-------------------------------
----------------------------
007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
1
PEMUDA baju biru itu berdiri
dengan gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan
rambutnya yang gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada
berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri dengan megahnya
pintu gerbang Kotaraja.
Sudah hampir setengah hari dia
berada di puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih matanya memandang
terus-terusan ke arah pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya
belum juga kelihatan muncul. Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan
langsung memasuki Kotaraja. Tapi dia ingat pesan gurunya, di Kotaraja penuh
dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat kelas satu
pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu tinggi sehingga
menyelesaikan perhitungan di dalam Kotaraja sama saja mencemplungkan diri ke
dalam jebakan dimana dia tak mungkin lagi akan keluar. Kalaupun ada jalan ke
luar maka itu ialah jalan kepada kematian! Dia menunggu lagi. Sekali-sekali dia
memandang ke jurusan lain untuk menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya.
Kemudian bila dia memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya
yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan gurunya
sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan.
“Hari ini kuperbolehkan kau
meninggalkan tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak dikemudian hari kau musti
kembali kemari untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau
pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah membunuh
kau punya bapak…. Tempo hari aku sudah pernah terangkan. Kau masih ingat siapa
nama julukan ketiga manusia itu?”
“Mereka adalah Tiga Setan
Darah, guru,” jawab Pranajaya.
“Betul,” kata sang guru.
“Ketiganya berada di Kotaraja.
Sudah sejak lama kuketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya
Baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu dengan
mereka di dalam Kotaraja. Itu barbahaya besar karena Kotaraja penuh dengan
tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan Baginda…“
“Dengan bekal ilmu yang guru,
wariskan serta pedang Ekasakti yang guru berikan tak satu lawanpun yang saya
takutkan di atas bumi ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas
kebenaran!” Empu Blorok tersenyum dan rangkapken kedua tangannya dimuka dada.
“Aku sedang mendengar ucapan
jantanmu,” kata Empu Blorok pula.
“Tapi walau bagaimanapun
membuat kegaduhan di dalam Kotaraja sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu.
Di samping itu aku mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi
Prana, ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan Darah di luar Kotaraja,
bagaimana caranya terserah kau.” Sang murid manggut-manggutkan kepalanya.
“Tadi guru menyebutkan satu
tugas untukku… Mohon penjelasan lebih lanjut,” kata Pranajaya.
“Bila perhitunganmu dengan
Tiga Setan Darah telah selesai maka kau harus pergi ke Pulau Seribu Maut.”
Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula tahu di mana
letaknya. Maka diapun menanyakannya.
“Pulau itu,” menjawab Empu
Blorok, “terletak diujung timur pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia
bernama Bagaspati.
Dulunya dia adalah kawan
baikku. Tapi kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku dan melarikan diri.
Dengan senjata mustika itu dia membuat keonaran di mana-mana dan berbuat
kejahatan! Kau harus mengambil senjata muutika itu kembali dari tangannya
Pranajaya. KaIau dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!”
“Baik guru,” kata Pranajaya
lalu tanyanya.
“Senjata apakah yang telah
dicuri oleh Bagaspati itu?”
“Sebuah cambuk, Prana. Cambuk
Api Angin namanya!”
“Tugas dari guru akan aku
jalankan. Mohon doa restu,” kata Pranajaya. Ketika dia hendak pamitan Empu
Blorok berkata, “Tunggu sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan
padamu.” ”Soal apa guru?.”
“Soal dirimu. Kau lihat tangan
kirimu yang buntung itu…?” Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk.
Aneh terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal
sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang guru tak
pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.
“Waktu bapakmu dibunuh,”
berkata Empu Blorok.
“Dia sedang tidur di atas
balai-balai di sampingmu. Tiga Setan Darah menyerbu masuk dan salah seorang
diantara mereka segera membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu
tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu dia segera
melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang namun akibatnya ujung pedang
terus menyambar lenganmu dan membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok,
Prana… Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya. Sebelum Tiga
Setan Darah mencincangmu, kakakku Empu Krapel berhasil menyelamatkanmu dan
menyerahkanmu kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau tidak
tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah begini!”
Pranajaya terdiam seketika.
Dendam membara di lubuk hatinya. Lalu tanyanya.
“Yang manakah diantara Tiga
Setan Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang tidur itu.
Empu…?”
“Aku kurang tahu, Prana” sahut
Empu Blorok.
“Keterangan kakakkku waktu
membawa kau ke sini kurang jelas.” Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan
maka Pranajaya berkata, ”Murid minta diri, guru. Muhon, doa restumu….” Empu
Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu sambil akhirnya Pranajaya hilang
dikejauhan. Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya ke arah pintu
gerbang Kotaraja. Suasana tidak berubah seperti tadi-tadi. Dua pengawal berdiri
di sisi-sisi pintu gerbang, masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada
yang lalu lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian.
“Sampai berapa lama lagi aku
musti menunggu?” tanya Pranajaya pada dirinya sendiri. Hatinya kesal.
Sebenarnya dia tidak takut memasuki Kotaraja untuk lekas-lekas membuat
perhitungan dengan Tiga Setan Darah. Malah ini adalah satu permulaaan baginya
untuk menjajaki sampai di mana ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya ysng
dimilikinya serta sampai di mana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di Kotaraja
itu! Namun dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak
gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia musti menunggu terus.
Manunggu sampai Tiga Setan Darah keluar dari pintu gerbang Kotaraja. Menurut
keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang pengawal istana yang disogoknya dengan
sekeping emas, hari itu Tiga Setan Darah akan meninggalkan Kotaraja, pergi ke
satu tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin pengawal
istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya? Letih berdiri akhirnya
Pranajaya duduk di tanah, bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya
senantiasa ditujukan ke pintu gerbang Kotaraja itu.SEMENTARA itu di Kotaraja
………. Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah menyelidik ke
kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta bulu tengkuk dan ekornya
dicelup merah telah dilihatnya di dalam kandang kuda istana yang besar itu.
Hatinya lega. Ini satu pertanda bahwa Tiga Setan Darah masih berada di dalam
istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan hadiah apa yang kira-kira bakal
diberikan Tiga Setan darah kepadanya kelak. Dua pengawal di pintu belakang
Istana menjura hormat sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka
yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju kandang kuda. Orang
laki-laki tadi segera mendekati Tiga Setan Darah. Setelah menjura dia berkata,
“Bolehkah aku bicara dengan kalian…?” Tiga Setan Darah yang paling tua
menghentikan langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua orang
kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan panting tapi kini ada seseorang
yang mengganggu. Ini sangat menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki
yang berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang dikenalnya, Tiga
Setan Darah tertua ini surut jugs sedikit amarahnya.
“Ada perlu apa kau?!” tanyanya
kasar.
“Ada keterangan panting yang
bakal kusampaiken Tiga Setan Darah.”
“Hemm… Coba katakan cepat,”
kata Setan Darah tertua sambil mengerling pada dua orang kawannya.
“Seorang asing hendak berbuat
jahat tarhadap kalian bertiga….”
“Hah… apa?!”
“Malam tadi aku tengah makan
di kedai,” menuturkan pegawai Istana itu. Namanya Camar Pawang.
“Lalu ada seorang asing
mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan tentang Tiga Setan Darah
dia akan memberikan hadiah sekeping emas. Aku segera maklum bahwa orang asing
itu bukan bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu dan
kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan palsu!”
“Apa yang itu orang asing
tanya dan apa yang kau terangkan padanya?” tanya Tiga Setan Darah kedua.
“Dia tanya kalau-kalau aku
tahu bila kalian bertiga meninggalkan Istana dan keluar dari Kotaraja.”
“Apa, jawabmu?” tanya Setan
Darah Ketiga.
“Kuberikan keterangan dusta.
Kukatakan bahwa Tiga Setan Darah hari ini akan pergi ke satu tempat di selatan
untuk satu urusan penting…“ Setan Darah pertama melototkan mata. Saat itu dia
dan kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat untuk menjalankan
tugas Baginda, tapi bukan ke selatan melainkan ke daerah barat Kotaraja.
“Aku tidak percaya!” kata
Setan Darah pertama, “Coba, mana emas itu, aku mau Iihat!” Camar Pawang
mengeruk sakunya dan mengeluarkan sekeping kecil emas yang diterimanya dari
orang asing itu.
Setan Darah pertama mengambil
kepingan emas itu, memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia
bertanya,
“Bagaimana ciri-ciri orang
asing itu?!”
“Dia masih muda, Tampangnya
cakap, berbaju biru dan tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, di
sebelah punggung menyembul ujung gagang pedang….”
“Hem…” Setan Darah pertama
menggumam. Dia anggukanggukkan kepala beberapa kali.
“Ada lagi yang hendak kau
katakan?” Camar Pawang menggeleng.
“Kalau begitu kau tunggu apa
lagi?! Cepat berlalu dari hadapan kami!” bentak Setan Darah pertama. Camar
Pawang mundur satu langkah dan memandang pada kepingan emas yang masih
ditimang-timang Setan Darah Pertama.
“Emas itu..,” kata Camar
Pawang.
“Emas bapak moyangmu!” semprot
Setan Darah Kedua,
“Sudah untung kau tidak kami
gebuk, masih mau minta emas! Pergi!” Camar Pawang memandang pada Setan Darah
Pertama. Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh daw membalikkan badannya
sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya. Camar Pawang menelan
ludah. Sudah dibayangkannya dia bakal mendapat hadiah dari Tiga Setan Darah,
tapi malah emas yang diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia
bermuka merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya dan
meninggalkan tempat itu. Di depan pintu kandang kuda, Setan Darah Pertama
hentikan langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya.
“Apa pendapat kalian?”
tanyanya. Setan Darah kedua mengusap dagunya lalu berkata, “Jika keterangan
kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu menunggu kita di satu
tempat di daerah selatan…”
“Aku merasa heran juga,”
membuka mulut Setan Darah Ketiga, “seingatku kita tak pernah bikin urusan
dengan seorang pemuda bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari
keterangan tentang kita sebenarnya?” Setan Darah Pertama merenung sejenak.
“Kalau mau, kita masih ada
waktu untuk menyelidik ke selatan.” Dua orang kawannya menyetujui hal itu.
Ketiganya segera mengambit kudanya masingmasing.
2
ANGIN dari timur bertiup lagi
melambai-lambaikan rambut dan lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya.
Bila untuk kesekian kalinya pemuda ini memandang lagi ke arah utara maka
membesilah parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang kuda
kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda dan penunggangnya
berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat kepada jumlah
penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada warna pakaian mereka, Prana
segera maklum bahwa mereka bukan lain daripada Tiga Setan Darah yang memang
sedang dittunggutunggunya sejak tadi! Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya!
Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! Tanpa menunggu lebih
lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka
pemnda ini sudah lenyap dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari
kencang menuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga
Setan Darah. Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana tak pernah
menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu mengentengi tubuh hebat
yang telah dikuasainya! Pranajaya sampai diliku jalan lebih dahulu dari Tiga
Setan Darah. Pemuda ini menunggu dengan hati tegang tapi tetap tenang. Dia
maklum Tiga Setan Darah manusia-manusia berilmu tinggi karenanya dia tidak
boleh bertindak ceroboh. Suara derap kaki kuda terdengar semakin dekat akhirnya
muncullah penunggangpenunggang kuda itu satu derni satu di tikungan jalan.
“Berhenti!” teriak Pranajaya
sambil angkat tangan kanannya. Tiga Setan Darah sama-sama hentikan kuda
masingmasing dan memandang menyorot pada pemuda yang berdiri di tengah jalan
dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang tidak dusta. Benar pemuda yang
diterangkan ciri-cirinya itulah yang saat ini menghadang mereka. Parasnya
cakap, rambut gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung sebatas siku
sedang dibalik punggurig kelihatan menyembul gagang pedang.
“Pemuda tangan bunting!,” kata
Setan Darah pertama dengan suara keras.
“Apa-apaan ini?!” Pranajaya
menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. Lalu tanyanya dengan membentak,
“Kalian Tiga Setan Darah?!” Prana bertanya untuk meyakinkan.
“Sompret!” maki Setan Darah
Kedua. “Siapa kau yang berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan
hidup?!”
“Aku Pranajaya!” memberitahu
si pemuda. Setan Darah tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh.
“Orang muda, kami memang Tiga
Setan Darah yang terkenal itu. Ada maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai
Istana yang kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan yang
kau mau cari urusan! Apa betul!” Sebelum Pranajaya menjawab, Setan Darah Ketiga
sudah membuka mulut, “Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini sebelum kupuntir
kepalamu!”
“Rupanya dia tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa..!” kata Setan Darah Kedua. Pranajaya berdiri dengan
sepasang kaki terkembang. Sinar di matanya semakin menyorot sedang di air
mukanya membayangkan kebencian dan dendam yang meluap!
“Tiga Setan Darah! Kalian
tentunya betum melupakan peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu
kalian mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama Wijaya?! ” Tentu
saja Tiga Setan Darah terkejut. Ketiganya saling mengerling kemudian Setan
Darah Ketiga menjawab, “Manusia buntung, kami masih ingat. Apa sangkut pautmu
dengan peristiwa itu?!”
“Aku adalah anak orang yang
kau bunuh itu!” jawab Pranajaya tanpa tedeng aling-aling.
“Oh… begitu?!,” desis Setan
Darah Pertama.
“Kawan-kawan!” seru Setan
Darah Kedua, “tentunya pemuda buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung
tangannya dulu itu!”
“Betul!” sahut Prana. Dia maju
satu langkah.
“Yang mana diantara kalian
yang membacokku?!” Setan Darah Pertama tertawa bekakakan.
“Pemuda ingusan, apakah
kemunculanmu kali ini hendak menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan
karena kehilangan lengan kirimu itu?!!” Pranajaya menggeleng perlahan.
“Lahtas?!” tanya Setan Darah
tertua dengan heran.
“Aku datang bukan buat menuntut
balas,” kata Pranajaya, “tapi untuk, meminta jiwa busuk kalian!” Tiga Setan
Darah sama-sama tertawa membahak.
“Pemuda buntung,” ejek Setan
Darah kedua, “kau mimpi di siang bolong!” Setan Darah Pertama menimpali,
“Bapakmu Yang punya dua tangan
kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual tampang!” Setan Darah Ketiga
tidak tinggal diam
“Mungkin kau kepingin
cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?” tanyanya. Dan ketiga manusia bermuka
merah itu tertawa lagi terbahakbahak.
“Manusia-manusia muka kepiting
rebus,” sentak Pranajaya dengan geram, ”silahkan turun dari kuda kalian. Atau
mungkin kalian mau mampus di atas kuda masing masing”?
Merahlah Tiga Setan Darah
mendengar ucapan Pranajaya itu Setan Darah Pertama kebutkan lengan jarbah
sebelah kanan. Serangkum sinar merah menyarnbar dahsyat ke arah Pranajaya.
Pasir dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini. Pranajaya
cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah lewat di sebelahnya segera
pula pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke arah Setan Darah Pertama. Satu
gelombang angin yang padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan
Setan Darah pertama. Ini adalah pukulan “angin sewu” Setan Darah pertama tidak
mengelak sebaliknya tetap berdiri di tempat dan lambaikan tepi jubah sebelah
kiri. Sekali pukul saja maka buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! Tapi
betapa kagetnya si muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan
itu kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang pertama tadi
karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus menyerang ke arah dua belas
jalan darah yang mematikan ditubuhnya! Setan Darah Pertama berseru nyaring lalu
melompat tiga tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhpya menukik ke
arah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah berhadapan dalam
jarak tiga langkah.
“Setan Darah Pertama, biar aku
yang kermus pemuda keparat itu!,” teriak Setan Darah Ketiga. Setan Darah
Pertama tidak ambil perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya menusuk ke muka.
“Makan jariku ini, laknat!”
teriaknya. Serangan ilmu jari “pencungkil karang” memang hebat dan ganas.
Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos sekalipun akan
berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang jari itu! Dan kini sepasang
jari itu menyerang ke mata kiri kanan Pranajaya!
Pranajaya hanya melihat lawan
menggerakkan tangan kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di
depan hidungnya! Pemuda ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasii melewatkan
tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan sekaligus
pukulkan tinju kanannya ke muka! Setan Darah Pertama melihat serangannya yang
mematikan tadi dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya
uatuk menghantam bahu Pranajaya! Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan
untuk mengelak. Namun keduanya lebih monginginkan untuk meneruskan serangan
masing-masing dan menghindar secara ambilan saja. Maka dalam kejap yang
bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda dada lawan sedang tepi telapak tangan
kanan Setan Darah Pertama mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya!
Kedua orang ini sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan
Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang den jatuh duduk! Mukanya
pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak ke dalam membuat sesak nafasnya.
Cepat-cepat manusia muka merah ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga
dalamnya serta atur jalan nafas. Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat
berdiri kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak tangan
kanannya tadi mengandalkan lebih dari separo tenaga dalamnya, tapi si pemuda
masih sanggup berdiri dan masih hidup Di lain pihak Pranajaya merasakan tuang
bahunya laksana patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia
tidak memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya sudah
melayang! Prana memperhatikan Setan Darah Pertama yang saat itu tegak kembali
dengan pandangan mata menyorotkan maut! Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang
tinggi sekali! Pukulan jotos sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa
lawan kiranya cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk di
tanah! Dua orang Setan Darah lainnya yang sudah gatal-gatal tangan mereka untuk
segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri kanan.
“Biar aku yang pecahkan kepala
bangsat ini sendirian!” teriak Setan Darah Pertama beringas.
“Ah! Kunyuk buntung ini
terlalu bagus untuk mampus ditanganmu sendirian,” jawab Setan Darah Kedua.
“Biar kami bantu!” Maka tanpa
menunggu lebih lama kedua orang itu segera menyerbu. Setan Darah Pertama tidak
berkata apa-apa. Meski hatinya beringas tapi dia memaklumi dan melihat
kenyataan sendiri bahwa pemuda rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu
rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu Setan Darah Pertama diam
saja. Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat Pranajaya harus
bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati. Tubuhnya hampir lenyap dalam
telikungan bayangan jubah merah ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus
telah berlalu. Setan Darah Pertama mengkal bukan main.
“Kawan-kawan ternyata tikus
buntung ini punya ilmu yang diandalkan juga!” dia berseru.
“Bagaimana kalau kita bentuk
barisan tiga bayangan siluman?!” Setan Darah yang dua orang lainnya menyetujui.
Dan pada jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera melancarkan serangan
hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman. Setan Darah Pertama
setengah merunduk. Seranganserangannya selalu mengarah bagian kedua kaki lawan
sedang Setan Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan Darah
Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik ke bawah dan
selalu melancarkan serangan ke bagian kepala Pranajaya. Dalam setiap saat
ketiganya bisa berganti tempat dan mengambil alih kedudukan masing-masing,
terutama bila salah seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap
Pranajaya mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua
lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan seranganserangan maut!
Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala kehebatan yang ada maka
sedikit demi sedikit mulai kendurlah perlawanan Pranajaya. Pemuda bertangan
satu itu kini bertahan mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan
terdesak hebat! Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah seorang
pemuda berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan bertangan kosong
dengan tangan kosong pula. Namun menghadapi pengeroyokan tiga musuh besar itu,
di dalam keadaan yang kepepet pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat
itu bukanlah suatu tindakan yang pengecut. Sambil berteriak, “Lihat pedang!”
maka Pranajaya cabut pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu
membabat ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga
bayangan siluman! Sambil bersurut mundur Tiga Setan Darah memperhatikan pedang
Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. Setan Darah Kedua
berbisik pada kawan-kawannya, “Heh, pedang itu pasti senjata mustika! Kita
musti dapat merampasnya !”
“Jangan pikir soal senjata itu
dulu” jawab Setan Darah Pertama.
“Yang penting tangkap bangsat
ini hidup-hidup. Aku ada rencana tersendiri untuk menamatkan riwayatnya.
Kalian….
“ Setan Darah Pertama tidak
sempat mengakhiri ucapannya. Saat itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih
dari pedang bertabur ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan
masing-masing mereka segera cabut senjata. Setan Darah Pertama mengeluarkan
sepasang tombak bermata dua. Setan Darah Kedua mengeluarkan sepasang gada
sedang Setan Darah Ketiga mengeluarkan sepasang golok. Kesemua senjata ini
berwarna merah dan kesemuanya merupakan senjata-senjata mustika sakti ! Percaya
akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya teruskan menyerang ketiga lawan itu.
Trang…. trang…. trang….! Tiga kali pedang putih itu beradu dengan
senjata-senjata lawan. Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget!
Senjata-senjata lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang
Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali
berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas! Sementara itu Tiga
Setan darah sudah tegak memencar. Satu lengkingan nyaring keluar dari
tenggorokan Setan Darah Kedua. Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta
merta menyerbu ke arah Pranajaya !
3
PERTEMPURAN manusia tiga lawan
satu itu, kecamukan enam senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan
dan mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah pastilah
salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata. Sinar merah jubah dan
senjata-senjata Tiga Setan Darah bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata
Pranajaya. Berkali-kali pemuda ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan
tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya tidak memiliki
ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta kegesitan yang luar biasa, sudah
sejak tadi-tadi mungkin dia akan mienjadi pecundang. Prana berkelebat laksana
bayang-bayang. Pedang putihnya membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus
lihai yang dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok. Sepuluh jurus telah
berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan Darah masih belum sanggup
membuktikan kehebatan nama baser mereka selama ini. Malah pada jurus keduapuluh
satu, Setan Darah Ketiga berseru tertahan dan menyurut mundur! Ternyata jubah
merahnya robek besar disambar ujung pedang lawan! Masih untung kulit dadanya
tidak kena diserempet !
“Bedebah!” rutuk iaki-laki
itu.
“Jangan harap kau bisa
bernafas sampai tiga kali kejapan mata!” Dengan amarah yang meluap Setan Darah
Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan menyerbu Pranajaya.
“lngat Setan Darah Ketiga!”
teriak Setan Darah Pertama.
“Pemuda ini aku mau tangkap
hidup-hidup!”
“Lebih bagus kalau dicincang
lumat saja!” sahut Setan Darah Ketiga.
“Aku yang jadi pemimpin
kalian!” teriak Setan Darah Pertama marah.
“Kau harus ikut apa yang ku
katakan!”
Setan Darah Ketiga menindas
kemarahannya sedapat-dapatnya. Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa
dia musti tunduk pada Setan Darah Pertama. Pertempuran seru berkecamuk lagi.
Agaknya kini Tiga Setan Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat
mereka yang lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka
Pranajaya mulai pula terdesak. Trang! Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan
senjatanya dengan senjata Setan Darah Pertama. Sebelum bunga api yang
bergemerlap lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya
maka sepasang gada dan golok Setan Darah lain-lainnya sudah datang menjepit
pedang Ekasakti di tangan Pranajaya. Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan
sekuat tehaga dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan! Tapi
sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada berdaya di jepit
oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana lengket. Prana keluar
keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain baginya kecuali melepaskan
pedangnya pada gagang pedang, menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan
lawan! Setan Darah Pertama tertawa mengekeh.
“Sekarang kau baru tahu siapa
kami hah?!”
“Tikus buntung hendak bernyali
besar beginilah jadinya!” ejek Setan Darah Ketiga. Tiba tiba, tiada terduga
dengan bergantungan pada gagang pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya
melesat ke muka. Kaki kanannya menendang dan karena tidak menyangka, Setan
Darah Pertama tidak keburu menghindar! Setan Darah Pertama mengeluh tinggi.
Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua tulang iganya telah
patah dilanda tendangan Pranajaya!
“Anjing buduk!” maki Setan
Darah Kedua begitu melihat kawannya kena dihantam lawan. Tanpa menunggu lebih
lama manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan ke
pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak keburu
menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam keadaan tubuh kaku
laksana patung! Setan Darah Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan
Pranajaya.
“Bagaimana lukamu?” tanya
Setan Darah Kedua.
“Bangsat ini telah mematahkan
dua tulang igaku,” jawab Setan Darah Pertama setengah menggeram.
“Detik ini juga dia akan
terima balasannya!” Habis berkata begitu Setan Darah Pertama lancarkan satu
tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Pemuda ini menggelinding beberapa
tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya tertotok tiada berdaya
namun perasaan masih tetap ada dan mulutnya masih bisa mengeluarkan suara
erangan kesakitan! Setan Darah Pertama masih belum puas.
“Ini satu lagi!” katanya dan
untuk kedua kalinya.kaki kanannya mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang
jadi sasaran adalah muka Pranajaya. Pemuda ini berusaha menahan jeritan yang
hendak melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya patah
dan hidungnya mengucurkan darah kental panas ! Setan Darah Pertama memburu
lagi. Ketika dia hendak menendang sekali lagi, Setan Dareh Kedua memegang
bahunya.
“Kali ini dia bisa mampus! Apa
kau lupa akan rencanamu sendiri?!” Setan Darah Pertama menarik pulang kaki
kanannya. Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia berteriak,
“Setan Darah Ketiga, ambil
tali!” Setan Darah Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki itu.
“Pemuda edan!” kata Setan
Darah Pertama sambil belutut dihadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap.
“Sebentar lagi kau akan
rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau tubuhmu kuat kau akan hidup
sampai ke Kotaraja. Tapi kalau tidak, kau akan mampus di tengah jalan!” Habis
berkata begitu Setan Darah Pertama segera mengikat pergelangan tangan kanan
Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain diikatkannya ke leher kudanya.
Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang bakal diterimanya!
Pemuda ini berteriak, “Setan Darah keparat! Bunuh aku sekarang juga!” Setan
Darah Pertama tertawa.
“Kau memang akan mampus,
kunyuk buntung!” jawab Setan Darah Pertama.
“Akan mampus, tapi dengan cara
perlahan-lahan! Sepanjang jalan menuju ke ajalmu kau dapat saksikan keindahan
pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?!” Setan Darah
Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu dan memandang
berkeliling.
“Mana pedangnya?!”
“Aku sudah ambil!” jawab Setan
Darah Ketiga.
“Bagus!” Setan Darah pertama
tepuk pinggul kuda merahnya dengan keras. Binatang itu meloncat ke muka siap
untuk berlari kencang dan menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu
sampai ke Kotaraja. Namun disaat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok
bayangan putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek.
“Kekejamanmu sangat
keterlaluan Tiga Setan Darah!” kata pendatang baru ini dengan membentak. Tiga
Setan Darah Pertama dan kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan kuda
masing-masing. Sepasang mata Tiga Setan Darah Pertama memandang ke muka dengan
menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua rahangnya mengatup menonjol!
“Cindur Rampe!” hardik Setan
Darah Pertama.
“Setahuku kau ada tugas di
sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan jangan ikut campur
urusan kami!” Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi kaki
tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda dengan Tiga Setan Darah
namun antara resi ini dengan ketiga Setan Dorah sejak lama terdapat
perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan ini sebenamya adalah akibat
bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang
Tiga Setan Darah. Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokoh-tokoh istana
lainnya berhasil mencegah mereka. Namun sejak itu pula diantara mereka semakin
memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang sewaktu- waktu bisa meledak!
Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam janggut kambing. Sambil
sunggingkan senyum mengejak dia berkata, “Tentu pemuda malang itu akan kau
seret ke Kotaraja. Semua orang akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama
dan kira-kira berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?!”
Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu langkah.
“Soal kekejaman kau tidak
lebih baik dari kami resi muka kambing!” sentak Setan Darah Kedua. Cindur Rampe
tertawa dingin.
“Cindur Rampe, kuharap segera
berlalu. Aku muak melihat tampangmu!” menyambungi Setan Darah Ketiga. Resi itu
tertawa lagi. Lalu katanya,
“Aku sendiri sudah sejak lama
kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus!” Setan Darah Pertama
kertakkan geraham.
“Cindur Rampe, agaknya kau
sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin masih belum puas dengan
pertengkaran dalam pertemuan tempo hari?!”
“Ah… rupanya kau masih belum
lupakan hal itu!” kata Cindur Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang
megap-megap hampir kehabisan nafas.
“Selama matahari masih terbit
di timur, selama air sungai masih mengalir ke laut. Tiga Setan Darah tak pernah
melupakan hal itu!”
“Bagus sekali jika demikian!”
menyahuti Cindur Rampe.
“Kuharap di lain kesempatan
kita bisa menyelesaikannya!” Setan Darah Pertama mengekeh.
“Menentang kami sama dengan
menentang angin topan! Menentang Tiga Setan Darah sama dengan menentang gunung
karang! Jangan terlalu pongah dan buta resi muka kambing!”
“Nama kalian memang sudah
kesohor, apalagi kebejatan dan kekejaman kalian! Tapi kalau cuma
cecunguk-cecungkuk macammu, sepuluh orangpun aku akan layani!” Naiklah darah
Tiga Setan Darah.
“Rupanya kau mau mampus
sekarang juga, resi keparat!” bentak Setan Darah Kedua. Dia melompat ke muka
dan kirimkan satu serangan tangan kosong! Cindur Rampe melompati ke samping
sambil tertawa.
“Jangan terlalu kesusu monyet
muka merah! Ini hari aku masih ada urusan. Di lain ketika aku tak akan
sungkan-sungkan lagi untuk menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini kukembalikan
seranganmu!” Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya.
Selarik angin panas mengebu ke arah Setan Darah Kedua. Pukulan yang dilepaskan
Cindur Rampe adalah pukulan ireng weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi
oleh Tiga Setan Darah. Karenanya Setan Darah Kedua melompat dua tombak ke atas.
“Wuss !”
Angin pukulan menghantam pohon
kayu di tepi jalan. Kejap itu juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke
ranting-rantingnya!
Terkejutlah Tiga Setan Darah.
Rupa-rupanya resi Cindur Rampe betul-betul inginkan jiwa mereka! Setan Darah
pertama dan ketiga segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk
mengeroyok resi itu. Tapi Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan meninggalkan
tempat itu sambil berseru, “Sampai nanti Tiga Setan Darah. Kuharap kalian suka
bersabar menunggu saat kematian kalian!”
“Anjing buduk! Jangan lari!”
teriak Setan Darah Kedua. Tapi Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan.
Setan Darah Pertama memaki dan menyumpah nyumpah.
“Lain hari kita tak perlu
kasih hati pada si muka kambing itu!,” katanya. Dia melompat kembali ke atas
kudanya diikuti oleh dua orang kawankawannya. Ketika kuda Setan Darah Pertama
bergerak, maka tubuh Pranajaya mulai terseret. Tubuh pemuda murid Empu Blorok
ini akan terseret sepanjang perjalanan menuju Kotaraja. Bila Pranajaya bernasib
baik, dia akan tetap hidup sampai di Kotaraja. Jika tidak nyawanya akan lepas
di tengah jalan dan dia akan menemui kematian dalam keadaan yang mengerikan.
Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan yang kejam luar biasa
itu?
4
KALI WELANGMANUK telah dua
hari yang lalu mereka seberangi. Lembah Manukwilis di mana terletak Gedung
Biara Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu berlari
dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala menyeberangi kali-kali kecil,
kadangkala mendaki dan menuruni bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar
dari sebuah rimba belantara. Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala
keduanya sampai di satu persimpangan jalan. Pemuda rambut gondrong hentikan
larinya. Orang yang disampingnya juga melakukan hal yang sama. Ketika pemuda
itu membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling bertemu. Si pemuda
mengukir senyum dibibirnya dan berkata, “Agaknya kita terpaksa berpisah di
sini, Sekar.” Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua matanya
yang bening masih balas menatap pandangan si pemuda. Dan si pemuda segera bisa
memaklumi. Dari sinar mata gadis itu di ketahuinya bahwa perpisahan itu
merupakan satu hal yang berat bagi si gadis. Sambil tertawa si pemuda berkata,
“Di lain ketika aku berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar.” Dia menjura
sedikit dan berkata lagi, “Jangan lupa sampaikan salam hormatku pada gurutnu
Empu Tumapel….“ ”Wiro..,” si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya.
Suaranya perlahan, setengah berbisik. ”Kau sendiri mau terus ke manakah?”
tartyanya.
“Aku… ah… Manusia macamku ini
pergi membawa kakinya saja. Mengembara tiada tentu tujuan.”
“Mengembara adalah satu hal
yang kucita-citakan sejak aku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan
saudarasaudaraku,” kata Sekar pula.
“Tapi kau musti kembali ke
tempat gurumu! Kau pernah bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat…” Sekar
ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara Pensuci Jagat suatu malam mereka
berkemah di tepi sungai yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan
panggang, mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang gurunya di
Goa Blabak, tentang segala hal mengenai dirinya. Malam sejuk di tepi sungai itu
tak akan pernah dilupakan oleh Sekar. Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia
luar pada malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah seorang
gadis. Seorang gadis yang disaat itu untuk pertama kalinya merasakan betapa
indahnya berada di samping seorang pemuda. Betapa romantisnya. Dan Sekar ingat
sewaktu Wiro memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu, Pendekar 212 itu
memeluknya, merangkulnya erat-erat dan sewaktu pemuda itu melumas bibirnya
dengan ciuman yang mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya! Ingat pula
bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si pemuda dan seperti orang
mabuk anggur mereka melakukan apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu
kemudian berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan kesadaran
yang berapi-api!
“Aku bisa menunda kembali
kepertapaan,” kata Sekar
“Keberatan kalau aku ikut
sama-sama dengan kau….?” Wiro Sableng tertawa.
“Tentu saja tidak,” kata
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal
itu.
“Tapi kau musti ingat Sekar.
Mengembara dalam dunia persilatan bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat
pemandangan! Pengembaraan di dunia persilatan adalah persoalan hidup atau
mati!”
“Aku toh juga orang
persilatan, Wiro.”
“Betul. Namun kini belum
masanya kau memulai pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat
gurumu dulu.” Sekar menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian
katanya,
“Sekar, jangan jadi anak
kecil. Salah-salah kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangimu di Goa
Blabak. Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku yang sebelah
kiri, yang menuju ke Kotaraja.”
“Aku ikut dengan kau ke
Kotaraja,” berkata Sekar.
“Busyet!” kata Wiro Sableng
dalam hati dan digaruknya lagi kepalanya.
“Bisa berabe Sekar. Bisa
berabe!,” katanya pada gadis itu.
“Gadis secantikmu ini kalau
masuk ke Kotaraja pasti semua mata laki-laki akan melotot! Kalau terjadi
apa-apa dengan dirimu bagaimana…?!“
“Aku tidak takut,” kata gadis
sembilan belas tahun itu. Wiro menghela nafas dalam dan angkat bahu.
“Kotaraja penuh dengan
tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan kau…”
“Kalau kita tidak berbuat
kejahatan kenapa musti takut masuk ke Kotaraja?,” ujar si gadis. Kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi dia melangkah memasuki jalan sebalah kiri. Wiro Sableng
geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak berlalu dari persimpangan jalan
itu menempuh jalan sebelah kanan. Tapi hatinya menjadi bimbang. Dipandangnya
punggung Sekar. Gadis itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai
berlari. Wiro Sableng akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar.
PENDEKAR 212 dan Sekar baru
saja keluar dari sebuah kedai sehabis mengisi perut sewaktu di jalan dihadapan
mereka menderu derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki
mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka merah. Yang membuat
kedua orang ini terkejut bukanlah karena memandang muka-muka yang aneh serta
lucu itu tapi adalah sewaktu menyaksikan bagaimana dibelakang kuda yang paling
depan ikut terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya
hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat dikenali lagi.
Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan debu. Tak dapat dipastikan
apakah dia masih hidup atau sudah mati!
“Biadab!” desis Sekar sewaktu
ketiga penunggang kuda itu berlalu.
“Aku tak bisa membiarkan
kekejaman itu, Wiro!” Sekar segera hendak melompat ke muka dan mengejar. Tapi
Wiro Sableng cepat memegang lengan gadis ini.
“Jangan bodoh, Sekar!” katanya.
“Kita tidak tahu siapa tiga
manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang diseret.
Mungkin laki-laki ini seorang jahat!”
“Aku tidak yakin, justru
manusia-manusia muka merah itulah yang bertampang buas kejam!”
“Aku tahu, tapi jangan
bertindak gegabah, Sekar. Ini Kotaraja!”
“Persetan dengan Kotaraja!”
tukas si gadis.
“Sudah tak usah ngomel. Mari
kita ikuti mereka!” ujar Wiro pula. Keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Tiga penunggang kuta itu memasuki sebuah gedung tua tak berapa jauh dari
Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi dibawa ke dalam. Kemudian
gedung itupun sunyi senyap.
“Kita masuk ke dalam Wiro,”
bisik Sekar.
“Kataku jangan gegabah,” kata
Pendekar 212 dengan pelototkan mata. Di seberanginya jalan dan ditemuinya
seorang pejalan kaki di seberang jalan itu.
“Saudara kau lihat tiga
penunggang kuda tadi?” tanya Wiro. Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih
meremang mengingat apa yang disaksikannya tadi.
“Siapa ketiga manusia itu?”
tanya Wiro Sableng lagi.
“Mereka adalah Tiga Setan
Darah.”
“Tiga Setan Darah…?” ujar
Wiro. Pasti itu nama julukan mereka pikir Wiro. Dan dari nama julukan ini
nyatalah bahwa memang mereka bukan manusia baik-baik! Kemudian tanpa ditanya
orang tadi berkata lagi.
“Mereka adalah kaki tangan
pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam luar biasa…!”
“Kenapa Baginda memelihara
setan-setan macam mereka?!” tanya Wiro.
“Untuk menjaga keamanan Istana
dan Kerajaan. Tapi Baginda tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu…”
“Kenapa rakyat tidak mau kasih
tahu?”
“Kalau mau mampus boleh saja!”
jawab laki-laki itu.
“Kau kenal siapa itu orang
yang diseret dengan kuda?” Laki-laki itu menggeleng. Wiro Sableng kembali
menyeberang jalan menemui Sekar.
“Kau bicara apa dengan dia?” Wiro
menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini segera hendak menyeberang
memasuki halaman gedung tua tapi mereka segera berlindung cepat-cepat di balik
sebatang pohon besar karena dari samping gedung ketiga penunggang kuda tadi
kelihatan memacu kudanya masing-masing meninggalkan gedung! Begitu mereka
lenyap di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki halaman gedung. Mereka
menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu kayu. Wiro memandang
berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa raguragu Pendekar 212 ulurkan tangan
mendorong pmtu kayu itu. Aneh sekali! Meski pintu itu terbuat dari kayu namun
Wiro tak berhasil mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan
seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan dan terbuka sedikit
demi sedikit.
Begitu daun pintu kayu itu
terbuka lebar maka tiba-tiba dari hadapan mereka berdesing lima buah senjata
berbentuk anak panah berwarna merah!
“Sekar! Awas!” teriak Pendekar
212. Cepat-cepat pemuda ini menarik lengan si gadis ke samping. Lima senjata
rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala dan di muka hidung mereka. Dua
dari panah merah itu menancap dibatang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang
pohon itu sampai ke cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya menjadi merah!
Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu mengandung racun yang amat jahat!
Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 212 dengan leletkan lidah berkata
pelahan, “Keparat betul! Tempat ini pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita
harus hati-hati Sekar.” Wiro menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping.
Kemudian dengan kaki kirinya pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat
tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula selusin senjata
rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di. depan mereka. Beberapa
diantaranya menancap lagi dibatang pohon yang sama! Pendekar 212 menyeringai.
“Lihai juga,” katanya pelahan.
“Sebaiknya kau tunggu di sini
Sekar…”
“Aku ikut bersamamu!” kata
Sekar tegas.
“Di dalam gedung tua ini pasti
lebih banyak bahaya. Jangan jadi orang tolol!” Gadis berbaju kuning ini tidak
ambil perduli ucapan si pemuda melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk
melewati pintu yang tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau Wiro juga melangkah
mengikuti. Seperti suasana di luar, dibagian belakang gedung itupun diselimuti
kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok hijau berlumut. Halaman
ditumbuhi semak-semak dan rumput liar.
Dengan sikap berhati-hati
kedua orang ini melangkah menuju ke tangga yang berhubungan dengan pintu belakang
gedung. Wiro berjalan di depan. Ketika salah satu kakinya menginjak tanah di
dekat anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya mencekung aneh dan
lembut. Wiro cepat tarik kakinya dan melangkah mundur!
“Ada apa?” tanya Sekar dengan
berbisik. Pendekar 212 tidak menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah
pot bunga besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot bunga
yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga yang tadi
dipijaknya. Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak
tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur berkeping-keping. Wiro
meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri ke tanah. Tubuh mereka kotor
tersembur tanah dan kepingan batu tangga!
“Gedung setan apa ini?!” rutuk
Wiro sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan
berkata, “Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kotaraja. Kini kau lihat
sendiri!”
“Tak usah bertengkar
terus-terusan, Wiro” menyahuti murid Empu Tumapel itu.
“Kita harus cepat mencari
laki-laki tangan buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini!” Wiro
garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian belakang gedung itu dan
berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal dihadangnya bila dia menaiki anak
tangga dan membuka pintu itu! Dalam dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba
dilihatnya Sekar mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang
gedung. Angin pukulan menderu dahsyat dan…
Braak!
Pintu itu pecah berantakan.
Sekar dan Wiro menunggu. Tak
ada terjadi apa-apa.
“Aku tak percaya kalau pintu
itu tidak menyembunyikan rahasia maut!” kata Wiro Sableng. Dijangkaunya sebuah
arca kecil yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu kemudian
digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu. Begitu arca mencapai
pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca lenyap jatuh ke dalam sebuah
lobang dan lantai kembali menutup!
“Gedung edan!” rutuk Wito
Sableng.
“Kau masih punya nyali untuk
masuk kedalamnya?!”
“Mengapa tidak?!” ujar Sekar.
“Aku kagum dengan
keberanianmu,” puji Wiro sejujurnya.
“Bersiaplah, kita melompat ke
dalam lewat pintu itu. Kerahkan seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di
dalam gedung itu bukan mustahil perangkap semua!” Kedua orang ini bersiap-siap
untuk menerobos pintu yang sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman
depan terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut.
“Mereka kembali!” bisik Sekar.
Gadis ini segera keluarkan senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya
diganduli bola besi berduri. Inilah senjata “Rantai Petaka Bumi” yang dahsyat.
Wiro berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit dan berbisik pada
Sekar, “Cepat lompat ke atas genteng!” Si gadis melotot.
“Apa kau tidak punya nyali
menghadapi mereka? Manusiamanusia terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari
muka bumi, Wiro! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana!” Wiro
menggerendeng.
“Kita belum tahu siapa yang
datang itu! Kalau benar mereka, dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana
mereka masuk ke dalam gedung!” Sekar hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro
Sableng sudah membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama!
Keduanya menunggu. Suara
kaki-kaki kuda berhenti sebentar, lalu terdengar lagi memasuki halaman samping.
“Bukan mereka,” desis Wiro dan
Sekar memalingkan kepalanya ke halaman samping.
5
YANG DATANG ternyata seorang
penunggang kuda berkepala gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat
pesek, hampir sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat
pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma memakai
cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya terkempit sebilah
bambu berbentuk pikulan!
“Monyet terlepas dari mana
ini?!” bisik Wiro Sableng.
“Dia bukan manusia sembarangan
Wiro,” desis Sekar.
“Kau kenal dia?” tanya Wiro.
“Guruku pernah bilang manusia
yang berciri-ciri macam dia. Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin
dia mustilah Si Setan Pikulan!”
“Buset! Apa tidak ada gelaran
yang lebih jelek dari Setan Pikulan itu?!” seringai Wiro. Penunggang kuda yang
datang itu memang Setan Pikulan. Nama sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan
kuda di depan lobang besar di muka tangga pintu belakang. Diperhatikannya
lobang itu sebentar lalu dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya.
Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil mengusap-usap
kepalanya yang botak.
“Tiga Setan Darah!” Setan
Pikulan berteriak.
“Apa kalian ada di dalam?!”
Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main, menggetarkan seantero halaman
belakang gedung tua itu, menggetarkan genteng di mana Wiro dan Sekar berada.
“Tenaga dalarnnya hebat
sekali,” bisik Wiro pada Sekar.
“Ah, rupanya kalian tak ada di
rumah!” terdengar Setan Pikulan berkata. ”Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua
orang tamu dari jauh, tuan rumah tidak ada! Sayang sekali!”
Wiro dan Sekar sama terkejut
dan saling berpandangan Mereka yakin dua orang tamu yang dimaksudkan oleh
manusia kate itu pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang
ini di bawah terdengar bentakan Setan Pikulan.
“Cecunguk-cecunguk yang di
atas genteng, lekas turun! Mataku yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun!”
Sekar segera bergerak hendak melompat turun. Tapi Wiro menarik bajunya
kuningnya.
“Biar aku yang turun,” kata
murid Eyang Sinto Gendeng ini. Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan
cepat melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara dan
gerakan melompat si pemuda dan juga memperhatikan ketika sepasang kaki Wiro
menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama sekali tiada mendengar sedikit
suarapun dari beradunya kaki dan tanah. Wiro Sableng menjura sewajarnya dan
dengan senyum ramah dia berkata,
“Kalau aku tak salah, bukankah
saat ini aku berhadapan dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan?” Setan
Pikulan menyeringai.
“Rupanya matamu tajam juga
orang muda. Harap beritahu siapa kau.”
“Ah…, aku ini seperti yang kau
katakan tadi, cuma cecunguk biasa saja…” jawab Wiro.
“Kenapa sembunyi di atas atap
dan kenapa kawanmu cecunguk yang satu lagi itu tidak mau turun?!” Wiro tertawa
dan berseru, “Sekar, turunlah.” Sewaktu Sekar turun dan berdiri di samping Wiro
Sableng maka menyeringailah Setan Pikulan.
“Ternyata seorang gadis
cantik!” katanya. Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah sedang kedua matanya
yang juling semakin juling karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang
cantik jelita.
“Melihat kepada tindak
tandukmu pastilah kalian datang ke sini bukan dengan maksud baik. Apa lagi
penghuni rumah tidak ada. Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Setan Darah
jika mereka mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan membuat
kerusuhan di rumahnya?”
“Harap jangan salah sangka
Setan Pikulan. Kami ke sini sebetulnya mengejar seorang pencuri. Tapi dia
lenyap entah ke mana…!” kata Wiro berdusta. Setan Pikulan tertawa mengekeh.
“Sama aku tak usah bicara
dusta! Lekas terangkan siapa kalian dan apa maksud kalian ke sini!! Kalian
musti tahu bahwa Tiga Setan Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan
menghukum kalian bila kalian ternyata bersalah!”
“Kalau kau kawannya Tiga Setan
Darah, tentu kau juga seorang tokoh Istana!” ujar Wiro.
“Apa aku tokoh Istana atau
bukan tak perlu tanya!.” sentak Setan Pikulah.
“Lekas jawab pertanyaanku
tadi!”
“Kami cecunguk!” sahut Wiro.
“Kau sendiri tadi sudah bilang!”
Marahlah Setan Pikulan.
“Seharusnya kubetot putus
lidahmu, pemuda hina dina!” hardik Setan Pikulan.
“Tapi dengar… kalau kau mau
tinggalkan gadis cantik ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak
akan laporkan pada Tiga Setan Darah bahwa kalian telah mongobrak-abrik rumahnya
ini…!” Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam.
“Biar aku betul-betul monyet
sekalipun, aku tidak sudi menjadi mangsa bejatmu!” Setan Pikulan tertawa. Wiro
berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia berkata pada si gadis,
“Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini menunjukkan di mana laki-laki
buntung itu disekap. Kau musti purapura marah…” Pendekar 212 memandang pada
Setan Pikulan lalu berkata, “Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang
tidak berguna. Tapi harus ada imbalannya…!”
“Wiro! Apa kau sudah gila?!”
teriak Sekar pura-pura marah dan melototkan mata. Wiro tak ambil perduli.
“Bagaimana?” tanyanya pada
Setan Pikulan.
“Katakan maumu!.”
“Seorang kawanku telah
dilarikan oleh Tiga Setan Darah dan disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di
bagian mana. Gedung ini penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-perangkap!
Kalau kau mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari sini,
gadis tak berguna ini kuserahkan padamu…!”
“Baik!” Setan Pikulan terima
syarat itu. Untuk kesekian kalinya dibasahinya lagi bibirnya sebelah barah.
Sementara itu Sekar memaki-maki Wiro Sableng tiada hentinya. Setan Pikulan
melompat dari kudanya.
“Bagaimana aku yakin kalau
kalian tidak menipuku?!” tanya manusia kate berkepala gundul ini.
“Kau terlalu curiga, Setan
Pikulan! Kalau aku menipumu berarti aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang
disekap oleh Tiga Setan Darah.” jawab Wiro Sableng.
“Betul juga,” kata Setan
Pikulan.
“Tapi untuk benar-benar meyakinkan
biar kulakukan ini dulu…” Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa Setan
Pikulan menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal leher Sekar. Saat itu
juga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Wiro memaki dalam
hati.
“Ikut aku!” Setan Pikulan
berkata. Lalu melesat memasuki pintu belakang yang tadi sudah didobrak dengan
pukulan jarak jauh oleh Sekar.
“Ruangan dalam ini penuh
dengan alat dan senjata rahasia. Perhatikan langkahku!” kata si kate kepala
gundul. Dia melangkah enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding hingga
akhirnya sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu
terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking. Dengan ujung
jarinya Setan Pikulan menunjuk.
“Cepat masuk!” teriak Setan
Pikulan. Wiro Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu masuk begitu
pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate itu berpaling pada Wiro.
“Kau lihat pintu dinding
sana?” Wiro mengangguk.
“Kalau kau melangkah sepanjang
lantai ini ke sana, kau akan kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus
bergerak sepanjang tepi dinding sebelah kiri! Mari…” Sambil menyusuri lantai di
tepi dinding sebelah kiri Wiro Sableng bertanya,
“Mengapa Tiga Setan Darah
memasang demikian banyak alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua
ini?!”
“Itu tak perlu kau tanyakan.
Bukan urusanmu!” sahut Setan Pikulan. Setan Pikulan membuka pintu dihadapannya.
Kamar kedua itu kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah
pintu lain.
“Kali ini kita musti menyusuri
tepi lantai di samping kanan,” kata Setan Pikulan. Wiro mengikuti tanpa banyak
bicara. Kamar ketiga, keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua.
“Mungkin sekali kawanmu itu
disekap di ruang batu karang di bawah tanah!” kata Setan Pikulan.
“Apakah kau tahu tempat itu?”
tanya Wiro Sableng. Si kate merenung sejenak.
“Ikuti aku,” katanya. Mereka
ke luar dari kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam mereka berhenti. Setan
Pikulan meneliti lantai kamar dengan sepasang matanya yang juling. Kemudian dia
mendangak ke atas. Pada langit-langit kamar kelihatan tergantung sebuah kawat
yang ujungnya diganduli lampu minyak yang besar sekali. Setan Pikulan melompat
ke atas dan menarik kawat itu satu kali. Aneh sekali tiba tiba lantai di samping
kanan ruangan membuka dan sebuah tangga batu kelihatan. Keduanya melangkah ke
tepi liang itu. Ruang di bawah sana agak gelap hanya diterangi oleh sebuah
pelita. Samar-samar Wiro Sableng melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai
ruangan. Pakaiannya tak kelihatan apa warnanya tapi tangan kirinya buntung.
“Itu kawanmu?” tanya Setan
Pikulan. nBetul.”
“Lekaslah turun, sebelum Tiga
Setan Darah kembali ke sini kita musti tedah meninggalkan tempat ini!” Tanpa
pikir panjang Wiro Sableng segera menuruni anak tangga. Begitu dia menginjakkan
kaki di lantai ruangan batu karang dia terkejut sewaktu di atas didengarnya
suara tertawa bergelak Setan Pikulan.
“Manusia tolol geblek! Aku
tahu kau mau menipu! Sekarang kau sendiri yang masuk perangkap! Kau akan mampus
di ruang batu karang itu! Mayatmu akan busuk!”
“Bedebah keparat!” teriak
Wiro. Dia melompat kembali ke atas. Tapi secepat kilat Setan Pikulan melesat ke
udara, menarik kawat gantungan lampu dan dengan serta merta lantai di ruangan
itu tertutup kembali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk perangkap sudah!
6
SETAN PIKULAN melesat dari
pintu menuju ke halaman belakang gedung. Ketika dia melangkah kehadapan Sekar,
gadis ini yang tubuhnya masih kaku tegang karena ditotok segera bertanya, “Mana
kawanku?” Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa buruk.
“Kalian kira aku ini kambing
tolol yang bisa ditipu mentah-mentah?” ujarnya. Dia berdiri dekat-dekat
dihadapan Sekar. Kepalanya cuma sampai kepinggang gadis itu.
“Dengar gadis molek,” kata
Setan Pilarlan seraya usap perut Sekar dengan tangan kirinya.
“Manusia kurang ajar!” maki
Sekar.
“Lepaskan totokanku, cepat!”
Setan Pikulan tertawa gelak-gelak.
“Gadis molek, siapa-siapa
manusia yang berani menipuku pasti kukirim ke akherat! Kawanmu telah
kujebloskan ke dalam ruang batu karang…!” Setan Pikulan tertawa lagi. Sekar
kaget bukan main mendengar keterangan ini. Dia tahu sendiri bahwa Wiro Sableng
bukan pemuda sembarangan. Ilmu Silat dan kesaktiannya tinggi sekali. Dia bahkan
telah menyaksikan kehebatan pemuda itu di Biara Pensuci Jagat sewaktu bertempur
melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, tapi kenapa kini dia bisa terjebak dan
masuk ke dalam perangkap ruang batu? Apakah ilmu Setan Pikulan jauh tebih
tinggi dari Wiro? Atau mungkin manusia kate bermuka buruk ini telah membokong
dan menipu Wiro secara pengecut?
“Terhadapmu gadis molek…,”
berkata lagi si kate kepala gundul, dia berjingkat dan mengulurkan tangannya
mengelus dagu Sekar. Gadis ini memaki habis-habisan. Setan Pikulan tertawa
bergelak. Dan akhirnya Sekar meludahi muka manusia buruk itu.
“Sompret kau!” bentak Setan
Pikulan. Tapi dia tidak sebenarbenarnya marah. Dengan tertawa-tawa ditariknya
ujung baju kuning Sekar dan disekanya mukanya yang disembur ludah itu.
“Kalau kau tidak secantik ini
pasti sudah kuremas hancur kau punya, muka! Kau kuampuni tapi musti ikut
ketempatku! Untuk selanjutnya kau akan jadi perempuan peliharaanku!”
“Bedebah keparat. Lekas
lepaskan totokanku kalau tidak kelak jiwamu tak akan kuampuni!” Setan Pikulan
tertawa gelak-gelak.
“Kau galak sekali. Aku mau
lihat apakah di tempat tidur kau juga akan segalak ini…. He… he…he…?!” Sekar
memaki dan meludahi lagi muka laki-laki kate itu. Setan Pikulan tak menunggu
lebih lama. Dilakukannya lagi satu totokan yang membuat mulut Sekar menjadi bungkam
bisu tak bisa mengeluarkan suara lagi! Kemudian secepat kilat manusia kate itu
meraih pinggang Sekar, melompat ke atas kudanya dan meninggalkan tempat itu.
SEMENTARA itu di ruang batu
karang di bawah gedung kediaman Tiga Setan Darah…. Begitu Wiro Sableng melompat
dan sampai di anak tangga teratas, lantai di atasnya tertutup dengan cepat!
Pendekar ini memaki habis-habisan. Diterjangnya lantai di atas tangga itu
dengan satu tendangan keras yang disertai aliran tenaga dalam. Jangarrkan
bobol, berbekaspun tendangannya itu tidak! Penasaran sekali Wiro Sableng
alirkan separoh dari tenaga dalamnya ke kaki dan untuk kedua kalinya dia
menendang lagi. Lantai karang yang merupakan langit-langit ruang batu itu keras
dan atosnya bukan olah-olah. Tendangan Wiro Sableng hanya senggup membuat
langit-langit itu tergetar sedikit saja!
“Sialan!” gerutu Pendekar 212.
Kini seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan bentakan dahsyat
pendekar ini menendang ke atas. Ruang batu itu bergoncang! Tapi bagian yang
ditendang tidak mengalami perobahan sedikitpun! Wiro menghela nafas dalam.
Keringat dingin mengucur dikeningnya. Penuh penasaran pemuda ini salurkan
seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu tergetar. Kedua
kakinya merenggang. Dalam keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah
pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam lima atau sepuluh senti. Tapi di
atas lantai karang yang atos itu, hal itu tidak terjadi. Perlahan-lahan
jari-jari tangan pendekar 212 menekuk membentuk tinju.
“Ciaaat!” Didahului dengan
bentakan menggeledek itu Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke atas.
Jari-jari yang terkepal membuka. Satu gumpalan angin keras laksana batu besar
bergulung-gulung dan melesat menghantam bagian atas ruangan batu didekat kepala
tangga! Inilah pukulan kunyuk melempar buah! Ruang batu itu bergoncang dahsyat.
Angin pukulan memantul kembali, memadamkan pelita yang terletak di lantai. Dan
ruangan batu kurang itu dengan serta merta menjadi gelap gulita. Tangan di
depan matapun tak kelihatan ! Wira Sableng menggerendeng, memaki diri sendiri,
memaki akan ketololannya sendiri. Seharusnya dia memperhitungkan bahwa
pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan pelita di ruang batu itu. Dia
berpikir-pikir untuk melepaskan pukan sinat matahari. Tapi Wiro khawatir kalau-kalau
pukulannya itu juga tidak mempan dan akan membalik menghantam dirinya sendiri
serta manusia yang menggeletak di ruangan itu! Sejak masuk ke dalam ruang batu
karang itu baru Wiro ingat pada laki-laki bertangan buntung yang tadi hendak
ditolongnya. Wiro melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya kedua kakinya
menyentuh tubuh laki-laki itu. Dia berlutut. Digoyang-goyangnya tubuh laki-laki
itu. Tiada suara. Tubuh itu basah oleh keringat dan gelimangan darah. Wiro
meletakkan telapak tangan kanannya di dada laki-laki itu. Lama sekali baru dia
berhasil merasakan degupan jantung yang sangat halus dan pelahan! Ternyata
manusia itu masih hidup. Dengan cepat Wiro Sableng salurkan tenaga dalamnya
melalui dada dan pergelangan tangan kanan laki-laki itu. Seperempat jam
berlalu. Masih tak ada reaksi apa-apa. Mungkin manusia itu tak ada harapan lagi
untuk diselamatkan jiwanya, pikir Wiro. Tubuhnya sudah keringatan. Mengerahkan
tenaga dalam selama seperempat jam tanpa terputus-putus merupakan hal yang
sangat berat, kurang hati-hati salah-salah bisa membuat diri sendiri menjadi
rusak di dalam! Ketika sepeminuman teh lewat maka baru terasa laki-laki itu
memberikan reaksi. Tubuhnya bergerak sedikit. Kemudian terdengar suara
erangannya. Erangan yang hampir tak kedengaran. Wiro kerahkan lagi tenaga
dalamnya sampai tubuhnya menjadi lemas. Dia tersandar kedinding dan mengatur
jalan nafas serta darahnya. Kemudian telinganya mendengar erangan laki-laki itu
lebih keras. Erangan kesakitan yang mengeriken!
“Di mana aku?” lapat-lapat
Wiro mendengar laki-laki itu bertanya.
“Sobat, kau sudah siuman?”
“Kau siapa…?” desis laki-laki
itu.
“Apa kau bisa membuka matamu?”
“Ya, sedikit. Tapi semua gelap
sekali!”
“Ya, ruangan ini memang gelap.
Ruang batu karang yang tak beda dengan liang kubur! Kita sama-sama bernasib
sial! Disekap di tempat terkutuk ini…”
“Kenapa kita bisa disekap di
sini….. Siapa yang menjebloskan kita…?”
“Ya. Namaku Pranajaya…”
“Meski kau terkurung di sini,
nasibmu sebenarnya masih untung Prana,” kata Wiro. Pranajaya menghela nafas
dalam.
“Kau kuat sekali. Kurasa
jarang ada manusia yang sanggup bertahan dan masih hidup diseret dengsn kuda
seperti kau.”
“Aku… aku diseret dengan
kuda…?” tanya Prana.
“Ya. Sudahlah, sebaiknya kau
duduk bersila. Atur jalan nafas, aliran darah dan tenaga dalammu…” ”Tidak
mungkin…,” desis Prana.
“Seluruh tubuhku tidak punya
tenaga sedikitpun. Tulang-tulangku serasa remuk!”
“Kau begitu berbaring sajalah
sementara aku mencari akal bagaimana kita bisa ke luar dari tempat terkutuk ini!”
kata Pendekar 212.
“Kau masih belum menerangkan
namamu,” ujar Pranajaya.
“Panggil aku Wiro…..“
“Kau juga seorang dari dunia
persilatan?”
“Sudah, aku bilang berbaring
sajalah,” potong Wiro.
“Aku musti berpikir. Kita
musti ke luar dari tempat celaka ini!” Pranajaya menutup mulutnya. Sekujur
tubuhnya sakit tiada terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam keadaan berbaring
itu dicobanya mengatur jalan nafas, darah dan tenaga dalamnya.
“Plaak!”
Wiro memukul keningnya
sendiri. Tangan kanannya mengeruk saku pakaiannya. Dari dalam saku ini
diambilnya sebuah kantong kecil berisi beberapa buah pil. Diambilnya sebutir
“Aku sampai lupa Prana,
ngangakan mulutmu. Telan obat ini. Seperempat jam mungkin kau bisa lebih
kuatan……” Dalam gelap itu Pranajaya mengangakan mulutnya dan Wiro mencari-cari
dengan tangannya mulut pemuda itu. Bila bertemu maka dimasukkannya pil itu ke
dalam mulut Pranajaya.
Beberapa menit kemudian……
“Rasa sakitku agak berkurang…”
kata Prana pelahan.
“Syukur……”
“Saudara Wiro bagaimana…” Pranajaya
tidak meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap itu dirasakannya Wiro berdiri.
Kemudian tubuhnya didukung den dibawa ke salah satu sudut ruangan.
“Apa yang hendak kau lakukan?”
tanya Pranajaya. Wiro tak menjawab. Dia melangkah ke tengah ruangan kembali.
Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu hitam yang bertuliskan angka
212 serta Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini memancarkan sinar yang
menerangi ruang batu itu. Meski tidak cukup terang tapi Wiro dapat melihat di
mana pelita yang tadi padam terletak. Mata kapak dan batu hitam diadu satu sama
lain. Lidah api menyembur ke arah pelita dan pelita itupun menyala kembali.
Ruang batu karang menjadi terang benderang. Kini kedua manusia itu baru bisa
meneliti paras dan diri masing-masing. Paras Pranajaya mengerikan untuk
dipandang. Kulit mukanya hampir keseluruhannya mengelupas, demikian juga kulit
sekujur badannya. Salah satu telinganya hampir sumplung, hidung lecet. Pakaian
robek-robek. Kulit kepala ada yang mengelupas dan darah, keringat serta debu
membungkus tubuh Pranajaya mulai dari ujung rambut sampai ke kaki! Pendekar 212
kertakkan rahang menahan hatinya yang seperti terbakar melihat keadaan tubuh
laki-laki bertangan buntung itu. Kesalahan apakah yang telah dibuatnya sampai
disiksa demikian biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih lama. Saat itu yang
musti dilakukan ialah mencari jalan ke luar. Dengan Kapak Naga Geni 212
ditangan Wiro Sableng melangkah menuju ke tangan batu paling atass. Dia
memandang pada Pranajaya dan berkata, “Kalau senjataku ini tiada sanggup
menghancurkan langit-langit ruangan batu karang ini berarti kita akan mampus di
sini sobat.” Pranajaya tak berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan sedingin es.
Wiro mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni di putar-putar di
atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin yang deras dan suara mengaung
laksana deru ribuan tawon. Angin senjata membuat api pelita mati lagi. Pada
saat itu terdengar bentakan menggeledek dan di saat yang bersamaan pula
terdengar suara
“buumm!”
Ruang batu bergoncang keras.
Wiro terhuyung-huyung, tubuhnya dihujani oleh guguran dan puing-puing batu
karang. Pranajaya terpelantihp dan terhampar di lantai ruang betu. Ketika Wiro
memandang ke atas dia berseru girang, “Prana, kita berhasil!” Ternyata batu
karang tebal yang atos keras yang menjadi atap ruang batu itu tiada sanggup
menghadapi Kapak Naga Geni 212. Sekali Wiro menghantamkan senjata pemberian
gurunya itu maka hancur leburlah atap batu karang. Lobang baser terbuka tepat
di atas anak tangga paling atas. Pendekar 212 memasukkan kapaknya ke balik
pinggang kemudian turun ke bawah kembali, mendukung tubuh Pranajaya dan
mepinggalkan ruangan batu karang itu dengan cepat. Tapi sewaktu mereka sampai
di halaman belakang, seorang penunggang kuda bermuka merah, berambut dan
berjubah merah tahu-tahu muncul menghadang mereka. Setan Darah Pertama!
7
PADA WAKTU Setan Pikulan
keluar dari pekarangan gedung tua membawa lari Sekar, maka di ujung jalan di
belakangnya tiga penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain Tiga Setan Darah
yang baru saja kembali dari luar Kotaraja.
“Hai, kalau aku tak salah
lihat itu si kepala gundul Setan Pikulan!” seru Setan Darah Pertama.
“Betul!” menyahut Setan Darah
Kedua.
“Dia memboyong perempuan dan
keluar dari rumah kita! Apa yang telah terjadi?!” Tiga Setan Darah sama memacu
kuda masing-masing lebih cepat namun Setan Pikulan sudah lenyap dari
pemandangan mereka sewaktu ketiganya sampai di depan pintu halaman gedung tua.
“Kalian berdua kejar manusia
itu,” perintah Setan Darah Pertama.
“Aku akan menyelidiki tempat
kita. Pasti terjadi apaapa yang tak diingini!” Setan Darah Kedua dan Ketiga
segera meninggalkan tempat itu sedang Setan Darah Pertama dengan cepat memasuki
halaman gedung kediamannya. Apa yang disangkakannya ternyata betul! Pintu
samping ditemuinya melompong bobol. Belasan senjata rahasia berbentuk panah
bertebaran di tanah dan beberapa lainnya menancap di batang pohon Setan Darah
Pertama memaki dalam hati.
“Apa ini si kate kepala gundul
itu yang melakukannya?” manusia bermuka merah ini membathin.
“Kalau betul kelak aku akan
kasih pelajaran pada manusia keparat itu!” Dilewatinya pintu yang telah bobol
itu dan ketika sampai di halaman belakang kekagetannya bertambah-tambah sewaktu
menyaksikan tanah dari anak tangga sebelah bawah pintu belakang hancur
berantakan sedang pintu belakang itu sendiri juga bobol pecah!
“Setan alas! Setan alas!” maki
manusia muka merah itu. Dia memandang berkeliling dan merasa heran karena dia
tidak melihat arca yang seharusnya berada di halaman itu! Siapa yang melakukan
ini semuanya? Apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan Setan Pikulan yang tadi
dilihatnya ke luar dari pintu halaman, memboyong seorang perempuan?! Sudut mata
Setan Darah Pertama menangkap satu gerakan. Cepat-cepat dia palingkan kepala.
Sepasang mata Setan Darah Pertama melotot. Dihadapannya berdiri seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian putih-putih. Dia tidak kenal dengan pemuda ini.
Yang membuat Setan Darah Pertama begitu terkejut ialah karena pemuda ini
memanggul Pranajaya yang sebelumnya telah disekapnya dalam ruang batu karang!
Setan Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda asing ini adalah kawan
Pranajaya dan menolong Prana keluar dari ruang batu karang, pastilah dia yang
telah menghancurkan pintu samping dan pintu belakang gedung kediamannya. Dan di
dalam gedung pasti pula dia telah membuat kerusakan yang lebih hebat lagi.
Lantas, apa pula hubungan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari
halaman gedung dengan memboyong seorang perempuan?! Setan Darah Pertama jadi
bingung sendiri! Matanya menatap tajam. Kalau betul pemuda belia ini yang telah
membebaskan Pranajaya dari dalam ruang batu maka ini adalah hal yang sangat tak
bisa dipercaya oleh Setan Darah Pertama. Untuk masuk ke dalam gedung tua saja
seseorang harus melalui rintangan-rintangan senjata rahasia yang bisa membawa
maut! Kalaupun dia sanggup masuk ke dalam, belum tentu dia tahu rahasia
bagaimana membuka pintu ruang batu karang. Mungkin dia mempergunakan ilmu
kesaktian dan membobolkan pintu ruang batu? Selama bertahun-tahun tak ada satu
kekuatanpun yang sanggup mendobrak pintu ruang batu karang itu. Apalagi manusia
muda bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri memanggul tubuh Pranajaya
dihadapannya. Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng memandang pula
tepat-tepat kepada Setan Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah yang telah
menyeret Pranajaya tadi sepanjang jalan. Dia tenangtenang saja dan tidak perlu
terkejut melihat si muka merah ini. Cuma yang diam-diam membuat dia khawatir
ialah karena saat itu dia sama sekali tidak melihat Sekar! Tak ada dugaan lain
selain bahwa gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate Setan Pikulan!
“Pemuda asing, siapa kau?!”
bentak Setan Darah Pertama dengan suara menggeledek. Sekaligus dia hendak
menunjukkan bahwa dia bukan manusia sembarangan. Wiro Sableng cengar cengir
seenaknya.
“Jangan cengar cengir tak
karuan! Cepat beritahu siapa kau dan mengapa nyalinu begitu besar membuat
keonaran di sini?!”
“Wiro….,” Pranajaya berbisik.
“Manusia muka kepiting rebus
ini adalah musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan Darah….” Wiro tertawa
mendengar ucapan “kepiting rebus” itu.
“Setan alas!” sentak Setan
Darah Pertama.
“Kau kira kau berhadapan
dengan siapakah berani tertawa seenak perutmu?!”
“Masakah orang tertawa saja
tidak boleh!” sahut Wiro Ssbleng. Darah Setan Darah Pertama naik ke kepala
“Kalau kau masih bicara
bertele, nyawamu akan kukirim menghadap setan neraka!” ancam Setan Darah
Pertama dan tangan kanannya dinaikkan ke atas, siap untuk melancarkan satu
pukulan tangan kosong!
“Sabar… sabar sobat!” kata
Wiro.
“aku adalah kawan pemuda ini.
Sebagai kawan, sepantasnya aku menolong bila dia mendapat kesukaran…. Bukan
begitu Tiga Setan Darah?!”
“Hemm… manusia buruk macammu
rupanya sudah tahu juga berhadapan dengan siapa saat ini!” ujar Setan Darah
Pertama.
“Karena kau kawan pemuda itu,
terpaksa kalian berdua kuseret kembali ke ruang batu karang!”
Habis berkata demikian Setan
Darah Pertama lentingkan kelima jarinya ke muka. Lima larik sinar merah
menyambar ke arah lima bagian tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu totokan jarak
jauh bernama totokan lima jari yang sangat lihai sekali! Pendekar 212 Wiro
Sableng keluarkan suara bersiul. Sekali melompat ke samping, lima sinar totokan
itu dapat dihindarkannya sekaligus! Ini membuat Setan Darah Pertama menjadi
gusar.
“Punya sedikit ilmu saja
hendak diandalkan!” ejeknya.
“Aku mau lihat sampai di mana
kedikjayaanmu bocah konyol!.” Serentak dengan itu Setan Darah Pertama melompat
dari kudanya.
“Silahkan turunkan dulu kunyuk
dibahumu itul” kata Setan Darah Pertama.
“Tiga Setan Darah, meski kau
seorang bejat yang sebenarnya tidak pantas hidup di dunia ini, tapi aku tak
punya permusuhan denganmu. Harap minggir beri jalan….!”
“Kentut bapak moyangmu!”
teriak Setan Darah Pertama.
“Lekas turunkan pemuda itu,
dalam satu jurus nyawamu pasti akan minggat dari badan!” Sebenarnya Wiro bukan
tak mau baku hantam dengan manusia terkutuk ini, tapi karena dia
mengkhawatirkan keselamatan Sekar dan musti mencari gadis itu maka sekali ini
diusahakannya untuk menghindari pertempuran. Tapi agaknya si muka kepiting
rebus tak memberi kesempatan terhadapnya. Dan ini membuat murid Eyang Sinto
Gendeng itu mulai luntur pula kesabarannya.
“Iblis muka merah!” bentak
Wiro Sableng.
“Untuk menghadapi kau kenapa
musti susah-susah turunkan tubuh kawanku ini segala?” Mendidihlah darah Setan
Darah Pertama. Seumur hidupnya tak pernah dia mendapat hinaan demikian.
“Kalau begitu kalian akan
mampus sama-sama!” teriaknya lantang.
Setan Darah Pertama kebutkan
kedua lengan jubahnya. Dua angiri merah yang amat dahsyat menderu ke arah Wiro
Sableng. Dalam jarak dua tombak saja panasnya sudah memerihkan kulit.
“Awas Wiro, pukulan itu
beracun!” membisik Pranajaya. Lalu tambahnya
“Manusia ini bukan
sembarangan, ilmunya tinggi. Lebih baik kau sandarkan aku ke pohon sana….!”
“Ah, tak usah khawatir
sobat..,” jawab Wiro. Satu tombak dua larikan sinar merah itu menyambar
kearahnya dengan membentak nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya lenyap
dari hadapan Setan Darah Pertama. Kaget Setan Darah Pertama bukan main-main.
Tak tahu dia gerakan kilat apa yang dipergunakan oleh si pemuda lawannya hingga
lebih cepat dari kejapan mata pemuda itu sudah lenyap dari pemandangannya.
Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana dilihatnya sudah berada di pintu
samping.
“Kau mau lari ke mana
bedebah?!” bentak Setan Darah Pertama dan memburu dengan cepat seraya lancarkan
satu jotosan jarak jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid Eyang Sinto
Gendeng melompat ke samping lalu membalik.
“Iblis muka merah, kali ini
aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Kelak di lain hari kita bakal berhadapan
kembali!”
“Cuma nyawamu yang bisa pergi
dari sini keparat!” teriak Setan Darah Pertama. Dia memburu lagi. Tapi
langkahnya terhenti. Wiro telah melepaskan satu pukulan yang mendatangkan angin
yang amat hebat, membuat pasir di halaman itu menggebu laksana kabut tebal
menderu ke arah Setan Darah Pertama membuat pemandangannya tertutup. Ketika dia
menerobos kabut pasir itu dengan cepat, Wiro Sableng dan Pranajaya sudah
lenyap! Setan Darah Pertama menyumpah habis-habisan. Orang-orang yang berada di
tengah jalan cepat-cepat menghindar ke tepi sewaktu Setan Pikulan memacu
kudanya dengan kecepatan yang luar biasa. Debu beterbangan di belakang diterpa
oleh keempat kaki kuda tunggangan manusia bertubuh kate itu. Seorang pejaian
kaki berkata pada kawannye di tepi jalan.
“Lihat, si kate kepala gundul
itu membawa seorang perempuan lagi!”
“Ya, parasnya cantik sekali!”
Sahut kawannya. Diangkatnya bahunya lala berkata lagi,
“Manusia dajal itu
rupa-rupanya tak pernah bosan dengan perempuan. Di gedungnya sudah belasan
perempuan yang jadi peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi korban
kebejatan nafsunya. Kasihan perempuan itu…”
“Aku sangat menyesalkan
Baginda. Beliau…” Laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya karena di
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda. Keduanya berpaling.
“Ini lagi…,” kata laki-laki
tadi pelahan.
“Bergundal-bergundal Baginda.
Mereka tidak ada beda dengan Si Setan Pikulan!” Dua penunggang kuda itu berlalu
dengan cepat. Mereka bukan lain dari Setan Darah Kedua dan Ketiga yang tengah
mengejar Setan Pikulan! Di sebuah gedung kecil di pinggiran Kotaraja, Munding
Sura alias Setan Pikulan menghentikan kudanya.
“Ah, manisku. Kita sudah
sampai!” katanya seraya mendukung Sekar dan melompat dari kudanya. Di ruang
dalam tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik tengah duduk berbicara
Mereka adalah sebagian dari peliharaanpeliharaan Setan Pikulan. Ketiganya
memandang pada Setan Pikulan dan perempuan yang ada dalam dukungannya. Mereka
tak berkata dan tak berbuat apa-apa selain hanya memandang. Dan di dalam hati
masing-masing, mereka sudah tahu apa yang bakal dialami parempuan yang dibawa
Setan Pikulan itu ketika mereka melihat laki-laki itu melangkah menuju ke kamar
di ujung ruangan! Kemudian pintu kamar itupun tertutuplah.
Di dalam kamar…….
Setan Pikulan menutupkan pintu
dengan tumit kakinya. Dengan tertawa mengekeh-ngekeh manusia ini membaringkan
Sekar di atas tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke meja dan meneguk tuak
dari dalam sebuah kendi. Minuman keras ini dengan serta merta menghangati tubuh
dan menambah gelora nafsu terkutuk Setan Pikulan. Dengan memegang kendi itu di
tangan dia melangkah kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Sekar.
“Ah, parasmu yang cantik basah
oleh keringat dan debu. Biar aku bersihkan…. kata Setan Pikulan. Lalu dengan
tangan kirinya diusapnya kening serta pipi Sekar. Gadis ini memaki dalam hati.
Hanya itu, yang bisa dilakukannya. Dia tak bisa membuka mulut ataupun menggerakkan
anggota badannya karena telah ditotok. Cuma mimik mukanya yang menyatakan
demikian. Setan Pikulan meneguk tuaknya kembali.
“Eh, kau tentu haus” Setan
Pikulan mengedipkan matanya beberapa kali. Lalu dibukanya totokan pada tubuh
Sekar. Gadis itu kini bisa bicara dan mendengar tapi tubuhnya tetap kaku tak
bisa digerakkan.
“Ini, minumlah, kau tentu haus
manisku!”
“Manusia biadab! Lepaskan
totokanku! Keluarkan aku dari sini!” teriak Sekar.
“Kau masih saja galak,” desis
Setan Pikulan dan mencubit dagu Sekar.
“Ini minum!,” katanya. Bibir
kendi didekatkannya ke bibir gadis itu. Sekar mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Tapi kemudian dia mendapat akal. Dibukanya mulutnya sedikit. Tuak di dalam
kendi itu diteguknya dua kali. Setan Pikulan tertawa gembira. Tapi tiba-tiba !
Tuak yang sudah diteguk tadi tiba-tiba disemburkan kembali oleh Sekar dan
karena tidak diduga sama sekali oleh Setan Pikulan, laki-laki,ini tak sempat
lagi menghindar! Dia berteriak kesakitan dan melemparkan kendi di tangannya ke
dinding. Kendi pecah berantakan isinya membasahi lantai! Untung saja Sekar
dalam keadaan ditotok sehingga dia tak bisa mengalirkan darah dan tenaga
dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi disertai dengan aliran tenaga dalam
niscaya hancur dan butalah mata Setan Pikulan. Namun demikian semburan tadi
sudah cukup membuat matanya sakit sekali dan untuk beberapa saat lamanya tak
bisa membuka kedua matanya itu! Sambil mengeringi mukanya yang basah dan
mengucakngucak kedua matanya Setan Pikulan memaki habis-habisan!
“Gadis gila! Kalau kau tidak
sekurang ajar itu terhadapku pasti aku akan perlakukan kau baik-baik. Tapi kini
kau akan rasakan sendiri !” Setan Pikulan mengucak lagi kedua matanya.
Pemandangannya sudah terang kini. Kedua matanya yang juling memandang dengan berapi-api.
Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Maka habislah seluruh tubuh Sekar
diciuminya. Gadis itu menjerit tiada henti.
“Menjeritlah sampai lidahmu
copot!” kata Setan P,kulan dengan tertawa mengekeh. Ciumannya datang lagi
bertubi-tubi. Kemudian bukan hanya ciuman saja lagi. Sepasang tangan manusia
kate ini membuat dua kali gerakan.
“Breet!”
“Breet!”
Pakaian kuning yang dikenakan
Sekar robek besar. Dadanya tersingkap lebar!
“Dadamu bagus dan putih
sekali!” seru Setan Pikulan seperti gila. Dan kemudian betul-betul macam orang
gila muka dan bibirnya melumasi dada Sekar yang sampai saat itu masih
menjerit-jerit. Sekar menjerit lagi lebih keras sewaktu sepasang tangan Setan
Pikulan menggerayang meremasi dadanya !
“Braak !”
Pintu kamar terpentang lebar.
Salah satu papannya pecah! Kaget Setan Pikulan bukan olah-olah! Sebelum dia
berpaling, dari pintu sudah membentak satu suara .
“Munding Sura! Hentikan
perbuatan kotormu itu!”
8
BEGITU berpaling begitu Setan
Pikulan alias Munding Sura hendak mendamprat marah. Tapi sewaktu melihat siapa
yang berdiri dihadapannya dia hanya mengeluarkan suara menggerendeng. Di
belakang laki-laki yang masuk ke dalam kamar itu masih ada seorang lainnya.
Setan Pikulan bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tidak memandang kepada nama
besar serta hubungan kita sesama tokoh-tokoh pembantu Baginda, pasti aku sudah
tendang kau ke luar dari kamar ini Setan Darah Kedua!” Setan Darah Kedua
tertawa bergumam. Dia rangkapkan tangan di muka dada sementara kawannya
melangkah ke sampingnya. Sepasang mata Setan Darah Kedua menatap tubuh yang
tergeletak di atas tempat tidur. Hatinya terkesiap juga memandangi paras cantik
dengan tubuh dalam keadaan setengah telanjang itu! Seperti Setan Pikulan,
diapun seorang yang suka perempuan!
“Setan Darah, lekas katakan
apa maksud kedatangan kalian !”
“Sewaktu memasuki ujung jalan
kau kelihatan ke luar dari tempat kediaman kami membawa perempuan itu!” kata
Setan Darah Kedua. Kepalanya digoyangkannya sedikit ke arah Sekar.
“Ada perlu apa kau ke tempat
kami dan siapa ini perempuan?!”
“Siapa ini perempuan bukan
urusanmu!” jawab Setar Pikulan.
“Kalau kau memandang mukaku,
aku juga matih mau memandang muka padamu, Setan Pikulan,” kata Setan Darah
Kedua.
“Kuharap kau tak usah bicara
kasar!” Setan Darah Kedua tertawa dingin. Setan Darah Ketiga buka mulut,
“Melihat caramu ke luar dari
gedung kami dan melarikan perempuan ini jelas sudah kau membuat apa-spa yang
tak diingini d tempat kami!” Setan Pikulan meludah ke lantai.
“Aku ke sana sebetulnya untuk
menyambangi kalian…”
“Itu satu kehormatan.”
memotong Setan Darah Kedua dengan nada sinis.
“Kalian tidak ada. Pintu
samping kutemui dalam keadaan hancur. Senjata-senjata rahasia bertancapan di
pohon dan bertebaran di tanah. Halaman belakang kacau balau dan pintu belakang
gedung kalian juga , kutemui dalam keadaan terpentang bobol….”
“Hemmm…,” gumam Setan Darah
Ketiga.
“Siapa yang melakukannya?!”
“Mana aku tahu!” sahut Setan
Pikulan.
“Jangan dusta Munding Sura!”
sentak Setan Darah Kedua.
“Hanya beberapa orang saja
yang tahu rahasia masuk ke gedung itu, diantaranya kau!”
“Jadi kau menuduh aku membuat
kerusakan di gedung itu?”
“Aku tanya siapa yang
melakukan, bukan menuduh!” sahut Setan Darah Kedua ketus.
“Aku sudah bilang tidak tahu!
Dan sekali tidak tahu, tetap tidak tahu. Sekarang silahkan angkat kaki dari
sini!”
“Baik Munding Sura. Tapi
ingat…” ujar Setan Darah Ketiga.
“Bila nanti terbukti kau
berbuat…”
“Tak usah mengancam sompret!”
maki Setan Pikulan. Setan Darah Ketiga melangkah maju. Setan Darah Kedua
menarik lengan jubahnya dan berkata pada Setan Pikulan, “Sekarang memang baru
cuma ancaman. Kelak kalau kami tahu bahwa kau betul-betul telah membuat
keonaran di tempat kami, ancaman itu akan menjadi kenyataan, Munding!” Munding
Sura yang bergelar Setan Pikulan tertawa mencemooh!
“Dasar manusia-manusia tidak
tahu diri!” katanya. ”Kalian tahu, sewaktu aku datang ke sana ada dua cecunguk
yang sembunyi di atas genteng! Satu diantaranya gadis ini, yang lain seorang
pemuda! Aku paksa mereka turun dan paksa agar memberi keterangan. Mereka
menerangkan tengah mencari seorang kawan yang kalian seret ke tempat kalian!
Mereka bermakpud membebaskannya! Aku pikir kalau manusia itu adalah musuhmu
maka pasti yang dua lainnya adalah kambratnya juga. Si gadis, kutotok dan
kawannya kutipu kujebloskan dalam ruang batu karang di dasar gedung! Kalian
dengar semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih padaku dan bukan mengoceth
tak karuan! Sekarang berlalu dari hadapanku sebelum kesabaran habis!” Setan
Darah Kedua menarik lengan baju kawannya. Keduanya sama– sama melangkah ke
pintu. Tapi tiba-tiba Sekar berseru. “Setan Darah! Jangan kena ditipu oleh
bangsat kepala botak ini!” Tentu saja kedua Setan Darah itu sama hentikan
langkah dan balikkan badan!
“Apa yang diterangkannya semua
adalah dusta!”
“Heh, begitu…?!”
“Gadis edan apa mulutmu mau
kupecahkan?!” bentak Setan Pikulan.
“Berani kau bicara lagi
betul-betul kupecahkan mulutmu!”
“Biarkan dia bicara, Munding
Sura!” kata Setan Darah Kedua.
“Tapi kau lepaskan dulu
totokanku!” kata Sekar.
“Aku akan terangkan apa yang
telah diperbuatnya ditempatmu! Dan bukan itu saja, aku akan bersedia ikut
dengan kalian!”
“Ah…,” Setan Darah Kedua
mengusap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
“Satu usul yang baik! Memang
kau telah pantas bersamaku daripada kambratku yeng kate buruk ini!” Marahlah
Setan Pikulan.
“Saat ini aku tidak memandang
nama besar atau mukamu lagi Setan Darah keparat! Tidak perduli meski kita
sama-sama orang Istana!”
“Gadis itu sudah membuka kedok
kedustaanmu!”
“Dia yang dusta! Bohong
besar!”
“Dusta atau tidak tapi aku
percaya omongannya. Dan aku dengar dia sendiri yang mau ikut bersamaku!” Setan
Darah Kedua mengekeh. Mulut Setan Pikulan komat kamit.
“Boleh,” katanya.
“Silahkan bawa gadis itu. Tapi
begitu tanganmu menyentuh tubuhnya, kepalamu akan hancur lebih dulu!” Setan
Darah Kedua tertawa bergelak.
“Nama besar Setan Pikulan
memang sudah lama kami dengar, Tapi hendak manantang Tiga Setan Darah yang
kesohor sama saja seperti biduk kecil yang hendak melawan gelombang sebesar
gunung!” Kini Setan Pikulan yang tertawa mangekah.
“Orang sombong memang terlalu
sering lupa diri! Kita walau bagaimanapun masih sama sama manusia. Aku bukan
biduk dan kalian bukan gunung! Bicara jangan ngaco!”
“Agaknya jalan kekerasan tak
bisa dihindarkun, Setan Pikulan!” kata Setan Darah Ketiga sambil usut-usut
lengan jubahnya.
“Kukira demikian, Lagi pula
memang sudah sejak lama aku ingin membuktlkan sampai di mana kehebatan nama
Tiga Setan Darah itu. Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau terasi saja! Apalagi
sekarang cuma ada dua orang!”
“Kita akan saksikan siapa yang
kroco manusia buruk!” sahut Setan Darah Kedua. Dia berpaling pada kawannya dan
berkata,
“Kau lepaskan totokan gadis
itu, biar aku yang kasih pelajaran pada manusia jenis kacoak ini!” Setan Darah
Ketiga melompat ke arah tempat tidur. Dua jari tangannya siap untuk melepaskan
totokan di tubuh Sekar, tapi dari samping Setan Pikulan tidak tinggal diam.
Tubuhnya yang kate melasat ka muka satu tendangan yang dahsyat dilancarkannya
ke arah tangan Setan Darah Ketiga. Tentu saja Setan Darah Ketiga tidak mau
ambil risiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik pulang tangannya,
menggeser kaki dan kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri!
Selarik sinar merah menyambar
ke arah selangkangan Setan Pikulan! Ini adalah satu serangan yang benar-benar
mematikan! Tapi si kate kepala gundul bukan manusia kemarin. Dia membentak dan
melompat ke atas. Dari atas dia kirimkan satu jotosan dan satu tendangan! Setan
Darah Ketiga merunduk sementara sinar pukulannya tadi telah melanda dan
menghancurkan tembok kamar! Di ruang sebelah terdengar pekikan beberapa orang
perempuan! Serangan gencar Setan Pikulan menjadi batal sewaktu dari samping
Setan Darah Kedua tusukkan dua jari tangannya ke rusuk. Setan Pikulan yang tahu
betul kehebatan dua jari itu cepat menghindar dan sekaligus dua tangannya
dipukulkan ke muka! Setan Darah Kedua cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu
melihat dua gelombang angin hitam ke luar dari jotosan-jotosan lawannya.
“Ilmu pukulan sepasang tinju
hitammu tiada berguna terhadapku manusia buruk!” ejek Setan Darah Kedua.
Sementara kawannya baku hantam dengan Setan Pikulan. Setan Darah Ketiga
pergunakan kesempatan untuk membebaskan Sekar dari totokan. Namun kali yang
kedua inipun tidak berhasil karena saat itu Setan Pikulan sudah menyambar
senjatanya yang ampuh yang menyebabkan dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan
dalam dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain ialah sebuah pikulan dari
bambu! Meskipun dari bambu tapi karena merupakan senjata sskti maka kekuatannya
lebih hebat dari baja! Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke samping
sewaktu ujung pikulan menusuk ke kepalanya. Setan Darah Kedua mengomel.
“Tolol!,” makinya,
“lepaskan dia dengan totokan
jarak jauh!” Habis berkata begitu Setan Darah Kedua segera keluarkan sanjatanya
yaitu sepasang gada. Dalam ilmu mengentengi tubuh dan tenaga dalam serta
kegesitan bergerak Setan Pikulan tidak di bawah kedua Setan Darah itu, apalagi
saat itu pikulan saktinya sudah berada di tangan. Namun menghadapi dua lawan
yang berada dalam jarak terpisah di mana dia musti pula melindungi Sekar agar
jangan sampai gadis itu berhasil dibebaskan lawan dari totokannya maka ini
adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi Si Setan Pikulan! Setiap saat dia
harus membagi serangan pada kedua lawan dan melindungi Sekar! Setan Pikulan
putar senjatanya laksana titiran.Pikulan itu dimainkan dalam jurus-jurus silat
toya. Angin deras dan suara mengaung memenuhi kamar itu. Namun senjata lawan
yang dihadapi Setan Pikulan bukan pula senjata biasa! Bagaimanapun dia
mempercepat gerakannya dan mendesak Setan Darah Kedua dengan hebat namun pada
jurus kesembilan belas Setan Pikulan tak berhasil menghalangi Setan Darah
Ketiga melepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh yang membuat
terlepasnya totokan di tubuh Sekar! Begitu bebas secepat kilat gadis itu
merapikan pakaiannya.
“Saudari, kau menghindarlah ke
sudut sana! Tunggu sampai kami membereskan monyet kontet ini!,” kata Setan
Darah Kedua. Sekar merasa syukur bahwa hasutannya termakan oleh kedua Setan
Darah sehingga kini dia lepas dari totokan. Dia tahu baik Setan Pikulan maupun
manusia-manusia bermuka dan berjubah merah itu tiada beda satu sama lain. Dia
berpikir-pikir apakah akan masuk ke gelanggang pertempuran untuk turut
mengeroyok Setan Pikulan yang telah membuat kekejian terhadapnya atau lebih
baik menyingkir dulu dari situ sebelum timbul pula urusan baru dengan
manusia-manusia iblis bermuka merah itu! Si gadis mengambil keputusan yang
terakhir. Apa lagi dia ingat bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan dari
gedung kediaman Tiga Setan Darah tadi, sahabatnya Wiro Sableng masih tertinggal
di sana, dikurung dalam ruang batu karang. Maka gadis ini cepat-cepat melompat
ke pintu. Namun apa lacur! Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melompat pula
dari luar dan cepat berhadap-hadapan dengan Sekar diambang pintu itu !
9
MANUSIA ini berambut gondrong,
bermuka dan berjubah merah parsis seperti yang dikenakan dua orang Setan Darah
yang tengah bertempur di dalam kamar. Pasti tidak manusia ini adalah kawan dari
dua Setan Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak manusia yang berdiri
diambang pintu yang memang Setan Darah Pertama adanya menduga keras bahwa Sekar
adalah perempuan yang tadi terlihat dilarikan oleh Setan Pikulan dari
gedungnya. Meskipun dia tertarik sekali akan kecantikan si gadis dihadapannya
namun saat itu Setan Darah Pertama masih diliputi kemarahan yang meluap yaitu
sesudah dia menyaksikan kerusakan-keruasakan di gedungnya serta dibikin seperti
main-mairan sewaktu bertempur melawan Pendekar 212.
“Kalian tolol semua!” bantak
Setan Darah Pertama sewaktu menyaksikan dua kawannya yang mengeroyok Setan
Pikulan tapi mendapat tekanan-tekanan yang hebat bahkan sesungguhnya sudah
mulai terdesak.
“Menghadapi si kate keling ini
saja tidak mampu!” Di saat itu Setan Pikulan mengamuk dengan hebatnya.
Senjatanya bersiur-siur. Dua ujung pikulan menyambar dan memapas, kadang-kadang
menusuk ganas dalam jurus-jurus gencar yang penuh dengan tipu-tipu yang membahayakan
keselamatan kedua Setan Darah. Mendengar bentakan Setan Darah Pertama, Setan
Darah Ketiga segera cabut sepasang goloknya. Pertempuran dalam kamar itu
bertambah hebat. Tapi sepasang mata Setan Darah Pertama bisa melihat bahwa
kedua kambratnya itu masih berada di bawah angin, Si kate kapala gundul
berkelebat ganas hampir tak kelihatan. Pikulannya menderu-deru bahkan anginnya
sampai mengibarngibarkan jubah yang dipakainya! Tanpa tunggu lebih lama Setan
Darah Pertama segera bergerak ke tengah ruangan. Kasempatan ini lekas
dipergunakan olah Sekar untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Setan Darah Pertama
berseru.
“Hai gadis manis! Tunggu dulu!
Kau mau ke mana?!” Sakar tak menyahuti malah tancap gas larikan diri tapi satu
sambaran angin menyapu kedua kakinya, membuat kaki gadis itu menjadi kaku
tegang dan laksana dipakukan ke lantai tak dapat bergerak lagi! Setan Darah
Petema telah melepaskan totokan jarak jauh yang lihai sekali, Sekar sendiri tak
tahu kalau dirinya akan diserang dari belakang begitu rupa maka kini dia
terpaksa tegak di lantai tak berdaya! Dikerahkannya tenaga dalamnya ke kaki
untuk membuyarkan totokan Setan Darah Pertama, tapi sia-sia belaka!
“Tahan dulu! Aku mau bicara!”
Setan Darah Pertama berseru. Kedua orong kawannya segera melompat ke tepi
kamar. Dengan pandangan berapi- api Setan Derah Pertama memanndang pada Setan
Pikulan.
“Munding Sura kaukah yang
membuat keonaran di tempatku?!” Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa tawar.
“Kau dan dua kambratmu ini
sama saja menuduh seenaknya. Kau kira…..”
“Setan Darah Pertama,” ujar
Setan Darah Kedua.
“Kita tak perlu banyak bicara
dengan kunyuk hitam ini. Kami sudah tahu memang dia sengaja mencari urusan
terhadap kita, Dia telah menyelundup ke tempat kita!” Setan Pikulan tertawa
lagi.
“Tentu saja nyalimu tambah
besar karena satu kambratmu telah datang, lagi ke sini,” katanya.
“Sebelum terlambat apakah
kalian masih mau teruskan urusan gila ini?!”
“Kunyuk hitam!” hardik Setan
Darah Pertama.
“Tiga Setan Darah tak pernah
bikin urusan setengah-setengah! Kawan-kawan, bersiap membentuk barisan tiga
bayangan siluman!.” Maka Tiga Setan Darahpun segera membentuk barisan yang
sangat diandalkan mereka itu. Di lain pihak Setan Pikulan yang sudah memaklumi
kehebatan ilmu silat lawan-lawannya itu segera pasang kuda-kuda baru. Dan
sebelum barisan tiga bayangan siluman bergerak Setan Pikulan sudah
berteriak-keras dan berkelebat bersama senjatanya! Setan Darah Pertama bergeser
ke samping mengelakkan sambaran senjata Setan Pikulan yang melanda ke arah
pinggangnya. Manusia bermuka merah ini kemudian merunduk dengan cepat dan
kirimkan serangan berantai ke arah kedua kaki lawan. Setan Darsh Ketiga melesat
ke atas, menukik lagi dan laksana seekor .burung elang tiada hentinya
melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala Setan Pikulan! Barisan tiga bayangan
siluman ini memang cukup terkenal dikalangan tokoh-tokoh Kotaraja. Setan
Pikulan sendiri juga sudah tahu tapi baru kali ini menyaksikannya dan disaat
itu dirinya pula yang menjadi bulan-bulanan! Namun Setan Pikulan bukan pula
tokoh silat kemarin. Tubuhnya berkelebat laksana bayang-bayang, menerobos dan
mengelak diantara hujan serangan lawan sedang senjatanya menderu kian kemari.
Kegesitan ditambah dengan keampuhan jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak
sekali menolong Setan Pikulan sehingga meski dikeroyok tiga dalam sepuluh jurus
dia masih bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturut-turut membagi serangan
pada ketiga lawannya. Lambat laun Tiga Setan Darah dibikin sibuk. Barisan tiga
bayangan siluman tiada berarti lagi. Ketiganya kini mulai terdesak! Setan Darah
Pertama memaki dalam hati! Untung saja pertempuran itu tidak terjadi di tempat
terbuka, tidak disaksikan umum! Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar Tiga
Setan Darat akan menjadi luntur! Setan Darah Pertama keluarkan sepasang tombak
bermata dua dari balik jubahnya. Melitat ini dua Setan Darah yang lain yang
tadi sewaktu membentuk tiga bayangan siluman telah memasukkan senjata mereka,
kini segera pula mengeluarkan senjata masing-masing kembali!
Setan Pikulan kertakkan
rahang. Tiga pasang senjata di tangan musuh-musuhnya itu adalah senjata-senjata
mustika sakti. Dia bersangsi apakah kini dia akan sanggup menghadapi
manusiamanusia bermuka merah itu! Setan Pikulan coba memancing dengan ucapan
agar musuhnya tidak bertempur secara mengeroyok. Maka dia pun berkata, “Nama
Tiga Setan Darah memang tersohor! Tapi hari ini aku sendiri menyaksikan bahwa
mereka cuma bangsa bunglonbunglon bernyali rendah bangsa pengecut kelas wahid!
Tokoh-tokoh silat yang beraninya main keroyok!”
“Mengocehlah seenakmu manusia
kontet! Sebentar lagi gadaku ini akan membuat otakmu bertaburan.” hardik Setan
Darah Kedua serayra putar-putarkan gadanya.
“Setan Darah Pertama,
tunjukkanlah bahwa kau bukan seorang pengecut! Mari kita bertempur satu lawan
satu sampai seribu jurus!” Setan Darah Pertama tertawa gelak-gelak.
“Sampai seribu jurus katamu?!
Tiga juruspun kau belum tentu bisa bertahan manusia kacoak!”
“Huh! Betapa memalukan kalau
dunia persilatan mengetahui bahwa Tiga Setan Darah beraninya cuma main keroyok!
Persis macam anjing-anjing kurap yang mengeroyok seekor kucing yang
ditakutinya!” Marahlah Setan Darah Pertama mendengar cacian anjing kurap itu.
Dia berikan isyarat pada dua kawannya. Serentak dengan itu ketiganya segera
menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata laksana taburan hujan menderu mencari
sasaran ditubuh Setan Pikulan. Yang dikeroyok mempertahankan diri dengan sebat.
Sepuluh jurus berlalu. Keringat telah membasahi tubuh Setan Pikulan yang cuma
mengenakan cawat itu! Gerakan dan putaran pikulannya semakin sebat namun
sesungguhnya daya pertahanan manusia ini jurus demi jurus semakin lemah.
Beberapa kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan salah satu senjata lawan
membuat senjata itu kadang-kadang hampir terlepas dan genggamannya yang licin
oleh keringat!
“Ha… ha… ha…! Sampai berapa
lama lagikah kau akan sanggup bertahan Munding Sura?!” Mengejak Setan Darah
Pertama.
“Sampai batok kepalamu hancur
oleh ujung senjataku ini!” sahut Setan Pikulan seraya tusukkan ujung pikulannya
ke kepala lawan. Setan Darah Pertama sampokkan tombaknya yang ditangan kanan
untuk menangkis tapi senjata lawan berputar cepat dan kini ujung yang lain
menotok ke dadanya dengan sangat cepat! Setan Darah Pertama kertakkan rahang!
Dia bersurut satu langkah dan dibantu oleh Setan Darah Kedua, keduanya
menangkis serangan Setan Pikulan. Tiga senjata bentrokan satu sama lain
mengeluarkan suara keras. Tiga tangan tergetar! Begitu senjatanya membentur
senjata lawan, Setan Darah Pertama cepat pergunakan ujung tombaknya yang
bermata dua untuk menjepit ujung pikulan. Dia berhasi! Segera tombak hendak
diputarnya. Tapi Setan Pikulan tidak bodoh! Pikulan digerakannya dari atas ke
bawah. Ujung yang lain menderu ke bawah perut Setan Darah Pertama. Di saat yang
sama pula Setan Pikulan melompat ke atas karena kedua kakinya! Genap dua puluh
jurus sudah! Setan Pikulan benar-benar sudah mandi keringat. Tiba-tiba dia
menjerit keras. Senjatanya menyapu membuat satu lingkaran sedang dari balik
cawatnya dikeluarkannya sejenis senjata rahasia berbentuk paku rebana!
“Awas paku rebana beracun!”
teriak Setan Darah Pertama. Tiga Setan Darah masing-masing kebutkan lengan
jubah mereka. Sinar merah yang keluar dari ujung lengan jubah itu membuat
mental sembilan buah paku-paku rebana yang dilepaskan Setan Pikulan!
“Licik!” maki Setan Darah
Pertama.
“Kalian kunyuk-kunyuk muka
merah yang pengecut kelas wahid!” semprot Setan Pikulan. Dan kembali diputarnya
senjatanya dengan sebat. Namun serangan-serangannya tiada berarti. Daya
tahannya semakin kendur. Pada jurus ke duapuluh sembilan kedua ujung senjatanya
sekaligus beradu dengan gada serta tombak lawan.
Di detik itu pula sepasang
golok Setan Darah Ketiga membabat dari atas ke bawah hendak menetak pangkal
lehernya dari dua jurusan. Tak ada cara lain yang paling baik untuk
menghindarkan diri dari pada menjatuhkan badan kebawah. Dan memang inilah yang
dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil jatuhkan diri manusia yang berjuluk
Setan Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arah bawah perut Setan Darah
Ketiga! Setan Darah Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang goloknya akan
berhasil sehingga dia melupakan pertahanan dirinya sendiri! Kecepatan turun
golok-golok itu tak dapat rnendahului kecepatan jatuhnya tubuh Setan Pikulan.
Golok Setan Darah Ketiga beradu satu sarna lain sebaliknya tendangan Setan
Pikulan cuma sedikit saja dapat dilaksanakannya.
“Buuk!”
Tendangan Setan Pikulan
mendarat di pinggul kiri Setan Darah Ketiga. Manusia ini terpelanting beberapa
tombak dan untuk beberapa lamanya tergelimpang di lantai kamar merintih
kesakitan! Meski berhasil mengelakkan serangan gotok-golok maut tadi dan
mernbuat Setan Darah Ketiga melingkar di lantai namun posisi Setan Pikulan
sendiri di saat itu tidak menguntungkan sama sekali! Salah satu ujung
pikulannya telah dijepit sepasang tombak bermata dua dan dalam keadaan tubuh
masih membungkuk di lantai begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan uratuk
melepaskan jepitan senjata lawan atas senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang
harus diambil oleh Setan Pikulan. Melepaskan senjatanya atau memutar Pikulan
itu sambil mengerahkan tenaga dalam! Setan Pikulan merasa lebih baik memutar
senjatanya sekalipun pikulan itu akan patah daripada menyerahkan senjata tersebut
mentah-mentah ke tangan lawan! Setan Pikulan gerakkan kedua tangannya !
“Kraak!”
Pikulannya benar-benar patah!
“Bedebah!” maki Setan Pikulan.
Salah satu dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke arah Setan Darah Pertama
tapi dapat dielakkan. Patahan yang kedua ditusukkannya ke muka Setan Darah
Kedua, namun dia keliwat kesusu! Di saat melemparkan patahan senjata yang
pertama kepada Setan Darah Pertama, Setan Pikulan tak dapat mengontrol
posisinya, tak dapat melihat posisi lawan lainnya. Justru diwaktu dia
menyodokkan patahan pikularn maka Setan Darah Kedua lebih cepat dari itu setan
Darah Kedua hantamkan ujung gadanya ke dada Setan Pikulan.
“Buuuk!!”
“ Setan Pikulan mengeluh
tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. tersandar ke dinding lalu
melosoh duduk ke lantai, muntahkan darah segar! Mukanya menjadi pucat laksana
kain kafan dan nafasnya megap-megap! Setan Darah Pertama tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Setan Pikulan.
“Ha… ha… Nyatanya memang kau
cuma manusia jenis kacoak! Apakah saat ini kau masih sanggup memperlihatkan
kehebatanmu huh!”
“Setan alas mampuslah!” teriak
Setan Pikulan. Tangan kanannya memukul ke muka. Seberkas sinar hitam menyambar
ke arah Setan Darah Pertama, membuat manusia muka merah ini memaki dan
cepat-cepat menghindar ke samping. Setan Pikulan sendiri kembali muntahkan
darah segar. Dengan beringas Setan Darah Pertama angkat salah satu tombaknya
tinggi-tinggi, siap untuk ditancapkan ke batok kepala Setan Pikulan!
“Tunggu dulu!,” Setan Darah
Ketiga berseru. Penasaran Setan Darah Pertama membentak “Tunggu apa lagi,
sompret!”
“Kematian yang begitu cepat
terlalu bagus baginya, Setan Darah Pertama!”
“Hem, kau punya rencana apa?!”
“Kau bisa merasakan dan
membayangkan bagaimana seorang jago silat yang ditakuti cacat seumur hidup, tak
bisa lagi memainkan silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat seumur hidup! Lebih
mengertikan dari kematian sobat!”
“Cepat bilang terus terang
rencanamu!” tukas Setan Darah Pertama penasaran. Setan Darah Ketiga tertawa sedingin
es. Dia melangkah ke hadapan Setan Pikulan yang tersandar di dinding antara
sadar dan tiada.
“Inilah rencanaku Setan Darah
Pertama!” seru Setan Darah Ketiga. Serentak dengan itu sepasang goloknya
berkelebat.
“Craas!”
Buntunglah kedua tangan Setan
Pikulan. Dacah muncrat. Setan Pikulan meraung keras lalu rubuh di lantai
bermandikan darah! Setan Darah Ketiga tertawa panjang-panjang. Dia memandang
pada kedua koleganya dan berkata, “Dia akan hidup terus! Tapi hidupnya akan
dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam kesumat yang membara! Namun tak satu
apapun yang akan bisa dilakukannyal Karena dia cacat selama-lamanya!”
Meledaklah tawa Tiga Setan Darah itu. Setan Darah Pertama menepuk-nepuk bahu
Setan Darah Ketiga.
“Betul! Betul sekali katamu!
Dia tidak marnpus, tapi hidupnya lebih mengerikan dari pada benar-benar mampus!
Sekarang mari kita tinggalkan tempat sialan ini! Di luar ada seorartg gadis
jelita menunggu kita. Kita bawa dia ke gedung dan suruh dia membuka bajunya
satu demi satu! Kalau tidak mau kita yang tolong membukanya….!”
Suara tertawa ketiga manusia
itu meledak lagi di dalam kamar itu! Ketiganya menuju ke pintu! Setan Darah
Pertama tanpa banyak cerita segera menotok tubuh Sekar, sehingga tubuh gadis
ini kaku tegang tak bisa bergerak tak bisa buka suara! Tiba-tiba Setan Darah
Kedua hentikan langkah.
“Tunggu dulu..”, katanya.
“Kita semua tahu dirumah ini
Setan Pikulan punya banyak, perempuan peliharaan! Cantik-cantik! Di mana mereka
semua?!”
“Heh?!” Setan Darah Pertama
yang memanggul tubuh Sekar kerenyitkan kening.
“Terserah kalau kau mau cari
perempuan-perempuan itu Aku tetap yang ini!,” kata Setan Darah Pertama pula
kemudian. Setan Darah Kedua memandang pada kambratnya yang seorang lagi.
“Kau bagaimana?,” tanyanya.
“Aku tetap tinggal bersamamu
di sini,” jawab Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama tertawa.
“Puaskan dirimu di sini
sobatsobat, tapi jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita masih ada tugas,
mencari Pranajaya, anak si Wijaya keparat itu!” Kedua Setan Darah anggukkan kepala.
Begitu Setan Darah Pertama berlalu bersarna Sekar, mereka segera memeriksa
kamarkamar di dalam rumah itu. Dalam kamar yang paling belakang akhirnya mereka
menemui juga perempuan-perernpuan peliharaan Setan Pikulan. Semuanya rnasih
muda-muda dan berparas rata-rata cantik, bertubuh rnontok molek! Kedua Setan
Darah berdiri diambang pintu, memandag kepada rnereka dengan hidung kembang
kempis dan mata bersinar-sinar. Perempuan-perempuan muda itu berjumlah empat
orang semuanya. Mereka memandang dengan ketakutan pada manusia-manusia diambang
pintu itu. Setan Darah Kedua menyengir.
“Kalian tak usah takut pada
kami. Kami jauh lebih baik daripada si kate kepala gundul itu!”
Setan Darat Ketiga yang sudah
tak sabaran berbisik, “Masingmasing kita kebagian dua orang. Kau pilih yang
mana…?” Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, “Yang baju ungu dan
baju biru itu….”
“Sompret kau pilih yang cantik
semua!”° desis Setan Darah Ketiga.
“Begini saja, kau boieh ambil
si baju ungu dan salah seorang lainnya, aku si baju biru dan satu orang lainnya
pula. Atau sebaliknya!”
“Baik,” Setan Darah Kedua
mengangguk. Dia, melompat ke muka. Empat perempuan itu menjerit. Setan Darah
Kedua segera merangkul perempusn baju ungu dan salah seorang kawannya sedang
Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersrama kawannya yang keempat.
“Di sini saja, sobat?!” tanya
Setan Darah Kedua
“Sinting kau! Kau pindah ke
kamar sebelah sana!” Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua memboyong dua orang
perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah!
10
PENDEKAR 212 wiro sableng
membawa Pranajaya ke luar Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi
sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah
sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro memberikan sebutir
pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan
sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya
seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya. Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda
itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam
Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu. Kedua
telapak tangannya ditempelkannya di punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan
Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima menit kemudian.
“Coba kerahkan lagi,” kata
Wiro. Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya kepertengahan perut!
Dia berhasil berseru gembira!
“Wiro Tenaga dalamku telah
pulih!” Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjundgir balik beberapa kali
lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah!
“Gerakan dan ilmu mengentengi
tubuhmu hebat sekali Prana,” puji Wiro. Pranajaya tersenyum jumawa.
“Ini semua adalah berkat
pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku berhutang budi
dan berhutang nyawa padamu!” Wiro Sableng bersiul.
“Hutang budi dan hutang nyawa
itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara Prana,” sahut Wiro Sableng.
”Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan
nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua berhutang!”
Pranajaya tertawa.
“Walau bagaimanapun aku tetap
merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan
bisa membalas semua pertolonganmu…“ Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya.
Ditepuknya bahu Prana dan berkata, “Di samping nasib baik dan pertolongan
Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana.”
“Ah, aku cuma manusia biasa
saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa…!” jawab Pranajaya rendahkan diri.
Wiro tertawa.
“Seorang pemuda gunung yang
dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!” Prana
angkat bahu.
“Sekarang terangkan kenapa
sampai kau mengalami nasib demikian,” kata Wiro Sableng pula.
“Aku dilepas oleh guruku untuk
mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari
mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok juga
menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri oleh seorang sahabatnya
bernama Bagaspati.”
“Senjata apa yang dicuri itu?”
kepingin tahu Wiro.
“Sebuah cambuk bernama Cambuk
Api Angin.”
“Namanya hebat, pasti itu
senjata dahsyat sekali,” ujar Wiro.
“Kau sudah tahu di mana itu si
Bagaspati bercokol?” tanya Wiro kemudian. Pranajaya mengangguk.
“Di Pulau Seribu Maut,” jawab
pemuda tangan buntung itu.
“Pulau Seribu Maut? Di mana
itu? Aku tak pernah dengar!”
“Menurut guruku terletak di
ujung timur Pulau Jawa…“
“Cukup jauh dari sini,” kata
Wiro.
Prana mengangguk lagi.
“Aku bernasib sial,” katanya.
“Tiga Setan Darah ternyata
sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena disikat mereka. Tapi
demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti bisa membereskan
ketiga bangsa itu!” Prana berdiri dari duduknya.
“Kau mau ke mana?!” tanya
Wiro.
“Kembali ke Kotaraja
untuk-mencari Tiga Setan Darah!” Wiro berdiri pula.
“Dengan pakaian macam ini kau
mau masuk ke Kotaraja?” Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya
sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini menggigit
bibir. Wiro tertawa.
“Aku ada satu stel persediaan
pakaian,” katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal
pakaian.
“Ini, pakailah,” Wiro
melemparkan pakaian itu. Prana menyambutnya. “Terima kasih,” kata pemuda ini
lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.
“Aku juga akan ke Kotaraja,”
kata Wiro “Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari
dia!”
“Kalau begitu kita pergi
sama-sama,” ujar Pranajaya.
“Tiga Setan Darah musti mampus
ditanganku!,” murid Empu Blorok ini kepalkan tinju tangan kanannya.
“Salah seorang dari mereka
telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!” Wiro
menepuk bahu Pranajaya.
“Sudah sobat, mari kita
berangkat!” Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat
masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu matahari telah
menggelincir ke ufuk barat. Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak dan cara
lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera
mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari
kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan
kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok! Jika Wiro mau pastilah dia akan
ketinggalan jatuh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin siapa dan murid
guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan
tentang tokoh-tokoh silat ternama di rimba persilatan. Tapi tak pernah
menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari
itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang Kotaraja. Wiro Sableng
memperlambat larinya.
“Kulihat ada kelainan di pintu
gerbang saat ini,” kata Wiro. Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang.
Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan
sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri di
situ.
“Aku mendapat firasat mereka
hendak membuat urusan dengan kita..,” kata Pranajaya.
“Kita lihat saja. Jika betul
tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mareka, Prana!” Begitu
sampai di pintu gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer
rapi, masing– masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju
membentak.
“Berhenti!” Wiro Sableng dan
Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan, rata-rata tampang
pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah
seorang kawannya dan bertanya,
“Apakah ini kunyuk-kunyuk yang
tadi kau lihat melarikan diri dari Kotaraja?!” Pengawal yang ditanya
mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih dapat
mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng.
Pengawal yang tadi bertanya
palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut
berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului.
“Pengawal, omongmu seenaknya
saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu di
telapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yartg kunyuk atau kau
yang monyet!” Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki
kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu
saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!
“Bangsat rendah! Kau lebih
pantas mampus dari pada ditangkap hidup-hidup!” Pengawal ini secepat kilat
tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa.
“Sompret betul!,” makinya
kemudian.
“Orang suruh berkaca malah
menyerang! Ini makan kakiku!” Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan
kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat
didagu si pengawal!.Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya mental, mulutnya
berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa kabarkan diri! Melihat
ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung!
“Bedebah laknat!,” kata salah
seorang dari mereka, “lebih baik kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian
pasti tidak ketolongan!”
“Siapa yang minta tolong soal
nyawa padamu tikus pintu gerbang!” damprat Wiro.
“Ulurkan kedua tangan kalian!”
perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan segulung tali besar.
“Kalian harus kami seret
kehadapari Tiga Setan Darah!”
“Oh, jadi manusia-manusia muka
kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di sini?!” bentak
Pranajaya.
“Tak usah banyak bacot!
Ulurkan kedua tangan kalian!” Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan
kedapkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, “Kalau betul Tiga Setan
Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa berbuat
apa-apa selain serahkan diri…” Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada
pengawal itu seraya berkata,
“Tapi saudara, kawanku cuma
punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia….?!”
“Aku bilang tak usah banyak
mulut!” sentak si pengawal. Tali yang ditangannya dengan cepat digulung dan
mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. Mendadak sepasang
lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan. Tubuh si
pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja,
mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara
bergedebuk! Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. Delapan
tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar matahari sore! Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak cepat tiada henti.
Disekitarnya terdengar suara, “plak… plak… plak” dan hanya dalam tempo lebih
dari sekejapan mata saja kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah,
pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng! Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir,
tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin
roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum sekali!
Dia berdiri terlongong-longong!
“Sobat!,” Wiro menepuk
bahunya.
“Jangan jadi patung. Mari! Kau
tokh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!” Prana baru sadar. Tanpa
banyak bicara segera dia berlari menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan
larinya.
“Kita bodoh,” katanya, “di
Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu akan menujukan
perhatiannya pada kita.” Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat.
Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu
pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya.
“Sobat, aku baru ingat.
Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu ke luar dari
ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya!
Keparat betul!”
“Kau tahu ke mana kira-kira
kawanmu itu dilarikan?” tanya Prana. Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng,
“Aku akan cari keterangan,”
katanya.
“Sementara itu coba kau
selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti
kembali ke sini!” Prana menyetujui usul Wiro.
“Hati-hati,” memperingatkan
Wiro.
“Gedung tua ini banyak jebakan
dan senjata rahasianya!” Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman
gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang sebelumnya telah
didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak. Kalau gedung tua itu
banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan yang
seaman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng! Maka tanpa
pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya
yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua kakinya
menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
“Setan Darah durjana! Rupanya
kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutUk tukang rusak
kehormatan perempuan!”
Habis berteriak begitu
Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan, beberapa papan
panglari patah!
11
SEPERTI telah dituturkan Setan
Darah Pertama dengan memboyong murid Empu Tumapel meninggalkan tempat kediaman
Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung membawa Sekar ke gedungnya,
membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah kamar. Gedung tua itu hampir
tidak berperabotan bahkan satu tempat tidurpun tak terdapat di sana! Saat itu
Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak satupun yang dapat dibuat Sekar
sewaktu dengan nafas kembang kempis dan nafsu menggelegak Setan Darah Pertama
sambil menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu satu demi satu! Gadis itu
tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai pakaianpun menutupi tubuhnya yang
mulus itu kini. Senjata pemberian Empu Tumapel “Rantai Petaka Bumi” yang
ditemui Setan Darah Pertama melilit di pinggang Sekar, diletakkan Setan Darah
Pertama di sudut kamar. Setan Darah Pertama membasahi bibirnya dengan ujung
lidah. Sepasang matanya laksana dikobari api, memandang tak berkedip pada tubuh
Sekar yang menggeletak di lantai.
“Tubuh bagus… tubuh bagus! He…
he… he… he….!” Setan Darah Pertama menyeringai. Kemudian tanpa menunggu lebih
lama manusia bermuka merah ini membuka jubahnya. Jubah itu dilemparkannya ke
sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan pedang milik Pranajaya
diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini baru saja berbaring dan
menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan tangannya sewaktu laksana halilintar di
siang hari bolong dia mendengar suara bentakan menggeledek dan bobolnya genteng
di atas kamar itu!
“Setan Darah durjana! Rupanya
kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak
kehormatan perempuan!”
Seperti seekor singa Setan
Darah Pertama melompat dan menyambar pedang Ekasakti di atas lantai. Berdiri
bulu kuduk Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa pakaian
dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karena merasa
sangat geramnya ! Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang geramnya.
Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan lain Pranajaya,
pemuda tangan buntung yang memang tengah dicaricarinya!
“Budak bedebah! Dicari-cari
tidak ketemu, sekarang datang sendiri antarkan nyawa!”
“Iblis bejat!” balas membentak
Pranajaya.
“Bertiga dan mengeroyok kau
memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu!” Setan Darah Pertama tertawa
buruk! Diacungkannya pedang Ekasakti yang ditangan kanannya.
“Kau lihat pedang ini huh?!
Senjata milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya batang leher!” Habis
berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka. Tangannya bergerak,
pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepat-cepat si pemuda bertangan buntung
melompat ke samping dan lepaskan pukulan angin sewu! Setan Darah Pertama yang
tahu kehebatan ilmu pukulan tangan kosong ini buru-buru menyingkir dan
menyambar jubah merahnya di sudut kamar! Kesempatan ini dipergunakan oleh
Pranajaya untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu ilmu pukulan yang
diwarisinya dari Empu Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu pukulan angin
sewu tadi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat jubah Setan Darah Pertama
mental sehingga pemiliknya tak berhasil mengambilnya! Dengan memaki terpaksa
Setan Darah Pertama melompat lagi ke samping! Sewaktu Pranajaya mengintip di
atas genteng dan menginjakkan kaki di lantai kamar itu sekaligus dia mengetahui
bahwa gadis yang menggeletak di lantai kamar berada dalam keadaan tertotok.
Karenanya ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping, pemuda ini cepat
cepat pergunakan tangan kirinya untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar! Begitu
tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak,
“Saudara awas!” Pranajaya
mendengar suara sambaran angin dibelakangnya. Secepat kilat pemuda ini jatuhkan
diri ke muka. Pedang Ekasakti membabat setengah jengkal di atas bahu kanannya!
Prana terus menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah diperhitungkan
pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak bermata dua milik
Setan Darah Pertama! Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera mengenakan
pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa heran
melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam keadaan segar
bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini? Tapi Wiro sendiri di
mana sekarang?! Sekar tidak bisa berpikir lamalama. Begitu mengenakan pakaian,
gadis ini segera mengambil Rantai Petaka Bumi miliknya yang diletakkan Setan
Darah Pertama di sudut kamar! Sementara itu si pemuda tangan buntung terdengar
membentak, “Iblis muka merah!” Prana acungkan sepasang tombak bermata dua yang
keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan.
“Kita samasama bersenjata
sekarang! Mungkin senjata yang ditanganku ini yang akan lebih dulu mengambil
nyawa pemiliknya sendiri!” Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Tubuhnya
berkelebat. Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih. Jurus yang
dikeluarkan Tiga Setan Darah hebatnya luar biasa sekali karena dalam saat itu
juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan pedang Ekasakti miliknya
sendiri! Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok ini tak kalah
sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini dan dua tombak bermata
dua di tangannya menderu-deru. Dalam jurus pertama yang luar biasa hebatnya
itu, senjata-senjata mereka beradu sampai empat kali berturut-turut dan
memercikkan bunga api yang menyilaukan mata!
“Saudara! Kuharap kau suka
mundur!” tiba-tiba Pranajaya mendengar seruan gadis yang tadi dilepaskannya
totokannya.
“Manusia iblis laknat terkutuk
ini harus mampus ditanganku!” Pranajaya mengerling dan melihat Sekar berdiri
sambil memutar-mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang ujungnya diganduli
bola besi berduri! Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana terus kirimkan
serangan-serangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam pertemuannya
pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya memang tiada sanggup menghadapi Setan
Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga. Namun,kali ini pertempuran jauh
berbeda, satu lawan satu! Dan keluar biasaannya lagi ialah karena mereka
bertempur dengan memegang senjata milik lawan masing-masing!
“Saudara! Mundurlah!” seru
Sekar tidak sabar sewaktu pertempuran gencar itu memasuki jurus ke tiga. Gadis
ini sudah tak dapat menahan kesabaran den dendam kesumatnya terhadap Setan
Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan hampir saja merusak
kehormatannya!
“Tidak bisa saudari!” seru
Pranajaya membalas.
“Bangsat yang satu ini musti
mampus ditanganku!”
“Nyawanya miliku!” teriak
Sekar dan dia melompat ke muka sambil menyabetkan Rantai Petaka Bumi. Senjata
itu menderu laksana angin topan, membuat kedua orang yang bertempur terpaksa
sama melompat mundur ! Pranajaya penasaran sekali. Dia berpaling.
“Saudari kuharap, kau jangan
mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya lekas-lekas berlalu
tinggalkan tempat ini!”
“Berlalu?!” sahut Sekar ketus!
“Sebelum kupecahkan kepala
bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat ini!”
”Aku tahu kebejatan yang telah
dilakukannya yang membuat kau begitu inginkan jiwanya,” kata Pranajaya.
“Tapi itu tak seberapa….”
“Tak seberapa katamu?!” sentak
Sekar dengan mata melotot!
“Manusia macam apa kau ini?!
Perbuatan mesum terkutuk kau katakan hal yang tak seberapa!” Sementara kedua
orang itu berdebat, Setan Darah Pertama memutar otak. Dia cuma seorang diri di
situ, menghadapi dua lawan yang sama-sama inginkan jiwanya. Meski kedua lawan
itu kini saling bertengkar namun bukan tidak mustahil keduanya akan sama-sama
menggempurnya bersirebut cepat mencabut jiwanya! Dalam pertempuran beberapa
jurus tadi Setan Darah Pertama telah pula dapat mengukur kehebatan Pranajaya.
Satu lawan satu memang sukar juga baginya untuk menghadapi pemuda tangan
buntung itu ! Satu-satunya jalan yang paling baik bagi Setan Darah Pertama saat
itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama dua orang konco-konconya!
Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini segera menyambar jubahnya dan
melompat ke atas genteng! Tapi kejut Setan Darah Pertama bukan olah-olah
sewaktu dari atas genteng dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur angin
laksana badai, melanda ke arahnya membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh duduk
di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping dan jungkir balik dua
kali berturut-turut. Sebelum dia mendongak ke atas sepasang telinga Setan Darah
Pertama mendengar suara tertawa gelak-gelak! Sesosok tubuh muncul di atas atap
dan duduk di palang kayu!
“Dua muda mudi bertengkar
rebutkan jiwa manusia busuk! Si busuk cari kesempatan untuk larikan diri! Ha….
ha…. ha…. ha!” Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng dan kedua orang ini
sama-sama berseru,
“Wiro!”
Sekar terkejut sewaktu melihat
Pranajaya kenal pada Wiro Sableng. Setan Darah Pertama memandang penuh amarah
meluap ke atas genteng itu. Orang yang tertawa dan bicara serta duduk di atas
itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang sebelumnya telah membebaskan
dan melarikan Pranajaya dari ruang batu karang yang kemudian bertempur sebentar
dengan dia lalu larikan diri! Sambil kenakan jubahnya dengan cepat Setan Darah
Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut nyalinya melihat kemunculan lawan
baru ini, membentak keras,
“Bagus sekali! Semua
musuhmusuhku sudah lengkap di sini! Silahkan turun pemuda sedeng!”
“Mulutmu terlalu besar! Apakah
kambrat-kambratmu yang dua orang lainnya juga ada di sini heh?!”
“Tak usah banyak mulut! Jika
punya nyali silahkan turun. Kalau tidak lekas minggat dari sini!” Mendengar ini
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran sekali Setan Darah Pertama
berteriak memancing.
“Kalau kau tak berani baku
hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu di halaman luar!”
“Bertempur di halaman luar
lalu cari kesempatan untuk larikan diri lagi…?!” Wiro Sableng tertawa lagi
gelak-gelak! Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena pancingannya
diketahui lawan. Agaknya dia tak punya kesempatan lain daripada harus
menghadapi ketiga musuhmusuhnya itu atau sekurang-kurangnya salah seorang dari
mereka! Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga dalamnya pada
kedua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak garang! Satu tangan meninju ke
atas, tangan yang lain menjentik ke arah Pranajaya dan Sekar! Selarik besar
sinar merah yang sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk
ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil sinar merah yang
merupakan totokan-totokan beracun menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan
Pranajaya. Sekar putar Rantai Petaka Bumi, Prana menghindar ke samping sambil
kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama! Di atas
genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya. Satu angin dingin menderu
memapasi angin merah panas Setan Darah Pertama dan membuat buyar serangan
manusia muka merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat ke atas dan
menyerang dengan pedang Ekasakti milik Pranajaya! Kini Wiro Sableng gerakkan
tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar ke arah Setan Darah Pertama.
Inilah pukulan kunyuk melempar buah yang tak asing lagi dari Pendekar 212.
Meski cuma mempergunakan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam
melancarkan pukulan ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan
cepatcepat menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai. Keringat dingin
memercik di muka manusia yang berwarna merah itu. Nyalinya benar-benar menciut!
Ilmu pukulan apakah yang dimiliki dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di
atas genteng itu yang demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup
menerimanya?!
“Setan muka merah, apakah kau
betul-betul tidak tahu di mana dua kambratmu yang lain berada?!” tanya Wiro
Sableng dari atas. ”Di mana mereka berada itu bukan urusanmu!” jawab Setan
Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa bergidiknya. Wiro tertawa.
“Rupanya kau sendiri kurang
begitu tahu. Biar aku tunjukkan di mana mereka berada!,” kata Pendekar 212
pula. Kedua tangannya kelihatan ke luar dari lowongan genteng. Sesaat kemudian
bila tangan itu bergerak turun maka dua sosok tubuh manusia berjubah merah
laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas lantai
kamar dihadapan Setan Darah Pertama ! Muka Setan Darah Pertama berubah pucat.
Bulu kuduknya berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak di lantai dengan kepala
pecah, darah dan otak bermuncratan ! Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro
berhasil mencari keterangan di mana letak tempat kediaman Setan Pikulan. Karena
lebih mengawatirkan keselamatan Sekar maka Pendekar 212 memutuskan lebih baik
saat itu saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan. Tapi apa yang ditemuinya
di situ mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak di sebuah kamar! Kedua
tangannya buntung putus. Manusia ini tiada bergerak-gerak tapi masih hidup
megap-megap. Dalam berpikir-pikir apa yang telah terjadi dengan Setan Pikulan
dan terus mencari di mana Sekar berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan
menemui Setan Darah Kedua tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda!
“Setan alas benar!” teriak
Wiro. Hanya dalam dua jurus saja Setan Darah Pertama dibikin tak berdaya di
makan totokan Wiro. Mula-mula manusia ini tak mau menerangkan di mana kawannya
yang lain berada tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan
mendapatkan Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak kehormatan
dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda dengan kawannya
yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini segera kena ditotok oleh Wiro
dan sekligus keduanya dibawa oleh Wiro ke gedung tua tempat kediaman Tiga Setan
Darah. Kedatangannya di sana disambut oleh suasana yang tak terduga pula! Sekar
dan Prana dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama dalam keadaan
telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri! Untuk beberapa lamanya muka
Setan Darah Pertama masih memucat dan kedua lututnya goyah menyaksikan kematian
dua orang koleganya itu di muka hidungnya sendiri. Putus asa karena mengetahui
tak ada jalan untuk lari serta kalap melihat kematian kawan-kawannya, maka Tiga
Setan Darah Pertama kiblatkan pedang Ekasakti dan mengamuk menerabas Sekar
serta Pranajaya! Maka pertempuran seru segera terjadi.
“Sekar sebaiknya kau mundur
saja!” Wiro berseru dari atas genteng.
“Tidak bisa Wiro. Bangsat ini
hampir saja merusak kehormatanku!,” jawab Sekar seraya putar senjatanya dengan
sebat.
“Aku mengerti. Tapi kau telah
diselamatkan oleh Prana sedang Prana mempunyai dendam kesumat belasan tahun
terhadap bangsat itu! Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama itu!” Akhirnya
Sekar mengalah juga dan ke luar dari kalangan pertempuran. Keputusasaan,
kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah yang bersarang di diri Setan
Darah Pertama. Laksana banteng terluka manusia berjubah merah ini mengamuk
hebat dan ganas sekali. Serangan-serangannya berbahaya dan penuh tipu-tipu
licik. Namun itu semua tiada arti bagi Pranajaya yang menghadapi musuhnya itu
dengan hati panas pula tapi kepala dingin penuh ketenangan ! Sembilan belas
jurus berlalu cepat. Wiro bersiul-siul seenaknya.
“Pertempuran hebat!” seru
pemuda dari gunung Gede itu.
“Ayo Prana! Lawanmu sudah
mulai kewalahan! Satu dua jurus di muka pasti senjata milik iblis yang
ditanganmu itu akan merenggut nyawanya!” Apa yang dikatakan Pendekar 212
menjadi kenyataan. Dalam jurus keduapuluh satu laksana seorang penari Pranajaya
meliuk mengelakkan sambaran pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah Pertama
kepinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya. Prana geser kedua kaki
dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang dalam genggamannya ke muka Setan Darah
Pertama. Iblis bermuka merah ini rundukkan kepala! Tapi tusukan tadi cuma tipu
belaka, karena begitu pedang lawan lewat dan tusukan tombaknya tersorong ke
muka dengan serta merta Pranajaya gebukkan sepasang tombak itu ke kepala Setan
Darah Pertama! Setan Darah Pertama melompat ke samping! Tapi betapapun cepatnya
dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan kepala namun dia tak sanggup
menghindarkan bahunya dari hantaman senjata miliknya sendiri itu !
“Kraak!”
Tulang bahu Setan Darah
Pertama yang sebelah kanan hancur remuk! Setan Darah Pertama melolong macam
anjing! Tubuhnya miring dan terjerongkang ke lantai. Dalam keadaan seperti itu
dia masih hendak menyapukan pedang di tangan kanannya ke kaki Prana, tapi
senjata itu terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan lagi!
Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher Setan Darah
Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan turun naik. Muka nya
mengerenyit dan keringat membasahi sekujur tubuhnya.
“Setan Darah!,” desis
Pranajaya.
“Apa kau masih ingat saat-saat
sewaktu kau membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih ingat sewaktu tangan kiriku
ini kau buntungkan dulu?!”
“Orang muda..,” ujar Setan
Darah Pertama, “kasihani diriku yang buruk ini! Kalau kau ampunkan jiwaku,
kelak aku akan berikan hadiah besar serta jabatan tinggi di Istana !” Prana
tertawa. Wiro Sableng mengekeh.
“Jangan dengar mulut kentut
iblis itu, Prana!” memperingatkan Wiro. Pranajaya mengangguk.
“Manusia macam dia siapa yang
mau percaya!,” menyahuti pemuda bertangan buntung itu. Prana lemparkan ke
samping dua tombak milik Setan Darah Pertama dan membungkuk cepat mengambil
pedangnya! Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi ujung pedang kini
menggantikan empat mata tombak yang menekan batang lehernya !
“Apa yang dulu kau lakukan
terhadap bapakku, kini akan kau rasakan sendiri, Setan Darah!”
“Craas!”
Setan Darah Pertama meraung
setinggi langit. Pedang Ekasakti membabat buntung mengerikan! Setan Darah
Pertama melejanglejang! Dia berteriak, “Bunuh aku! Bunuh saja segera !”
“Rupanya kunyuk muka merah itu
tidak takut mampus, Prana!” ejek Wiro dari atas genteng.
“Ya, karena dia akan ketemu
dengan setan-setan yang jadi kambrat-kambratnya di neraka!” sahut Pranajaya.
Kemudian dengan tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung pedangnya ke batang
leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara seperti ayam
disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh!
“Sobat-sobat, urusan kita di
sini sudah selesai. Mari segera tinggalkan tempat sialan ini!” seru Wiro
Sableng. Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si gadis
melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru saja ketiga orang
itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka. Kira-kira lima puluh orang
prajurit Kerajaan telah mengurung tempat itu dan delapan manusia aneh berdiri
memencar, memandang dengan pandangan yang menggidikkan ke arah mereka. Salah
seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya melengking macam perempuan.
“Tikus-tikus bermuka manusia!
Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!”
12
MANUSIA yang berteriak itu
adalah seorang laki-laki berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil
dan pendek. Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan maut!
Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling memperhatikan
manusia-manusia itu satu demi satu.
“Celaka sobat,” bisik
Pranajaya.
“Mereka pastilah tokohtokoh
silat kelas satu, orang-orangnya Istana!”
“Kita memang lagi sialan,”
gerendeng Pendekar 212. Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok
tubuh manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang kedua sesudah
Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan cawat dan
keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki sampai ke muka dicoreng moreng dengan
sejenis cat berbagai warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya
Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau Siluman. Manusia
ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing kurus dan berjanggut biru. Di
dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang
berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang
neneknenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini membuyut ke
bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena diganduli oleh anting-anting aneh
yang besar luar biasa dan berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat Istana
yang dikenal dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti. Wiro sapukan
pandangannya pada tokoh silat lain yang berada di sebelah kiri ini berdiri
memencar empat orang lainnya. Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam
tapi yang mukanya dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk
dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang pernah didengar
Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu Hitam Muka Putih tokoh silat
golongan hitam yang berhati sejahat iblis! Orang yang selanjutnya berdiri
dengan tubuh terbungkukbungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan
berwarna hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai daerah
selatan Jawa Timur! Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang dikenal
oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu dia hendak
diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa waktu yang lalu! Cindur
Rampe seorang resi kejam yang juga memelihara janggut kambing berwarna putih.
Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan berambut panjang
macam perempuan, digulung di atas kepala! Namanya tidak satu orangpun yang
tahu. Dia dikenal dengan julukan Si Picak Dari Utara. Jelaslah bahwa ke delapan
orang itu bukan manusiamanusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan
kawankawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima puluh
prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung itu! Si kepala besar
badan kecil. pendek Gonggoseta maju selangkah kehadapan kehadapan ketiga orang
itu dan membuka mulut lagi, “Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar
tikus-tikus bermuka manusia?!” Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar
pada Sekar dan Pranajaya lalu kemba ia palingkan muka menghadapi Gonggoseta.
Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, “Kalian hanya diberi kesempatan
untuk menerangkan nama masing-masing agar tidak mampus secara penasaran!”
Wiro Sableng mengulum senyum
dan buka mulut dengan suara lunak, “Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan
tikus-tikus bermuka manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat
semua.”
“Sompret!” semprot Gonggoseta.
“Jangan sebut kami
sobatsobatmu!” Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut.
“Lantaran apakah yang membuat
kalian semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru hari ini!” Gonggoseta tertawa
melengking dan memandang pada kawan-kawannya.
“Sobat-sobatku!” serunya,
“kalian dengar omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan dengan
kita! Tidak mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!” Gonggoseta
meludah ke tanah!
“Apa kalian masih belum tahu
tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Ah,” Wiro angkat bahu,
“justru itu memang yang kami kepingin tahu!” Gonggoseta kembali keluarkan
tertawa melengking.
“Aku Gonggoseta..,” dia
terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan nama atau gelar tujuh orang
kawannya.
“Kami semua adalah tokoh–
tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!” Wiro Sableng manggut-manggut.
“Tidak disangka-sangka…,” ujar
pendekar ini.
“Setan alas, apa yang tidak
kau sangka!” sentak Gonggoseta sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap
menunggu dengan tenang.
“Tidak disangka-sangka kalau
hari ini kami akan bertemu dengan tokoh-tokoh silat Istana! Dengan tokoh-tokoh
yang berjulukan hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami!” Gonggoseta
tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar menggerendeng.
“Cuma kami belum tahu, urusan
apakah yang membuat kalian semua inginkan jiwa kami?!” tanya Wiro.
“Tikus busuk! Jangan pura-pura
tidak tahu! Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka
adalah kawan-kawan kami!”
“Kalian salah sangka!” jawab
Wiro cepat.
“Kami tidak membunuh Setan
Pikulan…”
“Jangan jual kentut!” hardik
Gonggoseta. Wiro Sableng tertawa, “Siapa yang jual kentut!” jawabnya.
“Kentut puteri yang paling
cantikpun dijagat ini tak ada yang orang akan mau beli!” Paras Gonggoseta dan
tujuh kawannya menegang membesi. Ini adalah satu penghinaan! Mereka
dipermain-mainkan! Di lain pihak Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro
masih bisa bergurau menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda bertangan buntung
ini sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya.
Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan dengan mereka
berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju kuning ini dilihatnya juga
berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju lagi selangkah!
“Sret!”
Dari balik punggungnya manusia
kepala besar ini cabut sebilah golok empat persegi panjang yang lebarnya satu
setengah jengkal! Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore!
“Sebut nama kalian
masing-masing cepat! Atau kalian mampus penasaran!”
“Dengar Gonggoseta,” menyahuti
Wiro Sableng.
“Kami tidak dusta, kami sama
sekali tidak membunuh Setan Pikulan.”
“Jika bukan kalian lantas
siapa?! Juga siapa yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana?!” Wiro angkat
bahu.
“Mana kami tahu,” jawabnya Dia
memandang ke langit di sebelah barat.
“Gonggoseta, hari sudah sore.
Matahari sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas
mencari dan menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawan-kawanmu itu sebelum hari
menjadi malam dan sebelum dia lari jauh…” Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan
semakin membungkuk ke muka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu
katanya, “Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk cepat-cepat
mengkermus manusia-manusia keparat ini! Kita semua sudah tahu bahwa mereka yang
menamatkan riwayat Tiga Setan Darah. Tunggu apa lagi?!” Habis berkata begitu Si
Cakar Iblis menggerendeng keras. Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar
ke muka Wiro Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro
maklum, walau bagaimanapun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang
tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah bergerak pula, masing-masing
keluarkan senjata! Karenanya Pendekar 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi!
Tangan kiri menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan
menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak pula tinggal diam
melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang Ekasakti! Begitu serangannya
luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis balikkan badan dan kembali menyerang
dengan jurus yang lebih hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia
ini sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin yang ke luar dari
pukulan tangan kiri Wiro Sableng! Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu
yakni Si Telinga Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu
melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng.
“Kapak Naga Geni 212!” seru
mereka hampir bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak kaget! Mereka belum pernah
melihat senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma
mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari ini mereka menyaksikan
senjata mustika sakti itu berada dalam tangan seorang pemuda berambut gondrong
bertampang dogol anak-anak! Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan
berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu Kapak Maut
Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertama yaitu Si Picak Dari Utara!
Si Picak Dari Utara menjerit keras dan tubuh dengan dada mandi darah dihantam
kapak sakti itu laksana ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang
dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling dengan suara
tertawa aneh dan bentakan-bentakan! Bila siulan itu terdengar, bila suara
tertawa aneh menyeling inilah satu pertempuran besar yang dahsyat! Tubuhnya
sudah lenyap ditelan kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh
pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan menghadapi
tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang berpunggung-punggungan dengan mereka
menghadapi empat pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam
bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil posisi
demikian dan tidak turut menyerang!
“Rapatkan serangan!” teriak
Gonggoseta karena sampai lima jurus di muka tak satupun yang sanggup mereka
lakukan untuk membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu! Dalam jurus
ketujuh Harimau Siluman mengurung persis macam harimau dan dari mulutnya
mengepul asap tujuh warna yang mengerikan!
“Tutup jalan nafas!” teriak
Wira memberi ingat. Sekar dan Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat.
Hidungnya keburu menghendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun
pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat itu Si
Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut gadis itu
“Trang! “
Bunga api memercik!
Tusukan tongkat besi Si
Janggut Biru terpapas ke samping karena dilanda badan pedang Ekasakti di tangan
Pranajaya! Jurusjurus berikutnya semakin seru! Limapuluh prajurit hampir tak
sanggup melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu saking
cepatnya! Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya dari mulut.
Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak, “Harimau Siluman, silahkan makan
asapmu sendiri!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kirinya. Pukulan
angin puyuh yang dikerahkan dengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya
bukan main. Asap tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar
berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri! Harimau Siluman
menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan mulut serta matanya
mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap tujuh warna. Manusia ini
keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi sebelum pil itu sempat ditelannya,
racun asap tujuh warna sudah merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun
lagi Harimau Siluman menggeletak mati di tanah! Di saat yang sama Wiro Sableng
mendengar suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu
terhuyunghuyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit di
tangan Si Telinga Arit Sakti !
“Mampuslah!” teriak Telinga
Arit Sakti. Aritnya menyambar ke leher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata
lagi karena tadi telah terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit! Prana
jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat membalik kembali,
murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar.
Si Telinga Arit Sakti tertawa
mengekeh.
“Wuss! “
Telinga Arit Sakti berseru
kaget dan lompat tujuh tombak ke atas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah
tubuhnya. Panasnya bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke
tanah disebelah sana sebelas orang prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan
rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!
“Pukulan Sinar Matahari!”
teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang lain-lainnya juga
mendadak sontak menjadi ngeri!
“Pemuda keparat, apakah kau
murldnya Si Sinto Gendeng?!” bentak Hantu Hitam Muka Putih !
“Tanya pada penjaga neraka!”
jawab Pendekar 212. Sekali Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka
terdengarlah pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua.
Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah! Tubuhnya
angsrok saat itu juga ke tanah ! Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat
seginya yang amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil mengelak
gesit Wiro berteriak, “Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di tepi telaga
di luar Kotaraja. Cepat!”
“Tidak mungkin, Wiro…,” jawab
Prana.
“Aku tak sanggup melakukannya.
Racun arit perempuan keparat itu telah menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur
badanku! Sekar sendiri entah masih hidup entah tidak…..” Pendekar 212 kertakkan
rahang. Dia melirik pada tubuh Sekar yang melingkar di tantah dan putar Kapak
Naga Geninya untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar maut Si
Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro Sableng yang tajam
masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu masih bernafas, cuma keadaannya
memang kritis akibat telah mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau
Siluman. Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pil dari balik
pakaian putihnya.
“Prana!.” serunya.
“Lekas telah pil ini dan
berikan satu kepada Sekar.”
Melihat ini Gonggoseta segera
berusaha untuk menghalang! Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya
dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak lebih cepat ke arah
manusia pendek berkepala besar ini. Selarik sinar menyilaukan menyambar
Gonggoseta!
“Pukulan sinar matahari!” seri
Si Telinga Arit Sakti.
“Gonggoseta, lekas lompat
menghindar!” memperingatkan perempuan sakti ini. Mendengar peringatan itu dan
maklum akan kehebatan pukulan sinar matahari yang tadi sudah disaksikannya
sendiri. Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki kanannya
kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki kanannya itu
melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan sinar matahari.
Tubuhnya terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya,
dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan rangsangan racun yang
menjalar dari kaki kanannya! Namun semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun
agaknya yang sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat
penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar matahari! Gonggoseta
meraung-raung dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak
lagi tanda nyawanya lepas sudah! Kehebatan pukulan sinar matahari yang
dilepaskan Wiro tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga
seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam orang prajurit
yang tersambar pukulan sinar matahari! Keenamnya laksana daun-daun kering
disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga! Meski dalam
keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-hati tangannya sendiri
bisa tersambar pukulan sinar matahari namun dengan susah payah akhirnya
Pranajaya berhasil juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu
segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat ke dalam mulut
Sekar. Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin meluaplah
kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya yaitu Si Telinga Arit
Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. Keempatnya mengurung
Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan hujan
menderu-deru menyambar ke seluruh tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar
Iblis yang mengandung racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran
dibagianbagian tubuh Wiro yang berbahaya. Arit ditangan Si Telinga Arit Sakti
berkelebat cepat memapas kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya
lepaskan pukulan ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam
dan beracun! Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak menjadi
dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut mereka itu sampai sepuluh
jurus di muka masih belum sanggup merubuhkan Pendekar 212. Jangankan
merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang
Sinto Gendeng itupun mereka tiada sanggup! Dan lebih membuat mereka penasaran
betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar suara siulan
yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada mengejek! Pil yang
diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memang mengandung khasiat yang luar
biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng sendiri yang meramunya. Pada waktu
pertempuran dijurus ke sepuluh berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai
merasakan keadaan tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan
darah yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis
itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala.
“Prana, lekas tinggalkan
tempat ini! Bawa Sekar!” berseru lagi Wiro. Pranajaya mengambil pedang Ekasakti
yang tercampak di tanah lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti
ucapan Wiro melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran !
“Pemuda tolol!” damprat Wiro.
“Disuruh selamatkan diri malah
bertempur!” Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan pedangnya ke
arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi empat tokoh silat
Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka ditambah dengan munculnya
Pranajaya kini keempat tokoh silat itu menjadi terdesak total! Tubuh keempatnya
terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan agaknya pertahanan mereka itu tak
akan berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah
seorang dari mereka akan menjadi korban lagi!
“Tahan! Hentikan pertempuran
ini!” teriak Cindur Rampe seraya melompat ke luar dari kalangan. Sejak mulanya dia
memang tak mau ikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah karena antara dia
dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum
terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga Cindur Rampe
pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat perhitungan dengan Wiro dan
kawan-kawannya.
“Apa maumu Cindur Rampe?!”
tanya Wiro dengan melintangkan kapak di muka dada sementara Sekar saat itu
sudah berdiri di sampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan.
“Antara kami dan kalian tak
ada permusuhan. Karenanya tak perlu pertempuran gila ini diteruskan…!” Wiro
tertawa tawar.
“Tadipun aku sudah bilang!
Tapi kalian semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah
melayang jiwanya!” Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya dan memberi
isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti Cindur Rampe tapi
tak jadi kaena saat itu terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti.
“Cindur Rampe resi keparat!
Apakah nyalimu sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita
menemui kematian ?!” Paras Cindur Rampe menjadi merah.
“Perempuan edan!” balasnya
membentak, “jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan yang lain-lainnya mau
meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari mampus!” Cindur Rampe
langkahkan kedua kakinya.
“Kalau begitu biar kau yang
mampus lebih dulu pengecut!” teriak Telinga Arit Sakti dan perempuan ini segera
melabrak Cindur Rampe. Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran
seru. Wiro tertawa rnengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar,
“Kawan-kawan mari kita
tinggalkan tempat ini,” katanya.
“Biar saja mereka baku hantam
satu sama lain!”
“Kalian tak akan berlalu dari
sini tikus-tikus keparat!” Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar
Iblis. Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang diulurkan
ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati bimbang, apakah akan
berlalu dari situ atau meneruskan lagi pertempuran. Cakar Iblis menggerung
dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya rnengeluarkan sinar hitam dan sedetik
kemudian sepuluh sinar hitam itu mencurah ke arah Wiro. Pendekar 212 sabetkan
Kapak Naga Geni ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan
sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada di depan muka
Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh
kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar Iblis,
“Kau tak akan bisa selamatkan
jiwamu dari jurus sepuluh ular berbisa berebut buah ini!” katanya.
Wiro memaki Dia melompat ke
belakang tapi secepat lompatannya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu
memburunya lagi !
“Mampuslah!” Teriak Si Cakar
Iblis dan kedua tangannya laksana kilat menggapai ke muka Pendekar 212.
Terdengar satu jeritan ! Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana
Si Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas buntung
dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan balasan yang amat
luar biasa hebatnya !
“Manusia keparat… maki Si Cakar
Iblis. Darah memancur dari kedua pergelangan tangannya.
“Sekalipun kau menang, jiwamu
tidak akan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik batang
lehermu….”
“Sialan! Sudah mau mati masih
omong besar!” damprat Wiro Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka
mentallah Si Cakar Iblis ! Wiro berpaling pada Si Janggut Biru.
“Bagaimana? Mau coba-coba
rasanya mampus sobat?!” tanya Wiro pula. Si Janggut Biru meludah ke tanah.
Tanpa berkata apa-apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro memandang pada Si
Telinga Arit Sakti yang tengah bertempur hebat dengan Cindur Rampe.
“Bertempurlah terus sampai
salah seorang dari kalian mampus!” seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama Sekar
dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit kerajaanpun yang berani dan
bernyali menghalangi mereka ! Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak
keras, “Cindur Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat
itu!”
Cindur Rampe melompat mundur.
“Aku masih mau hidup Arit
Sakti!” kata Cindur Rampe pula.
“Kalau kau mau mengejar mereka
silahkan!” Cindur Rampe berkelebat meninggalkan tempat itu. Si Telinga Arit
Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri dan menyaksikan lima
mayat kawan-kawannya yang menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam
diapun merasa kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia
mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat dan lenyap
kejurusan timur!
13
WAKTU mereka menghentikan lari
masing-masing, ketiganya telah berada jauh di luar Kotaraja. Mereka saling
pandang dan Wiro membuka pembicaraan dengan senyum di bibir.
“Sobat-sobat, ke mana kita
sekarang?” Sekar tidak memberikan jawaban. Pranajaya memperhatikah paras gadis
ini sebentar lalu berkata, “Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut,
mencari Cambuk Api Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!”
Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata, “Pulau Seribu Maut,
Cambuk Api Angin. Bagaspati.. nama-nama yang hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa
Timur pasti merupakan suatu hal yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila
aku ikut bersamamu….?” Pranajaya berseru gembira.
“Memang itu yang aku
harapharapkan Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar didapat!”
Wiro Sableng tertawa.
“Bagaimana dengan kau Sekar?”
tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu. Prana memandang lekat-lekat pada gadis
itu. Di balik pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan
perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata, “Kau musti kembali
ke tempat gurumu….” Tapi si gadis justru gelengkan kepala.
“Aku ikut bersamamu… bersama
kalian…” kata Sekar. Wiro Sableng kerenyitkan kening.
“Pengalamanmu di Kotaraja
kurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini dengan seribu
satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu Maut pasti lebih
berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja.”
“Apakah kau terlalu menganggap
aku ini orang perempuan bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya?!” tukas
Sekar. Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih memandang pada
Sekar.
“Dia memang pintar omong!,”
kata Wiro pula.
“Adatnya keras. Mautnya dia
musti maunya juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan urusan perempuan….”
“Sudah!” potong Sekar seraya
membalikkan badan memunggungi kedua pemuda itu. Wiro Sableng tertawa dan
garuk-garuk kepalanya.
“Yang aku khawatirkan,” kata
Pendekar 212 pula, “kalau-kalau gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami
yang menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini!”
“Soal guruku itu soalku dengan
beliau. Yang penting sekarang kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa
aku sebagai orang persilatan tidak boleh mencari pengalaman?”
“Tentu saja boleh” sahut Wiro
sementara Pranajaya sampai saat itu tak sepatahpun membuka mulut selain
memandang seperti tadi-tadi pada Sekar.
“Tapi sekarang belum saatnya,”
menyambungi Wiro.
“Kau tak berhak melarangku
Wiro. Siapapun tak berhak melarang ke mana aku mau pergi…!”
“Berabe! Berabe!” ujar Wiro
Sableng.
“Bagaimana Prana, kita ajak
dia…?” Pranajaya angkat bahu.
“Terserah padamu, Wiro.” Wiro
Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang.
“Baik Sekar, kau boleh ikut
bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan kau dan kami tak
sanggup- menolongmu, jangan kelak menyesalkan kami berdua…!” Maka tak lama
kemudian ketiga orang itupun kelihatan berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu
lari masing-masing mereka tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat.
MALAM itu malam yang ketiga
bagi rombongan yang terdiri dari tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju
Pulau Seribu Maut di ujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah
anak sungai berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan
dan bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu. Pranajaya memasukkan
empat potong kayu kering ke dalam api unggun lalu melangkah perlahan ke tepi
sungai. Di lihatnya gadis itu duduk di sebuah batu besar, tengah melamun
seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari
mereka yang bicara. Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan
untuk membuka pembicaraan, “Bagus betul malam yang sekali ini.” Sekar memandang
ke atas, memperhatikan bulan sabit dan bintang-bintang yang bertaburan lalu
menganggukkan kepalanya.
“Wiro belum kembali?” tanya
gadis itu.
“Belum,” sahut Prana. Hatinya
menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang tak ada di situ
daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu itu. Dan Prana sendiri
tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam yang lalupun pemuda itu selalu
pergi tanpa memberi tahu ke mana. Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal
yang disengaja. Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan
yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari samping. Betapa
indahnya paras itu dipandang dibawah naungan malam yang disinari bulan sabit
dan bintang gumintang.
“Kau masih belum memberikan
jawaban apa-apa atas ucapanku malam pertama yang lalu, Sekar…,” berkata
Pranajaya. Suaranya sekali ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar
suaranya itu. Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.
“Apakah tak akan pernah ada
balasan?” tanya Pranajaya. Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka
mulut, “Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan
Prana…“
Suara Sekar pelahan, hampir
seperti berbisik namun begitu mengiang telinga Pranajaya kedengarannya Paras
pemuda ini membeku merah. Ditundukkannya kepalanya.
“Kurasa bukan disitu
sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,” ujar pemuda itu pula
“Lalu….?”
“Kau mencintai dia…?” tanya
Prana seberani mungkin.
“Dia siapa?”
“Tak usah berpura-pura….”
Sekar memandang pemuda itu sebentar.
“Maksudmu Wiro?” tanyanya. Si
pemuda anggukkan kepala. Sekar tertawa.
“Suara tertawamu aneh, Sekar,”
bisik Pranajaya.
“Seolah-olah membenarkan
pertanyaanku tadi.” Sekar diam.
“Aku memang bukan apa-apa jika
dibandingkan dengan Wiro….”
“Kau tak usah cemburu Prana”
“Terus terang saja dalam
persoalan ini aku cemburu padanya. Aku iri,” kata Pranajaya dengan hati
laki-laki.
“Tapi kecemburuan dan iri
hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau mempunyai
maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku cemburu dan iri pada Wiro,
tapi aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang
manusia kepada siapa aku berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku
mengganggap Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung
sendiri….” Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapanucapannya.
“Aku menyadari kenyataan
Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya
tinggi, parasnya gagah dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih
utama dia adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus….. Jika kau
mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi persoalan ini. Aku
akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup berdua dan berbahagia….”
“Antara aku dan Wiro tak ada
hubungan apa-apa, Prana,” memotong Sekar.
“Tak sepantasnya kau bicara
sampai sejauh itu.” Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya
bulan sabit dan dia berkata .
“Mungkin, tapi kau tak bisa
menipu dirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau mencintai
dia…..” Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang mungil
bagus.
“Aku tak ingin membicarakan
persoalan ini lebih lanjut Prana.”
“Jadi tak ada jawaban darimu?
Tak ada jawaban berarti suatu penolakan Sekar…” Sepi menyeling. Pranajaya
menunggu sampai beberapa lamanya. Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila
tak ada juga jawaban dari gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang
berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya kepala yang
tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung itu. Hati gadis ini
memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu mulutnya mernanggil,
“Prana…” Panggilan itu laksana
satu kekuatan gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya berhenti melangkah dan
tubuhnya berhenti berjalan. Si pemuda palingkan kepala. Diantara keputus-asaan
yang menyelimuti wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan.
Dan matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan selanjutnya.
“Prana…..”
“Ya, Sekar…”
“Bersediakan kau menunda
pembicaraanmu ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti…?”
Si pemuda.merenung sejenak.
Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar meski aku tahu mungkin tak ada harapan
sama~sekali bagiku….”
“Mungkin yang orang duga tak
selalu mungkin pada kenyataan, Prana,” kata Sekar.
Pranajaya murid Empu Blorok
coba merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging
dibibirnya.
“Kuharapkan saja demikian,
Sekar,” kata Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.
14
DI PAGI HARI yang kesembilan
ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa.
Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang
terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. Angin dari
laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta pakaian mereka. Pranajaya
menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di situ ada perkampungan nelayan.
Kita bisa mencari keterangan di mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun
menyewa perahu serta membeli perbekalan.” Wiro mengangguk. Ketiganya segera
menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki
jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak, yang manakah di
antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut?”
Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan membuka topi
pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.
“Kau bertanyakan Pulau Seribu
Maut nak?” ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk.
“Kalau tak tahu jelasnya
kira-kira saja,” berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam.
“Umurku enam puluh tahun nak.
Dan hari inilah baru kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau
Seribu Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi.
“Apakah kalian hendak menuju
ke sana?”
“Betul” sahut Prana.
Mata yang sudah agak mengabur
di mana umur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih
teliti.
“Kalian tentunya orang-orang
dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali menanyakan letak pulau itu.
Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?”
“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma
kepingin tahu saja,” jawab Prana. Si nelayan tertawa.
“Kepingin tahu dan menemui
kematian di sana…? Nak, dengar… hanya manusia-manusaa yang mau lekaslekas mati
saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut….”
“Namanya memang menyeramkan,”
kata Wiro sambil usapusap dagu.
“Tapi sebetulnya ada kehebatan
apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”
“Ah, kalian bukan orang-orang
sini. Kalian tidak tahu, Nak…. di situ bersarang gerombolan bajak laut yang
dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat
diselat Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku inipun
tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak buahnya.
Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali
seminggu kami musti menyiapkan dan memberikan bahan-bahan makanan kepada
mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati…..”
“Kenapa tidak pindah ke
kampung lain?” tanya Sekar.
“Lebih berabe lagi!” jawab si
nelayan.
“Kalau kami berani pergi dari
sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua macamku ini akan
dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”
“Pernah berhadapan muka dengan
manusia Bagaspati itu?” tanya Prana.
“Pernah dan pernah ditampar.
Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa
tamparannya.“
Wiro Sableng mengulum senyum.
Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di tepi pantai itu.
“Perahu-perahu bapak?” tanya
Wiro. Si nelayan mengangguk.
“Bisa kami sewa sebuah?”
“Untuk pergi ke Pulau Seribu
Maut?!.”
“Ya.” Nelayan tua
geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku memang sudah tua dan
hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang
bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan
perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun yang akan
mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian!”
“Kalau begitu bapak terangkan
saja letaknya.“
“Tidak bisa nak… tidak bisa…”
Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan
saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan
nelayan tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan
perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya tak
berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau angker tersebut.
“Penduduk di sini sialan
semua!” gerutu Wiro Sableng.
“Pada mati ketakutan! Kurasa
mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak sesukar ini! Cuma
mencari Kepala bajak saja begini susah! Geblek!”
“Kita tak bisa salahkan
penduduk Wiro,” ujar Prana.
“Kalau begini kita terpaksa
bikin perahu sendiri atau rakit!” kata Wiro mengalih pembicaraan. Prana
mengangguk.
“Rakit kurasa lebih baik
daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar…”
Menjelang tengah hari maka di
tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana
“terbang” memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa,
semakin lama semakin jauh dari pantai ! Beberapa nelayan yang perahu mereka
kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat
mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang bolong
yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di depan
mereka?! Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu.
Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk
mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan sebuah rakit
pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka percaya! Dan yang lebih
tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang pemuda yang ada di atas
rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai pendayung yang membuat
rakit tersebut laksana terbang!
“Jangan-jangan jin-jin laut
yang kita lihat ini, Warana,” kata seorang nelayan pada kawannya yang berada
dalam sebuah perahu jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap
mata berkalikali.
“Hai, lihat! Mereka menuju ke
sini!” seru Warana.
“Celaka kita! Kayuh yang cepat
Warana sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!” Warana dan kawannya
segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu pandayung mereka
mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti
dihadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat
adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka
menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang datang
menganggu mereka!
“Saudara, yang manakah Pulau
Seribu Maut?” bertanya laki-laki muda yang bertangan buntung. Baik Warana
maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka
tanpa bisa membuka mutut. Wiro memandang keheranan, juga Sekar.
“Hai, apa kalian tak dengar
orang bertanya?!” seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut tapi tak ada suara
yang ke luar.
“Kalian seperti orang yang
ketakutan!” ujar Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah
kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. Dia
bertanya lagi .
“Di mana letak Pulau Seribu
Maut ?!”
“Saudara-saudara… apa kalian…
kalian…” Warana tak berani meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya
mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera
bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu pergunakan
seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya mengapung dan
sedikitpun tak bisa bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung
belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu.
Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan
yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
“Nelayan-nelayan geblek! Apa
kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan?!” bentak Wiro.
“Tolong! Tolong …. !” teriak
Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula.
“Saudara-saudara kami bukan
rampok atau bajak!” seru Pranajaya. . Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah
kehadapan Warana.
“Keblinger betul! Orang tanya
Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriak-teriak minta tolong ?!”
“Tolong jin laut! Tolong… !”
Wiro, Prana dan Sekar saling
berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana,
“Keduanya menyangka kita jin
laut…!” Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk pipi nelayan
ini.
“Kau kira kami ini bukannya
manusia apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa
kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!” Dijambak demikian
rupa Warana semakin memperkeras teriakannya.
“Manusia tak berguna
pergilah!” sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya. Begitu dilepas
begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan
rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, “Tentu
saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia seperti mereka.
Tak ada orang yang berakit di laut dan dengan kecepat laksana angin!” Wiro seka
kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu. Dia memandang
berkeliling dan tarik nafas dalam.
“Agaknya tak ada satu
manusiapun yang bisa kasih keterangan di mana letak Pulau itu…” kata Wiro.
“Kita musti cari sampai
dapat!” Prana kertakkan rahang. Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya
memandang ke arah utara tanpa berkesip.
“Apa yang kau perhatikan?”
tanya Wiro. Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan utara itu.
Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di tengah laut lepas di
lihatnya dua buah pulau yang besarnya dipemandangan mata mereka cuma sebesar
ujung jari kelingking saja.
“Bagaimana kalau kita arahkan
rakit kita ke sana?” mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana saling pandang dan sama
menyetujui. Dan rakit itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah
bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.
“Salah satu dari pulau-pulau
itu banyak elang elang lautnya Wiro,” kata Prana. Wiro Sableng memandang pada
pulau yang sebelah kanan. Di atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan
burung-burung.
“Itu bukan burung elang,
Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!” seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya
yang tajam dapat mengenal burung-burung itu. Prana pelototkan mata.
“Sekar, putar kemudi ke arah
pulau itu!” kata Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke
arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan pulau itu.
Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di sekitar teluk yang
sempit.
“Hai benda apa itu?!” mendadak
sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar.
Sebuah benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka.
“Ikan raksasa!” seru Sekar
pula. Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu memang seperti
kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba meneliti
dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap dari permukaan air.
“Aku merasa tidak enak,” desis
Prana.
“Kita musti waspada,” kata
Wiro. Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang luar biasa
besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian tengahnya laksana
seekor buaya raksasa membuka dan “plup” sekaligus menelan rakit serta ketiga
penumpangnya!
“Celaka!” seru Prana. Tapi
suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro mernukul lengan tinjunya
kian ke mari. Terdengar suara bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama
sekali tidak hancur !
“Gila, apa-apa ini!” teriak
Pendekar 212.
Dia tak bisa melihat Sekar
ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di
depan matapun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu
hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata sakti
itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar biru. Prana dan
Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang itu ! Sinar biru
Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah disemprotkan ke dalam
ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia
seperti melihat ribuan bintang begemerlap, seperti melihat tali-tali yang
melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera
kerahkan tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia
berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua butir pil dan
dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil
anti racun ke dalam mulut keduanya. Mendadak terdengar suara berkereketan dan
ruangan itu di mana Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu
terbuka. Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat
itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, “Berbuatlah pura-pura
pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi tanda!” Terdengar lagi
suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa menggelindung dan jatuh di atas
pasir yang panas dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng
buka ke dua matanya. Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak.
“Surengwilis! Jadi inikah
manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari keterangan tentang pulau
kita?!”
“Betul pemimpin!” terdengar
jawaban seseorang. Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran.
Dan dihadapannya, beberapa
tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap,
berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut
taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya
beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan
berangasan! Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia
mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya tergantung sebilah
pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala manusia yang
menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.
“Hem…,” si tinggi besar
berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandeng berkeliling, “Apa ada
diantara kalian yang kenal pada mereka?!” Tak ada suara jawaban.
“Kalau begitu mereka adalah
manusia-manusia tidak berguna!” ujar si tinggi besar.
“Penggal kepala kedua
laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh
menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku!” Beberapa kaki kelihatan
melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua-kawannya,
“Sekarang, sobat-sobat!” Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu
segera melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
15
KEJUT semua orang yang ada di
situ bukan kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa
mengkeh.
“Ha . . . ha! Kalian kira
mataku bisa ditipu huh?!” Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si
tinggi kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala mereka
adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati.
“Sebelum kalian mati kuharap
kalian mau kasih keterangan,” berkata si tinggi besar yang berjubah hitam
bergaris-garis putih. Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang.
“Ada keperluan apa kau mencari
tempat ini?!”
“Apakah ini Pulau Seribu
Maut?!,” balas menanya Pranajaya. Si tinggi kekar tertawa lagi.
“Kalian memang sudah berada di
Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa masing-masing?”
Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenangtenang saja. Prana
memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar.
“Aku mencari manusia bernama
Bagaspati. Apakah kau orangnya!”
“Setan alas! Kowe berani sebut
nama pemimpin kami seenak perutmu! Terima mampus!” Satu hardikan datang dari
samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher Prana. Pemuda ini
cepat-pepat menyingkir ke samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka
hidungnya !
“Tahan!” seru laki-laki
bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang bersurut
mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Pranajaya.
“Manusia tangan buntung!,”
katanya, “aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau masih
punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau dan kawan-kawanmu
mencari pulau kami!”
“Kedatanganku atas tugas
guruku!”
“Hem…. aku sudah duga bahwa
kau dan kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa
tugasmu dan siapa gurumu!” ujar si tinggi besar Bagaspati.
“Aku diperintahkan untuk
mengambi! Cambuk Api Angin yang telah kau curi dari guruku!” Bagaimanapun
Bagaspati menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan
perubahan.
“Apakah kau muridnya Empu
Blorok?!” tanyanya membentak. Prana anggukkan kepala.
“Mana cambuk itu?! Lekas
serahkan padaku!” Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak
bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.
“Nyalimu sungguh besar tangan
buntung!,” kata Bagaspati seraya melangkah kehadapan Prana.
“Sreet !”
Tiba-tiba Bagaspati cabut
pedang panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan.
Dia hentikan langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, “Lekas sebut
kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia persilatan tanpa tahu
namanya!” Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya. Sinar putih
berkilau ke luar dari senjata mustika itu.
“Aku datang hanya untuk
mengambil Cambuk Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada
jalan lain daripada menabas batang lehermu!”
“Bedebah sontoloyo!” teriak
Bagaspati marah. Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh
Pranajaya, sekaligus merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat !
Murid Empu Blorok tidak tinggal
diam. Prana segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu
mengeluarkan suara keras dan memercikkan bunga api ! Terdengar seruan Prana.
Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. Sekejap kemudian senjata
itu sudah berada di tangan kiri Bagaspati!
“Ha… ha…. ha…. Gurumu keliwat
sembrono manusia tangan buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari
Bagaspati!” Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
“Sebut namamu cepat!”
perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahanlahan mulai
turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.
“Bagaspati,” terdengar satu
suara dari samping, “Sebelum kau bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan
padaku untuk bicara…..!” Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran.
“Rambut gondrong, kau bakal
terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng
tersenyum.
“Kami datang secara damai
untuk meminta kembali pedang yang telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah
pantas seorang bernama besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan
perlakuan seperti ini?”
“Pemuda geblek! Pulau ini
adalah Pulau Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap detik! Siapa yang
menyebut nama Bagaspati dengan kurang ajar berarti mati!” kata Bagaspati dengan
membentak marah dan muka merah.
“Ah …. kau masih saja
sebut-sebut perkara mati dan mampus,” menukasi Pendekar 212 sambil cengar
cengir seenaknya.
“Kawanku sudah bilang bahwa
kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk Api Angin. Soal mati atau mampus
bisa diurus kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah
kini kau rampas pedang kawanku!”
“Pemimpin! Yang satu ini biar
aku yang bereskan!” satu manusia bertubuh tegap maju dengan kapak besar
ditangan kanan. Namanya Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan
Prana dan kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati. Bagaspati
anggukan kepala.
“Lekas bereskart dia, Sureng!”
“Sobat kalau kau punya senjata
silahkan keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!”
bentak Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan Wiro Sableng. Wiro
Sableng garuk kepala.
“Aku tak ada senjata. Bisa
pinjam pedang hitammu, Bagaspati?!” Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala
bajak laut menjadi naik ke kepala.
“Sureng! Lekas bunuh manusia
keparat itu!” teriaknya. Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan.
Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan Surengwilis.
Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak yang tadi dipegangnya
tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng! Semua mata melotot besar seperti
tak percaya melihat kejadian itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari
tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka
seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang ke luar dari mulut itu bukan suara
melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh Surengwilis melosoh
pingsan ke tanah!
“Anak-anak tangkap hidup-hidup
keparat ini!” perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia
segera menyerang Prana dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat
dikirimkannya kepada Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan
Bagaspati membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat itu
satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati cepat-cepat
urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu membalik lagi dan
menderu ke perutnya ! Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan
senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada terkirakan.
Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada Prana dan Sekar! Sewaktu
Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212 maka lima
manusia bertubuh katai maju ke muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala
hitam. Satu diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang
tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki sampai ke
kepala Wiro Sableng. Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin
deras memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup
dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan luar biasa
salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto Gendeng
ini betot tangannya untuk menarik jala dan si katai yang memegangnya namun tahu-tahu
jala itu bergerak cepat dan kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama
jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga melibat pinggang, jala
ke empat membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki
kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan semua
mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik saja tubuh Pendekar
212 tergelimpang dan bergulingan di tanah. Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai
ke kepala terjerat jala! Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua
tangannya. Tapi kejut Wiro Sableng tidak terkirakan sewaktu. menghadapi
kenyataan bahwa dia tak sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan
sepeuluh jari-jari tangannya Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia
belaka! Malah libatan jala semakin ketat. Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon.
Lima manusia katai anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing
mereka siap membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212.
Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat
kamit. Pada saat sepuluh ujung jari hendak melanda menotok badannya maka
terdengarlah bentakan yang luar biasa kerasnya.
“Ciaat !”
Dua larik sinar putih yang
panas dan sangat menyilaukan menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung.
Ketika tubuh mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit
mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi tanda tak
satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih bernafas! Wiro telah
lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus ! Melihat Lima Jala Sakti,
demikian nama kelima manusia katai itu menemui kematian maka seluruh anak buah
Bagaspati segera menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat
itu tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar yang
bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda mudi ini hanya akan
sanggup bertahan sebanyak lima jurus! Pendekar 212 memandang berkeliling.
Kira-kira enam puluh orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam
senjata mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana
kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma mengandalkan ilmu
silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk mengeroyok satu orang musuh.
Salah-salah mereka bisa baku hantam membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan
tenang, Pendekar 212 menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan
memperketat pengurungan.
“Kalian mau main keroyok?!”
kertas Wiro.
“Boleh!” kedua telapak tangan
dipentang ke muka.
“Tapi sebelum kalian mulai,
aku masih satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup
menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, niscaya aku
ampuni jiwa kalian!” Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan
berbadan penuh bulu meludah ke tanah!
“Jangan mengigau pemuda
keparat!” semprotnya.
“Tubuhmu akan tercincang
lumat!” Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya.
“Pulau ini Pulau Seribu Maut!
Berat kalian yang keras-keras kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!” Si
dada berbulu memandang berkeliling.
“Kawan-kawan! Mari berebut
pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!” Habis berkata begitu dia
keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh manusia laksana lingkaran air
bah datang menyerang ! Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang,
liangliang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam puluh
bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!
“Manusia-manusia tolol!
Pergilah!” teriak Wiro Sableng. Kedua tangannya diputar di atas kepala,
demikian cepatnya laksana titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar 212
menderu-deru angin dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur!
Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka seperti ditahan
oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan
belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba membentak sekali lagi! Kesembilan
belas orang bajak laut itu berpelantingan laksana daun kering disapu angin!
Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan angin puyuh!
Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka dan babatkan senjata
masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. Dan belasan bajak kembali
terpelanting! Suasana menjadi kacau balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi
tak berani maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin
puyuhnya!
“Kenapa pada teriak-teriak
macam monyet terbakar ekor?!” tanya Wiro mengejek.
“Ayo majulahl Bukankah kalian
mau mencincang aku?!” Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata
dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro masih sempat
melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati berhasil memapas putus Rantai
Petaka Besi yang menjadi senjata Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat
membabat ke perut si gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu
perhatiannya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang
menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi! Pranajaya yang melihat
bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke
arah Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat
dan Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan kirinya
untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu! Satu jari lagi pedang
hitam di tangan kanan Bagaspati akan merobek perut dan membusaikan usus Sekar
maka dari samping menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya
sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan melompat ke
belakang beberapa tombak !
“Wuss !”
Pukulan sinar matahari
menggebu di depan hidung pemimpin bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan
tambah besar dan tambah merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat
sedikit saja dia metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih
pukulan lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat
belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang masih hidup
berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, sama sekali tidak menyerang
atau mengeroyok Wiro Sableng !
“Keparat! Kenapa kalian
melongo semua?! Lekas bereskan setan alas yang satu ini!” Anggota-anggota bajak
laut itu bimbang seketika. Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang
kelak bakal mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya
segera maju dan serentak menyerang.
“Manusia tolol! Kalian minta
mampus saja!” teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan tangan kirinya.
Sinar putih untuk kesekian kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang
sekali ini meminta korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut
terdengar di mana-mana !
“Siapa yang mau mampus dan
ikut perintah Bagaspati silahkan maju!” teriak Wiro. Tak satu anggota bajakpun
yang bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah
goyah! Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah dilepaskan
Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini palingkan kepalanya pada
pemimpin bajak laut itu.
“Bagaspati, jika kau berjanji
akan mengembalikan Cambuk Api Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak
yang- kau pimpin selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum
terlambat bagimu untuk kuberi ampun!” Bagaspati tertawa mengejek.
“Kepongahanmu setinggi gunung!”
jawabnya.
“Meski ilmumu setinggi langit
seluas lautan, Bagaspati tak akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang
terlebih dulu serahkan jiwa padaku!” Wiro Sableng bersiul dan tertawa
gelak-gelak.
“Kau bisa juga bersyair
Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak mempunyai kesadaran,
kelak kau terpaksa bersyair di neraka! Silahkan mulai!”
“Cabut senjatamu setan alas!”
bentak Bagaspati.
“Ini senjataku Bagaspati!”
Wiro acungkan kedua tangannya.
“Kalau begitu aku akan mampus penasaran!”
Bagaspati lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika
milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan kepalanya
sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di batang pohon kelapa!
Prana cepat mengambilnya.
“Wiro, biar aku yang bikin
perhitungan dengan manusia ini!”
“Ah, kau tak usah mengotori
tangan dengan darah manusia maling ini, Prana,” kata Wiro pula dengan suara
keras lantang.
Prana sadar bahwa Wiro telah
menolongnya dari satu kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal
sanggup menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja telah
menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka sama sekali !
“Ayo seranglah!” teriak Wiro
ketika Bagaspati masih dilihatnya berdiri tak bergerak.
“Kau terlalu cepat-cepat ingin
mati rupanya setan alas!” desis Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua
kakinya melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah
kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang dahsyat!
Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam buta maka Bagaspati
melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat menderu ke arah perut dan kepala
Pendekar 212 sedang pedang hitam membuat satu jurus yang mengandung lima serangan
berantai !
“Ciaat!
“ Wiro lepaskan pukulan kunyuk
melempar buah. Meski pukulan ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun
pukulan itu sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang
Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka serangan dengan
jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan kanan dipukulkan melintang dari
atas ke bawah sedang tangan kiri meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat
laksana kilat sukar dilihat mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan
tidak. Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari tangan,
ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia memandang ke depan
dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan Wiro Sableng !
“Ha…. ha, bagaimana
Bagaspati?! Akan kita lanjutkan pertempuran ini?!” Muka Bagaspati mengelam
merah.
“Setan alas. Kau datang ke
sini untuk mencari Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata
itu. Tapi bukan untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau mati konyol!”
Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian maka ditangannya
tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, berwarna merah. Bagaspati mengekeh.
“Ini ambillah!” Cambuk Api
Angin di tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan semburan
lidah api yang luar biasa panasnya!
“Prana! Sekar Lekas
menyingkir!” teriak Wiro seraya buang diri ke samping beberapa tombak! Cambuk
Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa di belakang Wiro. Pohon
kelapa ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara maupun yang
masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus ditelan api! Diam-diam
Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api Angin menderu kembali.
Wiro kiblatkan pedang hitam milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat
bagaimana anak-anak buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! Pedang
hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro berseru kaget
dan cepat-cepat lepaskan pedang hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi
merah, terbakar api Cambuk sakti !
“Keparat!,” maki Wiro dalam
hati.
“Hebat sekali Cambuk Api Angin
itu!” Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti petir susul
menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat kian kemari dengan cepat,
jungkir balik di udara dan berguling di tanah! Semua itu untuk hindarkan diri
dari serangan Cambuk Api Angin yang ganas! Pranajaya sendiri tiada menduga
Cambuk Api Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah
Wiro akan sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian Wiro dilihatnya
sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acakacakan, mukanya
berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih juga menderu-deru, mengejar ke
mana Wiro berkelebat! Dua jurus di muka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk
sekali malah terdesak hebat dan dipaksa bertahan mati-matian! Di dalam
ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu tiba-tiba terdengarlah gelak
tertawa yang aneh dan suara siulan menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam
kejap itu pula sinar putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit
menderu sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala jurusan
dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan! Bagaspati putar Cambuk
Api Angin lebih cepat. Dentuman macam suara petir terdengar tiada henti. Angin
laksana topan menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun
kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa seperti tadi
lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih sinar Kapak Naga Geni
212 ditangan Wiro Sableng ! Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan
percepat permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet.
“Terima jurus naga sabatkan
ekor ini Bagaspati!” seru Wiro. Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja.
Serangan Wiro yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak
sanggup dilihatnya karena cepatnya ! Dan tahu-tahu…
“Craas!”
Lalu terdengar lolongan
Bagaspati. Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan kanan itu
sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 sampai
sebatas bahu ! Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam orang gila
menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk macam orang celeng!
Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluh-pembuluh darahnya. Ketika
pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini
melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti! Semua anak
buahnya memandang dengan penuh ngeri !
“Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak
Bagaspati karena tidak sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat
serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya! Bagaspati masih terus
berteriak dan berguling-guling sampai beberapa saat di muka namun kemudian
ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi!
Bagaspati mati dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke
langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya! Pendekar 212 tarik nafas
dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni
212. Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.
“Senjata hebat,” katanya
sambil geleng kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya.
“Terima kasih Wiro” kata Prana
dengan penuh gembira tapi juga haru. Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah
kehadapan anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak lebih dari
tiga puluh lima orang kini.
“Kalian semua sudah lihat
sendiri betapa mengerikan kematian itu!” seru Wiro dengan suara lantang.
“Kuharap ini menjadi pelajaran
yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan pulau ini, berhenti jadi
bajak laut dan hidup sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti
jadi nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami bertiga
akan ampunkan nyawa kalian!”
Hening sejenak. Salah seorang
anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian
menyusul berlutut. Wiro garuk-garuk kepala.
“Buset! Orang suruh berjanji
kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembahsembah! Bangun semua!”
teriak Wiro. Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras mereka
kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk kembali hidup sebagai
orang baik-baik.
“Tampang-tampang kalian aku
kenal semua! Ingat! Kalau kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup
dalam jalan jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!” Wiro
berpaling pada kedua kawannya.
“Sudah saatnya kita tinggalkan
tempat ini kawan-kawan.” Prana dan Sekar mengangguk. Ketika ketiganya hendak
berlalu salah seorang bekas anggota bajak berseru,
“Tunggu !”
“Ada apa?!” tanya Wiro.
“Di pulau ini ada satu gudang
besar berisi timbunan barang dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan
benda-benda itu?!”
“Busyet kenapa jadi tolol?!
Kalian bagi-bagi saja sama rata dan jadikan modal buat hidup baik-baik!” sahut
Wiro. Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, “Kami tidak keberatan
memberikan separoh dari harta dan uang itu pada kalian bertiga!” Pendekar 212
berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum.
“Terima kasih sobat! Kami
datang ke sini bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata
itu telah kami temui dan kami musti pergi!”
Ketika rakit mereka diseret ke
tepi pantai, bekas-bekas anak buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan
mereka ke pantai Jawa tapi mereka menolak.
“Rakit ini cukup baik dan
lebih cepat jalannya,” jawab Wiro. Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah
Bagaspati itu sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar
biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan Prana yang
dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI Jawa telah berada
dihadapan mereka dan tak lama kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan
warnanya di ufuk barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa.
“Kita telah sampai
sobat-sobatku!” seru Wiro. Dia yang pertama sekali melompat ke daratan. ”Dan
ini adalah saat perpisahan kita.” Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro
sebaliknya tertawa.
“Tugasmu telah selesai bukan,
Prana? Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui….”
“Tapi Wiro…..” Ucapan Prana
ini dipotong oleh Wiro.
“Di lain hari kelak kita pasti
akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin kukatakan pada
kalian.” Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan senyum-senyum.
“Kalian ingat malam bulan
sabit waktu kita berhenti di tepi anak sungai dulu itu?” Prana dan Wiro saling
panda mengingat-ingat dan begitu ingat masing-masing mereka sama memandang pada
Wiro.
“Maaf saja, aku mencuri dengar
apa yang percakapkan saat itu….” Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan
serta merta. Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai
waktu mereka membicarakan soal cinta itu.
“Sobat-sobatku, kalian boleh
saja buat seribu janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali ke tempat guru
kalian! Urusan jodoh guru kalian musti diberi tahu….” Paras kedua orang itu
semakin memerah. Wiro tertawa bergelak.
“Nah sobat-sobatku, setamat
tinggal. Kudoakan agar kalian bahagia.”
“Wiro tunggu dulu!” seru Prana
dan Sekar hampir bersamaan. Namun tubuh Pendekar 212 sudah berkelebat. Prana
merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada dagunya! Sewaktu
memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada lagi!
“Aku tak akan melupakan dia.“
desis Prana.
“Kelak bila aku punya anak
laki-laki, aku akan namakan dia Wiro.” Prana putar kepalanya. Pandangannya
bertemu dengan pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu
menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling melangkah mendekat untuk
kemudian saling berpeluk. Laut, langit dan matahari sore menjadi saksi betapa
mesranya pelukan itu.
TAMAT