Pendekar Sakti Jilid 16-20
Pada masa itu yang menjadi
kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal
sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam
kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari
menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan
nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga
tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.
Istana-istana indah dan megah
dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir masuk dari hasil
keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias dengan
perabot-perabot mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa dara-dara jelita yang
dikumpulkan dari berbagai daerah!
Tidak mengherankan jika
pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari
di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan melewati Bukit
Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di
antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng, Tu Fu mendengar bahwa
kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan
nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.
Teringatlah Tu Fu akan keadaan
rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan
kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan
raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai
kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.
Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!
Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar!
Memang, Kaisar Hian Tiong
terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga disebut terlalu
menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tidak terhitung
banyaknya, terdiri dari gadis-gadis cantik jelita yang didatangkan dari
berbagai daerah.
Ada yang memang diserahkan
oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang
didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian
besar adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati
sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyaknya selir itu, ada
pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya
untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap
sebagai ‘Pilihan Tuhan’!
Di antara para selirnya ini,
terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah
tergila-gila kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau Teratai
Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian,
seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak
pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak
itu,
Rambut panjang hitam dan
halus.
Melebihi kehalusan benang
sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua
kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk
telur
Berkulit halus dan betapa
putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung
hong.
Kering tajam lunak menikam
kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk
sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah
membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu
(cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak
wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai
bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian)
kekasih raja?
Namun cinta kasih seorang
laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya
dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang
baru lupa yang lama. Demikian pun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun
menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang
lagi datang ke kamarnya.
Semenjak dibawa dengan paksa
ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian.
Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya
menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota
Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor domba muda dibawa ke penjagalan
untuk di sembelih!
Dengan hati hancur dia harus
melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam pandangannya itu. Memang
tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah,
ketika dia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan
tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, dia lalu teringat kembali kepada
Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan setiap hari dia menangis
di dalam kamarnya.
Pada malam hari itu, seperti
biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi pelayannya datang
dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan rambutnya seperti biasa.
Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.
Dia duduk termenung dalam
kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain
dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya semakin
hancur dan berduka. Dia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang
tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu
dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu.
Aduh sayang, setangkai mawar
indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa
peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!
Teringat akan bunyi sajak ini,
tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di
atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.
“Can Kwan...” keluh-kesah yang
berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu sekarang keluar dari
bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan tak dapat
ditahan lagi berderailah air matanya.
“Cui Hwa...” tiba-tiba saja
terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam
taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya
beberapa bulan yang lalu.
Bi Lian terkejut bukan main.
Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama
ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya sudah berganti menjadi
Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia
mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut
adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara
orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan!
Seperti dalam mimpi, Bi Lian
atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka jendela itu. Sesosok
bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi
Lian. Wanita ini memandang dan...
“Can Kwan...!” serunya sambil
berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga.
Ada pun orang yang masuk itu,
seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri
dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di
hadapannya.
“Cui Hwa...”
Walau pun dahulu mereka belum
pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang
bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan
rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa dapat dicegah lagi oleh
akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.
“Cui Hwa... kekasihku...”
“Can Kwan, alangkah senangnya
bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”
“Cui Hwa, siapa bilang dalam
mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak
wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Kau lihatlah
baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”
Namun Cui Hwa
menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.
“Tidak mungkin! Benar-benar
tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana dikurung pagar tembok
yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar
yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran
buku. Kau tak mungkin dapat datang ke sini, kecuali kalau... kalau...”
Tiba-tiba pucatlah muka Cui
Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan
mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.
“Cui Hwa, mengapa kau?”
“Can Kwan... tak salah lagi...
kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku. Ahh, Can Kwan. Kalau
kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi
aku berada di sini, terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.
Can Kwan melangkah maju
kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala
Bi Lian.
“Cui Hwa, pernahkah engkau
mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang ini? Lihatlah aku
baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah
masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku lalu melepaskan
pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah.
Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik
melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke
kamarmu.”
“Can Kwan...! Can Kwan…!”
Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya ini.
“Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini, akan tetapi bagaimana
keluarnya? Bagaimana pula kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssstt...
bersembunyilah, pelayanku datang...”
Akan tetapi, Can Kwan tidak
bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan
pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh tak
sadarkan diri lagi.
“Can Kwan, kau... mem...
membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.
Can Kwan tersenyum. Bukan main
tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin
dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”
“Can Kwan, setelah kau datang
ke sini... apa kehendakmu?”
Can Kwan memegang kedua tangan
kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru
sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin
kita ini.”
“Can Kwan! Bagaimana mungkin?
Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ahh, Can Kwan...
biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh!
Pergilah, kau cari seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak
berharga lagi menjadi... isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku...
tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia yang
sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai
tanda cintamu...”
“Hushh, Cui Hwa, jangan
mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu keluar dari
sini.”
“Bagaimana caranya?”
“Akan kubawa kau melompati
pagar tembok, keluar dari istana.”
“Kalau kau diketahui oleh
penjaga?”
“Akan kubuka jalan darah, biar
mati bersamamu!”
“Tidak, Can Kwan...” Cui Hwa
menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati karena aku...!
Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat banyak itu? Biar aku
sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup...”
“Cui Hwa...!”
Pada saat itu pula terdengar
bentakan-bentakan dari luar.
“Penjahat! Pencuri!”
“Tangkap, tangkaaaap!”
Cui Hwa menjadi pucat.
“Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”
Wajah Can Kwan yang tampan
menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia
langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.
Can Kwan memang sudah
mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya
bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja sudah
roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya.
Akan tetapi makin banyak
pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun Can Kwan pernah
belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian
seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun? Dia mulai merasa lelah dan
telah mendapat beberapa luka ringan.
“Can Kwan...!” Terdengar
seruan Cui Hwa menyayat kalbu.
Pemuda itu menengok dan
alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi darah!
Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.
Ternyata bahwa ketika melihat
betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri,
dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu akan mengakibatkan
bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda itu telah mengambil
keputusan pendek membunuh diri.
“Cui Hwa...!” Can Kwan tak
mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang
segera dipeluknya.
Akan tetapi tubuh Cui Hwa
sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang
kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,
“Aku... menunggumu...” dan
tewaslah dia.
“Cui Hwa...!”
Para pengeroyok cepat meloncat
maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah
tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biar pun dia mempunyai
kepandaian sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya yang sekarang, belum
tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.
Mendadak berkelebat bayangan
yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda
itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan dibarengi pekik
kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang
kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah
yang menolong pemuda ini.
Can Kwan sudah berdiri dan
kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang
kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu menggerakkan tangannya dan
sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!
“Tak perlu melawan lagi, kau
tidak akan menang!” kata kakek ini.
“Kalau tidak bisa menang,
biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat itu.
“Bodoh!” kakek itu mencela dan
tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.
Pemuda ini hendak mengelak,
akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah
dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana
berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang
bersama pemuda yang dikempitnya.
Can Kwan hanya merasa sambaran
angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak
lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka
matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!
“Locianpwe, kenapa kau
menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata Can Kwan
penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.
Kakek ini tertawa bergelak.
“Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan oleh nafsu! Orang
muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu
gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apa lagi kau yang masih
begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa hendak dipermainkan? Kau
mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?”
“Siapa yang mau menghargai
kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun
mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”
“Kau keliru! Kalau memang
bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu sebelum tunanganmu
menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi selir terkasih, sudah
hidup bahagia namun kau datang-datang mendatangkan bencana padanya. Kalau kau
tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan
nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andai kata kau tadi
berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi
dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan
kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang
menderita dan kena bencana, itu tak mengapa karena memang kau sengaja, akan
tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih
mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”
Mendengar ucapan terakhir ini
Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil
menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak puthauw (tidak
berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe.”
“Hmm, bagus! Lebih baik
menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada menghadapi
seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan dikira
bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia.
Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu
telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada penderitaan hidup, yaitu
kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau pulang dan rawat
orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak
berbakti. Apa bila kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan
berbahagia.”
“Terima kasih, Locianpwe.
Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”
“Aku? Aku adalah pengemis
miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”
Can Kwan terkejut sekali. Ia
sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia
berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Locianpwe sudi, teecu
mohon diterima menjadi murid…”
Akan tetapi karena tidak ada
jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa
kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan
berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasehat-nasehat dari
Ang-bin Sin-kai.
Memang, kakek itu adalah
Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, Ang-bin Sin-kai
pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu
Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu
Thong atau putera dari Lu Seng Hok.
Akan tetapi dia merasa kecewa
sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari
perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk melihat
kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan
tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak berada di kota raja.
Untuk menghilangkan kekesalan
hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe
Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana serta melihat-lihat kebun
bunga di istana yang luar biasa indahnya itu.
Dahulu memang sering kali dia
melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihat
dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah
sesudah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tak ada orang
yang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis
hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya pula dia menikmati
bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang
minuman.
Kebetulan sekali pada malam
hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia
menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran. Diam-diam dia
menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap
kaisar yang merampas tunangan orang lain. Akan tetapi, kalau dia tidak berlaku
keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti yang telah diucapkan kepada
pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati
Can Kwan.
Karena itu, setelah
meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di
istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau
Cui Hwa telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang
hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal
siapa adanya.
Ang-bin Sin-kai langsung menuju
ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan
menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas
genteng dan membuka beberapa buah genteng, kemudian mengintai ke dalam. Dia
melihat tukang-tukang masak sedang sibuk menyiapkan hidangan malam untuk
kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar hidangan yang lengkap,
masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.
Ang-bin Sin-kai beberapa kali
menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya
yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang ada di atas
meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara
kebiri dan daging ikan emas.
Ingin sekali dia cepat-cepat menyerbu
ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan tetapi dia tidak mau
menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal
akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.
Tukang-tukang masak dan
pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya bertubuh
gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari galang-gulung
dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut
mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk.
Mereka bekerja sambil
bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi Lian. Siapa
orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita
membunuh diri?
Tiba-tiba, lima potong benda
hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali.
Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka tiba-tiba
menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di
tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan
yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di
tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!
Apa yang terjadi? Ternyata
bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan
pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok
jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak
dapat bergerak sama sekali.
Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai
melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya sukar
diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima orang itu hanya melihat
bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong
benda hitam menyambar dari atas dan berbareng dengan ini, lima orang itu dapat
bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
“Apa yang terjadi?”
“Kenapa tadi semua badanku
menjadi kaku?”
“Apakah kau melihat bayangan
menyeramkan tadi?”
“Setan! Tentu ada setan yang
mengganggu kita...”
Lima orang itu menjadi kacau
balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin
ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka
mempercepat pekerjaan mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang luas
dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tidak lama kemudian, masakan-masakan
itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke
kamar makan kaisar.
“Hee, mana masakan burung
dara?”
“Ahh, masakan ikan emas juga
telah lenyap!”
“Celaka... tentu iblis tadi
yang mengambilnya...”
“Ssttt, jangan keras-keras!
Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”
Dengan cepat, masakan-masakan
itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat
dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.
Sesudah semua orang pergi dan
pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai
sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua mangkok masakan daging
burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.
“Ha-ha-ha, sekarang aku bisa
berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena dibawa ke atas.
Harus dipanaskan dulu!”
Dengan enaknya, dia lalu
menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya
berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang
kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tidak
lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan
senangnya.
Dia sama sekali tidak tahu
bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya,
menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang masak ini
melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari sana
dan membuat laporan kepada kepala penjaga.
“Di dalam dapur ada seorang
maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.
“Apa? Mengapa tidak kau
tangkap?”
Tukang juru masak yang gemuk
itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya? Dia sakti
sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bersama kawan-kawannya telah
mengalami hal yang aneh terjadi.
Kepala penjaga ini adalah
seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song Ciangkun. Sebetulnya
dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa sehingga setelah dia tua,
dia lalu ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song
Cin mempunyai kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi sehingga di kalangan
kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak
ini, dia mengerutkan keningnya.
“Apakah dia sudah tua,
tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya menegas.
“Betul, betul, Song Ciangkun.
Pakaiannya seperti pengemis!”
Song Cin mengangguk-angguk.
“Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang membereskan orang
itu.”
“Song Ciangkun... apakah...
apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.
Song Cin mengangguk. “Betul,
dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada nyawamu.”
Mendengar ini, tukang masak
itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah
selimut di dalam kamarnya!
Ada pun Song Cin sudah merasa
yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah
beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti bahwa dia
sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh
karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.
Kaisar tengah duduk makan
minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar
sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang besar. Kedua
orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang
pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet.
Song Cin tahu siapa adanya dua
orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan
menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang panglima-panglima
besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.
Sudah lama bangsa Tajik
mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar
sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di
utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu,
dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An
Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini sudah
menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa
Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.
Tentu saja kabar girang ini
lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap semua
ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk menyatakan
kegembiraannya, dia mengundang makan malam kedua orang panglima besar Tajik
ini. Oleh karena sedang berpesta gembira, tentu saja kaisar mengerutkan kening
tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.
“Song Ciangkun,” kata kaisar
dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”
“Mohon beribu ampun apa bila
hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,” kata Song Ciangkun
dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini,
kembali dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami menanti keputusan
Baginda!”
Berubah air muka baginda
kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan kaisar tidak
melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah
dan nampak mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali. Namun kaisar
dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.
“Bagus! Orang aneh itu
menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara baik-baik untuk
menemani kami minum arak!”
Song Cin tidak heran mendengar
ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak
dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar
nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song Ciangkun segera
mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.
Song Cin mengetuk pintu dapur
dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu,
membawa perintah hong-siang (raja)!”
“Masuklah, Song Ciangkun.”
Song Cin masuk dan dia melihat
kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi
hormat dan berkata,
“Siauwte membawa titah
hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum arak.”
Ang-bin Sin-kai tertegun,
kemudian tertawa bergelak.
“Bagus, memang masakan di sini
kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata demikian,
tubuhnya berkelebat.
Song Cin hanya merasa ada
angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap!
Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan
penjagaan seperti biasa.
Pada saat melihat Ang-bin
Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil
tersenyum.
“Mari, mari, Lu-koai-hiap
(pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”
Ang-bin Sin-kai menjura tanda
menghormat.
“Terima kasih, sungguh
merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang
hamba.”
Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu
melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang
tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu
merasa tidak enak sekali.
“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun.
Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut Ang-bin Sin-kai.
Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang
mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”
Ang-bin Sin-kai hanya menerima
perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia
mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan
yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada
pelayan untuk menambah arak.
Walau pun nampaknya bersikap
acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan gerak-gerik
dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Mendadak
mukanya berubah pucat, kemudian perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan
kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.
Pada saat mereka telah minum
kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang di antara dua tamu
itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda
kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri
beserta kawannya.
“Hamba menyuguhkan secawan
arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!”
katanya sambil mengangkat cawan araknya.
Kaisar Hian Tiong tertawa
sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk araknya,
tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan
baginda!
“Lu-koai-hiap...!” kaisar
menegur marah.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai
memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan orang Tajik!
Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa kalian?!” Ang-bin
Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.
Kaisar Hian Tiong pucat dan
mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak
menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan
benda-benda yang menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin Sin-kai.
Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang
sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.
Kaisar memekik kaget dan
hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun Ang-bin Sin-kai sudah
mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas. Maka, runtuhlah empat
buah pisau yang menyambar baginda. Ada pun empat buah lagi yang menyambar ke
arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!
“Celaka...!” Seorang di antara
dua orang Tajik itu mengeluh.
Akan tetapi pada saat itu
Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak
dengan sepasang sumpit menusuk matanya!
Panglima Tajik itu cepat
mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena
sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika
sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan
arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan.
Tiba-tiba kembali menyambar
pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang
sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu
seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi. Orang Tajik ke dua itulah yang tadi
melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke
arah pintu.
“Bangsat hina, hendak lari ke
mana kau?!”
Ang-bin Sin-kai melompat
mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat sekali sehingga
sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana mau Ang-bin
Sin-kai memberi hati kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus
dengan kecepatan melebihi anak panah.
Kaisar Hian Tiong bertepuk
tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian ramailah
keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan pengawal
kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan
dia sendiri lantas melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih
berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.
“Bangsat pengkhianat, kau
hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau
ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.
Karena merasa tiada gunanya
melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak membalikkan tubuhnya
dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau terbang menyambar kepada
Ang-bin Sin-kai.
Boleh jadi kepandaiannya
melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi
terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan permainan
kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu
telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!
Penjahat itu terbelalak
memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin
Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan
menggelundung di atas genteng.
Ang-bin Sin-kai merasa amat
heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia
ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata
bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!
Melihat kedatangan Song Cin,
Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu
kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang makan.
Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.
“Lu-koai-siap, bagaimana kau
bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak
baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.
Kakek ini tersenyum. “Mudah
saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka
memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui
baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan telunjuk seperti
cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di
antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan
arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia melepaskan bubuk putih
secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun
ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”
Kaisar mengangguk-angguk.
“Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat dari An-ciangkun!”
“Hemm, kalau hamba yang
mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka
terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam memperhatikan
keadaan para petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah
akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan
tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, akan tetapi
ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa
menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.
Akan tetapi pada keesokan
harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap
kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu meminta
cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau
cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh orang lain!
Dengan adanya pemberitahuan
ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah
kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu
akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan memiliki cita-cita
memberontak dan sebenarnya kedua orang yang mengaku sebagai perwira-perwira
Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan
Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia merasa dongkol
sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui
Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati,
Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya.
Dia dapat menduga apa maksud
wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li
menculiknya.
Tak lama kemudian setelah Bun
Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe
Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini
terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena
begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan dia tidak
terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.
Padahal, untuk orang biasa,
kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan
menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat
bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja bisa
melompat berdiri.
“Suthai, kau benar-benar
keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu menegur Kiu-bwe
Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan
baik-baik saja? Akan tetapi kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah
perbuatan ini boleh dibuat bangga?”
Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li
memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang yang berani menegurnya
seperti itu! Kemudian timbul marahnya.
“Anak setan, kau berani
menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang
menyambar ke arah pipi Kwan Cu.
“Plakk!”
Kwan Cu merasa seakan-akan
kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat
dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi
hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.
“Kiu-bwe Coa-li merupakan nama
besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia
kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya
mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”
Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe
Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali.
Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak saja menegur,
bahkan sekarang dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di
dunia kang-ouw ini!
“Bocah setan penipu busuk!”
Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya menggigil dalam
nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak
kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku, kemudian
menegur, bahkan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka
berani main gila memutar lidah?”
Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li
menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini memang
baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi
keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi.
Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,
“Suthai, harap jangan bunuh
Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan
dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Mendengar ini, cambuk yang
sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi, alangkah
kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan
ternyata bahwa Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya,
menangis!
Tentu saja Kiu-bwe Coa-li
menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap
Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang
tiada hujan tiada angin menangis sedih!
Memang hal ini aneh sekali,
karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan amat berani,
bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air
mata, apa lagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu,
hatinya merasa amat terharu dan berduka.
Kwan Cu masih merasakan kasih
sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah
menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya
mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya telah terbunuh orang,
akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia
melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tanpa dapat
ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini
terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia
terisak-isak!
Sui Ceng menjadi gelisah
sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia
khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu
menjadi rusak dan atau miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan
tangan gurunya kalau memukul.
Sui Ceng maju mendekat dan
mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat
apakah kepala itu terasa panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak
apa-apa.....
“Sui Ceng, apa kau mengira
bocah ini gila?” Kiu-bwe Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya
saking geli melihat perbuatan Sui Ceng.
Akan tetapi Sui Ceng seperti
tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan dia lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan
suara halus,
“Kwan Cu, apamukah yang sakit?
Kenapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus?
Sebenarnya dipikir-pikir hidup tidak begitu menyedihkan!” dalam usahanya
menghibur Kwan Cu, anak gadis yang masih kecil ini mengeluarkan kata-kata yang
lucu.
Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat
mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia sudah dapat menahan air matanya dan kini
dia berkata perlahan,
“Sui Ceng, aku tidak
menyedihkan sesuatu, hanya hatiku merasa sakit apa bila teringat akan kematian
ibumu. Aku harus membalaskan dendamnya, walau aku akan berkorban nyawaku yang
tak berharga!”
Sesudah mendengar ucapan Kwan
Cu ini, tiba-tiba saja Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang
sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan dua tangannya!
Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak
kepada adiknya.
“Siauw-pangcu, jangan
menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan
air mata!” kata Kwan Cu.
Seketika keringlah air mata di
mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.
“Kau benar! Aku harus seperti
mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang
Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tidak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau
yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang
akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!” Setelah berkata begitu, Sui Ceng
bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.
“Cukup semua itu, Sui Ceng!
Apa sih sukarnya untuk mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw? Jangan bersikap
lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kau ceritakan, Kwan Cu. Di mana
adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Awas, jangan kau membohong,
karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak
mau mengampunimu lagi, biar pun Sui Ceng sayang kepadamu.”
Mendengar disebutnya tentang
Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu segera menoleh kepada anak perempuan itu.
Dia berkata mesra dengan wajah berseri, lalu mengangguk-anggukkan kepala yang
gundul.
“Sui Ceng memang manis dan
baik sekali, seperti ibunya...”
“Bocah gundul, jangan
nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” Kiu-bwe Coa-li membentak tak sabar.
Kwan Cu memandang kepada
wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.
Sambil menahan kegemasannya,
Kiu-bwe Coa-li berkata, “Di manakah adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Jika begitu pertanyaan
Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di
mana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Suara anak ini terdengar
tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah.
Maka kecillah hati Kiu-bwe
Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu agar
bisa memperoleh kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama
sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak
membohong dan kecewalah hatinya.
Sesudah menentang pandang mata
anak gundul itu sekian lamanya, Kiu-bwe Coa-li lalu berkata,
“Aku mau percaya omonganmu.
Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”
Tertegunlah Kwan Cu mendengar
pertanyaan ini.
“Eh, eh, ehh, bagaimana Suthai
dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu? Apakah Suthai
selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”
Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li
bernyala lagi. Tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menampar kepala gundul
yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.
“Kwan Cu, jawablah sebenarnya
saja kepada Suthai,” Sui Ceng memberi nasehat karena gadis cilik ini merasa
khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.
Senang hati Kwan Cu mendengar
kata-kata Sui Ceng ini. Betapa pun juga di dunia ini masih ada orang-orang yang
menaruh hati kasihan kepadanya. Sepasang matanya yang lebar lalu memandang
kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata,
“Suthai, agaknya tidak perlu
pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai sangat bernafsu
untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua
karena agaknya teecu memang tidak bernasib bagus untuk mendapatkan kitab itu.
Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san disebabkan teecu hendak
mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah
itu ternyata telah dicuri orang!”
“Hemm, jangan bicara kacau
balau! Apa perlunya kau bercerita mengenai kitab sejarah? Apa hubungannya
dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Sebetulnya, jika orang hendak
mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca
kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk
tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.”
Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu
kembali. “Begitukah? Siapa yang sudah mencuri kitab sejarah itu? Hayo katakan
cepat!”
“Teecu bersama suhu sedang
menyelidiki hal ini pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san,
yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu
sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak
salah lagi, yang mencuri itu tentunya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama
muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”
Kiu-bwe Coa-li
menyumpah-nyumpah. “Keparat gundul!”
“Ehh, mengapa Suthai memaki
teecu? Apa salahku?”
“Tolol! Bukan kau yang kumaki.
Melainkan Jeng-kin-jiu!”
Sui Ceng tertawa. “Kwan Cu,
apa kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?”
Memang Sui Ceng mempunyai
watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya
ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.
“Kwan Cu, coba jelaskan sekali
lagi, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk
mengenai tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya
Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.
“Teecu bersumpah bahwa
demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya,
bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat
kitab sejarah itu? Sebelum meninggal dunia, Gui-sianseng pernah meninggalkan
pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini
mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang
teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”
“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li
memandang tajam.
“Karena menurut mendiang
Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang
sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang
berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun
tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada
harapan? Tidak, teecu tak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab
yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”
“Bagus, memang sebaiknya kau
jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku
mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”
Demikianlah Kiu-bwe Coa-li
membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita
sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentunya tidak akan tinggal diam dan
pasti berusaha mencari muridnya, maka dia mengambil jalan memutar melalui
hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai.
Bukan sekali-kali Kiu-bwe
Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan dia tak ingin usahanya
untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau dia sudah
mendapatkan kitab itu, dia tidak akan peduli siapa pun juga akan mengganggunya.
Dia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu.
Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak
boleh dipandang ringan, apa lagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin
Sin-kai!
Karena itulah maka biar pun
Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu
dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.
Pada suatu hari, Kiu-bwe
Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe
Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni
memancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara
air bercipakan dan kelihatan perut-perut ikan yang mengkilap ketika ikan-ikan
itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat semua ini, keinginan Kiu-bwe
Coa-li untuk memancing tak dapat ditahan lagi!
Kesenangan ini bukan karena
Kiu-bwe Coa-li terlampau doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Dia senang
memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para
pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasakan pada waktu pancing atau kail
digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apa bila
ujung kail disambar ikan.
Kiu-bwe Coa-li membuat gagang
pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di
atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak
bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, juga tidak
mempedulikan lagi kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.
Dua orang anak itu menjadi
bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi
berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah,
maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan.
Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.
“Lihat, Sui Ceng... Di sana
ada kembang cilan!” tiba-tiba Kwan Cu berseru girang sambil menudingkan
telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan.
Akan tetapi kegembiraan hati
Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat
wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti
patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tanpa
terasa pula jatuh ke atas tanah.
“Aduh, maaf... Sui Ceng...
maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau...,” berkata Kwan Cu sambil
memegang tangan Sui Ceng. Seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu
menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!
“Sudahlah, Sui Ceng, kematian
ibumu tak perlu selalu disedihkan. Aku bersumpah akan mencari kemudian memecahkan
kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!”
Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui
Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat
suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan
Putih) karena sering memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.
“Apa yang kau katakan?” Sui
Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti orang marah.
“Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain.
Aku sendiri yang akan membelek dadanya dan mengeluarkan jantungnya, lalu
memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!”
“Ha-ha-ha! Dua ekor anak domba
berdaging empuk lagi bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha-ha-ha!”
tiba-tiba terdengar suara ketawa.
Suara ini begitu menyeramkan,
besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng kaget bukan main. Kedua orang
anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan
mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali.
Apa lagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya lantas menjadi pucat
seketika.
Kakek ini tubuhnya agak
bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih dan yang mengerikan adalah
kedua tangannya, karena sepuluh jari di tangannya berkuku panjang melengkung
seperti cakar harimau. Ada pun kedua kakinya telanjang sama sekali.
“Toat-beng Hui-houw...!” seru
Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.
Mendengar disebutnya nama ini,
serentak Kwan Cu mengepal tinjunya dan memandang dengan mata marah. Sama sekali
dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang sangat menyeramkan itu. Jadi
inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?
Kembali Toat-beng Hui-houw
tertawa bergelak.
“Bocah gundul jelek! Kau tadi
bilang hendak memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha-ha-ha! Akulah yang akan
memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau... kuncup
bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat
dan lebih manis dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha!”
Sui Ceng dan Kwan Cu yang
sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang
dengan pukulan mereka yang biar pun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun
mendatangkan angin pukulan yang hebat juga.
Melihat gerakan ini, Toat-beng
Hui-houw menjadi gembira sekali.
“Anak-anak baik... bertulang
bersih... ha-ha-ha!”
Dia lalu mainkan ilmu silatnya
dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk
menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.
Akan tetapi, baik Sui Ceng mau
pun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk
saja dan di dalam ilmu silat mereka sudah mendapat latihan dasar yang tinggi.
Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka
tidak membiarkan tangan mereka terpegang. Keduanya menggunakan ginkang untuk
bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke
arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.
Namun kedua orang anak ini
masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biar pun sudah dua kali Kwan
Cu berhasil menggunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan
menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, akan tetapi pukulannya yang keras dan
mengandung tenaga lweekang itu seolah-olah mengenai benda dari karet saja dan
terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung!
Juga Toat-beng Hui-houw
terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga
bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka semenjak siang-siang dia
sudah mengerahkan lweekang pada tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang
cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.
Juga Sui Ceng memperlihatkan
kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini,
namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat.
Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah menggunakan Ilmu Pi-ki
Hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama
sekali.
Tapi Sui Ceng benar-benar
memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu
meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang lantas menusuk
sepasang mata Toat-beng Hui-houw!
Harimau Terbang Pencabut Nyawa
ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat bukan main serangan anak perempuan ini,
karena kalau matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta.
Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya.
Tidak tahunya Sui Ceng
benar-benar cerdik sekali. Pada saat tangannya tidak berhasil menusuk mata
lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan
gentakan keras.
“Aduuuuuuhhh...!”
Toat-beng Hui-houw menjerit lalu
menggereng bagai seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian dari bulu
jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga
matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih.
Hal ini mendatangkan marah
yang luar biasa. Begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan
Cu dan Sui Ceng tidak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah
tertangkap!
Kwan Cu dan Sui Ceng tak mau
mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka
menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga pada waktu Toat-beng Hui-houw menekan
pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.
Toat-beng Hui-houw tertawa
bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit
leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah
leeci yang halus dan menggairahkan!
Sui Ceng yang tidak berdaya
menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa leher ibunya juga sudah
digigit dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Ada pun Kwan Cu yang
dielus-elus kepalanya, merasa bergidik pula karena kepalanya tentu akan
dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.
“Ha-ha-ha! Sukar untuk
memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama-sama enaknya, sama-sama
manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi
arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau
minum dulu!
“Toat-beng Hui-houw, kau boleh
membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau
melihat dia? Tidak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti
dia?” kata Kwan Cu.
Meski dia dan Sui Ceng berada
di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, akan tetapi kedua
orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat
melindungi penapasan dan tidak kehilangan suara mereka sehingga masih dapat
bicara.
Kwan Cu hendak menolong Sui
Ceng, dia sendiri rela mati. Akan tetapi tak disangkanya, anak perempuan itu
mempunyai keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah
dan membentak,
“Kwan Cu, kau kira aku takut
mati? Biarkan iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya. Sebelum
menghancurkan kepalanya, nyawaku akan terus menjadi setan penasaran!”
Toat-beng Hui-houw tertawa
ha-ha-he-he sambil memandang bergantian kepada kedua anak itu.
“Hemm, aku tidak suka melihat
matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!” katanya kepada
Kwan Cu sambil mendekati anak itu.
“Bagus, Toat-beng Hui-houw,
mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau berani
mengganggu Sui Ceng, hemm... kurasa kau tidak akan lama sanggup mempertahankan
kepalamu yang botak itu, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu selalu akan
mengejar-ngejarmu!”
Benar saja, mendengar nama
ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah
murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama
sekali akan nenek ini. Matanya segera jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari
kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.
“Aku harus cepat-cepat
membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi untuk memukul
pecah kepala gundul itu.
Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu
tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan
menjerit keras sekali.
“Suthai...! Tolong teecu!”
Mendengar jeritan itu,
Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu,
bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan
kedua tangannya mencekik leher anak itu.
“Jangan membuka mulut,
kau...!”
Akan tetapi, jeritan Sui Ceng
tadi sudah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya yang seperti sedang
mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia
tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang
mengait mulutnya. Mendadak dia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor
burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke arah suara
muridnya.
“Toat-beng Hui-houw, lepaskan
muridku kalau kau tak ingin mampus!” bentaknya marah dan disusul oleh bunyi
bergeletar keras sekali.
Dalam kemarahannya, Kiu-bwe
Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu cambuk
menyambar-nyambar mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.
Kakek berkuku panjang itu
melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan berkata
menyeringai.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa mau
mengganggu muridmu? Aku hanya main-main saja.”
“Bangsat tua bangka! Siapa
tidak mengenal watakmu yang curang? Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku lamban
berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!” Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan
sikap garang sekali.
“Ha-ha-ha! Bila aku curang,
apakah kau juga boleh dipercaya? Muridmu berada di dalam tanganku dan cobalah
kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, pasti nyawa muridmu
akan melayang lebih dulu!”
“Apa yang kau kehendaki
manusia jahat?” Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum bahwa
Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.
“Aku mau melepaskan muridmu
ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya bagus sekali untuk
punggungku yang suka sakit pada musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan
pula, sebelum aku melepaskan muridmu, lebih dulu kau harus berjanji tidak akan
menyerangku!”
Kiu-bwe Coa-li memutar
otaknya. Dia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak
peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,
“Kau mau bawa anak gundul itu,
bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, aku pun tak sudi berurusan dengan
orang macam kau lagi!”
Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li
sangat membutuhkan bantuan Kwan Cu. Akan tetapi sekarang anak itu sudah memberi
tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa
lagi membawa anak itu? Membikin repot saja!
Setelah mendengar kata-kata
gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.
“Suthai, jangan berikan Kwan
Cu kepadanya! Siluman itu hendak memecahkan kepala Kwan Cu dan hendak makan
otaknya!”
“Peduli amat! Aku tidak perlu
lagi dengan anak itu!” jawab subo-nya.
Ada pun Toat-beng Hui-houw,
sesudah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi girang
dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengempit tubuh Kwan
Cu, pergi dari situ sambil berkata,
“Selamat tinggal, Kiu-bwe
Coa-li!”
“Siluman jahat, lepaskan Kwan
Cu!” Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.
“Sui Ceng, jangan kejar dia!”
Gurunya mencegah.
“Suthai, dia hendak membunuh
Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku! Bagaimana teecu harus diam saja?” Kembali
Sui Ceng menggerakkan kedua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba
gurunya memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.
“Tidak, Sui Ceng. Aku telah
memberi janjiku tak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah saja.
Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia tidak akan kuberi ampun
lagi. Kali ini aku terpaksa melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu
akan dibunuhnya.”
Sui Ceng memandang ke arah
bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya membanjir
keluar.
“Kwan Cu...! Kwan Cu...!” Ia
menjerit-jerit dengan hati perih.
Kwan Cu yang dikempit oleh
Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa sangat mendongkol kepada
Kiu-bwe Coa-li.
“Kiu-bwe Coa-li benar-benar
orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Walau pun dia mendapatkan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana dapat dia membacanya? Dan orang macam Toat-beng
Hui-houw ini dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana
bisa dia menjagoi di dunia kang-ouw?”
Mendengar kata-kata ini,
Toat-beng Hui-houw cepat-cepat melepaskan kempitannya dan menurunkan Kwan Cu di
atas tanah.
“Kau bicara apa tadi?”
tanyanya.
“Aku bicara sendiri, apa
hubungannya dengan kau?”
“Aku hendak makan otakmu, akan
tetapi jika otakmu miring, jangan-jangan aku akan ikut menjadi gila. Kau bicara
seorang diri, bila tidak miring otakmu, apa lagi? Kau sebut-sebut Im-yang
Bu-tek Cin-keng, kau tahu apakah tentang kitab itu?”
“Toat-beng Hui-houw, kau
bermimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah jika tidak menghendaki
kitab itu? Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu. Sayang
kitab itu akan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya,
karena mendiang Gui-siucai hanya mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang,”
Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik perhatian orang
menyeramkan ini.
“Apa maksudmu? Apakah di dunia
ini sungguh-sungguh terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Tentu saja ada! Lima tokoh
besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang mendapatkannya
dan bisa membacanya, tentu akan mempunyai kepandaian yang tak terlawan oleh
siapa pun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan
otak dan darah, perlu apa bertanya-tanya? Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar
aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw untuk mencarikan kitab itu dan
untuk menterjemahkannya!”
“Benarkah kau bisa mencarikan
kitab itu, bocah gundul? Di mana adanya kitab itu?”
“Mau apa kau bertanya-tanya?”
“Setan cilik! Bila kau sanggup
mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!”
“Sukar, sukar...! Untuk
mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada sebuah petunjuk yang
terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai.”
“Di mana adanya kitab sejarah
itu?“ Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat umpannya
mulai berhasil.
“Kitab itu telah dicuri oleh
Ang-bin Sin-kai!”
Terbelalak mata Toat-beng
Hui-houw mendengar ini.
“Sukar kalau begitu!” Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak, lalu memandang ke arah Kwan Cu yang
gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi dengan otak di dalam kepala gundul
itu.
Kwan Cu cepat berkata, “Apa
sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya kitab
itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin
Sin-kai...? Kakek yang berpenyakitan itu? Ahh, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja
dia kalah jauh dan tidak dapat menahan serangan nenek itu lebih dari sepuluh
jurus!”
“Apa katamu? Ang-bin Sin-kai
terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!”
“Toat-beng Hui-houw, kalau
tidak percaya, sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi.”
Toat-beng Hui-houw mulai
tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.
“Bocah gundul, betul-betulkah
kata-katamu itu?”
“Siapa membohong? Ang-bin
Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku bertemu
dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia
melarikan diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan
dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan hanya aku yang tahu di mana Ang-bin
Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?”
“Di mana?”
“Di kota raja!”
Toat-beng Hui-houw
berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapat kitab
sejarah itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah
lama dia mendengar tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini
dan apa bila benar-benar dia dapat mendapatkan kitab itu atas bantuan anak
gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan bumi? Ia tidak akan
perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain.
Sedangkan anak ini... andai
kata dia membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan batok
kepalanya dan makan otaknya. Dan lagi, apa salahnya kalau kelak setelah dia
bisa mendapatkan Im-yang Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga
otaknya?
“Kalau begitu, mari kita menyusul
ke kota raja,” katanya kemudian.
“Apa kau tidak mau makan
otakku lagi?” tanya Kwan Cu berani.
“Tidak, otakmu perlu
kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas, apa bila
tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga
darahmu kuminum habis-habis!”
Kwan Cu mengangkat pundak,
acuh tak acuh. “Apa bedanya? Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing dan
darahku diminum semut! Masih jauh lebih baik kalau dimakan dan diminum oleh
seorang manusia seperti kau sekali pun!”
Akan tetapi Toat-beng Hui-houw
tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari totokannya,
dia segera menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali
menuju ke kota raja.
“Kita harus mendahului Kiu-bwe
Coa-li ke kota raja, kemudian merampas kitab sejarah itu dari tangan Ang-bin
Sin-kai!” Kwan Cu berkata
Ucapan ini lalu membuat
Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya. Menuju
ke kota raja…..
********************
Ang-bin Sin-kai sudah mulai
tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia
berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang.
Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li.
Sudah beberapa hari dia berada
di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati
masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah
mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah
Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah
Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan
Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.
Ia sudah mulai bosan menanti
dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana lalu mabuk-mabukan
seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba saja dia mendengar suara genteng
dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang
turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu
dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.
“Ang-bin Sin-kai, lekas kau
serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai itu kepadaku!” Toat-beng Hui-houw
membentak.
Kakek berkuku panjang ini
masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan dengan
Ang-bin Sin-kai, dia masih memegangi pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini
ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu.
Kwan Cu juga maklum akan hal
ini. Karena itu dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka khawatir
sambil memutar otaknya.
“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin
Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Hui-houw, apakah kau
sudah menjadi gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai
sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan
lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!”
Mendengar jawaban ini,
Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras di pergelangan tangan Kwan Cu,
membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu
menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.
“Ang-bin Sin-kai, kau orang
tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu selalu kau bawa-bawa?
Kenapa sekarang tidak mengaku?”
Selagi Ang-bin Sin-kai
memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,
“Locianpwe, mengapa kau begitu
bodoh dan mau percaya pada omongannya? Dia telah membohongimu! Lihat saja,
mukanya sudah berubah merah sekali, itulah tandanya dia membohong. Aku percaya
bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas
kitab itu!”
Toat-beng Hui-houw ragu-ragu
dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Dia
melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada
Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai
adalah seorang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa
pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi
matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, kalau kau
goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar
kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”
“Berikan kepadaku!” Toat-beng
Hui-houw membentak kemudian serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang
tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau.
Ang-bin Sin-kai mengelak cepat
sambil tertawa-tawa.
Sekarang Kwan Cu cepat
melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.
“Suhu, pukul batang hidungnya!
Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, sehingga
terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!”
Dengan keterangan ini, semakin
jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke
tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan mempergunakan akal, Kwan Cu berhasil
memancing siluman ini untuk mencari dirinya dengan alasan hendak merampas kitab
sejarah yang dapat menunjukkan tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat
akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.
Ada pun Toat-beng Hui-houw
saat mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia
telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tak memiliki
kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga sudah
membalas serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat.
Segera Toat-beng Hui-houw
mengeluh dalam hatinya ketika beberapa kali ia menyerang tetapi selalu dapat
dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu
melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang
berkuku panjang dan yang mengandung racun!
“Ang-bin Sin-kai, kau tua
bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus
dalam tanganku!” bentaknya.
Toat-beng Hui-houw lantas
menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu
Silat Hui-houw Lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan). Sepuluh kuku jari
tangannya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya
dengan seekor harimau yang ganas sekali.
Tidak hanya kedua tangannya
yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga dua kakinya yang telanjang
itu menendang-nendang bagai kaki harimau yang mencakar! Dari tenggorokannya
keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu,
bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang
mirip suara harimau besar ini.
“Toat-beng Hui-houw, seekor
harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!” Ang-bin
Sin-kai balas memaki.
Tetapi dia segera menghadapi
serangan-serangan yang bukan main ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah
bertempur melawan kakek berkuku panjang ini. Sungguh pun kedua orang kakek ini
sudah pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu
kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing!
Kwan Cu menonton pertempuran
itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, “Suhu, pukul
kepalanya yang botak itu! Dia sudah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia
benar-benar siluman jahat yang menjelma manusia!”
Mendengar suara Kwan Cu tadi,
bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Dia telah
dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa
merobohkan Ang-bin Sin-kai, dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan
mencari jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul!
Maka dia kemudian mengeluarkan
serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku
panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi laksana ilmu tendangan
Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis
memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai.
Tetapi Ang-bin Sin-kai yang
kini telah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya
tersenyum-senyum saja dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke
belakang lantas berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke
belakang seperti bal ditendang.
Inilah gerakan yang di sebut
Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya begitu cepat dan wajar sehingga Kwan
Cu merasa amat kagum. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat
pun dapat dielakkan dengan mudahnya.
Beberapa jurus lamanya
Toat-beng Hui-houw terus menerus mengejar dan menyerang, akan tetapi tiba-tiba
Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi adanya sambaran angin serangan lawan. Pada
waktu kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng
Hui-houw melakukan pukulan maut!
“Manusia curang!” Kwan Cu
membentak.
Ang-bin Sin-kai mainkan Ilmu
Silat Pai-bun Tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak
hebat bukan main, meski pun dalam beberapa jurus dia masih berhasil
menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu.
“Tua bangka tak tahu diri!”
Ang-bin Sin-kai memaki.
Dia menggerakkan dua tangan
memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini mampu
mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.
Toat-beng Hui-houw terkejut
bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan
mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian
dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis
itu.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai
sekarang telah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah
kuku lawan dan…
“Kraakk!” terdengar suara,
maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh
kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!
Ang-bin Sin-kai memandang
kepada Kwan Cu. “Kau mau membalas dendam keamtian Pek-cilan? Nah, sekarang
mudah bagimu untuk melakukan hal itu.”
Kwan Cu menengok dan memandang
pada Toat-beng Hui-houw yang masih tergeletak pingsan di atas lantai. Memang
mudah sekali baginya, hanya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia
dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan
Eng.
Dengan hati gemas Kwan Cu
melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di situ. Dia
memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia
menarik tubuh Toat-beng Hui-houw dan didudukkan di atas bangku menyandar tembok
menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan
kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur.
Kwan Cu mengambil semangkok
besar masakan. Dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala
botak Toat-beng Hui-houw bagai topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir
turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.
“Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat
membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu sambil
meninggalkan musuh besar itu.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai
menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, sebab tadi dia memang
hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya.
“Jika begitu, hayo kita lekas
pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang.” Setelah berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka
oleh Toat-beng Hui-houw diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang bisa berkumpul
kembali dengan suhu-nya.
Pukulan dari Ang-bin Sin-kai
tadi betul-betul hebat sekali dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah
semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai selama satu malam!
Hawa pukulan itu demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat di dalam
tubuhnya.
Ketika keesokan harinya
seorang pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan segera berlari
keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas
bangku menghadapi pintu!
“Tolong... toloooong... ada
siluman!” teriaknya sambil berlari-lari.
Seorang penjaga yang mendengar
ini ikut berteriak-teriak hingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di antara
para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah. Sesudah
mendengar penuturan pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman
sedang duduk menghadapi meja dan makan minum, dia cepat membuka pintu dapur dan
sambil memegang goloknya dia melangkah masuk.
Kawan-kawannya menjenguk dari
pintu dan tidak berani ikut masuk. Ketika penjaga yang tabah ini melihat ke
dalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang
menyeramkan sekali makhluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu.
Seorang kakek botak yang
wajahnya menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan mukanya
penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan.
“Siluman dari manakah yang
berani mengacau di dapur istana?” Penjaga ini membentak sambil melangkah maju,
siap dengan goloknya di depan dada.
Akan tetapi pada saat itu,
Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya masih
terasa pening. Dia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak.
Dia terus mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan
peristiwa semalam.
Munculnya penjaga di depan
pintu dan diikuti teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu
mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah
dia bahwa dia masih berada di dalam dapur istana. Dia merasa heran sekali
kenapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak membinasakannya, padahal dia
telah pingsan tidak berdaya!
Sementara itu, ketika penjaga
yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa ‘siluman’ itu
sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh
kuah masakan yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap
rasa takutnya. Ia menyangka bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring
otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh masakan sebagai
topi?
“Bangsat tua, dari mana kau
berani sekali mengacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak
golokku akan makan kepalamu!” bentak penjaga itu.
Tetapi Toat-beng Hui-houw
masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini. Ada pun
para penjaga lainnya ketika mendengar kawannya memaki-maki ‘siluman’ itu,
menjadi besar hati dan mulailah mereka memasuki dapur.
Melihat kawan-kawannya sudah
ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras, “Lihat
kupenggal kepala siluman ini!”
Sambil berkata demikian,
benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu dan membacok kepala
Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia, juga para penjaga
yang sudah memasuki dapur saat melihat keajaiban yang mengejutkan.
Ketika golok itu menyambar
kepala botak yang kelimis, terdengar suara berdetak seperti golok menyambar
batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu
terpental dan terlepas dari pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena
penjaga itu merasa tangannya sakit!
Kejadian aneh ini disusul oleh
suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, lalu ketika kakek itu
berdiri, meja yang berada di depannya mendadak terbang melayang ke arah para
penjaga yang berkerumun di depan pintu!
Tentu para penjaga menjadi
kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja yang
tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat
dilemparkan ke pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu
telah lenyap dari dapur itu!
“Celaka, benar-benar
siluman...!” kata mereka.
Sayang sekali pada hari sepagi
itu kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tak dapat menyaksikan
peristiwa ini. Sebenarnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat
menghadapi siluman itu.
Ketika Song Cin diberi tahu,
perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga merasa
bingung karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang dikira siluman oleh anak
buahnya itu Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini? Pertanyaan
ini selamanya hanya akan tetap tinggal sebagai teka-teki yang tidak pernah
terjawab olehnya.....
********************
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong,
yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putera mereka kembali
dengan selamat. Sesungguhnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat
putera mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa
khawatir kalau-kalau putera tunggal mereka itu tak akan pulang kembali.
Dengan sikap hormat dan tidak
memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada
Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.
“Twa-suhu, kami harap sukalah
kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak
membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala
keperluan untuk latihan itu, tinggal Twa-suhu katakan saja maka kami akan
sediakan semua.”
Mendengar ini, Kak Thong Taisu
tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab.
“Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru dapat sempurna kalau
latihan-latihan itu disertai pula dengan pengalaman pertempuran. Apa gunanya
memiliki ilmu silat bila tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi
orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”
“Betapa pun juga, Twa-suhu,
kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau
terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”
Lu Thong yang hadir pula di
situ, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan keningnya sambil berkata
manja, “Ayah... kenapa ayah melarangku pergi dengan Suhu? Bila mana Suhu pergi
merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di
luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini, terkurung dan sempit sekali!”
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu
tertawa bergelak, “Memang lebih enak menjadi seperti burung di udara dari pada
terkurung dalam sangkar emas!”
“Thong-ji!” Lu Seng Hok
membentak anaknya. “Apakah kau sudah tidak mau menuruti omongan ayahmu lagi?
Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau pun
harus belajar ilmu surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu
meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu yang hanya tertawa saja.
Setelah Lu Seng Hok pergi,
Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh pada muridnya, “Lu Thong,
kata-kata ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang
perantau yang tidak memiliki rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun
tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan
apa bila kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati
para leluhurmu.”
“Akan tetapi teecu lebih
senang belajar ilmu silat dari pada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai
kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.
Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak
saja kau bicara. Apa kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai
mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi pun
masih ada langit di atasnya, apa lagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa
mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng...”
Lu Thong tertarik sekali. Akan
tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar bentakan
halus.
“Tua bangka gundul, lekas kau
serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai padaku!”
Bentakan ini lantas disusul
melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu.
Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang
lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi amat terkejut dan tak berani berlaku
sembrono. Dia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di
tembok dekat tempat duduknya.
“Kiu-bwe Coa-li, kau setan
betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku
terlihat seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah?
Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak
wangi!”
“Gundul busuk! Siapa sudi
minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak mempunyai
banyak waktu untuk mengobrol. Kau sudah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui
Tin di dalam goanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan
kitab itu kepada pinni kalau kau tak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak
oleh cambukku!”
Mendengar ucapan ini, darah
Jeng-kin-jiu langsung naik ke ubun-ubun saking marahnya. Sepasang matanya yang
bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung serta bibirnya
bergerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap.
“Kau... kau... benar-benar
kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari
selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”
“Tutup mulutmu dan serahkan
kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.
“Ayaaa...!” Jeng-kin-jiu
menggelengkan kepalanya yang bundar, “kau benar-benar sudah kemasukan
iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andai kata
ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!”
Pada saat itu, Lu Thong yang
semenjak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan
perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang sering kali Suhu
sohorkan? Apa bila hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu?
Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!”
Sui Ceng marah sekali dan
melompat ke depan Lu Thong, lalu menampar pipi Lu Thong. Oleh karena pakaian Lu
Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak
ini tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi siapa sangka bahwa sekali menggerakkan
kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya!
“Bangsat mewah, kau memang
patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan
menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira.
Memang Lu Thong amat suka
menghadapi lawan tangguh. Kini bertempur melawan anak murid Kiu-bwe Coa-li,
sungguh merupakan ujian yang bagus sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang
kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu, lalu tertawa bergelak-gelak.
“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu
apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata
demikian, toyanya digerakkan sehingga meja bangku yang membuat ruangan itu
menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja
sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya
tenaga gwakang hwesio gendut ini.
“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau
hari ini!”
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan
cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan karena menyambar
ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi
lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak
itu bertanding.
Maka pertempuran terpecah pada
dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin
menyambar-nyambar dan selalu mampu menahan datangnya ujung cambuk yang ekornya
ada sembilan itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan
menyerang, oleh karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat
sekali dan datang secara bertubi-tubi.
Ada pun Lu Thong yang
bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum bukan main. Dari pembawaannya, Sui
Ceng memang anak yang mempunyai kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh.
Kemudian, sesudah dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka ginkang dari anak perempuan
ini menjadi luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana
seekor tawon yang licah sekali.
Akan tetapi, Lu Thong juga
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Biar pun matanya agak kabur karena
kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis
serangan gadis cilik itu.
Tadi begitu melihat Sui Ceng
serta mendengar gadis cilik ini berbicara, diam-diam Lu Thong merasa kagum dan
sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan
sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Dia menganggap Sui Ceng demikian
lincah, lucu dan sangat manis, apa lagi sesudah kini dia menyaksikan kelihaian
Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini.
Oleh karena itu, dia tidak mau
membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis atau membalas
sekedarnya untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena
sesungguhnya, biar pun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang
Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini
sudah pandai sekali memainkan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan
Kosong Mencabut Nyawa), yaitu ilmu silat yang diwarisinya dari Ang-bin Sin-kai
melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.
Oleh karena itu, pertempuran
antara Sui Ceng dengan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga
pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar
dikatakan siapa yang akan menang di antara dua orang murid ini.
Orang-orang di gedung itu
mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan ini terjadi pertempuran
hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya
jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau
dari gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong
mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah.
Sambil menggerakkan toyanya
yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe
Coa-li yang dianggapnya sebagai orang yang lagi kemasukan iblis, yang menuduh
orang sesuka hatinya dan lain-lain.
Kalau semua orang yang
menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di
atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati merasa geli. Mereka
ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
“Tua bangka-tua bangka di
bawah itu sudah gila semua. Ha-ha-ha, kini mereka sedang memperebutkan sumur
tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah
Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Akan tetapi, Suhu. Bukankah
Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita,
dia tidak mempunyai murid?”
“Siapa tahu? Aku pun tadinya
tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah, hayo kita
pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”
Sambil berkata demikian,
Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi,
Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa
Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian dengan Jeng-kin-jiu hanya untuk
memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega.
Terutama sekali terhadap
Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang dahulu sudah memberi nama kepadanya itu.
Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat
melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhu-nya, dia
bernyanyi dengan suara keras karena dia mengerahkan khikang-nya.
Anjing-anjing bodoh berebut
tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan
nyawa.
Tak tahunya serigala belang
membawa lari tulang sambil
tertawa.
Tadi ketika Ang-bin Sin-kai
dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe
Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu
yang belum begitu tinggi ginkang-nya seperti Ang-bin Sin-kai.
Akan tetapi oleh karena kedua
orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan
tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri.
Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng ada orang-orang pandai yang mengintai
dan menonton pertempuran mereka.
Akan tetapi ketika mendengar
suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis
mereka menarik senjata masing-masing.
“Sui Ceng, berhenti!” seru
Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Ada pun Jeng-kin-jiu yang juga
mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu
benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut
tulang. Ehh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau sudah memperebutkan
sesuatu yang kosong dan yang sudah dibawa lari oleh serigala belang seperti
dinyanyikan Kwan Cu tadi?”
“Jadi Kwan Cu yang bernyanyi
tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main. Cepat
anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.
“Bodoh, mereka telah pergi!”
kata Kiu-bwe Coa-li.
Hal ini memang benar, karena
ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tidak nampak bayangan
seorang manusia pun. Gadis cilik itu pun turun kembali.
Melihat wajah Sui Ceng nampak
girang, Lu Thong menjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng
merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti
bahwa Kwan Cu sudah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng
Hui-houw yang menyeramkan!
Lu Thong mengira bahwa Sui
Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia pun berkata, “Ahh, pengemis kecil gundul
itukah? Sayang, jika dia tidak pergi, tentu akan kuberi kesempatan untuk dia
menebus kekalahannya dariku dahulu.”
“Sombong! Orang macam kau akan
dapat mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng. Biar pun dia mengerti bahwa Lu Thong
memang lebih pandai dari pada Kwan Cu, namun dia tidak senang mendengar Kwan Cu
dihina.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li,
sesudah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan di dalam hatinya.
Siapa tahu kalau dia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja diadu
dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara
bersungguh-sungguh.
“Jeng-kin-jiu, benar-benarkah
pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”
Hwesio itu melebarkan matanya
dan tertawa. “Bukan hanya sembrono saja, malahan tadi kukira kau telah
kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan
kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja ada dan jika
kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, bolehlah kau
pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li
menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar
pinni sudah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata
Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Lu Thong buru-buru berkata Sui
Ceng. “Nona yang baik, meski pun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku
hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku sudah berani bertempur melawanmu.
Harap kau tak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.”
“Cih, manusia tak tahu malu!”
jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih
dulu.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
tertawa bergelak. “Lu Thong, apa kau suka kepada anak itu?” tanyanya.
Tentu saja Lu Thong tak berani
menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya
datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.
“Siapakah mereka tadi dan
kenapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang anaknya seperti
hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang bisanya
hanya bertempur dan membunuh orang.
“Ayah, mereka itu adalah
orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor sebagai
ahli silat dari selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang
menghadapinya, dalam beberapa jurus saja orang lain tentu akan tewas kalau
diserang olehnya.”
Lu Thong mengucapkan kata-kata
ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, tadi seolah-olah dia bukan
berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan berjumpa dengan
seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya ‘menggelinding’ ke kamarnya di
sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar ke atas
pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.
Ketika melihat kesempatan baik
ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu Thong agar supaya anak
ini, biar pun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya,
namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu.
“Akan tetapi, ingat. Kau
adalah seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau dapat
bercampur gaul dengan segala orang-orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah
kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?”
“Ayah, bukankah Ang-bin
Sin-kai itu juga keluarga kita?”
“Bodoh, kau mau meniru hal
yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai
dan Kongkong-mu Lu Pin!”
“Ang-bin Sin-kai lebih
terkenal!” bantah Lu Thong.
“Tetapi bukan terkenal
kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang
ajarnya. Ahh, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu...”
Melihat ayahnya sudah mulai
marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong cepat menutup mulutnya kemudian
menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hatinya, anak ini mentertawakan orang
tuanya.
Dan pada malam harinya, pada
saat Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya digoyangkan orang dan
ketika dia membuka matanya, ternyata suhu-nya telah berdiri di luar jendelanya
yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut
keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya.
“Kita pergi sekarang juga!”
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.”
Melihat kesungguhan muka
gurunya yang biasanya selalu tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun.
“Baiklah, Suhu. Akan tetapi, kenapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat
pentingkah?”
“Kiu-bwe Coa-li telah datang
dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga
Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang
patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini
saja?”
Maka berangkatlah guru dan
murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau
berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah
setengah mati pada keesokan harinya…..
********************
Ang-bin Sin-kai memang
benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya
menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak
nanti sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak akan mau mencari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya
muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu.
Padahal, perjalanan ke Tibet
bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apa lagi pada jaman
dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali. Jangankan jalan besar dan rata,
bahkan jalan atau lorong kecil pun belum ada.
Perjalanan ke Tibet merupakan
perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram,
tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya. Juga melalui gunung-gunung
yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui
manusia. Bila sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi
sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti
tulang iga!
Guru dan murid ini melakukan
perjalanan selama berbulan-bulan. Dengan amat sulit dan banyak susah payah,
akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi
ke Tibet melalu jurusan utara, maka dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san
yang termasuk daerah Tibet Utara.
Namun semua kesukaran
perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa
sangat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan
pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan,
Ang-bin Sin-kai tidak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya.
Kni Kwan Cu sudah mulai
menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sehingga kepandaiannya maju
dengan pesat sekali. Di samping itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya
mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari
kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang
ilmu silat.
“Lihatlah baik-baik, muridku,”
katanya jika berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk menunjukkan
kepandaiannya. “Betapa pun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, tetapi
semuanya berdasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki.
Memang ini sangat penting, Kwan Cu. Betapa pun bagus dan lihai gerakan serta
gayanya, tapi tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli
silat yang kuat.”
Pegunungan Kun-lun-san penuh
dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di setiap tempat terdapat
sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini orang harus berlaku hati-hati
sekali. Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah
sungai es yang lebar.
Permukaan es itu tampak
mengkilap kebiru-biruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam
permukaan es. Pada mulanya Kwan Cu merasa gembira sekali dan berlari-larian di
atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya
sudah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh.
Akan tetapi, sungguh di luar
dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga permukaannya masih tipis.
Ketika dia berlari dan tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah
permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.
Air yang luar biasa dinginnya
menerima tubuh Kwan Cu dan seketika anak ini menjadi kaku seluruh tubuhnya! Dia
cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga serta hawa tubuh untuk membuat
tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah pada tubuhnya menjadi lebih
cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa
sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti nyawa anak ini tidak
akan tertolong lagi.
Ang-bin Sin-kai yang sudah
banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalau dia sendiri
sampai terjeblos, walau pun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan
dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Dia lalu cepat
mempergunakan lweekang-nya untuk mencabut sebatang akar yang sangat panjang
dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia
kemudian menolong Kwan Cu.
Anak gundul ini meski pun
tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar,
dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguh pun jari-jari
tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan kulit tangannya sudah mati
rasa!
Memang, sesungguhnya kakek ini
sudah amat tua. Pada waktu Ang-bin Sin-kai masih kanak-kanak, kakek ini telah
menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya
yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi
sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.
Sudah menjadi lajim pada jaman
itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau
lebih tepat lagi, puncak-puncak gunung yang sunyi paling disuka oleh ahli-ahli
silat untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Hal ini sudah sewajarnya, karena
pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta
suci.
Ilmu silat yang tinggi memang
tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang
mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat
menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan pendeta-pendeta ini memang paling suka
bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping
ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat,
mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.
Seperti juga gunung-gunung
besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa. Di
puncak-puncak yang tinggi itu banyak sekali bersembunyi orang-orang yang
mempunyai kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan
tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga
orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu serta Seng
Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).
Seng Thian Siansu sudah sangat
tua dan memang kalau dibandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan
sute-sute-nya, ada sekitar lima puluh tahun selisihnya! Bersama para sute-nya
ini, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai. Mereka
telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas
tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan menjadi harum akibat
perbuatan-perbuatan para anak murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.
Setelah Seng Thian Siansu
merasa dirinya terlalu tua, usianya sudah seratus dua puluh tahun, dia mencuci
tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sute-nya yang kemudian
terkenal dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak saat itu, Seng Thian
Siansu hanya bertapa saja di dalam goa, sama sekali tak mau mencampuri urusan
dunia lagi.
Mengapa sekarang kakek yang
sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari goa dan bertemu dengan
Ang-bin Sin-kai? Mari kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.
“Benar kata-katamu, Locianpwe.
Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak
menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat
Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa yang sedingin ini. Hendak ke
manakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”
Seng Thian Siansu tersenyum
dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak ‘muda’,
bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!
“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata
masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang agaknya sudah dikehendaki
oleh Yang Maha Kuasa, maka hari ini pinto terpaksa harus meninggalkan tempat
pertapaan dan nasibkulah yang buruk, sehingga tua-tua terpaksa membereskan
urusan penasaran.”
“Ah, Locianpwe, urusan apakah
gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau sekiranya
teecu boleh membantu, harap Locianpwe beri tahukan kepada teecu, tentu teecu
bersedia membantu sekuat tenaga.”
Kakek itu tersenyum lagi. “Kau
masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Marilah kita duduk di sana,
nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi
bersih ini.”
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu
mengikuti kakek itu yang duduk di atas sebuah batu hitam yang bertumpuk pada
sebelah kiri lereng itu. Sesudah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya,
mulailah Seng Thian Siansu bercerita.
Kurang lebih setahun yang
lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang memiliki kepandaian
amat tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar
Pedang Lima Garuda) dan sesudah memilih puncak yang berada di sebelah kanan
puncak di mana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah
sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!
Hal ini masih tidak dapat
menggoncangkan hati dan pikiran fihak Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan
kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah
orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ
ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal.
Beberapa kali mereka sengaja
melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai,
bahkan mereka pernah menghina dan memukul seorang anak murid Kun-lun-pai yang
sedang turun gunung. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar
dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan ‘tetangga’!
Agaknya dari fihak Kun-lun
Ngo-eng juga tak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai. Oleh karena itu, setelah
didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurang
ajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.
Akan tetapi, diam-diam Kun-lun
Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para
murid Kun-lun-pai bahwa sebenarnya ‘tetangga’ mereka itu bukanlah orang
baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata
sendiri betapa kelima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik
orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, dan dibawa ke atas puncak!
Kun-lun Sam-lojin, yaitu Seng
Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan
kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian
Siansu mendengar akan maksud tiga orang sute-nya ini, ia cepat mencegah mereka.
Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang sangat patuh kepada Seng Thian
Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi
wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal
Kun-lun Ngo-eng itu.
Akan tetapi, beberapa hari
yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini
terjadi setelah Hek-eng Sianjin, yakni orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng,
menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui,
seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah
puteri dari kepala suku bangsa itu.
Tentu saja suku bangsa Hui
yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka
mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda
membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali oleh Kun-lun Ngo-eng.
Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan
begitu pendeta berjubah hitam ini memainkan pedangnya yang lihai, belasan orang
langsung roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.
Tangis riuh-rendah di dalam
dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang
kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan
lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng
murid-muridnya!
“Ehh, ada apakah ribut-ribut
ini?” tanyanya pada orang Hui itu.
Kepala suku bangsa Hui segera
maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat bahwa yang
datang ini adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentunya memiliki
kepandaian tinggi.
“Lo-enghiong, kami keluarga
Hui tertimpa mala petaka hebat...! Anakku perempuan telah diculik oleh saikong
siluman dari puncak Kun-lun-san, dan pada saat aku serta saudara-saudaraku
menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh
saikong siluman...”
Siangkoan Hai mengerutkan
keningnya dan memandang tak percaya.
“Aneh, siapa orangnya yang
berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari
Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong ke sana?”
“Sudah, Lo-enghiong. Kami
sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tak mau turun gunung
menolong...”
Siangkoan Hai membelalakkan
matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”
“Suhu, lebih baik kita
menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tak sabar.
“Memang kita harus lekas
menolong, dan hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat
seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin kenapa tidak
mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.
“Hayo bawa kami ke tempat
saikong siluman itu!”
Demikianlah, beramai-ramai
orang-orang Hui itu lalu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju
ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah
bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar
oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang lebih dekat dan hanya menanti dari
jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke
pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.
Ketika mereka sudah tiba di
dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata
bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang
semuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun,
pakaian mereka mewah sekali.
“Orang-orang muda, beritahukan
kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang minta
bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi.
Lima orang muda itu lalu
berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
tertawa tergelak. “Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan
setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian
melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai
perlu sekali bicara dengan kalian!”
Tiba-tiba di atas tembok yang
mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih,
kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar-kibar tertiup
angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian,
terdengar suara dari balik tembok itu.
“Kami tak mengenal Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil
harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”
Mendadak kelima buah bendera
yang berkibar di atas tembok itu berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi
berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa
berkibar ke kanan!
Siangkoan Hai maklum bahwa
orang-orang di bawah tembok sana telah memperlihatkan kepandaiannya. Dia juga
tahu bahwa bendera itu berkibar karena ditiup oleh orang yang mempunyai tenaga
khikang yang luar biasa tingginya. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya
dan mendemonstrasikan kepandaian supaya dia menjadi ketakutan dan segera pergi.
Kembali Pak-lo-sian Siangkoan
Hai tertawa bergelak dan sesudah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu
menghampiri sebatang pohon yang tinggi. Sekali dia mengerahkan tenaga, akar
pohon itu telah tercabut dari tanah! Dia lalu menghampiri tembok bangunan itu
dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di
atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih
tinggi dari pada bendera-bendera tadi.
“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng.
Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”
Perbuatan Siangkoan Hai ini
menimbulkan kegemparan pada sebelah dalam bangunan, karena terdengar
seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya
mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda,
bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.
Lalu terdengar suara wanita
yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Tak perlu kau memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau kau mampu,
masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng
Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.
Siangkoan Hai tertawa bergelak
mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang
muridnya.
“Kalau sampai murid-murid
mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh
orang.”
Kun Beng dan Swi Kiat
mengangguk. Mereka sudah mengerti akan kehendak suhu-nya ini. Kemudian, dua
orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas
tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh serta
belasan orang anak-anak muda yang elok-elok.
Lima orang ini terdiri dari
tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai
lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apa lagi dua orang
wanita, meski dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua,
namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi.
Pakaian mereka juga aneh
sekali, karena seorang berpakaian warna putih, orang kedua berpakaian kuning,
lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita
memperhatikan seorang demi seorang.
Orang pertama yang berpakaian
putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng.
Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua dan rambutnya telah bercampur uban,
pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu.
Pedangnya menempel pada punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia
nampak amat gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-eng atau Garuda Putih!
Orang kedua adalah seorang
wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau
Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk
pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di
pakai oleh pendeta atau tokouw. Walau pun pakaiannya seperti pertapa wanita,
namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aslinya.
Tak dapat disangkal bahwa
sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik.
Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Meski sekarang telah ada
gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, akan tetapi dia masih tetap
mempunyai penarik sebagai seorang wanita.
Seperti juga suheng-nya, dia
memakai pedang di punggungnya. Hanya bedanya, gagang pedangnya memakai
ronce-ronce benang emas warna kuning, ada pun gagang pedang Pek-eng Sianjin
memakai ronce-ronce benang sutera putih.
Orang ketiga juga seorang
wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya beberapa tahun lebih muda dari
Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampaknya jauh lebih muda. Namanya
Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang
langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah
diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi,
kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan
dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini.
Dandanannya jauh lebih ‘aksi’
dari pada suci-nya yang oleh karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian
pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan sangat ketat mencetak tubuhnya
yang memang bentuknya bagus sekali. Rambutnya disanggul bagai dara-dara muda
dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya.
Biar pun bentuk air muka
Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li
lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia jauh lebih menarik dari pada
suci-nya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya
ketika menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk memasuki tempat tinggal
mereka.
Orang keempat bernama Ang-eng
Sianjin yang berpakaian bagai pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya
sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng
Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur,
adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang
bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya.
Maka ketahuanlah sekarang
bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw serta
seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang
dari satu cabang perguruan dan kelimanya merupakan ahli Ilmu Pedang Sin-eng
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).
“He-he-he, seperti anak wayang
saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh
itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan
Memperebutkan Tulang Anjing)?”
Sudah tentu saja tidak ada
cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai
hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang
sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak
sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, sejak
tadi darahnya telah naik ke kepalanya!
Sedangkan orang yang paling
galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita
berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai itu, mukanya
langsung menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, lantas tersebarlah
jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan
Hai dan kedua orang muridnya!
Jarum rahasia yang dilepaskan
oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut
Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus serta kecilnya sehingga
apa bila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging
dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah!
Dalam penggunaan jarum-jarum
ini, orang yang melontarkannya harus memiliki tenaga lweekang yang tinggi dan
melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang
jarum, dapatlah dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!
Orang biasa saja bila diserang
oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi.
Bahkan ahli-ahli silat yang kurang pandai sukar membebaskan diri dari sambaran
jarum-jarum itu, terlebih lagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar
tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki!
Namun, yang diserang adalah
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jeri menghadapi
jarum-jarum halus ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya
sudah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum
mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih pada tangan
kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, ketika
terkena sambaran angin kebutan kipas putih, jarum-jarum kecil itu tiba-tiba
membalik dan runtuh semua ke bawah.
“Ha-ha-ha, siluman rase! Hendak
aku mengukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!”
Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya.
Hebat sekali akibatnya!
Jarum-jarum yang belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas
hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai.....
Ui-eng Suthai menjerit marah
dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya sendiri.
Melihat kelihaian lawan, memang sejak tadi dia sudah mencabut pedangnya dan
bersiap sedia. Kemudian, sambil mengeluarkan pekik nyaring, tokouw ini lantas
menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas dan menyerang Siangkoan Hai
dengan pedangnya.
Akan tetapi, terdengar suara
ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai sudah lenyap dari atas tembok itu,
karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua
muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.
“Bangsat tua, bagus sekali kau
mengantarkan nyawa!” Pek-eng Sian-jin membentak dan segera menyerang dengan
pedangnya.
Melihat serangan ini, segera
tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai dan
tenaganya bahkan lebih kuat dari pada Ui-eng Suthai. Maka ia pun tidak berani
berlaku ayal.
Tanpa dapat terlihat saking cepatnya,
dia sudah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-lo-sian Siangkoan
Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan pandangan mata Pek-eng
Sianjin segera berkunang-kunang saat melihat ujung tombak di tangan kakek
pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya!
Tombak itu tergetar dan
mengaung dengan suara yang menyakitkan telinga, sedangkan setiap kali pedangnya
terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari
pegangan. Pada waktu secara nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik
ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher lawan, Siangkoan Hai
memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut terputar.
“Turun kau!” bentak Siangkoan
Hai.
Benar saja, tanpa dapat
menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas
tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sejenak, seakan-akan Pek-eng-Sianjin
berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang
yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas. Akan tetapi dia segera
dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri kembali, lalu mencabut
pedangnya.
“Nanti dulu sebelum kalian
melanjutkan permainan wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru. “Aku
datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguh pun aku tidak akan menolak
setiap pertempuran yang menggembirakan. Namun, sebenarnya kedatanganku ini
untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda? Di
mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”
Pek-eng Sianjin tertawa
mengejek. “Hemm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebagai
seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut
lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan
mengumpulkan murid-murid kami supaya dapat mewarisi ilmu pedang kami, lalu ada
sangkut paut apakah dengan kau orang tua?”
Mendengar ucapan ini.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia
telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat di situ terdapat belasan
orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang semuanya berwajah tampan dan
cantik sekali. Mereka ini dengan pedang di tangan sudah pula mengurung Kun beng
dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seolah-olah mereka tidak suka
ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!
Akan tetapi, pandangan mata
Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan
keluar dari wajah yang kepucatan, dia pun tahu bahwa orang-orang muda itu
menderita sekali di dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan
mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan
semua orang muda itu. Ia segera teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,
“Ah, begitukah gerangan kenapa
kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?” dia
menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi semua murid-muridmu
berjumlah tujuh belas orang?”
Pek-eng Sianjin mengangguk
sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Hee, Pak-lo-sian, kau juga
mempunyai dua orang murid yang baik, tidak perlu kau merasa iri hati.”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini. Akan
tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.
“Ucapanmu benar sekali! Akan
tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula,
tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula!
Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian berlima seperti garuda-garuda yang suka menyambar
anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!”
Kun-lun Ngo-eng main mata dan
saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil yang lihai
ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba
merah itu tertawa bergelak lalu berkata,
“Ha-ha-ha, orang tua pendek
kecil, ternyata kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil masuk
ke sini, nah... kau lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah
yang paling jelita menurut penglihatanmu!”
Ang-eng Sianjin memang cerdik
dan dapat berpikir cepat. Dia tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek kecil ini
dan tahu bahwa biar pun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya
akan sanggup menang, maka lebih baik kehilangan seorang ‘murid’ dari pada harus
menghadapi resiko yang lebih berbahaya.
Ada pun Kun Beng dan Swi Kiat
pada saat mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan mata
melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Dua orang anak ini sudah mengenal
baik kebersihan hati suhu mereka, lalu mengapa suhu-nya kini berkata seperti
itu? Sudah miringkah otak guru mereka ini?
Hampir saja Swi Kiat yang
berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng.
Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhu-nya tentu main-main saja
dengan lima orang aneh itu.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing
saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan
berpakaian mewah itu, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Tidak ada yang cocok!
Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku
ingin yang masih bersih, yang masih baru. Ehh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah
kemarin kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana dia?
Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok
menjadi muridku!”
Berubahlah wajah lima orang
aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang
untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang
pedang dicabut serentak.
“Kau memang mencari mampus!”
bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku tidak tahu bahwa anak-anak
ini sudah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian
benar-benar iblis yang harus mampus!”
Setelah berkata demikian, dia
menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima
orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa
pukulan tombak itu!
Belasan orang anak murid
Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang
anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat
mempergunakan sepasang kipasnya.
Ternyata bahwa orang-orang
muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu
hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak mempunyai ilmu
kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang di antara mereka sudah
roboh tunggang-langgang. Baiknya dua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan
oleh suhu mereka supaya tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentulah
mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.
Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan
Hai yang sekarang sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang betul-betul
jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta,
menjadi marah sekali. Permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima
orang lawannya benar-benar terdesak hebat.
Ilmu pedang mereka memang luar
biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka benar-benar
kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang
mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia
marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang
tidak mau kalah oleh siapa pun juga dalam hal ilmu silat!
Makin lama, gerakan ilmu
pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan kini mereka
berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu. Akan tetapi
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan lima orang itu?
Dengan ganasnya dia menyerbu
terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Pada saat itu, kakek kate
yang sedang marah ini agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat dia
menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi kelima orang ini dan membalaskan
dendam orang-orang muda yang terjatuh dalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi
seperti boneka-boneka hidup itu.
Lima orang Garuda Kun-lun itu
tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka segera meloncat ke dalam
serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan
pecahlah pintu itu!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
menyerbu masuk dan mendadak dari atas turun batu besar menimpa kepalanya! Namun
Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan tidak akan disebut
tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan
mendadak ini.
Batu yang beratnya seribu kati
itu menimpa kepalanya dari atas secara mendadak dan agaknya tak dapat dielakkan
pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan
kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa
kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya!
Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan
main. Mereka cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil
menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang
tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah
melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.
“Lima ekor anjing busuk,
kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!” bentak Siangkoan
Hai yang menjadi makin marah.
Kakek ini lantas meloncat dan
menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di sebuah
ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Pintu
ruangan ini dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam
cermin-cemin itu. Tiba-tiba cermin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan
anak panah.
Siangkoan Hai hendak memutar
tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa
tubuhnya ke bawah pula! Dia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua
pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi
segala bahaya. Lantai yang turun ini akhirnya berhenti dan Siangkoan Hai
mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat dari pada
besi tebal dan keadaan di situ gelap sekali!
Terdengarlah suara orang-orang
tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring.
“Siangkoan Hai, kau boleh
bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan
sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng sudah pergi
meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh.
Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang
nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara
yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak
berdaya keluar.
Kun Beng dan Swi Kiat masih
mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain
mewah itu telah dibikin kocar-kacir.
“Suheng, jangan berlaku kejam
kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.” Berkali-kali Kun
Beng memperingatkan suheng-nya.
Kalau sudah marah, Swi Kiat
tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini
nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan
dan tendangan dua orang muda itu.
Tiba-tiba muncul lima orang
aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi
Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka
tentu telah mengalami bencana.
“Di mana Suhu-ku?” seru Swi
Kiat sambil melompat ke tempat mereka.
Pek-eng Sianjin tertawa
bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata
kagum.
“Kau benar-benar gagah, orang
muda,” katanya.
Ada pun Jeng-eng Mo-li juga
melompat ke depan Kun Beng, mengulurkan tangan untuk meraba pipi pemuda itu.
Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh
wanita berpakaian hijau ini.
“Kau tampan sekali,” kata
Jeng-eng Mo-li.
Melihat sikap mereka, Kun Beng
tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan.
Apa lagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini
mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya.
Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya untuk menyerang Jeng-eng Mo-li
sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
“Bagus, pemuda yang tampan dan
gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” berkata Ui-eng Suthai sambil
mengelak dari serangan Swi Kiat.
“Benar, Suci (Kakak
Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tidak tercela. Benar-benar
pemuda yang menawan hati!” Jeng-eng Mo-li berkata sambil terus tertawa
ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.
Memang, kepandaian Swi Kiat
dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh dibilang luar biasa kalau dibandingkan
dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka
menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi,
juga sudah matang pengalamannya.
Beberapa jurus kemudian,
setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas
sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai sapu tangan kuning dari
saku bajunya dan sekali ia mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka Swi Kiat,
pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening.
Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan di dalam pelukan
Ui-eng Suthai!
Hampir berbareng, Jeng-eng
Mo-li juga mengebutkan sapu tangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng
roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah,
kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya
lari ke dalam, diikuti pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka
yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat
moralnya!
Tertawannya Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, menimbulkan kemarahan besar pada Kun-lun Sam-lojin. Mereka
menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun
Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan jika
sekarang orang tua itu sampai mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu
membuat buruk nama Kun-lun-pai?
“Mereka sudah terlalu berani.
Apa bila didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapatkan nama
buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?”
berkata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang
termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara
saudara-saudaranya.
“Habis apakah yang harus kita
lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka
dan mencari permusuhan. Apa bila kita turun tangan, tentu twa-suheng marah
sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.
“Memang sukar,” kata Seng Jin
Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi
tidak mengijinkan. Jika menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan
twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa
lebih baik kita melanggar larangan dari pada melanggar peri kemanusiaan dan
kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi peri kebajikan! Sekarang
twa-suheng lagi bersiulian (bersemedhi) dan tidak mungkin diganggu. Bagaimana
kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil
menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon
maaf dan memberi alasan yang tepat.”
Akhirnya dua orang saudaranya
menyetujui, dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat
tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran amat hebat antara Kun-lun Ngo-eng
dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun
Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar.
Dalam pertempuran mati-matian,
Seng Giok Siansu, orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin akhirnya roboh lantas
tewas oleh jarum dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut
Nyawa). Ada pun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, yaitu Seng Te Siansu dan
Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!
Sesudah terjadi peristiwa yang
hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun
gunung. Dia memaksa diri biar pun tubuhnya sudah tua serta lemah, dan berniat
hendak mengadu nyawa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, biar pun kepandaiannya
lihai, kakek yang sudah amat tua ini akan menghadapi bencana di depan bangunan
tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
Mendengar penuturan kakek tua
renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.
“Locianpwe, mereka itu
sungguh-sungguh jahat dan layak sekali dibasmi. Kiranya tidak perlu Locianpwe
sendiri yang mengotorkan tangan, biar teecu mewakili Locianpwe untuk
membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian serta sute-sute dari
Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Terima kasih, Ang-bin
Sin-kai, terima kasih. Apa bila bukan engkau yang mengajukan penawaran
membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, meski
tenagaku sudah lemah. Akan tetapi aku pecaya penuh padamu dan kau wakililah
aku. Kelak sebelum mati mungkin sekali aku akan dapat meninggalkan sesuatu
bagimu.”
Ang-bin Sin-kai tersenyum,
lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe
hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu
menerima hadiah itu.”
Sesudah itu, Ang-bin Sin-kai
memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat
menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng…..
********************
Pada saat siuman kembali, Kun
Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami
dengan kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam
benang emas, berbau harum sekali. Kamar itu pun sangat indahnya, dihiasi dengan
dinding yang dipenuhi gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan
perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri
bangsawan.
Semua ini masih belum
mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening. Akan tetapi ketika
mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia
melompat turun dari pembaringan kemudian berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa
di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya.
Perempuan ini sekarang tak
kelihatan galak lagi, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal.
Lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun
Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang
dewasa ini masih belum paham akan segala kemesuman perempuan cabul seperti
Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasakan dan mengerti akan sikap
perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.
Seketika itu juga teringatlah
dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan
dan dibawa ke kamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking
jengah dan marahnya.
“Anak yang baik, kau telah
berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang
pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar
terdengar menarik merdu.
“Siluman jahat!” Kun Beng
membentak.
Pemuda ini hendak melompat
keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya
telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke
dalam kamar.
“Kalau kau keluar, kau akan
menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup
penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara bernada membujuk.
“Anjing hina-dina, lebih baik
aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul
ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!
Akan tetapi, dengan mudah saja
Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini. Bahkan sekali
menggerakkan tangan, dia telah bisa menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan
sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga
Kun Beng sama sekali tidak berdaya lagi!
“Bodoh, kau menurutlah saja.
Aku sangat sayang kepadamu karena kau lain dari pada pemuda-pemuda yang lemah
itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan
pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius.
Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat
sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup,
aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah
manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”
Namun, sebagai jawaban atas
bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah
mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan
Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng
dengan dua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan datangnya dari
jarak dekat ini tak dapat ditangkis.
Terpaksa dia melepaskan
pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan
benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan
meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!
“Bocah tak kenal budi!”
Jeng-eng Mo-li membentak keras karena dia pun merasa jengkel sekali menghadapi
pemuda yang nekat ini.
Dengan sebuah bangku di
tangan, dia menangkis serangan Kun Beng dan terdengarlah suara keras ketika
meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda
ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan
dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan
melawan mati-matian.
Kalau saja Kun Beng tidak
memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu
perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Meski Jeng-eng
Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang
kepada pemuda ini. Maka, ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan
sapu tangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!
Sama halnya dengan Kun Beng,
di kamar lain Swi Kiat sedang digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda
yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai
menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang sudah dicampur dengan bisa
yang amat luar biasa.
Bisa ini seketika itu juga
membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran hingga Swi Kiat seakan-akan
menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut serta
mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan Ui-eng Suthai! Namun
sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung di
dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan
benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.
Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan
Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat
kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi
gelisah atau bingung. Sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata
kotor, bahkan dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya
keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan
tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua
ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti
itu?
Sama sekali tidak! Kakek yang
aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba
tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata
bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan ada pula tengkoraknya. Dan di tangan
rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat dari pada kulit.
Siangkoan Hai mengambil benda
itu, kemudian disimpannya pada saku bajunya, hendak diselidikinya apa bila dia
dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya
yang keras dapat terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san,
maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras.
Kakek ini tidak merasa
khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut.
Mereka berlima tidak dapat mengganggunya walau pun dia telah tertawan di dalam
sumur.
Ada pun soal makan,
Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. Pernah dia tidak makan
sampai sebulan lamanya dan sekali dia ‘membuka puasanya’ dia dapat menghabiskan
belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama dia sanggup
mempertahankan diri, tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir kakek
ini.
Tidak seperti Ui-eng Suthai
yang sudah tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum arak pembius kepada
Swi Kiat, Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Bila pemuda ini
siuman, beberapa kali dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat
pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan sapu tangan hijaunya. Namun, Kun Beng
berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak
perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?
“Kau benar-benar bandel dan
agaknya kau lebih suka menjadi seekor anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li marah
dan jengkel sekali.
Ia keluar dari kamar dan tak
lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan
seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah dua orang muda ini pucat dan
sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi.
Melihat mereka ini, Kun Beng
bergidik karena kini dia pun maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-lun
Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh
obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!
Jeng-eng Mo-li berkata kepada
Kun Beng,
“Anak bodoh, kau lihat ini.
Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada
sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, sambil memandang
tajam dan membentak keras,
“Kalian berdua sekarang
menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”
Sesudah mendengar ucapan ini,
dua orang muda itu segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu
bagaikan dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li
kemudian mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk
membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai
dan berkata lagi,
“Makan kue itu seperti anjing
makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue
itu seperti dua ekor anjing saja!
“Keluar dari sini!” Jeng-eng
Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing
dipukul!
Menyaksikan pertunjukan yang
hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.
“Perempuan iblis, kau harus
mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-eng
Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini.
Akan tetapi memang
kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan
darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali
dan habis kesabarannya.
“Kalau kau tidak mau menurut
kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”
Setelah berkata demikian, dia
lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika dia membuka tutup botol
itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Dia menghampiri Kun Beng yang sudah
di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke
dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari
luar kamar.
“Perempuan iblis!”
Dan menyambarlah angin pukulan
yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak, botol di
tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu
jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.
Jeng-eng Mo-li terkejut sekali
karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dia cepat melompat
keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak
mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh
totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.
Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat
keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat?
Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi
sesungguhnya bukan hasil kerja kakek sakti ini, melainkan muridnya yang
menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Seperti sudah dituturkan pada
bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari cepat
menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau Lima Garuda dari Kun-lun-san itu.
Tak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai mengambil
jalan dari atas! Dia sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu
kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan
jebakan-jebakan.
Dia memegang tangan Kwan Cu
dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi. Kemudian,
dengan menggenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus
genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga sedikit pun tidak terdengar
oleh orang-orang yang berada di bawah.
Dalam percakapan dengan Seng
Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu,
orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para
‘murid-muridnya’ tidak memiliki kepandaian berarti.
“Kwan Cu, kau lihat baik-baik.
Pada saat aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, kau baru
boleh turun dan segera cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis
sakti itu kepada muridnya.
Kemudian, guru dan murid ini
sampai di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di
bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah
tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan
senangnya.
Mereka ini adalah Pek-eng
Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah
Ui-eng Suthai. Ada pun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini
sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!
Mereka ini dilayani oleh
anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan
Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang
melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi
Kiat juga berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar.
Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak
menunggu sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua supaya dia dapat menyerang
mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian,
murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan di situ. Akan tetapi saat kakek
pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi
merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena kakek ini
mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!
Pada saat Ang-bin Sin-kai yang
sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang
gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang
menyuling lagu kuno yang indah!
“Hang-hong-siauw Yok-ong
datang...,” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan pada muridnya. Kemudian dia
berkata kepada bayangan yang datang itu.
“Yok-ong (Raja Obat),
kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!” Setelah berkata
demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan
segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.
Ketika tadi mendengar suara
suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng itu
terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apa lagi
ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal.
Tentu saja mereka amat kaget
ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagai mana ada orang bisa berada
di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka
rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!
Oleh karena itu, dapat
dibayangkan alangkah hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin
kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja
yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut
dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Ketika dari atas,
kakek ini melayang ke atas meja dan kini berdiri di atas dua buah mangkok
sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu
berkata mengejek,
“Masakan busuk... aku tidak
doyan...!”
Pek-eng Sianjin tahu bahwa
tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu telah mengetahui akan
semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak
sekali dengan tertawannya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu
saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini tentu ada
hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.
Maka dia lalu memberi tanda
rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung
serta menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan
kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang hanya menggerakkan kedua kakinya
dengan sangat tenang dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah
empat penyerangnya!
Ketika Pek-eng Sianjin dan
ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka
memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan
mereka terasa sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok itu berhasil dipukul
pecah.
Mereka mendesak maju dan
mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai
melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat
pengeroyoknya.
Sementara itu, Hang-hong-siauw
Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut
bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani
keempat orang lawannya. Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw Yok-ong menonton
sambil tertawa-tawa.
Kemudian dia menotok roboh
semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya.
Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar
itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencari-cari lagi
anak-anak muda lainnya yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.
Setelah melihat suhu-nya
dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu lalu melompat
turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di
situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?
Ketika dia tengah mencari,
tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu
datang, yakni dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.
“Pak-lo-sian Locianpwe...!”
Kwan Cu memanggil dari atas sumur.
Suara nyanyian itu berhenti
dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah
kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang panjang dan masukkan
ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja kepada tiang agar aku
dapat naik!”
“Baik, Locianpwe, tunggulah
sebentar.”
Kwan Cu lalu berlari-lari ke
belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu dengan beberapa
‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para
murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur
bagai orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah
dapat meloloskan diri dari kepungan.
Anak gundul yang cerdik ini
dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau
memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka
terpental mundur. Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang dan
cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.
“Locianpwe, tangkap tambang!”
serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat
gelap itu.
Kwan Cu tidak mengikatkan
ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan membelit-belitkan pada
dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya
tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor
kera saja.
Ketika tiba di atas dan
melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji.
Akan tetapi Kwan Cu berkata,
“Cepat, Locianpwe, teecu
mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah kiri. Agaknya
dia dalam bahaya!”
Memang pada waktu mencari
tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng
Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa
orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada di kamar itu dan dia
maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.
Mendengar ini, Pak-lo-sian
Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti sudah dituturkan di
bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan
Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya. Ada pun Jeng-eng
Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok
Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.
“Ha-ha-ha! Kini lengkap
Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.
Terdengar teriakan kaget dan
tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga
orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan sekarang dibaringkan berjajar
di atas lantai, belasan orang jumlahnya.
Sambil meniup sulingnya,
Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok
lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup keras,
menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran.
Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol sekali dan sengaja
menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.
Melihat tubuh wanita jahat itu
melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya. Dia hanya
mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim
kembali ke tengah medan pertempuran!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong dan
membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai
yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju
ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok
lima.
Pak-lo-sian marah sekali
ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apa lagi
ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah
bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.
“Harus kubikin mampus kelima
Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.
Ang-bin Sin-kai yang sedang
mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa melihat betapa
Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan
dua orang kakek Kun-lun-pai. Kakek pengemis ini segera berkata,
“Hee, Pak-lo-sian, mari kau
ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin,
terlempar tubuhnya terkena dorongannya.
Tubuh Hek-eng Sianjin
berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian
Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa amat gemas dan
marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya. Sekali sambar dia
sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.
“Mampuslah kau!” serunya dan
tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.
Terdengar suara keras ketika
kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras itu.
Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.
Yok-ong menghentikan tiupan
sulingnya dan berkata memuji,
“Memang begitulah seharusnya
menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di
dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”
Namun baru saja dia menutup
mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata
masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan
Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai
ke arah Yok-ong!
“Ini bagianmu!” seru Ang-bin
Sin-kai lantang.
“Eh, eh, ehh, aku tidak biasa
menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa
dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.
Dia seorang Raja Obat,
kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan dibawa
oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka setelah
tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong kembali
sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai.....
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
dapat menduga bahwa muridnya, yaitu Swi Kiat, pasti menjadi korban perempuan
ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya
tadi menggoda Kun Beng. Maka marahnya tidak dapat dikendalikan lagi dan melihat
perempuan ini, dia pun mengangkat kaki kanannya menendang ke arah lambung
Ui-eng Suthai.
Wanita ini menjerit ngeri.
Tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh
Hek-eng Sianjin dalam keadaan tidak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan
tadi karena Pak-lo-sian tak mau berlaku kepalang tanggung dan telah mengerahkan
seluruh tenaga dalam tendangannya. Karena itu, mana Ui-eng Suthai kuat menahan
tendangan itu?
Sesudah menewaskan dua orang
jahat itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai menjadi semakin buas. Dia memang paling
benci kepada orang-orang jahat, apa lagi setelah dia melihat keadaan
orang-orang muda itu, terutama sekali keadaan muridnya yang disayanginya.
Sambil mengeluarkan seruan
keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih dipermainkan
oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi
serangannya? Sedangkan hanya menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka
sudah menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya
setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula menyerbu, tentu saja mereka tak
dapat mempertahankan diri lagi.
Jeng-eng Mo-li yang mula-mula
menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini menyambar
bagaikan seekor burung gagak liar, dan meski pun Jeng-eng Mo-li berusaha
sedapat mungkin untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka.
Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya terkena totokan gagang kipas.
Terdengar jerit mengerikan dan
tubuh Jeng-eng Mo-li roboh kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya, tubuh itu
terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng
Sianjin!
Pek-eng Sianjin menjadi pucat
ketakutan dan dia mencoba untuk terus bertahan. Ilmu pedangnya memang paling
kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih mampu mempertahankan diri.
Akan tetapi Ang-eng Sianjin
tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan kipasnya
untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada
matanya dan hidup. Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan
tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan.
Terdengar suara keras dan
patahlah tulang leher Ang-eng Sianjin sehingga ia pun roboh tak bernyawa lagi.
Pak-lo-sian menendangnya pula hingga mayatnya bertumpuk dengan mayat
saudara-saudaranya.
Habislah keberanian Pek-eng
Sianjin sesudah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam keadaan
amat mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia
lalu berlutut dan melempar pedangnya.
“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin
mohon ampun dan minta hidup,” Pek-eng Sianjin berkata dengan bibir gemetar.
Mendengar ini, Yok-ong lalu
mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan muak
melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, karena itu dia lantas
membalikkan tubuh dan menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok
olehnya. Dia kini mulai memeriksa keadaan mereka dan mempersiapkan obat-obat
untuk menolong orang-orang muda yang sudah menjadi boneka hidup akibat obat
pembius dari Kun-lun Ngo-eng.
“Dia harus mampus!” seru Seng
Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan kematian
adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.
Sedangkan Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin. Tanpa
banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun
Ngo-eng itu agar nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai
berseru, “Pak-lo-sian, tahan!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih menyinarkan
kemarahan besar.
“Mengapa kau menahanku,
Ang-bin Sin-kai? Apakah tidak sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari muka
bumi?”
“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku
akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang sudah
menyerah. Pembunuhan macam itu tidak patut dilakukan oleh orang gagah.”
Kemudian pengemis sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.
“Berdasarkan apakah kau mohon
ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan tidak akan melakukan
kejahatan lagi?”
“Pinto sudah bertobat dan
berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara
sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.
“Bohong!” bentak Pak-lo-sian
Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Ucapan manusia semacam ini
tidak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah
dikuasai oleh iblis. Dia harus mati!”
“Benar sekali, dia harus
mati!” berkata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, setuju dengan pendapat
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin Sin-kai mengangkat
tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ingatlah ujar-ujar guru besar
Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan
sesungguhnya apa bila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki
kejahatan dan semua kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan
mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan untuk menebus dosa-dosanya, maka
dia berhak hidup.”
“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah
sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat kejahatan?
Bila kelak dia berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang
berbuat kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara
tidak akan kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan
tetapi apakah kepalamu yang putih itu sudah sedemikian bodoh?” Kakek itu tidak
melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pek-eng Sianjin,
“Kau tadi berjanji akan
mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani bersumpah?”
Pek-eng Sianjin mengangguk.
“Nah, kalau begitu
bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”
“Jika aku, Pek-eng Sianjin,
tidak bertobat dan kembali melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua keturunan
atau anak muridku binasa oleh orang-orang gagah!”
Baru saja Pek-eng Sianjin
menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak kemudian berkata,
“Nah, kau pergilah!”
Sambil berkata demikian, kedua
tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya menotok
punggung, ada pun jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng
itu.
Pek-eng Sianjin menjerit
kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Sesudah dia dapat
mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh
tubuhnya, dia pun bangkit berdiri. Ternyata bahwa tubuhnya sudah menjadi
bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin dapat digunakan untuk memukul
orang lagi! Dia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi orang biasa
yang bertubuh lemah!
“Ha-ha-ha, Ang-bin Sin-kai,
kau benar-benar lihai dan cerdik luar biasa!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin
tak dapat berlaku jahat lagi. Meski pun ingin melakukan kejahatannya, namun
tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua
orang tosu dari Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat
hajaran yang diberikan kepada Pek-eng Sianjin.
“Hemmm, dia tidak mungkin
dapat diobati lagi dan selama hidupnya akan tinggal menjadi orang bercacad,”
kata Yok-ong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, sambil meringis
menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata
penuh dendam.
“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau
kejam sekali dan tidak percaya terhadap sumpahku. Kau sudah membuat aku
menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja, kelak tentu akan ada orang
yang membalaskan sakit hatiku ini, apa bila tidak kepadamu, tentulah kepada
murid-muridmu!” Sesudah berkata demikian, Pek-eng Sianjin segera berjalan
terpincang-pincang pergi dari tempat itu.
Terdengar Pak-lo-sian
Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Pengemis bangkotan, kau
mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah
menjadi setan dan tak akan bisa mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus
berhati-hati, karena kau menambah adanya seorang yang berbahaya.”
“Biarlah,” jawab Ang-bin
Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia
melanggar sumpahnya sendiri.”
Semua orang lalu mencurahkan
perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya untuk
mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi
seorang diurutnya di bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil
putih yang sudah dicairkan dengan arak obat.
Setiap anak muda yang
mengalami pengobatan ini lantas muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang
membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah
dibebaskan dari totokan, ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!
Juga Swi Kiat mengalami
pengobatan. Karena pemuda ini sudah mempunyai dasar yang kuat dan sudah
berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih
kembali. Dia memandang kepada suhu-nya, kemudian berlutut dan walau pun tidak
terdengar menangis, namun mukanya menjadi merah dan dari kedua matanya melompat
keluar dua titik air mata.
“Swi Kiat, tak usah kau
memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau
kehilangan dasar kekuatan di dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau tetap giat
berlatih, kau akan mendapatkan kembali tenagamu,” gurunya berkata dengan suara
mengandung keharuan.
“Teecu bersumpah takkan mendekati
wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan mengandung kebencian
besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.
Setelah semua orang menerima
tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi
tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantarkan mereka kembali ke rumah
dan dusun masing-masing.
Setelah pengobatan itu beres
semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya. “Ehh, mana Kwan Cu?”
tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena
ternyata bahwa semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.
“Muridmu yang gundul itu?”
kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”
Tak hanya Ang-bin Sin-kai yang
merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houw-siauw
Yok-ong turut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu
mengalami bencana yang tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka segera pergi
ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai
berteriak nyaring sekali sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat
terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.
Tidak lama kemudian, setelah
gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.
“Teecu berada di sini, Suhu!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang
diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houw-siauw
Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat
ditentukan dari mana datangnya.
“Ehh, Kwan Cu, kau di
manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.
“Teecu di sini, Suhu. Di bawah
sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”
Baru semua orang tahu bahwa
Kwan Cu sedang berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkurung!
Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas dan
tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin
Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka
ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, tapi di samping kebodohannya harus
kupuji ketabahan hatinya. Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi
dipakai untuk menolongku,” berkata Pak-lo-sian sambil menunjuk ke arah tambang
yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk ke dalam
sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur,
menanti munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.
Memang betul, Kwan Cu telah
memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh, juga
sangat tabah dan cerdik. Dia tahu bahwa suhu-nya pasti sanggup menghadapi para
pengeroyoknya, apa lagi tadi dia melihat ada Yok-ong yang sekarang ditambah
pula dengan Pak-lo-sian. Dia tidak khawatir kalau orang-orang tua itu tak akan
dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng.
Karena itu, ketika dia melihat
sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di bawah!
Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana
tempatnya enak, maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya
yang ada di dalam sumur itu.
Sebelum memasuki sumur, lebih
dahulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam ruang
yang berdekatan. Kemudian, setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan
membawa alat pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.
Ketika kakinya menyentuh dasar
sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia melepaskan
tambang dan segera meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia!
Dari rabaan ini Kwan Cu bisa menduga bahwa benda itu tentulah tulang-tulang,
namun dia tidak mengira bahwa tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang
rangka manusia.
Dengan tenang dia lalu
menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja dibawanya
dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba
menjadi terang. Pertama-tama yang ditemui penglihatannya ialah tulang-tulang
itu dan biar pun dia memiliki ketabahan luar biasa, dia merasa seram juga saat
mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi kiranya adalah tulang
belulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya.
Di bawah penerangan lilin,
Kwan Cu memeriksa rangka itu dan dia mendapat kenyataan bahwa kepala rangka itu
telah pecah! Dia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya.
Tempat itu lebarnya kira-kira
tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih di
sudut kiri. Sesudah diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab
yang sudah tidak ada sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap
melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tengah
dicari-carinya. Dia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan
membuka-buka kitab itu.
Hampir saja dia berseru
kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata
adalah huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang palsu, yang dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar!
Segera anak ini membaca kitab itu. Kegembiraannya bertambah ketika dia mendapat
kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang telah dicuri
orang dari goa tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!
Mendapatkan kitab ini, segera
dia hendak naik kembali sambil membawa kitab itu. Akan tetapi tiba-tiba dia
teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan
sampul kitab itu sudah lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai
juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau terjadi hal seperti itu, karena
kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak
akan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!
Ia teringat betapa tokoh-tokoh
besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan
besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca
seluruh isi kitab sejarah ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera
mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi ini.
Ia cepat membuka-buka kitab
itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek
Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman
ke dua puluh empat, dia menemukan tulisan mengenai kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari membaca bagian ini, lalu dia
membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti berikut:
‘Kitab ini terkutuk dan
menjadi alat perusak dunia kalau terjatuh ke dalam tangan orang jahat.
Sebaliknya menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apa bila terjatuh
ke dalam seorang manusia berbudi. Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada
saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi Kaisar Kao Tsu)
dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang
jahat, Liu Pang kemudian menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas
pulau kosong.
Ketika menyembunyikan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik
perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan,
melalui pulau-pulau besar dan di antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau
kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Di
sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan
tangan Thian Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.’
Hanya bagian itulah yang
dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia berusaha mengingat-ingat
keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia
terkejut sekali ketika mendengar suara gurunya memanggilnya. Dia cepat menjawab
dan karena khawatir akan ditemukannya kitab itu oleh orang lain, dia lalu
membakar kitab itu dengan lilinnya!
Orang-orang yang menunggu di
atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua
orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.
“Ehh, Kwan Cu! Apa yang
terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.
“Teecu sekarang juga keluar,
Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam.
Setelah melihat betapa kitab
itu terbakar habis, anak ini kemudian merayap naik melalui tambang. Begitu dia
muncul di permukaan sumur, Kun Beng lantas tertawa bergelak, dan orang-orang
lain juga tersenyum geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya sudah
menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi karena kitab itu agak basah dan
ketika dibakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan mukanya!
“Ehh, Kwan Cu, apa kau berubah
menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar karena melihat muridnya
yang terkasih ini.
Sebaliknya, Pak-lo-sian
Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum bahwa
di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan
yang di antaranya ingin dia ketahui, apa lagi yang berkenaan dengan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Kwan Cu, apakah yang kau
bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.
“Di dalam gelap sekali,
Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di
sana yang dapat di bakar.”
“Kau menemukan apa di sana?”
tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandang mata tajam.
“Sama seperti yang telah
ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik. “Apa lagi yang bisa teecu
ketemukan di dalam sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?” Jawaban ini
menyimpang.
Ang-bin Sin-kai tahu akan hal
ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentulah ada ‘apa-apanya’ yang
disembunyikan oleh bocah gundul ini.
Ang-bin Sin-kai tertawa dan
berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan
Pak-lo-sian, tentu tak akan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar, diikuti oleh Kwan Cu.
Sesudah tiba di luar, Ang-bin
Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau menyembunyikan sesuatu
dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”
“Suhu, sebetulnya teecu telah
menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu telah
membakarnya menjadi abu.”
Saking terkejut dan herannya,
Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.
“Kau bakar...?”
Kwan Cu tersenyum. “Tentu saja
setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Berubahlah wajah Ang-bin
Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.
“Kau tunggu di sini, jangan
pergi sebelum aku kembali!”
Belum juga Kwan Cu sempat
bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari hadapan muridnya ini.
Dia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan
mengintai di atas ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada. Ia
bergerak hati-hati sekali karena maklum bahwa jika Pak-lo-sian berada di situ,
banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja mendengar
kedatangannya.
Akan tetapi, ternyata
dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di sana. Dua
orang tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi,
sedangkan Hang-houw-siauw Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah
Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat sumur dan melihat ke dalam sumur itu.
Tidak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang menyelidiki di dalam
sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!
Memang tepat sekali dugaan
ini. Tadi sesudah Ang-bin Sin-kai pergi bersama Kwan Cu, Pak-lo-sian mengambil
sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan
huruf-huruf besar ‘BUKU SEJARAH KUNO’, dia cepat pergi ke dalam sumur dan
memeriksa sambil membawa lilin!
Ang-bin Sin-kai cepat-cepat
kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Dia mendapatkan Kwan
Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!
“Ehhh, dari mana kau mendapat
suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia mengenal
suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!
“Dari Yok-ong Locianpwe,”
jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan
memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,
“Kau anak baik. Di antara
semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau simpan
suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”
Ang-bin Sin-kai menarik napas
lega. Ternyata Raja Obat itu mempunyai pandangan mata yang sangat tajam,
pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri
Kwan Cu yang diejek dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.
“Kwan Cu, ternyata dugaanku
benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa di dalam sumur dan kalau dia melihat abu
kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan
kekerasan. Hayo kita cepat-cepat pergi, aku segan untuk berurusan dengan kakek
yang berkepala keras itu!”
Karena ingin menghindar dari
kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai segera menggendong Kwan Cu, dibawa pergi
ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah
puncak gunung yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi
manusia.
“Perjalanan yang kau hadapi
penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau harus melakukan perjalanan jauh, akan
tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tokoh besar yang selalu tidak mau tinggal
diam sebelum mereka dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena
itu, sementara kita tinggal dulu di tempat sunyi ini dan kau harus berlatih
giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan turun gunung
sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”
Demikianlah, mulai hari itu
Ang-bin Sin-kai mengerahkan seluruh perhatian serta tenaga untuk mendidik dan
menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak
pernah terlihat anak ini menganggur, meski suhu-nya sedang beristirahat, dia
selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang baru dia pelajari dari
suhu-nya.
Bertahun-tahun Kwan Cu dan
suhu-nya seolah-olah terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah hutan,
di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan
kadang-kadang binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan
sederhana itu dan mendengar gurunya mengeluh panjang pendek oleh karena gurunya
itu sudah sangat rindu akan arak dan masakan enak, Kwan Cu menjadi terharu
sekali.
“Suhu, sungguh teecu tidak
mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu kepada
teecu. Ahh, budi yang begini besar, dan apakah teecu akan dapat membalasnya?”
Mendengar ucapan ini,
lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.
“Kwan Cu, pembalasaan yang
kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang menjunjung
tinggi peri kebajikan, bisa berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan
tetapi, kau tak mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau
tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk
menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya menerima latihan dari
aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari
padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai
bekal bagimu untuk mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut
mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku, dan karenanya, aku mana bisa
rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan?”
Mendengar ini makin kuatlah
hati Kwan Cu dan semakin giatlah dia. Dia menjadi terharu sekali ketika gurunya
pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa
beberapa stel pakaian baru untuknya! Suhu-nya sendiri tidak pernah berganti
pakaian, kecuali kalau pakaian yang menempel pada tubuhnya itu sudah
benar-benar hancur.
Atas kehendak gurunya yang
ingin melihat dia berpakaian pantas, sekarang Kwan Cu memakai pakaian yang
cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhu-nya yang amat
mengasihinya.
Beberapa tahun kemudian,
kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Dia sudah berusia lima belas tahun, akan
tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan
seperti seorang hwesio kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi
tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan menjadi makin halus dan kemerahan,
berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang tiada
henti-hentinya.
Kembali beberapa bulan yang
telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi
sekali dan suhu-nya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah goa.
Akhir-akhir ini, suhu-nya nampak malas dan bangunnya pun apa bila matahari
telah naik tinggi. Tubuh suhu-nya nampak makin kurus dan kakek ini beberapa
kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.
“Aku sudah sangat tua, Kwan
Cu, tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya hanya
bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah
berkali-kali kakek pengemis yang sakti ini mengeluh.
Pagi hari itu Kwan Cu melatih
ilmu silat Sin-ci Tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yaitu ilmu silat
paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan
dengan menggunakan jari-jari tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang
luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan dengan jari tangan yang luar
biasa kuatnya.
Sudah berbulan-bulan dia terus
melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan hatinya.
Pada pagi hari ini, sesudah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang
membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci
Tin-san ini, dia melatih diri sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah
pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.
Pada saat bersilat dengan ilmu
silat Sin-ci Tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat ke sana
kemari serta kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan
jari tengah, ditusukkan ke sana ke mari dan sepasang kakinya melakukan
langkah-langkah yang amat teratur.
Kemudian mulailah dia
menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan bukan
main hebatnya kepandaian anak muda yang usianya baru lima belas tahun ini. Tiap
kali jari tangannya baik yang kanan mau pun yang kiri, menusuk ke batang sebuah
pohon, terdengar suara berderak kemudian pohon itu patah dan tumbang berikut
semua daunnya!
Kalau ada orang lain yang
melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu
kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,
“Tidak baik, tidak baik!
Gwakang-ku lebih besar keluarnya dari pada tenaga lweekang!”
Kembali dengan tangan kirinya
dia menusuk sebatang pohon yang langsung patah dan tumbang.
“Kau terlalu terburu nafsu,
Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga gwakang sehingga tidak seimbang
dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok,
ternyata bahwa suhu-nya sudah berdiri di belakangnya.
Kwan Cu berlutut. “Suhu, mohon
petunjuk dari suhu yang mulia.”
Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Dalam
menghadapi segala macam hal, terutama sekali saat menghadapi perlawanan dari
musuh yang tangguh, pantangan yang paling utama adalah timbulnya nafsu yang
menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai
dirimu seluruhnya, dari semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran
dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca inderamu, dan sadar serta tak
sadar harus waspada betul-betul. Kekuatan yang tenaganya tampak seperti
pukulanmu kepada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak
kecil atau membikin gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada
gunanya kalau kau menghadapi lawan yang tangguh. Ingatlah, segala yang tenang,
tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”
“Mohon suhu memberi penjelasan
mengenai Sin-ci Tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat melakukannya
dengan baik.”
Ang-bin Sin-kai menghampiri
sebatang pohon dan dia menggunakan satu jarinya untuk menusuk pohon itu seperti
yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikit pun juga,
bahkan tiada sehelai pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai
menggunakan telapak tangan mendorongnya perlahan, ternyata bahwa pukulan atau
lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang pohon di balik
kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu lantas tumbang ke tanah!
“Dalam pukulan Sin-ci Tin-san,
kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang dan jangan
sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah
menjadi tenaga gwakang yang kasar.”
Demikianlah, Kwan Cu
digembleng terus oleh suhu-nya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki
tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti
terbang, serta ilmu silat yang lihai. Suling yang didapatnya dari Yok-ong
ternyata merupakan senjata yang amat ampuh. Suling ini terbuat dari pada baja
hijau dan kuatnya bukan main.
Ang-bin Sin-kai melatih ilmu
pedang tunggalnya yang membuat dia dapat menjagoi dunia kang-ouw puluhan tahun
yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan
Membuka). Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan
ternyata cocok sekali.
Selain pandai memainkan suling
sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu dari
sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan
teori meniup suling sungguh pun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu
amat berbakat dan dia dapat meniup banyak lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.
Dua tahun kemudian, setelah
berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.
“Muridku, kini kiranya sudah
cukup kepandaianmu untuk kau pakai sebagai bekal dalam perjalanmu mencari
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menuruti petunjuk yang kau baca dalam
kitab sejarah. Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu
kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau sudah mendapatkan ilmu silat yang paling
lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati sehingga aku dapat menyaksikan
kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”
Kwan Cu yang berlutut di depan
suhu-nya merasa sangat berat untuk berpisah dan pergi meninggalkan suhu-nya
yang kini nampak tua sekali.
“Semenjak dahulu memang teecu
bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan siapakah
yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.
“Kwan Cu, apakah kau akan
memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang
kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tak membutuhkan pelayanan orang lain.”
“Akan tetapi... kalau teecu
rindu kepada suhu dan hendak bertemu, ke manakah teecu harus mencari suhu?”
“Aku akan ke kota raja mencari
Lu Pin adikku, setelah itu, aku tak akan jauh dari tempat kau mencari kitab
itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”
Setelah mendapat wejangan dan
nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai bekal
menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun
gunung dan mulai dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah
timur dari Tiongkok.
Ia melakukan perjalanan cepat
melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti sepanjang
tapal batas Mongolia, terus menuju Timur…..
********************
Baru sekarang Kwan Cu merasa
alangkah sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak berteman. Dia
rindu kepada suhu-nya yang baginya merupakan penganti ayah bundanya. Namun hati
Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi
itu dan memaksa hati bergembira.
Suling pemberian Yok-ong yang
kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang paling setia. Setiap kali
dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup sulingnya. Suara sulingnya
inilah yang menghibur hatinya, biar pun dia berada di dalam hutan yang sunyi,
apa bila dia meniup suling maka lenyaplah rasa sunyi dalam hati.
Perjalanan yang dilakukan oleh
pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, paling sedikit ada empat ribu kilo meter!
Terlebih pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung serta hutan-hutan
liar yang sukar dilalui.
Akan tetapi Kwan Cu sekarang
sudah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi sehingga perjalanan
yang sukar itu dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkang-nya telah terlampau
tinggi untuk dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau pun jalan-jalan yang
menanjak.
Semenjak turun gunung, dia tak
lagi mencukur rambutnya sehingga kini dia benar-benar merupakan pemuda yang
gagah dan tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur
dan bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Dia
mengikat rambutnya dengan sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi
mukanya.
Kurang lebih setengah tahun
dia melakukan perjalanan, meski kadang-kadang berhenti untuk menikmati
pemandangan alam di beberapa gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan
indah di kota-kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha
menghindarkan diri dari setiap bentrokan sesuai dengan nasehat suhu-nya.
Memang beberapa kali ia pernah
dihadang oleh para perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan tetapi Kwan
Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para
perampok berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan
korbannya itu tiba-tiba saja tertawa dan berkelebat melenyapkan diri dari depan
mata mereka!
Lebih enam bulan kemudian dia
tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei. Di tempat ini dia teringat akan
pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan oleh panglima An Lu
Shan.
Keadaan di sekitar daerah ini
sekarang sudah sangat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa heran
betapa daerah ini sekarang amat ramai, penuh oleh tentara yang bermacam-macam
pakaiannya dan bermacam-macam pula kebangsaannya. Dia melihat tentara-tentara
dari suku bangsa Hui, Daur dan juga Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan
bersenjata lengkap, berbaris ke sana kemari seolah-olah tengah menantikan
datangnya perang besar!
Di setiap tanah lapang dia
meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi dan berlatih perang-perangan.
Kwan Cu menjadi semakin kagum dan heran karena setiap anggota tentara mampu
mainkan senjata mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biar pun hanya
beberapa jurus saja mereka itu mainkan senjata masing-masing, tombak, golok
atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu silat yang
diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!
Tentu saja pemuda yang sama
sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi pemerintahan
ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan sedang
mengerahkan seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut,
untuk membentuk sebuah barisan yang besar sekali dengan maksud menyerang ke
selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan mulai dengan persiapannya
untuk memberontak.
Yang paling mengherankan hati
Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak pernah dia
bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian tentara
dan menjadi anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakaian
biasa.
Sebaliknya, semua orang
memandang padanya dengan mata yang terheran-heran pula karena sesungguhnya Kwan
Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman.
Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan
pasukan yang dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu.
“He, orang muda! Kau masih
enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri agar segera masuk
tempat latihan!” sambil berkata demikian, komandan itu memegang pergelangan
tangan Kwan Cu erat-erat.
Kalau dia menghendaki, dengan
mudah Kwan Cu akan mampu melepaskan tangannya. Akan tetapi dia tidak mau
menimbulkan keributan, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Sobat, apakah maksudmu? Aku
tak mengerti sama sekali. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perantau yang
datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau suka menjelaskan.”
“Setiap orang laki-laki di
daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan
lain!”
“Mengapa harus? Aku bukan
orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.
Sementara itu mendengar suara
ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara dan tahu-tahu Kwan Cu
sudah dikurung!
“Anak muda, sudahlah jangan
banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi tentara dan
membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni goa maut!”
Kwan Cu menjadi penasaran
sekali, akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.
“Apakah goa maut itu? Dan
mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati aku tak
mengerti sama sekali!”
Komandan itu tertawa, “Oya,
aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat goa maut? Mari, mari
ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan
Kwan Cu diikuti oleh para anggota yang juga tertawa-tawa geli.
Masih saja Kwan Cu bersabar
dan dia membiarkan dirinya ditarik bagaikan kerbau oleh komandan itu yang
membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya
naik turun melalui hutan-hutan. Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu
dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah kelihatan sebuah goa yang
merupakan terowongan besar dan di sebelah dalamnya tampak anak tangga. Di depan
goa itu dijaga oleh seorang tentara berbangsa Mongol yang bertubuh tinggi besar
bagaikan raksasa, memegang sebatang tombak yang besar dan panjang lagi berat.
Komandan yang menarik tangan
Kwan Cu lalu berbicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang tertawa
bergelak-gelak, membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke
bawah itu ikut bergerak-gerak lucu.
“Nah, inilah goa maut. Siapa
pun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan ke dalam goa ini lalu dijerumuskan
ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah.”
Dari dalam goa itu lapat-lapat
terdengar suara rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan Cu
untuk menolong mereka itu. Akan tetapi, dia teringat bahwa dia kini sedang
berurusan dengan tentara pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan
hebat. Maka dia lalu mengangguk dan berkata,
“Aku menurut saja.”
Terdengar suara gelak ketawa.
Komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya lalu beramai-ramai menghantar
Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon tentara.
Akan tetapi baru saja mereka
keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat goa maut itu, tiba-tiba
mereka ribut-ribut kemudian sibuk mencari-cari seperti seorang wanita
kehilangan gelangnya. Tanpa diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda
yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!
“Ehh, di mana dia?”
“Aneh sekali, tak mungkin dia
melarikan diri!”
“Aku tadi masih melihat dia
berjalan sambil tersenyum-senyum.”
“Dia bisa menghilang, tentu
dia siluman!”
Ramailah orang-orang itu
bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi
bayangannya.
Sebenarnya, dengan
kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak
memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya,
ia lalu melarikan diri dengan cepat dan ringan sekali sehingga tak menimbulkan
suara apa pun. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan goa maut itu dan hendak berusaha
menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan tangisan tadi.
Kalau tentara negeri menghukum
orang bersalah atau orang jahat, tentu dia takkan mau campur tangan. Akan
tetapi tadi pun ia akan dimasukkan ke dalam goa itu hanya karena dia menolak
menjadi tentara. Kalau memang demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang
dimasukkan ke dalam goa maut itu tanpa dosa! Jika begini keadaannya, dia harus
menolong mereka itu.....