Pendekar Bodoh Jilid 41-45
Semenjak ikut pergi dengan Bu
Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang
sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta
burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa Tengkorak itu terdapat
tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si
Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.
Gadis ini melatih diri dengan
giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan yang luar biasa
sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang
diciptakan oleh Cin Hai untuknya, maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya!
Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai
dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.
Pada suatu pagi, selagi Lin
Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin ini setiap hari
bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai
Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran
sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia melihat empat orang
lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol, seorang
pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.
“Hai Kong si Jahat! Kau belum
mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.
Hai Kong Hosiang tertawa
bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu
melotot dan mengeluarkan air mata!
“Kwee Lin, anak jahat! Kau
bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang
Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya
kaulah yang jahat. Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke dalam jurang,
akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon
menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang!
Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah satu matamu
sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”
“Gundul keparat, jangan
sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.
Lin Lin sekarang bukanlah Lin
Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi
apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan
pedang Han-le-kiam di tangannya.
Hai Kong memandang rendah dan
menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu
dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini
hampir saja membuat nyawanya melayang!
Pada waktu Lin Lin menyerang
dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I To-hwa atau Ang I
Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari
hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak
keras, lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah
pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang, sedangkan tangan kanan
mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk
mencongkel keluar mata itu.
Tak tahunya, Lin Lin tidak
melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan
hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam
tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun untuk
menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil
merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi
membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong
Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh
tenaga!
Bukan main terkejutnya hati
Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.
Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah
dibikin terkejut oleh serangan ini, biar pun serangan Lin Lin ini benar-benar
merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya.
Akan tetapi karena tadinya
memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak
dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan
tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut itu, ia tidak
keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu
yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!
Hai Kong Hosiang berseru kaget
lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga
telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan
pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski pun dia masih dapat
mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, akan tetapi dada kanannya masih terasa
panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!
Ia mengeluarkan keringat
dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan
terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah
mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu.
Sedangkan Lin Lin yang melihat
betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu tak dapat merobohkan
Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio
ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Dia menjadi nekat dan
kembali maju menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa
marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari
tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan
sekali.
Sambil membentak marah Hai
Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun bertempur dengan
serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah
gadis itu sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang
dengan baiknya, menjadi habis sabar dan cepat maju mengeroyok sambil mainkan
pedangnya yang juga lihai.
Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok
dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa, “Siancai... siancai….” dan
muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong...
engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal
mengeroyok seorang gadis muda!”
Sambil berkata, Bu Pun Su
membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan
pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta kawannya karena
dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung
mundur.
Lin Lin juga menahan pedangnya
dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu terjadi hal yang
aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi, kini Bu Pun Su
berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu,
dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?”
Nenek itu tersenyum menyindir,
lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara
seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di manakah ada perceraian
yang kekal?”
“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau
masih hidup...”
“Kau sendiri masih betah
tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”
Melihat sikap Bu Pun Su yang
agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh
ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh perhatiannya tertuju kepada
suhu-nya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari pihak
Hai Kong Hosiang.
Pada waktu melihat gadis yang
gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan
belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada dan leher gadis itu.
Lin Lin telah mempunyai
perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan
batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak dilihatnya tetapi dapat
ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan
baginya selain menggulingkan tubuh di atas tanah sehingga dengan demikian
sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi dia tidak
menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya
yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin
Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum
yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka meski pun
gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai
leher!
Lin Lin sudah mengerahkan
lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu
tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu,
lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, tiba-tiba
ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa
panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.
Ia masih melihat betapa Bu Pun
Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran
dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya
dengan nenek itu, pasti dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menolong
Lin Lin.
Akan tetapi, keadaan kakek
jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa.
Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak
tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia
sadar dan cepat memandang.
“Hai Kong, pengecut berbatin
rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua tangannya.
Kalau dua tangan Bu Pun Su itu
jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang
akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek
itu dengan halus akan tetapi nyaring.
“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”
Bu Pun Su memandang, kemudian
melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang sebatang tusuk
konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata
intan, lantas diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya
memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan dia
cepat menurunkan kembali kedua tangannya.
“Wi Wi, kau hendak
mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.
“Kwan Cu, apakah kau yang
sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”
Bu Pun Su menggelengkan
kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun tubuhku akan hancur
lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”
“Kehendakku yang harus kau
turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada
di sampingku!”
Bu Pun Su menarik napas
panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan mengganggu
mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.
Nenek itu tersenyum dan
menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap Bu Pun Su
itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri
Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata
terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika dia
meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.
“Hai Kong, kau kejam sekali!”
katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum
penuh kepuasan.
“Bu Pun Su, jembel tua!
Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang
dengan senyum sindir.
“Kau telah mempergunakan racun
Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su.
“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup
awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu?
Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat
di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya
akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa
sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau dia merasa kuatir, racun
itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan
jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan
hidup sampai seratus hari lagi. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong, demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan,
janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada sejenis obat di
Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat
penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”
“Ha-ha-ha-ha! Enak saja kau
bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum bahwa kakek
jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk
membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!”
“Hai Kong, aku minta kepadamu,
serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak akan lama lagi
hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda
dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat itu dan aku
berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal bukan kejahatan yang
harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.
Melihat dan mendengar semuanya
ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di
tubuhnya sudah banyak mengurang.
“Suhu, teecu tidak takut mati.
Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu
mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”
Bu Pun Su menggelengkan
kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan kekerasan...” kemudian
ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah
kehendakmu lagi?”
“Kau harus ikut dengan kami
dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa Tun-huang.”
“Hanya itukah?”
“Ya, hanya itu dan setelah
berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa
pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus
melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”
“Aku menurut, Wi Wi, akan
tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku tak akan
menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah
kita masuk ke dalam goaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam
pula.”
Sambil menuntun tangan Lin
Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa Tengkorak.
“Lin Lin kau beristirahatiah
dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang, membersihkan
pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,”
katanya kepada Lin Lin tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang
mengejeknya.
Lin Lin melontarkan pandang
mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhu-nya
dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia
memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.
Akhirnya diputuskan oleh Bu
Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu
mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta pusaka itu telah
jatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat
penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.
Mendengar percakapan itu, Lin
Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran mengapa Bu Pun Su
menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu
lebih lihai dari pada Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai juga, mungkinkah
suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan
terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.
Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su
berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.”
Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan
kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tak mau
menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan
harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”
“Apa?” nenek itu berseru
heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”
“Apakah yang kutakuti lagi?
Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.
“Tidak akan merasa malukah
kau?”
“Di manakah letaknya malu?
Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu
kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”
“Tetapi... tetapi mengapa kau
masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek
itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su tersenyum. “Itulah
rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum
kita berangkat.”
Dengan suara gemetar,
berceritalah nenek yang aneh itu…..
Dulu ketika muda dan masih
berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan
gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di
seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.
Karena kakeknya, Perdana
Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan Cu
membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai
pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang
bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan
seorang gadis Han yang cantik.
An Kai Seng sendiri biar pun
berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang
mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang
bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil
menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng
namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan
takut sekali hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.
Melihat suaminya berada dalam
bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan
Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah
hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu
saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi
ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, dia hanya menjumpai Wi Wi seorang
diri.
Wi Wi mempergunakan segala
kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang
tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…
Lu Kwan Cu adalah seorang
pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya langsung
menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan
hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti
kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya
umpan pancing!
Sejak saat itu, ia jatuh
bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Sering kali
mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tidak sadar
bahwa dia sudah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan
isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!
Semenjak saat itu, jangankan
bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka.
Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia memberi sebatang
tusuk konde kepada wanita itu pada saat dia mengucapkan sumpahnya bahwa selama
hidupnya, ia akan menurut pada segala perkataan wanita yang juga bersumpah
‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.
Lu Kwan Cu benar-benar mabok
asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar
mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya, ketika pada suatu
hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia mendengar gerakan
orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain
adalah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak memukulnya, akan tetapi
tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta dia melepaskan suaminya!
Bukan main terkejut dan
herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini bahwa tanpa
terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan itu, dan
bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya itu di
depan suaminya untuk menolong suami itu.
Terbukalah matanya bahwa
agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya,
yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya!
Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan siasat keji dan
rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.
Hancurlah hati Lu Kwan Cu
melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang selalu
menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa dia lalu
meninggalkan tempat itu.
Semenjak itu, dia lalu
menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut
kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu
untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang
jahat!
Maka dia melarikan diri dan
merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun
Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka
bahwa wanita itu tentu telah mati. Tetapi tidak tahunya, setelah menjadi tua,
tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul lagi membuat gara-gara hingga
terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan terpaksa membiarkan
Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.
Setelah Wi Wi Toanio
menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu Pun Su
menarik napas panjang dan berkata,
“Tepat sekali ujar-ujar Nabi
Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi,
Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang
tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka
seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar
ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam
hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya
dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga
yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda memang penuh bahaya!”
Setelah berkata demikian, Bu
Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
“Muridku, kau telah mendengar
hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah
sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga
burung kita, tunggu sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”
Setelah berkata demikian,
pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di
kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa berkuatir sekali,
bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak
takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya. Ia lupa bahwa ia
tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu mendesak
jantungnya, ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!
Dan kemudian datanglah Cin Hai
menemukannya dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai mendengarkan penuturan
itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti
suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguh pun sumpah terhadap
seorang jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
“Apa bila demikian halnya, kau
harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak
bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun aku percaya penuh
kepada Suhu bahwa dia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi,
terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita juga pergi ke
Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di
sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”
Lin Lin tidak membantah kehendak
Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya dengan ke timur atau ke mana
pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam itu mereka berkemas dan tidur
di Goa Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana terdapat banyak patung
tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang hio-louw.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna kemerahan, sepasang kekasih
itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan jauh mengejar suhu mereka
menuju Kansu di barat sana. Mereka sengaja hendak meninggalkan tiga burung
peliharaan mereka karena selain harus menempuh perjalanan jauh, juga mereka
belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah berjalan sejauh sepuluh li,
mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi Goa Tengkorak.
Pada saat itu pula, di udara
nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama kemudian, tiga
burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau
Sakti, menyambar turun dan berdiri di dekat mereka sambil mengeluarkan suara
riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.
“Marilah kalian ikut kami
pergi ke barat,” kata Lin Lin.
Cin Hai lalu melanjutkan
perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga burung sakti
yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai
diam-diam merasa berduka dan gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan
kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin
Hai merasa terhibur juga.
Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan
ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar ucapan Hai Kong Hosiang
bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga orang yang terkena
seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari semakin mendekati
maut!
Dalam usahanya menghibur Cin
Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang
pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia pun segera dapat
melupakan kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolong Cin
Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa mestinya dialah yang harus memperlihatkan
sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak
timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka
dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk sehingga
ilmu pedang Lin Lin kini menjadi semakin maju saja.
Cin Hai tidak mau menceritakan
kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena dia maklum
bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan dia sengaja mengambil
jalan memutar dan tidak mau melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu
tewas…..
********************
Kita mengikuti keadaan Ang I
Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan
kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga
goa rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan
Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kansu dengan
mengambil jalan lain.
Pada suatu hari, karena merasa
kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Ang I Niocu
lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang
sangat ramai.
Daerah Kansu adalah daerah
bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat suku-suku bangsa,
bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini,
maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu
jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna.
Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan
pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi, pada saat Ang I
Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah,
tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, dia merupakan
pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang dapat terlihat oleh
orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah
itu dengan penuh kekaguman.
Akan tetapi Ang I Niocu sudah
terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka, dia tidak
mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah patung-patung
batu yang memandangnya tanpa berkedip.
Saat lewat di depan sebuah
toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup
yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia goa
rahasia itu. Dia teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan berukir itu,
yaitu dari seorang gila!
Ketika itu dia sedang berjalan
menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba dia melihat
seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan,
tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang
amat aneh adalah biar pun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan
keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia memegang sebuah
cawan perak yang indah sekali!
Pada saat Ang I Niocu sedang
memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati
orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu
sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh,
ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu berteriak-teriak,
berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil
mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka
ini! Pergi!”
Seorang di antara ketiga orang
yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum dia
berkata,
“Kakek sinting, biarlah kami
menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang
perak beberapa potong.
Akan tetapi orang gila itu
mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki. “Perampok-perampok, pergi!
Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”
Tiga orang itu menubruk hendak
merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata
Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.
Tiga orang laki-laki bangsa
Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I
Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa
diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu sudah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit!
Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di
tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila itu menghampiri Ang
I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika dia
mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan
itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi
berkah.
“Kau gagah, ha-ha, mereka lari
pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka
itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Dia
memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
“Untuk apa cawan ini?”
tanyanya.
Orang gila itu memandangnya
dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh, menyebut harta
pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan langkah lebar
dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.
Ang I Niocu mengamat-amati
cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa sayangnya. Dia
lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila
itu hingga ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.
Demikianlah, sambil
mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di depan toko
barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua orang Turki
berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang
keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!
Ang I Niocu menjadi tertarik
dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari
atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan
agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.
Akan tetapi hanya ada sebuah
kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa
Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia
memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah
melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, dia segera mengikuti mereka
dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat
mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama
ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah
perkampungan kecil di mana terdapat banyak rumah-rumah model Turki.
Tiga orang Turki itu masuk ke
dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng
dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng
dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke
dalam sebuah ruangan yang kebetulan sekali berada tepat di bawahnya. Di dalam
ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang Turki.
Seorang di antara mereka telah
tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang
sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras
yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi
sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Setelah melihat mereka, ketiga
orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh
dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara
seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian, orang
setengah tua tadi menjawab dengan beberapa kalimat yang agaknya memberi
perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu
pergi lagi.
Tiba-tiba, orang setengah tua
itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki
Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di
atas genteng, harap kau suka turun saja apa bila ada perlu dengan kami.”
Ang I Niocu terkejut sekali.
Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya,
dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,
“Nona berbaju merah agaknya
Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan
sendiri!”
Makin terkejutlah hati Ang I
Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui
bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai, adalah kakek berambut
putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah,
bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu
untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah seorang di antara Jiwi
ada yang bernama Yousuf?”
Mendengar pertanyaan ini,
laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab
girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I
Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”
Kini Ang I Niocu tidak merasa
ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil
berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”
Yousuf memandang kepada Nona
Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil berkata girang,
“Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan
anakku Lin Lin!”
Ang I Niocu menjadi girang
sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”
Mendengar bahwa tanpa
ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee
An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
“Ang I Niocu, kedatanganmu ini
bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di
atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri
merasa sangat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan
yang kebetulan sekali!”
Ang I Niocu memandang ke arah
kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya, “Siapakah Locianpwe
yang terhormat ini?”
Kakek itu tertawa bergelak,
kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku,
sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari muridku ini.”
“Ahh, kalau begitu Locianpwe
tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim mau pun Yousuf
menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.
Ang I Niocu lalu menceritakan
pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru
Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main girangnya hati
Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan
selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan
dia akan bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih agak muram
wajahnya, kini dia menjadi riang gembira dan berkata,
“Lihiap, tadi kukatakan bahwa
kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang
ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan
sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau
telah membawa berita yang sangat menggembirakan hatiku. Patut aku mengucap
syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata
demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur
kepada Tuhan.
“Sebenarnya, apakah yang
sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa
curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke
sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang
sama sekali tak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam
bahasa Turki.
Yousuf menarik napas panjang.
“Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi
Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan,
maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki
yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua golongan, yaitu
pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki,
dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan
kekacauan. Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap
baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat
itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara.
Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan memiliki maksud menyerbu ke
pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan
menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas
untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu terus
dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu
dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi niat mereka mencuri
harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah
Tiongkok!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk
maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang
mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud
orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan
yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai
Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari
tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah yang amat
menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah mempergunakan
cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha
mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri
sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda yang memiliki maksud buruk
terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.
Ang I Niocu tersenyum. “Tidak
sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai
pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila mata mereka sudah
silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang
bagi mereka?”
Ibrahim mengangguk-angguk.
“Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak
mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
“Ang I Niocu,” Yousuf berkata,
“sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi
kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran Muda agaknya sudah
mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya
bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang
menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau
hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”
Ang I Niocu tersenyum. “Tak
usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya
bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”
Yousuf memandangnya dengan
bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan pengalamannya. Yousuf
menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan
menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa
Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih
melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.
“Akan tetapi, Lihiap, kini
mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan
kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu,
kami bersedia untuk bertempur pula.”
“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah
berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”
Pada saat itu, dari luar
masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera
dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas pergi lagi dan Yousuf
lalu berkata kepada Ang I Niocu,
“Mereka telah datang dan
kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk mengadakan
pembicaraan.”
“Kalau begitu aku harus
mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya
ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi kalau mereka bicara
dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.
Akan tetapi Yousuf mengangkat
tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami
berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para utusan saja,
Semua pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka itu sebagian
besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”
Rombongan tamu yang datang itu
adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah,
diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kanglam
Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.
Yousuf menyambut mereka dengan
sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu dia
merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak
mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan
gagah.
Rombongan itu merasa heran
juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi
ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi
terkejut.
“Hemm, agaknya kau juga sudah
mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini
berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki
ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku
ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan
keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas
yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf
menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf segera berkata lagi
kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa
sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian
berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai
seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang
kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan
kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat
ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi
kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, jika usahamu itu
baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau
bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau
negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja
akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak
akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau
boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa,
apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau manusia sombong!
Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri
urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang
rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih
baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah
merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali,
akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa
mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi
raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu
membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau
anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing
di waktu malam terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus
putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama
keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!”
kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu
muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya
memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut
Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang
banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk
menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam
kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf.
“Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga
kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek
Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang
laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main
keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara
batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar!
Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita
menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa
diundang!”
Yousuf lalu menghadapi
Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki,
boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…, boleh! Inilah
kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang
jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf kemudian memberi
aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan
yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini
menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka
hatinya.....
Yousuf berkata lagi, “Karena
di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa
enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kau anggap
kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua
Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf tersenyum dan
memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus
menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau
merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab,
terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang,
“Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan
kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”
Dan dari luar berkelebatlah
tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan
Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati
Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka
berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah
disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu
memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang
berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi
berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa peduli akan
Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan
Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi
hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian sudah kukenal
lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!”
kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu
yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan
rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang
baru itu, menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang
yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu,
Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara
Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu
supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli
hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila, jangan kau
menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.
Akan tetapi sebelum dia maju
dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata,
“Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”
Orang Turki ini lalu mencabut
pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua
orang yang berada di situ.
Ilmu kepandaian Giok Yang Cu
jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat
telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini
terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika
ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi selain tinggi ilmu
kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur
menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi
gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami
rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi
sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa
girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena
betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa
tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi
terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal kecepatan dan
tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan
pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri!
Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin
hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup
walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari
Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan
ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi
serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup
oleh gulungan sinar pedangnya.
Tiba-tiba terdengar pekik
kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh
pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi
cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri
sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur
dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah
kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan
tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah
melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu
panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi
kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima
pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main
dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa
tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang
ragu-ragu.
Akan tetapi Nelayan Cengeng
segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara
memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tidak pernah
meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan
Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi
bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau
berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera
melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa
sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw
harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah
kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum sambil
mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya
pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu
memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia
merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam
permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan
senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan
lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara
luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu
merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya,
duduk sambil memandang bengong.
Gerakan gadis ini benar-benar
lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di
sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk
menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi
puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat
ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan
yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena
selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat
yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti
yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai
seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap
sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan
tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing
itu.
Akan tetapi kembali dia
tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini
hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat
lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah
jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur,
dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia
berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh jurus telah lewat
dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang
seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim
pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan
menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari
pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah
tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang
senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban
itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan
mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu
menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,
“Nona, apakah hubunganmu
dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu apakah kau
menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi kau murid Hok
Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan
diri.
Dia tadi merasa penasaran dan
malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang
tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas
dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai
tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah dia
mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya
sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan
maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang
tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan gembira sekali, juga
disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak
nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan
ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat betapa sudah dua kali
pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada
Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk
menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan
marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah
berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian
boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini
selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali.
Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia
mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia
menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan
dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi
memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya
dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang
kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak
maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini
adalah bagianku!”
Dengan langkah yang
sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang
memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi
Besar itu tertawa ketika ia berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau
diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah
tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan
mencampuri urusan orang lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang
yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama,
bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang
berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan
mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada
usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda,
akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan
tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu
ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang
sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari
kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa
saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila
kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang
akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja
mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua
itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah
mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah
karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah
dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan
Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu
silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu
tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita
lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu
sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari
gading.
Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee
An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan
penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat
menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang
karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di
tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini
ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan
keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi
gentar.
Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik
keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih!
Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi
aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan
tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke
arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu terkejut sekali
karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat
sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah
dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu
sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian
silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja
ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita
celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat
mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa
keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang sudah tua itu
harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar
tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan
kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh,
akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Bila lawannya menggunakan ilmu
hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan
tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya,
Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun ilmu silat mereka
seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih
unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu
bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan
kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An,
dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa
Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai
Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat
menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Alangkah
lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi
seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan
kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh
jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai Sauw
Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas
perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini
ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya
lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya
yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).
Hui-to yang jumlahnya tiga
buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus
menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir
sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan
oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan
berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh, sesudah kakek itu
mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang
meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali
serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta
bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak
dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut
dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!”
Benar saja, ketiga batang
golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya
sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada saat itu, di luar
terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,
“Yousuf, tibalah saatnya
kalian binasa di ujung senjata!”
Sambil berkata demikian,
Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li
yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun
Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat
dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar
senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!”
Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan
seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut
pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya
kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran di dalam ruangan
itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian
lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari
kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah
mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang
dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan
pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak membantu
Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh
Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam
Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan
pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak
mempergunakan kecurangan.
Terdengar seruan Siok Kwat
Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada pun
Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya
pula.
Tidak lama kemudian, selagi
Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjata-senjata
rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah
berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran
Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga banyak sekali anggota
pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera
berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,
“Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan
maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan
semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia
mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan
batin.
“Sahimba... serta enam orang
kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut...
berlutut...!”
Hal yang aneh terjadi. Sahimba
serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat
menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan
diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu
sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha... tua bangka... kau
harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke arah
Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.
Enam batang hui-to itu
menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung
lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu
sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih
mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam dadanya sehingga
beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam
keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya
Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta
kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat
mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju
menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.
Juga Ang I Niocu dan
kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan perlawanan
dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah
Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin
serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata
mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung
terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau
berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak
dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat
sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat
Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.
Dalam perkelahian itu, Siok
Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada pundaknya,
sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma
Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan
mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak
buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok
Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar
mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,
“Biarlah, sudah terlalu banyak
orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”
Yousuf cepat mengumpulkan anak
buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik kawan mau pun
lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng,
Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang
sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah
di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Sesudah mereka berempat ramai
membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil keputusan untuk
membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba
Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
“An-ko, mengapa kita lupa
untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum
gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee
An memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi dia hendak bertanya,
tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada
kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat
kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya
memberi selamat sambil berkata keras-keras,
“Ang I Niocu, kionghi...
kionghi… (selamat, selamat)!”
Ucapan ini diturut oleh Kwee
An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang
berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,
“Nanti dulu...! Memberi
selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi
selamat...?”
“Ha, masih berpura-pura lagi!
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil
memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada
kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau
lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!”
kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata
dipelototkan.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng
tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa
harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...? Jodoh... ?”
Ang I Niocu memandang heran.
“Enci Im Giok, janganlah kau
berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata Ma
Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak
berani menggoda Ang I Niocu.
“Nanti dulu, Adik Hoa, aku
masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”
“Aduh, pandainya bermain
sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka
Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau
menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan
mata!”
“Apa buktinya?”
Ma Hoa menuding ke arah pedang
yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau
pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”
Mulai berdebar dada Ang I
Niocu.
“Dari mana kau dapat
mengetahui hal ini?” tanyanya.
“Dari siapa lagi kalau bukan
dari Lie-taihiap!”
Ang I Niocu bangkit berdiri
dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah,
nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”
Dengan gemas Ang I Niocu
mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa.
Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”
“Ehh... dia siapakah...?
Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.
Akan tetapi Kwee An merasa
kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu dengan
taihiap Lie Kong Sian.”
“Di mana? Dan bagaimana kalian
bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci Im Giok. Sabar
dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami
bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka merah karena
jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa itu,
lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Sesudah berpisah dengan Ang I
Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu
kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan
perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup
membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka
sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa
beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru
yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula.
Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya
pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia
merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga sering
kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An
dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.
Mereka berdua dalam hati serta
dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang
terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu
melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati
janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.
Ketika Ma Hoa sedang
berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan
di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,
“Aduh, alangkah indah dan
jelitanya bidadari berambut panjang.”
Ketika dia memandang, dia
melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk
di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum
kepadanya.
“Laki-laki ceriwis! Tutup
mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya,
karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.
Wanita manakah yang tidak suka
menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang
pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan
tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
“Bidadari manis! Hatimu
gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang
melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin
yang bersilir di pohon?”
Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat
bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Ehh, ehhh, makin manis saja
kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Tapi
sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah
ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah
dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan
menyambar kepala Ma Hoa!
Ma Hoa mengelak dan miringkan
kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini,
karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan
kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya
sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali
pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan
seorang ahli!
Ma Hoa marah sekali. Ia
merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan
menginjak-injaknya!
“Bangsat liar! Kau betul-betul
sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan
dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu terkejut juga
karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu
pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan tubuh dan
mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
“Ahh, ahhh, tidak tahunya
bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main
denganku sebentar!”
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan
kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan gesit dan sengit
sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu
ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan
tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya menjadi
miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu menyerang lagi bertubi-tubi
dengan ganas dan penasaran.
Pada saat itu, datanglah Kwee
An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu
runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu
berlari cepat menghampiri.
“Tahan...!” kata Nelayan
Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.
Pemuda tampan itu memandang
kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia mengernyitkan hidungnya dengan
pandang menghina dan bertanya.
“Tuan besarmu sedang main-main
dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”
Merahlah wajah Kwee An
mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan membentak, “Dari mana
datangnya bajingan yang kurang ajar?”
Sementara itu, Nelayan Cengeng
yang menerima hinaan ini balas mengejek,
“Eh, ehh! Ma Hoa, Kwee An,
kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan
seorang wanita.”
Kwee An tidak tahu bahwa kakek
ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun bertanya, “Kalau bukan
laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”
“Banci…! Dia seorang banci...!
Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah
air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi, laki-laki tampan
itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan
apakah kau menyebutku banci?”
“Tidak ada laki-laki yang membedaki
mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau
tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir!
Ha-ha-ha!”
Memang laki-laki itu pesolek
bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi
ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
“Kakek gila, kau belum lagi
tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara
sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis,
tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”
Setelah berkata demikian,
secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada
Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena
pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul
uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki
oleh Cin Hai!
Dia cepat melompat jauh untuk
menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh
sekali, sambil melompat dia langsung mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat
tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis,
oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti
oleh pandangan mata!
Melihat kelihaian pemuda ini,
Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa
maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song
Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong
Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin
Hai!
Tadinya Song Kun memandang
rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan pedang Kwee An
dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan
mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari perkara dengan
orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi, ilmu silatnya
memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka dengan tangan kosong,
akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah
berapi-api dan berhawa panas itu!
Nelayan Cengeng terkejut
sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati
terhadap pedangnya!”
Song Kun tertawa mengejek dan
ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya
sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biar pun tidak
berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang
diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.
Sementara itu, Ma Hoa juga
merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu
Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk mengadu senjata, oleh
karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.
Di samping kedua orang anak
muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang mempunyai ilmu silat
tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu
untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat itu, takut
kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!
Oleh karena ini, maka
pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak bertempur
dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa pertempuran
itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun memaklumi hal ini dan
karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung Nelayan Cengeng menyambar,
dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu!
Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi korban sabetan pedang pada
pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi nekat itu tidak melakukan
serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!
Song Kun menarik kembali
pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan
pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik.
Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan kedua bambu runcing itu
dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dia ulur ke depan
untuk mengusap pipi Ma Hoa!
Gerakannya ini adalah pecahan
dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar biasa sehingga colekan
itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song
Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!
Namun dengan ilmu pedangnya
yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan melancarkan
serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Dia
mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat
melarikan gadis muda berambut panjang ini!
Pada saat itu, terdengarlah
bentakan keras.
“Song Kun...! Janganlah kau
terjerumus ke jurang makin dalam saja!”
Mendengar suara ini, Song Kun
terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang.
“Suheng...!” katanya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan
Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang lelaki yang berusia
tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dengan kumis kecil
menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang
matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.
“Song Kun, sesudah berpisah
bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf
akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam terjerumus ke dalam
jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie Kong Sian adanya,
berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.
Song Kun mengeluarkan suara
ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku menyebut Suheng
kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau
memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu kalah olehku?
Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah
aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggung jawabnya! Kau
peduli apakah?”
“Dasar batinmu yang amat
rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang
Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”
“Ha-ha-ha, majulah! Hendak
kulihat sampai di mana kemajuanmu!”
Ucapan ini bagi seorang sute
terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lantas
menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan
sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.....
Tingkat pelajaran mereka
memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat
dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali.
Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras hingga ilmu
kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak Song Kun telah
memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak
berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu
itu akan putus.
Karena ini, untuk kedua
kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang
sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya
dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya
tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.
Sementara itu, Nelayan
Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh
kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali
menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka
melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda
pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka
menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.
Melihat bahwa Lie Kong Sian
datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam
dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti
oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi
keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja
ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia
lalu melompat jauh dan berkata,
“Lie Kong Sian! Lain kali bila
mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku
akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan
berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”
Keempat orang itu marah
sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan
meninggalkan tempat itu.
“Lihai sekali!” kata Nelayan
Cengeng dengan kagum.
“Memang Sute-ku itu lihai
sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong,
melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah
Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”
Nelayan Cengeng menjura,
kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”
Lie Kong Sian tersenyum. “Dan
kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma
Hoa.”
Ketiga orang itu memandangnya
dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan
Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie
Kong Sian.
“Ehh, bukankah pedang itu
pedang milik Ang I Niocu?”
Kini Lie Kong Sian tersenyum
dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I
Niocu!”
Kemudian Lie Kong Sian yang
jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I
Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat
sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan
yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai
pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I
Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul
sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang
ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.
Setelah Ma Hoa menceritakan
semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana
mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya.
Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya.
Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.
“Ma Hoa, sudahlah jangan kau
menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan
kepadamu perihal Lin Lin.”
Ma Hoa memegang lengan tangan
Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici
yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?”
Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan
sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan
Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.
“Maka jangan suka menggoda
orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”
Kemudian tiba giliran Ang I
Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai
dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa
Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa
Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana
yang ia dengar dari Cin Hai.
Mendengar penuturan ini,
bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang
harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan
terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat
itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak
yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!
“Sekarang tugas kita
cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,”
kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya
dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan
kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta
pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti
datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”
Semua orang menyetujui usul
ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan
tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman
masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka
untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan
banyak kawan-kawannya.
“Sebenarnya, tentang kematian
tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus
disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan
permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku
Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah
pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas
saja.”
Demikianlah, mereka berempat
lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut
Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau
empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan
memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia
pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa
kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut…..
********************
Sementara itu, Cin Hai dan Lin
Lin masih terus melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang
menjadi ‘tawanan’ Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya.
Ternyata bahwa Balaki semenjak
dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia
bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum
akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka
di daerah Kansu itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama.
Hai Kong Hosiang yang cerdik
itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka
lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang sudah menjadi janda. Melihat bahwa
Wi Wi Toanio ternyata juga lihai sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu
membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas
rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu
Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!
Cin Hai tidak berani melakukan
perjalanan terlalu cepat sehingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan
yang menawan Bu Pun Su. Maka beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati
batas Propinsi Kansu dan beristirahat dalam sebuah hutan menikmati hawa yang
nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang
laki-laki dan ketika orang itu datang mendekat, Cin Hai merasa terkejut sekali
hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka
laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.
“Song Kun...,” katanya dengan
dada berdebar karena dia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi
pertempuran hebat!
Sementara itu, Song Kun sudah
melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan
terheran-heran karena dia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan
gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang sangat
dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir
kalau-kalau Bu Pun Su supek-nya itu berada pula di situ, akan tetapi ketika
melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia
segera menghampiri.
“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh,
Pendekar Tolol dan goblok! Sute-ku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su!
Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau,
membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”
Cin Hai dapat menduga bahwa
yang dimaki ‘anjing penjaga tua’ itu adalah Bu Pun Su suhu-nya, maka bukan
kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap,
terganti dengar debar marah.
“Song Kun! Siapakah yang kau
maki itu?”
“Siapa lagi kalau bukan
Suhu-mu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”
“Kurang ajar! Kau kira aku
takut kepadamu?”
“Cin Hai, kau telah merasakan
kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai
hati yang lemah dan suka menaruh kasihan pada anak-anak kecil. Aku masih ingat
bahwa kau adalah Sute-ku sendiri, karena itu aku akan memberi ampun padamu.
Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan
menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik dari pada kalau kau
menjaganya. Kelak bila mana kau ingin menikah, katakan saja kepada Seheng-mu
ini gadis mana yang kau sukai, tentu aku membantumu sehingga kau berhasil
mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga
Cin Hai hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan
kata-kata!
Akan tetapi, sementara itu Lin
Lin sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini mukanya sampai menjadi
pucat karena marahnya hingga dia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia
hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan matanya kalau
mungkin.
“Bangsat rendah, keparat
jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” seru Lin Lin sambil melompat dan
mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!
Song Kun mengelak dengan mudah
sambil berkata, “Sayang, jangan kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku
mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu?
Lin Lin, ahhh, namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam
kepadaku, sayang!”
Bukan main marahnya Lin Lin
mendengar kata-kata ini hingga ia menjerit dan menyerang semakin hebat sambil
mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tidak dapat membikin mampus
orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan
Lin Lin, karena dia maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan
Lin Lin makin memburuk saja.
“Lin-moi, mundurlah. Tak perlu
kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa
dengan bajingan ini!”
Sambil berkata demikian, Cin
Hai lalu mencabut sebatang dari pada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang
lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar
panas Lin Lin terpaksa melompat mundur lantas berdiri dengan mata berapi.
Song Kun kaget melihat bahwa
pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu
lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho Sian-kiam yang
mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song
Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai
terbabat putus sekaligus!
“Tranggg…!”
Kedua pedang beradu dan
berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa
telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan
memeriksanya. Dia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak
karena peraduan itu.
Sementara itu, Song Kun yang
juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali karena pedangnya
ternyata tak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang dengan mata
terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.
“Bangsat! Agaknya kau sudah
dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat
melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!”
Sesudah berkata demikian, Song
Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga
lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan cahaya pedangnya yang
bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke
arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali!
Cin Hai maklum bahwa baru kali
ini dia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang kepandaiannya tak
berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran mereka
datang dari satu sumber. Dia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan dalam
hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar
memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak
menjadi gentar. Betapa pun juga, intisari kepandaian silat belum pernah
diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanya dimiliki
oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang
menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka,
pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah
yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat
menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.
Song Kun merasa penasaran dan
marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil
berseru gemas ia pun menggerakkan pedangnya laksana halilintar
menyambar-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi ikut
mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan lain-lain
ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya.
Akan tetapi Cin Hai tetap
berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan hati-hati. Dia
cukup maklum akan berbahayanya Song Kun, dan maklum pula bahwa sekali saja
serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam bahaya besar.
Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain mempertahankan diri, ia
juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.
Demikianlah, kedua orang muda
itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling
menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya
pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya.
Song Kun memang amat lincah
dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah
tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguh pun untuk
mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song
Kun mau pun Cin Hai merasa betapa baru sekali itulah selama hidup mereka
menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan berimbang, baik kepandaian mau
pun tenaga.
Lin Lin memandang pertempuran
itu dengan hati kagum sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi
tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang
itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah
dan cepat, sungguh pun Cin Hai tidak menjadi terdesak karenanya.
Song Kun yang merasa amat
penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin
Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah
meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah
bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke
kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri
seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.
Inilah semacam ilmu kepandaian
yang istimewa dari Han Le Sianjin dan sudah diturunkan kepada muridnya itu. Cin
Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan
mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan tangan,
maka sukar bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan lawannya ini.
Setiap pukulan selalu berpusat
kepada pundak yang menjadi pangkal lengan. Akan tetapi sabuk ini digerakkan
oleh Song Kun dengan cara menggerakkan pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi
lengan, sehingga kali ini Cin Hai benar-benar tidak dapat menduga lebih dahulu
ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!
Song Kun maklum pula bahwa Cin
Hai tentu sudah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang sakti, yakni ilmu
kepandaian mengenal serta mengetahui segala pokok-pokok dan dasar pergerakan
ilmu pukulan, karena itu dia sengaja mengeluarkan sabuknya itu untuk mencapai
kemenangan.
Dulu suhu-nya, Han Le Sianjin
pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di
dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan
dasar ilmu silat, akan tetapi apa bila Bu Pun Su menghadapi senjata yang
digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu,
tentu Bu Pun Su sendiri tidak akan dapat menduga sebelumnya ke arah mana sabuk
itu akan diserangkan!
Cin Hai betul-betul terkejut
ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak
mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya
untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia
berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk
itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat
digerakkan lagi!
Lin Lin melihat pula hal ini
dengan jelas, maka bukan main kuatir rasa hatinya melihat keselamatan
kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan
seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun
di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.
Sementara itu, ketika sabuk
merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa
mengejek segera menyerang dengan pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan kanannya ke
arah dada Cin Hai!
Sebetulnya bukan karena pedang
Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi
oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan sangat ulet hingga tentu
saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekang-nya, pedang
yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan bisa membabat putus
sabuk itu, biar pun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam
senjata besi atau baja.
Biar pun berada dalam keadaan
yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau
gentar. Secepat kilat dia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih
terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri dia menangkis
tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian dia menggunakan pantulan pedang
untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan.
Sekali sabet saja, sabuk itu
terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat
pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya
dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu
saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!
Song Kun terkejut sekali, akan
tetapi, pada saat itu terdengar jeritan Lin Lin yang roboh pingsan. Cin Hai
cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan
pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.
“Lin Lin... Lin-moi... ahhh,
mengapa kau berkuatir...?”
Melihat betapa Cin Hai dengan
wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat
bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut
sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat
menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka
diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jeri. Kini melihat Lin Lin
roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di
dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.
“Dia kenapakah...?” tanyanya
terheran.
Tanpa menengok, Cin Hai lalu
menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam
seratus hari dia akan mati.”
“Apa...?! Dia tidak boleh
mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.
Cin Hai mengangguk. “Hanya ada
satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah
maka kami berdua menuju ke barat.”
“Racun apakah itu?”
“Racun Ular Hijau yang jahat
dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”
“Tidak, dia tidak boleh mati!
Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku
titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang
dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, aku akan
datang menjemput calon isteriku ini!”
Song Kun lalu menyimpan
pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak
mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena dia merasa gelisah
sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.
Akan tetapi ternyata bahwa
serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin
Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka
matanya. Ketika dia melihat bahwa dia berada dalam pelukan Cin Hai, dia lalu
merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.
“Lin-moi, mengapa kau
melanggar pantanganmu?”
“Hai-ko, aku tidak ingat akan
hal itu, tadi aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku
terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”
Cin Hai tersenyum. “Jangan
kuatir, Moi-moi. Walau pun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan
tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali dia berani
mengganggu kita lagi, akan kuhabiskan nyawanya!”
“Dia di mana, Koko?”
Cin Hai hendak menceritakan
apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa
berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan
hendak kembali menjemputnya kelak! Maka dia lalu menjawab, “Setelah aku
berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya dia menjadi jeri dan lalu
melarikan diri.”
Lin Lin menarik napas lega dan
mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan
tidak tergesa-gesa…..
********************
Pada suatu hari, seperti
biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan goa-goa Tung-huang untuk memeriksa
keadaan goa tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan sekali ini dia dikawani
oleh Ma Hoa.
Tiba-tiba dia merasa terkejut
sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan goa itu! Dia
pun berseru,
“Ma Hoa, celaka, agaknya
mereka telah menemukan tempat itu.”
Maka berlari-larilah Ang I
Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa
orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan
lain-lain perwira Mongol!
Melihat pihak lawan yang berat
dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak ingin berlaku sembrono, karena ia
menduga bahwa biar pun goa itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka
dapat mencari tahu tentang rahasia untuk membuka lubang tempat penyimpanan
harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik
sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai dari situ.
Tidak lama kemudian, dari
jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain adalah rombongan
perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai
ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira
tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.
Pihak Mongol yang melihat
kedatangan para perwira kerajaan itu, segera maju menyerbu sehingga terjadilah
pertempuran hebat di depan goa rahasia itu. Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang
dengan penuh kekuatiran sebab dengan adanya dua fihak yang sama-sama
menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah berat saja.
“Biar...” bisik Ang I Niocu
sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biarkan mereka saling gempur hingga binasa
seluruhnya!”
Pertempuran berjalan ramai
sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat
lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu harus melawan Sian Kek
Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio!
Sesungguhnya, di antara ketiga
pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena pada fihak
tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.
Pada saat Ang I Niocu dan Ma
Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba saja datang rombongan lain
dan ketika mereka memandang, mereka menjadi gembira sekali, karena di dalam
rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!
Akan tetapi, kegembiraan
mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekhawatiran karena ternyata bahwa
yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek yang bertelanjang kaki,
seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang!
Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang sangat mereka benci ini berjalan
bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri bengong saking
herannya!
Melihat pertempuran hebat itu,
Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”
Suaranya amat nyaring dan
berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak
jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apa lagi
mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera
melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada
kakek itu dengan terheran-heran.
Thai Kek Losu beserta
kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut,
akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan
ucapan yang halus,
“Kalian ini bertempur bukankah
memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam goa ini? Bodoh amat! Untuk
apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan
yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”
Biar pun sikap Bu Pun Su lemah
lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang
keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol mau pun pihak perwira kerajaan
dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.
“Kami yang lebih dahulu
mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya
dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.
“Tempat ini termasuk wilayah
kerajaan, tidak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata
Kam Hong Sin dengan suara garang.
Bu Pun Su tersenyum kemudian
menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol
dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal
dari milik rakyat yang dulu dirampok! Dari pada bersitegang dan mencari
kebenaran sendiri dengan berperang dan mengorbankan nyawa secara sia-sia, lebih
baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan
siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”
“Boleh, bolehl” kata Thai Kek
Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak memiliki orang-orang lihai. “Kita
majukan tiga orang jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga
orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.”
Sambil berkata demikian, Thai
Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi
ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu
Pun Su dengan wajah pucat!
“Dia... dia adalah Bu Pun Su
yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang
pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.
“Kam Hong Sin, kau boleh
majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu,
akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.
“Aku tidak mau mentaati
perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapa pun juga, tak boleh
orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada
pemerintah!”
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak menurut pun tak apa!
Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang
jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak
merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh cepat mundur dan jangan
mengganggu orang lain!”
Dengan tangannya Thai Kek Losu
memberi isyarat kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu agar datang
mendekat. Akan tetapi Balaki hanya tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.
“Balaki, kau tidak menurut
perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.
Balaki tertawa. “Siapa yang
sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”
Thai Kek Losu dan
kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi
pemberontak?”
“Tutup mulutmu!” bentak Hai
Kong Hosiang dengan marah.
Pada saat itu, kembali muncul
serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang
Turki pengikut Pangeran Muda dengan dipimpin oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun
Tojin dan ketiga saudara Kanglam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang
perwira lain.
Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li
beserta kawan-kawannya masih merasa penasaran dan melanjutkan usaha mereka
mencari harta pusaka itu dengan mengerahkan orang-orang Turki dan membohongi
mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka bisa diperoleh, harta pusaka itu
akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi. Padahal dalam hatinya, Siok Kwat
Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali tidak mempunyai niat untuk
membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.
Melihat kedatangan mereka, Hai
Kong Hosiang berkata sambil tertawa,
“Nah, sekarang lebih ramai
lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak
melakukan apakah?”
“Suheng, aku bersama Lok Kun
Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak
membantu, akan tetapi karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa
kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa
kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki
dan kawan-kawannya.”
“Dan sekarang, kau membawa
orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari
harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja
dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku
dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”
Mendengar ucapan suheng-nya
itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali sebab dulu suheng-nya minta
pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk
mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak
tahunya sekarang suheng-nya itu telah memilih kawan-kawan lain.
Akan tetapi, oleh karena
maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja dan tidak berani
membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak
mau menerima dengan demikian saja. Ia segera melompat maju menghadapi Hai Kong
Hosiang dan membentak keras,
“Hai Kong! Mengingat akan
persahabatan di kalangan kang-ouw aku sudah turut turun gunung dengan Sumoi-mu
ini karena hendak membantumu untuk sama-sama mencari pusaka berharga. Akan
tetapi sekarang kedatangan kami ini tidak kau hargai, bahkan kau hendak
mengusir kami. Kau anggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami
tak dapat mencari sendiri dengan menggunakan kepandaian kami?”
“Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin,
jangan kau menyombong di hadapanku! Apa bila kau hendak mencari harta pusaka
itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan supaya kalian turut pula
dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, kini semua telah
berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga
orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek
Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago,
yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil
menundukkan kepala. “Akan tetapi sayangnya di fihak perwira kerajaan agaknya
tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong, jangan kau
sombong!“ Kam Hong Sin berteriak dengan muka merah karena marahnya. “Hendak
kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar
sampai seberapa jauh. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan
kalian, dan hendak kulihat siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu,
pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari
Kaisar!”
Hai Kong Hosiang tertawa
bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja
kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak teringat bahwa semua orang telah
menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi
sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak
mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami
anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”
Sementara itu, Lok Kun Tojin
dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik sedang mengadakan perundingan, akhirnya Lok
Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan
tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata
demikian dia menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang
bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.
“Bagus, bagus! Sekarang akan
menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu Bu Pun Su
berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka bila mana dilanjutkan, tentu
akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak dia kehendaki, oleh karena
tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka
dia segera berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,
“Aku tua bangka jembel hendak
bicara dan kalian semua jika akan menganggap bicaraku sebagai suatu
kesombongan, apa boleh buat. Dengarkan baik-baik. Untuk menyingkat waktu,
kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang
tua. Kalau saja aku sampai dirobohkan, terluka mau pun binasa, maka kuanggap
bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”
Tentu saja ucapan ini dianggap
sombong sekali sehingga semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah,
kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.
“Kakek tua! Alangkah
sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago dari Mongol dan Turki
sebanyak enam orang. Meski pun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang
yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”
Juga Siok Kwat Mo-li yang
marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku
mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami
sekalian!”
Memang, menurut kebiasaan di
kalangan kang-ouw, orang-orang yang kepandaiannya sudah tinggi biasanya
merendahkan diri, oleh karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau
akhirnya dia kena dijatuhkan orang lain sehingga kesombongannya itu hanya akan
menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam
maka makin merendahlah dia.
Karena ini, ucapan Pun Su tadi
tentu saja dianggap keterlaluan sekali sehingga membuat mereka merasa penasaran
dan marah. Akan tetapi mereka belum mengenal adat Bu Pun Su yang kukoai
(ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tak mengetahui betul adatnya
itu.
Bu Pun Su tidak biasa
menyombongkan kepandaiannya. Baru nama yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su
yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak suka akan
segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan tantangan yang
bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong, akan tetapi karena
ia mengandung semacam maksud, yaitu ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah
hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!
Melihat kemarahan orang-orang
itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira sekali karena bahwa maksudnya berhasil
baik, maka untuk menambah ‘minyak’ supaya api yang mulai membakar hati mereka
itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, maka dia lalu
menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,
“Kalau kalian menganggap aku
sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu
masih belum seberapa hebat apa bila dibandingkan dengan usulku yang berikut
ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol
mau pun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka aku menantang kalian untuk
maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”
Benar saja, ucapan ini membuat
semua orang menjadi bengong sehingga untuk sejenak mereka tidak mampu
mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo
Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun
Su dengan muka merah.
“Bu Pun Su! Aku mendengar
namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah sejak lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su
adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe
(Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua
bangka yang sudah pikun dan yang telah menjadi gila dan sombong sekali!
Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas
di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”
Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su
hanya memandang dengan senyum simpul dan dia lalu menjawab,
“Baiklah, Robot. Kalau sampai
aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang
meja sembahyang!”
Thai Kek Losu marah sekali dan
sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang
mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu
diputar-putar sehingga dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak
kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang
tengkorak itu terdengar bagaikan suara tangis. Semua orang langsung bergidik
dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum
dan berkata,
“Losu, mengapa bukan kepalamu
sendiri yang kau ikat itu?”
Sementara itu, Sian Kek Losu
juga mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa
bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh
karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apa bila orang
sudah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan
karena lihainya.
Juga Bo Lang Hwesio ikut
menarik keluar senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil
bulu kecil saja, namun sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk
melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan
kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang.
Memang biasanya Bo Lang Hwesio
jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan sepasang tangannya
ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan kosong
saja memang sudah sangat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia maklum
bahwa biar pun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat
kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia pun sengaja mengeluarkan
senjatanya itu.
“Sudah siap?” tanya Bu Pun Su
dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”
“Keluarkan senjatamu!” bentak
Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang
seorang yang bertangan kosong.
“Eh, Thai Kek Losu, bukalah
matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?”
sambil berkata demikian dia menggerak-gerakkan kedua tangan dan dua kakinya.
“Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini
kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang
berterima kasih kepada Thian namanya?”
Bukan main mendongkolnya hati
Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali.
“Kau mencari mampus sendiri!”
teriaknya dan tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka
Bu Pun Su dengan cepatnya.
Akan tetapi baru saja
tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah menyingkir terlebih dulu sehingga
serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju
menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat yang amat
berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.....
Bu Pun Su maklum bahwa ketiga
orang lawannya ini merupakan orang-orang yang sudah tinggi tingkat
kepandaiannya dan tidak boleh dilawan dengan sembrono, maka dia segera
mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar biasa dan menghadapi mereka dengan
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dimainkan secara luar biasa sekali.
Kalau Cin Hai yang mainkan
ilmu silat ini, maka hanya pada dua lengan tangannya saja yang mengebulkan uap
putih. Akan tetapi ketika Bu Pun Su yang mengerahkan tenaga dalamnya mainkan
ilmu silat itu, tidak hanya kedua lengannya bahkan seluruh tubuhnya mengebulkan
uap putih yang melindungi tubuhnya sehingga setiap kali ada senjata lawan
mendekati tubuhnya dalam serangan yang dilakukan oleh lawan itu, maka
senjatanya itu seakan-akan tertahan oleh semacam tenaga yang luar biasa
kuatnya!
Ketiga orang pengeroyok itu
menjadi terkejut dan kagum sekali oleh karena selama hidup belum pernah mereka
menghadapi seorang lawan yang demikian tangguh, yang dengan bertangan kosong
sanggup menghadapi mereka bertiga dan kini ternyata dapat melawan
senjata-senjata mereka dengan baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan menyaksikan
kepandaian yang seperti ini pun baru sekali ini mereka alami.
Akan tetapi, sebagai
tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, mereka merasa malu apa bila
memperlihatkan rasa ketakutan, maka mereka memperhebat serangan dan mengerahkan
seluruh kepandaian. Tenaga lweekang mereka juga sudah sampai di tingkat yang
tinggi, karena itu biar pun beberapa kali senjata mereka kena terbentur dan
terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan kedua tangan Bu Pun Su, akan
tetapi ada beberapa kali pula senjata mereka berhasil memecahkan pertahanan itu
dan hanya berkat kelincahan serta ginkang-nya yang luar biasa saja maka Bu Pun
Su dapat terhindar dari bahaya maut!
Kalau dia menghendaki, dengan
sekali pukulan tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup menghancurkan
tengkorak itu. Akan tetapi oleh karena kakek yang telah banyak pengalaman ini
tahu pula bahwa di dalam tengkorak itu tersimpan senjata-senjata rahasia yang
mengandung racun berbahaya sehingga kalau tengkorak terpecah, biar pun ia tidak
kuatir akan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi takut kalau-kalau senjata
rahasia itu akan menewaskan orang-orang lain di sekitar tempat itu, karena itu
maka dia tidak berani memukulnya.
Keraguan ini membuat Thai Kek
Losu mendapat hati, bahkan menyangka bahwa kakek jembel itu benar-benar merasa
gentar terhadap senjatanya. Karena itu ia memutar-mutar senjata lihai itu makin
cepat mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Bu Pun Su!
Ada pun senjata gendewa di
tangan Sian Kek Losu menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung garuda
yang menyerang kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu berat dan menyambar
dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya sehingga biar pun Bu Pun Su
sudah sangat lihai, akan tetapi sekali saja terkena pukulan gendewa itu pada
kepalanya, tentu ia akan mengalami celaka!
Bo Lang Hwesio juga tidak
kurang berbahaya. Sepasang poan-koan-pit pada tangannya adalah senjata kecil
yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling
berbahaya dari tubuh kakek jembel itu.
Melihat kelihaian tiga orang
lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk bertindak cepat dan menyingkirkan
lawan-lawan ini agar dia tidak membuang waktu terlalu banyak. Tiba-tiba saja
dia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu menjadi terkejut karena
jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini.
Pada saat itu, tengkorak di
tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah ke kepala Bu Pun Su, senjata
gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat sekali menusuk ke arah ulu
hatinya, ada pun kedua poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menotok ke arah
iganya! Akan tetapi, perasaan kaget tadi sudah membuat mereka agak tercengang
sehingga gerakan mereka menjadi lambat.
Bu Pun Su lantas
memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk dipercaya
oleh orang-orang yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak dari
sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan dia lalu mengulurkan tangan kanan
serta menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit serta
menggunting tali pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara
nyaring tali itu putus dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!
Pada waktu itu pula sepasang
poan-koan-pit sudah mencapai sasarannya dan menotok tepat di bagian iga Bu Pun
Su. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang Hwesio ketika dia
merasa betapa sepasang poan-koan-pit-nya itu mengenai tempat yang lunak,
seakan-akan dia telah menusuk air saja! Dia cepat menarik kembali poan-koan-pit
itu dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua poan-koan-pit-nya sudah
patah dua!
Gendewa di tangan Sian Kek
Losu yang lebih berat itu datang paling akhir dan dengan kekuatan luar biasa
menyambar ke arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini sudah tidak ada
kesempatan lagi untuk mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti akan tertembus
oleh ujung gendewa yang keras dan kuat itu! Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu
meniup ke arah muka Sian Kek Losu.
Pada saat angin tiupan yang
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang hebat luar biasa itu menyambar
mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit mukanya menjadi perih dan matanya
tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia memejamkan matanya dan karena terkejut dan
sakit, gerakan tusukannya mengendur.
Kesempatan ini dipergunakan
oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan berjungkir balik dengan
kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan terlepaslah ia dari
ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat membuka mata, Bu Pun
Su sudah melompat maju dan sekali dia mengebutkan tangan ke arah tengah-tengah
gendewa itu, patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!
Bu Pun Su tidak berhenti
sampai di situ saja dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga orang lawannya,
mereka merasa ada tenaga yang besar menyambar ke arah dada, maka mereka
terpaksa mengangkat tangan menangkis. Akan tetapi, dengan hati heran mereka
melihat Bu Pun Su melompat mundur lagi sambil tertawa girang, sedangkan mereka
tidak merasa mendapat pukulan.
Selagi tiga orang itu
memandang heran, tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri bengong dan
bergidik melihat demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha! Dengan mudah jago
kami sudah menjatuhkan ketiga jago dari Mongol! Thai Kek Losu, kau dan
kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian harus mundur dan memberi kesempatan
kepada jago-jago lain untuk mencoba kepandaian mereka!”
Thai Kek Losu memandang dengan
marah, “Kami memang sudah kehilangan senjata, akan tetapi itu bukan berarti
bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan!”
Hai Kong Hosiang kembali
tertawa bergelak. “Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan sendiri! Kalian
telah mendapat ampun dari jago kami, akan tetapi masih belum mengakui kebodohan
sendiri? Lihatlah dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga, Sian Kek Losu dan Bo
Lang Hwesio!”
Tiga orang pendeta itu melihat
ke arah dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju mereka pada bagian
dada sebelah kiri ternyata sudah berlubang! Mereka menjadi pucat dan bergidik
oleh karena ternyata bahwa setelah membalas dengan sekali serangan saja, kakek
jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang dan kalau saja kakek
itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu sama mudahnya dengan
membalikkan telapak tangan sendiri!
“Hebat, hebat sekali!” Thai
Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa
takluk dan aku mengaku kalah.”
Sesudah berkata demikian, Thai
Kek Losu lantas memberi perintah kepada semua anak buahnya untuk mundur dan dia
bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.
“Thai Kek Losu, kau bawalah
senjatamu ini dan jangan gunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan
mencelakakan dirimu sendiri!” Bu Pun Su berteriak sambil melempar tengkorak itu
ke arah Thai Kek Losu.
Thai Kek Losu mengulurkan
tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum, “Biar pun
aku sudah kalah olehmu, akan tetapi kau tak berhak melarang aku mempergunakan
senjata buatanku sendiri!”
Setelah berkata demikian,
dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan cepat meninggalkan
tempat itu. Dia telah merasa putus harapan oleh karena menghadapi kakek jembel
itu dia tak berdaya dan percuma saja kalau dia hendak melanjutkan usaha mencari
harta pusaka. Karena itu dia lalu memimpin anak buahnya untuk kembali kepada
Yagali Khan membuat laporan.
“Sekarang jago-jago Turki
dipersilakan untuk memperlihatkan kepandaiannya,” kata Hai Kong Hosiang yang
merasa gembira sekali karena sebagaimana telah dia duga, dengan adanya Bu Pun
Su di pihaknya, maka dengan sangat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang
hendak memperebutkan harta pusaka itu.
Memang, biar pun tanpa bantuan
dari Bu Pun Su, belum tentu dia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat
dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti
dan juga amat berbahaya.
Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin,
dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, turut merasa terkejut sekali melihat
betapa hebat sepak terjang Bu Pun Su tadi. Akan tetapi sebagai orang-orang
berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tak sudi menyerah sebelum mencoba.
Sekarang, mendengar ucapan
suheng-nya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lantas mencabut keluar
senjatanya yang sangat lihai, yakni sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok
Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan
sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.
“Bu Pun Su, jagalah serangan
kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat
hitamnya.
“Majulah, majulah!” jawab Bu
Pun Su tenang.
Sementara itu, Ang I Niocu dan
Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan
antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka sudah
keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga
dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong
Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga
amat penasaran. Akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari
susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.
Sebenarnya, kalau mau dibuat
pertandingan tentang ilmu kepandaian, maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago
yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan
tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ
terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai, apa lagi senjata Lok Kun Tojin yang
merupakan sepasang roda itu sangat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah
seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah sangat disegani di Turki dan
merupakan tangan kanan yang mendapat kepercayaan penuh dari Pangeran Muda.
Maka mengingat akan kepandaian
sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk
merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka
lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa goa
tempat di mana harta pusaka disembunyikan itu sudah didapatkan oleh orang-orang
Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak
dapat bertemu di depan goa di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.
Bu Pun Su menghadapi ketiga
orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari
gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, dia
segera dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari
kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat
hati-hati.
Siok Kwat Mo-li adalah sumoi
dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun
berbahaya sekali. Ketika dia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu
seolah-olah berubah menjadi banyak bagai ular-ular hidup berlenggak-lenggok
menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong
Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa Tung-hoat atau Ilmu
Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.
Lok Kun Tojin memiliki
sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang
amat sukar untuk memainkan senjata macam itu. Akan tetapi di tangan pendeta itu
sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang
menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.
Perwira Turki bernama Sahali
itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya
ini hebat dan berbahaya. Dia mempunyai cara bertempur yang aneh dan ilmu
silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat
ilmu golok seperti itu. Akan tetapi kini dia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal
ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki
tangan yang bagaimana pun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.
Sebagaimana diketahui,
rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kanglam
Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu sudah tewas di dalam tangan Ibrahim,
sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, sudah
melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari
harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang
tangguhnya luar biasa. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang
berilmu tinggi, tidak putus harapan meski pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya
ini, apa lagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali
yang lihai.
Tadi ketika Bu Pun Su
dikeroyok bertiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li sudah
melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in Hoat-sut yang hebat itu
terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan mau pun dari belakang, karena
pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan setiap kali bahaya
datang dari belakang, tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang.
Dalam permainannya,
seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan serta di belakang! Dan
Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang
menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini
dan kini dia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia
berbisik kepada dua kawannya,
“Kalian menyerang dari sisi
kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”
Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh
lawan yang mempergunakan bentuk segitiga, yakni dari depan, kanan dan kiri,
tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini
jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan hanya dari depan dan
belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum
dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan
cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena sekarang ia harus membuat
lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.
Bu Pun Su adalah seorang sakti
yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini
tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba dia berseru,
“Siok Kwat Mo-li, kau
betul-betul cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak memiliki banyak
waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”
Sesudah berkata demikian, Bu
Pun Su mengambil sepotong gendewa yang sudah patah milik dari Sian Kek Losu
tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biar pun benda itu
hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu
Pun Su akan merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini
berseru keras dan baja bengkok itu lantas menyambar hebat, merupakan gulungan
sinar yang panjang dan dahsyat.
“Lepaskan senjata!” terdengar
teriakan nyaring Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek
itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar
biasa itu.
Terdengar suara logam beradu
keras sekali dan segera disusul oleh pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga
buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan
melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke
kanan kiri karena talinya telah putus.
Ada pun Siok Kwat Moli yang
mempunyai lweekang lebih tinggi dari pada kedua orang kawannya itu, masih
sanggup mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya walau
pun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya
itu tak sekuat tangannya sehingga pada saat ia memandang, ternyata bahwa
tongkatnya itu sudah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang
tongkat yang amat pendek saja.
Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su
telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang sangat dahsyat, yang disebutnya
Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa
sehingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang bersenjata, biar pun ada
puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang
dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!
Siok Kwat Mo-li dan kedua
orang kawannya berdiri bengong karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara
kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek
bongkok itu menjadi marah sekali dan ketika melihat Bu Pun Su berdiri di
depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur
kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi telah menggunakan tenaga
sepenuhnya sedangkan usianya sudah sangat tua, maka sambil memekik keras Siok
Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke
tubuh Bu Pun Su!
Ang I Niocu dan Ma Hoa
terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang sudah mempelajari
ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada waktu itu Bu Pun Su sedang mengatur
napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan
membahayakan keselamatannya.
Ma Hoa dan Ang Niocu memang
sangat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak
terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun
Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su,
berdiri agak jauh.
Melihat keadaan Bu Pun Su yang
sangat berbahaya itu, Ma Hoa cepat melompat dengan sepasang bambu runcingnya di
tangan. Dia melompat ke depan Bu Pun Su dan cepat sekali dia memutar-mutar dua
batang bambu runcing itu menangkisi jarum-jarum hitam sehingga semua jarum
dapat dipukul runtuh ke atas tanah.
“Ehh, anak lancang, lekas kau
mundur! Im Giok, jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan
suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan
segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.
Bu Pun Su memandang kepada
Siok Kwat Mo-li sambil tersenyum. “Apa bila kau masih merasa penasaran, kau
boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”
Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li
yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu
berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa
perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata
mengandung penuh kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia
lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan
semua anak buah Turki.
Sekarang keadaan di situ makin
sunyi dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih
berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan
diam-diam dia pun sangat kagum terhadap Bu Pun Su. Dia maklum bahwa
kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu.
Akan tetapi Kam Hong Sin juga
terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan
tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapa pun juga ia tak mau mengalah begitu
saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.
“Locianpwe, sungguh hebat
kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian yang
sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa,
aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”
Bu Pun Su tersenyum dan di
dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.
“Dan bagaimana kalau aku tetap
hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.
“Terpaksa aku harus menangkap
dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”
Terdengar suara tertawa riuh
rendah. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio,
perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang
berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.
“Balaki, kaulihat bagaimana
sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling
kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan dari
pada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”
Hai Kong Hosiang beserta
kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar
tidak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu
bahwa sebenarnya, di dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira
yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.
“Kam-ciangkun,” kata kakek itu
kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja.
Biarlah lain kali bila mana ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan
maaf.”
“Tidak mungkin, Locianpwe.
Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biar pun aku terpaksa mempertaruhkan
jiwaku. Apa bila Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu,
betapa pun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”
“Hmm, kalau begitu, silakan
kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu
baik-baik supaya kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”
Kam Hong Sin tak mengerti akan
maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su
menantangnya untuk menangkap, ia segera mempergunakan ilmu tangkapan tangan
yang dulu dia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur.
Perantau itu datang dari
seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, dia sudah bertemu
dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti
Sin-na-hoat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali
ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk
melepaskan dirinya lagi!
Ketika Kam Hong Sin melangkah
maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan
mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan
segera menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun
Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu
kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan
belenggu besi pun tidak akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada pegangan ini.
“Ciangkun, perhatikan
baik-baik!” kata Bu Pun Su.
Kam Hong Sin segera maklum
bahwa kakek itu tentu akan menggunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka
cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu
semakin tinggi di atas punggungnya!
Bu Pun Su mengangkat sebelah
kakinya lalu ditendangkan ke belakang dengan perlahan sehingga Kam Hong Sin
yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang
mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia miringkan tubuh dan mengganti
kedudukan kakinya dan saat inilah yang dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk
melepaskan diri. Saat Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan
posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru
keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga
jatuh tunggang langgang!
Sampai tiga kali Kam Hong Sin
mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan
tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu.
Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena
tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri
dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat sehingga Kam Hong Sin dapat
mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan
mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan
latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang
hebat dari Bu Pun Su!
“Terima kasih atas pengajaran
Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota
Raja.”
Setelah berkata demikian, Kam
Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan
tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walau pun ia merasa penasaran dan
kecewa, namun diam-diam dia merasa girang karena menerima pelajaran tipu
gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!
Hai Kong Hosiang tertawa dan
sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia pun berkata keras, “Kalian
apakah hendak merebut harta pusaka pula? Jika demikian halnya, boleh kalian
maju melawan jago kami. Ha-ha-ha,”
Walau pun merasa gemas dan
marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di
depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu.
Pada waktu Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan
diri berlutut.
Akan tetapi sambil mengerutkan
keningnya, Bu Pun Su membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata,
“Pergilah, pergilah...”
Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak
berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari sana tanpa berani bertanya
apa-apa lagi. Mereka cepat-cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan
peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.
Sementara itu, setelah
berhasil mengusir semua pihak yang ingin mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su
lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam goa itu.
“Inilah goa penyimpanan
harta-pusaka itu.” katanya.
“Bu Pun Su, kau berjanji untuk
mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya goanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan
senyum menyeringai.
“Kita harus mencari
rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.
Ia adalah seorang yang sudah
memiliki pengalaman luas, maka meski pun tanpa bantuan peta, dia dapat menduga
bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentulah bukan sengaja dipasang
di sana, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang di tengah dan di
tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.
Maka ia lantas
menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas
dan segera tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su kemudian
menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh
Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong
Hosiang dan Wi Wi Toanio,
“Harta ada di dalam sana,
kalian boleh mengambilnya dan sekarang lekas keluarkanlah obat untuk muridku
itu!”
“Obat itu tidak ada padaku,”
jawab Hai Kong Hosiang.
Bu Pun Su memandang dengan
mata bersinar-sinar sehingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua
langkah.
“Aku tidak membohongimu, Bu
Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga
sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat
rahasia di dalam hutan.”
“Lebih dulu bawa aku ke sana
untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku, barulah kalian boleh
mengambil semua harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu
menggerakkan kembali patung itu sehingga lubang tadi tetutup kembali.
“Benarkah harta itu berada di
tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.
“Wi Wi, aku adalah seorang
lelaki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su amat mendongkol dan ia
kembali menggerakkan patung untuk membuka. “Kau lihatlah sendiri, perempuan
curang!”
Wi Wi Toanio tertawa
menjemukan lantas melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama dia
tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya
kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar
bagaikan seorang yang merasa girang sekali.
“Aduhhh, bukan main hebatnya!”
katanya sehingga ucapan yang pendek itu sudah cukup menyakinkan hati Hai Kong
Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.
Bu Pun Su menutup kembali
lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil
obatnya!”
Mereka lalu membawa Bu Pun Su
ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga
oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki. Namun ketika mereka datang, para
penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.
“Celaka, baru saja ada seorang
muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia
lihai sekali!”
Hai Kong Hosiang beserta
kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera
memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu sedang duduk di atas bangku
sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.
“Muhambi, apakah yang
terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.
“Tak ada apa-apa, hanya
seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut
merah itu.”
Hai Kong Hosiang menjadi
pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang
berani merampasnya?”
“Entahlah,” jawab Mahambi,
dukun itu. “Ia adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”
Mendengar ini, Bu Pun Su
menjadi pucat dan ia pun segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku telah
memenuhi janjiku untuk mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya
harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”
“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata
Hai Kong Hosiang yang segera memegang pundak dukun itu sambil mengancam,
“Buatkan lagi obat itu untuk kami!”
Mahambi menggeleng-gelengkan
kepalanya yang sudah penuh uban. “Aku harus menanti berkembangnya kembang semut
merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”
“Aku pergi!” kata Bu Pun Su.
“Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata
demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.
Hai Kong Hosiang dan Wi Wi
Toanio sejenak tertegun. Alangkah ingin mereka mengejar dan memaksa Bu Pun Su
agar mengambilkan harta pusaka itu. Akan tetapi, apakah daya mereka terhadap
kakek sakti itu…..
********************
Cin Hai dan Lin Lin yang
sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula
di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu berhenti untuk
beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.
“Mudah-mudahan Suhu akan
berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah
sekali,” kata Cin Hai.
“Hai-ko, jangan kau gelisah.
Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata Suhu gagal, aku masih
tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan
mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.
Melihat kedua orang itu
berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw
dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara
seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi mereka tempat itu memang
kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak berumput, penuh gunung
batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ, dengan batu-batu karang
bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam goa pun lantainya
dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.
Akan tetapi oleh karena panas
terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka goa di
mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat enak dan melindungi mereka
dari serangan matahari yang panas.
“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil
membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita telah beristirahat
dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan perjalanan memasuki kota
Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu
yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya.”
“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko.
Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai oleh orang-orang
macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan
segera membawa obat itu.”
Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan
kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang
keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh
Lin Lin.
Mereka terkejut sekali karena
melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu sudah mengenal
Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah
sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan
Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.
“Obat sudah kudapatkan!”
teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang
akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam tanganku.
Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya
karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”
Cin Hai menjadi pucat dan dia
memandang penuh ketidak percayaan.
“Kau tidak percaya?” kata Song
Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia
mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat
tinggi-tinggi.
“Song Kun! Betulkah bicaramu
itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.
“Kau anggap aku ini orang
apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk
menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol.
Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan
harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang, demikian
menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil merampas
botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi,
aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk menjadi
isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan
botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah
mukanya.
“Suheng!” teriak Cin Hai yang
merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk
sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.
“Kau tolonglah Lin Lin dan
berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku
dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau
suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau memaksanya menjadi
isterimu kalau dia tidak suka.”
Song Kun tertawa bergelak,
“Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin melihat tunanganmu
itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin
Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”
“Tak perlu kau bertanya lagi.
Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”
“Kalau benar cintamu itu
murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan
ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat ini dan
membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan
seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang!
Cin Hai menjadi bingung karena
dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja,
akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.
"Jangan kau buang botol
itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”
“Dan menjadi isteriku?” tanya
Song Kun.
“Soal itu terserah kepadanya,”
jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.
Lin Lin semenjak tadi
mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang
pendeknya.
“Song Kun manusia berbatin
rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah
botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan
besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan
yang hebat.
Song Kun cepat menyimpan botol
itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera mencabut pedangnya Ang-ho
Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tidak boleh dipandang ringan
itu.
Melihat betapa kekasihnya
menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan
ikut menerjang sambil berseru,
“Song Kun, jangan kau lawan
dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang
segera ditangkis oleh Song Kun.
Lin Lin tetap menyerang dan
membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin
Lin segera berkata kepadanya,
“Lin-moi mundurlah dan biarkan
aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau
kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”
Lin Lin melompat mundur dan
membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya terlampau tangguh itu, apa
lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan
menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.
Sekali lagi dua orang muda
yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang
menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung sakti yang
hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk
membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan
mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan
terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil
mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.
Karena hatinya telah bulat
untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu mengeluarkan
seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak
Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebatnya.
Diam-diam Song Kun merasa
terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian
tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat
mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun. Juga pedang
Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang sanggup
mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal
dan jarang sekali menemukan tandingannya.
Song Kun adalah seorang yang tidak
saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia juga cerdik dan memiliki
sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba dia menarik
keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu
ke jurang.
Gerakan ini tentu saja membuat
Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak ingin melihat obat
tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat tertolong lagi. Ia
menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa
dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya
seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia
memekik tanpa terasa lagi,
“Jangan lempar botol itu!”
Tentu saja pikiran yang
bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada saat yang
tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan
menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan tetapi
gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya!
Darah mengucur dari kulit itu,
terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan
lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song
Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah
lehernya.....
Serangan ini datangnya tak
tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat
memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang
untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi
kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya!
Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut
terpapas oleh pedang yang tajam itu!
Melihat hal ini, tanpa
tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran
telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!
Melihat keadaan kekasihnya,
timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi
seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, dia tidak boleh merasa
khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak akan mau memberikan obat
itu kepadanya. Karena itu dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan
tangan pada pedangnya lalu membentak,
“Song Kun, kalau bukan kau,
tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”
Setelah berkata demikian, Cin
Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya,
karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan juga
menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan
serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.
Dalam keadaan sabar, gerakan
Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam keadaan marah dan
menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas seolah-olah
seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau
sabetan yang dapat membawa maut!
Song Kun terkejut sekali. Ia
berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar
obat ini hendak kulempar ke jurang,”
Akan tetapi, Cin Hai telah
menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan
yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera memperhebat desakannya.
Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.
“Benar-benar kulemparkan botol
ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.
Akan tetapi sekarang Cin Hai
tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia melompat ke belakang,
agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai
mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke
dalam jurang!
Melihat hal ini, mau tidak mau
Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin
meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah
botol itu dilemparkan.
Akan tetapi, pada saat itu,
dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su
telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.
“Ha, akhirnya obat ini
terdapat juga olehku!” katanya girang.
Bukan main girangnya hati Cin
Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu mengalir turun,
bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka pada jidatnya.
Sementara itu, Song Kun
menjadi marah sekali.
“Tua bangka!” ia memaki
supek-nya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita
mengadu jiwa di sini!”
Bu Pun Su hanya tersenyum
dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah
dia!”
Cin Hai yang merasa beruntung
sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera
memutar pedangnya dan berkata,
“Suhu, teecu mohon ijin dan
restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”
“Memang kejahatan harus
dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat pantas apa bila
dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu dan juga
wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan wajahnya tampak
bersungguh-sungguh.
Cin Hai lalu maju menyerang
dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha
keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan
lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya merah, sedangkan
pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang
sekali.
Sinar pedang kedua pihak
bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan
pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa heran sekali
melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang dan
pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap
(pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam
(pedang terbang) itu memang benar-benar ada!
Akan tetapi, mata Bu Pun Su
dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil mendesak Song Kun yang
kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun menang gesit dan menang
pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu selalu menjalani kehidupan
sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak
sedemikian sempurna.
Sesudah terdesak oleh Cin Hai
dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi
seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan daya tahannya sudah
banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah mencurahkan seluruh kepandaian
dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar
dan bahkan mendesak makin hebat!
Akhirnya Song Kun terdesak
sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong
sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah dadanya.
Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang
Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling
masuk ke dalam jurang!
Cin Hai memandang ke dalam
jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling
dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!
“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu
sudah banyak maju!”
Cin Hai bagaikan baru sadar
dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan
sepatah pun kata.
Mereka cepat-cepat menghampiri
Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke
dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.
Pemuda itu lalu memondong
tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang panas matahari.
Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh
kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, dia
bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan suara. Seluruh
perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan
cemas!
Makin lama, wajah Lin Lin yang
tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan
orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu
Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu
memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah mencabut Han-le-kiam,
terus menyerang kakek itu!
Tentu saja kejadian ini
membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan
Cin Hai cepat memburu dan berseru,
“Lin-moi, mengapa kau
menyerang Suhu?”
“Siapa yang menjadi Suhu-ku?
Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!”
Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.
Cin Hai makin terkejut oleh
karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri,
juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’, satu hal yang belum
pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul persangkaan di dalam
hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka dia cepat
menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.
“Lin Lin... dia adalah Suhu
kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat, akan tetapi dia
masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.
“Lin Lin, aku adalah Bu Pun
Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena dia merasa
bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.
“Tidak, tidak! Kau laki-laki
kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau
akan kubunuh!”
Setelah memaki-maki lagi,
akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!
Bu Pun Su serta Cin Hai
menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas
lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tak nampak
tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia memeluk Lin Lin
yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!
“Bagaimana baiknya, Suhu…?”
tanya Cin Hai dengan bingung.
“Sabar dan tunggulah saja
perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang
bukan semestinya!”
Tak lama kemudian, Lin Lin
terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai seorang yang baru
saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia lalu maju berlutut
dan berseru,
“Suhu...!”
Bu Pun Su dan Cin Hai saling
pandang dengan mata terbelalak.
“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk
dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.
Lin Lin memandangnya dengan
heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu
dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”
Ternyata bahwa Lin Lin tidak
ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya sendiri dan mengamuk
bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya,
kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, dia minta gadis
itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.
Lin Lin segera mencabut keluar
Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya. Mereka berdua merasa
kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya
kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi
gelisah juga.
“Cin Hai, marilah kita datangi
mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu,
pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan
kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkan engkau
seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata
Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.
Tiga ekor burung besar
melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.
“Kalian bertiga jagalah
baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.
Kemudian ia bersama Cin Hai
lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada
dukun Mongol…..
********************
Setelah menceritakan pengalamannya
yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dengan Turki serta
kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf
terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,
“Di balik peristiwa itu tentu
ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin Susiok-couw
sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini
perlu sekali diselidiki.”
“Memang hal itu aneh sekali,”
kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu muslihatnya sehingga
maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah menjadi buta dan
terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia muncul dan
sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil menarik Bu Pun
Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat yang keji.
Marilah kita menyelidiki mereka!”
“Cin Hai tentu tahu akan hal
ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah pasti dia akan
segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat
bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia
peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah
diambil,” kata Ang I Niocu.
Semua orang setuju dan
demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari Lan-couw untuk
menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.
Ketika mereka tiba di luar
kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang
terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.
“Lihat, bukankah itu
Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung
merak yang indah bulunya itu terbang di atas.
“Betul, marilah kita pergi
menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah
mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan
adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.
Melihat kegembiraan Ma Hoa,
Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya tersenyum dan ikut
berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di tempat yang penuh
bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan goa besar
dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu
yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.
Ma Hoa berlari masuk goa dan
tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat,
“Manusia tidak tahu malu! Kau
akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat
seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.
“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak
nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini
aku... Ma Hoa…!”
Akan tetapi Lin Lin yang
gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang
terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa
mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan menjaga
diri.
Ma Hoa merasa heran, terkejut,
dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena ilmu pedang gadis itu
benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk diduga, maka terpaksa
Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis
semua serangan Lin Lin!
Kalau saja Ma Hoa belum
memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti dengan mudah
saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat
Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin
benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan
kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat
untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan
yang amat dahsyat.
Berkali-kali Ma Hoa berseru,
“Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”
Tiga ekor burung yang melihat
pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara
keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tidak tahu
harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau
Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak
menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali
Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu
seakan-akan bertempur sendiri di udara!
Mendengar ribut-ribut itu, Ang
I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa
Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang terus mempertahankan
diri dengan sibuknya.
“Enci Im Giok, lekas... lekas
tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.
Ang I Niocu berdiri bagaikan
patung dan menjerit,
“Lin Lin...!”
Tiba-tiba suara ini
seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia
menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,
“Enci Im Giok...!”
Pedangnya terlepas dari
pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening sekali. Ang I
Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas di
dalam pelukannya!
Maka melongolah Ang I Niocu
dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap.
Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk
bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tertidur pulas! Alangkah
anehnya keadaan ini.
Ang I Niocu duduk sambil
memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa
keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan tetapi selain
tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ tidak terdapat
sesuatu lagi.
Beberapa lama kemudian,
setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin
menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika melihat bahwa
dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok kedua matanya
seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian dia bangkit
dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.
“Enci Im Giok...”
“Lin Lin, kau kenapakah...?”
bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.
Kemudian, Lin Lin merasa betapa
pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera
merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.
“Enci Hoa... kau juga
datang…?”
“Ehh, ehhh, anak nakal!
Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa.
“Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu hebatnya sehingga
hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”
Lin Lin memandangnya dengan
hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang lagi? Ah, celaka...”
dan ia lalu menangis sedih.
Ma Hoa beserta Ang I Niocu
kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak
mengerti dan terheran-heran.
“Lin Lin,” kata Ang I Niocu
sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa masuk ke dalam goa
ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak kau jatuh pulas!
Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu karena kami pun
sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si
keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh, apakah gerangan yang
telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”
Lin Lin segera menuturkan
semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio
dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka dan melakukan perjalanan
bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun serta mendapatkan
obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan
datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang menyerangnya itu.
Ang I Niocu dan Ma Hoa
mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun
Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin
Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan oleh Cin Hai
sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada
tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa
gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam
penyakit yang aneh.
“Dan sekarang kemanakah
perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.
“Mereka sedang pergi kepada
dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang
pengaruh obat itu.”
Tiada habisnya mereka
bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan
bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang dahulu
dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai bahwa
Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan
pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama
tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.
“Aku ingin sekali bertemu
dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali
kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.
“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu
sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah ditemukan itu,” kata Ma
Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun
Su.
Tiga orang dara yang cantik
jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin
Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan
Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan
menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah mempunyai
calon.
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau
diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali,
supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.
Sementara itu, Lin Lin merasa
gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun berbisik,
“Kionghi (Selamat), Enci Im
Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan
ternyata doaku itu kini terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa
bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin
Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu
sekali dan dia menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.
“Terima kasih, Adikku, terima
kasih,” jawabnya sederhana.
********************
Mari kita ikuti perjalanan Bu
Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu
dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat itu, pondok di mana
kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya terjaga oleh empat orang
Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.
Kemudian ternyata bahwa yang
berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su
bertanya kepadanya.
“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku
baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru
kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia
maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir
mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu,
benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”
“Benar, siapa yang
meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan
suara bangga.
“Apakah setelah minum obat
itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”
“Pasti sembuh, seketika itu
juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai
tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” dia menjawab.
“Apakah tidak ada pengaruh
lain yang merusak dari obat itu?”
“Tidak, tidak! Obat itu adalah
semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak
dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat
mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari,
ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau
sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Aku lalu
menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah
sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu
sudah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, dan karena itu pula
kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali,
akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang
jahat!”
Bu Pun Su memandang dengan
tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun
itu tidak membohong.
“Akan tetapi mengapa orang
yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan
marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.
Dukun itu tersenyum dan
mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang
hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu
akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua
racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa itu tidak akan
mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun itu berperang
di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan
terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu,
yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”
Cin Hai tak sabar untuk
berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu?
Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.
“Tidak ada bahayanya dan hanya
untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular
hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula
dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga
hari pula dia akan terserang hal itu.”
Bu Pun Su dan Cin Hai menarik
napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk
sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.
“Dan di mana perginya Hai Kong
dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.
“Ke mana lagi kelau tidak
mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang
dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka
tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”
Bu Pun Su lalu berkata kepada
Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak dia mencari Ang I
Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi
mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh
ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan
berbagai kejahatan pula.”
Cin Hai mengangguk dan mereka
lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke goa di mana Lin Lin
berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa Tun-huang!
Bu Pun Su berlari cepat dan
sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol
menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya Hai Kong dan
kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat beserta kawan-kawannya
itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta pusaka.
Dengan sekali melompat, Bu Pun
Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para penjaga sehingga para
penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor
burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun
adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti
dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.
“Hai Kong, Wi Wi, dan yang
lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu
selama aku masih berada di sini!”
Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang,
Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa itu dengan muka
merah karena marah.
“Bu Pun Su, jangan kau berlaku
seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi,
sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta
pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”
“Apa katamu?!” bentak Bu Pun
Su kepada Hai Kong Hosiang.
“Harta Pusaka itu sudah kau
curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong Hosiang balas
membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su.
Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang
mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang Bu Pun Su dengan
tusuk konde itu!
Menghadapi serangan Hai Kong
Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi
serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar
juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak
akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan
berkata,
“Aku masih belum mengerti
maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”
Secepat kilat ia lalu
menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar lagi kemudian
berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Puluhan anjing
kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa
lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira
dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.
“Kau maksudkan bahwa yang
mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong
Hosiang sambil memandang tajam.
“Dasar kau yang bodoh,” tegur
Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat
bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang
perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin!
Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang yang serakah
dan bodoh!”
“Lu Kwan Cu, kau harus
mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru
sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.
Akan tetapi kini Bu Pun Su
tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu
menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan
merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu
kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan
Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”
“Lu Kwan Cu, pada suatu hari
aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah
berkelebat pergi dari situ.
Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum
bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta pusaka
sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi kakek
jembel itu?
Ternyata bahwa harta pusaka
itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang
ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi
mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang
oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat
melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.
Orang ini lalu masuk ke dalam
lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu,
kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di
dinding yang berbunyi seperti berikut:
Harta pusaka di goa rahasia,
telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai
peninggalan nenek moyang mereka!
Tadinya Hai Kong Hosiang
bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun
Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun
tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang menggunakan
tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa
tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka
teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil keputusan untuk
mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.
Mereka ini tidak tahu bahwa
secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi
dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka mencari Hok Peng
Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat
ke goa di mana Lin Lin berada…..
********************
Ketika Cin Hai yang disuruh
kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan girang ia bertemu
dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan segala pengalamannya
dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin
Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.
“Agaknya penyakit Adik Lin
hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata
Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Pada saat ia
terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan
dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika
tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula.
Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu, Lin
Lin?”
Gadis itu sambil menarik napas
panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama sekali Enci Im Giok,
seakan-akan aku mimpi.”
“Lebih baik kau dan Cin Hai
tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tak enak
kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada orang!” kata Ma
Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.
Tiba-tiba Cin Hai berkata
kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya,
“Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah baik-baik bahwa
dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”
Lin Lin mengangguk-angguk dan
maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan
kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!
Benar saja, Bu Pun Su
bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan
tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului
semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena
memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang
sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa kecewa juga
mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.
“Dan satu hal yang amat
penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok
Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada
Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus
membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan
serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat berbahaya. Lin Lin,
kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah itu barulah kalian
boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”
Sehabis berkata demikian,
kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar
menggema, “Tiga burung kubawa serta!”
Ketika semua orang keluar
untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga
ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.
Ang I Niocu berkata kepada Lin
Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar
mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian
berdua.”
“Enci Im Giok, janganlah kau
dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin
Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah
angkatnya.
Ang I Niocu dan Ma Hoa
berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan goa
itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.
“Lin-moi, sepekan bukanlah
waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita hanya menganggur.
Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk melatih lweekang,
sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”
Lin Lin menyetujui usul ini
dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa itu, bersemedhi
memperkuat tenaga dalamnya…..
********************
Sementara itu, Ang I Niocu dan
Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng
dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang
baru dan tak mereka sangka-sangka.
Kwee An, Nelayan Cengeng dan
Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan
keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.
“Jangan, sebelum lewat
sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru hanya akan
membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa bila sepekan
telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat
ini.”
Kemudian, Kwee An segera
menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih
baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana
diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang
aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang
kawan-kawannya yang jahat.
Mereka berdua pergi ke goa-goa
Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah terjadinya adu
kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak
terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia tempat harta
pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan
memegang senjata.
Nelayan Cengeng dan Kwee An
mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-penjaga itu, Nelayan
Cengeng berkata,
“Mungkin sekali harta pusaka
itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk
merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya kembali?”
Kwee An menjawab, ”Aku setuju
sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun Su Lo-cianpwe datang
dan mempersalahkan kita?”
“Jangan kuatir, betapa pun
juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak
membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai Kong memang
terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada
sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh
Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan
mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti
bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapa pun juga, di dalam
hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat betapa harta pusaka itu
terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”
“Apa bila kita berhasil
mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang
berhati polos dan jujur.
Nelayan Cengeng tertawa sambil
memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka dari kedua matanya
keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah
harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta
itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta
pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu sudah
sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”
“Yang berhak?” tanya Kwee An
dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya,
kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak
menerimanya kembali?”
Tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus
dikembalikan kepada rakyat!”
Nelayan Cengeng dan Kwee An
merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata di atas mereka
sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan memegang sebatang
tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek
ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin dia bisa datang
tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.
“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua)
masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak
itu bertanya.
Nelayan Cengeng lalu tertawa
terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat
memberi penghormatan yang layak!”
Kakek botak itu tertawa pula
dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.....