Pendekar Bodoh Jilid 36-40

Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka.
Pendekar Bodoh Jilid 36-40

Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa dia lalu menuju ke barat oleh karena dia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.

Pada suatu hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.

Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.

Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.

Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.

Ia bisa menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.

Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?

Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia menengok!

“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.

Orang itu tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.

Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!

Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,

“Aku hendak berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”

Dia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,

“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”

Ucapan yang diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!

Lelaki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.

“Kau pandai berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik dari padamu!”

Pada saat itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.

“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.

Akan tetapi dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,

“Ahh, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”

Bukan main terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.

Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.

“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.

Pemuda ini merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!

Sesudah Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!

Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!

Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.

Sesudah dia melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang.

Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.

“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu!

Dia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!

“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.

Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!

Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.

Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.

Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!

Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.

Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.

Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!

“Yousuf sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”

Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.

Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.

Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.

Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?

Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,

“Memang sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”

Tiga orang kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.

“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok.

Kini Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!

Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.

Sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,

“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”

Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!

Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”

Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,

“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin Hai.

Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!

Kemudian dia menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,

“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.

Kini terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!

Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga masih tetap duduk dengan tenang.

“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.

“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”

Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali, maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.

“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”

Cin Hai pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.

“Ahh, kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.

“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”

Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,

“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”

“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai, senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!

Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!

Tak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!

”Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”

Sambil berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!

Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!

“Ha-ha-ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa bila hinggap di kepalamu!”

Biar pun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.

Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,

“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.

Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian ketakutan!

Dengan perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.

Empat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!

Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,

“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”

Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.

Betaoa banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.

Malam itu terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.

“Yousuf! Kau keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.

Tiba-tiba saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,

”Kawanan penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”

Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya itu.

Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali…..

********************

Marilah kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.

Sambil menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.

Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!

“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di tangan.

“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati

“Kami hendak menawannya!”

Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!

“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”

Orang-orang Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.

Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.

Mendadak terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!

Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,

“Kong-ciak-ko, kau tahan mereka!”

Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!

Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!

“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.

“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.

“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”

Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.

Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.

Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.

Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak menyerang.

Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.

Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,

“Lin Lin, anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”

“Tidak, tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”

Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.

Lin Lin lalu menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun pedangnya hanya sebuah, akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang itu seakan-akan berubah menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti sudah menyambar keluar dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.

Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia lalu mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok dengan kaki kirinya.

Akan tetapi tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.

Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,

“Moi-moi, jangan kau takut, aku datang membantumu!”

Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar pedangnya makin hebat dan bersemangat sambil berteriak,

“Koko...!”

Sementara itu, empat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.

“Tikus kecil, kau berani muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.

“Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak.

Biar pun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan sinarnya menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.

Pada waktu Kanglam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?”

Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”

“Ha-ha-ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”

Bukan main terkejut dan herannya ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan gundul itu, dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!

Biar pun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula karena ilmu pedang Lin Lin belum begitu sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, sehingga keadaan keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun membantu lagi!

Yousuf yang menderita sakit karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya berhubung dengan jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.

Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara itu dan tak akan terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya oleh karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!

Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!

“Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan segera menawannya.

“Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!

Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa gelisah sekali.

Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!

Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,

“Paman Yousuf, mari ikut aku!”

Yousuf memandang dan ternyata nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika dia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang cepat-cepat menggendongnya dan membawanya lari ke dalam gelap!

Sementara itu, penolong yang datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini semut-semut kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan berani mengeroyok seorang nona manis? Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!

Bukan main herannya hati Cin Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoat-sut!

Menghadapi Cin Hai berdua Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apa lagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat bertahan saja.

Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin!

Serangan ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik sekali sehingga Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang dirinya, tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!

Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.

“Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi menghilang.

Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tidak nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!

Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali sehingga biar pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya.

Sebaliknya, orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tidak pernah tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran selama setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan mereka tetap berlarian melewati hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka yang mau mengalah!

Sementara itu, ketika pada esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di depannya.

Kedua burung ini sudah mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau melihat betapa burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan dia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu dan mencabutnya. Memang dia sudah mendapat latihan-latihan untuk melakukan pertolongan sehingga dengan mudah dia dapat mengeluarkan pisau itu.

Melihat perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik, maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya sudah tercabut, keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang berputar-putar mencari jejak majikan mereka…..

********************
Ang I Niocu, Kwee An serta Ma Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata golok.

Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya sudah roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.

“Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu.

Ketiga orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah sangat terdesak, apa lagi kini datang tiga orang muda membantu kakek itu!

Ketika melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, Nelayan Cengeng tertawa gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma Hoa pada waktu gadis itu berlutut di depan suhu-nya, mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi sepasang matanya mengalirkan air mata!

“Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, apa bila tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin aku akan pangling!”

Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya ke lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan puing belaka sehingga dia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam hutan itu, dia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya sehingga dia mempermainkan mereka dengan gembira, tak mengira sama sekali bahwa di situ dia akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.

“Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu sedang dikejar-kejar oleh orang Turki. Di mana mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seolah-olah baru saja kembali dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menduga bahwa kau masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinanku bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan Thian!”

Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dapat tertolong dari pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali dia tidak menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika dia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa dia mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang telah mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.

“Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku telah terdesak hebat dan terancam bahaya maut, Si Botak itu yang datang menolongku. Dan sekarang, kembali dia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima kasih padanya. Kini kau perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”

Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia segera mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga kedua batang bambu yang berwarna kuning itu merupakan sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum luar biasa. Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya kembali tertawa dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!

“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang sudah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I Niocu dengan sejujurnya.

“Ah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjuk darimu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.

Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai secara terpisah agar lebih banyak harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.

“Biarlah Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.

Biar pun Ma Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun ia anggap usul ini betul juga.

“Akan tetapi kita harus menentukan tempat berkumpul kembali supaya kita tidak saling mencari tanpa mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” Nelayan Cengeng berkata.

Lalu mereka mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada waktu mereka hendak melanjutkan perjalanan secara terpisah, tiba-tiba mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara itu datang.

Pada waktu itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tak terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!

Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia kira-kira empat puluh tahun lebih. Dia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang memiliki empat tali. Gerakannya sangat hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang!

Lawannya juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan setiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api lalu memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!

Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai yang dahulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga keluarganya terbinasa! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu, yaitu seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!

Makin bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian kaisar memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan ialah seorang yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah suatu tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, karena itu dia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!

Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, Sian Kek Losu turut pula melakukan perjalanan ke barat untuk melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.

Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan tak pernah berhenti menyerang karena setiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu membuat gerakan melengkung lantas terus membabat dan memukul lagi hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi sehingga membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat.

Tiba-tiba saja pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang lalu dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus lantas melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!

Terkejutlah Nelayan Cengeng beserta kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang Han itu. Betapa pun juga, dan biar pun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini merupakan watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.

Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi. Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah.

Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam oleh panah sudah terhindar dari bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa sehingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah ke mata dan tenggorokannya, dengan suara keras lantas beradu dengan senjatanya.

Sebatang anak panah dapat dipukul jatuh, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di perut alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri paling depan.

Dengan tenang Ang I Niocu segera memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai ke bawah dan sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.

“Kau berani merusak alat musikku?!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.

Kalau pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek Losu sudah siap sedia. Walau pun dia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya sanggup menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, dia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, sekali ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya sehingga saat gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!

Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan mendesak terus. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai. Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan berkata,

“Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan dia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.

Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi dia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu tidak akan kalah.

Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”

Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau balau karena biar pun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki. Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di dalam gelap.

“Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara menyatakan kebanggaannya.

Mendengar kata-kata serta melihat lagak Sie Ban Leng ini, diam-diam Nelayan Cengeng merasa tak suka, apa lagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan mata terbelalak kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin laki-laki ini tidak bersih.

“Cuwi gagah perkasa sekali dan kalau Cuwi tak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku dapat merobohkan mereka seorang demi seorang,” kata Sie Ban Leng sambil mengerling kepada Ang I Niocu.

Kwee An dan Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau saja mereka tahu bahwa orang yang sudah dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka mau turun tangan.

“Ha-ha-ha, pendeta pendek tadi adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak tahunya hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau kawan-kawannya tidak keburu datang mengeroyokku, pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!” Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh dibuat permainan!”

Biar pun ucapan ini seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa maksudnya adalah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang I Niocu yang merasa sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada Nelayan Cengeng,

“Lo-enghiong, mari kita lekas keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”

Juga Kwee An dan Ma Hoa kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak hingga keluar air matanya ketika dia bertindak pergi meningalkan Sie Ban Leng sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi kalau kau berdiri di tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau akan tergelincir jatuh!”

Sie Ban Leng merasa penasaran sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang cantik bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka telah pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari jauh dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri dan berpisah dari tiga orang yang lain, hatinya girang bukan main dan diam-diam dia lalu mengejar Ang I Niocu!

Ada pun Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di sepanjang jalan mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.

“Dulu aku pernah mendengar nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu dia menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap Garuda. Akan tetapi kemudian dia lalu menjelajah ke daerah barat. Mungkin dia inilah orangnya!”

Ma Hoa sendiri biar pun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena semenjak kecil lebih sering berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu silat, maka ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.

Ketiga orang ini segera melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi yang terbanyak adalah suku bangsa Hui. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Kansu, yaitu Lan-couw yang besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari Turki yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya dari daerah ini…..

********************

Cin Hai terus mengejar pria pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Dia merasa heran sekali karena biar pun ilmu ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya, padahal orang itu berlari sambil mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya karena telah tertotok secara lihai sekali!

Akan tetapi ia tidak mau kalah dan andai kata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekali pun, ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul ketika mereka masih saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang kering dan luas.

Akhirnya, orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri, terus dikejar oleh Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah, akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin di dalam pelukan lengan kirinya, dia menunggu dengan mulut tersenyum akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!

Cin Hai berlari dan melompat ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak hendak melepaskan gadis itu?”

“Ehh, bocah kurang ajar, kau ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak tahu bahwa kini kau tengah berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang berarti akan mendatangkan maut bagimu apa bila kau menentangnya? Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini? Kuperingatkan kepadamu agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”

“Orang rendah! Ternyata yang kau hias hanya mukamu saja sehingga biar pun di luar kau nampak cakap dan bersih, tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang rendah, buruk dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi jangan kau kira bahwa aku takut kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tak pernah takut menghadapi seorang penjahat, betapa pun gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau kau masih sayang jiwamu sendiri!”

“Ha-ha-ha! Masih baik kalau kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau memang pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh karena tidak tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik jelita dan manis, ada pun aku seorang laki-laki yang gagah dan tampan, maka sekarang aku menawannya dengan maksud apa? Tentu saja, kau akan mengerti sendiri kalau saja kau tidak sedemikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini sebagai isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang sejak dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah mendengar maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan jangan mencari penyakit dengan ikut mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Bangsat cabul!” Cin Hai memaki marah bukan main. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini ialah tunanganku! Siapa sudi untuk mencampuri urusanmu yang kotor? Kau lepaskan tunanganku ini dan baru aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”

Mendengar ucapan ini, berdirilah kedua alis orang itu. Hidungnya yang mancung itu lalu berkembang-kempis, dan meski pun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai melihat betapa sinar matanya bernyala-nyala bercahaya.

“Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba saja orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya berkelebat, ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari lengan tangan orang itu mengepul uap putih.

Melihat betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan dia segera melawan dengan Pek-in Hoat-sut juga! Orang itu terkejut sekali melihat gerakan Cin Hai ini, dan cepat ia merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna. Akan tetapi kembali ia terheran sampai mengeluarkan suara tertahan ketika Cin Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang sama pula!

Kembali orang itu merobah ilmu silatnya dengan berbagai macam pukulan yang lihai dan permainan silat pilihan yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam gerakan tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.

“Ehg, ehh tahan dulu!” kata orang itu sambil melompat ke belakang.

“Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri tenang dan memandang tajam.

“Kau yang mengerti Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan, siapakah kau dan siapa pula Gurumu?”

“Aku pun sedang terheran-heran melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku bertanya, kau sudah mengajukan pertanyaan lebih dahulu, maka dengarlah baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhu-ku ialah Bu Pun Su!”

Untuk sesaat wajah pesolek itu menjadi pucat dan dia memandang seakan-akan melihat setan, namun dari sinar matanya mengandung ketidak percayaan.

“Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.

“Bukan hanya aku, bukalah lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kau tawan itu pun seorang murid Suhu Bu Pun Su pula,” kata Cin Hai.

Tiba-tiba berubahlah wajah orang itu. Dia tersenyum dan tiba-tiba dia mengangkat tangan dengan girang. “Kalau begitu, kau adalah Sute-ku dan gadis ini adalah Sumoi-ku! Lebih baik lagi! Sute, dengarlah bahwa Bu Pun Su adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena aku adalah murid dari Guruku Han Le!”

Cin Hai merasa terkejut sekali dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.

“Hm, hmm, kalau begitu kau benar adalah Seheng-ku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan tentang kau. Siapakah namamu?”

Sambil tertawa orang itu berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau pernah memberi pelajaran beberapa ilmu kepadaku, dan sekarang aku perintahkan agar supaya kau tinggalkan aku dan Sumoi!”

“Apakah yang hendak kau perbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.

“Sute, dengarlah baik-baik. Sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, kau harus mengalah padaku. Sumoi-ku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil untuk menjadi isteriku. Terus terang saja, semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar kepadanya.”

“Tapi dia adalah tunanganku!” kata Cin Hai penasaran.

“Sute, sudah selayaknya apa bila seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suheng-nya belum kawin, mana sute-nya boleh bertunangan? Kau mengalahlah padaku kali ini, Sute. Biar lain kali aku mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”

“Aku tidak mempunyai seorang Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan sangat marahnya. “Kalau kau tidak mau melepaskan Lin Lin, biarlah kita mengadu jiwa di tempat ini!”

Kedua mata Song Kun berkilat. “Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah sombong! Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu, jangan harap kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”

“Jangan banyak cakap dan kau cobalah saja!” seru Cin Hai sambil melangkah maju.

Bukan main marahnya Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang sudah berada di tangan itu. Cin Hai terkejut bukan main melihat pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa panas!

Inilah pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi pedang pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini jatuh ke dalam tangan Song Kun, maka seakan-akan dia menjadi seekor naga yang tumbuh sayap!

Cin Hai juga mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan menerjangnya, dia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut sekali melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biar pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng juga lihai sekali.

Dan oleh karena tangan kirinya masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali. Apa lagi ketika selain menggerakkan pedang untuk menyerang, Cin Hai juga menggunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya!

Song Kun lantas memutar-mutar pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu dengan pedang Cin Hai. Akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan memperhebat serangan tangan kirinya.

Pada suatu kesempatan, tangan kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya dan dalam keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat tangan kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke dalam sebuah jurang yang curam!

Cin Hai menjerit ngeri melihat betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu dipergunakan oleh Song Kun yang telah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke arah dadanya, dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir Mendung dengan tangan kirinya, sedangkan pedangnya diangkat untuk menangkis.

Dua batang pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia diserang tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi korban serangan berbahaya dari Song Kun Yang lihai itu.

Song Kun tertawa girang dan penuh ejekan, kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga Cin Hai terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna untuk menghadapi lawannya yang lihai bersilat dengan tangan kosong.

Pada saat itu pula, dari jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun Su! Kakek ini langsung melompat ke tempat pertempuran dan sekali dia mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di tangan Song Kun kena tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan dia melompat ke belakang dengan kaget sekali.

“Suhu...!” kata Cin Hai dengan girang sekali sebab melihat betapa suhu-nya telah berhasil menolong Lin Lin. Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.

“Ahh, kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada dan dia tidak mau memberi hormat sama sekali terhadap supek-nya itu.

“Song Kun kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” berkata Bu Pun Su dengan suara kereng.

Song Kun tersenyum dengan penuh ejekan dan kesombongan.

“Teecu tidak tahu akan maksud ucapan Supek ini,” jawabnya.

“Orang tersesat! Baiknya Suhu-mu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun, perbuatanmu yang rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum mau mengakuinya? Kau menculik seorang gadis dan walau pun kau sudah mengetahui bahwa dia ini adalah seorang Sumoi-mu sendiri tetapi kau masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”

“Teecu mencinta dia, apakah salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta seorang wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, hal ini adalah urusan orang-orang muda dan orang tua tidak berhak mencampurinya!”

Ucapan ini benar-benar kurang ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa dua tangannya gatal-gatal hendak turun tangan menyerang suheng yang jahat itu.

“Sesudah Suhu meninggal, yang berhak mengajar teecu hanyalah seheng-ku, Lie Kong Sian seorang! Akan tetapi, kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu, silakan, teecu sedikit pun tidak merasa takut!”

Kalau kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima tantangan ini, tentu dia akan menjadi marah dan tak bersabar lagi. Akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak tega untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid sute-nya.

“Song Kun, Suhu-mu dahulu sudah keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada tubuhmu. Akan tetapi, jika kau hendak memaksa dan melanjutkan niatmu ingin menculik muridku perempuan ini, kau majulah dan boleh kau coba-coba kepandaian Supek-mu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su melangkah maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.

Kalau saja Song Kun mengangkat tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan tercapai oleh ujung pedang. Akan tetapi Song Kun tidaklah sedemikian bodoh untuk melakukan hal ini.

Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang memancing-mancing agar ia turun tangan lebih dulu hingga kakek ini mempunyai alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi dia mengeluarkan ucapan menantang, itu hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya kembali.

“Supek, dunia bukanlah sebesar telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik, maka untuk apakah teecu harus berebut seorang gadis dengan Supek-ku sendiri? Ha-ha-ha, ini amat menggelikan dan akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut perempuan ini, biarlah kalau Supek menghendakinya, dia boleh diambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai dengan pandangan mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi Seheng-mu, maka awaslah kau! Lain kali bila kita bertemu, jangan harap aku akan dapat mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian tubuhnya berkelebat dan lari turun dari bukit itu!

Bu Pun Su menghela napas. “Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah mati oleh karena perbuatan muridnya itu! Ahh, begitulah kalau guru salah menerima murid. Tidak heran bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau sudah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun dan betapa hebat pedang Ang-ho Sian-kiam itu sehingga Liong-coan-kiam sendiri sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan membuktikan ancamannya, maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin berada dalam bahaya, maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam ilmu silatnya sehingga cukup kuat apa bila kelak bertemu dengan Song Kun.”

Kakek itu lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali dan berlutut di depannya.

“Lin Lin, kalian sudah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri apa bila tidak mempunyai pedang yang mampu melawan Ang-ho Sian-kiam, agaknya akan sukar sekali untuk dapat merobohkan dia. Maka, sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara ratusan buah goa yang terdapat di Kansu, yaitu goa-goa Tun-huang, di situ terdapat sebuah goa yang menyimpan sepasang pedang mustika yaitu Liong-cu Siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan dengan Ang-ho Sian-kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Goa Tengkorak.”

Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa dia hendak mentaati perintah suhu-nya itu. Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin sesudah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan mata yang mesra.

Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentosa melebihi dari pada dalam pelukan ibu sendiri!

Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan tetapi, kebetulan sekali dia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu dan dia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Dia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, dia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh sekali hingga dia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang ditinggalkannya di dalam hutan.

Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf, kemudian mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana.

Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan di samping Sin-kong-ciak, di situ terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu sehingga kedua burung sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Goa Tengkorak.....

********************

Cin Hai melanjutkan perjalanannya hingga masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini merupakan daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai, dan pada sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia.

Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu juga dimulai dari Propinsi Kansu ini dan terus memanjang menuju ke timur. Bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kansu.

Propinsi Kansu memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota ada Bukit Pagoda Putih dan Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur pada sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini. Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi mutunya.

Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Goa-goa Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan budaya kuno. Goa-goa ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Buddha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.

Tidak heran apa bila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri. Dan yang terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.

Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan pelan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri.

Tiba-tiba dia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka dia segera menghampiri arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah orang Turki yang sedang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya.

Orang Turki itu sudah tua dan dia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan saat dia meniup sulingnya semakin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah kepala seekor ular yang sangat besar! Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke atas.

Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar berupa sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya pun bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling!

Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Hati Cin Hai tidak tertarik melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan diam-diam dia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.

Pada saat dia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Dan kiranya pada bagian itu, juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu.

Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup dengan pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut!

Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!

“Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tidak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah arca Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku hingga kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, sehingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kansu ini pinceng bisa melembungkan perut sebesar-besarnya agar supaya dapat menikmati segala macam makanan. Bahkan daging unta pun dapat masuk ke dalam perutku!”

Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-geleng kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Meski pun dahulu kedua orang ini pernah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!

“Akan tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi.”

Sambil berkata demikian dia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka bagaikan mau menangis. Tidak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati sehingga kembali orang-orang tertawa bergelak.

“Jangan Cuwi mentertawakan Suheng-ku ini,” berkata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang mempunyai kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!”

Terdengar seruan-seruan tidak percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara seorang penonton mencela.

“Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.

“Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akan kutusukkan padanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek.

Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Pada saat Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikit pun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tidak percaya pada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini?

Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu biar pun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.

“Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Seheng-ku ini, pinceng tidak berdaya.”

“Lihai sekali...,” semua orang berseru.

Hwesio gendut itu lalu menjura sambil berkata, “Pertunjukan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.

Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian dua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biar pun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat dia kagum dan tak mengerti.

Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.

“Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”

Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.

“Ahh, ahh, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?”

Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau bersama Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”

Cin Hai terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?”

“Thian melindungi orang-orang baik,” hwesio gendut itu berkata, “maka kami terdampar oleh ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”

“Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”

“Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.

Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji.

Akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, “Dengan pisau yang sengaja kami buat secara khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”

Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadi pun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah menggunakan ilmu sihir!”

Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!

“Ah, ahh, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tiada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!”

Ceng To Tosu juga berkata, “Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang. Akan tetapi coba kau tekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!”

Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan pada saat dia menekan, ternyata pisau itu apa bila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Sungguh sakti.....

Demikianlah akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!

Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Dia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan padanya.

“Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan sebuah tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.

“Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”

“Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua sekarang telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, yaitu Kam-ciangkun, adalah orang gagah yang budiman, maka kami berdua mau membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”

Cin Hai mengangguk. “Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah jika memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti semua panglima yang busuk dengan orang-orang yang betul-betul gagah dan budiman.”

“Memang kata-katamu ini benar sekali, Taihiap, apa lagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar.”

Cin Hai terkejut. “Apa maksudmu?”

Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke wilayah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dahulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga sangat mencurigakan sehingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kansu dan di samping kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”

Cin Hai mengangguk-angguk maklum kemudian berkata, “Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kalian berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”

Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia.”

Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.

Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, Cin Hai berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput. Di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali.

Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, dia merasa sangat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, dia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan. Juga pertemuannya dengan kakek gagu di goa yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.

Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa dia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup menirukan lagu kakek tadi!

Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat sehingga biar pun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.

Tidak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal di dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang sambil berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu kedua ular itu telah berada di hadapannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!

Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, kemudian dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!

Cin Hai berseru keras kemudian menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!

Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri dan dia mulai menjadi marah. Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini sudah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya.

Ia tidak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai sudah marah karena tadi benar-benar dia dikejutkan oleh kedua binatang itu.

Dia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.

Akan tetapi ular itu betul-betul gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Pada waktu ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,

“Jangan bunuh mereka!”

Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.

“Menawan ular seharusnya bukan dipukul dengan senjata,” katanya pula.

Ia kemudian menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit!

Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga, dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya sambil meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.

Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat.

Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dalam keadaan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling pada Cin Hai sambil tersenyum.

“Sepasang ular sendok jantan dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”

Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali berbicara dalam bahasa Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”

Kakek Turki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”

“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”

“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”

Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,

“Anak muda, harap kau jangan menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukan anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.

“Ehhh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat membaca apa yang sedang kupikirkan?”

Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya.

Ular ke dua pun diperlakukan demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih sering kali menjulur-julur keluar. Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.

“Taihiap, aku bisa menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”

Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.

“Dia sudah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari dia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”

Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin sudah tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam ilmu silatnya,” katanya dan kemudian segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”

“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”

Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku, Locianpwe.”

Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”

Mendengar ucapan ini, Cin Hai lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka dia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

“Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?”

Kakek rambut putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku gelisah. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”

Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya mengenai pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu lalu berkata,

“Memang semenjak dulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki pada waktu orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!

Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini semakin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kansu.

Diam-diam hatinya berdebar tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kansu terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan menimbulkan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!

Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu!

Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!

Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba saja Cin Hai yang masih meniup sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup!

Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!

Laki-laki itu ternyata hanya duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu. Agaknya dia adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Sesudah lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,

“Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”

“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.

“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.

“Ahh, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.

Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!

Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat bicaranya, menunjukkan bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan.

Yang sangat mengherankan hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya!

Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.

Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan tangkisan hebat itu!

Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!

Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, dia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, dia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta bila mungkin, mencari Cin Hai juga.

Dia telah mengambil jalan sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai. Sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, ada pun Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.

Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada dalam kamarnya!

Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.

Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala tengah menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.

Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!

Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak peduli terhadap mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu segera berkata kepada suheng-nya,

“Inilah seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, dia pun membentak,

“Mata-mata kerajaan, kau mau lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!

Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat dia lalu mengenjot tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu terus meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini, mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!

Para penggembala menjadi kaget sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang kini berlari-larian itu!

Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!”

Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru!

Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah berada pada tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.

“Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu.

Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras dia segera maju menerjang dan membantu sute-nya.

Hati Ang I Niocu terkejut melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Dia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.

Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok sampai lengannya terasa kesemutan.

Pada saat itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!”

Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapa pun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, akan tetapi bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega.

Dia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.

Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala sehingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.

Sementara itu, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh rantai.

Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri.

Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika dia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.

Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti dia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.

Orang yang sedang mainkan senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus dicurahkan terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna.

Oleh sebab itu, setelah sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu semakin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang sudah diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!

Pada saat keadaan Ang I Niocu sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!

Sesudah melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.

“Ha-ha-ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”

Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!

Biar pun dia dapat mendesak Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya bisa melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja. Maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.

Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Apakah kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.

Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi betapa heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!

Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!

“Cobalah kau tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.

Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika dia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil berkata,

“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”

Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!

Ang I Niocu sendiri hanya berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa bergelak saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi sekaligus wakil Kam-ciangkun!

Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.

“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.

“Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!

Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah memperoleh perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, kemudian meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.

“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.

“Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.

Sebenarnya, yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat dia menjura sambil berkata,

“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”

Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan? Jika kita tak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.

“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah sekitar sini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”

Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?

“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”

Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, malah ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.

Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian menjawab,

“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada orang lain.” Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi ‘Lihiap’.

“Ahh, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.

“Kepadamu aku tidak memiliki rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan kepadamu bahwa kini aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun atas perintah kerajaan.”

Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”

“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kansu ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam dan sebelum mendapatkan bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”

“Inilah yang lagi kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”

Ang I Niocu merasa tertarik sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang sering kali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.

Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan wataknya cerdik…..

********************

Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan setiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.

Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.

Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk.

Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.

Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.

Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

“Orang-orang kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”

Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.

Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.

Cin Hai cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.

Sesudah mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya.

Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.

Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”

Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”

Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”

“Baiklah, Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari Yousuf.”

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”

Pada saat melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”

Terpaksa Cin Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!

Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran.

Tutup cawan itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?

Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

Ketika ia melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”

“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”

Wai Sauw Pu tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.

“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”

“Memang barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”

“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”

“Maling tua itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.

Mendengar ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.

Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja, paling banyak dengan sulingnya!

“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

“Ehh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”

“Sicu, ini merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”

“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”

”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”

“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!

Dengan sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!

Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!

Akan tetapi, tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!

Sebetulnya apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih jauh di bawah dia.

Akan tetapi ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!

Akan tetapi musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam.

Dia menjadi sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu harus berlaku waspada serta hati-hati.

Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar tembok kota, dia melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya dia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba dia dapat melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.

Pada saat itu dia mengalami dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!

Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dipimpin oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga ikut kelihatan bayangannya!

Akan tetapi dia tak mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,

“Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”

“Lihiap... tidak kasihankah kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya sudah hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosa. Akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.

“Cukup, tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang sangat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menebas batang lehermu!”

“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”

Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!

“Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!

Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...!” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.

Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.

“Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.

Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”

Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,

“Hai-ji, kau benar-benar sudah dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”

“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”

Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah dia mengenali laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.

”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,

“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”

Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?

Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba saja ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.

Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”

Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan Cin Hai juga langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.

Tidak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar. Bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.

“Niocu, sebenarnya mereka ini datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil menangkis serangan lawan yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.

“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.

“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.

“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.

“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”

Meski pun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.

Ternyata Ang I Niocu telah membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.

“Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.

Pada saat Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,

“Goa ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”

Sambil berlari-lari mencari goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.

“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa ini.”

Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di dalam salah satu goa-goa di Tun-huang ini.”

“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”

Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam goa yang besar itu.

“Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I Niocu.

Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka sudah mendorong-dorong dinding dan membersihkan lantai, juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil.

Cin Hai menjadi hilang sabar. Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.

“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau ceritakan semua pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”

“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan segera datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih melanjutkan memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”

“Apa?!” Cin Hai melompat memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”

Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?”

Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari ini!” dia berkata sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat…”

Tiba-tiba saja dia melompat bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan yang di atas?”

“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.

“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?”

Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera memeriksa lagi dengan lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukirannya. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.

“Ahh, aku tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada langit-langit dan di dinding.

“Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.

Benar saja, pada ujung kiri dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.

Meski pun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata bahwa ada setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini pada dinding goa dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.

“Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi biar pun tidak berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.

“Niocu, marilah kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.

“Awas!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru.

Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit goa. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di sebelah dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk menutupi rahasia ini.

Begitu pintu pada langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur turun sebuah barang. Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan main keduanya sudah melompat ke belakang sambil bersiap menghadapi segala serangan. Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi adalah tiba-tiba terdengar suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang ternyata ialah sebuah peti, jatuh menimpa lantai.

Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar maka untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.

“Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”

“Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil tertawa.

Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Pada saat tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari dalam peti dan ketika mereka sudah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu berisikan dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!

“Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.

“Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”

Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf ‘betina’!

“Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”

“Ehh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama dia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja dua pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”

“Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.”

Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.

“Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.

“Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!

Cin Hai sudah hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”

Keduanya segera bersembunyi sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat keluar dari dalam goa dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan.

Sesudah tiba di luar goa, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.

“Lebih baik kita simpan pedang ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.

“Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu yang besar.

Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi dia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Pada saat dia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,

“Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”

Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”

Cin Hai lalu menceritakan semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,

“Ah, Song Kun itu adalah Sute-mu yang jahat!”

“Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.

Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.

“Sute dia… ehhh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!”

Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,

“Menurut Suhu Bu Pun Su, pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”

“Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”

“Ahh, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”

Kemudian, Ang I Niocu lalu minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam, lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.

“Ahh, kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”

“Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.

“Hai-ji demikian besar kasih sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”

Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.

Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, memang hatimu mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”

Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka dia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”

Ang I Niocu mengerling padanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke goa itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan seharusnya ada di tempat itu.”

Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu.

Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan Liong-cu-kiam.

“Niocu, lubang di atas itu kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”

“Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali.”

Cin Hai menjadi tertarik sekali.

“Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tidak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”

Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas sebuah batu dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.

Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang.

Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang amat tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tiada hentinya menyerang ke wilayah pedalaman serta melakukan perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak barang berharga sehingga mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.

Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.

Akan tetapi, sesudah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu.

Karena tidak pernah menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.

“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.

“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.

Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan.”

“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”

“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam barang itu!”

“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”

“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan mala petaka belaka!”

Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”

Ang I Niocu tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di dalam goa ini!”

Cin Hai juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa itu terbuka, Cin Hai segera melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanannya untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian dia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.

“Ahh, gelap sekali, Niocu!” katanya.

“Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.

Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”

Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari goa. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut.

Perwira itu segera merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia segera mengejar dan berseru, “Nona, tunggu dulu!”

Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.

Perwira itu cepat sekali larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I Niocu dengan hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, yaitu seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya ternyata adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Dia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.

Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.

Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak kuat, sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul para anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat sangat genting sehingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

“Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”

Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula kerjamu di daerah ini?”

“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan.

Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis oleh orang sembarangan saja.

Akan tetapi bukan main terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!

“Eh, ehh, siapakah kau yang lihai ini?!” teriaknya.

Akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah kau siapa adanya aku?”

Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak boleh dibuat gegabah.....

Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang perwira muda itu betul-betul membuat Ang I Niocu tertegun oleh karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja sehingga setiap serangan dari Pek-in Hoat-sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.

Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.

“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”

Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.

“Ahh, ahh, tidak tahunya siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”

“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.

“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”

Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.

“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?”

Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,

“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

“Ciangkun, di dunia kang-ouw ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”

Kam Hong Sin tersenyum, kemudian berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai orang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte tetap masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.

“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”

“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah marah.

Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak memiliki dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”

Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”

Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia maka terpaksa aku mesti menggunakan kekerasan!”

Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”

“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”

“Siapa takut kepadamu?!” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam.

Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkang-nya yang luar biasa sehingga membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.

Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia lantas melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus sehingga Kam Hong Sin benar-benar merasa terkejut dan kagum.

Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama dia ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki kesempatan untuk mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa dia mengandalkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.

Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.

Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke udara sambil berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.

Dengan gerakan tersebut ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan!

Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru dia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya.

Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya pada waktu menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.

Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali dengan serunya dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang sering kali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu.

Dia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pun pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.

Akan tetapi, walau pun Ang I Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, di dalam hatinya tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat sehingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.

Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan tugas yang sedang dijalankannya.

Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tidak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,

“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”

Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.

“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”

Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan musuh kita!”

Kam Hong Sin tersenyum. “Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”

“Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak percayaan.

“Lihat saja, dia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”

Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.

“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”

“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.

“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.

Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat mukamu sendiri! Kau seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”

Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.

Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.

“Bangsat wanita, jangan kau berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.

“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat.

Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat dari pada kawat baja itu putus.

Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.

“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”

Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak hebat!

Dia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Dia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikit pun juga…..

********************

Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit goa, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.

Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!

Berbahaya sekali dalam keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya meski pun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.

Apakah gerangan benda itu? Untuk beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun dia masih ragu-ragu karena memang ada juga binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama menunggu, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!

Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.

“Tingg…!”

Ujung pedangnya berdenting dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu adalah dua potong batu yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali.

Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan semakin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk-tumpuk sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.

Cin Hai merasa girang sekali. Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Dia membawa dua buah batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari sebutir telur ayam, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun.

Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya sangat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apa lagi yang masih bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.

Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat orang sedang mengeroyok Ang I Niocu yang berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika dia keluar dari goa itu!

Begitu tiba di tempat pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”

Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.

“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.

Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua!

Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.

“Siapakah kau?” bentaknya.

“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”

Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar dengan cepat. Maka robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!

Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali dan memutar pedangnya secara hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun Cin Hai. Maka, secara berturut-turut datanglah beberapa orang perwira kerajaan yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang!

Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.

Pada saat pertempuran masih berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!

“Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.

Melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah merah itu, Cin Hai kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.

Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu sehingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!

Memang di antara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!

Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.

“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.

“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.

Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,

“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”

“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, malah pihak Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”

Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.

“Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”

“Mengapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.

“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita tidak akan dapat berbuat sesuatu.”

Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”

Ang I Niocu tersenyum, kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong

“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”

Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.

“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”

Cin Hai lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana dulu dia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di Lan-couw untuk menjaga serta mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.

Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, tetapi sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.

Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia ingin lewat terus saja, akan tetapi pada waktu melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.

Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan hal yang kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,

“Gambar si keparat Hai Kong.”

Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.

Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang menyatakan kemarahan mereka.

Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta menghujani dengan senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!

Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat lagi menahan keheranannya, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,

“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”

Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,

“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”

Cin Hai merasa amat tertarik mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”

“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”

Oleh karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian memandang. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang.

Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!

Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itu pun memberi hormat!

Selesai bersembahyang, Cin Hai segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, dia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio sudah tewas di dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia semakin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!

Cin Hai tidak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!

Dia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan suci-nya yang amat dikasihinya itu.

Pada keesokan harinya, dia telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar kemudian mengintai.

Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tidak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.

Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, hanya berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin Hai Kong Hosiang!

Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tidak bersepatu!

Wanita ini nampak aneh karena walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan meski pun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang sangat panjang dan indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.

Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup mengalahkan serta menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak percaya, akan tetapi semua yang dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!

Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, kemudian melompat keluar sambil berseru,

“Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung menerjang mereka.

Semua orang sangat terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu langsung terpental jauh, terlepas dari pegangan!

Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar suhu-nya berseru keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!”

Suara ini menyiram api yang membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhu-nya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?”

“Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”

“Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.

Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”

Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu.

“Akan tetapi, Suhu...,” ia mencoba membantah.

“Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.

Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.

“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung pada Suhu-mu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami apa bila menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak hingga menggema di dalam hutan itu.

Dari suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan suhu-nya!

Dia tidak berani membantah perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.

Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.

Sesudah menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.

Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.

“Lin Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya.

Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.

Bukan main marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.

Biar pun andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.

Akan tetapi, ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,

“Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”

Untuk sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di dada pemuda itu.

Cin Hai mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,

“Lin-moi, kau kenapakah?”

“Hai-ko, syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”

Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”

“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”

Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”

Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut.....

********************

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar