Pendekar Remaja Jilid 31-35

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!”
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 31-35

“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!

Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…

“Trangg…! Trangg…!”

Tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.

Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.

Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya. Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.

Pantas saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa amat gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya! Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.

“Pendekar Bodoh…,” dengan bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.

Cin Hai terseyum, senyum yang amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Dan telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku sudah menerima tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu! Pergilah!”

Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di rumah sendiri, bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing? Biar pun dia sudah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan lagi pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bu-beng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.

“Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.

“Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!” kata Lin Lin yang mewakili suaminya.

Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!

“Kalau aku tidak mau pergi?” tantangnya.

“Mau atau tidak, pergilah!” Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.

Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!

Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhu-nya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tidak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!

Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, dia sudah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja. Akan tetapi setelah huncwe itu melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali, mendadak terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar kemudian melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!

Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwe-nya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat huncwe-nya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!

Sebenarnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan pada saat tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut!

Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai, dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari hadapannya.

Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri.

Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh.

Coa-ong Lojin merasa bahwa ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan menang, akan tetapi dia mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.

Semenjak tadi Lin Lin sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata,

“Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?”

“Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada Lin Lin.

“Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa hendak kau bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tidak dapat menjawab.

“Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”

Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin Hai dan Lin Lin belum mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan sudah pernah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.

“Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!”

Biar pun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban Sai Cinjin dan dia tidak berani melawan.

“Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”

Dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya!

Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (baca cerita Pendekar Bodoh).

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!

Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah di mana. Lin Lin segera maju menghampiri Lilani dan bertanya,

“Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”

Melihat sikap dan wajah ketiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan dirinya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?

Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah mau mengganggu orang.”

“Siapakah Sam-wi yang mulia? Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka hebat dan perlu segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”

Kwee An yang sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong dia pun berseru kaget,

“Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,

“Sie Taihiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang telah Taihiap kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”

“Kau anak Meilani...?” Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa wajah gadis ini bagaikan pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang dahulu telah menjadi ‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang pernah mereka jumpai. (baca cerita Pendekar Bodoh)

“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil membangunkan gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan ini adalah Kwee Taihiap saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”

Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan diri dan berlutut pula di depannya.

“Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai terluka begini hebat?”

“Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”

“Apa katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera Ang I Niocu?!”

Lilani mengangguk dan dengan singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.

Ada pun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,

“Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan bersama Lilani mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.

Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.

“Pengemis ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”

Coa-ong Lojin berdiri bengong karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?

“Siapakah kau?” tanyanya.

“Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.

“Kalau aku tidak mau dan tidak takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.

Kwee An menjadi gemas. “Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!”

“Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.

“Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati Lie Siong!” kata Cin Hai.

Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi pun dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya.

Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,

“Biarlah sekali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.

“Nanti dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.

Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,

“Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”

Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.

“Dia orang jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.

“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.

Sesudah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.

“Sebentar lagi dia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.

“Awas, kalau kata-katamu tak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.

Akan tetapi, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.

“Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai seorang budiman, ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul dapat disembuhkan, dia lalu menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan totokannya sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.

“Baiklah sekali ini aku Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thian-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”

Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.

“Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”

Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,

“Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Taihiap dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo Sian sudah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.

Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.

“Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.

Lie Siong lalu memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.

Ibunya mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita? Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing?

Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa mala petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya dia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal dia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!

Akan tetapi oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan berkata,

“Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkan bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, “Mari kita pergi!”

Gadis itu memandang dengan perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.

“Eh, ehh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian berseru keras dan segera mengejar pula.

Ada pun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh. Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya?

“Dia seperti orang marah,” kata Cin Hai.

“Tidak, seperti orang malu,” kata Lin Lin.

“Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata Kwee An.

Selagi ketiga orang itu merasa terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang keras,

“Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”

Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Saling bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita telah merupakan kewajiban yang tidak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan atau pun budi. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepada kami maka kau hendak mencari kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”

“Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, yang sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat pada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam Liong adalah putera satu-satunya.”

“Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan baik.”

Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam Liong yang kau kenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, sangat suka melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Taihiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!”

Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah akibat jengah. Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguh pun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu.

Dia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab, bahkan tidak berani pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.

“Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti pemuda-pemudi yang main mata?”

Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,

“Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi anak murid dari tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”

“Bagus, bagus! Jadi kalian sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur dan kasar itu segera memutuskannya.

“Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja...” kata Cin Hai.

“Hemmm, jadi Sie Taihiap menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.

Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.

“Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang murahan saja. Hal ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sekarang kami tidak dapat memberi keputusan, berilah waktu kepada kami untuk memikirkan serta mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu.”

“Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”

“Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi...”

“Ha-ha-ha, jadi kau suka? Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang berbakti! Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.”

“Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, berilah waktu. Kita sedang menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan? Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!”

“Baik, baik. Betapa pun juga aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Bila keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning untuk menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.

Pendekar Bodoh menarik napas panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”

“Sesungguhnya orang itu gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya.”

“Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong,” kata Lin Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?”

“Betapa pun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sin-houw-enghiong merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya.”

Demikianlah, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu…..

********************

Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena bila ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.

“Perlahan dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti datangnya pengemis tua itu.

“Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu? Kau sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.

“Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong karena sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang sudah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan ayahku!”

Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.

“Lie Siong, sesudah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya kita dapat menemukan makam ayahmu.”

“Siapa pembunuhnya? Di mana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.

“Tak salah lagi,” katanya sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang, akan tetapi Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu dusun Tong-sin-bun!”

“Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?”

Lo Sian mengangguk. “Di dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”

“Kembali ke Tong-sin-bun?” Lie Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia lalu menengok ke arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, baru kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”

Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin, dia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, walau pun untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri…..

********************

Pada masa itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.

Malangi Khan sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.

Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!

Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini, akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat berkuasa di kota raja.

Sudah lama suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.

Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.

Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.

Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!

Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, maka robohlah seorang lawan!

Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!

Demikianlah, pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.

Akan tetapi, ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.

Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,

“Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”

Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.

“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili di antara amukannya.

Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.

Lili menjadi kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.

“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi. Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.

Sungguh celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.

Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.

Lili melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah menjadi kabur.

Kepalanya pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.

Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong.....

Orang-orang Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.

Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.

Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.

Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.

“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.

Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.

“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”

Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.

Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!

Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.

Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.

Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.

Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?

Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.

Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.

Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.

Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.

Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!

Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.

Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,

“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”

Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.

“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.

Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.

“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.

“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.

Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.

Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.

“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”

Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!

Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.

“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.

Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!

Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!

Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.

“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”

Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”

“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.

Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.

“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”

Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.

“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”

“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”

Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”

Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.

Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.

Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya.

Ahh, ia merasa menyesal mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!

Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawan. Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak…

“Plokk!” terdengarlah suara yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.

Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya. Walau pun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!

Saliban memekik kesakitan pada waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.

Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras, merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.

Karena itu dia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.

Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh Saliban sudah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis gagah itu.

“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami. Hari ini, Lihiap sudah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan mala petaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!” Sesudah orang tua ini berkata demikian, kemudian terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.

Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena sekali Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”

Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.

“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.

Dengan suara bangga, Lili segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu sudah pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”

Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, juga telah mendengar dan mengenal nama ini. Maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Kalau begitu, mulai hari ini juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, sesudah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami dibolehkan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”

Mendengar penuturan ini, baik Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.

“Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.

“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.

“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.

Orang-orang Haimi itu terkejut sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat.”

Lili menjadi hilang sabar. “Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai pemimpin, kenapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak percaya kepada Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”

Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang, lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.

Tempat di mana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana hanya terdapat gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tak lebih baik dari pada penghidupan sekelompok ternak. Benar saja, di sekeliling kampung itu dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.

Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.

“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.

Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah bertemu dengan Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”

Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.

“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian dia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya sungguh sangat menyeramkan, “Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah dia perbuat?”

“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.

“Tak mungkin! Siong-ji tidak akan melakukan perbuatan seperti itu!”

Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian dia bertempur dengan Lie Siong.

“Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya.”

“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”

“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”

“Hemm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”

“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam pertempuran ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie...”

“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”

“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”

“Apa...??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”

Makin merah wajah Lili. “Entahlah, siapa tahu?”

Lili cemberut sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya.

“Aku tidak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya.”

“Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”

“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”

“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh Sin-kai Lo Sian. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”

Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.

“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang amat penting dan mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia.”

Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.

“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.

“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tidak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya sudah hilang.”

“Apakah maksudmu?”

Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.

Lili memandang dengan terharu dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.

Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau kepada anakku?”

Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia seorang gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin membohong. Bencikah ia terhadap Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu sering kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurang ajarannya.

“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku...”

“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”

Lili tertegun. “Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.

“Dan kau suka kepadanya?” Ang I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak menoleh.

Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul menyulitkannya. Agaknya demikian pula jika pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!

“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”

“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, engkaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”

“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.

“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!”

Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.

“Tidak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!”

“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”

“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”

“Tidak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”

“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?”

Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tak banyak bercakap lagi. Dia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu sesudah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.

Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tidak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah bukan sekedar hendak menghinanya belaka?

Ketika rombongan itu sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.

“Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan masuk ke sini! Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.

“Bangsat Mongol, tidak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya.

Sejak tadi gadis ini sudah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang menimbulkan keheranan para orang Haimi.

Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Ada pun kipas Lili ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.

Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak. “Ha-ha-ha! Mana Saliban? Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberi dia sepuluh potong uang emas untuk ditukar denganmu! Ha-ha-ha!”

Akan tetapi suara ketawanya segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.

Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, pasti ada sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan kawan-kawan mereka yang telah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.

Pertemuan antara keluarga Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan sekali. Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera pergi meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti.

Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.

Sesudah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.

“Lili, kau pimpinlah orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”

“Aku akan memimpin mereka mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”

“Hemm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku bisa percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”

Setelah berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.

“Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”

“Lihiap, aku tahu di mana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.

“Bagus sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi sekarang perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari, kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke benteng itu.”

Lili diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini telah disediakan pula dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.

Tiga hari kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.

“Lihiap, dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki. Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju ke sini!”

Berdebar hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang laki-laki?

“Bagaimana macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.

“Yang seorang adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan.”

Makin berdebar dada Lili mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari Manako dan Mellani? Ahh, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?

“Jangan menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”

“Ditawan...??” penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”

“Cukup! Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”

Sementara itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia bersama kawan-kawannya lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.

Yang datang memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa Haimi. Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang.

Lie Siong segera menyerbu dan menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi keterangan di mana adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak berdaya lagi itu memberi tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong segera mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.

Ketika Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang berlari-lari menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.

“Paman Nurhacu...!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.

Kakek Haimi itu juga berseru, “Lilani... ahh, Lilani...”

Mereka lalu berpelukan sambil bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie Siong melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah sudah menempuh hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup, tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun menarik napas lega.

Pada saat Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta kawan-kawannya, datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.

“Menurut keputusan Lihiap, mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya supaya dimengerti oleh dua orang yang mengantar Lilani itu.

Mendengar ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas melompat ke hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,

“Apa? Kalian mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu, sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”

“Jangan, Taihiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah mempunyai seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan mengganggu mereka.”

Juga Lo Sian menyabarkan hati Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu menyimpan kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi menghadap Lili!

Ketika tiga orang ‘tawanan’ ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.

“Suruh mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar. Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”

Nurhacu menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya marah. Akan tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok tempat tinggal Lili, dia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.

“Siapa sih dia yang begitu sombong?” katanya.

Akan tetapi kembali Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan tangis. Pertemuan yang sangat mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi. Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka dari tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.

Tak lama kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua dipanggil menghadap lebih dulu,” katanya.

Lo Sian bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar pintu dan dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir saja dia berseru saking kagetnya.

Akan tetapi Lili cepat-cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan tangan meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.

“Lili, bagaimana kau bisa berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau menyuruh kami ditangkap”

Lili tersenyum, “Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah menjadi korban dan binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”

“Lili, dia adalah seorang pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku memang diculiknya, akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang ayahnya.”

“Aku tahu, Pek-pek. Karena itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya! Aku telah menolong suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin mereka, sekarang dia dan gadis itu datang mau apakah?”

“Lili, gadis itu adalah puteri kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja mengantarkannya untuk mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan sendiri alangkah gembiranya orang-orang Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani itu. Mengapa kau suruh dia ditangkap?”

“Biar pun dia puteri Manako dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi kepala di sini, Pek-pek. Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia ingin menjadi pemimpin dia harus sanggup merebutnya dari tanganku! Aku diangkat menjadi pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi tugas untuk memimpin mereka sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa berlindung. Apakah sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang gadis bernama Lilani? Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa yang hendak dikatakan oleh mereka berdua!”

Lo Sian terbelalak heran memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya, Lili suka sekali bermain-main dan berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang pemudi ini nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai Lo Sian hanya diam sambil memandang dan menduga-duga.....

Sementara itu, Lili sudah menepuk tangannya memanggil penjaga yang berada di luar pondoknya. Ia memerintahkan agar supaya dua orang muda tawanan itu disuruh masuk, Lilani dan Lie Siong masuk sambil mengangkat kepala, memandang ‘ratu baru’ dari suku bangsa Haimi itu dengan hati ingin tahu sekali siapakah orangnya yang telah menolong bangsa itu dan kini menjadi kepalanya.

Sungguh menarik sekali melihat pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo Sian beruntung sekali dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang muda itu saling pandang, Lili dengan bibirnya yang manis tersenyum mengejek, sedangkan Lie Siong dengan mata terbelalak dan muka agak pucat. Ada pun Lilani untuk sesaat seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan, akan tetapi gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Lili!

“Nona yang gagah perkasa besar sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa Haimi selamanya tak akan melupakan jasa dan pertolonganmu.”

Lili tersenyum semakin mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas pemimpin besar suku bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki pangkat pemimpin menggantikan orang tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari tempat dudukku? Ketahuilah, aku sudah dipilih dan diangkat menjadi kepala di sini dan karena aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka kalau kau menghendaki kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”

“Lihiap, bagaimana aku berani menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya aku memiliki cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang bintang terang telah jatuh dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang tertindas dan selalu berada dalam kegelapan. Bintang itu adalah engkau sendiri, Lihiap. Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku, bagaimana aku masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku dapat menjadi pelayanmu, Lihiap.”

Tertegun dan terharu juga hati Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke arah Lie Siong dan melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak senang hati mendengar dan melihat sikapnya, Lili menjadi makin panas.

“Hemm, siapakah yang ingin menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan tidak ingin menjadi kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena mereka pilih dan sudah menjadi tugas seorang gagah untuk menolong mereka yang tertindas. Tentu saja aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadamu tanpa kau minta sekali pun jika memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi pemimpin. Akan tetapi bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan begitu saja? Bagaimana aku dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam tangan orang yang belum kuketahui kecakapannya? Karena itu, coba kau perlihatkan kepandaianmu kepadaku untuk kulihat apakah kau sudah cukup kuat memimpin orang-orang sedemikian banyaknya!”

Merah wajah Lilani mendengar ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di antara bangsanya, mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan tetapi bagaimana dia dapat memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang gadis luar biasa seperti Lili ini?

Dia pernah menyaksikan kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu. Bahkan Lie Siong sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia? Dengan gugup dan bingung, Lilani tak dapat menjawab, fia hanya menundukkan kepala dengan wajah merah.

Dia hendak minta tolong kepada Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak mempedulikan lagi kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta kepada Lili yang kini menantangnya! Dia tahu betul bahwa sepatu yang ditimang-timang oleh Lie Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu Lili! Tanpa terasa pula, dua titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang pipinya yang halus dan kemerahan.

Melihat keadaan Lilani, Lie Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran melihat sikap Lili yang dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa begitu bertemu dengan Lili hatinya berdebar-debar tak karuan. Gadis itu duduk di atas kursinya demikian cantik, demikian agung, demikian jelita sehingga agaknya tiada orang yang lebih pantas menjadi seorang ratu!

Rambut yang hitam dan gemuk itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian tajam bersinar dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali tersenyum mengejek, menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat dengan potongannya yang langsing itu menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh, sungguh seorang gadis luar biasa yang kenyataannya melebihi mimpinya!

Ketika ia melirik ke arah kaki yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang masih dikantonginya dan diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan tetapi kini sikap Lili membuatnya penasaran sekali.

Seorang gadis seperti ini tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani. Biar pun dia tidak mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap gadis ini dan siapa pun juga, tidak juga Lili yang diam-diam merampas hatinya, boleh mengganggu dan menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!

“Nona Sie, sebagai seorang gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang terkenal budiman, tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini! Dia adalah puteri dari kepala suku bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh bangsanya dan sudah sewajarnya apa bila dia menjadi pemimpin bangsanya. Itu sudah menjadi haknya! Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan untuk membantu dan menolong dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak malukah engkau? Untuk apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”

Mendengar ucapan ini merahlah wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie Siong yang memandangnya merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali, dan anehnya, dia tidak marah atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah melihat pemuda ini membela Liliani! Boleh dibilang marah karena cemburu, benar-benar aneh.

“Ahhh…, jadi Nona Lilani mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini berani melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah lindungan seorang pemuda gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah patut bila menjadi pelindung dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!

Lie Song adalah seorang pemuda yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia menjadi bingung sekali, akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu mencabut pedang Sin-liong-kiam dan berkata,

“Nona Sie, sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku akan mencemarkan nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari siapa pun juga. Biarlah kini aku menebus kekalahanku dahulu di kuil Siauw-lim-si di Kiciu!”

Kini marahlah Lili. Tidak sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus dia teringat akan sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.

“Bagus! Biarlah aku pun mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku putera Ang I Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I Niocu tidak akan sekurang ajar itu! Tidak saja kau telah merampas sepatu yang berarti menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pek-pek!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.

Lie Siong juga cepat melompat keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka berhadapan bagaikan dua jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua orang Haimi, tua muda lelaki perempuan yang memang berkumpul di depan pondok itu untuk menunggu Lilani, memandang dengan melongo dan terheran-heran. Lilani dengan diikuti oleh Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Lili.

“Lihiap, janganlah... Lihiap, kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu... dia tidak mencintaiku, pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan gagah. Lihiap, jangan kau menyerangnya...”

Lili tertegun mendengar pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan tetap saja melompat dan mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong cepat menangkis hingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata!

Lilani melompat nekad dan berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu dia berkata kepada Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap simpanlah pedangmu. Lihiap ini adalah penolong bangsaku, jangan kau musuhi. Senjata tak punya mata, bagaimana kalau kalian saling melukai...?”

Gadis ini menangis dan melihat puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang perempuan Haimi yang berada di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka dan ramailah wanita-wanita itu menangis!

Akan tetapi Lie Siong yang keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia dibela oleh wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa rendah dan kurang berharga dalam pandangan Lili, maka ia berseru keras,

“Sie Hong Li, kau kira aku Lie Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, akan tetapi aku tidak takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu dan cobalah kau memenggal kepalaku kalau dapat!”

Lili memang seorang yang keras dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula ketawa. Mendengar tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang dahsyat pedang dan kipasnya menyambar kepada Lie Siong.

Pemuda ini sudah merasakan kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia memutar pedangnya dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa betapa angin pukulan hebat menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, kemudian dia membalas dengan serangan kilat. Tidak saja ujung pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah pedang naganya yang merah dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada leher lawannya!

Lili memperlihatkan kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang kipas sudah menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah pedang lawannya itu tertiup ke samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali saling serang dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing dan saling tak mau mengalah.

Lo Sian tidak bisa berbuat sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh kepandaian dua orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan berkata penuh kekaguman,

“Pendekar-pendekar remaja ini benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!” Sedangkan Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.

“Orang jahat dari mana berani sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang menyerbu ini adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing yang kekuning-kuningan.

Lie Siong kaget sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke kiri! Juga Lili segera melompat mundur. Melihat betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,

“Pek-bo, jangan lukai dia!” Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.

Wanita itu yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.

“Hong Li, kau bertempur dengan orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”

Merahlah wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang menaruh. kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menghadapi bambu runcing yang lihai dari pek-bo-nya (uwaknya) itu!

“Pek-bo, dia ini... dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”

Terbelalak mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu? Pantas saja kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Ehh, anak muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa berkata sambil matanya memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.

Menghadapi pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tak mau tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.

“Sudah lama sekali aku mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee Toanio, mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”

Ma Hoa tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya pada waktu muda.

“Anak nakal, apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku sendiri, dan kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”

“Baiklah... Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.

“Nah, begitu lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”

Lie Siong tidak dapat menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan telinga.

“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan... sepatu!

“Benar, Ie-ie. Kami tadi hanya mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah terhadap... Adik Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada Lilani,

“Lilani, sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan puteri Pendekar Bodoh, aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”

Lie Siong hendak pergi, akan tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera berkata “Nanti dulu, Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah pastikah jika ayahmu terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”

“Memang sudah pasti, Ie-ie, dan sekarang juga aku akan mencarinya untuk membalas dendam.”

“Kalau begitu kita bisa mencarinya bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia kini telah menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang mencarinya. Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”

Semua orang terkejut mendengar ini, terutama sekali Lili. Gadis ini kemudian maju dan memeluk Ma Hoa. “Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat itu? Mari kita cepat mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya. Memang masih ada perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”

“Ie-ie, kalau begitu, lebih banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan berusaha merampas kembali puteramu sekalian membinasakan kakek jahanam itu!” kata pula Lie Siong.

“Ehh, ehh, mengapa kau hendak pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.

“Aku... aku lebih senang bekerja sendiri, Ie-ie!” sesudah berkata demikian, tanpa dapat dicegah lagi Lie Siong lalu melompat pergi.

“Pemuda aneh...,” Ma Hoa berkata perlahan.

“Jangan pedulikan dia, Pek-bo...,” kata Lili mendongkol.

“Bagaimana aku tidak boleh pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”

Sementara itu, Lilani yang semenjak tadi mendengar percakapan itu sambil memandang kepada Ma Hoa, tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.

“Kwee-hujin (Nyonya Kwee), hamba Lilani menghaturkan hormat.”

Ma Hoa memandang kepada Lilani dengan rasa heran, kemudian ia memandang kepada orang-orang Haimi yang semuanya berkumis panjang itu. Kemudian teringatlah dia akan pengalamannya dengan suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi tunangannya, dan berkatalah dia, “Jika aku tak salah duga, orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang dulu dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau siapakah, Nona?”

“Hamba adalah puteri yang malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”

Ma Hoa lalu membungkuk, memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri. “Ah, jadi kau puteri Meilani? Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi kedua orang tuamu telah meninggal semua? Kasihan, kasihan.”

Melihat nyonya gagah ini begini halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan hati dan menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat maju dan memberi hormat kepada Ma Hoa.

“Siauwte yang bodoh sudah lama mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sekarang telah mendapat kehormatan untuk bertemu dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa nama besarmu itu bukan kosong belaka.”

Lili lalu memperkenalkan Lo Sian dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis Sakti ini. Ma Hoa mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu dari Lin Lin dan Cin Hai.

Kini setelah Lie Siong pergi lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili, maka sambil memegang tangan Lilani, dia pun berkata, "Lilani, tadi aku hanya bergurau saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku akan mengantar kalian sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan."

Lilani makin terharu, dia memeluk Lili dan berkata, "Nona, aku sudah menduga bahwa hatimu tentu mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tidak mungkin berhati kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap sinar matamu yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Nona. Kau sudah menolong bangsaku, walau selamanya menjadi pelayanmu, aku akan rela dan merasa bahagia."

“Jangan kau bilang demikian, Lilani,” kata Lili.

Ma Hoa yang tidak tahu akan urusannya kemudian mendengarkan penuturan Lili tentang pengalaman menolong orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.

“Sayang dia keburu pergi sebelum mendengar penuturanku bahwa ibunya baru tiga hari yang lalu meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup ceritanya. Yang dimaksudkan dengan ‘dia’ tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.

“Dia sudah pergi, biarlah,” kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan, mengantar orang-orang Haimi ini ke benteng di mana kita akan menjumpai Goat Lan dan kakakmu Hong Beng. Di sana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu, dan juga pek-humu yang sudah berangkat lebih dulu.” Bicara tentang suaminya, kembali Ma Hoa teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi muram.

“Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”

“Bila diceritakan membuat hati menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat, nanti di jalan kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”

Setelah rombongan itu berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan dengan Nurhacu orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan, maka berceritalah Ma Hoa tentang penculikan Kwee Cing puteranya.

Seperti telah diketahui, Ma Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, oleh karena Kwee Cin masih terlalu kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah dalam saat mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin dalam perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.

Sejak menjadi isteri Kwee An, Ma Hoa belum pernah berpisah terlalu lama dari suaminya dan mereka hidup rukun serta saling mencinta. Tidak mengherankan apa bila kepergian Kwee An kali ini membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apa lagi dia maklum bahwa perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, karena itu hatinya selalu merasa gelisah sekali.

Pada suatu hari menjelang senja, keadaan dirasakan sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang rumahnya amat besar dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apa bila ada Kwee An, di rumah itu nampak gembira dan ramai, apa lagi kalau Goat Lan berada di rumah. Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia benar-benar merasa sunyi.

Tiba-tiba dari pintu pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan mengisap sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini langsung maju dan menghampiri Ma Hoa yang sedang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin. Kakek ini datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,

“Apakah aku berhadapan dengan Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”

Ma Hoa belum pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga bahwa kakek ini bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin dan Cin Hai, ia menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan gambaran Pendekar Bodoh tentang seorang yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut! Maka diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang bahwa selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya di tempat yang tak jauh dari situ.

“Benar, aku adalah Nyonya Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah datang di rumahku yang buruk ini?”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, lantas dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum menyeringai ia membuang abu tembakau dari kepala pipanya, kemudian mengisinya lagi dengan tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya terus memandang kepada nyonya itu dengan kagum. Biar pun Ma Hoa telah berusia hampir empat puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis yang cantik jelita saja!

Diam-diam Ma Hoa merasa gelisah, maka dia pun berkata kepada Kwee Cin, “Cin-ji, kau masuklah ke dalam.”

Kwee Cin memang selamanya amat taat kepada ayah bundanya. Maka sebagai seorang anak kecil yang belum dapat menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, dia menyatakan baik dan anak itu lalu masuk ke dalam kamarnya.

Kembali Ban Sai Cinjin tertawa dan sekarang suara ketawanya terdengar nyaring sekali hingga terdengar sampai jauh karena kakek ini memang telah mengerahkan khikang-nya untuk mengirim suara ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di luar!

“Kwee-hujin, ketahuilah bahwa aku bernama Ban Sai Cinjin dan kedatanganku ini hendak mencari puterimu, yaitu Nona Kwee Goat Lan. Puterimu itu telah berkali-kali melakukan penghinaan kepadaku dan sekarang aku sengaja datang hendak membuat perhitungan!”

Warna merah mulai menjalar pada kedua pipi Ma Hoa. Sekarang dia bangkit dari tempat duduknya dan Ban Sai Cinjin menjadi makin kagum karena sebenarnya setelah berdiri, nampak betapa langsing potongan tubuh nyonya yang telah mempunyai dua orang anak ini.

Ma Hoa berjalan tenang menghampiri tamunya setelah dia menyambar sepasang bambu runcing dan menancapkannya pada ikat pinggangnya. Dengan mata bercahaya dan bibir tersenyum mengejek dia berkata,

“Ban Sai Cinjin, biar pun baru sekali ini aku bertemu denganmu, akan tetapi telah sering kali aku mendengar namamu yang buruk dan terkenal. Maka aku tidak merasa heran apa bila Goat Lan bentrok denganmu, karena memang semenjak kecil dia telah kudidik untuk membasmi orang-orang jahat dan membela yang benar. Kau datang mencari Goat Lan untuk membuat perhitungan? Sayang, Goat Lan masih belum pulang. Akan tetapi kalau kau tetap merasa penasaran, untuk obat kecewamu, boleh kiranya aku sebagai ibunya mewakili Goat Lan untuk membayar hutang.”

“Bagus sekali, sama anak sama ibu! Kau dan anakmu terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memandang mata kepada orang lain. Baiklah, Kwee-hujin, karena anakmu tidak ada dan aku jauh-jauh sudah memerlukan datang, biarlah aku menerima pelajaran darimu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin cepat menggerakkan huncwe-nya dan tersebarlah uap hitam yang berbau amat memuakkan.

Akan tetapi Ma Hoa akan percuma saja disebut seorang pendekar wanita yang gagah perkasa kalau ia gentar menghadapi uap hitam beracun ini. Puterinya adalah murid Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, sedangkan dia sendiri adalah murid dan anak angkat dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng, maka setidaknya Ma Hoa juga sudah tahu akan jahatnya racun ini dan tahu pula obat penawarnya.

Goat Lan sendiri setelah tamat berlajar dari Sin Kong Lojin, banyak meninggalkan pil-pil obat penawar racun maka begitu melihat uap hitam ini, Ma Hoa cepat mengeluarkan tiga butir pil merah dan memasukkan itu ke dalam mulut. Kemudian kedua bambu runcingnya bergerak mengimbangi gerakan huncwe lawan.

“Bagus, jadi sebenarnya kaukah yang menjadi murid Hok Peng Taisu?” Ban Sai Cinjin membentak dan kini huncwe-nya menyambar ke arah kepala Ma Hoa.

“Ban Sai Cinjin, kau tidak usah banyak cakap, kalau kau mempunyai kepandaian lekas keluarkan semua hendak kulihat!”

Kembali Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara ketawa yang bahkan lebih nyaring dari pada tadi sambil menyerang dengan hebatnya, dan sungguh pun Ma Hoa menangkis dengan bambu runcingnya, namun telinganya yang tajam masih dapat menangkap suara seruan seperti seekor burung dari luar rumah. Hatinya tergoncang dan pikirannya bekerja keras.

Ini tentu ada apa-apanya, dan hatinya mulai berdebar. Akan tetapi oleh karena tidak terjadi sesuatu dia lalu memutar bambu runcing hendak cepat-cepat mengalahkan lawan ini. Aku harus melindungi Cin-ji, pikirnya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mengalahkan Ban Sai Cinjin dalam waktu singkat. Setelah mendapat hajaran dari Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin selain berlaku hati-hati sekali dan sama sekali tak berani memandang ringan kepada kawan-kawan Pendekar Bodoh yang ternyata mempunyai kepandaian yang hebat. Dahulu pun jika dia berlaku hati-hati, tidak mungkin dalam segebrakan saja dia kalah oleh Pendekar Bodoh.

Akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu silat bambu runcing yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar luar biasa sekali. Ia pernah menghadapi sepasang bambu runcing yang dimainkan oleh Goat Lan dan sudah merasa kagum sekali. Akan tetapi sekarang, ketika menghadapi permainan Ma Hoa, dia benar-benar terdesak hebat sekali. Kalau dulu Goat Lan memainkan sepasang bambu runcing sehingga senjata istimewa itu seakan-akan berubah menjadi lima, sekarang bambu runcing di tangan nyonya ini seakan-akan telah berganda menjadi delapan!

Selama ini, Ban Sai Cinjin tiada hentinya berlatih serta memajukan ilmunya sehingga kepandaiannya sudah naik banyak. Dalam menghadapi nyonya pendekar ini, dia masih dapat mempertahankan diri dengan mainkan huncwe-nya dan kadang ia menyemburkan asap hitam biar pun tidak mempengaruhi Ma Hoa yang sudah memasukkan tiga butir pil merah di dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja Ma Hoa harus menghindarkan kedua matanya dari serangan asap hitam yang lihai itu.

Pertempuran telah berjalan tiga puluh jurus dan beberapa kali Ban Sai Cinjin hampir saja terkena totokan bambu runcing hingga keselamatan nyawanya berada di ujung rambut. Ia terdesak hebat sekali dan hati kakek mewah ini mulai menjadi gelisah sekali.

Tiba-tiba saja terdengar lagi suara burung hantu dan mendadak Ban Sai Cinjin tertawa menyeramkan sambil melompat jauh ke belakang.

“Kwee-hujin, tidak percuma kau menjadi isteri Kwee An yang terkenal namanya, karena memang ilmu silatmu hebat sekali. Aku Ban Sai Cinjin kali ini mengaku kalah. Biarlah kelak kita bertemu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.”

“Pengecut!” Ma Hoa memaki, akan tetapi ia tidak mengejar Ban Sai Cinjin karena kuatir apa bila kakek pesolek itu menjebaknya dengan tipu ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Ia bahkan cepat melompat ke dalam rumah dan menuju ke kamar Kwee Cin.

Akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi pucat sekali ketika melihat dua orang pelayannya telah rebah menggeletak dalam keadaan tertotok! Sambil menekan debaran jantungnya yang seakan-akan hendak memecahkan dada, Ma Hoa cepat berlari ke dalam kamar anaknya. Benar saja seperti yang telah dikuatirkannya, di dalam kamar itu tidak nampak lagi bayangan anaknya!

Ma Hoa sudah sering sekali menghadapi peristiwa hebat ketika mudanya, akan tetapi mala petaka kali ini benar-benar hebat sekali dan sangat menusuk perasaannya. Hanya saja ia memang telah memiliki pandangan yang luas. Ia tidak menjadi putus asa, karena puteranya itu hanya diculik orang dan bukan dibunuh. Siapa pun yang menculiknya, dia masih mempunyai harapan untuk merampasnya kembali.

Cepat ia berlari keluar kamar dan membebaskan totokan dua orang pelayan itu.

“Lekas ceritakan, apa yang telah terjadi?” tanyanya dengan tenang.

Dua orang pelayan itu menceritakan bahwa dari belakang datang dua orang pengemis tua yang tak berkata sesuatu lalu menotok mereka dan kemudian mereka melihat betapa kongcu (tuan muda) sudah dipanggul oleh salah seorang di antara dua pengemis itu dan dibawa lari melalui pintu belakang.

Selesai mendengar penuturan ini, Ma Hoa lalu cepat mengejar melalui pintu belakang. Ia mengejar terus sampai sejauh sepuluh li lebih, akan tetapi seperti yang telah diduganya, ia tidak melihat bayangan dua orang pengemis penculik itu.

“Hemm, tidak lain ini tentulah perbuatan Ban Sai Cinjin yang sengaja memancing dalam sebuah pertempuran dan sementara itu kawan-kawannya melakukan penculikan terhadap Kwee Cin,” pikirnya.

Dia cepat mengambil keputusan, menyerahkan penjagaan rumahnya kepada dua orang pelayan karena hari itu juga dia hendak menyusul suaminya ke utara sekalian mencari jejak Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ketika dia membuka peti di mana dia menyimpan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit) yang dititipkan oleh Goat Lan kepadanya, ternyata kitab itu bersama anaknya telah lenyap pula! Ma Hoa menjadi gemas sekali, dia mengertakkan giginya dan membanting-bantingkan kaki kanan di atas lantai.

“Ban Sai Cinjin bangsat tua yang curang! Tunggulah saja kalau sampai aku dapat melihat mukamu lagi, kau pasti akan kujadikan sate dengan bambu runcingku!”

Demikianlah, Ma Hoa lalu cepat melakukan pengejaran ke utara dan karena daerah utara memang sukar sekali dilalui serta Pegunungan Alkata-san masih asing baginya, maka ia tersesat jalan dan kebetulan sekali dapat menghentikan pertempuran hebat yang terjadi antara Lili dan Lie Siong.

Setelah Lili mendengar penuturan Ma Hoa ini, gadis ini pun menjadi marah sekali dan berkata dengan gemas, “Ban Sai Cinjin memang jahat sekali. Muridnya yang bernama Bouw Hun Ti sudah membunuh Yousuf kakekku dan menculikku ketika aku masih kecil. Kemudian Ban Sai Cinjin menurut penuturan dan dugaanku juga sudah meracun Sin-kai Lo Sian guruku, telah meracuni suhu-ku itu hingga Sin-kai Lo Sian tak dapat mengingat apa pun, dan yang membunuh Supek Lie Kong Sian juga Ban Sai Cinjin! Dan sekarang, kembali Ban Sai Cinjin menculik Adik Cin! Benar-benar orang yang jahanam dan ingin mampus.”

Ma Hoa menarik napas panjang. “Memang di dunia ini selalu terdapat orang-orang jahat, Lili. Tidak ada bedanya semenjak dahulu sampai sekarang. Dulu pun ada seorang jahat bernama Hai Kong Hosiang yang selalu memusuhi orang tua kami dan kami. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Ban Sai Cinjin, Hai Kong Hosiang masih tidak begitu curang dan jahat!”

Lili juga pernah mendengar nama Hai Kong Hosiang ini karena sering kali ayah ibunya menceritakannya tentang pengalaman mereka pada waktu muda.

Demikianlah, sambil bercakap-cakap Ma Hoa dan Lili, diikuti oleh Lilani dan Lo Sian serta semua orang Haimi, melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Alkata-san di mana telah nampak tembok besar benteng tentara kerajaan itu.

********************

Marilah kita tinggalkan dulu mereka yang sedang menuju ke benteng itu dan menengok keadaan Goat Lan dan Hong Beng yang sudah lama kita tinggalkan.

Karena mendapat pertolongan dari Kam Liong yang memberi kuda kepada mereka dan semua pengawal, perjalanan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke Bukit Alkata-san dapat berjalan cepat dan lancar. Dan sebagaimana yang dituturkan oleh Kam Liong, benteng itu meski pun sudah tua dan banyak yang rusak, akan tetapi masih baik dan kuat, juga merupakan tempat penjagaan yang sangat baiknya. Hong Beng bersama semua prajurit yang mengawalnya lalu menggulung lengan baju dan memperbaiki bangunan-bangunan yang berada di dalam benteng itu.

Beberapa hari kemudian, Hong Beng dan Goat Lan mulai mengatur siasat untuk dapat menjalankan tugas mereka. Dari para penyelidik yang mereka sebar di sekitar daerah itu, mereka mendapat keterangan bahwa tentara Mongol banyak yang bersembunyi di atas bukit yang berada di sebelah utara Bukit Alkata-san, dan amatlah sukar untuk menyerang ke sana.

Selain daerah itu tertutup salju dan dingin sekali, juga pertahanan tentara Mongol sangat kuatnya. Bagaimanakah mereka yang hanya memiliki sedikit pasukan itu dapat melawan tentara Mongol yang ribuan jumlahnya?

“Lebih baik kita menjaga dan mengatur penjagaan,” kata Hong Beng. “ Kalau kita melihat ada barisan musuh yang hendak menyeberang ke selatan dan melalui bukit ini, baru kita serang mereka.”

Penjagaan dilakukan siang malam dan benar saja, beberapa hari berturut-turut, mereka berhasil memukul mundur pasukan-pasukan kecil bangsa Mongol yang hendak menuju ke selatan, seperti biasanya untuk melakukan keganasan terhadap penduduk Tiongkok di balik tembok besar. Setiap kali terjadi pertempuran, selalu Hong Beng dan Goat Lan memperlihatkan kepandaiannya dan tak ada seorang pun perwira Mongol dapat bertahan menghadapi pendekar-pendekar remaja yang gagah dan sakti ini.

Pasukan-pasukan Mongol yang hendak melakukan penggarongan ke selatan terpaksa mengambil jalan memutar dan tidak berani lagi melewati Bukit Alkata-san di mana terjaga oleh pasukan yang dipimpin oleh dua orang muda ini.

Sementara itu, hubungan Hong Beng dan Goat Lan makin erat dan cinta mereka berakar makin mendalam. Namun, sebagai pemuda dan pemudi yang tidak saja gagah lahirnya akan tetapi juga mulia batinnya, kedua orang muda ini membatasi hubungan mereka dan sama sekali tidak pernah berani melanggar kesusilaan.

Baik Hong Beng mau pun Goat Lan bisa menekan cinta kasih mereka dan sudah merasa cukup bahagia dengan saling berpegang tangan atau saling pandang dengan sinar mata penuh arti, penuh cinta kasih dan kemesraan. Tentu saja Goat Lan semakin menghargai tunangannya ini.

Beberapa pekan mereka berada di sana dan merasa senang karena daerah Alkata-san boleh dibilang aman, terutama yang termasuk di dalam lingkungan benteng itu. Tidak ada anggota pasukan yang berani meninggalkan benteng, karena kuatir kalau-kalau pasukan musuh datang menyerbu.

Maka mereka sama sekali tidak tahu bahwa hanya seratus li dari tempat itu terdapat Lili dan Ma Hoa. Juga mereka tidak tahu bahwa dari selatan sudah datang serombongan orang terdiri dari Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An. Sementara dari jurusan lain datang pula pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun atau Kam Liong.

Pada suatu senja kedua teruna remaja ini duduk di bawah pohon di mana mereka sering kali duduk, bercakap-cakap dengan asyik dan mesranya. Bulan hanya sedikit, bercahaya pudar sebab kalah oleh cahaya matahari yang masih ada sisanya menerangi permukaan bumi.

“Lan-moi...” terdengar Hong Beng berkata pelan sambil memegang tangan tunangannya.

“Ada apa, Koko?” jawab Goat Lan sambil memandang mesra. Bibirnya tersenyum manis sekali.

“Kalau keadaan sudah aman dan kelak kita kembali ke selatan, mendapat pengampunan dari Hong-siang...”

“Ya...?”

“Aku akan minta pada ayah bundaku agar... pernikahan kita dapat segera dilangsungkan”

Wajah yang manis itu memerah sampai ke telinganya dan jari-jari tangan yang runcing dan halus kulitnya itu mencubit. “Ahh, Koko, kau ini ada-ada saja. Tergesa-gesa ada apa sih?”

Hong Beng menengok ke kanan di mana Goat Lan duduk. Mereka duduk di atas rumput dan angin bertiup sepoi-sepoi menambah segar dan gembira perasaan. Pada senja hari itu, Goat Lan mengenakan baju berkembang-kembang warna emas, leher baju dan ikat pinggang kuning, begitu pula celananya terbuat dari sutera kuning yang bersih dan halus. Pinggiran bajunya sebelah bawah berwarna merah, sama merahnya dengan bunga yang terselip di atas telinga kanannya. Rambutnya disusun meniru model gadis-gadis Mongol atau Boan yang pernah dilihatnya di sekitar tempat itu, digelung ke atas dan selebihnya diurai memanjang di belakang punggungnya. Gadis ini benar-benar nampak cantik jelita, terutama sekali dalam pandang mata Hong Beng yang mencintanya.

“Lan-moi, aku bukan hendak tergesa-gesa, akan tetapi aku ingin selamanya, tak sedetik pun berpisah lagi darimu. Kalau kita sudah menikah, barulah harapan itu terkabul!”

Goat Lan tertawa geli sebab merasa lucu mendengar ucapan kekasihnya. Ia memandang dan diam-diam merasa kagum melihat betapa kekasihnya nampak tampan dan gagah sekali dalam pakaian yang berwarna biru itu.

“Jika begitu, kita harus menjadi sepasang kupu-kupu atau seperti sepasang burung yang selalu beterbangan di udara, siang malam tak pernah berpisah lagi.”

“Mengapa harus menjadi kupu-kupu atau burung? Kalau kita sudah menikah, meski pun kita masih menjadi manusia, kita dapat selalu berkumpul, takkan berpisah lagi sebentar pun.”

“Mana mungkin?” Goat Lan kembali tertawa. “Aku harus mengatur rumah tangga, harus masak, dan kau harus bekerja. Bagaimana kita bisa selalu berkumpul?”

Demikianlah, sepasang orang muda yang bahagia ini bersenda gurau, kadang-kadang bersungguh-sungguh membicarakan masa datang yang penuh harapan dan cita-cita. Tak terasa lagi cuaca menjadi makin gelap dan dua orang muda yang sedang tenggelam dalam alunan kasih asmara ini sama sekali tidak tahu betapa bayangan sesosok tubuh yang amat gesit laksana burung walet hitam, melompat dari wuwungan ke wuwungan lain di atas bangunan-bangunan dalam benteng itu!

Para prajurit yang sedang bertugas juga tidak melihat bayangan ini yang menandakan bahwa orang itu benar-benar berkepandaian tinggi sehingga dapat menyerobot masuk ke dalam benteng tanpa diketahui orang. Dari atas wuwungan yang terdekat dengan tempat Hong Beng dan tunangannya duduk, orang itu memandang ke arah mereka. Kemudian, dengan gerak lompat Naga Hitam Naik ke Langit, ia lalu melompat dari atas wuwungan itu ke atas pohon yang berada belakang Hong Beng.

Ginkang dari orang itu benar-benar mencapai tingkat tinggi karena ketika ia tiba di pohon itu, tak selembar pun daun pohon bergoyang! Akan tetapi ia salah hitung kalau mengira bahwa Hong Beng tidak mengetahui kehadirannya. Walau pun delapan puluh bagian dari semangat pemuda ini telah terbang oleh gelombang asmara, namun yang dua puluh bagian sudah lebih dari cukup untuk mengingatkannya bahwa ada gerakan sesuatu yang mencurigakan di atas kepalanya!

Di dalam keadaan bahaya, semangat pembelaan dan perlindungan terhadap kekasihnya timbul dan tanpa sengaja Hong Beng merangkulkan tangan kanannya pada pundak Goat Lan, sedangkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga lweekang segera dipukulkan dengan dorongan ke atas pohon dibarengi bentakan, “Turunlah kau!"

Walau pun hanya dilakukan sambil duduk dan dengan tangan kiri, namun tenaga pukulan Hong Beng ini mengandung hawa pukulan yang cukup hebat sehingga cabang dan daun pohon itu bagaikan tertiup angin dari bawah!

“Sie-enghiong, jangan menyerangku!” terdengar seruan dari atas.

Bayangan yang amat gesitnya melompat turun dengan gerak tipu Garuda Menyambar Air dan sebentar saja di depan Hong Beng dan Goat Lan yang sudah bangun itu berdirilah seorang pemuda yang tampan. Goat Lan segera mengenal orang ini sebagai Song Kam Seng.....

Ia mendengar dari Lili bahwa pemuda ini dahulunya ditolong oleh Lili dan Lo Sian, akan tetapi kemudian membalik dan menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia juga telah mendengar bahwa pemuda ini sesungguhnya adalah putera Song Kun, sute dari Lie Kong Sian yang lihai dan jahat, dan yang tewas dalam tangan Pendekar Bodoh! Tentu saja dia menjadi kaget dan bercuriga sekali.

“Siapa kau dan apa maksud kedatanganmu?” Hong Beng membentak sambil menatap tajam dengan sikap siap sedia.

Sebelum Kam Seng menjawab, Goat Lan mendahuluinya, “Beng-ko, dia ini adalah Song Kam Seng yang pernah kuceritakan kepadamu. Inilah putera dari Song Kun, orang tak berbudi yang melupakan pertolongan dan berbalik memusuhi Lili!”

Pemuda itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara dingin, “Memang benar, aku adalah Song Kam Seng putera Song Kun yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.”

“Apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan urusan itu?” Hong Beng bertanya dengan sikap menantang.

“Tidak, Saudara Sie Hong Beng, sekarang belum tiba waktunya bagiku untuk membuat perhitungan. Semua perhitungan akan kubuat dan kubereskan dengan ayahmu sendiri, kau tidak usah ikut campur. Sekarang ada urusan pribadi. Aku hendak bicara mengenai urusan negara, tentang pengacauan orang Mongol, dan yang berhubungan pula dengan persekutuan yang diadakan oleh Ban Sai Cinjin dan orang-orang lain.”

“Hemm, bukankah Ban Sai Cinjin itu susiok-mu?” Goat Lan bertanya dengan pandangan penuh curiga.

“Betul, Nona Kwee. Akan tetapi di dalam hal ini, paham dia jauh berbeda dengan aku. Betapa pun juga, aku bukanlah seorang pengkhianat bangsa dan aku merasa tak setuju sekali dengan tindakan yang telah diambil oleh Susiok. Juga perbuatannya yang terakhir ini, yaitu menculik adikmu, Nona, amat tidak kusetujui dan untuk itulah maka aku sengaja datang ke tempat ini.”

Bukan main terkejutnya hati Goat Lan mendengar ini, juga Hong Beng merasa kaget dan cepat-cepat dia mengajak pemuda itu masuk ke dalam bangunan yang menjadi tempat tinggalnya. Mereka bertiga lalu duduk menghadapi meja.

“Apa maksudmu dengan penculikan adikku yang kau katakan tadi?” Goat Lan langsung bertanya kepada Song Kam Seng.

Pemuda itu menarik napas panjang. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya, juga ayahmu yaitu Kwee-lo-enghiong, sedang menuju ke sini untuk membantu menjaga tapal batas dan mengusir pengacau-pengacau bangsa Mongol dan Tartar. Hal ini sangat menggelisahkan hati Malangi Khan, karena baru kalian berdua saja berada di sini sudah merupakan halangan besar, apa lagi kalau orang-orang tuamu datang membantumu di sini. Oleh karena itu, Susiok yang menjadi tangan kanan Malangi Khan, kemudian turun tangan. Dia tahu bahwa ibumu hanya berada berdua saja dengan adikmu yang masih kecil, karena itu dengan ditemani oleh Coa-ong Lojin dan seorang pembantunya, Ban Sai Cinjin lalu datang ke Tiang-an dan akhirnya dapat menculik Kwee Cin adikmu, bahkan sudah berhasil mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari Sin Kong Tianglo.”

Goat Lan menjadi pucat sekali. Ia memandang tajam dan berkata, “Kau yang memihak musuh, mengapa kau datang menceritakan hal ini? Apa kehendakmu?”

“Sudah kukatakan tadi, Nona, aku bukan datang dengan niat jahat. Aku terpaksa berada di utara karena terbawa oleh Susiok dan terpaksa karena suhu-ku malu hati kepada Ban Sai Cinjin, sehingga biar pun Suhu tidak dapat datang sendiri, namun Suhu menyuruhku mewakilinya. Maksud kedatanganku dan kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu, juga kepada Saudara Sie Hong Beng, tidak lain supaya kalian bersiap sedia. Ketahulilah bahwa Ban Sai Cinjin hendak menjadikan adikmu sebagai tanggungan. Tidak lama lagi kalian tentu akan mendengar ancaman dari Ban Sai Cinjin bahwa kalau Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya membantu tentara kerajaan, maka Kwee Cin adikmu itu akan dibinasakan lebih dulu!”

“Bangsat keji!” Goat Lan berseru keras sambil melompat bangun dan tanpa terasa pula sepasang bambu runcingnya sudah berada di kedua tangannya. “Orang she Song, lekas tunjukkan kepadaku di mana adikku ditahan agar aku dapat pergi menolongnya. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat itu, berarti bahwa kebaikanmu ini palsu belaka untuk menjebak kami dan untuk itu aku akan membinasakanmu di sini dan sekarang juga!”

“Nona Kwee, kalau aku mau menunjukkan tempat itu bukan berarti bahwa aku takut akan ancamanmu, aku lebih takut apa bila aku disangka ikut berjiwa pengkhianat. Akan tetapi biar pun dengan segan, aku harus memberitahukan padamu bahwa mendatangi tempat itu untuk menolong adikmu sama halnya dengan membunuh diri! Penjagaan di situ selain kuat sekali, juga Susiok sendiri berada di sana, selalu berdekatan dengan adikmu. Dan tentang kepandaian Susiok, dia telah memperoleh kemajuan hebat apa lagi dibantu oleh Coa-ong Lojin dengan anak buahnya!”

“Tidak peduli, aku tidak takut! Lekas tunjukkan di mana tempat adikku ditahan!” Goat Lan mendesak.

Ada pun Hong Beng tidak berkata sesuatu sebab ia maklum bahwa tunangannya sedang gelisah, bingung dan kuatir sekali. Song Kam Seng lalu minta kertas dan alat tulis, lalu menggambarkan keadaan gunung di sebelah utara Alkata-san, di mana terdapat markas Malangi Khan dan bala tentaranya. Tempat tahanan Kwee Cin itu ternyata berada paling belakang sehingga untuk datang ke tempat itu harus lebih dahulu melalui benteng dari tentara Mongol!

“Nah, kalian lihat sendiri betapa berbahayanya untuk menyerbu tempat ini. Aku memberi tahukan semua ini agar supaya kalian dapat merundingkan dengan orang-orang tuamu dan mencari siasat yang baik, jangan sekali-kali berlaku sembrono. Sungguh mati kalau sampai berlaku nekad dan terjadi sesuatu yang mengerikan, akulah orang pertama yang akan merasa menyesal sekali. Selamat tinggal!”

“Ucapanmu tidak menakutkan kami, Song Kam Seng! Betapa pun juga aku akan pergi membebaskan adikku dan merampas kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip!”

Mendengar suara nona ini demikian tetap dan nekad, Kam Seng yang sudah melompat sampai di pintu itu segera menunda kepergiannya. Dia menengok dan berkata, “Jalan satu-satunya yang lebih aman adalah dari belakang bukit sebab di sana tidak ada tentara Mongol, akan tetapi perjalanan melalui tempat itu amat berbahaya. Lagi pula setelah kau berhasil memasuki benteng sebelah belakang itu, kau masih harus berhadapan dengan Susiok, dengan Coa-ong Lojin, dan banyak lagi orang-orang kang-ouw termasuk empat puluh orang lebih anggota Coa-tung Kai-pang.” Sesudah berkata demikian, tubuh Kam Seng berkelebat dan lenyap dari situ!

“Ginkang-nya boleh juga!” kata Hong Beng.

“Koko, kita harus menyusul Adik Cin sekarang juga. Siapa tahu kalau-kalau jahanam itu akan mengganggunya.”

“Lan-moi, kurasa kata-kata Song Kam tadi ada benarnya. Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati. Bukan sekali-kali aku merasa jeri mendengar penjagaan musuh yang demikian kuatnya, akan tetapi bila memang benar orang tua kita tak lama lagi akan datang, apakah tidak lebih baik berunding dulu dengan mereka, dan minta nasehat mereka bagaimana? Kau tahu bahwa Ban Sai Cinjin akan menjaganya dengan luar biasa kuatnya karena dia maklum bahwa keluarga kita juga tidak akan tinggal diam begitu saja!”

“Justru sekaranglah kita harus bertindak, Koko. Bukankah tadi Song Kam Seng sudah menyatakan bahwa tak lama lagi tentu Ban Sai Cinjin akan mengancam kita agar jangan membantu tentara kerajaan? Hal ini berarti bahwa sekarang Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa kita telah mendengar mengenai diculiknya adikku, maka penjagaan di sana tentu belum begitu diperkuat. Kita datang mendadak pula, kalau mungkin menangkap Ban Sai Cinjin dan memaksanya mengembalikan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip serta melepaskan Adik Cin.”

Hong Beng memandang tunangannya. Dia segera tahu bahwa kehendak dan ketetapan hati tunangannya yang tabah ini tidak mungkin dapat dibantah lagi, dan dia pun maklum bahwa pekerjaan ini sungguh-sungguh amat berbahaya, maka akhirnya dia menyatakan persetujuannya.

Hong Beng lalu memberitahukan kepada para prajurit bahwa dia dan Goat Lan hendak melakukan penyelidikan pada markas musuh, kemudian pemuda ini membuat sepucuk surat yang dimasukkan di dalam sampul, diberikan kepada pengawal dengan pesan agar supaya surat itu diberikan kepada Pendekar Bodoh atau kawan-kawan yang lain kalau ternyata ada yang datang mencari mereka di benteng ini.

Maka berangkatlah Hong Beng beserta Goat Lan pada malam hari itu juga, membawa tongkat hitamnya yang menjadi tanda bahwa dia adalah ketua dari Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan tidak lupa membawa sepasang bambu runcingnya…..

********************

Sie Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah berpengalaman di daerah ini di waktu mereka masih muda, dapat lebih dulu tiba di kaki Gunung Alkatasan. Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan Mongol yang berhasil menerobos ke selatan dari jurusan lain karena menjauhi Bukit Alkata-san yang dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti itu.

Oleh karena melakukan perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh ini, maka mereka agak terlambat sampai di benteng di mana Hong Beng dan Goat Lan mengatur penjagaan pasukan mereka yang kecil jumlahnya.

Para penjaga benteng dari jauh sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentak,

“Siapa diluar?!”

“Kami orang tua dari Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru Kwee An dengan suaranya yang nyaring.

Semua orang di dalam benteng itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan Kwee Taihiap, maka mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan, mereka cepat membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan sinar mata kagum dan juga girang. Siapa orangnya yang tak menjadi girang kedatangan pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan yang berbahaya sekali itu?

“Sie-enghiong bersama Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk menyelidiki kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan ada meninggalkan sepucuk surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami sendiri sudah merasa amat kuatir.” Kepala pengawal menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng.

Cin Hai segera menerima surat itu dan membacanya,

Ayah, Ibu, Kwee-pekhu atau Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini!

Kami, Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang menggambarkan bahwa Kwee Cin sudah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan di dalam benteng orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami segera pergi ke sana untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat yang juga dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.

Dari sini menuju ke bukit itu melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam Seng, dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga atau empat hari kami tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau terbinasa oleh musuh. Sekian harap menjadikan maklum.

Terima kasih,
Sie Hong Beng.

Tidak saja Cin Hai yang terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai membacakan surat itu, menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat wajahnya.

“Bagaimana bisa terjadi hal semacam ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena kemarahan mulai bernyala di dalam hatinya.

“Kita harus berlaku tenang dan sabar,” kata Cin Hai yang di dalam menghadapi segala macam urusan bersikap tenang seperti suhu-nya. “Menurut laporan kepala pengawal tadi mereka baru dua hari pergi. Apa bila sekarang kita menyusul ke sana, belum tentu kita dapat bertemu dengan mereka sehingga bahkan dapat menyulitkan keadaan. Kita harus percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tak mungkin mereka berdua akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai empat hari, jadi dua hari lagi, kalau mereka tidak pulang juga, barulah kita mengambil keputusan apa yang harus kita lakukan.”

Kwee An mengangguk menyatakan setuju. Sebetulnya dia merasa amat gelisah karena mendengar bahwa puteranya telah diculik orang, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau sekarang ia nekat menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan mempersulit dan mengacaukan usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha menolong Kwee Cin. Lagi pula, ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan juga kelihaian Hong Beng yang seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak mudah ditawan oleh musuh.

Alangkah girang hati semua orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu, ketika pada keesokan harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan orang-orang Haimi yang dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai Lo Sian!

Ma Hoa cepat menceritakan sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai diculik orang, berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah dituturkan dengan jelas pada bagian depan. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An mendengar penuturan ini.

“Betapa pun juga,” kata Kwee An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan Hong Beng belum juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan awaslah Ban Sai Cinjin kalau dia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”

Sesudah membaca surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan suaminya, yaitu akan menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan Lili. Diam-diam hati gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai Cinjin. Kakek pesolek itu sangat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau Hong Beng dan Goat Lan terjebak ke dalam perangkapnya?

Malam hari itu, Lili lalu bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak pengalaman di daerah utara ini. Dari Nurhacu dia mendapatkan banyak petunjuk tentang keadaan bukit di utara itu.

Benteng itu kini menjadi ramai dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga gagah. Dan pada malam hari itu pula, Lili keluar dengan diam-diam melalui penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang Haimi, dan di bawah cahaya bulan purnama yang muram, gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak menyusul Hong Beng dan Goat Lan, dan tentu saja kepergiannya ini tidak diberitahukan kepada ayah bundanya, karena dia tahu bahwa mereka pasti tidak akan mau meluluskannya.

Ada pun Lilani segera dapat merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan amat kasihan melihat nasib gadis ini. Kwee An dan Cin Hai juga segera menganggap gadis ini seperti keponakan sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.

Gadis yang lincah dan rajin ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu sehingga dua pasang suami isteri itu semakin menyayanginya. Benar-benar Lilani dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang membuat seseorang selalu disuka.

Tentu saja pada keesokan harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger saat melihat betapa Lili telah tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin sudah mencari ke mana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang mendengar betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan menceritakan bahwa malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang keadaan bukit di utara itu.

“Tidak salah lagi!” Cin Hai membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu sudah menyusul kakaknya ke sana!”

Pada saat semua orang tengah membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tak lama kemudian seorang pengawal dengan wajah berseri memberi laporan akan datangnya sebuah barisan yang besar sekali, yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun dari kota raja!

Semua orang menyambut dan benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan penuh hormat, Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan Kwee An serta Ma Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang tingkatnya lebih tinggi hingga semua orang secara diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada panglima muda ini.

Ketika Kam Liong mendengar bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali dari penyelidikan mereka di markas musuh dan bahwa tadi malam Lili juga telah mengejar ke sana, pemuda ini lalu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Berbahaya, berbahaya! Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri berada di tempat itu! Ahh, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang dan menyerbu dengan mendadak, barang kali saja masih dapat menolong putera Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”

“Jangan, Kam-ciangkun. Itu terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk menolong mereka itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah saja mengalami bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.

Pada saat itu pula terdengar suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda dengan cepat sekali, datang membawa sesampul surat yang katanya harus disampaikan kepada Pendekar Bodoh!

Melihat orang Mongol itu datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para prajurit tidak berani mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol itu bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya menyeringai seperti sikap seorang yang tidak takut mati.

“Aku datang sebagai utusan Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke dalam benteng.

“Mana surat yang kau bawa?” Cin Hai bertanya.

“Harus kuserahkan sendiri kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.

“Akulah orang yang dimaksudkan itu,” jawab Cin Hai.

Orang Mongol itu memandang seperti tak percaya. Orang ini tampaknya demikian lemah, pikirnya, mana mungkin dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan bahkan ditakuti oleh Malangi Khan sendiri?

Cin Hai dapat menduga pikiran orang. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalau kau hendak berlama-lama, biarlah aku mengambilnya sendiri!”

Tangan kirinya bergerak perlahan ke depan, mengarah ke dada orang Mongol itu. Orang Mongol itu cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika lengan tangannya beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik kemudian seruannya terhenti karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri Cin Hai. Orang Mongol itu berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis sehingga nampak lucu sekali.

Cin Hai kemudian menggeledah saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang ditujukan kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya dan membaca, ternyata bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai Cinjin dan yang ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya ikut maju membantu bala tentara kerajaan, maka Kwee Cin akan dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.

Cin Hai dan Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”

“Apakah bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”

“Baik, kau kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”

Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di belakangnya.

“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”

“Kalau demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”

“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”

“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”

Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.

“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”

Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.

“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”

“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.

Biar pun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.

Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.

Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.

Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.

Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,

“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”

“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”

Merahlah wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”

Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!

“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”

Mendengar bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.

Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!

“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”

Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”

“Memang hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”

Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.

Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.

“Biar pun andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.

“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”

Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”

Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee An!

Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.

Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?

Sekarang melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”

Sambil berkata demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.

Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.

Diam-diam dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.

Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.

Kam Seng semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.

Pendekar Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.

Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya Liong-cu-kiam!

Setelah mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.

Tubuh Kam Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!

Betapa pun hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.

“Kam Seng, kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”

Kam Seng menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”

Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”

Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.

“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”

Tunduklah hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!

“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya dengan hati terharu.

“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.

“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”

“Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng amat nekat dan datang juga ke sana...”

“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.

“Kini mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”

“Tak mungkin!” kata Kwee An.

“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.

Kam Seng tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”

“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”

“Kwee Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.

Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.

“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.

“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”

Kemudian dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.

Cin Hai mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”

Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah.

Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.....

Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.

Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.

“Apakah ada setan di tengah hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya?

Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial

“Mungkin kita salah lihat,” katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok benteng sebelah belakang dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.

Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana kepala bangsa Mongol.

Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, sempat melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!

Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang dari benteng Mongol itu.

Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi di barat. Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan akan terancam.

Dari Kam Seng dia mendapat keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.

Di depan dan belakang, atau pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja, kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!

Dengan perlahan Kwee An bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah kampung itu. Dia menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan kepandaiannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.

Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?

Kwee An memandang ke arah jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai jendela dia melihat ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing. Hatinya berdebar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi!

Ingin dia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.

Lagi pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dahulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.

Akan tetapi, sebelum dia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu.

Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan sepasang matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tak hentinya menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!”

Kemudian dia memegang pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar Pendekar Bodoh… aduhhh…!”

Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu Coa-ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan penculikan di Tiang-an dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.

“Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.

“Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.

Mendadak terdengar suara Hong Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!”

“Tutup mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!”

Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-ong Lojin.

Dengan hati berdebar-debar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan sangat pandainya dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!

“Nona Kwee,” dia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!”

“Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab jika kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!”

Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit.

Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana, akan tetapi di tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!

“Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang semacam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi hajaran!”

Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin Hai mencabut Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus! Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu dibuat permainan oleh Cin Hai!

Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup untuk membuat muka kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Sesudah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya!

Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya.

Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum, “Ayah, turunlah sekarang!”

Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang tangan ayahnya dan berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”

Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa.

“Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”

Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa.”

Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.

“Ah, kalau kita tahu akan hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!” Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!

Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa kaget dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua prajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!

Kemudian, pada esok harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong, daun pintu pun terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang dulu pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat dia memegang pundak anaknya.

“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak minta tambah dari aku!”

Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan kanannya dia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.

“Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”

Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!”

“Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu bila sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”

“Setan Tua, mampuslah kau!” Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong!

Walau pun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya.

Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di sana terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para perwira Mongol yang pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat belas orang!

Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apa lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!

Ban Sai Cinjin biar pun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena dia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Dia menyerang dengan huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok.

Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!

Ada pun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shantung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa lagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan tenaga lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.

Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang kini sudah tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.

“Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil tersenyum.

“Baik, mari kita coba!” kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!

“Satu...!” seru Kwee An.

Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya dia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.

“Satu...!” Goat Lan juga berseru keras.

Kwee An tersenyum lebar dan tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru, “Dua...!” dan terlemparlah dua orang pengeroyok!

Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis napasnya!

Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka puluhan prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak!

Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki.

Jika saja pertempuran ini adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan tidak akan segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.

Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!”

Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu putera dari Malangi Khan!

Melihat betapa semua prajurit Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.

“Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”

Cin Hai tersenyum sindir. “Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol itu tak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!

Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran itu dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.

Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya.

Malangi Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar merah dan sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.

Ternyata bahwa setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena istana itu memang berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu?

Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!

“Hei...! Siapa kau? Berhenti!” Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat menghadangnya.

“Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.

Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap Kaisar itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.

“Bunuh saja orang gila ini sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung dia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.

“Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.

“Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit tubuhmu!” kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan ‘orang gila’ yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.

Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula agaknya akan jauh lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah dari pada dengan jalan kekerasan.

“Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!” katanya sambil tersenyum.

Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan, seorang panglima lalu mengambil rantai besi.

“Klik! Klik!” terdengar suara suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat!

Ada yang menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.

Akan tetapi ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!

“Siapakah kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi kenapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di istana?” Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.

Cin Hai tersenyum dan karena dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk, kemudian berkata dengan hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”

Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di situ pun terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak mungkin!

Beberapa orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena menyangka bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,

“Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?”

Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung!

Tadi orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak nyatalah sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu tadi datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima pada waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh?

Di antara para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman belasan tahun yang lalu. (baca Pendekar Bodoh)

Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu ternyata hanya begini sederhana saja?

Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan.

Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!

Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil?

Mohopi segera berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Ada pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?

“Ehh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu untuk saling menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.

Cin Hai tersenyum, “Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling berperang?”

Malangi Khan mengerutkan keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau tidak menghadapi Sam-koksu kami?”

“Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol memiliki banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”

“Beri ruangan yang lebar dan buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru dengan wajah berseri.

Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja dia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam laga akan bertarung!

“Tak usah, Khan yang baik!” jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu. “belenggu ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!” (baca cerita Pendekar Bodoh)

Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila.

Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tidak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?

Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.

“Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.

“Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga dia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”

Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.

Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jeri untuk menghadapi aku, takut kalah?”

Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.

“Orang gila, kau betul-betul sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak dia melakukan serangan bertubi-tubi.

Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!

Akan tetapi, sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan mengenai pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating ia telah bisa menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.

Saat semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.

Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan dengan gerakan cepat sekali dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.

Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.

“Majulah, majulah kalian bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.

Ganisa dan Citalani atau yang biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walau pun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga.

Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.

Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang.

Biar pun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulu pun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.

“Koksu, serang dia dengan senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah karena merasa malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.

Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang paling menarik perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!

Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka dia lantas berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.

Kedua golok besar itu menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu.

Dia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apa bila ditangkis.

Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!

Thai-koksu terkejut sekali. Ia hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada di dalam tengkorak itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!

Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus ke dalam perut Sam-koksu.

“Ngekk!”

Meski pun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu saja dia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!

Ada pun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya, membabat secara bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.

Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok!

Seorang yang tidak memiliki ilmu ginkang yang luar biasa tingginya tidak mungkin dapat melakukan tendangan selagi tubuhnya masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga lweekang yang amat hebat juga tidak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali.

Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, dia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar