-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 01-05
Kota Shaning terletak di
lembah Sungai Yang-ce yang mengalir melalui Propinsi An-hui. Kota ini cukup
besar dan penduduknya padat terbukti dari bangunan-bangunan rumah yang
berhimpit-himpitan. Berbeda dengan tempat-tempat di sekitar lembah Sungai Huai
yang juga mengalir melalui Propinsi An-hui dan yang sering kali membanjiri
kanan kirinya, lembah di sekitar Sungai Yang-ce amat subur dan makmur.
Demikian pula keadaan kota
Shaning. Kemakmuran kota ini terpancar keluar dan dapat dilihat dari seri wajah
para penduduknya. Di sepanjang Sungai Yang-ce nelayan-nelayan melakukan
pekerjaan mereka sambil bernyanyi gembira, juga petani-petani mengerjakan sawah
ladang dengan giat dan muka berseri-seri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya,
para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan perasaan ayem dan hati senang
sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah
pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau
segar. Juga di dalam kotanya sendiri jelas nampak kemakmuran dengan banyaknya
pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat
melakukan tugas mereka dengan sangat baik, jujur, dan adil, berbeda sekali
dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka
untuk menghisap rakyat dan memenuhi kantung mereka sendiri. Hal ini tidak
terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang
yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang pendekar
besar yang bertempat tinggal di koti Shaning.
Pendekar inilah yang membuat
para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras rakyat.
Bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar kota Shaning menjadi
aman sekali. Tak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.
Memang tidak mengherankan apa
bila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia penjahat)
tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain
adalah Sie Cin Hai, yaitu pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar
seluruh dunia persilatan dan kelihaiannya telah diakui oleh para tokoh
persilatan di empat penjuru.
Di samping pendekar ini yang
di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga isterinya
adalah seorang pendekar wanita yang tidak kurang-kurang lihainya, karena
isterinya ini adalah bekas sumoi-nya (adik seperguruan) sendiri, yang selain
lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping sepasang suami
isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga
amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu. Melihat
warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini
bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal
dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan Turki yang
selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam cerita Pendekar
Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini sudah diangkat sebagai ayah
oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain
ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang
cukup tinggi.
Dengan adanya keluarga inilah,
maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang besar
mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di
dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh
dipercaya.
Pada suatu pagi yang cerah,
semua penduduk Shaning sudah keluar dari pintu rumah masing-masing untuk
melakukan pekerjaan mereka. Ada yang hendak pergi ke ladang untuk mencangkul
tanah, juga ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka
mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi untuk berdagang dan
lain-lain.
Yang amat menarik adalah
kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja
sungguh pun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para
penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tak
mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh meninggalkan
rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada pagi hari itu di
jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan demikian ramainya, di lorong-lorong
kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua
orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba terdengar suara
nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan
rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang
bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang
anak perempuan. Di samping merdu sekali, juga suara itu terdengar sangat
gembira dan jenaka.
Plak! Plok! Plak! Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!
Kemudian dari sebuah belokan
di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok betul dengan suaranya yang bening
merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa
cantik dan manisnya.
Rambutnya yang hitam serta
panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang
membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan
sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran mukanya ini makin
jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya. Kalau
melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil
dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari sepasang matanya yang
bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung dan dikembang-kempiskan
dengan cara lucu, mau pun dari bibirnya yang tersenyum-senyum, nampak
kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang dikenakannya juga
amat pantas, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya berwarna merah dengan
pinggiran putih. Celananya warna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di
bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju mau pun celananya
terbuat dari pada sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik
itu menunjukkan bahwa dia adalah anak seorang yang berkeadaan cukup baik, dan
kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah anak perempuan yang
sangat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya ini?
Apa bila pertanyaan ini
diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik dia petani, nelayan,
mau pun pedagang, baik dia kakek-kakek, orang dewasa, mau pun anak kecil, akan
dapat menjawabnya dengan cepat. Dia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin
Hai. Anak perempuan ini sebetulnya bernama Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang
sangat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk memudahkan, lebih baik
kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang memiliki sifat
periang dan jenaka, sungguh pun harus diakui bahwa kadang kala dia amat bengal
sehingga sering kali dimarahi oleh ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang
usianya dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang
bernama Sie Hong Beng.
Semenjak kecil Hong Beng
menunjukkan sifat pendiam, akan tetapi kedua matanya yang bersinar-sinar
bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa.
Sebaliknya, Lili tidak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis.
Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlampau bodoh, akan tetapi karena
dia memang tak suka duduk diam dan tekun belajar.
Pada waktu menghafalkan
pelajaran, pikirannya lebih sering melayang pada kesenangan bermain-main, dan
bahkan sering kali dia mengganggu serta menggoda kakaknya yang sedang tekun
belajar sehingga dia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu
ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanya, atau juga kakeknya, yakni
Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi makin bengal.
Betapa pun juga, dalam hal pelajaran
ilmu silat harus diakui bahwa Lili mempunyai bakat yang luar biasa dan baik
sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya amat lemas dan indah kadang-kadang
mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita
kenamaan yang menjadi sahabat baik mereka dan yang tinggal dengan suaminya di
seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena bakatnya ini maka
biar pun usianya baru saja delapan tahun dan sungguh pun dia tidak dapat
menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili sudah
menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat, bahkan laki-laki dewasa yang biasa
saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang benar-benar nakal.
Hampir setiap hari dia pasti pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung, bermain-main
dengan kawan-kawan satu kampung atau... berkelahi! Memang luar biasa sekali,
apa lagi pada jaman itu, ada seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago
kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu kepalan!
Dan hasilnya selalu tentu Lili
yang menang, ada pun jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala
atau pipinya menjadi matang biru. Apa bila sudah begitu, orang tua anak itulah
yang akan datang mengadu sehingga sering kali Lili dimarahi secara keras oleh
ayahnya.
“Lili! Apakah kelak kau akan
menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan bertingkah
sekasar itu!” Ayahnya mengomel.
Akan tetapi di luar tahunya
Cin Hai biar pun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di
depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya ‘pertempuran’ yang tadinya dia
lakukan dengan anak laki-laki itu!
Demikianlah, pada hari itu
seperti biasa, Lili telah mulai ‘keluyuran’ dan keluar dari rumah sejak
pagi-pagi sekali. Kali ini dia lebih bebas dari pada biasanya, oleh karena telah
ada sepekan ini ayah dan ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan kakaknya,
Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin yang
juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh tahun yang lalu,
sebelum Hong Beng lahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin,
kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa kelak dia akan memberi
pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka setelah kini
Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu membawa putera
mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji, sekalian
melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang hanya tinggal berdua
dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat memanjakan
cucu perempuannya ini. Sambil menyanyikan lagu-lagu lucu yang dia pelajari dari
Yousuf karena kakek asal Turki ini sering mendongeng kisah-kisah kuno kepada
kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan
sambil berlompatan meniru larinya kuda yang dinyanyikannya dalam lagu ‘Kisah Si
Tolol Naik Kuda’.
Lorong kecil yang dilaluinya
itu dipasangi batu-batu lebar dan rata pada bagian tengah, dijajarkan memanjang
dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu
tentu akan menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili melompat-lompat dari
satu batu ke batu lain sambil bernyanyi gembira, kadang kala diseling oleh
suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan
dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.
Memang Lili sedang gembira
sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia
tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sulit itu,
tidak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang sering
membingungkan kepalanya.
Sebetulnya, oleh ibunya telah
ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalkan dan ditulisnya, dan
Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya. Akan tetapi, kakek ini tidak kuat
menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan
pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain, Yousuf tak
dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili sedang berlompatan
sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki kuda
yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata
dipentang lebar.
Dari sebuah tikungan jauh di
depan, muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan dua lainnya
di belakangnya. Dan ketika dia melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak
terasa lagi, Lili memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata
perlahan,
“Ahh, dia itu benar-benar Si
Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kongkong (Kakek)!”
Penunggang kuda yang di depan
itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya
cukup tampan dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang
membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai ke dagu dan bawah
hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar,
menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini berwarna merah.
Pakaiannya berwarna putih dan
sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat dari pada kulit. Di pinggang kirinya
nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah. Kuda yang
ditungganginya berwarna putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula.
Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah.
Lili menganggap laki-laki ini
seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di dalam
dongeng kakeknya itu, terdapat seorang lelaki tampan yang naik kuda, akan
tetapi karena ketolotannya, dia sering kali menghadapi hal-hal yang lucu.
Dua orang yang menunggang kuda
di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah putih dan
yang ke dua berjubah hitam. Keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi
empat.
Memang tidak terlalu salah
bila mana Lili mempersamakan penunggang kuda itu dengan tokoh dalam dongeng
kakeknya, karena orang-orang ini memang bukan orang Han, dan muka mereka
memiliki potongan yang sama pula dengan Yousuf. Dan bila Lili mengenal siapa
adanya Si Brewok itu dan tahu apa maksud kedatangannya di kota Shaning, tentu
anak ini takkan berdiri setenang dan sesenang itu menghadapi ketiga orang
penunggang kuda ini!
Melihat ada seorang anak
perempuan yang cantik jelita sedang berdiri di tengah jalan sambil memandang
dengan mata terbelatak, Si Brewok lantas menahan kudanya, diturut oleh kedua
orang pengikutnya.
“Hei, Nona kecil! Tahukah kau
di mana rumahnya bangsat tua Yousuf?” suaranya parau dan kata-katanya ini
diucapkan dalam bahasa Han yang sangat kasar dan kaku, akan tetapi yang amat
menyakitkan hati Lili adalah sebutan ‘bangsat tua’ kepada kakeknya itu!
Lili sudah tahu pula bahwa
kongkong-nya itu mempunyai nama yang aneh, dan pernah kakeknya itu menceritakan
bahwa ia datang dari negeri barat yang amat jauh dan di sana ia disebut sebagai
‘Yousuf’. Akan tetapi Lili sendiri selalu menyebutnya ‘Yo-kongkong’. Ia dapat
menduga bahwa orang berkuda ini tentu mencari kongkong-nya, akan tetapi dia
sengaja menjawab dengan mulut mentertawakan orang itu.
“Tidak ada bangsat-bangsat di
sini, biar tua mau pun muda. Apakah kau yang bernama Aladin?” Lili menyebutkan
nama tokoh dongeng yang diceritakan oleb kakeknya itu.
Si Brewok itu memandang heran
mendengar pertanyaan ini.
“Eh, apa maksudmu?” tanyanya
sambil menahan kendali kudanya yang telah tidak sabar dan kaki depannya
menggaruk-garuk tanah.
Lili tidak menjawab, hanya
tersenyum mengejek, kemudian dia pun membuat gerakan melompat-lompat seperti
kuda dan terdengar pula nyanyiannya.
Plak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya putih tua,
Jalannya seperti onta!
Ia sengaja mengganti kata-kata
‘kudanya sudah tua’ menjadi ‘kudanya putih tua’ karena kuda yang ditunggangi
oleh Si Brewok itu memang berbulu putih.
Mendengar nyanyian ini, Si
Brewok dan dua orang kawannya nampak terkejut dan heran. Nyanyian dongeng
Turki, bagaimana anak bangsa Han ini dapat menyanyikannya?
“Bocah kurang ajar, siapakah
yang mengajarmu bernyanyi seperti itu?” Laki-laki brewok itu membentak sambil
memandang tajam.
Lili masih tersenyum-senyum
lucu dan karena mengira bahwa tiga orang itu mengagumi nyanyiannya seperti
orang-orang lain, dia lalu menjawab bangga,
“Di kota ini, siapa lagi kalau
bukan Yo-kongkong yang dapat mengajarkan nyanyian yang bagus-bagus? Kalau kau
mencari orang, lebih baik kau bertanya kepada kakekku Yo Se Fu, akan tetapi
jangan berlaku kurang ajar kepadanya!”
Berubahlah wajah Si Brewok itu
pada saat ia bertanya, “Jadi Yo Se Fu adalah kakekmu? Apakah kau anak dari Sie
Cin Hai?”
“Dia memang ayahku! Siapa yang
tidak tahu akan hal ini?” kata pula Lili dengan bangga karena memang dia tahu
bahwa ayahnya dipuji-puji dan disegani orang.
Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia melihat betapa Si Brewok itu ketika mendengar bahwa dia
adalah cucu Yo Se Fu dan anak Sie Cin Hai, lalu mukanya berubah beringas dan
sambil mencabut gotok tajam yang tergantung di pinggang, membentak,
“Bagus! Kalau begitu, kau pun
harus mampus mendahului Yousuf!”
Setelah membentak demikian, Si
Brewok itu segera majukan kudanya dan menggunakan goloknya membacok ke arah
Lili yang masih berdiri di atas jalan batu, di sebelah kanan kudanya itu!
Bacokan itu cepat dan kuat sekali sehingga yang nampak hanya sinar putih
berkelebat dari goloknya yang tajam berkilau, yang diikuti sinar merah dari
ronce-ronce goloknya. Bagaikan kilat menyambar, golok ini menyambar ke arah
leher Lili yang masih berdiri tak bergerak. Agaknya dengan sekali bacok saja,
akan putuslah leher anak itu!
Akan tetapi, biar pun usianya
baru delapan tahun, Lili adalah anak dari Pendekar Bodoh, seorang pendekar
gagah perkasa yang mempunyai kepandaian tinggi, dan sejak kecil Lili telah
mendapat gemblengan ilmu silat dari ayah dan ibunya, bahkan mendapat banyak
petunjuk dari Yousuf. Maka biar pun dia belum memiliki ilmu silat tinggi, namun
dia telah memiliki dasar-dasarnya dan telah pula memiliki gerakan otomatis dan
gaya reflek, yakni gerakan yang timbul dengan sendirinya pada kondisi bahaya,
gerakan yang dikendalikan oleh perasaan dan urat syaraf apa bila melihat atau
mendengar sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya atau serangan pada dirinya,
seperti yang dimiliki oleh semua jago silat yang telah tinggi kepandaiannya.
Karena itu, ketika Lili
melihat berkelebatnya sinar golok ke arah lehernya dan mendengar bunyi angin
sambaran senjata itu, otomatis dia lalu membuang tubuh bagian atas ke kiri
sehingga golok itu menyambar lewat di atas punggungnya. Demikian cepat dan
kerasnya sambaran golok itu sehingga Lili merasa betapa leher dan punggungnya
menjadi dingin!
Ketiga orang itu melongo pada
saat melihat betapa anak perempuan itu dengan gerakan yang indah dapat
mengelakkan diri dari serangan tadi, padahal Si Brewok itu biasanya bila sudah
turun tangan, jarang sekali dapat digagalkan biar pun yang diserang memiliki
kepandaian silat. Apa lagi hanya seorang anak-anak!
Merasa bahwa dirinya berada
dalam bahaya maut, Lili cepat menggunakan kesempatan saat ketiga orang itu
masih terheran-heran, lalu melompat cepat ke pinggir sebuah rumah dan
rnelarikan diri. Dia mendengar suara kaki orang turun dari kuda dan
mengejarnya.
Cepat bagaikan seekor tikus
yang dikejar oleh kucing, Lili menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu rumah
yang terbuka dan bersembunyi di balik pintu. Dia sama sekali tidak merasa
ketakutan, akan tetapi tidak berani pula mengeluarkan suara, hanya berdiri diam
sambil mengepal kedua tinjunya yang kecil!
Para pengejarnya berlari cepat
melewati pintu rumah itu dan tak lama kemudian mereka datang kembali dengan
langkah perlahan. Ketika tiba di depan pintu rumah itu, Si Brewok melangkah
masuk, akan tetapi hanya menjenguk ke dalam saja. Melihat di dalam rumah tidak
ada orang, dia lalu keluar lagi dan berkata kepada kawan-kawannya.
“Setan cilik itu sudah pergi,
biarlah kita mencari Yousuf terlebih dahulu. Mudah saja untuk mencarinya
kemudian!”
Orang-orang itu lalu pergi
lagi dan Lili yang bersembunyi di balik daun pintu tersenyum girang, lantas keluar
dan melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah kawan-kawannya. Anak kecil ini
tidak begitu mempedulikan ucapan orang-orang tadi dan tidak tahu akan adanya
bahaya yang mengancam kakeknya, karena biar pun dia dapat menduga bahwa mereka
tidak mempunyai maksud baik terhadap kakeknya, akan tetapi ia percaya penuh
bahwa kakeknya yang amat pandai itu akan dapat mengusir mereka.
Siapakah sebetulnya tiga orang
tadi? Dan mengapa mereka mencari Yousuf dan tiba-tiba menyerang Lili anak kecil
itu pada waktu mendengar bahwa Lili adalah cucu perempuan Yousuf dan anak Sie
Cin Hai? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, marilah kita meninjau
secara singkat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dua belas tahun yang
lampau…..
********************
Kira-kira dua belas tahun yang
lalu, beberapa kali Kerajaan Turki mengirim ekspedisi ke Tiongkok ketika
mendengar bahwa di tempat-tempat tertentu di Tiongkok terdapat harta terpendam
yang nilainya sangat besar.
Ekspedisi pertama dilakukan
untuk memperebutkan sebuah pulau di seberang timur laut Tiongkok, yang disebut
Kim-san-tho (Pulau Bukit Emas) dan yang disangka mengandung bukit penuh logam
kuning berharga itu. Dalam usaha memperebutkan pulau ini, terjadilah perang
hebat antara barisan Turki, barisan Mongol, dan juga barisan Kerajaan Tiongkok
untuk maksud yang sama.
Pemimpin besar dari barisan
Turki adalah seorang gagah perkasa bernama Balutin yang amat sakti sehingga
ekspedisi itu berhasil sampai di tempat tujuan. Akan tetapi kemudian Balutin
tewas dalam pertempuran ketika melawan tentara Tiongkok yang dibantu oleh
seorang hwesio lihai sekali bernama Hai Kong Hosiang bersama supek-nya, yaitu
Kiam Ki Sianjin yang gagu akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa
tingginya.
Kemudian, di Turki terjadi
perpecahan setelah ada usaha-usaha yang jahat dari seorang pangeran yang
disebut Pangeran Muda. Pada waktu itu, yang berkuasa di Turki adalah Pangeran
Tua yang adil dan bijaksana, dan diantara kedua orang pangeran ini timbullah
permusuhan, akan tetapi akhirnya pengaruh Pangeran Muda serta kaki tangannya
yang terdiri dari orang-orang jahat dapat dihancurkan. Peristiwa hebat ini
dapat diikuti dengan jelas dalam cerita Pendekar Bodoh.
Dalam keributan-keributan itu,
terdapat seorang pemuda yang dilupakan orang. Pemuda ini adalah putera tunggal
dari Balutin yang gagah perkasa itu, dan yang telah berusia dua puluh lima
tahun ketika ayahnya gugur dalam ekspedisi mencari Pulau Bukit Emas.
Tentu saja dia merasa amat
berduka dan hatinya penuh diliputi dendam. Akan tetapi, biar pun dia telah
mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya, namun dia maklum bahwa ia tidak
berdaya membalas dendam atas kematian ayahnya itu. Sedangkan ayahnya sendiri
masih kalah melawan jago-jago bangsa Han apa lagi dia.
Pemuda ini mempunyai darah
Tionghoa, oleh karena ibunya adalah seorang bangsa Han pula yang dahulu diculik
oleh Balutin dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ibunya meninggal dunia
ketika melahirkannya sehingga terpaksa dia dirawat oleh seorang inang pengasuh
yang juga seorang perempuan bangsa Han yang diculik oleh Balutin.
Ia telah menganggap inang
pengasuh itu sebagai ibu sendiri dan oleh inang pengasuh itu ia juga diberi
nama Tionghoa, yaitu Bouw Hun Ti. Selain ini, Bouw Hun Ti juga mendapat
pelajaran membaca dan menulis bahasa Tionghoa oleh inang pengasuhnya, maka
selain bahasa Turki, Bouw Hun Ti juga mahir bahasa Han. Mungkin karena ia masih
berdarah Tionghoa, maka ia cinta sekali kepada inang pengasuhnya itu.
Balutin sendiri tak begitu
peduli pada puteranya, karena panglima ini memang berwatak kurang baik dan
sungguh pun dia mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi dia terkenal pula
sebagai seorang laki-laki mata keranjang.
Betapa pun juga, dia
memberikan latihan ilmu silat tinggi kepada putera tunggalnya itu sehingga Bouw
Hun Ti mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi yang tidak diketahui
oleh banyak orang.
Setelah Balutin tewas dalam
pertempuran, Bouw Hun Ti kemudian keluar dari negerinya, bersama inang
pengasuhnya yang kini sudah menjadi nenek-nenek pergi ke pedalaman Tiongkok, di
mana ia lalu mengembara setelah mengantar inang pengasuh itu kembali ke kampung
halamannya. Cita-cita Bouw Hun Ti hanya satu, ialah membalas dendam atas
kematian ayahnya.
Oleh karena maklum bahwa ilmu
kepandaiannya masih belum cukup tinggi untuk dapat melaksanakan maksud ini,
maka dia mulai mencari guru dalam perantauannya. Akhirnya dia pun bertemu
dengan Ban Sai Cinjin, yakni seorang yang berilmu tinggi. Bouw Hun Ti lalu
mengangkat guru kepada orang berilmu ini dan mempelajari ilmu silat, terutama
ilmu golok yang amat lihai gerakannya.
Sesudah bertahun-tahun
mempelajari ilmu silat dari Ban Sai Cinjin, dan kepandaiannya sudah banyak
maju, Bouw Hun Ti lalu mencari musuhnya, pembunuh ayahnya. Alangkah kecewanya
pada saat dia mendengar bahwa Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin telah
meninggal dunia. Pada waktu itu, inang pengasuhnya sudah meninggal dunia pula
akibat usia tua.
Hal ini membuatnya tidak
kerasan untuk tinggal lebih lama di pedalaman Tiongkok dan ia segera kembali ke
negaranya, dengan hati tetap mengandung dendam yang belum dapat terbalas. Di
dalam hati kecilnya dia merasa benci terhadap orang-orang Han yang telah
membunuh ayahnya, dan terutama sekali ia memindahkan kebenciannya dari dua
musuh besar yang telah mati itu kepada para pendekar yang dahulu pernah
memusuhi pengikut Pangeran Muda.
Memang, Bouw Hun Ti juga
menjadi pengikut setia dari Pangeran Muda, maka setelah ia kembali ke Turki,
dia pun kembali bersekutu dengan Pangeran Muda bahkan sekarang mendapat
kepercayaan besar dan kedudukan tinggi karena Pangeran Muda tahu bahwa dia
telah memiliki kepandaian tinggi.
Kedudukan yang tinggi membuat
watak Bouw Hun Ti yang sudah kejam dan sombong makin menjadi. Pengaruhnya besar
sekali dan mengandalkan kepandaiannya, dia mulai mendesak pengaruh Pangeran
Muda dan bahkan dia mulai bercita-cita untuk mendesak pula kedudukan raja
dengan pengaruhnya!
Pangeran Muda yang melihat hal
ini menjadi khawatir sekali, maka segera dicarinya akal untuk melenyapkan orang
berbahaya ini. Pada suatu hari, dia memanggil Bouw Hun Ti menghadap dan
dinyatakannya bahwa dia amat membutuhkan seorang penasehat yang cerdik pandai.
Dalam percakapan ini, disebutnya nama Yousuf.
“Kalau saja Yousuf bisa
didatangkan dan membantuku, ah, hatiku akan menjadi senang. Ia adalah seorang
yang arif bijaksana dan pandai mengurus pemerintahan. Oleh karena itu harap kau
suka mencarinya di pedalaman Tiongkok, dan apa bila mungkin, sekalian kau
balaskan sakit hati kita terhadap seorang pendekar yang disebut Pendekar Bodoh,
bernama Cin Hai, she Sie! Menurut para penyelidik, sekarang Yousuf tinggal di
rumah Pendekar Bodoh itu, di kota Shaning dalam Propinsi An-hui.”
Maka berangkatlah Bouw Hun Ti
ke pedalaman Tiongkok untuk melakukan tugas ini. Ia membawa dua orang pengikut
yang mempunyai kepandaian cukup tinggi dan langsung menuju ke Propinsi An-hui.
Pada luarnya saja dia
seakan-akan mentaati perintah Pangeran Muda, padahal di dalam hati dia
mempunyai pendapat lain. Kalau sampai orang yang bernama Yousuf itu dibawa ke
tanah airnya, maka hal itu berarti bahwa ia akan menghadapi saingan berat, apa
lagi dia mendengar bahwa Yousuf juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Hatinya yang kejam dan penuh
kedengkian membuat dia merasa sangat benci terhadap Yousuf, lebih-lebih sesudah
dia mendengar dari para prajurit yang dulu turut melakukan ekspedisi mencari
pulau emas, bahwa Yousuf pernah mengkhianati Kerajaan Turki, dan mengkhianati
ekspedisi yang dipimpin oleh Balutin, ayahnya. Ia menganggap kegagalan ayahnya
adalah akibat dari pada pengkhianatan Yousuf ini dan oleh karena ini Yousuf
harus dibunuh, tidak saja untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi juga
untuk mencegah orang tua itu memperoleh kedudukan tinggi di Turki!
Demikianlah sedikit riwayat
Bouw Hun Ti, seorang yang berkepandaian tinggi dan yang kini datang memasuki
kota Shaning dengan maksud yang sangat buruk dan berbahaya. Kalau saja dia
tadinya tidak memandang rendah kepada anak perempuan yang menjadi cucu Yousuf
itu, tentulah Lili sudah menjadi korbannya yang pertama. Baiknya Lili dapat
mengelak serangannya dan karenanya membuat Bouw Hun Ti terheran-heran sehingga
terlambat mengejarnya.
Kini Bouw Hun Ti bersama dua
orang pengikutnya melanjutkan perjalanannya mencari rumah kediaman Pendekar
Bodoh. Ia adalah orang yang cerdik dan sebelum memasuki kota Shaning terlebih
dahulu dia telah melakukan penyelidikan sehingga dia tahu bahwa Cin Hai beserta
isterinya sedang keluar kota dan yang berada di rumah hanyalah Yousuf seorang.
Berita ini sangat
menggembirakan hatinya karena sepanjang pendengarannya, Pendekar Bodoh dan
isterinya adalah orang-orang yang merupakan lawan amat tangguh, ditambah pula
dengan Yousuf, maka ia merasa jeri juga! Kini kedua suami isteri itu tidak
berada di rumah dan hal ini merupakan kesempatan yang amat baik baginya.
Rumah Sie Cin Hai adalah
sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan di kanan kiri
dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus oleh Yousuf
sendiri yang memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini, maka letak
rumah-rumah tetangga di kanan kiri agak jauh dari bangunan itu.
Pada pagi hari itu, Yousuf
yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga sebelah kiri rumah,
memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh ulat-ulat yang mengganggu
tanaman. Dengan perlahan dan asyik sekali, ia melangkah dari pohon ini ke pohon
itu, dan nampaknya amat gembira.
Memang, kakek tua ini merasa
hidupnya bahagia sekali. Betapa tidak? Anak angkatnya yang terkasih, sudah
mempunyai rumah tangga yang baik dan dia telah mempunyai dua orang cucu
sedangkan kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai.
Ketenteraman hati ini membuat dia sehat-sehat saja dan jarang sekali menderita
sakit, sungguh pun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang.
Seorang pelayan wanita lalu
datang menghampirinya dan membungkuk sambil berkata, “Yo-loya, minuman untuk
Loya telah tersedia di ruang tengah.”
Yo Se Fu atau Yousuf
mengangguk, kemudian menjawab, “Biarlah dulu, dan lebih baik kau menyediakan
makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”
“Siocia semenjak tadi telah
pergi keluar, Loya.”
Yousuf menggeleng-geleng
kepala, “Ah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti ayah ibunya datang
dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan mendapat marah,
aku pula akan mendapat teguran. Mengapa kalian tidak mencegahnya dan tidak
menyuruh ia memberi tahukan lebih dulu kepadaku sebelum pergi?”
“Siocia tidak bisa dicegah,
Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu kepada Loya, akan tetapi
dia menjawab bahwa Loya takkan melarangnya keluar bermain dengan
teman-temannya.”
Yousuf hanya menggelengkan
kepala dan berkata, “Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain bekerjalah
baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar tuan dan nyonyamu
akan senang hati kalau datang nanti.”
“Baik, Yo-loya,” kata pelayan
itu yang kemudian mengundurkan diri.
“Anak bandel...” Yousuf
berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti ibunya ketika
masih kecil.”
Dia lalu melanjutkan pekeriaannya
membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat. Kadang-kadang Yousuf tersenyum geli
seorang diri kalau ia teringat akan kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum
bangga apa bila teringat kepada Hong Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.
Amat berbahagialah orang tua
yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan Yousuf merasa turut
beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia, karena kedua orang yang
dianggap laksana anak sendiri itu memang orang-orang baik hati dan juga amat berbakti
kepadanya. Tidak ada kesenangan lain bagi hati kakek tua ini kecuali melihat
Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup beruntung.
Tiba-tiba ia mendengar derap
kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran karena melihat
ada tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu. Orang-orang yang
baru datang ini adalah Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya. Yousuf segera
melangkah dan menghampiri tiga orang pengunjung itu.
Mudah saja bagi Bouw Hun Ti
untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti orang Han akan
tetapi berwajah orang Turki itu, karena itu dengan cekatan dia melompat turun
dari kudanya dan bertanya,
“Apakah Saudara Yousuf yang
terhormat baik-baik saja?”
Yousuf terkejut sekali
mendengar pertanyaan ini dan dia lalu memandang dengan penuh perhatian. Matanya
yang tua itu sudah agak lamur, akan tetapi dia masih dapat melihat bahwa orang
ini adalah seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya mau pun bentuk mukanya
sungguh pun kulitnya kekuning-kuningan seperti kulit orang Han. Akan tetapi,
betapa pun ia mengingat-ingat, ia tidak merasa pernah melihat orang ini, maka
jawabnya ragu-ragu,
“Maaf, Saudara Muda, sepasang
mataku telah terlalu tua untuk mengingat kembali wajah orang-orang yang sudah
lama tidak bertemu denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak
hingga Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara tawa ini
menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan sombong.
Memang Yousuf mempunyai perasaan halus dan pandangan tajam, dapat mengenal
watak-watak manusia hanya dengan mendengar suara tawanya atau melihat wajahnya.
“Saudara Yousuf, walau pun kau
sudah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada Panglima Besar Balutin yang
telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal karena pengkhianatan bangsa kita
sendiri!”
Makin tidak enaklah hati
Yousuf mendengar ucapan ini, karena dia maklum bahwa yang dimaksudkan dengan
pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan tenang dia mengangguk
dan menjawab,
“Tentu saja aku kenal Panglima
Balutin yang gagah perkasa, sungguh pun harus kuakui bahwa perkenalan itu tidak
sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah hubungannya
perkenalanku dengan Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini. Apa kau
sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk mencariku?”
Bouw Hun Ti mengangguk.
“Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan amat kebetulan kita bisa
bertemu dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti, putera
dari Balutin? Dulu aku hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan
kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan kagum, yaitu sebelum mendengar
betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”
Yousuf teringat bahwa Balutin
memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dulu ia
belum pernah berhubungan dengan orang muda itu. “Sudahlah, tidak ada gunanya
kita membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap orang mempunyai
kesalahan-kesalahannya sendiri, tergantung dari sudut orang itu memandangnya.
Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud kedatanganmu ini.”
“Ha-ha-ha! Setidaknya kau
masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat bangsa kita!”
Sekarang suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan pula. “Yousuf,
aku datang atas perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”
Mendengar ini, Yousuf merasa
kaget dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran Tua tak mungkin
akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua untuk meninggalkan
tanah air dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran Tua telah memberi
perkenan sepenuhnya. Dan semenjak saat itu, hubungannya dengan Turki telah
putus sama sekali dan ia telah menganggap diri sendiri sebagai seorang Han
asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang memanggilnya?
“Bouw Hun Ti, kalau benar
Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan suratnya kepadaku.”
Bouw Hun Ti tersenyum sindir.
“Untuk memanggil seorang hambanya, Pangeran tidak perlu menggunakan surat.
Apakah kau tidak percaya padaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa aku adalah tangan
kanan Pangeran dan kalau kau sudah tiba di sana, akan kau ketahui sendiri.”
“Kau selalu menyebut Pangeran,
yang mana maksudmu? Tentulah bukan Pangeran Tua yang menyuruhmu, bukan?”
“Siapa sudi membantu Pangeran
yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutus aku untuk membawamu kembali!”
Kini mengertilah Yousuf, dan
dia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang hendak membikin ribut.
Semua orang tahu belaka bahwa dia, Yousuf, adalah pengikut Pangeran Tua dan
yang selalu memusuhi segala tindakan yang tak patut dari Pangeran Muda, maka
tentu saja kalau sekarang pangeran itu mengutus seorang untuk memanggil atau
membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini telah diberi wewenang penuh
untuk membawanya hidup-hidup atau pun mati!
Akan tetapi, walau pun telah
tua sekali, Yousuf masih belum kehilangan keberanian dan kegagahannya. Dia
memandang tajam dan berkata,
“Dengarlah, Bouw Hun Ti! Apa
bila Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biar pun dengan
surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekali pun, aku tidak akan mau
mentaatinya!”
“Ha-ha-ha! Bagus, Yousuf,
memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada alasan bagiku
untuk memenggal batang lehermu!” Sambil tertawa bergelak, Bouw Hun Ti lalu
menggerakkan tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan telah
dicabutnya!
Yousuf sama sekati tidak takut
menghadapi Bouw Hun Ti, biar pun dia dapat menduga bahwa putera Balutin ini
tentu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi ketika Bouw Hun Ti mencabut
goloknya, tiba-tiba saja wajah Yousuf menjadi sangat pucat dan sepasang matanya
terbelalak lebar. Diluar dugaan Bouw Hun Ti, kakek ini segera menjatuhkan diri
berlutut menyembah dengan jidat menempel di tanah sambil berkata penuh hormat,
“Hamba menanti perintah.”
Melihat hal ini, Bouw Hun Ti
yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia mengerti bahwa
goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Golok yang
dipegangnya ini adalah golok pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua dan
yang dipergunakan sebagai lambang kekuasaannya. Menurut peraturan lama dari
kerajaan itu, barang siapa pun yang diberi kekuasaan oleh Pangeran Tua untuk
memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.
Biar pun Yousuf merasa heran
kenapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke dalam tangan orang
ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat ia tidak berani
banyak cakap dan segera berlutut, karena ia pikir bahwa di bawah pengaruh golok
itu, ia harus menyerah dan membiarkan dirinya dibawa ke Turki!
Akan tetapi, Yousuf masih
tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah memiliki keinginan
untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan menyembah di hadapannya
seperti itu, manusia berhati kejam dan curang ini lalu mengayun goloknya ke
arah leher Yousuf!
Bukan main terkejutnya hati
Yousuf ketika mendengar sambaran angin di atas lehernya, namun sudah terlambat.
Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang tajam itu telah
membabat lehernya! Dari lehernya darah mengalir keluar bagai pancuran ketika
kepala kakek tua yang bernasib malang itu menggelinding ke atas tanah!
Dua orang pelayan wanita
menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di tanah dengan
leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi hanya dengan satu
lompatan saja Bouw Hun Ti sudah dapat menyusul mereka dan dua kali goloknya bergerak,
maka robohlah dua orang pelayan itu dalam keadaan mandi darah dan tidak
bernyawa lagi!
Melihat darah para korbannya
itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.
“Tunggu di sini, biar aku
mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang pengiringnya yang
memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian hati.
Bouw Hun Ti segera berlari
masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini membunuh dua orang
pelayan laki-laki yang kebetulan berada di situ, kemudian keluar lagi. Dia lalu
mengambil kepala Yousuf dengan memegang rambutnya dan membungkus kepala itu
dengan sapu tangan lebar, lalu memberi tanda kepada dua orang pengiringnya
untuk pergi dari situ.
Beberapa orang yang kebetulan
lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil
berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa Kakek Yo telah dibunuh
orang! Orang-orang sekota menjadi gempar dan mereka lalu membawa senjata dan
beramai-ramai menuju ke tempat itu.
Akan tetapi, Bouw Hun Ti dan
kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi dari situ.
Orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang kepalanya hilang beserta
mayat empat orang pelayan.
Gegerlah keadaan di situ, dan
terdengarlah suara tangis para wanita ketika mendengar bahwa Empek Yo yang baik
hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke dalam rumah dan ketika
mereka tidak melihat Hong Li, keadaan menjadi makin ribut lagi.
“Aduh celaka! Nona Lili
lenyap...!” Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari jidat mereka karena
mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar besar Sie Cin Hai dan
isterinya apa bila mengetahui hal ini!
Sementara itu, Bouw Hun Ti
yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu memberikan
bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,
“Kalian berdua kembalilah dulu
ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan kepada
Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku
sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian
sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”
Kedua orang pengiringnya tak
berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata
dengan muka pucat, “Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak,
lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata, “Campurkan obat ini
dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama
beri yang banyak pada bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak
kepala jahanam itu!”
Setelah memberikan obat itu
kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong di mana tadi dia telah
bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak
aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar
dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu…..
********************
Agaknya memang sudah nasib
Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak perempuan ini
kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah jalan tiba-tiba
dia bertemu dengan Bouw Hun Ti yang melarikan kuda dari depan, muncul di sebuah
tikungan!
Lili terkejut sekali pada saat
mengenal Si Brewok yang tadi mengejar-ngejar dan hendak membunuhnya. Cepat anak
ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya
dan sambil berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah menerima latihan
silat dari dua orang tuanya, maka sekecil itu dia telah memiliki kepandaian
lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya ialah seorang
laki-laki biasa saja, tidak mungkin dia akan dapat tertangkap. Akan tetapi,
yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Maka, dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil menyusulnya.
“Anak setan, kau hendak lari
ke mana?”
Lili maklum bahwa percuma saja
ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan kedua
orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat,
tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda
dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!
Bouw Hun Ti merasa kagum juga
melihat sikap anak perempuan ini, apa lagi ketika Lili tiba-tiba menyerang
dengan kepalan tangannya yang mungil itu, melakukan serangan ke arah pusarnya
dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah
dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Dia lalu mengulur tangan dan
dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat dia berhasil menangkap tangan
Lili dan sekali dia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam
pondongannya!
“Setan kecil, kau mungil
sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, Lili tidak mau
menyerah demikian saja. Biar pun tangan kanannya yang tadi memukul telah
terpegang dan dia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah
kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak
melepaskan diri!
Tapi apakah daya seorang anak
perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang tangguh
itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan
itu mengeluh lantas tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki
tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga dia kini tidak dapat
meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau
harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat apa!”
Bouw Hun Ti lalu membawa anak
dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan dia segera melompat naik ke atas
kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya ke luar kota. Hal ini tidak
terlihat oleh siapa pun juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang
peristiwa hebat yang terjadi di rumah Sie Cin Hai, berbondong-bondong pergi ke
rumah itu.
Penduduk kota Shaning segera
merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua menghormati
Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan
berpengetahuan luas. Apa lagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari
Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu membeli peti
mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala kehormatan.
Setelah kelima jenazah itu
dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu dijajarkan
di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari
Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang
untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, terus membanjir setiap waktu tiada
hentinya. Mereka akan menunggu sampai datangnya Sie Cin Hai suami isteri,
sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari kemudian, dari luar
kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan seorang
wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah
sekali.
Yang laki-laki berpakaian
sederhana, wajahnya tampan dan tenang serta sikapnya gagah sekali. Gagang
pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya. Yang wanita cantik sekali dan
senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini terlihat gagah
perkasa dengan pedang yang tergantung pada pinggangnya. Mereka ini tidak lain
adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh dengan isterinya
yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,” terdengar Lin Lin
berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat
kita datang!”
Sinar gembira memancar dari
wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu pada waktu ia mendengar isterinya
menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal namun selalu mendatangkan
kegembiraan itu.
“Girang?” katanya. “Kurasa di
samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang tidak
mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa dia dulu menangis
dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang dia agak keras hati
dan bandel,” Lin Lin membenarkan.
“Seperti ibunya,” kata Cin
Hai.
Lin Lin menengok kepada
suaminya sambil cemberut. “Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau begitu,
mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
Cin Hai tertawa. “Karena keras
hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?! Bagaimana pula ini?”
“Aku suka kepadamu karena kau
adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!” Mereka saling pandang dan akhirnya
keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami
isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa
mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimana pun juga Hai-ko,
jangan kau terlalu keras terhadap Lili, dia masih kecil dan kecerdikannya
memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau terlalu dikasih hati
dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh
seperti...” Cin Hai hendak berkata seperti ‘keledai’ akan tetapi ia didahului
oleh isterinya.
“Seperti ayahnya!”
Sekarang Cin Hai yang menengok
dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol, karena ia baru saja
memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya
bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan dialah yang dipersamakan dengan
keledai!
“Jadi kau anggap aku bodoh?”
Lin Lin tertawa geli sampai
menekan perutnya dan dia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata, “Tidak
ada orang lainnya di seluruh dunia ini yang lebih bodoh dari pada Pendekar
Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau suka kepada orang
bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau tidak bodoh, aku
tak akan suka kepadamu!”
Demikianlah, di sepanjang
perjalanan mereka, setiap waktu kedua orang ini bersenda gurau, saling
menggoda, seolah-olah mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari
sepasang pengantin baru! Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat
cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan
kesusahan selalu timbul silih berganti.
Cin Hai yang telah kenyang
mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu di masa kecilnya, pada
saat-saat bergembira ria dengan isterinya seperti waktu itu, seakan lupa dengan
bunyi ujar-ujar nasehat bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan
jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah sampai di gerbang
kota, Lin Lin sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu
dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dia mencambuk kuda yang
ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang.
Mereka berdua sama sekali tak melihat betapa orang-orang di pinggir jalan
memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.
Baru setelah tiba di
pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi pucat
dan dada berdebar keras. Untuk beberapa lamanya Lin Lin bahkan duduk saja di
atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya
seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.
Cin Hai melompat turun
terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat
menuju ke ruangan depan di mana nampak meja sembahyang dan peti mati
berjajar-jajar, hio yang sedang mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk
sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan mereka disambut
oleh Kepala Kota serta isterinya yang langsung memeluk Lin Lin sambil menangis.
“Kui-lopeh, apakah yang telah
terjadi?” tanya Cin Hai. “Dan siapakah yang... meninggal dunia...?”
Sementara itu, Lin Lin segera
bertanya dengan suara keras, “Mana anakku...? Mana... Ayah...?”
“Sabarlah, Taihiap, dan kau
juga Lihiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga semua orang lainnya,
menyebut taihiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut lihiap (pendekar
wanita) kepada Lin Lin. “Memang telah terjadi hal yang sangat hebat selama
kalian pergi. Terjadinya sudah tiga hari yang lalu. Seorang laki-laki brewok
bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa sebabnya,
telah datang ke sini pada pagi hari tiga hari yang lalu kemudian orang brewok
itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat
orang pelayanmu.”
“Dan... Lili... bagaimana?”
tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala Kota itu
seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang membingungkan
kami, Taihiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu sedang
pergi bermain keluar rumah, akan tetapi, meski kami telah mencari di setiap
tempat, namun tak juga bertemu dengan Lili, entah ke mana ia pergi.”
Cin Hai mengangguk-angguk.
“Hmm, jika orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia
berani menculik anakku pula.”
Mendengar ini, bagai
meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat jahanam! Siapa dia
itu dan di mana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!” Sambil berkata demikian,
Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan…
“Srttt!” pedang Han-le-kiam
yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabut keluar dari sarung
pedang.
Cin Hai memegang lengan isterinya.
“Sabarlah, dan tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa bersabar
kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota ini dan berani mengganggu Ayah
serta Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga! Hendak kulihat
sampai bagaimana lihainya sehingga anjing itu berani main-main dengan aku!”
Cin Hai membujuk isterinya dan
menarik tangannya. “Lebih dahulu kita harus memberi hormat dan menghaturkan
maaf kepada gakhu karena kita telah meninggalkan dia. Kalau kita berada di
sini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar ucapan ini, dengan
gerakan perlahan Lin Lin menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba saja
nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti
mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah... Ayah, ampunkan anakmu
yang tak berbakti ini...” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga menjadi
awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah... bersenang dan tertawa-tawa
di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini...!” Kemudian ia
bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air
mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.
“Ayah! Bagaimana kau sampai
kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah!
Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!” Akan tetapi
ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati, maka ia lalu menubruk peti
mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit dia berusaha membuka tutup peti yang
telah dipaku.
Cin Hai tadi pun berlutut di
belakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, dia cepat memegang
lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin, kau hendak berbuat
apakah?”
“Buka! Buka! Aku hendak
melihat ayahku...!”
Orang-orang yang berada di
sana tidak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang amat
mengharukan ini, akan tetapi mereka kaget sekali mendengar nyonya itu hendak
membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka dia
melangkah maju dan berkata mencegah,
“Taihiap, lihat! Jangan dibuka
peti itu...!”
Tiba-tiba Lin Lin melompat
berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala! “Apa katamu?
Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat wajah yang pucat
seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur
dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya terpaksa dia
telan kembali!
“Hayo buka!” Sekali lagi Lin
Lin memekik.
“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja
tutup peti mati ini supaya kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,” kata
Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota she Kui itu hendak
menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin
Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka sekarang juga!
Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!” Sambil berkata
demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan
paksa.
Cin Hai merasa kuatir
kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak bila Lin Lin mengerahkan tenaganya,
maka ia segera memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para
penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar
oleh empat orang.
Peti dibuka perlahan. Semua
orang menahan napas, sedang di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti
itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam peti itu, keduanya
langsung menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular-ular yang
menggigit mereka.
“Ayah...!!” Dan jeritan yang
mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Dia pingsan!
“Gakhu...!” Cin Hai juga
memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa orangnya yang tidak akan
merasa ngeri serta hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati dalam keadaan
demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan
batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang
sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup
petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali.
Ia kemudian mengangkat tubuh
isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia merasa kasihan sekali
kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin
isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya
terbunuh oleh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan
dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah siuman kembali, Lin
Lin menangis sedih, dihibur oleh Cin Hai. Akan tetapi betapa pun juga, bencana besar
yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar
Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk
bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang.
Peristiwa ini amat berat,
tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga
anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan
kejam itu! Sungguh pun tak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang
menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani
melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus mencarinya! Aku
harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang
sambil menangis!
“Tentu saja isteriku!” kata
Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan
mempergunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena
Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Jika penjahat itu bermaksud
membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini seperti yang diperbuatnya
terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya,
penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga
sulitlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita
harus mencari!”
Terhibur juga hati Lin Lin
mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau
penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.
“Bagaimana pun juga, kita
harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja, akan tetapi kita
harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan
penyelidikan di sini, kalau-kalau ada orang yang dapat menceritakan terjadinya
peristiwa itu lebih jelas lagi!”
Penguburan kelima jenazah itu
dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk
kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.
Setelah selesai penguburan,
Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat
menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang
kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, sudah melarikan diri karena
ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok
berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat
kepala warna merah dan walau pun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya
seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih
empat puluh tahun.
“Bisa jadi orang itu adalah
musuh dari gakhu,” kata Cin Hai sesudah memutar otaknya karena
keterangan-keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang
Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari
orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu
merupakan utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan tetapi, mengapa dia
menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang harus kita
selidiki. Sekarang tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”
“Ke Turki?” tanya Lin Lin
memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu kita boleh
menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan
menyelidiki ke daerah barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah Kansu di barat?”
tanya pula Lin Lin.
Pendekar Bodoh mengangguk.
“Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para
pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan
pengikut-pengikut Pangeran Muda?”
Lin Lin mengangguk dan tentu
saja dia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama
kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu di mana mereka
mengalami peristiwa-peristiwa hebat.
Memang di daerah ini terdapat
banyak sekali orang-orang Turki, maka apa bila hendak mencari keterangan
tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat
yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku menurut saja.
Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar mesti ke seberang lautan
sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita sekalian mampir di
Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata Cin
Hai.
Demikianlah, sepasang pendekar
yang sedang bersedih hati itu kemudian menyerahkan penjagaan rumah mereka
kepada para tetangga, lantas mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan
usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik
orang…..
********************
Marilah sekarang kita ikuti
nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sebenarnya putera
Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji dari pada ayahnya. Tidak
dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya, oleh karena
manusia ini agaknya tidak memiliki pribudi sama sekali dan hatinya sudah
membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tak mengenal peri kemanusiaan
lagi, seakan-akan ia adalah iblis bertubuh manusia!
Ia tidak membunuh Lili,
pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu, kedua
kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan
diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji.
Dia hendak merawat anak
perempuan itu karena dia dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan
tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar
biasa cantiknya. Dan ia berniat mengambil anak ini sebagai isterinya apa bila
anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!
Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal
suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah dari
pada Bouw Hun Ti sendiri. Biar pun usianya telah lebih dari lima puluh tahun,
akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal pula sebagai seorang yang gila perempuan
dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang
jumlahnya, masih muda-muda lagi cantik-cantik! Dia dapat melakukan hal ini oleh
karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang, juga dia terkenal kaya raya.
Gedungnya besar dan mewah. Jubah
luarnya terbuat dari pada kapas halus serta tebal yang berharga sangat mahal,
ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka
yang tidak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, jika
tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biar pun
usianya telah tua, namun hatinya lebih muda dari pada seorang teruna!
Ban Sai Cinjin bertempat
tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di
sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, sesudah keluar dari kota
Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.
Jalan yang ditempuhnya ini
berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai beserta isterinya, oleh
karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin
Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke utara.
Biar pun Bouw Hun Ti memiliki
kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena
jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di
tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena
Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan
sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apa bila berada dalam
perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan. Akan tetapi tiap kali
memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar
jangan sampai berteriak minta tolong.
Pada hari ketiga itu dia
sampai di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun
Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan serta tiga buah rumah makan
besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi
tamu dari luar!
Bouw Hun Ti menghentikan
kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik, kemudian mengikat tali kudanya
pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia
menuntun Lili memasuki rumah makan.
Dia merasa gelisah bukan main
dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati
di tengah jalan. Oleh karena itu, kali ini ia hendak memaksanya makan! Ia
memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk
Lili.
Setelah pesanannya dihidangkan
oleh pelayan rumah makan, dia lalu berkata kepada Lili dengan suara halus agar
tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau makanlah!”
Akan tetapi, seperti yang
sudah dilakukannya selama dia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggelengkan
kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan
dan diam-diam dia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru
berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama
tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu
apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran
kepadanya.
“Makanlah!” katanya lagi dan
kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras. Pelayan
melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan, apakah Nona kecil ini
menderita sakit?”
Bouw Hun Ti memang sedang
marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.
“Mau apa kau tanya-tanya?
Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan
ketakutan seperti seekor anjing yang sedang diancam dengan cambuk.
“Mau makan atau tidak?” sekali
lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.
Bukan main marahnya Bouw Hun
Ti. Kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar,
tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu
mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak
kejam sekali.
“Kau tidak mau makan, anak
manis?” Sambil berkata demikian, dia lalu menepuk-nepuk punggung Lili, akan
tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, dia telah melakukan tiam-hoat
(totokan) pada jalan darah di punggung anak itu pula.
Lili merasa kesakitan yang
luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat
kesakitan seperti cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak
tertotok, tentu dia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena dia
tidak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi
pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan
nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan
main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana? Kau masih mau
makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Biar pun Lili masih anak-anak,
akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka dia tahu apa artinya
rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa
penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus
menyiksanya apa bila dia membangkang, terpaksa dia menganggukkan kepalanya dan
tangannya yang telah menggigil akibat kesakitan dan kelaparan itu, lalu
meraba-raba mangkuk.
“Anak baik, kau makanlah yang
kenyang!” Bouw Hun Ti berkata sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.
Seketika itu juga lenyaplah
rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam
mangkuk dan biar pun dia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu,
namun ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka
dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena
ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu yang berada di situ
sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat
betapa ‘anak sakit’ itu makan dengan lahapnya.
“Nah, begitulah!” kata Bouw
Hun Ti kepada Lili. “Dan mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku,
kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau
terjadi demikian?”
Dalam pendengaran orang-orang
lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasehat kepada anaknya,
akan tetapi dalam pendengaran Lili kata-kata itu merupakan ancaman bahwa kalau lain
kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!
Akan tetapi, orang salah
menduga apa bila mengira bahwa di antara semua orang yang berada di tempat itu
tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Si Brewok dan anak
kecil itu!
Di sudut rumah makan itu,
menghadapi meja seorang diri, duduk seorang lelaki berusia antara tiga puluh
lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata
tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal laksana jenggot
kambing.
Yang aneh sekali adalah
pakaiannya, karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan,
akan tetapi terbuat dari pada bahan yang sangat bersih! Bahkan kain berwarna
putih yang dipergunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun demikian
bersihnya seakan kain baru yang sengaja ditambalkan di situ! Juga pengikat
rambutnya yang terbuat dari pada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan
bajunya yang penuh tambal-tambalan seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk,
orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya sudah
membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju
tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan
berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada tempat untuk
golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang berbaju
tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum sambil menjawab, “Yang
kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa maksudmu?” tanya pelayan
yang sombong itu.
“Kau memandang orang dari
keadaan pakaiannya, orang semacam kau ini benar-benar menyebalkan!”
“Aku tak peduli tentang
pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan
harus dibayar dimuka!”
Sikap serta omongan pelayan
ini memang benar-benar kurang ajar sekali. Akan tetapi orang itu masih tetap
tersenyum sabar, sungguh pun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.
“Berapa kau menjual kepalamu?
Kiranya aku sanggup membayarnya!” Sambil berkata demikian, orang itu merogoh
sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah
menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja pelayan itu menjadi
sangat malu dan juga tercengang ketika melihat seorang berpakaian
tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas
pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi dia lalu mengundurkan diri dan lain
orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.
Sungguh amat baik nasibnya
pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan,
entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya
orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu
tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu
adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah
terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi
juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka
mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh
dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang
suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak seperguruannya juga
selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih
terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk
dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le
dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini diberikan orang
kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia
menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le
memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi
ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan sekali Lo
Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu
sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian
hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman
yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan
tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.
Akan tetapi ketika ia
mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia
merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau
makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu
sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah
laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh
perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
Alangkah terkejutnya hati Lo
Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk
pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah
Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat
membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang
hebatnya luar biasa!
Gilakah Si Brewok itu? Mengapa
ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan
hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau
saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh
totokannya kembali.
Jelas kelihatan oleh Lo Sian
betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu
bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia
berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah
ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan
suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga
bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk
menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi pada saat itu
terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti
tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil
menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan penipu belaka
pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.
Sesungguhnya, tanpa disengaja,
Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang
bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya
berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah
menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita
oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini memang paling
jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw
Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas
memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur
berkeping-keping!
Pelayan yang tadi menghina Lo
Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong.
Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya
tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah
darahnya melihat ada orang yang membuat ribut. Dengan langkah lebar dia
menghampiri lalu membentak,
“Orang kasar dari manakah yang
berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang
kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu memang sedang sial
dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita
sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini
seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu
bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan
bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu tadi...?” katanya
perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan
tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”
“Siapa bilang kami menjual
daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat
mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar
tertawa mendengar ucapan ini.
Diam-diam Lo Sian memandang
dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu
sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang
mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi
dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat
menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu segera menjerit
keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati
aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah semua tamu dan
pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar
melangkah maju.
“Bangsat kurang ajar! Kau
berani memukul orang?”
Dua orang pelayan itu juga
mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum
simpul.
Akan tetapi dua orang pelayan
yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak
dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena
itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran
kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan
datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua
tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk! Bukk!”
Dua pukulan itu tepat mengenai
dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan
tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan
dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul
tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!
Sementara itu, cengkeraman
tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu.
Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu
terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya,
membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw Hun Ti melepaskan
tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta
kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah!
Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya,
karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan
nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat itu dari luar pintu
terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau,
“Jago dari manakah
memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang
laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah Tiat-tauw-ciang (Si
Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di
dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan
tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai
banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar
dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.
Pada waktu terjadi pertempuran
di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah
makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya
seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak
Bouw Hun Ti.
Ketika melihat seorang tinggi
besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah
itu bertanya dengan suara kasar,
“Muka Hitam, siapakah kau dan
mau apa?”
Thio Seng dapat menduga bahwa
orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada,
“Akulah yang disebut
Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio
Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf
menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.
Akan tetapi, selama hidupnya
Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli
pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah
melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi
dijual!”
Marahlah Thio Seng mendengar
ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”
“Siapa adanya aku bukan
urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata
begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu
keluar dari sana.
Akan tetapi Thio Seng berdiri
sambil bertolak pinggang dan berkata,
“Hemm, sabar dulu, sobat!
Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada
pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan
harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah
dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka
dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah kepalanya yang sangat
ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak
jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan
kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!
Mendengar ucapan orang she
Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan
tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di
dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau melakukan kekerasan?
Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan pukulanku!” Thio Seng
berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat gerakan yang keras dan
cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa
Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah.....
Akan tetapi, dia merasa
terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng
itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera
melembungkan dadanya tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya
pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras saat
pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun Ti
yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia
baru saja terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian terkejut benar-benar
karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu memiliki
lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, lawan yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena itu, maka
maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia
harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan
kekerasan, belum tentu dia akan dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara itu, Thio Seng yang
barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakan-akan
memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya
ketika tadi memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang
oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan pendek dan
nekat.
“Bangsat rendah, awas serangan
balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di depan dan
matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.
“Hemm, majulah, hendak
kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil memasang
perutnya ke depan!
Pada saat itu Lo Sian sudah
mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan menggunakan
sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam
dia lalu mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik
dengan hati-hati, dia lalu menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.
Anak ini sedang asyik menonton
pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran serta
marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran
kepada penculiknya ini!
Tadi ketika melihat para
pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah dan
binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang
hanya pandai berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang
amat dibencinya itu. Pengharapannya menipis dan kemudian anak ini merasa putus
asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta kakeknya yang tidak
juga muncul untuk menolongnya!
Ketika daging yang disambitkan
oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia merasa
betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya
jeritan, “Ayah... Ibu... tolong...!”
Pada saat itu, Bouw Hun Ti
tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala. Bukan main
kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah
ditotok jalan darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu
pula, Thio Seng sudah menyeruduk maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan
kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw Hun Ti tidak
bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak mempermainkannya.
Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya
amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka
Hitam itu sedemikian kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk
menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio Seng menancap pada
perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang betul-betul luar
biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw
Hun Ti dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan sinkang-nya yang
benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga
rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk
perutnya dia segera menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak
tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw Hun Ti
melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan
tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti
sudah membuat tenaga serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri
sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan tewas pada saat itu juga!
Melihat hal yang mengerikan
ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk
membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki
berpakaian tambal-tambalan!
“Lepaskan anak itu!” seru Bouw
Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya melompat dalam
serbuan itu.
Lo Sian melihat tangan Si
Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat tangan
kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh
bertemu dengan keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku
waspada dan hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun
Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main marahnya Bouw Hun
Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah disangkanya di
tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang
demikian tingginya.
“Bangsat rendah kau ingin
mampus!”
Dan dia lalu bergerak maju
kembali untuk melakukan serangan.
Akan tetapi, para pelayan
bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng
telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju
menyerang dengan senjata di tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus
menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan sebaliknya dia segera memutar tubuhnya
dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main ributnya
pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan
tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para
pengeroyoknya jatuh tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai
kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti, baru keserempet sedikit saja sudah
membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun pula!
Tentu saja kehebatan sepak
terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan gentar
hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat
menengok, akan tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang
tadi memondong Lili.
“Kau hendak lari ke mana?!”
dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala para
pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti melompat naik ke
atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat
adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol
hatinya, tapi kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia
melompat turun lagi dan ketika dia melihat salah seorang di antara para pelayan
itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan tendangannya.
Pelayan yang bermaksud menahan
kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas tanah
dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya
karena Lili dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!
Ia lalu melompat ke atas
kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan
kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil
tawanannya itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti
itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu membawa Lili
bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan
dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam
pondongannya dan ketika diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya
dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian berseru
terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan
lalu tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran
melihat bahwa gerakan serangan anak kecil ini sangat indah dan baik sekali,
merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak cepat dan berkata,
“Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi, tanpa berkata
sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta, menggerakkan
kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo
Sian menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan
ilmu silatnya dari cabang mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan
cepatnya.
Makin lama makin terheranlah
dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh Lili
untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali
gerak-geriknya dan yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan
ilmu silat cabang-cabang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan
lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar belum pernah
dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan
yang cepat, tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu
saja tak akan mendatangkan bahaya apa pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu mengulur tangan dan
menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.
“Anak yang baik, dengarlah.
Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga penculik!” tiba-tiba
Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang tajam dan
marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
Makin tertariklah hati Lo Sian
melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak
sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak
ini.
“Bukan, bukan, anakku! Mungkin
kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang orang jahat
dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang cerdik dan setelah
kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini selain
mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas
Si Brewok tadi, maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!
Lo Sian menarik napas panjang
dan mengelus-elus kepala anak itu.
“Kasihan, anak yang baik. Kau
siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam tangan
penculik jahat itu?”
Lili masih merasa gemas kepada
ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan menolongnya.
Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa
kedua orang tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak
tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul
dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah membiarkan saja ia dibawa
pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan yang dia
alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak kecil seperti
dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw
Hun Ti, lalu mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam
pengaruh totokan yang membuatnya gagu, dan tadi malah dia telah ditotok hingga
merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja dia merasa marah
dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat itu!
Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya
tercurah kepada orang ini dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus
kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan sayang, tiba-tiba dia memeluk
Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku sayang, sudahlah
jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi.
Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani
mengganggumu. Aku bernama Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah
namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam pelukan Lo Sian, Lili
teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang
mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat
pengganti kakeknya dalam diri Lo Sian ini.
“Namaku Lili,” jawabnya tanpa
mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang bagus!” kata Lo
Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak Lili mengerutkan
alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang manis itu
cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan
cahaya tajam yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.
“Ayah ibuku tidak mau
menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan mengepal
tinjunya!
Lo Sian tersenyum. Alangkah
pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam kemarahannya,
anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang
pendekar, pikirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau
memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan she-mu dan di
mana pula kau tinggal.”
Lili tahu bahwa ayahnya
bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia
sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak
mau memakai she (nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka
ia menjawab,
“Aku she Yo dan di mana
tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
“Eh, ehh, kenapa tidak mau
pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat
tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo
Sian membujuk.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau
pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku pulang?
Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian tersenyum. “Maukah kau
menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik kejam
tadi?”
“Dia datang dan mengejarku
ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak tahu
mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian menjadi makin bingung.
Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana rumahnya,
bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara
jelas ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih
merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat memberi keterangan
hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu adalah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat
mengalahkannya, karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera
maklum bahwa tenaga lweekang orang itu masih lebih tinggi setingkat dari pada
tenaganya sendiri!
“Anak yang baik, ilmu silatmu
baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”
“Yang mengajarku Ayah, Ibu,
dan juga Kakekku!”
Terkejutlah Lo Sian mendengar
ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak saja
ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang
berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama kakekmu, Lili?”
“Kakekku she Yo, namanya aku
tidak tahu.”
Lo Sian mengangguk-angguk dan
menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini, kalau tidak
demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara ketiga orang tua
itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar anak-anak, biar pun ia
sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka
membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia
menjawab,
“Tentu saja Ayahku! Ke dua
Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau misalnya Ayahmu bisa
menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik tadi?”
Tiba-tiba saja Lili tertawa
geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo.
Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia
tidak tahu bahwa anak ini memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara
ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara ketawa ibunya.
“Tak usah Ayah sendiri maju,
menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat dirobohkan!”
Lo Sian tentu saja tak mau
mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan tetapi
menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa
keluarga anak kecil ini tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil mencari-cari
orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa
anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia
memang belum mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila
menjadi muridnya.
“Baiklah, Lili, kau boleh ikut
padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”
Dengan muka girang Lili lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka,
Suhu (Guru)!”
Demikianlah, mulai hari itu
juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun
beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi
tahukan nama orang tuanya atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan
perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam, karena sesungguhnya dia ingin
sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.
********************
Di kota Tiang-an, kota di
sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini
dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu ditinggali oleh
Kwee-ciangkun (Perwira Kwee), seorang pembesar millter yang gagah perkasa.
Akan tetapi, kini rumah itu
ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama Kwee
An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu
bahwa Kwee An ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya
Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat
yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng
Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat
gemblengan ilmu silat dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An pernah menerima
pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng,
bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari
seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee
An amat tinggi dan namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga
seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma
Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa
ini tidak berada di sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran
ilmu silat dari suhunya yang juga dianggap sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan
Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat Bambu Runcing yang
amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh
nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An
yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di Propinsi
An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai
seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok
kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai
seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak
ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan
dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena
ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek pada waktu terang
bulan!
Dalam usia sembilan tahun,
telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis yang amat manis
dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja sekali oleh kedua
orang tuanya, maka dia menjadi nakal sekali.
Semenjak kecil dia telah
mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, bahkan
ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguh pun
permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini
memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu ginkang (meringankan
tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat melompat tinggi dan
sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang
pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah
kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali dua orang tuanya
saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa kurang suka
mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu
tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera?
“Agaknya ia telah mendapat
warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An
berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tidak mungkin!” bantah Ma
Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak
mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab mendiang
ayahku memang suka sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu sangat suka
membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan selain itu ia
pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka sekali pergi ke
Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee Tiong memang
semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan
memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong dia mendapat
tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke kuil itu,
selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya
sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya
yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam
hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee
Tiong, dia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhu-nya itu, bahkan
tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong
yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar.
Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam
pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang
meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong, maka
Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang dari dua
puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong
yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia.
Sesudah menjadi ketua
kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio
itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An,
Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di bawah
bimbingannya, perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di
kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan
cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang mempunyai
ilmu kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu,
pengetahuan Goat Lan makin maju saja.
Selain kesusastraan dan
melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal permainan
catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan dia bermain
catur, sekarang bahkan merasa sangat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru
berusia sembilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan
seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika dia seorang
diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang hwesio pembersih
halaman yang segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali
sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita,
dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka
menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
“Thian Seng Suhu, siapakah
mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh
seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal
mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka
terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian
dari siang tadi sampai senja mereka tidak pernah berhenti main. Aneh, aneh!
Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena
betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka
bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia...”
“Ah, Pekhu tidak akan marah
kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu
mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat
Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru
saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak yang sangat wangi dan
suara parau seorang berkata,
“Tianglo, kudamu sudah
terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan
kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam
sebuah permainan.
“Hemm, jangan bergirang-girang
dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang
prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tidak sabar lagi dan
cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang duduk bersila
menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat benar seperti
penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang
kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah
keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya
ini, Goat Lan pun maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa dipergunakan
oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping
keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang
bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh,
tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penganut
Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh
tahun. Sambil menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum arak dari
sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci
arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah
bau arak wangi tadi tersiar.
Melihat bentuk tubuh
orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu
Pendek ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli
ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil
dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau
tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit
dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab
dengan suaranva yang parau.
“Sin-kong Tianglo, kau boleh
memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa bila kau
memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia
tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk
Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau hanyalah seorang
manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak menghendaki usia
panjang.”
Mendengar percakapan serta
melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah mempengaruhi mereka
sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang
obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan nasehatmu. Lebih baik
kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu kini terancam bahaya
maut, Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, dia menggerakkan sebuah biji caturnya
dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya
dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan
papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi
pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali
mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam
dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan
caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji
caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang
dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi dia juga tidak melepaskan pandang
matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan
sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini sudah mendekat dan
menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
“Gerakkan benteng melindungi
raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam
terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu
yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan
meski pun dia masih tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan
demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh
karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan tangannya dan
menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh
sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si
Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia
lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas!
Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!” Tosu kate itu
tertawa senang.
Akan tetapi suara tawanya itu
diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan memancing
kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati
hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa kebaikannya
memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda lawan,
tidak tahunya bahwa dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan meninggalkan
depan raja hingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya
untuk menyerang!
“Bagus, bagus!” katanya
gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja
lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu yang tadinya
tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan dengan mulut
cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini
benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Hingga beberapa lama ia diam
tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian
bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah sehingga setiap kali raja
mereka terancam bahaya, mereka langsung menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan
biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo
gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na
(nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tak menjawab, hanya
mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar otak mencari
jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak
melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat
Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar
sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur hingga
serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil
itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo, Tianglo, kalau
berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser menterinya ke kiri
dan melindungi raja merah dari pada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi sangat
penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian dia memandang
ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang jaman sekarang ini
jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka
mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak
yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang
berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio
itu sungguh pun hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan bisa menangkap maksudnya
dan tahu bahwa dialah yang dianggap tak setia karena baru saja membantu hwesio
itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
Dia lalu menggunakan
pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab
sindiran ini, kemudian dia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca
kitab dan tidak ditujukan kepada siapa pun juga.
“Membantu yang terdesak, ini
baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang
hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca kitab-kitab peninggalan
para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak
perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke
arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan
melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio
memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa
menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia duduk membelakangi
Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu
juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh,
tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini,
Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah duduknya tanpa
menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda
yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik
ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang mempergunakan
semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan
bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang
nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah.
Kini ia duduk di belakang
hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan
berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya
menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan
mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu mencelat
naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi
seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ahh, tidak jelek!” kata
hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas
untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin
mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu
saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila tadi mereka panas
karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena hendak
memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam saja
seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita
lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak mendapatkan
murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang
giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lantas
menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap
membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk
dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan
pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang
menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli dalam
main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan
itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa
tegang karena sering kali raja mereka terkurung, akan tetapi sering kali juga
mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji
catur.
Betapa pun juga, yang menjadi
pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat sebelah. Karena itu,
setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan
pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu
dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga mereka tidak melihat
bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan
catur aneh itu! Tiada seorang pun di antara mereka berani menegur, hanya Thian
Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang
berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang,
dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi
marah.
Akan tetapi Goat Lan
benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhlr
pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal
hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan
itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Thian Tiong Hosiang menarik
napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu
melompat berdiri dan berkata,
“Sin Kong Tianglo, kau harus
mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun
berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu
berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa
siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan
catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum. “Apakah
kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu kepandaian lain? Kita
belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho-ho! Kau mau mengajak
main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil
melangkah keluar dan membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan
kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa
keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika
mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong
Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan
Goat Lan sambil berkata,
“Goat Lan kau sudah
mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang
Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton
mereka bertanding!”
“Ehh, anak nakal!” kata Thian
Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek
yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus
pulang, biar aku sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan
membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang
merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan,
dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam
hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, “Cari
dia dan antarkan pulang ke kota!” Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar
lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap
sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan kebun bunga
dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan
obor. Akan tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan tetap tidak
nampak!
Ketika para pencari yang
memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat betapa dua
orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik
dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di tempat itu menjadi
terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri
ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali
berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi
kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi
bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa kepandaiannya itu dapat
disebut amat rendah apa bila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apa
lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat
ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka dia lalu keluar
dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari
adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang
tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh pekhu-nya, sebetulnya
tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat
bersembunyi di belakang batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar
kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, dia memanjat pohon
besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia
mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula
pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya,
jauh lebih ramai dari pada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua
orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong
Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh
besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia
kang-ouw.....
Sin Kong Tianglo, hwesio yang
gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat terkenal dari Pegunungan
Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, dia juga terkenal
dengan kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian
ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat).
Biar pun tempat pertapaannya
di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu
dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan
akar-akar obat yang kemudian digunakan untuk menolong orang-orang yang
menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia akan mempergunakan ilmunya
untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih
terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang pendek kecil itu,
Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh besar dari Pegunungan
Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang
menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak mempunyai tempat tinggal
yang tetap dan lebih suka merantau ke mana-mana, akan tetapi dia jarang sekali
memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua
orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang.
Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di
Tiang-an.
Sudah lama sekali Sin Kong
Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa
itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari
mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat gembira dan
ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh.
Dahulu pernah dia berhadapan
dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu kepandaian) sampai seratus
jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak
mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah dia
melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, dia mendengar bahwa Bu Pun
Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh
yang menjadi murid Bu Pun Su.
Akibat keinginan hati inilah,
maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san yang luas itu dan
turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota
Tiang-an, maka dia lalu menuju ke kota itu.
Di tengah jalan, ketika dia
melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara
yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali karena di sekitar tempat itu
tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia
melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia
menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu
menjawab dengan muka pucat.
“Apakah Losuhu tidak mendengar
suara nyanyian yang hebat itu?”
“Pinceng mendengar. Siapakah
gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”
“Yang bernyanyi adalah seorang
iblis!”
Tentu saja Sin Kong Tianglo
menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata
bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang
tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.
Kakek ini terus menerus minum
arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat membuat anak telinga
serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil
bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi
terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari
jembatan itu!
Sin Kong Tianglo menjadi
tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, dia melihat
seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci pada tangan
kanan dan bernyanyi-nyanyi.
Akan tetapi, wajahnya berubah
girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai
seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu
menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat
berdiri dan berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku
baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Ehh,
Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap
sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu yang mendengar bahwa hwesio
itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, dia pun menyatakan
keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan
dunia persilatan itu!
Akan tetapi, karena sudah
merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan
ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke dalam dan minta
pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!
Goat Lan yang bersembunyi di
atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang
ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan ilmu silat tidak
sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di bawah amat terang
karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok
menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya
terang bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat ke atas, langit hitam
kelam tak berbintang sedikit pun.
Menurut pandangan Goat Lan
yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara
yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau
bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan
lucunya!
Im-yang Giok-cu menari dengan
guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan lambat bagai orang
menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun
di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan
ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi, sesungguhnya
kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau
melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat lambat
seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh
para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal
pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak
ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu dia akan
merasakan pula apa yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran
dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!
Lama juga dua orang itu bertempur
berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan.
Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya
mengadu kepandaian saja dan oleh karena mereka maklum akan kelihaian lawan
masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu, mereka membatasi gerakan
mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh
yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan
saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi
kepandaiannya.
Telah lima puluh jurus lebih
kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan tetapi keduanya sama
pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silat Im-yang
Kim-na-hwat yang permainannya berdasarkan pada gerak berlawanan dari Im dan
Yang, maka tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas
dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat tinggi.
Sebaliknya, sejak dikalahkan
oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri sehingga tidak saja
tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan
tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda
dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan dia telah menciptakan
berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Ketika itu, Goat Lan yang
sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua orang kakek
itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang,
“Goat Lan, kau sedang berbuat
apakah?”
Ia cepat menengok ke belakang
dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya
juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya! Agaknya ayah
ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.
Memang benar, sebenarnya Kwee
An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, dan secara diam-diam
memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah anak mereka dengan
hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang
memberi tahu bahwa Goat Lan sudah menimbulkan keributan di antara dua orang
kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid
anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan.
Mereka merasa gelisah
kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua
orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke Ban-hok-tong dengan
berlari cepat sekali hingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh, mereka melihat
Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka terlihat jemu
dan bosan!
Kedua suami isteri ini menjadi
lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang
masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat
gerakan-gerakan mereka itu.
“Kepandaian mereka benar-benar
hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa mengangguk dan menarik
napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka.”
Goat Lan bangun berdiri dan
menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian
dua orang kakek itu, dia berkata mencela,
“Apanya sih yang hebat?
Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”
Kwee An dan Ma Hoa sudah
mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi
petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka
tersenyum geli.
“Anak bodoh, ilmu silat yang
kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia
ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”
Kwee An memegang lengan tangan
anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap
sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan
indah dan cepatnya.
Baik Im-yang Giok-cu mau pun
Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya
dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan
memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.
Kwee An dan Ma Hoa menjura
kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami
berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu
Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!”
“Aha, pantas saja anak ini
demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai kepandaian
tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba Im-yang Giok-cu
teringat akan sesuatu dan bertanya,
“Apakah kau yang bernama
Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil memandang
tajam.
Kwee An tersenyum dan
diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh
besar ini pun sampai mengenalnya pula.
“Bukan, Locianpwe. Pendekar
Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte
bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”
Tosu kate itu
mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih
hidup. Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”
Diam-diam Im-yang Giok-cu
terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya
tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian
Eng Yang Cu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat
dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat
tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang
Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya
sudah lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!
“Sayang sekali bahwa ternyata
Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo sambil
menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat
bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan
anakmu untuk menjadi muridku.”
“Nanti dulu, Tianglo!” Im-yang
Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan
tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”
“Eh, ehh, kalau begitu mari
kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau
kalah.
“Ji-wi Locianpwe!” mendadak
terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya
diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapa
pun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”
Kedua orang kakek itu
tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma Hoa dengan
heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak! Anakmu
akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah ribut-ribut
menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu,
biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti
aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang
adat Si Kate ini agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia
maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak menggunakan
jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak
mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu isterinya telah
mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan.
Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk berpisah dengan anak
kami yang hanya satu-satunya ini.”
Akan tetapi Sin Kong Tianglo
dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya
kepada Ma Hoa.
“Apa bila kau menolak maksud
kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak
ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya
dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera menjawab, “Kami
sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek
itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah!
Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib
baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu
memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Nyonya
muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman yang buruk. Kekacauan
terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon
pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah
kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik dari pada kami
kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas
itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia didahului oleh
isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang
lain. Mengenai ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku
yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi
merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan
halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan
tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali
saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang
Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari
kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu,
“tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik
diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia memandang pada Kwee An dan Mai
Hoa. “Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, bila kalian
anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu ini
menjadi muridku!”
“Ehh, bukan! Menjadi muridku!”
kata tosu itu.
Kembali mereka bercekcok dan
berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada
habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah
diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat dikalahkan oleh
orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tak patut
menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini!
Bagai mana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate
yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju,
hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami
sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu segera
bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng
Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki
kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa lalu memberi tanda
kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya
ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang kakek ini
memang memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal mereka harus
menjadi murid orang lain, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana
kelihaian orang itu.
Maka berbareng dengan
isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada pun Ma Hoa
dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua batang
bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu
jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri
itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran dan terkejut.
Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan
sangat cepatnya sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri
menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan
yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang
berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang
diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi
terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah
lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka
mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan
lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan pasangan suami isteri
itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring sedikit
kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tak terpengaruh oleh tangkisan
ujung baju Im-yang Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang
Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung,
dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo
juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan kata-katanya. “Orang
muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di manakah kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi
dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang
bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning,
karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah
pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani, yang pernah
jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan Ma Hoa. Kemudian dia kembali
menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang
obatnya.
Pertempuran berjalan berat
sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek itu sama sekali
tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka
hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Namun setelah bertempur
beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua.
Sin Kong Tianglo mendapat
kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat
kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh
Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian menunjukkan pelajaran
Kim-san-pai, akan tetapi sudah tercampur dengan ilmu pedang lain yang amat aneh
dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur adukkan ilmu pedangnya dengan
pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran
adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang dengan sepasang bambu
kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini
setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng
Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda
itu dengan guci araknya.
Tidak disangkanya, permainan
bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya
sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh
ujung-ujung bambu kuning yang sekarang agaknya sudah berubah menjadi puluhan
batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu
berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biar pun baru bertempur
puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian dua
orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari pada tingkat
mereka. Buktinya, selama itu mereka sama sekali tidak pernah membalas, dan
hanya menangkis atau mengelak saja, namun pertahanan mereka begitu kuat biar
pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu
kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka
mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian
Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan
tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok
Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab,
“Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba saja
tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. “Ha-ha-ha, inilah yang
disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku
adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhu-mu!”
Ma Hoa terkejut sekali, sebab
memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga dia belum pernah
tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng
Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Dia percaya penuh
kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu
mau mendusta.
Namun, Im-yang Giok-cu
tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan.
Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan ciptaan suheng-ku
sendiri sehingga aku tak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa
dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat
dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika dalam sepuluh
jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah
Susiok-mu (Paman Guru) sendiri!”
Ma Hoa sebenarnya sudah
percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga. Masa dalam
sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata,
“Maafkan kelancangan teecu
(murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu mempergunakan
gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah
pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa
menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk
dapat dikalahkan dalam segebrakan saja.
Ia cepat menarik kembali
tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya dengan jurus kedua.
Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu
sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, jika tangan kanannya menangkis
dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan,
seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya
hingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh,
ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher
kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah
hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan kepala dan secepat
kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika
bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat menggunakan ilmu Pi-ki
Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga saat bambu itu menotok
jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu
karang dan sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap
bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah
kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua
senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan
kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya!
Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan mengakui aku sebagai
Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid Suheng-ku, sayang
bahwa kau agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku itu!” Memang
kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok
Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja.
Kwee An juga memberi hormat
dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
“Dengarlah, Kwee An dan kau
juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
“Teecu bernama Ma Hoa.”
“Hemm, bagus, dengarlah. Kalau
kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian
serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan
membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini.
Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Gobi-san dan
ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada kepandaianku,
sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela
melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Tapi, kalau
kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid
Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat
sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena dia maklum bahwa
apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi orang
yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang
kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
“Ji-wi Locianpwe,” kata Kwee
An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apa bila anak
teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya
memiliki seorang anak, maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang
menengok anak kami itu.”
“Boleh, boleh...,” Im-yang
Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak ada halangannya.”
“Goat Lan, kau tentu suka menjadi
murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada anaknya. “Kepandaian
mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa
Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”
Semenjak tadi, Goat Lan telah
mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai
seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa tidak ada guru-guru
yang lebih sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh dan yang bodoh
kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu merasa suka sekali
menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”
Im-yang Giok-cu dan Sin Kong
Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat
Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
“Ibu, kalau kau lama sekali
tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu
dan pulang sendiri!”
Semua orang tertawa mendengar
ucapan yang nakal ini.
“Jangan khawatir, Goat Lan.
Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau,”
kata Kwee An.
Kedua orang kakek itu lalu
mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena maklum
bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga
tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra,
dan mendengar bisikan ibunya, “Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!”
Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri dan sekali kedua kakek
itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari
situ!
Kwee An dan Ma Hoa saling
pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang
tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya pulang dan
menghiburnya…..
********************
Kita tinggalkan dahulu Goat
Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk berlatih silat di atas
puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah
selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau
Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhu-nya,
yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena Lili tidak pernah mau
mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun Lo Sian tak mau
bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka
ini. Dia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan sesudah dia
mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan
kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.
Lili juga terhibur dan merasa
suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhu-nya ia
merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu.
Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan
tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini mampu menekan
perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan
perasaan rindunya.
Lo Sian membawa muridnya
merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang
belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon
yang ratusan tahun usianya.
“Lili, mari kita mempercepat
perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk
memetik kembang.
Dia tertawa geli dan juga kagum
melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu ditancapkan di atas
telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya
yang merah.
“Hayo kita berlari cepat,
Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita
kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”
“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili
sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”
Suhu-nya tertawa. Muridnya ini
memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman
dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar, di dalam tidurnya Lili
bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!
Akan tetapi, anak ini
benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya
terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan ginkang-nya
yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat
turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu
akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau
ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat ke bawah
dan bertanya kepadanya.
“Suhu, aku bermimpi berkelahi
dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambit tertawa!
Kini mereka mempergunakan
kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki
kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini
memang sudah memiliki ginkang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh
karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka
dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian muridnya itu yang
mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.
Pada waktu mereka hampir
keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan memandang ke
kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena wajah suhu-nya
memperlihatkan keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang sunyi itu dan tersembunyi
di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng
dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih.
Benar-benar mengherankan sekali.
“Ehh, Suhu. Rumah siapakah
begini indah di dalam hutan ini?”
“Sstt, aku pun sedang heran
memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”
Lo Sian dengan diikuti oleh
Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang
besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka
lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang.
Lo Sian mengajak Lili
mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil
tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di
balik daun-daun pohon. Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat
dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai mengkilap itu.
Seorang anak laki-laki yang
usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang dan bajunya terbuka
sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya
yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa ia adalah seorang
anak miskin yang sering kali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang
gendut itu penuh dengan cacing!
Di depan anak kecil yang
tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang berkepala
gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara
ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
“Ha-ha-ha! Hendak kulihat
kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang kurus
perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya
keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa
berada di dalam perutmu? Kau datang hendak mencuri makanan dan sudah sepatutnya
mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan
kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing,
betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan
cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”
Sambil berkata demikian,
hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua
tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil yang terikat itu
tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
“Kau hwesio gila, persis
seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi
hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau
telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau membedah perutku,
terserah. Aku tidak takut!”
“Bagus, maling hina dina!
Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”
Hwesio kecil itu melangkah
maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil yang terikat
tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk dibelek!
“Suhu…,” dengan mata terbelalak
Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, “hwesio gila
itu hendak membunuhnya!”
Lo Sian juga merasa terkejut
bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia mengagumi anak miskin
itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana
mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik
sebutir buah yang tergantung paling rendah dan ketika hwesio kecil itu hendak
mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil
itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan
hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi, ternyata hwesio
yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan
agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat menarik tangannya dan
buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
“Trangg...!” Pisau itu jatuh
di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur
dengan cepat dan kaget.
Pada saat itu, Lo Sian dan
Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam
ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul
dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Dia melihat
kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia menyambut kedatangan Lo Sian
dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis Sakti terkejut
juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu
miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan tetapi,
alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara itu, Lili segera
menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka ikatan tangan. Anak
itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih, akan tetapi
mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio
kecil tadi.
Sebetulnya tidak tepat kalau
disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai
di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin membalas. Dia memperhatikan
gerakan hwesio itu dan diam-diam merasa amat terkejut ketika mengenal ilmu
silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.
Ia cepat mengulur tangan dan
dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh
dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok jalan darahnya yang
membuatnya menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun totokan itu tidak
mendatangkan rasa sakit.
“Hayo kita cepat pergi dari
sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.
Karena maklum bahwa anak
miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan
sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua kakinya tidak
menginjak tanah dan tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang
menolongnya.
Lili merasa heran sekali
melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu. Akan tetapi
melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan mengikuti
suhu-nya dengan cepat.
Setelah senja berganti malam
dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun yang berdekatan dengan
hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi
pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,
“Kita bermalam di sini saja.”
Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan
kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.
“Mengapa kita tidak mencari
tempat penginapan di dusun, Suhu?”
Suhu-nya menggelengkan kepala.
“Terlalu berbahaya.”
“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri?
Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan kenapa kita harus
berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.
“Kau tidak tahu, Lili. Melihat
dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang pelayan atau murid
dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka
berbahayalah apa bila kita bertemu dengan dia!”
“Siapakah orang jahat itu,
Suhu?”
Lo Sian menghela napas. “Dia
itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat sakti dan tinggi ilmu
silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tak kuat
menghadapinya. Kepandaiannya sangat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali.
Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu
ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa
kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”
“Akan tetapi, Suhu...”
Tiba-tiba Lo Sian menggunakan
tangannya untuk menutup mulut muridnya.
“Ssshhh...” bisiknya. Lili
menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.
Tak lama kemudian, di dalam
gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu setelah
dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan
gerakan dua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu
benar-benar hebat!
Lili melihat betapa kedua kaki
orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi jelas
sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam
karena injakan kakinya ketika berlari.....
Ketika orang yang berlari itu
berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili mendengar suara yang
parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,
“Siauw-koai (Setan Kecil),
Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar
berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama
bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke
dalam dusun di depan.
Barulah Lo Sian bergerak dan
menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!” bisiknya.
“Suhu, dia itukah orang jahat
yang bernama Ban Sai Cinjin?”
Gurunya mengangguk di dalam
gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi
bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”
“Akan tetapi, Suhu. Ia
kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi
tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”
“Memang aneh. Dulu ia gundul
dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi
orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar
seorang kaya raya! Aneh!”
Kalau Lili dan Lo Sian dapat
melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu
hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
“Memang Ban Sai Cinjin seorang
kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”
Setelah mendengar suara ini,
barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang
kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba
ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”
Anak itu lalu menceritakan
bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya
meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup
seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari
dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah
setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis.
Ia mengetahui tentang Ban Sai
Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak rumah dan
toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam
hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan
aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat
kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.
“Aku mendengar bahwa Ban Sai
Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering mendatangkan
penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah.
Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng
itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir
saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”
Lo Sian si Pengemis Sakti
tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang
menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti
yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.
Kepandaian Ban Sai Cinjin
memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini
sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan
harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka
mengganggu anak bini orang.
Akan tetapi, untuk menutupi
mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai
tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan
tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak
mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang
dusun atau orang kota.
Ban Sai Cinjin sangat terkenal
akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat ditakuti
orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa
tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!
Pada waktu-waktu biasa, ia
menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan
tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang
tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan
bagaikan benang emas.
Akan tetapi pada saat dia
menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang
berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia
mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau
yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup
membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sebetulnya asap ini
mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.
Apa lagi kalau ia sudah
mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu
menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin,
bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat
julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang berhati budiman
itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia
memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum
bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang
ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah
dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di
ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
“Kam Seng, apakah kau suka
ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”
Mendengar ucapan ini,
tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil
menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu
patah pun kata, hanya berkata terputus-putus,
“Suhu..., Suhu...”
Setelah pada malam hari itu
bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua
orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng
agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa hari lewat tanpa
terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat kota
Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota
Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena
Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari
ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak
ini.
Pada suatu hari, ketika ia dan
kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah
menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba
orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian cepat mengelak dan
alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan lain
adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain
adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia
melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai di tempat itu
lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhu-nya
kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan sekali di kota
Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili dari
padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya
masih dapat dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian maklum bahwa orang ini
mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut pedangnya yang
selalu disembunylkan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini
dan segera mencabut goloknya.
“Jembel hina dina! Hari ini
kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.
Lo Sian menangkis dan mereka
lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang menyaksikan
pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari
cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara
demikian hebatnya.
Sementara itu, ketika melihat
bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika
Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat
sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan
batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari
Bouw Hun Ti.
Sungguh pun sambitan batu yang
dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan
serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali
tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh
sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak akan terasa
olehnya!
Kam Seng yang melihat suhu-nya
bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan
juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun
mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena
pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang
bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak
dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!
Akan tetapi, Lili yang sudah
memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah
terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan
suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya,
kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun serangan Lili ini
tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.
“Setan kecil, lebih dulu
kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili
dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!
Lili memiliki ketenangan
ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat sinar golok menyambar ke arah kepalanya,
dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah lantas bergulingan menjauhkan
diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya setelah
menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari samping dalam usahanya
menolong muridnya.
Lili bergulingan terus sampai
tiba-tiba dia merasakan bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang yang
duduk di bawah pohon dekat situ. Dia memandang dan ternyata bahwa ia telah
berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh
tambalan dan buruk sekali.
Melihat betapa anak itu kini
berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti melanjutkan serangannya.
Akan tetapi tiba-tiba dia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas
dari pegangan pada waktu golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa
pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan menangkis golok itu!
“Hemm, manusia kejam! Apakah
kau masih mau menjual lagak di hadapan Mo-kai Nyo Tiang Le?”
Bouw Hun Ti makin terkejut
karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi ketika
menghadapi Lo Sian, walau pun dia yakin akan bisa mendapatkan kemenangan, akan
tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tak mungkin
menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apa lagi sekarang ditambah pula dengan
seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja sudah
menunjukkan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi!
Bagaimana sebatang tongkat
bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan dengan
tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga kemudian dengan marah sekali
ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta
pertolongan dan bantuan.
Lo Sian yang baru dapat
mengenali pengemis itu, cepat-cepat menghampiri dan berseru girang. “Suheng!
Kau di sini?”
“Sute, dari mana kau
mendapatkan anak ini?” Mo-kai Nyo Tiang Le balas bertanya tanpa menjawab
pertanyaan adik seperguruannya.
Mendengar pertanyaan ini,
barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang sudah melarikan diri. Ia
menghela napas dan berkata,
“Sayang sekali Suheng. Orang
yang dapat menjawab pertanyaanmu itu sudah melarikan diri. Aku sendiri tidak
tahu siapa sebetulnya anak ini.” Ia lalu menuturkan pengalamannya pada waktu
merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, kemudian menuturkan pula tentang
pengalamannya menolong Thio Kam Seng.
Si Pengemis Setan itu tertawa
terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia segera memandang kepada Lili
yang kini sudah berdiri, lalu berkata kepadanya, “Hemm, anak nakal! Kau tidak
mau menceritakan siapa ayah ibumu? Ha-ha-ha, tak perlu kau bercerita lagi! Aku
sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong
ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku! Ha-ha-ha!”
Bukan main marahnya hati Lili
mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak dengan kepala dikedikkan,
dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan
cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili
bersikap seperti itu, tentulah akan mengatakan bahwa anak perempuan ini persis
sekali seperti ibunya kalau sedang marah.
“Kau... kau berani menghina
ayahku? Jika Ayah mendengar hal ini, biar pun kau berada di ujung dunia, Ayah
pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayahku adalah seorang gagah perkasa tanpa
tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dapat dia patahkan batang
lehernya dengan mudah!” Lili betul-betul marah bukan main mendengar ayahnya
disebut tukang colong ayam!
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le
tertawa bergelak. Agaknya dia geli sekali sehingga sambil tertawa dia meraba-raba
perutnya. “Ha-ha-ha-ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha-ha-ha,
ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang dia bisa mematahkan batang leher,
akan tetapi hanyalah batang leher ayam. Tentu saja dia kuat mematahkan batang
leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha-ha-ha!”
“Orang tua kurang ajar!” Lili
semakin marah hingga ia membanting-banting kakinya yang kecil.
Dia lupa bahwa suhu-nya tadi
menyebut suheng kepada jembel ini. Namun, jangankan baru supek-nya yang baru
dikenal sekarang, walau pun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!
“Hati-hatilah kau! Beritahukan
siapa namamu supaya dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul
mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah...” tiba-tiba Lili terhenti
karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya,
bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhu-nya.
“...bahwa ayahmu hanyalah
seorang tukang colong ayam...!” Pengemis tua itu langsung melanjutkan
kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.
“Bukan!” Lili menggigit
bibirnya dengan hati gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin
Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah
perkasa! Siapa yang tidak kenal kepada ayah ibuku yang menjadi murid terkasih
dari Sukong Bu Pun Su?”
Sambil berkata demikian, Lili
memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa
bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya tengah
tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo, ada pun suhu-nya sendiri pun
memandangnya dengan mata terbelalak heran!
Lo Sian lalu mengelus-elus
kepala Lili dan berkata, “Ah, anak baik, kenapa tidak dulu-dulu kau katakan
kepadaku? Jika aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku
tahu siapa adanya ayah ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhu-mu dan Supek-mu ini
masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”
“Akan tetapi, mengapa Supek
tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”
Nyo Tiang Le tertawa bergelak
dan Lo Sian juga tersenyum. “Lili, Supek-mu tadi hanya bergurau. Pada waktu ia
mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah
Sie Taihiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka
menyebutkan nama ayahmu?”
Lili memang cerdik. Kini ia
tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo
Tiang Le, “Supek sudah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek tidak menarik kembali
ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”
Suara tawa Mo-kai Nyo Tiang Le
makin keras. “Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri ayam? Apa
bila ada orang yang mengatakan demikian di depanku, mulut orang itu tentu akan
kuhajar dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan
pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”
Berserilah wajah Lili
mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
“Suheng, kalau begitu, aku
hendak mengantarkan anak ini pulang kepada Sie Taihiap di Shaning.”
Nyo Tiang Le menggelengkan
kepalanya. “Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu telah dapat menduga siapa adanya
orang brewok tadi?”
Lo Sian menggelengkan
kepalanya. “Sungguh pun ilmu silatnya sangat lihai dan gerakan goloknya
mengingatkan aku akan ilmu kepandaian golok milik Ban Sai Cinjin, akan tetapi
sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”
“Dia adalah murid dari Ban Sai
Cinjin, seorang peranakan Turki. Apakah kau masih ingat pada Balutin yang dulu
memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”
Lo Sian mengangguk karena
dahulu ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh
itu.
“Nah, orang tadi adalah putera
dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan dia amat lihai, apa lagi setelah
mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa dia menculik anak Pendekar
Bodoh ini, akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak
ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali.”
Lo Sian menundukkan kepalanya
karena dia juga maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi dari
pada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili
dengan baik.
“Habis, bagaimana baiknya,
Suheng?”
“Aku sedang dalam perjalanan
menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa
kedua anak ini bersamaku ke sana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar
Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya sudah selamat dan sedang bersama dengan
aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong. Sedangkan dulu aku pernah
mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah apa bila
aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut
dengan aku, bukan?”
Lili memandang kepada suhu-nya
dan berkata, “Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau pulang kalau
Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, bila selamanya teecu harus ikut
Supek, teecu tidak suka.”
“Mengapa begitu, Lili?” tanya
Lo Sian sambil tersenyum.
“Supek seorang pengemis!”
“Hussh!” kata Lo Sian mencela.
“Aku pun seorang pengemis!”
“Benar, akan tetapi Suhu
berbeda dengan Supek. Suhu adalah pengemis bersih, akan tetapi Supek...”
“Hussh, Lili!” Menegur
suhu-nya.
Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang
Le bahkan tertawa geli dan berkata, “Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya apa bila
seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal,
kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”
Dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya
yang butut itu telah terlepas sehingga Lili dan juga Thio Kam Seng, anak piatu
itu memandang dengan mata terbelalak heran.
Setelah jubah butut kotor dan
penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah
sekali. Tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus,
sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Dan sikap pengemis tua itu pun
berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu
menjadi sungguh-sungguh dan nampak kereng sekali!
“Bagaimana, apakah kau masih
merasa jijik untuk ikut Supek-mu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara kereng.
Lili merasa heran dan tertegun
sehingga dia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya.
Pengemis tua yang aneh itu kemudian mengenakan kembali pakaian bututnya dan
wajahnya kembali berseri-seri. Kini Lili baru merasa lega, karena sebenarnya
hatinya lebih enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan
yang tertawa-tawa ramah ini dari pada menghadapinya dalam pakaian gagah dan
sikap kereng tadi!
“Kenapa pakaian bersih dan
indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani
membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le tertawa bergelak,
seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.
“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak
sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal,
memakai baju kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang
indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, seperti sebutir buah yang
kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi apa bila dikupas
kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya,
dari luar tampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”
Lili tidak percuma menjadi
puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang
terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno.
Telah sering kali ayahnya memberi pelajaran budi pekertiepadanya dan sering
kali pula dia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat
hidup. Dan kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le itu, anak yang berotak tajam ini
dapat menangkap maksudnya, maka dia lalu membantah,
“Supek, betapa pun juga aku
lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi
luar dalam! Biar pun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih,
aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih dari pada yang kulitnya
kotor!”
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le
tertawa bergelak. “Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah seharusnya
tahu merghargai keindahan, luar mau pun dalam!”
Demikianlah, sesudah memesan
kepada Lili dan Kam Seng supaya patuh kepada supek mereka, dan memberi janji
kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu
meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning dan
mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le juga segera
membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san.
Pengemis Setan ini sungguh pun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apa
bila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi,
juga usianya berbeda jauh sekali. Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun,
akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Bahkan kepandaian Lo Sian
sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi
pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le
ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat kepandaian empat besar di
timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok
Sianjin di Beng-san yang kini menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar
Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya,
dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanya kipas maut
itu! Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan
dia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai di
antara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo Tiang Le suka
sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid
sute-nya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk
mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik
sekali. Dia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok
Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.
Thio Kam Seng, anak yatim
piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan
agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang saat ia bertemu dengan Lo Sian,
karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang luar
biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan
kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat
latihan ilmu silat tinggi…..
********************
Mari sekarang kita mengikuti
perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning untuk
pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.
Semenjak Kong Hwat Lojin atau
Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia pada
dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi
Tiang-an. Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti
sebentar dan memandang tembok kota itu dengan pikiran yang penuh kenangan masa
lampau. Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota
ini pun merupakan kota di mana dia pernah mengalami banyak sekali penderitaan
hidup pada waktu dia masih kecil.
Mereka memasuki kota dan
mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno
yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan
Kwee Lin. Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An
dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan
mencium dengan hati girang sekali.
“Enci Ma Hoa, sekarang kau
makin gemuk dan makin cantik saja!” Lin Lin berkata sambil memandang kepada
soso (kakak iparnya) itu. Oleh karena sudah terbiasa sejak belum menikah dulu,
Lin Lin tidak menyebut soso pada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.
“Lin Lin, kaulah yang semakin
cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah kau
dalam perjalananmu ke sini?”
Cin Hai dan Kwee An yang
saling berpegang tangan dengan perasaan gembira itu juga mengucapkan kata-kata
ramah tamah.
“Ahhh, kami mendapat
kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk
menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”
Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee
An mendengar berita hebat ini.
“Apa...?!” Ma Hoa melompat
bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orang yang demikian berani
mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan
kepalanya!” Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang
matanya berkilat.
Kwee An juga marah sekali dan
kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar dari pada
isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
“Ahh, bagaimana bisa terjadi
hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu
sejelasnya.”
Suara yang lemah lembut dan
sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin dari
pada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan hati marah. Tak terasa
lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus
celah-celah bulu matanya lantas mengalir turun ke atas pipinya. Sambil
menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja
ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.
Setelah mereka duduk di atas
kursi dan Lin Lin sudah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka
berceritalah Lin Lin dan Cin Hai mengenai penculikan terhadap Lili, dan juga
tentang terbunuhnya Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan
yang sangat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa
menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengan tangan
terkepal ia berkata keras,
“Lin Lin, kita harus mencari
jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam
itu dengan senjataku!”
Juga Kwee An merasa marah dan
sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut
orang-orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An
berkata,
“Tidak mungkin salah lagi,
tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu
memusuhi Yo-pekhu!”
“Kami pun menduga demikian,”
kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari
keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak terdapat orang-orang Turki
baik pengikut Pangeran Muda mau pun pengikut Pangeran Tua.”
“Betul sekali,” kata Kwee An
mengangguk-anggukkan kepala. “Di sana banyak terdapat kawan-kawan baik dari
Yo-pekhu, dan kurasa dari mereka ini kau akan bisa mendapatkan keterangan.”
“Aku ingin sekali ikut pergi,”
tiba-tiba saja Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik
Lili!”
Kwee An memandang kepada
isterinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata, “Dalam keadaanmu sekarang ini
lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”
Ma Hoa membalas pandangan
suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah. Lin Lin mengerti akan maksud
ucapan itu, maka dia merangkul Ma Hoa sambil berkata, “Enci yang baik! Sudah
berapa bulankah?”
Makin merahlah muka Ma Hoa dan
dengan suara perlahan ia berkata, “Dua...”
Cin Hai sama sekali tidak
mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia
memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan
mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli,
bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin
Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandangan mata seperti itulah
yang lalu membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
“Eh, eh, kalian mengapakah?”
Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, oleh karena memang
demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih dia bisa tertawa gembira,
sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!
“Jangan tanya-tanya, ini
urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.
Akhirnya bisa juga Cin Hai
menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Ma Hoa kini dalam keadaan mengandung dua
bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, dia diam saja.
Dua pasang suami isteri itu
lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
“Eh, sampai lupa aku! Mana si
cantik Goat Lan? Kenapa semenjak tadi aku tidak melihat dia?” kata Lin Lin.
“Ah, dia telah dibawa oleh dua
orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”
“Dibawa? Apa maksudmu?
Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.
“Goat Lan telah diambil murid
oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk
dilatih ilmu silat.”
Cin Hai dan Lin Lin merasa
girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan
peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.
“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang
mendadak teringat akan sesuatu, “aku sudah mengadakan pembicaraan dengan
suamiku mengenai anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang
anakmu dan anak kami Hong Beng.”
Wajah Ma Hoa berseri. “Ahh,
bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”
Lin Lin lalu menceritakan
bahwa Hong Beng sudah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu
silat.
“Kiranya tidak ada jodoh yang
lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau kita
resmikan pertunangan itu sekarang?”
Kwee An tertawa. “Kedua anak
itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana pertunangan mereka harus diresmikan?”
“Maksudku, pertunangan ini
disahkan di antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku,
bukan?” menegaskan Lin Lin.
“Lin Lin, kau masih saja tidak
sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini
dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu
dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut
menjadi mantu kami?”
Demikianlah, di antara tawa
dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan
amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang
pendiam tidak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk
mengingatkan isterinya mengenai hal yang tidak menyenangkan ini, maka dia diam
saja.
Sesudah mengunjungi Kwee Tiong
atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin
yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai segera melanjutkan
perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An.
Ma Hoa dan suaminya mengantarkan mereka sampai di luar batas kota dan mereka
lalu berpisah.
Cin Hai dan Lin Lin
melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan sesudah berpisah dari Ma Hoa,
seluruh perhatian Lin Lin kembali tercurah kepada puterinya dan timbul lagi
kegelisahannya. Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian
setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan
menuju ke kota Lancouw. Pada sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala
pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau pada
waktu mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk
ke perkampungan orang Turki di mana dahulu Yousuf tinggal. Orang-orang Turki
yang tinggal di sana ternyata masih ingat kepada mereka, karena pada saat mereka
masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari
Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan mengenai keadaan Yousuf.
Ketika mendengar bahwa bekas
pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal
kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.
“Bouw Hun Ti!” seru seorang di
antara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing
pengkhianat yang melakukan hal itu.”
Cin Hai dan Lin Lin segera
mendesak orang tua itu.
“Sahabat,” kata Cin Hai,
“sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami
hanyalah hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga
siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah berani
menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti,
siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dialah yang
melakukan perbuatan itu?”
Orang Turki tua itu baru saja
datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka dia lalu
menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw
Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan
bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat kejam dan
berkepandaian tinggi.
Cin Hai dan Lin Lin tidak
ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya. Mereka lalu
mengambil keputusan untuk menunggu di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun
Ti yang tentunya akan pulang ke Turki dengan membawa Lili yang diculiknya,
karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu
belum kembali dari timur.
Akan tetapi, setelah menanti
dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan
Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah bukan main. Betapa pun lambat musuh itu
melakukan perjalanan, tidak mungkin akan makan waktu selama itu. Akhirnya Cin
Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang
membawa lari puteri mereka itu.
Kepada orang-orang Turki yang
ada di situ mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw
Hun Ti dan seorang anak perempuan, agar berusaha merampas anak perempuan itu.
Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga
dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu
dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suami isteri itu
dan menolong Lili. Mereka maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun dapat
melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa
yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan
mengantarkannya kepada suami isteri itu.
Maka berangkatlah Cin Hai dan
Lin Lin kembali ke timur. Sungguh pun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan
tetapi ada juga sedikit kegembiraan karena sudah mengetahui nama dan keadaan
musuh besar mereka.
Kini mereka kembali ke timur
tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni
jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di
sepanjang perbatasan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir
di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu
silat di situ…..
********************
Mo-kai Nyo Tiang Le bersama
dua orang anak-anak murid sute-nya, yakni Lili dan Kam Seng, sampai di Gunung
Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki
bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa mengagumkan.
Setelah jatuh ke tangan
orang-orang yang bisa ia percaya, Kam Seng kini timbul kembali sifat-sifat
aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada
kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului
supek mereka sebab Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti untuk
menikmati keindahan pemandangan alam.
Lili dan Kam Seng sudah diberi
tahu oleh supek ini bahwa tuiuan mereka adalah puncak bukit di sebelah utara
itu. Maka mereka tidak sabar menunggu supek mereka yang dapat berdiri diam
bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.
“Supek benar-benar aneh,” kata
Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti Lili yang
gerakannya lebih gesit dan sangat cepat itu, “apakah indahnya pohon-pohon dan
rumput di bawah gunung?”
Lili hanya tersenyum sambil
berkata, “Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!”
Dia lalu melompat ke depan
dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak bisa
menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah akibat telah mendaki bukit itu
mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,
“Supek aneh, Lili juga aneh.
Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”
Memang, Kam Seng yang sejak
kecil selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh, hingga
tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah
terlampau banyak melihat hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan putus harapan,
bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang
betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.
Karena Lili berhenti dan
mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, maka Kam Seng
dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main.
Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa
tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu kemudian dibawanya dengan
hati-hati dan penuh rasa sayang.
Pada saat itu dari sebuah
lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang sangat gesit gerakannya.
Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal,
kelihatan jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan
hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya tegap hingga
nampak telah hampir dewasa, biar pun usianya sebenarnya baru sebelas tahun
kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa dia mempunyai
watak yang jujur.
Anak laki-laki ini berlari
turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat ada dua orang anak yang
berada di taman bunga itu dan melihat pula seorang anak perempuan memetiki
kembang yang menjadi kesayangan gurunya, maka dia menjadi marah sekali.
“Hai! Jangan sembarangan
memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari cepat
menghampiri Lili dan Kam Seng.
Lili dan Kam Seng terkejut,
lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa jika taman bunga ini
kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah. Akan tetapi Lili
yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar
tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,
“Turunlah! Apa kau kira aku
takut padamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa kau bilang
merusak?”
Anak laki-laki yang berlari
turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah
menjadi girang sekali dan seketika itu juga lenyaplah kemarahannya.
“Lili...!” serunya girang dan
dia mempercepat larinya.
Lili tertegun mendengar suara
ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senja kala telah mulai tiba
dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, dia jadi
tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru,
“Hong Beng...!”
Memang semenjak kecil Lili
menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja tanpa diberi tambahan
kakak atau engko. Biar pun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh dia menyebut
Hong Beng kakak, akan tetapi anak yang bandel ini tetap saja tak pernah
mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!
Segera kedua orang anak itu
berhadapan dan dengan girang. Hong Beng memegang kedua tangan adiknya.
“Lili... dengan siapa kau
datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?”
“Aku datang bersama Supek.
Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak yatim
piatu yang diambil murid oleh Suhu.”
Hong Beng tercengang mendengar
keterangan singkat ini. “Ehh, siapakah Supek-mu dan siapa pula Suhu-mu? Mengapa
kau meninggalkan rumah?”
Memang seperti telah
dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san
untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi
tokoh besar di barat. Pada waktu dia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak
mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun belajar silat dari
ayah dan ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang suhu
dan supek dan meninggalkan rumah?
Lili hendak menuturkan
pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang amat
nyaring dari atas puncak.
“Ah, Suhu sedang berlatih.
Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. O ya, mana
itu Supek-mu yang kau katakan datang bersamamu?”
“Supek sedang tergila-gila
kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.” Lili menerangkan sambil
tertawa. Dia telah memungut kembangnya kembali dan memegang kembang itu dengan
rasa sayang.
Akan tetapi Hong Beng meminta
kembang itu dan berkata, “Lili, Suhu akan marah kalau melihat kembangnya
dipetik orang.”
“Mengapa?” tanya Lili dengan
heran.
“Menurut penuturan Suhu,
kembang juga memiliki semangat seperti orang, maka memetik kembang yang sedang
mekar berarti sama dengan membunuh orang muda seperti kita!”
Lili memandang kakaknya dengan
mata terbelalak penuh rasa sesal. Akan tetapi sambil tertawa Hong Beng lalu
menggandeng tangannya, kemudian mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana
terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.
“Hayo, Kam Seng. Larilah yang
cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang.
Dan merahlah muka Kam Seng
karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu? Terpaksa ia
menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan
tetapi dia tetap tertinggal jauh.....