-------------------------------
----------------------------
010 Banjir Darah Di Tambun Tulang
1
Kiai Bangkalan menggeletak di
lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak lagi
karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh!
Orang tua itu menggeletak
menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal
berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi
seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri
Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di
ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG
Pendekar 212 Wiro Sableng yang
berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti
dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh
orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si
orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang detik
kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku
di atas huruf terakhir kata yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki
dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga
nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo
hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang
ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh
kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda
ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal
empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas
tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis:
SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro Sableng tarik nafas
panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh
pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam
mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah
sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah
mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai
Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua
itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng
kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh
Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat karena
seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu, menemui
kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan
bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang
menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya,
manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang telah
melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya
Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus
menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan
melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan
itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur
sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai
Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang
mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya
bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah
bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua
buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu
kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau hidup!
Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke dalam saku
pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai
terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari
peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah
sorotan sinar matahari air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali.
Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu merupakan sebuah
bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212
tiada berkedip memandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat kemunculan
sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa
itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahliannya melukis, tentu
orang tua itu akan sanggup menuang segala keindahan yang ada di depan mata itu
ke atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju
di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang hanya
air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan penglihatan manusia yang
menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan
dengan kehebatan alarn!
Angin dari barat bertiup lagi
dengan keras. Layar perahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih pesat.
Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di udara. Ini satu pertanda
bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya
masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas
memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh.
Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan
itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara, Wiro tak tahu
apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu ini.
”Ada apakah, bapak?" tanya
Wiro.
Tanpa alihkan pandangan
matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah
terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan sana…?"
"Awan semacam itu
biasanya membawa pertanda tidak baik."
"Tidak baik
bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun
keadaan di laut.
"Akan timbul angin
ribut," kata pemilik perahu pula. Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh
anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan
kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa
dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya
di sebelah tenggara itu! . Maka karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu
dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi
menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang
tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah
perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi melainkan
berkelompok-kelompok dan menyebar di manamana. Pemandangan yang serba indah
kini menjadi diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak tentu
arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL Cuaca semakin
buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu
tersendatsendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau
itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat
kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah
titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul oleh gelegar
guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat
yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup
bersama karena derasnya, laut marah menyabung gelombang, menghempaskan perahu
kian ke mari sementara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pekat!
Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah rasa
ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar
besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya
itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu
patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar.
Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa
besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru
angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya
suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia
yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena sedetik
kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul
kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan
dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk kemudian dipermainkan
gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam
perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri. Tapi
apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng
bergulat sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia
berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu namun mana mungkin
berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul
telah disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap
kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas
tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini berusaha
berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah gelombang mendera
tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi
papan besar tadi telah lenyap!
"Celaka! Tamatlah
riwayatku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu
sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk
menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai
puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan
kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup setengah
mati, sesuatu melanda keningnya dengan’keras. Kulit keningnya robek dan
mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu
karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang
untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk
menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah
dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu.
Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air
laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang
keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika
kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek
yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan
benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk kemudian
berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda ini berpegang pada papan
itu, terombang ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur dihadapannya,
sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang
anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa
oleh seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa
ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa
papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua
sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti meninggalkan anak
kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu
membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada papan lalu
didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau
selamat anak," kata Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Tak
sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai
tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia
harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk
pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin
dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa
yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya
berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan tangannya kaku
tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti,
tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini
merasa seperti melihat sesuatu jauh dihadapannya, meluncur di atas air laut
menuju ke arahnya. Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia
berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya!
Pada detik dia menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik
itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.
2
Ketika dia siuman tubuhnya
terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat
dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di
neraka?!
Wiro Sableng membuka kedua matanya
dengan perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha
memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau
masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di
atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke
Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas
ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah
papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap
rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu,
bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi!
Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya saat itu. Untuk
memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia
terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas
balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri,
hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih
lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya suara anak
kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus
menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta air, sedang untuk
mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup?
Didengarnya suara berkeretekan
di belakang kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu.
Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri
di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya
kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun
kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi
menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak dikenal
ini!
Manusia ini berpipi dan
bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak
karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya.
Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakak tua. Dia
tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya.
Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang
berdiri dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang
seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar luar biasa
dan menyeringai.
"Sudah sadar hah?!"
bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia
terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan.
"Empat hari empat malam
mendengkur terus-terusan. Enak betul!" orang tua bermuka angker itu
berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak
berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian
melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya manusia ini.
Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah orang yang telah
menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras
serta menunjukkan hati jahat?!
"Apa yang kau
pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai serta
pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali
ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air…"
"Apa?!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air?! Kau minta air?!
Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata si orang
kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar
jawaban,orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati.
Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil
masuk ke dalam pondok itu.
"Ah… anakku!" kata
si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang
dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang tempo hari
ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang
tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi
mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku, apakah kau dengar
si tukang tidur ini minta air…? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini
budaknya!" Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak.
Tibatiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai! Kau dengar apa
tidak?!"
Dibentak keras begitu, si anak
berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua, lalu
meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. "Orang
gila," katanya kemudian pada Wiro. "Kalau kau mau minum, itu di atas
meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak,
bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa?! Kau memakiku
edan?! Kau yang edan!" Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk
kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang
kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu
roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa
gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.
Pagi itu Wiro merasakan
badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas
serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu
maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada sebuah
kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan
segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian sewaktu.rnelihat
sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera menyambarnya.
Mendadak di luar didengarnya
suara si orang tua.
"Ah… salah! Salah! Kaki
kananmu majukan lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu musti begini. Bagus….
Sekarang coba memukul ke muka… ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu,
pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan
pemandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia
berdiri dengan bersandar dan memandang ke halaman. Orang tua berwajah angker
itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua
tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah
mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa
geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul!
Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu.
Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?!" bentak si
orang tua, "Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau
jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?!"
Si anak menangis. Dan Wiro
bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak
tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia
sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. "Aneh sekali orang tua ini," katanya dalam hati.
"Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali.
Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir
sama dengan orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau
tak mau belajar silat pergilah sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan
kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata demikian si
orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah
ke pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya
dan memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang
suruh kau bangun dan berdiri di situ?!" bentak si orang tua begitu melihat
Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan
bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena
bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa
siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang telah
menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah
gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan menjura
segala?!"
"Orang tua aku berhutang
nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku…."
"Hutang nyawa?! Hutang
budi…?! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah
menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian
merawatku di sini?!"
Orang tua itu urut-urut
keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau
mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya
kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila macam
kau!"
Meski Wiro menjadi gusar
karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku
bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya
dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau
mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan
diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu
kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu. Sudilah kau
memberitahukan namamu, orang tua…."
"Buat apa?!"
"Agar dapat kuingat
selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya sekedar
diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata
apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa dan
bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak
dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang
mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu
hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar
suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah
menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa
tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan
melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu berlubang
dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa
memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis!
Wiro sampai ternganga dan,
melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu.
Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah
kelapa yang airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan
yang tak terlihat memegangnya!
Orang tua itu gerakkan tangan
kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali
melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke
samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di dalam pondok
didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus
membobolkan dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati
habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah
tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari
kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro
dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang tak
berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang angker ini.
"Bah, kau berani menantangku nah?!" Dari balik pakaiannya orang tua
ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan
tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar
212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak
sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas
kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja
sembuh lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar 212 kaget sekali
karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi
adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja
anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang
pondok sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang
mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil
Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan dari samping datang
serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang aneh
berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepatcepat
tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah melibat!
lengannya!
Si orang tua tertawa
gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras
ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau
saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia
mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!
"Ha… ha! Orang, gila
macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!" ejek orang tua itu begitu
Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar sekali.
"Orang gila siapa
namamu?!"
"Orang tua, kuharap kau
jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal.
"Ah… kau memang
gila!" tukas si muka angker.
"Ayo katakan siapa
namamu!"
"Wiro," sahut
Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar.
"Wiro apa?!"
bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang
rapat-rapat menahan kesal.
"Hai! Apa kau tuli?! Wiro
apa?!"
"Wiro Sableng,"
menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro Sableng?! Nah… itu
buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia yang
memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku
memakai nama demikian…."
"Aku tahu, orang tuamu
yang memberikan nama itu padamu…."
"Bukan, tapi guruku!"
potong Wiro Sableng.
"Ah… kalau begitu berarti
gurumu juga Sableng alias keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia
melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik: "Orang tua, jangan hina
guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak dengan keras. Selain
tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak
sanggup diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya
tertawa mefihat perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan
nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang kayangan ini! Eh
orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya
gelar!"
“Aku tak punya gelar
apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk melepaskan
libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta
terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat
Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang
jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng
menantang.
Orang tua itu mendelikkan
matanya sehingga kelopaknya yang merah membuka lebar dan tampangnya jadi
tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak.
"Orang gila! Kau memang
pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya
lekas kau beri tahu nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang
suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri
tahu?!"
"Tidak," jawab Wiro
Sableng tegas.
Si muka angker mendelik,
"Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua yang pernah
membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka
angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kayangan yang
dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas
sampai beberapa tombak!
3
Tua Gila tertawa gelak-gelak
dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu
melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah gerakan kincir padi
memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua
Gila lalu tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget.
Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia
jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan kincir padi
memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia
digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai
Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan
tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua Gila
menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro Sableng akan
mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa
gelakgelak.
Wiro berdjri dengan nafas
sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia
diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan ditertawakan,
sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya? Sampai berapa lama
dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya? Kepada siapa dia
telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau
membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata:
"Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak laki-laki yang
bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa
menerima perlakuanmu yang keterlaluan…."
"Perlakuanku apa yang
keterlaluan?!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak tahu
diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama
gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak
akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut
mati?!"
"Kenapa musti
takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan
berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut
mati?!"
"Semua manusia akan mati,
orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan
Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang
kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia lain menemui ke
matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal
kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air
mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran
melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan
dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata. Suasana menjadi
sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan
telunjuk tangan kirinya
ke dada kanan Pendekar 212
Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di
dadamu itu?!" ‘
Wiro baru sadar bahwa waktu
itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada
berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah mempergunakan
bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya,"
kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya
apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang
menulisnya aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan
orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali
menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah
keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan
kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya, ffiro
tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat
tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali.
Dia menyeringai. "Ah… sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang
gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi
kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan
pertanyaan"
"Menurutmu oang tua
manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung.
Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah
angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa
menjawab kau akan kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke
atas pohon kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa. Sebelum
buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan
dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di
atas tanah!
Tua Gila menghela nafas
panjang dan tertawa rawan. "Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya.
"Jawabanmu memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua
Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya dihadapan Wiro. ”Benda ini
kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau
tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata
benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa
Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah
di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun
menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi perjalananmu itu
adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil
menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling
besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku itu akan
diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan
hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk
mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah mencuri buku
itu"
"Kau tak punya hak
melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku
itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau
temui kau mau bikin apa dengan buku itu?"
"Aku akan pelajart
isinya,…",
"Berarti kau mencuri ilmu
kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai
Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku.
Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu pengobatan itu dari bukunya
bukan berarti aku mencuri kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya,
mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama
saja dengan mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu
pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan
mengada-ada, orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran
sekali.
Dalam pada itu Tua Gila
berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan perjalananmu mencari buku
itu. Pulang saja. Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi
hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu
melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya
yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata
bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang
telah membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau
tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi
yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil
membekuk si pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang
yang telah membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. ‘
"Kalau keadaan
memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak
betul-betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira
nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis
dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat
membunuhku. Apa nyawaku milikmu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu
tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau
kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak melihat
tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya.
Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat
lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana sebuah bola yang
diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!
4
Dari Tua Gila, Wiro berusaha
mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun Tulang. Dulu sewaktu
berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia mendapat tahu bahwa
Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di Pulau Andalas.
Namun Tua Gila mengejeknya,
malah mendamprat dan memaki-makinya.
"Orang gila! Bagusnya kau
tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang
mengantar nyawa…."
"Setiap bahaya maut
adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi," kata Wiro pula.
Tua Gila tertawa sinis.
"Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya Tambun Tulang?
Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan pasti kau
terkencing-kencing karena ketakutan.
"Kalau aku begitu
pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk mengadakan
perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina sekali.
Tua Gila membelai janggutnya
sebentar lalu berkata: "Nyalimu memangbesar, orang gila. Tapi percuma Saja
keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu yang diandalkanl"
Wiro Sableng tertawa. Untuk
kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro
mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh berwajah angker itu dan minta
diri.
"Apa?! Kau mau pergi?!
Tidak bisa! Kau tetap berada dipulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat
urusan di Tambun Tulang."
Dua hal membuat Wiro Sableng
terkejut.
Yang pertama ucapan Tua Gila
yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau itu. Selama
berhari-hari bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia tahu kalau dia
berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara menderu
seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar
212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada kemampuan untuk ini,
berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu hendak memberinya
pelajaran ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua Gila
mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang!
Tengah Pendekar 212 Wiro
Sableng berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila membentaknya: "Coba
perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling hebat!"
"Apa maksudmu sebenarnya,
orang tua?" tanya Wiro Sableng dengan hati meragu.
“Tak usah banyak tanya! Lekas
perlihatkan!" bentak Tua Gila.
Wiro Sableng yang saat itu
sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti sedia kala segera maklum
bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu terhadapnya. Maka dia segera
mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang
Sinto Gendeng!
Mula-mula dikeluarkannya jurus
yang dinamakan "Segulung Ombak Menerpa Karang", menyusul "Ular
Naga Menggelung Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan lancarkan jurus
"Dibalik Gunung Memukul Halilintar" dan yang keempat kalinya jurus yang
dinamai "Membuka Jendela Memanah Rembulan". Semua gerakan itu
dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah menyelesaikannya.
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata: "Coba kau ulangi lagi keempat
jurus itu." Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri empat langkah
dihadapan Wiro Sableng.
Tahu kalau dirinya hendak
diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga
dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh gerakannya
sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang!
Pada waktu Wiro Sableng
mengeluarkan jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang" maka kedua
tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang deras,,
betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir serta
batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang!
Anehnya Si Tua Gila
menyerangnya, Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai
“Segulung Ombak Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin pukulan yang
laksana ganas mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila mendengus. Ranting di
tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang tubuhnya sendiri
jingkrakjingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor! Anehnya meski
gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan
dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus "Segulung Ombak
Menerpa Karang" secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah!
Wiro Sableng penasaran sekali.
Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan
demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras Wiro susul dengan jurus
"Ular Naga Menggelung Bukit". Jurus ini didahului oleh satu tendangan
dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila lawan
menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran sepasang lengan ke al-ah leher
atau pinggang. Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang berisi
kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan
orangnya akan konyol!
Dengan gerakan gerabak-gerubuk
Tua Gila hindarkan tendangan,ke arah bawah perutnya. Juga dengan gerakan aneh
macam begitu dia berhasil pula mengelakkan gelungan tangan lawan yang mengincar
leher lalu turun ke arah pinggang!
"Edan!" maki
Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan jurus
"Membuka Jendela Memanah Rembulan".
Tapi dia cuma menyerang tempat
kosong karena si orang tua sudah lenyap dihadapannya dan terdengar suara dengus
mengejeknya di belakang!
Wiro bersuit nyaring. Balikkan
badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus "Dibalik Gunung
Memukul Halilintar!"
Tapi lagi-lagi dengan gerakan
aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang tua berhasil mengelakkan jurus
serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu!
Wiro melompat mundur.
"Orang tua, aku mengaku
kalah!" kata Wiro sejujurnya. Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua
ini.
Tua Gila tertawa mengekeh dan
sambit membuang ranting kering yang ditangannya dia berkata: "Aku tidak
memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukangtukang judilah yang memikirkan
kalah menang!"
Kemudian dia duduk di bawah
pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. "Dengan ilmu silat picisan itu
kau mau pergi ke Tambun Tulang…? He… he… he… he…. Belum sampai mungkin kau
sudah kojor!"
Wiro Sableng panas sekali
hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini dianggapnya
hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan! Betulbetul Pendekar
212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah satu kenyataan bahwa dia tak
sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa
sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia lain yang lebih pandai dari dia.
Bahwa di luar langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng sambil
tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya ditundukkan, astaga, membeliaklah
matanya karena terkejut!
Betapakah tidak! Baju putih
yang dikenakannya ternyata robek besar diempat bagian! Wiro angkat kepala dan
memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di tangan Tua Gila
tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya,
pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul bahwa di
luar langit ada langit lagi!
Tua Gila sementara itu tertawa
terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih panjang.
"Sia-sia orang gila!
Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang iri i kau hendak pergi ke
Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma!"
"Kalau begitu aku mohon
petunjukmu, orang tua,"
kata Wiro Sableng pula.
"Apa? Siapa sudi kasih
petunjuk pada orang gila macam kau!" damprat Tua Gila membuat Wiro untuk
kesekian kalinya memaki dalam hati!
"Aku sudah lihat
jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!" bicara lagi Tua Gila.
"Sekarang coba keluarkan ilmuilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah
juga tak ada artinya?!"
Penasaran sekali Wira menyurut
mundur delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam segera
dialirkan ke lengan kanan.
"Orang tua!
Berdirilah)" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di
bawah pohon kelapa sambil cengar cengir seenaknya.
"Ah, untuk
menerima.pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?! Silahkan
memukul, orang gila!"
Wiro kertakkan rahang dan
lipat gandakan tenaga dalamnya. "Kalau kau mendapat celaka, jangan
salahkan aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggitinggi ke
atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari membuka dan satu
gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk
tertawatawa.
"Ah! Cuma pukulan kunyuk
melempar buah! Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila. Tangan kirinya
dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya. Terdengar suara
berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke belakang! Ketika dia memandang ke
muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap duduk di bawah
pohon kelapa itu! .
Wiro merutuk setengah mati.
Kedua tangan diangkat ke atas.
"Tua Gila! Terima
pukulanku yang kedua ini!" Kemudian tanpa tunggu lebih lama Wiro
putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara
dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batubatu kerikil mental. Semak
belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan
rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan
berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata’
"Ah, sejuknya pukulan angin puyuh ini. Mataku sampai-sampai
mengantuk!" Dia menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti
sikap orang yang hendak tidur mencangkung!
"Edan!" maki Wiro
Sableng. Pukulan angin puyuh segera diganti dengan pukulan angin es. Udara di
atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan.
Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si
orang tua mendongak ke langit dan berkata seakan-akan pada dirinya sendiri;
"Ah, panas sekali hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila
kibaskibaskan pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan
angin es yang telah dilepaskan oleh Wiro Sableng!
"Orang gila! Apakah kau
masih punya ilmu simpanan yang lain?!" seru Tua Gila dengan nada mengejek!
Wiro jambak-jambak rambutnya
saking gemas.
"Ayo! Pukulan sinar
matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!"
Sebenarnya susah sejak tadi
Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap jurus pukulan yang
hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi sewaktu Tua Gila
menyuruhnya mengeluarkan pukulan sinar matahari!1 Siapa sesungguhnya orang tua
aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo! Kenapa jadi macam
orang pikun?! Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru lagi Tua Gila.
Penasaran sekati Wiro alirkan
seluruh tenga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya komat-kamit. Sekejap kemudian
tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih
sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar
matahari!
Tua Gila untuk pertama kalinya
berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip.
Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro memukulkan tangan
kanan ke muka, orang tua ini dorongkah telapak tangan kanannya ke depan!
Dari tangan Wiro Sableng
menderu satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya
dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu ganas-dan
memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar suara berdentum yang
teramat dahsyat!
Langit laksana robek!
Pulau itu laksana tenggelam ke
dasar laut!
Dunia seperti mau kiamat!
Wiro Sableng mencelat sampai
tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan, dadanya terasa sakit.
Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro
telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat
sepasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk
dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya.
"Ah… baru pukulanmu yang
satu itu yang agak berguna dimataku!" kata Tua Gila. Perlahan-lahan dia
duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke kiri dan
mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan orang! Pergi!"
Ternyata yang dibentak dan
diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah
lautan. Si anak dengari takut segera lari meninggalkan tempat itu.
Tua Gila mendongak ke langit.
Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat.
"Hem… sudah rembang
pelang. Tentu pasang sudah naik”
Dia berpaling pada Wiro dan
berdiri. Lalu katanya:
"Mari ikut aku ke
pantai!"
Mula-mula Wiro merasa bimbang
dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila membentaknya dengan mata
melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa yang hendak diperbuat orarig tua
aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga!
5
Seperti yang dikatakan Tua
Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu
melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang penuh dengan
batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua
Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit
jejak pun! Se-baliknya ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu
kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua
kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro
garuk-garuk kepalanya. Dalam bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat
dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di
sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak terendam
air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar rumah menderanya
dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus
tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun
sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua
raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil
menyanyi-menyanyi membawakan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas
batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu batu karang
yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau
melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak
Wiro. "Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu
karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis
berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah
puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat
agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar tubuh
menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia
berjingkrak-jingkrak di atas puncak karang itu seperti seorang anak yang
gembira sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu
si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang
bergoyang keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu, Bajunya
basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira; "Ayo ombak! Ayo ombak
datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besari"
"Manusia aneh gili"
desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu
dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang
berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa
dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau
tunggu apa lagi?!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih
berdiri bengong melompong di bawah sana.
"Tobat! Aku masih mau
hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan
tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang
dikerjakan orang tua itu tahu tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan
telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat Wiro berbuat suatu apa
tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak karang yang
kedua.
Dengan kerahkan ilmu
meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang
sempit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka,
Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu
karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu
ke kaki dan tangani" teriak Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong
dengan pukulan kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan
disapu dan dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu,
dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila! Tapi percuma saja!
Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah
riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan menghantam
sebuah batu cadas Tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal dan mencelat
lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kayangan yang
menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu
karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan
takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak
besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
”Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa
bagian atas puncakpuncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng
mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batubatu cadas, kembali
Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu
terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi,
laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas
batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang.
Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro
disapu ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ‘ Lambat laut
timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan diri dap
menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga
dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak datang
tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi
kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi
berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga beberapa
kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya tergoyang gontai
dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh
pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah. Ini adalah akibat
tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang
tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh
gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian
tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit,
memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia
berkata: "Tidak percuma… tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya murid
macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak
pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia
akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng adalah guru Wiro
Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak
Gunung Gede!
Ternyata Tua Gila dengan
mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah
mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro sendiri
begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan sakti
kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan
tertawatawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi
pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi
guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apaapa…!"
"Terima kasih orang tua!
Terima kasih!" kata Wiro, "Tapi mengapakah kau sampai demikian
bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan
terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang
bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat… ah…. Agaknya tak perlu
kuteruskan…."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa,
orang tua…?"
"Sudah! Tak usah banyak
tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang telah kau
pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu
diantara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang, untuk menambah
bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu beberapa jurus silat
ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau
seranglah aku selama tiga jurus," kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang
tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia
tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya
dipaksa "makan" sebuah jotosan pada dadanya! Padahal ilmu silat yang
dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru
disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila!
Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat
itu.
Meskipun belum sempurna, tapi
bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat
kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya
setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari
yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua.
Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah menyambung:
"Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah sebelum aku
betul-betul muntah melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu
dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini
bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki dari situ.
"Sebelum pergi, pertama
sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau
juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat
padaku…."
"Lalu apa lagi?"
tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku sudah mual melihatmu! Ayo berlalu
cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro
hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa
petunjuk darimu, Tua Gila," kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku
akan pergi ke Tambun Tulang."
"Dan aku sudah berikan
beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta
ilmu lagi, tapi beberapa keterangan."
"Keterangan apa?!"
tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak
tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu…."
"Dan juga tidak tahu
bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di
mana-mana, orang tua," sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun
bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati
percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan sebagai
kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah
memijit-mijit kedua pipinya yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu
terletak di sebelah utara, kira-kira diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh
dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang
terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi: ‘Tambun
Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan
tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan sebuah
bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan di sana
mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka,
seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah dan
pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau! Sekali
kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup, orang
gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke
situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang
gila. Mati muda mati yang siasia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan
orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia
bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan mencuri kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila!
Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum
tentu kuberi tahu padamu!"
"Wiro mendumel dalam
hati”.
"Orang bernama Sipatoka
itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk
menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang
manusia itu… apakah itu manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya
Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin.
"Kau akan melihat dan mengetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau
nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu akan
turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku! Nah sekarang kau tunggu apa
lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng
ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan
cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu
dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan
badan.
"Sampai hari ini, sudah
sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng
mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia
berasal dari Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang
gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua
Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng!
Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng
makin bertambah-tambah.
"Kau… kau kenal dengan
guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa
lama kau turun gunung?!"
Wiro berpikir-pikir.
"Kurasa ada satu tahun," sahutnya. "Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak
pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama
gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai
hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro
menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau
dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan.
Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini
terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat
butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh,
pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil
seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang
sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak kecil!" Tua Gila
kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya aku dan gurumu itu adalah saudara
satu guru…."
Tentu saja ini tak diduga sama
sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar
cepat-cepat dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak
menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah…
pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa
rawan.
"Aku lima tahun lebih tua
dari dia, orang gila….". Dan dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu
itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk keriputan! Tapi dulu dia
seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang kini begini buruk macam mayat
hidup dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu…! Semua yang
dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila
menghela nafas dalam. Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku
naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami
saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau
benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah
turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati kutu
di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan janda
Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila perbuatanku!" Dan Tua
Gila memukul-mukul keningnya sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati,
baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku!
Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak bersedia menerimaku dan hidup
bersama! Gurumu patah hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi
putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di manamana! Seluruh
tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih
aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang
memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula yang menjuluki
"Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi
persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang
kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok
bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah berapa
manusia yang menjadi korban di tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi.
"Tiga ratus lebih," katanya mendesis. ‘Tiga ratus lebih nyawa
manusia yang harus kupertanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila!
Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian kurasa jtu tetap
gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah
nasib!"
”Apakah selama bertualang itu
kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..
"Pernah… memang pernah,
orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian
compangcamping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan
acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak
salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur
kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu
dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang
benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin
denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun mendatang aku dan dia sudah jadi
kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini,
betulbetul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah orang setuaku
dan setua gurumu itu, melangsungkan perkawinan?!".
Wiro Sableng
garuk-garuk’kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila.
Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya…”
Tua Gila tertawa gelak-gelak
sampai ke luar air mata. "Memang tak ada halangan dan tak ada yang
melarangl Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan menganggap kami berdua
pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu
dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di
sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciplaanku dan
memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus
bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang gila
telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama
berdiam diri. "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa sampaikan
salamku padanya," kata Tua Gila. Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih
baik lagi bila kau sendiri yang datang menyambanginya…." "Ah… hatiku
memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh
dari dinding baja!" "Liku hidup ini banyak ragam dan
keanehannya," kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi:
"Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni kematian….
Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan
berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung
Gede!"
Paras tua itu kelihatan
memerah. Tua Gila membentak: "Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo
pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara
bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai
pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pendayungnya. Tanpa pikir
panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke
utara!
6
Di tengah pasar yang ramai itu
kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran
berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan
berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya.
Orang kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya
putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita. Seperti
laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu mengulum senyum yang
diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam,
melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala
penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara.
"Saudara-saudara
sekalian! Banyak terima kasih yang saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di
sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali
aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna
untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara
tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati
memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima
kasih…."
Sampai di situ ucapan
laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena dua buah
matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis
melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Dibagian dada pakaiannya
kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti
dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada
di lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah
air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda berkumis melintang.
Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui kedatangan penunggang
kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan ketakutan.
Banyak diantara mereka yang tak punya minat lagi untuk meneruskan melihat
pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya
meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara
sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu
kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari Uang
guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir
disini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi,
karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras
terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang
kami akan mulai…."
Laki-laki itu mencabut sebilah
keris dari pinggang-nya. Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya
dekatdekat pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati dan kayu itu
ditusuknya dengan keris! Kayu itupun berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa
keris itu betulbetul senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu
atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini
menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu mengambjl sebuah
gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju. Kelihatanlah dadanya yang
bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini
menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya ke dada! Jelas
sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit
itu jangankan luka, tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang
semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin gencar pula
tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama
gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula
"permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan tepuk
sorak yang riuh!
"Saudara-saudara
sekalian, pertunjukan, berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah
anak saya sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok
tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu
sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati
terbelah dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan
langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum
berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali
dan lemah gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika ayah sang dara
melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri
meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu
mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," goloknya
dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara "buuk!" Gadis itu
tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai
punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan senyum
simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa sementara
golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara "Buuk…
buuk… buuk." Terdengar tak kunjung henti! Kengerian orang banyak berubah
menjadi tempik sorak kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka
pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh dan
bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada yang melemparkan uang logam ke
tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu dimasukkan
ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan
yang ketiga, saudara-saudara," kata laki-laki berpakaian hitam. Dia
melirik sekilas pada penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu
masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara
sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati
besardibela kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang
hingga mendidih! Saudarasaudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke
dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah
mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang oleh
tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang ada di dalam kuali
berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas.
"Tapi!" berkata
laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru. "Mungkin
saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah
tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang
penipu!"
Dari dalam sebuah kolak
laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus. Tikus
Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicil dan meregang
nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas hidung! ", Pagar
Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya ke dalam air yang
mendidih. Tikus itu mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang!
Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali Pagar Alam
berkata:."Sekarang saudara-saudara saksikan sendiri bahwa aku tidak
menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas
penuh tegang sebaliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis melintang
tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki
kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia
berdiri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya berkobar api besar!
Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali itu
adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling
sambil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang
aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak
pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa
gelak-gelak. Mata masingmasing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam
membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit
tiba-tiba lakilaki ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali.
Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan putih matang
laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis
Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya
sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan
di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah
"menahan" dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan
akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki
ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah
diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan
dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau memamerkan
kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada
yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu
memandang beringas berkeliling.
Sepasang matanya-beradu
pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian
dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis, ini berteriak keras:
"Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia
adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula
berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran yaitu
laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda!
"Bangsat yang telah
mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk!"
teriak Mayang lantang!
Sementara itu dengan merintih
kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepasang matanya
menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras
laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan
suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang
melakukan kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa
bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat dan
tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke
peti!
Dengan bertolak pinggang
laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali
kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta sumbangan
rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan pajak yang musti kau
berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada
artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta
melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu
memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan’. Rakyat tidak
merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan penguasa negeri ini!"
"Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk mendengarnya pasti kau
akan celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada Datukmu
itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan
puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar
Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. "Kau mencelakai diriku bukan
karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah
menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya
mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk
dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah
menolak lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa
berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang
berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang
kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja dengan mencari
mati!"
"Bangsal terkutuk!"
damprat Mayang. "Aku lebih baik mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih
baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu!" Habis
berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan
menyerang Gempar Bumi!
7
Suasana di pasar itu pun
hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu.
Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi terbungkus sambaran
golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi sendiri tiada
menyangka kalau si gadis memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih.
Dengan senyum mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan
buka jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus
pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat
menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah Gempar Bumi
sewaktu golok di tangan sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak
cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan terbabat putus!
Mayang sendiri dengan gigih
terus menyerbu. Sambaransambaran goloknya laksana hujan mencurah! Gempar Alam
tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si gadis memiliki ilmu
kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi
satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang
jago silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh
jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini
mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap saja berubahlah
jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat kian ke mari membuat bayang-bayang
hitam. Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul
oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan
tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu memukul lengan
kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan
kirinya!
"Manusia haram jadah!
Beranimu hanya sama perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di
tanah bersandar ke peti.
Gempar Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar
Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus
menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!" Laki-laki berpakaian hitam
ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin
apa?!" hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk
kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk ditegakkan! Darah
laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung!
"Bikin apa lagi kalau
bukan mau membawanya ketempatku!" jawab. Gempar Bumi seraya melangkah ke
arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau
kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar Bumi menyeringai!
"Berdiripun kau tak
mampu! Bagaimana mau membunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi mendekati
Mayang.
Tapi begitu tangannya
diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba "buuk!"
Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar
Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan cepat dan
berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan
lain anak laki-laki kecil adik Mayang!
"Buyung! Berlalulah dari
hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!" bentak Gempar Bumi. "Orang
jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan…." "Akan
apa?!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang.
Si anak menjawab dengan
menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut
Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si buyung kecil ini.
Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit
kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi dengan tumitnya! Gempar Bumi
mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat
golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia membungkuk
dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar Bumi kembali!
"Tikus cilik tak tahu
diunlung!" maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat
tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak.
"Plaak!
Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah.
Dua buah giginya mencelat mental Tubuhnya terpelanting satu tombak dan
menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima
ini!" teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang
terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar Bumi. Senjata itu
melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa.
Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki ini
gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah bagaimana dengan
mudahnya senjata itu dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah
ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyaksikan hal ini sama
leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman
itu mendadak sontak berubah menjadi kebencian!
Gempar Bumi timang-timang
beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan
"cup!" Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk
bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar Bumi tertawa
gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau
bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!"
katanya. Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih tidak tahu
tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku tak akan ampuni
jiwamu!"
Habis berkala demikian Gempar
Bumi melompat kehadapan Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa atau
berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih
pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali. Dari
balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah benda kecil menghantam
sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan
kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia melepaskan raihannya! Tak
seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri!
Laki laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia
yang telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga diantara orang
sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai untuk
menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang besarnya tak sampai
seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang,
termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi tak jadi
meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri bimbang seketika.
Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat membawa
gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi menepuk pinggul binatang
itu. Rasanya
sekali tepuk saja kuda itu
akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan
lari, bergerakpun tidak!
Gempar Bumi menepuk sekali
lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap
berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan
lehernya saja yang digerak-gerakkan. Kemudian binatang ini meringkik beberapa
kali!
"Ayo lari!" bentak
Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di
tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati
Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan cepat ternyata keempat kaki kudanya
telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki
binatang Ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari punggung kuda
terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena sebutir kerikil
lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut kaki
kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke semutan dan lemas sukar
digerakkan!
Gempar Bumi yang tahu gelagat
bahwa dia benar benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersem bunyi di
antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan tubuh Mayang.
Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang mata
Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan Gempar
Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk pertama
kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan bila dia memandang
paras laki-laki itu sangat berubah!
Gempar Bumi menyadari kalau
diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang ter sembunyi
diantara manusia banyak dipasar itu akan turun tangan dan lebih mencelakainya
lagi! Lemparan lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan peringatan keras
terhadapnya!
Perlahan-lahan Gempar Bumi
berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang: "Pagar Alam,
biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku
akan datang kembali untuk mengambilnya!"
Gempar Bumi lepaskan totokan
pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum berlalu
dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian cepat-cepat menghilang dari tempat
itu.
Di jalan yang buruk penuh
dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi
barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada Pagar Alam, Mayang dan
adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa
Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati memberi, sumbangan uang
lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih
besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak menggembirakan
hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar Bumi keparat itu.
Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan
paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi bukan tandingannya,
juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja
mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama yang merisaukan hati
Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak
gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh! Sementara itu
bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua
tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak belukar itu
berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan
mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi
pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya dengan
terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk ditengah hari itu memang
menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan
mereka.
Di kejauhan terdengar derap
kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik tikungan dihadapan mereka muncul
seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada bagian dada bajunya
terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu
tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam meraba hulu keris
yang tersisip di pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari
dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang tergeletak
di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain dari Gempar Bumi
adanya!
Gempar Bumi hentikan kudanya.
Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang kuharap kau tak
usah banyak rewel Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan nada keren.
"Anakmu akan
kuambil!"
"Kau manusia yang paling
tidak bermalu di dunia ini. Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai
dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!"
Gempar Bumi tertawa sinis.
"Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih
celaka kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau tidak terpaksa aku
memberi hajaran yang lebih keras padamu!"
"Kau boleh bawa anakku,
Gempar Bumi," desis Pagar Alam. "Tapi… langkahi dulu mayatku!"
Dan Pagar Alam menghunus kerisnya!
Gempar Bumi tertawa bergelak
dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun telah
bersisi-sisian.
"Turun dari bendi itu
Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke
samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak
bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat cepat ke muka Gempar
Bumi!
"Manusia tolol!"
maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan Pagar Alam,
mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan bengkak
matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam pada itu dari samping
menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang
telah melancarkan serangan yang pertama sambil melompat dari bendi. Adiknya
juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke
arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil sebuah lembing dari
dalam peti. Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu,
tapi memang sudah sejak lama membenci terhadap Gempar Bumi tak ayal lagi
segera mengambil batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari
belakang!
Diserang begitu rupa Gempar
Bumi marah bukan main! Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian
kuhajar babak belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan kedua
tangannya.
Dua orang terpekik! Yang
pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya
yang kecil laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat dan terguling
di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik
ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di
belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan dari arah itu. Karenanya
begitu melompat dari punggung kuda Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut
kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu
hampir tak kedengaran karena pekik
setinggi langit yang ke luar
dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya
mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak sadarkan diri lagi!
Pertempuran kini berjalan jauh dari kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah
lem bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri
apalagi berjalan dan turun dari kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya
berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat
kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah jurus
saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu terdesak
hebat.
"Gadis cantik!" kata
Gempar Bumi dengan senyum mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara
baikbaik, pastilah…."
"Wuuut!"
Gempar Bumi tak bisa
melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata
lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari atas bendi! Gempar
Bumi rundukkan kepala.
Lembing itu lewat di alas
kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa
kuakhiri segala kehebatannya ini!” kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan
dara itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar Bumi angkat kaki sang
dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan goloknya karena kalau
diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan ditarik,
begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan
Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera
hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri di tanah
lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah tergenggam lembing yang
tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu
kutambus baru aku larikan diri!" jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan
kilat ke leher lawannya!
Gempar Bumi bergerak untuk
merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kemplangan
yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran Gempar Bumi sambut hantaman
lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing
mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan Mayang dan
dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi sampai beberapa
lamakah dia dapat mempertahankan diri?!
8
Wiro Sableng Si Pendekar 212
murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah menempuh rimba belantara,
mengambil jalan memotong agar lebih lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara
Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara orang
membentak beberapa kali yang diselingi suara seseorang yang tertawa
gelak-gelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya
bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang marah dan geram.
Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar dari mulut orang yang mengejek kemarahan
dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu hanya ditemui dalam
satu perselisihan yang kemudiannya akan berkelanjutan dengan perkelahian atau
pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat
rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk bergerak. Dalam
pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro mempercepat langkahnya dan tak
perduli lagi pakaiannya yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia
yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu telah terjadi perkelahian.
Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya
seperti jeritan anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi
jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan pemandangan
yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak dinyananya kalau yang bertempur
adalah seorang lakilaki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama
berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki terpampang gambar kepala
harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah karena
laki-laki ftu bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar hendak
melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang yang telah ditolongnya
secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama
Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa lari si jelita hingga dalam perjalanan
pulang, si gadis telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti
sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak dekat roda bendi Kemudian seorang
lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi. Dan di atas
bendi tampak duduk lakilaki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas
sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur mati-matian
mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya, sedang dia
sendiri Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada lagi
bendabenda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan kepada Gempar Bumi.
Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada
harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh
menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang muncul adalah se-orang pemuda
bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan
pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara teriakannya yang
menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ,
terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan dadanya bergetar
karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti
hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan dirinya kembali.
Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah
pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat kepada potongan
pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk setempat!
Akan Gempar Bumi begitu
mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur padahal
saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang. Ketika dia berpaling di depan
semak belukar dilihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan bertolak
pinggang!
"Orang sinting! Siapa
kau?!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa aku tak kau usah
perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu!"
Paras Gempar. Bumi membesi.
Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh tahun malang
melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara
hendak menekuk batang leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda
menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan Mayang.
Jika berani membentak demikian berarti dia memiliki ilmu yang diandalkan. Namun
Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia
yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam kedua ayah dan anak itu
jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia kumis melintang!
Aku tidak main-main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia
mengampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran!"
Gempar Bumi bertolak pinggang.
Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia
tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau
lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku ini?!"
"Itu bukan gambar kepala
harimau!" sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung :
"Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing dapur!" Lalu
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur
hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa!
"Anak setan! Tidak
tahukah kau dengan siapa berhadapan?”
"Buset kau bisa memaki
aku anak setani" jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,, "Kalau aku
anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!"
Mayang dan Pagar Alam meski
geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak tanduk
si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang mainmainan saja!
Sebaliknya dengan nada
mendesis karena mendidih
hawa amarah yang
menggejolakkan darahnya Gempar .Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu
agaknya kau bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan mana tikus dan
mana singa jantan…."
"Oh… jadi kau adalah
seekor singa jantan? Pantas!
Pantas! Kau memang punya
tampang seperti singa jantan!" kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi
lalu tertawa gelak-gelak!
Kemarahan Gempar Bumi tak
dapat dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan Wiro dan hantamkan tinju
kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap akan
menghancurkan kepala si pemudal Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu
silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"! Tapi
tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar 212 Pada saat serangan
lawan baru bergerak setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan dari
samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi.
Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah
kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya dijejakkan ke
tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan
cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut lawan sedang tangan
kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok kepala Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersiul! Meskipun
gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan ilmu
silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu bersiul Wiro
kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia tak
mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup mengelakkan sekaligus kedua
serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah
menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan kilat yang mendatangkan
angin keras!
Penuh penasaran Gempar Bumi
pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu silat
lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak akan menang,
begitulah pikiran Gempar Bumi!
Wiro sendiri yang melihat datangnya
serangan memapas ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan mengenai
sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan sengaja melintangkan
tangan kirinya!
"Buuk!" Maka
beradulah kedua lengan itu!
Gempar Bumi keluarkan seruan
tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang lengannya
yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar hebat tapi juga sakit bukan
main! Ketika ditelitinya lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciutlah hati
laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tenaga dalam si pemuda tidak berada
di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua atau
tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar Bumi ini meleset Kalau waktu
bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka Wiro
Sableng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari tenaga dalamnya!
Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya tergontai nanar beberapa detik
lamanya.
Menyadari bahwa lawan lebih
unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu silat
simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya selama, delapan
tahun yaitu "Ilmu Silat Harimau", Kedua kakinya menjejak bumi laksana
batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua tangan terpentang ke muka
dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke
sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh Gempar Bumi semakin
merunduk sedang dari mulutnya ke luar suara menggerang macam harimau hendak
menerkam mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia
ini membayangkan maut!
Tiba-tiba gerangan dimulutnya
berubah keras menyeramkan! Dan dikejap itu pula tubuhnya melesat ke muka persis
seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang
berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya suara siurannya yang terdengar
menyambar!
Wiro dengan mengandalkan
setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka menyambut dengan Jurus
"Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini mengeluarkan sambaran
angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus!
Melihat lawan memapaki
serangannya dengan cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga
dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan untuk kedua
kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan Jurus serangannya tadi dan laksana kilat
pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau Sakti Melompati
Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua kaki mencari
sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja karena
begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di udara
tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk
mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro bersiul nyaring. Setengah
merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melehipar Buah ke arah lawan diatasnya!
Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihaian Gempar Bumi berkelit ke
samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik
kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada
serta kepala Wiro Sableng!
"Gerakanmu hebat juga,
Gempar Bumi!" seru Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan
kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas!
Angin sedahsyat badai mengamuk
menggebu! Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera" yang
dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalami Mula-mula Gempar
Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh tembok baja yang tak kelihatan.
Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya terdorong
keras ke udara, mencelat sampai beberapa tombak! Sambil jungkir batik tiga
kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua kakinya
menginjak tanah maka dari tangan kanannya melesat puluhan benda hitam yang
berdesing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata
rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena
dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam
nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari bunyi yang mendesing dan
warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia yang ampuh
sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan tangan kanannya ke depan yang
disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu susul menyusul.
Inilah yang dinamakan ilmu pukulan "Dinding Angin Berhembus Tindih
Menindih"! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah
tapi beberapa diantaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri! Dengan
kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum yang
menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang. Yang
satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar cengir
seenaknya!
"Orang muda!" kata
Gempar Bumi. "Antara aku dan kau tidak saling mengenal! Urusanku tidak ada
sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau mencampurinya?”
Wiro tertawa dingin.
"Bagiku terhadap manusia
jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti diperhitungkan! Kecuali kalau kau
mau angkat kaki dari sini sekarang juga!"
Gempar Bumi mendengus.
"Apakah bukan lebih baik
kau saja yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum aku betul-betul
menghajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia muda
begini rupa!"
Wiro keluarkan satu siulan.
"Terima kasih atas
nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!"
Sikap tenang Gempar Bumi tadi
kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. "Kau orang rantau, sungguh
mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula angin akan membawa pulang
namamu ke kampung halaman!"
"Ah, jangan bersajak
sobat!" tukas Wiro Sableng.
"Aku tidak
bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya akan mengukir nyawamu di
pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya!
Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitami Sinar
yang memancar dari keris ini menggidikkan sekalil’
"Manusia yang akan
mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua jiwa
telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang ke
delapan puluh tiga…?!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Apapun nama keris di
tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak
tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas kupergunakan untuk
membuat konyol kau sendiri…?!"
"Boleh, boleh kau coba
untuk merebutnya!" jawab Gempar Bumi dengan hati geram. "Nah ini, kau
rebutlah!" Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada Wiro
Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang pendekar.
"Awas orang muda!"
seru Pagar Alam dari atas kereta. "Keris itu mengandung racun jahat!"
Diam-diam laki laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah mengeluarkan
senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup bertahan lama Sekali saja tergores
kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti menemui kematian.
"Terima kasih atas
nasihatmu, bapak!" kata Wiro sambit cepat-cepat berkelit. Ketika
kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba Keris
Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga meliuk
pula ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat, menusuk ke arah lekuk dagu
dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si Penyingkir
Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah Pendekar 212
laksana beku dan berhenti mengaliri Untuk mencegah agar dirinya tidak
terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepat-cepat Wiro Sableng alirkan hawa
panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi
serangan lawan tanpa main-main lagi.
Tiga jurus yang berlalu Wiro
tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan
laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk, menyambar
dan memapak ke pelbagai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke lima
Sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun dia berkelebat cepat
tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana Jaring atos yang tak
sanggup ditembusnya!
Pagar Alam yang menyaksikan
pertempuran Hu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan gerakan-gerakan
mereka yang bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri yang lebih tinggi ilmu
kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam gadis ini leletkan
lidah melihat hebatnya pertempuran yang berjalan! Siapakah pemuda berambut
gondrong yang bersedia mengorbankan keselamatan dan Jiwanya itu untuk menolong
dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup bertahan menghadapi
Gempar Bumi yang ganas dari bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang pun yang
sanggup menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada
dalam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pemuda terdesak hebat
maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali menjadi cemas!
"Saudara! Ambil golok ini
sebagai senjatamu!" seru Mayang sambil melemparkan goloknya yang tadi
telah dirampas oleh Gempar Bumi tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang begitu
saja ke tanah.
"Terima kasih saudari,
aku tak perlu senjata menghadapi tikus berkumis melintang ini!" jawab
Wiro.
"Tapi kau terdesak
saudara!! seru Pagar Alam dari atas kereta.
"Dan pertempuran ini
tidak adil!" menyambungi Mayang. "Dia pakai senjata, kau bertangan
kosong!" Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun sang dara
melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak mau segera menyambut
senjata itu.
Tapi: "Traang!"
Keris Si Penyingkir Jiwa lebih
cepat. Golok yang dilemparkan mental ke udara dalam keadaan patah dua!
"Sialan!" maki Wiro.
Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya pasti senjata lawan menyambar
tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro makin
kepepet!
Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit
nyaring! Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata. Dengan
merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka serangan. Dari sela
bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring tak menentu dan
menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak mengendur sedikit akibat
pengaruh siulan Pendekar
212. Tapi begitu dia tutup
jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun lenyap dan kembali
dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya!
Di samping memaki
habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti di tangan lawan.
Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang tembok kukuh yang tak
kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak nampak!
Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikirpikir untuk keluarkan
Kapak Maut Naga Geni 212!
Tapi sebelum maksudnya itu
kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan jurusjurus
silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol sekali dia!
Mengapa tidak dari tadi dia mengeluarkan "Ilmu Silat Orang Gila" dan
sekaligus untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan
oleh Tua Gila itu?!
Pendekar 212 membentak
nyaring. Tubuhnya lenyap.
Gempar bumi mengiringi gerakan
lawan itu dengan tawa mengejek. "Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!
Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan lagi tikus busuk!"
Dan sebelum Wiro bergerak dia telah menyerang lebih dulu dengan satu tusukan
yang ganas cepat!
Wiro Sableng gerakan kedua
kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur kelihatannya. Tubuhnya
diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus angin sedang kedua tangan
bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan yang tak teratur! Tapi justru
gerakan yang acakacakan ini berhasil melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan
gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan yang lebih cepat dan lebih ganas!
Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian ke mari!
Wuut! Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu ke muka pemuda itu dan
kelihatannya dalam kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya!
Pagar Alam mengeluarkan seruan
tertahan.
Mayang menutup wajahnya, tak
berani menyaksikan bagaimana keris itu akan menancap di muka pemuda yang
diharapkan bakal menolong dirinya!
Tapi aneh!
Sedetik lagi ujung senjata
Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak menentu kelihatan
kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga besar ke belakang. Dan
ini membuat tusukan keris Gempar Bumi hanya menghantam tempat kosong!
Gempar Bumi kertakkan rahang.
Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu
serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat kanan. Mundur
terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan kaki menyambar tiada
menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bomi percepat serangan dan
keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu silatnya, tetap saja dia tak
sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk
dengan seluruh tenaga tapi Cuma menghantam tempat kosong hingga tubuhnya
tersaruk ke muka dan beberapa kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan
tangan tawan!
Diam-diam sambil mundur Gempar
Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda.
"Buuk!"
Gempar Bumi tertatih-tatih
sampai sembilan langkah ke belakang diusapnya dadanya yang kena dipukul lawan
dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah kental berlelehan!
Gempar Bumi seka darah itu dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak,
cepat-cepat diaturnya jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas.
“Tikus busuk! Kalau aku tidak
salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau
muridnya Tua Gila!"
"Kau tak ada hak
bertanya, monyet berkumis!" jawab Wiro Sableng!"
"Keparat! kau dengarlah!
Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di depan hidungku
jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!"
Wiro tertawa mengejek.
Gempar Bumi berpaling pada
Pagar Alam dan berkata:
"Pada tanggal tiga bulan
mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya perguruan Kejora! Hari itu
aku akan datang Untuk mengambil anakmu! Dan jangan harap belas kasihan dariku
kalau kau berani berlaku seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus
berdarah!"
"Manusia anjing tidak
bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?!’
hardik Pagar Alam.
Gempar Bumi tidak menyahuti
hardikan itu tapi berpaling pada Wiro Sableng dan berkata: "Apa yang
kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya dalam waktu singkat!
Sekarang katakan kau punya nama agar tidak susah aku mencarimu!"
"Mau tahu namaku?
Baiklah. Ini…’ Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka.
Karena tiada menduga. Gempar
Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh lawan itu tidak
mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu menyambar dadanya. Tapi
sewaktu dia memandang ke dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju
hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka : 212!
Gempar Bumi tidak tahu apa
artinya tiga deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angkaangka
seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian sembarangen. Nyali
Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera berkelebat
meninggalkan tempat itu!
9
Begitu Gempar Bumi lenyap maka
Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu kemudian menganggukkan kepala pada
Pagar Alam.
"Orang muda," kata
Pagar Alam, "Pertolonganmu sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami
mengucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana kau datang?"
"Namaku Wiro. Aku datang
dari Pulau Jawa."
"Ah… ternyata kau orang
perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan
ilmu silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat itu adalah
seorang tua aneh yang diam di satu pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini,
jadi bukan dari Pulau Jawa."
Wiro Sableng menuturkan
riwayat perjalanannya secara singkat.
Pagar Alam angguk-anggukkan
kepala.
"Kau beruntung, Wiro. Tak
sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si
orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan diri, dicaripun
sukar!"
Wiro Sableng memandang ke kaki
Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan mencari
uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan diberikannya pada
laki-laki itu.
"Telanlah, mungkin bisa
menolong lukamu itu."
Pagar Alam menerima pil itu,
menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit kemudian
rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama sekali, meskipun keadaan kedua kaki
itu diluarnya tidak ada perubahan apa-apa.
"Terima kasih Wiro,"
kata Pagar Alam sementara Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas
kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk menjelepok di
tanah sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah dan merintih kesakitan.
Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa bagian
lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah mempelajari ilmu
pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup
mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
‘Kalau aku boleh tanya, urusan
apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas ini?"
tanya Pagar Alam.
"Hanya sekedar ingin
berkelana saja," jawab Wiro tak mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi
kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk setempat tak mungkin
perjalanannya mencari pembunuh Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka
bertanyalah Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang.
Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti kutempuh agar bisa
lekas sampai disitu?!"
Pagar Alam, Mayang dan si
kusir bendi sama-sama terkejut.
"Kau mau pergi ke Tambun
Tulang, Wiro…?"
"Ya. Menurut si Tua Gila,
orang yang tengah kucari mungkin berada di situ…" tanpa disadari oleh Wiro
walau tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi kini diungkapkannya
sendiri.
"Siapakah orang yang kau
cari itu?" tanya Pagar Alam.
"Aku sendiri tak tahu
siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab
penting!"
"Tambun Tulang adalah
bukit maut bagi penduduk sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar Alam menyambungi:
"Tak ada seorangpun yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit
Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka. Seorang
manusia bermuka setan berhati iblis! Sejak usia belasan tahun dia telah menebar
kejahatan dan membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia yang jadi
korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat hingga lambat laun,
bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang
terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"
“Tua Gila ada menerangkan hal
itu padaku," ujar Wiro.
"Dan manusia yang kau
hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia
Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu berkepandaian tinggi,
memiliki beberapa puluh anak buah yang kerja mereka bukan lain daripada
merampok dan memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan desa tak perduli
apakah istri orang, apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka
memelihara pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala
perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke
sana. Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.
Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah partai
silat belum tiga bulan yang lalu, secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang.
Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan sendiri kehebatan
keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari
itu tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya sudah lewat
batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup
menghadapi dia dan anakanak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?!
Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap
hari!"
Wiro Sableng menghela nafas
dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh
utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau mungkin pernah tapi tidak
membawa hasil?
Tengah Wiro berpikir-pikir
begitu Pagar Alam berkata: "Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk
Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan sesudah kau tahu siapa
dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya.
"Sekali pergi pantang
bagiku untuk kembali pulang."
Pagar Alam mengagumi
keberanian pemuda ini.
"Kami hendak meneruskan
perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa
bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu dalam usahamu pergi ke
Tambun Tulang."
Wiro menimbang sebentar.
Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa
laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka pada hari peresmian
berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu
naik ke atas bendi. Karena Maljn masih sakit, terpaksa Wiro yang pegang tali
kekang kuda penarik bendi. Seumur hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212
menjadi kusir bendi!
Ketika hari menjelang pelang,
Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan.
Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda ini sampai tanggal tiga bulan di
muka yaitu pada hari dia meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang
dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati jantan yang tidak ingin
memaksakan diri untuk mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan niatnya
itu.
Pendekar 212 pun meneruskan
perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar Alam,
disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya yang tajam telah sejak lama
mendengar suara orang mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir
orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya maka Wiro pun
berhenti dan memutar tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak
usah sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"
Suara Pendekar 212 bergema di
seanfero rimba belantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi
penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si penguntit berada
yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga pemeluk tangan.
"Ayo lekas keluar! Kalau
tidak jangan menyesali"
Tetap saja orang yang sembunyi
di balik pohon tidak mau keluar.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro
segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombang angin besar
menderu laksana topan"
"Kraak!"
Batang jati yang besarnya tiga
pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara dahsyat
ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok tubuh melompat sebat!
"Ah… kau!" seru Wiro
ketika dia melihat siapa adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena
celaka!"
Nyatanya dia bukan lain dari
Mayang, anak gadis Pagar Alam.
"Kenapa kau ikuti
aku?!" tanya Wiro.
Paras sang dara memerah
jengah.
"Aku tidak mengikutimu,
saudara Wiro " kata Mayang.
"Lalu?!" tanya Wiro
dan dia tahu kalau si gadis berdusta “Aku ingin balas dendam pada si keparat
Gempar Bumi!"
Wiro angguk-anggukkan kepala
macam orang tua.
"Kau memang seorang gadis
berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu masih
sakit begitu rupa…?"
"Ibu bisa merawat ayah
sendirian. Lagi pula lukanya tidak berat…" , ‘
"Soalnya bukan adanya
ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau
bagaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar Bumi? Sekali kau
mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi
se: minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu sangat
dibutuhkannya…!"
"Tapi… tapi…."
Wiro tertawa dan melangkah ke
hadapan gadis itu
"Kembalilah
pulang…."
"Tapi apakah… apakah kau
tidak akan kembali lagi… maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?"
Wiro kembali tertawa.
"Tentu aku akan mampir
lagi," sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang
diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar
212. Soalnya apakah dia
bersedia melayani dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat
pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan Permani, dan juga telah
banyak Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa
melupakan Permani!
"Aku berjanji akan
kembali," kata Wiro meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari
hadapannya. Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri berhadap-hadapan
seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya berkata:
"Pulanglah. Di lain hari aku akan mampir menyambangimu." Habis
berkala begitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang. Sang dara hela
nafas panjang. Gemuruh hatinya kini berubah menjadi satu kekecewaan, namun
juga satu harapan
10
Mulutnya terkatup rapat-rapat
sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya menggembung. Sepasang matanya
memandang menyorot tak berkedip ke bawah bukit kecil, ke arah sebuah kampung
yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa reruntuhan rumah-rumah yang
telah jadi debu! Jelas dilihatnya mayat-mayat yang bergelimpangan di sana
sini, mayat-mayat manusia dan binatang-binatang yang mati tertambus hidup-hidup
di dalam api! Dan yang paling menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang
menemui kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan ibu mereka!
Tak ada lagi tanda-tanda
kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah dilakukan oleh
manusia-manusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama sekali!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng ingat akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi Siluman di
Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan kampung yang hari ini disaksikannya
tidak ada beda, malah lebih membuat luapan amarah menggejolak, darahnya laksana
api disiram dengan minyak!
"Siapakah manusia-manusia
keparat yang membuat kebiadaban begini rupa?!" tanya Wiro Sableng
padadirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera menuruni
bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak membawa ‘
hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk menggali beberapa buah
lubang lalu menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di sana sini. Ratarata
semua menemui kematian akibat tusukan atau bacokan senjata tajam!
Wiro melanjutkan perjalanan
sewaktu matahari tergelincir ke Barat. Kalau daerah sekitar situ berada di
bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu Datuk Sipatoka
atau anak-anak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng untuk mempercepat
perjalanannya Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak sungai dangkal berair
jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke dalam sungai. Betapa
sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak sepasang
telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia banyak sekali di kejauhan!
Ketika dia memandang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah langit di arah
itu kemerahan-merahan!
"Kebakaran," pikir
Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian dengan cepat.
Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan langit malam yang
merah menyala!
Ketika Pendekar 212 sampai ke
tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa orang
berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung. Perempuan dan anak-anak
berpekikkan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah lusin mayat telah
bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang terjadi. Kebakaran itu
adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya adalah manusia-manusia berseragam
hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh
sewenang-wenang tetapi juga merampok! Dan ketika Wiro memandang berkeliling,
dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya dimakan api kelihatan seorang
laki-laki berpakaian hitam tengah menyeret seorang perempuan muda yang meronta
dan menjerit-jerit!
Mendidihlah amarah Pendekar
212!
"Keparat betul!"
bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan!
Laki-lakt berpakian hitam yang
tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka akan mendapat serangan begitu
rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak, sama sekali! Tubuhnya mencelat!
Pekiknya setinggi tangit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik lagi sebab.
kepalanya yang kena hantam
rengkah bermandikan darah dan air otak!
Wiro menyerbu ke tengah-tengah
manusia-manusia berseragam pakaian hitam lainnya yang tengah menempur
habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak dan harta serta nyawa dan
keselamatan pribadi serta keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam
tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut!
"Bedebah! Siapa
kau?!" teriak salah seorang dari! mereka.
Begitu habis berteriak orang
ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya.
"Awas!" teriak
kawan-kawannya.
Tapi orang itu tak keburu
berkelit ataupun menangkis. Yang dilihatnya berkelebat ialah pukulan tangan
kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke keningnya!
"Praak!"
Orang itu menjerit!
Keningnya pecah! Nyawanya
lepas!
Bukan saja empat kawannya
menjadi kaget tapi juga tergetar hati masing-masing! Setelah memberi tanda serempak
mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng diserang dari empat penjuru!
"Setan-setan kesasar!
Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini!"
Wiro kirimkan dua pukulan dua
tendangan!
"Wutt… wutt… wutt…
wutt!" Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong! Wiro terkejut!
"Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?!" maki Wiro
dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin pukulan tahu-tahu
melanda ke arahnya dengan ganas!
Pendekar 212 menggereng macam
harimau lapar!
Kedua tangannya kiri kanan
menghantam berkeliling! Dua gelombang angin pukulan yang dahsyat membadai
berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka berpelantingan. Satu
menghantam pohon, pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh
di tanah coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor di situ juga! Dua orang
lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang segera
ambil langkah seribu. Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan keluarkan
satu suitan nyaringi
"Monyet hitam! Tempat
larimu adalah ke akhirat!" teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke
arah laki-laki yang ambil langkah seribu!
Belum lagi angin pukulan Wiro
sampai orang itu telah memekik macam dihadang setan! Kemudian pekiknya lenyap dan
tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah tanpa nyawa lagi!
Wiro Sableng segera pula
hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang bersembunyi di balik pohon.
Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi baru tangan kanan diangkat,
tahu-tahu empat bayangan hitam melompat di hadapannya dan serentak
mengurungnya.
Wiro memandang berkeliling
dengan cepat. Keempat manusia berpakaian dan berdestar serba hitam itu
rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Keempatnya memelihara kumis
melintang. Dan pada dada pakaian masing-masing terpampang gambar kepala
harimau warna kuningi Wiro teringat pada .manusia bernama Gempar Bumi,
pembantu utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di
dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada pakaian yang
dikenakan Gampar Bumi. Perbedaannya ialah pada besar kecilnya. Gambar kepala
harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat manusia ini agak
kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah pembantu-pembantu Datuk
Sipatoka juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi!
”Pemuda keparat! Melihat
tampangmu nyata kau bu-kan penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?!"
membentak salah seorang dari empat manusia berkumis melintang.
Wiro mendengus.
"Kau tak layak bertanya!
Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat pergi ke neraka!"
Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya dalam jurus serangan
Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa dua perlima tenaga dalamnya!
Yang diserang terkejut melihat
datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta merta pukulkan pula tangan
kanannya ke depan memapasi serangan lawan!
Dalam pada itu ketiga kawannya
tidak tinggal diam.
Serentak ketiganya menyerbu
Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang diantaranya mencengkeram dengan kedua
tangan dari belakang!
Sekali melihat bagaimana
pukulan kunyuk melempar buahnya sanggup dipapasi lawan dan melihat pula gerakan
tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan itu Wiro segera maklum bahwa
keempatnya berkepandaian tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai
masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyoknya itu sebanding dengan
kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain saat itu dia menghadapi dua. lawan
berkepandaian setinggi Gempar Bumi.
Pertempuran hebat berkecamuk!
Wiro andalkan ilmu meringankan
tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang sangat ganas dan
bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih yang coba didesak oleh
keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah pernah bertempur
melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya Wiro mengerti, gerakan-gerakan
lawan! Dan ini banyak menolongnya Meski pada empat jurus pertamanya dia kena
didesak namun jurus-jurus selanjutnya dia mulai berada di atas angin. Serangan-serangannya
membuat keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam jurus ke delapan
salah seorang dari mereka terjungkal ke luar kalangan pertempuran dengan tulang
dada dan beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki kanan Wiro Sableng!
Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap. Dari kerongkongannya terdengar suara
seperti orang tercekik dan sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi!
Kematian seorang kawan mereka
membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi sesudah dalam
jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan matimatian dalam desakan hebat
serangan berantai Pendekar 212!
Salah seorang berseru memberi
tanda. Wiro menyangka mereka hendak melarikan diri maka dia siapkan pukulan
jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila mereka benar-benar hendak kabur! Tapi
dugaannya meleset! Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh
yaitu lompatan-lompatan macam katak menyerbunya dari tiga jurusan! Wiro
pukulan kedua tangannya berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam
keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro
hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan entah
kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahutahu tiga bilah keris hitam menderu
ke arahnya! Satu menusuk ke kepala, yang dua lainnya membabat dari dua jurusan
yang berlawanan!
Wiro terkesiap kaget melihat
serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia keluarkan jurus pertahanan
yang terlihay dari "Ilmu Silat Orang Gila" yaitu yang dinamakan
jurus "Orang Gila Melenggang ke Awan!"
Kedua tangannya dikembangkan
ke atas sedang kedua kakinya menjejak ke tanah mengandalkan tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng
melesat melenggang lenggok ke atas dua kembangan tangan yang mendatangkan angin
bukan saja sanggup menangkis tusukan keris yang datang dari atas tapi
sekaligus membuat lawan terpelanting laksana daun kering dihembus angin!
Meskipun tubuhnya selamat
namun tak urung pakaiannya masih sempat dirobek oleh ujung keris salah seorang
lawan yang menyerang dari samping!
"Edan!" maki Wiro.
Segera dia siapkan jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan
sete-, ngah bagian tenaga dalamnya!
Sementara itu salah seorang dari
lawan-lawannya yang bermata awas berseru: "Kawan-kawan! Kulihat bangsat
Ini mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua
Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat
puluh tabun yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat
pahala besar dari Datuk! Mari!"
Serentak dengan itu dan
diikuti oleh kedua kawannya maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya
dibikin terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro hantamkan tangan
kanannya ke depan! Dua orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang
seorang lagi terlambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya ditelakkan ke
muka dada laksana seorang yang berusaha menahan tindihan benda berat yang tak
kelihatan di depan dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya! Laki-laki di
depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika menggeletak di tanah
kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke
atas hancur memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu!
Pucat pasilah wajah dua anak
buah Datuk Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk satu.
pakaian masing-masing dan sedetik kemudian enam puluh batang jarum hitam yang
mengandung bisa jahat beterbangan ke arah Pendekar 212! Jarum-jarum ini
bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gem-par Bumi. .Wiro gerakkan tangan
kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi berbalik ke
arah pemiliknya! Salah seorang dari mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat
untuk selamatkan diri!
"Akhhh…." Jerit maut
ke luar dari mulutnya. Belasan jarum menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya
le-pas saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Begitu lolos dari bahaya
maut segera putar tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini
sia-sia saja karena lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar
punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga!
"Monyet hitam, sekarang
kau akan jadi penunjuk Jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang majikanmu yang
bernama Datuk Sipatoka Itu!"
Mendadak terdengar jerHan
perempuan yang disusul oleh teriakan seorang laki-laki. "Tolong! Anakku…
anakku!"
Wiro berpaling cepat! Masih
sempat dilihatnya sesosok bayangan hitam memboyong lari seorang gadis dan
lenyap dikegelapan malam!
Wiro kerenyitkan kening, gigit
bibir. Hatinya memaki. Dia berpaling pada laki-laki. di hadapannya dan
berkata: "Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat nasibmu lebih baik dari
kambrat-kambratmu yang lain! Kau kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa
sampaikan pesanku pada Datukmu bahwa disatu hari dalam waktu yang singkat aku
akan membuat perhitungan dengan dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini
kutuliskan namaku di keningmu!" Kemudian dengan ujung jarinya Wiro
menggurat angka 212 di kuIH kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu lebih lama
dia berkelebat ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi!
Namun satu teriakan memanggil
membuat dia hentikan lari!
“Wiro!"
11
Wiro Sableng membalik dengan
cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain daripada
Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhuyung-huyung dengan sebatang pedang
pendek menancap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat membopong tubuh
laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam
dan menodai pakaian Wiro sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak
mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat
tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa
sampai di sini, bapak??" tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki
dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian
rupa.
"Wiro, tolonglah
selamatkan anakku…. Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…."
"Bedebah itu lagi!"
desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan!
"Kej… kejar dia,
Wiro…."
"Tapi kau sendiri,
pak…."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa
tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.
"Diriku tak… usah kau
pikirkan nak. Tak ada harapan…. Yang perlu Mayang. Nasib dan… dan dirinya
kuserahkan padamu. Kuharap kalian…."’
Pagar Alam tak dapat
meneruskan kata-katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan
nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro membaringkan jenazah
Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya tubuh tanpa nafas itu beberapa
ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian…." Meski
Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan
kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama
pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan cepat, lenyap di jurusan
perginya manusia yang telah melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro
melakukan pengejaran. Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana
mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak diketahui ke mana perginya!
Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di
sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali ditimpali
oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung hantu
mengerikan sementara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke
tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala, menghela nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika
menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada artinya
menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke Tambun
Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan pengejaran ke sana. Dan
sekaligus untuk membuat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana
kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana? Dan merusak kehormatan
Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas
karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan
mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan
apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?!
Wiro Sableng memandang ke
langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun
yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia membayangkan apa yang
bakal dilakukan oleh Gempar’ Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu
telah dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu
dilakukannya, akari kupatahkan batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata
Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!" sebatang
pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu
sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpanggul
seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan lain
Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari,
menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat
kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri
sebatang anak sungai. Sepanjang anak sungai ini penuh dengan pohon tembakau.
Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar
pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang
oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi membawa
Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu pondok
tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok,
kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-bang pintu dengan
rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang dengan
membawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening.
"Gempar Bumi, siapakah
yang kau bawa ini?!" orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di
hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah
aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika mengetahui yang
dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki
bernama Sati menelan ludahnya.
”Dari mana kau dapat, Gempar
Bumi?" tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku
dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari
paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah
lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar
bisikan Sati.
"Kalau kau tak lekas
berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan
langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam
pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan.
Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu dan memeriksa isi
pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini.
Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang.
"Manusia keparat!
Lepaskan totokan ku…!"
"Ah, kau masih saja
bersikap galak," kata Gempar Bumi.
"Bedebah! Lepaskan
totokan ku!"
"Kalau kau masih keras
kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan
diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan sentuh!"
teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa
Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak.
"Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku akan kawini kati secara
baik-baik, tapi…’ "Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!"
potong Mayang. "Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan menyesal
akan kuperlakukan Secara kasar!" "Manusia anjing, lebih bagus kau
bunuh aku siang siang! Saat ini juga…."
"Eh, apakah kau tidak
takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada
jadi korban kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati
yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan
Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku…. Kau akan merasakan
betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya… betapa…."
"Tutup mulutmu bedebah!
Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan
api pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa
gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau
mencariku bukan untuk membunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala
keindahan hidup itu! Ha… ha… ha… ha!"
"Keparat! Kalau aku
betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu
sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat
kampungan!" ejek Gempar Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah
tak sanggup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada
orang lain yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha… siapa kira-kira
orangnya?!" tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang
tebal melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar
Bumi tertawa membabak. "Perempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu?
Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam sepuluh
jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan
denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah
masih banyak orang-orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup
membunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu
siapa saja orang-orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda
berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi.
Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu utama Datuk
Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas belum pernah dia
menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri
dengan muka tebal karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat
muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran
karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan
jiwanya…."
"Justru pemuda itulah
yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam
hati. Tiba-tiba tangannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat
menyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini berteriak dan
memaki! Sebaliknya dengan seringai nafsu yang mengembang kempiskan cuping
hidungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya
sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk Sipatoka itu?
Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan
sebelumnya. Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang
dinamakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk
datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali
hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian
berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan
yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya. Karena itu sesudah
luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai
dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru
Mayang.
Di tengah jalan mereka
berhenti dan menginap di sebuah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak
buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi kampung itu,
merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam pung!
Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar
Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar
Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu
berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara
suitan nyaring di sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat
anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu Gempar
Bumi cepat menuju ke Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal
mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi anak-anak buahnya di
bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai di bagian Barat kampung, berubahlah
parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya tak dapat
melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian
putih, berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan
lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia membawa anak-anak
buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu
Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia melibatkan diri
menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk
melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama
Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro
Sableng.
"Bunuh bangsat itu!"
demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya
pertempuran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika dalam tempo yang
singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal
keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja di bawah
kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tambah mencair! Ketika anak buahnya yang
ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama saat itu juga
Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya
tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih
rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemunculan Gempar Bumi, tersiraplah
darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang
pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan menyerangnya dengan
satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi
bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan bertangan
kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena didesak oleh Gempar
Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan! Tetapi saja
pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-par Bumi berhasil merampas pedang di
tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua beranak!
Dalam satu gebrakan yang hebat
Gempar Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya dan menancap dengan tepat di
dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil ditotoknya hingga tak bisa
bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar Bumi kemudian
meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak berdaya dan bergumul
dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini terdengar
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang kemudian segera melakukan pengejaran….
Darah di tubuh Gempar Bumi
laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh Mayang
yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan menangis.
Sementara itu Sati yang
disuruh meninggalkan pondoknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan.
Ingatannya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakannya parasnya yang
jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati
Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang tertegun-tegun. Hatinya
mendorong-dorong agar kembali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah
haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya! Kalaupun tak
dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa yang
mendorong-dorong di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan
kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah ditempuhnya. Kembali ke
pondok di tepi sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu
segera Sati mencari sebuah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil,
lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika
dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan pemandangan yang terpampang di
depan matanya, di bawah penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas
tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh
Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaianpunl
Berkali-kali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding
pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, menggulung tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah
tidak gadis lagi!" desis Sati. "Keparat betul si Gempar Bumi
ini!"
Mendadak Gempar Bumi
menghentikan segala gerak yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang
matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke
dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang
terdengar berteriak: "Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri
diserang!"
"Sati keparat! Kau berani
kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak
Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pakaian hitamnya lalu
melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat dibukanya, di atasnya
terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi memandang ke atap
pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke
arahnya!
12
Terkejut Gempar Bumi bukan
alang kepalang! Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua renta berpakaian
putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di tangan kanannya tergenggam sebilah
pedang yang terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.
Begitu melihat perempuan ini,
Mayang berseru:
"Guru!"
Si perempuan tua lemparkan
sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang.
Mendengar seruan Mayang tadi
Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain Inyak
Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehormatannya! Nama Inyak Nini sudah
sering didengarnya, tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga
sampai di mana kehebatan perempuan ini walau sebelumnya di hadapan Mayang dia
telah menganggap Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkannya di
bawah sepuluh jurus!
"Manusia bejat!"
suara Inyak Nini bergelar.
"Kau harus bayar dengan
kau punya jiwa atas perbuatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!"
Gempar Bumi tertawa sedingin
angin malam.
"Apa kau masih belum tahu
berhadapan dengan siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak Nini meludah ke lantai.
Ludahnya merah karena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya.
"Nama Gempar Bumi terlalu
sering kudengar! Terlalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan
menumpas segala kemuakan itu!"
Tanpa banyak cakap lagi, Inyak
Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat. Angin tebasan
menderu! Gempar Bumi mengelak dengan sebat lalu selipkan satu serangan
balasan, tapi senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat mundur dan
memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan yang bisa dibuat
main-main.
Tiba-tiba sesosok bayangan
hitam muncul di ambang pintu.
"Gempar Bumi, biaraku
yang hadapi setan tua ini!" kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan
lain daripada Sati.
"Sati keparat!"
bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau
akan terima hukuman dariku!"
Menciut hati Sati. Maksudnya
hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ternyata
Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap akan menjatuhkan hukuman
terhadapnya. Dia berpikirpikir untuk Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi
akan bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati berdiri di ambang pintu itu
dengan hati yang tidak enak dan serba salah!,
Pondok itu tidak seberapa
besar karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi
amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas dan membacok,
sedang tusukan-tusukan ganas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi
yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus ilmu pedang yang dimainkan
oleh lawannya. Segera dia menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini
hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lamanya!
"Tua renta sialan! Makan
ini!" teriak Gempar Bumi. Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian
puluhan jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak
Nini terkejut! Serta merta dia putar per dangnya. Belasan jarum hitam mental
dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya dengan
pedang, dan terus menembus dagingnya!
Inyak Nini menggerung macam
serigala dan menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan racun yang
terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan tenaga dalamnya untuk
menutup beberapa jalan darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas
ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum bermembobolkan jalan darah,
terus mengalir menuju jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap
dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika tidak terdapat pertolongan
pasti jiwanya melayang!
Gempar Bg#i tertawa sewaktu
mengetahui senjata rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagian
tubuh lawan.
"Perempuan tua! Lebih
baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya
jantung!"
"Manusia dajal kau musti
menyertaiku ke akhirat!" teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang
dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran pedang Inyak Nini
mengenai tempat kosong dan menghantam dinding pondok hingga hancur bobol!
Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk menyerang dari samping! Tapi
"Buuk!" Tahu-tahu tendangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di
bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahunya sakit bukan
main!
"Perempuan bedebah!"
maki Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk
Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka dengan sepuluh jari-jari
menekuk!
Inyak Nini maklum kalau lawan
hendak keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih lama
dia mendahului menyerang dengan pedang di tangan! Dalam detik itu pula Gempar
Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung dan tubuhnya berkelebat ke
depan! Gerakan kedua tangannya asing seka» bagi Inyak Nini, suara seperti
harimau meraung yang ke luar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua itu
terkesiap dan bergidik!
Kemudian terdengarlah pekik
perempuan tua itu!
Dan menyusul pula pekik Mayang
yang melihat paras gurunya berlumuran darah mengerikan!
Inyak Nini terhuyung-huyung
sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan
yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang pedang perak di tangan
kanannya sudah berpindah ke dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat
jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pemanah", yang
telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat
dari "Ilmu Silat Harimau".
"Apakah masih belum mau
bunuh diri?!" ejek Gem-par Bumi.
Inyak Nini tidak menjawab.
Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang hendak
roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan dahsyat perempuan ini melompat ke
muka, hantamkan kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul
menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja. Rasa marah, dendam kebencian
yang bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa
lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi menggenggam pedang perak
miliknya sendiri!
Sekali Gempar Bumi memutar
pedang, maka terdengarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat putus,
salah satu kakinya luka parah!
Mayang menjerit lalu menangis
tersedu-sedu!
Inyak Nini terhampar di lantai
pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik lagi
Gempar Bumi melangkah
cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang
keperawanannya itu.
"Bunuh aku! Bunuh aku
keparat!"
"Kau terlalu banyak
rewel!" hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga
Mayang di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat keluarkan suara!
Di ambang pintu Gempar Bumi
hentikan langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati yang
berdiri dengan paras pucat.
"Kesalahanmu terlalu
besar Sati…!"
Sati menjatuhkan dirinya dan
menangis macam anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar
Bumi," pintanya.
"Aku ampuni jiwamu! Tapi
lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu! Lekas!"
"Gempar Bumi!" Sati
menggerung dan bersujud.
"Keparat! Lekas korek
matamu," bentak Gempar Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek
keduaduanya sekaligus?!"
Sati maklum tak ada lagi
keringanan baginya. Daripada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia
cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jarijari tangan kanan Sati
kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata itu mencelat ke luar
bersama busaian darah. Sati terduduk di ambang pintu; merintih-rintih menahan
sakit yang tiada taranya!
"Itu lebih bagus bagimu
daripada mampus!" kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di
bahunya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti.
Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang
membentak. "Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah saja kupecahkan
batok kepalamu!"
Waktu suara teriakan orang di
malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri
tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!
Paras Gempar Bumi mendadak
sontak berubah pucat putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah payah coba
putar mata memandang ke muka! Satu harapan muncul di hatinya sewaktu melihat
bahwa yang datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja mulutnya
sanggup bersuara pastilah dia akan berseru memanggil nama orang itu!
"Turunkan gadis itu…!
Cepat!"
"Bangsat! Dia milikku!
Kalau kau inginkan dia silahkan ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi. Lalu
tak ayal lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".
"Dajal bermuka manusia,
kali ini jangan harap ada
ampun bagimu!" Orang ini
hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang
bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde ngan cepat! Gempar Bumi
buru-buru melompat. Tengkuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan
melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber muncratan. Sebuah
lobang besar kelihatan di tanah! Itu lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar
Buah" yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi lawan tangguh
berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat berbahaya
bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali lancarkan serangan. Gempar Bumi
sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah.
Sesaat kemudian terjadilah
pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak
seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati terhadap Gempar Bumi. Tapi
hati ini tak ada lagi segala macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro
Sableng. Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah tahu
apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis itu!
Sebenarnya, di satu tempat
pada malam itu Wiro sudah berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar
Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi lapat-lapat
didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai
berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro laksana terbang
segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada beberapa puluh tombak, di satu
pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi oleh
pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam, memanggul sesosok
tubuh! Meski dalam jarak sejauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang
manusia itu namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris hitam di tangan Gempar
Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan deras!
Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam satu jurus
serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya Hu hanya
sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurusjurus berikutnya dia telah
kena didesak hebat oleh permainan silat "Orang Gila" yang mulai
dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan… senjata
rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan telapak tangan kirinya ke
muka jarum-jarum hitam itu bermentalan kian ke mari!
"Aku minta tangan kirimu
dulu, Gempar bumi!" kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan
yang terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan suatu gerakan
yang sangat mudah untuk diserang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke
dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun dalam gerakan yang tak
teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu.
Dan Gempar Bumi memekik keras
sewaktu tahutahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya!
Gempar Bumi menusuk lagi
dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!"
"Suara "kraak"
itu disusul dengan suara pekikan setinggi langit dari mulut Gempar Bumi!
Lengan kirinya sebatang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian! Darah
memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!
"Berteriaklah memanggil
majikanmu Datuk Sipatoka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup
ke depan.
"Kraak!"
Untuk kedua kalinya terdengar
lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan patah!
"Kau akan mampus dengan
menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas
dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan jurus-jurus silat Orang
Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan
kanannya.
"Craas!"
, Gempar Bumi melolong.
Biji matanya yang sebelah
kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati! Bantu aku!"
teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati sudah sejak lama
terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa tidak minta
bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia
turunan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah mendekati Gempar
Bumi.
Gempar Bumi mundur terus.
Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang
jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya disangkanya, tubuh yang
terhimpit badannya itu adalah tubuh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh
Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski bagaimanapun dia
tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda keparat! Kau
inginkan perempuan ini! Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak dengan
itu dihunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana orang kemasukan setan
Wiro Sableng meraung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyambar ke
arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang diri ke samping untuk
menghindarkan Pukulan Sinar Matahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari
tubuhnya kena tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit. Terguling di
tanah sampai enam tombak dan mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa kejap
mata lagi Gem-par Bumi akan segera menghembuskan nafas penghabisan namun Wiro
masih belum puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar
Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu! Tamatlah
riwayat kedurjanaan Gempar Bumi!
Wiro Sableng lari menghampiri
Mayang. Dipangkunya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada tertutup
apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang membasahi pula pakaiannya.
"Mayang…" bisiknya.
"Mayang," panggil
Wiro lebih keras. Diusapnya kening dan rambut perempuan itu. Sepasang mata
Mayang membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya.
"Wi… ro…." Mata yang
sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit
sekali rasa… nya…."
"Kau… kau akan kuobati.
Kau akan sembuh," kata Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu
katakatanya itu tak bakal menjadi kenyataan.
Mayang juga tahu ajalnya akan
sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya ditutupkan,
nafasnya berhenti. Malaekat maut telah mengambil nyawanya. Dia mati dengan
senyum masih membayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka sedikit. Wiro
tak tahu entah sudah berapa lama dia merangkuli tubuh yang tidak bernafas dan
mulai mendingin itu. Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar
terang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya lagi wajah Mayang
dikeheningan pagi yang segar. Perlahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan
diciumnya bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan mesra. Kemudian
diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang
tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki kanannya. Tubuh
Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak
karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas!
Di dalam pondok Wiro menemui
mayat seorang perempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini adanya tapi
sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan tua itu seorang yang
berilmu tinggi dan dari go-longan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk
Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan tua itu. Dan bila
sang surya muncul menerangi jagad raya maka di muka pondok di tepi sungai itu
kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan….
13
Matahari berada di titik
tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras,
menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan
suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran
tinggi. Tak d i perdu I ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya
butirbutir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak di
perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya
suara gemerisik daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian
Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang sebuah
bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tampak sebuah bangunan besar
yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang
lagi ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan lain dari
tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka
dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan
itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian
rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun
Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik
rumah besar dan sekitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau.
Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga sedang di bagian samping
terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah
besar.
Yang membuat Wiro Sableng
merasa aneh ialah karena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di
dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa suasana begini tenangnya
di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin itu
bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu
lebih lama untuk tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa.
Diperbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di balik
baju putihnya. Kemudian diambilnya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan
sekali berkelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus lari
laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar
putih itu suasana masih tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu
memandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat dari
susunan tulang belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan
kirinya ke pagar tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu kokoh luar
biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar itu tak bergerak
apalagi bobol!
Wiro memandang berkeliling
lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh tombak
lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak kepala manusia. Wiro
melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang itu
beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengah satu gerakan yang
lebih keras maka tubuhnya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah
meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro melayang turun ke halaman dalam
Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa
ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar yang
terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai ke
atapnya terbuat dari tulang belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat
menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela rumah besar
terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah
yang dipijak Wiro Sableng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu
dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar puluhan ekor harimau
besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak
menyerbu ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah
masuk ke dalam perangkap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu
sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar Buah!" Belasan harimau
terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah
menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling kejutnya
bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa
laksana berada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu sama-sama
menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek atau menerkam tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro
segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar
Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi
puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin
deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak
tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ketika saja. Sesaat kemudian
mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni
212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau mengaum dahsyat dan rebah
bermandikan darah kena di-sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya
mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi seorang manusia
mungkin dia sudah bertempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah
dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang lebih ganas lagi laksana
kemasukan roh gaib karena melihat genangan darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga
Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang.
Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri melihat
amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya
melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula semua jendela serta
pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah
menggerakkan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi
dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuhnya
terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tulang-tulangnya laksana
bertanggalan dari persendian. Kejurusan mana saja dia memandang hanya
bangkaibangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang diliputi kesunyian
itu membuat Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan membuat dia duduk
terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengembalikan
tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah perangkap apa lagi yang
bakal menghadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya
sudah putih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat sarang
harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya manusia di situ tapi Wiro
yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang
tersembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh genangan darah
harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan
penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia
berteriak:
"Datuk Sipatoka!
Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan?
Harap ke luar perlihatkan dirimu…!"
Baru saja Wiro berteriak
begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua
kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga rumah besar yang
terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di mana
bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke
Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap
suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit
amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan.
"Gendeng betul!"
maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk
ker bau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia
sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah, seperti mimpi dia rasanya.
Rumah besar dan bangkaibangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah
sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya
Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan
ini bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran
dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah
Timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah
terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro.
Dan mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun!
Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang gadis jelita
berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya melangkah di
halaman berumput dan berhenti cepat di tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah
ujung pagar tempat Wiro berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu salah
seorang di antaranya berseru.
‘Tamu berpakaian putih-putih
silahkan turun!"
"Kalian siapa?!"
tanya Wiro.
"Kami adalah
pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah
padanya bahwa aku hendak
bertemu dengan dia."
‘Turunlah! Kami antarkan kau
padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan
dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana
dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini
musuh hendak memasang perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk
Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan pada wajah
kedua dara berpakaian kuning. "Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh
turun untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama
sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak
punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku
membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning
kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka
mulut keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang
ke sini jangan kira sanggup ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa.
"Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada
keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak
melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang
berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya
mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu
kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan
kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap
tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap
tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara
bergelak sang dara baju kuning.
"Sekali kau berani
melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur
hidup! Lekas turun!"
Wiro tahu bahwa ucapan itu
bukan sekedar untuk menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan asap
itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang sedang debaran jantungnya bertambah
keras! Heran, padahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap
segala macam racun tapi mengapa asap seribu tulang itu masih sanggup
mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro
Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang
memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro berkata:
"Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek
betul!" Agaknya kedua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan
tam-pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera membentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian
menjebakku, kalian akan mampus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata
apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di belakang
penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212
untuk menjaga se-gala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah
Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk begitu pintu tertutup dengan
sendirinya. Wiro melipat gandakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah
meninggalkan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke bawah, disusul oleh
sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua.
Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa
dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun atas
serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan beberapa
tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro
merasa tambah tidak enak.
"Ini ke mana?!"
tanyanya.
"Jangan banyak tanya!
Ikut sajalah!" sentak dara baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu
sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh
dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar biasa besarnya,
jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika
Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ
terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulangtulang iga manusia yang
berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa
gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gabagaba ini
laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk.
Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan pintu
gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang dihias arca-arca besar yang
terbuat dari tulang belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian
depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau.
Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi
keindahan itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru
dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski
hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuatkan
hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang
Istana Sipatoka.
14
Sampai di hadapan tangga
gedung besar dari tulang belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.
‘Terus masuk ke ruang tengah.
Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari
daradara baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke
mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati.
Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya
ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu ruangan tengah yang
amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di
atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang
punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain
dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari
yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol sekali,
demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak
berpadanan dengan tubuhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali,
demikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal
melintang dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah
menyorot tajam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir
Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga manusia
bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu
rupa.
Di samping potongan tubuh dan
raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro
Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini. Dia mengenakan jubah
pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning
berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan keris-keris
emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga perempat
jengkal! Itulah hal kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua
tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu
pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan
besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi
di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya
pandangan-pandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata Wiro
Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga, Wiro
akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan
dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar
memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa
gelakgelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga menggetarkan sekujur
tubuh Wiro Sableng dan menyendatnyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan
kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main!
Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak
gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah
bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol
kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang diucapkannya itu laksana
genta yang memukul jalan pendengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini
merasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga
dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk
Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.
"Delapan puluh lima
harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah
apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening
mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun
menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan
menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal
sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling
berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya. Dan
saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan puluh lima
harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal
berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk
lalu menjawab:
"Silang sengketa apa
gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan
saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak
bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan
yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang
gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena
ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau
telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab
miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah.
Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan
di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang
menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang bergelantungan
dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu bagus
sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang
mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis
berkata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan kanan dan melemparkan
sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit
harimau yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo
hari.
"Itu adalah robekan
pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir?
Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka
membesi.
"Katakan siapa namamu dan
apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan
beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya
memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang lakilaki yang di keningnya
tertera tiga buah angka 212. Lakilaki inilah yang memiliki pondok di tepi
sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan
kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak
menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir" tiga buah
huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut
pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi
gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak
mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang ke mari hanya untuk
mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka
menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah
anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku
tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro
lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak
Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka
sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski hatinya teramat geram
namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya
ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka ikatan buntalan
yang terletak dihadapan kaki Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka
gemparlah seisi ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan
itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupakan
rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan urat-urat. Seluruh muka
berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan
busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan tersebut yang tak mengenalinya!
Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung
pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya
dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya yang
berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian
rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh
Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak
ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang
berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek: "Semua yang ada di
sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki
berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya
adalah pembantu-pembantu kelas satu dengan gambar kepala harimau kuning besar
di dada pakaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang tingkat
kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika menyerbu
pembantu-pembantu biasa dan pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut
keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana
air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang
tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro
segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua
orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang
pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik lagi. Empat orang
pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai
tanpa nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar
biasa. Anak-anak buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut
terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu,
Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum menghantam!
Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di atas kepalanya lalu
beberapa penyerangnya roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan
sebuah lonceng kecil dan menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh
daradara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan. Mereka
adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan Datuk
Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu
tulang! Tutup semua jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara
itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke
langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang
sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan
kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa
pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa menduga dengan pasti siapa
orangnya!
"Sipatoka, kau belum
layak melihat diriku!" kata orang yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia
berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak
buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan kanan memegang keris
sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu
ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi
bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu
itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka
bergeme Makan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pucat! Dan di
loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar suara tertawa
bergelak!
"Kurang ajar!" geram
Datuk Sipatoka. Tangan kanannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecil
yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian senjata-senjata
Hu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya!
15
Tapi betapa terkejutnya Datuk
Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu laksana ranting-ranting kering dilanda
angin puting beliung ke sepuluh keris itu berpelantingan ke bawah. Dua buah
melesat ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya bermentalan ke arah
pembantu-pembantunya yang duduk di kursi! Sekali mengebut kan jubah kulit
harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi tidak
demikian dengan pembantupembantunya! Suara pekik melengking raungan laksana hendak
meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai di kursi masing-masing tanpa
bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua orang pembantu kelas satu, empat orang
pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuhtubuh mereka ditancapi
keris kuning milik Datuk mereka sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun,
ada yang di muka, di dada dan di perut!
Paras Datuk Sipatoka kelam
membesi. Mulutnya berkomat kamit. Janggut dan kumisnya laksana kawat meranggas
karena amarah! Kedua tangannya yang hitam saling digosok-gosokkan satu sama
lain. Sedetik kemudian dari kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang
berbau busuk!
"Manusia di atas loteng
tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika kau tetap
berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!"
Orang di atas loteng tertawa
gelak-gelak.
"Dari tempatku ini aku
dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka siapa yang
takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang terakhir kau
miliki Sayang…" dan orang itu tertawa lagi gelak-gelak lalu menyambungi:
“Tapi jika kau mau mengadakan perjanjian aku bersedia muncul unjukkan
diri!"
"Perjanjian macam
mana?!" tanya Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak
tangannya. Sampai saat itu dia masih tetap duduk di kursi kebesarannya!
"Kau bertempur sampai
seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong itu…!"
Wiro Sableng tersentak kaget.
"Lalu?!" bentak
Datuk Sipatoka.
"Jika pemuda itu menang,
kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan pada anak-anak
buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan semua bangunan
yang ada di sini dan agar mereka semua kembali ke jalan yang benar!"
"Jika dia yang kalah apa
imbalannya?" tanya Datuk Sipatoka.
"Pertama kau boleh bunuh
pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki untuk selama-lamanya!"
Berubahlah paras Datuk
Sipatoka. Dia tidak terkejut pada syarat-syarat perjanjian yang dikatakan. Tapi
begitu mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan berada di tangan
orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap
karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk mencari buku itu!
"Kurang ajar!"
terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. "Darimana kau ambil buku
itu?!"
"Dari dalam kamarmu
tentu!" sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh.
"Bagaimana?!"
Dalam hati Datuk Sipatoka
mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk ke dalam Istana Sipatoka dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam kamarnya, nyatalah
kepandaiannya luar biasa sekali dan dia telah saksikan sendiri tadi! Menurut
pandangan Datuk Sipatoka kalau bertempur melawannya belum tentu dia bisa
dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk mengalahkan lawan bukan hal yang
mudah pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng seorang
pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka dia pun mendongak ke loteng dan
berseru:
"Aku terima
perjanjianmu!"
"Bagus! Tapi harap kau
sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini!" sahut orang yang
masih bersembunyi di balik loteng.
"Kentut apa kati kira
pemuda tengik itu pasti akan mengalahkah aku?!" teriak Datuk Sipatoka
marah.
"Belum tentu memang! Tapi
kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti perjanjian balai. Dan
terpaksa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi!"
"Kurang ajar!" maki
Patuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan berteriak hingga
mengumandang ke seluruh pelosok Istana Sipatoka.
"Seluruh isi Istana
Sipatoka. kalian dengarlah pesan Datukmu ini! Aku akan bertempur melawan
seorang pemuda tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka
kalian harus memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian kembali ke
dunia luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk Sipatoka memandang
ke atas dan berseru: "Nah orang di atas loteng, puaskah kati
sekarang?!"
"Puas… puasi" sahut
orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa gelak-gelak maka
bobollah langitlangit ruangan dan sesosok tubuh berpakaian putih berkelebat
dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata saking cepatnya tahu-tahu orang ini
sudah duduk menjelepok seenaknya di sudut ruangan! Di pangkuannya ada sebuah
kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga dan garuk-garuk kepala:
"Tua Gila-.." desis
Pendekar 212 laki cepat-cepat menjura hormat.
"Ah! Kau masih saja pakai
segala macam peradatan yang membikin muak perutku!" kata orang yang duduk
di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya!
"Hadapi si cebol itu!
Kalau nasibmu baik kau menang tapi kalau tidak kau akan mampus, aku akan
konyol!" Sehabis berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu menyusupkan
suara memberi bisikan pada Wiro. "Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar
Matahari di tangan kiri! Sekalikali jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia
pergunakan Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar Matahari dan
hantam dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu!"
"Ayo Sipatoka kau tunggu
apa lagi?!" Tua Gila membentak.
Dan Datuk Sipatoka melompat
turun dari kursinya.
Gerakannya seringan kapas!
Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya: "Maumu dengan tangan kosong
atau pakai senjata?!"
Wiro ingat nasihat Tua Gila.
Maka dia pun menjawab: "Kalau kau punya senjata silahkan
dikeluarkan!"
Datuk Sipatoka tertawa sinis
dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam
menggidikkan!
"Mulailah!" kata
Datuk Sipatoka.
Wiro tertawa. "Kau tuan
rumah silahkan mulai lebih dulu!" Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212.
Datuk Sipatoka sunggingkan
seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur ketinggian ilmu lawannya namun
dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di bawah dua puluh jurus! Tubuhnya
dibungkukkan hingga makin tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar
suara menggoreng macam suara harimau. Mula-mula perlahan lalu mendadak sontak
keras menggedetek, menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah
kerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan dahsyat itu
tidak mempengaruhinya!
Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka
berkelebat lenyap! Tahutahu keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat hanya
tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng!
Wiro terkejut lekas-lekas
melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai kesempatan leluasa menjotos
tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi maka hal itu tidak
dilakukannya!
Hampir keris bercabang tiga
itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebal Datuk Sipatoka menusuk ke perut
sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat! Wiro geser kaki kanan.
Sambit miringkan badan Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski
senjatanya adalah senjata mustika sakti namun melihat Kapak lawan yang agaknya
bukan sembarang senjata pula maka Datuk Sipatoka tak berani ambil keputusan
untuk adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan
pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang ke luar laksana topan prahara!
Di lain pihak Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya!
Terdengar suara seperti
letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan segala
kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung sampai
tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan ilmu
mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang namun mungkin
akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang!
Terkejutlah manusia cebol ini.
Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat, lebih tinggi sekitar satu
dua tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia mulai menyangsikan
apakah dia akan sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah dua puluh jurus
sebagaimana yang dipastikan semula!
Jurus kedua dibuka kembali
oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas dari pertama tadi. Dia
meraung macam harimau ketika serangannya yang sekali ini pun berhasil dielakkan
lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat yang pating
diandaikannya yaitu ilmu Silat Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat
Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu
Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini
Datuk Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurusjurusnya aneh berbahaya
dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan Gempar Bumi!
Dan dari mulut Pendekar 212
Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang disusul dengan siulan tinggi tak
menentu luar biasa Wiro mulai keluarkah jurus-jurus pertahanan dari ilmu Silat
Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk
Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat serangannya!
Tiba-tiba mengiang suara halus
laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng.
"Goblok! Mengapa cuma
bertahan? Apa tidak mampu menyerang?!" Itulah dampratan yang dilontarkan
Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan.
Wiro juga sadar. Meski dia
bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan tawan lama-lama dirinya bisa
dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan lebih erat.
Lalu memasuki jurus ke enam belas untuk pertama kalinya dia menyerang dengan
mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan.
Kapak Naga Geni 212 mendengus
laksana suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke bawah
lalu laksana seekor naga yang memunculkan kepalanya dari dalam lautan sen jala
itu melesat ke arah batang leher Datuk Sipatoka!
Sang Datuk sengaja tidak
berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah bawah ketiak tawan
karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan lebih cepat menemui
sasarannya daripada senjata lawan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dia
sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia meneruskan serangannya.
Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan berkelit. Begitu berkelit
begitu dia susul dengan jurus serangan baru yang dinamakan Kincir Padi Memutari
Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan berkiblat dalam bentuk putaran yang
sangat kecil!
Datuk Sipatoka berseru keras
dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata lawan. Tapi
sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke bahu kirinya! Sang Datuk
melompat ke kanan dan dia memaki keras sewaktu sesaat kemudian senjata lawan
telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya! Satu-satunya jalan untuk
mengelakkan serangan yang berputar itu ialah melompat ke luar dari kalangan
pertempuran. Meskipun ini akan memberi pandangan pada orang-orangnya bahwa dia
mulai kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka
terpaksa melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Bila dia sudah lepas dari
serangan yang berputar itu dia akan segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan
alang kepalang karena ketika baru saja dia keluar dari kalangan pertempuran
tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak yang sangat dekat dan sangat cepat.
Mengelak pasti kasip! Tiada jalan lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka
palangkan keris mustikanya
‘Traang!"
Bunga api memercik.
Datuk Sipatoka tersurut tiga
langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan mental! Tangannya tergelar hebat!
Wiro sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang gagang Kapak Naga Geni 212
menjadi pedal sakti. Dia tidak perduli, malah dengan mempergunakan tiga
perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Beberapa orang anak buah Datuk
Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan luar
biasa panasnya menderu di depan mereka!
Meski dalam keadaan kepepet,
Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan diri sama rata
dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya cabut sepuluh
keris-keris emas yang; bergantungan di pakaiannya lalu dilemparkan ke muka!
Pukulan Sinar Matahari
menyambar ke atas tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar
pukulan yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah sepuluh bagian
tubuh Pendekar 212.
Wiro Sableng kiblatkan Kapak
Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Trang… trang…
trang!"
Suara itu terdengar
berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika yang
dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga Geni 212! Oikejap
yang hampir bersamaan Pukulan Sinar Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh
Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding yang terbuat dari
tulang yang kokoh itu bobol berkepingkeping. Atap istana turun ke bawah hampir
runtuh!
"Kurang ajar!" rutuk
Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu simpanannya telah
dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam puluh jurus dan ternyala dia
tak sanggup menumbangkan lawannya malah nyawanya hampir saja dilalap
mentah-mentah!
"Kematianmu dalam saat
ini juga, keparat!" desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik
pinggang. Kedua tandannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik
kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam yang berbau
busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan ucapan
Datuk Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan kembali ke dalam pakaiannya.
Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan kiri sedang telapak tangan kanan
sudah terisi aji pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung".
Kepulan asap hitam yang busuk
luar biasa itu semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk Sipatoka
yang ada di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka maklum akan
kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin mereka.
Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya akan berbau busuk
seumur hidup!
"Orang muda, sekalipun
kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan
diri dari liang neraka!"
"Wiro berdiri dengan siap
saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak teratur dari sela bibirnya
sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk Sipaloka merasa dirinya
dianggap sepi saja!
Suasana sehening di pekuburan
sewaktu perlahanlahan Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya ke atasi Kemudian
suara menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak dengan itu kedua tangan
dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat yang busuk, menggidikkan
menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sewaktu Datuk Sipatoka memukul
ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke muka. Sinar putih
menyilaukan melesat ke depan, sekaligus memapasi dua sinar hitam. Terdengar
letupan yang dahsyat!
Masing-masing pihak tersurut
lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih kelihatan di udara
karena kedua orang yang bertempur masih belum turunkan tangan masing-masing.
Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga yang berpalun-paiun, berkelahi dan saling
gempur dengan dahsyat! Masing-masing sudah keluarkan keringat dingin dan
urat-uraft leher menegang biru!
Wiro membentak dam dorongkan
lagi tangan kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak lagi
sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding baja. Dia mundur
terus menerus dan bertahan dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya
Wiro membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya Datuk Sipatoka tak
sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu
Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan Sinar Matahari Wiro
terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk Sipaloka meraung terguling-guling.
Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan didorongkan kini. Dan satu gelombang
angin yang luar biasa hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu
terguling-guling di halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal
dari persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi!
Suasana yang hening
menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini berdiri
dari duduknya dan berkata: "Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk
disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang berkeliling dan berseru:
"Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar Istana harap segera
masuk!"
Sesaat kemudian ke empat
puluh, pesuruh Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda belia
itu masuk ke dalam, istana. Melihat kolega-kolega mereka yang ada di dalam
istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke
empat puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di hadapan Tua Gila dan
Wiro Sableng.
"Berdiri semua!"
bentak Tua Gila.
Serempak semua orang itu
berdiri.
“Kalian semua sudah dengar
pesan perjanjian Datuk keparat itu, . ?
Semua orang mengiyakan.
"Begitu kami pergi,
kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua yang ada rata
dengan tanah..Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian rnau asal
saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau kudengar ada
di antara kalian. Yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau
memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi kalian!"
Tua Gila berpaling pada
Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan, yang kulitnya
sudah robek.
"Ambillah. Kau rupanya
memang berjodoh dengan kitab ini,..”
Wiro menerima kitab itu lalu
menjura sambil berkata "Banyak terima kasih atas segala, bantuan mu, Tua
Gila?’ Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang tua sudah lenyap
dari hadapannya! Hanya kumadang suara tertawapya yang terdenga di kejauhan!
Wiro Sableng, hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala.
TAMAT