-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 36-40
Begitu ujung kakinya mengenai
golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan
terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai
sampai setengahnya. Ada pun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari
tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar
Bodoh!
Setelah mengalahkan ketiga
orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, kemudian menjura
dan berkata, “Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi
terhadap tiga Koksu!”
Untuk beberapa lama Malangi
Khan tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat
kelihaian Pendekar Bodoh. Dia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua
tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali
lagi ia melengak ketika tiba-tiba saja Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan
belenggu besi itu rontok lantas jatuh terlepas dari tangannya! Tidak hanya
Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di sana menjadi
pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
“Hebat sekali, Pendekar Bodoh.
Sungguh pantas kau disebut pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku
merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di sini, kau akan
kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi kekuasaan
penuh sebagai wakilku!” Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.
Akan tetapi Cin Hai
menggelengkan kepalanya dan dengan suara sungguh-sungguh lalu berkata,
“Malangi Khan yang baik, sejak
dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk
menolong rakyat dan cara yang paling tidak kusukai adalah menjadi pembesar
negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka
meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat
ramah ini, Khan yang mulia.”
Malangi Khan mengerutkan
keningnya. “Kalau begitu, apakah maksudmu datang ke sini? Apakah kau datang
dengan niat mengacau?”
Cin Hai menggelengkan kepala.
“Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tidak lain hendak menjemput keponakanku,
Kwee Cin yang kini sedang menjadi tamu di istanamu. Kedua orang tuanya telah
amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar
dapat pulang bersamaku, Malangi Khan.”
Mendengar ucapan ini, Raja
Mongol itu memandang tajam. “Dan di samping itu, apa lagi kehendakmu?”
“Aku mendengar bahwa seorang
Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang
jahat itu dulu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap
Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!”
Malangi Khan mengangkat tangan
kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap
derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
“Apa maksudnya ini, Malangi
Khan?” tanya Pendekar Bodoh dan kedua matanya yang lebar dan jujur itu kini
bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang
berada di belakang mata itu.
Malangi Khan tertawa bergelak.
“Pendekar Bodoh, kau sudah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan
setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau
berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau
hendak menangkap seorang pembantuku pula.”
Ucapan terakhir ini
sesungguhnya bohong, karena meski pun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu
suhu-nya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti
telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan
dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak
Thian-san. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti kini bukan merupakan pembantunya lagi.
Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat
untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
“Selanjutnya apa kehendakmu,
Malangi Khan?” tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
“Kau akan kutahan di sini dan
takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum
bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!”
Cin Hai tersenyum. “Kalau aku
melarikan diri?”
Malangi Khan juga tersenyum.
“Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau
memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!”
“Malangi Khan, kau benar-benar
cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat
sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!”
“Pendekar Bodoh, kau kira aku
Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?”
“Siapa tahu watak seorang Raja
Besar yang licik seperti kau?” Cin Hai sengaja menghina sehingga Raja itu
mendelikkan mata dan segera memberi perintah kepada penjaga untuk membawa
datang Kwee Cin.
Teganglah seluruh urat dalam
tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Dia sudah mengambil keputusan
untuk segera merampas Kwee Cin kemudian membawanya pergi dari situ. Penjagaan
ribuan orang tentara Mongol itu sama sekali tidak ditakutinya, karena
sesungguhnya dengan kepandaiannya dia dapat membobolkan kepungan itu.
Pintu belakang terbuka dan
muncullah Kwee Cin bersama seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai
dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
“Kouw-thio (Paman)...!” Kwee
Cin berseru girang ketika dia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri.
Akan tetapi sekali sambar saja
Malangi Khan sudah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan
kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam dia
memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa sangat lega melihat bahwa Kwee
Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat sehingga dapat diduga bahwa anak itu
diperlakukan dengan baik di tempat itu.
“Paman Malangi, kenapa kau
memegang tanganku?” tanya Kwee Cin sambil memandang heran kepada Raja itu, yang
menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik
terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi melihat ancaman
Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi
Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin,
tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
“Malangi Khan, janganlah kau
mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah tidak akan merampasnya dengan
kekerasan.”
Malangi Khan memandang heran,
lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia pun lalu duduk bersandar dengan
wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat
orang, karena itu sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji, maka Raja itu telah
percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada
saat itu dia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau
melanggar sumpahnya.
Sebetulnya sumpah tadi
termasuk rencana dan siasatnya, karena meski pun kelihatan bodoh, Cin Hai
sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan
kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Kini melihat Malangi Khan
tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba saja Cin Hai menubruk maju.
Malangi Khan terkejut sekali karena tidak disangkanya Pendekar Bodoh mau
melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan
suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh bukan merampas Kwee Cin melainkan
menangkap Putera Mahkota!
Tak ada seorang pun dapat
mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu
Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, sudah berada di dalam pondongan
Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar
sambil berkata,
“Malangi Khan, kau harus
kembalikan Kwee Cin secara baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti
di benteng Alkata-san!”
Para panglima beserta penjaga
serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru
keras,
“Jangan ganggu dia, kalian
anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!” Raja ini takut kalau serangan anak
buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar
Bodoh.
Demikianlah penuturan yang
didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika dia
datang menghadap Malangi Khan.
“Dan sekarang bagaimana
kehendak Khan yang mulia?” Ban Sai Cinjin bertanya sambil mengepulkan asap
huncwe-nya.
Kedudukan Ban Sai Cinjin
sebagai sekutu boleh dikatakan sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja
Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia telah memberi
kebebasan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
“Sayang sekali dengan adanya
seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,”
kata Raja itu dengan suara menyindir. “Akan tetapi sudahlah, memang amat sukar
mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar
Bodoh. Tiada jalan lain, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar
Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku.”
“Harap Paduka berlaku sangat
hati-hati.” Ban Sai Cinjin memperingatkan. “Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah
mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa
anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka.”
Beberapa orang panglima
membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi
maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, sebab kalau
Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan
kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi,
tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
“Kau harus berhati-hati dan
perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan
dengan baik oleh mereka!” kata Malangi Khan.
Demikianlah, dengan amat
sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam
tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai
Cinjin, tentu sama sekali dia tak akan suka mempercayakan keselamatan putera
tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin lalu dikeluarkan dari
kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin mengempit
anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin
ingat bahwa kakek mewah inilah yang dulu menculiknya, dan tadinya ia sudah
merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain
Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi kini ia diserahkan lagi kepada
kakek ber-huncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan
ingin menangis.
Setelah berpamit kepada
Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu. Akan tetapi
pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba
saja dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang gerakannya cepat
sekali.
Ketika dengan terkejut Ban Sai
Cinjin memandang, alangkah herannya pada saat melihat bahwa yang datang adalah
Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang
sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun.
Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok,
yang jalannya terpincang-pincang dan kalau saja tidak berpegang pada lengan
pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
“Suhu, inilah anak itu yang
harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe
Maut!” pemuda itu berkata kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang
berpegangan pada lengannya.
Kakek itu membuka-buka matanya
yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda,
disambung dengan ketawanya yang lemah, “Heh-heh-heh, berikan kepadaku anak
itu...” suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua
sekali, agak menggetar pula.
Biar pun sudah pernah merasai
kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap
anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul dari pada
Lie Siong, juga di tempat itu dia mempunyai banyak pembantu.
“Apakah kau datang hendak
mengantar kematian?” bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan huncwe-nya
di tangan kanan dan dibarengi teriakan untuk memberi tahu kawan-kawannya.
Sebetulnya teriakan ini tidak diperlukan karena para panglima Mongol, bahkan
Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar
semua.
Lie Siong yang diserang dengan
hebatnya oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis mau pun mengelak. Sebaliknya yang
bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan dua tangannya sambil
terkekeh-kekeh.
Biar pun kedua tangannya kurus
tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin
terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena
direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai
Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala kakek mewah
itu.
Angin pukulan dari kakek tua
renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya,
maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia mengetahui
bagaimana kakek renta ini tadi bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam
pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan kakek tua bangka itu!
“Tangkap...! Keroyok...!” Ban
Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan para panglima segera
maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat
betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.
Ban Sai Cinjin sendiri masih
berdiri tertegun karena baru satu kali selama hidupnya dia menyaksikan orang
yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su
yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain
yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su. Akan tetapi sekarang, menghadapi
kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan
terkejut.
Agaknya kepandaian kakek tua
renta ini tidak berada di sebelah bawah dari kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun
Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah
meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia
kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya
belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek yang aneh ini!
Ada pun kakek itu kelihatan
enak-enak saja meski pun dikurung oleh panglima-panglima yang bersenjata tajam.
Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya
beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang
memandang dengan ketakutan.
Sementara itu, karena para
penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong cepat mencabut pedang naganya dan
setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang
golok atau tombak langsung menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur,
bahkan makin merapat.
Kakek tua yang menyedot asap
huncwe tampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk.
“Ahh, huncwe tidak enak,
tembakaunya apek berbau busuk!” katanya menyengir lalu dia menyodorkan huncwe
itu kembali kepada Ban Sai Cinjin.
Si Huncwe Maut ini terbelalak
matanya memandang penuh keheranan karena tadi dia melihat sendiri betapa kakek
ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam huncwe,
tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi dia tidak melihat asap itu
keluar lagi seolah-olah lima kali sedotan itu membuat asapnya terus tersimpan
di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam huncwe-nya
adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah
menerima kembali huncwe-nya, dia hanya berdiri bengong.
Kakek itu memandang ke arah
Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri memimpin sebagian
orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin. Akan tetapi
tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap
hitam bergulung-gulung bagaikan naga hitam yang jahat. Inilah asap dari huncwe
Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lweekang dan khikang luar
biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.
“Awas, mundur...! Asap itu
berbahaya sekali...!” Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan
berbahayanya asap huncwe-nya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi
beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh
pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.
Kakek itu mendekati Lie Siong.
“Muridku, hayo kita pergi!”
Baru saja ucapan ini habis
dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke
atas genteng dan lenyap dari pandangan mata!
Kembali Ban Sai Cinjin
terkejut. Itu adalah ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Bagai mana pemuda itu
tiba-tiba saja sudah memiliki kepandaian ini? Melihat gerakan pedang pemuda
tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah
ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang sakti tadi
dan dibawa melompat pergi.
Pada saay dia memandang ke
arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang
ditujukan kepadanya sehingga dia menjadi kaget. Dia tahu bahwa Raja ini marah
sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin
terampas orang.
“Biar hamba mengejar mereka!”
seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan
diri!
Kakek mewah ini tahu bahwa dia
tak akan sanggup mengejar, dan alasannya tadi hanya dipergunakan supaya dapat
melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat berbahaya baginya
berada di tempat itu.
Dia kemudian pergi cepat
sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan
pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya
yang amat ditakutinya…..
********************
Bagaimana Lie Siong bisa
datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang aneh itu?
Seperti telah diketahui,
setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan kemudian meninggalkan
Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa
ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai
Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin
yang diculik oleh kakek mewah ber-huncwe maut itu.
Dia telah mendengar bahwa Ban
Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di
sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala tentara Mongol.
Tentu saja dia tak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan
ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu selain terdapat
puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga masih terdapat
banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan
lain-lain.
Demikianlah, ia hanya
bersembunyi saja sambil menanti-nanti bila mana ada kesempatan baik. Banyak
akal terlintas dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang prajurit Mongol dan
kemudian menyamar sebagai prajurit itu memasuki benteng. Atau dia bisa menanti
sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba, atau menyelidiki
di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.
Ketika dia sedang berjalan di
dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang
tertawa-tawa. Suara ketawa ini mirip seperti suara ketawa anak kecil yang
sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong
mendengar suara ini.
Bagaimana di dalam hutan
seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa
terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Dia segera mencari siapa
yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, dia
berdiri terpukau saking herannya.
Di bawah pohon itu nampak
seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, seluruh kulit mukanya keriputan
sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut. Seorang kakek ompong
yang tidak memiliki daging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil
berjongkok di atas tanah!
Pada waktu Lie Siong memandang
penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang bermain gundu
seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia
tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tidak dapat
menahan kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking tuanya telah kembali
menjadi kekanak-kanakan ini!
Akan tetapi ketika ia
memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan
menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak.
Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali.
Gundunya terbuat dari tanah
liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah setiap kali kakek
itu menyentil ‘jagonya’, maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok,
kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu per
satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari
sembilan lawannya!
Tentu saja Lie Siong mengerti
bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga lweekang yang
sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga
atau empat gundu lain sebelum berhenti. Akan tetapi kakek ini biar pun gundu
jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat
berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan juga gundu-gundu
yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu
itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!
“Hebat...,” bisiknya di dalam
hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.
Tanpa menoleh kepadanya, kakek
tua renta itu lalu berkata, “Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kau bidikkan
gundumu!”
Ketika Lie Siong diam saja,
kakek itu lalu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat
sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.
“Aku... aku tidak punya
gundu,” jawabnya gagap.
Kakek itu tertawa
terkekeh-kekeh. “Ha-ha-ha, aku lupa! Kau pasti masih bodoh bermain gundu, tentu
saja gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu
agar kau dapat ikut bermain-main.”
Tangan kiri kakek itu
mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya.
“Krakk!” terdengar suara dan
gempallah sepotong batu karang!
Kemudian, seolah-olah batu
karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan
membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejap mata.
Dengan hati berdebar kagum,
Lie Siong lalu menerima gundu istimewa itu dan ketika dia menekan, gundu itu
memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi
yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.
“Hayo, bidiklah!” kakek itu
berseru girang.
Dengan terpaksa Lie Siong lalu
berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Dia membidikkan gundunya
sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya
adalah terbuat dari batu karang yang keras sehingga lebih berat dari pada
gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari
tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu
lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan terpental adalah
gundu yang dibentur oleh gundu jagonya!
Setelah berpikir sebentar, Lie
Siong segera membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang
gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya
terpental pula lantas membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan
tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling
bentur hingga gundu ke lima, akan tetapi sampai pada gundu yang ke lima, tenaga
benturan telah habis dan mogok di jalan.
“Kau licik...!” kakek itu
bersungut. “Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak
boleh begitu!”
“Tentu saja, sebab gundu
jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!” Lie
Siong membantah sehingga mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak
yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.
“Siapa bilang gundu jagomu
keras dan berat? Coba lihat, sekarang aku hendak membidik gundumu, lihat saja
mana yang lebih keras!”
Sambil berkata demikian, kakek
itu menggunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang
dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari
batu karang.
“Prakk!”
Kalau dibicarakan memang
sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu
lweekang dan paham akan kemukjijatannya tenaga lweekang, masih terbelalak
memandang karena belum pernah dia menyaksikan demonstrasi tenaga lweekang yang
demikian hebatnya.
Begitu dua butir kelereng atau
gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu langsung
hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat dari tanah liat
kering, sama sekali tidak apa-apa, rontok sedikit pun tidak!
Lie Siong adalah seorang
pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini, kemudian menyaksikan pula
kehebatan tenaga lweekang-nya, dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah
seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking
tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya.
Jika saja betul bahwa kakek
ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau dia
menjadi muridnya! Maka dia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat,
kakek ini juga lihai. Dia berpura-pura marah dan membentak,
“Kau sudah merusak gunduku!
Kau menghancurkan gunduku!” Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar
pundak kakek itu.
Kelihatannya kakek itu tidak
mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong
meleset!
“Kau yang licik, kalah pandai
main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena salahku, salah
gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!” Kakek itu kelihatan senang
sekali karena tidak saja dia menang dalam bermain gundu, juga gundu lawannya
menjadi pecah!
“Kau harus dipukul!” seru Lie
Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak
orang. Sekali lagi pukulan ini meleset.
Lie Siong mulai penasaran dan
ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, dia lantas
menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan
lembek akan tetapi mengandung tenaga lweekang dan gerakannya indah dan cepat.
Kembali dia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat
menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulut kakek itu tiada hentinya
berkata mengejek,
“Kalah main gundu kok
mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!”
Yang membuat Lie Siong merasa
sangat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang seakan-akan tidak memandang
sedikit pun juga pada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya kakek itu tak pernah
memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu
sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biar pun matanya
ditujukan kepada gundu, tetapi tetap saja setiap pukulan Lie Siong selalu dapat
dihindarkan dengan amat mudah.
“Sudahlah, main gundunya tidak
becus, masa mau main pukul? Hai, anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang
belajar lagi main gundu yang betul!” kata kakek itu dan sekali saja ia
mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua
tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.
Namun Lie Siong masih belum
merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua
tangannya, dari tangan dan lengannya segera mengebul uap tipis putih. Inilah
ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ia pelajari dari ibunya, ilmu pukulan yang amat
lihai dari sucouw-nya, yaitu Bu Pun Su!
Kakek itu nampak tertegun
melihat ilmu pukulan ini, kemudian berdiri bengong. Tangan kanannya
memijit-mijit pelipis kepalanya seolah-olah dia sedang mengumpulkan ingatan untuk
mengingat kembali ilmu silat yang dia lihat dimainkan oleh anak muda ini.
“Apakah Bu Pun Su hidup lagi?”
demikian terdengar dia bertanya kepada diri sendiri.
Lie Siong yang mendengar
ucapan ini menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia juga merasa bangga karena
agaknya kakek ini bisa mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia
lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.
Akan tetapi alangkah heran dan
terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih
yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa kakek ini pun mahir
Pek-in Hoat-sut, bahkan tenaganya jauh lebih besar dari pada tenaganya sendiri.
Akan tetapi ia merasa sudah
kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan
begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya
mencelat ke atas sampai lebih dari tiga tombak! Baiknya kakek itu tidak berniat
jahat sehingga dia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali
dengan kedua kaki menginjak tanah.
“Ha-ha, main gundu kalah, main
pukulan juga keok!” kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek
lawannya.
Kini Lie Siong tidak ragu-ragu
lagi dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek aneh itu.
“Suhu yang mulia, mohon Suhu
memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!”
Untuk beberapa lama, kakek itu
diam saja, kemudian dia terbahak-bahak, seakan-akan merasa sangat lucu. “Kau
minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai main gundu. Maukah kau belajar
main gundu?”
“Segala nasehat dan pelajaran
dari Suhu, sudah tentu akan teecu terima dan perhatikan dengan
sungguh-sungguh.”
“Bagus, aku akan mengajarmu
bermain gundu hingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa.”
Kakek yang pikun itu lalu mulai
memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong! Akan tetapi
sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong sudah mengerti bahwa permainan
gundu ini bukanlah sembarang permainan.
Sentilan pada gundu itu
merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan
oleh tenaga lweekang yang amat tinggi. Oleh karena itu, mempelajari menyentil
gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan menambah tenaga
lweekang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia lalu memperhatikan
dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.
Akan tetapi kakek ini ternyata
telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu
lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi
namanya ilmu-ilmu silat itu sungguh pun ia masih dapat menggerakkannya dengan
amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali, apa lagi sedikit demi sedikit
suhu-nya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian pemuda ini teringat
akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka dia lalu berkata kepada
suhu-nya beberapa hari kemudian, “Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee yang
diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam
benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu
menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong maka nyawa anak itu
terancam bahaya.”
Dalam beberapa hari berkumpul
dengan suhu-nya, Lie Song tahu bahwa kakek ini paling suka dengan anak kecil,
maka dia tadi sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil
pula.
“Hmm, apakah dia kawanmu
bermain?”
Lie Siong hanya menganggukkan
kepala dan mendesak agar suhu-nya suka menolong anak kecil itu sekalian
membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin
yang juga menculik anak kecil ltu.
“Apakah kau kira aku tukang
bunuh orang?” mendadak kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.
Sampai lama dia diam saja
tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan juga tidak mau mengajak pemuda itu
bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhu-nya marah dan ‘ngambul’,
merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani
bicara tentang pembunuhan lagi. Pada sore harinya barulah gurunya mau
mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong
Kwee Cin.
Akhirnya kakek itu mau juga
dan sesudah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong,
kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan kemudian mendaki bukit
di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Betapa girangnya hati Lie
Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun berpegang kepada lengannya, akan
tetapi gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Dia seakan-akan
didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika dia menggerakkan kedua kaki
menggunakan ilmu lari cepatnya, dia dapat berlari jauh lebih cepat dari pada
kalau dia berlari sendiri! Juga pada saat dia melompati jurang, ia merasa
tubuhnya ringan sekali.
Ia tahu bahwa tanpa disengaja,
gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja dia menjadi sangat
girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa
suhu-nya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Dia makin
girang sekali menyaksikan kelihaian suhu-nya yang benar-benar di luar
persangkaannya itu.
Dia kini makin kenal baik
keadaan suhu-nya dan tahu bahwa suhu-nya adalah seorang kakek yang sudah amat
tua, terlalu tua sehingga berubah menjadi seperti kanak-kanak, berkepandaian
yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang main gundu.
Dari istana Malangi Khan, dia
langsung membawa suhu-nya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan yang ada di
Pegunungan Alkata-san. Memang Lie Siong berniat hendak mengembalikan Kwee Cin
kepada orang tuanya di benteng Alkata-san, lalu menghilang bersama suhu-nya
dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Dia ingin belajar
sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan,
atau kepandaian Pendekar Bodoh sekali pun…..
********************
Kedatangan Cin Hai, Kwee An,
Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan girang oleh semua
orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada di
antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki
bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.
Akan tetapi sesudah dia
mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk
nantinya ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan.
Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki
agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak ini.
Pada hari itu juga, datang
rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar
Kun-lun-san itu yang membawa teman-temannya untuk membantu perjuangan negara
menghadapi orang-orang Mongol. Di dalam rombongan ini terdapat pula Ceng To
Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu.
Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang kakek aneh yang
suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw
lagi.
Sungguh sangat menarik hati
kalau melihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh.
Rata-rata mereka menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng
To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.
Pada saat melihat Cin Hai dan
Lin Ling, dua orang pendeta bersaudara ini segera berlari menghampiri. Ceng Tek
Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak-gerak sedangkan
Ceng To Tosu meweknya semakin menyedihkan. Cin Hai juga sangat gembira bertemu
dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio
sambil berkelakar.
“Aduh, biar sekarang mati pun
aku tidak penasaran lagi sesudah bertemu dengan kalian suami isteri!” kata Ceng
Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.
Namun yang paling aneh dan
mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sebab tiga orang iblis
ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan semenjak
dulu ingin sekali menguji kepandaiannya. Apa lagi mereka sudah pernah mencoba
kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka
begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah,
tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing!
Thian-he Te-it Siansu si kate
menggerak-gerakkan payung mautnya, Lak Mouw Couwsu si hwesio gemuk itu menarik
keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan
tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu lalu berkata,
“Pendekar Bodoh, sungguh
kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita sudah saling bertemu di tempat ini, hal
yang sejak dulu telah sering kali kami impikan. Hayolah kau perlihatkan
kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!”
Tentu saja Cin Hai menjadi
tertegun melihat sikap mereka ini sehingga untuk sesaat tidak mampu menjawab!
Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan kemudian menantang
berpibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin
menjadi merah mukanya.
Ia melangkah maju dan menjura
kepada Cin Hai, “Sie Taihiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-lek Sam-kui yang
suka main-main.” Kemudian dia berkata kepada tiga orang aneh itu,
“Sam-wi betul-betul tidak
memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah sengaja
Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?” Suara Tiong Kun Tojin
terdengar tandas sekali. Memang tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh
aturan, juga berwatak keras.
Thian-he Te-it Siansu bergelak
mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini. “Ah, Tiong Kun Totiang
mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi
bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat,
kalau sekarang tidak bergembira, mau tunggu kapan lagi?”
“Bicaramu memang benar, Siansu.
Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan dan pada waktu dan tempat yang
tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk
main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang pendekar gagah
yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah
datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar, kalau semua
urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapa pun juga, pinto
tak akan ambil peduli.”
Thian-he Te-it Siansu
memandang kepada dua orang adiknya, lalu dia menghela napas berulang-ulang.
Akhirnya sambil tertawa dia berkata kepada Pendekar Bodoh, “Pendekar Bodoh,
jika begitu terpaksa kita harus menunggu sampai nanti tahun depan pada musim
chun (musim semi) di puncak Thian-san.”
“Sam-wi Lo-enghiong (Tiga
Orang Tua Gagah), siauwte adalah orang yang bodoh, maka kalau ada yang hendak
memberi petunjuk tentu saja siauwte akan merasa berterima kasih sekali,” Cin
Hai menjawab dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar ini telah dapat
menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.
Kam Wi yang mendengar bahwa
keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan
sudah menunggu sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar
Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera
Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,
“Tidak baik, tidak baik!
Dengan menunda serangan maka kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan
orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!”
Tokoh Kun-lun-san yang
berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang penglima perang
yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa
dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.
“Lebih baik pukul hancur
perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur
pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Taihiap juga.
Sekarang kebetulan sekali putera Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita
pergunakan untuk mengancamnya. Apa bila dia tidak mau menyerah dengan damai,
besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari
bentengnya!”
Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma
Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening. Mereka ini merasa tak setuju sama sekali
atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat
kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka biar pun Kam Liong menduduki
pucuk pimpinan, namun tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada
orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.
Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi
dan setelah menjura, dia berkata, “Memang apa yang dikatakan oleh Kam-enghiong
betul sekali, akan tetapi jika mengingat akan keselamatan keponakanku, aku
beserta saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun agar supaya
penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan tak akan
membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin
untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah kita rundingkan kembali
tentang penyerbuan.”
Alis mata Kam Wi yang tebal
itu dikerutkan, kemudian dia mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalau saja
tidak mengingat bahwa Sie Taihiap adalah calon besan dan calon mertua Kam
Liong, tentu Kam Liong juga akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan
ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi...”
“Kam-enghiong, urusan
perjodohan itu belum lagi diputuskan, harap kau suka bersabar. Sesudah urusan
ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah kita pertimbangkan lagi,”
kata Cin Hai tak senang.
Kam Wi tersenyum. “Aku tidak
melihat ada halangan lainnya lagi, maka aku sudah berani memastikan, bukan
begitu, Kam Liong?” Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat
merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang kasar ini.
Pada malam hari itu, Kam Liong
menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di
tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar
dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan
gembira.
Sebagai seorang panglima
perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja
memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar
benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi.
Akan tetapi, tetap saja
terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga orang tanpa ada
seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu sudah
berada di atas genteng ruang pesta itu.....
Dan orang pertama yang dapat
mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang
duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong
Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri, tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja
kemudian berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga khikang.
“Ji-wi (Tuan Berdua) yang
berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”
Tentu saja semua orang yang
berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak
mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga. Benar saja,
terdengar suara kaki dua orang di atas genteng.
Sesudah teguran Pendekar Bodoh
lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng, “Sie Taihiap, yang datang
hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”
“Lie Taihiap...!” seru Lilani
yang segera mengenal suara Lie Siong.
Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan
Pendekar Bodoh segera berdiri.
“Siong-ji (Anak Siong), lekas
bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa. Akan tetapi biar pun berkata
demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai
dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang
yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.
Benar saja, di atas genteng
itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat
bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata
membasahi pipinya.
“Terima kasih... terima kasih,
Siong-ji...,” Ma Hoa berkata sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata
bersyukur.
“Bukan aku yang telah
menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.
“Ibu, yang menolongku adalah
Engko Siong bersama suhu-nya, kakek pincang yang bisa terbang itu!” tiba-tiba
saja Kwee Cin berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.
“Lie Siong, mengapa kau tidak
mengajak suhu-mu ke sini?”
“Dia sudah berada di sini!”
tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadi pun dia yang mengantar kami ke sini,
entah sekarang ke mana dia pergi!”
Kembali semua orang merasa
terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang,
yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin.
Kalau benar ada tiga orang, mengapa dia tidak mendengar suara kaki yang seorang
lagi?
“Siong-ji, manakah gurumu itu?
Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,”
Lin Lin berkata kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk
itu.
“Dia... dia tidak suka bertemu
dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku juga tidak dapat
lama-lama tinggal di sini.” Ia menengok ke belakang dan berkata, “Suhu, marilah
kita pergi.”
Terdengar suara terkekeh dan
tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan
tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!
Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan
Ma Hoa sudah mempunyai ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apa lagi Cin Hai,
maka biar pun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja sempat
melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.
Sedangkan Hong Beng dan Goat
Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu ginkang dari kakek itu masih
lebih hebat dari pada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin
sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka
memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara orang-orang kang-ouw!
“Siapakah dia...?” Pendekar
Bodoh mengerutkan kening sambil mengingat-ingat. Kwee An dan Ma Hoa juga merasa
yakin belum pernah melihat orang itu.
“Kepandaiannya mengingatkan
kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk
jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu
Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang
dahulu pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki
kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri,
yaitu ketika keduanya masih muda.
“Hmm, siapa lagi yang dapat
memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?” pikir Pendekar
Bodoh.
Dia tidak berkata sesuatu
kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam dia merasa
girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian
lihainya.
Dengan wajah gembira semua
orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan
ucapan selamat dari semua orang yang hadir di sana. Tiba-tiba terdengar suara
girang “Kwee Cin...?”
Anak ini menengok dengan wajah
berseri, kemudian berseru, “Kamangis!” Keduanya lalu berlari saling menghampiri
dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.
“Kamangis, kau sudah berada di
sini?” tanya Kwee Cin.
“Aku suka sekali ikut ayah
bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.
“Ayahmu juga seorang baik,
Kamangis,” kata Kwee Cin.
Ma Hoa dan Kwee An yang
mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.
Akan tetapi tiba-tiba saja Kam
Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Kebetulan sekali, Kwee-kongcu
sudah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng
orang-orang Mongol dan kita akan pergunakan Putera dari Malangi Khan ini
sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan
segala-galanya.”
“Tidak boleh!” tiba-tiba Ma
Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya, kemudian sambil memandang ke depan
dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata. “Siapa pun juga tidak
boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan
kini berada dalam perlindunganku! Siapa pun juga tidak bisa mengganggunya dan
aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya secara baik-baik, karena orang
tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak
setuju dengan omonganku, akan tetapi kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis,
boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!”
Sambil berkata demikian dengan
sekali gerakan saja Ma Hoa sudah mencabut sepasang bambu runcingnya yang
terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membuat orang menjadi jeri juga
melihatnya!
Kam Wi adalah seorang yang
berdarah panas. Mendengar ucapan ini dia sudah melotot dan hendak maju
mendebat. Akan tetapi Kam Liong yang tak menghendaki perpecahan, segera maju
dan menjura kepada Ma Hoa, lalu berkata dengan suara lemah lembut dan sikap
sopan santun.
“Mohon Toanio sudi memaafkan,
pamanku tadi mengeluarkan kata-kata yang ditujukan hanya karena kebenciannya
kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi
pula perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu terbebas dari
benteng orang Mongol, dan kiranya di antara kita juga tidak ada yang ingin
mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan
tetapi, oleh karena putera Toanio sudah tertolong sedangkan Putera Mahkota
Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam.
Bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini
amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus
mendahului menyerang benteng mereka dan sesungguhnya...” ia melirik ke arah
Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita
sudah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa
Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di
dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita,
harap Toanio suka menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi
Khan sebelum selesai perang ini.”
Ma Hoa menggeleng-geleng
kepalanya. “Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak
tahu tentang siasat perang, akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima
perang dan karena semenjak kecil aku diajarkan kegagahan, maka aku sangat
menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran mau pun perang besar,
aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka mempergunakan
cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol
maka kita harus mempergunakan kecurangan? Bagiku, lebih baik kalah dengan cara
gagah perkasa dari pada menang dengan menggunakan akal curang!”
Muka Kam-ciangkun menjadi
merah mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa
kedua pihak telah bermerah muka, maka ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin
Hai berkata,
“Sebetulnya tidak ada urusan
sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng
Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau dia bisa mengakhiri
perang ini dengan damai, karena betapa pun juga kalau terjadi perang tentu akan
mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi
kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”
Semua orang menyatakan setuju
dengan usul ini, maka urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak
disinggung-singgung lagi. Pesta perjamuan berjalan kembali sedangkan Kamangis
dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang
anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka
akan kegagahan…..
********************
Pada keesokan harinya, baru
saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari
Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng
Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat debu mengebul tinggi. Cepat
Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.
Ternyata yang datang adalah
sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan
sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat,
adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat bahwa yang datang
hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak
mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar
dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.
Ketika Malangi Khan melihat
Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari
kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking
marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh
dan berkata,
“Tak kusangka bahwa Pendekar
Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang
mudah melanggar janji!”
Cin Hai sudah mengerti kenapa
Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian
menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku
pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”
“Kembalikan puteraku, jika
tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk
menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap
jengkal tanah di selatan!”
“Sabar, sabar, Khan yang baik.
Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah.
Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang
merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”
“Biar pun bukan kau, tentu
kawan-kawanmu atas perintahmu!”
Cin Hai menggelengkan kepala.
“Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan
kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah
bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah
perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”
“Puteraku tidak diganggu?
Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.
“Siapa yang akan berani
mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang
akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu
itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan
sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga
Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
“Maafkan aku, Pendekar Bodoh.
Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata
Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
“Malangi Khan, apakah ini
berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”
“Tentu, bahkan kau dan
saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku
menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”
Melihat sikap sungguh-sungguh
dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak
hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah
kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak
akan menyerang ke selatan lagi?”
“Tidak, tidak! Dengan adanya
orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan.
Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh
tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu,
akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”
Kini Cin Hai yang memegang
lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai
yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau
berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”
“Tentu saja! Bagiku berlaku
ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar,
empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”
Bukan main girangnya hati
Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan
demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah
belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam
Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng
Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para
penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat
sudah datang menyerbu!
“Pendekar Bodoh, apakah
artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan
tetapi Cin Hai segera menjawab,
“Jangan kuatir, Khan yang mulia.
Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”
Kemudian, Cin Hai lalu
menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan
tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
“Kam-ciangkun, jangan
menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”
Kam Liong terheran melihat
Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera
memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan
bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong
lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan sikap angkuh Malangi
Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai
dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah
seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat
terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
“Malangi Khan, benarkah
kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”
“Memandang muka Pendekar Bodoh
yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku
akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu
dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan
kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga
tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak
memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”
Bukan main girangnya hati Kam
Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun
yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah
pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!
Akan tetapi Kam Wi yang
beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan
latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”
Malangi Khan memandang dengan
mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak
bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat
berkata,
“Kam-enghiong, Malangi Khan
yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai
musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini
melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak
mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”
Keterangan ini diterima oleh
Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia
bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan
semangat barisan Mongol.
“Malangi Khan, untuk
membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima
kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di
dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau
kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.
Dia adalah seorang kang-ouw
yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan
siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.
“Selain Kaisarmu sendiri, aku
tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan
angkuh.
“Kalau begitu, bagaimana kami
dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan
suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,
“Malangi Khan, benar seperti
yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan
sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”
Akan tetapi Malangi Khan tetap
berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun
tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
“Khan yang baik, mengapa kau
menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu
yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua
pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam
gembira antara kita sama kita!”
Mendengar ucapan ini,
lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang,
itu lain lagi, Saudaraku!”
Dan dia lalu memberi tanda
dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka,
majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!
Diam-diam Kam Wi membisikkan
sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar,
siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam
Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan
melupakan hal ini.
Pertemuan antara Malangi Khan
dan Kamangis amat menggembirakan.
“Ada orang yang mengganggumu
di sini?” ayah itu bertanya kaku.
Kamangis menggelengkan
kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia
yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali,
Ayah.”
Malangi Khan memandang kepada
Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”
Ma Hoa mengangguk, maka
Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau
begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak
angkatnya. Ha-ha-ha!”
Dan serta merta Kamangis yang
sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa
sambil menyebut, “Ibu...”
Ma Hoa girang dan juga
terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali.
Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku,
sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”
Malangi Khan tertawa
terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran
dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan
diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
“Ehh, aku hampir lupa,
Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin
Hai.
Kamangi terheran dan memandang
kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu
silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin.
Apakah dia lebih lihai dari mereka?”
“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah
orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau
beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”
Karena Kamangis memang cerdik,
ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’!
Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat
kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri
guru).
Perjamuan berjalan dengan
lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya
selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak
sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari
pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.
Hal ini memang disengaja oleh
Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi
Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya
apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan
‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam
mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan
tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang
selir yang disayanginya!
Dengan bantuan Pendekar Bodoh,
Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur
mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang
diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang
amat gembira.
Siapakah orangnya yang tidak
gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka
mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga
masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah
yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan Ma Hoa mengantar
Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan
meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di
antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan,
akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba saja dia melihat
bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh
orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu,
orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.
Di antara kawan-kawannya dan
orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya
berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia
kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan
selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana
Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di luar jendela, ia
lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah
jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian,
dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.
Ternyata bahwa Malangi Khan
tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama
sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang
Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh
tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat
benci kepada orang-orang Han.
Hal ini tidak mengherankan
oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk
menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia
dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang
lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.
Ketika Khalinga mendapat
kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan
hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas
dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap
Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita
bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi
Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu
sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini bukan semata-mata
terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan
merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.
Kalau ia dapat membunuh
Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini
akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan
mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa
dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam
dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu
akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau
dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi semua itu hanya
mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia
telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!
Di dalam kamar Malangi Khan
itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin)
masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek
itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan
kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan
tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah
leher Malangi Khan itu!
Orang itu menjerit perlahan
lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi
lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang
terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.
Alangkah kagetnya ketika ia
menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai,
sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan
itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai
Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat
dia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi tentu saja ia
bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan
jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak
yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!
Kwee An hendak menawannya
hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau
menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat
lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok yang beradu
menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.
“Hei! Kalian sedang berbuat
apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang
bertempur melawan Kwee An.
“Malangi Khan! Penjahat ini
berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.
Malangi Khan bukanlah seorang
Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu
mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan,
hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan
orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian
Khalinga terhadap orang Han.
“Khalinga, kau berani hendak
mengkhianati aku?” bentaknya marah.
Khalinga berdiri dengan muka
merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas
pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus
memandang dengan penuh kewaspadaan.
“Malangi, kau bilang aku
mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau
Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa
mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut.
Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian,
Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!
Akan tetapi Kwee An segera
membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru
kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya
berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.
Malangi Khan melompat turun,
mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu
untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.
“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau
hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak
seperti engkau!”
Melihat sikap Khalinga ini,
maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan
kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.
“Khalinga, lekas pergilah! Aku
ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu
di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak
menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”
Bagaikan seekor anjing
dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah
Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut
memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak
ikut mencampuri urusan Negara Mongol!
Sementara itu, ribut-ribut ini
telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah
memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan
mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol
ini.
Juga Kim Wi dan Kam Liong,
demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini.
Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil
menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas,
ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung
sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau
saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri
dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan
roboh di antara kedua pihak.
Ada pun Malangi Khan tentu
saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan
pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu.
Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah
angkat dari Kamangis putera tunggalnya!
Pada keesokan harinya, Malangi
Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara
setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan
menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu
kepandaian kepada Pangeran Kamangis.
Sebaliknya, Kam Liong juga
membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang
komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya
memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan
orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.
Semua orang merasa puas dengan
kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan
sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih
juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.
Oleh karena itu, ketika Goat
Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja
untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan
minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang,
melainkan hendak pergi mencari Lili.
Dengan diperkuat oleh laporan
Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat
gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang
setia dan gagah.
“Aku telah mendengar bahwa
kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian
belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”
Kaisar lalu memberi hadiah
kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang
bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan
berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga
nampaknya seperti hidup saja.
Ada pun Pangeran Mahkota yang
merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari
maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang
terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar
biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir
pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.
Dengan memegang kancing
seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena
ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para
pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti
orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!
Demikianlah, sesudah
menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu
meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali
ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang
memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.
Ada pun Sin-kai Lo Sian,
ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami
isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan
menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan
darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti
pada waktu dahulu…..
********************
Ke manakah perginya Lili,
gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya
yang penuh bahaya…
Sebagaimana sudah diketahui,
ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol
untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya
sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul
kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.
Ia mempergunakan ilmu lari
cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung
dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat
hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia
berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak
dahulu.
Akan tetapi oleh karena selama
hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum
berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan
dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua
kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok
ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam
mengerikan.
Setelah malam hampir terganti
fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut
Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah
dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng
orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar,
hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon
raksasa.
Ia menjadi mendongkol sekali
kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai
lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada
bibirnya yang cemberut.
Akan tetapi dasar watak Lili
amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar,
kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan
berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor
binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak,
berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira
sekali.
Ia pun lalu ikut berlari-lari,
mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main
sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada
orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat
binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya
matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat
kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang
bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita
berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan
menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!
Ketika melihat ada sepasang
rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang
betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di
depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!
Ia mengerutkan kening dan
menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri.
Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu?
Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song
Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!
Tanpa terasa lagi dia
menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi
terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan
matanya dan Lili menjadi gembira kembali.
Tiba-tiba dia melihat seekor
kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan
perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat
lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya
pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan
sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.
Lili memang beradat keras dan
tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan
membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat,
kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak
yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.
“Kelinci manja! Ke mana kau
hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap
dan menikmati dagingmu yang empuk!”
Kembali Lili membabat
semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat
dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah
lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang
Liang-coan-kiam di tangan Lili.
Dan akhirnya kelinci itu
menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi
semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam
semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili
tidak peduli dan mulai membabat lagi.
Pedang Liong-coan-kiam adalah
pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat
hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah
semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak
kelihatan.
Lili menjadi penasaran sekali.
Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga
tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia
mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan
kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.
Akhirnya ia melihat ada sebuah
lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun
mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke
mana bersembunyi? Keluarlah!”
Dia lalu menepuk-nepuk pinggir
lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari
bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat
apakah ini? Goa tertutup?
Dia lalu mempergunakan
pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata
bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali.
Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah
ini!
Lili menjadi tertarik sekali.
Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu
mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah
tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu
mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.
Ia harus menangkap kelinci itu
dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di
bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang
Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang
tadi.....
Benar seperti yang disangkanya
tadi, kakinya menyentuh tanah dan ternyata lubang itu dalamnya hanya dua tombak
kurang. Sesudah matanya terbiasa dengan pemandangan suram-suram di dalam lubang
itu, ia mulai melakukan penyelidikan. Sinar matahari yang masuk dari lubang
atas, cukup untuk melihat keadaan di sekelilingnya.
Sumur itu ternyata besar juga,
kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang
yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia
tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu
ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci
itu lenyap begitu saja.
Ia menyelidiki bagian bawah
dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu
dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang
kecil di bagian bawah.
Ia mendongkol sekali, tentu
kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa
masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu
memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang
mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!
Lili makin tertarik. Ia
memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di
situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat
sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat
sekali.
Ia lalu mencari akal dan
memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti
penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam
lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil
mendorong ke luar.
Dia berhasil! Pintu bundar itu
bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya
karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia
beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi,
akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat
masuk melalui lubangnya.
Lili adalah seorang yang keras
hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian
untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat
untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak
menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!
Cepat dia merayap masuk ke
dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu
yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang
kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau
bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.
Dia melihat bentuk tubuh yang
kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan
tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut
nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman.
Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.
Kalau saja dua lubang yang
merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang
tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah
patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi
dikejar-kejar oleh Lili.
Setelah dara itu masuk, nenek
ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar
melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali
tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup
tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari
dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat
itu.
Lili menjadi terkejut bukan
main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan
keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah
duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!
Lili mulai merasa takut. Dia
seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung
batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia
menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan
melarikan diri.
Akan tetapi seperti tadi, ia
tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim
saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang
tongkat bambu?
Lili lalu menghampiri nenek
itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah
kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak
dapat membuka pintunya.”
Berkali-kali ia mengucapkan
permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu
bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa
mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi!
Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi),
mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa
karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun
dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”
Kembali Lili mengulangi
permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk
bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia
melompat bangun dan membentak,
“Aha, tak tahunya engkau
seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini
atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan
tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang
akan kubikin mampus lebih dulu!”
Lili mencabut Liong-coan-kiam
yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan
pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang
membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi,
bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh
dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya.
Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!
“Kau menertawakan aku? Agaknya
kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil
berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek
itu.
Akan tetapi, pedangnya
terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa
nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia
lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya
lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.
Akan tetapi ke mana pun juga
pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu
yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu
menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia
menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan
ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk
saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!
“Nenek gila, kau berani
merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan
kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia
pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.
Kembali ia terperanjat ketika
semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja
nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi!
Lili menjadi makin gelisah.
Celaka, pikirnya. Sekarang aku
harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut,
bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju
menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang
dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan
Kong-ciak Sin-na!
Dua macam ilmu silat tangan
kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika
digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan
laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut
untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di
depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!
Pada saat Lili siuman kembali,
nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan
buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada
jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui
manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan
perutnya terasa penuh dan kenyang!
Kemudian nenek itu
menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu
telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,
‘Kau berjodoh untuk menjadi
muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang
kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk
Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan
melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus
bertapa gagu!’
Lili merasa aneh sekali. Akan
tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid
seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan nenek itu.
“Teecu akan mentaati semua
perintah Suthai.”
Demikianlah, selama dua pekan,
dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa
lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri
dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan
sempurna serta tenaga yang luar biasa.
Setiap hari gurunya
menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan
kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali
Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan
menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan
tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!
Akan tetapi lambat laun,
setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya
sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan
cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.
Gurunya bertanya kepadanya
melalui tulisan di atas lantai,
‘Aku menurunkan ilmu silat ini
kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu
(Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?’
‘Dia adalah Sucouw-ku (Kakek
Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati
janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah
teecu bertanya, siapakah nama Suthai?’
Nenek yang bagai tengkorak itu
hanya menuliskan tiga huruf di atas lantal yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang
artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa
mengusir Lili pergi dari situ.
Lili berlutut dan mencium
tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu
membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah
girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh
gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu
kurus karena selama dua pekan tidak makan!
Kalau dulu Lili ingin sekali
makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia
memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke
atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke
kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.
Dia menarik napas panjang
dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah
mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal
keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia
lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai
terlihat oleh orang lain.
Kemudian pergilah dia dari
sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang
masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam
serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia
sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya
kepada diri sendiri dari pada dahulu…..
********************
Sesudah Malangi Khan
menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara
menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya perang.
Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh para
penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan bertambah
pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari untung
dalam perdagangan di tempat itu.
Kota Kun-lip juga menjadi
ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan
di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa bila kota ini
banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan
maju.
Setelah mendengar bahwa
peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, Lili
tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum menghabiskan tapa
gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang
dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh
bicara ini!
Sekarang ia maklum kenapa
gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih
melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa gagu ini merupakan
ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat
yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga
lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan mudah disalurkan ke
arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti
perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor
keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dibutuhkan
perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.
Pada pagi hari itu, sudah
genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat
telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat membuka pantangan
bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia
berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang
memanggilnya,
“Lili...!”
Ia cepat menengok dan melihat
Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu
sambil menghadapi hidangan.
“Nona Hong Li, kau hendak
kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah sangat lama kita
tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng bertanya dengan
ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.
Akan tetapi, biar pun di dalam
hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan
jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang berpantang bicara.
Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan hendak melanjutkan
perjalanan meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan
melunaskan perhitungan!”
Tiba-tiba dari belakangnya,
Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke
kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe
mautnya!
Kakek ini memang sedang berada
di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu
sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya.
Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena dia teringat betapa
gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini juga
sudah menghinanya secara luar biasa sekali.
Karena Lili tidak bisa
membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke arah Ban Sai
Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk
berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan
sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa
dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat.
Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini
akan melayani dan menghajarnya.
“Bocah, bersedialah untuk
mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia mengirim dua macam
serangan.
Tangan kanannya memukulkan
huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim
tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke belakang.
Melihat gerakan kakek ini,
Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh
kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami
kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati oleh Pendekar
Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu memperdalam ilmu
silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai dan yang
berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).
Menghadapi serangan Ban Sai
Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut,
mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia masih belum
mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.
“Susiok, jangan ganggu Nona
Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan orang-orang
yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada
melarikan diri dengan ketakutan.
Delapan jurus sudah dimainkan
oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi setelah melatih Ilmu
Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini telah mendapat kemajuan
yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan
gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan
menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan sehingga yang diserang telah
melayang pergi sebelum pukulannya tiba.
“Susiok, jangan berlaku
kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh
kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…
“Tranggg…!” terdengar suara nyaring
ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!
Lili menggunakan kesempatan
ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini
saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar
saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda bekas luka-luka
goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol,
maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut
dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya
itu.
“Bangsat terkutuk! Jadi kau
hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang
menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu? Kau berani melawan
Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”
“Susiok, kalau kau menyerang
orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu... ? Tidak,
Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”
“Bangsat, kau cinta padanya,
ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau benar-benar anjing
pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban
Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.
Song Kam Seng cepat menangkis
dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah memperoleh warisan ilmu silat
yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia dapat melawan susiok-nya (paman
gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat
menangkis sambil mundur.
Sementara itu, Lili berdiri
dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan pengalamannya dahulu
ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan
hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan
semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.
Ia maklum bahwa Kam Seng amat
membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya karena ayah Kam Seng
tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak
mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat
besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani
pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di sini, Lili segera melompat maju
hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat!
Dengan satu serangan secepat kilat,
Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang
terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya! Ban Sai
Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba dia
merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat
memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun
huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.
Lili menyambutnya dengan
gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas
olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…
“Pletak!” patahlah huncwe maut
dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!
Terbelalak mata Ban Sai Cinjin
memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini
mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera melompat ke belakang
dan melarikan diri!
Lili hendak mengejarnya akan
tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat kembali kepada Kam
Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main
mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan
berlumur darah!
Lili berlutut dan mengangkat
kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu tangannya, dia
menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya
dan tersenyum!
“Lili... akhirnya aku dapat
menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah duga... ayahmu
seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku... ayahku... dia... dia
seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda itu mengalirkan air
mata.
Lili tidak dapat menahan
keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil
menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh
menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.
“Lili... kau menangis...? Kau
menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak pantas menangisi
seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng... Lili, terima kasih...
sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku kepada... kepada...
semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”
Maka habislah napas Kam Seng,
pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas
penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!
Lili menggunakan tulisan untuk
menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih memiliki banyak
potongan uang emas, maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat
dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia
adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa dia tidak
dapat bicara.
Setelah beres mengurus
pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan
perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan
dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda
yang malang itu.
Hatinya berdebar tidak enak
kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut
Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran ucapan ini? Ia tidak
merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman dari Kam Liong, yaitu
Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu pernah membikin dia
marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!
Juga diam-diam ia merasa
girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia sudah mempergunakan
sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia
berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!
Dia maklum bahwa sebelum dia
memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang pedang dan
kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah
tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hari
kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.
Dari kota Kun-lip, Lili
kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia
bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari
kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula bahwa Ang I
Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka
dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa kuatir apa bila Ang
I Niocu mengalami kecelakaan pula.
Menghadapi orang-orang seperti
Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik,
sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang menghadapi mereka itu
seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali pun!
Ketika dia tiba di dusun
Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, dia
terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan bumi dan
menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian
dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan
menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?
Agar jangan menarik perhatian
orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu
meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana terdapat kelenteng
tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi itu. Dia sengaja
menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan kepandaiannya jalan
malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.
Ketika dia tiba di sebuah
hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia
menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil
itu!
Kalau saja Lili bukan seorang
yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang
menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu. Akan tetapi, puteri
Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat menghampiri tempat itu!
Malam hari itu bulan muncul
setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan
permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan memang
mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan,
tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan
itu kelihatan benar-benar mengerikan.
Pohon-pohon pek yang besar itu
kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa sedang menjulurkan
lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang
berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja
yang lewat di hutan itu.
Semua keseraman ini ditambah
lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih
ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada saat dan di tempat seperti
itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!
Akan tetapil Lili yang sangat
tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya
yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia
menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu,
tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu
mengeluarkan kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya
menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara
itu sambil menahan tindakan kakinya.
“Ang I Niocu... tidak kusangka
akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ahh, kini aku
teringat... aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu...”
“Suhu...!” Lili berteriak pada
saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di
benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.
Gadis ini melompat dan setelah
sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat
lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya
menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan tubuhnya penuh
luka-luka!
“Ie-ie Im Giok...!” jeritan
Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang
I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.
Ang I Niocu ternyata masih
belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya tersenyum! Karena
cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I Niocu nampak cantik luar
biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili menjadi makin terharu.
“Ie-ie Im Giok, mengapa kau
sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??”
tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.
“Lili anak manis... tenanglah
dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I Niocu sukar sekali
mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian
wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya
dahulu.
Karena maklum bahwa nyawa Ang
I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera menuturkan dengan singkat
pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang sudah
lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam
ingatannya.
“Aku ingat betul...” ia mulai
dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai
Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak membalas dendam kepada
Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah membunuh Yo-lo-enghiong
(Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu
hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja
pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek
mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula
dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Taihiap terkena
pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah dia!” Lo Sian
berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali
dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.
“Kemudian dengan sedikit akal,
yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti
Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak mengambil
jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat
ini.”
Demikianlah, Lo Sian kemudian
menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan jelas di dalam
jilid terdahulu dari cerita ini.
Berkali-kali Ang I Niocu
mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat terkutuk Ban Sai
Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk menghancurkan batok
kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan dendam suamiku dan aku
puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta menghancurkan kuil itu.” Setelah
mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat
dan keadaannya payah sekali.
“Suhu, mengapa tidak merawat
Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”
Lo Sian menggeleng kepalanya,
dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili,
“Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat... aku tak kuat lagi...!”
“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata
begitu, Ie-ie!” Lili menangis!
“Anak baik, setelah suamiku
meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah yang lebih baik
selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan
kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”
Bukan main terharunya hati
Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu menggelengkan
kepalanya saja. Ia sendirl tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya
sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul
rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia
teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih tepat disebut cemburu
dari pada gemas.
“Kalau begitu... Hong Li,
berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku... aku akan merasa
gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat kau sebagai... mantunya!
Sukakah kau, Hong Li...!”
Lili tentu saja tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini
keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.
“Ie-ie Im Giok, kenapa kau
tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan
pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”
“Cin Hai dan Lin Lin tentu
akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo
Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk... menjadi wakilku... untuk
menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan mengajukan lamaran kepada
Pendekar Bodoh...”
“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku
suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi wakilmu dalam hal ini,”
jawab Lo Sian dengan terharu.
Keadaan Ang I Niocu makin
lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta menyebut nama Lie
Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah
menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam
pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.
Setelah menangisi kematian Ang
I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah
Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk
menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan
pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu
sendiri sebelum Lili datang.
Seperti sudah dituturkan pada
bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang I Niocu dengan hati
marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya. Dari gadis
inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan
bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.
Sampai beberapa lamanya dia
merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke Tong-sin-bun, karena
dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia ingin sekali bertemu
dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak mendapatkan Bouw Hun Ti
yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.
Ketika ia tiba di luar dusun
Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis yang berpakaian
tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan
memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua
ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada
di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut
penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya!
Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah
mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,
“Bukankah Siauwte berhadapan
dengan Ang I Niocu yang terhormat?”
“Sin-kai Lo-enghiong, kau
mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”
“Siauwte tidak tahu, Niocu,
semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling bertemu lagi.”
Ang I Niocu mengerutkan
keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata, “Menurut penuturan
Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong,
sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau mengetahui siapa pembunuh
suamiku?”
Lo Sian mengangguk. “Tidak
salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah Ban Sai Cinjin.”
Kemudian Pengemis Sakti ini
lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai
Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah membunuh Lie Kong Sian.
“Jadi kau sendiri tidak ingat
lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia dikubur?” Ang I Niocu
menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan
kemarahan.
Lo Sian menggeleng kepalanya
dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan
ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk menyegarkan ingatanku dan
siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang
hendak menuntut balas...”
“Tentu saja aku hendak
menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu
memotong dengan tak sabar lagi.
“Nanti dulu, Niocu, kau harus
berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja.
Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar pun aku percaya penuh
bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau
kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang
menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Ban Sai
Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya menjadi muridnya,
akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di
situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi
Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak
kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana,
harap suka berlaku hati-hati.”
“Lekas katakan, di mana letak
rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak
Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian
nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.
Lo Sian menjadi heran sekali,
dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah lagi. Dia telah cukup
banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau
dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh,
maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana adanya rumah gedung Ban Sai
Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.
Setelah mendapat keterangan
yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih segera
menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini
mengerutkan keningnya.
Ia percaya penuh akan
kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan ginkang-nya
sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi tetap saja dia
merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban Sai Cinjin dan
kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah untuk
dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang mempunyai kepandaian
lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apa lagi
Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke dalam dusun itu.
Ternyata oleh Ang I Niocu
bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau pun
tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak buah dan
murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.
Di dalam kemarahan dan
kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian
membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada perbuatan Lie
Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung
sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini
dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan,
melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.
Kemudian pendekar wanita yang
marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan pada
waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api
yang terang.
Ada pun Lo Sian dengan hati
merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat
betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat
berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai
Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar
wanita yang murka itu.
Kemudian, setelah melihat
bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia pun lalu
menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa
menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu
takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu,
masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk
menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.....
Sebagaimana telah dikuatirkan
oleh Lo Sian, ternyata benar saja kedatangan Ang I Niocu ini sudah diduga lebih
dulu oleh Ban Sai Cinjin, dan ketika pendekar wanita itu sampai di depan kuil
yang terang sekali karena di sana dipasang banyak penerangan, dari dalam
muncullah Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Coa-ong
Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang, kedua saudara Can jago-jago dari Shan-tung
yakni Can Po Gan dan Can Po Tin, dan masih ada tiga orang hwesio gundul pula
yang bukan lain adalah tiga orang tokoh dari Bu-tong-san!
Melihat asap hitam yang
mengepul dari huncwe Ban Sai Cinjin, Lo Sian segera maklum bahwa kakek mewah
itu telah bersiap sedia untuk bertempur dan ini membuktikan bahwa dia sudah
menanti kedatangan Ang I Niocu!
Akan tetapi Ang I Niocu tidak
merasa takut seujung rambut pun, bahkan kemudian dia menudingkan pedang yang
bersinar-sinar ke arah dada Ban Sai Cinjin.
“Apakah engkau yang bernama
Ban Sai Cinjin, orang yang telah membunuh suamiku Lie Kong Sian?”
Mendengar pertanyaan yang
sifatnya langsung ini, Ban Sai Cinjin tersenyum mengejek untuk menghilangkan
kegelisahannya melihat wanita yang sangat hebat ini. “Ang I Niocu, suamimu
tewas ketika mengadakan pibu dengan kami, mengapa kau harus penasaran?
Sebaliknya kaulah yang sudah melakukan perbuatan keterlaluan sekali, yaitu
membakar gedungku dan membunuh keluargaku. Patutkah itu dilakukan oleh seorang
gagah?”
“Bangsat terkutuk! Mana
suamiku bisa kalah olehmu kalau benar-benar bertempur dalam pibu yang adil? Kau
tentu sudah melakukan kecurangan seperti yang biasa kau lakukan. Kau mengira
aku belum mendengar namamu yang buruk dan kotor? Majulah kau, hendak kulihat
bagaimana kau sampai mampu mengalahkan suamiku!” Sambil berkata demikian dengan
mata menyala-nyala Ang I Niocu kemudian melompat mundur dan melambaikan
pedangnya pada Ban Sai Cinjin dengan sikap menantang sekali.
Hati Ban Sai Cinjin menjadi
gentar juga melihat pedang Liong-cu-kiam, yakni pedang ke dua dari sepasang
pedang Liong-cu Siang-kiam yang dahulu ditemukan oleh Cin Hai dan Ang I Niocu.
Pedang itu mencorong dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Cahaya lampu
yang banyak itu membuat pedang itu semakin berkilauan lagi. Oleh karena itu,
dia merasa ragu-ragu untuk melayani tantangan Ang I Niocu.
Mendadak terdengar suara
ketawa, ternyata yang ketawa itu adalah Hok Ti Hwesio yang baru saja keluar
dari kuil diikuti oleh beberapa orang hwesio muda yang menjadi kawan-kawannya.
Memang akhir-akhir ini di dalam kuil itu telah berkumpul beberapa belas orang
hwesio muda yang diaku menjadi murid Hok Ti Hwesio, akan tetapi yang
sesungguhnya merupakan sekumpulan penjahat cabul yang berkedok kepala gundul
dan jubah pendeta!
“Lihat, orang macam itu hendak
melawan Suhu!” Hok Ti Hwesio berkata kepada kawan-kawannya atau boleh juga
disebut murid-muridnya yang juga pada tertawa menyeringai.
Melihat rombongan hwesio muda
ini, teringatlah Ang I Niocu akan cerita Lo Sian tentang seorang hwesio yang
menjadi murid Ban Sai Cinjin, maka dengan suara dingin sekali dia bertanya
sambil memandang ke arah mereka,
“Aku pernah mendengar nama Hok
Ti Hwesio, entah siapakah di antara kalian bernama begitu?”
Hok Ti Hwesio memperkeras
suara tawanya, lalu berkata, “Ang I Niocu, kau disohorkan orang sebagai seorang
pendekar wanita baju merah yang cantik bagai bidadari. Sekarang kau datang
menanyakan Hok Ti Hwesio, apakah kau jatuh hati kepadaku? Hemm, akulah yang
tidak mau, Niocu, karena biar pun bajumu masih merah, akan tetapi mukamu sudah
amat tua, terlalu tua...”
Belum sempat Hok Ti Hwesio
menutup mulutnya, tampaklah berkelebat bayangan merah yang didahului oleh sinar
putih menyambar ke arah Hok Ti Hwesio.
“Awas...!” teriak Wi Kong
Siansu dan Ban Sai Cinjin berbareng.
Dengan kaget sekali Hok Ti
Hwesio masih sempat menjatuhkan diri ke belakang hingga terhindar dari sambaran
pedang Liong-cu-kiam di tangan Ang I Niocu. Dengan gerak tipu Trenggiling
Menggelinding dari Puncak, Hok Ti Hwesio langsung bergulingan menjauhkan diri.
Akan tetapi tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, Ang I Niocu
terus mengejarnya!
Dua orang hwesio murid Hok Ti
Hwesio mencoba menghadang, akan tetapi begitu Liong-cu-kiam menyambar, terbabat
putuslah leher kedua orang hwesio sial ini! Hwesio-hwesio muda yang lain
menjadi ngeri dan mundur, ada pun Hok Ti Hwesio telah melompat berdiri.
Hwesio ini telah mempunyai
kepandaian tinggi, maka dia tidak takut. Dia mencabut pisau terbangnya dan
begitu Ang I Niocu menyerang, dia cepat menyambut dengan pisaunya yang lihai.
Akan tetapi terdengar suara nyaring dan pisaunya telah terbabat putus!
Hok Ti Hwesio membaca mantera
dan matanya terbelalak lebar memandang wajah Ang I Niocu, lalu membentak sambil
mendorong dengan kedua tangannya ke arah dada Ang I Niocu. Inilah ilmu hoat-sut
(ilmu sihir) yang dipergunakan untuk mendorong roboh lawan.
Ang I Niocu merasa ada tenaga
yang mukjijat menyambarnya dari arah depan. Cepat dia menggerakkan lengan
kirinya, maka mengepullah uap putih menolak pengaruh jahat itu ketika dia
mengerahkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dia pelajari dari Bu Pun Su.
“Suhu... tolong...!” Akhirnya
Hok Ti Hwesio berseru minta tolong karena dia benar-benar telah terdesak hebat.
Memang semenjak tadi Ban Sai
Cinjin sudah hendak menolongnya dan sekarang hwesio mewah ini lalu mengayun
huncwe menghantam kepala Ang I Niocu dari belakang! Ang I Niocu yang sudah
menjadi marah sekali lalu mengayun pedangnya ke belakang kepala tanpa menengok
lagi sambil mengirim pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya ke arah Hok
Ti Hwesio.
Sungguh gerakan yang sangat
luar biasa sekali, karena sambil menangkis serangan dari belakang tanpa
menengok ia masih dapat mengirim pukulan maut ke depan. Kalau orang tidak
mempunyai tubuh yang lemas lincah serta tidak memiliki Ilmu Silat Sian-li Utauw
yang mahir, tidak mungkin dapat melakukan gerakan ini.
“Traaang…!”
Ujung huncwe itu, yakni pada
bagian kepalanya yang mengeluarkan asap hitam, terbabat rompal oleh pedang
Liong-cu-kiam sehingga Ban Sai Cinjin lantas melompat ke belakang dengan kaget.
Ada pun Hok Ti Hwesio yang
mengandalkan ilmu kebalnya yang lihai, hanya miringkan tubuhnya sambil membalas
menyerang dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika
dia merasa betapa dadanya yang sudah miring itu tetap terdorong oleh tenaga
raksasa dari pukulan lawan ini. Ia tak dapat mempertahankan kedua kakinya lagi
dan terlemparlah dia ke belakang!
Akan tetapi, dengan heran dan
makin marah Ang I Niocu melihat betapa hwesio muda itu sama sekali tidak
kelihatan sakit dan telah berdiri kembali. Namun Ang I Niocu tidak mau memberi
kesempatan lagi kepadanya dan cepat pedangnya digerakkan secara luar biasa
sekali ke arah tubuh hwesio itu.
Hok Ti Hwesio masih berusaha
mengelak dan melompat, akan tetapi sinar pedang itu terus mengurungnya dari
segenap penjuru sehingga tidak ada jalan keluar lagi baginya. Sesudah tiga kali
dia berhasil mengelak, pada kali ke empat Liong-cu-kiam menembus pahanya
sehingga dia roboh terguling bermandikan darah dan berkaok-kaok seperti babi
disembelih! Akan tetapi sekejap kemudian, mulutnya tak dapat mengeluarkan suara
lagi karena pedang Liong-cu-kiam secepat kilat telah menembus jantungnya!
Bukan main marahnya Ban Sai
Cinjin melihat muridnya yang tersayang sudah binasa di tangan Ang I Niocu.
Maka, sambil berseru bagaikan guntur, dia menyerang lagi dengan huncwe-nya yang
ujungnya telah gompal. Ada pun Wi Kong Siansu juga merasa sangat penasaran
melihat sepak terjang Ang I Niocu yang tidak mengenal ampun.
“Ang I Niocu, sepak terjangmu
bukan seperti seorang gagah, tapi lebih pantas seperti iblis wanita!” seru Wi
Kong Siansu sambil melompat maju karena ia maklum bahwa sute-nya, Ban Sai
Cinjin, agaknya bukan lawan wanita gagah ini.
“Wi Kong, tua bangka tak tahu
malu! Kau juga sudah mengotorkan tanganmu dan turut membantu sute-mu membunuh
suamiku. Tua bangka sesat, majulah kau untuk menerima hukuman dari Ang I
Niocu!” seru Ang I Niocu dengan marah sekali.
Muka Wi Kong Siansu menjadi
merah dan dia cepat mencabut pedangnya Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam) maka
sebentar saja Ang I Niocu telah dikeroyok dua oleh Ban Sai Cinjin dan Wi Kong
Siansu.
Tingkat kepandaian Wi Kong
Siansu memang lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin dan hal ini diketahui
dengan cepat oleh Ang I Niocu. Gerakan pedang pada tangan Wi Kong Siansu selain
sangat cepat dan berbahaya, juga tenaga lweekang dari tosu ini pun jauh lebih
kuat dari pada Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi, kalau saja Ang I
Niocu hanya menghadapi Wi Kong Siansu seorang, dia tak akan kalah dan agaknya
sulit bagi tosu itu untuk dapat mengimbangi permainan pedang yang luar biasa
hebatnya dari pendekar wanita baju merah itu. Namun, dengan adanya Ban Sai
Cinjin yang memainkan huncwe-nya secara hebat pula, Ang I Niocu menghadapi
lawan yang amat tangguh.
Betapa pun juga, Ang I Niocu
pun tidak memperlihatkan perasaan jeri, bahkan karena dia sedang marah dan
sakit hati sekali, maka gerakan pedangnya adalah gerakan dari orang yang nekat
dan hendak mengadu jiwa, maka masih kelihatan betapa Wi Kong Siansu dan Ban Sai
Cinjin yang masih menyayangi jiwa sendiri itu selalu terdesak mundur!
Tentu saja hal ini mengagetkan
orang-orang gagah yang berada di sana. Orang yang masih mampu mendesak mundur
Wi Kong Siansu beserta Ban Sai Cinjin, sukar dicari keduanya di dunia ini!
Diam-diam Hailun Thai-lek
Sam-kui menjadi amat gembira. Tangan mereka telah merasa gatal-gatal karena
makin tangguh lawan, makin besar keinginan mereka untuk mencoba kepandaiannya.
Akhirnya, tiga orang kakek ini
tak dapat menahan keinginannya lagi dan sambil berseru keras mereka lalu
menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, sehingga kini Ang I Niocu dikeroyok
lima!
Melihat hal ini, Lo Sian
menjadi bingung sekali. Kalau ia maju membantu Ang I Niocu, hal itu takkan ada
artinya sama sekali. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan
bantuannya tidak akan menolong Ang I Niocu, bahkan jangan-jangan malah akan
menghancurkan daya tahan dari pendekar wanita baju merah itu. Akhirnya ia
mendapat akal dan larilah Pengemis Sakti ini ke belakang kuil itu.
Karena semua orang telah
berlari ke depan, maka keadaan di belakang kuil sunyi sekali. Dengan enaknya Lo
Sian lalu menurunkan lampu dan menggunakah minyak serta api untuk membakar
kuil. Ia membakar bagian yang terisi banyak kertas maka sebentar saja kuil itu
menjadi lautan api yang mengamuk dari bagian belakang!
Ketika itu Ang I Niocu sudah
mulai terdesak hebat, sungguh pun pedang Liong-cu-kiam sudah membabat putus
rantai besar milik Lak Mau Couwsu dan sudah melukai pundak Bouw Ki sehingga
orang ke tiga dan ke dua dari Hailun Thai-lek Sam-kui tidak dapat lagi
mengeroyok. Sebagai gantinya, kedua saudara Can kini telah maju mengeroyok.
Ang I Niocu mengertak gigi
kemudian memutar pedangnya lebih hebat lagi. Karena dia tidak mudah merobahkan
para pengeroyoknya, kini dia mulai mengincar hwesio-hwesio yang menjadi murid
Hok Ti Hwesio dan yang masih merubung mayat Hok Ti Hwesio dengan muka pucat.
Begitu ia mendapat kesempatan, Ang I Niocu melompat keluar dari kepungan lima
orang pengeroyoknya dan menerjang kawanan hwesio itu yang menjadi geger.
Kembali tiga orang hwesio telah roboh mandi darah dalam keadaan mati!
“Ang I Niocu manusia kejam!”
Wi Kong Siansu membentak marah.
Akan tetapi pada saat itu Ang
I Niocu telah mengejar dua orang hwesio lain yang lantas dibabatnya sehingga
tubuh kedua orang ini putus menjadi dua! Diam-diam kelima orang pengeroyok ini
menjadi ngeri juga menyaksikan keganasan Ang I Niocu yang betul-betul seperti
telah berubah menjadi kejam itu. Dengan sepenuh tenaga, mereka mengerahkan
kepandaian mereka untuk merobohkan Ang I Niocu.
Para pengeroyok Ang I Niocu
adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yan menduduki tingkat atas. Wi Kong Siansu
mendapat julukan Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa), seorang tokoh dari
Hek-kwi-san yang di samping memegang pedang Hek-kwi-kiam, juga mainkan ilmu
pedang Hek-kwi Kiam-hoat. Ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tidak
kalah oleh Ang I Niocu sendiri.
Juga Ban Sai Cinjin tadinya
sudah amat lihai, dan akhir-akhir ini dia memperdalam ilmu silatnya lagi
sehingga dia memperoleh kemajuan besar. Ilmu tongkatnya yang dimainkan dengan
sebatang huncwe itu benar-benar merupakan tangan maut yang siap menjangkau
nyawa lawan.
Pengeroyok ke tiga adalah
Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Tiga Iblis Geledek dari Hailun. Baru
julukannya saja sudah Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Kolong
Langit), maka sudah dapat dibayangkan betapa lihainya payung yang dia mainkan!
Pengeroyok ke empat dan ke
lima adalah Can Po Gan dan Can Po Tin, kakak beradik jago dari Shan-tung yang
memiliki kepandaian tinggi pula. Maka tentu saja setelah dapat mempertahankan
diri sampai seratus jurus lebih, akhirnya Ang I Niocu menjadi repot dan
terdesak hebat sekali.
Beberapa kali dia telah
menderita luka-luka hebat, akan tetapi berkat latihan-latihan dan
pengalaman-pengalamannya, maka pendekar wanita ini masih mampu mempertahankan
diri dan pada saat ia menerima sambaran senjata lawan yang mengenai dekat
lehernya, ia telah dapat menancapkan pedangnya di lambung Can Po Tin hingga
orang ini menjerit keras lalu roboh tak bernyawa pula!
Ang I Niocu terhuyung-huyung
akan tetapi ia masih dapat melawan dengan nekat. Ketika Can Po Gan yang menjadi
marah menerjangnya, pendekar wanita ini kembali menerima pukulan pada
pundaknya, akan tetapi sekali tangan kirinya melancarkan pukulan Pek-in
Hoat-sut ke arah dada Can Po Gan, orang ini langsung memekik keras dan
terlempar ke belakang dengan dada pecah!
Pada saat itu juga nampak
cahaya api dan kagetlah para pengeroyok Ang I Niocu ketika melihat betapa kuil
itu kini telah menjadi lautan api! Ban Sai Cinjin adalah orang pertama yang
merasa paling kaget dan marah. Ia sudah mendengar betapa rumah gedungnya di
Tong-sin-bun telah menjadi abu, dan sekarang kembali kuilnya yang indah
mentereng ini hendak dimakan api!
Maka dia lalu melompat
meniggalkan Ang I Niocu untuk mengusahakan pemadaman api yang membakar kuil.
Akan tetapi sia-sia belaka karena api telah menjalar dan nyalanya telah
terlampau besar untuk dapat dipadamkan lagi.
Sementara itu, Ang I Niocu
yang merasa betapa kepungannya kini agak longgar, lalu melompat ke belakang.
Dia sudah terlalu letih dan merasa bahwa dia tidak kuat untuk melawan lagi. Dia
melarikan diri ke belakang, dikejar oleh Wi Kong Siansu dan Thian-he Te-it
Siansu, dua orang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Kedua orang tosu ini
hendak menangkap Ang I Niocu yang dianggapnya terlalu ganas dan kejam itu.
Sungguh pun Ang I Niocu
memiliki ginkang yang luar biasa dan kalau sekiranya dia tidak terluka, kedua
orang tokoh besar ini pun belum tentu bisa mengejarnya. Akan tetapi pada saat
itu pendekar wanita ini sudah terluka hebat dan tubuhnya telah mandi darah yang
mengucur dari luka-lukanya.
Ia mencoba untuk menguatkan
tubuhnya, berdiri tegak menunggu kedatangan dua orang pengejarnya untuk dilawan
mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba sepasang matanya menjadi gelap, kepalanya
pening dan robohlah dia tidak sadarkan diri lagi! Dari belakang pohon melompat
keluar Lo Sian yang cepat memondong tubuh Ang I Niocu, lalu dibawa lari ke
dalam hutan.
Melihat hal ini, Wi Kong
Siansu dan Thian-he Te-it Siansu menjadi marah sekali dan mengejar makin cepat.
Sin-kai Lo Sian menjadi sibuk sekali karena bagaimana ia dapat melepaskan diri
dari kejaran dua orang yang memiliki kepandaian berlari cepat jauh lebih tinggi
dari pada kepandaiannya?
Dalam gugupnya, Lo Sian lalu
lari sejadi-jadinya sehingga dia menubruk rumpun berduri dan terus saja jatuh
bangun serta bergulingan sambil memondong tubuh Ang I Niocu! Betapa pun juga, tetap
saja dia mendengar suara dua orang pengejarnya yang lihai.
Ketika Wi Kong Siansu dan
Thian-he Te-it Siansu sudah hampir dapat menyusul Lo Sian, tiba-tiba dari
sebuah tikungan jalan di dalam hutan itu muncul seorang kakek kate yang
memegangi sebuah guci arak dan sebentar-sebentar menenggak isi ciu-ouw itu
sambil melenggang dan kemudian bernyanyi-nyanyi riang! Kakek kate ini berjalan
tepat di tengah lorong menghadang kedua orang tosu yang mengejar Lo Sian dan
ketika mereka sudah berhadapan, kakek kate itu dengan suara masih dinyanyikan
lalu menegur,
“Dua orang tua bangka
mengejar-ngejar orang dengan senjata di tangan dan hawa maut terbayang di mata,
sungguh mengerikan!”
Wi Kong Siansu dan Thian-he
Te-it Siansu cepat memandang dan bukan main kaget hati mereka ketika melihat
bahwa yang menghadang di depan mereka itu adalah Im-yang Giok-cu, tokoh besar
di Pegunungan Kun-lun-san yang jarang sekali memperlihatkan diri di dunia
ramai!
Sebagaimana para pembaca tentu
masih ingat, Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak ini dahulu bersama Sin Kong Tianglo
yang berjuluk Yok-ong (Si Raja Obat) pernah menjadi guru dari Goat Lan. Pada
saat itu, dalam perantauannya Im-yang Giok-cu mendengar bahwa kitab obat
Thian-te Ban-yo Pit-kip peninggalan sahabatnya, Sin Kong Tianglo yang dulu oleh
dia sendiri diberikan kepada Goat Lan, telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin, maka
malam hari ini ia memang sengaja hendak mencari Ban Sai Cinjin untuk urusan
itu.
Kebetulan sekali di dalam
hutan ini melihat Wi Kong Siansu dan Thian-te Te-it Siansu sedang
mengejar-ngejar seorang pengemis yang membawa lari tubuh seorang nenek tua. Ia
tidak mengenal Lo Sian, juga tidak tahu bahwa nenek tua yang dibawa lari oleh
Lo Sian itu adalah Ang I Niocu, akan tetapi ia cukup tahu akan Wi Kong Siansu
dan Thian-he Te-it Siansu yang kabarnya memusuhi muridnya, Goat Lan! Oleh
karena inilah maka Im-yang Giok-cu sengaja menghadang mereka untuk menolong
orang yang dikejar itu.
Wi Kong Siansu cepat
mengangkat dua tangan memberi hormat lalu berkata, “Apa bila tidak salah, kami
sedang berhadapan dengan sahabat dari Kun-lun-san Im-yang Giok-cu. Tidak tahu
malam-malam begini hendak pergi ke manakah, Toyu (sebutan untuk kawan seagama
To)?”
Karena Im-yang Giok-cu tidak
mengenal Lo Sian dan mengerti bahwa kini orang yang dikejar itu sudah lari jauh
dan di dalam gelap ini tidak mungkin dapat disusul lagi, ia pun tidak mau
mencampuri urusan orang, hanya berkata,
“Wi Kong Siansu, aku hendak
mencari sute-mu yang kabarnya sudah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari
mendiang Sin Kong Tianglo sahabat baikku. Sute-mu harus mengembalikan kitab itu
dengan baik-baik kepadaku untuk kukembalikan kepada muridku Kwee Goat Lan.
Harap sute-mu suka memandang mukaku dan jangan main-main dengan seorang
anak-anak seperti muridku itu.” Setelah berkata demikian, Si Kate ini kemudian
menenggak guci araknya.
Thian-he Te-it Siansu yang
memang suka sekali berkelahi dan sekarang sedang marah sekali karena dua orang
sute-nya tadi sudah dikalahkan oleh Ang I Niocu, dengan sikap menantang, kakek
yang sama katenya dengan Im-yang Giok-cu ini lalu melompat maju sambil
menggerak-gerakkan payungnya dan berkata,
“Im-yang Giok-cu, kau
minggirlah dulu agar aku dapat menangkap setan wanita tadi! Ada urusan boleh
diurus nanti.”
Akan tetapi Im-yang Giok-cu
juga menggerak-gerakkan guci araknya dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa!
Urusanku lebih penting lagi, urusanmu mengejar-ngejar dan mengeroyok orang yang
sudah berlari, sungguh tidak patut dan dapat dihabiskan saja!”
Thian-he Te-it Siansu marah
sekali dan cepat payungnya bergerak menyambar ke dada Im-yang Giok-cu. Akan
tetapi Si Dewa Arak ini menggerakkan guci araknya menangkis.
“Krakk!”
Terdengar suara dan patahlah
ujung payung orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, sedangkan beberapa
tetes arak melompat keluar dari guci itu dan tepat sekali dua tetes di
antaranya menyambar lurus ke arah kedua mata Thian-he Te-it Siansu! Orang cebol
ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur.
Wi Kong Siansu yang cerdik
segera melerai. Dia lebih maklum bahwa tokoh besar dari Pegunungan Kun-lun ini
adalah suhu dari Kwee Goat Lan dan tentu saja boleh disebut berpihak kepada
Pendekar Bodoh besertas kawan-kawannya, dan dia maklum pula akan kelihaian
kakek ini, maka dia lalu berkata,
“Im-yang Giok-cu, kau tidak
tahu bahwa kuil sute-ku telah terbakar, maka marilah kita bersama ke sana dan
tentang kitab obat itu boleh kau tanyakan kepada sute-ku. Di antara kita
sendiri, mengapa saling serang?”
Im-yang Giok-cu tertawa
bergelak, lalu menjawab, “Bagus, inilah baru ucapan seorang cerdik! Urusan
harus diselesaikan dahulu, untuk pibu...” dia melirik Thian-he Te-it Siansu,
“puncak Thian-san masih cukup luas, ada pun musim chun memang selalu
menimbulkan kegembiraan pada semua orang untuk main-main!”
Mendengar sindiran ini, Wi Kong
Siansu segera maklum bahwa kakek kate yang lihai ini sudah mendengar pula
tentang tantangan pibu antara dia melawan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya,
maka diam-diam dia mengeluh.
Akan tetapi ketika mereka
bertiga mendapatkan Ban Sai Cinjin di depan kuil, ternyata bahwa kuil itu semua
telah dimakan api. Tak sepotong pun barang dapat diselamatkan, termasuk kitab
Thian-te Ban-yo Pit-kip juga ikut musnah terbakar.
Untuk membuktikan bahwa kitab
itu betul-betul terbakar, Ban Sai Cinjin lalu minta kepada Im-yang Giok-cu
untuk menanti sampai api betul-betul padam, kemudian ia membongkar tempat di
mana kitab itu tadinya disimpan yaitu dalam sebuah peti. Peti itu telah menjadi
abu dan pada waktu dibongkar, benar saja di dalamnya terdapat abu sebuah kitab
yang samar-samar masih dapat dilihat tulisannya!
Im-yang Giok-cu menarik napas
panjang dan berkata, “Kitab ini telah menyusul pemilik dan penulisnya.
Sudahlah, aku tak dapat berkata apa-apa lagi!” Ia lalu melenggang pergi sambil
menenggak araknya, tak seorang pun berani mencegah atau mengganggunya.
Ada pun Lo Sian yang dapat
melarikan diri sambil memondong tubuh Ang I Niocu yang berlumur darah, tanpa
disengaja telah lari ke atas bukit di tengah hutan di mana dahulu dia mengubur
jenazah Lie Kong Sian! Bagaikan ada dewa yang menuntunnya, di dalam
kebingungannya melarikan diri dari kedua orang pengejarnya, Lo Sian naik terus
dan di antara pohon-pohon pek itu dia melihat ada serumpun bunga mawar hutan
yang sedang berkembang. Maka saking lelahnya, ia lalu meletakkan tubuh Ang I
Niocu di atas rumput.
Kemudian, pemandangan di
sekitarnya serta keharuan hatinya melihat keadaan Ang I Niocu yang sudah tak
mungkin dapat ditolong lagi itu, membuka matanya dan teringatlah ia akan
pengalamannya dahulu. Melihat rumpun bunga mawar hutan itu, Lo Sian tiba-tiba
lalu menubruk ke arah rumpun itu dan dibuka-bukanya rumpun itu seperti orang
mencari sesuatu, dan nampaklah olehnya gundukan tanah di bawah rumpun itu.
Lo Sian mengeluh dan menangis
karena sekarang dia teringat bahwa inilah kuburan Lie Kong Sian! Teringat pula
dia ketika dahulu dia melarikan diri membawa jenazah Lie Kong Sian seperti yang
dilakukannya dengan membawa tubuh Ang I Niocu tadi, dan betapa ia mengubur
jenazah Lie Kong Sian di tempat itu.
Dan pada saat Lo Sian menangisi
nasib Ang I Niocu dan suaminya itulah, Lili mendengar suaranya dan datang ke
tempat itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lo Sian dan Lili
akhirnya mengubur jenazah Ang I Niocu, pendekar wanita yang gagah itu, di
sebelah makam suaminya yang telah meninggal dunia lebih dulu beberapa tahun
yang lalu…..
********************
Beberapa kali Ban Sai Cinjin
membanting kakinya dan wajahnya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Dia
merasa marah dan sakit hati betul. Telah berkali-kali dia menerima penghinaan
dan kekalahan hebat dari pihak Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, dan kali ini
ia menerima hinaan yang paling hebat.
Gedungnya habis, kuilnya
musnah, semua barang-barangnya menjadi abu, dan muridnya yang terkasih, Hok Ti
Hwesio tewas bersama beberapa orang hwesio lainnya dan juga kedua saudara Can
dari Shan-tung itu tewas dalam membelanya. Bagaimana dia tidak menjadi sakit
hati dan marah?
Juga Wi Kong Siansu menjadi
marah dan penasaran sekali. Dia sudah mendengar dari sute-nya bahwa muridnya,
yaitu Song Kam Seng, juga sudah tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh! Tentu
saja ia tidak tahu bahwa Kam Seng terbunuh oleh Ban Sai Cinjin sendiri yang
dengan pandainya telah rnemutar balik duduknya perkara dan menyatakan bahwa Kam
Seng terbunuh oleh Pendekar Bodoh ketika membantu orang-orang Mongol di utara!
Kini melihat sepak terjang Ang
I Niocu, Wi Kong Siansu menjadi semakin marah karena menurut anggapannya, Ang I
Niocu telah berlaku kejam dan ganas sekali.
“Orang yang membawa lari Ang I
Niocu tentulah pengemis hina dina itu,” kata Wi Kong Siansu, “dan tentu Lo Sian
pula yang membakar kuil ini!”
“Sayang dahulu tidak
kuhancurkan kepalanya!” kata Ban Sai Cinjin gemas. “Akan tetapi, sambil membawa
orang luka, dia pasti tidak dapat lari jauh dan tidak mungkin keluar dari hutan
sambil membawa-bawa Ang I Niocu. Mari kita mencari dia!”
Demikianlah, dengan hati penuh
geram, Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, diikuti pula oleh ketiga Hailun Thai-lek
Sam-kui yang juga merasa penasaran, pada pagi hari itu juga lalu melakukan
pengejaran.
Maka dapat dibayangkan betapa
kaget dan gelisahnya hati Lo Sian ketika tiba-tiba lima orang kakek yang
tangguh itu tahu-tahu telah berdiri di depannya di dekat makam Ang I Niocu dan
Lie Kong Sian!
“Ha-ha-ha, pengemis jembel,
apa kau kira akan dapat melarikan diri dari sini?” Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak karena girang dapat menemukan orang yang dibencinya. Apa lagi ia
melihat Lili berada di situ dan melihat gadis musuh besarnya ini, timbullah
harapannya untuk membalas penghinaan yang telah ia derita dari Pendekar Bodoh.
“Di mana Ang I Niocu siluman wanita?”
“Ban Sai Cinjin, harap kau
suka mengingat akan peri kemanusiaan. Kau telah membunuh Lie Kong Sian, dan
sekarang kau telah menewaskan Ang I Niocu pula. Apakah hatimu masih belum puas?
Mereka sudah tewas dan sudah kukubur baik-baik, harap kau jangan mencari urusan
lagi,” kata Lo Sian yang merasa kuatir kalau-kalau lima orang kakek yang
tangguh ini akan mengganggu Lili.
Akan tetapi Ban Sai Cinjin
berseru marah, “Pengemis bangsat! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau yang
membakar kuilku? Kau enak saja bicara untuk membujukku agar jangan mengganggumu
dan mengganggu setan perempuan ini. Kau kira aku akan melepaskan anak Pendekar
Bodoh begitu saja tanpa membalas penghinaan-penghinaannya?” Sambil berkata
demikian Ban Sai Cinjin melangkah maju dan menggenggam huncwe-nya lebih erat
lagi.
Akan tetapi Lili sama sekali
tidak merasa jeri, bahkan kini kedua matanya yang bening itu mengeluarkan
cahaya berapi dan wajahnya yang cantik itu sudah menjadi merah sekali. Sungguh
pun dia kini tidak memegang senjata apa-apa karena kipas dan pedang
Liong-coan-kiam telah rusak ketika ia bertemu dengan nenek luar biasa yang
menjadi gurunya itu, namun dia tidak merasa jeri sama sekali, bahkan lebih tabah
dari pada dahulu ketika menghadapi Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu.
“Ban Sai Cinjin manusia
binatang! Kau bilang takkan melepaskan anak Pendekar Bodoh, akan tetapi apakah
kau kira aku Sie Hong Li akan membiarkan kau hidup lebih lama lagi setelah kita
bertemu di sini?” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan
dengan tangan kirinya ia menyerang ke arah leher Ban Sai Cinjin. Begitu
bertemu, gadis ini langsung menyerang dengan tipu dari Hang-liong Cap-it
Ciang-hoat yang lihainya luar biasa!
Saat melihat gadis itu
menyerangnya dengan tangan kosong, Ban Sai Cinjin memandang rendah sekali dan
cepat dia mengulur tangan kiri untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu,
sedang tangan kanan menggerakkan huncwe untuk mengetok kepala Lili! Akan tetapi
dia belum lagi kenal kelihaian ilmu pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang
baru pertama kali ini dipergunakan oleh orang di dunia ramai!
Pada saat tangan kirinya
menyentuh pergelangan tangan kiri Lili, Ban Sai Cinjin berteriak kaget dan
cepat-cepat dia menarik kembali tangannya karena merasa betapa telapak
tangannya seakan-akan menyentuh api membara! Dan Lili hanya menundukkan sedikit
kepalanya untuk menghindarkan serangan huncwe dari lawannya, akan tetapi tangan
kirinya tetap meluncur ke arah leher Ban Sai Cinjin!
Kakek mewah ini terkejut bukan
main dan cepat dia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, akan tetapi masih saja
tangan kanan Lili yang menyambar lagi mengenai kepala huncwe-nya.
“Prakk!” kepala huncwe-nya itu
hancur lebur dan api tembakaunya berhamburan!
Ban Sai Cinjin bergulingan
menjauh kemudian melompat berdiri dengan muka pucat dan memandang ke arah gadis
itu dengan kedua mata terbelalak! Juga Wi Kong Siansu dan ketiga tokoh dari
Hailun itu berdiri bengong. Mereka belum pernah menyaksikan ilmu silat yang
sedemikian hebatnya.
Akan tetapi kekagetan mereka
hanya sebentar saja, oleh karena Wi Kong Siansu segera mencabut Hek-kwi-kiam
dari punggungnya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Lili dan jidatnya berkerut
ketika dia berkata dengan garang,
“Sie Hong Li, hari ini
terpaksa pinto akan mengambil nyawamu untuk membalas dendam muridku, Song Kam
Seng!”
Lili mendengar ini menjadi
makin marah. Ia melirik ke arah Ban Sai Cinjin dan maklum bahwa kakek mewah itu
telah memutar balikkan kenyataan, maka ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa tiada
gunanya untuk membantah dan ribut mulut membela diri, dan dengan suara lantang
ia menjawab,
“Wi Kong Siansu, dahulu kau
pernah membantu Ban Sai Cinjin merobohkan aku dengan curang, kemudian kau
berani pula menentang Ayahku. Hemm, pendeta yang bermata buta seperti kau ini
mana bisa membedakan mana salah mana benar, mana baik mana jahat? Majulah, kau
kira aku takut kepadamu?”
Wi Kong Siansu lalu menerjang
dengan pedangnya yang bercahaya kehitaman, mainkan Ilmu Pedang Hek-kwi
Kiam-hoat dengan sangat marah. Akan tetapi segera dia menjadi terkejut sekali
karena benar-benar gadis itu jauh sekali bedanya dengan dahulu.
Dahulu pun Lili sudah
merupakan seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi sekali, seorang gadis
muda yang sudah menerima warisan ilmu-ilmu silat tinggi seperti San-sui
San-hoat dari Swi Kiat Siansu, juga telah mahir sekali mainkan Ilmu Pedang
Liong-coan Kiam-sut, juga ilmu-ilmu pukulan yang lihai dari Bu Pun Su seperti
Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut.
Kini gadis itu seakan-akan
harimau yang tumbuh sayapnya sesudah memiliki ilmu silat yang gerakannya amat
luar biasa dan yang mendatangkan hawa pukulan hebat sekali ini. Bahkan Wi Kong
Siansu tiap kali tergetar tangannya bila mana hawa pukulan dari tangan nona itu
menyambar ke arahnya!
Saat melihat Wi Kong Siansu
agaknya tidak bisa mendesak Lili, Hailun Thai-lek Sam-kui segera berseru dan
maju mengeroyok. Luka Bouw Ki di pundaknya ketika ia mengeroyok Ang I Niocu
telah diobati, sedangkan Lak Mau Couwsu sudah membikin betul rantainya, maka
kini tiga iblis ini dengan lengkap dapat mengurung Lili.
Akan tetapi gadis ini
benar-benar luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan bagaikan kilat
menyambar-nyambar dan setiap serangan senjata lawan bisa dielakkannya dengan
gesit sekali atau ditangkisnya dengan kedua lengannya yang mengandung tenaga
luar biasa. Bahkan serangan gadis ini benar-benar membuat empat orang
pengeroyoknya terkejut dan harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata bahwa
sebelas jurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat ini luar biasa sekali daya
tahan dan daya serangnya.
Ada pun Ban Sai Cinjin setelah
melihat Lili dikurung oleh suheng-nya dan Hailun Thai-lek Sam-kui, lalu
mendelik menghampiri Lo Sian dengan huncwe-nya yang sudah terpotong tidak
berkepala lagi itu! Sin-kai Lo Sian melihat nafsu membunuh di mata Ban Sai
Cinjin, maka Pengemis Sakti ini lalu bersiap sedia untuk membela diri
mati-matian.
“Lo Sian, dahulu aku sudah
berlaku salah karena tidak terus membunuhmu sehingga kau mendatangkan banyak
urusan. Sekarang harus kuhancurkan kepalamu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai
Cinjin lalu menyerang dengan gagang huncwe-nya itu.
Biar pun huncwe-nya telah
hilang kepalanya, akan tetapi gagang huncwe itu terbuat dari baja tulen yang
keras sehingga kini merupakan tongkat atau toya pendek yang masih cukup
berbahaya.
Lo Sian yang selama ini tak
pernah terpisah dari tongkatnya, cepat mengangkat tongkat itu untuk menangkis.
Terdengarlah suara keras dan terpaksa Lo Sian melompat mundur dengan telapak
tangan tergetar dan panas!
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak. Kakek mewah ini timbul kesombongannya kalau sudah menang, maka sambil
menyeringai ia lalu mendesak Lo Sian yang memang masih kalah jauh tingkat
kepandaiannya.
Dengan nekat dan mati-matian
Lo Sian berusaha mempertahankan diri sambil membalas serangan Ban Sai Cinjin,
akan tetapi beberapa jurus kemudian terdengar suara keras dan tongkat di tangan
Lo Sian patah menjadi dua oleh gagang huncwe di tangan Ban Sai Cinjin. Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak lalu menubruk maju.
Lo Sian mengelak ke kanan,
akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Sai Cinjin mengenai betisnya sehingga
membuat Lo Sian terjungkal. Ban Sai Cinjin melangkah maju dengan gagang huncwe
terangkat dan dengan sekuat tenaga ia menimpakan gagang huncwe itu ke arah
kepala Lo Sian!
“Prakk!” Bunga api berpijar
dan gagang huncwe itu untuk kedua kalinya patah dan tinggal sedikit saja.
Ban Sai Cinjin kaget sekali
dan cepat melompat ke belakang. Ternyata bahwa pada saat yang amat berbahaya bagi
nyawa Lo Sian itu, sebatang pedang berbentuk ular dengan gerakan cepat sekali
telah menangkis gagang huncwe itu dan menyelamatkan nyawa Lo Sian.
“Lie Siong...!” Lo Sian
berseru girang sekali ketika melihat pemuda yang baru datang ini.
“Lo-pek, minggirlah dan
biarkan aku membunuh tikus busuk ini!” berkata Lie Siong sambil memutar
pedangnya dan menyerang Ban Sai Cinjin dengan hebatnya.
Seperti ketika ia menghadapi
Lili tadi, kini Ban Sai Cinjin juga merasa heran dan terkejut sekali. Hanya
dengan sekali serang saja pemuda ini sudah dapat mematahkan gagang huncwe-nya!
Alangkah jauh bedanya dengan dulu ketika ia bertempur melawan pemuda ini.
Padahal dulu dia sendiri betum
semaju ini ilmu kepandaiannya dan akhir-akhir ini ia telah melatih diri dan
memperoleh kemajuan pesat. Namun dibandingkan dengan kedua orang muda ini, dia
telah tertinggal jauh!
Tentu saja Ban Sai Cinjin
tidak tahu bahwa Lili telah mendapat gemblengan luar blasa dari seorang nenek
di dalam sumur yang mengajarnya Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, dan bahwa Lie
Siong juga telah bertemu dengan seorang kakek luar biasa yang mengajarnya
bermain gundu!
Karena gagang huncwe-nya kini
sudah tak dapat digunakan lagi, Ban Sai Cinjin terpaksa menghadapi Lie Siong
dengan kedua tangannya yang juga tidak boleh dipandang ringan. Dia langsung
melancarkan pukulan-pukulan disertai ilmu hoat-sut (ilmu sihir) yang selain
mengandung tenaga luar biasa juga disertai bentakan-bentakan yang pengaruhnya
dapat melumpuhkan semangat lawannya.
Akan tetapi Lie Siong hanya mengeluarkan
suara menyindir. Tangan kirinya mainkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang
mengeluarkan uap putih untuk menolak pengaruh ilmu hitam lawannya, sedangkan
pedangnya tetap mengurung Ban Sai Cinjin dengan rapat.
“Ban Sai Cinjin, engkau harus
membayar nyawa ayahku!” bentaknya berulang-ulang dan pedangnya yang berbentuk
naga itu menyambar-nyambar dekat sekali dengan dada dan leher Ban Sai Cinjin.
“Suheng, bantulah aku
merobohkan setan ini!” terpaksa Ban Sai Cinjin berseru kepada Wi Kong Siansu. Tubuhnya
sampai mandi keringat dingin karena ia merasa bahwa kalau dilanjutkan, sebentar
lagi ia pasti akan roboh binasa oleh pemuda yang luar biasa ini.
Pada waktu mendengar seruan
ini, Wi Kong Siansu cepat menengok dan terkejutlah dia melihat betapa sute-nya
berada dalam keadaan amat berbahaya. Cepat ia melompat dan pedangnya
Hek-kwi-kiam segera meluncur dan melakukan serangan kilat ke arah tubuh Lie
Kong. Pemuda ini maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu, karena itu dia menangkis
sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya yang baru diperkuat dengan latihan yang
dia terima dari gurunya yang aneh.
“Traaang…!” Bunga api berpijar
menyilaukan mata ketika dua pedang itu beradu.
Pedang Hek-kwi-kiam juga
sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka tidak sampai patah. Namun Wi Kong
Siansu diam-diam terkejut sekali karena baru sekali ini dalam beradu pedang dia
merasa tangannya tergetar hebat!
Kedatangan Wi Kong Siansu
membuat Ban Sai Cinjin bernapas lega, meski pun mereka berdua juga tidak
berdaya mendesak Lie Siong. Tapi sebaliknya, Hailun Thaitek Sam-kui menjadi
sibuk sekali karena setelah ditinggalkan oleh Wi Kong Siansu, mereka sekarang
terdesak hebat oleh Lili.
“Siong-ko (Kakak Siong), hayo
kita bikin mampus lima ekor anjing ini. Ie-ie Im Giok telah terbunuh oleh mereka
ini!” seru Lili kepada Lie Siong.
Mendengar seruan ini, serangan
Lie Siong bukannya lebih cepat, bahkan tiba-tiba daya serangnya banyak
berkurang. Pemuda ini menerima pukulan batin yang amat hebat saat mendengar
warta tentang kematian ibunya ini. Ia menjadi demikian marah, sedih, gemas, dan
menyesal sekali sehingga tubuhnya terasa lemas dan dia tidak dapat mengerahkan
lweekang-nya dengan sempurna lagi.
Hal ini tentu saja
menggirangkan hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin karena tadinya mereka
berdua sudah menjadi gelisah sekali. Hailun Thai-lek Sam-kui terdesak hebat
sedangkan mereka juga agaknya tak akan mampu mengalahkan pemuda ini. Kini
melihat kesempatan ini, Ban Sai Cinjin lalu berkata,
“Jangan layani mereka lagi,
belum tiba waktunya mengadu kepandaian! Kita telah berjanji musim chun di
puncak Thian-san!”
Ucapan ini hanya untuk menutup
rasa malu saja, akan tetapi membuat Hailun Thai-lek Sam-kui ‘ada muka’ untuk
mengundurkan diri. Bagaikan sedang berlomba, mereka semua cepat memutar tubuh
lalu melarikan diri dari tempat itu!
“Bangsat rendah, hendak lari
kemana kau?” Lili yang menjadi gemas lalu mengejarnya. Juga Lie Siong mengejar,
akan tetapi pemuda ini tak dapat melampaui Lili karena kedua kakinya menggigil.
Tiba-tiba lima orang kakek itu
membalikkan tubuh dan ketika tangan mereka bergerak, banyak sekali am-gi
(senjata gelap) menyambar ke arah Lili dan Lie Siong! Lili segera melompat ke
atas dan ketika kaki tangannya bergerak, dia telah dapat menangkap dua batang
panah tangan beracun sedangkan kedua kakinya telah berhasil menendang jauh
empat butir peluru besi!
Yang hebat adalah Lie Siong.
Pemuda ini baru saja digembleng oleh seorang kakek aneh yang ternyata seorang
ahli lweekeh dan juga seorang ahli senjata rahasia. Melihat datangnya senjata-senjata
gelap itu, biar pun tubuhnya sudah gemetar dan lemah karena luka di dalam
batinnya yang terpukul oleh berita kematian ibunya, dengan tenang Lie Siong
lalu berjongkok dan pedangnya disabetkan ke atas hingga semua senjata rahasia
itu terpukul ke atas. Berbareng dengan itu, tangan kirinya sesudah mencengkeram
ke bawah lalu bergerak dan bagaikan kilat menyambar, batu-batu kerikil dari
tangan kirinya itu meluncur ke arah lima orang kakek itu!
Inilah serangan gelap yang
luar biasa dari Lie Siong. Batu-batu kerikil itu dipegangnya seperti kalau ia
bermain gundu dengan gurunya dan kini batu-batu itu meluncur dengan luar biasa
cepatnya ke arah tubuh lima orang lawan itu, tepat ke arah jalan-jalan darah di
tubuh mereka!
Lima orang kakek itu sambil
berseru kaget lalu bergerak mengelak, akan tetapi Bouw Ki dan Lak Mao Couwsu
kurang cepat gerakannya sehingga biar pun batu-batu kerikil itu tidak tepat
mengenai jalan darah yang dapat mengirim nyawa mereka ke tangan maut, namun
tetap saja kulit mereka pecah-pecah terkena kerikil-kerikil itu! Dengan
berlumur darah, kedua orang ini cepat menyeret tubuh mereka mengikuti jejak
tiga orang kawan lainnya yang sudah melarikan diri terlebih dulu!
Lili hendak mengejar, akan
tetapi tiba-tiba saja ia melihat Lie Siong terhuyung-huyung ke depan dan roboh!
Gadis ini kaget sekali dan cepat menubruk tubuh Lie Siong, kemudian
diangkatnya. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu menderita luka di dalam tubuh,
maka ia menjadi amat berkuatir. Ketika ia mengangkat Lie Siong hendak dibawa lari
ke makam Ang I Niocu, Lo Sian yang mengejar sudah sampai di situ dan orang tua
ini dengan kaget lalu minta tubuh Lie Siong itu dan dipondongnya sendiri.
“Terlukakah dia, Lili?”
Gadis itu hanya memandang
sedih. “Entahlah, Suhu, aku tidak melihat dia terpukul, juga tidak ada tanda
darah. Akan tetapi tahu-tahu dia hendak roboh.”
Mereka lalu mengangkat tubuh
Lie Siong dan meletakkannya di atas rumput di depan makam kedua orang tua
pemuda itu. Lili tanpa diminta lalu pergi mencari air, dan setelah kembali dia
lalu menyusuti muka Lie Siong dengan sapu tangannya yang sudah basah, kemudian
dia mengucurkan air di kepala pemuda itu.....
Tak lama kemudian Lie Siong
membuka kedua matanya dan cepat sekali dia melompat bangun. Kedua matanya
memandang beringas bagaikan seekor harimau lapar mencium darah.
“Mana mereka? Mana
pembunuh-pembunuh ibuku? Lili, katakan, mana mereka? Hendak kucekik semua
batang lehernya!” Sambil membelalakkan sepasang matanya Lie Siong memandang ke
sana ke mari dengan mata jelalatan.
Lili melompat bangun dan tanpa
ragu-ragu atau malu-malu lagi dia memegang tangan Lie Siong.
“Siong-ko, tenanglah. Di mana
kegagahanmu? Atur napasmu dan tenangkan batinmu, baru kita bicara lagi.”
Bagaikan seekor kambing jinak,
Lie Siong menurut saja pada saat dipimpin oleh Lili dan disuruh duduk di atas
tanah. Sambil berpegangan tangan, sepasang orang muda ini lalu duduk meramkan
mata dan mengatur napas mengumpulkan tenaga.
Dengan setia Lili menyalurkan
hawa dan tenaga dalam tubuhnya melalui telapak tangan Lie Siong untuk membantu
pemuda ini. Ia sekarang tahu bahwa pemuda ini tadi pingsan karena pukulan batin
yang berduka.
Pikiran Lie Siong kacau tidak
karuan. Tadinya dia sudah dapat mengatur napasnya dan menentramkan pikiran dan
batinnya yang tergoncang, akan tetapi, pada waktu ia merasa betapa dari dua
telapak tangan Lili itu mengalir hawa hangat yang membantu peredaran darahnya,
dia menjadi demikian terheran-heran, girang, terharu, sedih, semua tercampur
aduk menjadi satu sehingga kembali tubuhnya menjadi panas dingin. Hawa Im dan
Yang mengalir di tubuhnya saling bertentangan dan karena tidak seimbang,
sebentar tubuhnya menjadi panas dan sebentar dingin sekali!
Lili dapat merasakan ini, maka
dia lalu menghentikan emposan semangat dan hawa, lalu melepaskan tangannya dan
berkata perlahan,
“Siong-ko, jangan kau kacaukan
pikiran sendiri. Tenanglah dan ingat bahwa hidup atau mati bukan berada di
tangan manusia.”
Akhirnya Lie Siong dapat
menenangkan batinnya, kemudian dia membuka matanya dan dengan pandangan sayu dan
muka pucat, dia bertanya,
“Di mana... dia? Mana ibuku?”
Lili menuding ke arah dua
gunduk tanah di depan mereka, dan berkata perlahan, “Kami telah menguburnya
baik-baik, di samping kuburan ayahmu.”
Lie Siong menoleh cepat dan
melihat dua gundukan tanah. Yang satu sudah lama, akan tetapi yang ke dua masih
baru sekali. Ia lalu menubruk dan menangis terisak-isak di atas kuburan ayah
bundanya itu!
Lili tak dapat menahan
keharuan hatinya dan ikut pula mengucurkan air mata, sedangkan Sin-kai Lo Sian
berulang-ulang menarik napas panjang. Dia memberi tanda kepada Lili agar supaya
mendiamkan saja pemuda itu, karena sewaktu-waktu air mata sangat baik sekali
untuk penawar hati yang duka.
Setelah agak lama Lie Siong
menangis sambil memeluk gundukan tanah itu, Lili berkata perlahan, “Tak baik
bagi orang-orang gagah menumpahkan air matanya.”
Lie Siong mendengar ucapan ini
dan terbangun semangatnya. Dia menyusut air matanya hingga kering dan kini
matanya menjadi merah. Ia berlutut di depan gundukan-gundulcan tanah itu dan
berkata dengan suara menyeramkan,
“Ayah, Ibu, anakmu bersumpah
bahwa sebelum aku berhasil membunuh Ban Sai Cinjin, aku tak akan mau berhenti
berusaha.”
Setelah berkata demikian, ia
lalu bangun berdiri dan menoleh kepada Lo Sian, katanya, “Lo-pek, bagaimanakah
terjadinya hal ini?”
Lo Sian kemudian menceritakan
sejelasnya tentang sepak terjang Ang I Niocu, juga dia menceritakan pula
tentang Lie Kong Sian yang tewas di tangan Ban Sai Cinjin karena dia sudah
dapat mengingat itu semua. Setelah mendengar penuturan kakek pengemis yang
budiman ini, Lie Siong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian.
“Lopek, kau benar-benar telah
melakukan pembelaan hebat sekali terhadap kedua orang tuaku. Aku Lie Siong
bersumpah bahwa selama hidup aku akan menganggapmu sebagai orang tuaku sendiri.
Lo-pek, terimalah hormatku dan rasa terima kasihku yang tulus.”
Lo Sian menjadi terharu. “Lie
Siong, sudah sepatutnya kau menganggap aku sebagai pengganti orang tuamu, oleh
karena, dengan disaksikan oleh Hong Li, pada saat hendak menutup mata, ibumu
berpesan agar supaya aku suka menjadi walimu. Oleh karena itu, mulai sekarang
aku menganggap kau sebagai puteraku sendiri, Siong-ji.”
“Terima kasih, Lo-pek, terima
kasih banyak,” kata Lie Siong dengan hati terharu sekali. “Dan sekarang
maafkanlah, aku akan cepat menyusul dan mencari Ban Sai Cinjin. Kalau tugasku
ini telah berhasil, barulah aku akan mencarimu dan selanjutnya kita hidup
seperti ayah dan anak.” Setelah berkata demikian, Lie Siong hendak pergi.
“Tunggu dulu, aku pun hendak
membalas dendamku kepada Ban Sai Cinjin. Marilah kita gempur dia bersama!”
tiba-tiba Lili berkata sambil melangkah maju.
Lie Siong menengok ke arah
dara itu. Tadinya ia tidak pernah mempedulikan kepada Lili oleh karena
sebenarnya dia merasa amat jengah dan malu. Tadi gadis ini telah bersikap
begitu lembut dan baik terhadapnya, sedangkan ia pernah melakukan hal-hal yang
cukup dapat membuat gadis itu merasa marah dan sakit hati. Bahkan sepatu gadis
itu hingga kini masih berada di saku bajunya!
“Nona, harap kau jangan
menyusahkan diri sendiri. Biarlah urusan balas dendam ini aku lakukan sendiri
karena ini sudah menjadi tugasku yang suci.”
“Kau pikir hanya kau saja
seorang yang menaruh hati dendam kepada kakek jahanam itu? Dengarlah, sebelum
kau mengetahui nama Ban Sai Cinjin, muridnya sudah pernah menculikku di waktu
aku masih kecil, bahkan telah membunuh mati kakekku! Kemudian aku juga pernah
bertempur melawan Ban Sai Cinjin dan dirobohkan dengan cara curang. Apakah itu
bukan perbuatan yang harus dibalas? Belum diingat lagi betapa dia sudah
mengajak kawan-kawannya memusuhi kakakku Hong Beng dan calon iparku Goat Lan!”
“Aku telah mendengar akan hal
itu, Nona. Akan tetapi perjalanan ini jauh dan sukar sekali karena aku sendiri
belum tahu di mana adanya Ban Sai Cinjin. Tadi pun sudah terlihat betapa Ban
Sai Cinjin mempunyai kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, maka dapat
dibayangkan betapa sukar dan berbahayanya pekerjaan ini.”
“Kau kira hanya kau sendiri
saja yang memiliki keberanian? Kau kira aku takut kepada Ban Sai Cinjin dan
kawan-kawannya?” Dengan wajah merah ia menegakkan kepala dan mengangkat dada,
sepasang matanya bersinar marah. Timbul sifat-sifat keras dari dara yang
seperti ibunya ini.
Sebetulnya, tak dapat
disangkal lagi Lie Siong akan merasa girang dan suka sekali bila melakukan
perjalanan bersama gadis yang setiap saat menjadi kenangannya ini. Akan tetapi
apa yang ia katakan tadi memang keluar dari hatinya yang tulus. Ia merasa
kuatir kalau-kalau gadis yang dicintainya ini akan menghadapi mala petaka kalau
ikut mencari Ban Sa Cinjin dan kawan-kawannya yang berbahaya dan berkepandaian
tinggi.
Ia ingin membereskan musuh
besarnya ini seorang diri saja dan kemudian, barulah dia akan mendekati gadis
ini. Baginya sendiri, tidak usah takut karena dia sudah menerima gemblengan
hebat dari gurunya yang baru, akan tetapi Lili...?
Tentu saja dia tidak tahu
bahwa Lili juga berpikir sebaliknya! Gadis ini pernah bertempur melawan Lie
Siong dan meski pun dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tidak rendah, akan
tetapi apa bila menghadapi keroyokan Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu dan yang
lain-lain, bisa berbahaya.
Dia sendiri sudah membuktikan
bahwa walau pun dengan tangan kosong, Ilmu Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat
sudah cukup hebat untuk digunakan menjaga diri. Pendek kata, kedua orang muda
ini saling memandang ringan karena tidak tahu bahwa masing-masing telah
menemukan guru baru.
“Harap kau bersabar, Nona...,”
Lie Siong berkata pula.
“Sungguh menyebalkan!” Lili
berseru marah.
“Apa yang menyebalkan?” Lie
Siong mengerutkan kening dan bertanya tak senang pula. Kalau dia dianggap
menyebalkan...
“Sebutanmu dengan nona-nonaan
itu! Kau adalah putera dari Ie-ie Im Giok, walau pun bukan keluarga kita sudah
seperti saudara saja, atau tepatnya, kita orang segolongan. Kenapa mesti
berpura-pura sheji (sungkan) seperti orang asing? Tadi kau bisa menyebut
namaku, apakah sekarang sudah lupa lagi? Namaku Sie Hong Li atau seperti
sebutanmu tadi cukup dengan Lili saja. Siapa sudi kau panggil nona?”
Merah muka Lie Siong mendengar
ini dan untuk sesaat ia hanya menundukkan mukanya saja seperti seorang anak
kecil dimarahi ibunya! Lo Sian hampir tidak dapat menahan gelak tawanya melihat
sikap kedua orang muda yang sama-sama keras hati ini.
“Lili,” kata Lie Siong dengan
lidah berat karena sesungguhnya dia merasa sungkan dan malu-malu untuk menyebut
nama ini dengan mulutnya, sungguh pun nama ini setiap saat disebut-sebutnya
dengan suara hatinya, “harap kau jangan main-main dan suka berpikir
masak-masak. Tentu saja aku maklum bahwa kau memiliki keberanian dan tidak
takut menghadapi Ban Sai Cinjin. Akan tetapi… urusan membalas dendam kedua
orang tuaku ini biarlah kau serahkan saja kepadaku sendiri. Hanya akulah
seorang yang berhak untuk menuntut pembalasan, karena dua orang tuaku hanya
mempunyai aku seorang! Lili... maukah kau memberi sedikit kelonggaran padaku
dan tidak akan merampas harapanku ini? Jangan kau mendahului aku menewaskan Ban
Sai Cinjin!”
Lili tertegun. Hemm, jadi
demikiankah gerangan maksud hati pemuda ini? Dia tak dapat menjawab lagi hanya
memandang dengan sepasang matanya yang bening.
“Siong-ji, kau keliru!”
tiba-tiba Lo Sian berkata dan kedua orang muda itu terkejut karena tadi
keduanya telah lupa sama sekali akan orang tua ini! “Sebagai calon mantu, Lili
juga berhak penuh seperti engkau pula untuk membalas sakit hati ayah bundamu!”
Sesudah ucapan ini keluar, barulah Lo Sian sadar bahwa dia telah bicara terlalu
banyak dan tak terasa lagi dia menutup mulutnya dengan tangan.
Tiba-tiba Lili merasa mukanya
panas dan menjadi merah sekali, karena itu dia kemudian menundukkan mukanya.
Kenapa Lo Sian membuka rahasia ini? Sungguh terlalu, pikirnya dengan gemas,
akan tetapi juga girang.
Ada pun Lie Siong yang
mendengar ucapan ini otomatis lalu menengok ke arah Lili dan ketika melihat
gadis itu menundukkan mukanya, ia menjadi makin tak mengerti. Tadinya ia
menganggap Lo Sian hanya bergurau saja untuk menggoda dia dan Lili, akan tetapi
mengapa Lili gadis galak itu tidak menjadi marah, bahkan kelihatan malu-malu?
“Lo-pek, mengapa kau main-main
dalam keadaan seperti ini? Mengapa Lo-pek menyebut Lili sebagai calon mantu
ayah bundaku? Apakah artinya ini?”
Lo Sian sudah mengenal watak
Lie Siong, pemuda yang tidak suka banyak bicara, akan tetapi yang berhati keras
dan jujur. Setelah terlanjur bicara, dia tidak dapat menutupinya lagi, maka ia
lalu menceritakan dengan jelas betapa Ang I Niocu telah menganggapnya sebagai
wali dan telah menetapkan perjodohan antara Lie Siong dan Lili!
“Nah, setelah sekarang kau
mengetahui bahwa menurut pesan ibumu, Lili adalah calon jodohmu biar pun belum
diajukan pinangan resmi kepada Sie Taihiap, apakah kau pikir tidak sepatutnya
kalau Lili memperlihatkan baktinya kepada mendiang calon mertuanya? Ingatlah,
Siong-ji, kau mengaku aku sebagai pengganti orang tuamu dan aku pun sudah
menganggap engkau sebagai puteraku sendiri. Kau harus tahu bahwa lawan-lawan
yang akan kau hadapi adalah orang-orang yang selain lihai juga amat cerdik dan
curang. Ban Sai Cinjin kiranya tidak perlu kau takuti kepandalan silatnya, akan
tetapi kau benar-benar harus awas dan waspada menghadapi siasatnya yang licin
dan curang. Dengan adanya Lili membantumu, bukankah kalian akan menjadi lebih
kuat dan lebih berhasil membalas dendam? Tidak saja tenagamu akan menjadi berlipat
dua kali sebab kepandaian Lili juga tidak rendah, bahkan kalian bisa saling
menjaga dan saling bela.”
Lili yang mendengarkan semua
ucapan ini sekarang tidak berani mengangkat mukanya yang kemerahan. Setelah
kini rahasia itu dibuka kepada Lie Siong, entah mengapa, dia tidak berani
memandang pemuda itu dengan langsung.
Ada pun Lie Siong juga menjadi
merah mukanya, sebentar dia menoleh kepada makam ibunya dengan hati terharu,
kemudian kadang-kadang dia mengerling ke arah Lili dengan hati berdebar tidak
karuan. Juga pemuda ini tidak dapat menjawab ucapan Lo Sian tadi sehingga orang
tua itu tersenyum, lalu menganggap bahwa kedua orang muda itu kini sudah setuju
untuk melakukan perjalanan bersama.
“Lie Siong, dan kau Lili.
Berhati-hatilah kalian melakukan tugas yang berat ini. Aku akan kembali ke
rumah Sie Taihiap untuk melaporkan semua hal ini agar mereka pun segera
beramai-ramai menyusulmu untuk memberi bantuan.”
Setelah berkata demikian, Lo
Sian kemudian meninggalkan dua orang muda itu dengan tindakan kaki cepat.
********************
Sepasang remaja itu berdiri
saling berhadapan. Sampai lama sunyi saja, bibir serasa terkunci rapat-rapat
karena malu untuk mengeluarkan suara. Lucu sekali kalau dilihat. Lili
menundukkan mukanya yang kemerahan ada pun Lie Siong memandang ke lain jurusan
tanpa bergerak.
Pemuda ini mengerutkan
keningnya. Dia seharusnya berterima kasih kepada mendiang ibunya yang demikian
tepatnya memilihkan calon isteri untuknya. Ia mencintai Lili, ini ia tidak
ragu-ragu lagi. Bayangan gadis itu tidak pernah meninggalkan cermin hatinya.
Akan tetapi pada saat itu teringatlah dia kepada Lilani.
Lili adalah seorang gadis yang
cantik dan pandai, puteri dari Pendekar Bodoh, seorang gadis terhormat yang
pasti akan didatangi oleh peminang-perninang dari kalangan tinggi. Bagaimana ia
dapat menjadi suami Lili padahal ia yang telah melakukan perbuatan amat
memalukan dengan Lilani? Dia yang sudah melanggar kesusilaan, yang
menyia-nyiakan cinta Lilani dan yang mencemarkan kepercayaan gadis Haimi itu
padanya? Apakah kelak Lili takkan hancur hatinya kalau mendengar tentang dia
dan Lilani?
Dia tahu bahwa tak mungkin
selama hidup ia akan merahasiakan hal itu dari Lili, karena dengan menyimpan
rahasia itu berarti bahwa ia akan menyiksa batin sendiri selamanya, akan selalu
merasa sebagai seorang yang berdosa dan tidak bersih terhadap Lili!
“Siong-ko, mengapa kau diam
saja. Aku merasa seakan-akan telah menjadi patung, kau juga!” tiba-tiba Lili
gadis yang lincah gembira ini lebih dulu memecahkan kesunyian. Tidak kuatlah
gadis seperti Lili harus berdiam seperti itu lebih lama lagi.
Lie Siong terkejut dan
terbangun dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan bertemulah dua pasang mata.
Lili memandang dengan jujur dan terang, membuat Lie Siong merasa makin kotor dan
tak berharga pula.
“Lili... aku... aku merasa
tidak pantas...,” dia menghentikan kata-katanya.
“Tidak pantas bagaimana,
Siong-ko? Lanjutkanlah!” dengan kening berkerut Lili bertanya, hatinya merasa
tidak enak.
“Tidak pantas seorang pemuda
seperti... aku melakukan perjalanan bersama seorang dara seperti... engkau!
Sudahlah, Lili, lebih baik kau pulang saja, biar aku sendiri mencari dan
menghancurkan kepala Ban Sai Cinjin. Kau tunggu saja di rumah dan kelak...
kelak mungkin kita akan bertemu lagi, bila aku tidak roboh di tangan
musuh-musuhku. Selamat berpisah!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu
melompat jauh dan pergi meninggalkan tempat itu.
Lili membanting-banting
kakinya dengan gemas. Dia merasa tidak dipandang mata dan diremehkan sekali.
Dengan marah dia pun cepat berkelebat mengejar.
Lie Siong heran sekali melihat
betapa gadis itu sudah dapat menyusulnya, padahal dia sudah mempergunakan ilmu
ginkang-nya yang paling tinggi dan tadinya dia merasa pasti bahwa gadis itu
tidak mungkin dapat menyusulnya. Saking herannya dia menghentikan larinya dan
menengok.
“Orang she Lie! Kalau kau
tidak sudi melakukan tugas ini bersamaku, apakah kau kira aku Sie Hong Li tak
dapat melakukannya sendiri? Kita sama-sama lihat saja siapa nanti yang akan
lebih cepat berhasil membasmi Ban Sai Cinjin!” Setelah berkata demikian, Lili
lalu mengerahkan ilmu lari cepat dan membelok ke kiri meninggalkan Lie Siong!
Lie Siong tertegun, tidak
hanya melihat kemarahan gadis itu akan tetapi melihat betapa ginkang dari gadis
ini benar-benar telah demikian hebatnya sehingga belum tentu kalah olehnya! Ia
ingat betul bahwa dahulu ketika bertempur dengan dia, kepandaian Lili belum
setinggi ini. Bagaimana gadis ini demikian cepat majunya? Apakah ia khusus
dilatih dan digembleng oleh Pendekar Bodoh?
Betapa pun juga, Lie Siong
masih belum tahu bahwa gadis ini bahkan sudah mahir Ilmu Pukulan Hang-liong
Cap-it Ciang-hoat yang sangat lihai, dan mengira bahwa Lili hanya mendapat
kemajuan dalam hal ginkang saja. Kini melihat kenekatan gadis itu mencari Ban
Sai Cinjin dan tidak mau pulang, ia menjadi terkejut dan gelisah.
Apa bila sampai gadis itu
berhasil bertemu dengan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya, bukankah itu
berbahaya sekali? Tanpa terasa lagi, dia pun lalu mengubah arah tujuannya dan
dia berlari cepat mengejar ke arah kiri.
Lili melakukan perjalanan
cepat dengan tujuan Pegunungan Thian-san. Gadis ini teringat bahwa karena musim
chun yang dinanti-nantikan untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu dan
kawan-kawannya tak lama lagi tiba, paling banyak tiga puluh lima hari lagi,
maka tentu Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan yang lain telah menuju ke sana.
Beberapa hari kemudian dia
sampai di kota Kun-lin-an. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa Ban Sai
Cinjin dan kawan-kawannya juga sudah berada di kota ini, bahkan telah bertemu
dengan Bouw Hun Ti di tempat ini.
Sebagaimana dituturkan pada
bagian depan, Bouw Hun Ti pergi mencari jago-jago silat yang suka membantu
mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh sekeluarga. Dan pada waktu itu, Bouw Hun
Ti sudah berada di Kun-lin-an bersama tiga orang tosu tua yang bertubuh kurus
kering, akan tetapi tiga orang tosu ini sesungguhnya adalah tokoh-tokoh
persilatan yang berilmu tinggi.
Ketika Ban Sai Cinjin, Wi Kong
Siansu, dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui melarikan diri dari kejaran Lili dan
Lie Siong, mereka tiba di kota ini dan bertemu dengan Bouw Hun Ti. Segera
mereka membuat rencana untuk membikin pembalasan. Dengan adanya ketiga orang
tosu itu, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapi Pendekar Bodoh.
Memang, tiga orang tosu itu
bukanlah orang-orang sembarangan saja, mereka adalah ketua dari Pek-eng-kauw
(Perkumpulan Agama Garuda Putih) dari barat, bernama Thai Eng Tosu, Sin Eng
Tosu, dan Kim Eng Tosu. Mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hendak menghadapi
Pendekar Bodoh, tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe ini dengan senang hati
sanggup membantu dan ikut pergi bersama Bouw Hun Ti.
Memang tiga orang kakek ini
mempunyai dendam terhadap Pendekar Bodoh. Sebetulnya bukan kepada Cin Hai
mereka menaruh dendam, melainkan kepada Bu Pun Su yang telah menewaskan guru
mereka. Akan tetapi oleh karena Bu Pun Su sudah meninggal dunia, maka dendam
mereka itu kini hendak mereka balaskan terhadap murid dari Bu Pun Su!
Oleh karena Lili telah
melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali, setelah makan dan
membersihkan tubuh serta berganti pakaian, dara perkasa ini lalu masuk ke dalam
kamarnya di sebuah hotel untuk beristirahat. Saking lelahnya maka sebentar saja
ia telah pulas dan di dalam tidurnya bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan
Lie Siong dan bertengkar urusan sepatunya yang dirampas dulu, kemudian mereka
saling menyerang dengan hebat!
Lili tertegun dengan hati
terkejut karena ia benar-benar mendengar suara senjata beradu nyaring sekali
dan suara orang bertempur hebat! Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
hendak melompat turun dari pembaringan, tubuhnya tidak dapat digerakkan! Ia
hendak mengerahkan tenaga, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa dia sudah
menjadi korban totokan yang luar biasa sekali sehingga ia menjadi lumpuh kaki
tangannya. Sementara itu, suara pertempuran di atas genteng makin menghebat dan
dengan bingung serta tak berdaya Lili berpikir-pikir apakah yang sesungguhnya
telah terjadi.
Sebagaimana diketahui, setelah
ditinggalkan oleh Lili di tengah hutan itu, Lie Siong lalu mengejar dan secara
diam-diam dia mengikuti perjalanan gadis yang dikasihinya itu. Dia tak berani
memperlihatkan muka karena dia merasa malu dan kuatir kalau-kalau Lili akan
menjadi marah.
Untuk melepaskan gadis itu begitu
saja dan mencari jalan sendiri, dia tidak tega karena maklum betapa lihainya
lawan-lawan yang mereka kejar-kejar. Maka secara diam-diam ia hendak melindungi
gadis itu dan bila sampai mereka bertemu dengan musuh, bukankah mereka akan
dapat menghadapi dengan lebih kuat?
Demikianlah, ketika Lili
bermalam di hotel di kota Kun-lin-an, secara diam-diam Lie Siong mengintai dan
setelah melihat gadis itu memasuki kamarnya, ia pun kemudian menyewa sebuah
kamar di hotel itu juga! Dia sudah mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi
menjumpai Lili dan menyatakan terus terang kehendaknya, yaitu melakukan
perjalanan bersama. Dia sudah nekat dan bersedia untuk ditertawakan atau bahkan
dimaki, karena melakukan perjalanan macam ini sungguh tidak enak baginya.
Malam itu Lie Siong tidak
dapat pulas. Kalau dia memikirkan hidupnya, dia menjadi amat gelisah. Kedua
orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan, yaitu terbunuh oleh
orang jahat. Kemudian di dalam perantauannya dia telah bertemu dengan Lilani
yang membuat ia selalu menyesali pertemuan itu, dan akhirnya ia bertemu dengan
Lili yang sudah membetot sukmanya serta menguasai cinta kasihnya, bahkan
mendiang ibunya telah berniat menjodohkan dia dengan Lili.
Akan tetapi kalau dia teringat
akan Lilani, hatinya menjadi perih sekali. Memang betul bahwa dia telah
memenuhi kewajibannya seperti yang telah dinasehatkan oleh Thian Kek Hwesio,
orang tua bijaksana ahli pengobatan yang tinggal di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu
itu. Yaitu kewajiban untuk mengantar Lilani sampai dapat bertemu dengan suku
bangsanya kembali.
Kini Lilani telah berkumpul
dengan suku bangsanya dan urusannya dengan Lilani telah beres. Akan tetapi
betulkah urusan itu telah beres? Kalau sampai Lili mengetahui hal itu bukankah
akan terjadi ribut besar?
Benar-benar Lie Siong menjadi
pusing memikirkan hal ini. Tiba-tiba dia mendengar suara di atas genteng dan
terheranlah hatinya. Itu bukan suara orang berjalan, pikirnya. Lebih pantas
kalau suara seekor burung besar mengibaskan sayapnya dan turun dengan kaki
hampir tak bersuara di atas genteng!
Kalau saja ia melakukan
perjalanan seorang diri, tentu pemuda ini akan terus berbaring di atas tempat
tidurnya, menanti saja apa yang akan terjadi. Akan tetapi pada waktu itu,
pikirannya penuh dengan penjagaan terhadap Lili, maka dia lantas cepat-cepat
memakai sepatunya dan menyambar Sin-liong-kiam. Setelah itu, dia lalu membuka
daun jendela dan secepat kilat dia melompat keluar, terus melayang naik ke atas
wuwungan rumah hotel itu.
Alangkah terkejutnya ketika ia
melihat tiga orang tosu tinggi kurus berdiri di atas genteng tepat di atas
kamar Lili dan seorang di antara mereka meniupkan asap hijau ke dalam kamar.
Pada waktu Lie Siong menengok, selain tiga orang tosu ini masih nampak pula
bayangan seorang gemuk memegang huncwe. Ban Sai Cinjin! Bukan main marahnya Lie
Siong dan tanpa banyak cakap lagi ia segera menerjang dengan pedangnya,
menyerang tiga orang tosu yang sedang mempergunakan obat pulas untuk mencelakai
Lili!
Memang yang datang adalah tiga
orang ketua Pek-eng Kauw-hwe yang dibawa oleh Ban Sai Cinjin. Kakek berhuncwe
ini telah melihat Lili berada di dalam kota ini pula. Sesudah menyelidiki dan
mengetahui bahwa gadis musuhnya itu bermalam di hotel itu, dia lalu mengajak
kawan-kawannya untuk menawan gadis itu.
Wi Kong Siansu mula-mula
menyatakan tidak setuju, karena perbuatan ini dianggapnya terlalu memalukan
mereka sebagai orang-orang gagah dan tokoh-tokoh terkemuka. Akan tetapi Ban Sai
Cinjin lalu menyatakan bahwa ia sama sekali tidak hendak mencelakai Lili, hanya
hendak menawannya saja sebagai tanggungan kalau-kalau mereka kelak kalah oleh
Pendekar Bodoh! Biar pun kalah, apa bila mereka menguasal Lili, tentu Pendekar
Bodoh dan kawan-kawannya tidak berani membunuh atau mencelakai mereka.
Alasan-alasan yang cerdik dari
Ban Sai Cinjin membuat Wi Kong Siansu tidak mampu membantah, akan tetapi tetap
saja kakek kosen ini tak mau ikut turun tangan melakukan penangkapan itu. Juga
Hailun Thai-lek Sam-kui walau pun paling doyan berkelahi tetapi tidak suka
untuk turut membantu penangkapan ini. Oleh karena itu Ban Sai Cinjin lalu minta
pertolongan tiga orang ketiga Pek-eng-kauw itu.
Kepandaian tiga orang kakek
ini memang sangat hebat, kiranya tidak di sebelah bawah kepandaian Wi Kong
Siansu. Selain Ilmu Silat Garuda Putih yang khusus mereka miliki, juga cara
mereka melompat adalah seperti gerakan burung garuda, dengan dua lengan
dipentang dan lengan baju yang lebar seperti sayap.
Selain ini, Kim Eng Tosu yang
termuda di antara mereka, juga merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan obat
tidur dan racun-racun yang lihai untuk merobohkan lawan. Memang, Kim Eng Tosu
ini pada waktu mudanya terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)
yang amat ditakuti orang.
Pada saat tiga orang kakek ini
sedang melakukan usaha mereka menangkap Lili dengan menggunakan asap
memabukkan, Lie Siong lantas menerjang mereka dan mengerjakan Sin-liong-kiam
dengan hebatnya. Dia tidak menerima pelajaran khusus dari gurunya yang baru,
kecuali permainan gundu. Akan tetapi, gurunya itu telah banyak memberi
perbaikan terhadap ilmu pedangnya dan ilmu silatnya. Setiap kali ia berlatih
silat di depan gurunya, selalu gurunya itu mencela ini dan memperbaiki itu
sehingga ilmu pedang dan ilmu silat pemuda ini mendapat kemajuan yang luar
biasa sekali, di samping kemajuan-kemajuan dalam ginkang dan lweekang-nya.
Akan tetapi ketika dia
menyerang tiga orang orang tosu itu dengan marah, ketiga ketua Pek-eng-kauw itu
hanya mengebutkan lengan baju mereka yang lebar dan mereka sudah dapat mengelak
dengan cepat sekali. Bahkan Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu segera menggerakkan
tangan mereka dan meluncurlah ujung lengan baju yang panjang-panjang itu
melakukan serangan pembalasan yang hebat.
Lie Siong kaget sekali melihat
kelihaian mereka, akan tetapi ia lalu memutar pedangnya sedemikian rupa dan
melawan mereka dengan sepenuh tenaga. Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu juga
tertegun menyaksikan seorang pemuda yang memiliki kepandaian selihai ini, maka
mereka berlaku hati-hati sekali.
Lie Siong belum pernah
menghadapi ilmu sesat seperti yang mereka mainkan itu, yaitu dengan kedua
lengan terbuka dan ujung lengan baju menyambar-nyambar, persis seperti dua ekor
burung garuda besar yang menyabet-nyabet dengan sayap dan kadang-kadang
menendang dengan kaki.
Ada pun Ban Sai Cinjin setelah
melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, menjadi marah sekali dan sambil
tertawa bergelak dia pun maju mengurung.
“Ji-wi Toyu, pemuda ini jahat
seperti serigala, harus dibunuh!”
Sementara itu, Thai Eng Tosu
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat masuk ke dalam kamar Lili yang
belum terkena pengaruh asap tadi karena keburu datang Lie Siong. Akan tetapi
dalam keadaan masih tidur ia telah ditotok oleh Thai Eng Tosu yang lihai
sehingga ketika ia terbangun dengan kaget, ia telah tak berdaya lagi.
Thai Eng Tosu memang cerdik
sekali. Pada saat tadi dia menyaksikan gerakan seorang pemuda yang demikian
cepat dan lihainya, dia pikir lebih baik membuat gadis di dalam kamar tidak
berdaya karena dia telah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa gadis itu pun
lihai sekali. Bila sampai gadis itu bangun dan maju berdua dengan pemuda ini,
agaknya tidak akan mudah menangkapnya! Maka setelah membuat Lili tidak berdaya,
barulah dia melompat lagi ke atas genteng untuk mengeroyok Lie Siong!
Sebetulnya dalam hal
kepandaian, kalau diadakan perbandingan, meski pun dengan Ban Sai Cinjin
seorang saja, Lie Siong sudah tentu kalah latihan serta kalah pengalaman.
Pemuda ini dapat mengatasi Ban Sai Cinjin hanya karena dia menang tenaga,
menang semangat, dan juga pemuda ini semenjak kecilnya mempelajari ilmu silat
yang bermutu tinggi.
Terutama sekali karena
akhir-akhir ini, biar pun dalam waktu singkat, Lie Siong menerima gemblengan
yang amat hebat dari orang luar biasa, tokoh persilatan tersembunyi seperti
kakek tukang main kelereng itu. Maka, dalam hal ginkang dan lweekang, dia
sekarang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin!
Namun, tetap saja Ban Sai
Cinjin merupakan seorang lawan berat baginya. Apa lagi sekarang di situ
terdapat tiga orang tosu yang kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada
kepandaian Ban Sai Cinjin.
Lie Siong melakukan perlawanan
secara nekad. Dia memutar pedang naganya dengan secepat kilat dan mengerahkan
seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk merobohkan empat orang pengeroyoknya.
Akan tetapi, diam-diam Lie
Siong harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia menghadapi lawan-lawan
yang berat seperti empat orang kakek ini. Terutama sekati Thai Eng Tosu yang
bersenjatakan sebatang suling kecil. Bukan main lihai dan berbahayanya sehingga
beberapa kali Lie Siong hampir saja terkena totokan suling ini kalau dia tidak
cepat-cepat membuang diri ke samping.
Melihat betapa Lie Siong sukar
sekali dirobohkan, Ban Sai Cinjin menjadi gemas. Maka tiba-tiba sekali, di luar
dugaan ketiga orang tosu kawannya dan juga Lie Siong, Ban Sai Cinjin melepaskan
tiga batang jarum beracun ke arah pemuda itu.
Lie Siong sedang sibuk menahan
serangan tiga orang ketua Pek-eng-kauw yang lihai, maka tentu saja dia tidak
bersiap sedia menghadapi serangan gelap ini. Tetapi dia dapat melihat
menyambarnya tiga sinar hitam ke arah tubuhnya. Cepat ia menangkis dengan
kebutan tangan kiri yang menggunakan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut, namun
sebatang jarum hitam tetap saja menancap pada paha kirinya di atas lutut.
Lie Siong menggigit bibir dan
menahan sakit, akan tetapi seketika itu juga dia merasa betapa separuh tubuhnya
seakan-akan mati. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa dia telah terkena jarum
berbisa, maka dia kemudian melompat ke bawah dan melarikan diri secepatnya.
Diam-diam Ban Sai Cinjin
merasa girang dan juga kagum karena sedikit pun juga tidak terdengar keluhan
sakit dari mulut pemuda itu, padahal dia maklum bahwa jarumnya itu mendatangkan
rasa sakit yang luar biasa dan di dalam waktu tiga hari, pemuda itu tentu akan
mati!
Dengan cepat ia lalu melompat
turun dan memondong tubuh Lili yang tak berdaya lagi itu keluar dari kamar dan
dibawa pergi bersama tiga orang tosu lihai itu! Kedatangan mereka disambut oleh
Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-tek Sam-kui yang diam-diam merasa girang juga
bahwa dua orang di antara calon lawan mereka yang tangguh telah berhasil
dikalahkan.
“Bagaimana pun juga harap kau
berlaku hati-hati dan jangan sekali-kali mencemarkan namaku dengan perbuatan
hina, Sute!” Wi Kong Siansu berkata kepada Ban Sai Cinjin sambil melirik ke
arah tubuh Lili yang masih setengah pingsan.
Ban Sai Cinjin tersenyum.
“Jangan kuatir, Suheng. Maksudku pun hanya untuk mencegah Pendekar Bodoh
berlaku kejam terhadap kita.”
Dia lalu menghampiri Lili,
menotok jalan darah Koan-goan-hiat dan Kian-ceng-hiat pada kedua pundak,
kemudian dia membebaskan gadis itu dari keadaannya yang lumpuh. Lili terbebas
dari totokan Thai Eng Tosu tadi, akan tetapi sepasang lengannya tidak dapat
dipergunakan karena kedua lengan itu telah menjadi lemas tidak bertenaga lagi
sebagai akibat dari totokan Ban Sai Cinjin tadi.
Gadis ini berdiri dengan tegak
dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan
Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim
tendangan berantai yang amat berbahaya!
Ban Sai Cinjin terkejut sekali
dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas, “Lihat, Suheng, betapa
jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali
ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam
huncwe-nya erat-erat.
Wi Kong Siansu melompat maju
dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini
tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama
sekali.
“Nona Sie, kenapa kau begitu
bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa di antara
keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami
berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan
pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya
ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita semua
masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan
yang telah lewat.”
“Enak saja kau bicara, tosu
murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti
berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya dengan senyum sindir,
ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu
mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti
dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya boleh saja aku
menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi ampun kepada
dua ekor binatang bermuka manusia ini!”
“Suheng, biar kubunuh gadis
liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.
“Majulah, binatang! Kedua
kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili menantang.
“Sabar, Sute, mengapa
mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan
dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami
tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya
terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”
Biar pun dia merasa amat
mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan
Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, maka meski pun
ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang.
Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka dia
lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.
Gadis ini tidak takut sama
sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai mana agar ia dapat
melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar
pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang
bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong sudah
berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan diri dengan
menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin…..
********************
Lie Siong melarikan diri
dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi
sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia
tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang mati-matian dan biar
pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada melarikan diri. Akan
tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus hidup untuk dapat
menyusul dan menolong Lili.
Ia telah berlari jauh sekali
dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Dia kini merasa
seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Dia memang hendak
mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya dia
terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.
Ban Sai Cinjin tidak akan
sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam menggunakan
huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini
memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka dia
merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun pada
panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.
Memang keadaan Lie Siong
mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna
kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak di atas
rumput sampai fajar mendatang.
Tapi Ban Sai Cinjin agaknya
lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang mana pun
juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walau pun
nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seorang yang
nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila telah dikehendaki oleh
Thian.
Demikianlah, ketika Lie Siong
rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah
dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya
cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu,
mereka lalu mendekati dan memeriksa.
“Dia adalah putera Ang I
Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.
“Betul, Koko, dia adalah Lie
Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik
jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan
sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.
“Aduh, panas sekali tubuhnya!”
Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.
“Lihat, Koko, pahanya terluka
dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang
lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba menolongnya!” kata Goat Lan,
murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!
Hong Beng lalu memondong tubuh
Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda itu masuk ke dalam
sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas
tanah yang bersih dan kering.
Goat Lan menurunkan buntalan
pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan obat-obat penolak racun
yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan sangat cekatan,
menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan
pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah
tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu
untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman
itu.
Darah hitam mengalir keluar
dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera menggunakan jari
telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki
kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah
terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri diam-diam
merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.
Kemudian Goat Lan lalu
menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan
pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak
dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih
menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”
Goat Lan dan Hong Beng saling
pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga
butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar
meminumkannya.kepada Lie Siong.
Barulah Lie Siong membuka
matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan
tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh. Kakinya terasa
sakit bukan main.
“Jangan bergerak dulu, Saudara
Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng berkata dengan ramah.
Lie Siong kembali membuka mata
dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit
akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki perutnya, ia merasa
betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur mulai menghilang.
Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya
menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah akibat khasiat
dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.
“Tidak lama lagi dia akan
sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas itu berarti
bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat pulas,
agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang dia
hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan
kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan
menjadi merah mukanya.
“Mengapa kau memandangku
seperti itu?” tegurnya.
“Lan-moi, kau... hebat
sekali!”
“Hushh, aku hanya murid yang
bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.
Dengan kata-kata ini Goat Lan
seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat
pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak yang sangat baik dari
Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap
tunangan sendiri sekali pun.
Mereka tidak merasa heran pada
waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua
orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa dengan Lo Sian. Dari Sin-kai
Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan
pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo
Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh.
Ada pun Goat Lan dan Hong Beng
melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda
ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk
mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai
Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah
dicuri oleh Ban Sai Cinjin.
Orang tua mereka berpesan agar
mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka
terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri
pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan
kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan
ini dan bertemu dengan Lie Siong.....