Pendekar Bodoh Jilid 16-20

“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.
Pendekar Bodoh Jilid 16-20

“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.

“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali sebab tadi ia benar-benar tak bisa mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menantangnya apakah ia harus mundur? “Lagi pula kita pun hendak melewati Pai-san. Apa bila kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan ditertawakan oleh seorang kanak-kanak?”

Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!

Sesudah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun mengenai rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.

Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di sana subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air.

Sesudah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus laksana tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biar pun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu mampu menggerakkan perahu dengan lajunya, sehingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.

Mendadak terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi suara riak air.

Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang
berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!

Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dahulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin.

Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tanpa mau mempedulikan keadaan rakyat yang sangat sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.

Semenjak dahulu syair ini dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina kaisar dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apa lagi menyanyikannya, karena apa bila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tanpa ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tentulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.

“Bagus sekali syair itu, seolah-olah kulihat Tu Fu menjelma kembali,” dengan suara keras Cin Hai memuji.

Ketika itu perahu kecil tadi telah sampai di depan mereka, nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.

“Hi-hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.

“Kenal? Ia adalah sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.

Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar
untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia
yang akan merasa bahagia biar pun dalam hujan
karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?

Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku,
biarlah gubukku ini hancur lebur,
biarlah aku mati kedinginan,
aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!

Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah girang sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu.

Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan. Ketika dia memeluk Cin Hai dan kedua tangannya merangkul, Cin Hai merasa seolah-olah ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Dia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa secara diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.

Karena itu ia segera menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir saja tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.

Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya sehingga Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya, maka ia lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.

Setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri-seri dan wajah gembira, kakek nelayan itu lalu berpaling pada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka.

“Ehh, anak nakal, pemuda inikah yang kau maksudkan? Ahh, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”

Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”

Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka pun tercengang, karena sesudah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa wajah pemuda ini benar-benar tampan sekali serta sikapnya pendiam dan agung!

Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,

“Hemm, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa segera melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia.

Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jeri juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Dia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,

“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”

Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka dia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.

Pada saat melihat Kwee An berdiri bengong, Ma Hoa lalu membentak, “Tidak lekas-lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”

Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia lantas mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?”

Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan balas menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.

Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Dia tidak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi dia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, walau pun sikapnya congkak sekali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya Ma Hoa tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Hal ini bisa dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut!

Kwee An tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau dia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul kepandaiannya, tetapi karena berkali-kali Ma Hoa sengaja memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja.

Oleh karena itu, ia segera mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi dia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Suatu pertempuran yang sungguh hebat dan indah dipandang.

Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya sama-sama tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau dia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, hal itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya.

Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di sana telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula dia kemudian mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali sehingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.

Cin Hai memang pintar sekali menyuling. Pada saat suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah.

Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka dia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!

Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu sudah terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Dia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya.

Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanyalah riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu sehingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur.

Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi sungguh aneh. Kini Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran akibat tidak dapat mengalahkan pemuda itu, bahkan dia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.

“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang baru diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.

“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tidak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, ha-ha-ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.

Kwee An merasa bingung dan tak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang kala sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti!

Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula! Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagai kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.

“Bukankah mereka cocok sekali?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun tak akan mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”

Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan mengenai perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhu-nya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”

“Ahh, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti dia suka kepadamu?”

Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung banyak pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?

Agaknya kakek nelayan ini memang dapat membaca pikiran orang sebab setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”

Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhu-nya yang selalu bersikap terus terang dan jujur. Akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saja ia merasa amat malu mendengar orang berbicara tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!

“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Jika ia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”

Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh yang luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat mau pun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhu-nya, maka mereka berdua kemudian menunjukkan sikap menghormat sekali.

“Locianpwe, harap kau orang tua sudi memaafkan teecu yang bodoh ini. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam urusan perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi teecu harus minta nasehat Suhu terlebih dahulu.”

“Ehh, siapa Suhu-mu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.

“Suhu adalah Eng Yang Cu.”

“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha-ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tidak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”

“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”

Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya hingga tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

“Apa katamu?! Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”

Kini Cin Hai yang buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena dia cukup mengenal adat Kwee An yang walau pun pendiam akan tetapi keras hati dan tidak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.

“Locianpwe, sebetulnya Saudara Kwee An sama sekali tak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar sudah dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan kini sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”

Cin Hai kemudian secara singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang sangat menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa amat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.

“Jadi dua musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ahh, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,

“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya sudah maju pesat karena dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tidak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?”

Cin Hai menggelengkan kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa dia hanya dapat berenang sedikit saja.

“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat mau pun di air!”

Cin Hai serta Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong Kiam-hoat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang.

Ada pun untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan sebab kepandaian pemuda itu katanya malah telah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Oleh karena Cin Hai memang telah mempunyai lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja dia pun dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.

Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak pergi meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!

Ketika gadis itu melompat keluar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya.

Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggang serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.

Nelayan Cengeng melebarkan sepasang matanya pada waktu melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu ini hendak pergi melanjutkan perjalanan.”

Memang orang tua ini terlalu sekali. Kejujurannya yang luar biasa sehingga dia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu sudah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.

“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!”

Biar pun sangat keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhu-nya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala dia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar dia lalu melolos pedangnya dan diberikan kepada suhu-nya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil.

Nelayan Cengeng gembira, lalu dia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah, “Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”

Dengah sikap menghormat Kwee An menerima pedang itu, lalu dia mencabut pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

“Saudaraku, kau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”

Nelayan Cengeng itu memandang dengan hati heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”

Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan dua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu.

Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka sehingga tidak melihat dia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa dia menggerakkan bibirnya memanggil,

“Moi… ehh… Siocia, kau terimalah pedang ini!”

Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan dia lalu tertunduk kembali!

“Ahhh, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, engkau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”

Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Dia lalu bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...!”

Ma Hoa tidak dapat lagi menahan jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu berlari ke perahunya, segera mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.

“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekaslah kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.

Kwee An dengan mulut cemberut lantas berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”

Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat dia mampu menekan perasaannya dan berkata, “Ahhh, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”

Kwee An tidak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An sudah tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di tepi Sungai Liong-kiang itu!

Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka sampai di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu dan mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok sehingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biar pun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An.

Dari mereka inilah kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini sudah bertukar nama karena dia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang lagi diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.

Ketika Cin Hai serta Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenali dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.

Pada saat itu perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, ada pun para pemeluk agama yang berdiri di pinggir sungai sedang berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.

Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,

“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurang ajaran di sini?”

“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata dan kau masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.

Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat serta mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”

Sambil berkata demikian ia maju ke arah Kwee An. Akan tetapi pada saat itu pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,

“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.

Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,

“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”

Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa pemimpin agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.

“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya.”

Pangeran Vayami tersenyum halus akan tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain mempunyai tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini sangat berpengaruh dan cerdik.

“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu sekarang menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenagaku, bahkan dengan jiwaku sekali pun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tak mengganggunya selama dia masih berada di sini!”

Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu menggerakkan dua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Mendadak dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.

Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka dia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentunya tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Jika memang kau seorang laki-laki, maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”

Hai Kong Hosiang tadi sudah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia pun maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai dari pada Kwee An. Maka ia berkata,

“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tidak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”

“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah memiliki hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu siapa? Lihatlah mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”

Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam goa Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jeri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, karena itu tentu saja dia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.

“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup!”

“Hwesio keparat, kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.

“Ha-ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”

Cin Hai menjura pada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”

Sambil tersenyum Pangeran Vayami berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.”

Ia kemudian memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!

“Saudara An, kau lawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”

Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki ‘kera tua’! Dia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, dia segera mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.

Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya secara hebat luar biasa. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat seperti kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi sehingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka.

Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Walau pun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, akan tetapi karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Karena itu ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan sangat kuatnya, sedikit pun tak ingin memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.

Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Ternyata pendeta ini betul-betul telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng.

Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak dia kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke daerah utara, dia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu.

Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat dari pada ketika ia bertempur di dalam Goa Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya seolah-olah telah berubah menjadi seekor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali.

Walau pun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam setiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Dia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini dia dapat bergerak gesit sekali sehingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dengan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri.

Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah.

Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sudah sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang dia mengeluarkan jurus Liong-san Kiam-hoat, lalu Ngo-lian-kiam-hoat, bahkan kadang kala ia mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan Jian-coa Kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular.

Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali sehingga dia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”

“Ha-ha, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya.

Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna. Padahal sesungguhnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena dia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, dia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat pula memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jeri.

Tidak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jeri. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, dia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.

Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh racun. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini, bahkan baru keserempet sedikit saja, maka racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging kemudian meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya.

Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai sudah mencium bau yang sangat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Dia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya. Untuk mengimbangi lawan, dia menggunakan dua macam senjata pula, di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!

Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,

“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”

Melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, diam-diam Cin Hai merasa amat girang dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan sulingnya tak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan dua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.

Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san Kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa dua anak muda yang sedang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan apa bila dilawan terus akan membahayakan keselamatannya. Maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol.

Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tidak berani turut membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah sehingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Dia lalu melompat dan hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air.

Akan tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An cepat meninggalkan ketiga orang pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak.

“Jangan kau berlaku curang!”

Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan dilayangkan ke arah pakaiannya. Cepat-cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya!

Kwee An miringkan kepala dan selagi dia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya. Biar pun dia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!

Cin Hai terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat. Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,

“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!”

Akan tetapi Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tidak dapat dirobohkan, juga dirinya berada dalam keadaan bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini sudah memakan tiang besar di tengah perahu!

Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian sehingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang mengertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.

Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang. Akan tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu sudah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang.

Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa dia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya dia pernah berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin dia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu!

Dia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar. Maka, ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air.

Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur sudah lenyap dari pandangan matanya. Dia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.....

Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguh pun pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua ratus jurus.

Sungguh harus dia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah dia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apa lagi sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.

Sebenarnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi rajanya ilmu silat, karena ilmu ini membuat dia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian yang hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip.

Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya. Akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang dia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dulu dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin, atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.

Paling banyak dia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir. Dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.

Maka meski pun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik, akan tetapi juga amat sukar baginya untuk dapat menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali dia sudah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal sebab dia telah mempelajari dan mempunyai ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga lweekang hwesio ini telah cukup tinggi hingga sering kali bila suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu sambil mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu!

Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali. Dia tidak menyangka bahwa Hai Kong Hosiang juga merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apa bila pemuda ini sudah matang latihannya, tentu dia tidak akan sanggup menghadapinya lebih lama dari pada seratus jurus!

Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main!

Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar sehingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang pada tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak karena kaget, akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang sehingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam.

Dalam kemurkaannya, hwesio itu lalu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengarlah suara keras pada saat tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk pikuk, tiang yang terbakar beserta layar yang masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!

Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat, akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi dipergunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang bergantungan di tiang itu.

Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atasnya roboh ke arah dirinya! Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya sehingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar serta tebal menyelimuti tubuhnya!

Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang masih berhasil pula menyelamatkan kakinya sehingga kaki itu tidak menjadi patah walau pun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi dia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan termakan api!

Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup serta panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba saja merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia memekik-mekik.

“Tolong...! Tolong… tolonglah jiwaku...!”

Pada saat itu Cin Hai sudah berdiri di kepala perahu dan telah bersiap untuk terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Dia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar, dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang.

Tadinya ia bersiap sedia, karena jika hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri dari pada kurungan layar dan tiang!

Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!

Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, segera lenyaplah perasaan permusuhan terhadap Hai Kong Hosiang. Pada saat itu yang terlintas dalam pikirannya hanyalah ada orang yang sedang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang dimakan api? Ahh, hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi tidak tega meski pun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan pedangnya di ulu hati hwesio itu!

Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai segera melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong Hosiang, lalu dengan menggunakan sepatunya dia menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.

Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!

Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, kaki Cin Hai segera menendang pergi tiang yang menindih tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lantas mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Dia melompat ke pinggir perahu dan selagi dia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba dia merasa pundak kirinya sakit sekali dan terdengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!

Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai untuk menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah soat-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang, sedangkan Cin Hai tadi masih sempat menutup jalan darahnya walau pun sedikit terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat sehingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh.

Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya beserta Hai Kong Hosiang ke dalam air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir cepat itu.

Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang sehingga untuk beberapa saat dia gelagapan. Akan tetapi hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka dengan cepat dia dapat membalikkan diri, kemudian dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya.

Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ. Selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas.

Biar pun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan tenaga di tangan kanannya, Cin Hai dapat melancarkan pukulan hebat itu yang secara tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan oleh Cin Hai dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja, dan biar pun dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Kepala dan tubuh Cin Hai tidak kelihatan dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, ada pun tangan kirinya sudah tak berdaya sama sekali.

Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing sekali dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu.

Ada pun Cin Hai yang sudah merasa lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan yang hebat ini pun langsung menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tak merasa bahwa dia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami.

Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam salah satu tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.

Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, sesudah mendapatkan perawatan dari seorang tabib Mongol, dalam beberapa hari saja luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi.

Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi dia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran kenapa ia mendapat perawatan demikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.

Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup serta berada di tempat itu pula, dia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan dia diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang perintahnya harus ditaati karena pangeran ini merupakan calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.

“Hai Kong Bengyu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa dia sudah terkena pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi dia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”

Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia membatalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa sangat gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin.

Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar biasa jahatnya, dan yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapat semacam obat yang disebut madu merah.

Madu merah ini memang madu dari bangsa tawon langka yang terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, karena itu diam-diam dia menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai dan memperalatnya!

Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami sehingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa obat itu berguna untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali, malah luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh.

Akan tetapi dia juga merasa makin hari makin malas dan semua hal yang sudah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan ketika sudah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini!

Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Meski pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, tetapi tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya kepandaiannya serta julukannya saja yang dia masih ingat, yaitu ‘Pendekar Bodoh’!

Demikianlah, dengan cara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Hal ini tak mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami, tidak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapa pun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!

Sesudah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.

Sesudah menyeberangi sungai, rombongan ini lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang punya tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan ‘Pek-gin-ma’ atau Kuda Perak Putih yang dapat berlari seribu li dalam sehari tanpa berhenti!

Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, sehingga jubahnya yang berwarna merah darah itu kelihatan sangat mencolok. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira sekali dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung.

Memang hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah memiliki seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah nampat bodoh itu kini benar-benar terlihat bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan orang sedang duduk di atas kuda sambil bermimpi!

Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.

Pangeran ini namanya sudah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya sebagai seorang Buddha hidup, bahkan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh!

Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan satu rombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat.

Gadis-gadis bergembira ria dan menari di hadapan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah menyatakan bosan. Memang ia tak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar seperti laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.

Tiba-tiba saja, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu tampak seorang gadis lain berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.

Gadis ini tidak saja memiliki kulit yang begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan serta gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum sehingga mereka menghentikan tarian mereka dan kini hanya berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.

Tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang berseru di antara cahaya obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!”

Dia segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu. Akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,

“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!”

Ucapan ini merupakan perintah, oleh karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.

Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini sudah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya.

Sambil menari dia mengerling ke arah Cin Hai. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya untuk dipandang.

Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat pula menduga adanya bahaya yang mengancam. Apa lagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula!

Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju padanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu sehingga berani membentak Hai Kong Hosiang, dia lalu menari lebih indah pula untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!

Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari ia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apa bila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,

“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”

Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu kemudian menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.

Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain pada bibirnya yang merah.

“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”

“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”

Akan tetapi baik Pangeran Vayami mau pun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”

“Ahh, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun suka pada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombongan ini?”

“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”

Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai, akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata pula,

“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, malah hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua juga berada dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.

“Ha-ha-ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha-ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang ini.”

“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.

Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan, kemudian dengan berani sekali dia lalu memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya. Pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar menyediakan meja perjamuan dan dia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.

Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan dia pun menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.

Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai kini telah berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang ada di depannya dan sekali dia bergerak, dia sudah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.

“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau memiliki niat buruk!” tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.

“Mundur atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” bentak Ang I Niocu.

Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.

“Lekas kau perintahkan agar kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami.

Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,

“Sekarang kau panggil Cin Hai ke sini!”

Cin Hai tak akan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberi tahukan masalah ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung.

“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah.

Bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.

Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami menatap serta memandang mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam dia mengerahkan tenaga sihirnya sehingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.

Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku tak akan mengampunkan Pangeranmu ini!”

Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.

Dengan tangan kanan masih memegang pedangnya yang ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu lalu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekali tidak mau mempedulikannya dan tetap memandang pada Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah.

Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!”

Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ada pun Ang I Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.

Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,

“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”

Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu dia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi dan membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya.

Ini tidak aneh, karena dulu ketika dia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut ‘Hai-ji’ atau ‘anak Hai’ inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tidak mudah terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.

Tiba-tiba saja dia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.

“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru.

Akan tetapi Ang I Niocu segera berkata, “Hai-ji, mari kau ikut aku!”

Ternyata suara Ang I Niocu ini lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai sehingga sekarang dia benar-benar berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,

“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”

Oleh karena tadinya pemuda ini patuh sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka, ketika kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang!

Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jeri! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia tak akan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.

Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di sana dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tidak berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!

“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu.

Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang roboh pelayan yang memegang kendali dan dia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin!

Sambil mengucapkan sumpah serapah Hai Kong Hosiang lalu mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka. Akan tetapi, dengan mengebut lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.

Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen!

Ang I Niocu mencabut sapu tangannya yang lalu digulungnya merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!

“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!

Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tapi akhirnya dia menjawab juga,

“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.

Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak dia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee…..

********************

Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali pada Nona Baju Merah ini sehingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang dia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa dia dan Cin Hai telah saling mencinta.

Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam dari pada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.

Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,

“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalaskan dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau dia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh ikut, meski kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekali pun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”

Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia lalu memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak. Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.

“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu mereka, bukan? Apa lagi dengan adanya kau yang lihai, aku tidak akan takut menghadapi siapa pun juga.”

Karena bujukan-bujukan ini akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan begitulah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya untuk mempertemukan mereka kembali.

Bukankah ia mencinta pada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong oleh nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.

Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.

Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Shantung Ngo-hiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa gembira dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara juga.

Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah, pada keesokan harinya mereka melakukan pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.

Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng serta muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian seperti laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.

Beng Kong Hosiang beserta tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di Eng-hiong-koan telah mengejar ke utara, karena itu mereka merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan.

Walau pun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki. Mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.

Melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, karena itu setelah menjura dia berkata,

“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, dan berapa saja upahnya yang kau minta, tentu pinceng bayar lunas!”

Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik. Dia lalu menjawab,

“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”

Melihat sikap nelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Beng Kong Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka jangan kau banyak bertanya lagi dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”

Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka sudah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka segera bisa menduga bahwa rombongan ini tentulah sedang mengejar Cin Hai dan Kwee An yang sudah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.

“Beng Kong Hosiang, apa bila kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”

Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,

“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan para perwira kaisar? Apakah kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,

“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”

Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi. Akan tetapi di situ tak ada perahu lain dan perahu nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,

“Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?”

Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali sehingga kedua matanya keluar air mata.

“Ha-ha-ha-ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah, aku hanyalah seorang nelayan tua yang malang-melintang di sungai ini untuk mencari ikan. Aku jauh lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tak suka melihat hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio yang demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”

Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan dia segera bertanya dengan rasa heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”

“Ha-ha-ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu.

Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan Cengeng adalah orang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang gila.

Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata segera mendekat ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua, kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”

Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat sambil menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat.

Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya yang aneh sekali, yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat dari pada kayu hitam dan keras.

Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar sekali, maka sebentar saja Beng Kong Hosiang telah terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira segera membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa yang segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.

Sebenarnya Nelayan Cengeng sama sekali tidak terdesak. Akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup hebat itu, disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai, membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.

Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah bisa memilih pihaknya.

Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kau bantulah pemuda itu!”

Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!”

Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.....

Baik Beng Kong Hosiang mau pun Nelayan Cengeng telah pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini melihat ada seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan kepandaian yang demikian tinggi dan gerakannya begitu indah, segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa dia menghadapi bantuan seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak.

“Ha-ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci tubuh sehingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!

Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apa lagi kalau yang menghadapi dia belum pernah melihat dan mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan jadi semakin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja ia telah dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng, dan akhirnya dengan sebuah gerakan tipu Bidadari Menyebar Bunga ia pun berhasil melukai tangan mereka hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan cepat meloncat mundur.

Dan pada saat itu pula Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang tepat mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan sambil tertawa-tawa Nelayan Cengeng mendupak pantatnya sehingga hwesio itu menggelinding dan masuk ke dalam sungai!

“Ha-ha-ha-ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!

Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Pada saat melihat betapa pemuda yang tampan dan mempunyai ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, dara muda ini lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di tangannya!

Tadinya memang Lin Lin sudah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan kepadanya, sekarang kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya semakin lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.

Sebaliknya, ketika melihat seorang gadis manis menyerbu untuk membantunya, Ma Hoa menjadi girang sekali dan sekarang timbul semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring sedangkan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!

“Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dan mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus.

Mendengar ini, Lin Lin merasa kaget dan marah karena ia menganggap bahwa ‘pemuda’ ini sungguh kurang ajar sehingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.

Sementara itu, ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan bahkan dilemparkan ke dalam sungai, para perwira menjadi takut dan jeri. Mereka lantas membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, malah yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.

“Ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!” nelayan tua itu berseru keras dengan tertawa geli sampai sepasang matanya mengeluarkan air mata.

Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!”

Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”

Sementara itu, melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam serta mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”

Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,

“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”

Lin Lin menjadi semakin terheran dan marah pada saat melihat ‘pemuda’ itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa ‘pemuda’ ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita!

Selagi ia berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba saja Nelayan Cengeng juga tertawa dan berkata,

“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul! Ha-ha-ha!”

“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi semakin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa.

Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut ‘pemuda’ itu, sambil tersenyum mendadak Ang I Niocu yang bermata tajam berkata kepadanya,

“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat menduganya?”

Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam. sedangkan Ma Hoa segera melepaskan kopiahnya sehingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini ‘pemuda’ itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis padanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.

“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.

“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang mengira engkau bukan seorang pemuda asli? Namaku adalah Kwee Lin.”

Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Ehh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda yang bernama... Kwee An?”

Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apa engkau telah bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!”

“Ha-ha-ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang kau bantu itu merupakan calon Soso-mu (Kakak iparmu) sendiri!”

Lin Lin tercengang dan cepat-cepat memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”

Ma Hoa tidak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan dia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali.

“Ahh, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Ehh, calon enso-ku yang baik, sekarang beri tahukanlah kepadaku, di mana adanya calon suamimu itu?”

Ma Hoa mengerling sambil cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”

Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An pernah berada di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.

Nelayan Cengeng segera menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa dua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.

Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, mau pun Ang I Niocu dan Lin Lin sudah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini sedang bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!

Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi dia malu untuk menyatakan hal ini dan pula dia khawatir kalau-kalau dia dikenali oleh para perwira sehingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.

Setelah semua orang pergi dari situ, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!

Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak dua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!

Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi, dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepatnya sehingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan sesudah dekat ternyata bahwa kedua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dengan sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.

Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang di samping cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Saat ia mendengar bahwa semua teman-temannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang membalaskan dendam keluarga Kwee, dia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi suhu-nya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan amat pandai Boan Sip dapat membujuk suhu-nya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya.

Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Ketika melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tidak disangka-sangkanya dia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.

“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya.

Boan Sip tertawa besar, lantas menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka sudah bertempur dengan seru dan hebat.

Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Dia berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi.

Sebaliknya, melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain dari pada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa kagum dan membentak,

“Nona yang gagah, siapakah namamu?”

Akan tetapi, Ang I Niocu mana sudi memberi tahukan namanya? Dan sambil menyerang terus dia pun berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”

Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”

Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa dia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kau perlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”

Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong.

Akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu menggigit bibir, kemudian memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.

Sebaliknya, biar pun telah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip semakin rapat mengurung dirinya sehingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!

Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi semakin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangan kanannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.

Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan pedang lawan! Dia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan Sip sehingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!

Boan Sip tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!”

Dia mengangkat pedangnya ke atas. Akan tetapi ketika dia memandang wajah Lin Lin, perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Dia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!

“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya sehingga Ang I Niocu terpaksa melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut.

Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga dia dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,

“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu lagi!”

Ang I Niocu hendak mengejar. Akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, membuat Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkan hwesio ini dan juga tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia segera mengendurkan larinya dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu secara diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa Lin Lin.

Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi sudah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya sehingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya.

Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia kemudian tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya dia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apa lagi sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol yang setolol-tololnya. Celaka betul!

Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan main mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu adalah ‘Pendekar Bodoh’!

Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”

Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

Mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.

Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang harus dia perbuat?

“Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.

Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!

Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.

“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”

Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti ini ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.

Akan tetapi pengaruh madu merah memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi pada masa lalu!

Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat sekali!

Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan. Cin Hai berjalan di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

“Bahkan setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya.

Apa bila telinga Ang I Niocu tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya sehingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.

Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan sebuah tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.

Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.

Di tempat terbuka itu, di atas tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!

Dua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup!

Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

Orang kedua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong Hosiang!

Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang bagaikan rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.

Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau harus mengerahkan tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.

Pada saat itu, biar pun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biar pun hanya dengan gerakan pelan saja, tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!

Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,

“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.

Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini.

Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!

Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!

Pada waktu Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh pun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan.

Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya yang luar biasa itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supek-nya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya sehingga telah gagu tidak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.

Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak dapat berbicara lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin memiliki tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah dia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.

Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.

Tak terdengar suara tangan atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya, sudah naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi kedua orang muda yang tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

Tiba-tiba saja terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau sudah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!”

Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan.

Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya setiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin!

Akhirnya, sesudah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu kemudian melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.

Cin Hai berlutut lagi di depan suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha-ha-ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”

Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari sampai ke neraka sekali pun!”

Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Sesudah suhu-nya pergi, kini mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,

“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,

‘Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!’

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik…..

********************
Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biar pun Boan Sip mempergunakan ilmu lari cepatnya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia telah dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.

Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena kau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini sudah kau tawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama kau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawani dirinya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka dia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dalam keadaan tak berdaya untuk melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga dia tak dapat mempergunakan tenaganya!

Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata sehingga apa bila kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia tak akan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersemedhi di dalam kamarnya, dapat mendengar adanya desir angin yang lain dari pada desir angin biasa. Selagi dia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,

“Bo Lang! Percuma saja engkau bersemedhi apa bila perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”

Bo Lang Hwesio merasa terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang demikian tinggi ilmu ginkang-nya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Selama ini belum pernah dia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biar pun sedang dalam semedhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan yang tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio.

Akan tetapi orang di atas genteng terkekeh-kekeh dan menjawab, “Bo Lang Hwesio, aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”

Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba saja dia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.

Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ahh... Bu Pun Su! Apa kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau kembali hendak mengganggu pinceng?”

“Ha-ha-ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san karena kau ingin merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau sudah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tetapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”

“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan, kami perlakukan dia baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!”

“Ha-ha-ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik, aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio.

Dia lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya sehingga biar pun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

“Bagus, lweekang-mu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang segera mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka.

Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio, dan untuk menilai kehebatan pukulan ini bisa diukur dari suara genteng pecah. Ternyata pukulan yang tidak mengenai sasaran ini menyebabkan genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.

Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat dari pada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tidak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tidak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi, oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat sehingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seakan-akan berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan.

Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir. Akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai pada puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri.

Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jeri dan berseru,

“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”

Setelah berseru demikian, dengan cepat sekali Bo Lang Hwesio lalu lompat ke belakang dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin. Pada saat ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.

Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu sejak tadi jiwanya telah melayang. Ia menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia pun tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja agar kakek itu tak akan mencelakakan Boan Sip.

Akan tetapi, tidak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biar pun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”

“Hmm, kalau begitu kau bersumpah!”

Mendengar bahwa dia benar-benar tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio menjadi marah sekali, akan tetapi dia tidak berdaya untuk membantah, apa lagi dia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka dia lalu merangkapkan kedua tangan di dada dan mengucap sumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul, biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”

“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

“Bu Pun Su, lain kali pasti akan kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak berbohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!

Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu.

Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Salah seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa dia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat dari pada kain berbulu yang indah.

“Eh, ehh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

“Yo-suhu (nama aslinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang, akan tetapi ia segera memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.

“Heran sekali, siapa adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.

“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri kini tengah mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

“Ah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”

Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang yang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”

Kemudian Yousuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu itu dan yang sekarang tangannya sudah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,

“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi berhasil kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang padanya.”

Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang Suhu-mu berkata benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu segera menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Lin Lin. Sekali dia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!

Boan Sip terkejut sekali oleh karena dia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas dari pada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.

“Yo-suhu, kalau dia dilepas, dia berbahaya sekali!”

Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.

Sebaliknya, ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya sudah bebas, Lin Lin merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat mulur sehingga tak mudah untuk diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas!

Ia tidak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekali pun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan mudah!

Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali terhadap Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,

“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!”

Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan pada saat Boan Sip hendak menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini.

Akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pada pergelangan tangan yang melakukan pukulan sehingga sekarang menjadi gagal. Pada saat ia hendak melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangannya, tiba-tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang dipegangnya sehingga tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!

“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau sedang berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”

Ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, Lin Lin maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apa lagi pada saat mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Sebaliknya, Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak,

“Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju menyerang Lin Lin dengan muka buas!

Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah. Dengan cepat dia dapat mengelak, bahkan balas menyerang dengan kepalan tangannya.

“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf.

Akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah lepas dari pegangan perwira itu dan ternyata gagangnya sudah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.

“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.

“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?”

Suara orang Turki ini sekarang terdengar sangat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang asing yang aneh dan lihai ini. Maka, oleh karena ia memang merasa lelah sekali, ia segera masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!

Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasehat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala tunduk.

Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang sudah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Sebenarnya dia masih seorang bangsawan keturunan pangeran, dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang bisa dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang.

Di antara para perwira yang telah mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini memiliki tujuan tertentu, yaitu ingin menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.

Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu sudah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf, bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, sehingga bukan tak disengaja bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya.

Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.

Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu lalu meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.

“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka jangan sampai urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini lebih berkuasa dari pada engkau, maka engkau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”

Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akan kelihaian dan kekuasaan Yousuf, maka dia tidak berani membantah.

“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik kalau dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?

Yousuf menggelengkan kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahu ini, dan yang lebih penting lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat ada seorang asing di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apa lagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”

“Nah, kenapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.

Kembali Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan mempergunakan tangan kirinya untuk membikin beres sorbannya yang terbuat dari pada kain kuning.

“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap orang-orang wanita!”

Boan Sip mengangguk-angguk maklum. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa orang Turki yang cerdik ini sebenarnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf hanya merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!

Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat sambil membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam bilik perahu. Makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.

Tiba-tiba para penumpang perahu itu merasa terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip lalu memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung.

Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu! Bagaimana Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendadak dapat muncul di sungai itu? Ini adalah akibat dari pada mala petaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar.

Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, yaitu suheng dari Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira berhasil mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa ‘pemuda itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap Garuda!’

Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan mereka semua kemudian dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat! Untung sekali bahwa Ma Hoa masih dapat melarikan diri.

Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,

“Memang Ma Hoa adalah anakku. Aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan kerjaku yang menjadi perwira kerajaan bukan untuk menjaga keamanan rakyat, malah sebaliknya suka berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas serta mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbahagia bahwa anakku yang tunggal itu tak mengikuti jejakku yang sesat, akan tetapi betul-betul menjadi seorang pelindung rakyat yang gagah perkasa! Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang bersama Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”

Tentu saja ucapannya ini adalah keputusan terakhir dan dia beserta semua keluarganya lalu mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar mala petaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu dia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat dari pada tangis muridnya sendiri.

Mendadak Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang sering menggunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”

Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki, dan juga mereka yang dengan diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!

Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka, juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan bergabung dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke arah hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja dia menabrakkan perahunya yang kecil itu pada perahu di depannya sehingga mengejutkan para penumpang perahu di depan itu!

Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,

“Ehh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha-ha-ha-ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia langsung mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya.

Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, sehingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!

Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”

Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu, oleh karena bagian yang pecah demikian besarnya sehingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya dan sukar dibendung lagi!

“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru.

Tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!

Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seolah-olah kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu sekali. Bahkan dalam kesedihannya Ma Hoa ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.

“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya pada waktu melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.

“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhu-nya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.

Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam.

“Cici Hoa! Locianpwe!”

“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali.

Lin Lin yang sudah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!

“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.

“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”

Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!

Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum mengejek.

“Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya.

Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya sehingga dia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya.

Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip segera melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru. Lin Lin yang tidak bersenjata itu lalu menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia kemudian mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.

Sementara itu, Nelayan Cengeng telah berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini sudah datang mendekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,

“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki tubuh manusia!”

Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapa pun juga dia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.

“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!”

Yousuf melempangkan tangannya ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian dia membentak nyaring sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,

“Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”

Tiba-tiba saja suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan dia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa Yousuf benar-benar sudah mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng mengerahkan lweekang-nya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini hingga Yousuf berseru,

“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”

Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena dia paham bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka ia benar-benar sedang kemasukan setan sungai. Maka dia segera menjura dan berkata,

“Tuan, kau sangat lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”

Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.

“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Memang perwira yang sedang bertempur itu adalah kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat luar biasa, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”

“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah bahwa perwira itu sudah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang menjadi sahabat baik muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”

“Hemm, siapa yang hendak melindungi dia?” berkata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip.

Akan tetapi ketika dia menengok dan memandang ke arah pertempuran, dia menjadi terkejut sekali. Biar pun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja.

Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapa pun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Jika Boan Sip sampai kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus membantu.

Yousuf lalu membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.

“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda. Kita tua sama tua boleh main-main, apa bila memang kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau juga tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan tak akan mengganggu sedikit pun!”

Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biar pun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, karena itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekang yang tinggi ilmu kepandaiannya.

“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu kini sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main. Ketahuilah, aku bernama Yousuf dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Lekas kau minggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”

Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng bisa mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun dia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia mengijinkan orang lain menolong perwira jahat itu?

“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Kong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”

“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya tampak dihias oleh emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.

“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju.

Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa dia sedang mempergunakan ilmu ginkang-nya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan.

Melihat serangan ini, tahulah Kong Hwat Lojin bahwa kini dia berhadapan dengan orang pandai, maka ia pun lantas menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan suara bagaikan suling, sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!

Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang sangat hebat serta dahsyat, sehingga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini keduanya berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.

Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah sangat terkenal dan jarang ada jago dapat menandinginya. Akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang mempunyai silat tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikian pula Yousuf. Baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan gerakan lawan.

Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena dia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat!

Sambil bertempur, Lin Lin berkata, “Cici, kita harus bikin mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi mala petaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima kasih kepadamu apa bila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi semakin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya. Sedangkan Lin Lin juga mempergunakan dayung pada tangannya untuk menyerang kalang kabut sehingga Boan Sip makin terdesak saja.

Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan hati bingung, tiba-tiba dia menginjak sebuah batu yang bundar licin sehingga dia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

Melihat betapa musuh besarnya kini telah menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan dia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,

“Ayah, anak yang puthau (tidak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”

Kemudian dia pun menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan.

Dayung Si Nelayan Cengeng betul-betul hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi pasti, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!

Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan dia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.

Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

“Ahh, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun sangat hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,

“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”

Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Dia memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, meski pun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”

“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga air matanya kembali mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu, yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”

Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang bangsa Han memang sangat aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”

Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena lamarannya terhadap diriku ditolak oleh Ayahku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku sudah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia dapat menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”

“Hmm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”

“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Dari percakapanmu aku mendengar kalau kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, dalam hatinya telah timbul cita-cita ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya.

Memang di dalam tubuh Yousuf masih ada darah pangeran, tapi sayangnya dia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!

Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekali pun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin.

Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya.

Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang mana pun juga?

Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak dan tenggelam.”

Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, sering kali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam beberapa hari ini telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”

Yousuf memandangnya tajam sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa, beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, hendak mencari pulau ini pula.

Yousuf kaget sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”

Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”

Yousuf sudah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”

Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan dia ingin sekali melihat serta menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang sudah dikenalnya di dalam dongeng itu.....

Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui di mana adanya dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami berjumpa dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak berbicara sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau ceritakanlah, bagaimana kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”

Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya.

Lin Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”

Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak dapat lagi menahan kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,

“Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatang kara...!”

Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.

“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti Suhu-mu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”

Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!

“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.

Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.

“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan kawan-kawanku?”

Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini sehingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apa bila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik dari pada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”

Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,

“Terserah pada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”

Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali, akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,

“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”

Walau pun Nelayan Cengeng sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati.

Akan tetapi, sambil tertawa dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.

Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya.

Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke tepi hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.

“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat.

Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,

“Sudahlah, di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”

Dua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena dia sudah tak memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.

Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main. Sebelum senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut sungai dan mulai memasuki laut yang luas!

Baik kita tinggalkan lebih dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An…..

********************

Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An sudah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!

Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang banyak menonjol di permukaan air. Dia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut untuk berenang sambil mengikuti aliran air dengan cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia dapat menghindarkan diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.

Dia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali sehingga ia harus segera mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.

Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya.

Kwee An cepat berenang ke tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepian sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.

Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.

Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat dari pada belasan ekor di air oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.

Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lantas menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.

Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia melompat, dia langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan.

Akan tetapi yang datang semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang kawan-kawannya sendiri yang terluka dan makan daging mereka, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat.

Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia merasa kaki kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat bahwa seekor buaya sudah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu!

Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya. Dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.

Mendadak terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.

Kwee An melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang pada tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,

“Pemuda kurang ajar dari manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang ternakku?”

Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh karena kecuali iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai binatang ternaknya? Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.

“Aku... aku... lelah...,” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!

Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.

Walau pun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak muda, kau sudah bangun?”

Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu memasuki bilik, lalu berkata sambil tertawa, “Nah, kau makanlah dulu. Kesehatanmu pasti akan pulih lagi seperti sedia kala!”

Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya seolah-olah tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali sehingga perubahan itu tidak terlalu nampak.

Pada saat itu dia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,

“Terima kasih, Lopek. Sungguh kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan banyak-banyak terima kasih.”

Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada di dekat situ, tentu ia akan pergi mengejarnya!

“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan sedikit aku menderita kerugian!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.

Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya sehingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali, apa lagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.

Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Dia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi karena perutnya terasa lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!

Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan dia sangat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!

Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.

“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”

Kwee An tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee An berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kau pantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”

Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya. Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.

“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”

Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang-orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah engkau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh potong uang emas? Ha-ha-ha!”

“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”

“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”

Kwee An merasa terkejut dan heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?

Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”

Bukan main terkejutnya Kwee An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini, maka dia pikir untuk sementara waktu baik dia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.

“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam dan pandang mata menyelidiki.

“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.

Dia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”

Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”

“Aku adalah seorang perantau dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan dia melemparku ke dalam sungai.”

“Ha-ha-ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong tetapi kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”

Kwee An merasa dongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata,

“Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kau berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”

Hek Moko memandang Kwee An dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Engkau harus menurut segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!”

Sesudah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!

Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!

Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia karena terserang sejenis penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring.

Tentu saja kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi semakin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu menjadi sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.

Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suheng-nya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang sudah lama minggat untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan telah mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!

Sejahat-jahatnya manusia, dia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat serta kejam, akan tetapi kini sesudah bertemu kembali dengan puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali sehingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini.

Kwee An memang telah kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk waktu yang cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar pun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!

Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biar pun dia merasa girang menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas!

Akan tetapi baru satu bulan saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,

“Siauw-mo anakku, sekarang kau tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”

Kwee An menghaturkan rasa terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu akan pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”

“Bagus, bagus! Di dunia ini tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”

Kwee An terkejut, karena dia ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta ayah angkatnya ini? Dia lalu mencari akal dan berkata,

“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotorkan tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”

Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan alasan-alasannya pun pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”

Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,

“Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu.

Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih.

Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya.

Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,

“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”

Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”

Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”

Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”

Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.

“Siauw-mo, kau tidak akan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi mencari Pulau Emas! Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”

Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan di manakah letak pulau itu?” tanyanya.

Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan anak perempuannya itu, tetapi dalam keadaan mati!

Ong Hu Lin, menantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!

Pada saat Pek Moko mendengar tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia lalu menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko sangat berduka sehingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu.

Kemudian secara kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, serta oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.

Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula dia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai…..

********************

Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang mukjijat, dan sesudah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian yang telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.

Terutama sekali dia merasa gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?

Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.

“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua serangannya. Agaknya dia telah mengenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san Kun-hoat dan Ngo-lian-hoat sehingga sanggup berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat dari pada dulu.”

Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,

“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”

Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.

“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.

Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis semua serangan ini secara tepat dan sempurna.

“Kau balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.

Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.

Tentu saja perubahan atau perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui oleh Ang I Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.

“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.

Cin Hai tahu kekeliruannya, oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin.

Sekarang dia sudah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang dia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.

Memang apa bila menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan sudah matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu pernah dipelajarinya itu.

Maka, ketika menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguh pun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!

Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang bila dicari di dunia ini tidak ada keduanya orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan sampai seluruh jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun!

Akan tetapi biar pun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.

“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.

Cin Hai juga segera menahan pedangnya.

“Memang benar, Susiok-couw hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang lawan?”

Sambil tersenyum Cin Hai pun berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai menangis pun tak akan dia berikan!”

Ang I Niocu memang sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?

Apa lagi sekarang masih ada seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang yang agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Bila pemuda ini tidak mempunyai ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan dia akan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.

Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.

Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.

“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.

Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”

“Anak tolol! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?”

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti. “Niocu, tolong kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya?”

Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka jika kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat menciptakan ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik, boleh kau pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai menjadi semacam ilmu pedang yang sangat lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit supaya tidak sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”

Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tak enak kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan pula memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.

Cin Hai lalu duduk termenung dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.

Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Dia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.

Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia melihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam.

Setengah malam lebih Cin Hai tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Dia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikit pun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya memandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar