-------------------------------
----------------------------
058 Bahala Jubah Kencono Geni
SATU
SUARA GAMELAN MENGALUN dari
arah bangsal yang terletak di sebelah timur sementara di bangsal besar yang
disebut Bangsal Agung siap dilangsungkan suatu upacara besar yakni peresmian
Raden Mas Ario Joko Pitolo dinyatakan sebagai putera mahkota. Meskipun
penobatannya sendiri baru akan dilangsungkan beberapa tahun di muka, namun
upacara peresmian dirinya sebagai putera mahkota merupakan upacara adat yang
selalu dilaksanakan secara besar-besaran.
Ratusan undangan memenuhi Bangsal
Agung. Mereka terdiri dari para tetamu khusus dari luar serta puluhan pejabat
dan petinggi kerajaan, termasuk para tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Kiyai Singgih Kanyoman berdiri
dari kursi besar yang didudukinya, memandang ke arah rombongan pemain gamelan
lalu mengangkat tangan kanan memberi isyarat. Serta merta suara gamelan
mengalun perlahan dan akhirnya berhenti.
Orang tua berusia sembilan
puluh tahun ini memutar tubuhnya ke arah kanan dimana Sri Baginda di atas
singgasana emas. Di sebelah kiri duduk permaisuri. Di sebelah belakang di atas
lantai pualam beralas permadani tebal berderet-deret duduk keluarga istana
beserta sanak kerabat terdekat. Patih Jolosengoro duduk di barisan kanan
bersama-sama dengan para menteri dan pejabat tinggi kerajaan lainnya.
Calon putera mahkota sendiri
duduk di sebuah singgasana kecil pada ujung yang berhadapan dengan singgasana
Sri Baginda Raja, dikawal oleh dua orang perajurit keraton bersenjatakan tombak
serta memegang tameng. Di kiri kanan duduk mengapit saudara-saudaranya baik
yang kandung maupun yang sebapak dari dua istri Sri Baginda, lalu di sebelah
belakang duduk pula saudara-saudara yang berasal dari para selir Sri Baginda.
Di luar keraton, terutama di
alun-alun besar yang ditumbuhi pohon-pohon beringin raksasa meskipun tidak
dapat melihat langsung upacara yang akan diadakan namun rakyat banyak ikut
berkumpul menyemut.
Kiyai Singgih Kanyoman, abdi
dalem tertua dengan jabatan Kanjeng Pangeran beringsut ke hadapan Sri Baginda
lalu menghaturkan sembah sujud. Setelah diberi isyarat maka diapun kembali
berdiri dan melangkah mundur ke tempatnya semula.
“Para hadirin sekalian…,” kata
Kiyai Singgih Kanyoman yang dipercayai memimpin upacara kebesaran hari itu.
“Kita sampai pada acara yang ditunggu-tunggu yaitu upacara peresmian Yang Mulia
Raden Mas Ario Joko Pitolo dengan resmi dinyatakan sebagai putera mahkota.
Sesuai adat tradisi kerajaan, sebelum seorang putera mahkota baru resmi
diangkat sebagai bakal pengganti ayahandanya yaitu Sri Baginda Raja yang
sekarang, maka kepadanya akan diserahkan dua buah pusaka kerajaan yang menjadi
pelambang sahnya dirinya kelak dinobatkan sebagai Raja. Adapun pusaka pertama
ialah sebilah keris bernama Ki Pandan Anom yang pada kesempatan ini akan
diserahkan dan disisipkan di pinggang kanan belakang Raden Mas Ario Joko Pitolo
oleh Sri Baginda sendiri.
Pusaka kedua ialah sehelai
jubah sakti bernama Kencono Geni, yang dalam kesempatan ini akan dikenakan pada
calon putera mahkota juga oleh Sri Baginda sendiri. Selesai keris disisipkan dan
jubah dikenakan maka akan dilanjutkan dengan pengujian keampuhan jubah sakti
yang terkenal atos tak mempan api tak mempan senjata tajam.”
Kiyai Singgih Kanyoman tutup
ucapannya dengan mengangkat tangan kanan. Gamelan kembali terdengar mengalun.
Raden Mas Ario Joko Pitolo duduk tak bergerak dan terlihat tenang. Pemuda
berusia enam belas tahun ini mengenakan pakaian putera mahkota lengkap dengan
topi tinggi dan tampak gagah sekali.
Dari sebuah bangunan yang
terletak di samping Bangsal Agung saat itu terlihat dua orang gadis remaja
melangkah perlahan-lahan mengikuti alunan suara-suara gamelan. Keduanya
berjalan saling berdampingan.
Yang di sebelah kanan membawa
nampan emas di atas mana terletak keris Ki Pandan Anom pada sehelai sapu tangan
beludru berwarna hijau. Gadis kedua membawa sebuah kotak kayu berukir yang dari
keadaannya menunjukkan bahwa kotak itu berusia puluhan tahun. Di dalam kotak
kayu yang ditataki sapu tangan beludru merah inilah disimpan pusaka kerajaan
berupa sehelai jubah yang diberi nama jubah Kencono Geni.
Adapun kedua gadis yang
membawa benda-benda pusaka itu adalah puteri-puteri Sri Baginda sendiri, satu
kakak dan satunya lagi adik Raden Mas Ario Joko Pitolo.
Diiringi oleh gadis-gadis
cilik sebanyak enam orang, kedua gadis pembawa pusaka kerajaan melangkah
memasuki Bangsal Agung lalu beringsut ke hadapan putera mahkota. Bersamaan
dengan itu alunan gamelan terdengar melembut perlahan.
Kiyai Singgih Kanyoman maju
beringsut mendekat pada gadis yang membawa nampan emas dimana terletak keris Ki
Pandan Anom. Dengan sikap khidmat abdi dalem ini merapatkan kedua telapak
tangannya melakukan sembah lalu dengan sangat hati-hati dia mengulurkan kedua
tangan untuk menyentuh dan mengangkat senjata pusaka itu. Keris Ki Pandan Anom
di dekatkan ke hidungnya seolah hendak menciumnya. Pada saat itulah suara
gamelan terdengar mengeras dan Sri Baginda beserta permaisuri bangkit berdiri
dari singgasana lalu melangkah ke arah tempat dimana Kiyai Singgih Kanyoman
duduk bersimpuh.
Begitu Sri Baginda berada di
hadapannya, Kiyai Singgih melakukan sikap berlutut sambil mengangkat Ki Pandan
Anom tinggi-tinggi. Sri Baginda mengambil senjata pusaka itu. Raden Mas Ario
Joko Pitolo berdiri. Lalu Sri Baginda mendekati puteranya ini dan menyelipkan
keris Ki Pandan Anom di pinggang belakang sebelah kanan sang putera.
Suara gamelan sesaat terdengar
meninggi lalu kembali perlahan. Kiyai Singgih Kanyoman kini beringsut ke arah
gadis yang memegang kotak kayu. Dengan sangat khidmat dia membuka kotak itu.
Dari dalam mana dia kemudian mengeluarkan sebuah jubah terbuat dari kain sutera
merah berlapis kain beludru juga berwarna merah, dihias umbai-umbai benang
berwarna kuning emas pada sepanjang tepinya.
Kiyai Singgih Kanyoman masih
dengan beringsut membawa jubah itu kepada Sri Baginda yang kemudian
mengambilnya dan membuka lipatannya. Dibantu oleh permaisuri Sri Baginda
mengenakan jubah itu ke tubuh puteranya. Jubah sutera berlapis beludru merah
ini panjangnya ternyata sampai sebatas lutut.
Setelah penyisipan keris dan
pemakaian jubah Sri Baginda dan permaisuri kembali duduk di singgasana. Baginda
dan permaisuri kembali duduk di Singgasana.
“Hadirin yang kami hormati,
tiba saatnya kita akan melakukan uji coba untuk membuktikan keampuhan jubah
sakti yang kini dikenakan oleh calon Raja kita,” Kiyai Singgih Kanyoman menutup
ucapannya dengan berpaling pada Sri Baginda.
“Sri Baginda, apakah upacara
uji coba dapat dimulai?” bertanya abdi dalem itu.
Di atas singgasana Sri Baginda
menganggukkan kepala. Melihat isyarat ini Kiyai Singgih bangkit berdiri seraya
mengangkat tangannya. Gamelan kembali menggema. Dari bangsal dimana tadi keluar
dua puteri Sri Baginda membawa benda-benda pusaka kini tampak keluar dengan
sikap gagah tiga orang pemuda masing-masing membawa sebilah pedang. Begitu
masuk ke Bangsal Agung ketiganya menjura dalam di depan singgasana lalu menjura
pula di hadapan Raden Mas Ario Joko Pitolo.
“Tiga pemuda perajurit
keraton!” berkata Kiyai Singgih Kanyoman. “Kalian diizinkan mempergunakan
pedang untuk menusuk atau membacok Raden Mas Ario. Terserah bagian mana yang
kalian pilih. Kepala, tubuh sebelah atas atau tubuh bagian perut ke bawah…..
Raden mas, apakah Raden Mas sudah siap?”
“Saya sudah siap Kiyai
Singgih,” jawab putera mahkota pula.
Tiga pemuda melintangkan
pedang di depan dada, kembali menjura seraya berkata berbarengan. “Izinkan kami
Raden Mas Ario….”
“Kalian telah mendapat izin,”
jawab putera mahkota dengan sikap tenang dan gagah tanpa bergerak dari
tempatnya berada.
Tiga pemuda kembali menjura.
Mereka lalu menyebar. Dua di sebelah depan, satu dari belakang.
Walau tadi Singgih Kanyoman
mengatakan bahwa mereka boleh mengarahkan serangan ke setiap bagian tubuh Raden
Mas Ario, namun dari ketiga pemuda berpedang itu tak seorangpun berani
mengarahkan senjatanya ke kepala putera mahkota.
Bangsal Agung sunyi senyap.
Semua mata ditujukan pada tiga pemuda yang saat itu tampak tengah mengangkat
tangan yang memegang pedang. Ketegangan menggantung di udara. Lalu terdengar
suara tiga bilah pedang berkesiuran. Satu membacok bahu kiri dekat pangkal
leher Raden Mas Ario. Satunya menusuk ke bagian perut sedang yang di belakang
membabat ke punggung.
Pedang yang mengarah pangkal
leher sampai lebih dahulu. Disusul oleh tusukan ke arah perut. Pada detik itu
juga terdengar jeritan keras keluar dari mulut Raden Mas Ario. Darah muncrat
dari dua luka besar yaitu pada pangkal leher dan bagian perut. Melihat kejadian
ini, penyerang ke tiga yang berada di belakang batalkan sambaran pedangnya dan
melompat dengan muka pucat. Dua pemuda di sebelah depan jauh lebih pucat wajah
masing-masing.
Bangsal Agung kini dilanda
kegemparan. Sri Baginda berseru keras. Permaisuri menjerit seraya menutup
wajahnya. Hampir semua orang yang hadir di tempat itu sama keluarkan teriakan.
Para pemain gamelan di bangsal lain lari berhamburan ke Bangsal Agung. Dua
puteri Sribaginda dan enam anak yang tadi bertindak sebagai pengiring
menjerit-jerit tiada henti. Sementara itu di tengah Bangsal Agung Raden Mas
Ario Joko Pitolo tampak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya. Tubuhnya yang
bersimbah darah kemudian jatuh terkapar di atas permadani. Sri Baginda saat itu
sudah melompat, mendorong dua pemuda yang tadi melakukan uji coba menyerang ke
arah leher dan perut hingga dua pemuda itu jatuh terjengkang. Kiyai Singgih
Kanyoman yang telah lebih dahulu memeluk tubuh Raden Mas Ario diterjaknya
hingga terpental. Sri Baginda lalu jatuhkan diri merangkul puteranya yang saat
itu mulai megap-megap.
“Joko…Joko Pitolo puteraku…kau
tidak boleh mati! Gusti Allah….Apa yang sebenarnya terjadi ini?!” Suara Sri
Baginda terdengar sesak dan parau. Dia maklum kalau nyawa puteranya itu tidak
tertolong lagi.
Ketika kepala Raden Mas Ario
terkulai ke samping, meraunglah Sri Baginda. Beberapa orang menteri
berlompatan, tetapi tak satupun yang bisa mereka lakukan.
Di samping Sri Baginda Kiyai
Singgih Kanyoman tampak membesi dan mengelam wajahnya. Orang tua ini beringsut
mendekati sosok tubuh Raden Mas Ario yang telah jadi mayat. Dengan tangan
gemetar ditariknya salah satu ujung jubah sutera berlapis beludru merah yang
masih dikenakan sang putera mahkota lalu diciumnya dalam-dalam. Berubahlah
paras abdi dalem berusia sembilan puluh tahun ini.
“Tak ada bau kayu
cendana…..,”desisnya. Lalu sang Kiyai berteriak. “Jubah ini palsu!”
Kembali Bangsal Agung dilanda
kegemparan besar. Seseorang kemudian terdengar berteriak. “Periksa bangsal
tempat penyimpanan pusaka keraton!”
Tiga orang perwira, dua orang
menteri dan lebih dari selusin perajurit ditambah beberapa abdi dalem segera
menghambur ke bangsal tempat penyimpanan senjata serta pusaka-pusaka kerajaan.
“Heran! Tak ada perajurit yang
mengawal di tempat ini!” kata seseorang.
Yang lain menyahuti. “Juga tak
ada seorang abdi dalempun di sini!”
“Sebaiknya kita masuk
memeriksa!” seseorang memberi saran.
Rombongan orang-orang itu
segera menghambur masuk. Mendadak yang sebelah muka hentikan langkah seraya
berseru dan menunjuk ke depan. Dekat pintu masuk menuju ruangan penyimpanan
pusaka kerajaan bergelimpangan enam sosok tubuh. Empat perajurit pengawal bangsal,
dua lagi abdi dalem. Semua telah jadi mayat dengan leher seperti disembelih!
“Ya Tuhan! Siapa yang
melakukan kekejaman begini ganas?! Kutuk apa yang jatuh atas kerajaan….?”
Orang-orang segera membuka
jalan begitu mendengar ucapan itu. Yang datang adalah Kiyai Singgih Kanyoman
yang melangkah dengan nafas megap-megap dan wajah pucat pasi.
“Ini bukan kutuk! Ini pasti
perbuatan Raden Jayengseno!” satu suara menyahuti lalu satu sosok tubuh tinggi
tegap berdiri di samping Kiyai Singgih Kanyoman. Orang ini adalah Kudopati,
kepala pengawal keraton. Tampangnya yang galak tampak geram. Pelipisnya tiada
berhenti bergerak-gerak dan rahangnya menggembung.
Kiyai Singgih seperti hendak
menggeleng. Namun orang tua ini batalkan gelengan kepalanya, ganti dengan mengeluarkan
ucapan. “Sulit dipercaya bahwa Raden Jayengseno yang punya pekerjaan. Bukankah
dia tengah menyepi dan bersamadi di pantai selatan?”
Kudopati menyeringai. “Manusia
satu itu sangat licik dan punya seribu akal. Katanya saja dia pergi ke pantai
selatan. Tapi bukan mustahil dia sebenarnya berkeliaran menyebar maut di
keraton ini. Kiyai Singgih, aku yakin dia ada sangkut paut dengan jubah palsu
itu.”
“Maksudmu dia mencuri jubah
yang asli lalu mengganti dengan jubah palsu?” tanya Kiyai Singgih.
“Persis!” jawab kepala
pengawal keraton. Kembali rahangnya menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak.
“Peristiwa ini memang perlu
diselidiki….”
“Aku akan minta izin Sri
Baginda untuk menangkap Jayengseno. Aku akan berangkat saat ini juga agar besok
pagi bisa sampai di tempat manusia itu bersamadi!” Setelah berkata begitu
Kudopati lantas balikkan tubuh dan tinggalkan bangsal tempat penyimpanan
barang-barang pusaka kerajaan itu.
DUA
PATIH JOLOSENGORO, kepala
pengawal keraton Kudopati dan Kiyai Singgih Kanyoman duduk bersimpuh di hadapan
Sri Baginda. Tak satupun di antara mereka yang berani bicara. Suasana hening
telah berlangsung lama sekali di ruangan tertutup di bagian belakang keraton.
Wajah Sri Baginda jelas menunjukkan bahwa dirinya masih sangat terguncang
dengan musibah yang barusan terjadi.
“Mengapa kalian diam saja…?”
tiba-tiba terdengar Sri Baginda bertanya. Suaranya serak tanpa nada. Lalu
tangan kanannya bergerak memukul sebuah arca kecil di sampingnya. Arca batu
yang berusia ratusan tahun itu hancur berantakan. “Kalian semua tidak bisu!
Bicaralah! Katakan sesuatu! Jangan diam saja!” teriak Sri Baginda.
Tiga orang yang duduk di depan
raja tersentak kaget dan juga kecut. Patih Jolosengoro memberi isyarat pada
Kiyai Singgih Kanyoman. Orang tua ini lalu membungkuk dalam-dalam. Setelah itu
diapun berkata. “Daulat Sri Baginda, izinkan saya menyampaikan laporan. Bangsal
tempat penyimpanan senjata telah kami periksa. Tak ada satu benda pusakapun
yang hilang. Kami menemui empat orang pengawal dan dua orang abdi dalem telah
jadi mayat dalam bangsal itu. Mereka menjadi korban pembunuhan secara keji dan
kejam…….. “
“Ki Singgih, apakah kau juga
telah memeriksa keris Pandan Anom yang tersisip di pinggang puteraku?” bertanya
Sri Baginda dengan kepala terkulai ditunjang tangan kanannya.
“Sudah Sri Baginda. Keris itu
asli, tidak palsu…,” menerangkan Kiyai Singgih Kanyoman.
Lalu Patih Jolosengoro
berkata. “Ada petunjuk menyatakan bahwa setelah berhasil menukar Jubah Kencono
Geni dengan jubah sama tapi palsu, penjahat berusaha pula hendak mencuri atau
menukar keris Pandan Anom. Namun keburu ketahuan. Untuk menghilangkan jejak
penjahat lalu menghabisi empat pengawal dan dua abdi dalem yang ada di bangsal
penyimpanan barang-barang pusaka….”
“Manusia biadab! Terkutuk!”
Rahang Sri Baginda menggembung dan kedua tangannya dikepalkan. “Aku ingin
mematahkan leher penjahat itu dengan tanganku sendiri!” Kemudian Sri Baginda
berpaling pada Kiyai Singgih Kanyoman dan bertanya.
“Apakah sudah diatur acara
pemakaman Raden Mas Ario….?”
“Sudah kami siapkan dan kami
atur Sri Baginda…,” jawab Kiyai Singgih Kanyoman. Sampai di situ Kudopati
memberi isyarat pada sang Kiyai. Mengerti akan isyarat itu maka Kiyai Singgih
Kanyoman kembali membuka mulut.
“Selanjutnya saya mewakili
kepala pengawal keraton dimas Kudopati. Yang bersangkutan minta izin untuk
menangkap Raden Jayengseno yang saat ini tengah bersamadi di salah satu goa di
pantai selatan.”
Sri Baginda menatap wajah
kepala pengawal keraton itu sesaat lalu berkata “Aku memang banyak mendengar
kabar tidak baik mengenai puteraku itu. Pasal apa yang membuatmu hendak
menangkapnya, Kudopati?”
Kepala pengawal keraton
membungkuk dalam-dalam lalu menjawab. “Maafkan saya Sri Baginda. Bukankah sejak
lama kita mengetahui bahwa Raden Jayengseno membekal hati culas dan iri….”
Sri Baginda mengangkat
tangannya. “Cukup, Kudopati.
Aku memberimu izin menangkap
dan mengusut puteraku itu. Tapi ingat! Soal nyawanya hanya aku yang
menentukan!”
Sri Baginda mengusap wajahnya
beberapa kali. Ketika dia hendak berdiri, dia melirik sesaat pada Patih
Jolosengoro. “Mapatih, jika tak ada yang ingin kau katakan, aku akan segera
meninggalkan tempat ini”
“Maafkan saya Sri Baginda.
Jika saya boleh mengeluarkan pendapat, saya merasa sangat mustahil Raden
Jayengseno melakukan pencurian jubah Kencono Geni lalu menggantikannya dengan
jubah palsu yang sangat mirip. Apalagi kalau sampai kita menuduh tanpa bukti
bahwa dia yang membunuh empat pengawal dan dua abdi dalem. Sejak dua bulan lalu
seperti kita ketahui Raden Jayengseno bertapa di pantai selatan. Mana mungkin
dia turun tangan melakukan pencurian dan sekaligus membunuh enam orang tidak
berdosa itu? Terus terang dirinya memang diselimuti berbagai keanehan. Mungkin
saja hal itu terdorong oleh suatu keinginan yang tidak kesampaian. Namun untuk
mencuri benda pusaka lalu membunuh para pengawal dan abdi dalem, rasanya belum
sampai sejauh itu keburukan perangai Raden Jayengseno.”
“Maafkan saya kalau memotong
kata-kata paman patih “ ujar Kudopati pula yang merasa tidak enak mendengar
ucapan patih kerajaan tadi. “Saya mana berani menuduh Raden Jayengseno mencuri
dan membunuh kalau tidak ada dasarnya. Putera mahkota calon raja kita tewas
terbunuh. Kita wajib menyelidiki hal ini. Raden Jayengseno tentunya memang
bukan satu-satunya orang yang patut kita curigai. Mungkin sangkaan itu keliru.
Karena itulah saya minta izin pada Sri Baginda untuk menemui Raden Jayengseno
di pantai selatan. Memeriksanya dan jika terdapat tanda-tanda bahwa memang dia
terlibat dalam peristiwa berdarah hari ini maka saya langsung akan menangkapnya
dan membawanya ke hadapan Sri Baginda.”
“Aku setuju dengan jalan
pikiranmu Kudopati. Kau boleh membawa serombongan pasukan untuk menangkap Raden
Jayengseno. Bawa dia hidup-hidup ke hadapanku. Jika dia terbukti bersalah akan
kupancung batang lehernya! Sekarang kau boleh pergi. Sebelum kau berlalu lipat
gandakan pengawalan istana. Pasang perwira-perwira muda di tempat-tempat
tertentu. Lakukan perintahku Kudopati!”
“Daulat Sri Baginda. Perintah
Baginda akan saya jalankan,” sahut Kudopati pula seraya membungkuk.
Sri Baginda tampak seperti
termenung. Sesaat kemudian terdengar suaranya datar.
“Mapatih, umumkan kepada
rakyat bahwa kerajaan akan melangsungkan masa berkabung selama empat puluh
hari….”
Patih Jolosengoro membungkuk
seraya berkata. “Perintah akan saya jalankan Sri Baginda.”
***
TIGA
KUDA COKLAT ITU dipacu kencang
sejak pagi. Ketika memasuki rimba belantara di daerah selatan binatang yang
kehabisan tenaga ini tidak mau terseok-seok. Namun penunggangnya seperti tidak
mau tahu terus saja menghentak-hentakkan tali kekang kuda, memukul pinggul
binatang itu agar terus lari sekencang-kencangnya.
Meskipun sudah kehabisan
tenaga, seperti tahu tugas penting yang menjadi tanggung jawabnya, sang kuda
berusaha lari sekencang yang bisa dilakukannya.
Si penunggang sengaja menempuh
hutan belantara itu karena inilah satu-satunya jalan memotong yang paling
singkat. Jika dia menempuh jalan lain, dia khawatir Kudopati bersama
rombongannya akan sampai lebih dahulu di tempat tujuannya.
Pada masa itu hutan di wilayah
selatan jarang dimasuki orang. Karenanya keadaannya selain lebat liar, pohon
dan tanah hutan diselimuti berbagai jenis lumut licin.
Bagaimanapun setianya si kuda
coklat terhadap penunggangnya, namun tenaga dan kekuatan binatang ini ada
batasnya. Di antara kerapatan pepohonan jati kuda ini terserandung akar benalu.
Didahului oleh satu ringkikan keras binatang itu tersungkur. Penunggangnya
berteriak keras dan jatuh terguling-guling di tanah hutan yang penuh lumut.
Pakaian kuningnya menjadi kotor. Ikat kepalanya lepas entah kemana dan kini
rambutnya yang panjang tergerai lepas sampai ke pinggang. Ternyata dia adalah
seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun.
Sambil meringis menahan sakit
sang dara merangkak mendekati kuda coklatnya yang tergolek di kaki pohon.
Diusapnya hidung binatang ini seraya berkata: “Kliwon….kau tak apa-apa….? Kita
harus melanjutkan perjalanan Kliwon. Bisakah kau bangkit? Ayo Kliwon
berdirilah….”
Tapi kuda coklat itu untuk
beberapa saat hanya diam dan kedip-kedipkan kedua matanya. Agaknya binatang ini
mengerti ucapan tuannya, hanya saja tenaganya belum pulih untuk berdiri,
apalagi lari melanjutkan perjalanan.
“Oh Kliwon….Kasihan kau tak
bisa berdiri. Kau pasti letih dan sakit. Demi Tuhan aku berharap jangan ada
bagian tubuhmu yang cidera, apalagi sampai patah kaki. Kau harus berdiri
Kliwon. Ayo! Mari kubantu!”
Gadis baju kuning berhasil
berdiri. Dengan susah payah dicobanya mengangkat leher kuda hitam itu. Namun
sang kuda masih belum sanggup berdiri.
“Kudamu keletihan. Kaki
kanannya sebelah depan terkilir. Jangan paksakan dia berdiri….” Tiba-tiba satu
suara menegur. Suara itu terdengar aneh, seperti bergumam tanda orang yang
bicara tengah makan atau mengunyah sesuatu dalam mulutnya.
Sang dara seperti mendengar
suara setan saking kagetnya. Dia cepat berpaling dan terkesima ketika dapatkan
dirinya berhadap-hadapan dengan seorang pemuda berpakaian putih berambut
gondrong. Mulutnya komat-kamit dan bercelemongan warna merah. Tangan kirinya memegang
beberapa untai buah jamblang hutan yang besar dan merah kehitaman. Buah itulah
yang tengah dilahapnya ketika bicara tadi.
Melihat sang dara kaget, si
pemuda segera sunggingkan tawa lebar dan buru-buru berkata.
“Jangan takut Aku bukan setan
atau dedemit hutan. Lihat aku makan buah jamblang yang manis ini. Kalau setan
atau dedemit mana doyan jamblang? Ha…ha…ha….!”
Sang dara undur selangkah. Dia
memang bisa yakin kalau pemuda di depannya itu bukan setan atau dedemit Tapi
bertemu di tengah hutan dengan seseorang yang tidak dikenal, menegur cara
seperti itu serta pakai tertawa bergelak segala sementara mulutnya masih penuh
buah jamblang, maka hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik si gadis.
Pemuda yang di hadapannya itu adalah seorang kurang waras yang kesasar di
tengah rimba belantara. Seperti menyesali nasibnya sendiri, gadis itu berkata.
“Ah….dalam keadaan sulit begini, ketemu orang gendeng lagi!”
“Eh!” pemuda yang mendengar
dirinya disebut gendeng itu jadi melengak lalu semburkan buah jamblang yang
tengah dimakannya ke tanah. Kedua matanya memandang pada sang dara dan tangan
kanannya menggaruk kepala. Lalu dia menggeleng-geleng beberapa kali.
“Ketemu baru sekali sudah bisa
menuduh orang lain gendeng….” Si pemuda keluarkan suara mendecak beberapa kali.
“Saudari, kau berkuda sendirian di rimba belantara yang jarang dilalui manusia
ini, siapa kau dan apa keperluan-mu lewat disini….?”
“Jarang dilalui manusia
buktinya aku menemui manusia di sini….,” menyahuti sang dara.
“Ah, syukur kau masih menganggap
aku manusia. Melihat parasmu yang pucat karena terkejut tadi aku merasa kau
pasti menduga diriku setan hutan. Ha…ha…ha….”
“Sudahlah! Orang sedang
kesusahan kau enak-enak tertawa. Aku tak mau kau ganggu lebih lama….”
“Siapa berani mengganggu gadis
secantikmu?!”
“Aku tak mau bicara denganmu
kecuali kau bisa membantuku!” berkata si gadis.
“Membantumu? Tentu saja aku
mau. Katakan pertolongan apa yang kau inginkan?” tanya si pemuda pula.
“Bisa kau mendapatkan seekor
kuda agar aku dapat melanjutkan perjalanan?”
“Ah, itu namanya kau meminta
tanduk pada kucing! Kau lihat aku tidak membawa kuda! Di rimba belantara begini
rupa dimana bisa mencari kuda?!”
“Lalu bagaimana kau masuk ke
dalam hutan ini?!”
“Jalan kaki.”
“Jalan kaki? Aku tidak
percaya!” jawab si gadis lalu memandang berkeliling seolah-olah mencari-cari
sesuatu. Tapi memang dia tidak melihat seekor kudapun di sekitar situ. Maka
diapun lantas berkata. “Kalau kau memang seekor kucing yang tidak bisa
menolongku, pergi saja sana….”
“Tunggu dulu adik baju kuning.
Mengadakan kuda aku memang tidak bisa. Tapi aku bisa menolong kudamu itu. Aku
bisa mengurut kakinya yang terkilir.”
“Oh jadi sampean ini tukang
urut rupanya….” kata sang dara. Dia menyangka si pemuda akan jadi marah karena
jengkel, paling tidak akan merah wajahnya. Tapi justru si pemuda kembali
tertawa dan menjawab.
“Aku memang ahli urut. Bapakku
jagoan mengurut. Bapak dari bapakku ahli mengurut. Bapak dari bapak dari
bapakku tukang urut terkenal. Lalu bapak dari bapak dari bapak….”
“Sudah! Jika situ memang
pandai mengurut ayo tolong kudaku,” kata si gadis pula. Dalam hati dia menahan
rasa geli melihat sikap dan mendengar ucapan pemuda berambut gondrong itu.
Si pemuda kembali tertawa
lebar lalu jongkok di depan kuda coklat. Mula-mula diusapnya leher binatang
ini.
“Kliwon, aku temanmu. Aku mau
menolongmu! Jangan kau tendang aku kalau kuurut kaki kananmu ya….?”
Lalu pemuda itu mulai
mengelus-elus kaki kanan sebelah depan kuda coklat yang terkilir. Sesaat
binatang itu tampak seperti hendak menendang dan beringas. Namun setelah
kembali dielus-elus dia mulai jinak dan membiarkan saja kaki kanannya diurut.
“Nah, mudah-mudahan kakimu
sembuh sekarang!” kata si pemuda sesaat kemudian. Dia berpaling pada gadis di
sebelahnya dan berkata. “Bantu aku membangunkan binatang ini…. Angkat lehernya,
aku akan mengangkat kaki depannya.”
Dengan susah payah kuda coklat
itu akhirnya bisa juga ditegakkan kembali.
“Terima kasih. Kau telah
menolong aku. Aku tak akan melupakan jasamu….,” kata gadis baju kuning lalu
hendak cepat-cepat saja melompat ke atas punggung binatang itu.
“Hai! Tunggu dulu!” berkata si
pemuda. “Kudamu ini masih belum bisa ditunggangi. Kalau dipaksa dia akan ambruk
kembali!”
“Lalu apa yang harus aku
lakukan?” tanya sang dara pula.
“Tuntun dulu sampai kira-kira
dua ratus langkah. Setelah itu baru kau boleh menungganginya….”
“Dua ratus langkah tidak
dekat. Aku tidak ingin terlambat!”
“Kalau kau paksakan malah akan
terlambat seumur-umur. Sebenarnya apa yang kau kejar saudari?”
“Aku tidak mengejar
siapa-siapa…”
“Kalau begitu dirimu yang
tengah dikejar orang!”
“Juga tidak!”
“Hem…,” si pemuda garuk-garuk
kepala.
“Sudahlah, aku tidak bermaksud
menyelidik atau mengetahui urusanmu. Aku tengah menuju ke selatan. Kalau kau
juga hendak menuju ke sana, kita bisa sama-sama….”
“Kau jalanlah duluan. Dan
hitungkan bagiku sampai dua ratus langkah seperti yang kau katakan tadi….”
Si pemuda tertawa. Ucapan si
gadis satu pertanda bahwa dia tidak menolak melanjutkan perjalanan
bersama-sama. Maka pemuda ini pegang tali kekang kuda coklat dan menuntun
binatang itu sementara si gadis melangkah mengikuti dari belakang.
“Namaku Wiro Sableng…. Siapa
namamu?” berkata pemuda gondrong sambil melangkah menuntun kuda.
“Aku tidak dapat
mengatakannya” jawab si gadis.
“Ah, kau mungkin malu. Tapi
mungkin juga belum percaya padaku,” ujar si gondrong yang ternyata adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
“Kau tak mau memberi tahu siapa namamu tak jadi apa. Tapi dari kalung yang
melingkar di lehermu aku tahu kau adalah orang dalam keraton! Jangan-jangan kau
seorang puteri!”
Terkejutlah dara berbaju
kuning itu. Dia memandang ke dadanya. Ternyata mata kalung berbentuk lambang
keraton yang dilingkari kuntum melati tersembul keluar dari balik pakaiannya.
Kalung seperti ini hanya dimiliki dan dipakai oleh para dara puteri keraton.
“Matamu tajam dan
pengetahuanmu luas juga!” kata si gadis.
“Itu berarti kau tak lagi
dapat menyembunyikan rahasia dirimu, bukan? Aneh….aneh…. Ada seorang puteri
keraton berjalan sendirian, tanpa pengiring tanpa pengawal. Memasuki rimba
belantara pula. Menuju ke selatan daerah sepi banyak rintangan dan bahaya, apa
gerangan yang tengah dicarinya….?”
“Ucapanmu seperti seorang
penyair saja!” berkata sang dara. “Aku memang tidak bisa merahasiakan diriku
lagi. Aku Ayu Purini….”
“Tidak pakai Raden di
depannya?” tanya Wiro sambil terus melangkah menuntun kuda coklat.
“Di hutan begini tidak laku
segala macam gelar,” jawab Purini.
Murid Sinto Gendeng tertawa mendengar
jawaban itu.
“Sekarang apakah kau mau
menceritakan mengapa kau melakukan perjalanan seorang diri begini? Dari pakaian
ringkas yang kau kenakan berarti kau memang sengaja mempersiapkan diri.”
“Hal itu tidak bisa
kuberitahukan padamu….”
“Kenapa begitu?”
“Soalnya aku tidak tahu siapa
kau sebenarnya….”
“Yang jelas aku bukan orang
dari keraton. Emperannya sajapun tidak!”
Kini Ayu Purini yang tersenyum
mendengar ucapan itu.
Saat itu baik Wiro maupun
Purini sudah sama-sama menghitung sampai langkah ke dua ratus. Hutan gelap yang
mereka tempuh kini tampak terang oleh cahaya yang datang dari depan. Tiupan
angin lembab mengandung garam berhembus ke arah mereka. Juga dari depan
terdengar suara deburan ombak.
Tak selang berapa lama
keduanya sampai di ujung hutan dan ternyata di hadapan mereka kini terbentang
pasir pantai dan laut luas dengan ombak menggemuruh tiada henti-hentinya.
“Kita sudah sampai di pantai!”
ujar Purini lalu mendahului Wiro melangkah ke depan. Tapi saat itu pula gadis
ini kembali masuk ke dalam hutan. Malah dia mendorong Wiro dan menarik kuda
coklat berlindung di balik kerapatan pohon dan semak belukar.
Dari arah barat terdengar
derap kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian serombongan orang terdiri dari
lebih selusin prajurit keraton serta seorang perwira lewat di depan mereka
dengan cepat.
“Pasukan kerajaan….,” kata
Wiro seraya berpaling pada Purini. “Eh, wajahmu kulihat berubah. Jangan-jangan
mereka tengah mencarimu.”
“Dengar, aku harus menuju ke
muara Kali Opak. Masih jauhkah tempat itu dari sini? Aku harus mendahului
rombongan tadi. Kalau tidak bisa celaka….!”
“Celaka? Siapa yang celaka?!”
tanya Wiro.
“Aku butuh pertolonganmu. Kau
tahu liku-liku daerah sekitar sini?”
“Tahu betul sih tidak. Tapi
yah lumayan. Kau bilang mau ke muara Kali Opak dan harus lebih dulu tiba disana
dari rombongan tadi. Betul begitu?”
“Ya, ya! Kau bisa
menolongku?!” tanya Purini. Tampaknya ada kecemasan besar dalam dirinya.
“Kenapa kau tidak bilang dari
tadi kalau memang mau ke muara Kali Opak….”
“Sudahlah. Jangan hal itu
dipersoalkan. Keselamatan Jayengseno terancam. Aku harus menolongnya.”
“Siapa Jayengseno itu?”
“Saudaraku….”
“Saudara atau pacar?”
“Jangan bergurau juga! Kalau
sampai terlambat tak ada gunanya aku mengadakan perjalanan sejauh ini!”
“Kalau begitu ikuti aku. Ada
jalan berputar, memotong ke arah muara Kali Opak dari arah barat. Mudah-mudahan
kita bisa mendahului rombongan itu. Kau boleh menunggangi si Kliwon ini
sekarang. Kurasa kakinya sudah cukup kuat.”
“Kau sendiri bagaimana?” tanya
Purini.
“Asal kau tidak memacunya
kencang-kencang dan membiarkan aku berlari di sebelah depan maka kau tak usah
khawatir aku akan ketinggalan di belakang.”
“Baik…larilah. Aku akan
mengikuti dari belakang!” kata Ayu Purini pula. Lalu dari balik pakaian
kuningnya dia mengeluarkan sebuah benda. Ketika benda itu dikenakannya ke
mukanya ternyata adalah sebuah topeng tipis yang membuat wajah aslinya tidak
lagi dapat dikenali.
Pendekar 212 geleng-geleng
kepala. “Ternyata kau seorang pemain tari topeng!” Wiro tertawa lalu masuk
kembali ke dalam hutan, lari di sebelah depan.
***
EMPAT
KETIKA UNTUK KEDUA kalinya
mereka keluar dari dalam hutan, ternyata mereka sampai di lamping sebuah bukit
kecil. Di balik bukit itu terletak muara Kali Opak yang menjadi tujuan Ayu
Purini. Sampai di puncak bukit gadis itu memandang berkeliling. Tidak tampak
rombongan pasukan keraton tadi. Jalan memintas yang ditunjukkan si pemuda
ternyata mampu membuat rombongan itu tertinggal jauh di belakang.
“Kita sudah sampai di muara
Kali Opak. Nah mau menuju kemana sekarang?” tanya Wiro pula. Memandang jauh ke
arah ujung muara dia melihat beberapa perahu pencari ikan.
Ayu Purini menunjuk ke arah
timur kaki bukit dimana aliran Kali Opak sedikit menikung. “Kau lihat bekas
reruntuhan candi itu…?” Wiro mengikuti arah yang ditunjuk lalu anggukkan
kepala. “Aku harus segera kesana.” Selesai berucap begitu Ayu Purini sentakkan
tali kekang kuda coklat. Si Kliwon melompat dan lari menuruni bukit.
Pendekar 212 terpaksa
mengejar. Dia sampai di reruntuhan candi pada saat Ayu Purini telah turun dari
kudanya dan melangkah cepat menuju sebuah arca berbentuk kepala singa pada
sebuah pilar segi empat. Sesaat gadis itu tampak seperti berpikir
mengingat-ingat.
“Dua kali ke kanan, satu kali
ke kiri….,” katanya seorang diri.
“Apa yang dua kali ke kanan
satu kali ke kiri?” tanya Wiro tak mengerti.
Tanpa menyahuti pertanyaan
orang, Ayu Purini pegang kepala singa lalu membuat gerakan memutar ke kanan.
Arca itu tidak bergerak sedikitpun.
Kembali si gadis kelihatan
seperti mengingat-ingat. “Tak mungkin aku keliru….,” katanya. Lalu dengan
mengerahkan seluruh tenaga dia kembali berusaha memutar arca kepala singa itu
ke kanan. Terdengar suara berderik. Murid Sinto Gendeng mengerenyit tak percaya
ketika dia melihat bagaimana bagian leher dari kepala singa itu tiba-tiba
kelihatan berputar perlahan-lahan. Melihat kepala arca akhirnya bergerak, si
gadis seolah mendapat kekuatan baru. Dia kembali memutar kepala singa itu ke
kanan. Setelah itu dia memutarnya balik ke kiri.
Terdengar suara berkelik
disusul oleh suara menderu halus. Murid Sinto Gendeng sempat ternganga sambil
garuk-garuk kepala ketika dia melihat bagaimana secara aneh arca batu berbentuk
kepala singa itu bergeser ke samping kiri. Di tempat bekas tegaknya semula ini
kelihatan sebuah lobang selebar bahu manusia. Ketika dia coba melongok lobang
itu ternyata berupa sebuah tangga batu dengan anak tangga berjumlah dua belas.
Di kaki tangga agak terlindung oleh kegelapan kelihatan sebuah cekungan. Dari
dalam cekungan itu muncul sepasang lutut dalam keadaan bersila.
Wiro membuka mulut hendak
bertanya. Namun belum sempat bersuara Ayu Purini sudah mendahului.
“Aku akan masuk ke dalam. Jika
rombongan orang-orang keraton tadi datang kemari cepat tutupi lobang ini.
Jangan sampai mereka mengetahui ada lobang di sini. Aku tak akan lama!”
“Ayu….”
Tapi sang dara sudah masuk ke
dalam lobang dan melangkah menuruni tangga batu. Wiro hanya bisa tegak sambil
garuk-garuk kepala.
Baru saja kepala Ayu Purini
lenyap di mulut lobang, di arah barat Wiro tiba-tiba melihat rombongan orang
berkuda datang dari ujung kaki bukit. Wiro cepat menarik si Kliwon dan menarik
leher kuda itu hingga akhirnya binatang itu tergolek di atas pasir, terlindung
oleh reruntuhan candi. Dia sendiri kemudian segera berjongkok dan berlindung di
balik arca kepala singa.
Kudopati, kepala pasukan
pengawal keraton yang menjadi pimpinan rombongan orang-orang itu hentikan
kudanya dan memandang berkeliling.
“Muara kali ini gundul
plontos. Tak ada hutan, tak ada bukit cukup tinggi. Jika Jayengseno melakukan
samadi pasti dia melakukannya dalam sebuah goa. Tapi kalian lihat sendiri. Sama
sekali tidak ada tempat yang bisa membentuk goa di sekitar muara ini!” Dua
belas orang prajurit keraton ikut memandang berkeliling mendengar ucapan
pimpinan mereka itu.
“Mungkin goa itu berada
dibawah laut?” berucap salah seorang perajurit. Lalu dia menambahkan. “Berarti
kita harus menunggu sampai terjadi pasang surut….”
“Perajurit tolol! Jayengseno
bukan ikan yang bisa hidup di air. Bukan juga penyu yang bisa hidup di air dan
di darat!” menggerendeng Kudopati. Dia memandang jauh ke tirnur. “Aku melihat
reruntuhan candi di ujung sana. Mari kita selidiki tempat itu!” Lalu dia
menggebrak kudanya. Setengah jalan sebelum sampai ke reruntuhan candi kepala
pengawal keraton yang cerdik ini hentikan kudanya dan memandang ke arah bukit
kecil di sebelah kanan.
“Kalian lihat pasir di bukit
itu. Ada jejak kaki kuda dan kaki manusia. Kedua jejak itu menuju ke arah
reruntuhan candi….”
“Berarti goa itu mungkin ada
di sekitar reruntuhan itu,” menyahuti seorang bawahan.
“Mungkin sekali. Namun agaknya
ada orang yang telah mendahului kita!” Kudopati tarik tali kekang kudanya,
menghambur cepat menuju reruntuhan candi.
Ketika dia sampai di tempat
itu segera saja dia dan anak-anak buahnya melihat seekor kuda coklat terbaring
di pasir di belakang reruntuhan.
“Dugaan kita tidak salah! Tapi
ada kuda tak ada manusia! Tak bisa kupercaya!” Diikuti oleh selusin anak
buahnya Kudopati melompat turun dari kuda masing-masing. Tepat pada saat dia
menginjakkan kakinya di pasir, saat itu pula dia baru melihat ada sesosok tubuh
berpakaian putih tergolek di atas reruntuhan candi, dekat sebuah arca berbentuk
kepala singa.
“Orang gila dari mana yang
tidur-tiduran di tempat ini di bawah terik panas matahari?!” membatin kepala
pengawal keraton itu dia memberi isyarat pada anak buahnya. Dua belas perajurit
segera menyebar dan mengurung tempat itu. Kudopati lalu melompat ke dekat arca
dan menegur dengan suara keras.
“Manusia berpakaian putih
lekas bangun! Katakan siapa dirimu dan mengapa berada di tempat ini!”
Orang yang terbaring di atas
reruntuhan candi yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng usap-usap kedua
matanya seperti orang baru bangun tidur. Tapi dia tetap saja berbaring di
tempatnya. Karena kalau dia bangun berarti Kudopati akan dapat melihat lobang
batu yang sengaja ditutupinya dengan tubuhnya.
“Tak mau menjawab akan kutebas
batang lehermu!” teriak Kudopati lalu tangannya bergerak ke arah hulu golok
yang terselip di pinggangnya.
“Ah Siapa tuan besar ini yang
mengganggu ketenteraman nelayan yang baru saja kehilangan perahu….”
“Perduli setan dengan
perahumu! Kami tengah mencari suatu tempat. Aku yakin tempat itu ada di sekitar
sini!”
“Tempat apa….?” tanya Wiro
sambil kembali usap-usap kedua matanya.
“Sebuah goa! Tempat seseorang
bersamadi!”
“Goa….? Goa apa?! Aku sudah
tinggal lebih dari dua puluh tahun di daerah ini. Jangankan gua! Lobang
kampretpun tak ada di sekitar sini!” jawab Wiro lalu menyengir.
“Aku melihat kuda dan dirimu
di sini. Tapi tidak melihat orang kedua!”
“Orang kedua siapa maksudmu?”
“Ada kuda, ada penunggangnya.
Lalu ada seorang lagi yang berjalan kaki! Lekas katakan dimana kawanmu satu
lagi itu!”
“Otakmu sebelah depan cerdik,
tapi yang sebelah belakang tolol!” tukas Wiro pula. “Aku sampai ke tempat ini
bukan menunggangi kuda itu, tapi menuntunnya! Kaki kuda itu barusan cidera.
Lihat saja keadaannya yang tergolek begitu rupa….”
“Mulutmu bicara kurang ajar!
Sikapmu bicara dengan tidur seperti itu juga kurang ajar! Tahukah kau tengah
berhadapan dengan siapa?!” membentak Kudopati.
“Eh, mana aku tahu sedang
berhadapan dengan siapa? Apalagi aku tak begitu jelas melihat mukamu. Silau
oleh sinar matahari….”
“Pemuda kurang ajar!
Tulang-tulang igamu layak kuhancurkan!” kata Kudopati hampir berteriak. Lalu
kaki kanannya menendang kuat-kuat ke arah rusuk kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Murid Sinto Gendeng cepat
sorongkan siku tangan kirinya ke arah datangnya serangan. Bukkk!
Wiro mengerenyit menahan sakit
pada sikunya yang dihantam telapak kaki Kudopati. Sebaliknya kepala pengawal
itu mengeluh tinggi dan terpental dua langkah. Telapak kakinya sakit bukan
kepalang, laksana barusan menendang batu keras.
Kini otak Kudopati cepat membaca
keadaan. Pemuda aneh berambut gondrong berpakaian putih itu bukan pemuda
sembarangan. Dia belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Jangan-jangan si
gondrong aneh ini adalah kawan Jayengseno, sekaligus penjaganya.
“Lekas katakan dimana
Jayengseno bersamadi! Kalau tidak kupenggal kepalamu!” Kudopati lantas cabut
golok besarnya.
“Heran! Tadi kau berkata
mencari goa! Sekarang menyebut nama seseorang. Siapa sih Jayengseno itu?!”
“Kau berani berpura-pura!
Padahal kau pasti kaki tangan pangeran culas itu! Coba kau rasakan dulu
ketajaman golokku! Daun kupingmu terlalu lebar. Pantas di kikis sedikit!”
Wutt!
Golok di tangan Kudopati
menderu ke arah telinga kiri Wiro Sableng. Tapi serangannya meleset.
Pada saat itu pula Wiro
merasakan punggungnya yang sengaja dibaringkan untuk menutupi lobang tiba-tiba
ada yang mendorong dari bawah keras sekali sehingga dia terangkat dan terguling
ke kiri. Bersamaan dengan itu dua sosok tubuh muncul dari dalam lobang. Yang
disebelah depan langsung menegur membuka mulut.
“Perlu apa kau mencariku,
Kudopati? Sampai-sampai berani mengganggu samadiku?!”
***
LIMA
YANG MENEGUR ITU adalah
seorang pemuda bertubuh tinggi semampai. Karena hanya mengenakan sehelai celana
pendek berwarna putih maka kelihatanlah tubuhnya yang tegap penuh otot. Dadanya
ditumbuhi bulu. Wajahnya yang tampan tertutup oleh cambang bawuk serta kumis
liar.
Kudopati tidak segera
menjawab. Kedua matanya memandang meneliti seolah-olah ingin meyakinkan dulu
bahwa manusia di hadapannya itu adalah orang yang dicarinya. Kemudian dia
mengerling pada orang berpakaian kuning yang mengenakan topeng tipis menutupi
wajahnya.
“Hemm…..Jadi di sini tempatmu
bersembunyi!” kata Kudopati kemudian. “Ternyata kau punya dua penjaga. Satu
pemuda gondrong ini, satu lagi manusia pemalu yang sengaja melindungi wajahnya
di balik topeng!”
“Bersembunyi? Aku bersembunyi
katamu? Apa maksudmu Kudopati….?” Pemuda bercelana putih bertanya. Suaranya
keras tapi sikapnya tenang saja. Dia telah melihat ada dua belas prajurit
bersenjata mengurung tempat itu. Sebenarnya pemuda ini yang bukan lain adalah
Raden Jayengseno, putera tertua Sri Baginda dari seorang selir, sudah
mengetahui apa yang terjadi dari Ayu Purini waktu di dalam lobang tadi.
Kudopati segera hendak
menjawab. Tapi Jayengseno mengangkat tangannya. “Tunggu dulu! Sebelum kau
bicara aku ingin memberi ingat! Sikapmu terhadapku sungguh sangat tidak sopan.
Walaupun aku putera dari seorang selir, garis kedudukanku jelas lebih terhormat
dari pada dirimu yang hanya seorang perajurit kepala!”
Merah padam paras Kudopati.
Namun kemudian tampak dia menyeringai. “Aku tahu, semua orang tahu kalau yang
namanya Raden Jayengseno itu adalah putera tertua Sri Baginda. Tapi putera
tertua dari seorang selir. Karena itulah kau beranggapan bahwa kau mempunyai
hak untuk dinobatkan sebagai pangeran putera mahkota! Jayengseno, kau dicurigai
sebagai pencuri jubah Kencono Geni. Menukarnya dengan yang palsu hingga
menyebabkan kematian Raden Ario Joko Pitolo, satu-satunya putera Sri Baginda
yang berhak atas tahta kerajaan!”
“Kau pandai mengarang fitnah!”
“Siapa mengarang?! Aku datang
atas perintah Sri Baginda!” sahut Kudopati keras.
“Kalau begitu kau juga telah
berhasil mengelabuhi ayahku! Angkat kakimu dari sini Kudopati! Aku tak ingin
kau ganggu lebih lama!’
“Jawab dulu pertanyaanku !
Dimana kau sembunyikan jubah Kencono Geni itu?!”
“Kau tanyakan pada jin laut
sana!” jawab Jayengseno.
“Jika kau tidak mau
menerangkan, terpaksa aku menangkapmu dan membawamu ke hadapan Sri Baginda di
Kotaraja!”
Raden Jayengseno tersenyum.
“Pergilah sebelum kutampar mulut lancangmu!”
Rahang Kudopati menggembung.
Berbekal perintah Sri Baginda ditambah dengan kedudukannya sebagai kepala
pengawal keraton dia merasa dirinya pada kedudukan yang lebih tinggi dari
putera raja dari seorang selir itu. Maka dia berteriak memberi perintah untuk
menangkap Jayengseno. Dua belas perajurit kerajaan segera bergerak.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Wiro
berseru.
“Pemuda gondrong! Kau hanya
seekor monyet. Jadi tidak perlu ikut campur urusan orang! Atau kaupun mau aku
tangkap?!” bentak Kudopati.
“Perwira, mulutmu memang
seperti comberan. Lagakmu seperti jamban busuk! Apa kau punya bukti kalau Raden
Jayengseno yang mencuri dan menukar jubah pusaka itu?”
“Itu bukan urusanmu monyet!”
Wiro ganda tertawa dipanggil
monyet untuk kedua kalinya itu. Dia berkata: “Seingatku, sudah dua bulan aku
berada di tempat ini menjaga Raden Jayengseno. Bagaimana dia bisa kau tuduh
sebagai pencuri jubah pusaka itu?”
Dusta Pendekar 212 itu sesaat
membuat Kudopati terkesima.
Wiro tertawa. Dia berpaling
pada Jayengseno. “Nah, dia tak bisa menjawab. Raden, kau kembalilah masuk ke
dalam lobang. Teruskan samadimu. Serahkan kunyuk-kunyuk kesasar ini padaku!”
“Bangsat! Kau berani
menghina!” teriak Kudopati. Dia kembali memberi isyarat pada dua belas
perajurit. Lalu mendahului menyergap ke arah Pendekar 212. Sebelum menangkap
Jayengseno dia ingin lebih dahulu menghajar si gondrong ini.
Tinju kanan Kudopati melayang
ke arah muka Wiro Sableng. Serangan itu mengeluarkan suara angin deras tanda
Kudopati memiliki tenaga luar yang besar dan berbahaya. Murid Eyang Sinto
Gendeng cepat menghindar ke samping. Lutut kirinya menekuk. Bersamaan dengan
itu kaki kanannya menendang ke arah perut Kudopati.
Kudopati tidak heran melihat
lawan mampu mengelak bahkan balas menyerang. Tadipun waktu tendangannya
ditangkis dengan lutut dia sudah menyadari kalau pemuda yang disebutnya monyet
ini memiliki kepandaian tinggi. Karenanya Kudopati kini ingin sekali membunuh
Wiro secepat-cepatnya. Entah kapan tangan kanannya bergerak, tahu-tahu sebilah
golok besar sudah tergenggam. Kini dia menyerbu dengan senjata itu!
Sementara itu dua belas
perajurit telah melompat ke atas reruntuhan candi. Enam orang bersenjata
tombak, enam lagi menghunus golok. Yang memegang golok menyerbu di sebelah
depan.
Jayengseno melompat ke atas
sebuah batu candi sementara Ayu Purint yang memang tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa segera menjauh. Rasa takut menyelimuti diri gadis ini. Walau wajahnya
terlindung di balik topeng tipis namun gadis ini masih merasa khawatir
kalau-kalau Kudopati dan para perajurit itu mengenalinya.
“Perajurit-perajurit kerajaan!
Dengar kata-kataku!” berseru Jayengseno.
“Jangan dengarkan ucapannya!”
berteriak Kudopati.
Jayengseno tidak perduli dan
meneruskan bicaranya. Tinggalkan tempat ini! Aku tidak ingin mencelakai kalian!
Cepat!”
“Kami hanya menjalankan
perintah atasan, Raden! Mana kami berani berlaku tidak taat!” jawab salah
seorang perajurit.
Plaak!
Baru saja perajurit ini
berucap begitu tamparan Raden Jayengseno telah mendarat di pipinya. Tubuhnya
melintir hampir jatuh, bibirnya pecah berdarah. Sebelas perajurit lainnya
sesaat tampak menjadi bimbang. Namun teriakan Kudopati membuat mereka kembali
menyerbu. Terpaksa Jayengseno menyambar golok perajurit yang tadi ditamparnya
lalu menghadapi sebelas pengeroyok yang datang menyebarnya.
Sebagai seorang putera raja
Raden Jayengseno memang membekal ilmu silat yang tidak rendah. Saat itupun dia
sengaja mengucilkan diri untuk menggembleng tenaga dalamnya. Gerakan silatnya
mantap dan kelebatan tubuhnya ringan. Namun ada satu hal, Jayasengseno belum
punya pengalaman sama sekali melakukan dan menghadapi kekerasan. Sehari-hari
putera Sri Baginda dari seorang selir ini adalah seorang pemuda yang sopan dan
lembut
Dalam beberapa kali gebrakan
saja Raden Jayangseno berhasil menendang seorang perajurit dan menjotos
perajurit lainnya. Bahkan dia sempat melukai lawan yang ketiga. Namun serbuan
yang lain-lainnya bertambah gencar. Perlu diketahui dua belas penyerang itu
memang adalah anggota-anggota pasukan tingkat rendahan saja. Namun mereka
datang dari kelompok khusus yang sengaja disiapkan dan terlatih dalam melakukan
penyerangan atau menangkap lawan hidup-hidup.
Setelah menggempur sepuluh
jurus, delapan perajurit itu kini berhasil merangsak maju dan mendesak Raden
Jayengseno ke sudut timur reruntuhan candi. Dalam satu gebrakan hebat,
Jayengseno berhasil menusuk perut salah seorang penyerangnya, namun saat itu
pula dua golok memukul dengan keras badan golok yang dipegangnya. Senjata itu
terlepas mental dari pegangannya. Di lain kejap dua ujung tombak sudah menempel
di leher Jayengseno sedang sebilah golok ditekankan ke arah perutnya. Putera
selir ini tak bisa berbuat apa-apa. Ayu Purini menyaksikan kejadian itu dengan
tubuh bergetar dan keluarkan keringat dingin.
Kudopati adalah murid seorang
jago silat di daerah Sleman. Sembilan tahun digembleng kemudian dia berguru
pada seorang tokoh silat istana. Pada tokoh inilah dia mendapat gemblengan
tenaga dalam tingkat tinggi. Kemampuannya yang dianggap luar biasa kemudian
memungkinkannya dipercayai jabatan sebagai kepala pengawal keraton. Apalagi
kabarnya diapun telah pula berguru pada seorang tua misterius di puncak gunung
Merapi dimana dia mendapat pelajaran dan akhirnya menguasai beberapa pukulan
sakti.
Tetapi hari itu Kudopati
berhadapan dengan lawan yang kadar kedigjayaannya telah dikenal dunia
persilatan di delapan penjuru angin. Setelah menggebrak hebat dengan serangan
goloknya selama lima jurus, Kudopati tiba-tiba keluarkan seruan kaget ketika
tangannya yang hendak membacokkan senjata ke arah kepala Wiro, mendadak terasa
seperti kesemutan. Dari arah depan ada satu gelombang angin yang menekan hingga
tangannya mengapung di udara. Kini sadarlah kepala pengawal itu kalau lawannya
memiliki kekuatan tenaga dalam yang hebat.
Maka diapun merapal aji
kesaktian. Lalu tangan kirinya dihantamkan ke depan seraya berteriak. “Mampus!”
Wuss!
Serangkum angin menerpa
dahsyat. Tubuh Pendekar 212 tampak bergetar goyang. Menyaksikan itu Ayu Purini
sudah seperti terbang nyawanya.
“Kalau pemuda inipun kalah,
celakalah diriku. Mereka pasti menangkap aku. Oh….Bagaimana ini?!” keluh Ayu
Purini.
Di depan sana untuk menguatkan
daya serangannya, Kudopati hentakkan kaki kiri ke atas lantai candi. Lantai itu
terasa bergetar keras dan tubuh Pendekar 212 tampak jatuh terbanting. Mengira
lawan sudah tidak berdaya dan paling tidak telah mengalami luka dalam yang
parah, Kudopati cepat memburu dengan tabasan golok ke arah leher.
Praang!
Mata golok menghantam lantai
batu sampai mengeluarkan pijaran bunga api. Tubuh Pendekar 212 sesaat sebelum
golok menyambar lehernya sudah berguling ke kiri. Ketika Kudopati berusaha
memburu terus tiba-tiba sebuah bongkahan batu candi melayang ke arah kepalanya.
Batu ini adalah batu yang dipungut Wiro sewaktu berguling tadi. Mau tak mau
Kudopatrterpaksa menyelamatkan kepalanya.
Hal ini membuat gerakannya
tertahan sesaat. Ketika lemparan batu lewat di atas kepalanya dan kembali dia
hendak melanjutkan serangan, tendangan kaki kanan Pendekar 212 mendarat lebih
dahulu di tulang kering kaki kirinya.
Kraaakk!
Terdengar suara patahnya
tulang kaki Kudopati. Bersamaan dengan itu terdengar jerit kesakitan kepala
pengawal ini. Tubuhnya langsung roboh ke lantai candi dan kelojotan tiada henti
karena menahan sakit.
Wiro cepat berdiri lalu
menghampiri para pengurung Raden Jayengseno.
“Pimpinan kalian sudah tidak
berdaya! Gotong dia dan tinggalkan tempat ini!”
“Apapun yang terjadi kami
tetap akan menangkap Raden Jayengseno!” menjawab salah seorang perajurit.
“Kalau begitu kau akan kuhajar
paling dulu!” mengancam Wiro.
“Kalau itu kau lakukan kawanku
akan menusuk tembus batang leher Raden Jayengseno!” mengancam perajurit tadi.
Wiro menyeringai. “Kau
ditugaskan menangkap Raden Jayengseno hidup-hidup. Jika kau berani membunuhnya,
Sri Baginda akan memancungmu!”
Selagi perajurit itu berada
dalam keadaan bimbang Wiro melangkah ke tempat Kudopati duduk menginjak kaki
kiri kepala pengawal yang patah itu sehingga Kudopati menjerit setinggi langit.
“Perintahkan anak buahmu
melepaskan Raden Jayengseno. Atau kuinjak hancur kakimu yang patah ini hingga
kau jadi cacat seumur-umur!”
“Bangsat!” rutuk Kudopati
marah sekaii. Tapi dalam keadaan tidak berdaya seperti itu dia tidak bisa
berbuat apa, terpaksa mengikuti kehendak Wiro. Maka kepala pengawal inipun
berseru pada semua anak buahnya.
“Lepaskan Jayengseno. Hari ini
dia bebas tapi cepat atau lambat kita akan menangkapnya kembali! Bantu aku naik
ke atas kuda. Kita kembali ke Kotaraja!”
Mendengar perintah pimpinan
mereka itu, delapan perajurit yang mengurung Jayengseno segera mundur. Sebagian
dari mereka menolong Kudopati naik ke atas kuda. Yang lainnya membantu
teman-teman mereka yang luka termasuk seorang tewas.
Sebelum meninggalkan tempat
itu Kudopati menoleh pada Jayengseno. “Mimpimu sudah tamat Jayengseno. Jangan
kira kau bakal bisa menjadi pangeran putera mahkota!”
“Aku tidak pernah mimpi
seperti itu Kudopati. Justru aku muak dengan tata kehidupan keraton yang hanya
mengukur tinggi rendah manusia dari darah dan keturunannya!” menyahuti
Jayengseno.
Kudopati menyeringai. “Kelak
kalau tali gantungan dibuhulkan ke lehermu, aku akan meminta agar kedua
tanganku yang akan melakukannya!”
Jayengseno tertawa hambar.
“Mimpimu mungkin tidak akan pernah jadi kenyataan Kudopati. Mungkin aku kelak
yang akan menjiratkan tali gantungan ke lehermu!”
Kudopati hendak bergerak pergi
namun dia ingat pada Pendekar 212 Wiro Sableng dan berpaling pada pemuda itu.
“Monyet gondrong, umurmu juga
tak bakal lama! Aku akan memburumu sekalipun ke neraka!”
“Ah, aku tidak mendengar apa
yang barusan kau katakan Kudopati. Mungkin kau bicara kurang keras atau
telingaku mulai tuli. Bicaralah lebih keras!” kata Wiro pula lalu dia melangkah
mendekati Kudopati yang duduk di atas kuda. Tangan kanannya menyambar kaki
kepala pengawal yang patah itu dan menariknya kuat-kuat. Kudopati berteriak
kesakitan. “Ah, kurang keras Kudopati! Bicaralah lebih keras!” kata Wiro pula
lalu kembali membetot kaki orang itu kuat-kuat hingga Kudopati untuk kesekian
kalinya menjerit kesakitan. Sambil tertawa gelak-gelak Wiro pukul pinggul kuda
tunggangan Kudopati.
***
ENAM
ABDI DALEM BERUSIA empat puluh
tahun itu memandang pada atasannya yang berusia hampir dua kali usianya. “Bapak
Kamilun, sampean memanggilku ada apakah….?”
“Tolong sampaikan pada Lurah,
malam ini aku tidak bisa menjalankan tugas,” kata Abdi dalem bernama Kamilun.
“Akan saya sampaikan. Tapi
kalau saya boleh tahu, halangan apakah yang sedang sampean hadapi…?” bertanya
abdi dalem yang muda.
“Sumini, cucu perempuanku yang
berusia sepuluh tahun itu sedang sakit. Badannya panas dan dia seringkali
mengigau….”
“Kalau begitu biar saya
mintakan obat.”
“Tidak perlu susah-susah. Aku
sudah mendapat obat. Tapi sakit anakku agak aneh. Dia mengigau seperti orang
ketakutan. Berulangkali dia menyebut-nyebut jubah Kencono Geni dan keris Ki
Pandan Anom. Seolah-olah sakitnya ini ada hubungannya dengan musibah yang
barusan menimpa keraton kita ini….”
Berubahlah paras abdi dalem
muda.
“Bolehkah saya melihat cucumu
itu?”
Kamilun mengangguk lalu
membawa bawahannya itu ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar itu tampak tidur
di atas pangkuan ibunya seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Sekujur
tubuhnya basah oleh keringat dan wajahnya pucat. Pada keningnya ditempelkan
sehelai daun sirih.
Si ibu menyeka keringat di
tubuh Sumini berulang kali. Abdi dalem muda gelengkan kepala. Sebelumnya dia
sudah sering melihat Sumini. Anak ini bertubuh sehat gemuk. Tapi kini
keadaannya tampak sangat kurus. Padahal baru beberapa hari mengalami sakit.
Si anak tampak menggeliat.
Perlahan-lahan kedua matanya yang terpejam membuka nyalang dan memandang secara
aneh ke sudut kamar sebelah atas. Tiba-tiba anak perempuan ini menggeliat lalu
menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan seraya berteriak.
“Jangan….jangan ambil keris
itu. Jangan ! Kembalikan jubah itu! Kembalikan jubah Kencono Geni….Aduh….jangan
pukul aku! Ampun….! Jangan pukul! Lepaskan jambakanmu! Aduh….Ampun….!”
Untuk menjerit seperti itu
Sumini harus keluarkan tenaga sangat banyak dan kembali sekujur badannya basah
oleh keringat. Sehabis menjerit anak ini tampak lemas lalu menangis
tersendu-sendu. Sang ibu mendukung sambil mengusap muka dan keningnya.
“Nah, kau saksikan sendiri….,”
kata Kamilun pada bawahannya.
“Igauannya memang aneh. Apakah
sampean atau orang pandai sudah coba mengajaknya bicara? Kalau kita tahu apa
yang ditakutinya mungkin kita bisa mengobatinya.”
Kamilun tidak berkata apa-apa.
Abdi dalem muda yang bernama Kamio itu memberanikan diri. “Jika sampean
mengizinkan, saya akan coba mengajaknya bicara.”
“Silahkan, aku juga ingin
menyaksikan. Siapa tahu kita bisa mengungkapkan sakit aneh cucuku ini….,” kata
Kamilun pula.
“Tapi sebelumnya saya minta
sepotong kencur lebih dahulu….” kata Kamio.
Setelah kencur diberikan,
Kamio lalu menggigit dan mengunyahnya. Kunyahan kencur itu kemudian
diletakkannya di atas kening disamping daun sirih. Lalu dia meniup kening
Sumini beberapa kali.
“Sum….Sumini….Kau tidak tidur
kan…. Coba buka kedua matamu…,” berkata Kamio dengan suara lembut. Dia
mengulangi ucapan itu.sampai tiga kali baru kelihatan Sumini membuka kedua
matanya.
“Anak bagus, anak.pandai. Kau
sedang sakit, nak. Apakah kau mau sembuh….? Tentu kau ingin sembuh dan bermain
lagi dengan teman-temanmu….”
Sumini mengangguk sangat
perlahan. “Tapi….,” tiba-tiba saja keluar ucapan dari mulut anak itu.
“Tapi apa cucuku….?” sang
kakek ikut bicara.
“Tidak…. Sumini tidak mau lagi
pergi ke tempat itu. Tidak….”
“Tempat yang mana anakku?”
tanya Kamio.
“Bangsal….bangsal itu. Sumini
tidak mau lagi kesana. Tidak mau lagi bekerja disana. Tidak mau lagi
membersihkan meja dan kursi. Tidak mau lagi membersihkan peti-peti pusaka….”
“Tentu….tentu kau tidak usah
ke sana lagi anakku,” kata Kamio. Lalu dia berpaling pada abdi dalem Kamilun
seraya bertanya: “Apakah cucumu sebelumnya memang ikut membantu di bangsal
penyimpanan benda-benda pusaka keraton?”
Kamilun mengangguk. “Pada hari
kejadian itu malah dia tertidur disana….”
“Jangan-jangan dia menyaksikan
sesuatu,” bisik Kamio.
“Cobalah kau tanyakan terus….”
Kamio lantas bertanya.
“Sumini, mengapa kau tidak suka lagi pergi ke bangsal itu? Bukankah di situ
udaranya sejuk, suasananya tenteram dan banyak hikmahnya, anakku?”
“Sumini takut….Sumini
takut…..”
Ketika anak perempuan itu
mulai kelihatan hendak menangis, Kamio dan ibunya cepat membujuk.
“Kami bertiga ada disini.
Lihat ada kakekmu, ada ibumu. Tidak perlu takut. Apa yang kau takutkan Sumini?”
“Orang itu….Saya melihat orang
itu….”
“Orang siapa? Siapa yang kau
lihat Sumini?” tanya sang ibu yang mendukung Sumini.
“Orang itu. Tinggi
besar…..Bermata besar berambut putih….. Pencuri….!”
“Ah, kau melihat pencuri
rupanya. Terhadap pencuri kita tidak perlu takut. Pengawal keraton akan
menangkapnya! Apa yang dicuri orang itu Sumini? Kau melihat apa yang dicurinya?
Kau mengenali pencuri itu?”
“Orang itu mencuri jubah
Kencono Geni lalu memasukkan sebuah bungkusan ke dalam peti. Lalu dia juga
hendak mencuri keris Ki Pandan Anom tapi tidak jadi karena ada penjaga yang
datang. Lalu orang itu membunuh semua penjaga. Lalu….” Sampai disitu Sumini
kelihatan seperti ketakutan dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kamio
cepat meniup kening dan mengusap ubun-ubun anak itu. Lalu dia saling
berpandangan dengan Kamilun dan berbisik. “Cucu sampean mengetahui satu rahasia
besar…. Saya akan menanyainya lagi….”
Kamilun mengangguk.
“Sumini, nak. Kau jangan takut
ada kakek dan ibumu disini,” berkata Kamio. “Kau anak pandai. Kau sudah
mengatakan pada kami bahwa kau melihat orang tinggi besar berambut putih,
bermata besar mencuri jubah pusaka. Juga hendak mencuri keris pusaka. Apakah
kau kenal orang itu Sumini?”
Yang ditanya diam saja.
“Mungkin kau lupa. Cobalah
mengingat….” kata Kamilun.
“Saya tidak lupa kek….Saya
ingat. Tapi saya takut..” jawab si anak.
“Jangan takut. Kalau orang itu
hendak mengganggumu kakekmu akan mementung kepalanya, aku akan memukul dadanya.
Nah ayo katakan siapa pencuri itu….” mendesak Kamio.
Mulut Sumini terbuka. “Pencuri
itu….,” anak ini sesaat memandang ke sudut atas kamar. “Pencuri itu seperti….”
Jendela kamar di samping kiri
tiba-tiba terpentang lebar. Di luar tampak satu bayangan. Sesuatu berdesing
dalam kamar. Terdengar jeritan Sumini. Bayangan di luar jendela lenyap. Lalu
menyusul terdengar raungan ibu Sumini sedang Kamilun dan Kamio sama berseru
keras ketika menyaksikan bagaimana sebuah pisau menancap dalam di leher Sumini!
***
TUJUH
MALAPETAKA YANG MENIMPA
keluarga abdi dalem Kamilun ternyata tidak hanya sampai pada pembunuhan keji
atas diri cucunya saja. Menjelang pagi penduduk di sebelah timur keraton
menemukan abdi dalem berusia delapan puluh tahun itu telah menjadi mayat
bersama anaknya yaitu ibu Sumini di dalam rumah mereka, sementara jenasah
Sumini belum sempat di urus.
Seluruh kawasan keraton
menjadi gempar. Terlebih ketika diketahui lenyapnya abdi dalem bernama Kamio.
Apakah orang ini ikut menjadi korban pula atau lenyap melarikan diri? Berbagai
prasangka bermunculan. Salah satu diantaranya ialah bahwa Kamio melarikan diri
karena dialah yang telah menghabisi abdi dalem Kamilun sekeluarga. Dituduhkan
bahwa Kamio ada sangkut pautnya dengan lenyapnya jubah Kencono Geni. Anggota
keluarga Kamilun mengetahui hal itu. Itulah sebabnya orang tua yang sudah
mengabdi pada keraton sepanjang usianya itu dibunuh bersama anak perempuan dan
cucunya! Kepada rakyat luas segera diumumkan bahwa Kamio menjadi buronan dan
harus ditangkap hidup atau mati!
Di keraton sendiri, di bawah
pimpinan langsung Patih Jolosengoro disertai petunjuk Sri Bagindra dibentuk dua
kelompok pasukan. Yang pertama berjumlah lima puluh perajurit dan tiga perwira,
dikepalai oleh Kudopati yang masih berada dalam keadaan cidera. Kaki kirinya
yang patah telah diobati dan diganjal dengan sepotong kayu. Kemana-mana dia
memakai tongkat yang dikepit di ketiak kirinya. Meskipun dalam keadaan sakit
tapi dendamnya terhadap Jayengseno, terutama pemuda gondrong yang telah membuat
dia cidera demikian rupa, telah menimbulkan semangat balas dendam yang menyala
dalam dirinya: Oleh Sri Baginda dia tetap diberi kepercayaan untuk menjadi
pemimpin kelompok ini dan bertugas mencari dan mengejar kembali Jayengseno.
Bagi Kudopati, Jayengseno
tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan besar justru si gondrong yang ada
bersamanya. Agar dia tidak tersandung kedua kalinya maka Kudopati memasukkan ke
dalam kelompoknya seorang tokoh silat istana bernama Narowongso yang terkenal
dengan senjatanya berupa pecut yang bisa mengeluarkan api. Di samping itu
Kudopati juga meminta bantuan gurunya seorang kakek sakti dari gunung Merapi.
Dari kakek yang bernama Kunto Ismoro inilah dia mendapat pengajaran ilmu tenaga
serta pukulan-pukulan sakti. Kudopati merasa penasaran karena belum sempat
mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya yang jitu dia sudah keburu dipecundangi oleh
pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu tidak diketahui siapa nama atau
gelarnya.
Kelompok kedua berjumlah hanya
sepuluh perajurit, seorang perwira, di pimpin oleh seorang Tumenggung
berkepandaian tinggi bernama Gelung Kamiyoso. Kelompok kedua ini ditugaskan
untuk mencari dan menangkap abdi dalem Kamio.
Disamping itu Patih
Jolosengoro juga menyebar puluhan mata-mata untuk ikut membantu mencari
Jayengseno, si gondrong dan Kamio.
Sebelum dua rombongan itu
berangkat, Patih Jolosengoro sempat menyampaikan pesan pada pimpinan kedua
kelompok itu.
“Sri Baginda sudah hilang
kesabarannya. Kalian harus menemukan jubah Kencono Geni, paling tidak
mengetahui dimana beradanya. Sri Baginda juga berpesan, kalau keadaan memang
tidak memungkinkan lagi maka Jayengseno dan Kamio boleh langsung kalian habisi
di tempat….”
Maka dengan membekal tugas dan
pesan itu kedua kelompok tersebut segera meninggalkan kotaraja. Sampai saat itu
lenyapnya Ayu Purini dari kawasan keraton masih belum diketahui siapapun,
kecuali ibunya yang juga merupakan selir Raja. Sang ibu meskipun tidak tahu apa
yang terjadi dengan puterinya itu namun berusaha merahasiakan lenyapnya Purini
karena dia kawatir nasib anak perempuannya itu bisa-bisa sama dengan yang
dialami Kamio. Apalagi dia mengetahui bahwa dari sekian banyak saudara sebapak,
yang paling erat hubungannya adalah Ayu Purini dengan Raden Jayengseno.
Meskipun sadar kalau
Jayengseno tak bakal ada lagi di reruntuhan candi di muara Kali Opak, namun
Kudopati memutuskan untuk pertama kali menuju ke tempat itu guna menghancurkan
sisa-sisa reruntuhan yang pernah dijadikan tempat bersamadi oleh Jayengseno.
Paling tidak satu tempat persembunyian putera sulung Sri Baginda itu telah
dimusnahkan.
HARI ITU ADALAH hari kedua
ketiga orang itu meninggalkan Kali Opak, bergerak menuju ke barat laut
melintasi rimba belantara kecil lalu menyusun kaki sebuah bukit. Tujuan mereka
adalah sebuah dusun kecil di dekat candi Mendut.
Sepanjang jalan Jayengseno
bersikeras untuk segera kembali ke kotaraja. Dia merasa perlu menjernihkan
suasana. Fitnah yang dicorengkan kepada dirinya harus dibersihkan. Tetapi Wiro
dan Ayu Purini menasihati agar maksud itu ditunda dahulu.
“Suasana di kotaraja, terlebih
di keraton pasti masih diselimuti kegegeran dan kemarahan. Sulit mengetahui
mana kawan dan mana lawan. Apalagi Sri Baginda sudah jatuh dalam pengaruh dan
hasutan…..,” berkata Wiro.
“Pendapat sahabat kita ini
benar adanya mas Jayeng,” menimpali Ayu Purini. Saat itu dia tidak lagi
mengenakan topeng tipisnya. “Terlalu berbahaya. Kita teruskan saja perjalanan
ke Mendut sambil menyirap kabar. Sampai di Mendut kita suruh orang-orang
kepercayaan kita untuk menyelidiki perkembangan di keraton….”
Jayengseno menarik nafas
dalam. “Pikiran dua kepala mungkin memang lebih baik dari pada satu kepala,”
katanya.
“Baiklah, aku mengikuti saran
kalian.”
Ketika akan memasuki hutan
belantara kecil di utara muara Kali Opak tiba-tiba tampak ada seorang berkuda
memacu tunggangannya dengan cepat ke arah mereka. Ketiga orang itu menyelinap
ke balik pohon. Si penunggang kuda rupanya memang telah melihat mereka karena
dia justru mengarahkan kudanya ke jurusan pohon. Sewaktu penunggang kuda ini
hanya tinggal beberapa puluh meter saja lagi, ternyata orang itu berseragam
abdi daiem keraton.
Jayengseno segera keluar dari
balik pohon. Begitu si penunggang kuda sampai di hadapannya dia segera menegur.
“Abdi dalem! Kau datang
sebagai mata-mata atau sebagai apa?!”
“Ampun Raden Jayeng,” kata si
penunggang kuda begitu melompat turun ke tanah. “Saya memang sengaja mencari
Raden sekaligus menyelamatkan diri dari kejaran manusia-manusia penyebar
fitnah! Saya bersyukur pada Gusti Allah bisa dipertemukan dengan Raden Jayeng
di tempat ini….”
“Hemm….Siapa namamu? Ceritakan
apa yang terjadi!” ujar Jayengseno pula. Saat itu Ayu Purini dan Wiro sudah
keluar pula dari balik pohon. Si abdi dalem tentu saja jadi terkejut ketika
mengenali puteri Sri Baginda itu lalu cepat-cepat menunduk memberi
penghormatan.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku, abdi dalem….,” menegur Raden Jayengseno.
“Maafkan saya Raden….,” kata
abdi dalem. Lalu dia mulai memberi keterangan. “Nama saya Kamio….” Selanjutnya
Kamio menerangkan apa yang telah terjadi dengan keluarga abdi dalem Kamilun.
Bagaimana dia sendiri kemudian dituduh sebagai pembunuh dan tersangkut dalam
perkara lenyapnya jubah pusaka sakti Kencono Geni.
Raden Jayengseno mengusap
dagunya beberapa kali. “Rupanya ada harimau di bawah selimut keraton!” kata
Jayengseno kemudian.
“Apa yang harus kita lakukan
mas Jayeng?” bertanya Ayu Purini lalu melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng
yang saat itu tegak sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat pada salah
satu bagian keterangan Kamio. Cepat Wiro berkata: “Tadi kau bilang cucu abdi
dalem Kamilun sempat melihat sendiri pencuri jubah pusaka itu. Katanya seorang
lelaki tinggi besar berambut putih, bermata besar. Coba kau ingat-ingat siapa
orang dalam kalangan keraton yang punya ciri-ciri seperti itu….”
“Setahuku banyak orang dalam
keraton yang punya ciri-ciri seperti itu “ kata Raden Jayengseno pula.
“Coba disebutkan….,” pinta
Wiro. “Dua atau tiga orang abdi dalem. Lalu beberapa anggota pengawal. Seorang
anggota penabuh gamelan. Kudopati….. Tidak, dia tidak berambut putih….Tapi
mungkin saja dia memakai rambut palsu….”
Wiro menggeleng. “Jika Sumini
yang malang itu mengenali siapa adanya si pencuri berarti orang itu tidak
menyamar ketika melakukan kejahatannya. Hanya sayang anak itu tidak sempat
mengatakan siapa orangnya. Keburu dirinya dibunuh lebih dahulu. Kurasa ibu dan
kakeknya juga dibunuh dengan alasan yang sama. Yaitu sudah sempat mendengar
keterangan menyangkut ciri-ciri orang itu. Kamio beruntung masih bisa melarikan
diri. Tapi sekarang jiwanya terancam…. Nah, masih adakah orang dalam keraton
dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan tadi?”
“Apakah tidak ada kemungkinan
bahwa penjahatnya adalah orang luar keraton?” bertanya Purini.
“Mungkin saja,” sahut
Jayengseno.
Tapi Wiro justru gelengkan
kepala.”Jika dia orang luar Sumini tak bakal mengenalinya. Kurasa ini sudah
hampir pasti pekerjaan orang dalam. Buktinya dia juga membunuh para pengawal
dan beberapa abdi dalem yang ada di bangsal penyimpanan benda-benda pusaka….”
“Kau benar,” kata Jayengseno
pula.
“Kalau begitu selama kita
berada di luar tembok keraton, kita tak bakal dapat mencari tahu siapa adanya
penjahat yang menimbulkan malapetaka itu,” berkata Purini. Lalu dia menyambung.
“Aku tiba-tiba saja ingat. Ada dua pejabat tinggi keraton yang memiliki
ciri-ciri seperti dikatakan abdi dalem Kamio. Pertama menteri pertanahan, kedua
patih kerajaan sendiri….”
Jayengseno gelengkan
kepala.”Dua orang itu dianggap sesepuh kerajaan. Telah mengabdi selama puluhan
tahun. Bahkan mapatih sendiri sesuai penjelasan abdi dalem ini langsung turun
tangan melakukan penyelidikan dan pengejaran.”
“Bagaimana kalau aku menyamar
jadi abdi dalem lalu menyelinap masuk ke dalam keraton,” berkata Wiro.
“Akalmu cukup panjang. Tapi
keraton sangat luas. Ada beberapa bangunan besar. Aku khawatir kau tersesat dan
keburu ketahuan sebelum berhasil menyelidik….”
“Kalau begitu kita bertiga
masuk dengan menyamar!” kata Wiro pula. Ayu dan Jayeng menyetujui usul itu.
Lalu Jayengseno berkata pada Kamio. “Pergilah ke hutan Dadap. Disitu ada rumah
tempat Raja mengaso pada waktu berburu. Untuk sementara kau bisa bersembunyi
disitu.”
Abdi dalem bernama Kamio itu
menghatur sembah lalu minta diri.
***
DELAPAN
MALAM ITU WALAUPUN tidak
terlalu sulit namun dengan penuh rasa tegang dengan menyamar, Raden Jayengseno,
Ayu Purini dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil masuk ke dalam keraton lewat
pintu gerbang utara. Saat itu udara agak mendung dan angin bertiup kencang
pertanda hujan mungkin akan segera turun.
Pusat tujuan mereka adalah
bangsal penyimpanan senjata dan barang-barang pusaka kerajaan. Ternyata bangsal
itu kini dijaga secara sangat ketat baik siang apalagi malam hari.
Jayengseno berjalan di sebelah
depan. Dia sengaja mengambil jalan yang agak jauh agar sampai di bagian
belakang bangunan. Sesuai rencana dia dan Wiro akan memanjat sebuah tembok
rendah lalu naik ke atas atap bangsal. Ayu Purini akan disuruh tunggu di sebuah
sudut.
Ketika melewati halaman luas
sebelum mencapai bagian belakang bangsal penyimpanan senjata tiba-tiba angin
kencang bertiup. Daun-daun pohon beringin bersiur keras. Debu dan pasir beterbangan.
Blangkon yang melekat di kepala Pendekar 212 yang memang agak kebesaran
terpental diterbangkan angin. Cepat-cepat Wiro memungutnya, menggulung rambut
gondrongnya ke atas lalu mengenakan blangkon itu kembali.
Beberapa saat kemudian ketika
ketiga orang itu bergerak hampir mencapai bagian belakang bangsal penyimpanan
senjata, dari sebuah lorong dua orang pengawal yang melakukan tugas keliling
tampak keluar dan melangkah ke jurusan mereka. Sewaktu berpapasan tiga pengawal
ini memberi penghormatan. Namun setelah dua langkah lewat, salah seorang dari
mereka memegang lengan dua temannya dan membisikkan sesuatu. Dua pengawal itu
segera berpaling. Setelah memperhatikan ke arah Pendekar 212, salah seorang di
antaranya segera berseru.
“Tunggu!”
Tiga abdi dalem sesaat saling
pandang dan terpaksa hentikan langkah.
“Ada apakah…?” menegur
Jayengseno.
Pengawal yang ditanya tidak
menyahuti melain melangkah mendekati Wiro. Setelah memperhatikan kepala sang
pendekar sekali lagi maka diapun berkata. “Empat melihat seorang abdi dalem
memakai blangkon terbalik!”
Jayengseno dan Ayu Purini
terkejut dan sama memandang ke arah blangkon di kepala Wiro. Astaga! Blangkon
yang tadi jatuh dan dikenakan kembali itu ternyata memang terbalik. Buhul atau
bagian belakangnya berada di sebelah depan!
Wiro yang tak kalah kagetnya
cepat-cepat memutar blangkon itu. Namun karena terburu-buru justru rambutnya
yang gondrong sempat terburai keluar.
Makin heranlah tiga pengawal
tadi.
“Seorang abdi dalem berambut
panjang tanpa diikat!” seorang diantaranya berkata.
Kawannya memandang tak
berkedip. Sambil memberi isyarat, dia bertanya. “Sampean ini sudah berapa lama
jadi abdi dalem keraton? Kami terpaksa memeriksa sampean!”
“Pengawal, tak ada yang perlu
dicurigai!” berkata Jayengseno. “Tadi ada angin yang menerbangkan blangkonnya.
Karena terburu-buru dia salah mengenakannya!”
“Ada yang tidak beres. Lihat
saja! Abdi dalem satu ini tegak membelakangi gedung kuning kediaman Sri
Baginda!” kata si pengawal pula.
“Celaka!” keluh Ayu Purini daiam
hati. Tegak memunggungi gedung kediaman Sri Baginda memang suatu pantangan bagi
siapa saja yang berada dalam jajaran keraton. “Kalian bertiga ikut kami ke
rumah penjagaan!”
“Kami ada urusan penting atas
perintah patih. Jangan keliwat menganggu!” kata Jayengseno.
“Urusan kalian bisa
dilanjutkan kemudian setelah kami melakukan pemeriksaan. Mari ikut….”
“Kalau begitu kalian yang
harus ikut kami untuk dihadapkan pada patih kerajaan!” kertak Jayengseno.
Tapi pengawal itu gelengkan
kepala. Dia tahu bahwa dalam bertugas kedudukannya tidak bisa ditakut-takuti
dengan gertakan apapun. Ketika ketiga abdi dalem itu tetap bersikeras untuk
tidak mau mengikuti para pengawal ke rumah penjagaan, salah seorang pengawal
mengangkat tangannya. Teman di sampingnya segera lari ke sebuah sudut dimana
terletak sebuah kentongan lalu memukul kentongan itu berulang kali. Dalam waktu
singkat dari mana-mana bermunculan belasan pengawal.
“Kalian berdua lekas ikut
aku!” kata Jayengseno. Sewaktu ketiganya hendak bergerak, dua pengawal segera
menghalangi. Wiro cepat totok keduanya hingga kaku tak bisa bergerak lagi. Tapi
mulut mereka masih bisa berteriak-teriak.
Jayengseno sambil memegang
lengan Ayu Purini lari sekencang-kencangnya ke bagian halaman yang gelap. Wiro
mengikuti sambil sesekali menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya ada
serombongan pengawal mengejar cepat sekali, Wiro segera pukulkan kedua
tangannya ke tanah. Pendekar ini lepaskan pukulan sakti “Topan Melanda
Samudera” tapi tidak dengan tenaga dalam penuh. Hanya menghalangi dan menutupi
pemandangan para pengejar.
Begitu para pengejar terdengar
batuk-batuk dan ada yang merintih karena kelilipan, kesempatan ini dipergunakan
oleh Jayengseno dan Purini serta Wiro untuk berkelebat ke arah tembok pendek di
sebelah selatan, melompati tembok ini terus lari ke arah tembok besar keraton.
Di pintu gerbang Jayengseno
sengaja mendatangi enam orang pengawal yang berjaga-jaga dan belum tahu apa
yang terjadi di keraton sebelah dalam.
“Kalian semua jangan ada yang
meninggalkan tempat ini. Sejumlah pengawal akan datang untuk memperkuat
penjagaan. Kami akan melapor pada patih kerajaan….”
“Apa yang tengah terjadi di
keraton? Mengapa kentongan dipukul terus menerus?” tanya seorang pengawal.
“Masih belum jelas. Ada yang
mengatakan seorang hidung belang menyusup ke dalam keputeran….” jawab
Jayengseno lalu cepat memberi isyarat pada Wiro dan Purini agar segera
mengikutinya. Ketiganya keluar dari pintu gerbang itu lalu lari
sekencang-kencangnya menyusun pinggiran alun-alun yang gelap oleh naungan
pohon-pohon beringin. Di satu tempat yang dirasakan cukup aman ketiganya
berhenti.
“Maafkan keteledoranku….,”
kata Wiro sambil duduk di akar pohon.
Ayu Purini tak bisa berkata
apa-apa. Nafasnya sesak dan mukanya masih pucat. Sesaat kemudian baru dia bisa
membuka mulut, bertanya: “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Seluruh kotaraja dalam waktu
dekat pasti sudah tahu apa yang terjadi. Ruang gerak kita menjadi sempit. Kita
tidak bisa lagi menyamar sebagai abdi dalem begini rupa,” kata Wiro seraya hendak
membuka pakaian luriknya.
“Jangan dibuka dulu,” berkata
Jayengseno cepat.
“Ikuti aku. Ada sebuah tempat
di timur kotaraja yang sering dipergunakan Sri Baginda untuk beristirahat.
Untuk beberapa lama sampai keadaan aman kita bisa bersembunyi disana.”
Lalu ketiga orang itu segera
hendak tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba dari arah depan mendatangi
serombongan penunggang kuda. Beberapa di antaranya membawa obor.
“Yang datang adalah Kiyai
Singgih Kanyoman bersama para pengawal!” bisik Jayengseno ketika mengenali
orang tua yang berkuda di paling depan. “Celaka, kita sudah terlihat!”
Apa yang dikatakan Jayengseno
memang benar. Abdi dalem dengan pangkat tertinggi dan usia paling tua dalam
kawasan keraton telah melihat mereka berada di tempat itu. Mereka baru saja
dari luar kota. Ketika mendengar suara kentongan bertalu-talu dari arah
keraton, rombongan ini mempercepat lari kuda masing-masing. Namun di bawah
sebatang pohon mereka melihat tiga orang berpakaian abdi dalem yang gerak
geriknya mencurigakan. Langsung saja Kiyai Singgih Kanyoman mengarahkan kudanya
pada ke tiga orang itu.
“Kalian berdua cepat
tinggalkan tempat ini. Tunggu aku di tempat peristirahatan Raja,” ujar Wiro
cepat. “Kau tahu letak bangunan itu?” tanya Purini.
“Ya, aku tahu. Pergi cepat….
Biar aku menahan orang-orang yang datang ini!”
Jayengseno dan Ayu Purini
segera berkelebat dan menghilang dalam kegelapan.
Begitu sampai di hadapan Wiro,
Kiyai Singgih Kanyoman langsung membentak. “Malam-malam begini abdi dalem
keraton berada di tempat yang tidak semustinya! Mana kawanmu yang dua tadi?!”
“Mereka pergi ke kepatihan
guna melaporkan kejadian dalam keraton. Ada penyusup masuk ke dalam kaputeran!”
jawab Wiro pula.
Sepasang mata Kiyai Singgih
Kanyoman menatap tajam ke dada baju lurik yang dikenakan Wiro. Tadi Wiro hendak
membuka pakaiannya ini tapi tak jadi. Celakanya dia lupa mengancingkan bagian
atasnya kembali sehingga di balik baju lurik itu Ki Singgih Kanyoman dapat
melihat jelas pakaian putih yang dikenakan Wiro.
Ki Singgih lalu mengambil
sebuah tongkat yang disisipkannya di kantong perbekalan. Dengan ujung tongkat
ini dia mengait blangkong di kepala Wiro. Blangkon jatuh di tanah. Rambut
gondrong Pendekar 212 langsung menyembul acak-acakan.
“Orang ini bukan abdi dalem!
Tangkap dia!” teriak Ki Singgih Kanyoman.
Sepuluh perajurit dan dua
perwira melompat turun dari kuda masing-masing, langsung menyerbu Pendekar 212.
Semua mereka mengandalkan tangan kosong karena sama menyangka bahwa dalam waktu
singkat dan mudah mereka akan sanggup meringkus si gondrong itu!
***
SEMBILAN
KI SINGGIH KANYOMAN terkejut
besar ketika melihat bagaimana dalam dua kali gerakan berturut-turut para
pengiringnya dibikin roboh oleh pemuda berambut gondrong itu. Bahkan perwira
yang coba menelikung si pemuda dari belakang jatuh terbanting ke tanah kena
sikut dan merintih sambil pegangi bagian tulang iganya yang patah!
Singgih Kanyoman jadi marah
lalu berteriak. “Pergunakan senjata! Jangan ragu membunuhnya!”
Mendengar seruan ini maka para
perajurit yang ada segera menghunus senjata masing-masing. Ada yang berupa
pedang, banyak pula yang memegang golok.
Wiro tak ingin menurunkan
tangan terlalu keras pada perajurit-perajurit yang hanya menjalankan perintah
itu. Namun dia juga tak ingin jadi bulan-bulanan senjata lawan. Maka begitu
orang menyerbunya Pendekar 212 segera melompat ke belakang. Sambil melompat dia
menyambar leher pakaian perwira yang terduduk sambil merintih kesakitan. Tubuh
perwira itu kini dipergunakannya sebagai tameng untuk menghadapi serbuan senjata
lawan. Tentu saja para perajurit itu menjadi terkesiap dan tidak mungkin
meneruskan serangan tanpa membahayakan keselamatan atasan mereka.
Melihat lawan tidak lagi
berani menyerang, Wiro lemparkan tubuh sang perwira lalu secepat kilat memutar
tubuh meninggalkan tempat itu.
Namun tidak terduga, dari atas
kudanya Ki Singgih Kanyoman tampak laksana melayang terbang dan sesaat kemudian
dia sudah menghadang di depan Pendekar 212 sambil melintangkan tongkat kayunya.
“Ah, abdi dalem tua ini
rupanya memiliki kepandaian tidak sembarangan!” kata Wiio dalam hati seraya
bersiap-sedia.
“Serahkan dirimu untuk
pengusutan atau kau memilih kupecahkan kepalamu dengan tongkat ini sekarang
juga!” berkata Ki Singgih Kanyoman.
“Orang-orangmu menyerang
duluan! Sekarang kau malah mengancam hendak memecahkan kepalaku! Apa
salahku…?!”
Orang tua itu tertawa
mendengar kata-kata Wiro Sableng.
“Mulutmu pandai bicara. Tapi
kau berusaha hendak sembunyi di balik selembar lalang. Aku menaruh curiga kau
ini adalah pemuda berambut gondrong yang pernah dilaporkan berada di tempat
samadi Raden Jayengseno. Dua kawanmu yang kabur tadi dapat pula kupastikan
adalah Jayengseno sendiri dan puteri Sri Baginda yang bernama Purini….”
“Ah, lenyapnya Purini sudah
diketahui rupanya,” kata Wiro dalam hati.
“Orang tua, siapapun adanya
diriku, siapapun adanya kedua orang yang melarikan diri itu tidak perlu
dijadikan urusan. Kami bertiga bukan orang-orang jahat.”
“Begitu….? Hanya para penjahat
yang berani menantang kerajaan. Hanya orang-orang bersalah yang mau melarikan
diri….!”
“Tidak selamanya begitu, orang
tua. Orang benar tapi difitnah apakah dia akan diam saja? Orang mencari
keadilan tapi malah hendak ditangkap, apakah dia diam saja?!”
“Hemm…. Ucapanmu itu menambah
kepastian bahwa kau benar-benar kaki tangan Jayengseno, pencuri jubah Kencono
Geni!”
Habis berkata begitu Ki
Singgih Kanyoman gerakkan tangan kanannya. Tongkat yang dipegangnya melesat ke
arah mata kanan Pendekar 212. Tidak mau berlaku ayal murid Sinto Gendeng cepat
berkelit. Dari samping dia menghantam dengan tangan kiri ke arah badan tongkat.
Ki Singgih sengaja menunggu,
tidak mau menarik tongkatnya. Tapi begitu pukulan lawan hampir mengenai
tongkat, dia gerakkan per-gelangan tangannya demikian rupa sehingga tongkat
menggebuk tangan kiri Wiro dengan keras.
Murid Shinto Gendeng mengeluh
kesakitan. Selain sakit dia juga menjadi penasaran. Baru sekali ini dia mampu
dihantam lawan hanya dalam satu gebrakan. Sampai dimana sesungguhnya kehebatan
orang tua ini?
Sambil sunggingkan senyum
mengejak Ki Singgih menghujani Wiro dengan serangan tongkat. Senjata itu
menderu-deru mengeluarkan angin yang memerihkan mata. Wiro menyambut dengan
gerakan-gerakan gesit. Dia sengaja bertahan dengan jurus ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila dan ketika balas menyerang dia pergunakan
jurus-jurus silat Eyang Sinto Gendeng.
Tiga jurus berlalu, lalu tiga
jurus lagi. Tidak terasa perkelahian itu sudah memasuki jurus ke dua puluh.
Ilmu tongkat Ki Singgih Kanyoman memang luar biasa. Wiro tidak berkesempatan
untuk mendesak apalagi berusaha merampas tongkat itu. Bertahan terus menerus
bisa berbahaya. Maka pemuda ini terpaksa mulai keluarkan beberapa pukulan
saktinya.
Ketika ada angin dahsyat mulai
menerpa ke arahnya Ki Singgih Kanyoman bukannya menjadi kaget. Rupanya orang
tua ini memang sejak tadi sudah menunggu ingin melihat sampai dimana kehebatan
si gondrong ini. Dari saku pakaiannya dia mengeluarkan sebuah sapu tangan.
Setiap dia melambaikan sapu tangan ini, angin pukulan yang dilepaskan Wiro
seperti dibendung oleh satu tembok baja yang atos.
Wiro menjadi serba salah.
Kalau dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam dan menghantam dengan
pukulan-pukulan sakti simpanan dia khawatir si orang tua akan cedera berat.
Padahal dia tak ingin melakukan hal itu. Setelah memutar akal akhirnya Wiro
menemui cara yang dianggapnya paling baik. Orang tua seumur Ki Singgih Kanyoman
mungkin punya daya tahan terhadap hawa panas, tetapi terhadap udara dingin
belum tentu. Maka Pendekar 212 segera merapal aji pukulan “Angin Es” Kedua
tangannya diangkat ke atas: Telapak tangan membuka dan diputar-putar dengan
cepat. Udara malam yang memang sudah dingin itu kini tiba-tiba berubah menjadi
dingin luar biasa.
Ki Singgih Kanyoman tersentak
kaget. Dia kerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa dingin sambil mengalirkan
hawa panas ke seluruh tubuhnya. Tapi terlambat. Sekujur badannya terasa ngilu
terbungkus oleh hawa dingin yang hebat. Gerahamnya bergemeletakan. Di
sekitarnya semua pengiringnya kelihatan berdiri dengan tubuh bergetar keras
menggigil kedinginan, lalu satu demi satu mereka berjatuhan ke tanah dengan
tubuh bergelung. Hanya Ki Singgih saja yang masih sanggup berdiri tapi
keadaannya menderita sekali. Dia tak mampu bergerak seolah-olah tubuhnya
dibungkus lapisan es. Tangan kirinya yang memegang sapu tangan tergantung kaku
di udara sedang tangan kanannya yang menggenggam tongkat terkulai ke bawah juga
dalam keadaan kaku tegang.
Satu-satunya suara yang bisa
dikeluarkannya ialah suara menggigil dan suara bergemeletakan
geraham-gerahamnya yang masih utuh walau usianya sudah mencapai sembilan puluh
tahun. Penderitaan Ki Singgih ternyata tidak hanya sampai disitu. Dari bawah
perutnya terdengar suara mendesir halus. Lalu tampak selangkangnya basah
disusul ada air yang menetes ke tanah! Bau pesingnya kencing membersit di
tempat itu!
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa mengekeh melihat kejadian itu. Lalu dia buka baju dan kain yang
dikenakannya. Pakaian ini kemudian diselubungkannya ke tubuh Ki Singgih.
“Mudah-mudahan pakaian
tambahan ini dapat mengurangi rasa dinginmu. Karena aku memang bukan abdi dalem
seperti katamu, aku tidak membutuhkan pakaian itu lagi.” Wiro tepuk-tepuk pipi
keriput Ki Singgih yang sedingin es itu lalu berkata. “Selamat tinggal orang
tua. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik. Satu ketika akan kubuktikan
padamu bahwa Raden Jayengseno bukanlah pencuri jubah Kencono Geni seperti yang
kau tuduhkan itu!”
Kiyai Singgih Kanyoman
menyeringai buruk. “Aku kira kau tak bakal punya kesempatan membuktikannya!
Lehermu akan dipancang lebih dahulu!”
Pendekar 212 balas tersenyum
lalu tarik selampai di tangan kiri Ki Singgih dan pergunakan saputangan ini
untuk menyeka mukanya. Setelah itu saputangan kembali disempilkannya diantara
jari-jari tangan kiri si orang tua. Kemudian dia melompat ke atas punggung kuda
milik Ki Singgih. “Jangan kau tuduh aku mencuri kudamu. Aku cuma meminjamnya!
Kau barusan ngompol di celana. Jangan lupa cebok Kiyai! Ha…ha…ha…!”
“Aku bersumpah akan memenggal
sendiri kepalamu!” kata Ki Singgih Kanyoman dengan mata membeliak.
Sambil tertawa Wiro tinggalkan
tempat itu.
Beberapa puluh tombak setelah
Wiro berlalu, hawa Pendekar 212 berlalu, hawa yang sangat dingin
berangsur-angsur lenyap. Ki Singgih Kanyoman dan semua perajurit yang ada di
tempat itu mulai bisa menggerakkan anggota tubuh masing-masing. Yang pertama
dilakukan si orang tua ialah menarik kain dan baju yang menyelubungi tubuhnya.
Benda itu dibantingkannya ke tanah. Matanya berkilat-kilat dan pelipisnya
bergerak-gerak tanda amarahnya tidak terkirakan. Bukan saja marah tetapi juga
sangat malu dipermainkan begitu rupa oleh seorang pemuda tak dikenal.
“Ki Singgih, izinkan kami
mengejar pemuda itu…,” berkata seorang perajurit.
“Tak ada gunanya….,” jawab Ki
Singgih Kanyoman. “Kita harus menuju keraton sekarang juga!”
***
SEPULUH
BANGUNAN YANG BIASA dipakai
Raja untuk beristirahat di sebelah timur kotaraja tampak sunyi dan gelap di
bagian bawahnya, Namun di sebelah atas ada cahaya lampu. Bangunan berbentuk
joglo ini agaknya kurang terpelihara. Mungkin karena sudah sangat lama ini Sri
Baginda tidak pernah berkunjung lagi ke tempat ini.
Pendekar 212 hentikan kudanya
di halaman yang ditumbuhi rumput liar. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang
tidak semestinya di tempat itu. Raden Jayengseno dan Ayu Purini pasti telah
sampai lebih dahulu di situ. Namun sama sekali tidak kelihatan kuda-kuda
tunggangan mereka.
Wiro perhatikan tingkat atas
bangunan. Lalu memandang berkeliling. Gelap dan sunyi.
“Raden! Ayu! Apakah kalian ada
di dalam?!” berseru Wiro.
“Kami sudah lama sampai!
Masuklah cepat!” Terdengar orang menjawab. Itu suara Raden Jayengseno.”
Teriakannya datang dari sebelah atas bangunan.
Wiro merasa lega. Dia segera
menarik tali kekang kuda untuk maju ke arah tangga depan bangunan. Namun
tiba-tiba sudut matanya menangkap sekilas kilauan dekat pohon besar di halaman
kiri.
“Hemmm….Ada yang tidak beres
di tempat ini….,” kata Wiro dalam hati. Dia tidak mau menoleh ke arah kilauan
yang tadi dilihatnya. Namun dia yakin sekali itu adalah secercah cahaya yang
jatuh pada sebilah senjata tajam lalu memantul kembali. Berarti ada orang
bersembunyi di kegelapan sana. Mungkin bukan cuma satu orang.
“Raden!” Wiro kembali berseru.
“Aku akan mengambil dulu barang yang kau pesankan. Aku segera kembali!”
Habis melontarkan seruan
menipu itu Wiro cepat putar kudanya lalu tinggalkan halaman itu
secepat-cepatnya. Di sebuah tikungan dia membelok ke kiri memasuki deretan
pepohonan. Di sini dia menunggangi kudanya perlahan-lahan hingga tidak
mengeluarkan suara. Jalan yang di tempuhnya berkeliling demikian rupa hingga
tak lama kemudian dia sampai di bagian belakang rumah peristirahatan.
Dekat sebatang pohon nangka
hutan, Wiro turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kekang ke batang pohon
itu dia menyelinap dalam gelap, melangkah mengendap-endap sampai akhirnya tiba
di tembok pembatas halaman belakang. Keadaan masih seperti tadi. Sunyi gelap
tapi penuh mencurigakan. Seperti seekor tupai, Wiro memanjat pohon besar yang
salah satu cabangnya menjulai ke dekat atap bangunan.
Sampai di atas pohon dia
memandang ke bawah. Masih sunyi dan gelap. Tak ada gerakan-gerakan. Namun kedua
matanya dapat melihat di beberapa bagian, hampir tidak terlihat kalau tidak
diperhatikan benar-benar, mendekam beberapa sosok tubuh.
“Kalau Raden Jayeng dan Purini
ada di dalam bangunan, lalu di luar sana ada orang-orang yang berjaga-jaga,
pasti telah terjadi sesuatu dengan kedua sahabatku itu,” pikir Wiro. Hampir
tanpa suara dia melompak ke atas bangunan yang terbuat dari ijuk tebal.
Dengan mempergunakan jari-jari
tangannya Wiro membuka tumpukan ijuk hingga berlubang cukup besar. Lewat lubang
itu dia hendak mengintai ke dalam. Namun niatnya ini menjadi urung ketika
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangani halaman depan. Wiro
memperhatikan tajam-tajam, berusaha menembus kegelapan malam.
Seekor kuda memasuki halaman
depan dan berhenti tak berapa jauh dari tangga. Penunggangnya tampak turun
dengan susah payah dan mempergunakan tongkat untuk menopang ketiak kirinya. Di bahu
kanannya dia membawa sebuah bungkusan.
“Ah dia!” desis Wiro ketika
mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Orang ini melangkah menuju tangga
dan Wiro tak dapat melihatnya lagi karena terhalang atap bangunan.
Belum lagi penunggang kuda
bertongkat itu mencapai tangga bangunan mendadak dari empat jurusan melompat
sepuluh orang berpakaian serba hitam dengan berbagai senjata di tangan. Seragam
pakaian hitam yang mereka kenakan adalah seragam perang pasukan kerajaan.
“Apa-apaan ini?!” bentak orang
yang barusan turun dari kuda.
Mengenali suara serta melihat
lebih jelas wajah orang yang membentak, sepuluh orang yang semula siap hendak
menyerang serta merta merunduk dan mengundurkan diri, kembali ke tempat mereka
bersembunyi semula. Hanya seorang saja yang masih berdiri yang rupanya adalah
pemimpin mereka.
“Harap maafkan. Kami tidak
tahu kalau kepala pengawal keraton yang datang…!”
“Kalian punya tugas apa
disini?!”
“Kami diperintahkah untuk
berjaga-jaga dan membunuh siapa saja yang mendekati bangunan ini…”
“Hemmm….Siapa yang memberi
perintah?!”
“Kami tidak berani memberi
tahu. Silahkan masuk dan bertemu sendiri….”
Tiba-tiba dari tingkat atas
bangunan dimana nampak ada lampu minyak menyala terdengar orang berseru.
“Kudopati! Naiklah ke tingkat
atas!”
“Ah…. Dia benar-benar sudah
berada disini!” kata Kudopati, kepala pengawal keraton. Tanpa menunggu lebih
lama dengan bantuan tongkat di ketiak kirinya dia naik ke serambi depan lalu
mendorong pintu hendak masuk. Baru saja daun pintu bergerak, tiba-tiba dari
langit-langit serambi melesat ke bawah sebuah benda.
Kudopati yang mendengar suara
berdesing cepat melompat ke kiri dan tersandar ke dinding. Satu langkah di
hadapannya, di bekas tempatnya berdiri tadi kini menancap sebatang tombak.
“Hai!” teriak Kudopati.
“Kelicikan apa ini?! Kau hendak membunuhku?!”
Dari tingkat atas bangunan
terdengar suara tawa bergelak.
“Kau masih bisa berteriak.
Berarti belum mati! Ha…ha…ha! Silahkan masuk, Kudopati. Kau terlalu memikirkan
apa yang kau inginkan! Apakah kau lupa kalau bangunan ini dipasangi alat-alat
dan senjata rahasia?!”
“Semua alat dan senjata
rahasia telah dicabut dari bangunan ini! Pasti kau memasangnya kembali!”
berteriak Kudopati.
“Jangan mengomel saja! Naiklah
ke atas agar urusan kita bisa segera diselesaikan!” Orang di tingkat atas
bangunan berkata.
Kudopati terlebih dahulu cabut
goloknya baru masuk. Setiap langkah dan gerakan dilakukannya dengan sangat
hati-hati. Meskipun bagian bawah bangunan itu gelap sekali, namun karena
sebelumnya sudah berulang kali datang ke sini, kepala pengawal keraton itu
tidak sulit mengetahui dimana letaknya tangga kayu yang menuju ke tingkat atas.
Dia segera melangkah. Tapi baru saja kaki kanannya menginjak anak tangga
pertama, tiba-tiba dari bawah anak tangga kelima melesat sebilah pisau terbang,
tepat mengarah ke dada Kudopati. Secepat kilat Kudopati babatkan goloknya.
Traaang!
Pisau terbang terpental sedang
Kudopati merasakan tangannya yang memegang golok bergetar keras.
“Tua bangka keparat! Menjebak
secara pengecut!” maki Kudopati. “Dengar! Terpaksa aku membatalkan pertemuan
ini! Tapi ingat! Rahasiamu akan kubongkar!”
Di tingkat atas terdengar
suara tawa pendek lalu orang di atas sana berkata. “Kudopati, rahasiaku adalah
rahasiamu juga! Jangan bicara mengancam seperti itu!”
“Lantas apa maumu?! Mengapa
kau perlakukan aku seperti ini?!”
“Aku hanya sekedar menguji.
Ternyata kau masih hebat. Padahal kaki kirimu patah. Kau berjalan dengan
bantuan tongkat. Lalu di bahumu kau membawa bungkusan pula. Sekarang ayolah.
Teruskan menaiki tangga. Jangan khawatir tak ada lagi senjata gelap di tempat
ini. Cukup dua tadi itu saja!”
Meskipun mengomel panjang
pendek namun akhirnya Kudopati melangkah juga menaiki tangga.
Di atas atap Pendekar 212 Wiro
Sableng yang sudah tidak sabaran segera mengintai lewat lobang yang di buatnya.
Ada dua pemandangan yang
mengejutkan Pendekar 212 begitu matanya melihat ruangan di bawahnya yang
diterangi sebuah lampu minyak itu.
***
SEBELAS
PEMANDANGAN PERTAMA yang
membuat Pendekar 212 tercekam ialah ketika menyaksikan bagaimana kedua
sahabatnya, Jayengseno dan Ayu Purini berada di tingkat atas bangunan dalam
keadaan tak berdaya. Keduanya tertegak dekat dinding tanpa bisa bergerak.
“Pasti Ayu dan Raden Jayeng
telah ditotok orang!” kata Wiro dalam hati.
Pemandangan kedua yang membuat
murid Sinto Gendeng itu terkejut ialah melihat siapa yang berdiri di samping
Ayu Purini sambil memegang sebilah pisau. Orang ini bertubuh tinggi besar,
berambut putih dan memiliki sepasang mata besar. Dia bukan lain adalah
Jolosengoro, Patih kerajaan!
Melihat keadaan di ruangan di
bawahnya itu, Pendekar 212 menduga-duga apa yang sebelumnya terjadi. Seperti
direncanakan Ayu Purini bersama Raden Jayengseno mendatangi bangunan itu untuk
menghindarkan diri dari pencarian orang-orang kerajaan. Ternyata tidak diduga
rupanya di situ telah berada Patih Jolosengoro. Mungkin sebelumnya sempat
terjadi perkelahian di tingkat atas bangunan itu. Namun mungkin juga Ayu serta
Jayeng kena dibokong. Jolosengoro memang memiliki kepandaian tinggi sehingga
akhirnya mampu menotok kaku Ayu dan Jayeng. Tetapi mengapa tadi Raden Jayeng
menyahuti seruan Wiro dan malah menyuruhnya masuk? JeJas itu adalah jebakan!
Lalu mengapa Raden Jayeng melakukan hal itu? Wiro berpikir lagi. Matanya
kembali membentur pisau di tangan sang patih.
“Hemm…. Aku tahu sekarang!”
kata Wiro lagi dalam hati. “Pasti patih itu mengancam akan melukai atau
membunuh Ayu Purini kalau Raden Jayeng tidak mengikuti perintahnya menyahuti
panggilanku tadi! Apa arti semua ini….?”
Belum sempat Pendekar 212
memecahkan keanehan atas apa yang disaksikannya itu, dari lobang tempat dia
mengintai, kelihatan kepala pengawal keraton yaitu Kudopati sudah naik ke
tingkat atas bangunan. Ketiak kirinya di topang sebuah tongkat sedang di bahunya
ada sebuah bungkusan kain.
Sesaat Kudopati memandang ke
arah Jolosengoro lalu berpaling pada Raden Jayengseno dan Ayu Purini.
“Ah…ah…ah! Dicari-cari
ternyata kalian ada disini! Jayengseno, hari ini tamatlah riwayatmu. Mimpi
indahmu untuk dapat jadi putera mahkota dan menguasai singgasana akan berubah
menjadi mimpi buruk berdarah! Dan hai! Ternyata kau ditemani oleh saudara
perempuanmu! Dua orang anak Sri Baginda dari dua orang selir ternyata sama
belangnya! Sama-sama jadi pengkhianat! Ayu Purini, jadi kaulah orang bertopeng
di reruntuhan candi tempo hari! Hebat! Bagus! Sungguh luar biasa! Mana teman
kalian pemuda gondrong itu!”
“Kalian berdua yang luar
biasa! Perjanjian busuk apa yang kalian lakukan di tempat peristirahatan Raja!”
membentak Raden Jayengseno.
Patih Jolosengoro tertawa
mengekeh.
“Kau akan melihat sendiri apa
perjanjian pertemuan kami ini Jayengseno! Tapi…. Kau tak akan sempat
mengatakannya pada siapapun. Karena umurmu tak bakal lama!”
“Paman patih! Apa maksudmu
dengan katakata itu?” bertanya Ayu Purini dengan suara keras.
“Ah! Anak selir ini galak juga
rupanya!” ujar Jolosengoro. “Tapi nasibmu mungkin akan lebih baik dari
saudaramu itu. Asal kau nanti mau ikut kemana aku pergi…!”
“Tua bangka bermulut kotor!”
teriak Ayu Purini.
“Hati dan kelakuannya pasti
lebih kotor!” menyambung Raden Jayeng.
Plaakkk!
Tamparan Patih Jolosengoro
mendarat di pipi kiri Raden Jayeng. “Berani lagi kau membuka mulut kupatahkan
batang iehermu saat ini juga!”
“Kau hanya berani mengancam
tapi tidak punya nyali melakukannya! Aku sudah bisa menduga siapa kau
sebenarnya! Ciri-ciri dirimu sama dengan ciri-ciri yang disebutkan anak
perempuan abdi dalem Kamilun! Kau yang mencuri jubah Kencono Geni!”
“Kurang ajar! Kau memang minta
mati cepat!” kertak Jolosengoro. Pisau di tangan kanannya langsung ditusukkan
ke leher Raden Jayeng. Ayu Purini terpekik. Namun gerakan tangan sang patih
cepat ditahan oleh Kudopati.
“Sabar dulu Mapatih. Membunuh
kampret ini semudah membalik telapak tangan! Biar kita selesaikan dulu urusan
kita….”
Meskipun amarah membuatnya
tidak dapat menahan diri, namun akhirnya Jolosengoro turunkan tangannya yang
memegang pisau lalu melangkah ke sebuah meja dimana terdapat dua buah kursi.
Dia dan Kudopati lalu duduk berhadap-hadapan. Kudopati meletakkan bungkusan
yang dibawanya di atas meja, mengangsurkannya ke depan Jolosengoro seraya
berkata. “Aku menyerahkan apa yang kau minta. Sekarang serahkan apa yang
kuminta.”
Patih Jolosengoro tersenyum.
Dari batik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang dibawanya di atas
meja, disamping bungkusan yang diletakkan Kudopati.
Kudopati segera hendak
menyentuh dan membuka bungkusan itu, tapi tangannya cepat dipegang oleh
Jolosengoro. Sang patih berkata: “Sabar sedikit Kudopati. Benda yang kuserahkan
ini jangan kau sentuh sebelum kau memeriksa dulu isi bungkusan yang kau bawa!”
“Aku bukan bangsa penipu. Kau
boleh memeriksa isi bungkusan ini. Tapi aku juga perlu memeriksa isi
bungkusanmu! Kita sama-sama memeriksa!”
“Aku tidak keberatan!” jawab
Jolosengoro pula. Lalu dia menarik bungkusan yang tadi disodorkan Kudopati. Isi
bungkusan itu langsung dituangkannya. Terdengar suara bergelundungan ketika isi
bungkusan berjatuhan di atas meja. Ternyata beberapa bongkah benda kuning. Ada
tujuh bongkah besar semuanya. Emas! Di hadapan Jolosengoro, Kudopati membuka
bungkusan kain yang diserahkan padanya. Ketika benda dalam bungkusan itu
dikeluarkan, terbelalaklah Raden Jayeng dan Ayu Purini. Benda itu adalah
sebentuk pakaian terbuat dari sutera merah berlapis emas! Jubah pusaka
kerajaan! Jubah Kencono Geni!
“Jadi memang benar dugaanku!
Kaulah pencuri jubah Kencono Geni! Patih keparat! Pengkhianat busuk!” teriak
Raden Jayengseno.
Jolosengoro seperti tidak
mendengar makian itu. Perhatiannya tertuju pada tujuh bongkah emas. Matanya
memandang dan meneliti lekat-Iekat. Tanpa setahunya, diam-diam tangan kanan
Kudopati bergerak ke bawah meja, menyusup tanpa suara. Lalu secepat kilat
tangan itu menyambar golok yang tersisip di
pinggangnya. Secepat kilat
pula senjata itu kemudian dibacokkannya ke kepala Jolosengoro!
Bukkk!
Golok beradu dengan batok
kepala. Jolosengoro terjengkang akibat sangat kerasnya bacokan itu. Tapi
kepalanya sama sekali tidak apa-apa. Jangankan luka, benjutpun tidak! Bacokan
maut itu tidak berbekas, tidak mempan! Jolosengoro kebal senjata!
“Kudopati keparat!” hardik
Jolosengoro seraya melompat berdiri sementara Kudopati terbelalak tak percaya.
Dia jadi curiga. Jubah merah yang dipegangnya dikembangkan lebar-lebar. Salah
satu ujungnya di dekatkan ke hidungnya lalu dicium. Tak ada bau kayu cendana!
“Jubah palsu! Bangsat penipu!”
teriak Kudopati tak kalah berangnya dari Jolosengoro. Lalu jubah itu
dibantingkannya ke lantai! Di lain saat dia sudah memburu ke arah patih
kerajaan itu dengan goloknya. Senjata ini berkelebat ganas, berulang kali
menghantam kepala dan tubuh sang patih. Tapi tak satu bacokanpun mampu melukai
orang berambut putih bertubuh besar itu!
***
DUA BELAS
PATIH JOLOSENGORO TERTAWA
BERGELAK sambil berkacak pinggang. “Puaskan hatimu Kudopati. Pilih bagian
tubuhku yang paling empuk! Ha…ha…ha….!”
Kudopati melompat mundur
dengan wajah berubah. Tubuhnya hampir tegelimpang karena tongkat di ketiak
kirinya terpeleset.
“Mapatih! Aku tidak mengira
otak dan hatimu sejahat iblis! Jadi pencuri dan kini jadi penipu!”
Kembali Jolosengoro tertawa
gelak-gelak lalu menyahuti. “Apa kau kira kau orang jujur?! Apa kau kira aku
tidak tahu tujuh bongkah emas itu adalah palsu semua?!”
Wajah Kudopati kini tampak
menjadi merah padam. “Berarti…. berarti kau mengenakan jubah Kencono Geni yang
asli!”
“Dugaanmu betul dan tepat!”
jawab Jolosengoro lalu membuka baju yang dikenakannya. Ternyata di bawah
pakaian itu dia memang mengenakan jubah Kencono Geni.
“Celaka!” keluh Kudopati.
Senjata apapun yang dipergunakannya, pukulan sakti apapun yang dikeluarkannya
tak akan ada arti apa-apa bagi Jolosengoro.
Saat itu sang patih telah
melangkah mendekati Kudopati. Kepala pengawal ini mundur sambil
mengacung-acungkan goloknya. Tiba-tiba dengan nekad dia coba menusuk salah satu
mata Jolosengoro. Patih kerajaan itu miringkan kepala. Lalu tidak terduga kaki
kanannya menendang tongkat yang menopang ketiak kiri Kudopati. Tak ampun lagi
kepala pengawal ini langsung terhuyung dan jatuh terduduk di lantai.
“Kudopati, cerita dirimu cukup
sampai!” kata Jolosengoro sambil melangkah mendekati. Dia mengambil pisau yang
terselip di pinggangnya, siap menyembelih kepala pengawal keraton itu. Namun
sebelum mata pisau sampai di leher Kudopati tiba-tiba ada suara kaki di tangga
lalu menyusul suara keras laksana petir menyambar dibarengi oleh berkiblatnya
sinar merah. Dilain kejap pisau di tangan Jolosengoro terlerpas mental lalu
jatuh hangus menghitam!
Meskipun tidak cidera
sedikitpun numun Jolosengoro sempat mengeluarkan seruan kaget. Ketika memandang
ke depan, di bawah nyala lampu minyak yang tidak seberapa terangnya itu dia
melihat sesosok tubuh berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Wajah orang
itu ditumbuhi kumis dan berewok tebal. Sepasang matanya sangat sipit, hampir
merupakan garis sedang diatas kedua mata itu merimbun alis tabal hitam.
Jolosengoro kenal sekali siapa adanya orang yang di tangan kanannya memegang
seutas pecut itu. Dia adalah Narowongso, salah seorang tokoh silat istana.
Sebelumnya Narowongso berangkat bersama-sama Kudopati untuk melakukan
pengejaran atas Jayengseno serta kawannya pemuda berambut gondrong itu. Lalu
mengapa kini tahu-tahu dia bisa menyusul muncul?
Kudopati sendiripun merasa
heran melihat kehadiran Narowongso di tempat itu. Jangan-jangan gurunya yang
bernama Kunto Ismoro juga ada di tempat itu.
Seperti dituturkan sebelumnya
dalam melakukan pengejaran terhadap Jayengseno dan Pendekar 212 Wiro Sableng
telah meminta bantuan Narowongso dan gurunya yang diam di gunung Merapi yaitu
Kunto Ismoro. Suatu ketika Kudopati memberi tahu bahwa untuk satu keperluan dia
harus kembali ke kotaraja.
Hanya beberapa saat setelah
Kudopati meninggalkan rombongannya, muncul firasat rasa curiga dalam diri
Narowongso. Maka diam-diam, tanpa memberi tahu pada siapapun di dalam
rombongan, tokoh silat istana itu mengikuti Kudopati yang akhirnya membawanya
ke tempat itu. Sebagai orang istana, tentu saja orang-orang Jolosengoro yang
melakukan penjagaan di sekitar halaman tidak berani menghalangi Narowongso.
“Terima kasih kau telah menyelematkan
nyawaku, Narowongso,” kata Kudopati seraya mencoba bangkit sambil bersandar ke
dinding.
“Tetap di tempatmu Kudopati!”
membentak Narowongso. “Jangan berani meninggalkan tempat ini! Saat ini kau
memang selamat. Tapi hukuman Raja tak bakal luput atas dirimu!”
Narowongso berpaling ke arah
Jolosengoro. “Kau juga, patih Jolosengoro. Menyerah lebih baik bagimu dan
serahkan jubah Kencono Geni itu. Aku berjanji akan memintakan keringanan
hukuman bagimu!”
Jolosengoro tertawa bergelak
mendengar kata-kata tokoh silat istana itu.
“Kau lupa kalau aku ini
atasanmu Narowongso! Lupakan apa yang kau saksikan di tempat ini. Kembali ke
kotaraja. Tutup mulutmu seumur-umur dan kau akan selamat dari tanganku! Lakukan
perintahku!”
Narowongso balas tertawa
mengekeh sambil putar-putar pecut saktinya.
“Aku memberi kesempatan
padamu! Jika kau menyia-nyiakan berarti penyesalan sampai di liang kubur! Kau
mau mengembalikan jubah pusaka kerajaan itu atau tidak?”
“Jika, kau menginginkannya
silahkan ambil sendiri!” tantang Jolosengoro pula.
“Begitu? Baik! Lihat pecut!”
teriak Narowongso. Tangan kanannya yang memegang pecut bergerak. Maka
terdengarlah suara laksana dentuman halilintar disertai berkiblatnya sinar
merah berulang kali. Tubuh Jolosengoro tergoncang-goncang. Pakaian yang
dikenakannya robek-robek serta mengepulkan asap. Tetapi tubuhnya tidak cidera
sedikitpun! Narowongso putar tangannya sekali lagi. Ujung pecut menyambar ke
arah leher. Sesaat kemudian terjiratlah leher Jolosengoro. Sekali Narowongso
menyentakkan pecut itu maka tubuh Jolosengoro keras dan melesat ke depan.
Kepalanya menghantam dinding kayu yang keras.
Braaakk!
Dinding kayu itu amblas
berlobang. Tetapi kepala Jolosengoro tidak apa-apa. Malah sambil berbalik patih
kerajaan ini tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati Narowongso dengan kedua
tangan terpentang, siap untuk mencekik tokoh silat istana itu. Narowongso
hantam kedua tangan Jolosengoro dengan pecut apinya, tapi sama sekali tidak
dirasakan oleh sang patih.
“Jubah pusaka itu benar-benar
luar biasa. Kalau aku tidak dapat menghajar manusia ini, berarti aku bakal
mendapat celaka!” Narowongso lalu merapal ajian seraya mengalirkan tenaga dalam
dari tangan ke pecut. Didahului bentakan garang, tokoh silat ini lalu hantamkan
pecutnya ke arah Jolosengoro.
Pecut berkelebat dengan
mengeluarkan suara seperti petir, Bersamaan dengan itu terdengar suara wuusss!
Lidah api menyambar ganas, langsung menyelubungi tubuh Jolosengoro. Seluruh
pakaian yang dikenakannya, termasuk kasut di kedua kakinya terbakar hangus jadi
abu. Tapi dia tetap tegak berdiri tanpa kurang suatu apa. Kini tampak jelas
jubah Kencono Geni yang melekat ditubuhnya.
“Gila!” Pendekar 212 memaki di
atas atap. “Agaknya kapakku, segala pukulan saktiku juga tak bakal mempan
selama orang itu masih mengenakan jubah Kencono Geni. bagaimana aku bisa
merampas jubah itu…? Bagaimana aku bisa membuatnya tidak berdaya….?”
Selagi Wiro berpikir-pikir
demikian di bawah sana tiba-tiba Patih Jolosengoro melompat ke hadapan
Narowongso. Kedua tangannya terpentang dan melesat ke depan ke arah batang
leher tokoh silat istana itu. Narowongso yang sadar kalau lawan hendak mencekik
lehernya segera hantamkan pecut saktinya. Kembali terdengar suara laksana petir
menggelegar disertai sambaran sinar merah.
Namun gerakan Jolosengoro
lebih cepat lagi. Narowongso berseru kaget ketika melihat bagaimana sang patih
menangkap pecutnya dengan kedua tangannya. Lalu sebelum dia sempat berbuat
sesuatu pecut yang panjangnya lebih dari dua puluh jengkal itu sudah menjirat lehernya.
Narowongso meronta sambil
berusaha menarik kedua tangan Jolosengoro. Namun pecut menjirat semakin kuat.
Raden Jayeng, Ayu. Purini, Kudopati dan Pendekar 212 yang ada di atas atap
bangunan sama-sama menyaksikan bagaimana lidah Narowongso mulai terjulur. Kedua
matanya yang sipit kini mendelik besar. Terdengar suara patahnya tulang leher
Narowongso ketika Jolosengoro menyentakkan jiratan pecut. Nyawanya putus saat
itu juga!
Tubuh tak bernyawa itu
kemudian ditendang hingga jatuh ke lantai bawah bangunan dengan suara
bergedebukan!
Perlahan-lahan Jolosengoro
balikkan tubuhnya. Saat itu Kudopati tengah merangkak untuk mengambil
tongkatnya yang tadi tercampak oleh tendangan Jolosengoro. Hanya seujung jari
lagi tongkat itu akan disentuhnya, tiba-tiba Jolosengoro menendangnya. Untuk
kedua kalinya tongkat itu terpental dan kini melayang jatuh ke tingkat bawah.
“Jolosengoro….Kita lupakan
saja urusan sampai disini. Aku akan menutup mulut dan tidak akan menceritakan
pada siapapun apa yang telah kau lakukan. Asalkan…..”
“Asalkan apa, Kudopati?!”
tanya Jolosengoro dengan menyeringai.
“Asalkan kau biarkan aku
meninggalkan tempat ini.”
“Begitu….?”
“Aku mohon padamu
Jolosengoro…,” kata Kudopati pula memelas.
“Baik! Kukabulkan
permintaanmu! Bahkan aku berbaik hati menyuruh orang-orangku untuk menggotongmu
meninggalkan tempat ini!”
“Terima kasih Jolosengoro!
Terima kasih!” kata Kudopati seraya menyembah berulang-ulang.
Jolosengoro keluarkan suara
suitan nyaring tiga kali berturut-turut. Dari persembunyian mereka di halaman
yang gelap dua lusin orang berseragam perang serba hitam membanjir masuk,
langsung menuju ke tingkat atas bangunan.
“Kami menunggu perintahmu,
Mapatih Jolosengoro!” kata pimpinan mereka.
“Gotong kepala pengawal
keraton meninggalkan tempat ini!” memberi tahu Jolosengoro.
Empat orang maju mendekati
kepala pengawal keraton itu lalu menggotongnya. Ketika orang-orang itu hendak
melangkah pergi sekali lagi Kudopati menghaturkan terima kasih, malah kali ini
sambil melambaikan tangan.
“Terima kasih Jolo. Aku tidak
melupakan budi besarmu ini….,” kata Kudopati pula.
“Tunggu dulu!” berseru
Jolosengoro.
Empat anggota pasukan yang
menggotong Kudopati hentikan langkah. Mereka memandang pada Jolosengoro.
Kudopati juga palingkan kepalanya.
“Agar tidak kesepian di jalan,
aku.memberikan seorang kawan untukmu, Kudopati! Gotong juga Raden Jayengseno!”
Atas perintah Jolosengoro itu
maka empat orang berpakaian hitam segera mendekati Raden Jayengseno yang
tertegak kaku tidak berdaya. Mereka langsung menggotongnya walau Jayengseno
berulang kali berteriak agar dirinya diturunkan.
Patih Jolosengoro tertawa
lebar lalu berkata. “Bawa kedua orang itu ke Torowulan. Lemparkan mereka ke
dalam jurang Cadas Parereg!”
Paras Kudopati menjadi pucat.
Jayengseno berusaha setengah mungkin. Ayu Purini terdengar berteriak. “Patih
durjana! Bebaskan Raden Jayeng! Awas! Kau kelak akan menerima hukuman sangat
berat!”
Jolosengoro tertawa. “Kau
orang perempuan diam sajalah! Ini urusan orang laki-laki!” katanya. Lalu dia
menggerakkan tangan, memberi isyarat agar ke delapan anggota pasukan itu segera
meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja mereka hendak
melangkah, di anak tangga teratas muncul abdi dalem Kiyai Singgih Kanyoman
bersama enam orang pengiringnya.
Bagaimana orang tua ini bisa
sampai ke tempat itu?
Seperti diceritakan
sebelumnya, setelah dipermalukan oleh Pendekar 212, orang tua itu langsung
menuju keraton. Dia tentu saja terkejut ketika mendapat keterangan apa yang
telah terjadi di dalam keraton. Karena memang sangat mendendam terhadap Wiro,
maka Ki Singgih Kanyoman segera meninggalkan keraton untuk melakukan
pengejaran. Dia sengaja membawa seorang ahli jejak sehingga dengan mudah dapat
diketahui ke jurusan mana Pendekar 212 sebelumnya menghilang.
Patih Jolosengoro sama sekali
tidak merasa takut terhadap abdi dalem paling tua yang memang punya pengaruh
besar dalam keraton ini. Namun dia masih menanam sedikit rasa hormat. Maka
diapun berkata sesopan mungkin.
“Ki Singgih Kanyoman, aku
gembira sampean bisa berada di sini. Menyaksikan sendiri apa yang terjadi
hingga aku tidak susah-susah menerangkannya…..”
Ki Singgih Kanyoman tersenyum
hambar. “Kau gembira, aku tidak. Kau bilang tidak susah, aku justru merasa
sangat susah. Mana aku pernah menyangka bahwa patih kerajaan sendiri rupanya
yang jadi sumber bahala!”
“Ki Singgih, agaknya ada
sedikit perbedaan jalan pikiran antara kita….. Kau salah sangka…..Mungkin
menduga…..”
Ki Singgih langsung memotong
ucapan Jolosengoro itu. “Kita memang berbeda Jolosengoro. Aku mengabdikan diri
pada keraton dan Raja dengan sepenuh ketulusan. Kau sebaliknya mengabdi dengan
membekal maksud jahat. Kau pencuri, aku bukan. Jelas kita berbeda. Kau
pengkhianat aku bukan. Jelas kita memang berbeda…..”
Lama-lama Jolosengoro jadi
kesal juga mendengar kata-kata Ki Singgih itu. Maka diapun membentak.
“Cukup omonganmu sampai di
situ. Sekarang katakan apa yang ada di kepalamu!”
Ki. Singgih tertawa dan
menjawab. “Apa yang ada di kepalaku sederhana saja, Jolosengoro. Pertama
tanggalkan jubah Kencono Geni itu dan serahkan padaku….”
“Sebelumnya Narowongso juga
berkata begitu. Akhirnya dia mampus di tanganku!”
Ki Singgih tidak perdulikan
kata-kata orang, lalu meneruskan ucapannya. “Kedua bebaskan Raden Jayengseno
karena terbukti kini bukan dia yang jadi pencuri jubah pusaka kerajaan itu.
Ketiga, Kudopati akan ku bawa ke kotaraja untuk mempertanggung jawabkan
keterlibatannya dalam pengkhianatan kotor ini! Ke empat, serahkan dirimu secara
baik-baik “
“Empat permintaanmu, hanya
satu yang bisa kukabulkan. Kau boleh ambil Kudopati!”
Ki Singgih Kanyoman gelengkan
kepala. “Empat yang kuminta empat pula yang harus kudapat!”
“Tua bangka keras kepala!
Rupanya kau ingin menyusul Narowongso!” hardik Jolosengoro. Habis menghardik
begitu Jolosengoro langsung hantamkan tinju kanannya ke arah dada si orang tua.
Pada saat itulah atap di atas
ruangan tiba-tiba jebol. Sesosok tubuh melayang turun. Jolosengoro merasakan
sambaran angin yang sangat deras. Dia kaget sekali ketika tubuhnya terdorong
keras ke samping yang menyebabkan jotosannya tadi hanya mengenai tempat kosong.
Cepat-cepat sang patih
mengimbangi tubuhnya. Memandang ke depan dia melihat seorang pemuda berambut
gondrong tegak berkacak pinggang.
“Bangsat gondrong! Siapa
kowe?!” bentak Jolosengoro.
Pendekar 212 yang dibentak
seperti tidak acuh. Dia malah menolah pada orang-orang yang menggotong Raden
Jayeng dan Kudopati.
“Turunkan Raden Jayengseno.
Kalian boleh bawa kepala pengawal itu!”
“Setan! Kau tidak layak
memerintah orang-orangku!” teriak Jolosengoro. “Lekas kalian bawa kedua orang
itu dan lemparkan ke jurang Cadas Parereg!”
Mendengar perintah itu empat
orang yang menggotong Raden Jayeng dan empat orang yang menggotong Kudopati
segera bergerak ke tangga.
Saat itulah Pendekar 212
berkelebat. Terdengar pekik ke empat orang berseragam hitam yang menggotong
Raden Jayeng. Mereka terlempar jauh. Dua terbanting ke lantai di tingkat atas
itu, satu jatuh terguling di tangga dan satunya lagi melayang jatuh ke tingkat
bawah. Yang satu ini patah lehernya, langsung menemui ajal. Raden Jayengseno
sendiri saat itu kelihatan sudah tertegak di dinding sebelah kiri tanpa kurang
suatu apa, malah kini bisa bergerak karena dengan cepat begitu berhasil
membebaskan Jayengseno, Pendekar 212 segera melepaskan totokan di tubuhnya.
***
TIGA BELAS
WALAUPUN EMPAT ANGGOTA pasukan
itu memang tidak memiliki kepandaian tinggi, namun apa yang dilakukan oleh
Pendekar 212 benar-benar membuat Jolosengoro sempat terkesiap. Seumur hidup
baru sekali itu dia melihat gerakan silat yang begitu cepat dan luar biasa!
Jolosengoro diam-diam merasa yakin kalau pemuda berambut gondrong ini adalah
orang yang diceritakan Kudopati sebelumnya, dan merupakan kawan Raden
Jayengseno.
“Anak muda, siapapun kau
adanya jangan pergunakan kepandaian untuk melawan Patih kerajaan!” berkata
Jolosengoro.
Wiro tertawa lebar dan
menyahuti. “Anak tua, siapapun kau adanya jangan pergunakan akal panjangmu
untuk berbuat licik menjadi pengkhianat kerajaan!”
Merahlah wajah Jolosengoro
mendengar ejekan itu.
“Usiamu masih muda. Apakah mau
mati percuma di tanganku?!” ujar Jolosengoro masih berusaha sabar walau
ucapannya terdengar sangat geram.
“Usiamu sudah tua bangka.
Apakah mau mati percuma sebagai pengkhianat?!”
Mendengar ucapan Wiro itu
Jolosengoro tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia segera hendak menyerbu
namun saat itu Raden Jayengseno telah melompat ke hadapannya.
“Jolosengoro! Kejahatan dan
dosamu terlalu besar. Tapi jika kau dengan suka rela mau mengembalikan jubah
Kencono Geni itu, aku akan memintakan keringanan hukuman dari Raja!”
“Anak selir! Jangan kau banyak
mulut!” damprat Jolosengoro dan langsung tendangkan kaki kanannya. Namun dari
samping Wiro berkelebat memotong dan mematahkan serangannya. Ketika dengan
geram dia hendak memburu Wiro, mendadak saja mukanya mengerenyit dan kedua
matanya kesilauan. Di hadapannya pemuda berambut gondrong itu tegak memegang
sebuah senjata yang terasa aneh di mata Jolosengoro. Senjata itu adalah sebilah
kapak bermata dua yang memancarkan hawa panas serta cahaya menyilaukan.
“Hemm…. Jadi kau memang sudah
bertekad untuk mencari kematian!” kata Jolosengoro pula lalu menerjang ke
depan.
Tangan kanan Pendekar 212
bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat memancarkan cahaya sangat
menyilaukan, menebar hawa panas dan mengeluarkan suara laksana ribuan tawon
mengamuk!
Bukk!
Salah satu mata kapak
menghantam dada kanan Jolosengoro dengan tepat dan keras. Orang bertubuh tinggi
besar ini terpental sampai ke dinding. Tapi tubuhnya sama sekali tidak ter-luka
sedikitpun, Bahkan kain sutera merah jubah Kencono Geni tidak lekuk, apalagi
robek dihantam Kapak Maut Naga Geni 212.
“Celaka! Ini awal kesulitan
bagiku!” keluh Wiro. Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng segera disimpannya
kembali di balik pakaian. Baru saja kapak sakti itu terselip di pinggangnya,
Jolosengoro sudah melompat dan menerkamnya. Seperti tadi ketika membunuh
Narowongso kedua tangannya terpentang.
Rupanya dia juga ingin
membunuh Pendekar 212 dengan jalan mematahkan lehernya.
Bukkk!
Buuuk!
Dua kali jotosan Wiro Sabieng
mendarat di tubuh Jolosengoro. Kali ini Jolosengoro tidak bergeming sedikitpun.
Dia terus merangsak ke dapan hingga akhirnya langkah Wiro terhenti karena
punggungnya tertahan dinding. Melihat hal ini Jolosengoro langsung menyerbu.
Saling jotos berlangsung dengan seru. Tiga jotosan Wiro masuk mengenai lawan
tapi tidak dirasakan. Sebaliknya dua kepalan Jolosengoro sempat mampir di dada
dan hidung Pendekar 212.
Darah mengucur dari hidung
Wiro. Sang pendekar memaki panjang pendek. Tangan kanannya di angkat. Ujung
jari sampai ke siku kelihatan berubah menjadi putih seperti perak. Pukulan
Matahari!
Buummmm!
Wusss!
Pukuian sakti sinar matahari
yang dilepaskan Wiro menghantam ke arah tubuh Jolosengoro dengan telak. Namun
setengah jengkal sebelum sinar panas menyilaukan pukulan sakti itu akan
mencapai jubah Kencono Geni tiba-tiba dari jubah merah itu membersit aneh satu
hawa berkekuatan dahsyat yang bukan saja mampu membendung pukulan sakti yang
dilepaskan murid Sinto Gendeng malah sekaligus mampu membalikkan pukulan sakti
itu untuk menghantam pemiliknya sendiri!
Wiro jatuhkan dirinya ke
lantai begitu pukulan sinar matahari menghantam ke arahnya. Punggungnya terasa
seperti di sengat api ketika pukulan sakti itu lewat di atasnya. Lalu terdengar
suara bergemuruh ketika pukulan itu menghantam dinding hingga hancur berantakan
dan di kejapan yang sama api berkobar!
“Raden Jayeng! Lekas tolong
Ayu!” teriak Wiro lalu melompat menghindari serangan Jolosengoro yang datang
membabi buta.
Ketika Jayengseno berlari ke
arah Ayu Purini, Jolosengoro berusaha memotong jalannya. Sementara itu kobaran
api mulai membesar. Empat orang berseragam hitam yang tak mau dilamun api
lepaskan tubuh Kudopati yang mereka gotong. Kepala pengawal keraton ini jatuh
bergedebuk ke lantai. Empat orang anak buah Jolosengoro itu kemudian menghambur
lari menuruni tangga. Kudopati dengan cerdik serosotkan tubuhnya di tangga.
Dengan cara itu dia bisa sampai ke lantai bawah, selamat dari kobaran api
tetapi tulang kaki kirinya yang patah terasa berderak. Untuk beberapa lamanya
kepala pengawal keraton ini terkapar di lantai setengah mati menahan sakit!
“Patih keparat! Ini bagianmu!”
teriak Raden Jayeng ketika Jolosengoro menghadang dan hendak menjambak
rambutnya. Sambil merunduk Jayengseno hantamkan tinjunya ke selangkangan patih
pengkhianat itu.
Pukulan yang dilepaskan Raden
Jayeng menghantam telak anggota rahasia Jolosengoro. Tetapi lelaki tinggi besar
ini tidak bergeming sedikitpun. Jubah Kencono Geni memberi kekebalan kesetiap
sudut tubuhnya! Kini giliran Jolosengoro untuk menghantam, Jayengseno dengan
satu pukulan keras ke arah kepala putera Sri Baginda itu.
Dua sosok tubuh melayang
melindungi putera raja itu. Dua lengan melintang menangkis pukulan.
Lengan Wiro Sableng dan lengan
Ki Singgih Kanyoman.
Jolosengoro terpental ke atas,
tapi cepat melayang sambil menendang ke arah kepala Wiro sementara Jayengseno
pergunakan kesempatan untuk meneruskan usahanya menolong Ayu Purini. Begitu dia
dapat melepaskan totokan di tubuh saudaranya itu, Raden Jayeng segera menyuruh
Ayu Purini lari ke tangga dan seterusnya menuju ke tingkat bawah. Dia sendiri
kemudian bergabung bersama Wiro dan Ki Singgih Kanyoman mengeroyok Jolosengoro.
Wiro berulang kali berhasil
menjotos lawan namun tidak ada hasilnya. Jolosengoro sekebal tembok baja.
Beberapa kali pula dicobanya menotok orang ini. Totokannya bersarang di dua
tempat yang bisa membuat siapapun menjadi kaku dan gagu. Tetapi totokan itu
sama sekali tidak berbekas pada Jolosengoro yang mengenakan jubah Kencono Geni.
Malah Jolosengoro sempat
memukul roboh Ki Singgih Kanyoman sampai muntah darah. Dalam keadaan
megap-megap abdi dalem lanjut usia ini terjajar ke tangga. Menyadari tubuhnya
akan terguling di tangga lalu terhempas di lantai bawah, Ki Singgih Kanyoman
tiba-tiba menarik lengan Jolosengoro. Akibatnya Jolosengoro ikut jatuh
bergulingan di tangga.
Pada saat Jolosengoro melayang
jatuh itulah selintas pikiran muncul di benak Pendekar 212. Dia melihat satu
kesempatan baik yang tidak boleh disia-siakan. Kesempatan itu hanya ada pada
saat tubuh Jolosengoro bergulingan seperti itu. Wiro jejakkan kedua kakinya
lalu melompat searah jatuhnya Jolosengoro. Begitu tepat berada di atasnya Wiro
segera menyambar leher jubah Kencono Geni yang dikenakan Jolosengoro lalu
menariknya kuat-kuat.
Sesaat tubuh besar sang patih
ikut terangkat. Lalu terdengar suara kain robek dan bersamaan dengan itu tubuh
Jolosengoro jatuh lagi ke bawah, terguling di tangga lalu jatuh ke lantai
saling tumpang tindih dengan Ki Singgih Kanyoman!
Pendekar 212 sendiri kemudian
berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki menjejak lantai lebih dahulu sedang
jubah Kencono Geni tergenggam di tangan kanannya.
Satu hal yang tidak terduga
terjadi atas diri Jolosengoro. Ketika jubah sakti itu lepas dari tubuhnya dan robek
di beberapa bagian, tubuh sang patih kini sama sekali tidak tertutup apapun
alias bertelanjang bulat. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah dia tidak
mengenakan pakaian dalam di balik jubah itu?
Sebenarnya Jolosengoro memang
mengenakan pakaian dalam. Namun pada saat api yang keluar dari pecut Narowongso
membakar tubuhnya, pakaian dalam itu ikut terbakar jadi abu. Akibatnya sewaktu
jubah dibetot lepas tinggallah tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa lagi!
Menyadari dirinya tidak
mengenakan jubah Kencono Geni, apalagi kini dia berada dalam keadaan telanjang
bulat yang tidak dapat dibayangkannya sebelumnya, Jolosengoro jadi iumer
nyalinya. Dia melompat ke pintu hendak melarikan diri. Tetapi kakinya sempat
dijegal Ayu Purini hingga orang ini jatuh berdebam ke lantai dan nanar beberapa
saat lamanya.
Bangunan di tingkat atas
terdengar berderak. Jayengseno menarik Ayu keluar dari bangunan itu. Ki Singgih
Kencono berusaha bangkit. Walau dengan terhuyung-huyung orang tua ini berhasil
keluar mencapai halaman. Wiro tarik tubuh Jolosengoro dan Kudopati. Sesaat
kemudian terdengar suara bergemuruh ketika bagian atas bangunan bertingkat itu
roboh dan api menggebu ke atas.
Pendekar 212 Wiro Sableng
lipat jubah Kencono Geni baik-baik lalu menyerahkannya pada Jayengseno seraya
berkata: “Maafkan kalau jubah itu robek di beberapa bagian….”
“Tidak jadi apa. Yang robek
bisa dijahit kembali. Yang penting barang pusaka ini sudah kita dapatkan
kembali. Terima kasih Wiro. Kau telah berjasa besar pada kerajaan….”
Wiro geleng-geleng kepala.
Jayengseno menyerahkan .jubah Kencono Geni pada Ki Singgih Kanyoman. yang
segera menerimanya dengan air mata berlinangan.
Jayengseno kemudian melangkah
ke tempat Jolosengoro dan Kudopati bergeletakan di tanah. Dia mengangkat tubuh
Jolosengoro dan menyandarkannya ke sebatang pohon. Lalu Kudopati ditariknya
dengan paksa hingga tersandar pula di batang pohon di samping sang patih.
“Katakan! Siapa di antara
kalian yang membunuh keluarga abdi dalem Kamilun?!” bertanya Raden Jayeng
dengan suara keras.
“Bukan aku! Bukan aku !” jawab
Kudopati seraya menggoyang-goyangkan tangan kanannya.
“Kalau begitu kau yang punya
pekerjaan, Jolosengoro?!”. tanya Jayengseno.
Patih kerajaan itu terdengar
berguman. Lalu menyusul suaranya tersendat. “Aku….aku menyesal melakukannya….”
“Penyesalan yang tidak ada
gunanya!” tukas Raden Jayeng. Lalu tangan kanannya yang sudah dialiri tenaga
dalam dihantamkan ke kepala Jolosengoro. Batok kepala sang patih rengkah!
Matanya mencelet! Tubuhnya kemudian melosoh ke bawah. Kudopati menjerit seperti
melihat setan menyaksikan kematian Jolosengoro lalu tubuhnya ikut melosoh pula
dan jatuh duduk di atas akar pohon.
“Hai! Kau hendak kemana?!”
tanya Raden Jayeng ketika melihat Pendekar 212 melompat ke atas seekor kuda.
Ayu Purini ikut mengejar.
“Malam hampir pagi. Sebelum
pagi aku harus sudah ada di satu tempat. Selamat tinggal kawan-kawan….,“ jawab
Wiro seraya mengangkat tangannya memberi salut. Sesaat ketika hendak menarik
tali kekang, dia ingat sesuatu lalu berpaling pada Ki Singgih Kanyoman yang
saat itu duduk menjelepok di tanah.
“Kiyai, maafkan kalau aku
pernah berlaku kurang ajar padamu….“
“Ah, aku sudah melupakan semua
kejadian itu,” jawab sang abdi dalem polos dan ikhlas.
Wiro tersenyum. “Terima
kasih,” katanya. Lalu menyambung. “Kalau aku boleh bertanya, kulihat kau masih
mengenakan pakaian yang sama. Apakah kau sudah cebok Kiyai….?”
Kiyai Singgih Kanyoman merah
padam wajahnya. Kedua matanya melotot. Dia hendak mendamprat karena lagi-lagi
dipermalukan di depan orang. Namun kemudian amarahnya menyurut. Dan di wajahnya
yang tua itu menyeruak senyum. Lalu meledaklah tawanya terkekeh-kekeh. Wiro
lebih keras tawanya. Ayu Purini dan Raden Jayeng yang tidak tahu ceritanya
ikut-ikutan tertawa. Hanya Kudopati yang terhenyak bungkam di bawah pohon. Dia
sudah membayangkan hukuman apa yang bakal dijatuhkannya atas dirinya.
Wiro hentakkan tali kekang
kuda. Lambaikan tangan lalu lenyaplah sang pendekar di kegelapan malam.
TAMAT