Pendekar Sakti Jilid 21-25
Sesudah senja datang, Kwan Cu
menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan mengintai ke arah goa itu.
Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa
yang tadi masih saja berdiri laksana patung di depan goa, memegangi tombaknya
sehingga nampaknya angker dan menakutkan.
Kwan Cu tidak mau segera turun
tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih
mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam goa itu melarikan diri.
Ketika dia masih menunggu sambil mengintai di belakang rumpun alang-alang,
tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.
Alangkah kagetnya hati Kwan Cu
ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat itu ternyata adalah
seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit
hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang
tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal hwesio ini yang bukan lain
adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang sangat lihai dan jahat,
hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang
dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada
di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!
Di sebelah hwesio ini berjalan
pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan
adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia
berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan
mereka ini, tentu berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tidak
usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan seorang tokoh besar yang
tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!
Dia melihat penjaga yang
laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian
An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap ditelan
kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa, seakan-akan dia
berkata-kata di depan banyak orang.
Kwan Cu mengerahkan tenaga
pendengarannya. Lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang
ditahan di dalam goa itu untuk menyerah dan menurut serta membantu
perjuangannya!
Kwan Cu tidak mengerti akan
maksud semua kata-kata itu. Dia hanya tahu bahwa semua orang yang ditahan itu
tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk
mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi
goa itu akan ditutup untuk selamanya!
Kwan Cu tidak berani bergerak
dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu
keluar lagi dari goa dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada
penjaga supaya berhati-hati.
Malam tiba dan langit hanya
diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tidak lama kemudian datang pula
serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu
bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan.
Ketika para penjaga itu sedang
bercakap-cakap, mendadak terdengar suara suling yang merdu. Mereka terkejut
sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?
Seorang di antara mereka
bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak
berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.
Penjaga-penjaga yang lain
setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan
memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa lalu berkata dalam
bahasa Han yang kaku.
“Barang kali peniup suling itu
adalah seorang wanita cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan
dia!”
Dua orang penjaga lalu pergi
menyusul kawannya. Akan tetapi setelah sampai di sebuah tikungan mereka ini
juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.
Tiga orang penjaga lain
menjadi gelisah karena sekarang ada dua orang kawannya lagi yang sudah lama
pergi tetapi tidak muncul kembali.
“Ahh, tentu ada apa-apa!” kata
seorang di antara mereka. “Lebih baik kita memberi tanda rahasia agar
kawan-kawan yang lain datang ke sini. Hatiku tidak enak…”
Akan tetapi sebelum dia dapat
melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang.
Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan, kemudian terdengar teriakan
susul menyusul saat tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh
tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.
Pemuda ini segera mengambil
obor yang tadi terpasang di depan pintu goa dan berlari masuk. Ternyata bahwa
goa itu dalamnya sangat luas dan panjang, merupakan sebuah terowongan yang amat
gelap. Di sepanjang terowongan itu terpasang anak tangga dan ketika Kwan Cu
berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di
depannya nampak sebuah lubang.
Hmm, agaknya lubang inilah
yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancam dirinya siang tadi, pikir
Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia
karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.
Terdengar suara-suara orang di
bawah dan Kwan Cu cepat bertanya,
“Saudara-saudara yang tertawan
di bawah, aku datang untuk menolong!”
Sejenak suara orang-orang di
bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.
“Bagaimana caranya kau dapat
menolong kami?” Inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.
“Berapa banyak kawanmu?” tanya
Kwan Cu.
“Kini yang masih hidup ada
empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah
hampir mati dua puluh orang lebih!”
Kwan Cu bergidik dan bulu
tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi dia pun telah mencium bau yang tidak enak,
tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.
“Berapa dalamnya sumur ini?”
tanyanya pula.
“Kurang lebih lima tombak!”
Kwan Cu berpikir sebentar.
Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas
sambil menggendong tubuh seorang.
“Dasarnya tanah keras atau
lembek?”
“Tanah keras atau basah.
Bagaimana kau hendak menolong kami?”
“Kalian minggirlah semua, biar
ruang di bawah pada bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!” kata Kwan
Cu.
Kemudian pemuda ini segera
menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya serta
menyelipkan suling pada pinggangnya, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur,
tepat di tengah-tengah dan berseru,
“Awas, aku datang!”
Kedua kakinya menginjak tanah
padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh cahaya
obor yang ada di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam
gelap nampak hitam menakutkan.
“Taihiap, kau sungguh gagah.
Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana
selanjutnya kau dapat menolong kami?” tanya suara yang tadi berbicara ketika
Kwan Cu masih berada di atas.
Orang ini tubuhnya tinggi
kurus, tetapi wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung
kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang gagah di
dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.
“Aku dapat menggendong kalian
seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya sederhana.
Terdengar seruan kagum dan
tidak percaya.
“Taihiap, dapatkah kau
melompat setinggi ini sambil menggendong seorang pula?” tanya orang yang tinggi
itu.
“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.
“Dan para penjaga, di manakah
mereka?”
“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol
saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,”
kata Kwan Cu habis sabarnya.
“Taihiap, biarlah kau
keluarkan aku terlebih dahulu. Dengan menggunakan ikat pinggang yang
disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”
Pikiran ini baik juga. Kwan Cu
kemudian menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan
cepat sekali. Ia mengerahkan ginkang-nya dan tanpa banyak susah dia dapat
mencapai pinggiran sumur.
Ketika orang yang ternyata
seorang laki-laki setengah tua itu melihat bahwa orang yang menolongnya hanya
seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum
sekali. Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak
melakukan peradatan. Dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang
memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari
sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.
Sekarang pertolongan
mengeluarkan para korban dilakukan dengan dua jalan. Kwan Cu masih tetap naik
turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tak
kuat merayap melalui tambang buatan. Selain itu ada pula yang merayap melalui
ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepaskan ke bawah oleh
orang tinggi kurus itu.
Akhirnya, setelah bekerja
mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat
dikeluarkan semua dari sumur itu.
“Mari cepat keluar dari goa
ini!” Kwan Cu mengajak tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang
itu.
Mereka ini ternyata adalah
orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tidak salah lagi, sebagian
besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tak mau dipaksa menjadi
tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua
orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah sendiri?
Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil
pusing.
Semua orang mengikuti Kwan Cu
keluar dari goa itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat sehingga
sebentar saja mereka sudah dapat melarikan diri jauh dari goa, lalu bersembunyi
di dalam hutan.
“Nah, sekarang aku akan pergi
dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.
Orang yang tinggi kurus tadi
melangkah maju dan menjura.
“Taihiap benar-benar hebat
sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku
ini, biarlah aku yang akan memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu
jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat, siapakah
Taihiap ini dan murid siapakah?”
“Aku bernama Kwan Cu dan
selebihnya tak perlu kuceritakan. Hanya bila kalian hendak berterima kasih,
ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!”
Sesudah berkata demikian, Kwan
Cu segera melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu…..
********************
Jika sekiranya Kwan Cu
mendengar bahwa An Lu Shan sedang mempersiapkan barisan besar untuk memberontak
terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentulah akan berusaha untuk
menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama
tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu.
Dia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tidak
mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.
Pemuda ini melakukan
perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya. Dia hanya beristirahat untuk makan
dan tidur sebentar saja. Dia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan
orang lain, atau lebih tepat lagi supaya jangan sampai ada urusan yang akhirnya
menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada
orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada
di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut
Kuning.
Kota Ang-tung sangat besar dan
ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman
Tiongkok dengan para pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan
pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.
Akan tetapi ketika Kwan Cu
mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorang pun sanggup menyewakan
perahunya, biar pun dengan bayaran tinggi.
“Laut di selatan tidak aman,
kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang
besar dan sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang
banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya bisa membawa
barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan
juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Bila kongcu menghendaki menyewa perahu
untuk digunakan memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan di
perkampungan nelayan Kim-le-pang.”
“Di mana letaknya perkampungan
Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan hati girang.
“Tidak jauh, kurang lebih lima
belas li di sebelah timur kota ini.”
Tanpa membuang banyak waktu
lagi Kwan Cu cepat-cepat menuju ke timur dan mencari perkampungan Kim-le-pang
yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun
itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja
sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala
yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor.
Mereka ini nampak miskin dan sederhana, akan tetapi sebagian besar bertubuh
tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh
matahari.
Ketika Kwan Cu menghampiri
para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkan dirinya, sama sekali tidak kelihatan
tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Kwan Cu pun dapat menduga bahwa
nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh.
Memang mereka ini adalah
sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan Han, dan merupakan
suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah
pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.
Melihat sikap mereka yang acuh
tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang amat
membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil
bertanya,
“Saudara-saudara, harap
maafkan kalau aku mengganggu kalian.”
Seorang kakek bermata sipit
yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang, berpaling kepadanya dan tanpa
melepaskan huncwe-nya dia berkata,
“Kalau tidak mengganggu, tak
perlu meminta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf
segala?”
Merah muka Kwan Cu mendengar
ucapan yang jujur dan kasar ini. Dia dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan
dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.
“Lopek, sebetulnya aku bukan
bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja
sudah merupakan gangguan bagimu.”
Sekarang kakek bermata sipit
itu menghentikan pekerjaannya menambal layar. Sambil mencabut huncwe-nya dia
menghadapi Kwan Cu dan memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,
“Kau mau apakah?”
“Aku mencari perahu yang
disewakan.”
“Dengan orangnya?”
“Kalau mungkin, lebih baik
lagi.”
“Ke mana?”
Kwan Cu merasa tidak enak
dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang
ini agaknya lebih suka bicara singkat.
“Hendak menyeberangi laut,
mencari pulau-pulau di dekat pantai.”
“Tak mungkin! Tidak ada perahu
yang disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwe pada mulutnya lagi.
“Lopek, aku pun tidak hendak
menyewa perahumu jika kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa
perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” Kwan Cu berkata agak keras
karena dia merasa mendongkol sekali.
Pemuda ini kemudian memandang
ke sekelilingnya dan berteriak, “He, saudara-saudara. Siapa yang suka
menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani
membayar berapa saja yang dimintanya!”
Mendengar pemuda ini
berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar
saja mengurung Kwan Cu dan sambil melepaskan huncwe-nya, berkata kakek itu
kepada orang banyak,
“Dengarkan orang gila ini! Dia
hendak menyewa perahu untuk menyeberangi laut dan mencari pulau. Agaknya dia
telah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti
kakek itu.
“Dengar!” Kwan Cu membentak!
“Kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja.
Tidak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarlah aku menyewa
perahu saja, berikan padaku perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar
mahal!”
“Kau akan membayar dengan
apa?”
“Dengan emas. Lihat, aku
mempunyai sekantong emas!”
Kwan Cu lalu memperlihatkan
sekantong emas yang dia dapat ‘ambil’ dari rumah gedung seorang bangsawan kaya
raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia
harus memiliki emas untuk menyewa perahu, sudah mencuri sekantong uang emas
dari hartawan itu pada malam hari!
“Hah, apa artinya emas? Tidak
bisa mengenyangkan perut!” kata kakek itu dan semua nelayan mengangguk
menyatakan setuju. “Mengacaukan saja!”
Kwan Cu tertegun dan
penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”
“Anak muda, apa pun pembayaran
yang kau janjikan, di dusun kami tak ada orang yang begitu gila untuk
memberikan perahunya padamu, karena bila perahu diberikan padamu, berarti
perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”
Kwan Cu mendongkol sekali,
“Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini,
hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut, tidak ramah dan tidak mau
menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”
Setelah berkata demikian, Kwan
Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri
saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!
Akan tetapi, tiba-tiba saja
terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu. “Lo-pek-pek, kenapa
tidak kau suruh saja dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini,
semua orang ketawa.
“Cocok sekali! Memang pantas
kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila atau
puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di antara gelak ketawa.
Kwan Cu terheran-heran.
Orang-orang ini tadinya sangat pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah
disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia tertarik sekali dan
menahan tindakan kakinya.
“Di manakah adanya si nenek
gila itu? Apakah dia benar-benar mempunyai perahu dan sekiranya dia mau
menyewakan perahunya, biar pun gila akan kucoba mendatangi.”
Kakek nelayan itu
menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biar pun urusanmu tidak ada sangkut
pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi
melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada
seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka
ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Apa bila kau coba-coba mendekati
mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”
Hati Kwan Cu semakin tertarik.
“Biarlah, di mana mereka
tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”
Kakek itu mengangkat
pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dulu bahwa orang-orang selatan memang aneh
sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan
di sana kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya.
Di sanalah mereka tinggal.”
“Terima kasih, Lopek. Selamat
tinggal!”
Sesudah mengucap demikian,
Kwan Cu menggunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua nelayan
ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat
amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!
Kwan Cu melanjutkan
perjalanannya dengan amat cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang
ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil
yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ
sangat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di
pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia.
Keadaan benar-benar sunyi sekali.
Kwan Cu menghampiri pondok itu
dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya
ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini,
terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja
dari tuan rumah.
Kwan Cu dapat melihat semua
ini karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikian pula jendelanya di kanan
kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan
jendelanya.
Sampai lama Kwan Cu menanti,
akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia
mencari-cari di depan dan belakang rumah, akan tetapi tidak kelihatan bayangan
orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu.
Namun jelas ada tanda-tanda
bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana sini terdapat
bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan
pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini.
Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.
Kwan Cu sampai merasa kesal
menanti di luar rumah. Kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada
hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia
memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia
melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari pujangga
ternama.
Hanya orang yang mengerti
kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak
seindah itu, pikirnya. Makin tertarik dia kepada penghuni rumah yang dikatakan
gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka ini dan bagaimana mereka nanti
menyambutnya?
Akan tetapi, menanti-nanti
kedatangan penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena setelah
ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, penghuninya belum juga kelihatan
kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali
lagi? Ataukah barang kali para nelayan itu mempermainkannya?
Akan tetapi tidak mungkin,
karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya
hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu
lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menunggu
terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi.
Senja telah berganti malam dan
bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan
termenung, mengharapkan kedatangan tuan rumah. Mendadak dia melihat sesuatu
yang sangat menarik perhatiannya.
Di bagian depan jendela itu
ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya. Tetumbuhan
ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong
bundar serta tulang-tulang daunnya kelihatan jelas sekali, kehitaman membayang
pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak
kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu,
adalah kejadian yang bukan main anehnya.
Tadinya daun-daun itu tidak
bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun
itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu
terlindungi dari pada hembusan angin. Akan tetapi, ketika malam tiba dan
beberapa ekor jangkerik datang, kemudian jangkerik-jangkerik itu menempel pada
daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati!
Kwan Cu terheran-heran dan
membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa
yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!
Kwan Cu berdiri seperti
patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani
menjamah daun-daun itu, sungguh pun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu
mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada
daun-daun itu.
Oleh karena itu, ketika ada
beberapa ekor jangkerik terbang, dia lalu menyambar dengan tangannya dan
menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik
itu satu persatu sehingga menempel pada pohon dan akibatnya... benar-benar
hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!
“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun
mukjijat apakah ini?”
Akan tetapi pada saat itu,
dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya
sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang lucu dan
menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mukjijat
itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan beriring-iringan ini
tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh.
Kali ini ulat-ulat itu merayap
dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang
segar dan digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang
menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan
bangkit seperti tadi. Tapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan seolah merasa enak
diayun-ayun oleh daun yang dimakannya dan menambah kelezatan makannya. Sebentar
saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!
“Luar biasa sekali!” pikir
Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!”
Dia menjadi sangat gembira dan
lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menunggu di situ.
Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai
menggerogoti lain daun yang segar.
Tiba-tiba saja terdengar suara
melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu
melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya
ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun. Pada tubuh
setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya
merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate,
kini tidak dapat melepaskan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!
Bukan main heran dan kagetnya
hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh dan mengenai
ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki
kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan
hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.
Kwan Cu tertarik bukan main
dan mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk diperiksanya. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar bunyi melengking mengerikan dan tahu-tahu
menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela.
Entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saja di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian putih
dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang
berbentuk bagaikan cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan
tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali dan
cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi betul-betul berbahaya!
Melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu
silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak
saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang
yang keras!
“Suthai, harap maafkan teecu,”
kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang berani memasuki rumah
Suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu
tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.
“Apakah kau mau mencuri
daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” nenek itu bertanya. Sepasang
matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil
seperti suling ditiup.
“Tidak, tidak, Suthai. Teecu
mana berani mencuri daun-daun mukjijat itu? Bahkan untuk menyentuh pun teecu
tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat membuat hangus tubuh
binatang-binatang jangkerik.”
Nenek itu tertawa dengan suara
menyeramkan. “Hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui
kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus,
hi-hi-hi!” Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap
oleh jarum-jarumnya. “Ha, ulat-ulat yang menjemukan. Hanya binatang ini saja
yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!”
Dia mencabuti jarum-jarumnya
dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, kemudian memasukkan tiga ekor
ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh
ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir pada pinggir
bibirnya terus ke dagu.
Kwan Cu bergidik menyaksikan
kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludah
melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali
karena dia ingin dan timbul seleranya. Dia ingin muntah dan terpaksa menelan
ludah untuk menahan keinginannya itu.
“Kau ingin makan ulat ini?”
tanya nenek itu kepada Kwan Cu.
Pemuda itu
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, tidak, terima kasih
banyak, Suthai. Tadi teecu sudah makan di dusun Kim-le-pang.”
Nenek itu kembali memandangnya
dengan mata yang aneh.
“Kau nelayan?”
“Bukan, Suthai. Teecu adalah
seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa
sebuah perahu.”
“Mau menyewa perahu mengapa
datang ke sini? Apakah kau belum mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku
ini harus mati?”
Setelah berkata demikian,
dengan gerakan yang sangat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki
rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah
Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhu-nya. Maka dengan
cepat dia melompat mundur sambil mengelak.
“Suthai, maafkan teecu. Teecu
datang tidak dengan maksud buruk. Harap suka maafkan kelancangan teecu.”
“Hi-hi-hi, kau dapat mengelak
dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!” Setelah
berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang
lihai.
Terpaksa Kwan Cu melayaninya
dan pemuda ini pun lantas mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan
nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan
terluka. Kedua tangan nenek itu sungguh berbahaya sekali, kukunya panjang dan
tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.
“Hi-hi-hi, kau mampu
melawanku, benar-benar mengagumkan! Ehh, ilmu silatmu hampir sama dengan
Pai-bun Tui-pek-to!”
Kwan Cu terkejut. Memang dalam
menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to
yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal
ilmu silatnya?
“Memang teecu mainkan Pai-bun
Tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”
Ucapan ini sengaja dia
keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu telah mengenal suhu-nya dan
dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu malah
menyerang makin hebat lagi.
“Bagus, hendak kulihat sampai
di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”
Menghadapi serangan
Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu
menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan
ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan
yang hebat sekali.
Tiba-tiba saja terdengar
bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tidak
berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.
“Ibu, siapakah sahabat yang
gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah
sehingga tergetarlah rumah itu.
Kwan Cu terkejut sekali.
Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju,
dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang
ringan!
Akan tetapi, tiba-tiba nenek
yang aneh itu tertawa berkikikan dan justru menghentikan serangannya.
“Kong Hoat, inilah pemuda yang
ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama
Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”
Kwan Cu cepat menoleh. Dia
melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali. Usianya hanya
lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih
besar darinya. Dia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti
orang yang selalu gembira.
Dengan amat hormat, Kwan Cu
menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.
“Aku yang bodoh bernama Lu
Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apa bila tanpa mendapat
ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para
nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar
harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”
“Kau mencari perahu, sahabat?
Untuk dipakai ke manakah?” Kong Hoat bertanya sambil memandang tajam. Suara
pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya sangat jujur.
Kwan Cu merasa tidak enak
kalau berbohong, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia
dan cita-citanya.
“Sebenarnya aku bermaksud
untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang
berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa beberapa pulau itu
mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku
amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri.”
Kong Hoat melemparkan
dayungnya ke sudut kemudian pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada
di dalam rumah.
“Aneh, aneh sekali! Apakah kau
tahu bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-makhluk aneh yang amat
berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiri pun tidak
berani pergi ke pulau-pulau itu.”
“Siapa yang pergi ke
pulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematiannya sendiri. Hi-hi-hi,
murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, bahkan lebih aneh dari
pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali
karena kau masih muda dan juga tampan serta gagah. Batalkan saja kehendakmu
itu.”
Mendengar ucapan ini, Kwan Cu
maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apa lagi puteranya, walau pun
pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek
sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja lengannya.
“Terima kasih atas nasehatmu,
Suthai dan kau juga, saudara. Tapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang
menarik hatiku untuk mengunjunginya. Apa bila sekiranya Ji-wi tidak berani
mengantarku, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan
mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”
Kong Hoat bangkit berdiri dan
membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah
bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.
“Itulah, itulah! Sudah
berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi
ibu...”
“Kong Hoat! Siapa yang
melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu
mati kesunyian.”
Kong Hoat tertawa dan aneh
sekali! Biar pun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata
bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini. Jika tidak gila,
mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?
“Ibu, kau lucu sekali. Kau
melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat dua kakiku dengan omongan itu. Aku mana
bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”
Dan sekarang nenek itulah yang
menangis terisak-isak, lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.
“Kong Hoat, Kong Hoat, kau
puteraku yang paling baik…”
Terharu hati Kwan Cu
menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.
“Saudara Kwan Cu, apa bila kau
nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah perahuku.”
“Aku akan meyewanya, di sini
aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”
Tiba-tiba saja nenek itu
melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak
dan Kong Hoat berseru,
“Ibu jangan…!”
Ibunya menarik kembali
seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau
menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu
aku akan membantu ibuku membunuhmu karena kau sudah menghina kami orang-orang
miskin.”
“Maaf, maaf, aku tidak
bermaksud menghina...” kata Kwan Cu kaget sekali.
“Kami tahu, dan karena itu
sudahlah, jangan kita bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu
kami padamu dan habis perkara! Besok pagi-pagi sekali, kau boleh berangkat dan
malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menunggu datangnya fajar. Berangkat
pada waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku
pun baru saja kembali dari mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat
dari laut.”
Kwan Cu tidak berani banyak
omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari
keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha.
Ikan ini aneh sekali, badannya
seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya
bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah.
Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warnanya aneh dan
mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin.
“Ha, Kong Hoat, anak baik.
Jadi kau berhasil menangkapnya?”
“Sesudah berjuang mati-matian
dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan
kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!
Kwan Cu menjadi bengong. ”Ehh,
saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sudah sehari
semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”
Kong Hoat dan ibunya saling
pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.
“Saudara Kwan Cu, nasibmu
memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, di
seluruh laut kuning barangkali ikan seperti ini hanya ada beberapa puluh ekor
saja. Dia disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar
ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha
menangkap ikan ini, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.”
“Mengapa kau mati-matian
menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”
Kembali ibu dan anak itu
tertawa bergelak, “Ahh, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan,
sama sekali tidak memikirkan khasiatnya.”
Mendengar ini merahlah wajah
Kwan Cu
“Maafkan aku yang bodoh ini,”
kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak,
hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua)
sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehan ikan ini.”
Setelah tertawa geli tanpa
bermaksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,
“Saudara Kwan Cu, ketahuilah
bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan
tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang hingga ke pinggir pantai dan
merupakan hal yang sangat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan
ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan
Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur
nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.”
“Kalau begitu memang ikan yang
aneh dan sukar sekali didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap
pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. ”Akan tetapi, apakah
khasiat dari daging ikan ini?”
Pemuda yang bernama Kong Hoat
itu menengok kepada ibunya dan bertanya, ”Bolehkah aku menceritakannya ibu?”
Nenek yang berwajah mengerikan
itu mengangguk. “Tentu saja boleh. Ia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat
baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasakan daging ikan
Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”
Setelah berkata demikian,
nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Ada pun Kong Hoat
tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.
“Saudara yang baik, maafkan
kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu
sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”
“Tidak apa, saudara Kong Hoat.
Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu pada ibumu, sebagai sikap seorang
hauw-ji(anak berbakti) tulen!”
“Mendiang susiok (paman
guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “merupakan seorang
ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dan dari susiok inilah aku mendengar
bahwa untuk bisa menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan
Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan kalau lemaknya dimakan, membuat
kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang
siripnya jika dikeringkan kemudian dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang
amat mujarab bagi kita sehingga tulang-tulang kaki dan tangan kita menjadi amat
kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apa
bila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan
menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah
paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat
bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.”
Akan tetapi Kwan Cu tidak
tertarik oleh semua hal ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam
air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu
tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil selalu bermain-main di
dekat air.
Betapa pun juga, ketika daging
ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging
itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa
memang daging ikan ini mengandung khasiat yang sangat baik bagi peredaran
darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya.
Kini mereka bercakap-cakap
bertiga. Dalam percakapan ini Kwan Cu tahu bahwa wanita tua itu adalah seorang
tokoh kang-ouw yang sangat terkenal dan yang namanya pernah disebut-sebut oleh
suhu-nya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Ada pun
Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak
kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.
“Saudara Kwan Cu, sungguh amat
mengherankan hati kami. Engkau yang masih begini muda mempunyai keinginan
mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat
berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.
Kwan Cu tersenyum.....
Dia merasa tidak enak untuk
membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata
terus terang bahwa dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak
berani. Suhu-nya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan
sekali-kali menceritakan kepada siapa pun juga tentang kitab itu. Maka dia
berkata,
“Saudara yang baik, sebagai
seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuan saja, hendak melihat
apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”
Kong Hoat memandang kepadanya
dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya
pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan
Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.
“Nanti dulu, kau boleh mempergunakan
dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang segera berlari ke
belakang. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa sebatang dayung berwarna
hitam yang panjang dan berat.
“Dayung ini masih jauh lebih
baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau seorang
pemuda gagah perkasa, maka sangat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.”
Kwan Cu menerima dayung itu
dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari baja hitam yang kuat sekali. Selain
dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat digunakan sebagai senjata yang boleh
diandalkan.
“Terima kasih saudara Kong
Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan
membalas budimu yang baik ini,” kata Kwan Cu girang.
Kong Hoat lalu memberikan perahunya
kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke tepi pantai
dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan pada
permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya
yang agung.
“Ingat, saudara Kwan Cu, dalam
bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling
dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi
kalau kau memasuki Laut Po-hai, hati-hati jangan kau membiarkan perahumu
mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu,
karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya. Selain itu,
terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum
hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan
ikan-ikan hiu yang sangat liar dan ganas.”
“Terima kasih atas segala
nasehatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasehat itu,” jawab
Kwan Cu.
Tiba-tiba nenek tua Liok-te
Mo-li datang berlari-larian. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata
kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah
semestinya jika aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai
daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini sebagai bekal di tengah pelayaranmu
yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan
kuning kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menerimanya sambil
menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu
sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkerik-jangkerik malam tadi, dia menjadi
ngeri.
“Maaf, Suthai, biar pun teecu
berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang
bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih
merasa ngeri apa bila melihat kelihaian daun ini. Sekarang Suthai memberi bekal
ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannya?”
Liok-te Mo-li tertawa
berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang tak akan merasa ngeri? Memegang saja
tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada pula daya penolaknya, anak muda,
sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut
lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari
daun-daun itu. Pada waktu kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau
lemparkan saja daun-daun ini ke dalam air dan karena air laut menutupi racun
daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini
sehingga mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan jika mereka kemasukan daun-daun
ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi
terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak
muda. Kelak apa bila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih
hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu
lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.
“Selamat saudara Kwan Cu.
Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan
diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh
itu dan agaknya dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk menjaga daun-daun
itu. Sekarang atas kehendak sendiri dia memberi daun-daun kepadamu, itu
pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu,
saudaraku yang baik.”
Kwan Cu terkejut dan memandang
dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong
Hoat tertawa bergelak dan kembali sepasang matanya mengucurkan air mata!
“Jangan heran, kawanku. Kami
bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah
dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud
tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau
tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi
berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak
berotak miring, bahkan cerdik sekali.”
“Akan tetapi, alasan itu tidak
cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi dengan tujuan sesuatu,” Kwan
Cu membantah.
“Sahabat baik, kau kira kami
orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasa bahwa di tempat-tempat yang aneh
dan berbahaya terdapat pula barang-barang yang berbahaya dan aneh. Mustika yang
paling baik adalah mustika naga. Gigi yang terbaik adalah gigi harimau,
sedangkan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah
mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat
barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh
ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”
Ketika mengeluarkan kata-kata
ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat menyambungnya,
”Apa pun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup
tinggi untuk dapat kugunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu,
berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Ilmu kepandaianmu amat tinggi, bahkan
lebih tinggi dari pada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya
akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.”
“Kau terlalu memujiku, saudara
Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima
kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu,
mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.”
Setelah berkata demikian, Kwan
Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri
bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya
di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan
Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.
Dayung pemberian Kong Hoat
memang baik sekali. Dayung ini panjang dan berat, ada pun ujungnya lebar serta
cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesat. Kwan
Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya,
perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Pemandangan indah sekali.
Permukaan air tenang laksana kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna
hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air.
Air yang diterjang oleh kepala perahunya memecah menjadi dua seperti sutera
digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya
tanpa mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, nyaman dan
enak sekali.
Kehidupan di laut nampak mati.
Tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak
bergerak pada permukaan laut. Benar-benar hening dan sunyi menimbulkan suasana
yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada
ujungnya.
Namun Kwan Cu tidak merasa
takut. Biar pun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut,
hatinya hanya berdebar penuh ketegangan. Dia teringat bahwa dulu dia dianggap
sebagai ‘anak laut’ oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua
kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra.
Agaknya kenangan inilah yang
membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apa bila dia teringat akan laut. Kini
setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam
perahunya, dia merasa seakan-akan dia sudah kembali ke alam asalnya dari mana
dia datang!
Sesudah matahari mulai nampak
di permukaan laut, berupa bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala,
mulailah tampak kehidupan. Air yang tadinya ‘tidur’ mulai bergerak sedikit dan
di kanan kiri perahunya mulai terlihat air itu berkeriput, mulai terdengar
suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air,
menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air
berkecipak kalau ada ikan yang mulai ‘mandi’ cahaya matahari di permukaan air.
Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini
makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan
orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.
Melihat semua ini, Kwan Cu
tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Dia pun teringat akan
ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya
itu dahulu sering kali mengajarkannya mengenai filsafat hidup, tentang
ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.
Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri
pribadi.
Ucapan di atas itu dari Nabi
Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia.
Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan
ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini
dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu
dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah
sumber dari pada segala mala petaka yang terjadi di antara manusia.
Kini, setelah berada seorang
diri di atas lautan, mata Kwan Cu terbuka dan dia melihat serta mengakui
kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga
atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi.
Lihat saja matahari itu. Dia
muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa. Ia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi
berguna bagi tiap makhluk yang membutuhkannya, sedikit pun tak pernah meminta,
itulah sang matahari.
Lihatlah lautan bebas, pusat
kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup
lainnya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya
zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti
matahari sifatnya, laut pun tidak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang
suci.
Alam memberi, memberi dan
memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini dapat dipergunakan oleh
manusia, bahkan sesudah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk
menyelimuti jenazahnya!
Kwan Cu tersenyum melihat
burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas
dan senangnya. Mengapa justru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di
angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan untuk hidup di dalam air? Alangkah
besar perbedaan antara dua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah
makluk hidup!
Alangkah besar kekuasaan
Thian, alangkah indahnya alam beserta isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia
mukjijat yang luar biasa hebatnya. Semua ini adalah pekerjaan Thian. Dan dia,
seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini menjadi saksi atas segala
keindahan itu.
Sambil menikmati kehebatan
pembukaan kebesaran alam di depan matanya, Kwan Cu melanjutkan gerakan
dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari sana sebagai
bayang-bayang membiru. Hatinya penuh diliputi kesegaran semangat dan
kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girangnya sehingga pemuda ini
sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!
Menjelang tengah hari belum
juga perahunya tiba di kelompok pulau yang semenjak pagi tadi sudah kelihatan.
Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah.
Apakah perahunya tidak
bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu
hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi
kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa
perahunya bergerak dengan pesat ke depan.
Inilah keanehan pertama yang
dialami oleh Kwan Cu. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya
sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau
itu.
Ia merasa penasaran dan
mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi ke arah kelompok pulau itu.
Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat penyimpanan
kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Di dalam kitab sejarah peninggalan
Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau
kosong, kecil dan berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih,
yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu
mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan
akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh
pohon-pohon berdaun putih itu.
Akan tetapi sesudah matahari
condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Apa bila tadi kelompok pulau-pulau
itu tak pernah juga kelihatan semakin mendekat biar pun dia telah mendayung
perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok
pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!
Kwan Cu menghentikan gerakan
dayungnya kemudian memandang ke sekeliling dengan bingung. Tidak salah lagi
tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa kini tiba-tiba lenyap?
Sebenarnya hal ini juga akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu
seakan lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang
mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak
terlihat olehnya.
Kwan Cu teringat akan kata-kata
Kong Hoat tentang keanehan lautan ini, karena itu dia pun tersenyum dan
berkata, “Memang aneh sekali. Tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan
mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, sebab siapa tahu kalau-kalau
kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.”
Pemuda yang tabah ini lalu
mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri.
Kwan Cu yang tak biasa
berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan
tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tak melihat sesuatu, hanya
nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu,
kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari
dasar laut.
“Hebat! Suara apakah itu?
Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat?
Hemm, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!”
Dia merasa dirinya amat kecil
tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian di dalam hatinya, sesungguh
pun tidak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih
tenang andai kata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat
itu.
Dia teringat akan suhu-nya dan
diam-diam dia tertawa dengan hati penuh kasih sayang terhadap suhu-nya itu.
Suhu-nya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat bagaikan lautan ini. Kembali
terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan
Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang.
Mendadak anak muda ini
memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak
bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang sedang datang bergulung
kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.
“Hai-liong-ong…,” kata suara
hatinya penuh kengerian.
Memang hebat sekali
penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri benda itu datang, makin lama makin
panjang dan besar, dan meski pun benda itu masih jauh, telah datang angin
bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang.
Gelombang makin besar dan
tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh
laksana derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang
seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau
Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut,
tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi
gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang
dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan
rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!
“Celaka…!” serunya dan dia
mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.
Akan tetapi, di dalam tangan
samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu hanya merupakan
tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu yang masih
memegang dayung lantas terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening
sekali.
Namun dia masih dapat berlaku
tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu. Dengan kedua
tangan dia memegangi pinggir perahu karena satu-satunya harapan baginya adalah
perahunya itu. Walau pun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu
takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak
terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya.
Tiba-tiba saja, sebuah
gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal menerjang perahu
dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu
kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan oleh
karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan
gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.
Sedangkan Kwan Cu yang turut
terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya
dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan
agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati
hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat.
Perahu bersama Kwan Cu
terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan,
dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan sangat hebatnya. Kwan Cu masih
memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia
berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan
tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya
lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.
Siksaan ini dibarengi dengan
bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan
dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia
dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu
dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama
dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.
Tiba-tiba saja teringatlah ia
betapa ia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat
pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal
itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang jelas di depan
matanya.
“Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan
Cu memekik keras.
Sekarang terbayanglah seorang
laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini
adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia
sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai bersama Jeng-kin-jiu dan
dianggap sebagai ‘anak laut’. Ayah bundanya dulu tewas di lautan dan kini
agaknya dia sendiri pun akan mengalami nasib yang sama.
“Ayah...! Ibu...! Tolonglah
anakmu…,” ia berbisik.
Kemudian timbul marahnya
kepada gelombang dan laut. “Kakek laut kau tidak mungkin dapat menewaskan aku!”
pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.
Sebagai jawaban, sebuah
gelombang yang besar kemudian mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu
ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun
semangatnya untuk melawan gelombang yang dulu telah menewaskan kedua orang
tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk
hidup.
“Kakek gelombang, setelah
membunuh orang tuaku, tak mungkin kau bisa membunuhku pula. Orang tuaku akan
mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.
Kwan Cu bagaikan gila. Biar
pun dia diterima oleh gelombang lain, lalu dilemparkan dan diterima kembali
seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia
tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikit pun juga. Rasa
takutnya berubah menjadi kegembiraan!
“Kakek laut, mari kita
bermain-main!” serunya berkali-kali. “Marilah kita berkelahi sebagai laki-laki
kalau kau memang jantan!”
Demikianlah, biar pun sedang
dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikit pun Kwan Cu
tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah
yang sesungguhnya menolong nyawanya.
Orang-orang yang menghadapi
maut, jika dia dapat berlaku tenang dan tidak putus asa, akalnya akan bertambah
dan dia tidak menjadi gugup. Demikian pula dengan Kwan Cu. Kegembiraan dan
semangatnya membuat ia tahan menderita, malah tenaganya menjadi besar dan kini
dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak,
mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman.
Memang, kalau diperhatikan di
antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang
berada di antara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang
mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan
akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang
gelombangnya tak begitu besar. Akhirnya ia berhasil membalikkan perahunya dan
duduk di dalam perahu.
Memang betul di situ masih ada
ombak menyerang. Akan tetapi dengan dua tangannya di pinggir perahu
menekan-nekan dan mendorong-dorong air, Kwan Cu dapat mencegah perahunya
berputaran dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang
membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.
Ia tidak tahu bahwa gelombang
tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali
dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi
bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.
Seperti datangnya, tiba-tiba
saja taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang
tadi sebetulnya hanya ‘lewat’ saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih
mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula
hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama
sehingga waktu itu telah menjelang senja!
Hal ini bisa dia duga dari
keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan
di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang
sakit dan sangat pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar
mengherankan.
Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak
dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di
ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan
menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi,
tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging
ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi.
Perutnya mulai berkeruyuk
minta isi. Akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan
makan? Dia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa
tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa
bungkusan pakaiannya masih terikat pada punggung dan bahwa bungkusan daun
mukjijat itu pun masih berada di situ, sungguh pun kesemuanya itu basah kuyup
seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.
Tiba-tiba, bagai sebuah layar
hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat
bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pepohonan tinggi besar. Ia menjadi
girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.
Dengan penuh semangat Kwan Cu
kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayung. Perahu
pun meluncur ke depan, menuju pulau itu, dan Kwan Cu makin terheran-heran.
Ketika tadi untuk pertama kalinya
dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan
karenanya dia mengira bahwa pulau itu tentulah sudah amat dekat. Akan tetapi,
meski pun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan semakin nampak nyata,
ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon sudah kelihatan begitu
besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
“Apakah aku sedang bermimpi?
Ataukah mataku yang sudah tak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak
rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!”
Tidak mengherankan apa bila
Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat
diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan
yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pepohonan yang dari jauh
sudah nampak besar-besar tadi.
Kini setelah dekat,
pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biar pun Kwan Cu sudah banyak
merantau dengan suhu-nya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar
liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, tetapi selama
hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau
itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi
seperti alang-alang!
Pulau setan apakah yang berada
di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan
pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah
menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan
tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat.
Kwan Cu sudah lelah sekali,
bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang telah mendapat gemblengan
hebat dari Ang-bin Sin-kai ini sanggup mengatur pernapasannya sehingga
tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih
itulah yang membuat tubuhnya lemas dan letih. Kalau saja dia tadi tidak
muntah-muntah, agaknya dia tidak akan merasa begitu letih. Sudah sering kali
dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.
Cuaca makin gelap dan hanya
dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh
perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu
tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam,
hanya berkilau di sana-sini.
Mendadak perahu Kwan Cu
tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air supaya perahunya
menyingkir dari penghalang itu. Dia mengira bahwa perahunya tentu terhalang
oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah
kagetnya ketika tiba-tiba ‘batu karang’ itu bergerak-gerak!
Karena tertarik hatinya, Kwan
Cu mengulur tangannya untuk mendorong ‘batu karang’ yang dapat bergerak-gerak
itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti...
seperti tubuh seorang makhluk.
“Tentu ikan yang terdampar ke
pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.
“Ooleihaaaaiii…!!” terdengar
‘batu karang’ atau ‘ikan’ itu berteriak keras sekali.
Kwan Cu tersentak kaget
sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa
sangat heran menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena
selamanya dia belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang,
mendengar seekor ikan besar dapat mengeluarkan suara ‘ooleihaaaiii...!’ dengan
suara mirip seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah
benar-benar dia belum menjadi gila!
Dengan hati-hati sekali dia
kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini
aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat
sebelum menyelidiki terlebih dahulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa
mengeluarkan suara seperti itu.
‘Hayalieee…!”
Kwan Cu menarik kembali
tangannya yang seperti dipagut ular dan tiba-tiba merasa bulu tengkuknya
berdiri satu demi satu. Bukan main! Di dunia ini tidak mungkin ada ikan bisa
mengeluarkan suara seperti itu.
Akan tetapi rasa keingin
tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan
kini dia mempergunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Dia berlaku
hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap
sedia, kalau-kalau ‘ikan’ itu akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul.
Akan tetapi, keheranannya
memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah
telinga manusia yang besar sekali. Saking terkejutnya, Kwan Cu tidak melepaskan
kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata
terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya.
Kebetulan sekali cahaya bulan
agak terang. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian,
kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali
kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit
muka dan kepalanya hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak
kelihatan di dalam gelap!
“Seorang manusia!” pikir Kwan
Cu dengan girang.
Di tempat yang aneh seperti
itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimana pun anehnya manusia itu, tentu
amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam
ini mempunyai kepala yang luar biasa sekali besarnya.
“Saudara siapakah? Dan kenapa
malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maafkan jika perahuku
menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan
pegangan kedua tangannya pada telinga orang.
Sebaliknya, muka yang besar
itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang
berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga
Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar
dan putih berkilat dari balik bibir tebal.
Mendengar ucapan orang itu,
teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang
tidak mengerti bahasa Han dan mempunyai bahasa daerah sendiri. Karena itu dia
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku tidak mengerti
bahasamu dan kau agaknya juga tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku.
Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat.”
Sambil berkata demikian, Kwan
Cu mempergunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Sesudah itu,
pemuda ini kemudian menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir.
Akan tetapi tiba-tiba saja,
orang yang terbenam di air sampai lehernya itu menggerakkan leher dan tahu-tahu
sepasang lengan yang amat besar dan panjang timbul di permukaan air dan
diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam serta besar dan
panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu,
perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!
Kwan Cu terkejut sekali, bukan
oleh tenaga tindihan ini, akan tetapi karena besar dan panjangnya lengan yang
berotot besar itu. Barulah dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air.
Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu
tengkuk berdiri dia membayangkan alangkah tingginya orang ini. Seorang raksasa
yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apa lagi dilihatnya!
Kemudian dia melihat bahwa
pergelangan kedua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat. Ketika
mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya
agar suka membuka belenggu itu.
Teringatlah Kwan Cu akan
sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah
barat. Dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan
seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak
memakan anak itu.
Dongeng itu singkatnya begini:
Seorang bocah nelayan menjala
ikan di laut. Yang tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, namun
sebuah pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya,
dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau
harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk
ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.
Kemudian jin raksasa itu
hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Tapi anak itu mendapat akal. Dia
berpura-pura heran dan tak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar
dapat masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau
raksasa itu sanggup membuktikan bahwa benar-benar dia dapat masuk ke dalam pundi-pundi,
baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa
perlawanan.
Jin raksasa itu tertawa
bergelak dan berubah menjadi asap, lalu kembali masuk ke dalam pundi-pundi itu.
Anak itu cepat mengambil sumbat, lantas menutup pundi-pundi kembali seperti
tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu
ke dalam laut kembali!
Kwan Cu teringat akan dongeng
itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau
nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan
diri.
Akan tetapi aku bukan anak
penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang
tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu memiliki
kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya
dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan
kaki di darat?
Ia bodoh sekali dan patut
dikasihani. Sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah
dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha
untuk membuka belenggu tangan raksasa itu.
Ketika mulai berusaha membuka
belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah. Agaknya
orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan
kehendaknya dan mau melepaskannya dari pada belenggu.
Akan tetapi, dalam usahanya
mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga
Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras.
Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.
Akan tetapi, segera pemuda ini
gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap
pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia
menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh! Tolol! Mengapa aku
lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke
air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”
Hampir saja dia tenggelam di
dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai
besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat
mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu
amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang
diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita mendarat!” katanya
berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana akan
kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi raksasa itu hanya
mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang
terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan
terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu
menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia mendapat akal.
Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang.
Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya?
Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah
raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya
sampai di perut!
Cepat-cepat Kwan Cu
menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes
dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia
mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi, yoleihi!” raksasa
itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud
menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang
ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi,
mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu
tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol
sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke
darat.
Setelah dia sampai di daratan,
barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya
terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai
orang bodoh dan tolol dengan hati geli.
Setibanya di darat, ternyata
bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk
melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya
mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk
berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya
pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik
perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang
mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya
membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
“Yoleihi, yoleihi…! Dasa
alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia
menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali
renggut telah berhasil mematahkan kakinya.
Akan tetapi Kwan Cu tidak
memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya
sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya
bulan.
Pertama-tama dia kagum sekali
melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan kedua
kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa
terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali
manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot memenuhi tubuh yang bidang
dan kuat sekali.
Rambutnya hanya sedikit,
diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah
sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain
bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa,
melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu memandang ramah
kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini.
Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak
takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa
raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat,
tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan demikian besar sekali
kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang
jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap
raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam
di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih
baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini.
Maka berjalanlah Kwan Cu
sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya
Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari
pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang
dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali
ukuran biasa!
Yang mengherankan hatinya,
walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras dari
pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa
itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang
kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu
menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan aku,
sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di
duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar
mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat
manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”
Biar pun Kwan Cu berfilsafat
dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya
makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan
menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.....
Akan tetapi, ketika melihat
betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin
terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa,
akan tetapi karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak
tertinggal.
Raksasa itu penasaran,
melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu
dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu mulai
berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan
kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!
Akhirnya tibalah mereka di
sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api
penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti
sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat.
Raksasa itu tertawa geli dan
berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama
sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat
dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara
tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat
ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan
sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau
mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang
tengah dicari-carinya.
Dusun itu mempunyai banyak
pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja
namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah
model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu, agaknya sebagian
besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan oleh penghuninya dan ternyata mereka
berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah
dusun itu.
Melihat bangunan induk ini,
Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh kuatnya bangunan ini,
tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya
terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang
digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada
kayu.
Sebagai pengganti kaca
dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi oleh sinar api.
Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang ini pun
mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa itu membawa Kwan Cu
langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang laki-laki dan
perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka duduk
bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang
lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.
Ketika raksasa itu muncul di
bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang
mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para orang laki-laki serentak
mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut
kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan
menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik
ketakutan dan suara orang kalang kabut.
Raksasa itu mengangkat kedua
tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat berpengaruh seakan-akan
sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata, semua orang lantas berlutut
di hadapannya.
Dari rombongan wanita,
mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan
berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya kelihatan
kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang
lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa
ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.
Kini semua orang yang berada
di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang rata-rata
membayangkan kejujuran.
Tiba-tiba saja seorang wanita
menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger
setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka
melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Kaum
perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil
menunjuk ke arah Kwan Cu.
Kwan Cu menjadi mendongkol
sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya dia pun lupa
akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian
tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”
Sambil berkata demikian, Kwan
Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan bahan tertawaan oleh semua
orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang
agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, lalu
raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda kepada semua orang supaya
berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.
Agaknya dia kini menceritakan
pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat
diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali.
Dan tiba-tiba gadis raksasa
yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, mempergunakan
kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu
kemudian... mencium hidungnya!
Hampir saja Kwan Cu berlari
keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri
dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai telinganya!
Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian
cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari
pundak menutup leher sampai ke lutut, datang mengerumuninya.
Dia sudah merasa ngeri dan
khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Tetapi dia
merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba
tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas
tulen kemudian memberikan perhiasan itu padanya sebagai tanda kagum! Sambil
tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan
halus.
Raksasa hitam yang ternyata
adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang.
Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta
untuk menghormati raja dan Kwan Cu!
Pemuda ini mendapat kenyataan
bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada juga yang
agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan
wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.
Meja sembahyang yang tadi
dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang
meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat
dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang
digunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat
sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab
sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Ia segera membaca sajak kuno
itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan
heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya,
raja para raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa
yang sama sekali asing bagi Kwan Cu.
Kwan Cu kemudian membaca sajak
itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan
bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk
menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekang-nya dia dapat
menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.
‘Apakah kau dapat membaca
tulisanku ini?’
Raja raksasa terkejut sekali
nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk membereskan
tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan
dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.
Tampak mereka bersorak-sorak
girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang di antara mereka
berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta lembaran kulit pohon
yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak
untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
‘Tentu saja kami dapat membaca
tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara bacaannya yang bikin
berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging
panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia
mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging
yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat ‘bercakap-cakap’
dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan
dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya,
nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan
puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi menangis sambil
memeluknya, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah
mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!
Suku bangsa raksasa itu
menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah
disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai beberapa
keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja
oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka,
sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia
diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara para pembantunya
terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan
tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua orang ini bernama Wisang
dan Kasang dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi pembantu-pembantunya
yang paling berkuasa.
Akan tetapi telah lama dua
orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka mengandung maksud
untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan
pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati
dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai
kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali
bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu
mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi
kebahagiaan bangsanya.
Pada malam hari kemarin,
seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi peraturan tradisi dan
minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia diserang oleh kedua orang
pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat,
agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja Lakayong tidak akan kalah.
Akan tetapi pertempuran di air
amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih muda dan pandai
berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut
agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar.
Kemudian Wisang dan Kasang
berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang
mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua
telah berusaha untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan sebaliknya menderita
luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong
yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang menjadi berduka,
terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari
semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal
ini karena mereka masih sangat percaya akan takhyul dan mereka beranggapan
bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk
menuntut balas pada musuh-musuhnya!
Karena itu, selama sehari
semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam sebuah goa
yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari mereka! Ini
pula sebabnya ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari itu, kedua penghianat
itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
‘Baiknya Dewa Air masih
melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga ombak membawaku ke
tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di
dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling,
karena sekali aku terguling, tentu aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang,
sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’
‘Di mana adanya dua orang yang
jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak.
‘Kamu mengagumkan sekali,
saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang
dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu
menandingi mereka, itu pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya
orang kecil seperti kau?’
Pada saat kedua orang itu
bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu dibaca semua orang
ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang
memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
‘Kau kecil dan lemah, akan
tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu dengan tulisan
tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol juga
karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
‘Biar pun aku kecil, aku
berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.
Sesudah semua orang
membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar. Seorang
laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan
telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
‘Dia bilang apa?’ Kwan Cu
menulis.
Akan tetapi Raja Lakayong
menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk ‘menerjemahkan’
kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya
itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa peduli kepada
ayahnya yang tampaknya melarangnya.
‘Dia seorang kuat, dan berkata
bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang laki-laki yang
berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan omongannya itu
pula.’
Membaca jawaban itu, Kwan Cu
melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat
seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu sudah
berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan sedang bertolak pinggang
seperti menantang.
Raksasa muda itu tertawa
sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar duduk
kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke
arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.
Tetapi dengan sedikit saja
miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat kilat, dari samping dia
menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang
belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat
bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!
Orang-orang tertegun melihat
hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak percaya dengan
apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya.
Raksasa itu bangun kembali
dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang
dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini dengan kedua tangan
dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.
Serangan itu dahsyat sekali.
Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya
untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong.
Raksasa itu terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan
bernafsu ia menubruk lagi, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu
jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau
dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan dipandang rendah oleh
orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya
menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, dia bergerak cepat
sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya!
Semua orang tertegun, akan
tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan
lawannya.
“Bocah cilik, jangan lari kau
sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi orang yang berada
di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka
bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!
Kwan Cu tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan
jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia melihat urat besar
dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini
menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena
dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan
raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan
tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang
membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat
dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci Tin-san
(Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani segera menghampiri Kwan
Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap
mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani menghampiri dirinya dengan
membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
‘Kau apakan dia?’
Kwan Cu tersenyum dan
membalasnya dengan tulisan.
‘Tidak apa-apa, hanya memberi
pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi kata-kata yang memandang
rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’
Sambil tersenyum gembira gadis
itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis bergulingan bagaikan anak
kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang
diterjemahkan oleh Liyani.
‘Dia sudah kapok dan minta
ampun.’
Kwan Cu merasa kasihan. Ia
segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya!
Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu, kemudian beranjak
pergi dari situ dengan malu.
Kwan Cu duduk lagi di dekat
Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
‘Kau mempergunakan ilmu
hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik mengandalkan
tenaga dan berkelahi dengan jujur.’
Kwan Cu dapat memaklumi jalan
pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu menulis dengan panjang
lebar.
‘Tidak ada kecurangan caraku
dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh
bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil
namanya? Sama saja dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku
jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga
menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang aku
tujukan pada bagian yang menyakitkan.’
‘Tubuhnya kuat, tak mungkin
dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah Lakayong.
‘Kau keliru,’ jawab Kwan Cu.
‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Bila kau tidak percaya,
coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.’
Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong
mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru kesakitan sambil secara
otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena uratnya yang
amat perasa telah tersentuh. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya
berkali-kali hingga akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya
sekali.
‘Jika kau menggunakan pukulan
menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi jika kau memukul agak
ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia akan roboh. Apakah akal
ini dapat dikatakan curang?’
Lakayong kagum sekali. Lalu ia
minta penjelasan lebih lanjut.
‘Mungkin aku akan menghadapi
salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat,
sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu mengetahui rahasia
tubuh ini,’ katanya.
Kwan Cu segera memberi
penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku dari
pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak dari pada mengenai
dada, dan memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan
lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia
menerima petunjuk dari Kwan Cu.
‘Di mana adanya dua orang
jahat itu?’ tanyanya.
‘Mereka bersembunyi, akan
tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani
meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’
‘Apa yang akan kau lakukan
terhadap mereka?’
‘Kau akan melihat sendiri
besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti, mereka akan
menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’
Ada pun Liyani yang suka
sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu.
Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh
otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan
terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap secara
langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.
Melihat suling yang ada di
buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu
tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya sudah
pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi
demikian aneh dan merdu.
Ada pun Liyani saking gembiranya
lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat
melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam
tari perut!
Atas kehendak Raja Lakayong,
pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada
tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar
itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.
Sebentar saja Lakayong telah
tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah, tidur melenyapkan
keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Terlebih
dahulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan pakaian yang sudah dia
panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia
bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia
membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat
yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.
Gadis itu telah membuka
buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang
gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja memegang dan merasa
geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika
dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak
kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai
membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan
merampas bungkusan itu.
“Jangan sentuh ini!” katanya
dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu
terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu harus
mengakui bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya
yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh
dan manis.
“Kenapa tak boleh?” tanyanya
heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.
“Karena benda yang terbungkus
kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh benda itu, maka tanganmu
akan menjadi hangus.”
Liyani menjadi terkejut sekali
dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh,
barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka sekali
padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan
Cu yang berdiri dengan muka merah sekali.
Pemuda ini baru berumur enam
belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih
antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan
berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati
orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat
dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang
membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan semua itu sambil
tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.
Kwan Cu mendongkol sekali dan
berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini
karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di
sana akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang sangat aneh dan menggelikan.
Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak,
menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang
manis.
Tak lama kemudian datanglah
Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik,
apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima
kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, mari kau
ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil
mengandeng tangan Kwan Cu.
Ketika mereka tiba di luar,
ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang
laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini
adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama
Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk
bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang kebiruan itu kelihatan
tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncul kepala
seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri.
Kepala binatang yang muncul di
permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar
dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena
ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut
naga? Ataukah singa air?
Lakayong mengajak Kwan Cu
duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sudah
sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di
sebelah kiri.
“Sudah siapkan mereka?” tanya
Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka sedang menuju ke
sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tidak lama
kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan
berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di
depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian sudah mendengar
keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kalian berdua
tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus mendapatkan
kemenangan dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa
singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami mengerti!” jawab dua
orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh
kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera
menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa muda itu menunggang
perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu
terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah
dia bahwa kedua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
“Apakah mereka yang bernama
Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
Raja raksasa itu mengangguk
dengan tersenyum.
“Benar, merekalah para
pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda yang
paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih baik mempunyai
pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki pembantu cakap akan
tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul sekali, saudaraku,
cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan
hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi
kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang
menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja.
Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu.
Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan diberi kesempatan bertanding
dengan raja Lakayong!
“Bagaimana kalau dalam
pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku akan kalah? Tidak
mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang bagian-bagian tubuh
yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan
mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan tetapi, andai kata kau
tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku kalah? Tidak bisa
lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”
Kwan Cu tertegun. Alangkah
sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali
tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah dengan mudah dia bisa
saja menyuruh tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar
bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, hati Kwan Cu menjadi
penasaran.
“Bukankah Liyani sudah menolak
pinangan mereka?”
“Karena Liyani puteriku maka
dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak
akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan berhenti dan kini
dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur.
Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu merayap naik ke atas batu
karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap seperti itu karena batu karang
itu bentuknya seperti jamur dan terjal.
Selain sukar, juga amat
berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga sudah siap sedia
menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu!
Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak akan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu,
Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri berhadapan
seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu
semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara
mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago
masing-masing.
Matahari telah tinggi dan kini
semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk
Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Ada pun raja Lakayong
duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.
Pertandingan di atas batu
jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa keturunan, batu
jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi calon-calon raja. Akan
tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu itu terdapat
perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tidak
akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan
sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah
dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa
dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian
berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi
isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu
bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua
orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.
Sebelum dua orang raksasa itu
tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah mendengar dari raksasa
yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang
menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang
mendatangkan mala petaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu.
Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil, pemuda asing itu
mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda itu
menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di
atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh.
Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga
agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.
Memang amat mengerikan dan
menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak seberapa lebar dan
sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi
bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa dua
orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari pada otak. Mereka
memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi
kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup
kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.
Diam-diam Kwan Cu menjadi geli
menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang
bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa
gebrakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak,
menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang tertindih, ada kalanya
Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin
lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini
nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara kedua raksasa itu. Raja
Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil
berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul, saudaraku. Mereka
tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau menendang bagian-bagian
anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu
menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan
kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ahhh, aku girang sekali
karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa
menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi pemuda itu tak
segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening
berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh dalam
pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali
dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka
pergunakan dalam merobohkan lawan.
Benar-benarkah mereka begitu
bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk memecahkan pertanyaan
ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
“Mereka hanya main-main saja!”
katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”
Lakayong tertawa dengan
bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi mati-matian dan
maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu
hanya main-main saja? Ha-ha-ha!”
“Jangan kau menertawakan aku,
Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak
seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi Lakayong tak
percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan hebatnya.
Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba,
belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka lalu pergi,
bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas
pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang turut pergi. Yang
masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang
pembantu saja.
Tidak lama kemudian
pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan
tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton
pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan
sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya.
Raja Lakayong maju. Dia
menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu dengan tangan kirinya
sambil berkata,
“Dugaanmu tidak meleset,
saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka
berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”
Kwan Cu tidak menjawab. Dia
tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan bahwa dua orang
itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga
tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula
membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran terpaksa ditunda
sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata
Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.
Pembantu-pembantunya mendayung
perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu diperintahkan supaya
menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu
kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai
berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir telaga dan
Lakayong berkata,
“Besok pertandingan kalian
dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.”
Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini dihidangi makanan
yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang
bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua orang raksasa
muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling
mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih
cerdik.
Mereka maklum bahwa kalau
seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si
pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat itu. Karena inilah
mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga
mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara itu di dalam rumah
Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.
“Mereka benar-benar
mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.
Kwan Cu merasa tidak ada
gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk memecahkan masah
itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda
yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja Lakayong, kau bilang
sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak
mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”
“Mengampuni tidak mungkin.
Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan mengampuni sama sekali.
Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat
menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau jauh lebih
kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana maksudmu, saudaraku
yang baik?” tanya Lakayong.
“Begini,” jawab Kwan Cu yang
sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka
bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang
biarlah kulawan sebagai gantimu. Aku akan memberi hajaran kepadanya sampai dia
tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Apa bila mereka
sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka
tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong mengangguk-angguk
menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh
kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang
kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguh pun
kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya.
Rakyatnya membutuhkan
orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai
mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara
semua penghuni pulau itu.
“Baiklah, besok akan kucoba
rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya,
“Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah
yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa di antara
Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”
Biar pun pertanyaan seperti
ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu
kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa malu, bahkan
tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang? Dia orang
kasar, aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau Kasang bagaimana?”
mendesak ayahnya.
“Dia cukup halus dan baik,
akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati
pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi kenapa?” Lakayong
mendesak pula.
“Dia pernah kalah oleh Ayah.
Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau,
Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini tersenyum dan mengerling
kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan
Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang
menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan
sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar pun dia seorang
bertubuh kecil, tapi dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis
raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!
Ada pun Lakayong sesudah
mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan berkata,
“Anak bodoh! Agaknya kau tak
akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak menjawab, lalu
tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke
kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Ia seorang anak baik, seorang
gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” berkata Lakayong memuji
puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi isteri Kasang, tentu dia
akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah besok kita
menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar
supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka
kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim kau datang untuk
menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu belum dijalankan,
aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku
berterima kasih kepadamu.”
“Tidak apa, Raja Lakayong.
Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah.
Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu adalah orang-orang
jujur, satu sifat yang paling kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka
aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja aku dapat
melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara
Kwan Cu.”
Hampir saja Kwan Cu membuka
rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan lidahnya.
“Memang ada sesuatu yang
hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan
tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini
sudah beres,” jawabnya.
Kemudian mereka mengaso.....
********************
Pada keesokkan harinya,
pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia
melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal mengapa
kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tidak ada pintunya, kalau ada akan
ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat
seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa
membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona Liyani, kau sudah berada
di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia menyebut tanpa
nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah
mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’.
Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam
gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah
artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar
bening.
“Ohh, ya, aku lupa. Itu
bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk
sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu
dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”
Kwan Cu terheran. “Lucu?
Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng
seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa
maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak
kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak
mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hemm...” Kwan Cu merasakan
kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di
situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang... aku masih
anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.
Ia lalu melompat turun dari
pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri
dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka
berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis
itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasakan suara
kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia
membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau
sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi
gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan
dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin
gemas.
“Aku pun tidak percaya,” kata
Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan
tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang
baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan
Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?”
tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu
menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis
tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau
seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku,
kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang.
“Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang
akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura
belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak
kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan
kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu...
siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli
dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya
kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam
hal memilih jodoh!
“Hemm... Bagaimanakah aku
mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya,
memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan
yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah
dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis
itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang
lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari
pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang lain yang
lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu
kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini
kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar
menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu
menarik napas panjang.
Kwan Cu sangat terkejut dan
merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena
aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang,
nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan
susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar hati Kwan Cu.
Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua
saja dengan gadis ini.
“Akan tetapi walau pun kecil
kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian
dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini sudah kebingungan,
baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan
pagi.
“Baginda menanti di kebun
belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata
pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar,
Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan
terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi
menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di sana sudah
berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu
datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah
berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani,
mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar
memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah
menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu
hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat
terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga
kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka
bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka
bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila
dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ,
termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas bukan
main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua
orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua
orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong
dan berkata,
“Aku dan Kasang mempunyai
kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang.
Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau
kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”
Kini tahulah Kwan Cu akan
maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya
supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya
Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang
dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan
lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja
yang sudah tua!”
Wajah Wisang serta Kasang
menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan
mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka
ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini
memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri
dengan tegapnya.
Memang tubuh Raja ini luar
biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu,
bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang
menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa
khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa
mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu
sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun
jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang
muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali.
Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking
kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk
yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau
berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki
yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa
mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar
hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang
baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada
mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua
orang raksasa itu sambil berkata,
“Kalian majulah dan aku akan
menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti
tadi!”
Wisang tertawa bergelak.
Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil
kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja
puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian
berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur
setapak pun!”
“Setan kecil, kau sudah bosan
hidup!” teriak Wisang.
Dia segera menggerakkan
kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah
kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia
melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang
yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang yang besar itu
terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi
perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil...
Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.
Semua orang yang menonton,
termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang
terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia
hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa
sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua
matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan
kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa
sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa
itu.
“Majulah, majulah kalian
berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan
sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras,
Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran
melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet
cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari
ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.
Beberapa kali Wisang dan
Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas
tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan
kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja
mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya
amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali
hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai
mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati
Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu
gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.
Kini mereka tidak lagi
menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan
atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan
terlempar jauh dengan tulang remuk!
Akan tetapi betapa pun besar
tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan
tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah
menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi semua serangan itu,
Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak
Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa
mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia
berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau
kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja tidak segera
merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh
dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia
memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak
akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak sambil
kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras
sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup
keras untuk merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraannya
timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan
menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar
atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan secara begini dan
mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para
penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli,
dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan
kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak
segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, aku patahkan
batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan
kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada
di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku.
Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu menyergap maju
dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram.
Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya
yang mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri dan
semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan
keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua
orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang
raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu
tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan
gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang),
yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke
Sarang).
Kegesitan tubuhnya seperti
burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah,
kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan
tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena
mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk! Blekk!”
Terdengar suara keras, disusul
oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya terhuyung-hunyung ke
belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.
Liyani tertawa
terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa
terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada
yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang
didudukinya!
Dapat dibayangkan betapa
marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening
berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang
berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,”
Kwan Cu mengejek.
Tanpa berkata apa-apa dua
orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah.
Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah
baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling
pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu
berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang!
Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan
terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang
yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak
hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk
maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya
Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.
Akan tetapi, sebenarnya memang
pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua
raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang
ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata
wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik
kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk
sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba
mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak
dan melepaskan diri, terus melompat pergi.
Kini dengan mata terpejam,
saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan
dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan
saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka
benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa
permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di
pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa
itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu
kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah kepala yang besar
sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan Cu melompat turun,
tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh
pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para
penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan
hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita
bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke
arah Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut luar
biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar
sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong
saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat kagum melihat
kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba
kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat.
Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang
raksasa muda itu.
Kwan Cu dapat memaklumi isi
hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat
seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa
puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja
ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu
(mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika
mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang
semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua
orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras
sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan
dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan
Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara
ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu
berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat
merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi dia tidak tega
untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah,
sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu
sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama,
cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah
thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba Lakayong merasa
betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan.
Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja
itu.
Untuk sesaat, Lakayong hanya
dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan,
berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali.
Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran,
lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!”
mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri
Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama
dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat
memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah
mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget
bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika
mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan
diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung
setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukanlah
calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih
kuat dari pada Raja !”
Semua orang terdiam dan
melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak
mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa
jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk
menjadi jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani
membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima
penolakan ini!”
“Alasan jujur yang
bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau
menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua,
hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh
perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung
dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang
teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak
sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga
amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.
Untuk mengaku bahwa dia sudah
punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua
ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab
tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani.
Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh,
seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis!
Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita
tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya
sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu... Apakah
kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.
“Tentu saja, aku… suka sekali
padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah dia suka
padamu?”
“Tentang itu… barang kali dia
suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut
pandangan mataku.”
“Siapa namanya?”
Tak disangkanya bahwa Liyani
begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia
tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani
mendesak.
“Namanya… apa perlunya
kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya
diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya
gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!”
akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia
berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin
keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang
bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa
mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada waktu itu Kasang beserta
Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar
betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan
Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu
hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang
ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini,
cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh
Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang
pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya
tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang
pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan
mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan
lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.
Ada pun Lakayong yang
mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah
Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak
sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan
kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan Cu mendapat
kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan
siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat
Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun
tentu Wisang yang mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang,
maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima
pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak
suka?” tanya Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia
mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada
Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan
agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah.
Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan
Wisang yang jahat.
Demikianlah, atas rencana Kwan
Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan
Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh
Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang.
Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya
main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh
sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan
tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah, setelah menjadi murid
saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang segera menjatuhkan diri
berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas
segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi
pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada
puterinya.
“Liyani, kau sudah mendengar
sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya
terserah kepadamu.”
Terdengar sedu sedan di leher
gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon
menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang ke arah Kwan
Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat
kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya
mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka
maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri
hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkan
keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku
yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak
pergi ke manakah?”
“Aku hanya ingin berkelana
saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh
pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana
letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang
dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru Raja raksasa itu.
”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran.
”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil,
berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian
akan pulau itu?”
“Benar, yang kau maksudkan ini
tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu.
Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali
mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya,
tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami
mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini,
melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut
itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan
kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu.
Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara
kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui
manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut.
Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau
mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku
akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas
panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu.
Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu.
Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas
laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat
dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat
tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau
menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari
perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.
Ketika penduduk mendengar
tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke
pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan
Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya
di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong
sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari
yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong
menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang
terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar
jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal,
saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan
Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga
lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang
mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan
suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah
herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh...
Liyani!
“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi
ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di
sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu masih ingat
bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke
belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?! Kau
gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau
kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja
berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan
memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat
benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani,
mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam
perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani.
Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal
itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan
di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika
aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak
mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena
dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki
demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku
sendiri.”
“Bun Sui Ceng...?”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis
murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia
mengangguk membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah
bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau
benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau
benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali.
Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah
hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak
saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan
Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka
kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu
dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis
ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang
lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa
matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu!
Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan
biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”
Suara gadis ini sedemikian
menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai
tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”
Biar pun bagi Liyani tusuk
konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati.
Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani. Aku pun
tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada
di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan
Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung
perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih
berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani
tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh
tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.
Kwan Cu melambaikan tangan dan
dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung
cepat perahunya tanpa menoleh lagi…..
********************
Kwan Cu terus mendayung
perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik tinggi melewati
kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi dia
tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan
oleh Lakayong.
Akan tetapi, dia melihat laut
yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke
timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut
bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan di mana batasnya, karena
warna laut dan langit hampir sama.
Malam tiba dan baiknya bulan
purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah,
menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di
dalam perahu, membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang
tenang.
Untung baginya bahwa tadi
orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali
kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita kelaparan. Untuk
minumnya, dia pun sudah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan
tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.
Kwan Cu tertidur sampai lama
sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Saat dia membuka
matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari
mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang
menimbulkan pemandangan indah sekali.
Akan tetapi Kwan Cu tak
mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah,
yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya
bergoyang-goyang, dia menjadi terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya
kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke
mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu
bergoyang-goyang!
“Celaka…” pikir Kwan Cu.
Ikan itu banyak sekali dan
kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah.
Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga tidak
mungkin untuk mendayung perahu karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan
yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor
harimau yang siap menerkam setiap saat.
“Celaka, bagaimana baiknya
sekarang?”
Kwan Cu diam saja sambil duduk
di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan
menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari,
kadang kala sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu bergoyang-goyang hampir
terbalik.
“Kurang ajar, mereka sengaja
mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.
Dia teringat akan daun
Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te
Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu
berkata bahwa apa bila dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas maka dia
dapat menggunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri.
Dengan perlahan dia membuka
bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut, lalu mengambil dua
helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu sama sekali tidak
mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.
“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li
tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.
Dia melemparkan sehelai daun
ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun itu
meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, kedua daun itu
bergerak-gerak bagaikan benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena
dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak tiap kali
tersentuh sesuatu.
Ia memandang penuh perhatian
dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada
paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan
tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar kemudian menelannya.
Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya
terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di
permukaan air.
Sudah menjadi kebiasaan liar
dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya mati, mereka segera
menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal
daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula!
Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu
yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.
Kwan Cu bergerak memandang ke
belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di
sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena
racun daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar
lagi.
“Hebat…!” Kwan Cu berseru
dengan hati ngeri.
Ia bergidik melihat betapa
bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan
di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini tahulah dia akan arti
ucapan Liok-te Mo-li bahwa ia akan menyaksikan ‘pesta’ yang menggembirakan
kalau melemparkan daun itu ke laut.
Kwan Cu segera mendayung
perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa ngeri, juga merasa
malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut.
Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan
mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.
“Aku tak akan mempergunakan
daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”
Dengan cepat dia lalu
mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut
sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan
adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang
disebut jalan maut itu.....
Apakah ikan-ikan itu yang
dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tidak mungkin, pikirnya. Sungguh pun
ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi
Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan
kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.
Sehari penuh dia mendayung dan
pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan perahunya
terapung di atas air yang masih tenang.
Pada keesokkan harinya, dia
mendengar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular menyerang
dirinya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari sudah naik
agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Dia memandang ke kanan kiri
dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara mendesis itu.
Tiba-tiba saja dia melihat
awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke tempat di
mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutupi
matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat
sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan
ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang uap itu, kemudian jatuh
dalam keadaan hangus!
Bukan main kagetnya Kwan Cu.
Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar dari asap
atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih
dua kaki di atas air, seolah-olah ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap
hitam itu telah dekat dengan perahunya, Kwan Cu menggerakkan dayungnya
menyentuh uap. Dayung itu segera menjadi hangus ujungnya!
Pemuda ini kaget setelah mati
dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya menempel
pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu sudah
melayang di atas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengerahkan lweekang-nya
untuk melawan hawa panas ini.
Suara mendesis-desis itu
membisingkan telinganya hingga membuat kepalanya pening. Pada akhirnya suara
mendesis itu menjauh, tidak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun
lenyap.
Kwan Cu baru berani membuka
mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan ternyata bahwa
uap hitam yang mengerikan itu sudah lewat. Baiknya uap itu tadi melayang agak
tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus,
tentu saja berikut tubuhnya pula.
Sesudah yakin bahwa tidak ada
bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia dapat merasakan getaran
yang luar biasa hebat pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini sudah
terkunci oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu
yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya itu bergerak mengalir
dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
“Inilah agaknya batas yang
disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.
Akan tetapi ketabahan dan
ketenangannya tidak lenyap. Dengan kedua tangannya Kwan Cu mencoba sedapat
mungkin untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan
menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya
yang dibawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang sangat aneh. Di
laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai membanjir?
Entah ke mana perahunya
dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia terus bekerja keras menjaga supaya
perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih
cepat dari pada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada
sambaran angin dari depan. Juga pada waktu ada air yang terkena pukulan
dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa betapa air
itu dingin sekali seperti salju!
Sampai matahari tenggelam,
masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama makin
pesat. Dia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan
ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu sedang membawa
perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa ‘sungai’
yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu.
Tak lama kemudian, malam pun
tiba. Sinar bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun lenyap
tak dapat terlihat lagi.
Semalam itu dia masih terus
bekerja. Dia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia melepaskan
dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, maka akan
berbahayalah keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya karena
pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.
“Celakalah kali ini,” pikir
Kwan Cu. “Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”
Menghadapi keadaan yang
berbahaya ini, Kwan Cu lalu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga rakasasa
itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut atau jalan maut, karena memang luar
biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat
berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini dahsyat.
Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu
sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tidak sanggup menahan lagi. Akan tetapi,
tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga
aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia memandang ke depan
dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kiranya
di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan tentu aliran itu
tertahan oleh pulau-pulau itu sehingga tenaganya buyar dan perahunya terlepas
dari pegangan aliran itu.
Dengan mengerahkan sisa
tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia sama sekali
berhasil melepaskan perahu dari pada aliran air yang mulai melemah itu. Ia
membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini tampaklah
aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang biru, yakni
air laut yang tenang dan diam.
Kwan Cu mengeleng-geleng
kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air kuning
itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah sumber air itu muncul dari
dasar laut? Ahh, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi
tangan Thian hanya merupakan permainan kecil belaka.
Hal yang pertama-tama
dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum cairan manis yang masih ada sisanya,
kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan terasa kurang enak.
Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah sangat letih.
Sementara itu, matahari mulai
naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang
menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar-debar. Apakah
pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada di antara kumpulan pulau itu?
Siapa tahu kalau-kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng benar-benar berada di
atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan.
Ia mulai mendayung perahunya
mendekati pulau-pulau itu, hendak mulai menyelidik dan mencari-cari apakah di
sana terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Akan tetapi dia
merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.
“Aku harus beristirahat dulu,
harus tidur. Akan tetapi amat berbahaya jika tidur di dalam perahu,
jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.” Mengigat ini,
hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan sisa tenaga untuk mendayung
perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di darat.
Pulau itu kecil saja, akan
tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil
kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu,
karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia
lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia…..
********************
Kwan Cu yang sedang tidur
pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil sekali
mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis
yang gesit sekali gerakannya. Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali,
pakaiannya terbuat dari pada sejenis sutera halus yang mencetak bentuk tubuh
dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam dan
bergoyang-goyang di belakang punggung.
Dua orang gadis cantik ini
berlari-lari, akan tetapi mendadak memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan mata
terbelalak. Kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba
menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak,
seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang indah.
Mereka kemudian berbicara
perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi segala
macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat bukan main, sehingga ketika
mencabut pedang itu pun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking
cepatnya. Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang tadi ditarik
ke darat oleh Kwan Cu.
Setelah mereka tiba di dekat
perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan
kelihatan takut. Ternyata bahwa tubuh kedua orang gadis itu kecil sekali
setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis
itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal melihat bentuk
tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas
tahun!
“Perahu raksasa!” kata seorang
di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi kanannya,
tanda yang menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua memandang ke
kanan kiri, dan tiba-tiba saja dia menjerit perlahan sambil menudingkan
telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih saja tidur pulas di bawah sebatang
pohon kecil. Gadis dengan tahi lalat pada pipinya menengok sambil melompat
seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit
tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti seorang
raksasa!
Keduanya berbicara perlahan
dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu
berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Walau pun tubuh
mereka kecil, akan tetapi mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka
sama sekali tidak melarikan diri ketakutan, bahkan berani menghampiri ‘raksasa’
itu.
Hal ini tidak mengherankan
kalau kita mengetahui siapa adanya kedua orang gadis itu. Mereka ini adalah dua
orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup
di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini
sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di antara mereka, dua orang
gadis ini dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kepandaian paling tinggi.
Ini dapat dibuktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat
sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit
sekali.
Pada saat mereka tiba di dekat
Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat pada
pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya,
sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala
ikan dari punggungnya.
Meski pun dia sedang tidur
pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu adalah orang-orang biasa,
agaknya Kwan Cu masih mampu mendengar juga karena telinganya sudah terlatih
baik. Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang mereka injak pun
tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka sudah
tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan
empuk sekali.
Gadis bertahi lalat pada
pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang
kelihatan besar sekali. Sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu
melayang dan menyambar muka Kwan Cu.
Pemuda ini merasa bahwa ada
sesuatu yang halus menutupi mukanya. Dia cepat-cepat membuka matanya, akan
tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia
tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap saja dia telah
tertidur pulas kembali!
Gadis kedua yang berwajah
gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu. Dengan
gerakan cekatan dia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu dan dibantu
oleh gadis pertama lalu mengikat sana sini sehingga sebentar saja tubuh Kwan Cu
sudah terbungkus jala itu dan kelihatan bagaikan seekor ikan besar masuk ke
dalam jala yang kuat!
“Pergilah kau memanggil kawan-kawan
untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat kepada adiknya.
Gadis ke dua sambil
tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah
perahunya dan berlayar pergi. Ada pun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu,
memeriksa bungkusan besar milik Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan
tidak jauh dari tubuhnya.
Gadis ini segera membuka
bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan,
rambutnya bergerak ke kanan dan kiri ketika dengan susah payah dia membuka
bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar
pakaian Kwan Cu diperhatikannya secara baik-baik, oleh karena bahan pakaian itu
sangat asing dan kasar baginya.
Ketika melihat bungkusan
kuning, ia pun membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-cu-hio
yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera
melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras.
Dicabutnya sapu tangan merah
yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya
digosok-gosokkan kepada sapu tangan itu. Setelah menyimpan kembali sapu
tangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu!
Sungguh mengherankan! Daun
yang mampu menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya, kini ketika berada
di tangan gadis ini ternyata tidak mendatangkan akibat apa pun. Ternyata sapu
tangan merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.
Gadis itu belum pernah melihat
Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari baunya saja dia dapat
mengenali racun yang berbahaya dari daun itu. Sesudah puas memeriksa daun itu,
dia lalu membungkusnya kembali.
Kemudian matanya memandang ke
arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa oleh Kwan Cu.
Ketika berada di dalam tangan gadis itu, suling ini seolah merupakan sebatang
suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.
Gadis itu tertawa berkikikan
seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat
suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya
terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, saat dia
meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi satu nada saja.
Pada saat gadis itu membungkus
kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian banyak orang.
Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh
dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki
kecantikan yang menarik hati. Akan tetapi mereka ini pun kecil-kecil seperti
dua gadis tadi.
Segera keadaan di situ menjadi
ramai ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya sambil
terheran-heran. Mereka kemudian bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai
dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan
Cu ke dalam perahu pemuda itu, kemudian beramai-ramai mendorong perahu ke laut.
Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang tersedia di perahu Kwan Cu,
diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil milik mereka. Kemudian mereka mendayung
perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.
Orang-orang pendek ini tinggal
di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di mana Kwan Cu
ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke
dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil.
Kwan Cu dibiarkan berbaring di
atas tanah. Pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah mabuk
akibat pengaruh sapu tangan merah tadi. Dia menggerakkan kaki tangannya dan
merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika dia memandang,
ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.
Kwan Cu terkejut dan
terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar
suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia
berteriak saking kaget dan herannya. Dia melihat dua orang gadis kecil sekali
yang cantik menarik.
Gadis pertama yang manis
dengan tahi lalat di pipinya melakukan gerakan seperti orang bersilat, bersiap
sedia untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian
dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai sapu tangan merah dari balik
bajunya, maka terciumlah bahu yang amat harum.
Teringatlah Kwan Cu bahwa
ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat menduga bahwa
sapu tangan itulah yang tadi telah membuat dia pingsan. Dia menggunakan
kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil
memandang penuh perhatian.
Benar saja, pada saat melihat
bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu tidak
jadi menyerang, hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya
memandang ke depan dan dia langsung merasa terheran-heran. Dia dirubung oleh
banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah
wanita-wanita belaka!
“Mimpikah aku? Setelah bertemu
dengan raksasa-raksasa apakah sekarang aku sudah berubah pula seperti raksasa
dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?”
demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung.
Memang, kalau di bandingkan,
keadaannya kini terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari yang lalu.
Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia
menjadi tiga kali lebih besar dari pada wanita-wanita ini.
“Kalian siapakah? Dan kenapa
aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak menimbulkan
rasa takut pada orang-orang wanita itu.
Akan tetapi ketika gadis
cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung bukan
main karena dia tak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara
gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya
terdengar tidak karuan seperti berikut.
“Karika yiyi kaduka nana...”
Celaka, sekarang kembali aku
bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil itu,
bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengherankan Kwan Cu karena sesudah bertemu
dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia
yang aneh. Yang sangat mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang
berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah ini dunia wanita?
Kwan Cu teringat akan
pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang
dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri.
Jangankan yang digunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang digunakan di
daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam!
Akan tetapi, walau pun
ucapannya berlainan namun tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan
seseorang di Tiongkok untuk melakukan hubungan dengan orang-orang di daerah
lain. Saat berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan
tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat membaca
tulisannya.
Sesudah berpikir demikian,
Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata para
wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang
dipergunakan oleh Lakayong.
Wanita-wanita kecil itu menghampirinya
dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya. Kwan Cu lalu
menghapus coretan pada tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan
yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.
‘Dapat membaca ini?’ tanyanya
dalam tulisan itu.
Usahanya berhasil!
Wanita-wanita itu lantas saling pandang, kemudian gadis bertahi lalat
mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.
‘Aku dapat membaca tulisanmu,
kau siapakah dan datang dari mana?’
Bukan main girangnya hati Kwan
Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat
dibacanya dengan jelas.
‘Biarkan aku duduk dan
lepaskan dulu jala ini, aku akan bercerita,’ tulisnya karena amat sukarlah
menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri
dengan kekerasan, karena khawatir kalau-kalau akan dicurigai.
Gadis yang menjadi pemimpin
itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian mereka
lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat dua tangan Kwan Cu di belakang
tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!
Kwan Cu merasa geli sekali dan
tangan-tangan yang halus serta kecil itu bergerak amat cepat, jari-jari yang
kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan
menenangkan diri. Dia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tak percaya padanya
dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya dari jala itu.
Dugaannya sangat tepat.
Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, jala itu lalu dibuka. Ia dibolehkan
bangun dan duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di
sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan dan
dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.
Yang lebih hebat, gadis kedua
yang lincah itu sekali melompat telah berdiri pada pundak kirinya, membawa
sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Walau pun hanya
longar saja, lehernya tetap diikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik
sekali!
Kwan Cu duduk bersila sambil bersandar
pada tiang batu karang. Dia mencoba dengan urat-urat tangannya untuk mengetahui
sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa jika
dia mau, mudah saja baginya untuk merenggut putus tali itu.
Gadis bertahi lalat pada pipinya
itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di depan
Kwan Cu.
‘Aku bernama Malita dan ini
adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau
menjadi tawanan kami dan jangan mencoba untuk memberontak, sebab biar pun
tubuhmu besar tetapi kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan
senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada saat ini,
kami benci dan tidak percaya terhadap semua laki-laki. Akan tetapi kau datang
dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah kami?’
Kwan Cu membaca tulisan itu
dan tersenyum. Nama-nama yang aneh akan tetapi cukup manis, pikirnya. Akan
tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi
heran sekali.
Ia ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan gadis itu, akan tetapi kedua tangannya diikat di belakang
tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia mampu melepaskan
tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut serta curiga.
Maka, dia menjawab dengan mulutnya.
"Bagaimana aku dapat
menulis jawabannya jika kedua tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia
melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.
Malita dan Malika bicara,
agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
‘Wajahmu tampan dan gagah, kau
berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat. Akan
tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tak percaya lagi pada semua makhluk
jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan
tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!’
Kwan Cu tersenyum ramah dan
mengangguk-anggukan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau dan memutuskan ikatan
tangan kanan Kwan Cu. Sesudah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan tangannya,
Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan ada pun tangan kirinya
mengeluarkan sapu tangan merahnya.
Kwan Cu bergidik. Ia lebih
takut kepada sapu tangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita. Juga
Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak
jauh dari tempat itu pun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap
seperti sekumpulan orang bersiap untuk bertempur.
Melihat cara mereka mencabut
pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang sekali
memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan
tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar namun lamban,
mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.
Kwan Cu lalu mulai menulis di
atas tanah. ‘Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di daerah ini
tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki,
akan tetapi aku tidak pernah menggangu orang, apa lagi orang wanita. Kalian
percayalah kepadaku.’
Kedua orang gadis itu saling
pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca tulisan
Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat
menduga bahwa mereka ini sebagian besar tak percaya akan tulisannya tadi.
‘Kami sudah cukup sering
tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,’ tulis Malita.
‘Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak dapat sembarangan saja
percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?’
‘Aku mencari sebuah pulau
kecil yang bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian
melepaskan aku dan aku tidak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan
perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, aku
akan membantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.’
Kembali orang-orang wanita itu
ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu untuk
mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba saja terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu
menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar
oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar dan beberapa orang
pengejarnya telah kena dihajar roboh.
Malita marah sekali dan dengan
pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut pandangan Kwan Cu hampir
menyerupai gerakan Ouw-liong Coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara), semacam
gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!
Akan tetapi sebelum Malita
dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh itu, Kwan Cu sudah
mendahuluinya. Pemuda ini mempergunakan tangan kanannya yang bebas untuk
mencengkeram segenggam tanah yang langsung dilemparkan ke arah laki-laki kecil
yang melarikan diri.
Lelaki itu berteriak, lalu
roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan
segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan
sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.
Malita kembali menghampiri
Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tak segalak tadi, ada pun senyumnya menghias
wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan
sikap manis.
‘Kenapa kau merobohkan orang
jahat itu?’ tanya Malita dengan tulisannya.
‘Sudah kukatakan bahwa aku
tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki yang begitu kejam karena
merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,’ jawab Kwan Cu.
‘Kau pandai sekali melempar
am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau
benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?’
‘Aku selalu berada di fihak benar,
dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk, apa kalian
kira aku tak akan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian
percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sanggup melepaskan ikatan
ini.’
Malita sangat terkejut, akan
tetapi ia tersenyum dan menulis,
‘Kau raksasa yang aneh, gagah
dan berwatak halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.’
Setelah membaca ini, Kwan Cu
tertawa girang. Sekali dia mengerahkan lweekang-nya, terdengar suara keras dan
semua ikatannya putus!
Malita, Malika dan semua
wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di
tangan!
Kwan Cu tersenyum, berdiri dan
menggeliat, diawasi oleh semua wanita-wanita kecil itu dengan pandangan mata
kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.
‘Nah, marilah kita bicara
dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat
wanita saja dan satu-satunya lelaki yang kulihat adalah yang tadi menjadi
tawananmu? Kenapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun
adalah puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?’
Membaca tulisan ini, kembali
semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan menangis.
Sungguh mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi makin terheran. Akan tetapi Malita
menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis, segera menulis panjang
lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda raksasa itu.
Semenjak beberapa keturunan,
bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan banga-bangsa
manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu
muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini
membenci laki-laki dan dia hanya mau menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid
wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak
boleh diturunkan kepada laki-laki.
Demikianlah, maka para
wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam
tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apa bila berkelahi, selalu para
wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari
wanita. Sebaliknya, laki-laki hanya bertugas di sawah dan laki-laki pula yang
bertugas mencari makanan.
Mereka selalu memilih pimpinan
mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan sebagai pemimpin
tentulah wanita. Akan tetapi, meski jarang terjadi, pernah pula seorang
laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja jika sudah
memenuhi syarat-syarat yang berat dan ditentukan oleh bangsa wanita ini. Dalam
hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama, akan tetapi
juga pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih dari pada orang lain.
Raja atau kepala terakhir yang
dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak
pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan
ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang
pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang puterinya yang
memiliki kepandaian silat istimewa.
Malita dan Malika adalah
murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek
sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang
yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan Malika.
Setelah raja itu meninggal
dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah
ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang lelaki
yang dipimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka
inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah sepatutnya bila
laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!
Malita dan Malika marah sekali
dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang dipimpin oleh enam orang
pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita.
Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami mau
pun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang ini sehingga ikut pula
memberontak.
Akan tetapi, semua laki-laki
itu hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal mempermainkan
senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang mampu melakukan
perlawanan hebat karena secara diam-diam sudah mempelajari ilmu silat.
Akhirnya, banyak laki-laki
menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun,
keenam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang
mempunyai goa-goa di batu-batu karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di
dalam goa diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang masih setia kepada
mereka.
Sudah beberapa kali Malita
serta Malika berusaha memimpin barisan para wanita untuk mengalahkan, menawan
atau bahkan membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika
dia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka sangat kuat dengan adanya
goa-goa yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian mereka tambah
hebat.
Apa lagi enam orang laki-laki
itu dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot
yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka dalam beberapa
hari ini menjadi amat hebat, seolah-olah mereka menemukan guru yang pandai!
Tadinya, hanya Malita dan
Malika berdua saja dengan mudah bisa mendesak dan hampir mengalahkan enam orang
laki-laki pemimpin pemberontak itu. Namun beberapa pekan kemudian ketika mereka
mencoba untuk menyerang para pemberontak, keenam orang laki-laki itu maju dan
menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya enam orang ini terutama
sekali Kahano!
Mereka bersenjata pedang
pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar biasa
sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak
buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita
dapat memukul mundur semua laki-laki itu.
Namun mereka segera
berlari-lari dan masuk ke dalam goa, sehingga kembali gerakan Malita gagal.
Untuk menyerbu ke dalam goa amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak
buahnya menghujankan anak panah dari dalam goa!
‘Nah, hal inilah yang
menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.’ Tulis Malita akhirnya sesudah
menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang
kecil-kecil. ‘Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum
laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau
robohkan tadi adalah seorang di antara para tawanan kami yang mencoba melarikan
diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano maju demikian cepatnya
sehingga lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat
latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!’
Kwan Cu tersenyum, lalu dia
pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
‘Saudara Malita, Malika dan
semua wanita yang berada di sini, maafkan apa bila aku menyatakan sesuatu yang
mungkin akan terasa janggal untuk kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang
berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.’
Para wanita ribut-ribut
sesudah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak
dicegah oleh Malita.
‘Kaum laki-laki memang mau
menang sendiri saja!’ Malita menulis dengan coretan cepat, mengandung
kemendongkolan hati. ‘Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dulu pernah
kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib kami kaum
wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, tetapi kami wanita yang bekerja keras.
Bukan itu saja, kami diperlakukan bagai barang permainan, mudah ditukar dan
diperjual belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya!
Bahkan raja di kala itu memiliki isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu
pula keadaan di duniamu?’
Diam-diam Kwan Cu harus
mengakui bahwa di dunianya memang hampir demikianlah keadaannya. Memang banyak
orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita
sebagai barang permainan dan memandang rendah sekali kepada kaum wanita. Bahkan
dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir
tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak lagi. Ia harus berlaku
cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum laki-laki dan
kaum wanita dari bangsa katai ini.
Kwan Cu lalu menulis lagi.
‘Sama sekali tidak begitu.
Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita.
Tak ada seorang pun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan
seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami
isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan karenanya
pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum
lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak
wanita.’
Mendengar ini, para wanita
saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking terharu
hatinya.
‘Alangkah bahagianya hidup
kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,’ Malita menulis.
‘Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya
maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian supaya
dapat menguasai laki-laki sehingga kami dapat mencegah perlakuan
sewenang-wenang.'
'Kenapa tak bisa diatur
begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau
ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang aku ceritakan tadi.’
Wanita-wanita itu nampak
girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa
wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik,
terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita
wanita di kota raja di negaranya.
‘Akan tetapi, biar pun kami
amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat mengalahkan
Kahano yang sudah tua itu. Dia mempunyai niat yang sangat buruk. Pertama-tama
dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia pun mau
menjadi raja di sini!’ ketika menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah
saking marah dan jengahnya. ‘Dan yang amat mengkhawatirkan, kepandaiannya makin
lama semakin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil itu. Agaknya
di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.’
Mendengar ini, berdebarlah
hati Kwan Cu. ‘Pulau pohon putih? Di manakah itu?’
‘Itulah pulau yang kini
menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu ditumbuhi pohon-pohon putih, dan di
sana terdapat banyak sekali goa-goa yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu
menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan
ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu dan di kubur di sana pula.’
Kwan Cu menyembunyikan rasa
girangnya. Itulah gerangan pulau yang dimaksudkan di dalam buku sejarah Gui Tin
di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
‘Mari antarkan aku ke sana,
akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan kutangkap Kahano yang
memberontak itu!’ tulisnya gagah sambil berdiri.
Akan tetapi Malita nampak
ragu-ragu. Apa lagi Malika yang berwatak lebih keras dari pada kakaknya. Gadis
ini berdiri dan mencabut pedangnya.
‘Raksasa,’ tulisnya di tanah
menggunakan ujung pedangnya, ‘gampang saja kau bicara seakan-akan kau
benar-benar akan dapat menangkan Kahano serta kawan-kawannya. Sekarang begini
saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biar pun kau besar
sekali dan tentu tenagamu juga amat besar, akan tetapi kalau tidak memiliki
kepandaian, apa gunanya?’
Malika menegur adiknya dengan
kerling mata tajam, kemudian ia pun menulis. ‘Maafkan adikku yang nakal dan
kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, kata-kata itu ada benarnya pula. Kami
tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka
di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji kepandaianmu?’
Kwan Cu mengangguk, dan tanpa
banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu dengan
hati-hati. Dia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki
ginkang yang amat tinggi dan karenanya tentu mempunyai kepandaian yang tak
boleh dipandang ringan.
Malita dan Malika bersiap
dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan kedua orang gadis itu
menyerbulah dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi
sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, ada pun Malika
yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar.
Benar saja dugaan Kwan Cu. Gerakan kedua orang gadis ini cepat bukan main dan
cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.
Kwan Cu menggunakan Pai-bun
Tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini. Baiknya pemuda
ini sudah mempunyai pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih
besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika.
Sekali saja Kwan Cu melangkah,
dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang menyerang
dirinya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan
Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.
Kwan Cu memperhatikan
gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka
itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan
tubuh sebesar dia, tentu dia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari
serangan mereka itu.
Gerakan pedang mereka selain
sangat cepat, juga gerakannya memiliki perubahan yang tak terduga-duga, begitu
indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan
pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu
menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.....