Pendekar Sakti Jilid 21-25

Sesudah senja datang, Kwan Cu menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan mengintai ke arah goa itu. Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan.
Pendekar Sakti Jilid 21-25

Sesudah senja datang, Kwan Cu menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan mengintai ke arah goa itu. Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih saja berdiri laksana patung di depan goa, memegangi tombaknya sehingga nampaknya angker dan menakutkan.

Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam goa itu melarikan diri. Ketika dia masih menunggu sambil mengintai di belakang rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.

Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat itu ternyata adalah seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang sangat lihai dan jahat, hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!

Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, tentu berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tidak usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!

Dia melihat penjaga yang laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa, seakan-akan dia berkata-kata di depan banyak orang.

Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya. Lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang ditahan di dalam goa itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya!

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu. Dia hanya tahu bahwa semua orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi goa itu akan ditutup untuk selamanya!

Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu keluar lagi dari goa dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.

Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tidak lama kemudian datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan.

Ketika para penjaga itu sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara suling yang merdu. Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?

Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.

Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku.

“Barang kali peniup suling itu adalah seorang wanita cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan dia!”

Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya. Akan tetapi setelah sampai di sebuah tikungan mereka ini juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.

Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang ada dua orang kawannya lagi yang sudah lama pergi tetapi tidak muncul kembali.

“Ahh, tentu ada apa-apa!” kata seorang di antara mereka. “Lebih baik kita memberi tanda rahasia agar kawan-kawan yang lain datang ke sini. Hatiku tidak enak…”

Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan, kemudian terdengar teriakan susul menyusul saat tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.

Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi terpasang di depan pintu goa dan berlari masuk. Ternyata bahwa goa itu dalamnya sangat luas dan panjang, merupakan sebuah terowongan yang amat gelap. Di sepanjang terowongan itu terpasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang.

Hmm, agaknya lubang inilah yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancam dirinya siang tadi, pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.

Terdengar suara-suara orang di bawah dan Kwan Cu cepat bertanya,

“Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”

Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.

“Bagaimana caranya kau dapat menolong kami?” Inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.

“Berapa banyak kawanmu?” tanya Kwan Cu.

“Kini yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”

Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi dia pun telah mencium bau yang tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.

“Berapa dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.

“Kurang lebih lima tombak!”

Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.

“Dasarnya tanah keras atau lembek?”

“Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”

“Kalian minggirlah semua, biar ruang di bawah pada bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!” kata Kwan Cu.

Kemudian pemuda ini segera menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya serta menyelipkan suling pada pinggangnya, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,

“Awas, aku datang!”

Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh cahaya obor yang ada di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.

“Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?” tanya suara yang tadi berbicara ketika Kwan Cu masih berada di atas.

Orang ini tubuhnya tinggi kurus, tetapi wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.

“Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya sederhana.

Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.

“Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini sambil menggendong seorang pula?” tanya orang yang tinggi itu.

“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.

“Dan para penjaga, di manakah mereka?”

“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.

“Taihiap, biarlah kau keluarkan aku terlebih dahulu. Dengan menggunakan ikat pinggang yang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”

Pikiran ini baik juga. Kwan Cu kemudian menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkang-nya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur.

Ketika orang yang ternyata seorang laki-laki setengah tua itu melihat bahwa orang yang menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali. Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan. Dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.

Sekarang pertolongan mengeluarkan para korban dilakukan dengan dua jalan. Kwan Cu masih tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tak kuat merayap melalui tambang buatan. Selain itu ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepaskan ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.

Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.

“Mari cepat keluar dari goa ini!” Kwan Cu mengajak tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang itu.

Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tidak salah lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tak mau dipaksa menjadi tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil pusing.

Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari goa itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat sehingga sebentar saja mereka sudah dapat melarikan diri jauh dari goa, lalu bersembunyi di dalam hutan.

“Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.

Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura.

“Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang akan memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat, siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”

“Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu kuceritakan. Hanya bila kalian hendak berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!”

Sesudah berkata demikian, Kwan Cu segera melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu…..

********************

Jika sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan sedang mempersiapkan barisan besar untuk memberontak terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentulah akan berusaha untuk menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu. Dia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.

Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya. Dia hanya beristirahat untuk makan dan tidur sebentar saja. Dia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi supaya jangan sampai ada urusan yang akhirnya menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning.

Kota Ang-tung sangat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan para pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.

Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorang pun sanggup menyewakan perahunya, biar pun dengan bayaran tinggi.

“Laut di selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang besar dan sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya bisa membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Bila kongcu menghendaki menyewa perahu untuk digunakan memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”

“Di mana letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan hati girang.

“Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”

Tanpa membuang banyak waktu lagi Kwan Cu cepat-cepat menuju ke timur dan mencari perkampungan Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor. Mereka ini nampak miskin dan sederhana, akan tetapi sebagian besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari.

Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkan dirinya, sama sekali tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Kwan Cu pun dapat menduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh.

Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan Han, dan merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.

Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang amat membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil bertanya,

“Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”

Seorang kakek bermata sipit yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang, berpaling kepadanya dan tanpa melepaskan huncwe-nya dia berkata,

“Kalau tidak mengganggu, tak perlu meminta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf segala?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Dia dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.

“Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”

Sekarang kakek bermata sipit itu menghentikan pekerjaannya menambal layar. Sambil mencabut huncwe-nya dia menghadapi Kwan Cu dan memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,

“Kau mau apakah?”

“Aku mencari perahu yang disewakan.”

“Dengan orangnya?”

“Kalau mungkin, lebih baik lagi.”

“Ke mana?”

Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.

“Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”

“Tak mungkin! Tidak ada perahu yang disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwe pada mulutnya lagi.

“Lopek, aku pun tidak hendak menyewa perahumu jika kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” Kwan Cu berkata agak keras karena dia merasa mendongkol sekali.

Pemuda ini kemudian memandang ke sekelilingnya dan berteriak, “He, saudara-saudara. Siapa yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!”

Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja mengurung Kwan Cu dan sambil melepaskan huncwe-nya, berkata kakek itu kepada orang banyak,

“Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu untuk menyeberangi laut dan mencari pulau. Agaknya dia telah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti kakek itu.

“Dengar!” Kwan Cu membentak! “Kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja. Tidak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarlah aku menyewa perahu saja, berikan padaku perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!”

“Kau akan membayar dengan apa?”

“Dengan emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!”

Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat ‘ambil’ dari rumah gedung seorang bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, sudah mencuri sekantong uang emas dari hartawan itu pada malam hari!

“Hah, apa artinya emas? Tidak bisa mengenyangkan perut!” kata kakek itu dan semua nelayan mengangguk menyatakan setuju. “Mengacaukan saja!”

Kwan Cu tertegun dan penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”

“Anak muda, apa pun pembayaran yang kau janjikan, di dusun kami tak ada orang yang begitu gila untuk memberikan perahunya padamu, karena bila perahu diberikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”

Kwan Cu mendongkol sekali, “Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut, tidak ramah dan tidak mau menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!

Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu. “Lo-pek-pek, kenapa tidak kau suruh saja dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.

“Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila atau puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di antara gelak ketawa.

Kwan Cu terheran-heran. Orang-orang ini tadinya sangat pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.

“Di manakah adanya si nenek gila itu? Apakah dia benar-benar mempunyai perahu dan sekiranya dia mau menyewakan perahunya, biar pun gila akan kucoba mendatangi.”

Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biar pun urusanmu tidak ada sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Apa bila kau coba-coba mendekati mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”

Hati Kwan Cu semakin tertarik.

“Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”

Kakek itu mengangkat pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dulu bahwa orang-orang selatan memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan di sana kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sanalah mereka tinggal.”

“Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!”

Sesudah mengucap demikian, Kwan Cu menggunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua nelayan ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!

Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan amat cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ sangat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan benar-benar sunyi sekali.

Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah.

Kwan Cu dapat melihat semua ini karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikian pula jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya.

Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, akan tetapi tidak kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu.

Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana sini terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.

Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah. Kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari pujangga ternama.

Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak seindah itu, pikirnya. Makin tertarik dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka ini dan bagaimana mereka nanti menyambutnya?

Akan tetapi, menanti-nanti kedatangan penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena setelah ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, penghuninya belum juga kelihatan kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barang kali para nelayan itu mempermainkannya?

Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menunggu terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi.

Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan termenung, mengharapkan kedatangan tuan rumah. Mendadak dia melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.

Di bagian depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya. Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar serta tulang-tulang daunnya kelihatan jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya.

Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin. Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jangkerik datang, kemudian jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati!

Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!

Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguh pun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu.

Oleh karena itu, ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang, dia lalu menyambar dengan tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu sehingga menempel pada pohon dan akibatnya... benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!

“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun mukjijat apakah ini?”

Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang lucu dan menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mukjijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh.

Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang segar dan digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi. Tapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan seolah merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakannya dan menambah kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!

“Luar biasa sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!”

Dia menjadi sangat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menunggu di situ. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.

Tiba-tiba saja terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun. Pada tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tidak dapat melepaskan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!

Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh dan mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.

Kwan Cu tertarik bukan main dan mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk diperiksanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi melengking mengerikan dan tahu-tahu menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk bagaikan cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi betul-betul berbahaya! Melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!

“Suthai, harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang berani memasuki rumah Suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.

“Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” nenek itu bertanya. Sepasang matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti suling ditiup.

“Tidak, tidak, Suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mukjijat itu? Bahkan untuk menyentuh pun teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat membuat hangus tubuh binatang-binatang jangkerik.”

Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan. “Hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!” Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya. “Ha, ulat-ulat yang menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!”

Dia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, kemudian memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir pada pinggir bibirnya terus ke dagu.

Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludah melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya. Dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.

“Kau ingin makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, tidak, terima kasih banyak, Suthai. Tadi teecu sudah makan di dusun Kim-le-pang.”

Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.

“Kau nelayan?”

“Bukan, Suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa sebuah perahu.”

“Mau menyewa perahu mengapa datang ke sini? Apakah kau belum mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku ini harus mati?”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang sangat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhu-nya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.

“Suthai, maafkan teecu. Teecu datang tidak dengan maksud buruk. Harap suka maafkan kelancangan teecu.”

“Hi-hi-hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!” Setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai.


Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda ini pun lantas mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan nenek itu sungguh berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.

“Hi-hi-hi, kau mampu melawanku, benar-benar mengagumkan! Ehh, ilmu silatmu hampir sama dengan Pai-bun Tui-pek-to!”

Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?

“Memang teecu mainkan Pai-bun Tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”

Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu telah mengenal suhu-nya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu malah menyerang makin hebat lagi.

“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”

Menghadapi serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tidak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.

“Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu.

Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!

Akan tetapi, tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan justru menghentikan serangannya.

“Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”

Kwan Cu cepat menoleh. Dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali. Usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Dia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang selalu gembira.

Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.

“Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apa bila tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”

“Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai ke manakah?” Kong Hoat bertanya sambil memandang tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya sangat jujur.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia dan cita-citanya.

“Sebenarnya aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa beberapa pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri.”

Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut kemudian pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada di dalam rumah.

“Aneh, aneh sekali! Apakah kau tahu bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-makhluk aneh yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiri pun tidak berani pergi ke pulau-pulau itu.”

“Siapa yang pergi ke pulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematiannya sendiri. Hi-hi-hi, murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, bahkan lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan serta gagah. Batalkan saja kehendakmu itu.”

Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apa lagi puteranya, walau pun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja lengannya.

“Terima kasih atas nasehatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Tapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Apa bila sekiranya Ji-wi tidak berani mengantarku, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”

Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.

“Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi ibu...”

“Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu mati kesunyian.”

Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biar pun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini. Jika tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?

“Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat dua kakiku dengan omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”

Dan sekarang nenek itulah yang menangis terisak-isak, lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.

“Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”

Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.

“Saudara Kwan Cu, apa bila kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah perahuku.”

“Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”

Tiba-tiba saja nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,

“Ibu jangan…!”

Ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu ibuku membunuhmu karena kau sudah menghina kami orang-orang miskin.”

“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina...” kata Kwan Cu kaget sekali.

“Kami tahu, dan karena itu sudahlah, jangan kita bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu kami padamu dan habis perkara! Besok pagi-pagi sekali, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menunggu datangnya fajar. Berangkat pada waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali dari mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat dari laut.”

Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha.

Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warnanya aneh dan mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin.

“Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”

“Sesudah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!

Kwan Cu menjadi bengong. ”Ehh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sudah sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”

Kong Hoat dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.

“Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, di seluruh laut kuning barangkali ikan seperti ini hanya ada beberapa puluh ekor saja. Dia disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha menangkap ikan ini, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.”

“Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”

Kembali ibu dan anak itu tertawa bergelak, “Ahh, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya.”

Mendengar ini merahlah wajah Kwan Cu

“Maafkan aku yang bodoh ini,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehan ikan ini.”

Setelah tertawa geli tanpa bermaksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,

“Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang hingga ke pinggir pantai dan merupakan hal yang sangat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.”

“Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar sekali didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. ”Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?”

Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya, ”Bolehkah aku menceritakannya ibu?”

Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk. “Tentu saja boleh. Ia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasakan daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”

Setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Ada pun Kong Hoat tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.

“Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”

“Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu pada ibumu, sebagai sikap seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!”

“Mendiang susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “merupakan seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dan dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk bisa menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan kalau lemaknya dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya jika dikeringkan kemudian dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang amat mujarab bagi kita sehingga tulang-tulang kaki dan tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apa bila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.”

Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua hal ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil selalu bermain-main di dekat air.

Betapa pun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang daging ikan ini mengandung khasiat yang sangat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya.

Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini Kwan Cu tahu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sangat terkenal dan yang namanya pernah disebut-sebut oleh suhu-nya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Ada pun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.

“Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Engkau yang masih begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.

Kwan Cu tersenyum.....

Dia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhu-nya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada siapa pun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata,

“Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuan saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”

Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.

“Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat.

“Dayung ini masih jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau seorang pemuda gagah perkasa, maka sangat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.”

Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat digunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan.

“Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini,” kata Kwan Cu girang.

Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke tepi pantai dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan pada permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung.

“Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai, hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya. Selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang sangat liar dan ganas.”

“Terima kasih atas segala nasehatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasehat itu,” jawab Kwan Cu.

Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-larian. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya jika aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini sebagai bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu.

Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkerik-jangkerik malam tadi, dia menjadi ngeri.

“Maaf, Suthai, biar pun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apa bila melihat kelihaian daun ini. Sekarang Suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannya?”

Liok-te Mo-li tertawa berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang tak akan merasa ngeri? Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada pula daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada waktu kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke dalam air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini sehingga mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan jika mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda. Kelak apa bila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.

“Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri dia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik.”

Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali sepasang matanya mengucurkan air mata!

“Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.”

“Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi dengan tujuan sesuatu,” Kwan Cu membantah.

“Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasa bahwa di tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat pula barang-barang yang berbahaya dan aneh. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang terbaik adalah gigi harimau, sedangkan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”

Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat menyambungnya, ”Apa pun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup tinggi untuk dapat kugunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Ilmu kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.”

“Kau terlalu memujiku, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu, mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.

Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang dan berat, ada pun ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesat. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Pemandangan indah sekali. Permukaan air tenang laksana kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya memecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tanpa mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, nyaman dan enak sekali.

Kehidupan di laut nampak mati. Tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak pada permukaan laut. Benar-benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.

Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biar pun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya hanya berdebar penuh ketegangan. Dia teringat bahwa dulu dia dianggap sebagai ‘anak laut’ oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra.

Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apa bila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia sudah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!

Sesudah matahari mulai nampak di permukaan laut, berupa bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, mulailah tampak kehidupan. Air yang tadinya ‘tidur’ mulai bergerak sedikit dan di kanan kiri perahunya mulai terlihat air itu berkeriput, mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai ‘mandi’ cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.

Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Dia pun teringat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu sering kali mengajarkannya mengenai filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.

Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri pribadi.

Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala mala petaka yang terjadi di antara manusia.

Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, mata Kwan Cu terbuka dan dia melihat serta mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi.

Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Ia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi berguna bagi tiap makhluk yang membutuhkannya, sedikit pun tak pernah meminta, itulah sang matahari.

Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainnya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tidak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci.

Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini dapat dipergunakan oleh manusia, bahkan sesudah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!

Kwan Cu tersenyum melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya. Mengapa justru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan untuk hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara dua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup!

Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam beserta isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mukjijat yang luar biasa hebatnya. Semua ini adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini menjadi saksi atas segala keindahan itu.

Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya, Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari sana sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya penuh diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girangnya sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!

Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang semenjak pagi tadi sudah kelihatan. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah.

Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.

Inilah keanehan pertama yang dialami oleh Kwan Cu. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu.

Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat penyimpanan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Di dalam kitab sejarah peninggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil dan berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.

Akan tetapi sesudah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Apa bila tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan semakin mendekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!

Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya kemudian memandang ke sekeliling dengan bingung. Tidak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa kini tiba-tiba lenyap? Sebenarnya hal ini juga akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu seakan lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak terlihat olehnya.

Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini, karena itu dia pun tersenyum dan berkata, “Memang aneh sekali. Tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, sebab siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.”

Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri.

Kwan Cu yang tak biasa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut.

“Hebat! Suara apakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat? Hemm, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!”

Dia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian di dalam hatinya, sesungguh pun tidak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andai kata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu.

Dia teringat akan suhu-nya dan diam-diam dia tertawa dengan hati penuh kasih sayang terhadap suhu-nya itu. Suhu-nya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat bagaikan lautan ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang.

Mendadak anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang sedang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.


“Hai-liong-ong…,” kata suara hatinya penuh kengerian.

Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri benda itu datang, makin lama makin panjang dan besar, dan meski pun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang.

Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh laksana derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut, tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!

“Celaka…!” serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.

Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu hanya merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu yang masih memegang dayung lantas terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali.

Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu. Dengan kedua tangan dia memegangi pinggir perahu karena satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Walau pun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya.

Tiba-tiba saja, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal menerjang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan oleh karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.

Sedangkan Kwan Cu yang turut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat.

Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan sangat hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.

Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.

Tiba-tiba saja teringatlah ia betapa ia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang jelas di depan matanya.

“Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras.

Sekarang terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai bersama Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai ‘anak laut’. Ayah bundanya dulu tewas di lautan dan kini agaknya dia sendiri pun akan mengalami nasib yang sama.

“Ayah...! Ibu...! Tolonglah anakmu…,” ia berbisik.

Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut. “Kakek laut kau tidak mungkin dapat menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.

Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar kemudian mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang dulu telah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup.

“Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau bisa membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.

Kwan Cu bagaikan gila. Biar pun dia diterima oleh gelombang lain, lalu dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikit pun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!

“Kakek laut, mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Marilah kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!”

Demikianlah, biar pun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikit pun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya.

Orang-orang yang menghadapi maut, jika dia dapat berlaku tenang dan tidak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikian pula dengan Kwan Cu. Kegembiraan dan semangatnya membuat ia tahan menderita, malah tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman.

Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada di antara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tak begitu besar. Akhirnya ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu.

Memang betul di situ masih ada ombak menyerang. Akan tetapi dengan dua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, Kwan Cu dapat mencegah perahunya berputaran dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.

Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.

Seperti datangnya, tiba-tiba saja taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya ‘lewat’ saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja!

Hal ini bisa dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan sangat pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan.

Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi.

Perutnya mulai berkeruyuk minta isi. Akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan? Dia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat pada punggung dan bahwa bungkusan daun mukjijat itu pun masih berada di situ, sungguh pun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.

Tiba-tiba, bagai sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pepohonan tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.

Dengan penuh semangat Kwan Cu kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayung. Perahu pun meluncur ke depan, menuju pulau itu, dan Kwan Cu makin terheran-heran.

Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia mengira bahwa pulau itu tentulah sudah amat dekat. Akan tetapi, meski pun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan semakin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon sudah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.

“Apakah aku sedang bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!”

Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pepohonan yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi.

Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biar pun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan suhu-nya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, tetapi selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang!

Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat.

Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang telah mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini sanggup mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuat tubuhnya lemas dan letih. Kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia tidak akan merasa begitu letih. Sudah sering kali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.

Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini.

Mendadak perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air supaya perahunya menyingkir dari penghalang itu. Dia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba ‘batu karang’ itu bergerak-gerak!

Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong ‘batu karang’ yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti... seperti tubuh seorang makhluk.

“Tentu ikan yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.

“Ooleihaaaaiii…!!” terdengar ‘batu karang’ atau ‘ikan’ itu berteriak keras sekali.

Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa sangat heran menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya dia belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar dapat mengeluarkan suara ‘ooleihaaaiii...!’ dengan suara mirip seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!

Dengan hati-hati sekali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki terlebih dahulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.

‘Hayalieee…!”

Kwan Cu menarik kembali tangannya yang seperti dipagut ular dan tiba-tiba merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Di dunia ini tidak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu.

Akan tetapi rasa keingin tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia mempergunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Dia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia, kalau-kalau ‘ikan’ itu akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul.

Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking terkejutnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya.

Kebetulan sekali cahaya bulan agak terang. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepalanya hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap!

“Seorang manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang.

Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimana pun anehnya manusia itu, tentu amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar biasa sekali besarnya.

“Saudara siapakah? Dan kenapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maafkan jika perahuku menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang.

Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal.

Mendengar ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan mempunyai bahasa daerah sendiri. Karena itu dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya juga tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat.”

Sambil berkata demikian, Kwan Cu mempergunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Sesudah itu, pemuda ini kemudian menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir.

Akan tetapi tiba-tiba saja, orang yang terbenam di air sampai lehernya itu menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang amat besar dan panjang timbul di permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam serta besar dan panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu, perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!

Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, akan tetapi karena besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Barulah dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan alangkah tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apa lagi dilihatnya!

Kemudian dia melihat bahwa pergelangan kedua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat. Ketika mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.

Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah barat. Dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu.

Dongeng itu singkatnya begini:

Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Yang tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, namun sebuah pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.

Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Tapi anak itu mendapat akal. Dia berpura-pura heran dan tak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar dapat masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau raksasa itu sanggup membuktikan bahwa benar-benar dia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan.

Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu kembali masuk ke dalam pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat, lantas menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali!

Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri.

Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu memiliki kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat?

Ia bodoh sekali dan patut dikasihani. Sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu.

Ketika mulai berusaha membuka belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah. Agaknya orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya dari pada belenggu.

Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.

Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.

“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”

Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.

“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”

Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.

Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!

Cepat-cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!

“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.

“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat.

Setelah dia sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.

Setibanya di darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya pun masih terbelenggu!

Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.

“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya.

Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.

Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.

Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.

Raksasa itu memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.

Dengan demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini.

Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!

Yang mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.

“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”

Biar pun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.....

Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, akan tetapi karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.

Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya!

Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat.

Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang tengah dicari-carinya.

Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan oleh penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu.

Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu.

Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi oleh sinar api. Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang ini pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!

Raksasa itu membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang laki-laki dan perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan.

Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut.

Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat berpengaruh seakan-akan sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata, semua orang lantas berlutut di hadapannya.

Dari rombongan wanita, mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.

Kini semua orang yang berada di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran.

Tiba-tiba saja seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Kaum perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu.

Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya dia pun lupa akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”

Sambil berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, lalu raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.

Agaknya dia kini menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali.

Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, mempergunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu kemudian... mencium hidungnya!

Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai ke lutut, datang mengerumuninya.

Dia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya. Tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen kemudian memberikan perhiasan itu padanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus.

Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormati raja dan Kwan Cu!

Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada juga yang agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.

Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang digunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Ia segera membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja para raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu.

Kwan Cu kemudian membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekang-nya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi.

‘Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?’

Raja raksasa terkejut sekali nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.

Tampak mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang di antara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.

‘Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara bacaannya yang bikin berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.

Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.

Kini dia dapat ‘bercakap-cakap’ dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.

Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi menangis sambil memeluknya, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya!

Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.

Di antara para pembantunya terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua orang ini bernama Wisang dan Kasang dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.

Akan tetapi telah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.

Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya.

Pada malam hari kemarin, seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia diserang oleh kedua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja Lakayong tidak akan kalah.

Akan tetapi pertempuran di air amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih muda dan pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar.

Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!

Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih sangat percaya akan takhyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!

Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam sebuah goa yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.

‘Baiknya Dewa Air masih melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, tentu aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’

‘Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis Kwan Cu dengan gemas.

Lakayong tertawa bergelak.

‘Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itu pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?’

Pada saat kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu dibaca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.

‘Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.

Kwan Cu merasa mendongkol juga karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.

‘Biar pun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.

Sesudah semua orang membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.

‘Dia bilang apa?’ Kwan Cu menulis.

Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk ‘menerjemahkan’ kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani. Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa peduli kepada ayahnya yang tampaknya melarangnya.

‘Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan omongannya itu pula.’

Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu sudah berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan sedang bertolak pinggang seperti menantang.

Raksasa muda itu tertawa sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar duduk kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk.

Tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat kilat, dari samping dia menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!

Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya.

Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.

Serangan itu dahsyat sekali. Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk lagi, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.

Kwan Cu berpikir, bahwa kalau dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, dia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya!


Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.

“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.

Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!

Kwan Cu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!

Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci Tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!

Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani menghampiri dirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,

‘Kau apakan dia?’

Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan.

‘Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’

Sambil tersenyum gembira gadis itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis bergulingan bagaikan anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.

‘Dia sudah kapok dan minta ampun.’

Kwan Cu merasa kasihan. Ia segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu, kemudian beranjak pergi dari situ dengan malu.

Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,

‘Kau mempergunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.’

Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu menulis dengan panjang lebar.

‘Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang aku tujukan pada bagian yang menyakitkan.’

‘Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah Lakayong.

‘Kau keliru,’ jawab Kwan Cu. ‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Bila kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.’ Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.

Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru kesakitan sambil secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena uratnya yang amat perasa telah tersentuh. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali hingga akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.

‘Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi jika kau memukul agak ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia akan roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?’

Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.

‘Mungkin aku akan menghadapi salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,’ katanya.

Kwan Cu segera memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku dari pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak dari pada mengenai dada, dan memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.

‘Di mana adanya dua orang jahat itu?’ tanyanya.

‘Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’

‘Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?’

‘Kau akan melihat sendiri besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’

Ada pun Liyani yang suka sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap secara langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.

Melihat suling yang ada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya sudah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.

Ada pun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut!

Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.

Sebentar saja Lakayong telah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Terlebih dahulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.

Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.

Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!

Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.

“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.

Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu harus mengakui bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.

“Kenapa tak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.

“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh benda itu, maka tanganmu akan menjadi hangus.”

Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.

“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka sekali padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali.

Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!

Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.

Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di sana akan membuat dia kelihatan sebagai makhluk yang sangat aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.

Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.

“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.

Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.

“Saudara Kwan Cu, mari kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu.

Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.

Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang kebiruan itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncul kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri.

Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?

Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sudah sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.

“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.

“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.

Betul saja, tidak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.

“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kalian berdua tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus mendapatkan kemenangan dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!”

“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.

Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa kedua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.

“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.

Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.

“Benar, merekalah para pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”

“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki pembantu cakap akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.

“Kau betul sekali, saudaraku, cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.

Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan diberi kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!

“Bagaimana kalau dalam pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.

“Aku akan kalah? Tidak mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata Lakayong sambil ketawa gembira.

“Akan tetapi, andai kata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.

“Kalau aku kalah? Tidak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”

Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah dengan mudah dia bisa saja menyuruh tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, hati Kwan Cu menjadi penasaran.

“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”

“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”

Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu merayap naik ke atas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap seperti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal.

Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga sudah siap sedia menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak akan ada pertolongan lagi.

Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.

Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Ada pun raja Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.

Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu itu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tidak akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.

Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!

Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.

Sebelum dua orang raksasa itu tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan mala petaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil, pemuda asing itu mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.

Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur.

Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak seberapa lebar dan sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!

Kwan Cu melihat betapa dua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari pada otak. Mereka memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu.

Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gebrakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.

Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara kedua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.

“Kau betul, saudaraku. Mereka tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ahhh, aku girang sekali karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!”

Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan.

Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk memecahkan pertanyaan ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!

“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”

Lakayong tertawa dengan bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja? Ha-ha-ha!”

“Jangan kau menertawakan aku, Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”

Akan tetapi Lakayong tak percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka lalu pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang turut pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.

Tidak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya.

Raja Lakayong maju. Dia menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu dengan tangan kirinya sambil berkata,

“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”

Kwan Cu tidak menjawab. Dia tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.

“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.

Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu diperintahkan supaya menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.

Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,

“Besok pertandingan kalian dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.” Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.

Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik.

Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat itu. Karena inilah mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!

Sementara itu di dalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.

“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.

Kwan Cu merasa tidak ada gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk memecahkan masah itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.

“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”

“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”

”Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau jauh lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”

“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik?” tanya Lakayong.

“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu. Aku akan memberi hajaran kepadanya sampai dia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Apa bila mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”

Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguh pun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya.

Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara semua penghuni pulau itu.

“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, “Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa di antara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan Wisang?”

Biar pun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang? Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”

“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.

“Dia cukup halus dan baik, akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.

“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.

“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.

Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar pun dia seorang bertubuh kecil, tapi dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!

Ada pun Lakayong sesudah mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan berkata,

“Anak bodoh! Agaknya kau tak akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”

Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.

“Ia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” berkata Lakayong memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi isteri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa.”

“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.

Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu belum dijalankan, aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterima kasih kepadamu.”

“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang paling kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”

“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu.”

Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan lidahnya.

“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres,” jawabnya.

Kemudian mereka mengaso.....

********************
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tidak ada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.

“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.

Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.

“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.

“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.

Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”

Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.

“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”

“Seperti wanita? Apa maksudmu?”

“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”

“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.

“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.

Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!

Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.

“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”

“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.

“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”

“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.

Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.

“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”

Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”

“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”

Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal memilih jodoh!

“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.

“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.

“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.

“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”

“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.

“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.

Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?

“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”

Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”

Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja dengan gadis ini.

“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.

Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan pagi.

“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.

Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.

Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.

Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.

Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.

Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.

Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.

Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,

“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”

Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,

“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”

Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.

“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.

Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.

Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.

“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”

Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.

“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”

Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,

“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,

“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”

Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.

“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”

“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”

“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.

Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.


“Ngekkkk!”

Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.

“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.

Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.

“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.

Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.

“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.

Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.

Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.

Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.

Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!

Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?

Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.

Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.

Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk merobohkan mereka.

Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.

Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.

“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.

Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,

“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”

“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”

Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!

Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!

Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).

Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.

“Blukk! Blekk!”

Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.

“Celaka!”

“Aduhh…!”

Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.

Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.

“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.

Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.

Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”

Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.

Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!

Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.

Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.

Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.

“Dukkkkkkkk!”

Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.

“Aduuuuuuuh…!”

Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!

Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,

“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,

“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”

“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.

Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.

Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.

Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.

Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.

Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.

Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,

“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”

Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.

“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.

Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,

“Dia inilah calon jodohku!”

Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.

“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”

Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”

“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”

“Alasan jujur yang bagaimanakah?”

“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”

Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.

Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,

“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”

Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.

“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”

“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.

“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.

“Dan dia… apakah dia suka padamu?”

“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”

“Cantikkah dia?”

“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”

“Siapa namanya?”

Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.

“Siapa namanya?” Liyani mendesak.

“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”

“Kalau begitu kau bohong!”

Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.

“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.

Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”

“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.

Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.

Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.

Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”

“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”

Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.

“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.

Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.

Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,

“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”

Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”

Lakayong berpaling kepada puterinya.

“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya terserah kepadamu.”

Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”

“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.

Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.

Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.

“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.

Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”

“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”

Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.

“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”

Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”

“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”

“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”

Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.

“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”

“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”

Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”

“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.

Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.

Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.

“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.

Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.

“Saudara Kwan Cu…!”

Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh... Liyani!

“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.

“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”

Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.

“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”

“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”

Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.

“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”

“Bun Sui Ceng...?”

Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.

“Kau tidak bohong?”

Kwan Cu menggelengkan kepala.

“Berani kau bersumpah?”

Kwan Cu melongo.

“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”

“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”

Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.

“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.

Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang lebar.

“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”

Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.

“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”

Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,

“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.

Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi…..

********************

Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik tinggi melewati kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi dia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong.

Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan di mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.

Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu, membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang.

Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita kelaparan. Untuk minumnya, dia pun sudah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.

Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Saat dia membuka matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.

Akan tetapi Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah, yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia menjadi terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu bergoyang-goyang!

“Celaka…” pikir Kwan Cu.

Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah. Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga tidak mungkin untuk mendayung perahu karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.

“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?”

Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang kala sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik.

“Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.

Dia teringat akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa apa bila dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas maka dia dapat menggunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri.

Dengan perlahan dia membuka bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut, lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.

“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.

Dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, kedua daun itu bergerak-gerak bagaikan benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak tiap kali tersentuh sesuatu.

Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar kemudian menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di permukaan air.

Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.

Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena racun daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.

“Hebat…!” Kwan Cu berseru dengan hati ngeri.

Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa ia akan menyaksikan ‘pesta’ yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.

Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.

“Aku tak akan mempergunakan daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”

Dengan cepat dia lalu mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu.....

Apakah ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tidak mungkin, pikirnya. Sungguh pun ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi Lakayong dengan perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam keselamatan perahu raksasa itu.

Sehari penuh dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan perahunya terapung di atas air yang masih tenang.

Pada keesokkan harinya, dia mendengar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular menyerang dirinya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari sudah naik agak tinggi dari permukaan laut sebelah timur. Dia memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang menimbulkan suara mendesis itu.

Tiba-tiba saja dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke tempat di mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutupi matahari sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang uap itu, kemudian jatuh dalam keadaan hangus!

Bukan main kagetnya Kwan Cu. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih dua kaki di atas air, seolah-olah ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap hitam itu telah dekat dengan perahunya, Kwan Cu menggerakkan dayungnya menyentuh uap. Dayung itu segera menjadi hangus ujungnya!

Pemuda ini kaget setelah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu sudah melayang di atas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa panas ini.

Suara mendesis-desis itu membisingkan telinganya hingga membuat kepalanya pening. Pada akhirnya suara mendesis itu menjauh, tidak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun lenyap.

Kwan Cu baru berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu sudah lewat. Baiknya uap itu tadi melayang agak tinggi dari permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus, tentu saja berikut tubuhnya pula.

Sesudah yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia dapat merasakan getaran yang luar biasa hebat pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini sudah terkunci oleh gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki oleh perahunya itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dahsyat sekali.

“Inilah agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.

Akan tetapi ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Dengan kedua tangannya Kwan Cu mencoba sedapat mungkin untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan menekan ke kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya yang dibawa hanyut cepat sekali oleh aliran air itu. Memang sangat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam sungai membanjir?

Entah ke mana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia terus bekerja keras menjaga supaya perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih cepat dari pada kalau dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga pada waktu ada air yang terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa betapa air itu dingin sekali seperti salju!

Sampai matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama makin pesat. Dia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan ini menambah kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu sedang membawa perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia melihat bahwa ‘sungai’ yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu.

Tak lama kemudian, malam pun tiba. Sinar bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun lenyap tak dapat terlihat lagi.

Semalam itu dia masih terus bekerja. Dia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, maka akan berbahayalah keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya karena pengerahan tenaga sehari semalam tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.

“Celakalah kali ini,” pikir Kwan Cu. “Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”

Menghadapi keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu lalu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut atau jalan maut, karena memang luar biasa berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat berbahaya, dan sekarang terdapat aliran air yang begini dahsyat.

Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tidak sanggup menahan lagi. Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga aliran sungai yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram, dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kiranya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau itu sehingga tenaganya buyar dan perahunya terlepas dari pegangan aliran itu.

Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia sama sekali berhasil melepaskan perahu dari pada aliran air yang mulai melemah itu. Ia membiarkan perahunya terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini tampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di antara air laut yang biru, yakni air laut yang tenang dan diam.

Kwan Cu mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah sumber air itu muncul dari dasar laut? Ahh, alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi tangan Thian hanya merupakan permainan kecil belaka.

Hal yang pertama-tama dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum cairan manis yang masih ada sisanya, kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan terasa kurang enak. Tangannya gemetar, tanda bahwa urat-uratnya sudah sangat letih.

Sementara itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar-debar. Apakah pulau bundar kecil yang dicarinya itu berada di antara kumpulan pulau itu? Siapa tahu kalau-kalau memang Im-yang Bu-tek Cin-keng benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan.

Ia mulai mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak mulai menyelidik dan mencari-cari apakah di sana terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Akan tetapi dia merasa tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.

“Aku harus beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi amat berbahaya jika tidur di dalam perahu, jangan-jangan perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.” Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan Cu mengerahkan sisa tenaga untuk mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat tidur di darat.

Pulau itu kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu, karena tubuhnya sudah amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar saja pulaslah dia…..

********************

Kwan Cu yang sedang tidur pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil sekali mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis yang gesit sekali gerakannya. Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali, pakaiannya terbuat dari pada sejenis sutera halus yang mencetak bentuk tubuh dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam dan bergoyang-goyang di belakang punggung.

Dua orang gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi mendadak memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan mata terbelalak. Kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua patung batu yang indah.

Mereka kemudian berbicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat bukan main, sehingga ketika mencabut pedang itu pun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya. Kemudian mereka berlompat-lompatan ke arah perahu yang tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu.

Setelah mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan kelihatan takut. Ternyata bahwa tubuh kedua orang gadis itu kecil sekali setelah berada di dekat Kwan Cu yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam tahun, padahal melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas tahun!

“Perahu raksasa!” kata seorang di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi kanannya, tanda yang menambah kemanisan wajahnya.

Gadis ke dua memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba saja dia menjerit perlahan sambil menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih saja tidur pulas di bawah sebatang pohon kecil. Gadis dengan tahi lalat pada pipinya menengok sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti seorang raksasa!

Keduanya berbicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Walau pun tubuh mereka kecil, akan tetapi mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka sama sekali tidak melarikan diri ketakutan, bahkan berani menghampiri ‘raksasa’ itu.


Hal ini tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya kedua orang gadis itu. Mereka ini adalah dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup di sebuah di antara pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena di antara mereka, dua orang gadis ini dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kepandaian paling tinggi. Ini dapat dibuktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit sekali.

Pada saat mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat pada pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala ikan dari punggungnya.

Meski pun dia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu adalah orang-orang biasa, agaknya Kwan Cu masih mampu mendengar juga karena telinganya sudah terlatih baik. Akan tetapi yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun kering yang mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan empuk sekali.

Gadis bertahi lalat pada pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang kelihatan besar sekali. Sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu melayang dan menyambar muka Kwan Cu.

Pemuda ini merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Dia cepat-cepat membuka matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia tidak kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap saja dia telah tertidur pulas kembali!

Gadis kedua yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu. Dengan gerakan cekatan dia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu dan dibantu oleh gadis pertama lalu mengikat sana sini sehingga sebentar saja tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan bagaikan seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat!

“Pergilah kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat kepada adiknya.

Gadis ke dua sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah perahunya dan berlayar pergi. Ada pun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu, memeriksa bungkusan besar milik Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan tidak jauh dari tubuhnya.

Gadis ini segera membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan, rambutnya bergerak ke kanan dan kiri ketika dengan susah payah dia membuka bungkusan yang berat itu. Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya secara baik-baik, oleh karena bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.

Ketika melihat bungkusan kuning, ia pun membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-cu-hio yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera melompat kaget sambil mengeluarkan suara keras.

Dicabutnya sapu tangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya digosok-gosokkan kepada sapu tangan itu. Setelah menyimpan kembali sapu tangannya, ia duduk dan memegang daun-daun itu!

Sungguh mengherankan! Daun yang mampu menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya, kini ketika berada di tangan gadis ini ternyata tidak mendatangkan akibat apa pun. Ternyata sapu tangan merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.

Gadis itu belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari baunya saja dia dapat mengenali racun yang berbahaya dari daun itu. Sesudah puas memeriksa daun itu, dia lalu membungkusnya kembali.

Kemudian matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa oleh Kwan Cu. Ketika berada di dalam tangan gadis itu, suling ini seolah merupakan sebatang suling yang terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.

Gadis itu tertawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya terlalu pendek sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, saat dia meniup, suling itu hanya mengeluarkan bunyi satu nada saja.

Pada saat gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh dua puluh orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati. Akan tetapi mereka ini pun kecil-kecil seperti dua gadis tadi.

Segera keadaan di situ menjadi ramai ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya sambil terheran-heran. Mereka kemudian bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda itu, kemudian beramai-ramai mendorong perahu ke laut. Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil milik mereka. Kemudian mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.

Orang-orang pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di mana Kwan Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke dusun mereka yang penuh dengan rumah-rumah kecil.

Kwan Cu dibiarkan berbaring di atas tanah. Pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah mabuk akibat pengaruh sapu tangan merah tadi. Dia menggerakkan kaki tangannya dan merasa betapa tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika dia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala yang aneh.

Kwan Cu terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia berteriak saking kaget dan herannya. Dia melihat dua orang gadis kecil sekali yang cantik menarik.

Gadis pertama yang manis dengan tahi lalat di pipinya melakukan gerakan seperti orang bersilat, bersiap sedia untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis pertama mencabut keluar sehelai sapu tangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bahu yang amat harum.

Teringatlah Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat menduga bahwa sapu tangan itulah yang tadi telah membuat dia pingsan. Dia menggunakan kecerdikannya dan tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil memandang penuh perhatian.

Benar saja, pada saat melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu tidak jadi menyerang, hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya memandang ke depan dan dia langsung merasa terheran-heran. Dia dirubung oleh banyak orang, akan tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah wanita-wanita belaka!

“Mimpikah aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah sekarang aku sudah berubah pula seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?” demikian Kwan Cu berpikir dengan bingung.

Memang, kalau di bandingkan, keadaannya kini terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali lebih besar dari pada wanita-wanita ini.

“Kalian siapakah? Dan kenapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.

Akan tetapi ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung bukan main karena dia tak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus, akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.

“Karika yiyi kaduka nana...”

Celaka, sekarang kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengherankan Kwan Cu karena sesudah bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang sangat mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka! Apakah ini dunia wanita?

Kwan Cu teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri. Jangankan yang digunakan oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang digunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan macam!

Akan tetapi, walau pun ucapannya berlainan namun tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan seseorang di Tiongkok untuk melakukan hubungan dengan orang-orang di daerah lain. Saat berada di pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang kecil ini pun dapat membaca tulisannya.

Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang dipergunakan oleh Lakayong.

Wanita-wanita kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya. Kwan Cu lalu menghapus coretan pada tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan yang lebih muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.

‘Dapat membaca ini?’ tanyanya dalam tulisan itu.

Usahanya berhasil! Wanita-wanita itu lantas saling pandang, kemudian gadis bertahi lalat mengangguk-anggukkan kepalanya dan mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.

‘Aku dapat membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?’

Bukan main girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat dibacanya dengan jelas.

‘Biarkan aku duduk dan lepaskan dulu jala ini, aku akan bercerita,’ tulisnya karena amat sukarlah menulis sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri dengan kekerasan, karena khawatir kalau-kalau akan dicurigai.

Gadis yang menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat dua tangan Kwan Cu di belakang tubuh, juga mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!

Kwan Cu merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus serta kecil itu bergerak amat cepat, jari-jari yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan menenangkan diri. Dia dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tak percaya padanya dan akan membelenggunya lebih dulu sebelum melepaskannya dari jala itu.

Dugaannya sangat tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, jala itu lalu dibuka. Ia dibolehkan bangun dan duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang dibelit-belitkan pada lengan dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.

Yang lebih hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri pada pundak kirinya, membawa sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Walau pun hanya longar saja, lehernya tetap diikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik sekali!

Kwan Cu duduk bersila sambil bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba dengan urat-urat tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan bahwa jika dia mau, mudah saja baginya untuk merenggut putus tali itu.

Gadis bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di depan Kwan Cu.

‘Aku bernama Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau menjadi tawanan kami dan jangan mencoba untuk memberontak, sebab biar pun tubuhmu besar tetapi kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau seorang laki-laki dan pada saat ini, kami benci dan tidak percaya terhadap semua laki-laki. Akan tetapi kau datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah kami?’

Kwan Cu membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh akan tetapi cukup manis, pikirnya. Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi heran sekali.

Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu, akan tetapi kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia mampu melepaskan tangannya, akan tetapi hal ini tentu akan membikin mereka takut serta curiga. Maka, dia menjawab dengan mulutnya.

"Bagaimana aku dapat menulis jawabannya jika kedua tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.

Malita dan Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.

‘Wajahmu tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat. Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tak percaya lagi pada semua makhluk jantan. Maka, kami akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau memberontak, kau akan binasa!’

Kwan Cu tersenyum ramah dan mengangguk-anggukan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau dan memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Sesudah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan tangannya, Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan ada pun tangan kirinya mengeluarkan sapu tangan merahnya.

Kwan Cu bergidik. Ia lebih takut kepada sapu tangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita. Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat itu pun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap seperti sekumpulan orang bersiap untuk bertempur.

Melihat cara mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan tetapi sebaliknya dari pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar namun lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.

Kwan Cu lalu mulai menulis di atas tanah. ‘Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki, akan tetapi aku tidak pernah menggangu orang, apa lagi orang wanita. Kalian percayalah kepadaku.’

Kedua orang gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat menduga bahwa mereka ini sebagian besar tak percaya akan tulisannya tadi.

‘Kami sudah cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,’ tulis Malita. ‘Karena itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak dapat sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau cari di tempat ini?’

‘Aku mencari sebuah pulau kecil yang bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian melepaskan aku dan aku tidak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan perantauanku. Bahkan kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, aku akan membantu kalian karena aku adalah seorang sahabat.’

Kembali orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba saja terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu menjadi terheran-heran melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.

Malita marah sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong Coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara), semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!

Akan tetapi sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh itu, Kwan Cu sudah mendahuluinya. Pemuda ini mempergunakan tangan kanannya yang bebas untuk mencengkeram segenggam tanah yang langsung dilemparkan ke arah laki-laki kecil yang melarikan diri.

Lelaki itu berteriak, lalu roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan sebentar saja laki-laki itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.

Malita kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tak segalak tadi, ada pun senyumnya menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan sikap manis.

‘Kenapa kau merobohkan orang jahat itu?’ tanya Malita dengan tulisannya.

‘Sudah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki yang begitu kejam karena merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,’ jawab Kwan Cu.

‘Kau pandai sekali melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?’

‘Aku selalu berada di fihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk, apa kalian kira aku tak akan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sanggup melepaskan ikatan ini.’

Malita sangat terkejut, akan tetapi ia tersenyum dan menulis,

‘Kau raksasa yang aneh, gagah dan berwatak halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.’

Setelah membaca ini, Kwan Cu tertawa girang. Sekali dia mengerahkan lweekang-nya, terdengar suara keras dan semua ikatannya putus!

Malita, Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di tangan!

Kwan Cu tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita-wanita kecil itu dengan pandangan mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.

‘Nah, marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat wanita saja dan satu-satunya lelaki yang kulihat adalah yang tadi menjadi tawananmu? Kenapa pula kalian membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun adalah puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?’

Membaca tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan menangis. Sungguh mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi makin terheran. Akan tetapi Malita menerima sebuah gulungan kertas berikut alat tulis, segera menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan bangsanya kepada pemuda raksasa itu.

Semenjak beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu muncul seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan dia hanya mau menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki.

Demikianlah, maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apa bila berkelahi, selalu para wanita yang menang. Juga para penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari wanita. Sebaliknya, laki-laki hanya bertugas di sawah dan laki-laki pula yang bertugas mencari makanan.

Mereka selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan sebagai pemimpin tentulah wanita. Akan tetapi, meski jarang terjadi, pernah pula seorang laki-laki dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja jika sudah memenuhi syarat-syarat yang berat dan ditentukan oleh bangsa wanita ini. Dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama, akan tetapi juga pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih dari pada orang lain.

Raja atau kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan ayah ke dua orang gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh bantuan dua orang puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa.

Malita dan Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek sakti, dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi di pulau ini adalah Malita dan Malika.

Setelah raja itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang lelaki yang dipimpin oleh enam orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan bahwa sudah sepatutnya bila laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!

Malita dan Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang dipimpin oleh enam orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita. Celakanya, sebagian besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami mau pun yang belum menikah, terkena bujukan enam orang ini sehingga ikut pula memberontak.

Akan tetapi, semua laki-laki itu hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal mempermainkan senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang mampu melakukan perlawanan hebat karena secara diam-diam sudah mempelajari ilmu silat.

Akhirnya, banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun, keenam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang mempunyai goa-goa di batu-batu karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di dalam goa diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang masih setia kepada mereka.

Sudah beberapa kali Malita serta Malika berusaha memimpin barisan para wanita untuk mengalahkan, menawan atau bahkan membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika dia melihat bahwa tidak saja pertahanan mereka sangat kuat dengan adanya goa-goa yang panjang dan gelap, juga tambah hari kepandaian mereka tambah hebat.

Apa lagi enam orang laki-laki itu dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka dalam beberapa hari ini menjadi amat hebat, seolah-olah mereka menemukan guru yang pandai!

Tadinya, hanya Malita dan Malika berdua saja dengan mudah bisa mendesak dan hampir mengalahkan enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Namun beberapa pekan kemudian ketika mereka mencoba untuk menyerang para pemberontak, keenam orang laki-laki itu maju dan menghadapi Malita dan adiknya. Dan bukan main lihainya enam orang ini terutama sekali Kahano!

Mereka bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak buah Kahano yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu.

Namun mereka segera berlari-lari dan masuk ke dalam goa, sehingga kembali gerakan Malita gagal. Untuk menyerbu ke dalam goa amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak buahnya menghujankan anak panah dari dalam goa!

‘Nah, hal inilah yang menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.’ Tulis Malita akhirnya sesudah menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang kecil-kecil. ‘Oleh karena itulah kami amat bercuriga dan membenci kaum laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu. Laki-laki yang kau robohkan tadi adalah seorang di antara para tawanan kami yang mencoba melarikan diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano maju demikian cepatnya sehingga lihai sekali, kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu kami akan kalah!’

Kwan Cu tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.

‘Saudara Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan apa bila aku menyatakan sesuatu yang mungkin akan terasa janggal untuk kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak laki-laki yang mengatur seluruhnya.’

Para wanita ribut-ribut sesudah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak dicegah oleh Malita.

‘Kaum laki-laki memang mau menang sendiri saja!’ Malita menulis dengan coretan cepat, mengandung kemendongkolan hati. ‘Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dulu pernah kaum laki-laki kami memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja, tetapi kami wanita yang bekerja keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan bagai barang permainan, mudah ditukar dan diperjual belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya! Bahkan raja di kala itu memiliki isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu pula keadaan di duniamu?’

Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa di dunianya memang hampir demikianlah keadaannya. Memang banyak orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita sebagai barang permainan dan memandang rendah sekali kepada kaum wanita. Bahkan dia pun telah mendengar tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih banyak lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita dari bangsa katai ini.

Kwan Cu lalu menulis lagi.

‘Sama sekali tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita. Tak ada seorang pun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan seorang isteri saja, hidup damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga lebih besar dan karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak wanita.’

Mendengar ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking terharu hatinya.

‘Alangkah bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,’ Malita menulis. ‘Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya maka dahulu kaum wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian supaya dapat menguasai laki-laki sehingga kami dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang.'

'Kenapa tak bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau ini akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang aku ceritakan tadi.’

Wanita-wanita itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik, terutama sekali Malita dan Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya.

‘Akan tetapi, biar pun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat mengalahkan Kahano yang sudah tua itu. Dia mempunyai niat yang sangat buruk. Pertama-tama dia menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia pun mau menjadi raja di sini!’ ketika menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. ‘Dan yang amat mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama semakin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.’

Mendengar ini, berdebarlah hati Kwan Cu. ‘Pulau pohon putih? Di manakah itu?’

‘Itulah pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu ditumbuhi pohon-pohon putih, dan di sana terdapat banyak sekali goa-goa yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau itu dan di kubur di sana pula.’

Kwan Cu menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang dimaksudkan di dalam buku sejarah Gui Tin di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!

‘Mari antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan kutangkap Kahano yang memberontak itu!’ tulisnya gagah sambil berdiri.

Akan tetapi Malita nampak ragu-ragu. Apa lagi Malika yang berwatak lebih keras dari pada kakaknya. Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya.

‘Raksasa,’ tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, ‘gampang saja kau bicara seakan-akan kau benar-benar akan dapat menangkan Kahano serta kawan-kawannya. Sekarang begini saja, aku dan kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biar pun kau besar sekali dan tentu tenagamu juga amat besar, akan tetapi kalau tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?’

Malika menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia pun menulis. ‘Maafkan adikku yang nakal dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, kata-kata itu ada benarnya pula. Kami tidak mau membiarkan kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka, maukah kau kuuji kepandaianmu?’

Kwan Cu mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu dengan hati-hati. Dia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki ginkang yang amat tinggi dan karenanya tentu mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.

Malita dan Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan kedua orang gadis itu menyerbulah dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, ada pun Malika yang cerdik menggunakan pedangnya untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar. Benar saja dugaan Kwan Cu. Gerakan kedua orang gadis ini cepat bukan main dan cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.

Kwan Cu menggunakan Pai-bun Tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini. Baiknya pemuda ini sudah mempunyai pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih besar, maka langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika.

Sekali saja Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang menyerang dirinya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan Malika terus mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.

Kwan Cu memperhatikan gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan tubuh sebesar dia, tentu dia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari serangan mereka itu.

Gerakan pedang mereka selain sangat cepat, juga gerakannya memiliki perubahan yang tak terduga-duga, begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan pedang dan bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari segala jurusan.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar