-------------------------------
----------------------------
023 Cincin Warisan Setan
SATU
Hujan turun menggila malam
itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin bertiup kencang, memukul
daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran.
Sesekali kilat menyambar
seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. Kemudian menggelegar
suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit seolah-olah hendak
runtuh!
“Hujan keparat!” maki pemuda
berpakaian putih yang lari di bawah hujan lebat itu. Sekujur tubuh dan
pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat
untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di dalam
rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung
curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut.
Sesaat wajahnya tampak jelas
dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja
menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila!” makinya
kembali.
Mendadak orang ini hentikan
larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang telinganya yang tajam luar biasa
mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti teriakan manusia. Dia pejamkan
kedua matanya dan mendongak ke langit.
“Setan atau ibliskah yang
menjerit di malam gila ini?” tanyanya pada diri sendiri.
“Kalau memang itu jeritan
manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia macam mana pula yang hujan lebat
begini, berada dalam rimba belantara pada malam buta…..?” Orang ini tidak
menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat itu!
Dia membalikkan tubuh, lalu
lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang sangat ramai itu. Beberapa pohon
kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya dengan tangan kiri atau tangan
kanan.
“Krak…..! Krak…..!”
Batang-batang pohon itu patah
bertumbangan!
Makin cepat dia berlari makin
keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat ke sumber suara. Mendadak suara
jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan gerakannya, memandang
berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan. Samarsamar dalam gelapnya
malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya
berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di bawah hujan lebat.
Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara pemuda tadi menyelinap di
balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh yang ada di
depannya. Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang tegak
berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa bergelak.
Lelaki berpakaian putih yang
coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat berlindung ke balik sebatang
pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya. Orang yang tertawa bergelak
sambil bertolak pinggang itu mengenakan pakaian serba hitam yang basah kuyup.
Rambutnya terjurah panjang, semula disangka soerang perempuan. Tapi setelah
jelas kelihatan raut wajahnya ternyata dia seorang lelaki bermuka cekung,
berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah
gelang akar bahar.
Kilat menyambar dan! Orang
yang mengintai dari balik pohon merasakan jantungnya seperti copot! Betapakan
tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang benderang sekilas, pada saat
itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia berkaparan di tanah, di atas semak
belukar, di antara pohon-pohon. Semua tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah
masing-masing telah hancur mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala
serta otak berhamburan di mana-mana. Air hujan yang tergenang tampak merah
kehitaman.
“Pembunuhan masal! Siapa yang
melakukannya?!” membatin pemuda yang mengintai. Tubuhnya terasa dingin sekali,
sepasang lututnya terasa goyah. Selama hidupnya dia telah melihat kematian,
pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali melakukan pembunuhan. Tapi
kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka hancur, benar-benar satu hal
luar biasa. Dari pakaian yang dikenakan manusiamanusia malang itu, dari tombak,
pedang dan perisai yang bergelimpangan di selaselatubuh manusia, jelas yang
menemui kematian itu adalah serombongan pasukan.
Entah pasukan dari kadipaten
atau keraton mana. Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin
keras tawanya. Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang
digoyang-goyangkan hingga air hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat,
menghantam pohon-pohon dan dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon
melengak kaget ketika menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang
dilesatkan rambut itumenghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan
meninggalkan lobang dalam pada batang pohon!
“Dua puluh sembilan hari
menguntit dan mengurung!” Tiba-tiba orang berpakaian hitam berambut panjang itu
hentikan tawa dan keluarkan ucapan. “Semua berakhir pada kematian!
Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh kalian mengantar nyawa di
dalam rimba belantara ini! Ha….ha…..ha….”
Orang di tengah gelimpangan
mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. Seperti tengah memperhatikan
sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia tertawa gelak-gelak.
Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke kiri. Tangan kanannya
diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya yang diacungkan
lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahayasebesar batang
lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu mengeluarkan
suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan kekuatan
tiupan dahsyat.
“Siut….siut….siut! Brak!”
Batang pohon di depan hidung
pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon besar itu roboh dengan suara
bergemuruh!
“Keparat setan alas!” maki
lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik pohon besar itu. “Bangsat
berjangut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu pukulan sakti apa
yang dilepaskannya itu!” Secepat kilat orang itu jatuhkan diri ke tanah,
menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping kanan dan
berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking. Tanda orang
berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga garis cahaya
putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur dan
tumbang.
Tapi pemuda yang tadi berhasil
menyelamatkan diri saat itu sudah berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni
melesat ke atas dan bersembunyi di atas cabang pohon, di antara kerimbunan
daun-daun. Ternyata manusia yang menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia
ada di atas pohon. Sebaliknya dari ataspohon dia dapat melihat jelas gerak
gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas pohon ini berpikir-pikir,
apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan pukulan sakti yang
dimilikinya. Tetapi setelah menimbang akhirnya dia memutuskanuntuk menunda.
Di bawah pohon orang tadi
kembali tertawa gelak-gelak. Lalu berteriak “Ada yang lolos rupanya! Tidak
apa…. Biar dia lari dan memberitahu pada pangerannya!
Ha…..ha…..ha…..!” Suara tawa
itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah saatnya dia harus melepaskan
pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana.
Tetapi. Astaga! Ketika
memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang berambut panjang
berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana!
“Sialan! Aku terlambat!” maki
pemuda di atas pohon.
Setelah meneliti keadaan di
bawah pohon sekali lagi sementara hujan lebat masih terus turu maka diapun
melompat turun. Ketika masih melayang di udara itulah mendadak telinganya
mendengar suara seperti tiupan seruling. Tiga larik cahaya putih yang sangat
terang menyilaukan berkiblat, menyambar ke arahnya.
“Celaka! Bangsat itu belum
pergi rupanya. Dan kini dia kembali menyerangku!” Orang yang melompat turun
terkejut dan memaki. Secepat kilat dia jungkir balik di udara lalu membuang
diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga cahaya datangnya cepat luar biasa.
Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan telak. Orang ini keluarkan
seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah, di antara gelimpangan
mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!
“Ha…ha….ha….!” Terdengar tawa
bergelak dari belakang batang pohon besar. “Pengintai tolol! Kalau saja kau
tadi terus lari tentu tak akan mampus percuma! Sayang! Kini tak ada yang akan
memberi laporan pada sang pangeran! Ha…ha….ha….!”
Suara tawa lenyap. Keadaan di
tempat itu kini hanya dihantui oleh deru air hujan, desau angin dan gemerisik
daun-daun pepohonan. Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi dihantam
tiga larik sinar dan terhempas ke tanah, perlahan-lahan tapak bergerak bahkan
kini coba berdiri sambil pegangi perutnya. Ternyata manusia satu ini tidak
mati. Dia tidak sampai menjadi korban tiga larik sinar maut yang dilepaskan
oleh orang berpakaian serba hitam tadi.
Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Jangankan tubuh manusia. Batang pohon yang besar dan keras hancur
tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu. Pemuda itu pegangi pakaiannya di
bagian perut yang tampak bolong besar.
Baigan tepi yang bolong itu
seperti hangus terbakar berwarna kehitaman. Pada bagian pakaian yang berlubang
itu tampak tersembul sebuah benda putih yang berkilauan setiap sinar kilat
menyambar terang. Mukanya yang tadi pucat seperti kain kafan berangsur-angsur
berdarah kembali dan dari mulutnya pemdua ini tak henti-hentinya memaki. Dia
pegangi benda putih berkilat yang tersembul di depan perutnya, garuk-garuk
kepalanya dengan tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke balik semak belukar.
Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya masih berada di
tempat itu atau muncul kembali.
“Kapak ini telah menyelamatkan
nyawaku…..” kata lelaki berakaian putih yang kini pakaiannya penuh lumpur
bercampur darah. Tengkuknya masih terasa dingin. Bukan oleh karena dinginnya
udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru saja menyadari, kalau senjata
mustikanya itu tidak tersisip melindungi perutnya, pastilah perutnya akan bobol
amblas dihantam sinar ganas tadi. Dia segera pula menyadari bahwa senjatanya
itu memiliki keampuhan yang tinggi dan tak sanggup dihantam pukulan sinar aneh
dan mematikan itu.
Ketika dipastikannya keadaaan
di tempat itu benar-benar telah aman maka diapun segera keluar dari balik
rerimbunan semak belukar. Dia coba meneliti sekian puluh mayat yang terkapar
mengerikan.
“Pasukan yang malang…..
Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari mati di tempat ini….?” Orang
itu geleng-geleng kepala. “Tak habis pikir bagaimana orang berjanggut tadi
sanggup membunuh puluhan manusia ini. dengan sinar mautnya itu…..? Sinar maut
hebat luar biasa, tapi ganas mengerikan….. Heh, apa yang harus aku lakukan?
Tolol!” Orang itu memaki dirinya sendiri. Lalu menjaab pertanyaan sendiri.
“Yang paling baik aku harus pergi dari sini. Rimba belantara ini lebih seram
dari neraka! Tempat celaka apa ini! Gila!”
Maka diapun bergerak pergi.
Namun baru dua kali menindak
melangkahi mayat-mayat di tanah, mendadak terdengar bentakan garang.
“Berhenti!”
***
DUA
Bangsat! Siapa pula yang
membentak! Setan rimba belantara?! Eh, mungkin orang berjanggut tadi…..?!”
Dengan sikap waspada dan mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan siap untuk
mengahantam, dia memandang ke arah kegelapan dari mana suara bentakan tadi
datang. Dia melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu sosok tubuh kedua.
Ketiga ….keempat. Ketika dia memandang berkeliling, ternyata dia telah dikurung
oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang kelewang panjang.
“Siapa kalian?!” Lelaki
berpakaian serba putih balik membentak.
“Randu Ireng! Dua kali bulan
pernama kami menguntitmu! Sekarang tak mungkin lepas!” terdengar jawaban dari
kegelapan.
“Randu Ireng….?” Desis orang
yang dikurung. “Siapa yang kalian maksudkan…..”
Terdengar suara batuk-batuk di
sebelah kanan, menyusul suara berkata “Kami tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar
seribu kali dalam semalam. Tapi kami berenam tak mungkin kau tipu!”
“Gila! Malam-malam buta, hujan
lebat begini rupa dan disaksikan puluhan mayat celaka kalian ini bicara apa
sebenarnya?!”
“Dengar Randu Ireng….”
“Setan alas! Namaku bukan
Randu Ireng….!” Hardik orang yang dikurung.
Keluar jawaban. “Terserah kau
mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau sudah kami kurung. Tak mungkin lolos
walaupun kau bisa merubah diri menjadi seekor tuma! Kawan-kawan, apakah kalian
lihat benda itu di jari telunjuk kanannya…..?”
Lima suara menyahut.
“Kami tidak melihatnya!”
“Dia a pasti menyembunyikannya
di balik pakaiannya!”
“Keparat! Benda apa yang
dimaksudkan enam jahanam gila ini?” ujar pemuda yang dikurung lalu meneliti
jari telunjuk tangannya sendiri. Jari telunjuk tangan kanan itu memang tidak
ada apa-apanya. Mengapa orang-orang itu sengaja memperhatikan jari telunjuk
tangan kanannya? Siapa mereka sebenarnya dan siapa pula orang bernama Randu
Ireng itu? Selagi dia bertanya-tanya seperti itu, kembali orang yang tegak di
hadapannya dalam kegelapan membuka suara sementara hujan masih terus turun
walau sekarang mulai mereda.
“Radu Ireng! Serahkan cincin
itu pada kami!”
“Betul! Serahkan lekas. Dan
kami akan mengampuni selembar nyawamu!”
Orang di samping kiri ikut
bersuara.
Pemuda yang tegak di antara
tebaran mayat kembali memaki dalam hati. Kemudian dia tertawa gelak-gelak.
Namun hatinya tetap saja jengkel.
“Kalian orang-orang gila
kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan dengar ucapanku. Aku bukan Randu
Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak mengerti cincin apa yang kalian minta. Aku
sama sekali tidak memiliki cinicn, atau kalung atau gelang. Ha…ha….ha….!”
“Dusta!”
“Bohong besar!”
“Rupanya dia tidak sayang
nyawa!”
“Kalau begitu tunggu apa lagi?
Kita bantai saja!”
Enam sosok tubuh bergerak
maju, mendekar dan memperapat pengurungan. Enam batang kelewang panjang
tergenggam erat dalan enam tangan kukuh, melintang di depan dada. Sejarak lima
langkah, keenam orang itu berhenti. Orang yang dikurung memandangi wajah mereka
satu persatu. Tak seroangpun yang dikenalnya.
“Kami masih memberi kesempatan
terakhir!” kata orang di samping kanan.
“Lekas serahkan cincin itu!”
“Cincin apa?!” tanya lelaki
yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan lumpur dan darah.
“Jangan pura-pura tidak tahu!”
“Cincin apa lagi kalau bukan
Cincin Kepala Ular Kobra Baja!” jawab orang yang tepat berdiri di depan lelaki
tadi.
Kini berubahlah paras pemuda
ini. dia pernah mendengar tentang benda itu, tapi tak pernah melihatnya. Cincin
baja yang merupakan senjata mustika ganas. Tiba-tiba dia ingat pada orang
berpakaian serba hitam yang tadi menyerangnya.
“Kalau begitu…..” desisnya.
“Kalau begitu apa?!” ucapannya
langsung dipotong.
“Kalau begitu orang berjanggut
dan berkumis lebat tadi yang kalian maksudkan…..”
“Jangan coba mengalihkan
pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan manusia berjanggut dan berkumis
itu?!”
“Manusia yang membunuh puluhan
perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki senjata ampuh luar biasa mana mungkin
dia sanggup membunuh lawan sebegini banyak….”
“Dusta! Bukankah kau sendiri
yang telah membunuh balatentara dari Demak ini? Dan tentunya dengan
mempergunakan cincin keramat itu!”
“Aku tidak memiliki benda itu.
bahkan aku sendiri tadi diserang bangsat itu. lihat pakaianku yang hangus dan
berlubang besar di bagian perut ini…..”
Enam orang di depannya
menyeringai mengejek. Tak percaya tentunya. Yang di samping kiri berkata.
“Kalau diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau bukan manusia lagi. Tapi
sudah jadi bangkai dengan perut bobol!”
“Mungkin! Tapi…… Ah, percuma
saja aku menerangkan. Kalian tentu tak akan percaya…..” kata pemuda yang tegak
di antara tebaran mayat. Dia merasa tak perlu menjelaskan bahwa senjata sakti
yang dimilikinya telah menyelamatkannya dari hantaman tiga cahaya putih yang
melesat keluar dari jari telunjuk orang berpakaian serba hitam itu.
“Ayo, mana cincin itu. Lekas
serahkan!”
“Aku tak mau lagi bicara
dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan Randu Ireng. Aku tidak memiliki benda
yang kalian cari! Sekarang beri jalan, kau mau lewat. Aku mau pergi dari tempat
celaka ini!”
“Ragamu boleh pergi tapi
nyawamu tinggalkan di sini!”
Enam kelewang. Bergerak naik
ke atas.
“Kau akan mampus percuma!
Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang tercincang!”
Orang yang terkurung dan
hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan suara bersiul. Tangan kanannya
bergerak ke pinggang. Enam lelaki bertubuh besar dan bermuka garang serentak
mundur dua langkah ketika menyaksikan senjata berbentuk kapak yang memiliki dua
buah mata terlihat tergenggam di tangan kanan orang yang mereka sangka Randu
Ireng itu. yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat sinar menggetarkan
yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di situ gelap sama
sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan kapak.
“Siapa kau sebenarnya?!” Salah
seorang dari enam pengurung bertanya.
“Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku
sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu coba katakan
siapa kau adanya!”
“Kau tidak perlu tahu!”
“Jika tak berani
memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!”
“Kentut busuk!”
“Senjata apa yang ada di
tanganmu itu?!”
“Kapak Naga Geni 212!”
Enam pengurung tersentak
kaget. Mereka saling pandang.
“Kalau begitu kau adalah
pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng nenek sakti dari Gunung Gede!”
Orang yang memegang kapak
tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan orang di depannya memang benar
adanya.
“Kalau begitu kami telah salah
sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini. hanya saja, apakah kau dapat
menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini…..?”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212, orang yang tadi hendak dikeroyok sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan
tempat itu. Namun diam-diam diapun ingin mengetahui siapa adanya manusia
bernama Randu Ireng dan apa sebenarnya cincin baja berkepala ular itu.
“Aku bersedia menerangkan apa
yang kulihat di sini walaupun tak banyak, tapi harap kalian mau mengatakan
siapa kalian adanya….”
“Kami berenam kakak beradik.
Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami dikenal dengan julukan Enam Kelewang
Maut….”
Wiro Sableng kernyitkan
kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya kembali ke pinggang lalu berkata
“Setahuku kalian adalah para pendekar dari golongan putih. Tapi gerak gerik
kalian malam ini tidka beda dengan bangsa gerombolan rampok atau rombongan
maling. Tidak disangka kalian selama ini disenangi ternyata bertindak tanduk
memalukan….”
“Kami mengakui telah kesalahan
tangan,” kata Sebrang Lor. “Semua terjadi karena kejengkelan kami sudah sampai
di puncaknya. Kami telah menguntit manusia bernama Randu Ireng itu hampir
selama enam puluh hari. Malam ini ternyata kami menemui kegagalan lagi….. Nah,
apakah kau mau menerangkan apa yang kau ketahui….?”
Wiro menjelaskan tidak banyak.
Mulai dari dia mendengarkan suara jeritanjeritan, sampai dia mendapat serangan,
lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki berpakaian serba hitam, berjanggut dan
berkumis.
“Mungkin manusia yang
menyerangku itulah Randu Ireng, orang yang kalian cari……”
“Barangkali….. Manusia bernama
Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak memiliki kepandaian silat tinggi, apalagi
ilmu kesaktian. Namun ada satu kehebatannya. Yaitu dapat menyamar secara lihay
dan cepat. Lalu karena cincin keramat itu berada di tangannya, maka tak ada
satu orangpun yang mampu mengahadapinya. Jangankan satu orang, seluruh pasukan
kerajaan sanggup dihancurkannya dengan benda keramat itu…… “
“Kau berulang kali menyebut
cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin itu…..?”
Sebrang Lor lalu memberi
penuturan.
Dua belas tahun silam, seorang
nelayan muda yang diam di sebuah desa di pantai selatan bermimpi. Dalam
mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok mahluk tinggi besar berjubah putih yang
berjalan tanpa menjejak bumi. Wajah mahluk ini seram sekali. Memiliki sepasang
kuping panjang mencuat ke atas, berambut gondrong dan bermata cekung dengan
sepasang bola mata putih sedang bagian mayang seharusnya putih tampak sangat
merah seperti api. Bagian hidungnya hanya merupakan sebuah lobang menjijikkan.
Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar serta bertaring panjang. Semua
gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah darah. Lidahnya juga panjang
dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari tangannya yang ternyata
hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku panjang.
“Nelayan muda…..” kata mahluk
dalam mimpi itu. suaranya membahana, bumi seolah-olah bergetar. “Besok malam
kau harus turun ke laut!”
“Mana mungkin.” Sahut nelayan
itu ketakutan. “Sudah sejak seminggu ini hujan turun terus setiap malam. Tak
mungkin menangkap ikan dalam hujan dan angin kencang……”
“Aku memerintahkan kau turun
ke laut bukan untuk menangkap ikan!”
“La…..lalu…..?”
Mahluk itu menyeringai. Saat
demi saat tubuhnya tampak bertambah besar dan tinggi. Ketika si nelayan
mendongak mahluk itu sudah stinggi pohon kelapa!
“Turun ke laut. Kayuh perahumu
ke pulau Pangiri dan berhenti di sebelah timur, kira-kira seratus kayuhan dari
pulau. Kau sama sekali tidak boleh membawa jala. Hanya membawa sebuah pancingan
dan umpan tunggal seekor ikan teri basah. Lemparkan kalimu ke dalam laut dan
tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah terasa ada sentuhan, sentak kail
itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh berwarna hitam. Ikan itu kau
belah perutnya. Di dalam perut ikan akan kau temui sebuah cincin terbuat dari
baja putih, berbentuk kepala ular kobra. Jika cincin itu kau kenakan di jari
telunjukmu lalu jarimu kau acungkan ke depan sambil menggigit bibirmu sebelah
bawah maka tiga cahaya putih menyilaukan akan melesat keluar dari sepasang mata
dan mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu merupakan kekuatan dahsyat
yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba belantara. Kau boleh menyimpan dan
memiliki cincin itu sampai aku datang lagi memberi petunjuk lebih lanjut.
Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual. Karena selain merupakan warisan,
tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak sanggup membayar nilainya! Kau dengar
itu nelayan muda……?”
“Kudengar tapi…..”
“Tidak ada tetapi-tetapian.
Besok malam turun ke laut. Ada satu hal harus kau ingat. Setelah cincin kau
dapatkan dari perut ikan, bakar ikan itu sampai hancur dan cemplungkan abu
serta tulang belulangnya ke dalam laut. Jika kau sampai melupakan hal itu maka
penjaga dan pemilik lau selatan akan menelanmu lumat-lumat. Kau tahu siapa
penjaga dan penguasa laut selatan itu…..?”
“Tahu….. Nyi Roro Kidul…..”
“Hemmm…..” Mahluk setan dalam
mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap. Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda
itu terbangun dari tidurnya lalu terduduk di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk
termangu. Apakah akan dibangunkannya istrinya dan menceritakan mimpinya pada
perempuan yang tengah hamil muda itu? Akhirnya setelah menganggap mimpi itu
hanya mimpi biasa saja yang bisa terjadi pada diri setiap orang, nelayan itu
kembali tidur. Keesokan harinya dia memang teringat kembali pada mimpi itu,
namun karena tak mau memperdulikan maka menjelang siang segera saja
dilupakannya. Dan pada malan harinya dia sama sekali tidak turun ke laut
melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan tertidur sambil berpelukan.
Lewat tengah malam dama
kenyenyakan tidur mendadak mahluk berjubah putih berwajah setan itu muncul
kembali. Kedua matanya berapi-api, taringnya mencuat, lidahnya terjulur dan
meneteskan cairan merah darah. Lima jari tangannya menggapai ke depan seperti
hendak merobek muka nelayan muda itu, membuat si nelayan menjerit dalam
tidurnya hingga istrinya terbangun dan mengguncang tubuhnya.
“Ada apa……?” tanya sang istri.
“Kau bermimpi……?’
“Entahlah….. Mungkin. Tapi aku
tak ingat mimpi apa….. Ah sudahlah. Tidur saja kembali. Besok aku harus bangun
pagi-pagi. Sudah janji dengan paklikmu untuk membantunya mengolah ladang…..”
Kedua suami istri itu tidur
kembali. Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu
muncul lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh amarah
mahluk ini bertanya “Malam ini sesuai perintahku kau harus turun ke laut.
Mengapa tidak kau laksanakan…..?”
“Aku….aku lup…..lupa…..” jawab
si nelayan.
“Dengar, aku memberi
kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan terakhir. Malam besok kau turun ke
laut. Jika tidak kau laksanakan maka anakmu kelak akan lahir cacat. Wajahnya
akan seburuk wajahku….” Habis berkata begitu mahluk berwajah setan itupun
lenyap. Kembali si nelayan terbangun dan tak dapat tidur sampai keesokan
paginya. Sepanjang hari sampai sore dia lebih banyak duduk melamun sambil
menghisap rokok, duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan memandang ke tengah
laut sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri kini dalam hati
nelayan ini. takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk seram itu, kelak
anaknya lahir benar-benar akan cacat. Akhirnya malam itu, meskipun istrinya
bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan perahu dan turun ke laut,
nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para tetangganya juga tampak keheranan
menyaksikan. Tanpa peduli dia mengayuhkan perahunya ke tengah laut. Pulau
Pangiri cukup jauh. Ombak agak besar dan hujan rintik-rintik yang turun saat
itu setiap saat bisa berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah begitu
badaipun datang menyongsong!
Makin jauh ke tengah laut
ombak terasa makin besar dan laut menjadi ganas. Perahu kecil itu laksana
sebuah sabut yang dipermainkan dan dihantam gelombang tiada henti. Air laut
memenuhi lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar kalau tak mau tenggelam.
Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu. Dia mulai berpikir-pikir apakah
tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di lanun ombak dan mati jadi
santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat kenyataan kalau anaknya
benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat nelayan ini lebih baik
meneruskan merancah laut menuju pulau Pangiri.
Hampir menjelang tengah malam,
dalam keadaan basah kuyup dan tubuh letih kehabisan tenaga akhirnya dia sampai
juga ke pulau tujuan. Sesuai pesan mahluk setan itu dia hentikan perahu sekitar
seratus kayuhan dari pulau Pangiri. Anehnya saat itu laut di tempat dia
berhenti tampak tenang sekali, tak ada ombak apalagi gelombang. Sedang hujanpun
tiba-tiba saja berhenti. Dengan tanagn gemetar nelayan itu mengambil kailnya
lalu memasang umpan pada mata kali yakni seekor teri basah.
Lalu kail dilemparkannya ke
dalam laut. Tali pancingan diulur sampai habis. Dan dia menunggu dengan hati
berdebar.
***
TIGA
Nelayan muda itu tidak tahu
entah sudah berapa lama dia duduk di atas perahunya memegangi pancing. Tapi
sampai tubuhnya jadi tambah letih dan tanagnnya pegal serta matanya
terkantuk-kantuk masih belum terasa ikan atau apapun yang menyentuh mata
kailnya. Dia mulai berpikir mungkin mimpi yang dialaminya itu benar-benar hanya
mimpi biasa atau mimpi gila! Dia memutuskan untuk menunggu beberapa lama lagi
dan berusaha mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak ada juga terjadi
apa-apa maka dia akan kembali pulang.
Tak lama kemudian selagi
kesabarannya hampir habis dan dia siap untuk pulang saja, mendadak nelayan ini merasakan
sesuatu menyambar mata kailnya, keras sekali. Secepat kilat kayu pancingannya
disentakkan lalu dibetot ke atas dengan hati berdebar.
Seekor ikan berbentuk aneh
berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya sebelumnya menggelepar di mata
kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke dalam perahu, ditangkapnya dengan
tangan kiri agar jangan sampai mencemplung lagi ke dalam laut. Diperhatikan
dekat-dekat, binatang ini memiliki kepala yang seram.
Kedua matanya menonjol lebar,
ada sebentuk taring yang menonjol keluar. Lalu pada bagian atas depan di antara
kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi kiri kanan di bawah mata
terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan hitam ini mengingatkan
nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam mimpinya.
Jangan-jangan binatang ini
penjelmaan mahluk itu. Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya maka dari
balik pinggang celananya dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar
ditorehnya perut ikan itu. aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali. Dengan
susah payah bahkan sampai keringatan baru dia akhirnya dapat memotong bagian
perutnya. Dengan ujung pisau dikoreknya isi perut binatang itu. Di antara isi
perut yang berbusaian terlihat sebuah benda putih. Ternyata sebentuk cincin
dengan ukiran kepala ular sendok. Tangannya gemetar ketika menyentuh cincin
itu. Sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Si nelayan merasakan tubuhnya menjadi
sangat enteng. Pemandangannya menjadi tajam dan pendengarannyapun demikian
pula. Cepat-cepat cincin itu dimasukkannya ke dalam saku celana dan saku itu
diikatnya dengan seutas tali.
Sesuai perintah dalam mimpi,
ikan hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa pembakarannya dibuangnya ke dalam
laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar, guntur menggelegar dan hujan lebat
turun. Laut mengganas, ombak menggila. Ketakutan nelayan itu segera kayuh
perahunya meninggalkan tempat tersebut. Menjelang pagi dia sampai ke pantai. Di
pantai dilihatnya istrinya sudah menunggu dengan cemas.
Beberapa tetangga dan
teman-temannya ikut menjemput ke pantai. Mereka semula heran ketika melihat
perahu miliki nelayan muda muda itu penuh dengan ikan-ikan besar. Padahal si
nelayan sama sekali tidak membawa jala. Tentu saja semuanya bertanya bagaimana
dia bisa melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian banyaknya! Selain itu
bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus menerus sepanjang
malam? Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi melaut seorang diri.
Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia juga merasa heran
bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak ikan? Tanpa berniat untuk
memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang lengan istrinya langsung
mengajaknya pulang ke rumah.
Selama tiga hari tiga malam
nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas yang membuatnya mengigau dan
meracau sepanjang saat. Hari keempat baru sakitnya lenyap dan sepanjang hari
dia duduk di depan rumah, memandang jauh ke tengah laut.
Cincin baja putih berkepala
ular yang ada dalam saku pakaiannya senantiasa digenggamnya erat-erat. Dia menjenguk
ke dalam rumah. Istrinya sibuk di belakang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan,
memandang berkeliling. Takut ada seseorang atau istrinya tiba-tiba muncul.
Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin ular kobra itu dimasukkannya ke
jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diacungkannya lurus-lurus ke depan.
Lalu dicobanya menggigit bibirnya sebelah bawah. Mendadak terdengar suara
bersuit, seperti suara seruling, kencang dan menusuk liang telinga. Suara aneh
itu disusul dengan melesatnya tiga cahaya putih, dua kecil, satu agak besar.
Cahaya ini menyambar ujung atap rumahnya. Langsung atap rumah itu hancur
berantakan. Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat wajahnya
tapi sang istri yang sedang bekerja di belakang bergegas lari ke depan rumah
untuk melihat apa yang terjadi.
Sore harinya dengan alasan
hendak memeriksa perahu, nelayan itu meninggalkan rumah. Diam-diam dia pergi ke
bukit yang terletak tak jauh di selatan perkampungan. Di hadapan sebuah pohon
besar dia berhenti dan mengeluarkan cincin kepala ular kobra itu. Cincin
dimasukkannya ke jari telunjuk. Jari ini diluruskannya, diarahkan ke batang
pohon besar. Bersamaaan dengan itu digigitnya bibinya. Terdengar suara bersuit.
Tiga cahaya putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam batang pohon. Batang yang
dua kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan pohon tumbang dengan suara
gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa tidak percayanya. Dengan
perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu menuruni bukit. Di tengah
jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar hitam. Dia ingin mencoba dan
membuktikan keampuhan cincin sakti itu kembali. Cincin dikeluarkannya
dipakainya lagi pada jari telunjuk. Ketika diacungkan ke arah batu sambil
menggigit bibir, melengking suara seruling lalu sinar yang melesat keluar
menghancur leburkan batu besar itu
Sejak dia memiliki cincin
sakti tersebut si nelayan menunjukkan perubahan sikap. Hampir setiap hari dia
selalu mengurung diri dalam rumah atau duduk termenung di bawah atap memandang
ke tengah laut. Perubahan dirinya ini bukan
saja mengherankan istrinya, tetapi juga para tetangga dan kawan-kawan.
Namun sampai sebegitu jauh tak seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah
terjadi dengan dirinya, termasuk istrinya.
Pada masa itu umumnya kampung-kampung
nelayan dan desa-desa di sekitar pantai banyak yang berada dalam keadaan tidak
aman. Para perompak atau bajak laut, jika tidak mendapatkan hasil jarahan di
laut banyak yang turun ke darat melakukan perampokan, merampas harta benda
penduduk termasuk bahan makanan serta melakukan penculikan. Kampung di mana
nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari bencana itu. Sejak setahun belakangan
ini sudah dua kali bajak laut mendarat melakukan perampokan, perampasan
penculikan dan pembunuhan.
Sore itu, menjelang malam
hujan baru saja mulai berhenti setelah turun seharian. Laut tampak tenang tak
seorangpun nelayanpun berani turun menangkap ikan. Menurut pengalaman meskipun
laut tampak tenang namun sewaktu-waktu udara atau cuaca bisa berubah mendadak.
Selewatnya tengah malam kampung yang diselimuti kesunyian dan dibungkus udara
dingin berembun yang mengandung garam itu tiba-tiba diramaikan oleh suara
kentongan. Mula-mula suara kentongan ini terdengar dari pantai sebelah timur.
Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan dengan kentongan di dalam kampung
sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar teriakan-teriakan
“Perompak…..perompak!”
“Bajak laut datang! Bajak laut
datang!”
“Semua orang lekas lari!
Tinggalkan rumah kalian!”
“Selamatkan diri!”
Serta merta kampung nelayan
itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang perempuan berpekikan. Anak-anak
bertangisan. Orang-orang lelaki segera mengumpulkan anak istri mereka dan
melarikannya ke tempat yang aman jauh di balik bukit. Beberapa pemuda
bersenjatakan golok, kelewang dan tombak berkumpul membentuk barisan
pertahanan, siap berjibaku. Tapi kepala kampung segera menemui mereka.
“Tak ada gunanya melawan
perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita! Di samping itu mereka
banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga meriam besar! Kalian semua
ikut kami menyelamatkan diri!”
Salah seorang pemuda menjawab.
“Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi kami tidak takut! Kami rela mati demi
kampung halaman.kalau bajak itu tidak diberi perlawanan, mereka akan selalu
datang mengganggu!”
“Soal perlawanan kita
bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini! Tak ada artinya jadi
pahlawan sia-sia….!”
Baru saja kepala kampung itu
berkata begitu, dari tengah laut tampak kilatan api. Sesaat kemudian didahului
oleh letusan menggelegar sebuah benda bulat bercahaya melayang menuju
perkampungan.
“Mereka menembakkan meriam!”
teriak kepala kampung. “Lekas menyingkir!”
“Bajak laut keparat! Dari mana
mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!” maki seorang pemuda. Tapi saat itu
nyalinya sudah lumer dan buru-buru dia melarikan diri mengikuti kawan-kawannya
yang telah menyingkir lebih dahulu bersama kepala kampung.
Di tengah laut tampak sebuah
kapal kayu besar menurunkan lebih dari selusin perahu kecil yang masing-masing
berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu serentak mulai mengayuh menuju
pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi senyap ditinggalkan seluruh
penduduknya.
***
EMPAT
Soma, nelayan muda itu
memegang lengan istrinya erat-erat. Perempuan yang hamil muda ini tak bisa
berlari cepat karena takut jabang bayi dalam kandungannya mengalami cidera.
Sekali dia terjatuh bayi itu bisa cacat. Hal itu juga yang dikhawatirkan Soma.
Karenanya mereka tertinggal jauh dari penduduk kampung yang telah lari lebih dulu.
Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan cincin sakti baja putih
berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya. Jika cincin itu sanggup
menghancurkan batang kayu dan batu besar, berarti terlalu mudah baginya untuk
menghantam lumat tubuh manusia. Selintas pikiran muncul dalam benak Soma.
Maka diapun berkata pada
istrinya. “Istriku, aku akan antarkan kau sampai ke balik bukit itu bergabung
dengan orang-orang sekampung…..”
“Lalu, kau sendiri hendak ke
mana…..?” tanya sang istri heran.
“Aku akan kembali ke
kampung…..”
“Kembali ke kampung?
Perompak-perompak itu akan membunuhmu!”
“Aku harus kembali. Ada
sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan menemuimu lagi dalam waktu cepat.
Kau tak usah kawatir…..”
“Tentu saja aku sangat kawatir.
Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?”
“Tidak…..tidak apa-apa. Aku
hanya sebentar.”
Sang istri tetap tak mau
ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk kembali. Begitu sampai di bali
bukit, nelayan muda ini tinggalkan istrinya. Telinganya seperti tidak perduli
akan jeritan sang istri yang tiada henti memanggil.
Ketika Soma sampai di
kampungnya kembali dilihatnya puluhan bajak tengah menjarah isi rumah penduduk.
Mereka membawa apa saja yang dianggap berharga termasuk ternak. Bajak-bajak
laut ini tampaknya marah sekali tidak menemukan seorang pendudukpun di
perkampungan itu. Padahal sebelumnya mereka sudah berniat untuk menculik anak
gadis dan istri orang. Kemarahan kini ditumpahkan pada rumah-rumah penduduk
yang segera mereka bakar dan hancurkan.
Soma bersembunyi di balik
sebtang pohon yang bagian bawahnya penuh dengan semak belukar. Cincin baja
putih dikeluarkan dari saku dan cepat dikenakan ke telunjuk tangan kanan.
Perompak yang terdekat berada sekitar delapan tombak di seberangnya, tengah melangkah
sambil menggiring seekor kambing.
Soma kertakkan rahang. Dia
tahu betul kambing itu adalah kambing mertuanya. Nelayan muda ini gigit bibir
sebelah bawah. Suara seperti seruling melengking tinggi. Tiga cahaya putih
melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu, anggota bajak yang tengah
menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa mengeluarkan jeritan dengan kepala
hancur. Kambing yang barusan dicurinya mengembik tiada henti dan lari dalam
kegelapan malam.
Nelayan muda itu tegak dengan
lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk dingin. Keringat mericik di keningnya.
Wajahnya seputih kertas. Seumur hidup dia tak pernah membunuh manusia. Malam
itu dia melakukannya. Dan dia menyaksikan kematian perompak itu begitu
mengerikan. Semula hendak ditinggalkannya tempat itu dan lari ke bukit saking
takutnya. Namun ketika di bagian lain dia menyaksikan para anggota bajak
menghancurkan dan membakar rumah-rumah penduduk, darahnya terbakar kembali.
Soma menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya dekat surau kampung, siap
membakar bangunan itu. Soma angkat tangan kanannya, diacungkan lurus-lurus ke
arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap surau yang terbuat dari
rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling melengking.
Tiga cahaya putih berkiblat.
Bajak itu keluarkan pekikan maut. Tubuhnya terpental menghantam dinding surau
lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. Bajak yang satu lagi tentu saja kaget
bukan kepalang.
“Hai! Kau kenapa?!” tanyanya
berseru lalu membungkuk meneliti keadaan kawannya ini. Mukanya kontan
mengerenyit ngeri ketika melihat punggung kawannya yang berlobang hancur dan
darah menyembur! Dia berdiri kembali sambil memandang berkeliling. Pada saat itulah
ada tiga larik cahaya putih menyilaukan menderu ke arahnya. Cepat dia melompat
ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu menghantam lebih cepat, tepat pada
keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas hancur. Tubuhnya tergelimpang tanpa
nyawa!
Tiga orang kawannya yang
kemudian muncul di tempat itu sangat terkejut serta merta melakukan
pemeriksaan. Salah seorang menyuruh kawannya memberi tahu pemimpin mereka.
“Dia dibokong dari belakang.
Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini bukan seperti bekas tusukan pisau
atau pedang. Mungkin ditusuk dengan tombak besar…..gila! Siapa yang melakukan.”
Bajak yang satu berdiri dengan
muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh. Seperti tiupan suling yang
sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya suara itu. Justru saat
itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya. Anggota bajak ini menjerit
dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol. Darah dan usus memberurai keluar.
Kawannya yang satu lagi berteriak tegang dan melompat. Dia melihat jelas ada
cahaya putih yang menyambar, menghantam perut kawannya. Namun dia tidak tahu
pasti cahaya apa. Dia memandang ke arah kegelapan. Rasa takut menggerayangi
dirinya. Serta merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu. Namun dia baru lari
tiga langkah ketika suara seruling kembali menggema dan sinar putih menghantam
pinggangnya sampai putus!
Soma kepalkan tangan kirinya.
Lima bajak laut yang ganas-ganas telah dibunuhnya. Seperti kesetanan dia
menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggota-anggota bajak lainnya. Siap
untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin baja ular kobra yang ada di
jari telunjuk tangan kanannya. Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di
tempat tersebut bersama dua orang anak buahnya, membeliak matanya.
“Mereka….. Gila! Mereka mati….
Mereka dibunuh!” teriaknya marah.
Baru saja dia berteriak, di
kejauhan terdengar jeritan beberapa kali berturut-turut.
“Hai! Ada cahaya putih
berkelebat di sebelah sana!” seru salah seorang bajak.
“Mungkin sambaran petir…..!”
kawannya menduga.
“Jangan ngacok!” sentak Boga
Damar, marah dalam keterkejutannya. “Malam ini memang mendung, tapi tak ada
hujan yang akan turun. Lagi pula mana ada petir tanpa geledek?!”
Si anak buah terdiam tak
berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja dia heran dan bertanya-tanya.
“Dengar….. Ada jeritan lagi!
Susul menyusul!” kata bajak satunya lagi.
“Setan alas! Apa yang
sebenarnya terjadi!” Boga Damar mendadak menjadi tegang. Dia memberi isyarat
agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya meninggalkan empat bajak yang telah
menemui kematian itu tanpa melakukan pemeriksaan. Mereka lari ke jurusan timur
kampung, dari arah mana jeritan-jeritan itu tadi terdengar dan cahaya-cahaya
aneh tampak berkiblat.
Sampai di sebuah lapangan
kecil di mana para anggota bajak mengumpulkan barang-barang jarahannya sebelum
diangkat ke atas kapal, Boga Damar menyaksikan pemandangan yang sangat
mengejutkan dan hampir tak dapat dipercayainya. Bulu kuduknya merinding.
Sembilan anak buahnya
menggeletak malang melintang di tanah. Mereka menemui ajal dengan salah satu
bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi terlihat mati dengan cara
sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di bawah pohon dan dua lagi
di antara tumpukan barang-barang rampasan.
Rahang menggelembung, pelipis
bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal serta merta mendelik Boga Damar
membentak. “Siapa yang melakukan ini semua? Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Tentu saja tak seorangpun anak
buahnya dapat memberikan jawaban.
“Ada yang tak beres di tempat
ini…..!” sentaknya lagi.
“Mungkin……mungkin ada setan
atau jin……!”
“Aku tak percaya segala macam
setan ataupun jin!” memotong kepala bajak ketika anak buahnya coba membuka
mulut.
“Tapi Boga, kau tahu sendiri.
Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat ini. atau mungkin seorang sakti…..”
“Kalau memang ada akan
kupatahkan batang lehernya!” tukas Boga Damar garang.
Mendadak terdengar suara
melengking.
“Hai! Tiupan seruling itu!”
seru salah seorang bajak. “Tadi kudengar berulang kali sebelum disusul jeritan.
Ada cahaya menyambar ke mari……!” bajak itu cepat melompat ke samping. Tiga
larik sinar putih melesat dan di belakang sana seorang perompak tubuhnya
terpental jauh lalu tergelimpang mati dengan dada berlubang hancur!
Boga Damar dan yang
lain-lainnya lari memburu namun gerakan mereka tertahan dan semuanya terpaksa
selamatkan diri cerai berai ketika sinar puih aneh kembali berkiblat dan dua
orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh tergelimpang. Satu menemui
ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi merintih sesaat sambil pegangi
perutnya yang memburai lalu kaku tak bergerak lagi!
“Bangsat! Siapa yang
melancarkan serangan gelap ini!” rutuk Boga Damar sambil bertiarap. Namun
mulutnya serta merta terkancing dan lidahnya menjadi kaku ketika anak buahnya
yang ikut bertiarap di sebelah kanannya kembali menemui kematian dengan cara
mengerikan, batok kepala hancur disambar tiga larik sinar putih mengerikan itu!
Boga Damar adalah seorang
kepala bajak berhati ganas dan tidak kenal takut. Membunuh manusia sama mudahnya
baginya dengan membalikkan telapak tangan. Berbagai lawan telah dihadapinya
tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya tak dapat lagi dikendalikan. Dia
tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa sebenarnya dia tengah berhadapan. Dan
musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana mungkin dia menghadapinya.
“Kalian semua lari ke perahu!”
kata Boga Damar masih tetap tiarap. “Kembali ke kapal! Bawa barang rampasan
yang bisa dibawa! Lekas!”
Enam anggota bajak yang tadi
sama-sama bertiarap di tanah cepat berdiri. Namun dua di antaranya segera roboh
kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba muncul lagi dan menyambar tubuh
mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga Damar yang melihat kejadian itu
dan semula hendak merangkak bangun cepat jatuhkan diri lalu berguling beberapa
kali sampai akhirnya dia dapat berlindung di balik reruntuhan rumah. Dari sini
dia memandang tajam menembus kegelapan di arah sederetan pohon waru di ujung
timur lapangan. Suara lengkingan aneh seperti seruling serta sambaran cahaya
putih yang menyebar maut itu datangnya dari balik deretan pohon-pohon waru itu.
Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu berkelebat cepat ke balik
rumah-rumah penduduk, melompat ke arah semak belukar hingga akhirnya dia sampai
ke dekat pepohonan waru. Sejak saat dia mulai melakukan penyelinapan itu sampai
akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru lima anak buahnya telah menemui ajal
pula dihantam tiga larik sinar maut.
“Ini pasti biang keparatnya!”
serapah Boga Damar ketika dia melihat sesosok tubuh tegak di balik pohon waru
paling ujung kanan sambil mengangkat tangan dan acungkan jari telunjuk. Dari
jari telunjuk inilah kepala bajak itu mendengar ada suara seruling aneh
melengking menusuk telinga yang disusul oleh semburan tiga larik sinar terang.
Lalu di kajauhan sana terdengar suara anak buahnya menjerit meregang nyawa.
Dengan golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah melakukan
pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang leher!
Seperti diketahui Soma adalah
seorang nelayan yang sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian silat apalagi
kesaktian dan tenaga dalam. Namun dengan adanya cincin keramat baja putih
erbentuk kepala ular kobra atau ular sendok itu maka dia berubah menjadi
seorang luar biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi sangat tajam. Karenanya,
sebelum Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah mendengar kedatangan kepala
bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan diri ke tanah ketika golok
menyambar, mengenai tempat kosong dan menghantam pohon waru hingga batang pohon
ini hampir terbabat putus.
“Bangsat! Manusia atau jin!
Kau tak akan bisa lolos dari golokku!” teriak Boga Damar. Dia menyergap ke arah
Soma. Golok besarnya meluncur lebih dulu. Senjata ini seperti buntut ikan yang
menggelepar, bergetar kian ke mari seolah-olah berubah menjadi banyak. Jelas
kepala bajak laut ini sengaja mengeluarkan kepandaiannya memainkan golok karena
ingin mencincang Soma saat itu juga.
Melihat golok datang menderu
sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda itu. tetapi cincin keramat yang
ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya diri sendiri dan tidak
memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok hanya tinggal tiga jengkal dari
kepala Soma ketika nelayan ini acungkan jari telunjuknya ke arah Boga Damar,
lalu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Boga Damar seperti mendengar
angin puting beliung melabrak kedua telinganya. Selagi serangan goloknya
mengendur karena terkejut dan terpengaruh oleh bunyi yang nyaring tadi, saat
itu pula tiga sinar halus menyilaukan datan menyambar dari depan. Boga Damar
tahu betul, sinar aneh inilah yang telah membunuh lebih dari dua lusin anak
buahnya. Maka kepala bajak ini lemparkan goloknya ke arah dada Soma. Di saat yang
sama serentak dia menghantam dengan tangan kiri.
Ternyata golok Boga Damar
tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental berantakan disambar tiga larik sinar
putih. Lalu sebelum pukulan tangan kirinya sempat mengenai Soma, tiga sinar
yang keluar dari dua mata dan mulur cincin ular kobra menghantam mukanya dengan
telak. Kepala bajak ini hanya sempat keluarkan pekik pendek. Tubuhnya mental ke
balakang. Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu tampak tanpa kepala lagi!
Puluhan anggota bajak yang
masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui pimpinan mereka telah menemui
ajal. Enam orang di antara mereka dengan marah dan kalap, memegang berbagai
macam senjata segera mengurung dan menyerbu Soma. Namun mereka semuah hanya
menjadi sasaran empuk sambaran tiga larik sinar putih, mati bergelimpangan
dengan badan dan kepala hancur!
Melihat hal ini anggota bajak
yang masih hidup menjadi lumer nyali masing-masing dan mereka bersirebut cepat
lari ke pantai memasuki perahu-perahu kecil. Soma yang sudah sejak lama
mendendam oleh keganasan para bajak itu mengejar sampai ke tepi pasir. Dari
sini, dengan sinar putih yang keluar dari cincin baja keramat itu
dihancurkannya satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun yang
tinggal utuh. Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun mereka tidak
menemukan selamat karena sinar putih yang datang menghantam mereka semua
terjengkang mati dalam air!
***
LIMA
Ketika Soma kembali ke balik
bukit di ujung kampung, istrinya masih menangis ditemani oleh kepala kampung
bersama istrinya. Begitu Soma datang sang istri langsung memeluknya.
“Soma……! Dari mana kau?!”
Kepala kampung nelayan bertanya.
“Sa…..saya barusan dari
kampung kita…..”
“Kau mencari mampus Soma!
Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa yang kau lakukan di tempat itu…..?!”
“Melihat perampok itu mati
terbunuh.”
“Mati dibunuh? Jangan melantur
Soma! Siapa yang membunuh mereka…..?”
“Saya tidak tahu…..” sahut
Soma sementara penduduk kampung nelayan itu semakin banyak mengelilingi Soma
dan kepala kampung, mereka ikut mendengar-kan pembicaraan. “Perahu-perahu
mereka hancur. Saya lihat juga banyak bajak itu yang menemui ajal di laut.
Kapal kayu milik mereka melarikan diri dengan sisa-sisa bajak yang tidak
seberapa jumlahnya…..”
Kepala kampung memandang
berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu. semua jelas menunjukkan rasa
tidak percaya. Soma memegang tangan istrinya. Lalu berkata “Jika kalian tidak
percaya, lihat saja ke kampung. Mayat-mayat perompak itu harus disingkirkan
sebelum menjadi busuk. Aku dan istriku akan kembali ke kampung….”
Sesaat setelah Soma dan
istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang berkeliling. “Bagaimana
menurut kalian….?” Tanyanya.
“Kami rasa Soma tidak
berdusta…..” seorang nelayan menjawab. “Kalau bajak masih gentayangan di
kampung kita masakan ia mau kembali bersama istrinya….”
“Kalau begitu….” Kepala
Kampung itu berpikir-pikir sejenak. “Kita kembali. Aku dan lima orang di atara
kalian pergi lebih dahulu. Yang lain-lain mengikuti agak jauh di belakang.
Hingga kalau terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat menyelamatkan diri….”
Ketika kepala kampung dan lima
orang penduduk yang kemudian disusul oleh seluruh pengungsi itu sampai dan
kembali ke kampung mereka, selain sedih melihat rumah mereka banyak yang
dirusak serta dibakari sedang harta benda juga banyak rusak dan hanyut di laut,
penduduk juga heran bercampur gembira menyaksikan puluhan anggota bajak menemui
kematiannya. Gembira karena kini manusia-manusia jahat penimbul malapetaka itu
mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit menerka siapa yang telah
melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak anggota bajak laut bahkan
pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan belasan perahu. Di antara penduduk ada
yang menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu semua. Tetapi tentu saja
lebih banyak yang tidak bisa mempercayainya. Soma, seoerang nelayan muda yang
masih harus banyak belajar tentang bagaimana menangkap ikan dengan segala
kesederhanaannya itu, mana mungkin dia mampu melakukann itu. Seorang diri pula?
Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah dimilikinya? Sewaktu ditanyai dan
didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab.
“Ketika saya kembali ke
kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu sudah bergelimpangan mati. Saya
tidak tahu siapa yang membunuh mereka. Mungkin Tuhan telah mengirimkan uluran
tanganNya untuk menolong kita yang selama ini selalu ditimpa bencana….”
Adapun Soma sendiri sejak
kejadian itu hampir selalu mengurung diri dalam rumah. Cincin keramat baja
putih senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan diikatnya erat-erat.
Setiap saat peristiwa mala itu seolah-olah terbayang terus di ruang kepalanya,
membuatnya sulit tidur dan sukar makan. Membunuh sekian puluh manusia
menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan muda ini. Dia lebih banyak
bermenung dan jarang bicara dengan istrinya sendiri, apalagi dengan para
tetangga.
Perobahan sikap tabiat Soma
ini tentu saja membuat heran sang istri dan juga tetangga-tetangga. Hingga mau
tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan bahwa pasti ada hubungan
tertentu antara Soma dengan peristiwa yang menggemparkan malam itu.
Peristiwa tersebut akhirnya
tersiar pula ke desa-desa dan kampung-kampung terdekat. Banyak di antara
penduduk yang sengaja datang untuk melihat sendiri sisa-sisa kejadian itu. dan
karena desas-desus yang dipergunjingkan selalu membawa-bawa nama Soma maka
tentu saja banyak orang datang mengunjunginya. Lama-lama hal ini membuat
nelayan itu merasa sangat terganggu. Selain itu dia khawatir rahasianya akan
terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak mengucilkan diri ke dalam rimba
belantara di balik bukit. Menjelang malam dia baru kembali ke rumah.
Apa yang telah terjadi di
kampung nelayan itu sampai pula ke telinga seorang abdi dalam keraton yang dia
di Bantul. Bersama beberapa orang sahabatnya abdi dalem ini mendatangi kampung
nelayan guna mencari keterangan lebih jelas. Atas saran penduduk mereka juga
berusaha menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih dulu melenyapkan diri ke
tempat persembunyiannya dalam hutan.
Selama berada dalam tempat
persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma merenung. Dengan memiliki cincin
keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi seorang berkepandaian tinggi,
berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan kemampuan seperti itu mungkin tak satu
orang lainpun memilikinya. Bukan saja para adipati atau tumenggung, atau patih
kerajaan, bahkan Sultan sendiripun mungkin tidak mempunyai kehebatan seperti
itu. Kemudian memikir kalau dia jadi nelayan terus menerus, apa yang bakal
didapatnya dalam masa hidup mendatang? Apa salahnya kalau dia kini berusaha
mencari kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan pengawal raja atau kepala
pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara kerajaan? Jadi tumenggung
atau adipati atau mapatih kerajaan? Membayangkan kedudukan yang tinggi itu
serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya, bulatlah tekad Soma untuk pergi ke
kotaraja. Di sana dia kenal seorang tumenggung yang ketika ayahnya masih hidup
mempunyai hubungan baik dengan sang tumenggung.
Malam harinya begitu sampai di
rumah Soma segeramengatakan pada istrinya bahwa besok dia akan berangkat ke
ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak diceritakannya pada perempuan itu.
Tentu saja sang istri terheran-heran mendengar maksud suaminya. Namun menyadari
bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang istri hanya bisa meminta agar Soma lekas
kembali. Yang penting kalau dia melahirkan beberapa bulan di muka Soma harus
ada di sampingnya. Soma berjanji akan kembali sebelum istrinya melahirkan.
Tumenggung Cokro Buwono tentu
saja gembira mendapat kunjungan anak bekas sahabatnya di masa muda. Namun dia
jadi terkejut ketika mendengar permintaan Soma agar dia membantu mendapatkan
pekerjaan sebagai kepala pengawal istana di kotaraja.
“Soma,” kata sang tumenggung.
“Hidup dan bekerja sebagai nelayan hampir tidak ada bedanya dengan seorang
anggota pasukan keraton. Malah bagiku yang sudah tua ini jika harus memilih,
aku akan lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup lebih tenang, dekat dengan alam
ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab yang besar…..”
Ketika Soma mendesak agar
Cokro Buwono membantunya mendapatkan kedudukan yang diinginkannya itu,
sebenarnya tumenggung ini ingin mengatakan bahwa untuk jadi kepala pengawal,
jangankan kepala pengawal, kepala regu pengawal sajapun sangat berat ujiannya.
Dan dia tahu sebagai seorang nelayan di sebuah kampung pantai selatan Soma
tidak memiliki kepandaian apa-apa yang dapat dijadikan dasar keprajuritan. Dan
jadi kepala pengawal bukan main-main karena harus mempertanggung jawabkan
keselamatan raja beserta keluarganya.
“Jika kau memang sudah tidak
suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan hidup, aku bisa memberikan pekerjaan
padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi perajurit…..”
“Terima kasih tumenggung. Saya
tak ingin cari pekerjaan lain, selain jabatan seorang perwira di istana. Kalau
tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa. Hanya bisakah tumenggung membuat
sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada mapatih kerajaan…..?”
Tentu saja Cokro Buwono tidak
mau meluluskan permintaan Soma itu. Dia tahu siapa adanya Soma dan tak mau
mendapat malu mengirimkan soerang pemuda yang mungkin bisa dianggap “kurang
waras” menemui patih kerajaan.
“Kau pulang sajalah Soma. Aku
akan memikirkan permintaanmu itu dan memberi tahu kalau memang ada kemungkinan
satu jabatan bagimu dalam lingkungan istana….” Kata Cokro Buwono akhirnya.
“Saya tahu…..” kata Soma
dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala.
“Saya memang tidak memiliki
kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang perajurit. Tetapi jika saja
tumenggung dapat memberikan satu ujian, niscaya saya akan dapat melakukannya….”
“Ujian untuk jadi seorang
perajurit, apalagi yang bertugas dalam lingkungan istana tidak ringan.
Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri bahkan kematian!”
“Apapun akibatnya akan saya
tanggung,” jawab Soma dengan masih terus menundukkan kepala.
Tumenggung Cokro Buwono tak
tahu apa lagi yang harus diucapkannya.
“Apakah kau sanggup berkelahi
empat puluh jurus melawan perwira penguji? Apakah kau sanggup menunggang kuda
dan membalap binatang ini ke puncak bukit sambil melemparkan tombak ke sasaran
yang sudah ditentukan dan harus kembali ke kaki bukit pada hitungan ke seratus?
Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor raja hutan…..?”
“Menurut hemat saya yang bodoh
ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu sudah kuno……”
Terbelalak Tumenggung Cokro
Buwono mendengar ucapan Soma itu. “Lantas ujian mana yang menurutmu lebih
pantas?!” Tumenggung ini mulai kehilangan kesabaran. Apalagi saat itu dia harus
menghadiri satu pertemuan penting.
“Mohon maafkan saya
tumenggung,” ujar Soma yang melihat kekesalan orang. “Kalau saya tidak salah
dengar saat ini para pemberontak yang datang dari utara semakin menunjukkan
gerakan-gerakan yang berbahaya. Terlebih setelah mereka merasa mendapat
dukungan dari beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau menghancurkan
sarang-sarang pemberontak itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi saya……?”
“Maksudmu kau akan memimpin
sejumlah pasukan untuk menumpas mereka….?”
Soma menggeleng. “Saya hanya
perlu petunjuk di mana letak sarang mereka, siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu
saya akan menumpasnya seorang diri!”
Tumenggung Cokor Buwono
tertawa gelak-gelak sampai kedua matanya berair. Ingin sekali dia menampar
mulut pemuda yang lancang itu. Kalau tidak ingat dia adalah putera almarhum
sahabatnya di masa muda pasti itu sudah tadi-tadi dilakukannya. Apa yang
diucapkan Soma tentu saja sangat menghina dan merendahkan kewibawaan apra
perwira istana, para adipati dan tumenggung dan mapatih kerajaan!
“Soma…..Soma. Kau tahu. Untuk
melakukan penumpasan, belasan adipati, puluhan perwira kerajaan, mapatih dan
para tumenggung, bahkan dengan petunjuk raja sendiri akan memakan waktu lama
untuk merundingkan apa yang harus dilakukan dan bagaimana musti melakukannya.
Dan di hadapanku kau berkata sanggup menghancurkan mereka seorang diri. Dewa
apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara demikian kerennya?”
Soma tersenyum kecil.
“Tumenggung Cokro,” katanya.
“Tentu sudah mendengar peristiwa menggemparkan kematian puluhan bajak berikut
pemimpin mereka yang bernama Boga Damar di kampung kami…..”
Tumenggung berjanggut putih
itu mengangguk.
“Seorang abdi dalem dari
Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu. Hanya aku tidak tahu kalau ku
berasa dari kampung yang sama…. Sampai saat ini tidak satu orangpun yag mengetahui
apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu orangpun tahu siapa yang telah
menghancurkan gerombolan perompak itu!”
“Kalau saya mengatakan siapa
sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, apakah tumenggung mau merahasiakannya
dan berjanji tidak akan menceritakannya pada siapapun….?” Bertanya Soma.
“Aha…. Rupanya kau mengetahui
sesuatu di balik keanehan yang menggemparkan itu. Kau tahu rajapun telah
mendengar kisah itu….” Kata Tumenggung Cokro Buwono pula.
“Bagus kalau begitu…..”
“Bagus bagaimana?”
“Tumenggung mau berjanji
memegang rahasia?”
Sesaat Cokro Buwono merengung,
akhirnya dia anggukkan kepala.
“Baik, aku berjanji akan
memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada siapapun!”
“Yang melakukannya adalah
saya.”
Tumenggung itu tertegak dari
duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma.
“Soma, tahukan kamu apa
hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan petinggi kerajaan……?’
“Saya tahu tumenggung. Dan
saya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan siapapun, apalagi tumenggung
sahabat ayah yang saya hormati.”
Jawab Soma pula. “Apa yang
saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang membunuhi semua anggota bajak
itu. Termasuk pemimpin mereka…..”
“Seorang diri?!”
“Seorang diri tumenggung…..”
“Tak dapat kupercaya. Kecuali
jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara yang tidak-tidak….”
“Demi arwah ayah, saya
bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada dalam keadaan waras
tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat menghancurkan kaum
pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta. Bahwa saya
benar-benar waras danmampu untuk melakukannya demi tantangan jabatan yang saya
pertaruhkan…..”
Tumenggung Cokro Buwono
geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit baginya untuk mempercayai segala
ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini kelihatannya bicara sungguhan.
Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil pembantunya. Dengan sang
pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur ruangan besar itu,
kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono kembali menemui Soma.
“Baiklah Soma, aku akan
memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan kaum pemberontak. Di
bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara wates ada segerombolan perampok
dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan keganasan rampok ini tak kalah
dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri yang telah membunuhnya. Nah, kau
hancurkanlah gerombolan rampok itu jika memang kau mampu. Setelah berhasil
melakukan ujian itu baru kita bicarakan lagi…..”
“Terima kasih tumenggung…..”
kata Soma seraya menjura hampir berlutut.
“Ujian akan saya lakukan.
Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa kepala Warok Grindil!”
***
ENAM
Tidak sampai seminggu, hanya
enam hari, Soma kembali muncul di gedung kediaman Tumenggung Cokro Buwono.
Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh debu. Dia datang membawa sebuah
bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu tumenggung muncul di ambang pintu
sebelah dalam.
“Ujian telah saya jalankan
tumenggung, bungkusan ini buktinya,” ucap Soma. Saat itu Cokro Buwono diiringi
oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang sahabat dari kadipaten Sleman.
“Apa ini bungkusan itu Soma?”
tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang dengan orang-orang di
sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka
simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka kelihatanlah sepotong kepala manusia
yang sebagian sudha hancur dan tertutup darah yang telah mengering. Potongan
kepala itu membersitkan bau busuk!
“Kepala siapa itu?!” tanya
Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik dan sambil menutup
hidungnya.
“Itu kepala Warok Grindil!”
Yang menjasab adalah salah
seorang pembantu sang tumenggung.
“Oo ladalah….!” Tumenggung
Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi gedung menjadi gempar. “Singkirkan
kepala tu. Buang jauh-jauh…..” perintahnya kemudian. Kini semua mata tertuju
pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai.
“Soma, benar kau yang membunuh
kepala rampok itu?” tanya tumenggung kemudian.
“Saya bersumpah, saya sendiri
yang melakukannya tumenggung. Kira-kira selusin anak buahnya juga menemui
kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang berhasil lolos…..”
Sesaat tumenggung itu tak bisa
berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi matanya menyaksikan sendiri.
“Kalau begitu….” Kata
tumenggung kemudian, “Sementara kau boleh tinggal di sini. Aku akan menemui
seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan orang-orang di sana bisa
mempercayai, maksudmu menguji diri dengan menghancurkan kaum pemberontak itu
tentu bakal dikabulkan.”
“Terima kasih tumenggung. Terima
kasih…..” jawab Soma berulang kali, haru dan gembira.
“Kalau aku boleh bertanya,”
Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut, “Bagaimana caramu menghancurkan
gerombolan rampok itu bahkan dapat membunuh pimpinannya?”
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab,
“Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya ceritakan.”
Petinggi dari Sleman itu
tampak kurang puas dan tak enak. Namun Tumenggung Cokro Buwono telah menyuruh
para pembantunya untuk membawa Soma ke balakang dan memberikan sebuah kamar
untuk nelayan ini. Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah
barang tentu apa yang disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya.
Setelah mendapat petunjuk dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan
sepengetahuan mapatih maka pada tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma
diizinkan untuk melakukan penumpasan terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal
berarti dia akan menerima kematian di tangan pemberontak. Sebaliknya jika dia
berhasil maka kalangan istana akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling
tinggi sebagai perwira muda dan bukan kepala pengawal apalagi kepaa
balatentara. Selanjutnya jika ternyata nelayan itu hanya omong besar dan
dianggap mempermainkan orang-orang penting istana maka hukuman pancung akan
dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada itu tanpa setahu Tumenggung Cokro Buwono
pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang di bawah pimpinan seorang
pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak gerik serta apa yang akan
dilakukan nelayan bernama Soma itu.
Ketika kepada Soma disampaikan
bahwa istana menyetujui rencananya untuk menjalani ujain dengan cara menumpas
kaum pemberontak, nelayan ini gembira sekali. Sang tumenggung yang masih
mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu berkata “Soma, kau boleh mengajak
tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit. Percayalah bagaimanapun kau
yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi kaum pemberontak bukan merupakan
urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka terdiri dari orang-orang berotak cerdik
dan perkepandaian tinggi…..”
“Terima kasih tumenggung. Saya
tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau diizinkan biarkan saya pergi
sendiri…..”
“Terserah padamu……” jawab
Cokro Buwono. Pagi harinya ketika dia menyuruh pembantunya memanggil Soma agar
menghadap sebelum pergi, ternyata nelayan itu sudah tak ada lagi di kamarnya.
Berdasarkan peta yang
diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro Buwono, Soma berhasil
mengetahui letak markas persembunyian para pemberontak. Juga mengetahui
nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak mempergunakan perahu menyusur
sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai menunggang kuda) maka perjalanannya
menuju ke utara cukup memakan waktu lama.
Hampir tiga puluh jari
kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para pemberontak menyusun
kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan orang-orangnya telah
menguntit perjalanannya.
Dengan hati-hati Soma
menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari dia melakukan
penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum pemberontak itu dan
pada kembah-kemah mana mereka berdiam. Setelah seluk beluk di tempat yang luas
itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui bahwa di salah
sebuah kemah akan diadakan perundingan penting antara pucuk pimpinan para
pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan mereka mengatur waktu untuk
menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa kota kadipaten sebelum
melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan
dalam kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak barang yang terletak tak
jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak berjaga-jaga sekitar
kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para pengawal itu terlebih dahulu. Dia
yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar dari cincin ular kobra akan mampu
menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari kain tebal, terus mengantam
pucuk pimpinan yang ada di dalam. Membayangkan kedudukan tinggi yang bakal
didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja ular kobra dan
cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-hati. Ketika
dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking.
Tiga larik sinar putih
berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak
dari kedudukan tegaknya semula. Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya
hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan
saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan datang berlarian, tetapi para
pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah segera pula keluar berhamburan.
“Ada apa……?” salah seorang
bertanya.
Para pengawal tak ada yang
bisa memberikan jawaban. Mereka hanya menunjuk dengan ketakutan pada kawannya
yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga larik halus sinar putih datang
menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya keluarkan jeritan keras. Tubuhnya
terjengkang ke belakang, perutnya berlobang besar. Darah mengucur, usus
membusai!
Gemparlah markas pemberontak
itu. terlebih lagi ketika beberapa kali tampaksinar putih menyambar dan tiga
dari enam pimpinan pemberontak kembali menjadi korban! Puluhan bahkan ratusan
pasukan pemberontak dengan senjata terhunus berdatangan, tapi mereka tak tahu
hendak berbuat apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin mereka sama sekali
tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian seorang
yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah perundingan secara tak sengaja sempat
melihat asal datangnya sambaran sinar putih yang membawa maut itu. Dia segera
berteriak
“Lihat! Sinar maut itu datang
dari arah gerobak barang! Gerobak barang!”
“Kejar ke sana! Kurung gerobak
itu!”
Puluhan perajurit segera
menghambur. Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi
gugup dan keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan
para pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke
arahnya. Sebuah tombak, walaupun tidak
telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan luka cukup parah. “Celaka! Kalau
mereka sampai menangkapku, celaka!” kata Soma dalam hati dan mengerenyit
kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap. Sebaiknya menunggu di
tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma
lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi, menunggu di balik kerapatan
semak belukar. Begitu para pengejar muncul di kegelapan, dia segera acungkan
jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus. Sinar putih berkiblat menyebar
maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti. Sosok-sosok tubuh tanpa nyawa
dengan kepala atau badan hancur roboh bergelimpangan setumpuk demi setumpuk.
Para pengejar sebelah belakang hentikan pengejaran mereka dan lari atau mencari
perlindungan cerai berai. Sampai Soma lari jauh meninggalkan tempat itu tak
seorangpun yang berani bergerak.
Soma lari seperti dikejar
setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya membuat tubunya makin lama makin
letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan markas kaum pemberontak
ketika kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan. Tubuhnya roboh ke tanah,
setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima
penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar berkata “Naikkan dia ke
atas kuda cadangan!”
Dua orang melompat turun dari
kuda masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu memacu kuda masing-masing tinggalkan
tempat tersebut.
“Kita sudah cukup jauh!
Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di sini. Aku harus
memeriksa keadaan orang itu!”
Yang berkata ternyata adalah
Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus mengikuti perjalanan Soma bahkan
sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan penyerbuan hebat luar biasa ke
perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia dan empat orang yang ikut
bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma mengacungkan telunujuk tangan
kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan tinggi yang disusul dengan
melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar biasa.
Apapun adanya ilmu yang
dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada jari telunjuknya itu. Maka
begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa tangan kanan Soma. Dia
tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin putih yang melingkar di
jari telunjuk orang itu.
Arga Kusumo tidak dapat
memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin aneh berbentuk kepala ular
itu. Namun dia adalah seorang pangeran yang cerdik. Pasti atau tidak benda itu
harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat dia meloloskan cincin baja
tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan sangat lemah, karena
terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan untuk menggerakkan
tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir tak sanggup.
“Ja….jangan am…..jangan ambil
cin…..cincin itu…..” suara Soma perlahan dan tersendat.
“Aku tidak akan mengambilnya.
Yang penting kau perlu diselamatkan dulu Soma. Dengar, kau akan menjadi
pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan jabatan tinggi padamu…..”
Paras Soma sesaat tampak
seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin itu, kembali dia berkata
“Kembalikan cin…..cin itu. Masukkan ke…. ke jariku…..”
“Soma, kau terluka parah. Kami
akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan bagaimana cara mempergunakan cincin
ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan melesatkan sinar putih…. Katakan
apa manteranya…..”
Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu
sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti yakin kalau memang cincin
baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma. Kalau tidak mengapa dia
begitu mementingkan benda tersebut.
“Jangan kawatir Soma. Kami
tidak akan mengambil cincinmu ini. tapi yang penting kau harus diselamatkan.
Nah, lekas kau katakan apa manteranya….”
“Tak ada mantera apa-apa….”
Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa. Mati? Arga Kusumo mendekatkan
telinganya ke dada nelayan itu. Masih terdengar degupan jantung meskipun
perlahan.
“Soma, dengar…. Kau tak akan
bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami kembalikan pada istrimu. Cincin ini
tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau jelaskan bagaimana menggunakannya….”
Soma seperti menyadari kalau ajalnya
akan segera sampai. Pendengarannya semakin tertutup dan pemandangannya semakin
gelap.
“Soma, lekas katakan! Kami
akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup pada istrimu. Tak ada gunanya kau
merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada gunanya rahasia itu kau bawa ke
liang kubur…..”
Soma tetap diam.
Arga Kusumo menggoyang tubuh
lelaki itu. guncangan ini membuat Soma mengeluh kesakitan. Sekujur tubuh dan
tulang belulangnya seperti dicopot datu demi satu.
“Ayo Soma. Lekas katakan…..”
Akhirnya Soma membuka mulut
juga. “Kau…..kau hanya memasukkan cincin itu ke jari telunjukmu. Lalu…..lalu
mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah bawah. Sesudah itu……ada suara
melengking. Lalu…..lalu…..” Soma tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi wajah sang istri tiba-tiba
lenyap dan mendadak digantikan oleh wajah setan, mahluk berjubah putih yang
pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak marah sekali. Dia
mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma terdengar
mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah! Seringai
tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian nelayan itu. Dia
berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
“Bagaimana dengan jenazah
orang ini…..?’ tanya salah seorang pengikut.
“Bagaimana apa maksudmu?”
balik bertanya sang pangeran.
“Bukankah jenazahanya harus
kita urus? Bukankah dia layak mendapat penghargaan karena telah menumpas kaum
pemberontak?’
Kembali Pangeran Arga Kusumo
menyeringai. “Jika kau merasa begitu, kau uruslah sendiri. Aku dan yang
lain-lainnya pergi lebih dulu!”
Pangeran menyentakkan tali
kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya. Orang yang keempat mau tak mau
melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya dia merasa sedih melihat nasib
Soma.
Seringai yang masih mengambang
di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap ketika tiba-tiba terdengar
bentakan garang dalam kegelapan malam. Lima kuda tunggangan meringkik keras,
langsung berhenti berlari dan melonjak-lonjak liar. Dari atas sebuah cabang
pohon besar yang melintang tinggi melayang turun sesosok tubuh berpakaian
ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit sehelai selendang merah dan di
balik punggungnya orang ini membekal sebilah golok besar tanpa sarung!
Hebat dan ganasnya, sambil
melayang turun dari atas phon orang ini langsung hantamkan kakinya dua kali
berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut sang pangeran remuk.
Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua penunggangnya lalu
lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa!
“Orang tak dikenal! Siapa kau
yang berani menyerang kami!” teriak Pangeran Arga Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning
menjawab bentakan itu dengan gelak tawa berderai, membuat Arga Kusumo jadi naik
pitam dan berikan perintah pada keempat pengikutnya “Bunuh pengacau itu!”
***
TUJUH
Empat orang anak buah Pangeran
Arga Kusumo segera menghunus senjata dan mengurung orang berbaju kuning.
“Pangeran Arga! Tunggu dulu…..!”
Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
“Hemmmm….. jadi kau tahu
berhadapan dengan siapa? Mengapa tidak lekas minta ampun?!” memotong sang
pangeran.
“Justru karena menghormati
dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh. Sebagian dari perjalanan kalian malam
ini telah diikuti. Apa yang tejadi di markas pemberontak telah kusaksikan. Aku
juga mengetahui apa yang kau lakukan dengan Soma……”
“Apa urusanmu dengan semua
ini?!”
“Tentu saja ada…..! Pertama
kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu. Kedua sejak dari kotaraja kau
membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri milik orang lain…..!”
“Mencuri milik orang lain?!
Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek mulutmu!” Pangeran Arga Kusumo
tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang ini sebelumnya dan berusaha
menduga-duga siapa adanya.
Si baju kuning tertawa.
“Aku tak punya waktu bicara
berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk mengambil cincin milik Soma
yang tadi kau ambil!”
“Hemmm….. Jadi kau tidak lain
ternyata seorang perampok yang kesasar di malam buta! Menyingkirlah sebelum
kucerai beraikan tulang belulangmu!”
Orang berbaju kuning itu
batuk-batuk beberapa kali. “Siapa yang tidak kenal Pangeran Arga Kusumo yang
membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini adalah satu kesia-siaan jika
kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah Blorok!”
Empat orang pengikut sang
pangeran menjadi pucat mendengar orang itu memperkenalkan diri. Sedang sang
pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar hatinya ketika mengetahui siapa
adanya manusia berpakaian kuning yang menghadang. Tapi dia tak mau
memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai pangeran muda yang memang
memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata “Orang lain mungkin takut
mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan kami orang-orang
keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari hadapanku!”
“Pangeran, jika kau tak mau
mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti kekerasan tak dapat
dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin keramat itu dari
tanganmu secara kurang ajar!”
“Bagus! Orang-orangku tak akan
segan-segan menjagal batang lehermu!”
Habis berkata begitu Pangeran
Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak buahnya. Perlu diketahui keempat
orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja merupakan kepercayaan sang
pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian silat dan ilmu perang.
Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat jurusan.
Empat senjata berkelebat
keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok, termasuk satu yang
membabat ke arah kepalanya. Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya
bergerak cepat ke punggung. Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing
aneh.
“Trang-trang-trang.”
Tiga senjata di tangan anak
buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari mereka melompat mundur sambil
menjerit karena pergelangan tangannya menyebur darah, hampir putus dibabat
golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil pegangi dada. Senjatanya
telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah. Ada darah
keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini mati karena
sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit jantungnya.
“Kurang ajar!” bentak Pangeran
Arga Kusumo marah sekali. Tubuhnya melayang ke bawah. Begitu menjejak tanah di
tangan kanannya dia sudah memegang pedang pendek milik anak buahnya yang
barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini saja jelas pangeran muda itu memiliki
kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah Blorok tidak gentar.
“Pangeran, haruskah aku
mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan cincin itu secara baik-baik?”
Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil melintangkan golok tipis di depan
dada.
Sebagai jawaban sang pangeran
langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan berantai, deras dan cepat.
Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia merobah kedudukan kakinya
dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
“Trang!”
Pedang pendek di tangan
Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya dia sempat menyusupkan satu
jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan sakit amat sangat pada
perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap menyeringai.
“Untuk terakhir kali pangeran.
Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?”
“Tidak!” sahut Arga Kusumo
tandas. Dia lemparkan patahan pedang ke tanah lalu menyerang lawan dengan
tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang yang memiliki jiwa kesatria
juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong dia cepat sisipkan goloknya
ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran Arga. Setelah tujuh jurus
berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang pangeran masih jauh di bawah
lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-bulanan pukulan akhirnya
pangeran itu jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia berusaha bangkit kembali dia
mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya yang robek itu adalah
pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia menyimpan cincin
baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya astaga! Ternyata
cincin itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning
Lembah Blorok saat itu telah lenyap!
Hujan lebat telah mulai reda.
Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang Lor, orang tertua dari Enam
kelewang Maut.
“Setelah cincin keramat itu jatuh
ke tangan Kelelawar Kuning, tentu ada kelanjutan ceritanya. Kalau tidak
bagaimana kemudian kau muncul mengatakan bahwa manusia bernama Randu Ireng yang
kini menguasai benda itu…..”
Lor Sebrang mengangguk.
“Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap pemiliknya yang terakhir
selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik merenggut jiwa manusia
lebih dari dua puluh orang…..”
“Kalau kau mengetahui cincin
itu mengundang mau bagi pemiliknya dan orang lain, mengapa kau dan
saudara-saudaramu ingin memilikinya?” bertanya Wiro.
“Aku sudah menduga kau akan
ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,” menyahuti Sebrang Lor. “Ketahuilah,
kami menginginkan cincin itu bukan untuk memilikinya…..”
“Lantas?”
“Pada bulan Maulud yang lalu
telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-orang pandai se-Jawa Tengah di
Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh beberapa ulama terkemuka dari
pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari cincin itu dan
mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu jauh
tidak satupun di antara kami berhasil….”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk kebajikan pasti banyak
manfaatnya…..”
“Kau benar.” Ujar Sebrang Lor
pula. “Tetapi lebih banyak malapetakanya daripada manfaatnya. Setiap orang yang
memilikinya pada akhirnya cenderung mempergu-nakan untuk kepentingan sendiri,
mencari keuntungan pribadi walaupun jalan yang ditempuh menimbulkan bencana
bagi orang lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan
manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng…..”
“Tadi aku mendengar manusia
berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang pangeran. Agaknya pangeran
itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk mengejar dan menangkapnya
guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah pangeran itu Pangeran Arga Kusumo
yang kau sebut-sebut dalam penuturanmu tadi…..?’
“Besar kemungkinan memang dia.
Hanya saja yang aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mempergunakan pasukan
Demak untuk melakukan hal itu. Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak
dengan Kotagede. Atau sang pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak
ingin orang dalam mengetahui rahasia cincin sakti itu.”
“Setelah cincin jatuh ke
tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah selanjutnya benda itu akhirnya jatuh
ke tangan manusia bernama Randu Ireng….?” Bertanya Wiro.
“Kami tahu, tapi mungkin tak
lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi, mohon maaf saja. Sebentar lagi
pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin jauh. Kami tak punya waktu
banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami sampaikan…..”
“Amanat apa?”
“Dalam pertemuan di danau
Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan orang segolongan wajib
memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan cincin itu
kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka yang
mengerikan…..”
Wiro merenung sejenak sambil
menggaruk rambut. “Yang aku kawatirkan,” katanya kemudian “Seseorang yang
semula ingin membantu, tapi begitu memiliki cincin keramat itu jadi berubah
pikiran!”
“Kau benar Pendekar 212,”
menyahuti Sebrang Lor. “Karena itulah, begitu bertemu cincin tersebut harus
secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami harus pergi sekarang. Kau
mau membantu?”
Wiro menggaruk rambutnya lagi
kemudian mengangguk.
***
DELAPAN
Nafsu makan Pendekar 212 Wiro
Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah makan yang padat oleh pengunjung
itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh seorang tamu yang duduk
membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam.
Kedua kakinya kotor oleh
lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro tak dapat melihat wajah
orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga kepala dan keseluruhan
wajahnya tertutup. Beberapa kali Wiro sengaja menggeser duduknya untuk dapat
melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat sebahagian janggut
yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun demikian dia sudah cukup
puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang ditemuinya dua malam
lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi riwayat puluhan
perajurit Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng. Manusia yang
kini memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu.
Tapi di mana gelang bahar yang
malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di masing-masing tangannya? Wiro
kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu Ireng tanpa cincin keramat itu
tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia memiliki satu kelihaian. Yakni
dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat cepat. Bukan mustahil si baju
hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang menyerang-nya di bawah hujan lebat,
dalam rimba belantara di malam buta dua hari lalu. Wiro memutuskan untuk
melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu. Kalaupun tenyata
parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya malam itu, maka
dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu bertindak aneh.
Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau tidak ingin
menyembunyikan maka apa maksudnya?
Murid Sinto Gendeng itu hanya
sempat menghabiskan setengah makanannya ketika dilihatnya orang berbaju hitam
membayar makanan yang habis disantapnya lalu melangkah ke pintu rumah makan.
Melihat cara berjalan orang ini, semakin curiga pendekar kita. Janggutnya yang
lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi langkahnya yang cepat dan sikapnya
yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang sembarangan.
Di luar hujan turun
rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung jalan. Sebelum
menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar kepalanya. Jelas
sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada orang yang
mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari kini.
Tetapi ketika dia sampai di
ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping lebar itu tak kelihatan
lagi. Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya jalan, lurus tanpa
tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah kanan sungai
kecil berair kuning.
Pendekar kita garuk-garuk
kepala, “Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!” maki Wiro dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap
saja orang yang tadi dikuntitnya tidak tampak. “Kalaupun dia menyeberang kali,
pasti masih sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia
menyelam ke dalam kali atau…..?”
Wiro memutar tubuhnya.
Pada saat itulah terdengar
suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara perempuan.
“Orang berambut gondrong, kau
mencariku……?!’
Wiro putar tubuhnya lebih
cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua. Ketika dia memandng ke sana,
ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian hitam itu tegak di sana.
Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya menunduk hingga wajahnya
tetap sulir dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng membetot lepas caping
lebar itu.
“Kau tidak tuli. Mengapa tidak
menjawab pertanyaan orang….?!” Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat,
apalagi merasakan dirinya tertangkap basah mengikuti orang.
“Aku tidak mencarimu!” sahut
Wiro.
“Hemmm….” si baju hitam
bergumam. “Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu. Tapi jelas kau mengikutiku
bukan…..?”
Wiro menyeringai.
“Kau menyeringai. Berarti kau
membenarkan ucapanku walau malu mengakui!”
Seringai lenyap dari wajah
Pendekar 212.
“Terus terang, aku
mencurigaimu…..” kata Wiro akhirnya.
“Sama! Akupun mencurigaimu!”
sahut si baju hitam bercaping lebar.
“Kenapa kau mencurigaiku?”
tanya Wiro penasaran.
Mulut di bali caping lebar itu
tertawa.
“Kau menguntit orang. Gerak
gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu tidak cukup alasan untuk
mencurigaimu?!”
“Aku bukan maling atau rampok.
Kenapa musti dicurigai?” tukas murid Sinto Gendeng.
“Mungkin kau lebih jahat dari
maling atau rampok!” ganti menukas si baju hitam.
Mulut pendekar kita jadi
terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek. Namun akhirnya yang keluar dari
mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan. Makin lama makin keras.
“Selain lebih jahat dari
maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras. Kalau tidak mengapa kau tertawa
tanpa alasan?!”
Wiro hentikan tawanya. Matanya
memandang tak berkedip seperti hendak menembus caping bambu itu.
“Sobat, kau membuat beberapa
kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk menghajarmu!”
“Hebat betul! Kesalahan apa
yang telah diperbuat tuan besarmu ini?!”
“Kentut busuk! Siapa yang
mengatakan kau tuan besarku!” maki Wiro. “Dua malam lalu kau menyerangku bahkan
hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku maling rampok. Kemudian menganggapku
tidak waras! Benar-benar kentut busuk! Tapi mungin aku bisa melupakan semua
kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!”
“Kau yang kentut busuk!
Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku menyerangmu, hendak membunuhmu! Ke
mana kau keluyuran dua malam lalu hingga orang inginkan jiwamu?! Kini hebatnya
menawarkan segala macam syarat! Lama-lama aku jadi muak melihatmu.
Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan perjalanan!”
“Melanjutkan perjalanan untuk
membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia persilatan! Bukankah itu
tujuanmu….?”
Caping lebar itu terangkat
sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak dapat melihat wajah lelaki
berjanggut ini.
“Mulutmu lancang benar! Aku
tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah mimpi hendak menguasai
persilatan!”
Wiro menyeringai. “Kenapa kau
tidak mengakui bahwa kaulah yang telah membunuh puluhan perajurit Demak dua
malam lalu? Kau hendak berdusta. Padahal aku sendiri berada di tempat kejadian
itu….!”
“Ternyata otakmu memang tidak
waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang perajurit-perajurit Demak itu!”
“Apa yang kuketahui…..?” Wiro
tertawa panjang.
“Kau membunuh habis mereka
semua!”
“Aku tidak membunuh mereka.
Aku belum pernah membunuh manusia!”
“Nada pertanyaanmu tentang
perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat menyembunyikan bahwa kau memang punya
sangkut paut dengan kejadian malam itu…..”
“Ada sangkut paut atau tidak
bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-perajurit Demak itu dipimpin oleh
seorang pangeran bernama Pangeran Arga Kusumo?!”
“Heh….. Kau menyebut nama
pangeran itu!” ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang dituturkan Sebrang Lor.
“Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo?!”
“Justru aku harus tanya apa
hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau kawanmu?!” balik menyentak si caping
lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng
hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut juga dengan kasar dan jengkel
“Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran. Sudahlah, pembicaraan kita
habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu orang tua!” Maka Wiropun
hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang berjanggut berpakaian hitam
itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah. Jelas gerakannya mengandung
kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang bisa melakukannya.
“Berani menghadang berani
menerima hajaran!” mengancam Wiro.
“Bagus! Jika saat ii kau tak
mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin kugebuk dulu baru kau mau
bicara!”
“Kampret hitam berjanggut
buruk!” ujar Wiro “Kau ini siapa sebenarnya? Bukankah kau yang bernama Randu
Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut? Bahkan dicari oleh hampir semua
orang dalam rimba persilatan?”
“Ah, semakin banyak nama-nama
penting yang kau singkapkan. Jelas kau rupanya ada sangkut pautnya dengan
cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh itu!”
Sesaat Wiro kerenyitkan
kening. Lalu manggut-manggut. “Tidak ada kisikan tak ada alasan tiba-tiba saja
kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu. maksudmu tentunya untuk
menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu Ireng yang kini memiliki
cincin hasil rampasan itu!”
“Jangan menuduh sembarangan. Aku
bukan Randu Ireng!”
“Kalau begitu kau siapa?!”
“Siapa aku apa perdulimu!”
“Kampret brengsek!” semprot
Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu. Namun sekali lagi orang
bercaping lebar menghadang gerakannya. Kini murid Sinto Gendeng ini habis
sabarnya.
Dengan jengkel Wiro dorongkan
tangan kirinya ke arah dada orang. Maksudnya hendak menyingkirkan dari
hadapannya dan sekaligus menjatuhkan. Karena itu dorongan tangannya sengaja
dilakukan dengan tenaga luar yang keras, ditambah sedikit tekanan tenaga dalam.
Namun hampir tangan kirinya menyentuh lawan, si caping lebar cepat sekali sudah
berkelebat, mengelak ke samping kiri. Dari arah ini dia lepaskan serangna
balasan berupa tusukan dua jari ke arah leher Wiro. Entah mau menotok entah mau
menusuk tembus batang leher pendekar muda itu! Perkelahianpun tak dapat
dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas itu Wiro hantamkan
siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si baju hitam berhasil
mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke arah batok kepala
Wiro.
Setelah berkelahi sampai
sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari bahwa dalam ilmu silat dan
tenaga dalam lawannya jauh berada di bawahnya. Tetapi satu hal membuat orang
itu sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Tubuhnya
ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat lalu balas menyusupkan
serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya bukan Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju hitam ini berhasil menggebuk
sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari
enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium kelemahan lawannya. Ternyata manusia
yang disebutnya si kampret itu merupakan seorang lawan yang masih mentah dalam
pengalaman. Maka Wiropun mulai lancarkan serangan-serangan tipuan. Ketika lawan
kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi melindungi
diri dengan pengerahan tenaga dalam.
“Buk!”
Jotosan melanda dada Wiro
dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil menahan sakit, Wiro lihat
lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat wajahnya sulit diduga
apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya, tapi yang jelas tangan
yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya melentik keluar tanda dia dijalari
rasa sakit. Di saat itulah pendekar dari gunung Gede ini menyergap ke depan.
Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang lawan, tetapi tidak terduga tangan
kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik lepas caping lebar di kepala si baju
hitam!
Orang itu keluarkan seruan
tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari kepalanya. Kedua tangannya membuat
gerakan seperti hendak menutupi wajahnya. Dan seruan tadi itu?! Sesaat membuat
Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
“Sialan! Ternyata si kampret
ini bukan manusia itu!” ujar Wiro dalam hati. Wajahnya meamang tertutup janggut
dan kumis, tapi jelas paras ini bukan paras orang berbaju hitam yang telah
membunuh pasukan Demak itu. Rambutnya kelihatan telah memutih dan digelung ke
belakang sepert rambut perajurit. Kulit mukanya klimis dan sepasang matanya
mengandung daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk mata seorang lelaki yang
berhati keji.
“Kembalikan caping bambuku!”
seru si baju hitam.
Wiro Sableng tersenyum
menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini dipakainya.
“Jika kau mau mengatakan siapa
kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau tidak silahkan ambil
sendiri!”
“Bedebah!” si Baju hitam marah
sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi anehnya, setengah jalan mendadak dia
melesat ke kanan lalu melarikan diri.
“Hai!” seru Wiro mengejar.
“Tunggu dulu!”
Si baju hitam tambah
mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin dia akan
mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit jarak.
Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya dan lemparkan
benda itu ke arah orang yang lari di depannya.
Entah disengaja entah tidak
caping bambu itu memukul bagian belakang kepala orang, tapat di gelungan
rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga bukan saja orang itu terhuyung
hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul rambutnya ikut terlepas.
Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke tanah sedang kepala itu
kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai sebatas pinggang.
***
SEMBILAN
Wiro Sableng jadi hentikan
larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu. “Kampret apa ini yang
berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang hitam!” ujar Wiro dalam
hati.
Di depan sana dilihatnya orang
yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan diri tetapi membelok ke kiri dan
menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak belukar tinggi.
Kawatir orang hendak menipu
lalu membokongnya, Wiro dekati semak belukan dengan hati-hati. Siap untuk
memukulkan tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-segala kemungkinan.
Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara orang menangis
sesenggukkan! Suara tangis perempuan!
Begitu sampai di balik
semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah lelaki berjanggut dan berkumis
berbaju hitam berambut panjang itu.
“Kampret jantan ini kenapa
menangis seperti betina?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala memandang
keheranan.
“Hai! Kenapa kau menangis!”
tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut
semakin keras sesenggukannya dan semakin jelas kalau suara tangisnya itu adalah
suara tangis perempuan!
“Eh, orang ini lelaki atau
perempuan……?” bertanya-tanya murid Sinto Gendeng dalam hati. Dengan hati-hati
karena tak mungkin kalau orang hendak menipunya, Wiro melangkah lebih mendekat.
“Kalau dia memang perempuan mengapa berjanggut dan berkumis. Tapi rambut putih
palsu yang tadi terlepas…… Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng!
Si ahli menyamar yang menguasai cincin baja kepala ular kobra!” maka memikir
sampai ke situ Wiro tak mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah.
Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro
ajukan pertanyaan “Kau ini, sebenarnya siapa? Laki-laki atau perempuan….?”
“Pergilah! Buat apa mengurusi
diriku lagi!” kata si baju hitam. Suaranya kini jelas sekali suara perempuan.
Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia tidak dapat lagi menyaru
suaranya sebagai suara lelaki.
“Hai! Jadi kau perempuan!”
ujar Wiro.
Tak ada jawaban. Tegak
tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro merasa hiba. Namun tanpa
mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata.
“Walaupun tadinya aku
mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang yang hendak membunuhku dua malam
lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih jauh. Ini capingmu….” Wiro ulurkan
caping milik orang tadi yang telah dipungutnya. Uluran caping bambu itu tidak
disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu pada ujung sebuah ranting.
“Sebaiknya aku tidak
mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalu kau suka menerangkan siapa kau
sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana……?”
“Mungkin…..aku akan menjawab
pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan siapa dirimu dan mengapa tadi
mangaku mencurigaiku lalu menguntit…..” berkata perempuan itu di antara
sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Kemudian menjawab juga.
“Namaku Wiro. Semula aku
mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak membunuhku dalam rimba
belantara…..”
“Siapa orang itu. Mengapa dia
inginkan nyawamu…..?”
“Ah, pertanyaan kampret ini
banyak benar. Seperti mau menyelidik!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab
“Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu.
Juga aku tidak tahu mengapa
dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu. Siapa orang itu aku tidak
tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu Ireng. Manusia terakhir
yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja berkepala ular itu…..”
“Cincin itu….” kata si baju
hitam, “Tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka…..”
“Kau tahu banyak tentang
cincin keramat itu…..?” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab.
“Nah, sekarang kau mau
mengatakan siapa kau sebenarnya?” Wiro mendesak. Lalu cepat menyambung “Tapi perlihatkan dulu kau
ini perempuan atau lelaki atau apa….?!”
Tangan orang itu, yang sejak
tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya tiba-tiba bergerak menanggalkan
janggut dan kumis lebatnya dan astaga! Kini berubahlah wajah itu menjadi paras
seorang perempuan berusia kurang dari tiga puluhan, bermata bening dan teramat
ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu sambil senyum-senyum dia
bertanya “Apa perlumu melakukan penyamaran seperti ini…..?”
“Jika kau seorang dari rimba
persilatan kurasa tak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Dunia ini, terutama
rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap saat.
Apalagi bagi kami kaum hawa……”
“Ucapanmu mungkin banyak
benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan tertentu. Tapi aku tak akan
memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak ingin mengatakannya. Kau belum
mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan ke mana…..”
“Aku datang dari jauh dai
sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam perjalanan ke Kotaraja…..”
“Lalu namamu…….?”
“Ningrum…..”
Wiro manggut-manggut sambil
tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong.
“Kotaraja masih jauh di
sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?”
“Mencari seorang pangeran
bernama Arga Kusumo……”
“Pangeran Arga Kusumo…..? Dia
masih sanak kerabatmu?’
“Justru aku ingin
membunuhnya!”
Jawaban Ningrum itu membuat
Wiro kaget.
“Membunuh seorang pangeran
bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke kediamannya, para pengawal
berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!”
Perempuan ayu itu menyeringai.
“Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa dilakukan…..”
“Kenapa kau ingin membunuh
pangeran itu?”
“Dia membunuh suamiku!”
“Ah, urusan dendam kesumat
rupanya,” kata Wiro pula. “Tapi mengapa sampai pangeran itu membunuh suamimu?”
“Dia merampas milik suamiku.”
“Apa?”
Kelihatannya Ningrum tak mau
menjawab. Atau ragu-ragu menjawab.
“Kau tahu aku bukan orang
jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu padaku….” Wiro berpura-pura
kecewa.
Setelah membisu beberapa
lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut.
“Cincin sakti itu. Benda itu
mulanya adalah milik suamiku…..”
Terkejutlah pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Kalau begitu suamimu adalah
Soma!” katanya.
Kini perempuan itu yang ganti
terkejut.
“Bagaimana kau bisa tahu……?”
Wiro lalu menceritakan
pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam Kelewang Maut yang telah
menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih berkepala ular kobra
itu.
“Menurut Sebrang Lor kau tidak
tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki suamimu itu. Soma tewas dalam
hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau mengetahui kematiannya….?” Bertanya
Wiro.
“Sejak musnahnya gerombolan
bajak yang menyerang kampung, semua orang-orang termasuk aku menaruh wasangka
bahwa Somalah yang melakukan itu semua. Jika dia yang berbuat berarti dia
memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa. Dalam pada itu, tak lama
setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan seorang pembantunya datang
menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga Kusumo mengabarkan Soma
gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang telah menghancurkan
pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, hendak mengangkat diri
jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku sengaja dibiarkan mati
dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnyapun tidak
diurusnya……”
Sebagai seorang isteri nelayan
Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak memiliki kepandaian apa-apa dalam ilmu
silat ataupun kesaktian. Cukup mengherankan kalau kini dia menjadi seorang
perempuan muda berkepandaian tinggi. Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum,
perempuan itu menuturkan lebih lanjut.
“Setelah berita itu kuterima,
ditemani oleh beberapa orang pembantu Tumenggung Cokro Buwono aku coba mencari
jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya tinggal tulang belulang harus
diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil menemukan jenazah ataupun tulang
belulangnya….”
“Tunggu dulu,” ujar Wiro
ketika dia ingat sesuatu. “Menurut penuturan Sebrang Lor, ketika Soma pergi
menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua….”
Ningrum mengangguk. “Kematian
Soma kuketahui sebulan sebelum aku melahirkan. Ketika bayi itu lahir ternyata
nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah dilahirkan…..”
Kedua mata Nignrum kembali
tampak basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa kali dia meneruskan “Dalam
perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-orang Tumenggung Cokro Buwono
bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak memperkosaku beramai-ramai. Pada
saat itu entah dari mana datangnya, muncul seorang kakek aneh. Orang-orang itu
dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup.
Aku sendiri kemudian dibawanya
ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar ceritaku, kakek itu memutuskan
untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya. Lewat sepuluh tahun kemudian baru
aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku pergi mencari Tumenggung Cokro.
Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah meninggal. Kematiannya tidak
wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan. Ada dugaan bahwa dia dibunuh
atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin rahasia kematian dan
kepahlawanan Soma terbuka…..”
“Lalu saat ini kau hendak ke
Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu….”
Walau tak menjawab tapi Wiro
tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
“Lebih baik bagimu kembali ke
kampung dan melupakan pangeran itu. Saat ini tentu dia telah menduduki jabatan
sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit untuk melaksanakan maksudmu.
Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!”
“Aku memang sudah siap untuk
menyusul suamiku,” sahut Ningrum. Wiro garuk-garuk kepala.
“Apakah kau berniat
mendapatkan cincin sakti itu kembali?” tanya Wiro.
“Kalaupun aku mendapatkannya,
akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut…..”
Wiro ingat amanat yang
dikatakan Sebrang Lor. “Tidak mudah mendapatkan cincin itu kembali. Tidak
gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang kini menguasainya….”
“Tapi orang-orang sepertimu
tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat ratusan korban lagi akan
menemui ajalnya!” kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu
diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro. Setelah berpikir sebentar kemudian dia
berkata “Bagiku tugas kita paling utama saat ini adalah mencari manusia bernama
Randu Ireng itu…..”
“Kita katamu?” ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. “Bukankah
kau ingin mendapatkan benda itu kembali? Kurasa itu lebih penting dari pada kau
langsung nyelonong ke Kotaraja mencari penyakit….”
“Kalau kau mau membantu, aku
tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah tidak akan menyusahkanmu?’
“Berjalan dengan perempuan
secantikmu memang ada macam-macamnya. Kau sebaiknya pakai kembali rambut,
janggut dan kumis palsumu itu…..”
Ningrum menyetujui. Setelah
melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap memakai caping lebar, keduanya
segera meninggalkan tempat tersebut.
***
SEPULUH
Karena tahu bagaimana sulitnya
mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng maka Wiro memutuskan untuk
meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling tepat dan paling tahu. Orang
ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu.
Empat hari empat malam
mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga sampai ke tujuan. Ningrum
mulai menunjukkan wajah suram. Entah karena keletihan mengadakan perjalanan
sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka. Kalau saja mereka langsung ke
Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian dia berpikir. Pada pagi hari
kelima hujan turun rintik-rintik.
“Aneh, ada hujan turun. Tapi
kenapa udara terasa panas sekali!” kata Ningrum.
Wiro tersenyum. “Itu tandanya
kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan. Kau lihat sesuatu yang memutih
di kejauhan sana….?” Wiro menunjuk ke arah barat.
“Benda apa itu. kelihatannya
seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih…..?”
“Itulah bukit kapur. Tempat
biasanya berkeliaran orang yang kita cari.”
“Sebenarnya siapa yang kita
cari ini?” tanya Ningrum.
“Kau lihat saja nanti. Pasang
telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara kerontangan kaleng, beri tahu
aku…..”
Keduanya terus lari ke arah
barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit kapur itu. Menjelang tengah
hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki lerengnya. Hawa di sini bukan
main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup oleh keringat. Sejauh sampai
di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak ada tumbuhan di situ masih
belum terdengar suara apapun, termasuk suara kerontang kaleng.
“Aku tak mendengar suara
seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang kita cari tak ada di
sini!” Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiropun mulai merasa ragu.
Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai ke puncak bukit. Di kejauhan
tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam keadaan kosong.
“Aku tak tahan panasnya hawa
di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih baik tinggalkan tempat
ini…..”
“Tenang saja. Dia pasti ada di
sekitar sini,” sahut Wiro.
“Siapa yang sanggup menetap di
tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya, disedot udara panas….?”
“Kita mungkin tidak bisa. Tapi
Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun usianya tinggal di bukit
ini….”
Habis berkata begitu Wiro
mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu berteriak keras-keras dan
panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan menyeramkan.
“Tak ada yang membalas
teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!”
Wiro menunggu sesaat. Lalu
kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang. Setelah ditunggu tetap saja
tak ada suara lain menyahuti.
“Kita pergi saja,” mengajak
Ningrum.
“Tunggu. Jika sampai matahari
condong ke barat orang itu belum muncul…..”
Wiro hentikan kata-katanya.
“Aku mendengar sesuatu…..”
“Aku tak mendengar apa-apa……”
kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat kepandaian dan ketajaman indera
keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi.
“Dia muncul!” Wiro tertawa
gembira. “Ikuti aku…..!” katanya lalu lari ke jurusan selatan bukit. Setelah
lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar suara aneh itu. Suara sesuatu
berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan dalam kaleng, lalu
digoncang-goncang terus menerus.
“Lihat! Itu dia!” seru Wiro
seraya menunjuk ke depan. Memandang ke muda Ningrum lihat seorang kakek
bertubuh agak kurus, berpakaian penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik,
melangkah ke arah mereka. Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah
yang dibuatnya sama dengan lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan
bantuan tongkat kayu di tangan kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang
kaleng rombeng di tangan kanannya.
“Kakek Segala Tahu!” panggil
Wiro Sableng. “Aku datang lagi! Apakah kau baik-baik saja selama ini….?”
Kakek itu hentikan langkahnya.
Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya dan menyeringai.
“Aku memang baik-baik saja.
Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak baik bukan? Kudengar banyak
para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah menjadi mayat!”
“Syukurlah kau sudah tahu kek!
Karena itulah aku datang mencarimu ke mari!”
“Kalau kau muncul berarti ada
yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal dunia persilatan apa soal
jodohmu…..?” si kakek tertawa gelak-gelak.
“Kek, kau tentu mendengar
tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut itu….”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya. Sambil tersenyum kempot dia berkata “Sebelum aku jawab
pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang kau bawa ke mari ini….?’
Wiro garuk kepalanya dan
memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak kemerahan wajahnya.
“Aku tidak membawa mahluk aneh
kek. Ini sahabat seperjalanan,” jawab Wiro.
“Perempuan biasanya memakai
pupur dan bergincu. Kalau perlu menghitamkan sedikit alisnya, memerahkan
sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan saat ini sahabatmu ini memakai kumis
dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh namanya? Atau mungkin
dia pemain wayang wong!” si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah Ningrum semakin merah.
Tapi dalam hati perempuan ini jelas sangat terkejut. Kakek itu jelas dilihatnya
bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya adalah seorang perempuan
dan memakai kumis serta janggut palsu segala?!
Kemudian didengarnya Wiro
berkata “Ningrum, kau jangan tersinggung. Kakek ini memang suka bergurau. Walau
matanya buta tapi bisa lebih tajam penglihatannya dari kita.”
Ningrum tak menyahut hanya
pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski juga agak jengkel oleh
kata-katanya tadi.
“Nah, kek sekarang bisakah
kita bicara soal cincin itu?”
Kakek Segala Tahu anggukkan
kepala dan kerontangkan kaleng bututnya.
“Terakhir sekali yang aku
dengar cincin warisan setan itu berada di tangan seorang keroco yang dulunya
tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski memiliki ilmu silat kampungan
dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin itu dia bisa menjadi orang
nomer satu dalam dunia persilatan!”
“Terima kasih atas
keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar nasihatmu bagaimana
caranya mencari dan menemui Randu Ireng…..”
Si kakek geleng-geleng kepala
dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang memegang kaleng.
“Sulit sobat mudaku, sulit
mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa sebelum kau dapat berhadapan
dengan dia…..”
Wiro garuk-garuk kepala.
Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek buta itu merasa sia-sia saja melakukan
perjalanan jauh kalau jawaban yang mereka dapat hanya seperti itu.
“Betul, kek. Memang sulit.
Karena itulah kami datang minta petunjukmu….” Kata Wiro pula.
“Ya….ya….ya….! Akhir-akhir ini
perubahan di rimba persilatan berjalan sangat cepat. Aku yang sudah tua renta
dan buta ini terkadang kedodoran juga mengikutinya!” Si Segala Tahu goyangkan
kalengnya dua kali berturut-turut lalu meneruskan “Mencari langsung manusia
bernama Randu Ireng itu sulit sekali. Sampai kiamat kurasa kalian tak akan
berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu bisa mencari seorang perempuan
cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa menangkap Randu Ireng
hidup-hidup.”
“Siapa Ratu Mesum ini kek?”
membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
“Ah, bagus kau bertanya begitu….”
Sahut si kakek. “Nah, membuat urusan dengan si Ratu Mesum ini juga bukan
pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan cantik jelita, berkulit halus mulus dan
putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis pakaiannya itu hingga lekuk liku
tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu sekujur tubuhnya menebar
bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki. Akupun yang sudah tua
bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan….” kata Si Segala Tahu lalu
tertawa panjang.
“Di mana kami bisa mencari
Ratu Mesum ini?” bertanya Wiro setelah si kakek hentikan tawanya.
“Ratu Mesum memiliki beberapa
tempat kediaman. Tapi dia lebih sering berada di sebuah danau…..” Si kakek
mengingat-ingat nama danau itu lalu memberitahu-kannya pada Wiro. Lalu menyambung
“Satu hal yang membuat sulit berurusan dengan perempuan itu ialah nafsu
badaniahnya yang luar biasa. Setiap lelaki yang disukainya pasti akan
dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika sudah puas, lelaki itu pasti
dibunuhnya!” (Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari
Liang Kubur karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya)
Wiro Sableng jadi garuk-garuk
kepala mendengar keterangan itu sementara Ningrum melirik ke arahnya untuk
melihat reaksi si pemuda.
“Ingin sekali aku menemui sang
ratu itu…..” kata Wiro perlahan.
“Jika kau terpaksa harus
mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan saja kau akan dibunuhnya
tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin keramat itu, benda itu akan
dirampasnya!”
“Sialan! Berabe juga urusan
ini!” ujar Wiro.
“Apakah tak ada lain orang
yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?” tanya Ningrum.
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu kerontangan kaleng berhenti diapun
berkata “Ratu Mesum adalah yang paling mungkin memberikan bantuan. Apalagi
kalau lelaki muda seperti sahabatmu itu yang memintanya. Lain dari itu kukira
Randu Ireng hanya bisa dipikat dengan paras cantik dan tubuh bagus. Selagi dia
lengah rampas cincin itu….. Hanya saja, kalian harus dapat membaca situasi….”
“Membaca situasi bagaimana?”
tanya Wiro.
“Jika cincin itu berada dalam
jari telunjuk, sekali-kali jangan dekati Randu Ireng. Jadi kalian harus
melakukan sesuatu sebelum dia sempat memakai cincin tersebut di jari telunjuk….
Nah, kurasa aku sudah memberikan semua keterangan yang kalian minta…..”
“Kek,” Wiro cepat berkata
ketika dilihatnya Si Segala Tahu hendak melangkah pergi.
“Apalagi anak muda?”
“Apakah tak ada cara lain
menghadapi pikatan Ratu Mesum? Maksudku meminta bantuannya tanpa mau
melayaninya di atas ranjang….. lalu lolos dari ancaman mautnya?!”
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh.
“Selama dunia
terkembang…..”katanya dibarengi dengan menggoyangi kaleng rombengnya, “Belum
pernah kudengar ada kucing menolak daging. Begitu juga kaum lelaki. Belum
pernah kuketahui tak ada lelaki yang tidak tertarik pada wajah cantik dan tubuh
mulus merangsang. Nah….. buntut-buntutnya hanya terserah padamu anak muda.
Putar otakmu bagaimana menundukkan rangsangan yang ada dalam dirimu sendiri.
Sekali kau jatuh di atas perutnya, berarti maut sudah menunggu di puncak
hidungmu. Ha….ha…..ha…..!”
Wiro garuk-garuk kepala.
Ningrum merasa jengkel mendengar ucapan si kakek, membuang muka memandang ke
lain jurusan.
“Manusia bernama Randu Ireng
ini, kek….” Kata Wiro. “Mohon peunjukmu bagaimana mengetahui dirinya sebenarnya
mengingat kepandaiannnya menyamar.”
“Soal samar menyamar kawan
seperjalananmu ini mungkin bisa membantu. Hanya satu hal yang kuketahui.
Manusia bisa menyamar sejuta rupa, seribu kali dalam semalam. Tapi satu hal dia
tidak bisa merubah. Yakni sepasang matanya, nah, si Randu Ireng itu menurut
kabar yang aku dengar dia memiliki tanda titik hitam sebesar jagung pada bagian
putih matanya sebelah kanan! Dia bisa merubah tampang dan pakaiannya. Tapi dia
tidak bisa menghilangkan tanda pada matanya itu. Jika kau bertemu Ratu Mesum,
harus kau terangkan hal itu….”
“Kek, sekali lagi kau
berhutang budi padamu. Entah kapan dapat membayar. Kami berdua mengucapkan
ribuan terima kasih atas segala petunjukmu…..”
Kakek Segala Tahu cuma
tertawa. Mendeongak ke langit lalu goyang-goyangkan tangan kanannya yang
memegang kaleng. Sebelum mereka berpisah Ningrum tanggalkan caping lebarnya dan
berkata “Kek, kau ambillah caping bambuku ini. Kulihat topi pandanmu sudah banyak
lubangnya…..” Lalu tanpa menunggu jawaban apakah orang setuju atau tidak,
Ningrum sudah ambil topi pandan butut dari kepala si kakek, memakaikannya ke
kepalanya sendiri sedang caping bambunya dipakaikan ke kepala orang tua itu.
Kakek Segala Tahu tertawa panjang.
“Terima kasih….terima kasih
perempuan cantik. Kelak kau akan mendapatkan jodoh baru. Seorang suami yang
baik pengganti suamimu yang hilang itu!”
“Kek!” Ningrum berseru seraya
melirik pada Wiro Sableng.
Si kakek buru-buru berkata
“Jangan salah sangka Ningrum. Calon pengganti suamimu bukan pemuda tolol
bernama Wiro Sableng ini…..! Ha….ha….ha!” Kaleng di tangannya kembali
berkerontangan.
***
SEBELAS
Bulaksari merupakan kota pasar
tempat penduduk sekitarnya mengirimkan hasil pertanian maupun ternak untuk
dijual pada setiap hari Kamis. Karenanya kota ni lebih dikenal dengan sebutan
Pasar Kamis. Sebagaimana biasa setiap Kamis pagi, di tanah lapang yang menjadi
pusat pasar telah penuh dengan tumpukan sayur mayur, padi, ternak dan lain
sebagainya yang siap menunggu pembeli. Para tengkulak berkeliaran menawar sana
menawar sini. Bila harga cocok barang daganganpun diangkat, bertukar dengan
uang. Para pemilik barang biasanya adalah para petani pulang dengan kantung
penuh. Sebelum pulang biasanya mereka membeli dulu beberapa keperluan dapur.
Hari Kamis itu, pasar hampir
usai ketika sebuah gerobak besar ditarik dua ekor kuda yang tampak keletihan
dan berhenti di tepi tanah lapang. Siapa pula yang membawa barang dagangan
ketika pasar sudah bubar seperti ini. Demikian banyak orang yang ada di sekitar
situ bertanya-tanya.
Kusir gerobak, seorang lelaki
muda beralis tebal dan berbibir dower turun dari gerobaknya. Sesaat dia
memandang berkeliling. Lalu seperti tak acuh ditinggalkan-nya gerobaknya.
Seorang pedagang bertanya “Hai! Barang dagangan apa yang kau bawa ke mari? Apa
tidak tahu kalau pasar sudah bubar?!”
Kusir yang ditanya hanya
angkat bahu. Sambil melangkah dia berkata, “Sebentar lagi majikanku yang punya
barang segera datang. Barang dagangan yang dibawanya bukan barang sembarangan.
Walau pasar sudah bubar pasti kalian semua akan tertarik…..!”
Kusir itu kemudian lenyap di
tikungan jalan. Orang banyak yang masih ada di pasar itu dengan rasa ingin tahu
tegak di sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-tunggu tak seorangpun muncul.
Baik yang katanya majikan pemilik batang dalam gerobak, maupun sang kusir.
Orang-orang yang ada di tempat itu kini jadi ingin tahu barang dagangan apa
yang ada dalam gerobak tersebut. Mereka menyingkap dua lapis karung tebal yang
menutupi bagian belakang gerobak. Ketika karung itu tersibak, orang yang tadi
menyingkapkan terpekik dan mencelat mental dengan muka pucat. Yang
lain-lainnyapun berseru kaget, memandang ke dalam gerobak dengan mata melotot.
Yang berkerumun di sebelah belakang coba mendesak ke depan. Tapi begitu ada
yang berteriak “Mayat manusia!” mereka urung mendekat. Dan pasar itupun menjadi
gempar! Kini tak ada yang berani mendekati gerobak. Semua memandang dari
kejauhan denan perasaan takut dan ngeri. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum
sampai ke Pasar Kamis justru ketika kegemparan itu berlangsung.
“Hai! Jangan mendekat!”
Seseorang berteriak ketika Wiro melangkah menuju gerobak.
“Ada mayat di dalamnya!” seru
seorang lainnya.
Wiro tidak perduli. Dia
melangkah terus bersama Ningrum. Karung tebal yang baru sebagian tersingkap
ditariknya dan dicampakkannya ke tanah. Kini dalam gerobak, terpentang
pemandangan yang mengerikan. Bukan cuma satu mayat yang ada di situ. Tapi enam!
Kalau tadi Wiro Sableng tidak menunjukkan rasa takut, namun setelah mengenali
enam sosok mayat dalam gerobak, pemuda ini mau tak mau bersurut mundur dua
langkah dan berpaling pada Ningrum. Suaranya perlahan sekali ketika berkata
“Mereka….. Enam Kelewang Maut….”
Kini Ningrum ikut terkejut.
“Siapa yang membunuh mereka. Aku curiga…..”
“Pasti Randu Ireng. Kulihat
mayat-mayat itu berada dalam keadaan rusak. Ada yang hancur kepalanya. Belubang
dada atau perutnya atau hampir putus lehernya. Kematian dengan luka mengerikan
seperti itu hanya bisa disebabkan oleh cincin baja putih ular kobra!”
“Kalau begitu orang yang kita
cari tak berada jauh dari sini…..”
Wiro membenarkan. Lalu cepat
mencari keterangan dari orang-orang yang ada di situ. Mereka mengejar ke arah
lenyapnya kusir gerobak. Namun tak mungkin untuk menemukan orang itu lagi.
“Apa yang kita lakukan
sekarang…..?’ tanya Ningrum.
“Kita harus segera meneruskan
perjalanan ke danau Karang Kates,” sahut Wiro. Dia memandang sekali lagi ke
arah mayat-mayat malan dalam gerobak itu lalu cepat-cepat mengikuti Ningrum
yang sudah melangkah pergi lebih dulu.
Danau Karang Kates merupakan
danau luas tetapi sunyi. Anehnya tak ada satu rumah pendudukpun terlihat di
sapanjang tepi danau. Tak ada seorangpun dapat ditemui untuk mendapatkan
keterangan.
“Aneh,” kata Ningrum. “Mengapa
tak ada rumah di sepanjang tepi danau. Padahal menurutku danau ini pasti banyak
ikannya. Yang dapat dijadikan mata pencaharian…..”
“Tentu ada apa-apanya. Jika
Ratu Mesum memang tinggal di sini, siapa yang berani ikut-ikutan diam di tempat
ini…..”
“Tapi di mana bangunan
kediaman perempuan itu. Kita sudah mengelilingi tepi danau satu hari suntuk.
Tak ada satu bangunanpun yang kelihatan!” kata Ningrum pula.
“Kalau saja aku tahu
suasananya seperti ini, pasti aku akan lebih banyak bertanya pada Kakek Segala
Tahu itu……” keduanya lalu duduk di atas batang kayu tumbang. Memandang ke
tengah danau. Tiba-tiba Ningrum menunjuk.
“Lihat! Ada orang berperahu di
tengah danau!”
Wiro cepat berdiri. Memandang
ke tengah danau memang dilihatnya ada sebuah perahu meluncur cepat menuju tepi
sebelah timur. Dari kejauhan terlihat
hanya ada satu orang di atas perahu itu. Orang ini mendayung perahu
dengan mempergunakan kedua tangannya kiri kanan.
“Orang itu mengenakan pakaian
merah….” kataWiro. “Kita kejar ke arah Timur! Pasti itu Ratu Mesum!” maka kedua
orang itupun berkelebat menuju ke timur.
Ternyata perahu lebih cepat
dan lebih dahulu mencapai tepi danau sebelah timur dari pada kedua orang itu.
Dan pada jurusan dari mana sebelumnya mereka melihat perahu merapat, justru
mereka tidak menemukan apa-apa.
“Aneh, kemana perginya orang
tadi?!’ uajr Wiro Sableng sambil memandang berkeliling.
“Perahunyapun ikut lenyap!”
menyahuti Ningrum.
“Mungkinkah tadi kita hanya
melihat bayangan hantu…..?”
Keduanya memeriksa dengan
teliti tepian danau di jurusan mana tadi mereka melihat perahu terakhir kali.
Tepian itu, tidak seperti tepian lainnya penuh ditumbuhi rumput air, semak
beluka dan pohon-pohon lurus tinggi seperti lalang.
“Aku akan turun ke air,” kata
Wiro. “Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat dari darat.” Tanpa tunggu lebih
lama Wiro turun ke air. Air danau di bagian tepi itu ternyata hanya sampai
sepinggang. Wiro menyibakkan rumput dan alang-alang air, memperhatikan setiap
bagian tepi danau dengan teliti. Dekat sebuah pohon waru yang tumbuh menjorok
miring ke danau tiba-tiba Wiro dapatkan sebuah lobang setinggi kepala dan cukup
lebar untuk dimasuki dua orang sekaligus. Wiro lambaikan tangannya ke arah
Ningrum, memberi isyarat agar perempuan itu turun ke air. Begitu Ningrum di
sebelahnya Wiro menunjuk ke arah lobang.
“Apa pendapatmu….?” Tanya
Pendekar 212.
“Orang dan perahu tadi kurasa
pasti masuk ke dalam lobang ini. Kalau tidak masakan bisa lenyap begitu
saja…..”
“Kalau begitu mari kita
menyelidik ke dalam.”
Keduanya lalu masuk ke dalam
lobang di tepi danau itu. di sebelah dalam ternyata lobang ini merupakan sebuah
terowongan panjang. Makin ke dalam air yang mengalir dari danau semakin dangkal
dan bersibak ke arah dua terowongan lain yang terletak di kiri kanan terowongan
utama. Di persimpangan tiga terowongan ini mereka menemukan sebuah perahu yang
masih basah. Wiro melangkah terus memasuki terowongan utama diikuti oleh
Ningrum. Memasuki terowongan sejauh dua puluh tombak, tanah terowongan tampak
kering dan makin ke dalam makin menurun hingga akhirnya mereka sampai di
hadapan sebuah pintu gerbang aneh terbuat dari akar pohon bakau. Pada bagian
atas pintu gerbang ini terdapat dua rangkaian tulisan berbunyi :
Pintu Sorga
Pintu Neraka
Dari sebuah belakang pintu
gerbang tampak lapisan asap tipis. Dari arah ini pula tercium bau harum.
“Aku kawatir asap itu
mengandung racun berbahaya,” bisik Wiro. “Bisakah kau berjalan dengan menutup
penciuman?”
Ningrum mengangguk. Sebelum
melangkah melewati pintu gerbang aneh itu Wiro kerahkan tenaga dalamnya ke
tangan kanan lalu memberi isyarat agar Ningrum segera mengikutinya. Selewat
pintu gerbang, tanah terowongan itu ternyata dilapisi batu pualam berwarna
putih berkilat. Di kiri kanan dinding, pada jarak-jarak tertentu terdapat obor
aneh yang terbuat dari kayu hitam kecil tanpa minyak. Tak lama kemudian asap
putih tipis yang menabur bau harum tadi lenyap. Wiro dan Ningrum buka jalan
pernafasan dan penciuman masing-masing. Keduanya sempat tersenggal-senggal
karena menutup pernafasan begitu lama.
“Ada ruangan besar di depan
sana….” Bisik Wiro. “Hati-hatilah….” Katanya kemudian memperingatkan. “Tulisan
di pintu kayu tadi mengundang kesenangan berbau maut!”
Ruangan yang kemudian mereka
masuki keseluruhannya dilapisi batu pualam, mulai dari lantai sampai dinding
dan langit-langit. Memandang berkeliling kedua orang itu mendapati ruangan
tersebut tak ada jendela tak ada pintu. Buntu?
“Aku merasa gerak-gerik kita
diawasi….” Bisik Wiro.
“Ya, aku juga merasa begitu.
Pasti!” sahut Ningrum. Lalu tanyanya “Kemana lenyapnya orang berpakain merah
yang kita lihat di atas perahu tadi?”
Tiba-tiba dari baigan ruangan
arah mana mereka masuk tadi terdengar suara bersiur amat halus dan dari atas
mendadak turun sangat cepat sebuah lapisan dinding yang langsung menutup mulat
ruangan!
“Kita terjebak!” bisik Ningrum
tegang.
“Tenang saja. Pasang mata dan
telinga baik-baik,” balas berbisik Wiro. “Aku akan memanggil tuan rumah…..”
katanya kemudian. Setelah memandang berkeliling Wiro lantas beseru “Ratu Mesum
apakah kami berada di tempat kediamanmu….?”
Tak ada jawaban. Suara seruan
Wiro menggema menggidikkan dalam ruangan batu pualam itu.
“Ratu Mesum! Apakah kau ada di
sini….? Keluarlah. Kami datang membawa maksud baik! Hanya untuk minta bantuan!”
Mendadak terdengar suara tawa
cekikikan. Mesti tegang namun kedua orang itu maklum kalau mereka saat itu
memang memasuki tempat kediaman Ratu Mesum karena suara tawa itu adalah suara
tawa perempuan.
Terdengar lagi suara bersiur
seperti tadi. Menyusul secara tiba-tiba dinding di hadapan mereka membuka dan
kelihatan sebuah lobang berukuran satu kali satu tombak. Bagian dalam lobang
ini memiliki lantai yang meninggi di sebelah belakang.
Dari lantai yang miring ke
atas ini mendadak meluncur sebuah benda. Ketika benda itu jatuh dan
tergelimpang di hadapan mereka, kaget Wiro dan Ningrum bukan kepalang.
Perempuan ini malah sampai membuang muka. Benda yang tergelimpang di lantai itu
ternyata adalah sesosok tubuh lelaki dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali.
Melihat kepada wajahnya jelas dia masih sangat muda dan berparas cakap. Pada
lehernya terdapat luka besar yang masih mengucurkan darah segar!
***
DUA BELAS
Wiro Sableng memaki panjang
pendek dalam hati sementara Ningrum seperti menyesali mengapa dia sampai berada
di tempat celaka seperti itu. Mendadak terdengar lagi suara bersiur. Lantai
batu pualam dimana mayat pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri dan ke kanan,
meninggalkan lobang di sebelah tengah. Sosok tubuh telanjang itu jatuh ke dalam
lobang dan kedua sisi lantai menutup kembali. Anehnya noda-noda darah yang tadi
jelas terlihat menggenangi lantai kini lenyap bersih entah ke mana! Di saat
yang sama kembali terdengar suara tertawa panjang. Begitu tawa lenyap, dalam
ruangan itu tercium bau harum. Lalu langit-langit yang terbuka secara aneh,
melayang turun sesosok tubuh berpakaian merah. Dengan gerakan sangat ringan,
tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, seolah-olah menginjka kapas, sosok tubuh
ini memijakkan kedua kakinya di atas lantai batu pualam.
Wiro Sableng terkesiap tak
berkedip menyaksikan orang yang tegak di hadapannya sedang Ningrum merasakan
wajahnya menjadi merah. Meskipun dia ingin memalingkan muka namun tetap saja
diapun ikut-ikutan memandang lekat ke arah orang yang ada di hadapannya itu.
Orang ini ternyata adalah
seorang perempuan berparas sangat cantik, berkulit putih. Rambutnya disanggul
ke belakang dan pada bagian kepala di atas keningnya ada sebentuk mahkota
kecil. Dia tersenyum smbail memain-mainkan ujung lidah di sela bibir. Lidah
yang basah itu tampak merah segar sedang deretan gigi-giginya tampak putih
rata. Si jelita ini mengenakan sehelai pakaian panjang menjela lantai berwarna
merah, terbuat dari kain tipis – mungkin sutera. Demikian tipisnya pakaian ini
hingga tubuhnya di sebelah dalam yang tidak berpenutup apa-apa terlihat dengan
jelas.
Wiro garuk-garuk kepala. Namun
begitu ingat dia segera menjura.
“Tentunya kami berhadapan
dengan Ratu Mesum yang terkenal itu…..”
Yang ditegur tidak menjawab,
malah terus memainkan ujung lidahnya.
“Kami datang dari jauh untuk
memohon bantuan Ratu…..” kata Wiro lagi.
Kini sepasang mata perempuan
cantik itu memperhatikan pemuda di hadapannya mulai dari ujung rambut sampai
ujung jari. Dia sama sekali tidak memperdulikan Ningrum yang sapai saat itu
masih mengenakan pakaian serba hitam, bertopi pandan butut, menutupi wajah
perempuannya dengan kumis dan janggut tebal. Mendapatkan tegur sapanya tidak
dibalas orang diam-diam Wiro kembali memaku dalam hati.
“Ah, kami tahu Ratu barusan
sampai. Tentunya masih letih dan tak ingin diganggu. Kalau memang begitu biar
kami pergi saja. Nanti baru kembali lagi……”
Perempuan berpakaian merah
tipis itu usap rambutnya, rapikan pakaiannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan
yang menyebabkan pahanya sampai pinggul sebelah kiri tersingkap lebar, memutih
mulus berkilau.
“Sialan, apa sebenarnya yang
diinginkan perempuan ini!” kata Wiro dalam hati. Meski sikap si jelita tidak
menyenangkan namun matanya tak habisnya melirik paha dan pinggul yang putih
itu.
Tiba-tiba si jelita tertawa
panjang sambil mendongak ke langit-langit ruangan.
“Kalian baca tulisan di pintu
masuk tadi….?!” Perempuan itu bertanya.
“Kami membacanya,” sahut Wiro.
“Bagus! Berarti kalian
menyadari sepenuhnya nasib kalian akan seperti itu pula!” habis berkata begitu
perempuan berpakaian merah ini tertawa panjang. Karena sudah pasti sekali
perempuan di hadapannya itu adalah Ratu Mesum maka Wiro segera menyebut namanya
“Ratu Mesum, kami datang membawa persahabatan…..”
“Seumur hidup aku tak punya sahabat.
Dan tak ingin punya sahabat! Kalian dengar itu?!”
“Susah juga bicara dengan
manusia ini!” pikir Wiro. Lalu dia menyahuti “Jika Ratu tak mau menganggap kami
sahabat tak jadi apa. Hanya apakah Ratu sudi membantu, itulah yang kami
harapkan….”
“Seumur hidup aku tak pernah
kedatangan tamu. Kecuali orang-orang yang kubawa sendiri untuk mendapatkan
sorga dan menerima neraka di tempat ini! bagaimana kau bisa tahu tempat ini….?”
“Kami mendapat petunjuk dari
Kakek Segala Tahu….” Menerangkan Wiro.
“Hemmm….. tua bangka rongsokan
itu. Belum mampus dia rupanya! Kenapa kalian mencariku….. Eh, kawanmu yang satu
itu apakah dia bisu. Atau tuli? Dari tadi dia hanya menlengos-melengos saja
memandang ke jurusan lain!”
“Kawanku ini sudah cukup
lanjut usianya. Jadi harap dimaklumi kalau dia merasa kikuk menghadapi Ratu….”
“Rambut gondrong! Kau pandai
bicara! Katakan apa yang kalian mau?!” tanya sang ratu.
“Kami perlu bantuanmu untuk
menangkap hidup atau mati seorang manusia bernama Randu Ireng. Kami mewakili
para sahabat dari dunia persilatan. Menurut Si Segala Tahu hanya kau yang
sanggup menghadapi Randu Ireng…..”
“Mengapa kalian menginginkan
orang itu?” tanya Ratu Mesum.
Semula Wiro tak mau berterus
terang. Dia melirik pada Ningrum. Ketika mendapat isyarat maka diapun menjawab
“Randu Ireng kini menguasai sebuah cincin keramat. Jika benda itu tidak segera
dirampas dan dilenyapkan dari atas dunia ini, rimba persilatan akan dilanda
bahaya besar! Maut akan bertebaran di delapan penjuru angin…..”
“Kalau semua orang para
mampus, apa perduliku?” tukas Ratu Mesum.
“Kau betul. Apa perdulimu….!”
Wiro mulai jengkel.
“Gondrong! Apakah kau sadar
kalau kau dan kawanmu itu tak bakal keluar hidup-hidup dari tempat ini…..?!”
Ningrum semakin tegang. Tenaga
dalam dilipat gandakannya ke tangan kanan. Didengarnya Wiro berkata “Kalau
takdir mengatakan kami memang harus mati di tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi
apakah kau tak mau memberikan sedikit keringanan. Kami mendengar selain wajahmu
yang cantik luar biasa, tak ada duanya di dunia ini, selain tubuhmu yang bagus
dan mulus tak ada perempuan lain yang bisa menandinginya, tidak juga permaisuri
atau selir raja, tidak juga Nyai Rara Kidul dari pantai selatan, kami tahu kau
juga seorang pemurah. Nyawa kami berdua tentu tak ada harganya di hadapanmu.
Aku rela mati setiap saat asal kau berjanji mendapatkan cincin keramat itu dari
tangan Randu Ireng!”
“Cincin itu…. apakah yang
terbuat dari baja dan bergambar kepala ular sendok?” bertanya Ratu Mesum.
“Betul sekali Ratu….” Sahut
Wiro. Dia maklum kalau ucapannya yang serba memuji tadi kini berhasil
melunakkan hati sang ratu. Maka diapun menambahkan
“Semua para tokoh silat di
luar sana menganggap hanya Ratu lah yang mampu melakukan hal itu….”
Ratu Mesum tertawa “Semua
tokoh silat itu tokoh tolol! Apakah mereka mengira aku suka terhadap semua
lelaki….? Kudengar manusia bernama Randu Ireng itu punya seribu muka….”
“Betul Ratu. Hanya saja
menurut Kakek Segala Tahu dia punya tanda hitam pada matanya sebelah kanan….”
Ratu Mesum mengangguk beberapa
kali sambil tangan kirinya mengusapi pahanya sendiri.
“Kita harus membuat
perjanjian!” sang ratu kemudian berkata.
“Perjanjian apa Ratu?”
“Pertama kau dan aku, kita
berdua melakukan perundingan di ruangan dalam. Kedua, jika cincin itu berhasil didapat,
maka cincin itu akan menjadi milikku….”
“Mana bisa begitu!” Ningrum
membuka mulut untuk pertama kali. “Benda itu adalah milik mendiang…..”
Wiro sodokkan sikutnya ke
rusuk Ningrum hingga perempuan yang menyamar sebagai lelaki ini terhenti
ucapannya.
“Hai, ternyata kawanmu itu
tidak tuli dan bisu!” kata Ratu Mesum.
“Bagamana, kau setuju dengan
perjanjian itu?!”
“Perjanjian kedua kami
setuju,” sahut Wiro. “Mengenai perjanjian pertama bagaimana kalau kita
laksanakan setalah cincin didapat. Percayalah aku tidak akan mengingkari janji.
Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Ratu Mesum menyeringai. “Siapa
percaya mulut lelaki!” katanya.
“Kalau begitu terpaksa kami
mencari orang lain yang dapat membantu. Kami minta diri sekarang. Tempat ini
panas sekali……” kata Wiro lalu kedua tangannya membuka dada pakaiannya
lebar-lebar dan mengipas-ngipas seperti orang sedang kepanasan. Sepasang mata
Ratu Mesum melirik ke balik pakaian Wiro. Hatinya tercekat. Belum pernah dia
melihat lelaki memiliki dada bidang penuh otot seperti pemuda berambut gondrong
itu.
“Ratu, sudikah kau membukakan
pintu keluar bagi kami…..?”
“Kalau kau sudi tidur
denganku, segala keinginanmu aku penuhi!” Tanpa malu-malu Ratu Mesum berkata
seperti itu.
“Bagaimana kalau temanku ini
saja yang melayanimu?” ujar Wiro pura-pura jual mahal.
“Si buruk itu? Janggut dan
kumisnya memuakkan. Tubuhnya kecil dan parasnya pucat seperti kurang darah.
Gerak geriknya seperti ayam sakit!”
“Kalau kau memang tidak suka
padanya biarkan dia pergi….. Nanti kita bisa berunding lebih leluasa!”
Mendengar kata-kata Wiro, Ratu
Mesum gerakkan tangan kanannya. Dinding tipis yang tadi turun menutupi bagian
depan ruangan itu naik ke atas. Wiro memegang bahu Ningrum dan berkata “Kau
tunggu kami di luar. Tak usah kawatir. Ratu cantik ini akan menolong kita.
Cincin itu pasti akan kita dapatkan kembali…..”
Sejak tadi Ningrum sebenarnya
ingin meninggalkan tempat ini. Tapi kini disuruh pergi sendirian dia ingin
menolak.
“Pergilah,” bisik Wiro.
“Kurasa sesuai petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup mengatur si cantik ganas
ini…..”
“Dia akan menipumu, lalu
membunuhmu!” kata Ningrum.
“Tidak. Aku bukan macam lelaki
tolol yang bisa disuguhinya sorga lalu dihantamnya dengan neraka. Lihat saja
nanti. Nah, pergilah!”
Akhirnya terpaksa juga Ningrum
meninggalkan ruangan itu. Keluar dari terowongan dan menunggu di tepi danau.
***
TIGA BELAS
Begitu Ningrum keluar, dinding
yang tadi naik ke atas turun menutup kembali. Kini tinggal Wiro Sableng dan
Ratu Mesum berduaan. Mengira pemuda itu sudah terpikat, sang ratu langsung saja
hendak merangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng
cepat berkelit. Sambil menjaga jarak dia berkata
“Aku tahu apa artinya sorga
dan neraka seperti tertulis di pintu masuk. Semua orang mau sorga tapi tidak
suka neraka. Termasuk aku. Aku tidak menganggap buruk kau mempunyai sifat suka
mencari kesenangan duniawi. Setiap manusia sudah punya takdir hidup
sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan. Nah, bagaimana kalau kita membuat
perjanjian….”
“Perjanjian apa?” tanya Ratu
Mesum. Tubuhnya terasa panas keringatan. Dadanya turun naik dan cuping
hidungnya kembang kempis. Sepasang matanya memandang pada Wiro hampir tak
berkedip. Jelas perempuan cantik ini tidak dapat menahan hasratnya yang
berkobar-kobar.
“Terus terang aku bukan
manusia turunan alim,” kata Wiro Sableng. “Aku bersedia memenuhi apa kemauanmu,
tapi aku tidak mau berakhir dengan kematian…..!”
“Aku telah bersumpah! Setiap
lelaki yang jatuh dalam pelukanku harus mati!” kata Ratu Mesum dan sepasang matanya
tetap tak berkedip, memandang tajam ke arah Wiro.
“Sumpah teramat berat!” ujar
Wiro. “Sumpah seperti itu bisa membunuh dirimu sendiri Ratu! Kenapa kau sampai
mengangkat sumpah seperti itu?”
“Kau tak berhak bertanya!”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Lekas katakan apa perjanjian
yag kamu maksudkan tadi!”
“Aku mengikuti apa maumu, tapi
kau juga harus berjanji untuk membantu merampas cincin keramat itu dari tangan
Randu Ireng!”
“Jika aku tak sudi?!”
“Lebih baik aku angkat kaki
dari sini sekarang juga!”
“Tidak pernah satu lelakipun
keluar hidup-hidup dar ruangan ini!”
“Kalau begitu mari kita
berkelahi sampai salah satu dari kita menemui ajal!” Ratu Mesum tertawa panjang
mendengar tantangan itu.
“Kulihat kau memang memiliki
tenaga dan otot. Kulihat kau memang ada membekal senjata di balik pakaianmu.
Tapi kepandaian apa yang kau miliki hingga berani menantang aku?!”
“Aku memang berani tapi kau?!”
balas Wiro.
“Jangan kira aku pengecut!”
teriak Ratu Mesum marah. Begitu teriakannya lenyap tubuhnya berkelebat menjadi
bayang-bayang merah. Wiro merasakan ada angin deras menghantam ke arah
tenggorokan dan ke bawah selangkangan. Ternyata sang ratu lancarkan serangan
berupa jotosan maut ke leher dan tendangan mematikan ke bawah perut. Perempuan
itu yain benar salah satu dari serangan kilatnya itu pasti akan menemui
sasaran. Namun betapa kagetnya ketika dua-dua serangannya hanya mengenai tempat
kosong. Sebaliknya jika dia tidak lekas menyingkir, pinggangnya hampir kena
ditelikung si pemuda!
Ratu Mesum tegak di sudut
ruangan. Matanya berkilat-kilat memandang Wiro. Pendekar 212 menyeringai.
“Bagaimana, kau kecapaian atau tak punya nyali lagi meneruskan perkelahian
ini?!”
“Mampuslah!” teriak Ratu
Mesum. Tangan kanannya dihantamkan ke depan.
Selarik sinar merah menderu.
Meski baru berkelahi dua jurus tetapi saking marahnya perempuan ini langsung
keluarkan pukulan sakti pada jurus ketiga.
Murid Sinto Gendeng yang
memang sudah berjaga-jaga sambut pukulan dengan pukulan “dinding angin
berhembus tindih menindih”. Ratu Mesum tersentak kaget ketika mendengar ada
suara angin menderu, menerpa ke arahnya. Dan dia jadi lebih kaget lagi ketika
melihat sinar merah pukulannya buyar berantakan dan tiba-tiba saja tubuhnya
seperti dilabrak angin punting beliung, terbanting ke belakang, terseret ke
samping. Ketika dia berhasil mengimbangi diri dan melompat ke samping, dinding
batu pualam di belakangnya terdengar mengeluarkan suara berderak! Ratu Mesum
berpaling. Dinding tebal itu ternyata retak besar, sebagian batu pualamnya hancur
dan tanggal berjatuhan.
“Pemuda keparat! Kau merusak
tempat kediamanku!” teriak Ratu Mesum marah. Tubuhnya melesat ke atas. Kedua
tangannya bergerak menyingkapkan pakaian merahnya tinggi-tinggi. Saat itu pula
bertabur bau sangat harum yang menusuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng. Sesaat
pendekar ini seperti gelagapan ketika bau harum aneh itu merasuk jalan
pernafasannya. Namun tak selang beberapa lama dia dapat mengatur jalan nafasnya
kembali dan cepat memasang kuda-kuda baru.
Turun ke lantai Ratu Mesum
terkejut bukan main. Ketika melompat tadi dia telah keluarkan hawa harum yang
merupakan senjata andalannya. Hawa harum itu mengandung racun jahat yang dapat
membuat lawan menjadi lemas dan jatuh pingsan.
Selama ini tak satu orangpun
sanggup mempertahankan diri dari kehebatan imunya itu. Namun sekali ini dia
melihat kenyataan yang hampir tak dapat dipercaya. Jangankan pingsan, lemaspun
pemuda itu tidak sama sekali. Perlahan-lahan kemarahan sang ratu jadi mengendur
malah berubah menjadi kagum. Dalam hati kecilnya dia berkata, kalau saja pemuda
lihay ini dapat menjadi kawan hidupnya, mungkin dia mau mempertimbangkan untuk
meninggalkan jalan sesat yang selama ini ditempuhnya, hidup menjadi perempuan
baik-baik.
“Orang muda, siapa kau
sebenarnya?!” bertanya Ratu Mesum.
Wiro Sableng tersenyum.
“Penting sekalikah namaku
bagimu…..?” tanya Wiro.
“Aku bersedia membantu
mendapatkan cincin mustika itu.” kata Ratu Mesum seperti tidak acuh akan
pertanyaan Wiro tadi.
Wiro yang maklum apa maksud
kata-kata perempuan tu tersenyum lebar dan berkata “Kalau tadi-tadi kau
jelaskan hal itu tak perlu kita sampai berkelahi segala…..”
“Hebat berkelahi belum tentu
hebat di tempat lain. Aku perlu mengujimu. Jika kau nanti mengecawakan sumpahku
akan berlaku!” Habis berkata begitu Ratu Mesum tekan dinding di belakangnya
dengan siku kanan. Dinding batu itu terbuka. Di belakang dinding kini
terpampang sebuah ruangan tidur yang sangat indah. Ratu Mesum melangkah
berlenggak lenggok lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar. Tangan
kanannya melambai memanggil Wiro.
“Ratu keparat!” kata Wiro
dalam hati, “Kau akan lihat. Aku bukannya ayam aduan yang hebat dalam
persabungan, tapi keok di tangan ayam betina!” Sekali lompat saja pendekar ini
sudah berada di atas tempat tidur.
Ratu Mesum menggeliat. Entah
kapan tangannya bergerak tahu-tahu buhul-buhul ikatan pakaian merahnya di
sebelah depan terbuka. Wiro kini melihat sosok tubuh yang sangat elok
menakjubkan, yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Sesaat dia seperti
mendengar ucapan Kakek Segala Tahu : “Mana ada kucing menolak daging…..”
Ketika hari mulai gelap,
Ningrum yang menunggu di mulut lobang dekat perahu kayu menjadi gelisah.
“Pemuda keparat! Aku
disuruhnya menjadi patung di sini! Dia sendiri bersenang-senang di dalam sana!”
maki perempuan itu. dia tak tahu hendak berbuat apa selain melangkah mundar
mandir. Sekali karena sangat kesalnnya dia tendang perahu milik Ratu Mesum.
Untung tidak rusak. Malam tiba. Udara dalam terowongan itu ternyata dingin
sekali. Keletihan, Ningrum membaringkan tubuhnya dalam perahu. Sampai tengah
malam Pendekar 212 Wiro Sableng tak kunjung muncul. Ningrum menunggu terus
terkantuk-kantuk.
Akhirnya perempuan ini jatuh
tidur. Dia terbangun ketika dirasakannya ada orang yang menepuk-nepuk bahunya.
Dibukanya kedua matanya dan duduk. Di hadapannya tegak pemuda itu yang kini
telah mengganti pakaian putihnya dengan pakaian merah. Tegak sambil
tersenyum-senyum.
“Kukira kau sudah mati di
dalam sana!” kata Ningrum saking marahnya, lalu turun dari perahu.
Ratu Mesum tampak
tenang-tenang saja.
“Pakaian merah itu, tentu kau
dapat dari dia….” Ningrum membuka mulut kembali.
“Apa kauingin pakaian seperti
itu?” Ratu Mesum bertanya.
Ningrum tak menyahut.
Ratu Mesum menggelungkan
tangannya ke tangan Wiro. “Kita berangkat sekarang…..?” tanyanya.
Wiro mengangguk “Makin cepat
makin baik….”
“Tapi ingat janjimu. Setelah
urusan kita selesai, kau dan aku kembali kemari….”
Wiro garuk-garuk kepala dan
melirik pada Ningrum. “Itu bisa diatur Ratu,” sahut Murid Sinto Gendeng. “Ke
mana tujuan kita yang pertama? Air terjun Banyu Abang atau Bukit Merak
Biru…..?”
“Bukit Merak Biru lebih dekat.
Sebaiknya kita menyelidik ke sana dulu. Kalau orang yang kita cari tidak ada di
situ, kita baru ke air terjun itu. Kita harus bergerak cepat. Bisakah kawanmu
yang seperti ayam sakit ini berlari cepat?!”
Dikatakan ayam sakit membuat
Ningrum jengkel sekali. Ingin dia menampar mulut perempuan itu. Tapi sadar
kalau dia membutuhkan bantuannya maka dengan menahan hati perempuan yang
menyamar jadi laki-laki ini berusaha mempersabar diri.
Sambil melangkah ke mulut goa
Wiro menerangkan pada Ningrum bahwa menurut pengetahuan Ratu Mesum orang yang
mereka cari yakni Randu Ireng sering berada di Bukit Merak Biru atau air terjun
Banyu Abang. Mereka akan menyelidik di kedua tempat itu.
Mereka tidak mempergunakan
perahu, melainkan langsung naikke darat dan mengandalkan kepandaian berlari
cepat. Ratu Mesum tampak agak heran juga ketika melihat Ningrum mampu berlari
walau tertinggal beberapa langkah di belakang.
Kembali sang ratu membuka
mulut mengejek “Tidak sangka kawanmu yang jelek itu memiliki ilmu lari…..”
Ningrum berbuat seolah-olah
tidak mendengar. Yang saat ini dikawatirkannya ialah kalau cincin baja putih
berhasil dirampas dari tangan Randu Ireng, apa tidak mustahil Ratu Mesum akan
melarikannya?
Sementara itu pagi yang cerah
menjadi panas ketika sang surya mulai menebarkan sinar teriknya. Menjelang sore
mereka sampai di tujuan pertama yakni Bukit Merak Biru. Di puncak bukit, di
bagian yang berbatu-batu terdapat sebuah rumah yang keseluruhan dinding,
lantai, dan atap terbuat dari rotan. Setelah diperiksa rumah itu ternyata
kosong.
“Dia tak ada di sini…. “ kata
Ratu Mesum.
“Kalau begitu kita terus ke
air terjun Banyu Abang.” Berkata Ningrum.
“Betul.” Menyetujui Wiro.
Ratu Mesum tertawa lebar
sambil geleng-gelengkan kepala.
“Mengapa kau menggeleng. Kau
tidak suka kita segera meneruskan perjalanan….?” Tanya Wiro pula.
“Tidak kalian lihatkah
matahari sudah hampir lenyap, tenggelam di sebelah barat sana? Sebentar lagi
malam tiba. Malam sepi dan dingin. Aku tidak suka mengadakan perjalanan pada
malam hari. Malam adalah saat untuk istirahat dan berhangat-hangat…..”
Jijik sekali Ningrum mendengar
ucapan Ratu Mesum itu. kejengkelannya semakin bertumpuk. Wiro Sableng sendiri
maklum apa maksud tujuan kata-kata Ratu Mesum tadi. Perempuan itu memandang
sesaat padanya lalu masuk ke dalam rumah rotan tanpa menutupkan pintu.
“Mari kita masuk…..” mengajak
Wiro
Ningrum menggeleng. “Aku tak
akan masuk. Lebih baik mati kedinginan di luar sini!”
“Kenapa tak mau masuk?” tanya
Wiro heran.
“Kalau kau mau masuk,
masuklah. Bukankah perempuan itu tadi jelas hendak mengajakmu
berhangat-hangat….?”
Menyadari bahwa orang yang
menyamar seperti laki-laki itu sebenarnya adalah perempuan membuat Wiro
tertawa. Maka diapun berkata “Semua ini terjadi karena maksudku menolongmu.
Jika kau memang tak ingin mendapatkan cincin mustika itu serta tak ada rencana
hendak membalas dendam terhadap Pangean Arga Kusumo lebih baik aku pergi saja
dari sini!”
Ningrum terdiam. Lalu pergi
duduk di atas sebuah batu besar.
“Jika sahabatmu itu tidak mau
masuk, buat apa dipaksa?!” Terdengar suara Ratu Mesum dari dalam rumah rotan.
“Bukankah malah lebih baik kalau dia tidak ikut masuk ke dalam sini….?”
Wiro hanya bisa geleng-geleng
kepala. Dia memandang sekali lagi ke arah Ningrum lalu masuk ke dalam rumah.
“Jangan lupa menutup pintu
Wiro,” kata Ratu Mesum sambil lontarkan senyum memikat. Sesaat setelah Wiro
menutup pintu perempuan ini langsung memeluknya. Nafasnya terasa panas tanda
nafsunya berkobar-kobar.
***
EMPAT BELAS
Air terjun Banyu Abang
terletak di gunung berapi yang telah mati. Tingginya sekitar empat tombak,
tidak terlalu lebar namun bentuknya yang melengkung membuat indah sekali. Apalagi
bagian belakang air terjun itu merupakan batu-batu padas berwarna merah gelap
hingga dari depan dan dari samping jika diperhatikan air terjun itu kelihatan
kemerah-merahan.
Suasana di tempat itu sunyi
dan redup. Yang terdengar hanya deru air terjun yang mengalir dan jatuh di atas
batu-batu besar di sebelah bawah, kemudian membentuk sungai kecil dangkal
berair sangat jernih. Sesekali terdengar suara burung hutan berkicau, lalu
terbang dan berkicau lagi di tempat lain.
“Aku tidak melihat sebuah
bangunanpun di sini…..” kata Ningrum sambil memandang berkeliling. “Apakah
manusia bernama Randu Ireng itu betul bisa ditemui di sini….?”
“Kau tahu apa tentang orang
itu….” kata Ratu Mesum ketika jelas merasa orang tidak mempercayainya.
Perempuan ini memegang lengan Wiro dan menunjuk ke atas sebuah pohon tinggi
besar berdaun lebat. “Lihat rumah kayu di atas sana……”
Di antara beberapa cabang
pohon besar yang ditunjuk Ratu Mesum ternyata memang terdapat sebuah rumah
papan, lengkap dengan tangga kecil. “Itu rumah Randu Ireng….” Bisik Ratu Mesum.
“Sekarang bagaimana kita
mengatur rencana….?”
“Serahkan padaku!” jawab sang
ratu. “Kalian berdua harus bersembunyi. Jangan terlihat Randu Ireng. Sekali dia
sempat melihat kalian berantakan rencanaku…..!”
“Apa yang hendak kau lakukan?”
tanya Wiro Sableng ingin tahu.
Ratu Mesum pegang jari-jari
tangan pemuda itu lalu menciumnya seraya berkata “Kau lihat saja. Jangan
cemburu. Apa yang aku berikan padamu tak akan kuberikan pada manusia itu…..”
“Kau harus hati-hati,” ujar
Wiro. “Dan yang penting cincin itu harus kau dapat….!”
“Jangan kawatir!” jawab Ratu
Mesum. Sekali lagi dia mencium jari-jari Wiro lalu dengan gerakan cepat
ditinggalkannya tempat itu, lari menuruni tebing batu-batu cadas licin. Jika
tidak memiliki kepandaian tinggi seseorang tak dapat menuruni tebing itu
apalagi sambil berlari seperti yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali kaki
terpeleset, tubuh akan jatuh ke bawah, disambut batu cadas keras. Beberapa saat
lamanya tubuh Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama kemudian tampak sosok bayangan
merah di belakang air terjun. Ternyata perempuan itu sudah ada di bawah air
terjun.
“Apa yang dilakukannya di
situ. Mengapa dia justru menuju air terjun. Bukan ke rumah di atas pohon
sana……?” bisik Ningrum.
“Akupun tidak mengerti. Kita
lihat saja. Manusia seperti dia punya seribu satu akal. Berkepandaian tinggi,
cerdik dan berbahaya……”
“Dan memiliki nafsu
menjijikkan!” sambung Ningrum.
Wiro tak menjawab. Makian
Ningrum yang ditujukan pada Ratu Mesum sama saja dengan makian yang ditujukan
padanya. Karena diapun telah menjadi “korban” nafsu sang ratu. Wiro memandang
ke arah air terjun. Ningrumpun tak berkata apa-apa lagi. Ikut memandang ke
jurusan yang sama.
“Eh…..?” Wiro berseru kecil.
Di bawah sana, Ratu Mesum dilihatnya melangkah di atas batu-batu cadas basah,
keluar dari belakang air terjun, menuju ke sebelah depannya. Dan saat itu
perempuan ini sama sekali tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya yang bugil
putih dan mulus elok itu tampak seolah-olah berkilau disiram sinar matahari.
“Gila! Ternyata dia mau
enak-enakan mandi di air terjun!” kembali terdengar suara Ningrum.
“Diam sajalah!” tukas Wiro.
“Terlalu keras bicara, salah-salah suaramu akan terdengar oleh Randu Ireng…..”
Dari arah air terjun di mana
Ratu Mesum saat itu berada dan duduk di sebuah batu besar sambil menjulurkan
sepasang kakinya yang bagus, lalu menyiram-nyiramkan air sungai sedikit-sedikit
ke tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu. Yang menyanyi ternyata
sang ratu sendiri.
Air terjun Banyu Abang
Banyu Abang banyu yang sejuk
Nikmatnya mandi bersiram air
dan matahari
Sayang hanya seorang diri
Banyu Abang banyu yang sejuk
Tempat yang indah untuk
merajuk
Pesinggahan yang menyenangkan
bagi pengelana
Berpolos diri saling menggoda
Nyanyian itu dinyanyikan
berulang kali oleh Ratu Mesum. Dan Wiro maklum kalau perempuan tersebut telah
mengerahkan tenaga dalamnya. Kalau tidak suara nyanyiannya tak mungkin
terdengar keras, menggema sampai ke atas tebing, hampir mengalahkan deru air
terjun.
Sudut mata Ningrum menangkap
satu gerakan. Dia cepat berpaling, menoleh ke arah pohon besar lalu cepat-cepat
menggamit Wiro dan berbisik “Ada orang keluar dari rumah di atas pohon!”
Wiro cepat berpaling,
memandang ke arah pohon. Memang benar. Saat itu pintu rumah kayu di atas pohon
tampak sudah terbuka dan seorang lelaki berpakaian putih nampak tegak di atas
cabang besar. Orang ini mengenakan pakaian serba putih dengan ikat pinggang
kulit besar melilit di pinggangnya. Di kepalanya ada sapu tangan besar putih yang
dilipat berbentuk segitiga, diikatkan membentuk topi. Orang ini tegak bekacak
pinggang, memandang lurus-lurus ke arah iar terjun di mana saat itu Ratu Mesum
masih terus duduk berselunjur, memain-mainkan air sambil terus bernyanyi.
“Itu manusianya yang bernama
Randu Ireng?” tanya Ningrum.
Wiro tak segera bisa menjawab.
Tampang dan pakaian orang itu jauh berbeda dengan manusia yang ditemuinya pada
malam hujan lebat di mana terjadi pembunuhan atas puluhan perajurit Demak.
“Tak dapat kupastikan. Jarak
kita dengan dia terlalu jauh. Kalau pakaian dan tampangnya jelas berbeda dengan
orang yang kulihat malam itu. Kalau saja aku bisa melihat matanya…..”
Tiba-tiba, seperti seekor
burung besar, orang di atas pohon melompat, melayang turun dan menjejakkan
kedua kakinya di atas batu cadas sejauh delapan tombak dari tempat Wiro dan
Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat memberi isyarat dengan tangan pada
Ningrum agar tidak bergerak dan jangan bicara.
Di bawah sana Ratu Mesum masih terus menyanyi. Lelaki di atas batu cadas
sekali lagi tampak melompat, melompat dan melompat. Tubuhnya kini seperti bola
karet. Empat kali lompatan akhirnya dia sampai di depan Ratu Mesum. Perempuan
itu tampak terkejut. Mengeluarkan pekik kecil lalu berusaha menutupi auratnya
dengan kedua tangannya. Lelaki berpakaian putih terdengar tertawa.
“Bidadari dari mana yang
kesasar turun ke bumi dan mandi di air terjun Banyu Abang…..!”
“Siapa kau! Laki-laki lancang!
Barani mengintip perempuan mandi!” teriak Ratu Mesum. Wajahnya menunjukkan mimik
marah.
“Aku adalah aku! Kau siapa
bidadariku?!”
“Pergi!” Ratu Mesum cepat
berdiri. Tapi orang di depannya lebih cepat menekan bahunya. Kedua matanya
berkilat-kilat. Seumur hidup belum pernah dia melihat perempuan secantik ini.
dan dalam keadaan bugil begini rupa. Sepasang payudara yang putih kencang,
pinggang ramping yang berakhir pada pinggul yang besar. Perut yang licin mulus,
sepasang paha dan kaki yang sangat indah. Sekujur tubuh lelaki itu mendadak
menjadi kencang.
“Selain cantik kau juga pandai
menyanyi!” Lelaki tadi memuji. “Aku senang sekali bila bisa ikut mandi
bersamamu!” Lalu orang itu membuat gerakan hendak membuka bajunya.
“Lelaki kurang ajar! Pergi
atau aku akan menjerit……!”
“Kalau kau menjerit lalu
kenapa…..”
“Tidak disangka. Aku sengaja
lari dari rumah karena hendak dipaksa kawin dengan kakek-kakek tua keparat itu.
Tahu-tahu kini bertemu dengan lelaki jahat….!”
“Ah, rupanya kau dewi yang
minggat dari rumah. Dengar, aku bukan orang jahat. Dan aku masih muda.
Tampangku tentu tidak sejelek kakek tua itu bukan? Ha…ha…..ha….!”
“Pergi sana! Lelaki gila!”
teriak Ratu Mesum. Dia berusaha meneliti mata kanan orang di depannya. Untuk
melihat apakah ada bintik hitam pada bagian putih mata itu. Tetapi karena dia
duduk di bawah sedang orang berdiri agak sulit baginya untuk memperhatikan.
“Dewiku, mungkin benar hari
ini aku tiba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila padamu! Hai, tahukah kau
aturan kehidupan di tempat ini…..?”
“Tidak! Dan perduli amat
segala macam aturan! Memangnya kau yang memiliki tempat ini….?!” tukas Ratu
Mesum.
“Tentu saja memang aku yang
menjadi penguasa di tempat ini. aturanku, siapayang berani mandi di air terjun
Banyu Abang tanpa seizinku, jika dia lelaki akan kubunuh. Jika dia seorang
perempuan yang aku tidak berkenan juga akan kubunuh. Tetapi jika dia soerang
perempuan cantik sepertimu maka dia harus tunduk pada perintahku…..!”
“Tunduk pada
perintahmu…..Hik….hik…..hik…..!” Ratu Mesum tertawa panjang sambil mainkan
lidahnya yang merah dan perlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata.
Membuat orang di hadapannya semakin blingsatan. “Tunduk padamu katamu?!
Memangnya kau sultan atau raja…. Tampang adipatipun kau tak punya!”
Diejek seperti itu orang tadi
tidak tampak marah malah ikut-ikutan tertawa
“Sultan atau Raja, apalagi
adipati bukan apa-apa bagiku! Aku jauh lebih hebat dari pada mereka semua…..!”
“Walah! Ternyata kau hanya
seorang yang tidak waras! Kau pasti turunan orang hutan. Eh, apakah kau punya
nama…..”
“Kau boleh menyebut namaku apa
saja!”
“Monyet, begitu! Atau
lutung…..?!” ujar Ratu Mesum. Kedua tangannya masih menutupi dada sedang kedua
paha dilipat dan dinaikkan ke atas.
“Boleh-boleh saja kau menyebut
aku begitu!”
“Kau betul-betul hebat,” kata
Ratu Mesum pula. “Tapi aku tidak suka pada lelaki berotak miring dan bicara
ngacok sepertimu. Menyingkirlah!”
“Tidak! Kau telah mandi di
Banyu Abang. Berarti kau berada dalam kekuasaanku. Kau harus ikut aku!”
“Ikut kau? Ikut ke mana….?”
“Ke rumahku di atas pohon
sana!”
“Ah, ternyata kau bangsa tikus
pohon atau tupai!”
“Jika kau menurut baik-baik
kau akan kuperlakukan dengan baik. Jika membantah tubuh dan wajahmu yang cantik
akan kubuat cacat!” lelaki itu mengancam.
“Aku mau lihat apakah kau
sanggup dan berani melakukannya!” kata Ratu Mesum. Lalu dia turunkan kedua
tangannya, busungkan dada, pejamkan mata dan angsurkan wajahnya! Melihat ini
tentu saja lelaki itu menjadi salah tingkah, bergeletar sekujur tubuhnya,
hampir tak dapat menahan rangsangan. Kemudian dilihatnya mulut dengan bibir
yang basah itu mengeluarkan suara “Jika kau memberitahu namamu, mungkin aku mau
ikut denganmu.”
“Sebut saja namaku
Danupaya…..” kata lelaki itu.
“Danupaya….?” Desis Ratu
Mesum. “Berlututlah biar dekat. Aku ingin melihat wajahmu agar tahu apakah kau
betul bernama Daupaya….”
Seperti terkena sihir lelaki
itu perlahan-lahan berlutut di depan Ratu Mesum. Sepasang mata sang ratu
terbuka sedikit. Senyum bermain di mulutnya. “Kau berdusta. Namamu bukan
Danupaya…..”
“Heh….. Lalu kau mau nama apa?
Kau boleh panggil Singgil Manik atau sebut aku Tunggul Ambang atau…..”
“Dengar, aku mulai suka
padamu. Ternyata wajahmu cukup tampan juga. Tetapi aku tidak suka pada lelaki
yang berbohong. Hanya lelaki pengecut yang sengaja menyembunyikan namanya!”
“Baiklah, kukatakan namaku
sebenarnya. Aku Randu Ireng…..”
Kedua mata Ratu Mesum membuka
lebih lebar. Perhatiannya tertuju pada mata kanan orang yang berlutut di
depannya. Dalam jarak sedekat itu kini dia dapat melihat jelas lelaki itu
memiliki bintik hitam pada matanya sebelah kanan. Tanda pasti yang ditunjukkan
oleh Kakek Segala Tahu danyang telah disampaikan Wiro padanya! Tanda bahwa
orang itu memang Randu Ireng!
“Kau masih saja mau berdusta.
Kau bukan Randu Ireng. Katakan namamu sebenarnya….!” Kata Ratu Mesum pula.
“Demi segala setan penghuni
air terjun ini, aku bersumpah tidak berdusta. Aku memang Randu Ireng!”
Ratu Mesum geleng-gelengkan
kepala. Basahi bibirnya dengan ujung lidah, turunkan kedua kakinya yang membuat
lelaki di depannya tambah membeliak tak berkesip. “Tidak mungkin….. tidak
mungkin kau Randu Ireng. Randu Ireng yang sebenarnya lebih hebat dari raja,
lebih tinggi dari sultan. Aku mendengar manusia bernama Randu Ireng itu adalah
turunan penguasa laut selatan dan luat utara…. Memiliki kekuatan hebat yang
sanggup menghancuran gunung dan meleburkan bukit. Jangankan gunung dan bukit,
batu di depan sana itupun kau tak sanggup menghancurkannya!”
Lelaki yang berlutut di
hadapan Ratu Mesum jadi tercekat. Dengan tangan kosong memang tak mungkin
baginya menghancurkan batu itu. Tapi…..
“Kau betul-betul mau melihat
aku menghancurkan batu itu…..?”
“Sudahlah! Jangan mimpi.
Menyingkirlah. Aku harus pergi….” Ratu Mesum berdiri dan karena lelaki itu
masih berlutut perut perempuan itu tepat di dapan kepalanya, hampir menempel ke
hidungnya. Tak sanggup lagi menahan rangsangan yang membakar dirinya, lelaki
itu langsung memagut pinggul Ratu Mesum, menciumi perutnya.
“Lelaki kurang ajar!” Ratu
Mesum dorong tubuh orang itu kuat-kuat hingga terjengkang tapi tak sampai jatuh
ke dalam air.
“Jangan pergi! Aku akan
buktikan padamu aku sanggup menghancurkan batu itu. Kalau tidak jangan panggil
aku Randu Ireng!” lalu orang ini susupkan tangannya ke balik pakaian. Dia
mengeluarkan sebuah kentong kulit berwarna hitam yang diikat erat-erat ke tali pinggang
celananya. Dari dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah benda putih
berkilat-ilat yang langsung disusupkannya ke jati telunjuknya. “Lihat batu
itu!” katanya seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya. Giginya
bergerak menggigit bibir sebelah bawah. Satu suara aneh seperti seruling
mencuat menyakitkan telinga Ratu Mesum. Detik itu juga tiga larik sinar putih
halus menyilaukan melesat, menghantam batu besar, membuat batu itu hancur
berantakan.
“Sudah kau saksikan?!”
Ratu Mesum kedip-kedipkan
mata. “Mungkin kau hanya menyihirku. Membalik pemandangan mataku. Coba kau
hancurkan lagi batu yang disebelah sana kalau bisa!”
“Kenapa tidak bisa!”
Seperti tadi orang itu
acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Saat itu Ratu Mesum segera dapat melihat
bahwa cincin yang dipakainya memang adalah cincin keramat yang tengah mereka
cari. Cincin baja putih dengan hiasan kepala ular kobra. Cincin warisan setan
yang telah menggemparkan dunia persilatan, dicari dan dikejar orang, mulai dari
paar tokoh silat sampai orang-orang istana.
“Lihat!” kata lelaki itu lagi.
Dia anggukkan kepala sedikit, gigit lagi bibirnya.
Seperti tadi terdengar kembali
bunyi seruling melengking, disusul oleh kiblatan tiga larik sinar menyilaukan.
Sesat kemudian batu besar yang satu itupun hancur pula berkeping-keping.
“Ah, sekarang aku percaya kau
adalah Randu Ireng. Orang terhebat di delapan penjuru angin. Kau tidak berdusta
bahwa kau memang lebih hebat dari sultan maupun raja. Cuma, aku minta bukti
sekali lagi. Kau lihat pohon besar di atas tebing sana? Coba kau hancurkan
bagian batang sebelah bawah, dekat akarnya……”
Randu Ireng tertawa lebar.
“Kalau batu saja hancur lebur apalagi batang kayu. Lihat!”
Lelaki itu acungkan jarinya,
gigit bibir. Dan untuk ketiga kalinya kembali terdengar suara bersuit. Sinar
putih berkiblat tiga larik. Melesat ke arah pohon besar di atas tebing di
belakang mana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum bersembunyi.
Ketika melihat datangnya sinar
maut menyambar ke arah pohon Ningrum terpekik. Kaget dan marah. Wiro cepat
mendorong tubuh perempuan itu keras-keras ke samping. Dia sendiri menyusul
berguling selamatkan diri.
“Blus!”
“Braak!”
Pohon besar hancur. Batangnya
patah di sebelah bawah dan akarnya terbongkar dari tanah.
“Perempuan keparat itu hendak
membunuh kita!” ujar Ningrum.
Di bawah sana, Randu Ireng
tersentak kaget. Bukan karena tumbangnya pohon, melainkan ketika mengetahui ada
orang di atas tebing.
“Hei! Ada orang di atas sana!
Keparat! Siapa mereka! Kawan-kawanmu?!”
“Aku datang ke mari sendirian.
Sipapun mereka pasti bermaksud tidak baik!” jawab Ratu Mesum. “Mari kita
menyelidik ke atas sana. Tapi aku berpakaian dulu!”
Lalu dia melangkah ke arah air
terjun. Tapi begitu sampai di belakang Randu Ireng, perempuan ini hantamkan
pinggiran tangan kanannya ke leher orang itu.
“Kraak!”
Terdengar suara patanya tulang
leher Randu Ireng. Tubuhnya terhuyung sesaat, tangan kirinya menggapai-gapai
mencari keseimbangan. Perlahan-lahan Randu Ireng coba memutar tubuh menghadapi
ke arah Ratu Mesum.
“Perempuan keparat! Penipu
laknat! Mampuslah!”
Randu Ireng acungkan jari
telunjuknya ke arah Ratu Mesum. Tapi lehernya yang patah membuat tubuhnya
hilang kekuatan. Tangan kanan itu bergetar bergoyang-goyang. Randu Ireng gigit
bibirnya. Namun sebelum hal ini sempat dilakukannya tendangan kaki kanan Ratu
Mesum mendarat tepat di mukanya. Mulut dan hidung Randu Ireng hancur. Darah
kental mengucur. Kepala dan tubuhnya mencelat dan segera jatuh ke dalam air.
Ratu Mesum cepat menyergap untuk meloloskan cincin baja putih dari telunjuk
Randu Ireng, namun saat itu entah dari mana datangnya bekelebat sesosok tubuh.
Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh Randu
Irengpun tak ada lagi di tempat itu. Ratu Mesum berteriak hendak mengejar.
Namun segera disadarinya orang yang berkelebat tadi telah menotok jalan
darahnya di dada kiri hingga dia hanya mampu bersuara tapi sama sekali tak
sanggup menggerakkan anggota tubuhnya!
Semula Ratu Mesum mengira yang
melakukan itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun ketika dia memandang ke
arah tebing batu di jurusan tumbangnya pohon besar, dilihatnya orang yang
melarikan tubuh Randu Ireng ternyata berpakaian rombeng, memakai caping bambu
lebar. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat dan sebuah kaleng rombeng.
Di atas tebing, orang yang
melarikan tubuh Randu Ireng berhenti. Dia menarik lepas cincin pembawa
malapetaka dari jari telunjuk Randu Ireng. Lalu tubuh yang sudah tak bernyawa
itu dilemparkannya ke bawah tebing, menggelinding ke bawah, masuk ke dalam
sungai. Mengambang lalu hanyut ke hilir. Wiro Sableng dan Ningrum yang melihat
kejadian yang serba cepat dan serba tak terduga itu tegak terkesiap.
“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro
ketika dia kenali orang tua di depannya.
Si kakek tertawa lebar. Dia
pindahkan kaleng butut ke tangan kanan lalu kerontang-kerontangkan benda itu
tiga kali.
“Tunggu apa lagi, lekas ikut
aku!” katanya.
Ningrum, yang mengetahui
cincin sakti milik suaminya telah beada di tangan si kakek, langsung saja
melompat mengikuti. Tapi Wiro sesaat tampak bingung. Akan mengikuti orang tua
itu atau turun ke air terjun.
“Hai!” si kakek memanggil.
Ketika Wiro masih tegak tak bergerak, kakek itu kembali, lalu menyeret
lengannya. Wiro berusaha mempertahankan diri. Tapi astaga! Tenaga si kakek
ternyata tidak berada di bawahnya. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar
dalam tetap saja dia tertarik. Akhirnya pendekar ini terpaksa mengikuti.
“Kek, apa yang kau lakukan
dengan perempuan itu…..!” tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab. Di
suatu tempat akhirnya Kakek Segala Tahu hentikan larinya dan memandang pada
kedua orang itu sambil acungkan cincin baja putih.
“Kalian tahu, kalau cincin ini
tidak kurampas lebih dulu, perempuan bugil itu akan menguasainya. Sekali benda
ini berada di tangannya kiamatlah dunia persilatan!”
“Akupun sudah menduga seperti
itu kek,” sahut Ningrum. “Perempuan jahat itu tak bisa dipercaya. Tapi kawanmu
ini sudah tergila-gila padanya hingga tak bisa diingatkan!”
Wiro hanya garuk-garuk kepala.
Ningrum membuka mulut kembali.
“Mengingat cincin itu adalah milik suamiku, berarti aku harus menerimanya
kembali.” Tapi perempuan yang mnyamar jadi laki-laki ini jadi kaget ketika
dilihatnya si kakek gelengkan kepala.
“Tidak. Tidak satu manusiapun
di muka bumi ini boleh memiliki cincin warisan setan ini. benda ini harus
dikembalikan ke asalnya. Dari laut kembali ke dalam laut. Aku akan membawanya
ke pantai selatan dan membuangnya di sana….”
“Tapi…..” potong Ningrum.
“Tidak ada tapi-tapian
perempuan berkumis! Sebaiknya kau melupakan cincin ini. Dengan demikian arwah
suamimu akan tenteram di alam baka. Kau kembalilah ketempat gurumu…..”
“Aku harus ke Kotaraja!” jawab
Ningrum.
“Mencari pangeran bernama Arga
Kusumo itu dan membalaskan dendam suamimu?” tanya si kakek.
“Apalagi. Itu kewajibanku
untuk melakukannya.”
“Dengar. Pangeran Arga Kusumo
telah meninggal satu bulan lalu. Mati terkena penyakit menular. Penyakit
sampar! Nah, bukankah lebih baik bagimu kembali ke tempat gurumu dari pada
memaksakan diri ke Kotaraja…..?”
Ningrum terdiam. Kedua matanya
tampak basah.
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Ayo, buat apa berlama-lama di
sini. Mari kita pergi!” kata Si Segala Tahu.
“Kalau kalian mau pergi,
pergilah,” kata Wiro.
“Heh, apa yang ada dalam
benakmu orang muda?” tanya si kakek.
“Aku harus kembali ke air
terjun itu. kulihat kau telah menotok perempuan itu! aku tidak tega
membiarkannya seperti itu. Paling tidak baru besok pagi totokanmu lepas…..”
Si kakek tertawa. “Pemuda
aneh,” katanya. “Apa kau tidak sadar kalau tadi perempuan itu sengaja menyuruh
Randu Ireng menghantam ke arah pohon adalahkarena dia bermaksud membunuhmu dan
kawanmu ini?!”
“Aku tidak tahu kek. Mungkin
dia tidak tahu kalau kami sembunyi di balik pohon…. Kini aku harus
menolongnya!”
“Pemuda tolol! Kau bukan cum
ingin menolong. Kau benar-benar telah jadikucing yang tak pernah menolak
daging!”
“Kalau begitu biar kau saja
yang menolongnya. Siapa tahu dia tertarik
padamu…..”
Kakek Segala Tahu tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. “Aku cuma seekor kucing tua yang sudah
tak bergigi lagi. Mana sanggup melahap daging….. Ha…..ha…..ha…..ha!” Setelah
puas tertawa kakek itu menarik tangan Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan
Wiro. Pendekar 212 Wiro Sableng menarik nafas panjang lalu berlari, kembali
menuju air terjun Banyu Abang.
TAMAT