Pendekar Bodoh Jilid 01-05
Di sebelah barat kota
Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil
tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan
lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis pada dinding dan bermaksud sebagai
puja-puji kepada dewata berbunyi ‘Lam Bu O Mi To Hud’ masih dapat terbaca,
demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang pada depan pintu luar dan
berbunyi ‘Ban Hok Tong’ atau ‘Kuil Selaksa Rejeki’.
Pada siang hari yang sunyi itu
terdengar suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang
terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara liamkeng pendeta
bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru
sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang
kanak-kanak yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!”
terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu, tahu...,” suara anak
kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua
adalah saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau
siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sianseng (Pak Guru)?
Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab
ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan
saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah
rasa persaudaraan berdasarkan peri kemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan
bahwa ia masih amat kecil, mana mungkin ia bisa menikmati ‘makanan rohani’ yang
berat ini. Maka terdengar jawabannya yang takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak
mengerti, Sianseng.”
“Memang kau tolol, bodoh,
dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan
tangan. Nah, kau rasakan ini supaya mengerti!”
Lalu terdengarlah suara
tamparan, akan tetapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walau pun
kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki
berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu
hanya menggigit bibirnya.
“Nah, sekarang kau sebutkan
ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.”
“Ujar-ujar yang manakah,
Sianseng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.
“Ujar-ujar yang ke tiga.”
Sunyi sebentar, lalu
terdengarlah suara lantang anak itu, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang
sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”
“Bodoh, itu adalah ujar-ujar
yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja!
Agaknya hanya ujar-ujar ini yang bisa memasuki batok kepalamu yang keras itu.”
“Memang hakseng paling suka
kepada ujar-ujar yang satu ini, Sianseng,” jawab anak itu yang tiba-tiba
menjadi berani.
“Mengapa begitu?”
“Harap Sianseng terangkan dulu
apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”
“Tentu saja, tolol! Kalau
tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”
“Kalau begitu, apakah Sianseng
suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu? Kau... kau
bangsat....”
“Sianseng tadi menampar
pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang
kita pelajari?”
Untuk beberapa saat tak
terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian
terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu pula di luar kuil
terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang hwesio (pendeta)
gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan
lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar
kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi
dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu
kuil dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba saja dari dalam
pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta
penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas
dan diikat di tengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh sebab yang seorang
tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek namun gerak-geriknya
gesit sekali, ada pun yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang
menyongot ke sana sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih
panjang dan halus.
Ketika melihat tiga tosu ini
keluar dari pintu kuil, hwesio gundul tinggi besar itu tampak terkejut karena
memang dia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di sana. Sebaliknya,
ketika melihat hwesio, ketiga orang tosu itu juga terkejut sekali dan mereka
bertiga lalu menggerakkan tubuh meloncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa
sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat
hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua
meter)!
“Hai Kong, kau berani menemui
kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan
ujung tongkatnya ke atas tanah.
Tiba-tiba hwesio gundul yang
bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara tawanya ini aneh sekali. Keras
dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang
bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang
sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut.
Anak kecil itu tak dapat
menahan keinginan tahunya, karena itu sambil membawa suling bambunya ia lalu
berlari keluar dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,
“Cin Hai… Cin Hai.... kau
tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”
Karena dikejar-kejar, Cin Hai
berlari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai
(sasterawan) tua yang kurus sekali bagai orang cacingan itu mengejar ke situ,
ia lalu memanjat ke atas genteng!
Ternyata Cin Hai yang baru
berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang
wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil
itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!
Gurunya berteriak-teriak
memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba
sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling
berhadapan di luar kuil itu. Dia menjadi ketakutan dan buru-buru bersembunyi di
belakang pintu kuil!
Cin Hai kini duduk di atas
genteng sambil memandang ke bawah. Dia juga heran sekali melihat ketiga orang
tosu itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar.
Sementara itu, sesudah tertawa
keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang
hebat sambil berkata, “Ha-ha-ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng
Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun
yang lalu di Heng-san! Apakah kau kira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin
(Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha-ha-ha! Dahulu kalian maju bertiga
baru mampu mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kau tambah tiga
belas lagi akan kutewaskan semua, ha-ha-ha!”
Hwesio gundul itu kemudian
menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat bukan main. Berbeda dengan tubuhnya
yang besar dan kasar itu, gerakannya sebat dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan
lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja yang nampak bergerak menyerang ketiga
lawannya!
Tetapi Kanglam Sam-lojin
adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka adalah
tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya
merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan
keistimewaan masing-masing.
Giok Im Cu yang tertua
memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok
Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan mempunyai tenaga gwakang (tenaga luar,
kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng
Cu adalah ahli menggunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap.
Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai
sekali.
Maka, menghadapi serangan Hai
Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio itu dari
tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya sangat
aneh bagai menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat.
Kedua tangannya bagaikan dua
ekor ular yang hidup, ada pun sepuluh jari tangannya juga hidup bergerak-gerak
dan setiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya
yang aneh dan dinamakan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit
bagaikan ular dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat
kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali!
Baiknya ketiga tosu yang
menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di
puncak Heng-san sehingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula akan keganasan
ilmu silat ini sehingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan
balasan yang tidak kalah hebatnya.
Cin Hai yang duduk di atas
genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang dia
suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian
dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara
penonton, dan minggat dari gedung pamannya biar pun sudah dilarang.
Kini ada tontonan adu silat
tanpa bayar, tentu saja ia senang sekali. Apa lagi adu silat kali ini sungguh
berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung.
Ia melihat betapa empat orang
yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi
kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti
dengan bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini
tidak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang
mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja warna merah dari jubah hwesio gundul
itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah.
Sungguh satu tontonan yang
mengasyikkan dan menegangkan hati, apa lagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio
gundul itu dikeroyok bertiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan
mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian silat). Maka dengan tak
terasa pula saking tegangnya, Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti
orang sedang meniup suling.
Sementara itu, ketiga tosu
yang mengeroyok Hai Kong Hosiang semakin lama semakin terdesak oleh Jian-coa
Kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena kepandaian Si
Gundul ini betul-betul telah maju hebat, jauh bedanya kalau dibandingkan dengan
tiga tahun yang lalu.
Karena tahu bahwa apa bila
terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu
berseru keras,
“Hai Kong, kau benar-benar
hendak mengadu jiwa?”
Setelah berkata demikian, Giok
Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika
bertempur ia selipkan pada ikat pinggangnya. Biar pun ranting itu hanya kecil
saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang
ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang dia
salurkan ke dalamnya.
Kedua kawannya lalu meniru
perbuatan ini. Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu
kemudian mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar
sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar
seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok) kemudian
mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!
Ketiga tosu dengan senjata
masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya seperti serangan badai
mengamuk.
“Ha-ha-ha! Hayo kalian lekas
keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!”
Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang
tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan.
Senjata ini dilihat dari jauh
kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok,
tetapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor
ular yang sudah kering! Walau pun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang
itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang
terjulur itu membuat ular itu seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh
juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular
berbisa yang luar biasa jahatnya.
Hai Kong Hosiang memegang
senjata tongkat ular itu pada ekornya sehingga kalau dia memainkan senjata
istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat pula digunakan
untuk menotok jalan darah, ada pun mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit.
Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang memenuhi mulut ular itu,
yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang
kuburan!
Sebentar saja keempat orang
itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka
masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini
setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak
gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran
adu jiwa yang seru dan seram, tapi yang membuat pemandangan indah menarik
hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.
Hampir saja dia bersorak dan
bertepuk tangan, namun tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset
hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang
lebih rendah.
Sementara itu, gurunya yang
tadi bersembunyi di balik pintu, pada waktu mencoba untuk menjenguk keluar dan
menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur
dengan senjata tajam. Karena itu segera kepala yang nongol itu ditariknya
kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya
yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!
Biar pun senjata di tangan Hai
Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan
ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya,
tapi menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kanglam Sam-lojin itu, ia
merasa kewalahan dan keteter juga. Gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga
senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai Kong, sekarang kau
hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek itu menyindir sambil
memperhebat gerakan golok besarnya.
“Ha-ha-ha! Tiga tikus tua,
kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha-ha-ha!”
Biar pun dalam keadaan
terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengar bunyi
melengking yang sangat aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling
dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.
Dan pada saat itu, keranjang
rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, kemudian
bergoyang-goyang dan tutupnya terangkat naik seperti di dalamnya ada apa-apa
yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai
Kong Hosiang itu meninggi, maka terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari dalamnya
tersembul kepala ular yang besar sekali!
Ular itu mendesis-desis dan
membuka mulutnya yang lebar. Lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk
keluar masuk dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Kedua matanya liar
memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya.
Kemudian ia keluar dari
keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik
bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang
keluar pula ular lain berturut-turut sehingga semua isi keranjang yang ternyata
mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.
Tiga orang tosu yang sedang
mendesak Hai Kong Hosiang terkejut sekali melihat betapa kelima ekor ular itu
cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur.
Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang
berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang
menari-nari. Nyata sekali bahwa semua gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking
dari mulut Hai Kong Hosiang!
Giok Keng Cu cepat
mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan
tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya.
Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda
hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang
masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya
gesit sekali itu!
Biar pun pada dasarnya
mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi
ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan
sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata
yang terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai
Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tidak enak sekali.
Sementara gurunya yang
bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengar bunyi lengking yang aneh
itu, tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Meski pun masih
menggigil ketakutan, ia lalu memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi.
Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan
untuknya.
Jantungnya terasa
berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya
kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan
roboh pingsan bagai sehelai kain yang dilepaskan, ada pun di bawah tubuhnya
tiba-tiba saja menjadi basah!
Keadaan ketiga tosu itu makin
berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong
Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka
semakin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat
keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit.
Mereka mempertahankan diri dan
melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, namun lima ular itu ternyata
gesit sekali dan dapat mengelakkan setiap serangan senjata lawan. Selain itu
masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tetapi juga ikut menyerang
dengan tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga orang tosu itu
berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu,
dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya dari pada bunyi lengking
dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh!
Mendengar bunyi lengking yang
lain ini, kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka
menjadi kacau-balau, mereka berlima hanya mengangkat-angkat kepala
tinggi-tinggi seolah-olah tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa
mereka sedang mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat
mendengar ‘perintah’ itu lebih nyata dan jelas lagi!
Melihat hal ini, Hai Kong
Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia
menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya sehingga
lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari
atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu
makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena disabet oleh
ranting pada tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!
Sebenarnya apakah yang terjadi
tadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di
atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan
keganasan ular-ular itu, makin lama semakin tak tertahan mendengar bunyi
lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang karena suara itu seakan-akan
menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya.
Karena itu dia menjadi marah,
lalu ditiupnyalah suling yang memang semenjak tadi telah dimasukkan di
mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia suka meniru-niru segala
macam lagu yang didengarnya.
Kini mendengar nada lengking
hwesio gundul yang aneh itu, dia lalu mencoba-coba dan bersusah payah untuk
menirunya pula. Tapi, biar pun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak
juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya
terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga dari pada suara Hai Kong
Hosiang!
Akan tetapi aneh, ketika ia
telah meniup sulingnya, semakin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah
rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio
itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia
melirik ke bawah, kegembiraannya bertambah karena dia melihat betapa hwesio
gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali,
sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.
Cin Hai lalu meniup dan meniup
lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja!
Ia sama sekali tak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu
kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.
Bukan main marahnya hati Hai
Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah
menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi dia sudah
merasa pasti sekali bahwa tidak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia
robohkan.
Sebaliknya, tiga orang tosu
itu pada saat melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya sudah
kacau, segera mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan.
Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi
benar-benar berbahaya.
“Hai Kong, kau makin tua
semakin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu dia mengajak kedua
kawannya pergi secepat mungkin.
Ia tahu bahwa meski pun seekor
ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang
lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sulit dilawan.
Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa sengaja telah menolong jiwa
mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.
Hai Kong Hosiang membanting
kakinya yang besar dan kuat. Dia tidak mau mengejar, karena biar pun ia tak
usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi jika dapat mengejar juga, apa
gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi
tiga orang tosu yang lihai itu.
Ia marah sekali karena telah
gagal membunuh tiga orang musuh lamanya, bahkan seekor ularnya masih
berkelojotan akibat kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang
punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.
Hai Kong Hosiang melihat ke
arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun
tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar.
Cin Hai sama sekali tak tahu
akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan
sedang ditiup itu sudah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak
kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang
diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin Hai!
Dengan muka merah karena
gemas, Hai Kong Hosiang sudah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul
bagai kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu
akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah
heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja melenceng arahnya dan
sebaliknya malah menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok
itu berlubang!
Ketika ia sedang bengong
terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.
“Tidak malukah kau, Hwesio?
Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?”
Dan tiba-tiba saja di belakang
Cin Hai muncul seorang kakek tua yang berpakaian penuh tambalan. Kakek ini
bertubuh sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan,
semuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan
janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang
tampak kasar kejam itu!
Ketika melihat kakek jembel
itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi dia mengambil
semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali.
Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil
mengomel panjang pendek.
“Setan alas benar-benar! Belum
pernah seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, lalu
bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya dia tidak menurunkan tangan
jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya lagi aku melelahkan
diri?”
Tapi Hai Kong Hosiang keliru
kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat
itu juga dia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya itu menjadi berat dan
tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat
menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya?
Kelima ularnya sudah mati
semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah.
Dia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi,
yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.
Melihat betapa
binatang-binatang peliharaan yang sudah bertahun-tahun dipelihara serta
dididiknya sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua, tiba-tiba
Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang
bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa
dongkol dan marahnya.
Kemudian ia berdiri dan
meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su,
lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”
Cin Hai yang masih duduk di
atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah
menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit
dengan apakah?”
Bu Pun Su (Tiada Kepandaian)
Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali
tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.
“Ehh, anak tolol, dia tadi
menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau
sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara itu, guru anak itu
yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara
Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.
“Cin Hai... Cin Hai... kau
turunlah, mari kita pulang!”
Akan tetapi Cin Hai tidak
mempedulikannya, bahkan dia lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi,
“Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”
“Kau ingin mempelajarinya?”
tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja, asal kau orang
tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai... Cin Hai...!”
terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah sebentar, Sianseng,
itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.
“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !”
guru itu menjerit dan cepat-cepat dia menyelinap lagi ke belakang daun pintu.
Cin Hai menahan gelinya dan ia
berkata kepada kakek jembel itu, “Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat
padaku.”
Bu Pun Su tertawa dan berkata,
“Bila kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”
“Boleh, boleh, jika mengangkat
guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit dan
membingungkan.”
“Lebih dari itu, anak bodoh.
Kau harus tunduk dan taat kepadaku serta menurut segala perintahku.”
Tiba-tiba Cin Hai merengut.
“Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga! Lama-lama aku bisa
percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha-ha-ha, memang kau bodoh.
Bagaimana, kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu, tentu saja. Ada
ujar-ujar yang berkata bahwa apa pun juga kata guru, murid harus taat dan
menurut.”
“Nah, kalau begitu, kau
loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo... loncat ke bawah?”
Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar terbelalak. “Tapi,
tapi... begini tinggi...”
Kakek jembel yang matanya
lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.
“Ingat, apa pun juga kata
guru, murid harus...”
“Iya, dah! Aku loncat!” kata
Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke bawah!
Tapi ia tidak terbanting dan
kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat ia
terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya
turun dengan ringan.
“Bagus, kau harus turuti
segala perintahku. Sekarang kau pulanglah dengan gurumu itu dan setahun
kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!”
Cin Hai yang kini maklum akan
kelihaian kakek jembel ini, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul!
Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak itu!
Cin Hai lalu mencari gurunya
di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena merasa kaget
ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak keras, “Sianseng!”
Melihat anak kecil itu, guru
itu mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir telinga Cin Hai,
namun anak itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi telinganya sambil
berkata,
“Sianseng, jangan kau berbuat
sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat
kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan
tamparan padanya, dia buru-buru berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi
mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Lalu kenapa Sianseng selalu memukul
hakseng tanpa ingat peri kemanusiaan?”
Dihujani ujar-ujar yang sering
ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat (habis daya) dan tangan
yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.
“Hayo kita lekas pulang, takut
kalau siluman-siluman itu datang lagi.”
Dia lalu memegang lengan
muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota yang tak berapa
jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu…..
********************
Anak kecil yang bernama Cin
Hai itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia empat tahun, dia
sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan ia lalu dipelihara oleh
ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari Kwee In Liang, seorang
pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di Tiang-an. Karena ketika
ditinggal mati kedua orang tuanya dia masih kecil sekali, maka Cin Hai tidak dapat
ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan tidak tahu pula bagaimana
matinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee)
telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia kawin lagi dengan
ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam orang anak, lima
orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki yang sulung
berusia sepuluh tahun dan tiap tahun bertambah seorang anak hingga anak
perempuan yang bungsu itu kini sudah berusia lima tahun! Mungkin karena setiap
tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri Kwee-ciangkun menjadi
lemah kemudian jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun sangat
memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan nakal.
Akan tetapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu
ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa.
Ketika itu Loan Nio, bibi Cin
Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee, dan dia memang telah bekerja
di sana sejak masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh dibilang semua anak-anak
Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini sehingga mereka menjadi
suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, sesudah ibu anak-anak itu meninggal, dan
melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang manis dari gadis itu,
Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh dipuji tindakan
panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat dan bijaksana,
tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri, tetapi sebagian
besar didasarkan untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio lalu
menjadi seorang isteri panglima dan sekaligus menjadi ibu enam orang anak,
seorang ibu yang baik karena di dalam hatinya memang dia mempunyai rasa kasih
sayang terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.
Cuma sayangnya, anak-anak itu
sudah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa ibunya yang sekarang ini
bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda dan kadang-kadang terasa
ada suatu ganjalan yang tak menyenangkan.
Apa lagi pada saat Loan Nio
mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin Hai, maka
sering terjadi hal-hal yang menyakitkan hati Cin Hai dan Loan Nio, sungguh pun
kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.
Kwee In Liang adalah seorang
pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi, karena dia adalah
seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran bila dia mendidik
kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping mendidik mereka dalam ilmu
surat.
Ketika isterinya membawa Cin
Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka
dan senang hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin
Hai. Melihat bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka
ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan putera-puteranya, di
bawah pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat, untuk tingkat
permulaan ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di
kota itu.
Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi
korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak ini kepalanya sengaja digundul
plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya
yang membayangkan kebodohan, mungkin karena bingung dan banyak menangis pada
saat ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan
semua orang.
Apa bila sedang belajar
bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, kalau ia tidak menghafal dan tak
dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak
segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tetapi kalau dia rajin
menghafal hingga pengertiannya melebihi lima anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu
dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar tahunya
orang-orang tua, dia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak
laki-laki Kwee-ciangkun itu.
Guru silat she Tan yang
mengajar mereka agaknya juga sengaja menghina Cin Hai. Entah mengapa, mungkin
karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau karena ingin
menyenangkan hati tuan-tuan muda, yakni lima putera Kwee-ciangkun, atau memang
ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin Hai, tapi nyatanya ia
tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai. Bahkan sering kali dia menyuruh
Cin Hai menghadapi Kwee Tiong, putera tertua yang sudah berusia sepuluh tahun
itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat gebukan-gebukan dalam
latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga dan kalah kepandaian!
Baiknya, sikap yang tahu diri
dan agung dari Loan Nio yang kini telah menjadi ‘nai-nai’ (nyonya) itu membuat
semua orang tidak berani menghina Cin Hai secara berterang di muka nyonya muda
itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala kesedihannya.
Kalau ia sedang digoda atau
dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya yang
bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di
pangkuan nyonya muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapa pun juga,
tak pernah satu kali pun ia mengadu kepada bibinya mengapa ia menangis, mengapa
kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru.
Bibinya hanya menganggap bahwa
lazim bagi seorang anak laki-laki untuk kadang kala berkelahi sampai kepalanya
benjol! Dan ia menyangka bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang
tuanya, maka dia tidak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak
itu.
Akan tetapi, tidak semua orang
berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang merasa kasihan melihat
nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan Nio tentang perlakuan
guru itu kepada Cin Hai.
Biar pun hatinya sangat panas,
tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak menimbulkan
ribut-ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar silat lagi
dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar Cin Hai.
Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai yang dapat
menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa sebuah
kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu untuk
tempat Cin Hai belajar.
Nyonya muda bijak yang
mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang tak begitu
rajin belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang dan main
ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu memang
mempunyai daya tarik kepada orang untuk mengulurkan tangan dan mengetoknya!
Lima putera Kwee-ciangkun
semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee
Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An. Sedangkan anak ke
enam yang perempuan adalah seorang anak mungil dan manis, bermuka bundar dengan
mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin dan biasanya disebut Lin Lin.
Karena hanya mempunyai seorang
saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta kepada Lin Lin
dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia
mulai menurunkan kepandaian silat yang tinggi pada anak perempuannya ini!
Biar pun orang luar tidak
tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat menyimpan
rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya merasa
iri hati, tetapi mereka tidak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa
sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan ini…..
********************
Guru Cin Hai yang kurus kering
itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan
di luar kuil tempat dia mengajar itu, dia segera lari ke gedung Kwee-ciangkun
sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia tak pedulikan
celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan lagi saking kagetnya ketika
melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular yang mengerikan
itu.
Pada saat memasuki pekarangan
gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.
“Ehh, Kui-sianseng, mengapa
kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.
“Twa-kongcu (Tuan Muda
Terbesar)... celaka, ada... ada... siluman...,” jawab kakek kurus kering itu
gagap.
Kwee Tiong terbelalak
memandang. “Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai memotong, “Ya, siluman
menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” Dia lalu mempergunakan kedua tangan
untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan suara, “hii... hiii...
hiiii...”
Kwee Tiong menggerakkan
hidungnya ke atas mengejek, “Ahh, betapa pun buruknya, kukira siluman itu tidak
lebih buruk dari pada mukamu!”
Cin Hai hanya tertawa
ha-ha-hi-hi dan dia menurut saja ketika gurunya terus menarik tangannya dibawa
ke dalam gedung menghadap bibinya.
Tentu saja nyonya muda itu
amat terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti biasanya, apa lagi
melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.
“Ehh, Kui-sianseng, kenapa
masih begini siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin Hai, apakah kau tadi
berlaku nakal?”
Cin Hai tersenyum kepada
bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf... saya... saya tidak
sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...,” Kui-sianseng itu masih saja
gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah, Kui-sianseng,
sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara terputus-putus,
sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala peristiwa yang
dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari khayalan
pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.
Akhirnya tanpa dapat ditahan
lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua nabi, tapi yang satu
pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu, lalu berpamit dan minta
berhenti, kemudian pergi dari situ. Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin
Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan
godaan guru she Kui yang memaksa dia ‘makan’ segala ujar-ujar di dalam
buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda itu menghela
napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada seorang guru
pun yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi apakah kelak?
Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan menulis, tapi
pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak. Apakah terpaksa aku harus
memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai menggunakan tangan
kiri untuk menutup mulutnya supaya tidak tertawa geli. Dia belajar menyulam?
Tapi ia menjawab,
“Ie-ie, kalau memang kau
anggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”
Bibinya melerok. “Anak tolol,
masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie, mengapa semua orang
menyebutku bodoh dan tolol, bahkan tadi ie-ie sendiri juga menyebutku tolol?
Apakah aku benar-benar tolol? Ahh... tentu saja aku bodoh dan tolol, kalau
tidak masak semua guru membenciku?”
Bibinya menjadi terharu dan
menariknya dekat-dekat.....
“Tidak, Cin Hai, kau tidak
bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu
mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.
“Itulah sukarnya, ie-ie, terus
terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”
“Anak tolol...”
Cin Hai mengangkat telunjuk ke
atas.
“Nah, nah, lagi-lagi aku
disebut tolol!”
“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak
boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak
menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang
pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak kalau kau bisa
menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara nyonya
muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.
Cin Hai memegang tangan
bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca
dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku
telah lenyap, maka aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota
ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat suling.
Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”
“Baru saja datang mau pergi
lagi! Bagaimana kalau le-thio-mu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”
“Apa bila le-thio (Paman,
suami Bibi) bertanya beri tahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio
menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka benar akan suling,
Cin Hai?” tanya ie-ie-nya.
“Ie-ie, suling adalah
satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku,
aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali
kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat kutiup
sesuka hatiku...”
Nyonya muda itu menghela napas
dan menggunakan sapu tangan untuk menahan air matanya. “Pergilah, Cin Hai.
Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”
Cin Hai dengan girang hati
lalu berlari-lari keluar.
“Engko Hai. Kau mau ke mana?”
mendadak terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang anak
perempuan muncul dengan rambutnya yang dikuncir bergantungan di kanan-kiri
lehernya.
“Ehh, Lin Lin! Sampai kaget aku.
Kau tahu, sesudah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku menjadi mudah
kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak perempuan itu mencibirkan
mulutnya yang kecil manis, tetapi matanya yang lebar terbelalak, tanda bahwa ia
tertarik sekali.
“Apa? Kau tadi melihat
siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Ahh, nanti saja lain kali
kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai, kau mau ke
manakah?”
“Mau ke hutan di sebelah utara
itu mencari bambu.”
“Aneh benar, itu di belakang
kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”
“Ahh, kau tahu apa? Bambu yang
kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai, aku ikut! Nanti di
jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau! Aku tidak minta kau
gendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras.
Oleh karena tak dapat menolak
lagi, dengan muka ‘apa boleh buat’ Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh
Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi milik kakeknya dan
memakainya sehingga dari belakang dan dari jauh dia kelihatan seperti seorang
laki-laki. Memang anak-anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan bebas
sehingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.
Kedua anak itu berjalan dengan
tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu
mengarah ke utara, menuju luar kota di mana terdapat sebuah hutan yang cukup
besar.
Di sepanjang jalan Cin Hai
kemudian bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa
dengan suara sulingnya ia dapat mengusir semua ular siluman! Ia
menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga
Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya dan
kagum!
Memang di antara anak-anak
Kwee-ciangkun, yang tidak membenci pada Cin Hai hanya Lin Lin seorang. Ini pun
bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat,
sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai
saling pukul atau saling membenci.
Sejak kecil Lin Lin memang
telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta memiliki perangai yang
halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat
sehingga pada saat itu biar pun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari
dasar-dasar ilmu silat.
“Engko Hai, itu yang kita tuju
sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”
Cin Hai memandang Lin Lin
dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai. Satu…
dua... ti... ga!”
Dan larilah ia secepatnya
untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin sejauh mungkin supaya
ia dapat sampai di hutan lebih dahulu dan menanti anak perempuan itu sambil
mentertawakannya!
Pada waktu ia menengok, tidak
tahunya ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi
tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin
tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi!
Kini Lin Lin sudah
mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang
menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan
gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan
mereka lari berendeng.
Akan tetapi, tidak seperti
kelihatannya, hutan yang di depan itu ternyata bukanlah dekat, jauhnya tak
kurang dari setengah li hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng,
Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia terengah-engah
bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya mengeluarkan
peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja!
Tentu saja hal ini tidak
mengherankan, karena anak perempuan itu semenjak kecil sudah dilatih oleh
Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya
sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya
tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tak pernah diberi latihan dasar
pelajaran silat.
Walau pun merasa penasaran
tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu karena
mereka tiba di hutan berbareng.
“Tak kusangka, Lin Lin, larimu
secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.
Lin Lin tersenyum. “Dan larimu
seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana tempat bambu yang kau
maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya, takut-takut
karena hutan itu memang besar dan agak gelap sebab matahari telah mulai turun.
“Di sebelah kiri sana, hayo!”
Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja, tidak jauh dari
sana terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta lurus
batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau
senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil itu?
Sementara itu karena berada di
bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan
menyangka bahwa senja sudah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan
memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.
Namun sia-sia saja karena
bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang
anak-anak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekali pun belum tentu akan
dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.
Betapa pun juga, Cin Hai
mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai
akhirnya dia berteriak kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku mencobanya,” kata
Lin Lin.
Ia ingat ketika ayahnya pernah
memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang. Saat itu
ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon
hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.
Karena tangannya sudah
gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Dia menyangka bahwa
anak perempuan itu tentu akan mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya
tadi, karena itu ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak
bulu-bulu gatal!”
Tapi alangkah herannya ketika
Lin Lin tidak mencabut, tetapi memasang kuda-kuda, lalu berseru keras,
“Haihhh…!”
Anak itu menggunakan kaki
kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai
daunnya rontok, akan tetapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin
Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.
Tiba-tiba terdengar seruan orang
memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut
dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah berdiri
seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw
itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut
dan matanya sebelah kanan buta. Tokouw itu pakaiannya panjang dan longgar
berwarna putih dan pada tangan kanannya terdapat sebuah hudtim (kebutan
pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang
sebilah pedang.
Lin Lin dan Cin Hai terkejut
sekali melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak takut.
“Bagus, anak yang manis.
Siapakah yang telah mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan Tiang
itu tadi?”
Biar pun agak takut-takut Lin
Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus! Sekarang kau lihat
ini!”
Tokouw itu menggerakkan hudtim
yang dipegangnya sehingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu,
yaitu bulu-bulu yang terpanjang, membelit beberapa batang bambu.
“Naik!” Tokouw itu berseru dan
heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu itu
dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya.
Tokouw itu kembali mengerakkan
hudtim-nya dan rumpun bambu itu terlempar beberapa tombak jauhnya seperti
dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali, lalu roboh ke arah lain sehingga
daun-daunnya tidak menimpa mereka!
Lin Lin melongo dan
terheran-heran, sedangkan Cin Hai tidak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan
berseru, “Bagus! Bagus!”
Ia tidak saja girang
menyaksikan kehebatan tenaga ini, tetapi juga girang karena bambu yang
dikehendaki telah berada di situ, tinggal ambil saja!
“Nah, anak baik, sekarang kau
turutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau, aku tidak mau!”
Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.
Tokouw itu mengedikkan
kepalanya sehingga mukanya yang buruk itu nampak semakin mengerikan.
“Dengarlah, anak manis. Ribuan
orang akan berlutut dan memohon-mohon di hadapanku untuk minta menjadi muridku.
Tapi kau menolak begitu saja!”
Lin Lin sekali lagi memandang
muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir panjang
dan membelit-belit pada lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan
rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata lagi.
“Tidak, aku tidak mau...!”
Tapi tokouw itu tertawa ha-ha
hi-hi lalu berkata lagi, “Kau berjodoh dengan aku, betapa pun juga kau harus
menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.
Tetapi pada saat itu Cin Hai membentak
keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi
muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu menggunakan mata
kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, namun mulutnya tetap tersenyum
dan berkata, “Kau boleh juga, tapi tak berjodoh dengan aku.”
Lin Lin yang merasa ketakutan
karena hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu mendekat
serta mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan
itu. Biar pun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia sudah terlatih baik dan
pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.
Tokouw buruk rupa itu tertawa
ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main? Boleh coba
kau serang terus padaku agar dapat kuketahui sampai di mana kau telah
mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan
Lin Lin.
Tiba-tiba saja Cin Hai
membentak. “Tokouw jahat, kau mengganggu orang saja, apakah itu baik?”
Ia lalu menyerang. Tapi karena
Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, tentu saja pukulannya ngawur
dan sekenanya saja!
Melihat kenekatan Cin Hai,
tokouw itu segera menangkap tangan anak itu. Tapi tiba-tiba tokouw itu meringis
dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah
menggunakan giginya dan menggigit tangan itu!
Dengan gerakan perlahan tokouw
itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang
punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya
tokouw itu hanya ingin melampiaskan kedongkolan hatinya saja dan tidak
membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi
dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju
terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua kalinya Cin Hai
terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw
itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan
menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.
Kebetulan sekali pada waktu
itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak kembali
ke kota dari mengunjungi seorang kenalannya. Ia terkejut dan heran sekali
melihat betapa Lin Lin sedang menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti
setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.
“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu
membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapi guru silat itu. “Kau
seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”
Tokouw itu tersenyum hingga
wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini untuk dijadikan
murid,” katanya berterus terang.
Tan-kauwsu terkejut dan
bertanya, “Siankouw siapakah?”
“Sicu (Tuan yang gagah)
berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh!
Ketahuilah Pinni she Biauw.”
Tan-kawsu makin terkejut
karena dia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan
yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan.
“Ahh, jadi siauwte berhadapan
dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”
“Ha, agaknya namaku terdengar
juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.
Tan-kauwsu tidak berani
berkata kasar lagi dan sesudah menjura, dia kemudian berkata, “Siankouw,
tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru
yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja siauwte
tidak merasa keberatan apa bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan
tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya
persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”
“Sicu seperti tidak tahu saja
kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Jika kita menghendaki sesuatu yang dirasa
baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi
mengadakan rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid
dan habis perkara!”
“Kalau begitu, terpaksa
siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”
“Ha, kau hendak menghalangi
maksudku membawa anak ini?”
“Biarlah kali ini siauwte
melupakan kebodohan sendiri.”
Tokouw yang buruk rupa itu
tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap pendeta
perempuan itu Tan-kauwsu segera mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai
terdengar makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu
tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru silat itu!
Tan-kauwsu maklum bahwa
lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku
sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata
ujung kebutan tokouw itu telah menyambar kembali, bahkan sudah mengirim
serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah jalan
darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.
Tan-kauwsu cepat menggunakan
pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, namun tiba-tiba hudtim itu bagai
bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan
tangannya, pedangnya sudah terampas tanpa dia dapat bertahan pula! Dan pada
saat itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya.
Tan-kauwsu merasa betapa
tubuhnya menjadi kesemutan akibat urat darahnya tersentuh sehingga tidak ampun
lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga. Ketika ia merayap bangun lagi,
ternyata tokouw itu telah lenyap, begitu pun Lin Lin telah hilang pula!
Walau pun merasa benci kepada
tokouw berwajah buruk itu, tetapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja
guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas
sekali. Ia memang sangat benci terhadap guru silat ini yang tidak pernah
mengajar silat padanya, sebaliknya malah sering kali memukul dan mengadunya
dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul sampai matang biru.
Maka, untuk menyatakan
kepuasan hatinya, dia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.
“Tan-suhu, sakitkah engkau?
Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”
Mendengar kata-kata ini,
Tan-kauwsu merasa semakin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini
dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini
seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.
“Anak setan! Engkau sedang
berbuat apa di sini dan mengapa kau ajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa kali
ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang,
dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai
pecah oleh Kwee-ciangkun!”
“Bukan aku yang membawa Lin
Lin, akan tetapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari bambu
ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”
“Anak tolol, kalau bukan
salahmu, lalu siapa lagi?”
“Tan-suhu, aku sih bukan lawan
tokouw siluman itu. Tetapi engkau adalah guru silat yang katanya mempunyai
kepandaian tinggi, kenapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa
baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”
Baru saja bicara sampai di
sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng hingga
Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia
terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di
atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya, sebuah batu
menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.
Anak ini marah sekali di dalam
hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit pada tubuhnya. Ia
cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya
memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jeri.
“Nah, kau baru tahu adat
sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” Tan Hok berkata sambil uring-uringan.
“Tan-suhu memang beraninya
hanya terhadap anak kecil yang tidak berdaya. Alangkah baiknya kalau
kegagahanmu ini kau perlihatkan pada saat menghadapi Biauw Suthai tadi,
sehingga Lin Lin tidak sampai terculik.”
“Bangsat kecil, kuhancurkan
kepalamu!” Guru silat itu lalu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi
Cin Hai tidak mundur sedikit pun.
“Boleh, boleh! Pukullah aku
sampai mati. Sayang, Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”
Teringatlah Tan-kauwsu bahwa
anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia
menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia
lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,
“Hayo kita pulang dan kau
menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian.
Kau harus terangkan duduknya perkara yang sebetulnya di hadapan Kwee-ciangkun!”
Cin Hai tak menjawab, tapi
segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar
tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!
Alangkah terkejut dan marahnya
Kwee In Liang ketika dia mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah
sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,
“Hamba sudah melawan
mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tapi ternyata Biauw Suthai sangat
lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak
berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin sudah dibawa pergi cepat
sekali.”
Karena sangat marah dan sedih,
Kwee In Liang menggebrak meja di hadapannya sambil membentak kepada Cin Hai,
“Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau
anak tolol lancang sekali!”
Cin Hai merasa hatinya seperti
tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tidak pernah memukul
tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajak dia bicara.
Sekarang ie-thio-nya membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.
“Ie-thio (Paman),” katanya
dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah sekarang aku pergi
mencari Adik Lin Lin sampai dapat...”
Hampir saja Cin Hai
mengeluarkan air mata karena hatinya merasa pilu. Dia meraba-raba kepala
gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.
Melihat betapa kepala anak itu
merah serta bibirnya pecah-pecah, kemarahan Kwee In Liang lantas berkurang,
“Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”
Sebelum Cin Hai menjawab, Tan
Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu akan mengadu, cepat berkata,
“Apa bila hamba tidak
lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”
Cin Hai melirik kepada guru
silat itu dengan pandangan mata mengejek.
“Benar, ie-thio, sayang sekali
bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas
pedangnya dan bahkan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman
itu!”
“Begitu lihaikah dia?” tanya
Kwee In Liang kepada Tan Hok.
“Memang dia luar biasa lihai,
dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu,
dan kebenciannya terhadap Cin Hai semakin bertambah.
Karena kejadian itu, Kwee In
Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa
itu segera berlarian keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di
sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan telah
menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar
menghancurkan hatinya.
“Cin Hai, kau... kau anak
tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah
engkau berpamit padaku, tetapi mengapa engkau tidak menyatakan hendak pergi
dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.
“Ie-ie, sungguh aku menyesal
sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tetapi ketika
aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang
bahwa aku hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”
Sementara itu, melihat bahwa
nyonya muda itu keluar, Tan Hok segera mengundurkan diri. Kwee In Liang segera
memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik
kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.
Biar pun kepada bibinya
sendiri, Cin Hai tidak pernah menceritakan mengenai perlakuan Tan-kauwsu yang
sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tak suka mengadu dan segala hal yang
menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja.
Ia selalu ingat akan ujar-ujar
yang bermaksud: Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan
keadilan! Maka dia menganggap kurang adil apa bila ia membalas kejahatan
Tan-kauwsu dengan mengadukan hal itu kepada ie-ie-nya atau ie-thio-nya. Itu
kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia
sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya
ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.
Hatinya telah merupakan sebuah
buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang
dijatuhkan orang kepada dirinya, dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya
untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat mau pun yang
baik.
Ketika Ie-thio-nya sedang
sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal
dan anak buahnya, sedangkan bibinya masih menangisi nasib Lin Lin di kamarnya,
Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil
asyik menggosok bambu itu, menghilangkan bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan
cabang-cabangnya.
Tiba-tiba terdengar suara
anak-anak memasuki kebun itu.
“Nah, itu dia Si Jahat!”
terdengar seorang di antara mereka berkata.
Yang masuk adalah lima orang
anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajahnya dan
indah-indah pakaiannya.
Yang sulung bernama Kwee Tiong
berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga
Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima
ialah Kwee An berusia enam tahun.
Di antara mereka ini, hanya
dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An memiliki
perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang
empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.
Kini mendengar betapa adik
perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, maka
marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih akibat kehilangan adiknya, juga
merasa marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri
membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya!
Kwee Tiong lalu mengambil tali
dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan
tali tadi. Cin Hai tidak dapat melawan sebab dia sudah lelah sekali, malah
tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas
tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, sama
sekali dia tidak melawan, walau pun andai kata dia melawan juga tak akan
berguna.
“Bangsat, mengakulah bahwa kau
yang menjadi gara-gara atas lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.
“Bukan, bukan aku!” jawab Cin
Hai sambil membalas pandang mata Kwee Tiong dengan berani.
“Kepala anjing!” Kwee Tiong
memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.
“Bukan aku!” Cin Hai tetap
berkokoh menyangkal.
Lima saudara yang sedang marah
itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundul, tetapi
meski pun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap
berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”
Melihat betapa keadaan Cin Hai
makin lemas dan suara teriakannya semakin parau dan lemah, Kwee An menjadi
kasihan dan timbul sifat baiknya.
“Koko sekalian, aku jadi ingat
akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani.
Sekarang kita mengikat Cin Hai dan memukulinya tanpa dia dapat membalas, apakah
ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang sudah dianjurkan
oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita akan mendapat
marah.”
“Ehh, pengecut, apa kau hendak
membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.
“Dia bukan pengecut, juga
bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu
mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini mempunyai kegagahan lebih besar dari
pada kalian berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja mesti
melakukan pengeroyokan secara pengecut.”
“Plokk!”
Tangan Kwee Tiong terayun,
menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul
oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.
“Twako, kalau memang kau
hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara jujur. Lepaskan dia lebih
dahulu dan berkelahilah dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman
kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.
“Baik, baik! Kau bukalah
ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira.
Cin Hai merasa seluruh
tubuhnya lemas dan tidak bertenaga, maka biar pun dia sudah dilepaskan dari
ikatan, tetap saja dia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap
dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah
cukup lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan
kakinya.
Berkali-kali Cin Hai dipukul
jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah
tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya sehingga ia kembali tersungkur
lagi.
“Nah, rasakan ini, nah, ini
lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin
terculik orang! Rasakan ini!”
Sambil menunggangi tubuh Cin
Hai pada punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai
yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan
mempergunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tidak dapat memukul,
tetapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap.
Karena kebingungan dan putus
asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad.
Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup
itu sehingga menjadi miring. Tangan kanannya lantas menyerang ke depan dan
mencengkeram, dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena
tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggota rahasia Kwee Tiong.
Mendengar jeritan ini barulah
Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya
mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas
membikin hancur anggota tubuh yang dicengkeramnya itu supaya anak jahat yang
selama ini cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus
seketika itu juga.
Tetapi entah kenapa, di dalam
pikirannya yang telah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang
dipelajarinya. Betapa pun hebat Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, akan
tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, apa bila sekarang ia membalas dengan
membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi
bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya
hanya untuk sekedar melampiaskan kemarahan dan memuaskan perasaan. Teringat
akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.
Tadinya Kwee Tiong sudah
sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia telah mengeluarkan kata-kata, “Cin
Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...”
Tetapi ucapan ini agaknya tak
terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin Hai mengendur,
kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera merenggut
tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.
“Bangsat! Anjing! Pengecut
hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil menggunakan kedua
kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai.
Namun anak gundul ini sama
sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.
“Tahan, Twako, ia... ia...
mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.
“Hahh?! Mati...?!”
Kwee Tiong terkejut sekali dan
seketika itu juga wajahnya berubah pucat. Juga semua adiknya yang tadi turut
memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk
melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai. Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja,
namun karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak
pucat sekali seperti mayat.
Pada saat itu terdengar
teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan
lain adalah Loan Nio, bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka
bahwa kemenakannya itu sudah mati, maka dia berteriak kaget. Dua orang pelayan
lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar, sedangkan
Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.
“An-ji, coba kau ceritakan,
apakah yang sudah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya
kepada Kwee An, oleh karena ia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu
sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.
“Cin Hai telah berkelahi
dengan Engko Tiong,” Kwee An berkata terus terang, kemudian dia menceritakan
mengenai sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena
menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.
Loan Nio menghela napas, lalu dia
berkata dengan suara kereng, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin
Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi
tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apa lagi
jika diingat bahwa dia biar pun kecil juga telah membela Lin Lin hingga
terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya bisa memaafkannya. Pula
peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi
kepusingan orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak
baik sekali!”
Pada saat itu Kwee In Liang
kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak lelah
sekali.
“Bagaimana, terdapatkah?”
Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.
Kwee-ciangkun
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali.
Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.
“Anak-anak ini sedang bekerja
apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”
Terpaksa Loan Nio yang tidak
pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur mereka karena
berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In
Liang semakin muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke
kamar masing-masing.
Melihat kemarahan serta
kesedihan suaminya ini, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tapi
ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya dan berkali-kali menghela napas.
“Tadi aku mendengar bahwa
Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh yang
ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk.
Barang kali dia memang benar-benar senang kepada Lin Lin dan hanya bermaksud
untuk menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya pada anak kita.” Kwee
hujin menghibur.
Sesudah berulang-ulang kali
menghela napas, Kwee In Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan begitu.
Karena apa bila siluman wanita itu sampai berani mengganggu selembar rambut
saja dari anakku, maka dia harus mengganti dengan selembar jiwanya!”
Dan panglima gagah ini
mengertak-ngertak gigi serta mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua
matanya mengeluarkan sinar mengancam. Isterinya lalu menghiburnya lagi dan
mengajak suaminya yang sedang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar
sudah mulai gelap.
Malam itu keadaan di gedung
keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara anak-anak
menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang mengeluarkan suara
keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi tidur sambil
membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.
Cin Hai sendiri berbaring
terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan
pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, namun hatinya
telah terhibur sebab tadi bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan
pelayan untuk menyediakan makan. Bahkan dengan kedua tangannya sendiri bibi
yang baik hati itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak dan matang
biru dengan minyak gosok.
Ketika tadi bibinya
menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam
air matanya mengalir di kedua pipinya.
“Ie-ie, sebenarnya di manakah
kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.
Tangan bibinya yang
menggosok-gosok punggungnya itu mendadak menggigil dan untuk sesaat berhenti
menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa berkali-kali kau
tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu
telah kembali ke alam baka?”
“Tetapi di manakah makam
mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam kedua orang tuaku.”
”Aku tidak tahu, Cin Hai.”
“Mengapa kau tidak tahu ie-ie,
bukankah kau adik mendiang ibuku?”
“Sudah berapa kali kukatakan
bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau terus mendesak. Kau harus
mengaso dan aku akan kembali ke kamar, ie-thio-mu masih sangat bersedih.”
Nyonya muda itu mengelus-elus
kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah
ke luar pintu, Cin Hai menegur,
“Ie-ie yang baik!”
Nyonya muda itu berhenti lalu
menengok, dan Cin Hai sempat melihat betapa ie-ie-nya telah mengalirkan air
mata!
“Setidak-tidaknya beritahukan
padaku siapa nama dan she Ayahku!”
“Kau she Kwee juga, bukankah
sudah pernah kuberitahukan padamu?”
“She... Kwee...? Ahh, tak
mungkin... ahh, kenapa kau membohongi, Ie-ie yang baik? Aku bukan she Kwee...”
Tetapi Ie-ie-nya sudah
melangkah keluar dari pintu dan Cin Hai mendengar suara sandal bibinya itu
makin menjauhi kamarnya.
Demikianlah, setelah bibinya
pergi, sampai jauh malam Cin Hai masih tak bisa meramkan matanya. Bibinya telah
membohong padanya ketika menerangkan bahwa dia she Kwee! Juga bibinya telah
membohong ketika bilang bahwa dia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.
Ia dapat merasakan kebohongan
itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang tuanya,
selalu nyonya muda itu mendadak menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya
selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang tuaku, dan aku harus tahu siapa
sebenarnya diriku ini.
Cin Hai lalu turun dari
pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak keterangan
dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya
tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari
tidurnya. Ketika sudah tiba di dekat kamar bibinya, tiba-tiba ia mendengar
suara bibinya terisak menangis, kemudian suara pamannya yang besar itu
seakan-akan sedang memarahi bibinya.
Cin Hai bergerak hati-hati sekali
ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia
mendekati jendela dan mengintai. Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan
sambil menutup mukanya dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan
mondar-mandir di dalam kamar itu.
“Ayahnya yang berdosa, dan
Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum penggal
leher. Sekarang janganlah kau ikut-ikutkan pula anaknya yang tak berdosa
apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.
“Kau kira aku manusia berhati
sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku mengijinkan anak pemberontak itu
berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi
iparmu itu sudah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali
tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”
“Tiada sangkut-paut, hanya
engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.
“Apa salahnya? Bukankah itu
sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tidak punya
hubungan apa-apa dengan aku, biar pun andai kata adikku sendiri yang menjadi
pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau
ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap hari kita pakai ini
adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh menerima hasil saja
tanpa harus memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi
ini perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!”
Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan
Lin Lin.
Hening sejenak kecuali isak
Loan Nio dan helaan napas Kwee In Liang, kemudian baru terdengar lagi nyonya
muda itu berkata agak sabar,
“Aku tahu semua itu, dan aku
tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau
berlakulah murah hati sekali.”
“Istriku, betapa pun juga kau
pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai dari pada suamimu? Aku
benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan
tetapi, semenjak Lin Lin hilang....,” sampai di sini suaranya sember dan sedih,
“...aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapa pun juga, Lin Lin diculik
orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini tidak akan pernah hilang
dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya apa
bila anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik
untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada keluarga
lain...”
Semenjak tadi, di luar Jendela
Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi kedua pipinya.
Orang tuanya, juga semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah
hebatnya!
Ayahnya yang she Sie itu
disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak itu? Perasaannya yang
terasa perih itu semakin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar
dengan Ie-thio-nya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa
ie-thio-nya kini membencinya karena hilangnya Lin Lin dan ie-thio-nya sudah
mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!
Cin Hai menggigit bibirnya
yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya yang
gundul. Orang tidak menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi?
Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di
situ. Dia harus pergi karena dia bukan keluarga Kwee! Hanya ie-ie-nyalah yang
selama ini menahan ia berada di tempat itu, karena itu ia amat mencinta
ie-ie-nya yang berbudi baik itu.
Dengan pikiran kacau balau Cin
Hai lalu pergi dari situ. Dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat
dari gedung keluarga Kwee. Dia benci sekali kepada Kwee In Liang, sebab dari
mulut pamannya itu sendiri dia tadi mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya
adalah pamannya itu sendiri.
Ia memasuki kamarnya dan
mengambil semua pakaiannya, lalu dibuntal. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan
kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang dipakai itu
adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian kepada raja
itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh keluarga Sie.
Tiba-tiba timbullah rasa jijik
dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh
dengan perasaan jijik. Dia tak akan membawa pakaian pemberian pamannya.
Lalu dia teringat akan
pakaiannya sendiri. Yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang
berarti pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu
menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari
keluar.....
Tetapi dari mana ia harus
keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin Hai yang
gundul dan telanjang itu lalu lari ke belakang dan memasuki kebun. Angin malam
yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi dikeraskan hatinya
dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang ia telah biasa
memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah saja ia dapat
memanjat dinding mempergunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan yang terdapat
di beberapa bagian dinding.
“He, bangsat kecil, kau hendak
berbuat apa lagi?!”
Itu adalah suara Tan-kauwsu!
Cin Hai terkejut sekali dan
dia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak
membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan
sendiri itu tak akan ia lupakan.
Ketika Tan-kauwsu sudah datang
dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di atas
dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong
memandang. Sudah gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, dan kemudian timbul
maksudnya hendak menangkap lalu menyerahkan anak ini kepada Kwee-ciangkun dalam
keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya merasa malu!
“Bangsat tolol, turun kau!”
bentaknya.
Tetapi dalam takut dan
bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Dia meloncat ke sebelah luar
dan untung sekali dia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak
patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia segera
berdiri dan lari secepat mungkin di dalam kegelapan malam.
Tan Hok, guru silat yang
membenci Cin Hai itu menjadi penasaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah
berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat
Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki.
Tiba-tiba ia mendengar suara
keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu kakinya
tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya
yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga
terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar
ke arah suara itu sambil memaki,
“Anak totol, apakah kau sudah
gila?”
Cin Hai makin takut dan dia
berdiri lagi, lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk
berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap
sekali. Namun dari suara kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok
mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap itu membuat
Tan-kauwsu tidak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau dia akan
menabrak pohon atau terjeblos ke dalam tanah berlubang.
Sebaliknya, Cin Hai yang
ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya.
Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya supaya dapat menghindarkan diri
dari tangan guru silat yang jahat dan yang tentunya akan membawa dia kembali ke
tempat yang tak disukainya itu.
Oleh karena berlari dengan
nekad membuta ini, tiba-tiba saja dia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut
sekali tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya
mendengarnya.
Ketika ia meraba-raba di
sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek
berair. Sesudah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu
terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa dipergunakan oleh para penggembala
kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ.
Anehnya, apa bila tadi dia
merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini
sesudah masuk ke dalam lumpur itu, dia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa
yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.
Akan tetapi, rasa girangnya
hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang
masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa
mengalahkan guru silat itu, pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia
memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari akal.
Tan Hok si guru silat merasa
mendongkol sekali. Biar pun ia lari tidak cepat, tetapi sudah dua kali ia menabrak
pohon dan tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak
menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, akan tetapi menimpakan semua
penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.
“Anak tolol, anak binatang
rendah, anak haram! Kalau saja kau sampai terpegang olehku, tentu akan kubeset
kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan
kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.
Tiba-tiba saja dia mendengar
suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas anak
itu terengah-engah dan beberapa kali pula mengaduh-aduh. Girang hatinya
mendengar ini.
“Bangsat kecil, kau hendak
lari ke mana sekarang?!” bentaknya.
Dia mempercepat larinya,
karena dia pun mendengar suara kaki anak itu berlari semakin cepat. Dia maju
dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak tiba-tiba dia
menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh terjerambab di
dalam kolam lumpur! Celakanya dia jatuh telungkup hingga mukannya penuh
tertutup lumpur.
“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!”
terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu.
Ternyata tadi anak itu
mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur,
lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah.
Tubuh Tan-kauwsu telungkup di
dalam lumpur bagai seekor kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek
serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan
cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga samar-samar mata dapat
menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi abu-abu.
Sudah tentu rasa marah Tan Hok
meluap. Untuk beberapa lama dia tak berdaya karena selain merasa pengap akibat
lubang hidungnya tertutup lumpur, juga dia merasa bingung bagaimana harus
membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!
Akhirnya ia dapat juga ke luar
dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni
yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung,
mulut dan matanya. Walau pun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi
dengan mata kanan dia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong
kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.
Fajar telah menyingsing ketika
dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru
silat ini mengeluarkan seruan girang, karena sebentar lagi dia pasti akan bisa
memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia lalu memperkuat
larinya dan sebentar saja jarak antara dia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya
itu tinggal beberapa tombak saja lagi!
“Bocah tolol! Sekarang kau
hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok
dengan girang sekali dan dia sudah siap-siap mengulurkan tangan untuk
menangkap.
Cin Hai yang sudah putus asa
tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil
keputusan tetap bahwa bila mana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan
dahulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia
ingat akan bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati
sebagai harimau dari pada mati sebagai babi!
Tetapi pada saat itu, ketika
ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya,
tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu
tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang
pendek.
Cin Hai menjadi terkejut,
heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya
dan bagaimana maka dia tahu-tahu sudah melayang ke atas lantas duduk di atas
lengan kanan orang tua yang bertubuh pendek itu, yang mulutnya selalu
menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia
bahwa orang ini bukan lain adalah seorang di antara tiga orang yang belum lama
ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng
Ban-hok-tong!
Sementara itu, ketika melihat
betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya,
Tan Hok menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain adalah Giok
Keng Cu, yakni orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari
Kanglam), tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok.
Ia tidak mengenal anak itu
karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai
mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan
lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai
dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Ketika melihat bahwa tosu
pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta,
Tan-kauwsu menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ. Maka ia lalu
membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,
“Totiang, kau berikan anak
tolol itu kepadaku!”
Mendengar kata-kata ini, Giok
Keng Cu lalu bertanya. “Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”
“Siapa sudi menjadi ayah anak
haram ini? Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan
aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”
“Sabar dulu, Sicu, sabar dan
tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini sampai bertelanjang bulat
dan penuh lumpur dan kenapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini
orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”
Tiba-tiba saja Cin Hai tertawa
geli. Dia menganggap tosu ini lucu dan dia merasa senang mendengar betapa Tan
Hok dipermainkan. Dia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka
hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.
“Totiang, kau seharusnya
menonton pada waktu kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau ini
adalah kerbau gila, Totiang, dia mengejarku dari malam tadi dengan maksud
membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”
“Bangsat kecil!”
Tan Hok meloncat maju dan
hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu, tetapi dengan
sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga
terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima
lagi dengan lengannya!
“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto
dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba kau ceritakan kepadaku
hal yang sesungguhnya telah terjadi.”
Diam-diam tosu ini suka sekali
melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran kenapa bocah kecil yang
membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan di seluruh tubuhnya penuh dengan
lumpur.
Dengan singkat Cin Hai lalu
menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia
dibenci. Ia sama sekali tak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang
sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan pula bahwa dia sengaja
meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong pun barang dari
gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia
lalu dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.
“Betul demikiankah, Sicu?”
tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.
“Sudahlah, kau orang tua
jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun
dan aku adalah guru silat di gedung itu. Janganlah kau mencari penyakit!” Tan
Hok membentak marah.
Giok Keng Cu berpaling kepada
Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya, kemudian bertanya sambil tertawa,
“Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”
“Bukan sering lagi, kalau ia
diberi kesempatan tentu aku akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.
“Apakah kau berani melawannya
kalau diberi kesempatan?”
“Kalau aku mempunyai
kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya
sampai benjut!”
“Anjing kecil, kau turunlah!”
Tan Hok menantang.
“Nah, kalau kau berani, kau
lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil tertawa.
Cin Hai belum mengerti benar
maksud tosu itu. Tetapi ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya, maka dia
lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai
benjol dan benjut.”
“Pukullah!” Giok Keng Cu
berkata sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar
Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu.
Mana Tan Hok mandah saja
dirinya dipukul. Dia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya
memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul lantas menjatuhkan
anak itu dari atas lengan Si tosu. Akan tetapi Giok Keng Cu menggerakkan
lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!
“Guru silat, kalau kau bisa
menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek.
Tan Hok marah sekali dan ia
lalu menyerang. Tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dan dengan
cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu lalu balas
menghantam!
Tan Hok dengan geram dan marah
lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip Houw-hiat (Terjang Masuk Gua
Harimau), sebuah serangan yang sangat hebat karena dilakukan dengan kedua
tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya
akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah!
Tetapi dengan enak dan tenang
Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat
sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa badannya terlempar ke atas melalui kepala Tan
Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan
Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan
hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, namun tangan Giok Keng
Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun
lagi.
Demikianlah, dengan
gerakan-gerakan aneh serta cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh
lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang
kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi
akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggota tubuh guru silat
yang terlatih itu keras dan kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak
terlatih.
“Totiang, tanganku sakit…,”
Cin Hai berbisik.
“Anak tolol, kau pukul daun
telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.
Benar saja, semenjak saat itu,
Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat
itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas
dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain
memang terlatih, tetapi daun telinganya tidak dapat dilatih dan terasa sekali
hingga biar pun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan
bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya!
Cin Hai merasa girang sekali
karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini dia tidak hanya
memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya
dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan isi kepala
berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!
Tan Hok sudah mendapat hajaran
hebat. Ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis
dengan tangan kirinya sambil membentak,
“Masih belum cukupkah?”
Tangkisan itu membuat Tan Hok
hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke
pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil
meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,
“Aku sudah menerima pengajaran
dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang ini dan apa pula hubungannya
dengan anak tolol ini sehingga Totiang membantunya serta tanpa segan-segan
memberi pukulan kepada siauwte.”
Pada saat itu matahari telah
mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos
tampak nyata. Pada saat mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu
memandang muka anak kecil yang ditolongnya.
“Ehh, kau?” tanyanya.
Cin Hai tersenyum mengangguk
sambil berkata, “Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?”
tanyanya.
Giok Keng Cu lalu berdongak
dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.
“Dengarlah, guru silat buruk
adat! Kau sedang berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kau
kenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam
Sam-lojin. Ada pun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”
Bukan main kagetnya Tan Hok
mendengar bahwa dia berhadapan dengan seorang dari pada Kanglam Sam-lojin yang
sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan
kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika dia mendengar
pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh
aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil berkata,
“Maafkan siauwte yang tak bisa
mengenali Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di
depan mata) bahkan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan
kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol...,” dia menahan makiannya, lalu
melanjutkan, “…anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”
Tetapi Giok Keng Cu yang
kegirangan dapat bertemu lagi dengan ‘tuan penolong’ itu, tak mempedulikan lagi
guru silat itu dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari pandang mata Tan
Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama.
Berulang-ulang kali Tan Hok
menghela napas dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua
hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan
mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi
dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja
berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini
gara-gara Cin Hai si setan kecil.
Kemudian guru silat ini pergi
ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama
seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tak
mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua
yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, ada pun Cin Hai sendiri ketika
ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.
Kwee In Liang tidak terlalu
memperdulikan peristiwa ini, akan tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan
setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa
membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, dia langsung menangis
tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali…..
********************
Giok Keng Cu berlari bagaikan
terbang cepatnya sambil memondong tubuh Cin Hai yang segera menutup mata karena
angin kencang menderu-deru di kedua telinganya. Akhirnya tosu ini membawa Cin
Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan
kuil, ia telah berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan
tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang
kubawa ini!”
Baru saja ucapan itu habis
dikatakan, dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan
tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus dan Giok Yang Cu si tinggi besar yang
brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu,
tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata
girang.
“In-kongcu (tuan penolong
muda)!”
Cin Hai segera turun dari
pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh.
“Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah
memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebetulnya aku telah
ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu ini saling
pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik.
Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng
Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh kelima ularnya yang
berbahaya dan lihai sekali. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami
yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu
sekarang Kanglam Sam-lojin sudah tidak ada lagi! Kepada Hai Kong si hwesio itu
kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin Hai mengerti
kenapa ia disebut sebagai tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata,
“Sungguh aku gembira sekali
telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak
sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong
Hosiang, aku merasa telingaku sakit lantas kugunakan sulingku untuk melawan
suara itu. Tidak tahunya suara itu sudah dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak
perlu berterima kasih kepadaku, melainkan seharusnya kepada suling ini!” Dia
lalu mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.
“Anak baik, kata-katamu betul
juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini
menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He
Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini bukan sembarangan
syair, tetapi merupakan syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab
pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabinya para penganut agama To-kauw, yang
mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti
balok. Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam. Dan bersikaplah seperti
air keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah
dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan
berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala
mempelajari segala ujar itu, dia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat
mengucapkan tanpa mengerti isi dan maksudnya.
Jangankan baru seorang
kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun tak akan mudah
begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biar pun singkat jika dipecahkan
dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin mendalam. Oleh karena
hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab
ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang
dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab
To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar
sambungan atau lanjutan dari pada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci
Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa dapat bersikap seperti air
keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar lambat laun memetik
buahnya)”
Maka terbelalaklah mata Giok
Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok
Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sejak muda sangat tekun mempelajari
ujar-ujar nabi Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala
macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan
tepatnya oleh Cin Hai, ia pun menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil
itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,
“Siancai, siancai (damai,
damai,) anak baik, anak baik!”
Sesudah cukup memuji-muji Cin
Hai, ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya siapakah
namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”
Cin Hai bermuka sedih ketika
menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah
terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu,
tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka
kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan untuk pergi saja!” Juga kepada tiga
tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang
keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.
“Tidak apa, tidak apa, Cin
Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau
kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kalau kau
menjadi murid kami bertiga?”
Girang sekali Cin Hai
mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang
tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar
biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini
menggembirakan sekali.
Kedua matanya telah bersinar
dan mukanya berseri-seri, tetapi tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada
seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhu-nya, yakni Bu Pun Su Si
Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,
“Besar sekali rasa terima
kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi
terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”
“Ehh, mengapa?” Giok Yang Cu
yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini
adatnya kaku tapi amat jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga
untuk menjadi gurumu?”
“Bukan demikian, Totiang.
Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah
cukuplah!”
“Siapa? Siapa suhu-nya itu?”
ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala,
karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Akan tetapi keangkuhannya yang menentang
segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah,
“Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa!”
Di luar dugaannya, biar pun ia
tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng
Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang
ditakutinya.
“Gurumu adalah Bu Pun Su
Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata
Giok Im Cu menyesal.
“Jadi, Sam-wi Totiang sudah kenal
kepada suhu-ku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang.
Tetapi ketiga tosu itu
menggeleng-gelengkan kepala menyatakan bahwa mereka pun tak tahu. Kemudian,
karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin
Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.
”Dan sekarang, bila kau tidak
bisa menjadi murid kami, cobalah kau mengajukan sebuah permintaan, akan kami
penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami
sehingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang
telah menolong kami.”
“Tetapi teecu tidak minta
dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan
sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tapi ialah
utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”
Kembali Giok Im Cu kagum dan
pada dugaannya tentu anak ini memang sudah paham akan ilmu batin. Padahal
sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan dia selalu menggunakan
ujar-ujar hafalan itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud
dipakai sebagai pembela diri!
“Biar pun kau tidak merasa
menghutangkan kepada kami bertiga, tetapi kami akan selalu merasa mempunyai
utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak
akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu
sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”
Ketiga tosu itu tertawa
bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering
dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa sheji (sungkan) lagi Cin Hai
lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa dia tidak berpakaian, ia
menggunakan lengan tangan dan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah
makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan teecu yang ke dua
adalah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin
bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi tiga orang tosu
itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak
ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus.
Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta
atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?
Tapi karena permintaan Cin Hai
yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka segera mencarikan pakaian. Kini
giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal
pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan
membawa seperangkat pakaian warna putih.
Pada saat dengan girang Cin
Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana mau pun jubahnya terlalu
besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang sangat kebesaran,
maka tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang
longgar dan besar itu.
Sambil tertawa-tawa ketiga
tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian
itu dapat juga dipakai, walau pun potongannya sangat kebesaran dan lengan
bajunya melompong terbuka sehingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!
Betapa pun juga Cin Hai merasa
senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu
mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang
berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?
Setelah merasa tubuhnya hangat
perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai
mengemukakan permintaannya ke tiga,
“Permintaan teecu yang ketiga,
jika Sam-wi Totiang tak keberatan teecu mohon diijinkan ikut dan belajar silat
dari Sam-wi!”
Sekali ini ketiga tosu itu
tertawa girang. Mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini
bukannya gendeng dan tolol.
“Jika begitu, sekarang juga
kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu
kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut
tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,
“Sam-wi Totiang, tadi sudah
teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin
ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”
“He?! Mana bisa? Ini tak
mungkin!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka
memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tak ingin minta
balasan dan tak ingin apa-apa? Kenapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang
permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tidak
berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa sekali
orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun tidak akan mampu
mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman
berludah, tak akan ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha! Anak baik, anak
baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak
sekarang, kau boleh ikut kami ke goa kami dan belajar silat sampai kau menjadi
bosan dan melepaskan diri sendiri!”
Tapi pada saat itu Cin Hai
sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk dia tidak tidur dan
berlari-larian hingga dia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu
yang mengajak dia berbantahan saja itu, membuat dia semakin lelah dan semakin
mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia
menjadi begitu girang dan lega sehingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan
dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
“Kasihan, anak yang baik!”
kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita berangkat.”
“Anak yang tolol!” sambil
mengomel Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang
telah mendengkur itu.
Ketiga tosu itu lalu
meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka.
Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak
menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.
Karena tidur nyenyak di dalam
pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia
telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Saat ia sadar dan membuka matanya, ia
merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat
dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia
lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa
betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat dia mengeluarkan kepalanya yang gundul
dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di
sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tidak heran bahwa hawa
demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu
itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu
menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat
orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok
Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu
memegang pundaknya.
“Jangan mendekat!” Tosu tinggi
kurus itu berbisik dengan suara yang menyatakan bahwa larangannya itu
sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan
tetapi dia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang.
Maka dia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah
seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana
putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang
hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya.
Usianya paling banyak tiga
puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama
kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia
belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan
lincah bagaikan seekor burung kepinis.
Laki-laki yang menjadi
lawannya juga aneh, karena pakaiannya bagaikan seorang siucai (pelajar sastra)
dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dan mukanya putih
agak kepucat-pucatan.
Kedua orang itu bersilat
dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat dari pada kalau orang
bertempur dengan senjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali
dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya
sekali.
Kepandaian mereka berimbang.
Tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan dua kakinya lalu bergerak bagaikan
kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan
bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak
menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau
ditangkis!
“Celaka, Totiang! Kouwnio
(Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata
sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong dia?”
Namun Giok Im Cu menekan
tangannya dan menjawab perlahan, “Ssttt! Jangan berisik, kau lihat saja!”
Memang tadinya wanita baju
hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh.
Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada
menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.
“Hi-hi-hi! Kang Ek Sian!
Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa harus mengeluarkan tendanganmu yang
terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh
Bintang) yang kau sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain
lagi, yang lebih lihai!”
Sambil menyindir-nyindir,
wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang
aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi setiap gerakannya selalu
berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba wanita itu balas
menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua
lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang luar biasa lemas sambil
mengelit serangan lawan, sekarang ia menggerakkan kedua tangannya ke belakang
dan depan. Jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya
ini adalah serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat
digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya lelaki yang dipanggil Kang
Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut, rebahlah kau!”
Tiba-tiba wanita itu berseru.
Dan benar saja, pundak Kang Ek
Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biar pun kelihatannya dilakukan
perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya
riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha hi-hi,
mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan.
Tiba-tiba perempuan aneh itu
menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia
memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, kemudian mengembangkan
hidung dan mengedikkan kepalanya.
“Baiknya tidak ada yang
lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa harus merobohkan
beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri,
tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah
wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami
Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”
Maka tertawalah wanita itu dan
kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah dia berlari turun gunung
dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang
di bawah rambutnya yang hitam, yang juga ikut berkibar-kibar tertiup angin di
belakangnya. Dipandang dari jauh, ia laksana seekor kupu-kupu besar
melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas.
“Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” dia berkata perlahan
seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang, siapakah perempuan
yang pandai menari itu?”
Giok Yang Cu tertawa mendengar
ucapan ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun
bicara tidak karuan. Kau anggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu lalu berkata sambil
menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya yang
membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang
disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaiannya ini maka dia disebut Giok-gan
Kuibo (Biang Iblis Bermata Kumala) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan
bumi.”
“Tetapi mengapa Sam-wi takut
kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih tidak,” jawab Giok
Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk
urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”
Tetapi pernyataan Cin Hai ini
membuat ketiga tosu itu teringat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah,
maka buru-buru mereka segera menghampiri. Laki-laki yang rebah terlentang dengan
wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram.
Ketika Giok Im Cu perlahan
meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam
yang cukup hebat, biar pun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka
Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok serta mengurut pundak yang
terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan
membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.
“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya
perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. “Sicu
siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”
Laki-laki itu kembali
tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian
sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan),
sungguh tidak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan
Giok Im Cu, maka orang tua itu pun maklum bahwa orang tak suka menceritakan
sebab musabab pertempurannya.
“Untung bagimu dia masih
berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” dia berkata singkat lalu
mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
“Totiang, sebenarnya sampai di
manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat dia hanyalah seorang perempuan
cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang
sungguh-sungguh tak mengerti kenapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh
tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
“Ha-ha-ha, anak tolol,
dengarlah!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai segera berjalan mendekatinya.
Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi
besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus
terang kepadanya.....
“Perempuan yang kau anggap
lemah-lembut tadi, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis
Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke
Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, menewaskan lebih
dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh
liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja sudah mendatangi
hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah
kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan
orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya
yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,” sambung Giok Keng
Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan
tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.
“Yang satu lagi siapakah itu?”
tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang
melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi adalah seorang
wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan Kuibo. Wanita ini
adalah Sumoi-nya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si
Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan ilmu
kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Suci-nya (Kakak Perempuan
Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah naik ke Bu-tong-san dan
menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan ternyata ilmu pedangnya
belum pernah dikalahkan orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian
sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat
sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan
perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya
tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali sehingga angin
dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar
dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai
terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.
Ia diam-diam berpikir bahwa di
dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu
ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal tadi ia mendengar
betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapatlah
dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Karena
itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras supaya ia pun bisa
mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang di dunia ini yang
berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang
yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan
longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar
orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka
memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan
berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan
dijahit pula. Namun dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah!
Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit!
Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”
Tiga orang tosu itu saling
pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati anak ini. Dan
untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua orang yang
mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan
dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah
mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari
cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat
liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput
bersih dan indah permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang,
dan pohon-pohon tua dan liar.
Di tengah-tengah padang rumput
itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liu, ada pun
bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut
goa yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin.
Benar-benar tempat yang indah
menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar keluar dan
mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai berdendang
tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Ada pun
burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali
berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap, akan tetapi sesudah
masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang
di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai
mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan
bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana dan pergi untuk
berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang kala
berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang
tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan, sebab itu kepandaian
mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang persilatan
Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yaitu
seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur
menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.
Giok Im Cu yang tinggi kurus
adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga
pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya akan
berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena mengandalkan tenaga
lweekang-nya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulu pun pada waktu
menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu.
Sebaliknya dari pada
suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga
luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa
sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, dia mahir sekali memainkan
pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu
pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang dikenal memiliki
gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga jika dipandang
begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab tubuhnya yang kecil
itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang rendah padanya,
karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suheng-nya!
Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan
kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini, dia
memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya sehingga
gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Walau pun Cin Hai bukan
termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun dia pun tidak
sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap sesuatu yang
disukainya. Justru ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia ingin sekali
mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering menerima pukulan serta hinaan,
keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.
Kini, ketika sekaligus dia
mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran dan berlatih
siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang
bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai
hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya, bukan
berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya, maka mereka memberi
pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi!
Mereka berganti-gantian
memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat sekali, padahal Ilmu
Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus
mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak
seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat
mengingatnya?
Selain itu, Ilmu Silat
Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang
orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan
latihan-latihan keras berhari-hari. Memang karena penolakan Cin Hai yang tidak
mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat ketiga tosu itu menjadi kurang
perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak
itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid
Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tidak berhak
melarangnya, karena dia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga
tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat berlatih dengan
baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna,
lain tosu sudah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan begitu,
maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!
Meski pun masih kecil, tetapi
ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya
dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga
ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang
cerdik juga.
Dengan diam-diam dia
mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua
jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas! Tiap kali menerima
pelajaran jurus baru, dia segera mengingat baik-baik dan malamnya pada saat
berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia segera mencatat semua gerak
tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya
tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat
dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis
dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tapi,
sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan
dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.
Melihat ketololan anak itu,
ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, akan
tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan sering memaki-maki
Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebenarnya bukan karena
Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah karena waktunya banyak dia pergunakan
untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara
rahasia.
Seperti semua anak-anak di
dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan
kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman untuk bermain-main
atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi
Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam goa dan kalau ia keluar dari
goa, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohon-pohon besar dan
binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika pada
beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan memasuki hutan yang
agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin
Hai terkejut sekali, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar. Tetapi
anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada.
Sambil mengeluarkan gerengan
hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai sudah mempelajari
jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya terkaman harimau itu,
otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki atau Monyet Tua
Meloncati Cabang sehingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil
berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi terdengar auman
keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biar pun matanya tak melihat,
akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat
telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit
sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, pada saat harimau itu
lewat di sampingnya, ia lalu memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah
lambung harimau!
Namun apakah artinya pukulan
tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun?
Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak
tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!
Cin Hai benar-benar terdesak
dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk
bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa biar pun baru
mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia telah dapat
bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Apa bila ia tidak
memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa
binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat
akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah
seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja
memuji-mujinya sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam kepandaian loncat
tinggi kepadanya!
Ilmu loncat ini merupakan
pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng Kang-hu yang
jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk meloncat jauh
sambil menggunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya
seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran pada bagian
loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik ke
Langit).
Demikianlah, sesudah teringat
dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya
dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang
memiliki cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu
meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah
tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang
pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah dipelajarinya
itu!
Ia berhasil dan tubuhnya
melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri
pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali dia berbuat
demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba saja
si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat
pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras!
Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak
memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.
Anak itu dengan hati geli dan
senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta meludahinya dan
melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di atas pohon-pohon!
Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan suara keras sekali
untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya
binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil
kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung
kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu lalu membuang
air kencing di atas kepala harimau itu!
Entah karena jengkel dan kesal
menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan
setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi
meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tak berani segera
turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia
menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari
pulang ke goa. Semenjak pengalamannya itu Cin Hai tahu akan manfaat
kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi
meninggalkan goa terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia
ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai
lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa lalu meniup
sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling.
Selama berdiam di goa itu
sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu
timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang
dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika dia sedang asyik meniup
suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin
membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita
berpakaian serba merah. Dia berdiri di depan goa, tidak jauh dari tempat Cin
Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak.
Cin Hai juga melihat
kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama
sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing.
Wanita itu adalah seorang
gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar
biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut
yang sangat manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna
merah. Pakaiannya serba merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang
indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya
tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar dengan penuh
perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan
lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng,
memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu bersuling, maka
dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama makin merdu dan
merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu
berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis
itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai
menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda itu terlihat kecewa
dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi
beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan
merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika
disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil
orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak itu marah, Dara
Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan
seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di
tengah-tengah hutan liar seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini
melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara kecil, kalau kau
memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah
hwesio?”
Baru kali ini Cin Hai merasa
tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku gundul
kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau cantik juga cantikmu
sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”
Walau pun kata-kata Cin Hai
itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak
marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai
jungkir balik kalau saja dia sudah dewasa. Namun senyum nona itu hanya membuat
Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan
tidak mudah marah.
“Engko cilik, apa bila aku
berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi
sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal saja kau suka
menari menurut lagu sulingku.”
Mendadak gadis itu meloncat
bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu bahwa aku pandai
menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan
menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku,
seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”
Maka tertawalah Gadis Baju
Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan menari untukmu.”
Cin Hai merasa girang sekali.
Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga pakaiannya yang putih
dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang goa hitam gelap
itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju Merah yang cantik itu
melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Sambil menyuling Cin Hai memandang
gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya
halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di
tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah
sekali!
Dara Baju Merah itu memulai
tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher
yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin
lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan pada saat
Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu
lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang berwarna putih
dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan
setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling,
barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang
luar biasa dan indah itu.
“Hebat sekali permainan
sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
“Lebih hebat adalah tarianmu!”
Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang lebar.
“Kau menyukai tarianku?” tanya
gadis itu.
“Suka sekali, dan tentu jauh
lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin Hai cepat-cepat dan
sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. “Engko
kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai menjawab sambil
tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku
Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu untuk beberapa lama
menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan besar, kemudian ke arah
pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, dia lalu menganggukkan
kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau kelihatan tolol
dan bodoh!”
Cin Hai mengangguk-angkuk dan
berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan tolol, pula buruk
rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar
kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”
Si Nona Baju Merah mengerutkan
alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Bukankah sebelum pintar harus
bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan
kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir dengan keburukan?
Lihat saja cahaya matahari berganti malam yang gelap lagi buruk. Lihat saja
kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah
nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”
“Stop segala omongan ini!”
Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah
menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara seperti pendeta,
dari siapakah kau mempelajari semua ini?”
Cin Hai tertawa. “Dari
ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau ini benar-benar
murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai cepat-cepat
menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai pakaian…” dia
menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya ada satu yang
terpaksa kupakai.”
Dara Baju Merah itu tertawa
geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak berseri-seri,
karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.
“Engko gundul, kau sebenarnya
tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa oleh orang tua
yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi mereka itu
suhu-suhu-mu?”
Cin Hai cepat menggeleng
kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku
pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”
Nona itu meloncat dengan amat
kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”
Cin Hai menghela napas. “Semua
orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau
sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”
Gadis itu tersenyum pula. “Kau
betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita
bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar
menyuling.”
Cin Hai mengangkat mukanya dan
memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah
yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa
orang hendak memberi pelajaran menari padanya.
“Boleh, boleh!” katanya.
“Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil tersenyum gadis itu
menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai lah yang terkejut
dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, “Mengapa?
Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”
“Tidak, tidak!” Cin Hai
cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mukamu halus dan
cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak takut kepada Ang I
Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak takut kepada Ang I
Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau begitu, lekas kau
kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”
Cin Hai memandang pada wajah
yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan
muka bodoh dan berkata,
“Barang-barangku?” Ia lantas
memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya.
“Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan mata Ang I Niocu
mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau
tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi orang lain berarti
membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi sebuah ujar-ujar, “dan
aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang
gundul.
“Kalau begitu mari kita
berangkat!”
Cin Hai mengangguk.
Namun pada saat itu, dari
bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka sedemikian cepatnya
sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga
bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin
yang baru pulang dari perantauan mereka.
Melihat bahwa Cin Hai berjalan
pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Namun
Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu melambaikan tangan sebagai salam
berpisah! Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar.
Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa
loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol, kau hendak
minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara
mengguntur.
“Ji-totiang, teecu hendak
pergi belajar menari!”
“Apa? Belajar menari? Kepada
siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya dengan heran.
“Belajar kepada Nona ini, dia
pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah
begitu, Nona?”
Ang I Niocu hanya tersenyum
manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I
Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu
lalu berkata dengan hati-hati.
“Kami bertiga pernah mendengar
nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”
“Sam-wi Totiang, kalian memang
mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I Niocu.”
Kalau dilihat sungguh
mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu, tiga tokoh
kang-ouw yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak terkejut dan
dari jauh mereka mengangkat tangan memberi hormat.
“Sungguh pinto merasa
terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah keperluan yang
membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”
Ang I Niocu tersenyum dan
wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias
sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil memandang ke
langit.
Berkawan sebatang pedang,
Menjelajah ribuan li tanah dan
air
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan
hati.
Kau masih bertanya maksud
keperluan?
Tanyalah kepada burung di
puncak pohon,
Terbang ke sini berkehendak
apa?
“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai
bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan
lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk
sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,
“Totiang, seperti kukatakan
dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan
engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan
permainan suling!”
Kanglam Sam-lojin tidak senang
mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga, mereka sudah menganggap
Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian
mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang
I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan
kekerasan.
Akan tetapi, Giok Keng Cu si
pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu
tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan
bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang
bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu
telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda
yang masih hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak
memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”
Sungguh pun Ang I Niocu tampaknya
baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, akan tetapi sebetulnya
ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya sudah
menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga
ia terkenal sebagai seorang dara yang sangat berani dan dapat menyimpan
perasaannya.
Kini mendengar betapa ada
orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena walau pun
Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa dia
masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tidak
ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu
dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan.
Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang
ajar?”
“Anak tolol itu adalah murid
kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya begitu saja?
Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab,
Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Ehh, ehh, semenjak kapan
Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah
murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”
Sementara itu, Ang I Niocu
yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini melihat betapa anak
gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega
karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia
tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan
karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.
Melihat keadaan sute-nya yang
terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapa pun juga,
tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biar pun dia bukan murid kami,
tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin
kami!”
Giok Yang Cu sengaja berkata
keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sute-nya,
apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama
sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini orang-orang tua
jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa
yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak
keberatan, habis kalian mau apa?”
Kini Giok Im Cu yang menjawab
sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan
orang yang hendak menghina lawan.
“Hm, Ang I Niocu, melihat
sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah
seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak
ini, biarlah kami bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini
adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau hendak mengajak pibu (mengadu
kepandaian).
“Begini lebih bagus, tak usah
membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis
dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun
lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu
dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan
goloknya.
Melihat mereka hendak bertempur,
Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau pertandingan silat, lalu
duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut
senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apa
kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti
Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa
berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju bertiga agar gembira
kau menonton!”
Sebenarnya ketiga tosu tadi
merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat
melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju
mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai,
mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi sesudah mendengar
kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu
sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga mereka kini tidak
perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap
berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah
kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan
kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja
bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu
sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu
dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat
berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat
tertangkis oleh Ang I Niocu.
Ketiga orang tosu itu terkejut
sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini. Mereka
kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan
ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu
dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah
gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah
keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan
senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka
dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak
sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari tiga penjuru, karena
ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung
pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari
arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan
dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai yang melihat jalannya
pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat betapa tiga orang
tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi hanya merupakan tiga
bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah
lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan
gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang
sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari!
Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah
limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang
ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat karena memang
kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja hingga Ang I
Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali ada serangan lawan
yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung
pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng arahnya. Sedangkan
dengan pinjaman tenaga dan kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat ia
pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan! Juga ia melakukan
tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi sehingga setiap kali
ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa
tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata
terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya menonton pertempuran
luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari
mukanya.
Pikiran anak ini terlalu
senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang
berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan
lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Hai Kong Hosiang dulu
dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat
melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Akan tetapi kini, walau pun
dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan
bibir tersenyum. Mendadak lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung
Cin Hai itu tersesat kemudian salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang
ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan
marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu.
Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari
di depan goa. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi
nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya, meniup lagu yang merdu dan
bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar
suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja gerakan pedangnya
berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada
meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga
sebentar saja orang dan pedangnya lenyap terganti gundukan sinar putih dan di
tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini
membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu
berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang
bersamaan sehingga ketiganya juga meloncat mundur berbarengan!
“Ang I Niocu, kau memang lihai
bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata
Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas untuk
menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung
ejekan.
“Hemm, Cin Hai, kalau kau
baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan mencapai
kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Namun Cin Hai tidak
mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa
Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih
tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, mendengar
kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan
guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin
Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat, “Betul,
betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam
diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri
belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis
mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang
memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan pergi
meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya
mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju
merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin, maka itu adalah syair
yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak memiliki tempat
tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana
ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan
kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai
juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini
tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu
benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda itu selain sangat
pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu
bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu segera
meminjam suling milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan
petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya, dengan gembira Cin
Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar
biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi pada
mulanya dia mengalami kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang anak
laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas tubuh perempuan, padahal Sian-li
Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi dengan sabar serta
telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul
ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang
yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sian-li
Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak
lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang telah dicatat dan
dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu.....
Melihat bahwa Cin Hai
mempelajari Liong-san Kun-hoat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kau pelajari
delapan puluh jurus, biar pun kau bisa mempelajari sampai tamat yaitu seratus
delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak kan mampu mengalahkan Sian-li
Kun-hoat.”
Cin Hai juga tersenyum. Dia
maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang dara itu tidak
berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap
mempelajari Liong-san Kun-hoat sampai dia hafal semua delapan puluh jurus yang
telah dicatatnya.
Sudah lima tahun Ang I Niocu
berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan
orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan
dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik,
hingga ia benci melihat orang laki-laki.
Akan tetapi perasaannya
terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian
mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga dia
tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun dia
tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi dengan sungguh hati ia hendak
menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari
oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I Niocu sangat
tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu
luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang
sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar.
Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada
kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab peninggalan Nabi
Locu yang sangat bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa
sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang
lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya yang
kadang-kadang sayu itu mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya (bibinya),
yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.
Akan tetapi bibinya terikat
kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa suka di hati
bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatang
kara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar
sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai
satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara
Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan
terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam
kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan
siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.
Ia teringat akan ujar-ujar
yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan
kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka dia
tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu mengenai kenakalan-kenakalan Kwee
Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok
yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi, pada waktu Cin
Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan
untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba
menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak
suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah.
Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling, sedangkan aku
berlatih menari.”
Ang I Niocu kembali tersenyum
dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai dengan rasa terima
kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil suling itu dan
mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya
serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari!
Memang berkat kerja sama
mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan
suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh
Cin Hai. Biar pun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah
tahun, namun dia baru saja mampu memainkan beberapa belas jurus tarian dengan
baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat!
Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li Kun-hoat itu.
Juga karena sebagian besar
dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu
saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila orang kurang
latihan tentu tidak akan sanggup menarikannya sampai lama.
Sehabis latihan, Ang I Niocu
berkata,
“Gerakan yang ke tiga dan ke
delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan
sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai
jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan.
Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup, karena gerakan-gerakan jari
itulah yang akan menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau
harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi
Bidadari, karena itu semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu.
Dalam gerakan ini jari-jari kita akan merupakan ujung-ujung sayap yang harus
digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat
penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud
gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa
sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan
dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”
Demikianlah Ang I Niocu
memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh
perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan
lihainya Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat itu, karena satu jurus saja mempunyai
pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah berlatih, mereka
beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu
menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai
menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong
dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
“Kau sungguh mujur dan
beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah,
hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah
seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak
berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat
sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena
telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang
mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya
kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek Paman Guru) sendiri!”
Cin Hai sangat terkejut
mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu? Hebat, hebat dan
tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu
muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”
Ang I Niocu menganggukkan
kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang ayahku adalah
murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk diukur sampai
berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu
telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau oleh beberapa
orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”
“Tiga gerobak emas yang mana,
milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.
“Emas sisa simpanan ahala Beng
yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang
patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat kota
Tiang-an, ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang segera
berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah
yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat mengambil
harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan bila mana
saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para
patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang
kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun
mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu
dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di
Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan
Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagai
mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin merampas
emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun
gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan
sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal
yang aneh sekali?”
“Dia orang pandai dan suka
mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”
Ang I Niocu tersenyum. “Mana
kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan
selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut kata-kata
Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian
silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan mala
petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri
adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia
ini! Dan sekarang secara tiba-tiba saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya.
Bukankah ini aneh sekali?”
“Tetapi aku tidak senang
menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.
“He, mengapa?” Ang I Niocu
bertanya.
“Entahlah, tetapi rasa hatiku,
aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar dari kakek jembel yang
aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”
Ucapan ini dikatakan dengan
hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan
hati terharu sekali.
“Berjanjilah, Niocu, kau tak
akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu mengangguk-angguk
dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah meninggalkan kau.”
Sebenarnya kurang pantas bagi
Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’ yang biar pun
artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang
kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka
Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak
dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak
peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin Hai yang pernah
mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata
lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian
sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.
Kemudian Gadis Baju Merah itu
menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah cici-ku,
yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid Ayahku.”
Tetapi Cin Hai juga tidak
mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan
menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang berusia paling
banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat
membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah, Cin Hai diajak
merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki
kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu
merantau.
Anak ini sekarang tidak gundul
lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar
dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara
rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi
kudis di kulit kepala.
Akan tetapi ketika ia hendak
mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
“Kau bukan seorang hwesio,
kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.
“Siapa yang tidak suka
memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio
kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis
yang gatal sekali di kepalaku!”
Dengan tertawa geli Ang I
Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari
sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”
Dan benar saja, setelah
mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai
dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu
saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh
subur dan hitam.
Juga Ang I Niocu mencarikan
pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah
mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan
tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu
membuat mukanya selalu nampak bodoh!
Ketika mereka tiba di kota
Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang
tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun
lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka
terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang antara
ibu dan anak atau kakak beradik.
Ketika mereka berdua berjalan
di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai
berbisik kepada Ang I Niocu.
“Niocu lihat, itulah orangnya
yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”
Ang I Niocu menoleh ke arah
toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang
berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang
sasterawan.
Tiba-tiba Ang I Niocu menarik
tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona
itu.
“Ehh, Niocu, apakah kau kenal
kepadanya?” tanyanya.
“Hai-ji, tidak salahkah kau?
Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh
Suci-ku?”
“Benar, benar dia. Mana aku
bisa salah lihat?”
Ang I Niocu meremas-remas
tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan! Kasihan
Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”
Melihat kegelisahan Ang I
Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan
ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan
kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak
akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.
Tiba-tiba Ang I Niocu memegang
tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”
Tanpa menjawab Cin Hai
mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi.
Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah
seorang berpakaian pelayan.
Melihat yang datang adalah
seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan
sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.
“Aku hendak bertemu dengan
majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.
“Apakah Nona maksudkan hendak
berjumpa dengan Kang-taihiap?”
Ang I Niocu agak tercengang
mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap Kang
Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai
seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut
Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.
“Silakan menanti sebentar,
Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”
Pelayan itu masuk ke dalam dan
tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan bahwa
Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa
ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai
juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai
toko itu.
Ternyata rumah itu besar juga
dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari pada
bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua
yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil
panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang anak laki-laki sebaya Cin Hai turut
pula menyambut.
Laki-laki berkumis panjang itu
bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan
mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai
dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai
telah merasa tidak senang kepada mereka ini.
Akan tetapi, dengan senyum
manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
“Maafkan kalau kedatangan kami
mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang
I Niocu.
“Orang she Kang adalah aku
sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.
“Tuan salah sangka. Aku hendak
bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.
Tuan rumah itu memandang tajam
dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan
gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia
tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir
sama dengan wajah Kang Ek Sian.
“Oo, kau mencari Kang Ek Sian?
Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”
Ang I Niocu yang tadi hanya
menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam menyambar
wajah orang itu dan ia berkata,
“Ahh, tidak tahunya aku yang
bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”
Mendengar pujian ini Kang Bok
Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan.
Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu
yang terkenal bukan?”
Melihat sikap orang yang biar
pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang
memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.
Namun walau pun tak kurang
gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata,
“Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah
dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”
“Ahh, mengapa terburu-buru
benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”
Kang Bok Sian dan anak
laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali.
Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan
mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!
“Lihiap, silakan duduk!” kata
Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci
air teh.
Namun ketika Kang Bok Sian
menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau
arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok
Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun
mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok
Sian berkata,
“Ang I Lihiap, untuk
menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”
Tapi Ang I Niocu
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas
penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk
menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”
Tiba-tiba saja muka Kang Bok
Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada
Adikku?”
Ang I Niocu memandang heran.
“Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”
Kang Bok Sian tiba-tiba
tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak
kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati
dalam tangan Suci-mu?”
Sekarang mengertilah Ang I
Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,
“Harap kau tidak salah paham.
Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan
Suci-ku.”
Untuk beberapa lama kedua
orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi
sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”
Ia sendiri menenggak habis
secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam
diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,
”He, anak muda, apakah kau
tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak
mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”
Mendengar ini anak laki-laki
yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat cawan lalu
mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”
Terpaksa Cin Hai memegang
cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga
tidak mau minum!
“Ang I Niocu, apakah
benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan
arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.
Lalu tiba-tiba ia melontarkan
cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh!
Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di
situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua
tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.
“Beginikah caranya menghormat
tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.
Dia mengangkat tubuhnya hingga
setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang
masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun
berseru,
“Kang-taihiap, kau terimalah
kembali arakmu!”
Pertemuan tenaga yang keluar
dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama
mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama
berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan
melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!
Tuan rumah berkumis panjang
itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa
tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she
Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.
“Hai-ji, mari kita pergi!”
kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan
arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.
Sejak tadi ia bengong melihat
pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I
Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit
berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.
“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku
sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”
Tiba-tiba terasa ada sambaran
angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia
mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya
seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya
ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian
bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau saja
sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan
hancur berikut dagingnya!
Tetapi tanpa menoleh sedikit
pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”
Tiba-tiba lengan tangannya
yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu
sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian
penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih
Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.
Tetapi Dara Baju Merah ini
dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari
tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis
kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah
di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain
serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!
Bagaikan tidak terjadi sesuatu
hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai
yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih
meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai
tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan
tempat itu.
“Niocu, mengapa Kang Bok Sian
itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara
Baju Merah itu.
Ang I Niocu menghela napas
panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah sering
kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan
dan dibuat sakit hati oleh Suci-ku!”
Gadis itu kemudian mengajak
Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi.
Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba
terdengar suara orang berteriak.
“Niocu, tunggu sebentar!”
Ang I Niocu berhenti dan
memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari
cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan
matanya bersinar gembira.
“Ahh, Niocu. Sayang sekali
kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah
saling memberi hormat.
“Tidak apa, sekarang kita kan
sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.
“Niocu, kau maafkan
banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka
hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai
merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.
“Tidak apa, Kang-twako.
Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, sebab
aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai
bentrok dengan dia?”
Kang Ek Sian menghela napas.
“Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah kepadaku
karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia
menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku
tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia lalu
menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”
Ang I Niocu menghela napas dan
memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang terlalu angkuh
dan sembrono.”
“Sudahlah, jangan kita
bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal
kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam
hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”
Ang I Niocu menggigit bibir
dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Niocu, kasihanilah aku yang
menderita bertahun-tahun karena kau!”
“Siapa yang menyuruh kau
menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal
ini!” jawab Ang I Niocu.
“Niocu, begitu kejamkah hatimu
terhadapku?”
Ang I Niocu tidak menjawab,
tetapi memandang ke tempat jauh.
“Niocu, apakah hatimu terbuat
dari pada batu karang?”
Akan tetapi Ang I Niocu tetap
tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi
warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat
Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka
perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu
memegang tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji, marilah kita pergi.”
Mereka lalu saling bergandeng
tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.
“Niocu, begitu kejamkah kau?”
terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang
Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan
mengajak Cin Hai berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan
membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.
Ang I Niocu bersikap
seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai
tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada
perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.
Biar pun dia tidak tahu akan
duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat menduga
bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah
diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan
eratnya hubungan mereka.
Ia menganggap sasterawan itu
terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu sambil
berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari
buku.
Lima macam rupa indah membuat
mata buta,
Lima macam suara merdu membuat
telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki
sejati,
memiliki keteguhan iman dan
kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima
anggota tubuhnya!
Mendengar nyanyian ini, Kang
Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak memperhatikan
anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra,
karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang
murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu
kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.
Melihat betapa Kang Ek Sian
menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka
sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran
dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,
“Sungguh tak dapat dibenarkan
sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia
memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa
hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !”
Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh
diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini adalah sebuah cerita kuno yang
terkenal di masa itu.
Mendengar ini, karena sebagai sasterawan
tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali lagi Kang Ek
Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan
tiba-tiba insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya
lemah karena memang benar dia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!
Kang Ek Sian lalu mengangkat
dada dan berkata keras,
“Terima kasih, anak muda!
Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I
Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”
Kini Ang I Niocu tiba-tiba
saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak
gemetar karena terharu,
“Kang-twako, kita saling
memaafkan dan selamat tinggal!”
Gadis ini lalu memegang tangan
Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa mengerahkan
seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.
“Hai-ji, tahukah kau bahwa
baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”
“Aku kasihan padanya, Niocu,”
jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”
Tiba-tiba Ang I Niocu
menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir
jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja
mereka telah berlari dua puluh li lebih!
Memang tadi mereka telah lari
cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar
akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya
sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.
“Hai-ji, kau berkata benar.
Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”
“Kalau begitu... mengapa
kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.
Wajah Ang I Niocu memerah.
“Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil
berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa
tertawa juga mendengar godaan ini.
“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah
tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah
mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”
Maka dengan singkat Ang I Niocu
menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang
Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena
kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.
Kiang Liat ini dijuluki
Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia
persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil,
disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat.
Sejak kematian isterinya,
Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya
menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa
untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.
Im Giok mempunyai seorang
kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka
Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai
murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya.
Gadis ini lebih tua enam tahun dari pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih
cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari pada
kepandaian Kim Lian.
Setelah dewasa, Im Giok
bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi
ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau
sasterawan muda itu dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka
berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.
Tetapi ketika Kiang Liat
mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu
menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!
Tentu saja Im Giok menjadi
sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan
penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang!
Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak
boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang
dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.
Pada saat itu, ayahnya
berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu
mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal
mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat
tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan amat
hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita
sakit jantung!
Perbuatan ayahnya yang
membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran
kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak
isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena
pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.
Tetapi kemudian ketika melihat
betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan
kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal
ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!
“Demikianlah Hai-ji, kau
mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta
di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah
yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai
berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah,
cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”
Cin Hai menjadi terharu sekali
dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan
keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa
pula matanya yang lebar menjadi basah.
“Niocu, nasibmu buruk sekali.
Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk itu...,”
katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.
Gadis Baju Merah itu memegang
tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga
buruk...”
Untuk beberapa lama keduanya
diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk
kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno
menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan
lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”
Kata-kata ini pun menyadarkan
Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan berseri
kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.
“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji.
Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”
“Niocu, tadi kau belum
bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”
“Kang Ek Sian adalah anak
murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena
dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada
waktu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai
mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Dia memang seorang
baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat
membalas perasaan hatinya itu,”
“Niocu, kiranya sudah cukup
kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan.
Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”
“Baik, coba kita berlatih
gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I Niocu
yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.
Cin Hai telah beberapa lama menerima
latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu
pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I
Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah
bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh.
Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan
pedang dengan bagus sekali.
Pada saat mereka berlatih
dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena
mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak
memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka.
Rombongan itu terdiri dari
sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang
wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari
pedang, mereka ini berhenti dan menonton.
Tiba-tiba seorang dari mereka
tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang
tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”
Cin Hai menghentikan
permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia
agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang
berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana
kaisar yang terkenal lihai dan ganas!
Ang I Niocu yang sudah
berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak
mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,
“Hai-ji, mari kita pergi dari
sini.”
Cin Hai memandang rombongan
orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah mereka itu,
karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh
bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek.
Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di
atasnya.
Sebetulnya Cin Hai ingin
mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk
pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia
mengikuti Dara Baju Merah itu.
Akan tetapi sebelum mereka
pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka
yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah
meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I
Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang dipentang lebar-lebar. Kumis
tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan
sekali.
“Ahh, Nona manis, mengapa
terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian?
Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau
sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”
Ang I Niocu memandang dengan
mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu mata
yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang
memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa
marahnya.
Dulu ketika bertemu di rumah
Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat
mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri,
pikirnya.....