Pendekar Bodoh Jilid 26-30
Benar saja sebagaimana kata
Yousuf, keadaan di sana menyenangkan sekali. Tamasya alam indah dan
mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di
sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup
sederhana.
Rumah Yousuf masih ada dan
bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras
membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah,
oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah.
Dan beberapa hari kemudian,
para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan
tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan
ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil namun indah
bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah
ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah,
bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari
kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!
Yousuf dengan hati
sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh
karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan
dengan ilmu silat Tiongkok walau pun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin
Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini.
Tingkat kepandaian Yousuf
memang masih lebih tinggi dari pada tingkat kedua gadis itu sehingga berkat
latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena
tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan
merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin
Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka
termenung, akan tetapi pikiran ini segera terhibur apa bila mereka mengingat
bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.
Sementara itu, Merak Sakti
yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, setiap hari hanya berjalan-jalan di
dalam taman atau kadang-kadang ia terbang tinggi sekali berputar-putar sehingga
mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya juga merasa senang
sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap.
Pada suatu pagi yang cerah, di
kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusir awan dan halimun pagi dari
udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu
dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa
sudah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak
mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersenda gurau karena memang
hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
“Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil
tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini
Saudara Cin Hai berada di sini!”
Menghadapi serangan godaan
ini, Lin Lin yang pandai bicara serta lincah itu juga segera tersenyum dan
memandang tajam, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, “Memang betul,
tentu saja hatimu akan merasa senang sekali, akan tetapi kau bersabar saja,
kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!”
Ma Hoa melengak dan tidak
mengerti. “Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksud dengan dia itu?”
Lin Lin berpura-pura memandang
heran. “Siapa lagi, bukankah yang tadi kau maksudkan adalah Engko Kwee An?”
“Eh, anak bengal! Apakah
telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?”
Lin Lin memandang kepada Ma
Hoa dengan wajah berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah
senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?”
Ma Hoa memandang dengan gemas
dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera
mengelak.
“Lin Lin, jangan kau bicara
tak karuan! Aku tidak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku.”
“Tapi siapakah yang mendengar
ucapan mulutmu? Aku tadi justru mendengar suara yang keluar dari hatimu
sehingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah
hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?”
Ma Hoa mengerling tajam dengan
bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang walau pun mulutnya menyatakan dan
menyebut-nyebut nama Cin Hai, akan tetapi tepat sebagai mana godaan Lin Lin,
hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar
Lin Lin dan hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari
bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Awas, Enci Hoa, apa bila
engkau mencubit aku, kelak aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”
Ma Hoa makin gemas dan sambil
tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor
kupu-kupu yang cantik dan indah.
Mendadak keduanya berhenti
tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh
perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak
Sakti yang memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara
merak itu memekik seperti ini sehingga mereka tidak tahu apakah merak itu
sedang marah atau sedang bergirang.
Biasanya kedua orang gadis ini
telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti, akan
tetapi kali ini mereka saling pandang dengan hati heran dan terkejut. Kemudian,
serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.
Pada waktu mereka tiba di
sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan yang
membuat mereka segera tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput
yang tebal itu, tampak Sin-kong-ciak sedang mendekam seperti berlutut dan
mengangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh
itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian penuh
tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu.
Yang membuat Lin Lin dan Ma
Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal
adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, maka
melihat betapa merak itu sekarang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala,
mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba saja kakek itu
memegang kedua kaki Merak Sakti, lalu melemparkannya ke atas sambil
tertawa-tawa. Merak itu menurut saja dan membiarkan dirinya untuk dilemparkan
tanpa mengembangkan sayap untuk terbang. Saat burung itu jatuh kembali, dua
kakinya lalu diterima oleh tangan kiri kakek itu, kemudian dilempar lagi ke
atas berulang-ulang.
Permainan ini dilakukan oleh
kakek itu sambil tertawa-tawa girang. Ada pun Merak Sakti juga mengeluarkan
suara yang dikenal oleh kedua orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang
senang dan gembira.
Meski pun mendengar suara
gembira dari merak itu, namun Lin Lin menjadi marah sekali dan mengira bahwa
kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tidak
berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan
membentak,
“Kakek jahat, lepaskan burung
merakku!”
Akan tetapi jangankan mentaati
perintah Lin Lin, bahkan kakek itu menengok pun tidak, terus melempar-lemparkan
tubuh burung itu ke atas sambil tertawa-tawa dan kemudian bertanya kepada Merak
Sakti,
“Kong-ciak, apakah kau sudah
puas?”
Lin Lin marah sekali, lalu
maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu untuk
mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah terkejut dan herannya ketika ia merasa
betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya
menjadi lenyap sendiri, sedangkan kakek tua itu tetap saja sama sekali tidak
memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang melihat Lin Lin
mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu
menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang
agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan
terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.
Sesungguhnya ucapan ini saja
sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tak
bermaksud jahat. Akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan
penasaran, maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat.
Akan tetapi, biar pun kakek
tua itu agaknya tak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara
muda itu satu kali pun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa
penasaran sekali, demikian pula Ma Hoa, karena mengira bahwa kakek ini tentu
mempergunakan ilmu sihir. Semakin besar dugaan mereka ketika mereka merasa
telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat
ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.
Mereka ini keduanya sama
sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan
tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su
tidak menggunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga khikang-nya yang sudah
sempurna itu sehingga hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk
menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.
Pada saat kedua orang gadis
itu menjadi sibuk serta makin terheran dan marah, tiba-tiba terdengar bentakan
orang,
“Kakek tua! Jangan kau mengganggu
kedua anakku!”
Ternyata yang datang ini
adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin
segera berteriak,
“Ayah, kau usir kakek yang
pandai sihir ini!”
Juga Ma Hoa berkata, “Dia
telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!”
Yousuf menjadi marah sekali,
lalu membentak dua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya!”
Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,
“Kakek tua! Memalukan sekali
untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak yang masih bodoh.
Marilah kita tua lawan tua!”
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa
terkekeh-kekeh sehingga Yousuf cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk
menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.
“Hi-hi-hi, kau orang Turki ini
benar-benar berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain.
Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi
kau bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main
sebentar.”
Ucapan Bu Pun Su ini mendapat
sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara
yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apa bila merak sakti itu sedang merasa
gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih mengira bahwa merak itu masih terkena
sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di mana merak itu bertengger
dan memanggil,
“Kong-ciak-ko, kau turunlah ke
sini!”
Akan tetapi Merak Sakti itu
sama sekali tidak mau turun. Hal ini semakin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma
Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena
biasanya merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.
“Ha-ha-ha-ha! Nona, jangan kau
heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru
lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan
majikan baru.”
“Kakek tua, majulah dan hendak
kulihat sampai di mana kesaktianmu!” Yousuf berteriak melihat betapa kakek itu
memandang ringan kepada mereka semua.
Sambil berkata demikian,
Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang
paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, sedang yang kiri
mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke arah
depan dengan cepat.
“Ha-ha-ha! Bagus, aku mendapat
kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata kakek itu yang masih
tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan.
Sungguh aneh sekali, agaknya
kakek itu sudah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh
adalah serangan kaki, oleh karena dua tangan yang menyerang hanya untuk menarik
dan mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tak mengelak dari
serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf.
Ketika tidak mengenai sasaran,
tendangan ini tidak ditarik mundur sebagaimana biasanya tendangan dalam ilmu
silat Tiongkok, akan tetapi lalu diteruskan dan dibanting ke pinggir terus
memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan
sekali putaran dia lantas mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan
kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tidak terduga, dan
biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya.
Akan tetapi, kali ini dia
benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan gerakannya
sehingga dapat mengelak pada waktu yang tepat. Bahkan pada saat kakek jembel
ini balas menyerangnya, Yousuf langsung melengak sebab Bu Pun Su menggunakan
serangan yang persis seperti yang telah dilakukannya tadi. Malah gerakan kakek
jembel ini lebih cepat dan lebih hebat dari pada gerakannnya sendiri.
Yousuf penasaran sekali, lalu
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi, makin lama ia menjadi makin
heran sehingga dia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh
karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula
gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!
Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika
melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak
terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
“Ayah, ia tentu sudah
menggunakan ilmu sihir!” Lin Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya.
Yousuf teringat dan timbul
persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba saja orang Turki ini mengheningkan
cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh
tenaga batinnya ke mulut, dia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek
jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek
itu,
“Kau berlututlah!”
Ini adalah sejenis ilmu sihir
yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang
disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang
langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan turut
mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tanpa terasa pula
mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu
menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi sesudah Yousuf
mengeluarkan bentakan tadi, bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf
sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel!
“Ha-ha-ha! Aku jembel tua
bangka tidak layak menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su sambil tertawa
bergelak dan suara ketawanya ini agaknya sudah membuyarkan ilmu sihir Yousuf
sehingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek
jembel!
Yousuf kaget sekali oleh
karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa
tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apa bila
Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu
batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu
terpental dan memukul dirinya sendiri!
Yousuf cepat melompat bangun
dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu
mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini
lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su!
Tiba-tiba terdengar pekik
marah dari atas dan Merak Sakti sambil mengibaskan sayapnya lalu menangkis
pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun mempunyai tenaga besar,
maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan
Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu
tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun
Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang
lagi ke cabang tadi!
“Ha-ha-ha, bagus, Kong-ciak!
Tak percuma aku memeliharamu sejak kecil!” kata kakek jembel itu sambil tertawa
girang.
Yousuf dan Ma Hoa tercengang
mendengar ini, akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya
dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang
karatan yang dulu dia ambil dari goa di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung
yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.
Tiba-tiba wajah Bu Pun Su
berubah pada saat dia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke
depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu
pedangnya telah berpindah tangan.
“Han Le... betul-betulkah kau
telah mendahului aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka
berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. “Han Le
Sute... mengapa kau mendahului Seheng-mu? Ahhh…, aku Bu Pun Su benar-benar
telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini...” setelah berkata
demikian, ia menghela napas panjang.
Bukan main terkejutnya Lin
Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su,
guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan
kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pun
Su, tokoh yang namanya telah terkenal di seluruh penjuru.
Lin I Lin dan Ma Hoa cepat
menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera
membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara
penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki.
“Locianpwe, mohon beribu ampun
bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin dengan hormat.
Bu Pun Su menghela napas.
“Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri ini yang harus minta maaf. Ketahuilah,
kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi kanak-kanak kembali dan
ingin mempermainkan orang. Agaknya aku sudah pikun dan sudah terlalu tua...”
Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Aku tahu siapa kalian ini.
Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau sudah bisa
terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid
Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kau keluarkan tadi jelas menunjukkan
bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu
yang terkenal.” Memang, nama Yousuf apa bila diucapkan oleh lidah orang Han
akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.
Yousuf kembali menjura, “Saya
yang bodoh dan rendah memperoleh kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan
Lo-suhu yang sakti.”
Bu Pun Su lalu berkata lagi,
“Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa yang
mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu
dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa
Kong-ciak ke sini? Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku tadi
bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Pedang inilah yang menceritakan
padaku bahwa Sute-ku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena
ini adalah pedang miliknya! Coba kau tuturkan pengalamanmu mendapatkan pedang
dan burung merak ini,” perintahnya kepada Lin Lin.
Sementara itu, Merak Sakti
telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Dengan singkat Lin Lin
menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan
betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk.
“Ya, ya, ya. Aku kemarin aku
sudah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan
harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula.”
Kakek ini menghela napas dan
pada waktu mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu
mengeluarkan keluhan panjang, kemudian dua butir air mata runtuh dari sepasang
matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar-putar di
udara.
“Hmm, kong-ciak itu memang
perasa sekali. Tentu dia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah,
merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah
binatang-binatang peliharaanku. Terutama merak ini, semenjak kecil dia telah
ikut aku di pulau itu. Sesudah aku meninggalkan pulau, maka sute-ku yang
bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya
sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm,
demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak
berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau
mengagulkan apamukah...?”
Kata-kata ini diucapkan oleh
kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya
sehingga dia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
“Lin Lin,” Bu Pun Su berkata,
“Kau memang berjodoh dengan pedang ini, maka Sute-ku sengaja memilih kau untuk
memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan sembarang pedang dan yang tinggal
sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang
pendek ini, agaknya kau lebih pandai menggunakan pedang pendek, karena itu
biarlah pedang buntung ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu.”
Lin Lin merasa girang sekali
dan dia cepat menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu
tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat
pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian dia berikan pedang yang
menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,
“Terimalah pedang pendek ini
yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Sute-ku Han Le. Dan untuk
memperlengkapi kehendak Sute-ku yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak
menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”
Bukan main girangnya hati Lin
Lin yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.
“Akan tetapi bukan aku si tua
bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini padamu. Aku sudah satu kali
menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu
itulah yang akan bertugas menurunkan ilmu kepandaian padamu. Jangan kau anggap
aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, tidak nanti dia berani menurunkan
ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekali pun.”
Lin Lin segera bertanya dengan
berani, “Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!”
Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,
“Seperti juga tidak ada
persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal.
Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan
Kwee An. Dan bila mana kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah
pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya,
kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu.”
Kemudian sambil memandang
kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula,
“Kau tidak salah memilih
Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan
berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang
mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali.”
Yousuf terkejut sekali, oleh
karena mendengar ucapan ini dia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata
telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya.
Dia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,
“Lo-suhu, terima kasih atas
nasehatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu
telah kubuang jauh-jauh.”
“Bagus sekali, itu hanya
menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang mempunyai kebijaksanaan besar yang
jarang dimiliki oleh sembarangan orang.”
Kemudian Bu Pun Su pergi dari
tempat itu sesudah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih
ditinggalkan oleh majikan lamanya ini…..
********************
Oleh karena menyangka
kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa sudah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka
Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.
Ketika mereka sampai di rumah
Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya
kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang,
mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan
bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan
bahwa Kwee Tiong sekarang bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi
hwesio!
Hal ini mengejutkan hati Kwee
An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng
Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Pada waktu mereka sampai di kelenteng
Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil
dan mempelajari ilmu kesusasteraan dari Kui-sianseng guru sasterawan yang kurus
kering itu, mereka pun disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan
sikapnya masih gagah.
Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang,
hwesio perantau yang dahulu mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun,
seorang pendeta yang selain mempunyai ilmu silat cukup tinggi dari cabang
Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam mengenai Agama Buddha serta
menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.
Pada saat Tong Kak Hosiang
mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In
Liang, dia menyambut dengan girang sekali.
“Ahh, ternyata Kwee-kongcu!
Silakan masuk!” Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum karena
Kwee Tiong sering kali menceritakan mengenai kegagahan serta ketinggian ilmu
silat adiknya ini.
“Lo-suhu, teecu mohon bertemu
dengan kakakku Kwee Tiong.”
Tong Kak Hosiang tersenyum,
“Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu. Tiong Yu memang telah lama merindukan
kau. O ya, hampir lupa pinceng memberi tahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong
Yu Hwesio.”
Ketika hwesio tua itu
mengantar mereka masuk ke ruangan dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang
amat lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) diiringi
suara kayu yang dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau
segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.
“Tiong-ko!” Kwee An memanggil
dengan suara di kerongkongan.
Suara liamkeng berhenti dan
Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan
dahulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu
kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar sehingga diam-diam Cin Hai merasa
kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar ini.
Ketika melihat Kwee An, Kwee
Tiong segera bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah
saling mencurahkan keharuan di hati masing-masing.
Pada saat Kwee Tiong
melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah
adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu
tersenyum untuk membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak
adiknya dan berkata lantang,
“An-te, kau kelihatan semakin
gagah dan tampan saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan
ujung lengan bajunya untuk menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di
atas pipi adiknya.
“Tiong-ko, kau...”
Akan tetapi Kwee Tiong tidak
memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk
melampiaskan keharuan hatinya, maka dengan muka girang dia kemudian menarik
tangan adiknya itu ke ruang tamu, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan
kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.
Ketika melihat Kwee Tiong, Cin
Hai yang menunggu di ruang tamu lalu menjura dengan hormat.
”Eh, ehh, Pendekar Bodoh ikut
datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku
mengagumi kau.” Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus sehingga Cin Hai
merasa girang dan terharu, maka dia lalu angkat kedua tangan memberi hormat
lagi.
“Tiong Yu Hwesio saudaraku
yang baik. Kebijaksanaanmu yang sudah mengambil jalan suci ini membuat aku yang
bodoh dan kasar menjadi malu saja.”
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai
dan menepuk-nepuk pundaknya. “Ahh, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong
bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini kedua mataku telah terbuka dan
aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang
manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.
Sesudah duduk menghadapi meja,
Kwee An lalu menceritakan pengalamannya, bahwa kini mereka berdua sedang
mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir
selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak tampak
kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang kini menjadi
hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,
“Ah, inilah yang membuat aku
mengambil keputusan untuk menjadi orang yang beribadat. Tadinya aku selalu
merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan
saudara-saudara, dan penasaran karena ingin membalas dendam. Tetapi apakah
artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat
petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku.
Aku kini merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam
hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapa pun juga. Tentang
pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang memiliki kepandaian tinggi
dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai sebuah tugas suci
berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku yang tiada memiliki kepandaian ini,
biarlah aku setiap waktu berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan
keselamatan semua kawan-kawan baik.”
Cin Hai yang mendengar ucapan
ini, mengangguk-angguk dan dia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang
diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Sesudah saling menuturkan
pengalaman masing-masing dan melepas kerinduan dengan mengobrol semalam penuh,
pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.
“Kwee An marilah kita mampir
sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di
kota itu. Sering kali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita
masih kecil.”
Juga Kwee An ingin melihat
kota kelahirannya, maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu
memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka
lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan
sampai di ujung timur, tiba-tiba saja mereka mendengar suara yang lantang dari
dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan
berbisik,
“Coba, kau dengarkan itu,
apakah kau masih mengenalnya?”
Kwee An segera memasang
telinga dengan penuh perhatian, dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang
jelas sekali.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”
Kwee An hampir tertawa
bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya
dan menahan ketawanya. “Itulah Kui Sianseng!” katanya.
Cin Hai tersenyum dan
menganggukkan kepalanya. “Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat
mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali dia dulu
pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?”
Kwee An hampir tertawa
keras-keras dan dia lalu membelalakkan mata kepada Cin Hai sambil tersenyum
lebar. “Kau juga?”
Cin Hai bertanya heran, “Apa
maksudmu?”
“Kau juga menjadi korban
kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha-ha, jangan kata kau yang dulu
memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali
merasakan ketokan di kepalaku.”
Cin Hai benar-benar tak pernah
menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kui
Sianseng lenyap seketika.
“Kalau begitu, Si Tua itu
tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang
sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”
Bagaikan dua orang anak-anak
nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan
mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kui
Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang
berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang
sebuah kitab yang dikenal baik sekali oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena
kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk
mengajar mereka pula.
Di hadapan kakek sastrawan ini
duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang
mengerutkan kening seperti kakek-kakek yang sedang berpikir keras.
“Kalian anak-anak goblok,
bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya!
Apakah artinya, siapa tahu?”
Kwee An dan Cin Hai mengintai
dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya
di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kui Sianseng sama sekali tidak berubah
seperti dulu.
Seorang di antara para murid
yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan
tangan, lalu berkata dengan suara lantang,
“Seng-cia-cu-seng-ya.
Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri
dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap
orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri.”
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan
kepala bagai burung sedang makan padi. “Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang
kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar
itu dan fasal ke berapa?”
Anak yang tadi menjawab dengan
lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah seumur kakek-kakek itu, menjawab
lantang,
“Terdapat di dalam kitab
Tiong-yong, fasal... fasal...,” anak ini tidak mampu melanjutkan jawabannya dan
memandang ke kanan kiri dengan bingung.
“Anak bodoh dan tolol!”
gurunya memaki.
Cin Hai baru melihat bahwa
makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kui Sianseng. Baru saja
anak itu dipuji-pujinya, sekarang sudah dimaki tolol. Kemudian Kui Sianseng
berkata lagi,
“Dengarlah, ujar-ujar itu
terdapat dalam... fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya,
membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.
Sambil menahan rasa geli yang
membuat perutnya kaku, Cin Hai lalu menjawab dari luar, “Dalam fasal dua puluh
lima ayat pertama!”
Kui Sianseng terkejut sekali
dan menoleh ke arah jendela yang rendah, dan nampak dua sosok bayangan masuk ke
dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kui
Sianseng. Cin Hai berkata,
“Kui Sianseng, hakseng berdua
menghaturkan hormat.”
Kui Sianseng terheran dan ragu-ragu.
“Jiwi ini siapakah?”
“Kui Sianseng,” kata Kwee An,
“sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”
Kui Sianseng melengak,
kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri.
Kelihatan sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya kini sudah menjadi
dewasa, gagah, dan cakap! Dia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang
terang berkata kepada ketiga anak muridnya,
“Nah, kalian lihatlah!
Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar
baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia
ini!”
Kemudian dia teringat kepada
Cin Hai yang sudah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong, maka dia lalu
menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan kongcu yang cerdik
pandai serta hafal akan fasal dan ayat di dalam kitab Nabi kita ini, siapakah
namamu yang mulia?”
Cin Hai menahan geli hatinya,
lalu menjawab sambil menjura, “Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang
tolol dan bodoh?”
Selagi Kui Sianseng memandang
heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tidak dapat menahan kegembiraan hatinya
lalu berkata, “Kui Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga salah seorang muridmu
yang dulu belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”
Cin Hai tertawa bergelak. “Kui
Sianseng, sekarang hakseng tak berani lagi menggunduli kepala, supaya jangan
dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”
Merahlah muka Kui Sianseng dan
ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini.
Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang selalu teringat
adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kui Sianseng lalu memegang tangan
Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,
“Lihatlah Kongcu ini, begitu
gagah dan tampannya! Ketahuilah, dulu dia ini juga seorang muridku! Aku sayang
sekali kepadanya maka tidak heran sekarang dia menjadi seorang pandai dan
sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi!
Kalian tadi mendengar bahwa dahulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan
dikira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya,
seorang murid tak akan menjadi pandai!”
Hati Cin Hai yang dulu sering
kali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah,
bahkan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan
tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin
kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup!
Betapa pun juga, guru-guru
yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani
oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih
tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal di bibir saja itu kepada
anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan,
makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tak ada
gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan
meneguhkan iman.
Maka teringatlah ia kepada
ucapan Bu Pun Su dulu,
“Segala apa di dunia ini
mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh
seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya pada orang itu sendiri, oleh karenanya
banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!”
Dan ia merasa betapa tepatnya
ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kui Sianseng kepadanya amat buruk dan
kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, dia
telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kui Sianseng itu
sudah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka dia
bahkan menganggap semua siksaan itu besifat baik, sehingga sebaliknya kini
menimbulkan rasa terima kasih!
Cin Hai lalu memberi isyarat
dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa
potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kui
Sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka
lenyaplah keduanya dari depan Kui Sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama
sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini
main sulap.
“Hebat, hebat... mereka sudah
menjadi orang-orang gagah yang memiliki kepandaian luar biasa,” katanya.
Kemudian dia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang
kecil-kecil. “Mereka hebat luar biasa dan mereka itu adalah murid-muridku.
Kalian bertiga yang bodoh ini jika mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun tentu
akan menjadi seperti mereka.”
Ketika seorang muridnya menjatuhkan
kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai
hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kui Sianseng marah sekali
dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul
itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai kembali muncul dan guru ini
teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan
sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
“Jangan kau lakukan kepada
orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain
kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya.
Sejak saat itu Kui Sianseng
memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu
ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri…..
********************
Cin Hai dan Kwee An sambil
tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kui Sianseng tadi, lalu
berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan
timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat
kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar
kota.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka berlari menghampiri,
ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal
kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok. Meski
piauwsu ini melawan secara nekad sambil memutar-mutar goloknya, namun
pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri
piauwsu itu telah berlumur darah akibat mendapat luka bacokan pedang. Akan
tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan
nekad.
Cin Hai marah sekali melihat
pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu
tengah dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para
pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil
ketakutan di belakang kereta.
“Perampok ganas, pergilah dari
sini!” katanya dan tubuhnya langsung menyambar cepat ke arah tempat
pertempuran.
Cin Hai tidak mau membuang
banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong
Kong-ciak Sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari
Bu Pun Su ini lihai sekali.
Begitu kedua tangannya
bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu sudah kena dibikin
terpental dan sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat
lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka sudah dipegang oleh tangan
kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri seperti orang
melempar-lemparkan kentang busuk saja.
Tentu saja mereka merasa jeri
dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa menoleh lagi mereka
lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama sehingga merupakan balap lari yang
ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat
pemandangan yang lucu itu.
Sedangkan piauwsu itu ketika
melihat pemuda luar biasa lihainya yang sudah menolong jiwanya, segera melangkah
maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara
terharu,
“Taihiap yang gagah perkasa
sudah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah tidak akan dapat
membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap
menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”
Cin Hai merasa tidak enak
sekali melihat dirinya sedemikian dihormati oleh piauwsu itu, maka buru-buru ia
memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,
“Lo-piauwsu janganlah berlaku
demikian. Pertolongan yang tak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?”
Ketika piauwsu tua itu
mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar,
Cin Hai merasa bahwa dia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak
ingat lagi di mana dan bila mana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat
menghampiri,
“Tan-kauwsu! Kaukah ini?”
Memang benar, piauwsu itu
ternyata adalah Tan-kauwsu, guru silat yang dahulu pernah mengajar silat kepada
putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan dia segera
mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,
“Kwee-kongcu! Tak kuduga kita
telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan
kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa kau sudah menjadi murid Eng Yang Cu
Locianpwe tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah, kepandaianmu tentu telah
berlipat ganda dan aku orang tua yang tidak berguna ini hanya turut merasa
gembira!”
Kemudian dia memandang kepada
Cin Hai dengan mata kagum dan dia pun melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi, siapakah Taihiap
yang muda akan tetapi telah mempunyai kepandaian yang demikian lihainya
sehingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah
Taihiap lakukan tadi?”
Ketika mengingat bahwa piauwsu
ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membenci dirinya dan bahkan
mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa benci Cin Hai, maka ia tidak mau
menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang.
Kwee An belum pernah mendengar
tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak
menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang
dan berkata,
“Tan-kauwsu, sebenarnya pemuda
kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau tak akan dapat
menduganya dia ini siapa biar pun kau akan mengingat-ingat sampai semalam
penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu
pernah pula belajar silat padamu!”
Tiba-tiba saja pucatlah wajah
Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja
telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang
dahulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat
menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan
Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!
“Taihiap... aku... aku... ahh,
apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua
bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”
Kwee An memandang heran dan
segera berkata, “Ehh, ehhh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah
menjadi mabok?”
Akan tetapi Cin Hai
mengejapkan mata pada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh
orang tua yang berlutut di depannya.
“Tan-kauwsu, memang benarlah
kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa
mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak
membunuhku, namun sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela.
Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kau tanam dengan dua
tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan
terlalu senang bagimu. Biarlah kau pikir-pikirkan lagi perbuatanmu yang
sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka
bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi
dari sini!”
Sesudah berkata demikian, Cin
Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan
heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya.
Kwee An menghela napas dan berkata,
“Memang nasib manusia itu
tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang
serendah-rendahnya, akan tetapi akan datang masanya dia akan berada di atas, di
tempat yang setinggi-tingginya.”
Setelah meninggalkan Tiang-an,
kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin
Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang,
hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil
mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja?
Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi
karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka
pun hendak mencoba-coba dan pergi ke kota raja.
Mereka langsung menuju ke
Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana dahulu mereka
pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Pada waktu
mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang
bertempur mengeroyok seorang kakek, ada pun di sekeliling tempat pertempuran,
para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek
yang dikeroyok itu.
Melihat gerakan kakek tua
renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini yang
benar-benar luar biasa hebatnya sehingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus.
Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah
Kiam Ki Sianjin sedangkan dua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan
Nelayan Cengeng sendiri.
Melihat betapa Eng Yang Cu dan
Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar
biasa, kedua pemuda itu segera melompat turun.
“Kwee An, jangan kau ikut
turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah
supek dari Hai Kong Hosiang.”
Kwee An kaget sekali dan
menjadi jeri. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi
supek-nya.
Cin Hai melompat masuk ke
gelanggang pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng
dan Eng Yang Cu,
“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu
yang menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah
jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”
Sesungguhnya Eng Yang Cu dan
Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin
Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat
mereka, maka keduanya lalu melompat mundur.
“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin
Hai dengan tenang, “dahulu Suhu-ku Bu Pun Su sudah pernah mengampuni kau, maka
apakah sekarang kau yang begini tua masih mau memamerkan kepandaian di depan mata
umum?”
Kiam Ki Sianjin memandang
kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas
itu, lalu dia pun tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan
merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kanak-kanak dan masih
kecil, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki
Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu
jangan datang untuk mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja
sebelum terlambat!
“Kiam Ki Sianjin, tak perlu
kau menggertak. Keluarkanlah semua kepandaianmu jika kau memang gagah!” Cin Hai
menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada.
Kiam Ki Sianjin menjadi marah
sekali. Sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dia lalu menerjang maju dengan
hebat sekali!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang
Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi menghadapi Kiam Ki
Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih,
oleh karena itu kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran.
Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu
dan cemas oleh karena sekarang pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh
lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu
kepandaiannya!
Akan tetapi, mereka menjadi
kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi
ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu
lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng lalu tertawa
terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini merupakan
tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali.
Tadi ia pernah beradu lengan
dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup
membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada
puluhan jarum yang menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini dia melihat
betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit
dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga
terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Sementara itu, Kwee An
memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran
sekali kenapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda!
Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa dia telah menerima pelajaran ilmu silat
dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa
sekarang tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai. Tak
tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia
merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi
dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri.
Tentu saja mereka ini tidak
tahu bahwa Cin Hai sudah mengeluarkan llmu Silat Pek-in Hoat-sut atau Ilmu
Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang
menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki
Sianjin masih saja tidak cukup kuat menghadapi ilmu pukulan ini!
Selama hidupnya baru sekali
Kiam Ki Sianjin menerima tandingan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari
kepandaiannya sendiri, yaitu ketika dia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga
kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia
selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu.
Sekarang baru pertama kalinya
dia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya sehingga tentu
saja dia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi
Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walau pun dapat mendesak, tapi agak sukar
merobohkan kedua orang lawan yang bukan sembarang orang itu dan yang telah
termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah
mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu
menjadi lelah luar biasa.
Kini ketika menghadapi Cin Hai
yang ternyata lebih lihai lagi dari pada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa
terkejut dan marah. Namanya yang sudah terkenal menjulang tinggi sampai ke
langit itu akan runtuh kalau dia tak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat
bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia merasa makin penasaran dan
ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.
Karena marahnya, Kiam Ki
Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba saja dia mencabut keluar
sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan
lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua
buah kaitan di kanan-kirinya dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan
saking tajamnya.
Beberapa tahun yang lalu pada
saat dia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah dia alirkan
melalui pedang ini, dia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman
dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan menggunakan pedang ini untuk
membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang dia merasa marah sekali,
dia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai terkejut melihat
gerakan ini. Dia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun
dia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja serta hendak mencoba
kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut
keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu sudah marah sekali dan bermaksud
mengadu jiwa.
“Kiam Ki Sianjin!” Cin Hai
berkata keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu
mengadu jiwa!”
Kiam Ki Sianjin telah salah
mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jeri melihat pedangnya. Maka,
sambil tertawa cekikikan dia lalu menerjang maju dengan cepatnya.
“Baiklah, agaknya kau hendak
membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai.
Secepat kilat pemuda ini pun
kemudian mengelak sambil mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena
maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan dia takkan dapat
mengambil kemenangan apa bila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan
dan hanya mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan
serangan berbahaya, maka dengan ilmu pedang yang dia ciptakan bersama Ang I
Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya lantas bergerak-gerak
aneh laksana terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti yang
keluar dari surga dan menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan
garangnya.
Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin
benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Walau pun dia merasa
sangat terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah
disaksikan itu, namun pengalamannya membuat dia dapat menduga ke mana arah
tujuan pedang Cin Hai dan sanggup menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan
serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Kedua orang ini bertempur
mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton sudah merasa
pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu.
Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat
menyambarnya sinar pedang. Juga para perwira yang tadinya berseru-seru, kini
diam tak bergerak dan hanya memandang dengan muka pucat. Banyak di antara
mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali
sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung
memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan
Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga
kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung
pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Kini mereka makin kagum saja
kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan
kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam
menghela napas saking tertarik dan kagumnya.
Biar pun di luarnya tidak
menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah
sekali. Rasa penasaran dan marah telah berkobar di dalam dadanya yang membuat
seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum
akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang
sudah lama dapat ditenggelamkan pada dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan
timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi semakin lemah.
Baiknya Cin Hai memang tidak
bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapa pun juga, pemuda ini merasa
kasihan melihat kakek yang sangat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia
dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat
dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.
Benar saja, desakannya sudah
membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya sudah penuh keringat dan
napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat.
Pada suatu kesempatan yang
baik, tiba-tiba saja pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki
Sianjin mendadak melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa peduli akan tikaman
pedang Cin Hai, dia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam
keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.
Cin Hai merasa terkejut
sekali. Cepat dia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis
pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras
pada pedangnya, karena itu ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait
pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya.
Kedua lawan tua dan muda ini
saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan
menjadi satu. Keduanya tak bergerak, saling pandang seperti dua buah patung,
tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke
atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas.
“Krakk…!” mendadak terdengar
suara keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi
dua.
Secepat kilat Cin Hai melompat
mundur lantas berjungkir balik di udara sampai lima kali untuk menghindarkan
diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata tadi ketika ia
mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik
kembali tenaganya sehingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan
menyangka bahwa penarikan tenaga ini merupakan siasat yang akan digunakan untuk
memukulnya selagi dia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.
Akan tetapi, ia tidak tahu
bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua
dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan
keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya
runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri
dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya
masih meram.
Cin Hai mendekati dan melihat
keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan merasa menyesal, karena dia
tahu bahwa kakek itu sudah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya
terjadi kalau orang terlalu marah.
Seorang perwira menghampiri
tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.
“Jangan!” teriak Cin Hai dan
maju melompat hendak mencegah.
Akan tetapi terlambat. Ketika
perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin serta hendak menolong dan
menuntunnya, tiba-tiba saja ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang
bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lantas
roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.
Perwira itu roboh dan tewas
pada saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih
terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biar pun ia telah mati, akan tetapi
tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar serta menghantam perwira itu
hingga binasa.
Dengan menyesal, Cin Hai
segera mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari
pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian
kakek ini tentu tak akan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang
Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan
merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, walau pun dia tidak mengucapkan
sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan
bangga serta memandang tinggi.
Nelayan Cengeng lalu
menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin serta Ma Hoa, di jalan
ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar
tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, karena itu mereka berdua merasa
marah sekali kepada Hai Kong Hosiang kemudian mencarinya ke kota raja untuk
mengadu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi,
ternyata bahwa mereka tidak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya
bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika
mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!
Sesudah menceritakan
pengalaman masing-masing, Cin Hai lantas menceritakan kepada Eng Yang Cu
tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua
ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah
mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.
“Ha-ha-ha! Aku sudah tahu
tentang hal ini dan telah berunding dengan Nelayan Cengeng. Tentu saja pinto
merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu
seorang nona yang sangat baik, asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak
menurun kepadanya!”
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak.
“Eng Yang Cu, begitulah jika
orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang
tidak cengeng? Ha-ha-ha!”
Ketika mereka berempat sedang
mengobrol gembira, tiba-tiba saja terdengar suara yang datangnya dari jauh
sekali akan tetapi cukup jelas.
“Orang Turki dan kedua nona
berada di bukit utara dekat tapal batas!”
Mendengar suara tanpa rupa
ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.
“Siapakah yang bicara dan
memiliki khikang mukjijat itu?” tanya Eng Yang Cu.
“Suhu sendiri yang memberi
tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan
kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.
Nelayan Cengeng dan Eng Yang
Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang
telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan
sesudah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka,
keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang
lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih
mereka sudah menanti dengan hati rindu!
Kwee An dan Cin Hai yang
melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di
pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga
akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal
Yousuf.
Ketika mereka bertanya pada
penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka
segera disambut oleh kepala kampung itu yang ternyata juga seorang Han dan
berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini tubuhnya pendek dan ramah
tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling
mengunjungi dan bercakap-cakap.
Bukan main girangnya hati Kwee
An dan Cin Hai yang langsung menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah
kekasih mereka sudah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah
tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di
lereng sebelah kiri dusun itu.
Ketika dari jauh mereka telah
melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu tiba-tiba dari atas
bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring
sekali. Cin Hai teringat akan cerita Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka
hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,
“Saudara Kwee An, kau pergilah
ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung), aku ingin sekali melihat burung
aneh itu.”
Kwee An tersenyum dan ia
maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak
menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!
“Akan tetapi jangan terlalu
lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau nanti adikku marah-marah!”
Cin Hai mendelikkan mata dan
melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa
heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan
menuju ke rumah dengan hati berdebar.
Kebetulan sekali, ketika
mereka sampai di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis yang sedang
menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya.
Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian bertitik-titik hijau dengan
leher warna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan
agak kusut karena tertiup oleh angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya
ini malah menambah kemanisannya.
Kwee An tiba-tiba berhenti dan
memberi isyarat kepada kepala kampung itu supaya tidak mengeluarkan suara.
Kemudian dia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari
belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, Kwee An sudah tidak dapat
menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, kemudian
mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,
“Hoa-moi...”
Ma Hoa cepat menengok sambil
berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak, lantas wajahnya mendadak
menjadi merah. Tanpa terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke
atas tanah dan hanya dapat berkata,
“Kau... kau... An-ko...”
Kemudian, setelah dua pasang
mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa, dan sinar
mata itu mewakili hati masing-masing yang melepas kerinduan dengan pandangan
mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,
“Koko, mengapa baru sekarang
kau datang?” Ucapan ini biar pun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan
tetapi bagi telinga Kwee An adalah sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama
merindukannya!
“Moi-moi, maafkanlah bahwa
baru sekarang aku berhasil menemukan tempat ini. Kau semakin cantik dan manis,
hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!”
Ma Hoa mengerling dengan tajam
dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita mana yang tak akan merasa bahagia
dan bangga apa bila mendapat pujian dari kekasihnya?
Dalam kebahagiaan pertemuan
ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa dia datang dengan kepala kampung yang kini
berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu
apa bila harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin
Lin atau Yousuf.
Sebaliknya Ma Hoa juga sama
sekali tidak ingat untuk bertanya mengenai Cin Hai atau orang-orang lain.
Pendek kata, pada saat itu, mereka merasakan bahwa di atas dunia ini hanya ada
mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ketika kedua teruna
remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan
keras dari dalam rumah kecil itu.
“Ada tamu datang! Silakan kau
minum air teh, anak muda!”
Dan berbareng dengan bentakan
ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu
melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Melihat hal ini,
kepala kampung yang tadi duduk segera bangkit berdiri dan memandang dengan hati
kuatir. Dia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini.
Ia juga pernah mendengar
tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dahulu
pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik dengan kecantikan kedua
orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat
sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh
karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagai seekor
burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!
Ternyata bahwa Yousuf
menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau
Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan
oleh tenaga khikang.
Melihat menyambarnya poci teh
ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena dia telah merasa datangnya
serangan angin sambaran benda itu. Namun Kwee An tidak saja sudah mempunyai
ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan sekarang setelah lama melakukan perjalanan
dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan
kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Di samping itu, Cin Hai juga
memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekang hingga dalam hal tenaga
lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.
Melihat datangnya poci teh
yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan dia semakin terkejut
ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan
tetapi dia dapat mengerahkan lweekang-nya dan menerima poci teh dengan baik,
bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!
“Bagus, bagus! Ma Hoa,
siapakah pemuda yang gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.
“Lekas kau minum air teh dari
poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.
Tanpa ragu-ragu Kwee An
melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan dia minum air teh dari
mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.
“Yo-peh-peh, ini adalah
An-koko yang sering kali kau dengar namanya itu.”
Yousuf terkejut dan tahu bahwa
dia tadi telah salah sangka. Maka cepat dia menghampiri dan membungkuk. “Maaf,
Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono sudah berlaku kurang ajar.”
Akan tetapi, dengan hormat
sekali Kwee An lalu menjura sesudah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan
berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah
orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula padamu yang baik hati
dan berkepandaian tinggi!”
Yousuf makin girang melihat
sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka dia segera maju memeluknya.
“Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih
jodoh muridnya!”
Ia lalu melihat kepala kampung
itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam
rumah.
“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee
An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya.
Ma Hoa memandangnya dengan
mata berseri, lalu menjawab, “Entahlah, semenjak tadi dia keluar dengan
Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu dia datang. Dan di manakah adanya
Sie-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”
“Kebetulan sekali! Dia tadi
mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu dia telah bertemu dengan
Lin Lin!”
Kemudian ketiga orang itu
saling menceritakan tentang pengalaman mereka, disaksikan dan didengar oleh
kepala kampung…..
********************
Ketika Cin Hai lari cepat ke
arah puncak di mana dia mendengar burung merak memekik nyaring, dia mendengar
lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat
larinya dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat pertempuran yang hebat
antara seekor burung merak yang bulunya indah dan bertubuh besar sekali melawan
seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa
hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!
Ternyata bahwa hwesio jahat
ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah
niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa
gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya!
Demikianlah, saat ia mengintai
ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak, maka segera
ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas
sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur
sengit.
Ketika Cin Hai tiba di situ,
burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan
dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi pada saat Cin Hai
memperhatikan, dia menjadi terkejut oleh karena melihat betapa gerakan burung
itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat!
Memang benar, sebelum Cin Hai
datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak
dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak
Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak mempunyai kekebalan dan tenaga luar
biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak
Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sute-nya yang
sakti dan sudah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa
maka pukulan ini biar pun telah melukainya, akan tetapi tidak dapat
membunuhnya.
Betapa pun juga, kepandaian
Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini meski pun dia
menyambar-nyambar namun dia tak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan
tiap kali mereka bergebrak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat
dari Hai Kong Hosiang!
Melihat ini Cin Hai menjadi
marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran.
Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada
pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan.
Kuda itu adalah kuda
Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu telah
dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga
bahwa kuda ini terjatuh ke dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang
betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang
semenjak dia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang sudah
berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.
“Hai Kong Hosiang, mari kita
menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung
ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
“Sin-kong-ciak-ko, biarlah
siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan engkau beristirahatiah
dulu!”
Merak Sakti ini agaknya maklum
bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu
terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di sana dia lalu
menggunakan paruh serta kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang
terluka dan terasa sakit.
Ketika Hai Kong Hosiang melihat
siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.
“Bangsat besar, akhirnya aku
dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun dia tidak merasa
jeri.
Memang dia tahu bahwa
kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana sudah dia rasakan ketika mereka
bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini dia telah memiliki
ilmu kepandaian tinggi supek-nya.
Setelah mengeluarkan makian
marah, Hai Kong Hosiang langsung maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut
pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis hingga sebentar saja dua orang musuh
besar ini sudah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh
Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.
Setelah bertempur beberapa
puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget sekali melihat kemajuan ilmu silat
lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena
tenaga lweekang-nya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi
Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat
ganda hebatnya dari pada dulu.
Dan ketika Cin Hai membuka
serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah
Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini sekarang sudah memiliki ilmu kepandaian
hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam dia menjadi bingung dan
jeri terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata,
“Hai Kong, sekarang kau harus
menghadap Supek-mu!”
Hai Kong Hosiang maklum bahwa
supek-nya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia semakin jeri lagi. Ia
tak perlu bertanya bagaimana supek-nya meninggal namun dapat menduga bahwa
tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai
mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan membuat
kacau pikirannya itu.
Dengan nekad Hai Kong Hosiang
kemudian menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa Tung-hoat atau Ilmu
Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan
ilmu tongkat yang telah dikenal baik-baik oleh Cin Hai ini, hanya memperlebar
senyum di mulut pemuda itu saja.
Ketika Cin Hai mengeluarkan
seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya,
mendadak tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar
sayap mengibas karena saat melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak
Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke
dalam sebuah jurang yang curam sekali!
Hai Kong Hosiang menjadi marah
sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua
kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya sangat cepat dan hebat, dan kedua
kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar
membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang bagai
tertiup angin keras!
Namun Hai Kong Hosiang tak
dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan
tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena dia tidak mau disebut licin
akibat melawan seorang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju
menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan
seruan keras dan mengerikan kemudian kedua kakinya menyambar dalam
serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai segera menyambutnya dengan Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan
tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in Hoat-sut dan setiap kali
hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul balik oleh uap putih yang keluar
dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong lantas terpental kembali yang
membuat tubuhnya bergoyang-goyang.
Cin Hai maklum bahwa dalam
keadaan terbalik itu, agak sulit baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam
keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri
di atas kedua kakinya, tak akan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio
itu.
Cin Hai yang sejak tadi
memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, tiba-tiba mengambil keputusan untuk
meniru gerakan lawannya ini. Segera dia berseru keras dan berjungkir balik,
kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Maka bertempurlah mereka dalam
keadaan aneh itu dengan hebatnya.....
Kembali Hai Kong Hosiang
menjadi terkejut setengah mati. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat
ini dengan sama baiknya?
“Siluman!” bentaknya dengan
hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.
Tubuhnya berputar-putar di
atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini
Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini
khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka
semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur. Kaki yang tadinya harus menyerang ke
pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai.
Hai Kong Hosiang benar-benar
bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi
di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah berdiri dan menyerangnya
dengan hebat.
Menghadapi Pek-in Hoat-sut
dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat menahan lagi
dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri
anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara
lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin Hai sempat
mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa
hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini
hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang,
dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar dan mematuk ke arah kedua
mata Hai Kong Hosiang.
Biar pun kedua kaki tangannya
telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga untuk
mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak
yang hendak mematuk matanya.
Cin Hai melangkah mundur,
kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil
bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata,
“Kong-ciak-ko, jangan kau
habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”
Setelah beberapa kali
menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari serangan Merak
Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil mengeluarkan
jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi dia
terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah
bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!
Pada saat itu pula terdengar
seruan girang, “Hai-ko!”
Cin Hai cepat berpaling dan
melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi
sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh
Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia
berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan
tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam
jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu,
Sin-kong-ciak sudah datang membelanya.
“Lin Lin...!” Cin Hai berseru
girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan dengan hati penuh
kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang sudah
ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan lalu menonton betapa Merak
Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah berhasil membalas
sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan memekik-mekik
girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan
Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa
kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.
Melihat Hai Kong Hosiang sudah
rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee An segera mencabut
pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.
Akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa
menjerit, “Koko, jangan!”
Kalau orang lain yang
mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa marah
sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan tubuhnya
dan memadamkan api kemarahannya.
“Jangan, An-ko, biarlah kita
ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”
Kwee An memandang kepada
kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera berpaling kepada
Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan
dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang,
maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.
Yousuf tertawa. “'Anak-anak!
Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi. Jangan terlalu mengandalkan
kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa
besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan
mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur
sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”
Cin Hai merasa kagum sekali
mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya untuk
mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa
orang tua ini adalah ayah angkatku!”
Cin Hai memberi hormat dan
dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.
Mendadak tubuh Hai Kong
Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat
rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam? Tunggulah
pembalasanku!”
Sambil memaki-maki dan
berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan
tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang amat dalam!
“Nah, begitulah hukuman
seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka semua kembali ke
rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang indah. Bulan
bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan
tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang
menarik sekali.
Di bawah pohon nampak dua
orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah
Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling
menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata yang menyatakan
betapa besarnya cinta kasih mereka.
Ketika Lin Lin mendengar
tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan
sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,
“Lin Lin, kita tak boleh
melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam usahanya
mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biar pun
dia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia juga meninggalkan sesuatu untuk
kita buat sebagai kenangan.”
Sesudah berkata demikian, Cin
Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang dia
temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap
kain itu ke dadanya.
“Enci Im Giok....” bisiknya
pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada
Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah
meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri
aku tidak percaya jika seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”
Cin Hai menghela napas dan
menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi
ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah yang sanggup
menyelamatkan dirinya?”
Untuk beberapa lama mereka
berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk
keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah keharuan hatinya
agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya mengenai pertemuannya
dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek
sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,
“Hai-ko, Suhu-mu berpesan agar
supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku, karena setelah aku memiliki
pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu pedangnya.”
Cin Hai menghela napas dan
berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari
Suhu, aku diharuskan bersumpah.”
“Aku pun bersedia bersumpah!”
memotong Lin Lin sambil cemberut.
Cin Hai tersenyum. “Bukan
begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus
mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak
boleh mengajarkan kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”
“Apa kau tidak percaya
kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.
Cin Hai memegang lengan
kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan
kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri, walau pun di dalam
hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku tidak akan berani.
Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa amat girang
dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah menjadi keharusan, kau pun harus
mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh pun Suhu tidak menyaksikan
sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat
terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan
kesetiaan!”
Lin Lin mengangguk girang.
Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan dua tangannya,
diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang
nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,
“Teecu Kwee Lin, dengan
disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan disaksikan
pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah
bahwa kalau teecu sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko
sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu gunakan semata-mata
untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang
menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”
Cin Hai menyaksikan sumpah ini
sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.
Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.
Keadaan di bukit itu demikian
indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil
keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua
orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.
Dan mulai keesokan harinya Cin
Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Pun Su. Akan
tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana
yang sudah dia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat dipahamkan dalam beberapa
bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan
Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang dulu
sudah diciptakannya sendiri itu.
“Apakah namanya kiam-hoat
(ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.
Cin Hai memandang dengan sinar
mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah
ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah
berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin
yang tangguh, akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama
ilmu pedang ini.
“Ehh, kenapa kau hanya bengong
saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang
ini, masa tidak tahu namanya?”
“Lin-moi, bayi yang baru
terlahir tidak membawa nama pula.”
Lin Lin tertawa geli. “Jadi
kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat
memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan masih belum
mempunyai nama!”
Cin Hai tertawa juga mendengar
kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Lin-moi, ilmu pedang ini
kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak
dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku tak akan bisa
menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain
Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat
berharga dari daun-daun bambu.”
Lin Lin merasa heran sekali
mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai mana dia mencipta ilmu
pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula
tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.
“Aku sudah mempelajari Tari
Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun
suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan
seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak
saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan
bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara
keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah bahwa tarian
hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan
kaki tangan yang seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat, baik
dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”
“Eh, ehh, Hai-ko, biar pun
uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh dari pada inti
percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat
betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun.
“Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.”
Cin Hai bagaikan terbetot
kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita sedang
mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang
terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu
mencela sendiri.
Tak tertahan pula geli hati
Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang
diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang sekarang sedang
bertengkar!”
“Biarlah kuberi nama Ilmu
Pedang Daun Bambu saja!”
Sepasang mata Lin Lin yang
indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang
Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”
Cin Hai memandang dengan mata
terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”
“Memang, aneh sekali! Karena
di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan seorang pemuda seperti
engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”
“Kalau begitu sama saja dengan
kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis
seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”
Lin Lin mengulurkan tangannya
dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati
beruntung.
“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita
bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat menghafal pelajaran
Kiam-hoat-mu?”
“Tapi aku tidak suka nama
kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding
dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah
sehingga aku menjadi bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu menanyakan
nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu
bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah dapat
mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja?
Murah sekali!”
“Apa yang murah?”
“Daun bambu itu!”
Cin Hai hanya tertawa. “Kalau
begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit untuk sekalian
disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini.
Kemudian, setelah kau dengan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu
Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”
Bersinar-sinar mata Lin Lin
mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah dapat nama itu!”
Cin Hai terheran. ”Sudah ada
namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah
namanya?”
“Namanya Han-le Kiam-sut,
sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”
Cin Hai merasa girang karena
menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Begitulah, mulai saat
itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun
Bambu, namun diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang
pendek di tangan Lin Lin.
Memang gerakan-gerakan pedang
pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang pendek yang merupakan
sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat supaya jangan
didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus
dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil,
dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang lawan yang
bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara rapat
sehingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal
ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga
terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi
hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.
Akan tetapi, Lin Lin memang
sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta
ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan
lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah
maju dengan pesatnya.
Tak hanya Cin Hai dan Lin Lin
yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa
juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling
mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua
teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan
jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran pun sama sekali tidak
terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.
Keadaan ini membuat Yousuf
merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya
orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya
timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu,
yang tidak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang
gagah untuk bergaul secara bebas.
Akan tetapi, melihat betapa
keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi amat kagum.
Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk
menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan jsama-sama
sopan pula!
Biar pun selalu memilih tempat
terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan
di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil
membicarakan mengenai ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih bersama, saling
mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee
An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi pelajaran kepada
kekasihnya itu.
Telah beberapa hari ini, Ma
Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya.
Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan
keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi sejak malam
terang bulan pada waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan
yang sejuk.
Angin gunung bertiup perlahan
dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai
ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya
tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak
menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang sedang berdiri memandang
padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,
“Jangan... jangan sanggul
rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”
“Eh, ehh, kau kenapa, An-ko?” tanya
Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.
“Kau... kau nampak cantik
sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam
berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin,
seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang
bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan,
jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua
pundakmu!”
Mata Ma Hoa sampai bertitik
dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang mendengar pujian yang
keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu dia berjanji tidak akan
menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada orang lain
tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia lebih suka mengurai rambutnya.
Lin Lin dan Cin Hai, begitu
pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak
menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.
Pada suatu hari, pada saat
Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah
lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati keindahan yang ditimbulkan
oleh matahari yang baru muncul sehingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka
melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya
merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari cepat sekali, tanda ginkang
mereka sudah mencapai tingkat tinggi.
Keduanya lalu berdiri menunggu
dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu.
Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah
seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga
panjang terurai tertiup angin.
Di samping berambut panjang,
laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan baju itu berbeda
dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga kakinya mengenakan
sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini
gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul
itu.
Agaknya kedua pendaki bukit
yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menuju
ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang
memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,
“Jiwi mohon tanya di mana
rumah seorang Turki bernama Yousuf?”
Kwee An dan Ma Hoa saling
pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan
sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.
“Suhu ini siapakah dan apakah
perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati
karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.
“Ehh, siapakah nama Nona yang
cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah,
alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.
Suaranya juga aneh, karena
terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi tak perlu
disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan tubuhnya
yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di
lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang wanita.
Ma Hoa menjadi marah sekali
dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak menegur dan mendamprat,
akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya dia bersabar.
”Pinceng hendak mencari dua
orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang
nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”
Makin curiga dan terkejutlah
Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.
“Akulah yang bernama Ma Hoa.
Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”
Tiba-tiba saja mata hwesio itu
terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha-ha-ha! Dicari-cari
sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang
dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”
Bukan main terkejutnya hati
Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah mereka sangka
bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!
Kwee An melompat maju dengan
marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan
mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan jahat?”
“Buka lebar-lebar mata dan
telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku
itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari
dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata begini, Bo Lang
Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini
adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu
Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap Yousuf! Karena
Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan
mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”
Bukan main marahnya Kwee An
mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas
muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran
dangkal! Ada pun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko
dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”
“Bagus!” Bo Lang Hwesio
membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan
kilat!
“Bo Lang Suhu, jangan kau
bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu
dan menyerang Kwee An.
“Ha-ha-ha, dasar kau mata
keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.
Ma Hoa terkejut melihat
serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya,
karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa
lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka
dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.
Sementara itu, Kwee An dengan
tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena
ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena
hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa
pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang begitu besarnya
sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia segera membalas dengan
serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini
lawannya bukan orang lemah.
Pada waktu Bo Lang Hwesio dan
Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang
curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka. Oleh
karena itu, ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi
tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.
Hal ini pun diketahui oleh Bo
Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak mau memberi
kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Dengan ilmu
silatnya yang tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke
Ce, bahkan pada saat dia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi
sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan
tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.
Akan tetapi Ma Hoa yang
menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga gadis ini
makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat
hal ini, merasa kuatir sekali, maka dia pun segera mengirim serangan kilat
dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan sambil membarengi memukul
dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan
Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas dan
berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari
serangan Kwee An yang berbahaya tadi.
Kesempatan ini digunakan oleh
Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi,
hati-hati di belakangmu tebing!”
Sambil berseru demikian, dia
lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan
tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang
berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras
sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!
Kwee An merasa terkejut sekali
ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia
terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An
mempunyai ilmu kepandaian cukup lihai, segera mengejar dan mengirim tendangan
maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu!
Ma Hoa menjerit ngeri melihat
ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tidak
akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah memiliki ketenangan serta
kepandaian yang hampir sempurna, maka pada waktu merasa betapa tendangan maut
mengancam perutnya, dia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit
seperti seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini
sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi
hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.
Akan tetapi, selagi tubuh Kwee
An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau
dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An
merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya
masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan
ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing.
Ma Hoa menjerit lagi dengan
lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia pun telah
menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang
sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur
dalamnya.
Pada saat Kwee An melihat
betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur tangannya.
Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke bawah sambil
saling berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang tangan, rasa
takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali.
Inilah daya rasa cinta yang
besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut sendiri tidak dapat
melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta…..
********************
Melihat betapa Ma Hoa ikut
meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya.
“Sayang... sayang sekali…,” katanya. Akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio
tertawa bergelak.
“Boan Sip, muridku!” teriaknya
bagaikan gila sambil berdongak ke angkasa memandang awan, “seorang pembunuhmu
telah tewas, kau terimalah nyawanya, dan sekarang tinggal yang seorang lagi!”
“Pendeta jahat dan rendah! Kau
apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf
yang berlari mendatangi telah berada di situ.
Dari jauh tadi dia telah
melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah
marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu,
ia berkata lagi, “Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak
takut akan tertimbun oleh dosa?”
Melihat kedatangan Yousuf, Ke
Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang berdosa
besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah
memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!”
Sambil berkata demikian, Ke Ce
lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah
memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan
serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang
Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi
dan segera maju mengeroyok.
“Majulah, majulah! Biar
kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan dua anak muda itu!”
teriak Yousuf dengan gemas karena kalau dia teringat akan kedua anak muda yang
dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, rasanya dia mau berteriak keras dan
menangis.
Akan tetapi, dia segera
terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini
sungguh lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur
lama baru dia akan dapat mengalahkannya, apa lagi sekarang ditambah dengan Bo
Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.
Tanpa terasa lagi Yousuf lalu
mengumpulkan khikang-nya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...! Lekas ke
sini...!”
“Ha-ha-ha! Kau memanggil
kawan-kawanmu, ha-ha-ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, “Panggillah
semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian semua kaki tanganmu.”
Akan tetapi Bo Lang Hwesio
menjadi girang sekali pada waktu mendengar nama Lin Lin disebut. Akan
terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang
bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah
tugasnya membalas dendam.
Teriakan Yousuf itu dilakukan
dengan tenaga khikang sepenuhnya, karena itu suaranya bergema keras dan dapat
terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang
berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil
ini, keduanya terkejut sekali.
Lin Lin lalu segera meloncat
tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kiam di tangan kanannya. Cin
Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa
Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam dari pada
pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.
Cin Hai yang datang terlebih
dahulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh
seorang hwesio serta seorang pemuda gagah yang berpakaian aneh dan berambut
panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua
orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya.
Ia tidak mau mencabut pedangnya
karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan
memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong
dengan menggunakan senjata. Apa lagi memang dengan kedua tangannya dia cukup
kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat
terpaksa, dia pun tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.
Sebaliknya, pada saat Bo Lang
Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali
karena baik kegesitan mau pun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan
membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena
belum pernah dia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia kemudian mengerahkan tenaganya
dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Cin Hai seorang diri dan
pertempuran berjalan seru dan hebat!
Tak lama kemudian sampailah
Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur
dengan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip,
dia segera berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu
dari Boan Sip yang jahat!”
Cin Hai terkejut sekali dan
tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin,
segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh
muridku?”
“Benar!” Lin Lin menjawab
tanpa merasa takut sedikit pun juga. “Aku dan Ma Hoa sudah menghancurkan kepala
Boan Sip, kau mau apa?”
“Celaka dan sungguh sayang,“
Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan
mereka, tiba-tiba berkata, “Mengapa musuh-musuhmu begini cantik-cantik seperti
bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!”
“Anak muda!” berkata Bo Lang
Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh
muridku, karena itu janganlah kau turut campur. Biarkan aku bertempur mengadu
jiwa dengan dia!” Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa
jeri terhadap Cin Hai yang lihai.
Akan tetapi sambil tersenyum,
Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu
dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya!
Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini
adalah bibiku pula! Muridmu sudah membunuh keluarganya dan dia telah membalas
dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang
kau hendak membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan
menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah dalam mendidik murid itu! Peribahasa
menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, itu
berarti bahwa guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”
Merahlah muka Bo Lang Hwesio
mendengar ini karena marahnya.
“Jangan banyak cakap, kalau
kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”
“Hai-ko, biarlah aku melawan
sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” seru Lin Lin.
Dan Cin Hai yang maklum bahwa
gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru
dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba
ilmu pedangnya karena dia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan
tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari sehingga tentu saja
belum matang dan sempurna ia lalu berkata,
“Baik, Moi-moi, kau lawanlah
dia, bila dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”
Dengan seruan garang, Lin Lin
lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini,
Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu sudah memberi nama pada tiap jurus
dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan
lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin
Hai.
Ada gerak tipu-gerak tipu yang
diberi nama Cin-hai Kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin
Chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-I Lo-be atau Ang I
Niocu Turun Dari Kuda.
Ketika dia menerjang maju, dia
menggunakan tipu gerakan Lin-lin Chio-cu. Tangan kanan yang memegang pedang
menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke
belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula
dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.
Hebatnya Ilmu Pedang Han-le
Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tak terduga
dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul
menurut gerak dan serangan pembalasan lawan.
Maka ketika Bo Lang Hwesio
yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya mengebut ke arah pedang pendek yang
menyambar ke tenggorokan, dan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepenuhnya
menghantam pergelangan tangan kiri Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba
pedang pendek itu sudah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak
menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada
ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan
terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.
Hwesio itu terkejut bukan main
melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya
itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lainnya. Dia cepat mengebutkan
ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan
yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindarkan serangan jari pada
matanya, ia menundukkan kepala.
Akan tetapi, kembali Lin Lin
merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung
lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin sudah berkelebat dengan
belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang
sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung
menyodok perut.
Memang hebat bukan main llmu
Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat
dan perubahannya amat tak terduga-duga sehingga tiap kali serangan tak
berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan
kedudukan atau posisi lawan.
Sungguh sayang bahwa Lin Lin
belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan sehingga
meski pun perubahannya cepat, tetapi semua masih dapat dilihat oleh lawan
hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I
Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya
gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak
terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.
Betapa pun juga, Bo Lang
Hwesio sudah dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan
selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis serta timbul dari
cara ia menangkis atau pun mengelak itu, dia lalu berseru dan melangkah ke belakang
dua tombak lebih jauhnya.
Sesudah jauh dari Lin Lin
barulah dia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini dia menghadapi
gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat,
memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya.....
Sementara itu, semenjak tadi
Ke Ce hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf
yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apa
bila tak diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang
pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang
Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari
Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah dia terhadap pemuda itu.
Tiba-tiba melihat betapa Bo
Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce
yang curang hatinya itu lantas membentak keras dan kedua lengan tangannya
mendorong ke arah Lin Lin. Ini adalah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan
merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia
Dalam dan yang tak sembarang orang bisa menguasai atau mempelajarinya dengan
sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri
sampai tak dapat menahan serangan ini!
Akan tetapi, kali ini Ke Ce
tercengang sekali ketika tiba-tiba saja angin pukulannya yang dahsyat bagaikan
tenaga angin taufan itu membalik dan membuat dia sendiri bergoyang-goyang!
Ketika dia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana dia berdiri, Cin Hai
dengan tubuh setengah membongkok juga mengulurkan dua tangannya dan melakukan
gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan
atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat sehingga
telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!
Terbelalak mata Ke Ce
memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu
mendorong ini? Dia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan
dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu sudah dapat
menirunya kemudian pada saat yang tepat telah mengirim kembali tenaga yang
tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.
“Ehh, jangan main curang,
kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.
Yousuf menjadi marah sekali
melihat betapa dengan curangnya Ke Ce sudah menyerang Lin Lin yang masih
bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,
“Ke Ce, bila tubuhmu sudah
gatal-gatal ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan
hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.
Cin Hai memandang dengan penuh
perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa meski pun ilmu kepandaian kedua
orang ini tidak jauh selisihnya, akan tetapi kepandaian Yousuf masih lebih kuat
dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya
kepada Lin Lin lagi.
Ia melihat betapa gadis itu
dengan garang melakukan serangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio dia
kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa
apa bila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau
pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.
Baru saja dia berpikir
demikian, tiba-tiba saja dengan membentak keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan
telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan pada waktu Lin Lin
dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu
telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya,
tapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat
ditarik kembali.
Cin Hai berseru keras, dan
sekali tubuhnya berkelebat dia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu
yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk
menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Pada
saat kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh
tenaga lweekang-nya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya…..
“Brettt!” sobeklah ujung
lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin
Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!
“Hebat!” serunya sambil
meloncat mundur kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua
dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita
pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh
Yousuf!
“Sampai lain kali!” kata Ke
Ce.
Pada saat itu juga tubuhnya
mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke
tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang
lain-lainnya merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang
dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkang-nya belum tinggi! Setelah kedua
orang itu berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa
Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!
“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin
Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.
Lin Lin menjerit ngeri dan
menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga
tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, kenapa tidak semenjak
tadi kau memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki
dengan gemasnya. “Kalau tadi aku tahu, tentu aku tidak akan melepaskan dua
binatang kejam dan busuk itu!”
Juga Cin Hai merasa kecewa
karena kalau dia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terbinasa dan terlempar ke
dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu dia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf
merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk
menceritakan hal itu.
“Biar aku mencari mereka di
dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tidak
lama kemudian dia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.
"Peganglah ini, Cin Hai,
aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan
tambang itu kepada Cin Hai.
“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku
saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.
“Biarkanlah aku yang turun,”
kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air
mata!
Lin Lin dan Cin Hai maklum
bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan dia merasa demikian menyesal
sehingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka
yang jatuh ke dalam jurang.
Lin Lin merasa sangat terharu
dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah... maafkanlah kami
berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”
“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah
tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada
yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain
kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”
Akhirnya Yousuf menurut juga
dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh
Yousuf serta Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tak
kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang
itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.
“Alangkah dalamnya!” katanya
dengan bibir gemetar.
“Di rumah sudah tidak ada
tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.
“Biarlah, sebegini juga
cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di
bawahnya,” Cin Hai berkata. “Peganglah tambang kuat-kuat!”
Pemuda itu melangkah ke
pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.
“Ko-ko... hati-hatilah kau...”
Cin Hai tersenyum dan meraba
dagu gadis itu, kemudian dia segera turun ke bawah menyusur tambang. Karena dia
telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja dia merayap
melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup
oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar.
Sesudah kedua kakinya merasa
sudah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai lalu meraba-raba dengan kaki
dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih dalam keadaan tergantung di udara
dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuhnya ke depan sehingga tambang
itu ikut terayun.
Tubuhnya terayun-ayun beberapa
kali, makin lama semakin keras dan akhirnya dia dapat menyentuh tanah di
depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras, dan ditumbuhi
rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke
arah atas, tentu saja tidak mungkin baginya untuk mendarat di sana. Dia
berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata
itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.
Baik Cin Hai mau pun Lin Lin
dan Yousuf sama sekali tidak pernah menyangka atau pun menaruh curiga terhadap
Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya kedua
orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka sudah lari
turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata
perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”
“Apa kau gila?” seru Bo Lang
Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,
“Dara manis itu... ia cantik
jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergap dia, tanpa bantuan
Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkap dia?” Sambil
berkata demikian, sepasang mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan
mulutnya tersenyum.
Untuk beberapa lama Bo Lang
Hwesio tertegun karena merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini. Akan
tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan dia dapat membalas
sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya dia menganggukkan kepalanya yang
gundul. Mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik
lagi ke atas bukit.
Pada saat mereka tiba di
tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih
berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Bukan
main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras
mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka, dan lari cepat ke arah
Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung
di bawah.
Tidak perlu diceritakan lagi
alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka. Keduanya
memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa sekarang mereka berdua
berikut Cin Hai, pasti akan binasa.
“Pegang tambang itu kuat-kuat,
aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.
Lin Lin lalu memegang tambang
itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biar pun sesungguhnya tenaganya
sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh
kekasihnya, akan tetapi oleh karena merasa takut kalau-kalau tambang itu
terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal
demikian, maka dia lalu memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri
yang tergantung di ujung tambang itu.
Yousuf yang tadi ketika
mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan
menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang
jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak
cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan
terdesak hebat sekali.
Sementara itu, Cin Hai yang
tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari
dengan matanya. Ketika dia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal
dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiruan yang bergerak-gerak
di bawah kakinya, jauh di bawah. Dia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun
pohon.
Cin Hai lalu mencari akal, dan
ketika tangannya menyentuh akar-akar serta daun pohon kecil, ia segera memegang
akar pohon itu kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar
pohon, dia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu
pada pinggangnya. Dengan demikian, dia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil
merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar
itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.
Pada waktu Lin Lin memandang
dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh dua orang musuh yang
tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya
karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.
“Kong-ciak-ko, lekas tolong
Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.
Merak Sakti menyambar turun
bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiaannya timbul
melihat Yousuf dikeroyok, lalu dia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik
keras!
Ke Ce terkejut sekali ketika
melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah
kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk
merak yang kecil merah serta tajam itu meluncur di dekat kepalanya, hampir saja
berhasil mematuk matanya! Saat Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur
tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher
merak yang bagus itu.
Akan tetapi merak itu bukan
burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima
latihan-latihan sehingga dia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan
ini, dia tak menjadi gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak
mencengkeramnya itu dengan sayap.
“Blekkk!”
Ke Ce hampir saja mengeluarkan
pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata
bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce
menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk
mendorong jauh merak yang lihai itu.
Akan tetapi Merak Sakti yang
agaknya sudah maklum pula akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini
sehingga setiap kali Ke Ce memukul, dia selalu mengelak cepat. Betapa pun juga,
serangan-serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya
untuk menyerangnya.
Biar pun kini hanya menghadapi
seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi
dari pada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam
keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa
bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini
merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi
hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!
Lin Lin mulai menarik-narik tambang
membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai. Tiba-tiba saja dia merasa
tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isyarat
yang dia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.
“Hai-ko... lekas kau naik...!”
Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun
dan tak dapat menembus ke bawah.
Ia berteriak berkali-kali dan
Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera
menggunakan tangan kiri untuk menahan tambang, ada pun tangan kanannya cepat
mencabut pedangnya! Dia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan
pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apa
bila ia kalah, dia tetap takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke
dalam tebing menyusul kekasihnya!
Sementara itu, pada saat
melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, Sin-kong-ciak lalu berteriak-teriak
nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce segera memukul, memaksa
merak itu mengelak dan kembali terbang ke atas dengan jeri. Ke Ce tertawa
menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,
“Nona manis, kau lepaskan saja
tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…”
Pada saat itu, Sin-kong-ciak
menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak
dan tak melanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.
“Burung celaka!” makinya.
“Burung bedebah! Apa bila aku berhasil menangkapmu, akan kupanggang dagingmu
sampai gosong!”
Tetapi Merak Sakti itu hanya
terbang berkeliling di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring
berkali-kali. Pekik inilah yang kemudian terdengar oleh Cin Hai dan yang
membuat pemuda itu menjadi curiga, terlebih lagi karena dia merasa betapa
tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai
memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya
tidak menghasilkan sesuatu.
Sementara itu, berkat
sambaran-sambaran yang dilakukan oleh Sin-kong-ciak, Ke Ce tak mendapat
kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apa bila ia telah usir merak itu
dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap
dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biar pun gerakannya tidak
leluasa karena tangan kiri memegang tambang.
Sebelum Ke Ce dapat bertindak
lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini
menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan
Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
“Hai-ko, lekas... lekas
keluar...!”
Mendengar ini dan melihat
betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya
Cin Hai saja yang dia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera
muncul, dia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,
“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”
Sementara itu, Yousuf telah
beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang sangat
lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat
leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu
lweekang-nya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat
melawan dengan gigih!
Bo Lang Hwesio merasa heran
sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan
bajunya tadi biasanya cukup untuk membinasakan seorang lawan gagah dengan
sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan
masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam dia merasa kagum dan gentar
juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat?
Karena hatinya sudah gentar,
maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak dia untuk kabur, ia lalu meloncat
jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini
mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin
Hai!
Ketika Cin Hai sudah mendarat
dan berada di atas tebing, dia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang
ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di
kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena
kakek itu roboh tak sadarkan diri!
Keduanya lalu berlari
menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka pada tubuh Yousuf, Cin Hai
mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.
“Keparat betul dua bangsat
rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya
perbuatan mereka!”
Cin Hai agak lega melihat
bahwa biar pun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek
itu sudah cukup kuat untuk melindungi jantung serta paru-parunya sehingga tidak
sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama
sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian dia lalu memondong tubuh Yousuf dan
bersama Lin Lin dia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada
orang Turki itu.
Sesudah mendapat urutan dan
pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia lalu tersenyum
melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!
“Lain kali akan kubalas
dia...,” katanya lemah.
Kemudian Cin Hai lalu
menceritakan pengalamannya ketika dia mencari-cari jejak kedua kawan yang
terjatuh ke dalam tebing.
“Halimun terlalu tebal dan
tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh
karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari
kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja
Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”
Tiba-tiba Lin Lin menepuk
jidatnya dengan perlahan. “Ahh... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu
dapat mencari mereka.”
Mendengar ini, Cin Hai dan
Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu
tentu saja dapat mencari mereka.
“Pergilah kalian segera
membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hoa. Lekas!”
kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin dan Cin Hai lalu
berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera
terbang datang.
“Kong-ciak-ko, mari kau ikut
kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu
mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.
Sesudah tiba di tebing Lin Lin
lalu memberi tanda dengan tangannya, menyuruh burung merak itu turun. Kemudian,
sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,
“Kong-ciak-ko, kau dengarlah
baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka sampai
dapat!” Sesudah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak
itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah
dapat menangkap maksud perintah tadi!
Lin lin merasa begitu tegang
dan gembira sehingga dia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri
menanti di pinggir tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan
sepatah kata pun. Hanya hati dua anak muda ini yang berdebar-debar dan
bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan
mereka dan kembali sambil membawa berita baik!
Lama sekali mereka menanti dan
tiba-tiba saja mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan
main heran hati mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti
biasanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi seorang lawan! Merak itu memekik
berkali-kali, dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,
“Siapakah gerangan yang
membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”
Cin Hai juga tak bisa menduga
dan hanya menjenguk ke bawah yang terlihat putih pekat tertutup halimun itu
dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.
Sesudah terdengar pekik merah
itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin
menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba saja terdengar bunyi
pukulan sayap merak itu, lantas muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun,
terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin.
Dia mengangguk-anggukkan
kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh. Ketika Cin Hai dan Lin Lin
memandang, ternyata bahwa pada kaki merak itu sudah terlibat oleh seutas tali
hijau yang ternyata terbuat dari pada semacam akar pohon. Tali itu di bagian
depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk
disambitkan sehingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.
Tentu saja ilmu kepandaian
melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti,
menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu
sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan
untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya tidak akan mudah
dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa
heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.
Cin Hai cepat-cepat mencabut
kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan
corat-coret kasar dan berbunyi,
Pergilah kalian dan pelihara
Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
“Aneh...“ kata Cin Hai,
“tulisan siapakah ini dan apa pula maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An
dan Ma Hoa?”
Lin Lin yang membaca surat itu
berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. “Tentu di
sebelah bawah yang penuh rahasia itu ada seorang yang luar biasa pandai,”
katanya, “dengan batu dia mampu membelitkan tali bersurat kepada kaki
Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran
dan ajaib!”
Sekali lagi Cin Hai membaca
surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu
sudah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi, tentu
karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak
baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, ada pun
kata-kata bila ada jodoh kelak bertemu merupakan ucapan yang biasa dilakukan
oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama
mengenai keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan
benar.”
Mereka lalu kembali ke rumah
Yousuf dan menceritakan kejadian itu sambil menunjukkan surat itu. Yousuf juga
merasa heran, akan tetapi dia berkata dengan suara mengandung penuh harapan,
“Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau dia
dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu dia tahu pula apa yang
kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong
olehnya!”
“Akan, tetapi, kalau benar
demikian halnya, mengapa dia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?”
tanya Lin Lin.
Yousuf menggeleng-gelengkan
kepala dan memejamkan matanya sebab pembicaraan ini biar pun dilakukan sambil
berbaring, tapi cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf ialah seorang
perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia
dapat merawat luka-lukanya sendiri.
Semenjak terjadinya peristiwa
yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya
Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil
memberi nasehat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang
dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.
“Kau harus dapat menguasai
Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut beserta kedua Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan
Kong-ciak Sin-na baik-baik untuk menjaga dari bahaya mendatang, sebab aku harus
meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.
Lin Lin juga menyatakan
setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah
dengan tubuh masih amat lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga
bantuan dan rawatannya sehingga ia merasa tidak tega untuk meninggalkan ayah
angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, sejak saat itu mereka berlatih
siang malam tanpa kenal lelah sehingga setelah digembleng secara demikian untuk
sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.
“Lin-moi,” katanya girang setelah
ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu
kini benar-benar sudah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke
Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan
adanya kau di sini, seorang diri saja engkau akan sanggup memukul roboh mereka
semua.”
“Benarkah itu, Koko? Menurut
pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”
Cin Hai tersenyum “Memang
demikianlah adanya. Kemajuan sendiri pasti takkan pernah terasa atau terlihat
oleh diri sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang
ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama guru kita? Bu Pun Su,
artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan
itu, bahkan mengaku bahwa beliau tak memiliki kepandaian sama sekali.
Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan
sebulan yang lalu. Jika kau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”
Keduanya lalu mendatangi
Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.
“Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu
pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.
Yousuf tersenyum sambil
mengangguk-angguk dan Lin Lin lantas bersilat dengan pedang pendeknya di depan
Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar sehingga merupakan sinar
putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang laksana
menari-nari dengan gaya indah.
Walau pun pedang itu pendek
saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan
bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin
Lin tak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang
pedang pendek dan melakukan serangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai
dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.
Setelah ia berhenti mainkan
ilmu pedangnya, ia lalu memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata
mengandung pertanyaan. Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti
menahan napas karena kagumnya.
“Ah, sungguh sulit dipercaya
bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang
saja, kini aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau
hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”
Cin Hai tersenyum girang, lalu
menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku,
Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku akan turun gunung
hendak mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang,
aku dapat meninggalkan kalian berdua dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau
jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”
Lin Lin mengerling tajam.
“Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”
“Mana aku kuat meninggalkan
kau terlalu lama?”
Kemudian, sesudah sekali lagi
memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.
“Lin Lin, kau tentu bahagia
sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin tidak menjawab, hanya
menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum
dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.
Cin Hai mempergunakan ilmunya
untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Dia terus turun sampai di kaki bukit,
lantas mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam
di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.
Ternyata bagian ini ialah
bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar, dan lereng gunung itu walau
pun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh
dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian
yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika
terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya
sebab sekali saja kedua kaki masuk ke situ, orang tak akan mampu menarik
kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam!
Karena rawa yang demikian ini
luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai
kemudian mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang
pohon bambu dan melemparkan bambu itu ke atas rumput itu.
Dia membawa beberapa batang
bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput,
kemudian dia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang
diinjaknya. Dengan cara demikian dia membuat jembatan bambu yang sambung
menyambung dan yang dapat diinjaknya tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya
setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang
aneh dan berbahaya ini!
Cin Hai terus maju dengan
hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan sebab dia tidak tahu
apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia
itu. Akhirnya dia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam
dan yang tegak ke atas. Ketika dia memandang ke atas ternyata di atas penuh
dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.
Ketika ia maju sedikit ia
melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar amat
keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di
salah sebuah di antara goa-goa ini!
Ia lalu meneliti setiap goa
dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada orangnya, pasti ia
akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun tinggi ilmu ginkang
seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah
meneliti dan memeriksa beberapa buah goa, akhirnya ia berseru perlahan.
Di depan goa yang besar dan
gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya
tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya
disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya.
Ia kemudian mengerahkan
ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali.
Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam dari pada
tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat dia menduga bahwa ilmu ginkang
orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri!
Cin Hai berlaku makin
berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu
kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula
apakah orang itu kawan atau lawan. Ia segera membuat api dari kayu kering, dan
dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya dari pada alang-alang yang sudah
kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan
kanan.
Goa itu ternyata lebar dan
dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya
hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras dugaannya bahwa di situ
tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain
batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di
dalam goa.
la menjadi kecewa dan
tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang ternyata
tergantung di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas dan betapa
girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu
ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti
yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Dia tidak ragu-ragu lagi. Di
sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa semakin teliti dan
ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas
dinding tanah batu itu. Dia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret
itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan
orang yang sedang bermain silat!
Di sana-sini terdapat
tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali
karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari
kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyaknya ujar-ujar yang ditulis di atas
dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang dituliskan di
atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah
ujar-ujar yang dulu pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka
memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,
Kou Kuncu Put Kho-i Put
Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su
Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat kepada Kui
Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut, ‘seorang
Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat
menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada
ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak
harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang
peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”
Setelah membaca ujar-ujar yang
dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai berdiri bengong karena ia
teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari
kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah
api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari goa itu oleh karena
merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman
orang lain tanpa seijin tuan rumah!
Ia terus mencari hingga sehari
penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Akan tetapi
jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan
tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti bahwa dua orang
yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya terjatuh dan
terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.
Karena hari telah mulai gelap,
maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk
bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung
hawa dan bau yang tidak enak seperti goa lainnya, dan lagi pula, ada
kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia dapat bertemu dengannya! Dia
ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang sudah mengirim
berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia merasa yakin bahwa
penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam
goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi dan memeriksa
lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata lukisan-lukisan
itu mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi. Akan tetapi sebagai
seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat
orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar
yang selalu menarik hatinya.
Mendadak dia melihat
lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia
dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat,
sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan
aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia lalu membaca dengan
penuh perhatian,
Alangkah buruk nasibku! Aku
dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani!
Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku:
Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini. Dan kembali ke
tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin
bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat
merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan
penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!
Ia lantas bergidik memandang
tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat
tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah
mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat
menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya
sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara,
“Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai
membalikkan tubuhnya.
Dia melihat seorang tua kurus
tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar olehnya. Orang itu
kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya lalu
digerakkan ke arah Cin Hai.
Bukan main terkejutnya Cin Hai
sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali. Cin
Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah
menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam goa menjadi gelap
sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di
depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaian
seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar
yang menerangi sama sekali, mata tidak akan ada gunanya lagi. Maka dia lalu
meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.
Ia mendengar angin pukulan
orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum bahwa meski angin
pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan dirinya karena ia pun
memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia membuat gerakan, akan
terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam
gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap
hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia
tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.
Ia pun tidak berani membuka
mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai
orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun tidak bicara
sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!
Semalam itu Cin Hai hanya
duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi karena hanya
dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil mencurahkan
perasaannya sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.....
Pada esok harinya, ketika
sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa
kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari goa dan
ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan goa sambil bertolak pinggang
dan memandang kepadanya dengan marah!
“Locianpwe, mohon kau orang
tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,”
kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang tua itu
dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah mengusir
supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah
uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena dia mendapat kenyataan bahwa empek-empek
itu ternyata adalah orang gagu!
“Locianpwe, aku datang bukan
dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang sudah mengirim surat yang
diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu menggeleng-gelengkan
kepala dengan keras sehingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek
ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe, kalau begitu,
tolonglah kau memberi tahukan tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini
dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu
kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara “ah-ah uh-uh” tidak karuan dan
tangannya semakin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena dia beberapa kali
menuding ke arah bawah bukit.
“Locianpwe, aku tidak akan
turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku
itu,” kata Cin Hai sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba saja kakek itu
menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan laksana seekor binatang buas, dia
menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biar pun
belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan
pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu
silat seperti yang dilukiskan di dalam goa itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau
membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini.
Lima jurus kakek itu menyerang
dan semakin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa
dia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan
dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu
pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat
Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan
juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna.
Maka dia segera maklum bahwa
selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan
sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanyalah kawan atau murid saja dari
orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Sesudah menyerang lagi lima
jurus tanpa hasil, tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke
atas bukit. Walau pun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari
padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat
sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi
kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena
pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan
tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Dia mengejar dan melompat ke
atas sebuah batu besar, akan tetapi dia urungkan niatnya untuk mengejar terus.
Apa gunanya? Kalau pun dia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena
ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap.
Ia berdiri termenung di atas
tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia
segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara
yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang
kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan
selatan, nampak pasukan lain lagi. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi
pada bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi
pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua
pasukan itu agaknya hendak berperang, sebab masing-masing membawa bendera yang
berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik
sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari
tempat itu. Dia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah
meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan
bertemu.
Dan setelah dia sampai di
sana, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu
dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika dia melihat bahwa
yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan bangsa
Mongol, dia segera menyerbu dan ikut membantu pasukan kerajaan. Melihat
orang-orang Mongol ini, dia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang
menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang,
tentara kerajaan sedang terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai
seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka
yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak
korban jatuh di pihak mereka.
Akan tetapi ketika Cin Hai
menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena
baik dengan kedua tangan atau pun kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat
seorang bangsa Mongol terguling!
Melihat datangnya seorang
pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat
pasukan kerajaan sehingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh
semangat sehingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara
kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau.
Akan tetapi, pada waktu Cin
Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, dia melihat seorang panglima bangsa
Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima
kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan
tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam serta bertubuh tinggi besar itu
mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak
hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam
keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai
karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkan menemukan
tandingan. Melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan
bahkan telah ada tiga orang yang tewas, dia lalu berseru keras dan menyerbu
menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,
“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan
biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat Perwira Sayap Garuda
menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah
kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang
membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar
itu tertawa lebar pada saat melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah
seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha-ha-ha! Agaknya kalian
telah kehabisan panglima hingga harus mengajukan seorang kanak-kanak yang masih
harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai menghadapi sindiran
dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia pun bertanya, “Panglima yang
sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran
Vayami?”
Panglima tinggi besar muka
hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hmm, dari mana kau tahu
nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan
dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”
Balaki ini sebenarnya adalah
seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda
yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki
amat tinggi.
Ketika mendengar tentang
gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan
mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, dia lalu menawarkan diri untuk
mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan
pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan
yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan
Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,” kata pula Balaki,
“kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju
menyambutku?”
“Aku adalah seorang rakyat
biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain
gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.
Balaki tertawa terbahak-bahak.
“Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha-ha-ha, bagus, aku akan membuat kau
tewas sebagai seorang pahlawan negara!”
Sambil berkata begitu, Balaki
lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat sehingga
Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan
melayaninya dengan hati-hati.
Pada saat melihat pertempuran
hebat ini, para anak buah tentara kedua pihak menjadi gembira dan mereka yang
berada dekat pertempuran ini segera menghentikan serbuan masing-masing dan kini
menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat
Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati
oleh karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang
terkenal kosen itu.
Seperti biasanya, Cin Hai
hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata
bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walau pun
benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai
sehingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau pun menangkis semua
serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat
Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang
lawan yang mampu menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu
berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang
bulat.
Cin Hai mengira bahwa itu
tentu semacam senjata rahasia, maka ia berlaku waspada dan cepat bersiap sedia
menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak menggunakan
senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri, ada pun golok di tangan
kanannya masih menyerang ganas.
Tiba-tiba ketika Cin Hai
mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan
tahu-tahu selarik sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka
Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya sehingga tidak mungkin lagi dikelit
oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa
pula ia berseru.
Akan tetapi, ternyata bahwa
sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya terasa pedas
sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah
cermin yang digunakannya untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar
terang. Pantulan cahaya matahari itu dipergunakan untuk menyerang mata lawan,
dan mengagetkannya sehingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai
itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu
dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu, dia pun tidak
kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan
oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok
di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang
tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun dia sudah merasa
pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan
tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul
siapa adanya Cin Hai!
Pemuda ini selain sudah
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga sudah menerima
gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah lagi pengalaman bertempur yang banyak
menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun,
hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang.
Memang, ketika matanya
tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak
memejamkan mata. Akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat
itu tidak dapat dipergunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam
dan tidak terpengaruh sama sekali.
Dia dapat merasa dan mendengar
suara angin serangan golok yang mengarah lehernya. Maka, ketika semua orang
sudah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menyangka
bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain
yang pernah menghadapinya, tiba-tiba saja tubuh Cin Hai melompat ke belakang
dengan cepat sekali sehingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat kulit
lehernya.
Tidak hanya Balaki yang amat
terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh
itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke
belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut sedang mengancam
leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga
karena hampir saja ia tadi menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini.
Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka dia tidak
ingin menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan
ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya terputar-putar garang bagai seekor
naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.
“Rasakan pembalasanku!” kata
Cin Hai dan pemuda ini mulai memainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu
ciptaan sendiri.
Ketika ia mencipta ilmu pedang
ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang runcing
bagaikan golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh
daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, meski pun dalam pandangan
mata orang lain tubuh Balaki sudah lenyap tergulung sinar golok, namun bagi
mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga dengan
cepat ia dapat ‘memasukkan’ pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik.
Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut
dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu
dia merasa lengan tangannya sakit sekali sehingga goloknya terlepas dari
pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Bukan main girangnya hati
keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi
aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan dia sendiri cepat
meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan
merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi kini tentara Mongol telah
lemah semangat bertempurnya dan tidak lama kemudian mereka melarikan diri,
meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas atau terluka sehingga tempat itu
penuh orang-orang mati dan luka.
Ini merupakan kekalahan besar
pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak dia mulai menginjakkan kakinya
di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan
berterima kasih sekali kepada Cin Hai.
Melihat sikap mereka yang
baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan
perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya ketika dia dan Kwee An
mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu pada waktu ia membasmi para
perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.
“Hohan (orang baik atau orang
gagah) yang muda sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat
kami berempat menaruh hormat dan merasa kagum serta amat berterima kasih
sekali!” kata salah seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah
kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?”
Dengan suara merendah, Cin Hai
berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte yang muda
dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Mungkin Cuwi-ciangkun akan teringat dengan nama
hamba apa bila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!”
sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa
empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang. Segera mereka lalu
mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua
berkata,
“Ah, tak tahunya Sie-taihiap
yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami semua Perwira
Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah
perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai benar-benar merasa
tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
“Apa? Apakah kaisar mencari
untuk menghukum aku yang dulu telah pernah membunuh beberapa orang perwira
jahat?”
“Ahh, agaknya sudah lama
Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di
sana,” berkata salah seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan
hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai.
Ternyata bahwa semenjak Beng
Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan Balutin,
kemudian para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan
memegang pucuk pimpinan ialah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah
perkasa bernama Kam Hong Sin.
Panglima Kam ini selaih gagah
perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang dan
perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan
kaum kang-ouw dan memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah
sehingga dia sangat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan
pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk terhadap
orang-orang kang-ouw.
Dengan tangan besi Kam Hong
Sin lalu memilih ulang perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan
peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Kalau seorang perwira
sedikit saja melanggar, dia akan dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh
karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru pilihan
Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw yang masuk menjadi
Perwira Sayap Garuda!
“Karena inilah, Sie-taihiap,
maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap.
Telah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan
mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda
itu.
Tentu saja Cin Hai menjadi
girang sekali mendengar mengenai perubahan baik ini. Tanpa diminta lagi dia
lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang
penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Sudah sebulan
lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok
dan raja muda ini mempunyai banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai. Balaki
tadi adalah seorang di antara para jagonya itu, maka kedudukannya kuat sekali.
Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi
beberapa bagian dan mengadakan pengepungan terhadap barisan induk dari tentara
Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia.
Pasukan kami ini merupakan bagian dari barisan yang harus mengadakan
pengepungan dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan
barisan Balaki tadi sehingga jika saja tidak mendapat bantuan dari taihiap,
tentu kami mendapat bencana besar.”
Kemudian Cin Hai mendengar
betapa tentara kerajaan sering kali menderita kekalahan sehingga ia pun menjadi
penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha
para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang
sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang sangat lihai ini, banyak harapan
usaha mereka akan berhasil dan sekarang mereka tidak usah kuatir menderita
kekalahan apa bila di jalan bertemu dengan pasukan musuh.
Pada saat pasukan di mana Cin
Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan,
mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan.
Pengepungan dilakukan, dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan
datang dari segenap penjuru hingga daerah Tiang-lo-sia akhirnya telah dikurung.
Pimpinan serbuan ini adalah
seorang perwira tinggi she Liang. Dia lalu mencari seorang untuk dijadikan
utusan, oleh karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali
Khan. Surat ini berisi bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya
Yagali Khan suka untuk menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal
batas negara.
Ketika mendengar bahwa
komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar surat
kaisar, Cin Hai segera mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat
perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki lalu menceritakan kepada
Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini dengan mudah
sudah mengalahkan Balaki. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi
dia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan beserta para
pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan yang
membawa surat dari kaisar, dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang
pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tak mau
dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima
Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap kepada Yagali Khan.
Cin Hai kagum sekali melihat
keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan prajurit berbaris rapi dengan
golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya
rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba
di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah, ia melihat bahwa
di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di
antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri!
Orang ke dua adalah seorang
tua berambut putih panjang yang terurai di pundak, ada pun pakaiannya
mengingatkan dia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga
pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa
kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakya Buddha atau pendeta Agama Buddha
Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga orang yang duduk
di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergerak bagaikan
patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi-api yang
ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.
Melihat bahwa orang yang
pernah mengalahkan Balaki hanyalah seorang pemuda yang usianya paling banyak
dua puluh tahun saja, Yagali Khan merasa heran bukan main. Ia menyambut
kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya
berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup fasih.
“Tuankah utusan kaisar?”
“Betul, Yagali Khan, akulah
yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai dengan
tenang dan dia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap
mereka demikian dingin.
Dari saku bajunya ia
mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan
memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri mau pun
ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas
sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda, kau berani dan
tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau
mengandalkan ilmu kepandaianmu?” bertanya pula Yagali Khan sambil menerima
surat itu.
“Tidak demikian, Yagali Khan.
Aku adalah seorang utusan, dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil
kaisar yang memerintahkan datang untuk memberikan surat serta untuk mengadakan
perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku
pun tidak boleh merendahkan diri di depan seorang raja muda asing, apa lagi
karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan
tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini diucapkan dengan
tenang dan tabah sehingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
“Anak muda, kalau aku
menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang hanya seorang
diri ini, betapa pun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang
dengan selamat?”
“Aku tidak takut karena hal
seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Kenapa kau bisa berkata
demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan prajurit akan menyerbu
dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi aku yakin bahwa
hal ini tak akan mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan, dan
negara mana pun di dunia ini tak akan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua
kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan prajurit untuk
mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan
berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun tak akan rugi. Dan ke
tiga kalinya, bila kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan
tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andai kata kelak kau bisa menjadi
seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah
sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”
Semua yang hadir di sana
tertegun mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah
Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan
seorang utusan kaisar, tentu dia akan mencabut pedangnya lantas memenggal kepala
orang itu dengan tangannya sendiri.
Ia hanya mengeluarkan suara,
“hmm, hmm…”
Kemudian setelah menatap wajah
Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu dia
membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin
Hai sudah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan mengenai isi surat agar ia
dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus
yang mengandung ancaman supaya Yagali Khan suka insyaf serta tidak menanam
bibit permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena hal ini hanya akan
mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu,
Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama saja
dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami
memiliki pasukan yang jumlahnya besar dan kuat, senjata kami lengkap dan
perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong sesudah
berhasil mengalahkan salah seorang di antara perwira-perwira kami. Apakah kaisarmu
itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”
Cin Hai tersenyum. “Yagali
Khan, jangan kau memandang rendah pada negara Tiongkok! Betapa pun besar jumlah
barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seper
seratusnya! Tentang senjata dan kekuatan, kami pun tidak akan kalah. Ada pun
tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja
yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, namun aku tidak
gentar untuk menghadapi perwiramu yang mana pun juga! Apa lagi panglima kami
yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada
kepandaianku! Dan jumlah panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya
ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak
menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah
tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar
betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan
kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat dari pada barisanmu. Oleh
karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu
untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”
Ucapan Cin Hai ini sebenarnya
bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat
lebih banyak dari pada Tiongkok? Ada pun tentang kepandaian, Cin Hai maklum
bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka meski pun agak
berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh
lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.
Para perwira yang mendengar
ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa
ngeri. Akan tetapi dia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
“Anak muda, jangan kau kira
aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan mengenai kesombonganmu yang
sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah kau buktikan! Kami
bukan hendak mencelakakan seorang utusan sebab kami bukanlah orang rendah
seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan
untuk mengadu kepandaian. Apa bila kau dapat merobohkan seorang jago yang
kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan
menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai maklum bahwa sekarang
semua terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan
kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk
oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa jeri juga menghadapi perwira-perwira
yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi
kalau dia sampai kalah, maka tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga
kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan
serbuannya!
Dia menganggap bahwa perlu
sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya supaya dapat tunduk. Maka
ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh, boleh, Yagali Khan.
Apakah kau akan mengajukan Balaki?”
Merah wajah Balaki mendengar
ini dan dia segera memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot. “Biarkan hamba
mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan.
Akan tetapi raja muda itu
sambil tersenyum lalu berkata, “Bukan kau lawannya, Balaki.”
Lalu ia menyuruh pendeta Jubah
Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, lalu
berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian
barulah dia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,” katanya dengan
suara yang halus dan dalam bahasa Han yang amat kaku, “siapakah namamu? Aku
tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”
Walau pun kata-kata ini
diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan
sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
“Agaknya kau telah yakin benar
bahwa aku pasti akan tewas dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau
boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal
oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran
Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”
“Jangan kau ngaco, Vayami
bukanlah apa-apaku! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakya Buddha dan disebut
Thai Kek Losu. Anak muda, apakah kau betul-betul berani menerima tantangan ini?
Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada
orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek Losu, seorang
laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun tak akan
menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja
akan kuhadapi sampai akhir. Ada pun mengenai kematian, siapakah orangnya yang
akhirnya tidak akan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada
pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”
Oleh karena maklum bahwa
lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, maka Cin Hai lalu mencabut
Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai
Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu.
“Pendekar Bodoh, tidak tahunya
kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku
ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”
Sambil berkata demikian,
pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya
yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan
pada leher tengkorak itu dipasangi rantai warna kuning yang panjangnya kurang
lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang
mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang
berujung tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga
melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata
semacam ini, maka dia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu.
Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan
rantainya. Tengkorak kecil itu langsung melayang dan menyambar ke arah muka Cin
Hai, seakan-akan hendak menciumnya!
Cin Hai bergidik akibat ngeri,
maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang secara aneh
sekali tiba-tiba tergoncang ketika melihat tengkorak itu dan dia lalu melompat
ke samping. Ia dapat menduga bahwa senjata aneh ini tentu mengandung kekuatan
hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan merasa terkejut, semangatnya lemah dan
ngeri, maka ia lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya yang tak memegang senjata
itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Sihir Awan Putih!
Beberapa kali dia menggerakkan
lengan kiri sambil mengerahkan semangat serta tenaga lweekang hingga dari
lengannya yang kiri itu mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu menyambar ke
arah kepalanya dan cepat sekali Cin Hai segera membacok tengkorak itu dengan
pedangnya.
Akan tetapi segera ia menarik
kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri. Entah bagaimana, ia
merasa tak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu yang tiba-tiba saja
tampak seolah-olah menjadi kepala seorang anak-anak yang masih utuh, lengkap
dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!
Memang senjata di tangan Thai
Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan rantai,
sudah lebih dulu dibawa bertapa dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui
bahwa kepala itu diambil dari kepala seorang anak yang masih hidup, yang
dikorbankan secara kejam dan tak mengenal peri kemanusiaan oleh pendeta itu!
Khasiat senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan di samping
serasa pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan
sungguh-sungguh, maka tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap
merupakan kepala seorang anak kecil yang menangis!
Oleh karena maklum akan
kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan
gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap
serangan. Setelah ia memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa
ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta tenaga lweekang-nya belum tentu
kalah olehnya!
Akan tetapi dengan kepandaian
serta pengertiannya mengenai pokok-pokok dasar segala macam gerak dan serangan
lawan, Cin Hai sebetulnya tidak perlu merasa gentar. Hanya senjata hebat itulah
yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri.
Baiknya dia sudah memainkan
Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya sehingga sebagian besar hawa siluman yang
merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun ternyata bahwa
kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali. Meski pun kini
Cin Hai tidak merasa gentar lagi, akan tetapi tetap dia tidak tega untuk
membacok kepala atau tengkorak itu.
Cin Hai lantas mengeluarkan
Ilmu Pedang Daun Bambu, dan sesudah dia membalasnya dengan serangan-serangan
yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya
yang muda ini memang luar biasa. Tadi ketika dia melihat bahwa Cin Hai tak
terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu begerak-gerak
menurut garis Pat-kwa sehingga dapat menolak daya sihir, dia telah merasa kagum
dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti.
Akan tetapi dia maklum bahwa
pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat dia tidak tega
membacok tengkorak itu dan diam-diam dia merasa girang oleh karena dengan ilmu
silatnya yang tinggi, tentu dia akan mampu mendesak dan akhirnya mengalahkan
lawannya ini. Tak usah banyak-banyak, jika sekali saja muka atau kepala
lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan roboh dan tewas.
Kini setelah Cin Hai
mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak
muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga
diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong-coan-kiam sungguh hebat dan sulit
diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan tengkoraknya, juga
bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki kegesitan yang jauh
lebih tinggi dari pada kepandaian ginkang-nya sendiri.
Untuk dapat mempercepat
kemenangannya, Thai Kek Losu lantas merogoh saku jubah dengan tangan kirinya
dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum
hitam ke arah jalan darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju
matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali lajunya
karena biar pun kecil akan tetapi berat sekali.
Cin Hai dengan tenang memutar
pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang Liong-coan-kiam
dan melengket di sana. Kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai
menggerakkan pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Thai Kek Losu merasa terkejut
sekali dan cepat-cepat dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari
sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebenarnya tidak aneh, oleh karena
Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya tarik
sembrani sehingga jarum-jarum kecil itu dapat lengket dengan mudah. Kemudian sambil
mengerahkan lweekang-nya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum yang menempel
itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.
Kemudian tangan kiri Thai Kek
Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak, oleh karena yang menyambar
hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu lalu digunakan oleh
Thai Kek Losu untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai.
Serangan ini tiba-tiba datangnya dan selain tidak terduga oleh karena perhatian
Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu, juga cepat sekali hingga tanpa terasa
pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya.
Terdengar suara keras ketika
tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba saja dari muka tengkorak itu
menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang berwarna kehijau-hijauan dan
berbau amis karena mengandung racun. Inilah kelihaian tengkorak itu yang
sengaja diserangkan dengan tiba-tiba supaya ditangkis oleh lawannya. Dari kedua
lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari mulut tengkorak itu
keluar pula tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan
cepat sekali.
Kali ini Cin Hai benar-benar
terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat melempar
tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tidak
dapat menolongnya oleh karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit
mukanya hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.
Setelah pengalaman ini, Cin
Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan gentar.
Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat
merobohkan lawannya. Tak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali
sehingga pada saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri
dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya.
Ia merasa rugi oleh karena
tipu itu tidak berhasil, sebab Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada
tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata
tengkorak itu tidak pecah. Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu
menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega terhadap tengkorak itu menjadi
lenyap, bahkan tergantikan rasa benci oleh karena ternyata bahwa tengkorak
kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya.
Kini Cin Hai menerjang maju
lagi sambil memutar-mutar pedangnya serta mengeluarkan gerakan dan jurus-jurus
Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat sehingga Thai Lek Losu terdesak mundur
tanpa dapat membalas.
Pada ketika yang baik, Cin Hai
menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui cahaya rantai
musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk menghindarkan serangan
ini dengan mengadu nyawa, yakni dia membarenginya dengan memukulkan
tengkoraknya pada muka Cin Hai. Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam
waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua orang itu tidak mau menarik
kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas.
Akan tetapi, tentu saja Cin
Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya sekali
dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena tercium mulut tengkorak yang
kebiru-biruan itu, maka dia akan mengalami bencana besar.
Secepat kilat dia membalik
gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, dan kini pedang itu
menyambar ke arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang
Liong-coan-kiam dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya sudah berhasil
menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang berada di ujung rantai terpental
jauh dan menggelinding bagaikan bal. Pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai
dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang lantas terpental
pula seperti tengkorak tadi dan kebetulan sekali dia jatuh ke arah tempat duduk
Balaki.
Balaki tidak berani menyambut
tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat bukan main tubuhnya melayang pergi dari
kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu
dan duduk dengan muka pucat.
“Yagali Khan, kuharap saja
sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh semua ucapanmu!” kata Cin Hai
yang kemudian bertindak pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.
Yagali Khan mengertak giginya.
Jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau pembawa surat
saja, apa lagi kalau menghadapi panglima besar kaisar.....