Pendekar Bodoh Jilid 16-20
“Ah, Saudara An, mengapa kau
mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak
kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.
“Siapa takut dia?” jawab Kwee
An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali sebab tadi ia benar-benar tak
bisa mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menantangnya apakah ia harus
mundur? “Lagi pula kita pun hendak melewati Pai-san. Apa bila kita tidak
menyambut tantangannya, bukankah kita akan ditertawakan oleh seorang
kanak-kanak?”
Cin Hai tersenyum dan maklum
bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang
pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!
Sesudah melakukan perjalanan
sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun mengenai rombongan Hai
Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit
Pai-san.
Pemandangan di lereng bukit
ini sungguh indah dan tanah di sana subur. Hal ini adalah karena di lereng itu
mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan
yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang
ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.
Ketika Cin Hai dan Kwee An
sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir
sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba
dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air.
Sesudah dekat, ternyata yang
duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang
tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus laksana tengkorak hidup dan berwajah
gembira. Biar pun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu
mampu menggerakkan perahu dengan lajunya, sehingga dapat dibayangkan betapa
kuat tenaganya.
Mendadak terdengar nelayan tua
itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi suara riak air.
Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging
berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor
sunyi melengang
berserakan tulang rangka sisa
korban dingin dan lapar!
Cin Hai terkesiap. Ia mengenal
syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh
pujangga Tu Fu. Pada jaman dahulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja
Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan
Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan
berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin.
Oleh karena merasa betapa
janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya
bersenang-senang belaka tanpa mau mempedulikan keadaan rakyat yang sangat
sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang
menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair
itu.
Semenjak dahulu syair ini
dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina
kaisar dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apa
lagi menyanyikannya, karena apa bila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tanpa
ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman
berat. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani
menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani
bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tentulah seorang yang luar biasa dan
berilmu tinggi.
“Bagus sekali syair itu,
seolah-olah kulihat Tu Fu menjelma kembali,” dengan suara keras Cin Hai memuji.
Ketika itu perahu kecil tadi
telah sampai di depan mereka, nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu
telah melayang berdiri di depan Cin Hai.
“Hi-hi-hi, anak muda, kau
kenal Tu Fu?” tanyanya.
“Kenal? Ia adalah sahabat
baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain
dari Tu Fu dengan suara nyaring.
Mungkinkah membangun sebuah
gedung dengan laksaan kamar
untuk memberi tempat bagi para
fakir miskin di seluruh dunia
yang akan merasa bahagia biar
pun dalam hujan
karena gedung kokoh kuat
bagaikan bukit raksasa?
Kalau saja aku dapat melihat
ini tiba-tiba muncul di depan mataku,
biarlah gubukku ini hancur
lebur,
biarlah aku mati kedinginan,
aku akan mati dengan mata
meram dan jiwa tenteram!
Nelayan itu melebarkan matanya
dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah girang sekali. Tiba-tiba dari kedua
matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan
menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu.
Kepala nelayan tua itu
mengeluarkan bau amis seperti bau ikan. Ketika dia memeluk Cin Hai dan kedua
tangannya merangkul, Cin Hai merasa seolah-olah ia ditindih oleh sebuah batu
besar yang beratnya ribuan kati. Dia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa
secara diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.
Karena itu ia segera menahan
napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia
hampir saja tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh
atau memperlihatkan kelemahannya.
Akhirnya kakek nelayan itu
melepaskan pelukannya sehingga Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin
telah keluar dari kulit mukanya, maka ia lalu menggunakan ujung lengan bajunya
untuk menyusut peluh itu.
Setelah memandang tubuh Cin
Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri-seri dan wajah gembira, kakek
nelayan itu lalu berpaling pada pemuda baju biru yang sementara itu telah
keluar dari perahu dan menghampiri mereka.
“Ehh, anak nakal, pemuda
inikah yang kau maksudkan? Ahh, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu
menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang
inilah!”
Kwee An dan Cin Hai memandang
ke arah pemuda itu. Mereka pun tercengang, karena sesudah melihat pemuda itu di
siang hari, ternyata bahwa wajah pemuda ini benar-benar tampan sekali serta
sikapnya pendiam dan agung!
Ma Hoa lalu melangkah
rnenghadapi Kwee An dan berkata,
“Hemm, ternyata kau mematuhi
janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan
kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa segera melolos pedangnya dari
pinggang dan bersiap sedia.
Kwee An berdiri bingung karena
ia merasa jeri juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Dia
berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan
nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu
memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan
dengan tertawa haha-hihi ia berkata,
“Mari, mari, sahabatku, kita
duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”
Cin Hai maklum bahwa kakek
nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka dia tidak menguatirkan
keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.
Pada saat melihat Kwee An
berdiri bengong, Ma Hoa lalu membentak, “Tidak lekas-lekas mengeluarkan
senjatamu? Apakah kau takut?”
Marahlah Kwee An melihat
kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia lantas mencabut senjatanya
dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?”
Ma Hoa lalu menyerang dengan
hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan balas
menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur seru sekali, saling
mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan
mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.
Cin Hai duduk dengan bengong
karena kagum. Dia tidak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan
tetapi dia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang
sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, walau pun
sikapnya congkak sekali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya Ma Hoa
tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Hal ini bisa dilihatnya dari
gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam
mengirim serangan maut!
Kwee An tak pantas disebut
murid Kim-san-pai yang lihai kalau dia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia
merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul
kepandaiannya, tetapi karena berkali-kali Ma Hoa sengaja memperlambat
gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini
mencoba kepandaiannya saja.
Oleh karena itu, ia segera mengeluarkan
kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga
sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi dia pun menjaga-jaga jangan
sampai melukai pemuda lawannya itu. Suatu pertempuran yang sungguh hebat dan
indah dipandang.
Bukan main girang hati Cin Hai
melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya sama-sama tidak mempunyai
keinginan mencelakakan lawan. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau
harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau dia dan Kwee
An sampai menjadi musuh nelayan ini, hal itu berarti bahwa mereka telah menanam
bibit permusuhan yang berbahaya.
Laginya, ia merasa suka sekali
kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan
tamasya alam yang indah di sana telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak
terasa pula dia kemudian mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu
memandangnya dengan senang sekali sehingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil
matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.
Cin Hai memang pintar sekali
menyuling. Pada saat suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan
kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh
nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua
orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka
lebih indah.
Kakek nelayan itu menatap
wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir
keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat
ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena
inilah, maka dia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!
Cin Hai juga dapat melihat
bahwa kedua anak muda itu sudah terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat
betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua
ratus jurus lebih! Dia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan
sulingnya.
Keadaan menjadi sunyi setelah
suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanyalah riak air. Keadaan
yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu sehingga
dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur.
Wajah kedua pemuda itu
berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi sungguh aneh. Kini Kwee An tidak mempunyai
perasaan penasaran akibat tidak dapat mengalahkan pemuda itu, bahkan dia
memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin
bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.
“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan
tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang baru
diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya
kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Cocok, sama tampan, sama
tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she
Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tidak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk
menjadi calon suami muridku, ha-ha-ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini
tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.
Kwee An merasa bingung dan tak
mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan
menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan
ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala
tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang kala sudut matanya mengerling dengan
malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti!
Hampir saja ia menempeleng
kepalanya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan
tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagai kepiting
direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.
“Bukankah mereka cocok
sekali?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan
menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun tak akan mampu menolak seorang
calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”
Cin Hai mewakili Kwee An dan
berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang
pengalaman dan pemalu sekali, dan mengenai perjodohan ini tentu saja harus ia
tanyakan dulu kepada Suhu-nya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”
“Ahh, jangan banyak upacara
lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada
Hoa-ji seperti dia suka kepadamu?”
Kwee An memandang wajah kakek
itu dengan heran. Mulutnya tak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung
banyak pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?
Agaknya kakek nelayan ini
memang dapat membaca pikiran orang sebab setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu
berkata,
“Dalam pertempuran kalian tadi
telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian
dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she
Kwee ini?”
Ma Hoa memang telah kenal
betul akan sifat suhu-nya yang selalu bersikap terus terang dan jujur. Akan
tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saja ia merasa
amat malu mendengar orang berbicara tentang perjodohan dan tentang hati suka
secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu
menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu
meninggalkan mereka!
“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah
dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu
ia telah marah dan mengamuk. Jika ia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju!
Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”
Cin Hai terkejut mendengar
nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh
yang luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan
yang menjadi ahli silat di darat mau pun di dalam air. Juga Kwee An pernah
mendengar nama ini dari suhu-nya, maka mereka berdua kemudian menunjukkan sikap
menghormat sekali.
“Locianpwe, harap kau orang
tua sudi memaafkan teecu yang bodoh ini. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin
Hai tadi, dalam urusan perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi teecu
harus minta nasehat Suhu terlebih dahulu.”
“Ehh, siapa Suhu-mu yang
beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.
“Suhu adalah Eng Yang Cu.”
“Oh, tosu dari Kim-san itu?
Ha-ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi
tidak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang
murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa
engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”
“Teecu menghaturkan banyak
terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada
waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”
Si Nelayan Cengeng yang
sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah
sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu
membanting-banting kakinya hingga tanah di mana kakinya terbanting menjadi
berlubang setengah kaki lebih!
“Apa katamu?! Kau menolak?
Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima,
kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”
Kini Cin Hai yang buru-buru
berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena dia cukup mengenal adat Kwee An yang
walau pun pendiam akan tetapi keras hati dan tidak kenal takut. Ia khawatir
kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.
“Locianpwe, sebetulnya Saudara
Kwee An sama sekali tak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena
mendapat kehormatan besar sudah dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan
tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan kini
sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan
membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar
itu.”
Cin Hai kemudian secara
singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi
oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang sangat menyedihkan ini,
tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa
amat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi
pipinya.
“Jadi dua musuh yang belum
terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ahh, Hai Kong, engkau
memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan
kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah.
Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,
“Kepandaian Hai Kong Hosiang
kabarnya sudah maju pesat karena dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat
baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tidak dapat melawannya. Mungkin kau dapat
menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai
ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam
air?”
Cin Hai menggelengkan
kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa dia hanya dapat berenang sedikit saja.
“Ah, kalau begitu, kalian
harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat
mau pun di air!”
Cin Hai serta Kwee An merasa
girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima
latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang
yang disebut Hai-liong Kiam-hoat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas
untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang.
Ada pun untuk Cin Hai, nelayan
itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan sebab
kepandaian pemuda itu katanya malah telah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka
Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Oleh karena Cin Hai memang
telah mempunyai lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka
sebentar saja dia pun dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air
bagaikan seekor ikan saja.
Tentu saja kedua pemuda itu
merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi
pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak pergi meninggalkan Nelayan Cengeng dan
melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu
mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya
dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat
muka dan menunduk kemalu-maluan!
Ketika gadis itu melompat
keluar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi
tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu.
Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah
diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya.
Bajunya berwarna merah jambon,
celananya sutera biru dan ikat pinggang serta pengikat rambutnya berwarna merah
darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di
pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang
sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan Cengeng melebarkan
sepasang matanya pada waktu melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah
bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus
muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu ini hendak pergi
melanjutkan perjalanan.”
Memang orang tua ini terlalu
sekali. Kejujurannya yang luar biasa sehingga dia menyebut Kwee An sebagai
tunangan muridnya itu sudah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu
sekali.
“Ma Hoa, kita adalah
orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap
malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!”
Biar pun sangat keras hati,
akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhu-nya yang menganggapnya sebagai
anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala dia bertindak maju. Langkahnya
lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar dia
lalu melolos pedangnya dan diberikan kepada suhu-nya tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan
terdengar menggigil.
Nelayan Cengeng gembira, lalu
dia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah, “Kwee An, terimalah pedang
ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”
Dengah sikap menghormat Kwee
An menerima pedang itu, lalu dia mencabut pedangnya sendiri dan hendak
diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang
bergirang hati, berkata,
“Saudaraku, kau tidak boleh
memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada tunanganmu!
Bukankah begitu, Locianpwe?”
Nelayan Cengeng itu memandang
dengan hati heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia
tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau
harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap
malu-malu kucing!”
Dapat dibayangkan betapa
malunya kedua anak muda itu karena godaan dua orang ini. Dengan hati
berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu.
Akan tetapi, karena dara itu
sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka sehingga tidak
melihat dia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang
diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa dia
menggerakkan bibirnya memanggil,
“Moi… ehh… Siocia, kau
terimalah pedang ini!”
Barulah Ma Hoa mengangkat
mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar
pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan dia lalu tertunduk
kembali!
“Ahhh, salah... salah...!” Cin
Hai menggoda terus. “Saudara An, engkau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa
harus memanggil koko, ini baru benar!”
Bukan main girangnya Nelayan
Cengeng itu. Dia lalu bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk
tangan. “Benar, benar...! Bagus...!”
Ma Hoa tidak dapat lagi
menahan jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan
melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu berlari ke perahunya,
segera mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa
terbahak-bahak.
“Nah, kalian pergilah,
pergilah! Cepat pergi dan lekaslah kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil
bertindak pergi.
Kwee An dengan mulut cemberut
lantas berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang
sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin
Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”
Mendengar nama ini, tiba-tiba
Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih
sekali. Akan tetapi, cepat dia mampu menekan perasaannya dan berkata, “Ahhh,
bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”
Kwee An tidak dapat menjawab,
hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya kemudian melanjutkan
perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee
An sudah tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di tepi Sungai
Liong-kiang itu!
Beberapa pekan kemudian, Cin
Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan
suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari
mereka sampai di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang
dihias mewah sekali di tengah itu.
Orang-orang Mongol dari suku
Jungar hilir mudik naik turun perahu itu dan mengangkut kantong-kantong yang
agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke
pedalaman Tiongkok sehingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biar
pun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An.
Dari mereka inilah kedua
pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol
bernama Vayami. Pangeran ini sudah bertukar nama karena dia telah memeluk Agama
Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini.
Barang-barang yang lagi diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan
dari para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.
Ketika Cin Hai serta Kwee An
sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di
atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenali dengan mudah karena jubahnya yang
berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.
Pada saat itu perahu telah
bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, ada pun para pemeluk
agama yang berdiri di pinggir sungai sedang berlutut memberi hormat yang
terakhir kepada Pangeran Vayami.
Cin Hai dan Kwee An lalu
menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat
perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata
terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,
“Dua ekor anjing rendah dari
manakah berani memperlihatkan kekurang ajaran di sini?”
“Hai Kong Hosiang, pendeta
keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata dan kau masih banyak bertingkah
lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.
Hai Kong Hosiang memandang anak
muda itu dan ia lalu teringat serta mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau masih
belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat
ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari
kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi
penasaran!”
Sambil berkata demikian ia
maju ke arah Kwee An. Akan tetapi pada saat itu pintu kamar yang terdapat di
perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan
berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang
halus,
“Hai Kong bengyu, tahan dulu!”
Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong
Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan
senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu
Pangeran Vayami sendiri.
Vayami memandang kepada Kwee
An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han
yang fasih,
“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan
yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu
ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”
Kwee An dan Cin Hai tercengang
melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya
ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa pemimpin agama ini ternyata masih
muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu
merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.
“Maafkan kami berdua yang
tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu,
kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan
tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan
kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia
adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa
dengannya.”
Pangeran Vayami tersenyum
halus akan tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai
terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain mempunyai tenaga lweekang
yang tinggi juga pangeran ini sangat berpengaruh dan cerdik.
“Jiwi-enghiong yang muda dan
gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong
Hosiang Suhu sekarang menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada
di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenagaku, bahkan dengan
jiwaku sekali pun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tak
mengganggunya selama dia masih berada di sini!”
Setelah berkata demikian,
pangeran itu lalu menggerakkan dua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali.
Mendadak dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah
merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.
Cin Hai dapat merasai
kebenaran ucapan pangeran itu, maka dia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang,
“Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu
dan tentunya tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Jika
memang kau seorang laki-laki, maka harap kau mau turun ke darat dan marilah
kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”
Hai Kong Hosiang tadi sudah
melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia pun maklum
bahwa anak muda ini jauh lebih lihai dari pada Kwee An. Maka ia berkata,
“Jangan kau mengacau dan
membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tidak pernah lari dari
musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau
tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”
“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang
palsu! Kau juga telah memiliki hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau
bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak
kecil yang meniup suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu siapa? Lihatlah
mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan
anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”
Hai Kong Hosiang terkejut. Ia
ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam goa Tengkorak
itu, maka diam-diam ia merasa agak jeri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah
seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang
bertemu tanding, karena itu tentu saja dia sama sekali tidak takut menghadapi
dua orang anak muda yang masih hijau itu.
“Bagus, kalau begitu,
kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup!”
“Hwesio keparat, kau turunlah
ke darat!” Kwee An membentak marah.
“Ha-ha! Siapa sudi menurut
perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku
belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”
Cin Hai menjura pada Pangeran
Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar
dan bertindak di sini!”
Sambil tersenyum Pangeran
Vayami berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal
diam melihat tamuku diganggu.”
Ia kemudian memberi tanda dan
kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung
Cin Hai serta Kwee An!
“Saudara An, kau lawanlah lima
boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”
Bukan main marahnya Hai Kong
Hosiang mendengar dirinya dimaki ‘kera tua’! Dia lalu berseru nyaring dan
senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang
ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, dia segera
mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima pendeta Sakya itu
bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya
secara hebat luar biasa. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya
memiliki tenaga hebat dan kuat seperti kerbau jantan, akan tetapi kepandaian
silat mereka tak seberapa tinggi sehingga Kwee An tak sampai terdesak oleh
mereka.
Akan tetapi, bagi pemuda itu
pun tak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Walau
pun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, akan tetapi karena
tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia
pasti akan celaka! Karena itu ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri
dengan sangat kuatnya, sedikit pun tak ingin memberi waktu kepada mereka untuk
dapat memukulnya.
Yang hebat adalah pertarungan
antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Ternyata pendeta ini betul-betul telah
mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh
Nelayan Cengeng.
Karena berkali-kali bertemu
dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang
lain-lain, dan semenjak dia kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta
ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk
menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke daerah utara, dia sengaja
mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari
kepandaian mereka itu.
Maka dalam pertempuran Cin Hai
kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih
hebat dari pada ketika ia bertempur di dalam Goa Tengkorak. Terutama tongkatnya
yang hebat itu, yang di dalam tangannya seolah-olah telah berubah menjadi
seekor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali.
Walau pun Cin Hai sudah dapat
menduga gerakan dalam setiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi
karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan
terpaksa berlaku hati-hati sekali. Dia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li
Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini dia dapat bergerak
gesit sekali sehingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan
lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Melihat
pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dengan Hai
Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di
depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri.
Ia kagum sekali melihat
permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang,
pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Akan tetapi betapa
herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan
silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah.
Memang untuk mengacaukan
permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sudah sengaja mencampur permainan
silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang dia mengeluarkan jurus Liong-san
Kiam-hoat, lalu Ngo-lian-kiam-hoat, bahkan kadang kala ia mengimbangi permainan
ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan Jian-coa Kiam-sut atau
Ilmu Pedang Seribu Ular.
Hai Kong Hosiang tercengang
dan heran sekali sehingga dia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan
maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”
“Ha-ha, gundul tua berbatin
kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku
mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah
berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya.
Hai Kong Hosiang hampir
berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya
dengan Ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna. Padahal
sesungguhnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja
karena dia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan
itu, dia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat pula memperbaikinya. Tentu
saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup
membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jeri.
Tidak disangkanya bahwa pemuda
ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu-ilmu silat ini
mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel
tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jeri. Namun, karena melihat
bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, dia memperkuat hatinya dan
sambil membentak keras ia menyerang lagi.
Kini tangan kirinya mencabut
keluar sebatang sabuk ular yang penuh racun. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk
ini, bahkan baru keserempet sedikit saja, maka racun ular yang mengenai kulit
dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat
meresap ke dalam daging kemudian meracuni darah hingga membahayakan jiwa
lawannya.
Baru saja sabuk ular itu
tercabut keluar, Cin Hai sudah mencium bau yang sangat amis, maka tahulah dia
akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Dia lalu menggunakan tangan
kirinya mencabut keluar sulingnya. Untuk mengimbangi lawan, dia menggunakan dua
macam senjata pula, di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri
suling bambunya!
Melihat suling ini, Hai Kong
Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai
masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan
Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu
Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,
“Anak setan, kali ini kalau
belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”
Melihat kemarahan Hai Kong
Hosiang ini, diam-diam Cin Hai merasa amat girang dan ia melayani serbuan
hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya
yang dicampur dengan gerakan sulingnya tak dikurangi kecepatannya. Kedua orang
ini bertempur mati-matian hingga bayangan dua orang ini tak tampak lagi,
tertutup oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara itu, Kwee An yang
mengamuk dengan Kim-san Kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang
pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang
cerdik ini maklum bahwa dua anak muda yang sedang mengacau di atas perahunya
adalah orang-orang tangguh dan apa bila dilawan terus akan membahayakan
keselamatannya. Maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol.
Beberapa orang pelayan yang
berkepandaian rendah dan karenanya tidak berani turut membantu lalu menurunkan
dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar
layar yang tergantung ke bawah sehingga sebentar saja api menyala hebat di atas
perahu itu. Dia lalu melompat dan hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil
yang telah dilepas ke atas air.
Akan tetapi, melihat
kecurangan pangeran ini, Kwee An cepat meninggalkan ketiga orang pengeroyoknya
dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak.
“Jangan kau berlaku curang!”
Akan tetapi, ketika ia telah
tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang
masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan dilayangkan
ke arah pakaiannya. Cepat-cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami
yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya!
Kwee An miringkan kepala dan
selagi dia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil
menendang lututnya. Biar pun dia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang
hanya di atas lututnya dan karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya
tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena
mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An
terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai terkejut sekali. Akan
tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan
hebat. Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri
melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,
“Hai Kong Bengyu, lekas kau
melompat ke sini!”
Akan tetapi Hai Kong Hosiang
mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa jika
hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tidak
dapat dirobohkan, juga dirinya berada dalam keadaan bahaya. Api di atas perahu
telah mulai membesar dan bahkan kini sudah memakan tiang besar di tengah
perahu!
Oleh karena ini, maka Cin Hai
mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian sehingga hwesio itu sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang
mengertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.
Masih terdengar beberapa kali
suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang. Akan tetapi karena hwesio itu tak dapat
ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan
arus yang besar dan kuat karena perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong
Hosiang bertempur mati-matian itu sudah hanyut ke tengah dan telah tiba di
tempat yang airnya mengalir kencang.
Kwee An yang tercebur ke dalam
air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa dia membiarkan
dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya dia pernah berlatih berenang pada
Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin dia akan mati di dalam permainan arus
amat kuat itu!
Dia tak kuasa berenang ke
pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar. Maka, ia hanya
mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu
karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air.
Sebentar saja ia terbawa
hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana
Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur sudah lenyap dari pandangan matanya. Dia
masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat
mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.....
Ilmu kepandaian Hai Kong
Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguh pun pemuda
ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat
merobohkan Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua
ratus jurus.
Sungguh harus dia akui bahwa
inilah lawan yang paling tangguh yang pernah dia jumpai, kecuali Hek Pek Moko.
Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan
Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apa lagi sabuk ular di tangan
kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.
Sebenarnya, ilmu kepandaian
yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi rajanya ilmu
silat, karena ilmu ini membuat dia dapat mengetahui semua rahasia segala macam
ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu
kepandaian yang hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain,
maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang
kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip.
Memang, daya tahannya luar
biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya. Akan
tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang
dia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dulu
dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin, atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian
Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling banyak dia hanya dapat
meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja
gerakannya kurang mahir. Dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk
menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah
mengelak atau menangkisnya.
Maka meski pun Cin Hai dapat
menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik, akan tetapi juga amat sukar baginya
untuk dapat menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan
Tarian Bidadari, beberapa kali dia sudah berhasil menghantam pundak dan lengan
Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal
sebab dia telah mempelajari dan mempunyai ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san
atau Pakaian Baju Emas. Juga lweekang hwesio ini telah cukup tinggi hingga
sering kali bila suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan
tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu sambil
mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu!
Diam-diam Cin Hai merasa kagum
sekali. Dia tidak menyangka bahwa Hai Kong Hosiang juga merasa kagum kepadanya
karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apa bila pemuda ini sudah matang
latihannya, tentu dia tidak akan sanggup menghadapinya lebih lama dari pada
seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh
permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati
mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar
dan hawanya menjadi panas bukan main!
Pada saat itu, Hai Kong
Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar sehingga sepatunya
menginjak api panas, sedangkan pedang pada tangan Cin Hai telah disabetkan
dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak karena kaget, akan
tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang sehingga papan yang terbakar
itu kena tertindih tubuhnya dan padam.
Dalam kemurkaannya, hwesio itu
lalu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengarlah
suara keras pada saat tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki
Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk pikuk,
tiang yang terbakar beserta layar yang masih menggantung di atasnya itu tumbang
menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi
ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan
berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat, akan tetapi celaka baginya.
Kakinya yang tadi dipergunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali
terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang
bergantungan di tiang itu.
Oleh karena ini, gerakannya
melompat membawa tiang itu dan layar di atasnya roboh ke arah dirinya! Dia
mencoba untuk mengelak, akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi
kakinya sehingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar serta tebal
menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san
yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang masih berhasil pula menyelamatkan kakinya
sehingga kaki itu tidak menjadi patah walau pun tertimpa tiang sebesar itu,
akan tetapi dia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar
yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan termakan api!
Hai Kong Hosiang
meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia
menjadi gugup serta panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan
membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba
saja merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya maut
berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia
memekik-mekik.
“Tolong...! Tolong… tolonglah
jiwaku...!”
Pada saat itu Cin Hai sudah
berdiri di kepala perahu dan telah bersiap untuk terjun ke air, meninggalkan
perahu yang telah terbakar itu. Dia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang
tertimpa tiang dan tertutup layar, dan ia merasa girang karena musuh besar ini
pasti akan mampus terpanggang.
Tadinya ia bersiap sedia,
karena jika hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak
mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu.
Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu
melepaskan diri dari pada kurungan layar dan tiang!
Cin Hai tersenyum, memasukkan
pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak
mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya
mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai berdiri termangu-mangu
dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, segera lenyaplah perasaan
permusuhan terhadap Hai Kong Hosiang. Pada saat itu yang terlintas dalam
pikirannya hanyalah ada orang yang sedang terancam bahaya maut dan ia kuasa
menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan
saja melihat orang dimakan api? Ahh, hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi
tidak tega meski pun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan
pedangnya di ulu hati hwesio itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin
Hai segera melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong
Hosiang, lalu dengan menggunakan sepatunya dia menginjak-injak api yang mulai
membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.
Ternyata keadaan hwesio itu
telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia
telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini
membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil
terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!
Melihat muka hwesio yang telah
menjadi hitam karena asap dan api, kaki Cin Hai segera menendang pergi tiang
yang menindih tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lantas mengangkat tubuh
Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Dia melompat ke pinggir perahu dan selagi
dia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba dia merasa pundak kirinya
sakit sekali dan terdengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong
Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai untuk
menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah soat-hong-hiat! Totokan ini
sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan
tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang, sedangkan Cin Hai tadi
masih sempat menutup jalan darahnya walau pun sedikit terlambat, maka pemuda
itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat sehingga ia merasa betapa
setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh.
Cepat Cin Hai menggunakan
tenaga terakhir untuk melempar dirinya beserta Hai Kong Hosiang ke dalam air.
Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting
di air yang mengalir cepat itu.
Hai Kong Hosiang jatuh dengan
terlentang sehingga untuk beberapa saat dia gelagapan. Akan tetapi hwesio ini
telah mempelajari ilmu di dalam air, maka dengan cepat dia dapat membalikkan
diri, kemudian dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat
serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya.
Akan tetapi Cin Hai tidak
nampak di situ. Selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba
dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan
yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin
Hai dengan hati gemas.
Biar pun sebelah tubuhnya
telah menjadi lumpuh, namun dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan tenaga di
tangan kanannya, Cin Hai dapat melancarkan pukulan hebat itu yang secara tepat
menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan oleh Cin Hai dengan
tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa hingga tenaga Cin
Hai tinggal setengah bagian saja, dan biar pun dilakukan dari dalam air namun
tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Kepala dan
tubuh Cin Hai tidak kelihatan dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul
dari dalam air, ada pun tangan kirinya sudah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan
jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya sudah melayang meninggalkan
tubuhnya, kepalanya pusing sekali dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi
ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena
Pukulan Petir Menyambar Awan itu.
Ada pun Cin Hai yang sudah
merasa lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan
balasan yang hebat ini pun langsung menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di
belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tak merasa bahwa
dia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami.
Juga Hai Kong Hosiang ditolong
oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam
salah satu tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di
daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar
biasa kuatnya, sesudah mendapatkan perawatan dari seorang tabib Mongol, dalam
beberapa hari saja luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin
Hai telah dapat disembuhkan lagi.
Juga Cin Hai telah sadar dari
pingsannya, akan tetapi dia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran
kenapa ia mendapat perawatan demikian baiknya dari Pangeran Vayami dan
diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar
dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup serta berada di tempat itu pula, dia
serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, tetapi Vayami mencegahnya. Hai
Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami
yang berpengaruh, bahkan dia diberi tugas membawa surat undangan kepada
pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang
terhormat dan yang perintahnya harus ditaati karena pangeran ini merupakan
calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong Bengyu, jangan salah
paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan
aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi
aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa dia sudah terkena
pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi dia akan menjadi alat kita
yang boleh dipercaya.”
Hai Kong Hosiang
mengangguk-angguk dan ia membatalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh
yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa sangat gembira akan muslihat
Pangeran Vayami yang cerdik dan licin.
Ternyata di daerah utara
terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar
biasa jahatnya, dan yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh penduduk
Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal
obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar
biasa terdapat semacam obat yang disebut madu merah.
Madu merah ini memang madu
dari bangsa tawon langka yang terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya
terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya
bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan dapat membuat orang
menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan
menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya
hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang
mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang
cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, karena itu diam-diam dia
menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai dan memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan
yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami sehingga dengan mudah
saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan
bahwa obat itu berguna untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar tubuh Cin Hai
menjadi kuat kembali, malah luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh.
Akan tetapi dia juga merasa
makin hari makin malas dan semua hal yang sudah terjadi berangsur-angsur
terlupa olehnya. Bahkan ketika sudah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai
Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini!
Cin Hai hanya merasa senang
luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Meski pikirannya
telah dipengaruhi obat mujijat itu, tetapi tenaga dan kepandaiannya masih ada
padanya. Hanya kepandaiannya serta julukannya saja yang dia masih ingat, yaitu
‘Pendekar Bodoh’!
Demikianlah, dengan cara keji
sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah
menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya.
Hal ini tak mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik
kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas
pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami,
tidak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapa pun juga
pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!
Sesudah tubuh Cin Hai dan Hai
Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu menuju ke
selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu
dengannya.
Sesudah menyeberangi sungai,
rombongan ini lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran Vayami
memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang punya tenaga luar biasa
dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan
‘Pek-gin-ma’ atau Kuda Perak Putih yang dapat berlari seribu li dalam sehari
tanpa berhenti!
Pangeran yang cakap ini nampak
gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, sehingga jubahnya yang berwarna
merah darah itu kelihatan sangat mencolok. Di sepanjang jalan pangeran yang
tampan ini bersikap gembira sekali dan menyambut penghormatan para rombongan
orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung.
Memang hatinya sangat gembira
dan girang karena kini ia telah memiliki seorang penjaga pribadi yang juga
menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai!
Wajah pemuda yang memang sudah nampat bodoh itu kini benar-benar terlihat bodoh
sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan orang sedang duduk di
atas kuda sambil bermimpi!
Pada suatu hari, rombongan
Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang
tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk
kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar
menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.
Pangeran ini namanya sudah
terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya sebagai seorang Buddha
hidup, bahkan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya
atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat
hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh!
Oleh karena itu, maka semua
penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak
ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka
menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan satu
rombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat.
Gadis-gadis bergembira ria dan
menari di hadapan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah
menyatakan bosan. Memang ia tak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena
gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar seperti laki-laki
dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba saja, ketika
gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di
tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu tampak seorang gadis lain
berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan
tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita
hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.
Gadis ini tidak saja memiliki
kulit yang begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai
potongan tubuh yang menggiurkan serta gerak-geriknya lemah gemulai menarik
hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka
lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis
yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum sehingga mereka menghentikan
tarian mereka dan kini hanya berdiri merupakan sederet barisan yang
bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati
tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba saja Hai Kong
Hosiang berseru di antara cahaya obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan,
“Ang I Niocu...!”
Dia segera mencabut keluar
senjatanya yang mengerikan itu. Akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya
segera mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong Bengyu, jangan
sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!”
Ucapan ini merupakan perintah,
oleh karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong
Hosiang. Karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja
sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu
adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini sudah dapat melihat Cin Hai
berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai
mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya.
Sambil menari dia mengerling
ke arah Cin Hai. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika
ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan
pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam
pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada
harganya untuk dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I
Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat pula
menduga adanya bahaya yang mengancam. Apa lagi ketika ia melihat wajah Hai Kong
Hosiang yang berada di situ pula!
Aneh pikirnya, tentu telah
terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa
sepasang mata pangeran muda itu tertuju padanya penuh kekaguman dan gairah, dan
melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu sehingga berani membentak Hai
Kong Hosiang, dia lalu menari lebih indah pula untuk membuat pangeran itu
benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang
mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari ia melihat
wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik
jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apa bila ia menjadi
tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu
bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus, bagus! Hebat sekali!
Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”
Dengan tindakan kaki yang
menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu kemudian menghampiri pangeran
itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia
dengan hati curiga.
Ang I Niocu menjura dan
memberi hormat dengan senyum manis bermain pada bibirnya yang merah.
“Nona, kau yang luar biasa ini
siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”
“Sudah kukatakan tadi, dia ini
adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini
berbahaya sekali!”
Akan tetapi baik Pangeran
Vayami mau pun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I
Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan
tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”
“Ahh, kau membawa-bawa pedang,
tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun suka pada
orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombongan ini?”
“Pangeran sungguh berbudi
mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”
Mendengar ucapan ini Hai Kong
Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk
kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai,
akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat
itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata pula,
“Hamba telah kenal dengan Hai
Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, malah hamba pernah kenal
dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua juga berada dalam rombongan Paduka?”
tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak
memperhatikan percakapan itu.
“Ha-ha-ha! Tak heran kau kenal
mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang
tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu
adalah penjagaku yang setia. Ha-ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak
perlu kita membicarakan orang-orang ini.”
“Hamba hanya menurut kehendak
Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran
Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan kedua tangan
dilambai-lambaikan, kemudian dengan berani sekali dia lalu memegang tangan Ang
I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya. Pangeran
ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar menyediakan meja perjamuan
dan dia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.
Dengan menggunakan senyum dan
kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami
untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah
pangeran itu menjadi fasih dan dia pun menceritakan sambil diseling kata-kata
memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju
Merah ini mendengar bahwa Cin Hai kini telah berada dalam pangaruh madu merah
yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang ada di depannya dan sekali dia
bergerak, dia sudah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya
di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya
gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu penjahat
perempuan! Sudah kuduga engkau memiliki niat buruk!” tiba-tiba terdengar
bentakan di luar tenda.
“Mundur atau leher pangeran
cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” bentak Ang I Niocu.
Terpaksa sambil memaki-maki
Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
“Lekas kau perintahkan agar
kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan
Pangeran Vayami.
Pangeran ini merasa kesakitan
dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda
Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu
memerintah pula,
“Sekarang kau panggil Cin Hai
ke sini!”
Cin Hai tak akan mau datang
kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberi tahukan
masalah ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar
untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan
pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung.
“Cin Hai, kau ke sini!”
Pangeran Vayami memerintah.
Bagaikan sebuah robot, pemuda
itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih
sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara itu dengan bantuan
sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami menatap serta memandang mata Cin Hai
dengan tajam dan diam-diam dia mengerahkan tenaga sihirnya sehingga pada saat
itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama
sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang
mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku tak
akan mengampunkan Pangeranmu ini!”
Terpaksa dengan mendongkol
sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil memandang
dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat
gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah
berada di bawah ancaman pedang.
Dengan tangan kanan masih
memegang pedangnya yang ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu lalu
melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk
memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekali tidak mau
mempedulikannya dan tetap memandang pada Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing
memandang kepada tuannya, siap menanti perintah.
Tiba-tiba Pangeran Vayami
berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!”
Memang ia telah mengajar Cin
Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ada pun Ang I Niocu sama sekali
tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba
Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah
tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I
Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini
hanya dapat mengeluh,
“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali, panggilan yang
dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin
Hai. Pada saat itu dia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat
dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi dan membuat ia merasa
bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya.
Ini tidak aneh, karena dulu
ketika dia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I
Niocu dan yang biasa menyebut ‘Hai-ji’ atau ‘anak Hai’ inilah yang selalu berkumandang
di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling
mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah
menggores dalam-dalam di hatinya ini tidak mudah terhapus oleh pengaruh baru
yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba saja dia melepaskan
pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus
berbuat apa.
“Cin Hai tangkaplah wanita
ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru.
Akan tetapi Ang I Niocu segera
berkata, “Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata suara Ang I Niocu ini
lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai sehingga sekarang dia benar-benar berada
di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda
itu mengikuti Ang I Niocu.
Tiba-tiba dari belakang terdengar
suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji, mari kita binasakan
hwesio binatang ini!”
Oleh karena tadinya pemuda ini
patuh sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang
Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka, ketika kini mendengar perintah Ang I
Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang!
Ang I Niocu membantu dan
terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan
dua orang ini, ia merasa jeri! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia
tak akan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh
Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih
berdiri di sana dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran
Vayami tidak berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak
berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!
“Hai-ji, kau naik di belakang
dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu
melompat ke atas kuda itu.
Cin Hai pun hanya menurut dan
naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang
roboh pelayan yang memegang kendali dan dia lalu menarik kendali kuda
Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan
tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin!
Sambil mengucapkan sumpah
serapah Hai Kong Hosiang lalu mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah
mereka. Akan tetapi, dengan mengebut lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok
ketiga batang piauw itu ke tanah.
Malam itu terang bulan dan
kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap
tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu
bagaikan perak tulen!
Ang I Niocu mencabut sapu
tangannya yang lalu digulungnya merupakan cambuk dan ia membujuk kuda
Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih
cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali
seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara
itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka
besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji... Hai-ji... kau
kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir
melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak
menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tapi akhirnya dia menjawab
juga,
“Aku Pendekar Bodoh dan kau...
kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya
ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka
Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul
di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat
mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak dia
melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee…..
********************
Semenjak Ang I Niocu datang ke
rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali pada Nona Baju Merah ini
sehingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya,
dengan terus terang dia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa dia dan
Cin Hai telah saling mencinta.
Ia menceritakan pengalamannya
dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya
semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam dari pada sebuah pedang
pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil
merangkul Ang I Niocu dan menangis,
“Cici yang baik, bayangkan
betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalaskan
dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan
keselamatannya. Bagaimana kalau dia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh
ikut, meski kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekali pun,
aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”
Ketika Lin Lin tidak mendengar
Ang I Niocu menjawab, ia lalu memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu
pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak. Lin Lin menyangka bahwa
Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik
menghibur.
“Cici, kalau engkau sudi
membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu
mereka, bukan? Apa lagi dengan adanya kau yang lihai, aku tidak akan takut
menghadapi siapa pun juga.”
Karena bujukan-bujukan ini
akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan begitulah, dengan diam-diam
mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee
An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar
sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya
untuk mempertemukan mereka kembali.
Bukankah ia mencinta pada Cin
Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong oleh nafsu, akan tetapi ia
betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang
dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis
pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah
berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu
menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung
mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia
memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia
latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota
raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang
terbunuhnya empat orang dari Shantung Ngo-hiap dan dua orang perwira lain. Lin
Lin mengucurkan air mata karena merasa gembira dan terharu. Ketika mendengar
bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum
terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta
kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara juga.
Ang I Niocu menyetujui pula
dan begitulah, pada keesokan harinya mereka melakukan pengejaran ke utara.
Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di
pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh
sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng
serta muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian
seperti laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan seorang
hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong
Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang beserta
tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di
Eng-hiong-koan telah mengejar ke utara, karena itu mereka merasa kuatir akan
keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai
Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang
berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan.
Walau pun para perwira itu
mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal
Ma Hoa yang berpakaian laki-laki. Mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah
seorang nelayan pula.
Melihat sikap nelayan yang
memandang acuh tak acuh itu, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa orang tua
itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, karena itu setelah menjura
dia berkata,
“He, kawan nelayan tua,
tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, dan berapa saja upahnya
yang kau minta, tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan Cengeng tertawa
haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik. Dia lalu
menjawab,
“Hwesio yang bercampur gaul dengan
segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah
dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”
Melihat sikap nelayan yang
sama sekali tidak menghormati mereka, Beng Kong Hosiang yang menyangka bahwa
nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka lalu
menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang
menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari
kaisar sendiri. Maka jangan kau banyak bertanya lagi dan seberangkanlah pinceng
bersama semua ciangkun ini.”
Mendengar nama ini,
terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka sudah mendengar dari Kwee
An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur
dengan kedua pemuda itu, maka mereka segera bisa menduga bahwa rombongan ini
tentulah sedang mengejar Cin Hai dan Kwee An yang sudah melanjutkan perjalanan
pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong Hosiang, apa bila
kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak
untuk menyeberangkan kalian.”
Seorang perwira yang
berangasan menjadi marah dan membentak,
“He, tua bangka! Tidak tahukah
kau bahwa kau sedang berhadapan dengan para perwira kaisar? Apakah kau ingin
mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini adalah perahuku,
dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai
perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak
menyeberang, gunakan saja lain perahu!”
Melihat sikap ini, Beng Kong
Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan.
Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi. Akan
tetapi di situ tak ada perahu lain dan perahu nelayan itu hanyalah satu-satunya
yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,
“Sahabat, mungkin karena kita
belum berkenalan, maka kau tak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui
namamu yang mulia?”
Melihat sikap pendeta ini,
tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali sehingga kedua matanya keluar air
mata.
“Ha-ha-ha-ha! Ternyata Beng
Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah, aku
hanyalah seorang nelayan tua yang malang-melintang di sungai ini untuk mencari
ikan. Aku jauh lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala
perwira tukang pukul dan aku lebih tak suka melihat hwesio-hwesio yang
bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio yang demikian ini
tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main marahnya ketujuh
perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat
mengendalikan perasaannya dan dia segera bertanya dengan rasa heran, “Apakah
kau ini Si Nelayan Cengeng?”
“Ha-ha-ha, aku tertawa atau
menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?” jawab
Nelayan Cengeng itu.
Jawaban yang tidak karuan ini
menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan
Cengeng adalah orang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang
gila.
Sementara itu, ketujuh perwira
yang telah mencabut senjata segera mendekat ke pinggir perahu dan membentak,
“Orang tua, kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami
untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”
Ma Hoa semenjak tadi menahan
marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat sambil menghunus
pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu
terkurung rapat.
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang.
Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang
dengan senjatanya yang aneh sekali, yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng
mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang
terbuat dari pada kayu hitam dan keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng
memang sangat tinggi dan tenaganya besar sekali, maka sebentar saja Beng Kong
Hosiang telah terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga
sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira segera
membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa yang segera
terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.
Sebenarnya Nelayan Cengeng
sama sekali tidak terdesak. Akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup
hebat itu, disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai, membuat ia tidak
dapat membantu muridnya yang terdesak.
Dan pada saat itulah Ang I
Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang
mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan
seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah bisa memilih pihaknya.
Ia lalu berbisik kepada Lin
Lin, “Kau bantulah pemuda itu!”
Kemudian sambil mencabut
pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat
sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya,
“Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!”
Pedang Ang I Niocu
berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.....
Baik Beng Kong Hosiang mau pun
Nelayan Cengeng telah pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini melihat ada
seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan
kepandaian yang demikian tinggi dan gerakannya begitu indah, segera mereka
dapat menduga siapa adanya gadis ini. Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan
memperkuat gerakannya karena maklum bahwa dia menghadapi bantuan seorang yang
tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha-ha, Beng Kong
Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci
tubuh sehingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata
demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!
Ilmu pedang Ang I Niocu memang
sudah hebat sekali. Apa lagi kalau yang menghadapi dia belum pernah melihat dan
mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan jadi semakin mengerikan. Baru
beberapa puluh jurus saja ia telah dapat mendesak dua orang perwira yang
mengeroyok Nelayan Cengeng, dan akhirnya dengan sebuah gerakan tipu Bidadari
Menyebar Bunga ia pun berhasil melukai tangan mereka hingga senjata mereka
berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan cepat
meloncat mundur.
Dan pada saat itu pula Nelayan
Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang tepat mengenai paha
Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan sambil tertawa-tawa Nelayan
Cengeng mendupak pantatnya sehingga hwesio itu menggelinding dan masuk ke dalam
sungai!
“Ha-ha-ha-ha, mandilah!
Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!
Lin Lin juga tidak mau tinggal
diam. Pada saat melihat betapa pemuda yang tampan dan mempunyai ilmu pedang
lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi
hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, dara muda ini lalu menyerbu
dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di tangannya!
Tadinya memang Lin Lin sudah
memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu
yang diberikan kepadanya, sekarang kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan
pedang pendeknya semakin lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan
seorang pengeroyok.
Sebaliknya, ketika melihat
seorang gadis manis menyerbu untuk membantunya, Ma Hoa menjadi girang sekali
dan sekarang timbul semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini
lalu membentak nyaring sedangkan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali
seorang perwira kena dirobohkan!
“Adikku yang manis! Terima
kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dan mengerling ke arah Lin Lin sambil
memutar pedangnya menyerang terus.
Mendengar ini, Lin Lin merasa
kaget dan marah karena ia menganggap bahwa ‘pemuda’ ini sungguh kurang ajar
sehingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.
Sementara itu, ketika melihat
datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah
dikalahkan bahkan dilemparkan ke dalam sungai, para perwira menjadi takut dan
jeri. Mereka lantas membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar
Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!
Nelayan Cengeng tertawa
terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, malah yang terluka lalu
merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.
“Ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang!
Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!” nelayan tua itu
berseru keras dengan tertawa geli sampai sepasang matanya mengeluarkan air
mata.
Mendengar nama ini, Ang I Niocu
terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe
adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang
muda!”
Kembali Nelayan Cengeng
tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu
pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”
Sementara itu, melihat betapa
Lin Lin memandangnya dengan mata tajam serta mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan
berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”
Kini Lin Lin tak dapat menahan
marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum
pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian
pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia
berkata,
“Kau janganlah membuka mulut
sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani
bertanya sembarangan saja?”
Lin Lin menjadi semakin
terheran dan marah pada saat melihat ‘pemuda’ itu tidak marah, bahkan tertawa
bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa ‘pemuda’ ini
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya
juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita!
Selagi ia berdiri memandang
dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba saja Nelayan Cengeng juga tertawa
dan berkata,
“Nona, dia ini adalah muridku
dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul!
Ha-ha-ha!”
“Suhu, jangan membikin Nona
ini menjadi semakin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya
cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa.
Lin Lin menjadi gemas sekali,
akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut ‘pemuda’
itu, sambil tersenyum mendadak Ang I Niocu yang bermata tajam berkata
kepadanya,
“Adik Lin Lin, mengapa kau
begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat
menduganya?”
Lin Lin terkejut dan memandang
dengan tajam. sedangkan Ma Hoa segera melepaskan kopiahnya sehingga rambutnya
yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini ‘pemuda’
itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa
manis padanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu
akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.
“Adikku yang manis, maafkanlah
aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku menjadi suka
sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.
“Enci, kau benar-benar nakal
sekali! Siapa yang mengira engkau bukan seorang pemuda asli? Namaku adalah Kwee
Lin.”
Sepasang mata Ma Hoa yang jeli
itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Ehh, Adik, kenalkah engkau
kepada seorang pemuda yang bernama... Kwee An?”
Lin Lin menangkap tangan Ma
Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apa engkau telah bertemu dia?
Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!”
“Ha-ha-ha!” Si Nelayan Cengeng
tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak
membantu orang lain oleh karena yang kau bantu itu merupakan calon Soso-mu
(Kakak iparmu) sendiri!”
Lin Lin tercengang dan
cepat-cepat memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan.
“Betulkah ini, Enci Hoa?”
Ma Hoa tidak dapat menjawab,
hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung di pinggangnya.
Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan dia segera memeluk Ma Hoa dengan
girang sekali.
“Ahh, benar engkau telah
menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Ehh, calon enso-ku yang baik, sekarang
beri tahukanlah kepadaku, di mana adanya calon suamimu itu?”
Ma Hoa mengerling sambil
cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku
aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”
Sementara itu, Ang I Niocu
juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An
pernah berada di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis
murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.
Nelayan Cengeng segera
menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan pertemuan
mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka
memberitahukan bahwa dua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke
utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.
Dalam kegembiraan mereka
karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, mau pun Ang I Niocu
dan Lin Lin sudah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir
sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan
kini sedang bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan
air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua
percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat
kenyataan bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang
ia kenal baik!
Ang I Niocu dan Lin Lin tidak
menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan
mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak
ikut, akan tetapi dia malu untuk menyatakan hal ini dan pula dia khawatir
kalau-kalau dia dikenali oleh para perwira sehingga kedudukan ayahnya sebagai
seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang
gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.
Setelah semua orang pergi dari
situ, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju
kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu
dan marah sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira
dan segera mengejar terus ke utara!
Pertemuan dengan Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang sekali,
oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat
jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat
mengikuti jejak dua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas
dendam kepada Hai Kong Hosiang!
Dua hari kemudian, ketika dua
orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi, dari depan
mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari
depan itu demikian cepatnya sehingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa
mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan sesudah dekat ternyata
bahwa kedua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan
seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dengan sepasang matanya
mengeluarkan sinar kejam.
Ternyata bahwa Boan Sip adalah
seorang perwira yang di samping cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Saat ia
mendengar bahwa semua teman-temannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda
yang membalaskan dendam keluarga Kwee, dia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi
suhu-nya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan amat pandai Boan Sip dapat membujuk
suhu-nya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya.
Dan kebetulan sekali, ketika
mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu
dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Ketika melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip
menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tidak
disangka-sangkanya dia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.
“Bangsat rendah, akhirnya
dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar
pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya.
Boan Sip tertawa besar, lantas
menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka sudah bertempur
dengan seru dan hebat.
Sementara itu, karena
menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu
segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju
Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung
lengan baju hwesio itu! Dia berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio
ini berkepandaian tinggi.
Sebaliknya, melihat gerakan
pedang Ang I Niocu yang lain dari pada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa
kagum dan membentak,
“Nona yang gagah, siapakah
namamu?”
Akan tetapi, Ang I Niocu mana
sudi memberi tahukan namanya? Dan sambil menyerang terus dia pun berseru,
“Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”
Boan Sip yang mendengar ini
lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu
yang sombong!”
Bo Lang Hwesio pernah
mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa dia berkata, “Bagus! Ang
I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah,
kau perlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”
Sehabis berkata demikian, Bo
Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong.
Akan tetapi setelah berkelahi
dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata
kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi
dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu menggigit bibir, kemudian memutar
pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.
Sebaliknya, biar pun telah
mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun
Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama,
pedang Boan Sip semakin rapat mengurung dirinya sehingga Lin Lin menjadi
bingung dan terdesak sekali keadaannya!
Ketika ia mengerling Ang I
Niocu, ia menjadi semakin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga
sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi
lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangan
kanannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan disambut cepat oleh
Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.
Perwira muda itu lalu
menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus
mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan
pedang lawan! Dia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan
pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan
Sip sehingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip tertawa lagi.
“Ha-ha-ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas
dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!”
Dia mengangkat pedangnya ke
atas. Akan tetapi ketika dia memandang wajah Lin Lin, perasaan cintanya yang
dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Dia lalu membungkuk dan menyambar
tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!
“Bangsat hina dina, lepaskan
adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio
mencegahnya dengan serangan berbahaya sehingga Ang I Niocu terpaksa melayani
hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan
permainan pedangnya menjadi kalut.
Setelah mendesak Ang I Niocu
dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah itu pun
amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga dia dapat merobohkan gadis
itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,
“Cukup, Ang I Niocu, sudah
cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu lagi!”
Ang I Niocu hendak mengejar.
Akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa
kepandaiannya kalah tinggi, membuat Ang I Niocu mengurungkan maksudnya
mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkan hwesio ini dan
juga tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah
menolong Lin Lin, maka ia segera mengendurkan larinya dan bermaksud untuk
mengikuti hwesio itu secara diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa
Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa
waktu yang lama tadi sudah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali!
Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya sehingga hwesio
itu lari secepatnya menyusul muridnya.
Ang I Niocu kehilangan jejak
mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu berkeliaran
di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia
masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia
kemudian tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya dia bertemu dengan
rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati
pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin
Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.
Dapat dibayangkan betapa
bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik
oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih
sekali. Apa lagi sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu,
maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.
Cin Hai, satu-satunya orang
yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan untuk
mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan
menjadi orang tolol yang setolol-tololnya. Celaka betul!
Sambil melarikan kudanya
keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan main
mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu
adalah ‘Pendekar Bodoh’!
Ketika angin malam yang sejuk
meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya, pemuda itu
tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”
Mendengar ini, Ang I Niocu
menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru
perbuatannya dan melompat turun.
“Hawa sejuk, angin dingin!
Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.
Mendengar seruan dan melihat
kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang tangan Cin Hai
dan berkata,
“Hai-ji! Ingatkah kau
sekarang? Tahukah kau siapa aku?”
“Kau adalah sahabat baik, dan
aku... aku Pendekar Bodoh!”
“Bukan bodoh, tetapi tolol!
Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.
Tiba-tiba saja gadis itu
menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis.
Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat
sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat
Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang harus dia
perbuat?
“Sahabatku? Mengapa engkau
menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.
Agaknya dalam ingatannya yang
kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau dan
menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan
sengsaranya orang yang menderita kelaparan!
Ang I Niocu menjadi mendongkol
dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An.
Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia
menduga bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda
itu tadinya bersama Cin Hai, ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya
begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.
“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah
untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan
ingatanmu!” katanya gemas.
“Kwee An? Siapakah dia? Aku
tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”
Ang I Niocu menghela napas,
akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti ini
ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih,
hal ini takkan menolong bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus
terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan ingatan Cin Hai yang telah
lupa akan segala apa ini.
Demikianlah dengan penuh
kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil
mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat,
tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu
untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.
Akan tetapi pengaruh madu merah
memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali mendengar
penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang
wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat
mengingat hal yang terjadi pada masa lalu!
Sampai tiga hari mereka
berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin
Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari
ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat sekali!
Pada malam ke tiga, di waktu
bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan
romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan
perlahan. Cin Hai berjalan di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap,
melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu mereka melalui daerah yang
banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya
menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar
suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!
“Bahkan setan dan iblis juga
turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya
yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini
kecuali setan dan iblis?
“Bukan setan dan iblis, itu
suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah
kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak
menjadi berkurang karenanya.
Apa bila telinga Ang I Niocu
tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu
diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas
dan tahu bahwa yang tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang
menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya sehingga terdengar dari
tempat jauh dan amat menyeramkan.
Bagaikan tertarik oleh tenaga
gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang
I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk
batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan
luas merupakan sebuah tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang
karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.
Dan ketika mereka keluar dari
belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga
berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri
dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.
Di tempat terbuka itu, di atas
tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi
seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah
kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua
orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan
ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan
kepala di bawah dan kedua kaki di atas!
Dua orang ini saling
berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan sedang
melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang
I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena
orang itu dapat disebut seorang rangka hidup!
Muka itu tua dan kurus sekali,
mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus
kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan
sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.
Orang kedua yang berdiri
dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio
tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang
dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong
Hosiang!
Berdebarlah hati Ang I Niocu
melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak
takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang
bagaikan rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.
Harus diketahui bahwa tumpukan
tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak
tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau
harus mengerahkan tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya
dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang,
maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan
kehebatan Hai Kong Hosiang.
Pada saat itu, biar pun Hai
Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul
ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan
tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua
renta itu mengayun kedua tangannya, biar pun hanya dengan gerakan pelan saja,
tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan
didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang
kakek itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!
Ketika Hai Kong Hosiang yang
berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio
ini lalu berseru keras,
“Hai, bagus sekali kalian
datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya
yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.
Kakek ini lalu memutar
tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan
dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke
arah Cin Hai dan Ang I Niocu!
Sungguh hebat tenaga pukulan
kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin
tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar
jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini.
Sebaliknya, Cin Hai yang dapat
juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan kedua
tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua
tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung
mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring,
tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!
Ang I Niocu terkejut karena
maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih
kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi
kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan
dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong
Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya
kepandaian kakek itu!
Akan tetapi pada saat itu,
kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian
keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan
orang ketakutan!
Pada waktu Ang I Niocu
memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata
bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di
tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat
sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang
mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh pun
rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang
dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan
suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan.
Akan tetapi, tiba-tiba rasa
ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh
karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek
gurunya yang luar biasa itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di
dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.
Memang benar, ketika tiba-tiba
di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke
sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan
mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat
tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu
muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali
tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun
atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah
diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi
di dalam tumpukan tengkorak.
Hai Kong Hosiang menjadi pucat
luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini,
akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah
supek-nya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua
usianya sehingga telah gagu tidak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang
berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan Bu Pun Su.
“Supek, inilah Bu Pun Su si
manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang
berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.
Kam Ki Sianjin masih dapat
menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman
pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak
dapat berbicara lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba
menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan
arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat kedua tangan itu ke
atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan
bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka
sama tingginya.
Bu Pun Su tertawa lagi dengan
hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak
yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua
tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin
memiliki tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan
semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek
tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.
Kam Ki Sianjin menjadi marah
sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan
menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah
dia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang
memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika
ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,
“Hai-ji, hwesio tinggi besar
itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang
dia!”
“Aku tidak punya musuh. Apakah
engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.
Ang I Niocu menjadi gemas dan
ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”
“Baik! Kalau dia musuhmu, aku
akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang
melayaninya sambil memaki-maki.
“Ang I Niocu! Perempuan
rendah, perempuan curang!”
“Bangsat gundul, hari ini kau harus
mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin
Hai mengeroyok hwesio itu.
Demikianlah, disaksikan oleh
puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua
berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang
mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah
perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam Ki Sianjin, oleh karena di
tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada
hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis
sedang bertempur.
Tak terdengar suara tangan
atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin
bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding
dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan
ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!
Sementara itu, dikeroyok dua
oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru
menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan
dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan
tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin
Hai!
Sebetulnya, selama beberapa
hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya, sudah
naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan
berjungkir balik dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena
latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi kedua orang muda yang
tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari
jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.
Tiba-tiba saja terdengar suara
Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki
Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung
menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan
gerakan cepat sekali!
Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin
tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai
Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya
itu dan membawa lari dari situ!
Bu Pun Su masih tertawa
bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan
tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri
dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.
“Bagus, Im Giok. Kau sudah
dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan
menyembuhkannya!”
Bu Pun Su lalu memanggil dukun
tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa
Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus
menyembuhkannya!”
Dukun tua bangsa Mongol itu
mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil
dari kantung dalam.
“Cin Hai, kau majulah dan
terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara
memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal
pula kakek lihai itu.
“Anak tolol!” Bu Pun Su
mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang
dengan sebuah totokan.
Akan tetapi Cin Hai cepat
mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke delapan
kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat
orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula
oleh karena biasanya setiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat
mengelak dari serangan kakek jembel ini!
Setelah Cin Hai dibikin tidak
berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai,
kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun
itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa
seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin!
Akhirnya, sesudah beberapa
lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan
menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,
Pemuda ini seakan-akan baru
sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia
lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia
cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Maafkan teecu, suhu. Teecu
tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu
berada di manakah?”
Bu Pun Su tertawa
terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya
telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya
sehingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.
Ang I Niocu lalu menuturkan
betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran
Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu
kemudian melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran
itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini
teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong
Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.
Cin Hai berlutut lagi di depan
suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini untuk
menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”
“Ha-ha-ha, kalau aku tidak
mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi
pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin
Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I
Niocu.
Mendengar pertanyaan ini,
Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil
berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah
terculik oleh Boan Sip dan suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”
Cin Hai terkejut sekali dan
menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak
tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting
kakinya.
“Boan Sip, kalau kau sampai
mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari sampai ke
neraka sekali pun!”
Pemuda ini mengepal-ngepal
tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu
mengangguk-angguk maklum.
“Jadi Nona Lin Lin adalah
puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus
dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan
tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun
bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,
“Biarlah aku Si Tua Bangka
melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin Hai!”
Cin Hai dan Ang I Niocu
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan
tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah
lenyap dari situ.
Sesudah suhu-nya pergi, kini
mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu
menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I
Niocu bertanya,
“Dan di manakah adanya Kwee
An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda
itu.”
Dengan sedih Cin Hai
menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong
Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke
dalam air sungai yang deras.
“Entah bagaimana dengan nasib
Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita
mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”
Keduanya lalu meninggalkan
tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu
telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang
berbunyi,
‘Kuda dan dukun yang dipinjam
harus dikembalikan kepada pemiliknya!’
Kedua anak muda itu maklum
bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka
mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan
asyik…..
********************
Kita ikuti Lin Lin yang
ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biar pun Boan
Sip mempergunakan ilmu lari cepatnya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama
kemudian ia telah dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka
berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Boan Sip
untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.
Menurut kehendak Boan Sip ia
hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya
hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak
berani mengganggu atau mencelakainya.
“Kau bermusuhan dengan
keluarga Kwee hanya oleh karena kau ingin mengawini gadis ini. Sekarang
keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini sudah kau tawan, kalau engkau
membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tak
peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan
pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap
seorang gadis di depan mataku. Selama kau minta pembelaanku dan aku berada di
sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau
sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”
Tentu saja Boan Sip tak
berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawani dirinya, oleh karena
selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia
merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka dia
terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja
dalam keadaan tak berdaya untuk melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah
ditotok hingga dia tak dapat mempergunakan tenaganya!
Pada beberapa hari kemudian,
di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan
hitam yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata sehingga apa bila
kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia tak akan tahu apakah bayangan
itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio
yang sedang duduk bersemedhi di dalam kamarnya, dapat mendengar adanya desir
angin yang lain dari pada desir angin biasa. Selagi dia masih berada dalam
keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang
berkata,
“Bo Lang! Percuma saja engkau
bersemedhi apa bila perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”
Bo Lang Hwesio merasa terkejut
sekali. Bagaimana ada orang yang demikian tinggi ilmu ginkang-nya hingga suara
kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio
memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun
lamanya. Selama ini belum pernah dia bertemu dengan orang yang memiliki
kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biar pun sedang
dalam semedhi, ia sama sekali tak mendengarnya!
“Sahabat yang berilmu tinggi,
jangan bicara seperti setan yang tak berujud, kau masuklah memperlihatkan
muka!” kata Bo Lang Hwesio.
Akan tetapi orang di atas
genteng terkekeh-kekeh dan menjawab, “Bo Lang Hwesio, aku datang untuk minta
kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku
tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”
Bo Lang Hwesio merasa
mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka
tiba-tiba saja dia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar,
hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.
Ternyata bahwa di atas genteng
itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio
melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ahh... Bu Pun Su! Apa
kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau kembali hendak
mengganggu pinceng?”
“Ha-ha-ha, Bo Lang, hwesio
gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku
mengganggumu di Thian-san karena kau ingin merusak persahabatan dengan tokoh
Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau sudah mengumbar nafsu dan
membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”
“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa
kau memang memiliki kepandaian tinggi, tetapi jangan kira pinceng takut
kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”
“Benar, benar! Bo Lang Hwesio
dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang
karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang
murtad!”
“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan
sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh
musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar
musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa
lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan, kami perlakukan dia baik-baik dan adalah
salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh
muridku!”
“Ha-ha-ha, alasan anak kecil!
Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan
baik-baik, aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau
kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”
“Kau sombong!” teriak Bo Lang
Hwesio.
Dia lalu menyerang dengan pukulan
tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya sehingga biar pun gerakan
tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek
jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!
“Bagus, lweekang-mu sudah
banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang segera mengelak dan membalas memukul dengan
lima jari tangan kanan terbuka.
Pukulan ini tertuju kepada
pundak kanan Bo Lang Hwesio, dan untuk menilai kehebatan pukulan ini bisa
diukur dari suara genteng pecah. Ternyata pukulan yang tidak mengenai sasaran
ini menyebabkan genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu
menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu
Burung Merak Mengulur Cakar. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh
kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah
bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.
Bo Lang Hwesio memang lihai
sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat dari pada kepandaian
Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tidak dapat berbuat banyak.
Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tidak
kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi, oleh karena gerakan Bu Pun Su
benar-benar cepat sehingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seakan-akan
berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh
jurusan.
Kalau orang lain yang
menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan
ilmu sihir. Akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah
sampai pada puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekang-nya sudah jauh lebih
tinggi dari pada tenaganya sendiri.
Bu Pun Su memang tidak mau
mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya
saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut
Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jeri dan berseru,
“Bu Pun Su, benar-benar kau
lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”
Setelah berseru demikian,
dengan cepat sekali Bo Lang Hwesio lalu lompat ke belakang dan alangkah heran
dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin. Pada saat ia
memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada
telah robek dan bolong.
Ia bergidik oleh karena maklum
bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu sejak tadi jiwanya telah
melayang. Ia menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan
ia pun tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang
turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja agar kakek itu tak akan mencelakakan
Boan Sip.
Akan tetapi, tidak lama
kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di
hadapannya sambil membentak,
“Bo Lang Hwesio! Jangan kau
mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya
muridmu yang jahat itu?”
Bo Lang Hwesio memandang
heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biar pun dengan bersumpah,
pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”
“Hmm, kalau begitu kau
bersumpah!”
Mendengar bahwa dia
benar-benar tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio menjadi marah sekali,
akan tetapi dia tidak berdaya untuk membantah, apa lagi dia sendiri yang
sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka dia lalu merangkapkan kedua tangan di
dada dan mengucap sumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul, biarlah Buddha
yang suci akan mengutukku!”
“Bagus, kau benar-benar tidak
bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja tubuh kakek jembel
itu telah lenyap.
“Bu Pun Su, lain kali pasti
akan kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar
yang luar biasa itu telah pergi jauh.
Memang sebenarnya Bo Lang
Hwesio tidak berbohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu
Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih
dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa
muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!
Oleh karena maklum bahwa yang
datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak
berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari
secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang
lebih dua puluh li dari tempat itu.
Ketika ia tiba di tepi sungai,
di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan
berdiri di kepala perahu. Salah seorang di antaranya adalah seorang berpakaian
asing dan ternyata bahwa dia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata
lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar,
terbuat dari pada kain berbulu yang indah.
“Eh, ehh, Boan-ciangkun,
mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”
“Yo-suhu (nama aslinya
Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip
melompat ke dalam perahu pula.
Yousuf tersenyum dan ia tetap
tenang, akan tetapi ia segera memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk
menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.
“Heran sekali, siapa adanya
orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.
“Yo-suhu, kau tidak tahu.
Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus
kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri kini tengah mengejarku, dan celakalah
kalau ia dapat menyusulku!”
“Ah, Saudara Boan benar-benar
tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”
Boan Sip teringat bahwa Yousuf
adalah seorang yang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf,
Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini
benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”
Kemudian Yousuf menunjuk ke
arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu itu dan yang sekarang
tangannya sudah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,
“Dan Nona ini siapakah,
Saudara Boan?”
“Dia ini adalah musuh besarku
yang hendak membunuhku, akan tetapi berhasil kutawan. Tadinya hendak
kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang padanya.”
Yousuf menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Memang Suhu-mu berkata benar. Tak pantas membunuh seorang gadis
yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu segera menghampiri
Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan
tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Lin Lin. Sekali dia
menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!
Boan Sip terkejut sekali oleh
karena dia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas dari pada pengaruh totokan,
dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.
“Yo-suhu, kalau dia dilepas,
dia berbahaya sekali!”
Akan tetapi Yousuf hanya
tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu
ketakutan.
Sebaliknya, ketika merasa
bahwa kedua lengan tangannya sudah bebas, Lin Lin merasa terkejut sekali. Tadi
ia telah mengerahkan tenaganya, tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali
biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat mulur sehingga tak mudah untuk
diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba
saja dan ikatan itu telah terlepas!
Ia tidak tahu bahwa Yousuf
adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru
belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekali pun, orang Turki ini pasti akan
dapat membukanya dengan mudah!
Lin Lin yang merasa gemas dan
marah sekali terhadap Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera
meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,
“Manusia rendah, saat ini aku
hendak mengadu jiwa dengan kau!”
Lin Lin lalu menyerang dengan
pukulan yang paling berbahaya dan pada saat Boan Sip hendak menangkis,
tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya!
Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan
dapat memukul mampus musuh besarnya ini.
Akan tetapi tiba-tiba dari
samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan
tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pada pergelangan tangan yang melakukan
pukulan sehingga sekarang menjadi gagal. Pada saat ia hendak melepaskan sabuk
yang melibat pergelangan tangannya, tiba-tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang
dipegangnya sehingga tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!
“Nona, sabar dan tenanglah.
Kini kau sedang berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang
yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku!
Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”
Ketika merasa betapa tarikan
sabuk itu amat kuat, Lin Lin maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian
tinggi, maka untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apa lagi pada saat mendengar
bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan
bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Sebaliknya, Boan Sip yang
hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke
arah muka Lin Lin sambil membentak,
“Perempuan rendah! Aku telah
berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu,
oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas
dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku!
Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata
demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju menyerang Lin Lin
dengan muka buas!
Lin Lin bukanlah seorang gadis
lemah. Dengan cepat dia dapat mengelak, bahkan balas menyerang dengan kepalan
tangannya.
“Hai, tahan, tahan!” teriak
Yousuf.
Akan tetapi dalam marahnya,
Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau
berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah lepas dari pegangan
perwira itu dan ternyata gagangnya sudah tergulung oleh sutera hijau yang
dilepas oleh Yousuf.
“Yo-suhu! Apa maksudmu
menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.
“Saudara Boan! Kau berada di
dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus
tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah,
selama ada aku di sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak
ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan
kekerasanmu?”
Suara orang Turki ini sekarang
terdengar sangat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang
asing yang aneh dan lihai ini. Maka, oleh karena ia memang merasa lelah sekali,
ia segera masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa
aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah
beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas
sebuah pembaringan bambu yang kasar!
Sebaliknya, di luar bilik,
sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasehat kepada
Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala tunduk.
Siapakah adanya orang Turki
yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik
dari Angkatan Perang Turki yang sudah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak
menyerbu. Sebenarnya dia masih seorang bangsawan keturunan pangeran, dan oleh
karena kepandaiannya yang tinggi maka telah terpilih untuk menjadi pemimpin
mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang
bisa dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama
menjatuhkan pemerintah yang sekarang.
Di antara para perwira yang
telah mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga
melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang
muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin
menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini memiliki tujuan tertentu, yaitu ingin
menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut
penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau
kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka
ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.
Boan Sip yang menjadi
pengkhianat negara itu sudah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf, bahkan
hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, sehingga
bukan tak disengaja bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya.
Akan tetapi, adanya Lin Lin di
situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili
kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan
pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau
emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan
keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.
Demikianlah, maka perahu
Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu lalu meluncur cepat menurut aliran
Sungai menuju ke laut.
“Saudara Boan,” kata Yousuf
dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka
jangan sampai urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau
tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini lebih berkuasa dari pada engkau,
maka engkau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”
Boan Sip mendengar kata-kata
orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akan kelihaian dan kekuasaan Yousuf,
maka dia tidak berani membantah.
“Akan tetapi, bagaimanakah
dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik kalau dia disingkirkan
agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?
Yousuf menggelengkan kepala dengan
keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir
dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahu ini, dan yang
lebih penting lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena
ia tentu merasa heran melihat ada seorang asing di sini dan kalau hal ini ia
ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi
berbahaya sekali? Apa lagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”
“Nah, kenapa kau tidak
membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau
takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh
besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.
Kembali Yousuf
menggeleng-gelengkan kepala dan mempergunakan tangan kirinya untuk membikin beres
sorbannya yang terbuat dari pada kain kuning.
“Ini lebih-lebih tidak boleh
lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang
teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya
ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami
tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap orang-orang wanita!”
Boan Sip mengangguk-angguk
maklum. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa orang Turki yang cerdik
ini sebenarnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya
Yousuf hanya merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!
Demikianlah, perahu itu
meluncur terus makin cepat sambil membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam
bilik perahu. Makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa
mereka telah tiba dekat laut.
Tiba-tiba para penumpang
perahu itu merasa terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh
sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip lalu memandang dan mereka
melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam
perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung.
Dua orang ini bukan lain Si
Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian
sebagai seorang pemuda itu! Bagaimana Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendadak dapat
muncul di sungai itu? Ini adalah akibat dari pada mala petaka yang menimpa
keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat
diikuti dengan lancar.
Sebagaimana diketahui, ketika
Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin,
melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, yaitu suheng dari
Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira berhasil mendengar percakapan mereka dan
dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa ‘pemuda itu adalah gadis atau puteri dari
Ma Keng In, perwira Sayap Garuda!’
Hal ini tentu saja dibongkar
oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira
atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga
seluruh keluarganya, dan mereka semua kemudian dijatuhi hukuman mati sebagai
pemberontak-pemberontak atau pengkhianat! Untung sekali bahwa Ma Hoa masih
dapat melarikan diri.
Di depan sidang pengadilan
yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma
Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,
“Memang Ma Hoa adalah anakku.
Aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira
Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan
kerjaku yang menjadi perwira kerajaan bukan untuk menjaga keamanan rakyat,
malah sebaliknya suka berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk
menindas serta mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbahagia
bahwa anakku yang tunggal itu tak mengikuti jejakku yang sesat, akan tetapi
betul-betul menjadi seorang pelindung rakyat yang gagah perkasa! Aku kutuk
perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang bersama
Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”
Tentu saja ucapannya ini
adalah keputusan terakhir dan dia beserta semua keluarganya lalu mendapat
hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar mala petaka yang dialami oleh seluruh
keluarganya itu dia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng!
Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya menangis pula
bahkan lebih keras dan lebih hebat dari pada tangis muridnya sendiri.
Mendadak Ma Hoa berdiri dan
mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk
membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang sering menggunakan
kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”
Nelayan Cengeng menghiburnya
dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan
hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam
perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para
perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang
pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan
para mata-mata bangsa Turki, dan juga mereka yang dengan diam-diam mengadakan
persekutuan dengan orang-orang Mongol!
Makin bencilah Nelayan Cengeng
dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain
memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka, juga kedua orang ini sekalian
mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan
bergabung dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.
Dan kebetulan sekali, pada
pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah
perahu besar bergerak ke arah hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera
melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu
itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja dia menabrakkan perahunya
yang kecil itu pada perahu di depannya sehingga mengejutkan para penumpang
perahu di depan itu!
Dua orang pendayung perahu
Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,
“Ehh, tua bangka kurang ajar!
Apakah matamu telah buta?”
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak mendengar makian ini. “Ha-ha-ha-ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku
bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia langsung mengangkat
dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya.
Perahu itu bergoncang hebat
dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah
permukaan air, sehingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu
Yousuf!
Bukan main marah dan
terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu
bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”
Memang hebat pukulan dayung
yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu, oleh karena bagian yang pecah demikian
besarnya sehingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian
banyaknya dan sukar dibendung lagi!
“Kurang ajar!” terdengar
Yousuf berseru.
Tubuhnya lalu meloncat,
diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang
ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya
lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!
Terdengar Nelayan Cengeng
tertawa bergelak-gelak, seolah-olah kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu
sekali. Bahkan dalam kesedihannya Ma Hoa ikut tersenyum melihat perbuatan
gurunya yang nakal.
“Hayo kita kejar mereka,
Suhu!” serunya pada waktu melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.
“Memang aku hendak mengejar
mereka!” kata suhu-nya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.
Pada saat itu terdengar suara
memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam.
“Cici Hoa! Locianpwe!”
“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa
dengan girang sekali.
Lin Lin yang sudah membuka
pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam,
segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!
“Lin Lin! Bagaimana kau bisa
berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.
“Cici! Tangkap penjahat besar
itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam
perahu!”
Bukan main marahnya Ma Hoa
mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip
bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!
Lin Lin tak membuang waktu
lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum
mengejek.
“Sekarang terpaksa aku harus
membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi pada saat itu,
dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya sehingga dia menjadi
terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang
dengan pedangnya.
Melihat datangnya serangan
yang lihai ini, Boan Sip segera melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya
dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru. Lin Lin yang tidak bersenjata
itu lalu menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan
dayung ini ia kemudian mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan
pukulan-pukulan sengit.
Sementara itu, Nelayan Cengeng
telah berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika
orang tua ini sudah datang mendekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup
lancar,
“Nelayan tua, apakah tiba-tiba
setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau
memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah
biasa mengusir iblis yang memasuki tubuh manusia!”
Ucapan ini dikeluarkan oleh
Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapa pun
juga dia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab.
Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa
bergelak sampai mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu
akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi
curiga.
“Ah, benar-benar ada setan
memasuki tubuhmu!”
Yousuf melempangkan tangannya
ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian dia membentak
nyaring sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,
“Setan penasaran, keluarlah
kamu dari tubuh orang tua ini!”
Tiba-tiba saja suara tertawa
Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali.
Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan dia merasa
seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Dia tidak tahu
bahwa Yousuf benar-benar sudah mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh
jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng
mengerahkan lweekang-nya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini
hingga Yousuf berseru,
“Aha, setan dari manakah
berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh
orang tua ini?”
Sikap Nelayan Cengeng menjadi
sungguh-sungguh, oleh karena dia paham bahwa orang Turki ini bukan sedang
main-main dan menyangka ia benar-benar sedang kemasukan setan sungai. Maka dia
segera menjura dan berkata,
“Tuan, kau sangat lihai dan
baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama
terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu
selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan
ini?”
Terkejut hati Yousuf mendengar
ini, dan ia berlaku hati-hati.
“Ah, jadi aku telah salah
sangka? Maaf, maaf. Memang perwira yang sedang bertempur itu adalah kenalanku,
akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua,
tenagamu hebat luar biasa, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu
perjalananku?”
“Kalau Tuan tidak bersama
dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan
tetapi ketahuilah bahwa perwira itu sudah melakukan kejahatan besar dan bahwa
ia telah berani menawan seorang gadis yang menjadi sahabat baik muridku!
Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”
“Hemm, siapa yang hendak
melindungi dia?” berkata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip.
Akan tetapi ketika dia
menengok dan memandang ke arah pertempuran, dia menjadi terkejut sekali. Biar
pun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin
Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak
hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya
hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja.
Yousuf merasa terkejut dan
khawatir. Betapa pun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan
untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Jika Boan Sip sampai
kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat
menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas
pekerjaannya, ia harus membantu.
Yousuf lalu membuat gerakan
dan hendak melompat membantu Boan Sip. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya
sambil bertolak pinggang.
“Biarlah yang muda bertempur
melawan yang muda. Kita tua sama tua boleh main-main, apa bila memang kau
kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu
kalau saja engkau juga tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira
keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan tak akan mengganggu
sedikit pun!”
Kini Yousuf maklum bahwa
pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada
nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biar pun
kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang
bersinar-sinar aneh, karena itu dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah
seorang ahli lweekang yang tinggi ilmu kepandaiannya.
“Kakek Nelayan, engkau tidak
tahu kini sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main.
Ketahuilah, aku bernama Yousuf dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat
Pengusir Iblis! Lekas kau minggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak
mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan
darah di antara mereka dan sahabatku!”
Mendengar kata-kata ini,
Nelayan Cengeng bisa mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun dia
maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi,
setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia mengijinkan orang
lain menolong perwira jahat itu?
“Tidak bisa, Saudara You Se
Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Kong
Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”
“Bagus! Marilah kita mencoba-coba
kepandaian!”
Sambil berkata demikian,
Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas
dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena
pada gagangnya tampak dihias oleh emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng
juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.
“Lihat pedang!” Yousuf berseru
sambil menubruk maju.
Gerakannya gesit dan cepat,
sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa dia sedang
mempergunakan ilmu ginkang-nya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini
membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan.
Melihat serangan ini, tahulah
Kong Hwat Lojin bahwa kini dia berhadapan dengan orang pandai, maka ia pun
lantas menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat.
Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan suara bagaikan
suling, sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran
angin dan membuat debu mengepul ke atas!
Demikianlah, di pagi hari yang
cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang sangat hebat serta
dahsyat, sehingga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke
tepi, kini keduanya berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.
Kepandaian Nelayan Cengeng
untuk daerah utara sudah sangat terkenal dan jarang ada jago dapat
menandinginya. Akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain
yang mempunyai silat tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikian pula
Yousuf. Baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga keduanya
berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan
gerakan lawan.
Sementara itu, Boan Sip sudah
lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya
menjadi pucat oleh karena dia harus menghadapi serangan dua singa betina yang
sedang mengamuk hebat!
Sambil bertempur, Lin Lin
berkata, “Cici, kita harus bikin mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi
mala petaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima
kasih kepadamu apa bila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”
Mendengar ucapan ini, tentu
saja Ma Hoa menjadi semakin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk
membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di
depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang
paling berbahaya. Sedangkan Lin Lin juga mempergunakan dayung pada tangannya
untuk menyerang kalang kabut sehingga Boan Sip makin terdesak saja.
Ketika Boan Sip sedang
melangkah mundur dengan hati bingung, tiba-tiba dia menginjak sebuah batu yang
bundar licin sehingga dia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas
tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta
dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada
saat itu juga!
Melihat betapa musuh besarnya
kini telah menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa, Lin Lin
tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan dia berhasil membunuh
manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena
teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata perlahan,
“Ayah, anak yang puthau (tidak
berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”
Kemudian dia pun menangis
terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang
terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu
dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.
Sementara itu, pertempuran
yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan
ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf
akhirnya harus mengakui keunggulan lawan.
Dayung Si Nelayan Cengeng
betul-betul hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi pasti, orang Turki itu
terdesak mundur dan terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk menghindarkan diri
dari sambaran dayung!
Pada saat Yousuf sudah
terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe!
Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”
Mendengar seruan ini, Nelayan
Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan
dia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.
Yousuf menjura sangat dalam
sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali
dan patut menjadi guruku!”
“Ahh, jangan kau terlalu
memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun sangat hebat dan mengagumkan!” jawab
Si Nelayan Cengeng.
Kemudian Yousuf memandang ke
arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau
benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat
Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,
“Memang hukum alam adil
sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”
Melihat sikap orang asing ini,
Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Dia memegang tangan orang itu dan
berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, meski pun kita berkebangsaan
lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”
“Apakah kau terpengaruh pula
oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”
Nelayan Cengeng tertawa
terkekeh hingga air matanya kembali mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan
politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu, yaitu yang jahat harus
dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah
air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”
Kembali Yousuf menghela napas.
“Kalian orang-orang bangsa Han memang sangat aneh dan patut dikagumi! Kalian
berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau
terlibat dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba
berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”
Lin Lin maju dan memberi
penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena lamarannya
terhadap diriku ditolak oleh Ayahku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk
membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku sudah dia bunuh
habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu
dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia dapat
menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari
dan bertemu dengan kau.”
“Hmm, pantas, pantas! Pantas
kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”
“Dan kau hendak pergi ke
manakah Saudara? Dari percakapanmu aku mendengar kalau kau hendak pergi ke
sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.
Yousuf termenung sejenak.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai
sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia bersama
beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, dalam hatinya
telah timbul cita-cita ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah
saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan
menggantikannya.
Memang di dalam tubuh Yousuf masih
ada darah pangeran, tapi sayangnya dia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau
itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!
Kini, melihat Lin Lin, ia
merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya
yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah
mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya
sekali pun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul
setelah ia bertemu dengan Lin Lin.
Ia juga ingin mendapatkan
harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin
Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran
yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya.
Ia telah melihat kegagahan
Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah
menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah dengan dia
sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat,
akan sanggup mengusir musuh yang mana pun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin
Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke
sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau
Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei!
Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, sering kali aku
mendengar dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam beberapa hari ini telah dua
kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam
sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang
Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu
menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa, beberapa hari
yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan
adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka
rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, hendak mencari
pulau ini pula.
Yousuf kaget sekali mendengar
ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu
dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak
tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan
sampai didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini
pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi, “Saudara yang baik,
sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf sudah habis sabar, akan
tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan
yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu
bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai
Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang
berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat
tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu bercakap-cakap dan
Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga
kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan dia ingin
sekali melihat serta menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang sudah
dikenalnya di dalam dongeng itu.....
Sementara itu, Lin Lin lalu
menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya
di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui di mana
adanya dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas khawatir. “Sungguh sial
sekali, belum juga kami berjumpa dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah
harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain
harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci
Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak berbicara sedangkan kau hanya menjadi
pendengar saja. Kau ceritakanlah, bagaimana kau bisa sampai di sini dan
menolong aku?”
Memang Ma Hoa orangnya agak
pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba
sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya
air matanya.
Lin Lin terkejut dan memegang
lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma
Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi
pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya
dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata
karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak dapat lagi menahan kesedihannya. Ia
mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,
“Adik Lin, habislah seluruh
keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatang
kara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan
keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan
di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga
habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau
khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti Suhu-mu itu dan
aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan
yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak
redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke
arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah
permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah
mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke
marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus
dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis itu lalu
menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.
Nelayan Cengeng lalu
memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe,
bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum.
“Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa
petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara
Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga
akan pergi mencari Pulau Emas ini sehingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong
Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin
Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apa bila
hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke
pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik dari pada kita berkeliaran tidak
karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini
cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga sedang mencari Cin Hai
dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau
benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka
semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,
“Terserah pada Locianpwe saja,
aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”
Mendengar persetujuan yang
keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali, akan tetapi dia
menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa
berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali
perahuku telah tenggelam!”
Walau pun Nelayan Cengeng
sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu
berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin,
di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati.
Akan tetapi, sambil tertawa
dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang
tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan
kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya
dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu
terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke
dalam air saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma
Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya.
Kemudian air itu bergelombang
hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam!
Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya
ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki
tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan
sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke tepi
hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera menarik
perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah
luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di
air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini Yousuf lalu
menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat.
Akan tetapi kakek nelayan itu
hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi
ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah, di antara kawan
sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita sekarang memperbaiki
perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Dua orang itu lalu memperbaiki
badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng
dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan
kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena dia sudah tak
memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh kantongnya dan memberi empat potong
uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.
Setelah itu, maka berangkatlah
Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur
cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang deras, juga
dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main. Sebelum
senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut sungai dan mulai memasuki laut
yang luas!
Baik kita tinggalkan lebih
dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan
kita mengikuti pengalaman Kwee An…..
********************
Ketika terjadi perkelahian
bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima tendangan di betisnya
yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia terjatuh ke dalam sungai,
Kwee An sudah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan
Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat
deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat
latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya
akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang banyak menonjol di
permukaan air. Dia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan gerakan
Ular Air Menyeberang Laut untuk berenang sambil mengikuti aliran air dengan
cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia dapat menghindarkan
diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.
Dia masih dapat melihat betapa
perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu
terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan
kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam
sekali sehingga ia harus segera mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga
keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali,
sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi terjatuh, aliran air
mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang ke pinggir dengan maksud
setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin
Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat
beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya.
Kwee An cepat berenang ke
tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti
yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi
tepian sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah
yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang
terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih
menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan mulutnya
terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada
di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk
naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan
untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang
menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat dari
pada belasan ekor di air oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali
sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.
Ia lalu terus berenang ke
pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi
telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut
ternganga lebar. Kwee An lantas menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua
kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan
mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki kanan ke arah
kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke
darat.
Akan tetapi jumlah
binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia melompat,
dia langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat
dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan.
Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja
puluhan ekor binatang kena dibinasakan.
Akan tetapi yang datang
semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai menjadi ngeri
dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang
kawan-kawannya sendiri yang terluka dan makan daging mereka, sedangkan yang
lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat.
Oleh karena merasa ngeri
melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi
memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia menjadi lelah
sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia merasa kaki
kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat bahwa seekor buaya sudah
berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali
tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata
buaya yang menggigit itu!
Binatang itu merasa kesakitan
dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat
Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan
celananya. Dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah
hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia
menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat binatang itu
sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.
Mendadak terdengar suara
suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu
nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu
lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.
Kwee An melihat seorang gemuk
tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang pada
tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari
manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan
pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh karena kecuali
iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai
binatang ternaknya? Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena
lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.
“Aku... aku... lelah...,”
katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas
mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!
Ketika ia sadar kembali, Kwee
An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah
kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh
karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di
kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan
ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang
pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia
merasa berterima kasih sekali.
Walau pun keluhan suaranya
perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang, oleh karena dari
luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang,
ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan
yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu memasuki bilik,
lalu berkata sambil tertawa, “Nah, kau makanlah dulu. Kesehatanmu pasti akan
pulih lagi seperti sedia kala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit
untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya seolah-olah
tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat
sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali sehingga
perubahan itu tidak terlalu nampak.
Pada saat itu dia telah
mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang
sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya!
Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil
menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Sungguh
kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan banyak-banyak terima
kasih.”
Kwee An sengaja berbuat
seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini
pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu bahwa Cin Hai
berada di dekat situ, tentu ia akan pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku
hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil
membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan sedikit aku menderita
kerugian!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek
tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega.
Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya sehingga untuk
sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali,
apa lagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena
menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang
sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk
melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar
sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Dia
tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi karena perutnya terasa lapar
sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula,
daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja
sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!
Kemudian ia turun dari
pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang
sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat
mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan dia sangat
menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong
Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko
masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu
melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau sudah makan!
Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
Kwee An tersenyum. “Enak
sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa
bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee An berdiri oleh
karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kau pantas
merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu
adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama
sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya.
Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar
biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek
memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko mengangguk-angguk.
“Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa
belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi beratus-ratus pasang
banyaknya! Dan hanya orang-orang gagah dan orang besar saja yang mendapat
kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah engkau bahwa
untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh potong uang
emas? Ha-ha-ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang
luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan membunuh banyak hewan
ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong
dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata
begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An merasa terkejut dan
heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata
Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa
bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau
akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee
An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai
anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini, maka dia pikir untuk
sementara waktu baik dia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau
bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya
demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam dan pandang mata
menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda
itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Dia maklum bahwa iblis ini
lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari pada kepandaian
Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan
seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama
hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu
dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau
dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong
Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan dia
melemparku ke dalam sungai.”
“Ha-ha-ha! Kau benar-benar
patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong tetapi kau tidak
mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau
bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An merasa dongkol sekali,
akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya
berkata,
“Lopek, aku telah berhutang
budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan
tetapi, nama yang kau berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko memandang Kwee An
dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah
kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah,
aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu.
Engkau harus menurut segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw
Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku
yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja
jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada tiga orang Hai Kong,
engkau tak usah merasa takut lagi!”
Sesudah berkata demikian, Hek
Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi
anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut,
takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam
ini memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika
melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui
dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga karena ia
akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu
tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan
wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia karena terserang sejenis
penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri
Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring.
Tentu saja kematian puteranya
ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi semakin jahat, liar
dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu menjadi sepasang
hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua
orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko
memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan
tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali
ini Pek Moko tidak nampak bersama suheng-nya oleh karena Iblis Putih ini sedang
pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang sudah lama minggat
untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan telah
mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu
sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan
akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya
pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, dia
masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap
anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal sebagai iblis
yang jahat serta kejam, akan tetapi kini sesudah bertemu kembali dengan
puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali sehingga diam-diam Kwee
An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua
ini.
Kwee An memang telah
kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk waktu yang
cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar pun maklum
akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat perlakuan yang
demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan
penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam
ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An
menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko
memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin
dan biar pun dia merasa girang menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan
lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa
ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas!
Akan tetapi baru satu bulan
saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah
mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini mudah saja
diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa
ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau
tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan rasa
terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu akan pergi
mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”
“Bagus, bagus! Di dunia ini
tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan
menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena dia
ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta ayah angkatnya ini? Dia
lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau
membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku
takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong
saja, aku yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup. Untuk apa Ayah
harus mencapaikan diri dan mengotorkan tangan untuk menghukum dia. Dan pula,
bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”
Hek Moko terdiam dan tak dapat
menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan alasan-alasannya pun
pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi
dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali
dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali
dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan
Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian menjatuhkan diri berlutut
di depan Iblis Hitam itu dan berkata,
“Ayah, aku takkan melupakan
kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat
itu.
Ia segera menuju ke tempat di
mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ
telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An
berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih.
Tiba-tiba terdengar gerakan
perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang!
Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis Hitam itu telah
berada di belakangnya.
Kwee An segera menengok dan
melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan
menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan
marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia nampak tua
sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu
cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan
berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang bernama Pek Moko.
Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum
pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok,
terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara
jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa
dihormati orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi
Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo, kau tidak akan
dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi mencari Pulau Emas!
Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami
dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan
tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini.
“Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan di manakah letak
pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan
pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak perempuannya, yaitu
Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan anak perempuannya
itu, tetapi dalam keadaan mati!
Ong Hu Lin, menantunya yang
menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi
oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal dan akhirnya
pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas,
ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!
Pada saat Pek Moko mendengar
tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia lalu
menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin
dihancurkan sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko
sangat berduka sehingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam
dan muram selalu.
Kemudian secara kebetulan
Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang
dicari-cari dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku
bangsa Mongol, serta oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera mencari kakak
seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia menceritakan semua ini, Hek Moko
lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama
pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang mendengar semua
cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga
pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai
masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa
ragu-ragu pula dia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini.
Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui
jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai…..
********************
Cin Hai yang tertolong oleh Bu
Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang mukjijat, dan sesudah
pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian yang
telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee
An dan Lin Lin.
Terutama sekali dia merasa
gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh
perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat
perhitungan dan menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan tetapi ke mana
harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan
kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya
mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati
pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia
mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah
mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku
untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua serangannya. Agaknya
dia telah mengenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san Kun-hoat
dan Ngo-lian-hoat sehingga sanggup berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu
kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat dari pada
dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan
dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian
Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu
berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan
mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai terkejut, akan tetapi
ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini
hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu
mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut
keluar pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I
Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana biasa, sekali
pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini,
maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus
menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li
Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya.
Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis semua serangan
ini secara tepat dan sempurna.
“Kau balaslah menyerang,
jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.
Cin Hai lalu balas menyerang
dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia pun lalu menyerang
dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja perubahan atau
perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui oleh Ang I
Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan menyerang dengan
Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu
berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya,
oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu,
sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia memainkan Ilmu
Pedang Liong-san Kiam-hoat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin.
Sekarang dia sudah memiliki
ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari
Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh
dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh
karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas
pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang dia pelajari dari An I
Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang apa bila menghadapi
orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja
Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila menghadapi tokoh persilatan
yang tinggi dan sudah matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan
saja dengan luar biasa uletnya, tetapi juga sukar untuk melancarkan
serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu pernah
dipelajarinya itu.
Maka, ketika menghadapi
tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang, juga
menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan
diserang, sungguh pun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis
atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia telah tahu betul akan
perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan
seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi
tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa.
Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang bila dicari
di dunia ini tidak ada keduanya orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian
baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan sampai seluruh jurus
Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun!
Akan tetapi biar pun
serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya
serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh
tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan
karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!”
Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai juga segera menahan
pedangnya.
“Memang benar, Susiok-couw
hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa memberi pelajaran
penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya
orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat
kau gunakan untuk menyerang lawan?”
Sambil tersenyum Cin Hai pun
berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)?
Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai menangis pun tak akan
dia berikan!”
Ang I Niocu memang
sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini
memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan
kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang
lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai,
bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?
Apa lagi sekarang masih ada
seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang yang agaknya
dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Bila pemuda ini
tidak mempunyai ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan dia akan
mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa
Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu
kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah mulai gelap,
sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat
ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,”
katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini menjadi terheran-heran
oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak
demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan
ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya
menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini
mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”
“Anak tolol! Merendahkan diri
di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan
sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat. Kau dapat
melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau
tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan
sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar
mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti. “Niocu, tolong kau beri tahu
kepadaku, bagaimana caranya?”
Ang I Niocu lalu memberi
penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan padamu
bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan.
Maka jika kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat menciptakan ilmu pedang
yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kau perhatikan dan ingat
semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakan-gerakan
serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik,
boleh kau pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai menjadi semacam ilmu
pedang yang sangat lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit supaya tidak
sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat.
Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu,
diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tak enak
kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan pula memang memalukan
kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang
ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu
pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung
dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia
bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah
mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh
latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam otaknya
terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.
Di antara semua ilmu silat,
gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan
ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan
baik. Dia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati
gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram
dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan
bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang
meram itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan
pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu
silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia melihat pula Cin Hai
memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia tahu bahwa pemuda itu
sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu
kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam.
Setengah malam lebih Cin Hai
tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Dia tidak merasa
bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di
dekat api dengan setia. Ia sedikit pun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya
memandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.....