Bab 5 - Penghuni Pulau Kosong
˜Dari... dari... Ceng Si,
katanya itu uang simpanannya selama ia bekerja... dia berikan kepada hamba
untuk... untuk...!
˜Untuk apa?! Kiang Liat tidak
sabar lagi.
˜Wan-gwe, Ceng Si dan hamba
mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si
yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan
dan memilih hari pernikahan.!
Kiang Liat percaya akan
keterangan ini. Memang ia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini
mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk
di akal. Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu
mendapatkan uang begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?
˜Siapa namamu?! tanyanya
tiba-tiba.
˜Hamba bernama Cia Sun.!
˜Sekarang dengarlah. Aku Kiang
Liat bukan orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau sudah berani
lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Ini saja
sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau
penjahat. Akan tetapi aku maafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau
harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri
Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan
itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku
akan mencarimu dan mengambil nyawamu!!
˜Baik, Wan-gwe... baik...! Cia
Sun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berlutut terus.
Kiang Liat mencemplak kudanya
dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tidak suka
sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu
genit dan terlalu cantik, pula amat berani. Dengan terang-terangan gadis
pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan
hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya, lebih celaka lagi, isterinya entah
mengapa, nampak suka sekali kepada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si
menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan
muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.
Kiang Liat amat cinta kepada
isterinya, ia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan biarpun ia merasa curiga
dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi
ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia sudah percaya penuh akan
kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka ia tidak mau memperlihatkan
sesuatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia
tidak bercerita sesuatu kepada isterinya teritang pertemuannya dengan Cia Sun.
Pada keesokan harinya, betul
saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua
yang terkenal di kota Sian-koan sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita
ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia
Sun! Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan ia
tidak tahu bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam.
˜Panggil Ceng Si ke sini...!!
kata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa
ia bergembira.
Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis
ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi
telah mendengar tentang peminangan itu. Ceng Si juga terheran-heran dan bingung
ketika Bi Li berkata kepadanya,
˜Ceng Si, Bibi ini datang
untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Biarpun
aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tidak berkeluarga lagi,
akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?!
Ceng Si kebingungan. Sebentar
ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua
ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya
tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.
˜Akan tetapi...! kata Ceng Si
bingung, ˜bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih suka melayani Hujin dan
belum ada pikiran untuk menikah...! Dari tempat duduknya Kiang Liat dengan
heran sekali melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh
ketika memandang kepada Bi Li!
˜Ceng Si, bukankah hal ini
amat baik sekali? Lebih baik daripada kau bekerja di sini? Ingat, usiamu sudah
dua puluh tahun dan pelamar ini bukan orang sembarangan. Kiranya sudah amat
cocok apabila kau menjadi isteri seorang siu-cai.!
˜Betul sekali kata-kata
Kiang-hujin,! perantara itu berkata cepat-cepat. ˜Cia-siucai seorang pemuda
yang tidak saja tampan sekali, akan tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun
dan berbudi mulia. Biarpun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia bukan
tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!!
˜Akan tetapi... aku belum suka
berumah tangga sendiri!! kata Ceng Si dan di dalam kata-katanya ini terkandung
suara demikian keras dan menentukan. Kiang Liat terkejut sekali karena ia
melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu
tidak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di
dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,
˜Ceng Si, dalam hal ini sekali-kali
tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh dengan
pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang
sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang
berjodoh padanya? Maka kau tidak boleh menampik!!
Perantara itu tertawa dan
nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, ˜Bagus
sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah
Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah
kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.!
Hanya Kiang Liat yang tahu
betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan jelas nampak kegugupannya
ketika mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan
itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini, Kiang Liat
menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Adapun
Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.
Ceng Si menundukkan mukanya.
˜Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tak dapat membantah. Nasib
hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.! Kata-kata yang perlahan ini
diikuti oleh mengalirnya air mata.
Hari pernikahan ditetapkan dan
beberapa pekan kemudian, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si.
Setelah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu
yang selama ini menggencat hatinya telah dilenyapkan. Ia merasa lega sekali dan
mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya.
Sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari ia nampak gembira
sekali. Biarpun terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan
yang tersembunyi di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, namun Kiang
Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta
dan terlalu sayang kepada Bi Li, kepercayaannya sudah bulat.
***
Setelah Ceng Si meninggalkan
rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak
berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya
terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa beruntung sekali
dan sepasang suami isteri ini hidup dalam keadaan tenteram dan penuh
kebahagiaan. Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak makin mungil dan manis.
Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus
dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah
mencari cacatnya.
Biarpun masih kecil, sudah
kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan
subur. Tidak mengherankan apabila ayah bundanya amat sayang kepadanya.
Beberapa bulan lewat tanpa ada
peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri ini
sedang duduk makan angin di ruang depan dan menimang-nimang Im, Giok, dari
pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang
Liat yang berpendengaran tajam, cepat menoleh dan begitu melihat pengemis itu,
wajahnya berubah girang sekali.
˜Suhu Han Le datang...!
bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.
Keduanya berdiri dan menyambut
dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini
memandang kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.
˜Aduh, puterimu ini
benar-benar mengagumkan sekali, Kiang Liat!! katanya sambil mengelus-elus
kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.
Setelah dipersilakan duduk dan
dikeluarkan hidangan, Han Le makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian
ia menuturkan maksud kedatangannya.
˜Muridku, sekarang ada
pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang
menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti
adalah saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan dapat menyetamatkan diri atau
tidak.! Han Le lalu menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang
dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi
guru dari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Di samping mereka ini,
masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang berilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw
mulai dengan gerakan mereka memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab
ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.
˜Supekmu Bu Pun Su telah turun
tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan
kelihaian Bu Pun Su Suheng, akan tetapi, Thian-te Sam-kauwcu dan kawan-kawannya
bukanlah orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang
sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supekmu Bu
Pun Su.!
˜Akan tetapi, Suhu. Mungkin
Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu...? Baru
menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama
sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap mempertaruh kan
jiwa raga teecu.!
˜Betul kata-katamu itu, Kiang
Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya
minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan
tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.!
˜Siapakah mereka itu, Suhu?
Teecu siap untuk mencari mereka.!
˜Orang pertama adalah Swi Kiat
Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya
berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri
yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya dua orang inilah yang
kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua,
alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng.! Han Le
menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.
˜Siapakah mereka dan di mana
tempat tinggal mereka, Suhu?! Kiang Liat tertarik mendengar nama orang-orang
yang amat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu.
˜Mereka adalah orang-orang
luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supekmu Bu Pun Su. Bun Sui
Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang
Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Adapun yang bernama
The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni
sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun
seperti juga Bun Su Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak
berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka
berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup
menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau
kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau
berjasa besar sekali, Kiang Liat.!
˜Akan tetapi, murid belum
pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana
teecu dapat mencari mereka?!
˜Mereka memang orang-orang
aneh dan sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya aku belum
lama ini mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong
yang terletak tidak jauh dari pantai timur di mana Sungai Huai-kiang
memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng,
tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini
selalu membayangi bekas tunangan yang dicintanya.!
˜Baik, Suhu. Teecu akan
berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus
teecu katakan?!
˜Katakan tentang munculnya
tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang perbuatan
mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun Lun-pai. Beritahukan pula
bahwa pada nanti hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu
menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu
Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung
Heng-tuang-san.!
˜Bagaimana kalau mereka
menolak, Suhu?!
˜Itulah yang aku khawatirkan.
Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supekmu Bu Pun
Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali
sehingga Bu Pun Su Suheng takkan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua
tidak mau membantu.!
Setelah menceritakan semua
maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok
Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan
nama-nama ini. Swi Kiat Siansu adalah murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan
Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo.
Kiang Liat sendiri lalu
meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik menjaga Im Giok. Bi
Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya.
˜Jangan khawatir isteriku, aku
pergi bukan untuk melakukan hal yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan
orang pandai. Sungguhpun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah
bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepat-cepat pergi
mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.!
Akhirnya Bi Li melepas
suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat menunggang seekor kuda yang baik.
***
Sebulan kemudian, Kiang Liat
sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang membawanya terapung-apung di
laut sebelah timur. Dari para nelayan ia mendapat keterangan bahwa di dekat
pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga
buah pulau kosong yang tidak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya
tiga saja pulau yang berada di situ, mudah kiranya mencari wanita sakti yang
bernama Bun Sui Ceng.
Perahu yang dibeli oleh Kiang
Liat adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat
dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, maka pelayarannya maju dengan
laju. Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang
bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara
nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya
sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan
pantai. Jarak antara dia dan perahu butut itu masih amat jauh, sehingga orang
yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang
yang bernyanyi itu demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali.
Mungkinkah ada orang memiliki lwee-kang demikian hebatnya? Atau barangkali
kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?
Karena tertarik, ia memandang
penuh perhatian. Setelah perahu butut yang ternyata cepat sekali gerakannya itu
datang mendekat, ia melihat samar-samar bahwa penumpangnya adalah seorang
laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, seperti seorang pengemis.
Orang. itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh.
Ia tahu bahwa angin bertiup
kencang dan perahunya sendiri pun amat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam
keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapapun
kuatnya orang mendayung perahu, takkan dapat melawan kekuatan tenaga angin
meniup layar. Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh
layar yang melengkung terhembus angin, masih terdorong cepat ke depan tiap kali
orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung
itu masih lebih hebat dan lebih kuat daripada tenaga tiupan angin pada layar
tambal-tambalan itu!
Tiba-tiba Kiang Liat yang
sudah memandang terheran-heran itu, mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia takkan
kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dulu
ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya
lenyap dari permukaan air!
˜Celaka...!! serunya. ˜Perahu
itu telah karam...!! Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat
karam seperti itu? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja
menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana bisa ada
orang menyelam berikut perahu dan layarnya!
˜Dukk!! Kiang Liat tersentak
kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu
kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar dan berat. Ia memandang
dan melihat bahwa perahunya telah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.
Baiknya Kiang Liat cepat-cepat
menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tidak
sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah.
Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Ia berdiri di dalam perahunya dan
berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa
lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang
dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.
˜Kurang ajar! Siapa berani
main-main dan sengaja menabrak perahuku?! seru Kiang Liat marah. Tidak ada
jawab dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan
perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat mengayun dayungnya, memukul badan
perahu besar sekuat tenaga.
˜Krakk!! Perahu besar
bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang
dipegangnya patah dan ujungnya hancur berkeping-keping. Ketika ia meraba dengan
tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.
Suara khim berhenti dan sebuah
kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti makian,
˜Demi setan air! Siapakah yang
berani mampus memukul perahu!! Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang
ke atas, ia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata
bundar dan hidung pesek.
˜Jahanam!! Kiang Liat balas
memaki. ˜Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?!
Si Muka Bopeng menyeringai dan
Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, ˜Tiat-thouw-gu
(Kerbau Kepala Besi), apakah orang she Kiang yang berada di bawah itu?!
Kiang Liat terkejut sekali.
Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?
Si Muka Bopeng yang disebut
Tiat-thouw-gu menjawab, ˜Agaknya betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh
menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?!
˜Jangan! Undang ia ke atas,
aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,! jawab suara
wanita itu.
Tiat-thouw-gu memandang kepada
Kiang Liat, menyeringai, ˜Eh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?!
˜Babi muka hitam, aku betul
Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam
engkau berani menghinaku?!
˜Ha, ha, ha, suaramu besar
sekali, bocah. Kau mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik.
Beranikah kau?!
˜Mengapa tidak berani?! Sambil
berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan
sekali ia telah melompat ke atas. Untuk menjaga diri agar jangan ia dibokong
musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu
besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang
kelihatannya rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Di tengah rombongan orang
yang menumpangi perahu besar itu, ia melihat seorang wanita setengah tua yang
cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan, sedangkan di
sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga
tampan dan gagah. Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia,
patung tiga orang laki-laki yang aneh, yang seorang tinggi kurus seperti
tengkorak, yang kedua kurus bongkok bermata sipit dan yang ke tiga, di
tengah-tengah, tinggi besar, seperti raksasa. Kiang Liat tidak tahu patung
siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita dan laki-laki yang nampaknya halus
gerak-geriknya itu ia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.
˜Tidak tahu siapakah Cu-wi
sekalian dan mengapa pula mengganggu aku orang she Kiang.!
Wanita itu tersenyum dan
nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dahulu di waktu mudanya,
wanita ini tentu cantik sekali.
˜Kiang-enghiong, bukankah kau
murid Han Le dan kau disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna
membantu Bu Pun Su?!
Kembali Kiang Liat tertegun.
Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?
˜Apa yang sedang aku kerjakan,
sedikitpun tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang
Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?! kata Kiang Liat, sedikit pun
tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.
Terdengar suara orang-orang
itu tertawa, dan wanita itu berkata,
˜Kiang-enghiong, aku adalah Wi
Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti mengapa aku menghadang pelayaranmu di
sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka sekarang bertemu
dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu.
Sesungguhnya, kewajibanku ialah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan
letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini.
Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding
apa yang akan kami lakukan atas dirimu.!
Kiang Liat menjadi marah
sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang
ini tentulah bukan kawan, dan kalau bukan musuh besar gurunya, tentu musuh
besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te
Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menoleh ke arah tiga buah arca di
kepala perahu dan ia berkata,
˜Hm, salahkah dugaanku bahwa
tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?!
˜Matamu awas sekali, Kiang-enghiong.
Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,! kata Wi
Wi Toanio.
˜Kalau begitu, kalian adalah
anggauta-anggauta Mo-kauw!!
˜Benar, bersiaplah kau dengan
pedangmu!!
Kiang Liat maklum bahwa tidak
ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar
dari suhunya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tidak mau memberi ampun
kepada orang yang mereka musuhi. Sambil menggereng hebat, Kiang Liat
menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai
menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang
lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.
Sepasang pedang di tangan Wi
Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga
lwee-kangnya pun hebat sekali. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus
mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh
lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah
diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri
yang kuat.
Wi Wi Toanio penasaran dan
terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, belum juga ia mampu
mendesak orang muda itu. Laki-laki tadi berdiri di dekatnya, mengeluarkan
seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,
˜Aneh sekali, aku berani
bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai-kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!!
Mendengar seruan ini,
diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini
tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakar bahwa laki-laki itu pun
seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat dapat mengenal
Hun-khai-kiam-hoat, dan laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya
bukan Hun-khai-kiam-hoat. Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang
Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya
digerakkan dengan cepat dan ia mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat
dari Han Le selama satu tahun.
Usahanya berhasil baik. Wi Wi
˜I!oanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio
dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini telah
mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni
pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in-koan-goat (Awan Putih
Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng-liap-in (Garuda Mengejar Awan),
dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu
Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).
Tiga serangan berantai ini
merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu-sam-kiam
(Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan
ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama
ke jurus kedua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung
menurut sesuka hatinya.
Wi Wi Toanio adalah seorang
ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentu
masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari
An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa
telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam
lumpur kehinaan. Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini
mempelajari ilmu silat tinggi dan akhirnya mereka bersekutu dengan pihak
Mo-kauw, menjadi anggauta pimpinan yang disegani.
Pihak Mo-kauw memang mempunyai
banyak orang pandai dan mempunyai pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu
mengherankan apabila mereka sudah dapat mencium bau tentang tugas yang
dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu
Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera
ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang
muda ini.
Akan tetapi, kini menghadapi serangan
Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio terkejut bukan main. Ia masih
bergerak cepat untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari
pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya yang hampir
membabat putus jari tangan kiri sehingga sambil berseru kaget wanita ini
melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!
˜Gempur dia!! bentak An Kai
Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya. Di lain saat, Kiang Liat sudah
dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi.
Kiang Liat kewalahan, apalagi perahu ltu bergoyang-goyang karena gerakan banyak
orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang dan ia terdesak
sampai ke pinggir perahu.
Tidak ada lain jalan bagi Kiang
Liat. Di atas perahu yang berguncang itu, ia tidak dapat bersilat sebagaimana
mestinya, maka untuk mencegah agar ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu
melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir
perahu besar, maka sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia
lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika ia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat
sekali sehingga tak dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air! Air
muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan
mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki tangan sehingga ia dapat
bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya
menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati mendongkol dan
juga heran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong
maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul
di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan ia
ini bukan lain adalah laki-laki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian
tenggelam bersama perahunya!
Dengan enaknya, laki-laki itu
mempergunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat
perahunya, ia bergidik. Perahunya telah penuh dengan anak panah yang menancap
di seluruh badan perahu. Kalau tadi la berhasil melompat ke dalam perahu, ia
bersangsi apakah ia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.
Kini ia melihat orang tua itu
tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan,
tubuhnya panjang kurus dan mukanya berkeriput. Namun bentuk mukanya masih dan
gagah. Ia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba
saja melayang naik ke perahu besar.
Kiang Liat ternganga
keheranan. Ia sudah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan
tetapi baru kali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil
yang ditinggalkannya sama sekali tidak bergoyang dan ketika kakek tadi
melompat, seakan-akan ia bersayap dan terbang ke atas begitu saja!
Terdengar suara gaduh di atas
perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tak lama kemudian,
sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di atas
perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.
˜Locianpwe harap tinggalkan
nama!! terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.
Orang tua itu tertawa
bergelak. ˜Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tak pernah memperkenalkan nama!!
˜Kau tetah menghina dan
merusak patung Sam-kauwcu!! terdengar suara lain, suara laki-laki.
Orang itu tertawa bergelak,
˜Ha,ha, beritahukan kepada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu
sombong dengan patung-patungnya!!
Perahu besar itu tadinya tidak
bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah
orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka takut sekali menghadapi orang
aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ.
Kiang Liat memandang kagum dan heran, akan tetapi tak lama kemudian ia
mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung
perahu dan pergi dari situ.
Kiang Liat hendak
memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi ia menahan
niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan
perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya,
pantaskah kalau ia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu luar
biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya.
Biarpun mendongkol, Kiang Liat
merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana
kepadanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang
tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tak dapat mengerti bagaimana orang
itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya! Angin
bertiup dan cepat-cepat Kiang Liat memegang tali layar untuk mengemudikan
perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.
Tak lama kemudian sampailah ia
di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar. Ketika ia mendaratkan
perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di
tepi pantai. Hatinya berdebar. Tak salah lagi, orang setengah tua yang aneh
tadi telah mendarat pula di pulau itu!
Baru saja Kiang Liat melompat
ke darat, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ia berhadapan
dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih
empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih kelihatan cantik.
Sepasang alisnya dikerutkan
dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga kelihatannya galak dan gagah
sekali. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya
bercabang-cabang.
˜Bocah lancang kurang ajar,
berani sekali kau mendarat di pulau tanpa ijin!! wanita itu berseru marah dan
cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.
Kiang Liat kaget sekali.
Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan cepat ia melompat ke belakang
sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang
yang lihai. Akan tetapi, cambuk itu aneh sekali gerakannya. Biarpun sabetan
pertama tidak mengenai sasaran, namun seakan-akan lengan wanita itu bisa
terulur panjang dan cambuk itu kembali menyerang. Kini ujung cambuk yang begitu
bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di
tujuh bagian!
Kiang Liat berseru keras dan
memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa
tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena
ditotok, membuat ia seketika merasa kaku tubuhnya dan di lain saat itu rebah
lemas, pedangnya terampas!
Wanita itu tertawa mengejek,
memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang
Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat pada lengannya, dibawa naik ke
atas bukit. Di atas bukit itu, seorang laki-laki setengah tua telah menantinya
dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah
menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orang-orang Mo-kauw.
˜Sui Ceng, apakah benar-benar
kau begitu tega hati dan berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam
keadaan hidup?! terdengar laki-laki itu berkata. Kiang Liat menjadi kaget
sekali. Tidak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui
Ceng, orang dicari-carinya dan yang disebut oleh gurunya sebagai wanita yang
lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi kalau wataknya demikian
ganas, tipis sekali harapan minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang
Liat.
˜Kun Beng, kau sudah tua, akan
tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak tahu malu!! jawab
wanita itu.
Kun Beng menghela napas dan
menggeleng-geleng kepalanya. ˜Sui Ceng jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat
mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku terhadapmu bukan sekali-kali didorong
oleh nafsu, melainkan didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa.
Apakah kau juga ingin mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa
meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?!
Sui Ceng, atau lengkapnya Bun
Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya
dikerutkan. ˜Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, seperti kau tidak tahu saja.
Apa sih baiknya hidup? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan
penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan
semua penderitaan ini? Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan
menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami.
Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlumba, siapa yang lebih cepat
maju!!
Kun Beng kelihatan sedih
sekali. ˜Sui Ceng, tak kusangka bahwa kau berhati yang dingin dan keras. Akan
tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku
yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah sampai puluhan tahun
kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?!
Mendengar percakapan ini,
Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja, ia mendengarkan
percakapan dari dua orang tua tentang cinta kasih, dua orang yang bicara
mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di depannya, tanpa tedeng
aling-aling!
˜Kun Beng,! suara Sui Ceng
terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi mengharukan hatinya. ˜Bukan
aku yang keras hati, melainkan kaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum
padam, benar-benar menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi,
seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkali-kali, kalau tidak salah
sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku akan menuruti
kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!!
Kun Beng menundukkan
kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala itu. ˜Sui Ceng, ke mana saja
kau pergi, aku mencari dan menyusulmu. Sampal kau lari ke Go-bi-san, ke
perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan
tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat
denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andaikata aku dapat, aku pun tidak akan
tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau
karena kau terpaksa, aku menghendaki kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan
cinta!
˜Jangan ngaco-belo!! Sui Ceng
membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu
sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya
˜Kun Beng, sudah dua tahun
kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!!
Kun Beng menarik napas
panjang. ˜Kau memang doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau
gembira. Akan tetapi, sekarang aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu
kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng.!
Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang
tombak yang kelihatannya butut dan kotor, akan tetapi di antara batang yang
kotor itu kelihatan kilauan dari logam aselinya.
Sui Ceng mengeluarkan seruan
girang dan dengan kaki kirinva ia menendang tubuh Kiang Liat yang tadi
menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tidak berdaya dan berada
dalam keadaan tertotok. Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih,
akan tetapi ia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat
untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak berani sembarangan bergerak hanya
duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian.
Hatinya berdebar. Ia diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan agar
dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak
bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar
aneh sekali dua orang ini.
Sui Ceng adalah murid tunggal
terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali.
Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk,
diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat
pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li. Cambuknya itu
ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang
mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap
ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!
Di lain pihak, kepandaian The
Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua
dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang telah mewarisi ilmu tombak dari mendiang
suhunya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa
itu. Ujung tombak ketika digerakkan tergetar sehingga ujung itu seakan-akan
berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang
menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak
dan gagangnya disertai tenaga lwee-kang yang luar biasa kuatnya.
Demikian, dua orang itu
bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan
mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang
Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan
tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik. Akan tetapi, setelah
bertempur dengan cepat ini sampai puluhan jurus, tiba-tiba mereka kelihatan
lagi dan kini pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka
berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang
bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang!
Kiang Liat melongo. Selama
hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia
menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula
mengagumi kehebatan supeknya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orang-orang
lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lain, akan tetapi belum pernah ia
melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu
hanya ˜main-main! belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu
limu atau menguji tingkat saja.
Setelah beberapa puluh jurus
dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat. Tiba-tiba
terdengar suara ˜brett! dan melayanglah sehelai robekan kain.
˜Sui Ceng, aku mengaku
kalah...! kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan. Yang
melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya terkena sabetan cambuk
Sui Ceng.
Sui Ceng merengut, mukanya
yang agak pucat itu menjadi merah.
˜Kau memang laki-laki tahu
diri! Selalu memperlihatkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa
kau tadi sengaja miringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat
merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!!
˜Aku memang kalah, Sui Ceng,!
kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.
Sui Ceng membanting-banting
kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Kiang Liat ketika
mendengar orang muda itu berkata, ˜Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian yang
tiada keduanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian
dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali dapat
menyaksikan kepandaian hebat itu.! Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura
dengan penuh penghormatan.
Sui Ceng tiba-tiba tertawa
senang, ˜Ah, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau
mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biar dia
yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Eh, orang she Kiang,
cabutlah pedangmu!!
Kiang Liat ragu-ragu, akan
tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tidak berani membantah.
Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya.
Kiang Liat tertegun. Selama
hidupnya baru satu kali ini ia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia
bertemu dengan Bu Pun Su, supeknya. Sekarang, lagi-lagi ia menghadapi perintah
serupa dari Bun Sui Ceng!
˜Boanseng mana berani berlaku
kurang ajar?! katanya perlahan.
˜Bodoh! Aku sedang menguji
kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih
dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!!
Panaslah perut Kiang Liat. Ia
merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aheh itu, maka
tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang
dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu
Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han
Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali.
Kalau tadi Kiang Liat dengan
mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, adalah karena Kiang Liat
diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng.
Akan tetapi sekarang, ia sudah maklum bahwa ia menghadapi seorang yang
kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, ia mengeluarkan
kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan semua tenaga lwee-kangnya.
˜Ayaaa... bagus sekali ilmu
pedang ini!! seru Bun Sui Ceng gembira. Ia melompat, cambuknya terayun dan di
tengah udara terdengar suara ˜tarr-tarr-tarr!! berkali-kali dari ujung-ujung
cambuknya. Sui Ceng benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda
itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai. Akan tetapi, betapapun hebat ilmu
pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le,
tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Ia kalah banyak dalam
gin-kang, lwee-kang, dan kemahiran gerakan silat. Apalagi memang senjata di
tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh dan hebat. Dengan mati-matian Kiang Liat
membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga
belas ia tak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan
Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya dan tanpa dapat
dicegah lagi, Kiang Liat terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!
Kiang Liat bangkit berdiri
dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit. sama sekali, hanya pakaiannya yang
menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, ia menjura kepada Sui Ceng.
˜Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.!
Sebaliknya, Sui Ceng memandang
kepadanya dengan tersenyum girang.
˜Baru sekarang aku bertemu
dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu
aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku belum dapat mengenal ilmu pedangmu,!
katanya.
Terdengar The Kun Beng tertawa
terkekeh, ˜Sui Ceng, biarpun ilmu pedang bocah she Kiang ini lihai, tetap saja
dalam tiga belas jurus ia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu?
Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini.!
˜Kau curang!! Sui Ceng
membentak, ˜Mana bisa pertandingan dianggap kalah kalau belum dilakukan? Eh,
orang she Kiang, sekarang kau pergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka
itu!!
Diam-diam Kiang Liat merasa
kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua
ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih
sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tak dapat
mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan
agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat.
˜Baik, Boanpwe akan menyerang.
Awaslah, Locianpwe!! katanya dan pedangnya bergerak cepat menyerang Kun Beng.
˜Eh, eh, lihai sekali...! Kun
Beng juga memuji dan suaranya gembira. Ahli silat manakah yang tidak gembira menghadapi
pertandingan ilmu silat? Ia mengerakkan tombaknya dan terdengar suara
berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang. Biarpun Kun Beng menangkis
perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar
hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan
pedangnya bertemu dengan tombak.
Akan tetapi setelah bertanding
beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini mengalah terhadap
Sui Ceng. Kalau tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya dengah hebat,
penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak
bertahan daripada menyerang. Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi,
maka pada jurus ke sepuluh, ia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh
tombak dan tergulinglah dia!
Kun Beng berdiri terpaku, Sui
Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.
˜Kun Beng, kali ini kau
menang!! kata Sui Ceng.
˜Benar, dan Ji-wi Locianpwe
sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!! kata Kiang Liat.
˜Bocah lancang, apa maksudmu?!
Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata
bernyala penuh ancaman.
Kiang Liat kaget sekali, tak
disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. ˜Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe
hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi Locianpwe menyatakan
bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi?
Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf
apabila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.!
˜Sui Ceng, orang muda pun
merasa kasihan kepada kita, mengapa kau tidak kasihan kepada diri sendiri?! Kun
Beng berkata, suaranya gemetar.
Akan tetapi Sui Ceng marah
sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, menimbulkan suara yang nyaring, ˜Kau
bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus
diberi hajaran!!
Baiknya sebelum cambuk itu
meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng melompat dan menahan Sui Ceng.
˜Sabar Sui Ceng. Bocah she
Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!!
˜Apa...? Utusan Lu Kwan
Cu...?! Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba kelihatan lemas, matanya
terbelalak memandang kepada Kiang Liat. Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu
adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan
pesan suhunya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut
nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab,
˜Ji-wi Locianpwe. boanpwe
Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi.!
˜Hm, Bu Pun Su menyuruh kau
mencariku, ada urusan apa?! tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya.
Dengan singkat Kiang Liat lalu
menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le yakni bahwa di dunia persilatan
muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw,
mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw.
Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang Bu Pun Su
dan orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak
menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san.
Mendengar ini, Sui Ceng
nampaknya tidak tertarik sedikitpun juga.
˜Serombongan tikus-tikus busuk
macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani mempertaruhkan kepalaku
bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke
akar-akarnya. Mengapa pula harus orang seperti aku dan Kun Beng membantu?!
˜Akan tetapi sekarang
keadaannya lain lagi, Sui Ceng,! kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat
yang tadinya sudah kecewa, ˜kali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya benar-benar
hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Bahkan kedatangan
Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga
Kiang-enghiong dihadang di tengah samudera. Tahukah kau siapa yang
menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?!
˜Siapa? Anak buah Mo-kauw?!
tanya Sui Ceng acuh tak acuh.
Benar, akan tetapi bukan anak
buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina
Wi Wi Toanio!!
Mendengar ini, mata Sui Ceng
bercahaya. ˜Apa? Dan kau tidak bunuh mampus mereka?!
Kun Beng tersenyum dan
menggeleng kepala. ˜Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi
mereka adalah tugasmu, bukan?!
˜Di mana mereka?! Sui Ceng
menggerakkan cambuknya.
˜Kau dapat bertemu dengan
mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, tikungan sebelah barat Gunung
Heng-tuan-san,! jawab Kun Beng.
˜Bulan enam kurang tiga bulan
lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!! kata Sui Ceng tiba-tiba
sambil berlari ke pantai.
Kun Beng memegang lengan Kiang
Liat. ˜Orang muda, mari kita berangkat!! Kiang Liat tak dapat menahan ketika
tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya girang
sekali karena tidak disangka-sangkanya, tugasnya dapat dipenuhinya demikian
mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika di dalam perjalanan menuju ke
Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka melihat orang muda ini,
berkenan menurunkan beberapa jurus silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapat
kemajuan yang luar biasa. Bahkan ia telah menerima pelajaran ilmu lari cepat
dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama dua
orang tokoh ini, tak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu lari cepat
dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu-hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang)
memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang
Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat.
Awal bulan Lak-gwe di lembah
Sungai Yalu Cangpo! Lembah ini biasanya sunyi, tak pernah didatangi manusia
karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas
yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih
berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap
dapat keluar dari hutan ini dengan selamat.
Akan tetapi, pada pagi hari
itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan kembali mengalir
ke arah barat, keadaan ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir
sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput. Didepan mereka duduk
beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan menanti datangnya orang
lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang
sengaja disediakan untuk pertemuan ini.
Jumlah orang yang duduk di
atas rumput ada tiga puluh orang lebih, pakaian mereka bermacam-macam, akan
tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang
tinggi besar dengan muka kasar, gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau
mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang
gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan
kekejaman dan kebuasan.
Di depan sekali, di atas batu
karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai
Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang
berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak. jauh dari tiga ketua ini, duduk
pula Hek Mo-ko, dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan
keji.
Selain mereka ini, masih
terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat
pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena
pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin
terpaksa menggabungkan diri dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat
kedudukannya.
Akan tetapi yang paling
mencolok di antara mereka semua, adalah seorang wanita cantik jelita seperti
bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini
kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya
benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di situ menelan ludah
dengan hati kagum dan penuh gairah. Akan tetapi tak seorang pun berani
memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang
sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia
bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Melihat setangkai bunga putih di
rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh
kekaguman akan tetapi kalau melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di
pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah
sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!