Pendekar Remaja Jilid 21-25

Dengan wajah berubah merah, Hek Pa, yaitu orang ketiga dari kelima Ketua Hek-tung Kai-pang, bangkit berdiri dan menudingkan jari tangan kirinya kepada ketiga orang tamu itu sambil berkata,
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 21-25

Dengan wajah berubah merah, Hek Pa, yaitu orang ketiga dari kelima Ketua Hek-tung Kai-pang, bangkit berdiri dan menudingkan jari tangan kirinya kepada ketiga orang tamu itu sambil berkata,

“Orang-orang Coa-tung Kai-pang sombong amat! Siapakah yang tak mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dan Lo-kai Hwe-koan menggabungkan diri karena kalian paksa dengan kekerasan? Dan siapa pula yang tidak mendengar bahwa Coa-tung Kai-pang mempunyai banyak anggota yang sering melakukan pelanggaran dan kejahatan, tidak patut sebagai perkumpulan pengemis pendekar? Orang lain boleh kalian gertak, akan tetapi kami para pengurus Hek-tung Kai-pang tak gentar menghadapi tongkat ularmu!”

Setelah mendengar ucapan Sam-pangcu (Ketua ke Tiga), para pengemis tongkat hitam yang berjumlah empat puluh orang lebih itu serentak berseru, ”Betul! Usirlah orang-orang Coa-tung Kai-pang ini!” Dan dengan tongkat hitam diangkat tinggi-tinggi mereka serentak maju mengurung!

Akan tetapi ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu masih saja bersikap tenang, bahkan kini senyum mereka melebar sombong.

“Hemm, begitukah kegagahan Hek-tung Kai-pang? Hendak mengandalkan jumlah besar mengeroyok kami tiga orang? Alangkah rendah dan pengecutnya!”

Mendengar ejekan ini, Hek Liong lalu berdiri dan dengan gerak tangannya dia meminta kepada semua anak buahnya untuk mundur. Sesudah keadaan menjadi reda, dia lalu menghadapi Si Tinggi Besar itu sambil menantang,

“Dengarlah, kawan! Kami seluruh anggota dan pengurus Hek-tung Kai-pang, tidak mau menerima usulmu supaya menggabungkan perkumpulan kami dengan perkumpulanmu. Habis, kau mau apa?”

“Hek-pangcu,” kata Si Muka Hitam yang tinggi besar itu, “apakah kau lupa bahwa hari ini adalah hari pemilihan pengurus baru perkumpulanmu? Aku mendengar bahwa siapa saja yang dapat mengalahkan Hek-tung-hoat, maka dialah yang berhak menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang. Nah, kami bertiga juga hendak mencoba-coba kelihaian Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat!”

“Bagus!” Tiba-tiba Beng Beng Tojin melangkah maju. “Inilah baru ucapan orang gagah. Untuk apa bertengkar mulut seperti wanita? Aturan harus dijalankan dan dipegang teguh. Kedatangan pinto juga ingin menguji kehebatan Hek-tung-hoat dan jika pinto beruntung, pinto akan merasa senang menjadi pangcu!”

“Aku pun datang untuk mencoba peruntungan menjadi ketua perkumpulan ini!” tiba-tiba It-ci-sinkang Cong Tan menyela.

Diam-diam Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dengan perasaan geli dan heran. Bagaimanakah ada begitu banyak orang yang memperebutkan kedudukan sebagai ketua perkumpulan para pengemis? Apakah enaknya menjadi ketua pengemis?

Ada pun kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang ketika mendengar ucapan ini, lalu berdiri merupakan sebuah barisan dan Hek Liong sebagai orang tertua berkata keras,

“Bagus sekali! Kalian semua telah mendengar pilihan para pemimpin cabang bahwa kami berlima masih tetap dikehendaki untuk memimpin Hek-tung Kai-pang. Nah, siapa yang menyatakan tidak setuju boleh maju ke muka!”

Melihat sikap kelima orang yang maju bersama ini, Beng Beng Tojin mengerutkan kening dan berkata lemah, “Apa...? Kalian berlima maju berbareng?”

Juga It-ci-sinkang CongTan memperlihatkan rasa gentarnya. “Ah, ini tidak adil!” katanya.

Hek Liong lalu tersenyum mengejek, “Ketahuilah bahwa kami berlima merupakan saudara seperguruan yang sudah bersumpah sehidup semati, senasib sependeritaan. Dan kalian tadi mendengar sendiri bahwa yang diangkat menjadi pangcu adalah kami berlima, maka andai kata seorang di antara kalian ada yang dapat mengalahkan aku masih ada empat orang saudaraku yang harus dikalahkan pula. Oleh karena itu, kami merupakan sebuah kelompok yang tak dapat dipisah-pisahkan. Terserah siapa yang ingin merobohkan kami, boleh maju. Yang merasa takut tak usah mencari penyakit!”

Ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu tadinya memandang kepada Beng Beng Tojin dan Cong Tan dengan senyum menghina, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu mendapat akal baik.

Ia dan kawan-kawannya hanya tiga orang sedangkan pihak lawan ada lima orang, belum ditambah dengan para pemimpin-pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang yang nampaknya berpihak kepada lima orang ketua mereka. Mengapa dalam keadaan kalah tenaga ini dia tidak menarik tangan kedua orang ini?

“Ji-wi Eng-hiong,” katanya kepada tosu serta orang bertopi bundar itu, “Ji-wi jauh-jauh sudah datang ke sini dan biar pun antara Ji-wi dengan kami bertiga tidak ada hubungan, namun maksud kedatangan kita di sini adalah sama. Sekarang dengan secara licik tuan rumah hendak maju berlima, kenapa kita tidak bergabung saja sehingga kita pun menjadi lima orang? Bila kita menang, percayalah bahwa kami bertiga tidak akan berlaku curang seperti tuan rumah dan kita kelak boleh menentukan siapa di antara kita yang paling cakap untuk menjadi ketua!”

Tosu dan orang bertopi itu saling pandang, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus, memang demikianlah baru adil!”

Sementara itu, kelima orang she Hek itu telah dapat mengerti kecerdikan pihak Coa-tung Kai-pang, namun mereka tidak takut.

“Baiklah, lekas kalian memperlihatkan kepandaian, banyak bicara tak ada guna!” Setelah berkata demikian, secara otomatis ia beserta kawan-kawannya kemudian berpencar dan membentuk sebuah barisan segi lima.

“Hayo serang!” kata Si Muka Hitam, pemuka dari pemimpin Coa-tung Kai-pang sambil menggerakkan tongkat ularnya.

Beng Beng Tojin tertawa bergelak, lantas mengeluarkan senjatanya yang istimewa yaitu sepasang sumpit gading yang panjang dan berujung runcing, sedangkan It-ci-sinkang Cong Tan juga mengeluarkan senjatanya yang berupa golok. Dengan berbareng, kelima orang tamu ini menyerang pihak Hek-tung Kai-pang.

Indah sekali gerakan kelima saudara Hek itu ketika mereka menyambut lawan-lawannya. Tubuh mereka bergerak secara amat teratur dan begitu tongkat hitam mereka menangkis senjata lawan, mereka lalu menggerakkan kaki dengan gerakan yang sama dan dengan teratur sekali mereka lalu menyerang lawan di sebelah kiri masing-masing, bukan lawan yang rnenyerang tadi!

“Moi-moi,” kata Hong Beng perlahan kepada Goat Lan yang duduk di sebelah kanannya, “perhatikan baik-baik. Lima saudara Hek itu menggunakan barisan yang teratur sekali.”

Goat Lan mengangguk sambil memandang penuh perhatian. “Memang dugaanmu tepat, Koko. Mereka tidak mau melayani lawan yang menyerang, sebaliknya menyerang orang di sebelah kiri sehingga pihak lawan menjadi kacau dan perhatian mereka pecah. Lihat, benar-benar mereka lihai dan sukar dilawan! Meski pun lima orang melawan lima, namun pihak lawan selalu akan merasa terkurung dan terkeroyok!”

“Aku pernah mendengar dari Suhu mengenai Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, dan melihat pergerakan barisan mereka, kalau tidak salah mereka itu mempergunakan barisan yang hampir sama dengan Ngo-bun-tin.”

“Apakah ada persamaannya dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Anasir)?” tanya Goat Lan sambil menonton pertempuran yang kini berjalan seru itu.

“Tidak sama,” jawab Hong Beng. “Ngo-bun-tin (Barisan Lima Pintu) memiliki lima pintu, yaitu Thian-bun (Pintu Langit), Tee-bun (Pintu Bumi), Hai-bun (Pintu Laut), Hong-bun (Pintu Angin) dan In-bun (Pintu Awan). Kedudukan mereka kuat sekali karena tiap kali seorang di antara mereka diserang dan menangkis, maka kawan di sebelah kanan atau kirinya lalu maju menyerang lawan yang menyerangnya itu, dengan demikian serangan lawan dapat langsung diputuskan.”

Kedua orang muda itu lalu memperhatikan jalannya pertempuran. Ternyata bahwa Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat memang hebat sekali. Tongkat hitam di tangan kelima orang itu bergerak bagaikan lima ekor naga hitam yang mengamuk dan setiap kali tongkat mereka beradu dengan senjata lawan, tentu terjadi benturan yang amat keras dan jelas nampak bahwa tenaga kelima ketua Hek-tung Kai-pang itu masih menang setingkat.

Kecuali apa bila yang ditangkis itu adalah golok di tangan It-ci-sinkang Cong Tan, karena ternyata bahwa Si Jari Lihai ini benar-benar kuat sekali tenaganya. Hampir saja karena kurang hati-hati, tongkat di tangan Hek Sai saudara termuda dari lima ketua itu, terlepas dari pegangan ketika ia menangkis golok Cong Tan!

“Ngo-hek-pangcu tentu akan menang,” Goat Lan berkata setelah menonton pertempuran yang sudah berjalan dua puluh jurus lebih itu.

“Memang, kepandaian pihak tamu masih belum dapat menyamai kelihaian tuan rumah, akan tetapi kulihat Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat tidak kalah lihai dari pada Hek-tung-hoat, hanya saja gerakan tiga orang itu masih kurang sempurna. Mereka itu hanya tokoh-tokoh kedua saja, kalau ketua-ketua dari Coa-tung Kai-pang tentu akan hebat sekali permainan tongkatnya,” kata Hong Beng.

Memang kedua orang muda ini mempunyai pandangan yang amat tajam dan awas, hal ini mungkin disebabkan kepandaian mereka masih jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian mereka yang sedang bertempur. Tepat seperti yang mereka duga, kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang mulai mendesak lawan mereka dan yang pertama kali terkena pukulan adalah It-ci-sinkang Cong Tan.

Pada satu saat yang amat tepat, yaitu ketika goloknya menyambar ke arah leher Hek Kwi, orang ke empat dari Ngo-pangcu ini segera menangkis dan menggunaan tongkat hitamnya untuk menempel golok. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam tangkisan ini ia menggunakan gerakan coan (memutar) sehingga Cong Tan merasa sukar untuk menarik kembali goloknya.

Pada saat itu, bagaikan telah diatur sebelumnya, tongkat hitam Hek Pa sudah meluncur dan menotok pundak Cong Tan pada jalan darah Keng-hin-hiat! Cong Tan lalu memekik kesakitan dan merasa betapa seluruh tubuhnya terlepas dari pegangan dan sekali Hek Kwi menendang, tubuhnya terlempar keluar dari kalangan pertempuran dan tidak dapat bergerak pula!

Tidak lama setelah Cong Tan roboh, kembali Beng Beng Tojin menjadi korban di tangan Hek Liong, saudara yang paling lihai ilmu tongkatnya. Pada saat Hek Liong menusukkan tongkatnya ke dada tosu itu, Beng Beng Tojin kemudian menggerakkan sepasang sumpit gadingnya untuk menjepit dan menggunting tongkat lawan. Jepitan sumpitnya ini sangat keras, disertai tenaga lweekang yang hebat, akan tetapi ternyata bahwa ia masih kalah tenaga.

Hek Liong membuat tongkat dalam tangannya tergetar dan begitu tongkat tadi bergetar keras, maka jepitan itu dengan sendirinya terlepas. Akan tetapi tongkat itu masih terus bergetar di antara kedua sumpit itu sehingga Beng Beng Tosu tidak berani sembarangan menarik sumpitnya karena takut kalau-kalau dia kalah cepat dan kalau-kalau tongkat itu akan mendahuluinya dengan serangan hebat. Akan tetapi, pada saat itu, Hek Houw yang sudah menduduki Tee-bun (Pintu Bumi) dengan cepat sudah mengirim tusukan dengan tongkatnya ke arah lambungnya. Beng Beng Tojin menjatuhkan diri ke belakang dan…

“Brettt!”

Jubahnya yang lebar itu tertusuk oleh tongkat hingga robek lebar sekali, sedangkan kulit pahanya ikut pula robek dan terluka! Masih untung baginya bahwa kedua saudara Hek ini tidak bermaksud mencelakakannya dan tidak mengejarnya dengan serangan lain.

Tosu ini melompat ke belakang, mengebut-ngebutkan bajunya dengan muka merah, lalu berkata, “Pinto mengaku kalah!” Kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan lenyap dari situ!

Kini tinggallah ketiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang melakukan perlawanan hebat dan mati-matian. Memang betul seperti yang dikatakan oleh Hong Beng tadi. Ilmu tongkat mereka benar-benar lihai dan ganas sekali. Tongkat berbentuk ular pada tangan mereka itu nampak seakan-akan hidup dan tongkat itu seperti ular asli yang bergerak melenggak-lenggok dengan gerakan amat tak terduga-duga.

Namun, tadi dibantu oleh orang lain yang cukup tinggi kepandaiannya, mereka masih tak sanggup mengalahkan kelima ketua Hek-tung Kai-pang, apa lagi sekarang, mereka yang hanya bertiga itu terkurung oleh kelima orang lawannya yang tangguh. Mereka terdesak hebat dan terkurung rapat sehingga mereka hanya dapat memutar tongkat mereka untuk mempertahankan diri tanpa diberi kesempatan membalas serangan.

Ketika Hong Beng dan Goat Lan mengerling ke arah para anggota Hek-tung Kai-pang, pada wajah mereka terbayang kegembiraan besar melihat kemenangan ketua mereka, akan tetapi tak seorang pun yang menggetarkan suara mau pun gerakan. Wajah mereka tetap tegang dan siap siaga seperti tadi sehingga diam-diam dua orang muda ini menjadi kagum. Hal ini membuktikan pula bahwa Hek-tung Kai-pang memang benar merupakan perkumpulan yang berdisiplin baik.

Tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah sangat terdesak itu semakin lama semakin lemah gerakan tongkat mereka. Memang harus dipuji keuletan mereka karena sampai sebegitu lama belum juga kelima orang lawan mereka bisa merobohkan mereka. Pertahanan mereka kuat sekali.

Tiba-tiba Si Muka Hitam berseru keras, “Robohkan mereka!”

Dan komando ini diikuti oleh gerakan mereka menuju ke arah para lawan dengan tongkat mereka dan tiba-tiba saja dari kepala tongkat itu menyambar keluar senjata rahasia yang berwarna hitam!

“Celaka, Koko!” seru Goat Lan yang hendak melompat, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Hong Beng.

“Tenanglah, Moi-moi,” kata pemuda itu. Karena sangat tegang, maka Hong Beng tanpa disadarinya pula telah memegang lengan tunangannya sehingga ketika Goat Lan merasa betapa lengannya dipegang dan tidak segera dilepaskan pula, tiba-tiba mukanya berubah merah sekali!

“Koko, lepaskan,” bisiknya, “tak malukah dilihat orang?”

Barulah Hong Beng sadar bahwa semenjak tadi dia telah memegang lengan orang yang berkulit halus dan hangat itu, maka dengan muka kemerahan dan mulut tersenyum malu dia cepat melepaskan lengan tunangannya. Sepasang mata mereka bertemu untuk saat pendek, karena keduanya segera kembali melihat ke tempat orang-orang bertempur.

Dari sikap kedua orang muda tadi, ternyata bahwa watak Hong Beng lebih tenang dan ketenangannya ini membuat pandangannya lebih awas dari pada Goat Lan. Goat Lan yang merasa tegang dan kuatir, menyangka bahwa ketua-ketua Hek-tung Kai-pang akan terkena celaka, akan tetapi Hong Beng yang melihat sikap Ngo-hek-pangcu itu maklum bahwa mereka telah siap dan tidak akan mudah diserang dengan senjata rahasia begitu saja.

Memang betul, pada waktu kelima orang ketua she Hek itu melihat benda-benda hitam menyambar, serentak mereka segera mendekam ke bawah, lantas dengan gerakan yang berbareng bagaikan telah diatur lebih dahulu, tongkat-tongkat mereka menyapu ke arah kaki ketiga lawan itu.

Terdengar suara bak-buk dah terjungkallah tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu! Tulang kaki mereka sudah terpukul hebat dan walau pun tenaga lweekang mereka telah mencegah tulang kaki itu remuk, akan tetapi pukulan itu cukup keras sehingga untuk beberapa lama mereka takkan dapat bangun karena tulang kaki mereka terasa sakit dan linu sekali. Senjata rahasia yang keluar dari tongkat mereka tadi adalah jarum-jarum berbisa yang amat berbahaya!

Setelah dapat berdiri lagi, ketiga orang itu lalu memungut tongkat ular yang tadi terlepas dari pegangan, kemudian mereka berkata kepada tuan rumah, “Kami sudah menerima kalah, akan tetapi harap kalian siap menghadapi pembalasan ketua-ketua kami!” Setelah demikian, dengan terpincang-pincang ketiga orang itu lalu pergi dari situ.

Barulah terdengar sorak-sorai dari para anggota Hek-tung Kai-pang karena kemenangan mutlak dari ketua-ketua mereka ini. Akan tetapi Hek Liong kemudian mengangkat tangan memberi tanda kepada mereka agar supaya diam.

“Kawan-kawan,” katanya dengan wajah muram, “hari ini adalah hari yang sial bagi kita, tidak boleh kita bersuka-ria karenanya. Ketahuilah bahwa baru tiga orang dari Coa-tung Kai-pang tadi saja sudah demikian lihai, padahal mereka itu adalah orang-orang dari tingkat kedua. Apa bila ketua mereka yang datang, belum tentu kami berlima akan kuat menghadapinya. Sekarang akibat kekalahan mereka tadi, pihak Coa-tung Kai-pang tentu tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, kita harus berjaga-jaga dan betapa pun juga dari pada harus tunduk kepada Coa-tung Kai-pang yang jahat, lebih baik kita hancur lebur!”

“Setuju! Setuju!” terdengar jawaban para pengemis yang bersemangat gagah itu.

Kemudian, Hek Liong berpaling kepada Hong Beng dan dengan suara kereng ia berkata, “Orang muda, tadi kami tak berani menantangmu oleh karena kami tadi untuk sementara meletakkan jabatan. Setelah sekarang kami diangkat kembali, maka menjadi kewajiban kamilah untuk menegurmu! Kau kemarin telah melukai orang-orang kami dan setelah kau melihat kelihaian kami tadi, apakah kau tidak lekas-lekas minta maaf? Ketahuilah, bahwa kami bukanlah orang-orang yang suka menaruh dendam, asal saja kau suka minta maaf, kami akan memandang muka Lihiap murid Sin Kong Tianglo yang menjadi sahabatmu ini untuk memaafkan kau dan melupakan segala peristiwa kemarin.”

Mendengar ucapan yang mengandung sedikit kebanggaan atas kemenangan tadi, Hong Beng tersenyum. Akan tetapi ia tidak menjawab, sebaliknya, ia menunjuk ke arah tubuh It-ci-sinkang Cong Tan yang masih rebah di atas tanah tak bergerak.

“Ehh, Hek-pangcu, apakah kau lupa orang itu? Apakah kau akan membiarkan dia mati di situ?”

Barulah Hek Liong beserta adik-adiknya teringat akan Cong Tan yang tadi sudah terkena totokan, maka cepat mereka menghampiri Cong Tan.

“Pergilah kau dari sini!” kata Hek Liong sambil menepuk pundak orang itu.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tubuh Cong Tan masih saja kaku tak dapat bergerak dengan kedua mata melotot! Dia mengira bahwa tepukannya untuk membebaskan totokannya sendiri tadi kurang tepat, maka dia lalu menepuk lagi, bahkan mengurut urat pundak bekas lawan itu. Akan tetapi sia-sia belaka, tubuh Cong Tan tetap kaku tak dapat bergerak.

Lima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu menjadi terheran-heran sekali dan seorang demi seorang mereka lalu turun tangan untuk membebaskan Cong Tan dari pengaruh totokan. Namun percuma saja, tak seorang pun di antara mereka dapat menolong.

“Celaka!” terdengar Hek Liong berkata. “Yang tadi terkena totokan adalah jalan darahnya Keng-hin-hiat, kalau tidak dapat dilepaskan ia akan mati dalam waktu setengah hari!”

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan ketika lima orang itu menengok, ternyata Goat Lan telah melompat ke tempat itu. Gadis ini amat tertarik melihat keadaan yang aneh itu, dan sebagai seorang ahli pengobatan murid Sin Kong Tianglo, tentu saja ia amat tertarik dan ingin menyaksikan dengan mata sendiri.

“Ngo-wi harap mundur dan biarkan aku memeriksanya!” kata gadis ini dan kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu lalu melangkah mundur karena mereka maklum bahwa dara jelita ini adalah seorang ahli pengobatan yang amat terkenal di dunia kang-ouw.

Goat Lan segera berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh Cong Tan yang masih kaku. Beberapa kali ia memijit pundak yang tertotok itu dan akhirnya ia tersenyum, lalu berkata kepada para ketua yang masih merubungnya dengan muka heran.

“Ngo-wi Pangcu, ketahuilah bahwa orang ini sudah pernah meyakinkan Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah), akan tetapi pelajaran yang dilatihnya itu belum sempurna benar. Ia telah mempelajari ilmu itu di bagian penggunaan hawa tubuh untuk membuyarkan totokan pada jalan darah. Maka pada waktu tadi tertotok roboh, dia telah berusaha mengumpulkan hawa di tubuhnya untuk membuka totokan itu, akan tetapi oleh karena ia belum paham betul, maka penggunaannya salah, tidak diatur bersama dengan pernapasannya. Karena itu maka sekarang hawa itu berkumpul di pundaknya, menutup jalan darahnya yang masih tertotok sehingga ketika Ngo-wi mencoba melepaskannya, tentu saja terhalang oleh hawa tubuh yang berkumpul ini!”

Sesudah berkata demikian, Goat Lan lalu mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan dengan gerakan cepat sekali dia menusukkan ujung tusuk konde yang runcing itu pada pundak Cong Tan yang tertotok.

“Aduuuh...!”

It-ci-sinkang Cong Tan pulih kembali. Orang ini lalu bangun berdiri, memandang kepada Goat Lan dengan mata melotot lalu memaki,

“Perempuan kurang ajar! Kau sudah melukai serta mempermainkan aku dalam keadaan aku tidak berdaya! Kau harus menebus kekurang ajaranmu itu!” Sambil berkata demikian Cong Tan yang galak segera menyerang Goat Lan dengan jari tangan terbuka, menotok dada gadis itu! Goat Lan sempat melompat ke belakang sambil memandang heran.

Kelima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang itu menjadi marah dan mendongkol sekali. Ditolong orang tidak berterima kasih, bahkan lalu menyerang penolongnya, aturan dari manakah ini? Akan tetapi melihat gerakan mereka, Goat Lan tersenyum dan berkata, “Biarlah Ngo-wi Pangcu, biar ia melepaskan kemarahannya kepadaku!”

Maka terpaksa kelima orang she Hek itu lalu mundur, membiarkan Goat Lan menghadapi It-ci-sinkang Cong Tan yang marah-marah. Memang Cong Tan tadi merasa mendongkol dan malu sekali karena dia yang tadinya menyombongkan kepandaiannya dan hendak merebut kedudukan pangcu dari Hek-tung Kai-pang, baru beberapa jurus saja telah kena tertotok seperti arca bergelimpangan!

Dan pada saat Goat Lan menolongnya, dia sebetulnya sama sekali tidak mengerti bahwa dirinya ditolong dan dikiranya bahwa nona itu mempermainkannya dan sengaja melukai pundaknya, maka ia pun menjadi semakin marah. Untuk melampiaskan kedongkolannya kepada para ketua Hek-tung Kai-pang, ia tak berani karena merasa tidak dapat menang, maka kini dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya dengan menyerang gadis ini. Mustahil ia akan kalah menghadapi seorang gadis muda seperti ini!

“Rasakanlah pembalasan dari It-ci-sinkang Cong Tan!” serunya sambil menyerbu Goat Lan yang berdiri dengan tenang itu.

Cong Tan memang bertenaga besar, ia ahli tenaga gwakang dan setiap hari melatih diri di rumahnya dengan mengangkat dan mempermainkan batu-batu besar yang beratnya ratusan kati, juga dia telah melatih jari-jari tangannya sehingga jari-jari tangan itu dapat memukul hancur batu! Yang paling hebat adalah dua jari tangan kanan dan kirinya, yaitu telunjuk dan jari tengah, karena dia bersilat dengan jari-jari ini terbuka, digunakan untuk menotok jalan darah lawan!

Akan tetapi, segera ia mendapat kenyataan bahwa bertempur melawan gadis cantik jelita yang mengeluarkan aroma harum seperti kembang ini, sama halnya dengan bertempur melawan bayangannya sendiri pada waktu terang bulan. Ke mana juga ia menubruk dan menyerang, selalu yang tertangkap dan terpukul olehnya hanyalah angin belaka!

Dia bagaikan seekor kerbau gila yang menyerang kain merah yang diikatkan di depan tanduknya. Menubruk sana menyerang sini, tapi selalu mengenai angin. Goat Lan sambil tersenyum-senyum mempermainkan orang ini. Hitung-hitung latihan, pikirnya!

Tiga puluh jurus telah lewat dengan cepat dan karena setiap pukulan yang dikeluarkan oleh Cong Tan disertai tenaga gwakang yang besar, maka setelah menyerang tiga puluh jurus, tubuh orang ini telah basah kuyup oleh peluhnya sendiri.

Hong Beng menonton pertempuran itu dengan tersenyum simpul karena dia merasa geli melihat lagak Cong Tan, juga diam-diam dia menggelengkan kepala melihat kejenakaan tunangannya yang mempermainkan orang besar itu.

Ada pun kelima orang ketua she Hek itu berdiri menonton sambil membelalakkan mata. Baru sekarang mereka menyaksikan ginkang yang luar biasa lihainya. Hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan hanya mengandalkan keringanan tubuh nona itu dapat menghindarkan seluruh penyerangan Cong Tan.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari Goat Lan dan tubuhnya lenyap dari pandangan mata lawannya. Karuan saja Cong Tan menjadi terkejut sekali. Terdengar suara tertawa di sebelah belakang dan telinganya mendapat sentilan yang keras hingga terasa pedas sekali.

Cepat ia mengayun kedua tangan ke belakang, memukul lawannya yang ternyata sudah berada di belakangnya itu. Akan tetapi, hanya nampak bayangan berkelebat dan gadis itu tahu-tahu sudah berada di belakangnya pula, kini mengirim tendangan perlahan ke arah punggungnya sehingga dia merasa tulang punggungnya sakit sekali serasa hampir patah-patah!

Demikianlah, dengan mengeluarkan ginkang-nya yang paling tinggi, Goat Lan melompat-lompat dan membuat lawannya berputar-putar mengejar angin! Akhirnya saking jengkel, pening dan lelah, It-ci-sinkang Cong Tan Si Jari Lihai tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Bumi yang dipijaknya serasa berputar-putar, matanya melihat ribuan bintang sedang menari-nari, dan akhirnya robohlah dia bagaikan orang mabuk!

Setelah peningnya lenyap, tanpa peduli dengan suara tawa yang riuh dari para pengemis Tongkat Hitam, It-ci-sinkang Cong Tan lalu melompat dan berlari bagaikan seekor anjing terkena pukulan.

Kini kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu kembali menghadapi Hong Beng, dan Hek Liong berkata,

“Bagaimana, orang muda? Sebagaimana sudah kukatakan tadi sebelum ada gangguan dari si sombong itu, di antara kami Hek-tung Kai-pang dan kau orang muda she Sie tidak ada permusuhan sesuatu. Akan tetapi, kau telah menghina kami dan melukai beberapa orang anggota kami, maka kami harap kau suka minta maaf supaya kami tidak terpaksa melanjutkan pertikaian kecil yang tidak ada artinya ini.”

“Maaf, Pangcu,” Hong Beng menjawab dengan tenang sekali. “Aku bersedia minta maaf andai kata kedatanganku ini dianggap lancang dan ikut mencampuri urusan kalian. Akan tetapi untuk satu hal itu, sukarlah bagiku untuk minta maaf. Ketahuilah Pangcu, kemarin ketika aku datang ke tempat ini, aku melihat kawan-kawanmu telah mengeroyok seorang pendekar budiman sehingga tentu saja aku tak dapat membiarkan begitu saja satu orang dikeroyok demikian rupa oleh kawan-kawanmu. Dalam hal ini, kawan-kawanmulah yang bersalah dan sudah sepatutnya bila kawan-kawanmu itu yang minta maaf pada pendekar yang sedang menderita sakit itu!”

Hek Liong mengerutkan keningnya, tanda bahwa ia tidak puas mendengar jawaban ini.

“Saudara Sie! Kami dapat menerima ucapanmu tadi. Menurut penuturan kawan-kawan kami, orang gila kemarin itu sudah mengacau dan menghina kawan-kawan kami, dan dia dikeroyok oleh karena kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian kawan-kawan kami. Kau sebagai orang luar, sudah membantu sepihak tanpa melihat dulu sebab-sebab pertempuran. Dan sekarang, karena kau telah datang ke sini dan untuk mempertahankan nama serta kehormatan kami, kami ingin sekali menerima pelajaran darimu!”

Sambil tersenyum tenang Hong Beng bangun berdiri dari tempat duduknya. Memang inilah maksud kedatangannya, untuk mencoba kepandaian lima orang ketua itu. Memang mungkin dia dapat mencegah pibu ini dengan memberi penjelasan dan memperkenalkan siapa adanya pengemis yang dianggap gila itu. Akan tetapi ia bersabar dulu dan sebelum memperkenalkan Lo Sian, ia hendak lebih dulu merasai bagaimana lihainya kelima orang pangcu itu.

“Pangcu,” katanya dengan mulut masih tersenyum, “kini aku sudah datang dan menurut kata-kata orang, perkenalan akan menjadi lebih erat sesudah dua pihak mengadu tenaga dan mengukur kepandaian masing-masing. Maka, sebelum kita melanjutkan percakapan ini, marilah kita main-main sebentar!”

Lima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang itu lalu berdiri dan bersiap menanti di lapangan pertempuran yang tadi. Semua pengemis segera mengurung lapangan itu dan memilih tempat duduk, dengan wajah tegang akan tetapi dengan sinar mata gembira mereka siap menonton pertandingan ilmu silat yang ramai!

Para ketua mereka tadi sudah memperlihatkan kepandaian mereka, dan pemuda yang tampan itu sudah menyaksikannya pula, tetapi sekarang pemuda itu berani menghadapi lima orang ketua itu, mudah saja diduga oleh para pengemis yang kesemuanya memiliki ilmu silat itu bahwa pemuda ini tentulah memiliki kepandaian tinggi!

Ada pun Goat Lan yang tadi pun telah menyaksikan kepandaian dari kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu, merasa ragu-ragu apakah Hong Beng akan mampu menandingi mereka. Biar pun gadis ini tidak ragu-ragu lagi akan kelihaian tunangannya, akan tetapi menghadapi lima orang ketua itu pun bukanlah hal yang ringan.

Betapa pun juga, lima orang ketua itu telah merasa jeri kepadanya, dan kalau dia turut mencampuri urusan ini, tentu akan berkurang kegagahan serta kejantanan Hong Beng dalam pandangan mata mereka. Maka dia diam saja, duduk sambil tersenyum manis.

“Silakan, Ngo-wi Pangcu, terserah pada Ngo-wi apakah hendak maju menyerang dengan tangan kosong ataukah dengan senjata!” kata Hong Beng dengan sikapnya yang tenang.

“Kami adalah pihak tuan rumah,” jawab Hek Liong, “dan kau adalah tamu kami. Sudah sepatutnya bila tuan rumah melayani kehendak tamu. Silakan kau saja yang menentukan, Sie-enghiong, kami hanya melayani saja.”

Hong Beng berpikir cepat. Dalam hal pibu, orang tidak boleh berlaku sungkan-sungkan, apa lagi menghadapi keroyokan lima orang seperti Ngo-hengte ketua Hek-tung Kai-pang ini. Kalau ia menghadapi mereka mengandalkan tangan kosong, meski pun ia tidak takut dan merasa yakin takkan kalah, namun selain agak sukar mengalahkan mereka, juga ia tidak dapat memperlihatkan kelihaian ilmu tongkatnya.

Ia tahu bahwa kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang ini mengandalkan kehebatan ilmu tongkat mereka. Maka jalan yang paling tepat untuk membuat mereka tunduk betul-betul adalah mengalahkan Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat mereka dengan ilmu tongkat pula.

Hong Beng lalu membungkuk untuk mengambil sebatang cabang kering yang besarnya selengan orang saja dan panjangnya hanya dua kaki lebih, kemudian sambil menjura ia berkata,

“Siauwte sudah mendengar mengenai kehebatan Hek-tung-hoat, dan karena kebetulan sekali siauwte pernah mempelajari sedikit ilmu tongkat yang masih sangat rendah, maka siauwte akan merasa gembira dan berterima kasih sekali apa bila dapat menambah pengetahuan ilmu tongkat dan menerima sedikit pelajaran ilmu tongkat dari Ngo-wi untuk membuka mata siauwte!”

Hek Liong dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran dan tersenyum. Mereka menganggap pemuda ini terlalu lancang dan terlalu berani. Ia telah diberi kesempatan untuk memilih, kenapa justru memilih hendak mengadu ilmu tongkat? Pemuda ini terang mencari penyakit, pikir mereka. Hek Liong yang berpikiran adil, lalu berkata,

“Sie-enghiong, karena kau hanya memegang sebuah tongkat kayu yang kecil dan lemah, kami merasa malu untuk maju berbareng. Biarlah aku seorang saja yang mencoba dan main-main sebentar dengan ilmu tongkat itu.”

Panas hati Hong Beng mendengar ucapan ini. Terang sekali bahwa ia dipandang ringan sekali oleh ketua ini. Maka sambil tersenyum ia berkata manis, akan tetapi mengandung tantangan,

“Pangcu, sudah kudengar tadi bahwa untuk menghadapi ketua dari Hek-tung Kai-pang, orang harus menghadapi kelimanya sekaligus. Oleh karena adanya ketentuan itu, mana siauwte berani melanggarnya? Harap saja Ngo-wi tidak berlaku sungkan-sungkan dan persilakan maju berbareng, karena bukankah siauwte dianggap sebagai tamu yang harus dilayani oleh semua tuan rumah?”

“Hemm, jangan anggap kami keterlaluan, orang muda, kau sendiri yang minta kami maju berbareng!” seru Hek Liong dengan mendongkol.

Nyata sekali bahwa pemuda ini tidak mau menerima kebaikannya. Kepandaian apakah yang diandalkan hingga anak muda ini berani bersikap begini sombong? Ia lalu memberi tanda kepada empat orang adiknya dan berbareng mereka mengeluarkan tongkat hitam mereka.

“Awas serangan!” seru Hek Liong.

Bagaikan lima ekor ular hitam, tongkat di tangan kelima orang ketua itu lalu menyambar ke arah tubuh Hong Beng dari lima jurusan. Cepat dan kuat sekali gerakan serangan tongkat-tongkat itu sehingga angin menyambar ke arah Hong Beng dari segala jurusan.

Akan tetapi, dengan memutar cabangnya, sekaligus Hong Beng telah dapat menangkis sehingga tongkat-tongkat hitam itu terpental kembali. Barulah kelima orang ketua yang tadinya memandang rendah itu menjadi terkejut setengah mati. Mereka merasa betapa dari cabang kecil di tangan pemuda itu yang membentur tongkat-tongkat hitam mereka, seorang demi seorang merasa betapa telapak tangan mereka seperti digurat pisau tajam rasanya!

Setelah dapat menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, Hek Liong lalu berseru keras dan ia cepat memutar-mutar tongkat hitamnya sedemikian rupa sehingga lenyaplah tongkat itu, berubah menjadi segulung sinar hitam yang amat mengerikan dan dahsyat sekali datangnya. Juga keempat saudaranya tidak mau kalah, mengikuti gerakan kakak mereka ini dan sebentar lagi nampaklah lima gulungan sinar hitam bagaikan lima ekor naga sakti menyerang dan mengurung tubuh Hong Beng!

“Bagus, lihai sekali Hek-tung-hoat!” terdengar pemuda itu berseru, dan belum juga habis ucapannya itu, mendadak lenyaplah tubuhnya, terbungkus oleh sinar putih kehijauan dari tongkat cabangnya yang diputar secara luar biasa sekali!

Semua pengemis anggota Hek-tung Kai-pang menahan napas dan hampir tidak percaya kepada mata sendiri. Kalau mereka sudah biasa melihat gerakan tongkat-tongkat hitam pangcu mereka, kini mereka melihat gulungan sinar yang lebih hebat lagi. Lebih panjang, lebar dan mendatangkan angin keras hingga semua pengemis yarig duduk di atas tanah mengelilingi tempat adu kepandaian itu, merasa muka mereka tertiup oleh angin yang dingin sekali!

Pakaian mereka berkibar-kibar dan yang aneh sekali adalah hawa yang keluar dari sinar putih kehijauan itu karena sebentar terasa dingin sekali dan sebentar pula terganti oleh hawa yang panas! Inilah Ngo-heng Tung-hoat yang mengeluarkan hawa-hawa Im dan Yang, ilmu tongkat warisan dari Pok Pok Sianjin yang dimainkan oleh Hong Beng dengan amat hebatnya, oleh karena pemuda ini memang hendak menundukkan lima orang ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam yang tadinya memandang rendah kepadanya!

Apa bila tadi ketika merasakan tangkisan tongkat ranting di tangan Hong Beng, kelima orang ketua itu merasa terkejut, adalah sekarang mereka tidak saja menjadi kaget, akan tetapi merasa amat terheran-heran! Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira bahwa pemuda itu selihai ini dan tak pernah pula bermimpi bahwa di dunia ini ada ilmu tongkat sehebat ini! Mereka berusaha untuk memperhebat gerakan tongkat mereka, mengurung dan menyerbu bayangan Hong Beng dengan seluruh tenaga, akan tetapi tiap kali tongkat mereka terbentur oleh sinar putih kehijauan itu, tongkat mereka kembali dan memukul diri sendiri!

Sampai empat puluh jurus lebih Hong Beng hanya mempertahankan dirinya saja dan tidak membalas sama sekali. Akan tetapi, tetap saja lima orang lawannya tidak berdaya sama sekali dan tidak pernah dapat menyentuhnya dengan senjata mereka.

Sesudah Hong Beng merasa puas menunjukkan kehebatan Ngo-heng Tung-hoat, secara tiba-tiba dia lalu merubah gerakan tongkatnya dan mulai memainkan Pat-kwa Tung-hoat. Maka lebih hebat lagilah akibatnya! Karena pemuda itu bersilat dengan gerakan kaki atau kedudukan sesuai dengan aturan pat-kwa (segi delapan), maka lima orang lawannya itu seolah-olah menghadapi delapan orang pemuda! Bukan mereka berlima yang mengurung, bahkan kini mereka merasa seperti terkurung oleh delapan orang!

Mereka kaget sekali dan gerakan mereka menjadi kacau balau. Nampaknya lawan muda itu berada di depan akan tetapi baru saja mau diserang, dari belakang telah menyambar angin cabang dari pemuda itu, seakan-akan pemuda itu dapat memecah dirinya menjadi delapan orang!

Sekarang para pengemis yang menonton sudah melupakan peraturan saking kagumnya. Mereka bergerak dan memuji dengan kata-kata keras, bahkan Goat Lan sendiri setelah menyaksikan ilmu tongkat tunangannya, menjadi bengong! Ia merasa bangga sekali dan diam-diam dia mengakui bahwa kalau tunangannya itu mau bermain sungguh-sungguh, sepasang tombak bambu runcing sekali pun belum tentu akan dapat mengalahkannya!

“Sie-enghiong, bukalah mata kami dengan seranganmu!” Hek Liong berkata keras sebab dia belum pernah melihat serangan pemuda itu. Dia merasa amat penasaran dan hendak melihat bagaimana hebatnya pemuda itu kalau menyerang.

“Maafkan, Pangcu!” terdengar Hong Beng berseru.

Seruan ini lantas disusul oleh teriakan kelima orang ketua itu dan terdengar suara keras. Tahu-tahu lima batang tongkat hitam itu sudah terlepas dari pegangan masing-masing dan melayang ke atas! Mereka cepat melompat mundur, dan melihat dengan melongo betapa Hong Beng menggerakkan tongkatnya ke atas, diputar sedemikian rupa sehingga ia dapat mengelilingi kelima batang tongkat hitam itu, ‘menangkap’ lima batang tongkat itu dengan putaran cabangnya sehingga tongkat-tongkat itu terkumpul menjadi satu dan ketika ia mengeluarkan tangan kiri ke depan, lima tongkat hitam itu telah berada dalam pegangannya. Sambil tersenyum dan menjura, dia maju memberikan tongkat-tongkat itu kepada pemiliknya!

Untuk beberapa lama, kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu memandang pemuda ini dengan bengong, masih belum dapat mempercayai pengalaman mereka sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba Hek Liong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, diikuti oleh keempat orang adiknya! Terdengar sorak-sorai para pengemis dan kelima orang ketua itu memimpin orang-orangnya berseru ramai,

“Hidup pangcu (ketua) yang baru! Hidup Sie-pangcu yang gagah!”

Bukan main kagetnya Hong Beng mendengar kata-kata ini dan melihat betapa semua pengemis sudah berlutut mengelilingi dirinya!

“Ehh, ehhh, apa-apaan ini? Kuharap kalian tidak main-main dengan aku!” katanya gagap dengan muka berubah merah, karena ia maklum bahwa ia telah dipilih dan diangkat oleh mereka menjadi pangcu!

Akan tetapi Hek Liong yang masih berlutut berkata dengan suara penuh permohonan, “Kami harap Taihiap tidak menolak. Dengan setulusnya kami mengangkat Taihiap menjadi pangcu kami, karena selain Taihiap seorang, tidak ada lagi orang di dunia ini yang patut menjadi pemimpin kami! Harap Taihiap sudi memperkenalkan diri, siapakah sebenarnya Taihiap ini dan murid orang sakti dari mana?”

Hong Beng menjadi serba salah. Melihat ketulusan hati mereka, untuk menolak begitu saja dia tidak tega, akan tetapi kalau dia menerima, bagaimana ia bisa menjadi pemimpin rombongan pengemis? Dia lalu memandang ke arah tunangannya.

Dengan senyum lebar yang menambah keayuan, tahu-tahu Goat Lan telah melompat ke dekat Hong Beng. Sambil memandang kepada tunangannya, gadis ini kemudian berkata, “Mereka bersungguh-sungguh, tidak baik kalau menolak maksud jujur dari perkumpulan Hek-tung Kai-pang yang terkenal gagah dan budiman ini!”

Sorak-sorai gembira menyambut ucapan gadis ini dan Hong Beng merasa seakan-akan tubuhnya terbenam makin dalam lagi. Tiada harapan untuk keluar sesudah tunangannya sendiri bahkan menghendaki dia menjadi pemimpin pengemis.

“Baiklah, baiklah, harap kalian semua suka bangun berdiri dahulu. Hal pertama yang tak kusukai adalah supaya aku jangan terlalu dipuji-puji dan disanjung-sanjung. Aku bukan seorang raja, dan apa bila aku mau menerima jabatan ketua, ini hanya terpaksa karena melihat kebaikan perkumpulan ini.”

Semua orang berdiri dengan sikap hormat dan diam, menunggu ucapan ketua baru itu selanjutnya.

“Aku maklum bahwa kalian tentulah mengharapkan bantuanku untuk menghadapi bahaya yang mungkin datang dari pihak Coa-tung Kai-pang,” kata pemuda yang cerdik ini. “Dan aku menerima pengangkatan ini hanya saja dengan beberapa macam syaratnya.”

“Silakan Pangcu menentukan syarat-syarat itu, kami sekalian tentu saja bersedia untuk mematuhinya, karena setiap syarat dan usul dari pangcu kami, merupakan perintah yang akan kami jalankan dengan taruhan nyawa kami!”

Terharulah hati Hong Beng mendengar kata-kata ini. Dia menghela napas panjang dan berkata, “Tentu kalian harus mengetahui keadaanku. Biarlah aku berterus terang kepada kalian karena kita adalah orang-orang sendiri, orang-orang sehaluan yang bertujuan ingin memberantas dan membasmi kejahatan! Namaku Sie Hong Beng dan aku adalah putera dari pendekar besar Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh!”

Semua pengemis, terutama sekali Ngo-hengte, menahan napas dan bukan main terkejut serta girangnya hati mereka. Kalau tadi mereka berlima masih merasa penasaran karena kalah sedemikian mudahnya oleh pemuda ini, sekarang rasa penasaran itu lenyap sama sekali. Pantas saja pemuda itu lihai bukan main karena tidak tahunya dia adalah putera dari Pendekar Bodoh yang namanya telah menggemparkan kolong langit!

“Suhu-ku yang mengajar ilmu tongkat adalah Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari barat!”

Kembali semua orang tertegun. “Nona ini tadi telah memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, akan tetapi tentu kalian belum tahu bahwa dia sesungguhnya adalah puteri dari pendekar besar Kwee An di Tiang-an. Dan perlu pula kuberitahukan bahwa dia adalah... tunanganku!”

Merahlah wajah Goat Lan mendengar keterangan ini. Ingin ia mencubit tunangannya itu yang dianggapnya berlebihan telah memperkenalkan dirinya pula.....

“Nah, setelah kalian mengenal keadaan kami berdua, maka sekarang akan kukemukakan syarat-syaratku. Biar pun aku menerima jabatan ketua, akan tetapi tidak mungkin bagiku untuk selalu berada di tempat perkumpulan kalian ini. Aku mengangkat kelima Saudara Hek sebagai wakil. Segala sesuatu mengenai perkumpulan kuserahkan kepada mereka berlima untuk mengurusnya. Dan aku pun tidak mau menurut kebiasaan kalian, tak mau memakai pakaian sebagai pengemis. Akan tetapi aku telah menerima jabatan ini, maka aku bersumpah hendak membela serta melindungi Hek-tung Kai-pang dan bertanggung jawab apa bila ada sesuatu yang mengancam dan yang mengganggu perkumpulan kita!”

Ramailah sorak-sorai para pengemis mendengar kesanggupan ini. Inilah yang mereka harapkan. Dengan adanya pemuda putera Pendekar Bodoh ini menjadi ketua mereka, maka mereka tidak takut menghadapi penjahat yang bagaimana pun juga. Juga mereka kini tidak kuatir lagi akan serbuan atau gangguan Coa-tung Kai-pang!

Kemudian Hek Liong berkata kepada Hong Beng, “Pangcu, kami mempersilakan Pangcu bersama Lihiap untuk datang ke tempat pertemuan kita yang kita sebut Istana Pengemis untuk merayakan pengangkatan ini, juga untuk mengesahkannya!”

Beramai-ramai semua pengemis itu lalu mengiringkan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke sebuah hutan di sebelah utara tempat itu. Hutan ini besar sekali dan ketika sampai di tengah hutan, Hong Beng dan tunangannya melihat sebuah kuil kuno yang baru saja diperbaiki. Sungguh pun dari luar nampak sangat miskin, akan tetapi huruf-huruf yang dipasang di luar kuil amat gagah dan angker. Huruf-huruf itu berbunyi: Istana Pengemis HEK TUNG KAI PANG.

Ketika kedua orang muda itu diarak masuk, Hong Beng dan Goat Lan terkejut sekali karena di sebelah dalam sungguh amat berbeda dengan keadaan di luar. Di situ sangat indah dan mewah. Meja dan kursi serta perabot-perabot lain terdiri dari barang-barang pilihan yang mahal, terukir indah dan serba baru! Benar-benar patut menjadi perabot dan isi ruang sebuah istana kaisar!

Tahulah kini Hong Beng dan Goat Lan mengapa banyak yang berhati serakah hendak menduduki jabatan ketua dari perkumpulan pengemis ini. Tidak tahunya keadaan mereka begitu kaya raya.

Memang sesungguhnya para pengemis itu yang hidupnya hanya bekerja mengemis dan juga menerima upah dari pekerjaan kasar atau membantu orang menjaga keamanan, selalu mengumpulkan hasil pekerjaan mereka kemudian menyerahkannya kepada pusat sehingga dapatlah dibangun isi istana yang mewah ini. Di samping perabot-perabot yang indah itu, ternyata banyak pula terdapat harta simpanan yang besar jumlahnya.

Setelah bercakap-cakap lebih mendalam, tahulah kedua orang muda itu bahwa harta benda itu bukannya disimpan begitu saja, akan tetapi digunakan untuk menolong rakyat miskin dengan jalan menderma dan lain-lain. Maka semakin kagumlah mereka terhadap perkumpulan pengemis ini dan semakin yakinlah hati Hong Beng bahwa menjadi ketua perkumpulan macam ini sekali-kali bukanlah hal yang merendahkan namanya!

Ketika mereka duduk bercakap-cakap, masuklah pengemis-pengemis yang masih muda, yaitu anggota-anggota yang ditugaskan untuk mengeluarkan hidangan dan kembali Hong Beng dan Goat Lan tercengang karena hidangan yang dikeluarkan merupakan hidangan-hidangan yang mewah dan mahal, sedangkan araknya pun adalah arak Hangciu yang lezat dan harum, bukan arak sembarang arak.

Pesta berjalan secara amat meriah dan dua orang muda itu mendapat kenyataan bahwa pengemis-pengemis itu makan hidangan mereka dengan cara yang amat beraturan dan sopan. Benar-benar mengagumkan sekali!

Pada saat pesta berjalan ramai, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara bentakan parau dan keras, “Hek-tung Kai-pang Pangcu, sambutlah kami!”

Belum lenyap gema suara itu, orangnya sudah melayang masuk dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri dua orang pengemis tua yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali dan mereka memegang tongkat ular! Ternyata mereka ini adalah dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang tingkat satu!

Coa-tung Kai-pang mempunyai banyak sekali pengurus. Pengurus yang bertingkat satu saja ada tujuh orang, dan mereka ini adalah murid dari seorang tosu tua yang menjabat kedudukan pemimpin besar dan bernama Coa Ong Lojin.

Ada pun dua orang pengurus tingkat satu yang datang ini bernama Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin. Mereka ini mendapat laporan dari tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang telah roboh di tangan Ngo-hengte dari Hek-tung Kai-pang pagi tadi. Dengan marah Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin segera mendatangi istana pengemis di dalam hutan itu dengan maksud untuk merobohkan lima orang ketuanya.

Dengan tindakan kaki berlagak sekali kedua orang tua itu sambil menggerak-gerakkan tongkat ular di tangannya menghampiri meja Hek Liong dan adik-adiknya yang duduk di sebelah kiri Hong Beng dan Goat Lan. Kim Coa Jin tertawa bergelak di depan lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang itu lalu berkata,

“Pangcu-pangcu dari Hek-tung Kai-pang benar-benar tak memandang mata kepada kami dari Coa-tung Kai-pang. Mengadakan perjamuan minum arak sedemikiah ramainya sama sekali tidak mengundang! Ha-ha-ha, benar-benar tidak memandang mata kepada orang segolongan.”

Hek Liong maklum bahwa dua orang tua ini memang datang hendak membuat ribut dan melihat sikap mereka yang kasar ia tidak mau membiarkan pangcu-nya yang baru untuk menghadapinya. Karena itu ia sendiri lalu berdiri bersama empat orang adiknya, menjura sebagai penghormatan sambil berkata,

“Maaf, Ji-wi datang tanpa kami ketahui sehingga tidak semenjak siang-siang mengatur penyambutan. Silakan duduk dan minum arak kami yang murah!” Sambil berkata begini Hek Liong lalu mengeluarkan dua buah cawan, kemudian mengisi sendiri cawan-cawan itu sampai penuh dengan arak harum.

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Bhok Coa Jin tertawa bergelak, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mengulur tongkat ularnya sambil berkata, ”Biarlah tongkatku mencoba dahulu bagamana rasanya arakmu!”

Sambil berkata demikian, sekali tongkatnya bergerak ke depan, kedua cawan arak yang disuguhkan itu terguling di atas meja dan araknya tumpah membasahi meja! Kemudian ujung tongkatnya yang berkepala ular itu meluncur memasuki mulut guci, dari mulut guci itu keluarlah uap hijau bergulung ke atas!

“Ha-ha-ha! Ternyata arakmu cukup baik!” kata Bhok Coa Jin kepada lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang itu. “Marilah kita minum arak dari guci yang sudah dicoba isinya oleh tongkatku tadi!”

Tanpa diketahui oleh orang lain, Goat Lan membisikkan sesuatu kepada Hong Beng sambil memberikan tiga buah pil merah kepada tunangannya itu. Hong Beng lalu berdiri dan mendahului kelima saudara Hek itu berkata kepada dua orang tamu yang aneh ini,

“Ji-wi Lo-kai (Dua Tuan Pengemis Tua), melihat bentuk tongkatmu, aku dapat menduga bahwa kalian tentulah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang! Pertunjukanmu tadi lucu sekali dan kebetulan aku adalah seorang yang paling doyan arak beruap! Marilah aku menemani kau berdua minum arak!”

Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban tamunya, Hong Beng mengambil guci arak tadi dan mengisikan arak ke dalam cawan-cawan tamunya yang tadi terguling, juga dia mengisi cawannya sendiri sampai penuh.

Semua orang melihat betapa arak yang keluar dari guci itu telah berwarna hijau, padahal tadinya berwarna kemerahan! Lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang menjadi pucat karena mereka maklum bahwa arak itu telah dicampuri racun!

“Arak itu beracun!” seru Hek Liong marah.

“Ha-ha-ha! Ternyata ketua dari Hek tung Kai-pang berhati pengecut! Kalah oleh orang muda berhati tabah dan gagah ini!” Kim Coa Jin berkata sambil tertawa bergelak-gelak. “Siapakah pemuda ini yang menantang kami minum arak? Kami tidak sudi minum arak dengan segala orang tak ternama!”

Makin marahlah Hek Liong mendengar ucapan ini. “Bukalah matamu baik-baik karena kau sedang berhadapan dengan pangcu kami yang baru!”

Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin melengak dengan hati heran. Kini mereka memandang kepada Hong Beng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjura ke arah Hong Beng sebagai penghormatan yang dibalas oleh Hong Beng dengan sepatutnya.

“Tidak tahu siapakah nama Pangcu yang terhormat?” tanya Kim Coa Jin.

“Siauwte bernama Sie Hong Beng dan secara kebetulan saja siauwte telah dipilih menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang yang mulia. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dua orang penting dari Coa-tung Kai-pang datang ke sini?”

“Hemm, kami adalah pengurus-pengurus Coa-tung Kai-pang, namaku Kim Coa Jin dan ini adalah adikku Bhok Coa Jin. Kami tidak tahu bahwa Hek-tung Kai-pang telah berganti pengurus. Bagus, bagus, kami harap saja biar pun kau masih muda, akan tetapi sudah terbuka pikiranmu untuk menggabungkan perkumpulanmu yang kecil ini pada Coa-tung Kai-pang yang besar sehingga tak perlu ada pertikaian lagi.”

“Ji-wi Lo-kai, hal itu tak mungkin dilakukan. Setiap perkumpulan tentu mempunyai tujuan sendiri-sendiri, dan biarlah kita melakukan tugas kita masing-masing tanpa harus saling mengganggu, bukankah dengan demikian akan lebih baik lagi dan tidak ada pertikaian? Aku akan memberi nasehat kepada semua anggota perkumpulan kami supaya jangan mengganggu perkumpulanmu, dan sebaliknya aku juga mengharapkan dari pihakmu ada kebijaksanaan seperti itu.”

Tiba-tiba Kim Coa Jin tertawa bergelak dengan suara menghina dan memandang rendah sekali.

“Pangcu, kau ternyata masih hijau seperti usiamu. Marilah kita minum arak hijau ini untuk menambah pengalamanmu. Beranikah kau?”

“Mengapa aku tidak berani?” kata Hong Beng yang sudah menelan tiga butir pil ang-tan pemberian tunangannya tadi.

Ia percaya penuh akan kelihaian tunangannya yang paham betul akan segala macam racun dan pengobatannya, maka ketika tadi Goat Lan menyerahkan pil itu sambil berbisik bahwa itulah pil penawar dan penolak racun hijau, ia segera menelannya dan bertindak seperti yang dituturkan di atas.

Sekarang dia mengangkat cawan araknya, diturut pula oleh kedua orang tamu itu yang memandangnya dengan mata heran akan tetapi mulut tersenyum mengejek. Mereka lalu minum arak itu. Sekali tenggak saja arak hijau itu lenyap dalam perut Hong Beng.

Sekarang barulah kedua orang pengemis tua itu terheran-heran. Biasanya, racun hijau yang dimasukkan di dalam arak itu amat keras. Jangankan menghabiskan secawan, baru minum beberapa tetes saja cukup untuk membakar isi perut orang dan menewaskannya seketika itu juga.

Akan tetapi, pemuda yang tampan dan tenang ini setelah minum secawan tidak kelihatan terpengaruh sama sekali, seakan-akan arak itu tidak ada apa-apanya! Mereka menjadi penasaran dan Kim Coa Jin sendiri kini memasukkan kepala tongkatnya ke dalam guci, menambah racun itu dan menuangkan isi guci ke dalam tiga cawan yang sudah kosong, memenuhinya kembali.

“Kau kuat minum secawan lagi, Pangcu?” tanyanya menantang.

Hong Beng tersenyum. “Mengapa tidak kuat? Marilah kita minum untuk kesejahteraan Hek-tung Kai-pang!”

Kembali mereka minum dan sekali lagi Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin saling pandang dengan heran. Jangankan menjadi mabuk atau roboh binasa, muka pemuda tampan itu merah pun tidak.

“Secawan lagi, Ji-wi Lokai?” Kini Hong Beng yang menantang!

Dua orang pengemis tua itu menjadi bingung. Obat penawar yang tadinya sudah mereka telan hanya cukup kuat untuk menolak racun dua cawan arak, maka kalau harus minum secawan lagi, mungkin mereka takkan kuat menahan dan akan roboh binasa dengan isi perut terbakar!

“Cukup, cukuplah, Pangcu!” berkata Kim Coa Jin sambil menggerakkan tongkat ularnya. “Sudah terbuka mata kami bahwa biar pun masih muda, ternyata kau adalah seorang yang kuat minum. Tidak tahu apakah ilmu tongkatmu sekuat kemampuan minummu!”

Pada saat itu pula Hek Liong melangkah maju menghadap Hong Beng dan menyerahkan sebatang tongkat hitam dengan sikap menghormat sekali. Tongkat ini baru saja ia ambil dari dalam sebuah kamar dan ternyata bahwa tongkat ini luar biasa sekali. Memang warnanya hitam seperti tongkat-tongkat yang dipegang oleh semua anggota Hek-tung Kai-pang, akan tetapi tongkat ini mengeluarkan cahaya mengkilap dan ternyata dapat digulung.

“Tongkat ini adalah peninggalan sucouw kami Hek-tung Kai-ong. Sudah berpuluh tahun tidak ada orang yang dapat mempergunakan tongkat lemas ini, maka sekarang kami serahkan kepada Pangcu!”

Hong Beng menerima tongkat itu dengan girang dan ketika ia memegang tongkat itu, ia merasa kagum dan juga girang sekali. Ternyata bahwa senjata luar biasa ini terbuat dari logam yang amat kuat dan merupakan sebatang tongkat pusaka yang ampuh sekali. Ia segera turun dari tempat duduknya dan menghadapi kedua orang tamunya itu dengan sikap tenang.

“Ji-wi Lo-kai, kami telah cukup maklum bahwa kalian dari Coa-tung Kai-pang ingin sekali memperlebar pengaruhmu, akan tetapi caramu ini benar-benar kurang sempurna. Apa kau kira bahwa di kolong langit ini tidak ada orang-orang yang lebih pandai dari pada pemimpin-pemimpin Coa-tung Kai-pang? Tanpa kusengaja, aku yang muda dan bodoh telah terpilih menjadi pemimpin Hek-tung Kai-pang, betapa pun juga, aku akan membela perkumpulan ini dengan tongkat yang sudah dipercayakan kepadaku. Nah, silakan Ji-wi maju mencoba kekerasan tongkat ini!”

Kim Coa Jin biar pun merasa amat kagum melihat betapa orang muda ini dapat minum racun dari tongkat ularnya tanpa akibat sesuatu, tetap saja ia masih memandang rendah kepada Hong Beng. Tidak mungkin pemuda ini mempunyai kepandaian silat yang dapat mengimbangi kepandaiannya sendiri.

Dia dan Bhok Coa Jin adalah dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

Oleh karena memandang rendah dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin, “Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum.

Bhok Coa Jin juga tersenyum, lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!

“Silakan, Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.

“Nah, Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.

“Majulah Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.

Ia memegang kepala tongkatnya sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya yang sudah lemah. Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali.

Akan tetapi pada saat Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.

“Awas serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.

Dia sengaja menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Akan tetapi Hong Beng dengan gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan lweekang-nya untuk ‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.

Karena kedua tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkat itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!

Bukan main kagetnya hati Kim Coa Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar-mutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar dia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!

Akan tetapi Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu benar-benar merupakan senjata istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari pada sebatang ranting kecil!

Dia lalu memainkan Ngo-heng Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!

Kim Coa Jin sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.

Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat tersendiri yang sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki pikiran dan tabiat yang kurang baik.

Tongkat yang berbentuk ular itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari mulut ular itu, apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa yang berbahaya sekali.

Hong Beng sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.

Bhok Coa Jin yang menonton pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa Jin mempunyai watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya. Melihat betapa suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali, tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang Hong Beng.

“Pengemis curang, perlahan dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.

Bhok Coa Jin terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.

“Bocah kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok Coa Jin?”

“Hemm, agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”

“Kurang ajar!” Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu.

Akan tetapi cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa pun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?

Juga Goat Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Dia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata mencegahnya,

“Lan-moi, jangan layani dia. Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”

Walau pun hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.

Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suheng-nya.

Jika sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Menghadapi keroyokan dua orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini dia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ngo-heng Tung-hoat.

Sebentar saja, seperti halnya lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.

Sebaliknya, bagi Hong Beng juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa, biar pun dia tidak ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan kepandaiannya.

Sekali dia mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!

Untung bahwa Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, meski pun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa marah.

“Kau... kau siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?” Akhirnya Kim Coa Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.

“Tadi sudah kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap kalian jangan persalahkan kami.”

Akan tetapi jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Bukalah matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Lihiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum cukup?”

Pucatlah muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas panjang dan berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!” Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin pergi meninggalkan tempat itu.

“Tahan...!” seru Hong Beng dan tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam penuh ancaman. “Apa maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu berkata bahwa buah tidak akan jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?”

Kim Coa Jin tersenyum mengejek “Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut mencampuri urusan orang lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak dengan sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak berbeda jauh dengan ayahmu itu!”

“Siapakah suhu-mu?” tanya Hong Beng.

“Suhu kami adalah pendiri dari Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”

Sambil berkata demikian Kim Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu akan menjadi terkejut mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng menerima keterangan ini dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar nama orang tua yang sakti itu.

“Pernahkah suhu-mu bentrok dengan ayahku?”

“Belum, belum pernah. Akan tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari kawan-kawannya, dan Suhu ingin sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai di mana sih kepandaiannya maka dia dan puteranya sesombong ini!”

Tiba-tiba muka Hong Beng menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah.

“Jahanam berlidah busuk!” makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi terkejut, karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah lembut dan sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau pandai benar memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus Perkumpulan Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian yang datang mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami suka mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang lain, urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal seperti itu tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”

Hampir saja Hong Beng mengangkat tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak menyentuh pundaknya sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini menjadi marah sekali karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat seperti Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin.

Kedua orang pengemis dari Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak berani menengok lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang halus,

“Sudahlah, Koko, untuk apa mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka sudah dikalahkan dan tentu mereka sudah merasa kapok.”

“Mudah-mudahan begitu,” jawab Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau mereka akan datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung Kai-pang.”

“Kalau begitu, lebih baik kita menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk menjaga keselamatan perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk melindunginya dari serangan orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu mereka, aku pun sudah pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat. Betapa pun lihainya, kita pasti akan dapat mengalahkannya.”

Demikianlah, dua orang muda ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat itu bersama para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini pulalah sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi ke rumah Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili menjadi hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke rumah orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.

********************

Betapa pun Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.

“Suhu, kau bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti. Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le?” Untuk kesekian kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas suhu-nya.

Lo Sian hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap malam aku mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya. Ingatanku akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat. Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”

Akan tetapi, jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.

“Suhu, coba kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”

Seperti bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian... bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”

Lili memandang dengan terharu. “Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”

Lo Sian mengangguk pasti. “Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa mengenali kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati... tidak salah lagi...”

Pada saat bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak terasa mukanya telah berubah pula menjadi merah sekali.

“Sesungguhnya, makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus, juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.

Lili menarik napas panjang. Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?

“Suhu, masa kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”

Lo Sian menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan tadi?”

“Jenderal Ho adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan, Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil memukul hancur para pemberontak.”

“Dan bagaimana ia sampai meninggal dunia?”

“Dia gugur dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah terluka hebat di dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua rakyat tak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk dan memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”

Akan tetapi Lo Sian malah menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”

Lili memandang suhu-nya dengan dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”

“Penghormatan ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah, Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar itu.

“Sebelum aku membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para prajurit-prajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”

Lili memandang bodoh kemudian menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang selalu dihormati adalah makam orang-orang besar, jenderal-jenderal, panglima-panglima besar, dan menteri-menteri.”

“Nah, itulah yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”

Lili tertegun mendengar ucapan suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah, “Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya prajurit-prajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa adanya pemimpin yang pandai?”

Lo Sian mengangguk-angguk. “Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal itu perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Betapa pun juga, lebih penting anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, tiap pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang hebat. Tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”

Mendengar ucapan suhu-nya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena dia kini merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya ini masih memiliki pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.

Sesudah bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan jari-jari telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang artinya seperti berikut,

Jenderal Ho menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal dalam pasukannya!

Biar pun dia menggurat-gurat tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan tetapi bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!

Ketika melihat kejadian ini, orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,

“Bagus, tulisan yang gagah sekali!”

Ketika Lili dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.

Lili melihat dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas penghormatan itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa ia pun mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.

“Siauwte adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”

Ucapan Kam Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati.

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong pada waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga bangsawan Gui.

“Terima kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri dari pendekar Bodoh.”

“Suhu...!” Lili menegur suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing.

Akan tetapi Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh pun mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada salahnya memperkenalkan diri mereka.

Mendengar nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.

“Ahhh, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”

Terpaksa Lili menjawab, “Ayah kini tinggal di kota Shaning.”

“Siauwte harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”

“Terima kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.

“Ahh, sayang sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”

Maka berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,

“Pemuda itu gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”

“Ayahnya memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Gadis ini sambil berjalan kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang pengalaman orang tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima muda itu.....

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari arah belakang. Ketika tiba di dekat mereka, seorang perwira tua yang menunggang kuda itu kemudian melompat turun dan bertanya,

“Apakah kau yang bernama Lo Sian?”

Lo Sian dan Lili menjadi heran sekali.

“Betul,” jawab Lo Sian. “Ada keperluan apakah kau mencariku?”

Perwira itu menyerahkan sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili. “Aku telah menerima perintah dari Kam-ciangkun agar supaya menyerahkan surat ini kepada seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo Sian. Kurasa kaulah Nona itu.”

Lili tidak mau menerima surat itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat itu, perwira ini cepat-cepat melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi kesempatan kedua orang itu bicara, dia sudah membalapkan kudanya kembali. Memang begitulah perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera meninggalkan mereka lagi.

“Kurang ajar sekali panglima muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi surat kepadaku? Aku tidak sudi membacanya!”

“Jangan terburu nafsu, Lili. Tidak baik menuduh orang kalau belum melihat buktinya. Kau bacalah dahulu surat ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah adanya panglima muda she Kam itu,” kata Lo Sian.

Dengan mulut cemberut dan muka merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca surat yang singkat itu.

Nona Sie,
Aku pernah bertemu dengan kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu, kini dia menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus melakukan tugas ini, sungguh pun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia supaya berhati-hati apa bila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.

Yang tetap menghormat orang tuamu,
Kam Liong

Setelah membaca surat ini, berubahlah wajah Lili dan dia menjadi termenung. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini tentulah Hong Beng, akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak bercerita sesuatu tentang pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?

“Surat apakah itu, Lili?” Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya.

Ia tak menjawab, hanya menyerahkan surat kepada bekas suhu-nya. Lo Sian membaca surat itu dan kemudian berkata,

“Aku tidak tahu siapa adanya kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil kesimpulan bahwa pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”

Akan tetapi Lili tidak menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak membohong?

“Teecu sendiri tidak tahu apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi biarlah, kakakku Hong Beng mana takut menghadapi ancaman dari para perwira kerajaan? Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”

Dua hari kemudian pada senja hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li lagi dari kota Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan pada lereng bukit terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah banyak yang rusak.

Pada siang hari banyak pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan sekaligus mengagumi seni ukir serta sajak-sajak kuno yang banyak ditulis pada tembok kuil. Akan, tetapi pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain gelap juga nampaknya angker menakutkan.

Akan tetapi Lo Sian lebih menyukai tempat seperti ini untuk bermalam dari pada hotel yang ramai. Maka, malam hari itu mereka kemudian bermalam di kuil ini untuk menanti lewatnya malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.

Pada saat mereka menuju ke kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar hutan itu berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan bayangan yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika dia tiba di luar hutan, bayangan itu sudah lenyap.

“Hemm, bayangan itu dari gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu tinggi. Malam hari ini kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.

Akan tetapi gadis yang tabah sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut, sungguh pun gerakan orang tadi juga membuat dia kagum.

Mereka memilih kuil yang bersih di mana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini sebagai tempat bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu yang kasar. Ada pun Lo Sian memilih ruang belakang kuil itu.

Agaknya kekuatiran Lo Sian tidak terbukti, oleh karena sampai tengah malam tak terjadi sesuatu. Akan tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang gerakannya ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian membaringkan tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruangan itu yang tidak tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.

Pendengaran Lo Sian masih sangat tajam dan begitu dia mendengar suara ini, lenyaplah kantuknya dan ia segera bangun dan duduk memandang tajam.

Untuk sesaat bayangan itu tak bergerak, tapi terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan tiba-tiba saja bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata perlahan, “Suhuuu..., ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”

Tentu saja Lo Sian menjadi terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa lamanya, kemudian baru ia dapat berkata gagap,

“Eh, eh, nanti dulu. Kau siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak mempunyai murid lain kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!” Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh perhatian.

Orang itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.

“Sudah sepatutnya Suhu tidak sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata dengan suara sedih sekali, “teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya maut, lalu menerima budi Suhu yang sangat besar. Akan tetapi teecu...,” kembali terdengar sedu sedan di kerongkongan pemuda itu.

“Sabar dulu, orang muda. Bukan aku tak sudi mengakui kau sebagai muridku, akan tetapi sesungguhnya aku tidak kenal siapa kau ini.”

“Suhu, teecu adalah Kam Seng, anak yang dulu pernah Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian menjadi murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”

Akan tetapi tentu saja Lo Sian yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya. Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan.

“Bangsat rendah, kau berani datang ke sini?” Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah tubuh Kam Seng yang masih berlutut tidak bergerak itu!

Untung pada saat itu juga Lo Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan tusukannya. Akan tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena pada saat itu tubuh Kam Seng sudah mencelat ke arah pintu dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar suaranya dari luar,

“Aku tidak dapat melawanmu, Lili, tidak dapat membencimu! Betapa pun benciku kepada ayahmu, aku tak dapat memusuhimu, kau tahu akan hal ini...”

“Bangsat rendah, jangan lari!” Lili membentak marah dan dia pun cepat melompat keluar hendak mengejar.

Akan tetapi di luar tidak terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa sangat penasaran dan juga heran mengapa kini ginkang dari pemuda itu jauh lebih hebat dari pada dahulu. Ketika dia kembali ke ruangan itu, terpaksa dia menuturkan kepada Lo Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang dulu tewas di tangan ayahnya. Dia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo Sian. Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,

“Sayangnya dia menaruh hati dendam terhadap ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih ingat kepadamu dan tidak mau melupakan budi, dia terhitung seorang yang masih memiliki pribudi.”

Lili tidak menjawab, akan tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau dia teringat betapa pemuda itu dulu pernah menciumnya! Betapa pun juga, agaknya dia tidak akan sampai hati membunuh Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula membebaskan dirinya dari kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.

Memang pemuda itu adalah Song Kam Seng yang kini sudah menjadi murid Wi Kong Siansu. Semenjak kekalahannya terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini merasa prihatin sekali.

Dia lalu mengajukan permohonan kepada suhu-nya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi dan bertekun mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu. Tidak heran apa bila ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya.

Pada saat itu ia sedang mengikuti suhu-nya melakukan perantauan, dan biar pun ia tidak berkata sesuatu, namun ia merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhu-nya hendak pergi ke Shaning mencari Pendekar Bodoh! Ketika sampai di kota Lianing dan suhu-nya mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan lama, dia lalu berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili dengan gurunya dalam kota itu.

Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan hatinya terharu ketika dia melihat kedua orang itu. Teringatlah dia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai Cinjin.

Diam-diam dia mengikuti mereka dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhu-nya itu. Dia kuatir kalau-kalau Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam barulah dia masuk ke dalam kuil menjumpai suhu-nya. Tak tahunya suhu-nya telah lupa sama sekali kepadanya dan hampir saja dia menjadi korban pedang Lili!

Pada keesokan harinya, Lili mengajak suhu-nya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mampir dulu di kota Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah rumah makan, tiba-tiba saja wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula dia memegang tangan suhu-nya.

Lo Sian juga menengok dan dia melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk menghadap meja bersama tiga orang lainnya. Kam Seng duduk bersama Wi Kong Siansu dan dua orang lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah. Yang seorang berhadapan dengan Wi Kong Siansu dan memakai sebuah topi, dan sikapnya nampak sombong sekali. Orang ke dua bertubuh pendek serta bermuka buruk bagaikan seekor monyet.

Song Kam Seng juga terkejut sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan itu. Untuk sesaat matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu kemudian mengerutkan keningnya dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali kalau-kalau gadis itu akan bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena dia pun maklum bahwa kepandaian Lili masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.

Akan tetapi Lili yang tabah sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan tenangnya lalu mencari meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong adalah meja yang berada dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan langkah tenang dan gagah Lili mengajak suhu-nya duduk menghadapi meja itu!

Wi Kong Siansu seolah-olah tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan kelihaian totokannya. Ia sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi. Nampaknya mereka sedang berdebat tentang sesuatu.

Orang bertopi itu adalah seorang jago silat dari Shantung, seorang ahli gwakang yang mempunyai tenaga gajah. Namanya Can Po Gan, dan orang yang bertubuh kecil dan bermuka buruk itu adalah adiknya bernama Can Po Tin.

Sungguh pun dia kecil dan buruk, akan tetapi kelirulah kalau orang memandang rendah kepadanya, karena ilmu kepandaiannya bahkan lebih lihai dari pada kakaknya. Apa pula Can Po Tin terkenal mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa sehingga di kalangan kang-ouw dia diberi nama poyokan Si Belut! Secara kebetulan sekali, di kota ini mereka bertemu dengan Wi Kong Siansu yang telah mereka kenal dan mereka kagumi, maka mereka lalu bercakap-cakap dengan asyiknya di restoran itu.

Biar pun matanya tidak memandang ke arah meja di mana Wi Kong Siansu, Song Kam Seng, dan kedua orang sudara Can itu bercakap-cakap, akan tetapi Lili tertarik juga akan percakapan mereka dan mendengarkan sambil minum air teh yang tadi dipesannya dari pelayan.

Ketika Lo Sian memandang kepadanya dengan mata bertanya, Lili segera mencelupkan telunjuknya ke dalam cawan tehnya, dan menggunakan jari telunjuk yang basah itu untuk menulis huruf-huruf di atas meja agar Lo Sian dapat membacanya. Ia menulis nama Wi Kong Siansu.

Lo Sian terkejut membaca nama ini karena telah beberapa kali Lili bercerita kepadanya mengenai tosu ini yang sangat tinggi kepandaiannya dan yang diakui oleh Lili bahwa dia pernah roboh oleh totokan tosu itu! Juga Lili pernah menceritakan bahwa Wi Kong Siansu ini adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang terkenal jahat. Diam-diam Lo Sian juga turut memperhatikan orang-orang itu dan mendengarkan percakapan mereka.

“Wi Kong Totiang tadi berkata benar, Twako,” terdengar Si Kecil Buruk berkata kepada kakaknya yang mukanya nampak tidak percaya. “Betapa pun besarnya tenaga gwakang, akan celakalah kalau menghadapi seorang ahli lweekeh, karena tenaga kasar itu hanya akan terbuang sia-sia.”

“Betapa pun juga sukar untuk dapat dipercaya!” bantah Can Po Gan sambil memandang pada Wi Kong Siansu. “Aku lebih percaya bahwa tingkat kepandaian seseoranglah yang menentukan kemenangan. Tentu saja, kalau misalnya aku menghadapi Wi Kong Totiang yang tingkatnya lebih tinggi dariku, aku pasti akan kalah, tidak peduli Wi Kong Totiang mempergunakan gwakang mau pun lweekang. Akan tetapi kalau aku menghadapi orang setingkat, biar pun dia ahli lweekeh, agaknya belum tentu aku akan kalah!”

Adiknya, Tan Po Tin tertawa hingga Lili merasa bulu tengkuknya meremang mendengar suara ketawa yang tinggi kecil seperti suara ketawa seorang perempuan itu. Orang yang suara bicaranya demikian parau dan besar bagaimana bisa tertawa seperti itu?

“Twako, kau tidak tahu. Kalau kau menghadapi orang yang ilmu kepandaian dan tenaga lweekang-nya seperti Pendekar Bodoh, tenagamu yang besar takkan ada gunanya lagi.”

Marahlah Can Po Gan mendengar ini.

“Hemm, ingin sekali aku mencoba tenaga lweekang dari Pendekar Bodoh yang banyak didengung-dengungkan orang itu! Hendak kulihat apakah tenaganya ada selaksa kati!”

Wi Kong Siansu tersenyum. “Harapanmu akan terkabul, Can-sicu. Akan tetapi sebelum kau bertemu dengan dia, lebih baik kau berhati-hati dan jangan terlampau mengandalkan tenagamu. Dengan ilmu silat Hui-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Pukulan Harimau Terbang) agaknya kau masih akan mampu menghadapinya, akan tetapi kalau kau mengandalkan tenagamu, jelas kau sudah keliru. Ketahuilah bahwa di antara ahli-ahli lweekeh ada yang menyatakan bahwa tenaga gwakang amat lemahnya sehingga tidak dapat menarik putus sehelai rambut. Dan kata-kata ini memang ada betulnya!”

“Totiang, mengapa kau pun memandang amat rendahnya kepada tenaga orang? Hendak kusaksikan sendiri kebenaran kata-kata sombong ini.” Kini Can Po Gan yang berangasan menjadi marah dan penasaran sekali.

“Kau ingin bukti? Nah, mari kita buktikan supaya dapat menambah pengalaman dan kau bisa bertindak hati-hati,” jawab Wi Kong Siansu yang segera mencabut sehelai rambut jenggotnya yang panjang. Ia memegang rambut itu pada ujungnya dan berkata,

“Can-sicu, coba kau tarik rambut ini dan kita sama-sama lihat apakah kau dapat menarik putus rambut ini!”

Can Po Gan tertawa keras dan ia segera menjepit ujung rambut itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Awas, Totiang, sekali tarik saja, akan putuslah rambut ini,” katanya dan ia mengerahkan tenaganya menarik.

Akan tetapi sungguh heran! Ketika ditarik, rambut itu tidak menjadi putus, hanya mulur sedikit. Ia lalu menambah tenaganya dan tahu-tahu rambut yang terjepit di antara kedua jarinya itu terlepas, akan tetapi tidak putus!

Kembali terdengar suara ketawa yang kecil aneh dari Can Po Tin.

“Ingat, Twako. Rambut itu mempunyai tenaga lemas, apa lagi berada di dalam tangan Wi Kong Tosu! Mana kau bisa memutuskannya?”

“Rambut itu terlalu licin!” kata Can Po Gan penasaran. “Kalau tidak terlepas, tentu aku akan dapat memutuskannya!”

“Boleh kau coba sekali lagi, Can-sicu,” kata Wi Kong Siansu.

Kembali Can Po Gan memegang ujung rambut itu dan mulai menariknya. Rambut itu menegang sehingga menjadi makin kecil.

Lili yang tadi mendengar nama ayahnya disebut-sebut, menjadi mendongkol sekali. Dia maklum bahwa Wi Kong Siansu pasti telah melihatnya, karena mustahil seorang memiliki kepandaian tinggi seperti tosu itu tidak melihatnya yang duduk demikian dekat.

Melihat betapa tosu itu tidak pernah mempedulikannya, bahkan berani bercakap-cakap membicarakan ayahnya, tanda bahwa pendeta itu tidak memandang mata kepadanya, membuat gadis ini marah sekali. Dia tidak merasa takut sedikit pun juga, meski pun dia maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu.

Melihat pertapa itu bersama orang bertopi itu kembali akan mendemonstrasikan tenaga lweekang dan gwakang, Lili lantas mengambil sebuah uang mas dari saku bajunya dan memegang uang itu di antara jari-jari tangan kirinya. Ia menanti dan melihat ke arah Wi Kong Siansu yang masih saja mengadu tenaga melalui rambut itu dengan Can Po Gan. Setelah dilihatnya bahwa rambut itu telah menjadi tegang dan kecil akan tetapi tetap saja tidak dapat putus, tiba-tiba Lili lalu menggunakan jari tangannya menyentil uang emas di tangannya itu.

“Tingg...!” Nyaring sekali suara ini saat uang emas itu terkena sentilannya dan terlempar ke udara.

“Ahh...!” Wi Kong Siansu dan Can Po Gan berseru kaget karena ketika terdengar suara yang nyaring itu, rambut yang mereka tarik telah putus dengan tiba-tiba sekali.

Tadinya Can Po Gan mengira bahwa dia sudah menang dalam pertandingan ini. Akan tetapi dia merasa heran sekali ketika melihat Wi Kong Siansu dan adiknya, Can Po Tin, tidak memandang kepadanya dengan kagum, sebaliknya menengok dan memandang ke arah meja di sebelah kirinya dan anehnya, pandang mata Wi Kong Siansu nampak amat marah.

Dia pun segera menengok dan baru kali ini Can Po Gan melihat wajah Lo Sian yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya.

“Sin-kai Lo Sian!” Can Po Gan berseru ketika dia melihat dan mengenal kakek pengemis ini. Akan tetapi tentu saja Lo Sian tidak mengenalnya dan mendengar namanya disebut, ia memandang dengan tajam.

Sementara itu, Wi Kong Siansu telah bangkit berdiri dan berkata kepada Lili,

“Hemm, puteri Pendekar Bodoh, engkau sungguh lancang dan jail seperti ayahmu! Akan tetapi aku harus menyatakan kagum atas ketabahan hatimu. Apakah kau masih belum mengaku kalah terhadapku?”

Lili tetap duduk di bangkunya saat dia menjawab dengan suara dingin, “Wi Kong Siansu, menang dan menang merupakan dua macam hal yang jauh berlainan! Menang dengan mutlak adalah kemenangan yang dicapai dengan cara jujur dan berterang. Tapi ada pula kemenangan yang dicapai dengan kecurangan dan dengan jalan pengeroyokan. Dahulu kemenanganmu terhadap aku adalah kemenangan yang kedua ini. Siapa mau mengaku kalah terhadap kau? Seperti juga tadi, kau katakan rambut jenggotmu itu tak dapat putus, bukankah dengan suara uang emasku saja sudah dapat terputus? Apakah hal ini boleh dianggap kau telah kalah pula terhadapku?”

“Bocah bermulut lincah! Apakah kau datang ini sengaja hendak memancing pertempuran dengan pinto?” Wi Kong Siansu bertanya penasaran.

“Tidak ada yang memancing pertempuran. Aku masuk ke dalam rumah makan umum untuk makan, apa salahnya dan siapa berhak melarangku?”

“Akan tetapi, mengapa tadi kau berlancang tangan memutuskan rambutku dengan suara uangmu?” Wi Kong Siansu makin penasaran.

“Siapa pula menyuruh kalian membawa-bawa nama ayahku dalam percakapan kalian?” balas Lili.

Tiba-tiba Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Betul pandai! Aku mengaku kalah berdebat dengan engkau. Bagus, tolong kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa kalau dia berani, aku mengundangnya untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kelak pada musim semi tahun depan di puncak Thian-san! Jika dia tidak datang, akan kuanggap bahwa Pendekar Bodoh hanya namanya saja yang besar, akan tetapi nyalinya kecil!”

“Siapa takut kepadamu?” kata Lili marah. “Jangan kata Ayah, aku sendiri pun tidak takut dan akan datang pada waktu itu!”

Wi Kong Siansu duduk kembali, tidak mau mempedulikan lagi kepada Lili. Akan tetapi, kedua saudara Can itu memandang dengan hati penuh penasaran. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Wi Kong Siansu dapat bercakap-cakap dengan seorang gadis muda seakan-akan bicara dengan orang yang sama tinggi kedudukannya dalam kepandaian silat?

Pula, Can Po Gan yang mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, dan bahwa putusnya rambut tadi adalah disebabkan oleh gadis itu yang membunyikan uang emas dengan nyaringnya, dia menjadi amat penasaran. Ia memandang dengan senyum mengejek dan berkata,

“Jadi inikah puteri Pendekar Bodoh? Ehhh, Nona, kau duduk semeja dengan Sin-kai Lo Sian, apamukah dia?” tanya Can Po Gan dengan kasar dan menyeringai.

“Dia adalah Suhu-ku, kau mau apa tanya-tanya?” Lili yang memiliki hati tabah itu balas bertanya dengan kasar.

Tidak saja kedua saudara Can itu yang terheran, bahkan Wi Kong Siansu juga tertegun mendengar ucapan ini. Ia juga pernah melihat Lo Sian dan sudah mendengar pula akan kepandaian Pengemis Sakti ini, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan kepandaian gadis puteri Pendekar Bodoh itu, Si Pengemis Sakti akan kalah jauh!

Hanya Kam Seng seorang yang menundukkan mukanya, diam-diam dia mengagumi Lili yang masih terus mengaku guru kepada Lo Sian meski pun gadis itu kini telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Lo Sian!

Terdengar suara ketawa yang menyeramkan dari Can Po Tin ketika dia mendengar ini. “Sin-kai Lo Sian, benar-benarkah Nona ini muridmu? Dan muridmu sudah berani berlaku kurang ajar terhadap Wi Kong Siansu, kau diamkan saja? Alangkah kurang ajar dan tak tahu adat kau ini!”

Akan tetapi dengan tenang Lo Sian menjawab dengan suaranya yang dalam, “Kalian ini siapakah? Aku tidak kenal dengan Ji-wi (Tuan Berdua), akan tetapi mengapa Jiwi hendak menggangguku?”

Mendengar jawaban ini, kedua saudara Can itu melengak. Akhirnya Can Po Gan yang berangasan itu lalu bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia menghampiri Lo Sian.

“Pengemis jembel! Kau pura-pura tidak mengenal kami? Dulu kami pernah mengampuni jiwa anjingmu dan sekarang kau masih berani berlaku demikian kurang ajar dan tidak memandang mata? Agaknya kau minta dihajar lagi!”

Sambil berkata demikian, tangan kanan orang berangasan ini melayang dari atas dan memukul lengan tangan Lo Sian yang diletakkan di atas meja. Lo Sian cepat menarik lengannya dan…

“Brakk!”

Kepalan tangan Can Po Gan yang keras itu bagaikan palu baja menimpa meja sehingga tembus! Cawan air teh di depan Lili melayang ke atas dengan cepat karena getaran meja itu sehingga kalau tidak cepat-cepat Lili menangkapnya, tentu isinya akan tumpah. Gadis ini menjadi marah sekali dan cepat dia berdiri, sementara itu Lo Sian sudah melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan selanjutnya.

“Buaya darat!” Lili memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Kepandaian macam itu saja kau pamerkan di sini? Apakah kau tukang jual obat kuat?”

Can Po Gan memandang kepada Lili dengan senyum mengejek menghias pada bibirnya yang tebal. “Apa kau tidak takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan kanannya yang kini menjadi kemerah-merahan.

Melihat cahaya merah yang menjalar di sepanjang lengan tangan yang sangat besar itu, diam-diam Lili terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu mempunyai kekuatan Ang-see-jiu yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu membuka telapak tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,

“Siapa sih takut kepada lengan tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya untuk memukul meja atau menakut-nakuti orang.”

“Bocah bermulut lancang! Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po Gan.

Lili tersenyum dingin. “Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau dapat membuat aku merasa sakit, aku mau berlutut di hadapan kakimu dan mengangkat kau sebagai Sucouw (Kakek Guru)!”

“Kau menantang?!”

“Beranikah kau memukul tanganku?”

“Siapa takut? Awas, kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!” Setelah berkata demikian, Can Po Gan langsung melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang sejak tadi diperlihatkan kepadanya.

Tanpa dapat terlihat oleh orang lain, karena gerakannya sangat cepat, tangan gadis itu lalu bergeser sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika lengan tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.

“Aduhh...!”

Can Po Gan menarik kembali lengannya, akan tetapi ia tak dapat menggerakkan lengan tangan kirinya yang kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu!

Ternyata ketika tadi dia memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak sedikit tanpa menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya, lalu dia sudah melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada pergelangan siku lawannya!

“Jangan kau main-main terhadap gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang kini sudah melangkah maju.

Dengan beberapa kali urutan serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan tangan Can Po Gan. Akan tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.

Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan sekarang ia telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!

“Kalian mau mencari mampus? Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.

Melihat ini, kedua saudara Can itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi bukan karena ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan tetapi terjadi oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya, juga karena tadinya dia memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis itu, apa lagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, setidaknya mereka menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah mereka.

“Ji-wi Can-sicu, tak perlu membikin ribut di sini. Kelak saja pada permulaan musim semi tahun depan, kita mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan Nona ini.”

“Baiklah, kami akan menanti datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan sambil duduk kembali dan menyimpan senjatanya.

Ada pun Lili pada saat melihat sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut, karena gadis ini bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi Kong Siansu turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhu-nya untuk mencapai kemenangan.

Lili melompat turun, menyimpan pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan restoran, kemudian ia mengajak suhu-nya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena kini dia menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan peristiwa itu.

“Jangan lupa sampaikan undanganku kepada ayahmu!” Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika Lili dan Lo Sian sudah tiba di luar restoran.

Gadis itu tak menjawab karena ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya ditantang oleh tosu itu dan dia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi tosu itu sekarang juga!

Ketika tiba di Shaning dan memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan Lin Lin dengan penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat berterima kasih kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong besar.

Sebaliknya Lo Sian merasa amat canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang namanya sudah terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang ternyata bersikap ramah tamah dan sederhana, juga suami-isteri itu sangat tampan dan cantik.

Pada waktu mendengar penuturan Lili mengenai keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin mengerutkan keningnya. Apa lagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa pasti akan kematian Lie Kong Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.

“Apakah kau tidak dapat mengingat di mana dan bagaimana cara Lie-suheng menemui kematiannya?” tanya Cin Hai.

Akan tetapi Lo Sian menggeleng kepalanya. “Menyesal sekali, Taihiap. Ingatanku sudah lenyap sama sekali, dan aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku bisa berhal seperti ini. Sudah kucoba untuk mengerahkan seluruh ingatan, namun hasilnya nihil belaka. Hanya dapat kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku bahwa Lie Kong Sian Taihiap sudah tewas, entah dengan cara bagaimana dan di mana, tapi yang sudah pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat mengerikan!”

“Suhu sudah lupa segala macam peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah lupa. Akan tetapi pada waktu aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan rusak pikiran, Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata 'pemakan jantung', entah apa yang dimaksudkan.”

Mendengar kata-kata ini, wajah Lo Sian berubah agak pucat dan dia menghela napas berkali-kali. “Ucapan ini sudah sering kali membuatku tak dapat tidur. Aku sendiri merasa bahwa dalam ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan tetapi sayang sekali, aku tak dapat mengingatnya lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa sangat kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu bahwa orang ini perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa girang sekali mendengar keinginan Lili untuk menahan suhu-nya tinggal di situ.

Mereka menyatakan persetujuan mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk tinggal di sana, sehingga lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian. Semenjak saat itu, dia tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas tempat tinggal Yousuf yang masih dibiarkan kosong.

Ketika Cin Hai dan isterinya mendengar penuturan Lili mengenai Wi Kong Siansu yang menantang mereka untuk mengadu kepandaian di puncak Thian-san pada musim semi tahun depan, Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata tenang,

“Wi Kong Siansu seperti anak kecil saja. Betapa pun juga, undangan macam ini tak boleh tidak harus disambut dengan gembira.”

Sebaliknya, Lin Lin berkata dengan muka merah, “Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa penasaran dan hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja sekarang? Siapa yang takut menghadapinya?”

Mendengar percakapan suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh demikian tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar yang telah luas sekali pengetahuannya. Dan sikap Lin Lin demikian gagahnya, sehingga mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.

“Menurut pendapatku yang bodoh, orang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan tempat tertentu harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah menetapkan waktu tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thian-san, tentulah dia telah merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan apa bila Taihiap kelak tak hanya akan bertemu dengan dia seorang saja, akan tetapi dengan orang-orang lain yang lihai.”

Cin Hai mengangguk-angguk, ada pun Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri-seri, “Lo-twako, mendengar bicaramu aku jadi teringat kepada mendiang ayah angkatku! Kau sama benar dengan ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”

Sebentar saja Lo Sian merasa cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu yang menyebutnya twako (kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebut dirinya twa-pek (uwa)…..

********************

Sesudah selama sepekan bersama Goat Lan menjaga di Istana Pengemis untuk menanti kalau-kalau pihak Coa-tung Kai-pang datang membikin pembalasan, dan ternyata tidak terjadi sesuatu, maka Hong Beng kemudian minta diri dari kelima saudara Hek. Bersama dengan tunangannya dia lalu berangkat menyusul Lili ke kota Kiciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio, ahli pengobatan di kuil Siauw-lim-si itu.

Thian Kek Hwesio menerima mereka dengan girang sebab memang sudah lama ia kenal dan mengagumi Goat Lan, murid tersayang dari sahabat baiknya, Sin Kong Tianglo. Ia merasa makin gembira ketika mendengar betapa Goat Lan sudah berhasil mendapatkan To-hio-giok-ko obat satu-satunya untuk penyakit putera kaisar.

Pada waktu Goat Lan menyatakan terus terang bahwa ia hendak ke Tiang-an dulu untuk mengambil kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip untuk mempelajari cara mempergunakan dua macam obat itu, Thian Kek Hwesio segera berkata,

“Tidak usah, Nona. Tidak perlu kau membuang waktu untuk mengambil jalan memutar. Penyakit putera kaisar sudah payah sekali dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi ke kota raja dan segera mengobatinya, mungkin kau akan terlambat dan pengharapan mendiang sahabat baikku akan sia-sia belaka.”

Terkejut Goat Lan ketika dia mendengar ucapan ini. “Habis bagaimana baiknya, Losuhu? Aku tidak tahu apa macamnya penyakit yang diderita oleh Pangeran Muda itu dan tidak tahu cara bagaimana harus mempergunakan obat yang langka ini.”

“Jangan kuatir, pinceng pernah mendengar keterangan dari sabahat baikku gurumu itu. Baiklah kubentangkan sedikit agar supaya lebih jelas bagimu. Penyakit yang diderita oleh Pangeran Mahkota ini adalah semacam penyakit di dalam usus besar. Menurut gurumu, usus besar itu terluka hebat dan di sana terdapat bisul yang sudah pecah dan menjadi semacam luka yang makin lama makin menghebat. Oleh karena itulah, maka Pangeran Muda itu selalu mengeluarkan kotoran darah dan tubuhnya lemas, perutnya terasa sakit. Bila mana kau sudah menghadap Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw (Permaisuri) dan dibawa ke tempat si sakit, terlebih dahulu kau harus memberinya sebuah Giok-ko (Buah Mutiara) untuk dimakan mentah-mentah. Khasiat Giok-ko ini untuk membersihkan darah sehingga daya penolak luka di dalam itu akan menjadi kuat. Kemudian, To-bio (Daun Golok) itu boleh kau rebus dengan air sampai airnya tinggal satu bagian, lalu berikan untuk diminum. Daun ini sarinya manjur sekali untuk mengeringkan lukanya. Setelah tiga hari berturut-turut kau memberi obat To-hio-giok-ko kepada Pangeran, selanjutnya dapat kau lakukan pengobatan dengan obat-obat penguat tubuh serta pembersih darah seperti biasa, bahkan sangat baik kalau kau mempergunakan juga tiam-hoat (ilmu totok) untuk melancarkan jalan darah!”

Setelah mendapat keterangan demikian, Goat Lan lalu minta diri untuk segera menuju ke kota raja. Kepada Hong Beng ia berkata setelah keluar dari kuil itu.

“Koko, kau dengar sendiri bahwa aku harus segera ke kota raja untuk mengobati putera Kaisar, demi menjaga dan menjunjung nama baik dan kehormatan mendiang Suhu Sin Kong Tianglo. Apakah kau hendak menyusul Lili, ataukah...?”

Goat Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sesungguhnya hatinya masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan tunangan yang gagah berani dan tampan ini. Tentu saja sebagai seorang gadis yang sopan dan tinggi hati, ia tidak dapat menyatakan suara hatinya.

Seperti halnya Goat Lan, meski pun dia seorang laki-laki namun Hong Beng juga masih sungkan dan malu-malu. Dia pun tak pandai menyatakan perasaan hati melalui bibirnya, maka dengan muka merah ia menjawab,

“Lan-moi, sebetulnya aku pun ingin sekali ke kota raja, dan... dan aku kuatir kalau-kalau para tokoh kang-ouw yang merasa iri hati terhadap mendiang suhu-mu, akan datang lalu mengganggu dan menghalangimu mengobati putera Kaisar.”

“Aku pun berpikir demikian, Koko. Bukan tak mungkin sekarang sudah ada banyak yang mengincar gerak-gerikku.”

“Biarlah aku mengawanimu sampai selesai tugasmu ini, Moi-moi, tetapi... kalau kau tidak keberatan.”

“Mengapa keberatan?” Goat Lan memandang kepada tunangannya yang kebetulan juga menatap wajahnya.

Dua pasang mata kembali bertemu untuk kesekian kalinya dan keduanya menundukkan muka dengan wajah merah dan bibir tersenyum. Pada saat seperti itu tak perlu kata-kata lagi. Mereka sudah saling mendengar seribu satu ucapan yang keluar dari hati masing-masing.

“Hayo kita berangkat!” Akhirnya Hong Beng memecahkan kesunyian yang menekan dan membuat mereka merasa canggung. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke kota raja.

Memang kekuatiran kedua orang muda ini betul-betul terjadi. Di dalam kota raja terdapat komplotan yang sudah siap sedia menghalangi semua usaha mengobati Pangeran yang sedang rebah menderita sakit yang amat berat. Mereka ini dikepalai oleh seorang selir kaisar yang juga mempunyai putera dan yang mengharapkan agar puteranya kelak yang menggantikan kedudukan kaisar apa bila pangeran itu meninggal dunia karena sakitnya.

Selir kaisar inilah yang mengharapkan kematian putera Kaisar. Ia telah mempercayakan pelaksanaan semua urusan ini kepada seorang pembesar tinggi yang kini menjadi kepala pengawal istana dan bernama Bu Kwan Ji, yang sesungguhnya sudah lama mempunyai hubungan gelap dengan selir kaisar itu!

Bu Kwan Ji adalah seorang yang pandai ilmu silat, termasuk perwira kelas satu di kota raja, dan mempunyai banyak kawan sepaham terdiri dari para perwira bayangkari yang tinggi ilmu silatnya. Para kawan-kawannya pun maklum akan keadaan Bu Kwan Ji yang dikasihi oleh Kaisar dan selirnya, dan bahwa Bu Kwan Ji mempunyai banyak harapan bagus di masa depan. Maka tentu saja mereka suka membantu supaya kelak ikut pula merasakan kesenangan.

Rombongan pengkhianat ini lalu minta bantuan pula dari tiga orang tabib yang paling terkenal di kota raja. Mereka mengadakan hubungan dan Bu Kwan Ji menjanjikan upah besar dan pembagian keuntungan apa bila kelak ia dapat menduduki kursi tinggi.

Memang harta benda dan pangkat dapat memabukkan manusia dan dapat membutakan mata batin manusia. Tiga orang tabib itu bukanlah orang sembarangan, bahkan ilmu silat dan ilmu pengobatan mereka sudah amat terkenal di kalangan kang-ouw.

Yang seorang bernama Ang Lok Cu, seorang pendeta dan pertapa yang terkenal dari Bukit Kun-lun-san. Orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang hwesio gundul, kakak beradik seperguruan yang tinggi ilmu silat serta ilmu pengobatan mereka. Mereka ini bernama Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio.

Kedua orang hwesio ini dahulu pernah belajar ilmu pengobatan dari Thian Kek Hwesio. Akan tetapi setelah dapat menduga bahwa dua orang hwesio ini bukanlah orang-orang yang berhati teguh dan suci, Thian Kek Hwesio menghentikan pelajaran mereka. Ada pun Ang Lok Cu adalah murid dari seorang tosu perantau yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.

Tadinya, tiga orang pendeta ini datang ke kota raja untuk mencoba kepandaian mereka mengobati putera Kaisar, akan tetapi mereka tak berhasil. Kemudian mereka mendengar tentang kesanggupan Sin Kong Tianglo, maka mereka lalu menjadi iri hati dan bersama beberapa orang tokoh kang-ouw mereka menjumpai Sin Kong Tianglo dan memperolok-olokannya dan memanaskan hati Sin Kong Tianglo hingga kakek sakti ini pergi mencari obatnya dan akhirnya menjumpai kematian di daerah dingin itu.

Ketika Bu Kwan Ji mendengar tentang kekecewaan dan iri hati dari tiga orang pendeta ini, maka dia lalu datang menghubunginya dan kini ketiga orang pendeta ini menerima tugas untuk mencegah pengobatan untuk putera Kaisar ini. Melalui selir Kaisar, Bu Kwan Ji berhasil membuat Kaisar mengangkat ketiga orang pendeta itu menjadi tabib-tabib penjaga putera Kaisar, dan mereka inilah yang berhak memeriksa obat-obat yang akan diminumkan kepada yang sakit.

Dengan demikian, maka bukanlah tugas yang ringan bagi Goat Lan untuk mengobati putera Kaisar itu, karena menghadapi segerombolan serigala kejam tanpa diketahuinya lebih dulu di mana serigala-serigala itu bersembunyi. Baiknya dia dan Hong Beng sudah dapat menduga terlebih dulu bahwa tugasnya ini tentu akan mengalami halangan pihak yang memusuhinya.

Halangan pertama dijumpai oleh Goat Lan dan Hong Beng pada saat mereka telah tiba di kota raja dan hendak menghadap Kaisar. Yang menerima adalah kepala bayangkari yang juga telah menjadi kaki tangan Bu Kwan Ji, maka tidak mudah bagi kedua orang muda ini untuk menghadap Hong-siang (Kaisar). Mereka lalu dibawa masuk ke dalam sebuah kantor besar di mana duduk Bu Kwan Ji yang memeriksa mereka.

“Kalian ini dari manakah dan dari siapakah kalian membawa obat untuk putera Kaisar?” tanya Bu Kwan Ji dengan pandangan mata tajam.

Mendengar pertanyaan yang kasar ini, Goat Lan mengerutkan keningnya. Akan tetapi Hong Beng yang tahu akan kekerasan hati Goat Lan, mewakili tunangannya menjawab,

“Kami mewakili Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan membawa obat penyembuh penyakit Pangeran. Harap saja Ciangkun sudi membawa kami untuk menghadap kepada Hong-siang atau langsung membawa kami kepada yang sakit agar supaya pengobatan tidak terlambat.”

“Mudah saja kau bicara hendak mengobati Pangeran!” tiba-tiba Bu Kwan Ji membentak marah. “Aku telah bosan mendengar ocehan segala macam tukang obat. Sudah ratusan ahli pengobatan yang tua-tua dan berpengalaman tidak berhasil menyembuhkan Beliau, dan kalian ini orang-orang muda berani sekali membawa obat palsu. Apakah kalian tidak menyayangi jiwa sendiri? Awas, pengobatan yang tidak berhasil akan membuat kalian ditangkap dan menerima hukuman berat!”

Goat Lan menjadi mendongkol sekali dan cahaya berapi sudah muncul pada sepasang matanya. Ingin sekali ia maju dan menampar mulut perwira ini, akan tetapi kembali Hong Beng yang menyabarkannya karena pemuda ini telah berkata pula kepada Bu Kwan Ji,

“Maaf, Ciangkun. Kami datang dengan maksud menolong. Dulu Yok-ong sudah berjanji hendak menyembuhkan penyakit putera Kaisar, dan sekarang muridnya ini telah datang membawa obat itu. Berilah kami kesempatan untuk menolong nyawa putera Kaisar yang sakit.”

“Hemm, benarkah kau murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?” tanya Bu Kwan Ji kepada Goat Lan. “Dan kau benar-benar sudah mendapatkan obat yang manjur untuk mengobati penyakit putera Kaisar?”

“Benar!” jawab Goat Lan singkat.

“Kalau begitu, kau tinggalkan obat itu kepadaku agar aku dapat memberi perintah kepada tabib-tabib istana untuk meminumkan obat itu kepada Pangeran.”

“Tidak bisa demikian!” Goat Lan berkata gemas. “Obat itu tidak boleh diminumkan oleh orang lain, harus aku sendiri yang mengobatinya.”

“Kalau begitu, pergilah kalian dari sini!” Bu Kwan Ji menggebrak meja.

Mendengar ucapan ini, Goat Lan bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Bagus! Macam apakah perwira seperti kau ini? Kau kira kami takut kepadamu? Kami datang hendak menolong putera Kaisar dan kau sengaja mengusir kami? Kalau kami melaporkan hal ini kepada Hong-siang, aku kuatir kau takkan dapat mempertahankan pangkatmu lagi!”

Bu Kwan Ji memandang tajam dan melihat sikap kedua orang muda yang gagah ini, hatinya menjadi ragu-ragu. “Pulanglah dan besok kalian boleh datang kembali. Aku harus melaporkan hal ini kepada Kaisar lebih dulu. Aku hanya menjalankan tugas, karena siapa tahu jika ada yang datang berpura-pura membawa obat akan tetapi sebenarnya hendak meracuni Pangeran!”

Dengan mendongkol Goat Lan dan Hong Beng terpaksa keluar dari situ, karena mereka mau tak mau harus membenarkan pula ucapan ini.....

Memang Bu Kwan Ji orangnya cerdik sekali. Melihat keadaan kedua orang muda itu dan mendengar bahwa nona itu adalah murid Sin Kong Tianglo yang sakti, dia tidak berani berlaku sembrono. Dia menyuruh kedua orang muda itu pulang lebih dulu untuk mencari kesempatan mengatur siasat.

Pada saat Goat Lan dan Hong Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira menyusul mereka dan berjalan mengikuti mereka.

“Kalian mau apa?” Goat Lan membentak marah.

“Oleh karena Ji-wi hendak mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan mencari tahu di mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah dari Kaisar untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.

Hong Beng dan Goat Lan tidak dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam sebuah hotel, ketiga orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.

“Malam ini kita harus berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu kalau-kalau ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita tentang penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”

Goat Lan mengangguk dan dia masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga duduk di dalam kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan hanya beristirahat sambil bersemedhi.

Menjelang tengah malam, baik Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat mendengar gerakan kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas genteng hotel. Kedua orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian keduanya memasang telinga untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng itu. Mereka berdua sudah memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan mudahnya dapat menduga bahwa yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkang-nya cukup tinggi.

Kedua orang muda itu tidak bergerak, menanti sampai ketiga orang penjahat malam itu turun dari atas genteng. Akan tetapi sungguh mengherankan karena mereka bertiga itu tidak turun, hanya berjalan hilir mudik beberapa kali seperti orang-orang yang merasa ragu-ragu.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi genteng digeser, baik di atas kamar Hong Beng mau pun di atas kamar Goat Lan. Kedua orang muda itu dengan urat saraf tegang lalu menanti datangnya senjata rahasia, namun mereka tidak takut sama sekali. Hendak mereka lihat bagaimana penjahat-penjahat itu akan bertindak terhadap mereka di dalam kamar yang gelap itu.

Hong Beng sudah bersiap-siap dengan hati-hati sekali. Ia mempunyai dua dugaan, yaitu penjahat itu akan menyerang dengan senjata rahasia secara ngawur, atau mereka akan melompat turun ke dalam kamarnya dari atas genteng. Dan tiba-tiba dari atas melayang turun benda kecil, akan tetapi jauh dari tempat dia berdiri di sudut kamar.

Dia hampir tertawa melihat ketololan penjahat itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu jatuh di lantai, karena segera nampak asap mengebul. Dia hendak melompat keluar melalui jendela, akan tetapi tiba-tiba ia mencium bau yang amat wangi dan Hong Beng pun roboh terguling dalam keadaan pingsan! Ternyata bahwa asap itu adalah asap yang mengandung obat memabukkan yang luar biasa kerasnya.

Goat Lan mengalami peristiwa yang sama. Sebuah benda juga jatuh di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap. Akan tetapi, sebagai murid Sin Kong Tianglo yang berjuluk Raja Obat atau Raja Tabib, gadis ini selalu mengantongi penolak racun. Begitu dia melihat benda itu mengeluarkan asap, dia telah menjadi curiga dan cepat dia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulutnya, sehingga ketika dia mencium bau wangi itu, dia tidak jatuh pingsan, sungguh pun dia merasa agak pening juga.

“Bangsat curang!” dia memaki dan cepat tubuhnya melayang ke atas melalui jendela kamarnya.

Ia melihat bayangan dua orang hwesio di atas genteng, maka langsung ia menyerang dengan bambu runcingnya. Kedua orang hwesio itu bukan lain adalah Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio. Mereka ini datang bersama Ang Lok Cu setelah mendapat kabar dari Bu Kwan Ji bahwa murid Sin Kong Tianglo telah datang membawa obat untuk putera Kaisar. Mereka hendak mendahului kedua orang muda itu dengan cara mencuri obat yang dibawanya.

Ang Lok Cu yang mempunyai julukan Ngo-tok Lo-kai (Setan Tua Lima Racun) kemudian mengeluarkan asap beracunnya yang sangat lihai untuk membuat kedua orang muda itu pingsan agar memudahkan pekerjaan mereka. Sesudah mendengar Hong Beng roboh di dalam kamarnya, Ang Lok Cu lalu melayang turun ke dalam kamar pemuda itu, ada pun kedua hwesio kawannya itu masih menanti untuk mendengarkan suara robohnya gadis di dalam kamar lain.

Akan tetapi alangkah terkejutnya kedua orang hwesio jahat itu ketika mendengar suara angin dan makian Goat Lan. Mereka lebih terkejut lagi pada saat melihat betapa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis cantik itu sudah menyerang mereka dengan dua batang bambu runcing yang menotok ke arah dada mereka.

Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio cepat-cepat mengelak sambil mencabut pedang mereka, akan tetapi gerakan Cu Siang Hwesio kurang cepat sehingga satu tendangan susulan dari Goat Lan membuat dia menjerit kesakitan dan tubuhnya lantas terguling di atas genteng.

“Lihai sekali!” seru Cu Tong Hwesio dan tanpa membuang waktu lagi, melihat gadis itu benar-benar hebat sepak-terjangnya, segera hwesio ini menyambar tangan adiknya dan membawanya melompat turun dari atas genteng dengan gerakan cepat sekali.

Goat Lan tidak mau mengejar karena dia merasa kuatir akan keadaan tunangannya. Dia cepat melompat turun dan sekali tendang saja jendela kamar Hong Beng terbuka. Asap yang wangi keluar dari jendela itu.

Goat Lan masih dapat melihat berkelebatnya sesosok tubuh manusia keluar dari kamar tunangannya melalui lubang di atas genteng. Akan tetapi dia tidak mau mengejar, terus menghampiri ke dalam kamar dan cepat mencari tunangannya.

Ternyata bahwa tosu yang memasuki kamar Hong Beng itu sudah menyalakan lilin dan bahkan sudah sempat memeriksa buntalan pakaian Hong Beng. Goat Lan yang melihat tubuh tunangannya menggeletak di atas lantai, menjadi pucat.

Cepat dia mengangkat tubuh tunangannya itu ke atas pembaringan dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia memeriksa. Dia menarik napas lega ketika mendapat kenyataan bahwa tunangannya itu tidak menderita sesuatu, hanya pingsan akibat asap yang memabukkan tadi. Dengan pertolongan air teh yang tersedia di atas meja, dia dapat membikin Hong Beng segera siuman dari pingsannya.

Hong Beng merasa malu sekali karena telah menjadi korban penjahat, akan tetapi Goat Lan lalu mengeluarkan beberapa butir pil dan memberikan itu kepada tunangannya.

“Aku yang kurang hati-hati,” katanya menghibur, “harusnya aku memberi beberapa butir obat penolak ini kepadamu untuk penjagaan. Yang datang tadi adalah orang-orang yang cukup pandai, meski pun bukan merupakan lawan yang harus ditakuti.” Kemudian Goat Lan menceritakan bahwa yang datang adalah dua orang hwesio dan seorang tosu.

“Aku tidak dapat melihat jelas wajah mereka,” kata gadis gagah ini, “apa lagi yang sudah memasuki kamarmu. Hanya kulihat ia adalah seorang yang berpakaian seperti tosu. Aku hanya berhasil menendang roboh seorang hwesio, sayang bahwa mereka sudah dapat melarikan diri. Gerakan mereka cukup cepat dan ringan sekali.”

“Sudah terang bahwa maksud kedatangan mereka itu untuk mencuri dan mencari obat yang kau bawa,” kata Hong Beng. “Agaknya mereka itu bukan kaki tangan perwira yang galak tadi.”

“Kukira juga bukan,” jawab Goat Lan, mungkin sekali mereka adalah ahli-ahli obat yang iri hati pada mendiang Suhu, dan hendak merampas obat agar supaya nama Suhu tetap tercemar.”

“Dugaanmu betul. Melihat asap beracun tadi, tentulah mereka itu mempunyai kepandaian tentang obat-obatan. Mungkin juga mereka hendak mencuri obat supaya mereka dapat mengobati putera Kaisar dan merekalah yang akan berjasa.”

Demikianlah, kedua orang muda itu bercakap-cakap dengan asyik. Tiba-tiba Goat Lan teringat bahwa sudah terlalu lama dia berada di kamar Hong Beng, maka dengan wajah merah dia lalu berdiri dan berkata,

“Koko, aku harus kembali ke kamarku sendiri!”

Sebelum Hong Beng menjawab, gadis itu melompat keluar dari jendela kamar itu, pergi meninggalkan Hong Beng yang masih berdiri bengong saking kagumnya melihat wajah tunangannya yang demikian manisnya tersinar oleh penerangan lilin! Ia menghela napas lalu menutup kembali jendelanya, kemudian ia melompat naik ke atas pembaringan dan rebah membayangkan wajah Goat Lan yang cantik manis!

Pada keesokan harinya, Goat Lan dan Hong Beng sudah menghadap Bu Kwan Ji yang menerima mereka dengan muka ramah sehingga kedua orang muda itu berlaku semakin hati-hati sekali. Sikap ini bukan menyenangkan hati mereka, bahkan lantas menimbulkan kecurigaan di dalam hati.

“Ji-wi telah diterima oleh Hong-siang dan sekarang juga dipersilakan untuk menghadap,” katanya dengan senyum manis dibuat-buat.

Dengan dikawal oleh Bu Kwan Ji bersama dua belas orang perwira bayangkari yang gagah dan berpakaian indah, sepasang orang muda itu memasuki istana yang luar biasa indahnya. Bagaikan dua orang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar, Hong Beng, dan Goat Lan memandang ke kanan kiri dan tiada habisnya memuji dan mengagumi perabot yang memang luar biasa indahnya dan jarang dapat terlihat oleh umum.

Mereka diterima oleh Kaisar dan Permaisuri sendiri! Bukan dalam persidangan umum, di mana sekalian hamba sahaya dan bayangkari menghadap Kaisar, melainkan pertemuan tersendiri.

Mata Hong Beng dan Goat Lan merasa silau oleh pakaian yang dipakai oleh Kaisar dan Permaisuri, karena itu dari jauh mereka sudah menjatuhkan diri berlutut bersama semua perwira yang mengawal mereka.

“Betulkah kalian datang membawa obat untuk putera kami?” terdengar Kaisar bertanya.

Goat Lan tidak berani menjawab. Dia merasa seakan-akan lehernya tersumbat, sehingga Hong Beng yang mewakili.

“Benar, Paduka yang mulia. Hamba berdua mewakili Yok-ong Sin Kong Tianglo, datang membawa obat dan hendak mencoba mengobati putera Paduka, mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa akan memberi berkah-Nya.”

“Hemm, kami telah mendengar akan kesombongan Raja Obat itu! Kami juga telah bosan mendengar kesanggupan ahli-ahli obat. Tahukah kalian bahwa sudah ada empat orang ahli obat kami jatuhi hukuman mati karena mereka tidak dapat memenuhi kesanggupan mereka? Kami memberitahukan hal ini karena sayang melihat kalian yang masih muda dan rupawan. Sekarang tinggalkan sebuah obatmu untuk kami cobakan kepada putera kami, mudah-mudahan ada hasilnya.”

“Mohon maaf sebanyaknya apa bila hamba berani membantah,” tiba-tiba Goat Lan nekad berkata. “Menurut pesan terakhir dari Suhu, haruslah hamba sendiri yang meminumkan obat itu kepada putera Paduka.”

Berkerutlah kening Kaisar itu. “Apa? Apakah kau tidak percaya kepadaku? Tidak percaya kepada ahli-ahli pengobatan yang berada di dalam istana?”

“Bukan demikian, akan tetapi…”

“Cukup! Kau ini anak gadis masih muda, sampai berapa tinggi kepandaian dan berapa banyak pengalamanmu. Tabib-tabibku adalah orang-orang pandai yang berpengalaman. Tinggalkan obat itu dan kalian harus tunggu di dalam kota raja, jangan sekali-kali keluar dari kota raja sebelum ada hasil pengobatan itu!”

Bukan main gelisahnya hati Goat Lan, akan tetapi dia tidak berani membantah. Suara Kaisar itu dan keadaannya sungguh amat berpengaruh. Kemudian dengan kedua tangan menggigil dia mengeluarkan sebutir buah Giok-ko.

“Hamba mentaati perintah,” katanya kemudian. “Harap saja buah ini diberikan kepada putera Paduka yang sakit untuk dimakan mentah-mentah.”

Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan Bu Kwan Ji maju untuk mewakili Kaisar menerima buah itu. Bukan main mangkelnya hati Goat Lan. Mengapa Kaisar percaya kepada orang macam ini? Akhirnya dia dan Hong Beng dipersilakan keluar dari istana.

Sesudah keluar dari istana yang mewah dan megah itu, Goat Lan membanting-banting kakinya. “Kaisar bod...”

“Sssttt,” kata Hong Beng mencegah.

“Kita lihat saja bagaimana perkembangannya, Moi-moi. Marah saja tak akan ada artinya. Harus kau ingat bahwa pengobatan dan segala jerih payahmu ini bukan khusus untuk menolong Pangeran yang sedang sakit, melainkan untuk menjaga nama suhu-mu.”

Keduanya lalu berjalan perlahan kembali ke hotel mereka. Mendadak terdengar seruan girang,

“Lihiap...!”

Mereka menengok dan melihat seorang pemuda tanggung berusia kurang lebih empat belas tahun yang berwajah tampan dan berpakaian indah sedang duduk di atas seekor kuda putih, diiringi oleh empat orang pengawal berpakaian sebagai guru-guru silat.

“Kau...?” Goat Lan merasa kenal dengan pemuda bangsawan ini.

Ketika pemuda tanggung itu melompat turun, teringatlah ia bahwa dia adalah Ong Tek, putera Pangeran Ong yang dulu menjadi murid Ban Sai Cinjin dan yang telah ditolongnya dari bahaya maut ketika diserang oleh gurunya sendiri!

“Lihiap, kau hendak ke manakah? Sungguh sangat menggirangkan hati dapat bertemu dengan penolongku yang tidak pernah kulupakan di tempat ini!”

Dengan sikap masih kekanak-kanakan Ong Tek lalu menghampiri Goat Lan dan menjura dengan hormatnya. Cepat Goat Lan membalasnya, karena banyak orang yang melihat mereka dengan mata heran. Siapakah yang tidak merasa heran melihat putera pangeran beramah-tamah dengan seorang gadis biasa?

“Lihiap, marilah kau singgah di rumah orang tuaku, mereka telah merasa rindu dan ingin sekali bertemu dengan penolongku.”

Menghadapi keramahan anak ini, Goat Lan tidak dapat menolak dan dia menganggukkan kepalanya. Ong Tek menjadi girang sekali dan ketika dia melihat Hong Beng dia segera bertanya, “Lihiap, siapakah Twako yang gagah ini?”

“Dia adalah... kawan baikku, dan kedatanganku juga bersama dia.”

Ong Tek yang terpelajar itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Hong Beng yang membalasnya dengan tersenyum. Dia suka juga melihat anak yang sopan dan peramah ini.

“Silakan naik kuda pengawalku!” kata Ong Tek, yang menyuruh dua orang pengawalnya turun dari kuda.

Akan tetapi Goat Lan dan Hong Beng tentu saja menolaknya dan menyatakan lebih baik berjalan kaki. Ong Tek tak dapat memaksa dan dia pun lalu menyuruh para pengawalnya berangkat lebih dulu sambil membawa kudanya, mengabarkan bahwa penolongnya akan datang ke rumahnya. Dia sendiri lalu berjalan kaki bersama dua orang muda itu!

Rumah gedung Pangeran Ong Tiang Houw, ayah Ong Tek, sangat besar dan megah. Pangeran ini cukup berpengaruh, oleh karena dia masih terhitung keluarga dekat dengan Kaisar. Maka ia amat disegani. Akan tetapi oleh karena dia amat setia kepada Kaisar dan tak mau berbaik dengan para pembesar durna, maka diam-diam banyak pembesar yang membencinya.

Ketika Goat Lan dan Hong Beng tiba di gedung itu, mereka merasa amat malu-malu dan sungkan sebab ternyata bahwa Pangeran Ong Tiang Houw beserta isterinya menyambut mereka sendiri sampai di depan pintu, diiringi oleh banyak sekali pelayan dan pengawal!

Begitu berhadapan, ibu Ong Tek lalu maju dan merangkul Goat Lan. Ia menatap wajah pendekar wanita itu dengan kagum, lalu berkata, “Ahhh, melihat kau begini cantik dan lemah-lembut, sukarlah bagiku untuk percaya cerita Tek-ji (Anak Tek) bahwa kau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa yang telah menolong nyawa anakku.”

Dengan muka kemerah-merahan Goat Lan lalu mengucapkan kata-kata merendah. Juga Pangeran Ong menyatakan kegembiraan dan kekagumannya.

“Nona, siapakah sebenarnya namamu? Putera kami sendiri masih tidak tahu siapa nama penolongnya.”

Dengan sikap hormat dan manis Goat Lan segera memperkenalkan namanya dan juga nama Hong Beng. Ketika mendengar bahwa Goat Lan adalah puteri Kwee An dan Hong Beng putera Pendekar Bodoh, Pangeran Ong makin menghormat sikapnya. Kedua orang muda itu lalu diajak masuk ke dalam di mana mereka diterima dengan jamuan makan yang mewah serta percakapan yang amat ramah tamah dan meriah.

Pada saat mereka sedang makan minum sambil bercakap-cakap, ditemani oleh beberapa orang pengawal kepala yang duduk di meja lain, tiba-tiba seorang penjaga pintu datang menghadap Pangeran Ong dengan wajah pucat.

“Taijin, di luar ada utusan dari Hong-siang (Kaisar) yang minta agar Paduka dan tamu Paduka keluar.”

Pangeran Ong mengerutkan kening mendengar ini. Tidak biasa Kaisar mengutus orang pada saat seperti ini, dan sepanjang ingatannya, tidak ada urusan penting di istana. Tapi betapa pun juga, dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan Hong Beng yang mendengar ucapan penjaga itu pun segera bangun berdiri mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan dalam.

Ada pun Goat Lan yang duduk bercakap-cakap dengan Nyonya Ong, hanya memandang ke arah Hong Beng, seakan-akan ia menyatakan sudah cukup diwakili oleh tunangannya itu untuk melihat apakah yang terjadi di luar gedung.

Ketika Pangeran Ong dan Hong Beng tiba di luar, ternyata yang datang adalah Perwira Bu Kwan Ji sendiri, diikuti oleh lima orang perwira lain. Melihat Pangeran Ong, Bu Kwan Ji memberi hormat karena kedudukan Pangeran ini jauh lebih tinggi dari pada kedudukan dia sendiri yang hanya sebagai kepala pengawal raja.

“Mohon dimaafkan bila hamba mengganggu Taijin. Hamba mendapat keterangan bahwa kedua orang muda yang lancang berani memberi obat palsu kepada Pangeran yang sakit sedang berada di gedung Taijin, maka hamba datang hendak menangkap mereka.” Dia memandang ke arah Hong Beng yang berdiri dengan tenangnya.

Pangeran Ong memandang heran. Memang sesungguhnya Hong Beng dan Goat Lan tidak menceritakan kepadanya tentang hal pengobatan itu.

“Bu-ciangkun, apakah kau mengimpi? Memang ada kedua orang tamuku di sini, akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa. Inilah seorang di antaranya, ia adalah putera dari Pendekar Bodoh, apakah ini yang kau maksudkan?”

Bu Kwan Ji tertegun mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Pendekar Bodoh, akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan berkata, “Betul, Taijin. Dia inilah dan seorang gadis telah berani memberi obat palsu kepada Hong-siang dan setelah diberikan kepada Pangeran yang sakit, ternyata obat itu membuat sakitnya lebih berat!”

Hong Beng melangkah maju, “Ciangkun, apakah bicaramu itu boleh dipercaya?”

“Kenapa tidak? Hayo kau menyerah untuk kami tangkap! Kau dan kawanmu telah berani mati mencoba meracuni Pangeran!” Sambil berkata demikian, Bu Kwan Ji bergerak maju diikuti lima orang kawannya. Akan tetapi Hong Beng sudah marah sekali.

“Maaf, Ong-taijin,” katanya kepada Pangeran Ong, “terpaksa hamba akan melayani para perwira kasar ini.” Dia lalu menantang kepada Bu Kwan Ji dengan suara keras. “Perwira she Bu, aku tidak percaya akan semua ucapanmu itu! Jika memang benar kata-katamu, antarkanlah aku dan kawanku ke tempat Pangeran yang sedang sakit berada, agar kami dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”

“Hemm, penjahat muda. Apakah kau hendak datang dan membunuh Pangeran dengan kedua tanganmu sendiri, setelah obat racunmu tidak berhasil membunuhnya?”

Keadaan menjadi tegang dan Pangeran Ong segera berlari masuk sambil berkata, “Baik kupanggil Nona Kwee!” Sementara itu, dua orang pengawalnya berdiri menjaga di pintu, sedangkan Hong Beng berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

Tiba-tiba terdengar suara bergelak dari sebelah belakang para perwira itu dan tahu-tahu seorang kakek tua yang berpakaian mewah dan membawa sebatang huncwe panjang melangkah maju.

“Bu-ciangkun, pemuda ini mengaku sebagai putera Pendekar Bodoh! Ha-ha-ha! Agaknya semua penjahat muda suka menggunakan nama Pendekar Bodoh untuk menakut-nakuti orang. Akan tetapi aku tidak takut! Biarlah aku menolong kalian menangkapnya!”

Orang tua itu bukan lain adalah Ban Sai Cinjin! Walau pun Hong Beng belum pernah melihat sendiri kakek ini, akan tetapi ia telah mendengar dari Goat Lan tentang kakek ini. Pada saat Ban Sai Cinjin mengirim huncwe-nya ke arah Hong Beng, pemuda ini merasa betapa ada angin yang keras menyambar ke arahnya.

Cepat ia mengelak dan kini ia tidak merasa ragu-ragu lagi. Melihat kelihaian sambaran huncwe tadi, ia maklum bahwa tentulah ini orangnya yang pernah bertempur dengan Lili dan Goat Lan.

“Apakah ini yang disebut Huncwe Maut?” katanya mengejek. “Biar kulihat sampai dimana sih kepandaianmu maka kau bisa sejahat itu!”

Ban Sai Cinjin merasa penasaran sekali ketika sambaran huncwe-nya dapat dielakkan dengan secara mudah sekali oleh pemuda itu. Tadinya ia masih memandang rendah dan sama sekali tidak percaya bahwa pemuda ini pun putera Pendekar Bodoh, maka ia lalu maju menyerang dengan cepatnya.

Akan tetapi, akhirnya ia merasa ragu-ragu dan terkejut sekali karena gerakan pemuda itu benar-benar luar biasa sekali. Dengan ilmu ginkang yang ringannya bagai seekor burung walet, pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan huncwe-nya, malah kini membalas dengan serangan pukulan tangan kosong yang luar biasa sekali. Semakin besar rasa terkejutnya pada saat dia mengenal ilmu silat pemuda ini sebagai Ilmu Silat Pat-kwa Ciang-hoat, yaitu satu-satunya ilmu silat di dunia barat yang menjadi kepandaian seorang tokoh besar.

“Eh, dari mana kau mencuri ilmu silat dari Pok Pok Sianjin?” bentaknya sambil mengayun huncwe-nya.

“Tua bangka rendah! Pok Pok Sianjin adalah Suhu-ku, kau mau apa?” maki Hong Beng sambil mempercepat gerakannya.

Pertempuran berjalan ramai sekali dan sungguh pun Hong Beng menghadapinya dengan tangan kosong, akan tetapi dalam beberapa belas jurus ini belum kelihatan pemuda itu terdesak, bahkan ia menggunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya untuk menyambar-nyambar dari atas dan mengirim pukulan dan tendangan ke arah kepala lawannya!

Bukan main terkejut dan marahnya Ban Sai Cinjin. Tadi ia telah menyombong di depan Bu Kwin Ji dan ketiga orang tabib istana untuk menangkap dua orang muda yang hendak mencoba mengobati Pangeran, akan tetapi sekarang baru menghadapi seorang di antara kedua orang muda itu saja, ia tidak dapat menangkapnya, biar pun pemuda itu bertangan kosong!

Ia berseru keras dan dengan cepat ia menjemput tembakau hitam dari kantong tembakau yang tergantung pada huncwe-nya, memasukkan tembakau itu pada kepala huncwe-nya yang masih berapi. Tak lama kemudian mengepullah asap hitam dari huncwe-nya!

Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan putih kemerahan dan tahu-tahu Goat Lan sudah melompat dari dalam dan berdiri di depan kedua orang pengawal Pangeran Ong yang berdiri menjaga di depan pintu masuk. Di belakangnya nampak Ong Tek berlari-lari mengikutinya. Kini keduanya berdiri bengong memandang ke arah mereka yang sedang bertempur.

Ong Tek memandang dengan hati berdebar ngeri ketika mengenal bekas gurunya yang sedang menyerang Hong Beng, ada pun Goat Lan juga merasa heran mengapa kakek ini tiba-tiba saja bisa muncul di tempat itu. Akan tetapi ketika dia melihat huncwe yang telah mengepulkan asap hitam, tak terasa pula ia mendekatkan telunjuknya ke mulut. Hatinya gelisah dan ia memandang dengan hati kuatir sekali akan keselamatan tunangannya.

“Hati-hati, Koko, asap tembakaunya beracun! Biar aku menghadapi pesolek tua bangka ini!” Setelah berkata demikian, dia mencabut sepasang bambu runcingnya dan melompat ke kalangan pertempuran.

Bukan main kagetnya hati Ban Sai Cinjin ketika ia melihat gadis yang pernah mengacau kuilnya dulu. Dia cepat memutar huncwe-nya untuk menangkis bambu runcing yang telah dikenal kelihaiannya itu.

Sungguh sial, pikirnya. Keadaan pemuda itu saja sudah merupakan kesialan baginya, karena tadinya ia tidak percaya bahwa pemuda ini benar-benar putera Pendekar Bodoh dan memiliki ilmu silat sedemikian lihainya, bahkan ternyata masih murid Pok Pok Sianjin pula! Dan sama sekali tidak pernah ia bermimpi bahwa gadis yang membawa obat untuk Pangeran itu adalah Kwee Goat Lan yang lihai!

Menghadapi kedua orang muda ini, dia tidak akan menang, pikirnya. Karena itu, setelah menyemburkan asap hitam tembakaunya, dia lalu melompat mundur dan lari keluar dari tempat itu! Goat Lan memutar sepasang bambu runcingnya untuk memukul buyar asap hitam yang bergumpal-gumpal, sedangkan Hong Beng juga melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya supaya mendatangkan angin mengusir asap berbahaya tadi.

Pada saat keduanya memandang ke depan, ternyata rombongan perwira tadi pun sudah lenyap dari sana! Pangeran Ong Tiang Houw sudah keluar pula dan Pangeran ini marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan berkata dengan gemas,

“Terlalu sekali si Bu Kwan Ji! Aku harus memprotes hal ini di hadapan Kaisar! Perwira itu sudah sepatutnya diganti dengan orang lain! Sungguh kurang ajar, di rumahku dia berani berlagak seperti itu!”

Ada pun Goat Lan merasa marah sekali dan juga mendongkol. “Telah susah payah Suhu mencarikan obat sampai mengorbankan nyawa dan aku melanjutkan usahanya mencari obat itu, tidak tahu hanya begini saja terima kasih orang! Koko, apa gunanya mengobati orang yang tidak tahu terima kasih? Aku mau pulang saja ke Tiang-an!”

Walau pun telah dibujuk oleh Pangeran Ong, Goat Lan tetap tidak mau tinggal lebih lama di gedung Pangeran itu dan bersama Hong Beng lalu keluar dari situ. Akan tetapi Hong Beng berhasil membujuk Goat Lan agar jangan meninggalkan kota raja dulu.

“Moi-moi, hatiku masih merasa amat curiga terhadap Bu Kwan Ji itu! Siapa tahu kalau dia yang main gila dan bukan Kaisar yang menyuruh menangkap kita? Dan siapa tahu pula kalau dia bermain gila dan mengganti obat buah mutiara itu dengan lain buah?”

Terkejut Goat Lan memandang kepada Hong Beng. “Mungkinkah ada orang berpangkat pengawal istana yang menghendaki kematian Pangeran?”

“Siapa tahu?” Hong Beng menggerakkan kedua pundaknya. “Menurut Ayah, di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan-kejahatan yang amat mengerikan. Iblis telah berkuasa di banyak hati manusia. Oleh karena itu, biarlah untuk sementara kita tinggal di hotel dan menanti perkembangan selanjutnya. Kita tidak usah kuatir, meski pun ada Ban Sai Cinjin yang membantu Bu Kwan Ji, kita tak perlu takut!”

Disebutnya nama ini membuat Goat Lan mengerutkan keningnya. “Aku tidak takut pada Huncwe Maut itu, hanya aku merasa heran sekali bagaimana kakek jahat itu bisa sampai ikut campur tangan? Benar-benar aneh!”

Memang ucapan Goat Lan beralasan. Mungkin para pembaca juga merasa heran seperti gadis cantik itu. Bagaimanakah tahu-tahu Ban Sai Cinjin bisa muncul di kota raja dan ikut membantu Bu Kwan Ji melakukan penangkapan?

Setelah rumahnya menderita amukan Lie Siong yang membakar dan membunuh banyak anak buahnya, diam-diam Ban Sai Cinjin menjadi terkejut dan mulai merasa khawatir. Ternyata bahwa keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi ilmu dan juga amat ganasnya.

Memang betul bahwa dia telah berhasil mengundang pembantu-pembantu yang tangguh seperti suheng-nya sendiri Wi Kong Siansu yang ilmu kepandaiannya belum tentu kalah oleh Pendekar Bodoh, juga dia sudah berhasil mengundang Thai-lek Sam-kui, Tiga Iblis Geledek dari Hailun yang juga memiliki ilmu kepandaian yang bisa diandalkan dan hanya sedikit di bawah tingkat Wi Kong Siansu.

Dia lalu mengadakan perundingan dengan suheng-nya dan tiga orang Iblis Geledek itu, bagaimana cara untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh dan keturunannya serta kawan-kawannya.

“Mereka itu terlalu sombong dan mengandalkan kepandaian mereka,” berkata Ban Sai Cinjin, “kalau kita tidak mengambil tindakan, akan hancurlah nama kita! Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh berani sekali membunuhi orang-orangku, tamu-tamuku dan juga membakar rumahku, benar-benar hebat sekali! Ilmu kepandaian Bu Pun Su ternyata telah diwarisi oleh orang-orang muda yang ganas dan kejam!”

Memang mudahlah bagi mulut untuk mengatakan kejam kepada lain orang, sama sekali tidak ingat akan kekekejaman sendiri yang dianggapnya selalu benar!

“Bagaimana pikiranmu kalau aku pergi mengunjungi Pendekar Bodoh untuk menegurnya dan sekalian menyampaikan undangan untuk pibu di puncak Thian-san tahun depan? Wi Kong Siansu tiba-tiba bertanya.

Tentu saja semua orang menyatakan persetujuan. “Akan lebih baik lagi kalau begitu. Kita bisa mempersiapkan diri, dan kalau Suheng bertemu dengan kawan-kawan sehaluan di tengah perjalanan, boleh sekalian minta bantuan mereka.”

Hailun Thai-lek Sam-kui tertawa bergelak-gelak dan saling pandang. “Masih tahun depan? Alangkah lamanya, kami kira sekarang akan diadakan pibu! Ah, kalau begitu biarlah kami bertiga melancong dulu menghibur hati, nanti musim semi tahun depan kami akan datang di Thian-san!” kata Thian-he Te-it Siansu, kakek yang kate gemuk dan selalu membawa payung itu.

Tiga orang ini termasuk orang-orang aneh yang tak dapat dihalangi kehendaknya, maka Ban Sai Cinjin juga tidak bisa mencegah keberangkatan mereka. Ia amat mengharapkan bantuan orang-orang ini dan kalau mereka sudah berjanji akan datang membantu pada nanti tahun depan di puncak Thian-san, tentu mereka tidak akan melanggar janji. Ia lalu memberi bekal banyak uang emas dan barang-barang berharga, yang tentu saja diterima oleh Hailun Thai-lek Sam-kui dengan gembira.

Demikianlah, Wi Kong Siansu dan muridnya, Song Kam Seng, lalu berangkat menuju ke Shaning untuk mencari Pendekar Bodoh dan di tengah perjalanan, yaitu di Lianing, dia bertemu dengan Lili dan Lo Sian seperti sudah dituturkan di depan dan menyampaikan tantangan pibunya melalui gadis puteri Pendekar Bodoh itu.

Setelah Thai-lek Sam-kui pergi, Ban Sai Cinjin yang ditinggal seorang diri merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia lantas memikirkan nasibnya yang seakan-akan dikelilingi oleh lawan-lawan muda yang amat tangguhnya.

Dia tidak merasa gentar, akan tetapi sesunguhnya ada perkara yang lebih penting dan besar dari pada perkara permusuhannya dengan golongan Pendekar Bodoh. Dari para sahabatnya di kota raja, dia mendengar tentang keadaan yang sangat genting di dalam istana. Biar pun dari luar tidak terdengar sesuatu dan rakyat hanya mengetahui bahwa Pangeran Mahkota telah sakit keras sekali, akan tetapi sebetulnya di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan yang hebat!

Ban Sai Cinjin adalah seorang yang mempunyai cita-cita besar. Dia sangat haus akan kedudukan tinggi dan kemewahan hidup, dan keadaannya yang telah kaya raya itu masih belum memuaskan nafsunya. Alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi pembesar tinggi, menjadi bangsawan yang dihormati oleh laksaan orang!

Telah lama ia menjadi sahabat Ang Lok Cu, tosu yang berjuluk Ngo-tok Lo-koai dan yang kini tiba-tiba kejatuhan bintang dan menjadi tabib istana berkat pertolongan Bu Kwan Ji. Ia lalu menghubungi sahabatnya ini dan diperkenalkan kepada Bu Kwan Ji.

Perwira yang cerdik ini sangat gembira dapat berkenalan dengan Ban Sai Cinjin, karena orang macam inilah yang amat dibutuhkan untuk membantunya mencapai cita-cita. Biar pun ketiga orang ahli obat itu merupakan tenaga-tenaga yang cakap, akan tetapi ilmu silat mereka kurang tinggi.

Semenjak perkenalan itu, Ban Sai Cinjin selalu mengadakan hubungan dengan Bu Kwan Ji dan semua kaki tangannya, atau lebih tepat lagi, dengan kaki tangan selir Kaisar yang memiliki cita-cita untuk mengangkat puteranya sendiri menjadi pengganti kaisar!

Persekutuan gelap dibentuk, dan Ban Sai Cinjin sudah menyanggupi untuk menyiapkan pasukan yang kuat dari Mongol apa bila sewaktu-waktu terjadi perang. Muridnya, Bouw Hun Ti yang masih tinggal di rumah lalu melawat ke Mongol dan mengadakan hubungan dengan kepala suku Mongol yang dikenalnya baik, yaitu Malangi Khan.

Kemudian Ban Sai Cinjin teringat kepada bekas muridnya, yaitu Ong Tek. Dia merasa menyesal sekali mengapa ia telah kehilangan Ong Tek, oleh karena ia tahu bahwa ayah Ong Tek, yaitu Pangeran Ong Tiang Houw, adalah seorang pembesar yang amat besar pengaruhnya di dalam istana. Dan sekarang ia justru telah menanam kebencian di dalam hati Ong Tek yang tentu saja sudah menuturkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayahnya!

“Ong Tek merupakan bahaya besar, Suhu,” kata Hok Ti Hwesio, murid satu-satunya yang amat dipercaya oleh Ban Sai Cinjin. “Akan baik sekali kalau Suhu bisa mencari dan membunuhnya agar ia tidak banyak membuka mulutnya memburukkan nama Suhu.”

Demikianlah, dengan hati kesal setelah semua orang pergi, dia kemudian memesan Hok Ti Hwesio agar supaya menjaga kuilnya, kemudian ia lalu berangkat ke kota raja, dengan tujuan utama untuk mengadakan perundingan dengan Bu Kwan Ji tentang perkembangan cita-cita mereka. Ada pun tujuan kedua ialah untuk mencari dan bila mungkin membunuh bekas muridnya, yaitu Ong Tek!

Dan pada saat dia tiba di gedung tempat kediaman Bu Kwan Ji itulah maka kebetulan sekali Bu Kwan Ji sedang menghadapi urusan besar, yaitu datangnya dua orang muda yang mewakili Sin Kong Tianglo membawa obat untuk Pangeran Mahkota yang sedang sakit! Dengan lincahnya, Bu Kwan Ji berunding dengan selir Kaisar yang menyampaikan kepada Kaisar tentang adanya dua orang muda yang mencurigakan dan yang katanya datang membawa obat untuk Pangeran.

“Mereka itu masih muda, mana mungkin memiliki kepandaian tinggi?” Kaisar dibujuk oleh selirnya. “Boleh mencoba obat mereka, akan tetapi lebih baik mereka jangan dibolehkan mendekati Pangeran, siapa tahu kalau mereka itu utusan para pemberontak yang secara diam-diam hendak membunuh Pangeran?”

Bujukan itu termakan oleh Kaisar dan sebagaimana dituturkan di bagian depan, Goat Lan dan Hong Beng tidak diperbolehkan mendekati Pangeran, hanya buah Giok-ko saja yang diterima oleh Kaisar. Mudah sekali diduga bahwa setelah obat itu diberikan kepada tiga orang tabib istana untuk dicobakan kepada Pangeran yang sakit, obat itu sudah dibuang dan diganti dengan obat lain yang tidak ada khasiatnya bahkan yang merusak kesehatan Pangeran yang malang itu.

Kaisar menjadi marah dan menyuruh Bu Kwan Ji pergi mencari serta memanggil kedua orang muda yang telah membawa obat palsu!! Perwira she Bu ini karena merasa kuatir kalau-kalau kedua orang muda itu melawan, kemudian mengajak Ban Sai Cinjin pergi mengunjungi rumah gedung Pangeran Ong.

Sungguh hal yang kebetulan sekali, pikir mereka, karena kedua orang muda itu ternyata kenal baik dengan Pangeran Ong. Kesempatan bagus sekali untuk memfitnah keluarga Pangeran Ong!

Siasat licin dan akal busuk dijalin oleh para pengkhianat itu, dan Hong Beng bersama Goat Lan merasa kuatir, tidak tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya. Mereka tidak tahu bahwa musuh-musuh tersembunyi sedang mengatur siasat yang jahat bagi mereka dan keluarga Pangeran Ong!

Bu Kwan Ji membawa Ban Sai Cinjin menghadap Kaisar. Dengan pandai sekali dia lalu menuturkan bahwa dua orang muda itu telah dilindungi oleh Pangeran Ong Tiang Houw, dan bahkan kedua orang yang berkepandaian tinggi itu melawan ketika akan ditangkap.

“Baiknya ada Losuhu ini yang menolong hamba, kalau tidak, hamba tentu akan binasa oleh mereka,” kata Bu Kwan Ji menutup laporannya.

“Hamba sudah tahu bahwa mereka itu adalah keturunan Pendekar Bodoh, seorang yang terkenal sebagai pemberontak di masa pemerintahan ayah Paduka,” kata Ban Sai Cinjin kepada Kaisar. “Agaknya Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya masih saja mempunyai keinginan untuk memberontak dan bersekutu dengan para bangsawan yang memiliki hati khianat!”

Bukan main marahnya Kaisar mendengar ucapan-ucapan yang menghasut ini.

“Bagaimana mungkin?” katanya ragu-ragu. “Ong Tiang Houw adalah seorang pembesar yang setia, bahkan masih terhitung keluarga istana! Agaknya tak mungkin ia memiliki hati khianat dan mengadakan perhubungan dengan segala pemberontak dan penjahat.

“Hamba tidak berani menuduh,” kata Bu Kwan Ji, “hanya akan lebih aman dan baik sekali apa bila Pangeran Ong dipanggil untuk memberikan keterangan.”

“Baik, kau pergi dan panggil dia datang, juga seluruh keluarganya!” bentak Kaisar. “Dan Losuhu ini, siapakah namanya?”

“Hamba disebut orang Ban Sai Cinjin, seorang hamba sahaya biasa saja yang bersedia mengorbankan tenaga dan nyawa untuk negara.”

“Bagus, kau bantulah Bu Kwan Ji, nanti akan kupikirkan kedudukan yang sesuai dengan jasamu!”

Bukan main girangnya hati Ban Sai Cinjin mendengar ucapan Kaisar ini. Dia kemudian mengundurkan diri untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar. Untuk kali ini, Bu Kwan Ji menerima surat kuasa yang berupa bendera lengki (bendera tanda pesuruh kaisar).

Dengan lengki di tangan, maka mudah saja bagi Bu Kwan Ji membawa Pangeran Ong sekeluarganya, menggiring mereka semua ke tahanan, sambil menanti perintah Kaisar untuk memeriksa mereka. Suara tangis riuh-rendah memenuhi tempat tahanan, namun Pangeran Ong Tiang Houw dengan tenang berkata,

“Tak usah menangis! Kita telah difitnah orang, akan tetapi mengapa gelisah? Tunggulah sampai aku dapat bertemu dengan Kaisar, tentu aku akan sanggup menyadarkan Kaisar yang agaknya dihasut oleh mulut jahat!”

********************

Alangkah terkejutnya hati Hong Beng dan Goat Lan pada saat mereka mendengar dari pelayan hotel bahwa keluarga Pangeran Ong sudah ditangkap oleh perwira-perwira dari istana! Hal ini adalah sebuah hal yang aneh dan mengejutkan orang, maka tentu saja berita ini tersiar dengan cepatnya hingga pelayan itu pun mendengar lalu menyampaikan kepada semua tamu hotel.

“Sungguh aneh, agaknya dunia akan kiamat!” pelayan yang doyan cerita itu menutup penuturannya. “Pangeran Ong adalah seorang yang sangat berpengaruh dan ditakuti, ia selalu dekat dengan Hong-siang karena kabarnya ia merupakan saudara dari Hong-houw (Permaisuri). Akan tetapi siapa yang tahu akan nasib orang? Ah, kasihan, Pangeran Ong sekeluarga terkenal sangat dermawan dan budiman. Apa lagi puteranya, Ong Kongcu yang suka sekali datang ke sini dan bercakap-cakap dengan semua orang. Dia sangat peramah dan tidak sombong, naik kuda mengelilingi kota, bergaul dengan semua orang, tidak seperti putera-putera bangsawan lain yang besar kepala dan...”

Baru sampai di situ kata-katanya, tiba-tiba saja dia menutup mulut dan wajahnya menjadi pucat. Serombongan perwira berbaris menuju ke hotel itu dengan sikap amat galak dan mengancam! Ributlah semua orang dan semua tamu langsung bersembunyi di kamar masing-masing. Dengan kaki gemetar pelayan itu pun terpaksa menuju ke pintu bersama pelayan-pelayan lain mengiringi pengurus hotel menyambut barisan itu.

“Pelayan itu terlampau lancang mulut, tentu dia akan ditangkap!” terdengar seorang tamu berkata perlahan.

Akan tetapi Hong Beng dan Goat Lan berpikir lain. Mereka saling pandang dan cepat masuk ke kamar masing-masing. Sekejap kemudian mereka telah keluar pula dan sudah menggendong semua barang-barang mereka, siap untuk meninggalkan tempat itu!

Benar saja dugaan mereka, begitu mereka keluar dari kamar, pengurus hotel dan para pelayan yang agaknya bercakap-cakap dengan para perwira, kemudian menudingkan jari mereka ke arah Hong Beng dan Goat Lan. Tiba-tiba Bu Kwan Ji dan perwira-perwira kelas satu dari istana maju menyerbu dan mengurung kedua orang muda itu!

Goat Lan memandang kepada kedua orang hwesio yang seperti sudah dikenalnya itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu dengan mereka. Dia tidak diberi kesempatan untuk mengingat-ingat hal itu, karena mereka telah mengeroyok.

Kepandaian mereka ternyata tidak boleh dipandang ringan. Ban Sai Cinjin sendiri sudah amat tangguh, juga dua orang hwesio dan tosu itu merupakan tandingan-tandingan yang tidak boleh dibuat main-main. Bu Kwan Ji dan tujuh orang perwira kelas satu dari istana yang sudah menjadi kaki tangannya juga memiliki kepandaian yang cukup hebat, maka Goat Lan dan Hong Beng cepat mencabut senjata mereka. Hong Beng mengeluarkan tongkat hitamnya, yaitu tongkat tanda pangkat sebagai ketua Hek-tung Kai-pang, ada pun Goat Lan lalu mencabut sepasang bambu runcingnya.

Tempat di mana mereka bertempur itu sangat sempit, maka Hong Beng lalu berseru, “Hayo kita keluar!”

Goat Lan mengerti maksud tunangannya, maka dia lalu menerjang pengeroyoknya dan merobohkan seorang perwira. Demikian pula Hong Beng berhasil mengemplang kepala seorang perwira dan bersama Goat Lan cepat melompat ke halaman hotel. Di sini tempatnya lebih luas sehingga mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik.

Akan tetapi baru saja kaki mereka menginjak halaman hotel, mendadak puluhan batang anak panah menyambar dari luar. Cepat mereka menggerakkan senjata dan memutarnya melindungi tubuh. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang banyak sekali jumlahnya!

Jalan keluar tidak ada lagi dan terpaksa Hong Beng dan Goat Lan lalu menghadapi lagi serbuan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang sudah mengejar pula sampai di situ. Hal ini menguntungkan bagi kedua orang muda itu karena dengan adanya keroyokan para perwira, maka pasukan pemanah itu tak berani menggunakan anak panah mereka lagi.

Pertempuran berjalan seru sekali. Yang sangat mendesak adalah Ban Sai Cinjin. Kali ini karena banyak kawannya, Ban Sai Cinjin bertempur dengan semangat besar sehingga huncwe-nya benar-benar merupakan senjata maut bagi Hong Beng dan Goat Lan. Sekali saja mereka terkena pukulan huncwe yang selalu ditujukan ke arah kepala mereka, akan celakalah mereka.....

Pada waktu kedua orang muda itu terpaksa hendak mempergunakan tangan besi dan membunuh para pengeroyoknya untuk dapat mencari jalan keluar, mendadak terdengar sorak-sorai dan lapat-lapat terdengar oleh Hong Beng dan Goat Lan.

“Bantu pangcu kita...!”

Keadaan pasukan yang tadinya mengurung tempat itu, tiba-tiba saja menjadi heboh dan geger. Ternyata mereka secara tiba-tiba telah diserang dari belakang oleh serombongan pengemis bertongkat hitam!

Ternyata bahwa tadi ketika Hong Beng melompat keluar dari dalam hotel dan dikeroyok oleh para perwira, ada beberapa orang anggota Hek-tung Kai-pang berada di luar hotel itu. Melihat betapa pemuda gagah itu bersenjatakan tongkat hitam yang mereka kenal sebagai tongkat pusaka dari Hek-tung Kai-pang, maka tahulah mereka bahwa pemuda ini tentulah pangcu yang baru seperti sudah mereka dengar dari para pemimpin cabang mereka.

Atas bunyi siulan rahasia mereka, dalam waktu sebentar saja datanglah berpuluh-puluh pengemis anggota Hek-tung Kai-pang, bahkan pemimpin-pemimpin yang berkedudukan di kota raja secara sembunyi-sembunyi juga muncul kemudian melakukan pengeroyokan terhadap para tentara kerajaan yang mengurung itu!

Hong Beng merasa girang sekali. Bersama Goat Lan ia lalu melompat jauh dan mencari jalan keluar dari tempat di mana para pengemis tongkat hitam itu menyerbu. Sambil memutar tongkat hitamnya dan merobohkan beberapa belas tentara yang mengeroyok, ia berseru,

“Aku pergi, lekas kalian mencari jalan aman!” Setelah berkata demikian, ia dan Goat Lan melompat ke atas genteng dan melenyapkan diri di balik wuwungan rumah-rumah yang tinggi.

Kawanan jembel yang setia itu lalu juga ikut melarikan diri ke sana ke mari, memecah rombongan sehingga sukarlah bagi barisan kerajaan untuk mengejar mereka. Juga tidak ada perintah mengejar para pengemis itu, sebaliknya Bu Kwan Ji hanya berteriak-teriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar dua orang muda tadi!

Akan tetapi kemanakah mereka harus mengejar? Dua orang muda itu melompat ke atas genteng bagaikan dua ekor burung walet saja, dan biar pun para perwira mengikuti Ban Sai Cinjin mengejar, akan tetap mereka ini lantas tertinggal jauh oleh Ban Sai Cinjin yang gerakannya cepat sekali.

Setelah mengejar agak jauh dan mendapatkan dirinya hanya sendiri saja, Ban Sai Cinjin menjadi gentar. Kalau hanya seorang diri, andai kata dia dapat menyusul, bagaimana dia akan mampu menangkap kedua orang muda yang lihai itu? Terpaksa dia pun menunda kejarannya dan membiarkan kedua orang muda itu melarikan diri dengan cepat.

“Tutup semua pintu gerbang! Perkuat penjagaan! Jangan biarkan mereka lolos dari kota!” seru Bu Kwan Ji dengan marah sekali. Di dalam kemarahannya terhadap Hong Beng dan Goat Lan, perwira ini sampai lupa kepada para pengemis tongkat hitam yang tadi sudah menolong kedua orang muda itu!

Hong Beng dan Goat Lan lari terus sampai di ujung kota yang sunyi.

“Mari ikut aku!” gadis itu mengajak tunangannya dengan suara tegas.

“Ke mana, Moi-moi?” tanya Hong Beng.

“Ke istana, mencari Pangeran Mahkota!”

Hong Beng mempunyai pikiran yang cerdas dan mudah menangkap maksud kata-kata orang, maka dia diam saja dan keduanya lalu berlari menuju ke istana yang megah itu. Untung bagi mereka bahwa semua penjagaan dikerahkan untuk menjaga seluruh pintu gerbang dan merondai dinding kota sebagaimana yang diperintahkan oleh Bu Kwan Ji, sehingga di dalam kotanya sendiri hanya ada beberapa orang perwira saja melakukan penggeledahan di sana-sini. Senja hari telah mendatang dan keadaan telah hampir gelap ketika keduanya telah tiba di dekat dinding tinggi yang mengelilingi istana kaisar.

Tidak mudah bagi kedua orang muda itu untuk dapat memasuki istana dan melalui dinding yang tinggi sekali itu. Untuk masuk lewat depan tidak mungkin sekali dan masuk dengan jalan melompati dinding yang begitu tinggi, juga sukar.

Mereka berjalan ke sana ke mari mencari dinding yang agak rendah, akan tetapi sia-sia belaka. Ada beberapa batang pohon yang cukup tinggi untuk menjadi jembatan, akan tetapi pohon-pohon ini letaknya jauh dari dinding, sehingga melompat dari pohon ke atas dinding, bahkan lebih sukar dari pada melompat dari atas tanah.

Mereka duduk di bawah dinding dengan hati kecewa, keduanya tak mengeluarkan suara dan termenung memutar otak. Tiba-tiba Hong Beng berkata girang,

“Ahh, aku mendapat akal, Lan-moi! Kau tentu akan dapat masuk ke dalam dengan cara melompat ke atas dinding.”

“Bagaimana aku dapat melompati dinding setinggi itu, Koko?”

“Kau melompat lebih dulu dan aku akan mendorongmu dari bawah! Dengan meminjam tenaga dan tanganku, bukankah kau akan dapat melompat lagi ke atas?”

Untuk sesaat Goat Lan memandang kepada tunangannya dengan sepasang matanya yang seperti mata burung Hong itu, kemudian wajahnya berseri girang.

“Ahh, benar juga kata-katamu, Koko. Mengapa aku tidak dapat berpikir sampai di situ?”

Tiba-tiba Hong Beng mengerutkan keningnya. “Sayangnya, hanya kau saja yang dapat masuk ke dalam istana untuk mencari Pangeran dan mengobatinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram apa bila membiarkan kau masuk seorang diri ke tempat berbahaya itu? Dengan menanti kembalimu di luar dinding ini aku akan merasa seakan-akan berdiri di atas besi panas!”

Kini Goat Lan yang berkata dengan gembira, “Mengapa susah-susah? Pohon itu dapat menolongmu!”

Giliran Hong Beng yang sekarang memandang kepada tunangannya dengan mata bodoh karena sungguh-sungguh dia tidak mengerti apa maksud gadis itu.

“Pohon itu letaknya terlalu jauh dari dinding, bagaimana pohon itu bisa menolongku?”

“Koko, apa kau tidak ingat kepada cabangnya yang panjang?” seru gadis itu yang segera melompat ke arah pohon besar dan kemudian ia melompat ke atas, memilih cabang yang panjang dan kuat. Dengan sekali renggut saja maka patahlah cabang itu yang segera dibersihkan daun-daunnya sehingga merupakan sebatang tongkat panjang.

“Nah, bila mana aku sudah berhasil sampai di atas, kau lemparkan tongkat ini kepadaku. Kemudian kau melompat dan kuterima dengan tongkat ini, bukankah beres?”

Girang sekali hati Hong Beng. Ia menangkap tangan Goat Lan sambil memuji, “Moi-moi, kau benar-benar hebat! Kau cerdik sekali dan... dan... cantik manis!”

“Hushh, bukan waktunya untuk bersenda gurau, Koko!” kata Goat Lan merengut sambil mencubit lengan pemuda itu, akan tetapi kedua matanya bersinar bangga dan kerlingnya menyambar hati Hong Beng, menyuburkan cinta kasih yang sudah berakar di dalam hati pemuda itu.

“Nah, sekarang melompatlah, Moi-moi. Melompatlah dengan lurus ke atas, dekat dinding, kemudian tarik kakimu ke atas sehingga kalau aku sudah menyusul di bawahmu, kau dapat mengenjotkan kakimu di atas tanganku!”

Goat Lan mengangguk maklum, kemudian membereskan pakaiannya, mengikat erat tali pinggangnya dan juga membereskan letak buntalan pakaian dan obat yang berada pada punggungnya.

“Siap, Koko!” kata gadis itu sambil menghampiri dinding.

Hong Beng berdiri di belakangnya dan ketika gadis itu melompat ke atas, dia pun cepat menyusul di bawahnya! Keduanya mempergunakan gerak lompat Pek-liong Seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit).

Tubuh Goat Lan yang ringan itu meluncur pesat ke atas dan ketika dia merasa bahwa tenaga luncurannya sudah hampir habis, dia lalu menarik kedua kakinya ke atas. Tepat pada saat melayang turun kembali, dia merasa betapa kedua tangan Hong Beng yang kuat telah menyangga sepasang telapak kakinya.

Goat Lan diam-diam memuji tunangannya ini karena dengan gerakan ini ternyata bahwa tenaga lompatan Hong Beng masih menang sedikit kalau dibandingkan dengan tenaga loncatannya. Karena kini sudah mendapat tempat untuk sepasang kakinya, Goat Lan lalu mengenjot lagi ke atas dan tubuhnya melayang makin tinggi sehingga ia dapat mencapai dinding itu.

Tangannya menyambar pinggiran dinding dan sekali ia mengayun tubuh ke atas, ia telah berada di atas dinding yang tinggi itu! Dia memandang ke sebelah dalam dan untung sekali bahwa mereka tiba di dinding yang menutupi sebuah taman bunga yang sangat indahnya sehingga gadis ini menjadi takjub melihat sedemikian banyaknya pohon-pohon bunga yang menyerbakkan keharuman.

Sayang bahwa keadaan sudah agak gelap hingga ia tidak dapat menikmati tata warna yang luar biasa dari taman bunga itu. Saking kagumnya, Goat Lan sampai lupa kepada Hong Beng. Ia terkejut ketika mendengar seruan Hong Beng, “Moi-moi, terimalah tongkat ini!”

Cepat dia memutar tubuhnya dan menghadap keluar lagi. Dinding itu tebal sekali, lebar permukaan dinding yang diinjaknya lebih dari dua kaki, sehingga ia boleh berdiri dengan enak dan tetap di atas dinding itu.

Hong Beng melempar tongkat panjang ke atas yang diterima oleh Goat Lan dengan mudahnya. Ketika gadis itu duduk di atas tembok, tangan kiri merangkul tembok dan tangan kanan memegang ujung tongkat yang diulurkan ke bawah maka ujung tongkat di bawah telah mencapai tempat yang cukup rendah bagi Hong Beng untuk melompat dan menangkapnya. Akan tetapi pemuda ini masih berkuatir kalau-kalau Goat Lan tidak akan kuat menahan berat tubuhnya dengan tongkat itu, maka sebelum meloncat ia berseru,

“Moi-moi, kalau nanti terlalu berat bagimu, kau lepaskan saja tongkat itu, jangan sampai kau ikut jatuh ke bawah!”

“Kau kira aku ini orang macam apa?” bantah Goat Lan berpura-pura marah, akan tetapi suaranya terdengar bersungguh-sungguh. “Kalau kau jatuh, aku pun ikut jatuh pula!”

“Eh, eh, jangan begitu, Lan-moi. Kalau kau lepaskan tongkat itu, jatuhku tidak dari tempat terlalu tinggi dan paling-paling aku hanya akan lecet-lecet saja. Akan tetapi kau... dari tempat begitu tinggi!”

“Aku juga tak akan mati jatuh dari tempat setinggi ini!”

Hong Beng menjadi bingung. Dia ragu-ragu untuk melompat, karena dia maklum bahwa gadis itu betul-betul takkan membiarkan ia jatuh sendiri! Tiba-tiba pemuda itu lalu berlari ke tempat di mana terdapat pohon besar tadi.

Goat Lan memandang heran, akan tetapi ia melihat pemuda itu telah melompat naik ke atas pohon dan menggunakan pedangnya untuk membabat putus sebatang cabang yang panjang. Ketika Hong Beng sudah tiba di tempat tadi, tahulah Goat Lan bahwa pemuda itu telah mengambil dan membuat sebatang tongkat seperti tadi panjangnya, hanya saja kini tongkat ini ujungnya ada kaitannya. Pemuda yang cerdik ini telah mengambil cabang yang ada kaitannya dan kemudian ia berkata,

“Moi-moi, taruh saja tongkat itu di atas dinding, dan kau pakailah tongkat yang ini!” Ia melontarkan tongkat baru ini ke atas yang disambut dengan mudahnya oleh Goat Lan.

Gadis ini menjadi girang sekali, karena tentu saja dengan tongkat ini, dia tak usah kuatir tunangannya akan jatuh kembali karena dia tidak kuat menahan berat tubuhnya. Dia lalu memasang kaitan tongkat itu pada dinding, dan memegang kaitan itu menjaga jangan sampai kaitannya terlepas.

“Lompatlah, Koko!” teriaknya ke bawah.

Hong Beng mengumpulkan tenaga pada kakinya, kemudian mengenjot tubuhnya ke atas. Ketika tangannya dapat mencapai ujung tongkat yang tergantung di bawah, ia menangkap tongkat itu dan dengan cekatan sekali dia lalu naik ke atas, merayap melalui tongkat. Setelah tiba di atas dinding, ia mengomel kepada tunangannya,

“Lan-moi, lain kali jangan kau main nekad begitu. Kalau aku tidak mendapat akal ini, aku tak akan berani melompat naik dan membiarkan kau jatuh ke bawah.”

Goat Lan tersenyum manis, kemudian teringat akan tugasnya lagi.

“Mari kita turun ke dalam,” katanya, “baiknya ada dua buah tongkat ini yang akan dapat membantu kita.”

Gadis yang berani itu lalu melompat turun lebih dulu dengan tongkat yang dipegangnya merupakan pembantu yang amat berguna. Sebelum tubuhnya tiba di tanah, ia lebih dulu menancapkan tongkat itu sehingga dapat menahan tenaga luncurannya. Setelah tenaga luncuran itu habis, dia baru melompat ke bawah dengan ringannya. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.

Hong Beng segera meniru gerakan kekasihnya ini dan kini mereka berdua telah berada di dalam taman.

“Aduh indahnya kembang ini...,” kata Goat Lan sambil menghampiri sekelompok bunga seruni kuning yang amat indah. Gadis ini bagaikan seekor kupu-kupu. Dengan lincah dan gembira dia berlari-larian dari satu ke lain bunga, riang gembira seperti anak-anak.

“Lan-moi, apakah kita masuk ke sini hanya untuk bermain-main di taman bunga ini?” tanya Hong Beng menegur tunangannya dengan pandang mata kagum karena sungguh cocok sekali bagi seorang gadis cantik berada di taman indah penuh kembang.

“Koko, bunga ini cocok sekali untukmu!” Goat Lan seakan-akan tidak mendengar ucapan Hong Beng.

Ia memetik setangkai bunga seruni dan membawa bunga itu kepada Hong Beng. Dengan sikap yang menyayang ia lalu memasukkan tangkai kembang itu ke lubang kancing pada dada Hong Beng.

Terharu juga hati pemuda ini melihat kelembutan tunangannya. Ia meremas tangan Goat Lan, kemudian tanpa berkata-kata dia lalu memetik pula setangkai seruni merah yang ditancapkannya di atas rambut kekasihnya.

“Hayo kita mencari Pangeran,” katanya kemudian.

Ucapan ini mengusir hikmat taman bunga dan kasih sayang mesra. Keduanya segera berjalan dengan hati-hati sekali sampai ke ujung taman bunga di mana terdapat sebuah pintu. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang bercakap-cakap di belakang pintu itu.

Ketika mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan tahu bahwa yang bercakap cakap itu hanyalah dua orang penjaga pintu belakang, cepat kedua orang muda perkasa ini lalu membuka pintu dengan tiba-tiba. Dua orang penjaga yang memandang dengan celangap itu tidak diberi kesempatan membuka suara. Begitu tangan Goat Lan dan Hong Beng bergerak, keduanya telah kena ditotok sehingga menjadi kaku tak dapat bergerak mau pun bersuara lagi.

Hong Beng mencabut tongkatnya. Sesudah membebaskan salah seorang penjaga dari totokannya, dia menempelkan ujung tongkat pada leher orang itu sambil berkata,

“Hayo katakan terus terang di mana kamar Pangeran Mahkota!”

Penjaga itu biar pun tubuhnya menggigil, mukanya pucat, dan bibirnya gemetar namun ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, tidak! Kami telah banyak menerima budi Hong-siang (Kaisar), dan Putera Mahkota amat budiman. Biar pun aku akan kau bunuh, aku tidak akan mengkhianati Putera Mahkola! Kau tidak boleh membunuhnya!”

Tersenyum Hong Beng mendengar ini. Dia suka dan kagum melihat kesetiaan penjaga pintu, pegawai rendah ini. Tiba-tiba dia mendapat pikiran yang baik sekali.

“Dengar, sahabat. Kami berdua datang sama sekali bukan membawa niat jahat. Kami datang hendak mengobati Putera Mahkota, akan tetapi kami niat kami dihalang-halangi oleh Bu Kwan Ji si jahanam. Maukah kau membantu kami menolong pangeranmu itu?”

Penjaga itu memandang kepada Hong Beng dengan curiga. “Siapa tahu betul tidaknya bicaramu ini?” tanyanya.

Goat Lan turun tangan dan berkata, “Dengarlah, Lopek (Uwa). Aku adalah murid dari Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan aku benar-benar datang hendak menolong Pangeran Mahkota. Kau percayalah dan tunjukkan kepadaku di mana tempat Pangeran itu.”

Melihat Goat Lan, maka lenyaplah kecurigaan penjaga itu. Gadis secantik dan seramah ini dengan sepasang mata yang indah dan halus itu tak mungkin jahat.

“Baiklah, aku akan membantumu. Kalau aku salah duga dan ternyata kau datang hendak melakukan kejahatan, biarlah kelak nyawaku akan menjadi setan yang selalu mengejar-ngejarmu! Pada waktu ini, Pangeran Mahkota berada di ruangan belakang, tidak jauh dari sini. Baiknya tiga orang tabib yang biasa selalu menjaganya kini tengah keluar, kabarnya untuk menangkap pemberontak-pemeberontak! Yang menjaga hanyalah inang pengasuh dan para pelayan saja. Mari kalian ikut padaku!”

Penjaga yang seorang lagi tidak dibebaskan dari totokan, bahkan Hong Beng kemudian melepaskan ikat pinggang orang itu dan mengikat kedua tangannya agar jangan sampai terlepas dan menimbulkan ribut. Ketiganya lalu berjalan ke sebelah dalam dan tidak lama kemudian mereka tiba di ruang yang dimaksudkan.

Di sana terdapat lima orang pelayan wanita, dua orang pelayan banci (thai-kam) serta empat orang penjaga yang kokoh kuat tubuhnya. Alangkah kaget semua orang ini ketika melihat penjaga itu masuk bersama dua orang muda yang elok. Empat orang penjaga itu cepat melompat menghampiri mereka dengan golok di tangan.

“Siapa kalian dan perlu apa masuk tanpa dipanggil?” bentak seorang di antara mereka.

“Kami datang hendak mengobati Pangeran!” kata Hong Beng.

“Tak seorang pun boleh mengobati Pangeran di luar tahunya ketiga tabib istana! Kalian orang-orang jahat harus ditangkap!”

Hong Beng dapat menduga bahwa empat orang penjaga ini pun tentulah kaki tangan Bu Kwan Ji, maka ia memberi tanda kepada Goat Lan. Pada saat tubuh kedua orang muda perkasa ini berkelebat dan kedua tangannya bergerak, keempat orang penjaga itu roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi! Tentu saja dua orang thaikam dan kelima orang pelayan wanita itu menjadi ketakutan dan berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

“Kami datang bukan dengan niat jahat,” kata Hong Beng. “Kami datang untuk mengobati Pangeran! Akan tetapi, siapa saja yang berani menghalangi kami pasti akan kuhancurkan kepalanya!” Sambil berkata demikian, Hong Beng lalu mencabut tongkatnya yang hitam mengkilap sehingga mereka semua menjadi takut.

“Siapakah yang membuat ribut-ribut itu?” tiba-tiba terdengar suara yang halus dan lemah.

Goat Lan cepat menengok ke arah suara itu, maka terlihatlah pangeran Mahkota yang sedang berbaring di tempat tidurnya yang indah. Pangeran ini masih muda sekali, paling banyak baru empat belas tahun, tubuhnya amat kurus dan wajahnya pucat sekali.

Goat Lan melompat dan berlutut di depan Pangeran yang sekarang sudah duduk di atas pembaringannya itu.

“Hamba Kwee Goat Lan, murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Hamba datang hendak melanjutkan usaha mendiang Suhu untuk mencoba mengobati Paduka.”

Pangeran kecil itu membuka kedua matanya lebar-lebar. “Bukankah kau yang kemarin dinyatakan hendak meracuniku? Obat apa yang kau kirim ke sini itu? Rasanya pahit dan masam! Membuat perutku muak!”

Goat Lan bangkit berdiri. “Paduka telah ditipu. Orang-orang jahat mengelilingi tempat ini. Yang diberikan bukan obat dari hamba, akan tetapi sudah ditukar dengan obat lain yang jahat!” Dia cepat mengeluarkan buah Giok-ko dan memperlihatkannya kepada Pangeran itu. “Buah inilah yang kemarin hamba persembahkan kepada Hong-siang, apakah ini pula yang Paduka makan?”

Pangeran itu menerima buah yang berkilauan bagaikan mutiara itu dengan kagum dan heran. “Bukan, bukan ini, akan tetapi buah hijau yang baunya tidak enak. Buah ini wangi sekali.”

“Nah, silakan Paduka makan buah ini, dan demi Thian Yang Maha Adil, kalau Paduka percaya, penyakit Paduka pasti akan lenyap!”

Pangeran itu memandang kepada Goat Lan sampai lama, kemudian ia tersenyum lemah dan berkata, “Kau cantik dan gagah, aku percaya kepadamu!” Dan ia lalu makan buah itu. Baru saja satu gigitan, ia berseru girang, “Manis dan wangi sekali!” Sebentar saja habislah buah itu semua.

“Kalau masih ada, aku ingin makan lagi!” Sambil berkata demikian dengan tangan kanan, Pangeran itu menutup mulut menahan kuapnya, karena ia tiba-tiba merasa mengantuk sekali.

“Sekarang harap Paduka suka beristirahat, karena baru besok pagi Paduka boleh makan sebuah lagi,” kata Goat Lan.

Akan tetapi Pangeran itu telah merebahkan diri dan sebentar saja ia tertidur pulas terkena pengaruh Giok-ko yang sangat manjur itu. Goat Lan segera menyuruh seorang pelayan menyediakan perabot untuk memasak daun To-hio sebagaimana yang telah dipesankan oleh Thian Kek Hwesio.

Pada saat Goat Lan sedang sibuk memasak obat itu, tiba-tiba saja Hong Beng berseru terkejut, “Celaka, Hong-siang bersama para pengiringnya sedang menuju ke sini!”

Memang sudah menjadi kebiasaan Kaisar untuk menengok keadaan putera yang tercinta itu sebelum tidur. Seperti biasa, malam hari itu Kaisar juga datang diantar oleh lima orang pengawal pribadinya!

Hong Beng yang menjaga pintu menjadi bingung, namun Goat Lan lalu berkata, “Koko, kurasa lebih baik lagi apa bila Hong-siang berada di dalam kamar ini untuk menyaksikan bagaimana kita menolong puteranya!”

Hong Beng memutar otak dan cepat dia berkata kepada semua pelayan di situ, “Awas, semua orang tidak boleh membikin ribut. Diam-diam saja seperti tak terjadi sesuatu apa pun sehingga Hong-siang tidak akan kaget dan curiga. Kalian telah melihat sendiri bahwa kami benar-benar hendak mengobati Pangeran, dan seperti kataku tadi, siapa saja yang akan menghalangiku, akan kuhancurkan kepalanya!”

Pemuda itu lalu bersembunyi di balik daun pintu, menanti masuknya Kaisar, sedangkan Goat Lan tetap memasak obat tanpa mempedulikan keadaan di luar kamar.

Untung sekali bagi kedua orang muda itu bahwa tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam kamar pangeran. Maka ketika tiba di luar pintu, hanya Kaisar sendiri yang masuk ke dalam, sedangkan lima bayangkari menjaga di luar pintu itu dengan golok di tangan! Kaisar masuk dengan wajah muram karena ia memikirkan keadaan puteranya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis yang tak dikenalnya sedang memasak obat.

“Siapa kau?” tanyanya.

Goat Lan menengok dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. “Hamba akan menerima hukuman dari kelancangan hamba masuk ke tempat ini, akan tetapi mohon diberi kesempatan lebih dulu untuk menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!”

Ketika melihat wajah gadis ini, Kaisar menjadi makin terkejut.

“Bukankah kau yang mengaku murid Yok-ong dan yang sudah mencoba untuk meracuni puteraku?”

Cepat Kaisar menengok untuk memanggil penjaga dan bayangkari, akan tetapi ia makin pucat ketika melihat bahwa pintu telah ditutup dan kini seorang pemuda yang dikenalnya sebagai kawan gadis ini, kini telah berdiri dengan gagahnya di tengah pintu itu, menjaga dengan tongkat di tangan. Ketika dia melirik ke kiri, di sudut rebah empat orang penjaga pangeran dalam keadaan lemas tak berdaya.

“Hemm, jadi kalian berdua ini benar-benar putera-putera Pendekar Bodoh yang hendak memberontak? Apakah kehendak kalian sekarang? Mau membunuh puteraku atau aku? Kalian kira mudah saja melakukan hal itu?”

Akan tetapi, walau pun masih memegang tongkatnya, Hong Beng lalu menjatuhkan diri berlutut di tempat penjagaannya.

“Ayah hamba, Pendekar Bodoh, tidak pernah menjadi pemberontak, dan demikian pula hamba berdua. Sesungguhnya hamba datang hanya hendak mengobati Putera Mahkota, bukan mengandung niat jahat. Mohon Hong-siang sudi mempertimbangkan dan memberi ampun.”

“Buah obat yang kalian berikan kemarin telah dimakan oleh puteraku, akan tetapi bahkan menambah penyakitnya. Bukankah itu bukti yang nyata?”

“Maafkan hamba,” kata Goat Lan. “Itulah sebabnya mengapa hamba berdua terpaksa mengambil jalan masuk secara lancang ini. Buah dari hamba itu telah ditukar orang dan yang diberikan kepada Pangeran adalah buah yang berbahaya. Baru tadi putera Paduka telah makan sebutir buah dari hamba dan sekarang telah dapat tidur nyenyak.”

“Hamba berdua meminta waktu sampai tiga hari, dan sebelum lewat tiga hari, terpaksa hamba berlaku kurang ajar dan menahan Paduka di kamar ini! Hal ini terpaksa hamba lakukan untuk mencegah gangguan dari tiga tabib durjana, pengkhianat Bu Kwan Ji, dan Huncwe Maut Ban Sai Cinjin yang amat jahat dan berbahaya.” Hong Beng menyambung kata-kata Goat Lan.

Kaisar memandang dari Goat Lan ke Hong Beng berganti-ganti, kemudian ia tersenyum.

“Baiklah, kuberi waktu tiga hari, akan tetapi bila mana di dalam waktu itu ternyata kalian membohong, awaslah, jangan kau berani main-main dengan Kaisar!” Sesudah berkata demikian, Kaisar lalu menghampiri puteranya yang sedang tidur nyenyak dengan napas teratur dan tenang.

“Lucu... lucu... !” kata Kaisar setelah menghampiri kembali Goat Lan dan Hong Beng, lalu duduk di atas sebuah kursi gading. “Baru kali ini selama hidupku aku mengalami ditahan oleh orang luar, orang biasa. Ha-ha-ha! Benar-benar menggembirakan dan mendebarkan hati! Aku ingin sekali mengetahui bagaimana perkembangan selanjutnya dari peristiwa aneh ini!”

Akan tetapi, karena hari sudah malam dan Kaisar itu merasa mengantuk sekali, dia lalu pergi tidur di atas sebuah pembaringan biasa yang berada di tempat itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita itu dengan penuh penghormatan.

“Koko, aku sekarang teringat bahwa hwesio-hwesio yang ikut Bu-ciangkun menyerbu kita di hotel, adalah hwesio yang datang menyerang kita pada malam hari kemarin dulu!”

Hong Beng mengangguk-angguk. “Sekarang mulai terang bagiku. Sudah jelas bahwa tabib-tabib istana yang menjaga Pangeran ini telah sengaja menghalangi penyembuhan Pangeran, dan agaknya hal ini ada hubungannya pula dengan Bu Kwan Ji. Mungkin tiga orang tabib itu telah bersekongkol dengan perwira she Bu itu, dibantu pula oleh Ban Sai Cinjin! Kita harus dapat meyakinkan Kaisar bahwa mereka itu adalah sekomplotan orang jahat yang menghendaki nyawa Pangeran Mahkota, entah apa sebabnya!”

“Jalan satu-satunya untuk meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan Kaisar hanyalah penyembuhan puteranya.”

“Mudah-mudahan saja obat yang kau bawa itu berhasil!”

“Pasti berhasil!” kata-kata ini diucapkan oleh Goat Lan dengan suara yang tetap penuh kepercayaan. “Obat ini adalah petunjuk dari Suhu, bagaimana bisa salah?”

Malam hari itu, Pangeran Mahkota terjaga dari tidurnya dan Goat Lan lalu memberinya minum obat Daun Golok yang sudah dimasak. Karena merasa betapa tubuhnya sangat enak, Pangeran itu percaya penuh kepada Goat Lan dan tanpa ragu-ragu lagi minum semangkok masakan obat daun itu. Kemudian, gadis ini dengan kedua tangannya sendiri memasakkan sedikit bubur untuk Pangeran itu dan memaksanya untuk mengisi perut dengah bubur itu.

Sudah tiga hari Pangeran itu tidak mau makan, akan tetapi sekarang, semangkok bubur masih belum memuaskan seleranya hingga dia minta tambah. Akan tetapi dengan suara halus Goat Lan mencegahnya, kemudian gadis ini sambil duduk di dekat pembaringan, lalu menceritakan dongeng-dongeng kuno mengenai kegagahan sehingga pangeran itu merasa tertarik sekali dan akhirnya dia melupakan rasa laparnya dan tertidur kembali.

Pada keesokan harinya, Kaisar bangun pagi-pagi sekali dan dia merasa sangat heran mengapa ia dapat tidur demikian nyenyaknya! Biasanya, di dalam kamarnya sendiri yang bagus, di atas pembaringan terhias emas dan permata, setiap malam pasti dua tiga kali dia terjaga. Akan tetapi kali ini, tidur di tempat peristirahatan puteranya, hanya di atas pembaringan biasa, bahkan sebagai seorang tawanan dari dua orang muda aneh itu, ia dapat tidur pulas dan enak!

Ketika dia memandang, ternyata bahwa Goat Lan sudah bangun pula. Gadis ini bersama Hong Beng bergiliran menjaga pintu, akan tetapi mereka tidak tidur, hanya duduk bersila sambil bersemedhi saja.

“Jadi aku belum boleh keluar dari kamar ini?” Kaisar bertanya sambil tersenyum kepada Hong Beng yang masih berdiri menghadang di pintu dengan tongkat di tangan.

“Terpaksa hamba akan menghalanginya, demi keselamatan putera Paduka!” jawab Hong Beng dengan suara tetap.

Kaisar tersenyum. “Apakah kau kira aku dapat bertahan tanpa makan sampai tiga hari? Bodoh! Minggirlah, biar aku memberi perintah supaya membawa makanan dan air untuk kita mencuci muka!”

Suara Kaisar amat berpengaruh dan karena ia percaya penuh kepada Kaisar ini, Hong Beng lalu melangkah ke samping. Kaisar membuka daun pintu dan berkata kepada lima orang bayangkari yang semalam suntuk menjaga di depan pintu tanpa berani pergi atau masuk!

“Jangan perbolehkan siapa pun juga masuk ke kamar ini! Atur penjagaan kuat secara bergilir dan suruh pelayan wanita menghidangkan makanan dan minuman. Juga air untuk mencuci muka. Laporkan kepada Hong-houw (Permaisuri) bahwa selama tiga hari ini aku akan berada di dalam kamar pangeran untuk menjaga dan menyaksikan sendiri Sang Pangeran menerima pengobatan!” Sesudah berkata demikian, Kaisar lalu menutup pintu kembali.

Lima orang bayangkari itu saling pandang dengan bingung. Perintah dari Kaisar cukup jelas, hanya mereka merasa bingung sebab siapakah yang sedang mengobati Pangeran? Mereka tidak melihat ada orang masuk, sedangkan ketiga orang tabib istana pun belum masuk ke kamar itu!

Akan tetapi, oleh karena sudah jelas bunyi perintah Kaisar, mereka mengerjakan dengan seksama dan taat. Semua perintah Kaisar dikerjakan dengan cepat sekali, dan sebentar saja di depan kamar itu sudah terjaga oleh dua belas orang bayangkari pengawal pribadi Kaisar. Kalau andai kata Permaisuri sendiri hendak memasuki kamar itu, tanpa perkenan dan persetujuan Kaisar, para bayangkari itu tentu takkan mau memberi jalan masuk!

Kaisar memiliki dua puluh empat orang pengawal pribadi yang dipilih oleh Kaisar sendiri dan kesetiaan mereka sudah dipercaya serta diuji benar-benar. Kepandaian mereka juga cukup tinggi.

Hong Beng tetap menjaga di belakang pintu yang tertutup itu sedangkan Goat Lan telah memberi makan sebuah Giok-ko lagi kepada Pangeran yang kini nampak lebih segar dari pada kemarin. Kaisar melihat sendiri betapa Goat Lan bersungguh-sungguh berusaha mengobati puteranya, maka diam-diam Kaisar ini memperhatikan Goat Lan dan menjadi kagum sekali.

Ketika dari luar terdengar suara ketokan pintu oleh bayangkari yang melaporkan bahwa makanan dan minuman telah dibawa datang oleh pelayan-pelayan wanita, Kaisar segera memerintahkan pelayan-pelayan wanita yang banyaknya lima orang di dalam kamar itu untuk mengambil hidangan-hidangan itu. Pelayan-pelayan baru yang datang membawa makanan tidak diperkenankan masuk!

Sesudah hidangan disiapkan, Kaisar mengajak Hong Beng dan Goat Lan untuk makan bersama! Suatu kehormatan yang besar sekali dan belum pernah ada orang biasa diajak makan bersama oleh Kaisar!

Akan tetapi Hong Beng yang amat hati-hati dengan sopan dan halus memohon maaf dan menolaknya, karena dia tidak mau meninggalkan pintu yang dijaganya itu. Dia maklum bahwa kalau dia lalai sehingga Bu Kwan Ji dan kaki tangannya sampai dapat menyerbu masuk, akan celakalah dia, Goat Lan, dan juga Pangeran Mahkota!

Sebaliknya, karena dia merasa sangat lapar, Goat Lan tidak menolak ajakan Kaisar dan makanlah mereka bertiga, yakni Kaisar, Pangeran dan Goat Lan. Kaisar dan Pangeran sungguh merasa gembira sekali, oleh karena telah berbulan-bulan Pangeran tidak kuasa turun dari pembaringan, akan tetapi sekarang bahkan dapat makan satu meja dengan ayahnya!

Dalam kesempatan ini, Kaisar mengajukan banyak pertanyaan kepada Goat Lan tentang orang tuanya, tentang guru-gurunya dan mengapa gadis ini dengan mati-matian hendak mengobati Pangeran.

“Apakah karena kau merasa menjadi rakyat hendak berbakti kepadaku yang menjadi rajamu?” tanya Kaisar memandang tajam.

“Memang ada juga keinginan hati hamba untuk berbakti, akan tetapi yang utama sekali karena hamba hendak menjunjung serta melindungi nama baik mendiang suhu hamba, yakni Yok-ong Sin Kong Tianglo!”

Dengan jujur gadis ini kemudian menceritakan keadaannya, menceritakan pula tentang pengorbanan suhu-nya yang sampai meninggal dunia dalam usahanya mencarikan obat guna menyembuhkan Pangeran Mahkota. Pangeran yang kini telah berusia empat belas tahun itu merasa terharu mendengar penuturan Goat Lan dan dengan berlinang air mata ia lalu berkata,

“Nona, besar sekali budi mendiang suhu-mu dan engkau. Kami tak akan melupakan budi pertolongan yang besar ini.”

“Kau memang baik sekali, Nona Kwee. Sudah sepatutnya kalau kau mendapat anugerah besar. Tunggu saja kalau Pangeran sudah sembuh benar!”

“Hamba tidak mengharapkan hadiah atau pun anugerah, sebab anugerah Paduka berupa kebijaksanaan dan keadilan kepada rakyat jelata sudah merupakan anugerah terbesar yang dapat Paduka berikan! Hanya hamba merasa kuatir sekali karena jelas bahwa ada komplotan jahat yang tidak ingin melihat kesembuhan Pangeran Mahkota. Harap Paduka suka berlaku hati-hati dan segera menangkap orang-orang seperti Bu Kwan Ji dan ketiga orang tabib istana itu. Sudah terbukti bahwa ketika hamba memberi buah Giok-ko yang Paduka teruskan kepada orang she Bu itu, ternyata setelah sampai di tangan Pangeran telah ditukar dengan buah lain yang berbahaya!”

Kaisar mengangguk-angguk. “Jangan kuatir, sesudah selesai pengobatan ini, pasti akan kulakukan tindakan keras untuk menghukum dan menyiksa mereka supaya mengaku.”

Akan tetapi pada saat itu, di luar terdengar ribut-ribut. Hong Beng yang sudah siap sedia, mendekati pintu dan mendengarkan dari celah-celah daun pintu. Ternyata bahwa yang sedang ribut mulut dengan para bayangkari itu adalah suara Bu Kwan Ji, ketiga orang tabib, dan Ban Sai Cinjin.

“Apakah kalian sudah gila? Tidak tahukah kalian siapa aku hingga kalian berani mampus sekali melarangku untuk masuk ke dalam kamar Pangeran?!” Terdengar suara Bu Kwan Ji membentak-bentak marah.

“Maafkan kami, Bu-ciangkun. Tentu saja kami mengenal Ciangkun dengan sangat baik. Akan tetapi kami hanya mentaati perintah dari Hong-siang, maka harap Ciangkun suka memaklumi.”

“Bagaimana bunyi perintah Hong-siang?”

“Bahwa tidak seorang pun, siapa pun juga orang itu, boleh masuk ke dalam kamar ini.”

Sunyi untuk sesaat, baru kemudian terdengar suara Ngo-tok Lo-koai Ang Lok Cu, “Kami bertiga adalah tabib-tabib istana yang bertugas menjaga Pangeran Mahkota yang tengah sakit. Apakah kami juga tidak boleh masuk?”

“Sungguh menyesal sekali, Totiang, kami tidak berani melanggar perintah dan larangan Hong-siang!” jawab bayangkari yang setia itu.

“Mungkin Hong-siang tidak maksudkan kami yang dilarang masuk,” terdengar Bu Kwan Ji membujuk lagi. “Coba kau laporkan ke dalam kepada Hong-siang, bahwa Bu-ciangkun beserta tiga tabib besar mohon menghadap untuk membuat laporan tentang pengejaran para pemberontak!”

“Kami tak berani, Bu-ciangkun. Sudah jelas sekali perintah Kaisar bahwa siapa pun juga tidak diperbolehkan masuk ke kamar ini. Bahkan kami sendiri pun kalau tidak dipanggil, tidak berani membuka pintu ini!”

Sunyi lagi sesaat lamanya.

“Apakah Hong-siang berada di dalam?” tanya lagi Bu Kwan Ji.

“Betul, Ciangkun,” jawab bayangkari.

“Siapa lagi selain Hong-siang dan para pelayan berada di dalam? Apakah ada orang luar yang masuk?”

“Setahu kami tidak ada orang luar, Ciangkun. Akan tetapi entahlah, sebab kali ini Kaisar berlaku amat ganjil dan penuh rahasia.”

Pendengaran Hong Beng yang tajam dapat menangkap suara bisik-bisik dan ia maklum bahwa Bu Kwan Ji tentunya sedang berunding dengan ketiga orang tabib itu. Kemudian terdengarlah tindakan kaki mereka menjauhi tempat itu. Hong Beng menarik napas lega, karena tidak perlu dia mempergunakan senjatanya untuk mencegah mereka memasuki kamar itu.

Akan tetapi, kelegaan di dalam dada Hong Beng itu tidak berlangsung lama. Menjelang tengah hari terdengar suara-suara lagi di depan pintu, dan kini selain suara Bu Kwan Ji dan kawan-kawannya, terdengar pula suara yang amat merdu dan halus.

Suara ini adalah suara selir terkasih dari Kaisar yang bernama Song Tian Ci. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Song Tian Ci yang amat dikasihi oleh Kaisar ini telah mempunyai seorang putera dan dia telah dapat dibujuk oleh Bu Kwan Ji sehingga kedua orang durjana ini mengadakan hubungan gelap di luar tahunya Kaisar. Keduanya telah mengadakan komplotan gelap untuk membiarkan Pangeran Mahkota meninggal dunia karena penyakitnya agar kelak putera dari Song Tian Ci dapat menggantikan kedudukan raja.

Ketika Bu Kwan Ji mendengar dari para bayangkari bahwa Kaisar melarang siapa pun juga memasuki kamar Putera Mahkota, panglima ini lalu cepat mencari kekasihnya itu dan kini Song Tian Ci sendiri yang maju ke depan untuk mempergunakan kekuasaannya memberi jalan kepada Bu Kwan Ji dan tiga orang tabib yang menjadi kaki tangannya itu.

Akan tetapi sekali ini dia pun tertegun melihat betapa para bayangkari tetap tidak mau memberi jalan kepadanya! Betapa pun juga, terhadap Song Tian Ci, para bayangkari tak berani berlaku keras karena mereka telah tahu pula akan kekuasaan dan pengaruh selir ini yang tidak kalah oleh Permaisuri sendiri!

“Kalau kalian tidak mau memberitahukan Kaisar mengenai kedatanganku, jangan kalian menyesal apa bila besok kalian akan kehilangan kepala!” Selir ini berkata dengan marah sekali.

Akhirnya salah seorang bayangkari tidak dapat menahan rasa gelisahnya, maka dia lalu membuka pintu itu dan melangkah masuk. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat Hong Beng berdiri dengan tongkat di tangan di belakang pintu itu! Begitu bayangkari itu masuk dan melihat Kaisar sedang duduk di atas pembaringan Putera Mahkota, dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Mengapa kau masuk tanpa dipanggil?!” Kaisar membentak marah. “Apakah kau sudah bosan hidup?!”

“Mohon beribu-ribu ampun atas kelancangan hamba, Paduka. Di luar kamar telah datang Song-thai-thai yang memaksa hamba memberitahukan kedatangan dan permohonannya untuk masuk menjumpai Paduka.”

Mendengar bahwa selirnya yang datang, lenyaplah kemarahan Kaisar. Ia memang amat mencinta selir ini yang dianggapnya amat baik, maka dia berpikir lebih baik dikawani oleh selir itu dalam keadaan yang amat menegangkan urat syarafnya menghadapi pengobatan puteranya ini.

“Hemm, biarkan dia masuk ke dalam,” katanya kemudian.

Bayangkari itu memberi hormat sambil mengerling dengan kening berkerut ke arah Hong Beng yang berdiri menjaga dengan tongkat di tangan, kemudian kepada Goat Lan yang sedang masak daun obat. Setelah itu dia mengundurkan diri, keluar dari kamar itu untuk menyampaikan perkenan Kaisar kepada Song Tian Ci.

Dengan girang dan bangga, Song Tian Ci lalu mengajak Bu Kwan Ji, ketiga tabib yaitu Cu Tong Hwesio, Cu Siang Hwesio, dan Ang Lok Cu untuk ikut masuk ke dalam kamar. Sekarang para bayangkari tak berani melarang lagi, sungguh pun perintah Kaisar hanya mengijinkan selirnya saja yang masuk.

Sebagai pembuka jalan, Song Tian Ci masuk dengan jalan di sebelah depan. Kemudian di belakangnya menyusul Bu Kwan Ji, ketiga orang tabib itu, dan Ban Sai Cinjin.

Ketika pintu terbuka, Hong Beng melihat munculnya seorang wanita yang cantik sekali. Meski pun usia wanita ini sudah tiga puluh tahun lebih, namun kecantikannya memang amat mengagumkan. Ia dapat menduga bahwa wanita ini tentu selir Kaisar yang tadi oleh bayangkari disebut Song-thai-thai, karena itu dia hanya menjura dan berdiri di samping, memberi jalan.

Akan tetapi ketika dia melihat Bu Kwan Ji hendak ikut masuk, cepat dia melangkah maju dan membentak, “Keluar kau!”

Tongkatnya berkelebat dan telah menodong di dada panglima itu sehingga Bu Kwan Ji menjadi terkejut dan pucat, kemudian cepat melompat keluar kembali. Hong Beng cepat menutupkan kembali daun pintu itu!

Begitu tiba di dalam kamar, selir yang cantik itu berdiri dengan muka terbelalak.

“Siapa kau?” bentaknya kepada Hong Beng, kemudian dia menghampiri Goat Lan sambil membentak, “Dan kau ini perempuan dari mana dan apa yang kau lakukan di tempat ini?”

Sebelum Goat Lan dan Hong Beng sempat menjawabnya, Kaisar telah maju menyambut selirnya sambil tertawa-tawa.

“Lihatlah, betapa manjurnya obat yang dibawa oleh Nona ini! Lihat puteramu telah hampir sembuh!”

Kaisar itu lalu memegang tangan selirnya dan dibawanya selir itu ke dekat pembaringan Pangeran yang segera bangun dan memberi hormat dari pembaringannya kepada ibu tiri ini.

Sungguh pun di dalam hatinya Song Tian Ci merasa tertikam dan marah sekali, namun selir yang cerdik ini dapat tersenyum dengan wajah berseri. “Syukurlah, tidak percuma setiap malam hamba bersembahyang sampai tengah malam, memohon kepada Thian Yang Maha Esa untuk menolong dan menyembuhkan penyakit puteranda. Akan tetapi, siapakah dua orang muda itu? Mengapa mereka berada di sini?”

“Memang lucu sekali!” kata Kaisar sambil tertawa geli. “Lihat saja gadis muda yang cantik jelita itu. Walau pun masih muda, dialah yang mengobati penyakit puteramu. Dia adalah Kwee Goat Lan, murid dari mendiang Raja Obat Sin Kong Tianglo! Dan yang seorang lagi itu, yang tak pernah melepaskan tongkatnya, dia adalah putera Pendekar Bodoh...”

Pucatlah wajah Song Tian Ci mendengar hal ini. “Putera Pendekar Bodoh? Bukankah dia dan ayahnya telah menjadi pemberontak-pemberontak berbahaya?”

“Ha-ha-ha!” Kaisar malah tertawa. “Memang ia adalah pemberontak! Lihat saja sikapnya. Dengan tongkat di tangan dia sudah menahanku di dalam kamar ini, melarangku keluar! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Aku, Kaisar yang berkuasa, ditahan di kamarku sendiri!”

Song Tian Ci semakin terkejut dan cepat memandang ke sekeliling kamar dengan mata menyelidik. Dia melihat lima orang pelayan wanita yang duduk menanti perintah dengan menundukkan muka seakan-akan tidak ada peristiwa ganjil terjadi, demikian pula dua orang thai-kam, dan empat orang penjaga yang berlutut di sudut tanpa berani bergerak! Mudah saja dilihat bahwa meski pun di situ ada Kaisar, sesungguhnya yang menguasai keadaan adalah Hong Beng, pemuda yang berdiri dengan gagahnya itu.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar