Pendekar Bodoh Jilid 36-40
Cin Hai melarikan Pek-gin-ma
dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia telah
menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak
Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana
yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa dia lalu menuju ke barat oleh karena dia
pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.
Pada suatu hari, ketika dia
sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu
terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari
belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan
seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia
merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki
berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.
Dengan tiba-tiba Cin Hai
berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada
orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi?
Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam,
tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup melakukannya. Akan
tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.
Cin Hai lalu melarikan kudanya
cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat
ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja
kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.
Sungguh mengherankan, dan dengan
penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma.
Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang
yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi
sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali
menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi
dengan cara yang luar biasa.
Ia bisa menduga bahwa dengan
mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke
belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang
dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini,
dia lantas mendapat akal.
Ia sengaja menuntun kudanya
keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak
terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani
mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?
Benar saja, ketika ia melalui
jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan
tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan
kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan
secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling memandang ke belakang. Dan kini
dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan
seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia
menengok!
“Sobat, kenapa kau mengikuti
aku?” tanya Cin Hai gemas.
Orang itu tertawa, suara
tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara
ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak
baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya
tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celana biru. Di
luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada
rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor
naga terbang.
Cin Hai merasa heran karena
setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna
kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan
bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!
Setelah tertawa nyaring
laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku hendak berjalan di
belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan
kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum!
Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung
bangau itu!”
Dia tertawa lagi sambil
memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan
tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya
juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa
penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,
“Peribahasa kuno menyatakan
bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan
tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan
di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan
peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun maksud
peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan
hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang
berbahaya dan berwatak pengecut!”
Ucapan yang diputar-putar ini
biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai menyebut
orang di depannya itu sebagai pengecut!
Lelaki pesolek itu tidak
menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali
yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di
antara jari tangannya.
“Kau pandai berkelakar anak
muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik
dari padamu!”
Pada saat itu burung bangau
melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia
lalu menyambar ke atas kepala orang itu.
“Ang-siang-kiam, jangan kurang
ajar!” seru Cin Hai.
Akan tetapi dengan tenang,
seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas,
orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura
kepada Cin Hai sambil berkata,
“Ahh, burungmu mulai membosankan
aku, anak muda. Selamat tinggal!”
Bukan main terkejutnya hati
Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura
kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai
buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan
khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya melangkah mundur
dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.
Orang itu memandang kepada Cin
Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan
pandangan kagum.
“Bagus, bagus, aku telah
bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja
lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.
Pemuda ini merasa heran dan
kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah terbang
turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini
sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!
Sesudah Cin Hai menghampiri,
ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang merah itu
telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek
itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung
bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah
diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat
diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!
Cin Hai mengeluarkan keringat
dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat
membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga
dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat
dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak
turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat
mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!
Teringatlah Cin Hai akan
kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang
pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda
kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.
Sesudah dia melakukan
perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia
tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar
suara kaki kuda di sebelah belakang.
Ia berhenti dan alangkah
herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah
belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas
menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula.
Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.
“Kurang ajar!” kata Cin Hai
sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya
itu!
Dia sudah merasa bosan untuk
diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya! Orang
itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai
makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah
seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke
dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula,
tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya
mengarah dada, leher, dan perut!
“Pengecut!” ia berseru marah
sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga dia
berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar
berlari lebih cepat.
Akan tetapi tiba-tiba rumput
yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos
ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput
hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam
lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke
dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh tiga batang tombak
yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!
Melihat tubuh kudanya
berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar
pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu
mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti
akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.
Kemudian, Cin Hai memburu ke
depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat bayangan
orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak
memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia
mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan
hati marah sekali.
Burung bangau yang terbang di
atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun
seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara
aneh dapat mengikat paruhnya!
Cin Hai melanjutkan perjalanan
menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh
karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah
kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta
orang-orang dari suku bangsa lain.
Setelah mencari kamar di
sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat
dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang
Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.
Ia melihat sebuah rumah makan
besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke
loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga
loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya
segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang
di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!
“Yousuf sedang sakit dan tidak
berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa
sukarnya menundukkan gadis itu?”
Hanya sedemikianlah yang dapat
didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu
dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan
menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.
Ternyata bahwa ruang atas itu
kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja
penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki
berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek
bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.
Mereka ini bukan lain ialah
Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok Kun
Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I
Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.
Ketiga orang tua itu ternyata
pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk
mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan
tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam
ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka
keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?
Cin Hai tidak tahu bahwa keempat
orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka terganggu oleh
kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi
mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga
lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi
pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata
dengan keras,
“Memang sungguh menyebalkan
orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek
dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang
berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia
tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul
keinginanku untuk mencekik lehernya!”
Tiga orang kawannya tertawa
lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan
mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu
tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai
seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan
panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.
“Yang menyebalkan ialah bahwa
mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama
sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!”
terdengar suara nenek bongkok.
Kini Cin Hai mengerti bahwa
mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia segera
berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika
masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu
tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!
Tiba-tiba tosu bercambang bauk
itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini
dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya
hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya
karena merasa jijik.
Sambil menoleh dan meletakkan
sumpitnya, ia berkata,
“Heran sekali, mengapa
orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan
bersikap seperti orang-orang liar?”
Ucapan Cin Hai ini membuat Wai
Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang
tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar
sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu
menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!
Cin Hai mendongkol sekali
karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya berkelahi.
Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia
memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru,
“Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke
meja lain!”
Ketika sumpit yang tertancap
di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas
melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya
sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali
sambil tertawa bergelak dan berkata,
“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan
sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut
menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!”
Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun
tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin
Hai.
Pemuda ini merasa marah
sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau
menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala
sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan
menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup,
sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!
Kemudian dia menghadapi Wai
Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari
mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,
“Kakek yang baik, kubayar lunas
penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging yang
disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.
Kini terkejutlah kakek ini dan
dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai ini
selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai
mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan
pipinya ternoda oleh kuah daging itu!
Wai Sauw Pu menjadi marah
sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga masih
tetap duduk dengan tenang.
“Tikus kecil! Berani betul kau
berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.
“Kakek yang baik, pernahkah
kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan,
bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan
kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang
salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu
artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri
sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena
dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa
rendahnya martabatmu!”
Mendengar ucapan ini,
tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang
sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali,
maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di
depan ketiga orang kawannya.
“Anak muda, siapakah kau yang
berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa
namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”
Cin Hai pura-pura
memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya
belum pernah dikenalnya itu.
“Ahh, kiranya kini aku
berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan
Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong
juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada
kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang
baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini
dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi
cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.
“Boleh, boleh! Kau boleh minta
maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu, baru aku
bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”
Cin Hai adalah seorang yang
mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan melebihi
rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan
yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan
hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala
gundul. Maka ia lalu menjawab,
“Pikiranmu cocok sekali dengan
keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi di
dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah
kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”
“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu
dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai, senjatanya
yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah
meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!
Pemuda ini dengan tenang lalu
mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi
tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!
Tak hanya Wai Sauw Pu yang
terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan
kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu
membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun
dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata
dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!
”Kakek yang baik, kau bukalah
sorbanmu!”
Sambil berkata demikian,
sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu atau
Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan
tangan kirinya!
Kakek itu terkejut sekali dan
mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan
sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan
direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika
melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya
dulu!
“Ha-ha-ha! Pantas saja kau
minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur
gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa
bila hinggap di kepalamu!”
Biar pun merasa marah sekali,
ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata
yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan
menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.
Melihat gerakan mereka
diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian
keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya
untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini
mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat
ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya
dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,
“Aduh, lihai... lihai sekali,
aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu,
bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.
Empat orang itu segera
mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal
mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian
ketakutan!
Dengan perasaan amat marah
keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri
dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan
berlari cepat sekali.
Empat orang yang diikuti Cin
Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai
mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh
penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat
orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang
bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni ketiga tokoh besar dari
Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu,
dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap
gagah!
Ketujuh orang di dalam pondok
itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang
tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,
“Jangan-jangan pemuda yang
aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang
penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok
itu untuk menawan Yousuf!”
Setelah mengadakan
permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari
menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka
dengan hati berdebar.
Betaoa banyaknya orang-orang
pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawan adalah
Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta
penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.
Malam itu terang bulan
sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka
berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun
di tengah-tengah hutan itu.
“Yousuf! Kau keluarlah dan
menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.
Tiba-tiba saja api penerangan
yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan
terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,
”Kawanan penjahat rendah! Apa
kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”
Cin Hai hampir berseru karena
girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar
Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya
itu.
Diam-diam Cin Hai lalu
mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak
cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap
maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia,
sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek
bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa
mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu
dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat
tempat itu menjadi terang sekali…..
********************
Marilah kita ikuti sebentar
dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka
berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas
sebelah utara itu.
Sambil menanti berita dari Cin
Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih
Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping
itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.
Beberapa hari kemudian, selagi
ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik
bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!
“Nona, di mana adanya Yousuf?”
tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah
golok di tangan.
“Ada keperluan apakah kalian
mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak menawannya!”
Baru saja mendapat jawaban
ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu terpelanting
dengan luka pada lengan tangannya!
“Enak saja kau bicara!” Lin
Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”
Orang-orang Turki itu merasa
sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf sebab
sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai
seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah
oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun hanya pendek, akan
tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor naga sakti
mengamuk kepada para penyerangnya.
Akan tetapi, di antara para
penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta
beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar
saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.
Mendadak terdengar pekik
nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan
halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua
batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!
Akan tetapi, Lin Lin maklum
bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan
kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini
datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia
melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,
“Kong-ciak-ko, kau tahan
mereka!”
Merak Sakti agaknya mengerti
akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan menghalangi
mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang
hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!
Lin Lin mempergunakan
kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan
wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa
gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh
ke dalam jurang!
“Ayah, Ayah... ayo kita lekas
lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.
“Kau kenapa, Nak?” Yousuf
bertanya tenang.
“Musuh datang menyerbu!
Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”
Yousuf terkejut juga dan
akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan
oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari
orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama
lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil
berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya
yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.
Ketika rombongan orang Turki
menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat
itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu
lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan
mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat
dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.
Sementara itu, Lin Lin dan
Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali
mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin
serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur
hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang
lagi.
Akhirnya Lin Lin dan Yousuf
tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah terlepas
dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak
menyerang.
Padahal rombongan itu masih
tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang
pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari
Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu
untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban
Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi
jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.
Ketika pada malam hari itu
rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu
berkata kepada Lin Lin,
“Lin Lin, anakku yang baik,
kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku
seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri.
Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan
doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena bencana bersamaku, sampai
mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”
“Tidak, tidak. Bagaimana pun
juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”
Yousuf merasa terharu sekali
melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa!
Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.
Lin Lin lalu menerjang keluar
sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun pedangnya hanya sebuah,
akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang itu seakan-akan berubah
menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti sudah menyambar keluar
dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.
Siok Kwat Moli si nenek
bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia lalu
mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat
melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok
dengan kaki kirinya.
Akan tetapi tidak tahunya,
bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam.
Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset
menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang
tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.
Cin Hai segera melompat dan
menerjang dengan pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi, jangan kau takut,
aku datang membantumu!”
Alangkah girangnya hati Lin
Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar pedangnya makin hebat
dan bersemangat sambil berteriak,
“Koko...!”
Sementara itu, empat orang tua
yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali
melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah
itu.
“Tikus kecil, kau berani
muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.
“Tikus besar, mengapa aku
tidak berani?” balas Cin Hai membentak.
Biar pun dikeroyok hebat, hati
pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan
kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan sinarnya menyilaukan mata
para pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.
Pada waktu Kanglam Sam-lojin
ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang,
apakah Sam-wi selama ini baik saja?”
Giok Yang Cu yang tinggi besar
dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah
kenal kami tiga saudara?”
“Ha-ha-ha, Giok Yang Cu
Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”
Bukan main terkejut dan herannya
ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak
gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang
kelihatan bodoh dan gundul itu, dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini
telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik
mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok
Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!
Biar pun Cin Hai lihai sekali
kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan
tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh persilatan yang
berilmu tinggi, lagi pula karena ilmu pedang Lin Lin belum begitu sempurna dan
matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di
dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, sehingga keadaan
keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah
terluka dan tidak berani turun membantu lagi!
Yousuf yang menderita sakit
karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya berhubung dengan
jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan tekanan batin
yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung
sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin
Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.
Kalau rombongan orang Turki
itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu
gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara itu dan tak akan
terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya
oleh karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar
dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan
tetapi tubuhnya amat lemas!
Pada saat ia muncul di ambang
pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur
membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!
“Cin Hai...!” serunya girang,
akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan
segera menawannya.
“Cuwi, tangkaplah aku akan
tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat
berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!
Lin Lin terkejut sekali dan
hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau memberi kesempatan
kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua
orang muda itu merasa gelisah sekali.
Dan pada saat itu, terdengar
suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang
gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh
Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf
telah dipulihkan kembali dari totokan!
Yousuf dengan lemah lalu
merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
“Paman Yousuf, mari ikut aku!”
Yousuf memandang dan ternyata
nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika dia memperhatikan, orang
itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang cepat-cepat menggendongnya dan
membawanya lari ke dalam gelap!
Sementara itu, penolong yang
datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini semut-semut
kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan berani mengeroyok
seorang nona manis? Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh
terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan
gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!
Bukan main herannya hati Cin
Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan
yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main
terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu
silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoat-sut!
Menghadapi Cin Hai berdua Lin
Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apa lagi
ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan
hanya dapat bertahan saja.
Beberapa kali Si Pesolek itu
tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai
mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan
dan menotok iga kiri Lin Lin!
Serangan ini adalah sebuah
tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik sekali sehingga
Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang
dirinya, tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat
sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin
Lin dan melompat cepat melarikan diri!
Bukan main terkejutnya hati
Cin Hai melihat hal ini.
“Orang rendah, kau hendak lari
ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi
menghilang.
Rombongan orang Turki yang
tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tidak nampak
bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan
tempat itu dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan
menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong tetapi
akhirnya bahkan menculik gadis itu!
Ternyata bahwa laki-laki yang
melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali sehingga biar
pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat
mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang
dikejarnya.
Sebaliknya, orang itu pun
merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tidak pernah
tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe
(Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran selama setengah
malam penuh sampai fajar menyingsing, dan mereka tetap berlarian melewati
hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka yang
mau mengalah!
Sementara itu, ketika pada
esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas
hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat mendengar keluh kesakitan
dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas
cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang
menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap
di depannya.
Kedua burung ini sudah
mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau melihat betapa
burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan dia lalu
menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu
dan mencabutnya. Memang dia sudah mendapat latihan-latihan untuk melakukan
pertolongan sehingga dengan mudah dia dapat mengeluarkan pisau itu.
Melihat perbuatan yang
menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik,
maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang
menancap di kakinya sudah tercabut, keduanya lalu terbang tinggi di udara,
merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang berputar-putar mencari jejak
majikan mereka…..
********************
Ang I Niocu, Kwee An serta Ma
Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan
Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat
seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari
belasan orang bersenjata golok.
Kakek ini gagah sekali,
bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan
hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya sudah roboh dengan tulang patah dan kulit
matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.
“Nelayan Cengeng!” seru Ang I
Niocu.
Ketiga orang muda itu segera
menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru
menghadapi seorang kakek saja mereka sudah sangat terdesak, apa lagi kini
datang tiga orang muda membantu kakek itu!
Ketika melihat kedatangan Ang
I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, Nelayan Cengeng tertawa gembira sekali. Ia
mengusap-usap rambut Ma Hoa pada waktu gadis itu berlutut di depan suhu-nya,
mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi sepasang matanya mengalirkan air
mata!
“Ma Hoa, alangkah senangnya
hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah banyak,
muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, apa bila tidak ada Kwee An dan
Ang I Niocu, mungkin aku akan pangling!”
Ternyata bahwa Nelayan Cengeng
telah menyusul muridnya ke lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan
tumpukan puing belaka sehingga dia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika
tiba di dalam hutan itu, dia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan
makanan lunak bagi dayungnya sehingga dia mempermainkan mereka dengan gembira,
tak mengira sama sekali bahwa di situ dia akan dapat bertemu dengan murid yang
dicari-carinya itu.
“Ketika aku mencarimu di
utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu sedang dikejar-kejar oleh
orang Turki. Di mana mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai?
Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti
ini. Dan Ang I Niocu seolah-olah baru saja kembali dari lubang kubur!
Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menduga bahwa kau masih hidup!
Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinanku bahwa
kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan Thian!”
Dengan singkat Ang I Niocu
menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dapat tertolong dari pulau yang
meledak itu, akan tetapi sama sekali dia tidak menyebut nama Lie Kong Sian.
Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika dia dan Kwee An
terjerumus ke dalam jurang dan betapa dia mendapat pelajaran dari seorang
pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang telah mengajarkan Ilmu Silat
Bambu Kuning kepadanya.
“Hebat, hebat! Kau beruntung
sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan
dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu
hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung
oleh imam-imam dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku telah
terdesak hebat dan terancam bahaya maut, Si Botak itu yang datang menolongku.
Dan sekarang, kembali dia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu
silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui
Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima kasih padanya. Kini kau
perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”
Ma Hoa menganggap Nelayan
Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia segera mengeluarkan
sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu
dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing
hingga kedua batang bambu yang berwarna kuning itu merupakan sinar panjang
berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan
bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum
dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa
kagum luar biasa. Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya kembali tertawa
dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!
“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu
sekarang sudah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I
Niocu dengan sejujurnya.
“Ah, Enci Im Giok, jangan kau
terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjuk darimu,” kata Ma Hoa
sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.
Kembali Ang I Niocu
mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai secara terpisah agar lebih banyak
harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.
“Biarlah Kong Hwat Lojin
mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang
memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.
Biar pun Ma Hoa merasa agak
sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun
ia anggap usul ini betul juga.
“Akan tetapi kita harus
menentukan tempat berkumpul kembali supaya kita tidak saling mencari tanpa
mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” Nelayan Cengeng
berkata.
Lalu mereka mengadakan
permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada waktu
mereka hendak melanjutkan perjalanan secara terpisah, tiba-tiba mereka
mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling pandang
dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara itu
datang.
Pada waktu itu hari telah
mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tak
terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari
tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat
dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!
Seorang di antara mereka
adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia kira-kira empat puluh tahun
lebih. Dia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang memiliki empat tali.
Gerakannya sangat hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon
bergoyang-goyang!
Lawannya juga seorang yang
lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan
memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan
setiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api lalu
memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang
keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!
Mereka berempat, bahkan
Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi
itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban
Leng atau paman Cin Hai yang dahulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga
keluarganya terbinasa! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu,
yaitu seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan
menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol
itu!
Makin bertambah banyaknya
orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh
curiga, maka kemudian kaisar memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang
utusan atau penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi
panglima tertinggi kerajaan ialah seorang yang amat lihai dalam melakukan
tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah suatu
tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, karena
itu dia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah
besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!
Juga Yagali Khan menyebar
orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di
antara orang-orangnya ini, Sian Kek Losu turut pula melakukan perjalanan ke
barat untuk melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng
di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang
bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.
Gerakan serangan Sie Ban Leng
benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan
tak pernah berhenti menyerang karena setiap kali serangannya dapat dielak,
senjatanya itu membuat gerakan melengkung lantas terus membabat dan memukul
lagi hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan
bertubi-tubi sehingga membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat.
Tiba-tiba saja pendeta Sakya
Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya
hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari
lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu
telah mengeluarkan anak panah yang lalu dipasangnya pada gendewanya dan begitu
terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus
lantas melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!
Terkejutlah Nelayan Cengeng
beserta kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang
Han itu. Betapa pun juga, dan biar pun mereka tidak kenal siapa adanya dua
orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang
Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini merupakan watak manusia
pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tanpa terasa
pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.
Akan tetapi kalau kepandaian
memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi.
Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang
dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang
sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke
atas dengan kepala di bawah.
Dengan demikian, maka tubuh
bagian bawah yang terancam oleh panah sudah terhindar dari bahaya dan untuk
menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa sehingga dua
batang anak panah yang tadinya mengarah ke mata dan tenggorokannya, dengan
suara keras lantas beradu dengan senjatanya.
Sebatang anak panah dapat
dipukul jatuh, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di perut alat musik itu.
Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu
yang berdiri paling depan.
Dengan tenang Ang I Niocu
segera memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai ke bawah dan sekali dia
menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis
anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.
“Kau berani merusak alat
musikku?!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim
serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.
Kalau pukulan itu mengenai
sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek
Losu sudah siap sedia. Walau pun dia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa
lawannya sanggup menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi
ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, dia lalu maju dan menggempur
senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, sekali ini Sie Ban Leng
benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya sehingga saat gendewa itu beradu
dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!
Sie Ban Leng tidak mau memberi
hati dan mendesak terus. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon
keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai.
Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan
berkata,
“Majulah! Majulah kalian
tikus-tikus Mongol!” dan dia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.
Tadi ketika Sian Kek Losu
bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi
dia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu tidak akan
kalah.
Akan tetapi kini setelah
melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu
dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu
menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut,
pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”
Ang I Niocu, Kwee An dan Ma
Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau
balau karena biar pun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban
Leng ini adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian lebih tinggi dari
pada mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan
Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki. Maka atas aba-aba
yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di
dalam gelap.
“Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu
saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara
menyatakan kebanggaannya.
Mendengar kata-kata serta
melihat lagak Sie Ban Leng ini, diam-diam Nelayan Cengeng merasa tak suka, apa
lagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan mata terbelalak
kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh
Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin laki-laki ini tidak bersih.
“Cuwi gagah perkasa sekali dan
kalau Cuwi tak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku dapat
merobohkan mereka seorang demi seorang,” kata Sie Ban Leng sambil mengerling
kepada Ang I Niocu.
Kwee An dan Ma Hoa merasa
mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau saja mereka tahu bahwa orang
yang sudah dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka mau turun
tangan.
“Ha-ha-ha, pendeta pendek tadi
adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak tahunya
hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau kawan-kawannya tidak keburu datang
mengeroyokku, pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!”
Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah mereka tahu
bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh dibuat
permainan!”
Biar pun ucapan ini
seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa
maksudnya adalah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang
I Niocu yang merasa sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada
Nelayan Cengeng,
“Lo-enghiong, mari kita lekas
keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”
Juga Kwee An dan Ma Hoa
kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng tertawa
bergelak-gelak hingga keluar air matanya ketika dia bertindak pergi meningalkan
Sie Ban Leng sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi kalau
kau berdiri di tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau akan tergelincir
jatuh!”
Sie Ban Leng merasa penasaran
sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang cantik
bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka
telah pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari
jauh dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri
dan berpisah dari tiga orang yang lain, hatinya girang bukan main dan diam-diam
dia lalu mengejar Ang I Niocu!
Ada pun Kwee An, Ma Hoa dan
Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di sepanjang jalan
mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.
“Dulu aku pernah mendengar
nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu dia
menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap
Garuda. Akan tetapi kemudian dia lalu menjelajah ke daerah barat. Mungkin dia
inilah orangnya!”
Ma Hoa sendiri biar pun
menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena semenjak
kecil lebih sering berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu silat, maka
ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.
Ketiga orang ini segera
melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai
memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, akan tetapi yang terbanyak adalah suku bangsa Hui.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Kansu, yaitu Lan-couw yang
besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari Turki
yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan
tinggi mutunya dari daerah ini…..
********************
Cin Hai terus mengejar pria
pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari
cepat. Dia merasa heran sekali karena biar pun ilmu ginkang-nya sudah mencapai
tingkat yang tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya,
padahal orang itu berlari sambil mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya
karena telah tertotok secara lihai sekali!
Akan tetapi ia tidak mau kalah
dan andai kata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekali pun,
ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul
ketika mereka masih saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang
kering dan luas.
Akhirnya, orang pesolek itu
melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri, terus dikejar oleh
Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah, akhirnya pesolek itu
lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin di dalam pelukan lengan
kirinya, dia menunggu dengan mulut tersenyum akan tetapi sepasang matanya
memancarkan sinar mengancam hebat!
Cin Hai berlari dan melompat
ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak hendak
melepaskan gadis itu?”
“Ehh, bocah kurang ajar, kau
ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak tahu
bahwa kini kau tengah berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang
berarti akan mendatangkan maut bagimu apa bila kau menentangnya? Dan apakah
hubunganmu dengan gadis ini? Kuperingatkan kepadamu agar segera pergi dan
jangan ikut mencampuri urusanku!”
“Orang rendah! Ternyata yang
kau hias hanya mukamu saja sehingga biar pun di luar kau nampak cakap dan
bersih, tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang
rendah, buruk dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi
jangan kau kira bahwa aku takut kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tak pernah takut
menghadapi seorang penjahat, betapa pun gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau
kau masih sayang jiwamu sendiri!”
“Ha-ha-ha! Masih baik kalau
kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau memang
pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh
karena tidak tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik
jelita dan manis, ada pun aku seorang laki-laki yang gagah dan tampan, maka
sekarang aku menawannya dengan maksud apa? Tentu saja, kau akan mengerti
sendiri kalau saja kau tidak sedemikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini
sebagai isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang sejak
dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah mendengar
maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan jangan
mencari penyakit dengan ikut mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Bangsat cabul!” Cin Hai
memaki marah bukan main. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini ialah
tunanganku! Siapa sudi untuk mencampuri urusanmu yang kotor? Kau lepaskan
tunanganku ini dan baru aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”
Mendengar ucapan ini,
berdirilah kedua alis orang itu. Hidungnya yang mancung itu lalu
berkembang-kempis, dan meski pun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai
melihat betapa sinar matanya bernyala-nyala bercahaya.
“Bagus, kalau begitu mampuslah
kau!” tiba-tiba saja orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya berkelebat,
ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari
lengan tangan orang itu mengepul uap putih.
Melihat betapa orang ini
mempergunakan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan dia
segera melawan dengan Pek-in Hoat-sut juga! Orang itu terkejut sekali melihat
gerakan Cin Hai ini, dan cepat ia merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna.
Akan tetapi kembali ia terheran sampai mengeluarkan suara tertahan ketika Cin
Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang sama pula!
Kembali orang itu merobah ilmu
silatnya dengan berbagai macam pukulan yang lihai dan permainan silat pilihan
yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam
gerakan tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.
“Ehg, ehh tahan dulu!” kata
orang itu sambil melompat ke belakang.
“Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai
sambil berdiri tenang dan memandang tajam.
“Kau yang mengerti Pek-in
Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan, siapakah
kau dan siapa pula Gurumu?”
“Aku pun sedang terheran-heran
melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak
Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku
bertanya, kau sudah mengajukan pertanyaan lebih dahulu, maka dengarlah
baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhu-ku ialah Bu Pun
Su!”
Untuk sesaat wajah pesolek itu
menjadi pucat dan dia memandang seakan-akan melihat setan, namun dari sinar
matanya mengandung ketidak percayaan.
“Maukah kau bersumpah bahwa
kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.
“Bukan hanya aku, bukalah
lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kau tawan itu pun seorang murid
Suhu Bu Pun Su pula,” kata Cin Hai.
Tiba-tiba berubahlah wajah
orang itu. Dia tersenyum dan tiba-tiba dia mengangkat tangan dengan girang.
“Kalau begitu, kau adalah Sute-ku dan gadis ini adalah Sumoi-ku! Lebih baik
lagi! Sute, dengarlah bahwa Bu Pun Su adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena aku
adalah murid dari Guruku Han Le!”
Cin Hai merasa terkejut sekali
dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.
“Hm, hmm, kalau begitu kau
benar adalah Seheng-ku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan tentang
kau. Siapakah namamu?”
Sambil tertawa orang itu
berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu
di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau pernah
memberi pelajaran beberapa ilmu kepadaku, dan sekarang aku perintahkan agar
supaya kau tinggalkan aku dan Sumoi!”
“Apakah yang hendak kau
perbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.
“Sute, dengarlah baik-baik.
Sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, kau harus mengalah padaku.
Sumoi-ku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil untuk menjadi isteriku.
Terus terang saja, semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar
kepadanya.”
“Tapi dia adalah tunanganku!”
kata Cin Hai penasaran.
“Sute, sudah selayaknya apa
bila seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suheng-nya belum kawin,
mana sute-nya boleh bertunangan? Kau mengalahlah padaku kali ini, Sute. Biar
lain kali aku mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”
“Aku tidak mempunyai seorang
Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan sangat marahnya. “Kalau kau
tidak mau melepaskan Lin Lin, biarlah kita mengadu jiwa di tempat ini!”
Kedua mata Song Kun berkilat.
“Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah sombong!
Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu,
jangan harap kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”
“Jangan banyak cakap dan kau
cobalah saja!” seru Cin Hai sambil melangkah maju.
Bukan main marahnya
Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak
dan tahu-tahu sebatang pedang sudah berada di tangan itu. Cin Hai terkejut
bukan main melihat pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang
menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa
panas!
Inilah pedang Ang-ho Sian-kiam
yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi pedang pusaka
yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini jatuh ke dalam tangan Song
Kun, maka seakan-akan dia menjadi seekor naga yang tumbuh sayap!
Cin Hai juga mencabut keluar
Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan menerjangnya,
dia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut
sekali melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biar pun dia telah mewarisi
hampir seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang
yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng juga lihai sekali.
Dan oleh karena tangan kirinya
masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali. Apa lagi
ketika selain menggerakkan pedang untuk menyerang, Cin Hai juga menggunakan
tangan kiri untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya!
Song Kun lantas memutar-mutar
pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu dengan pedang
Cin Hai. Akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya
sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan
memperhebat serangan tangan kirinya.
Pada suatu kesempatan, tangan
kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya dan dalam
keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat
tangan kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke
dalam sebuah jurang yang curam!
Cin Hai menjerit ngeri melihat
betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu dipergunakan
oleh Song Kun yang telah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke
arah dadanya, dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung
Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan
Putih Mengusir Mendung dengan tangan kirinya, sedangkan pedangnya diangkat
untuk menangkis.
Dua batang pedang beradu keras
dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai dalam keadaan patah
menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia
diserang tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya
berdebar kuatir, maka ia menjadi korban serangan berbahaya dari Song Kun Yang
lihai itu.
Song Kun tertawa girang dan
penuh ejekan, kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga Cin Hai terpaksa
menggunakan ginkang-nya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak
Sinna untuk menghadapi lawannya yang lihai bersilat dengan tangan kosong.
Pada saat itu pula, dari
jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil
menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun
Su! Kakek ini langsung melompat ke tempat pertempuran dan sekali dia
mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di tangan Song Kun kena
tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan dia melompat ke belakang
dengan kaget sekali.
“Suhu...!” kata Cin Hai dengan
girang sekali sebab melihat betapa suhu-nya telah berhasil menolong Lin Lin.
Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.
“Ahh, kiranya Supek yang
datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada dan dia tidak mau
memberi hormat sama sekali terhadap supek-nya itu.
“Song Kun kau terjerumus ke
dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” berkata Bu Pun Su dengan suara
kereng.
Song Kun tersenyum dengan
penuh ejekan dan kesombongan.
“Teecu tidak tahu akan maksud
ucapan Supek ini,” jawabnya.
“Orang tersesat! Baiknya
Suhu-mu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat
betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun,
perbuatanmu yang rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum
mau mengakuinya? Kau menculik seorang gadis dan walau pun kau sudah mengetahui
bahwa dia ini adalah seorang Sumoi-mu sendiri tetapi kau masih tetap akan
melanjutkan kesesatanmu.”
“Teecu mencinta dia, apakah
salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta seorang
wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, hal ini adalah urusan
orang-orang muda dan orang tua tidak berhak mencampurinya!”
Ucapan ini benar-benar kurang
ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa dua tangannya gatal-gatal hendak turun
tangan menyerang suheng yang jahat itu.
“Sesudah Suhu meninggal, yang
berhak mengajar teecu hanyalah seheng-ku, Lie Kong Sian seorang! Akan tetapi,
kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu,
silakan, teecu sedikit pun tidak merasa takut!”
Kalau kiranya bukan Bu Pun Su
yang menerima tantangan ini, tentu dia akan menjadi marah dan tak bersabar
lagi. Akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi
ia merasa tidak tega untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid
sute-nya.
“Song Kun, Suhu-mu dahulu
sudah keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada
tubuhmu. Akan tetapi, jika kau hendak memaksa dan melanjutkan niatmu ingin
menculik muridku perempuan ini, kau majulah dan boleh kau coba-coba kepandaian
Supek-mu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su melangkah maju dan menghadapi
Song Kun dengan dada terangkat.
Kalau saja Song Kun mengangkat
tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan tercapai oleh
ujung pedang. Akan tetapi Song Kun tidaklah sedemikian bodoh untuk melakukan
hal ini.
Ia maklum bahwa ilmu
kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang
memancing-mancing agar ia turun tangan lebih dulu hingga kakek ini mempunyai
alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi dia mengeluarkan ucapan menantang, itu
hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan
terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya
kembali.
“Supek, dunia bukanlah sebesar
telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik, maka untuk apakah
teecu harus berebut seorang gadis dengan Supek-ku sendiri? Ha-ha-ha, ini amat
menggelikan dan akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak
mau nekat merebut perempuan ini, biarlah kalau Supek menghendakinya, dia boleh
diambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai dengan pandangan
mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi
Seheng-mu, maka awaslah kau! Lain kali bila kita bertemu, jangan harap aku akan
dapat mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di
depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian tubuhnya berkelebat dan
lari turun dari bukit itu!
Bu Pun Su menghela napas.
“Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah mati oleh
karena perbuatan muridnya itu! Ahh, begitulah kalau guru salah menerima murid.
Tidak heran bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil
murid. Cin Hai, kau sudah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun
dan betapa hebat pedang Ang-ho Sian-kiam itu sehingga Liong-coan-kiam sendiri
sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan
membuktikan ancamannya, maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali.
Juga Lin Lin berada dalam bahaya, maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk
memperdalam ilmu silatnya sehingga cukup kuat apa bila kelak bertemu dengan
Song Kun.”
Kakek itu lalu membebaskan
totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali
dan berlutut di depannya.
“Lin Lin, kalian sudah menanam
bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan
kau, bahkan Cin Hai sendiri apa bila tidak mempunyai pedang yang mampu melawan
Ang-ho Sian-kiam, agaknya akan sukar sekali untuk dapat merobohkan dia. Maka,
sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan
kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara ratusan buah goa yang terdapat
di Kansu, yaitu goa-goa Tun-huang, di situ terdapat sebuah goa yang menyimpan
sepasang pedang mustika yaitu Liong-cu Siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika
Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan dengan Ang-ho
Sian-kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul
Lin Lin ke Goa Tengkorak.”
Cin Hai lalu berlutut dan
menyatakan bahwa dia hendak mentaati perintah suhu-nya itu. Kemudian Bu Pun Su
meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin sesudah kedua orang muda itu saling
lirik dengan pandangan mata yang mesra.
Cin Hai lalu bangun dan
berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah tikungan.
Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini
ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis
itu akan aman sentosa melebihi dari pada dalam pelukan ibu sendiri!
Ia lalu memikirkan keadaan
Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan
tetapi, kebetulan sekali dia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu
dan dia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila
perlu menolong orang Turki itu. Dia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari
mengejar Song Kun, dia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh
sekali hingga dia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang
ditinggalkannya di dalam hutan.
Cin Hai tidak tahu bahwa Lin
Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu
minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf,
kemudian mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh
keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana.
Dan di dalam hutan itu juga,
Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan di samping Sin-kong-ciak, di situ
terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu sehingga kedua burung
sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Goa Tengkorak.....
********************
Cin Hai melanjutkan
perjalanannya hingga masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini merupakan daerah
pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan.
Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai, dan pada sebelah utaranya
terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia.
Tembok besar yang terkenal di
Tiongkok itu juga dimulai dari Propinsi Kansu ini dan terus memanjang menuju ke
timur. Bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di
sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah
ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah
itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kansu.
Propinsi Kansu memiliki banyak
kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota ada Bukit Pagoda
Putih dan Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan
berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur pada sepanjang lembah
Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini.
Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi
mutunya.
Di selatan terdapat
padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya
jernih. Goa-goa Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih
banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan budaya kuno. Goa-goa ini
penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Buddha yang dibuat
kira-kira pada abad ke empat.
Tidak heran apa bila daerah
ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri. Dan yang terbanyak adalah
orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang
kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan
utara.
Pada suatu hari Cin Hai tiba
di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan
hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan pelan di sepanjang jalan raya
yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri.
Tiba-tiba dia mendengar suara
suling berbunyi aneh, maka dia segera menghampiri arah datangnya suara itu.
Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah orang Turki yang sedang bermain sulap
di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya.
Orang Turki itu sudah tua dan
dia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil meniup
sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan saat dia meniup sulingnya
semakin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam
dan tersembullah kepala seekor ular yang sangat besar! Ular itu mendengar suara
suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke
atas.
Ternyata ular itu besar sekali
dan di bawah kepalanya melar berupa sendok yang besar. Itulah semacam ular
kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia
terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan
kepalanya dan lehernya pun bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling!
Orang-orang yang menonton
menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang
yang menyatakan ngeri dan takut! Hati Cin Hai tidak tertarik melihat ular itu,
akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan diam-diam dia mengingat
lagu suling ini di dalam hatinya.
Pada saat dia meninggalkan
tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng
dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton.
Dan kiranya pada bagian itu, juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan
kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang
menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu.
Mudah saja baginya mengenal
wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan
mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut,
perutnya yang gendut dan tidak tertutup dengan pakaian itu sebentar mengempis
dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut!
Pemandangan ini bagi
orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si
Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang
demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!
“Cuwi sekalian,” kata Si
Gendut sambil tidak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan
sebuah arca Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku hingga
kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah yang
kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng
berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut,
pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, sehingga
diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di
tempat yang subur seperti Kansu ini pinceng bisa melembungkan perut
sebesar-besarnya agar supaya dapat menikmati segala macam makanan. Bahkan
daging unta pun dapat masuk ke dalam perutku!”
Sambil berkata demikian, ia
mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-geleng kepalanya yang bulat
seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa.
Meski pun dahulu kedua orang ini pernah membawa lari perahunya, akan tetapi
terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah
kepadanya!
“Akan tetapi,” kata pula
hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang
lebih hebat lagi.”
Sambil berkata demikian dia
menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka bagaikan mau
menangis. Tidak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah
menimbulkan rasa geli di dalam hati sehingga kembali orang-orang tertawa
bergelak.
“Jangan Cuwi mentertawakan
Suheng-ku ini,” berkata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan
berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang mempunyai kekebalan
hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi,
saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak
mempunyai darah!”
Terdengar seruan-seruan tidak
percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara
seorang penonton mencela.
“Memang kata-kata itu benar,”
kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau
Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si
Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih
mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
“Nah, lihatlah baik-baik.
Pisau ini akan kutusukkan padanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata
pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia
menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek.
Benar saja, hwesio itu menusuk
leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa
terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu
sampai ke gagangnya! Pada saat Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja
tidak nampak darah sedikit pun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan
mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tidak percaya pada kedua matanya
sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian
anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit,
bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah
tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan
darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang
dipergunakan oleh kedua orang ini?
Ceng To Tosu lalu membuka
bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu,
lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan
itu biar pun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun
setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun.
Kemudian hwesio gendut itu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau
itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
“Nah, Cuwi lihat, bahkan
batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng
ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Seheng-ku
ini, pinceng tidak berdaya.”
“Lihai sekali...,” semua orang
berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura
sambil berkata, “Pertunjukan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh
kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya
mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Cin Hai yang menyaksikan itu
semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan
kepandaian dua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biar pun lihai,
namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang
baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat dia kagum dan tak
mengerti.
Maka setelah semua orang
bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
“Jiwi-suhu apakah baik-baik
saja?”
Ketika hwesio dan tosu itu
melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap
tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
“Ahh, ahh, kiranya Sie-taihiap
Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini,
Taihiap?”
Sementara itu sambil
tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau bersama Ang
I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa
pergi lebih dulu.”
Cin Hai terseyum. “Tidak apa,
hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan
perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai
di sini?”
“Thian melindungi orang-orang
baik,” hwesio gendut itu berkata, “maka kami terdampar oleh ombak besar dan
dilempar ke tepi laut dengan selamat.”
“Dan sekarang jiwi-suhu berada
di darat ini sedang apakah?”
“Taihiap sudah menyaksikan
sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan
keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar lihai
sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji.
Akan tetapi dengan tertawa
ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata,
“Dengan pisau yang sengaja kami buat secara khusus untuk keperluan ini, apakah
yang lihai?”
Cin Hai memegang pisau belati
itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadi pun dapat menancap di pohon,
apanya yang aneh? Mungkin kalian telah menggunakan ilmu sihir!”
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang
tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan
tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!
“Ah, ahh, kami benar-benar
merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tiada
artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami
merasa puas dan bangga!”
Ceng To Tosu juga berkata,
“Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada
gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka pisau ini adalah pisau
biasa yang akan melukai orang. Akan tetapi coba kau tekan besi kecil itu, dan
kau akan melihat keanehannya!”
Cin Hai melihat besi hitam
yang kecil pada ujung gagangnya dan pada saat dia menekan, ternyata pisau itu
apa bila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga
tidak kelihatan lagi ujungnya! Sungguh sakti.....
Demikianlah akal yang
digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada
tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu
menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan
kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan
semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa
bergelak karena geli. Dia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang
bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini
saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan padanya.
“Taihiap, sesungguhnya kami
berdua sedang melakukan sebuah tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.
“Tugas? Tugas apa dan dari
siapa?”
“Dari siapa lagi kalau bukan
dari pemerintah kita. Kami berdua sekarang telah membantu kerajaan. Panglima
besar yang sekarang, yaitu Kam-ciangkun, adalah orang gagah yang budiman, maka
kami berdua mau membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk
semacam tugas!”
Cin Hai mengangguk. “Aku telah
mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah jika memang demikian
halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti semua
panglima yang busuk dengan orang-orang yang betul-betul gagah dan budiman.”
“Memang kata-katamu ini benar
sekali, Taihiap, apa lagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam
bahaya besar.”
Cin Hai terkejut. “Apa
maksudmu?”
Dengan suara berbisik Ceng To
Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan
serangan ke wilayah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to
dahulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga sangat mencurigakan sehingga kita
seakan-akan terancam dari dua pihak. Karena inilah maka Kam-ciangkun lalu
mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah
barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kansu
dan di samping kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan
menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke
daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah
ini.”
Cin Hai mengangguk-angguk
maklum kemudian berkata, “Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku,
Totiang, akan tetapi harap kalian berdua suka berhati-hati dan jangan
sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”
Ceng Tek Hosiang tertawa
bergelak-gelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan
rahasia.”
Kedua orang pendeta aneh itu
lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng
Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, Cin Hai berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke
tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan
sawah ladang dan rumput. Di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan.
Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali.
Memang, semenjak pertemuannya
dengan Lin Lin, dia merasa sangat gembira dan kini setelah gadis itu pergi
dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan
aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri
Ma Hoa dan Kwee An, dia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih
hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan. Juga pertemuannya dengan
kakek gagu di goa yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa
terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui
kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya
itu pasti masih hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai
dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan
ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu,
kemudian tanpa terasa dia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup menirukan
lagu kakek tadi!
Dia memang pandai sekali
meniup suling dan ingatannya kuat sehingga biar pun kurang sempurna namun ia dapat
menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin
terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai
telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tidak disangka sama sekali,
bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang
tinggal di dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu
akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang sambil berlenggak-lenggok tanpa
menerbitkan suara. Tahu-tahu kedua ular itu telah berada di hadapannya dengan
kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar
sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan
ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular
sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia
menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak
marah dan bingung, kemudian dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang
keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput
itu dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras kemudian
menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil membuat seekor ular
terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus
menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!
Terpaksa Cin Hai menjatuhkan
diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa
ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri dan dia
mulai menjadi marah. Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini sudah
merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya.
Ia tidak usah takut menghadapi
dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua
binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin
Hai sudah marah karena tadi benar-benar dia dikejutkan oleh kedua binatang itu.
Dia tidak mau mengotorkan
sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang
yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah
datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang
itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.
Akan tetapi ular itu betul-betul
gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari
sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira
menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Pada waktu ia hendak menyabet
kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Jangan bunuh mereka!”
Cin Hai cepat melompat ke
belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam
dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan cepat. Melihat
gerakannya yang gesit serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa
orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.
“Menawan ular seharusnya bukan
dipukul dengan senjata,” katanya pula.
Ia kemudian menghampiri kedua
ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu
memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya
untuk digigit!
Kakek Turki itu lalu
mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga, dan ketika
kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan kanannya dibuka
seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya
dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya sambil
meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap
tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya
diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika
kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas
tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya
dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat.
Akan tetapi, kakek Turki yang
gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun
dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dalam
keadaan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling pada Cin Hai
sambil tersenyum.
“Sepasang ular sendok jantan
dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini
menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda
yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan
sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua
ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di
dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”
Cin Hai memandang kagum. “Kau
hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa kagum akan kelihaian
kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali berbicara
dalam bahasa Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada Yousuf sendiri. “Kau
tentu seorang ahli penangkap ular.”
Kakek Turki itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi
aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”
“Akan tetapi ilmu kepandaianmu
hebat sekali!”
“Tidak ada sepersepuluh bagian
dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan
banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak memiliki sedikit
tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”
Cin Hai terkejut. Orang ini
tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan cerita kedua pendeta
yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan
orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih terkejut lagi ketika
tiba-tiba kakek itu berkata,
“Anak muda, harap kau jangan
menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukan
anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai
melompat tinggi karena kaget dan herannya.
“Ehhh, Lopek, kau... bagaimana
kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat membaca apa yang sedang
kupikirkan?”
Kakek itu tersenyum, lalu
membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan
cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung sehelai
tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular
itu dengan eratnya.
Ular ke dua pun diperlakukan
demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah
gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih sering kali
menjulur-julur keluar. Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi
isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan,
Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
“Taihiap, aku bisa menduga
bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping gerakanmu yang
lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai
bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”
Cin Hai mengangguk cepat. “Di
mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Dia sudah diselamatkan dan
sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah
menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama
lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari dia mengigau dan menyebut-nyebut nama
anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”
Cin Hai merasa girang dapat
bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin sudah
tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam ilmu silatnya,” katanya
dan kemudian segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada
hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”
“Yousuf adalah muridku, dan
namaku Ibrahim.”
Cin Hai terkejut sekali
mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat berdiri dan
menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan
seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku, Locianpwe.”
Ibrahim melambai-lambaikan
tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku lebih menyukai
kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena
tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”
Mendengar ucapan ini, Cin Hai
lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak
persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan
dan kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka dia makin menaruh
hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali,
oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian
yang hebat.
“Locianpwe, aku mendengar
desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang
kudengar itu?”
Kakek rambut putih itu menarik
napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku gelisah.
Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi
perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak
untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak
menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut
pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang
terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil
membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri,
aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau
ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah
terpaksa aku harus turun tangan!”
Kemudian Ibrahim menuturkan
betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang
berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika
Cin Hai bertanya mengenai pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu lalu
berkata,
“Memang semenjak dulu,
orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain.
Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka
dilanggar oleh barisan Turki pada waktu orang-orang Turki mengadakan ekpedisi
ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga kini jago-jago mereka di bawah
perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa
di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang di dunia ini
banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin
menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw,
harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota
sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada
orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”
Setelah berkata demikian,
kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura
kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat yang jauhnya
tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi
Sungai Huangho!
Cin Hai diam-diam merasa kagum
sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain
mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini semakin
terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu
di daerah Kansu.
Diam-diam hatinya berdebar
tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kansu terdapat empat
rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan menimbulkan
permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan
Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan
golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran
muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas
rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia melihat perahu-perahu
nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala
perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang
sederhana akan tetapi karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh
orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan
suara nyanyian itu terdengar merdu!
Bunyi riak air di bawah kaki
Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu menjadi gembira
sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan
oleh para nelayan itu!
Mendengar bunyi suling yang
merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar
makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka
lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian
mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba saja Cin Hai yang masih meniup
sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup!
Ketika ia memandang, ternyata
suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam
alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!
Laki-laki itu ternyata hanya
duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu. Agaknya dia
adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di
situ. Sesudah lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas tertawa dan melambai
kepada Cin Hai sambil berkata,
“Anak muda, suara tiupan
sulingmu bagus sekali!”
“Masih lebih bagus suara
rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang tampan itu
mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi,
naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.
“Anak muda, aku hanya menyukai
suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab
orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa
orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia menjadi penasaran
sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
“Ahh, sayang, adatmu tidak
sebaik suara rebabmu!” jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun
berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat
dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang
masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya
gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini
membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru
keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak
sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia
melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat bicaranya, menunjukkan
bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan.
Yang sangat mengherankan
hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu
ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau saja bukan dia
yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk
kepalanya!
Dari tangkisannya tadi ia
maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang
tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban
Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang
tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu
yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat betapa Ang I Niocu
bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu
melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu
dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan
tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu kembali ke rumah
penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tak
jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I
Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu
bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, dia
diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini
melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, dia bermalam dalam
sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera melanjutkan perjalanannya
menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta bila mungkin, mencari
Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan
sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai. Sedangkan Kwee An,
Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, ada pun Cin Hai
yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak dapat bertemu
pula dengan rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I
Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua
buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu
melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada dalam kamarnya!
Hanya seorang yang
memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera mengikuti
dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu
dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan
perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara diam-diam ada
orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di
kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput
yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala tengah menghalau ternak
mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai suara lembu
menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang
sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di
tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta
itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor
dua dari Mongol!
Ang I Niocu mengenal Sian Kek
Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan
itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak peduli terhadap mereka dan
hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu segera berkata kepada
suheng-nya,
“Inilah seorang di antara
mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang
jalan gadis itu, dia pun membentak,
“Mata-mata kerajaan, kau mau
lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini lalu mengeluarkan
gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I
Niocu di bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan
kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat dia lalu mengenjot
tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya
dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu terus meluncur
cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu
menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini, mengacaukan lembu-lembu dan
domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!
Para penggembala menjadi kaget
sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar
suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha
menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang kini
berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah
sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang
I Niocu!”
Secepat kilat Ang I Niocu lalu
mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta
pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya dan mereka segera
bertempur dengan seru!
Sebagai jago nomor dua dari
Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah berada pada
tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi
dengan gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.
“Bagus, bagus sekali!' Thai
Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang
yang amat indah gerakannya itu.
Ia maklum bahwa gadis baju
merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa
gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai
seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras dia segera maju
menerjang dan membantu sute-nya.
Hati Ang I Niocu terkejut
melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju
Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena untuk
menjatuhkan Sian Kek Losu saja dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa
lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang dia tahu
memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Dia
menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.
Pedang Cian-hong-kiam berkelebat
cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung
rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu
benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat
sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok sampai lengannya
terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar
bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani mengganggu kawan
baikku!”
Dan ketika seorang laki-laki
melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu
bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu.
Betapa pun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, akan tetapi bantuannya
yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan
bernapas lega.
Dia lalu memutar pedangnya dan
menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang
Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat
pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi
karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala
sehingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan
gendewa Sian Kek Losu. Memang dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang
setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.
Sementara itu, Thai Kek Losu
merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, dan
tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang
mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh rantai.
Begitu senjata itu menyambar,
Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi
kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi
muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka
anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.
Sebentar saja permainan
pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan
Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie Ban Leng karena
ketika dia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya,
perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk
mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika
mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak
sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani
menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal
ini seakan-akan seperti dia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak
tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah dia
menghadapi sebuah senjata sehebat ini.
Orang yang sedang mainkan
senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang
terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus dicurahkan
terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi
dengan baik dan sempurna.
Oleh sebab itu, setelah
sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu,
maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak membuat
kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu semakin hebat
saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang sudah diperoleh dari banyak
pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama
itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu
sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula, tiba-tiba terdengar
suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu
tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan
Sie Ban Leng!
Sesudah melihat bahwa yang
datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis
bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main
herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng
To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba
datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap menggunakan
kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu! Tak
nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu
saja pinceng datang dari alam kosong!”
Setelah menjawab dengan
kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek
Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biar pun dia dapat mendesak
Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak dapat cepat-cepat
menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu
hanya bisa melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja. Maka kini melihat
datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng
Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar!
Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu kawan-kawan pinceng?
Apakah kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata
demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya
yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek
Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena
mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan ke arah mereka dan
menduga bahwa hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi
betapa heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan
ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya!
Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika
melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun
tidak terluka!
Berkali-kali Ceng Tek Hosiang
menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua pendeta Sakya
Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang
dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
“Cobalah kau tiru perbuatanku
tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng
Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.
Dengan mudah Thai Kek Losu
menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa penasaran, ia lalu
memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu
dengan hwesio ini. Ketika dia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen
dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil berkata,
“Kami yang bodoh telah bertemu
dengan seorang sakti. Maafkan kami!”
Maka ia lalu melempar pisau
itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau
itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan tetapi pada saat itu Thai
Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang
mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan
Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri hanya
berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini,
akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa bergelak saja.
Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban
Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan
perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi
sekaligus wakil Kam-ciangkun!
Diam-diam Sie Ban Leng memberi
isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri
Ang I Niocu sambil menjura.
“Apakah Niocu selama ini
baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.
“Terima kasih, dan atas
pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.”
Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek
Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh
hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup
melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada
Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah memperoleh perintah
untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, kemudian meninggalkan
mereka tanpa banyak cakap lagi.
“Mereka itu orang-orang aneh,”
kata Ang I Niocu.
“Memang, orang-orang sakti
memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju mendekati Ang I Niocu
dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya, yang mengherankan
hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh itu adalah
demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan Ceng Tek
Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut
itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini
teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat dia menjura
sambil berkata,
“Sie-enghiong telah
menolongku, banyak-banyak terima kasih!”
Sie Ban Leng membalas
penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu merendah dan
sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan? Jika kita tak
saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau
aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke
Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.
“Kebetulan sekali, aku pun
hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah
kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang
jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah sekitar sini memang banyak sekali
terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang
suka mengganggu bangsa kita.”
Ang I Nocu merasa serba salah.
Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah
menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan
kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?
“Aku tidak takut segala macarn
penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan
tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”
Bukan main girang hati Ban
Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak
perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan karena
Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap
sombong dan kurang ajar, malah ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan
menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan
menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara
sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat
dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian menjawab,
“Lihiap, sebetulnya hal ini
merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada orang lain.” Semenjak
Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka Ban Leng lalu mengubah
sebutan menjadi ‘Lihiap’.
“Ahh, kalau memang rahasia,
tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.
“Kepadamu aku tidak memiliki
rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan kepadamu bahwa kini
aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun atas perintah kerajaan.”
Ang I Niocu tercengang. “Ah,
kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”
“Bukan, aku bukan seorang
perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja, mewakili pekerjaan
Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan
kedudukan Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena banyak terjadi
hal-hal yang mencurigakan di daerah Kansu ini, dilakukan oleh orang-orang Turki
dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan
dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga
menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam dan sebelum
mendapatkan bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah
Kam-ciangkun.”
Ang I Niocu mengangguk-angguk
maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang Turki dan
Mongol itu di daerah ini?”
“Inilah yang lagi kami
selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat
menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak
menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain menjadi
sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta
terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang
menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha
mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”
Ang I Niocu merasa tertarik
sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan
untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama
makin nampak jelas sikap Ban Leng yang sering kali memandang dengan mata
mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah
saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.
Hal ini tidak dipedulikan oleh
Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba dalam hatinya. Entah
bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin
Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama
tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan
tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya
dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan wataknya cerdik…..
********************
Sementara itu, Cin Hai
tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan
dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati
tamasya alam di daerah itu dan setiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu
akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam untuk mengenal tempat itu
lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya
macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai
melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam
sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di
dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.
Kelima orang itu masuk ke
dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan
cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil
mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan
dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu,
akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia
lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima
orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan
pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di
ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka
oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu
melangkah masuk.
Cin Hai melihat betapa kedua
mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke
atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat
betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis,
sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu
sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, sebab
ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyangkan tangan.
Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu
menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher baju orang
tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga
tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini
keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat
bangun pula.
Wai Sauw Pu melangkah maju,
hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang
dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat
mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh
melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,
“Orang-orang kejam, jangan
menyiksa orang tua yang lemah!”
Bukan main terkejutnya hati
Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang
dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian
pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.
Tidak demikian dengan keempat
orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di tangan mereka
maju menerjang pemuda asing ini.
Cin Hai cepat-cepat
menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu
ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang
golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua
batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke
arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.
Sesudah mengelak dari sambitan
golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari!
Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua
orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke
luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri
saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan
tenaganya.
Cin Hai tidak mau mengejar,
hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih
itu.
“In-kong (Tuan Penolong)...
terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil
terengah-engah.
Ketika Cin Hai mengangkat
tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh
karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah
mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
“Lopek, mengapa mereka itu
memusuhimu?”
“Mereka adalah
pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba
wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap
akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu
mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua,
lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang
gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai
terjatuh ke dalam tangannya...”
Cin Hai menerima bungkusan itu
dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan
bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau
kepada Ibrahim dan Yousuf?”
Mata yang sudah layu itu
bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah
benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya
berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh
pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan
berikan benda ini kepada orang lain!”
“Baiklah, Lopek. Kau tidak
keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari
Yousuf.”
Wajah kakek itu berseri, akan
tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”
Pada saat melihat wajah Cin
Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek
itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat
diri sendiri...!”
Terpaksa Cin Hai lantas
melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku
bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki
masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok,
kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan
perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang
demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus
dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya
hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!
Cin Hai hampir tak dapat
menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang
harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak
tangannya dan memandangnya dengan heran.
Tutup cawan itu kecil saja,
terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa
bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada
apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak
teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu
jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?
Akan tetapi Cin Hai memiliki
watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga
tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu
membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan
perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam
orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai
Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura
kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan
itu.
“Sicu, kami harap kau suka
mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”
“Apa maksudmu?” Cin Hai
membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama
hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari
kalian!”
Wai Sauw Pu tersenyum, akan
tetapi matanya memandang tajam.
“Sicu, harap kau maafkan kalau
beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami
tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu.
Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek
tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh
karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”
“Memang barang itu ada padaku,
akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan
tak boleh memberikannya kepadamu!”
“Jadi Sicu lebih percaya
kepada maling tua yang jahat itu?”
“Maling tua itu, kalau
benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!”
bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi
besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.
Mendengar ucapan ini, Wai Sauw
Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu
segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata
masing-masing.
Ketika Cin Hai memandang, ia
melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu
yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia
menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan
terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja, paling banyak dengan
sulingnya!
“Sicu, sekali lagi dengarlah
kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada
permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa
bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari
emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.
“Ehh, sebenarnya, apakah
kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda
itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji
untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar
aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian hendak
menggantinya dengan sebuah dari emas?”
“Sicu, ini merupakan urusan dan
kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda
itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini
dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun
memandangnya dengan heran.
“Malaikat tasbeh! Kau jangan
membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku
bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan
Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari
Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki.
Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang telah
menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan
bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang
yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan
kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”
“Bangsat bermulut lancang!”
Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak cakap,
pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”
”Tidak ada persoalan menerima
dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya
darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih
berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”
“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu
menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!
Dengan sigapnya pemuda ini
mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun lantas
menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!
Cin Hai terpaksa mencabut
keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan
bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya
terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu
dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan-jalan darah
semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!
Akan tetapi, tasbeh milik Wai
Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali
sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya
terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau
sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya apa bila Cin Hai
tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena
yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun
Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya
memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih jauh
di bawah dia.
Akan tetapi ia pikir bahwa
sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada
perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia
segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan
pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan
tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan mereka
dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar
sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar Cin Hai yang
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah
meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu
tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai selalu
merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia
bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan
diikuti orang secara diam-diam.
Dia menjadi sangat jengkel dan
mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas
pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat,
orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali
mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah juga,
sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini mengganggu
tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu
harus berlaku waspada serta hati-hati.
Dua hari kemudian, sampailah
ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar tembok kota, dia
melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya dia hendak
melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba dia dapat melihat bayangan beberapa
orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera
melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela pondok
yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.
Pada saat itu dia mengalami
dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi
pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas
terdengar olehnya ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang
bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!
Hal kedua yang mengejutkan
hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah
dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dipimpin oleh Wai Sauw
Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga ikut kelihatan
bayangannya!
Akan tetapi dia tak
mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah suara
wanita itu. Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita
itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,
“Jangan kau ulangi lagi
ucapanmu tadi!”
“Lihiap... tidak kasihankah
kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan
tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang aku cinta
kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya
sudah hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosa. Akan
tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap,
mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar
suara seorang laki-laki berkata.
“Cukup, tutup mulutmu! Untuk
ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan
tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang sangat kuhargai,
tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menebas batang lehermu!”
“Lihiap, kalau aku melawan,
belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak sampai hati
mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan
tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”
Cin Hai tak dapat menahan lagi
gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I
Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang
berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I
Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki
itu berlutut di depannya!
“Niocu...!” Cin Hai berteriak
dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara
yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling
cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...!”
serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.
Mereka berdiri berhadapan,
sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Niocu... Niocu...
benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil berkata
demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua
tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang
Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”
Saking girangnya, ingin Cin
Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini lalu menjatuhkan diri
berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan
pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu
berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,
“Hai-ji, kau benar-benar sudah
dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”
“Dia ikut belajar silat dengan
Suhu.”
Ang I Niocu mengangguk girang,
dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat
bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin
Hai berkelit cepat dan sekarang barulah dia mengenali laki-laki ini sebagai
orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.
”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!”
teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
“Saudara Sie Ban Leng, jangan
kau sembarangan turun tangan!”
Bukan main terkejut hati Cin
Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah
pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie
Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?
Akan tetapi, sebelum ia sempat
membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi
dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan
tiba-tiba saja ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia
sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.
Wai Sauw Pu menggerakkan
tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”
Maka majulah semua orang Turki
mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan Cin Hai juga
langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya
pengeroyok di dekat Ang I Niocu.
Tidak lama kemudian, datanglah
kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar. Bahkan Ceng Tek
Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran
hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
“Niocu, sebenarnya mereka ini
datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil menangkis serangan lawan
yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
“Mengapa?” tanya Ang I Niocu
sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang
tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
“Karena aku membawa sebuah
tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan
tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata
terbelalak.
“Tutup cawan perak yang
berukir di atasnya?” tanyanya.
“Betul,” jawab Cin Hai sambil
memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hai-ji, cepat! Mari kita
keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka
bertempur, kita boleh bekerja cepat!”
Meski pun tidak mengerti akan
maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu
mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran,
lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.
Ternyata Ang I Niocu telah
membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.
“Coba kau keluarkan tutup
cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.
Pada saat Cin Hai membuka
bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga
mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika
tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar
ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
“Goa ke tiga puluh enam dari
kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”
Sambil berlari-lari mencari
goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya
tentang rahasia cawan dan tutupnya.
“Ketahuilah bahwa sepasang
cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat
penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa ini.”
Cin Hai makin terheran dan ia
segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang
pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di dalam salah satu goa-goa
di Tun-huang ini.”
“Nah, itulah,” kata Ang I
Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar
biasa banyaknya!”
Cin Hai hendak bertanya lagi,
akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam itu dan segera mereka
masuk ke dalam goa yang besar itu.
“Mari kita memeriksa
kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I Niocu.
Keduanya lalu memeriksa
seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa
patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang
mencurigakan. Mereka sudah mendorong-dorong dinding dan membersihkan lantai,
juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil.
Cin Hai menjadi hilang sabar.
Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.
“Niocu, untuk apakah
tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau ceritakan semua
pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar
pengalamanku semenjak berpisah.”
“Nanti saja, Hai-ji,
orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka
ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan segera datang
menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih melanjutkan memeriksa kanan kiri.
“Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma
Hoa.”
“Apa?!” Cin Hai melompat
memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”
Ang I Niocu tersenyum manis
sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu
dengan mereka?”
Bukan main girang hati Cin Hai
mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari ini!” dia berkata
sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung.
“Melihat Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat…”
Tiba-tiba saja dia melompat
bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa
kita lupakan yang di atas?”
“Apa maksudmu?” tanya Ang I
Niocu heran.
“Langit-langit itu,” kata Cin
Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang
kita cari?”
Ang I Niocu berseri dan pada
wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera memeriksa lagi dengan
lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala
ukirannya. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, pada akhirnya
mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung
Buddha yang duduk bersila.
“Ahh, aku tadi pernah melihat
lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari
kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada langit-langit dan di
dinding.
“Itulah dia!” kata Ang I Niocu
sambil menunjuk ke atas.
Benar saja, pada ujung kiri
dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan
ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang duduk bersila.
Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud
persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.
Meski pun ukiran itu campur
aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata bahwa ada setangkai
bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari
tangkai bunga ini pada dinding goa dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari
ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan
berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
“Jangan-jangan inilah
rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi biar pun
tidak berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.
“Niocu, marilah kita pindahkan
patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu
rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan persatuan tenaga mereka,
terangkatlah patung itu.
“Awas!” tiba-tiba Ang I Niocu
berseru.
Mereka segera menurunkan
kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka
sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini dipasangi tali baja yang
menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit goa. Tali baja
ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di sebelah dalam dinding batu yang
sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk menutupi rahasia ini.
Begitu pintu pada
langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur turun
sebuah barang. Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan main
keduanya sudah melompat ke belakang sambil bersiap menghadapi segala serangan.
Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi adalah tiba-tiba terdengar
suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang ternyata ialah sebuah
peti, jatuh menimpa lantai.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa
terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil
tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi
mereka masih berdebar-debar maka untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
“Niocu, hayo kita buka peti
itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”
“Jangan-jangan terisi binatang
beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil
tertawa.
Keduanya lalu maju dan
bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Pada saat
tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar
dari dalam peti dan ketika mereka sudah membiasakan mata mereka yang tadinya
menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu berisikan dua batang
pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
“Ah, inilah Liong-cu-kiam!”
kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
“Agaknya benar juga, inilah
pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”
Otomatis mereka lalu
mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang
sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada
gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat
huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf
‘betina’!
“Bagaimana Niocu? Harus kita
apakan pedang ini?”
“Ehh, anak bodoh!” kata Ang I
Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama dia rindu akan
sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja dua pedang ini kita
serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa
pedang ini seorang satu.”
“Niocu, lubang di atas itu
besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.”
Keduanya lalu berdiri dan
memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam,
mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita periksa ke atas,
biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada saat itu di luar
terdengar banyak suara kaki orang.
“Hai-ji, lekas kita kembalikan
patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan
aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai sudah hendak berlari
keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan
keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”
Keduanya segera bersembunyi
sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang yang terdengar
bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat keluar dari
dalam goa dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan.
Sesudah tiba di luar goa,
keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena
setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini mengeluarkan
cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul
kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain
merasa kagum, juga merasa girang sekali.
“Lebih baik kita simpan pedang
ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan
keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.
“Sekarang tiba waktunya bagimu
untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin
mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu yang besar.
Ang I Niocu duduk di dekatnya
dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi dia masih
merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian.
Pada saat dia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
“Dia itu adalah pamanku
sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”
Terkejutlah hati Ang I Niocu
mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu.
Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”
Cin Hai lalu menceritakan
semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang
pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,
“Ah, Song Kun itu adalah
Sute-mu yang jahat!”
“Sute siapa?” tanya Cin Hai
terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu
menjadi merah.
“Sute dia… ehhh, penolongku
itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik
seperguruan Susiok-couw!”
Akhirnya, mengertilah Cin Hai
dan ia berkata,
“Menurut Suhu Bu Pun Su,
pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang
Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut
lagi menghadapi dia!”
“Jangan kuatir, Hai-ji, aku
pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun kepandaianku jauh
berada di bawah tingkat kepandaianmu!”
“Ahh, jangan kau terlampau merendahkan
diri, Niocu.”
Kemudian, Ang I Niocu lalu
minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang
dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera mengeluarkan
pedang Liong-cu-kiam, lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu menjadi kagum
sekali.
“Ahh, kepandaianmu makin maju
saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat
kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa
adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing
benar-benar mengagumkan,”
“Tak disangka bahwa Ma Hoa
yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja
selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Sungguh nasib orang tidak
tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini
ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini,
wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
“Hai-ji demikian besar kasih
sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya
bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali
melihat kau bahagia, Hai-ji.”
Cin Hai merasa terharu sekali
karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi
kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra dan suara penuh
harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, memang hatimu mulia
sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana
diharapkan pula oleh Suhu.”
Merahlah seluruh muka Ang I
Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir
kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar kata-katanya yang
lancang itu, maka dia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak
bermaksud menyinggung perasaanmu...”
Ang I Niocu mengerling padanya
dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu
memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke goa itu. Mereka
telah pergi dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari harta terpendam
yang menurut keterangan seharusnya ada di tempat itu.”
Cin Hai merasa girang sekali
mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia mengharapkan perubahan
perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju
Merah itu.
Mendengar ajakan Ang I Niocu
untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak ingin mendapatkan
harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri dan mengikuti
nona itu kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan
Liong-cu-kiam.
“Niocu, lubang di atas itu
kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang
masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada orang yang akan
melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”
“Baik, akan tetapi kau
berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh
terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta yang
dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali.”
Cin Hai menjadi tertarik
sekali.
“Niocu, sebelum kita bertindak
lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta
terpendam itu karena tidak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik
keadaannya.”
Ang I Niocu dapat mengerti
perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas sebuah batu
dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan
tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya
berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta
terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Menurut pendengarannya,
diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu pendeta-pendeta
Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat
tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka
hingga tak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa
orang.
Pada masa itu, di dekat
perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang amat
tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini
tiada hentinya menyerang ke wilayah pedalaman serta melakukan
perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak barang berharga sehingga
mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi
marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki
para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan
menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.
Akan tetapi, sesudah para
pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas kembali
barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan
tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga
itu.
Karena tidak pernah
menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai dan sebagian
di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta menyimpan
harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan
ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu
disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan
kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
“Nah, hanya sekianlah yang
kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya entahlah,” kata Ang
I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.
“Kalau begitu, seandainya kita
mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk apakah?” tanyanya dengan
muka memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji,
kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak tahu harus mempergunakan
harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu dan kalau sudah berhasil,
kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau
lakukan.”
“Tapi, kau sendiri, Niocu?
Untuk apakah harta benda itu bagimu?”
“Anak bodoh! Aku sih hanya
membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam barang itu!”
“Aku pun tidak membutuhkan!
Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”
“Hai-ji, ketahuilah. Selain
kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila harta benda yang
besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan mala petaka
belaka!”
Cin Hai mengangguk-angguk dan
berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan
bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang
berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila harta benda terjatuh di
tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau
benar, Niocu!”
Ang I Niocu tertawa “Ah, kau
dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di
dalam goa ini!”
Cin Hai juga tertawa, kemudian
mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka
pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa itu terbuka, Cin Hai
segera melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanannya untuk menyambar
pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian dia mengayun kakinya dan
masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.
“Ahh, gelap sekali, Niocu!”
katanya.
“Biasakan dulu matamu di
tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa ini agar
cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang
segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.
Tiba-tiba ketika ia sedang
mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira.
Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah
bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”
Setelah menyalakan api unggun,
Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari goa. Ia
mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju
ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah
dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu membelok ke kanan dan
memperlihatkan muka takut-takut.
Perwira itu segera merasa
curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan
sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia segera mengejar
dan berseru, “Nona, tunggu dulu!”
Akan tetapi, Ang I Niocu
berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang mencari harta
pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan
berdiri sambil bertolak pinggang.
Perwira itu cepat sekali
larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I Niocu dengan
hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang
penduduk situ, yaitu seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi alangkah
herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya ternyata adalah
seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Dia memandang
dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.
Sementara itu, Ang I Niocu
juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan
ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia bahwa perwira ini
bukanlah orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.
Perwira itu memakai topi
pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang panjang dan
hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling
banyak baru tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak kuat, sedangkan
di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya
bersinar tajam berpengaruh.
Ang I Niocu tidak tahu bahwa
ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu
itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia
datang menyusul para anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat
sangat genting sehingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja
secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki.
“Perwira gadungan!” Ang I
Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan
perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”
Dimaki demikian itu, Kam Hong
Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan
diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula kerjamu di daerah ini?”
“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I
Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan
lari ketakutan.
Dorongannya ini bukanlah
gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis oleh orang
sembarangan saja.
Akan tetapi bukan main
terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan
berhasil mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut
melihat serangan yang demikian hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa
panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
“Eh, ehh, siapakah kau yang
lihai ini?!” teriaknya.
Akan tetapi Ang I Niocu
menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah kau siapa
adanya aku?”
Kini perwira tertinggi di
kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu
kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak boleh
dibuat gegabah.....
Ang I Niocu merasa kagum dan
terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu
silatnya Pek-in Hoat-sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan
yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang perwira muda itu betul-betul membuat Ang
I Niocu tertegun oleh karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya
berkelebat bagaikan seekor burung saja sehingga setiap serangan dari Pek-in
Hoat-sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu
pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran
sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka
sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam
jubahnya.
“Perwira gadungan, rasakan
kelihaian Ang I Niocu!”
Bukan main terkejutnya Kam
Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor
dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu
mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
“Ahh, ahh, tidak tahunya
siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah menggemparkan dunia
kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada
Lihiap.”
“Ciangkun siapakah?” tanya Ang
I Niocu heran.
“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I Niocu yang terkejut
karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima
tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang
gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat
asing dan sunyi ini?”
Akan tetapi pada saat itu,
kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian
pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan
membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap, bukankah pedang di
tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun, di dunia kang-ouw
ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”
Kam Hong Sin tersenyum, kemudian
berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi
harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap
sebagai orang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa
keberatan untuk menjawab, siauwte tetap masih akan mengulangi pertanyaan itu
dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas
mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu.
Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang I Niocu yang tak
mau membohong menganggukkan kepala.
“Dari manakah kau dapatkan
Liongcu-kiam ini, Lihiap?”
“Hal ini tak perlu
kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan
berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kau
dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah
pedang pusaka kerajaan dan yang berhak memiliki dan menyimpannya adalah kaisar
sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu
kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu tersenyum sindir.
“Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah
yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga mencarinya dan
kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau
mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin memandang tajam,
“Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan
aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa
aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu,
sebagai seorang panglima yang setia maka terpaksa aku mesti menggunakan
kekerasan!”
Sepasang mata Ang I Niocu yang
indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan
kekerasan!”
“Sudah kukatakan bahwa aku
mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan
suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada
gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada
pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan
pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula
tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang
di tangan!”
“Siapa takut kepadamu?!”
bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam.
Kam Hong Sin lalu berseru
keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu
balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena
selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkang-nya yang luar biasa
sehingga membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah
memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia lantas melakukan
desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam
yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu
mendesak terus sehingga Kam Hong Sin benar-benar merasa terkejut dan kagum.
Sudah lama ia mendengar bahwa
ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama dia
ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini
keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki kesempatan untuk mencoba
ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa dia
mengandalkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran
karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini,
maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai
dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia tidak
mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat menciptakan ilmu pedang ini
Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai
yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil mengeluarkan ilmu
silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam
yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin
merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke udara
sambil berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan tersebut ia
melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari
serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam
Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah
kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang
ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan!
Ang I Niocu cepat mengelak dan
ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja pedang itu
dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan
main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan
baru dia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang
dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya.
Dengan tali panjang itu, maka
pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa
kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu
tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang
mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya pada waktu
menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai
mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang
aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu
pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali dengan serunya dan
kali ini karena mengandalkan pedangnya yang sering kali diluncurkan untuk
menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I
Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu.
Dia merasa seakan-akan Kam
Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang
terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah
disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pun
pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin
ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat
mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Akan tetapi, walau pun Ang I
Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya
benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I
Niocu, di dalam hatinya tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan. Ia melawan
dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat sehingga sukarlah agaknya bagi Kam
Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.
Diam-diam perwira itu mengeluh
karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya,
maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan tugas yang sedang
dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih
berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin
memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tidak
lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain
ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur
dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju
Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan
berkata,
“Ang I Niocu! Mengapa kau
memusuhi Kam-ciangkun pula?”
Melihat datangnya tiga orang
ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata masing-masing dan
melompat mundur.
“Ang I Niocu!” seru pula Ceng
To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan
Kam-ciangkun?”
Sementara itu, Ceng Tek
Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini
adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan musuh kita!”
Kam Hong Sin tersenyum.
“Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat
itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”
“Apa...?” Ceng To Tosu dan
Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak
percayaan.
“Lihat saja, dia telah
mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau mengembalikan
pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba Sie Ban Leng
mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak
tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang
itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang
berarti kau akan mendapat bencana.”
“Aku tidak hendak menyerahkan
pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.
“Memang kau tidak tahu budi!
Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud
baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan
gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu
menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng,
manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat mukamu
sendiri! Kau seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah membuat
kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu
malu!!”
Ang I Niocu teringat akan
cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi biang keladi
kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi panas dan
kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut
sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau
berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat,
yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan
menyambar kepala Ang I Niocu.
“Akan kubalaskan sakit hati
mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan
menyerang dengan hebat.
Pedang Liong-cu-kiam yang
tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng.
Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat
dari pada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut
dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To
Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi
ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa
mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru
sambil menerjang.
“Ang I Niocu, lepaskan pedang
Liong-cu-kiam itu!”
Akan tetapi, jangankan baru
dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan
merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main
hebatnya hingga sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak hebat!
Dia mainkan ilmu pedangnya
Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang
Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang
bagaikan air hujan itu! Dia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja,
tanpa dapat membalas sedikit pun juga…..
********************
Sementara itu, Cin Hai yang
ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit goa, setelah
membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api
unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang
ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba
pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.
Tiba-tiba ia melihat dua benda
yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas
lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena
jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan
lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya
hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata
binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia terpaksa harus menghadapinya
dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali dalam keadaan
demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila binatang itu berbisa! Akan
tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata yang mencorong itu, tidak
bergerak-gerak dari tempatnya meski pun sinarnya yang mencorong itu tertimpa
cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.
Apakah gerangan benda itu? Untuk
beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu
jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh
jadi binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu
masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun dia masih ragu-ragu
karena memang ada juga binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak
bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama menunggu, timbul pula
keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak maju lagi dengan pedang
siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima
kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang
mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.
“Tingg…!”
Ujung pedangnya berdenting dan
benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu adalah dua potong batu
yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu
bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu
itu bercahaya indah sekali.
Hatinya berdebar keras. Inilah
sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan semakin banyak
batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas
dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk-tumpuk
sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu,
tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali.
Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Dia membawa dua buah
batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari sebutir telur ayam, lalu
ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat
Ang I Niocu dan lalu melompat turun.
Ia mengeluarkan dua buah batu
itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah
batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya sangat indah. Dua
butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apa lagi yang masih
bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat
tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada langit-langit itu tertutup
kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari
keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia
lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah
olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat orang sedang
mengeroyok Ang I Niocu yang berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah
dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau
saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian
tergesa-gesa, tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat
dan mengintai ketika dia keluar dari goa itu!
Begitu tiba di tempat
pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”
Dan pedang Liong-cu-kiam di
tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan
main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu
pedang sehebat itu.
“Hai-ji, mereka hendak
merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya
pemuda itu.
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban
Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang
telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras,
rebab itu terbelah dua!
Sie Ban Leng terkejut sekali,
bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin
Hai.
“Siapakah kau?” bentaknya.
“Kau masih ingat kepada Sie
Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”
Pucatlah wajah Sie Ban Leng
mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah
Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya
itu! Dan sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, pedang Liong-cu-kiam
di tangan Cin Hai telah menyambar dengan cepat. Maka robohlah Sie Ban Leng
dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa
gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main
kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali dan memutar pedangnya
secara hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun Cin Hai. Maka, secara
berturut-turut datanglah beberapa orang perwira kerajaan yang mempunyai kepandaian
tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari
sepuluh orang!
Akan tetapi, Ang I Niocu dan
Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela
diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali
mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan
Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih
berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan
orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang
Hwesio!
“Pendekar Bodoh, hayo kau
serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang
dan menyerang Cin Hai.
Melihat kedatangan rombongan
yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah merah itu, Cin Hai
kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para
perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera
menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan
dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak
dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek
Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para pendeta Mongol
itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu
sehingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu
Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!
Memang di antara kedua
golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api
diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang
lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan
Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
“Niocu, harta pusaka itu
benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu
dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam
terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I
Niocu yang memandangnya dengan kagum.
“Kalau kau suka, ambillah,
Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.
Ang I Niocu menerimanya, akan
tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini
untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang bagaimana baiknya,
Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, malah pihak
Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa
mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah mendengar banyaknya
harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan
tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Lebih baik kita membuat
laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang Liong-cu-kiam
ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula tentang harta
pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”
“Mengapa hanya aku yang harus
menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.
“Tidak, kau pergilah sendiri.
Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan sampai didapatkan
oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain,
kita tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Cin Hai mengangguk-angguk, dan
bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau
perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat menghadapi bahaya. Tempat ini
penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu tersenyum,
kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu mencabut
pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
“Pedang ini cukup baik dan
kuat. Kau lihatlah!”
Ang I Niocu mengayun pedangnya
membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan
mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam (pedang pusaka) yang
bagus!”
Cin Hai lalu berangkat menuju
ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana dulu dia
mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di
Lan-couw untuk menjaga serta mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan harta
pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan
dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau tidak hendak makan dan
beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di tempat itu, seakan-akan
ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah
beberapa lama, tetapi sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan
lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di
sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu
seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia ingin lewat
terus saja, akan tetapi pada waktu melihat beberapa orang dusun memikul sebuah
orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia
menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.
Ia menduga bahwa persamaan
wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan hal yang
kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya gambar
siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si keparat Hai Kong.”
Cin Hai tertarik sekali dan
ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan
mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki
keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang
dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu
digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai
Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang menyatakan kemarahan
mereka.
Kemudian beramai-ramai semua
orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta menghujani dengan
senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur,
kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran
dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan
semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan
ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat lagi menahan
keheranannya, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di
belakang dan juga ikut bertutut,
“Lopek, mengapa kalian demikian
membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”
Kakek itu memandang kepada Cin
Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar
dusun, ia lalu menjawab,
“Siangkong, ketahuilah. Dulu
di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang
mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini.
Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur
melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita
itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih
sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah mengorbankan nyawa demi
pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan peringatan untuk menghormati
jasanya itu.”
Cin Hai merasa amat tertarik
mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar wanita yang gagah dan
mulia itu?”
“Entahlah, kami juga tidak
tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi
senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja
senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Oleh karena tertarik, Cin Hai
lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang
merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian memandang.
Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna
merah dan sebatang pedang.
Ia melangkah maju untuk
memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal senjata-senjata
itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun pedang itu adalah
pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan
kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut bersembahyang
bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda
itu pun memberi hormat!
Selesai bersembahyang, Cin Hai
segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar
cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang
pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang
cantik, dia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio sudah tewas di
dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak melihat bahwa Hai Kong
Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia semakin merasa dendam
dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tidak pernah bermimpi
bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup
dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Dia lalu melanjutkan
perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih
ini kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa berduka sekali
mendengar tentang matinya gurunya dan suci-nya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, dia
telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li
saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat
serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat,
Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar
kemudian mengintai.
Ketika rombongan itu telah
datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata
itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tidak salah
lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian
hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal
sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas
terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan
menyeramkan sekali.
Dan yang lebih mengherankan
hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah
rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, hanya berjalan
sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah
orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin Hai Kong
Hosiang!
Cin Hai memandang rombongan
itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang
dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang
pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana
hitam dan tidak bersepatu!
Wanita ini nampak aneh karena
walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan meski pun
pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang
mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang sangat panjang dan
indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat wanita tua
itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun agak di atas.
Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.
Cin Hai menjadi bengong dan
terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup mengalahkan serta
menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak percaya, akan tetapi
semua yang dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!
Dari perasaan heran Cin Hai
menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam,
memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, kemudian melompat keluar sambil
berseru,
“Hai Kong keparat! Kau berani
menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung menerjang mereka.
Semua orang sangat terkejut
melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang
bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol
berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali
bentrokan saja senjata kedua orang itu langsung terpental jauh, terlepas dari
pegangan!
Cin Hai hendak menyerang Hai
Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar suhu-nya berseru keras,
“Cin Hai, tahan pedangmu!”
Suara ini menyiram api yang
membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhu-nya dengan
heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?”
“Jangan sembarangan turun
tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau
pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”
“Lin Lin... kenapa dia,
Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.
Dan aneh sekali, Bu Pun Su
menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat
suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”
Cin Hai mendengar suara ketawa
bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih
tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia menggerakkan pedangnya
menusuk dada hwesio yang jahat itu.
“Akan tetapi, Suhu...,” ia
mencoba membantah.
“Diam! Dan jangan banyak cakap
lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.
Dengan kepala tunduk dan
beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh,
kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin
Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung pada Suhu-mu apakah
ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main
dengan kami apa bila menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!”
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak hingga menggema di dalam hutan itu.
Dari suara tertawanya saja
membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda
sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih
jauh dari pada cukup untuk mengalahkan suhu-nya!
Dia tidak berani membantah
perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia
merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat
menuju ke Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.
Cin Hai berlari cepat,
mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali.
Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat
tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar
sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja
ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang
terjadi pada diri kekasihnya.
Sesudah menetapkan hatinya,
dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak
raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini
mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di
hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena
tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke dalam kamar
tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah
telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di
atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening.
Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan
menguatkan hatinya.
“Lin Lin...!” akhirnya dia
dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan
kekasihnya.
Ternyata bahwa Lin Lin hanya
pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah. Tidak
ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat
pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari
tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu
telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main marahnya Cin Hai.
Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan musuh? Cin
Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya
begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera
memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup
menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka semua dengan
taruhan jiwa.
Biar pun andai kata suhu-nya
akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya pada
Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah
menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang
lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu
berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.
Akan tetapi, ketika dia tiba
di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat
dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti
berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,
“Lin-moi... Lin-moi... kau
kenapakah...?”
Untuk sejenak Lin Lin tak
menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari mimpi,
lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di
dada pemuda itu.
Cin Hai mendiamkannya saja dan
sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya itu,
didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa
heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya
wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan
bertanya lagi dengan wajah kuatir,
“Lin-moi, kau kenapakah?”
“Hai-ko, syukur sekali kau
keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”
Cin Hai mengangguk. “Aku tahu
bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak
menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan
mereka!”
“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu
sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong
jiwaku.”
Terkejutlah Cin Hai mendengar
ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek pada saat
ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”
Lin Lin menarik napas panjang
lalu bercerita seperti berikut.....
********************