Pendekar Bodoh Jilid 41-45

Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu.

Pendekar Bodoh Jilid 41-45

Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.

Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya, maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.

Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.

“Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!

“Kwee Lin, anak jahat! Kau bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah satu matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”

“Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.

Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya.

Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang!

Pada waktu Lin Lin menyerang dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I To-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras, lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang, sedangkan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencongkel keluar mata itu.

Tak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun untuk menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!

Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, biar pun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya.

Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut itu, ia tidak keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!

Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski pun dia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, akan tetapi dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!

Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu.

Sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Dia menjadi nekat dan kembali maju menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali.

Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun bertempur dengan serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan cepat maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.

Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa, “Siancai... siancai….” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong... engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!”

Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur.

Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi, kini Bu Pun Su berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?”

Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di manakah ada perceraian yang kekal?”

“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...”

“Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”

Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhu-nya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari pihak Hai Kong Hosiang.

Pada waktu melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada dan leher gadis itu.

Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak dilihatnya tetapi dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh di atas tanah sehingga dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri.

Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka meski pun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher!

Lin Lin sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.

Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.

Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa. Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.

“Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua tangannya.

Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.

“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”

Bu Pun Su memandang, kemudian melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, lantas diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan dia cepat menurunkan kembali kedua tangannya.

“Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.

“Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”

Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”

“Kehendakku yang harus kau turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!”

Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.

Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika dia meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.

“Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan.

“Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir.

“Kau telah mempergunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su.

“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau dia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha-ha-ha!”

“Hai Kong, demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan, janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada sejenis obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”

“Ha-ha-ha-ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!”

“Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak akan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.

Melihat dan mendengar semuanya ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.

“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”

Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan kekerasan...” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”

“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa Tun-huang.”

“Hanya itukah?”

“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”

“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku tak akan menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam goaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”

Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa Tengkorak.

“Lin Lin kau beristirahatiah dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya.

Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhu-nya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.

Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta pusaka itu telah jatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.

Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai dari pada Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai juga, mungkinkah suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.

Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”

“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”

“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.

“Tidak akan merasa malukah kau?”

“Di manakah letaknya malu? Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”

“Tetapi... tetapi mengapa kau masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.

Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”

Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu…..

Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.

Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik.

An Kai Seng sendiri biar pun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.

Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, dia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.

Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…

Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya langsung menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!

Sejak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Sering kali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!

Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat dia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut pada segala perkataan wanita yang juga bersumpah ‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.

Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.

Akhirnya, ketika pada suatu hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia mendengar gerakan orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain adalah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta dia melepaskan suaminya!

Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini bahwa tanpa terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya itu di depan suaminya untuk menolong suami itu.

Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang selalu menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu.

Semenjak itu, dia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat!

Maka dia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tetapi tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan terpaksa membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.

Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda memang penuh bahaya!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,

“Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggu sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”

Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!

Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!

Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguh pun sumpah terhadap seorang jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!

“Apa bila demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa dia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita juga pergi ke Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”

Lin Lin tidak membantah kehendak Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya dengan ke timur atau ke mana pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam itu mereka berkemas dan tidur di Goa Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana terdapat banyak patung tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang hio-louw.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna kemerahan, sepasang kekasih itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan jauh mengejar suhu mereka menuju Kansu di barat sana. Mereka sengaja hendak meninggalkan tiga burung peliharaan mereka karena selain harus menempuh perjalanan jauh, juga mereka belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah berjalan sejauh sepuluh li, mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi Goa Tengkorak.

Pada saat itu pula, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri di dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.

“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.

Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga.

Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari semakin mendekati maut!

Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia pun segera dapat melupakan kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolong Cin Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa mestinya dialah yang harus memperlihatkan sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi semakin maju saja.

Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena dia maklum bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan dia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak mau melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas…..

********************

Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga goa rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kansu dengan mengambil jalan lain.

Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Ang I Niocu lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang sangat ramai.

Daerah Kansu adalah daerah bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.

Akan tetapi, pada saat Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, dia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang dapat terlihat oleh orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman.

Akan tetapi Ang I Niocu sudah terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka, dia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.

Saat lewat di depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia goa rahasia itu. Dia teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!

Ketika itu dia sedang berjalan menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba dia melihat seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh adalah biar pun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia memegang sebuah cawan perak yang indah sekali!

Pada saat Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.

Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”

Seorang di antara ketiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum dia berkata,

“Kakek sinting, biarlah kami menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong.

Akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki. “Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”

Tiga orang itu menubruk hendak merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.

Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu sudah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!

Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika dia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.

“Kau gagah, ha-ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Dia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.

“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.

Orang gila itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.

Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa sayangnya. Dia lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu hingga ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.

Demikianlah, sambil mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!

Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.

Akan tetapi hanya ada sebuah kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, dia segera mengikuti mereka dengan diam-diam.

Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah perkampungan kecil di mana terdapat banyak rumah-rumah model Turki.

Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan sekali berada tepat di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang Turki.

Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Setelah melihat mereka, ketiga orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa kalimat yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.

Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apa bila ada perlu dengan kami.”

Ang I Niocu terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,

“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”

Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,

“Apakah seorang di antara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”

Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”

Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”

Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil berkata girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”

Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”

Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.

“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa sangat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”

Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya, “Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”

Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari muridku ini.”

“Ahh, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.

Baik Ibrahim mau pun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.

Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.

Bukan main girangnya hati Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan dia akan bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih agak muram wajahnya, kini dia menjadi riang gembira dan berkata,

“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau telah membawa berita yang sangat menggembirakan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.

“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.

Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua golongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan memiliki maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu terus dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi niat mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah Tiongkok!”

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”

Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,

“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda yang memiliki maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.

Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”

Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.

“Ang I Niocu,” Yousuf berkata, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran Muda agaknya sudah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”

Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”

Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.

“Akan tetapi, Lihiap, kini mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”

“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”

Pada saat itu, dari luar masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada Ang I Niocu,

“Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan.”

“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

Akan tetapi Yousuf mengangkat tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para utusan saja, Semua pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”

Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kanglam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.

Yousuf menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.

Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.

“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.

“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.

Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”

Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”

“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”

“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”

Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”

“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!

“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!

“Kami sudah bersiap sedia!”

Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!

“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.

“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”

“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”

Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”

Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”

“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.

Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.....

Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”

“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.

Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”

Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”

Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!

Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,

“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”

Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.

“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.

Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.

“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.

Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!

“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.

Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”

Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.

Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.

Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.

Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.

Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.

Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.

Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,

“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”

Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.

“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.

“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.

“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.

Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”

Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”

Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?

“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”

Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.

Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,

“Mari, mari, majulah!”

Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.

Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!

Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.

Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.

Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!

Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.

Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.

Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,

“Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”

“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”

“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.

Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.

Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!

Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”

Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.

“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”

Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!

Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”

Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,

“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”

“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”

Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!

“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.

Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.

Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!

Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!

Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.

Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.

Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.

Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,

“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”

Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).

Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.

Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”

Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.

Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.

“Runtuh!”

Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.

Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,

“Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”

Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.

“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.

Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!

Pertempuran di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak membantu Sahimba dan kawan-kawannya!

Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak mempergunakan kecurangan.

Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya pula.

Tidak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.

Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,

“Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.

“Sahimba... serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”

Hal yang aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.

“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.

Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.

Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.

Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.

Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.

Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,

“Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”

Yousuf cepat mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.

Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.

Sesudah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.

“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.

Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,

“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”

Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.

Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,

“Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi selamat...?”

“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.

“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”

“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.

“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.

“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”

“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”

“Apa buktinya?”

Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”

Mulai berdebar dada Ang I Niocu.

“Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.

“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”

Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”

Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”

Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”

“Ehh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.

Akan tetapi Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”

“Di mana? Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.

“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”

Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.

Sesudah berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.

Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.

Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.

Mereka berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.

Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,

“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”

Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.

“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.

Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.

“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”

Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”

“Ehh, ehhh, makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!

Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!

Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!

“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!

Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.

“Ahh, ahhh, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”

Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan gesit dan sengit sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya menjadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.

Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.

“Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.

Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.

“Tuan besarmu sedang main-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”

Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan membentak, “Dari mana datangnya bajingan yang kurang ajar?”

Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek,

“Eh, ehh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan seorang wanita.”

Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”

“Banci…! Dia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.

Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”

“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”

Memang laki-laki itu pesolek bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,

“Kakek gila, kau belum lagi tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai!

Dia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat dia langsung mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!

Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.

Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai!

Tadinya Song Kun memandang rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!

Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!

Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”

Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biar pun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.

Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.

Di samping kedua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang mempunyai ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!

Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.

Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung Nelayan Cengeng menyambar, dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi nekat itu tidak melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!

Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!

Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar biasa sehingga colekan itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!

Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Dia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!

Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras.

“Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”

Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang.

“Suheng...!” katanya.

Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang lelaki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dengan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.

“Song Kun, sesudah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie Kong Sian adanya, berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku menyebut Suheng kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu kalah olehku? Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggung jawabnya! Kau peduli apakah?”

“Dasar batinmu yang amat rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”

“Ha-ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!”

Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lantas menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.....

Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras hingga ilmu kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu itu akan putus.

Karena ini, untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.

Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.

Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,

“Lie Kong Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”

Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.

“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.

“Memang Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”

Nelayan Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”

Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”

Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.

“Ehh, bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”

Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”

Kemudian Lie Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.

Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.

“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”

Ma Hoa memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.

“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”

Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.

Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!

“Sekarang tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”

Semua orang menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.

“Sebenarnya, tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas saja.”

Demikianlah, mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut…..

********************

Sementara itu, Cin Hai dan Lin Lin masih terus melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang menjadi ‘tawanan’ Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya.

Ternyata bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kansu itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama.

Hai Kong Hosiang yang cerdik itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang sudah menjadi janda. Melihat bahwa Wi Wi Toanio ternyata juga lihai sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!

Cin Hai tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat sehingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan yang menawan Bu Pun Su. Maka beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati batas Propinsi Kansu dan beristirahat dalam sebuah hutan menikmati hawa yang nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang laki-laki dan ketika orang itu datang mendekat, Cin Hai merasa terkejut sekali hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.

“Song Kun...,” katanya dengan dada berdebar karena dia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi pertempuran hebat!

Sementara itu, Song Kun sudah melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan terheran-heran karena dia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang sangat dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supek-nya itu berada pula di situ, akan tetapi ketika melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia segera menghampiri.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan goblok! Sute-ku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”

Cin Hai dapat menduga bahwa yang dimaki ‘anjing penjaga tua’ itu adalah Bu Pun Su suhu-nya, maka bukan kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap, terganti dengar debar marah.

“Song Kun! Siapakah yang kau maki itu?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”

“Kurang ajar! Kau kira aku takut kepadamu?”

“Cin Hai, kau telah merasakan kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai hati yang lemah dan suka menaruh kasihan pada anak-anak kecil. Aku masih ingat bahwa kau adalah Sute-ku sendiri, karena itu aku akan memberi ampun padamu. Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik dari pada kalau kau menjaganya. Kelak bila mana kau ingin menikah, katakan saja kepada Seheng-mu ini gadis mana yang kau sukai, tentu aku membantumu sehingga kau berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga Cin Hai hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan kata-kata!

Akan tetapi, sementara itu Lin Lin sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini mukanya sampai menjadi pucat karena marahnya hingga dia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan matanya kalau mungkin.

“Bangsat rendah, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” seru Lin Lin sambil melompat dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!

Song Kun mengelak dengan mudah sambil berkata, “Sayang, jangan kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu? Lin Lin, ahhh, namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”

Bukan main marahnya Lin Lin mendengar kata-kata ini hingga ia menjerit dan menyerang semakin hebat sambil mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tidak dapat membikin mampus orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan Lin Lin, karena dia maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin memburuk saja.

“Lin-moi, mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa dengan bajingan ini!”

Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang dari pada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar panas Lin Lin terpaksa melompat mundur lantas berdiri dengan mata berapi.

Song Kun kaget melihat bahwa pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai terbabat putus sekaligus!

“Tranggg…!”

Kedua pedang beradu dan berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan memeriksanya. Dia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak karena peraduan itu.

Sementara itu, Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali karena pedangnya ternyata tak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.

“Bangsat! Agaknya kau sudah dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!”

Sesudah berkata demikian, Song Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan cahaya pedangnya yang bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali!

Cin Hai maklum bahwa baru kali ini dia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang kepandaiannya tak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran mereka datang dari satu sumber. Dia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!

Akan tetapi Cin Hai tidak menjadi gentar. Betapa pun juga, intisari kepandaian silat belum pernah diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanya dimiliki oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka, pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.

Song Kun merasa penasaran dan marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia pun menggerakkan pedangnya laksana halilintar menyambar-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi ikut mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya.

Akan tetapi Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan hati-hati. Dia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun, dan maklum pula bahwa sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.

Demikianlah, kedua orang muda itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya.

Song Kun memang amat lincah dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguh pun untuk mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song Kun mau pun Cin Hai merasa betapa baru sekali itulah selama hidup mereka menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan berimbang, baik kepandaian mau pun tenaga.

Lin Lin memandang pertempuran itu dengan hati kagum sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguh pun Cin Hai tidak menjadi terdesak karenanya.

Song Kun yang merasa amat penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.

Inilah semacam ilmu kepandaian yang istimewa dari Han Le Sianjin dan sudah diturunkan kepada muridnya itu. Cin Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan tangan, maka sukar bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan lawannya ini.

Setiap pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal lengan. Akan tetapi sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan cara menggerakkan pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi lengan, sehingga kali ini Cin Hai benar-benar tidak dapat menduga lebih dahulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!

Song Kun maklum pula bahwa Cin Hai tentu sudah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang sakti, yakni ilmu kepandaian mengenal serta mengetahui segala pokok-pokok dan dasar pergerakan ilmu pukulan, karena itu dia sengaja mengeluarkan sabuknya itu untuk mencapai kemenangan.

Dulu suhu-nya, Han Le Sianjin pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat, akan tetapi apa bila Bu Pun Su menghadapi senjata yang digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su sendiri tidak akan dapat menduga sebelumnya ke arah mana sabuk itu akan diserangkan!

Cin Hai betul-betul terkejut ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat digerakkan lagi!

Lin Lin melihat pula hal ini dengan jelas, maka bukan main kuatir rasa hatinya melihat keselamatan kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.

Sementara itu, ketika sabuk merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa mengejek segera menyerang dengan pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan kanannya ke arah dada Cin Hai!

Sebetulnya bukan karena pedang Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan sangat ulet hingga tentu saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekang-nya, pedang yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan bisa membabat putus sabuk itu, biar pun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam senjata besi atau baja.

Biar pun berada dalam keadaan yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau gentar. Secepat kilat dia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri dia menangkis tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian dia menggunakan pantulan pedang untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan.

Sekali sabet saja, sabuk itu terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!

Song Kun terkejut sekali, akan tetapi, pada saat itu terdengar jeritan Lin Lin yang roboh pingsan. Cin Hai cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.

“Lin Lin... Lin-moi... ahhh, mengapa kau berkuatir...?”

Melihat betapa Cin Hai dengan wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jeri. Kini melihat Lin Lin roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.

“Dia kenapakah...?” tanyanya terheran.

Tanpa menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam seratus hari dia akan mati.”

“Apa...?! Dia tidak boleh mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.

Cin Hai mengangguk. “Hanya ada satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua menuju ke barat.”

“Racun apakah itu?”

“Racun Ular Hijau yang jahat dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”

“Tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, aku akan datang menjemput calon isteriku ini!”

Song Kun lalu menyimpan pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena dia merasa gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.

Akan tetapi ternyata bahwa serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka matanya. Ketika dia melihat bahwa dia berada dalam pelukan Cin Hai, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.

“Lin-moi, mengapa kau melanggar pantanganmu?”

“Hai-ko, aku tidak ingat akan hal itu, tadi aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”

Cin Hai tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Walau pun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali dia berani mengganggu kita lagi, akan kuhabiskan nyawanya!”

“Dia di mana, Koko?”

Cin Hai hendak menceritakan apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan hendak kembali menjemputnya kelak! Maka dia lalu menjawab, “Setelah aku berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya dia menjadi jeri dan lalu melarikan diri.”

Lin Lin menarik napas lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa…..

********************

Pada suatu hari, seperti biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan goa-goa Tung-huang untuk memeriksa keadaan goa tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan sekali ini dia dikawani oleh Ma Hoa.

Tiba-tiba dia merasa terkejut sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan goa itu! Dia pun berseru,

“Ma Hoa, celaka, agaknya mereka telah menemukan tempat itu.”

Maka berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain perwira Mongol!

Melihat pihak lawan yang berat dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak ingin berlaku sembrono, karena ia menduga bahwa biar pun goa itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka dapat mencari tahu tentang rahasia untuk membuka lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai dari situ.

Tidak lama kemudian, dari jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain adalah rombongan perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

Pihak Mongol yang melihat kedatangan para perwira kerajaan itu, segera maju menyerbu sehingga terjadilah pertempuran hebat di depan goa rahasia itu. Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran sebab dengan adanya dua fihak yang sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah berat saja.

“Biar...” bisik Ang I Niocu sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biarkan mereka saling gempur hingga binasa seluruhnya!”

Pertempuran berjalan ramai sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu harus melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio!

Sesungguhnya, di antara ketiga pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena pada fihak tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.

Pada saat Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba saja datang rombongan lain dan ketika mereka memandang, mereka menjadi gembira sekali, karena di dalam rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!

Akan tetapi, kegembiraan mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekhawatiran karena ternyata bahwa yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek yang bertelanjang kaki, seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang sangat mereka benci ini berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri bengong saking herannya!

Melihat pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”

Suaranya amat nyaring dan berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apa lagi mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada kakek itu dengan terheran-heran.

Thai Kek Losu beserta kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan ucapan yang halus,

“Kalian ini bertempur bukankah memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam goa ini? Bodoh amat! Untuk apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”

Biar pun sikap Bu Pun Su lemah lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol mau pun pihak perwira kerajaan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.

“Kami yang lebih dahulu mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.

“Tempat ini termasuk wilayah kerajaan, tidak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin dengan suara garang.

Bu Pun Su tersenyum kemudian menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal dari milik rakyat yang dulu dirampok! Dari pada bersitegang dan mencari kebenaran sendiri dengan berperang dan mengorbankan nyawa secara sia-sia, lebih baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”

“Boleh, bolehl” kata Thai Kek Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak memiliki orang-orang lihai. “Kita majukan tiga orang jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.”

Sambil berkata demikian, Thai Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu Pun Su dengan wajah pucat!

“Dia... dia adalah Bu Pun Su yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.

“Kam Hong Sin, kau boleh majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu, akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.

“Aku tidak mau mentaati perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapa pun juga, tak boleh orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada pemerintah!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak menurut pun tak apa! Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh cepat mundur dan jangan mengganggu orang lain!”

Dengan tangannya Thai Kek Losu memberi isyarat kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu agar datang mendekat. Akan tetapi Balaki hanya tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.

“Balaki, kau tidak menurut perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.

Balaki tertawa. “Siapa yang sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”

Thai Kek Losu dan kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi pemberontak?”

“Tutup mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang dengan marah.

Pada saat itu, kembali muncul serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang Turki pengikut Pangeran Muda dengan dipimpin oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga saudara Kanglam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang perwira lain.

Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li beserta kawan-kawannya masih merasa penasaran dan melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu dengan mengerahkan orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka bisa diperoleh, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi. Padahal dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.

Melihat kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang berkata sambil tertawa,

“Nah, sekarang lebih ramai lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak melakukan apakah?”

“Suheng, aku bersama Lok Kun Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak membantu, akan tetapi karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki dan kawan-kawannya.”

“Dan sekarang, kau membawa orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”

Mendengar ucapan suheng-nya itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali sebab dulu suheng-nya minta pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak tahunya sekarang suheng-nya itu telah memilih kawan-kawan lain.

Akan tetapi, oleh karena maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja dan tidak berani membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak mau menerima dengan demikian saja. Ia segera melompat maju menghadapi Hai Kong Hosiang dan membentak keras,

“Hai Kong! Mengingat akan persahabatan di kalangan kang-ouw aku sudah turut turun gunung dengan Sumoi-mu ini karena hendak membantumu untuk sama-sama mencari pusaka berharga. Akan tetapi sekarang kedatangan kami ini tidak kau hargai, bahkan kau hendak mengusir kami. Kau anggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami tak dapat mencari sendiri dengan menggunakan kepandaian kami?”

“Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin, jangan kau menyombong di hadapanku! Apa bila kau hendak mencari harta pusaka itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan supaya kalian turut pula dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, kini semua telah berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago, yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil menundukkan kepala. “Akan tetapi sayangnya di fihak perwira kerajaan agaknya tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”

“Hai Kong, jangan kau sombong!“ Kam Hong Sin berteriak dengan muka merah karena marahnya. “Hendak kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar sampai seberapa jauh. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan kalian, dan hendak kulihat siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu, pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari Kaisar!”

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak teringat bahwa semua orang telah menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”

Sementara itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik sedang mengadakan perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian dia menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.

“Bagus, bagus! Sekarang akan menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu Bu Pun Su berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka bila mana dilanjutkan, tentu akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak dia kehendaki, oleh karena tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka dia segera berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,

“Aku tua bangka jembel hendak bicara dan kalian semua jika akan menganggap bicaraku sebagai suatu kesombongan, apa boleh buat. Dengarkan baik-baik. Untuk menyingkat waktu, kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang tua. Kalau saja aku sampai dirobohkan, terluka mau pun binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”

Tentu saja ucapan ini dianggap sombong sekali sehingga semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.

“Kakek tua! Alangkah sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago dari Mongol dan Turki sebanyak enam orang. Meski pun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”

Juga Siok Kwat Mo-li yang marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami sekalian!”

Memang, menurut kebiasaan di kalangan kang-ouw, orang-orang yang kepandaiannya sudah tinggi biasanya merendahkan diri, oleh karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau akhirnya dia kena dijatuhkan orang lain sehingga kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam maka makin merendahlah dia.

Karena ini, ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali sehingga membuat mereka merasa penasaran dan marah. Akan tetapi mereka belum mengenal adat Bu Pun Su yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tak mengetahui betul adatnya itu.

Bu Pun Su tidak biasa menyombongkan kepandaiannya. Baru nama yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong, akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!

Melihat kemarahan orang-orang itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira sekali karena bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk menambah ‘minyak’ supaya api yang mulai membakar hati mereka itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, maka dia lalu menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,

“Kalau kalian menganggap aku sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa hebat apa bila dibandingkan dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol mau pun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka aku menantang kalian untuk maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”

Benar saja, ucapan ini membuat semua orang menjadi bengong sehingga untuk sejenak mereka tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun Su dengan muka merah.

“Bu Pun Su! Aku mendengar namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah sejak lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua bangka yang sudah pikun dan yang telah menjadi gila dan sombong sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”

Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang dengan senyum simpul dan dia lalu menjawab,

“Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang meja sembahyang!”

Thai Kek Losu marah sekali dan sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu diputar-putar sehingga dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang tengkorak itu terdengar bagaikan suara tangis. Semua orang langsung bergidik dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum dan berkata,

“Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang kau ikat itu?”

Sementara itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apa bila orang sudah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan karena lihainya.

Juga Bo Lang Hwesio ikut menarik keluar senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil bulu kecil saja, namun sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang.

Memang biasanya Bo Lang Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan sepasang tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan kosong saja memang sudah sangat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia maklum bahwa biar pun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia pun sengaja mengeluarkan senjatanya itu.

“Sudah siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”

“Keluarkan senjatamu!” bentak Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong.

“Eh, Thai Kek Losu, bukalah matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?” sambil berkata demikian dia menggerak-gerakkan kedua tangan dan dua kakinya. “Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang berterima kasih kepada Thian namanya?”

Bukan main mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali.

“Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su dengan cepatnya.

Akan tetapi baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah menyingkir terlebih dulu sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.....


Bu Pun Su maklum bahwa ketiga orang lawannya ini merupakan orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya dan tidak boleh dilawan dengan sembrono, maka dia segera mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar biasa dan menghadapi mereka dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dimainkan secara luar biasa sekali.

Kalau Cin Hai yang mainkan ilmu silat ini, maka hanya pada dua lengan tangannya saja yang mengebulkan uap putih. Akan tetapi ketika Bu Pun Su yang mengerahkan tenaga dalamnya mainkan ilmu silat itu, tidak hanya kedua lengannya bahkan seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang melindungi tubuhnya sehingga setiap kali ada senjata lawan mendekati tubuhnya dalam serangan yang dilakukan oleh lawan itu, maka senjatanya itu seakan-akan tertahan oleh semacam tenaga yang luar biasa kuatnya!

Ketiga orang pengeroyok itu menjadi terkejut dan kagum sekali oleh karena selama hidup belum pernah mereka menghadapi seorang lawan yang demikian tangguh, yang dengan bertangan kosong sanggup menghadapi mereka bertiga dan kini ternyata dapat melawan senjata-senjata mereka dengan baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan menyaksikan kepandaian yang seperti ini pun baru sekali ini mereka alami.

Akan tetapi, sebagai tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, mereka merasa malu apa bila memperlihatkan rasa ketakutan, maka mereka memperhebat serangan dan mengerahkan seluruh kepandaian. Tenaga lweekang mereka juga sudah sampai di tingkat yang tinggi, karena itu biar pun beberapa kali senjata mereka kena terbentur dan terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan kedua tangan Bu Pun Su, akan tetapi ada beberapa kali pula senjata mereka berhasil memecahkan pertahanan itu dan hanya berkat kelincahan serta ginkang-nya yang luar biasa saja maka Bu Pun Su dapat terhindar dari bahaya maut!

Kalau dia menghendaki, dengan sekali pukulan tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup menghancurkan tengkorak itu. Akan tetapi oleh karena kakek yang telah banyak pengalaman ini tahu pula bahwa di dalam tengkorak itu tersimpan senjata-senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya sehingga kalau tengkorak terpecah, biar pun ia tidak kuatir akan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi takut kalau-kalau senjata rahasia itu akan menewaskan orang-orang lain di sekitar tempat itu, karena itu maka dia tidak berani memukulnya.

Keraguan ini membuat Thai Kek Losu mendapat hati, bahkan menyangka bahwa kakek jembel itu benar-benar merasa gentar terhadap senjatanya. Karena itu ia memutar-mutar senjata lihai itu makin cepat mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Bu Pun Su!

Ada pun senjata gendewa di tangan Sian Kek Losu menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung garuda yang menyerang kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu berat dan menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya sehingga biar pun Bu Pun Su sudah sangat lihai, akan tetapi sekali saja terkena pukulan gendewa itu pada kepalanya, tentu ia akan mengalami celaka!

Bo Lang Hwesio juga tidak kurang berbahaya. Sepasang poan-koan-pit pada tangannya adalah senjata kecil yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari tubuh kakek jembel itu.

Melihat kelihaian tiga orang lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk bertindak cepat dan menyingkirkan lawan-lawan ini agar dia tidak membuang waktu terlalu banyak. Tiba-tiba saja dia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini.

Pada saat itu, tengkorak di tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah ke kepala Bu Pun Su, senjata gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat sekali menusuk ke arah ulu hatinya, ada pun kedua poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menotok ke arah iganya! Akan tetapi, perasaan kaget tadi sudah membuat mereka agak tercengang sehingga gerakan mereka menjadi lambat.

Bu Pun Su lantas memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk dipercaya oleh orang-orang yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak dari sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan dia lalu mengulurkan tangan kanan serta menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit serta menggunting tali pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara nyaring tali itu putus dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!

Pada waktu itu pula sepasang poan-koan-pit sudah mencapai sasarannya dan menotok tepat di bagian iga Bu Pun Su. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang Hwesio ketika dia merasa betapa sepasang poan-koan-pit-nya itu mengenai tempat yang lunak, seakan-akan dia telah menusuk air saja! Dia cepat menarik kembali poan-koan-pit itu dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua poan-koan-pit-nya sudah patah dua!

Gendewa di tangan Sian Kek Losu yang lebih berat itu datang paling akhir dan dengan kekuatan luar biasa menyambar ke arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti akan tertembus oleh ujung gendewa yang keras dan kuat itu! Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu meniup ke arah muka Sian Kek Losu.

Pada saat angin tiupan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang hebat luar biasa itu menyambar mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit mukanya menjadi perih dan matanya tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia memejamkan matanya dan karena terkejut dan sakit, gerakan tusukannya mengendur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan terlepaslah ia dari ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat membuka mata, Bu Pun Su sudah melompat maju dan sekali dia mengebutkan tangan ke arah tengah-tengah gendewa itu, patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!

Bu Pun Su tidak berhenti sampai di situ saja dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga orang lawannya, mereka merasa ada tenaga yang besar menyambar ke arah dada, maka mereka terpaksa mengangkat tangan menangkis. Akan tetapi, dengan hati heran mereka melihat Bu Pun Su melompat mundur lagi sambil tertawa girang, sedangkan mereka tidak merasa mendapat pukulan.

Selagi tiga orang itu memandang heran, tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri bengong dan bergidik melihat demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa bergelak-gelak.

“Ha-ha-ha! Dengan mudah jago kami sudah menjatuhkan ketiga jago dari Mongol! Thai Kek Losu, kau dan kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian harus mundur dan memberi kesempatan kepada jago-jago lain untuk mencoba kepandaian mereka!”

Thai Kek Losu memandang dengan marah, “Kami memang sudah kehilangan senjata, akan tetapi itu bukan berarti bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan!”

Hai Kong Hosiang kembali tertawa bergelak. “Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan sendiri! Kalian telah mendapat ampun dari jago kami, akan tetapi masih belum mengakui kebodohan sendiri? Lihatlah dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!”

Tiga orang pendeta itu melihat ke arah dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju mereka pada bagian dada sebelah kiri ternyata sudah berlubang! Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa setelah membalas dengan sekali serangan saja, kakek jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang dan kalau saja kakek itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan sendiri!

“Hebat, hebat sekali!” Thai Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa takluk dan aku mengaku kalah.”

Sesudah berkata demikian, Thai Kek Losu lantas memberi perintah kepada semua anak buahnya untuk mundur dan dia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.

“Thai Kek Losu, kau bawalah senjatamu ini dan jangan gunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan mencelakakan dirimu sendiri!” Bu Pun Su berteriak sambil melempar tengkorak itu ke arah Thai Kek Losu.

Thai Kek Losu mengulurkan tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum, “Biar pun aku sudah kalah olehmu, akan tetapi kau tak berhak melarang aku mempergunakan senjata buatanku sendiri!”

Setelah berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Dia telah merasa putus harapan oleh karena menghadapi kakek jembel itu dia tak berdaya dan percuma saja kalau dia hendak melanjutkan usaha mencari harta pusaka. Karena itu dia lalu memimpin anak buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.

“Sekarang jago-jago Turki dipersilakan untuk memperlihatkan kepandaiannya,” kata Hai Kong Hosiang yang merasa gembira sekali karena sebagaimana telah dia duga, dengan adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka dengan sangat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang hendak memperebutkan harta pusaka itu.

Memang, biar pun tanpa bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu dia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti dan juga amat berbahaya.

Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, turut merasa terkejut sekali melihat betapa hebat sepak terjang Bu Pun Su tadi. Akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tak sudi menyerah sebelum mencoba.

Sekarang, mendengar ucapan suheng-nya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lantas mencabut keluar senjatanya yang sangat lihai, yakni sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.

“Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya.

“Majulah, majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka sudah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga amat penasaran. Akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.

Sebenarnya, kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian, maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai, apa lagi senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu sangat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah sangat disegani di Turki dan merupakan tangan kanan yang mendapat kepercayaan penuh dari Pangeran Muda.

Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa goa tempat di mana harta pusaka disembunyikan itu sudah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan goa di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.

Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, dia segera dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.

Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika dia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seolah-olah berubah menjadi banyak bagai ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.

Lok Kun Tojin memiliki sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu. Akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.

Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Dia mempunyai cara bertempur yang aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu. Akan tetapi kini dia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimana pun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.

Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kanglam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu sudah tewas di dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, sudah melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang tangguhnya luar biasa. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus harapan meski pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini, apa lagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.

Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok bertiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li sudah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in Hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan mau pun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan setiap kali bahaya datang dari belakang, tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang.

Dalam permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan serta di belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini dia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik kepada dua kawannya,

“Kalian menyerang dari sisi kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”

Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga, yakni dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan hanya dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena sekarang ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.

Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba dia berseru,

“Siok Kwat Mo-li, kau betul-betul cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”

Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang sudah patah milik dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biar pun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su akan merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lantas menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.

“Lepaskan senjata!” terdengar teriakan nyaring Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu.

Terdengar suara logam beradu keras sekali dan segera disusul oleh pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus.

Ada pun Siok Kwat Moli yang mempunyai lweekang lebih tinggi dari pada kedua orang kawannya itu, masih sanggup mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya walau pun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya itu tak sekuat tangannya sehingga pada saat ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu sudah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.

Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang sangat dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa sehingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang bersenjata, biar pun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!

Siok Kwat Mo-li dan kedua orang kawannya berdiri bengong karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan ketika melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi telah menggunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya sudah sangat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!

Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada waktu itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya.

Ma Hoa dan Ang Niocu memang sangat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.

Melihat keadaan Bu Pun Su yang sangat berbahaya itu, Ma Hoa cepat melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Dia melompat ke depan Bu Pun Su dan cepat sekali dia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkisi jarum-jarum hitam sehingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.

“Ehh, anak lancang, lekas kau mundur! Im Giok, jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.

Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li sambil tersenyum. “Apa bila kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”

Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata mengandung penuh kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.

Sekarang keadaan di situ makin sunyi dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam dia pun sangat kagum terhadap Bu Pun Su. Dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu.

Akan tetapi Kam Hong Sin juga terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapa pun juga ia tak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.

“Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”

Bu Pun Su tersenyum dan di dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.

“Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.

“Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”

Terdengar suara tertawa riuh rendah. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.

“Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha-ha-ha!”

Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan dari pada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tidak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, di dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.

“Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biarlah lain kali bila mana ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”

“Tidak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biar pun aku terpaksa mempertaruhkan jiwaku. Apa bila Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapa pun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”

“Hmm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik supaya kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”

Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia segera mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu dia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur.

Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, dia sudah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hoat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi!

Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun tidak akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada pegangan ini.

“Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.

Kam Hong Sin segera maklum bahwa kakek itu tentu akan menggunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu semakin tinggi di atas punggungnya!

Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya lalu ditendangkan ke belakang dengan perlahan sehingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Saat Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!

Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat sehingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!

“Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja.”

Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walau pun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam dia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!

Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia pun berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Jika demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha-ha-ha,”

Walau pun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Pada waktu Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi sambil mengerutkan keningnya, Bu Pun Su membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”

Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari sana tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat-cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.

Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang ingin mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam goa itu.

“Inilah goa penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.

“Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya goanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.

“Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.

Ia adalah seorang yang sudah memiliki pengalaman luas, maka meski pun tanpa bantuan peta, dia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentulah bukan sengaja dipasang di sana, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang di tengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.

Maka ia lantas menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan segera tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su kemudian menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,

“Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang lekas keluarkanlah obat untuk muridku itu!”

“Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.

Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar sehingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.

“Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”

“Lebih dulu bawa aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil semua harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu sehingga lubang tadi tetutup kembali.

“Benarkah harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.

“Wi Wi, aku adalah seorang lelaki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su amat mendongkol dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka. “Kau lihatlah sendiri, perempuan curang!”

Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lantas melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama dia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.

“Aduhhh, bukan main hebatnya!” katanya sehingga ucapan yang pendek itu sudah cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.

Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”

Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki. Namun ketika mereka datang, para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.

“Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu sedang duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.

“Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.

“Tak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”

Hai Kong Hosiang menjadi pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”

“Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Ia adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”

Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia pun segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku telah memenuhi janjiku untuk mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”

“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”

Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. “Aku harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”

“Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio sejenak tertegun. Alangkah ingin mereka mengejar dan memaksa Bu Pun Su agar mengambilkan harta pusaka itu. Akan tetapi, apakah daya mereka terhadap kakek sakti itu…..

********************

Cin Hai dan Lin Lin yang sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu berhenti untuk beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.

“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.

“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata Suhu gagal, aku masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

Melihat kedua orang itu berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi mereka tempat itu memang kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam goa pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

Akan tetapi oleh karena panas terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka goa di mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita telah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”

“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu sudah mengenal Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

“Obat sudah kudapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

Cin Hai menjadi pucat dan dia memandang penuh ketidak percayaan.

“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.

“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.

“Kau anggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.

“Kau tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau memaksanya menjadi isterimu kalau dia tidak suka.”

Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”

“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat ini dan membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang!

Cin Hai menjadi bingung karena dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

"Jangan kau buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”

“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.

“Soal itu terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat.

Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera mencabut pedangnya Ang-ho Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tidak boleh dipandang ringan itu.

Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan ikut menerjang sambil berseru,

“Song Kun, jangan kau lawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun.

Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya,

“Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya terlampau tangguh itu, apa lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.

Sekali lagi dua orang muda yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebatnya.

Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang sanggup mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal dan jarang sekali menemukan tandingannya.

Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba dia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang.

Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi,

“Jangan lempar botol itu!”

Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada saat yang tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya!

Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya.....

Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

Melihat hal ini, tanpa tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, dia tidak boleh merasa khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak akan mau memberikan obat itu kepadanya. Karena itu dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak,

“Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan juga menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.

Dalam keadaan sabar, gerakan Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam keadaan marah dan menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas seolah-olah seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.

Akan tetapi sekarang Cin Hai tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.

“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka pada jidatnya.

Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.

“Tua bangka!” ia memaki supek-nya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah dia!”

Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata,

“Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”

“Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat pantas apa bila dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan wajahnya tampak bersungguh-sungguh.

Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali.

Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang dan pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu selalu menjalani kehidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna.

Sesudah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah dadanya. Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

Cin Hai memandang ke dalam jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.

Mereka cepat-cepat menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, dia bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru,

“Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”

“Siapa yang menjadi Suhu-ku? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’, satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul persangkaan di dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka dia cepat menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

“Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat, akan tetapi dia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.

“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena dia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.

“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!

Bu Pun Su serta Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.

“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia lalu maju berlutut dan berseru,

“Suhu...!”

Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.

“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.

Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”

Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, dia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.

Lin Lin segera mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkan engkau seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.

Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.

“Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.

Kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol…..

********************

Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dengan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”

“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu muslihatnya sehingga maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia muncul dan sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat yang keji. Marilah kita menyelidiki mereka!”

“Cin Hai tentu tahu akan hal ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah pasti dia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.

Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.

“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan goa besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

Ma Hoa berlari masuk goa dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat,

“Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.

“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”

Akan tetapi Lin Lin yang gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan menjaga diri.

Ma Hoa merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk diduga, maka terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti dengan mudah saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat.

Berkali-kali Ma Hoa berseru, “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”

Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tidak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang terus mempertahankan diri dengan sibuknya.

“Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.

Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit,

“Lin Lin...!”

Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,

“Enci Im Giok...!”

Pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas di dalam pelukannya!

Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tertidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.

Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika melihat bahwa dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian dia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

“Enci Im Giok...”

“Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.

Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

“Enci Hoa... kau juga datang…?”

“Ehh, ehhh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu hebatnya sehingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

Lin Lin memandangnya dengan hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang lagi? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.

Ma Hoa beserta Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa masuk ke dalam goa ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu karena kami pun sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

Lin Lin segera menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun serta mendapatkan obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang menyerangnya itu.

Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan oleh Cin Hai sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.

“Mereka sedang pergi kepada dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang dahulu dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah mempunyai calon.

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.

Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun berbisik,

“Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu kini terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan dia menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

********************

Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”

“Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.

“Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”

“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” dia menjawab.

“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”

“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Aku lalu menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu sudah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, dan karena itu pula kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa itu tidak akan mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.

“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula dia akan terserang hal itu.”

Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

“Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.

“Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak dia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”

Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke goa di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa Tun-huang!

Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat beserta kawan-kawannya itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta pusaka.

Dengan sekali melompat, Bu Pun Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”

Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa itu dengan muka merah karena marah.

“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”

“Apa katamu?!” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.

“Harta Pusaka itu sudah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,

“Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”

Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar lagi kemudian berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

“Kau maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.

“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang yang serakah dan bodoh!”

“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.

Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ.

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta pusaka sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.

Orang ini lalu masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut:

Harta pusaka di goa rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

Tadinya Hai Kong Hosiang bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang menggunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

Mereka ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka mencari Hok Peng Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke goa di mana Lin Lin berada…..

********************

Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Pada saat ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu, Lin Lin?”

Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.

Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”

Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!

Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa kecewa juga mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.

“Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”

Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”

Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua.”

“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya.

Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan goa itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita hanya menganggur. Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa itu, bersemedhi memperkuat tenaga dalamnya…..

********************

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa bila sepekan telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

Kemudian, Kwee An segera menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.

Mereka berdua pergi ke goa-goa Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-penjaga itu, Nelayan Cengeng berkata,

“Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kita?”

“Jangan kuatir, betapa pun juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapa pun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat betapa harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”

“Apa bila kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu sudah sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata di atas mereka sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin dia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar