-------------------------------
----------------------------
051 Raja Sesat Penyebar Racun
1
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG
memandang berkeliling dengan heran. Betulkan ikat kepala kain putihnya lalu
menggaruk rambut.
“Aneh… Setahuku setiap hari
Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Tapi kali ini jangankan
manusia, jangankan orang yang berjualan dan mereka yang mau membeli. Nyamuk dan
lalatpun tidak kelihatan! Apa yang terjadi… Perutku sudah lapar, aku
membayangkan akan makan ketan bakar di sudut sana. Nyatanya pasar ini sudah
berubah jadi kentut! Eh, kentutpun masih ada bunyi-bunyi dan baunya! Tapi
disini tak ada bunyi. Sepi! Tak ada bau!”
Wiro menyeringai geleng-geleng
kepala. Akhirnya dia tinggalkan pasar itu. lanjutkan perjalanan memasuki
kampung terdekat di pinggir pasar. Begitu memasuki mulut kampung sebuah gerobak
yang ditarik seekor sapi putih bergerak deras ke arahnya.
“Awas! Minggir! Anakku…
istriku… Tolong! Minggir!” teriak orang yang mengemudikan gerobak,itu.
Wiro cepat menyingkir ke tepi
jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat. Sekilas Pedekar 212 melihat dua
sosok tubuh terbujur di atas gerobak sapi itu. Yang di sebelah kiri seorang
anak lelaki berusia lima tahun, terbaring menelentang tanpa baju. Muka dan
terutama bibirnya tampak biru. Kedua matanya membeliak sedang tangan dan
kakinya tampak tegang kaku. Sekujur tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Disela
bibirnya tampak busah melueh Yang kedua seorang perempuan ibu si anak lelaki
juga terbaring dengan muka dan bibir biru Dan mulutnya yang berbusah terdengar
suara erangan Tubuhnya menggeliat-geliat kejang. Bagian hitam matanya
terbalik-balik Awas! Minggir! Tolong! Tolong anak istriku kembali terdengar
suara pengemudi gerobak sapi berteriak
Sesaat Wiro masih tertegak
heran di tepi jalan. Lalu di depan sana dilihatnya seorang pejalan kaki
memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di tikungan jalan. Wiro dekati orang
ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam dan kain sarung
di bahunya.
“Kek…,” menegur Wiro. “Kau
barusan melihat gerobak sapi itu… Kau tahu apa yang terjadi?”
Si kakek menatap sesaat pada
Wiro lalu menjawab. “Ah, sampean tentu bukan penduduk sekitar sini. Jadi tidak
pernah mendengar apa yang terjadi sejak satu bulan belakangan ini. Dedemit
Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa penduduk telah disedotnya.”
“Dedemit Karang Gontor?
Menyedot jiwa penduduk…?”
“Betul’ anak muda. Anak serta
istri orang yang membedal gerobak sapi tadi pastilah korban-korban baru dedemit
itu!” berkata si kakek. Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tak mengerti kek.
Bagaimana bisa ada dedemit menyedot jiwa manusia…”
“Itu karena ulah manusia
sendiri, anak muda. Manusia-manusia disini sudah bertumpuk dosanya. Bumi Tuhan
menjadi kotor. Dedemit yang bermukim di Karang Gontor jadi gerah, lalu murka.
Satu persatu dia mencari korban. Menyedot nyawa korbannya lewat mulut. Itu
sebabnya mereka yang jadi korban pada biru bibir dan mukanya sampai ke leher…”
“Gila Sulit dipercaya! Ada
dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia! Gila! ujar Wiro.
“Gila atau tidak, itulah yang
terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi korbannya! Aku yang sudah tua
begini kalau sampai jadi korban tak akan menyesal. Lebih baik cepat mati dari
pada hidup menderita…!”
“Kek, apa ada orang yang
pernah melihat dedemit yang kau katakan itu…?” Wiro bertanya.
“Anak muda, pertanyaanmu
sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya sudah bisa disedot, apalagi kalau
sampai melihat! Heh… kau lihat pasar di ujung sana? Sepi. Tak ada yang berani
berjualan karena takut akan jadi korban dedemit. Semua orang pada mendekam dalam
rumah karena ketakutan. Banyak yang sudah mengungsi ke tempat jauh yang aman.
Kampung ini saja hampir kosong tidak didiami lagi!”
“Lalu, orang yang memacu
gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana anak dan istrinya itu…?”
“Di kaki bukit sebelah timur
sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun Japara. Pasti dia membawa anak
istrinya kesana untuk minta tolong. Namun seperti yang sudah-sudah, nyawa
orang-orang yang kena pencet Dedemit Karang Gontor tak bakal bisa diselamatkan
lagi…!”
“Kek, tadi kau bilang dedemit
itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana yang betul kek…?” tanya Wiro pula.
Si kakek menyeringai. “Dedemit
itu kalau inginkan nyawa manusia ya suka-sukanya saja. Mau menyedot lewat bibir
atau pantat, mau mencekek leher atau memencet kemaluan korbannya, yah itu
terserah dia. Pokoknya korban mati dan dia puas. Kau sendiri mau mati cara mana
anak muda…? Di sedot… di cekek… atau dipencet anumu itu…?”
Wiro menjawab. Sambil
geleng-geleng kepala dia memutar tubuh lalu berkelebat menuju ke arah lenyapnya
gerobak sapi tadi. Si kakek tersentak kaget ketika pemuda dengan siapa dia tadi
bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah ada di tikungan jalan sana.
Pucatlah wajah orang tua ini.
“Astaga…” katanya dengan suara
gemetar.
“Jangan-jangan pemuda itu penjelmaan
Dedemit Karang Gontor!” Lalu dirabanya ubun-ubunnya Dipegangnya bibirnya.
Disentuhnya lehernya dan terakhir sekali dirabanya bagian bawah perutnya. “Ah…
masih ada… Untung anuku tidak dipencetnya!” Dengan terbungkuk-bungkuk orang tua
ini bergegas meninggalkan tempat itu.WALAUPUN GEROBAK SAPI itu tidak kelihatan
lagi namun dari jejak roda yang membekas jelas di tanah jalanan Pendekar 212
Wiro Sableng dapat mengetahui ke arah mana perginya gerobak itu. Dengan
mengandalkan ilmu lari kaki angin warisan Eyang Sinto Gendeng. Wiro berkelebat
ke arah timur. Dia sengaja mengambil jalan memotong. Di satu bukit kecil dia
dapat melihat gerobak sapi yang di muati dua orang korban Dedemit Karang Gontor
meluncur di jalan berbelok-belok diantara kaki-kaki bebukitan.
Di hadapan sebuah rumah
panggung yang mulai dari tiang, lantai dan dinding sampai ke atapnya terbuat
dari bambu, orang yang memacu sapi hentikan gerobaknya.
“Ki Dukun! Ki Dukun Japara!
Tolong Lekas! Tolong istri dan anakku!”
berteriak kusir gerobak itu. Lalu
dia melompat turun dari gerobak, menarik sosok tubuh anak lelakinya,
mendukungnya lalu membawanya naik ke atas rumah panggung.
“Ki Dukun! Tolong…! teriak
kusir gerobak itu kembali. Anaknya dibaringkan di lantai rumah bambu, dihadapan
sebuah pintu. Pintu ini kemudian digedornya berulang kali sambil terus
berteriak. Pintu terbuka. Seorang tua bermata juling, mengenakan pakaian serta
destar hitam keluar sambil memuntir-muntir kumis mablangnya dengan tangan kiri
sedang jari-jari tangan kanan mempermainkan sebuah tahi lalat besar yang
menonjol di dagu sebelah kanan.
“Astaga! Juminto! Kowe
rupanya! Eh, apa yang terjadi…!”
“Anakku Ki Dukun! Tolong!
Selamatkan jiwanya Jangan biarkan Dedemit Karang Gontor mengambil nyawanya!”
Habis berkata begitu lelaki bernama Juminto itu berbalik lalu lari menuruni
tangga bambu
“Hai! Kowe mau kemana
Juminto?!” memanggil orang tua bermata juling yang ternyata adalah Ki Dukun
Japara.
“Istriku! Istriku juga disedot
Dedemit Karang Gontor! Aku akan membawanya ke atas rumah ini Tapi tolong dulu
anakku! Selamatkan jiwanya!’
“Ah…Lagi-lagi Dedemit Karang
Gontor…” ujar Ki Dukun lalu menghela natas panjang dan tampak masygul.
:.”Puluhan korban sudah jatuh. Sampai kapan bencana ini akan berakhir…?” Lalu
Ki Dukun Japara berlutut. Dia usap kening serta pegang dada anak lelaki yang
terbujur di lantai bambu. Diamatinya bibir si anak, lalu sepasang matanya yang
terbalik. Kembali orang tua ini gelengkan kepala dengan wajah masygul.
Saat itu Juminto sudah naik
kembali keatas rumah panggung. Kali ini mendukung istrinya dan membaringkannya
di lantai disamping anak lelakinya.
Berbeda dengan si anak yang
tampak kaku tak bergerak, si ibu masih terdengar mengerang dan melejang-lejang.
‘Ki Dukun! Tolong! Tolong
mereka cepat!” teriak Juminto. “Jangan cuma melihat saja! Tolong, selamatkan
anak istriku…!”
“Ki Dukun Japara memeriksa
keadaan istri Juminto. Sesaat kemudian dia berpaling pada lelaki itu dan
gelengkan kepalanya, lalu berkata : “Juminto, sudah puluhan orang kulihat dalam
keadaan seperti ini. Semua tak bisa kutolong. Sekali Dedemit Karang Gontor
murka dan minta korban tak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalanginya!
Sebaiknya kau relakan saja kepergian mereka Juminto…”
Juminto jatuhkan dirinya di
lantai bambu. Setengah meratap, dia memohon: “Tolong Ki Dukun. Tolong…!”
“Aku tidak mampu menolongnya,
Juminto. Tidak mampu! Jangan memaksa!”
“Ki Dukun… Percuma! Percuma
kau jadi dukun kalau tidak bisa menolong!” teriak Juminto. Pemandangannya jadi
gelap. Dia melompat dan mencekal leher baju Ki Dukun dengan kedua tanganya.
“Kau harus bisa… Kau harus bisa mengobatinya! Harus! Kalau tidak kau akan
kubunuh Ki Dukun!”
Juminto mengancam dalam
kalapnya. “Akan kubunuh! Kau dengar ucapanku?!”
Sepasang mata juling Ki Dukun
Japara tampak membeliak dan wajahnya jadi beringas. “Kau boleh membunuhku
seratus kali! Tapi sekali aku bilang tidak mampu, aku tetap tidak mampu! Bahkan
anakmu kulihat sudah tak punya nafas lagi. Istrimu sebentar lagi pasti juga
dibawa Dedemit Karang Gontor itu!
Mendengar ucapan itu Juminto
meraung lalu jatuhkan diri ke lantai. Saat itulah terdengar satu suara.
“Jika diizinkan Gusti Allah,
mungkin aku bisa menolong istri Juminto itu, Ki Dukun!”
Ki Dukun dan Juminto sama
berpaling ke arah tangga. Seorang tidak dikenal tampak menaiki tangga bambu dan
akhirnya sampai di atas rumah panggung.
2
ORANG YANG DATANG dan barusan
bicara adalah seorang pemuda berpakaian putih. Rambutnya gondrong sebahu sedang
kepalanya diikat dengan kain putih. Baik Ki Dukun Japara maupun Juminto sama-sama
tidak mengenali siapa adanya pemuda ini yang bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng.
Karena kedua orang itu masih
terheran-heran melihat kemunculan pemuda yang tidak dikenal atau belum pernah
dilihatnya sebelumnya dan tidak memberikan jawaban apa-apa, maka Wiro langsung
berlutut didepan tubuh anak lelaki yang terbujur di-lantai bambu. Dipandanginya
anak itu sebentar lalu dia menggaruk kepala dan berpaling pada Juminto,
berkata: :.”Anakmu tak mungkin kutolong. Dia sudah meninggal. Aku mungkin bisa
menolong istrimu. Keadaanya gawat sekali. Tapi Tuhan punya kuasa, biar kucoba…”
Wiro beringsut mendekati tubuh
Istri Juminto.
“Jangan sentuh istriku!”
bentak Juminto dengan garang.
“Ah, kalau kau tak
mengijinkan. akupun tidak berani melakukan apaapa…” sahut Pendekar 212 pula
lalu berdiri.
“Aku tidak kenal siapa dirimu.
Tahu-tahu muncul dan bertindak hendak menolong…”
“Aku melihatmu waktu memacu
gerobak sapi menuju kemari. Seseorang di tengah jalan memberi tahu bahwa anak
istrimu pasti sudah jadi korban Dedemit Karang Gontor. Aku datang kemari hanya
ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi dan. siapa tahu aku bisa menolong…”
“Apa kau seorang dukun, atau
tahu seluk beluk pengobatan? Bahkan Ki Dukun Japara disampingku ini tidak mampu
mengobati istriku…!” kata Juminto.
“Betul…Tak mungkin bagiku
mengobati orang yang jadi korban Dedemit Karang Gontor. Sudah puluhan yang
menemui nasib seperti ini. Tak seorangpun yang bisa menolong…”
“Dedemit Karang Gontor! Bukan
main…” geleng-geleng kepala pendekar 212. “Ingin aku melihat bagaimana
tampangnya. Bagaimana dia mencelakai korbannya seperti ini…”
“Anak muda!” ujar Ki Dukun
Japara dengan kedua mata yang juling mengawasi Wiro mulai dari kepala sampai ke
kaki. “Jangan bicara takabur! Sekali Dedemit Karang Gontor mendengarnya,
nyawamu tak ketolongan lagi!”
Wiro hanya tersenyum kecil
mendengar kata-kata orang tua bermata juling itu lalu dia berpaling pada
Juminto dan berkata: “Menurutku, istrimu bukan dicekik atau disedot Dedemit,
setan ataupun jin gandaruwo! Istrimu keracunan!”
Juminto terkesiap kaget sedang
Ki Dukun Japara tampak berubah air mukanya.
“Bagaimana kau bisa tahu?!”
tanya Juminto. Dia memandang pada istrinya yang masih melejang-lejang, tapi
saat demi saat lejangan tubuhnya semakin perlahan.
“Aku memang tidak tahu
bagaimana dia keracunan. Tapi dari wajahnya yang membiru sampai ke leher,
terutama pada bagian bibir dan ujung-ujung telinga, aku dapat menduga istri dan
anakmu ini telah keracunan.”
“Anak muda, siapa kau
sebenarnya? Sikapmu bicara seolah-olah sebagai orang yang mengetahui seluk
beluk ilmu pengobatan!”
“Namaku Wiro Sableng…”
“Wiro… Sableng?!” ujar Ki
Dukun Japara. “Kemunculanmu yang tiba-tiba begitu aneh. Sikap dan bicaramu juga
aneh. Dan kini namamu juga ternyata aneh. Wiro Sableng, coba terangkan dari
mana kau datang? Apa kau tinggal di sekitar sini?”
“Aku datang dari Gunung Gede…”
“Ah, kalau kau cuma seorang
pemuda gunung di udik sana, mana ada kemampuan untuk mengobati istriku!” kata
Juminto pula penuh jengkel sementara Ki Dukun Japara menyeringai. Lalu orang
tua ini berkata: “Tinggalkan kami berdua. Biar istri orang ini meninggal dengan
tenang…”
Wiro memandang pada Juminto.
“Waktunya tidak lama lagi, saudara. Jika istrimu tidak segera ditolong maka dia
benar-benar akan menemui kematian. Dan kau akan kehilangan dua orang yang
sangat kau kasihi…”
“Anak muda, kau seperti orang
hendak memaksakan kehendak. Kami tidak memerlukan pertolonganmu!” kata Ki Dukun
Japara pula.
“Tidak ada yang memaksa, orang
tua. Aku menduga-duga kau sebenarnya mengetahui apa yang dialami perempuan ini.
Tapi sengaja memberi keterangan yang salah…”
“Eh! Apa maksudmu dengan
ucapanmu itu!” bentak Ki Dukun Japara lalu melangkah mendekati Wiro dan
berkacak pinggang dihadapan pemuda ini.
“Kau seorang dukun. Jadi kurasa
kau tahu kalau istri orang ini keracunan, bukan dicekik segala macam Dedemit!”
Setelah berkata begitu Wiro
memutar tubuh dan melangkah menuju ke tangga. Sesaat Juminto tampak bingung.
“Jangan percaya pemuda tak
dikenal itu Juminto! Suratan Tuhan berlaku atas dirimu hari ini. Kau harus
merelakan kepergian anak dan istrimu…” terdengar Ki Dukun Japara berkata.
Juminto anggukkan kepalanya.
Tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru: “Saudara! Jika kau memang mampu
mengobati istriku, tolonglah!”
Wiro yang berada dipertengahan
tangga, hentikan langkahnya lalu menjawab: “Aku tidak punya kemampuan apa-apa,
saudara. Semua Tuhan yang punya kuasa dan menentukan!”
Lalu Pendekar 212 naik keatas
rumah punggung kembali. Langsung berlutut disamping tubuh istri Juminto Dengan
jari-jari tangannya dia melakukan totokan pada pangkal leher dan pertengahan
dada perempuan itu. Gerakan melejang-lejang perempuan itu serta merta berhenti.
Kedua matanya masih membeliak, tapi suara erangan dari mulutnya tak terdengar
lagi.
“Mati!” teriak Ki Dukun
Japara. “Juminto! Apa kataku! Istrimu malah dibikinnya mati lebih cepat!”
“Bangsat kurang ajar! Penipu
keparat!”teriak Juminto marah karena mengira apa yang dikatakan Ki Dukun itu
benar. Kaki kanannya langsung ditendangkannya ke punggung Wiro. Namun setengah
jalan dia merasa seperti ada angin yang menyambar. Kakinya yang menendang
terasa tiba-tiba menjadi seberat batu besar dan mau tak mau kaki itu terhenyak
turun kelantai bambu!
Ki Dukun Japara tidak tahu
pasti apa yang terjadi dengan Juminto. Sementara itu dilihatnya pemuda bernama
Wiro Sableng itu menekankan telapak tangan kanannya pelan-pelan diatas perut
istri Juminto. Lalu tekanan itu mendadak disentakkan menjadi keras sekali.
Tubuh istri Juminto seperti hendak terlipat. Saat itu terdengar suara menggeru
keluar dari perut nya seperti cacingcacing gelang dalam ususnya Begitu suara di
perut lenyap, kini berganti suara menggeru seperti orang muntah.
Dari mulut perempuan itu
menyembur cairan berwarna biru kehitaman dan sangat kental. Bersamaan dengan
itu kedua matanya yang tadi terus menerus membeliak, kini tampak menjadi kuyu
dan kelopaknya mengendur. Wiro membalikkan tubuh istri Juminto hingga perempuan
itu kini menelungkup. Karena keadaan tubuh serta kepalanya yang menelungkup seperti
itu, semakin banyak cairan biru kehitaman mengucur keluar dari mulutnya.
Pendekar 212 garuk kepalanya, mengusap peluh yang mengucur di keningnya lalu
bangkit berdiri.
“Saudara…Istrimu tertolong.
Kalau dia siuman nanti minumkan perasan air daun sirih…”
Penuh rasa tidak percaya
Juminto berlutut disamping istrinya, usapi pundak dan kening perempuan itu.
Lalu dengari mata berkaca-kaca dia berkata: “Saudara, bagaimana aku harus
mengucapkan terima kasih…”
Wiro tersenyum. Dia tundingkan
jari telunjuknya ke atas. “Jangan berterima kasih padaku. Ucapkan puji syukur
pada Dia yang diatas sana…” Juminto mengganguk.
“Satu pesanku, saudara. Dan
juga berlaku untukmu Ki Dukun. Sebarkan pemberitahuan kepada seluruh penduduk.
Di daerah ini tak ada dedemit yang marah, tak ada dedemit yang mencekik dan
menyedot nyawa manusia.
Barangkali ada wabah penyakit
berbahaya berjangkit disini, tetapi kecil sekali kemungkinannya. Yang kulihat
kenyataannya adalah anak dan istrimu keracunan sesuatu yang sangat ganas.
Mungkin racun belirang, mungkin juga racun daun beludru atau sejenis jelaga
renggut jiwo. Karena itu semua orang harus berhatihati memakan makanan dan
meminum air…”
“Anak muda!” tiba-tiba Ki
Dukun Japara memotong. Meskipun kau mampu menolong istri Juminto, tapi aku tidak
suka kau bertindak lebih jauh. Menyuruh penduduk agar tidak percaya pada
bencana yang disebabkan Dedemit Karang Gontor. Malah menyuruh Juminto untuk
menyebar luaskan kabar adanya bahaya racun ganas. Kau hendak membuat penduduk
tambah gelisah dan ketakutan?
Saat ini saja sudah ratusan
penduduk yang meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain,
menghindarkan bencana Dedemit karang Gontor…!
“Ki Dukun… Dedemit yang kau
katakan itu, dimanakah sarangnya. Biar kudatangi agar dapat kulihat rupanya!”
sahut Pendekar 212 pula mulai jengkel.
“Manusia takabur! Kuharap
Dedemit Karang Gontor mendengar ucapanmu tadi. Dan tunggulah nasib celaka yang
bakal menimpamu…”
Baru saja Ki Dukun Japara
berkata begitu tiba-tiba di bawah sana terdengar suara hiruk pikuk dan
teriakan-teriakan disertai derap kaki-kaki kuda dan gemuruh roda-roda kereta
serta gerobak.
Wiro berpaling, melangkah
cepat ke tangga rumah panggung.dan memandang ke bawah. Hampir tak percaya dia
apa yang dilihatnya. Belasan gerobak dan bendi tanpa atap berhenti di
pekarangan rumah panggung. Kendaraan-kendaraan itu dipenuhi oleh sosok tubuh
yang bergeletakan malang melintang. Ada orang tua, ada lelaki dan perempuan
baya sedang anak-anak hampir tak terhitung jumlahnya. Wajah dan bibir mereka
sangat biru. Banyak yang bergeletakan tanpa bergerak, entah pingsan entah sudah
mati. Yang mengerang terdengar hampir dari semua jurusan.
Orang-orang yang mengemudikan
gerobak dan bendi itu berteriak memanggil-manggil Ki Dukun Japara. Banyak
diantara mereka yang menyertai rombongan itu dengan berkuda sudah melompat
turun lalu menggendong satu demi satu orang-orang yang berada dalam keadaan
sekarat itu seraya berseru: Ki Dukun…Tolong…Selamatkan orang-orang ini!”
Wiro melompati anak tangga.
Begitu turun di tanah dia bertanya pada orang terdekat: “Apa yang terjadi?!”
“Dedemit Karang Gontor
menjatuhkan bencana di desa kami! Puluhan orang dicekik dan disedot hingga
matang biru!”
“Hai! Minggirlah! Jangan
menghalangi! Jangan ngobrol! Lebih baik bantu kami menurunkan orang-orang yang
kena bencana itu!” seseorang berteriak.
“Ki Dukun… Ki Dukun Japara!
Apa kau ada di rumah?!” terdengar lain orang berteriak memanggil.
Lalu ada suara perempuan dan
anak-anak menggerung menangis ketika mengetahui suami dan ayah mereka ternyata
telah menghembuskan nafas. Mau tak mau untuk sesaat Pendekar 212 |adi terkesima
menyaksikan pemandangan yang terjadi di hadapannya.
“Satu desa keracunan begini!
Gila! Ada sesuatu yang tidak beres…” ujar Wiro. Lalu dia meiompat menghadang
orang pertama yang hendak menaiki tangga sambil mendukung dua orang anak keoi
sekaligus.
“Bangsat! Jangan menghalangi
jalan!” teriak lelaki yang mendukung dua anak.
“Tak ada guna mencari Ki Dukun
Japara. Dia tidak mampu menolong kalian! Lekas baringkan semua korban di tanah.
Cari daun sirih sebanyakbanyaknya. Aku akan menolong kalian semampunya!
berteriak Wiro Sableng. Lalu dalam hati dia mengeluh: “Celaka, begini banyak
yang harus kutolong Ya Tuhan, malapetaka apa sebenarnya yang terjadi ini?
Mengapa begini banyak orang yang keracunan…?!”
3
KERATON BARAT. Hari itu,
pagi-pagi sekali Raden Mas Singaranu telah menghadap Sri Baginda Raja yang
sengaja menerimanya di taman belakang Keraton karena ada masalah sangat penting
yang perlu dilaporkannya.
Patih tua berkumis dan
berjanggut putih ini membuka pembicaraan dengan berkata: “Keadaan dibeberapa
desa di pinggiran Kotaraja semakin tidak karuan Sri Baginda. Puluhan bahkan
ratusan penduduk menemui ajal secara mengenaskan. Mereka mati dalam cara yang
sama yaitu kejang-kejang, muka dan bibir membiru. Sesuai petunjuk Sri Baginda
orang-orang kita telah melakukan penyelidikan. Tapi hasil yang dicapai masih
sangat sedikit. Sementara korban yang berjatuhan semakin banyak. Beberapa
kampung malah telah lengang karena ditinggalkan penghuninya. Mereka berada
dalam keadaan gelisah dan ketakutan. Hal ini memudahkan masuknya segala macam
hasutan yang selama ini ditiup-tiupkan oleh Karaton di Timur. Dan celakanya,
penduduk yang mengungsi itu kebanyakan justru pergi ke timur…”
“Apakah sudah diketahui sebab
musabab rakyat mati dengan tubuh kejang dan muka membiru itu, Paman Patih…?”
bertanya Sri Baginda.
“Ada berbagai petunjuk. Namun
semuanya harus diselidiki lebih jauh. Ada petunjuk yang menyatakan bahwa apa
yang dialami penduduk adalah akibat penyakit menular yang sangat berbahaya.
Setelah diselidiki pendapat itu tidak betul. Lalu saya sudah memerintahkan
orang-orang kita melakukan penyelidikan ke Karang Gontor. Saya bahkan
mengirimkan dua orang tokoh silat Keraton kesana…”
“Karang Gontor?” mengulang Sri
Baginda. “Apa perlunya penyelidikan dilakukan di tempat di pantai selatan itu?”
“Sebagian besar rakyat saat
ini mempercayai kalau kematian itu berasal dari kemurkaan Dedemit penghuni
Karang Gontor…”
“Kepercayaan gila!” teriak Sri
Baginda. “Bagaimana mereka bisa bersikap seperti itu?!”
Patih Raden Mas Singaranu
terdiam tak bisa menjawab.
“Aku yakin ada yang segaja
menebarkan berita kosong itu. Karang Gontor memang tempat angker.
Tapi selama ini belum pernah
ada Dedemit yang murka…”
“Saya sependapat dengan Sri
Baginda. Hanya saja ditengah kepercayaan sesat itu, rakyat dicekoki pula dengan
hasutan orang-orang Keraton Timur yang mengatakan bahwa melapetaka itu adalah
akibat ingkar janjinya Sri Baginda untuk menyerahkan kekuasaan pada Gusti
Bandoro Pangeran Harjokusumo…”
“Hasutan busuk! Fitnah jahat!
Cerita sesat!” ujar Sri Baginda dengan rahang menggembung. “Kau sendiri tahu
Paman Singaranu! Cerita bahwa Raja Tua pernah mengatakan aku harus turun tahta
dan menyerahkan kekuasaan pada adikku Harjokusumo itu jika aku sudah berusia
enam puluh tahun tak pernah ada. Isapan jempol yang dibuat-buat saja! Berapa
lama umurnya manusia? Aku tak mungkin akan memerintah sampai usia seratus
tahun!”
“Mungkin sekali adik Sri
Baginda Pangeran Harjokusumo itu tidak sabar menunggu datangnya giliran jadi
raja. Mungkin juga saat ini kurang puas kalau hanya menjadi Raja Kecil di
Keraton Timur yang dianggap masih berada dibawah kekuasaan dan kewenangan
Keraton Barat…
“Mungkin sekali begitu. Tapi
bukankah adikku itu masih sangat muda? Dia bisa menunggu dan sementara itu
banyak belajar dari pada para sesepuh Keraton. Tentang ilmu peperangan, ilmu
sastra, ilmu agama, ilmu kebatinan dan kesaktian serta ilmu persilatan. Jika
dia menimba ilmu sebanyak-banyaknya saat ini maka kelak tiba saatnya dia
dinobatkan menjadi Raja sebagai penggantiku. dia benar-benar akan menjadi
seorang Raja yang matang, arif bijaksana, memiliki ilmu dunia dan ilmu
akhirat!”
Raden Mas Singaranu merenung
sejenak. Lalu berkata: Jalan pikiran Sri Baginda mungkin tidak sama dengan yang
dipunyai Pangeran Harjokusumo.
Saya rasa dia mempunyai
kekawatiran dengan lahirnya putera Sri Baginda…”
Sri Baginda geleng-geleng
kepala. “Adikku itu terlalu picik. Puteraku Kanjeng Gusti Pangeran Haryo belum
berusia empat puluh hari. Apa yang ditakutkannya? Bukankah tatakrama Keraton
kita menjamin haknya sebagai Raja sampai puteraku itu berusia dua puluh satu
tahun? Jangan jangan adikku itu mulai punya pikiran macam-macam keserakahan,
gila kekuasaan…”
“Bukan itu saja Sri Baginda…
Mata-mata kita pernah melihat bahwa balatentara Keraton Timur pernah mendapat
petunjuk dan latihan perangperangan dan sekelompok orang-orang seberang laut
yang datang satu kapal penuh…”
Paras Sri Baginda langsung
berubah. “Kalau begitu jangan-jangan Keraton Timur tengah menyiapkan satu
pemberontakan. Menyiapkan makar untuk merebut tahta Kerajaan secara kekerasan…!
“Itu yang saya dan Kepala
Balatentara Raden Mas Janggolo dugakan. Karena itu pula Janggolo telah
memperkuat penjagaan di perbatasan…”
“Paman Patih, aku mengharap
agar malapetaka yang menimpa rakyat kita cepat disingkapkan sebab musababnya.
Itu tugasmu paling utama karena kekuatan kita bersumber pada rakyat. Kalau
rakyat kacau, Kerajaan akan ikut kacau dan kaum penyusup, mereka yang tidak
senang akan mengambil keuntungan. Tugas kedua awasi dengan ketat gerak gerik
orang-orang di Keraton Timur. Kalau perlu selinap-kan seorang atau beberapa
orang mata-mata langsung ke dalam Keraton!”
“Tugas akan saya jalankan Sri
Baginda.” Raden Mas Singaranu bangkit dari bangku taman yang didudukinya,
membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.
KERATON TIMUR.
Tumenggung Jalak Karso
membungkuk dalam-dalam di hadapan Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo lalu
berkata: “Ada kabar penting yang perlu saya beritahukan pada Sri Baginda.”
Pangeran Harjokusumo lalu
memberi isyarat pada permaisuri yang duduk disampingnya agar masuk ke ruangan
dalam. Setelah hanya tinggal mereka berdua saja ditempat itu maka sang
Tumenggung baru membuka mulut.
“Rakyat di Barat berada dalam
keadaan gelisah ketakutan. Ratusan orang menemui ajal secara aneh. Muka dan
bibir biru, mata mendelik dan tubuh kejang kaku. Mereka mempercayai bahwa itu
adalah akibat kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor. Banyak pengungsi yang
terpaksa ditampung di desadesa sekitar perbatasan…”
Pangeran Harjokusumo, Raja
Kecil di Keraton wilayah Timur termenung sesaat lalu berucap: “Ya…apa yang
harus kukatakan. Kakakku yang berkuasa di Barat tidak baik hubungannya dengan
kita disini. Aku cuma bisa merasa kasihan. Mungkin apa yang terjadi disana
merupakan satu kutukan atas keingkarannya terhadap pesan Raja Tua.” Sang Raja
diam sejenak lalu bertanya: “Apa keluarga Keraton ada yang turut menjadi
korban?”
“Sebegitu jauh dari beberapa
keluarga abdi dalem telah ikut jadi korban…” menerangkan Jalak Karso.
Tumenggung, walau kita
prihatin atas apa yang terjadi di Barat, namun itu adalah urusan orang-orang
disana. Mereka punya Raja yang tentunya akan bertindak melakukan sesuatu Kita
di Timur ini harus selalu waspada. Pasukan disekitar perbatasan harus lebih
meningkatkan penjagaan. Mengenai para pengungsi biarkan mereka masuk dan
menetap di wilayah kita. Tapi mereka harus tunduk pada peraturan dan perintah
kita. Kelak jika tenaga mereka diperlukan untuk diambil sebagai prajurit,
mereka harus siap tempur. Kalau tidak sebaiknya pagi-pagi mereka diusir masuk
kembali ke Barat…’
Saya mengerti Sri Baginda.
Saya akan meneruskan perintah ini pada seluruh jajaran pasukan kata Tumenggung
Jalak Karso. Bagaimana dengan latihan ketentaraan? Apakah ada kemajuan.-?
Banyak sekali Sri Baginda
Daium waktu satu bulan dimuka segala sesuatunya akan rampung dan para pelatih
itu bisa meninggalkan kita…”
Satu bulan terlalu lama
Tumenggung. Sesuatu bisa terjadi secara cepat. Apalagi saat ini seperti yanq
kau laporkan tengah terjadi kekacauan di kalangan penduduk wilayah Baiat
Katakan pada pucuk pimpinan pelatih agar jadwal latihan dapat diselesai dalam
waktu tiga minggu dimuka
“Akan saya sampaikan Sri
Baginda.” Lalu Tumenggung Jalak Karso menjura dalam-dalam dan berlalu dari
hadapan Pangeran Harjokusumo.
4
RUMAH PANGGUNG Ki Dukun Japara
nampak gelap gulita. Di kolong rumah mendekam sosok tubuh hampir tak bergerak.
Sikapnya seperti orang bersamadi.
Namun ternyata sosok ini
sengaja duduk tak bergerak di atas sebuah kayu potongan batang pohon. Dia bukan
lain adalah Ki Dukun Japara sendiri. Dia tengah menunggu kedatangan seseorang.
Malam berlalu dengan cepat.
Dingin dan sunyi. Dikejauhan terdengar salak anjing. Sejak beberapa hari belakangan
ini tak ada lagi penduduk yang datang untuk minta pertolongan karena memang
semua penghuni desa dan kampung sekitar situ sudah meninggalkan tempat kediaman
masing-masing tanpa dapat dicegah. Kematian aneh yang berturut-turut dialami
oleh keluarga mereka membuat penduduk menjadi sangat takut untuk menetap lebih
lama. Lagi pula sebagian besar penduduk disitu sudah mengetahui bahwa dalam
menghadapi malapetaka kematian aneh itu Ki Dukun tidak mampu memberikan
pertolongan.
Di kejauhan kembali terdengar
salakan anjing. Sunyi kembali. Lalu lapatlapat terdengar suara derap kaki kuda.
Makin lama makin keras tanda makin dekat. Tak lama kemudian sosok kuda bersama
penunggangnya muncul memasuki pekarangan rumah Ki Dukun Japara. Orang tua
bermata juling ini cepat bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan si
penunggang kuda, yang saat itu telah berhenti sejarak sepuluh langkah dibawah
bayang-bayang gelap pohon besar disamping rumah panggung.
“Saya menunggu petunjukmu
lebih lanjut, Ki Sanak…” berkata Ki Dukun Japara begitu sampai di hadapan si
penunggang kuda yang berpakaian serba hitam dan ternyata menutup kepalanya
dengan sehelai kain hitam hingga hanya sepasang matanya saja yang kelihatan.
“Apakah kau menjalankan
tugasmu dengan baik Ki Dukun Japara?” Orang diatas kuda bertanya dengan suara
datar.
“Sesuai permintaan Ki Sanak
tempo hari, semua sudah saya lakukan…”
“Berapa korban yang kau
dapat…?”
“Keseluruhannya seharusnya dua
ratus sembilan belas orang. Namun tiga puluh dua orang diselamatkan dan dapat
hidup kembali…”
Sepasang mata penunggang kuda
nampak membeliak. “Apa maksudmu tiga puluh orang diselamatkan dan hidup
kembali?!” Suara orang yang wajahnya tidak kelihatan itu menyentak dan berubah
galak.
“Sesuatu terjadi empat malam
lalu,” menerangkan Ki Dukun Japara. “Ada sekitar lima lusin penduduk datang
kemari untuk minta pertolongan. Seperti petunjukmu, saya mengatakan tak bisa
menolong karena ini adalah perbuatan Dedemit Karang Gontor yang tengah murka.
Namun saat itu tiba-tiba saja muncul seorang pemuda tak dikenal yang mampu
menolong lebih dari separoh korban yang berdatangan kemari…”
“Siapa adanya pemuda itu?!”
“Saya tidak mengenal
sebelumnya. Dia mengaku orang gunung. Bernama Wiro Sableng…”
“Kau melakukan kesalahan besar
Ki Dukun…!” Orang di atas kuda mendengus.
“Ke…kesalahan apa yang saya
buat Ki Sanak?” tanya Ki Dukun Japara dengan suara tercekat.
“Mengapa kau biarkan orang itu
memberikan pertolongan?!”
“Saya sudah berusaha
mencegahnya Ki Sanak, namun dia bertindak cepat sekali. Dan celakanya keluarga
para korban ikut membantu…”
“Jelaskan bagaimana caranya
pemuda itu memberikan pertolongan? Apa dia membawa obat atau apa…?”
“Mula-mula dia menotok tubuh
para korban di beberapa bagian. Lalu menekan bagian perut hingga korban siuman
dan memuntahkan ludah hitam pekat. Setelah itu dia memberikan air perasan daun
sirih…!”
“Menotok! Memberi minuman air
sirih! Dan kau diamkan saja melakukan itu!”
“Saya mencegahnya Ki Sanak.
Tapi tak berhasil. Lagi pula saat itu si pemuda tampaknya mulai curiga pada saya.
Dia banyak bertanya pada orangorang yang ditolongnya. Dan dia mengatakan bahwa
apa yang dialami orangorang itu bukan karena dicekik atau disedot dedemit,
melainkan karena keracunan!”
“Ki Dukun Japara…” Suara orang
diatas kuda bergetar menahan amarah.
“Kau harus mencari pemuda itu
dan membunuhnya! Kau harus melakukan hal itu dalam waktu tujuh hari! Kalau
tidak lidahmu terpaksa kucabut agar kau tidak bisa membuka mulut! Itu yang
paling ringan hukuman bagimu. Jangan kira aku tidak mau menebas batang lehermu!”
“Ki Dukun Japara tertunduk dan
lututnya terasa goyah.
“Apakah kau telah mendapatkan
para pembantu seperti yang kuperintahkan tempo hari…?” Orang diatas kuda
bertanya.
“Sudah Ki Sanak, Saya
mendapatkan tiga orang. Mereka telah menyebar kemana-mana…”
“Tiga orang masih kurang.
Paling tidak kau harus mendapatkan sepuluh orang. Dan masing-masing satu dari
sepuluh itu harus mendapatkan lagi paling tidak lima pembantu! Kau mengerti Ki
Dukun Japara?!”
“Saya mengerti Ki Sanak…”
jawab orang tua bermata juling itu.
Dari kantong besar di pelana
kudanya orang berpakaian serba hitam mengeluarkan sebuah kantong kain yang
tampak berat lalu melemparkan di depan kaki Ki Dukun Japara.
“Itu bekal tugasmu yang baru.
Bagikan pada semua pembantumu. Mulai saat ini gerakan kalian bukan hanya di
pinggiran Kotaraja, bukan cuma di desadesa atau di kampung-kampung, tapi harus
menyusup ke dalam Kotaraja. Dan jika kau mampu masuk ke dalam Keraton di Barat,
imbalan bagimu akan kulipat gandakan sampai lima kali!”
Ki Dukun Japara tak berani
menjawab karena dia tahu adalah mustahil baginya menyusup ke dalam Keraton
melakukan apa yang diinginkan orang itu.
Dari balik pakaiannya si
penunggang kuda mengeluarkan sebuah kantong kecil yang ketika dipegang
terdengar mengeluarkan suara berdering.
“Karena telah membuat
kesalahan, imbalanmu kali ini hanya sepertiga dari yang dijanjikan. Itu masih
lebih baik dari pada kau menerima hukuman!”
Kantong kain kecil berisi uang
itu dilemparkan ke muka Ki Dukun Japara.
Karena tak berani menyambuti,
kantong, itu jatuh ke tanah. Ketika si penunggang kuda hendak berlalu, Ki Dukun
Japara beranikan diri membuka mulut.
“Ki Sanak, aku mengulangi lagi
pertanyaanku tempo hari. Siapakah kau ini sebenarnya…?!”
“Ki Dukun Japara, jika aku
datang sekali lagi dan kau berani mengulangi pertanyaan itu kembali, maka hanya
ada satu hukuman bagimu. Mampus!”
Habis berkata begitu orang
berpakaian serba hitam yang wajahnya tersembunyi dibalik kain hentakkan Tali
kekang kudanya. Binatang itu menghambur ke depan, menyerempet Ki Dukun Japara
hingga orang tua itu terpelanting dan jatuh jungkir balik di tanah. Ketika
dengan kesaktian dia berusaha bangkit si penunggang kuda sudah lenyap.
Tertatih-tatih Ki Dukun Japara mengambil kantong besar dan kantong kecil berisi
uang. Sesaat dia tertegak diam. Lalu kantong uang dimasukkannya ke balik
pinggang pakaian. Dengan tangan gemetar dia kemudian membuka ikatan kantong
kain yang besar. Meskipun halaman itu gelap namun benda yang ada di dalam
kantong, berupa bdbuk putih kelabu nampak berkilauan.
“Bubuk racun celaka…” desis Ki
Dukun Japara.
“Ah, mengapa akujadi terlibat
dalam urusan jahanam ini…” Dia menghela nafas panjang berulang kali. Namun
disadarinya tak ada gunanya menyesal.
Ratusan rakyat yang tidak
berdosa telah jadi korbannya dan para pembantunya!..
5
ANGIN LAUT SELATAN bertiup
kencang dari arah teluk. Menerpa ke daratan, melewati pucuk-pucuk pepohonan
kelapa lalu menghantam bukit batu yang menghitam angker dalam kegelapan malam.
Di atas bukit batu paling tinggi tampak sebuah batu karang besar. Selama
ratusan bahkan mungkin ribuan tahun batu karang itu tegak menjulang di tempat
tersebut, dikikis angin setiap saat, diterpa panas pada siang hari, dihantam
hujan, sehingga akhirnya secara aneh alam membentuk batu karang itu menyerupai
seorang lelaki memakai caping dan duduk menghadap ke laut.
Ombak di teluk selalu besar
dan deras sepanjang tahun. Itu sebabnya tak kelihatan sebuahpun rumah penduduk
disitu. Bagian teluk yang hanya dipenuhi oleh bebukitan batu itu membuat hampir
tak ada orang yang datang kesitu. Bukan saja karena memang sulit untuk mendaki
bukit batu tersebut, namun juga disebabkan oleh tersiarnya cerita bahwa daerah
tersebut adalah tempat bercokol atau sarangnya dedemit. Penduduk menyebut bukit
itu dengan nama Karang Gontor dan dengan sendirinya dedemit yang menghuninya
disebut juga Dedemit Karang Gontor.
Walau tadi dikatakan Karang
Gontor hampir tak pernah didatangi manusia, namun adalah satu keluar kebiasaan
kalau hari Kamis malam Jum’at Kliwon itu tampak dua penunggang kuda melesat
diatas kuda masing-masing menuju kaki bukit. Disalah satu bagian bukit mereka
meninggalkan tunggangan mereka lalu meneruskan perjalanan dengan jalan kaki.
Dan arah yang mereka tuju adalah justru puncak bukit tertinggi. Puncak Karang
Gontor!
Melihat pada cara mereka
mendaki bukit batu yang setengah berlari, jelas kedua orang itu memiliki ilmu
lari serta ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ketika bulan di langit muncul
dibalik awan kelabu, wajah kedua orang itu kelihatan lebih jelas. Ternyata
mereka adalah dua orang tua lanjut usia yang telah sama-sama berambut putih.
Yang satu memakai pakaian
ringkas berwarna biru muda. Satunya lagi biru gelap dan membawa sebuah
bungkusan. Ketika kembali rembulan disaput awan dan keadaan di Seantero bukit
batu menjadi gelap. Dua orang tua itu mempercepat lari masing-masing hingga tak
berapa lama kemudian keduanya sampai di puncak bukit batu dimana terdapat batu
karang tinggi besar berbentuk orang duduk memakai caping. Terpaan angin keras
sekali dan dingin bukan main. Tapi dua orang tua itu tenang-tenang saja.
Pakaian dan rambut putih mereka tampak berkibar-kibar. Untuk beberapa lamanya
mereka memandangi batu karang besar di depan mereka. Lalu memandang
berkeliling.
Orang tua di sebelah kanan, yang
berpakaian biru muda memandang ke arah teluk. Laut tampak hitam dalam
kegelapan. Ombak besar mendebur keras diatas pasir teluk. Orang tua ini
berpaling pada kawan disampingnya lalu bertanya: “Bagaimana, bisa kita mulai…?
“Sebaiknya kita mulai saja. Agar
cepat selesai dan kembali ke Kotaraja…”
“Terus terang aku menyangsikan
adanya mahluk halus yang mendekam di sini. Kalau bukan Sri Baginda yang
memerintahkan, jangan harap aku mau melaksanakannya!”
“Apa yang kau katakan juga
merupakan pendapatku, Suro Markum,” menyahuti kakek satunya. Lalu orang tua
berpakaian biru gelap ini membuka bungkusan yang dibawanya. Isinya ternyata
sebuah pendupaan lengkap dengan arangnya. Pendupaan itu diletakkannya di atas
batu, tepat di hadapan batu karang besar tinggi. Lalu dibantu oleh kawannya,
dengan susah payah dia mulai menyalakan arang di dalam potong arang dapat
dibakar hidup. Potongan arang yang telah hidup merembet membakar
potongan-potongan arang lainnya hingga kesudahannya seluruh arang dalam
pendupaan itu menyala terang.
Dari dalam saku pakaiannya
orang tua bernama Suro Markum mengeluarkan sebongkah kemenyan. Benda ini
diremasnya hingga menjadi kepingan-kepingan kecil lalu dengan mulut komat kamit
membacakan sesuatu, hancuran kemenyan itu ditebarkannya diatas bara yang
menyala. Sekejapan saja Seantero puncak Karang Gontor itu telah tenggelam dalam
bau kemenyan hingga suasana ditempat itu menjadi terasa sangat angker.
Orang tua bernama Suro Markum
berbisik pada kawannya “Tapak Jingga, kau membaca doa pertama dan ketiga, aku
doa kedua dan ke empat. Lalu-kita sama-sama mengakhiri dengan doa kelima…”
Orang tua bernama Tapak Jingga
mengangguk. Lalu dua orang itu duduk bersila di atas batu, letakkan tangan
diatas ujung lutut dengan tapak membuka menghadap ke atas. Masing-masing sama
memejamkan mata dan Tapak Jingga mulai melaratkan doa pertama.
Selesai doa kelima yang
dibacakan bersama-sama Suro Markum angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas
dan mulutnya menyerukan kalimat demi kalimat.
“Penghuni Karang Gontor…Siapapun
engkau adanya, mahluk gaib atau mahluk halus, kami berdua Suro Markum dan Tapak
Jingga datang membawa salam persahabatan. Jika kau memang mahluk yang disebut
Dedemit Karang Gontor maka ketahuilah, kedatangan kami kemari bukan untuk
mengganggumu. Kami diutus oleh Sri Baginda Raja untuk menyampaikan pesan, agar
kau Dedemit Karang Gontor sudilah untuk tidak lagi mengganggu rakyat Kerajaan.
Jika selama ini ada hal-hal yang tidak berkenaan dan kesalahan-kesalahan yang
telah dilakukan, kami mohon maafmu. Kami datang membawa kembang tujuh rupa,
telur ayam tujuh butir, madu tujuh mangkuk dan rokok putih tujuh batang. Lalu
dari bungkusan yang tadi dibawa Tapak Jingga dikeluarkan bendabenda yang
disebutkan itu, diletakkan diatas daun beralaskan kain putih dan dikembangkan
di atas batu. Suro Markum memberi isyarat pada kawannya.
Tapak Jingga lalu mengangkat
tangan dan meneruskan kata-kata Suro Markum tadi.
“Dedemit Karang Gontor, Raja
kami percaya bahwa kau adalah sahabat
Sri Baginda dan Kerajaan. Kami
semua percaya kau tidak akan mengganggu lagi rakyat. Kerajaan dengan
kematian-kematian aneh itu. Kami minta diri sekarang…”
ketika kedua orang tua itu
bersiap-siap untuk bangkit, tiba-tiba ada suara menderu disertai sesuatu yang
melesat ke arah pendupaan. Lalu wuuuuusss! Bara menyala di atas pendupaan padam
dan asap mengepul!
“Ada yang menyiramkan air…!”
bisik Tapak Jingga dengan suara kelu. Baik dia maupun kawannya menjadi
sama-sama pucat saking kagetnya.
“Cerita tentang Dedemit Karang
Gontor ternyata bukan isapan jempol belaka…Mahluk itu benar-benar ada!” balas
berbisik Suro Markum. Tengkuk kedua orang tua itu serta merta menjadi dingin!
Saat itulah terdengar suara
tawa mengekeh dari balik batu karang tinggi besar. Bukan suara tawa mengekeh
biasa, karena jelas bukit batu itu terasa bergetar! Makin pucatlah wajah kedua
orang tua utusan Sri Baginda itu. Tapak Jingga seperti hendak terkencing di
celananya!
“Dedemit Karang
Gontor…Rupanya…rupanya kau ada disini. Kau tentu telah mendengar kata-kata kami
tadi. Kami datang sebagai sahabat…” berkata Suro Markum.
“Be… benar…Kami datang membawa
salam persahabatan dari Sri Baginda…” menimpali Tapak Jingga.
Tawa mengekeh dari balik batu
karang besar semakin keras.-Makin keras lalu tiba-tiba lenyap. “Berganti dengan
suara membentak yang membahana diantara deru angih dari teluk.
“Dua tua bangka tolol! Sejak
kapan Dedemit Karang Gontor doyan makan kembang…!
Tapak Jingga dan Suro Markum
saling pandang dengan muka pucat.
“Lekas kau jawab…” bisik Tapak
Jingga.
“Dedemit Karang Gontor, harap
dimaafkan. Kembang tujuh rupa itu kami bawa memang bukan untuk dimakan”
“Tolol!” terdengar suara
memaki dari balik batu. “Lalu telur ayam mentah itu, apa kau kira aku Dedemit
Karang Gontor suka makan telur mentah? Kenapa tidak kalian rebus atau goreng
lebih dahutu sebelum dibawa kemari?! Tolol!”
“Mohon kami dimaafkan
Dedemit…” kata Suro Markum ketakutan.
“Tujuh mangkuk madu racun itu
buat apa?! Tolol! Kalian kira aku Dedemit Karang Gontor doyan makan madu tanpa
roti?! Tolol!”
“Maafkan kami Dedemit Karang
Gontor…” kini Tapak Jingga yang bicara.
“Rokok putih sebesar lidi itu
untuk apa? Untuk mengorek telingaku? Tolol! Kalian seharusnya membawa serutu
besar! Bukan rokok putih kecil! Biar kusumpalkan tujuh batang rokok itu ke mata
kalian!”
“Maafkan kami Dedemit Karang
Gontor!” seru Tapak Jingga dan Suro Markum berbarengan seraya beringsut mundur.
Masing-masing sama alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Jika mahluk itu
benar-benar hendak mencelakai mereka, tak ada jalan lain. Melawan sebelum
dibikin konyol!
“Dua tua bangka tolol” Malam
ini aku masih mau mengampunkan tindak tanduk kalian. Tapi dengan satu syarat.
Kalian telan habis semua persembahan yang kalian bawa itu. Kembang, rokok, madu
dan telur! Lakukan cepat! Kalau tidak kalian berdua tak akan kembali lagi ke
Kotaraja!”
“Celaka kita Suro…” bisik
Tapak Jingga.
Suro Markum memberanikan diri
berkata: “Kami akan lakukan apa yang kau perintahkan Dedemit Karang Gontor.
Madu dan telur akan kami makan habis. Tapi mohon maafmu. Mana mungkin kami
menelan rokok dan kembang itu!”
“Kalau begitu biar tubuh
kalian berdua yang akan kutelan. Daging kalian pasti sudah alot! Tapi malam
malam lapar dan dingin begini lebih baik dari pada makan angin…” Terdengar
suara tawa mengekeh. Kembali bukit karang itu bergetar. Lalu terdengar suara
bergemeletakan seperti suara geraham yang saling bergeseran satu sama lain.
Menyusul suara menggeram macam ada harimau yang hendak menerkam!
“Dedemit Karang Gontor!” pekik
Tapak Jingga. “Jangan telan kami…Kami akan lakukan apa yang kau katakan…” Lalu
orang tua ini cepat menyambar mangkuk madu. Suro Markum mengikuti apa yang
dilakukan kawannya. Satu demi satu madu dalam mangkok mereka minum. Setelah
habis mereka lalu pecahkan tujuh butir telur dan telan isinya. Kini tinggal
kembang dan rokok!
Dari balik batu karang
terdengar suara keras: “Bagus! Sekarang lekas telan kembang lalu rokok itu!
Berani membangkang kucabik tubuh kalian!”
Karena benar-benar ketakutan
setengah mati Suro Markum dan Tapak Jingga langsung meraup kembang dan
menyumpalkannya ke mulut masingmasing. Baru sekali mereka mengunyah dari balik
batu karang besar terdengar suara tertawa bergelak. Suara tawa kali ini sangat
lain dengan suara mengekeh tadi. Suara tawa yang mereka dengar kini adalah
suara tawa manusia!
Bersamaan dengan itu dari
balik batu karang muncul sesosok tubuh! Suro Markum dan Tapak Jingga semburkan
kembang tujuh rupa yang barusan hendak mereka telan. Memandang tajam-tajam
kedepan. Setelah pasti sekali bahwa sosok tubuh yang melangkah sambil tertawa
ke hadapan mereka itu adalah manusia biasa adanya, maka membentaklah kedua
orang tua ini dengan marah.
“Bangsat siapa kau?!”
6
YANG DIBENTAK kembali tertawa
bergelak. Sementara Tapak Jingga dan Suro Markum memandang dengan mata
berapi-api. “Seperti yang kalian lihat sendiri!”
berkata orang yang muncul dari
balik batu karang besar. “Aku manusia biasa seperti kalian. Bukan mahluk halus
atau mahluk gaib. Bukan pula Dedemit Karang Gontor yang barusan sesajennya
kalian lahap! Ha…ha…ha…!”
Sebagai dua orang tokoh silat
istana, walaupun dari tingkat ke tiga, bukan saja dua orang tua itu menjadi
sangat malu, namun sekaligus juga menjadi sangat marah karena merasa
dipermainkan!
“Anak muda! Kau telah lancang
mempermainkan kami! Bersiaplah untuk menerima pembalasan!” teriak Tapak Jingga.
Lalu dia melompat ke arah si pemuda dan menghantam dengan tangan kanannya. Suro
Markum tidak tinggal diam. Dia menghambur sambil lepaskan satu jotosan!
Dua serangan itu ternyata
bukan serangan biasa. Tapi yang bisa membawa risiko kematian. Karena Tapak
Jingga menghantam ke arah dada di bagian jantung sedang Suro Markum menggebuk
ke arah batok kepala!
“Sabar! Tunggu dulu!” berseru
si pemuda. Lalu dengan gerakan aneh, seperti orang mabok terhuyung-huyung dia
sudah berpindah tempat, menjauh beberapa tombak. Dua serangan tadi hanya sempat
melabrak tempat kosong!
Inilah ilmu silat “orang gila”
ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang merupakan salah seorang datuk silat
di pulau Andalas. Ketika berkelana di pulau itu murid Sinto Gendeng sempat
bertemu dengan Tua Gila bahkan menerima beberapa jurus utama ilmu silat “orang
gila” tersebut. Dalam perkelahian di tempat sempit seperti di puncak bukit
karang itu, ilmu silat ini sangat cocok dipakai menghadapi lawan!
Kini kagetlah kedua orang tua
itu melihat bagaimana serangan mereka mampu dielakkan lawan dengan gerakan
seperti acuh tak acuh saja!
“Kalian berdua dengar dulu!”
kembali si pemuda berseru. “Jika kalian berdua memang orang-orang Kerajaan maka
kita adalah orang satu golongan! Kenapa ribut-ribut harus berkelahi?!”
“Kami tidak mengenal manusia
kurang ajar sepertimu! Apalagi merasa satu golongan!” bentak Suro Markum. Lalu
dia berkata pada kawannya. “Tapak Jingga, mari kita bunuh pemuda kurang ajar
ini biar rohnya benar-benar jadi dedemit di tempat ini!”
“Walah! Kalau aku jadi
dedemit, kalian berdualah yang akan kucari lebih dulu! Kusedot ubun-ubunnya
sampai mampus dengan muka biru mata mendelik!
Suro Markam dan Tapak Jingga
yang kembali hendak menyerbu menjadi terkejut dan seseat hentikan serangan
mereka.
“Tapak Jingga…Kelihatannya
pemuda ini ada sangkut pautnya dengan kematian aneh ratusan rakyat di
Kerajaan!”
“Jangan-jangan dialah yang
menjadi pangkal bahalanya!” menyahuti Tapak Jingga.
“Pemuda kurang ajar! sebelum
nyawamu lepas dan bangkaimu kami buang ke teluk di bawah sana, lekas katakan
siapa dirimu. Apa sangkut pautmu dengan kematian aneh penduduk Kerajaan!”
Si pemuda tertawa lebar
mendengar bentakan Suro Markum itu.
“Aku tidak punya sangkut paut
dengan kematian rakyat Kerajaan itu!” jawabnya.
“Beri tahu namamu! Juga gelar
kalau kau memilikinya! menghardik Tapak Jingga.
“Namaku Wiro Sableng. Orang
sableng macamku tentu saja tidak memiliki gelar!” jawab si pemuda yang ternyata
adalah murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
“Pemuda konyol kurang ajar!
Jika kau tidak ada sangkut paut dengan malapetaka aneh di Kerajaan, mengapa kau
mengetahuinya dan ada keperluan apa kau berada di Karang Gontor ini?!”
“Aku kesini untuk menyelidiki
hal ihwal dedemit itu. Tapi caranya tidak sama dengan kalian. Kalian berdua
memulai dengan dasar mempercayai bahwa mahluk bernama Dedemit Karang Gontor itu
memang ada! Sedang aku untuk membuktikan bahwa mahluk itu sama sekali tidak
ada, sekaligus untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi,
bersembunyi dibalik sandiwara maut ini!”
“Siapa percaya ucapanmu!”
bentak Tapak Jingga.
“Siapa minta kau percaya
ucapanku!” tukas Pendekar 212 pula. “Dua tokoh silat istana mau-mauan percaya
pada dedemit, mengantar sesajen segala, berdoa yang bukan-bukan! Kalau kusebut
kalian berdua tolol apakah salah?!”
Merah padam wajah kedua orang
tua itu. Karena tak sanggup menahan marah, keduanya kembali menyerbu Wiro.
Kembali pendekar itu keluarkan jurusjurus silat Tua Gila. Tubuhnya sempoyongan,
berputar-putar, kadang-kadang berjingkrak kian kemari! Dan semua gerakan aneh
serta lucu yang dibuat oleh Wiro selalu berhasil mengelakkan keroyokan serangan
dua tokoh silat Kerajaan itu!
Sebelas jurus menyerang terus
tanpa hasil lalu lima jurus lagi dan tetap tak berhasil, Suro Markum dan Tapak
Jingga saling memberi isyarat. Keduanya keluarkan suitan keras dan dikejapan
itu juga tubuh mereka seolah lenyap ditelan kegelapan.
Walau kini kehilangan kedua
lawannya namun sepasang telingnga Pendekar 212 dapat mendengar siuran-siuran
angin disekitarnya pertanda bahwa dua lawan itu masih ada disitu dan terus
menyerangnya. Wiro lindungi diri dengan lepaskan terus rnenerus pukulan sakti
bernama “benteng angin berhembus tindih menindih” Deru angin menggelegar di
puncak bukit karang itu. Dua tokoh silat istana sama terkejut ketika setiap
kali berusaha mendekat untuk melancarkan serangan, tubuh mereka terpental
disapu oleh angin pukulan lawan!
Sambil berteriak marah Suro
Markum dan Tapak Jingga perlihatkan kembali sosok tubuh mereka. Keduanya tidak
menyangka ilmu “lenyap selaksa” yang barusan mereka keluarkan begitu mudah
dipatahkan lawan hingga terpaksa keduanya memperlihatkan diri kembali dan
lanjutkan serangan-serangan. Jurusjurus yang mereka pergunakan kali ini adalah
jurus serangan berantai yang dilancarkan sambil memutari lawan. Di tempat
sempit seperti di atas bukit,karang tersebut, jurus-jurus serangan ini memang
ampuh karena sedikit demi sedikit mereka memperciut lingkaran serangan dan
akhirnya Pendekar 212 terjepit di tengah-tengah!
Beberapa kali serangan lawan
mulai menyengat menghajar murid sinto Gendeng. Sambil menahan sakit Wiro
bergerak menuju pinggiran pedataran batu sebelah kanan. Begitu dia sampai di
pinggiran batu, serta merta dua penyerang tak bisa lagi mengelilinginya,
kecuali mau jatuh ke teluk dibawah sana!
Suro Markum memaki melihat
kecerdikan pemuda ini. Mau tak mau dia dan Tapak Jingga harus berkelahi lagi
secara berhadap-hadapan. Namun baik Tapak Jingga maupun Suro Markum mereka kini
melihat adanya peluang untuk mencelakakan lawan. Sekalipun mereka sulit untuk
menggebuk langsung, asal mereka bisa menggeser kedudukan kedua kaki Wiro ke
belakang, maka pemuda itu tak ampun lagi akan jatuh ke dasar teluk! Itulah
sebabnya kini kedua tokoh silat istana itu melancarkan tendangan bertubi-tubi
ke arah kedua kaki Wiro.
Berulang kali Pendekar 212
harus melompat ke atas sambil membagi serangan balasan pada kedua penyerangnya.
Tapi dua orang itu selalu berhasil mengelak bahkan terus menyerbu tak mau
memberi kesempatan bagi Wiro untuk dapat menyingkir dari tepi bukit batu.
“Edan, tadi aku mengharap bisa
lepas dari serangan melingkar dan menjepit. Kini malah keadaanku tambah
berbahaya!” memaki Wiro dalam hati. Sambil melayani dengan hati-hati serangan
dua lawan, Wiro memutar otaknya. Dia sebenarnya tidak ada silang sengketa
dengan dua orang tokoh silat istana itu. Tidak ada gunanya melepaskan
pukulan-pukulan sakti seperti pukulan “sinar matahari” Namun jika dia terdesak
terus dan tak sanggup keluar dari pinggir “bukit batu itu, lambat laun dia
pasti kena gebuk atau tergelincir jatuh!
Setelah memutar otak beberapa
lama, tiba-tiba Wiro keluarkan bentakan keras. Meskipun dua lawan berpengalaman
itu tidak terpengaruh oleh bentakan itu, Wiro teruskan apa yang
direncanakannya. Secepat kilat dia jatuhkan diri di pinggiran bukit batu.
Bersamaan dengan jatuhnya tubuhnya kebawah, Wiro menelikung kedua kaki Suro
Markum dengan tangan kiri sedang kakinya menjepit salah satu kaki Tapak Jingga.
Dua orang itu terkejut ketika
tubuh mereka tertarik ke pinggiran bukit batu. Selagi mereka berusaha melepaskan
diri. Wiro sudah lebih dulu menotok tubuh Suro Markum hingga orang tua ini
jatuh tak berkutik dalam kempitan tangan kirinya. Sebagian tubuh Suro Markum
berada diatas batu, sebagiannya lagi yaitu sebatas pinggang ke atas tergantung
diatas teluk! Tentu saja orang tua ini ketakutan setengah mati kalau dirinya
dalam keadaan tertotok kaku itu sempat jatuh ke arah batu-batu karang dibawah
sana!
Tapak Jingga berhasil lepaskan
dirinya dari jepitan kaki Wiro dan siap menghujamkan satu tendangan ke arah
bawah perut pendekar itu. Namun orang ini batalkan serangannya. Meskipun dia
sempat menciderai Wiro, belum tentu dia bisa menyelamatkan kawannya. Sekali
tubuh Wiro mencelat dihantam tendangannya, maka Suro Markum yang ada dalam
jepitan tangan kiri Wiro akan ikut mencelat jatuh ke bawah teluk!
Melihat lawan ragu, kesempatan
ini dipergunakan oleh Wiro untuk balikkan tubuh lalu berdiri dengan cepat.
Ketika berdiri, tubuh kaku Suro Markum sudah berada di bahu kanannya!
“Tapak Jingga! Sedikit saja
kau bergerak hendak menyerangku, kulempar tubuh kawanmu ini ke batu-batu karang
dibawah teluk!”
“Manusia licik” maki Tapak
Jingga.
Wiro” tertawa lebar.
“Sekali-kali perlu kelicikan. dalam hidup ini! Apa kau dan kawanmu tidak merasa
licik? Sebagai tokoh silat istana mengeroyok seorang lawan?!”
Tapak Jingga tidak menjawab.
Hanya mukanya saja yang jadi merah dalam kegelapan.
Pendekar 212 perlahan-lahan
turunkan tubuh kaku dan bisu Suro Markum. Bagitu kedua kaki Suro menginjak
tanah, Wiro lepaskan totokan ditubuh orang tua itu lalu mendorongnya kuat-kuat
ke arah kawannya. Tapak Jingga cepat menahan tubuh Suro Markum. “Kau tak
apa-apa Suro…?”
“Aku tidak cidera. Siapa
sebenarnya pemuda itu? Ilmu silatnya aneh.
Kalau dia mau tadi dia bisa
melemparkanku ke jurang batu di bawah teluk…” kata Suro Markum pula.
“Aku berniat menyerangnya
lagi. Kita belum mencoba jurus-jurus ilmu silat selusin tangan besi…” menyahuti
Tapak Jingga.
“Aku tak punya selera lagi
meneruskan perkelahian ini Tapak Jingga, lagi pula aku punya firasat, kita berdua
belum tentu mampu mengalahkan pemuda gondrong itu…”
“Kalau begitu sebaiknya kita
tinggalkan bukit Karang Gontor ini! Aku tidak mau pemuda sableng itu mengejek
dan mempermainkan kita seperti tadi!”
Tapak Jingga memberi isyarat
pada kawannya. Tapi Suro Markum tetap berdiri di tempatnya bahkan menegur
Pendekar 212.
“Anak muda, siapa kau
sebenarnya? Tadi kau menyebut sebagai orang segolongan dengan kami. Apa
maksudmu…?”
“Bukankah kalian tengah
menyelidiki perkara malapetaka kematian begitu banyak penduduk yang terjadi
akhir-akhir ini…?”
Tapak Jingga dan Suro Markum
sama mengiyakan.
“Nah akupun melakukan hal yang
sama. Penyelidikanku memberi kenyataan bahwa semua korban yang mati biru itu
bukan karena dicekik atau disedot dedemit. Tapi semua mati keracunan!”
“Keracunan?!” mengulang Suro
Markum.
“Ada orang yang sengaja
meracun. Entah makanan atau minuman mereka. Karena Dedemit Karang Gontor
disebut-sebut dan dikaitkan dengan peristiwa ini maka aku menyelidik sampai
disini. Ternyata aku tidak menemukan apa-apa. Kecuali kalian berdua yang
mula-mula sempat kusangka kaki tangan dedemit itu!”
“Jika rakyat yang mati memang
adalah korban keracunan seperti katamu, ini adalah satu hal aneh luar biasa!”
ujar Suro Markum. “Pertama, siapa yang mau-mauan, begitu tega meracuni rakyat?
Kedua apa maksud mereka…melakukan peracunan…?”
“Kutambahkan satu pertanyaan
lagi!” menyambung Wiro. “Di Kotaraja dan di Keraton begitu banyak ahli
pengobatan. Mengapa tak satu orangpun mengetahui dan mengatakan bahwa korban
adalah akibat keracunan, bukan dibunuh oleh dedemit!”
Mendengar kata-kata Wiro itu
Suro Markum dan Tapak Jingga jadi saling pandang.
“Pemuda ini benar, Tapak
Jingga. Ada yang tidak beres di Kotaraja. Kita harus cepat kembali…” bisik Suro
Markum pada kawannya. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Anak muda, malam ini kami
yang tua mendapat pelajaran berguna darimu. Kami tidak akan melupakan hal ini.
Kami berharap dapat berjumpa denganmu di lain kesempatan…”
“Kalau boleh aku bertanya,
untuk siapakah kau bekerja melakukan penyelidikan?” tanya Tapak Jingga.
“Untuk orang-orang yang jadi
korban itu. Untuk kebenaran…!” jawab Wiro lalu memutar diri dan tinggalkan
kedua erang tua itu lebih dahulu.
7
HUJAN GERIMIS TURUN bersamaan
dengan lenyapnya rembulan dibalik awan tebal. Udara dingin mencucuk tulang dan
kesunyian mencengkam desa Tanggul Rejo yang terletak jauh di tenggara Kotaraja.
Bersamaan dengan bertiupnya
angin malam, dari kelokan jalan muncul dua penunggang kuda. Keduanya mengenakan
pakaian hitam dan wajah masing-masing ditutup dengan cadar sebatas mata.
Anehnya dua orang ini sengaja menunggang kuda dengan langkah sangat perlahan
sehingga derap delapan kaki kuda tunggangan itu hampir tidak terdengar. Sambil
bergerak keduanya memandang kekiri dan ke kanan, memperhatikan setiap bidang
tanah yang mereka lewati, meneliti rumah-rumah penduduk yang terletak saling
berjauhan.
“Kau lihat tambak ikan di
sebelah sana…,” penunggang kuda disebelah kanan berbisik pada kawannya.
“Ah, matamu tajam sekali
kawan. Itu sasaran paling empuk yang kita temui malam ini. Kau atau aku…?”
“Jika kau mau silahkan saja…”
Mendengar ucapan kawannya itu
penunggang kuda disebelah kanan segera turun dari kudanya. “Tunggu aku di
tempat gelap sana. Awasi keadaan sekitar sini. Jika ada bahaya lekas beri
tanda…” kata orang itu begitu turun dari kuda. Lalu dia melangkah
mengendap-endap ke arah sebuah tambak ikan. Dikejauhan kelihatan sebuah rumah
berada dalam keadaan gelap. Begitu sampai di-tepi, tambak ikan, orang ini
memandang dulu berkeliling. Ketika dirasakannya aman, cepat-cepat dia
mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kulit kerbau yang ujungnya
diikat kencang dengan seutas tali. Dengan cepat dibukanya tali ini lalu dari
dalam kantong yang kini terbuka ditebarkannya sejenis bubuk berwarna putih
kelabu ke dalam tambak. Setelah itu kantong kulit diikatnya kuat-kuat lalu
dengan cepat dia kembali menemui kawannya.
“Selesai…? bertanya kawan yang
menunggu.
“Beres!” jawabnya seraya
melompat naik ke atas punggung kuda. Dari situ kedua orang bercadar hitam itu
melanjutkan perjalanan memasuki desa Tanggul Rejo lebih ke dalam. ‘Seperti
tadi, keduanya tak mau memacu kuda tunggangan, melainkan bergerak perlahan”
“Sebentar lagi sudah lewat
tengah malam…” ‘Penunggang kuda di sebelah kiri berkata. “Menurut
penyelidikanku ada sekitar empat puluh rumah di desa ini. Berarti ada empat
puluh sumur yang harus kita kerjakan. Menurutmu apa kita punya waktu
melakukannya…?”
“Sesuai petunjuk, tak perlu
semua sumur kita kerjakan. Jika dapat separuhnya saja itu sudah cukup…Nah,
lihat. Di depan sana ada rumah. Kulihat sebuah sumur di sebelah belakang.
Giliranmu turun tangan, kawan…Aku akan mendatangi rumah di sebelah sana. Lekas
bergabung jika pekerjaanmu selesai…”
Dua penunggang kuda berpisah.
Satu jalan terus, lainnya membelok ke kanan, memasuki pekarangan besar sebuah
rumah, langsung menuju ke halaman belakang dimana terdapat sebuah sumur.
Di tepi sumur, tanpa turun
dari kudanya orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya.
Lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong dituangkannya sedikit ke dalam
sumur! Sehabis memasukkan bubuk itu ke dalam sumur, dia cepat-cepat mengikat
kantong kulit, simpan kembali kantong itu dibalik pakaiannya lalu bergerak
memutar kudanya. Pada saat itulah terdengar suara anjing menggonggong.
Mula-mula hanya seekor saja, namun sesaat kemudian ada setengah lusin anjing
yang berlompatan dari tempat gelap. Keenam anjing itu mengerubungi kuda sambil
terus menyalak.
“Celaka!” keluh si penunggang
kuda. Dia cepat menyentakkan tali kekang kuda tungganggannya. Binatang ini
meringkik keras. Hampir bersamaan dengan ringkikan itu, dari arah rumah
terdengar suara membentak: “Siapa diluar?!” Lalu terdengar suara pintu terbuka.
Menyusul suara tongtong yang dipukul terus menerus. Suara tongtongan dari arah
rumah itu dalam waktu cepat mendapat sambutan dari berbagai jurusan.
Si penunggang kuda menjadi
panik. Dia memacu kudanya sekencangkencangnya tetapi enam ekor anjing tadi
ternyata ikut mengejar. Hatinya tercekat ketika di depan sana dilihatnya ada
serombongan orang. Tangan kiri memegang obor, tangan kanan. membawa berbagai
macam senjata!
Melihat hal ini penunggang
kuda itu cepat memutar kudanya ke arah dari mana dia datang sebelumnya. Namun
dari arah itupun bermunculan banyak sekali orang yang membawa obor serta
senjata! Dari kedua ujung jalan dua rombongan orang itu mendatangi dengan cepat
seraya berteriak-teriak.
‘Tangkap! Bunuh penebar
racun!”
“Cincang sampai lumat!”
“Gantung kaki ke atas kepala
ke bawah!”
Jantung si penunggang kuda
bercadar serasa copot. Terlebih lagi ketika dilihatnya dari bagian gelap di
kiri kanan jalan bermunculan pula orang-orang yang membawa obor dan senjata.
Menyadari dirinya terkurung di-tengah-tengah dan terancam bahaya maut
mengerikan orang itu menjadi nekad. Dia menggebrak kudanya berusaha menerobos
kepungan orang di sebelah selatan jalan. Dua orang pengurung terjengkang
dihantam kaki kuda. Tapi penunggangnya sendiri tak berhasil lolos. Seseorang
sempat menarik kakinya hingga tubuhnya terlontar dan jatuh terbanting ke
jalanan.
“Cincang!”
“Bunuh!”
Sebatang golok menyambar
membabat dada. Sebatang tombak menyorong ke depan. Traang!
Golok yang seharusnya membacok
kepala itu tertahan oleh batang tombak. Bersamaan dengan itu ada orang yang
berteriak. “Tunggu!”
Ternyata dia adalah Kepala
Desa Tanggul Rejo. Kepala Desa ini pula yang tadi menangkis bacokan golok.
Orang banyak mengeluarkan suara kemarahan dan kutuk serapah ditujukan pada
Kepala Desa itu.
Kepala Desa cepat menguasai
keadaan dengan berteriak: “Membunuh keparat penyebar racun ini mudah saja! Aku
ingin cepat-cepat menggorok lehernya mencincang kepalanya! Tapi dengar! Kita
harus menyelidik! Dia harus dipaksa memberi keterangan mengapa dia menebarkan
racun di desa kita! Siapa yang menyuruh!”
Mendengar kata-kata Kepala
Desa itu, orang banyak mengendur sedikit kemarahan mereka. Namun seseorang
masih sempat membetot Tepas kain hitam yang menutupi wajah lelaki yang terbujur
di tanah setengah bergelung. Tak satu orangpun mengenali tampang manusia itu.
Berarti dia bukan penduduk desa Tanggul Rejo.
Selagi orang desa menahan
amarah dan selagi Kepala Desa berbicara, orang yang terguling di jalanan itu
tidak sia-siakan kesempatan. Mati disadarinya memang sudah jadi bagiannya. Tapi
dia tidak mau mati dicincang dan ditembus puluhan senjata. Maka dengan cepat
dia keluarkan kantong kulit yang ada di balik pinggangnya.
Lalu cepat sekali dia
menuangkan bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong kedalam mulutnya yang
dibuka lebar-lebar. Kejadian itu berlangsung cepat sekali, tidak terduga oleh
semua orang yang ada di tempat itu.
Tidak perlu menunggu lama.
Orang ini mulai melejang-lejang. Mukanya menjadi biru sampai ke bibir. Sepasang
mata membeliak. Dari tenggorokannya ada suara menggeru lalu menyembur busah dan
air berwarna hitam pekat.
“Kurang ajar! Bangsat itu
menenggak racun yang dibawanya sendiri!” teriak seseorang.
“Dia bunuh diri!”
“Kita terlambat!” teriak
kepala desa lalu dengan marah ditendangnya kepala orang itu. Apa yang terjadi
kemudian sungguh mengerikan. Puluhan macam senjata berkelebat menusuk dan
menghunjam di sekujur tubuh orang itu. Mukanya tak bisa dikenali lagi!
“Aku yakin bangsat itu tidak
datang sendirian!” seorang lelaki yang hanya mengenakan celana pendek hitam
berkata. Dia menurunkan obornya kesalah satu bagian jalanan. Yang jauh dari
kerumunan orang banyak. “Lihat!” katanya.
“Ditanah ada jejak-jejak lebih
dari seekor kuda. Paling tidak ada dua kuda yang lewat disini!”
“Kalau begitu kita harus
menyebar lalu memeriksa setiap pelosok desa!” kata Kepala Desa pula
“Aku setuju!” seseorang
menyahuti.
“jika bangsat satu itu ketemu,
tak perlu diberi waktu untuk bertanya segala. Gorok lehernya! Cincang kepala
dan tubuhnya! Habis perkara!” seorang penduduk desa menimpali.
8
DI MALAM YANG SAMA, di desa
Lebak Wangi yang terletak disebelah barat Kotaraja, seorang penunggang kuda
sejak tadi mendekam dibalik lumbung padi yang terletak di pekarangan belakang
sebuah rumah besar milik seorang hartawan yang puteranya menjadi salah seorang
Kepala Pasukan di Keraton Barat.
Di halaman belakang itu,
seorang lelaki tua tampak tengah merapikan susunan kayu api. Orang yang
mendekam dibalik lumbung padi sudah tidak sabaran. Matanya pulang balik
memperhatikan si orang tua dan sumur yang terletak hanya sepuluh tombak saja di
sebelah kiri lumbung padi. Tapi karena sumur itu berada di halaman terbuka,
jika dia mendekati mustahil orang tua itu tak akan melihatnya.
“Orang tua celaka itu ada-ada
saja yang dikerjakan!” memaki si penunggang kuda. “Apa perlu kubereskan saja
dia lebih dulu…”
Walaupun sudah punya pikiran
seperti itu, nyatanya orang dibalik lumbung memutuskan untuk menunggu saja
sampai orang tua di sebelah sana selesai dengan pekerjaanya. “Kalau kayu api
itu sudah disusunnya dengan rapi, pasti dia akan masuk ke dalam rumah. “Begitu
orang dibalik lumbung berpikir.
Tetapi, setelah selesai
merapikan kayu api, orang tua tadi kini malah mengambil sebuah sapu lidi besar
dan mulai menyapu.
“Sialan!” runtuk orang dibalik
lumbung… Dia raba golok di pinggang kirinya. Lalu bergerak keluar dari balik
lumbung.
Orang tua yang tengah menyapu
halaman angkat kepalanya dan berpaling ketika mendengar ada suara telapak kaki
kuda mendatangi.
Disangkanya putera majikannya
yang. datang.
“Raden…Kaukah itu…?” tegurnya.
Namun begitu penunggang kuda
tersebut sampai di hadapannya terkejutlah orang tua itu. Si penunggang kuda
ternyata seorang berpakaian serba hitam yang wajahnya ditutup dengan kain
berwarna hitam pula!
“Rampok!” desis orang tua itu.
Sapu di tangannya dilemparkan. Dia memutar tubuh untuk lari seraya berteriak.
Namun dia hanya sempat memutar tubuhnya sedikit saja dan sebelum mulutnya bisa
berteriak, sebilah golok telah berkelebat dalam kegelapan malam. Orang tua yang
malang itu terhuyung nanar sambil menggapai-gapai ke udara. Pangkal lehernya
hampir putus. Darah mengucur. Dia berusaha keras untuk berteriak, tapi hanya
lidahnya yang terjulur. Setelah itu tubuhnya terhempas jatuh ke tanah!
Orang berkuda sarungkan
kembali golok berdarah, lalu bergerak mendekati sumur. Di tepi sumur dia
mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat sepanjang satu setengah jengkal yang
ternyata adalah sebatang bambu kecil. Dengan cepat dibukanya sumbat kain di
salah satu ujung bambu lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam bambu itu
dipercikkan-nya ke dalam sumur. Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba dari
dalam sumur melesat keluar dua buah tangan yang langung mencekal pergelangan
tangan si penunggang kuda. Penunggang kuda itu berteriak saking kagetnya.
Lalu terdengar suara kraaakk!
Untuk kedua kalinya orang di
atas kuda berteriak. Kali ini karena tulang lengangnya telah dipatahkan oleh
dua tangan yang mencuat keluar dari dalam sumur. Tabung bambu berisi bubuk
racun yang dipegangnya terlepas dan jatuh di pinggir sumur. Tubuhnya sendiri
terbetot jatuh dari atas punggung kuda.
Ketika dia berusaha bangkit
berdiri di hadapannya berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih.
“Kurang ajar! Bangsat ini
rupanya! Bagaimana dia bisa mendekam sembunyi didalam sumur itu!” me-runtuk
orang yang patah tangannya. Tadi dia menyangka yang keluar dari dalam sumur itu
adalah sebangsa setan atau hantu malam!
“Ha…ha! Matamu yang juling
cukup kukenali! Tapi aku perlu melihat tampangmu!”
Sekali tangannya bergerak,
orang berpakaian putih berhasil menjambret lepas kain hitam penutup wajah
lelaki di hadapannya.
“Ki Dukun Japara! Benar kau
rupanya!”
“Pemuda sableng! Kau ikut
campur terlalu jauh! Nyawamu atau jiwaku!”
Si pakaian hitam yang ternyata
adalah Ki Dukun Japara, pergunakan tangan kirinya untuk mencabut golok. Namun
sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, satu totokan membuat tubuhnya menjadi
kaku dan mulutnya menjadi bisu.
“Dukun bejat penebar racun!
Sekarang kau ikut aku ke Kotaraja! Disitu nanti kau harus bicara banyak sebelum
Sri Baginda memerintah memisahkan kepala dan tubuhmu!”
Ki Dukun Japara yang berada
dalam keadaan kaku dan gagu hanya bisa memaki dalam hati. Orang berpakaian
putih yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng memungut tabung bambu yang
tercampak di tanah dan menyumpalkan penutupnya. Tabung berisi racun itu
disisipkannya di pinggang kiri. Lalu Wiro memanggui tubuh Ki Dukun Japara dan
meletakkannya diatas punggung kuda. Saat itulah melesat sebuah benda dalam
kegelapan. Wiro rundukkan kepala. Benda yang melesat lewat seujung kuku dari pipi
kanannya lalu menancap tepat di punggung kanan Ki Dukun Japara yang menggeletak
melintang di atas kuda! Benda itu ternyata adalah sebatang panah!.
“Pembokong keparat!” maki
Wiro. Dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dahsyat ke jurusan
dari mana datangnya panah itu.
Beberapa pohon kecil dan semak
belukar rambas namun si pembokong telah lebih dahulu melarikan diri. Di
kejauhan terdengar suara derap kaki kudanya menjauh.
Wiro segera memeriksa keadaan.
Ki Dukun Japara dan jadi terkejut ketika melihat wajah orang tua itu berubah
kebiruan. Dirobeknya punggung pakaian Ki Dukun. Kulit punggung itupun tampak
membiru!
“Panah beracun!” kertak Wiro.
Dia menotok lagi beberapa bagian tubuh Ki Dukun Japara. Lalu perlahan-lahan
anak panah yang menancap di punggung orang tua itu dicabutnya. Ketika
diperhatikannya ujung runcing panah, tampak bagian itu juga berwarna biru
kehitaman.
“Aneh, siapa yang menginginkan
nyawa dukun keparat ini?” pikir
Pendekar 212 sambil
garuk-garuk kepala. “Dia ternyata menjadi penyebar racun. Pasti cuma kaki
tangan atau pelaku biasa saja. Lalu yang jadi biang kerok mengotaki semua
kegilaan ini…?! Di Kotaraja semua akan tersingkap. Aku harus membawa dukun
sialan ini kesana secepatnya!”
Baru saja Wiro hendak naik ke
atas kuda dimana tubuh Ki Dukun Japara menggeletak tiba-tiba dua penunggang
kuda muncul di tempat itu. Yang pertama seorang pemuda berseragam Perwira Muda
Kerajaan, satunya lagi seorang dara berpakaian jingga yang rambutnya dikuncir
dan pada punggungnya tersembul gagang sebilah pedang.
“Hai! Siapa kau?! Apa yang
terjadi disini?!” bertanya Perwira Muda itu dengan suara membentak sedang sang
dara memandang dengan mata penuh selidik pada murid Sinto Gendeng yang tertegak
sambil pegangi anak panah.
9
DARA DI ATAS KUDA tiba-tiba
berseru kaget ketika melihat dan mengenali sosok tubuh yang menggeletak di
halaman belakang. “Astaga! Itu si kakek Samino! Apa yang terjadi dengan
dirinya?!” Sang dara melompat dari atas kuda, langsung berlari ke arah mayat
orang tua yang terbujur di tanah. Lalu terdengar teriaknya “Kakak Primadi!
Pembantu kita ini sudah mati! Ada luka besar dipangkal lehernya!”
Pemuda yang mengenakan seragam
Perwira Muda Kerajaan itu jadi terkejut lalu melompat turun dari punggung
kudanya.
“Jelas dia dibunuh!” desis
Perwira Muda bernama Primadi itu.
Sreett!
Gadis berpakaian jingga hunus
pedangnya. Meskipun halaman belakang itu agak gelap namun sinar pedang yang
berwarna kebiruan jelas terlihat tanda pedang itu adalah sebilah senjata
mustika. Dan demikian cepatnya gerakan si gadis, tahu-tahu ujung pedang sudah
menempel di perut Pendekar 212!
“Ah…Urusan ini jadi kapiran!”
keluh murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Aku tidak membunuhnya!” kata
Wiro pula.
“Kami tidak bertanya! Tapi
hanya ada satu orang disini! Kau!” bentak sang dara.
“Itu satu lagi yang
menggeletak di atas kuda! Pingsan ditancap panah beracun!” Wiro menuding ke
arah tubuh Ki Dukun Japara yang menggeletak diatas kuda dalam keadaan tertotok
dan luka di punggungnya.
“Ditancap panah katamu! Tapi
mengapa anak panah itu ada ditanganmu, bukan menancap di tubuhnya?!” bertanya
si Perwira Muda.
“Aku barusan mencabut anak
panah itu dari punggungnya! Panah itu beracun!”
“Bagaimana kau tahu panah itu
beracun?!” tanya sang dara baju jingga.
Nada suaranya terus saja keras
dan galak.
“Kalian lihat saja punggung
dan mukanya. Biru kehitaman!” jawab Wiro pula.
Sepasang muda mudi yang
ternyata adalah kakak beradik itu saling pandang seketika. Lalu sang dara
berkata pada kakaknya “Aku curiga…Janganjangan manusia satu ini salah seorang
penyebar racun maut itu!”
“Aku juga berpikir begitu,”
sahut kakak si gadis. “Dan pasti dia pula yang membunuh pembantu kita itu!”
“Walah! Kalau menuduh jangan
keliwatan!” ujar Wiro mulai jengkel tapi diam-diam juga merasa kawatir. Ujung
pedang yang diacungkan gadis berbaju jingga itu menempel ketat di perutnya.
Membuat Wiro merasa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu.
“Orang tua itu dibunuh oleh
orang yang ada di atas kuda.” Wiro coba menerangkan.
“Kami tidak melihat, jadi tidak
bisa mempercayai ucapanmu!” kata Primadi.
“Kakak sebaiknya cepat kau
geledah dia!” ujar si adik. Lalu pada Wiro dia mengancam. “Jika kau berani
bergerak, kutembus perutmu dengan pedang ini!”
Dibawah ancaman pedang
Pendekar 212 terpaksa biarkan dirinya digeledah oleh Perwira Muda itu. Dan
celakanya yang pertama sekali ditemukan oleh sang perwira adalah tabung bambu
berisi racun milik Ki Dukun Japara yang diselipkan Wiro di balik pinggangnya!
Perwira itu mengamati tabung
yang disumpal dengan kain sebagai tutupnya, berpaling sesaat pada adiknya lalu
membuka kain penyumpal. Ketika penutup tabung bambu terbuka, bau yang tajam
membersit ke luar. Si Perwira yang sudah tak asing lagi dengan bau seperti itu
segera tunggingkan bagian mulut tabung. Sejumlah bubuk.putih kelabu berjatuhan
ke tanah.
“Racun merang putih!” seru
perwira itu begitu dia mengenali bubuk yang keluar dari tabung. Rupanya dia
seorang yang ahli dalam segala macam racun.
“Apa kataku!” teriak dara adik
sang perwira. “Aku sudah curiga! Dia pasti adalah manusia jahanam penyebar
racun! Kini terbukti!”
“Racun dalam tabung itu bukan
milikku. Benda itu dibawa oleh orang yang kini menggeletak di atas kuda sana.
Dia yang membunuh pembantu kalian. Lalu ketika dia hendak menuangkan bubuk
racun ke dalam sumur dimana saat itu aku bersembunyi, kupatahkan tangannya.
Tubuhnya lalu kutotok…”
‘Kau bersembunyi di dalam
sumur? Ha…ha…ha! Sungguh gila dan tolol sekali ucapanmu! Mana ada orang bisa
bersembunyi didalam sumur, apalagi sumur itu airnya dalam. Paling tidak dua
kali tinggi manusia!” ujar dara berbaju jingga.
“Memang hanya orang tolol yang
mau mati bersembunyi dalam sumur sedalam itu. Tapi aku tidak tolol! Lihat
sendiri apa yang aku palangkan di dalam sumur!”
Mendengar ucapan Wiro itu,
Primadi si perwira melangkah ke dekat sumur lalu menjenguk ke dalam. Meskipun
bagian dalam sumur cukup gelap, namun matanya yang sudah terlatih masih dapat
melihat sebuah batang pohon melintang di pertengahan sumur. Karena makin
kebawah sumur itu semakin menyempit, maka batang pohon itu dapat melintang
dengan kokoh walau dibebani tubuh manusia.
“Aneh! Bukan pekerjaan mudah
menempatkan batang pohon seperti itu dalam sumur…Siapa sebenarnya pemuda
berambut gondrong itu?!” Primadi melangkah mendekati Wiro kembali. Adiknya yang
bertanya tidak diacuhkannya. Dia kembali menggeledah Wiro dan kali ini
ditemukannya Kapak Maut Naga Geni 212 di belakang pinggang sang pendekar!
Sesaat sang perwira dan adiknya terkesiap melihat sinar yang keluar dari mata
kapak. Bukan saja membuat mereka merasa angker tapi sinar kapak mustika itu
ternyata membuat redup sinar biru yang memancar dari pedang di tangan sang
dara!
Primadi memperhatikan senjata
di tangannya itu dengan mata tak berkesip. Dia antara mendengar dan tidak
kata-kata yang diucapkan Wiro.
“Perwira Muda, kalau senjata
itu kau rampas, aku bersumpah membunuh kau dan adikmu!”
Si perwira sesaat masih
memandang lekat-lekat pada senjata ditangannya lalu berpaling pada Wiro. “Aku
pernah mendengar riwayat besar dari senjata ini.
Kau…kau Pendekar 212…?!” Suara
sang perwira bergetar dan tangannya yang memegang senjata mustika itu mendadak
terasa seperti kesemutan…
Wiro mengangguk perlahan.
Perwira itu cepat-cepat kembalikan Kapak Naga Geni 212 lalu menoleh pada
adiknya. “Sarungkan pedangmu. Mari kita menghatur maaf pada Pendekar 212 yang
punya nama besar di seantero tanah Jawa ini…”
“Pendekar 212…?” mengulang
sang adik. “Jadi dia…pendekar sableng yang terkenal itu…?”
Wiro tertawa lepas dan cepat
menyambuti kapak yang dikembalikan padanya.
“Untung kalian lekas mengenali
si manusia jelek ini! Kalau tidak urusan bisa bertele-tele!”
“Pendekar 212, aku Primadi dan
adikku Primarani mohon maafmu. Tadi kami sungguh-sungguh tidak tahu berhadapan
dengan siapa. Empat tahun yang silam bukankah kau pernah menyelamatkan Kerajaan
dari tangan kaum pemberontak. Aku tidak melupakan hal itu. Waktu itu aku masih
sebagai kepala penjaga pintu gerbang selatan Kotaraja…”
Wiro kembali tertawa sambil
menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan yang juga memegang anak panah
yang sebelumnya dicabutnya dari punggung Ki Dukun Japara.
“Eh, itu anak panah yang
katamu menancap di punggung orang itu?” bertanya Primadi
Wiro mengangguk.
“Boleh kulihat…?
Wiro berikan anak panah yang
dipegangnya pada Primadi. Perwira muda ini memeriksanya dengan teliti. Lalu dia
berpaling pada adiknya dengan paras berubah. Wiro melihat perubahan paras ini
langsung bertanya.
“Perwira, kau mengenali anak
panah ini?”
Mula-mula perwira itu tak mau
menjawab. Namun setelah adiknya membisikkan sesuatu maka diapun berkata: “Ini
adalah anak panah yang biasa dipergunakan oleh Sri Baginda di Kerajaan Timur
terutama pada saat berburu.
Dan beliau dikenal sebagai
ahli panah nomor satu. Aku tahu betul. Ketika hubungan antara Kerajaan Barat
dan Timur masih baik, aku sering ikut mengawal Sri Baginda Kerajaan Timur pergi
berburu! Karena itu aku mengenali sekali anak panah ini. Lihat, cetakan tiga
buah bintang pada besi bagian belakang kepala anak panah. Ini adalah lambang
Kerajaan Timur!”
“Lalu jika anak panah yang
sama seperti ini yang dipergunakan untukmembunuh manusia penebar racun disana
itu, apa kira-kira yang ada dibenakmu Perwira Muda…?” tanya Pendekar 212.
“Aku tak berani menjawab!”
Sahut Primadi.
Justru adiknya Primarani yang
membuka mulut: ‘Tidak masuk akal kalau Raja di Timur ada sangkut paut dalam
peristiwa ini. Tapi…” Sang dara tidak teruskan ucapannya.
“Bukankah antara Sri Baginda
di Timur dengan kakaknya di Barat tengah terjadi silang sengketa?” ujar
Pendekar 212.
“Betul, tapi tetap aku tidak
bisa percaya bahwa Raja di Timur bertindak sejauh ini!”
“Setiap manusia bisa silat.
Mungkin karena harta atau pangkat, atau perempuan. Mungkin pula karena tahta
dan kekuasaan…”
“Pendekar 212, jika kau memang
tengah menyelidiki masalah besar menyangkut kematian, ratusan rakyat karena
diracun ini, mari kita bekerjasama. Aku memang ditugaskan untuk melakukan
penyelidikan bersama adikku…” Primadi memotong ucapan Wiro.
“Begitu…? Siapa yang
menugaskanmu? Sri Baginda Kerajaan Barat…?
Perwira Muda itu menggeleng.
“Mapatih Singaranu…,” jawabnya.
Wiro memandang pada Ki Dukun
Japara yang ada di atas punggung kuda.
“Manusia itu mungkin bisa
memberi keterangan. Bagaimana kalau kita bawa dia sekarang juga ke Kotaraja dan
dihadapkan pada Sri Baginda?”
“Sri Baginda tak ada di
Keraton. Saat ini beliau telah berangkat memimpin ratusan pasukan untuk
menyerbu Kerajaan Timur. Aku diperintahkan untuk menghubungi pusat pasukan di
selatan. Sebelum menuju kesana aku mampir dulu disini.”
“Kerajaan Barat menyerbu Kerajaan
Timur? Berarti perang saudara segera pecah!” ujar Wiro.
“Kita tidak bisa menyalahkan
Raja di Barat,” ikut bicara Primarani. “Raja di Barat sudah cukup memberikan
kekuasaan dan kepercayaan pada adiknya di Timur. Sang adik ternyata menjadi
serakah, ingin menjadi Raja besar di seluruh Kerajaan. Menyebar fitnah serta
memutar balikkan kenyataan dan malah diduga keras sebagai melakukan pengacauan
di Barat dengan menebar racun pembunuh melalui kaki tangannya. Kini dengan
ditemuinya anak panah ini terbukti bahwa dia memang yang jadi dalang kekacauan
belakangan ini. Ratusan rakyat yang tidak berdosa menemui kematian akibat
keganasannya menebar racun maut! Aku ingin sekali menghajar kaki tangannya yang
menggeletak diatas kuda itu!”
“Kau harus bersabar dulu, saudari,!
kata Wiro pula. “Kita harus mengorek keterangan dan bukti-bukti dari dia. Dan
itu harus dilakukan di hadapan Raja. Paling tidak diketahui oleh Mapatih
Kerajaan!”
“Pendekar 212 betul! Kita
harus segera membawa orang itu ke Kotaraja! Kita pergi bersama-sama!”
“Kau punya tugas menghubungi
pasukan di selatan” mengingatkan Primarani.
“Aku punya firasat bahwa ke
Kotaraja lebih penting dari pada ke selatan. Kita berangkat sekarang juga!”
10
SEBELUM MATAHARI TERBIT Wiro,
Primadi dan Primarani yang membawa Ki Dukun Japara dalam keadaan masih kaku dan
gagu karena ditotok Pendekar 212 memasuki Kotaraja. Mereka langsung menuju
Keraton menemui Patih Raden Mas Singaranu. bisu di atas punggung kuda memasuki
Kotaraja Kerajaan Barat.
Keraton nampak sepi, hanya tiga
orang pengawal kelihatan di pintu depan. Ketiga orang itu diantar masuk ke
dalam sebuah ruangan tertutup. Wiro yang memanggul tubuh Ki Dukun Japara
mendudukkan si mata juling ini diatas sebuah kursi besar hingga dia tak beda
dengan sebuah patung, tidak bergerak dan tidak berkesip.
Tak lama kemudian Patih
Singaranu memasuki ruangan. Dia memandang pada kedua kakak beradik itu sesaat,
melirik pada Pendekar 212 lalu berpaling ke arah sosok orang yang duduk di
kursi besar. Sesaat patih lanjut usia itu menatap wajah Ki Dukun Japara lalu
berpaling pada Perwira Muda disampingnya.
“Perwira Primadi, bukankah kau
mendapat tugas menghimpun pasukan di selatan dan membawanya ke timur?” menegur
Patih Singaranu.
“Betul sekali Mapatih. Namun
ada sesuatu yang lebih penting…” sahut Perwira Muda itu.
“Tunggu dulu! Siapa orang yang
kau dudukkan di atas kursi sana? Keadaannya seperti ditotok dan tangan kanannya
kulihat seperti patah. Lalu…”
sang patih memandang pada
Pendekar 212, “Siapa pula pemuda ini? Aku rasarasa pernah melihatnya
sebelumnya. Atau mungkin aku salah…”
“Tidak Mapatih. Kau tidak
salah. Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari Gunung Gede. Dialah yang empat tahun
lalu ikut menyelamatkan Kerajaan dari kaum pemberontak.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng!
Aku tidak pernah melupakan nama yang berjasa besar itu! Benar-benar tidak
diduga, dalam Kerajaan seperti ini kau muncul seperti membawa bakti baru
menyelamatkan Kerjaan untuk kedua kalinya!” Patih Singaranu melangkah kehadapan
Wiro dan memegang bahu Pendekar 212 dengan kedua tangannya.
“Sekarang terangkan siapa
adanya orang berwajah biru yang duduk di kursi itu!”
“Namanya Ki Dukun Japara,”
memberi tahu Primadi lalu meneruskan: “Dia tertangkap basah oleh Pendekar 212
ketika hendak memasukkan racun ke dalam sumur di rumah kediaman kami!” Perwira
itu memperlihatkan tabung bambu berisi racun pada sang patih.
“Ah! Rupanya Pendekar 212
diam-diam juga telah mengikuti apa yang tengah terjadi di Kerajaan!” ujar Patih
Singaranu. Lalu dia melangkah kehadapan orang yang duduk di kursi.
Memperlihatkannya sejenak. “Perwira! Bagaimana ini! Menurutmu dia menyebarkan
racun, tapi dia sendiri keracunan!”
Pendekar 212 lalu menerangkan
apa yang terjadi sebelumnya. Setelah mendengar itu, Patih Singaranu yang juga
merupakan seorang dedengkot persilatan segera lepaskan totokan-totokan di tubuh
Ki Dukun Japara. Begitu totokannya lepas, orang tua itu hampir saja jatuh
terjerembab. Dari mulutnya terdengar suara mengerang kesakitan karena tangannya
yang patah.
“Namamu Ki Dukun Japara?!”
Mapatih menegur. Bukannya menjawab, Ki Dukun Japara malah langsung jatuhkan
diri, berlutut memegangi kedua kaki sang patih laiu meratap: “Mohon ampunmu
‘Mapatih…Mohon ampunmu…!”
“Apa betul kau menyebarkan
racun yang telah menimbulkan kekacauan dan menyebabkan kemati-an ratusan rakyat
yang tidak berdosa…?”
“Mohon ampunmu Mapatih!
Mohon…”
Perwira Muda Primadi jadi
jengkel. Dijambaknya rambut orang tua itu lalu membentak: “Jika kau masih terus
berucap seperti itu, kupecahkan kepalamu saat ini juga! Jawab pertanyaan Patih
Kerajaan! Kau menebarkan racun dimanamana! Kau pasti salah seorang
pentolannya.”
“Memang…memang aku melakukan
itu. Tapi…tapi aku hanya orang suruhan saja…” membuka mulut Ki Dukun Japara.
“Siapa yang menyuruhmu?!”
tanya Patih Kerajaan.
“Aku…aku…tidak tahu jelas…”
“Jangan coba berdusta Ki
Dukun!” yang bicara adalah Wiro. “Racun panah itu masih bekerja dalam tubuhmu.
Jika kau mau mengaku akan kami beri obat penawar. Kalau tidak nyawamu tidak
akan tertolong. Kau hanya bisa bernafas sampai tengah hari nanti! Dan sebelum
mati kau akan sangat menderita!”
Tubuh Ki Dukun Japara
menggigil. Dalam keadaan terduduk di lantai dia berkata: “Aku…aku tidak
berdusta. Aku tidak tahu orang itu. Kami hanya bertemu tiga kali pada malam
hari. Dia menutupi wajahnya dengan kain hitam…”
“Apa yang dilakukan orang itu
setiap kali kau menemuinya?!” bertanya Primadi.
“Dia menyerahkan sekantung
racun, memberiku uang lalu memberikan perintah-perintah…” jawab Ki Dukun
Japara. Lalu dia menyambung: “Aku bersumpah, aku benar-benar tidak tahu siapa
orang itu.”
“Kau pasti ingat ciri-cirinya.
Jika dia bicara denganmu kau pasti mengenali suaranya jika bertemu lagi dengan
dia…” berkata Patih Singaranu.
“Ciri-cirinya tidak jelas.
Setiap pertemuan selalu malam hari dan di tempat yang gelap. Suaranya mungkin
kukenali lagi jika bertemu…”
“Coba kau ingat-ingat. Pasti
ada sesuatu yang bisa kau ingat tentang orang itu…” Patih Singaranu mendesak
tapi dengan berpura-pura membujuk.
“Dia…dia selalu mengenakan
pakaian hitam. Wajahnya tak kelihatan karena ditutupi kain. Perawakannya
sedang-sedang saja. Dia selalu muncul menunggang kuda…” Ki Dukun Japara terdiam
sejenak. “Aku ingat…! Orang itu selalu membawa busur dan sekantong anak panah
di punggungnya…!”
Perwira Muda Kerajaan itu terkejut
dan perlahan-lahan berpaling pada adiknya. Lalu diambilnya anak panah yang
sejak tadi diselipkan adiknya pada sarung pedang dan diperlihatkannya pada
Patih Singaranu. Sang patih mengambil panah itu, menimang-nimangnya sambil
memperlihatkan. Lalu dia berpaling pada Primadi dan berkata dengan suara
tegang: “Hanya ada satu orang yang memiliki anak panah seperti ini. Gusti
Bandoro Pangeran Harjokusumo, Raja di Timur!”
“Betul Mapatih. Memang itu
yang saya ketahui…” jawab sang perwira pula dan ikut tegang.
“Jika begitu adalah tepat
sekali kalau kini Raja kita sampai menyerbu Keraton Timur. Dari situlah sumber
bencana maut beracun itu!” kertak Patih Singaranu.
“Saya akan menyusu! ke timur
bersama Primarani. Saya percaya Pendekar 212 mau bergabung bersama kami…”
“Tunggu! Jangan pergi dulu…!”
berseru Ki Dukun Japara.
“Apa maksudmu’ Minta diobati
lebih dulu?!” tanya Wiro.
Ki Dukun Japara menggeleng.
“Aku menyesal. Dihukum matipun aku pasrah! Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku
ingat sesuatu…” Ketika Patih Singaranu memegang dan menimang-nimang anak panah
beracun yang pernah menancap di punggungnya itu, Ki Dukun Japara, setiap
penunggang kuda bercadar menyerahkan bungkusan racun kepadanya, Perwira Muda
Primadi hanya bisa memaki panjang pendek sambil membanting-banting kaki.
11
DI LUAR KOTARAJA sebelum
memasuki perbatasan menuju Kerajaan Timur, Patih Raden Mas Singaranu yang
menunggang kudanya di sebelah depan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi
tanda. Seluruh rombongan serta merta berhenti. Dia memutar kudanya dan
memandang pada selusin pengawal, lalu pada sosok Ki Dukun Japara yang berada di
atas seekor kuda, tergeletak melintang tak berkutik karena sebelum berangkat
sang patih telah menotok tubuhnya sampai kaku, tak bisa bergerak. Hanya
mulutnya saja yang masih bisa membuka suara.
“Mapatih, mohon petunjukmu.
Ada apa kita berhenti?” seorang perajurit kepala ajukan pertanyaan dia selalu
memperhatikan tangan kanan orang itu. Antara ibu jari dan jari telunjuknya
terdapat sebuah tahi lalat lebar, hitam berbulu. Ketika hal itu
diberitahukannya pada orang-orang yang ada dihadapannya, Primadi dan adiknya
tampak merenung berpikir-pikir sementara Patih Singaranu sesaat memandang tak
berkesip pada Ki Dukun Japara lalu melangkah mundar mandir.
“Tak pernah kulihat ada orang
dengan tanda seperti itu. Kau tidak salah lihat…?” tanya sang Patih kemudian.
Ki Dukun Japara gelengkan
kepala.
Tiba-tiba Patih Raden Mas
Singaranu mengambil keputusan: “Perwira Muda Primadi! Ini perintah. Kau dan
adikmu serta Pendekar 212 Wiro Sableng tetap berada disini.
Keraton perlu dijaga karena
semua Perwira dan para tokoh persilatan berada di medan perang bersama Sri
Baginda. Lain dari pada itu, Keraton penuh dengan harta pusaka yang harus
dijaga baik-baik! Aku sendiri akan berangkat sekarang juga ke timur. Manusia
keparat penebar racun ini harus kubawa serta dan akan kuhadapkan pada Sri
Baginda. Dia satu-satunya saksi atas segala kejahatan yang dilakukan Raja di
Keraton Timur!”
Habis berkata begitu Patih
Singaranu berteriak memanggil pengawal.
“Siapkan kudaku. Aku butuh
selusin pengawal dan angkut orang yang duduk di kursi sana. Kita berangkat ke
timur saat ini juga!”
“Mapatih…,” ujar Perwira Muda
Primadi. Tapi patih tua itu sudah melangkah cepat meninggalkan mereka.
Hanya beberapa saat saja
setelah rombongan Patih Singaranu bergerak meninggalkan Keraton, Pendekar 212
mendekati Primadi dan berkata: “Aku bukan prajurit Kerajaan atau petugas
Keraton. Jadi perintah Mapatih tadi tidak berlaku untukku! Aku harus pergi ke
Timur!”
“Hai! Mana bisa begitu!” seru
Primadi. “Kau harus tetap berada di Keraton ini, Pendekar 212!”
Tapi Wiro tertawa lebar dan
lambaikan tangannya.
“Kakak Primadi, dia benar. Dia
orang luar yang tidak terikat segala aturan dan perintah siapapun. Sama dengan
aku. Jadi aku akan berangkat bersamanya menuju ke timur!”
Kedua mata Perwira Muda
Primadi jadi membelalang mendengar ucapan adik. perempuannya itu. “Kau berada
dibawah perintah Primarani! Kau adikku!”
“Aku memang adikmu! Tapi aku
bukan bawahanmu!” sahut Primarani lalu tertawa panjang dan berkelebat menyusul
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia keparat penyebar
racun itu!” sahut sang patih. “Merepotkan saja membawanya ke timur. Kuputuskan
agar nyawanya dihabisi disini saja…!
Mendengar ucapan itu Ki Dukun
Japara berseru : “Patih Kerajaan! Aku memang sudah pasrah menerima kematian!
Tapi bukankah aku akan dijadikan saksi dihadapan Raja?!”
Patih Singaranu mendengus.
“Sri Baginda tidak membutuhkan kesaksian manusia busuk sepertimu!” sahut
Singaranu. Lalu dia berteriak : “Perajurit Kepala! Penggal kepala orang itu!”
Perajurit yang diperintahkan
segera hunus pedangnya lalu dekati Ki Dukun Japara yang tergeletak tak berdaya.
Orang ini hanya bisa pejamkan mata ketika pedang tajam berkilau membabat ke
arah lehernya!
Saat itu, entah dari mana
datangnya terdengar suara siulan. Lalu patahan sebatang cabang pohon melesat
menghantam kepala perajurit yang hendak memancung Ki Dukun Japara. Perajurit
ini menjerit keras. Keningnya robek besar dan mengucurkan darah deras. Tubuhnya
terjengkang dari atas kuda. Dia jatuh ke tanah bersama pedang yang terlepas
dari genggamannya.
Sebelas perajurit terbeliak
kaget. Patih Raden Mas Singaranu memandang berkeliling dengan paras membesi. Di
saat itu pula sebuah batu melayang menghantam pinggul kuda yang membawa Ki
Dukun Japara. Terkejut dan meringkik, binatang ini lalu menghambur dan lari ke
arah timur.
“Lekas kejar! Tahan kuda itu!”
teriak Patih Singaranu. Namun terlambat. Kuda yang membawa Ki dukun Japara
telah mencapai tikungan. Patih Singaranu hantamkan tangan kanannya. Satu
gelombang angin dahsyat menderu ke depan. Merambas semak belukar dan pepohonan
di tepi jalan, membuat debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara. Namun Ki
Dukun Japara dan kudanya tetap saja lolos. Malah ketika Singaranu dan sebelas
perajurit menggebrak kuda masing-masing untuk melakukan pengejaran, dari
samping kiri tiba-tiba seperti ada angin punting beliung menyambar. Dua pohon
tumbang menutup jalan. Dua lobang besar membelintang di tengah jalan. Sebelas
perajurit terpelanting berkaparan. Sang patih sendiri kalau tidak lekas
melompat dari atas kudanya, pasti tak mampu bertahan dari kejatuhan.
“Bangsat rendah siapa yang
punya pekerjaan ini?!” menyumpah Singaranu dengan mata merah memandang
berkeliling. “Ah… pasti dia! Aku mengenali pukulan sakti tadi. Pukulan benteng
topan melanda samudera! Pasti dia! Kalau begini, naga-naganya urusan bisa jadi
kapiran!” Patih Singaranu berteriak. Memerintahkan agar sebelas perajurit yang
babak belur karena jatuh dari tunggangan mereka agar segera naik ke atas kuda
masing-masing. Lalu rombongan itu terpaksa mengambil jalan menyamping untuk
menghindari dua pohon yang melintang serta dua lobang besar di tengah jalan.
SEPERTI TELAH DITUTURKAN,
Keraton Timur hanya merupakan satu pusat Kerajaan Kecil/dibandingkan dengan
Keraton di Barat yang menjadi pusat Kerajaan Barat, kecil dalam artian wilayah
dan juga kekuatan balatentaranya. Karena itu tidak mengherankan ketika pasukan
Barat menyerbu, meskipun para perajurit di timur bertahan mati-matian, namun
akhirnya mereka terdesak juga. Saat demi saat pasukan penyerbu semakin
mendekati Keraton Timur. Pekik jerit mereka yang terluka, erangan orang-orang
yang meregang nyawa, suara teriakan para Kepala Pasukan, ringkikan kuda dan
suara beradunya senjata semua bergabung menjadi satu.
Pada saat perang saudara
berkecamuk seperti itulah Pendekar 212 Wiro Sableng, Primarani dan Ki Dukun
Japara muncul dari arah barat. Dukun tua bermata juling ini tidak lagi berada
dalam keadaan tertotok karena sudah dilepaskan oleh Wiro. Bagai mana dia
tahu-tahu berada bersama Wiro dan Primarani? Jawabnya lain tidak karena kedua
orang itulah tadi yang menimbulkan halangan bagi rombongan Patih Singaranu,
setelah terlebih dahulu Pendekar 212 Wiro Sableng menyelamatkan sang dukun dari
tabasan pedang perajurit atas perintah Pafih Singaranu.
Primarani kemudian melempar
pinggul kuda Ki Dukun Japara hingga binatang ini menghambur lari. Karena mereka
berada di seberang jalan, dengan mudah Wiro serta Primarani memepet kuda yang membawa
Ki Dukun Japara lalu melarikannya menuju ke timur, mendahului rombongan Patih
Singaranu.
Wiro dan Primarani berusaha
mendekati Keraton Timur dari arah yang paling aman yaitu di sebelah selatan.
Saat itu pintu gerbang Keraton Timur telah bobol dan pasukan dari Barat mulai
memasuki halaman luas Keraton sambil berteriak-teriak.
“Aku tidak melihat Sri Baginda
Kerajaan Barat!” berseru Wiro.
Primarani memandang
berkeliling lalu menyahuti; “Aku juga tidak! Kita harus cepat menerobos ke
dalam Keraton. Kemungkinan besar Sri Baginda bersama para tokoh persilatan
sudah menyelusup masuk. Pangeran Harjokusumo pasti sudah terkepung! Kita masuk
sekarang Wiro! Jangan tunggu sampai Patih Singaranu muncul disini. Keadaan
nanti bisa berubah!”
Wiro mengangguk lalu berpaling
pada Ki Dukun Japara.
“Dengar kau dukun kampret!”
hardik Wiro. “Ikuti kemana kami pergi.
Jangan coba melarikan diri
karena itu sama saja kau bunuh diri! Racun dalam tubuhmu masih bekerja!”
“Jangan kawatir… Aku tak akan
menjadi pengkhianat untuk kedua kali…” jawab Ki Dukun Japara.
Wiro memberi isyarat pada
Primarani. “Kau yang tahu seluk beluk Keraton Timur, silakan jalan duluan…”
Ketika ketiga orang itu
berhasil menerobos masuk ke dalam Keraton Timur lewat pintu samping, ruangan
besar dimana biasanya diadakan pertemuan-pertemuan penting sudah berubah
menjadi arena pertempuran yang mengerikan.
Lebih dari dua puluh mayat
perajurit kedua belah pihak bergeletakan di lantai: Beberapa orang pengawal
Keraton Timur masih berusaha bertahan dibawah pimpinan Tumenggung Jalak Karso,
orang kesetiaan Pangeran Harjokusumo. Di hadapan mereka empat tokoh silat
Keraton Barat mengamuk menebar maut dan bukan merupakan lawan Tumenggung
Harjokusumo serta para pengawal yang tinggal sedikit itu.
Dibelakang kelompok penyerbu
tegak seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian kebesaran
lengkap dengan topi tingginya dan memegang sebilah pedang berlumuran darah di
tangan kanannya yang memakai sarung tangan dari kain berwarna merah. Dia tiada
hentinya berteriak-teriak memberi semangat para tokoh silat dan dua Perwira
Tinggi berhasil mendesak lawannya yaitu pihak Keraton Timur.
“Orang berpakaian mewah dan
selalu berteriak-teriak itu, bukankah dia Sri Baginda Keraton Barat?” bertanya
Wiro pada Primarani. Sang dara mengangguk. “Air mukanya kulihat pucat.
Padahal…” Wiro tidak meneruskan ucapannya karena di ujung sana dilihatnya patih
Singaranu muncul dan langsung mendekati Sri Baginda, membisikkan sesuatu seraya
menunjuk ke arah Wiro dan Primarani berada.
“Pendekar 212… Patih Singaranu
pasti menginginkan kematianku saat ini juga. Aku tidak tahu mengapa. Tapi ada
sesuatu yang ingin kukatakan padamu…”
“Apa dan katakan cepat!” jawab
Wiro pula.
“Orang berpakaian mewah itu.
Suaranya… sangat sama dengan suara orang yang menemuiku sebanyak tiga kali.
Orang yang memberikan perintah menebar racun…!”
“Kau jangan main main Ki Dukun
Japara! Kau sama saja menuduh Sri Baginda melakukan kekejian itu…!” bentak
Primarani.
“Mungkin dia tidak main-main…”
satu suara terdengar dari samping. Ketiga orang itu berpaling.
“Kakak Primad», bukankah
tugasmu menjaga Keraton? Mengapa kau berani muncul disini!? seru Primarani
begitu melihat siapa yang ada di sebelahnya.
“Persetan dengan Keraton. Aku
bukan kacung penjaga gedung Keratoni. Aku ingin menyaksikan sendiri akhirkah
semua kegilaan ini!” jawab Perwira Muda Primadi.
Sementara itu Pangeran
Harjokusumo, yang mengenakan pakaian serderhana saja bertahan mati-matian
sementara satu demi satu para pengawal yang mengelilinginya mulai berguguran.
Ketika Tumenggung Jalak Karso akhirnya tersungkur tewas, Pangeran itu dengan
putus asa campakkan pedangnya dan berteriak keras : “Sri Baginda Keraton Barat!
Kau yang menginginkan pertumpahan darah ini! Aku ingin agar kau juga yang
menghabisi nyawaku saat ini!” Lalu dengan langkah tegap Pangeran yang berusia
29 tahun itu bergerak menuju ke hadapan Sri Baginda Keraton Barat yang bukan
lain adalah kakak kandungnya sendiri.
“Pendekar 212…” berbisik
Primadi, “ucapanmu tadi benar. Aku tak pernah melihat Sri Baginda berwajah
sepucat itu. Memang aku sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan dia. Tapi
dia keiihatan seperti orang sehat yang sakit. Lalu, aku tak pernah melihat Sri
Baginda memakai sarung tangan hitam seperti itu…”
“Astaga! Jangan-jangan suaranya
yang sama seperti yang dikatakan Ki Dukun ini ada sangkut pautnya dengan tangan
kanan yang disarungi itu! ujar Wiro pula.
“Kau benar!” ujar Primarani.
“Tapi bagaimana membuktikannya ?”
“Harus ada seseorang yang bisa
membetot lepas sarung tangan itu!” sahut Wiro. “Aku akan melakukannya!”
Di depan sana Pangeran
harjokusumo telah sampai di hadapan Sri Baginda.
Saat itu terdengar Sri Baginda
berkata: “Harjokusumo, walau bagaimanapun kau tetap adik kandungku! Tapi dosa
dan kesalahanmu sangat besar. Bukan hanya terhadapku, tetapi juga terhadap
rakyat dan Kerajaan. Kau membunuh ratusan rakyat dengan jalan menyuruh kaki
tanganmu menyebar racun…”
“Itu tak pernah kulakukan! Itu
fitnah keji!” teriak Pangeran Harjokusmo.
Sri Baginda tertawa lalu
berkata pada Patih Singaranu yang ada disampingnya. “Perlihatkan anak panah
yang kau bawa itu, paman Patih.”
Patih Singaranu memperlihatkan
anak panah yang ada cap tiga bintangnya. “Ini milikmu! Dipakai untuk membunuh
salah seorang kaki tanganmu guna menutup rahasia…!”
“Busuk!” teriak Pangeran
Harjokusumo. “Sebuah busur dan sekantong anak panah milikku lenyap secara aneh
sebulan yang lalu. Si pencuri pasti menyalah gunakannya…”
“Dalihmu setipis angin pagi,
adikku! Kau menginginkan kekuasaan yang tebih besar. Ingin menggulingkan
tahtaku dengan membuat kekacauan keji! Membunuh rakyat di timur yang berdosa
dengan harapan agar kami menjadi lemah dan kacau. Lalu kau menyusup melakukan
penyerbuan. Tapi aku lebih cepat adikku! Kami melumpuhkanmu seperti yang
terjadi saat ini!”
“Aku tak ingin mendengar
ucapan-ucapanmu lagi Sri Baginda. Aku siap menerima kematian!”
“Itu memang sudah jadi
bagianmu!” jawab Sri Baginda. Pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi.
12
SELESAI MENGATAKAN hendak
berusaha menanggalkan sarung tangan hitam yang dipakai Sri baginda, Pendekar
212 Wiro Sableng segera melangkah. Namun baru bergerak dua tindak, tiga orang
menghadang jalannya. Mereka bukan lain adalah seorang Perwira Tinggi Kerajaan
Timur beserta dua tokoh silat. Dua tokoh silat ini ternyata adalah Tapak Jingga
dan Suro Markum!
“Kalian berempat kami tangkap!
Jangan berani melawan!” begitu si Perwira Tinggi membentak.
Wiro sadar benar, waktunya
sangat sempit untuk menyelamatkan Pangeran Harjokusumo apalagi untuk
menanggalkan sarung tangan Sri Baginda.
Maka tanpa banyak bicara dia
jatuhkan diri seraya berkata; “Kami tidak tahu melakukan kesalahan apa, tapi
sesuai perintahmu aku menyerahkan diri!” Selesai berkata begitu Wiro dengan
satu gerakan kilat cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan hantamkan gagang senjata
mustika ini ke perut si Perwira Tinggi. Orang ini menjerit keras, mencelat
diantara Tapak Jingga dan Suro Markum lalu tergeletak di lantai tanpa kabarkan
diri lagi.
Suro Markum dan Tapak Jingga,
walau sudah tahu kehebatan murid Sinto Gendeng, namun tak bisa berbuat lain
dari pada tetap harus menyerbu. Dan akibatnya mereka harus merasakan hantaman
keras gagang senjata di tangan Wiro. Keduanya roboh menyusul si Perwira Tinggi
tadi. Pendekar 212 memang sengaja tidak mau membunuh ketiga orang itu karena
dia yakin ada sesuatu yang tidak beres yang nanti perlu dikorek dari mulut
mereka.
Ruangan besar dalam Keraton
itu menjadi geger ketika Kapak naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar
menyilaukan. Udara menjadi panas dan dalam ruangan menderu suara seperti ribuan
tawon mengamuk! Tidak kepalang tanggung, Wiro juga lepaskan dua kali pukulan
sinar matahari ke arah dinding keraton sebelah kiri hingga hancur berantakan.
Dalam keadaan kacau begitu Wiro Sableng melompat ke arah Pangeran Harjokusumo dan
mendorong pangeran ini keras-keras kesamping, tepat pada saat pedang di tangan
Sri Baginda membabat ke arah lehernya dengan sebat!
“Bangsat rendah! Siapa kau?!”
teriak Sri Baginda marah sekali lalu memburu dengan pedangnya ke arah Wiro.
“Ah, dulu pernah kutolong.
Hendak mengangkatku jadi Kepala Pasukan Kotaraja sebagai balas jasa! Tapi saat
ini dia tidak mengenaliku, malah memburu dengan pedang! Orang ini pasti bukan
Sri Baginda! Bangsat!” maki Wiro. Dia membuang diri kesamping ketika pedang
menikam ke dadanya. Sekali lagi Sri Baginda menghunjamkan senjatanya ke arah
perut namun saat itu Wiro sudah menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212.
Senjata di tangan Sri Baginda terpental patah dua dan leleh ujung-ujungnya. Sri
baginda sendiri terjatuh tumpang tindih dengan Patih Singaranu. Sang patih
walau dalam keadaan jatuh masih sempat lepaskan satu hantaman tangan yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Namun dengan sekali menyapukan kapak mustikanya
serangan lawan amblas dan sang patih mengerang karena dadanya seperti ditusuk
ratusan jarum panas!
Terhuyung-huyung Sri Baginda:
mencoba berdiri. Saat itulah Wiro cekal tangan kanannya dan memuntirnya
kebelakang. Dengan sekali tarik saja Wiro berhasil menanggalkan sarung tangan
hitam di tangan kanan Sri Baginda. Terlihatlah sebuah tahi lalat lebar, hitam
dan berbulu!
‘Semua yang hadir disini!”
Wiro berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam tiingga semua orang tergagap dan
sama berpaling kepadanya, “Apakah Sri Baginda kalian memiliki tahi lalat
seperti ini di tangan kanannya?! “Wiro lalu acungkan tangan yang dipuntirnya
itu ke depan.
Semua orang menatap tajam,
lalu saling pandang. Satu demi satu mulai gelengkan kepala dalam herannya.
“Kalau begitu dia bukan Raja
kalian. Tapi monyet yang menyamar! Mari kita lihat tampangnya yang asli!”
Breet…bre,ettt…brett!
Sri Baginda menjerit keras.
Entah mengapa Patih Singaranu juga ikutikutan berteriak. Semua yang hadir
ditempat itu melengak kaget ketika Wiro pergunakan tangan kanannya untuk
merobek sehelai topeng yang sangat tipis di wajah Sri Baginda. Begitu topeng
tersebut tanggal, kelihatanlah wajahnya yang asli!
“Raden Anom Wiraculo!” semua
orang berseru hampir berbarangan.
“Aha!” seru Wiro pula.
“Ternyata monyet ini bernama Raden Anom Wiraculo! Putera Mapatih Raden Mas
Singaranu!” Wiro lalu lepaskan puntrian tangannya, dorong orang itu kedepan
hingga terhuyung-huyung. Puluhan manusia segera menyerbu untuk menghajarnya
tapi Pangeran Harjokusumo cepat menghalangi.
“Dia dan ayahnya jelas menjadi
dalang pertumpahan darah ini! Niatnya jelas, menginginkan tahta Kerajaan secara
sangat licik. Mereka berdua pasti tahu dimana kakakku berada! Lekas katakan
dimana Sri Baginda kalian sandera?!”
“Beliau… beliau ada di ruang
bawah tanah Keraton Barat jawab Raden Anom Wiraculo.
Terdengar jeritan keras. Semua
orang berpaling. Pangeran Harjokusumo berteriak mencegah tapi sia-sia saja.
Kalau dia masih bisa melindungi sang putera, namun sang ayah yaitu Patih
Singaranu tak sempat lagi diselamatkan. Puluhan senjata menancap di tubuh patih
tua itu.
Disuatu sudut Perwira Muda
Primadi masih tegak tertegun seakan-akan tak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Dia merasa ada seseorang menyelipkan sesuatu di tangan kirinya.
Tapi baru beberapa lama kemudian dia menjadari ada sesuatu dalam genggamannya
itu. Ketika dia ingat dan memeriksanya, ternyata sehelai surai ‘pendek,
berbunyi:
Sahabat, ruangan ini terlalu
pengap bau darah dan kematian. Aku pergi dulu mencari tempat yang lebih
menyenangkan. Adikmu Primarani ikut menemaniku. Jangan marah… Wiro Sableng
Perwira Muda Primadi hanya
bisa geleng-geleng kepala. “Manusia sableng! Benar-benar sableng! Bagaimana
dalam keadaan seperti ini dia masih sempat-sempatnya membuat surat. Dan
menggaet adikku…!”
TAMAT