-------------------------------
----------------------------
013 Kutukan Empu Bharata
1
SEJAK dinihari gumpalan awan
hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri
namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung
sekali.Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah
binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada
bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang
mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya
yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua
ini menengadah memandang kelangit.
"Mendung sekali pagi
ini…" katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di
depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.
"Untung! Kau kemarilah .
. . "
Meski umurnya hampir mencapai
delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang
dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari
dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang
dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.
"Empu memanggil aku . .
.?" pemuda itu bertanya.
Si orang tua yang bernama Empu
Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah
hampir siap …" berkata orang tua itu, "cuma ada beberapa bagian yang
harus di pertajam. Pergilah cari kayu-kayu kering untuk api penempa. Aku
kawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu kering. . . "
"Persediaan kayu yang
kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung Pararean.
"Ya, sudah habis. Nah kau
pergilah dan cepat kembali."
Untung Pararean segera
meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan setumpuk
kayu-kayu kering di bahu kanannya.
"Bawa terus kedalam
Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko Jagat dari
dalam lemari."
"Baik Empu", sahut
Untung Pararean.
Sementara pemuda itu
menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah dengan air bening
lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala
disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan
sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum semerbak baunya.
"Kalau Mustiko Jagat
sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan
pada Kerajaan…"
"Aku tak mengerti maksud
kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil menyeka butirbutir
keringat yang terbit dikulit keningnya akibat panasnya perapian.
Orang tua itu mengelus
janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko Jagat
adalah sebilah keris sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah satu
masa yang singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat apapun,
jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi sakti
hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan. Disamping itu,
Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa menjadi obat segala macam
racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan pada Sri Baginda
untuk mempertahankan Kerajaan dari segala macam bahaya dan malapetaka. Dan kau
Untung … kaulah nanti yang akan kuutus untuk menyampaikan Mustiko Jagat ke
istana."
"Jadi senjata yang
bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada Kerajaan?" tanya
Untung Pararean heran.
"Ya."
"Aku kira tadinya untuk
Empu pakai sendiri." Empu Bharata tertawa pelahan.
"Aku sudah tua, Untung.
Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak satupun yang akan kubawa ke
liang kubur, Disamping itu apakah sumbangan dan balas jasaku kepada tanah air
dan Kerajaan? Keris sakti itu berguna bagi Kerajaan dan bagi anak-anak cucuku …
termasuk kau."
Untung Pararean berpikir
sejenak. Lalu tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh dipakai untuk membunuh,
Empu… ?"
"Boleh! Memang boleh!
Tapi untuk membunuh manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk menumpas kejahatan
dari muka bumi ini."
"Dan kalau dipakai untuk
membunuh orang baik-baik, bagaimana Empu?" tanya Untung Pararean pula
ingin tahu.
"Itu berarti melakukan
satu kejahatan besar. Yang melakukannya akan berdosa besar. Dan setiap
kejahatan sudah barang tentu ada pembalasannya," jawab Empu Bharata.
"Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam lemari."
"Baik Empu." Untung
lalu masuk kedalam sebuah kamar. Di kepala tempat tidur yang terbuat dari jambu
terletak satu lemari kayu jati. Ketika lemari dibuka, sinar biru yang amat
terang rnerambas keluar. Itulah sinar keris Mustiko Jagat yang terletak diatas
sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam sarungnya
karena ada beberapa bagian yang masih belum diperhaluskan dan dipertajam.
Untung Pararean pernah mendengar dari Empu Bharata bahwa senjata sakti apa saja
sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan kedalam sarungnya. Apa sebabnya
Untung Pararean pernah menanyakan pada orang tua itu, tapi Empu Bharata tak mau
menerangkannya.
Meskipun sudah pernah beberapa
kali disuruh oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata ini tapi saat itupun
kedua tangan Untung Pararean menjadi bergetar sewaktu mengangkat kain putih di
mana keris Mustiko jagat terletak. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir
dari keris sakti kelengannya. Dengan menanting senjata itu di kedua tangannya
Untung Pararean keluar dari Kamar.
Empu Bharata dlihatnya sudah
duduk dimuka perapian membelakanginya, tengah mengatur-atur perkakas. Dalam
melangkah mendekati orang tua itu tiba-tiba selintas pikiran jahat muncul di
benak pemuda ini. Selintas pikiran jahat itu datangnya seperti satu bisikan
melalui telinga Untung Pararean.
"Untung Pararean, kenapa
kau begitu buta hingga tak melihat kesempatan baik di depan matamu? Bukankah
sudah sejak lama terniat di hatimu hendak menjadi pendekar sakti mandraguna,
hendak memiliki keris Mustiko Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau punya kesempatan
untuk memiliki keris itu sekarang!"
"Tapi Empu Bharata tentu
akan marah," jawab kata hati Untung Pararean.
Dan suara aneh jahat berbisik
lagi ketelinga pemuda itu. "Tolol, sungguh kau pemuda tolol! Kalau orang
tua itu marah padamu, tusuk saja dia dengan Mustiko Jagat. Bunuh! Dan kalau dia
sudah mati, kau bisa memiliki keris itu dan kau akan jadi pemuda sakti
mandraguna, ditakuti di delapan penjuru angin. Disamping itu jika namamu sudah
dikenal kau akan mudah menduduki jabatan Perwira Bala tentara Kerajaan! Perwira
… ! Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat itu? Ayolah! Bunuh
orang tua tak berguna itu!"
"Kalau aku membunuhnya
berarti aku berbuat dosa," kata hati Untung Pararean, "dan aku jadi
orang jahat. Lalu kelak aku bakal menerima pembalasan!"
"Betul-betul kau tolol
orang muda! Jika keris itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah menjadi
seorang sakti mandraguna siapa yang sanggup dan berani turun tangan terhadapmu?
Kalau tidak kau bunuh si tua renta itu, kau bakal menjadi manusia tak berharga,
jadi hamba sahaja seumur-umurmu!"
Di diri Untung Pararean saat
itu seolah-olah terjadi perang tanding antara kejahatan dan kebenaran.
Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan diatas kebenaran namun lama-lama,
dalam detik-detik yang mencapai puncak ketegangan itu, kebenaran yang ada dalam
dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan
pikirannya!
Ketika dia cuma tinggal dua
langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila menghadapi alat-alatnya dan
perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan bahwa dia harus membunuh si
orang tua! Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat erat-erat. Sesaat kemudian
senjata itu dihunjamkannya ke punggung kiri Empu Bharata. Orang tua itu
mengeluh tinggi, tubuhnya tersungkur di muka perapian, darah cepat membanjiri
punggung dan selempang kain putihnya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas
penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan dijelang ajal
itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung Pararean yang berdiri, dengan
keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan kanannya.
"Pemuda dajal …"
desis Empu Bharata diantara nafasnya yang mulai menyengal. "Apakah yang
membuat kau sampai melakukan kejahatan terkutuk ini terhadapku …?"
Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu. "Aku tahu . . .
aku ta … hu. Kau inginkan keris itu bukan?" Empu Bharata menyeringai
pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko Jagat, manusia jahat. Tapi apa yang kau
lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di kemudian hari. Demi para
Dewa di Swar … swargalo … ka … kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat
juga. Dan .,. se sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir ba . . .
ba…"
Ujung kata-kata yang diucapkan
Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang menggelegar dengan tiba-tiba. Di
luar teratak kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan
lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan dan Kuasa ini turut
menyaksikan dan menangisi kematian Empu Bharata. Untuk sesaat lamanya Untung
Pararean berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika diperhatikannya
paras Empu Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari
mulutnya membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat
berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke
dalam sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus,
senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar
kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung Pararean. Dia masuk
ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan
lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng timur Gunung
Slamet.
Seminggu sesudah dibunuhnya
Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki, Gunung Slamet.
Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah putihnya saja yang terlihat.
Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai teratak tua tempat kediaman
Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu orang ini berseru, "Dimas
Bharata, aku datang!" Suara seruannya yang keras menggetarkan seantero
tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri. "Heran, kenapa
sepi-sepi saja."
membathin orang ini. Tubuhnya
bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup itu tertutup oleh
sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya bopeng buruk
sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena air mengumbar bau yang tidak
sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya yang kotor.
"Dimas Bharata, Untung
Pararean, apa kalian tuli hingga tak mendengar kedatanganku?!" seru si
muka Bopeng. Dia melangkah besar-besar ke pintu teratak yang terbuka lebar.
Sampai diambang pintu mendadak sontak langkahnya terhenti. Sepasang kakinya
yang kurus kering itu laksana dipantek ke lantai tanah. Tapi hanya sesaat.
Sedetik kemudian dia sudah menghambur masuk dan menjatuhkan diri disamping
mayat Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu Bharata. Meski mayatnya
sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan tidak busuk hingga kalau
tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat dipunggung dan di lantai, orang
tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah tidur nyenyak.
"Dimas Bharata! Siapa
yang melakukan ini? Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka Bopeng.
Namanya Gambir Seta.
Tapi didunia persilatan dia
lebih dikenal dengan nama gelaran yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng, dan dia
adalah kakak kandung Empu Bharata. Seperti orang gila Pengemis Sakti Muka
Bopeng terus juga berteriak-teriak menanyakan siapa yang telah membunuh
adiknya. Tapi siapakah yang akan memberikan jawaban?! Dengan bercucuran air
mata didukungnya mayat adiknya. Dia hendak meninggalkan teratak itu tapi ia
ingat sesuatu dan menghentikan langkan lalu memandang berkeliling "Untung!
Untung Pararean, dimana kau?!" serunya memanggil. Tak ada jawaban. Dia
berteriak lagi tetap saja tak ada yang menyahut karena memang Untung Pararean
sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-laki ini menjadi syak wasangka.
Dia masuk ke dalam kamar yang diketahuinya sebagai kamar si pemuda pembantu
adiknya dan menggeledah. Tak satu potong pakaianpun ditemuinya disitu.
Juga dengan masih mendukung
mayat adiknya, Pengemis Sakti Muka Bopeng kemudian masuk ke kamar Empu Bharata.
Dia tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah keris sakti bernama Mustika
Jagat. Tapi senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd setelah diperiksa seluruh
teratak, keris sakti itu tetap tak bersua.
"Bangsat! Pasti pemuda
itu yang membunuh adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan melarikan Mustiko
Jagat!" Gerahamgeraham Pengemis Sakti Muka Bopeng bergemeletakan. Dia tak
dapat mengendalikan kelakar marahnya. Sambil berteriak-teriak bahwa dia akan
melakukan pembalasan, memecahkan kepala Untung Pararean, orang tua ini mengamuk
hebat, menendangi segala apa yang ada di dalam teratak hingga bangunan itu
hancur berpelantingan. Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum puas. Pohon-pohon
dan apa saja yang ada di sekitar tempat itu habis ditendanginya. Ada kira-kira
sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu rupa. Sambil menangis dan
kadang-kadang berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti Muka Bopeng lari
menuruni Gunung Slamet dengan membawa jenazah adiknya.
2
KETIKA dia sampai di kaki
gunung hujan telah reda. Bajunya dan sekujur tubuhnya basah kuyup. Sambil
menggigil kedinginan dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang
jalan perutnya menggereok minta diisi. Sejak pagi tadi memang dia belum makan
apa-apa sama sekali. Dia berharap dalam waktu yang singkat akan dapat menemui
sebuah desa atau kampung di mana dia bisa membeli makanan untuk pengisi
perutnya.
Belum lagi lewat sepeminuman
teh berlalu Untung Pararean menemui satu jalan yang sangat becek akibat hujan.
Pemuda ini mengikuti jalan itu ke sebelah tenggara. Tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah
kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam besar meluncur cepat sekali di
jalan yang becek itu, memancarkan lumpur dan air kotor ke kiri kanan jalan.
Pengemudi kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung kedua ekor kuda agar kereta
bergerak lebih cepat. Di belakang kereta yang bagus dan tertutup itu ada dua
orang penunggang kuda berpakaian keprajuritan.
"Pemuda gila!" kusir
kereta tiba-tiba berteriak memaki Untung Pararean. "Kalau tidak lekas
menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu! Apakah kau ingin tulang-tulangmu
hancur berantakan?!"
Untung Pararean merutuk dalam
hati lalu menepi. Dan ketika kereta itu lewat disampingnya, lumpur dan air
kotor bermuncratan membasahi muka dan pakaiannya.
"Sialan!" maki
Untung Pararean.
Baru saja dia habis memaki
begitu satu tendangan mampir di bahunya, membuat dia terpelanting dan jatuh
duduk ditanah!
"Ha . . . ha! Itu bagian
untuk manusia kotor yang berani memaki prajurit Kerajaan!" seru salah
seorang prajurit yang mengawal kereta. Dialah yang telah menendang Untung
Pararean.
"Keparat! Kelak kau bakal
menerima pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya bangun dan
membersihkan pakaiannya.
Dengan masih menggerutu Untung
Pararean lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru saja menindak beberapa langkah
tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara sorak sorai di jalan didepannya, disusul
dengan suara ringkik kuda. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya kereta tadi
berhenti di tengah jalan. Dari kiri kanan jalan menyerbu kira-kira sepuluh
orang berpakaian seragam hitam, bersenjatakan golok-golok besar. Sebelum Untung
Pararean sampai di tempat itu pertempuran antara dua pengawal yang dibantu oleh
kusir kereta melawan kesepuluh orang berseragam pakaian hitam itu telah
berlangsung! Tak salah lagi pastilah orang-orang itu gerombolan rampok hutan
Dadakan yang memang sering malang melintang disekitar kaki Gunung Slamet.
Untung Pararean menyelinap
kebalik serumpun semak belukar lebat dan menyaksikan jalannya pertempuran dari
tempat ini. Kedua prajurit Kerajaan itu masing-masing bersenjatakan sebilah
pedang sedang kusir kereta sebilah keris panjang. Dari gerakangerakan mereka
nyatalah bahwa ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Sampai sepuluh
jurus mereka sanggup membendung serangan-serangan sepuluh anggota rampok. Tapi
walau bagaimanapun jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi lawan yang
tiga kali lipat lebih banyak hingga jurus-jurus selanjutnya ketiga orang itupun
terdesaklah.
"Prajurit-prajurit
Kerajaan yang sombong," kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar
lagi kalian akan segera mampus!"
Terdengar satu jeritan.
Prajurit yang tadi menendang Untung Pararean roboh dengan satu luka besar di
dadanya!
"Rasakan!" seringai
Untung Pararean.
Tiba-tiba dilihatnya pintu
kereta terbuka dan satu suara perempuan mengumandang.
"Atas nama Kerajaan
hentikan pertempuan ini!"
Terkejutlah para rampok yang
mengeroyok. Untung Pararean sendiri tak kurang kagetnya. Di dalarn kereta itu
ternyata ada seorang dara berpakaian bagus, berkulit hitam manis dan berwajah
elok sekali! Kejut para rampok cuma sebentar. Beberapa orang diantara mereka
lantas saja menyerbu ke arah kereta!
Kalau tadi Untung Pararean
karena sakit hati terhadap prajurit-prajurit Kerajaan itu tidak mau turun
tangan memberikan bantuan, kini melihat gadis jelita yang didalam kereta
terancam keselamatannya, segera melompat keluar dari persembunyiannya. Keris
Mustiko Jagat tergenggam ditangan kanannya, memancarkan sinar biru yang
menggidikkan.
"Rampok-rampok rendah!
Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau mampus!" demikian bentak
Untung Pararean gagah laksana seorang pendekar digjaya meski dia sama sekali
tidak tahu satu jurus ilmu silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian keris
Mustiko Jagat. Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa aneh
telah menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang
satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua tangannya!
"Kurang ajar! Pemuda
kesasar dari mana yang mau jadi jago!" teriak salah seorang anggota rampok,
lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Untung Pararean.
Seperti telah diketahui Untung
Pararean hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Bharata yang sama sekali tidak
tahu seluk beluk ilmu silat, apalagi segala macam ilmu kesaktian. Tapi berkat
kesaktian yang luar biasa dari keris Mustiko Jagat, pada saat golok perampok
menderu ke kepalanya, secara aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris sakti
itu membimbing tangan Untung Pararean dan membuat satu gerakan yang cepat
sekali, menangkis dan keris Mustiko Jagat!
"Trang!!"
Bunga api memercik.
Golok besar ditangan
siperampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru sinar keris Mustiko Jagat
menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang goloknya patah mental tadi.
Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi dadanya yang
tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian dia roboh ke tanah yang becek tanpa
nyawa dan sekujur kulit tubuhnya berwarna biru gelap akibat racun yang amat
hebat dari keris sakti Mustiko Jagat!
Melihat munculnya seorang
pemuda yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan
mereka, rampok-rampok yang lainpun menjadi marah. Niat untuk menyerbu kereta
dibatalkan dan tujuh anggota rampok itu lantas menyerbu Untung Pararean
sementara yang dua lainnya masih menghadapi kusir kereta dan prajurit Kerajaan.
Mulanya hati Untung Pararean kecut juga melihat datangnya serbuan itu. Tapi
dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya berkelebat ringan diantara
deru senjata-senjata lawan. Sinar biru keris Mustiko Jagat bergulunggulung dan
dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa nyawa lagi!
Tiga orang yang masih hidup
tentu saja tak punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama ketiganya segera ambil
langkah seribu dan lenyap dari tempat itu dalam sekejap mata!
Kalau tadi baik si pengemudi
kereta maupun prajurit Kerajaan menganggap Untung Pararean pemuda desa hina
dina, tapi sesudah menyaksikan "kehebatan" pemuda itu dan menghadapi
kenyataan bahwa Untung Pararean telah menjadi "tuan penolong"
mereka, maka baik kusir kereta
maupun prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di hadapan pemuda itu.
"Pendekar gagah,"
berkata si prajurit, "kami mohon maafmu atas kelancangan kami sebelumnya
dan terima kasih atas pertolonganmu."
Seumur hidupnya baru kali itu
Untung Pararean dihormat dan disembah orang demikian rupa. Cuping hidungnya
kembang kempis. Di mulutnya tersungging seringai bangga tapi juga mimik yang
mengejek. Dan dalam hatinya pemuda ini berkata sinis. "Siapa sudi menolong
kalian. Aku turun tangan karena keselamatan gadis di dalam kereta terancam.
Demi dia, bukan demi kalian!"
"Sudah, berdirilah!"
kata Untung Pararean sesaat kemudian pada kedua orang yang berlutut. Ketika dia
memandang ke arah kereta, dara cantik di atas kendaraan itu kelihatan turun,
melangkah kehadapannya, mengangguk memberi hormat dan tersenyum. Kikuk juga
Untung Pararean menerima penghormatan dan senyum si jelita itu.
"Saudara, terima kasih
atas pertolonganmu." berkata gadis itu.
"Ah . . . pertolonganku
tak ada artinya." jawab Untung Pararean merendah setelah terlebih dulu
balas menghormat.
"Kuharap kau sudi ikut ke
Ibukota untuk menerima balas jasa dari ayahku."
"Aku menolong tidak
mengharapkan balas apa-apa, saudari." jawab Untung Pararean.
Bagaimanapun si gadis memaksa
tetap saja pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi seandainya Untung
Pararean mengetahui bahwa si gadis adalah keponakan Sri Baginda, niscaya dia
tak akan menolak. Bukankah setelah membunuh Empu Bharata pemuda ini memang
bermaksud untuk mencari kedudukan di Kerajaan? Akhirnya setelah mengucapkan
terima kasih untuk kesekian kalinya, gadis itu pun berlalu bersama kusir serta
pengawalnya. Pengawal yang mati digeletakkan di punggung kuda, dibawa ke
Ibukota. Dengan jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula perjalanannya.
Sepanjang jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang kembali di depan
matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh perampokperampok hutan
Dadakan itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi perampok-perampok itu dengan
keris Mustiko Jagat dan membunuh mereka satu demi satu hingga akhirnya tiga
orang perampok yang masih hidup lari pontang-panting! Kemudian ingat pula dia
sewaktu kusir kereta dan pengawal itu berlutut di hadapannya, menyebutnya
"Pendekar gagah!"
Lalu sewaktu gadis jelita itu
datang padanya, tersenyum dan mengucapkan terima kasih!
Menjelang tengah hari Untung
Pararean sampai ke sebuah kampung. Sebenamya kurang pantas disebut kampung
karena selain besar dan ramai juga di situ pusat perhentian lalu lintas
perdagangan. Di situ terdapat pula sebuah rumah makan yang merangkap rumah
penginapan. Begitu memasuki kampung, Untung Pararean segera menuju kesini. Dan
di depan bangunan rumah makan itu dilihatnya kereta yang ditumpangi gadis
jelita yang telah ditolongnya sebelumnya. Baru saja Untung Pararean sampai di
pintu, dari dalam rumah makan seseorang datang menyongsongnya. Ternyata orang
itu adalah si pengawal kereta.
"Ah, sungguh gembira
dapat bertemu dengan kau di sini Pendekar," berkata pengawal itu. Kemudian
tanpa diminta dia menerangkan. "Kami terpaksa berhenti dan menginap di
sini. Seseorang menerangkan sungai banjir akibat hujan besar yang turun tadi
pagi. Diperkirakan baru besok air akan surut!."
Bertiga dengan kusir kereta
Untung Pararean kemudian duduk di salah satu bagian rumah makan. Pengawal itu
memesankan makanan yang enak-enak serta tuak harum untuknya. Selagi menyantap
hidangan itu pengawal menerangkan pula bahwa jenazah kawannya telah disuruh
kubur di tepi kampung. Kemudian dia bertanya. "Sesungguhnya siapakah
Pendekar ini dan berasal dari mana?"
"Aku cuma orang gunung
yang barusan saja turun dari Gunung Slamet," jawab Untung Pararean.
"Oh, pastilah Pendekar
murid seorang pertapa sakti."
Untung Pararean tak memberi
jawaban. Diteguknya minumannya lalu memandang berkeliling ganti bertanya.
"Dimana gadis itu?"
"Maksud Pendekar Den Ayu
Sri Kemuning?" ujar si pengawal.
Kemudian sang kusir kereta
menyambungi. "Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh sangat meletihkan Den
Ayu."
"Saya tidak mengerti,"
berkata pengawal kereta, "kenapa Pendekar tidak mau menerima ajakan Den
Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke Ibukota. Itu suatu kerugian besar,
Pendekar."
"Kerugian besar
bagaimana?"
"Pendekar tentu belum
tahu siapa gadis itu sebenamya?"
"Aku barusan saja turun
gunung, mana tahu siapa dia?" ujar Untung Pararean pula.
Pengawal kereta itu tersenyum
lalu didekatkannya mukanya pada si pemuda seraya berkata.
"Den Ayu Sri Kemuning
adalah keponakan Sri Baginda . . . "
Terbeliaklah sepasang mata
Untung Pararean. Mulutnya ternganga.
"Betul?!" tanyanya
ingin meyakinkan.
"Masakan saya berani
main-main sama Pendekar."
Dan memang terasa sebagai satu
kerugian besar bagi Untung Pararean sesudah dia tahu siapa adanya gadis yang
ditolongnya itu. Dengan ikut ke Ibukota bukankah lebih mudah mendapat jalan
untuk mencapai cita-cita yang diidamidamkannya selama ini yaitu menjadi Perwira
Kerajaan?!
Dengan melihat paras si
pemuda, pengawal kereta ini dapat membaca isi hati Untung Pararean. Maka
berkatalah dia,
"Sekarang masih belum
terlambat untuk merobah putusan Pendekar. Jika kau mau, nanti aku akan menemui
Den Ayu dan menerangkan bahwa kau bersedia ikut ke Ibukota."
Meskipun hasratnya meluap-luap
tapi Untung Pararean tak segera memberikan jawaban. Diisinya tuak baru ke dalam
gelas lalu diteguknya perlahan-lahan.
Justru pada saat itulah di
pintu rumah makan terdengar suara bentakan yang lantang keras hingga bangunan
itu bergetar!
"Bangsat muda yang sedang
meneguk tuak, lekas berlutut untuk menerima hukuman mampus!"
3
UNTUNG PARAREAN meletakkan
gelas tuaknya ke atas meja perlahan-lahan. Kepalanya dipalingkan ke belakang.
Dari tempat dia duduk dilihatnya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
bercambang bawuk. Orang ini mengenakan pakaian hitam. Tampangnya buas. Sepasang
matanya yang besar dan merah menambah keseraman parasnya. Di pinggangnya kiri
kanan tergantung masing-masing sebilah golok yang luar biasa besarnya! Di
belakang manusia tinggi besar ini berdiri lima orang lainnya, yang juga
berseragam pakaian hitam dengan tampang-tampang yang tak kalah seramnya dengan
si tinggi besar yang tadi membentak itu. Kusir kereta dan pengawal paras
keduanya menjadi pucat seperti kertas sewaktu menyaksikan siapa adanya
orang-orang diambang pintu rumah makan. Pemilik rumah makan sendiri menggigil
sekujur tubuhnya.
"Celaka … celaka! Pasti
tempatku ini akan diobrak-abrik berantakan!" demikian pemilik rumah makan
mengeluh dalam hati.
"Bangsat apa tidak dengar
aku memerintah?!" si tinggi besar di ambang pintu membentak kembali. Marah
sekali dia karena sampai saat itu Untung Pararean masih duduk di bangkunya.
"Siapa mereka . .
.?" tanya Untung Pararean berbisik pada kusir kereta.
"Yang tinggi itu . .
." jawab kusir kereta juga berbisik dan gemetar, "adalah Sepasang
Golok Maut, pemimpin rampok hutan Dadakan!"
Mendengar keterangan itu kini
tahulah Untung Pararean bahwa pemimpin rampok itu sengaja datang mencarinya
untuk menuntut balas kematian anak-anak buahnya! Segera tangan kanannya
disiapkan di pinggang di mana Mustiko Jagat tersisip dibalik pakaian. Kemudian
dengan perlahan dan tenang Untung Pararean berdiri, memutar tubuh lalu
melangkah ke tengah ruangan. Sepuluh langkah dari ambang pintu pemuda ini
berhenti.
"Apakah benar aku
berhadapan dengan Sepasang Golok Maut, kepala rampok hutan Dadakan yang
ditakuti orang?" tanya Untung Pararean.
"Puah! Nyalimu terlalu
besar berani bicara keren terhadapku! Sepasang Gulok Maut mengangkat tangan
kanannya memberi tanda pada kelima orang anak buahnya, lalu memerintah.
"Cincang sampai lumat budak keparat itu! Juga dua monyet yang dimeja
sana!"
"Sreet … sreet … sreet …
sreet … Sreet"!
Lima buah golok dicabut dari
sarangnya dalam waktu yang bersamaan. Sesaat kemudian kelima anak buah Sepasang
Golok Maut sudah mengurung Untung Pararean. Kusir kereta dan prajurit pengawal
telah pula mencabut senjata masing-masing tapi sampai saat itu masih tetap
berada dekat meja tak berani maju ke kalangan pertempuran!
Rumah makan itu seperti hendak
runtuh oleh bentakan keras kelima anggota rampok! Tubuh mereka berlesatan
kemuka dan lima serangan maut menderu mencari sasaran di kepala, leher, dada,
perut dan pinggang Untung Pararean!
Pada saat lima perampok hutan
Dadakan membentak Untung Pararean telah mencabut keris Mustiko Jagat. Begitu
tangannya memegang hulu keris Mustiko Jagat, satu hawa dan kekuatan aneh
menyelubungi dirinya. Tubuhnya menjadi sangat enteng. Dan sebelum lima buah
golok datang menghajarnya, pemuda itu telah melompat ke atas!
Percaya bahwa kelima anak
buahya yang berilmu tinggi akan berhasil membereskan Untung Pararean maka
Sepasang Golok Maut kelihatan meninggalkan ambang pintu dan masuk ke ruangan
dalam rumah makan. Ini membuat Untung Pararean merasa heran. Kemudian dia ingat
sesuatu. Maka sambil melompat menyelamatkan diri tadi, pemuda ini cepat
berteriak pada kusir kereta dan prajurit pengawal.
"Lekas ke kamar
majikanmu! Bangsat itu pasti hendak melakukan sesuatu terhadapnya!"
Kusir kereta dan pengawal
saling pandarig! Mereka tahu bahwa mereka sama-sama tidak punya nyali untuk
menghadapi kepala rampok yang berilmu tinggi itu. Untuk beberapa lamanya
keduanya masih tak beranjak dari dekat meja.
"Lekas!" Teriak
Untung Pararean. "Nanti aku akan bantu kalian!"
Mendengar ini, meskipun dengan
agak takuttakut, kedua orang itu baru masuk ke ruang dalam dimana terletak
ruangan penginapan. Bangunan penginapan bertingkat dua. Dan kamar yang di
tempati oleh Den Ayu Sri Kemuning terletak di tingkat atas. Dengan menjambak
rambut seorang pelayan, Sepasang Golok Maut berhasil mengetahui yang mana kamar
gadis itu. Dari anak-anak buahnya dia telah mendapat keterangan tentang Untung
Pararean dan juga tentang gadis cantik dalam kereta. Kepala rampok itu sampai
di muka pintu kamar.
Dicobanya mendorong daun
pintu, ternyata dikunci dari dalam. Kaki kanannya bergerak. Sekali tendang saja
pintu kamar itu terpentang lebar hancur berantakan!
Di dalam kamar saat itu Den
Ayu Sri Kemuning tengah membersihkan badannya. Tubuhnya yang padat bagus sama
sekali tak tertutup sehelai pakaianpun! Gadis ini memekik sewaktu mendengar
suara hancurnya pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian hitam tinggi besar
berewokan yang langsung menyergap tubuhnya yang telanjang!
Sri Kemuning menjerit dan
meronta-ronta melepaskan diri. Tapi rangkulan tangan kiri kepala rampok itu ketat
sekali. Dirangsang oleh keadaan tubuh si gadis yang tidak berpakaian sama
sekali, Sepasang Golok Maut menyeret gadis itu ke tempat tidur! Pada saat
laki-laki ini dengan buasnya hendak menindih tubuh dara itu tiba-tiba sudut
matanya melihat dua orang memasuki kamar dan di lain kejap sebilah pedang serta
sebilah keris sudah menyerangnya dengan sebat di bagian punggung dan kepala!
"Setan alas!" sentak
Sepasang Golok Maut seraya menjatuhkan dirinya ke lantai. Sambil berguling
tangan kanannya bergerak kepinggang lalu "wutt"! Terdengar pekik
kusir kereta. Kerisnya telepas dari tangan. Tubuhnya terhempas ke lantai karena
kedua pergelangan kakinya putus dibabat golok besar si kepala rampok dari hutan
Dadakan!
Jeritan kusir kereta itu tadi
disertai pula oleh jeritan ngeri Sri Kemuning. Selagi ada kesempatan gadis ini
cepat-cepat menarik seperai tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan seperai
itu lalu menjauhkan diri dari pertempuran yang kemudian berlangsung antara
Sepasang Golok Merah dengan pengawal.
Sudah jelas pengawal itu bukan
tandingannya Sepasang Golok Maut. Apalagi si pengawal bertempur dengan
ragu-ragu dan nyali lumer. Maka dalam tempo yang sangat cepat pengawal itupun
tergelimpang tanpa nyawa. Perutnya robek, usus menjela-jela disambar golok si
kepala rampok hutan Dadakan! Untuk kesakian kalinya terdengar jeritan ngeri Sri
Kemuning. Gadis ini coba lari ke pintu namun Sepasang Golok Maut berhasil
menangkap lengannya!
Kita kembali pada pertempuran
yang terjadi di rumah makan antara Untung Pararean dengan lima pengeroyoknya.
Setelah berteriak pada kusir kereta dan pengawal tadi yaitu agar cepat-cepat
pergi ke kamar majikan mereka maka Untung Pararean dengan mengandalkan ilmu
mengentengkan tubuh yang di dapatnya berkat hawa sakti keris Mustiko Jagat
laksana seekor alatalat menukik ke bawah. Sinar biru menderu dalam bentuk
lingkaran. Dikejap itu terdengar berturut-turut tiga kali suara beradunya
seniata. Tiga batang golok mental patah ke udara. Dua anggota rampok menjerit
kena di babat Mustiko Jagat, kelojotan sebentar lalu meregang nyawa. Rampok
ketiga mencelat satu tombak ke dinding rumah makan, melosoh ke lantai tanpa
nyawa karena dadanya remuk dihantam tendangan kaki kanan Untung Pararean!
Dua orang rampok yang masih
hidup terkejut sekali. Untuk sejenak mereka berdiri sangsi apakah akan
meneruskan perkelahian atau ambil langkah seribu! Waktu yang sesaat itu sudah
cukup bagi Untung Pararean guna bertindak! Sekali dia berkelebat, keris Mustiko
Jagat kembali meminta korban nyawa rampok yang disebelah kanannya! Rampok yang
terakhir tanpa tunggu lebih lama segera melompat ke pintu melarikan diri ! Tapi
dia kurang cepat.
Dengan satu lompatan saja
Untung Pararean berhasil mendahuluinya, menghadang di depan pintu! Setengah
mampus ketakutan, rampok itu lantas saja jatuhkan diri berlutut minta ampun!
Untung Pararean tidak mau perdulikan permintaan ampun itu. Kaki kirinya
bergerak dan terhempaslah rampok itu dengan perut pecah. Dia menggerang
sebentar. Dan sebelum nyawanya lepas Untung Pararean sudah berlalu dari situ.
Di tingkat atas di sebelah belakang yaitu di penginapan didengarnya jeritan Den
Ayu Sri Kemuning berulang kali!
Untung Pararean sampai di
tingkat atas ketika Sepasang Golok Maut baru saja keluar dari sebuah kamar,
memanggul tubuh Sri Kemuning yang hanya tertutup sehelai kain acak-acakan
hingga sebagian besar dari auratnya yang terlarang jelas kelihatan! Gadis ini
tiada hentinya berteriak dan meronta melepaskan diri!
"Bedebah! Lekas lepaskan
gadis itu kalau masih sayang kau punya nyawa!" bentak Untung Pararean.
Sepasang Golok Maut
menghentikan langkahnya. Hatinya tercekat juga melihat keris Mustiko Jagat
ditangan Untung Pararean yang memancarkan sinar biru menggidikkan. Apalagi di
ujung senjata itu dilihatnya noda-noda darah yang masih segar!
"Lekas lepaskan
dia!" teriak Untung Pararean seraya melangkah mendekati kepala rampok
hutan Dadakan itu!
Sepasang Golok Maut tiba-tiba
keluarkan suara tertawa bekakakan! Seraya mendorong tangan kanannya dia
balasmembentak. "Budak anjing! Minggirlah!"
Untung Pararean terkejut
sewaktu merasakan bagaimana satu hembusan angin keras yang keluar dari telapak
tangan kiri kepala rampok itu mendorongnya kebelakang hingga hampir saja dia
rnencelat mental dan terguling di tangga! Cepat-cepat pemuda ini melompat kesamping
lalu melintangkan keris Mustiko Jagat di depan dada! Senjata ini beriar-benar
hebat. Karena begitu sambaran angin keras memben tur sinar keris tersebut,
buyarlah angin keras itu! Secepat kilt Untung Pararean kemudian menyerbu
kemuka! Sinar biru menabur menggidikkan!
Melihat datangnya bahaya maut
mengancam di depan mata, kepala rampok hutan Dadakan itu tak mau berlaku ayal.
Denyan satu gerakan yang lihay dia mengelak kesamping lallo dengan tubuh Den
Ayu Sri Kemuning yang masih meronta-ronta diatas bahunya dia mencabut golok din
memapak ke arah Untung Pararean!
Terkejut juga si pemuda
menerima serangan baiasan yang tiada terduga cepatnya itu. Buru-buru dia
menangkis!
"Trang!"
Bunga api memercik sewaktu
keris Mustiko Jagat saling bantrok dengan golok besar di tangan kanan Sepasang
Golok Maut! Untung Parrean kaget ketika merasakan bagaimana bentrokan itu
membuat tangannya menjadi pedas dan tergetar. Tapi sedetik kemudian hawa aneh
yang mengalir dari keris membuat rasa pedas dan getaran di tangan kanannya
menjadi sirna!
Dilain pihak Sepasang Golok
Maut terkejut bukan main! Bukan saja tangan kanannya tergetar hebat dalam
bentrokan senjata itu, tapi sewaktu diperhatikannya ternyata goloknya telah
rompal!
"Bangsat hina dina!"
maki Sepasang Golak Maut seraya melemparkan tubuh Sri Kemuning ke lantai lalu
mencabut lagi golok besarnya yang tergantung di pinggang kiri. "Akan
kukuntung-kuntung tubuhmu hingga menjadi seratus kuntungan!"
Untung Pararean yang yakin
akan keampuhan keris Mustiko Jagat ganda tertawa mendengar ucapan garang kepala
rampok itu. Malah dia menjawab: "Ayo manusia iblis! Majulah biar kau
segera pula kukirim ke liang kubur menyusul lima orang kunyuk-kunyukmu yang
sudah mampus dibawah sana!"
Terkesiap Sepasang Golok Maut
mendengar ucapan pemuda itu! Lima orang anak buahnya yang paling diandalkan
telah menemui ajal di tangan pemuda itu?! Benar-benar keparat, makinya! Dia
lipat gandakan tenaga dalamnya hingga serangan yang dilancarkannjra hebat bukan
main!
Perkelahian antara kedua orang
itu terjadi di langkan atas yang tak berapa lebar. Masing-masing
memperhitungkan benarbenar langkah yang mereka buat. Karena sekali bertindak
salah di ruangan yang sempit itu pasti celaka! Sementara itu di halaman samping
rumah makan orang banyak berkumpul menyaksikan jalannya pertempuran dilangkan
tingkat atas rumah penginapan itu! Semua orang memuji kehebatan pemuda itu
apalagi setelah dia dengan seorang diri sanggup membunuh lima anggota rampok
tadi. Dan semua orang berharap agar si pemuda itu juga berhasil membunuh
Sepasang Golok Maut yang selama ini bersama anak buahnya mendatangkan bencana
dan malapetaka. Tapi di dalam berharap begitu semua orang juga merasa cemas.
Karena bila pemuda itu kalah, pastilah Sepasang Golok Maut akan mengamuk dan
menurunkan tangan ganas terhadap seluruh penduduk yang tidak berdosa!
Setelah pertempuran berjalan
sepuluh jurus, Sepasang Golok Maut mulai menyadari bahwa walau bagaimanapun
pemuda itu bukanlah lawannya. Setiap serangan goloknya yang dilancarkan dengan
tipu-tipu lihay, bahkan telah pula dikeluarkannya jurus-jurus yang terhebat
dari permainan goloknya itu, tetap saja tak dapat menghadapi keris lawan,
bahkan mengimbanginyapun tidak sanggup! Dari pada mendapat celaka, lebih baik
siang-siang mengundurkan diri!
Sengaja kepala rampok itu
melancarkan satu serangan berantai yang cepat. Ketika dilihatnya ada satu
peluang yang baik, segera dia melompat keatas genteng rumah makan!
"Bedebah! Kau mau lari
kemana?!" teriak Untung Pararean keren!
"Makan senjata rahasiaku
ini!" jawab Sepasang Golok Maut. Dalam kejap itu pula lima puluh
jarum-jarum biru menderu ke arah Untung Pararean. Dengan sigap pemuda ini
memapaskan keris Mustiko Jagat ke depan maka tersapulah seluruh jarumjarum itu!
Tapi dalam kejap itu Sepasang Golok Maut telah berada di halaman bawah. Untung
Pararean cepat mengejar. Namun sebelum dia sampai di bawah kepala rampok hutan
Dadakan itu telah lenyap!
Orang banyak termasuk pemilik
rumah penginapan menjura pada Untung Pararean. Beberapa di antara mereka ada
yang memuji-muji kehebatanya. Sebaliknya Untung Pararean cepat-cepat kembali ke
tingkat atas. Didapatinya Sri Kemuning duduk bersimpuh dilangkan tingkat atas,
menangis tersedu-sedu.
"Sudahlah Den Ayu,"
kata Untung Pararean. "Sebaiknya masuk ke kamar dan berpakaian."
Kata-kata pemuda itu membuat
sang dara tambah keras tangisnya hingga Untung Pararean menjadi bingung.
"Masuklah ke kamar,"
kata pernuda itu manakala tangis Sri Kemuning telah agak mereda.
"Mayat-mayat itu … aku
negeri melihatnya," kata Sri Kemuning di antara sesenggukannya.
Untung Pararean masuk kedalam
kamar. Ditemuinya mayat kusir kereta dan prajurit pengawal. Memang mengerikan.
Kusir kereta menggeletak dengan kedua kaki buntung sedang prajurit pengawal
terhampar dengan perut robek, usus membasai. Pemuda itu berteriak memanggil
pelayan rumah penginapan. Beberapa pelayan kemudian membawa mayat kedua orang
itu yang selanjutnya segera dikubur secara sederhana di pinggir kampung. Mayat
lima orang perampok dilemparkan ke dalam sebuah kali. Sementara Sri Kemuning
berpakaian, Untung Pararean kembali ke rumah makan. Orang memandang padanya
penuh kagum. Pemilik kedai kemudian mendatanginya. Setelah menjura hormat,
pemilik kedai itu·seorang tua·duduk dihadapan Untung Pararean.
"Tak sedikit jasamu
kepada penduduk karena telah menumpas rampok-rampok itu, pendekar. Sesungguhnya
siapakah nama pendekar dan datang dari mana?"
"Aku barusan saja turun
dari gunung Slamet, bapak." jawab Untung Pararean.
"Kalau begitu pastilah
pendekar murid orang tua sakti yang bernama Empu Bharata."
Untung Pararean mengangguk
pelahan. Disebutnya nama Empu Bharata membuat hatinya tidak enak karena
mengingatkan dia atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang tua itu!
"Pendekar, dengan
lolosnya kepala rampok keparat itu, bapak rasa suatu ketika pasti dia akan
datang kemari dan mengganas, menurunkan tangan jahat, membunuh penduduk sini
dengan sewenang-wenang. Bapak mewakili penduduk dan berharap agar pendekar sudi
menetap disini untuk sementara sampai penduduk benar-benar yakin bahwa rampok-rampok
itu tak berani lagi datang kesini."
"Aku yakin, bapak. Apa
yang telah terjadi pasti telah membuat rampok-rampok itu menjadi takut kembali
ke sini." ujar Untung pula.
"Mudah-mudahan saja
memang demikian," kata pemilik penginapan. Sementara itu seorang pelayan
datang menemui Untung Pararean, mengatakan bahwa Sri Kemuning memanggilnya.
4
KETIKA Untung Pararean masuk
kembali ke kamar itu, keadaan kamar tidak seperti tadi lagi. Noda-noda darah
telah dibersihkan dan Sri Kemuning duduk di tepi tempat tidur. Pada parasnya
yang agak pucat masih membayang rasa takut.
"Den Ayu memanggil
aku?" tanya Untung Pararean setelah terlebih dahulu menjura. Gadis itu
mengangguk.
"Kotaraja masih jauh dari
sini, saudara …"
"Saya tahu . . . "
"Untuk kedua kalinya kau
telah menyelamatkan diriku. Untuk kedua kalinya pula aku harap kau sudi ikut ke
Kotaraja. Apakah kau masih juga menolak?"
Kalau sebelumnya Untung
Pararean tidak tahu siapa adanya gadis itu, tapi setelah mendapat keterangan
dari kusir kereta dan prajurit yang telah menemui ajal itu tentu saja pemuda
ini tidak menampik lagi! Ke Kotaraja berarti menuju ke tempat di mana dia kelak
akan mencapai apa yang dicita-citakannya yaitu menjadi Perwira Kerajaan. Dan
Sri Kemuning kebetulan adalah keponakan Raja! Tentu akan mudah baginya untuk
mencapai cita-cita itu, apalagi mengingat jasa pertolongan yang telah dua kali
dibuatnya terhadap gadis itu!
"Aku tidak berani lagi
menolak, Den Ayu. Kusir kereta, dan pengawalmu telah menemui kematiani Apa lagi
baktiku kepada Kerajaan kalau bukan berbakti pada keluarga Istana?"
"Terima kasih saudara …
Eh, kau belum menerangkan namamu."
"Namaku Untung Pararean.
Panggil saja Untung."
"Saudara Untung, melihat
apa yang telah terjadi di sini aku merasa kawatir untuk meneruskan niat
bermalam di sini.
Sebaiknya kita berangkat saja
. . . ."
"Tapi sungai banjir, Den
Ayu. . . "
"Oh ya. Lupa aku."
"Kalau Den Ayu . . .
"
"Buang saja sebutan Den
Ayu itu, saudara Untung. Namaku Kemuning. Sri Kemuning …" potong gadis
itu.
"Kalau . . , kalau Den .
. . kalau kau percaya padaku, kau tak usah kawatir Kemuning," kata Untung
Pararean pula gugup.
"Aku akan mengawal dan
berjaga sepanjang malam di luar kamarmu …"
"Ah, nasib diriku rupanya
ditakdirkan hanya untuk menyusahkan orang lain saja," ujar Sri Kemuning.
Tapi diam-diam hatinya gembira mendengar ucapan pemuda yang gagah itu.
"Baiklah Untung. Kalau
begitu katamu, aku tak akan merasa kawatir lagi. Sekali lagi aku sangat
berterima kasih padamu.
Kelak pada Sri Baginda akan
kumintakan balas jasa yang sesuai untukmu! Sekurang-kurangnya pangkat yang
penting dalam kalangan Istana!"
"Terima kasih Kemuning .
. ." kata Untung Pararean pula, "tapi pertolonganku tidak
mengharapkan pamrih apa-apa."
sambungnya pura-pura bersikap
ksatria sejati padahal memang pangkat yang tinggi itulah yang tengah dicarinya.
Dalam berdiri dihadapan gadis diam-diam Untung Pararean membayangkan bagaimana
dia akan disambut secara hormat oleh orang-orang Istana. Lalu Sri Baginda atas
kehendak Sri Kemuning akan menganugerahkan pangkat tinggi kepadanva. Dia akan
jadi perwira kerajaan yang paling disegani dan paling ditakuti karena ilmunya
tinggi!
Di lain pihak pada saat itu
Sri Kemuniny diam-diam tengah memperhatikan pemuda itu dengan kedua bola
matanya yang hitam dan bersinar-sinar penuh kagum akan kegagahan si pemuda
apalagi sesudah mengetahui ketinggian ilmunya. Untung Pararean sama sekali
tidak mengetahui bahwa meski Sri Kemuning adalah keponakan kontak dari Sri
Baginda, tapi gadis itu bukanlah gadis Istana yang bersifat dan berkelakuan
baik-baik. Kecuali Sri Baginda dan Permaisuri serta ayah dan ibu Sri Kemuning
semua orang di Istana sudah tahu akan peri tabiat gadis itu. Adalah memalukan
seorang keluarga Sri Baginda bertabiat seperti Sri Kemuning. Tapi apakah mereka
musti mengadu pada Sri Baginda? Salah-salah mereka bisa mencari F:enyakit
sendiri! Dituduh memfitnah!
Dilubuk hati Sri Kemuning saat
itu, di balik pandangan matanya yang bersinar-sinar itu bergejolak satu hasrat
kotor yang membuat darah diseluruh pembuluh tubuhnya laksana mendidih. Kening
dan puncak hidungnya penuh oleh butir-butir keringat sedang pandangan matanya
semakin berani dan sikap duduknya semakin menantang.
"Keras benar angin dari
luar sana …" kata Sri Kemuning. "Tolong tutupkan pintu itu, Untung."
"Baik Den …
Kemuning."
Untung Pararean melangkah ke
pintu dan sambil menutupkan daun pintu dia hendak keluar.
"Oh, maksudku . . aku
tidak menyuruh kau keluar Untung," kata Sri Kemuning pula ketika
dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu sambil menindak keluar. "Tutupkan
saja dari dalam sini."
Untung Pararean masuk kembali
ke dalam dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu dari dalam. Ketika dia
memutar tubuh, Sri Kemuning tersenyum padanya. Aneh senyum gadis itu di mata si
pemuda. Berdesir darah Untung Pararean, berdebar dadanya sewaktu Sri Kemuning
berkata, "Nanti malam kau akan mencapaikan diri mengawalku. Berarti
siang-siang begini kau butuh istirahat, Untung."
"Aku rasa begitu . . .
"
"Nah, kau boleh
beristirahat disini, Untung."
"Biar aku cari kamar yang
lain saja, Kemuning."
Sri Kemuning tertawa. Seraya
berdiri dari tempat tidur dia berkata, "Mengapa harus menyusahkan diri
saja, Untung? Kau istirahat disini sambil bicara-bicara denganku. Kau tahu, aku
orang yang paling senang bercakap-cakap."
Perasaan aneh mula-mula yang
ada didiri Untung Pararean kini berubah menjadi satu prasangka adanya
maksud-maksud yang tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang keluarga Istana,
seorang keponakan Raja yang terhormat mempunyai sifat begitu rupa? Sementara
Untung Pararean berdiri mematung di tengah kamar itu, Sri Kemuning datang
melangkah mendekatinya. Goyang pinggulnya yang dibuat-buat, senyumnya yang
menawan dan sinar matanya yang mengundang memukau Untung Pararean. Walau
bagaimanapun Untung Pararean adalah seorang laki-laki, seorang pemuda yang baru
saja turun gunung dan tak banyak tahu tentang peri kekotoran hidup di dunia
luar, apalagi cara-cara untuk menjauhkan semua kekotoran itu. Meski mula-mula
hatinya binqung bercampur takut menghadapi sikap Sri Kemuning namun ketika
gadis itu memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dada, Untung Pararean mulai
memberikan reaksi, reaksi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas!
Dirangkulnya tubuh dara itu erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur hidupnya
baru kali itu dirasakan oleh Untung Pararean. Namun sesaat kemudian kambuh lagi
rasa kawatirnya.
"Kemuning, kalau pemilik
penginapan memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa celaka …"
Sri Kemuning tertawa merdu.
Rasa digelitik liang-liang telinga pemuda itu, tambah terangsang darah mudanya
mendengar suara tertawa itu.
"Dia tahu siapa aku.
Untung. Dan dia juga tahu apa yang bakal menimpanya jika berani-beranian turun
tangan. Aku sanggup menyuruh tutup penginapan dan rumah makannya! Bahkan lebih
dari itu aku bisa menjebloskan dia dalam penjara."
Untung Pararean yang tahu
bahwa Sri Kemuning adalah keponakannya Sri Baginda, denqan sendirinya
mempercayai ucapan gadis tersebut. Karenanya lenyaplah kekawatirannya dan
kembali keberanian membuat nafsunya mengumbar. Gadis itu dipeluknya erat-erat
hingga Sri Kemuning merintih antara kesakitan dan kenikmatan! Ada kira-kira
sepeminuman teh kedua makhluk itu berpagut-pagutan di tengah kamar itu.
"Kakiku letih, Untung
…" bisik Sri Kemuning. "Gendong aku ke tempat tidur." pintanya
lirih.
"Hem . . . " guman
Untung Pararean.
Sesaat kemudian keduanyapun
telah berada ditempat tidur. Berpagut dan berguling seperti sepasang ular. Dan
memang mereka tak ubahnya separti binatang saja saat itu. Seperti binatang dan
tanpa pakaian!
Ketika hari telah senja,
Untung Pararean masih juga berdiri termenung di depan rumah makan. Apa yang
telah terjadi siang tadi di kamar di tingkat atas penginapan itu kembali
terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat ini, menggejolak lagi darah muda pemuda
itu. Seumur hidupnya baru kali-itu dia mengenal perempuan, dan perkenalan yang
pertama kali itu sungguh luar biasa sekali! Luar biasa bagi Untung Pararean
meskipun Sri Kemuning sudah tidak perawan lagi!
Bila malam tiba dan kegelapan
memekati disekitar rumah makan itu, Untung Pararean ingat bahwa sudah saatnya
dia berjaga-jaga disekitar kamar Sri Kemuning. Bukan tidak mustahil orang-orang
jahat terutama Sepasang Golok Maut akan muncul kembali untuk menuntut balas!
Tingkat atas rumah penginapan
diselimuti kesunyian. Di beberapa kamar kelihatan nyala lampu. Satu diantaranya
adalah kamar Sri Kemuning. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri di
depan pintu kamar itu. Kembali teringat olehnya apa yang telah terjadi di dalam
kamar tersebut siang tadi. Tubuh telanjang Sri Kemuning yang keringatan!
Pelukannya yang ketat liat, nafasnya yang memburu dan gigitannya yang
berulang-ulang pada kulit dadanya . . . semuanya teringat lagi. Sewaktu hendak
ditinggalkannya hadapan pintu kamar menuju keujung langkan di tingkat atas itu,
tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Sri Kemuning memunculkan kepalanya. Dia
terkejut melihat seseorang berdiri di depan pintu namun keterkejutan itu segera
berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenali bahwa yang berdiri itu adalah
Untung Pararean.
"Terkejut?" tanya
Untung Pararean menegur.
Matanya liar meneliti paras
Sri Kemuning. Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga parasnya lebih segar
dan lebih cantik. Ditambah lagi saat itu dia mengenakan pakaian yang bagian
dadanya terbuka lebar hingga kedua pangkal buah dadanya jelas kelihatan
tersembul keluar, memhuat Untung Pararean jadi blingsatan tak karuan!
"Aku kira siapa,"
ujar Sri Kemuning sambil melontarkan senyum genit. "Heh, kau sudah mulai
berjaga-jaga sesiang ini?"
"Ya. Aku kawatir kepala
rampok itu akan muncul lagi membawa anak buahnya!"
"Ah, betapa senangnya
mempunyai seorang pengawal yang setia sepertimu ini, Untung," kata Sri
Kemuning pula dengan tertawa cerah lalu berdiri di tepi terali langkan
ditingkat atas itu. "Gelap dan hitam saja pemandanyan disini … Dan banyak
nyamuk pula!" Dipalingkannya kepalanya pada Untung Pararean lalu
dipegangnya lengan pemuda itu hingga hasrat yang menyesak-nyesak di darah si
pemudan kembali membuat sekujur tubuhnya panas dingin laksana orang diserang
demam malaria! Diremasnya tangan gadis itu. Untuk sesekali mereka saling
berpandangan. Hasrat hati untuk kembali mengulangi apa yang telah mereka
lakukan siang tadi kentara terbayang dibola mata masing-masing.
Unturg Pararean tak dapat menahan
hatinya lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak memeluk Sri Kemuning tapi
dia kecewa karena gadis itu mengelak.
"Jangan di luar sini
Untung … " bisik Sri Kemuning. Ditatapnya pemuda itu sebentar,
digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu masuk ke kamar tanpa menguncikan daun
pintu.
Untung Pararean berdiri
mematung sejenak lamanya. Dia memandang ke dalam kamar lewat pintu yang terbuka
dan dilihatnya Sri Kemuning berdiri di hadapan sebuah kaca besar, menanggalkan
pakaiannya satu demi satu! Laksana gila Untung Pararean menghambur masuk ke
dalam kamar itu! Sesaat kemudian keduanya sudah berada di atas tempat tidur!
Untung Pararean baru saja
hendak meneduhi tubuh Sri Kemuning ketika di atas genteng terdengar suara
tertawa bekakakan yang membuat kedua insan didalam kamar itu sama-sama
tersentak kaget!
"Ha . . . ha . . , ha … !
Rupanya kalian berdua adalah bangsanya lonte-lonte bejat! Bagus sekali!
Teruskan niatmu mencapai sorga dunia itu, pemuda keparat! Bila sudah, aku
menunggumu di halaman samping! Jangan lupa pakai pakaianmu dulu biar kau mampus
secara wajar!"
Laksana kilat Untung Pararean
melompat dari atas tempat tidur dan menyambar pakaiannya. Dengan keris Mustiko
Jagat ditangan kanan dia keluar dari pintu kamar. Dia tidak takut pada manusia
yang tadi bicara dan tertawa di atas genteng! Tapi jika dia berani datang
pastilah mengandalkan sesuatu! Ketika dia sampai diujung langkan apa yang
diduganya ternyata betul. Tapi Untung Pararean yakin akan keampuhan Mustiko
Jagat, maka tanpa ragu-ragu dia melompat turun dari samping yang gelap, hanya
diterangi bintang-bintang, rembulan dan sinar lampu yang merambas dari rumah
makan dan penginapan!
5
SUARA tertawa bekakakan
kembali mengumandang mandang sewaktu Untung Pararean sampai di halaman samping
itu.
"Ha ha! Apakah sudah kau
teruskan tidur dengan gadis itu? Kalau belum berarti kau akan mampus penasaran
Untung Pararean!"
"Sepasang Golok Maut!
Setelah selamat melarikan diri mengapa berlaku bodoh untuk datang kembali?!
Apakah kau punya nyawa rangkap?!" bentak Untung Pararean dengan suara tak
kalah keras. Sambil membentak begitu kedua matanya meneliti suasana
sekelilingnya.
Di belakang kepala rampok dari
hutan Dadakan itu, dibawah pohon cempedak, berdiri seorang kakek-kakek yang
cuma mengenakan sehelai cawat. Tubuhnya kurus kering tulang-tulangnya kelihatan
bertonjolan hingga dia tak ubahnya seperti tengkorak hidup saja! Kakek-kakek
ini berambut keriting pendek dan cuma memiliki sebuah mata. Matanya yang
sebelah kiri hanya merupakan satu lobang hitam yang besar dan mengerikan! Yang
luar biasa dari orang yang kulitnya berwarna hitam ini ialah kedua tangannya
yang teramat panjang hingga sampai ke betis!
Tiba-tiba saja manusia ini
mengeluarkan suara tertawa mengekeh dan menuding Untung Pararean dengan tangannya
yang panjang. Meski jarak mereka terpisah cukup jauh, tapi karena tangan
manusia ini panjang sekali maka ujung-ujung jarinya yang menuding hampir saja
menyentuh hidung si pemuda membuat Untung Pararean tercekat juga hatinya!
"Pemuda gendeng kau segera
akan mampus, tapi masih berani bicara sombong dihadapanku!"
"Orang aneh! Aku tidak
kenal padamu! Apa urusanmu mencampuri persoalan orang lain?!" tukas Untung
Pararean.
"Oh, jadi kau kepingin
kenal siapa aku?!" ujar orang itu. "Aku yang buruk ini bemama Tunggul
Gawe-gawe. Orang-orang menggelariku Iblis Tangan Panjang. Dan kedoyananku cuma
satu yakni paling senang mencabut nyawa manusia-manusia macammu!" Habis
berkata begitu manusia bercawat itu kembali tertawa mengekeh.
"Hem . . . rupanya kau
bangsa kawanan setan pelayangan juga!" ejek Untung Pararean.
"Manusia-manusia macammu memang pantas untuk jadi andalan rampok busuk
ini! Aku tanya apakah ada kawan-kawanmu yang lain yang berada di sekitar sini?
Sebaiknya lekas-lekas disuruh keluar agar bisa kulabrak sekaligus!"
"Iblis Tangan Panjang!
Baiknya mari cepat-cepat saja kita bikin tamat riwayatnya ini pemuda
anjing!" seru Sepasang Golok Maut.
"He … he . . . Untuk
membereskannya kenapa musti berdua." menyahuti Iblis Tangan Panjang.
"Biar aku sendiri yang menunjukkan jalan ke neraka padanya!" Manusia
ini melangkah ke hadapan Untung Pararean. "Pemuda gendeng, kau bersiaplah
untuk mampus!"
Habis berkata begitu Tunggul
Gawe-gawe atau Iblis Tangan Panjang menggerakkan tangan kanannya.
"Wutt"!
Satu pukulan lengan yang keras
dan menimbulkan angin bersiuran menderu ke arah kepala Untung Pararean. Pemuda
ini cepat-cepat merunduk dan sebelum dia sempat melakukan serangan balasan,
lengan kiri Iblis Tangan Panjang telah memapas ke pinggang membuat pemuda ini
terpaksa melompat menyelamatkan dirinya! Perkelahian seru segera berlangsung
jurus demi jurus! Meskipun Untung Pararean memegang keris sakti Mustiko Jagat
di tangan kanannya, namun gerakan-gerakan lengan lawannya hebat sekali, membuat
dia tak bisa leluasa melancarkan serangan-serangan. Dalam perkelahian itu
karena tangannya yang amat panjang, Iblis Tangan Panjang tak perlu susah-susah
berkelebat kian kemari. Cukup dia menggeser-geserkan saja kedua kakinya sedang
kedua tangannya laksana sepasang tongkat baja memukul dan membabat kian dari
pelbagai jurusan!
Karena tak mungkin bagi Untung
Pararean untuk mengirimkan tusukan ke tubuh ataupun ke kepala lawannya maka
kini pemuda itu merubah taktiknya. Serangan-serangan keris Mustiko Jagat
langsung diarahkan pada kedua tangan Tunggul Gawegawe Dan buktinya memang
berhasil!
Pada dasarnya Tunggul Gawegawe
alias Iblis Tangan Panjang diam-diam memang merasa jerih melihat senjata
mustika yang ada di tangan lawannya. Dan ketika keris itu kini dipakai untuk
menggempur sepasang tangannya, merasakan pula dinginnya sambaran angin senjata
tersebut, dia tak lagi dapat bergerak leluasa. Setiap serangannya yang
mengandalkan kedua tangannya yang panjang selalu dibikin musnah oleh sambaran
keris lawan! Beberapa kali hampir nyaris lengannya kena tertikam senjata
tersebut. Naga-naganya kalau dia bertempur begitu terus, lambat laun pasti dia
akan kena celaka juga! Maka tanpa tunggu lebih lama Iblis Tangan Panjang
mengeluarkan senjatanya dari dalam cawatnya!
Senjata ini adalah sebuah
untaian batu-batu permata yang telah direndam dalam racun jahat. Warnanya aneka
agam dan kesemuanya bergemerlapan meskipun di halaman samping itu suasana
gelap. Ketika untaian batu-batu permata itu diputar diatas kepala maka
menggelombanglah angin yang amat hebat. Pohon-pohon bergoyangan, banyak yang
daun-daunnya berguguran. Dinding rumah makan dan tiang-tiang rumah penginapan
berderikderik sedang tanah serasa dilanda lindu saking hebatnya gelombang angin
yang keluar dari senjata Iblis Tangan Panjang itu!
Untung Pararean sendiri
tergontai-gontai beberapa detik lamanyal Buru-buru dia membentak nyaring dan
sewaktu lawannya datang dari depan, pemuda ini kiblatkan keris Mustiko Jagat
dalam jurus aneh yarig luar biasa.
"Hebat sekali ilmu silat
keparat ini!" rutuk Iblis Tangan Panjang. Dia tidak tahu bahwa kesaktian
keris Mustiko Jagatlah yang membimbing pemuda itu memainkan jurus-jurus silat
yang luar biasa itu!
Karena yakin bahwa senjata
lawan tak bakal dapat menandingi senjatanya, maka sewaktu bentrokan akan
terjadi, Iblis Tangan Panjang sengaja tidak menarik pulang untaian batu-batu
permatanya! Meskipun dia tak berhasil menggebuk lawan tapi sekali senjatanya
bergeser dengan kulit si pemuda, pastilah pemuda itu akan keracunan. Kalau
sudah begitu tentu mudah dia membereskan lawannya itu, demikian pikir Iblis
Tangan Panjang. Tapi betapa kagetnya dia sesaat kemudian!
Terdengar suara berdentingan
dan percikan bunga api di dalam gelapnya malam sewaktu keris dan untaian
batu-batu permata beradu! Untung Pararear merasakan tangannya bergetar hebat
tapi itu tak ada artinya karena di depannya dilihatnya bagaimana batu-batu
permata yang menjadi senjata lawannya putus berhamburan!
Kaget Iblis Tangan Panjang
bukan alang kepalang! Jika senjatanya yang paling diandalkan bisa dibuat
berantakan begitu rupa, ini sudah merupakan satu pertanda lebih baik dia angkat
kaki dari situ dari pada meneruskan perkelahian! Tapi untuk melakukan hal itu
tentu saja dia merasa malu terhadap Sepasang Golok Maut yang berada ditempat
itu. Buntut-buntutnya dia cuma berseru untuk meminjam salah satu golok kepala
rampok itu.
Sambil memberikan salah satu
golok besarnya, Sepasang Golok Maut berseru, "Tunggul Gawegawe, tak usah
kau repot terlalu lama. Aku akan bantu!"
Bantuan, memang itulah yang
diharapkan oleh Iblis Tangan Panjang. Dengan nyali besar kedua orang itu lalu
mengeroyok Untung Pararean! Pemuda ini berkelebat cepat sekali. Bayang-bayang
tubuhnya tertutup oleh sinar biru dari keris Mustiko Jagat. Bagaimanapun Iblis
Tangan Panjang dan Sepasang Golok Maut menggempur dan mengirimkan serangan
dahsyat silih berganti namun tiada guna nya! Kedua orang ini tak sanggup
mendekati pemuda itu lebih dekat dari jarak empat langkah. Di lain pihak
sementara itu kekuatan gaib yang berasal dari keris Mustiko Jagat semakin hebat
pula membimbing dia. Setelah bertempur empat putuh jurus lebih, dengan ilmu
menyusupkan suara Iblis Tangan Panjang berkata pada Sepasang Golok Maut.
"Naga-naganya kita tak
bakal menang sobatku! Sebelum celaka sebaiknya siang-siang kita tinggalkan
tempat ini!"
Sepasang Golok Maut juga sudah
sangat penasaran dan mulai sangsi. Apa yang dikatakan Iblis Tangan Panjang
adalah benar menurutnya, maka iapun segera hendak menjawab menyetujui ucapan
kambrainya itu. Namun sebelum dia sempat berkata keris Mustiko Jagat menderu
cepat di muka hidungnya! Sepasang Golok Maut melompat kebelakang sambil
melancarkan satu pukulan tangan kosong. Justru lengannya yang memukul ini
merupakan makanan empuk bagi keris Mustiko Jagat! Terdengar lah pekik kepala
rampok hutan Dadakan itu! Tangan kanannya papas, buntung! Darah menyembur! Saat
itu juga racun keris Vustiko Jagat yang amat berbahaya memasuki darahnya,
menjalar dengan cepat keseluruh pembuluh hingga beberapa detik kemudian
Sepasang Golok Maut meregang nyawa dengan tubuh matang biru!
Pada saat Sepasang Golok Maut
menjerit keras karena tangannya putus dibabat keris Mustiko Jagat, pada saat
perhatian Untung Pararean ini dipergunakan oleh Iblis Tangan Panjang untuk
melarikan diri tanpa diketahui oleh si pemuda. Untung Pararean baru menyadari
bahwa lawannya yang seorang itu sudah lenyap sewaktu dia memandang berkeliling.
Sementara itu dari mana-mana bermunculan penduduk ke tempat itu. Untung
Pararean menerangkan sedikit apa yang kita telah terjadi lalu cepat-cepat berlalu
dari situ.
Di kamar penginapan di tingkat
atas, pemuda ini disambut dengan pelukan hangat oleh Sri Kemuning.
"Aku menyaksikan
perkelahianmu dari terali atas sana. Untung! Kau hebat sekali! Betul-betul
hebat … Oh, aku cinta padamu Untung!" Gadis ini memeluk lagi pemuda itu
ketat-ketat ke tubuhnya, menciumi keringat yang membasahi dada Untung Pararean.
Dan apa yang telah terjadi sebelumnya segera terlupakan oleh kedua orang itu.
Semalam-malaman, sampai pagi, Untung Pararean benar-benar telah melakukan "pengawalan"
atas diri Sri Kemuning di dalam kamar itu . . . di atas tempat tidur!
Keesokan harinya kedua orang
itu melanjutkan perjalanan ke Kotaraja. Untung Pararean bertindak sebagai kusir
kereta merangkap pengawal. Menjelang tengah hari mereka telah memasuki
Kotaraja, langsung menemui Sri Baginda di Istana. Bukan main kagetnya Raja
mendengar penuturan keponakannya. Di samping itu Raja merasa sangat gembira
pula dan berterima kasih pada Untung Pararean karena telah menyelamatkan Sri
Kemuning dari bahaya maut sampai beberapa kali!
Seperti yang telah dikatakan
Sri Kemuning, atas permintaan gadis itu maka Untung Pararean oleh Sri Baginda
diangkat menjadi salah seorang Perwira Kerajaan. Dan bukan itu saja, Sri
Baginda juga meminta agar pemuda itu suka mengambil Sri Kemuning menjadi
istrinya! Sebenamya memang Untung Pararean sangat terpikat dan cinta pada dara
yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu. Maka tanpa banyak cerita lagi
Untung Pararean menerima permintaan itu. Perkawinan dilangsungkan cukup meriah dan
kepada kedua orang itu diberikan sebuah gedung kecil yang terletak dalam
lingkungan tembok Istana.
Beberapa tahun kemudian . . .
Dari perkawinannya dengan Sri Kemuning, Untung Pararean dikaruniai seorang anak
perempuan yang diberinya nama Sri Lestari. Meski di luaran kehidupan rumah
tangga kedua orang itu kelihatan rukun bahagia, tapi sesungguhnya tidaklah
demikian. Seringkali kedua suami istri itu cekcok satu sama lain. Ini
disebabkan tabiat Sri Kemuning yang membuat Untung Pararean sakit makan hati.
Seperti telah dituturkan
sebelumnya, Sri Kemuning meskipun keponakan Sri Baginda tapi bukanlah seorang
perempuan baik-baik. Diantara sekian banyak keburukannya, yang paling terkenal
di kalangan orang-orang Istana ialah sifatnya yang mata keranjang. Tak boleh
melihat laki-laki gagah, apalagi jika laki-laki itu masih muda belia dan tegap
kuat! Telah berkali-kali Untung Pararean mendengar kabar bahwa jika dia sedang
bertugas ke tempat jauh, istrinya itu sering pergi ke tempat beberapa orang
pemuda bahkan seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah beberapa kali
disuruhnya datang ke gedungnya dalarn lingkungan Istana itu!
Mula-mula Untung Pararean
tidak mau percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu sangat mengasihinya
sehingga masakan mau berbuat serong begitu rupa? Namun pada satu hari dia
dihadapkan pada satu kenyataan yang dibuktikannya sendiri!
Pada masa itu Kerajaan tengah
menghadapi beberapa pemberontakan kecil. Dibawah pimpinan beberapa Perwira
Kerajaan, termasuk Untung Pararean, pasukan Kerajaan berhasil menumpas
pemberontak-pemberontak tersebut. Meskipun belum keseluruhan pemberontak
berhasil dimusnahkan, namun untuk sementara bahaya yang mengancam Kerajaan
boleh dikatakan tidak ada. Namun demikian tidak seorangpun dari Perwira-perwira
Kerajaan yang mengetahui bahwa satu kekuatan besar kaum pemberontak yang
berpusat dikaki Gunung Lawu tengah merencanakan penyerbuan besar-besaran ke
Kotaraja. Demikianlah, karena merasa keadaan sudah cukup aman maka Untung
Pararean bersama pasukan kembali ke Kotaraja.
Rindunya terhadap anak
istrinya membuat dia begitu selesai memberi laporan pada Sri Baginda,
cepat-cepat kembali ke tempat kediamannya dan langsung menuju ke kamar. Begitu
pintu kamar terbuka terkejutlah Untung Pararean melihat bagaimana istri yang
sangat dicintainya itu telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pemuda!
Pemuda ini bukan lain adalah salah seorang pengawal gedungnya, jadi masih
merupakan anak buahnya sendiri. Gelaplah pemandangan Untung Pararean. Keris
Mustiko Jagat segera dihunusnya. Sri Kemuning menjerit sewaktu menyaksikan
bagaimana pemuda yang tidur bersamanya itu roboh dilanda tikaman yang pertama.
Menyusul tikaman yang kedua, ketiga … keempat dan seterusnya hingga sekujur
tubuh pemuda itu laksana daging cincangan, lumat membanjiri darah.
Untung Pararean masih akan
terus menusuki tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu jika seandainya saat
itu lima orang prajurit kepala dan empat orang Perwira tidak masuk menyerbu ke
dalam kamar dan memeganginya!
"Lepaskan aku!
Lepaskan!" teriak Untung Pararean menggeledak. "Dajal perempuan itu
juga harus mampus! Harus mampus!"
Tapi seorang Perwira berhasil
merampas keris Mustiko Jagat hingga kejap itu lenyaplah kekuatan yang ada di
diri Untung Pararean. Seorang Perwira lain segera menolak tubuhnya sementara
Sri Kemuning sendiri sudah melarikan diri dari kamar itu!
Apa yang telah terjadi itu
menghebohkan seluruh Istana. Tapi semua orang tak bisa memikirkan itu lebih
lanjut, juga tak berusaha mencari tahu ke mana Sri Kemuning bersama anak
perempuannya melarikan diri karena yang dipikirkan oleh semua orang saat itu
ialah bahaya besar yang mengancam Kerajaan. Kabar yang dapat dipercaya
menyatakan bahwa bala tentara pemberontak yang berpusat di kaki Gunung Lawu
telah mulai bergerak menuju Kotaraja! Setiap kampung dan desa yang mereka temui
pasti akan disamaratakan dengan tanah. Penduduk yang tidak berdosa, tak perduli
apakah perempuan atau anakanak dibunuh secara kejam luar biasa. Demikian
cepatnya pergerakan pasukan pemberontak ini hingga dalam tempo yang singkat
saja hanya tinggal tiga hari perjalanan lagi dari Kotaraja!
Kira-kira seribu prajurit
dibawah pimpinan lima orang Perwira Kerajaan telah dikirim untuk menghancurkan
kaum pemberontak. Mereka bertemu di satu tempat yang terletak dua hari
perjalanan dari Kotaraja. Meski prajurit Kerajaan berjumlah banyak dan dipimpin
oleh Perwira-perwira berkepandaian tinggi, namun jumlah prajurit pemberontak
tidak pula sedikit. Dalam pada itu kaum pemberontak juga memiliki tokoh-tokoh
silat klas satu hingga setelah bertempur selama setengah hari, kaum pemberontak
berhasil memukul mundur bala tentara Kerajaan! Ratusan prajurit Kerajaan
menemui kematian! Dua orang Perwira tewas, satu luka-luka parah. Dan dua
lainnya tertangkap hidup-hidup. Ketika menerima kabar itu dari seorang kurir,
cemaslah Sri Bagindal Orang satu-satunya yang sangat diharapkan oleh Sri
Baginda ialah Perwiranya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya yaitu Untung
Pararean. Tapi sang Perwira ini kini berada dalam keadaan menyedihkan!
Sesudah mengalami peristiwa
tempo hari itu. Untung Pararean menderita bathin yang amat mendalam terutama
dikarenakan pada istrinya sejak kejadian itu tidak diketahui kemana perginya.
Dan kepergiannya itu membawa serta anak permpuan yang amat dikasihi Untung
Pararean. Demikian hebatnya penderitaan bathin yang menimpa Perwira itu hingga
sifatnyapun sudah berubah seperti orang yang kurang ingatan.
Sepanjang hari dia mengurung
diri di dalam kamar dan menangis tiada henti. Kedua matanya telah bengkak dan
sembab. Pipinya telah cekung. Karena dia tak mau makan dan tak mau minum selama
beberapa hari maka keadaan tubuhnyapun makin lama makin kurus! Kadang-kadang di
malam buta Untung Pararean menjerit-jerit, berteriak memaki-maki. Tak
seorangpun yang berani mendekatinya. Pernah satu kali seorang prajurit datang
mengantarkan makanan dan air. Untung Pararean lalu mancabut keris Mustiko Jagat
dan memburu prajurit itu karena di mata Perwira yang kurang ingatan ini si
prajurit tadi kelihatannya adalah pemuda yang telah tidur bersama istrinya dan
yang telah dibunuhnya itu!
Sementara keadaan Untung
Pararean semakin parah, ancaman kaum pemberontak semakin kritis pula karena
pada waktu itu mereka cuma tinggal satu setengah hari perjalanan saja dari
Ibukota!
Dalam saat-saat yang
menegangkan itu pulalah tiba-tiba saja muncul seorang kakek-kakek aneh didepan
Istana yang katanya ingin bertemu dengan Sri Baginda. Mula-mula para pengawal
menyangka kakek-kakek ini adalah seorang mata-mata pemberontak sehingga segera
hendak ditangkap. Namun betapa terkejutnya semua prajurit karena siapa saja
yang berani datang mendekat dan turun tangan, pasti mencelat mental dihantam
kaki atau tangan kakek-kakek ini.
"Aku datang dengan maksud
baik! Kenapa mau ditangkap?! Benar-benar manusia tidak tahu diri Kalian semua!"
begitu si kakek memaki. Lalu karena tak ada seorangpun yang berani
menghalanginya kakek-kakek inipun masuk ke Istana lenggang kangkung dan sampai
dihadapan Sri Baginda. Sri Baginda sebelumnya telah diberi tahu atas kedatangan
kakek-kakek aneh ini.
"Tamu dari manakah yang
datang ke Istana ini?" tegur Sri Baginda sementara beberapa Perwira
berdiri didekatnya menjaga segala kemungkinan.
"Kudengar di Istana ini
ada seorang Perwira yang sakit. Betulkah itu?" bertanya si kakek tak
dikenal.
Sri Baginda memandang pada
Perwira-perwiranya, lalu menganggukkan kepala. "Betul sekali. Dari manakah
kau tahu dan harap terangkan dulu siapa kau ini, orang tua?"
Orang tua itu batuk-batuk
beberapa kali lalu menjawab, "Aku yang tua ini adalah Kiyai Supit Pramana
dari Gunung Bromo … "
Terkeiutlah. Sri Baginda dan
Perwira-perwira Kerajaan tapi disamping itu juga timbul rasa gembira dan
pengharapan.
"Ah, tak tahunya Istana
telah kedatangan seorang sakti yang telah terkenal di delapan penjuru angin.
Silahkan duduk orang tua. Maafkan kalau perlakuan orang-orangku terhadapmu
tidak menyenangkan. Sesungguhnya aku sendiripun baru kali ini berhadapan
denganmu … "
Kiyai Supit Pramana duduk di
sebuah kursi yang kemudian disediakan.
"Tadi Kiyai bertanyakan
tentang seorang Perwira yang sakit. Apakah maksud Kiyai sesungguhnya?"
"Aku ingin
mengobatinya," jawab orang tua itu.
"Ah, itu satu hal yang
menggembirakan. Kami sangat berterima kasih padamu Kiyai." ujar Sri
Baginda pula. "Kemudian dari pada itu Kiyai, atas nama rakyat dan Kerajaan
aku meminta agar sudilah Kiyai turun tangan membantu menumpas kaum pemberontak.
Kiyai tentu tahu bagaimana besamya bahaya yang mengancam Kerajaan kini. Bala
tentara kaum pemberontak sudah sangat dekat. Mereka memiliki beberapa tokoh
silat yang berkepandaian tinggi pula!"
Kiyai Supit Pramana
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tahu, aku tahu, Baginda.
Tapi kedatanganku kesini cuma punya satu maksud yaitu mengobati Perwiramu yang
sakit itu. Soal pemberontak aku tak bisa ikut campur. Nah sekarang tunjukkanlah
aku dimana beradanya Perwiramu yang sakit itu!"
Raja dan para Perwira merasa
kecewa. Mereka yakin jika orang tua yang sakti luar biasa itu bersedia turun
tangan pastilah kaum pemberontak berhasil ditumpas sekalipun mereka memiliki tokohtokoh
silat yang hebat! Tapi kekecewaan itu agak terhibur oleh adanya maksud Kiyai
Supit Pramana yang hendak mengobati Untung Pararean. Jika Untung Pararean
berhasil diobati dan dapat maju kemedan laga menghadapi pemberontak, itupun
sudah cukup sebagai jaminan bahwa kaum pemberontak akan kena ditumpas!
Maka atas perintah Sri Baginda
beberapa pengawal mengantarkan Kiyai Supit Pramana ke kamar Untung Pararean. Di
hadapan pintu kamar mereka berhenti. Salah seorang Perwira memberi tahu,
"Pintu ini dikunci dari dalam Kiyai."
Kiyai Supit Pramana
mengangguk. Sekali kaki kirinya yang kurus kering bergerak menendang, maka
bobollah pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu. Di dalam kamar tampak
Untung Pararean duduk menjelepok disudut kamar tengah sesenggukan! Keadaan
dirinya kurus kering laksana tengkorak. Kulitnya pucat pasi hanya tinggal
pembalut tulang. Matanya yang menonjol kedepan berwarna merah dan ganas. Begitu
dia melihat orang-orang itu. Untung Pararean mencabut keris Mustiko Jagat. Hawa
aneh membuat tubuhnya menjadi kuat dan laksana seekor srigala lapar laki-laki
ini melompat kehadapan Kiyai Supit Pramana seraya berteriak.
"Kau datang lagi pemuda
bangsat! Kau datang lagi ya?! Mampus! Mampuslah kau keparat!" Keris
Mustiko Jagat menderu kearah dada Kiyai Supit Pramana.
"Awas Kiyai!"
memperingatkan seorang Perwira. "Itu senjata sakti dan mengandung racun
jahat sekali!"
6
TERKESIAP juga kiyai Supit
Pramana melihat sinar biru pekat yang keluardari kerisdi tangan Untung
Pararean. Angin yang menyambarpun terasa dingin menembus kulit! Tapi orang tua
itu tidak kawatir! Cuma sekejap dia terkesiap. Perwira perwira Kerajaan yang
mengantarkannya tidak sempat melihat gerakan apa yang dibuat oleh kakek kakek
sakti itu karena tahutahu saja terdengar keluhan pendek Untung Pararean.
Perwira. yang sakit ini tegak mematung dengan kedua bola mata melotot seperti
mau melompat sedang keris Mustiko Jagat sudah berada dalam tangan Kiyai Supit
Pramana!
Sementara Perwira-perwira
Kerajaan itu terheran-heran, sang Kiyai mengeluarkan dua buah botol dari balik
pakaiannya. Botol pertama berisi cairan hitam. Botol kedua, lebih kecil berisi
cairan putih bening. Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol yang pertama lalu
mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengguyurkan cairan hitam itu ke atas
kepala Untung Pararean!
Meskipun tubuhnya ditotok dan
tak bisa bersuara, tapi ketika air hitam menyirami kepalanya dan kepala itu
kelihatan mengepul-ngepul maka dari mulut Untung Pararean terdengar jeritan
sedahsyat geledek membuat Perwira-perwira Kerajaan yang ada disitu serasa
terbang nyawanya! Dua kali Untung Pararean mengeluarkan jeritan dahsyat itu
lalu kembali mulutnya terkatup rapat-rapat. Kiyai Supit Pramana membuka tutup
botol yang kedua. Mulutnya kelihatan komat-kamit, entah membaca mantera apa.
"Buka mulutmu,
Pararean!" memerintah sang Kiyai.
Aneh, Untung Pararean
benar-benar membuka mulutnya. Di saat itulah hal aneh lagi terjadi. Cairan
putih bening di dalam botol di tangan Kiyai Supit Pramana menyembur laksana air
mancur, masuk ke dalam mulut Untung Pararean.
"Minum. Telan!" seru
Kiyai Supit Pramana.
Cegluk . . . cegluk …
terdengar air itu lewat ditenggorokan Untung Paiarean.
"Bagus! Nah, sekarang kau
pergilah ke tempat tidur itu, berbaring dan tidurlah!" Kiyai Supit Pramana
melepaskan totokan ditubuh Untung Pararean dan begitu totokan terlepas Perwira
ini laksana patung hidup melangkah ketempat tidur, membaringkan tubuhnya,
memejamkan kedua matanya dan tidur!
Orang tua itu kemudian
berpaling pada Perwira-perwira Kerajaan yang berdiri terlongong-longong
dibelakangnya.
"Jika dia sudah bangun
nanti, sakit yang dideritanya akan sembuh. Katakan pada Raja kalian bahwa sakit
yang menimpa Untung Pararean bukan sembarang sakit! Tapi adalah akibat kutukan
seseorang terhadap apa yang pernah dilakukan olehnya!"
"Kutukan . . ,?"
mengulang salah seorang Perwira.
Yang terdengar sebagai jawaban
hanya sambaran angin. Ketika perwira-perwira itu memandang ke depan Kiyai Supit
Pramana sudah tidak ada sedang keris Mustiko Jagat kelihatan tertancap didaun
pintu!
"Manusia sakti luar biasa
…" desis seorang Perwira. Kawan-kawannya hanya bisa menganggukkan kepala
sambil leletkan lidah!
Benar seperti yang dikatakan
oleh Kiyai Supit Pramana begitu Untung Pararean bangun dari tidurnya, keadaan
dirinya berubah total. Otaknya telah pulih sehat seperti sedia kala sehingga
Sri Baginda benar-benar gembira dan bersyukur atas pertolongannya si kakek
sakti dan aneh itu! Maka kepada Untung Pararean Sri Baginda dan beberapa
Perwira penting menerangkan bahaya apa yang tengah dialami Kerajaan saat itu.
Dalam pertemuan itu rencanapun segera disusun. Ketika sinar matahari mulai
berkurang teriknya karena sudah rembang petang, maka dari pintu gerbang
Kotaraja kelihatanlah serombongan besar bala tentara bergerak ke timur di bawah
pimpinan seorang Perwira yang menunggangi kuda hitam. Perwira ini bertubuh
kurus dan bermuka pucat, tapi gerak geriknya meyakinkan bahwa dia bukan orang
sembarangan, terutama yang bukan sembarangan adalah keris Mustiko Jagat yang
tersisip di pinggangnya. Dan Perwira itu bukan lain adalah Untung Pararean! Di
kiri kanannya bergerak pula beberapa orang Perwira Kerajaan yang berkepandaian
silat tinggi!
Meski pada dasarnya Untung
Pararean bukanlah apa-apa jika tanpa keris Mustiko Jagat, namun harus diakui
bahwa dia memiliki otak yang cerdik. Sewaktu hampir berpapasan dengan bala
tentara pemberontak, Untung Pararean sengaja mengirim sejumlah kecil pasukan
yang dibawanya. Sesudah terjadi pertempuran, dengan jumlah pasukan yang lebih
besar Untung Pararean dan Perwira-perwira lainnya segera mengurung kaum
pemberontak sehingga pemberontak-pemberontak itu harus menqhadapi musuh dari
depan dan dari belakang!
Amukan Untung Pararean,
jelasnya amukan keris Mustiko Jagat memang bukan main hebatnya. Puluhan
pemberontak menemui ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang tokoh
pemberontak yang berilmu tinggi mandi darah dan mati di tangan Untung Pararean.
Dua tokoh lainnya coba mengeroyok Perwira ini namun merekapun mengalami nasib
yang sama, harus menyusul dua kawan mereka yang terdahulu!
Sesudah pertempuran berkecamuk
hampir dua jam dengan banyak korban jatuh di pihak pemberontak maka sisa-sisa
yang masih tinggal, di bawah seorang tokoh silat golongan hitam segera
mengundurkan diri! Tapi Untung Pararean tak mau melepaskan tokoh pemberontak
yang seorang ini. Dipacunya kuda hitamnya mengejar orang yang lain, yang kini
sama sekali tak punya pimpinan barang seorang pun banyak yang lari
pontang-panting, ada juga yang menjauhkan diri, berlutut minta ampun! Untung
Pararean tak memperdulikan mereka yang berlutut minta ampun itu. Semuanya
dilabrak dengan tendangan dan babatan keris hingga di tempat itu bertebaran
lagi mayat-mayat kaum pemberontak!
Dengan hati puas Untung
Pararean kembali kepada pasukannya. Justru dalam perjalanan kembali inilah
tiba-tiba muncul satu sosok tubuh dari jurusan timur yang berlari laksana
kilat, memapas larinya kuda hitam yang ditunggangi oleh Untung Pararena, hingga
binatang ini menghentikan larinya, meringkik keras-keras dengan menaikkan kedua
kakinya ke udara tinggi tinggi, hampir saja membuat Untuk Pararean
terpelanting.
"Jahannam dari mana yang
minta mampus ini?" teriak Untung Pararean menggeledek. Sebagai jawaban
terdengar suara mendengus!
"Untung Pararean manusia
rendah hina dina! Sebelum kau mampus ada baiknya kuberi tahu dulu siapa aku
adanya!"
Orang yang berkata ini seorang
tua renta bertubuh bungkuk. Rambutnya awut-awutan dan menebar bau busuk.
Kuku-kuku tangannya panjang-panjang dan hitam. Dia mengenakan sebuah jubah
putih yang amat dekil dan penuh tambalan. Tubuhnya kurus kering, lebih kurus
dari Untung Pararean sendiri yang keadaannya sudah seperti jerangkong itu.
Mukanya yang buruk tambah tidak sedap dipandang karena adanya bopeng-bopeng!
"Aku Gambir Seta. Orang-orang
menggelariku Pengemis Sakti Muka Bopeng … !"
"Hemm . . . hanya seorang
pengemis!" ejek Untung Pararean. "Aku tak ada urusan dengan manusia
macammu dan juga jangan harap belas kasihanku untuk memberikan uang, sekalipun
cuma sepeser!"
Orang tua yang mengaku
bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng itu tertawa aneh.
"Orang yang mau mampus
biasanya memang suka bicara tak karuan macam kau!"
"Manusia bermuka tahu
tertimpa hujan, menghindarlah kalau tak mau kulabrak dengan kaki-kaki
kudaku!" ancam Untung Pararean sementara dilihatnya beberapa orang Perwira
dan prajurit-prajurit bergerak ke arahnya.
"Mau labrak? Silahkan!
Aku mau lihat sampai di mana kehebatan manusia yang telah membunuh adik
kandungku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng pula.
Terkejut Untung Pararean
mendengar ucapan orang tua itu. "Apa katamu? Adikmu yang mana yang telah
kubunuh? Katakan lekas apakah kau juga salah seorang cecunguk
pemberontak?!"
"Kau memaki
pemberontak-pemberontak itu, Pararean? Jangan terlalu jauh melupakan dirimu
sendiri, Perwira! Ketahuilah. Kau lebih hina, lebih busuk dari
pemberontak-pemberontak itu!"
"Kurang ajar! Kau
benar-benar inginkan mampus rupanya!" teriak Untung Pararean marah.
Disentakkannya tali kekang kudanya, binatang itu melompat kemuka, menerjang
Pengemis Sakti Muka Bopeng!
Tapi apa yang terjadi kemudian
sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya Pengemis Sakti Muka Bopeng menangkap
kaki-kaki depan kuda hitam itu. Disertai dengan bentakan setinggi langit kedua
tangannya digerakkan. Maka melayanglah kuda hitam itu sejauh delapan tombak!
Untung Pararean sendiri kalau tidak lekas-lekas melompat pasti akan mendapat
celaka pula!
Untung saja dia sempat
mencabut keris Mustiko Jagat hingga dengan mengandalkan hawa sakti senjata itu
dia melayang enteng ke tanah dan begitu berhadapan dengan si orang tua,
langsung saja mengirimkan satu tusukan kilat yang mematikan ke arah
tenggorokan!
"Ha … ha! Inilah dia
keris Mustiko Jagat yang kau curi dari adikku! Kau harus mengembalikannya
padaku manusia keparat!"
Rasa terkejut yang amat sangat
membuat Untung Pararean menarik serangannya.
"Apa katamu? Apa
hubunganmu dengan Empu Bharata?!"
"Aku kakaknya! Dan aku
yang akan menagih hutang nyawa itu! Tapi ah, tidak! Aku tak akan membunuhmu!
Kematian terlalu bagus bagimu, terlalu enak! Aku akan biarkan kau tetap hidup,
tapi hidup dengan menderita lahir bathin! Lebih hebat dari penderitaanmu yang
sudah-sudah!"
Habis berkata begitu Pengemis
Sakti Muka Bopeng menekuk kedua lututnya. Sesaat kemudian tubuhnyapun melesat
kemuka. Tapi pada saat itu dari samping datang sambaran senjata, memapai
serangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Manusia ini menggeram dan berbalik.
Ternyata tiga orang Perwira telah sampai di situ dan sama-sama mencabut pedang
menyerang si Pengemis!.
Salah seorang dari
Perwira-perwira itu bertanya. "Kangmas Untung, siapa monyet tua ini?! Biar
kami yang mencincangnya!"
"Kalian menghindarlah!
Nyawanya musti aku sendiri yang cabut!" teriak Untung Pararean lalu dengan
cepat, mengiblatkan keris Mustiko Jagat, menghunjam kearah lawannya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
tertawa aneh. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari hadapan Untung Pararean.
"Kangmas, awas di
sampingmu!" teriak Perwira memberi ingat.
Mendengar ini Untung Pararean
cepat membalik dan membabat ke samping laksana kilat! Maka terdengarlah suara
beradunya dua buah lengan!
Untung Pararean mengeluh.
Tubuhnya terhuyung-huyung sampai delapan langkah ke belakang Lengannya yang
kena dipukul sakit bukan main merah dan bengkak! Masih untung keris Mustiko
Jagat tidak terlepas dari tangannya! Di lain Pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng
juga terkejut mendapatkan bagaimana tangannya tergetar keras dan linu. Tapi dia
tahu bahwa itu bukanlah berkat kehebatan tenaga dalam atau kesaktian si pemuda,
melainkan hawa kekuatan sakti yang keluar dari keris Mustiko Jagat. Maka
satu-satunya jalan untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lekas adalah
merebut Mustiko Jagat dari tangan Untung Pararean!
Jurus kedua kembali Pengemis
Sakti Muka Bopeng yang membuka serangan. Ujung lengan jubahnya yang sebelah
kanan dikebutkan. Satu gelombang angin laksana topan prahara menderu menyambar
Untung Pararean! Pemuda itu kiblatkan keris Mustiko Jagat dari kiri kekanan!
Sinar biru memapas serangan angin dahsyat dari Gambir Seta alias Pengemis Sakti
Muka Bopeng. Terdengar suara berdentum. Debu pasir serta batu-batu kerikil
berterbangan. Bumi laksana dilanda lindu. Untung Pararean mengeluarkan seruan
tertahan sewaktu merasakan keris Mustiko Jagat terlepas dari tangannya. Dia
coba melompat untuk menjangkau senjata itu. Tapi dia tak sadar. Sewaktu Mustiko
Jagat lepas dari tangannya, maka segala kesaktiannya yang dimilikinya dengan
serta merta lenyap. Lompatannya tak ubahnya seperti lompatan seekor anak ayam.
Jangankan untuk berhasil mendapatkan Mustiko Jagat kembali, bahkan saat itu
satu tendangan melanda pinggulnya, membuat Untung Pararean melolong setinggi
langit, mencelat sampai tujuh tombak. Tubuhnya angsok ditanah tanpa sadarkan
diri lagi!
"Manusia muka bopeng
keparat!" teriak seorang Perwira Kerajaan. "Tubuhmu akan kutabas jadi
sepuluh potong!" Habis berteriak demikian dia bacokkan pedangnya. Dua
orang kawannya serentak menyerbu pula hingga Pengemis Sakti Muka Bopeng
terkurung tiga serangan pedang yang hebat ganas!
"Perwira-perwira! Aku tak
punya permusuhan apa-apa dengan kalian! Jangan serang!" seru Pengemis
Sakti Muka Bopeng seraya memasukkan keris Mustiko Jagat ke balik jubahnya. Tapi
mana Perwira-perwira mau mendengar! Malah mereka bersirebut cepat untuk dapat
membunuh Pengemis Sakti Muka Bopeng! Dengan teriakan mengguntur Pengemis Muka
Bopeng melompat setinggi tiga tombak, jungkir balik di udara dan keluar dari
kurungan ketiga penaeroyoknya.
"Anjing busuk! Kau mau
kabur ke mana?!" Tiga Perwira Kerajaan mengejar sementara puiuhan prajurit
telah sampai pula, siap menunggu perintah untuk menyerbu!
"Perwira-perwira degil!
Jika kalian minta celaka baiklah! Lihat begaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng
akan memberi pelajaran pada kalian."
Habis berkata begitu, Pengemis
Sakti Muka Bopeng berkelebat. Tubuhnya lenyap dari pemandangan dan terdengarlah
pekik ketiga Perwira itu!
7
PERWIRA yang pertama mencelat
mental, remuk tulang dadanya. Perwira kedua terguling beberapa tombak dengan
tempurung lutut remuk sedang Perwira yang ketiga terhempas Ketanah tak berkutik
lagi karena perutnya pecah dihantam tendangan! Pengemis Sakti Muka Bopeng
mendonqak ke langit dan tertawa berkakakan lalu membentak pada
prajurit-prajurit yang ada di sekelilingnya.
"Ayo maju kalau kalian
kepingin mampus!"
Tentu saja sesudah menyaksikan
Perwira-perwira mereka menemui nabis begitu rupa, semua prajurit itu sama
sekali tidak mempunyai nyali untuk menempur kakek-kakek bermuka bopeng itu.
Dengan masih tertawa bekakakan Pengemis Sakti Muka Bopeng lari ke arah di mana
tubuh Untung Pararean menggeletak pingsan. Sesaat kemudian diapun lenyap dari
pemandangan dengan membawa tubuh Untung Pararean.
Untung Pararean siuman tak
berapa lama kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari oleh kakek-kakek kurus
kering itu. Pinggulnya terasa sakit karena tulang dibagian situ remuk akibat
tendangar si kakek. Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan tenaga namun
jangankan untuk bisa melepaskan diri dari kempit si kakek untuk bergerak
sedikitpun dia tidak sanggup!
"Muka Bopeng, kau mau
bawa ke mana aku?!" tanya Untung Pararean.
"Heh! Kau sudah
siuman?!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan larinya.
Dia memandang berkeliling.
Daerah itu adalah daerah rimba belantara tapi yang banyak terdapat batu-batu
besar. Dulunya ada sebuah sungai mengalir di situ, tapi kemudian kering dan
karena itulah ditempat! tersebut masih terdapat batu-batu sungai yang
besar-besar.
"Bagus! Bagus! Tempat
inipun cukup pantas untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku hendak merubah
muka seorang manusia yang tampan gagah, seorang Perwira Kerajaan, menjadi muka
yang tebih buruk, lebih mengerikan dari muka setan!"
Habis berkata begitu Pengemis
Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak hingga seluruh rimba belantara jadi
bergema. Beberapa burung hutan lari beterbangan karena dikejutkan oleh suara
tertawa manusia itu! Dilepaskannya Untung Pararean dari kempitan lalu
dilemparkannya ke atas sebuah batu besar hingga Perwira itu menjerit kesakitan!
Dengan mengeluarkan suara
tertawa lebih dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng melangkah mendekati Untung
Pararean. Untung Pararean tahu tak satu apapun yang bisa dilakukannya untuk
menyelamatkan diri. Maka dengan susah payah dicobanya bangun dan berlutut lalu
sambil meratap dia minta ampun berulang-ulang.
"Kau minta ampun? Puah .
. . ! Tidak satu orangpun yang bisa mengampuni dosa terkutukmu!"
"Kalau kau mengampuni
selembar nyawaku ini dan mengembalikan keris Mustiko Jagat. Aku berjanji akan
memberikan lima ratus keeping uang emas, barang-barang perhiasan bahkan apa
saja yang kau minta!" Pengemis Sakti itu cuma tertawa mendengar ucapan
Untung Pararean.
"Manusia anjing! Aku
memang tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus buatmu! Tapi apa yang aku
lakukan percayalah, lebih mengerikan dari kematian!"
"Pengemis Sakti . . .
"
"Sudah diam!" bentak
kakek-kakek itu lalu secepat kilat menjambak rambut Untung Par,rean dengan
tangan kirinya.
"Pertama sekali mulai
detik ini kau akan menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini bila dilihat cuma
dengan sebelah mata!".
"Begitu selesai berkata
tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur kedepan. Dua jari tangan
terpentang luruslurus dan "cras"! Biji mata Untung Pararean yang
sebelah kiri mencelat mental, darah dan urat-uratnya berbusaian! Jerit
laki-laki itu laksana mau merobek langit karena tekanan sakit yang tak dapat
dilukiskan sedang di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak
melihat hasil pekerjaannya!
"Bagaimana kau lihat
dunia ini sekarang? Bukankah lebih bagus? Lebih indah … ? Ha … ha . . . .ha . .
ha …!"
"Manusia biadab!"
teriak Untung Pararean dalam sakitnya. "Kau hanya berani pada orang yang
tak punya daya!"
"Kau masih bisa
menceloteh hah?! Coba kau rasakan ini! Aku mau lihat apa kau nanti masih bisa
bicara!" Tangan kanan Pengernis Sakti Muka Bopeng berkelebat lagi ke muka
Untung Pararean. Untuk kedua kalinya terderigar jeritan laki-laki itu, tapi
yang sekali ini tidak sedahsyat yang pertama tadi. Mungkin juga disebabkan oleh
mulutnya yang sebelah karan robek sampai ke pipi dibeset oleh Pengemis Sakti
Moka Bopeng. Tubuh Untung Pararean menggigil menahan sakit. Sebagian dari
bibirnya yang sebelah bawah menjulai akibat mulutnya yang robek sedang darah
yang keluar semakin menambah seram keadaan mukanya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
bersurut mundur beberapa langkah. Lalu sambil bertolak pinggang ditelitinya
wajah Untung Pararean.
"Masih kurang seram!
Masih belum mengerikan!" katanya lalu maju lagi kehadapan korbannya yang
manggeletak di atas batu besar. Untuk ketiga kalinya tangan kanan Pengemis
Sakti Muka Bopeng bergerak. Kali ini kelima jari-jari tangannya yang berkuku
panjang mencengkeram dimuka Untung Pararean yang saat itu befada dalam keadaan
antara sadar dan tidak. Dan cengkeraman itu benar-benar membuat muka Untung
Pararean kini menjadi sangat mengerikan dan berselomotan darah. Kulit kening
dan kedua pipinya hancur bergurat-gurat. Cuping hidungnya sebelah kiri tanggal!
"Nah, sekarang baru kau
betul-betul jadi manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku puas …! Aku puas!
Ha . . . ha … ha!
Hiduplah kau sampai seribu tahun,
Pararean! Tak satu manusiapun yang akan mau mendekatimu! Ha . . . ha … ha . .
.!" Setelah puas tertawa beberapa lamanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu
berkata, "Sekarang kau tunggulah sendirian di sini. Sebentar lagi tentu
setan-setan, jin dan dedemit penghuni hutan belantara ini akan mengunjungimu!
Heh, sebelum lupa, aku nasihatkan padamu agar jangan kembali ke kotaraja!
Bisa-bisa semua orang akan kabur ketakutan melihatmu si Perwira Kerajaan yang
telah berubah menjadi setan!"
"Ha … ha . . . ha!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng
hendak berlalu dari situ. Tapi mendadak diputarnya badannya. "Aku
kelupaan!" katanya.
"Masih ada yang kurang!
Masih ada yang kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke muka lalu bergerak
ke telinga Untung Pararean. Sekejap kemudian kedua daun telinga laki-laki
itupun buntunglah! Untung Pararean sendiri tak mengetahui apa yang telah
terjadi dengan dirinya karena saat itu dia sudah tidak sadarkan diri lagi!
***
Sang surya telah menggelincir
ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah redup kekuningan. Setiap
benda yang disapu sinar itu seolah-olah berubah warnanya menjadi kuning. Disaat
hari menjelang sore itulah seorang kakek-kakek tua berjubah putih bersih
kelihatan berada disekitar hutan belantara. Kelihatannya dia melangkah biasa
saja tapi dalam tempo yang singkat dia sudah melewati belasan tombak! Nyatalah
bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu lari yang luar biasa!
Bila angin timur bertiup
sejuk, orar:g tua itu telah lenyap ke dalam rimba belantara. Tak selang berapa
lama terdengarlah satu suara helaan nafasnya yan;j dalam sekali. Si orang tua
ternyata telah menghentikan "langkah"nya dan berdiri di hadapan batu
besar di mana tubuh Untung Pararean menggeletak!
"Tujuh puluh lima tahun
hidup, baru hari ini aku melihat kengerian yang luar biasa ini," membathin
si orang tua "Sungguh hebat kenyataan kutukan Empu Bharata…" desisnya
lagi dalam hati. Setelah menghela nafas dalam untuk kedua kakinya orang tua ini
melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung Pararean yang menggeletak di atas
batu, sedikitpun tidak bergerak. Tak ada tanda-tanda getaran pernafasan pada
dada ataupun perutnya. Namun sepasang mata si orang tua yang tajam mengetahui
bahwa Untung Pararean saat itu masih hidup. Tanpa menunggu lebih lama orang tua
itu lalu mengangkat tubuh Untung Pararean dari atas batu, memangulnya untuk
kemudian meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke utara. Siapakah
gerangan orang tua yang telah membawa Untung Pararean itu? Dia bukan lain Kiyai
Supit Pramana yang dua hari lalu telah mengobati Untung Pararean di Istana!
Bagaimana maka dia bisa pula sampai di situ baiklah kita tuturkan sedikit. Nama
Kiyai Supit Pramana pada masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh silat golongan
putih yang dihormati dan disegani berkat ilmunya yang tinggi. Pada suatu malam
di pertapaannya yang terletak di puncak Gunung Bromo dia bermimpi kedatangan
almarhum gurunya yang bernama Eyang Pamanik. Dalam mimpi itu Eyang Pamanik
berkata pada Kiyai Supit Pramana.
"Muridku, tinggalkanlah
puncak Bromo ini dan pergi ke Kotaraja. Di dalam lingkungan Istana ada seorang
Perwira Kerajaan yang menderita sakit keras! Sakitnya bukan sembarang, sakit,
tapi sakit akibat kutukan Empu Bharata yang pernah diam di Gunung Slamet. Kau
mempunyai kewajiban sebanyak tiga kali berturut-turut menolong Perwira itu.
Pertama mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar Putih dan Air Tawar Hitam.
Bila sudah tinggalkan Istana dan pergi kebukit Tulungsentana. Tunggu sampai satu
setengah hari kemudian pergi kehutan yang terletatak di tenggara Kotaraja.
Kelak di dalam hutan ini kau bakal menemui lagi Perwira itu dalam keadaan yang
mengerikan. Itu adalah juga akibat kutukan Empu Bharata. Pertolongan kedua yang
harus kau lakukan muridku, ialah membawa Perwira itu kepuncak Bromo ini,
memberikan pelajaran ilmu silat padanya, tapi sekali-kali kau tak boleh
mengambil dia sebagai murid! Pertolongan yang ketiga kelak harus kau lakukan di
kemudian hari bila kau merasa bahwa nyawanya betul-betul terancam. Sesudah itu
meski apapun yang terjadi dengan dirinya, kau tak berhak lagi menolongnya!
"
Begitulah kira-kira ucapan
Eyang Pamanik pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya. Keesokan paginya, lama
Kiyai Supit Pramana merenungi makna mimpi mendiang gurunya itu. Memang pernah
juga dia bermimpikan Eyang Pamanik, tapi dalam mimpi itu sang guru cuma sekadar
memperlihatkan diri saja, tak pernah bicara apalagi sampai memberi pesan
seperti itu. Yakin bahwa apa yang diimpikannya itu hanyalah bunga tidur belaka,
maka Kiyai Supit Pramana tak mau lagi mengigatnya. Tapi pada malam berikutnya,
mimpi yang sama datang kembali, bahkan terulang lagi di malam ketiga!
Kini Kiyai Supit Pramana
merasa pasti bahwa mimpinya itu bukanlah sekedar mimpi biasa, bukan pula apa
yang dikatakan bunga tidur. Tanpa menunggu lebih lama hari itu juga Kiyai Supit
Pramana meniggalkan puncak Gunung Bromo menuju ke Kotaraja. Dalam perjalanan ke
Kotaraja itulah orang tua yang berumur 75 tahun ini mengetahui bahwa saat itu
Kerajaan tengah terancam bahava besar kaum Pemberontak. Timbul niat dalam hati
orang tua sakti itu untuk turun tangan menumpas gembong-gembong pemberontak
tapi dia ingat akan pesan gurunya di dalam mimpi. Dia tak berani bertindak
sendiri di kala ada kewajiban yang harus dijalankannya. Karena itu
dipercepatnya perjalanannya ke Kotaraja hingga tiga hari kemudian sampailah dia
ditempat tujuan tersebut.
Memasuki Kotaraia kerrudian
diketahuinya pula bahwa memang ada seorang Perwira Kerajaan yang bernama Untung
Pararean sedang menderita sakit yang kritis bahkan ada yang mengatakan bahwa
Perwira itu sudah gila, tak mau makan tak mau minum, kerjanya berteriak-teriak,
kadang-kadang menangis menggerung-gerung memanggil-manggil anak isterinya yang
pergi entah ke mana. Juga dikatakan bahwa siapa saja yang berani mendekati
Perwira yang sakit itu, pasti dibunuh. Kabarnya pula Perwira itu memiliki
sebilah keris bernama Mustiko Jagat! Sampai sebegitu jauh tak ada seorang yang
sanggup mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri sudah tak berdaya
apa-apa, mengingat pula saat itu yang menjadi pikiran Raja dan Perwiraperwira
lainnya bukanlah Perwira yang bernama Untung Pararean itu, tapi bahaya besar
yang mengancarn Kerajaan yakni serbuan kaum pemberontak yang sudah berada
sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini betul-betul nyata bagi Kiyai Supit
Pramana, bahwa impian dan pesan gurunya dalam mimpi itu bukanlah hal yang
kosong belaka.
Bagaimana Kiyai Supit Pramana
mengobati dan menyembuhkan Untung Pararean telah diceritakan. Sesudah melakukan
pesan atau pertolongan yang pertama itu maka Kiyai Supit Pramana lalu
meninggalkan Kotaraja menuju ke bukit Fulungsentana. Sesuai dengan pesan Eyang
Pamanik, maka Kiyai Supit Pramana herdiam selama satu setengah hari di bukit
tersebut. Selewatnya satu setengah hari dia lalu menuju ke hutan yang terletak
di sebelah tenggara. Belum jauh memasuki hutan, langkahnya terhenti sewaktu
menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas sebuah batu besar. Inilah rupanya
sosok tubuh Untung Pararean sebagaimana yang diterangkan Eyang Pamanik lewat
mimpi!
Oleh Kiyai Supit Pramana tubuh
Untung Pararean yang berada dalam keadaan pingsan itu kemudian segera dilarikan
kepuncak Gunung Bromo.
8
DUNIA berputar juga. Siang
berganti dengan malam, malam berganti pula dengan siang, demikian terus tiada
hentinya hingga tak terasa lagi enam belas tahun telah berlalu. Selama enam
belas tahun itu pulalah Untung Pararean tinggal dipuncak Gunung Bromo bersama
Kiyai Supit Pramana. Keadaan muka Untung Pararean meskipun sudah sejak lama
sembuh tapi bekas-bekas yang ditinggalkan tetap mengerikan. Melihat penderitaan
lahir maupun bathin Untung Pararean inilah maka Kiyai Supit Pramana merasa
kasihan padanya. Karena itulah pada Untung Pararean sang Kiyai menurunkan ilmu
silat dan beberapa pukulan-pukulan sakti. Berkat ketekunannya meyakini semua
yang dipelajari dari Kiyai tersebut maka dalam masa enam belas tahun itu Untung
Pararean telah menjadi seorang pendekar gemblengan. Disamping pelajaran ilmu
Oat, dari Kiyai Supit juga diterimanya berbagai macam pelajaran yang bersifat
kerohaniaan. Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan orang tua itu kepada
Untung Pararean sehingga Untung Pararean yang kini berumur tiga puluh lima
tahun itu bukan saja memiliki kepandaian yang tinggi, tapi juga hati yang tabah.
Namun kadang-kadang, bilamana
dia berada seorang diri ingatannya melayang pada anak istrinya. Tentu sekarang
Sri Lestari sudah menjadi seorang remaja puteri. Betapa rindunya dia terhadap
anaknya itu, bahkan dia juga sering terkenang terhadap istrinya, meskipun apa
yang telah dilakukan Sri Kemuning tempo hari tetap membekas dalam kalbunya
laksana duri dalam daging.
Segala tindak tanduk Untung
Pararean tidak terlepas dari pengawasan Kiyai Supit Pramana. Dan dia maklum
juga apa yang terpikir oleh laki-laki itu bila berada seorang diri. Pernah
Kiyai Supit Pramana menganjurkan agar Untung Pararean turun gunung untuk
mencari anak istrinya dan berkumpul bersama-sama kembali. Tapi saat itu Untung
Pararean menjawab :
"Saya lebih suka tetap,
tinggal bersama-sama Kiyai di sini."
"Kenapa begitu? Agaknya
kau tak punya tanggung jawab sebagai seorang ayah dan sebagai seorang
suami."
Lama Untung Pararean terpekur
dan pada akhirnya dia menjawab juga, "Tanggung jawab sebagai seorang suami
sudah pernah kuberikan pada istriku, Kiyai. Dan tanggung jawab itu telah
disia-siakannya. Kiyai tentu maklum. . . . "
Kiyai Supit Pramana
mengangguk. Dia memang sudah tahu apa yang pernah terjadi antara Untung
Pararean dan istrinya yaitu ketika Untung menuturkan riwayat hidupnya.
"Lalu karena hal itu
apakah kau tak akar mempunyai hasrat sama sekali untuk menemui anakmu?"
bertanya lagi Kiyai Supit Pramana.
"Betapapun seorang ayah
selalu merindukan anaknya, Kiyai." kata Untung Pararean. Ditelannya
ludahhya lalu melanjutkan, "Tapi apakah dia akan mau mengakui aku sebagai
ayahnya? Kiyai saksikan sendiri bagaimana mengerikannya parasku ini. Bahkan Sri
Kemuning sendiripun pasti tak bisa mengenaliku! Aku tak ingin mengecewakan hati
Sri Lestari Kiyai, karena memiliki seorang ayah sepertiku ini. Yang mukanya
lebih seram dari muka setan!"
Bila pembicaraan sudah sampai
disitu, biasanya Kiyai Supit Pramana tak mau meneruskan pembicaraan. Dia
kawatir kalau diteruskan maka pembicaraan hanya akan membuat menguaknya kembali
luka derita di lubuk hati Untung Pararean yang coba hendak dilupakan itu.
Pada suatu hari, untuk satu
keperluan Kiyai Supit Pramana menyuruh Untung Pararean ke kota Linggoprobo di
utara Gunung Bromo. Linggaprabo terletak di tepi pantai yang ramai disinggahi
perahuperahu dari pelbagai negeri dan sekaligus merupakan salah satu kota pusat
perdagangan di Jawa Timur pada masa itu. Dengan mengenakan kain hitam untuk
menutupi parasnya, Untung Parareanpun berangkatlah. Memang sudah menjadi
kebiasaannya untuk mengenakan penutup muka begitu bila dia turun gunung.
Sementara itu di sebuah pulau
yang terletak di Selat Madura terdapatlah sebuah bangunan yang besar dan bagus
yang keseluruhannya dibuat dari bambu kuning. Tiga orang yang mengenakan
pakaian kotor bertambal-tambal kelihatan berada diruangan muka. Dari ruang
dalam tak lama kemudian keluar seorang dara muda belia berparas jelita.
Rambutnya hitam panjang dijalin dua. Langkahnya ringan dan gerak geriknya
lincah. Seperti orang-orang yang berada di ruang muka itu, dara inipun mengenakan
pakaian ringkas bertambal-tambal tetapi bersih.
"Hai jangan mengobrol
juga! Ayah memanggil kalian!" seru dara itu.
Ketiga orang laki-laki yang
asyik bicara di ruang depan berpaling dan berdiri dari kursi masing-masing lalu
mengikuti si dara memasuki sebuah kamar.
Di dalam kamar itu duduk
bersila seorang laki-laki bermuka bopeng, berpakaian bertambal-tambal. Karena
tubuhnya yang bungkuk maka duduknya sangat menjorok ke depan. Rambutnya
awut-awutan dan bau. Sepuluh kuku jarinya panjang, hitam berdaki. Tubuhnya yang
bungkuk itu amat kurus hingga tak ubahnya seperti jerangkong hidup.
Di samping tua renta ini duduk
seorang perempuan separuh baya berkulit hitam manis dan berparas yang
menyatakan bahwa dia dulunya adalah seorang perempuan yang cantik. Perempuan
inipun mengenakan pakaian yang bertambal-tambal. Kelima orang yang masuk itu
duduk bersila di atas tikar, si dara duduk di samping perempuan separuh baya
itu.
"Guru memanggil kami, ada
perlu apakah?" bertanya laki-laki yang berbadan sangat gemuk, demikian
gemuknya hingga tak kelihatan lagi batas dagu dengan leher! Dan namanya
Pengemis Badan Gemuk.
"Kurasa kau dan
saudara-saudara seperguruanmu sudah tahu tentang tantangan Si Cadar
Hitam," menjawab orang tua yang bermuka bopeng itu. "Aku muak
menghadapi manusia macam begituan. Karenanya kupanggil kalian ke sini untuk
memberi tugas agar kalian yang mewakilkan aku memenuhi tantangan itu."
"Terima kasih yang guru
telah menaruh kepercayaan besar terhadap kami," berkata Pengemis Badan
Gemuk, lalu tanyanya,
"Apakah kami harus
berangkat sekarang juga?"
"Ya. Karena besoklah hari
tantangan yang dikatakan oleh Si Cadar Hitam. Kalian pergilah ke Linggoprobo
dan tunggu dia di rumah makan Akik Rono yang terletak di pangkalan perahu. Jika
dia datang kalian tahu apa yang harus diperbuat. Kalian jangan sampai membikin
malu namaku dan juga membikin buruk nama kalian sendiri selaku orangorang yang
dijuluki Empat Pengemis Pulau Ras."
"Percayalah guru, kami
berempat pasti tak akan mengecewakan dan tak akan memberi malumu. Kami minta
diri sekarang!"
kata Pengemis Badan Gemuk
seraya berdiri. Dua orang kawannya yaitu masing-masing Pengemis Badan Kurus dan
Pengemis Kepala Botak segera pula berdiri sementara sang dara yang berjalin dua
berkata pada perempuan disampingnya: "Ibu, aku pergi bersama mereka."
"Pergilah dan hati-hati.
Jangan mengecewakan ayahmu, Lestari."
Sri Lestari, demikian nama
dara belia itu yang juga dikenal dengan julukan Pengemis Cantik Ayu berdiri dan
melangkah ke hadapan ayahnya untuk pamitan. Tak lama kemudian dengan
mempergunakan sebuah perahu, keempat orang yang di dunia persilatan dikenal
dengan nama Empat Pengemis Pulau Ras itupun berangkatlah menyeberangi Selat
Madura menuju ke pesisir Utara Pulau Jawa.
Siapakah sesungguhnya orang
tua bermuka bopeng yang tinggal dalam rumah besar terbuat dari bambu kuning
itu? Dia bukan lain dari Pengemis Sakti Muka Bopeng yang sekitar enam belas
tahun yang lglewat telah melakukan penuntutan balas terhadap Untung Pararean
atas kematian adiknya yaitu Empu Bharata.
Dan perempuan berkulit hitam
manis yang tadi duduk di sampingnya? Jangan pembaca terkejut karena perempuan
itu adalah Sri Kemuning, istri Untung Pararean yang telah melarikan diri dari
Istana yaitu sesudah dia tertangkap basah melakukan perzinahan dengan seorang
pengawal. Nasib peruntungan manusia memang tidak di-duga-duga. Dalam larinya
dari Istana bersama anaknya yang bernama Sri Lestari, Sri Kemuning telah
tersesat ke dalam rimba belantara yang penuh dengan binatangbinatang buas. Dua
beranak itu hampir saja menjadi pengisi perut seekor harimau besar jika saat
itu tidak muncul Pengemis Sakti Muka Bopeng. Setelah menolong kedua beranak dan
karena merasa kasihan melihat kehidupan mereka yang terlantar, maka akhirnya
Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning dan Sri Lestari ke Pulau Ras.
Di sana mereka kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa sedikitpun di ketahui
oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng bahwa perempuan yang dikawininya itu adalah
istri Untung Pararean yang melarikan diri! Kemuning sendiri tak pernah
menerangkan siapa dia sebenarnya karena dia kawatir kalau-kalau akan sampai
kabar ke telinga Untung Pararean di mana dia berada yang berarti pasti akan
dikejar pula dan dibunuh! Sewaktu Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri
Kemuning ke Pulau Ras, Sri Lestari masih kecil, dan sekarang sesudafi lewat
enam belas tahun Sri Lestari telah menjadi seorang gadis belia yang berparas
jelita. Sebagaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak mengetahui bahwa Sri
Kemuning adalah dulu istrinya Untung Pararean, maka demikian pula dengan Sri
Lestari Gadis itu tidak pula mengetahui kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng
bukanlah ayah kandungnya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
sangat menyayangi Sri Lestari. Karena itulah sejak dari kecil Sri Lestari
diberinya pelajaran silat sehingga enam belas tahun kemudian Sri Lestari
menjadi seorang gadis cantik yang tinggi sekali kepandaiannya!
Dalam pada itu Pengemis Sakti
Muka Bopeng juga mengambil tiga orang murid. Ketiganya lakilaki. Mereka itu
adalah Pengemis Badan Gemuk, Pengemis Kepala Botak dan Pengemis Badan Kurus.
Pada sekitar satu tahun yang
lalu telah terjadi perselisihan antara Gambir Seta atau yang lebih di kenal
dengan gelaran Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seorang tokoh silat dari
Barat. Tokoh silat ini tak diketahui siapa namanya tapi karena setiap muncul
dia selalu mengenakan kain cadar berwarna hitam untuk menutupi mukanya maka
orang-orang persilatan menggelarinya Si Cadar Hitam. Aliran mana yang dianut
oleh Si Cadar Hitam tidak jelas. Kadangkadang dia bersekutu dengan golongan
hitam, kadangkadang bahu membahu dengan golongan putih menghancurkan
kejahatan-kejahatan golongan hitam!
Perselisihan yang terjadi
antara Perigemis Sakti Muka Bopeng dengan Si Cadar Hitam akhirnya menjadi satu
baku tanding yang dilangsungkan di Tanjung Bunga Rampai, yakni sebuah tanjung
terjal yang terletak di sebelah tenggara Pulau Ras. Pengemis Sakti Muka Bopeng
adalah seorangtokoh silat daerah Timur yang telah terkenal ketinggian ilmunya.
Namun kali ini agaknya dia menghadapi seorang lawan, yang meskipun baru muncul,
memiliki pula ilmu kepandaian yang luar biasa. Sehingga setelah baku tanding
sanmpai setengah harian barulah akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng berhasil
memukul rubuh Si Cadar Hitam!
Bagi Pengemis Sakti Muka
Bopeng yang berhasil keluar sebagai pemenang, apa yang telah terjadi bukan lagi
merupakan persoalan yang hariis dipikir panjang. Tapi tidak demikian bagi pihak
yang kalah. Sebelum berpisah dalam kekalahan pahit itu, Si Cadar Hitam telah
mengeluarkan ucapan tantangan terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Aku akui keunggulanmu
saat ini Muka Bopeng." demikian Si Cadar Hitam berkata, "tapi itu
bukan berarti aku akan mengakuinya selama-lamanya! Walau bagaimanapun
kemenanganmu di sini adalah karena kau berada di sarang sendiri!"
"Lantas apa maumu, Cadar
Hitam?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seringai mengejek.
"Kita harus menentukan
lagi siapa yang paling unggul antara kita berdua!" jawab Si Cadar Hitam
ketus.
"Apa kau masih punya muka
dan punya nyali sesudah kujatuhkan hari ini?!"
Cadar Hitam menggeram dan
menjawab, "Kau boleh bicara sombong saat ini karena kemenanganmu. Tapi
kutunggu kau satu tahun di muka di rumah makan Akik Rono di pelabuhan
Linggoprobo! Kalau kau tidak muncul, dunia persilatan akan mengetahui bahwa kau
hanyalah seorang bergundal pengecut belaka!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng
tertawa membahak mendengar ucapan yang merupakan tantangan itu. Sebaliknya Si
Cadar Hitam memutar tubuh dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Ketika hari
tantangan itu tiba, Pengemis Sakti Muka Bopeng merasa segan untuk melayani Si
Cadar Hitam. Karena itulah disuruhnya Sri Lestari dan ketiga muridnya untuk
mewakilinya dalam menghadapi Si Cadar Hitam.
9
SEMUA orang di pelabuhan
Linggoprobo tak satupun yang berani mengangkat kepala memandang kepada keempat
orang yang baru saja turun dari perahu itu. Orang-orang yang berkumpul bersibak
memberi jalan.
"Aku tak habis mengerti
pada manusia-manusia itu," kata gadis yang rambutnya dijalin dua.
"Setiap kita muncul mereka ketakutan sekan-akan Empat Pengemis Pulau Ras
adalah empat ekor harimau kelaparan atau empat setan pelayangan yang
menyeramkan!"
Tiga orang laki-laki yang
berjalan di belakang gadis itu tertawa. Salah seorang di antaranya, yang
berbadan gemuk menjawab. "Tak usah perdulikan mereka! Kita percepat saja
langkah, siapa tahu mungkin Si Cadar Hitam, sudah menunggu di rumah makan Akik
Rono!"
Keempat orang itu kemudian
memutar langkah kejurusan timur pelabuhan di mana terletak rumah makan Akik
Rono, sebuah rumah makan besar yang cuma satu-satunya terdapat di pelabuhan
Linggoprobo.
Saat itu hampir tengah hari
dan rumah makan tersebut sedang ramai-ramainya dikunjungi tamu. Tapi begitu
Empat Pengemis Pulau Ras muncul di ambang pintu, semua orang yang ada di situ,
tak perduli sedang lahap makan atau masih tengah menunggu pesanan mereka,
cepat-cepat saja berdiri dan angkat kaki meninggalkan rumah makan.
"Kalian lihat!" kata
dara berjalin dua yaitu Sri Lestari. "Mereka menghindar sesudah melihat
kedatangan kita!"
Laki-laki yang berbadan gemuk
yaitu Pengemis Badan Gemuk tidak mengacuhkan ucapan saudara seperguruannya. Dia
memandang ke seantero ruangan tapi orang yang dicarinya tidak kelihatan.
"Rupanya dia belum
datang. Ayo kita masuk!"
Baru saja Sri Lestari atau
Pengemis Cantik Ayu melewati ambang pintu, seorang laki-laki separuh baya yang
berbadan pendek dan tak kalah gemuknya dengan Pengemis Badan Gemuk mendatangi
tergopohgopoh, menjura pada keempat orang itu dengan hormat sekali. Dialah Akik
Rono, pemilik ruang makan.
"Kembali rumah makanku
mendapat kehormatan kedatangan ‘Empat Pengemis Pulau Ras. Mari masuk dan
silahkan mengambil tempat …?
Keempat orang itu sengaja
mengambil tempat yang baik agar dapat mengawasi pintu masuk dengan leluasa.
Sementara itu Akik Rono telah memberi perintah pada pelayan-pelayannya untuk
menghidangkan makanan serta minuman yang enak-enak untuk keempat tetamu
tersebut. Tak lama kemudian Empat Pengemis Pulau Ras kelihatan asyik menikmati
isi piringnya masing-masing.
Pengemis Badan Gemuk tengah
menyeka butirbutir peluh dikeningnya, Pengemis Badan Kurus tengah mengulurkan
tangan hendak memotes sebuah pisang, Pengemis Kepala Botak tengah mengusap-usap
perutnya yang keras padat kekenyangan dan Pengemis Cantik Ayu telah menyibakkan
rambutnya yang tergerai di kening ketika telinga masing-masing mendengar suara
siulah yang tak menentu tapi keras dan aneh! Keempatnya saling berpandangan.
"Siapa pula yang bersiul
kegirangan di tengah hari bolong begini!" kata Pengemis Kepala Botak
sambil mengawasi pintu masuk.
Suara siulan mendadak
berhenti, berganti dengan suara tarikan nafas dan sesaat kemudian di ambang
pintu muncullah seorang pemuda berpakaian putih. Rambutnya gondrong mukanya
berminyak keringat dan kotor disaput debu tanda dia baru saja menempuh
perjalanan jauh. Sambil mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengurangkan hawa
panas, pemuda ini pergi duduk dekat pintu. Dia memandang berkeliling,
memperhatikan Empat Pengemis Pulau Ras sejenak lalu berpaling pada laki-laki
separuh baya bertubuh gemuk dan pakai blangkon yang berdiri di sudut kiri.
"Kota besar seramai ini,
rumah makannya cuma satu!" berkata pemuda itu -seolah-olah pada dirinya
sendiri. Dan dilihatnya laki-laki gemuk berblangkon itu melangkah ke
hadapannya.
Si pemuda tersenyum.
"Panas sekali!" katanya pada Akik Rono. "Orang segemukmu apakah
tidak kepanasan seperti aku?!"
Akik Rono tersenyum pula.
"Aku sudah biasa dengan udara laut yang panas. Kau mau memesan apa, orang
muda?"
Tamu yang baru datang itu
menyebutkan makanan dan minuman yang dikehendakinya. Akik Rono baru saja
meninggalkan meja si pemuda sejauh dua langkah ketika di seberang sana
didengarnya suara meja digebrak! Dengan muka pucat karena terkejut pemilik
rumah makan itu berpaling. Dilihatnya Pengemis Badan Gemuk berdiri dengan cepat
dan kasar hingga kursi yang didudukinya terpelanting dan mengeluarkan suara
berisik.
Dengan langkah-langkah besar
dan muka kelam merah sedang sepasang mata melotot garang, Pengemis Badan Gemuk
menuju ke meja di mana pemuda berambut gondrong duduk.
"Rambut gondrong sialan!
Kau berani kurang ajar menghinaku hah?"
Si pemuda jadi melongo. Kedua
alis matanya yang tebal naik ke atas sedang kulit keningnya mengerenyit tanda
dia terheran-heran.
"Tak ada hujan tak ada
angin kenapa kau mendadak beringas begini, sobat?!" tanya si pemuda
setelah terlebih dulu meneliti Pengemis Badan Gemuk dari kepala sampai ke kaki.
"Kau bicara apa tadi sama
pemilik rumah makan ini? Ayo coba kau ulangi!" bentak Pengemis Badan
Gemuk.
"Eh . . . " si
pemuda menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. "kurasa tak ada ucapanku
yang kutujukan padamu. Apalagi dengan maksud menghina!"
"Kurang ajar berani
mungkir terhadap aku Pengemis Badan Gemuk! Tadi kau bicara tentang panas dan
tentang orang gemuk! Apa itu bukan berarti menghinaku?! Ayo lekas kau berlutut
minta ampun! Kalau tidak jangan menyesal bila kepalamu kupuntir ke
belakang!"
Dalam keheranan yang masih
belum lenyap si pemuda tiba-tiba tertawa. Mula-mula pelahan, makin lama makin
santar terbahak-bahak!
"Sobat kau salah sangka!
Kalau di sini cuma kau sendiri yang gemuk gendut memang bisa juga kau merasa
terhina! Tapi tadi aku bicara sama laki-laki itu! Dia sendiri sama sekali tidak
merasa terhina! Kenalpun aku tidak padamu, perlu apa menghina segala?!"
Ucapan-ucapan itu membuat
Pengemis Badan Gemuk menjadi tambah naik darah.
"Kau berani bermulut
besar, bocah! Aku mau lihat apakah kau juga berani menerima pukulanku
ini!"
Habis berkata begitu Pengemis
Badan Gemuk mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Di saat itu dari meja di
seberang sana terdengar seruan.
"Gemuk! Kenapa kau mau
melayani pemuda dogol yang tampaknya tidak berotak sehat itu?! Jangan cari
urusan tak karuan! Kita datang ke sini bukan untuk itu! Ayo kembalilah ke
sini!"
Si pemuda rambut gondrong
memalingkan kepalanya. Yang berseru adalah gadis cantik berjalin dua. Dia
tersenyum pada gadis itu dan berkata,
"Kau betul saudari!
Memang tak ada gunanya mencari urusan yang tak karuan! Satu hal kuberi tahu
padamu, tampangku memang dogol, namun otakku mungkin jauh lebih sehat dari si gemuk
ini!"
Pengemis Badan Gemuk berteriak
marah! Kaki kanannya melayang laksana kilat cepatnya ke arah dada si pemuda
rambut gondrong! Terdengar satu suara siulan yang disusul dengan mentalnya
kursi yang tadi diduduki si pemuda! Kursi itu bukan saja mental tapi hancur
berkeping-keping!
"Gemuk! Aku bilang
kembali ke sini!" teriak Sri Lestari, atau Pengemis Cantik Ayu.
"Kalau tidak aku akan laporkan pada ayah nanti!"
"Tapi bangsat ini keliwat
menghina, Lestari!" sahut Pengemis Badan Gemuk dengan rahang-rahang
menggembung.
"Biarkan dia. Namanya
saja orang sinting!" Sri Lestari berpaling pada pemilik rumah makan.
"Akik Rono, kau usirlah
pemuda itu!" perintahnya.
Dengan ketakutan Akik Rono
meiangkah ke hadapan si pemuda rambu gondrong, lalu berkata: "Den, aku
harap kau sudi meninggalkan tempat ini…"
"Baik baik tapi mana itu
makanan yang aku pesan? Hidangkan dulu, nanti baru aku mau pergi.
Jawaban si pemuda membuat Akik
Rono serba salah. Dia takut pada Empat Pengemis Pulau Ras, tapi terhadap si
pemuda itu agaknya dia juga tak berani berlaku sembarangan. Maka diapun bicara
berbisik-bisik: "Den, kau harus tahu keempat orang itu adalah Empat
Pengemis Pulau Ras yang berkepandaian silat tinggi sekali! Aku tak ingin
mendapat celaka. Kuharap kau sudi segera meninggalkan tempat ini."
Si pemuda merutuk dalam
hatinya. "Meski bemama pengemis agaknya mereka mau menjadi Raja di
sini!" mengomel pemuda itu.
"Baik aku akan pergi!
Tapi pengusiran secara kurang ajar ini musti ada imbalannya!" kata si
pemuda bersungut-sungut. Cepat sekali tangannya menyambar blangkon di kepala
Akik Rono. Entah bagaimana kemudian kain blangkon itu sudah terlepas dari
buhul-buhulnya, lalu laksana seekor ular melesat menyambar kemeja di mana Empat
Pengemis Pulau Ras berada. Ujung kain blangkon itu secara aneh menggulung
sesisir pisang di atas meja dan sesaat kemudian pisang itu tersapu ke arah
sipemuda dan ditangkap dengan tangan kirinya!
"Ini kukembalikan kain
blangkonmu!" kata si pemuda seraya melemparkan kain blangkon Akik Rono
pada pemiliknya, lalu melangkah ke pintu! Justru pada saat itu pula Pengemis
Badan Gemuk cepat melompat dan menghadang di pintu.
"Kalau tidak kupecahkan
kepalamu, jangan panggil aku Pengemis Badan Gemuk dari Pulau Ras!"
"Wuut!"
Satu angin pukulan mendru
kekepala si pemuda. Yang diserang cepat mengelak hingga tinju Pengemis Badan
Gemuk hanya mengenai tempat kosong. Dengan geram penasaran Pengemis Badan Gemuk
berbalik. Kali ini dia melancarkan serangan yang lebih hebat. Kedua tangannya
terpentang. Kedua kakinya menekuk siap untuk melompat.
"Gemuk!" tiba-tiba
saja terdengar seruan Sri Lestari alias Pengemis Cantik Ayu. "Tinggalkan
pemuda itu dan cepat ke sini!
Orang yang kita tunggu sudah
datang!"
10
PENGEMIS Badan Gemuk menahan
gerakan dan berpaling cepat-cepat ke pintu rumah makan. Saat itu di ambang
pintu tegak seorang laki-laki berbadan tegap. Keseluruhan parasnya tertutup
sehelai kain hitam yang hanya di bagian matanya saja diberi berlobang. Dan
sepasang mata itu kelihatan memiliki sinar tajam yang menandakan bahwa orang
itu bukan orang sembarangan. "Hemmm . . . " gumam Pengemis Badan
Gemuk. "Kelak jika urusanku sudah selesai kau bakal menerima bagian dariku
rambut gondrong!" katanya pada pemuda rambut gondrong lalu dengan satu
gerakan cepat dan enteng dia sudah berada di samping Pengemis Cantik Ayu. Di
lain pihak pemuda berambut gondrong cuma ganda tertawa. Kemunculan laki-laki
bercadar hitam di ambang pintu menarik perhatiannya. Karenanya kalau tadi dia
berniat untuk meninggalkan rumah makan itu, kini niat itu diurungkannya dan dia
melangkah ke sudut rumah makan, berdiri di situ.
Laki-laki bercadar kain hitam
yang baru datang masih tetap berdiri di ambang pintu. Sepasang matanya
memandang tak berkesip pada Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu. Jika saja
mukanya tidak tertutup dengan kain hitam itu niscaya akan kelihatan bagaimana berubahnya
paras orang itu sewaktu pandangannya membentur Sri Lestari. Sri Lestari yang
bertindak sebagai pimpinan Empat Pengemis Pulau Ras juga memandang tajam-tajam
pada orang yang di ambang pintu seakan-akan hendak menembus kain hitam yang
menutupi wajah orang itu. Dan pandangan yang begitu tajam ini membuat laki-laki
tersebut menjadi berdebar.
"Cadar Hitam!" kata
Pengemis Cantik Ayu lantang. "Kami telah lama menantikanmu. Silahkan masuk
agar urusan kita bisa lekas diselesaikan!"
Karena tidak merasa kalau Sri
Lestari bicara dengannya maka laki-laki bercadar hitam berpaling ke belakang.
"Aku bicara padamu, Cadar
Hitam! Kenapa kasak kusuk pura-pura melihat ke belakang segala?!"
Ucapan Sri Lestari membuat
laki-laki itu memalingkan kepalanya kembali dan memandang pada sang dara.
Akhirnya kelihatan kakinya bergerak, melangkah memasuki rumah makan. Tapi dia
masuk bukan terus menemui Empat Pengemis Pulau Ras, melainkan melangkah
mendapatkan Akik Rono yang berdiri di seberang sana dengan muka pucat pasi
macam kertas!
"Kau pemilik rumah makan
ini? Tolong sediakan hidangan. Aku lapar sekali!" berkata laki-laki
bercadar pada Akik Rono.
"Ba . . . baik . . .
den," jawab pemilik rumah pemilik rumah makan itu gagap tanda dirinya
diselimuti ketegangan. Kemudian cepat-cepat dia membalikkan badan meninggalkan
tempat itu.
Melihat orang yang tidak ambil
perduli dirinya dan saudara-saudara seperguruannya maka marahlah Sri Lestari.
Dara ini pun membentak.
"Cadar Hitam! Mungkin kau
masih belum kenal siapa kami! Kami adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang sengaja
menunggu disini untuk mewakili guru dan ayahku!"
"Gadis, kau bicara dengan
siapakah?" bertanya laki-laki bercadar hitam yang bukan lain adalah Untung
Pararean yang meninggalkan puncak Ofinung Bromo karena suruhan Kiyai Supit
Pramana. Pengemis Cantik Ayu mendelikkan matanya.
"Apa kau tidak punya mata
tidak punya telinga? Aku bicara padamu dan masih bertanya macam orang setengah
edan!"
"Mungkin dia benar-benar
edan, saudaraku," menyambung Pengemis Badan Gemuk yang sudah gatal-gatal
tangannya untuk segera turun tangan.
"Kalau begitu kau salah
paham, gadis", kata Untung Pararean pula. "Aku bukan Cadar
Hitam!"
"Pengecut berani
dusta!" sentak Pengemis Kepala Botak dengan rahang-rahang bertonjolan
penuh geram. Dia hendak melangkah tapi ditahan oleh Pengemis Cantik Ayu.
"Rupanya nyalimu menjadi
lumer berhadapan dengan murid-murid musuh besarmu?" ejek Pengemis Cantik
Ayu.
"Aku betul-betul tak
mengerti dengan pambicaraanmu ini," tukas Untung Pararean.
"Puah! Pura-pura tidak
mengerti!" semprot Pengemis Badan Gemuk sambil meludah.
"Dengar Cadar Hitam . . .
"
"Namaku bukan Cadar
Hitam. . . "
"Apakah namanya aku tak
perduli! Tapi tak perlu dusta! Bukankah kau datang ke sini untuk melaksanakan
tantangan yang kau tujukan pada Pengemis Sakti Muka Bopeng sekitar satu tahun
yang lalu?! Kami murid-muridnya di utus ke sini untuk mewakili beliau
melayanimu!"
Untung Pararean terkejut.
Terkejut bukan karena tantangan yang tak pernah dibuatnya itu, tetapi terkejut
ketika mendengar nama Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sebagai orang yang pernah
hidup bersama Empu Bharata selama bertahuntahun Untung Pararean tahu betul
bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng atau yang nama aslinya Gambir Seta adalah
kakak kandung Empu Bharata. Dari Kiyai Supit Pramana, Untung Pararean
mengetahui pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng itulah yang telah menyiksa dan
merusak mukanya hingga cacat mengerikan seumur hidup! Sudah sejak lama mendekam
dendam kesuma dilubuk hati Untung Pararean terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng
itu, tapi karena jarang turun gunung dia tak mengetahui dengan jelas di mana
tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng tersebut!
"Jadi kalian berempat
adalah murid-muridnya Pengemis Sakti Muka Bopeng …?!" desis Untung
Pararean.
"Nah, sekarang kau mulai
mengaku buka kedok, huh?!" tukas Pengemis Kepala Botak.
"Katakan terus terang
kalian mau apa?!"
Pengemis Cantik Ayu tertawa
tinggi. "Kami hanya akan memberi sedikit pelajaran pada manusia tak tahu
diri macam kau yaitu agar jangan berani-beranian berlaku kurang ajar terhadap
guru kami." jawab Sri Lestari.
"Hem, begitu?" ujar
Untung Pararean dengan senyum mengejek dari balik kain penutup wajahnya.
"Aku memang ada urusan yang perlu diselesaikan dengan guru kalian yang
bernama Pengemis Sakti Muka Bopeng itu. Tapi yang patut kalian ketahui aku
bukanlah Si Cadar Hitam!"
"Tak perlu kita bicara
panjang lebar!" tukar Pengemis Cantik Ayu.
"Betu1!" sahut
Untung Pararean, "cuma perlu kalian ketahui bahwa guru kalian adalah
seorang pengecut. Kalau tidak mengapa dia hendak mengandalkan kalian berempat
menghadapi Si Cadar H itam?!"
"Katakan saja kau tidak
punya nyali menghadapi kami berempat!" jawab Pengemis Cantik Ayu lalu
memberi isyarat pada saudara-saudara seperguruannya. Pengemis Badan Gemuk,
Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera bergerak sementara Untung
Pararean kelihatan tenang-tenang saja tapi sepasang matanya meneliti posisi
ketempat lawan yang bakal dihadapinya.
"Tunggu dulu!"
terdengar seruan dari samping kiri. Yang berseru ternyata pemuda rambut
gondrong tadi.
"Kalau kalian berempat
hendak mengeroyok orang ini, itu adalah satu kecurangan yang keliwatan!
Bagaimana kalau aku ikut membantunya? Meski tetap curang tapi kurasa itu lebih
baik agar kalau kalian nanti dikalahkannya kalian masih punya sedikit
muka!"
Pengemis Badan Gemuk yang
memang sejak tadi sudah marah terhadap si rambut gondrong ini jadi naik pitam.
Tangan kanannya didorongkan ke arah dada si pemuda. Terdengar suara menderu.
Yang diserang melihat datangnya sambutan angin, mengeluarkan suara bersiul lalu
melambaikan tangan kirinya pada saat angin deras yang keluar dari dorongan
tangan Pengemis Badan Gemuk setengah jengkal lagi hendak menghantam dadanya!
Terjadilah hal yang membuat
terkejut Pengemis Badan Gemuk dan saudara-saudara seperguruannya. Pukulan jarak
jauh Pengemis Badan Gemuk bukan saja tak sanggup mencapai sasarannya tapi
disapu demikian rupa hingga menjibak ke samping dan terus menghantam dinding.
Piring-piring dan gelas serta apa saja yang ada di atas meja itu mencelat
berhamburan dengan menimbulkan suara bergrompyangan!
Untung Pararean juga tak
kurang terkejut. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pengemis Badan Gemuk tadi
bukan pukulan sembarangan. Tapi si pemuda rambut gondrong menyapunya dengan
satu lambaian tangan acuh tak acuh bahkan tubuh atau kakinya tidak bergerak
barang sedikitpun! Dan itu dilakukannya sambil tertawa cengar-cengir!
"Sahabat muda," kata
Untung Pararean cepat. "Terima kasih atas itikad baikmu hendak menolongku!
Tapi kalau cuma menghadapi lawan-lawan besar mulut macam mereka ini kurasa aku
punya kesanggupan untuk memberi mereka sedikit pelajaran!"
"Anjing kurap edan! Kau
makanlah dulu kursi ini!" teriak Pengemis Badan Gemuk. Dalam sekejap itu
pula sebuah kursi laksana kilat cepatnya menyambar ke arah Untung Pararean.
Selama enam belas tahun
menerima pelajaran ilmu silat dan kesaktian dari Kiyai Supit Pramana telah
menjadikan Untung Pararean seorang pendekar yang bukan sembarangan. Melihat
datangnya kursi kayu itu diulurkannya tangan kanannya dengan jari telunjuk
diacungkan lurus-lurus. Dengan mengandalkan jari telunjuk itu ditahannya salah
satu kaki kursi. Ketika jari telunjuk itu dibengkokkannya sedikit, kursi itu
berputar tiga kali berturut-turut di ujuny jarinya dan yang lebih hebat lagi ialah
ketika Untung Pararean membentak. "Pergi!" Kursi itu mencelat mental
ke arah Pengemis Badan Gemuk kembali!
"Hebat! Hebat
sekali!" seru pemuda rambut gondrong memuji kelihayan Untung Pararean. Di
lain pihak Pengemis Badan Gemuk naik pitam bukan main. Kursi yang kembali
menyambar ke arahnya dihantamnya dengan tangan kanan hingga hancur berantakan.
Beberapa kayu pecahan kursi menancap di langit-langit rumah makan!
Tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring keluar dari mulut Pengemis Cantik Ayu dan dikejap itu pula Empat
Pengemis Pulau Ras serempak menyerbu Untung Pararean dengan senjata
masing-masing.
"Curang!" teriak
pemuda rambut gondrong. "Curang!" teriaknya lagi.
Habis berseru demikian
Pengemis Cantik Ayu melesat ke hadapan si rambut gondrong seraya mengiblatkan
sepasang golok perak yang sangat tipis di kedua tangannya! Serangan yang
dilancarkan oleh Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu adalah jurus yang
dinamakan "sinar pelangi pecah di udara".
Golok di tangan kanannya
membabat ke batang leher sedang golok di tangan kiri menderu ke bawah perut
pemuda rambut gondrong. Pemuda ini terkejut sekali karena tak menyangka
serangan lawannya demikian hebat dan cepat. Namun karena dia bukan pula orang
sembarangan, dengan melompat sebat ke belakang dia berhasil mengelakkan
serangan hebat itu.
Tapi betapa terkesiapnya dia
sewaktu tiba-tiba saja sang dara mengirimkan satu serangan susulan yang bernama
"pelangi menggelung gunung". Sepasang golok perak yang tadi mengenai
tempat kosong kini membalik laksana silangan gunting, mengancam dada dan
pinggang si pemuda!
Pemuda rambut gondrong
mengeluarkan siulan nyaring. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk sedang kedua
tangannya yang terpentang lurus memukul ke kiri dan ke kahan. Inilah jurus
pertahanan yang sekaligus merupakan gerakan menyerang yang di namakan
"kipas sakti terbuka"!
Sri Lestari merubah kedudukan
sepasang golok peraknya agar dapat sekaligus membabat putus sepasang lengan
lawan yang terpentang itu. Namun kagetnya bukan kepalang sewaktu melihat
bagaimana sepasang lengan lawan cepat sekali menyusup ke bawah, ke arah
pergelangan tangannya. Dari pergelangan tangan si pemuda jelas terasa keluar
sambaran angin dingin. Hal ini membuat Sri Lestari menjadi ragu-ragu untuk
meneruskan serangannya. Dalam keragu-raguan ini hampir saja lawannya berhasil
memukul lengannya kalau tidak cepat-cepat dia melompat ke belakang! Untuk
sesaat lamanya kedua orarig itu saling bentrokan pandangan. Si pemuda
tersenyum.
"Ayo, mari diteruskan!
Bukankah kau ingin melenyapkan aku?!"
Pengemis Cantik Ayu melototkan
matanya. Namun entah mengapa hatinya bergetar sewaktu dirasakannya sorotan mata
pemuda rambut gondrong itu laksana menembus sampai ke lubuk hatinya. Namun
getaran itu hanya sebentar saja. Sesaat kemudian Sri Lestari berteriak nyaring,
tubuhnya berkelebat lenyap sedang sepasang goloknya bergulung-gulung hanya
merupakan sinar putih. Melihat datangnya serangan yang luar biasa ini pemuda
rambut gondrong tak mau bertindak gegabah.
Cepat dia memasang kuda-kuda
pertahanan yang kokoh dan sesaat kemudian dia sudah menyerbu ke depan memapasi
serangan lawannya!
Sementara itu pertempuran
antara Untung Pararean dan ketiga Pengemis Pulau Ras lainnya berlangsung seru
sekali. Lima jurus pertama keadaan seimbang, namun jurus-jurus selanjutnya
kelihatan Untung Pararean mulai menerima tekanan-tekanan. Yang menyulitkan
kedudukan laki-laki ini adalah karena ketiga lawannya memakai senjata sedang
dia sendiri sampai saat itu masih mengandalkan tangan kosong. Di sini nyatalah
bahwa betapapun tingginya ilmu kepandaian Untung Pararean namun kepandaian
ketiga lawannya tidak pula rendah, apa lagi dengan bersenjata begitu rupa.
Jurus demi jurus keadaan Untung Pararean makin terdesak. Beberapa kali lakilaki
ini mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya namun semua itu hanya untuk sekedar
mempertahankan diri dari desakan yang semakin gencar. Diamdiam Untung Pararean
mulai keluarkan keringat dingin!
Pemuda rambut gondrong yang
tengah menghadapi serangan gencar Sri Lestari masih sempat melirik dan
menyaksikan keadaan Untung Pararean yang berbahaya. Kini dia tak bisa bertindak
main-main dan harus berlaku cepat jika tak ingin laki-laki bercadar itu,
menjadi korban keroyokan. Rumah makan itu bergetar, sendi-sendi tiang berderik
sewaktu dari mulut si pemuda keluar suara bentakan yang menggeledek! Untuk
sejenak semua orang yang ada di situ terkesiap. Sri Lestari melihat pemuda itu
menggerakkan tangan kirinya. Satu gelombang angin yang amat dahsyat menderu
menerpa tubuhnya. Betapapun gadis itu mempertahankan diri dan mengerahkan
tenaga dalamnya, tetap saja tubuhnya terhuyung gontai. Dan sebelum dia sanggup
mengimbangi diri, si pemuda sudah melompat ke hadapannya, mengulurkan kedua
tangannya. Terdengar seruan Sri Lestari.
11
"SOBAT Bercadar, pakailah
golok-golok ini!" seru si rambut gondrong dan sepasang golok S perak milik
Sri Lestari yang berhasil di rampasnya, dilemparkannya ke arah Untung Pararean.
Dengan gada batu pualam yang ada di tangan kanan nya Pengemis Badan Gemuk coba
menyampok kedua golok itu tapi niatnya terpaksa dibatalkan karena di saat yang
sama Untung Pararean menyorongkan kaki kanannya ke perut laki-laki itu. Sewaktu
Pengemis Badan Gemuk menyurut ke belakang guna menghindarkan tendangan maut
Untung Pararean, kesempatan ini dipergunakan oleh Untung Pararean untuk
menyambut kedua golok perak yang melayang di udara.
"Saudara! Awas di
belakangmu!" teriak si pemuda rambut gondrong.
Untung Pararean membalik
dengan cepat. "Trang"!
Golok perak di tangan kanannya
beradu keras dengan gendewa baja yang menjadi senjata Pengemis Badan Kurus.
Bentrokan itu membuat tangan masing-masing tergetar hebat dan keduanya
sama-sama tersurut beberapa langkah! Nyatalah bahwa kekuatan tenaga dalam
mereka berada di tingkat yang sama. Dalam pada itu Pengemis Badan Gemuk dan
Pengemis Kepala Botak yang bersenjatakan sebuah sabuk hitam telah menyerbu pula
ke muka. Pertempuran yang berlangsung bertambah hebat. Namun kali ini ketiga
pengeroyok harus berhati-hati karena yang mereka hadapi kini adalah Untung
Pararean yang sudah bersenjata yaitu sepasang golok perak perak tipis milik Sri
Lestari. Tubuh laki-laki itu lenyap berubah menjadi bayangbayang. Dan
bayang-bayang tubuhnya itu terbungkus pula oleh sinar putih sepasang golok yang
berkiblat kian kemari.
Beberapa kali terdengar suara
bentrokan senjata dan berkali-kali pula Pengemis Badan Gemuk serta kedua
saudaranya terpaksa mundur terus menghadapi amukan Untung Pararean!
Pada waktu Untung Pararean
berhasil menyambut sepasang golok yang dilemparkan pada waktu itu pula Pengemis
Cantik Ayu atau Sri Lestari dengan penuh amarah mendorongkan kedua tangannya ke
arah pemuda rambut gondrong.
"Wuss! Wuss!"
Dua larik sinar hitam yang
teramat panas menderu ke arah sirambut gondrong. Itulah pukulan "api
hitam" yang sangat ganas. Demikian hebatnya ilmu pukulan itu hingga
Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya menurunkannya pada Sri Lestari saja. Pemuda
rambut gondrong kaget sekali karena tak menduga kalau sigadis memiliki ilmu
pukulan hebat demikian rupa. Cepat-cepat dia membuang diri ke samping. Tapi
masih terlambat. Bahu kirinya kena disambar salah satu larikan sinar hitam.
Pakaian putihnya kejap itu
juga dikobari api! Pemuda itu mengeluh pendek dan cepat-cepat mempergunakan
tangan kanannya menepok-nepuk api yang berkobar hingga akhirnya padam.
Sri Lestari memandang dengan
mata terbeliak pada pemuda rambut gondrong itu. Dia betul-betul tak bisa
percaya akan apa yang disaksikannya! Sewaktu ilmu pukulan itu baru setengah
bagian saja dipelajarinya dari Pengemis Sakti Muka Bopeng, Lestari pernah
mencobanya terhadap sebatang pohon beringin dan pohon itu hangus hancur dan
tumbang berkeping-keping! Menyaksikan si pemuda hanya bajunya saja yang
terbakar hangus dengan kulit bahu yang sedikit kemerahan akibat pukulan
"api hitam" nya tadi, tentu saja Sri Lestari tak bisa mempercayainya.
Sambil menggosok-gosok kulit
bahunya yang merah dan sakit si pemuda rambut gondrong memandang menyorot pada
Sri Lestari. Tapi tak sedikitpun pandangan itu membayangkan amarah atau dendam
kesumat, malah kemudian pemuda ini tertawa dan berkata.
"Pukulanmu hebat, gadis!
Tapi adalah pengecut menyerang lawan secara membokong!"
"Siapa suruh kau
bertindak lengah!" damprat Sri Lestari. "Sudah kebagusan kau tidak
kubikin mampus, hanya kuberi sedikit pelajaran!"
Pemuda itu tertawa
gelak-gelak. "Sekarang giliranku pula untuk ganti memberikan sedikit
pelajaran padamu," katanya. Lalu dia berseru. "Awas dadamu!"
Tubuh pemuda tersebut melompat
ke muka dan tangan kanannya cepat sekali bergerak ke arah dada si gadis! Tentu
saja Sri Lestari tak mau buah dadanya dijamah seenaknya.
"Pemuda kurang
ajar!" bentaknya seraya cepatcepat menghindarkan diri dan dengan tangan
kirinya kembali melepaskan pukulan "api hitam". Tapi si pemuda sudah
lenyap dari arah serangan. Dan tahu-tahu Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu
merasakan sambaran angin di belakangnya. Cepat gadis ini membalik dan
menghantamkan tangan kanannya. Serangannya itu cuma mengenai tempat kosong,
sebaliknya kulit punggungnya terasa sakit sekali dan detik itu pula tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Ternyata si pemuda telah berhasil menotok tubuhnya!
"Nah, nah! Sekarang kau
berdiri sajalah baik-baik di situ dan jangan banyak tingkah. Mari kita
sama-sama saksikan pertempuran kawan-kawanmu melawan laki-laki itu!"
"Pemuda kurang ajar!
Kalau tidak lekas kau lepaskan totokan ini, jangan harap kau bakal dapat
pengampunan dariku!"
mengancam Sri Lestari. Meski
sekujur tubuhnya kaku tegang tapi dia masih bisa bicara karena si pemuda
sengaja tidak menotok jalan suaranya.
Si pemuda hanya tertawa
gelak-gelak mendengar ancaman itu. Baru saja dia berpaling hendak menyaksikan
pertempuran antara Untung Pararean dengan ketiga Pengemis Pulau Ras, terdengar
pekik Pengemis Kepala Botak. Sabuknya mental ke udara, tangan kanannya
berlumuran darah. Cepat-cepat dia melompat keluar dari kalangan pertempuran
dengan muka pucat pasi!
"Ha … ha! Untung saja
bukan kepala botakmu yang dilalap golok laki-laki itu!" ejek pemuda rambut
gondrong lalu tertawa membahak.
Dalam sakit dan amarah yang
bergejolak, Pengemis Kepala Botak jadi kalap. Cepat dipungutnya sabuknya yang
tadi jatuh, laiu menghambur menyerang si pemuda! Betapapun hebatnya serangan
yang dilancarkan namun karena disertai amarah kalap dengan sendirinya tidak
memakai perhitungan yang tepat. Begitu si pemuda melompat ke samping, akibat
pukulan yang mengenai tempat kosong, Pengemis Kepala Botak tersorong ke depan.
Di saat itu pula si pemuda gerakkan tinju kanannya memukul punggung Pengemis
Kepala Botak. Tak ampun lagi si botak ini jatuh menelungkup dengan keras di
lantai rumah makan, untuk berapa lamanya tak bisa berkutik! Kembali terdengar
suara tertawa pemuda rambut gondrong!
Sementara itu Untung Pararea
telah mendesak hebat pengeroyoknya yang kini hanya tinggal dua orang yaitu
Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Badan Kurus. Sepasang golok putih berkelebat
diantara deru gada batu pualam dan gendewa baja.
"Gemuk, agaknya kita tak
bakal bisa merobohkan bangsat ini," ujar Pengemis Badan Kurus dengan ilmu
menyusupkan suara.
"Apa rencanamu?!"
menanya Pengemis Badan Gemuk yang nafasnya sudah Senin-Kemis dan pakaian basah
oleh keringat.
"Kita tinggalkan saja
tempat sialan ini! Kembali ke pulau Ras."
"Kau mau kita mendapat
hukuman dari guru?"
Pengemis Badan Kurus terdiam.
Lalu dia dapat akal dan cepat-cepat berkata, "Ceritakan saja Si Cadar
Hitam tak datang memenuhi tantangan yang dijanjikannya!"
Sebenarnya Pengemis Badan
Gemuk merasa ragu-ragu. Tapi melihat kenyataan bagaimana detik demi detik
sepasang golok di tangan Untung Pararean semakin ganas dan berbahaya, merangsek
mereka terus menerus, mau tak mau Pengemis Badan Gemuk menurutkan juga ucapan
saudara seperguruannya itu.
Demikianlah, dalam jurus
pertempuran yang ke empat puluh dua setelah melancarkan satu serangan serempak
yang hampir tak ada artinya, kedua orang ini melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Pengemis Badan Gemuk cepat menyambar Sri Lestari sedang Pengemis
Badan Kurus menyambar si botak yang masih menelungkup tujuh keliling di lantai
rumah makan.
"Pengecut! Kalian mau ke
mana?!" bentak pemuda rambut gondrong. Dia hendak bergerak ke pintu guna
menghalangi. Tapi langkahnya tertahan sewaktu laki-laki bercadar itu di
dengarnya berseru,
"Biarkan saja mereka
pergi!"
Sesaat kemudian Empat Pengemis
Pulau Ras itupun lenyap dari pemandangan.
"Aku tak mengerti mengapa
kau membiarkan mereka pergi begitu saja," kata si pemuda. "Keempatnya
menginginkan jiwamu dan yakinlah bahwa pada suatu hari kelak mereka akan muncul
lagi untuk membunuhmu!"
"Soal nanti biar kita
pikirkan nanti, sahabat muda. Mari kita duduk dulu melepaskan dahaga,"
jawab Untung Pararean lalu duduk di kursi. Si pemuda menggaruk-garuk kepalanya
dan mengambil tempat duduk di hadapan Untung Pararean.
"Terima kasih atas
pertolonganmu," kata Untung Pararean sesudah Akik Rono datang membawakan
minuman dan hidangan untuk mereka.
"Lupakan hal itu, sobat.
Jawab dulu pertanyaanku apakah kau Si Cadar Hitam atau bukan?!"
Untung Pararean meneliti paras
si rambut gondrong sejenak lalu berkata, "Aku akan jawab kalau terlebih
dahulu kau menerangkan siapa kau adanya."
"Namaku Wiro. Aku
kebetulan saja berada di kota ini."
Untuk kedua kalinya Untung
Pararean meneliti paras pemuda di hadapannya.
"Apa kau bukannya Wiro
Sableng, orang yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!"
Si pemuda tertawa perlahan.
Untung Pararean dengan serta
merta berdiri. Belum sempat dia hendak menjura memberi hormat pemuda itu sudah
menarik tangannya.
"Apa-apaan ini? Lupakan
segala macam peradatan. Aku yang muda yang sebenarnya harus memberi hormat
padamu."
"Nama besarmu sudah sejak
lama kudengar, Pendekar 212. Meskipun tadi kau menarangkan kehadiranmu di
Linggoprogo ini adalah satu kebetulan, tapi aku tidak yakin. Di mana kau muncul
pasti mempunyai maksud-maksud tertentu. Katakan saja terus terang. Kita tokh
sama-sama dari satu golongan?"
Pemuda rambut gondrong yang
memang ada!ah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya, tertawa kecil.
"Sebetulnya aku tengah
mencari seseorang. Seorang penculik anak perawan!"
"Seorang anak Kepala
Kampung telah diculik oleh bangsat bermuka iblis bernama Tunggul Gawegawe,
bergelar Iblis Tangan Panjang! Kau pernah dengar tentang dia?"
Untung Pararean mengangguk.
"Sudah sangat lama. Sekitar enam belas tahun yang silam," katanya.
Lalu diceritakannya tentang pertempurannya melawan Sepasang Golok Maut·kepala
rampok hutan Dadakan·yang hendak menculik keponakan Sri Baginda. Ketika
penculikan itu digagalkan oleh Untung Pararean, Sepasang Golok Maut kemudian
meminta bantuan Iblis Tangan Panjang. Namun iblis Tangan Panjang ini pun
berhasil dikalahkan oleh Untung Pararean. Penuturan itu mengingatkan Untung
Pararean pada riwayatnya sendiri. Kepada Wiro sama sekali tak diceritakannya
kalau keponakan raja yang ditolongnya adalah perempuan yang kemudian menjadi
istrinya dan selanjutnya mendatangkan penderitaan dalam kehidupannya.
"Menurut penyelidikanku,
bangsat penculik itu melewati kota ini. Makanya aku datang ke sini."
"Manusia macam Iblis
Tangan Panjang itu patut dilenyapkan dari muka bumi," ujar Untung
Pararean.
"Sekarang kau
terangkanlah dirimu," kata Wiro Sableng sambil meletakkan cangkir minuman
ke atas meja.
"Aku Untung Pararean.
Berasal dari Gunung Bromo," menerangkan bekas perwira kerajaan itu.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi," kata Wiro pula. "Apakah kau sebenarnya orang yang
berjuluk Si Cadar Hitam atau bukan?" Untung Pararean menggeleng.
"Lantas mengapa kau
menutupi wajahmu dengan kain hitam macam begini?"
"Itu tak dapat
kuterangkan padamu." jawab Untung Pararean.
Pendekar 212 Wiro Sableng
tersenyum. "Apakah kau juga tak bakal menerangkan kenapa kau mengawatirkan
keselamatan gadis cantik berpakaian pengemis tadi itu?"
Untung Pararean tertegun
sejenak. Akhirnya tanyanya, "Sahabat muda, apakah kau bisa
kupercaya?"
Wiro Sableng kerenyitkan kulit
kening dan tak menjawab apa-apa sampai akhirnya Untung Pararean berkata,
"Paras gadis itu mengingatkan aku pada seseorang."
"Siapa seseorang
itu?" tanya Wiro lagi ingin lebih jelas.
"Istriku. Parasnya sama
sekali . . . "
"Dan istrimu sudah
meninggal?"
Untung menggeleng. "Dia
lenyap enam belas tahun yang silam bersama anakku. Seorang perempuan. Pertama
kali aku melihat wajah gadis tadi hatiku berdebar. Dan aku mendapat firasat
bahwa dia adalah anakku yang lenyap itu . . . . "
"Agaknya kau mempunyai
riwayat yang hebat, sobat."
"Bukan hebat, tapi penuh
penderitaan lahir bathin," sahut Untung Pararean.
Wiro menatap kain penutup
wajah laki-laki dihadapannya seakan-akan coba menembusi untuk mengetahui wajah
yang bagaimanakah sesungguhnya yang tersembunyi dibalik kain hitam itu.
"Sebenarnya riwayatmu tak
ada sangkut pautnya denganku, apalagi kita barusan saja kenal. Tapi bila kau
dapat menuturkan padaku, aku akan gembira sekali."
Untung Pararean tersenyum
pahit.
"Lain kali mungkin baru
bisa kuceritakan padamu, sobat muda. Aku tak punya waktu banyak …"
"Kau mau ke mana?"
tanya Wiro cepat.
"Menyusul keempat orang
tadi untuk mencari tahu siapa sesungguhnya gadis itu".
"Tapi dia sendiri sudah
menerangkan bahwa dia adalah anaknya Pengemis Sakti Muka Bopeng …"
Hal itu memang membuat hati
Untung Pararean meraqu. Namun nalurinya meyakini bahwa pengemis Cantik Ayu
adalah anaknya. Kalau tidak bagaimana parasnya bisa begitu persis seperti Sri
Kemuning, istrinya yang melarikan diri itu?
"Kalaupun nanti terbukti
dia bukan anakku yang lenyap, itu tak jadi apa karena aku masih rnempunyai
maksud lain untuk menyusul Empat Pengemis Dari Pulau Ras itu. Ada piutang lama
yang harus kutagih pada guru mereka yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng!"
Habis berkata begitu Untung
Pararean menjura di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng lalu meletakkan beberapa
mata uang di atas meja dan bertindak ke pintu. Masih beberapa langkah dia akan
mencapai pintu, satu bayangan hitam berkelebat yang disusul dengan bentakan
nyaring membuat rumah makan itu bergetar.
"Manusia bercadar hitam! Kalau
kau berani bergerak satu langkah lagi kupecahkan kepalamu!"
12
UNTUNG Pararean dan juga
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Ketika keduanya memandang ke tengah ruangan
kelihatannya seorang laki-laki berbadan tegap, mengenakan pakaian hitam-hitam
berdiri di situ. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar hitam dan hanya kedua
matanya saja yang kelihatan.
"Kau!" seru orang
itu seraya menunjuk tepattepat kepada Untung Pararean. "Kau bangsatnya
yang berani-beranian mengenakan cadar seperti yang kupakai layak menerima
hukuman dari aku Si Cadar Hitam!"
Wiro dan Untung Pararean
meneliti orang itu dari kepala sampai ke kaki. Ternyata inilah manusianya yang
berjuluk Si Cadar Hitam yang menjadi musuh Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Sayang sekali kau datang
terlambat, sobat!" Pendekar 212 Wiro Sableng buka suara dan membuat Si
Cadar Hitam kerenyitkan kening. Sebelum dia meneruskan, Cadar Hitam sudah
membentak.
"Bocah berambut gondrong,
katakan apakah kau kerabatnya kunyuk yang satu ini? Juga katakan apakah kau mau
minta hajaran pula?!"
Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak. "Manusia tak punya malu! Diajak bicara baik-baik jawabannya
ngelantur! Pantas kau menutupi tampangmu dengan kain!"
"Dan juga pantas bagimu
untuk menerima kematian detik ini juga!" teriak Si Cadar Hitam marah. Lalu
tangan kanannya didorongkan dan serangkum angin yang amat dingin menderu ke
arah Wiro Sableng! Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tertegun sejenak.
Tubuhnya terasa dingin laksana dikubur dalam salju, padahal angin serangan
masih beberapa langkah di depannya! Dia cepat melompat kesamping tapi aneh!
Kedua kakinya kaku tegang tak dapat digerakkan! Wiro sadar bahwa dirinya telah
dipukau oleh hawa dingin yang keluar dari angin pukulan lawan! Dia membentak
keras dan tangan kanannya cepat-cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212 di
balik pakaian. Detik itu juga hawa hangat mengalir dari hulu kapak ke sekujur
tubuhnya, membuat sirna hawa dingin yang sebelumnya hampir saja membuat dia
celaka!
"Wuss!"
Angin pukulan lawan lewat di
depan dada Pendekar 212 Wiro Sableng pada saat pemuda ini berhasil mengelak
dengan melompat ke belakang. Di belakang sana terdengar suara gaduh akibat
bobolnya dinding rumah makan dihantam pukulan Si Cadar Hitam itu!
Si Cadar Hitam tidak menyangka
kalau si pemuda akan sanggup menyelamatkan diri begitu rupa! Sementara dia
berdiri terkesiap dengan mata melotot, Wiro Sableng berseru lantang,
"Terima kasih atas keramah tamahanmu dalam serangan tadi! Kuharap kau juga
sudi menerima hadiah balasan dariku!"
Habis berkata begitu Wiro
Sableng mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu
secepat kilat tangan itu di putar di atas kepala dan dipukulkan ke depan! Suara
laksana angin puyuh menderu menggetarkan rumah makan itu. Kursi-kursi
berpelantingan, meja terguling. Lampu minyak mencelat menghantam dinding.
Untung Pararean merapat ke dinding agar tubuhnya jangan sampai terpelanting!
Si Cadar Hitam yang berdiri di
tengah ruangan segera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke kaki. Tubuhnya
laksana patung batu. Namun ketika Wiro menghantamkan tangannya ke depan tubuh
Si Cadar Hitam menjadi gontai. Di lipat gandakannya tenaga dalamnya. Kedua
tangan dengan serentak dipukulkan ke depan untuk menangkis serangan Wiro. Tapi
Si Cadar Hitam masih ketinggalan jauh dalam hal tenaga dalam hingga betapapun
dia mempertahankan diri, begitu pukulan "angin puyuh" yang dilepaskan
Wiro Sableng menghantam dirinya, tak ampun lagi manusia ini terpelanting dan
terbanting menelentang di lantai!
"Jangan tidur ngorok di
situ, sobat! Kalau Empat Pengemis Pulau Ras datang kembali ke sini kau bisa
berabe. Ayo lekas bangkit!"
Kedatangan Si Cadar Hitam ke
situ memang untuk menemui Pengemis Sakti Muka Bopeng yang telah ditantangnya
satu tahun yang lewat. Mendengar disebutnya nama Keempat murid Pengemis Muka
Bopeng dan di tambah dengan kemarahan yang membakar dadanya, Si Cadar Hitam
kontan melompat. Entah kapan dia menggerakkan tangannya tapi tahu-tahu di
tangan kanannya kini sudah tergenggam sebuah senjata yang berbentuk aneh.
Senjata itu terbuat dari besi
hitam legam berbentuk tombak yang pada kedua ujungnya terdapat lingkaran tipis
yang amat tajam. Karena bentuknya yang hebat maka senjata itu dapat
dipergunakan sebagai toya dan pedang. Bahkan bila bagian lingkaran sampai masuk
ke kepala seseorang, jangan harap bisa selamat dari kematian!
Bentuk dan sinar hitam yang
memancar dari senjata itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng segera bersiap-siap
menerima serangan. Dia tahu senjata di tangan lawan hebat dan berbahaya.
"Bangsat gondrong, lekas
keluarkan senjatamu! Kalau tidak kau akan mampus dalam dua tiga jurus
saja!"
Wiro ganda tertawa. Diambilnya
sebuah kursi lalu katanya, "Biar aku menghadapimu dengan kursi ini saja,
Cadar Hitam!"
Si Cadar Hitam menggeram
marah. Tak pernah dia menerima penghinaan yang begitu hebat. Rahang-rahangnya
menggembung.
"Wiro! Biar aku yang
menghadapinya!" tiba-tiba Untung Pararean berseru.
"Ah, biar serahkan saja
manusia sombong ini padaku," sahut Wiro.
"Majulah berdua agar aku
tidak banyak membuang tenaga untuk membunuh kalian!" bentak Si Cadar
Hitam. Habis membentak demikian dia melompat ke muka. Senjatanya berkiblat
ganas dan sekaligus menyerang ke arah leher Wiro Sableng serta Untung Parerean!
Mereka yang diserang
lekas-lekas melompat menyelamatkan diri. Begitu serangan lewat, Untung Pararean
segera mengambil sepasang golok milik Pengemis Cantik Ayu sedang Wiro Sableng
membabatkan kursi ke pinggang lawan. Dengan satu gerakan sebat Si Cadar Hitam
membalik. Kembali senjatanya berkelebat dan tiga buah kaki kursi yang dipakai
menyerang oleh Wiro terbabat putus!
Si Cadar Hitam tidak kepalang
tanggung. Serangan-serangan yang dilancarkannya datang bertubi-tubi. Sengaja
dikeluarkannya jurus-jurus silatnya yang paling hebat agar dapat membuktikan
omong besarnya tadi yaitu akan membereskan Wiro Sableng dalam dua atau tiga
jurus saja. Tapi sewaktu pertempuran memasuki jurus kelima yang bisa dilakukan
Si Cadar Hitam hanyalah membabat putus badan kursi yang di tangan Wiro hingga
kini Pendekar 212 hanya memegang sandaran kursi yang sudah sangat pendek saja!
Meski mengawatirkan
keselamatan si pemuda namun sebagai orang yang berpegang teguh pada tatakrama
dunia persilatan, Untung Pararean tetap berdiri di tempatnya tak mau membantu
Wiro mengeroyok Si Cadar Hitam. Walau demikian diusahakannya melemparkan
sepasang golok di tangannya ke arah Wiro Sableng. Tapi di tengah jalan Si Cadar
Hitam berhasil membabat mental dan patah kedua golok itu dengan senjatanya!
Jurus demi jurus serangan Si
Cadar Hitam semakin dahsyat. Dengan memainkan ilmu silat "orang gila"
Wiro berhasil mempertahankan diri dan sekalikali melepaskan pukulan jarak jauh
yang membuat lawannya bertindak sangat hati-hati. Ketika dua puluh jurus sudah
berlalu dan beberapa kali hampir saja dirinya kena dihantam oleh senjata lawan
yang dahsyat, Wiro Sableng mulai mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan simpanannya!
Ilmu pukulan "angin
puyuh" tak sanggup menembus angin senjata di tangan Si Cadar Hitam,
demikian juga pukulan "kunyuk melempar buah" dan "benteng topan
melanda samudera". Hal ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi
penasaran. Apalagi ketika didengarnya si Cadar Hitam berseru mengejek.
"Ayo keluarkan semua ilmu simpananmu agar kau tidak mampus
penasaran!"
"Jangan keliwat sumbong,
sobat! Coba kau sambut pukulan yang bernama "dewa topan menggusur gunung
ini!"
Wiro mendorongkan kedua
tangannya ke depan. Dan terjadilah hal yang hebat luar biasa! Dari kedua
telapak tangan Pendekar 212 Wiro Sableng menderu gemuruh suara angin. Si Cadar
Hitam membabatkan senjatanya ke depan beberapa kali untuk memusnahkan angin
serangan. Namun kali ini senjata itu tidak mampu berbuat suatu apapun! Tubuh Si
Cadar Hitam terlempar ke belakang, rubuh terguling-guling, senjatanya lepas
dari tangan. Sesaat kemudian menyusul gemuruh robohnya rumah makan itu! Sebelum
sebuah balok besar menimpa kepalanya, Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat
keluar dari rumah makan itu! Dia sampai di luar tepat ketika seluruh bangunan
rumah makan roboh dengan dahsyatnya. Puluhan orang di pelabuhan yang melihat
kejadian itu sama-sama mengeluarkan seruan dan ber{ari mendatangi sementara
Akik Rono di pemilik rumah makan yang juga sempat menyelamatkan diri, berdiri
menyaksikan runtuhnya rumah makannya dengan tubuh menggigil dan wajah seputih
kertas!
Wiro memandang berkeliling.
Untung Pararean dan Si Cadar Hitam tak kelihatan. Kawatir kalau-kalau Untung
Pararean tertimpa runtuhan rumah makan, Wiro menyelidik dengan cepat. Tapi
laki-laki itu tak di temuinya. Si Cadar Hitampun lenyap tak berbekas bersama
senjatanya. Akhirnya perhatian murid Eyang Sinto Gendeng ini kembali pada Akik
Rono. Wiro merutuki ketololan dirinya sendiri karena telah melepaskan pukulan
"dewa topan menggusur gunung" tadi yang menyebabkan ambruknya rumah
makan Akik Rono. Sebenarnya dia bisa mempergunakan ilmu pukulan lain atau jurus
tipuan untuk merebut senjata lawan lalu baru memberi hajaran. Tapi, karena
dipengaruhi rasa penasaran dia telah melepaskan pukulan dahsyat yang
dipelajarinya darl Tua Gila.
Sampai di hadapan Akik Rono,
dari batik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain berisi uang.
Diulurkannya tangannya memberikan kantong uang itu pada pemilik rumah makan
seraya berkata, "’Ini untuk modal dan membangun rumah makanmu!".
Habis berkata begitu pemuda ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Akik
Rono berdiri bengong di tempatnya. Tapi hatinya terlipur oleh sekantong uang
yang kini berada dalam tangannya.
13
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
berdiri di puncak pedataran tinggi itu, memandang berkeliling. Menurut
penyelidikannya, Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang yang tengah
dikejarnya melarikan diri ke jurusan pedataran itu. Tapi sampai di tempat
tersebut tak satu jejakpun yang ditemui Wiro. Pengejarannya menemui jalan
buntu.
Ke mana akan diteruskannya
pengejaran? Dan sebelum dia berhasil menemui Iblis Tangan Panjang mungkin
laki-laki itu telah lebih dahulu merusak kehormatan Wening Karsih, anak gadis
Kapala Kampung yang diculiknya.
Ketika dia memandang ke
langit, matahari telah jauh ke barat dan warnanya kemerahan. Dalam waktu yang
singkat segera akan tenggelam. Berdiri di puncak pedataran itu Wiro teringat
pada Untung Pararean. Dia yakin sekali bahwa laki-laki itu menyusul Empat
Pengemis Pulau Ras. Dalam hatinya, Wiropun berniat untuk mengikuti Untung
Pararean. Namun langkahnya terhalang dengan persoalan Wening Karsih. Akhirnya
tanpa ada pegangan ke mana dia harus menuju, Wiro Sableng meninggalkan puncak
pedataran itu ke arah barat.
Di kaki pedataran tinggi dia
bertemu dengan satu desa yang cukup ramai penduduknya. Setelah mengisi perutnya
di sebuah kedai Wiro berusaha mencari keterangan tentang orang yang di
kejarnya. Tapi tak satu orang pun yang tahu mengenai diri Iblis Tangan Panjang
ataupur, gadis yang diculiknya. Malam itu juga Wiro meninggalkan desa tersebut.
Di ujung sebuah daerah pesawangan yang dihiruki oleh suara jangkrik dan segala
macam binatang malam dilihatnya satu nyala api. Setelah berpikir sejenak Wiro
Sableng memutuskan untuk menuju ke arah nyala api itu.
Lewat sepeminum teh Wiro telah
berada kirakira seratus langkah dari nyala api yang nyalanya berasal dari
sebuah kuil tua yang atapnya di bagian depan tampak miring hampir ambruk. Dari
jarak itu pulalah pendekar ini mendengar suara orang menyanyi.
"Siapa pula yang
bernyanyi malam-malam di tempat sepi begini?" pikir Wiro dalam hati dan
sambil mempercepat larinya.
Malam hari berjalan seorang
diri,
Tanpa tujuan di dalam hati.
Melewati bekas kuil suci,
Tempat pertemuan tak terduga
terjadi.
Begitulah bunyi kata-kata
nyanyian tersebut yang diulang-ulang sampai beberapa kali. Dan setiap habis
satu bait kalimat, terdengar suara kerontang kaleng. Wiro Sableng sampai di
pintu kuil. Di ruangan depan yang sangat kotor menyala sebuah lampu aneh atau
tepatnya sebuah obor kecil. Obor itu terbuat dari sebatang pohon kayu hitam
yang ditancapkan ke lantai kuil yang terbuat dari batu. Jika bukan seseorang
yang berkepandaian tinggi adalah mustahil sebatang kayu bisa ditancapkan begitu
rupa. Pada ujung kayu yang menancap itu menyalakan api yang menerangi ruangan
tersebut. Tepat di belakang nyala api, duduk bersila seorang laki-laki
berpakaian compang-camping. Kedua matanya terpejam. Di pangkuannya terletak
sebuah buntalan, sebatang tongkat dan sebuah topi daun pandan. Di tangan
kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu. Dari mulutnya masih juga
keluar nyanyian yang setiap satu bait diseling dengan suara kerontang-kerontang
kaleng berisi batubatu itu.
Wiro masuk ke dalam. Berdiri
di hadapan orang itu beberapa langkah baru diketahuinya bahwa kedua mata yang
terpejam itu nyatanya buta! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa dia pernah berjumpa
dengan orang ini tapi lupa entah di mana. Setelah memutar otaknya Wiro ingat
juga bahwa orang tersebut adalah tukang tenung Si Segala Tahu yang pernah
menolongnya beberapa waktu yang lalu.
"Segala Tahu, aku gembira
bertemu dengan kau," tegur Wiro dengan girang karena pada orang ini pasti
dia bisa mendapat keterangan di mana Iblis Tangan Panjang berada. Orang yang
bernyanyi menghentikan nyanyinya. Dikerontang-kerontangkannya kaleng rombengnya
beberapa kali lalu menengadah ke langit-langit kuil.
"Mendengar suaramu apakah
kau bukannya Si Sableng yang pernah berjumpa denganku beberapa waktu yang
lalu?!" Meski buta nyatanya dari suara Wiro Sableng, Si Segala Tahu masih
dapat menduga siapa yang berdiri di hadapannya.
"Ah, benar sekali!
Pertemuan yarrg tak terduga ini sangat menggembirakanku. Kebetulan aku berada
dalam kesulitan."
"Baru bertemu sudah
bicara tentang segala macam kesulitan!"
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya dan tersenyum pahit, lalu berkata, "Soalnya aku harus bertindak
cepat, Segala Tahu."
"Kau mencari seseorang
pasti!"
"Betul sekali. Namanya
Tunggul Gawegawe, bergelar IbIisTangan Paryjang. Diatelah menculik …"
"Sudah, sudah! Aku sudah
maklum. Kau tunggulah sebentar". Si Segala Tahu mengerontangngerontangkan
kaleng rombengnya beberapa kali lalu menepekur dengan mulut terkatup
rapat-rapat. Tak lama kemudian dia pun berkata: "Kau agak terlambat
Sableng! Orang yang diculik sudah tak ada lagi di tangan Iblis Tangan Panjang
…"
"Mohon petunjukmu lebih
lanjut, Segala Tahu."
"Kau pergilah ke utara.
Jika bertemu sungai yang bercabang dua kelak kau akan menjumpai Iblis Tangan
Panjang di situ"
"Di manakah gadis yang
diculik itu kini? Apakah dia berada dalam keadaan selamat?" tanya Wiro
Sableng.
"Aku tak bisa memberi
keterangan lebih lanjut. Pergi ke utara, cari anak sungai bercabang dua!"
Habis berkata begitu Si Segala Tahu kembali menggerak-gerakkan tangan kanannya
yang memegang kaleng. Kemudian dengan tangan kirinya ditepuknya lantai kuil.
Hebatnya, tenaga tepukan itu membuat tubuh Si Segala Tahu yang masih dalam
keadaan bersila itu melayang ke pintu. Wiro Sableng mengejar, tapi Si Segala
Tahu sudah lenyap di kegelapan malam. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa geleng-geleng
dan garuk-garuk kepala!
Sepanjang malam itu Wiro
Sableng terus berlari menuju ke utara. Menjelang dini hari dia sampai ke sebuah
pedataran tinggi yang di bawahnya terbentang sebuah lembah. Di bawah penerangan
bintang-bintang yang redup, sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng yang tajam
dapat melihat sebuah sungai yang bercabang dua. Tanpa ragu-ragu pemuda ini
segera berlari menuruni lembah, dan sampai tepat di bagian lembah di mana
sungai bercabang dua. Udara dini hari dinginnya bukan alang kepalancl. Sunyi
dan kegelapan menyelubung di mana-mana. Wiro Sableng memandang berkeliling.
"Edan!" makinya
dalam hati. "Mana mungkin di keparat Iblis Tangan Panjang itu bisa
kujumpai di sini!"
Baru saja dia memaki begitu
rupa mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara kerontang-kerontang kaleng!
Pendekar 212 Wiro Sableng melengak dan memandang berkeliling. Astaga! Kiranya
Si Segala Tahu! Entah dari mana dia muncul. Saat itu dia kelihatan berjalan
seenaknya menyusuri anak sungai yang sebelah kanan sambil mengerontang-ngerontangkan
kalengnya! Wiro cepat bergerak dan sebentar saja dia sudah berada di samping
laki-laki itu.
"Tempat ini sunyi belaka!
Di mana aku bias menemui Iblis Tangan Panjang. Mohon petunjukmu, Segala
Tahu!".
Si Segala Tahu tertawa macam kuda
meringkik. Sambil terus berjalan dia bernyanyi:
Lembah tempat sungai bercabang
dua,
Sepanjang malam tentu sepi
belaka.
Mencari Iblis tentu bukan
dengan mata,
Siapa suruh tidak pasang
telinga.
Wiro terkesiap mendengar tutur
nyanyian itu. Memang sewaktu menyelidik tadi dia lebih mengutamakan mata dari
pendengarannya. Segera Wiro Sableng membuka jalan pendengarannya lebih tajam.
Terdengar suara tiupan angin dinihari yang dingin. Terdengar alunan air sungai
yang mengalir. Terdengar suara binatang malam di kejauhan dan tiba-tiba …
terdengar suara helaan nafas!
"Aku mendengar suara
orang menarik nafas!" bisik Wiro pada Si Segala Tahu. Tapi ketika dia
menoleh ke samping, astaga! Si Segala Tahu sudah tak ada lagi di sebelahnya!
Lenyap seperti ditelan bumi!
Wiro memandang berkeliling,
mencari arah datangnya suara helaan nafas itu. Kalau ada seseorang di situ yang
sedang tidur tentu suara kerontang-kerontang kaleng Si Segala Tahu sudah
membangunkannya sejak tadi, pikir Wiro. Telinganya semakin dipasang. Sesaat
kemudian kembali di dengarnya suara helaan nafas, lalu sunyi. Tiba-tiba
menggeledek suara bentakan dan sebuah benda meluncur ke arah tenggorokan
Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Keparat sialan!"
maki Wiro kaget bukan main tapi masih sempat bergerak mengelakkan senjata
rahasia yang hampir saja merampas jiwanya. Baru saja selamat, dua buah senjata
rahasia lagi menyambar ke arahnya, yang dua inipun dapat dikelit. Dari jurusan
datangnya senjata-senjata rahasia tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng segera tahu
di mana sipenyerang gelap berada. Tanpa tunggu lebih lama Wiro memukulkan
tangan kanannya ke arah cabang pohon besar yang terletak delapan tombak di
samping kanannya.
"Kraak!"
Cabang pohon yang besar itu
patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik di hantam pukulan
"kunyuk melempar buah". Di kejap itu pula satu bayangan hitam
berkelebat ke cabang pohon yang lain. Namun Wiro lebih cepat. Sebelum sosok
tubuh sempat menjejakkan kakinya di cabang pohon, Wiro telah menghantam lagi
pohon itu hingga si penyerang gelap terpaksa cepat-cepat turun ke tanah.
Sementara itu di timur fajar
telah menyingsing. Cuaca di dalam lembah mulai terang dan Wiro segera dapat
mengenali orang di depannya yang bukan lain Si Iblis Tangan Panjang yang tengah
dicari-carinya.
"Iblis! Kalau sayang pada
jiwa busukmu, lekas beri tahu di mana gadis anak Kepala Kampung yang kau culik
itu berada?!" bentak Pendekar 212.
Iblis Tangan Panjang
melototkan matanya yang cuma satu lalu mendengus.
"Tanyalah pada
setan-setan dalam lembah ini!"
Wiro menggeram. "Katau
begitu biar roh busukmu yang kusuruh menanyakan!" Pendekar 212 berkelebat
sambil memukulkann tangan kanannya ke depan.
Ibiis Tangan Panjang menangkis
dengan satu pukulan tangan kosong yang tak kalah hebatnya hingga ketika pukulanpukulan
tersebut saling bentrokan terdengarlah suara seperti letusan dan beberapa pohon
yang terserempet angin pukulan kontan ambruk!
Wiro tak mau memberi angin dan
harus lekas mengetahui di mana Wening Karsih berada. Karenanya dia langsung
menyerang dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat yang dipelajarinya dari
Eyang Sinto Gendeng. Iblis Tangan Panjang menjadi sangat sibuk. Untung saja dia
memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, kalau
tidak niscaya dalam tiga jurus pertama dirinya sudah kena gebuk!
Iblis Tangan Panjang segera
menyadari bahwa pemuda berambut gondrong itu bukanlah tandingannya. Karenanya
siangsiang dia sudah mengeluarkan senjatanya yang baru yakni sebuah tombak
bermata dua dan sebentar saja sinar senjafa itu sudah menderu mengurung tubuh
Wiro Sableng!
Memasuki jurus kelima di mana
Iblis Tangan Panjang mengirimkan serangan total habis-habisan, Wiro berseru
nyaring, "Iblis! Cukup kau mencak-mencak sampai di sini!"
Tubuh pemuda itu lenyap dari
hadapan Iblis Tangan Panjang dan sebelum Iblis Tangan Panjang tahu di mana
lawannya berada, satu pukulan telah menghantam punggungnya! Tak ampun lagi
manusia berkulit hitam legam ini mencelat dan terguling di tanah. Tulang
punggungnya yang sebelah kiri hancur dan sakit bukan main. Tombaknya terlepas
mental entah ke mana. Dengan sempoyongan Iblis Tangan Panjang berdiri dan
hendak melarikan diri. Namun satu jambakan pada rambutnya yang keriting macam
bulu domba itu membuat dia tak bisa bergerak satu tindakpun. Kemudian satu
tamparan keras melanda pipinya membuat telinganya pekak berdesing dan bibirnya
pecah berdarah. Iblis Tangan Panjang menjadi kalap dan dengan membabi buta
menerjang sekerasnya ke depan.
"Kraak!"
Terdengar pekik Iblis Tangan
Panjang. Tulang kering kaki kanannya patah. Yang menjadi sasaran tendangannya
ternyata bukan Pendekar 212 Wiro Sableng melainkan sebatang pohon yang
melintang tumbang! Wiro sendiri yang menjambaknya dari belakang tertawa
gelak-gelak.
"Ayo tendanglah lagi biar
kedua kakimu patah!" kata Wiro dan sekali lagi ditamparnya muka Iblis
Tangan Panjang hingga manusia itu menjerit kesakitan. Dia berusaha untuk dapat
memukul atau menyikut Wiro Sableng tapi sedikit saja bergerak rambutnya yang
dijambak laksana mau terbongkar dari kulit kepalanya.
"Cepat terangkan di gadis
itu!" bentak W i ro.
"Sampai mampuspun aku tak
bakal menerangkan!" jawab Iblis Tangan Panjang keras kepala.
"Kalau begitu aku akan
bikin kau setengah mampus setengah hidup!"
"Kraak"!
Wiro membetot putus tangan
kiri Iblis Tangan Panjang. Jeritan Iblis Tangan Panjang seperti mau merobek
langit di pagi hari itu! Satu tangan yang lain dari laki-laki itu segera
dicekal pula oleh Wiro, siap untuk dibetot. "Masih belum mau kasih
keterangan?!"
"Puah!" Iblis Tangan
Panjang meludah.
"Keparat! Makan
ini!" teriak Wiro marah, tinju kanannya melanda mulut Iblis Tangan
Panjang. Beberapa buah giginya tanggal, bibirnya pecah Tapi Iblis Tangan
Panjang masih tetap keras kepala dan beringas. Meronta-ronta dan memukul-mukul
kian kemari.
"Iblis celeng! Kalau
matamu yang tinggal satu ini kukorek baru kau tahu rasa!"
Mendengar ancaman itu, Iblis
Tangan Panjang kini benar-benar ketakutan. Cepat dia berteriak ketika Wiro
hendak menotok mata kanannya.
"Jangan! Aku akan
terangkan! Aku akan terangkan!"
"Terangkan lekas!"
bentak Wiro sambil menyentakkan rambut Iblis Tangan Panjang.
"Gadis itu kujual pada
Adipati Blabak …"
"Dusta!"
"Demi bapak moyang setan
aku tidak dusta!" Wiro menotok tubuh Iblis Tangan Panjang.
"Untuk sementara biarlah
kau kaku tegang di sini. Jika kau dusta aku akan kembali untuk mengorek matamu!
Jika kau ternyata bicara betul, dua hari di muka totokan itu akan terlepas dan
kau boleh pergi ke mana suka!"
"Tapi aku akan mati
kelaparan selama dua hari itu!" teriak Iblis Tangan Panjang.
"Kau tokh turunan iblis.
Minta saja makanan pada iblis-iblis penghuni lembah ini!" jawab Wiro
Sableng. Lalu sambil tertawa bergelak di tinggalkannya tempat itu.
Karena Blabak tidak jauh dari
situ maka dalam tempo singkat Wiro Sableng telah sampai di situ. Dia memasuki
Kadipaten dengan melompati tembok belakang. Dari seorang pelayan yang
diringkusnya dia berhasil mengetahui di kamar mana Wening Karsih di tempatkan.
Menurut pelayan itu Wening Karsih di antarkan oleh Iblis Tangan Panjang ke Kadipaten
Blabak lewat tengah malam tadi. Pelayan itu memberi kepastian pula bahwa tidak
terjadi apa-apa atas din si gadis karena istrinya sendiri yang mengawani Wening
Karsih semalaman hari. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera masuk ke dalam
gedung Kadipaten. Sesaat kemudian pemuda itu keluar melompbt dan jendela sebuah
kamar dan di bahunya memanggul sosok tubuh seorang gadis. Di halaman samping
dia dipergoki oleh dua pengawal yang segera berteriak memberi tahu
kawan-kawannya. Cepat sekali Wiro sudah dikurung oleh empat orang prajurit
Kadipaten. Namun tentu saja keempatnya bukan tandingan pemuda itu. Dengan hanya
mengandalkan kaki kanannya saja, Wiro berhasil membuat ke empat prajurit itu
tergelimpang di tanah. Dan pada saat Adipati Blabak sampai di tempat itu Wiro
telah lenyap bersama Wening Karsih.
14
SESAMPAINYA di tepi Pantai,
Untung Pararean mendadak merasakan keraguan dalam hati nya. Jika betul Pengemis
Cantik Ayu adalah anakku yang lenyap sekitar enam belas tahun yang lalu apakah
dia kelak akan mau mengakui diriku sebagai ayah kandungnya, pikir Untung
Pararean. Namun karena banyak pertanyaan yang harus diusahakannya jawabnya dan
mengingat pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng adalah musuh besar yang telah
membuat cacat dirinya seumur hidup berada di Pulau Ras akhirnya Untung Pararean
menetapkan hatinya dan meneruskan niatnya untuk pergi ke pulau tersebut.
Dengan sebuah perahu sewaan
Untung Pararean menyeberang dan sampai di pulau tujuannya sewaktu malam
berganti dengan pagi. Tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng yang
keseluruhannya terbuat dari bambu kuning adalah satusatunya bangunan di Pulau
Ras dan dengan mudah dapat ditemui oleh Untung Pararean. Dia merasa heran
ketika mendapatkan bangunan yang besar itu kosong melompong. Tak satu orangpun
ada di dalamnya.
"Pada ke mana mereka?
Mustahil Empat Pengemis Pulau Ras belum sampai ke sini," demikian pikir
Untung Pararean. Dia tak tahu kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng dan keempat
orang murid serta istrinya telah meninggalkan Pulau itu beberapa waktu yang
lalu.
Sewaktu Pengemis Cantik Ayu
dan saudara-saudara seperguruannya kembali dan menceritakan apa yang terjadi di
rumah makan Atik Rono, bukan main marah dan kesalnya Pengemis Sakti Muka
Bopeng.
"Kalian betul-betul
memberi malu aku di kalangan persilatan! Apa yang kutugaskan tak berhasil
kalian lakukan! Dan seorang pemuda jembel yang tak dikenal tak mampu kalian
hadapi!! Terpaksa aku sendiri yang harus turun tangan!"
Itulah sebabnya ketika Untung
Pararean tiba di Pulau Ras dia tidak menemui siapa pun. Untung Pararean masuk
ke dalam rumah untuk menyelidik. Baru saja dia hendak memasuki sebuah kamar
tiba-tiba di halaman luar terdengar bentakan nyaring. "Bangsat rendah dari
mana yang berani mengotori rumahku?!"
Untung Pararean terkejut.
Cepat dia melompati sebuah jendela dan tiba di halaman samping. Enam orang
dilihatnya berlari ke pintu muka. Tapi begitu melihat Pararean di halaman
samping ke enamnya segera memutar lari mereka dan sesaat kemudian sudah berdiri
mengurung bekas perwira kerajaan itu.
Sepintas lalu hampir saja
Pengemis Sakti Muka Bopeng mengira laki-laki itu adalah Si Cadar Hitam. Sewaktu
diperhatikannya lebih teliti segera dia tahu bahwa manusia bercadar kain hitam
itu bukanlah musuh lamanya. Tapi adalah aneh kalau orang tak dikenal ini
mengenakan kain hitam penutup mukanya. Mungkin dia masih ada sangkut paut
dengan Si Cadar Hitam? Di lain pihak Untung Pararean merasakan sekujur tubuhnya
bergetar ketika dia mengenali perempuan separuh baya berkulit hitam manis dan
berparas jelita di samping Pengemis Sakti Muka Bopeng bukan lain adalah Sri
Kemuning, istrinya yang telah melarikan diri pada enam belas tahun yang silam!
Dengan demikian satu kenyataan yang sebelumnya cuma menjadi dugaannya belaka,
kini terbukti. Pengemis Cantik Ayu adalah anak kandungnya sendiri! Hati Untung
Pararean berdebar ketika dia ingat ucapan Pengemis Muka Bopeng adalah ayahnya!
Apakah Sri Kemuning telah menjadi istri musuh besarnya itu? Betulbetul ini
membuat perih hati Untung Pararean.
Sri Kemuning sendiri merasa
aneh sewaktu pandangan matanya beradu dengan pandangan sepasang mata laki-laki
yang wajahnya tersembunyi dibalik kain hitam itu.
Sri Lestari atau Pengemis
Cantik Ayu tak berani menerangkan bahwa laki-laki bercadar itu adalah orang
yang mereka telah temui di rumah makan Akik Rono karena takut kedustaan mereka
akan terbuka.
"Bangsat bercadar!
Siapakah kau?! Apa punya nyawa rangkap hingga berani datang ke sini mengotori
pulau dan rumahku?!.
Untung Pararean tak ingin
bekas istri dan anaknya mengetahui siapa dia sebenarnya. Karena itu dia tak mau
menjawab pertanyaan Pengemis Muka Bopeng dengan terus terang.
"Muka Bopeng, rupanya
matamu masih belum begitu tajam hingga tak dapat mengenali siapa aku adanya!
Aku tidak sudi menerangkan tentang diriku pada manusia macam kau! Antara kita
ada semacam hutang piutang yang harus dilunaskan hari ini! Nyawamu atau
nyawaku!".
Meskipun rasa-rasa sudah
pernah mendengar suara laki-laki bercadar itu sebelumnya namun Pengemis Sakti
Muka Bopeng tak dapat menerka siapa orang di depannya itu. Di samping itu
ucapan Untung Pararean tadi membuat dia menjadi sangat marah.
Setelah lebih dulu mendengus
marah dia berkata, "Mataku memang tidak mampu mengenali tampang yang kau
sembunyikan di balik kain hitam itu! Tapi tangankulah yang bakal menyingkapkan
kain itu! Lihat!"
Pada akhir kata-katanya,
Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat lenyap dan tahu-tahu tangan kanannya
menyambar ke muka Untung Pararean! Kaget bekas Perwira Kerajaan ini bukan
kepalang. Tidak disangkanya ka1au lawannya akan bergerak demikian cepat. Segera
tangan kirinya dibabatkan ke atas. Akibatnya terjadilah bentrokan antara lengan
yang diserang dengan penyerang! Tubuh Untung Pararean terhempas ke belakang
laksana dilanda gelombang sedang tangannya sakit bukan main. Sewaktu diperhatikan
kulit lengannya telah menjadi bengkak kemerahan! Di lain pihak Pengemis Sakti
Muka Bopeng hanya berdiri terhuyung-huyung dan di lain kejap dengan satu
lolongan macam srigala haus darah dimalam buta, kembali dia melancarkan
serangan. Kali ini kedua tangannya kelihatan berkelebat cepat.
Untung Pararean menyambut
dengan pukulan tangan kosong yang bernama "seribu kati memukul awan".
Ilmu pukulan ini dipelajarinya dari Kiyai Supit Pramana karenanya hebatnya
bukan main! Tubuh Pengemis Sakti Muka Bopeng laksana seekor burung yang terbang
menentang angin topan hingga mengapung tak bisa maju! Padahal kedua tangan
Pengemis Muka Bopeng hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari muka Untung
Pararean!
Sebelum tubuhnya terlempar di
sapu oleh pukulan "seribu kati memukul awan" itu, Pengemis Sakti Muka
Bopeng cepat mendorong kedua tangannya ke muka. Dua gelombang angin menderu
memapas angin serangan Untung Pararean. Sekejap kemudian terdengarlah suara
menggelegar yaitu ketika terjadi saling bentur antara angin-angin yang
berkekuatan hebat itu! Pulau Ras bergetar. Debu dan pasir beterbangan sedang
rumah bambu mengeluarkan suara berkeretek!
"Manusia bercadar!
Kulihat kau barusan melancarkan pukulan "seribu kali memukul awan".
Apakah kau muridnya Si Supit Pramana di Gunung Bromo?!"
"Diam-diam Untung
Pararean terkejut menanggapi si muka bopeng.mengenali pukulan yang tadi
dilepaskannya. Saat itu dia tengah mengatur tenaga dalamnya karena dua
gelombang angin yang dilepaskan Pengemis Sakti Muka Bopeng tadi membuat dadanya
agak sakit.
"Aku bukan murid
siapa-siapa!" sahut Untung Para:ean dan dalam jurus ketiga ini dia yang
pertama membuka serangan. Tubuhnya melayang setinggi setengah tombak di atas
tanah. Tangan kiri dan kanan dipukulkan ke depan dan setengah jalan tubuhnya
dengan sangat tiba-tiba melesat ke atas lalu dengan serentak mengirimkan dua
serangan berantai yang hebat yaitu tendangan kaki dan hantaman tinju!
"Jurus – dewa terbang ke
langit –!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng. Lalu cepat merunduk dan
memukul bagian tubuh yang berbahaya di antara kedua selangkangan Untung
Pararean!
Tentu saja Untung Pararean tak
mau membiarkan dirinya dihantam serangan maut itu. Dia memutar pinggulnya ke
samping dan di lain kejap kaki kanannya meluncur deras ke arah tinju kanan
lawan!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
jadi penasaran sekali rnelihat bagaimana dalam rnenyerang dia balik kena
diserang! Didahului oleh satu bentakan menggledek laki-laki ini melompat ke
atas, lebih tinggi dan kedudukan tubuh Untung Pararean. Untung Pararean tak mau
meneruskan serangannya karena tendangan yang melanda tempat kosong akan membuat
dirinya berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Karenanya begitu
tendangannya dibatalkan. Untung Pararean cepat membalik untuk menghadapi lawan
yang datang dari belakang. Namun dia kurang cepat. Tubuhnya baru setengahnya
berputar dan satu jotosan telah melanda punggungnya!
Bekas Perwira Kerajaan itu
terpelanting ke depan. Ketika jatuh ke tanah hampir saja dia tak sanggup
berdiri di atas kedua kakinya. Punggungnya sakit bukan main dan sebelum dia
sempat mengatur nafas dan mengalirkan tenaga dalam kebagian yang terpukul,
dadanya telah sesak. Sesaat kemudian Untung Pararean muntah darah
tertatih-tatih! Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak sambil melangkah
mendekati Untung Pararean.
"Sebelum kukirim kau
menghadap raja akhirat mari kulihat dulu macam mana kau punya tampang!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng
mengulurkan tangannya yang sebelah kanan untuk menarik kain hitam penutup wajah
Untung Pararean. Bekas Perwira Kerajaari itu tak mempunyai daya untuk
menghindar karena saat itu kembali dia memuntahkan darah kental berbuku-buku!
Sekejap lagi jari-jari tangan
Pengemis Sakti Muka Bopeng akan menarik kain penutup wajah Untung Pararean,
mendadak sebuah benda sebesar kepala melesat ke arah Pengemis Sakti Muka
Bbpeng. Mau tak mau laki-laki ini terpaksa menarik pulang tangannya. Benda yang
dilemparkan temyata sebutir buah kelapa. Dan di kejap itu pula seorang
laki-laki, yang teramat tua, berselempang kain putih telah berdiri di hadapan
Pengemis Sakti Muka Bopeng!
"Kau!" seru Pengemis
Sakti Muka Bopeng kaget. Tapi dia tidak gentar.
15
"YA, Aku! Apakah kau
masih mengenali aku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" kata orang yang baru
datang, yang tadi melemparkan buah kelapa ke arah Pengemis Sakti Muka Bopeng.
Dia mengenakan jubah putih dan sangat tua sekali. Tubuhnya yang agak bungkuk
itu ditopang dengan sebuah tongkat yang dipegangnya di tangan kanan.
"Hemm . . . " gumam
Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Kiranya betul dugaanku bahwa keparat bercadar
ini adalah muridmu Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo. Heran . . . kenapa
tahu-tahu saja kau mempunyai seorang murid!"
"Aku memang memberikan
beberapa pelajaran ilmu silat padanya. Tapi dia bukanlah muridku." kata
Kiyai Supit Pramana tegas-tegas.
"Eh, kenapa begitu? Lucu
sekali!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya memandang pada
murid-muridnya. "Mungkin kau bisa menerangkan kelucuan itu? Atau
kedatanganmu jauh-jauh ke sini justru memang hendak menerangkan hal itu?!"
Wajah Kiyai Supit Pramana
kelihatan sedikit merah. Namun demikian di bibimya tersunting sekelumit senyum.
"Lucu atau tidak bukan
itu urusanmu, Muka Bopeng!"
"Oh, jadi kedatanganmu
hendak turun tangan membantu manusia bercadar ini? Boleh saja! Tapi akan lebih baik
jika terlebih dulu kau suruh dia membuka cadarnya!"
"Soal buka cadar itu
bukan pekerjaanku. Kalau kau sendiri tidak mampu apakah tidak malu menyuruh
orang lain?!"
Kini paras Pengemis Sakti Muka
Bopeng yang berubah menjadi merah. Sementara itu Kiyai Supit Pramana ingat
bahwa kali itu adalah kali ketiga dia menolong jiwa Untung Pararean yang
berarti adalah pertolongan untuk penghabisan kalinya yaitu sebagaimana pesan
gurunya tempo hari di dalam mimpi.
"Kiyai Supit
Pramana!" berkata Pengemis Sakti Muka Bopeng sambil bertolak pinggang.
"Antara kau dan aku tidak ada saling sengketa. Mengapa mendadak sontak kau
hendak baku hantam denganku?!"
"Siapa bilang aku hendak
baku hantam denganmu?" sahut Kiyai Supit Pramana. "Kemunculanku hanya
untuk menolong dia."
"Alasan yang
dicari-cari!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan mimik mengejek.
"Apakah kau bisa pula menerangkan silang sengketa apa yang ada antara aku
dan manusia bercadar ini hingga tak ada hujan tak ada angin datang ke sini dan
menyebut-nyebut segala soal hutang pihutang?!"
Untung Pararean kawatir
kalau-kalau Kiyai Supit Pramana akan menerangkan siapa dirinya sebenarnya. Tapi
orang tua yang arif ini sudah memahami perasaan Untung Pararean. Maka diapun
menjawab, "Soal itu kau tanyakan saja langsung pada orangnya."
"Kau dan setan alas ini
sama saja tidak tahu dirinya! Ayo lekas angkat kaki dari pulauku!" bentak
Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Aku baru akan
meninggalkan tempat ini bila urusanmu dengan dia sudah beres." jawab Kiyai
Supit Pramana. "Tua bangka sialan! Kalau begitu biar kau dulu yang aku
bereskan!" Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada ke empat muridnya dan
berseru: "Kalian berempat cepat cincang bangsat itu!" Maka Pengemis
Cantik Ayu dan tiga Pengemis lainnya segera mengeluarkan senjata masing-masing
dan menyerbu Untung Pararean.
Bagi Untung Pararean tingkat
ilmu silat keempat lawannya itu tidak membuat dia menjadi gentar. Tapi ada satu
hal yang menyebabkan setiap gerakannya harus dilakukan dengan penuh perhitungan
bahkan kadang-kadang tertahan-tahan. Yang menyebabkan itu ialah karena salah
seorang dari pengeroyoknya adalah anaknya sendiri. Walau bagaimanapun seorang
bapak tak akan tega untuk mencelakai anak kandungnya! Di lain pihak Sri Lestari
atau Pengemis Cantik Ayu tidak mengetahui kalau yang dihadapinya adalah ayah
kandungnya. Bersama-sama dengan ketiga saudaranya dia terus mendesak Untung
Pararean dengan hebat!
Setelah pertempuran berkecamuk
dua puluh jurus dan melihat keempat orang itu masih belum sanggup merubuhkan
Untung Pararean, Sri Kemuning yang oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng teJah diberi
julukan "Pengemis Hitam Manis" segera menyerbu pula ke dalam kalangan
pertempuran, hingga kini Untung Pararean dikeroyok lima. Dan dua dari
pengeroyoknya adalah anak kandung dan bekas istrinya sendiri!
Sementara itu pertempuran yang
terjadi antara Kiyai Supit Pramana dan Pengemis Sakti Muka Bopeng benar-benar
satu pertempuran tingkat tinggi yang jarang ditemui. Tubuh keduanya lenyap
menjadi bayang-bayang sedanq di sekitar mereka debu dar pasir bergu lung-gu
lung, siuran angin menderu-deru!
Kalau Kiyai Supit Pramana
mengandalkan tongkat butut di tangan kanannya maka Pengemis Sakti Mu.ka Bopeng
hanya mengandalkan tangan, kosong. Beberapa kali si Muka Bopeng ini melancarkan
serangan-serangan kilat dan pukulan-pukulan tangan kosong yang dahsyat
mematikan namun lawannya selalu berhasil mengelak atau memusnahkan serangannya
itu.
"Bangsat tua
bangka!" maki Pengemis Sakti Muka Bopeng pada jurus ketiga puluh satu,
"sekarang jangan harap kau bakal bisa selamat dari pukulanku ini!"
Mulutnya menggembung, dari tenggorokannya terdengar suara menggembor dan tangan
kanannya di angkat ke atas lalu dipukulkan ke depan, ke arah Kiyai Supit
Pramana.
"Wuuuussss!"
Satu gelombang sinar hitam
yang luar biasa panasnya menggemuruh. "Pukulan api hitam", seru Kiyai
Supit Pramana dalam hati lalu dengan cepat melompat ke samping seraya memapas
dengan tongkat bututnya!
"Kraak!"
Tongkai di tangan sang Kiyai
patah dua dan terlepas dari tangannya tapi dirinya sendiri selamat!
Dengan geram Pengemis Sakti
Muka Bopeng kembali mengirimkan pukulan dahsyat tadi dua kali berturut-turut!
Terdengar seruan dahsyat
keluar dari mulut Kiyai Supit Pramana, "Hitam tak akan menang dengan
putih!" Dan di kejap itu pula selarik sinar putih berkelebat. Begitu sinar
putih ini beradu terus menggulung sinar hitam. Untuk beberapa lamanya
menghantam sedang yang melepaskan pukulan sama berdiri tegang menyalurkan
tenaga dalam masing-masing! Dalam tenaga dalam Pengemis Sakti Muka Bopeng masih
kalah satu tingkat di bawah Kiyai Supit Pramana. Karenanya setelah adu kekuatan
selama hampir sepeminuman teh dan kedua kakinya sampai-sampai melesak sedalam
sepuluh senti, akhirnya tubuhnya terdorong ke belakang! Sebelum sinar-sinar
putih itu melabrak dirinya, Pengemis Sakti Muka bopeng cepat melompat mencari
keselamatan. Parasnya kelihatan pucat. Kuduknya dingin. Jika tidak lekas
melompat pasti dirinya kena dicelakai pukulan lawan.
Kiyai Supit Pramana tertawa
perlahan dan berkata, "Kurasa cukup kita main-main sampai di sini saja,
Muka Bopeng. Sebaiknya kau lekas menyelesaikan urusanmu dengan laki-laki
bercadar itu. Jangan mengandalkan murid-muridmu yang main keroyok secara
pengecut itu!"
"Anjing tua!" sentak
Pengemis Sakti Muka Bopeng penuh dendam amarah. "Kalau maksudku untuk
membunuhmu tidak kesarnpaiar, biarlah kelak aku akan bunuh diri!"
"Ah, memang susah kalau
seseorang mata dan hatinya sudah buta oleh kejahatan!" ujar Kiyai Supit
Pramana dengan menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan banyak bacot! Kau
akan segera mampus anjing tua!" semprot Pengemis Sakti Muka Bopeng. Kedua
tangannya bergerak. Kini tangan kiri memegang sebilah pedang panjang berwarna
ungu sedang tangan kanan memegang sebuah keris yang memancarkan sinar biru yang
bukan lain keris Mustiko Jagat adanya! Melihat bagaimana si muka bopeng ini
menggunakan dua senjata sekaligus nyatalah bahwa dia benar-benar ingin memburuh
Kiyai Supit Pramana dalam waktu yang paling singkat!
Di lain pihak Kiyai Supit
Pramana tidak merasa gentar. Dia sudah tahu kehebatan keris Mustiko Jagat
sedang pedang di tangan kiri lawan tidak dipandangnya sebelah mata. Keris
tempaan Empu Bharata itulah yang lebih berbahaya dan harus hatihati
dihadapinya. Karenanya untuk mengimbangi senjata tersebut Kiyai Supit Pramana
tidak menunggu lebih lama, segera pula mengeluarkan senjatanya yakni sehelai
selendang sutera yang tepinya dihias dengan seratus rumbai-rumbai sepanjang
satu jengkal!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
membuka serangan dengan satu teriakan dahsyat. Kiyai Supit Pramana menanti
dengan tenang. Begitu lawannya tinggal beberapa langkah di hadapannya, segera
selendang sutera di tangan kanan dikebutkan! Satu gelombang angin sedahsyat
topan prahara menggaung. Seratus senjata rahasia berhamburan dari rumbai-rumbai
selendang. Kaget Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak kepalang. Cepat dia memapas
dengan pedang dan keris. Pedang di tangan kiri mental patah dua tapi keris
Mustiko Jagat dengan hebatnya sanggup membuat buyar angin serangan serta
mementalkan senjata-senjata rahasia yang menggempur!
Sekarang marilah kita
perhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean melawan Sri
Lestari, Sri Kemuning dan tiga Pengemis lainnya itu. Dia bertempur dengan
berbagai perasaan yang campur aduk dan menggugah hati sanubarinya. Bagaimana dia
bisa bertempur sungguh-sungguh dengan dua orang yang merupakan anak serta bekas
istrinya? Walau bagaimanapun keduanya adalah orang-orang yang dikasihi dan
pernah dikasihinya. Di lain pihak kedua ibu dan anak itu yang tidak mengetahui
siapa adanya Untung Pararean, terus menggempur dengan hebat. Di tambah pula
dengan seranganserangan gencar tiga Pengemis hingga kedudukan Untung Pararean
jadi serba sulit. Dalam kesulitan itu dia masih sanggup menendang rubuh
Pengemis Badan Kurus hingga terjungkal dan menggeletak pingsan.
Namun demikian karena Untung
Pararean terlalu dalam dipengaruhi oleh perasaannya, kerap kali laki-laki ini
bertempur dengan gerakan yang ragu-ragu hingga pada akhirnya lengan kirinya
berhasil dilanda ujung golok Sri Lestari dan terluka cukup parah! Denqan
menahan sakitnya luka dan keperihan hati, Untung Pararean meneruskan
pertempuran. Sementara itu dari sejak mulai berlangsungnya pertempurarn entah
bagaimana dia selalu ingat pada Empu Bharata yang telah dibunuhnya enam belas
tahun yang silam. Seperti terngiang ditelinganya kutukan orany tua sakti itu
sebelum dia meregang nyawa yaitu " kelak kau bakal mati di ujung Mustiko
Jagat dan sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir bathin . . . "
Berdiri bulu kuduk Untung
Pararean. Benarkah dia akan mati di ujung keris Mustiko Jagat yany dulu
dipakainya untuk membunuh Empu Bharata itu? Dia tahu sebagian dari kutukan sang
Empu atas dirinya telah menjadi kenyataan. Yaitu dia telah hidup denqan
menderita lahir bathin! Karena bertempur sambil merenung dan dipengaruhi
berbagai macam perasaan maka Untung Pararean semakin berada dalam kedudukan
yang sulit. Saat itu ingin saja dia berteriak pada Sri Lestari dan Sri
Kemuning, menerangkan siapa dia. Tapi hal itu tak bisa dilakukannya. Lidahnya
serasa kelu. Lagi pula walau bagaimanapun Sri Kemuning bukan lagi istrinya saat
itu, sudah menjadi istri orang lain meski secara tidak syah. Dan yang paling
penting apakah kelak Sri Lestari akan mau mengakui dirinya yang cacat itu
sebagai ayah kandungnya? Bahkan Sri Kemuning sendiri mungkin tak akan mengenali
wajahnya seandainya dia membuka cadar hitam yang menutup wajahnya! Dan
keperihan semakin dalam menusuk lubuk hati Untung Pararean. Dikuatkannya
dirinya. Tapi kedua matanya tak kuasa menahan genangan air mata. Kedua mata itu
kelihatan berkaca-kaca!
Di saat itu timbul pikiran di
kepala Untung Pararean untuk meninggalkan tempat itu. Namun bila dia ingat
bahwa dendam kesumatnya terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum
kesampaian, kembali dikuatkannya hatinya. Tiba-tiba dia mendapat akal sebaiknya
bertempur menghadapi musuh besarnya saja saat itu. Sekaligus dia bisa membalas
dendam dan mengelakkan pertempuran melawan bekas istri dan anak kandungnya!
Namun sebelum hal itu dilakukannya sesosok tubuh berpakaian hitam mendatang
dengan sangat cepat dari arah timur dan terdengar seruan keras lantang,
"Kiyai Supit Pramana! Bangsat bermuka bopeng itu adalah musuh lamaku! Biar
aku yang merampas jiwanya!"
16
KIYAI Supit Pramana dan
pengemis Sakti Muka Bopeng sama-sama terkejut lalu samasama melompat ke
belakang. Si Muka Bopeng yang sudah mengenali suara orang yang datang segera
dapat menduga siapa dia adanya dan ternyata dugaannya tak meleset. Orang itu
adalah Si Cadar Hitam!
"Ha . . . " ha . . .
! Agaknya kau terkejut dan takut melihat kedatanganku, Pengemis Sakti Muka
Bopeng?!"
"Puah!" Pengemis
Sakti Muka Bopeng meludah. "Dalam hidupku tak pernah ada kata takut!
Apalagi terhadap bangsa kurcaci macam kau!"
Si Cadar Hitam tertawa
gelak-gelak sambil memandang berkeliling. Sesaat dia memperhatikan pertempuran
yang berlangsung antara Untung Pararean dengan keempat pengeroyoknya lalu
kepalanya kembali dipalingkan pada Pengemis Sakti Muka Bopeng, dan berkata
dengan mengejek. "Mungkin kau bukan seorang pengecut! Tapi sekurang-kurangnya
kau telah mengajarkan bagaimana bertempur secara pengecut terhadap
murid-muridmu hingga mereka main keroyok begitu rupa!"
Muka yang buruk dari Pengemis
Sakti Muka Bopeng kelihatan merah padam dan Si Cadar Hitam kembali mementang
mulut. "Bukti lain yang cukup jelas betapa pengecutnya dirimu ialah ketika
kau mengutus murid-muridmu untuk memenuhi tantanganku satu tahun yang lalu!
Kenapa tidak kau sendiri yang muncul kalau bukannya berarti kau bangsa pengecut
kelas wahid?!"
"Bangsat rendah! Kuberikan
kesempatan padarnu untuk mengaso memperpanjang nyawa. Kelak sesudah tua bangka
dari Gunung Bromo ini kubikin mampus akan sampai pula giliranmu!"
Kiyai Supit Pramana cepat
membuka mulut. "Cadar Hitam," katanya yang sudah mengenali siapa
adanya pendatang baru itu . . . "Antara aku dan dia sebenarnya tak ada
silang sengketa. Silahkan kau baku hantam satu sama lain!"
"Kiyai sedeng! Apakah kau
tak punya nyali melanjutkan pertempuran tadi?!" tanya Pengemis Sakti Muka
Bopeng.
Sang Kiyai tertawa bergumam.
"Rupanya nyalimu terlalu besar. Apa kau ingin kami berdua melabrakmu saat
ini?!"
"Tua renta_. .."
Maki Pengemis Sakti Muka Bopeng itu dipotong oleh bentakan Si Cadar Hitam.
"Muka Bopeng, sudah mau
mampus masih saja main maki-makian! Terima ini!"
Selarik sinar hitam bersiut!
Itulah serangan senjata Si Cadar Hitam yang berbentuk toya dengan
lingkaran-lingkaran tajam pada kedua ujungnya!
"Ha … ha! Senjatamu masih
saja senjata buruk dulu! Apakah kau masih punya muka untuk
mempergunakannya?!" ejek Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya menangkis
dengan keris Mustiko Jagat.
"Trang!" Bunga api
memercik!
Si Cadar Hitam terkejut.
Tangannya tergetar hebat, sakit dan pedas. Ketika diperhatikannya senjatanya,
astaga! Temyata lingkaran tajam yang sebelah kanan telah terbabat putus! Dia
sama sekali tidak menyangka kalau dalam satu tahun kehebatan lawannya sudah
maju jauh sekali dan tak menyangka lagi kalau keris di tangan Pengemis Sakti
Muka Bopeng demikian dahsyatnya! Mau tak mau nyalinya jadi menciut juga. Segera
dia mengeluarkan jurus silatnya yang terhebat dan melakukan penyerangan dengan
senjatanya yang telah buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia selalu
mengelak bila lawan hendak mengadu senjata, sebaliknya dia berusaha agar dapat
menyingkirkan keris Mustiko Jagat dari tangan lawan!
Dalam ilmu silat mungkin Si
Cadar Hitam lebih hebat dan lebih gesit gerakannya. Namun walau bagaimanapun
yang menentukan adalah senjata di tangan masing-masing! Setelah bertempur dua
puluh jurus lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya mengelakkan satu tusukan
yang amat cepat!’ Tubuhnya terjajar ke belakang dengan dada mandi darah.
Senjatanya yang buntung terlepas dan begitu jatuh tubuhnya. masih berkelojot
beberapa kali. Begitu racun keris merambas kejantungnya, lakilaki itupun meregang
nyawa!
"Manusia hina! Mayatmu
tak layak malang melintang di depan mataku!" kata Pengemis Sakti Muka
Bopeng. Sekali tendang saja maka mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh
belasan tombak, angsrok di antara semak-semak lebat! Pengemis Sakti Muka Bopeng
berpaling pada Kiyai Supit Pramana. "Sekarang giliranmu, anjing tua!"
bentaknya lalu menyerbu dengan keris di tangan! Untuk kedua kalinya kedua orang
itu kembali bertempur. Kini lebih hebat, lebih cepat, dan lebih ganas!
Pertempuran antara Untung
Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya telah berjalan lebih dari empa; puluh
jurus. Dalam keadaan luka parah Untung Pararean masih sempat memukul jatuh
salah satu golok di tangan Sri Lestari dan merampas goloknya yang lain. Tapi
untuk itu Untung Pararean menerima hantaman sabuk di tangan Pengemis Kepala
Botak yang membuat pinggulnya serasa remuk! Dengan panuh marah Untung Pararean
melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan",
ke arah Pengemis Kepala Botak.
Pukulan yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si kepala Botak sebaliknya
hampir saja melanda Sri Lestari di samping kiri. Karena itu Untung tak mau lagi
melepaskan pukulan tersebut takut mencelakai anak kandung atau bekas istrinya
sendiri!
"Lekas bentuk barisan
bolang-baling!" tiba-tiba Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu berseru.
Barisan bolang-baling adalah satu barisan penggempur yang tangguh. Barisan ini
diciptakan oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng dan bisa dilakukan oleh tiga sampai
tujuh orang. Dan kehebatan barisan ini dirasakan sendiri oleh Untung Pararean.
Serangan datang dari berbagai jurusan dan dalam gerakan yang sama sekali
berlawanan dari gerakan silat yang sewajarnya. Ini membingungkan Untung
Pararean. Meskipun beberapa jurus di muka dia berhasil mengetahui
kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun dirinya sudah sangat
terdesak! Masih untung dia berhasil merampas golok Sri Lestari, kalau tidak
mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat celaka!
Dalam pada itu pertempuran
antara Pengemis Sakti Muka Bopeng dan Kiyai Supit Pramana telah mencapai
klimaks kehebatannya. Dalam jurus yang ke enam puluh tiga tokoh silat dari
Gunung Bromo itu berhasil menghantam lengan kanan lawannya hingga keris Mustiko
Jagat terlepas dan mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Laki-laki ini
coba melompat untuk menjangkau senjata itu tapi tak berhasil karena saat itu
Kiyai Supit Pramana melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan"
yang mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau mendapat celaka.
Kiyai Supit Pramana adalah tokoh silat berjiwa kesatria tulen! Melihat lawan
tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya di simpan di balik pakaian
lalu meneruskan pertempuran dengan tangan kosong.
Secara kebetulan, keris
Mustiko Jagat yang terlepas mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng
melayang ke tempat berlangsungnya pertempuran antara Untung Pararean dan
pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat keris ayahnya melayang mental begitu rupa,
dan di saat itu dia sendiri tidak pula memegang senjata apa-apa, dengan cepat
Sri Lestari melompat. Sesaat kemudian senjata itupun sudah berada dalam tangan
kanannya!
Betapa terkejutnya Untung
Pararean menyaksikan Sri Lestari kembali memasuki kalangan pertempuran dengan
Mustiko Jagat di tangan. Sinar biru berkelebat menggidikkan. Untuk kesekian
kalinya Untung Pararean merasakan bulu kuduknya merinding. Terngiang lagi di
telinganya kutukan Empu Bharata yang dibunuhnya dulu: ". . . kelak kau
bakal mati di ujung keris Mustiko Jagat. . . " Apakah kutukan itu segera
akan berbukti kini?!
"Trang"!
Untung Pararean terkejut.
Golok di tangan kanannya patah dua disambar keris Mustiko Jagat. Telapak
tangannya sakit sekali. Dalam pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan
kepalanya dari gada batu pualam putih di tangan Pengemis Badan Gemuk sedang
dari belakangnya, Pengemis Hitam Manis atau Sri Kemuning melancarkan pula satu
tendangan maut! Untung Pararean berkelebat cepat untuk mengelakkan kedua
serangan itu dan berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri Lestari yang saat
itu bergerak luar biasa cepatnya, menyambar dari samping kiri dan menusukkan
Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa di tangkis atau dikelit lagi!
Sesaat sebelum Mustiko Jagat
menghunjam di dada Untung Pararean terdengar satu bentakan sekeras guntur!
"Jangan bunuh! Dia ayah
kandungmu sendiri!"
Tapi teriakan yang mengguntur
itu terlambat datangnya sebagai peringatan. Mustiko Jagat telah lebih dulu
menembus dada Untung Pararean barulah semua orang, termasuk Sri Lesteri
terkejut!
Bekas Perwira Kerajaan itu
terhuyung ke belakang sambil memegangi dada dengan kedua tangannya. Pada detik
tubuhnya hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebat menopang tubuhnya.
"Kasip! Terlambat!
Terlambat … !" kata orang yang datang ini sambil satu tangannya
menggaruk-garuk kepalanya tiada henti.
"Bangsat gondrong!"
bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa adanya orang yang menopang tubuh
lawannya. "Kau masih mau ikut campur urusan orang lain?!"
"Gadis! Apakah kau masih
belum sadar kalau orang ini adalah ayah kandungmu sendiri?!" ujar si
pemuda rambut gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Jangan bicara ngacok
ngelantur!" bentak Sri Lestari. "Ayahku adalah Gambir Seta yang
bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng!"
Wiro Sableng tertawa kecut dan
menyandarkan Untung Pararean ke pangkuannya. Sambil megap-megap Kehabisan nafas
Untung Pararean berbisik, "Sahabat kenapa kau beritahu siapa diriku
…"
Baru saja Untung Pararean
habis berkata begitu satu tangan menyambar dan bret! Terbukalah cadar hitam
yang selama ini menutup paras bekas Perwira Kerajafan itu. Terdengar jerit
ngeri Sri Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras Untung
Pararean. Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan seruan-seruan
tertahan orang-orang yang ada di situ yang ada di situ yang merasa ngeri
melihat keluar biasaan seramnya paras Untung Pararean. Mata kirinya hanya
merupakan lobang belaka. Mulutnya kanan robek sampai ke pipi, bibir
menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri tanggal, kedua daun telinganya
papas buntung sedang seluruh kulit muka hancur bergurat-gurat! Sebagai bekas
istri sekalipun, Sri Kemuning tidak mengenali Untung Pararean lagi!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
terkejut luar biasa! Benar-benar tak diduganya kalau orang bercadar itu adalah
Untung Pararean, seorang bekas Perwira Kerajaan yang telah membunuh Empu Bharata
dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun yang silam!
Tiba-tiba laki-laki ini
berteriak, "Jangan dengar omongan pemuda edan itu! Dia tak ada sangkut
paut apa denganmu. Lestari! Akulah ayah kandungmu!"
Wiro mendengus marah!
"Iblis laknat!"
bentak Pendekar 212. "Di saat orang hendak menghembuskan nafas penghabisan
apakah kau masih punya hati demikian jahat untuk membantah kenyataan bahwa dia
adalah Untung Pararean, ayah kandung gadis itu?!"
"Setan alas!" balas
membentak Pengemis Sakti Muka Bopeng, "Kalau kau mau mampus bersamanya
pergilah!" Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka B$peng yang hendak
menyekap rahasia mengenai diri Untung Pararean segera melepaskan pukulan tangan
kosong yang luar biasa hebatnya.
"Bangsat bermuka bopeng!
Manusia macammu memang tak layak dibiarkan hidup lebih lama!" teriak Wiro.
Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan tangan kanannya! Satu larik
sinar putih yang amat panas dan menyilaukan mata menderu laksana petir
menyambar!
Pengemis Sakti Muka Bopeng
terpekik. Tubuhnya terguling. Itulah pukulan "sinar matahari"!
Pengemis Sakti Muka Bopeng tak
menyangka akan disambut dengan serangan balasan yang dahsyat itu. Cepat-cepat
dia melompat ke samping. Tapi masih kurang cepat! Pekiknya mengumandang. Tangan
kanannya yang kurus kering kelihatan hangus hitam pekat sedang tubuhnya
terbanting ke tanah!
"Pemuda keparat!
Mampuslah!", teriak Sri Lestari seraya melompat dan menusukkan Mustiko
Jagat ke kepala Pendekar 212.
"Lestari! Tahan!",
teriak Sri Kemuning dengan cepat.
Sementara itu keris sakti
hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala Pendekar 212. Dengan sebat
Wiro memukul pergelangan tangan gadis itu hingga Mustiko Jagat terlepas mental.
"Orang muda! Laki-laki
yang bernama Untung Pararean tidak bermuka seseram dia! Jangan kau bicara
ngelantur tak karuan!" kata Sri Kemuning pula.
Wiro berpaling pada Kiyai
Supit Pramana dan menjawab, "Orang tua itu lebih tahu dari aku! Dia yang
menyelamatkan bekas suamimu dari kematian!"
Sri Kemuning melangkah cepat.
Dia ingin membuktikan sendiri bahwa laki-laki bermuka seseram setan itu adalah
betul betul Untung Pararean, bekas suaminya! Dirobeknya pakaian Untung Pararean
dan ketika di dada laki-laki ini dilihatnya sebuah tahi lalat besar meraunglah
perempuvn ini.
"Kanda Untung!"
jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh Untung Pararean.
"Kemun . . . " Nama
itu tak sempat disebut Untung Pararean sampai keakhirnya karena malaekat maut
telah lebih dulu mencabut nyawanya!
Sementara itu dengan
terhuyung-huyung Pengemis Sakti Muka Bopeng coba berdiri. Tapi tubuhnya roboh
kembali karena racun pukulan sinar matahari Pendekar 212 mulai merusak
jaringan-jaringan urat di dalam tubuhnya. Ketika keris Mustiko Jagat yang
terpelanting jatuh di hadapannya, timbul kekuatan baru dalam dirinya. Dengan
merangkak susah payah senjata itu berhasil dijangkaunya. Begitu tangan kirinya
menyentuh senjata sakti itu, racun pukulan sinar matahari dengan serta merta
menjadi sirna. Dengan kekuatan baru, Pengemis Sakti Muka Bopeng melemparkan
keris Mustiko Jagat ke arah Pendekar 212. Tapi lemparannya itu meleset dan
keris Mustiko Jagat melesat ke arah Sri Kemuning!
"Ibu awas!" seru Sri
Lestari. Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi karena bingung dengan
apa yang disaksikannya tadi, gadis ini bertaindak gugup. Dan hal ini harus
dibayarnya dengan mahal! Keris Mustiko Jagat menghantam pangkal lehernya! Baik
Wiro maupun Kiyai Supit Pramane tidak punya kesempatan sama sekali untuk
menyelamatkan jiwa gadis itu!
Terdengar pekik Sri Lestari.
Tubuhnya roboh dengan leher mandi darah. Hanya beberapa kali saja tubuh itu
kelihatan bergerak-gerak, sesudah itu diam tak berkutik lagi! Sri Kemuning
laksana gila melepaskan pelukannya pada tubuh Untung Pararean dan menghambur ke
tempat di mana anaknya menggeletak tak bernyawa.
"Manusia durjana!"
bentak Kiyai Supit Pramana seraya melompat menyerang Pengemis Sakti Muka
Bopeng. Tapi dari samping satu bayangan putih lebih cepat mendahuluinya. Satu
suara laksana ribuan tawon mengamuk membising telinga dan di lain kejap
terdengarlah jeritan setinggi langit keluar dari tenggorakan Pengemis Sakti
Muka Bopeng! Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir putus dan darah
membanjir! Kiyai Supit Pramana berdiri laksana patung, memandang tepat-tepat
pada Pendekar 212 yang berdiri di hadapannya, memegang Kapak Maut Naga Geni
212. Senjata itulah yang telah menamatkan riwayat Pengemis Sakti Muka Bopeng.
"Senjata hebat. Dan
gerakannya luar biasa cepatnya." kata Kiyai Supit Pramana dalam hati.
Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Pengemis Badan Gemuk. Mereka
membalik dan … terlalu kasip untuk turun tangan! Sri Kemuning telah mencabut
keris Mustiko Jagat dari leher anaknya dan kemudian menusukkan senjata itu ke
dadanya sendiri!
"Bangsat-bangsat rendah!
Gara-gara kalianlah semua ini terjadi!" bentak Pengemis Badan Gemuk.
Bersama Pengemis Kepala Botak dia menyerbu Wiro Sableng dan Kiyai Supit
Pramana. Wiro memutar Kapak Naga Geni 122.
Crass!
Tangan kanan Pengemis Badan
Gemuk putus. Laki-laki ini meraung macam harimau luka lalu lari terbirit-birit.
Di tengah jalan racun kapak telah merambas jantungnya hingga tubuhnya terhuyung
dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga. Pengemis Kepala Botak yang menyerang
Kiyai Supit Pramana tidak bernasib lebih baik. Pukulan "seribu kati
memukul awan" mendarat di kepalanya yang tak berambut hingga memar macam
pepaya busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa nyawa lagi!
Pengemis Badan Kurus yang saat
itu telah siuman dari pingsannya begitu tahu kalau dirinya cuma tinggal
sendirian di situ, tanpa menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu,
lari ke jurusan lenyapnya Pengemis Badan Gemuk. Untuk beberapa lamanya sempat
itu diselimuti kesunyian. Yang terdengar hanya tiupan angin di sela-sela
daun-daun pepohonan dan suara hamparan ombak sayup-sayup di kejauhan.
"Kiyai … sebaiknya kita
kuburkan saja mayat orang-orang ini," kata Wiro Sableng seraya memasukkan
Kapak Maut Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
Demikianlah berakhirnya kisah
ini. Menurut cerita, keris Mustiko Jagat di ambil oleh Kiyai Supit Pramana.
Untuk menghindarkan hal-hal tak diingatkan yang mungkin tejadi keris itu
kemudian dilemparkan ke dalam laut di Selat Madura.
TAMAT