-------------------------------
----------------------------
062 Kamandaka Si Murid Murtad
1
GEROBAK sapi itu bergerak
perlahan. Yang menjadi kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut
putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang tidak terburu-buru. Di
sampingnya duduk seorang dara. Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas
hingga wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak tunggal si orang
tua berjanggut putih. Dara ini memang bersifat riang ceria. Sepanjang
perjalanan dia selalu menyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya
yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian ringkas warna putih yang
dikenakan ayah dan anak ini jelas keduanya adalah orang-orang persilatan.
"Mintari anakku,"
berkata lelaki tua di atas gerobak pada anak gadisnya. "Kalau sampai di
tempat pertemuan para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali kau
berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara kalau tidak
diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari
tanah Minang yang akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu kepandaianku
sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam yang akan membawamu ke tanah
Minang dan menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah orang tua yang
sangat saleh. Karena itu selama di sana jangan sekali-kali kau meninggalkan
sembahyang."
Gadis bernama Mintari itu
sesaat terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Tak lama kemudian kembali dia
menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat bambunya.
"Anakku, apakah kau tidak
akan mengatakan sesuatu?"
bertanya sang ayah.
Mintari hentikan nyanyiannya,
"Saya ada satu pertanyaan ayah," ucapnya.
"Katakanlah anakku."
"Setahu saya di tanah
Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Tidak
terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya pergi
jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam Rajo kalau hanya untuk menempa
ilmu silat dan kesaktian?"
Sang ayah tersenyum mendengar
ucapan anak gadisnya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun menjawab.
"Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengatakan: Jauh berjalan banyak
yang dilihat. Menuntut ilmu kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu
tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah Minang juga dikenal
gudang segala ilmu. Di sana kau dapat pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai
Datuk Alam Rajo jangan kau anggap enteng dia…"
"Harap maafkan, saya
tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan ayah salah
sangka."
"Lalu mengapa kau
kelihatannya tidak suka pergi bersamanya?"
"Karena sebenarnya saya
ingin dekat dengan ayah," jawab Mintari.
Sang ayah tertawa. "Kau
bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belas tahun kalau ayah tidak salah
ingat. Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan."
"Saya tahu ayah,"
kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan ayahnya seraya berkata. "Kalau
saya tidak ada, siapa yang mengurus ayah?"
Ucapan anak gadisnya itu
membuat hati si orang tua tersentuh. Memang sejak ibu Mintari meninggal dunia
enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus dirinya. Setelah diam
sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergi dan sanggup mengurus diri
sendiri, masakan aku tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama…?"
Baru saja ayah Mintari berkata
begitu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang.
"Kau betul Ki Pamilin!
Orang tua sepertimu harus dapat mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat
apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri!"
Ayah dan anak itu sama-sama
terkejut dan memandang berkeliling.
"Ayah, ada suara tapi tak
kelihatan orangnya!" bisik Mintari.
Ki Pamilin, ayah Mintari
berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian
tinggi berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti itu biasa-nya tidak
membawa niat baik.
"Tenang saja Mintari. Tak
ada yang perlu ditakutkan." balas berbisik Ki Pamilin.
Tiba-tiba ada suara angin
berdesir disertai berkelebatnya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di
tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian dan berdestar
serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya yang bidang berotot
tersingkap lebar. Ki Pamilin hentikan gerobak sapinya.
Yang tegak menghadang di
tengah jalan itu ternyata seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hati
si orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya dengan Mintari. Gadis ini tidak
suka melihat perjalanannya dihadang oleh seorang tak dikenal yang bersikap
sombong.
"Anak muda, siapakah
dirimu. Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Ki Pamilin.
"Aku sudah lama mendengar
nama besarmu yang menyandang gelar Pendekar Tangan Baja. Hari ini aku ingin
menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu. Buktikan bahwa kau memang
orang tua yang bisa mengurus diri sendiri!" Habis berkata begitu pemuda
ini memandang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar dan membersitkan
sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak sontak jadi berdebar. Pengalaman hidup
membuat dia mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua mata pemuda itu.
"Anak muda, hidup bukan
mencari lantai terjungkat. Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang
sengketa."
"Orang tua, kata-katamu
enak di dengar. Apakah itu berarti kau tidak punya nyali untuk melayaniku
barang sejurus dua jurus?"
Mintari yang sudah sejak tadi
merasa jengkel melihat tingkah dan mendengar ucapan-ucapan pemuda itu membuka
mulut bersuara keras.
"Kami masih ada keperluan
yang lebih penting! Mana punya waktu melayani pemuda sombong sepertimu!"
Pemuda di tengah jalan tertawa
gelak-gelak. Ditanggalkannya destar birunya. Lalu destar ini,
dikipas-kipaskannya. Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang
panas.
"Adik, suaramu merdu dan
wajahmu secantik bidadari. Bolehkah aku tahu namamu? Tadipun aku sebetulnya
sudah kagum mendengar suara nyanyianmu."
Mintari keluarkan suara
mendengus dari hidungnya. "Ketepilah. Kami mau lewat!"
"Adik cantik, percakapan
kita bisa diteruskan kemudian. Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia
se-orang pengecut?"
"Ayahku bukan seorang
pengecut! Dia hanya tidak mau mengotori tangan melayani kadal hutan
macammu!" jawab Mintari.
Mendengar kata-kata itu
kembali pemuda di tengah jalan tertawa bergelak. Tetapi dalam tertawa sepasang
matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap lalu
terdengar suara brett!
Mintari terpekik. Ki Pamilin
berteriak keras. Orang tua ini marah sekali. Langsung dia melompat turun dari
atas gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si pemuda. Yang diserang
sunggingkan senyum mengejek dan angkat tangan ngan kirinya untuk menangkis.
Buuukk!
Ki Pamilin yang memang lebih
dikenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja terjajar dua langkah ke belakang.
Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah. Wajah orang tua ini jadi
berubah. Sebagai seorang tokoh silat yang disegani bukan sembarang orang bisa
membuatnya terjajar seperti itu.
"Pemuda kurang ajar!
Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu?!" sentak Ki Pamilin.
Si pemuda kenakan destarnya
kembali. Sambil berkacak pinggang dia berkata. "Namaku Kamandaka. Orang
mengenalku dengan panggilan Pendekar Tangan Halilintar!"
Mendengar nama dan gelar itu
kembali paras Ki Pamilin berubah. Dia sempat mundur satu langkah. Yang terpikir
saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.
Di depannya pemuda yang
mengaku bernama Kamandaka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sunggingkan
senyum sinis.
"Pendekar Tangan Baja
berhadapan dengan Pendekar Tangan Halilintar! Bukan ini satu pertemuan yang
luar biasa?!"
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
DI ATAS gerobak Mintari
rapatkan baju putihnya yang robek akibat tarikan kurang ajar Kamandaka. Dengan
tubuh gemetar oleh amarah gadis ini melompat dari gerobak itu. Dia bermaksud
hendak menyerang si pemuda. Tetapi hatinya jadi bimbang ketika melihat
bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian begitu tinggi tampak terjajar dalam
bentrokan pukulan Tadi.
"Orang muda, kalau kau
benar Kamandaka manusia terkutuk yang dicari-cari di tujuh penjuru angin itu,
maka ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat dunia!"
"Ha …ha! Ternyata kau
bukan seekor macan kertas. Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan
berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun sebelumnya aku ingin
memastikan dulu agar anak gadismu ini tidak pergi ke mana-mana!" Habis
berkata begitu Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap dengan satu
totokan.
Dari samping Ki Pamilin datang
menyambar dengan pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini tidak
sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis. Serangan yang dilancarkan Ki
Pamilin mengandung tenaga dalam tinggi, mengeluarkan suara bersiur
menggidikkan. Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya mengelak
tampak aneh. Tubuhnya berputar membelakangi lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya
mencelat ke atas seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak
bertindak waspada tendangan dahsyat itu pasti akan menghantam rahang kanannya!
Tendangan yang melesat itu
kini mendarat pada kayu besar yang jadi tambatan sapi penarik. Terdengar suara
berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi penarik gerobak. Binatang
ini sempat lari beberapa belas langkah lalu berhenti dekat kelokan jalan sambil
tiada henti mengibas-kibaskan ekornya.
Dengan rahang menggembung Ki
Pamilin lancarkan serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya
diulurkan ke depan. Kamandaka melihat bagaimana sepasang tangan itu kini berubah
menjadi keputih-putihan.
"Ah, kau mengeluarkan
ilmu kesaktian Tangan Baja!" seru Kamandaka. Memang inilah yang
ditunggu-tunggunya. Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar
Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal ilmu kepandaiannya. Kini
bukan saja dia menemul orang yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa
serta anak gadisnya yang cantik jelita.
Kamandaka menunggu dengan
kedua kaki direnggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada. Ketika
kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan jelas warnanya berubah
menjadi hitam. Diam-diam Ki Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini.
Sejak lama dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan Pendekar Tangan
Halilintar. Dan selama ini belum ada satu lawan atau seorang tokoh silatpun
yang mampu menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua memutuskan
untuk menggempur Kamandaka lebih dulu.
Didahului dengan satu bentakan
keras Ki Pamilin dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja. Tetapi
apa yang terjadi sungguh dahsyat!
Dari kedua tangan Ki Pamilin
seperti menyembur keluar dua jalur sinar putih. Inilah sinar baja yang
mengandung hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi kekuatan dan
kerasnya tidak beda seperti batangan baja!
Wus!
Wus!
Dua sinar menyambar ke arah
kepala dan dada Kamandaka.
"Bagus!" Seru si
pemuda memuji tapi sebenarnya dia jelas hendak mengejek dan memandang rendah
lawan. Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka melompat ke samping.
Dari samping dia dorongkan telapak tangan kanannya.
Dua sinar baja laksana dua
batangan terdorong ke samping. Menghantam sebatang pohon jati. Pohonini laksana
ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
Ki Pamilin merasakan dadanya
seperti terbakar karena geram tetapi bersamaan dengan itu tengkuknya menjadi
dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang musuh dengan pukulan
Tangan Baja kalau bukan musuh yang benar-benar tangguh. Sekali dia mengeluarkan
serangan tersebut tak pernah ada lawan yang mampu menghindar dari kematian.
Kini dia telah melakukan hal itu dan ternyata lawan dengan mudah dapat
menghindarinya!
"Luar biasa, dari mana
anak semuda ini punya kepandaian begini hebat!" kata Ki Pamilin dalam
hati. Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah menyandang nama besar
sebagai Pendekar Tangan Baja dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari ini dia
tersandung oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya! Dengan cepat Ki
Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya mengerahkan setengah bagian tenaga datam
yang dimilikinya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua
lengannya hingga sepasang tangannya menjadi berkilat.
"Bagus!" Kamandaka
memuji. "Kalau sudah seluruh tenaga dalammu kau kerahkan, tunggu apa lagi!
Ayo hantamlah!"
"Pemuda ini sombong
sekali. Kudengar kejahatan yang dilakukannya setinggi langit sedalam lautan!
Kalau aku tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri dari dunia
persilatan untuk selama-lamanya!" Lalu dengan rahang terkatup rapat Ki Pamilin
dorongkan kedua tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar baja yang
melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu tampak lebih besar dan lebih
menyilaukan. Hawa panas ikut menyambart
Ketika Ki Pamilin mengalirkan
tenaga dalamnya pada kedua tangan, diam-diam Kamandaka telah pula mengatur hawa
sakti yang berpusat di perutnya, lalu menyalurkannya pada kedua tangannya.
Sambil menyalurkan hawa sakti Kamandaka menyilangkan kedua lengannya di depan
dada lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan pemuda ini tampak berubah
menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan yang bersilang itu membuka lalu dihantamkan
ke depan. Terdengar suara meledak seperti suara halilintar membelah langit.
Tanah bergoncang. Pepohonan berderakderak seperti hendak tumbang. Satu
gelombang sinar hitam menggebubu ke depan.
Dua sinar baja pukulan sakti
Ki Pamilin laksana tenggelam ditelan gelombang hitam yang dahsyat itu. Orang
tua ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras. Dia berusaha bertahan
sambil dorongkan lagi kedua tangannya dan merapal aji kesaktian lain untuk
memperkuat diri.
Kamandaka tertawa mengekeh.
"Keluarkan seluruh ilmumu
Pendekar Tangan Baja!" katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di
depan kepala disilangkan kembali. Saat itu juga terdengar suara ledakan
dahsyat. Langit laksana hendak runtuh. Tanah seperti terbongkar. Ki Pamilin
lenyap dalam buntalan sinar hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.
Tubuh orang tua itu terlempar
sampai satu tombak. Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya
perlahan-lahan berubah menjadi hitam, pertanda bahwa pukulan sakti yang
dilepaskan Kamandaka selain dialas dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga
mengandung racun sangat jahat.
"Ayah!"
Mintari terpekik melihat apa
yang terjadi dengan ayahnya. Gadis ini memburu. Kamandaka cepat ulurkan tangan
menyambar pinggang si gadis.
"Manusia jahanam!"
teriak Mintari. Dia berbalik dan tongkat bambu di tangan kanannya dihunjamkan
ke perut Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang besar. Tetapi hebatnya
perutnya tidak cidera sedikitpun. Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras
ketika ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang membuat tangannya
bergetar.
"Gadis hebat!" seru
Kamandaka. "Tunjukan kehebatanmu kalau nanti kau berada dalam pelukanku!"
Mendidih amarah Mintari
mendengar kata-kata itu. Dia membalik dan kini tongkatnya menusuk kuat-kuat ke
mulut si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku ayal lagi. Perutnya
bisa kebal dan sanggup menahan tusukan tongkat bambu ataupun senjata tajam.
Tetapi pada kedua matanya sama sekali tidak ada kekebalan. Selain itu dia tahu
bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi berkat gemblengan
ayahnya.
Kamandaka cepat menggeser
kedua kakinya sambil miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya melesat ke atas menangkap ujung tongkat. Begitu ujung tongkat berada
dalam genggamannya, Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak sempat
melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik ke depan. Sebelum dia bisa
berbuat sesuatu apa tahu-tahu dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka. Malah
satu ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya!
"Jahanam kurang
ajarl" Makian itu disertai gerakan mencakar ke muka Kamandaka. Tapi
Mintari kalah cepat. Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga tubuh
si gadis kaku tak bisa bergerak lagi. Hanya suaranya saja terdengar memaki tak
putus-putusnya.
Sambil tertawa-tawa Kamandaka
memanggul tubuh Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian bawah
belakang gadis itu sehingga semakin keras kutuk serapah keluar dari mulut
Mintari.
"Sekarang kau memaki
diriku. Tapi lihat sebentar lagi kau akan tergila-gila padaku. Berpisah
sesaatpun kau tak akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa Mintari ke
arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di lantai gerobak sebelah
belakang.
Dari dalam mulut Ki Pamilin
tampak banyak darah mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya terdengar
suara seperti ayam dipotong. Samar-samar dia melihat Kamandaka memanggul tubuh
Mintari ke arah gerobak.
"Ya Tuhan, tolong anakku.
Selamatkan dia…" orang tua ini hanya bisa memohon dalam hati. Tangannya
coba diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda. Tetapi kekuatannya
sudah punah. Pemandangannya bertambah gelap. Pada saat jantungnya berhenti
berdetak, nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.
Di atas gerobak Kamandaka
berlutut di samping tubuh Mintari. Mulutnya menyeringai, nafasnya menderu
diburu nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara pakaian robek beberapa
kali.
"Manusia jahanaml Iblis!
Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Mintari.
"Nanti juga akan
kulepaskani Sekarang biar kita bersenang-senang dulu!"
"Lebih baik kau bunuh
diriku!" teriak Mintari lalu dia menjerit berulang kali.
Suara jeritan gadis yang
terancam kehonmatannya itu bukan membuat hiba apalagi takut dalam diri
Kamandaka. Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan celana
birunya. Kedua tangannya meraba kian kemari. Ketika dia siap untuk melakukan
kebejatan itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda.
Kamandaka menoleh ke belakang.
Dua orang penunggang kuda
berseragam perajurit Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak
berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan menjerit dari atas gerobak
itu, kedua perajurit ini hentikan kuda masing-masing di samping gerobak.
Tentu saja keduanya terkejut
melihat pemandangan di dalam gerobak terbuka itu.
"Hail Perbuatan gila apa
yang kau lakukan ini?!" salah seorang perajurit membentak.
"Siang bolong! Di tengah
jalan1" Perajurit yang satu lagi ikut menghardik.
Melihat munculnya dua orang
perajurit Kerajaan ini Mintari merasa dirinya pasti akan mendapat pertolongan.
Maka diapun berkata. "Tolong. Tolong selamatkan diriku dari manusia
durjana ini!"
Dua perajurit pandangi wajah
cantik dan tubuh mulus yang menggeletak di atas gerobak itu. Mau tak mau
keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang kali membasahi
bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang satu lagi memandang dengan mata tak
berkesip. Yang terakhir ini berpaling pada Kamandaka.
"Kau tahu kalau kau telah
membuat satu kesalahan besar yang bisa membuat kepalamu dijirat tali
gantungan?"
Kamandaka diam saja. Dia sudah
merasa kalau kedua perajurit itu mulai dikobari nafsu. Benar saja karena yang
satu kemudian berkata.
"Sobat, jika kau mau
membagi-bagi rejeki besar ini pada kami berdua, kami tidak akan menangkapmu
atau membuat perkara!"
Kamandaka menyeringai.
"Kalau kalian memang berminat aku bersedia memenuhi permintaan kalian.
Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih dulu. Naiklah ke atas
gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi apa."
Mendengar kata-kata Kamandaka
itu, dua perajurit tadi tanpa tunggu lebih lama segera turun dari kuda dan siap
naik ke atas kereta.
"Hus! Tunggu dulu!"
kata Kamandaka. "Sebelum naik lebih baik kalian tanggalkan dulu semua
pakaian yang melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit membuka
pakaian di sini!"
"Kau benar!" kata
salah seorang perajurit. Lalu tanpa malu-malu dia segera menanggalkan
pakaiannya. Kawannya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan hal yang
sama.
"Nah sekarang kalian
sudah siap! Ayo lekas naik ke atas gerobak. Aku biar menunggu di dekat pohon
sana sambil berjaga jaga," kata Kamandaka pula.
Dua orang perajurit yang tanpa
pakaian itu naik ke atas gerobak. Namun belum sempat kaki mereka menginjak
lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak memukul. Terdengar suara
bergedebuk dua kali. Kedua perajurit itu keluarkan jeritan hampir berbarengan.
Tubuh mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang seketika lalu tak berkutik
lagi. Mereka mati dengan muka remuk.
Kamandaka meludah ke tanah.
Dia berpaling pada Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis ini
memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi
perbuatan terkutuk Kamandaka
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
DI LAMPING bukit Pendekar 212
Wiro Sableng hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu memandang ke
bawah bukit. Lapat-lapat dia mendengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat membedakan mana ringkikan
kuda biasa dan mana yang tidak biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah
terdengarnya suara ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan memintas
walau harus menempuh bagian bukit yang dirapati pepohonan serta semak belukar.
Ketika akhirnya Pendekar ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan
melihat ada bekasbekas jejak roda di tanah.
Wiro ikuti jejak-jejak roda
itu. Belum lama berjalan langkahnya mendadak terhenti. Di kejauhan, dekat jalan
yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping kiri gerobak kelihatan dua
sosok mayat dengan kepala pecah dan tubuh telanjang bulat. Dua helai pakaian
seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak jauh dari situ ada dua ekor
kuda. Salah seekor diantaranya meringkik tiada henti. Wiro meneruskan
langkahnya. Dia melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak dekat sebatang pohon
yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepalanya. Sosok
tubuh ketiga ini tak bisa dikenali. Sekujur badan dan pakaiannya berwarna hitam
seolah-olah baru saja keluar dari lumpur jelaga.
"Ini bukan warna hitam
biasa. Orang ini menemui ajal akibat racun jahat…" membatin murid Sinto
Gendeng. Saat itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia berpaling ke arah
gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu saja. Suara erangan itu
justru datang dari arah gerobak. Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke
atasnya. Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai gerobak. Matanya
hampir terpejam tak kuasa memandang.
"Tolong… tolong…"
Gadis yang meoggeletak di lantai gerobak keluarkan suara kelu. Kedua matanya
hanya membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian leher dan dada penuh
dengan luka-luka bekas gigitan.
Sambil membalikkan tubuh Wiro
membuka bajunya. Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu
tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang itu. Wiro memandang
seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di bawah tempat duduk kereta sebelah
depan. Ketika diperiksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning yang cukup
lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis itu sedang bajunya dipakainya
kernbali. Lalu Wiro membawa gerobak itu ke tempat yang teduh.
"Saudari, dapat kau
menceritakan apa yang terjadi?" Jawaban yang keluar dari mulut Mintari
adalah jeritan keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam hati
Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib buruk apa yang telah menimpa gadis ini.
Namun yang jadi pertanyaan apa sangkut paut kedua perajurit Kerajaan yang mati
telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam itu.
"Ayah… Tolong…
Ayah…"
Wiro kerenyitkan kening.
Diperhatikannya lagi keadaan tubuh gadis yang menggeletak di Iantai gerobak
itu. Baru dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan tertotok. Wiro
membungkuk untuk lepaskan totokan itu.
"Kau…kau siapa…?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Mintari. Untuk pertama kali si gadis tiba-tiba
merasa takut.
"Jangan takut. Aku
kebetulan lewat di tempat ini. Aku berusaha menolongmu…"
Mintari membuka kedua matanya
lebih lebar. Pemandangannya masih meremang. Dia tak dapat melihat jelas wajah
orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian dirasakannya ada sentuhan pada
bagian tubuhnya yang membuat dia bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya kembali.
Begitu menyadari totokannya
telah lepas, Mintari berusaha melompat berdiri. Tapi terhuyung-huyung dia
hampir jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan kain kuning kembali
ke tubuh Mintari lalu menyandarkan gadis itu ke pinggiran gerobak. Mintari
memandang dengan mata membeliak padanya.
"Tenanglah, kau tak usah
takut. Aku bukan orang jahat," kata Wiro meyakinkan si gadis.
"Ayah…" Mintari
memandang berkeliling. Wiro mengikuti pandangannya.
"Ayahmu ada di
sini?" tanya Wiro.
"Ayah…Manusia itu pasti
sudah membunuh ayah…" Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang
menggeletak dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya tampak
seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis itu. Di sudut depan gerobak dia
melihat sebuah bumbung bambu. Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam
bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan susah payah si gadis
berusaha meneguk air itu. Sehabis minum dia kelihatan agak tenangan.
"Sekarang kau bisa
mengatakan apa yang terjadi?" tanya Wiro.
Mintari tak menjawab. Kain
kuning dibungkuskannya erat-erat ke tubuhnya lalu dia berusaha turun dari atas
gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati sesosok tubuh hitam dekat
pohon. Wiro melangkah di sampingnya. Di depan tubuh hitam itu Mintari hentikan
langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip. Kemudian dilihatnya cincin
berbatu yang melingkar di jari manis tangan kanan. Meskipun sudah hangus namun
dia masih bisa mengenali cincin itu.
"Ayah!" jerit
Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya langsung jatuh. Wiro cepat memegang
gadis ini sebelum terbanting ke tanah.
***
Hari itu hari kelima di bulan
lima, suatu pertemuan rahasia diadakan di sebuah rumah tua di kaki Bukit Sedayu
di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Raden Bintang,
bekas Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri dari segala macam urusan
Kerajaan. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai Bayangan.
Lelaki berusia enam puluh tahun ini konon memiliki sebuah senjata aneh. Jika
dia membaca mantera maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan muncul
dan tergenggam sebuah rantai besi berwarna hitam. Rantai ini kelihatan seperti
bayangan. Tapi jika dipakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya bisa
patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman rantai sungguhan.
Di tempat kediamannya pagi itu
telah berkumpul hampir dua puluh orang tokoh dunia persilatan di Jawa Tengah,
Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu datang jauh-jauh dari Pulau
Andalas. Dia adalah seorang kakek berdestar dan berpakaian serba hitam. Kedua
kaki dan pergelangan tangannya dilingkari gelang akar bahar. Dialah Datuk Alam
Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah punya rencana untuk membawa
Mintari ke tempat kediamannya guna digembleng dengan berbagai ilmu
kepandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama.
Saat itu masih ada beberapa
tokoh silat yang belum muncul. Sementara menunggu acara resmi dibuka pada siang
hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai macam hal sambil menikmati minuman
dan juadah yang dihidangkan. Sesekali terdengar suara gelak tertawa.
Dalam pertemuan itu akan
dibicarakan beberapa hal. Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan
secara amat rahasia.
Dua orang tamu lagi datang.
Setelah menyalami tuan rumah keduanya mengambil tempat duduk diantara para
hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari kursinya. Setelah
mendehem beberapa kali dia berkata.
"Saudara-saudara sekaum
persilatan. Saya melihat masih ada dua kursi yang kosong. Karena waktu kita sempit
sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan ini bukan cuma satu mata acara,
lalu mengingat bahwa Saudara-saudara tentu harus kembali ke tempat asal
masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar acara pertemuan dimulai saja
secara resmi. Mudahmudahan dua tamu yang belum datang akan segera muncul di
tempat ini."
"Saya rasa kami semua
setuju," menjawab salah se-orang dari yang hadir. Yang lain-lainnya sama
mengiyakan.
"Terima kasih. Kalau
begitu acara bisa segera kita mulai," kata Raden Bintang pula dengan
senyum gembira dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama
lain.
Raden Bintang mengambil sebuah
palu kayu yang terletak di atas meja. Ketika dia hendak mengetukkan palu ini
sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar suara bergemeratak. Raden
Bintang berpaling ke halaman diikuti oleh para hadirin. Sebuah gerobak sapi
tampak memasuki halaman dengan cepat. Kusirnya seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian dan berikat kepala putih.
"Kita kedatangan tamu.
Tapi bukan yang diundang," kata Raden Bintang. "Di antara yang hadir
apakah ada yang mengenalinya?"
Tidak seorang hadirinpun
memberikan jawaban.
Pemuda berambut gondrong turun
dari gerobak. Sesaat dia memandang agak bimbang pada orang-orang yang ada di
dalam rumah besar itu.
Namun akhirnya dia melangkah
juga. Di tangga atas bangunan dia berhenti dan memberi penghormatan dengan
menundukkan kepala.
"Maafkan saya mengganggu.
Apakah di sini pertemuan para tokoh silat dari tiga kawasan Pulau Jawa?"
"Sebutkan dulu siapa
dirimu anak muda, baru ajukan pertanyaan," kata Raden Bintang.
"Saya Wiro Sableng. Saya
datang membawa surat dari Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidak bisa datang karena
ada halangan."
Semua yang hadir di tempat itu
termasuk Raden Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut mendengar nama
yang disebutkan.
"Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!" semua orang menyebut gelar itu dalam hati masing-masing. Mereka
tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 212 yang berulang kali
membuat kegegeran dalam dunia persilatan. Dikagumi para tokoh silat golongan
putih, ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para penjahat. Selama ini
Pendekar 212 mereka anggap selalu muncul dan menghilang secara misterius,
jarang menampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat. Kabarnya
bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang ajar tetapi berhati polos: Semua
yang hadir tidak menduga kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat
sederhana.
Wiro menyerahkan surat titipan
gurunya kepada Raden Bintang. Tuan rumah bermaksud segera membacanya namun
urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata. "Maafkan saya, ada yang lebih
penting dari surat itu. Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di
atas gerobak juga ada sesosok mayat."
Semua yang hadir di situ tentu
saja menjadi kaget. Beberapa di antaranya segera berdiri dan keluar dari rumah
besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju gerobak.
Mereka yang ikut mendekati
gerobak menjadi terkejut ketika menyaksikan apa yang ada di dalam gerobak itu.
Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keadaan lemah, terbungkus
dengan kain kuning.
"Gadis ini butuh
istirahat dan perawatan. Saya mohon disediakan kamar untuknya…" kata Wiro
lalu melangkah kembali ke arah rumah besar sambil mendukung Mintari.
Seorang berpakaian hitam
menyeruak diantara orang banyak. Lalu terdengar suaranya seperti harimau
menggereng disusul seruan keras.
"Mintari! Apa yang
terjadi denganmu Nak?!"
Wiro hentikan langkah dan
berpaling. Yang lain-lain ikut menoleh. Yang tadi berseru ternyata adalah Datuk
Alam Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang berada dalam dukungan Pendekar
212 itu.
"Datuk," ujar Raden
Bintang. "Kau mengenali gadis ini?"
"Namanya Mintari. Dia
calon muridku! Atas persetujuan ayahnya Ki Pamilin yang bergelar Pendekar
Tangan Baja aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak disangka kalau
saat ini aku menemuinya dalam keadaan begini. Di mana ayahnya?!"
"Ya dimana Ki Pamilin?
Dia salah seorang tokoh silat yang kita undang!" kata Raden Bintang pula.
"Tokoh silat itu telah
jadi korban pembunuhan biadab!"
Orang banyak yang ada di
tempat itu termasuk tuan rumah Raden Bintang menjadi geger. Lalu suasana hening
beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan pada Pendekar 212 Wiro
Sableng yang barusan memberi keterangan.
Wiro menggoyangkan kepalanya
ke arah gerobak. Dua kali lompat saja Raden Bintang sudah sampai di samping
gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam yang menggeletak
mengerikan di atas lantai gerobak.
"Hanya ada satu manusia
yang bisa membuat seorang menemui ajal seperti ini. Yaitu murid murtad Ketua
Partai Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka bergelar Pendekar Tangan
Halilintar!"
"Benar, menurut penuturan
gadis ini memang orang itu yang membunuh ayahnya," kata Wiro pula.
Kembali tempat itu dilanda
kegemparan.
Salah seorang dari mereka
berkata. "Justru acara kita paling penting dalam pertemuan ini adalah
untuk membicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat berunding kini sudah
jatuh lagi satu korban baru!"
"Dan anak gadis Ki
Pamilin ini pasti sudah…" Orang yang bicara tidak tega meneruskan
ucapannya.
Seseorang memberi Isyarat agar
Wiro mengikutinya. Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang
perempuan separuh baya yang sebenarnya adalah juru masak untuk menyediakan
makanan dalam pertemuan itu masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari.
Atas permintaan Raden Bintang,
Wiro kemudian menuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika pertama kali
dia menemui para korban sampai pada penjelasan yang disampaikan Mintari
sebelum jatuh pingsan.
Mau tak mau acara pertemuan
hari itu ditunda sampai jenazah Ki Pamilin diurus dan dimakamkan di halaman
belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang berkumpul kembali di dalam
rumah. Raden Bintang berpaling pada Pendekar 212.
"Saya sudah membaca surat
Eyang Sinto Gendeng. Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa menyesal
tokoh sakti dari Jawa Barat itu tidak bisa hadir. Karenanya dengan segala
kehormatan kami mengundang Pendekar 212 untuk mewakilinya."
Kalau sudah begini sikap
urakan Wiro jadi keluar. Dia masih berdiri tapi kini garuk-garuk kepala.
"Maafkan saya," katanya. "Kalau tidak salah isi surat itu hanya
mengatakan bahwa Eyang tidak bisa datang. Beliau tidak memberi wewenang pada saya
untuk bertindak sebagai wakil pada pertemuan para tokoh ini."
"Pendekar 212 walau Eyang
Sinto Gendeng memang tidak menuliskan bahwa kau boleh mewakilinya, tapi kami
semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada yang keberatan," Kata
tuan rumah pula.
Kembali Pendekar 212 menggaruk
kepala. "Mohon maaf. Saya merasa tidak punya bobot untuk tegak sama tinggi
dan duduk sama rendah dengan semua orang pandai yang ada di sini. Izinkan saya
minta diri…"
Raden Bintang merasa agak
tersinggung. Maka diapun cepat berkata ketika dilihatnya Wiro hendak membalik.
"Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan tindakan yang harus
diambil terhadap Kamandaka murid Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin
banyak korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana kejinya dia
membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormatan anak gadis orang tua itu.
Menghabisi nyawa dua perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya
telah dihabisinya. Apakah kau ingin berlepas tangan saja…?"
Kalau tadi Raden Bintan yang
merasa agak tersinggung, kini sebaliknya Pendekar 212 Wiro Sableng yang merasa
tersinggung dan dipojokkan.
"Kalau saya tidak ikut
dalam perternuan ini bersama para tokoh yang saya hormati, bukan berarti saya
hanya bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto Gendeng mengajarkan
bahwa pada saat-saat penting ada kalanya seseorang harus lebih banyak bertindak
dari pada banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat menebar maut dan
kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang telah dilakukan orang-orang
persilatan? Saya minta diri…"
Wiro membalikkan badannya dan
melangkah cepat meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana paras
Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata yang diucapkannya tadi. Sambil
melangkah Pendekar 212 Wiro Sableng menggerendeng. "Pertemuan… pertemuan!
Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah sejak dulu-dulu mereka
melakukan tindakan nyata, bukan cuma bicara!"
Baru saja Wiro mengomel
seperti itu di sebelahnya terdengar satu suara. "Kau betul anak muda!
Urusan kapiran macam begini tidak bakal beres kalau cuma dibicarakan di
belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan. Aku ikut bersamamu!"
Wiro berpaling. Orang yang
melangkah di sampingnya ternyata adalah orang tua berpakaian serba hitam dan
memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia bukan lain adalah Datuk Alam
Rajo di Langit. Tokoh silat dari Andalas yang sebelumnya punya rencana membawa
Mintari ke tempat kediamannya.
"Orang tua, kau mau ikut
aku ke mana?" bertanya Wiro sambil terus melangkah.
"Mencari pemuda keparat
bernama Kamandaka itu tentu!"
"Siapa bilang aku saat
ini pergi mencarinya?"
Datuk Alam Rajo Di Langit jadi
terkesima dan hentikan langkahnya. Di depannya Wiro kembali berkata. "Saat
ini bukankah lebih penting bagimu merawat calon muridmu itu? Persoalan
Kamandaka biar serahkan saja pada para tokoh silat di Tanah Jawa ini."
Ingat pada Mintari Datuk Alam
Rajo Di Langit jadi bimbang. Lalu perlahan dia berkata. "Memang sebaiknya
aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu." Dipegangnya bahu
Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan tubuh, kembali menuju rumah besar
tempat pertemuan.
Ketika dia sampai di tempat
itu kembali ternyata semua orang yang ada di situ tengah dilanda kegemparan.
Terheran-heran Datuk Alam Rajo
Di Langit bertanya. "Apa yang terjadi? Banyak orang bermuka pucat kulihat.
Kegemparan apa yang ada di sinil"
Seseorang menjawab.
"Gadis malang bernama Mintari itu lenyap di culik orang!"
"Hah?!" Datuk Alam
Rajo Di Langit terbeliak.Dia langsung melompat masuk ke dalam rumah, terus
menuju kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar itu hanya dua
orang perempuan separuh baya yang sebelumnya diperintahkan merawat Mintari.
Kedua perempuan ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat!
Datuk Alam Rajo Di Langit
dekati kedua perempuan itu. "Lekas ceritakan apa yang terjadi!"
bentaknya keras dan tidak sabaran.
Dengan suara gemetar salah
seorang dari dua perempuan itu berkata. "Saya tengah membasuh muka dan
tubuh gadis itu. Teman saya ini baru saja meletakkan sehelai sapu tangan di
keningnya yang panas. Tiba-tiba jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu
ada sese-orang masuk seperti bayangan. Dia berkelebat ke atas tempat tidur.
Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia menghilang lewat jendela."
"Kalian mengenali siapa
orangnya?" Raden Bintang ajukan pertanyaan.
"Gerakannya cepat. Tapi
kalau saya tidak salah tangkap dia adalah seorang nenek kurus berkulit hitam.
Di kepalanya ada tusuk kundai…"
Datuk Alam Rajo Di Langit
berpaling pada Raden Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling
pandang dan saling menduga.
"Bisa saja tidak
mungkin," kata Raden Bintang perlahan. "Namun manusia dengan
ciri-ciri seperti itu hanva ada satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di Jawab
Barat. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!"
"Lekas kita selidiki ke
luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. "Yang lain-lainnya coba
mengejar pemuda murid Sinto Gendeng tadi!"
Semua tetamu yang ada di
tempat itu segera berbagi menjadi dua rombongan. Satu menyelidiki kemana
lenyapnya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan lagi mengejar
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun kedua orang itu telah
raib tak dapat lagi dikejar.
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
DALAM sebuah rumah kayu di
puncak Gunung Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl sebuah meja bulat.
Dari sikap dan air muka mereka jelas mereka tengah membicarakan satu masalah
yang penting.
Kelima orang itu masing-masing
adalah Gamar Senopatri, Ketua Partai Semeru Raya yang menyandang gelar Dewa
Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun tapi keadaan tubuh dan wajahnya
seperti baru ber-usia 50 tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia
digelari seperti itu karena kedua telapak tangannya berwarna biru, mengandung
kesaktian langka di mana dua tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras
apapun.
Orang ke dua adalah Ageng
Seto, Ketua Cabang Partai wilayah Utara. Di sebelahnya duduk Ageng Sembodo yang
merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua Cabang Partai wilayah
Selatan. Ageng Sembodo adalah orang paling muda di antara ke lima orang itu,
berusia 35 tahun dan memiliki wajah gagah.
Lelaki ketiga adalah Ketua
Cabang Partai wilayah Timur, bernama Ki Rono Bayu, berusia 76 tahun, jadi lebih
tua dari sang Ketua Partai Semeru.
Orang ke empat yaitu Rana
Tumalaya, dipercayakan sebagai Ketua Cabang Partai wilayah Barat.
Setelah mengusap wajahnya
beberapa kali, Ketua Partai Semeru Raya berkata. "Memang sulit dipercaya
kalau tidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadi murid harapan masa depan
Partai, dikenal cakap gagah, berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang
tinggi. Kini diketahui telah menebar angkara murka keji di rimba persilatan.
Dosanya makin hari makin menggunung. Kalau ingatannya tidak terganggu, tidak
mungkin dia melakukan semua itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang
diamalkan secara sesat?"
"Mungkin sekali begitu
Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu. "Lima orang anak murid Partai Cabang
Timur sempat menemui Kamandaka di sekitar Karanganyar, tak jauh dari kaki
sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena sebelumnya sudah saling mengenal
maka para murid saya tidak sungkan-sungkan menasihati agar Kamandaka kembali ke
jalan benar dan segera menghadap Ketua Partai untuk minta ampun. Namun apa yang
mereka terima sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai dibunuh dengan
tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did. Dia memberi tahu bahwa Kamandaka
telah memiliki satu ilmu kesaktian baru yaitu berupa pukulan Tangan
Halilintar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia
persilatan."
"Tangan Halilintar!"
desis Gamar Senopatri. "Dari mana anak itu mendapatkan ilmu kesaktian itu.
Apa yang telah membuatnya berubah menjadi setan? Membunuh bahkan
memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-gelengkan kepala sambil
memegangi kalung baja putih dengan perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang
mata singa ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau- kilau
seperti memantulkan bara api.
"Seorang pemuka agama di
selatan mengetahui tempat kediaman Kamandaka. Agaknya sudah saatnya kita harus
turun tangan…" berucap Ketua Cabang Partai wilayah Selatan yaitu Ageng
Sembodo.
Gamar Senopatri alias Dewa
Tapak Sakti usapusapkan kedua telapak tangannya yang biru satu sama lain.
"Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan menemui anak itu.
Membawanya kemari untuk bertobat dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau
akan kubunuh di tempat!"
Baru saja Ketua Partai Semeru
Raya itu berkata demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.
"Ki sanak benar! Murid
murtad itu memang patut dibunuh. Dipancung kepalanya, dicincang sekujur
tubuhnya!"
Terdengar angin bersiur. Lampu
minyak yang tergantung di atas meja bergoyang-goyang. Ke lima y orang yang ada
di ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling ke kanan.
Di ambang pintu tegak seorang
kakek berdestar dan berpakaian serba hitam. Pergelangan tangan dan kakinya
dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras batu karang dan pandangan
matanya seperti api menyambar. Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh
silat dari Andalas yang beberapa hari lalu menghadiri pertemuan para tokoh
silat di Selatan.
"Tamu terhormat dari mana
yang datang tidak memberi salam?" tegur Ketua Partai Semeru Raya sekaligus
menyindir.
Datuk Alam Rajo Di Langit
parasnya tidak berubah sedikitpun oleh teguran itu. Kedua matanya menyapu
dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di ruangan itu.
"Yang mana di antara
kalian Ketua Partai Semeru Raya?"
Gamar Senopatri mendehem
beberapa kali sebelum menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum kalau
orang itu datang dari seberang.
"Tamu dari seberang
rupanya datang mencari saya. Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar
Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?"
"Jadi kau rupanya guru
Kamandaka. Pemuda bejat yang gentayangan malam melintang menebar maut, menculik
dan memperkosa!"
Paras Ketua Partai Semeru Raya
jadi berubah. Empat Ketua Cabang tampak tegang. Selama ini belum ada orang yang
datang membawa persoalan menyangkut diri Kamandaka.
"Saya memang guru
Kamandaka," kata Gamar Senopatri. "Terangkan dulu siapa ki sanak dan
apa maksud kedatangan jauh-jauh ke sini?"
"Setahuku kau diundang
dalam pertemuan para tokoh silat di Selatan. Mengapa tidak muncul atau mengirim
wakil?"
"Akh, ki sanak rupanya
utusan para tokoh silat dalam pertemuan itu."
"Siapa bilang begitu? Aku
datang mauku sendiri!" sahut Datuk Alam Rajo Di Langit.
"Kalau begitu silahkan
duduk. Mari kita bicara secara baik-baik."
Datuk Alam mendengus.
"Siapa sudi duduk dengan kalian orang-orang yang tidak bertanggung
jawab?!"
Lima orang disekitar meja
tampak marah. Yang empat masih bisa menahan diri tapi yang paling muda yaitu
Ageng Sembodo langsung membentak.
"Apa maksud ucapanmu
orang tua berpakaian hitam?! Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl
Jangan salah kalau orang macammu bisa digebuk!"
Datuk Alam menyeringai.
"Orang muda, di negeriku manusia bermulut enteng sepertimu sudah lama
disingkirkan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa bicara tapi tidak
pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar Pendekar Tangan Baja dibunuh
oleh Kamandaka secara keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi calon muridku
diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agar kalian segera berbuat
sesuatu! Dan tadi kau bilang aku datang tanpa juntrungan! Bicara tidak karuan!
Orang sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!"
Para lima orang Ketua Partai
Semeru Raya tampak berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya.
"Kenapa kalian jadi diam
semua? Apa sudah disambat hantu bisu?!" sentak Datuk Alam Rajo Di Langit.
Dia menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya. "Kalau dalam waktu
satu bulan kau tidak bisa menangkap muridmu dan menghukumnya dengan hukuman
mati, aku akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak Semeru akan
aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada harganya lagi bagiku! Ingat
baik-baik!"
Datuk Alam Rajo Di Langit
membalikan tubuh hendak pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat berkata.
"Ki Sanak harap mau
berlaku hormat sedikit. Walau marah dan dendam membara jadi satu, tapi kita
orang-orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu agar kita bisa
bicara baik-baik."
Habis berkata begitu Ketua
Partai Semeru Raya ini angkat tangan kanannya yang berwarna biru. Satu
kekuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi kayu. Kursi ini
tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan seperti melayang bergerak mendekati Datuk
Alam Rajo Di Langit dan turun di sampingnya.
"Silakan duduk, ki
sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia memberi isyarat pada empat Ketua Cabang.
Bersamasama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing.
Sesaat Datuk Alam tampak
menunjukkan sikap bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di kursi itu
dan diam-diam mengetahui kalau Ketua Partai Semeru Raya sengaja memamerkan
kehebatan tenaga dalamnya. Kakek ini membatin. "Hemmm…. Mulutnya bicara
manis tetapi ada segumpal kesombongan di dalam hatinya."
"Nah sekarang kita bisa
bicara panjang lebar mengenai muridku si Kamandaka itu," kata Ketua Partai
Semeru Raya pula.
"Ah, waktuku sempit. Lagi
pula aku sudah memperingatkan kalian agar segera turun tangan mencari dan
menangkap Kamandaka."
"Urusan kami dengan
Kamandaka adalah urusan guru dengan murid. "Urusan dalam Partai. Jadi
harap ki sanak tidak keliwat mendesak…"
Sepasang mata Datuk Alam Rajo
Di Langit mendelik. "Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi
apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan dan perkosaan, yang
dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu bisa dianggap sebagai urusan dalam? Ingat ki
sanak. Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu urusan dalam
Partai atau hanya sekedar urusan guru dengan murid!"
Gamar Senopatri dan empat
Ketua Partai tak bisa berkata apa-apa.
"Ada hal lain yang aku
rasa kurang sedap. Masakan tuan rumah selaku Ketua Partai Semeru Raya yang
begini besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu yang datang dari
jauh."
Setelah berkata begitu Datuk
Alam Rajo Di Langit segera berdiri dan tinggalkan ruangan itu.
Gamar Senopatri dan empat
orang Ketua Cabang Partai tentu saja heran mendengar ucapan Datuk Alam Rajo Di
Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang Datuk Alam Rajo Di Langit
sudah lenyap. Padahal puncak Semeru di kawasan itu merupakan pedataran yang
agak luas.
"Gerakannya luar biasa
cepat," kata Gamar Senopatri mengagumi. "Sayang dia sama sekali belum
mengatakan siapa dirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini berpaling ke
arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya.
"Apa yang tidak beres
dengan kursi ini? Kursi begini kokoh dikatakan reyot!" berkata Ageng
Sembodo. Lalu kursi kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan diangkatnya.
Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi tiba-tiba bertanggalan dan
jatuh ke lantai hingga Ageng Sembodo kini hanya memegang bagian sandarannya
sajal
"Manusia luar
biasa!" mau tak mau pujian itu keluar dari mulut sang Ketua Partai. Lalu
sambungnya. "Sebaiknya kita teruskan pembicaraan."
Kelima orang itu kembali duduk
mengitari meja bundar.
"Sembodo, tadi kau
mengatakan ada orang yang tahu letak tempat kediaman Kamandaka," Gamar
Senopatri membuka pembicaraan.
"Benar Ketua. Di sebuah
goa di pantai Selatan. Sulitnya goa ini terletak dibawah laut. Jadi sulit untuk
memasukinya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa Kranggan."
"Kalau begitu besok kau
dan aku berangkat ke sana."
"Tunggu dulu Ketua,"
kata Ki Rono Bayu begitu mendengar kata-kata pimpinannya. "Soal maksud
Ketua untuk turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap Ketua jangan
tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu kesempatan pada kami untuk
mendatangi kediaman Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan
Ketua."
"Saya setuju pendapat Ki
Rono Bayu itu," kata Rana Tumalaya. Ke empat orang Ketua Cabang Partai
sama menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa lagi: Maka
diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu akan berangkat ke Selatan besok
pagi. Namun sebelum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan sebuah usul.
"Setahu saya Kamandaka
punya hubungan dekat dengan murid Partai yang bernama Kintani. Bagaimana kalau
kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta bantuan gadis itu untuk
membujuk Kamandaka agar mau menyerahkan diri dan ikut secara baik-baik ke
puncak Semeru ini."
"Itu pemikiran yang
baik," kata Rana Tumalaya. "Entah bagaimana pendapat yang
lain-lain."
"Saya tidak setuju.
Perjalanan ke Selatan cukup jauh dan sulit. Melibatkan Kintani terlalu
berbahaya." Yang bicara adalah Ageng Sembodo.
Ketua Partai mengusap dagunya.
Dia tidak mau memandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang Partai yang
muda ini sekilas dilihatnya mengalami perubahan air muka. Gamar Senopatri dan
juga semua orang yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada semacam
perlombaan antara Kamandaka dan Ageng Sembodo untuk memperebutkan Kintani.
Ternyata Kamandaka lebih mendapat tempat di hati si gadis. Sejak Kamandaka
meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se-gala macam kejahatan di rimba
persilatan, Kintani nampak sangat terguncang. Sebaliknya Ageng Sembodo merasa
bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu jadi terbuka lebar.
Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti tidak akan merelakan Kintani berhubungan
lagi dengan Kamandaka, apalagi merestui keduanya sebagai suami istri.
"Bagaimana pendapat
Ketua?" bertanya Rana Tumalaya.
"Apa yang dikatakan Ageng
Sembodo memang benar. Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa tidak
kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan tambahan gemblengan pada
Kintani?" Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua
Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara maka diapun mengambil
keputusan. "Panggil Kintani, saya akan bicara padanya."
Sebenarnya Ageng Sembodo
hendak berkata dan berusaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia
kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintainya itu akan membawa
akibat yang justru malah membuat suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air
muka Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam saja. Malah dia
diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan itu untuk lebih mendekatkan diri dengan
Kintani.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
BUKIT Selarong hampir tak pernah
didatangi orang.
Selain lerengnya yang terjal
dan penuh dengan
bebatuan, pohon-pohon disitu
tumbuh sangat rapat. Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat
binatangbinatang buas seperti harimau dan srigala hutan.
Namun siang itu terlihat
kelebatan tubuh seseorang yang dengan cepat mendaki bukit, melompat dari batu
satu ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara pepohonan. Dia ternyata seorang
nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam. Muka dan matanya cekung. Alisnya
putih. Di kepalanya yang ditumbuhi rambut jarang berwarna putih ada lima buah
tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini jelas si nenek adalah
Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Si nenek mendekati bukit
Slarong sambil memanggul sosok tubuh Mintari yang terbungkus kain berwarna
kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu berada di tempat
kediaman Raden Bintang, tokoh silat yang bergelar Rantai Bayangan.
Semakin tinggi ke atas bukit
semakin dingin terasa udara. Mintari perlahan-lahan sadar dari pingsannya.
Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena ingat akan apa yang
ketika menyaksikan angkernya wajah si nenek yang memanggul melarikannya.
"Gadis sialan!"
Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak saja memaki. "Jeritanmu mengejutkanku!
Untung aku tidak latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!’
"Nen… nenek. Kau
siapa…?" tanya Mintari.
"Diam sajalah! Nanti
kalau sudah sampai di tempat tujuan baru kau boleh bertanya panjang lebar!
Tidak baik bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut bicara baru tahu
rasa kau. Hik…hik…hik…!" Si nenek tertawa cekikikan.
Mintari jengkel ada takutpun
ada. Hendak menutup mulut dia merasa kawatir. Maka diapun bertanya kembali.
"Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?"
"Anak setan!" si
nenek gebuk pantat Mintari. "Kalau aku bilang diam, jangan berani membuka
mulut!"
Akhirnya terpaksa gadis itu
berdiam diri.
Di salah satu lereng bukit
Slarong terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Kesinilah Sinto Gendeng
membawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat sebuah gundukan batu
berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng berhenti di depan goa dan menurunkan
Mintari. Dari kepitannya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata
isinya adalah sehelai baju dan celana putih.
"Nenek…."
"Lekas kau pakai pakaian
itu. Kalau sudah baru nanti kita bicara!" Sinto Gendeng memotong ucapan
Mintari.
Mau tak mau gadis itu
melakukan juga apa yang dikatakan si nenek. Selesai berpakaian dia tegak
memperhatikan si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air telaga. Tibatiba
Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling memandang Mintari.
"Nah sekarang kau boleh
omong. Bicara dan tanya apa saja yang kau mau. Tapi ingat jangan lama dan
panjang lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang lebih banyak
berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo buka mulutmu!"
"Nek… seingat saya,
sebelum jatuh pingsan seorang pemuda menolong saya…." Apa yang telah
dialaminya terbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini menangis keras
dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga.
"Saya dirusak secara
keji. Ayah saya dibunuh. Apa gunanya lagi hidup ini…!" Mintari menjerit.
Lalu tampak dia melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat ke dinding batu
di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya!
"Anak tolol!" teriak
Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali dia berkelebat dia sampai lebih dulu di depan
dinding batu. Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya menangkap
kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak sampai membentur dinding batu!
Si nenek gerakkan tangan
kanannya. Mintari terbanting ke tepi telaga, menangis keras-keras.
"Itulah kelemahan
perempuan! Cis! Memalukan!" kata Sinto Gendeng. "Biasanya hanya
menangis, putus asa lalu bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk merasa
dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa dan otak untuk berpikir?
Kalau kau mampus apa yang akan kau dapat? Sorga tidak neraka pasti! Karena
terkutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!"
Mintari mengusap air matanya.
Dia memandang pada si nenek yang telah menyelamatkan jiwanya. "Maafkan
saya Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak sanggup menahan sengsara
yang amat berat ini. Tolong beri tahu siapa nenek ini adanya. Mengapa membawa
saya ke tempat ini?"
Mulut Eyang Sinto Gendeng
tampak komat-kamit.
"Pemuda yang menolongmu
itu adalah muridku. Namanya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama Sinto
Gendeng…!"
Mintari terkesiap mendengar si
nenek menyebut namanama aneh itu. Sableng dan Gendeng! "Ah, aku
berhadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya. Tapi aku yakin manusia
seorang nenek kepandaian tinggi. Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek
sakti yang diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan dia ini orangnya. Murid
itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
"Kau mau tanya apa
lagi?!" Sinto Gendeng memandang dengan mata dibesarkan pada Mintari.
Si gadis lantas menjawab.
"Turut cerita yang pernah
saya dengar dari guru, apakah nenek orang sakti yang diam di puncak Gunung Gede
dan murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang sebagai Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212?"
"Bagus, otakmu tajam
juga. Kalau kau sudah tahu aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaanmu. Aku bisa
mulai…"
"Tunggu dulu Nek. Saya
ingin tahu sebab apa Nenek membawa saya kemari," kata Mintari pula.
"Anak tolol! Justru hal
itu yang hendak aku terangkan padamu!" berkata Eyang Sinto Gendeng dengan
wajah merengut.
"Maafkan kalau saya
keliwat mendesak. Tapi pertemuan dengan seorang tokoh besar dunia persilatan
seperti Nenek sungguh membuat saya senang…."
"Dasar anak tolol! Aku
membawamu kemari bukan untuk bersenang-senang!"
Melihat Eyang Sinto Gendeng
seperti marah, Mintari cepat berkata. "Maafkan Nek. Maksud saya…."
"Sudah! Kau dengan saja
apa yang aku bilang. Jawab apa yang aku tanya. Mengerti…. "
"Saya mengerti
Nek…."
"Panggil aku Eyang!"
"Baik Nek eh Eyang "
"Kau tahu siapa yang
membunuh Ayahmu?"
"Tahu Eyang."
"Tahu siapa? Sebutkan
orangnya."
"Kamandaka. Dia murid
sesat dan murtad Ketua Partai Semeru Raya. Bergelar Tangan Halilintar."
‘"Kau tahu siapa yang
merusak kehormatanmu?"
"Manusia terkutuk yang
sama Eyang. Kemahakah itu!"
"Jadi kau sudah tahu
dengan jelas," kata Sinto Gendeng. "Lantas apakah aku tidak ingin
membalaskan sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang dilakukan
Kamandaka terhadapmu?"
"Itu memang tersurat
dalam benak dan tergurat dalam hati saya Eyang. Tapi manusia itu kepandaiannya
tinggi, sekali. Ayah saja mati ditangannya."
"Anak tolol! Kalau Ayahmu
tidak mampu apa berarti kau juga tidak mampu?!"
"Saya sudah mencoba Eyang
tapi gagal." Jawab Mintari.
"Satu saat jika kau
bertemu lagi dengan Kamandaka, kau tak akan gagal. Itu sebabnya aku membawamu
kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari untuk dapat mempercudangi
Kamandala."
"Astaga, rupanya Eyang
hendak mengambil saya jadi murid!" seru Mintari lalu buru-buru jatuhkan
diri berlutut.
Si nenek tertawa.
"Siapa bilang aku
mengambilmu jadi murid? Muridku cukup satu. Si pemuda sableng bernama Wiro
itu!"
Paras Mintari berobah.
"Seperti kukatakan tadi,
kau akan kuberi pelajaran menguasai satu ilmu pukulan sakti. Pukulan Sinar
Matahari…!"
"Saya pernah mendengar
kehebaran pukulan sakti yang menggegerkan dunia persilatan itu," kata
Mintari pula.
Di hadapannya Eyang Sinto
Gendeng tegak dengan kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat
perlahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itu sampai sebatas lengan
berubah menjadi putih seperti perak berkilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam
ke depan. Terdengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar terang
benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul suara menggelegar.
Di depan sana dinding batu
yang keras hancur berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebatan
pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru kerahkan sepertiga saja
dari tenaga dalamnya!
"Pukulan Sinar
Matahari…" kata Sinto Gendeng pada dirinya sendiri. "Hebat luar
biasa! Tapi tidak mampu mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka…!
Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjukkan rasa kecewa yang
mendalam.
"Eyang…" kata
Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari tidak mampu mengalahkan Pukulan
Halilintar Kamandaka, lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada
saya?"
Si nenek menyeringai.
"Aku tahu dan aku tidak bodoh! Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan
kuajarkan padamu akan kuberi satu tambahan kekuatan hingga bisa menyelusup
menggepur ambalas pukulan sakti Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu
pukulan itu hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya bisa kau
pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari ilmu tersebut akan lenyap.
Berarti dalam waktu tiga puluh hari kau harus dapat menemukan Kamandaka!"
Sesaat Mintari terkesiap
mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. lalu akhirnya terdengar dia berkata.
"Terima kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu baik-baik."
"Berdiri di
depankul" kata Eyang Sinto Gendeng. "Aku mau jajal sampai di mana
tingkat tenaga dalammul"
Mintari tegak dua langkah di
hadapan Eyang Sinto Gendeng. "Kepalkan tangan kananmu, ulurkan tepat-tepat
ke hadapanku!"
Kembali si gadis melakukan apa
yang dikatakan si nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan hal yang sama tapi
dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang terkepal saling bersentuhan.
"Tekan yang kuat!" kata Sinto Gendeng.
Mintari menekankan tangan
kanannya ke depan!"
"Bagus! Sekarang kerahkan
seluruh tenaga dalam!"
Mintari segera kerahkan tenaga
dalamnya. Tubuhnya sampai ke lengan yang diacungkan tampak bergetar keras.
Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan tenaga dalamsi gadis
terhimpun di kepalan tangan kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti
ini mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan sepersepuluh bagian. Naik
dua persepuluh. Ketika mencapai tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari
nampak goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik keringat. Pakaiannya
juga basah oleh keringat. Eyang Sinto putar kepalan tangan kirinya ke samping
kiri. Saat itu pula terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam
langkah, jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak seputih kertas!
Dengan cepat Mintari berenang
ke tepi telaga. Di hadapan Sinto Gendeng dia berkata. "Maafkan saya
mengecewakan Eyang."
"Tidak jadi apa. tapi kau
perlu meningkatkan tenaga dalammu sampai paling tidak dua kali dari yang
sekarang ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti seumur hidup kau tidak
bakal dapat membuat perhitungan dengan Kamandaka!"
"Jika Eyang mau
membimbing, saya akan berusaha keras untuk meningkatkan tenaga dalam
saya…"
"Kau butuh waktu paling
sedikit dua bulan. Kau harus sungguh-sungguh!"
"Saya akan
sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!"
Sinto Gendeng menyeringai.
"Berjanji lebih bagus dari pada bersumpah! Berapa banyak saja manusia yang
bersumpah palsu!"
"Terima kasih Eyang. Kau
memberi saya kesempatan…"
"Sudah, lupakan segala
macam peradatan. Kita mulai sekarang juga. Duduk bersila di depan mulut goa
sana. Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut. Lalu kerahkan
tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan dialirkan. Tetap di perut dan
tahan!"
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
TIGA penunggang kuda itu
berhenti di tepi pantai. Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai Semeru
raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo, Ketua Cabang wilayah Selatan dan yang
ketiga seorang gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas putih dan
mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik kemerahan disengat sinar
matahari. Gadis ini adalah anak murid Partai yang bernama Kintani.
"Dimana letak goa
Kranggan itu?" bertanya Ki Rono Bayu tidak sabaran.
Ageng Sembodo tidak segera
menjawab. Dia memandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia tengah
membayangkan pembicaraannya dengan Kintani malam tadi.
Waktu itu mereka berkemah dan
membuat api unggun di pinggir sebuah anak sungai. Ki Rono Bayu sudah tertidur
karena keletihan.
Ageng Sembodo dan Kintani
tidak segera bisa tidur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk
mendekati si gadis. Dia memulai pembicaraan dengan bertanya bagaimana
perkembangan ilmu silat serta tenaga dalam si gadis. Kintani menjawab ada
kemajuan tetapi tidak banyak.
"Kau harus rajin berlatih
Kintani. Ketua sangat mengharapkan kau menjadi salah seorang murid Partal yang
bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia bertanya.
"Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?"
"Dia saudara seperguruan,
saudara se Partai. Tentu saja tidak ada yang lupa padanya."
Ageng Sembodo tersenyum.
"Kau hanya mengingatinya sebagai saudara seperguruan dan saudara
se-Partai?"
"Maksud Ketua Cabang
apa?" tanya Kintani.
"Panggil saja
namaku."
"Baik. Lalu maksud Ageng
Sembodo apa?"
"Aku tahu, semua orang
tahu kalau kau ada hubungan khusus dengan pemuda itu. Kalian saling
mencinta."
Kintani diam saja walau
wajahnya tampak bersemu merah.
"Setelah dia kini
menempuh hidup sesat, murtad, apakah kau masih mencintainya Kintani?"
"Saya yakin ada sesuatu
yang menyebabkan dia jadi begitu. Saya tahu dia orang baik. Kalau saya bertemu
dia, hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu."
"Justru jika kita bertemu
dengan dia, kita tidak punya waktu banyak untuk bicara soal lain. Dirinya
dikejar dosa dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak murid Partai
lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke hadapan Ketua. Jika dia
menolak. Ketua sudah berpesan dan memberi wewenang untuk membunuhnya di tempat.
Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya tak akan lama. Dia akan
dijatuhi hukuman mati1"
Si gadis diam kembali.
"Dari sekarang kau harus
mulai melupakannya Kintani. Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita
batin."
Kintani masih berdiam diri.
Ageng Sembodo menggeser
duduknya. Dipegangnya tangan Kintani seraya berkata. "Kau pasti tahu
Kintani. Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan yang baik akan
menanti kita. Ketua Partai pasti merestui hubungan kita."
Ageng Sembodo menunggu sambil
menatap paras si gadis di sebelahnya.
"Apa jawabmu
Kintani?"
Tak ada jawaban.
"Aku percaya kau juga
menaruh perasaan yang sarna terhadapku. Hanya halangan diri Kamandaka yang
membuatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah demikian….?"
"Saya tidak tahu
Ageng…" sahut Kintani.
Ageng Sembodo mendekatkan
wajahnya ke wajah si gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyentuh
pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan jari-jari tangannya dari
pegangan Ageng Sembodo.
"Saya letih. Saya
mengantuk. Besok kita harus melanjutkan perjalanan jauh. Sebaiknya kita tidur
saja…"
"Kau pergilah tidur. Aku
akan berjaga-jaga sambil memandangi wajahmu yang cantik…" jawab Ageng
Sembodo.
Ki Rono Bayu memandang pada
Ageng Sembodo dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. "Aku
bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut. Apa yang ada dalam
benak orang ini?"
"Ageng Sembodo, aku
bertanya apa kau tidak mendengar?"
Ageng Sembodo seperti kaget.
Dia berpaling pada orang tua itu seraya berkata. "Maafkan saya. Mohon
pertanyaannya diulangi."
"Saya tadi bertanya
dimana letak goa Kranggan sarang Kamandaka itu?" Suara Ki Rono Bayu jelas
terdengar jengkel.
"Ah… Goa itu rasanya
berada di sekitar tempat ini Ki Rono. Untuk pastinya kita harus menemui
seseorang yang tahu betul letak pastinya. Ikuti saya…"
Ki Rono Bayu dan Kintani
mengikuti Ageng Sembodo yang memacu kudanya menyusuri pantai ke arah timur. Di
saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuah perkampungan nelayan. Di ujung
perkampungan Ageng Sembodo hentikan kudanya di depan sebuah rumah yang saat itu
dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk menebar dari dalam rumah.
"Ini rumahnya," kata
Ageng Sembodo pada Ki Rono Bayu. "Tapi heran, ada apa orang berkerumun di
sini?" Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada salah seorang
yang ada di tempat itu. "Betul ini rumah Suro Ampel?"
Orang yang ditanya mengangguk
dan memandang pada Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan Kintani. Orang-orang di
sekitar situ juga sama memperhatikan mereka.
"Saudara ini siapa?
Apakah bermaksud menemui Suro Ampel pemuka agama di kampung ini?" tanya
orang yang tadi menganggukkan kepalanya.
"Betul," sahut Ageng
Sembodo. "Ada apa orang banyak berkerumun di sekitar sini?" tanyanya
kemudian.
"Ada hal-hal yang tidak
biasa. Sudah dua hari Suro Ampel tidak keluar dari dalam rumahnya. Sejak pagi
tadi ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk kampung menaruh
curiga. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan diri Suro Ampel. Kami tengah
berunding untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke dalam…"
Ageng Sembodo tidak menunggu
orang itu mengakhiri ucapannya. Dia melompat ke hadapan pintu rumah. Sekali
tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur berantakan.
Bersamaan dengan Itu bau busuk yang menjijikkan keluar lebih santar dari dalam
rumah.
Ada beberapa orang yang ikut
masuk ke dalam rumah. Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian
tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak sesosok tubuh di lantai.
Mukanya tidak bisa dikenali karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang
sudah jadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk.
Meski mukanya hancur namun
dari bentuk tubuh serta pakaian yang melekat di tubuh mayat Ageng Sembodo
segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang yang dicarinya dan yang
tahu letak pasti goa Kranggan. Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai
Semeru wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu. Di luar
diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam.
"Tak ada jalan lain. Kita
harus menunggu sampai besok pagi. Besok, kalau pasang surut terjadi, saya rasa
saya bisa mengenali dimana letak goa itu."
Ki Rono Bayu hanya bisa angkat
bahu dengan kesal sedang Kintani menghela nafas panjang. Perjalanan itu begitu
jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.
"Apa pendapatmu
Ageng?" tanya Ki Rono Bayu.
"Apa lagi. Suro Ampel
pasti korban keganasan Kamandaka."
"Apa dosa manusia
itu?" tanya Kintani.
"Kamandaka tidak ingin
dia memberi tahu letak goa Kranggan yang jadi sarangnya," jawab Ageng
Sembodo.
Pantai Selatan luar biasa
indahnya ketika sang, surya menyembul, mulai menerangi bumi dengan sinarnya
yang merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana hamparan permadani emas
yang bergoyang- goyang.
Di tepi pasir Ageng Sembodo
tegak bertolak pinggang. Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu
yang menyembul dipermukaan air laUt yang kini mendangkal dalam keadaan pasang
surut. Sore kemarin gundukan batu itu tidak kelihatan karena pasang naik
menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan Kintani, lalu berkata.
"Lihat, itu satu-satunya
gundukan batu yang menyembul di permukaan laut. Pasti disitu letak goa
Kranggan!"
KI Rono Bayu tertawa mendengar
ucapan Ageng Sembodo itu. "Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan
batu biasa. Mana mungkin ada goa di situ!"
"Kita tunggu saja sampai
beberapa saat lagi. Akan kita lihat kalau air laut sudah sampai ke dasar
batu," kata Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.
Ketiga orang itu menunggu.
Makin tinggi matahari naik, makin dalam air laut turun. Akhirnya sebuah lobang
kelihatan dibawah gundukan batu.
Lobang ini setinggi orang
membungkuk dan lebarnya hanya cukup untuk sesosok tubuh manusia.
"Lihat! Itu pasti
goanya!" kata Ageng Sembodo.
Setengah berlari dia
menghampirl lobang itu dan mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti
kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu menerangi dari arah yang
berlawanan dengan mulut lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu
penurunan. Air laut di dalamnya tertahan oleh sanding batu yang menutupi
setengah dari lobang.
Ki Rono Bayu membungkuk dan
mengintai ke dalam. Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya.
"Ada angin berhembus dari
dalam lobang!" kata orang tua ini. "Pertanda di dalam sana ada
ruangan yang berhubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara laut…"
"Bagaimana Ki Rono
mengetahui udara di sana bukan udara laut?" tanya Ageng Sembodo pula.
"Udara laut saat ini
masih dingin dan mengandung garam. Sedang udara yang kucium terasa hangat dan
berbau embun…"
"Berarti lobang ini
berhubungan dengan darattan!" kata Ageng Sembodo.
"Kau benar. Tapi dimana
dan bagaimana berhubungannya perlu kita selidiki." Ki Rono Bayu berpaling
pada Kinanti.
"Kinanti, kau tunggu di
tempat ini. Jangan ke manamana. Aku dan Ageng Sembodo akan memasuki goa dan
menyelidiki."
Kinanti mengangguk.
"Hati-hatilah dan jangan terlalu lama di dalam sana. Saya merasa tidak
tenang ditinggal sendirian."
Sebenarnya Ageng Sembodo juga
tidak senang dengan tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar mereka berdua
masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan menggerendeng dalam hati
Ageng Sembodo masuk juga ke dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti oleh Ki
Rono Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah kedua orang itu
memasuki lobang, di balik gundukan batu sebelah kanan tanpa diketahui Kintani
bergerak sesosok tubuh tanpa suara.
Begitu hanya tinggal tiga
langkah dari Kintani orang ini melompat dan menyergap si gadis. Dalam kejutnya
dara murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak tetapi mulutnya disekap
hingga dia tidak bisa keluarkan suara sedikitpun. Bahkan nafasnya tertahan
membuat dadanya sesak turun naik.
Untungnya Kintani tidak hilang
akal. Kedua siku tangannya dihantamkan ke belakang.
Bukkkk!
Bukkkk!
Dua siku mendarat dengan keras
di tubuh orang yang menyergapnya. Namun Kintani merasa seperti menghantam
kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak membuat orang yang menyergapnya
bergeming sedikitpun. Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik.
"Kintani, aku memang
sudah menduga kau bakal datang mencariku. Aku memang sudah lama merindukanmu.
Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita tidak akan berpisah
selama-lamanya…"
Dua mata Kintani membeliak
besar. Dia mengenali suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut.
Namun diam-diam ada juga rasa bahagia.
"Jika kau berjanji tidak
menjerit, akan kulepaskan sekapan di mulut dan hidungmu…" Orang yang
menyergapnya kembali berkata.
Si gadis angguk-anggukkan
kepalanya tanda dia mengikuti tidak akan berteriak. Perlahan-lahan si
penyergap lepaskan sekapannya.
Begitu dirinya terasa lepas
Kintani secepat kilat menyambar leher dan rambut orang di belakangnya. Sosok
tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke arah batu!
Tubuh yang dibanting lewat
punggung itu memang jatuh di batu. Namun tidak tergeletak cidera malah sambil
tertawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu. Kintani membalikkan
tubuh siap hendak menghantam. Kini dengan pukulan sakti mengandung tenaga
dalam. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah orang itu. Sepasang
mata mereka saling beradu.
"Ya Tuhan! Benar dia
rupanya!" kata Kintani dalam hati.
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
BIBIR Kintani bergetar ketika
menyebut, "Mas Kaman.
Jadi betul kau tinggal di
sini." Pemuda di atas batu
kembali tertawa. Rambutnya
yang gondrong melambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis meski
pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan destar.
"Kintani, dari ucapanmu
jelas kalian datang kemari untuk menyelidiki…"
"Jadi Mas Kaman telah
melihat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu?"
"Daerah seluas ribuan
tombak ini adalah kekuasaanku. Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku!
Keduanya masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar lagi!"
jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka alias Tangan Halilintar adanya.
"Maksud Mas Kaman mereka
akan menemui ajal?"
"Mereka datang mencari
mati sendirii Mereka bakal mendapatkannya."
"Jangan Mas Kaman. Jangan
dicelakai mereka…" kata Kintani memohon. Dia memperhatikan sepasang mata
pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu lagi. Dulu ada cahaya lembut
yang membuat Kintani merasa sejuk jika dipandang. Saat ini dia menyaksikan betapa
kedua mata itu laksana menyambarkan api yang mengerikan.
"Kalian diutus oleh Ketua
Partai bukan?" tanya Kamandaka.
"Benar sekali. Syukur
kalau Mas Kaman sudah mengetahuinya."
"Apa saja perintah yang
kalian jalankan?"
"Ketua dan juga guru kita
meminta agar Mas Kaman kembali ke puncak Semeru…"
Kamandaka menyeringai. Dia
menengadah ke langit lalu tundukkan kepala dan meludah.
"Enak saja dia memerintah
begitu. Mengapa dia tidak datang sendiri?"
"Mas Kaman jangan bicara
begitu. Dia adalah Ketua dan guru kita!" ujar Kintani.
"Dulu memang aku pernah
menganggap begitu. Menghormati dan mempercayainya sebagai guru dan Ketua
Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku bersumpah akan
membunuhnya!"
"Mas Kaman, apa
sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau kini punya jalan pikiran
dan berucap seperti itu?"
"Tidak ada yang berubah
dengan diriku…"
"Tapi kau melakukan
pembunuhan. Kau menculik dan… dan… mem…"
"Memperkosa!"
sambung Kamandaka tidak sabaran. "Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap
sebagai murid murtad! Murtad! Kamandaka si murid murtad! Sungguh sedap didengar
telinga! Ha.., ha… ha …!"
"Mas Kaman, apakah kau
bersedia ikut bersama kami kembali ke puncak Semeru?" tanya Kintani.
"Mau saja, Kintani.
Tapi…"
"Tapi apa Mas
Kaman?"
"Tak ada yang bakal
membawa aku ke sana…"
"Kami, kami yang akan
membawamu ke sana menemui guru," kata Kintani pula.
Kamandaka alias Tangan
Halilintar tersenyum. "Kalian tak akan pernah kembali ke Semeru. Itu
sebabnya kukatakan tak akan ada yang membawaku ke sana!"
"Jadi Mas Kaman hendak
membunuh kami? Saya adik seperguruanmu di dalam Partai. Ageng Sembodo dan Ki
Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega mem-bunuh kami?"
"Setan atau malaikatpun
jika berseteru dan membenciku akan ku bunuh!" kata Kamandaka.
Perlahan-lahan dia turun dari batu, melangkah di air laut yang dangkal
menghampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka, Kintani selalu
merasakan dadanya berguncang keras. Tapi guncangan itu justru dirasakannya
sangat membahagiakan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah
membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.
"Mas Kaman …Banyak tokoh
silat dari berbagai penjuru tengah mencari Mas Kaman. Mereka semua punya niat
untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke Semeru dan minta ampun
pada Ketua Gamar Senopati…"
"Minta ampun? Aku minta
ampun pada tua bangka keparat itu? Justru dia yang harus minta ampun
padaku!"
"Mas Kaman, mengapa kau
sampai berkata begitu?"
Kamandaka memegang bahu
Kintani. "Ikut aku ke dalam goa. Jangan berani menolak!" Kamandaka
ulurkan tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihatan jengkel.
"Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat layak aku segera membunuhmu!
Tapi aku sadar. Ada sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan sejak dulu
sampai saat ini."
Paras Kintani tampak
kemerahan. "Kalau Mas Kaman masih mempunyai perasaan itu, Mas Kaman harus
mau meluluskan permintaan saya…"
"Permintaan apa?"
tanya Kamandaka.
Dengan suara perlahan-lahan
Kintani berkata. "Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan
benar!"
Kamandaka tertawa. "Kau
rupanya sudah jadi seorang Pendeta atau seorang Ustad atau seorang Resi.
Huh!" Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke mulut
lobang. "Ikut aku!"
"Tidak! Jangan…"
pekik Kintani. Keduanya saling tarik menarik. Tapi Kintani kalah kuat.
Selangkah demi selangkah dia terseret ke arah lobang di gundukan batu. Di
depan lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua matanya sesaat
tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika pemuda itu melingkarkan kedua
tangannya di punggung, memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang
sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia sengaja merebahkan
kepalanya di dada Kamandaka.
"Kau mencintai diriku
Kintani. Aku tahu…" bisik Kamandaka seraya membelai rambut gadis itu.
"Kau akan tinggal di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau dan aku
akan bahagia. Ha …ha…ha…"
"Dia gila berkata
begitu…" kata Kintani dalam hati lalu menjauhkan kepalanya dari dada si
pemuda dan melepaskan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman mau kembali ke
puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya bersedia menjadi istri Mas
Kaman…"
"Kurang ajar! Tidak ada
yang bisa mengatur diriku! Juga tidak kau!" teriak Kamandaka. Tangan
kanannya diangkat ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan itu sampai ke
lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan ke batu, tak ampun
lagi setengah dari gundukan batu besar di laut dangkal itu menjadi hancur
berantakan. Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar.
"Pukulan
Halilintar…" membatin Kintani dengan wajah pucat. Selagi dia terdiam
memandangi Kamandaka, pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis
dipanggulnya di bahu kiri lalu dengan membungkuk-bungkuk dia memasuki lobang
di batu itu. Kintani ingin meronta, ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa
takutnya ada pula bayangan rasa bahagia. Bahagia karena setelah sekian lama
baru kini dia dapat berjumpa lagi dengan pemuda yang selama ini memang
dicintainya dan juga diketahuinya memiliki sifat aneh kalau tidak mau
dikatakan seperti orang kurang waras. Ada bayangan maut pada senyumnya. Ada
kematian pada sinar matanya. Dengan perasaan cinta kasih yang mereka miliki
dapatkah dia merendam semua keburukan dan kejahatan pemuda itu. Dapatkah dia
menguasai Kamandaka?
"Turunkan saya. Saya bisa
berjalan sendiri…" kata Kintani.
"Aku masih kuat
memanggulmu sampai ke ujung bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan sendirl
dan berjanji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai"
Lalu Kamandaka turunkan gadis
itu dari bahunya. Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata mereka
kini bukan lagi berada dalam sebuah goa atau terowongan, melainkan di alam
terbuka. Di sebuah tempat ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek
serta penuh batu-batu besar berwarna coklat kemerahan.
"Di mana kita ini Mas
Kaman?" tanya Kintani.
"Inilah daerah
kediamanku. Sebentar lagi kau akan melihat rumah kita. Kau dan aku akan
tinggal di sana sampai hari kiamat! Ha… ha…ha…!"
Kini rasa takut dalam diri
Kintani melebihi rasa sukanya terhadap pemuda itu. Dia coba mengingat-ingat.
Waktu Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah biasa tapi cepatnya sama
seperti orang berlari. Dia dibawa memasuki lobang yang bagian dalamnya
berbentuk goa atau terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun, kemudian
mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke belakang. Berarti kalau
sebelumnya mereka bergerak ke arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat
setelah melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semak belukar. Sayup-sayup
Kintani mendengar suara deburan ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada
dekat kawasan laut.
Kamandaka mendekat dan
memegang tangan Kintani. "Ikuti aku," kata pemuda ini. "Sebelum
kita menuju ke rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu. Kau datang bersama dua
binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu harus kupersiangi lebih dulu!"
Kintani tahu sekali. Yang
disebut Kamandaka dengan nama binyawak itu adalah Ageng Sembodo dan Ki Rono
Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan mempersiangi yang dikatakan
Kamandaka tadi, semakin dingin tengkuk Kintani. Lengannya di tarik kuat-kuat.
Dia dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat ke atas batu-batu besar. Aneh,
jika dia melakukannya sendiri mungkin belum tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka
pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa sakti hingga tubuhnya terasa
lebih enteng dan dengan mudah dia mengikuti gerakan pemuda itu.
"Nah, itu dia dua ekor
binyawak yang aku katakan padamu!" Tiba-tiba Kamandaka berkata seraya
menunjuk ke depan.
Kintani memandang ke arah yang
ditunjuk. Di dekat sebuah batu besar dilihatnya Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
tengah berdiri sambil memandang berkeliling.
"Binyawak busuk! Kalian
mencariku?! Kalian tahu kalau berani muncul di sini berarti sama saja mengantar
nyawa?"
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
terkejut. Mereka cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup jauh.
Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada di depan mereka. Dan bukan
hanya sendirian! Tapi bersama Kintani!
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
HANYA beberapa saat setelah
Kamandaka alias Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa Kranggan, dua
sosok tubuh berkelebat di tepi pantai dari jurusan yang berlawanan.
Yang pertama adalah seorang
kakek berpakaian serba hitam, bergelang bahar dan kedua tangan dan kakinya. Dia
datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia berhenti sejenak. Matanya
memperhatikan gundukan batu dengan lobang besar di bagian tengahnya yang
terletak beberapa tombak di sebelah depan.
"Pasti ini tempatnyal
Hemm…. Kamandaka manusia bejat murtadl Akhirnya kutemui juga sarangmu! Jangan
harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu orang tua ini
berkelebat. Dia melesat di atas air laksana terbang dan di lain saat dia sudah
berada di atas gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak memasuki lobang
yang menjadi pintu goa. Namun ada sesuatu yang membentur sudut matanya datang
dari arah timur laksana seekor burung Rajawali.
Orang tua ini cepat berpaling.
Dia merasakan ada angin menyambar. Dengan sigap dia hendak memukul. Namun cepat
tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa adanya orang yang ada di
hadapannya.
"Hampir tiga bulan lalu
aku meaemuimu di tempat pertemuan para tokoh silat. Kini kau muncul di sini.
Apa maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!" tanya orang tua
berpakaian dan berdestar serba hitam.
Yang ditanya garuk-garuk
kepala.
"Mungkin kita punya
maksud yang sama, Datuk Alam Rajo Di Langit," Jawab Wiro sambil
menyeringai.
"Bagus kalau begitu.
Ternyata kau memang benar termasuk manusia yang tidak banyak bicara lebih suka
berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar muda!"
"Heh, apa yang hendak kau
peringatkan pada saya Datuk?"
"Jika kita menemui
Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya aku yang berhak turun tangan! Kau jangan ikut
campur!"
"Mengapa begitu?"
tanya Wiro sambil kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Dia telah membunuh
sahabatku Ki Pamilin. Dia juga telah merusak kehormatan anak Ki Pamilin calon
muridku!"
"Terserah saja padamu
Datuk. Kalau kau yang ingin maju, biar aku jaga muntahannya saja!" jawab
Pendekar 212 Wiro Sabeleng.
Datuk Alam Rajo Di Langit
masuk ke dalam goa. Wiro mengikuti dari belakang. Pada saat bagian dalam goa
yang berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan langkahnya. Otaknya
bekerja. "Jika goa ini berputar dan ber balik ke belakang, berarti siapa
saja yang mengikutinya akan menuju kembali ke tepi pantal. Ke arah daratan.
Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang ditutupi oleh bukit-,
bukit batu…"
"Hai! Kau mau ke mana?
Mengapa kembali?!" Datuk Alam Rajo Di Langit berseru ketika dilihatnya
Wiro membalik langkah.
"Datuk jalanlah terusl
Saya mau buang hajat kecil dulu!" jawab Wiro. Begitu orang tua itu
meneruskan perjalanannya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju mulut goa.
Kita kembali pada kejadian
saat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu memasuki goa Kranggan. Semakin jauh masuk
ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa yang tadinya gelap redup kini
perlahan-lahan menjadi terang. Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus
langkah lagi berjalan akhirnya mereka sampai di hadapan semak belukar rapat
yang dari celahcelahnya merambas cahaya matahari pagi.
Ki Rono Bayu singkapkan semak
belukar dan pepohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak
terkejutlah orang tua ini. Ternyata di depan mereka terbentang satu kawasan
bukit batu. Berarti dia dan Ageng Sembodo kini berada di daratan!
"Tipuan sialanl"
maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar dari dalam goa diikuti Ageng Sembodo.
Kawasan daerah berbatu-batu
itu merupakan suatu bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap
Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di datangi orang luar. Udara
terasa sejuk padahal masih dekat pantai.
"Sunyi-sunyi saja…."
bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini menimbulkan rasa tegang di dalam dirinya.
Saat itu kedua orang itu
berada di dekat batu besar. "Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku
merasa pasti ini kawasan yang jadi markas atau tempat bersembunyinya
Kamandaka."
"Perasaan kita sama. Mari
kita mulai menyelidik!" jawab Ageng Sembodo.
Namun baru saja mereka hendak
bergerak mendadak ada suara membentak.
"Binyawak busuk! Kalian
mencariku?! Kalian tahu kalau berani muncul di sini berarti sama saja mengantar
nyawa?!"
Dua orang Ketua Cabang Partai
Semeru Raya itu cepat berpaling. Keduanya langsung terkejut! Di hadapan mereka
kini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri. Tapi bersama Kintani yang
dicekalnya tangan kirinya!
"Kamandaka murid murtad
penuh dosal Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ageng Sembodo setengah
berteriak. Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan gadis yang
dicintainya. Maka diapun kembali berteriak. "Lepaskan peganganmu pada
Kintani. Kintani lekas kemari!"
Si gadis tampak bingung
sebaliknya Kamandaka keluarkan suara tertawa bergelak. "Ageng
Sembodo!" kata Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia yang
terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo sebagai salah satu Ketua Cabang
Partai Smeru Raya, seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih
hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas. Hal ini sudah cukup
membuat Ageng Sembodo tambah mendidih amarahnya.
"Dasar manusia tidak
berbudi tidak punya peradatan! Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri.
Nyawamu masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua Partai!"
"Budi dan peradatan hanya
dipakai oleh orang-orang yang suka pamrih dan gila hormat! Sama dengan dirimu!
Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua orang ini budakmu! Aku
sudah bersumpah untuk menyiangi tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke
puncak Semeru tanpa kulit dan daging!"
Kamandaka angkat tangan
kanannya sementara tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya memandang
membara ke arah Ageng Sembodo.
"Tunggu dulu!" Ki
Rono Bayu cepat membuka mulut. "Kamandaka, kami datang membawa pesan dari
Ketua Partai…"
"Aku tidak perduli kalian
membawa pesan apa dan dari siapa. Pokoknya siapa yang berani menginjakkan kaki
di tempat ini harus mati!"
"Pesan yang kami bawa
itu," kata Ki Rono Bayu meneruskan tanpa perdulikan bentakan Kamandaka,
"ialah membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap Ketua. Aku
percaya, apapun dosa yang telah kau buat di masa lalu pasti Ketua mau
mempertimbangkan hukumannya secara adil!"
Kamandaka menyeringai. "Jadi
kalian berdua tidak lebih dari pada dua kacung pembawa pesani Manusia-manusla
tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang datang menemuiku
kemari!"
"Jangan menghina Ketua
dan jangan keliwat mendesak, Kamandaka!" memperingatkan Ki Rono Bayu yang
tampaknya mulai kesal.
"Kalian berdua begitu
menghormati Ketua Partai Semeru itu! Kalian tidak tahu siapa dia sebenarnya!
Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!"
"Apa maksudmu dengan
ucapan itu?!" Tanya Ageng Sembodo membentak.
"Kau tanyakan saja nanti
pada jin laut tempat mayatmu akan kulemparkan!" jawab Kamandaka. Dia
menarik Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua orang Ketua Cabang
Partai itu. "Saat kalian untuk mati sudah dating!" katanya.
Ageng Sembodo tidak takut dan
menganggap enteng Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi KI Rono
Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul kehebatan ilmu andalan Kamandaka
cepat berkala. "Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka
bagaimanapun kami berdua tidak mau bertindak sendiri sendiri. Kami tetap
menghormatimu sebagal anak murid Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua.
Banyak manfaatnya jika kau mau ikut sama-sama kami ke puncak Semeru."
"Kalau aku datang ke
puncak Semeru, satu-satunya yang aku lakukan adalah membunuh manusia keparat
bernama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!" Kamandaka mundur
satu langkah. Kedua tangannya diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang.
Tapi dia belum merapal aji kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin menjajal kehebatan
ilmu silat tangan kosong kedua Ketua Cabang ini.
Didahului satu bentakan
nyaring, Kamandaka melompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan
ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu Kedua serangan ini
di arahkan ke masingmasing kepala lawan.
Ageng Sembodo yang sejak tadi
sudah tidak dapat menahan amarahnya balas menghantam dengan tangan kanannya ke
arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih bertindak hati-hati. Dia tidak mau
melakukan bentrokan melainkan menghindar ke samping dan setelah membuat
kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan ke arah ulu hati
Kamandaka.
Tiba-tiba Kamandaka hentikan
seluruh gerakannya. Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengembangkan
sayapnya.
Bukkki
Bukkk!
Jotosan Ki Rono Bayu
menghantam ulu hati Kamandaka dengan keras. Begitu juga pukulan Ageng Sembodo
menghajar lengan kiri Kaman- ‘ daka. Tapi pemuda ini sedikitpun tidak
bergeming. Malah sambil menyeringai dia memperhatikan bagaimana kedua
penyerangnya mengerenyit kesakitan.
"Pukul lagi! Cari sasaran
yang paling empuk!" ejek Kamandaka.
Maka kedua lawannyapun tanpa
ampun melancarkan gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka masih
menyeringai. Tiba-tiba dia keluarkan suara bentakan dahsyat.
Sepasang kakinya membuat
gerakan menggeser. Lutut ditekuk. Hantamannya yang pertama mendarat di dada Ki
Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut ini terpekik. Tubuhnya
tersandar ke dinding batu. Dari mulutnya meleleh darah kental. Tulung dadanya
remuk melesak. Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti tidak
dirasakannya.
"Manusia iblisl Murid
murtad keparat!" kutuk Ki Rono Bayu. Dia berpaling pada Ageng Sembodo dan
anggukkan kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru…"
Ageng Sembodo maklum apa yang
dimaksud si orang tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh tenaga
dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini sambil menghimpun tenaga dalam
hati merapal aji kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
saling memberi isyarat dengan mata masingmasing. Lalu didahului suara bentakan
garang kedua Ketua Cabang Partai Semeru Raya ini pukulkan tangan kanan
masingmasing. Dua larik sinar biru menderu laksana lempengan besi panjang
tipis. Siap menggunting dan memutuskan leher Kamandakal
"Pukulan Api Biru!"
seru Kamandaka yang mengenali pukulan sakti itu. Kedua tangannya segera
diangkat. Dua lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan ini segera
berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang ini dilepaskan dua larik cahaya
hitam berkiblat disertai suara meledak seperti suara halilintar menyambar. Hawa
panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu
tenggelam dalam cahaya hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu
ada dua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu terdengar duluan.
Tubuhnya terlempar jauh. Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki
tampak memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi hitam gosong!
Kinanti tidak berani
menyaksikan apa yang terjadi dengan orang tua Kedua Cabang Partai wilayah Timur
itu. Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu lagi menghantam
ke arah Ageng Sembodo.
"Mas Kaman! Jangan bunuh
dia!" pekik Kinanti.
Teriakan Kinanti ini membuat
kamandaka menarik pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup dan
akhirnya lenyap sama sekali.
"Kau inginkan binyawak
ini hidup, baik! Satu nyawa lolos tak jadi apa. Dia boleh pergi agar bisa
memberi tahu pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini. Aku…hek…!"
Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam dadanya! Ketika dia bicara
tadi kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan.
Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kamandaka. Pemuda ini tidak bergerak
dari tempatnya walau memang ada rasa sakit akibat pukulan itu.
Penasaran Ageng Sembodo
lancarkan pukulan lagi secara bertubi- tubi.
"Cukup!" seru
Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya dibabatkan dari samping kiri ke kanan.
Traakk!
Traakkl
Ageng Sembodo menjerit
setinggi langit. Kedua lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai
terbungkukbungkuk menahan sakit. Kamandaka tendang pantat orang ini.
"Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan kira aku tidak akan
membunuhmu. Sekalipun kekasihmu ini meminta aku tidak membunuhmu!"
Paras Kintani tampak menjadi
merah oleh kata-kata terakhir Kamandaka itu.
"Kamandaka!" Ageng
Sembodo berucap. "Hari ini aku mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu aku
akan datang lagi untuk mengambil kepalamu!"
"Kacung Ketua Partal
Semeru Raya!" kata Kamandaka seraya mencekal leher pakaian Ageng Sembodo.
"Katakan pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di sini.
Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul sudah tiba saatnya aku akan
mencarinya untuk minta nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil"
Kamandaka tarik kuat-kuat
leher pakaian lelaki itu lalu melemparkannya ke dinding batu. Karena kedua
lengannya patah dia sama sekali tidak mampu untuk menahan dirinya terbanting ke
batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya ikut menghantam batu hingga tulang
hidungnya patah dan bibirnya pecah!
"Kintani, ikuti aku.
Tinggalkan tempat ini."
Kintani melirik ke arah
Kamandaka. Pemuda ini cepat berkata. "Kalau kau bergerak satu langkah saja
mengikutinya, akan kubunuh!" ancam Kamandaka. Mau tak mau Kintani
terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak.
"Manusia keparat! Aku
bersumpah akan membunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat
pada mayat Ki Rono Bayu. Ingin dia membawa pergi mayat yang gosong hitam itu.
Namun dalam keadaan kedua tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan
sajapun dia mengalami kesulitan dan rasa sakit, mana mungkin dia mendukung atau
memanggulnya. Tersaruksaruk dia tinggalkan tempat itu.
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
KAMANDAKA membawa Kintani ke
puncak bukit batu paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah bangunan
yang bagian depannya berbentuk sebuah goa besar namun atapnya ditata seperti
atap bangunan kayu. Keadaan di sebelah dalam dan bagian luarnya serba bersih.
Ada bau wewangian keluar dari arah goa batu itu.
"Ini rumah kita!"
kata Kamandaka seraya tangannya kembali memegang lengan si gadis. Kintani diam
saja. "Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani."
Baru saja Kamandaka berkata
begitu dari dalam goa keluar dua orang perempuan. Yang satu masih sangat muda.
Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan belas tahun. Satunya lagi
lebih tua namun jelas belum mencapai dua puluh lima tahun. Keduanya memiliki
wajah cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah cara kedua perempuan
itu berpakaian. Apa yang mereka kenakan tidak bisa disebut pakaian karena
bagian-bagian tubuh mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian dada dan
bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.
"Mas Kamandaka! Kami kira
kau akan pergi lama. Ternyata sudah pulang!" Perempuan yang muda berucap.
Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kamandaka ternyata tidak
sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas terlihat diwajah kedua perempuan itu.
"Siapa mereka?"
tanya Kintani berbisik.
"Kekasih-kekasihku,"
sahut Kamandaka. "Tapi mulai sekarang tidak lagi." Lalu pada kedua
perempuan itu Kamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi dari
sini. Jangan coba
kembali!"
Dua perempuan itu tampak
terkejut besar.
"Mas…? Mengapa tiba-tiba
kau mengambil keputusan begitu?" tanya perempuan yang tua.
"Saya tahu!"
menyahuti yang muda sambil melirik pada Kintani. "Mas Kamandaka telah
mendapat seorang kekasih baru yang lebih cantik dari kami!"
"Kalau sudah tahu mengapa
tidak segera minggat?!" ujar Kamandaka melotot.
"Kami… kami bersedia
membagi tempat bersama dia!" berkata perempuan yang muda.
"Di sini tidak ada tempat
lagi bagi kalian berdua. Lekas pergi!"
"Mas Kaman, sebaiknya
biar saya yang pergi!" kata Kintani pula. Lalu cepat dia membalikkan diri.
Tapi Kamandaka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan mendorongnya ke
dalam rumah batu. Pemuda ini kemudian berpaling pada dua orang kekasihnya.
"Kalau kalian tidak mau
pergi jangan menyesal kalau wajah kalian akan kurusak dan kuubah jadi wajah
setan!"
Mendengar hal ini keduanya
jadi ketakutan. Setelah berpandangan sebentar mereka cepat-cepat tinggalkan
tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa Kamandaka kembali
mendekati Kintani. "Sekarang saatnya kita bersenang-senang. Mari masuk ke
dalam."
"Bersenang-senang
bagaimana maksud Mas Kaman?"
"Jangan pura-pura tidak
tahu Kintani. Kau tahu aku suka padamu dan kau mencintaiku! Dua orang yang
bercinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita sekarang merupakan sepasang
suami istri?"
Paras Kintani jadi berubah
pusat. "Saya.. saya tidak keberatan menjadi istri Mas Kaman. Asalkan kita
menghadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua orang tua kita yang
sudah tiada untuk menikahkan kita."
"Kawin pakai nikah segala
kuno!" kata Kamandaka. Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah
diseret masuk ke bagian dalam bangunan batu. Ternyata bangunan itu cukup luas.
Di salah satu bagian terdapat sebuah tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar
jerami lembut. Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu.
"Saya tidak mau Mas
Kaman. Jangan lakukan itu pada saya!" kata Kintani pula.
"Jika bukan mencariku
mengapa kau mau datang jauhjauh kemari?"
"Mas Kaman tadi sudah
mendengar ucapan Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami diperintah Ketua…"
"Lupakan perintah
itu!"
"Saya mohon kita segera
pergi menemui Ketua agar semua persoalan selesai. Kalau tidak seumur-umur Mas
Kaman akan jadi orang buruan Partai."
Kamandakan tertawa gelak-gelak
mendengar hal itu. "Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun
orang-orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku! Mereka akan
segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha memeluk dan menciumi gadis itu.
Kintani cepat menjauh seraya berkata. "Mas Kaman, jika kau betul sayang
padaku jangan perlakukan aku seperti ini…."
"Hmmm…" kedua mata
Kamandaka berkilat-kilat memandang setiap bagian tubuh Kintani. "Jangan
buat aku kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali mendekat.
"Kalau Mas Kaman meneruskan
perbuatan keji ini, saya terpaksa melawan. Lebih baik saya mati berkelahi di
tangan Mas Kaman dari pada dinodai!"
"Begitu? Aku mau lihat
sampai di mana kehebatan murid Gamar Senopati yang satu ini!"
Habis berkata begitu Kamandaka
lalu tanggalkan pakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik
menyaksikan hal itu dan mencoba lari keluar. Tapi Kamandaka berhasil mengejar
dan mendekapnya. Mau tak mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.
Dipukul ditendangi Kamandaka
justru diam saja. Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan
bertelanjang bulat seperti itu seperti tentu saja sulit bagi Kintani untuk
menyerang karena dia sudah tidak kuasa menghindari pandangan yang menusuk mata
itu. Akhirnya dia kembali mencoba tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini malah
dia harus menerima tamparan dua kali berturutturut yang membuatnya terbanting
ke lantai batu. Sebelum dia sempat bangun Kamandaka telah menyergapnya.
Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan Kintani. Gadis ini menjerit
marah dan menyerang dengan kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya
jauh di bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis ditambah dengan
beberapa pukulan yang dihantamkan Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak
tersandar ke dinding. Dia tidak punya daya apa-apa lagi selain menangis ketika
Kamandaka mendukung dan membawanya ke atas tempat tidur batu.
Kamandaka menyeringai. Sekujur
tubuhnya panas terbakar nafsu. Sama sekali tidak ada rasa welas asih dalam
dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah dikasihinya dan balas
menyayanginya. Sesaat lagi Kamandaka akan melakukan perbuatan terkutuknya
tiba-tiba satu bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan mengguntur di dalam
ruangan batu itu!
"Laknat terkutuk! Memang
kau ternyata manusia keji biadab! Kau membunuh sahabatku! Kau memperkosa calon
muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu ke liang narako!"
Kamandaka melompat dari atas
tubuh Kintani. Di hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar hitam.
Sepasang matanya laksana kilatan api. Kamandaka tidak kenal orang ini. Dari
pakaian serta bentuk destarnya jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya
dia jelas orang seberang.
"Ucapanmu seperti
malaikat! Tapi kulihat tampangmu seperti setan!" kata Kamandaka mengejek.
Orang tua di depannya tertawa
pendek. "Orang mau mampus memang suka bicara ngacok!" katanya.
"Coba den lihat dulu jantungmu!" Si orang tua bergerak sedikit. Tapi
tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada kiri Kamandaka. Jari-jari
tangan membuat gerakan mengeruk. Si pemuda terkejut dan cepat berkelit.
Serangan lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu lebur. Berpaling
ke kiri Kamandaka melihat bagalmana serangan berupa cengkeraman orang tua
berpakaian hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu kini tampak
lobang sedalam seperempat jengkal!
Kamandaka sadar kalau
terlambat saja tadi dia menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel
lawan berdestar hitam bergelang bahar itu! Meskipun demikian dia tidak takut.
Sambil menyeringai Kamandaka maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di
depan dada tapi dia masih belum mau merapal aji kesaktian Halilintar. Didahului
oleh suara seperti harimau menggereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua
tangannya dipukulkan serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam Rajo Di
Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin yang menyambar bukan olah-olah
dahsyatnya. Bukan saja pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar.
Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari Andalas ini rubah
kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki
kanannya melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang kanan Kamandaka
dengan tepat.
Selagi Kamandaka terpental ke
dinding lalu melosoh ke lantai batu, kesempatan ini dipergunakan oleh Kintani
untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas tempat tidur batu dia masih
sempat menyambar pakaiannya. Di luar sadar dia lari keluar bangunan batu dalam
keadaan masih bertelanjang bulat!
Meskipun tendangan Datuk Alam
Rajo Di Langit sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun Kamandaka
sama sekali tidak cidera. Bahkan rasa sakitpun hampir tidak terasa karena
terlindung oleh kesaktian yang dimilikinya.
Ketika dia tegak kembali di
hadapan sang Datuk, sepasang matanya tampak beringas ganas.
"Anjing tua. Bersiaplah
untuk mampus!"
"Kanciang! Binatang!
Waang yang akan mampus lebih dulu!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. Lalu
tangan kanan dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar, menebar bau aneh.
Jika lawan sempat menghisap bau aneh itu tubuhnya serta merta akan jadi lemas
dan jatuh tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan lawan itu. Dengan
cepat dia menyilangkan kedua lengannya dan merapal aji kesaktian Pukulan
Halilintar hingga sepasang lengan itu menjadi hitam. Begitu lengan yang
bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar suara menggelegar seperti
halilintar menyambar. Ruangan batu itu seperti hendak runtuh! Hawa panas
menghampar dan dua larik sinar hitam menderu ganas, menyambung dan
meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam Rajo Di Langit. Orang tua ini
terdengar menggerung keras. Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh
melingkar di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak memutih lalu
berubah hitam mengepulkan asap mengerikan.
Kamandaka bergegas keluar dari
banguanan batu. Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam hati. Dia
melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu ditendangnya hingga tubuh hitarn
gosong itu terpental dan bergulingan ke bawah bukit batu.
Kamandaka melompat dari satu
batu ke batu lainnya. Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok
tubuh dibalik pepohonan dan berbatu. Secepat kilat dia bergerak ke arah sana.
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
KARENA tidak mengikuti
terowongan, Pendekar 212 Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam Rajo Di
Langit. Namun sebelum naik ke puncak bukit di mana tempat kediaman Kamandaka
alias Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng murid Eyang
Sinto Gendeng itu melihat dua orang perempuan berlari dari atas’ bukit. Walau
heran melihat ada dua orang perempuan turun dari atas bukit, sebenarnya Wiro
tidak; mau perduli. Namun dia jadi tertarik sewaktu menyaksikan bagaimana
pakaian yang dikenakan kedua perempuan itu sama sekali tidak dapat dikatakan
pakaian. Karena hampir tidak satu bagian tubuh merekapun yang tertutup utuh
oleh pakalan itu!
Wiro cepat memintas dan
menghadang dekat sebuah batu besar.
"Hai!" serunya.
"Kalian ini bidadari yang turun dari langit atau setan-setan penunggu
bukit batu ini yang tengah mencari tempat untuk buang hajat!"
Dua orang gadis terkejut.
Sambil berpegangan mereka hentikan lari. Melihat yang menegur ternyata seorang
pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakapcakap konyol, rasa kejut mereka
jadi sirna. Yang tua berbisik pada kawannya.
"Boleh juga yang satu
ini…"
"Aku lebih suka dia dari
pada Kamandaka keparat itu!" bisik yang muda.
"Kenapa bicara sendiri
dan tidak menjawab?" tanya Wiro.
Sambil menahan tawa yang tua
berkata. "Mulutmu enak saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini
ada bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan penunggunya! Tapi
yang jelas di atas sana ada iblis doyan perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat
yang baru yang lama ditendangnya!"
"Tadi kudengar kalian
berbisik menyebut nama sese-orang. Kamandaka… Benar?!"
Dua perempuan itu mengangguk.
"Dia ada di atas sana?
Kediamannya di atas sana?!"
Dua yang ditanya lagi-lagi
mengangguk.
"Kalau begitu aku harus
segera menuju ke sana," kata Wiro pula.
"Tunggu dulu!"
Perempuan yang tua berkata. "Jangan berani-beranian naik ke atas puncak
bukit. Kami saja hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni puncak
bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa bercinta suatu ketika tapi di lain
saat dia bisa membunuh seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami hampir saja
jadi korbannya!"
Yang muda cepat menyambung.
"Dari pada pergi ke atas sana, lebih baik turun bersama kami. Aku suka
saja kau mau bawa ke mana!"
"Aku juga!" kata
perempuan yang satu lagi.
Pendekar 212 jadi garuk-garuk
kepala. Dia harus mengakui kedua perempuan itu berparas cantik dan
bagianbagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.
"Kalau kuikuti rayuan
mereka, urusanku bisa kapiran!" membatin murid, Sinto Gendeng.
"Begini saja," katanya. "Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang
di atas sana tidak membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!"
"Siapa sudi menunggu
datangnya mayat!" jawab perempuan yang tua karena dia sudah merasa pasti
Wiro akan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang boleh menginjak
tempat kediamannya. Kedua perempuan itu cepat tinggalkan tempat itu. Wiro
pandangi mereka dari belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan
geleng-geleng kepala.
Belum lama dia meneruskan
menaiki bukit batu itu tibatiba dia melihat lagi seorang perempuan dengan
rambut tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar matahari membuat
tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiaukilau. Dia lari sambil membawa
pakaian.
"Aneh, ada lagi seorang
perempuan turun dari atas bukit. Yang satu ini malah telanjang polos!"
Ketika perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu besar, Pendekar 212
cepat mendekati. Didapatinya di balik batu itu perempuan tadi tengah mengenakan
pakaian. Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di beberapa
tempat. "Siapa pula yang satu ini?" pikir Wiro lalu dia mendehem
keras-keras.
Gadis di balik batu tersentak
kaget. Ketika dilihatnya pemuda gondrong itu mendatangi sambil tersenyumsenyum
dia menjadi curiga dan marah.
"Pemuda kurang ajar! Kau
mengintai orang berpakaian!"
"Maaf Saudari. Jangan
salahkan aku kalau sampai berada di tempat ini. Kalau tidak ada sesuatu yang
luar biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu mengapa berpakaian
di tempat terbuka ini dan mengapa pakaian yang kau kenakan robek-robek? Siapa
kau Saudari? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tadipun aku melihat ada dua orang
perempuan lari dari atas bukit dengan pakaian tidak senonoh!"
Karena orang bicara dengan
baik dan mengatakan apa adanya, perempuan itu yang bukan lain adalah Kintani
jadi mengendur amarahnya. "Aku Kintani, anak murid Partai Semeru
Raya."
"Berarti kau adalah
saudara seperguruan dengan orang bernama Kamandaka itu!"
"Ya, tidak salah.
Orangnya ada di atas bukit batu sana. Baru saja dia membunuh salah seorang
Ketua Cabang Partai. Saat ini dia tengah berkelahi melawan seorang tua
berpakaian serba hitam."
Secara singat Kintani lalu
menerangkan apa yang dialaminya, mulai dari saat dia disergap oleh Kamandaka
di depan mulut goa Kranggan.
"Ah, pasti Datuk Alam
yang tengah dihadapinya…" kata Wiro. Dia segera hendak tinggalkan gadis
itu.
"Tunggu," kata
Kintani. "Kalau kau tidak keberatan, pinjami aku pakaianmu…"
Wiro garuk-garuk kepalanya
tapi ditanggalkannya juga pakaiannya. Lalu diberikannya pada Kintani. Si gadis
segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih besar dari tubuhnya,
dirinya terlindung sampai ke lutut.
"Terima kasih. Aku tidak
akan melupakan kebaikanmu ini." Lalu tanpa menunggu lebih lama gadis itu
segera tinggalkan tempat itu.
Kembali murid Sinto Gendeng
geleng-geleng kepala. Dalam hati dia berkata. "Besar nian rejekiku hari
ini. Melihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang. Yang satu barusan
benar-benar telanjang!"
Ketika Kamandaka sampai di
balik batu, Kintani telah berlalu sedang Wiro juga telah berkelebat menuju
puncak bukit.
"Sialan!" maki
Kamandaka. Dia harus memilih, mengejar Kintani atau menyusul pemuda tak
dikenal yang lari ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang terakhir.
Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan menguntit dari belakang. Walaupun
tingkat ke.pandaian Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga
Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.
Memang murid Sinto Gendeng ini
tidak mau berpaling. Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di
sebelah belakang.
Wiro kerenyitkan kening
sewaktu sampal di depan rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan
menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak bukit. Hidungnya kemudian
mencium bau seperti daging terbakar. Dia memandang berkeliling. Pandangannya
kemudian terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong, menggeletak di antara dua
celah batu besar. Dia lantas ingat pada kematian yang sama dialami oleh Ki
Pamilin, ayah gadis bernama Mintari dulu.
"Korban keganasan Tangan
Halilintar!" kata Wiro dalam hati. "Jangan-jangan ini mayatnya Datuk
Alam, tokoh silat dari pulau Andalas itu!" Wiro merasakan tengkuknya
menjadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan bangunan batu. Baru
saja dia hendak melangkah masuk, sesiur angin menerpa dari samping.
"Hemmm…Si penguntit mulai
menyerang. Aku yakin dia pasti si Kamandaka keparat itu1"
Tanpa berpaling Pendekar 212
lepaskam pukulan Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang menghantam
ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat lalu
menyusul deru angin deras sekali.
Wiro alirkan sebagian tenaga
dalamnya ke tangan kanan lalu memukul ke depan.
Bukkk!
Dua lengan beradu keras.
Murid Sinto Gendeng keluarkan
seruan tertahan. Batu yang dipijaknya laksana amblas dan tubuhnya mencelat
sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar. Tangan kanannya mendenyut
sakit. Ketika diperhatikan lengannya yang tadi beradu keras dengan lengan si
pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum pernah Pendekar 212
bentrokan dan langsung cidera seperti itu. Sewaktu dia memandang ke depan
seorang pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum maut tegak di
depannya. Celakanya manusia ini sama sekali tidak mengenakan pakaian!
Wiro usap-usap lengannya yang
cidera. "Heran, apa di bukit batu ini semua orang harus tidak pakai
pakaian!" kata Wiro dalam hati.
"Hemmmm… Ternyata
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" kata pemuda di depan Wiro.
"Sialan! Bagaimana kunyuk
ini mengenaliku!" tanya Wiro dalam hati. Dia lupa saat itu dia sama sekali
tidak mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya terlihat dengan
jelas.
"Nama besarmu
menggetarkan delapan penjuru angina! Kau memang salah seorang tokoh silat yang
aku cari! Kau beruntung masuk dalam daftar kematianku, Pendekar 212! Tapi
sebelum mati aku ingin melihat pukulan saktimu yang bernama pukulan sinar
matahari itu!" Habis berkata begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak.
Murid Sinto Gendeng balas
tertawa tak kalah kerasnya.
"Tadi malam aku
bermimpi!" katanya sambil cengar- cengir. "Aku melihat kau terbang ke
langit. Kepala ke bawah dan pantat menungging ke atas.
Ada sederetan dibadari
menunggumu di lapisan langit pertama. Namun pengawal penjaga bidadari
mengusirmu karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini. Memalukan! Dan
yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang sehabis berak belum sempat cebok
alias ngepet! Ha…ha…ha…ha…!"
"Jahanam, berani kau
mempermainkan aku!" terlak Kamandaka marah. "Tunggu aku di sini.
Jangan berani pergi!" Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalam bangunan
batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah mengenakan pakalan biru dan kain
pengikat kepala yang juga berwarna biru.
"Ah, ternyata kau tidak
jelek-jelek amat!" Wiro sambut kedatangan Kamandaka dengan ejekan itu.
"Tapi di balik tampangmu yang cakap aku melihat bayangan iblis. Bayangan
mahluk berhati seribu keji seribu jahat!"
"Jahanam! Jangan pidato!
Keluarkan pukulan sinar mataharimu!" teriak Kamandaka.
Wiro tenang saja. Diam-diam
dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dia tahu apa maksud lawan menantangnya.
Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti Kamandaka akan mengeluarkan
pukulan Halilintar. Wiro maju dua langkah. Dia masih penasaran karena dalam
gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka diapun berkata.
"Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau bukan saja seorang murid murtad,
tapi juga bodoh! Selagi digembleng di puncak Semeru katanya kau merupakan murid
paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul begitu sobat?"
"Anjing kurap! Aku bukan
sobatmu!" teriak Kamandaka. "Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku
benar-benar se-orang bodoh!"
Belum lagi selesal ucapan itu
dua jotosan beruntun menderu ke arah dada dan kepala Pendekar 212. Sekali ini
karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam maka Wiro menangkis serangan
lawan dengan pukulkan kedua lengannya ke atas.
Bukkkk!
Bukkkk!
Kalau tadi Pendekar 212 yang
terpental dan berseru kesakitan maka kali ini Kamandaka yang mencelat sampai
dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah gelap menahan sakit dan
amarah. Kedua tangannya seperti tanggal.
"Jahanam…"
serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan. Serangan
berantai yang dilancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangannya bukan
saja menjotos dan memukul tetapi juga mencakar. Satu cakaran sempat melukai
dada kiri Pendekar
212. Tiga guratan dalam yang
mengucurkan darah terlihat di dada itu.
Diam-diam Wiro memuji
kehebatan pemuda yang jadi lawannya ini. Belum pernah dia digempur sehebat itu.
Ilmu silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup dipakai untuk
bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari
Tua Gila di pulau Andalas.
Kamandaka menjadi heran dan
juga kalap ketika sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau
menendang, menyentuh lawanpun dia sepertl tidak mampu! Padahal gerakan silat
yang dilakukan Wiro seperti orang main-main, seperti orang mabok! Malah dua
tiga kali jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya menimbulkan rasa
sakit yang memanggang amarahnya.
"Jahanam! Baiknya
kuhabisi pemuda keparat ini sekarang juga!" Pikir Kamandaka. Lalu dia
melompat ke atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata menatap tajam ke
depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke atas. Dua
lengan saling bersilangan. Mulut bergerak-gerak.
Di bawah sana Pendekar 212
melihat kedua lengan lawan berubah menjadi hitam.
"Setan alas Itu hendak
lepaskan pukulan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat
tangan kirinya untuk membentengi diri dengan pukulan benteng topan melanda
samudera.
Tangan kanan digerakkan ke
depan. Pada saat kedua lengan Kamandaka berubah menjadi hitam, lengan kanan
Wiro juga berubah memancarkan sinar putih perak menyilaukan!
Kamandaka menyeringai melihat
hal itu. Ada semacam rasa senang dalam hatinya untuk mencoba pukulan sakti
setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama mendengar kehebatan pukulan
Sinar Mataharl. Kali ini dia akan membuktikannya sendiri. Dua lengan yang
bersilang tibatiba dilepas. Serentak dengan Itu terdengar suara seperti
halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam menggebubu ke arah Pendekar
212 membawa hawa panas luar biasa!
Tenang tapi ada juga rasa
tegang di lubuk hatinya murid Eyang Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri. Pukulan
benteng topan melanda samudera menderu membentengi dirinya. Dari tangan kanan
dia melepas pukulan sinar matahari. Sinar putih menyilaukan seperti membelah
langit. Udara sepanas di neraka.
Dentuman keras seperti gunung
meletus laksana hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar hitam
yang keluar dari tangan Kamandaka beradu dengan sinar putih pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro. Masingmasing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan tubuh
laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan sinar putih laksana dua ekor
naga mengamuk berkelahi bergulung-gulung.
Tiba-tiba Wiro merasakan kedua
kakinya goyah dan dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa pukulan Benteng
Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak mampu menahan hantaman
pukulan Halilintar!
"Celaka!" teriak
Wiro dalam hati. Terbayang di depan matanya tubuh Ki Pamilin dan tubuh Datuk
Alam yang menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib yang bakal
diterimanya saat itu!
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru.
"Mas Kaman! Saya bersedia
jadi istrimu asal, jangan bunuh pemuda itu!"
Kamandaka kenal betul suara
itu. Suara Kintani. Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan oleh
Wiro karena lututnya yang goyah kembali pulih. Namun dia belum mampu
menyelamatkan diri dari tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar
putih pukulan Sinar Matahari semakin redup tenggelam dalam sinar hitam pukulan
Halilintar. Sesaat sebelum sinar putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212
keluarkan seruan keras. Tubuhnya melayang ke bawah bukit, berlindung di balik
sebuah batu besar. Wuss!
Pukulan Halilintar menderu.
Batu besar tempat Wiro berlindung kelihatan mengepul putih lalu berubah menjadi
hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar 212 selamat dari
serangan maut itu namun dirinya terpental jauh terkena hempasan angin pukulan.
Wiro terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar. Di keningnya ada
luka yang mengucurkan darah. Dadanya mendenyut sakit seperti dihimpit batu
besar. Dari mulutnya meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit batu dalam
keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar dilihatnya ada seseorang
berlari ke arahnya, bersimpuh di sampingnya dan meletakkan kepalanya di atas
pangkuannya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya. Menyusul suara
orang tertawa cekikikan.
"Anak setan!" Ada
suara memanggil memaki. "Itulah akibat kalau malang melintang
terus-terusan. Tak pernah muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian
manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu ltu ke itu juga! Sekarang
kau rasakan sendiri bagaimana rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik…
hik!"
Di dunia ini hanya ada satu
orang yang memanggil dirinya dengan sebutan "anak setan". Orang itu
adalah gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat satu kekuatan,
Wiro bangkit dari haribaan orang yang memangkunya. Orang yang memangku
berkata. "Tidur saja. Kau terluka di dalam cukup parah!"
Wiro tidak perdulikan. Dia
mengenali itu adalah suara Kintani gadis yang dipinjaminya baju. Dia tetap
bangklt bahkan berdiri. Dia memandang ke depan. Benar, memang dia. Gurunya!
Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut.
"Eyang, maafkan muridmu
yang selama ini tidak pernah meminta petunjukmu! Soalnya murid tidak mau
menyusahkan Eyang…"
"Ah, itu kan cuma ucapan
seseorang yang pura-pura menyesal! Sudah tutup dulu mulutmu!" Nenek tua di
depan Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut Wiro. "Telan cepat
kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat sebesar jempol kaki itu dengan
susah payah ditelan juga oleh Wiro. Kintani kemudian menopang punggungnya,
menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat kini tampak mulai segar
kembali. Perlahan-lahan dia berdiri.
"Nah kowe sudah sembuh!
Ayo ikut aku ke puncak bukit! Ada tontonan menarik yang bakal kita
saksikan!" kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di situ
tegak seorang gadis jelita, berambut diikat buntut kuda. "Kau sudah siap
Mintari? Tabahkan hatimul"
Gadis itu ternyata adalah
Mintari, anak Ki Pamilin yang bergelar Tangan Baja. Si gadis menatap ke arah
Wiro, pemuda yang dulu menolongnya.
"Heran, bagaimana dia
bisa muncul bersama Eyang?" Who bertanya dalam hati.
Sinto Gendeng maklum apa yang
ada di benak . Wiro. Maka diapun berkata. "Saat, ini dia bisa kau anggap
sebagai adik seperguruanmu, Wiro. Kalau urusannya nanti sudah selesai dia
kembali ke asalnya. Bukan saudara seperguruanmu lagi karena dia memang tak
pernah kuangkat sebagai murid!"
"Saya tidak mengerti
Eyang…"
"Nanti kowe juga bakal
mengertil" jawab Sinto Gendeng.
Di kejauhan tampak ada empat
orang naik ke puncak bukit batu. Gerakan mereka sebat dan cepat.
"Tontonan menarik akan
segera mulal. Ayo ikut aku ke puncak bukit!" kata Sinto Gendeng. Keempat
orang itu segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari sengaja
mengapit Wiro yang keadaannya masih agak lemah.
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
DI PUNCAK gunung Semeru pagi
itu Ketua Partal Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti duduk
dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang wilayah Barat dan Ageng Seto Cabang
wilayah Utara. Lalu ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya
hampir mendekati para Ketua Cabang.
"Malam tadi saya
bermimpi. Ada dua ekor burung merpati jatuh di pangkuan saya. Yang satu tidak
bernafas lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya patah dan
kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati di pangkuan saya."
Sang Ketua diam sesaat lalu
meneruskan bicaranya. "Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun
setiap mimpi mempunyal takbir dan maknanya sendirisendirl. Dua saudara kita
Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh
kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertanda buruk bagi kita. Jangan-jangan
telah terjadi sesuatu dengan mereka…"
"Kalau Ketua mengizinkan,
saya akan turun gunung untuk menyelidik," berkata Ageng Seto.
Lama Ketua Partai Semeru Raya
itu terdiam. Akhirnya dia berkata. "Saat ini saya merasa harus pergi ke
goa Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu keadaan dua Ketua
Cabang itu, juga untuk langsung mencari Kamandaka murid sesat dan murtad
itu."
"Saya akan mendampingi
Ketua," kata Ageng Seto pula.
"Saya jugal" kata
Rana Tumalaya.
Dua anak murtad murid tingkat
tinggi yang ada di situ mengatakan hal yang sama pula.
"Tidak semua bisa pergi.
Harus ada yang menunggu d! sini guna mengurus segala sesuatunya," kata
Gamar Senopatri pula. Dia berpaling pada Ageng Seto. "Kau punya
kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau harus tahu apa yang
terjadi dengan adikmu Ageng Sembodo."
"Terima kasih atas
kepercayaan Ketua membawa saya," Ageng Seto merasa gembira.
"Kalian berdua juga ikut
saya," kata Ketua Partai selanjutnya seraya menggoyangkan kepala pada dua
anak murid Partai. Kedua orang ini menundukkan kepala sambil mengucapkan
terima. kasih. "Dan kau Dimas Rana Tumalaya. Kau terpaksa tinggal untuk
menjaga dan mengurus segala sesuatunya selama kami pergi."
"Akan saya laksanakan
dengan sebaik-baiknya Ketua," jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya
sebenarnya ingin sekali pergi mendampingi Ketua Partai.
Beberap hari kemudian
rombongan dari gunung Semeru itu sampai di pantai Selatan di mana terletak goa
Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa dan mengetahul bahwa
terowongan di dalamnya membalik ke arah daratan, Gamar Senopatri membawa
membawa orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat hingga akhimya
sampai di bukit batu. Pada saat yang bersamaan Eyang Sinto Gendeng dan Mintari
sampai pula di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas untuk menuntut balas
atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang dilakukan Kamandaka atas
dirinya. Seperti dituturkan sebelumnya Eyang Sinto Gendeng telah menculik
Mintari selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis malang Ki Pamilin
ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit Slarong. Di sini Mintari diberinya
pelajaran meningkatkan kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya ilmu sakti
pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si nenek pada Mintari memiliki
kekuatan lebih hebat dad pukulan Sinai Matahari yang telah diwariskannya pada
muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng menyadari bahwa pukulan
Sinar Mataharl yang lama tidak bakal sanggup menumbangkan pukulan Halilintar
yang dimiliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya maka Eyang Sinto
Gendeng hanya memberikan kemampuan memiliki selama tiga puluh had pada
Mintari. Selewatnya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan
sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa mempergunakan ilmu kesaktian itu
satu kali saja.
Di puncak bukit batu Kamandaka
tampak melangkah mundar-mandir di depan rumah batunya.
Hatinya geram sekali. Kalau
saja tadi Kintani tidak muncul dan mengganggu pemusatan pikirannya, pasti
Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya sampai gosong dengan pukulan
Halilintar. Kini pemuda itu lenyap di kaki bukit. Kintani sendiri melarikan
diri entah ke mana. Rasa geram semakin membakar dirinya ketika dia membayangkan
tubuh Kintani yang sudah siap untuk ditidurinya!
"Jahanam! Keparat!"
maki Kamandaka.
Selagi dia memaki-maki begitu
dari arah Barat lereng bukit batu dilihatnya ada empat orang lelaki muncul
mendaki. Di sebelah depan… Kamandaka segera mengenalinya dari pakaian yang
dikenakannya.
"Jahanam itu akhirnya
muncul juga!" katanya. "Segala urusan akan kuselesaikan hari ini!
Akan kubuka kedok busuk bangsat itu!"
Tiba-tiba ekor mata Kamandaka
melihat ada gerakan lain di lamping Timur bukit batu. Di jurusan ini juga ada
empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenek dan satu lagi seorang
pemuda yang dari jauh segera dikenalinya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sedang salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah Kintani.
"Manusia-manusia celaka!
Semua akan kubikin mampus!" kertak Kamandaka dalam hati. Lalu dia
melompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua kakinya merenggang
sedang kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itu
sampal sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas pentang suara.
"Selamat datang
mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di antara kalian yang ingin mampus lebih
dulu?!"
Paras empat orang dari gunung
Semeru tampak berubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang anggota
rombongannya tenang-tenang saja malah ada yang menyengir-nyengir!
Ketua Partai Semeru Raya
menatap paras Kamandaka sesaat lalu melirik ke samping. Dia terkejut ketika
mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa Kintani berada bersama
rombongan si nenek. .
"Kamandaka, kami datang
jauh jauh bukan untuk mencarI kematian," Gamar Senopatri membuka mulut.
"Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu selangit tembus sedalam
lautan! Berlututlah minta ampun kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman
mati atas dirimu di tempat ini juga!"
Kamandaka tampak melongo. Dia
memandang tak berkesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahanlahan
tampak dia menekuk kedua kaki seperti hendak berlutut. Ternyata pemuda ini
hanya pura-pura saja. Justru ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia
keluarkan suara kentut yang keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa
gelak-gelak!
Dari rombongan yang dipimpin
oleh Singo Gendeng, terdengar pula suara tertawa bekakakan. Itu adalah suara
tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai diri.
Sinto Gendeng mendelik dan
membentak. "Husss! Kurobek mulutmu kalau tidak hentikan tawamu!"
Wiro terpaksa tutup mulutnya.
Kedua matanya melirik ke kiri kanan yaitu ke arah Kintani dan Mintari. Kintani
senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke langit sambil pejamkan mata.
Pasti ada sesuatu yang sangat mempengaruhi dirinya saat itu yakni niatnya untuk
menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan berbisik pada Sinto Gendeng.
"Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu berhasil membunuh Kamandaka, berarti
saya tidak akan pernah membalaskan sakit hati dendam kesumat…."
Si nenek tersenyum. Dia
menjawab. "Tidak satu orang-pun bisa mengalahkan Kamandaka, kecuali kau.
Lihat saja nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani bicara nanti
kutampar!"
Mintari dan Kintani kancingkan
mulutnya rapat-rapat sementara Wiro sambil garuk-garuk kepala berusaha menahan
ketawa hingga mukanya merah sampai ke telinga.
Di sebelah sana empat wajah
orang-orang gunung Cemeru tampak merah kelam membesi.
Gamar Senopatri berkata dengan
suara bergetar tanda dia berusaha menekan amarah.
"Orang yang mau mati
memang suka berbuat tolol! Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu.
Dalam perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo. Dosamu tak mungkin
diampuni lagi Kamandaka!"
"Dari tadi kau bicara
melulu! Kapan kau mau bertindak?!" Kamandaka berkata lantang.
"Saat ini juga murid
murtad!" jawab Gamar Senopatri.
"Bagus! Tapi sebelum kau
membual hendak membunuhku, biar aku bicara dulu. Agar semua orang tahu siapa
dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan semua kejahatan ini! Tujuanku lain
tidak adalah agar satu ketika aku dapat berhadapan denganmu. Kini saat yang
kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan aku yang bakal menerima
kematian. Tapi kau! Sesuai dengan kejahatan dan kebusukan yang pernah kau buat
dua puluh lima tahun silam. Ketika aku baru berusia tiga tahun!" Ketika
berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan telunjuknya ke arah Gamar
Senopatri hingga Ketua Partai ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh tubuhnya.
Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu tertuju pada seuntal kalung baja
putih dengan hiasan kepala seekor singa yang tergantung di leher sang Ketua.
Apa yang diucapkan Kamandaka
tadi tentu saja membuat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan yang lain-lain yang
ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya.
"Gamar Senopatri! Hari
ini kubuka kedok busukmu!" kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung
nama orang tua itu. "Dua puluh lima tahun lalu, di hutan Sasakan kau
pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah pindah dari Kaliurang ke
Sleman. Kepala rombongan itu adalah seorang lelaki bernama Abdi Gontor. Dia
bertindak sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl sebelahnya. Istrinya
bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki berusia tiga tahun berada di bagian
belakang pedati. Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?"
Semua orang saat itu
menyaksikan bagaimana wajah Ketua Partai Semeru Raya tiba-tiba menjadi pucat
pasi seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada suara yang keluar.
Dadanya turun naik.
Di atas batu Kamandaka kembali
membuka mulut. "Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan
ceritaku! Perempuan bernama Widi Sinten itu adalah kekasihmu di masa muda.
Namun dia meninggalkanmu karena ternyata kau punya lebih dari lima orang
kekasih. Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana. Ketika Widi Sinten
kawin dengan Abdi Gontor baru kau sadar bahwa sesungguhnya kau benar-benar
mencintainya. Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa sayangmu berubah
jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau
bunuh Abdi Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis diperlakukan
secara keji begitu Widi Sinten bunuh diri dengan sebilah keris milik suaminya
di tempat itu juga!" Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat
menguasai diri. Tubuhnya bergetar hebat dan suaranya ditelan isakan tangis.
Sesaat kemudian baru dia bisa meneruskan kata-katanya.
"Kejadian itu disaksikan
oleh anak mereka yang berusia tiga tahun. Si anak menangis dan takut. Berusaha
turun dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya membentur tanah hingga jatuh
pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi mengingat apa yang telah terjadi
dengan kedua orang tuanya. Entah karena apa kau kemudian mengambil anak itu,
meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya murid dalam Partal. Selama
lebih dari dua puluh empat tahun ingatannya tentang peristiwa itu menjadi
gelap. Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba dilihatnya
membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di masa lalu itu. Benda itu adalah
kalung baja putih yang melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu
kau membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian dilihat anak yang sama
enam bulan lalu ketika untuk pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu
upacara kebesaran Partai!"
Suasana di puncak bukit itu
hening seperti di pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangan
tegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka berkaca-kaca. Suaranya
bergetar ketika dia menyambung kata-katanya.
"Kau tahu siapa anak itu
Gamar Senopatri? Anak itu adalah aku! Kamandaka! Muridmu yang katamu sudah kau
anggap seperti anak sendiri!"
Semuanya mata memandang pada
Gamar Senopatri. Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya kering.
Di atas kepalanya matahari seperti hanya sejengkal. Tubuh dan pakalannya mandi
keringat.
"Ceritaku belum habis
Gamari Setelah aku tahu kau pembunuh ayahku dan manusia yang merusak ibuku, aku
pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokohtokoh persilatan minta
pandangan mereka apa yang dapat aku lakukan. Tak satu orangpun yang mau memberi
nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka
pengecutl Aku anggap sama saja
mereka itu bersekutu dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu pukulan
Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu kuhabisi satu demi satu.
Gadis-gadis kuculik dan kuperkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu
sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan puncak Semeru,
menghancurkan Partai Semeru Raya dan mematahkan batang lehermu! Orang-orang
persilatan menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid murtad! Mungkin
aku sesat dan murtad. Tapi semua berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih
baik dariku Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti kematianmu sudah di
depan mata! Bersiaplah!"
Tubuh Ketua Partai Semeru Raya
itu tampak berguncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat memegangnya.
"Tinggalkan saya…"
kata Gamar Senopatri pada orang-orang itu. "Menjauhlah. Aku sudah siap
menerima hukumanku!"
Ageng Seto maju ke depan.
"Kamandaka!" serunya. "Kuharap persoalan ini selesal sampai di
sini saja. Kami akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau lakukan nanti
adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!" Habis berseru begitu Ageng
Seto memegang bahu Gamar Senopatri lalu berbisik. "Ketua, mari kita
tinggalkan tempat ini."
Tapi Gamar Senopatri gelengkan
kepala.
Di atas batu Kamandaka tampak
menyllangkan kedua lengannya. Lengan-lengan Itu berubah menjadi hitam.
"Ketua! Awas!"
Kintani berteriak. Tapi terlambat.
Suara seperti halilintar
memekakkan telinga. Bukit batu bergetar hebat. Dua larik sinar hitam menderu
menebar hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai yang berada agak
jauh masih bisa melompat selamatkan diri. Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto
tak mampu berbuat suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan suara raungan
pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya menemui ajal dalam keadaan tubuh
hitam gosong mengepulkan asap. Bau daging terbakar menyesakkan nafas dan mengidikkan
semua orang yang ada di tempat itu.
Untuk beberapa lamanya
Kamandaka masih tegak di atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto
Gendeng berpaling pada Mintari dan berkata perlahan.
"Tontonan bagus sudah
selesai. Giliranmu sudah tiba, Mintari," kata si nenek.
Gadis itu mengangguk.
"Semoga saya berhasil, Eyang "
"Jangan kawatir. Kau
pasti berhasil!" jawab Sinto Gendeng. Lalu dia melangkah menemani gadis
itu sampai lima belas langkah di hadapan batu datar di mana Kamandaka berada
sementara Wiro dan Kintani tetap berada di tempat semula.
Kamandaka menatap kosong
ketika Mintari tegak di depannya. Dia seperti tidak melihat gadis itu sampai
pada saat Mintari berkata dengan suara keras.
"Kamandaka! Kudengar
ceritamu tadi cukup mengharukan. Kau pernah kehilangan ingatan selama lebih
dari dua puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang ingatan atas apa yang kau
lakukan terhadap ayahku dan diriku beberapa bulan lalu?!"
"Heh…. Siapa kau? Suaramu
lantang dan wajahmu cantik!" Otak kotor Kamandaka mulal bekerja rupanya.
"Beberapa bulan lalu kau
membunuh ayahku Ki Pamilin bergelar Tangan Baja. Di tempat yang sama kau
kemudian merusak kehormatanku! Ingat.. ?"
"Ya, aku memang
ingat…" jawab Kamandaka.
"Lalu sekarang apa maumu?
Minta diperkosa lagi?" Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu
seperti dipaksakan. Dia seperti belum dapat melenyapkan keguncangan hatinya
saat-saat menjelang dia menghabisi Gamar Senopatri tadi.
"Kejahatan harus dibalas
dengan keadilan! Keadilan satu-satunya bagimu adalah mati!" teriak
Mintari. Lalu dia angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku
berubah menjadi putih perak dan sangat menyilaukan. Hawa panas terasa mencekam
tempat sekitar situ. Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal itu.
"Gila! Mengapa lengan itu bisa sangat menyilaukan seperti itu. Aku sendiri
tidak mampu berbuat seperti itu. Ah, si Eyang pasti sudah main kayu!
Mengajarkan sesuatu pada orang lain tapi tidak mengajarkannya padaku!"
Baru saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya tiba-tiba ada suara
menglang di telinganya.
"Anak setan! Jangan kowe
berpikir yang bukan-bukan! Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang
malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk memperdalam serta menambah
ilmu kepandaian!"
Wiro melirik ke arah si nenek
yang tegak tak berapa jauh dari tempatnya berdiri. Itu tadi suara si nenek yang
mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala.
Memandang ke depan dilihatnya lengan Mintari semakin memancarkan sinar
menyilaukan.
"Pukulan Sinar Matahari!’
seru Kamandaka dengan nada serta mimik mengejek. "Siapa yang mengajarkan
padamu? Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong sebelah sana!"
Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan seratus orang yang mampu melancarkan
pukulan Sinar Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi pukulan
Halilintar!"
"Takaburmu membawa
celaka!" teriak Mintari. Tangannya perlahan-lahan diangkat lebih tinggi.
"Eh, gadis ini tidak
main-main. Sebenarnya sayang kalau dia harus kubunuh! Tapi apa boleh
buat!" Begitu Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua tangannya di
depan kepala. Kedua tangan itu serta merta menjadikan hitam. Sambil sunggingkan
senyum merendahkan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan memukul ke
depan.
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hitam menderu
dahsyat disertai suara gelegar halihntar. Untuk kesekian kalinya bukit batu itu
seperti diguncang gempa dan langit seperti mau roboh!
Mintarl keluarkan pekik keras.
Tangan kanannya menghantam ke depan. Hawa panas menggebubu. Selarik sinar
putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan bunga api memercik di udara
ketika dua larik sinar hitam bertemu dengan selarik sinar putih kebiruan.
Kedua kaki Mintari tampak
goyang. Kamandaka menyeringai. Kintani dan Wiro menahan nafas. Tapi Sinto
Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya terdengar suara dia menyanyi.
"Kejar terus, tahan terus…. Hitam tak pernah menang dari putih… Kejar
terus, tahan terus… Hitam tak pernah menang dari putih…"
Di udara dua larik sinar hitam
pukulan Halilintar berusaha menggelamkan sinar putih pukulan Sinar Matahari.
Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke belakang hingga
Kamandaka merasakan kedua Iengannya bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian
sebelumnya. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya jadi merah dan
sekujur tubuhnya mandi keringat.
Tiba-tiba Mintari putar
telapak tangan kanannya. Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan
.
Wussss!
Pukulan Sinar Matahari
menggebubu laksana topan prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran
lalu lenyap. Sinar putih terus melabrak ke depan.
"Jahanam!" Masih
terdengar makian Kamandaka. Itu adalah ucapannya yang terakhir sebelum tubuhnya
terseret sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu terbanting ke
dinding batu di samping rumah batu. Untuk sesaat lamanya tubuhnya yang melepuh
matang merah Itu laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu
perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh tergelimpang di atas batu.
Mintari jatuhkan diri dan
tekap mukanya dengan kedua tangannya. Sinar putih menyilaukan pada tangan
kanannya sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu tangan memegang bahunya,
mengira itu adalah Eyang Sinto Gendeng yang memegangnya, gadis ini berkata.
"Eyang, terima kasih. Saya berhasil Eyang. Terima kasih…"
"Eyang sudah lenyap entah
kemana," jawab satu suara. Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan
yang barusan bicara ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Di sampingnya
berdiri Kintani. "Dia sempat berpesan agar aku mengurus kalian berdua. Ah,
bagaimana ini… Kalian kan bukan anak-anak kecil lagi."
Perlahan-lahan Mintari
berdiri. Dia memandang pada Kintani sambil mengusap air matanya. Lalu dia
berkata. "Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali."
"Tapi kami anak-anak
kecil yang nakal. Hingga kau pasti bakal kewalahan mengurus kami!"
menyambung Kintani.
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepala. Lalu dia berdiri di antara kedua gadis itu dan memegang
bahu mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.
"Apa yang kau
tertawakan?" tanya Mintari.
Ditanya begitu sang pendekar
justru malah tertawa gelak-gelak. "Aku ingat ketika kalian kutemui lari
dari puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!"
Kedua gadis itu terpekik. Lalu
cubitan-cubitan menyengat lengan, pinggang dan punggung Pendekar 212 membuat
dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari. Pembalasan dua gadis itu
ternyata tidak sampai di sana saja. Dari belakang keduanya menarik celana Wiro
ke bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah belakang pemuda ini tersingkap
lebar. Sementara Wiro kalang kabut menarik celananya, Mintari dan Kintani telah
melarikan diri ke bawah bukit.
"Anak-anak nakal! Kalau
dapat kukejar akan kuciumi kalian berdua!" teriak Wiro.
Mintari dan Kintani berhenti
lalu lambaikan tangan menggoda. Ketika Wiro mengejar keduanya lari kembali
sambil tertawa terpingkal-pingkal.
TAMAT