-------------------------------
----------------------------
061 Makam Tanpa Nisan(sequel episode Banjir Darah Di Tambun Tulang)
1
MATAHARI belum lama tenggelam.
Namun pulau kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah terbungkus
kegelapan. Kesunyian yang mencengkam dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur
ombak yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang beterbangan di
udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang tak ada artinya lalu menghilang
lenyap dan kembali kegelapan kelam menghantui.
Sesosok tubuh berjalan
terbungkuk-bungkuk dalam kegelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir
tidak terdengar. Namun binatangbinatang melata yang bertelinga tajam dan ada
disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah kaki orang ini lalu
cepat-cepat melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon
bakau orang ini hentikan langkahnya. Telinganya dipasang tajamtajam. Kedua
matanya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam kegelapan dia
melihat, ada mata air kecil jernih, yang membentuk sebuah parit dangkal. Dia
mengikuti parit itu ke arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk
pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama orang ini menatap pohon
besar yang tegak menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri.
Matanya memandang ke arah batang pohon yang besarnya lebih dari tiga pemelukan
tangan manusia itu. Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya
terdengar ucapan perlahan.
"Di saat orang hendak
melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang, masih saja ada
makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."
Orang ini kembali memandang ke
arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja
sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!"
Tak ada sahutan.
Angin laut bertiup kencang.
Semak-semak dan daundaun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal hutan
melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat mata air.
"Ah, dia tak mau
menjawab…" kata orang yang barusan bicara. "Kalau begitu terpaksa aku
harus meneruskan langkah." Dengan tangan kanannya dia mematahkan sebuah
ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan ranting ini, orang itu meneruskan
langkahnya. Melompati parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai
di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap terbungkuk-bungkuk
seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati
pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih
melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda berbentuk tombak yang memiliki
dua mata menderu ke arah kepalanya!
"Membokong adalah
pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. tangan kanannya yang
memegang ranting digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali bahwa
ranting yang dipegangnya tidak akan menang melawan tombak besi yang menghantam
ke arahnya. Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi berusaha memukul
lengan yang memegang tombak bermata dua itu.
Si penyerang gelap rupanya
tahu apa yang hendak diperbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan
tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini ditusukkan ke dada. Tak
ada jalan lain. Mau tak mau yang diserang sekarang terpaksa pergunakan
rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk di
antara dua mata tombak.
Orang memegang tombak terkejut
ketika merasakan bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan dahsyat
membuatnya tidak mampu untuk mendorong walau sudah kerahkan seluruh tenaganya.
Dengan nekad kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerahkan tenaga
dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting kayu berderak patah.
Tapi tongkat bermata dua terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik
tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba menembus kegelapan
untuk dapat melihat wajah orang yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja.
kegelapan malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat dia tidak bisa
melihat wajah orang itu, apalagi mengenalinya.
Maka diapun bertanya
membentak. "Siapa di situ?!"
Jawaban yang didapatnya justru
bentakan pula. "Kau yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak
menanyakan siapa dirimu!"
Orang dibalik pohon keluarkan
suara mendengus.
"Aku Kiyai Surah Ungu
dari Banten! Katakan siapa dirimu?!"
"Kiyai Surah Ungu dari
Banten…?" mengulang orang yang masih memegang patahan ranting. "Ah…
ah… ah! Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota, yang
menjauhkan diri dari Kesultanan karena tidak suka dengan kehidupan Keraton yang
menurutmu menjijikkan?"
Dalam gelap berubahlah paras
orang dibalik pohon. Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau telah mengetahui
siapa diriku, lalu kau sendiri siapa adanya?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
"Aku belum mau memberi
tahu sebelum aku mendengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau terpencil
ini!"
"Kau keliwat mendesak.
Tapi tak jadi apa karena kau ada di atas angin. Aku kemari untuk melayat
seorang kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di
pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang sebetulnya padamu, sekarang giliranmu
memberi tahu siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di tempat
ini!"
Orang yang ditanya tertawa
pendek. "Belum…. Belum Kiyai. Aku belum akan menjawab pertanyaanmu. Masih
ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan…. ‘
"Kau membuat aku jadi
jengkel dan marah! Apa kau kira diriku ini seorang pesakitan yang tengah
diperiksa dan perlu ditanyai segala-galanya?!"
"Jangan cepat jengkel,
apalagi marah Kiyai Surah Ungu. Di malam yang gelap begini dimana kita tidak
dapat melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja terjadi!"
"Apa maksudmu dengan
kata-kata itu?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
""Lupakan saja
ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan
di pulau ini…"
"Kau pasti kenal. Dia
seorang tokoh silat nomor satu di kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama
besar dan menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun lalu. Dia
pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah Hati. Adapula yang memberinya
julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih
dikenal dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau sudah puas atau
masih hendak merahasiakan dirimu sendiri?!"
"Ah, rupanya kita
mempunyai tujuan yang sama!"
Kiyai Surah Ungu merasa heran.
Tujuan yang sama belum tentu berarti hati yang sama! ""Katakan apa
maksudmu…?"
"Aku merasa kau ikuti
sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja
menghadangmu di balik pohon ini. "
"Begitu…?" Orang itu
batuk-batuk beberapa kali.
"Kita ternyata adalah dua
sahabat lama yang puluhan tahun tak pernah bertemul"
Kiyai Surah Ungu maju dua
langkah.
"Aku memang rasa-rasa
pernah mendengar suaramu. Rasa-rasa mengenali. Tapi…Ah! Otakku sudah agak pikun.
Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu slapa dirimul"
"Aku Ramadi Watampone
dari Bugis!"
"Astaga! Betul kiranya
aku berhadapan dengan kawan sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan
nama besar Pendekar Badik Emas?!"
Orang yang mengaku bernama
Ramadi Watampone tertawa perlahan. "Ulah manusia memang banyak, aku
kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!"
Kiyai Surah Ungu sisipkan
tombak pendeknya di pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua orang ini
kemudian malah saling berangkulan.
"Puluhan tahun tidak
bertemu. Sekali bertemu di tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang
tidak saling curiga!" kata Kiyai dari Banten itu. "Nah, kukira
kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat yang mendahului
kita."
"Kau betul Kiyai Surah.
Hanya sayang, kita sama-sama tidak sempat melihat wajah Tua Gila penghabisan
kali sebelum dikubur…"
"Ada baiknya kita segera
sama-sama menuju ke makam sahabat kita itu. Biar aku berjalan duluan…"
"Kalau begitu aku
mengikuti dari belakang," kata Ramadi Watampone.
Dalam gelap kedua orang yang
sama-sama berusia hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju
bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian mereka keluar dari
kerapatan pepohonan dan sampai pada sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh
batu-batu karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk dinding
setengah lingkaran.
Karena tempat ini agak terbuka
maka kepekatan malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung depan, di sebelah
tengah lapangan tampak dua gundukan tanah kuburan yang masih merah.
Dari dua makam itu hanya satu
yang memiliki batu nisan.
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi
Watampone melangkah ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua orang
ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh menggeletak tak berapa jauh dari
makam. Ketika diperiksa keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka
tertutup darah yang mulai mengering. Pada kening masingmasing kelihatan
sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari lobang inilah darah sebelumnya
mengucur.
"Kiyai Surah… Kau
mengenali siapa adanya mayatmayat ini?!"
Yang ditanya menggeleng. Malah
balik bertanya "Kau…?"
"Tak pernah kulihat wajah
keduanya sebelumnya. Tapi dari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia persilatan
dan satu lagi yang masih menggenggam keris seperti orang bangsawan. Mungkin
juga pejabat dari sebuah kerajaan…"
Kiyai Surah mengambil keris
dari genggaman mayat. Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata,
"Gagang keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di
selatan…"
"Kita menghadapi satu
peristiwa pembunuhan, Kiyai!" kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik
Emas.
"Itulah yang ada
dibenakku…" jawab Kiayi Surah Ungu seraya memandang berkeliling. Hanya
pepohonan dan batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak menghitam
dalam kegelapan.
"Sulit, dipercaya, pada
saat kita hendak menyambangi makam seorang sahabat, tahu-tahu dihadapkan pada
peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh?’
Ramadi Watampone memegang
tubuh salah satu mayat lalu berkata, "Meski darah di mukanya mulai
mengering tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini belum lama
menemui kematian…"
"Jangan-jangan
pembunuhnya masih berada di sekitar sini… " ujar Kiyai Surah lalu
memandang berkeliling sekali lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan
berkata, "Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-orang yang
mengikutiku sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini? Aku tadinya menduga kau
yang menguntit. Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pembunuh itulah
yang mengikutiku…!"
***
2
Untuk beberapa lamanya kedua
orang tua itu samasama jongkok dan saling pandang dengan perasaan tidak enak.
"Aku punya firasat ada orang lain tengah memperhatikan gerak gerik kita
saat ini…" berbisik Kiayi Surah Ungu.
Ramadi Watampone jadi merasa
tidak enak mendengar kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin.
Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, "Apapun yang terjadi di tempat
ini harus kita lupakan dulu. Maksud utama kita kemari adalah untuk berziarah
melihat makam sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana …"
"Tunggu dulu
sahabat," berkata Kiyai Surah seraya memegang lengan Ramadi. "Kalau
kita berada di makam, punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu cadas
dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak mungkin dibokong orang. Siapapun
yang hendak membunuh kita pasti akan muncul di arah depan…"
"Kau betul. Kita harus
berhati-hati…" kata Ramadi pula. "Sebaiknya melangkah mundur."
Kedua orang itu kemudian
mendekati dua buah makam dan melangkah mundur dalarn gelap. Begitu sampai
keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan. Mereka memperhatikan
keadaan sekeliling beberapa saat.
"Aneh…" kata Ramadi
Watampone. "Mengapa ada dua makam di tempat ini?"
"Keanehan itu sudah
kupertanyakan dalam hati sejak pertama kali aku melihat dua makam ini
tadi," menyahuti Kiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat
dari batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu di sebelahnya
ini sama sekali tidak memiliki batu nisan…"
"Apakah sahabat kita Tua
Gila mempunyai istri?" tanya Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng.
"Setahuku kakek-kakek itu tak pernah punya istri… Kalaupun ini makam
istrinya, lalu mengapa tidak ada batu nisannya?"
"Hemmm, sulit diduga
makam siapa yang satu ini," berkata Pendekar Badik Emas.
"Ada satu keanehan
lagi…" ujar Kiyai Surah.
"Apa?"
"Kedua kuburan ini
sama-sama masih merah tanahnya. Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur
ini waktunya tidak berbeda banyak …"
"Kau benar," kata
Ramadi dan hatinya merasa tidak enak. lalu setengah berbisik dia bertanya:
"Apakah kau mencium bau sesuatu…?"
Kiayi Surah Ungu menatap
Ramadi sesaat lalu menghirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu
yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
"Memang ada bau sesuatu.
Tapi sulit kuterka bau apa…" kata sang Kiayi kemudian. "Bau apa yang
tercium oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?"
"Seperti bau asap…"
jawab Ramadi pula. "Baunya ada tapi bentuknya tidak kelihatan."
"Sudahlah. Mari kita
membaca doa dan apa saja untuk almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia
diberikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa."
Ramadi mengangguk. Kedua orang
tua itu lalu membaca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang bag! Tua
Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai. Ramadi Watampone memandang pada
sang Kiyai lalu bertanya apa yang akan mereka lakukan sekarang.
"Sesudah menengok makam
Tua Gila sebenarnya kita bisa saja segera meninggalkan pulau ini. Tetapi tidak
pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua orang ini…"
berkata Kiyai Surah.
"Kalau begitu kita
terpaksa menunggu sampai pagi."
"Kita tidak punya
peralatan cukup untuk menggali kubur dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara
yang lebih gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari keduanya.
Membawanya ke atas perahu. Lalu membuangnya di tengah lautan. Itu lebih balk
dari pada meninggalkan mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat
ini."
Baru saja Kiyai Surah berkata
begitu tiba-tiba dikejauhan terdengar suara raungan anjing, panjang
menggidikkan.
Kiyai Surah merapatkan kerah
jubahnya. "Aneh… Di pulau seperti ini ada anjing..:" katanya.
"Makin lama berada di
pulau ini semakin tidak enak perasaanku," berucap Ramadi Watampone
berterus-terang. "Kita berangkat sekarang?"
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu
membungkuk, untuk memanggul masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat
mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba keduanya merasa ada
seseorang bergerak di belakang mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi
Watampone segera membalik. Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah
di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar. Selain pakaian warna kuning
yang dikenakannya, orang ini juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya
terlindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di kepalanya
bertengger sebuah topi tinggi
"Hati-hati… Mungkin
sekali kita tengah berhadapan dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi …"
bisik Kiyai Surah.
"Aku malah memastikan orang
di depan kita ini pembunuh kedua orang ini," sahut Ramadi Watampone. Lalu
tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip yaitu sebilah badik
berbadan dan bergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal
yang sama. Berjagajaga dengan mendekatkan tangan kanannya pada tombak bermata
dua yang tersisip di pinggangnya.
"Kalian mau bawa ke mana
dua mayat itu?!" Tiba-tiba sosok yang tegak di depan sana bertanya.
Suaranya garang dan keras.
"Kami bermaksud mengurus
jenazah-jenazah ini. Membuangnya di tengah laut," menjawab Kiyai Surah.
"Kalian tidak akan sempat
melakukan itu!" Orang tinggi besar berkata.
"Kenapa tidak?!"
tanya Ramadi Watampone.
"Karena kutuk telah jatuh
terhadap siapa saja yang menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja
yang Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian berdua akan menemui
kematian seperti kedua orang itu!"
Terkejutlah Kiyal Surah dan
Pendekar Badik Emas.
"Jadi kau yang membunuh
kedua orang itu?!" tanya Kiyai Surah puia. Tangannya telah memegang batang
tombak erat-erat.
"Kamu sudah tahu kenapa
bertanya?!"
"Katakan siapa kau
adanya!" tanya Ramadi.
"Kalian tak layak
bertanya! Manusia-manusia sahabat Tua Gila sudah kusumpah untuk mati di tempat
inil Di depan makam Tua Gila sendiri!"
"Kita tidak bersilang
sengketa, mengapa menginginkan jiwa kami?!" tanya Kiyai Surah.
Si tinggi tertawa pendek.
"Kematian memang tidak selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua
Gila telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa tahun yang silam. Dan
aku telah bersumpah siapa saja sahabat Tua Gila yang muncul di sini akan
kuhabisi nyawanya. Termasuk kalian berdua!"
Sehabis berkata begitu orang
tinggi besar itu melompat ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan
menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat menimbulkan getaran
sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang
sejak tadi memang sudah berjaga-jaga cepat menghindar ke samping. Dari kiri
kanan mereka lalu balas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari
kedua tangan orang tinggi besar itu membuat dua orang tua ini terhuyunghuyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai
Surah Ungu serta merta kerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki lalu
menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi
terkejut juga. Dari mulutnya keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua
tangannya bergerak untuk menangkis serangan kedua lawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar dua kali suara
bergedebuk begitu tangan masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental
empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan besi. Paras sang Kiyai
berubah pucat. Pendekar Badik Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat
tiga langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan.
Si tinggi besar tertawa
bergelak.
"Aku senang melihat
manusia-manusia seperti kalian. Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi
berani menantang!"
Bukan main panasnya hati Kiayi
Surah Ungu dan Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat, tenaga
dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam dunia persilatan mereka
dihormati dan menjadi dua tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak
saja mengejek kepandaian mereka!
"Manusia sombong! Lekas
beri tahu siapa kau sebenarnya?!" membentak Ramadi Watampone alias
Pendekar Badik Emas.
Yang dibentak malah tertawa.
"Bukankah kau manusianya
yang bergelar Pendekar Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran Tanpa
Mahkota?"
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi
Watampone sama-sama terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar
melanjutkan kata-katanya.
"Memandang nama besar
kalian, aku memberi kelonggaran memperpanjang sedikit seat kematian kalian.
Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata masing-masing. Perlihatkan
Tombak Dwi Sula-mu Kiyai Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau
datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak melihat senjata
mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan badik emasmu!"
Dua orang tua kembali
terkesiap karena orang yang tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang
diri mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki. Namun merasa diejek
dan dianggap remeh bahkan ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik
Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya keluarkan senjata
masing-masing. Sesaat kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan
Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas sedang sebatang tombak
bermata dua tampak menyilang di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki
Pangeran Tanpa Mahkota.
"Bagus…! Kalian boleh
maju berbarengan!"
Dua orang tua itu menunggu
sesaat. Ketika si tinggi besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya maka kedua
orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat menaburkan sinar
kekuning-kuningan dalam kegelapan malam. Tombak Dwi Sula menderu mencari
sasaran di tenggorokan lawan.
Serangan dua tokoh silat kelas
tinggi itu bukan serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya akan
sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi lagi-lagi si tinggi besar
keluarkan suara tertawa. Lalu dia gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua benda hitam sebesar ujung
jari kelingking berbentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai
Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya mendengar suara berdesing tapi tidak
melihat bendanya.
Ketika mereka kemudian
menyadari ada benda yang melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak
bermata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badiknya di udara. Namun
gerakan kedua orang ini sudah sangat terlambat.
Di lain kejap terdengar
jeritan mereka merobek kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh kedua jago tua ini
terkapar di tanah di hadapan dua buah makam. Satu di belakang makam Tua Gila,
satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya menemui ajal dengan mata
membeliak!
Di kening masing-masing tampak
sebuah lubang mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini
mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu
meregang nyawa sosok tinggi tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu
karang dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali ter-dengar suara
panjang lolongan anjing.
Angin malam bertiup tambah
keras dan tambah dingin. Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.
***
3
PUNCAK Gunung Singgalang
disaput awan kelabu sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin tebal dan
akhirnya membuat suasana mendung menutupi daerah luas sekitar gunung. Namun
sampai siang hujan tak kunjung turun.
Di lereng barat Gunung
Singgalang, seorang tua duduk termenung di ruang depan rumah kayu berkolong
tinggi. Di halaman seorang lelaki tengah asyik membakar seekor ikan besar
sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah orang tua di atas rumah. Bau
sedap ikan panggang ini menebar kemana-mana.
Orang yang membakar ikan untuk
kesekian kalinya memandang ke arah orang tua di atas rumah. Dalam hatinya dia
berkata, "Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga sudah berapa tahun uslanya.
Kelihatannya dia sudah pasrah untuk meninggalkan dunia. Tapi Yang Kuasa masih
belum Jugs mengutus mataikat maut…"
Bagi orang yang baru pertama
kali melihat orang tua di atas rumah, mungkin bisa serasa terbang nyawanya oleh
rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah bertahuntahun tinggal bersamanya
menjadi kawan dan pembantu, tidak lagi merasa ngeri melihat wajah itu.
Wajah dan keadaan tubuh orang
tua tersebut memang menyeramkan untuk dipandang. Mukanya pucat berkerut dan
sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan sepasang rongga besar yang
menggidikan. Salah satu telinganya sumplung. Dimulutnya tak sepotong gigipun
bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas pergelangan.
"Saringgih…."
tiba-tiba terdengar suara orang tua itu. Halus melengking.
"Ambo Nyanyuk…"
menyahuti lelaki yang membakar Man. Dia berhenti mengipas bara api pemanggang
ikan.
"Akan lamakah pekerjaanmu
itu selesai?"
"Ah, Nyanyuk sudah lapar
sekali rupanya!" Orang tua bermata seperti setan gelengkan kepala.
"Aku belum ingin makan
Saringgih. Ada sesuatu yang aku pikirkan."
"Ah, pantas sejak tadi
ambo lihat Nyanyuk duduk termenung- menung:
"Aku merasa kita harus
segera meninggalkan Gunung Singgalang ini."
Singgih tercenung mendengar
ucapan orang tua itu. Kipas bambu diletakkannya di tanah lalu die melangkah ke
dekat tangga. "Angan-angan apa yang ada di pikiran Nyanyuk?"
"Nyanyuk Amber tidak
pernah berangan-angan. Aku mendapat firasat yang tidak enak. Juga ada isyarat
mimpi yang kuterima malam tadi…" Jawab orang tua itu sementara angin
meniup-niup rambutnya yang putih jarang.
"Kalau begitu
ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk itu," kata Saringgih lalu menaiki
tangga dan duduk di hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
"Malam tadi aku mimpi
melihat udara hitam kelam di pantai pulau ini. Paginya ketika aku terjaga entah
mengapa aku tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat lama yang tinggal di
sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir, jangan-jangan ada sesuatu terjadi
atas dirinya. Usianya lebih tua dariku. Sudah sakit-sakitan. Sejak beberapa
tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar beritanya. Kau sendiri sudah
beberapa lama tidak pernah turun gunung untuk menyirap kabar dan segala
kejadian yang ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi atas
dirinya…"
"Jalan pikiran Nyanyuk
selama ini biasanya tidak pernah meleset," kata Saringgih. "Jadi akan
berangkatkah kita hari ini, Nyanyuk?"
"Tidak… Tidak hari ini
Saringgih, Tapi sekarang!"
"Sekarang Nyanyuk? Ah,
kenapa secepat itu?"
"Kau tahu perjsianan ke
sana sangat jauh. Kau harus membawaku melalul perjalanan darat paling tidak
selama dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau keberangkatan ditunda-tunda,
kapan akan sampainya di sana Saringgih?’
"Kalau begitu Nyanyuk
bilang, ambo hanya mengikut saja. Tapi biar saya selesaikan panggangan ikan
Itu. Kita makan dulu baru berangkat. Begitu kan Nyanyuk?"
"Tidak, tidak begitu
Saringgih. Ikan bakarmu sudah cukup matang. Bungkus dan kita makan di
perjalanan…"
Saringgih ternganga,
garuk-garuk kepala namun akhirnya hanya bisa mengangkat bahu.
"Selesal kau membungkus
ikan itu, siapkan jubah hitamku Saringgih," terdengar Nyanyuk Amber
berkata.
"Jubah hitam katamu
Nyanyuk?"
"Kau sudah dengar dan aku
tidak perlu mengatakannya sampai dua kaIi!"
"Agaknya kita akan
menghadapi urusan besar lagi kali ini Nyanyuk?" tanya Saringgih.
"Betul. Urusan besar.
Mungkin sangat besar dalam hidupku. Karenanya kau juga kupinta menyiapkan diri
dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu…"
"Balk Nyanyuk, saya akan
membungkus ikan bakar itu. Menyiapkan baju hitammu dan membekal keris Pusako
Dewa." Lalu Saringgih bergegas menuruni tangga. Dengan selembar daun
pisang dibungkusnya ikan besar yang barusan dibakarnya.
Lalu dia naik atas rumah,
masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebilah keris. Setelah Itu dia masuk ke
dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju hitam lengan panjang
terbuat dari kain sangat tebai. Baju yang berupa jubah pendekar ini dikenakannya
ke tubuh Nyanyuk Amber.
Pada bagian bahu kiri kanan
baju hitam ini terdapat sebuah saku. Dan pada masing-masing saku tersisip
selusin senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang seterrgah jengkal, terbuat
dari perak putih.
"Kau sudah siap Saringgih?"
"Siap Nyanyuk?"
"Tak ada yang
ketinggalan?"
Saringgih berpikir sejenak
lalu menjawab. "Rasanya tidak ada Nyanyuk."
"Bagus kalau begitu.
Jangan lupa ikan bakarmu. Bisabisa kita kelaparan di tengah jalan."
Saringgih mengangguk lalu
jongkok di hadapan orang tua yang sejak tadi duduk saja di lantai. Ketika si
pembantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya kelihatanlah kini keadaan
tubuhnya di sebelah sepasang tangan buntung tetapi kedua kakinyapun juga
bunting!
Siapakah sebenarnya orang tua
yang memiliki banyak cacat ini?
Nyanyuk Amber adalah salah
satu dari beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang paling disegani di pulau
Andalas. Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja Rencong Dari
Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh nafsu hendak menguasai dunia
persilatan. Cara yang ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu mengundang semua
tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke tempat kediamannya, lalu
membunuh mereka secara masal!
Sebagaf seorang guru tentu
saja Nyanyuk Amber menghalangi maksud jahat muridnya itu. Ternyata kesetanan
Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia kemudlan tega membuat buta
kedua mata Nyanyuk Amber, memotong tangan dan kaki orang tua itu. Meskipun
dalam usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian Nyanyuk Amber
bersama-sama Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat
Raja Rencong Dad Utara. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong Dari
Utara).
Setelah dua hari menempuh
perjalanan darat akhirnya Saringgih dan Nyanyuk Amber sampai di pantal barat
pulau Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa mengangkut mereka ke
tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak jauh dari pesisir barat. Tapi ternyata tak
ada seorang pemilik perahupun yang mau mengantarkan mereka.
"Aneh!" kata Nyanyuk
Amber. "Apakah mereka takut melihat tampangku atau mungkin pemilik perahu
itu sudah kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja. Saringgih, kau tahu
mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita ke pulau?"
"Mereka tidak mau
mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari gelagat ambo kira orang-orang itu merasa
kawatir…" jawab Saringgih.
"Apa yang mereka
kawatirkan? Temui salah seorang dari mereka. Katakan kita akan membayar dua
kali lipat."
"Ambo justru menjanjikan
bayaran tiga kali lipat Nyanyuk. Tapi semua mereka tetap menggeleng."
"Kalau begitu kita sewa
perahu saja dan. Kau terpaksa jadi tukang kayuh,"
"Ambo tak keberatan
Nyanyuk. Cuma disewapun mereka tidak mau!"
"Kapuyuak!" mengomel
Nyanyuk Amber. "Apa pun alasan mereka kali ini?"
"Salah seorang
memberitahu, ada empat kawan mereka yang telah menyewakan perahu. Tujuan para
penyewa itu sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari ini
keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu mereka itu lenyap! Orangorang di
pantai menduga keras ada malapetaka yang telah menimpa keempat penyewa perahu
itu!"
Nyanyuk Amber yang didudukkan
Saringgih di bawah sebatang pohon tampak termenung sambil mengusap-usap
dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
"Mereka tak mau
mengantar, Mereka juga tak mau kita sewa perahu mereka. Sudah, kalau begitu
kita beli saja satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang,
Saringgih?"
"Kira-kira begitu. Tapi
seandainya tidak cukup bagaimana Nyanyuk?"
"Mudah saja! Gadaikan
keris Pusako Dewa milikmu!" sahut Nyanyuk Amber.
"Apa…? Ini bukan senjata
sembarangan Nyanyuk. Tapi senjata pusaka tujuh turunan. Dan Nyanyuk sendiri
sudah ikut menambahkan tuahnya!"
"Kita dalam kesulitan
Saringgih. Kau boleh pilih. Gadaikan keris itu atau kau gadaikan kepalamu…"
habis berkata begitu Nysnyuk Amber tertawa terkekeh-kekeh hingga kelihatan
gusinya yang tidak bergigi sama sekali.
Saringgih geleng-geleng
kepala. Dia menggaruk seluruh saku pakaiannya, mengambii semua uang yang
dibawanya Ialu menghitung.
"Mudah-mudahan uang ini
cukup. Dari pada menggadaikan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini saja yang
digadaikan! Tapi… siapa pula yang mau menerima kepala setan itu…!" kata
Saringgih mengomel sendirian.
"Kepala si tua siapa yang
kau maksudkan itu Saringgih?" Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengar
oleh Nyanyuk Amber.
"Ah, tidak. Anu Nyanyuk.
Bukan kepala siapa-siapa. Tapi kepala ambo yang dibawa…" jawab Saringgih
lalu cepatcepat meninggalkan tempat itu sambil tersenyum-senyum.
***
4
Menjelang matahari tenggelam
perahu yang didayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di bagian air lout yang
dangkal pembantu itu melompat turun lalu mendorong perahu ke pasir pantai.
"Kita sudah sampai
Nyanyuk… "
"Aku tahu. Apa yang kau
lihat sekitar tempat ini, Saringgih?"
Si pembantu memandang
berkeliling. "Laut, pantai, sang surya yang hendak tenggelam, pepohonan,
batu-batu karang…"
"Hanya itu…?!" ujar
Nyanyuk Amber. "Kedua mataku tidak melihat karena buta. Tapi kau tidak
melihat sesuatu yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol Saringgih! Buka
matamu lebar-lebar!"
Saringgih memandang lagi
berkeliling. "Ah, orang tua ini memang benar, mengapa aku sampai tidak
melihatnya tadi," kata pembantu itu dalam hati. "Saya memang melihat
sesuatu Nyanyuk. Ada tiga… Tidak… Bukan tiga tapi ada empat buah perahu kecil
jauh di sebelah sana…"
Nyanyuk Amber usap-usap
dagunya. "Ada empat perahu di pantai sini. Berarti keempat penyewa perahu
itu memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke pulau besar. Mereka
raib secara aneh."
"Kita perlu berhati-hati
Nyanyuk…"
"Betul. Karena itu buka
matamu lebar-lebar. Apakah kau ada melihat jejak-jejak kaki di pasir
pantai?"
"Tak dapat saya pastikan
Nyanyuk. Kita harus menyelidiki ke dekat empat perahu itu…"
"Dukung aku ke
sana!"
Saringgih lalu mendukung
Nyanyuk Amber di punggungnya melangkah ke tempat empat perahu yang berada di
tempat pasir pulau.
"Nah sekarang katakan apa
yang kau lihat!"
"Ada empat perahu di
bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang dua di depan kita, dua lainnya tak jauh di
sebelah sana."
"Berarti, dua perahu yang
pertama datang bersamaan. Dua perahu lainnya berbeda waktu… Apa lagi
Saringgih?"
"Di atas pasir memang
kelihatan ada legukan-legukan. Tapi tidak begitu jelas apakah bekas jejak
manusia atau jejak kaki binatang…"
Nyanyuk Amber mengangguk. Dia
mendongak ke langit beberapa saat. Hidungnya menghirup udara laut dalamdalam.
Tercium udara yang mengandung garam. Namun indera yang tajam dari orang tua ini
juga membaui sesuatu. Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata,
"Kita masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah saja luruslurus ke depan.
Jangan membelok. Jangan berhenti sebelum aku memberi tanda…"
"Tidakkah sebaiknya kita
makan dulu di sini Nyanyuk? Persediaan makanan kita masih banyak…"
"Pikiranmu tidak lain ke
perut saja Saringgih. Dasar gadang lambuang! kau boleh makan sambil
mendukungku!" kata Nyanyuk Amber pula.
Makin jauh mereka masuk ke
dalam pulau kecil itu semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara pun
tidak mengandung garam lagi. Namun ada sesuatu yang mencucuk liang hidung dan
rongga pernafasan kedua orang itu.
"Kau mencium bau sesuatu
Saringgih?" bertanya Nyanyuk Amber.
"Betul Nyanyuk. Bau
busuk… " jawab si pembantu. Saat itu sebenarnya dia sudah keletihan
mendukung orang tua itu di punggungnya tapi dia tak berani mengatakan.
"Bau busuk yang berasal
dari apa menurutmu Saringgih?" bertanya lagi Nyanyuk Amber.
"Sulit diterka, Nyanyuk.
Mungkin itu berasal dari bangkai binatang…"
"Kau betul," berkata
Nyanyuk Amber. "Itu memang bau bangkai binatang. Binatang berkaki
dua!"
"Maksud Nyanyuk…?"
"Maksudku adalah bau
bangkai manusia! Kau tahu, bangkai manusia adalah yang paling busuk dari segala
bangkai yang ada di dunia ini!"
Saringgih hentikan langkahnya.
"Jangan-jangan itu adalah
bangkai orang-orang yang menyewa perahu…"
"Kukira begitu. Jalan
terus Saringgih. Kita akan segera melihat sesuatu. Agaknya hari mulai gelap.
Buka matamu lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau tersungkur ke
tanah karena ketololanmu!"
Saringgih melangkah terus
sambil mendukung si orang tua di punggungnya. Dia melewati sebuah mata air
jernih dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin sekali berhenti
sebentar, meneguk air membasahi rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat
itu terasa tebal akibat seharian penuh disapu angin laut.
"Jalan terus Saringgih!
Kalau aku tidak bilang berhenti, jangan berani berhenti!"
Terdengar suara Nyanyuk Amber
dekat telinga Saringgih. Pembantu ini diam-diam mengomel dalam hati.
"Orang tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam benakku!"
Melanjutkan perjalanan di
sela-sela pepohonan dan semak belukar sekitar seratus langkah lebih di mana bau
busuk tercium semakin santar sementara keadaan tambah gelap, mendadak sontak
Saringgih hentikan langkahnya. Orang tua yang dipunggungnya hampir terlepas
dari pegangannya.
"Saringgih! Kau berhenti
melangkah tanpa perintahku! Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu terasa goyah.
Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan matamu?!" Nyanyuk Amber
cepat ajukan pertanyaan.
Saat itu memang Saringgih
merasakan jantungnya berdebar keras, sepasang lutut goyah dan tengkuk,
merinding dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia hendak menjawab
namun sesaat lidahnya terasa kelu.
"Cepat katakan apa yang
kau lihat Saringgih! Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung
dari cepat lambatnya kau memberi tahu aku!"
"Nyanyuk… di depan kita
ada lapangan kecil…"
"Kantuik! Persetan dengan
tanah lapang itu! Pasti ada hal lain yang lebih penting dari tanah lapang
sialan itu!"
"Kau… kau benar Nyanyuk.
Di ujung lapangan ada dua buah kuburan. Satu pakai batu nisan hitam, satunya
tidak. Tapi… di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada masing-masing lima
tiang kayu. Pada empat tiang, dua di kiri dua di kanan terikat sesosok mayat.
Rusak, busuk, mulai berbelatungan…"
"Ada yang kau kenali
diantara keempat mayat itu?"
"Sulit Nyanyuk. Wajah
mereka tertutup darah mengering dan sudah sangat rusak..:"
"Melangkah lebih dekat.
Perhatikan apa yang menyebabkan kematian mereka. Diracun, ditusuk senjata
tajam atau terkena pukulan sakti…"
Sambil mendukung Nyanyuk
Amber, Saringgih melangkah lebih dekat ke arah kedua makam. Dibukanya matanya
besar-besar. Selain sulit untuk meneliti sebab kematian keempat orang diikat
tegak ketiang kayu itu, juga saat itu hari bertambah gelap.
"Keempat orang ini
agaknya menemui kematian dalam cara yang sama Nyanyuk. Muka mereka bersimbah
darah…"
"Berarti sebab musabab
kematian ada pada bagian kepala. Ayo kau perhatikan lagi lebih teliti…"
Untuk bisa melihat lebih jelas
terpaksa Saringgih maju lagi dua langkah padahal saat itu perutnya sudah mau
meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera bau busuk yang luar biasa.
"Nyanyuk… Ambo melihat
ada lobang kecil sebesar ujung jari pada setiap kening mayat…" kata
Saringgih ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh dalam ukuran dan
bentuk yang bersamaan pada kening masing-masing mayat!
"Bagus Saringgih.
Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri keempat orang itu, termasuk pakaiannya
lalu katakan padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa mereka yang
menemui ajal secara aneh di pulau ini!"
"Sulit diberi tahu
Nyanyuk. Soalnya keempat mayat sudah sangat rusak. Pakaian merekapun sudah
tidak karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata tergeletak di
tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata sembarangan."
"Coba kau ceritakan
senjata apa yang kau lihat itu!"
"Yang di sebelah kanan
terletak di depan kaki mayat, berupa sebuah tombak pendek bermata dua…" menerangkan
Saringgih.
"Tongkat pendek bermata
dua… Hemmmmmm." berguman Nyanyuk Amber. "Bagian bawah tempat
pegangannya dilapisi kulit…"
"Betul Nyanyuk…"
"Itu adalah Tombak Dwi
Sula dari Banten! Berarti mayat di depan senjata ini adalah mayat Kiyai Surah
Ungu! Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!"
Nyanyuk Amber terdiam sesaat
lalu, "Ceritakan tentang senjata yang kedua…" katanya.
"Sebilah badik Nyanyuk.
Berwarna kuning legam. Mungkin terbuat dari emas…"
"Kuning sampai ke
hulunya?" tanya Nyanyuk Amber.
Ketika Saringgih membenarkan,
wajah tua cekung itu nampak menjadi kelam. "Pendekar Badik Emas dari Bugis
ternyata telah jadi korban pula," kata si orang tua perlahan. "Lalu
apa senjata yang ke tiga Saringgih?"
"Sebilah keris bergagang
gading…"
"Hemm… Tak bisa kuduga
siapa pemiliknya. Tapi senjata ini biasanya merupakan senjata andalan
orang-orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit diduga apa
sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi kau bilang ada dua makam
di ujung lapangan."
"Benar Nyanyuk…"
"Satu ada batu nisan
hitam. Satunya tanpa nisan…"
"Betul Nyanyuk."
"Apa yang tertulis pada
makam yang ada batu nisannya?" bertanya lagi Nyanyuk Amber.
Saringgih majukan kepalanya
sedikit untuk dapat membaca guratan pada batu nisan. "Disini hanya
tertulis Tua Gila. Tak ada tulisan lain …"
"Ada… bagiku itu sudah
cukup. Ternyata benar telah terjadi sesuatu atas diri sabahatku. Tua Gila aku
tidak menyangka kau bakal mendahuluiku…" Untuk beberapa lamanya Nyanyuk
Amber termenung larut dalam kesedihan.
"Tak ada tanda-tanda pada
makam yang katamu tidak bernisan itu, Saringgih?" Si orang tua kemudian
ajukan pertanyaan.
"Sama sekali tidak ada.
Namun seperti kuburannya Tua Gila, kubur satu inipun tanahnya masih
merah…"
"Aneh. Siapa yang dikubur
disamping kuburnya Tua Gila? Istrinya…? Setahuku dia tidak beristri! Muridnya?
Hemmm…? Aku memang pernah mendengar Tua Gila mengambil seorang murid. Tapi
masih sangat kecil. Paling tidak usia muridnya itu baru sekitar enam tahun. Lalu
di mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini…? Saringgih, kubur tanpa nisan
itu apakah sama besar dengan makam Tua Gila? Atau lebih kecil?"
"Sama besar
Nyanyuk…" sahut Saringgih.
"Berarti ini makam orang
gede! Ah, sulit kuduga siapa yang dikubur disini…" kata Nyanyuk Amber lalu
setelah diam sesaat orang tua ini berkata.
"Saringgih kau ambil obat
pelawan bau pusuk yang ada dalam saku baju celanaku sebelah kanan. Teteskan
cairan yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu kembalikan obat itu
padaku…"
Si pembantu merogoh saku kanan
Nyanyuk Amber. Di saku ini ditemuinya sebuah botol kecil. Botol ini berisi
cairan berwarna coklat.
"Kau pergi teteskan obat
itu. Tapi lebih dahulu dudukkan aku di depan makam Tua Gila. Aku ingin
mengheningkan cipta dan berdoa…"
"Nyanyuk terus terang
sejak menginjakkan kaki di pulau ini hatiku merasa tidak enak. Begitu selesai
Nyanyuk berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat ini."
Nyanyuk Amber tidak berkata
apa-apa. Saringgih menundukkan mukanya di depan makam Tua Gila lalu melangkah
mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang. Dengan tengkuk merinding ketakutan
setengah mati dan sambil menekap hidung pembantu ini teteskan cairan di dalam
botol masing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat yang membusuk itu.
Begitu cairan menyentuh kaki
mayat, terdengar letupan…. Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahan naik
ke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap itu menipis dan akhirnya
lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang
menghampar di tempat itupun sirna perlahan-lahan.
"Obat aneh…" kata
Saringgih dalam hati sambil menutup botol kecil itu kembaii. Pembantu ini tahu
bahwa walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang ampuh namun kekuatan obat
itu hanya mampu bertahan selama satu hari satu malam. Setelah itu bau busuk
pasti akan muncul kembali.
Setelah pembantunya memasukkan
botol obat kembali itu dalam saku celananya, Nyanyuk Amber mulai berdoa untuk
arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia tiba-tiba mencium bau sesuatu. Bau
asap rokok. Meskipun hatinya kini menjadi tidak tenang namun orang tua ini
meneruskan juga membaca doa sampai selesai. Begitu selesai dia bertanya.
"Saringgih…! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi aneh, aku mencium bau asap
di tempat ini…"
"Ambo juga menciumnya
Nyanyuk," menyahuti si pembantu sambil memandang berkeliling.
Tengkuknya terasa lebih
dingin.
"Aku merasa ada mahluk
bernafas disekitar tempat ini." kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgih
tambah merinding. "Aku juga mendengar ada suara ketukarr-ketukan sangat
halus. Seolah-olah datang dari perut pulau…"
"Nyanyuk, bukankah lebih
baik kita segera pergi saja dari sini?" kata Saringgih pula.
"Diam Saringgih… Aku
mendengar ada suara sesuatu di kejauhan… Seperti suara langkahlangkah
kaki!"
Tiba-tiba kedua orang itu
sama-sama tercekat. Saringgih malah sampai tersentak saking kagetnya. Suara
raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan menggidikkan.
"Suara anjing di pulau
sekecil ini. Sungguh aneh…" kata Nyanyuk Amber seraya memutar kepalanya ke
kiri dan ke kanan.
"Nyanyuk…" kata
Saringgih dengan suara bergetar. "Ambo bisa kencing di celana kalau masih
terus berada di tempat ini…"
"Kita akan segera pergi.
Tapi tunggu sampai aku memastikan bahwa yang kudengar sebelum raungan anjing
tadi adalah benar-benar suara kaki manusia…"
Kalau saja bukan orang tua itu
yang harus dijaga dan diikuti ucapannya mungkin saat itu Saringgih sudah
melompat dan lari meninggalkan tempat itu.
"Tak ada suara apa-apa
Nyanyuk. Pastilah…! Mungkin suara desau angin laut atau gemerisik pepohonan
yang tadi kau dengar… Bukan suara langkah kaki…"
"Aneh, aku seperti yakin
itu adalah suara langkah kaki. Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja
agar dimiringkan. Telinganya dipasang baik-baik."
Saringgih kembali memandang
berkeliling. Pertama sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan
mana tadi mereka datang. Tak kelihatan apa-apa. Lalu pembantu ini mengalihkan
pandangannya ke arah batubatu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang
membentuk dinding setengah lingkaran di sebelah kiri. Tepat ketika dia
memandang di sebuah celah antara dua batu karang tinggi mendadak dia melihat
bayangan hitam besar bergerak.
"Nyanyuk…" suara
pembantu flu tersendat dan tercekat.
"Ada apa Saringgih?"
"Ambo melihat sesuatu.
Ada sosok bayangan besar di celah batu karang di kiri kita …."
"Itu bayangan batu-batu
karang saja agaknya Saringglh. Kenapa kau musti merasa takut?"
"Tidak Nyanyuk. Bayangan
batu pasti diam. Tapi bayangan yang saya lihat bergerak perlahan-lahan!
Nyanyuk! Ada orang tinggi
besar melangkah keluar dari celah batu karang!" seru Saringgih dengan muka
pucat.
***
5
Nyanyuk Amber meskipun
terkejut mendengar ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku tenang dan
berkata. "Jangan takut. Tenang saja. Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang
itu… Kalau dia memang manusia, bukannya setan!"
Kedua mata Saringgih
terpentang lebar kearah celah batu karang. Bayangan besar pada batu bergerak
terus.
Perlahan tapi pasti. Lalu
bayangan itu lenyap dan kini sebagal gantinya muncul sesosok tubuh tinggi
besar. Orang ini berewokan, mengenakan baju kuning serta sehelai mantel panjang
berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah topi tinggi.
"Apa yang kau lihat
Saringgih… Lekas katakan padaku!" desis Nyanyuk Amber. Dengan suara
tersendat-sendat pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar
yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih melangkah ke dekat
Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di depan sana keluarkan suara membentak garang
dan keras.
"Jangan ada yang berani
bergerak!"
Gerak langkah Saringgih
tertahan.
"Si… siapa kau…?"
Saringgih beranikan diri bertanya walau suaranya gagap.
"Budak! Kau tak layak
bertanya!" si tinggi besar membentak. Tujuh langkah dari hadapan makam
dia berhenti. Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk bersila di
kaki makam Tua Gita. "Kakek buta! Apakah kau sudah selesai berdoa?!"
Ditanya sekasar itu Nyanyuk
Amber batuk-batuk beberapa kali lalu balik bertanya, "Siapa tanya
siapa?!"
"Kurang ajar! Aku tuan
rumah di pulau ini! Aku yang layak bertanya!"
"Hemm, aku tidak tahu
kalau kau tuan rumah di pulau ini. Setahuku sahabatku Tua Gila yang tinggal di
sini…"
"Jadi… Tua Gila
sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini tidak mengatakan bahwa di sini ada makam
Tuan Gila yang menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan dikubur?!"
Nyanyuk Amber sunggingkan
senyum. "Sebagai tuan rumah rupanya kau tidak pandai bicara sopan dan
lunak…"
"Pertu apa bicara dengan
manusia-manusia yang sebentar lagi akan jadi bangkai!" sentak si tinggi
besar. Dia bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk Amber tertawa
mengekeh. Sebaliknya Saringgih menyumpah dalam hati. "Gila!! Dalam
keadaan seperti ini dia masih bisa tertawa seenaknya!"
"Semua manusia pasti akan
jadi bangkai. Itu sudah ketentuan Tuhan. Tapi bukan berarti manusia bisa
mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya! Cakapmu yang sombong
menyatakan bahwa kaulah yang telah membunuh keempat orang itu, lalu mayatnya
kau ikat di tiang!"
"Ha …ha…ha! Matamu buta
tapi banyak melihat! Apakah kau sadar kalau sebentar lagi jumlah mayat akan
bertambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan kuikat ke tiang-tiang
kayu sana!"
"Bagus kau telah memberi
tahu!" sahut Nyanyuk Amber seenaknya. "Tua bangka sepertiku memang tidak
berguna lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu apa yang ditakutkan
menemui kematian?!"
Mendengar ucapan Nyanyuk Amber
itu kembali Saringgih menyumpah dalam hati. "Kau tidak takut mati! Tapi
aku masih kepingin hidup!"
"Kalau kau memang sudah
siap untuk mati berarti aku tidak terlalu susah payah membunuhmu!" kata
orang tinggi besar bertopi dan bermantel hitam.
"Tidak… Kau tidak akan
susah membunuh tua bangka sepertiku. Hanya saja sebelum mati aku kepingin tahu
mengapa kau menginginkan nyawaku? Juga nyawa keempat orang yang kau bunuh
terdahu!u!"
"Jawabnya mudah dan
singkat! Kutuk telah jatuh bahwa semua sahabat Tua Gila yang menginjakkan
kakinya di tempat ini akan menemui kematian! Mati di tanganku!"
"Ah… Kau ini malaikat
maut jadi-jadian rupanya!" ujar Nyanyuk Amber. "Tapi hari ini kau
berhadapan dengan aku raja diraja segala malaikat jadi-jadian! Lekas berlutut
di hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan bunuh diri!"
Merah padam wajah si tinggi
besar bermantel hitam itu. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Nyanyuk Amber.
Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu. Saringgih berseru memberi
ingat.
Orang tua bermata buta,
bertangan dan berkaki buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan ini
menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya. Dari ujung lengan jubah
itu melesat keluar satu gelombang angin yang mengeluarkan suara bersiuran. Dua
angin dahsyat saling tabrak di udara.
Saringgih melihat bagaimana
bentrokan angin pukulan mengandung tenaga dalam tinggi itu membuat Nyanyuk
Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya orang bermantel hitam
terjajar jauh ke belakang dan tersandar ke dinding karang.
"Kurang ajar! Tingkat
tenaga dalam tua bangka buruk itu tidak rendah. Kalau tidak segera kuhantam
dengan pukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka sebelum menghabisi
nyawanya!"
Orang ini lalu menanggalkan
mantelnya. Saringgih yang saat itu sudah melompat ke dekat Nyanyuk Amber segera
memberitahu apa yang dilihatnya.
"Saringgih, kau
menjauhlah. Cari perlindungan di balik pohon atau batu…"
"L.ebih baik Nyanyuk saya
dukung dan larikan dari sini saat ini juga!" kata Saringgih.
"Kalau kau mau selamat
ikuti ucapanku!" si orang tua membentak halus. Mendengar itu Saringgih tak
berlaku ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon.
Tepat pada saat dia sampai
dibaJik pohon, di depan sana orang bertubuh tinggi besar kebutkan mantel
hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads tanah longsor. Bersamaan
dengan itu satu gelombang angin laksana hantaman topan menghampar ganas
menebar hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak belukar rambas. Tanah
bergetar dan daun-daun pepohonan jatuh luruh, batang dan cabang-cabangnya
berderakderak!
Nyanyuk Amber berseru keras.
Dia kerahkan tenaga dalam penuh lalu goyangkan bahunya kiri kanan. Dua
gelombang angin melesat menyongsong gemuruh angin lawan. Namun sambaran angin
yang keluar dari mantel hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua
cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat karena berusaha menahan
serangan lawan akhirnya Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret mental beberapa
jauh.
Nyanyuk Amber kini dapat
membaca keadaan.
Dia segera berteriak pada
pembantunya.
"Saringgih! Lekas lari ke
perahu!"
"Nyanyuk! Kau sendiri
bagaimana… Ambo akan dukung kau. Kita lari sama-sama!" kata pembantu yang
setia itu.
Sambil berguling-guling si
orang tua berteriak. "Lakukan apa yang aku bilang! Tunggu aku
diperahu!"
Mendengar ini Saringgih segera
tancap diri, lari sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi
pantai.
Ketika melihat lawan tersapu
jauh oleh pukulan angin mantel hitamnya, si tinggi besar gerakkan tangannya ke
sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu digerakkan ke depan,
melesatlah dua buah benda hitam sebesar ujung jari kelingking. Dalam gelapnya
malam senjata rahasia berwarna hitam ini sulit untuk dapat dilihat. Tapi
telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada sesuatu yang melesat ke
arahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat tubuhnya dihantam
angin dahsyat tadi dan menyadari bahwa dirinya tak bisa bertahan, begitu
tubuhnya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat tubuhnya lalu
gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya yang buntung membuat tubuhnya
bisa mengkerut menjadi bulat laksana sebuah bola. Hal ini membuat daya
gulingnya jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia mendengar ada
benda melesat ke arah kepalanya!
Nyanyuk Amber tundukkan
kepalanya ke bahu kanan. Mulutnya menarik sebatang senjata rahasia berbentuk
anak panah kecil yang tersisip di saku jubah pendek yang dikenakannya. Lalu
dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tenggorokan, orang tua ini meniup
keras-keras.
Anak panah perak itu melesat
dalam kegelapan malam, memapas ke arah datangnya suara berdesing. Sesaat
kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah Nyanyuk Amber berhasil
menghantam benda bulat yang menyambar di udara. Walaupun anak panah perak itu
patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental jauh hingga si orang tua
selamat dari hantaman senjata rahasia lawan yang diarahkan ke keningnya!
Nyanyuk Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga akhirnya dia
sampai di tepi pasir.
Dengan mengeluarkan suara
menggereng geram si tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi kantong di
pinggang kirinya lalu sambil lari dia hantamkan senjata rahasianya. Untuk kedua
kalinya pula Nyanyuk Amber menangkis dengan panah peraknya. Namun sekali ini
tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke arah kepalanya. Dalam
saat yang sangat berbahaya itu bahu Nyanyuk Amber menyerempet gundukan batu.
Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuhkan diri di balik
gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata rahasia lawan Iewat seujung kuku di
atas kepalanya! Tanpa menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan
diri di atas pasir.
Saringgih yang menunggu di
atas perahu berteriak keras.
"Nyanyuk! Ambo di
sini!"
Teriakan ini sudah cukup bagi
Nyanyuk Amber untuk mengetahui arah di mana pembantunya berada. Orang tua ini
lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu melenting dan mencelat di udara,
jatuh tepat diatas perahu. Seringgih serta merta mendayung perahu itu
cepat-cepat ke tengah lautan.
Orang tinggi besar menggeram
keras. Dia berusaha iari mengejar masuk ke dalam laut sampai tubuhnya
tenggelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh Saringgih telah jauh
ditengah. Dengan geram orang ini masih berusaha melepaskan lagi satu senjata
rahasia. Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam bagian belakang
perahu dan menancap di kayu perahu itu.
Kembali orang ini menggeram.
"Kakek cacat itu ternyata
memiliki kepandaian hebat.
Baru dia seorang yang sanggup
menangkis serangan senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
Tapi dari ciri-cirinya… Jangan-jangan dia adalah Nyanyuk Amber, tokoh silat
dari puncak Singgalang, bekas guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar!
Mengapa tadi aku tidak menghantamnya dengan lima senjata rahasia sekaligus!
Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi ampun bangsat tua itu!" Lalu
sambil mengepalkan kedua tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam
kegelapan malam.
Sementara itu di atas perahu.
"Manusia itu luar biasa…
Serangahnya ganas mematikan! Hampir saja aku benar-benar hendak dibuatnya jadi
bangkai!" kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk sementara perahu
meluncur denan cepat. "Kita sudah cukup jauh ke tengah. Manusia itu pasti
tidak dapat lagi melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini, Saringgih!"
Tentu saja si pembantu menjadi
heran.
"Di putar kemana Nyanyuk?
Bukankah kita kembali ke pulau besar?"
"Tidak. Kita kembali ke
pulau itu!"
Saringgih tersentak kaget dan
hentikan mendayung perahu.
"Ambo yang salah dengar
atau Nyanyuk yang salah ucap?!"
"Kau tidak salah dengar!
Aku tidak salah ucap! Kita kembali ke pulau menyelinap lewat arah selatan pada
bagian yang berbatu-batu barang…"
"Nyanyuk! Kau barusan
saja lepas dari maut! Sekarang malah hendak kembali ke tempat cilaka itu!"
"Saringgih tugasku
menyelidiki kematian sahabatku Tua Gila. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di
balik kematiannya itu. Jika kau takut kembali ke pulau, antarkan saja aku
sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang diri. Kau boleh
kembali ke Gunung Singgalang!"
Saringgih jadi merasa tidak
enak mendengar kata-kata itu. maka diapun menyahuti. "Nyanyuk, kita pergi
samasama. Pulangpun harus sama-sama…"
***
6
Karena pulau itu tidak terlalu
besar maka dalam waktu tak selang berapa lama perahu yang dikayuh Saringgih
telah sampai di bagian barat yaitu bagian yang pantainya penuh dengan batu-batu
karang tinggi diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu tengah terjadi pasang
naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan.
Angin laut menerpa bebatuan di
sepanjang pantai menimbulkan suara aneh di telinga Saringgih.
"Ceritakan padaku keadaan
di sekitar sini." kata Nyanyuk Amber begitu dia merasa perahu mulai
meluncur perlahan.
"Air laut sedang pasang
naik Nyanyuk. kita bisa masuk terus ke pedalaman pulau. Pesisir di sini penuh
dengan batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu cadas hitam…"
"Bagus, berarti kita
sampai di arah yang tepat. Di bagian belakang kawasan makam Tua Gila. Kau harus
menyembunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita. Dan jangan
meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!"
Di celah batu-batu besar hitam
Saringgih menghentikan perahunya, lalu dia mendukung Nyanyuk Amber turun ke
darat.
"Nyanyuk, ambo melihat
ada lengkungan dalam salah satu dinding karang. Mungkin sekali goa…"
"Bawa dan tinggalkan aku
disana. Lalu kau lekas cari tempat yang baik untuk menyembunyikan perahu."
kata Nyanyuk Amber pula.
Saringgih mendukung orang tua
itu menuju lengkungan batu. Ternyata lengkungan itu bukan sebuah goa melainkan
lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk mereka berdua.
Sebelum Saringgih pergi
mencari tempat untuk menyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar
pembantunya itu mencari ranting-ranting dan semak belukar sebanyak mungkin
untuk menutupi bagian terbuka ruangan batu yang akan mereka jadikan tempat
bersembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan angin dari laut.
"Nyanyuk, apa kita
benar-benar akan menuju makam Tua Gila malam ini juga?" bertanya Saringgih
sambil menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan legukan batu karang.
"Aku sudah memikirkan hal
itu kembali. Malam ini kita tetap di sini saja. Kau tentu letih, perlu
istirahat dan tidur," jawab Nyanyuk Amber, "Besok saja, kalau
matahari telah terbit kita kembali ke lapangan yang ada dua makam itu…"
Paginya ketika matahari muncul
dan pasang telah turun ternyata tempat mereka berada cukup jauh dari pantai.
Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang
datang dari arah pantai agak sulit melihat mereka karena ada sebuah batu karang
cukup tinggi menghalangi pemandangan.
"Nyanyuk, kau ingin ambo
mencari ikan dan membakarnya untuk sarapan pagi?" bertanya Saringgih.
"Jangan jadi orang tolol!
Aku tak ingin mahluk yang katanya kini menguasai pulau ini melihatmu. Membakar
ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka itu kemari!"
Saringgih terdiam menyadari
ketololannya sendiri. Dalam hati dia berkata " Alamat akan kosong perutku
pagi ini."
"Ada hal lebih penting
yang harus kita lakukan…"
"Hal apa Nyanyuk?"
"Dukung aku ke tempat kau
menyembunyikan perahu."
Begitu sampai di tempat perahu
disembunyikan, yaitu dibalik sebuah batu karang lancip orang tua itu minta
diturunkan lalu pada pembantunya dia berkata.
"Malam tadi salah sebuah
senjata rahasia yang dilemparkan ke arah kita mengenai bagian belakang perahu.
Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba kau periksa!"
Saringgih melakukan apa yang
diperintahkan Nyanyuk Amber. Sesaat kemudian terdengar pembantu ini berkata.
"Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang berlobang tetapi tidak
sampai tembus. Sebuah benda bulat menancap di dalamnya. Ambo sudah berusaha
mencungkil, tapi sulit sekali…"
"Kalau kau cungkil dengan
mulut atau jari tanganmu tentu saja sulit, Saringgih. Pergunakan ujung
kerismu!"
"Nyanyuk, keris Pusako
Dewa milikku bukan senjata sembarangan. Masakan dipakai untuk mencungkil…"
Nyanyuk Amber cepat memotong
kata-kata pembantunya itu. "Benda yang hendak kau cungkil juga bukan
senjata sembarangan Saringgih! Paling tidak senjata seperti itu telah
menewaskan empat tokoh yang kau lihat telah jadi mayat itu! Bahkan nyaris
membunuhku! Keluarkan kerismu dan cungkil senjata rahasia itu dengan
hatihati!"
Saringgih tak bisa berkata
apa-apa lagi. Dikeluarkannya keris pusaka yang terselip di pinggangnya lalu
dengan ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda yang menancap di kayu
belakang perahu. Setelah beberapa lama terdengar suara pembantu itu berkata.
"Ambo berhasil mencungkil
senjata rahasia ini, Nyanyuk! Bentuknya seperti kelereng…"
"Kelereng…?"
mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan tangan gemetar si
pembantu menggenggamnya lalu memegang-megang benda bulat itu dengan ujung
jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari kelingking.
"Hemmm…" Nyanyuk
Amber bergumam, Otaknya bekerja keras untuk menerka senjata rahasia yang
dikatakan Saringgih itu. Lalu dia bertanya. "Saringgih, katakan padaku
apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari kelereng ini?"
"Hitam legam.
Mengeluarkan sinar redup menggidikkan!" sahut Saringgih.
Paras orang tua bermata buta
itu berubah.
"Mutiara Setan…"
desisnya. "Pasti ini Mutiara Setan! Senjata ini tidak beracun. Tetapi
sekali menancap di tubuh manusia dia akan bergerak menutup jalan darah,
menembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga korban tak mungkin ditolong.
Apalagi kalau sampai menembus kepala. Korban pasti akan mati seketika! Itulah
yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang telah menjadi mayat!"
"Nyanyuk, kalau kau sudah
tahu nama senjata rahasia itu berarti kau juga tahu siapa pemiliknya,"
berkata Saringgih.
Si orang tua mengangguk.
"Kita harus hati-hati. Sangat hati-hati. Manusia yang kita hadapi saat ini
sejahat iblis selicik setan!"
"Siapa orangnya.
Nyanyuk?" tanya Saringgih ingin tahu.
"Nanti saja kau lihat
sendiri. Kita berangkat sekarang!"
Walaupun masih ingin
berlama-lama di tempat itu namun Saringgih tak bisa membantah, Dia jongkok di
hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung tiba-tiba Saringgih
melihat sesuatu di tengah taut.
"Nyanyuk, ada perahu
sedang menuju ke arah pulau…"
"Pasti sahabat yang
hendak menziarahi makam Tua Gila. Ada beberapa orang kau lihat di atas
perahu?"
"Masih terlalu jauh.
Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma satu orang…"
"Tunggu saja beberapa
saat lagi. Begitu perahu mendarat kau lekas katakan ciri-ciri orang yang
datang."
Saringgih menunggu. Sesaat
demi sesaat perahu di tengah taut semakin mendekat ke pulau dan akhirnya
berhenti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat turun ke pasir lalu
menyeret perahunya ke dekat sebuah batu. Seutas tali yang terikat pada ujung
perahu dilibatlibatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini tampak
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu menggeliat beberapa kali. Sambil
bersiul-siul dia melangkah meninggalkan pantai.
"Saringgih lekas katakan
siapa orang yang barusan datang itu! Dan tengah menuju ke mana dia!"
"Ambo tak kenal. Belum
pernah melihatnya sebelumnya. Orangnya masih muda Nyanyuk. Berpakaian serba
putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai gondrong. Dia melangkah
seenaknya. Sambil bersiul-siul. Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa
menimpa dirinya di pulau ini! Saat ini dia melangkah terus memasuki pulau. Dia
melompati batu-batu besar dengan gerakan enteng"
"Pakaian putih ikat
kepala putih. Rambut gondrong. Berjalan seenaknya malah sambil bersiul-siul!"
Nyanyuk Amber mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya bekerja keras
mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulutnya yang kempot tersenyum.
Lalu orang tua ini segera hendak berteriak menyebut nama orang itu. Namun
begitu dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi besar di dalam
pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan mulutnya rapat-rapat.
"Lekas kita susul pemuda
itu!" katanya pada pembantunya.
Namun saat itu tiba-tiba saja
angin bertiup sangat kencang. Langit di atas pulau dan taut di sekitarnya
ditutup gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta menjadi gelap. Lalu
terdengar guntur menyambar. Di tengah laut kilat bersabung sambar menyambar.
"Celaka Nyanyuk! Badai
menyerang pulau ini!" teriak Saringgih lalu cepat-cepat berpegangan pada
dinding batu di samping agar tidak terpental di hantam angin.
"Siapa takutkan badai.
Lekas dukung aku dan susul pemuda tadi!" kata Nyanyuk Amber keras-keras di
antara deru angin yang menggelegar.
Saringgih terpaksa segera
mendukung orang tua itu. Namun ketika dia baru saja melangkah keluar dari
legukan batu, satu sambaran angin melabrak dengan keras. Saringgih dan Nyanyuk
Amber terpelanting ke dalam legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah. Nyanyuk
Amber terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis kesakitan sambil
memegangi baglan keningnya yang benjol terantuk dinding batu.
***
7
Pendekar 212 Wiro Sableng
lunjurkan kedua kakinya di lantai perahu, berhenti mendayung dan membiarkan
perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang ke arah pantai. Semakin dekat ke
pantai pulau semakin jelas kelihatan barisan batu-batu karang dan batu-batu
cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
memandang tak berkesip pada dua buah batu karang yang menjulang lancip ke udara
dan paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di teluk sempit di
pulau itu. Ingatannya kembali pada masa beberapa tahun silam ketika dia
digembleng secara ganas oleh kakek sakti bergelar Tua Gila.
Waktu itu sore hari. Air laut
sedang pasang naik. Dia dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat dengan sejenis benang
sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu dia disuruh memanjat
naik ke puncak salah satu batu karang yang tinggi terjal itu. Tua Gila sendiri
kemudian naik ke atas batu karang yang satu lagi. Berulang kali tubuh Pendekar
212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap kali tubuhnya terlempar Tua Gila
menyentakkan benang sakti yang dipegangnya hingga Wiro kembali terlempar ke
puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro berhasil tegak di atas batu
karang itu namun saat itu dia sudah sampai pada batas kekuatannya. Darah keluar
dari mata, hidung dan telinganya dan akhirnya pendekar ini jatuh pingsan tidak
sadarkan diri lagi. Dikemudian hari Wiro baru maklum bahwa apa yang dilakukan
Tua Gila atas dirinya menjadi dasar ilmu silat tangguh yang tak ada
tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu Ilmu Silat Orang Gila.
Kini setelah bertahun-tahun
dari kejauhan dia dapat melihat dua puncak karang tidak beds seperti keadaannya
dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang pendekar. Sebentar lagi dia
akan bertemu dengan Tua Gila, manusia aneh bermulut kasar tetapi berhati polos.
Rupanya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan orang tua itu.
Begitu bagian bawah perahu
bergeser dengan pasir Wiro segera melompat turun. Perahu itu diseretnya ke
darat lalu dilkatkannya ke sebuah batu. Di tepi pantai Wiro tegak sejenak,
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menghirup Wars dalam-dalam dan
menggeliatkan badannya beberapa kali.
Lalu dengan setengah berlari
dia masuk kebagian dalam pulau melewati daerah berbatu-batu. Pada saat itulah
udara tiba-tiba menjadi gelap. Mendung tebal menyungkup pulau. Angin kencong
bertiup dahsyat. Guruh menggelegar dan kilat sabung menyabung.
"Badai celaka!" maki
Pendekar 212 Wiro Sableng dan terus lari bahkan kini sambil berteriak.
"Tua Gila! Aku dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang
menyambangimu!"
Namun suara teriakan Wiro itu
tenggelam diteIan gelegar guntur dan deru badai yang amat keras. Pendekar itu
berjalan terus walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya udara yang tidak beda
dengan kepekatan malam.
"Tua Gila! Aku Wiro
Sableng datang! Tua Gila!" kembali Wiro berteriak. Dia bergerak di antara
lamping-lamping batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas besar dan akhirnya
sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan kecil di mana terletak dua makam.
Murid Sinto Gendeng ini hendak
berteriak kembali memanggil Tua Gila namun mulutnya serta merta terkunci
ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan angin keras serta gelapnya
udara dia melihat empat sosok tubuh yang telah jadi mayat dan sangat rusak
terikat pada empat tiang kayu.
"Astaga! Aku belum sampal
ke neraka! Mengapa pemandangan mengerikan begini bisa ada dl pulau ini! Gila
dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau busuk?" Tentu saja sang
pendekar tidak tahu kalau Nyanyuk Amber telah meneteskan sejenis cairan yang
mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu lamanya. Belum habis
keterkejutan murid Eyang Sinto Gendeng itu, pandangan matanya kemudian
membentur duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang kematian!
"Eh, kuburan siapa
ini…?" bertanya Pendekar 212 dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa
tidak enak. "Jangan-jangan orang tua itu…"
Wiro melompat ke hadapan makam
bernisan batu hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan yang ada
dibatu itu.
"Tua Gila…!" desis
Wiro ketika samar-samar dia dapat membaca tulisan yang tergurat di atas batu
nisan. Tubuhnya terasa lemas dan pendekar ini langsung jatuh berlutut di
samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. "Orang tua… Kenapa kau pergi
begitu cepat…" Wiro menutup mukanya dengan kedua tangan lalu mengusap
wajahnya yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan hitam murid
Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini baru disadarinya bahwa tanah makam
itu masih merah. Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu dia melihat
pula keanehan lain itu.
"Mengapa kubur yang satu
ini tidak ada batu nisan?
Kubur siapa pula ini.?"
Wiro coba menduga-duga. Dia ingat pada anak kecil berusia dua tahun lalu yang
kemudian diambil murid oleh Tua Gila.
Jika anak itu masih hidup
uslanya sekarang sekitar enam tahun. Dimana anak Itu kini? Apakah kubur yang
satu ini kuburannya?
"Tanah kubur masih merah.
Berarti duo jenazah yang ada di sini belum lama dimakamkan. Lalu siapa yang
menguburkan mereka?"
Wiro menatapi kedua makam itu
lama-lama. Kemudian dia melihat ada kabut tipis di sekitar makam.
"Aneh, setahuku tak
pernah ada kabut di pulau inil"
Hujan menders deras. Apa yang
disangkakan Wiro sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal bau sesuatu yang
merasuk hidungnya. "Sepertinya yang kulihat tadi bukan kabut. Tapi asap…
Ada bau rokok sekitar tempat init" Wiro memandang berkeliling. "Aneh…
Setan atau jin lautkah yang merokok.. . ?°
Tak lama setelah asap lenyap,
bau rokokpun ikut sirna. Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu
terowongan jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
mendengar suara ketukan-ketukan sangat halus. Semula dia menyangka telinganya
salah dengar. Namun ketika diperhatikannya baik-baik, diantara deru badai
memang ada suara ketukan halus terdengar beberapa kali. Lenyap sebentar lalu
terdengar lagi.
Murid Sinto Gendeng menggeser
tubuhnya lebih dekat ke makam. Lalu perlahan-lahan telinga kirinya didekatkan
ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara ketukan. Lewat batu nisan itu kini
matah ketukan itu terdengar lebih jelas. Wiro mengorek sebuah batu kecil.
Dengan batu itu dia mengetuk batu nisan hitam beberapa kali. Suara ketukan yang
tadi lenyap kini terdengar lagi. Lalu diam. Wiro mengetuk lebih keras. Seperti
dibalas dia mendengar jawaban suara ketukan. Ketika Wiro hendak mengetuk sekali
lagi, saat itulah dia melihat dalam kegelapan sepasang kaki berkasut kulit sampai
sebatas lutut melangkah di atas tanah yang becek. Setiap langkah yang
dibuatnya menimbulkan getaran di tanah. Wiro angkat kepala Pendekar 212
melengak kaget ketika melihat satu sosok tubuh tinggi besar bermantel hitarri
tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Orang ini bermuka panjang yang tertutup
kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi. Sepasang matanya sangat
besar. Desauan nafas yang keluar dari mulutnya seperti suara gerengan harimau.
Di ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit sebuah benda hitam.
Tiba-tiba orang ini
menyeringai. Mulutnya terbuka. Kelihatan gigi-giginya yang besar serta taring
seperti harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar suara tawa
berkakakan.
"Manusia kutuk sumpah!
Akhirnya kau datang juga! Ha… ha… ha …. Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama
menunggu! Ha… ha… ha…!"
Perlahan-lahan Wiro bangkit
berdiri.
"Siapa kau?!" Wiro
membentak.
Yang ditanya menjawab dengan
tawa bergelak. Lalu benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan
secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di samping makam Tua Gila.
Ternyata benda yang ditancapkannya itu adalah sebuah batu nisan yang bentuk
dan ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua Gila!
Menurut taksiran Wiro batu
hitam itu beratnya puluhan kati. Orang bermantel sanggup menancapkannya sampai
setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar biasa!
Makam yang tadi tidak bernisan
itu kini lengkap sudafi dengan batu nisannya!
Sepasang mata Pendekar 212
membelalak ketika melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu
adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu adalah kuburannya
sendiri!
Orang bermantel hitam masih
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan terdengar ucapannya
"Bagus, kau telah datang untuk melihat makammu sendiri!" Dengan kaki
kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah batu yang menonjol di
dekat kepala nisan. Terdengar suara berdesir. Lalu terjadilah hal yang aneh.
Tanah kuburan yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan kelihatan
terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya adalah sebuah batu tebal
empat persegi panjang yang tidak beda dengan sebuah pintu penutup!
Ketika besi penutup terbuka
lebar Wiro melirik ke bawah. Dalam gelap dia dapat melihat lobang kosong itu berdinding
dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil aneh terdapat dibagian bawah besi
penutup.
"Liang kuburmu sudah
kusediakan Pendekar 212! Kau mau masuk secara baik-baik atau perlu aku bantu
menggotongmu ke dalam?!"
"Bangsat keparat ini
tidak bersenda gurau!" kata Wiro dalam hati. Dia melirik ke makam di
sebelah kiri. Rahangnya menggembung. "Berarti kau juga yang telah
memasukkan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!" katanya
menuduh.
"Ha …ha… ha…! Dugaanmu
tepat…"
"Di mana murid Tua Gila
yang berusia enam tahun? Apa kau pendam juga di makam ini?!"
"Untuk sementara anak itu
ada di bawah kekuasaanku. Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha… ha…
ha… Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu senjata mustika Kapak Maut
Naga Geni 212 padaku. Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padaku
buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba membangkang apa lagi melawan.
Aku bisa membunuhmu secepat aku membalikkan telapak tangan! kapak dan buku itu!
Lekas!"
"Hujan begini deras.
Badai melanda begini hebat! Tapi belum pernah aku melihat orang yang gilanya
sehebatmu! Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik muridnya! Kini
menyuruh aku masuk ke dalam liang kubur! Malah mengemis dulu minta senjata dan
buku!"
"Mulutmu pandai bicara!
Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalu mulutmu itu sudah kurobek!"
Tiba-tiba orang bermantel
putar tubuhnya sambil memukulkan kedua tangannya sekaligus ke depan. Dua
gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto Gendeng. Tubuh pendekar
ini terdorong ke arah lobang kubur.
Wiro membentak keras lalu
cepat menghantam dengan pukulan Tameng sakti menerpa hujan.
***
8
ORANG bertopi tinggi berseru
kaget ketika melihat bagaimana serangan balasan lawan bukan saja membuyarkan
hantamannya tetapi juga membuat kedua kakinya goyang bergetar. Dia menyeka
mukanya yang basah oleh air hujan dengan tangan kiri lalu mencoba menyergap
Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar 212 sambut serangan
lawan dengan jotosan ke arah perut. Jotosan itu mendarat di sasarannya dengan
telak tapi si tinggi besar tidak bergeming sedikitpun. Malah dia menyeringai
memperlihatkan taringnya. Wiro membuat gerakan berputar setengah lingkaran.
Laksana kilat kaki kanannya melesat ke atas.
Bukkk!
Kaki kanan itu menghantam
rahang lawan dengan keras, membuat orang itu terpelanting dan jatuh terbanting
di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya pecah, begitu Wiro
berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini jadi tercengang ketika dilihatnya orang
itu berdiri kembali tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi
tingginya yang lepas dan jatuh ke tanah. Kelihatan rambutnya yang panjang lebat
riap-riapan, dan basah oleh air hujan.
Dengan tenang dia mengambil
topinya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk menendang ke arah kepala.
Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng. Lalu tangan kirinya
bergerak cepat menangkap pergelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu
tertangkap orang ini membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuh Pendekar 212
sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh
tepat di dalam liang kubur.
Sambil menyeringai si tinggi
besar melompat hendak menekan batu di kepala makam. Maksudnya segera hendak
menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro yang tahu apa artinya kalau dia
sampai terperangkap di datam liang kubur itu segerar melompat sambil lepaskan
pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi Berputar. Tangan
kanannya menabas pergelangan kaki lawan yang hendak menekan batu rahasia. Melihat
serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar cepat melompat
selamatkan diri. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Wiro untuk melompat
keluar dari dalam kuburan.
Di bawah hujan lebat dan badai
kedua orang itu kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya berputarputar. Wiro
membuka serangan dengan jurus kepala naga menyusup awan. L.engan kanannya
berkelebat ke atasseperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama
jotosan kanan menyusup ke arah dada lawan.
Yang diserang keluarkan suara
mendengus. TUbuhnya berkelebat ke kiri. Dua tangannya disilangkan. Begitu
silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara kedua lengannya
laksana jepitan besi! Selagi Pendekar 212 berusaha melepaskan jepitan itu kaki
kanan lawan menderu menghantam perutnya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh
tinggi. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak. Sebelum dia bisa berdiri dengan
benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar ini terpental. Hidungnya
mengucurkan darah sedang mata kirinya lebam membiru.
Si tinggi besar keluarkan
suara tawa bergerak dan mendekati Wiro dengan kedua tangan terpentang. Baru
lawan sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan jurus segulung ombak
menerpa karang. Serangan ini dibuka dengan satu tendangan tipuan, ketika lawan
mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan kiri membabat ke leher.
"Serangan tak berguna!
Terima pukulanku!" ejek lawan lalu cepat sekali tangan kanannya melesat ke
dada Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan lawan
menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212 terbanting jatuh punggung di
tanah. Dari mulutnya kelihatan ada darah keluar. Tulang-tulangnya serasa
berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya wiro segera menimbun
seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke
ujung-ujung jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang tadi
dingin berubah menjadi panas.
Si tinggi besar mengekeh.
"Aku mau lihat pukulan
sinar matahari yang terkenal itu!" katanya mengejek lalu tegak berkacak
pinggang.
"Leleh tubuhmu!"
teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar putih berkilat. Hawa
panas menghampar. Si tinggi besar masih tegak bertolak pinggang. Malah kini
kembali keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia menggerakkan kedua
tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke depan dan didorongkan perlahan saja.
Ada hawa aneh yang memancarkan sinar hitam redup menyongsong pukulan sinar
malahari. Lalu bummmm!
Satu ledakan keras berdentum
laksana merobek langit. Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling beberapa langkah. Dari
mulutnya kelihatan lebih banyak darah keluar. Di bagian lain lawannya tampak
mengerenyit. Pakaian kuning yang dikenakannya di bawah mantel hangus hitam
sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apaapa, begitu juga mantel hitam yang
dikenakannya!
"Saatmu untuk masuk ke
liang kubur Pendekar 212!" kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya
ditendangkan ke tubuh Wiro.
Dalam keadaan terluka seperti
itu Pendekar 212 masih sempat menghindar dengan menggulingkan diri lalu cepat
berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang kudakuda lawannya sudah menyerbu
dengan seranganserangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurusjurus
silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan menyambut dengan taws
mengejek.
"Keluarkan seluruh jurus
silat orang Gila! kalau penciptanya saja bisa kuhajar apalagi kau yang cuma
cecunguknya!"
Lalu serangan lawan datang
menghantam susul menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini tidak
ada duanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan mundur terus. Tanpa disadari
dia mundur membelakangi liang kubur yang menganga. Tiba-tiba lawan membuka
mantel hitamnya lalu mengebutkan mantel ini ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng seperti
mendengar gemuruh suara air bah. Angin sedahsyat topan keluar dari mantel yang
dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan lindungi diri dengan pukulan
sakti benteng topan melanda samudera! Tapi tak ads gunanya. Tubuhnya telah
terjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak Muat Naga Geni 212 yang
terselip di pinggangnya ikut tersapu ke udara. Wiro berusaha melompat untuk
menggapai senjata mustika itu. Namun di depan sana lawan kembali kebutkan
mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu mencelat masuk ke dalam
Hang kubur. Kepalanya membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.
Pemandangannya seperti gelap.
Di saat itu pula si tinggi besar meiompat. Tangannya menempel pada batu yang
menyembul dl kepala makam.
"Pendekar 212! Sebelum
meregang nyawa kau dengar baik-baik. Beberapa tahun lalu kau telah membunuh
adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau terima pembalasan
dariku. Kau hanya bisa bertahan empat hari dalam liang kubur ini. Tapi jika kau
mau memberi tahu di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu Pengobatan,
nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda dengan tiga ketukan pada batu penutup
makam! Kalau kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan jadi bangkai
secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha… ha… ha …!"
Orang yang mengaku kakak Datuk
Sipatoka itu tertawa bergelak lalu tekan batu yang menyembul di kepala makam.
Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke bawah. Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 yang berada dalam keadaan antara sadar dan tiada terpendam di
dalamnya!
Sesaat sebelum penutup batu
itu jatuh mendadak terdengar seseorang berteriak.
"Wiro!"
Manusia tinggi besar tersentak
kaget. Dia cepat menyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di tanah
lalu memandang berkeliling.
Saat itu badai dan hujan telah
mereda. Udara beralih terang sedikit demi sedikit. Sepasang mata lebar si
tinggi besar jelalatan kian kemari. Tapi dia tidak berhasil melihat dimana
adanya orang yang barusan berteriak menyebut nama Pendekar 212. Maka diapun
membentak.
"Siaps yang berteriak!
Lekas unjukkan diri!"
Tak ads jawaban. Dia memandang
pada senjata mustika yang ada dalam genggamannya. Perlahan-lahan disalurkan
tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkannya
beberapa kall. Sinar menyilaukan berkelibat disertai suara seperti lebah
mengamuk dan menclerunya haws panas. Pohon-pohon berderak patah dan hangus.
Semak belukar rambas dan mengepulkan asap. Batu-batu karang dan batu-batu cadas
yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu mental
berkeping-keping.
"Senjata luar
biasal" kata si tinggi besar dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tempat
itu kini sunyi senyap. Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia masih
belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang tadi berteriak.
"Suara yang berteriak
tadi jelas suara perempuan… Atau mungkin telingaku keliru menangkap bunyi
suara…?!" Dia memandang sekali lagi berkeliling lalu berteriak,
"Hantu atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan kira kau
bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu! Masih banyak tiang-tiang kosong
mengikat bangkaimu di tempat ini!"
Habis berteriak begitu orang
ini cepat berkelebat dan tubuhnya yang tinggi besar kemudian lenyap di celah
antara dua batu karang.
***
9
Siapakah sebenarnya orang tinggi
besar yang memiliki ilmu silat hebat serta kesaktian luar biasa itu? Yang
sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak belur bahkan memendamnya di liang
makam yang agaknya memang telah sejak lama disiapkan.
Untuk menjawab hal ini kita
kembali pada masa beberapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro Sableng
mengarungi laut Jawa untuk sempai ke pulau Andalas. Seorang tokoh silat dari
pulau Madura bernama Kiai Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat kediamannya
di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro, diketahui bahwa
pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka seorang tokoh silat jahat di pulau Andalas
yang diam di Bukit Tambun Tulang.
Wiro segera berlayar ke pulau
Andalas untuk mencari si pembunuh. Ternyata Datuk Sipatoka bukan saja membunuh
Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab, langka berjudul Seribu Macam
Ilmu Pengobatan.
Dalam pelayaran perahu yang
ditumpangi Wiro diserang badai hingga terbalik. Wiro berhasil menyelamatkan
diri dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di tengah laut yang diamuk
gelombang besar dia melihat seorang anak kecil timbul tenggelam dipermainkan
ombak. Ternyata anak itu masih hidup dan segera diikatkannya ke papan. Dia
sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi. Sesaat sebetum Wiro tenggelam
ditelan gelombang tibatiba muncul sebuah perahu berpenumpang kakek aneh.
Orang tua ini menyelamatkan
Wiro dan anak kecil tadi.
Ternyata kakek itu adalah
seorang tokoh silat sakti mandraguna yang diam di sebuah pulau dan dikenal
dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian mendapat pelajaran
beberapa jurus ilmu silat langka yaitu Ilmu Silat Orang Gila sedang si anak
kecil diambil jadi muridnya.
Berkat beberapa petunjuk yang
diberikan Tua Gila Wiro akhirnya sampal di sarang Datuk Sipatoka. Ternyata sang
datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain tinggi ilmu silatnya orang ini
juga memiliki berbagai pukulan sakti. Untung saja saat itu Tua Gila muncul.
Bersama-sama mereka kemudian menumpas manusia jahat itu. Datuk Sipatoka
terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu
diberikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kematian Datuk Sipatoka dan
hancurnya sarang manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja.
Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat pada seorang sakti dan jahat
yaitu kakak kandung sang Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di
Kepulauan Pagai.
Namun ketika mengetahui bahwa
adiknya terbunuh oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212 yang
merupakan orang-orang dunia persilatan dengan name besar maka Datuk Tinggi
terpaksa menahan hati dan bersabar. Die maklum tak bakal menang menghadapi
kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia menyusun satu rencana
sambil memperdalam ilmu kepandalannya sendiri. Dia mempelajari pula ilmu silat
Orang Gila ciptaan Tub Gila tetapi khusus menekuni kelemahan-kelemahannya.
Dengan care begitu jika kelak dia berhadapan dengan musuh besarnya itu dia akan
mudah menentukan segala serangannya.
Untuk menghdapai Pendekar 212
Wlro Sableng. Datuk Tinggi Raja Di langit menggembleng tenaga dalamnya dan
membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi senjata yang dapat
diandalkannya. Di samping itu sang datuk telah menciptakan pula semacam senjata
rahasia yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat dari mutiara
hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan disebut sebagal Mutiara Setan.
Setelah empat tahun menyiapkan
diri, diam-diam Datuk Tinggi Raja Di Langit berangkat ke pulau kediaman Tua
Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa Tua Gila telah meninggal dunia.
Hal ini untuk mengundang para sahabat Tua Gila datang ke pulau itu untuk
berziarah. Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk membunuh Tua Gila,
tetapi juga semua sahabat orang tua itu akan dilenyapkannya. Dan tujuan utamanya
menyebar berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi
musuh utamanya muncul pula di pulau itu untuk dihabisinya. Di samping itu Datuk
Tinggi Raja Di Langit juga sangat berminat untuk memiliki Benang Kayangan milik
Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro serta mencari tahu di mana kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang dulu pernah dimiliki adiknya Datuk Sipatoka.
Ketika Datuk Tinggi sampai di
pulau kediaman Tua Gila ternyata orang tua itu belum kembali dari suatu perjalanan
jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang anak lelaki yang baru berusia
enam tahun. Dengan mudah Datuk Tinggi meringkus anak ini, mengikatnya dan
membawanya ke sebuah goa sempit di antara celah-celah batu karang dimana dia
bersembunyi.
Datuk Tinggl kemudian
menggeledah gubuk kayu kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya yaitu buku
Seribu Macam Ilmu Pengobatan tidak ditemukan.
"Berarti benar kabar yang
kuterima di luaran, Kitab Itu telah diberikan dan berada di tangan Pendekar
Kapak maut Naga Geni 212!" kata Datuk Tinggi dalam hati. Lalu cepat-cepat
dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil menunggu kedatangan Tua
Gila, Datuk Tinggi pergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
rencananya. Dia membuat dua buah makam yang diberi peralatan rahasia. Bagian
atas makam dilapisi batu yang bisa dibuka dan ditutup jika sebuah batu pada
masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan dinding makam juga dilapisi
dengan batu-batu tebal. Di kedua makam ini kelak dia akan menjebloskan dan mendekam
Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai kedua orang itu menemui ajal
secara perlahan-lahan. Dua buah batu nisan hitam bertuliskan nama Tua gila dan
Wiro Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah menunggu hampir satu
minggu akhirnya Tua Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke tempat
kediamannya sebuah gubuk kayu di bagian tenggara pulau. Ada dua hal yang
membuat Tua Gila terkejut begitu memasuki gubuk. Pertama isi gubuknya
kelihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap sudut tempat itu. Hal
kedua dia tidak menemukan muridnya, anak lelaki yang baru berusia enam tahun
itu.
"Heran, ke mana anak itu?
Kalau masih siang pasti dia tengah bermain-main di hutan kecil atau di
lapangan. Atau di tepi pantai. Tapi malam-malam begini…?" membatin Tua
Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada hentinya berteriak
memanggil muridnya itu.
"Malin… Malin Sati! Di
mana kau…?"
Mula-mula Tua Gila mencari
sepanjang tepi pantai terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini
kembali memasuki pulau dan akhirnya sampai di lapangan kecil. Disini dua
menghentikan langkah sambil memandang terheran-heran. Ada dua gundukan tanah
dilihatnya di ujung lapangan.
"Dua buah kuburan…"
desis tua Gila. "Kuburan siapa…" Satu berbatu nisan. Satunya
tidak…"
Tua Gila bergegas mendatangi.
Dihadapan makam bernisan langkahnya tertahan. Meskipun malam gelap namun
matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas batu itu. Tua Gila!
Namanya sendiri!
Tua Gila menyeringai.
"Siapa pula yang bercanda
dengan segala kegilaan ini?" katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian
seringainya lenyap. Parasnya berubah. "Mungkin ini bukan senda gurau…
" Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu.
Tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara raungan anjing. Tua Gila terkesiap.
"Puluhan tahun hidup di
pulau ini baru kali ini aku mendengar suara lolongan anjing! Tak pernah ada
anjing di pulau ini. Atau itu suara hantu laut? Mungkin juga binatang
jadi-jadian…?" Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua sakti ini kemudian
menyadari, walau dia belum melihat sosok tubuh lain di tempat itu tapi dia
merasa pasti ada seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya saat itu.
Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap sudut gelap yang ada disekitarnya.
Tiba-tiba dia menghantam ke arah celah dua batu karang di depan sana.
Serangkum gelombang angin
menderu. Dua batu karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi. Pada
saat itulah dari celah batu karang muncul melompat sesosok tubuh tinggi besar
yang langsung menyergapnya.
Tua Gila cepat menyingkir
seraya memukul. Tapi serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang
diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari samping lepaskan satu
pukulan mengandung gelombang angin yang hebat sehingga Tua Gila terhuyung-huyung
hampir jatuh!
"Tenaga dalam dan pukulan
orang ini luar biasa sekali!" kata Tua Gila lalu dia melompat mundur
seraya membentak. "Penyerang tak dikenal!" Kau mencari mati berani
menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa dirimu!"
Yang ditanya menjawab dengan
suara tawa bergelak. Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning
yang disebelah luar dilapisi mantel dalam berwarna hitam. Dia memakai kasut
kulit sampai sebatas lutut. Di Kepalanya ada sebuah topi tinggi. Mukanya
tertutup kumis dan berewok sedang sepasang matanya besar sekali.
"Mulutmu busuk, taringmu
seperti harimau! Jangan tertawa keras-keras di hadapanku! Pasti kau
binatangnya yang telah mengobrak-abrik isi gubukku…!"
Suara tawa orang tinggi itu
semakin keras.
Tua gila ingat pada Malin
Sati. Rahang dan pelipis orang tua ini langsung mengembung. Mukanya yang hanya
tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
"Pasti kau juga telah
menculik muridku! Lekas kembalikan Malin Sati! Jika anak itu sampai tergores
saja kulitnya akan kupatahkan batang lehermu!"
"Memang aku yang
membongkar isi rumahmu. Aku juga yang menculik muridmu…"
Mendengar pengakuan si tinggi
itu, Tua Gila menggembor marah. Tubuhnya melayang sebat, tangan kanannya
bergerak membabat ke arah batang leher orang.
Si tinggi besar cepat
membungkuk lalu balas menghantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini
terkesiap, cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan mengeluarkan
jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya gerabak gerubuk seperti orang
mabok. Tapi setiap tangan atau kakinya bergerak, itu adalah gerakan menyerang
yang sulit diduga dan sangat berbahaya.
"Ilmu silat orang
gila!" seru si tinggi bermantel hitam.
"Dulu memang ditakuti
orang! Tapi bagiku ilmu silatmu tidak lebih dari gerakan seekor ayam yang
tertelan karet!"
Habis berkata begitu orang
bermantel itu lalu menghadapi Tua Gila dengan jurus-jurus tak kalah anehnya.
Tua Gila terkesiap ketika
melihat jurus-jurus yang dimainkan lawannya adalah kebalikan dari setiap
gerakan ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang dikeluarkannya
untuk menyerang, dengan sangat mudah dapat dimentahkan lawan.
Melihat Tua Gila terkesiap
orang tinggi itu tertawa bergelak. Dia melangkah ke kepala makam di sebelah
kiri di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini ternyata dibenamkan
ke tanah dan dihubungan dengan sebuah alat rahasia. Ketika batu di tekan
terdengar suara berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan sebelah kiri yang
bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah tanah merah ini terdapat
lapisan batu sangat tebal. Kini Tua Gila dapat melihat bagian dalam makam.
Dinding dan lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir dua tombak
lebih dalamnya.
"Sudah saatnya aku
mengucapkan selamat jalan padamu Tua Gila!"
"Eh, setan ini tahu
namaku!" rutuk Tua Gila.
"Kau kaget aku tahu siapa
dirimu?! Tua Gila, dengar baik-baik. Kematianmu tak dapat dihindari. Liang
kubur sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan mencincang tubuhmu
sampai lumat. Tapi aku mau berbaik hati agar kau bisa mati wajar-wajar saja.
Untuk itu kau harus menyerahkan padaku senjatamu berupa benang sakti Benang
Kayangan…"
"Manusia kadal! Jadi itu
maksudmu datang ke pulau ini?!"
"Bukan itu saja Tua Gila!
Di luaran aku telah menyebar kabar bahwa kau telah meninggal dunia! Berarti
akan banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari. Mereka termasuk
manusia-manusia yang kena kutukku! Siapapun sahabatmu akan kubunuh mati
ditempat ini!"
"Gilal" teriak Tua
Gila.
"Tidak… Aku belum
gila!"
"Kalau tidak gila apa
alasanmu membunuh orang-orang yang tidak ada dosa kesalahan itu?!"
"Apa alasanku akan
kukatakan nanti. Kau harus dengar dulu maksudku yang lain datang ke tempat ini.
Aku minta kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan!"
Tua Gila tertawa mengekeh.
"Rupanya kau jenis
pencuri tengik!" ejek Tua Gila. "Buku yang kau cari tidak ada padaku.
Kalau pun ada masakan aku mau memberikannya padamu!"
"Bagus, pengakuanmu itu
menyatakan bahwa kitab tersebut memang benar berada di tangan Pendekar 212 Wiro
Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu pasti akan segera pula
muncul di sini begitu mendengar kabar kematianmu!"
"Dia bukan muridku! Aku
hanya mengajarkan beberapa jurus ilmu silat padanya!"
Si tinggi besar tertawa bergumam.
"Sekarang kukatakan
padamu mengapa aku menginginkan jiwamu! Juga ingin menghabisi siapa saja yang
menjadi sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212 Wiro
Sableng!"
"Hebat! Lekas kau
katakan!"
"Beberapa tahun yang lalu
kau bersama Pendekar 212 rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat
itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau berani berdusta?!"
"Iblis! Seumur hidup aku
tidak pernah berdusta! Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuh Datuk
Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia keji itu pantas untuk
disingkirkan dari muka bumii"
Orang berbadan tinggi besar
keluarkan suara seperti menggereng.
"Karena kau penyebab
kematian Datuk Sipatoka, make hari ini aku membalaskan dendam kesumat sakit
hati kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka, bergelar Datuk
Tinggi Raja Di Langit!"
"Aha… Raja di langit
sudah turun ke bumi mencari penyakit!" teriak Tua Gila mengejek.
"Sebelum kau ku pendam
dalam makam batu itu, lekas serahkan Benang Kayangan padaku!" Datuk Tinggi
berkata sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Kau inginkan benang
sakti itu. kau terimalah!" kata Tua Gila sambil menggerakan tangan ke
balik pakaian putihnya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian tiba-tiba
melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak menggelung tangan kanan
Datuk Tinggi. Orang yang sudah mengetahui sekali kehebatan benang putih itu
cepat menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai lengannya digulung
Benang Kayangan pasti tanggal anggota tubuhnya itu!
Sambil menghindar Datuk Tinggi
Raja Di Langit pukulkan tangan kiri. Tua Gila terkejut besar ketika melihat
bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat benang saktinya tergoyang-goyang
dan tak berhasil menyambar apalagi menggulung tangan kanan lawan. Dia gerakkan
tangan yang memegang benang. Ujung benang melesat dan menyambar ganas ke arah
leher Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Kini sang datuklah yang jadi
terkejut. Sambil keluarkan seruan keras manusla tinggi besar itu jatuhkan diri
ke tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia membuka mantel hitamnya.
Sambil menyeringai dia bertanya.
"Kau mau memberikan
Benang kayangan itu atau tidak, Tua Gila?!"
Sebagai jawaban Tua Gila
kembali menggerakkan tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan
tanda prang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Senjata ini
melesat ke arah mulut Datuk Tinggi, siap untuk menggulung lidahnya. Begitu
tergulung, sekali sentak saja lidah orang itu akan terbetot tanggal!
Tapi lebih cepat dari
datangnya sambaran Benang Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di Langit sudah kebutkan
mantel hitamnya.
Tua Gila mendengar seperti air
bah bergulung ke arahnya. Lalu ada angin sangat dahsyat badai menyambar ke
arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang sedang Benang Kayangan
membalik seperti menyerang ke arah dirinya sendiri.
Tua Gila menggeram. Tangan
kirinya lepaskan pukulan sakti yang juga mengeluarkan angin dahsyat.
Datuk Tinggi Raja Di langit
tersenyum mengejek. "Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!"
katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss!
Tua Gila berteriak keras.
Tubuhnya tersapu angin serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja.
Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur berlantai dan berdinding
batu. Dia cepat hendak melompat keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah
mengucur dari hidungnya.
Datuk Tinggi Raja Di Langit
tertawa mengekeh dan tegak di tepi makam.
"Berikan Benang Kayangan
itu padaku Tua Gilal"
"Iblisl kau ambillah
sendiri!" jawab Tua Gila. Orang tua ini buka mulutnya lebar-lebar lalu
benang putih yang menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan dimasukkan ke dalam
mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil memegang-megang perutnya Tua Gila
berkata, "Kau harus membelah perutku lebih dahulu untuk mendapatkan benang
sakti itul"
Datuk tinggi mendengus geram.
Dia menjawab. "Aku tidak telalu terburu-buru. Bagaimanapun juga aku akan
mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan memuntahkan dan
memberikannya padakut Ingat, kau hanya bisa bertahan selama tujuh hari Tua
Gila! Ketuk batu penutup makammu jika kau memang kepingin hidup! Jangan lupa,
muridmu berada di tanganku!’
Lalu dengan gerakan sangat
cepat Datuk tinggi Raja Di Langit diinjak batu hitam yang menonjol di belakang
kepala makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal jatuh dengan keras Tua
Gila coba menahan batu itu dengan kakinya, tapi terlambat. Orang tua ini masih
sempat mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum dirinya terpendam
dalam liang kubur batu itu!
***
10
PADA saat badai mulai melanda
pulau kecil itu, dibagian pantai sebelah timur, sebuah biduk tampak
diombang-diambingkan ombak yang bergulung menggemuruh. DI atas biduk kecil in!,
penumpangnya seorang dara berpakaian ungu yang menutupi wajahnya dengan cadar
ungu sedang rambut hitam panjang tergerai lepas melambai-lambai di tiup angin
mendayung inatimatian agar biduknya jangan sampai tenggelam. Namun beberapa
ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai, biduk itu akhirnya terbalik.
Biduk dan penumpang lenyap
dilamun ombak. Tak lama kemudian baru kelihatan kepala gadis itu menyembul.
Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya yang jelita, beralis
hitam lengkung dan berhidung mancung. Wajah cantik ini nampak tegang. Dia
menghitung jarak, menduga-duga apakah dia akan sanggup berenang mencapai
pantai.
Ombak raksasa kembali
bergulung menghantam gadis berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh itu lenyap.
Lalu timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika dia hendak mulai
mencoba berenang, dara ini tiba-tiba sadar. Berenang melawan ombak yang
menggila seperti itu hanya akan menghabiskan tenaga. Bukankah lebih balk
mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak memukul dan menyeretnya ke arah
pantai?
Maka gadis itu lalu mengambil
sikap menelentang. Tangan dan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.
Tubuhnya tampak mengambang.
Dalam keadaan seperti itu ombak besar kembali datang. Kecerdikan si gadis
ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya, tubuhnya yang mengambang
itu mencelat di atas air, terlempar ke arah daratan. Begitu terjadi sampai
empat kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa menyentuh dasar laut di
bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did lalu menjejakkan kakinya dan
melangkah di dasar lautan menuju tepi pasir.
"Badai celaka! Untung
Tuhan masih menolongku selamat sampai ke pantai! Kalau tidak untuk melihat
kubur seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang maut seperti
ini," kata si gadis lalu gerakkan kepalanya untuk mengibas air laut yang
membasahi rambutnya. Dia memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di bawah hujan
lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki pulau. Sebelumnya dia tidak
pernah datang ke pulau itu. Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu
rasanya tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak belukar dan
akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh dengan batubatu cadas hitam serta
batu-batu karang.
Di salah satu bagian kawasan
pulau berbatu-batu ini dia melihat sebuah lobang pada salah satu lamping batu
karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan maksud beristirahat
sebentar sambil menunggu redanya badai.
Ketika dia sampai di mulut goa
sang dara dikejutkan oleh apa yang dilihatnya didalam goa batu itu. Seorang
anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandar ke dinding goa. Mulutnya
ditutup dengan sehelai kain hingga dia tidak bisa mengeluarkan suara.
Pergelangan tangan dan kakinya diikat dengan tali yang dibuat dari sambungan
akar-akar pohon.
Si anak lelaki tak kalah
terkejutnya ketika melihat munculnya seorang gadis cantik berpakaian ungu yang
tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di pinggangnya ada sebuah saluang.
Semula si anak mengira yang datang adalah manusia tinggi besar dan berewokan
yang telah menculiknya. Anak ini goyang-goyangkan kepalanya memberi tanda.
Dara berbaju ungu segera buka
ikatan kain yang menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si anak
sudah membuka mulut.
"Kakak yang baik. Terima
kasih kau telah menolong. Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila…"
"Ah… Kau murid Tua Gila! Justru
aku datang untuk menyambangi makam gurumu itu!"
Si anak tampak terkejut.
"Guru… Kakek Tua Gila… Kata kakak kau hendak menyambangi makam guru? Apa
yang terjadi dengan beliau…?"
"Anak, katamu kau murid
Tua Gila. Gurumu meninggal kau tidak tahu! Aneh!"
"Apa…?!" anak itu
seperti hendak menjerit. "Tidak mungkin. Bukankah guru tengah melakukan
perjalanan?"
"Eh, bagaimana ini?
Berita yang tersiar di luaran ialah bahwa Tua Gila telah meninggal dunia dan
dimakamkan di pulau tempat kediamannya ini."
"Kakak tolong kau
lepaskan dulu ikatan pada tangan dan kaki saya. Orang jahat itu telah
mengikatku sejak empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan sedikit!"
"Siapa orang jahat yang
mau kau katakan itu Malin?" tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada
kaki dan tangan Malin Sati.
"Seorang tinggi besar
bermuka buas, berkumis dan berjenggot lebat. Saya ditangkapnya sewaktu sedang
bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa ini…"
"Kau tahu mengapa orang
itu menangkap dan mengikatmu lalu membawamu ke sini?" tanya dara
berpakaian ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang basah.
"Saya tidak tahu
kakak," jawab murid Tua Gila. "Lalu di mana orang yang mengikatmu itu
sekarang?"
"Dia pasti masih berada.
di pulau ini. Karena pada waktu-waktu tertentu dia setalu kemari untuk melihat
dan mengawasi saysa.."
Gadis baju ungu tampak
berpikir-pikir.
"Kakak, kau ini siapa?
Ada hubunganmu dengan guru?’ bertanya malin Sati.
"Namaku Pandansuri. Aku
datang dari Wars, Aku berhutang budi bahkan nyawa pada gurumu. Beberapa tahun
lalu gurumu bersama seorang pendekar muda pernah menyelamatkan diriku. ltutah
sebabnya aku merasa sangat penting untuk menziarahi makamnya."
"Tidak, tidak mungkin!
Guru jelas sedang pergi, tak ada di pulau. Bagaimana mungkin kakak mengatakan
hendak menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekali tidak ada kuburan!"
"Ini adalah aneh! Sebagai
murid kau tentu tidak berdusta mengatakan bahwa gurumu masih hidup," Kata
Pandansari pula. "Kalau begitu mari kita cari orang yang telah menangkap
dan menyekapmu di goa ini!"
"Hati-hati, manusia itu
jahat sekali. Ilmu kepandaiannya pasti tidak rendah. Dan saya yakin ilmunya
dipergunakan untuk berbuat jahat!"
Pandansuri pegang kepala anak
itu lalu berkata, "Kita pergi sebentar lagi kalau badai mulai reda."
Malin Sati bangkit berdiri.
"Maafkan saya kakak. Saya tidak bisa menunggu. Saya harus menyelidiki
apakah guru telah kembali, lalu apakah benar ada makam di pulau ini."
"Kau murid baik, Malin.
Mari kita sama-sama menyelidik."
Dibawah hujan lebat dan angin
kencang kedua orang flu tinggalkan goa di dinding batu karang.
"Kau tentu tahu setiap
sudut pulau ini. Kau jalan di depan," kata Pandansari.
Malin Sati berjalan di sebelah
depan. Sang dara mengikuti dari belakang. Tak selang berapa lama keduanya
sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika melihat isi gubuk
berantakan sedang gurunya tak ada di situ.
"Pasti ini perbuatan
manusia jahat itu!" kata Malin Sati dengan kepalan tinjunya. Dia melangkah
keluar gubuk. Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras dan
mengeluarkan suara menggidikkan.
"Saya harus menyelidiki
seluruh pulau! Orang jahat itu jangan- jangan telah mencuri sesuatu dari gubuk
guru!"
Tanpa berpaling pada
Pandansuri Malin Sati langsung melangkah pergi.
Sang dara cepat memegang bahu
anak itu lalu berkata. "Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu
pasti masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar aku yang di depan
sekarang. Bisakah kau berjalan tanpa mengeluarkan suara?"
Malin Sati mengangguk. Lalu
seolah-olah seperti hendak membuktikan dia melangkah cepat diantara semak
belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan tidak melesak dalam.
"Ah, Tua Gila tentu telah
mengajarkan ilmu meringankan tubuh pada anak ini…" kata Pandansuri dalam
hati.
Kedua orang itu bergerak
menuju bagian tengah pulau. Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di
belakangnya. Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat, melangkah
mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepatcepat. Di suatu tempat Pandansuri
hentikan langkahnya.
"Aku mendengar suara
orang tertawa di kejauhan.
Apakah kau mendengarnya?"
Malin Sati gelengkan kepala
mendengar pertanyaan Pandansuri itu.
"Ikuti aku. Tapi harus
lebih hati-hati…" kata Pandansuri lalu bergerak ke jurusan di mana dia
tadi mendengar datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri sampai di depan
sebuah lapangan kecil yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut Malin Sati dan
menariknya ke balik sebatang pohon besar ketika didengarnya si anak sempat
mengeluarkan suara tercekat sewaktu melihat pemandangan di depannya.
Kalau Malin Sati terkejut dan
bergidik melihat empat sosok mayat rusak yang terikat di tiang serta adanya dua
buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh, maka Pandansuri lebih
terkesiap pada perkelahian yang terjadi antara seorang manusia bertubuh tinggi
besar dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai pemuda bernama Wiro
Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda inilah yang dulu
menyelamatkannya bersama Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu
Raja Rencong Dari Utara.
Seat itu Pandansuri
menyaksikan bagaimana tubuh Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu
akibat hantaman mantel sakti orang tinggi besar. Ketika orang itu tampak
menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu penutup makam terhempas jatuh
Pandansuri secara tidak sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu.
"Wiro!"
Suara teriakan Pandansuri
inilah yang membuat Datuk Tinggl Raja Di Langit jadi tersentak dan dia segera
menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu.
Pandansuri sendiri begitu
sadar telah berbuat kesalahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat
meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblatkan Kapak Naga Geni 212
yang memporak-porandakan pepohonan dan bebatuan di tempat itu.
***
11
Di dalam liang makam batu yang
gelap itu bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan- Pendekar 212 Wiro
Sableng masih berada dalam keadaan setengah sadar. Hantaman mantel sakti Datuk
Tinggi Raja Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itu kepalanya juga
telah membentur dinding batu dengan keras.
Selang beberapa lama setelah
kesadarannya kembali pulih, murid Eyang Sinto Gendeng ini berusaha berdiri.
Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup makam Tapi batu yang berat
itu tidak bergeming sedikit pun. Akhirnya dia hanya bisa tegak tersandar
memikirkan bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh, tubuhnya terasa
sangat letih. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam tapi tidak berhasil. Ada
sesuatu yang menyebabkan hal itu dan dia tidak tahu apa.
Perlahan-lahan Wiro kembali
duduk di lantai makam. Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya untuk menyeka
darah yang mulai mengering di bawah hidung dan di sudut bibirnya. Saat itu
hidungnya mencium bau aneh dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipa
kecil yang ada di batu tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba dan berhasil
menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa kegunaan pipa itu, Mungkin untuk
keluar masuknya udara? Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia bisa bertahan
di tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari. Berarti itulah batas
kehidupannya! Empat hari tanpa makan tanpa minum. Dan disekap di ruang batu
seperti itu terasa udara menjadi makin panas saat demi saat.
"Bangsat itu minta kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab itu tak bakal
aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan menemui kematian dengan
cara begini rupa…"
Pikiran Pendekar 212 menjadi
kacau. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemas. Kepalanya juga masih mendenyutdenyut.
Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba dia ingat makam di sebelahnya.
Sebelumnya dia telah mendengar suara ketukan sayup-sayup datang dari dalam
makam itu. Ketika dia mengetuk, dari dalam terdengar suara ketukan balasan.
lalu dia ingat pula pada asap seperti asap rokok yang ada di sekitar makam.
"Kalau diriku dijebloskan
hidup-hidup begini, janganjangan Tua Gila juga mengalami nasib sama…"
Wiro lalu keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang masih
tersisip di pinggangnya. Dengan batu hitam itu diketuknya dinding batu sebelah
kanan, dua kali berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada jawaban.
"Mungkin orang tua itu
sudah …" Wiro tidak teruskan ucapannya, kembali dia mengetuk. Tiba-tiba
dari balik dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan sekali.
"Kakek Tua Gila! Kau ada
di situ?!" Wiro berteriak keraskeras.
Jawaban yang terdengar hanya
ketukan halus.
"Kakek Tua Gila! Kau yang
mengetuk…!?"
"Siapa yang menyebut
namaku?!"
Ada suara menyahuti. Halus dan
jauh tetapi cukup jelas terdengar oleh murid Sinto Gendeng:
"Aku Wiro Sab!eng!"
Wiro berteriak keras-keras. Hatinya gembira mendapatkan jawaban. Lalu keningnya
jagi mengkerut ketika didengarnya suara di kejauhan itu berkata. "Nasib
kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu baru saja dijebloskan
dalam makam batu! Aku sudah sejak tiga hari lalu…!" Terdengar suara tawa
mengekeh.
"Ah, benar rupanya oratig
tua itu dijebloskan di makam sebelah! Gila! Dalam keadaan seperti itu dia masih
bisa tertawa," kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar ini bertanya.
"Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?"
"Hanya karena belas
kasihan Yang Kuasa!"
"Selagi di luar aku
melihat dan mencium seperti asap rokok, Apakah kau yang merokok?!"
"Tidak sa!ah! Hanya itu
yang bisa menjadi penyumpal mulut dan perutku! Tapi aku tidak akan biasa
bertahan lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti menemuiku!
Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini. Kemunculan yang membawa celaka
dirimu! Tua bangka sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi kau
masih muda…!"
Wiro terdiam sesaat mendengar
kata-kata terakhir Tua Gila itu. Lalu dia membuka mulut.
"Di luaran tersebar
berita bahwa kau telah meninggal dunia. Itu sebabnya kuperlukan datang kemari.
Ternyata ini jebakan belaka! Apa betul keparat yang menjebloskan diriku itu
adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi beberapa tahun lalu di Bukit
Tambun Tulang?! Siapa nama bangsat itu?!"
"Namanya aku tidak tahu.
Dia menyebut dirinya dengan gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Dia memang kakak
Datuk Sipatoka…! Dia muncul membawa dendam kesumat!"
"Bagaimana kau bisa
dikalahkan lalu dijebloskan ke dalam makam batu itu kek?!"
"Mantel hitamnya itu!
mantel itu merupakan senjata hebat luar biasa! Tua bangka ini tak sanggup
menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalahkannya! Kecuali ada yang
berhasil menarik lepas mantel hitam saktinya itu!"
Wiro teringat pada jubah
Kencono Geni milik keraton di Jawa. Siapa saja yang mengenakan jubah itu tak
satu kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
"Di samping itu,"
terdengar lagi suara Tua Gila. "Datuk Tinggi memiliki senjata rahasia yang
luar biasa. Orang-orang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut senjata itu
Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan tapi berwarna hitam. Tidak
beracun namun ganas sekali. Siapa saja yang sampai ditancapi Mutiara Setan
tubuhnya pasti akan menemui kematian dalam waktu sekejapan. Datuk Tinggi selalu
mencari sasaran di kening lawan!"
"Mutiara Setan!"
desis Wiro. "Senjata aneh dan mahal harganya!"
"Anak muda, apakah datuk
keparat itu minta buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan padamu?!" bertanya Tua
Gila dari makam sebelah.
"BetuI!" jawab Wiro.
"Tentu saja aku tidak membawa buku itu ke mana-mana. Sekalipun kubawa tak
akan kuberikan padanya!"
"Padaku dia juga minta
buku itu! Kukatakan kalau buku itu tidak ada padaku. Lalu dia minta senjataku
Benang Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena benang sakti itu
keburu kumasukkan ke dalam mulut dan kutelan! Kini senjata langka itu aman
dalam perutku!" Tua Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan ucapannya.
"Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari padaku! Jika aku tidak
memberi tanda dengan ketukan maka tamatlah riwayatku!"
Wiro menghela nafas panjang.
"Kalau begitu aku lebih celaka darimu, kek! Datuk Tinggi berhasil merampas
senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!"
"Maksudmu Kapak Naga Geni
212?!"
"Betul kek!"
"Ahl Padahal jika,
senjata itu ada padamu saat ini, mungkin bisa dipergunakan untuk membobol
dinding atau atap makam keparat ini!" kata Tua Gila pula. Tapi dia segera
menyambung. "Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak akan ada gunanya di
dalam tempat ini. Karena kita tidak bisa mengerahkan tenaga dalam!"
"Betul kek. Aku tadi coba
mengerahkan tenaga dalam tapi tidak berhasil! Apa yang ada di tempat celaka
ini?!"
"Datuk Tinggi menaburi
semacam obat. Tidakkah kau membaui hawa aneh dalam makammu?!"
"Memang ada hawa aneh di
sini!"
"Hawa itulah yang membuat
peredaran darah kita tak bisa dipacu sehingga tenaga dalam tak bisa dialirkan.
Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi lemah!"
"Apa daya kita sekarang
kek? Apakah kita tidak mungkin bisa keluar dari tempat celaka ini?!"
"Tipis sekali
kemungkinannyal Mungkin satu berbanding seribu! Kita akan sama-sama berkubur di
tempat ini! Kita berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan mints ampun pada
Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha… Ha… ha …!"
Wiro terdiam.
"Anak muda! Kau takut
menghadapi kematian?!" terdengar Tua Gila bertanya.
"Semua orang akan mati
kek. Tapi kalau kematian datangnya seperti ini, perlahan-lahan dan tersiksa,
lebih baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari akal kek!"
"Aku sudah tiga harl
mencari akal. Sampai persediaan rokokku habis! Tapi sia-sia saja!" jawab
Tua Gila.
"Waktu aku sampal di
tempat ini, aku melihat ada empat sosok mayat diikat ke tiang kayu!"
"Pasti korban-korban
jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal siapa-siapa mereka?!"
"Belum sempat memeriksa
Datuk keparat itu sudah muncul! Tapi ada satu hal. Sewaktu aku dijebloskan ke
dalam makam ini, aku masih sempat mendengar sese-orang berterlak menyebut
namaku! Mudah-mudahan saja ada yang bakal menolong kita!"
"Jangan terlalu berharap
anak muda! Yang memanggilmu itu bukan mustahil adalah malaikat maut yang sudah
mengenalimu!" kata Tua Gila pula lalu kembali tertawa gelak-gelak. Dalam
hatinya Pendekar 212 jadi menyumpah. Dia duduk bersandar ke dinding batu dan
ulurkan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin panas.
Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai empat hari."
"Kek! Demi menyelamatkan
nyawamu aku bersedia memberikan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan itu!"
"Jangan tolol!"
membentak Tua Gila dari makam sebelah. "Sekalipun kau berikan seribu buku
dan seribu senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu tetap saja
akan membunuh kita! Keinginan utamanya adalah membalaskan dendam kesumat
kematian adiknya. Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita yang
tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat sudah sejak
kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan padanya!"
"Jadi beginilah
perjalailan hidupku!" kata Wiro. Untuk pertama kalinya dia menggaruk
kepalanya berulang kali. "Mati terjebak dalam makam batu!"
"Kau terlalu
mengawatirkan kematian dirimu! Apalah kau sudah punya anak?!" Tua Gila
bertanya dari sebelah.
"Kawin saja belum!
Bagaimana punya anak?!" sahut Wiro setengah mengomel.
Tua Gila terdengar tertawa
gelak-gelak.
Wiro memaki panjang pendek
dalam hati. Lalu dia melengak ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang
mengorok!
"Pasti itu si Tua Gila!
Edan! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih bisa enak-enakan tidur!
Malah sampai ngorok segala!" kata Wiro dalam hati merutuk tidak
hentihentinya.
Pendekar 212 berusaha mengatur
jalan nafas dan peredaran darah. Lalu berusaha menghimpun tenaga dalam. Tapi
setiap dikerahkan selalu tidak berhasil. Sementara tubuhnya terasa semakin
lemas.
Pendekar ini tidak tahu berapa
lama dia telah berada dalam pendaman makam batu itu ketika tiba-tiba dia
mendengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin bertiup masuk ke dalam
liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit cahaya dan menyusul terbukanya atap
batu makam!
"Kakek Tua Gila! Batu
penutup makamku terbuka!" teriak Wiro memberi tahu. Lalu cepat berdiri.
Tapi untuk melompat keluar
dari makam yang dalamnya lebih tinggi dari tubuhnya itu dia tidak sanggup oleh
keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan berusaha menghirup udara segar
sebanyak-banyaknya. Hujan dan badai tak ada lagi. Tapi udara di atasnya
diselimuti kegelapan walau tidak segelap dalam liang batu tadi. Ini memberi
pertanda bahwa saat itu hari telah malam.
Wiro berusaha lagi untuk bisa
keluar dari dalam lobang itu. Namun sia-sia. Tubuhnya masih sangat lemas. Dia
mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di tepi makam batu. Lalu ada tangan
yang diulurkan untuk membantunya keluar dari makam. Dalam gelap Wiro dapat
melihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia tidak kenal lelaki ini. Tapi
jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar 212 ulurkan pula tangannya siap untuk
ditarik ke atas. Sesaat kemudian Wiro telah keluar dari dalam liang maut. itu.
"Pandeka mudo, Nyanyuk
Amber berpesan agar kau lekas mengatur jalan darah dan pernafasan. Menghirup
udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun tenaga dalam!"
"Nyanyuk Amber? Orang tua
itu ada di sini?!" tanya Wiro.
"Pandeka akan bertemu
dengan beliau. Lekas lakukan apa yang beliau pesankan."
"Sahabat, kau sendiri
siapa? Terima kasih kau telah menolongku!"
"Ambo Saringgih, pembantu
Nyanyuk Amber. Ambo harus menolong Tua Gila di makam sebelah!" lalu
Saringgih tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk bersila, mengatur jalan
nafas, darah dan mulai coba mengalirkan tenaga dalamnya. Hal itu tidak dapat
dilakukannya dengan cepat karena lebih dari setengah harian diri sudah sempat
dipendam dalam makam batu.
Sementara itu Saringgih telah
bergerak ke makam yang satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri pembantu Nyanyuk
Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di belakang kepala makam.
Terdengar suara berdesir, lalu perlahan-lahan bagian atas makam berikut batu
nisannya bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak kaget di dasar
makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus tinggal kulit pembalut tulang
menggapai-gapai di tepi lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah satu
lengan Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu Nyanyuk Amber ini
merasakan jantungnya seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang
barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangkeran wajah Nyanyuk Amber.
Namun manusia yang kini terduduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala
yang tidak bedanya seperti jerangkong hidup! Orang yang barusan ditolongnya ini
menatap padanya dengan sepasang matanya yang sangat cekung. Pandangannya
dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak mengucapkan satu patah katapun,
apalagi mengatakan terima kasih! Seperti Wiro orang ini kemudian duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darah serta menghimpun tenaga dalam.
***
12
MARI kita ikuti apa yang
terjadi sebelum batu penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng tibatiba terbuka.
Seperti dituturkan ketika mengenali bahwa pemuda yang terpental masuk ke dalam
liang makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri anak angkat Raja
Rencong Dari Utara tanpa sadar telah berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya
ini mengejutkan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang berteriak
jelas suara perempuan. Dia menantang agar orang yang berteriak unjukkan diri.
Tapi Pandansuri tidak mau muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah
tahu betul siapa adanya Datuk Tinggi. Satu lawan yang berat untuk dihadapi,
apalagi saat itu dia bersama Malin Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia
enam tahun.
Ketika Datuk Tinggi
menghantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang membuat pepohonan dan batu-batu di
tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik lengan Malin Sati,
Kedua orang ini melarikan diri dibawah cuaca yang masih buruk. Udara yang masih
gelap ikut membantu hingga walau masih mengejar di belakang tapi Datuk Tinggi
telah tertinggal jauh.
Pandansuri sengaja menempuh
bagian pulau yangt rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana Nyanyuk
Amber dan Saringgih berada dalam sebuah legukan batu berbentuk goa.
Saat itu karena badai
dirasakan mulai reda maka Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran untuk mengejar
pemuda berpakaian putih berambut gondrong seperti yang dilihat dan
diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Berdasarkan ciri-ciri yang dikatakan
pembantunya itu Nyanyuk Amber sudah dapat menduga bahwa si pemuda bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia beberapa tahun lalu
menghancurkan sarang Datuk Sipatoka dan membunuh manusia jahat itu di Bukit
Tambun Tulang.
"Saringgih! Lekas dukung
aku! Kita harus mengejar pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa sudah mulai reda!’
Saringgih segera lakukan apa
yang diperintahkan Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluar dari legukan
batu, pembantu ini cepat bersurut kembali.
"Eh, ada apa
Saringgih?!" tanya si orang tua. Telinganya di pasang.
"Ada orang mendatangi
dari jurusan pantai sebelah kanan!" melapor sang pembantu.
"Cepat katakan
ciri-cirinyal"
"Ada dua orang Nyanyuk.
Yang pertama seorang perempuan berambut panjang, berpakaian serba ungu…"
"Seorang perempuan
berpakaian serba ungu! Apakah wajahnya ditutupi dengan cadar ungu?"
"Tidak Nyanyuk. Wajahnya
tidak ditutup apa-apa. Dari sini jelas terlihat parasnya cantik. Di pinggangnya
ada sebuah saluang."
"Tak ada dugaan lain.
Orang ini adalah Pandansuri, anak angkat Raja Rencong. Tetapi kenapa tidak
bercadar? Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman! Saringgih, lekas
katakan ciri-ciri orang kedua!"
"Seorang anak lelaki
kecil. Umurnya belum sampai tujuh tahun."
"Anak lelaki? Di pulau
ini ada anak lelaki?! Pasti itu murid si Tua Gila!"
"Kedua orang itu sudah mendekat
kemari Nyanyuk. Kelihatannya mereka seperti dikejar sesuatu!"
Telinga Nyanyuk Amber
menangkap suara kaki-kaki yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia
cepat berseru.
"Pandansuri, lekas masuk
ke dalam legukan batu!"
Pandansuri tentu saja jadi
terkejut ketika dia mendengar ada suara menyebut namanya. Dia memegang lengan
Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah legukan batu yang tertutup rapat
oleh pohon-pohon kecil serta semak belukar.
Semak belukar terkuak.
Saringgih muncul. Tentu saja Pandansuri tidak mengenali orang ini. Tapi dia
seperti pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut namanya.
"Malin, kau kenal orang
itu?" tanya Pandansuri. Malin Sati menggeleng.
"Saudara… Siapa
kau?!" tanya Pandansuri.
Dari dalam legukan batu
kembali terdengar suara halus tadi. "Pandansuri, lekas masuk. Untuk
sementara kalian akan aman berada di sini!"
Saringgih menguak semak
belukar lebih lebar. mata Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh yang duduk di
lantai legukan batu.
Gadis ini terkejut dan juga
girang. Dia berseru.
"Nyanyuk Amber!"
Lalu bersama Malin Sati Pandansuri masuk dengan cepat kedalam legukan batu.
Saringgih segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar dan
pohon-pohon kecil.
Sampai di dalam Pandansuri
langsung jatuhkan did, bersimpuh di hadapan Nyanyuk Amber. Sementara Saringgih
dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata Saringgih tidak berkedip memandang
Pandansuri. Belum pernah dia melihat gadis secantik yang satu ini.
"Kakek guru, apakah kau
baik-baik saja?" bertanya sang dara.
"Alhamdulillah. Aku
seperti apa yang kau lihat. Kuharap kau begitu juga. Apakah kau kini sudah
tidak mengenakan cadar ungu lag! Pandan?"
Sang dara memegang wajahnya.
_"Cadar itu lepas ketika saya menuju pantai…"
"Kedatanganmu kemari pasti
dengan maksud yang sama. Menyambangi makam Tua Gila…"
"Betul Nyanyuk. Tapi saya
melihat banyak keanehan dan hal-hal menggidikkan di pulau ini…"
"Aku sudah tahu apa yang
kau maksudkan itu. Empat orang tokoh silat dibunuh dan mayatnya dilkat di tiang
kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya tanpa nisan..:’
"Rupanya kakek guru sudah
tahu semua apa yang terjadi. Tapi apakah kakek juga tahu bahwa Pendekar 212
Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di Langit ke dalam
makam kedua?!"
Terkejutlah Nyanyuk Amber
mendengar kata-kata Pandansuri itu.
"Celaka!" ujar si
orang tNa. "Aku baru saja hendak mengejarnya. Padahal aku tadinya berharap
dialah yang bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat
itu!"
"Kakak Datuk Sipatoka itu
memang bukan manusia sembarangan…" kata Pandansuri pula.
"Pandan, kau dan si datuk
itu sama-sama dari utara. Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak
terjangnya sangat meresahkan orang-orang rimba persilatan!"
"Manusia itu memang biang
racun segala malapetaka. Dia bercita-cita menguasai dunia persilatan di Pulau
Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan berbagai ilmu. Antaranya
senjata rahasia Mutiara Setan yang sangat berbahaya. lalu sebuah jubah berupa
mantel hitam yang dapat mengeluarkan angin sedahsyat badai…"
"Mantel itu memang luar
biasa. Aku sudah sempat kena hantamannya:.:" kata Nyanyuk Amber lalu
menceritakan pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka di tangan Datuk
Tinggi Raja Di Langit.
"Kita menghadapi masalah
besar. Tua Gila dikabarkan meninggal. Makamnya diliputi keanehan. Beberapa
tokoh silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam batu! Kita harus
menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan pekerjaan mudah. kita harus mempergunakan
akal…"
"Kau betul kakek guru.
Datuk Tinggi punya segudang ilmu. Dia ahli segala peralatan rahasia. Termasuk
merancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup bagian atasnya!"
Pandansuri pula. "Disamping itu senjata andalan Wiro yakni Kapak Maut Naga
Geni 212 telah jatuh ke tangan Datuk Tinggi…"
"Ah, celaka! Banar-benar
celaka!"
"Kakek guru! Saya tahu
letak alat rahasia untuk membuka dan menutup makam Pendekar 212. Saya sempat
melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita biasa membebaskan Wiro,
pasti lebih mudah bagi kita menghadapi Datuk Tinggi. Hanya ada satu cara untuk
dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang melekat di tubuhnya!"
"Hal itu sama saja dengan
kita hendak menguliti harimau hidup!" kata Nyanyuk Amber.
"Tak ada jalan lain kakek
guru. Dia tak mempan ditotok. Selama mantel itu masih melekat ditubuhnya tak
ada senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas dirinya!"
Nyanyuk Amber menghela nafas
panjang. Orang tua bermata buta ini lama termenung tapi otaknya bekerja keras.
Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
"Hanya ada satu orang
untuk dapat mengalahkan manusia keparat itu, Pandansuri. Dan ini semua sangat
tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya… "
"Katakan apa yang harus
saya lakukan kakek guru," ujar Pandansuri.
Nyanyuk Amber tampak seperti
bimbang.
"Tak usah ragu-ragu,
kek!"
Orang tua itu memberi isyarat
dengan anggukan kepala agar si gadis mendekat. Lalu Nyanyuk Amber membisikkan
sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras sang dara menjadi
sangat merah.
***
13
SETELAH berusaha mencari orang
yang tadi berteriak namun tak berhasil menemuinya Datuk Tinggi Raja Di Langit
segera menuju ke goa kecil di mana dia meninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan
mulai reda dan angin tidak sekencang sebelumnya pertanda badal akan segera
berhenti.
Begitu masuk ke dalam goa,
terkejutlah sang datuk. Murid Tua Gila yang ditinggalkannya dalam keadaan
terikat tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran akarakar pohon
yang dijadikan tali untuk pengikat kedua kaki dan tangan anak itu.
Paras seram Datuk Tinggi
berubah tambah angker. Dia ingat kembali pada suara seruan perempuan sewaktu
Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
"Seseorang telah
melepaskan anak itu! Dia pasti! Bagaimana aku tidak bisa mengetahui
kemunculannya? Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak itu
sebaiknya kuhabisi saja!"
Datuk Tinggi segera
membalikkan tubuh. Dia kembali menuju ke lapangan di mana dua makam terletak.
Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan berada di tempat itu.
Mungkin untuk menziarahi makam Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha
melepaskan orang tua yang disekapnya dalam makam batu.
Sampai di lapangan Datuk
Tinggi segera menyelidik setiap sudut. Setelah berpikir sesaat din lalu naik ke
atas sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekam dan bersembunyi di
atas pohon itu. Cepat atau lambat pasti akan muncul orang yang ditunggunya.
Sampai siang bahkan menjelang
rembang petang tak ada yang muncul. Keadaan sekitar lapangan sunyi sepi.
Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai. Datuk Tinggi mulai merasa
tak sabar. Sebentar lagi matahari akan segera tenggelam dan slang akan berganti
malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera turun saja dari atas pohon.
"Tidak mustahil orang itu
justru menunggu sampai malam turun. Baru muncul di tempat ini!" Berpikir
begitu Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di atas pohon sementara
per!ahanlahan udara mulai tenggelam dalam kegelapan. Malam mulai merayap.
Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Di
Langit. dongakkan kepala. Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar
suara sesuatu.
"Aneh! Tak mungkin ada
suara saluang di pulau ini! Tapi telingaku tidak salah tangkap! Itu memang
suara saluang! Siapa pula yang meniupnya?!"
Datuk Tinggi menunggu sesaat.
Suara yang didengarnya semakin jelas. Orang ini segera turun dari atas pohon,
melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana asalnya suara tiupan saluang itu.
Beberapa saat saja Datuk
Tinggi meninggalkan tempat itu, sesosok tubuh menyelinap keluar clad rerumpunan
semak belukar. Orang ini ternyata adalah Saringgih, pembantu Tua Gila.
Mengendap-endap dia mendekati dua buah makam di ujung lapangan. Sesuai dengan
petunjuk Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul keluar di
belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng. Karena sudah diberi petunjuk tidak
sulit bagi Saringgih untuk menemukan batu hitam itu. Begitu dilihatnya langsung
ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir dan perlahan-iahan bagian atas
makam berderak membuka!
Datuk Tinggi melangkah dengan
hati-hati tanpa mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau sebelah
barat semakin jelas terdengar suara tiupan salung itu. Bahkan kini dia
mendengar suara orang menyanyi. Suara perempuan!
Datuk Tinggi menyelinap
dibalik batu-batu karang. Di bagian batu karang paling ujung yang dekat ke
pantai dia hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang perempuan duduk di
atas sebuah batu hitam membelakanginya. Rambutnya yang panjang terurai di
punggung pakaiannya yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang sebuah saluang
yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi dengan suara nyanyian yang
berhiba-hiba.
Indak disangko larinyo ruso
larinya kancang ka dalam guo
Indak disangko ka cando Iko
Nasib sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi si matohari
Ayam bakokok di tanah Cino
Baiko bana buruakno diri
Ayah tiado bundopun tiado
Urang Piaman pal ka koto
Urang Talu manjunjung balango
Sangsaro datang siliah batimpo
Kakasiah dicinto lah hilang pulo
(Tidak disangka larinya rusa)
(Larinya kencang ke dalam goa)
(Tidak disangka akan seperti
ini)
(Nasib sengsara sebatang kara)
(Tinggi-tinggi si matahari)
(Ayam berkokok di tanah Cino)
(Begini benar nasibnya diri)
(Ayah tidak ibupun tiada)
Orang Piaman pergi ke kota)
(Orang Talu menjunjung
belanga)
(Sengsara dating silih
berganti)
(Kekasih tercinta telah pergi
pula)
Sehabis menyanyi perempuan
yang duduk di batu kembali meniup saluangnya. Kali ini tiupan gadis itu
terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesenggukan dia meletakkan
saluangnya di atas batu. Lalu perlahanlahan dia melangkah ke arah laut. Di
tepi pasir perempuan itu tegak tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan
rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya ke kiri. Sesaat Datuk
Tinggi dapat melihat wajah perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas
cantik jelita.
"Siapa adanya gadis
ini..?" bertanya sang datuk dalam hati. "Agaknya dia muncul di sini
bukan untuk melihat makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau sahabat orang
tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia meratapi nasib dirinya yang
sebatang kara. Tanpa ayah tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula.
Hemmm…"
Datuk Tinggi usap dagunya yang
ditumbuhi berewok lebat. Dia sudah siap melangkah untuk mendekati gadis itu
namun niatnya terhenti ketika tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang membuat
darahnya menjadi panas dan mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalari
setiap sudut tubuhnya yang tinggi besar. Sudah cukup lama dia tidak pemah
melihat tubuh perempuan, apalagi menyentuhnya.
Di alas pasir sana, selagi
buih ombak membasahi kakinya, gadis berambut panjang itu tampak membuka baju
ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas pasir. Kelihatan
punggungnya yang putih mulus.
Nafas Datuk Tinggi Raja Di
Langit mulai memburu. Dari mulutnya keluar suara menggeram. Matanya dipentang
lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka ikatan celana ungunya. Celana
itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu tampak si gadis melangkah
memasuki air laut. Setiap langkah yang dibuatnya membuat pakaiannya semakin
merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu kemudian kelihatan melemparkan
pakaiannya yang terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas pasir.
Berarti di dalam air laut itu tak sepotong pakaianpun lagi melekat di badannya!
Dengan tubuh bergetar dilanda
nafsu Datuk Tinggi Raja Di Langit. melompat keluar dari balik batu karang dan
lari menuju laut.
Gadis di dalam air serta merta
balikkan tubuhnya ketika mendengar ads orang mendatangi. Dia terpekik sambil
cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada di atas batasan air laut.
Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak melihat kepadatan tubuh sang dara.
"Orang gagah bertubuh
tinggi besar! Si… siapa kau…?!" si gadis bertanya dengan gagap.
"Aku Datuk Tinggi Raja Di
Langit! Jangan takut! Aku tidak menyakitimu…!"
"Tapi Datuk mengintip
saya mandi di laut! Sekarang malah datang mendekati Datuk nakal sekali!"
Datuk Tinggi tertawa lebar.
Dari nada ucapan si gadis jelas dia tidak marah. maka Datuk Tinggipun bertanya.
"Gadis cantik, siapa
namamu. Bagaimana tahu-tahu muncul di sini. Apa kau diam di pulau ini?"
"Saya gadis malang Datuk.
Says tengah mencari kekasih yang pergi. Entah masih hidup entah sudah tiada.
Dan… dan… saya terkejut…"
"Terkejut melihatku?!’
"Betul… Terkejut karena…
karena wajah kekasih yang hilang itu mirip sekali dengan Datuk…"
"Ah…! Kalau begitu
biarlah diriku menjadi penggantinya!" kata Datuk Tinggi pula lalu masuk
ke daiam laut.
"Datuk Apakah Datuk
hendak menemani saya mandi…?"
"Ya… Aku akan menemanimu
mandi di laut yang sejuk itul" jawab Datuk Tinggi sambil terus melangkah.
Air laut mencapai betisnya.
"Tidak adakah orang yang
akan melihat kita berdua-dua di sini?!" tanya si gadis.
"Jangan kawatir. Pulau
ini tidak berpenghuni!"
"Ah… Tapi, apakah Datuk
akan mandi dengan masih berpakaian seperti itu? Lucu…!"
Datuk Tinggi tertawa bergelak.
"Pucuk dicinta ulam tibal Gadis itu jelas minta agar aku menanggalkan
pakaian!" kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang dengan
cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya. Melemparkan mantel ini ke atas
pasir. Mencapakkan topi tingginya.
Kemudian membuka baju
kuningnya. Kapak Naga Geni 212 yang diselipkannya di pinggang juga dilemparkan
dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain berisi senjata
rahasianya yaitu Mutiara Setan. Terakhir sekali kasut kulit yang masih merekat
di kakinya terbang di udara.
Sambil tertawa lebar dan
mengangkat kedua tangannya Datuk Tinggi mendekati si gadis.
"Datuk! Kejar saya!"
kata si gadis lalu dia menyelam ke dalam air.
"Kau akan kukejar
kekasihku!" jawab Datuk Tinggi pula seraya masuk ke dalam laut lebih
tengah.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari balik batu-batu karang yang gelap berkelebat tiga sosok tubuh. Orang
pertama maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu sedang orang kedua
melompat menyambar mantel hitam milik Datuk Tinggi. Orang yang ketiga membuat
gerakan aneh yaitu berguling seperti bola dan cepat sekali dia menyambar
kantong kain berisi Mutiara Setan dengan mulutnya! Ketiga orang ini kemudian
berjejer di tepi pasir. Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang tadi
menyambar kantong senjata rahasia dengan mulutnya duduk di pasir! Kantong kain
itu dijatuhkan dipangkuannya tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima butir
Mutiara Setan ke dalam mulutnyal.
***
14
Datuk Tinggi Raja Di Langit
melompat dalam air untuk dapat menangkap tubuh gadis tadi. Tapi dia hanya
menangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu berenang ke tepi pasir.
Begitu tubuhnya keluar laut orang yang tegak di tepi pasir sambil memegang
Kapak Naga Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam gelap malam gadis itu
lari ke balik batu karang dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali. Sesaat
kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk Tinggi tentu saja
terkejut besar melihat apa yang terjadi. Dia berenang ke tepi pasir tapi kedua
kakinya kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat itu sama sekali
tidak berpakaian.
Sepuluh langkah dihadapannya
berdiri orang tua bertubuh dan bermuka jerangkong yang bukan lain adalah Tua
Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu duduk bersila adalah
Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa mata, tanpa tangan dan tanpa kaki. Dari balik
batu karang kemudian muncul Pandansuri yang saat itu telah mengenakan pakalan
ungunya kembali. Gadis ini mengambil saluangnya dari atas batu lalu berdiri di
samping Tua Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi melihat murid Tua Gila
berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
"Celaka besar! Bagaimana
bisa begini kejadiannya?! Bagaimana kedua orong yang disekap dalam makam batu
Itu bisa lolos?! Mantelku…! Mutiaraku…!"
Datuk Mata Tinggi memandang
melotot pada Tua Gila yang memegang mantelnya, lalu memperhatikan dengan dada
membara pada kantong senjata rahasianya yang ada di pangkuan Nyanyuk Amber.
"Celaka! Bagaimana aku
bisa lolos?!" Datuk Tinggi melirik ke arah pakaiannya yang tercampak di
pasir.
"Datuk Tinggil"
terdengar Tua Gila berkata. "Kami memberi kesempatan padamu agar kau bisa
mati berpakaian lengkap!" Orang tua ini menganggukkan kepalanya pada
Pandansuri.
Si gadis maju lalu dengan
ujung saluangnya satu persatu pakaian Datuk Tinggi termasuk topi dan kasutnya
di lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut itu terapung-apung
di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak untuk mengambilnya.
"Ayo lekas kenakan
pakaian, topi dan kasutmu!" beteriak Wiro. "Terlalu lama telanjang
kau bisa masuk angin! Atau mungkin minta sahabatku gadis cantik ini membantumu
mengenakan pakaianmu satu persatu?!"
Tua Gila dan Nyanyuk Amber
tertawa gelak-gelak.
Paras Datuk Tinggi mengelam
sedang wajah Pandansuri bersemu merah.
"Kembalikan mantel hitam
dan kantong kain itu!" membuka mulut Datuk Tinggi untuk pertama kalinya.
"Keluar dari dalam laut!
Kau bisa mengambilnya sendiri!" jawab Tua Gila.
Datuk Tinggi tidak bergerak.
Mulutnya keluarkan suara menggeram. Tiba-tiba orang ini berlaku nekad. Dia
keluar dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama sekali. Pandansuri
cepat palingkan muka.
"Kalian mau membunuhku
lakukanlah cepat!" teriak Datuk Tinggi. Dia melangkah mendekat. Tiba-tiba
dia menubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling dekat. tangan
kananya menyambar ke arah pangkuan si orang tua dimana dilihatnya terletak kantong
kain berisi Mutiara Setan.
Mulut kempot Nyanyuk Amber
mengembung. Lalu kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah benda hitam melesat di
udara. Datuk Tinggi berseru kaget ketika mengenali benda itu bukan lain adalah
senjata rahasianya sendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara hitam
melesat membabat rambut diatas telinganya. Datuk tinggi keluarkan keringat
dingin!
Datuk Tinggi ternyata masih
dapat mempergunakan akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan
serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk Amber, dia sengaja
membuat diri ke arah Tua Gila yang memegang mantel hitamnya. Dengan gerakan
kilat dia berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak bodoh. Mantel
ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar teriakan Datuk
Tinggi. Tubuhnya terpental dihantam angin laksana badai yang keluar dari
mantel sakti itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk Tinggi
menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali hendak menyergap Tua Gila.
Sekali ini gerakkannya tertahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212.
Tubuhnya terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit bernafas.
"Kalian bunuh saja
diriku! Bunuh saja!" teriak Datuk Tinggi. "Manusia-manusia pengecut!
Beraninya main keroyok!"
Tua Gila mendengus. Mantel ditangannya
diserahkan pada Pendekar 212.
"Kalau kau ingin
perkelahian satu lawan satu, tua bangka ini siap melayanimu! Coba perlihatkan
kembali ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!"
Seperti diketahui, selama
empat tahun Datuk Tinggi memang telah menyiapkan did merancang sendirl Ilmu
pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat kesempatan maka Datuk Tinggi
segera berdiri lalu menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalamnya
sebenarnya ada pada mentel hitam sakti yang kini tidak dimilikinya lagi.
Setelah menempur dengan jurusjurus hebat selama beberapa kali gebrakan
akhirnya Tua Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada Datuk Tinggi.
Darah muncrat dari Datuk
Tinggi. Tubuhnya terjengkang di pasir. Pada seat itu sambil tertawa mengekeh
Tua Gila tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya dan mendekap
dalam perutnya sejak beberapa hari dimuntahkannya kembali. Lalu dengan benang
sakti itu diringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia melangkah maka
terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera mengikuti. Saringgih cepat
mendukung Nyanyuk Amber dan Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama tubuhnya diseret Datuk
Tinggi menjerit-jerit tiada henti. Sekujur tubuh den mukanya luka berkelukuran.
Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan kecil di tengah pulau di
mana dua makam terletak dalam keadaan terbuka.
Datuk Tinggi segera maklum apa
yang akan terjadi atas dirinya. Maka diapun meraung setinggi langit!
Tua Gila menyeringai.
Tangannya yang memegang benang sakti digerakkan. Benang menggeletar. Tubuh
Datuk Sakti terbetot lalu melayang masuk ke dalam makam di mana Tua Gila
disekap sebelumnya!
"Jangan! Keluarkan aku!
Ampun! Aku masih ingin hidup!" teriak Datuk Tinggi berulang kali sampai
suaranya parau.
Tua Gila berpaling pada
muridnya. "Sati! Kau tahu apa tugasmu!"
Anak enam tahun ini segera
melompat ke bagian belakang kepala makam. Dengan kakinya dia menekan kuat-kuat
batu hitam yang merupakan alat rahasia penutup bagian atas makam. Terdengar
suara berdesir. Lalu batu penutup makam itupun jatuh dengan suara keras!
Jeritan Datuk Tinggi sertat merta lenyap.
Pendekar 212 menggaruk
kepalanya. Mantel hitam yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya ke dalam makam
batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk Amber mengatakan sesuatu pada
pembantunya. Saringgih kemudian mengambil kantong kain berisi Mutiara Setan
dari balik pinggang pakaian orang tua itu lalu melemparkannya ke dalam makam.
"Semuanya berakhir
sudah…!" kata Tua Gila dan kembali dia memberi isyarat pada muridnya.
Malin Sati sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam. Sekali ini
yang terletak di belakang makam dimana Wiro sebelumnya mendekam. Bagian atas
makam menderu turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir.
Sesaat keadaan di tempat itu
tenggelam dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara Nyanyuk Amber bergumam
seperti menelan sesuatu.
"Senjata setan itu masih
tertinggal dimulutku!" kata Nyanyuk Amber, lalu dia meniup keras-keras.
Dua buah mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam. Terdengar suara benda
keras pecah berantakan. Yang hancur adalah batu hitam alat rahasia yang dapat
menutup dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi orang tua itu
menlup. Dan buah mutiara setan yang masih bersisa dalam mulutnya meleset menghancurkan
batu hitam kedua di belakang makam sebelah kanan.
"Sekarang urusan
benar-benar beres!" kata Nyanyuk Amber. "Manusia iblis itu tak
mungkin keluar selamatkan diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh
ke tangan orang lain!"
"Masih ada yang perlu
dirapihkan!" Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan ucapan sambil mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. "Tua Gila dan Wiro Sableng
belum pernah mati!"
Lalu senjata itu berkiblat dua
kali. Suara gemuruh seperti tawon mengamuk disertal sinar panas menyilaukan
berkelebat.
Traaakkk!
Traaakkk!
Duo batu nisan hitam masih
tampak berdiri di kepala kedua makam batu. Tapi bagian atas yang bergurat nama
Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil menyeringal dan garuk
kepala Pendekar 212 berpaling ke arah Pandansuri yang tegak di sampingnya.
"Aku ini manusla tidak
sopan. Sejak tadi belum sempat menegurmu. Apa kabar sahabatku cantik jelilta?
Apakah kau hendak mengajakku mandi bersama di laut malam ini?!"
Paras Pandansuri menjadi cemberut.
Gadis ini mengangkat tangannya hendak menampar wajah Pendekar 212. Tapi Wiro
melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang dara tidak sungguhan hendak
menamparnya. Wiro cepat menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke hidungnya
dan menciumnya dengan mesra.
TAMAT