah pekerjaan yang gampang. Ketika
dengan sangat hati-hati dan perlahan sekali dia mulai menuruni pohon jantung
Pendekar 212 berdegup kencang. Sempat tali kain itu putus atau kakinya
tergelincir, tamatlah riwayat sang dara. Turun dari pohon yang tinggi itu
seperti menempuh jalan yang panjang dan lama sekali terasa oleh Wiro. Namun
sedikit demi sedikit dia mulai bergerak menuju ke bawah. Pada setiap cabang dia
berhenti untuk memeriksa ikatan tali. Bila dirasakannya aman maka dia turun ke
cabang sebelah bawah. Demikian seterusnya sampai akhirnya dia sampal di cabang
paling bawah lalu meluncur turun ke tanah. Dia tak perduli kulit dada dan
perutnya menjadi lecet dan luka ketika meluncur Itu. Begitu kedua kakinya
menginjak tanah dia seperti hendak berteriak saking girangnya. Nafasnya
mengengah dan kedua kakinya seperti kaku. Wiro jatuhkan diri perlahan-lahan.
Tubuh gadis yang masih terikat ke tubuhnya ikut jatuh dan terbaring di tanah.
Wiro lalu cepat-cepat buka tali kain itu. Begitu bebas sang dara segera
dipanggulnya menjauhi tempat yang menebar bau busuk itu! Disatu tempat yang
bersih di pinggiran hutan tubuh si gadis dibaringkannya. Lalu Wiro pegang kedua
tangan gadis itu dan mulai kerahkan tenaga dalam untuk dialirkan ke dalam tubuh
si gadis guna memberi kekuatan padanya.
Sekitar sepeminuman teh,
ketika tubuh Wiro sudah keringatan sepasang mata Cempaka tampak bergerak lalu
membuka sedikit. Samar-samar dia melihat seseorang di dekatnya.
"Gu…ru… Kau… kau…. yang
menolong di…. diriku…. Kau …. kau memaafkan aku?"
terdengar si gadis berucap
dengan suara sangat perlahan dan terputus-putus. Karena tak ingin si gadis yang
dalam keadaan menderita seperti itu menjadi kecewa walau tak tahu ujung pangkal
ceritanya maka Wiro lantas saja menjawab. "Tenang aku memang gurumu. Dan
aku telah, memaafkan dirimu."
"Guru…. A… Aku haus …
Berikan air … Air…."
"Tak jauh dari sini ada
mata air. Aku akan mengambilkannya untukmu…. "Wiro hendak berdiri tapi
hatinya ragu. Dia kawatir meninggalkan gadis itu seorang diri di situ maka
akhirnya dipanggulnya si gadis dan dibawanya berlari menuju ke mata air jernih.
Setelah memberinya minum, memberslhkan muka dan tangannya serta membasahi
sebagian kepala serta rambutnya si gadis tampak lebih segar. Wajahnya yang
sebelumnya pucat kini tampak merah berdarah kembali. Pemandangannya kedua
matanya lebih terang. Ketika dia sekali lagi memandang ke arah Wiro terkejutlah
dia dan serta merta berusaha untuk bangkit. Wiro cepat mencegahnya dan
membaringkannya kembali.
"Kau tak usah takut. Kau
masih lemah. Berbaring saja dulu…."
"Kau…. kau bukan
guruku….. Si…siapa…. kau. Mengapa aku berada di tempat ini…..? Mana pohon itu
…. mana bu….burung merpati itu?"
"Tenang saudari. Jangan
banyak bicara dulu. Kau berada di tempat yang aman…" ujar Wiro sambil
mengusap kening Cempaka.
Saat itu di pelupuk mata si
gadis terbayang kembali apa yang dilihatnya empat hari lalu. Serta merta dia
menjerit.
"Orang jahat itu…. Orang
jahat itu!" teriaknya sambil menunjuk ke atas. "Dia mengubur orang
tua itu hidup-hidup! Lihat … Lihat! Burung-burung gagak hitam. Kepala orang tua
itu mulai mereka patuki. Mereka mencongkel kedua matanya ….! Mencabik pipi…
mulut dan hidungnya…. Ahhhh …!" Cempaka terhenyak kelemasan dan terbaring
kembali setengah sadar setengah siuman.
***
8
KALI MUNDU BERLARI
SEKENCANG-KENCANGNYA menuruni bukit. Di satu tempat di kaki bukit pemuda ini
menyelinap ke balik semak belukar, menunggu dan mengintai. Merasa yakin tak
seorangpun dari Tiga Iblis Bergigi Biru mengejarnya maka dia lantas duduk
menjelepok di tanah dan memeriksa luka di tangan kirinya. Tiga jarinya pupus
ditebas golok lawan.
"Bangsat! Kurang Ajar!
Aku bersumpah membalas kejadian ini! Aku bersumpah!" merutuk dan menyumpah
pemuda itu. Luka di tangan kiri tidak mengucurkan darah lagi karena waktu lari
tadi dia sempat menotok urat besar di pergelangan tangan kiri. Tapi rasa sakit
masih mendenyut.
"Apa yang harus kulakukan
sekarang ?!" Kali Mundu bertanya pada diri sendiri. "Langsung ke
puncak Merbabu menyeiidik pertapaan…. Atau pulang dulu ke Kuto Gede…."
Setelah menimbang-nimbang beberapa lama pemuda itu memutuskan untuk pulang ke
rumah orang tuanya di Kuto Gede. Sudah tiga bulan dia meninggalkan rumah. Ada
baiknya memang dia pulang dulu sambil menunggu kesembuhan lukanya.
Sebelum bangkit berdiri Kaii
Mundu kembali mengintai dan memperhatikan keadaan sekeillingnya. Dia memaki
karena tidak sempat melarikan diri dengan kudanya. Tetapi diamdiam dia juga
merasa heran, mengapa Tiga Iblis Bergigi Biru tidak mengejarnya. Padahal di
puncak bukit Itu dia telah meninggalkan kuda miilknya.
"Tidak bisa tidak pasti
mereka punya rencana!" ujar Kali Mundu dalam hati. Lalu perlahanlahan dia
berdiri. Tapi baru saja bergerak bangkit tiba-tiba dia mendengar seperti
mendengar suara orang tertawa. Suara tertawa itu datang dari jauh. Menggema
aneh … Makin dekat, makin dekat lalu lenyap dan berganti dengan ucapan yang
menegur dirinya.
"Kali Mundu…. Kali Mundu!
Apa yang telah kau alami Kali Mundu? Ha…. ha… ha…. Bahumu ditusuk orang…. Tiga
jari tangan kirimu buntung! Ha ha ha…. ! Mana kehebatan ilmu silat Empat
Penjuru Angin itu? Kau tak berdaya! Ternyata kau masih lemah. Kepandaianmu
masih rendah!"
Kali Mundu memandang
berkeliling. Dia tidak melihat siapapun di tempat itu. Lalu siapa yang bicara ?
Suara itu laksana datang dari langit, tapi juga seperti keluar dari tanah! Dan
suara itu seperti dikenalnya. Tapi karena menggema sulit diterkanya. Mungkinkah
tempat sekitar situ dihuni oleh hantu?!
"Si…. siapa…? Siapa yang
barusan bicara….? Tunjukkan dirimu!" ujar Kali Mundu pula.
"Ha…. ha…. ha! Kau tidak
mengenali suaraku tak mengapa. Aku adalah roh dari liang kubur!
Kemanapun kau pergi aku akan
selalu mengikuti! Apapun yang kau lakukan dan apapun yang terjadi dengan dirimu
aku akan selalu menyaksikan! Ha…ha…. ha! Kau manusia buronan kutukanku Kali
Mundu! Apa yang barusan kau alami merupakan kutukan pertama! Ha…. ha….
ha…"
Terkejutlah Kali Mundu.
Parasnya menjadi pucat.
"Guru Ki Tali Kumba!
Kaukah itu ?" Kali Mundu bertanya dengan suara bergetar.
"Aku bukan gurumu! Aku
bukan Ki Tali Kumba! Aku adalah roh pembawa kutuk yang akan mengikuti kemana
kau pergi! Ha…. ha…ha…!"
"Aku tidak percaya!"
bentak Kali Mundu seraya berdiri. "Mana ada roh yang bisa gentayangan! Kau
hantu busuk setan pelayangan! Mengganggu orang secara pengecut!
Pengecut….!" Habis berkata begitu Kali Mundu balikkan tubuh dan lari
sekencang yang bisa di lakukannya.
Di belakangnya terdengar suara
tawa bergelak yang makin lama makin menjauh dan akhirnya lenyap sama sekaii.
Dengan nafas mengengah-engah Kali Mundu memperlambat larinya. Berkali-kali dia
berpaling ke belakang. Tak ada yang mengejar, tak ada yang mengikuti.
"Roh sialan! Dimana kau?
Ayo bicara lagi! Perlihatkan dirimu!" teriak Kali Mundu jadi berani. Tak
ada jawaban, tak ada yang memperlihatkan diri. "Kurang ajar… Jangan-jangan
tadi aku bermimpi atau terbawa larut pikiran yang bukan-bukan!" Pikir
pemuda itu. Dengan perasaan lebih tenang dia melanjutkan perjalanan menuju Kuto
Gede. Kira-kira setengah hari perjalanan sebelum tiba di Kuto Gede dia sampal
di sebuah desa, langsung menuju ke sebuah rumah yang penghuninya dikenalnya. Di
sini Kali Mundu meminjam seekor kuda. Dengan menunggang kuda dia melanjutkan
perjalanan pulang ke Kuto Gede.
Rumah kediaman orang tua Kali
Mundu terletak di pinggir timur kota. Sebuah rumah besar dan bagus karena
ayahnya adalah seorang Tumenggung. Ada berita yang tersebar mengatakan bahwa
Suro Bledek, ayah Kali Mundu merupakan salah seorang terkaya di Kotaraja.
Sawahnya berhektar-hektar, ternaknya tak terhitung. Rumahnya lebih dari lima
dan setiap rumah dihuni oleh seorang istri. Harta kekayaannya berupa perhiasan
dan uang tidak terbilang. Dan kabarnya semuanya itu dimiliki dan didapat sang
Tumenggung secara curang. Dengan jalan membujuk, kalau tidak berhasil dengan
memeras, merampas atau cara kekerasan lalnnya, termasuk istri-Istri mudanya
yang berjumlah enam orang itu!
Begitu sampal di halaman rumah
Kali Mundu langsung melompat dari kuda dan lari masuk ke dalam. Seorang penjaga
yang kebetulan tegak dekat pintu segera menyongsong.
"Ayah dan Ibuku ada di
dalam …?"
Si penjaga tampak gugup.
"Raden… Ayah raden sedang tidak di rumah Sudah lama sekali raden tidak
kelihatan. Saya akan merapikan kamar tidur raden."
"Tidak perlu. Kau
panggilkan saja juru obat kemari!" Lalu Kali Mundu bergegas masuk.
"Raden…" Si penjaga
seperti berusaha hendak menahannya. "Apa-apaan kau ini berani menghalangi
jalanku!" bentak Kali Mundu. Dengan marah didorongnya penjaga itu hingga
jatuh ke lantai. Lalu dia bergegas masuk ke dalam.
"Ibu! Aku pulang!"
berseru Kali Mundu. Pemuda ini adalah anak tunggal yang sangat manja pada
ibunya. Itulah sebabnya dia mencari si ibu lebih dulu. Dia langsung menuju
kamar tidur ibunya. Berseru memanggil sekali lagi lalu mendorong pintu.
Ternyata pintu itu dikunci dari dalam.
"Ibu, aku tahu kau ada di
dalam. Lekas bukakan pintu. Aku terluka, bu!"
Tak ada jawaban. Tapi Kali
Mundu sempat mendengar suara ranjang berderik dan suara orang berbisik-bisik.
Karena curiga Kali Mundu pergunakan kekuatan untuk melabrak pintu. Pintu
terpentang lebar. Kali Mundu melompat masuk kedalam dan sesaat kemudian
terdengar teriakan pemuda ini.
"Manusia-manusla keparat!
Kotor busuk!! Jahanam!"
DI atas ranjang seorang
perempuan separuh baya berwajah ayu tapi pucat dan membeliak tampak ketakutan
sambil menutupi auratnya yang telanjang dengan selimut. Di sudut kamar seorang
lelaki yang dikenal Kali Mundu sebagai salah seorang sahabat dekat ayahnya
tengah berusaha memakai celana sambil lari ke arah jendela. Dengan cepat dia
membuka jendela lalu melompat keluar. Tapi Kali Mundu lebih cepat lagi.
"Keparat haram jadah! Mau
lari kemana kau!" Dengan kecepatan kilat Kali Mundu menyambar sebatang
tombak yang dipajang di dinding kamar. Senjata ini dilemparkannya ke arah orang
yang lari.
Sang ibu di atas ranjang
terpekik ketika melihat tombak itu menancap di punggung, tembus sampai ke dada.
Orang yang hendak melompat jendela mengeluh tinggi, terhuyung nanar lalu jatuh
tersungkur di sanding jendela.
"Kali Mundu anakku!
Kau….kau membunuh Pangeran Sarwo Aling!" teriak perempuan di atas ranjang.
"Persetan siapa yang
kubunuh! Kau juga akan Kuhabisi! Perempuan kotor!" teriak Kali Mundu.
Pemuda ini cabut tombak yang menancap di tubuh Pangeran Sarwo Aling lalu dia
membalik.
"Jangan! Jangan bunuh aku
Kali Mundu! Aku aku akan ceritakan semua padamu apa yang terjadi. Ayah….ayahmu
ditangkap dua bulan lalu. Dituduh ikut terlibat rencana memakzulkan Sultan.
Pangeran Sarwo berusaha menolong… "
Sesaat Kali Mundu terkejut
naendengar keterangan ibunya itu. Namun di lain saat kemarahan dan kejijikannya
tak dapat dibendung lagi. Dia berterlak sambil memegang tombak berlumur darah.
"Perempuan bejat! Suami dipenjara kau menjual tubuhmu pada orang lain!
Mampus! Kau harus mampus!"
"Jangan Kali… "
Teriakan sang ibu hanya setengah jalan.
Tombak yang dilemparkan puteranya
menancap tepat di perutnya yang telanjang.
Perempuan itu rebah ke
ranjang. Selimut dan seperai putih serta merta bersibak darah! Kali Mundu
berteriak seperti orang gila. Lalu ia menghambur keluar kamar. Lari ke halaman
dan naik ke atas punggung kuda. Binatang itu dipacunya kencang-kencang tanpa
tujuan tertentu. Yang penting dia ingin meningalkan rumahnya, meninggalkan Kuto
Gede yang dianggapnya kini bagai tempat manusia-manusia bejat!
Pemuda itu tidak tahu berapa
jauh dia telah meninggalkan Kuto Gede. Ketika dia sadar, diperlambatnya lari
kudanya. Memandang berkeilling ia dapatkan dirlnya berada di pinggir daerah
persawahan. Dia tahu itu adalah sawah-sawah milik ayahnya yang didapat secara
memeras. Sesaat Kali Mundu ingat pada ucapan gurunya Ki Tali Kumba yang
mengatakan bahwa ayahnya orang manusia yang serakah!
Perlahan-tahan Kali Mundu
memutar kudanya menjauhi daerah persawahan itu. Hujan gerimis mendadak turun.
Bersamaan dengan terdengarnya deru angin tiba-tiba telinganya menangkap suara
gelak tawa. Suara tawa menggema yang makin lama makin dekat. Suara tawa sama
seperti yang didengarnya beberapa waktu lalu. Kuda yang ditunggangi Kali Mundu
meringkik keras. Lalu terdengar suara itu!
"Kali Mundu…. Kali Mundu!
Aku roh pembawa kutuk! Aku datang lagi menemuimu! Ha…. ha…ha. Ayahmu di
penjara. Ibumu main gila! Kau membunuh Pangeran Sarwo Aling! Kau juga membunuh
ibu kandung yang melahirkanmu! Sungguh hebat… sungguh hebat dirimu Kali Mundu.
Tapi sadarilah apa yang terjadi. Itu merupakan sebagian dari kutukanku atas
dirimu! Ha…. ha…. ha….!"
"Jahanam! Aku tidak takut
pada kutukanmu! Perlihatkan dirimu roh busuk pengecut!" teriak Kali Mundu.
"Jangan takabur Kali
Mundu. Mulutmu bicara berani. Tapi nyalimu sebenarnya sudah lumer! Ha…. ha…
ha….!"
Penuh marah Kali Mundu alirkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu dia menghantam ke tempat di arah mana
diperkirakannya mahluk yang bicara berada.
Dess!
Bukk!
Kali Mundu terpekik. Pukulan
mengandung tenaga dalam yang baru dilontarkannya membalik melabrak dadanya
sendiri. Tubuhnya mencelat dari punggung kuda dan jatuh terkapar di tanah.
"Ha…. ha…. ha…! Hanya
sampai di situ kehebatanmu Kali Mundu! Ilmumu hanya secuil kecil!"
"Bangsat! Keparat haram
jadah!" Kali Mundu memaki habis-habisan.
"Kali Mundu…. Lihat luka
di tangan kirimu. Luka itu tak bakalan sembuh. akan membusuk dan kebusukan itu
akan kau bawa-bawa sepanjang umur! Ha….ha….ha….! Tapi kutukanku tidak hanya
sampal di sana Kali Mundu. Pergilah temui kekasihmu. Lihat apa yang terjadi
dengan orang yang paling kau cintai itu. Ha …ha….ha…. Kutukanku akan berjalan
terus Kali Mundu. Akan berjalan terus…!"
Ucapan dan suara tawa
terdengar semakin perlahan. Sayup-sayup dan akhirnya lenyap sama sekali.
Kali Mundu terperangah.
Kata-kata mahluk tak kelihatan tadi untuk pertama kalinya mengingatkannya pada
kekasihnya. Sesaat dia merasa ragu. Namun akhirnya diputarnya kudanya kembali
menuju Kuto Gede.
***
9
NENEK BERWAJAH SERAM ITU
SESAAT mengusap keringat yang mengucur di keningnya lalu meneruskan kembali
melatih jurus-jurus silat yang baru diciptakan dan dikembangkannya. Gerakannya
serta merta terhentl ketika matanya melihat seekor merpati kelabu melayang
turun dan hinggap di ujung atap rumah kediamannya.
"Ah! Akhirnya anak itu
mau mengerti juga! Mau mengikuti kehendakku!" Wiku Ambar masuk ke dalam
rumah. Ketika keluar tangannya menggenggam beras. Beras ini ditebarkannya di
halaman. Burung merpati di atas atap segera turun ke tanah dan mematuki beras
yang bertebaran.
"Aku harus segera
berangkat kesana. Sudah empat hari lebih dia terikat di atas pohon. Dasar anak
naka! Kalau dari dulu-dulu dia mengikuti keinginanku, tak bakal dia menderita
begitu rupa!
Wiku Ambar tinggalkan tempat
kediamannya. Berlari menuju ke timur secepat yang bisa dilakukannya. Kita
kembali dulu pada Cempaka yang telah mendapat pertolongan dari Pendekar 212
Wiro Sableng. Satu hari setelah Cempaka diturunkan dari atas pohon, gadis itu
masih berada di dekat mata air jernih ditemani oleh Wiro. Tubuhnya masih terasa
lemah tapi kesehatannya tak kurang suatu apa.
"Malam ini kita masih
harus bermalam di sini, Cempaka. Besok kurasa kekuatanmu sudah pulih. Apakah
kau akan pergi ke tempat gurumu atau kemana…. ?" bertanya Wiro.
Untuk beberapa lamanya Cempaka
tak menjawab. Dia menimang-nimang buah semangka hutan yang dicarikan Wiro
untuknya.
"Aku tak tahu mau pergi
kemana…" akhirnya terdengar suara Cempaka. "Tapi yang jelas aku tak
akan mau lagi menemui guru. Aku tidak benci atau mendendam padanya. Kurasa
antara aku dan dia tak ada hubungan apa-apa lagi. Dia menganggap aku sebagai
murid yang tidak patuh. Murid durhaka." Cempaka menarik nafas dalam.
"Sebenarnya ada silang
sengketa apa antara kau dengan nenek sakti bernama Wiku Ambar
itu…?" bertanya Wiro.
Cempaka tak menjawab.
"Kalau kau tak mau menceritakan
tak jadi apa…. " ujar Wiro.
"Karena kau telah
menolongku, aku bersedia memberi tahu…." berkata Cempaka pada akhirnya.
"Sewaktu aku masih kecil, mungkin pada usia lima tahun, guru menjodohkan
aku dengan putera seorang sahabatnya yang juga dari dunia persilatan. Orang itu
bernama Ronggo Gampito dan puteranya bernama Jatayu. Setahuku Ronggo Gampito
adalah salah seorang tokoh silat Istana. Tepat pada usiaku yang kedua puluh,
guru memberi tahu soal perjodohan itu. Tentu saja aku terkejut. Sebelumnya aku
sudah beberapa kali bertemu dengan Jatayu. Dia tidak jelek.
Sikapnya sopan dan kepandaian
silatnya mengagumkan. Tapi sejujurnya aku tidak bisa menerima tindakan guru
seperti itu. Aku menganggap Jatayu kawan atau katakanlah saudara belaka. Untuk
menjadi istrinya aku menolak…"
"Sebabnya?" memotong
Wiro.
"Aku belum ada niatan
kawin. Apa gunanya aku digembleng sampal dua puluh tahun kalau hanya berakhir
pada suatu perkawinan yang akan membuat diriku mendekam di rumah saja? Singkat
cerita guru menjadi marah karena penolakanku. Kabarnya dia juga didamprat
habishabisan oleh Ronggo Gampito yang menganggap guru membuat janji palsu.
Hubungan mereka jadi tidak baik. Dan persoalannya jadi bertambah runyam karena
Ronggo Gampito menebar luaskan kejadian itu pada tokoh-tokoh persilatan
lainnya!"
Wiro garuk-garuk kepala dan
tersenyum. Dia ingat keadaan dirinya sendiri yang beberapa kali hendak
dijodohkan secara seenaknya oleh beberapa tokoh silat. Masih untung hal itu
tidak mendatangkan silang selisih.
"Eh, kenapa kau
tersenyum? Kau mentertawakan diriku…. ?" tanya Cempaka.
Wiro gelengkan kepala dan
balik bertanya. "Kau menolak dijodohkan dengan Jatayu karena belum ada
niatan kawin. Begitu? Mungkin ada pemuda lain di hatimu?"
Paras Cempaka tampak menjadi
merah. "Sejak kecil sampai jadi orang begini rupa yang aku ketahui hanya
tempat kediaman guru, hutan belantara, bukit dan lembah, puncak gunung dan
sungal. Orang yang selalu berhubungan denganku hanya guru sendiri. Aku tidak
mengenal arti hubungan laki-laki dengan perempuan…"
Wiro terdiam dan merasa
kasihan mendengar pengakuan si gadis. "Kalau begitu memang sudah saatnya
kau melakukan perjalanan, mengarungi dunia persilatan untuk mengetahui segala
keindahan dan keburukannya."
"Aku pikir begitu…."
sahut Cempaka. Dia menatap dada Pendekar 212 yang tidak mengenakan pakaian,
lalu berkata, "Sudah lebih sehari kau tidak memakai baju. Apa kau tidak
membawa pakaian lain?"
Wiro menggeleng.
"Kulit dada dan pertumu
tampak luka lecet. Kau tidak berusaha mengobatinya…"
"Hanya lecet sedikit
waktu turun dart pohon tinggi itu. Akan sembuh sendiri…"
"Karena menolongku kau
jadi cidera. Kau orang baik …. !"
Wiro tertawa lebar.
"Seumur hidup baru kali ini ada orang yang bilang aku orang baik Padahal
mungkin aku bukan orang baik!"
Cempaka kini yang tertawa
lebar. "Kalau begitu aku harus hati- hati padamu!" katanya. Lalu dia
bertanya, "Apa sih arti jarahan tiga angka di dadamu itu….?"
"Angka 212 Guruku yang
menorehkannya di dadaku. Panjang ceritanya. Ini menyangkut soal hubungan
manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan
Tuhannya…. Aku tak dapat menceritakannya padamu."
"Luar biasa!" Kata
Cempaka lalu perlahan-lahan dia berdiri.
"Kau hendak kemana?"
bertanya Wiro.
"Aku ingat sesuatu.
Antarkan aku ke pohon besar tempat aku diikat itu."
"Eh, apa perlunya?"
tanya Wiro lagi heran.
"Ada sesuatu yang ingin
aku lihat."
"Tengkorak itu?"
Cempaka menggeleng.
Dipegangnya bahu sang pendekar seraya berkata, "Antarkan saja aku. Nanti
aku katakan padamu apa yang ingin aku lihat…"
"Aku tak sanggup
menggendongmu sejauh itu!"
"Siapa minta digendong?
Aku kuat berjalan sendiri. Hanya jangan cepat-cepat…" kata Cempaka sambil
merengut.
"Jangan marah. Kau minta
gendongpun aku tak keberatan. Tapi ingat kataku tadi. Aku mungkin bukan orang
baik-baik. Waktu menolongmu turun dari pohon dan memanggulmu tempo hari ke
tempat ini aku tidak berbuat yang bukan-bukan. Tapi kalau sekali ini aku
menggendongmu mungkin tangan atau hidungku akan berlaku jahil! Ha…. ha…. ha…. !"
"Nah itu sebabnya aku tak
mau digendong!"
Wiro garuk kepala sambil
tertawa. Akhirnya dipegangnya lengan sang dara dan keduanya meninggalkan tempat
itu.
Begitu sampai di bawah pohon
Cempaka langsung memandang dan meneliti ke atas. Perhatiannya dipusatkan pada
cabang dimana sebelumnya dia diikat. Matanya mencari-cari. Tapi tetap saja dia
tak melihat benda yang dicarinya itu.
"Apa sih yang sebenarnya
kau cari?" tanya Wiro.
"Kau lihat cabang tempat
aku diikat tempo hari?"
"Ya, jelas kulihat dari
sini," jawab Wiro.
"Apa kau melihat ada
seekor burung merpati kelabu hinggap di cabang itu?"
"Tidak. Tapi….!"
"Tapi apa?!" tanya
Cempaka.
"Aku ingat. Waktu aku
naik ke atas cabang tempat kau terikat, aku melihat seekor merpati kelabu
bertengger pada cabang tepat di sebelah bawahmu. Binatang itu kulihat aneh.
Tidak bergerak seolah membatu. Tapi karena aku sibuk berusaha melepaskan dirimu
dari ikatan, aku tidak terlalu memperhatikannya.
"Kini burung itu tak ada
lagi disana. Kau ingat apa yang terjadi kemudian? Apakah burung itu terbang
atau bagaimana?"
Wiro mengingat-ingat sambil
garuk-garuk kepalanya. "Sulit mengingat karena aku kurang
memperhatikan…." Wiro menggaruk lagi.
"Cobalah putar otakmu
Wiro. Ini penting sekali!" kata Cempaka pula.
Wiro berusaha mengingat lagi.
"Ah….Waktu itu kau tiba-tiba siuman sebentar. Pada saat yang bersamaan
burung merpati itu tiba-tiba kulihat terbang meninggalkan pohon!"
"Apa….apa yang kau
lakukan saat itu? Kau mengusik burung itu?"
"Tidak. Burung itu
terbang sendirinya ketika kau siuman. Waktu siuman kalau aku tidak salah ingat,
kau menghembuskan nafas panjang lalu pingsan lagi."
"Ah…. Itulah
kuncinya!" seru Cempaka.
"Kunci? Kunci apa ?"
tanya Pendekar 212 heran.
"Aku akan ceritakan
padamu. Kau pasti tidak mengerti kalau tidak aku jelaskan!" Lalu Cempaka
menerangkan mengenal burung aneh yang diletakkan gurunya di cabang pohon. Bahwa
burung itu hanya akan terbang jika dia meniupnya dan sebagai pertanda bahwa dia
berubah pikiran, mau mengikuti keinginan Wiku Ambar untuk dijodohkan dengan
Jatayu, putera Ronggo Gampito!
"Kalau begitu pasti saat
ini gurumu tenqah menuju kemari!" ujar Wiro pula.
"Betul! Pasti dia tengah
menuju kemari karena menyangka aku meniup burung itu sebagai pertanda aku
setuju dengan perjodohan! Padahal aku meniup secara tidak sadar dan hanya
kebetulan saja pada saat siuman sebentar itu! Wiro, mari kita lekas-lekas pergi
dari sini!" Berkata Cempaka sambil memandang berkeliling seolah-olah
khawatir kalau sang guru tahu-tahu sudah ada di tempat itu.
"Tunggu dulu," kata
Wiro seraya menarik tangan si gadis.
"Eh, ada apa Wiro? Kau
masih ingin berlama-lama di tempat bau busuk dan menyeramkan ini?" Sekilas
Cempaka berpaling ke arah tengkorak kepala Ki Tali Kumba yang masih ada di
tempat itu, dikerubungi lalat dan belatung serta menebar bau busuk luar biasa.
"Apakah kau tidak berniat
memberi sedikit pelajaran pada gurumu yang telah memperlakukanmu seenak
perutnya itu?!"
"Sudah kubilang, aku
tidak mendendam padanya!"
"Maksudku bukan melakukan
tindak kekerasan."
"Lalu ?!"
"Sudah! Serahkan saja
padaku!" jawab Wiro. "Kau sembunyilah di balik semak belukar sana.
Ingat, apapun yang terjadi jangan sekali-kali kau mengeluarkan suara!"
Cempaka hanya bisa
geleng-geleng kepala. Sambil angkat bahu dia lalu melangkah ke semak belukar
lebat yang ditunjuk Wiro.
***
10
SEMAKIN DEKAT DIA KE pinggiran
rimba belantara itu semakin dipercepatnya larinya. Hatinya senang sekali
mengetahui bahwa muridnya akhirnya menyetujui keinginannya untuk dijodohkan
dengan Jatayu. Dia akan meminta Ronggo Gampito mengadakan pesta besar-besaran.
Mengundang sekian banyak tokoh persilatan. Menanggap wayang semalam suntuk,
menghidangkan permanean gamelan dengan penyanyi-penyanyi terkenal. Lalu
permainan silat di panggung terbuka tentunya! Ah, dia betul-betul gembira. Akan
dipeluk dan diciumnya sang murid begitu dia menemuinya.
"Cempaka! Aku
datang!" berseru Wiku Ambar ketika dia sampal di tikungan jalan di pinggir
hutan. Disini dia membelok ke kiri langsung masuk ke dalam hutan menuju pohon
besar. Tapi hatinya serta merta tercekat ketika hidungnya disambar bau busuk
luar biasa. Sebagai orang yang sudah berpengalaman Wiku Ambar segera tahu kalau
itu adalah busuknya bau bangkai manusia!
"Cempaka!" teriak si
nenek lagi. Suaranya masih keras tapi lidahnya menjadi agak kelu tanda ada
kekawatiran merasuk dirinya.
Wiku Ambar sampal ke dekat
pohon besar dan tinggi itu. Kedua kakinya laksana dipantek ke tanah ketika
matanya membentur sosok tengkorak kepala manusia yang tertanam di tanah,
dikerubungi lalat dan belatung!
"Cempaka ?" si nenek
keluarkan suara berdesis. Lututnya goyah, wajahnya yang keriputan menjadi
pucat. "Cempaka muridku! Kau… "
Wiku Ambar mendongak ke atas
sambil melangkah lebih dekat ku pohon besar. Dadanya lega ketika dia melihat
masih ada sosok tubuh di atas cabang sana. Tapi, kedua mata si nenek ini
membeliak! Muridnya mengenakan pakalan biru gelap. Sedang sosok tubuh yang kini
ada diatas pohon mengenakan celana putih bertelanjang dada!
Secepat kilat Wiku Ambar
melompat dan memanjat ke atas pohon. Dia berteriak keras ketika mendapatkan
orang yang terbarirg menelungkup di atas pohon ternyata bukan Cempaka.
Melainkan seorang lelaki bertelanjang dada yang tubuhnya sebelah atas penuh
kotor tertutup lumpur!
Ke mana lenyapnya Cempaka?
Bagaimana mungkin ada orang sanggup memutus benang suteranya dan siapa pula
keparat berambut gondrong yang mukanya tidak kelihatan ini!
"Kurang ajar! Siapa kau!
Mana muridku Cempaka?!" teriak Wiku Ambar. Tangannya hendak menghantam.
Tapi tiba-tiba sosok tubuh yang terbaring di atas cabang bergerak dan palingkan
kepalanya. Si nenek melihat satu wajah yang penuh coreng moreng dengan lumpur.
Sepasang matanya membeliak berputar-putar terkadang hanya bagian putihnya saja
yang kelihatan. Mulut terbuka lebar dipencong-pencongkan sedang lidah sesekali
diulurkan panjang-panjang. Dari hidung yang dikerenyitkan keluar suara
mendengus berulang kali.
"Hek… hek… Tuyul peot
dari mana yang berani-beranian naik ke tempat kediamanku!"
Tiba-tiba sosok yang terbaring
di atas cabang itu keluarkan suara seperti orang menggigil. Wiku Ambar hendak
mendamprat marah ketika mendengar dirinya disebut tuyul peot. Tapi otaknya
cepat berpikir. Jangan-jangan sosok tubuh ini sebangsa mahluk jejadian. Lalu
dimana muridnya Cempaka?!
"Manusia atau setan!
Lekas katakan siapa dirimu!" Wiku Ambar bertanya.
"Setan atau manusia! Kau
yang duluan mengatakan siapa dirimu!" Si rambut gondrong julurkan lidah,
beliakkan mata lalu keluarkan suara hek…hek….hek…
"Aku Wiku Ambar. Aku
kemari mencari muridku bernama Cempaka!"
"Muridmu itu apakah
sekuntum bunga cempaka benaran, seorang lelaki, seorang perempuan atau banci?!
Hek hek….! Bicara yang jelas jangan sampal kucekik leher jelekmu!" Lalu
mata itu mendelik-delik kembali.
"Dari namanya saja jelas
muridku itu perempuan!" jawab Wiku Ambar jengkel.
"Apakah muridmu itu
seorang dara berpakaian biru gelap?" bertanya mahluk yang berbaring di
atas pohon.
"Betul! Katakan di mana
dia dan terangkan siapa dirimu! Muridku seharusnya berada di tempat kau berada
saat ini!"
"Hueekkk hek….hek…! Kau
betul tuyul peot. Seharusnya gadis itu berada di tempat ini. Tapi kau
terlambat…"
"Terlambat bagalmana
maksudmu? Jangan berani mempermainkan aku!"
"Siapa takut pada manusla
rongsokan macammu!" balas membentak si rambut gondrong lalu julurkan
lidahnya panjang-panjang. "Kau lihat tengkorak manusia dibawah
sana?!"
"Aku tidak buta!"
sahut Wiku Ambar.
"Muridmu itu sudah dibawa
oleh roh orang yang mampus di bawah sana. Dan roh itu berada dalam kekusaanku!
He hek hek…. !"
Tentu saja Wiku Ambar terkejut
mendengar keterangan itu. "Aku tidak percaya!" sentaknya tiba-tiba.
"Hek hek! Kalau tidak
percaya silahkan tanya pada tengkorak busuk di bawah sana! Dan kau nenek jelek!
Lekas turun dari sini. Jangan kotori tempat kediamanku dengan tubuhmu yang
jelek dan bau itu!"
"Aku tidak mau pergi
sebelum aku tahu dimana muridku berada dan siapa kau ini sebenarnya!"
"Tua bangka cerewet! Aku
adalah dedemit penguasa rimba belantara ini! Kau mencari muridmu katamu!
Bukankah kau sendiri tadi mengatakan bahwa muridmu itu sebelumnya ada disini?
He hek…. ! Bagaimana dia bisa berada di sini! Bukankah kau yang mengikatnya?
Bukankah kau yang menginginkan kematiannya? Sekarang setelah dirinya di bawah
roh kau ribut-ribut mencarinya! Lekas pergi atau kuperintahkan roh dibawah sana
untuk menyeret tubuh jelekmu ini?!"
Diam-diam si nenek menjadi
tegang dan ada rasa takut dalam dirinya. Tapi suit dipercaya kalau benar-benar
berhadapan dengan dedemit. Maka diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan.
"Baik, aku akan turun
dari pohon ini! Tapi kau juga harus turun!" Lalu dihantamkannya tangan
kanannya ke arah kepala orang berwajah coreng cemoreng itu!
"Tua bangka tak tahu did,
berani lancarkan serangan! Makan kakiku.
Kaki kanan sosok tubuh yang berbaring
di atas cabang melesat dan buk! Si nenek terpekik.
Sebelum pukulan saktinya
mengenal sasaran, pinggulnya sudah kena ditendang lebih dahulu. Tabuhnya
mencelat ke samping. Masih untung dia sempat menggapai sebuah cabang dan
bergelantungan di sana. Tapi itupun tak lama karena dari atas kembali datang
kaki dan kini mengorek ketiaknya hingga dia menjerit kegelian dan mau tak mau
lepaskan pegangannya pada cabang pohon. Tak ampun lagi tubuhnya jatuh ke bawah!
Orang lain saat itu mungkin
akan langsung jatuh bergedebukan di tanah, pecah kepala atau patah tulang
belulangnya. Tapi Wiku Ambar yang memiliki kepandatan tinggi pergunakan ilmu
meringankan tubuh untuk berjungkir balik sambil kedua tangannya menggapai-gapai
pada cabang pohon hingga daya berat jatuhnya tubuhnya ke bawah jadi berkurang.
Dan sewaktu dia membuat jungkiran terakhir, kedua kakinya terlebih dahulu
menjejak tanah!.
Tetapi alangkah terkejutnya
nenek ini ketika baru saja menjejak tanah tahu-tahu mahluk bertelanjang dada
itu sudah ada di hadapannya, mengulurkan kedua tangan hendak merangkul
sementara sepasang mata mendelik dan lidah menjulur.
"Kau…. ikut …. aku. Kau
ikut….. aku hek…. hek…. hek…. !"
"Ihhh!" pekik si
nenek ketika salah satu tangan mahluk itu sempat mengusap dadanya yang kempes!"
Mahluk kurang ajar! Aku memilih mampus bersamamu!"
Wiku Ambar dorongkan kedua
tangannya ke depan. Satu gelombang angin menerpa dengan dahsyatnya. Tapi di
hadapannya mahluk itu menyeringai julurkan lidah dan dan balas melakukan hal
yang sama yaitu mendorongkan kedua tangannya. Serta-merta ada satu gulungan
angin membersit ke depan, langsung bertabrakan dengan pukulan sakti si nenek.
Bummm!
Wiku Ambar menjerit. Tubuhnya
mencelat tiga tombak dan terguling ke tanah. Di hadapannya mahluk itu tampak tergontai-gontal
lalu melangkah mendekatinya dengan sikap kembali hendak merangkul sambil
keluarkan suara hek…hek…hek.
"Nenek jelek! Tuyul peot!
Kau ikut aku! Tubuhmu akan kurendam dalam air keras! Akan kujadikan pajangan di
tempat kediaman para roh! Hek…. hek…hek…!" Kini putuslah nyali Wiku Ambar.
Kalau mahluk itu memang manusla biasa yang hendak mempermainkannya waktu
dihantamnya tadi pasti cidera. Ternyata malah dia yang balik kena dihatam! Tak
menunggu lebih lama, walau sekujur tubuhnya terasa sakit dia cepat bangkit
berdiri Dan putar tubuh ambil langkah seribu. Tapi si mahluk masih sompat
menggapai celana gombrongnya. Karena si nenek memaksa lari terus maka celana
itupun melorot ke bawah. Ketika si mahluk melepaskan cengkeramannya, Wiku Ambar
kelihatan lari dengan pantat tersingkap lebar!
"Hek…. hek…!" si
mahluk keluarkan suara sementara Wlku Ambar lenyap di kejauhan.
Dari balik semak belukar lebat
tiba-tiba melompat keluar sesosok tubuh sambil tertawa cekikikan! Orang ini
bukan lain adalah Cempaka, murid Wiku Ambar. Dia langsung menubruk dan memeluk
mahluk itu seraya berkata diseling tawa. "Konyol dan gendeng! Wiro…. Wiro!
Pantas namamu Sableng! Kalau lebih lama lagi kau mempermainkan perempuan itu,
aku pasti tak sanggup menahan ketawa! Untuk sandiwaramu tidak sampai
terbuka!"
"Hek…hek!" Si mahluk
bersihkan wajahnya yang tertutup lumpur. Kini kelihatan tampangnya yang asli.
Ternyata dia bukan lain adalah murid Sinto Gendeng alias Pendekar 212 Wiro
Sableng!
***
11
KETIKA UDARA MULAI MENGGELAP
kedua orang yang tertawa terpingkal-pingkal itu baru menyadari bahwa hari
segera akan malam.
"Mari kita tinggalkan
tempat ini Cempaka," mengajak Wiro.
"Ya, sebaiknya memang
kita pergi dari sini. Tapi aku tidak tega meninggalkan mayat Ki Tali Kumba
seperti itu. Walau dia bukan sanak bukan kadangku, tetapi sebagai sesama orang
persilatan kita pantas mengurus jenazahnya."
"Maksudmu?" tanya
Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala.
"Kita gali liang lahat
baru dan kita makamkan orang tua itu sebagaimana mestinya. Di sebelah sana
kulihat ada pacul. Lalu dekat pohon sana ada sekop…."
"Hemm… aku setuju dengan
maksud luhurmu itu Cempaka. Tapi hari segera malam. Bagaimana kalau kita tunggu
sampai besok pagi saja?"
"Lalu kau mau suruh aku
tidur di pohon lagi?!" tanya Cempaka.
"Setahuku, tak jauh di
sebelah timur ada daerah pesawahan. Di situ ada dangau. Kau boleh tidur
sepuasmu. Besok pagi-pagi sekali kita kembali kemari."
"Kau sendiri mau tidur di
mana?"
"Di sampingmu
tentunya!" sahut Wiro menggoda.
Cempaka mencibir lalu
mendahului meninggalkan tempat itu.
***
SEKARANG MARI KITA ikuti
perjalanan Kali Mundu yang memutar tujuannya kembali menuju Kuto Gede untuk
menemui kekasihnya yang tinggal di pusat kota. Memasuki ujung jalan yang menuju
rumah kediaman kekasihnya, lapat-lapat Kali Mundu mendengar suara alunan
gamelan. Mendadak saja hatinya menjadi tidak enak. Disamping itu di kiri kanan
jalan, setiap orang yang dipapasnya melontarkan pandangan aneh. Banyak di
antara mereka yang serta merta menutup hidung! Kali Mundu sadar. Dia memandang
pada luka di tangan kirinya. Luka bekas tabasan golok Tiga Iblis Bergigi Biru.
Luka itu ternyata mulai membusuk dan menebar bau yang tidak sedap. Kutukan Ki
Tali Kumba rupanya menjadi kenyataan!
Semakin dekat ke tempat
kediaman kekasihnya, semakin tidak enak perasaan Kali Mundu. Kemudian
dilihatnya janur-janur serta umbul-umbul itu. Dan di kiri kanan jalan
dilihatnya banyak orang berpakalan bagus. Kali Mundu mendekati seorang lelaki
dan bertanya, "Saudara, ada apa di tempat ini pakai umbul-umbul dan janur
segala….?"
Orang yang ditanya mengangkat
kepalanya. Terkejutlah dia ketika melihat yang menanya adalah Kali Mundu. Serta
merta orang itu balikkan diri dan lari ke arah keramaian di ujung sana
berteriak-teriak, "Raden Kali Mundu datang! Raden Kali Mundu
datang….!"
Ternyata orang itu lari ke
sebuah rumah yang tengah mengadakan perhelatan perkawinan. Dan yang saat itu
tengah melangsungkan perkawinan adalah Sri Suminti, kekasih Kali Mundu sendiri!
Begitu Kali Mundu muncul di tengah perjamuan dengan lukanya yang menebar bau
busuk serta muka segarang setan, gegerlah tempat itu.
Sri Suminti yang duduk di
pelaminan terpekik lalu terhuyung seperti hendak pingsan. Ayahnya cepat membaca
keadaan dan bergegas menemul Kaii Mundu.
"Raden Ah! Ternyata kau
masih hidup… " menegur Sido Mandukerto, ayah Suminti.
"Memangnya slapa bilang
aku sudah mati?!" tukas Kali Mundu heran tapi juga jadi marah.
"Raden…. Sebulan sesudah
ayahmu ditangkap tersiar kabar bahwa kau menemui kematian di satu tempat. Kaml
menunggu sampai berminggu-minggu. Ketika kau tidak kunjung muncul kami merasa
pasti bahwa kabar itu benar. Lalu…."
"Lalu kau mengawinkan
anakmu dengan kambing tua itu! Kenapa tidak kau selidiki dulu! Kenapa tidak kau
tanyakan dulu mengenai diriku pada ibuku!" bentuk Kali Mundu.
"Kami kami tidak berani
mendatangi rumahmu karena selalu diawasi oleh orang-orang Kerajaan. Kami
kawatir kalau-kalau ada saja yang menuduh bahwa kami terlibat dalam komplotan
yang hendak memakzulkan Sultan….!"
"Alasan kentut busuk!"
terlak Kali Mundu. Sido Mandukerto diterjaknya hingga terpelanting dan jatuh.
"Anakmu boleh kawin! Tapi pengantin lelaki kambing tua itu hanya akan
mendapatkan mayatnya!"
Habis berkata begitu Kali
Mundu membungkuk mencabut keris yang tersisip di pinggang Sido Mandukerto lalu
dengan senjata terhunus dia lari menuju pelaminan!
Keadaan semakin geger.
Beberapa orang coba menghalangi tapi langsung roboh ditikam Kali Mundu yang
seperti kemasukan setan. Ibu kedua pengantin terpekik. Sang besan dan sang menantu
tercekat gugup tak tahu apa yang akan dibuat. Hanya beberapa langkah saja lagi
Kali Mundu akan sampai di depan pelaminan tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Alas nama Kerajaan
serahkan dirimu Kali Mundu!"
"Jangan berani bergerak
satu langkahpun!"
"Bangsat setan
alas!" belalang Kail Mundu sambil berpaling ke kiri dari arah mana
datangnya bentakan-bentakan memerintah itu.
Saat itulah Kali Mundu baru
sadar kalau dirinya telah dikurung oleh dua lusin tentara Kerajaan di bawah
pimpinan seorang Perwira Tinggi dibantu oleh seorang Perwira Muda.
"Jangan bergerak Kali
Mundu! Kau kami tangkap! Jatuhkan keris itu!" memerintah si Perwira
Tinggi.
"Kalian hendak
menangkapku? Apa salahku?!" tanya Kali Mundu.
Sang Perwira menyeringai lalu
menjawab, "Kau diketahui membunuh Pangeran Sarwo Aling! Kau bahkan
membunuh ibu kandungmu sendiri! Jangan berani berdalih! Jangan berani
membangkang!"
Perwira tinggi itu memberl
tanda. Dua lusin pasukan bergerak dipimpin oleh Perwira Muda. Kali Mundu maklum
kalau dia tak akan bisa blos dart kurungan orang sebanyak Itu. Dan dia juga
maklum dua perwira Itu sama memiiiki kepandalan silat yang tlnggl. Sia-sia
mengadakan perlawanan. Tetapi karena kalap maka Kali Mundu beteriak keras.
Keris di tangan kanannya di ayunkan ke arah perajurit yang terdekat. Perajurit
ini menjerit begitu ujung keris menancap di perutnya tetapi di saat itu juga
Perwira Tinggi dan Perwira Muda tadi sudah berkelebat. Dua hantaman melabrak
kali Mundu. Pemuda itu terkapar di depan pelaminan. Mata kirinya tampak bengkak
merah dan mengucurkan darah. Tulang bahunya sebelah kanan remuk. Dia mengerang
kesakitan dan tak bisa berbuat apa-apa ketika kedua tangannya di telikung ke
belakang. Sebuah rantal besi diikatkan pada kedua tangannya itu. Tubuhnya
kemudian diseret keluar dimana telah menunggu sebuah gerobak.
***
BANGUNAN PENJARA ITU terletak
di ujung utara barak balatentara Kotaraja. Seorang pengawal berbadan tinggi
besar Dan bertampang galak menyambut kedatangan dua perajurit dan Perwira Muda
yang membawa Kali Mundu. Di depan pintu penjara rantal yang mengikat kedua
tangan Kail Mundu dilepaskan.
Atas perintah si Perwira Muda,
pengawal membuka pintu lalu menjebloskan Kali Mundu dengan keras ke dalam
penjara, hingga jatuh terjerembab di lantai batu yang kasar. Di dalam penjara
berdinding batu itu hanya ada sebuah pelita minyak kecil sebagai penerang.
Cahayanya tidak dapat menerangi seluruh ruangan. Karena itu Kali Mundu tidak
sempat melihat sesosok tubuh yang mendekam di sudut kiri. Sebaliknya sosok
tubuh itu bisa melihat munculnya Kali Mundu karena kedua matanya sudah terbiasa
dengan kegelapan, hidungnya langsung mencium bau busuk luka di tangan kiri Kali
Mundu.
"Sialan, manusia atau
bangkaikah yang masuk ke tempat ini?!" orang di sudut penjara menyumpah.
Kali Mundu tak melihat
orangnya tapi dia mengenali betul suara itu.
"Eh, siapa yang bicara di
sudut sana?!" tegurnya.
"Sama denganmu! Sama-sama
kerak penjara…" menjawab yang ditanya.
Kali Mundu berdiri, memandang
tajam-tajam ke sudut ruangan tapi tak sanggup menembus kegelapan. Maka
diambilnya pelita di sudut ruangan. Benda ini dibawanya ke arah sosok tubuh
yang mendekam dan didekatkannya ke wajah orang itu. Astaga! Wajah itu penuh
lumuran darah dan benjat-benjut bekas pukulan. Tapi walau bagaimanapun Kali Mundu
tetapi mengenalinya. Orang itu adalah ayahnya sendiri! Tumenggung Suro Bledek.
"Ayah!" seru Kali
Mundu.
Orang yang duduk mendekam
tersentak kaget dan bangkit berdiri.
"Kali Mundu!
Anakku!"
Kali Mundu letakkan pelita di
lantai lalu memeluk ayahnya. "Anakku…. Apa yang terjadi dengan dirimu!
Mengapa mereka menjebloskan kau kemari dan sengaja memilih ruangan yang sama
denganku?! Ah….mata kirimu cidera berat!"
"Aku tak tahu ayah….Aku
tak tahu…." jawab Kali Mundu berdusta. "Kudengar ayah ditangkap
karena tuduhan berkompiot hendak menggulingkan Sultan …."
"Fitnah! Itu fitnah busuk
belaka, anakku! Ada orang-orang yang iri terhadap kekayaan yang kumiliki!
Mereka lalu mengarang cerita! Dan Sultan celaka serta para pengikutnya itu
percaya saja semua fitnah itu. Aku dijebloskan kemari. Dipukul,
ditendang….!"
"Bangsatt! Akan
kubalaskan semua kekejaman ini ayah!"
"Anakku, apa kau sempat
menemui ibumu sebelum dijebloskan ke tempat celaka ini?" bertanya sang
ayah yaitu Tumenggung Suro Bledek.,
"Ti…tidak ayah. Aku tidak
sempat. Pasukan Kerajaan menangkapku ketika baru saja memasuki Kuto
Gede…"Lagi-lagi Kali Mundu berdusta. Dia tak ingin ayahnya lebih menderita
lagi jika diberi tahu tentang perbuatan mesum ibunya.
"Kali Mundu, kau belum
mengatakan mengapa mereka menangkapmu!"
"Sama dengan alasan
mereka menangkapmu, ayah. Kata mereka jika ayahnya pemberontak, anaknya pasti
pemberontak juga! Supaya Kerajaan aman, aku harus dijebloskan juga masuk
penjara…"
"Kerajaan keparat!
Hancurlah Kerajaan ini! Mampuslah Sultan!" teriak Tumenggung Suro Bledek
sambil memukul dinding batu. Lalu dia membalik. "Ada bau busuk di badanmu
Kali Mundu. Kau terluka atau bagaimana…. ?"
"Ada luka di tangan
kiriku ayah. Agak membusuk. Tapi segera akan sembuh…."
Dalam kegelapan baru Kali Mundu
melihat ayahnya jauh lebih kurus dari kali terakhir dia menjumpalinya.
"Kau duduklah, ayah….Keadaanmu kurang sehat…"
"Aku masih sehat anakku.
Hanya bangsat-bangsat itu tidak henti-hentinya menyiksaku untuk mendapatkan
keterangan yang tidak-tidak!"
"Benar-benar jahanam!
Akan kubalaskan sakit hatimu ayah! Akan kubunuhi semua manusia itu. Termasuk
Sultan kalau perlu!"
Baru saja Kali Mundu berkata
begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh. Kali Mundu mendengar tapi sang
ayah tidak.
"Kali Mundu…. Aku roh
pembawa kutuk! Aku datang lagi karena mendengar ucapanmu tadi…."
"Persetan! Pergi sana!
Aku tidak butuh kau!" teriak Kali Mundu.
Suro Bledek terkejut dan
keheranan melihat anaknya bicara sendirlan seperti itu.
"Kau bicara dengan siapa,
Kali Mundu?!" bertanya sang ayah.
Sebelum pemuda itu sempat
menjawab, suara gaib roh tadi terdengar kembali di telinga Kali Mundu.
"Jika kau ingin
membalaskan sakit hatimu, kau butuh aku Kali Mundu…. Kau butuh aku
Ha….ha….ha..! Karena hanya aku yang bisa mengeluarkanmu dari tempat celaka
ini!" Kali Mundu terdiam.
"Dengar…. Aku roh pembawa
kutuk akan menunjukkan jalan keluar padamu! Kau bisa pergunakan kesempatan ini
untuk melarikan diri lalu menyusun rencana untuk melakukan pembalasan! Bukankah
aku sangat berbaik hati padamu….?!"
Kali Mundu masih membungkam.
Dia bahkan seperti tidak mendengar ayahnya beberapa kali memanggil.
Tiba-tiba telinganya menangkap
suara menderu dahsyat lalu hampir tak percaya tembok di hadapannya tiba-tiba
jebol dan kini kelihatan sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia di tembok batu
itu. Kalau Kali Mundu terheran-heran tak percaya, ayahnya tak kalah kejutnya.
Kedua orang ini lari menuju ke lobang.
Di belakangnya Kali Mundu
mendengar lagi suara roh pembawa kutuk, suara gaib Ki Tali Kumba. "Apa
yang kau tunggu lagi Kali Mundu! Larilah! Kaburlah! Ha…ha…. ha..! Bukan main!
Aku roh pembawa kutuk sangat berbaik hati menolongmu!"
Kali Mundu memaki dalam hati.
Tapi memang kesempatan ini tidak boleh disia-siakannya. Dia memberi isyarat pada
ayahnya. Suro Bledek menggangguk. "Kau duluan, aku menyusul… hati-hati!
Begitu keluar lekas lari ke kiri. Kau akan menemui sebuah kandang kuda. Ambil
kuda paling besar dan kaburlah. Aku menyusul."
Kali Mundu cepat meloloskan
dirinya dari dalam lobang besar di dinding. Di luar ternyata hari mulai gelap
tanda malam akan segera tiba. Ini sangat menolong baginya. Sesuai petunjuk
ayahnya begitu keluar dari lobang Kali Mundu berkelebat ke kiri. Lari sejauh
seratus langkah dia menemukan sebuah kandang kuda berisi enam ekur kuda. Kali
Mundu memilih yang diperkirakannya paling kuat. Cepat ditungganginya lalu
sesaat dia menunggu sampai ayahnya muncul.
Darl kandang kuda dia dapat
melihat ayahnya keluar dari lobang di dinding penjara. Ketika orang tua ini
hendak lari ke jurusan kiri tiba-tiba terdengar suara kentongan bertalu-talu.
Bersamaan dengan itu para pengawal penjara bermunculan dari mana-mana!
"Hanya manusla yang ingin
cepat mampus berani melarikan diri dari penjara Kerajaan!" Satu suara
membentak. Lalu berkelebat satu bayangan tinggi besar. Ternyata dia adalah si
Perwira Tinggi yang bertindak sebagai pimpinan pasukan sewaktu menangkap Kali
Mundu di tempat perkawinan Sri Suminti.
Perwira Tinggi itu angkat
tangannya memberi isyarat. Sembilan pengawal bersenjata golok menyerbu. Melihat
hal ini Kali Mundu segera menggebrak kuda yang ditungganginya. Dia sengaja
melarikan binatang itu ke tengah-tengah kalangan perkelahian. Akibatnya tiga
pengawal yang kena terjangan mencelat berpelantingan. Sewaktu Kali Mundu hendak
berbalik untuk menabraki lagi para pengawal itu, si ayah berteriak.
"Lari! Lekas lari! Jangan
perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!"
Pada saat itu Kali Mundu
benar-benar tidak takut mati. Tapi justru mendengar ucapan ayahnya itu hatinya
jadi mendua. Apalagi saat itu dilihatnya semakin banyak para pengawal yang
datang. Tak ada jalan lain. Dia harus merelakan meninggalkan ayahnya. Kali
Mundu segera memutar kuda dan tinggalkan tempat itu dengan cepat. Seseorang
memberi perintah agar mencari kuda dan melakukan pengejaran.
Kali Mundu lenyap dikegelapan
malam. Di belakangnya ayahnya, Suro Bledek, yang sadar tak akan dibiarkan hidup
berusaha mempertahankan diri. Tapi apalah kekuatan dua tangan kosong menghadapi
sekian banyak lawan dan senjata. Apalagi Suro Bledek memang tidak membekal ilmu
silat apapun, juga kesaktian! Dalam waktu singkat sekujur tubuhnya mandi darah
dihujani bacokan hampir selusin senjata tajam!
***
12
KEGELAPAN MALAM MEMBANTU Kali
Mundu melarikan diri. Jauh di belakangnya terdengar derap kaki kuda banyak
sekali pertanda ada yang melakukan pengejaran. Kali Mundu menepuk pinggul kuda
tunggangannya keras-keras agar binatang itu lari lebih cepat. Ternyata dia
telah keliru memilih kuda. Kuda itu memang paling besar di antara kuda yang ada
di kandang penjara. Tetapi ternyata binatang ini adalah kuda betina yang baru
saja melahirkan! Akibatnya setelah lari sekian jauh kuda betina itu mulai
keletihan dan tak sanggup lagi dipacu!
"Binatang sialan!"
rutuk Kali Mundu. Derap kaki kuda para pengejar semakin keras tanda semakin
dekat. Kali Mundu jadi serba salah. Apakah dia akan terus menunggangi kuda itu
atau melompat turun dan menyelinap masuk ke dalam rimba belantara. Selagi dia
berpikir begitu rupa tiba-tiba ada angin menyambar lalu terdengar suara tertawa
bekakakan!
"Roh keparat itu muncul
lagi!" kata Kali Mundu dalam hati begitu dia mengenali suara tawa itu.
"Ha …ha… Kau mendampratku
dalam hati Kali Mundu! Padahal barusan saja kau kutolong lolos dari
penjara!" terdengar suara roh pembawa kutuk.
"Kau yang memberi
pertolongan! Aku tidak meminta! Sekarang jangan ganggu aku lagi! Pergi
sana!" hardik Kali Mundu.
Sang roh kembali tertawa
bergelak. "Sudah kukatakan kemana kau pergi aku akan mengikutimu! Sampai
akhirnya kau mendapatkan kematianmu! Ha …ha…ha…"
"Kalau begitu mengapa
tidak kau bunuh saja aku saat ini?!"
"Membunuhmu saat ini?
Tidak… tidak Kali Mundu. Aku ingin berpuas-puas melihat kau tersiksa lebih
dahulu! Apa kau tidak tahu bahwa saat ini kau sudah jadi seorang manusia yatim
piatu?! Ha …ha…ha…ha!"
"Ibumu mati ditanganmu!
Kau jadi anak piatu. Barusan ayahmu dicincang sampai mati oleh para pengawal
penjara! Apa itu bukan berarti kau sekarang jadi anak yatim piatu?
Ha…ha…ha!"
Saking kagetnya Kali Mundu
hentikan kuda. Suara tertawa roh pembawa kutuk lenyap dan Kali Mundu baru sadar
ketika suara derap kaki kuda para pengejar terdengar menggemuruh semakin dekat.
Cepat-cepat pemuda ini menggebrak kudanya. Binatang itu menghambur lari, tapi
tak sanggup berlari secepat yang dikehendaki Kali Mundu. Dalam waktu beberapa
saat lagi dia pasti terkejar dan ditangkap!
Dalam keadaan seperti itulah
tiba-tiba dari samping memotong seekor kuda ditunggangi seorang lelaki kurus
jangkung. Orang ini segera memepet kuda Kali Mundu. Untuk beberapa saat lamanya
dua ekor kuda itu lari berdampingan. Kuda betina Kali Mundu meringkik berulang
kali. Terpaksa Kali Mundu perlambat lari kudanya dan berpaling pada orang di
sebelahnya. Yang diperhatikan balas berpaling dan menyeringai. Meskipun gelap
tapi jelas kelihatan barisan gigigiginya yang berwarna biru. Ternyata dia
adalah salah seorang dari Tiga Iblis Bergigi Biru yang memang sejak beberapa
hari ini terus menerus menguntit Kali Mundu.
"Bangsatl Kau muncul
lagi! Apa urusanmu?!" bentak Kali Mundu. Dendam kesumatnya serta merta
berkobar.
"Jangan bicara kurang
ajar begitu Kali Mundu!" balas membentak si gigi biru. Namanya Sembung
Sengkolo. "Nyawamu terancam. Sebentar lagi pasukan Kerajaan akan berhasil
mengejarmu. Lalu menangkapmu dan menylksamu sampai mampus! Apa kau tidak
takut?!"
"Aku memang tidak
takut!"
Sembung Sengkolo tertawa
lebar. "Bagus kalau kau memang tidak takut! Tapi kalau kau bicara dusta,
ketahuilah, saat ini hanya aku yang bisa menolongmu!"
Habis berkata begitu salah
seorang dari Tiga iblis Bergigi Biru itu gerakkan kudanya ke kanan seolah-olah
hendak meninggalkan Kali Mundu.
"Hai! Tunggu dulu!"
Seru Kali Mundu. "Apa yang ada di benakmu?!"
"Hem …. ternyata kau
takut mati juga!" ujar Sembung Sengkolo.
"Katakan cepat apa
maumu!" Kali Mundu jadi jengkel karena bukan saja merasa dipermainkan tapi
juga seperti dianggap hina.
"Aku akan menolongmu dari
kejaran orangorang Kerajaan. Tapi ada syaratnya!"
"Katakanlah apa
syaratmu!"
"Berikan kitab Ilmu Silat
Empat Penjuru Angin itu padaku…. !"
"Keparat! Sudah kubilang
aku tidak tahu… "
Saat itu para pengejar telah
berada semakin dekat. Salah seorang di antara mereka terdengar berteriak,
"Kali Mundu ada di depan sana! Percepat lari kuda kalian! Tangkap dia
hidup-hidup. Jika melawan cincang saja seperti ayahnya!"
"Bagaimana…?! Kau tetap
keras kepala?!" Sembung Sengkolo menyeringai.
Karena kepepet akhirnya Kali
Mundu berdusta. "Baik! akan kukatakan padamu di mana kitab itu
disembunyikan mendiang guruku! Yang penting sekarang selamatkan dulu aku dari
para pengejar keparat itu!" Sembung Sengkolo tertawa gembira.
"Jangan kawatir! Aku akan
menyesatkan mereka ke jurusan lain!"
Dari dalam saku pakalan
hitamnya Sembung Sengkolo keluarkan sebuah benda berbentuk bola putih. Benda
itu dilemparkannya ke belakang. Terdengar suara letupan yang disusul oleh
kepulan asap tebal tak tembus pandang.
"Beres! Sekarang ikut aku
ke tempat yang aman!" kata orang kedua dari Tiga Iblis Bergigi Biru itu.
Mau tak mau Kali Mundu putar kudanya mengikuti. Di sebuah lereng bukit Sembung
Sengkolo hentikan kudanya. Dia berpaling pada Kali Mundu dan berkata,
"Sekarang katakan di mana kitab itu!"
"Kau boleh membunuhku!
Sebetulnya aku memang tidak tahu dimana kitab itu berada," jawab Kali
Mundu.
"Bangsat penipu!"
Sembung Sengkolo marah sekali. Tangan kanannya serta merta dihantamkan ke arah
Kali Mundu. Pemuda ini gerakkan kudanya menjauh sambil menangkis. Namun pukulan
Sembung Sengkolo masih sempat menyelinap ke arah barisan tulang iganya di sisi
kanan. Terdengar suara berderak disertai pekik Kali Mundu. Tubuh pemuda ini
terlempar dari atas kuda yang ditungganginya, jatuh bergedebukan ke tanah.
Ketika dia mencoba bangkit, Sembung Sengkolo yang sudah melompat dari kudanya
injakkan kaki kanannya ke dada Kali Mundu. Tangan kanannya mencabut golok.
Ujung senjata ini ditudingkannya ke tenggorokan Kali Mundu.
"Bunuh saja! Aku tidak
takut mati!"
Sembung Sengkolo ganda tertawa
dan menyahuti, "Aku tidak akan membunuhmu cepatcepat. Aku akan
mengiris-iris tubuhmu sebagian demi sebagian. Sampai akhirnya kau mau membuka
mulut!"
Sreeett!
Kali Mundu mengeluh kesakitan
ketika ujung golok mengiris pipi kirinya. Darah mengucur.
"Katakan di mana kitab
itu!"
"Bangsat! Kau tanyakan
saja pada setan-setan bebukitan ini!"
Sreeett!
Kembali terdengar pekik kesakitan
Kali Mundu. Kini pipi kanannya yang dilukai.
"Masih belum mau
bicara…?!"
"Bangsat! Kau
bangsaatttt!" teriak Kali Mundu.
Craasss!
Putuslah daun telinga sebelah
kiri Kali Mundu.
Pekik pemuda itu setinggi
langit. Sembung Sengkolo tertawa gelak-gelak.
"Setiap kali kau bicara
konyol, salah satu bagian tubuhmu akan kuiris atau kubuntungi!"
Kali Mundu tangkap kaki kanan
Sembung Sengkolo yang menginjak dadanya. Maksudnya hendak didorongnya ke
samping. Bersamaan dengan itu kaki kanannya berusaha menendang. Namun dia tak
mampu melakukannya. Injakan kaki itu justru malah tambah keras, membuat
nafasnya sesak dan dadanya seperti melesak. Kaki yang menginjak berat sekali,
laksana sebuah batu besar yang sulit digeser!
"Mati… aku ingin
mati…" desis Kali Mundu.
"Tidak… Kau tidak boleh
mati secepat itu. Terlalu enak, Kali Mundu…"
Kali Mundu tersentak kaget.
Yang menyahuti ucapannya tadi bukan Sembung Sengkolo. Itu adalah suara roh
pembawa kutuk! Dia muncul lagi!
***
13
JIKA DITURUTINYA KEMARAHANNYA
mau rasanya dia memenggal leher Kali Mundu saat itu. Namun Sembung Sengkolo
masih bisa berpikir. Kalau pemuda itu sampal mati, berarti dia tak akan
mendapatkan kitab Ilmu Sllat Empat Penjuru Angin itu. Dan dua kawannya akan
mendampratnya habis-habisan! Berpikir sampai di situ akhirnya dia memutuskan
untuk terus menyiksa Kali Mundu. Bila kesakitan masakan dia tidak akan membuka
mulut! Justru di saat itu Sembung Sengkolo mendapat akal.
"Kau mau mampus! Baik!
Aku akan berikan mampus padamu! Tapi tidak seluruhnya Kali Mundu. Cukup kau
kubikin setengah mampus saja!"
Golok di tangan kanan Sembung
Sengkolo bergerak ke bawah.
Breett!
Celana yang dikenakan Kali
Mundu robek besar di bagian bawah perutnya. Sembung Sengkolo menyeringai.
"Mulai hari ini kau akan merasakan siksa hidup tanpa anggota rahasia!
Ha…ha…ha…!"
Golok itu menebas ke
selangkangan Kali Mundu. Si pemuda mendelik kaget dan berteriak keras. Sesaat
lagi golok ilu akan membabat putus anggota rahasia Kali Mundu mendadak Sembung
Sengkolo merasakan ada satu hawa aneh yang mendorong tubuhnya dari arah depan.
Tangannya yang memegang senjata terasa ngilu. Ketika dia memaksa dengan
melipatgandakan tenaga dalamnya, satu hantaman melabrak dadanya. Anggota Tiga
Iblis Bergigi Biru ini terpental ke belakang. Dadanya seperti pecah dan mukanya
sepucat kain kafan! Goloknya mental entah ke mana.
Sembung Sengkolo tak tahu apa
yang terjadi. Dia juga tidak tahu apa sebenarnya yang menghantamnya. Memandang
ke depan dilihatnya Kali Mundu masih terkapar di tanah lalu tampak dia mencoba
bangun. Sembung Sengkolo yakin benar bukan Kali Mundu tadi yang menghantamnya.
Karenanya ketika dilihatnya pemuda itu sudah berdiri dan mengambil sikap hendak
melarikan diri dia cepat pula berdiri dan memburu.
"Kau kira kau bisa kabur
dariku?!" Ucapan itu disertal satu lompatan dan tahu-tahu Sembung Sengkolo
sudah berada di depan Kali Mundu, menghalang langkah pemuda itu!
Dengan kalap Kali Mundu
kirimkan satu jotosan ke arah lawan. Pemuda ini keluarkan jurusjurus terhebat
dari ilmu silat yang telah dipelajarinya dari Ki Tali Kumba yaitu yang diwarisi
dari kitab Ilmu Silat Empat Penjuru Angin. Dalam keadaan tidak bersenjata
ternyata Sembung Sengkolo tidak seberbahaya kalau dia memegang golok. Dua jurus
berlaku dengan cepat. Kelihatannya Kali Mundu berada diatas angin. Jurus ketiga
dan keempat dia berhasil mendesak lawannya habis-habisan. Memasuki jurus kelima
tiba-tiba dia merasakan seperti ada yang membimbing gerakan kedua tangannya.
Dan bukk!
Tinju kiri Kali Mundu
bersarang di pipi kanan Sembung Sengkolo. Anggota komplotan Tiga Iblis Bergigi
Biru ini mengeluh kesakitan. Sebaliknya Kali Mundu juga berteriak keras ketika
tangannya yang luka dan busuk itu menghantam keras muka lawan! Sakitnya luka
yang busuk itu bukan alang kepalang!
Sembung Sengkolo yang
kecipratan darah busuk, selain kesakitan juga merasa jijik. Orang ini menyumpah
panjang pendek. Sambil meludah jijik dan seka mukanya dengan ujung baju.
Sembung Sengkolo bergerak mendekati Kali Mundu. Entah dari mana diambilnya
tahu-tahu di tangan kanannya saat itu sudah tergenggam sebilah pisau bermata
dua. Salah satu mata pisau ini berbentuk gerigi seperti gergaji. Dia
menghampiri lebih dekat lalu dengan kecepatan luar biasa disabetkannya pisau
itu ke arah perut Kali Mundu.
Breet!
Baju yang dikenakan Kali Mundu
robek besar tapi tubuhnya selamat dari sambaran pisau. Justru saat itu
dihadapannya terdengar suara dukk….dukkk berulang kali dan Sembung Sengkolo
kelihatan terpental kian kemari sambil menjerit-jerit pegangi pinggul, perut
serta dada. Apa yang terjadi? Ada "kaki" yang tak terlihat oleh mata
menendangnya bertubi-tubi hingga akhirnya orang ini terkapar di tanah,
kesakitan setengah mati. Sekujur tubuhnya serasa remuk!
Kali Mundu meskipun heran
merasa tidak perlu mencari tahu apa yang terjadi atas diri Sembung Sengkolo.
Melihat orang itu terkapar dalam keadaan tak berdaya dia segera melompat nalk
ke atas punggung kuda milik Sembung Sengkolo.
"Bangsat! Kau mau lari
kemana?!" terlak Sembung Sengkolo. Lalu dia loloskan gelang bahar besar yang
ada di lengan kirinya. Gelang ini sebenarnya adalah juga merupakan salah satu
senjata rahasia komplotan Tiga Iblis Bergigi Biru. Sebelum dilempar gelang itu
diisinya dulu dengan tenaga dalam. Ketika dilomparkan ke arah kepala Kali Mundu
gelang itu keluarkan suara menderu dan membersitkan cahaya hitam. Jangankan
kepala manusla, batupun bisa pecah berantakan terkena hantamannya.
Tapi lagi-lagi ada kekuatan
aneh yang menghantam berlawanan arah dengan meluncurnya gelang bahar itu hingga
benda ini terpental dan jatuh entah dimana dalam kegelapan malam. Kali Mundu
memacu kuda milik Sembung Sengkolo sekencang-kencangnya. Dalam melarikan diri
dia tidak lagi memperhatikan arah mana yang ditujunya.
Sementara itu Sembung Sengkolo
yang tengah berusaha bangkit berdiri menjadi kaget ketika dapatkan dirinya
tahu-tahu telah dikurung oleh pasukan berkuda berjumlah lebih dari dua puluh
orang. Dua orang Perwira melompat turun dan mendatanginya. Di lain arah dia
sempat pula melihat dua orang tokoh silat istana ikut dalam rombongan itu!
"Lain yang dikejar lain
yang didapat!" Salah seorang Perwira Kerajaan berseru ketika melihat siapa
adanya orang berbaju hitam yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.
Salah seorang tokoh silat
berkata lantang dari atas kudanya. "Beberapa waktu yang lalu dia bersama
dua kambratnya membunuh habis pasukan kita! Tunggu apa lagi! Bereskan dia
sekarang juga!"
"Tahan dulu!" teriak
Sembung Sengkolo. "Bukankah kalian tengah mengejar Kali Mundu, putera
Tumenggung Suro Bledek?!"
"Hemm…Bagaimana kau bisa
tahu?" balas bertanya tokoh silat kedua. "Jangan-jangan kau ikut
berkomplot dengan pemuda itu!"
"Aku bersedia membuat
perjanjian!" berkata Sembung Sengkolo. Dia sudah melihat tak bakal bisa
lobs dari tempat itu. Karena itu kini dia pergunakan kecerdikan akal.
"Perjanjian apa yang
hendak kau buat?!" tanya Perwira Kerajaan yang berada di depan Sembung
Sengkolo.
"Aku akan tunjukkan
kemana larinya Kali Mundu. Untuk itu kalian biarkan aku meninggalkan tempat ini
dengan aman!"
Sang Perwira hendak mendamprat
tapi tokoh silat pertama angkat tangannya dan berkata, "Baik! Perjanjian
disetujui! Katakan ke jurusan mana larinya Kali Mundu!"
Sembung Sengkolo menunjuk ke
barat, ke arah lenyapnya Kali Mundu. "Dia baru ke jurusan sana….!"
katanya.
"Bagus! Kau bebas dan
boleh pergi!" ujar tokoh silat pertama. Begitu Sembung Sengkolo memutar
tubuh dia memberi isyarat pada Perwira yang ada di sebelah kiri. Perwira ini
cepat menyambar tombak salah seorang perajurit lalu senjata ini dilemparkannya
ke arah punggung Sembung Sengkolo!
"Bangsat pengecut!
Curang!" terlak Sembung Sengkolo. Telinganya telah lebih dahulu menangkap
suara bersiurnya tombak yang dilemparkan. Secepat kilat dia bergerak ke kiri
lalu membalik. Begitu tombak lewat di sampingnya segera ditangkapnya. Lalu
dengan senjata itu di tangan dia mengamuk penuh kemarahan. Dua kali tombak itu
dikemplangkannya. Dua kali terdengar suara jerit perajurit yang kena hantam.
Keduanya langsung jatuh dari atas kuda. Satu patah lehernya, satu lagi pecah
kepalanya kena kemplangan tapi tombak di tangan Sembung Sengkolo sendiri patah
dua. Dengan patahan tombak di tangan orang kedua dari Tiga Iblis Bergigi Biru
itu lanjutkan amukannya. Korban ketiga terguling dengan perut bobol. Sewaktu
Sembung Sengkolo hendak mengambil korban ke empat, tokoh silat istana yang tadi
memberi isyarat untuk membunuh Sembung Sengkolo serta merta melompat dari atas
kudanya! Sambil melompat dia lepaskan satu pukulan tangan kiri dan mengandung
tenaga dalam tinggi. Sembung Sengkolo kertakan rahang, berkelit ke kiri lalu
lemparkan patahan tombak yang masih di pegangnya ke arah tokoh silat itu. Yang
diserang menangkis dengan lengan kanan. Tombak dan lengan beradu. Tombak mental
patah dua sedang sang tokoh silat menyeringai sambil tegak berkacak pinggang!
"Keparat!" sentak
Sembung Sengkolo. "Kalau kau berani berkelahi satu lawan satu, aku
bersumbah mengadu nyawa denganmu!"
"Apa kemauanmu aku
turuti! Malam ini nyawamu akan kukirim ke akhirat sebagai pembalas kematian
seorang perajurit yang pernah kau bunuh bersama dua kawanmu! Dan perajurit itu
adalah anakku sendiri!" Tokoh silat Istana itu salurkan seluruh tenaga
dalamnya ke tangan kanan. Lalu dia membuka gebrakan pertama dengan satu
tendangan. Pukulan tangan kanan sengaja tidak langsung dilaksanakan karena dia
ingin melampiaskan sakit hati dendam kesumatnya. Melihat lawan menendang,
Sembung Sengkolo melompat. Tangan kanannya menderu ke arah batok kepala lawan.
Yang hendak dikemplang batok kepalanya segera pergunakan tangan kanan untuk
menangkis. Sembung Sengkolo telah menyaksikan kehebatan tangan lawan tak berani
saling bentrokan tangan. Sambil turun kini dia ganti melancarkan tendangan!
Lima jurus berlalu dengan
cepat. Namun saat itu keadaan Sembung Sengkolo sudah banyak cideranya, terutama
ketika tadi dia mendapat hantaman pukulan dan tendangan mahluk yang tidak
kelihatan, yang telah membantu Kali Mundu secara aneh! Setelah menempur lawan
terusterusan akhirnya Sembung Sengkolo lemas sendiri. Saat itulah lawan
mengirimkan serangan balik secara bertubi-tubi. Sembung Sengkolo tak sanggup
bertahan tak mampu berkelit. Tubuh dan kepalanya menjadi bulan-bulanan pukulan
serta tendangan lawan. Tulang-tulangnya berpatahan. Salah satu matanya hancur.
Hidungnya melesak dan bibirnya pecah! Orang kedua dari Tiga Iblis Bergigi Biru
itu akhirnya tergelimpang di tanah, mengerang panjang beberapa kali lalu diam
tanda nyawanya putus sudah!
***
14
KALI MUNDU MELARIKAN KUDANYA
seperti dikejar setan. Dia tidak tahu lagi ke arah mana binantang itu berlari.
Menjelang tengah malam kuda yang kehabisan tenaga karena dipacu terus itu
akhirnya tersungkur di antara semak belukar. Kali Mundu sendiri terpelanting
dan bergulingan di tanah. Masih untung tubuh atau kepalanya tidak sempat
menghantam batangbatang pohon yang banyak bertumbuhan di tempat itu. Hidungnya
mencium bau busuk. Dan itu bukan bau busuk luka di tangan kirinya! Namun dia
tak lagi memperdulikan keadaan di sekitarnya. Sekujur tubuhnya terasa sakit
seperti dirajam. Luka di tangan mendenyut sakit tiada hentli Antara sadar dan
tiada Kali Mundu terhampar di tanah. Pada saat itulah dia mendengar suara tawa
bergelak. Roh pembawa kutuk. Suara tanpa rupa itu muncul kembali!
"Kali Mundu…! Aku datang
lagi! Aku puas berhasil menyelamatkanmu dari tangan Sembung Sengkolo. Beberapa
saat lagi pagi akan datang. Sang surya akan muncul. Saat itulah puncak
kepuasaanku akan sampal. Kutukanku akan menjadi kenyataan…! Ha…. ha…. ha….
!"
"Mahluk laknat! Pergi kau
dari sini!" teriak Kali Mundu.
"Aku akan pergi Kali
Mundu… Aku akan pergi! Aku akan menunggumu di hang kubur! Ha…ha…ha…! Kau dengar
Kali Mundu! Aku akan menunggumu di Hang kubur ! Ha …ha..ha…!"
Kali Mundu kumpulkan seluruh
sisa tenaganya yang ada. Dia memukul ke sana kemari. Tapi hanya menghantam
udara kosong. Kelemasan akhirnya pemuda ini jatuh terduduk lalu rebah ke tanah.
Kali Mundu tidak tahu pasti
berapa lama dia terkapar di pinggiran rimba belantara itu, juga tidak tahu
apakah sebelumnya dia telah tertidur atau berada dalam keadaan pingsan di
tempat itu. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Tulang-tulangnya laksana
bertanggalan dari persendian. Dan dari ke semua itu luka di tangan kirinya
mendenyut sakit luar biasa, membuat dia keluarkan keringat dingin dan percikkan
air mata. Kiranya penderitaannya tidak sampai di situ karena begitu dia bangkit
dan baru saja sempat berdiri di atas kedua kakinya tiba-tiba terdengar seruan
keras.
"Kawan-kawan! Akhirnya
kita temui juga anak pemberontak pembunuh Pangeran Sarwo Aling! Lekas kurung
tempat ini!"
Dengan terkejut Kali Mundu berpaling
ke arah datangnya suara seruan itu. Ketika dia kemudian memandang berkeliling,
ciutlah nyalinya. Di tempat itu kini mengurung dua orang Perwira Tinggi serta
dua orang tokoh silat Istana lengkap dengan pasukan berjumlah hampir dua lusin!
Melawan pasti pencuma. Tidak melawan dia akan ditangkap lalu dijatuhi hukuman
gantung. Bahkan mungkin juga dia tidak akan sempat menjalani pengusutan secara
hukum tapi langsung dicincang di tempat itu!
"Apa mau kalian?!"
Kali Mundu membentak, coba menguasai keadaan.
"Kami inginkan
kepalamu!" Jawab Perwira Tinggi di sebelah kanan dengan suara tandas dan
pendangan wajah dingin.
"Kalau itu yang kau
inginkan mari kita bertempur satu lawan satu! Dengan tangan kosong atau pakai
senjata!"
Dua Perwira Tinggi dan dua
tokoh silat tertawa lebar. Tokoh silat berpakaian ungu membuka mulut.
"Tindakan itu hanya berlaku bagi mereka yang berjuang di jalan kebenaran.
Ayahmu seorang pengkhianat yang hendak menggulingkan Sultan! Kau pasti bangsa
anjing pemberontak juga! Pembunuhan yang kau lakukan atas Pangeran Sarwo Aling
sudah cukup alasan bagi kami untuk mencincang tubuhmu saat ini juga!"
"Bicaramu keren amat
tentang segala macam tindakan adil dan kebenaran! Jika Pangeran keparat itu
masih hidup apakah kalian juga akan menjatuhkan hukuman berat atas dirinya
setelah kalian tahu bagaimana dia mempergunakan kesempatan dan tipu daya untuk
menggauli ibuku secara keji? Melihat cara-cara kalian hendak bertindak aku
yakin sifat kalian tidak jauh berbeda dengan Pangeran mesum itu!"
Marahlah kedua perwira dan dua
tokoh silat istana itu. Wajah mereka menjadi merah dan kaku membesi. Tanpa
banyak bicara lagi ke empatnya langsung melompati Kali Mundu. Dengan sigap Kali
Mundu membuat gerakan mundur sampai dua tombak, lalu dengan tangan kanannya dia
menghantam ke arah tokoh silat yang tadi bicara. Sesiur angin menerpa. Orang
yang diserang menghindar ke samping lalu balas menghantam. Ternyata saat ilu
tiga orang lainnya juga ikut melepaskan pukulan tangan kosong!
Kali Mundu jatuhkan diri. Dua
pukulan jarak jauh itu memang sempat dikelitnya, tapi dua lainnya tepat
menghantam dada perutnya!
Kali Mundu menjerit keras.
Tubuhnya mencelat. Perutnya serasa pecah sedang dadanya seperti ditabrak batu
besar, dari mulutnya kelihatan ada darah mengucur!
Saat itulah terdengar suara
tertawa. "Kali Mundu… Siksaan atas dirimu hampir lengkap. Ha…ha…ha….
Ajalmu akan segera tiba. Tapi kematianmu tidak seenak menghirup udara pagi…
Ha..ha…ha….!"
"Bangsat!" kertak
Kali Mundu begitu dia mengenali suara mahluk yang menyebut dirinya sebagai roh
pembawa kutuk Itu.
Di hadapannya empat lawan
melangkah mendatangi. Satu langkah Kali Mundu bersurut, satu langkah mereka
maju mengikuti. Pemuda itu mundur terus. Badannya tidak serasa badan lagi. Dia
sadar tak apapun yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Dia mundur
terus, bukan melangkah tapi berusaha melompat untuk memperjauh jarak dengan
orang-orang itu. "Mundur Kali Mundu…. Munduur terus. Lekas cari selamat!
Tapi apakah kau mampu mencari selamat…? Ha…. ha…ha…!"
Suara roh itu kembali
terdengar. Walau hatinya menyumpah habis-habisan tapi memang tak ada yang bisa
dilakukan Kali Mundu. Pemuda ini membuat lompatan lagi beberapa kali. Tapi
tiba-tiba tubuhnya terpelosok jatuh ke dalam lobang!
***
PAGI ITU, SESUAI RENCANA WIRO
dan Cempaka telah mulai menggali liang lahat untuk jenasah Ki Tali Kumba yang
telah sangat rusak dan berbau busuk itu. Untuk memudahkan penguburan keduanya
tidak menggali lobang kubur baru tapi memperbesar lobang yang sudah ada yaitu
di mana Ki Tali Kumba sebelumnya dikuburkan hidup-hidup dalam keadaan tegak.
"Malam tadi aku mendengar
seperti ada suara derap kaki kuda di sekitar sini…" berkata Cempaka sambil
menancapkan sekop lalu mengeluarkan tanah dari dalam lobang.
Pendengar 212 tersenyum.
"Kalau kita sedang takut, suara anginpun terdengar seperti suara setan
berkelebat. Suara desir daun bisa, terdengar seperti suara derap kaki
kuda…"
"Siapa bilang aku takut
tadi malam…!" sanggah Cempaka.
"Buktinya kau tidak ingin
aku jauh-jauh dari perapian.. Minta aku berjaga-jaga semalam suntuk…"
"Aku tidak takut pada
segala macam setan atau jin. Apalagi pada manusla. Yang aku kawatir adalah
kalau-kalau ada ular atau binatang berbisa lainnya menyelinap…"
"Apa kau tidak tahu kalau
aku termasuk binatang berbisa juga…? " ujar Wiro.
Cempaka cemberut dan hendak
menyahuti. Tapi Wiro memberi isyarat gerakan tangan.
"Aku mendengar ada suara
kaki kuda di sebelah sana. Banyak sekali…"
Baru saja Wiro berkata begitu
tiba-tiba terdengar bentak, "Kawan-kawan! Akhirnya kita temui juga anak
pemborantak pembunuhan Pangeran Sarwo Aling. Lekas kurung tempat ini!"
Wiro dan Cempaka serta merta hentikan pekerjaan mereka menggali lobang.
"Aku akan menyelidik ke
sebelah sana…" kata Wiro pula
"Tunggu dulu, jangan
tinggalkan aku sendiri di sini. Lagi pula lobang ini sudah cukup besar. Jika
jenasah orang tua ini tidak dipegangi pasti rebah ke dalam lobang!"
"Sebaiknya kita rebahkan
saja, " ujar Wiro karena jenasah yang sudah membusuk dan rusak itu tak
mungkin dipegang, Wiro dan Cempaka terpaksa pergunakan sekop dan pacul untuk
merebahkan mayat Ki Tali Kumba ke dasar lobang.
Selagi keduanya dengan susah
payah melakukan hal itu tiba-tiba muncul seorang pemuda berpakaian merah dalam
keadaan babak belur dan mulut bercelemong darah. Telinga kirinya sumplung.
Orang ini melangkah mundur-mundur dan wajahnya jelas menunjukkan rasa
ketakutan. Sesaat kemudian Wiro dan Cempaka baru mengetahui apa yang membuatnya
ketakutan. Di seberang sana ada empat orang mengejar dan di sekitar mereka
tampak dua lusin perajurit Kerajaan mengurung!
"Wiro…," berbisik
Cempaka sambil tancap sekop di pinggir lobang. "Orang berbaju merah itu…
Dia adalah Kali Mundu…Pemuda murid Ki Tali Kumba yang kucari…." Belum
sempat si gadis menyelesaikan kata-katanya, pemuda baju merah yang memang Kali
Mundu adanya, karena melangkah mundur dan berada dalam keadaan ketakutan
tahu-tahu jatuh terperosok ke dalam lobang yang baru digali. Tubuhnya langsung
saling tindih dengan mayat Ki Tali Kumba. Kepalanya sempat berbenturan dengan
tengkorak kepala!
Detik itu pula di dalam liang
kubur yang baru digali itu mengumandang tawa bergelak. Tawa yang tak asing lagi
yaitu tawa roh pembawa kutuk !
"Kutukku berlaku sudah
Kali Mundu…Ha-ha …ha! Apa yang kau lakukan terhadapku saat ini akan segera terjadi
atas dirimu. Kita mati satu kubur ! Ha …ha…ha…"
Kali Mundu meraung keras.
Wajahnya pucat pasi dan sekujur tubuhnya bergeletar. Dia berusaha keluar dengan
menggapai pinggiran lobang.
Tapi dia tidak punya daya lagi
untuk mengangkat tubuhnya sendiri keluar dari lobang itu. Dan di saat itu pula
salah seorang Perwira Tinggi yang tegak ditepi lobang berieriak berikan
perintah.
"Timbunkan tanah ke dalam
lobang! Kubur pemberontak dan pembunuh ini hidup-hidup!"
"Tobat! Ampun…!
Tolong…" teriak kali Mundu. "Bunuh! Kalian boleh bunuh aku sekarang
juga! Penggal kepalaku! Tapi jangan kubur aku hidup-hidup!"
Di dalam lobang terdengar
sahutan roh pembawa kutuk. "Kau takut Kali Mundu? Jangan takut! Aku
menemanimu di liang kubur ini. Ha …ha…ha…!"
Dua orang perajurit melompat
turun dari kuda. Yang satu mencabut sekop yang ditancapkan Cempaka di tanah.
Satunya lagi mengambil pacul dari tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Keduanya
langsung menimbukan tanah ke dalam lobang tanpa memperdulikan jeritan Kali
Mundu. Lalu ada beberapa perajurit lagi yang membantu. Dengan mempergunakan
kaki mereka ikut mengurukkan tanah ke dalam lobang!
Cempaka dan Wiro hanya bisa
tegak tertegun menyaksikan apa yang terjadi. Dalam waktu singkat tanah merah
sudah ditimbukan kedalam lobang. Sekujur tubuh Kali Mundu sampai sebatas leher
tenggelam dalam tanah, hanya kepalanya saja yang tinggal tersembul. Teriakannya
keras mengerikan namun lambat laun suaranya jadi parau dan akhirnya tak ada
suara lagi yang keluar dari mulut itu kecuali erangan.
Cempaka menyaksikan dengan
mata mendelik dan bulu tengkuk merinding. Apa yang dilakukan Kali Mundu
beberapa waktu lalu terhadap gurunya, seolah terbayang kembali di depan mata
gadis itu. Dan kini hal yang sama terjadi atas diri murid jahat itu!
Sesaat sunyi. Lalu di udara
ada suara menggelepar-gelepar dan kepakan sayap melayang rendah. Cempaka
mendongak, diikuti yang lain-lainnya. Burung-burung nazar pemakan mayat telah
muncul di atas sana! Kali Mundu juga melihat burung itu. Matanya membeliak,
mulutnya terbuka tapi tak ada teriakan yang keluar dari mulut itu!
"Anak-anak muda! Siapa
kalian dan sedang berbuat apa di tempat ini?!" tiba-tiba salah seorang
Perwira Tinggi ajukan pertanyaan.
Cempaka tampak gugup. Tapi
Wiro cepat menjawab, "Kami kakak beradik petani tinggal di timur hutan
ini. Kami tengah mencari kayu lalu mencium bau busuk. Ketika menyelidiki kami
temui mayat yang sudah membusuk. Lalu, karena tidak tega kami membuat lobang
kubur agar mayat itu bisa dikebumikan sewajarnya…"
"Hemmm… Begltu..?"
Yang berkata adalah salah seorang dart dua tokoh silat istana. Dia mengusap-
usap dagunya sambil tersenyum. Sepasang matanya yang tajam tiba-tiba melihat
deretan angka 212 yang tertera di dada Wiro dan agak tertutup oleh
coreng-cemoreng tanah liat. Cepatcepat tokoh silat ini turun dari kudanya dan
menjura dalam-dalam di hadapan Wiro. Tentu saja hal ini membuat heran semua
orang termasuk Cempaka. Sahabis menjura orang itu berkata, "Mohon maafmu
pendekar besar. Mataku yang tua tidak mengenali gunung Merapi di depan
hidung." Orang itu menjura sekali lagi lalu memberi isyarat pada
rombongannya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah berlalu sekitar seratus
tombak, salah seorang Perwira Tinggi bertanya pada si tokoh silot. "Kau
menyebut pemuda gondrong itu dengan panggiian pendekar besar. Siapakah dia
sebenarnya…?"
Yang ditanya menghelas nafas
panjang baru menjawab, "Dia adalah Pendekar Kapak Maut Naga Gent 212.
Beberapa tahun yang silam dia berkali-kali membantu Kerajaan ketika berada
dalam bahaya…"
Terkejutlah semua orang
mendengar keterangan itu. Dua Perwira Tinggi saling berpandangan. Yang seorang
berkata, "Kalau itu memang Pendekar 212 Wiro Sableng, kita berkewajiban
mengundangnya ke istana!" Lalu diikuti oleh temannya dia kembali ke tempat
di mana mereka meninggalkan Cempaka dan Wiro. Tapi ketika sampai di tempat itu,
sepasang muda-mudi tersebut tak lagi di situ. Yang ada belasan burung nazar
berebut cepat mematoki kepala Kali Mundu.
TAMAT