Pendekar Remaja Jilid 36-40

Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya.
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 36-40

Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Ada pun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh!

Setelah mengalahkan ketiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, kemudian menjura dan berkata, “Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!”

Untuk beberapa lama Malangi Khan tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Dia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba saja Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok lantas jatuh terlepas dari tangannya! Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di sana menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.

“Hebat sekali, Pendekar Bodoh. Sungguh pantas kau disebut pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di sini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi kekuasaan penuh sebagai wakilku!” Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.

Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan dengan suara sungguh-sungguh lalu berkata,

“Malangi Khan yang baik, sejak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tidak kusukai adalah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia.”

Malangi Khan mengerutkan keningnya. “Kalau begitu, apakah maksudmu datang ke sini? Apakah kau datang dengan niat mengacau?”

Cin Hai menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tidak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang kini sedang menjadi tamu di istanamu. Kedua orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”

Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam. “Dan di samping itu, apa lagi kehendakmu?”

“Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu dulu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!”

Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!

“Apa maksudnya ini, Malangi Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan kedua matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.

Malangi Khan tertawa bergelak. “Pendekar Bodoh, kau sudah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula.”

Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena meski pun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu suhu-nya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thian-san. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti kini bukan merupakan pembantunya lagi. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.

“Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.

“Kau akan kutahan di sini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”

Cin Hai tersenyum. “Kalau aku melarikan diri?”

Malangi Khan juga tersenyum. “Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”

“Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!”

“Pendekar Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”

“Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?” Cin Hai sengaja menghina sehingga Raja itu mendelikkan mata dan segera memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin.

Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Dia sudah mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin kemudian membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol itu sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya dia dapat membobolkan kepungan itu.

Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin bersama seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.

“Kouw-thio (Paman)...!” Kwee Cin berseru girang ketika dia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri.

Akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan sudah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam dia memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa sangat lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat sehingga dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.

“Paman Malangi, kenapa kau memegang tanganku?” tanya Kwee Cin sambil memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin.

Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.

“Malangi Khan, janganlah kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah tidak akan merampasnya dengan kekerasan.”

Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia pun lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, karena itu sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji, maka Raja itu telah percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu dia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya.

Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena meski pun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.

Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba saja Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tidak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh bukan merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota!

Tak ada seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, sudah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,

“Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin secara baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti di benteng Alkata-san!”

Para panglima beserta penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,

“Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!” Raja ini takut kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh.

Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika dia datang menghadap Malangi Khan.

“Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?” Ban Sai Cinjin bertanya sambil mengepulkan asap huncwe-nya.

Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dikatakan sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia telah memberi kebebasan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.

“Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,” kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi sudahlah, memang amat sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tiada jalan lain, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku.”

“Harap Paduka berlaku sangat hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka.”

Beberapa orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, sebab kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.

“Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.

Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai Cinjin, tentu sama sekali dia tak akan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!

Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin mengempit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang dulu menculiknya, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi kini ia diserahkan lagi kepada kakek ber-huncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.

Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba saja dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang gerakannya cepat sekali.

Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya pada saat melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau saja tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!

“Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut!” pemuda itu berkata kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya.

Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah, “Heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu...” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.

Biar pun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul dari pada Lie Siong, juga di tempat itu dia mempunyai banyak pembantu.

“Apakah kau datang hendak mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan huncwe-nya di tangan kanan dan dibarengi teriakan untuk memberi tahu kawan-kawannya. Sebetulnya teriakan ini tidak diperlukan karena para panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua.

Lie Siong yang diserang dengan hebatnya oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis mau pun mengelak. Sebaliknya yang bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan dua tangannya sambil terkekeh-kekeh.

Biar pun kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala kakek mewah itu.

Angin pukulan dari kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia mengetahui bagaimana kakek renta ini tadi bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan kakek tua bangka itu!

“Tangkap...! Keroyok...!” Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan para panglima segera maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.

Ban Sai Cinjin sendiri masih berdiri tertegun karena baru satu kali selama hidupnya dia menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su. Akan tetapi sekarang, menghadapi kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan terkejut.

Agaknya kepandaian kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah dari kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek yang aneh ini!

Ada pun kakek itu kelihatan enak-enak saja meski pun dikurung oleh panglima-panglima yang bersenjata tajam. Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan.

Sementara itu, karena para penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong cepat mencabut pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok atau tombak langsung menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat.

Kakek tua yang menyedot asap huncwe tampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk.

“Ahh, huncwe tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!” katanya menyengir lalu dia menyodorkan huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin.

Si Huncwe Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi dia melihat sendiri betapa kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi dia tidak melihat asap itu keluar lagi seolah-olah lima kali sedotan itu membuat asapnya terus tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam huncwe-nya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah menerima kembali huncwe-nya, dia hanya berdiri bengong.

Kakek itu memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri memimpin sebagian orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap hitam bergulung-gulung bagaikan naga hitam yang jahat. Inilah asap dari huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lweekang dan khikang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.

“Awas, mundur...! Asap itu berbahaya sekali...!” Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan berbahayanya asap huncwe-nya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.

Kakek itu mendekati Lie Siong. “Muridku, hayo kita pergi!”

Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata!

Kembali Ban Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Bagai mana pemuda itu tiba-tiba saja sudah memiliki kepandaian ini? Melihat gerakan pedang pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang sakti tadi dan dibawa melompat pergi.

Pada saay dia memandang ke arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang ditujukan kepadanya sehingga dia menjadi kaget. Dia tahu bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin terampas orang.

“Biar hamba mengejar mereka!” seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan diri!

Kakek mewah ini tahu bahwa dia tak akan sanggup mengejar, dan alasannya tadi hanya dipergunakan supaya dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat berbahaya baginya berada di tempat itu.

Dia kemudian pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang amat ditakutinya…..

********************

Bagaimana Lie Siong bisa datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang aneh itu?

Seperti telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan kemudian meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin yang diculik oleh kakek mewah ber-huncwe maut itu.

Dia telah mendengar bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala tentara Mongol. Tentu saja dia tak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga masih terdapat banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan lain-lain.

Demikianlah, ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti bila mana ada kesempatan baik. Banyak akal terlintas dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang prajurit Mongol dan kemudian menyamar sebagai prajurit itu memasuki benteng. Atau dia bisa menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba, atau menyelidiki di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.

Ketika dia sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini mirip seperti suara ketawa anak kecil yang sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong mendengar suara ini.

Bagaimana di dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Dia segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, dia berdiri terpukau saking herannya.

Di bawah pohon itu nampak seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, seluruh kulit mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut. Seorang kakek ompong yang tidak memiliki daging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil berjongkok di atas tanah!

Pada waktu Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tidak dapat menahan kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini!

Akan tetapi ketika ia memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak. Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali.

Gundunya terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah setiap kali kakek itu menyentil ‘jagonya’, maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu per satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari sembilan lawannya!

Tentu saja Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga lweekang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti. Akan tetapi kakek ini biar pun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!

“Hebat...,” bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.

Tanpa menoleh kepadanya, kakek tua renta itu lalu berkata, “Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kau bidikkan gundumu!”

Ketika Lie Siong diam saja, kakek itu lalu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.

“Aku... aku tidak punya gundu,” jawabnya gagap.

Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ha-ha-ha, aku lupa! Kau pasti masih bodoh bermain gundu, tentu saja gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main.”

Tangan kiri kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya.

“Krakk!” terdengar suara dan gempallah sepotong batu karang!

Kemudian, seolah-olah batu karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejap mata.

Dengan hati berdebar kagum, Lie Siong lalu menerima gundu istimewa itu dan ketika dia menekan, gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.

“Hayo, bidiklah!” kakek itu berseru girang.

Dengan terpaksa Lie Siong lalu berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Dia membidikkan gundunya sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras sehingga lebih berat dari pada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya!

Setelah berpikir sebentar, Lie Siong segera membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya terpental pula lantas membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling bentur hingga gundu ke lima, akan tetapi sampai pada gundu yang ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.

“Kau licik...!” kakek itu bersungut. “Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak boleh begitu!”

“Tentu saja, sebab gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!” Lie Siong membantah sehingga mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.

“Siapa bilang gundu jagomu keras dan berat? Coba lihat, sekarang aku hendak membidik gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!”

Sambil berkata demikian, kakek itu menggunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari batu karang.

“Prakk!”

Kalau dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu lweekang dan paham akan kemukjijatannya tenaga lweekang, masih terbelalak memandang karena belum pernah dia menyaksikan demonstrasi tenaga lweekang yang demikian hebatnya.

Begitu dua butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu langsung hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, rontok sedikit pun tidak!

Lie Siong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini, kemudian menyaksikan pula kehebatan tenaga lweekang-nya, dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya.

Jika saja betul bahwa kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau dia menjadi muridnya! Maka dia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat, kakek ini juga lihai. Dia berpura-pura marah dan membentak,

“Kau sudah merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!” Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar pundak kakek itu.

Kelihatannya kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong meleset!

“Kau yang licik, kalah pandai main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!” Kakek itu kelihatan senang sekali karena tidak saja dia menang dalam bermain gundu, juga gundu lawannya menjadi pecah!

“Kau harus dipukul!” seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak orang. Sekali lagi pukulan ini meleset.

Lie Siong mulai penasaran dan ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, dia lantas menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga lweekang dan gerakannya indah dan cepat. Kembali dia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulut kakek itu tiada hentinya berkata mengejek,

“Kalah main gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!”

Yang membuat Lie Siong merasa sangat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang seakan-akan tidak memandang sedikit pun juga pada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya kakek itu tak pernah memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biar pun matanya ditujukan kepada gundu, tetapi tetap saja setiap pukulan Lie Siong selalu dapat dihindarkan dengan amat mudah.

“Sudahlah, main gundunya tidak becus, masa mau main pukul? Hai, anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!” kata kakek itu dan sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.

Namun Lie Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya segera mengebul uap tipis putih. Inilah ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ia pelajari dari ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari sucouw-nya, yaitu Bu Pun Su!

Kakek itu nampak tertegun melihat ilmu pukulan ini, kemudian berdiri bengong. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seolah-olah dia sedang mengumpulkan ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang dia lihat dimainkan oleh anak muda ini.

“Apakah Bu Pun Su hidup lagi?” demikian terdengar dia bertanya kepada diri sendiri.

Lie Siong yang mendengar ucapan ini menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia juga merasa bangga karena agaknya kakek ini bisa mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.

Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa kakek ini pun mahir Pek-in Hoat-sut, bahkan tenaganya jauh lebih besar dari pada tenaganya sendiri.

Akan tetapi ia merasa sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai lebih dari tiga tombak! Baiknya kakek itu tidak berniat jahat sehingga dia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.

“Ha-ha, main gundu kalah, main pukulan juga keok!” kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek lawannya.

Kini Lie Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek aneh itu.

“Suhu yang mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!”

Untuk beberapa lama, kakek itu diam saja, kemudian dia terbahak-bahak, seakan-akan merasa sangat lucu. “Kau minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai main gundu. Maukah kau belajar main gundu?”

“Segala nasehat dan pelajaran dari Suhu, sudah tentu akan teecu terima dan perhatikan dengan sungguh-sungguh.”

“Bagus, aku akan mengajarmu bermain gundu hingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa.”

Kakek yang pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong! Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong sudah mengerti bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan.

Sentilan pada gundu itu merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan oleh tenaga lweekang yang amat tinggi. Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan menambah tenaga lweekang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia lalu memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.

Akan tetapi kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguh pun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali, apa lagi sedikit demi sedikit suhu-nya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka dia lalu berkata kepada suhu-nya beberapa hari kemudian, “Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee yang diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong maka nyawa anak itu terancam bahaya.”

Dalam beberapa hari berkumpul dengan suhu-nya, Lie Song tahu bahwa kakek ini paling suka dengan anak kecil, maka dia tadi sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.

“Hmm, apakah dia kawanmu bermain?”

Lie Siong hanya menganggukkan kepala dan mendesak agar suhu-nya suka menolong anak kecil itu sekalian membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.

“Apakah kau kira aku tukang bunuh orang?” mendadak kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.

Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan juga tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhu-nya marah dan ‘ngambul’, merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan lagi. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin.

Akhirnya kakek itu mau juga dan sesudah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan kemudian mendaki bukit di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu.

Betapa girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun berpegang kepada lengannya, akan tetapi gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Dia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika dia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, dia dapat berlari jauh lebih cepat dari pada kalau dia berlari sendiri! Juga pada saat dia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali.

Ia tahu bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja dia menjadi sangat girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa suhu-nya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Dia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhu-nya yang benar-benar di luar persangkaannya itu.

Dia kini makin kenal baik keadaan suhu-nya dan tahu bahwa suhu-nya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah menjadi seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang main gundu.

Dari istana Malangi Khan, dia langsung membawa suhu-nya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan yang ada di Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong berniat hendak mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, lalu menghilang bersama suhu-nya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Dia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekali pun…..

********************

Kedatangan Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada di antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.

Akan tetapi sesudah dia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk nantinya ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan. Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak ini.

Pada hari itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar Kun-lun-san itu yang membawa teman-temannya untuk membantu perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol. Di dalam rombongan ini terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu. Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw lagi.

Sungguh sangat menarik hati kalau melihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata mereka menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.

Pada saat melihat Cin Hai dan Lin Ling, dua orang pendeta bersaudara ini segera berlari menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak-gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya semakin menyedihkan. Cin Hai juga sangat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.

“Aduh, biar sekarang mati pun aku tidak penasaran lagi sesudah bertemu dengan kalian suami isteri!” kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.

Namun yang paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sebab tiga orang iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan semenjak dulu ingin sekali menguji kepandaiannya. Apa lagi mereka sudah pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah, tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing!

Thian-he Te-it Siansu si kate menggerak-gerakkan payung mautnya, Lak Mouw Couwsu si hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu lalu berkata,

“Pendekar Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita sudah saling bertemu di tempat ini, hal yang sejak dulu telah sering kali kami impikan. Hayolah kau perlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!”

Tentu saja Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini sehingga untuk sesaat tidak mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan kemudian menantang berpibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin menjadi merah mukanya.

Ia melangkah maju dan menjura kepada Cin Hai, “Sie Taihiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-lek Sam-kui yang suka main-main.” Kemudian dia berkata kepada tiga orang aneh itu,

“Sam-wi betul-betul tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?” Suara Tiong Kun Tojin terdengar tandas sekali. Memang tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh aturan, juga berwatak keras.

Thian-he Te-it Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini. “Ah, Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira, mau tunggu kapan lagi?”

“Bicaramu memang benar, Siansu. Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan dan pada waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar, kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapa pun juga, pinto tak akan ambil peduli.”

Thian-he Te-it Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu dia menghela napas berulang-ulang. Akhirnya sambil tertawa dia berkata kepada Pendekar Bodoh, “Pendekar Bodoh, jika begitu terpaksa kita harus menunggu sampai nanti tahun depan pada musim chun (musim semi) di puncak Thian-san.”

“Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), siauwte adalah orang yang bodoh, maka kalau ada yang hendak memberi petunjuk tentu saja siauwte akan merasa berterima kasih sekali,” Cin Hai menjawab dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.

Kam Wi yang mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan sudah menunggu sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,

“Tidak baik, tidak baik! Dengan menunda serangan maka kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!”

Tokoh Kun-lun-san yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang penglima perang yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.

“Lebih baik pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Taihiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apa bila dia tidak mau menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari bentengnya!”

Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening. Mereka ini merasa tak setuju sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka biar pun Kam Liong menduduki pucuk pimpinan, namun tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.

Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, dia berkata, “Memang apa yang dikatakan oleh Kam-enghiong betul sekali, akan tetapi jika mengingat akan keselamatan keponakanku, aku beserta saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan tak akan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah kita rundingkan kembali tentang penyerbuan.”

Alis mata Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian dia mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalau saja tidak mengingat bahwa Sie Taihiap adalah calon besan dan calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong juga akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi...”

“Kam-enghiong, urusan perjodohan itu belum lagi diputuskan, harap kau suka bersabar. Sesudah urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah kita pertimbangkan lagi,” kata Cin Hai tak senang.

Kam Wi tersenyum. “Aku tidak melihat ada halangan lainnya lagi, maka aku sudah berani memastikan, bukan begitu, Kam Liong?” Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang kasar ini.

Pada malam hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan gembira.

Sebagai seorang panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi.

Akan tetapi, tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu sudah berada di atas genteng ruang pesta itu.....

Dan orang pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri, tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja kemudian berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang.

“Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”

Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga. Benar saja, terdengar suara kaki dua orang di atas genteng.

Sesudah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng, “Sie Taihiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”

“Lie Taihiap...!” seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.

Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.

“Siong-ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa. Akan tetapi biar pun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.

Benar saja, di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.

“Terima kasih... terima kasih, Siong-ji...,” Ma Hoa berkata sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur.

“Bukan aku yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.

“Ibu, yang menolongku adalah Engko Siong bersama suhu-nya, kakek pincang yang bisa terbang itu!” tiba-tiba saja Kwee Cin berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.

“Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak suhu-mu ke sini?”

“Dia sudah berada di sini!” tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadi pun dia yang mengantar kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!”

Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa dia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi?

“Siong-ji, manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,” Lin Lin berkata kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.

“Dia... dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku juga tidak dapat lama-lama tinggal di sini.” Ia menengok ke belakang dan berkata, “Suhu, marilah kita pergi.”

Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!

Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa sudah mempunyai ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apa lagi Cin Hai, maka biar pun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja sempat melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.

Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu ginkang dari kakek itu masih lebih hebat dari pada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara orang-orang kang-ouw!

“Siapakah dia...?” Pendekar Bodoh mengerutkan kening sambil mengingat-ingat. Kwee An dan Ma Hoa juga merasa yakin belum pernah melihat orang itu.

“Kepandaiannya mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang dahulu pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.

“Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?” pikir Pendekar Bodoh.

Dia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam dia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya.

Dengan wajah gembira semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir di sana. Tiba-tiba terdengar suara girang “Kwee Cin...?”

Anak ini menengok dengan wajah berseri, kemudian berseru, “Kamangis!” Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.

“Kamangis, kau sudah berada di sini?” tanya Kwee Cin.

“Aku suka sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.

“Ayahmu juga seorang baik, Kamangis,” kata Kwee Cin.

Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.

Akan tetapi tiba-tiba saja Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Kebetulan sekali, Kwee-kongcu sudah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita akan pergunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya.”

“Tidak boleh!” tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya, kemudian sambil memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata. “Siapa pun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapa pun juga tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya secara baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak setuju dengan omonganku, akan tetapi kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!”

Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan saja Ma Hoa sudah mencabut sepasang bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membuat orang menjadi jeri juga melihatnya!

Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini dia sudah melotot dan hendak maju mendebat. Akan tetapi Kam Liong yang tak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa, lalu berkata dengan suara lemah lembut dan sikap sopan santun.

“Mohon Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi mengeluarkan kata-kata yang ditujukan hanya karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi pula perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu terbebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya di antara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio sudah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam. Bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului menyerang benteng mereka dan sesungguhnya...” ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita sudah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio suka menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini.”

Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya. “Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak tahu tentang siasat perang, akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku diajarkan kegagahan, maka aku sangat menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran mau pun perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka mempergunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol maka kita harus mempergunakan kecurangan? Bagiku, lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada menang dengan menggunakan akal curang!”

Muka Kam-ciangkun menjadi merah mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah bermerah muka, maka ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,

“Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau dia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapa pun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”

Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini, maka urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi. Pesta perjamuan berjalan kembali sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan…..

********************

Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.

Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.

Melihat bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.

Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,

“Tak kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”

Cin Hai sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”

“Kembalikan puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”

“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”

“Biar pun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”

Cin Hai menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”

“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.

“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.

“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.

“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”

“Tentu, bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”

Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”

“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”

Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”

“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”

Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!

“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,

“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”

Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,

“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”

Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.

Dengan sikap angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.

“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”

“Memandang muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”

Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!

Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”

Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,

“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”

Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.

“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.

Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.

“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.

“Kalau begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,

“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”

Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,

“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”

Dan dia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!

Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.

Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.

“Ada orang yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.

Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”

Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”

Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”

Dan serta merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”

Ma Hoa girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”

Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.

“Ehh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.

Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”

“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”

Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri guru).

Perjamuan berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.

Hal ini memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!

Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.

Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.

Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.

Tiba-tiba saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.

Di antara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!

Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.

Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.

Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.

Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!

Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.

Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!

Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!

Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!

Orang itu menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.

Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!

Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.

Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.

“Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang bertempur melawan Kwee An.

“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.

Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.

“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.

Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus memandang dengan penuh kewaspadaan.

“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!

Akan tetapi Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.

Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.

“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”

Melihat sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.

“Khalinga, lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”

Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!

Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol ini.

Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh di antara kedua pihak.

Ada pun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!

Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.

Sebaliknya, Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.

Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.

Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.

Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang setia dan gagah.

“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”

Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.

Ada pun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.

Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!

Demikianlah, sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.

Ada pun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti pada waktu dahulu…..

********************

Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya…

Sebagaimana sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.

Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.

Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan.

Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.

Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.

Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali.

Ia pun lalu ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!

Ketika melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!

Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!

Tanpa terasa lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.

Tiba-tiba dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.

Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.

“Kelinci manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”

Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.

Dan akhirnya kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.

Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan.

Lili menjadi penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.

Akhirnya ia melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke mana bersembunyi? Keluarlah!”

Dia lalu menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?

Dia lalu mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah ini!

Lili menjadi tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.

Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang tadi.....

Benar seperti yang disangkanya tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar matahari yang masuk dari lubang atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.

Sumur itu ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.

Ia menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.

Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!

Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat sekali.

Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar.

Dia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.

Lili adalah seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!

Cepat dia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.

Dia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.

Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi dikejar-kejar oleh Lili.

Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu.

Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!

Lili mulai merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan melarikan diri.

Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu?

Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”

Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”

Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,

“Aha, tak tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”

Lili mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!

“Kau menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek itu.

Akan tetapi, pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.

Akan tetapi ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!

“Nenek gila, kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.

Kembali ia terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.

Celaka, pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!

Dua macam ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!

Pada saat Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!

Kemudian nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,

‘Kau berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus bertapa gagu!’

Lili merasa aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

“Teecu akan mentaati semua perintah Suthai.”

Demikianlah, selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.

Setiap hari gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!

Akan tetapi lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.

Gurunya bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,

‘Aku menurunkan ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’

‘Dia adalah Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’

Nenek yang bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantal yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.

Lili berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!

Kalau dulu Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.

Dia menarik napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai terlihat oleh orang lain.

Kemudian pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu…..

********************

Sesudah Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya perang. Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh para penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari untung dalam perdagangan di tempat itu.

Kota Kun-lip juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa bila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan maju.

Setelah mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, Lili tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum menghabiskan tapa gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh bicara ini!

Sekarang ia maklum kenapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan mudah disalurkan ke arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.

Pada pagi hari itu, sudah genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat membuka pantangan bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang memanggilnya,

“Lili...!”

Ia cepat menengok dan melihat Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.

“Nona Hong Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah sangat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.

Akan tetapi, biar pun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang berpantang bicara. Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan melunaskan perhitungan!”

Tiba-tiba dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe mautnya!

Kakek ini memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya. Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena dia teringat betapa gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini juga sudah menghinanya secara luar biasa sekali.

Karena Lili tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat. Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini akan melayani dan menghajarnya.

“Bocah, bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia mengirim dua macam serangan.

Tangan kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke belakang.

Melihat gerakan kakek ini, Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).

Menghadapi serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.

“Susiok, jangan ganggu Nona Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.

Delapan jurus sudah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini telah mendapat kemajuan yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.

“Susiok, jangan berlaku kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…

“Tranggg…!” terdengar suara nyaring ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!

Lili menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda bekas luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol, maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya itu.

“Bangsat terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu? Kau berani melawan Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”

“Susiok, kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu... ? Tidak, Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”

“Bangsat, kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau benar-benar anjing pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.

Song Kam Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia dapat melawan susiok-nya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Sementara itu, Lili berdiri dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.

Ia maklum bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di sini, Lili segera melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat!

Dengan satu serangan secepat kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya! Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba dia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.

Lili menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…

“Pletak!” patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!

Terbelalak mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera melompat ke belakang dan melarikan diri!

Lili hendak mengejarnya akan tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat kembali kepada Kam Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan berlumur darah!

Lili berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu tangannya, dia menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya dan tersenyum!

“Lili... akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah duga... ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku... ayahku... dia... dia seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda itu mengalirkan air mata.

Lili tidak dapat menahan keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.

“Lili... kau menangis...? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng... Lili, terima kasih... sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku kepada... kepada... semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”

Maka habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!

Lili menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih memiliki banyak potongan uang emas, maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa dia tidak dapat bicara.

Setelah beres mengurus pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.

Hatinya berdebar tidak enak kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!

Juga diam-diam ia merasa girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia sudah mempergunakan sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!

Dia maklum bahwa sebelum dia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hari kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.

Dari kota Kun-lip, Lili kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa kuatir apa bila Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.

Menghadapi orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali pun!

Ketika dia tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, dia terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?

Agar jangan menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi itu. Dia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.

Ketika dia tiba di sebuah hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil itu!

Kalau saja Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu. Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat menghampiri tempat itu!

Malam hari itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan, tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan itu kelihatan benar-benar mengerikan.

Pohon-pohon pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa sedang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu.

Semua keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!

Akan tetapil Lili yang sangat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil menahan tindakan kakinya.

“Ang I Niocu... tidak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ahh, kini aku teringat... aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu...”

“Suhu...!” Lili berteriak pada saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.

Gadis ini melompat dan setelah sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka-luka!

“Ie-ie Im Giok...!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.

Ang I Niocu ternyata masih belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili menjadi makin terharu.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.

“Lili anak manis... tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.

Karena maklum bahwa nyawa Ang I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang sudah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.

“Aku ingat betul...” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Taihiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah dia!” Lo Sian berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.

“Kemudian dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak mengambil jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat ini.”

Demikianlah, Lo Sian kemudian menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan jelas di dalam jilid terdahulu dari cerita ini.

Berkali-kali Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta menghancurkan kuil itu.” Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.

“Suhu, mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”

Lo Sian menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili, “Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat... aku tak kuat lagi...!”

“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!

“Anak baik, setelah suamiku meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah yang lebih baik selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”

Bukan main terharunya hati Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu menggelengkan kepalanya saja. Ia sendirl tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih tepat disebut cemburu dari pada gemas.

“Kalau begitu... Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku... aku akan merasa gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat kau sebagai... mantunya! Sukakah kau, Hong Li...!”

Lili tentu saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.

“Ie-ie Im Giok, kenapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”

“Cin Hai dan Lin Lin tentu akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk... menjadi wakilku... untuk menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh...”

“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi wakilmu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.

Keadaan Ang I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.

Setelah menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya. Dari gadis inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.

Sampai beberapa lamanya dia merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia ingin sekali bertemu dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.

Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,

“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”

“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”

“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling bertemu lagi.”

Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata, “Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”

Lo Sian mengangguk. “Tidak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah Ban Sai Cinjin.”

Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah membunuh Lie Kong Sian.

“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia dikubur?” Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.

Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas...”

“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.

“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar pun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”

“Lekas katakan, di mana letak rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.

Lo Sian menjadi heran sekali, dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah lagi. Dia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.

Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih segera menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya.

Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan ginkang-nya sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi tetap saja dia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah untuk dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apa lagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke dalam dusun itu.

Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau pun tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.

Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada perbuatan Lie Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.

Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan pada waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.

Ada pun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.

Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.....


Sebagaimana telah dikuatirkan oleh Lo Sian, ternyata benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu sampai di depan kuil yang terang sekali karena di sana dipasang banyak penerangan, dari dalam muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!

Melihat asap hitam yang mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, Lo Sian segera maklum bahwa kakek mewah itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa dia sudah menanti kedatangan Ang I Niocu!

Akan tetapi Ang I Niocu tidak merasa takut seujung rambut pun, bahkan kemudian dia menudingkan pedang yang bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.

“Apakah engkau yang bernama Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”

Mendengar pertanyaan yang sifatnya langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan kegelisahannya melihat wanita yang sangat hebat ini. “Ang I Niocu, suamimu tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau harus penasaran? Sebaliknya kaulah yang sudah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, yaitu membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang gagah?”

“Bangsat terkutuk! Mana suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertempur dalam pibu yang adil? Kau tentu sudah melakukan kecurangan seperti yang biasa kau lakukan. Kau mengira aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat bagaimana kau sampai mampu mengalahkan suamiku!” Sambil berkata demikian dengan mata menyala-nyala Ang I Niocu kemudian melompat mundur dan melambaikan pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.

Hati Ban Sai Cinjin menjadi gentar juga melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu. Pedang itu mencorong dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Cahaya lampu yang banyak itu membuat pedang itu semakin berkilauan lagi. Oleh karena itu, dia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.

Mendadak terdengar suara ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru saja keluar dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya. Memang akhir-akhir ini di dalam kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul dan jubah pendeta!

“Lihat, orang macam itu hendak melawan Suhu!” Hok Ti Hwesio berkata kepada kawan-kawannya atau boleh juga disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.

Melihat rombongan hwesio muda ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali dia bertanya sambil memandang ke arah mereka,

“Aku pernah mendengar nama Hok Ti Hwesio, entah siapakah di antara kalian bernama begitu?”

Hok Ti Hwesio memperkeras suara tawanya, lalu berkata, “Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang pendekar wanita baju merah yang cantik bagai bidadari. Sekarang kau datang menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang tidak mau, Niocu, karena biar pun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah amat tua, terlalu tua...”

Belum sempat Hok Ti Hwesio menutup mulutnya, tampaklah berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.

“Awas...!” teriak Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng.

Dengan kaget sekali Hok Ti Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga terhindar dari sambaran pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu. Dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio langsung bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu terus mengejarnya!

Dua orang hwesio murid Hok Ti Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain menjadi ngeri dan mundur, ada pun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri.

Hwesio ini telah mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak takut. Dia mencabut pisau terbangnya dan begitu Ang I Niocu menyerang, dia cepat menyambut dengan pisaunya yang lihai. Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!

Hok Ti Hwesio membaca mantera dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu, lalu membentak sambil mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu. Inilah ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan.

Ang I Niocu merasa ada tenaga yang mukjijat menyambarnya dari arah depan. Cepat dia menggerakkan lengan kirinya, maka mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika dia mengerahkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dia pelajari dari Bu Pun Su.

“Suhu... tolong...!” Akhirnya Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena dia benar-benar telah terdesak hebat.

Memang semenjak tadi Ban Sai Cinjin sudah hendak menolongnya dan sekarang hwesio mewah ini lalu mengayun huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang! Ang I Niocu yang sudah menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok lagi sambil mengirim pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya ke arah Hok Ti Hwesio.

Sungguh gerakan yang sangat luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sian-li Utauw yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.

“Traaang…!”

Ujung huncwe itu, yakni pada bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal oleh pedang Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin lantas melompat ke belakang dengan kaget.

Ada pun Hok Ti Hwesio yang mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya sambil membalas menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika dia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong oleh tenaga raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua kakinya lagi dan terlemparlah dia ke belakang!

Akan tetapi, dengan heran dan makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama sekali tidak kelihatan sakit dan telah berdiri kembali. Namun Ang I Niocu tidak mau memberi kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara luar biasa sekali ke arah tubuh hwesio itu.

Hok Ti Hwesio masih berusaha mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu terus mengurungnya dari segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya. Sesudah tiga kali dia berhasil mengelak, pada kali ke empat Liong-cu-kiam menembus pahanya sehingga dia roboh terguling bermandikan darah dan berkaok-kaok seperti babi disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya tak dapat mengeluarkan suara lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat telah menembus jantungnya!

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin melihat muridnya yang tersayang sudah binasa di tangan Ang I Niocu. Maka, sambil berseru bagaikan guntur, dia menyerang lagi dengan huncwe-nya yang ujungnya telah gompal. Ada pun Wi Kong Siansu juga merasa sangat penasaran melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.

“Ang I Niocu, sepak terjangmu bukan seperti seorang gagah, tapi lebih pantas seperti iblis wanita!” seru Wi Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa sute-nya, Ban Sai Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.

“Wi Kong, tua bangka tak tahu malu! Kau juga sudah mengotorkan tanganmu dan turut membantu sute-mu membunuh suamiku. Tua bangka sesat, majulah kau untuk menerima hukuman dari Ang I Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.

Muka Wi Kong Siansu menjadi merah dan dia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam) maka sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.

Tingkat kepandaian Wi Kong Siansu memang lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin dan hal ini diketahui dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang pada tangan Wi Kong Siansu selain sangat cepat dan berbahaya, juga tenaga lweekang dari tosu ini pun jauh lebih kuat dari pada Ban Sai Cinjin.

Akan tetapi, kalau saja Ang I Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, dia tak akan kalah dan agaknya sulit bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang yang luar biasa hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan adanya Ban Sai Cinjin yang memainkan huncwe-nya secara hebat pula, Ang I Niocu menghadapi lawan yang amat tangguh.

Betapa pun juga, Ang I Niocu pun tidak memperlihatkan perasaan jeri, bahkan karena dia sedang marah dan sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari orang yang nekat dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin yang masih menyayangi jiwa sendiri itu selalu terdesak mundur!

Tentu saja hal ini mengagetkan orang-orang gagah yang berada di sana. Orang yang masih mampu mendesak mundur Wi Kong Siansu beserta Ban Sai Cinjin, sukar dicari keduanya di dunia ini!

Diam-diam Hailun Thai-lek Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka telah merasa gatal-gatal karena makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk mencoba kepandaiannya.

Akhirnya, tiga orang kakek ini tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru keras mereka lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I Niocu dikeroyok lima!

Melihat hal ini, Lo Sian menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal itu takkan ada artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah akan menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu. Akhirnya ia mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu.

Karena semua orang telah berlari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali. Dengan enaknya Lo Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak serta api untuk membakar kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar saja kuil itu menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!

Ketika itu Ang I Niocu sudah mulai terdesak hebat, sungguh pun pedang Liong-cu-kiam sudah membabat putus rantai besar milik Lak Mau Couwsu dan sudah melukai pundak Bouw Ki sehingga orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tidak dapat lagi mengeroyok. Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju mengeroyok.

Ang I Niocu mengertak gigi kemudian memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena dia tidak mudah merobahkan para pengeroyoknya, kini dia mulai mengincar hwesio-hwesio yang menjadi murid Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio dengan muka pucat. Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar dari kepungan lima orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang menjadi geger. Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan mati!

“Ang I Niocu manusia kejam!” Wi Kong Siansu membentak marah.

Akan tetapi pada saat itu Ang I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang lantas dibabatnya sehingga tubuh kedua orang ini putus menjadi dua! Diam-diam kelima orang pengeroyok ini menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang betul-betul seperti telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga, mereka mengerahkan kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.

Para pengeroyok Ang I Niocu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yan menduduki tingkat atas. Wi Kong Siansu mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa), seorang tokoh dari Hek-kwi-san yang di samping memegang pedang Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu pedang Hek-kwi Kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tidak kalah oleh Ang I Niocu sendiri.

Juga Ban Sai Cinjin tadinya sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini dia memperdalam ilmu silatnya lagi sehingga dia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang dimainkan dengan sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang siap menjangkau nyawa lawan.

Pengeroyok ke tiga adalah Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek dari Hailun. Baru julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Kolong Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung yang dia mainkan!

Pengeroyok ke empat dan ke lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin, kakak beradik jago dari Shan-tung yang memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi repot dan terdesak hebat sekali.

Beberapa kali dia telah menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan dan pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih mampu mempertahankan diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang mengenai dekat lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po Tin hingga orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!

Ang I Niocu terhuyung-huyung akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po Gan yang menjadi marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima pukulan pada pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini langsung memekik keras dan terlempar ke belakang dengan dada pecah!

Pada saat itu juga nampak cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika melihat betapa kuil itu kini telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah orang pertama yang merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa rumah gedungnya di Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuilnya yang indah mentereng ini hendak dimakan api!

Maka dia lalu melompat meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang membakar kuil. Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan nyalanya telah terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.

Sementara itu, Ang I Niocu yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu melompat ke belakang. Dia sudah terlalu letih dan merasa bahwa dia tidak kuat untuk melawan lagi. Dia melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Kedua orang tosu ini hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu ganas dan kejam itu.

Sungguh pun Ang I Niocu memiliki ginkang yang luar biasa dan kalau sekiranya dia tidak terluka, kedua orang tokoh besar ini pun belum tentu bisa mengejarnya. Akan tetapi pada saat itu pendekar wanita ini sudah terluka hebat dan tubuhnya telah mandi darah yang mengucur dari luka-lukanya.

Ia mencoba untuk menguatkan tubuhnya, berdiri tegak menunggu kedatangan dua orang pengejarnya untuk dilawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya menjadi gelap, kepalanya pening dan robohlah dia tidak sadarkan diri lagi! Dari belakang pohon melompat keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu, lalu dibawa lari ke dalam hutan.

Melihat hal ini, Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar makin cepat. Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat melepaskan diri dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya?

Dalam gugupnya, Lo Sian lalu lari sejadi-jadinya sehingga dia menubruk rumpun berduri dan terus saja jatuh bangun serta bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapa pun juga, tetap saja dia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.

Ketika Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Sian, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek kate yang memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak isi ciu-ouw itu sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang! Kakek kate ini berjalan tepat di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar Lo Sian dan ketika mereka sudah berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih dinyanyikan lalu menegur,

“Dua orang tua bangka mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut terbayang di mata, sungguh mengerikan!”

Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati mereka ketika melihat bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang Giok-cu, tokoh besar di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali memperlihatkan diri di dunia ramai!

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama Sin Kong Tianglo yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari Goat Lan. Pada saat itu, dalam perantauannya Im-yang Giok-cu mendengar bahwa kitab obat Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo yang dulu oleh dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin, maka malam hari ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin untuk urusan itu.

Kebetulan sekali di dalam hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu sedang mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek tua. Ia tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa lari oleh Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat Lan! Oleh karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk menolong orang yang dikejar itu.

Wi Kong Siansu cepat mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata, “Apa bila tidak salah, kami sedang berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu. Tidak tahu malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk kawan seagama To)?”

Karena Im-yang Giok-cu tidak mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini orang yang dikejar itu sudah lari jauh dan di dalam gelap ini tidak mungkin dapat disusul lagi, ia pun tidak mau mencampuri urusan orang, hanya berkata,

“Wi Kong Siansu, aku hendak mencari sute-mu yang kabarnya sudah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sute-mu harus mengembalikan kitab itu dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada muridku Kwee Goat Lan. Harap sute-mu suka memandang mukaku dan jangan main-main dengan seorang anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si Kate ini kemudian menenggak guci araknya.

Thian-he Te-it Siansu yang memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali karena dua orang sute-nya tadi sudah dikalahkan oleh Ang I Niocu, dengan sikap menantang, kakek yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat maju sambil menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada urusan boleh diurus nanti.”

Akan tetapi Im-yang Giok-cu juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa! Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan mengeroyok orang yang sudah berlari, sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan saja!”

Thian-he Te-it Siansu marah sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar ke dada Im-yang Giok-cu. Akan tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya menangkis.

“Krakk!”

Terdengar suara dan patahlah ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sedangkan beberapa tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali dua tetes di antaranya menyambar lurus ke arah kedua mata Thian-he Te-it Siansu! Orang cebol ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur.

Wi Kong Siansu yang cerdik segera melerai. Dia lebih maklum bahwa tokoh besar dari Pegunungan Kun-lun ini adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh disebut berpihak kepada Pendekar Bodoh besertas kawan-kawannya, dan dia maklum pula akan kelihaian kakek ini, maka dia lalu berkata,

“Im-yang Giok-cu, kau tidak tahu bahwa kuil sute-ku telah terbakar, maka marilah kita bersama ke sana dan tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada sute-ku. Di antara kita sendiri, mengapa saling serang?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak, lalu menjawab, “Bagus, inilah baru ucapan seorang cerdik! Urusan harus diselesaikan dahulu, untuk pibu...” dia melirik Thian-he Te-it Siansu, “puncak Thian-san masih cukup luas, ada pun musim chun memang selalu menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”

Mendengar sindiran ini, Wi Kong Siansu segera maklum bahwa kakek kate yang lihai ini sudah mendengar pula tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, maka diam-diam dia mengeluh.

Akan tetapi ketika mereka bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa kuil itu semua telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan, termasuk kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.

Untuk membuktikan bahwa kitab itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta kepada Im-yang Giok-cu untuk menanti sampai api betul-betul padam, kemudian ia membongkar tempat di mana kitab itu tadinya disimpan yaitu dalam sebuah peti. Peti itu telah menjadi abu dan pada waktu dibongkar, benar saja di dalamnya terdapat abu sebuah kitab yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya!

Im-yang Giok-cu menarik napas panjang dan berkata, “Kitab ini telah menyusul pemilik dan penulisnya. Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!” Ia lalu melenggang pergi sambil menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau mengganggunya.

Ada pun Lo Sian yang dapat melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah, tanpa disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan di mana dahulu dia mengubur jenazah Lie Kong Sian! Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di dalam kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik terus dan di antara pohon-pohon pek itu dia melihat ada serumpun bunga mawar hutan yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh Ang I Niocu di atas rumput.

Kemudian, pemandangan di sekitarnya serta keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu yang sudah tak mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah ia akan pengalamannya dahulu. Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian tiba-tiba lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu seperti orang mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah rumpun itu.

Lo Sian mengeluh dan menangis karena sekarang dia teringat bahwa inilah kuburan Lie Kong Sian! Teringat pula dia ketika dahulu dia melarikan diri membawa jenazah Lie Kong Sian seperti yang dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi, dan betapa ia mengubur jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.

Dan pada saat Lo Sian menangisi nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar suaranya dan datang ke tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lo Sian dan Lili akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita yang gagah itu, di sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun yang lalu…..

********************

Beberapa kali Ban Sai Cinjin membanting kakinya dan wajahnya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa marah dan sakit hati betul. Telah berkali-kali dia menerima penghinaan dan kekalahan hebat dari pihak Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, dan kali ini ia menerima hinaan yang paling hebat.

Gedungnya habis, kuilnya musnah, semua barang-barangnya menjadi abu, dan muridnya yang terkasih, Hok Ti Hwesio tewas bersama beberapa orang hwesio lainnya dan juga kedua saudara Can dari Shan-tung itu tewas dalam membelanya. Bagaimana dia tidak menjadi sakit hati dan marah?

Juga Wi Kong Siansu menjadi marah dan penasaran sekali. Dia sudah mendengar dari sute-nya bahwa muridnya, yaitu Song Kam Seng, juga sudah tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Kam Seng terbunuh oleh Ban Sai Cinjin sendiri yang dengan pandainya telah rnemutar balik duduknya perkara dan menyatakan bahwa Kam Seng terbunuh oleh Pendekar Bodoh ketika membantu orang-orang Mongol di utara!

Kini melihat sepak terjang Ang I Niocu, Wi Kong Siansu menjadi semakin marah karena menurut anggapannya, Ang I Niocu telah berlaku kejam dan ganas sekali.

“Orang yang membawa lari Ang I Niocu tentulah pengemis hina dina itu,” kata Wi Kong Siansu, “dan tentu Lo Sian pula yang membakar kuil ini!”

“Sayang dahulu tidak kuhancurkan kepalanya!” kata Ban Sai Cinjin gemas. “Akan tetapi, sambil membawa orang luka, dia pasti tidak dapat lari jauh dan tidak mungkin keluar dari hutan sambil membawa-bawa Ang I Niocu. Mari kita mencari dia!”

Demikianlah, dengan hati penuh geram, Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, diikuti pula oleh ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui yang juga merasa penasaran, pada pagi hari itu juga lalu melakukan pengejaran.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisahnya hati Lo Sian ketika tiba-tiba lima orang kakek yang tangguh itu tahu-tahu telah berdiri di depannya di dekat makam Ang I Niocu dan Lie Kong Sian!

“Ha-ha-ha, pengemis jembel, apa kau kira akan dapat melarikan diri dari sini?” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girang dapat menemukan orang yang dibencinya. Apa lagi ia melihat Lili berada di situ dan melihat gadis musuh besarnya ini, timbullah harapannya untuk membalas penghinaan yang telah ia derita dari Pendekar Bodoh. “Di mana Ang I Niocu siluman wanita?”

“Ban Sai Cinjin, harap kau suka mengingat akan peri kemanusiaan. Kau telah membunuh Lie Kong Sian, dan sekarang kau telah menewaskan Ang I Niocu pula. Apakah hatimu masih belum puas? Mereka sudah tewas dan sudah kukubur baik-baik, harap kau jangan mencari urusan lagi,” kata Lo Sian yang merasa kuatir kalau-kalau lima orang kakek yang tangguh ini akan mengganggu Lili.

Akan tetapi Ban Sai Cinjin berseru marah, “Pengemis bangsat! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau yang membakar kuilku? Kau enak saja bicara untuk membujukku agar jangan mengganggumu dan mengganggu setan perempuan ini. Kau kira aku akan melepaskan anak Pendekar Bodoh begitu saja tanpa membalas penghinaan-penghinaannya?” Sambil berkata demikian Ban Sai Cinjin melangkah maju dan menggenggam huncwe-nya lebih erat lagi.

Akan tetapi Lili sama sekali tidak merasa jeri, bahkan kini kedua matanya yang bening itu mengeluarkan cahaya berapi dan wajahnya yang cantik itu sudah menjadi merah sekali. Sungguh pun dia kini tidak memegang senjata apa-apa karena kipas dan pedang Liong-coan-kiam telah rusak ketika ia bertemu dengan nenek luar biasa yang menjadi gurunya itu, namun dia tidak merasa jeri sama sekali, bahkan lebih tabah dari pada dahulu ketika menghadapi Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.

“Ban Sai Cinjin manusia binatang! Kau bilang takkan melepaskan anak Pendekar Bodoh, akan tetapi apakah kau kira aku Sie Hong Li akan membiarkan kau hidup lebih lama lagi setelah kita bertemu di sini?” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan dengan tangan kirinya ia menyerang ke arah leher Ban Sai Cinjin. Begitu bertemu, gadis ini langsung menyerang dengan tipu dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang lihainya luar biasa!

Saat melihat gadis itu menyerangnya dengan tangan kosong, Ban Sai Cinjin memandang rendah sekali dan cepat dia mengulur tangan kiri untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu, sedang tangan kanan menggerakkan huncwe untuk mengetok kepala Lili! Akan tetapi dia belum lagi kenal kelihaian ilmu pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang baru pertama kali ini dipergunakan oleh orang di dunia ramai!

Pada saat tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan kiri Lili, Ban Sai Cinjin berteriak kaget dan cepat-cepat dia menarik kembali tangannya karena merasa betapa telapak tangannya seakan-akan menyentuh api membara! Dan Lili hanya menundukkan sedikit kepalanya untuk menghindarkan serangan huncwe dari lawannya, akan tetapi tangan kirinya tetap meluncur ke arah leher Ban Sai Cinjin!

Kakek mewah ini terkejut bukan main dan cepat dia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, akan tetapi masih saja tangan kanan Lili yang menyambar lagi mengenai kepala huncwe-nya.

“Prakk!” kepala huncwe-nya itu hancur lebur dan api tembakaunya berhamburan!

Ban Sai Cinjin bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri dengan muka pucat dan memandang ke arah gadis itu dengan kedua mata terbelalak! Juga Wi Kong Siansu dan ketiga tokoh dari Hailun itu berdiri bengong. Mereka belum pernah menyaksikan ilmu silat yang sedemikian hebatnya.

Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar saja, oleh karena Wi Kong Siansu segera mencabut Hek-kwi-kiam dari punggungnya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Lili dan jidatnya berkerut ketika dia berkata dengan garang,

“Sie Hong Li, hari ini terpaksa pinto akan mengambil nyawamu untuk membalas dendam muridku, Song Kam Seng!”

Lili mendengar ini menjadi makin marah. Ia melirik ke arah Ban Sai Cinjin dan maklum bahwa kakek mewah itu telah memutar balikkan kenyataan, maka ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa tiada gunanya untuk membantah dan ribut mulut membela diri, dan dengan suara lantang ia menjawab,

“Wi Kong Siansu, dahulu kau pernah membantu Ban Sai Cinjin merobohkan aku dengan curang, kemudian kau berani pula menentang Ayahku. Hemm, pendeta yang bermata buta seperti kau ini mana bisa membedakan mana salah mana benar, mana baik mana jahat? Majulah, kau kira aku takut kepadamu?”

Wi Kong Siansu lalu menerjang dengan pedangnya yang bercahaya kehitaman, mainkan Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-hoat dengan sangat marah. Akan tetapi segera dia menjadi terkejut sekali karena benar-benar gadis itu jauh sekali bedanya dengan dahulu.

Dahulu pun Lili sudah merupakan seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi sekali, seorang gadis muda yang sudah menerima warisan ilmu-ilmu silat tinggi seperti San-sui San-hoat dari Swi Kiat Siansu, juga telah mahir sekali mainkan Ilmu Pedang Liong-coan Kiam-sut, juga ilmu-ilmu pukulan yang lihai dari Bu Pun Su seperti Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut.

Kini gadis itu seakan-akan harimau yang tumbuh sayapnya sesudah memiliki ilmu silat yang gerakannya amat luar biasa dan yang mendatangkan hawa pukulan hebat sekali ini. Bahkan Wi Kong Siansu tiap kali tergetar tangannya bila mana hawa pukulan dari tangan nona itu menyambar ke arahnya!

Saat melihat Wi Kong Siansu agaknya tidak bisa mendesak Lili, Hailun Thai-lek Sam-kui segera berseru dan maju mengeroyok. Luka Bouw Ki di pundaknya ketika ia mengeroyok Ang I Niocu telah diobati, sedangkan Lak Mau Couwsu sudah membikin betul rantainya, maka kini tiga iblis ini dengan lengkap dapat mengurung Lili.

Akan tetapi gadis ini benar-benar luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan bagaikan kilat menyambar-nyambar dan setiap serangan senjata lawan bisa dielakkannya dengan gesit sekali atau ditangkisnya dengan kedua lengannya yang mengandung tenaga luar biasa. Bahkan serangan gadis ini benar-benar membuat empat orang pengeroyoknya terkejut dan harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata bahwa sebelas jurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat ini luar biasa sekali daya tahan dan daya serangnya.

Ada pun Ban Sai Cinjin setelah melihat Lili dikurung oleh suheng-nya dan Hailun Thai-lek Sam-kui, lalu mendelik menghampiri Lo Sian dengan huncwe-nya yang sudah terpotong tidak berkepala lagi itu! Sin-kai Lo Sian melihat nafsu membunuh di mata Ban Sai Cinjin, maka Pengemis Sakti ini lalu bersiap sedia untuk membela diri mati-matian.

“Lo Sian, dahulu aku sudah berlaku salah karena tidak terus membunuhmu sehingga kau mendatangkan banyak urusan. Sekarang harus kuhancurkan kepalamu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin lalu menyerang dengan gagang huncwe-nya itu.

Biar pun huncwe-nya telah hilang kepalanya, akan tetapi gagang huncwe itu terbuat dari baja tulen yang keras sehingga kini merupakan tongkat atau toya pendek yang masih cukup berbahaya.

Lo Sian yang selama ini tak pernah terpisah dari tongkatnya, cepat mengangkat tongkat itu untuk menangkis. Terdengarlah suara keras dan terpaksa Lo Sian melompat mundur dengan telapak tangan tergetar dan panas!

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. Kakek mewah ini timbul kesombongannya kalau sudah menang, maka sambil menyeringai ia lalu mendesak Lo Sian yang memang masih kalah jauh tingkat kepandaiannya.

Dengan nekat dan mati-matian Lo Sian berusaha mempertahankan diri sambil membalas serangan Ban Sai Cinjin, akan tetapi beberapa jurus kemudian terdengar suara keras dan tongkat di tangan Lo Sian patah menjadi dua oleh gagang huncwe di tangan Ban Sai Cinjin. Ban Sai Cinjin tertawa bergelak lalu menubruk maju.

Lo Sian mengelak ke kanan, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Sai Cinjin mengenai betisnya sehingga membuat Lo Sian terjungkal. Ban Sai Cinjin melangkah maju dengan gagang huncwe terangkat dan dengan sekuat tenaga ia menimpakan gagang huncwe itu ke arah kepala Lo Sian!

“Prakk!” Bunga api berpijar dan gagang huncwe itu untuk kedua kalinya patah dan tinggal sedikit saja.

Ban Sai Cinjin kaget sekali dan cepat melompat ke belakang. Ternyata bahwa pada saat yang amat berbahaya bagi nyawa Lo Sian itu, sebatang pedang berbentuk ular dengan gerakan cepat sekali telah menangkis gagang huncwe itu dan menyelamatkan nyawa Lo Sian.

“Lie Siong...!” Lo Sian berseru girang sekali ketika melihat pemuda yang baru datang ini.

“Lo-pek, minggirlah dan biarkan aku membunuh tikus busuk ini!” berkata Lie Siong sambil memutar pedangnya dan menyerang Ban Sai Cinjin dengan hebatnya.

Seperti ketika ia menghadapi Lili tadi, kini Ban Sai Cinjin juga merasa heran dan terkejut sekali. Hanya dengan sekali serang saja pemuda ini sudah dapat mematahkan gagang huncwe-nya! Alangkah jauh bedanya dengan dulu ketika ia bertempur melawan pemuda ini.

Padahal dulu dia sendiri betum semaju ini ilmu kepandaiannya dan akhir-akhir ini ia telah melatih diri dan memperoleh kemajuan pesat. Namun dibandingkan dengan kedua orang muda ini, dia telah tertinggal jauh!

Tentu saja Ban Sai Cinjin tidak tahu bahwa Lili telah mendapat gemblengan luar blasa dari seorang nenek di dalam sumur yang mengajarnya Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, dan bahwa Lie Siong juga telah bertemu dengan seorang kakek luar biasa yang mengajarnya bermain gundu!

Karena gagang huncwe-nya kini sudah tak dapat digunakan lagi, Ban Sai Cinjin terpaksa menghadapi Lie Siong dengan kedua tangannya yang juga tidak boleh dipandang ringan. Dia langsung melancarkan pukulan-pukulan disertai ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang selain mengandung tenaga luar biasa juga disertai bentakan-bentakan yang pengaruhnya dapat melumpuhkan semangat lawannya.

Akan tetapi Lie Siong hanya mengeluarkan suara menyindir. Tangan kirinya mainkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan uap putih untuk menolak pengaruh ilmu hitam lawannya, sedangkan pedangnya tetap mengurung Ban Sai Cinjin dengan rapat.

“Ban Sai Cinjin, engkau harus membayar nyawa ayahku!” bentaknya berulang-ulang dan pedangnya yang berbentuk naga itu menyambar-nyambar dekat sekali dengan dada dan leher Ban Sai Cinjin.

“Suheng, bantulah aku merobohkan setan ini!” terpaksa Ban Sai Cinjin berseru kepada Wi Kong Siansu. Tubuhnya sampai mandi keringat dingin karena ia merasa bahwa kalau dilanjutkan, sebentar lagi ia pasti akan roboh binasa oleh pemuda yang luar biasa ini.

Pada waktu mendengar seruan ini, Wi Kong Siansu cepat menengok dan terkejutlah dia melihat betapa sute-nya berada dalam keadaan amat berbahaya. Cepat ia melompat dan pedangnya Hek-kwi-kiam segera meluncur dan melakukan serangan kilat ke arah tubuh Lie Kong. Pemuda ini maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu, karena itu dia menangkis sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya yang baru diperkuat dengan latihan yang dia terima dari gurunya yang aneh.

“Traaang…!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang itu beradu.

Pedang Hek-kwi-kiam juga sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka tidak sampai patah. Namun Wi Kong Siansu diam-diam terkejut sekali karena baru sekali ini dalam beradu pedang dia merasa tangannya tergetar hebat!

Kedatangan Wi Kong Siansu membuat Ban Sai Cinjin bernapas lega, meski pun mereka berdua juga tidak berdaya mendesak Lie Siong. Tapi sebaliknya, Hailun Thaitek Sam-kui menjadi sibuk sekali karena setelah ditinggalkan oleh Wi Kong Siansu, mereka sekarang terdesak hebat oleh Lili.

“Siong-ko (Kakak Siong), hayo kita bikin mampus lima ekor anjing ini. Ie-ie Im Giok telah terbunuh oleh mereka ini!” seru Lili kepada Lie Siong.

Mendengar seruan ini, serangan Lie Siong bukannya lebih cepat, bahkan tiba-tiba daya serangnya banyak berkurang. Pemuda ini menerima pukulan batin yang amat hebat saat mendengar warta tentang kematian ibunya ini. Ia menjadi demikian marah, sedih, gemas, dan menyesal sekali sehingga tubuhnya terasa lemas dan dia tidak dapat mengerahkan lweekang-nya dengan sempurna lagi.

Hal ini tentu saja menggirangkan hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin karena tadinya mereka berdua sudah menjadi gelisah sekali. Hailun Thai-lek Sam-kui terdesak hebat sedangkan mereka juga agaknya tak akan mampu mengalahkan pemuda ini. Kini melihat kesempatan ini, Ban Sai Cinjin lalu berkata,

“Jangan layani mereka lagi, belum tiba waktunya mengadu kepandaian! Kita telah berjanji musim chun di puncak Thian-san!”

Ucapan ini hanya untuk menutup rasa malu saja, akan tetapi membuat Hailun Thai-lek Sam-kui ‘ada muka’ untuk mengundurkan diri. Bagaikan sedang berlomba, mereka semua cepat memutar tubuh lalu melarikan diri dari tempat itu!

“Bangsat rendah, hendak lari kemana kau?” Lili yang menjadi gemas lalu mengejarnya. Juga Lie Siong mengejar, akan tetapi pemuda ini tak dapat melampaui Lili karena kedua kakinya menggigil.

Tiba-tiba lima orang kakek itu membalikkan tubuh dan ketika tangan mereka bergerak, banyak sekali am-gi (senjata gelap) menyambar ke arah Lili dan Lie Siong! Lili segera melompat ke atas dan ketika kaki tangannya bergerak, dia telah dapat menangkap dua batang panah tangan beracun sedangkan kedua kakinya telah berhasil menendang jauh empat butir peluru besi!

Yang hebat adalah Lie Siong. Pemuda ini baru saja digembleng oleh seorang kakek aneh yang ternyata seorang ahli lweekeh dan juga seorang ahli senjata rahasia. Melihat datangnya senjata-senjata gelap itu, biar pun tubuhnya sudah gemetar dan lemah karena luka di dalam batinnya yang terpukul oleh berita kematian ibunya, dengan tenang Lie Siong lalu berjongkok dan pedangnya disabetkan ke atas hingga semua senjata rahasia itu terpukul ke atas. Berbareng dengan itu, tangan kirinya sesudah mencengkeram ke bawah lalu bergerak dan bagaikan kilat menyambar, batu-batu kerikil dari tangan kirinya itu meluncur ke arah lima orang kakek itu!

Inilah serangan gelap yang luar biasa dari Lie Siong. Batu-batu kerikil itu dipegangnya seperti kalau ia bermain gundu dengan gurunya dan kini batu-batu itu meluncur dengan luar biasa cepatnya ke arah tubuh lima orang lawan itu, tepat ke arah jalan-jalan darah di tubuh mereka!

Lima orang kakek itu sambil berseru kaget lalu bergerak mengelak, akan tetapi Bouw Ki dan Lak Mao Couwsu kurang cepat gerakannya sehingga biar pun batu-batu kerikil itu tidak tepat mengenai jalan darah yang dapat mengirim nyawa mereka ke tangan maut, namun tetap saja kulit mereka pecah-pecah terkena kerikil-kerikil itu! Dengan berlumur darah, kedua orang ini cepat menyeret tubuh mereka mengikuti jejak tiga orang kawan lainnya yang sudah melarikan diri terlebih dulu!

Lili hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat Lie Siong terhuyung-huyung ke depan dan roboh! Gadis ini kaget sekali dan cepat menubruk tubuh Lie Siong, kemudian diangkatnya. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu menderita luka di dalam tubuh, maka ia menjadi amat berkuatir. Ketika ia mengangkat Lie Siong hendak dibawa lari ke makam Ang I Niocu, Lo Sian yang mengejar sudah sampai di situ dan orang tua ini dengan kaget lalu minta tubuh Lie Siong itu dan dipondongnya sendiri.

“Terlukakah dia, Lili?”

Gadis itu hanya memandang sedih. “Entahlah, Suhu, aku tidak melihat dia terpukul, juga tidak ada tanda darah. Akan tetapi tahu-tahu dia hendak roboh.”

Mereka lalu mengangkat tubuh Lie Siong dan meletakkannya di atas rumput di depan makam kedua orang tua pemuda itu. Lili tanpa diminta lalu pergi mencari air, dan setelah kembali dia lalu menyusuti muka Lie Siong dengan sapu tangannya yang sudah basah, kemudian dia mengucurkan air di kepala pemuda itu.....

Tak lama kemudian Lie Siong membuka kedua matanya dan cepat sekali dia melompat bangun. Kedua matanya memandang beringas bagaikan seekor harimau lapar mencium darah.

“Mana mereka? Mana pembunuh-pembunuh ibuku? Lili, katakan, mana mereka? Hendak kucekik semua batang lehernya!” Sambil membelalakkan sepasang matanya Lie Siong memandang ke sana ke mari dengan mata jelalatan.

Lili melompat bangun dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi dia memegang tangan Lie Siong.

“Siong-ko, tenanglah. Di mana kegagahanmu? Atur napasmu dan tenangkan batinmu, baru kita bicara lagi.”

Bagaikan seekor kambing jinak, Lie Siong menurut saja pada saat dipimpin oleh Lili dan disuruh duduk di atas tanah. Sambil berpegangan tangan, sepasang orang muda ini lalu duduk meramkan mata dan mengatur napas mengumpulkan tenaga.

Dengan setia Lili menyalurkan hawa dan tenaga dalam tubuhnya melalui telapak tangan Lie Siong untuk membantu pemuda ini. Ia sekarang tahu bahwa pemuda ini tadi pingsan karena pukulan batin yang berduka.

Pikiran Lie Siong kacau tidak karuan. Tadinya dia sudah dapat mengatur napasnya dan menentramkan pikiran dan batinnya yang tergoncang, akan tetapi, pada waktu ia merasa betapa dari dua telapak tangan Lili itu mengalir hawa hangat yang membantu peredaran darahnya, dia menjadi demikian terheran-heran, girang, terharu, sedih, semua tercampur aduk menjadi satu sehingga kembali tubuhnya menjadi panas dingin. Hawa Im dan Yang mengalir di tubuhnya saling bertentangan dan karena tidak seimbang, sebentar tubuhnya menjadi panas dan sebentar dingin sekali!

Lili dapat merasakan ini, maka dia lalu menghentikan emposan semangat dan hawa, lalu melepaskan tangannya dan berkata perlahan,

“Siong-ko, jangan kau kacaukan pikiran sendiri. Tenanglah dan ingat bahwa hidup atau mati bukan berada di tangan manusia.”

Akhirnya Lie Siong dapat menenangkan batinnya, kemudian dia membuka matanya dan dengan pandangan sayu dan muka pucat, dia bertanya,

“Di mana... dia? Mana ibuku?”

Lili menuding ke arah dua gunduk tanah di depan mereka, dan berkata perlahan, “Kami telah menguburnya baik-baik, di samping kuburan ayahmu.”

Lie Siong menoleh cepat dan melihat dua gundukan tanah. Yang satu sudah lama, akan tetapi yang ke dua masih baru sekali. Ia lalu menubruk dan menangis terisak-isak di atas kuburan ayah bundanya itu!

Lili tak dapat menahan keharuan hatinya dan ikut pula mengucurkan air mata, sedangkan Sin-kai Lo Sian berulang-ulang menarik napas panjang. Dia memberi tanda kepada Lili agar supaya mendiamkan saja pemuda itu, karena sewaktu-waktu air mata sangat baik sekali untuk penawar hati yang duka.

Setelah agak lama Lie Siong menangis sambil memeluk gundukan tanah itu, Lili berkata perlahan, “Tak baik bagi orang-orang gagah menumpahkan air matanya.”

Lie Siong mendengar ucapan ini dan terbangun semangatnya. Dia menyusut air matanya hingga kering dan kini matanya menjadi merah. Ia berlutut di depan gundukan-gundulcan tanah itu dan berkata dengan suara menyeramkan,

“Ayah, Ibu, anakmu bersumpah bahwa sebelum aku berhasil membunuh Ban Sai Cinjin, aku tak akan mau berhenti berusaha.”

Setelah berkata demikian, ia lalu bangun berdiri dan menoleh kepada Lo Sian, katanya, “Lo-pek, bagaimanakah terjadinya hal ini?”

Lo Sian kemudian menceritakan sejelasnya tentang sepak terjang Ang I Niocu, juga dia menceritakan pula tentang Lie Kong Sian yang tewas di tangan Ban Sai Cinjin karena dia sudah dapat mengingat itu semua. Setelah mendengar penuturan kakek pengemis yang budiman ini, Lie Siong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian.

“Lopek, kau benar-benar telah melakukan pembelaan hebat sekali terhadap kedua orang tuaku. Aku Lie Siong bersumpah bahwa selama hidup aku akan menganggapmu sebagai orang tuaku sendiri. Lo-pek, terimalah hormatku dan rasa terima kasihku yang tulus.”

Lo Sian menjadi terharu. “Lie Siong, sudah sepatutnya kau menganggap aku sebagai pengganti orang tuamu, oleh karena, dengan disaksikan oleh Hong Li, pada saat hendak menutup mata, ibumu berpesan agar supaya aku suka menjadi walimu. Oleh karena itu, mulai sekarang aku menganggap kau sebagai puteraku sendiri, Siong-ji.”

“Terima kasih, Lo-pek, terima kasih banyak,” kata Lie Siong dengan hati terharu sekali. “Dan sekarang maafkanlah, aku akan cepat menyusul dan mencari Ban Sai Cinjin. Kalau tugasku ini telah berhasil, barulah aku akan mencarimu dan selanjutnya kita hidup seperti ayah dan anak.” Setelah berkata demikian, Lie Siong hendak pergi.

“Tunggu dulu, aku pun hendak membalas dendamku kepada Ban Sai Cinjin. Marilah kita gempur dia bersama!” tiba-tiba Lili berkata sambil melangkah maju.

Lie Siong menengok ke arah dara itu. Tadinya ia tidak pernah mempedulikan kepada Lili oleh karena sebenarnya dia merasa amat jengah dan malu. Tadi gadis ini telah bersikap begitu lembut dan baik terhadapnya, sedangkan ia pernah melakukan hal-hal yang cukup dapat membuat gadis itu merasa marah dan sakit hati. Bahkan sepatu gadis itu hingga kini masih berada di saku bajunya!

“Nona, harap kau jangan menyusahkan diri sendiri. Biarlah urusan balas dendam ini aku lakukan sendiri karena ini sudah menjadi tugasku yang suci.”

“Kau pikir hanya kau saja seorang yang menaruh hati dendam kepada kakek jahanam itu? Dengarlah, sebelum kau mengetahui nama Ban Sai Cinjin, muridnya sudah pernah menculikku di waktu aku masih kecil, bahkan telah membunuh mati kakekku! Kemudian aku juga pernah bertempur melawan Ban Sai Cinjin dan dirobohkan dengan cara curang. Apakah itu bukan perbuatan yang harus dibalas? Belum diingat lagi betapa dia sudah mengajak kawan-kawannya memusuhi kakakku Hong Beng dan calon iparku Goat Lan!”

“Aku telah mendengar akan hal itu, Nona. Akan tetapi perjalanan ini jauh dan sukar sekali karena aku sendiri belum tahu di mana adanya Ban Sai Cinjin. Tadi pun sudah terlihat betapa Ban Sai Cinjin mempunyai kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, maka dapat dibayangkan betapa sukar dan berbahayanya pekerjaan ini.”

“Kau kira hanya kau sendiri saja yang memiliki keberanian? Kau kira aku takut kepada Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya?” Dengan wajah merah ia menegakkan kepala dan mengangkat dada, sepasang matanya bersinar marah. Timbul sifat-sifat keras dari dara yang seperti ibunya ini.

Sebetulnya, tak dapat disangkal lagi Lie Siong akan merasa girang dan suka sekali bila melakukan perjalanan bersama gadis yang setiap saat menjadi kenangannya ini. Akan tetapi apa yang ia katakan tadi memang keluar dari hatinya yang tulus. Ia merasa kuatir kalau-kalau gadis yang dicintainya ini akan menghadapi mala petaka kalau ikut mencari Ban Sa Cinjin dan kawan-kawannya yang berbahaya dan berkepandaian tinggi.

Ia ingin membereskan musuh besarnya ini seorang diri saja dan kemudian, barulah dia akan mendekati gadis ini. Baginya sendiri, tidak usah takut karena dia sudah menerima gemblengan hebat dari gurunya yang baru, akan tetapi Lili...?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Lili juga berpikir sebaliknya! Gadis ini pernah bertempur melawan Lie Siong dan meski pun dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tidak rendah, akan tetapi apa bila menghadapi keroyokan Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain, bisa berbahaya.

Dia sendiri sudah membuktikan bahwa walau pun dengan tangan kosong, Ilmu Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat sudah cukup hebat untuk digunakan menjaga diri. Pendek kata, kedua orang muda ini saling memandang ringan karena tidak tahu bahwa masing-masing telah menemukan guru baru.

“Harap kau bersabar, Nona...,” Lie Siong berkata pula.

“Sungguh menyebalkan!” Lili berseru marah.

“Apa yang menyebalkan?” Lie Siong mengerutkan kening dan bertanya tak senang pula. Kalau dia dianggap menyebalkan...

“Sebutanmu dengan nona-nonaan itu! Kau adalah putera dari Ie-ie Im Giok, walau pun bukan keluarga kita sudah seperti saudara saja, atau tepatnya, kita orang segolongan. Kenapa mesti berpura-pura sheji (sungkan) seperti orang asing? Tadi kau bisa menyebut namaku, apakah sekarang sudah lupa lagi? Namaku Sie Hong Li atau seperti sebutanmu tadi cukup dengan Lili saja. Siapa sudi kau panggil nona?”

Merah muka Lie Siong mendengar ini dan untuk sesaat ia hanya menundukkan mukanya saja seperti seorang anak kecil dimarahi ibunya! Lo Sian hampir tidak dapat menahan gelak tawanya melihat sikap kedua orang muda yang sama-sama keras hati ini.

“Lili,” kata Lie Siong dengan lidah berat karena sesungguhnya dia merasa sungkan dan malu-malu untuk menyebut nama ini dengan mulutnya, sungguh pun nama ini setiap saat disebut-sebutnya dengan suara hatinya, “harap kau jangan main-main dan suka berpikir masak-masak. Tentu saja aku maklum bahwa kau memiliki keberanian dan tidak takut menghadapi Ban Sai Cinjin. Akan tetapi… urusan membalas dendam kedua orang tuaku ini biarlah kau serahkan saja kepadaku sendiri. Hanya akulah seorang yang berhak untuk menuntut pembalasan, karena dua orang tuaku hanya mempunyai aku seorang! Lili... maukah kau memberi sedikit kelonggaran padaku dan tidak akan merampas harapanku ini? Jangan kau mendahului aku menewaskan Ban Sai Cinjin!”

Lili tertegun. Hemm, jadi demikiankah gerangan maksud hati pemuda ini? Dia tak dapat menjawab lagi hanya memandang dengan sepasang matanya yang bening.

“Siong-ji, kau keliru!” tiba-tiba Lo Sian berkata dan kedua orang muda itu terkejut karena tadi keduanya telah lupa sama sekali akan orang tua ini! “Sebagai calon mantu, Lili juga berhak penuh seperti engkau pula untuk membalas sakit hati ayah bundamu!” Sesudah ucapan ini keluar, barulah Lo Sian sadar bahwa dia telah bicara terlalu banyak dan tak terasa lagi dia menutup mulutnya dengan tangan.

Tiba-tiba Lili merasa mukanya panas dan menjadi merah sekali, karena itu dia kemudian menundukkan mukanya. Kenapa Lo Sian membuka rahasia ini? Sungguh terlalu, pikirnya dengan gemas, akan tetapi juga girang.

Ada pun Lie Siong yang mendengar ucapan ini otomatis lalu menengok ke arah Lili dan ketika melihat gadis itu menundukkan mukanya, ia menjadi makin tak mengerti. Tadinya ia menganggap Lo Sian hanya bergurau saja untuk menggoda dia dan Lili, akan tetapi mengapa Lili gadis galak itu tidak menjadi marah, bahkan kelihatan malu-malu?

“Lo-pek, mengapa kau main-main dalam keadaan seperti ini? Mengapa Lo-pek menyebut Lili sebagai calon mantu ayah bundaku? Apakah artinya ini?”

Lo Sian sudah mengenal watak Lie Siong, pemuda yang tidak suka banyak bicara, akan tetapi yang berhati keras dan jujur. Setelah terlanjur bicara, dia tidak dapat menutupinya lagi, maka ia lalu menceritakan dengan jelas betapa Ang I Niocu telah menganggapnya sebagai wali dan telah menetapkan perjodohan antara Lie Siong dan Lili!

“Nah, setelah sekarang kau mengetahui bahwa menurut pesan ibumu, Lili adalah calon jodohmu biar pun belum diajukan pinangan resmi kepada Sie Taihiap, apakah kau pikir tidak sepatutnya kalau Lili memperlihatkan baktinya kepada mendiang calon mertuanya? Ingatlah, Siong-ji, kau mengaku aku sebagai pengganti orang tuamu dan aku pun sudah menganggap engkau sebagai puteraku sendiri. Kau harus tahu bahwa lawan-lawan yang akan kau hadapi adalah orang-orang yang selain lihai juga amat cerdik dan curang. Ban Sai Cinjin kiranya tidak perlu kau takuti kepandalan silatnya, akan tetapi kau benar-benar harus awas dan waspada menghadapi siasatnya yang licin dan curang. Dengan adanya Lili membantumu, bukankah kalian akan menjadi lebih kuat dan lebih berhasil membalas dendam? Tidak saja tenagamu akan menjadi berlipat dua kali sebab kepandaian Lili juga tidak rendah, bahkan kalian bisa saling menjaga dan saling bela.”

Lili yang mendengarkan semua ucapan ini sekarang tidak berani mengangkat mukanya yang kemerahan. Setelah kini rahasia itu dibuka kepada Lie Siong, entah mengapa, dia tidak berani memandang pemuda itu dengan langsung.

Ada pun Lie Siong juga menjadi merah mukanya, sebentar dia menoleh kepada makam ibunya dengan hati terharu, kemudian kadang-kadang dia mengerling ke arah Lili dengan hati berdebar tidak karuan. Juga pemuda ini tidak dapat menjawab ucapan Lo Sian tadi sehingga orang tua itu tersenyum, lalu menganggap bahwa kedua orang muda itu kini sudah setuju untuk melakukan perjalanan bersama.

“Lie Siong, dan kau Lili. Berhati-hatilah kalian melakukan tugas yang berat ini. Aku akan kembali ke rumah Sie Taihiap untuk melaporkan semua hal ini agar mereka pun segera beramai-ramai menyusulmu untuk memberi bantuan.”

Setelah berkata demikian, Lo Sian kemudian meninggalkan dua orang muda itu dengan tindakan kaki cepat.

********************

Sepasang remaja itu berdiri saling berhadapan. Sampai lama sunyi saja, bibir serasa terkunci rapat-rapat karena malu untuk mengeluarkan suara. Lucu sekali kalau dilihat. Lili menundukkan mukanya yang kemerahan ada pun Lie Siong memandang ke lain jurusan tanpa bergerak.

Pemuda ini mengerutkan keningnya. Dia seharusnya berterima kasih kepada mendiang ibunya yang demikian tepatnya memilihkan calon isteri untuknya. Ia mencintai Lili, ini ia tidak ragu-ragu lagi. Bayangan gadis itu tidak pernah meninggalkan cermin hatinya. Akan tetapi pada saat itu teringatlah dia kepada Lilani.

Lili adalah seorang gadis yang cantik dan pandai, puteri dari Pendekar Bodoh, seorang gadis terhormat yang pasti akan didatangi oleh peminang-perninang dari kalangan tinggi. Bagaimana ia dapat menjadi suami Lili padahal ia yang telah melakukan perbuatan amat memalukan dengan Lilani? Dia yang sudah melanggar kesusilaan, yang menyia-nyiakan cinta Lilani dan yang mencemarkan kepercayaan gadis Haimi itu padanya? Apakah kelak Lili takkan hancur hatinya kalau mendengar tentang dia dan Lilani?

Dia tahu bahwa tak mungkin selama hidup ia akan merahasiakan hal itu dari Lili, karena dengan menyimpan rahasia itu berarti bahwa ia akan menyiksa batin sendiri selamanya, akan selalu merasa sebagai seorang yang berdosa dan tidak bersih terhadap Lili!

“Siong-ko, mengapa kau diam saja. Aku merasa seakan-akan telah menjadi patung, kau juga!” tiba-tiba Lili gadis yang lincah gembira ini lebih dulu memecahkan kesunyian. Tidak kuatlah gadis seperti Lili harus berdiam seperti itu lebih lama lagi.

Lie Siong terkejut dan terbangun dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan bertemulah dua pasang mata. Lili memandang dengan jujur dan terang, membuat Lie Siong merasa makin kotor dan tak berharga pula.

“Lili... aku... aku merasa tidak pantas...,” dia menghentikan kata-katanya.

“Tidak pantas bagaimana, Siong-ko? Lanjutkanlah!” dengan kening berkerut Lili bertanya, hatinya merasa tidak enak.

“Tidak pantas seorang pemuda seperti... aku melakukan perjalanan bersama seorang dara seperti... engkau! Sudahlah, Lili, lebih baik kau pulang saja, biar aku sendiri mencari dan menghancurkan kepala Ban Sai Cinjin. Kau tunggu saja di rumah dan kelak... kelak mungkin kita akan bertemu lagi, bila aku tidak roboh di tangan musuh-musuhku. Selamat berpisah!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu melompat jauh dan pergi meninggalkan tempat itu.

Lili membanting-banting kakinya dengan gemas. Dia merasa tidak dipandang mata dan diremehkan sekali. Dengan marah dia pun cepat berkelebat mengejar.

Lie Siong heran sekali melihat betapa gadis itu sudah dapat menyusulnya, padahal dia sudah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang paling tinggi dan tadinya dia merasa pasti bahwa gadis itu tidak mungkin dapat menyusulnya. Saking herannya dia menghentikan larinya dan menengok.

“Orang she Lie! Kalau kau tidak sudi melakukan tugas ini bersamaku, apakah kau kira aku Sie Hong Li tak dapat melakukannya sendiri? Kita sama-sama lihat saja siapa nanti yang akan lebih cepat berhasil membasmi Ban Sai Cinjin!” Setelah berkata demikian, Lili lalu mengerahkan ilmu lari cepat dan membelok ke kiri meninggalkan Lie Siong!

Lie Siong tertegun, tidak hanya melihat kemarahan gadis itu akan tetapi melihat betapa ginkang dari gadis ini benar-benar telah demikian hebatnya sehingga belum tentu kalah olehnya! Ia ingat betul bahwa dahulu ketika bertempur dengan dia, kepandaian Lili belum setinggi ini. Bagaimana gadis ini demikian cepat majunya? Apakah ia khusus dilatih dan digembleng oleh Pendekar Bodoh?

Betapa pun juga, Lie Siong masih belum tahu bahwa gadis ini bahkan sudah mahir Ilmu Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang sangat lihai, dan mengira bahwa Lili hanya mendapat kemajuan dalam hal ginkang saja. Kini melihat kenekatan gadis itu mencari Ban Sai Cinjin dan tidak mau pulang, ia menjadi terkejut dan gelisah.

Apa bila sampai gadis itu berhasil bertemu dengan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya, bukankah itu berbahaya sekali? Tanpa terasa lagi, dia pun lalu mengubah arah tujuannya dan dia berlari cepat mengejar ke arah kiri.

Lili melakukan perjalanan cepat dengan tujuan Pegunungan Thian-san. Gadis ini teringat bahwa karena musim chun yang dinanti-nantikan untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya tak lama lagi tiba, paling banyak tiga puluh lima hari lagi, maka tentu Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan yang lain telah menuju ke sana.

Beberapa hari kemudian dia sampai di kota Kun-lin-an. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya juga sudah berada di kota ini, bahkan telah bertemu dengan Bouw Hun Ti di tempat ini.

Sebagaimana dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi mencari jago-jago silat yang suka membantu mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh sekeluarga. Dan pada waktu itu, Bouw Hun Ti sudah berada di Kun-lin-an bersama tiga orang tosu tua yang bertubuh kurus kering, akan tetapi tiga orang tosu ini sesungguhnya adalah tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.

Ketika Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui melarikan diri dari kejaran Lili dan Lie Siong, mereka tiba di kota ini dan bertemu dengan Bouw Hun Ti. Segera mereka membuat rencana untuk membikin pembalasan. Dengan adanya ketiga orang tosu itu, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapi Pendekar Bodoh.

Memang, tiga orang tosu itu bukanlah orang-orang sembarangan saja, mereka adalah ketua dari Pek-eng-kauw (Perkumpulan Agama Garuda Putih) dari barat, bernama Thai Eng Tosu, Sin Eng Tosu, dan Kim Eng Tosu. Mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hendak menghadapi Pendekar Bodoh, tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe ini dengan senang hati sanggup membantu dan ikut pergi bersama Bouw Hun Ti.

Memang tiga orang kakek ini mempunyai dendam terhadap Pendekar Bodoh. Sebetulnya bukan kepada Cin Hai mereka menaruh dendam, melainkan kepada Bu Pun Su yang telah menewaskan guru mereka. Akan tetapi oleh karena Bu Pun Su sudah meninggal dunia, maka dendam mereka itu kini hendak mereka balaskan terhadap murid dari Bu Pun Su!

Oleh karena Lili telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali, setelah makan dan membersihkan tubuh serta berganti pakaian, dara perkasa ini lalu masuk ke dalam kamarnya di sebuah hotel untuk beristirahat. Saking lelahnya maka sebentar saja ia telah pulas dan di dalam tidurnya bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Lie Siong dan bertengkar urusan sepatunya yang dirampas dulu, kemudian mereka saling menyerang dengan hebat!

Lili tertegun dengan hati terkejut karena ia benar-benar mendengar suara senjata beradu nyaring sekali dan suara orang bertempur hebat! Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia hendak melompat turun dari pembaringan, tubuhnya tidak dapat digerakkan! Ia hendak mengerahkan tenaga, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa dia sudah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali sehingga ia menjadi lumpuh kaki tangannya. Sementara itu, suara pertempuran di atas genteng makin menghebat dan dengan bingung serta tak berdaya Lili berpikir-pikir apakah yang sesungguhnya telah terjadi.

Sebagaimana diketahui, setelah ditinggalkan oleh Lili di tengah hutan itu, Lie Siong lalu mengejar dan secara diam-diam dia mengikuti perjalanan gadis yang dikasihinya itu. Dia tak berani memperlihatkan muka karena dia merasa malu dan kuatir kalau-kalau Lili akan menjadi marah.

Untuk melepaskan gadis itu begitu saja dan mencari jalan sendiri, dia tidak tega karena maklum betapa lihainya lawan-lawan yang mereka kejar-kejar. Maka secara diam-diam ia hendak melindungi gadis itu dan bila sampai mereka bertemu dengan musuh, bukankah mereka akan dapat menghadapi dengan lebih kuat?

Demikianlah, ketika Lili bermalam di hotel di kota Kun-lin-an, secara diam-diam Lie Siong mengintai dan setelah melihat gadis itu memasuki kamarnya, ia pun kemudian menyewa sebuah kamar di hotel itu juga! Dia sudah mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi menjumpai Lili dan menyatakan terus terang kehendaknya, yaitu melakukan perjalanan bersama. Dia sudah nekat dan bersedia untuk ditertawakan atau bahkan dimaki, karena melakukan perjalanan macam ini sungguh tidak enak baginya.

Malam itu Lie Siong tidak dapat pulas. Kalau dia memikirkan hidupnya, dia menjadi amat gelisah. Kedua orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan, yaitu terbunuh oleh orang jahat. Kemudian di dalam perantauannya dia telah bertemu dengan Lilani yang membuat ia selalu menyesali pertemuan itu, dan akhirnya ia bertemu dengan Lili yang sudah membetot sukmanya serta menguasai cinta kasihnya, bahkan mendiang ibunya telah berniat menjodohkan dia dengan Lili.

Akan tetapi kalau dia teringat akan Lilani, hatinya menjadi perih sekali. Memang betul bahwa dia telah memenuhi kewajibannya seperti yang telah dinasehatkan oleh Thian Kek Hwesio, orang tua bijaksana ahli pengobatan yang tinggal di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu itu. Yaitu kewajiban untuk mengantar Lilani sampai dapat bertemu dengan suku bangsanya kembali.

Kini Lilani telah berkumpul dengan suku bangsanya dan urusannya dengan Lilani telah beres. Akan tetapi betulkah urusan itu telah beres? Kalau sampai Lili mengetahui hal itu bukankah akan terjadi ribut besar?

Benar-benar Lie Siong menjadi pusing memikirkan hal ini. Tiba-tiba dia mendengar suara di atas genteng dan terheranlah hatinya. Itu bukan suara orang berjalan, pikirnya. Lebih pantas kalau suara seekor burung besar mengibaskan sayapnya dan turun dengan kaki hampir tak bersuara di atas genteng!

Kalau saja ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu pemuda ini akan terus berbaring di atas tempat tidurnya, menanti saja apa yang akan terjadi. Akan tetapi pada waktu itu, pikirannya penuh dengan penjagaan terhadap Lili, maka dia lantas cepat-cepat memakai sepatunya dan menyambar Sin-liong-kiam. Setelah itu, dia lalu membuka daun jendela dan secepat kilat dia melompat keluar, terus melayang naik ke atas wuwungan rumah hotel itu.

Alangkah terkejutnya ketika ia melihat tiga orang tosu tinggi kurus berdiri di atas genteng tepat di atas kamar Lili dan seorang di antara mereka meniupkan asap hijau ke dalam kamar. Pada waktu Lie Siong menengok, selain tiga orang tosu ini masih nampak pula bayangan seorang gemuk memegang huncwe. Ban Sai Cinjin! Bukan main marahnya Lie Siong dan tanpa banyak cakap lagi ia segera menerjang dengan pedangnya, menyerang tiga orang tosu yang sedang mempergunakan obat pulas untuk mencelakai Lili!

Memang yang datang adalah tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe yang dibawa oleh Ban Sai Cinjin. Kakek berhuncwe ini telah melihat Lili berada di dalam kota ini pula. Sesudah menyelidiki dan mengetahui bahwa gadis musuhnya itu bermalam di hotel itu, dia lalu mengajak kawan-kawannya untuk menawan gadis itu.

Wi Kong Siansu mula-mula menyatakan tidak setuju, karena perbuatan ini dianggapnya terlalu memalukan mereka sebagai orang-orang gagah dan tokoh-tokoh terkemuka. Akan tetapi Ban Sai Cinjin lalu menyatakan bahwa ia sama sekali tidak hendak mencelakai Lili, hanya hendak menawannya saja sebagai tanggungan kalau-kalau mereka kelak kalah oleh Pendekar Bodoh! Biar pun kalah, apa bila mereka menguasal Lili, tentu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya tidak berani membunuh atau mencelakai mereka.

Alasan-alasan yang cerdik dari Ban Sai Cinjin membuat Wi Kong Siansu tidak mampu membantah, akan tetapi tetap saja kakek kosen ini tak mau ikut turun tangan melakukan penangkapan itu. Juga Hailun Thai-lek Sam-kui walau pun paling doyan berkelahi tetapi tidak suka untuk turut membantu penangkapan ini. Oleh karena itu Ban Sai Cinjin lalu minta pertolongan tiga orang ketiga Pek-eng-kauw itu.

Kepandaian tiga orang kakek ini memang sangat hebat, kiranya tidak di sebelah bawah kepandaian Wi Kong Siansu. Selain Ilmu Silat Garuda Putih yang khusus mereka miliki, juga cara mereka melompat adalah seperti gerakan burung garuda, dengan dua lengan dipentang dan lengan baju yang lebar seperti sayap.

Selain ini, Kim Eng Tosu yang termuda di antara mereka, juga merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan obat tidur dan racun-racun yang lihai untuk merobohkan lawan. Memang, Kim Eng Tosu ini pada waktu mudanya terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang amat ditakuti orang.

Pada saat tiga orang kakek ini sedang melakukan usaha mereka menangkap Lili dengan menggunakan asap memabukkan, Lie Siong lantas menerjang mereka dan mengerjakan Sin-liong-kiam dengan hebatnya. Dia tidak menerima pelajaran khusus dari gurunya yang baru, kecuali permainan gundu. Akan tetapi, gurunya itu telah banyak memberi perbaikan terhadap ilmu pedangnya dan ilmu silatnya. Setiap kali ia berlatih silat di depan gurunya, selalu gurunya itu mencela ini dan memperbaiki itu sehingga ilmu pedang dan ilmu silat pemuda ini mendapat kemajuan yang luar biasa sekali, di samping kemajuan-kemajuan dalam ginkang dan lweekang-nya.

Akan tetapi ketika dia menyerang tiga orang orang tosu itu dengan marah, ketiga ketua Pek-eng-kauw itu hanya mengebutkan lengan baju mereka yang lebar dan mereka sudah dapat mengelak dengan cepat sekali. Bahkan Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu segera menggerakkan tangan mereka dan meluncurlah ujung lengan baju yang panjang-panjang itu melakukan serangan pembalasan yang hebat.

Lie Siong kaget sekali melihat kelihaian mereka, akan tetapi ia lalu memutar pedangnya sedemikian rupa dan melawan mereka dengan sepenuh tenaga. Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu juga tertegun menyaksikan seorang pemuda yang memiliki kepandaian selihai ini, maka mereka berlaku hati-hati sekali.

Lie Siong belum pernah menghadapi ilmu sesat seperti yang mereka mainkan itu, yaitu dengan kedua lengan terbuka dan ujung lengan baju menyambar-nyambar, persis seperti dua ekor burung garuda besar yang menyabet-nyabet dengan sayap dan kadang-kadang menendang dengan kaki.

Ada pun Ban Sai Cinjin setelah melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, menjadi marah sekali dan sambil tertawa bergelak dia pun maju mengurung.

“Ji-wi Toyu, pemuda ini jahat seperti serigala, harus dibunuh!”

Sementara itu, Thai Eng Tosu mempergunakan kesempatan itu untuk melompat masuk ke dalam kamar Lili yang belum terkena pengaruh asap tadi karena keburu datang Lie Siong. Akan tetapi dalam keadaan masih tidur ia telah ditotok oleh Thai Eng Tosu yang lihai sehingga ketika ia terbangun dengan kaget, ia telah tak berdaya lagi.

Thai Eng Tosu memang cerdik sekali. Pada saat tadi dia menyaksikan gerakan seorang pemuda yang demikian cepat dan lihainya, dia pikir lebih baik membuat gadis di dalam kamar tidak berdaya karena dia telah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa gadis itu pun lihai sekali. Bila sampai gadis itu bangun dan maju berdua dengan pemuda ini, agaknya tidak akan mudah menangkapnya! Maka setelah membuat Lili tidak berdaya, barulah dia melompat lagi ke atas genteng untuk mengeroyok Lie Siong!

Sebetulnya dalam hal kepandaian, kalau diadakan perbandingan, meski pun dengan Ban Sai Cinjin seorang saja, Lie Siong sudah tentu kalah latihan serta kalah pengalaman. Pemuda ini dapat mengatasi Ban Sai Cinjin hanya karena dia menang tenaga, menang semangat, dan juga pemuda ini semenjak kecilnya mempelajari ilmu silat yang bermutu tinggi.

Terutama sekali karena akhir-akhir ini, biar pun dalam waktu singkat, Lie Siong menerima gemblengan yang amat hebat dari orang luar biasa, tokoh persilatan tersembunyi seperti kakek tukang main kelereng itu. Maka, dalam hal ginkang dan lweekang, dia sekarang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin!

Namun, tetap saja Ban Sai Cinjin merupakan seorang lawan berat baginya. Apa lagi sekarang di situ terdapat tiga orang tosu yang kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaian Ban Sai Cinjin.

Lie Siong melakukan perlawanan secara nekad. Dia memutar pedang naganya dengan secepat kilat dan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk merobohkan empat orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, diam-diam Lie Siong harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia menghadapi lawan-lawan yang berat seperti empat orang kakek ini. Terutama sekati Thai Eng Tosu yang bersenjatakan sebatang suling kecil. Bukan main lihai dan berbahayanya sehingga beberapa kali Lie Siong hampir saja terkena totokan suling ini kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke samping.

Melihat betapa Lie Siong sukar sekali dirobohkan, Ban Sai Cinjin menjadi gemas. Maka tiba-tiba sekali, di luar dugaan ketiga orang tosu kawannya dan juga Lie Siong, Ban Sai Cinjin melepaskan tiga batang jarum beracun ke arah pemuda itu.

Lie Siong sedang sibuk menahan serangan tiga orang ketua Pek-eng-kauw yang lihai, maka tentu saja dia tidak bersiap sedia menghadapi serangan gelap ini. Tetapi dia dapat melihat menyambarnya tiga sinar hitam ke arah tubuhnya. Cepat ia menangkis dengan kebutan tangan kiri yang menggunakan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut, namun sebatang jarum hitam tetap saja menancap pada paha kirinya di atas lutut.

Lie Siong menggigit bibir dan menahan sakit, akan tetapi seketika itu juga dia merasa betapa separuh tubuhnya seakan-akan mati. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa dia telah terkena jarum berbisa, maka dia kemudian melompat ke bawah dan melarikan diri secepatnya.

Diam-diam Ban Sai Cinjin merasa girang dan juga kagum karena sedikit pun juga tidak terdengar keluhan sakit dari mulut pemuda itu, padahal dia maklum bahwa jarumnya itu mendatangkan rasa sakit yang luar biasa dan di dalam waktu tiga hari, pemuda itu tentu akan mati!

Dengan cepat ia lalu melompat turun dan memondong tubuh Lili yang tak berdaya lagi itu keluar dari kamar dan dibawa pergi bersama tiga orang tosu lihai itu! Kedatangan mereka disambut oleh Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-tek Sam-kui yang diam-diam merasa girang juga bahwa dua orang di antara calon lawan mereka yang tangguh telah berhasil dikalahkan.

“Bagaimana pun juga harap kau berlaku hati-hati dan jangan sekali-kali mencemarkan namaku dengan perbuatan hina, Sute!” Wi Kong Siansu berkata kepada Ban Sai Cinjin sambil melirik ke arah tubuh Lili yang masih setengah pingsan.

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Jangan kuatir, Suheng. Maksudku pun hanya untuk mencegah Pendekar Bodoh berlaku kejam terhadap kita.”

Dia lalu menghampiri Lili, menotok jalan darah Koan-goan-hiat dan Kian-ceng-hiat pada kedua pundak, kemudian dia membebaskan gadis itu dari keadaannya yang lumpuh. Lili terbebas dari totokan Thai Eng Tosu tadi, akan tetapi sepasang lengannya tidak dapat dipergunakan karena kedua lengan itu telah menjadi lemas tidak bertenaga lagi sebagai akibat dari totokan Ban Sai Cinjin tadi.

Gadis ini berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!

Ban Sai Cinjin terkejut sekali dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas, “Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam huncwe-nya erat-erat.

Wi Kong Siansu melompat maju dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama sekali.

“Nona Sie, kenapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa di antara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan yang telah lewat.”

“Enak saja kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya dengan senyum sindir, ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”

“Suheng, biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.

“Majulah, binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili menantang.

“Sabar, Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”

Biar pun dia merasa amat mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, maka meski pun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang. Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka dia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.

Gadis ini tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai mana agar ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong sudah berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin…..

********************

Lie Siong melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang mati-matian dan biar pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada melarikan diri. Akan tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.

Ia telah berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Dia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Dia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya dia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.

Ban Sai Cinjin tidak akan sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka dia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.

Memang keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak di atas rumput sampai fajar mendatang.

Tapi Ban Sai Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang mana pun juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walau pun nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila telah dikehendaki oleh Thian.

Demikianlah, ketika Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.

“Dia adalah putera Ang I Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.

“Betul, Koko, dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.

“Aduh, panas sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.

“Lihat, Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba menolongnya!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!

Hong Beng lalu memondong tubuh Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda itu masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas tanah yang bersih dan kering.

Goat Lan menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan sangat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman itu.

Darah hitam mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera menggunakan jari telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.

Kemudian Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”

Goat Lan dan Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar meminumkannya.kepada Lie Siong.

Barulah Lie Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh. Kakinya terasa sakit bukan main.

“Jangan bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng berkata dengan ramah.

Lie Siong kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur mulai menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah akibat khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.

“Tidak lama lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang dia hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan menjadi merah mukanya.

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tegurnya.

“Lan-moi, kau... hebat sekali!”

“Hushh, aku hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.

Dengan kata-kata ini Goat Lan seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak yang sangat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap tunangan sendiri sekali pun.

Mereka tidak merasa heran pada waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa dengan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh.

Ada pun Goat Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.

Orang tua mereka berpesan agar mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar