-------------------------------
----------------------------
045 Manusia Halilintar
1
HUJAN TURUN DERAS, halilintar
menyambar ganas dan guntur menggelegar menggoncang bumi. Dalam keadaan seperti
itu Kebo Hijo terus melakukan pengejaran atas diri orang yang lari di depannya.
Tubuhnya dan pakaiannya bukan saja telah basah kuyup oleh air hujan, tapi juga
oleh cucuran keringatnya sendiri.
"Raih Jenar
keparat!" memaki Kebo Hijo seraya kepalkan tangan kanannya. "Kowe
boleh lari ke ujung dunia! Boleh terbang menembus langit! Atau mencebur ke
dalam laut! Tapi jangan harap kau bisa lolos! Sebentar lagi akan kubekuk dan
kupatahkan batang lehermu! Awas kalau kotak hitam itu tidak kau serahkan
padaku!"
Orang yang dikejar larinya
sebat sekali tanda memiliki ilmu yang cukup andal. Namun Kebo Hijo sendiri juga
memiliki kepandaian. Dalam waktu singkat dia pasti dapat mengejar orang di
depannya itu. Raih Jenar lari seperti setan. Sesekali dia menoleh kebelakang
dan orang ini memaki habis-habisan setiap Kali melihat pengejarnya tambah
dekat. Tangan kirinya menekan ke pinggang di mana tersembunyi sebuah kotak
hitam terbuat dari batu. Tangan kanannya setiap saat meraba ke bagian lain dan
pinggang tempat dia menyisipkan sebilah keras.
"Berani kau mendekat,
kukoyak tubuhmu!" mengancam Raih Jenar dalam hati.
Hujan tambah lebat. Kejar
mengejar itu semakin seru. Raih Jenar lari ke daerah persawahan di kaki bukit.
Sepasang kakinya laksana terbang berlari di atas pematang sawah yang licin.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya halilintar menyambar. Sekejapan daerah
persawahan itu terang benderang menggidikkan. Kilauan kilat yang menyambar dari
langit menghunjam ke bumi jatuh tepat di persawahan menghantam sosok tubuh Raih
Jenar yang sedang lari. Suara jeritan orang ini tenggelam ditelan suara gelegar
geledek. Tubuhnya terkapar di pematang sawah. Hangus gosong kehilaman! Kebo
Hijo yang berada lima belas langkah di belakang Raih Jenar yang malang itu
merasakan ada getaran keras ketika kilat menyambar. Tubuhnya terpental oleh
dorongan satu kekuatan dahsyat. Dadanya mendenyut sakit. Dalam keadaan terduduk
di pematang sawah untuk beberapa lama dia tak mampu berbuat apa-apa. Wajahnya
pucat dan sepasang matanya melotot memandang ke arah sosok tubuh Raih Jenar.
"Matikah si keparat
itu?" Kebo Hijo bertanya pada diri sendiri. Lalu dia ingat pada kotak batu
itu. Seolah-olah mendapat satu kekuatan, Kebo Hijo mampu bangkit dan melangkah
bergegas mendekati tubuh Raih Jenar yang telah jadi mayat hangus hitam. Air
hujan yang jatuh menimpa tubuh seperti dipanggang dan melepuh panas itu
menimbulkan kepulan asap menebar bau daging matang terbakar. Merinding bulu
tengkuk Kebo Hijo. Dia menunggu sampai kepulan asap lenyap dari tubuh mayat.
Kemudian dengan ujung kakinya dibalikkannya tubuh Raih Jenar hingga terlentang.
Muka mayat itu menggidikkan
untuk dilihat. Pada bagian pinggang Raih Jenar tampak sebilah keris yang kini
hanya merupakan sebuah benda bengkok leleh akibat hantaman halilintar. Kebo
Hijo mencari-cari. Dia tidak melihat benda yang dicarinya itu.
"Celaka! Jangan-jangan
kotak dan isinya ikut leleh!" Memikir sampai disitu cepat-cepat Kebo Hijo
membungkuk Dan memeriksa tubuh Raih Jenar.
Benda yang dicarinya ternyata
masih terselip di pinggang kirinya. Cepat Kebo Hijo ulurkan tangan untuk
mengambil oenda itu yakni sebuah kotak terbuat dari batu berwarna hitam: Tapi
begitu jarinya menyentuh batu hitam, Kebo Hijo tersentak menjerit dan tarik
tangan kanannya. Ketika diperhatikan ternyata beberapa jari tangannya yang tadi
sempat menyentuh batu hitam yang masih sangat panas itu kini tampak melepuh!
Kebo Hijo buka belangkonnya.
Dengan benda itu dia menciduk air sawah. Air dalam blangkon kemudian
diguyurkannya ke atas batu hitam. Batu yang panas itu tampak mengepulkan asap.
Setelah melakukan hal itu beberapa kali dan batu hitam menjadi dingin baru Kebo
Hijo mengambil batu itu.
"Bukan main!"
menggumam kagum Kebo Hijo. "Keris yang terbuat dari besi pilihan saja
leleh! Tapi kotak batu ini rusak sajapun tidak!" Dia memandang
berkeliling. Di sebelah timur, beberapa belasan tombak tampak sebuah dangau.
Kebo Hijo segera lari menuju dangau itu. Begitu sampai di dangau kotak batu
ditelitinya. Pada bagian samping kotak terdapat celah tipis memanjang. Itulah
batasan antara bagian bawah dan bagian atas yang menjadi penutup kotak batu.
Dengan tangan gemetar Kebo Hijo membuka penutup kotak. Sulit dan keras hingga
Kebo Hijo harus mengerahkan tenaga. Ketika akhirnya kotak itu terbuka di
dalamnya tampak sehelai kain putih. Dengan tangan gemetar mengambil kain putih
itu dan membuka lipatannya. Di atas kain putih itu ternyata ada sederetan
tulisan dalam huruf kuno yang dapat dimengerti dan dibaca oleh Kebo Hijo,
berbunyi:
Asal manusia dari tanah, air
dan api
Api dikodratkan lebih berkuasa
dari
kekuatan tanah dan air.
Sumber api paling utama adalah
kilat atau petir atau
halilintar.
Siapa saja manusia sakit atau
sakarat,
disentuh halilintar setelah
padanya
dilafatkan kata-kata hikmah
dan mujarab
sebanyak 10.000 kali maka
kehidupan akan
menjadi miliknya kembali.
Adapun kata-kata berhikmah itu
ialah:
Walakalmati – Walakilhidup
Matiwalakal – Hidupwalakil
Setelah 10.000 kata
dilafatkan, usapkan
kotak batu hitam ke wajah dan
tubuh orang
yang sakit atau baru mati.
Maka itulah
titik mula kehidupan. Bawa dia
ke tempat
yang tinggi. Letakkan batu
hitam di dadanya
di arah jantung. Bila
halilintar
menyambar tubuhnya, kesembuhan
dan
kehidupan menjadi miliknya
kembali.
Kebo Hijo merasa tegang oleh
luapan kegembiraan. Dia mendongak ke langit seraya berteriak keras. Lalu dengan
suara bergetar dia berkata :
"Akhirnya kudapat juga
batu berisi jimat kehidupan ini! Aku akan menjadi orang sakti! Bisa
menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati!"
Hujan masih turun dengan
deras. Kebo Hijo tak mau menunggu sampai hujan reda. Dia sudah memutuskan untuk
segera meninggalkan tempat itu. Kain putih kecil dilipatnya kembali lalu dengan
hati-hati dimasukkannya ke dalam kotak batu hitam. Kotak kemudian ditutupkannya
rapat-rapat lalu diselipkannya di pinggang. Namun baru saja kotak itu menempel
di pinggangnya mendadak ada satu suara menegur, membuat Kebo Hijo serasa
terbang rohnya saking kagetnya.
"Anak manusia! Serahkan
kotak batu itu padaku!" Kebo Hijo berpaling ke kiri. Astaga! Disitu, di
bawah hujan lebat di samping dangau tampak berdiri seorang lelaki tua berambut
berjanggut dan berkumis putih. Dia mengenakan jubah putih yang kuyup. Wajahnya
klimis tapi mendatangkan rasa angker bagi siapa saja yang memandangnya karena
wajah itu putih pucat, seputih kain kafan!
"Manusia atau hantukah
mahluk ini?!" membatin Kebo Hijo.
Bagaimana mungkin dia yang
berilmu sampai tidak dapat mengetahui kemunculan orang tua tak dikenalnya itu
dan tiba-tiba saja sudah berada di situ!
"Anak manusia, aku tidak
suka mengulang perintah sampai dua kali. Kalau itu kulakukan berarti nyawamu
ikut kuminta!" Orang berjubah putih itu kembali angkat bicara. Dia tidak
berusaha mengindari terpaan hujan dan terus saja tegak berbasah-basah di tepi
dangau.
"Kau, kau meminta apa
tadi ..?" bertanya Kebo Hijo.
"Kau tidak tuli! Sekali
ini aku masih mau memberi tahu. Setelah itu jangan harap kau bisa berdalih! Aku
minta batu hitam yang kau ambil dari tubuh Raih Jenar!"
"Eh, bagaimana orang ini
bisa tahu kalau aku memgambil kotak batu dari Raih Jenar. Padahal dia tak ada
di sini tadi," berpikir Kebo Hijo. Lalu dia bertanya, "Orang tua,
siapa kau ini sebenarnya?"
"Siapa aku tidak penting.
Lekas serahkan benda yang kuminta!" Lalu si jubah putih ulurkan tangan
kanannya, siap menerima barang yang dimintanya.
"Kau keliru! Aku tidak
memiliki benda yang kau minta itu. Barang yang kau cari mungkin masih berada
pada Raih Jenar. Coba saja kau periksa tubuhnya!" Kebo Hijo menunjuk ke
arah mayat Raih Jenar yang tergeletak di pematang sawah, lalu memutar tubuh
hendak meninggalkan tempat itu. Si jubah putih menyeringai. Tangan kirinya di
ulurkan memegang bahu Kebo Hijo. Pegangan itu biasa-biasa saja, tapi Kebo Hip
merasa seperti ada gundukan batu besar yang menindih tubuhnya hingga dia
keberatan dan tak bisa bergerak.
"Seperti katamu, mungkin
aku perlu memeriksa mayat Raih Jenar. Tapi ketahuilah, hari ini bakalan ada dua
mayat di tempat ini." Orang tua itu memutar tubuh, bersikap seperti
benar-benar hendak pergi mendekati tubuh Raih Jenar. Namun sebelum tubuhnya
terputar penuh, tiba-tiba sekali tangan kananya bergerak ke arah batok kepala
Kebo Hijo.
Praakkk!
Kepala Kebo Hijo rengkah.
Darah dan cairan otak muncrat. Tubuhnya rebah ke lantai dangau tak berkutik dan
tak beryawa lagi!
Di langit kilat menyambar dan
geledek menggemuruh. Si jubah putih menyeringai sambil usap janggul putihrrya.
Dengan tangan kirinya dia menyibakkan pakaian Kebo Hijo. Kotak batu hitam yang
terselip di pinggang Kebo Hijo disambamya. Lalu dia tinggalkan tempat itu
sambil keluarkan suara tawa mengekeh. Dalam waktu singkat sosok tubuhnya telah
lenyap di kejauhan dibawah hujan yang masih mendera lebat.
***
2
KI DUKUN TAMBAK RESO membuka
kedua mata dan turunkan sepasang tangannya yang bersidekap di depan dada ketika
di pintu terdengar ketukan.
"Siapa ..?!"
tanyanya.
"Saya, Gusdur.
Pembantumu…" terdengar jawaban.
"Jika kau datang membawa
apa yang kuinginkan kau boleh masuk. Jika tidak, harap pergi saja dan jangan
kembali sebelum kau mendapatkan apa yang kuminta!"
"Saya memang datang
membawa apa yang Ki Dukun perintahkan. Saya memanggul seekor anak rusa yang
sakarat diterkam harimau!"
"Kalau begitu kau boleh
masuk!"
Pintu tampak di dorong.
Terdengar suara berkereketan. Lalu masuk sesosok tubuh lelaki, pendek tetapi
tegap berotot. Orang ini hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam sebatas
lutut. Dia memanggul seekor anak rusa yang robek leher serta dadanya. Binatang
ini tengah sakarat, beberapa saat lagi pasti mati. Darah mengalir dari luka di
tubuh anak rusa dan membasahi bahu, punggung serta dada Gusdur.
"Letakkan binatang itu
dihadapanku!" Orang tua berjubah putih bernama Ki Dukun Tambak Reso
memerintah lalu menarik sehelai tikar kulit dan menariknya kehadapannya. Gusdur
menurunkan anak rusa dari bahunya lalu meletakkan binatang itu di atas tikar
kulit. Ki Dukun memberi isyarat agar si pembantu duduk di sudut ruangan.
"Dua pumama aku menunggu
dan menyiapkan diri. Sekarang baru kudapat mahluk yang bisa dijadikan
peroobaan. Mudah-mudahan hujan dan kilat datang tepat pada waktunya."
Habis berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso keluarkan sebuah benda dad saku jubahnya.
Benda ini ternyata adalah sebuah kotak yang terbuat dad batu berwarna hitam.
Kotak batu di buka dan sehelai kain putih terlipat dikeluarkannya dari dalam
kotak lalu dikembangkannya di atas pangkuan. Pada kain putih itu tertera
tulisan kuno berbunyi: Walakalmati Walakalhidup – Matiwalakal Hidupwalakil.
Dengan suara perlahan-lahan Ki
dukun mulai membaca kata-kata itu berulang kali tiada henti-hentinya. Matanya
sedikit demi sedikit terpejam, kepalanya bergoyang-goyang. Gusdur si pembantu
memperhatikan dari sudut ruangan. Dia tak berani bergerak, bahkan berkesippun
jarang-jarang. Ada rasa ngeri didalam hatinya. Dia tidak mengerti mengapa
tiba-tiba saja dia merasa begitu.
Siang berganti sore dan sore
mulai memasuki malam. Tambak Reso masih terus melafatkan kata-kataWalakalmati
Walakalhidup – Matiwalakal – Hidupwalakil. Suaranya tidak berubah sedikitpun
tanda hati dan pikirannya sangat yakin atas apa yang tengah dikerjakannya saat
itu. Dia seperti tidak menyadari kedatangan malam bahkan ketika di luar sana angin
kencang bertiup, udara menjadi dingin dan hujan mulai turun disertai gelegar
guntur dan halilintar dia masih saja terus melafatkan katakata berhikmah itu.
Hujan masih terus turun,
guntur masih menggelegar dan kilat masih menyambar ketika Ki Dukun Tambak Reso
selesai melafatkan 10.000 kali rangkaian empat kata bertuah itu. Tubuh dan
jubahnya basah oleh keringat.
Perlahan-lahan orang tua ini
bukakan kedua matanya. Sesaat dia menatap tubuh anak rusa di atas tikar kulit.
Kain putih di atas pangkuan dilipat, dimasukkan ke dalam kotak batu lalu kotak
di tutup kembali. Dengan kotak batu itu Ki Dukun Tambak Reso kemudian mengusap
kepala dan sekujur tubuh anak rusa, termasuk ke empat kakinya. Lalu cepat-cepat
kotak batu dimasukkan ke dalam jubahnya.
"Gusdur!"
Pembantu yang hampir terlelap
di sudut ruangan tersentak kaget, cepatcepat membungkuk seraya menyahuti,
"Saya Ki Dukun…"
"Aku akan meninggalkan
tempat ini menuju ke bukit Jati Arang…"
"Di luar masih hujan
lebat Ki Dukun," mengingatkan Gusdur. Maksudnya baik. Tapi si orang tua
cepat menukas.
"Kau tak layak
menasihatiku!"
"Maafkan saya Ki
Dukun…" ujar Gusdur seraya membungkuk berulang kali.
"Ingat semua pesanku
Gusdur! Jangan tinggalkan rumah ini selama aku pergi. Jangan menerima tamu
siapapun walaupun seorang malaikat! Dan jangan ceritakan pada siapapun apa yang
telah kau lihat di tempat ini! Termasuk kepergianku ke bukit Jati Arang. Kau
ingat apa hukumannya jika kau berani melanggar pesan dan perintahku?!"
"Saya ingat Ki Dukun dan
saya tak akan melanggamya," jawab Gusdur pula. Lalu dilihatnya Ki Dukun
Tambak Reso mencekal leher anak rusa yang saat itu sudah mati, melangkah ke
pintu lalu lenyap ditelan kegelapan malam dan hujan lebat di luar sana. Sesaat
udara dingin merambas masuk ke dalam rumah membuat Gusdur menggigil kedinginan.
Buru-buru dia menutupkan pintu dan memasang palangnya sekaligus. Kuduknya
merinding ketika matanya membentur noda-noda darah pada tikar kulit bekas
tempat anak rusa itu digeletakkan.
Beberapa lamanya Gusdur
melangkah mundar-mandir di ruangan itu. Dia selalu dibayangi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hatinya. Apa sebenarnya yang tengah
dilakukan oleh Ki Dukun. Mengapa pula dia malam-malam hujan lebat begitu pergi
ke bukit Jati Arang?
Selama ini dia memang sering melihat
perbuatan-perbuatan aneh dilakukan orang tua itu. Namun tak ada yang seaneh
kali ini. Karena keletihan Gusdur membaringkan dirinya di pojok ruangan. Baru
saja dia melunjurkan kaki tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, membuatnya
terkejut dan memaki setengah mati. Dia tegak dan melangkah mendekati pintu.
"Siapa?!" bertanya
Gusdur.
"Aku…" Ada suara
menjawab diantara deru hujan dan angin di luar sana.
"Aku siapa?! membentak
Gusdur.
"Aku kesasar dan
kemalaman di jalan! Aku ingin berteduh! Tolong bukakan pintu! Pertolonganmu
pasti tak akan kulupakan…!"
"Rumah ini bukan tempat
berteduh! Apalagi untuk orang kesasar. Cari saja tempat yang lain…!" ujar
Gusdur pula.
"Sobat, jangan begitu!
Aku sudah sudah basah kuyup dan kedinginan setengah mati! Aku sudah berkeliling,
tapi rumah ini satu-satunya bangunan di daerah ini!" Orang diluar sana
mendesak.
"Aku tidak kenal padamu!
Tak ada kewajiban bagiku untuk menolong! Lagi pula aku tidak mau melanggar
pesan majikanku pemilik rumah ini!"
"Eh, apa sih pesan
majikanmu itu?!" orang di luar sana bertanya.
Gusdur hendak memaki tapi
lelaki pendek kekar ini menjawab juga.
"Aku tidak diperkenankan
bicara dengan siapapun! Apalagi kalau sampai membawa masuk seseorang ke dalam
rumah ini!"
"Apakah majikanmu ada di
rumah saat ini?"
"Tidak. Dia sedang
pergi…"
"Nah, kalau dia sedang
pergi kenapa takut? Dia tak akan mengetahui kedatanganku di rumah ini! Nah,
bukalah pintu!"
"Pergi saja! Aku tak bisa
menolongmu!"
"Kalau begitu pintu rumah
akan kubobol paksa. Kalau majikanmu melihat pintu ini rusak, kau pasti akan
dihukumnya! Kaupilih mana? Menolongku atau kena damprat majikanmu ..?!
Ha..ha..ha..!"
"Kurang ajar! Berani kau
memaksa dan mendesak aku! Ingin kulihat bagaimana tampangmu!" Gusdur
menurunkan palang pintu lalu membuka pintu. Bersamaan dengan menyeruaknya udara
dingin dari luar, melompat masuk ke dalam rumah seorang lelaki dalam keadaan
basah kuyup. Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong.
Baik rambutnya yang gondrong maupun pakaiannya basah kuyup dan tetesantetesan
air dari tubuh serta pakaian pemuda ini jatuh ke bawah mambasahi lantai.
"Kau maling atau rampok
atau apa?! Lekas kau tinggalkan rumah ini! Aku tak mau menjadi susah karena
kehadiranmu disini!"
Melihat pemuda itu tetap saja
tegak malah sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala, Gusdur jadi gusar. Dia
segera menyambar palang pintu dan siap menghantam si pemuda dengan benda itu.
"Sobat, sabar dulu!
Jangan cepat saja mengemplang orang!" berkata si pemuda seraya mengangkat
tangan kanannya. Tiba-tiba saja Gusdur merasa palang pintu yang dipegangnya
menjadi berat luar biasa. Karena tak kuat memegangnya lagi, lelaki pendek ini
terpaksa menurunkan palang pintu itu ke lantai.
"Sahabat, aku tahu kau
orang baik. Siapa sih nama majikanmu pemilik rumah ini?!" bertanya si
pemuda.
Menyangka bila diberi tahu
nama majikannya si pemuda akan menjadi takut dan buru-buru tinggalkan tempat
itu maka dengan suara keras Gusdur memberi tahu. "Majikanku adalah Ki
Dukun Tambak Reso! Dukun sakti yang terkenal di mana-mana! Siapa saja yang
berani berlaku kurang ajar terhadapnya pasti akan menyesal seumur hidup. Pemuda
macammu ini mudah sekali dibuatnya menjadi seorang pikun atau lumpuh
seumur-umur!"
"Wah, wah, hebat sekali
majikanmu yang dukun itu. Tapi aku kan tidak berlaku kurang ajar
padanya?!"
"Tidak berlaku kurang
ajar katamu?! Buktinya saat ini kau memasuki rumahnya tanpa izinnya."
tukas Gusdur jengkel dan marah.
Pemuda berambut gondrong itu
kucak-kucak rambutnya yang basah.
Sambil tertawa dia berkata. "Sobat,
bukankah tadi kau sendiri yang membuka pintu rumah..?!"
Mendengar ucapan itu Gusdur
hanya bisa pelototkan mata. Si pemuda memandang geli padanya dan bertanya,
"Benar majikanmu Ki Dukun Tambak Reso dan ini rumahnya?!"
"Kau kira aku berdusta?
Tunggu sajalah sampai dia muncul! Begitu kau dilihatnya celakalah
nasibmu!"
Mendengar ucapan Gusdur itu
dalam hatinya si pemuda berkata,
"Hem… jadi benar rupanya
keterangan yang kudapat…" Dia menatap tampang Gusdur sesaat lalu bertanya,
"Di mana majikanmu sekarang?!"
"Kau bunuhpun aku tak
akan memberi tahu!" sahut Gusdur.
"Aku tidak akan
membunuhmu, pendek! Tapi mungkin akan menangkapmu. Juga majikanmu!"
Mendengar kata-kata pemuda itu
Gusdur jadi agak terkejut. "Siapa kau ini sebenarnya?!"
"Namaku Wiro. Aku adalah
salah seorang Kepala Perajurit Keraton!"
"Aku tidak percaya!"
ujar Gusdur. "Kalau kau memang alat Kerajaan mengapa tidak mengenakan
pakaian seragam? Dan rambutmu yang gondrong! Mana ada perajurit berambut
gondrong sepertimu!"
Si pemuda yang ternyata adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. "Dengar, sebenarnya ini adalah
rahasia. Tapi karena aku menganggapmu sebagai seorang kawan maka aku akan
katakan padamu. Aku sengaja menyamar. Aku tengah melakukan perjalanan rahasia
untuk menangkap orang-orang jahat dan kaki tangan pemberontak! Kalau kau tidak
mau bekerjasama, jangan heran kalau malam ini juga kau bisa kuseret ke
Kotaraja!"
"Edan! Aku bukan
penjahat, apalagi pemberontak!" kata Gusdur setengah berteriak.
"Kau kuanggap orang jahat
jika tidak mau mengatakan di mana majikanmu…"
"Benar-benar edan! Ki
Dukun akan menghajarku habis-habisan jika alau berani menceritakan di mana dia
berada!"
"Kenapa dia menghajarmu?
Berarti ada rahasia yang tidak beres di tempat ini!" ujar Wiro seraya
menatap tajam pada Gusdur. "Kau mau bicara terang-terangan atau
bagaimana?!" Nada suara Wiro keras mengancam.
Gusdur jadi agak takut. Namun
rasa takutnya terhadap Ki Dukun Tambak Reso jauh lebih besar. Maka diapun
berkata, "Pemuda rambut gondrong! Paling tidak aku telah memberi
kesempatan padamu untuk berteduh. Sekarang tinggalkan rumah ini!"
"Aku tidak akan pergi
sebelum kau menceritakan rahasia menyangkut diri majikanmu!" sahut Wiro
lalu rangkapkan kedua tangan di depan dada dan mulutnya menyeringai dimonyong-monyongkan.
Gusdur jadi kalap. "Jika
begitu katamu, kau rasakan ini!" Lalu dia menyambar palang pintu. Seperti
tadi dia kembali hendak mengemplang Wiro dengan kayu itu. Tapi lagi-lagi dia
mendadak merasakan palang pintu itu menjadi berat hingga dia tidak kuat
mengangkatnya. Terpaksa dia lepaskan dan palang pintu jatuh ke lantai. Kini
barulah Gusdur sadar kalau dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi.
Mungkin sama tinggi kepandaiannya dengan Ki Dukun. Maka dengan suara rendah dia
berkata, "Orang muda, jangan pergunakan kesaktianmu untuk membuat susah
orang kecil sepertiku. Pergilah…"
Wiro pegang bahu Gusdur seraya
berkata, "Aku mana tega membuatmu susah. Justru aku akan memberikan
kesaktian padamu jika kau mau bicara banyak tentang Ki Dukun. Juga mengatakan
di mana dia berada saat ini!"
"Kesaktian? Kesaktian
apa..?" tanya Gusdur terheran-heran.
"Lihat ini!" ujar
Wiro seraya luruskan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Lalu ke dua
ujung jati itu ditekankan ke lantai.
Terdengar suara berderak.
Perlahan-lahan ujung dua jari itu masuk menembus lantai kayu yang berlubang!
Tentu saja Gusdur jadi melengak kagum melihat kejadian itu.
"Kau juga bisa melakukan
seperti yang barusan kulakukan. Cobalah!" ujar Wiro.
Meski tidak percaya tapi si
pembantu lakukan juga apa yang dikatakan Wiro. Kedua jarinya diluruskan lalu
ditusukkan ke lantai kayu. Gusdur terpekik kesakitan dan kibas-kibaskan tangan
kanannya.
"Dusta besar!"
teriaknya marah.
Wiro tertawa. "Untuk
dapat menembus lantai kayu dengan dua jarimu, tubuhmu perlu diisi dengan
kesaktian lebih dahulu. Aku bersedia memberikannya tapi ada syaratnya, sobatku!
Tidak sulit syaratnya.
Ceritakan di mana majikanmu
sekarang. Apa yang dilakukannya selama ini. Dan …" Wiro menoleh ke arah
tikar kulit di lantai." Darah apa yang melekat di tikar kulit itu…?"
Gusdur tampak bingung tapi
juga berpiki-rpikir. Dia sangat takut terhadap Ki Dukun majikannya itu. Tapi
jika dia nanti memiliki kesaktian, apakah masih perlu takut? Pembantu ini
akhirnya memilih kesaktian. Maka diapun berpaling pada Wiro dan berkata,
"Baik, asalkan kau tidak menipuku aku bersedia menjawab semua apa yang kau
minta. Tapi berikan kesaktian itu lebih dulu, baru kau mendapat keterangan
dariku."
Wiro anggukkan kepala,
melangkah mendekati Gusdur dan genggam tangan kanan lelaki pendek itu dengan
tangan kanannya. Beberapa saat berlalu. Gusdur merasakan ada aliran hangat
memasuki jari-jari tangannya, terus ke telapak, terus ke lengan dan berhenti
sampai di batas siku.
"Apa yang kau rasakan?"
tanya Wiro
"Ada hawa hangat menjalar
ke tanganku…"
"Bagus. Kau sudah jadi
orang sakti sekarang!" Gusdur ternganga, tak percaya.
"Coba tusuk lagi lantai
itu! Kau akan melihat buktinya!" ujar Wiro.
Gusdur merasakan dadanya
berdebar. Dia luruskan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Lalu…
kedua jari itu ditusukkan ke lantai kayu.
Kraak!
Dua jari tangan Gusdur masuk.
Ketika ditarik, di lantai kayu tampak lubang. Sepasang mata Gusdur terbelalak.
Dia melompat dan hampir saja berteriak saking girangnya. "Aku jadi orang
sakti! Aku jadi orang sakti…!"
desahnya dan berpaling pada
Wiro sambil kepalkan tangan kanan dan acungkan tinggi-tinggi ke atas.
"Kau sudah memiliki
kesaktian. Sekarang tepati janjimu…" berkata Wiro.
"Akan kutepati. Aku
Gusdur berterima kasih padamu. Aku akan menganggapmu sebagai guru! Janji akan
kutepati. Aku akan memanggilmu guru! Guru, dengar. Aku akan menceritakan
semuanya padamu. Bahkan kalau kau suka, aku akan antarkan kau ke tempat dimana
saat ini Ki Dukun Tambak Reso berada! Kau tahu guru, orang tua itu tengah
mengamalkan satu ilmu kesaktian hebat luar biasa. Dengan ilmunya itu dia bisa
menyembuhkan orang sakit, bahkan menghidupkan mahluk yang sakarat atau sudah
mati…"
"Hem, sungguh luar biasa
jika itu betul. Agaknya semua keterangan yang kudapat sebelumnya memang cocok
dengan apa yang aku dengar dari orang ini." Wiro membatin. Lalu pada
Gusdur dia anggukkan kepala seraya berkata. "Antarkan aku ke tempat Ki
Dukun itu berada. Sambil jalan kau bisa menerangkan segala sesuatu tentang diri
dan ilmu kesaktiannya itu."
Gusdur balas mengangguk. Lalu
mendahului melangkah menuju pintu.
***
3
UNTUK MENCAPAI puncak bukit
Jati Arang tidak mudah. Apalagi saat itu malam gelap gulita dan hujan turun
dengan deras ditambah udara dingin bukan kepalang. Dulunya bukit itu merupakan
bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon jati yang sudah berusia puluhan tahun.
Suatu ketika terjadi kebakaran hutan, bukit beserta pohon-pohon jatinya ikut
terbakar musnah, berubah menjadi bukit tandus penuh bebatuan hitam dan gersang.
Sejak itu bukit ini disebut orang sebagai bukit Jati Arang. Gusdur berjalan di
sebelah depan. "Kesaktian" yang didapatnya dari sang "guru"
membuat lelaki pendek bertubuh kekar ini mendaki bukit penuh semangat walaupun
dengan susah payah. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang.
Hujan agak mereda, tetapi
guntur masih menggelegar dan kilat masih sambung menyambung ketika mereka
akhirnya sampai di puncak bukit. Gusdur berhenti di balik sebuah batu besar
lalu menunjuk ke arah atas di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk hampir
datar. Di depan batu datar yang terpisah beberapa belas tombak itu tampak
berdiri seorang tua berjanggut putih, berpakaian jubah putih dalam keadaan
basah kuyup. Gusdur menunjuk ke arah orang itu lalu berbisik pada Wiro.
"Itu Ki Dukun Tambak
Reso. Lihat apa yang tengah dilakukannya…"
Wiro memang sudah sejak tadi
melihat orang di puncak bukit itu, jauh sebelum Gusdur memberi tahu. Orang ini
duduk bersila di atas batu datar.
Di atas batu di hadapannya
menggeletak sosok tubuh anak rusa yang sudah jadi bangkai. Untuk beberapa
lamanya orang berjubah ini duduk menundukkan kepala berdiam diri, mungkin
tengah membaca mantera atau hanya sekedar mengkhususkan diri. Kemudian tampak
dia mengambil sesuatu dari saku jubahnya. Benda ini diletakkannya di atas tubuh
anak rusa yang mati, di bagian dada, tepat di arah jantung. Sesaat dia menatap
bangkai bintang itu dengan dada berdebar. Dia memandang berkeliling; lalu turun
dari batu datar, melangkah mundur sejauh dua belas langkah.
Gusdur menyentuh lengan Wiro
seraya berbisik, "Yang diletakkannya tadi di atas tubuh rusa, itulah batu
aneh yang kuceritakan padamu…"
Wiro mengangguk sambil
meletakkan jari telunjuknya di atas bibir, memberi tanda agar Gusdur jangan
bicara karena saat itu Ki Dukun berada dekat sekali dengan batu besar dibalik
mana mereka bersembunyi.
Di kejauhan terdengar guntur
menggelegar. Menyusul sambaran kilat di langit. Suara guntur lagi, kini makin
dekat dan keras menggetarkan puncak bukit Jati Arang. Lalu halilintar berkiblat
dahsyat, menerangi puncak bukit. Ujungnya menghujam ke bawah, menghantam batu
datar dimana anak rusa berada. Batu datar dan tubuh anak rusa itu sedikitpun
tidak bergeming, padahal Ki Dukun Tambak Reso nampak terbanting jatuh duduk ke
tanah. Begitu juga Gusdur dan Wiro Sableng yang sembunyi di belakang batu
besar, keduanya rubuh terduduk!
Perlahan-lahan Ki Dukun
berdiri sambil kedua matanya memandang tak berkesip ke arah batu datar. Malah
kini dengan debaran jantung lebih keras dia melangkah mendekati batu itu. Ada
asap tipis menyelubungi tubuh anak rusa di atas batu. Asap ini membubung ke
atas lalu lenyap. Di atas batu anak rusa yang jelas-jelas sudah jadi bangkai
alias mati tampak menggerakkan dua kaki belakangnya. Menyusul dua kaki depannya
ikut bergerak. Ki Dukun kini merasakan bukan saja jantungnya yang berdebar
keras, tapi seluruh tubuhnya ikut bergetar oleh goncangan luapan kegembiraan
bercampur rasa hampir tidak percaya melihat kenyataan itu. Dari tempatnya
berdiri dia melihat anak rusa membukakan kedua matanya Luka di tubuh binatang
ini tampak meninggalkan bekas hitam. Tiba-tiba terdengar anak rusa ini menguik!
Lalu binatang ini melompat dan tegak di atas batu datar. Sesaat memandang kian
kemari.
"Sungguh luar biasa! Di
mana ada mujizat dan keajaiban seperti ini!
Dan aku Ki Dukun Tambak Reso
yang melakukannya!" begitu si orang tua jubah putih berucap pada dirinya
sendiri. Dia melangkah lebih dekat ke batu besar. Anak rusa di atas batu itu
memandang ke arahnya. Sesaat kemudian, sebelum Ki Dukun melangkah lebih dekat,
binatang ini melompat dari atas batu, menghambur dalam kegelapan dan lenyap!
Untuk beberapa lamanya Ki
Dukun dan juga Wiro serta Gusdur menatap ke arah gelap di jurusan menghilangnya
anak rusa tadi.
Di depan batu datar, Ki Dukun
kemudian tampak membungkuk untuk mengambil batu kotak batu hitam yang tadi
terlempar jatuh sewaktu anak rusa melompat bangun dari kematiannya!
Di balik batu Gusdur berkata,
"Aku harus kembali sekarang juga sebelum Ki Dukun sampai. Jika dia
mendapatkan aku tak ada di rumah, apalagi sampai mengetahui aku ada di sini aku
bisa celaka. Aku pergi sekarang…"
Wiro mengangguk. Gusdur
balikkan tubuh lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Begitu Gusdur lenyap, Ki
Dukun tampak beranjak dari tempatnya setelah lebih dulu menyimpan baik-baik
kotak batu hitam ke dalam saku jubahnya. Saat dia hendak melangkah pergi dalam
luapan kegembiraan dan ketakjuban yang tiada henti-hentinya, saat itulah
Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari balik batu dan melangkah ke hadapannya.
Tentu saja Ki Dukun Tambak
Reso sangat terkejut ketika tiba-tiba melihat ada seorang pemuda tak dikenal
muncul di hadapannya di bawah hujan dan gelapnya malam serta dinginnya udara di
puncak bukit itu. Serta merta dia hentikan langkah dan memandang meneliti. Dia
tidak kenal pemuda di depannya ini. Perasaan curiga dan tidak enak menjadi satu
bercampur rasa marah karena menyadari rupanya ada orang lain di tempat ini.
"Sejak berapa lama
keparat ini berada di tempat ini? Apakah dia mengetahui dan menyaksikan apa
yang telah kulakukan? Melihat apa yang aku kerjakan?" Ki Dukun
bertanya-tanya dalam hati.
"Orang muda! Siapa
kau?!" Ki Dukun Tambak Reso membentak.
Suaranya terdengar garang
dibawah hujan lebat, tatapan matanya membersitkan kemarahan.
Dibentak keras-keras seperti
itu murid Sinto Gendeng sesaat jadi terkesima. Ada kekuatan aneh dalam diri
orang tua ini, termasuk dalam suaranya. Meskipun terkesima, namun dalam hatirya
Wiro bertanya-tanya pula apakah dia akan menjawab terus terang siapa dirinya,
mengutarakan maksud kemunculannya di tempat itu atau lebih dulu coba
mempermainkan si jenggot putih Irn.
"Orang tua, kau datang ke
puncak bukit Jati Arang ini tanpa permisi tanpa izin. Sungguh lancang dan
ceroboh tindakanmu!"
Kini Ki Dukun itulah yang
terkesima mendengar ucapan orang. "Tanpa permis? Tanpa izin…? Minta
permisi dan izin pada siapa…?! Apa maksudmu?!"
"Minta izin dan permisi
padaku! Karena akulah penguasa dan pemilik bukit Jati Arang ini!" sahut
Wiro seraya renggangkan kedua kaki dan tangkapkan kedua tangan di depan dada.
Mendengar ucapan itu Ki Dukun
Tambak Reso keluarkan suara tertawa bergelak. "Puluhan tahun aku tinggal
di daerah ini! Baru malam ini aku mendengar kalau bukit Jati Arang ada
pemiliknya, ada penguasanya! Kau melantur atau kau sebenarnya memang seorang
berotak tidak waras?!"
"Kau berani menghina dan
bermulut kotor pada penguasa bukit Jati Arang! Berarti kau sudah pasrah tubuhmu
dijadikan arang! Kecuali…"
"Kecuali apa?!"
sentak Ki Dukun Tambak Reso seraya kepalkan kedua tinjunya.
Wiro tak segera menjawab,
melainkan menyeringai lebih dulu lalu memencongkan mulutnya baru berkata:
"Kecuali jika kau menyerahkan kotak terbuat dari batu hitam itu!"
"Hem …itu rupanya maksud
kehadiranmu di sini!" Karena maklum orang sudah mengetahui kalau kotak
batu itu ada padanya Ki Dukun tak mau berdalih. Maka diapun bertanya, "Hak
apa kau meminta benda itu?!"
"Karena kau ditakdirkan
tidak sebagai pemiliknya. Benda itu merupakan salah satu barang pusaka yang
paling rahasia dari Keraton. Jadi harus dikembalikan pada Kerajaan!"
"Penipu besar! Aku yakin
kau seorang rampok yang memakai dalih Keraton dan kerajaan! Dengar! Jika kau
ingin selamat lekas minggat dari hadapanku!" Ki Dukun mengancam dengan
kepalkan tinju dan beliakkan kedua mata.
Dari balik pakaiannya Wiro
Sableng mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna putih berkilat terbuat dari
perak murni. Melihat benda itu Ki Dukun Tambak Reso jadi terkejut. Itu adalah
cap Kerajaan yang dituangkan di atas lempengan perak bulat. Dan merupakan suatu
pertanda bahwa siapa saja yang memegangnya berarti benar-benar tengah
menjalankan suatu tugas sangat penting dan sangat, rahasia dari Kerajaan!
Tapi apapun alasan dan
siapapun adanya Wiro, tentu saja orang tua itu tidak mau menyerahkan percuma
kotak batu yang telah dimilikinya. Apalagi dia sudah punya rencana besar dalam
otaknya. Dengan memiliki batu mijijat itu dia bisa menjadi seorang besar paling
berkuasa, malah lebih berkuasa dari Raja! Dia bisa menjadi seorang Raja Diraja!
"Orang muda, kau boleh
menunjukkan seribu tanda apapun padaku! Tapi tak akan aku menyerahkan kotak
batu hitam itu padamu! Nah, silahkah pergi!"
Ketika dilihatnya Wiro tidak
bergerak dari tempatnya malah cengarcengir seenaknya, Ki Dukun jadi jengkel.
Tapi ada semacam kisikan dalam hatinya agar tidak membuat keributan atau silang
sengketa dengan pemuda ini. Maka dengan cepat dia memutar tubuh lalu berkelebat
meninggalkan tempat itu. Namun baru enam langkah bertindak, tahu-tahu si pemuda
sudah berada dihadapannya, menghadang, lagi-lagi sambil menyeringai!
Ki Dukun Tambak Reso
berkelebat ke jurusan lain. Tapi sesaat kemudian dia kembali dapatkan dirinya
dihadang oleh si pemuda. Dia mencoba sekali lagi, tetap saja pemuda itu
berhasil mencegatnya. Kini marahlah Ki Dukun. Dengan suara bergetar dia
membentak keras. "Orang muda, kau mencari penyakit sendiri! Rasakan bekas
tanganku!"
Orang tua itu hantamkan tangan
kanannya ke depan, melabrak ke arah dada. Wiro cepat menangkis, malah dia
berhasil menangkap lengan lawan. Tapi ketika dia memperhatikan, yang
ditangkapnya ternyata sepotong ranting kayu.
"Ilmu sihir gila!"
teriak Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada
di kejahuan, lari menuruni bukit dengan cepat. Dengan geram Pendekar 212 segera
mengejarnya. Ternyata Ki Dukun tak bisa lari jauh. Dalam waktu sesaat saja dia
sudah terkejar dan kembali jalannya terhadang!
"Hem, rupanya
peringatanku tadi tidak membuatmu jera!" kertak Ki Dukun geram. "Kau
minta mampus maka mampuslah!" Habis berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso
jatuhkan tubuhnya hingga tergelimpang di tanah di hadapan Wiro. Menyangka lawan
hendang menelikungnya, Pendekar 212 cepat hantamkan tumitnya ke depan. Tapi dia
mendadak sontak jadi tergagap kaget ketika yang hendak ditendangnya itu tiba-tiba
telah berubah menjadi seekor ular besar yang siap untuk melilitnya!
Pendekar 212 melompat ke atas
dan dari atas lepaskan satu pukulan mengandung tenaga dalam panas. Binatang
jejadian itu menggeliat dan mental beberapa tombak lalu lenyap di bawah hujan
lebat.
"Dukun sihir sialan! Kau
mau lari kemana!" rutuk Wiro. Memandang ke depan dilihatnya Ki Dukun
Tambak Reso telah berada jauh di sebelah kiri; tengah melompat dari atas sebuah
batu. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini lepaskan pukulan kunyuk melempar
buah. Angin deras menderu, menghantam batu besar di mana Ki Dukun tampak
berdiri siap melompat. Batu itu hancur berantakan. Wiro memburu. Ketika dia
sampai di tempat itu sang dukun sudah lenyap!
"Setan alas!" maki
Wiro sambil satu tangan mengepal, satu lainnya menggaruk-garuk kepatanya yang
basah kuyup.
***
Hari telah lama siang. Di
dalam rumah Gusdur menunggu kedatangan sang majikan. Dia tak tahu kalau Ki
Dukun Tambak Reso tak akan pernah kembali ke rumahnya. Setelah kejadian di
puncak bukit Jati Arang orang tua ini menyadari bahwa kotak batu hitam yang ada
padanya merupakan suatu benda yang dicari dan dikejar oleh banyak orang.
Termasuk pemuda berambut gondrong yang mendapat tugas khusus dan rahasia dad
Kerajaan itu. Apa gunanya dia kembali ke tempat kediamannya kalau akan menjadi
incaran dan kejaran orang? Begitulah akhirnya malam itu juga Ki Dukun Tambak
Reso memutuskan untuk tidak kembali ke rumahnya.
Ketika perutnya mulai lapar
dan hari bertambah siang sedang sang dukun tak juga muncul, Gusdur ingat akan
kesaktian yang kini dimilikinya. Timbul niat untuk mencoba kesaktian itu
kembali. Dia berlutut di lantai, luruskan dua jari tangan kanannya lalu
ditusukkan ke bawah. Begitu jarinya menghantam lantai, langsung Gusdur menjerit
kesakitan. Lantai itu bukan saja tidak tembus dan berlubang tapi kedua tulang
jarinya hampir patah dan sakitnya bukan kepalang.
"Hai! Kenapa jadi tidak
mempan? Kenapa jari-jariku jadi sakit begini?!" ujarGusdur kesakitan dan
terheran-heran. Dipijit-pijitnya kedua jarinya yang sakit itu. Meskipun sakit
tapi karena ingin hendak mencoba lagi maka dia kembali tusukkan kedua jarinya
ke lantai papan. Untuk kedua kalinya pula si pendek ini menjerit kesakitan
seraya kibas-kibaskan tangan kanannya.
"Tidak mempan! Kesaktianku
lenyap! Si Gondrong itu pasti telah menipuku! Kurang ajar! Sialan!"
***
4
EMPAT ORANG TUA ahli
pengobatan tegak di sekeliling tempat lidur. Di kepala tempat tidur besar
berdiri mapatih Kerajaan yang berusia hampir tujuh puluh tahun yaitu Damar
Waruseto. Di atas tempat tidur terbaring sosok tubuh Sri Baginda. Wajahnya
putih pucat, tubuhnya sangat kurus hingga tampak hampir sama rata dengan tempat
tidur. Sepasang matanya menatap ke langit-langit kamar, memandang dingin dan
kosong. Telah hampir dua purnama Sri Baginda berada dalam keadaan seperti itu.
Sakit yang dideritanya tak kunjung diketahui, karenanya sulit mencarikan obat
yang tepat. Jelas sakit Sri Baginda tidak bersangkut paut dengan sakit yang
biasa diderita karena ada yang tidak beres dengan tubuh kasar. Sakit Raja kali
ini berkaitan erat dengan hal-hal yang lebih bersifat gaib.
Bibir Sri Baginda tampak
bergerak. Tak ada suara yang keluar. Tapi semua orang yang ada disitu segera
maklum kalau Raja minta diberi minum. Maka salah seorang dari ahli pengobatan
itu segera mengambil sebuah gelas besar berisi air putih, dua lainnya menolong
menegakkan kepala Raja. Hanya seteguk yang bisa lewat di tenggorokan Sri
Baginda. Memang hanya air putih itu sajalah menjadi pengisi perutnya sejak tiga
minggu lalu ketika dia mulai tak bisa makan dan sulit minum.
Ketika sepasang mata Sri
Baginda mulai kuyu dan merapat tanda dia mulai memasuki alam tidur, mapatih
Damar Waruseto memberi isyarat, lalu keluar dari kamar tidur Sri Baginda. Empat
orang tua ahli pengobatan segera mengikuti. Mereka masuk ke dalam sebuah
ruangan disamping kamar Raja. Pada seorang pengawal mapatih membisikkan
sesuatu. Tak lama kemudian pengawal ini muncul kembali bersama seorang lelaki
tua berpakaian biru. Meskipun sudah tua tapi orang ini memiliki tubuh tegap
liat. Gerakannya lincah penuh wibawa dan mantap. Dia adalah Gombong Pengestu,
salah seorang yang dulunya merupakan seorang abdi dalem yang kemudian diangkat
menjadi satah seorang tokoh silat istana yang disegani karena ketinggian ilmu silatnya
luar dan dalam.
"Dimas Gombong
Pangestu," berkata mapatih Damar Waruseto seraya menutup pintu ruangan dan
memandang pada empat orang ahli pengobatan. "Kita semua tahu bahwa
sakitnya Sri Baginda bukan merupakan sakit lahir, tapi adalah sakit batin karena
tekanan jiwa akibat lenyapnya batu mustika pusaka Keraton bernama Kencono
Sukmo. Inilah sumber penderitaan batin dan sumber sakit Sri Baginda. Kita semua
tahu apa akibatnya kalau benda mustika itu jatuh ke tangan orang jahat yang
mengetahui keandalannya lalu menyalah gunakannya. Bukan saja Keraton yang
terancam tapi juga keselamatan Sri Baginda dan keluarganya, keselamatan kita
semua bahkan keselamatan dan kelangsungan hidup seluruh Kerajaan. Itulah
sebabnya dua bulan yang lalu, sebelum Sri Baginda jatuh sakit akibat memikirkan
persoalan ini, beliau telah meminta kita untuk melakukan segala ikhtiar guna
mencari dan menemukan Kencono Sukmo itu kembali. Melihat keadaan lahir Sri
Baginda saat ini, yang hanya mampu meneguk air, sama sekali tidak bisa makan apapun,
aku kawatir beliau hanya bisa bertahan beberapa minggu saja lagi. Sakit Sri
baginda ini harus menjadi rahasia bagi kita semua. Kalau sampai musuh dan kaum
pemberontak yang masih bercokol di perbatasan mengetahui, berarti kita akan
mendapat kesulitan baru. Aku mengerti kalian semua sudah melakukan berbagai
macam usaha yang tidak hentihentinya. Hanya memang petunjuk Gusti Allah masih
belum kita dapatkan."
Sampai disitu patih Damar
Waruseto berpaling pada Gombong Pangestu. "Dimas, apakah ada perkembangan
dengan usahamu meminta bantuan orang-orang rimba persilatan?"
"Aku sudah melakukannya
kangmas. Hanya saja beberapa tokoh silat yang kuhubungi pertama kali tidak
berhasil mendapatkan keterangan apapun, apalagi mendapat tahu dimana benda
pusaka itu berada atau siapa yang menyimpannya sekarang. Kemudian salah seorang
tokoh di timur membawa berita bahwa Kencono Sukmo terakhir sekali diketahui
berada di tangan Kebo Hijo, seorang tokoh silat yang namanya tidak begitu
bersih. Ketika dia melakukan penyelidikan lebih jauh ternyata Kebo Hijo
diketahui telah mati terbunuh. Siapa pembunuh tidak diketahui. Namun siapapun
adanya pembunuh itu pasti dialah kini yang menguasai batu Kencono Sukmo…"
"Jadi sampai saat ini
kita masih tetap belum mengetahui dimana barang pusaka itu berada…?" tanya
mapatih Damar Waruseto.
"Memang belum diketahui
mapatih. Tetapi satu minggu lalu orang kita berhasil mengadakan kontak dengan
dedengkot dunia persilatan yang dikenal dengan nama julukan Dewa Tuak.
Kabarnya, bukan kabarnya, maksudku secara pasti Dewa Tuak telah menghubungi
salah seorang tokoh silat muda yang dianggapnya sebagai murid sendiri: Pendekar
muda itulah yang kini tengah melakukan pengusutan dan pengejaran.."
"Nama Dewa Tuak memang
kukenal baik. Beberapa kali dia di masa silam berbuat jasa besar pada Kerajaan.
Siapa nama pendekar muda yang ditugasinya melakukan penyelidikan itu, dimas
Gombong?"
"Namanya Wiro Sableng.
Julukannya Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kalau tak salah dia adalah murid
si nenek sakti bernama Sinto Gendeng yang bermukim di Gunung Gede…"
"Ah, pendekar itu. Akupun
pernah bertemu muka dengannya!" kata patih Damar Waruseto pula.
Salah seorang ahli pengobatan
membuka mulut. "Maafkan aku, tapi barusan aku mendengar bahwa urusan ini
tengah ditangani oleh seorang pendekar bernama Wiro Sableng. Apakah kita bisa
mempercayai seorang sableng seperti itu …?"
Mapatih Damar Waruseto
tersenyum. "Kau dan mungkin juga para tua ahli pengobatan yang ada disini
hanya sibuk dengan urusan obatmengobat, tidak tahu urusan rimba persilatan.
Nama Pendekar 212 Wiro Sableng merupakan momok nomor satu bagi para tokoh silat
sesat dan orang-orang jahat. Sebaliknya menjadi tokoh yang sangat dikagumi oleh
orang-orang silat golongan putih. Dia masih muda memang, tingkahnya tidak terlepas
dari sifat gila orang-orang muda. Namun ilmunya segudang dan kejujurannya dapat
dijadikan andalan…"
Juru obat yang tadi bicara
hanya bisa angguk-anggukkan kepala mendengar keterangan sang patih.
***
5
KI DUKUN TAMBAK RESO menatap
pada tamunya yang berpakaian bagus itu sesaat lalu mengerling ke arah kereta
kuda yang berhenti di depan pintu pekarangan rumahnya.
"Katakan siapa dirimu dan
ceritakan apa keperluanmu," ujar Ki Dukun.
"Nama saya Tapak Lodra,
pembantu merangkap pengawal keluarga almarhum Raden Mas Rono Wicula dari Losari
di pantai utara…"
"Hemmm…pembantu saja
pakaiannya begini mewah. Pasti majikannya orang kaya raya, "kata Ki Dukun
dalam hati. Lalu dia bertanya, "Maksud kedatanganmu?"
"Saya tidak datang
sendirian, tapi bersama Raden Ayu Tambakdwita, istri almarhum majikan saya.
Kami mendengar Ki Dukun memiliki kesaktian yang sanggup menyembuhkan orang
sakit bahkan menghidupkan orang yang sudah mati…"
"Dari mana sampeyan
mengetahui hal itu?" tanya Ki Dukun pula.
"Saya sendiri tidak paham
betul. Raden Ayu Tambakdwita yang mengetahui dan meminta saya datang kemari.
Kami mengadakan perjalanan jauh selama tiga hari tiga malam. Syukur dapat
menemui Ki Dukun."
"Kau belum mengatakan
maksud kedatanganmu!"
"Mengenai hal itu biar
Raden Ayu Tambakdwita sendiri yang menuturkan…"
"Di mana majikanmu itu
sekarang?"
"Ada di dalam kereta.
Dengan perkenan Ki Dukun saya akan memanggiinya dan membawanya kemari…"
jawab Tapak Lodra.
Ki Dukun Tambak Reso
mengangguk. Setiap langkah yang dibuat Tapak Lodra diikuti dengan pandangan
mata hampir tak berkesip oleh Ki Dukun. Sejak dia menyembunyikan diri di tempat
itu setiap ada orang yang datang selalu dicurigainya, termasuk yang satu ini.
Bukan mustahil mata-mata atau kaki tangan Kerajaan yang berusaha mendapatkan
batu hitam itu. Tapi ketika dari dalam kereta dilihatnya turun seorang
perempuan, hatinya menjadi lega.
Perempuan ini berusia sekitar
setengah abad, namun memiliki wajah yang masih cantik serta tubuh dan kulit
yang bagus mulus tanda terawat baik. Ketika sampai di hadapan Ki Dukun, orang
tua ini semakin jelas melihat kecantikan itu dan membuatnya menelan ludah
beberapa kali. Sejenak Ki Dukun merenung kali terakhir dia satu ketiduran dan
bersenang-senang dengan perempuan, yakni sembilan tahun yang lalu ketika
istrinya yang kedua masih hidup sementara istri pertamanya lari meninggalkannya
akibat ulahnya bermain cinta dengan istrinya yang kedua itu.
Berada dekat-dekat begitu Ki
Dukun dapat mencium wangi semerbaknya bau tubuh tamunya itu. Ki Dukun mempersilahkan
tamunya duduk.
"Apakah saya berhadapan
dengan Ki Dukun Tambak Reso yang sakti itu?" tanya sang tamu.
Ki Dukun tersenyum. "Aku
hanya manusia biasa, tak punya kelebihan apa-apa," sahut Ki Dukun
merendah. Matanya menjelajahi paras dan lekuk dada tamunya yang putih
membusung. "Apakah aku berhadapan dengan Raden Ayu Tambakdwita, istri
almarhum Raden Mas Rono Wiculo?"
"Ah, betul sekali.
rupanya pembantu saya Tapak Lodra telah menceritakan tentang diri saya pada Ki
Dukun.."
"Betul, tapi belum
menceritakan maksud dan tujuan kedatangan sejauh ini," ujar Ki Dukun pula.
"Saya akan
ceritakan."
"Baik, aku akan
mendengarkan. Tapi aku ingin kita bicara empatmata saja. Bisa…?"
"Tentu saja bisa,"
sahut Raden Ayu Tambakdwita. Lalu dia berpaling pada Tapak Lodra yang tegak di
tangga rumah dan menganggukkan kepalanya. Melihat isyarat itu Tapak Lodra
segera meninggalkan tempat itu, pergi ke kereta dan duduk di samping kusir.
Hatinya merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan tersinggung. Melihat
tampang dan sikap sang dukun sebenarnya dia tidak merasa suka terhadap orang
itu. Kini melihat majikannya berdua-dua dengan orang tua itu seperti ada rasa
cemburu dalam hatinya. Sebenarnya sejak lama memang Tapak Lodra menaruh hati
pada Tambakdwita. Sebagai orang kepercayaan yang telah bertahun-tahun berbakti
apalagi dia tidak punya istri, sebenarnya Tapak Lodra memang cukup pantas
menjadi pasangan janda cantik itu. Namun karena menyadari dirinya berasal dari
kalangan rendah saja maka Tapak Lodra tidak pernah berani mengutarakan
maksudnya itu.
"Nah Raden Ayu, ceritakan
maksud kedatanganmu," kata Ki Dukun Tambak Reso begitu mereka kini hanya
tinggal berdua saja di ruangan depan itu.
"Saya mempunyai seorang
putera yang merupakan anak tertua, kini berusia sekitar dua puluh satu tahun,
Sejak masih berumur enam belas tahun, selagi ayahnya hidup, anak itu telah
diberi berbagai pelajaran termasuk itmu silat. Ternyata dia memang banyak lebih
tertarik pada ilmu silat dan kesaktian hingga meninggalkan begitu saja
pelajaran-pelajaran lain. Dia sering meninggalkan rumah berbulan-bulan guna
mencari dan mendapatkan ilmu baru. Ilmu silatnya memang tinggi dan kesaktiannya
mengagumkan. Namun dua bulan lalu dia jatuh sakit dan tak bisa lagi
meninggalkan tempat tidur. Dua minggu lalu keadaannya tambah parah.
Matanya setalu tertutup.
Keadaannya seperti orang tidur. Mungkin pingsan. Hari demi hari tubuhnya
semakin kurus. Ki Dukun, inilah persoalan saya. Bisakah Ki Dukun mengobati
putera saya itu? Berbagai tabib dan ahli pengobatan telah berusaha menolongnya,
namun dia tetap saja tak bergerak di atas ranjang."
"Menurut para ahli yang
telah coba mengobati putera Den Ayu, apakah sudah diketahui apa sakitnya?"
bertanya Ki Dukun seraya usap-usap janggut putihnya sementara kedua matanya
terus menjelajahi wajah dan dada perempuan cantik di hadapannya.
"Tak satupun mereka bisa
memastikan apa penyakit putera saya. Beberapa diantara mereka menduga,
kemungkinan besar sakitnya putera sebagai akibat terlalu banyak menguasai ilmu
silat dan kesaktian dari berbagai sumber, dicampur-campur satu sama lain yang
sebenarnya merupakan pantangan… Saya tidak tahu dan tidak mengerti tentang ilmu
silat dan ilmu kesaktian. Bagaimana menurut Ki Dukun sendiri…?"
"Hem…." Ki Dukun
menggumam. "Mungkin pendapat itu ada benarnya. Namun harus diperiksa dan
diselidiki dulu. Siapakah nama puteramu itu Den Ayu ….?"
"Pati Rono," jawab
Tambakdwita. Lalu dia bertanya, "Apakah Ki Dukun bersedia melihatnya di
Losari…? Perjalanan ke sana memang jauh.
Tapi percayalah, semua jerih
payah Ki Dukun akan saya beri imbalan yang sesuai. Apalagi kalau Pati Rono bisa
disembuhkan…"
"Jangan kawatir…"
kata Ki Dukun pula seraya memegang tangan Tambakdwita. "Aku akan datang ke
Losari."
"Terima kasih. Saya
memang sudah menduga Ki Dukun mau menolong. Karena itu sebelumnya saya sudah
menyiapkan sebuah kereta untuk menjemput Ki Dukun. Paling lambat petang nanti
penjemput itu sudah sampai disini."
"Sebetulnya sama-sama
berangkat dengan Den Ayu saat ini aku tidak keberatan. Tapi tak jadi apa kalau
Den Ayu memang sudah mengatur begitu," kata Ki Dukun
Dari dalam sebuah tas kain
yang dibawanya Den Ayu Tambakdwita mengeluarkan sebuah kantong kulit kecil.
Ketika kantong itu diletakkan di atas meja terdengar suara berdering tanda
berisi uang.
"Itu sebagian dari
imbalan yang saya janjikan. Sisanya akan Ki Dukun terima setelah sampai di
Losari, lalu ada tambahan istimewa jika Pati Rono bisa disembuhkan…"
"Sebetulnya yang ada dalam
kantong itu sudah lebih dari cukup, Den Ayu. Tambahannya tidak perlu berupa
harta atau uang."
"Maksud Ki Dukun?"
tanya Tambakdwita pula.
"Setelah ditinggal Raden
Mas Rono Wiculo dan hidup sendirian bertahun-tahun, apakah Den Ayu tidak
mempunyai keinginan untuk mencari pengganti suami yang hilang itu?"
Pertanyaan Ki Dukun Tambak
Reso itu membuat wajah Den Ayu Tambakdwita menjadi kemerah-merahan. Apalagi
ketika didengarnya si orang tua berkata, "Nama kita sama. Aku Tambak Reso,
di situ Tambakdwita. Mungkin ini satu kecocokan yang ditakdirkan Tuhan?"
"Ki Dukun," kata
Tambakdwita dengan suara bergetar. Dia tak berani memandang kedua mata orang di
hadapannya itu. Karena setiap dia bertemu pandang ada sesuatu kekuatan yang
membuatnya bergetar disertai hawa aneh menjalari tubuhnya. "Kalau Ki Dukun
tidak keberatan, hal-hal lain bisa kita bicara akan lain kali saja. Saya mohon
diri. Kadatangan Ki Dukun saya nantikan di Losari," Lalu Tambakdwita
berdiri dan melangkah cepat-cepat menuju kereta. Ki Dukun Tambak Reso
mengantarkannya sampai di tangga sambil mengulum senyum.
"Perempuan satu ini harus
dapat olehku. Tak pernah ada yang begitu besar daya tariknya, membuatku
sampai-sampai keringatan!"
***
6
DI DALAM KAMAR yang besar dan
mewah serta harum itu ada empat orang. Pertama Ki Dukun Tambak Reso, lalu Raden
Ayu Tambakdwita bersama Tapak Lodra.
Orang yang keempat terbujur di
atas tempat tidur berkasur tebal dan berseperai bagus. Orang ini adalah Pati
Rono, putera Tambakdwita yang berada dalam keadaan sakit. wajahnya, kedua
tangannya yang tersembul di atas selimut pucat pasi seperti tiada berdarah.
Wajahnya mengerikan untuk dipandang karena pipi dan rongga matanya sangat
cekung serta berwarna kebiruan.
Ki Dukun meraba tangan pemuda
itu. Dingin. Lalu meraba wajah dan bagian lehernya. Juga dingin. Ketika ditekan
bagian lengannya kiri kanan, juga ketika ditekan urat besar di lehernya, sama
sekali tak ada denyutan. Si orang tua lalu membalikkan kelopak mata kanan Pati
Rono. Putih, bagian hitam lensa matanya hanya tarlihat sedikit di sebelah
bawah. Ki Dukun Tambak Reso berpaling pada ibu si pemuda.
"Bagaimana…?" tanya
Tambakdwita dengan suara tercekat.
"Puteramu sudah meninggal
sejak beberapa hari lalu," menerangkan sang dukun.
Mendengar itu Tambakdwita
langsung menggerung dan menubruk serta merangkul tubuh anaknya. Tapak Lodra
tertegun tak percaya dan beberapa kali menarik nafas dalam.
Ki Dukun pegang bahu
Tambakdwita dan berkata; "Den Ayu, tak baik menangis. Kalau Gusti Allah
sudah menghendaki kau harus rela melepas anakmu…"
"Ada satu hal yang
mengherankan Ki Dukun," terdengar Tapak Lodra berucap. "Jika memang
Raden Pati meninggal cejak beberapa hari lalu, mengapa jenazahnya tidak menebar
bau…?"
Ki Dukun berpaling pada
pembantu dan kepala pengawal rumah tangga almarhum Raden Mas Rono Wiculo itu.
Pertanyaan Tapak Lodra sebenarnya wajar-wajar saja, namun sang dukun merasakan
seperti hendak memojokkannya. Sejak semula memang dia tidak suka pada orang
ini. Dan Ki Dukun sendiri, dari pandangan mata Tapak Lodra dia memaklumi kalau
lelaki itupun tidak menyukainya. Dengan suara tenang Ki Dukun menjawab
pertanyaan Tapak Lodra tadi.
"Ini justru satu
keajaiban yang hanya Gusti Allah yang mampu menjawabnya," katanya. Lalu
dia menyambung. "Bukan mustahil segala macam obat yang telah diberikan
sebelumnya membuat tubuh kasarnya mampu bertahan begini rupa…"
"Tidak…! Tidak! Anakku
tidak boleh mati …! Pati…Pati anakku! Kau tidak boleh mati…! terdengar raungan
Raden Ayu Tambakdwita yang saat itu masih merangkuli tubuh puteranya sambil
menangis dan meraung tiada henti.
"Raden Ayu, sudahlah. Kau
dan kita semua harus pasrah menghadapi kenyataan ini…" ujar Tapak Lodra.
"Tidakkkk! Pati tidak
boleh mati…"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Seorang gadis berpakaian serba kuning, berwajah cantik sekali masuk. Dia cepat
menanggapi apa yang tengah terjadi. Langsung saja dia melompat ke tepi ranjang,
memeluk tubuh Pati Rono dan ikut menangis keras.
"Kakak…kakak…! Mas
Pati…Jangan pergi mas…."
Ternyata gadis itu adalah
puteri Tambakdwita, adik perempuan Pati Rono. Suasana dalam ruangan itu jadi
tambah mencekam. Tiba-tiba Raden Ayu Tambakdwita hentikan tangisnya dan
berpaling menghadapi Ki Dukun Tambak Reso.
"Ki Dukun! Bagaimana
sekarang?! Kau bisa menghidupkan puteraku? Kau harus bisa! Itu janjimu…"
Tambakdwita berteriak seraya memukuli dada Ki Dukun.
Orang tua ini pegang
pergelangan tangan perempuan itu lalu berkata,
"Tenang Den Ayu… Tenang.
Aku tak pernah berjanji tapi aku akan mencoba. Semua tergantung kekuasaan
Tuhan. Untuk itu aku minta semua orang meninggalkan kamar ini… Termasuk Den
Ayu. Aku akan memulai pekerjaan …"
"Tidak! Aku dan ibu harus
menemani mas Pati di sini!" yang berteriak adalah gadis berpakaian kuning,
puteri Tambakdwita yang bernama Tambaksari.
Ki Dukun menatap wajah sang
dara beberapa ketika. "Ah, gadis ini cantik sekali. Ibunya tentu secantik
ini di masa mudanya…" membatin Ki Dukun. Lalu dia berpaling pada
Tambakdwita dan anggukkan kepala.
Melihat isyarat ini
Tambakdwita menoleh pada puterinya, memegang lengan gadis itu, lalu mengajaknya
melangkah menuju ke pintu mengikuti Tapak Lodra. Sebelum Tambakdwita menghilang
di balik pinlu, Ki Dukun berkata padanya, "Ingat Den Ayu, selama aku
bekerja di dalam sini, tak seorangpun boleh masuk dengan alasan atau keperluan apapun.
Aku akan akan keluar memberi tahu bilamana pekerjaan telah se!esai. Harap
kalian menyiapkan sebuah usungan dan kereta. Dan satu hal, jangan coba-coba
atau ada yang berani mengintip apa yang aku kerjakan. Akibatnya bisa parah dan
puteramu tak mungkin ditolong!"
Begitu pintu kamar ditutupkan
Ki Dukun langsung menguncinya dari dalam, lalu dia naik ke atas tempat tidur
dan duduk bersila di samping tubuh Pati Rono. Kedua matanya perlahan-lahan
dipejamkan. Lalu dia mulai melafatkan kata-kata mujijat Walakalmati –
Walakalhidup – Matlwalakal – Hidupwalakil, satu kali…dua kali.. sepuluh kali..
seratus kali dan seterusnya sampai sepuluh ribu kali. Ketika akhirnya dia
selesai merapal sampai sepuluh ribu kali tubuh dan pakaiannya telah basah oleh
keringat. Di luar hari telah senja. Raden Ayu Tambakdwita, Tapak Lodra dan
Tambaksari menunggu dengan sangat tidak sabar dan harapharap cemas. Apakah yang
tengah dilakukan Ki Dukun Tambak Reso sekian lamanya? Jika menurutkan hatinya
mau Tambakdwita melabrak pintu dan menjebol masuk.
Di dalam kamar Ki Dukun buka
kedua matanya, menyeka keringat di wajahnya beberapa kali lalu turun dari
tempat tidur, berdiri untuk meluruskan kedua kakinya. Kemudian dari saku
jubahnya dikeluarkannya benda keramat, batu hitam Kencono Sukmo. Dengan
hati-hati batu ini disapukannya ke seluruh wajah dan tubuh Raden Pati Rono.
Selesai melakukan itu batu mustika disimpannya kembali, memandang seputar kamar
lalu melangkah ke pintu.
***
7
KI DUKUN TAMBAK RESO memegang
bahu kusir kereta. Sang kusir yang tahu isyarat ini segera hentikan kereta.
Saat itu lewat tengah malam. Angin bertiup kencang. Dari tempat mereka berada
terdengar deburan ombak laut di pantai. Ki Dukun memandang bekeliling. Kusir
kereta menuju ke sebelah barat di mana tampak menghitam sebuah bukit karang.
Angin bertiup lagi lebih kencang.
"Itu satu-satunya bukit
karang yang paling tinggi di bagian pantai ini," menerangkan kusir kereta.
Ki Dukun mengangguk
"Cukup kau hanya mengantar aku sampai disini. "Tunggu di tempat ini
sampai aku kembali." Lalu orang tua itu turun dari kereta, membuka pintu
disebelah belakang, menarik usungan dimana terbaring sosok tubuh Raden Pati
Rono.
Kuda penarik kereta terdengar
meringkik ketika Ki Dukun menaikkan tubuh pemuda itu ke atas bahunya dan mulai
melangkah cepat ;menuju bukit karang di sebelah barat. Kusir kereta merasakan
bulu kuduknya berdiri. Dia hampir tak berani bergerak saking merasa takut. Juga
masih tetap disitu ketika hujan rintik-rintik mulai turun. Memang daerah pantai
Losari di bagian itu merupakan suatu daerah bebukitan batu karang yang paling
sering turun hujan.
Dari melangkah cepat Ki Dukun
kini tampak berlari-lari. Semangatnya jadi berkobar-kobar ketika melihat hujan
mulai turun. Ini satu pertanda bahwa kelanjsrtan usahanya untuk menghidupkan
pemuda yang sudah mati di panggulannya itu akan berjalan cepat. Di timur
terdengar guntur menggelegar. Lalu kilat mulai menyambar.
Meskipun agak susah payah
karena harus mendaki bukit batu karang yang licin berlumut namun akhirnya Ki
Dukun Tambak Reso sampai juga dipuncaknya. Nafasnya meng-engah. Perlahan-lahan
tubuh Raden Pati Rono dibaringkannya di bagian batu yang agak rata. Angin laut
bertiup kencang dan tajam. Hujan turun makin deras. Ki Dukun menyeringai. Dari
dalam saku jubahnya dikeluarkannya kotak batu ham Kencono Sukmo lalu
diletakkannya didada mayat, tepat di bagian jantung.
"Ahak manusia, kuberikan
kehidupan padamu. Hiduplah! Hiduplah!
Dan berikan ibumu
padaku!" berkata Ki Dukun dengan suara perlahan bergetar. Lalu dia
menuruni bukit karang itu, memilih tempat yang terlindung tapi tidak terlalu
jauh. Di sini dia menunggu dengan dada berdebar. Dia pernah menghidupkan seekor
binatang, menyembuhkan beberapa orang yang sakit parah. Tetapi baru kali ini
dia mencoba menghidupkan seorang yang telah meninggal. Diam-diam bulu romanya
terasa berdiri. Guntur menggelegar, kilat sambung menyambung.
"Halilintar… datanglah!
Sambar batu dan tubuh itu! Halilintar …datanglah!" ujar Ki Dukun berulang
kali. tapi dia harus menunggu lama sampai menjelang dini hari, yaitu ketika
tubuhnya berada dalam keadaan basah kuyup dan terasa dingin seperti diselimuti
es. Saat itu rangkaian halilintar tampak sambar menyambar berkepanjangan dari
arah timur. Sambaran yang terakhir berkiblat tepat di atas bukit karang, menghantam
ke bawah, menghunjam tepat di atas tubuh Raden Pati Rono! Tubuh itu tampak
terangkat ke atas lalu jatuh kembali ke atas batu karang dan mengeluarkan
kepulan asap. Setelah itu terbujur tak bergerak. Tempat itu tiba-tiba saja
sunyi seperti di pekuburan. Guntur tak terdengar lagi, kilat atau halilintar
tak tampak lagi. Bahkan angin seolah-olah berhenti bertiup dan ombak seperti
berhenti berdebur!
Dengan tubuh bergetar Ki Dukun
Tambak Reso memanjat menuju bagian alas bukit karang. Dengan mempergunakan sahelai
sapu tangan dia memungut batu Kencono Sukmo yang tercampak di atas bukit batu
lalu memasukkannya ke dalam saku jubahnya. Di atas batu karang tubuh Raden Pati
Rono tampak tidak bergerak. Ki Dukun memperhatikan dengan seksama dan mata
dibesarkan. Darahnya tersirap ketika tiba-tiba dia melihat ibu jari kaki kanan
si pemuda bergerak. Perlahan sekali tapi dia jelas melihatnya. Ki Dukun
memegang ibu jari yang bergerak itu. Terasa panas.
"Panas adalah api. Api
adalah hawa kehidupan…" desis Ki Dukun. Lalu dipegangnya betis pemuda itu.
Kemudian dilihatnya jari-jari kanan Pati Rono juga mulai bergetar. Ki Dukun
cepat memegang tangan kanan itu. Tiba-tiba jari-jari Pati Rono menggenggam
mencengkeram tangannya. Ki Dukun terpekik kaget dan cepat sentakkan lengannya
untuk melepaskan cekalan itu.
Walau di hatinya ada terselip
rasa ngeri namun kegembiraan sang dukun juga melupa. "Dia hidup…Dia hidup!
Batu hitam itu betul-betul batu mujijat. Gusti Allah Maha Besar!"
Untuk memastikan bahwa Pati
Rono benar-benar sudah hidup kembali Ki Dukun membungkuk dan dekatkan telinga
kanannya ke dada Pati Rono. Lapat-lapat dia mendengar ada suara yang
memukul-mukul di dasar dada itu. Itulah suara degupan jantung!
"Luar biasa…Aku sendiri
hampir tak percaya!" ujar Ki Dukun dalam hati. Untuk sesaat dia masih
mendekapkan telinga mendengar degupan jantung itu. Tiba-tiba kedua tangan Pati
Rono bergerak menyilang dan punggung Ki Dukun tersikap kencang! Orang tua itu
merasakan jiwanya seperti terbang. Dia menggeliat keras-keras, dengan susah
payah akhirnya berhasil meloloskan diri dari sikapan tadi. Begitu terlepas,
kedua tangan Pati Rono kembali terkulai di kedua sisi. "Sebelum
kekuatannya pulih, aku harus cepat membawanya ke Losari…." pikir Ki Dukun.
Lalu tubuh pemuda itu dipanggulnya di bahu kanan. Dalam perjalanan menuruni
bukit karang menuju di mana kereta menunggu Ki Dukun selalu bersikap waspada.
Bukan mustahil mayat yang barusan hidup kembali itu tiba-tiba saja bergerak
mencekiknya!
***
KERETA PEMBAWA Pati Rono itu
sampai di Losari menjelang senja, disambut oleh Tapak Lodra, Tambakdwita,
puterinya dan beberapa pelayan. Ketika usungan diturunkan dari kereta oleh
kusir dan Tapak Lodra, kuda penarik kereta tiba-tiba mengangkat kedua kaki
depannya dan meringkik keras, membuat semua orang tercekal.
Ketika melewati ruangan tengah
rumah besar mendadak terdengar suara mengeong keras. Seekor kucing putih
belanghitam melompat dari balik tirai, berusaha lari ke arah usungan.
"Belang… Belang, jangan berisik!" Tambaksari cepat mendukung binatang
peliharaannya itu. Dalam dukungan si gadis kucing ini terus mengeong. Kedua
matanya memandang tak berkesip ke arah tubuh Pati Rono di atas usungan.
Sikapnya garang sekali. "Heran, tak biasanya kau seperti ini,
Belang…" Untuk kesekian katinya si belang mengeong, menggeliat lalu
menghambur dari arah gendongan Tambaksari.
Dengan sangat hati-hati tubuh
Pati Rono dibaringkan di atas tempat tidur bertilam indah. Sang ibu duduk di
kiri tempat tidur. Yang lain-lain tegak berkeliling. Sambil duduk Tambakdwita
tidak hentinya mengusap wajah dan memijiti tangan anaknya. Dia ingin agar
anaknya itu segera bangun agar dia melihat kenyataan bahwa Pati Rono
benar-benar hidup.
Selagi dia memegang-megang
tangan puteranya, tiba-tiba tangan itu bergerak. Tambakdwita terpekik. Lima
jari tangan Pati Rono mencengkeram lengannya. Kuat dan sulit dilepaskan.
"Tenang saja Den Ayu.
Jangan dipaksakan untuk menarik tanganmu.
Ada kalanya kehidupan
mendatangkan kerinduan. Puteramu tentu sangat rindu padamu. Itu sebabnya
tanganmu dipegangnya erat- erat…" Kata-kata itu diucapkan oleh Ki Dukun
Tambak Reso walau diam-diam hati kecilnya merasa kawatir kalau-kalau cekalan
yang keras itu tidak bisa dilepaskan.
"Lihat! Kedua mata Raden
Pati membuka!" berseru kusir kereta yang sampai saat itu masih ikut berada
dalam kamar.
Semua orang memandang,
memperhatikan.
Astaga! Memang betul! Sepasang
mata pemuda itu tampak terbuka perlahan-lahan. Mula-mula tampak bagian mata
yang berwarna putih. Menyusul bagian bola mata yang berwarna hitam kecoklatan.
Tidak! Ternyata bola mata yang seharusnya berwarna hitam kecoklatan itu kini
tampak memiliki warna kelabu!
Tapak Lodra tidak sengaja
saling berpandangan dengan Tambaksari. Jelas kelihatan bayangan rasa ngeri pada
wajah gadis ini. Memang memperhatikan dua mata yang terbuka nyalang tidak
berkesip dan berwarna aneh serta membersitkan sinar dingin itu terasa adanya
keangkeran. Dua bola mata itu bergerak sedikit, memandang ke arah Tambakdwita.
Lalu menyeruak senyum di wajah yang mulai kemerahan itu. Bagi Tapak Lodra
senyum itu lebih merupakan sebuah seringai yang mengerikan.
"Pati anakku…!" seru
Tambakdwita. "Kau tersenyum padaku Pati. Jadi kau benar-benar kembali! Kau
benar-benar hidup lagi! Gusti Allah terima kasih! Terima kasih!" Air mata
tampak berlinangan di kedua mata perempuan itu. Tangan kanan anaknya
didekatkannya kewajahnya dan diciumnya berulang-ulang.
"Ibu,..Aku haus…"
Mulut Pati Rono terbuka dan suara minta minum terdengar diucapkannya.
Tambakdwita dan puterinya
tersenyum. Sang ibu usut air mata yang berderai di pipinya. Lalu terdengar lagi
suara sang putera, "Aku juga lapar, bu…"
Tambakdwita peluk dan ciumi
wajah puteranya. "Kau boleh minta apa saja Pati. Pasti akan ibu
berikan…" Perempuan itu ciumi lagi wajah anaknya berulang-ulang. Lalu dia
bangkit dari tempat tidur, memegang lengan puterinya. Ibu dan anak ini
meninggalkan kamar untuk mengambilkan sendiri air serta makanan yang diminta
Pati Rono.
Pati Rono memandang dengan
matanya yang kelabu satu persatu pada kusir kereta, Tapak Lodra dan Ki Dukun
Tambak Reso. Pandangan mata yang aneh dan terasa angker ini membuat ketiga yang
dipandang jadi merasa tidak enak. Kusir kereta segera tinggalkan kamar. Tapak
Lodra menyusul hendak beranjak namun Ki Dukun bergerak lebih dulu.
Terpaksa Tapak Lodra tetap
berada dalam kamar karena meninggalkan putera majikannya seorang diri di tempat
itu kurang sopan dirasakannya. Untuk menghilangkan kegelisahan akibat pandangan
mata Pati Rono, Tapak Lodra pergi membuka jendela kamar. k.etika dia hendak
menyingkapkan tirai jendela, terdengar suara mengeong keras. Sesuatu melompat
ke sanding jendela. Ternyata si Belang. Binatang ini siap untuk melompat masuk.
Tapi Tapak Lodra cepat mencegah dan mengusirnya.
"Aneh sekali sikap kucing
itu…" kata Tapak Lodra dalam hati. "Apa sebenarnya yang dilihat
binatang itu…?" Tapak Lodra berpaling ke arah tempat tidur. Ternyata Pati
Rono masih menyorotinya dengan pandangan seperti tadi. Dingin angker seperti
hendak menembus jantungnya!
***
8
MALAM JUM’AT KLIWON, hujan
turun rintik-rintik Losari diselimuti kesunyian. Debur ombak di pantai
terdengar di kejauhan. Sesekali ada suara lolongan anjing merobek kesunyian.
Dalam ruangan depan di rumah besar itu Raden Ayu Tambakdwita duduk terdiam beberapa
lamanya sebelum kemudian dia membuka mulut bertanya, "Mengapa Ki Dukun tak
mau menerima uang dalam kantong itu? Bukankah itu tambahan pembayaran sesuai
dengan janji saya…?"
Ki Dukun Tambak Reso
tersenyum. Matanya menatap wajah cantik perempuan berusia setengah abad di
hadapannya lalu menjawab, "Raden Ayu …! Ah, aku seharusnya memanggilmu
Tambakdwita saja…"
"Saya tak keberatan
dipanggil seperti itu. Bukankah Ki Dukun memang lebih tua dari saya dan kepada
siapa saya menaruh hormat…? Apalagi mengingat jasa besar Ki Dukun…."
"Dengar… Tambakdwita, aku
memang tidak mau menerima pemberianmu itu. Bahkan, uang yang kau berikan
sebelumnya mungkin akan kukembalikan…"
"Mengapa begitu? Apakah
Ki Dukun tak mau menerima karena jumlahnya terlalu kecil? Saya bersedia menambahkan."
Ki Dukun menggeleng. Malam
itu, tidak seperli biasanya dia tidak lagi mengenakan jubah putih, melainkan
sehelai baju biru dan celana hitam serta sebuah blangkon di atas kepalanya.
Dengan pakaian itu dia tampak lebih gagah dan lebih muda. "Terus terang,
bukan uang itu yang aku inginkan Tambakdwita. Aku menginginkan dirimu. Aku
memintamu menjadi istriku. Sudah beberapa hari lalu hal itu kusampaikan
padamu…"
"Beri saya waktu satu dua
minggu lagi untuk mengambil keputusan, Ki Dukun. Saya harus bicara dengan
tua-tua keluarga. Di samping itu aku perlu memberi tahu putera saya. Pati Rono
sejak beberapa hari ini selalu mengunci diri di kamarnya. Dia menekuni
buku-buku silat dan kesaktian, berjilid-jilid banyaknya. Makanan yang
disampaikan pembantu hanya disentuhnya sedikit saja. Dia lebih banyak menenguk
minuman keras. Ada satu hal saya lihat pada dirinya. Satu hal yang dulu tidak
ada. Anak itu membawa sikap dan sifat aneh.
Pandangan matanya terasa
angker tapi menyembunyikan kekosongan jiwa. Sikap acuh diperlihatkannya pada
orang-orang di sekitarnya. Tapi sebagai ibu, di balik keacuhan itu saya merasa
ada sesuatu yang disimpannya. Sesuatu yang terasa mengerikan…"
"Tambakdwita, sebaiknya
saat ini kita tidak membicarakan soal puteramu itu. Dia sudah kembali padamu.
Sembuh dan hidup…"
"Betul Ki Dukun, tapi
putera saya yang kembali ini saya rasa bukan putera saya yang dulu …."
"Bagaimana kau bisa
berkata begitu Tambakdwita? Pati Rono yang kini hidup adalah puteramu yang dulu
juga. Sama sekali tidak ada bedanya…"
"Tubuh kasarnya memang
tidak ada beda, Ki Dukun. Tapi jiwa dan perasaannya ada kelainan. Dan itu
terpancar pada sepasang matanya yang membersitkan hawa aneh. Dia seolah-olah
bukan berada di tengah keluarga sendiri. Seolah-olah berada di satu alam yang
sama sekali lain. Dan alam ini saya rasakan sangat mengerikan. Saya takut Ki
Dukun…"
"Tak ada yang harus
ditakuikan Tambakdwita. Apalagi selama aku berada di dekatmu seperti saat ini.
Kau belum menjawab, kau belum memberi putusan tentang permintaanku..:"
"Saya bilang beri saya
waktu dua atau tiga minggu," sahut Raden Ayu Tambakdwita.
"Satu atau dua minggu
bisa berarti jadi tiga minggu. Aku tak bisa menunggu selama itu. Aku ingin
memilikimu lebih cepat dari itu. Bahkan malam ini…!" Ki Dukun memegang
tangan perempuan itu. Tambakdwita.
berusaha menarik lengannya.
Tapi ada hawa aneh menjalari lengannya, terus ke dada dan sekujur tubuhnya Dia
merasa sesuatu yang menggairahkan. Ditatapnya wajah Ki Dukun. Wajah itu tampak
begitu gagah, agung dan tersenyum padanya.
"Aku ingin tidur
bersamamu malam ini, Tambakdwita. Kau mau bukan…?"
Perempuan itu tak menjawab.
Dia hanya menundukkan kepala, tak kuasa memandang tatapan Ki Dukun. Melihat ini
Ki Dukun berdiri dari kursinya, tegak di samping Tambakdwita lalu
membungkukkan. Kepala hendak mencium tengkuk perempuan itu. Namun sebelum
ciumannya sampai tiba-tiba terdengar suara ngeongan kucing keras dan
mengejutkan. Ki Dukun terkesiap. Tambakdwita tersentak kaget dengan muka pucat.
Ada rasa tak enak dalam diri kedua orang itu. Ki Dukun memandang ke arah
jendela. Samar-samar lewat kain tirai jendela dia melihat ada seseorang tegak
di luar sana, memperhatikan ke dalam. Ketika Ki Dukun hendak mendatangi, orang
itu cepat bergerak pergi dan menghilang.
"Malam sudah larut,
sebaiknya Ki Dukun pulang dulu ke rumah tempat menginap…" berkata
Tambakdwita. Suaranya terhenti ketika kembali terdengar suara ngeongan kucing.
Suara itu datang dari arah kamar di tingkat atas. Dan kamar di tingkat atas
adalah kamar tidur Pati Rono. Ki Dukun diam sesaat. Mantranya tadi sudah hampir
mengena kalau tidak terganggu oleh suara ngeongan kucing celaka itu.
"Baiklah, aku akan pergi
Tambakdwita. Tapi besok aku akan datang lagi kemari. Dan saat itu aku ingin kau
sudah bisa memberikan jawaban…"
Janda kaya itu tidak menjawab.
Dia melangkah ke pintu depan dan membukakannya untuk Ki Dukun.
Seekor kuda tertambat dekat
pintu pekarangan. Itulah kuda tunggangan milik Ki Dukun. Ketika orang tua ini
tengah melangkah ke arah kudanya, tiba-tiba sebuah benda melayang dl udara dan
jatuh tepat dekat kakinya. Ki Dukun memandang ke bawah. Benda yang jatuh itu
ternyata adalah seekor kucing putih berbelang hitam. Si Belang, kucing
kesayangan Tambaksari! Binatang ini tidak bergerak ataupun mengeluarkan suara.
Kapalanya terkulai tanda lehernya patah!
Ki Dukun mendongak ke atas, ke
arah kamar di tingkat atas bangunan rumah besar. Dia melihat jendela kamar di
tingkat atas itu terbuka dan ada nyala lampu di atas sana. Dia merasa yakin
kucing yang mati itu dilemparkan dari kamar itu.
Ki Dukun putar tubuhnya,
meneruskan langkah ke arah tempat kudanya tertambat. Sesaat ketika dia hendak
menaiki binatang itu, satu tangan yang dingin tiba-tiba memegang pundak
kanannya. Ki Dukun terkejut dan menoleh. Dia berhadap-hadapan dengan Tapak
Lodra.
"Ada apa?!" tanya Ki
Dukun dengan suara garang. Dia tidak suka dipegang seperti itu dan dia sejak
lama tidak senang terhadap pengawal rumah kediaman Tambakdwita ini.
"Aku hanya ingin
memberikan nasihat padamu, Ki Dukun. Majikanku seorang janda. Tidak pantas
kalau kau mengunjunginya sampai larut malam begini!"
Ki Dukun menyeringai. Dia
kibaskan tangan Tapak Lodra dan menjawab, "Soal hubunganku dengan
majikanmu bukan urusanmu! Sebagai pembantu kau tidak layak mencampurinya. Dan
aku tidak butuh segala macam nasihat."
"Aku. tahu siapa kau
sebenarnya Ki Dukun. Lebih dari itu aku tahu apa yang ada datam benak serta
hatimu. Aku tidak suka padamu!"
"Kau bukan pemilik rumah
ini. Jadi tidak pada tempatnya mengatakan suka atau tidak. Dan satu hal harus
kau ketahui Tapak Lodra. Akupun tidak suka padamu!"
"Berlalu dari sini Ki
Dukun. Cepat!" desis Tapak Lodra.
Ki Dukun Tambak Reso kembali
menyeringai. "Ada satu hal yang pantas kau ketahui Tapak Lodra. Bagiku
mudah menyembuhkan dan menghidupkan seseorang. Tapi lebih mudah lagi membuat
seseorang sakit atau menemui ajalnya! Ingat hal itu baik-baik Tapak
Lodra!"
"Aku akan ingat hal itu
baik-baik Ki Dukun. Jika terjadi sesuatu dengan penghuni rurhah besar ini orang
yang pertama-tama kucari adalah dirimu!"
habis berkata begitu Tapak
Lodra lepaskan tali tambatan kuda dan membantingkannya ke tanah. Ketika Ki
Dukun naik ke punggung binatang itu Tapak Lodra sudah berlalu dari situ.
Di halaman depan, Tapak Lodra
membungkuk mengangkat bangkai si Belang. "Kasihan kucing ini. Siapa yang
begitu tega membunuhnya?"
Tatap Lodra mendongak ke atas.
Nyala lampu di kamar putera majikannya telah padam. Tapi matanya yang tajam
melihat ada sosok tubuh di belakang jendela tegak memperhatikan ke arahnya.
***
RADEN AYU TAMBAKDWITA menatap
wajah puteranya lekat-lekat.
"Pati Rono, ibu tak habis
pikir mengapa kau ingin memberhentikan Tapak Lodra…"
Pati Rono melahap jambu klutuk
besar lalu dengan mulut penuh dia menjawab, "Aku sudah bilang bu, kita
tidak membutuhkan orang itu lagi. Tugasnya sebagai pengawal kuambil alih.
Pekerjaannya sebagai penjaga sawah ladang serta peternakan dan perdagangan aku
sendiri yang akan menangani. Nah, apa perlunya dia bekerja lagi disini. Tanpa
dia bukankah kita bisa menghemat jumlah uang gajinya dan bisa dipergunakan
untuk keperluan lain?"
"Gajinya tidak seberapa,
Pati. Lagi pula dia telah bekerja puluhan tahun. Sejak ayahmu masih hidup.
Bahkan sebelum kau dilahirkan dia sudah ikut bersama kita, mulai dari kakekmu
masih ada…"
"Persetan berapa lama dia
bekerja di sini! Persetan apapun jasanya. Jika ibu tidak mau atau segan bicara
padanya, aku yang akan mengatakan padanya!"
"Jangan lakukan hal itu,
anakku…" ujar Tambakdwita.
"Aku tak suka
dilarang!" sahut Pati Rono. "Dan apakah ibu sudah menyampaikan pada
guru mengaji bau apak itu bahwa dia tak perlu lagi datang ke sini untuk
mengajar mengaji dan segala ilmu agama yang membosankan serta dusta besar
itu!"
Sepasang mata Tambakdwita
membesar. "Pati, jika kau minta aku memberhentikan Tapak Lodra, mungkin
masih bisa kucerna. Tapi kalau kau minta berhenti mengaji, ini merupakan satu
hal yang tidak ingin aku lakukan. Kau butuh pelajaran agama…"
"Tidak! Aku tidak butuh
pelajaran agama! Jelas! Aku tidak sudi lagi melihat guru mengaji itu!" Pati
Rono berdiri dari kursinya. Jambu klutuk yang baru setengah dimakannya
dibantingkannya ke meja makan!
***
"RADEN PATI," ujar
Tapak Lodra dengan suara bergetar. "Ucapanmu bahwa mulai hari ini aku
diberhentikan dari segala macam tugas sungguh mengejutkan. Apakah Raden Ayu
Tambakdwita mengetahui hal ini dan jika mengetahui bisakah Raden mengatakan
apakah kesalahanku maka aku diberhentikan…?"
"Paman Tapak Lodra. Jika
aku bicara padamu maka itu adalah aku bicara atas nama keluarga! Bahkan juga
berarti atas nama almarhum ayahku. Jadi tidak usah ditanya atau dibantah!"
"Saya benar-benar tidak
mengerti Raden…"
"Jika kau tidak mengerti
berarti kau seorang toiol! Justru di situlah letak persoalannya! Aku tidak suka
manusia tolol semacammu berkeliaran dalam rumah ini! Kau kuberikan waktu untuk
mengemasi pakaian dan barang-barangmu. Sebelum tengah hari kau sudah harus
pergi dari sini!"
Habis berkata begitu Raden
Pati Rono tinggalkan pembantu dan pengawal kepercayaan itu, naik ke tingkat
atas dan mengunci diri dalam kamarnya.
Karena merasa tidak puas,
Tapak Lodra menyusul naik ke tingkat atas dan mengetuk pintu kamar Pati Rono
seraya berseru, "Raden, buka pintu. Aku perlu bicara lebih jauh denganmu.
Tolong bukakan pintunya, Raden…"
Tak ada jawaban. Pintu juga tidak
terbuka. Tapak Lodra mengetuk dan berseru lagi. Tiba-tiba pintu terbuka. Dari
balik daun pintu yang terbuka itu mendadak satu jotosan menderu menghantam dada
Tapak Lodra. Pengawal tua ini menjerit dan terpental. Untung dia masih sempat
bergayut pada sebuah tiang, kalau tidak tubuhnya pasti akan jatuh terjungkal ke
bawah! Tapak Lodra merasakan lututnya goyah. Perlahanlahan tubuhnya jatuh
terduduk di lantai dan dari sela bibirnya tampak darah mengucur. Nafasnya
sesak, dadanya sakit bukan main. Pukulan yang menghantamnya bukan pukulan
sembarangan.
Di ambang pintu Pati Rono
tegak bertolak pinggang. Sepasang matanya memandang yang berwarna kelabu
memandang buas pada Tapak Lodra.
"Jika kau masih tidak mau
pergi dari sini, aku tak akan menyesal mematahkan batang lehermu atau melempar
tubuhmu kebawah sana!"
"Raden, aku perlu bicara.
Benar-benar harus bicara denganmu. Berikan sedikit waktu dan sedikit
pengertian…"
"Aku tak punya waktu dan
aku tak punya pengertian! Pergi dari hadapanku…!" Raden Pati Rono melangkah
ke hadapan Tapak Lodra lalu menjambak rambut orang tua itu. Sesaat kemudian
tampak tubuh Tapak Lodra melayang jatuh ke bawah lewat jendela. Seorang pelayan
yang berada di bawah dan kebetulan melihat kejadian itu menjerit keras.
Sebagai seorang berkepandaian
tinggi Tapak Lodra meskipun dalam keadaan terluka di dalam masih sanggup
bedungkir balik hingga tubuhnya tidak jatuh tergelimpang atau kepala lebih
dulu. Dia jatuh dengan kedua kaki menjejak tanah, lalu cepat kerahkan tenaga
dalam ke arah dadanya yang terluka.
Di atas rumah Pati Rono
menyeringai. "Tak ada salahnya tua bangka itu kujadikan barang
percobaan!" katanya dalam hati. Lalu dengan gerakan enteng, seperti seekor
burung besar dia melompat dari tingkat atas, melayang ke tanah dan menjejak
tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun!
"Tapak Lodra! Aku
memberikan kesempatan padamu! Jika kau mampu mengalahkanku dalam lima jurus,
kau tidak akan kusuruh pergi!"
"Raden…," ujar Tapak
Lodra seraya pegangi dadanya. "Aku tidak mau berlaku kurang ajar,
berkelahi denganmu…"
"Terserah padamu. Jika
ingin tetap bekerja disini turut apa yang kukatakan. Kalau tidak silahkan
angkat kaki saat ini juga"
Mendengar kata-kata itu Tapak
Lodra tidak melihat jalan lain. "Kalau itu permintaanmu Raden, harap
maafkan diriku. Bersiaplah…"
"Kau boleh menyerang
lebih dulu Tapak Lodra!" kata Pati Rono seraya berdiri dengan kedua kaki
terkembang.
Tapak Lodra menarik nafas
dalam. Tubuhnya membungkuk sedikit. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke depan dan
tangah kanannya menghantam ke arah dada lawan. Pati Rono angkat tangan kirinya,
menangkis serangan. Begitu tangan Tapak Lodra bentrok dengan lengannya,
kelihatan seperti ada bunga api yang berpijar. Bersamaan dengan itu Tapak Lodra
terdengar menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Jari-jari tangan kanannya sampai
ke pergelangan tampak berwarna hitam hangus dan mengepulkan asap. Sakitnya
seperti dipanggang!
"Raden… ilmu apa yang kau
miliki hingga tega mencelakakan diriku sejahat ini…" ujar Tapak Lodra lalu
jatuh terduduk di tanah.
Pati Rono tersenyum.
"Itulah kekuatan tenaga dalam yang mengandung kekuatan halilintar! Bukan
saja mengandung hawa panas yang menghanguskan, tapi mengandung racun ganas.
Jika kau tidak memotong tanganmu sebatas lengan, dalam waktu dua hari racun akan
merambat ke jantungmu! Nyawamu tidak ketolongan!"
"Kau kejam sekali Raden..
Kejam sekali. Lebih baik kau membunuh diriku saat ini juga!"
Mendengar kata-kata Tapak
Lodra itu Pati Rono tertawa bergelak. "Jika memang mati yang kau inginkan,
aku bersedia mengabulkannya…!" Lalu Pati Rono angkat tangan kanannya.
Ketika dia hendak menghantam tibatiba terdengar teriakan keras.
"Pati! Tahan! Hentikan
perbuatanmu itu!" Yang berteriak dan yang kemudian menghambur memegangi
tubuh Pati Rono adalah ibunya sendiri. Perempuan ini mendorong anaknya ke dalam
rumah lalu memberi isyarat pada Tapak Lodra agar cepat-cepat meninggalkan
tempat itu.
***
9
RADEN AYU TAMBAKDWITA menyeka
air mata yang mengucur di kedua pipinya. Di hadapannya seorang lelaki tua
tampak duduk dengan wajah muram. Dia adalah Ki Guru Sendang Bogayana, guru
mengaji keluarga almarhum Rono Wiculo yang telah mengajar di situ selama lebih
darisepuluh tahun yakni sejak Raden Pati Rono dan adiknya berusia sekitar
sepuluh tahun.
Setelah berdiam diri merenung
beberapa lamanya Ki Guru akhirnya berkata, "Jika betul semua apa yang
Raden Ayu katakan, memang telah terjadi satu perubahan luar biasa atas diri
putera Den Ayu…"
Tambadwita mengangguk.
"Sifatnya berubah sekali. Jiwanya seperti kosong dan kekosongan itu diselimuti
oleh perasaan aneh. Lebih tepat kalau dikatakan sesuatu yang mengerikan.
Perasaannya seperti tidak ada sama sekali. Berganti dengan sikap penuh tega
bahkan kejam. Dia membunuh si Belang, kucing kesayangan adiknya. Memberhentikan
Tapak Lodra, melukainya bahkan hendak membunuh orang tua yang setia itu kalau
saya tidak cepat mencegahnya. Saya kawatir ada hal-hal lain lagi yang akan
terjadi. Seisi rumah ini, termasuk saya merasakan seperti tinggal di suatu
tempat yang mengerikan. Saya sangat perlu bantuan Ki Guru…"
"Saya mengerti Den Ayu.
Saya merasa perlu untuk menemui Ki Dukun Tambak Reso, orang sakti yang katanya
telah menyembuhkan dan menghidupkan putera Den Ayu itu. Sebenarnya bagi kita
orang-orang beragama memang ada kepercayaan pada orang-orang beragama memang
ada kepercayaan pada orang-orang tertentu akan kemampuannya untuk menyembuhkan,
suatu penyakit. Namun untuk menghidupkan seseorang yang telah mati, itu adalah
satu hal yang tidak mungkin…"
"Kenyataan itu terjadi
pada anak saya Ki Guru. Bagaimana saya tidak mempercayainya…"
Ki Guru Sendang mengusap-usap
rambut tipis di bagian belakang kepalanya. "Mungkin kehidupan yang dialami
Raden Pati hanya suatu kehidupan semu. Yang sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan masa lalunya. Itu sebabnya dia memiliki sifat yang
sangat berbeda kalau tidak mau dikatakan aneh. Sebelum menemui Ki Dukun Tambak
Reso, saya kira saya harus bicara dengan putera Den Ayu itu terlebih
dulu."
"Itu yang saya inginkan
Ki Guru. Makin cepat makin baik. Saya akan mengatur pertemuan itu sekarang
juga."
***
"AKU TIDAK INGIN BERTEMU,
apalagi bicara dengan guru agama itu," berkata Pati Rono pada ibunya
sambil naik ke punggung kuda. Pagi itu seperti biasa dia akan berangkat ke tepi
pantai guna melatih ilmu silat dan pukulan saktinya di sebuah teluk yang sepi.
"Tapi anakku, ini penting
sekali. Untuk masa depanmu…"
Pati Rono tersenyum mendengar
ucapan ibunya itu lalu berkata :"Masa depanku tidak ditentukan oieh guru
agama itu. Tapi jika ibu memaksa, suruh dia menemuiku di teluk. Aku akan bicara
dengan dia di sana… "
"Kau menyuruh Ki Guru ke
sana menemuimu, sungguh tidak pantas anakku!"
"Yang dinamakan kesopanan
itu adalah tingkah laku palsu untuk menutupi kebobrokan seseorang. Guru agama
itu tidak lebih mulia dari diriku. Jika dia memang ingin bicara silahkan datang
ke teluk. Kalau tak sudi, perduli setan!"
Habis berkata begitu Pati Rono
menggebrak tali kekang kudanya. Binatang itu melompat dan meninggalkan si ibu
sendirian di halaman samping rumah besar. Untuk beberapa lamanya Tambakdwita
tertegak di tempat itu. Akhirnya dengan langkah gontai dia masuk ke dalam
rumah. Meskipun masih pagi namun udara di pantai terasa terik. Air laut
mendebur ombak di atas pasir teluk. Raden Pati Rono mendengar suara derap kuda
di belakangnya tapi dia tidak perduli, menolehpun tidak. Derap kuda berhenti
dan pemuda itu tahu kalau si penunggang tengah memperhatikannya.
Di bawah sebatang pohon kelapa
di teluk yang sunyi itu terdapat beberapa bangkai perahu yang sudah lama
ditinggal dalarn keadaan rusak dan lapuk. Raden Pati berpaling ke arah pohon
kelapa itu, perlahan-lahan mengangkat tangan kanannya lalu tangan itu
dipukulkan dibarengi oleh satu bentakan.
Terjadi satu hal yang hebat.
Begitu tangan bergerak ke depan, satu jengkal diatas tangan Raden Pati
berkiblat cahaya terang disertai letupan keras seperti sambaran halilintar
kecil. Bersamaan dengan itu pohon kelapa di seberang sana terdengar berderak,
lalu tumbang dalam keadaan hangus. Perahu-perahu lapuk yang ada di bawah pohon
kelapa mental hancur lebur seperti bubuk arang!
Ki Guru Sendang Bogayana
letetkan lidah. Didalam dadanya bukan rasa kagum yang dirasakannya justru ada
perasaan kawatir. Kalau ilmu kepandaian itu dipergunakan dalam kesesatan dapat
dibayangkan akibatnya. Perlahan-lahan Ki Guru Sendang turun dari kudanya.
Tengah dia melangkah ke arah Pati Rono tiba-tiba pemuda ini membalikkan tubuh
seraya mengangkat tangan seolah-olah hendak menghantam guru agama itu. Sang
guru terkesiap pucat dan hentikan langkahnya. Raden Pati Rono tertawa
gelak-gelak.
"Ki Guru…. kau datang
juga ke teluk ini…" ujar Pati Rono seraya bertolak pinggang dan
geleng-gelengkan kepalanya. "Pelajaran agama apa yang hendak kau sampaikan
padaku hari ini?!"
Meskipun ucapan itu
jelas-jelas merupakan ejekan namun Ki Guru Sendang Bogayana berusaha setenang
mungkin dan menjawab. "Tidak ada pelajaran agama hari ini, Raden Pati. Aku
datang kemari memenuhi permintaan ibumu."
"Hemm, begitu…?"
Raden Pati rangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Lalu apa yang ibuku
ingin-kan melaluimu, Ki Guru?"
"Ibumu memberi tahu ada
perubahan besar dalam dirimu sejak kau dihi…maksudku sejak kau disembuhkan dari
sakit berat tempo hari.
Mungkin ibumu keliru Raden.
Namun dia memberikan beberapa contoh nyata. Misal tindakanmu membunuh si
Belang. Lalu perbuatanmu terhadap Tapak Lodra…"
"Itu baru dua Ki Guru.
Yang ketiga ialah tindakanku yang tidak ingin melihatmu lagi datang ke rumah,
apalagi memberi pelajaran agama padaku!" memotong Pati Rono dengan suara
ketus.
"Raden Pati, yang namanya
pelajaran itu, apapun bentuk dan macammu perlu dituntut. Termasuk pelajaran
agama. Kudengar kau sering datang kemari untuk berlatih ilmu silat dan
kesaktian. Aku saksikan sendiri tadi kau menjajal pukulan sakti itu. Nah, ilmu
agamapun tidak kalah pentingnya. Matah menjadi sumber dari segala ilmu yang ada
di atas dunia ini…"
Raden Pati Rono tertawa
bergelak mendengar kata-kata Ki Guru itu.
"Apakah ilmu pelajaranmu
bisa membuat aku memiliki pukulan sakti halilintar tadi?"
"Memang tidak Raden Pati.
Ilmu kesaktian adalah ilmu dunia.
Sebaliknya ilmu agama adalah
ilrnu untuk dunia dan juga untuk akhirat guna mendapatkan keselamatan."
"Dusta besar yang
menyesatkan! Ketika aku sakit apakah ilmu agamamu yang menyembuhkanku?"
"Memang bukan ilmu agama.
Tapi Tuhan yang menjadikan agama dan kita semua, Dialah yang menyembuhkan
dirimu, Raden!"
"Aku tidak percaya pada
Tuhanmu itu Ki Guru!"
"Astagafirullah! Jangan
bicara seperti itu Raden. Besar dosanya. Jangan jadi orang murtad! Inilah salah
satu kelainan yang kini terdapat pada dirimu Raden. Dulu kau seorang pemuda
yang taat pada agama. Rajin sembahyang dan mengaji. Kini mengapa tiba-tiba kau
berubah…?"
"Mengapa hal itu tidak
kau tanyakan saja pada Tuhanmu?!" tukas Raden Pati.
"Ya Tuhan, ampunilah anak
manusia ini atas ucapan-ucapannya…" kata Ki Guru Sendang Bogayana.
"Raden Pati, ibumu dan juga aku tidak ingin kau tersesat lebih jauh…"
"Sesat? Aku tidak merasa
sesat. Kalian orang-orang bodoh yang sebenarnya berada dalam kesesatan!"
"Hanya orang-orang sesat
yang tega membunuh kucing! Bahkan hendak membunuh orang tua yang telah berbakti
puluhan tahun pada keluarga!" sahut Ki Guru pula dengan suara lantang
karena dia tidak dapat lagi menahan kesabaran dan hawa amarah atas
ucapan-ucapan si pemuda. Rahang Raden Pati tampak menggembung. Kedua bola
matanya yang berwarna kelabu membersitkan sinar aneh menggidikkan. Dia maju
mendekati Ki Guru. Yang didekati tetap tegak di tempatnya.
"Jika kau menganggap aku
manusia sesat tidak jadi apa. Karena itulah saat ini aku tidak merasa bersalah
jika harus membunuhmu!"
"Raden! Ingat! Aku ini
gurumu yang ingin menolong dan menyelamatkan dirimu!" teriak Ki Guru
Sendang Bogayana ketika dilihatnya anak muridnya itu mengangkat tangan kanan
sambil tertawa bergelak.
"Jangan bunuh diriku
Raden! Ingat Raden!" teriak Ki Guru pula kini seraya melangkah mundur.
Gelak Pati Rono semakin keras.
Tiba-tiba dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Terdengar suara letupan keras
disertai kiblatan cahaya terang. Lalu serangkum angin keras dan luar biasa
panasnya menderu. Ki guru Sendang Bogayana terdengar terpekik. Tubuhnya
mencelat mental. Ketika tubuh itu tercampak di atas pasir bentuknya tidak
seperti tubuh manusia lagi. Berubah menjadi seonggok benda hangus gosong dan
hitam serta mengepulkan asap berbau sangit!
***
10
GOMBONG PANGESTU memacu
kudanya dengan kencang, mengikuti Pendekar 212 Wiro Sableng yang menunggangi
seekor kuda coklat di sebelah depan. Tiba-tiba Wiro menarik tali kekang kudanya
kuat-kuat. Binatang ini meringkik keras seraya angkat kedua kaki depannya
tinggitinggi. Gombong Pangestu, orang tua tokoh silat istana terkejut dan
buru-buru hentikan kudanya.
"Ada apa?!" tanya
Gombong Pangestu.
Murid Sinto Gendeng menunjuk
ke depan dimana menggeletak sesosok tubuh di tengah jalan, entah sudah mati
entah hanya pingsan. Sosok tubuh ini hampir saja diterjang kaki kuda kalau Wiro
tidak lekas menghentikan tunggangannya. Wiro dan Gombong Pangestu sama-sama
berjongkok dan balikkan orang yang tergeletak di tengah jalan itu. Ternyata seorang
tua yang berada dalam keadaan meregang nyawa. Tangan kanannya tampak hitam
pekat sebatas pergelangan. Kedua matanya terpejam. Dari mulutnya terdengar
suara rintihan halus. Ketika Wiro membuka kelopak mata kiri orang itu kagetlah
dia. Bagian putih matanya ternyata berwarna hitam! "Racun jahat!"
desis Gombong Pangestu. Lalu dia cepat menotok
empat jalan darah di tubuh
orang itu. Sambil memperhatikan wajah orang dia berkata, "Aku rasa-rasa
pernah melihat orang ini sebelumnya. Dia pernah muncul di Keraton beberapa
kali. Ah, siapa dia ini…"
"Kurasa jiwanya tak bisa
diselamatkan. Yang bisa kita lakukan menunda kematiannya beberapa saat, lafu
berusaha mendapatkan keterangan apa yang terjadi alas dirinya," berkata
Wiro.
"Jika memang tak bisa
ditolong mengapa menyiksa dirinya dan berusaha meminta keteraragan…" kata
Gombong Pangestu pula.
"Aku justru punya
firasat, jangan-jangan orang ini ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah
kita selidiki. Bukankah tempat ini terletak di antara pantai utara dan hutan
tempat diduga menjadi kediaman Ki Dukun Tambak Reso itu?"
Gombong Pangestu memandang
berkeliling. "Hem…mungkin betul juga ucapanmu. Jika kau hendak melakukan
sesuatu lekas laksanakan. Jangan sampai dia keburu mati!"
Wirolantas menambahkan
beberapa totokan di tubuh orang yang tergeletak di tengah jalan itu yang bukan
lain adalah Tapak Lodra. Lalu dia memijit kedua ibu jari kaki Tapak Lodra
dengan tangan kiri kanan. Perlahan-lahan pendekar ini kerahkan tenaga dalam
panas melalui kedua tangannya. Mendadak dia terpental dua langkah dan jatuh
duduk terjengkang. Mukanya tampak merah.
"Ada apa?! tanya Gombong
Pangestu keheranan.
"Aneh, tenaga dalamku
seperti didorong dan menghantam diriku sendiri. Ada rasa panas
membersit…!" Wiro menjawab sambil garuk-garuk kepala.
Gombong Pangestu merenung
sejenak. "Coba kau alirkan tenaga dalam dingin!" katanya sesaat
kemudian.
Wiro kembali memijit kedua ibu
jari Tapak Lodra. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam panas maka kini
dicobanya mengalirkan tenaga dalam dingin. Tidak terjadi apa-apa. Malah sesaat
kemudian terdengar rintihan orang itu menjadi lebih keras. Wiro kerahkan tenaga
dalam penuh! Lalu dia mulai menepuk-nepuk wajah orang dan dekatkan mulutnya ke
telinga kanan Tapak Lodra.
"Orang tua lekas katakan apa
yang terjadi pada dirimu!"
Orang yang ditanya mengerang
panjang. "Siapa bertanya siapa?!" terdengar jawabannya.
"Jiwamu tak bisa ditolong
lagi. Jadi jangan banyak tanya. Beri saja keterangan. Siapa namamu?!" yang
bertanya kini adalah Gombong Pangestu.
"Aku tidak takutkan
kematian! Yang aku takutkan ialah kalau-kalau memberikan keterangan pada
manusia-manusia laknat kaki tangan Ki Dukun Tambak Reso atau bangsat bernama
Raden Pati Rono…!"
Gombong Pangestu dan Wiro
Sableng saling perpandangan.
"Hai! Kau belum
mengatakan siapa namamu! Apa yang terjadi?!"
"Aku Tapak Lodrat Puluhan
tahun mengabdi hanya berakhir pada kematian yang mengenaskan…"
Mendengar orang menyebutkan
nama terkejutlah Gombong Pangestu. Dia berseru keras
"Sahabatku Tapak Lodra!
Aku Gombong Pangestu! Bagaimana sampai kau mengalami nasib seperti ini?
Bukankah kau bekerja pada keluarga almarhum hartawan Rono Wiculo di
Losari?"
Tapak Lodra mengerang panjang,
baru bisa menjawab, "Ah Gombong, terima kasih Gusti Allah. Kalaupun aku
mati ada seorang sahabat yang menyaksikan. Jadi tidak mati seperti anjing buduk
di tengah jalan. Gombong, nasibku sungguh buruk di akhir hayat. Aku …"
Tapak Lodra batuk beberapa kali. Bersamaan dengan batuknya itu dia muntahkan
darah berwarna hitam.
Gombong Pangestu cepat seka
darah yang mengotori bibir sahabatnya.
"Kau benar, memang aku
bekerja pada keluarga almarhum Rono Wiculo. Dia orang baik. Tapi anaknya yang
pernah mati lalu dihidupkan kembali oleh seorang dukun edan, telah berubah
menjadi iblis! Dialah yang mencelakaiku. Dia memiliki pukulan sakti aneh, ganas
luar biasa…"
"Apakah dukun edan katamu
itu adalah Ki Dukun Tambak Reso?" bertanya Wiro.
"Betul…betul sekali.
Dialah yang jadi pangkal bahala. Gombong sahabatku. Kau harus menolong janda
almarhum Raden Mas Rono Wiculo itu. Ki Dukun keparat itu hendak menguasai
dirinya. Dia memaksa memperistrikan perempuan itu. Tapi hati-hati terhadap si
Pati Rono. Dia manusia yang dihidupkan kembali sebagai iblis!"
"Kau tahu dimana tempat
kediaman dukun sakti itu?" bertanya Pendekar 212.
Tapak Lodra batuk-batuk
beberapa kali. Dari mulutnya semakin banyak darah yang keluar. Saat itu dadanya
mendenyut menyesak. Lidahnya mulai kelu tanda ajalnya segera putus beberapa
saat lagi. Kepala Tapak Lodra tampak menggeleng perlahan. Kalian…kalian bisa
menemukannya di rumah almarhum Raden Rono Wiculo. Aku…Hek!" Kata-kata
Tapak Lodra hanya sampai disitu. Dari tenggorbkannya keluar suara seperti
tercekik. Nyawanya putus sudah!
***
RADEN AYU TAMBAKDWITA terkejut
sekali ketika dia memergoki pelayan perempuan berusia enam belas tahun itu
menuruni tangga dari tingkat atas dengan tergopoh- gopoh. Tubuhnya nyaris
telanjang karena hanya tertutup sehelai kain panjang yang robek-robek di sana
sini. Pada muka, leher dan bahu serta dadanya yang tersingkap tampak lukaluka
bekas gigitan dan pukulan.
"Saminten! Dari mana
kau?! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"
Pelayan itu tergagap kaget.
Begitu mengetahui kalau saat itu berhadapan dengan majikannya pelayan ini
langsung jatuhkan diri, pegangi kaki Tambakdwita dan menangis keras. Kain di
bagian dadanya merosot. Tambakdwita merasa bulu kuduknya berdiri ketika melihat
luka besar di salah satu payudara Saminten.
"Mohon ampunanmu Gusti.
DO Gusti, saya mohon ampunmu..,"
"Katakan apa yang
terjadi! Siapa yang menganiayamu seperti ini?!" bertanya Tambakdwita
hampir berteriak.
"Saya…saya tak berani
mengatakannya Gusti. Saya…saya dipaksa…"
"Kau tak usah takut!
Siapa yang memaksamu? Ayo bilang!"
"Duh Gusti…Mohon maafmu.
Mohon ampunmu…Puteramu, Raden Pati yang melakukannya. Saya dipaksa melayaninya.
Setelah puas sekujur tubuh saya digigit dan dipukulinya…"
Bergetar sekujur tubuh
Tambakdwita mendengar keterangan pelayan itu. "Saminten, pergi masuk ke
kamarmu. Aku segera menyusut. Jangan ceritakan pada siapapun kejadian ini.
Mengerti…?"
"Saya mengerti Gusti Ayu.
Tapi saya sudah berniat untuk berhenti bekerja disini…" jawab Saminten.
"Itu bisa kita bicarakan
kemudian. Yang penting sekarang masuk dulu ke kamarmu!"
Begitu pelayan itu berlalu,
seperti terbang Tambakdwita melompati tangga menuju ke tingkat atas. Di depan
pintu kamar anaknya dia mengetuk dan memanggil keras-keras.
"Pati! Buka pintu! Pati….
!"
Tak ada jawaban dari dalam.
Pintu pun tidak dibukakan. Perempuan itu kembali mengetuk dan berteriak. Lebih
keras dan lebih keras. Tiba-tiba pintu terbuka. Satu tangan menyambar keluar,
mencekal lengan Tambakdwita. Di lain kejap perempuan ini terbetot masuk ke
dalam kamar! Tambakdwita sempat terpekik. Matanya membeliak dan nafasnya
memburu ketika dia melihat puteranya tegak di depannya.
"Pati! Apa yang telah kau
lakukan terhadap pelayan itu? Katakan apa yang telah kau perbuat?!"
"Bukankah dia telah
mengatakan padamu…?" menyahuti Pati Rono.
"Jadi betul kau telah
mengotori rumah ini dengan perbuatan mesum terkutuk! Kau mencemari nama
almarhum ayahmu!"
Pati Rono tertawa. "Apa
kau tidak mengotori rumah ini sejak beberapa malam lalu? Ketika ibu berdua-dua
di atas ranjang bersama Ki Dukun…?!"
Tambakdwita menjerit keras
mendengar kata-kata anak lelakinya itu lalu plaak! Tamparannya melayang dengan
keras di pipi kiri Pati Rono!
Sepasang mata kelabu Pati Rono
tampak bernyala, membersitkan sinar menggidikkan. Dia melangkah mendekati
ibunya. Sang ibu yang jadi ketakutan bergerak mundur tapi punggungnya tertahan
dinding kamar. Tiba-tiba kedua tangan Pati Rono meluncur ke depan, menyambar
batang leher Tambakdwita, langsung mencekiknya kuat-kuat. Perempuan itu masih
sempat menjerit sebelum lidahnya terjulur dan kedua matanya membeliak.
Dari tingkat bawah rumah terdengar
suara orang berlari menaiki tangga. Lalu menggeledek satu bentakan, "Pati
Rono! Kau hendak membunuh ibumu sendiri?!" Lalu satu angin deras mendorong
tubuh si pemuda. Dia terjajar hampir jatuh. Tapi karena cekikannya tidak
terlepas maka Tambakdwita ikut tertarik bersamnya. Perempuan itu sudah lemas
karena tak bisa bemafas. Jika tidak tertolong dalam waktu singkat, nyawanya
pasti putus!
"Pati Rono! Lepaskan!
Yang kau cekik adalah dirimu sendiri!
Lepaskan!" Kembali suara
yang tadi membentak berteriak keras.
Pati Rono terkejut. Yang
dilihatnya di hadapannya dan yang dicekiknya dengan kedua tangannya yang kukuh
memang adalah dirinya sendiri. Dan dia merasakan lehernya sakit sekali, sulit
bernafas. Serta merta dia melemparkan tubuh di depannya itu. Tambakdwita
terbanting ke luar pintu, jatuh dekat tangga. Kalau tidak lekas ditolong oleh
Ki Dukun Tambak Reso, perempuan ini pasti akan jatuh menggelinding ke tingkat
bawah.
"Manusia iblis! Kau
hendak membunuh ibumu sendiri!" hardik Ki Dukun.
"Dukun keparat! Kau akan
menerima giliranmu!" teriak Pati Rono marah. Lalu membanting pintu kamar.
Ki Dukun cepat menolong Raden
Tambakdwita dan menggendongnya ke dalam kamar tidur di tingkat bawah. Beberapa
orang berlarian mendatangi, termasuk Tambaksari puterinya. Seseorang
diperintahkan mengambil segelas air putih. Setelah membacakan mentera pada air
itu dan meminumkannya pada Tambakdwita, janda almarhum Raden Mas Rono Wiculo
itu mulai sadar walau wajahnya masih pucat. Sekilas terbayang di pelupuk
malanya saat ketika puteranya hendak mencekiknya. Langsung dia menjerit. Ki
Dukun cepat mengusap kening perempuan ini.
"Tenang Den Ayu. Kau
berada di tempat yang aman. Tak ada yang perlu ditakutkan…" kata Ki Dukun
perlahan. Sementara Tambaksari mengelus-elus rambut ibunya tiada henti dan
kedua matanya berkacakaca.
"Ki Dukun…"
terdengar suara Tambakdwita perlahan antara terdengar dan tiada. "Aku
menyesal memintamu menghidupkan anak itu. Dia…dia bukan manusia. Dia adalah
penjelmaan iblis…Aku ingin …aku ingin kau mematikannya kembali, Ki Dukun. Bunuh
anak itu dan tanam mayatnya jauh-jauh dari sini…
Ki Dukun Tambak Reso tak bisa
menjawab apa-apa. Tiba-tiba terdengar Tambaksari menangis keras dan menjatuhkan
dirinya di atas dada ibunya.
"Ada apa kau menanyos
Sari…?" bertanya berbisik sang ibu.
"Mas Pati… Dia memang
harus disingkirkan dari rumah ini, bu. Saya takut…" ujar Tambaksari di
antara tangisnya.
"Dia melakukan sesuatu
terhadapmu Sari…?"
Gadis itu tak segera menjawab
melainkan menangis kencang. Setelah tangisnya reda baru terdengar ucapannya.
"Satu hari lalu dia mengajak saya ke teluk. Katanya untuk menyaksikan
bagaimana dia melatih ilmu kesaktian baru yang disebut pukulan halilintar. Tapi
di situ tiba-tiba saja dia hendak memperkosa saya…"
Semua orang yang ada disitu
tentu saja sangat terkejut mendengar keterangan si gadis.
Air mata tampak mengalir di
kedua pipi Tambakdwita. "Dia benarbenar melakukan perbuatan terkutuk itu,
anakku…?"
Tambaksari menggeleng.
"Saat itu kebetulan ada dua orang gagah lewat. Satu tua, satu masih muda.
Mereka menolong saya. Mereka kemudian hampir bentrokan dengan Mas Pati. Tapi
saya lihat keduanya sengaja mengalah dan meninggalkan teluk. Mungkin sekali
mereka berada di Losari saat ini…"
Sepasang mata Ki Dukun Tambak
Reso tampak membuka lebih lebar. Tiba-tiba saja ada perasaan tak enak dalam
hatinya.
"Den Ayu Tambaksari…
Dapatkah kau menerangkan lebih rinci ciriciri kedua orang yang menolongmu
itu…?" bertanya Ki Dukun.
"Yang muda berpakaian
serba putih. Ikat kepalanya juga putih.
Sikapnya konyol, terkadang
seperti orang kurang waras…"
"Hemm…aku tak kenal
padanya," desis Ki dukun Tambak Reso.
"Bagaimana ciri-ciri
orang yang satu lagi?"
"Sudah lanjut usia tapi
gerakannya sebat sekali. Dia mengenakan pakaian biru…"
Ki Dukun merenung sejenak. Ada
beberapa orang tokoh silat yang memiliki ciri-ciri seperti itu. Sejak beberapa
waktu lalu dia mendengar kabar bahwa dirinya dicari-cari oleh seorang utusan
dan Kotaraja. Hal itu ada sangkut pautnya dengan kotak batu hitam yang kini
berada padanya.
"Ki Dukun…"
terdengar suara Raden Ayu Tambakdwita. "Kau sudah mendengar permintaanku.
Singkirkan anak itu sebelum dia membunuhi penghuni rumah ini satu demi
satu…"
"Aku akan mencari jalan
sebaik-baiknya Den Ayu…" ujar Ki Dukun. Lalu dia tinggalkan kamar itu.
***
11
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG dan
Gombong Pangestu hentikan kuda tak jauh dari pintu pekarangan rumah besar janda
almarhum Rono Wiculo. Keduanya sengaja berlindung dibalik dua batang pohon
besar di seberang jalan.
"Aku mendengar ada suara
perempuan menjerit dari dalam rumah. Di tingkat atas…" ujar Wiro.
Gombong Pangestu anggukkan
kepala. Sesaat dia memandang berkeliling. "Kita langsung masuk..?"
bertanya Wiro.
"Jangan kesusu. Kita
tunggu dulu di sini sambil melihat situasi," jawab Gombong Pangestu, tokoh
silat Keraton yang punya segudang pengalaman itu.
Suara jeritan yang tadi mereka
dengar adalah jeritan Raden Ayu Tambakdwita ketika dicekik oleh Pati Rono.
"Aku berharap, sesuai
keterangan Tapak Lodra, manusia bernama Ki Dukun Tambak Reso itu ada di tempat
ini…"
"Aku punya firasat dia
memang ada di sini…" sahut Wiro seraya garukgaruk kepala.
"Sebelum kita berhadapan
dengan dukun sakti itu, ada beberapa hal yang harus kau ingat baik-baik
pendekar muda. Tambak Reso adalah dukun yang sebenarnya mengandalkan pada ilmu
sihir. Karena itu jika berhadapan jangan terlalu memandang ke arah kedua
matanya dan sekalikali jangan mendengar apa yang dikatakannya. Jika dia
mengatakan lihat ular, maka kau benar-benar akan melihat ular. Kecuali jika kau
tidak memperdulikan maka mantera sihirnya tidak akan jadi. Kita harus
mengusahakan mendapatkan batu mustika Kencono Sukmo itu dari tangannya secara
baik-baik. Kalau tidak bisa, dengan jalan membunuhnyapun tak jadi apa!"
"Menurut dara baju kuning
yang kita tolong di teluk tempo hari, kakak laki-lakinya itu tinggal serumah di
tempat ini. Apakah kita masih akan mengalah lagi seperti sehari lalu ketika dia
menyerang kita di teluk?"
"Ini memang satu masalah
baru bagi kita. Aku melihat ada keanehan pada diri pemuda itu. Pandangan
matanya seperti iblis dan wajahnya seperti setan. Dirinya seolah-olah menyimpan
satu rahasia yang dahsyat. Dan kedahsyatan itu tercium sebagai maut di
hidungku."
"Bagiku dai adalah
seorang manusia segala bejat. Kalau tidak masakan tega hendak merusak
kehormatan adik sendiri!" ujar Wiro pula.
"Bejat atau bukan yang
pasti kita harus berhati-hati setiap saat dia muncul! Ingat penjelasan Tapak
Lodra? Pemuda itu memiliki pukulan mengandung racun mematikan. Lagi pula…"
Pendekar 212 mengangkat tangan
kirinya memberi tanda lalu berbisik,
"Ada seseorang keluar
dari pintu depan rumah dan duduk di langkan…Kau kenal padanya?"
Orang yang keluar dari rumah
besar dan kemudian duduk di sebuah kursi yang terletak di langkan rumah
berpakaian hijau muda, memiliki janggut, kumis serta rambut putih dibawah
blangkonnya yang terbuat dari kain bludru berwarna ungu gelap.
"Dia bangsatnya!"
kertak Wiro ketika mengenali orang berbaju hijau muda itu. "Dialah orang
yang kutemui di puncak bukit Jati Arang!
Manusia yang sanggup
menghidupkan rusa yang telah mati dikoyak harimau. Pak tua Gombong Pangestu,
orang itu adalah Ki Dukun Tambak Reso yang kita cari-cari!"
"Keterangan Tapak Lodra
betul. Ternyata dia ada disini! Mari…"
Gombong Pangestu keluar dari balik
pohon besar, menyeberangi jalan dan memasuki halaman depan rumah kediaman
almarhum Rono Wiculo. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang. Ketika
melihat ada dua penunggang kuda memasuki halaman, orang berbaju hijau muda yang
memang adalah Ki Dukun Tambak Reso serta merta berdiri dan melangkah ke ujung
langkan, berhenti di anak tangga rumah paling atas.
"Kalian siapa dan ada
keperluan apa?!" membentak Ki Dukun.
Kemudian disadarinya bahwa dia
rasa-rasa kenal dengan pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih itu.
Paling tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu tiba-tiba saja dia ingat.
Keparat gondrong ini adalah orang yang memata-matainya di puncak bukit Jati
Arang tempo hari! Yang mengaku membawa tugas dari istana untuk mengambil kotak
batu hitam dari tangannya. Otak cerdik dan licin Ki Dukun segera bekerja.
Dia sunggingkan tawa lebar dan
berkata. "Ah, kalian pastilah dua orang gagah yang menolong Raden Ayu
Tambaksari di teluk satu hari lalu. Ibunda gadis itu memang tengah
menunggu-nunggu kalian berdua. Ada hadiah besar hendak diserahkannya pada
kalian. Tunggulah…"
"Kami kemari bukan untuk
mencari hadiah. Tapi…" ujar Gombong Pangestu.
Namun saat itu Ki Dukun Tambak
Reso sudah palingkan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah. Begitu masuk ke
dalam dia tidak pergi menemui Raden Ayu Tambakdwita seperti yang dikatakannya
karena itu memang hanya akal bulusnya saja. Dengan cepat dia naik ke tingkat
alas di mana kamar Raden Pati Rono berada. Dengan paksa dia mendobrak pintu dan
masuk ke dalam kamar. Pati Rono yang ada di dalam kamar itu menggereng marah,
langsung melompati Ki Dukun. Orang tua ini cepat mengangkat tangan dan berkata,
"Raden, jangan marah dulu. Di luar ada dua orang tamu mencarimu. Mereka
adalah orang-orang yang bentrokan denganmu di teluk satu hari yang lalu…"
"Bangsat! Ada keperluan
apa mereka berani datang kemari?!" sentak Pati Rono.
"Mereka bilang urusan di
teluk belum selesai. Mereka sengaja datang menantangmu untuk menjajal ilmu
pukulan halilintar yang kau miliki. Bukankah waktu di teluk kau tak sempat
mempergunakannya?!"
"Mereka mencari
mati!" teriak Pati Rono. Tubuh Ki Dukun didorongnya hingga terjajar.
Dengan dua kali bergerak saja dia sudah berada di tingkat bawah langsung lari
ke bagian depan rumah.
Ki Dukun Tambak Reso
menyeringai. "Manusia-manusia tolol!"
katanya. "Berkelahilah
kalian sampai mampus semua!" Lalu dengan cepat dia menuruni tangga menuju
bagian belakang rumah besar.
Ketika Ki Dukun masuk ke dalam
tadi, Gombong Pangestu berpaling pada Pendekar 212 dan berkata, "Aku
kawatir, jangan-jangan dukun keparat itu melarikan diri lewat pintu
belakang."
"Kalau begitu biar aku
menyelidik!" ujar Wiro pula.
"Jangan. Biar aku yang
melakukan. Manusia satu itu banyak tipu muslihatnya. Kau tetap di sini
berjaga-jaga. Jika ada yang kelihatan hendak melarikan diri cepat memberi
tanda!"
Wiro mengangguk. Gombong
Pangestu memacu kudanya melewati halaman samping, terus menuju bagian belakang
rumah. Dia sampai dekat sebuah bangunan kecil, tepat pada saat Ki Dukun Tambak
Reso melompat naik ke atas punggung seekor kuda dan membedal binatang ini
menuju pintu belakang.
"Ki Dukun! Sampean mau
lari kemana?!" seru Gombong Pangestu.
Kudanya dipacu ke samping kuda
Ki Dukun. Sesaat kemudian tampak tubuhnya melesat di udara, langsung menubruk
dan merangkul tubuh Ki Dukun. Kedua orang tua itu sama-sama jatuh ke tanah. Ki
Dukun bangkit berdiri lebih dulu. Begitu berdiri dia langsung kirimkan
tendangan ke kepala Gombong Pangestu. Sambil gulingkan diri di tanah tokoh
silat Istana itu berhasil mengelak dan membalas dengan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi luput karena yang diserang sudah berkelit
ke kiri.
Sambil berdiri Gombong
Pangestu keluarkan sebuah benda dan mengancungkannya ke arah Ki Dukun Tambak
Reso. Benda itu berbentuk bulat putih, terbuat dari perak murni, Itulah cap
Kerajaan yang dituang dalam bentuk perak.
"Aku utusan Kerajaan.
Ditugaskan untuk menangkapmu hidup atau mati!" teriak Gombong Pangestu.
"Kecuali jika kau mau menyerahkan benda pusaka kotak batu hitam milik
Keraton!"
"Kotak batu hitam milik
Keraton?" ujar Ki Dukun terheran-heran.
"Jangankan memilikinya,
mendengaryapun baru sekali ini!" kata orang tua itu pula. Lalu sambungnya,
"Aku orang kebanyakan, mana berani mencuri harta pusaka Kerajaan! Kau
pasti mendapat keterangan keliru dan menyesatkan!"
Gombong Pangestu tersenyum.
Dia tahu manusia di hadapannya ini banyak akal dan tipu muslihatnya. Maka
diapun berkata, "Mari kugeledah dulu tubuh dan pakaianmu!"
Ki Dukun menggeleng. "Aku
tidak suka digeledah. Aku bukan maling bukan pencuri! Jangan coba-coba
mendekatiku!"
"Kalau kau menolak,
terpaksa aku melakukan kekerasan!" mengancam Gombong Pangestu.
"Hemm, begitu?! Silahkan
kalau kau mempunyai kemampuan. Tapi ingin kutanyakan apa perlunya kau memegang-megang
kalajengking di tangan kananmu?!"
Gombong Pangestu hampir
terkena sirapan mantera sihir yang diucapkan Ki Dukun. Tanpa sadar dia
memandang ke arah tangan kanannya. Meski sekilas dia sempat melihat bagaimana
cap Kerajaan yang dipegangnya dilihatnya sebagai seekor kelajengking hitam yang
siap untuk mematuknya. Untung saja dia segera ingat dan berteriak, "Kalau
ini memang milikmu, ambil dan makanlah!" Lalu Gombong Pangestu lemparkan
cap Kerajaan di tangan kanannya. Benda ini melesat ke arah Ki Dukun, membuat
dia terkejut dan buru-buru melompat selamatkan diri karena ucapan lawan tadi
membuat benda itu menjadi seperti kalajengking benaran dimatanya sendiri!
"Tua bangka satu ini
berbahaya! Ilmu sihirku tampaknya tak bakal dapat diandalkan menghadapinya!"
Ki Dukun memutar otak. Tiba-tiba dia menjura seraya berkata: "Aku maklum
tak bakal menang menghadapi orang pandai sepertimu Memang kotak batu hitam itu
ada padaku. Aku tak mau membuat urusan dengan Kerajaan. Biar benda itu
kukembalikan saat ini juga…."
Seperti diketahui batu hitam
itu diselipkan Ki Dukun di pinggang kirinya. Tapi dia meraba saku jubah
hijaunya sebelah kanan di mana terdapat sebuah kitab kecil. Dengan manteranya
dia sanggup membuat kitab kecil itu berubah bentuk menjadi seperti batu hitam
benda pusaka Keratori. Sekali lagi dia menjura dan mengulurkan kotak batu itu
kepada Gombong Pangestu. "Terimalah. Aku mohon maafmu. Sesudah benda
pusaka ini kukembalikan harap aku tidak diganggu lagi…"
Gombong Pangestu merasa lega
ketika melihat benda pusaka yang disodorkan Ki Dukun itu. Dia menggerakkan
tangan hendak menerimanya. Namun selintas pikiran mendadak muncul dalam
benaknya. Mengapa manusia itu tiba-tiba berubah pikiran. Mengapa mendadak
semudah itu dia mengembalikan batu Kencono Sukmo?
"Benda palsu kembali ke
bentuk aslimu!" teriak Gombong Pangestu lalu dia melompat menyergap Ki
Dukun.
Batu hitam di tangan Ki Dukun
serta merta berubah ke bentuk aslinya yakni sebuah kitab kecil. Di saat yang
sama serangan Gombong Pangestu sampai. Tak ada jalan lain. Ki Dukun campakkan
buku kecil itu lalu menangkis. Dua lengan saling beradu. Ki Dukun seperti
disengat api sedang Gombong Pangestu terjajar dua langkah dengan dada
berdenyut. Perkelahian antara dua jago tua ini memang tak dapat dihindarkan lagi!
***
12
"BANGSAT GONDRONG! Berani
kau datang kemari! Benar-benar mencari mati!" teriak Pati Rono.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang
enak-enakan duduk di atas kudanya tentu saja terkejut melihat munculnya pemuda
ini.
"Eh, si tua bangka edan
itu lenyap entah kemana! Tahu-tahu kini pemuda sedeng ini yang muncul!"
ujar Wiro dalam hati. Hatinya tercekat juga melihat kegarangan dan kesangaran
orang.
"Kau bilang hendak
menjajal pukulan halilintar! Ini kau makan dan mampuslah!" teriak Pati
Rono. Lalu tangan kanannya dipukulkan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Eyang sinto Gendeng
ctari Gunusig Gede melihat ada kiblatan menyilaukan keluar dari tangan Pati
Rono disertai letupan keras tak bedanya seperti halilintar menyambar dan guntur
menggelegar. Tubuhnya yang duduk di atas kuda bergoncang keras. Lalu ada hawa
panas luar biasa yang menderu menerpanya. Sadar kalau orang memang hendak
membunuhnya dengan pukulan sakti yang ganas, Wiro Sableng berteriak keras dan
jatuhkan diri dari punggung kuda.
Wuuttt!
Kuda coklat itu meringkik
keras dan terpental. Terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Tubuhnya sampai ke
kaki hangus gosong mengepulkan asap dan menebar bau sangitnya daging yang
terpanggang.
Pendekar 212 letetkan lidah
dan rasakan tengkuknya merinding. Sempat tubuhnya yang kena di hantam pukulan
sakti tadi pasti nyawanya sudah terbang saat itu juga!
"Bagus kau mampu
mengelak! Coba ini sekali lagi!" teriak Pati Rono. Sepasang matanya yang
kelabu menyorotkan hawa pembunuhan. Mulutnya berkemik seperti hendak menghisap
darah Pendekar 212, geraham-gerahamnya bergemeletakan seolah-olah ingin
mengunyah kepala murid Sinto Gendeng itu!
Wiro tak mau menunggu sampai
lawan menghantamnya untuk kedua kali. Tangan kanannya yang telah berubah
menjadi putih berkilau laksana perak karena aji pukulan matahari di angkat.
Begitu lawan dilihatnya menggerakkan tangan, Pendekar 212 hantamkan tangan
kanannya!
Terjadilah hal yang luar
biasa. Letupan dahsyat seperti gunung meletus menggoncang halaman depan rumah
besar. Di dalam rumah terdengar pekikan orang ketika ada bagian atap yang
ambrol dan runtuh. Dua sosok tubuh lari berusaha menyelamatkan diri. Ternyata
mereka adalah Raden Ayu Tambakdwita dan puterinya. Kedua perempuan ini kembali
jadi melengak kaget ketika melihat bagaimana tanah dan pasir halaman muncrat
berhamburan. Jambangan dan patung-patung batu, rubuh bergulingan. Ada asap
putih membubung ke udara menebar bau terbakar yang menyesakkan pernafasan. Lalu
diantara pasir debu dan kepulan asap itu ibu dan anak ini meeihat sosok dua
orang pemuda terduduk di tanah, saling terpisah sekitar dua belas langkah satu
sama lain. Yang di sebelah kiri bukan lain adalah Pati Rono, terduduk dengan
muka pucat laksana mayat. Yang satunya adalah pemuda gondrong yang dikenal
Tambaksari sebagai salah satu dari dua orang yang menolongnya di teluk.
"Pati anakku!" seru
Tambakdwita. Bagaimanapun bencinya perempuan ini, bahkan mengingkan kematian
puteranya itu kembali, tapi hati nurani seorang ibu tidak bisa disembunyikan.
Dia berseru sambil hendak berlari mendapatkan Pati Rono. Namun puterinya cepat
memegangi tangannya.
"Jangan ibu. Terlalu
berbahaya. Jangan mendekat…!"
Terpaksa sang ibu hanya tegak
berdiri sambil pandangi anaknya dengan kedua mata berkaca-kaca.
Wiro merasakan dadanya
mendenyut sakit. Mulutnya terasa asin. Dia menyeka bibirnya dengan belakang
telapak tangan. Ada noda merah di tangan itu. Darah! Sadarlah pendekar ini
kalau bentrokan pukulan sakti tadi telah membuatnya terluka di dalam! Dan di
hadapannya dilihatnya Pati Rono tegak sambil menyeringai. Tangan kanannya
diangkat kembali, siap untuk melepaskan pukulan halilintar. Pendekar 212 sadar
dia tak bakal dapat menghadapi pukulan yang luar biasa hebatnya itu dengan
pukulan sinar matahari yang juga mengandung hawa panas. Dan pasti akan sia-sia
jika dia berusaha menghadapi dengan pukulan kunyuk melempar buah atau orang
gila mengebut lalat ataupun bertahan dengan pukulan benteng topan melanda
samudera. Semua ilmu pukulan sakti yang dimilikinya itu bertitik tolak pada
hawa panas.
Di depannya Pati Rono sudah
siap menghantam. Dalam saat yang sangat kritis itu tiba-tiba Wiro ingat
pengalamannya sewaktu berusaha menolong Tapak Lodra. Hawa tenaga dalam panas
yang coba dialirinya ke tubuh orang itu menimbulkan kekuatan mendorong yang
membuatnya terpental. Karena Tapak Lodra sebelumnya telah cidera oleh pukulan
halilintar, berarti ada hawa panas pukulan lawan yang masih mendekam dalam
tubuhnya bersama racun jahat dan tidak bisa dihadapi dengan tenaga dalam panas
pula. Saat itu atas nasihat Gombong Pangestu dia kemudian mengerahkan tenaga
dalam yang bersumber pada hawa dingin dan memang berhasil.
Memikir sampai disitu Pendekar
212 segera siapkan diri dengan ilmu pukulan sakti bernama pukulan angin es.
Kedua tangan diangkat tinggitinggi ke atas, lalu dua tangan itu diputar-putar.
Udara disekitar situ mendadak menjadi sejuk lalu tiba-tiba sekali menjadi
dingin luar biasa!
Raden Ayu Tambakdwita dan
puterinya merasakan tubuh mereka seperti dibungkus es. Ibu dan anak ini
langsung jatuh duduk dan menggigil kedinginan. Tambaksari segera menyeret
ibunya menjauhi tempat itu, masuk kembali ke dalam rumah dimana hawa dingin
tidak sampai mencekam. Di halaman, Pati Rono gerakkan tangan kanannya
melepaskan pukulan halilintar. Ada letupan keras serta kiblatan sinar terang
keluar dari tangan kanannya itu, namun gerakannya hanya sampai di situ karena
sesaat kemudian tangan itu tak bisa digerakkan lagi, kaku dingin seperti
dipendam dalam es!
Wiro lipat gandakan tenaga
dalamnya. Kedua matanya terpejam. Dia tidak perdulikan denyutan sakit yang
menyesakkan dadanya. Keadaan kaku di tangan kanan Pati Rono menjalar ke bagian
tubuh yang lain. Gerahamnya bergemeletakan menahan dingin yang luar biasa. Dia
berteriak namun mulutnyapun sudah kaku tak bisa digerakkan. Ketika hawa dingin
itu mencucuk-cucuk otaknya, pemuda ini langsung tergelimpang rubuh. Kedua
matanya terpejam. Bersamaan dengan itu terdengar pekik Tambakdwita yang
menyangka puteranya telah menemui ajal di tangan Wiro Sableng. Perempuan ini
diikuti puterinya lari menghambur ke halaman, langsung memeluk tubuh Pati Rono
sambil meratap.
Tapi tiba-tiba sepasang mata
yang terpejam dari Pati Rono membuka kembali. Kedua tangannya bergerak dan
tahu-tahu telah mencekik leher ibunya! Wiro terkesiap kaget sedang Tambaksari menjerit
sambil berusaha menarik kedua tangan kakaknya, agar cekikan pada leher ibunya
terlepas. Tapi sia-sia saja. Sepasang tangan Pati Rono laksana sebuah jepitan
baja yang dipegang oleh iblis! Wiro berusaha membantu, tetap saja dua tangan
yang mencekik itu tidak dapat dilepaskan!
***
13
PERKELAHIAN ANTARA Gombong
Pangestu dan Tambak Reso berlangsung hebat sekali. Selama dua puluh jurus lagi
perkelahian ini berlangsung berimbang. Sebagai seorang dukun yang banyak
mengandalkan ilmu-ilmu sihir maka tingkat ilmu silat yang dimiliki oleh Ki
Dukun sedikitnya masih berada di bawah kepandaian tokoh silat Istana. Hanya
kelicikan dan akal muslihatnya saja yang membuat Ki Dukun Tambak Reso tampak
mampu menghadapi lawannya. Namun itu tidak bertahan lama. Selewatnya jurus
kedua puluh lima, orang tua yang kalah pengalaman silat ini mulai terjepit oleh
hujan gempuran lawan. Apalagi segala ilmu sihir dan mantera jahatnya tidak
mempan lagi terhadap Gombong Pangestu.
Maka Ki Oukun mulai memutar
otak bagaimana caranya agar dapat melarikan diri saja dari tempat itu. Hanya
sayang sebelum maksudnya kesampaian satu jotosan keras melabrak ulu hatinya.
Manusia berjubah hijau ini tertegak dengan tubuh tergontai-gontai. Sebelum
tubuhnya roboh, Gombong Pangestu sudah menjambak rambut dan mencekal dagunya
lalu dipuntir keras-keras.
Kraak!
Terdengar patahnya tulang
leher Ki Dukun Tambak Reso. Nyawanya ikut amblas!
Gombong Pangestu mendorong
tubuh tak bernyawa itu hingga bergelimpang di tanah lalu cepat-cepat
menggeledah tubuh dan pakaian Ki Dukun. Di pinggang kiri Ki Dukun tokoh silat
Istana ini menemukan kotak batu hitam Kencono Sukmo. Benda pusaka Keraton itu
diambilnya diletakkannya di atas keningnya seraya berkata, "Terima kasih
Gusti Allah. Dengan perkenanMu, aku berhasil mendapatkan barang pusaka ini
kembali. Berarti Sri Baginda segera disembuhkan."
Pada saat itulah Gombong
Pangestu mendengar suara jeritan Tambakdwita yang disusul oleh jeritan anak
perempuannya. Tanpa pikir panjang lagi sambil masih memegang kotak batu hitam
Kencono Sukmo di tangan kanannya, orang tua ini lari menghambur ke halaman
depan dan menyaksikan bagaimana Wiro serta Tambaksari berusaha melepaskan
cekikan Pati Rono sementara sang ibu semakin lemas. Lidahnya sudah terjulur.
Ludah membusah dan sepasang matanya hanya tinggal putihnya saja yang kelihatan.
Tanpa pikir panjang Gombong
Pangestu angkat tangan kirinya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam penuh
batok kepala Pati Rono dihantamnya. Jangankan kepala manusia, kepala seekor
kerbaupun pasti rengkah dan pecah dihantam pukulan itu. Tapi hebatnya, kepala
Pati Rono tidak pecah, malah tangan kiri Gombong Pangestu terpental ke atas
seperti menghantam karet dan persendian bahunya serasa copot. Sakitnya bukan
main!
"Ibu…lbu!" jerit
Tambaksari. "Mas Pati… Lepaskan cekikanmu! Jangan membunuh ibu sendiri!
Lepaskan cekikanmu mas…!" Akhirnya gadis ini jatuh pingsan karena
kehabisan tenaga dan putus asa tidak mampu menyelamatkan ibunya. Saat itu
karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, secara tidak sadar Gombong Pangestu
tusukkan ujung kotak batu hitam ke leher Pati Rono. Walaupun kotak batu ini
tumpul, namun karena ditusukkan dengan tenaga luar biasa, kotak itu ambias
menembus leher Pati Rono sampai setengahnya!
Terjadilah hal yang aneh.
Meskipun saat itu hari terang benderang dan matahari bersinar terik, namun
tiba-tiba berkiblat halilintar tiga kali berturut-turut disusul oleh gelegar
guntur yang membuat tanah bergetar keras!
Mulut Pati Rono terbuka
tebar-lebar. Lalu terdengar jeritannya seperti lolongan srigala. Bersamaan
dengan itu langannya yang mencekik terlepas dan terkulal kebawah. Dengan tangan
gemetaran Gombong Pangestu cabut kotak batu hitam dari leher Pati Rono. Pada
bekas tusukan kotak batu hitam kelihatan luka besar menganga berbentuk lubang
mengerikan. Dari lubang ini mengalir keluar darah berwarna hitam yang menebar
bau busuk luar biasa!
Tambaksari menarik tubuh
ibunya, mengguncang-guncangnya dengan keras lalu menepuknepuk wajah perempuan
itu sambil berseru memanggil, "Ibu… Ibu…" Namun sang ibu tidak
menjawab, bahkan tidak mendengar lagi ratap tangis puterinya itu karena rohnya
telah meninggalkan jazad kasarnya. Mati di tangan puteranya sendiri. Putera
yang sebelumnya diinginkan kehidupannya kembali. Kehidupan yang membawa bencana
dan malapetaka bahkan kematian dirinya sendiri!
TAMAT