-------------------------------
----------------------------
022 Siluman Teluk Gonggo
1
MATAHARI bersinar terik
membakar jagat. Pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih dengan ikat
kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering. Peluh membasahi sekujur
tubuhnya. Dia merasa bersyukur karena sepeminuman teh berlalu akhirnya dia
sampai di sebuah kampung. Paling tidak dia bisa minta air segar pada penduduk.
Tapi kebetulan di mulut jalan di temuinya sebuah kedai.
Pemuda ini masuk ke dalam
kedai dan memesan minuman. Untuk mengurangi rasa panas dia berkipas-kipas
sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga orang penunggang kuda berhenti
di depan kedai. Sejenak si gondrong perhatikan ke tiga pendatang ini.
Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah mengadakan perjalanan jauh dan
ingin melepaskan lelah sambil membasahi tenggorokan. Si gondrong palingkan
kepala tak perdulikan orang-orang itu.
Ketika pelayan meletakan
minuman di hadapan si pemuda, tahu-tahu ke tiga penunggang kuda tadi sudah
melompat dan berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda melirik, lalu acuh tak
acuh dia terus berkipas-kipas. Salah satu tangannya menjangkau gelas minuman.
Tapi gerakannya tertahan oleh bentakan salah seorang tamu di sampingnya.
"Jadi menurutmu ini
bangsatnya?!" Yang membentak ini berusia sekitar tiga puluh tahun,
berambut pendek, memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar.
Lelaki di sampingnya, seorang
tua berambut kelabu, memandang sejenak pada pemuda rambut gondrong, sejurus
kemudian dia anggukan kepala.
"Memang dia bangsatnya.
Aku pasti betul!" kata si rambut kelabu.
Lelaki ke tiga seorang pemuda
berbadan tegap lantas saja membuka mulut: "Jika dia malingnya tunggu apa
lagi?!"
Sret! Dari balik pinggangnya
pemuda ini cabut sebilah golok dan mengacungkannya ke arah pemuda berambut
gondrong yang duduk di belakang meja.
Seperti seorang buta dan tuli
layaknya, si gondrong ini seolah-olah tak melihat orang-orang di sekitarnya
atau tak mendengar percakapan-percakapan di dekatnya. Dia terus saja
berkipas-kipas dan malah kini mengambil gelas berisi minuman.
"Setan! Kau berani
berlagak tolol pilon di depan kami!" sentak pemuda yang memegang golok.
Tangan kanannya di ayunkan. Prang! Gelas di tangan pemuda gondrong papas
berantakan. Sebagian isinya tumpah membasahi meja serta pakaian pemuda ini.
Bagian bawah gelas yang papas di tebas golok tajam masih berada dalam genggaman
tangan kiri pemuda itu. Di dalamnya masih berada sedikit sisa minuman. Si
gondrong goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari mulutnya keluar suara
siulan. Lalu seenanknya sisa minuman yang masih ada dalam gelas yang tinggal
sepotong itu diteguknya sampai habis!
Semua tamu yang ada di kedai
melengak heran tetapi diam-diam juga menjadi tegang. Sebaliknya tiga lelaki
yang berada di hadapan si gondrong jadi naik pitam. Dan pemuda yang memegang
golok kembali menghardik: "Pencuri ternak! Kau memang di cincang!"
Untuk kedua kalinya golok
besar itu berkelebat. Kali ini dibacokan ke kepala si gondrong. Beberapa orang
tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah membayangkan sesaat lagi akan
belahlah kepala pemuda berambut gondrong itu dihantam golok!
Tetapi gilanya manusia yang
dirinya terancam bahaya maut itu justru kelihatan tenang-tenang saja. Malah
cengar-cengir.
Namun apa yang terjadi
kemudian benar-benar merupakan satu kejutan.
Sedetik sebelum golok besar
itu menghantam sasarannya, terdengar pekikan keras. Golok kelihatan mencelat ke
atas dan menancap di langit-langit kedai. Pemuda yang tadi memegang senjata itu
terhuyung empat langkah ke belakang sambil pegangi siku tangan kanannya. Entah
kapan si gondrong ini bergerak tahu-tahu dia telah menangkis serangan maut yang
dilancarkan bahkan memukul tangan sambungan siku orang yang inginkan jiwanya!
"Pelayan! Ambilkan
minuman baru. Rasa hausku belum habis, tahu-tahu ada saja monyet kesasar yang
datang mengganggu!" Si gondrong berseru memanggil pelayan sambil salah
satu kakinya dinaikan keatas kursi.
"Bangsat pencuri! Berani
kau mencelakai adikku!" Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan tinju kanannya
yang besar kuat ke dada si gondrong.
"Buk!
Tinju tepat mendarat dengan
kerasnya di dada si gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan bukannya pemuda itu,
malah justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke belakang dan tangan kanannya
kelihatan merah bengkak!
Marah dan kesakitan si berewok
berteriak "Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan, aku mau lihat apa kau
kebal senjata!" Sebilah belati di cabutnya dari pinggang lalu secepat
kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.
Seperti tadi waktu di serang
dengan golok, tak kelihatan pemuda rambut gondrong itu bergerak tahu-tahu golok
sudah mental dan penyerang kena di hantam. Kali inipun terjadi hal yang sama.
Lelaki berewok menjerit kesakitan ,belati ditangannya mental ke udara dan
menancap di langit-langit kedai, tepat disamping golok!
"Pelayan! Mana minuman
baru! Lekas, aku benar-benar kehausan!" teriak si gondrong. Sampai saat
itu sedikitpun dia tidak beringsut dari kursi yang di didukinya!
Kini semua orang dalam kedai
itu serta merta menjadi maklum. Pemuda berpakaian putih, berambut gondrong,
bertampang lugu bahkan seperti agak sinting ini, bukan manusia sembarangan.
Pelayan datang setengah
berlari membawakan minuman. Kali ini digelas besar.
Setelah meneguk isi gelas
sampai setengahnya, si gondrong hembuskan nafas panjang. Perlahan-lahan dia
palingkan kepalanya ke arah lelaki tua berambut kelabu yang tegak di samping
mejanya dengan mulut menganga dan tampak terkesiap.
Si gondrong sunggingkan
senyum. "Orang tua berambut kelabu. Apa kau juga hendak turun tangan
terhadapku?!"
"Maling ternak, kau
tunggulah disini! Sekali kulaporkan yang kau lakukan, orang-orang Adipati
Japara akan datang menghajar dan menangkapmu!".
Orang tua berambut kelabu
menjawab sambil mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali untuk ikut-ikutan
turun tangan.
Si gondrong tertawa.
"Gila! Tuduhanmu sungguh
tidak enak. Maling ternak! Maunya kupecahkan mulutmu dan juga dua kembarmu itu!
Menuduh seenaknya. Tanpa alasan, tanpa bukti. Tak ada saksi!"
"Saksiku adalah mataku
sendiri! Aku masih belum buta! Memang kau yang mencuri selusin kerbau yang ku
gembalakan di tepi hutan Manuk!"
"Cc…cc…cc…" si
gondrong leletkan lidah.
"Benar kau belum buta,
orang tua. Tapi mungkin sudah lamur. Kau pasti salah lihat!"
"Tidak mungkin! Lekas
katakan dimana kau sembunyikan kerbau-kerbau curian itu!"
Si gondrong geleng-gelengkan
kepala.
"Dengar orang tua. Namaku
WIRO SABLENG. Mungkin aku pemuda gendeng, tapi bukan pencuri kerbau!"
"Bukan pencuri kerbau!
Puah! Pencuri kerbau bukan, tapi maling kerbau ya!" mendamprat pemuda yang
sambungan sikunya copot.
Si rambut gondrong yang
ternyata adalah pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling
pada si rambut kelabu. "Orang tua, coba kau jelaskan dulu apa yang
sebenarnya terjadi."
"Tidak perlu!"
potong lelaki berewok. "Jelas kau malingnya. Ayahku tak mungkin salah
lihat!"
"Oh, jadi si rambut
kelabu ini ayahmu," ujar Wiro. "Yang ini pasti adikmu. Dengar
berewok. Mencuri selusin kerbau bukan soal mudah. Paling sedikit harus
dilakukan oleh tiga orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma
sendirian."
"Jangan coba mengelabui
kami. Kawan-kawanmu saat ini tentu tengah menggiring kerbau-kerbau itu ke satu
tempat!"
Lama-lama murid Eyang Sinto
Gendeng ini jadi jengkel juga. Seumur hidup malang-melintang di dunia
persilatan baru hari itu dituduh jadi maling, pencuri kerbau! Kembali
digaruk-garuk kepalanya. "Mau percaya atau tidak, terserah. Aku tidak
mencuri kerbau kalian. Aku tak pernah berada di sekitar Gili Manuk. Aku datang
dari timur dan…"
"Memang mana ada maling
mau mengaku!" tukas si rambut kelabu memberengut.
Wiro Sableng menyeringai
dingin dan si berewok kembali membuk mulut: "Tanda-tanda yang kami ikuti
menuju ke tempat ini. Disini ayahku menemukanmu. Ciri-ciri pencuri itu tepat
seperti dirimu…"
"Mungkin ayahmu hanya
melihat dari jauh" Wiro coba membela diri.
"Jauh atau dekat bukan
soal. Yang jelas kau memang telah melarikan kerbau-kerbau kami!"
"Berewok. Jika kau tetap
menuduhku sebagai pencuri, berarti kau tak bakal menemukan pencuri sebenarnya.
Kau benar-benar akan kehilangan kerbau-kerbaumu…Jika katamu pencuri itu menuju
kejurusan sini, tentu dia atau mereka masih belum jauh dari sini. Kalian masih
punya kesempatan untuk mengejar!" Habis berkata begitu Wiro berdiri dan
berkata pada adik si berewok. "Mari kusambungkan kembali tulang sikumu."
"Tak perlu!" jawab
si pemuda sambil pegangi tangannya yang cidera.
"Ya, memang tak
perlu," kakaknya yang berewok menimpali beringas. Lalu dia mengajak adik
dan ayahnya segera melapor ke Kadipaten.
"Kalian ayah dan anak
sama saja keras kepalanya. Lebih baik untuk sementara kalian jadi patung saja,
supaya tidak menggangguku!" Dengan bergerak cepat Wiro Sableng menotok ke
tiga orang itu hingga tak mampu lagi bergerak. Setelah membayar minumannya dia
lambaikan tangan pada ke tiga beranak itu dan melangkah pergi.
"Maling kerbau! Jangan
lari kau!" teriak si berewok.
"Bangsat pencuri!"
adiknya menimpali. "Sekali engkau lari ke ujung dunia akan kukejar dan
kucincang!"
Sang ayah tak ketinggalan
berteriak: "Petugas-petugas Kadipaten akan menangkap dan
menghajarmu!"
Mereka ingin mengejar namun
tak mampu bergerak. Akhirnya hanya bisa memaki-maki sementara Wiro sudah tak
kelihatan lagi.JAUH di sebelah timur tampak menjulang gunung Muryo. Dengan
mempergunakan ilmu lari "kaki angin" pendekar itu lari kencang
kejurusan itu. Tujuannya adalah Japara. Disitu dia akan mencari keterangan
mengenai suatu tempat yang hendak didatanginya.
Sang surya mulai condong
kebarat. Di depan sana terbentang daerah berbukit-bukit. Sebagaimana lazimnya
keadaan alam, jika ada bukit-bukit maka di situ akan terdapat pula
lembah-lembah.
Wiro berdiri di puncak sebuah
bukit, memandang berkeliling. Lembah dan bukit di daerah itu tampak hijau
subur, tetapi masih liar belum dibuka manusia. Sesaat kemudian, ketika dia siap
untuk meneruskan perjalanan, mendadak langkahnya tertahan.
Jauh di bawah sana, di dasar
salah satu lembah dilihatnya dua penunggang kuda tengah menggiring serombongan
kerbau. Tak dapat dipastikan berapa jumlah binatang itu, namun Wiro yakin bahwa
ternak tersebut pastilah kerbau curian, milik ke tiga beranak di kedai yang
tadi menuduhnya sebagai pencuri.
Sesaat Wiro berpikir. Lalu
tanpa tunggu lebih lama dia segera berlari menuruni bukit. Sesampainya di
lembah diam-diam dia mengikuti kedua penggiring ternak itu. Mereka masih
muda-muda. Seorang diantaranya berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan
memakai ikat kepala sapu tangan putih. Sepintas lalu ciri-cirinya memang sama
dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng ini merutuk dalam hati. Inilah pangkal Tidak
salah kalau orang tua berambut putih itu menuduh bahwa dialah yang telah
mencuri selusin kerbau mereka!
Walau yakin kedua pemuda itu
pencuri, namun Wiro tidak segera turun tangan. Dia terus mengikuti perjalanan
mereka dari balik semak belukar. Hal ini tidak sulit dilakukan. Walaupun
menunggang kuda, tapi karena harus menggiring kerbau, dua pemuda itu terpaksa
bergerak perlahan.
"Dimana kita akan
istirahat?" tanya pemuda penunggang kuda berambut gondrong.
"Kita tidak akan
istirahat Kunto. Jika kemalaman di jalan bisa berabe!"
Si gondrong yang bernama Kunto
menyahuti: "Kau selalu kawatir kemalaman. Mengapa tidak lewat jalan umum
saja? Dalam waktu dua jam kita akan sampai ke kota. Dan menikmati hasil
penjualan kerbau-kerbau ini!"
Sang kawan tidak kelihatan
senang. Dia berkata: "Kau masih terlalu hijau untuk jadi pencuri ternak.
Lewat jalan umum memang lebih cepat tapi sama saja dengan menyerahkan batang
lehermu pada petugas-petugas Kadipaten. Aku yakin pemilik ternak ini telah
melapor ke Kadipaten!"
Kunto tertawa. “Ario, kaulah
yang tolol. Apa kau tidak tahu kalau orang-orang Kadipaten hanya mau mendengar
laporan dan minta uang pada si pelapor tapi tidak pernah melakukan sesuatu?
Apalagi mengurusi kerbau. Kecuali jika pemilik kerbau itu menjanjikan separoh
dari kerbaunya yang hilang akan diberikan pada mereka!”
“Ya, aku tahu hal itu,” jawab
Ario. “Tapi aku tetap tak mau cari penyakit. Kalau tidak melapor ke Kadipaten
bukan mustahil pemilik kerbau itu mengumpulkan orang sedesa dan mengejar kita.
Sekali tertangkap kita akan mereka gebuk sampai lumat!”
Kunto terdiam sesaat. Lalu
bertanya: “Kalau kau sudah takut begitu lalu bagaimana kita membawa ternak ini
langsung ke kota dan menjualnya seolah-olah milik kita?”
“Aku tidak tolol dan tidak
akan melakukan seperti itu. Ternak ini aku titipkan dulu di luar kota di tempat
Sumengkar. Kita cari pembeli di kota, jika harga cocok baru di bawa ke tempat
Sumengkar.”
“Susah-susah ke kota bagaimana
kalau kerbau itu aku saja yang membeli?” tiba-tiba satu suara meimpal.
Tentu saja Kunto dan Ario
kaget bukan main!
Keduanya sesaat saling
pandang. Setan atau manusiakah yang barusan bicara? Keduanya lalu sama-sama
berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Memandang berkeliling juga tak
seorangpun kelihatan. Aneh. Jelas mereka mendengar suara, tapi dimana orangnya?
Ario dan Kunto kembali saling pandang. Keduanya menunjukan wajah takut.
“Kudengar daerah sekitar sini
banyak dedemitnya,” bisik Kunto seraya rapatkan kudanya ke kuda kawannya.
“Jangan-jangan…”
“Mungkin kita cuma salah
dengar,” sahut Ario. “Tiupan angin kadang-kadang seperti suara manusia. Apalagi
kalau kita sedang melamun.”
“Kita tidak sedang melamun,
Ario. Suara manusia mana bisa sama dengan suara desau angin. Kalau bukan suara
manusia itu tadi, pasti suara setan. Mari kita bergerak lebih cepat!”
Kedua orang itu segera
menghalau kerbau-kerbau di depan mereka.
“Hai! Tunggu dulu!” tiba-tiba
suara tadi kembali terdengar. Lebih jelas dan lebih keras. “Kalian belum
menjawab pertanyaanku!”
Kunto menggigil sekujur
tubuhnya. Dia ingin menghambur duluan meninggalkan tempat itu. Ario pegang hulu
goloknya. Dengan mata liar dia memandang berkeliling lalu membentak dengan
suara bergetar: “Setan atau manusiakah yang bicara!? Harap tunjukan muka!”
Terdengar suara tawa bergelak.
Tiba-tiba semak belukar di samping kiri jalan tersibak. Seorang pemuda berambut
gondrong sambil cengar-cengir menyeruak keluar. Dia bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
“Siapa kau?!” sentak Ario.
Kunto segera lenyap rasa takutnya ketika dilihatnya yang muncul ternyata hanya
manusia biasa dan sendirian pula.
“Aku manusia biasa, bukan
setan bukan dedemit. Kalian belum jawab pertanyaanku. Mau jual kerbau-kerbau
ini padaku?”
Dalam hati Ario membatin.
Pemuda di depannya itu memperlihatkan tindak tanduk seperti orang kurang waras.
Maka dia bertanya: “Kau bergurau atau bagaimana, sobat?!”
“Orang mau beli kerbau
dibilang bergurau!” Wiro menggerutu.
“Kau punya uang untuk membeli
ternak ini semua?!” Kunto ajukan pertanyaan.
Dari balik pakaiannya Wiro
keluarkan sebuah kantong kulit. Ketika digoyangnya kantong itu mengeluarkan
suara berdering. Kunto dan Ario saling pandang. Kunto mendekati kawannya dan
berbisik: “Jika bisa dibereskan disini kita tak usah susah-susah ke kota”
Ario mengangguk.
“Kalau kau punya tiga puluh
ringgit perak, kau boleh ambil semua kerbau ini!” berkata Ario.
“Ah, itu terlalu mahal sobat,”
kata Wiro Sableng. “Terlalu mahal untuk kerbau-kerbau kurus tak berdaging yang
seperti binatang sakit ini. Apalagi kerbau curian pula!”
Paras Ario dan Kunto kontan
berubah.
“Pemuda asing. Apa maksudmu
mengatakan kerbau curian?” bentak Ario.
“Siapa mengatakan apa?” tanya
Wiro.
Kunto jadi jengkel. “Barusan
kau menuduh kami pencuri kerbau!”
“Aku tidak menuduh begitu. Aku
cuma bilang kerbau ini kerbau curian…”
“Sudah! Tak usah bicara
panjang lebar. Kalau kau sanggup bayar dua puluh ringgit perak kau boleh ambil
kerbau-kerbau ini!”
“Itu juga masih keliwat mahal
sobat,” kata Wiro sambil timang-timang uang di dalam kantong.
“Lalu kau mau bayar berapa?!”
bentak Ario.
“Setengah ringgit perak kurasa
sudah cukup pantas untuk selusin kerbau ini!”
“Kurang ajar! Kau hendak
mempermainkan kami! Bajingan tengik!” Kunto menarik tali kekang kudanya hingga
binatang ini melompat kehadapan Wiro.
“Siapa yang kurang ajar? Siapa
yang bajingan tengik? Siapa pula yang main-main?” tukar Wiro. Dari dalam
kantong kulit di keluarkannya sebuah mata uang perak. Dengan kedua tangannya
enak saja dia mematahkan uang perak itu hingga terbelah dua. Tentu saja ini
membuat Ario dan Kunto terkejut. Karena mematahkan uang perak dengan tangan
biasa merupakan suatu hal yang mustahil.
Ario jadi curiga. Jika pemuda
asing yang seperti kurang waras ini memiliki kepandaian tinggi, bukan tak
mungkin dia adalah seorang jagoan dari Kadipaten yang sengaja menyamar untuk membuntuti
mereka.
“Orang muda, apakah kau
petugas Kadipaten? Atau dari Kotaraja?” tanya Ario.
Wiro Sableng tertawa dan
garuk-garuk kepalanya.
“Aku bukan petugas Kadipaten.
Apalagi Kotaraja. Aku datang kemari untuk membeli kerbau kalian. Nah ini
uangnya setengah ringgit. Terimalah!”
Wiro lalu lemparkan potongan
uang yang tadi di belahnya ke arah Kunto. Lemparan itu kelihatannya biasa-biasa
saja, perlahan. Tetapi begitu mengenai dada Kunto langsung lelaki ini menjerit
kesakitan. Kesakitan dan marah Kunto segera hendak cabut goloknya. Tapi heran!
Celaka! Dia tidak bisa menggerakkan tangannya. Juga bagian-bagian tubuhnya yang
lain. Sekujurnya badannya kaku tegang! Masih untung dia bisa membuka mulut dan
berteriak: “Ario! Bangsat ini menotokku!”
Kagetlah Ario. Tanpa menunggu
lebih lama dia segera mencabut goloknya dan membabatkan senjata ini ke kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bajingan tengik! Kau
betul-betul ingin mampus!”
“Puah! Kalianlah yang perlu di
hajar!” damprat Wiro.
Dia menunduk. Golok Ario berkelebat
di atas kepalanya. Sesaat kemudian Ario terdengar menjerit dan seperti Kunto
tubuhnyapun kini kaku kejang dihantam totokan. Tanpa perdulikan jeritan dan
caci maki kedua orang itu Wiro membelintangkan Keduanya diatas kuda milik
Kunto. Dia sendiri lalu naik ke atas kuda Ario lalu menggiring kedua pencuri
itu bersama selusin kerbau menuju kampung dimana Kunto dan Ario telah mencuri
binatang-binatang tersebut.
Hari telah malam ketika Wiro
sampai di kedai di mulut jalan itu. Tapi di dalam kedai orang banyak masih
berkumpul menyaksikan pemilik kerbau dan kedua anaknya yang masih berdiri tegak
dalam keadaan kaku. Tak ada satu orangpun yang tahu bagaimana caranya
melepaskan totokan mereka. Banyak yang mencoba dengan jalan mengurut-urut atau
memukul-mukul, tetapi sia-sia. Akhirnya semua orang hanya bisa melihat saja
tanpa bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan itulah Wiro muncul dan masuk kembali
kedalam kedai. Serta merta banyak orang menyingkir. Bukan saja mereka merasa
takut terhadap pemuda ini, tetapi juga kaget melihat dua sosok tubuh yang
dilemparkan Wiro ke lantai kedai. Apa pula yang telah terjadi, pikir semua
orang.
Orang tua berambut kelabu
membuka mulut siap untuk memaki. Tapi Wiro cepat menutup mulutnya dengan tangan
kiri sementara dua anaknya memandang dengan mata melotot, beringas tetapi tak
berani keluarkan suara. Kalau saja Keduanya tidak dalam keadaan tertotok,
pastilah keduanya sudah menyerang Wiro.
“Orang tua,” kata Wiro pula.
“Kau lihat pemuda gondrong yang menggeletak di depan kakimu itu? Selintas
tampang dan perawakannya mirip aku, bukan?”
Si rambut kelabu sejenak
memandang pemuda yang terbujur di lantai dalam keadaan tertotok itu. “Apa
maksudmu? Siapa mereka?” tanya orang ini begitu Wiro lepaskan tekapannya dari
mulut lelaki itu.
“Merekalah yang mencuri
kerbaumu. Yang gondrong itu bernama Ario. Temannya Kunto. Kerbau-kerbaumu ada
di luar kedai!”
“Kurang ajar! Jadi!”
“Jadi ya jadi!” kata Wiro
sambil senyum-senyum. “Sekarang kalian baru percaya kalau aku bukan pencuri.
Nah kalian mau berbuat apa terhadap mereka. Mau ke Kadipaten memang itu
baiknya. Mau di gebuk lebih dulu asal tidak sampai mampus, aku tak mau ikut
campur!”
Habis berkata begitu Wiro
lantas lepaskan totokan pada tubuh orang tua itu dan kedua anaknya. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke pintu.
“Hai, tunggu dulu!” seru orang
tua pemilik kerbau. Dia dan kedua anaknya mengejar ke pintu. Namun sampai di
luar dia hanya melihat kegelapan. Selusin kerbau mereka berkeliaran di halaman
kedai.
2
KIRA-KIRA setengah hari
perjalanan dari gunung Muryo di sebelah tenggara terdapat sebuah bukit kecil
yang amat rimbun di tumbuhi semak belukar dan pepohonan liar. Menurut penduduk
yang tinggal jauh dari situ, konon tak pernah seorang manusiapun sejak tiga
puluh tahun silam berani berada dekat bukit itu. Apalagi coba mendatanginya.
Pohon-pohon jati yang tumbuh disitu amat bagus jenisnya. Namun tak seorangpun
penebang kayu yang mau datang kesitu untuk menebangnya. Kenapa sampai terjadi
demikian tentu ada sebab-musababnya.
Menurut orang-orang tua yang
tahu kisahnya, sebelum tiga puluh tahun yang lalu, bukit itu seperti
bukit-bukit lainnya di sekitar situ banyak di datangi orang. Kemudian terbetik
berita bahwa setiap orang yang berani datang ke bukit itu pasti tak akan kembali
lagi. Entah hilang kesasar entah mati. Yang jelas orang atau mayatnya tak
pernah di temui kembali.
Selama bertahun-tahun terjadi
hal semacam itu hingga penduduk takut. Bukit itu di anggap angker. Tak
seorangpun lagi berani datang dekat-dekat ke situ. Dan entah siapa yang mulai
menamakannya, bukit satu itu lalu diberi nama Bukit Hantu!
Pada malam-malam tertentu,
terutama ketika sedang gelap bulan, dari puncak bukit terdengar suara pekik
jerit aneh mengerikan. Sekali-sekali suara jeritan itu diseling oleh lolongan
anjing. Karena diketahui tak seorangpun diam di bukit itu.
Namun hari itu terjadi satu
kelainan yang bisa di katakan satu keluar biasaan. Sewaktu awan kelabu bergerak
dan berarak dari arah tenggara, seorang penunggang kuda berpakaian mewah tampak
memacu kuda tunggangannya menuju Bukit Hantu. Apakah dia seorang asing yang
tidak tahu angker dan bahayanya memasuki daerah itu? Tetapi dari gerak-gerik
dan caranya orang ini menunggangi kuda menempuh jalan agaknya dia mengetahui
betul seluk beluk daerah tersebut. Sekurang-kurangnya pernah mendatangi tempat
itu sebelumnya.
Di pertengahan lereng Bukit
hantu, orang ini hentikan kudanya. Sesaat dia memandang berkeliling, lalu
mengelus tengkuk kudanya sambil bergerak turun.
“Kembalilah pulang. Cukup kau
mengantarkan aku sampai di sini…”
Sang kuda, yang sejak tadi
dari kaki bukit menunjukan sikap aneh, tiba-tiba menaikkan kedua kakinya
tinggi-tinggi dan meringkik keras, lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan
tuannya.
Orang berpakaian bagus dan
mahal itu menghela nafas dalam. Paling tidak usianya sudah mencapai lima puluh
tahun. Meskipun tampangnya sudah mulai keriputan tapi juga membayangkan sifat
keras dan buas!
Tak lama sesudah kudanya
pergi, orang ini melanjutkan perjalannnya menuju puncak bukit dengan jalan
kaki. Kira-kira sepeminuman teh lagi dia akan sampai ke puncak Bukit Hantu,
jalan yang di tempuhnya mulai tidak sesukar sebelumnya. Semak belukar hampir
tak ada sama sekali seperti pernah di tebang dan di rapikan orang. Bahkan di
hadapannya kini muncul satu jalan kecil dan rata menuju ke puncak. Dimulut
jalan kecil mendadak sontak sepasang kaki orang ini berhenti melangkah dan
laksana dipakukan ketanah!
Dia sudah mendengar seribu
satu macam kangkeran yang ada di bukit itu. Tapi adalah tidak menduga sama
sekali kalau apa yang di saksikannya di hadapannya saat itu benar-benar akan
membuat tubuhnya mengeluarkan keringat dingin! Tiga puluh tahun yang silam,
selagi dia masih seorang pemuda, pemandangan itu belum ada. Pastilah apa yang
kini dilihatnya berasal dari puluhan manusia yang pernah dikabarkan hilang di
Bukit Hantu!
Berdiri disitu maulah
laki-laki ini membalikkan tubuh dan lari meninggalkan bukit tersebut. Namun
sesuai dengan ketentuan, hari itu adalah “Hari Perjanjian”. Dia harus datang
sesuai dengan sumpahnya. Kalau dia mungkin, makhluk aneh mengerikan, yang
selalu mendatanginya setiap malam Jum’at akan datang lagi kepadanya dan sekali
ini untuk mencekiknya sampai mati, mencopot kepalanya!
Agaknya tak ada jalan kembali.
Memutar haluan berarti mati secara mengerikan.
Sekilas tebayang olehnya istri
serta keempat orang anak yang disayanginya. Dia akan meninggalkan mereka semua
untuk selama-lamanya demi memenuhi sumpah tiga puluh tahun yang lewat. Tapi tak
apa. Dia coba menghibur diri. Toh istri dan anak-anaknya kini hidup bahagia
dalam sebuah rumah besar dan mewah, harta berlimpah, sawah lading luas, ternak
berkandang-kandang. Semua kekayaan itu tak akan habis sampai tujuh turunan.
Dikatupkannya mulut
rapat-rapat. Dengan menetapkan hati serta pikiran dan melangkah maju kembali.
Jalan kecil di hadapannya tampak memutih. Putih oleh tulang belulang manusia
beraneka bentuk. Dan di atas jalan tulang belulang inilah kakinya melangkah.
Kedua tepi jalan kecil itu dibatasi dengan puluhan tengkorak kepala manusia.
Tubuhnya terasa bergetar. Dia terus melangkah. Perutnya terasa mual. Akhirnya
dia sampai di ujung jalan. Dihadapannya tegak kini sebuah bangunan kecil yang
keseluruhannya terbuat dari tulang belulang manusia. Berapa puluh atau berapa
ratus manusiakah yang telah jadi korban di atas bukit ini? Dari sela-sela
dinding tulang kelihatan merambas asap aneka warna. Hidungnya dilanda oleh bau
aneh. Bau harum aneh yang menggidikkan karena berbaur jadi satu dengan bau
anyir busuk!
Bangunan kecil itu mempunyai
sebuah pintu yang tidak tertutup. Dari tempatnya berdiri, lelaki tadi dapat
melihat kedalam. Di dalam bangunan tulang ini tampak duduk seorang lelaki kurus
bermuka dahsyat. Jika dia masih benar seorang manusia maka wajahnya adalah
sepuluh kali lebih mengerikan dari wajah setan! Manusia ini memiliki rambut
putih panjang yang menutupi Sebagian wajahnya. Di belakang tikar kecil dimana
manusia ini duduk terdapat lima buah belanga. Di dalam belanga ada cairan
masing-masing berwarna hitam, merah, biru, ungu dan hijau. Dari setiap belanga
mengepul asap yang warnannya sesuai dengan cairan di dalamnya.
Orang itu menggerakkan
kepalanya. Rambut putih yang menutupi sebagian wajahnya tersibak. Kini
kelihatanlah keseluruhan wajahnya yang mengerikan itu.
Lelaki di ambang pintu serasa
terbang semangatnya sewaktu si muka setan tiba-tiba mengeluarkan suara seperti
lolongan srigala di malam buta. Begitu kerasnya lolongan itu hingga bangunan
tulang belulang serta tanah yang di pijak terasa bergetar. Anehnya mulut si
muka setan sedikitpun tak kelihatan membuka!
Sesaat kemudian terdengar
suaranya: “Bagus! Kau datang tepat pada waktunya Sonya! Sebelum kau melangkah
ke hadapanku, sebelum kau memasuki bangunan ini, tanggalkan dulu pakaian
bagusmu dan pakai ini!” Ternyata suara si muka setan halus seperti perempuan,
hanya saja mengandung pengaruh yang hebat luar biasa. Dari balik pakaiannya
yang seperti jubah berwarna hitam di keluarkannya satu stel pakaian butut penuh
tambalan dan bau apek. Pakaian itu dilemparkannya kehadapan orang di ambang
pintu yang dipanggilnya dengan nama Sonya.
Setelah lebih dulu menjura,
Sonya mengambil pakaian butut bau itu. Dibukanya pakaian yang dikenakannya,
dilemparkannya jauh-jauh lalu dikenakannya pakaian yang diberikan si muka
setan. Setelah berganti pakaian diapun masuk ke dalam bangunan tulang.
“Duduk!”
Si muka setan tudingkan
jarinya yang kurus dan berkuku panjang. Sonya lalu duduk di hadapannya.
“Ceritakan dengan singkat
garis kehidupanmu sejak tiga puluh tahun silam kau meninggalkan bukit ini!”
kata si muka setan pula.
Sonya menelan ludahnya baru
menjawab: “Berkat ilmu yang Datuk ajarkan aku telah menjadi kaya raya. Aku
kawin dan punya empat orang anak.”
“Kau senang? Bahagia…?”
Sonya mengangguk.
“Pada detik kau duduk di
hadapanku ini, kau telah dan harus meninggalkan kesenangan dan kebahagiaan
itu!”
“Aku tahu Datuk,” jawab Sonya.
“Kau bakal dapat kebahagiaan
lain! Asal saja kau tempuh cara hidup seperti yang kututurkan tiga puluh tahun
yang lewat!”
“Aku akan tempuh Datuk.”
“Lengkap dengan syarat
utamannya!”
“Lengkap dengan syarat
utamannya, “ mengulang Sonya.
“Bagus. Sekarang coba kau
katakan syarat utama itu!”
“Syarat utama itu ialah setiap
permulaan tahun baru aku harus membunuh anakku yang paling kecil dan
melemparkannya ke dalam laut.” Suara Sonya bergetar.
“Bagus! Ternyata kau
betul-betul masih ingat syarat utama itu!” kata sang Datuk pula. Lalu dari
mulutnya keluar suara tawa aneh menggidikkan. Kemudian sambil menuding ke
belakang dia bertanya: “Adakah kau melihat lima buah belanga itu?”
“Ada Datuk.”
“Berdirilah!”
Sonya berdiri.
“Di dalam belanga itu terdapat
cairan berlainan warna. Masing-masing cairan harus kau minum sebanyak tiga
teguk. Sebagian sisanya diguyurkan ke kepala dan badanmu. Segera mulai dengan
belanga di ujung kiri!”
Sonya melangkah mendekati
belanga di ujung kiri. Di situ terdapat cairan berwarna merah pekat, kental dan
mengepulkan asap. Sesuai dengan perintah sang Datuk muka setan maka diminumnya
cairan itu sebanyak tiga teguk. Belum lagi minum, baru mencium bau cairan,
Perutnya sudah terasa mual dan tenggorokannya mau muntah.
“Kau ragu Sonya?!” suara sang
Datuk bernada menegur dan mengancam Sonya segera meneguk cairan busuk itu tiga
teguk. Lalu menyiram kepala dan badannya dengan cairan yang sama. Kemudian dia
mendekati belanga kedua dan seterusnya.
“Sudah Datuk,” suara Sonya
seperti tercekik.
“Bagus. Sekarang duduk di
hadapanku!”
Dengan sekujur kepala serta
pakaian basah kuyup dan berbau busuk, Sonya duduk kembali di hadapan si muka
setan.
“Pejamkan matamu Sonya!”
Sonya Menurut dan pejamkan
matanya.
“Sekarang buka!”
Sonya buka kedua matanya.
Pandangan matanya kini membersit aneh. Liar menyeramkan. Bagian mata yang tadi
putih kini kelihatan merah.
“Bagaimana perasaanmu?”
bertanya Datuk.
“Tubuhku terasa hangat. Sangat
ringan. Di samping itu ada perasaan aneh, yang aku tidak tahu, menyelimuti
diriku…”
“Itu bukan perasaan aneh. Kau
harus dapat menerangkannya. Ayo!”
Sonya berpikir kemudian
menjawab. “Betul. Bukan perasaan aneh. Perasaan itu adalah nafsu. Nafsu untuk
membunuh. Nafsu untuk ingin melihat kematian manusia lain secara mengerikan!”
Orang tua berambut putih
panjang bermuka setan tertawa panjang. “Bukan hanya nafsu untuk membunuh Sonya!
Bukan hanya hasrat untuk melihat kematian yang menyeramkan. Tapi ada lagi satu
nafsu kini mendekam dalam tubuhmu. Nafsu kotor!”
Sonya mengangguk aneh.
“Ya. Nafsu kotor,” katanya
mengulang. “Nafsu terhadap perempuan,” sambungnya dengan suara berdesis.
Kembali sang Datuk keluarkan
suara tertawa panjang.
“Bila kau sudah meninggalkan
tempat ini, kau harus hidup menurut kehendak hatimu Sonya. Menurut nafsu yang
kini tertanam dalam dirimu! Kau boleh membunuh semaumu. Kau boleh mengumbar
nafsumu terhadap perempuan mana saja yang kau inginkan! Tentunya kau pilih yang
cantik-cantik bukan Sonya? Tak perduli anak atau istri orang. Apalagi
janda…hik…hik…hik!”
Sonya hanya bisa mengangguk.
“Sebelum pergi kau harus
tinggal disini selama satu minggu. Sesudah itu baru kau boleh pergi. Dengar
Sonya?”
“Tentu Datuk.”
“Kelak jika ilmu itu telah kau
kuasai, dunia luar akan menjadi geger! Dan tak satu tokoh silat atau orang
saktipun di dunia luar yang dapat mengalahkanmu! Itulah kehebatan ilmu siluman
cipataanku!” Sang Datuk tertawa lagi panjang dan lama.
Sonya ikut tertawa.
Tiba-tiba sang Datuk hentikan
tawanya dan berdiri.
“Kau akan tinggal selama tujuh
hari disini. Selama tujuh hari kau akan tidur bersamaku, melayaniku sambil aku
mengajarkan ilmu padamu. Kau dengar dan mengerti Sonya?”
“Dengar Datuk, tapi kurang mengerti…”
Sang Datuk menyeringai dan
tertawa kembali. Tiba-tiba dia buka jubah hitamnya dan kini dia tegak berdiri
dihadapan Sonya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
Sonya terbeliak kaget. Dari
sosok tubuh telanjang yang berdiri di hadapannya itu tidak disangkanya kalau
sang Datuk ternyata adalah seorang perempuan!
“Datuk, jadi kau…”
“Hik…hik…hik. Aku memang
seorang perempuan Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak sebagus tubuh perempuan
muda…?!”
“Ti…tidak Datuk,” sahut Sonya.
Walau yang dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit pembalut tulang. Perut
dan dada keriput.
“Sekarang kau harus lebih dulu
melayaniku Sonya…”
Meski tubuh itu jelek luar
biasa, tapi nafsu aneh mendekam dalam dirinya telah membakar birahi Sonya. Dia
mengangguk dan melangkah mendekat. Lalu seperti seekor singa lapar dirangkulnya
tubuh sang Datuk. Keduanya segera saja berguling di lantai!
PAGI hari kedelapan. Sonya
duduk di hadapan sang Datuk muka setan.
“Semua ilmu baru cipataanku
telah kau kuasai Sonya. Sebelum kau meninggalkan tempat ini akan kutegaskan
lagi Beberapa hal kepadamu. Pertama begitu turun dari bukit ini kau harus pergi
ke TELUK GONGGO di pantai utara. Aku telah membangun sebuah tempat di sana yang
dapat kau tinggali sebagai istana. Dari luar pintu bangunan itu hanya merupakan
sebuah goa buruk, mudah saja mencarinya.
Hal kedua yang akan
kuberitahukan ialah selama dunia terkembang kau tak bakal mengalami kematian.
Kecuali jika terjadi dua hal. Pertama Kau tak boleh kena air hujan. Jika itu
sampai terjadi ilmu siluman yang kau miliki akan luntur dan seseorang dengan
mudah bakal dapat membunuhmu! Pantangan kedua yang bisa menyebabkan kematianmu
ialah binatang itu…”
Datuk muka setan mendongak ke
atas langit-langit bangunan. Di sana di dalam sebuah sangkar yang terbuat dari
tulang-tulang iga manusia tampak seekor burung nuri merah.
“Nyawamu adalah juga nyawanya
Sonya. Dengan kata lain kau baru bisa mati kalau seseorang membunuh burung
itu!”
“Bagaimana kalau binatang itu
sewaktu-waktu sakit dan mati. Apakah aku juga akan mati Datuk?”
“Tidak, kau tidak akan mati.
Cuma mampus! Karenanya kau harus rawat dia baik-baik!” kata Datuk sambil
tertawa gelak-gelak. “Dan jangan lupa syarat utama tempo hari. Kau tidak
diperkenankan menjenguk anak istrimu; Pada hari Pertama pergantian tahun kau
baru boleh mendatangi mereka, tapi hanya untuk membunuh anakmu yang paling
kecil! Tahun berikutnya anakmu yang paling muda, begitu seterusnya. Jika
keempat anakmu sudah habis maka kau harus mencari anak orang lain tapi yang
berusia tidak boleh lebih dari tiga tahun!”
Sonya mengangguk tanda
mengerti.
“Jika kau lalai melaksanakan
syarat itu maka siluman peliharaanku akan mendatangimu. Menyiksamu selama tujuh
tahun sebelum menamatkan riwayatmu!” Sang Datuk lalu mengambil burung Nuri dalam
sangkar dan menyerahkannya pada Sonya. “Bawa ini dan simpan di istanamu di
Teluk Gonggo. Sebelum kau pergi ada satu hal yang akan terjadi Sonya.”
“Hal apakah Datuk?” tanya
Sonya sambil mengambil burung Nuri.
“Nanti kau akan lihat sendiri.
Jika hal itu sudah terjadi kau bakarlah bangunan ini dengan segala apa yang ada
di dalamnya! Dengan segala apa yang ada di dalamnya! Ingat itu baik-baik!”
Selesai berkata begitu Datuk
muka setan menyeringai aneh. “Kau puas melayaniku selama satu minggu Sonya?”
“Puas Datuk.” Diam-diam Sonya
menduga sang Datuk akan menyuruhnya lagi melayani nafsu gilanya. Sang Datuk
melolong panjang.
“Bagus. Kalau begitu aku akan
mati dengan perasaan tenang!” Selesai berkata begitu sang Datuk hantamkan tinju
kanannya ke kepalanya sendiri!
Prak!
Tak ampun lagi kepala itu pun
pecah. Darah dan otak berhamburan. Tubuhnya terguling tanpa nyawa. Sonya kaget
bukan main. Tubuhnya bergetar dan dari sela bibirnya tiba-tiba melesit suara
tertawa aneh disusul suara lolongan seperti srigala. Dia tertawa menyaksikan
kematian menyeramkan gurunya sendiri!
Sesuai dengan pesan sang guru,
semua yang ada di dalam bangunan harus di musnahkan!
—-
3
BUKIT HANTU……..?” kata orang
kedai sambil memandang tamunya yang duduk mengunyah nasi di hadapannya.
Wiro mengangguk.
“Orang muda, rupanya kau belum
pernah mendengar berita atau cerita tentang bukit itu hingga menanyakan jalan
terdekat menuju ke situ!”
“Banyak sekali yang kudengar
pak.”
“Kalau begitu pikiranmu kurang
sehat. Selama ini tak seorangpun berani dekat-dekat kesana, apalagi bermaksud
mengunjunginya. Siapa yang berani mendekati bukit itu tak pernah kembali.
Jangankan kau yang punya satu nyawa, sekalipun kau punya tiga nyawa pasti
ketiga nyawamu bakal melayang!”
“Sudahlah pak, kalau kau tak
keberatan tunjukan saja arahnya. Soal mati biar aku yang tanggung akibatnya.”
Pemilik kedai angkat bau. Dia
menunjuk lewat pintu kedai. “Lihat gunung itu?”
Wiro manggut.
“Itu gunung Muryo. Pergilah ke
arah tenggara. Di sana akan kau temui daerah berbukit-bukit. Bukit paling
tinggi itulah Bukit Hantu!”
Selesai makan, Wiro membayar
apa-apa yang dipesannya lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti
pandangan pemilik kedai. “Masih ada saja orang yang mencari mati di dunia ini!”
gumamnya.
Dengan mengandalkan ilmu
larinya, tak lama Setelah matahari pagi naik, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah
sampai di puncak Bukit Hantu. Ternyata dia terlambat. Hanya sepenanakan nasi
sebelumnya Sonya meninggalkan tempat itu. Yang ditemuinya hanyalah tumpukan
tulang belulang yang menghitam jadi arang. Ketika diperhatikannya lebih teliti,
dibawah tumpukan tulang belulang putih itu dilihatnya sesosok tubuh manusia
yang telah gosong. Dengan sebatang cabang kayu kecil disibakannya tulang-tulang
itu.
“Pasti ini si keparat Datuk Siluman,”
kata Wiro dalam hati. “Sialan. Aku terlambat. Seseorang telah duluan
membunuhnya!” Meskipun bukan dia yang turun tangan namun murid Eyang Sinto
Gendeng ini merasa lega juga karena manusia penimbul malapetaka besar bagi
dunia persilatan telah tamat riwayatnya.
Karena tak ada hal lain yang
akan dilakukannya maka Wiro segera meninggalkan Bukit Hantu sambil
bersiul-siul. Jalan yang ditempuhnya justru yang sebelumnya juga ditempuh oleh
Sonya!
Satu bulan yang lalu, beberapa
tokoh silat di wilayah timur telah meminta bantuan Pendekar 212 untuk
memusnahkan Datuk Siluman yang bercokol di Bukit Hantu. Hidup matinya manusia
jahat ini amat menentukan ketentraman dunia persilatan. Bukan rahasia lagi
bahwa diketahui Datuk Siluman itu telah menciptakan suatu ilmu hitam yang amat
hebat, dan kelak akan menimbulkan malapetaka dahsyat bilamana tidak segera
dicegah. Nyatanya kini Datuk golongan hitam itu telah menemui ajalnya.
Seseorang telah menghancurkan batok kepalanya lalu membakar sang Datuk bersama
tempat kediamannya. Siapakah yang telah melakukan hal itu? Jago atau tokoh
silat dari mana? Tentu saja Wiro tidak mengetahui kalau Datuk Siluman sengaja
bunuh diri setelah lebih dulu mewariskan semua ilmu hitam yang dimilikinya
kepada murid tunggalnya yang cuma di gembleng selama satu minggu yaitu Sonya.
Kita tanggalkan dulu
perjalanan Wiro dan mengikuti perjalanan Sonya. Saat itu dia tengah menuju ke
pantai utara, yaitu sesuai dengan perintah gurunya. Dia berada sekitar dua jam
perjalanan di depan Wiro. Menjelang tengah hari Sonya sampai di tepi sebuah
telaga berair jernih. Dia berhenti di situ dan duduk di bawah pohon yang
rindang. Burung Nuri dalam sangkar tulang yang jadi pautan nyawanya di letakan
di tanah dijaganya hati-hati.
Udara yang panas seperti saat
itu membuat dia ingin turun ke telaga dan mandi. Tapi dia khawatir kalau-kalau
disekitar situ ada binatang buas yang selagi dia mandi menyergap burung
Nurinya. Sekali burung itu disergap binatang buas maka putus pulalah nyawanya!
Setelah hilang letihnya, Sonya
bersiap meninggalkan tepian telaga. Pada saat itulah lapat-lapat didengarnya
suara rentak kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Sonya menyelinap dan
bersembunyi ke balik pohon besar. Tak lama kemudian kelihatanlah serombongan
penunggang kuda mengawal sebuah kereta barang. Begitu melihat telaga berair
jernih dan sejuk, lelaki gemuk berpakaian bagus yang duduk di samping kusir
kereta berseru: “Kita istirahat dulu di sini!”
Maka rombonganpun berhentilah.
Lelaki gemuk berpakaian bagus
itu adalah seorang saudagar kayu yang tengah membawa barang dagangannya menuju
Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro. Bersamanya ikut lima orang pengawal yang
dipimpin oleh Rah Brojo, seorang jago silat berkepandaian tinggi. Memang
meskipun masa itu daerah Jawa Tengah cukup aman, tetapi saudagar seperti Raden
Mas Kuncoro mana berani mengangkut barang tanpa pengawal. Sudah lazim para
pedagang menyewa pengawal-pengawal berkepandaian tinggi demi keselamatan harta
dan nyawa selama perjalanan.
Sang saudagar turun dari
kereta. Setelah meneguk air sejuk dari dalam sebuah kantong kulit yang
dibawanya, diapun melangkah ke tepi telaga guna mencuci muka serta kakinya.
Saat itulah pandangannya menangkap sosok tubuh Sonya yang berdiri di balik
pohon besar sambil memegangi sebuah sangkar aneh berisi Nuri merah.
Raden Mas Kuncoro adalah
seorang saudagar yang gemar memelihara burung. Di tempat kediamannya sengaja
dia membangun sebuah bangunan besar dimana dipeliharanya puluhan jenis burung
yang bagus-bagus. Melihat Sonya berdiri memegangi burung Nuri tertariklah
hatinya. Dia seperti tidak melihat kelainan pada tampang dan pakaian Sonya.
Pikirannya hanya tertuju pada burung dalam sangkar tulang. Sementara rombongan
duduk di tepi telaga sebelah lain, Kuncoro melangkah mendatangi Sonya.
“Burung Nuri itu bagus
sekali,” Raden Mas Kuncoro menyapa. Sambil tersenyum.
Sonya diam saja.
“Burungmu?”
“Ya, Kenapa?” Sonya balik
bertanya.
“Bagus sekali. Bagus sekali.
Belum pernah aku melihat Nuri seperti satu ini.” Saudagar itu membungkuk agar
dapat melihat binatang itu lebih jelas. “Sangkarnya Kenapa aneh begini?”
“Bagiku tidak aneh,” sahut
Sonya kaku.
Kuncoro mengangkut kepalanya.
Sikap pemilik burung itu dianggapnya tidak ramah. Membuatnya tidak enak. Ketika
diperhatikannya tampang Sonya hatinya tambah tidak enak. Ada rasa ngeri melihat
wajah manusia itu. Lalu pakaiannya yang kotor penuh tambalan dan bau busuk yang
membersit dari tubuh orang itu.
“Dengar saudara,” kata
Kuncoro. “Aku seorang penggemar burung. Kau mau menjual Nuri ini?”
Sonya seperti kaget. Tetapi
sesaat kemudian dia tersenyum. Senyum aneh di mata sang saudagar.
“Katakan saja harganya pasti
kubayar,” kata Raden Mas Kuncoro seraya meraba sabuk uang di pinggangnya.
“Burung ini tak kujual,” kata
Sonya tandas.
“Sepuluh ringgit emas!” kata
Raden Mas Koncoro tak tanggung-tanggung. Sepuluh ringgit emas adalah harga gila
dan amat mahal untuk seekor burung meskipun sebagus Nuri itu. Tapi bagi
seseorang yang senang akan suatu benda harga bukan menjadi persoalan. Apalagi
bagi seorang seperti saudagar itu. Sepuluh ringgit emas bukan apa-apa baginya.
Dengan tenang Kuncoro keluarkan sabuk uangnya.
Sonya pencongkan mulut dan
berkata: “Lima puluh ringgit emas pun burung ini tak akan kujual!”
Saudagar itu terkesiap
sejenak. Dia berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata: “Begini saja
saudara, kau ikut kerumahku. Di sana kau boleh pilih tiga ekor Nuri yang sama
seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh ringgit emas dan serahkan Nuri itu
padaku!” Sang saudagar merasa pasti kali ini Sonya akan menyetujui. Tapi
jawaban Sonya membuat dia terkejut.
“Sekali aku bilang burung ini
tidak dijual, tetap tak akan kujual. Kau tidak tuli bukan?!”
“Tiga burung Nuri ditambah
tiga puluh ringgit emas!” kata Raden Mas Kuncoro sambil mengangkat kedua
tangannya.
“Sekalipun nyawamu nanti kau
berikan padaku burung ini tak akan kujual!” sahut Sonya dan memutar tubuh
meninggalkan tempat itu. Kuncoro memegang bahunya.
“Tawaranku masih belum
selesai. Aku bisa menaikkannya lagi. Berapa kau suka, saudara? Kau jangan main-main….”
Sonya hentikan langkahnya,
berpaling menghadapi Kuncoro. Sepasang matanya membersitkan sinar aneh. Sinar
menggidikkan.
“Siapa bilang aku main-main.
Aku akan buktikan bahwa aku tidak main-main. Nah mampuslah!”
Sonya mengangkat tangan
kanannya. Lima jari tangan kanannya yang berkuku panjang terpentang mengerikan.
Lalu terdengar pekik Raden Mas Kuncoro. Tubuhnya roboh ditepi telaga. Mukanya
hancur mengerikan. Hampir tak dapat dikenali lagi. Hidungnya tanggal dan
mulutnya robek. Itulah keganasan “Cakar Siluman”, ilmu yang telah dipergunakan
Sonya untuk menamatkan sang saudagar hanya dengan sekali gerakan saja!
Mendengar jeritan Kuncoro dan
melihat sosok tubuh saudagar itu roboh ke tanah, lima pengawal tersentak kaget
dan melompat mendatangi. Rah Brojo paling depan. Matanya membeliak melihat
kematian sang saudagar.
Suaranya bergetar, rahangnya
menggembung. “Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai membunuhnya begini
keji?!”
“Tak ada pasal tak ada
lantaran!” jawab Sonya.
“Kenapa kau lalu membunuhnya?”
“Karena aku ingin membunuhnya.
Habis perkara!”
“Kalau begitu kau adalah iblis
edan yang harus dihajar!”
Rah Brojo hantamkan satu
jotosan ke dada Sonya. Gerakannya cepat dan keras. Yang di serang tertawa aneh.
Sinar mengerikan kembali membersit di kedua matanya. Dia berkelit mengelakkan
jotosan lawan. Di lain kejap sambil dibarengi teriakan “Mampuslah!”, tangan
kanannya kirimkan cakaran ke muka kepala pengawal itu.
Sebagai kepala pengawal kereta
dagang Rah Brojo memiliki ilmu silat tinggi ditambah segudang pengalaman.
Cepat-cepat dia menghindar ke samping. Cakaran lawan berhasil dielakkannya.
Tapi kelima jari tangan itu tiba-tiba saja membalik cepat dan memburu ke
mukanya. Kali ini Rah Brojo tak sanggup lagi berkelit. Jeritannya yang terdengar.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia mati dengan muka rusak mengerikan seperti yang
barusan dialami Raden Mas Kuncoro.
“Manusia biadab! Bersiaplah
untuk mati!” teriak seorang pengawal kereta. Bersama tiga kawannya, dengan
bersenjatakan golok dan dibantu pula oleh kusir kereta yang memegang sepotong
besi panjang , mereka serentak mengurung dan menyerbu Sonya!
Dikeroyok lima begitu rupa
Sonya menunggu dengan keluarkan suara aneh. Dengan tangan kiri masih tetap
memegang sangkar tulang, lelaki ini berkelebat. Kelima penyerangnya terkesiap
ketika mendapatkan orang yang menjadi sasaran lenyap dari hadapan mereka.
Senjata masing-masing malah ada yang saling beradu satu sama lain. Belum habis
rasa kaget mereka tiba-tiba terdengar bentakan:
“Mampuslah!”
Setelah itu suara pekik
terdengar susul-menyusul. Empat pengawal tersungkur di tanah dengan muka hancur
mengerikan. Satu-satunya yang masih hidup yakin kusir kereta, yang lumer
nyalinya, tanpa tunggu lebih lama segera putar badan ambil langkah seribu. Tapi
nasibnya cuma tertunda tiga langkah. Pada langkah ke empat lima jari tangan
dengan ganas berkelebat di depannya. Untuk kesekian kalinya lima jari siluman
meminta korban!
Sonya membersihkan tangannya
yang penuh darah. Lalu dia menggeledah pakaian para korban. Setiap uang dan
benda berharga yang ditemuinya diambilnya. Jumlah terbanyak yang didapatnya
adalah dari tubuh Raden Mas Kuncoro.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang
sampai di tempat itu dua jam kemudian merasa heran menemukan beberapa ekor kuda
dan kereta tanpa kelihatan seorang manusiapun. Namun keheranannya itu berubah
menjadi rasa terkejut sewaktu menemui tujuh mayat yang bergelimpangan di tepi
telaga. Semuanya mati dengan muka hancur mengerikan!
Murid Sinto Gendeng ini
mengrenyit, geleng-geleng kepala dan garuk rambutnya.
Apa yang sebenarnya telah
terjadi di sini? Rombongan itu di serang rampok? Lalu mengapa kereta barang
tidak di ganggu?
“Gila!” maki Wiro dalam hati.
Setelah mengurus jenazah itu
sebisa yang dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan.
—-
4
Sonya sengaja menempuh hutan
belantara agar lebih cepat sampai ke tujuan yaitu Teluk Gonggo di pantai utara.
Namun sewaktu malam tiba dan Perutnya terasa lapar, mau tak mau dia segera
mendatangi kampung terdekat.
Kampung Waringin merupakan
kampung ramai karena terletak dipersimpangan tiga jalan arus perdagangan.
Kampung ini tidak beda dengan sebuah kampung kecil. Disini terdapat sebuah
rumah makan yang bagian belakangnya disewakan untuk penginapan. Kesinilah Sonya
pergi untuk mengisi perutnya.
Di dalam rumah makan saat itu
telah banyak pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja menarik perhatian tamu
dan pemilik kedai. Bajunya yang kotor penuh tambalan dan bau badannya yang
busuk membuat semua orang merasa jijik dan menjauhi. Tapi Sonya mengambil tempat
duduk tanpa perdulikan hal itu.
“Pengemis dari mana yang
berani-beranian masuk ke kedaiku!” kata pemilik kedai dalam hati dengan
mendongkol. Mula-mula hendak disuruhnya Sonya keluar. Tapi ketika dilihatnya
wajah Sonya yang membayangkan sinar aneh, beratlah dugaannya bahwa Sonya adalah
seorang pengemis berotak miring. Agar tidak terjadi keributan maka pemilik
kedai ini membiarkan saja Sonya duduk disalah satu sudut.
Sonya berseru memanggil
pelayan dan memesan makanan. Setelah mendengar makanan apa yang diminta oleh
tamunya, maka bertanyalah pelayan rumah makan itu.
“Pengemis, apakah kau punya
cukup uang untuk membayar harga makanan mahal yang kau pesan?”
Air muka Sonya tampak berubah.
Kelam membatu dan sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan.
“Katakan berapa harga
kepalamu. Aku akan bayar detik ini juga!” kata Sonya pada si pelayan.
Karena ngeri, si pelayan
cepat-cepat memutar tubuh. Ucapan Sonya ini membuat semua orang tambah
memperhatikannya dan juga burung Nuri dalam sangkar aneh yang diletakannya di
atas meja.
Kebetulan saat itu di rumah
makan tersebut terdapat rombongan Adipati Cokroningrat dari Leles. Sambil
menyantap makanannya Adipati memperhatikan gerak-gerik Sonya. Sekali-sekali dia
berbisik pada pembantu yang duduk di sampingnya. Selesai makan sang Adipati
mengatakan sesuatu pada pembantunya itu dan si pembantu lalu berdiri, melangkah
ke hadapan Sonya yang saat itu asyik menggerogoti paha ayam goreng.
“Pengemis,” demikian pembantu
Adipati menegur. “Selesai makan harap kau menemui atasanku. Adipati Leles.
Beliau ingin bicara soal burung yang kau bawa ini.”
Tidak menjawab apa-apa,
seperti tidak mendengarkan orang bicara, Sonya terus saja melahap paha ayam.
Pembantu Adipati itu kembali ke tempatnya. Mereka menunggu sampai Sonya selesai
makan. Setelah selesai makan dan kelihatannya Sonya masih tetap saja duduk
tenang-tenang di tempatnya Cokroningrat berkata pada pembantunya.
“Mungkin dia lupa. Panggil
lagi. Suruh ke sini.”
Si pembantu datangi Sonya
sekali lagi.
“Pengemis, seperti kataku tadi
lekas kau menghadapi Adipati!”
Sepasang mata Sonya menyipit.
“Jika dia yang perlukan aku,
suruh dia merangkak kemari!”
Kata-kata itu diucapkan Sonya
dengan suara lantang hingga semua orang dalam rumah makan ikut mendengar dan
terkejut mendengar ucapan yang berani serta kurang ajar itu. Adipati Leles
sendiri kelihatan berubah wajahnya. Serta merta, merasa terhina, dia berdiri
dan mendatangi meja Sonya. Dia menyeret sebuah kursi dan duduk di hadapan
lelaki yang diduganya pengemis itu.
“Kata-katamu tadi kasar dan
kurang ajar. Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa, pengemis bau?”
“Berlalulah dari hadapanku.
Atau kusemburkan seribu kata hina dan kotor di mukamu?!”
Rahang Cokroningrat
menggembung. Sebetulnya ingin sekali dia menampar muka pengemis itu. Tapi
mengingat dia ada satu maksud maka ditahannya kemarahannya. Dia melirik pada
burung Nuri merah.
“Burung ini milikmu?”
Sonya mengangguk. Sikapnya tak
acuh.
“Sangkarnya aneh. Dari tulang.
Tulang kambing atau tulang kerbau?”
Sonya menyeringai. “Itu bukan
tulang kambing. Bukan tulang kerbau. Bukan tulang binatang. Itu tulang belulang
manusia!”
Adipati Cokroningrat terkejut.
Diperhatikannya lagi sangkar itu. Dia memang belum pernah melihat tulang
belulang manusia. Tapi kalau itu dikatakan tulang-tulang manusia tak percaya
dia. Pengemis ini agaknya berotak miring.
“Dengar, burung itu tak pantas
kau pelihara. Kau pasti tak bisa merawatnya. Jual saja padaku…”
“Oh, itu rupanya maksudmu,”
ujar Sonya dan lagi-lagi sambil menyeringai. “Berapa kau sanggup membelinya,
Adipati?”
“Dua ringgit perak!”
Sonya tertawa gelak-gelak.
“Setan, Kenapa pengemis ini
tertawa! Dasar gila!” maki Cokroningrat dalam hati.
Dari balik pakaiannya Sonya
mengeluarkan dua ringgit emas dan meletakkannya di atas meja.
Terkejutlah sang Adipati. Juga
semua orang yang ada di situ. Siapa menduga kalau pengemis edan macam begitu
memiliki dua ringgit emas?!
Malu dan terhina Adipati Leles
dan berkata. “Baiklah, akan kubayar tiga ringgit emas!”
Sonya kembali mengeruk pinggang
pakaiannya. Dikeluarkannya tiga ringgit emas dan diletakannya di atas meja.
“Sudah, kubeli Nurimu enam
ringgit emas!” Adipati itu cepat-cepat meletakan enam ringgit emas di hadapan
Sonya. Sebaliknya Sonyapun keluarkan enam ringgit emas dan menyodorkannya ke
hadapan Cokroningrat!
Kini marahlah Adipati itu.
Tapi dia berusaha menahan diri. “Katakan berapa kau mau jual burung itu!”
Sonya tertawa. Sebuah kantong
kulit digebrakannya di atas meja. Ini adalah kantong milik saudagar Kuncoro
yang telah dibunuh dan dirampoknya. Kantong itu digoyang-goyangnya. Terdengar
suara berdering.
Di dalam kantong itu terdapat
lebih dari seratus ringgit emas. Kau mau…?
Gelaplah muda Cokroningrat.
Dia benar-benar dibikin malu.
“Pengemis hina dina! Mulut dan
sikapmu benar-benar keterlaluan!”
“Ambil uangmu dan berlalu dari
hadapanku Paduka Adipati sialan!”
“Haram jadah. Kalau kau bukan
orang sinting sudah kupecahkan batok kepalamu!”
“Sinting atau tidak, biar aku
beri pelajaran manusia kurang ajar ini!” Yang berkata adalah pembantu Adipati.
Tapi sang Adipati cepat menarik pembantunya. Setelah mengambil uangnya yang
enam ringgit dari atas meja dia kembali ke tempat duduknya semula. Dia tak mau
terjadi keributan dalam rumah makan itu. Dia berbisik pada pembantunya: “Kita
hadang dia ditengah jalan.” Sang pembantu mengerti dan mengangguk.
“Aneh, kenapa lampu pada
mati?” ujar pemilik rumah makan. Dia memanggil pelayan dan menyuruh agar lampu
di hidupkan. Karena tak ada jawaban maka lampu-lampu itu dihidupkannya sendiri.
Ketika seluruh rumah makan
terang benderang kembali maka terkejut dan hebohlah semua orang yang ada
disitu. Betapakan tidak! Pelayan rumah makan kedapatan menggeletak di lantai
dengan muka hancur mengerikan. Nyawanya tak disangsikan lagi pasti sudah melayang.
Di seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta pembantunya mengalami nasib yang
sama. Mati dalam keadaan masih duduk di kursi masing-masing, muka hancur,
hidung tanggal, biji-biji mata berbusaian dan bibir robek. Tubuh sang Adipati
dan pembantunya berada dalam keadaan kaku tegang, begitu juga si pelayan yang
malang. Nyatalah bahwa ketiganya telah ditotok sebelum dibunuh!
Memandang ke sudut ruangan,
pengemis aneh tadi dan juga burung Nurinya tak ada lagi disitu. Di meja hanya
ada sekeping uang perak. Sesuai dengan harga makanan yang dipesannya.
Sonya tak mau melewati Jepara
karena dia ingin lekas-lekas sampai di Teluk Gonggo. Dengan ilmu larinya yang
aneh, yang dipelajarinya secara aneh dari datuk Siluman, pada hari ke tiga dia
sampai pada suatu daerah liar penuh dengan batu-batu. Disini angin bertiup
Sangat keras. Satu pertanda bahwa tak lama lagi dia akan sampai di daerah
pantai.
Menjelang rembang petang,
ketika dia mendongak memandang langit, berubahlah paras Sonya. Dari arah
tenggara berarak cepat awan tebal hitam. Dalam waktu singkat mendung telah
menyungkup udara sedang dikejauhan kilat tampak mulai menyambar, sesekali
diselingi suara gelegar guntur.
Dia berhenti berlari,
memandang berkeliling mencari tempat untuk berteduh bila hujan turun. Tak ada
sebatang pohonpun yang tumbuh di daerah berbatu-batu itu. Sekalipun ada tak
mungkin dia bisa berlindung tanpa terkena air hujan.
Angin bertiup tambah kencang.
Sonya tambah cemas.
Burung dalam sangkar tulang
kelihatan gelisah. Binatang ini menggelepar kian kemari dan mengeluarkan suara
aneh, membuat Sonya bertambah kecut.
Dalam keputus asaannya Sonya
berlari kencang kejurusan timur. Memang nasibnya baik. Kira-kira sepeminuman
teh berlari disalah satu lamping bukit batu ditemuinya sebuah lobang setinggi
dada. Tak menunggu lebih lama dia segera memasuki lobang ini. Hanya beberapa
saat saja setelah dia masuk ke dalam lobang hujan lebat turun laksana
dicurahkan dari langit!
Sonya menarik nafas lega.
Wajahnya yang tadi pucat karena ketakutan kini berdarah kembali. Dia coba masuk
lebih jauh ke dalam lobang agar jangan sampai terkena tampiasan atau percikan
air hujan. Angin bertiup keras dan dingin. Akhhirnya dia duduk menjeleplok
dalam lobang itu. Setelah duduk beberapa lama Sonya merasakan sesuatu yang aneh.
Hawa dingin dari luar tidak terasa lagi meskipun angin masih terus bertiup. Di
sekitarnya teras hangat. Di samping itu hidungnya mencium bau harum semerbak.
Tak syak lagi hawa hangat dan bau harum itu pastilah datang dari dalam lobang.
Mungkin ada makhluk penghuni di dalam sana? Tapi mengapa lobang itu tampak
gelap dan seperti buntu?
Sambil terus membawa burung
Nuri dalam sangkar, perlahan-lahan Sonya masuk membungkuk-bungkuk lebih jauh
kedalam lobang. Tambah ke dalam tambah hangat terasa udara dan bau harum
semakin keras. Di sebelah atas lobang batu itu tampak tambah meninggi hingga
kalau tadi dia harus membungkuk-bungkuk, kini dia dapat berjalan seperti biasa.
Langkahnya terhenti di hadapan
sebuah batu besar hitam dan rata. Semula disangkanya dia sudah sampai diujung
lobang dan buntu. Namun sewaktu diperhatikannya baik-baik, disamping kanan batu
ditemuinya sebuah celah sepemasukan tubuh manusia. Sonya melangkah mendekati
celah. Hati-hati dia mengulurkan kepalanya, mengintai ke ruang di belakang
batu.
Sepasang mata Sonya membesar
ketika menyaksikan pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya. Tepat
dibelakang batu hitam itu terdapat sebuah tangga terbuat dari batu mar-mar
putih, menurun menuju sebuah ruangan empat persegi yang lantainya dihampari permadani
merah berbunga-bunga.
Di atas permadani itu duduk
seorang lelaki tua bermuka putih, berambut kelabu menjela bahu. Di hadapannya
bersila seorang perempuan berpakaian kuning polos yang wajahnya tak dapat
dilihat oleh Sonya karena duduk memunggungi batu.
Pada saat itu terdengar si
orang tua berambut kelabu berkata:
“Muridku, batapapun seseorang
mendalami ilmu silat dan kesakitan harus pula mempelajari ilmu yang menyangkut
keagamaan serta segala sesuatu yang ada hubungannya dengan budi nurani manusia
luhur. Itu semua akan menjadi semacam kendali baginya untuk mempergunakan
kepandaian silat serta kesaktiannya hanya untuk maksud kebaikan semata, bukan
untuk berbuat jahat. Agama dan hati nurani luhur mengingatkan seseorang untuk
tidak menyeleweng dari rel kebenaran, menjaganya agar jangan menjadi sesat!
Karena itulah meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun
kau belum mengizinkan kau meninggalkan tempat ini guna mencari musuh besarmu.
Soal balas dendam soal mudah Dwiyana. Kau harus tinggal disini selama dua tahun
lagi guna mempelajari agama dan seluk beluk budi luhur. Sambil belajar itu
semua kau sekaligus dapat pula melatih dan memperdalam ilmu silatmu. Bukankah
itu lebih baik bagimu?”
“Jika Eyang berpendapat begitu
tentu itu memang lebih baik. Dan saya akan menurut saja…” jawab perempuan
berpakaian kuning.
Kini mengertilah Sonya. Kedua
orang itu adalah guru dan murid. Dan sang murid dapat dipastikannya adalah
seorang gadis. Meski dia belum dapat melihat paras gadis itu, namun satu hawa
jahat telah menggerayangi diri Sonya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh.
Ujung lidahnya tiada henti dileletkan membasahi bibir sedang cuping hidungnya
kembang kempis. Nafsu kotor mulai membakar manusia dengan cepat!
“Nah muridku, kuharap kau
tidak kecewa dengan keputusanku ini,” kata sang guru.
“Sama sekali tidak Eyang,”
menyahuti murid yang bernama Dwiyana. “Malah saya menghaturkan banyak terima
kasih atas perhatian dan petunjuk Eyang. Apa yang Eyang lakukan semata adalah
untuk kebaikan saya.”
Sang guru mengangguk-angguk.
Lalu batuk-batuk beberapa kali. Sesaat dia memandang ke arah batu hitam di atas
ruangan. Dia tampak tersenyum lalu buka mulut:
“Kalau ada tamu di luar sana,
megapa berdiri saja? Silahkan masuk……….”
Sonya terkesiap. Dia menahan
nafas. Si rambut kelabu itu rupanya memiliki indera keenam. Dengan menyeringai
kemudian Sonya memasuki celah. Batu lalu melangkah menuruni anak tangga demi
anak tangga. Si orang tua memberi isyarat pada muridnya. Dwiyana berdiri lalu
duduk di sudut ruangan.
Di ujung ruangan Sonya
hentikan langkah. Sesaat pandangannya saling beradu dengan mata orang tua itu.
Sebuah lampu kecil kelihatan terletak di sebuah ruangan lain, lalu sebuah
pendupaan yang mengeluarkan asap harum. Sonya melirik pada Dwiyana. Ternyata
gadis itu memiliki paras cantik. Tambah berkobarlah nafsu terkutuk dalam tubuh
murid Datuk Siluman ini! Perlahan-lahan dia melangkah ke hadapan orang tua yang
duduk bersila di atas permadani merah.
—-
5
Sekali saja melihat paras
Sonya baik si orang tua maupun Dwiyana segera mengetahui bahwa manusia
bertampang buruk bengis yang mengenakan baju dekil bertambal-tambal ini bukan
seorang manusia baik-baik. Sinar matanya menunjukkan hal itu. Namun demikian si
orang tua penghuni goa batu mempersilahkan tamunya duduk dengan sikap ramah.
"Tamu aneh yang datang
membawa burung Nuri dalam sangkar aneh, apakah kau seorang pemburu?"
"Namaku Sonya. Aku bukan
pemburu," jawab Sonya dengan nada kaku. "Kau sendiri siapa?" dia
balik bertanya.
Yang ditanya tersenyum.
"Orang memanggilku
Malaikat Berambut Kelabu. Tapi walau bagaimanapun aku hanyalah seorang manusia
biasa. Seorang tua peot keriput yang sudah dimakan usia. Namaku Akik
Mapel."
Sonya seperti tidak acuh
mendengar jawaban itu. Dia lebih tertarik pada gadis yang duduk di sudut
ruangan. Dia berpaling pada Dwiyana dan memandang lekat-lekat. Dipandang begitu
rupa dengan hati kesal Dwiyana tundukkan kepala.
Untuk kesekian kalinya Sonya
basahi lagi bibirnya dengan ujung lidah. Akik Mapel juga mulai merasa tak suka
dengan tindak tanduk tamu yang tidak diundang ini.
"Gadis itu muridmu?"
tanya Sonya .
Akik Mapel mengangguk. Sejak
tadi dia telah mencium bau busuk yang keluar dari tubuh dan pakaian Sonya.
Masih untung ruangan itu diasapi dengan ramuan pengharum.
"Di luar hujan. Aku
terpaksa berteduh di sini," menerangkan Sonya.
"Aku tahu. Sebenarnya kau
datang dari mana dan hendak menuju kemana?"
Sonya mengerling lagi pada
Dwiyana. Lalu angkat bahu. "Aku tidak tahu datang dari mana dan kau mau
kemana."
"Ah, itu adalah
lucu," kata adik Mapel. Dia menggoyangkan kepalanya pada muridnya.
"Lekas hidangkan minuman untuk tamu kita."
"Tak usah. Aku tak
haus," jawab Sonya cepat. Dia khawatir kalau-kalau Akik Mapel sudah
menaruh curiga dan memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. Dia malah kini
berpikir-pikir apa segera saja bertindak mengumbar keinginan jahat terkutuknya.
"Burung itu
milikmu?" tiba-tiba Akik Mapel bertanya.
"Lalu punya siapa lagi?
Apa kau menginginkannya?!"
"Tidak. Sama sekali
tidak. Aku hanya ingin tahu mengapa binatang itu bersangkar aneh."
"Di dalam dunia ini
memang banyak hal aneh-aneh, Akik Mapel. Dan semua keanehan itu berakhir pada
kematian!"
Kata-kata Sonya itu membuat
Akik Mapel kerenyitkan kening.
"Betul tidak, Akik
Mapel?"
Akik Mapel batuk-batuk sebelum
menjawab. "Mungkin…mungkin betul," jawabnya. Diam-diam dia mulai
meragukan apakah sang tamu memiliki otak sehat.
"Nah, bagaimana kalau
saat ini kukatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi satu keanehan yang berkahir
pada kematian?"
"Maksudmu Sonya?"
"Bahwa sebentar lagi kau
bakal mati di tanganku?!"
Akik Mapel menatap wajah
tamunya. Sinar aneh dilihatnya memancar dari sepasang mata Sonya.
"Kau hendak melakukan
keanehan yang mahal Sonya. Kalau tidak mau kukatakan gila!"
Sonya tertawa gelak-gelak.
Lalu disusul oleh suara lolongan panjang seperti raungan srigala!
Tiba-tiba laksana kilat tangan
kanannya yang berkuku panjang meluncur kedepan, mencengkeram ke muka Akik
Mapel. Orang tua ini kaget bukan kepalang. Cepat-cepat tangan kanannya diangkat
ke atas untuk melindungi muka sekaligus menepis serangan lawan. Maka terjadilah
bentrokan dua lengan yang menimbulkan suara keras!
Akik Mapel merasakan lengannya
sakit dan panas. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh terbanting ke atas permadani.
Di hadapannya dilihatnya Sonya tertawa menyeringai. Menandakan bahwa manusia
bermuka setan ini memiliki kepandaian amat tinggi.
Setelah menenangkan hatinya,
Akik Mapel berkata: "Sonya, aku sejak tadi menduga bahwa kedatanganmu
kemari tidak membawa maksud baik. Ternyata dugaanku terbukti!"
Sonya kembali tertawa panjang.
"Apa kau tuli kakek-kakek pikun? Sudah kukatakan bahwa kau akan mati
ditanganku!"
Sekali lagi Sonya menggerakkan
tangan kanannya yang berkuku panjang. Melancarkan serangan "cakar
siluman" yang sebelumnya telah meminta lebih dari setengah lusin korban.
Menyadari bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu benar-benar ingin
mencelakainya, orang tua itu beringsut ke belakang sambil tundukan kepala.
Begitu melompat bangun dia tendangkan kaki kanannya ke kepala lawan!
Sonya keluarkan suara lolongan
srigala haus daging dan darah manusia. Walaupun kaki kanan Akik Mapel sudah
menderu dekat di depan keningnya, tapi dia sama sekali tidak membuat gerakan
untuk mengelak. Namun tiba-tiba dia tampak menggerakkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian Akik Mapel tersentak kaget ketika merasakan bagaimana pergelangan kaki
kanannya tahu-tahu telah dicekal lawan amat kuatnya. Betapapun dia berusaha
melepaskan kakinya namun sia-sia belaka.
Akik Mapel tekuk lutut sambil
miringkan tubuh ke bawah. Tinju kirinya menderu ke dada lawan sedang tangan
kanan menemplang ke batok kepala Sonya. Inilah gerakan yang dinamakan
"beringin sakti tumbang."
Akan tetapi sebelum kedua
tinjunya itu mencapai sasaran, Akik Mapel merasakan pergelangan kakinya
dipuntir sakit sekali dan tubuhnya melayang berputar di udara, kemudian
terlempar ke dinding ruangan batu!
Jika saja orang tua itu bukan
seorang tokoh silat yang lihay, niscaya tubuhnya akan remuk ketika melabrak
dinding batu yang luar biasa kerasnya itu!
Tanpa kehilangan akal karena
dilemparkan begitu rupa, Akik Mapel ulurkan kedua tangannya ke depan untuk
menyentuh dinding batu dengan telapak tangan lalu mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya yang tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya bergulingan di
lantai. Dengan cara begini dia berhasil menyelamatkan diri.
Sonya tertawa mengekeh dan
perlahan-lahan bangkit dari duduknya.
"Eyang, biar aku yang
menghajar manusia busuk ini!" Dwiyana tiba-tiba melompat dan bergerak
mendekati Sonya.
"Kembali ke tempatmu
Dwiyana! Kalau belum kugebuk dia, belum puas hatiku!" sahut sang guru. Dia
sudah dapat mengukur kehebatan lawannya dan diam-diam menyadari kalau
ketinggian ilmunya belum bisa menandingi ilmu manusia muka setan ini, apalagi
muridnya. Karena itu dia mencegah tindakan Dwiyana.
"Betul sekali ucapan
gurumu. Gadis cantik molek, sebaiknya kau tetap di sudut sana. Sayang kalau
tubuhmu yang mulus itu tergores luka. Apalagi kalau sampai kena gebuk!"
"Sonya!" tukas Akik
Mapel. "Aku beri kesempatan padamu untuk meninggalkan goa ini. Kalau
tidak, aku akan betul-betul menggebukmu sampai babak belur!"
Sonya hanya tertawa. Dia
pejamkan kedua matanya dan berdiri tanpa bergerak. "Kakek pikun. Kau mau
menggebukku? Silahkan!"
Mau tak mau Akik Mapel jadi
tambah marah dan penasaran. Didahului suara menggembor orang tua ini menerjang.
Gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin deras. Kedua tangannya didorongkan ke
depan. Dua larik angin bersiur keras. Ruangan batu bergoyang laksana dilanda
lindu. Sonya terhuyung-huyung.
"Setan alas!" maki
Sonya marah ketika angin deras serbuan Akik Mapel membuat sangkar dan burung di
dalamnya terlepas dari pegangannya dan mental ke sudut ruangan. Di saat itu
pula telapak tangan Akik Mapel telah menghantam ke arah keningnya, siap untuk
menghancurkan kepala Sonya.
Sampai saat itu Akik Mapel
mempunyai anggapan bahwa Sonya adalah seorang berilmu tinggi tetapi berotak
miring. Karenanya sewaktu serangannya dirasakannya betul-betul akan menamatkan
riwayat lawannya itu, timbullah perasaan tak tega di hati orang tua ini. Dia
tarik pulang tangannya dan sebagai ganti mengirimkan totokan kilat ke arah
pangkal leher.
Sonya mendengus. Dia tahu apa
artinya kalau totokan untuk sempat mendarat di sasarannya. Untuk kesekian
kalinya manusia muka iblis ini keluarkan suara lolongan srigala. Suara
lolongannya lenyap sedetik kemudian. Tubuhnya pun ikut lenyap! Akik Mapel
terkesiap kaget.
Sebelum orang tua itu
mengetahui di mana lawannya berada, satu hantaman menghajar tubuhnya sebelah
belakang. Akik Mapel mengeluh tinggi. Tubuhnya terhantar di permadani. Tulang
punggungnya sebelah kanan hancur! Dengan susah payah dia mencoba bangun
sementara di hadapannya Sonya berdiri dengan sikap mengejek. Tangan kanan
bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sangkar tulang.
“Manusia gila keparat! Terima
ini!” Tiba-tiba terdengar bentakan Dwiyana. Murid Akik Mapel yang sudah tidak
sabaran ini menyerbu.
Sonya yang hendak menyerang
Akik Mapel, terpaksa batalkan gerakannya ketika merasakan siuran angin serangan
datang dari samping. Cepat dia berkelit dan berpaling, lalu menyeringai.
“Gadis galak, sebaiknya kau
tetap di sudut sana. Aku tak ingin membuat tubuhmu yang mulus jadi luka. Aku
sendiri yang akan rugi nanti jadinya!”
“Setan! Jaga batang lehermu!”
teriak Dwiyana dengan muka merah. Hatinya geram karena serangan tangan
kosongnya dapat dielakkan lawan dengan mudah. Tidak menunggu lebih lama gadis
ini segera cabut sebilah pedang mustika terbuat dari perak yang tersisip di
belakang punggungnya. Serangkum sinar putih berkiblat ketika senjata ini di
babatkan ke leher Sonya dengan dahsyat.
Di saat muridnya menggempur
dengan pedang, Akik Mapel tidak tinggal diam. Dia lepaskan satu pukulan sakti
bernama “sinar pelangi”. Patut diketahui, ilmu pukulan ini lebih dari sepuluh
tahun dipelajari dan diyakini oleh kakek sakti itu, dan merupakan satu dari
sekian banyak pukulan sakti yang terkenal dan pernah menggegerkan dunia
persilatan. Apalagi saat itu Akik Mapel mengepulkan lebih tiga perempat
kekuatan tenaga dalamnya untuk Melancarkan pukulan tersebut!
Tujuh warna pelangi berkiblat.
Ruangan baru bergoncang keras.
Wuus !
Sinar pukulan sakti itu
menyapa ke seluruh bagian tubuh Sonya. Di kejap itu pula terdengar bentakan
keras. Dwiyana merasakan selarikan angin menyambar ke arahnya, membuat
pedangnya tergeser ke samping. Tubuhnya terdorong ke belakang sampai beberapa
langkah. Penasaran gadis ini susul serangannya yang tadi buyar dengan satu
tusukan. Namun dia harus cepat menjauhkan diri kalau tidak pukulan gurunya
sendiri akan menghantamnya.
Akik Mapel hampir tidak
percaya ketika melihat bagaimana Sonya mampu mengelak dan bertahan terhadap
pukulannya. Selama malang melintang di dunia persilatan, tak satu lawanpun
sebelumnya yang sanggup bertahan terhadap pukulan “sinar pelangi”.
“Apakah masih ada pukulan
saktimu yang lain?” tanya Sonya mengejek yang membuat Akik Mapel serasa di
panggang. Sebelum dia sempat membuka mulut, dilihatnya muridnya sudah menyerbu
kembali dengan serangan pedang perak.
Melihat amukan si gadis Sonya mundur
beberapa langkah. Begitu sambaran senjata lawan lewat, cepat dia dorongkan
tangan kanannya ke dada Dwiyana hingga gadis ini jatuh terguling di lantai.
“Bedebah kurang ajar!
Terkutuk!” teriak Dwiyana. Gerakan tangan Sonya tadi bukan hanya sekedar mendorong,
tetapi sekaligus sengaja meremas payudara si gadis. Dwiyana melompat beringas
dan siap menyerbu kembali.
“Sudah! Kau tidurlah enak-enak
di sudut sana!” kata Sonya lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya.
Selarik asap hitam panjang yang tak ubahnya seperti seutas tali meluncur ke
arah Dwiyana dan berputar bergelung-gelung di sekitar kepala si gadis.
Dwiyana menghantam dengan
tangan kirinya. Angin pukulannya keras sekali. Tetapi asap hitam itu tak mampu
dimusnahkannya malah kini gelungannya semakin menyempit, membuat gadis ini
terpaksa mundur ke sudut ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam pada itu detik
demi detik Dwiyana merasakan kedua kelopak matanya menjadi berat, kepalanya
pusing dan pemandangannya berkunang. Akhirnya secara aneh gadis ini terduduk di
sudut ruangan batu. Kedua matanya terpejam. Punggungnya tersandar. Sikapnya
persis seperti orang sedang tidur duduk!
Akik Mapel terbeliak melihat
kejadian ini. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat ilmu aneh begitu rupa.
Hatinya berdebar. Bukan karena takut menghadapi lawan yang jauh lebih hebat
dari dia, tetapi karena sudah dapat menduga apa sebenarnya maksud Sonya
memperlakukan Dwiyana seperti itu.
Dari balik pakaiannya Akik
Mapel cepat keluarkan tasbih yang terbuat dari untaian mutiara. Tasbih ini
pernah di rendam selama tiga tahun hingga dari putih kini warnannya kelihatan
biru gelap dan memancarkan sinar angker.
Sesaat Sonya perhatikan benda
di tangan lawannya lalu tertawa menyeringai.
“Hai, itu senjatamu Akik
Mapel?” ujar Sonya. Tahu-tahu dia sudah berkelebat untuk merampas mutiara
tersebut. Tapi hal ini tidak terlalu mudah untuk melakukannya. Akik Mapel
mengelak sebat. Sesaat kemudian segulung sinar biru menggidikkan melabrak ke
arah delapan bagian tubuh Sonya!
Serangan tasbih itu memang
hebat dan ganas. Dan Akik Mapel jarang sekali mengeluarkan senjata andalannya
ini kalau tidak dalam keadaan Sangat berbahaya dan terdesak.
Yang diserang keluarkan suara
menggereng laksana singa lapar terluka. Dia menyelusup di antara gulungan sinar
biru. Memang hebat sekali murid Datuk Siluman ini. Dia masih sanggup
menyelamatkan diri dari gempuran sinar maut itu. Bahkan kembali mencoba untuk
merampas mutiara di tangan Akik Mapel. Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak
mampu untuk merampas tasbih itu, marahlah manusia muka setan ini!
Sonya pindahkan sangkar burung
ke tangan kanan dan lambaikan tangan kirinya. Terdengar suara mendesis. Asap
hitam pekat keluar berguling dari telapak tangannya, menderu dan membungkus ke
arah kepala Akik Mapel. Si orang tua terbatuk-batuk, tak tahan oleh bau sengit
asap hitam aneh. Dia kerahkan tenaga dalam dan menghembus ke depan. Tak
terlambat. Tubuhnya dirasakannya menciut, makin kecil, makin pendek. Sebaliknya
tubuh Sonya dilihatnya bertambah besar dan menjadi tinggi. Dia merasa seperti
seekor siput atau seekor semut yang baru keluar dari lubang.
“Celaka, ilmu iblis apa pula
ini!” keluh orang tua itu.
“Akik Mapel! Lihat mukaku!
Pandang mataku!” kata Sonya. Suaranya lantang, menggema dalam ruangan batu itu.
Semula dia ingin membunuh kakek ini. Tapi Selintas pikiran muncul dalam
benaknya.
Akik Mapel yang sudah
terpengaruh oleh kekuatan iblis mengikuti apa yang dikatakan lawannya. Dia
mendongak dan memandang ke wajah Sonya. Menatap sepasang mata itu.
“Katakan siapa aku! Katakan
lekas!” terdengar suara Sonya.
“Kau Sonya…….Sonya!” sahut
Akik Mapel.
“Sonya siapa?!”
“Sonya majikanku. Kau tuan
besarku!”
“Dan kau sendiri Sekarang
siapa huh?!”
“Aku….? Tentu saja hamba
sahayamu,” jawab Akik Mapel.
Sonya tertawa gelak-gelak.
“Sebagai hamba sahaya kau
harus turut setiap perintah majikan. Kau mengerti Akik Mapel!”
“Mengerti. Aku mengerti
Sonya!”
“Bagus!” Sonya lalu lambaikan
tangan kirinya.
Asap hitam sedikit demi
sedikit lenyap. Wajah Akik Mapel yang sebelumnya berwarna putih polos kini
kelihatan menghitam akibat ilmu siluman lawannya.
“Sekarang kau Pergilah keluar!
Tunggu aku di mulut goa!” kata Sonya pula. “Tapi berikan dulu tasbih itu!”
Akik Mapel menurut. Senjata
mustikannya diserahkan pada Sonya lalu dia melangkah keluar ruangan.
“Hai tunggu dulu,” seru Sonya.
“Apa lagi Sonya?”
“Sialan! Mulai saat ini
Panggil aku Paduka. Mengerti….?”
“Baik. Aku akan Panggil kau
Paduka…..”
Dengan terbungkuk-bungkuk Akik
Mapel meninggalkan tempat itu. Ilmu siluman telah merubah jalan pikiran
sehatnya. Dia berdiri di mulut goa seperti yang di perintahkan. Pandangan
matanya kuyu. Di luar hujan masih terus turun dengan lebatnya.
Di dalam ruangan batu Sonya
melangkah mendekati Dwiyana. Dipandangnya wajah gadis yang sedang “tertidur”
itu. Diletakkannya sangkar burung ke lantai. Lalu tangan kanannya dilambaikan
ke wajah Dwiyana. Asap hitam berguling-gulung membungkus kepala si gadis. Lalu
dia tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Sonya lambaikan tangannya. Asap hitam
lenyap. Matanya dan mata Dwiyana saling pandang.
“Dwiyana. Lihat mukaku.
Pandang mataku…..”
Dwiyana mengangkat kepalanya
dan menatap wajah serta mata Sonya.
“Mulai hari ini kau menjadi
gadis peliharaanku, mengerti?”
Dwiyana mengangguk.
“Kau harus melayani apa mauku!”
Dwiyana kembali mengangguk.
“Kau harus Panggil aku
Paduka!”
Si gadis mengangguk lagi.
“Sekarang berdiri!”
Dwiyana berdiri.
“Tanggalkan pakaianmu!”
Di luar kesadaran akal
sehatnya yang telah di sungkup oleh kekuatan iblis, Dwiyana mulai membuka
pakaiannya. Setiap gerakan gadis ini di saksikan Sonya tanpa berkesip dan lidah
menjulur basah. Akhirnya Dwiyana berdiri di hadapannya tanpa selembar benang
pun menutupi auratnya.
Sonya tertawa panjang.
Hidungnya kembang kempis.
“Melangkah lebih dekat kesini,
Dwiyana…..”
Dwiyana mendatangi.
“Lebih dekat lagi!”
Si gadis maju hingga tubuhnya
beradu dengan badan Sonya. Buah dadanya yang kencang tertekan rata sewaktu
Sonya merangkul punggungnya dengan penuh nafsu.
“Sekarang kau harus
meninggalkan pakaianku, Dwiyana….”
Si gadis menurut. Dia ulurkan
kedua tangannya dan membuka pakaian Sonya satu demi satu.
Dipukau oleh ilmu siluman,
sampai jauh malam Dwiyana terus saja melayani nafsu terkutuk Sonya yang seperti
tidak ada ujungnya itu. Sementara di luar sang guru duduk termenung. Tak beda
seperti seekor anjing yang bertugas menjaga pintu, dan tak berani masuk ke
dalam tanpa izin majikannya. Malang sekali nasib guru dan murid itu.
6
TUJUH HARI sesudah
meninggalkan Bukit Hantu maka sampailah Sonya ke Teluk Gonggo. Selama
perjalanan itu belasan manusia telah menjadi korban keganasan ilmu silumannya.
Beberapa orang berkepandaian tinggi dan beberapa perempuan berparas cantik
dibawanya ketempat kediamannya yang baru, yang kelak bakal menjadi satu markas atau
sarang sumber malapetaka yang menimpa dunia persilatan. Umumnya orang-orang
lelaki yang dibawanya itu adalah jago-jago silat kelas satu yang berhasil
ditundukkannya dan diperbudaknya. Sedang orang-orang perempuan sebelumnya telah
diperkosanya secara keji untuk kemudian dijadikannya perempuan peliharaan
pemuas nafsunya.
Malapetaka besar itu segera
menjadi kenyataan sebulan kemudian. Dunia persilatan delapan penjuru angin
menjadi geger ketika terjadi pembunuhan besar-besaran secara mengerikan atas
tiga partai silat. Seisi partai mulai dari sang ketua sampai murid partai yang
paling rendah bahkan pelayan, mati dibunuh dengan cara yang sama. Yaitu muka
hancur. Itulah kebiadaban ilmu “cakar siluman”.
Kemudian beberapa tokoh
terkenal dunia persilatan lenyap secara aneh sedang beberapa lainnya ditemukan
mati dengan muka hancur rusak hampir sulit untuk dikenali. Selama
berbulan-bulan peristiwa yang menggemparkan itu berjalan terus tanpa diketahui
siapa biang pelakunya. Beberapa orang sakti mempunyai dugaan bahwa segala
malapetaka mengerikan itu tak dapat tidak hanya bisa dilakukan oleh satu orang
yakin Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Beramai-ramai mereka mengadakan
perundingan lalu menyerbu ke puncak Bukit Hantu. Namun yang mereka temui
hanyalah reruntuhan bangunan tulang yang telah menghitam jadi arang. Sesosok
tubuh yang merupakan tengkorak acak-acakan terjepit di bawah reruntuhan itu.
“Kalau Datuk Siluman sudah
mati, berarti ada seorang manusia iblis lainnya yang menjadi biang racun
kejahatan ini. Tapi Siapakah dia?” tanya seorang tokoh sambil memandang pada
kawan-kawannya.
“Tidak dapat tidak dia punya
sangkut paut tertentu dengan Datuk Siluman.” Jawab tokoh yang lain.
“Kalau manusia itu seorang
muridnya, kurasa itu mustahil.” Ikut bicara jago silat lainnya. “Setahuku Datuk
Siluman tak pernah punya murid.”
Dengan perasaan kecewa
tokoh-tokoh silat itu akhirnya meninggalkan Bukit Siluman.
Minggu demi minggu berlalu,
berganti bulan ke bulan. Bencana yang menimpa dunia persilatan semakin hebat.
Disamping terbunuh dan diculiknya tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, disamping
musnahnya beberapa partai persilatan, juga diketahui lenyapnya gadis-gadis atau
perempuan-perempuan cantik dari kampung, desa dan kota.
Usaha-usaha yang dilakukan
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan untuk mencari dan mengejar pelaku yang telah
membuat keonaran keji itu, sebegitu jauh masih menemui jalan buntu. Rasa cemas
kini menyelimuti seantero rimba persilatan. Namun tidak ada yang berputus asa.
Pada permulaan awal bulan dua
belas para tokoh silat itu mengadakan pertemuan rahasia di suatu tempat di
utara Sragen. Baru saja pertemuan hendak dibuka tiba-tiba di pintu yang dikunci
terdengar suara ketukan.
Brajapati, seorang tokoh silat
dari pantai selatan yang memimpin pertemuan itu memandang berkeliling. Semua
undangan telah duduk di kursi masing-masing. Berarti tak ada yang harus
ditunggu atau datang terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak. Dan ini jelas
terbayang di wajah masing-masing. Siapa gerangan yang mengetuk pintu itu?
Perlahan-lahan Brajapati
berdiri dari kursinya dan melangkah ke pintu. Meski tokoh-tokoh silat lainnya
masih tetap duduk di tempatnya masing-masing tetapi rata-rata secara diam-diam
mereka telah berjaga-jaga kalau sampai tiba-tiba terjadi hal yang tidak diinginkan.
Tiga langkah dari ambang pintu
Brajapati berhenti.
“Siapa di luar?” tanya jagoan
ini sambil tangan kanannya diangkat ke atas, siap melepaskan satu pukulan
tangan kosong.
“Aku….” Terdengar sahutan dari
balik pintu.
“Aku siapa?” bentak Brajapati.
“Perbolehkan aku masuk….”
“Katakan dulu siapa kau!”
jawab Brajapati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan dan dialirkan ke tangan
kanannya yang siap menghantam.
“Aku Hang Juana dari Tegal
Alas. Bukankah kalian ingin mengetahui siapa yang selama ini menimbulkan bencana
dalam dunia persilatan? Lekas buka pintu!”
Brajapati dan beberapa tokoh
silat di situ sebelumnya memang sudah pernah mendengar nama Hang Juana. Itu
sekitar sepuluh tahun yang silam. Dia dikenali sebagai seorang kakek yang ahli
membuat berbagai macam senjata, terutama senjata pesanan perwira-perwira
kerajaan.
Tanpa ragu-ragu Brajapati
membuka daun pintu dengan tangan kirinya. Dibawah pandangan sekian banyak
pasang mata, seorang kakek berpakaian butut rombeng masuk terbungkuk-bungkuk.
Dia berdiri di ujung meja pertemuan dan memandang berkeliling.
“Orang tua, Silahkan duduk,”
Brajapati menarik sebuah kursi.
Hang Juana menggeleng.
“Aku tak bisa lama-lama di
sini,” kata si kakek pula.
“Kenapa?” tanya Brajapati.
Karena Hang Juana tak mau menjawab maka dia melanjutkan ucapannya: “Tadi kau
mengeluarkan ucapan yang mengatakan seolah-olah kau tahu siapa yang menjadi
biang racun penimbul malapetaka selama ini….”
Hang Juana mengangguk.
“Orangnya masih ada sangkut paut dengan Datuk Siluman dari Bukit Hantu…”
“Memang sudah kami duga!” kata
beberapa tokoh silat hampir bersamaan.
“Siapa manusianya dan di mana
sarangnya?” tanya Brajapati.
“Manusianya bernama……….”
Tiba-tiba laksana ada angin
besar melabrak masuk, semua lampu yang ada di ruangan itu padam! Bau busuk
menebas menusuk hidung. Ucapan Hang Juana terputus digantikan jeritan yang
mengerikan.
Brajapati melihat sesosok
bayangan berkelebat di hadapannya. Secepat kilat jagoan dari pantai selatan ini
hantamkan tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar putih menderu ke arah tubuh
yang berkelebat. Tapi yang diserang serta merta lenyap dari pemandangan. Dilain
kejap justru terdengar pekik Brajapati setinggi langit. Lalu suasana di ruangan
yang gelap gulita itu menjadi sunyi senyap seperti di pekuburan. Ketegangan
menggantung di udara hitam.
“Hidupkan lampu!” Seseorang
berteriak.
Beberapa orang segera
menyalakan lampu di empat sudut ruangan. Begitu lampu menyala maka semua tokoh
silat yang ada di situ melengak ngeri!
Dua sosok tubuh menggeletak di
lantai ruangan pertemuan. Mereka adalah Hang Juana dan Brajapati. Keduanya tak
bergerak dan tak bernapas lagi. Muka mereka yang berselomotan darah terlalu
ngeri untuk dipandang.
Meski semua yang hadir di situ
adalah tokoh silat kelas satu berilmu tinggi, namun menyaksikan kematian Hang
Juana dan Brajapati begitu rupa tak urung membuat hati tercekat ngeri. Dada
berdebar dan lutut bergetar. Dua korban manusia siluman itu kini menggeletak di
depan mereka. Untung mereka masih hidup. Karena sebenarnya jika mau manusia iblis
itu pasti mampu melakukan hal yang sama terhadap mereka semua!
Khawatir akan menyusul
terjadinya hal-hal yang tak diingini, dengan membawa mayat Brajapati dan Hang
Juana semua tokoh silat yang hadir segera meninggalkan tempat itu. Dengan
demikian untuk kesekian kalinya gagal pulalah usaha untuk menyelidiki siapa
adanya manusia penyebar malapetaka itu.
—-
7
BULAN PURNAMA telah sejak lama
lenyap terlindung di balik gumpalan awan hitam. Bintang-bintang pun menghilang
satu demi satu. Saat itu mendekati tengah malam. Jika pertengahan malam kali
ini berlalu maka berarti untuk ke sekian kalinya dunia memasuki tahun baru,
memasuki usia baru. Bumi Tuhan ini bertambah tua juga.
Di kejauhan lapat-lapat
terdengar suara lolongan anjing. Pada saat itulah sesosok tubuh kelihatan lari
memasuki Tegaltritis dari jurusan timur. Tak lama kemudian sampailah orang ini
di samping sebuah tembok tinggi satu bangunan yang paling bagus dan mewah di
kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan orang ini langsung masuk ke
halaman depan dengan melompati tembok.
Gedung besar di hadapannya
sunyi senyap tanda semua penghuni sudah tidur lelap. Hanya pada beberapa tempat
terdapat lampu-lampu kecil menyala. Sekali menggenjot tubuh orang ini kemudian
melompat ke genting bangunan. Dengan menerobos genting dan langit-langit dia
masuk ke dalam gedung, sampai ke sebuah kamar dimana terdapat dua buah tempat
tidur berkelambu putih dan biru muda.
Di atas tempat tidur
berkelambu putih, tiga orang anak kelihatan tidur dengan nyenyaknya. Sesaat
orang yang barusan menerobos masuk itu memperhatikan wajah ketiga anak itu.
Dadanya terasa sesak menggemuruh. Cepat-cepat dia berpaling dan melangkah ke
dekat tempat tidur yang berkelambu biru.
Di atas tempat tidur yang satu
ini berbaring nyenyak seorang perempuan. Wajahnya membayangkan keletihan dan
keputus-asaan hingga lebih tua dari usia sebenarnya. Meski demikian
kecantikannya masih belum pupus. Disamping perempuan itu bergelung seorang anak
lelaki berusia dua tahun. Rambutnya hitam, alis matanya tebal. Kembali orang di
luar kelambu merasakan dadanya sesak. Dipejamkannya kedua matanya.
“Haruskah kulakukan ini….?
Haruskah kulakukan?!” Pertanyaan itu menghujam berulang kali dalam hatinya.
Tiba-tiba ada satu bayangan
wajah manusia yang maha mengerikan menjelma di ruang matanya.
“Ingat sumpah utamamu Sonya!
Ingat. Itu harus kau lakukan! Harus! Kalau tidak aku akan bangkit dari alam
kematian. Makhluk peliharaanku akan menyiksamu selama tujuh tahun!”
Lelaki di samping tempat tidur
itu ternyata adalah Sonya. Kedua tangannya terkepal. Rahangnya mengatup
kencang. Perlahan-lahan Dibukanya kembali kedua matanya. Kini pada sepasang
mata itu kelihatan membersit sinar aneh. Sinar ganas jahat. Kebimbangan yang
tadi menguasai hatinya serta merta lenyap. Sonya menyibakkan kelambu biru.
Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu dibetotnya pakaian perempuan di atas tempat
tidur yang bukan lain adalah istrinya sendiri. Perempuan itu terkejut dan
bangun dari tidurnya. Belum sempat dia menjerit, Sonya sudah menutup mulutnya dan
menaiki tubuhnya. Sonya kini memperkosa istrinya sendiri sampai akhirnya
perempuan itu pingsan!
Setelah melampiaskan nafsunya
Sonya segera membungkus anak lelaki yang ada di atas tempat tidur anaknya
sendiri lalu melompat ke atas langit-langit kamar. Sesaat kemudian ketika
perempuan itu siuman dan mendapatkan anaknya tak ada lagi maka diapun menjerit:
“Anakku! Anakku! Tolong…penculik!”
Hari itu murid Eyang Sinto
Gendeng sampai di sebuah kota kecil bernama Nganglek. Rasa haus membuat dia
melangkahkan kaki memasuki sebuah kedai minuman. Di jalan besar yang di
laluinya itu terdapat dua buah kedai. Yang satu besar dan bersih, lainnya kecil
serta kotor. Wiro hendak memasuki kedai yang besar ketika di kedai kecil
sebelah sana dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar ini segera memutar
langkah menuju kedai buruk itu. Dia duduk disebuah sudut agak dalam.
Dekat pintu kedai duduk dua
orang laki-laki berpakaian hitam bermuka kumal tak terurus. Pada lengan
masing-masing memakai gelang akar bahar besar. Satu benda yang sudah dapat
dipastikan gagang senjata menonjol di balik pinggang pakaian keduanya. Mereka
memperhatikan Wiro dengan pandangan mata tajam.
“Hanya seorang pemuda kampung
tolol. Tak perlu di curigai,” berbisik lelaki bermuka hitam kepada kawan di sebelahnya.
Kawannya yang mempunyai cacat
besar bekas luka di pipi kiri masih memandang beberapa lama pada Wiro. Akhirnya
memalingkan muka dan kembali memperhatikan ke arah pintu seperti ada yang
tengah di tunggu.
Wiro meneguk minumannya. Tak
selang beberapa lama masuklah seorang lelaki berbadan kurus pendek. Begitu
masuk dia langsung menemui dua orang berpakaian serba hitam tadi. Mereka bicara
berbisik-bisik. Lelaki muka hitam mengeluarkan beberapa keeping uang perak yang
kemudian diserahkannya pada si kurus pendek. Orang yang menerima uang ini
segera berlalu.
Wiro membayar minumannya.
Ketika dia keluar dari kedai di lihatnya si kurus tadi sudah berada di ujung
jalan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan dua orang di dalam kedai, Wiro sengaja
mengambil jalan yang berlawanan. Namun di balik sebuah bangunan cepat pendekar
ini berputar dan Dilain saat dia sudah melangkah cepat mengejar si kurus.
Lelaki kurus pendek itu
ternyata menuju ke tepi sungai. Di sebuah tikungan sungai yang ditumbuhi
pohon-pohon bambu amat lebat, tertambat sebuah perahu. Orang ini hentikan
langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi kekar melompat enteng dari dalam
perahu dan bicara dengan si kurus. Yang terakhir ini kemudian cepat-cepat
tanggalkan tempat itu.
Setelah menunggu beberapa lamanya,
Wiro keluar dari balik rerumpunan pohon bambu. Dia berdiri ditepi sungai dengan
sikap seperti seorang hendak menyeberang. Ketika dia melirik ke arah perahu,
ternyata di balik atap perahu kelihatan tiga pasang kaki. Sementara itu lelaki
tinggi besar yang masih tegak di tebing sungai memperhatikan Pendekar 212
dengan mata melotot penuh selidik. Wiro justru melangkah mendekatinya.
“Saudara, aku ingin
menyeberang. Apakah kau bisa membawaku ke tepi sungai sebelah sana?” berkata
Wiro.
Si tinggi besar ini bernama
Prakunto. Dia memandang Wiro dari rambut gondrong sampai ke kakinya yang kotor,
melirik pada tiga kawannya dalam perahu lalu tertawa bergelak.
“Pangeran dari mana yang
berani memerintahku seenaknya?”
“Oh…oh…oh! Aku bukan pangeran,
sobat. Agaknya kau khawatir soal ongkos. Jangan takut. Aku punya uang untuk
membayar. Sebutkan saja berapa ongkosnya sampai ke seberang!”
Kembali Prakunto tertawa
gelak-gelak.
“Monyet gondrong! Aku tak
butuh uangmu. Lekas minggat dari sini!”
“Ah, jangan begitu sobat. Kau
tolonglah aku menyeberang,” pinta Wiro pula.
“Manusia edan! Kau berani
memaksaku?!”
“Tidak. Aku tidak memaksa.
Tapi minta tolong!”
Prakunto ulurkan tangannya
meraba dada Wiro Sableng hingga pemuda ini bergelinyang kegelian.
“Ngg…kulihat dadamu cukup
kekar,” kata Prakunto pula. “Begini saja. Bagaimana kalau kita adakan
perjanjian baku jotos. Kalau aku menang serahkan seluruh uang yang ada padamu
dan berlalu dari sini!”
“Bagaimana kalau aku yang
menang?” balik bertanya Wiro.
Prakunto tertawa meledak
diikuti oleh ke tiga kawannya yang ada dalam perahu.
“Kalau kau yang menang,
jangankan ke seberang sana, ke nerakapun kau akan ku antar!”
“Baik! Bagaimana caranya adu
jotos ini….?”
“Kita saling pukul tiga kali.
Siapa yang nanti jatuh atau terhuyung ke belakang berarti kalah!”
“Ah, mudah sekali itu…,” kata
Wiro sambil senyum-senyum.
“Siapa yang mulai memukul
lebih dulu?!”
“Silahkan kau yang memukulku
lebih dulu,” jawab Prakunto yang tidak memandang sebelah mata pada pemuda
bertampang dungu di hadapannya itu.
Wiro melangkah ke hadapan
Prakunto. Diulurkannya tangannya ke dada si tinggi besar ini, meraba-raba
beberapa lamanya hingga Prakunto menjadi kesal.
“Aku suruh kau memukul dadaku.
Bukan memijat-mijat. Tolol!” hardik Prakunto.
“Ah, dadamu keliwat lunak.
Seperti agar-agar. Aku khawatir sekali pukul saja dadamu bisa murak berantakan.
Nanti kau tak bisa balas memukulku. Bagusnya kau saja yang memukulku lebih
dulu!”
Prakunto benar-benar jadi naik
darah mendengar ucapan Wiro Sableng. Sementara ke tiga kawannya sudah keluar
dari perahu dan tegak mengelilingi mereka.
“Pemuda ingusan! Mulutmu
sombong sekali!” sentak Prakunto.
“Eh, jadi adu jotos ini tidak
diteruskan? Nyatanya kau Cuma seorang pengecut. Badan saja yang tinggi kekar
tapi nyali selembek tahi ayam!”
Diejek begitu Prakunto jadi
naik pitam. Tiga kawannya juga tampak marah.
“Kau Bersiaplah. Sekali pukul
nyawamu akan kubuat melayang!” kata Prakunto.
Wiro mundur beberapa langkah
dan berdiri sambil tolak pinggang. “Silahkan pukul. Jangan salah. Pilih tempat
yang empuk!”
Tinju kanan Prakunto mengepal
besar dan kokoh. Dari jarak dua langkah tinjunya itu di ayunkan sekuat-kuatnya
ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Buk!
Terdengar suara bergedebuk
keras sewaktu tinju yang besar itu mendarat di dada Wiro. Baik Prakunto maupun
tiga kawannya sudah sama membayangkan bagaimana jotosan itu akan membuat Wiro
terlempar, roboh muntah darah dan melayang ke akherat.
Tapi jangankan terjungkal atau
terhuyung, serambutpun tubuh pendekar itu tidak bergeming. Di lain pihak
Prakunto merasakan tinjunya mendarat di sebuah permukaan selembut kapas.
Membuat lelaki ini ternganga keheranan.
“Heh, kau rupanya punya ilmu
juga….,” ujar Prakunto seraya menyeringai. “Tapi tunggu, masih ada dua pukulan
lagi. Jaga pukulanku yang kedua!” Lalu untuk kedua kalinya Prakunto hantamkan
tinju kanannya yang beratnya tak kurang dari lima puluh kati. Untuk kedua
kalinya pula terdengar suara buk! Dan untuk kesekian kalinya si tinggi besar
itu terheran-heran karena sasaran yang dihantamnya terasa demikian lembut. Dia
memandang pada Wiro dengan mata meloncat sementara murid Eyang Sinto gendeng
itu cuma cengar cengir tak acuh.
“Pukulan terakhir sobat!” seru
Prakunto.
“Keluarkan seluruh tenagamu,
luar dalam. Pukullah lebih keras. Masakan manusia setinggi dan sebesarmu ini
pukulannya tidak terasa apa-apa, seperti orang menggelitik saja!”
Muka Prakunto merah padam. Dia
merasa malu terutama terhadap ketiga kawannya. Tenaga dalamnya disalurkan
seluruhnya ke tangan kanan hingga mempunyai daya hantam sebat dua ratus kati.
Jangankan tubuh manusia, tembok tebal atau kepala kerbaupun pasti hancur luluh.
“Kau sudah siap?!” tanya
Prakunto. Tinju kanannya tampak bergetar.
“Sudah sejak tadi-tadi sobat!”
sahut Wiro seenaknya.
Prakunto kertakkan rahang.
“Mampuslah!” bentak Prakunto.
Berbarengan dengan itu tinju kanannya berkelebat deras sampai mengeluarkan
suara menderu. Mendarat tepat di dada kiri Pendekar 212, pada bagian
jantungnya!
Terdengar satu jeritan
setinggi langit!
Prakunto berdiri terbungkuk-bungkuk.
Tangan kirinya tiada henti mengusap tangan kanan yang tadi di pakai meninju.
Kalau dua kali Pertama tadi memukul dada lawan dirasakannya lunak lembut,
tetapi kali yang ketiga dada pemuda itu seperti berubah menjadi dinding karang
yang luar biasa keras dan atosnya. Dua buah jari tangan kanannya patah,
kulitnya terkelupas dan mengucurkan darah di beberapa bagian.
“Bagaimana sobat? Kau telah
memukulku tiga kali. Kini giliranku!” kata Wiro.
“Baik, baik….,” kata Prakunto
menahan sakit dan malu. Dia berdiri memasang kuda-kuda. Wiro mundur mengambil
ancang-ancang untuk memukul. Tiba-tiba salah seorang kawan Prakunto mendekati
lelaki itu dan berbisik: “Kunto, kita tak ada waktu melayani pemuda edan ini
lebih lama. Sebentar lagi kereta itu akan tiba. Kau mau didamprat dan digebuk
Jakasempar? Seberangkan saja dia agar tidak mengganggu kita lebih lam!”
“Tapi aku toh musti
melayaninya!” sahut Prakunto.
“Persetan! Seberangkan dia!”
Prakunto berpikir sejenak.
“Hai, mengapa kalian ini? Aku
sudah siap memukul!” Wiro berseru.
“Sobat, biarlah. Walau kau
belum memukul tapi aku mengaku kalah. Aku akan antarkan kau ke seberang,” kata
Prakunto pula.
Wiro tersenyum dan garuk-garuk
kepalanya. Dia melompat ke dalam perahu. Hanya sebentar saja dia pun sampai ke
seberang sungai. Wiro ucapkan terima kasih dan naik ke darat sementara Prakunto
mengayuh perahunya kembali ke seberang yang lain. Hanya sesaat dia mencapai
tepi sungai, sepuluh orang berkuda sampai di tempat itu. Rombongan ini di
pimpin oleh lelaki muka hitam yang dilihat Wiro di kedai di Nganglek.
“Bagaimana Jaka….?” tanya
Prakunto pada si muka hitam yang bernama Jakasempar.
“Kalian bersiap. Cari tempat
berlindung yang baik. Sebentar lagi kereta itu akan lewat. Ingat, gadis itu tak
boleh mendapat cidera barang sedikitpun!”
Maka keempat belas orang
itupun bersembunyi di tempat yang terpencar di tikungan sungai. Kira-kira
sepeminuman the berlalu, di kejauhan terdengar suara rentak kaki-kaki kuda dan
gemeletak roda kereta. Tak lama kemudian dari balik tikungan muncullah sebuah
kereta putih, dikawal oleh sepuluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan seorang
lelaki tua gagah bernama Wilacarta.
Begitu kereta memperlambat
jalannya karena memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik binatang penarik
kereta itu. Lima pisau terbang menghambur dan menancap di kaki dua ekor kuda
penarik kereta dan Membuatnya tersungkur. Kereta hampir saja terbalik ke dalam
sungai. Bersamaan dengan itu Jakasempar dan anak buahnya berlompatan dari
tempat persembunyian masing-masing, langsung menyerbu prajurit-prajurit
pengawal dengan senjata terhunus!
Daerah luar kota Jepara
akhir-akhir ini memang kurang aman. Karenanya melihat kemunculan belasan orang
bermuka bengis itu, Wilacarta segera maklum kalau rombongan tengah dihadap
perampok. Tapi karena saat itu dia dan anak buahnya sama sekali tidak membawa
uang atau harta berharga Kecuali mengawal Sri Ayu Pandan, Putri Adipati Jepara,
maka penghadangan itu terasa agak aneh dimata Wilacarta. Namun saat itu tak ada
waktu untuk berpikir panjang.
Orang tua gagah ini berteriak
memberi semangat pada anak buahnya. Lalu mencabut pedang dari pinggang. Dia
sama sekali tidak menduga justru rombongan yang menghadang itu memang tidak
hendak merampok harta atau uang, melainkan hendak menculik puteri Adipati
Jepara. Setelah gadis itu di tangan mereka, Jakasempar akan meminta uang
tebusan dalam jumlah besar.
Pertempuran berkecamuk hebat.
Pihak Kadipaten selain kalah jumlah, lawan yang mereka hadapi rata-rata
memiliki kepandaian silat tinggi hingga dalam tempo singkat dua orang prajurit
roboh mandi darah.
Ketika tadi kereta menyungkur
tanah karena dua kuda yang menariknya roboh, dari dalam kereta terdengar pekik
perempuan. Tirai jendela tersingkap dan tampaklah satu kepala berambut hitam
legam berwajah rupawan. Dialah Sri Ayu Pandan, puteri Adipati Jepara. Belum
habis kejut sang gadis akibat tersungkurnya kereta, tiba-tiba dari semak
belukar dilihatnya berlompatan manusia-manusia bertampang bengis bersenjata
golok atau pedang dan mereka ini langsung menyerang para pengawal. Takutnya
puteri Adipati ini bukan kepalang. Dia berteriak tiada henti.
Wilacarta putar pedangnya
dengan sebat. Dia berhasil merobohkan seorang lawan dan melukai seorang
lainnya. Ketika dilihatnya Jakasempar bergerak mendekati kereta, kepala
pengawal ini segera menghadang. Namun dia tak mampu menghalangi lebih jauh
karena secepat kilat tiga orang anak buah Jakasempar melompat kehadapannya dan
langsung menyerbu.
Kusir kereta yang merasa ikut
bertanggung jawab atas keselamatan puteri majikannya, dengan bersenjatakan
sepotong besi panjang menyerang Jakasempar dari samping. Serangan itu dengan
mudah dapat dielakkan oleh Jakasempar. Sebagai balasan Jakasempar menghadiahkan
satu tusukan golok yang ganas. Karena memang tidak memiliki kepandaian silat
apa-apa, kusir kereta itu akhirnya menemui ajal dengan dada ditembus golok.
Jakasempar menendang pintu
kereta hingga tanggal berantakan. Di dalam sana Sri Ayu Pandan menyudut
ketakutan. Jakasempar tersenyum menyeringai melihat tubuh mulus dan wajah
cantik gadis itu. Dalam benaknya sudah muncul pikiran kotor. Puteri itu diculik
dan dimintai tebusan uang dalam jumlah besar. Tapi apa salahnya sebelum
dikembalikan pada orang tuannya akan dipakai sebagai pemuas nafsu lebih dulu?
“Gadis cantik. Kau tak usah
takut. Mari ikut aku…” kata Jakasempar seraya mengulurkan tangan untuk menarik
Ayu Pandan. Namun sebelum jari-jari tangannya sempat menyentuh tubuh gadis itu
mendadak dari samping melesit sebuah benda besar. Jakasempar cepat bersurut
mundur. Benda itu menghantam tangga kereta dan ternyata adalah sosok tubuh
seorang anak buahnya sendiri yang telah menjadi mayat!
Terkejut bukan kepalang,
Jakasempar palingkan kepala. Dan membeliaklah mata manusia muka hitam ini. Enam
langkah di hadapannya berdiri pemuda rambut gondrong yang sebelumnya pernah
dilihatnya di kedai Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah dia yang telah
melemparkan tubuh anak buahnya itu tadi?
Pemuda berpakaian kuyup itu
adalah Wiro Sableng. Sesampainya di seberang tadi, dia pura-pura berlalu, tapi
diam-diam menyelinap ke balik semak-semak dan mengintai. Dia yakin sekali
orang-orang yang ditemuinya di kedai dan di tepi sungai itu tengah merencanakan
sesuatu. Sesuatu yang jahat. Dan keyakinannya itu tak lama kemudian menjadi
kenyataan. Yaitu dengan munculnya kereta putih yang telah ditunggu untuk di
hadang. Pada saat pertempuran sedang berkecamuk, Wiro terjun kesungai, berenang
menyeberang. Itulah sebabnya pakaiannya basah kuyup.
“Bangsat! Pemuda ini memang
sudah kucurigai sejak dari Nganglek!” kertak Jakasempar. Dia melangkah
mendekati Wiro dan membentak: “Keparat! Kau berani mencampuri urusanku! Berarti
kau berani mampus!”
Wut!
Golok besar di tangan
Jakasempar menderu. Membabat ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro berhasil
mengelakkan serangan itu, serta merta serangan kedua dan ketiga datang susul
menyusul laksana kilat! Kiranya kepala rampok ini memiliki ilmu golok yang
lihai. Dia mengharap dalam beberapa gebrakan saja akan dapat mencincang tubuh
lawannya. Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari itu dia berhadapan.
Jakasempar membuka jurus kedua
dengan serangan berantai kembali. Wiro berkelebat cepat diantara taburan sinar
golok lawan. Awal jurus ketiga pendekar ini mempercepat gerakannya hingga
tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang dan Jakasempar mejadi bingung karena
kehilangan lawan. Sambaran goloknya terus menerus menghantam tempat kosong.
Selagi Jakasempar kebingungan
Wiro hantamkan tangan kanannya ke kening penjahat ini. Jakasempar menjerit.
Tubuhnya terbanting ketanah tak sadarkan diri. Keningnya yang memang sudah
hitam kini tampak tambah hitam karena hangus. Dan pada kening itu kini tertera
tiga deretan angka 212! Dari mata, hidung serta mulutnya mengalir darah!
Tiga orang anak buah
Jakasempar yang melihat pemimpin mereka dicelakai begitu rupa dengan cepat
menyerang.
“Manusia-manusia tak berguna.
Bisanya cuma membuat keonaran! Majulah bila minta digebuk!” kertak Wiro
Sableng. Begitu ketiga lawannya berlompatan menyerang maka terdengarlah plak,
plak, plak! Tiga tamparan mendarat di kening mereka. Ketiganya menggeletak di
tanah menerima nasib seperti pemimpin mereka.
“Pemuda keparat! Makan
pedangku ini!” satu suara membentak. Dikejap yang sama satu tebasan pedang
menyambar batang leher Pendekar 212. Wiro keluarkan suara bersiul dan melompat
kebelakang. Yang menyerangnya dengan ganas itu ternyata Prakunto. Ditangannya
tergenggam sebilah pedang berlumuran darah. Dengan pedang itu dia telah
membunuh dua prajurit Kadipaten dan melukai parah Wilacarta. Orang tua itu kini
tergeletak dekat roda kereta, dengan menahan sakit bukan kepalang dan darah
masih mengucur di bekas lukanya.
“Hai! Rupanya kau masih belum
puas dengan adu jotos tadi?!” mengejek Wiro.
“Baku jotos dan pedang lain,
sobat!” jawab Prakunto sambil tusukan pedang yang digenggamnya di tangan kiri
karena tangan kanannya cidera akibat adu jotos dengan Wiro tadi.
Wiro keluarkan satu siulan
lagi. Dia berkelit ke kiri. Begitu ujung pedang lewat di sampingnya, Wiro
gerakan tangan kanan memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik karena
sambungan sikunya terlepas. Dia kembali menjerit sewaktu tapak tangan Pendekar
212 menghantam keningnya hingga hangus. Prakunto terbujur di tanah, melintang
di atas tubuh Jakasempar!
Ketika Wiro memandang
berkeliling ternyata pertempuran sudah selesai. Kusir kereta dan beberapa
prajurit Kadipaten tewas. Yang lain-lainnya termasuk Wilacarta menderita
luka-luka. Dipihak penjahat empat orang mati, dua orang melarikan diri sedang
delapan lainnya, diantaranya Jakasempar dan Prakunto menderita luka-luka dan
pingsan.
Dari dalam kereta masih
terdengar jeritan-jeritan Sri Ayu Pandan yang masih diselimuti ketakutan. Wiro
mendatangi.
“Hentikan jeritanmu.
Pertempuran sudah berhenti. Tak ada yang harus ditakutkan lagi!” berkata Wiro.
Puteri Kadipaten itu turunkan
kedua tangannya yang tadi dipakai untuk menutupi muka. “Kau…kau siapa?”
tanyanya masih takut dan curiga.
Wiro garuk-garuk kepala.
Sebelum dia memberi jawaban, dari belakangnya seseorang berkata: “Pendekar 212,
ikutlah bersamaku.”
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini terkesiap kaget dan berpaling. Dihadapannya berdiri seorang
kakek-kakek yang mata kirinya picak sedang disampingnya tegak seorang anak
lelaki berusia sekitar lima belas tahun, berpakaian serba putih dan berparas
cakap. Jika seseorang mengenali julukannya, maka orang itu pasti bukanlah
manusia sembarangan.
“Orang tua, kau siapa ….?”
Tanya Wiro.
“Siapa aku nanti kuterangkan.
Yang penting kau harus ikut aku Sekarang juga!”
“Heh? Ikut kau? Kemana?
Jalan-jalan…..?” tanya Wiro bergurau.
“Jangan banyak tanya dan
jangan bergurau. Waktuku amat singkat,” jawab orang tua mata picak.
“Ngg…kalau begitu kau pergilah
sendirian. Siapa sudi turut denganmu. Aku masih ada tugas mengurusi orang-orang
Kadipaten ini!”
“Biar muridku yang mengurus
mereka,” kata si picak. “Kepentinganku ada hubungannya dengan malapetaka yang
menimpa dunia persilatan saat ini!”
Ucapan itu membuat Wiro
Sableng yang barusan hendak melangkah tubuh berbalik kembali.
“Apa katamu orang tua….?!”
Si orang tua tak menjawab
melainkan memutar tubuh. Setelah mengatakan sesuatu pada anak lelaki di
sebelahnya, dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tampaknya dia
melangkah biasa saja. Namun hanya sesaat dia telah lenyap di tikungan jalan.
Dengan garuk-garuk kepala Wiro Sableng terpaksa mengejar si mata picak aneh
itu. Ternyata orang tua ini menuju Jepara.
8
HARI masih pagi. Sinar sang
surya masih kuning kemerahan tanda belum lama keluar dari tempat peraduannya.
Sura Gandara berdiri di ambang pintu rumah makannya, memperhatikan
pelayan-pelayan membereskan bagian depan rumah makan itu. Di Jepara, Sura yang
berbadan gemuk macam kerbau bunting itu terkenal sebagai pemilik rumah makan
paling besar, paling lezat tetapi murah harganya.
Dari dalam sabuknya di
keluarkan secuil tembakau dan kertas. Maka mulailah dia menggulung sebatang
rokok klinting. Baru saja dia menyalakan rokok itu, tiba-tiba berubahlah
parasnya.
Di seberang jalan tampak empat
orang berpakaian jubah putih yang di bagian dadanya terpampang sulaman bunga
teratai besar berwarna merah darah.
“Empat Teratai Darah……….” kata
Sura Gandara dalam hati. Rasa tak enak segera menyungkupi dirinya. Sekitar satu
tahun yang lewat empat manusia itu pernah datang ke rumah makannya. Kedatangan
mereka hanya membuat keonaran. Rumah makan waktu itu menjadi centang perenang
porak poranda akibat dipakai sebagai tempat perkelahian oleh Empat Teratai
Darah melawan musuhnya Empat Naga Hitam. Meskipun kali ini Kedatangan mereka
belum tentu akan berbuat keonaran lagi, namun tetap saja Sura Gandara merasa
cemas. Buktinya pagi-pagi sekali, selagi rumah makan masih belum buka, mereka
sudah muncul. Tentu ada apa-apanya.
Sura Gandara tak bisa berpikir
lebih panjang karena keempat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
Sura menjura hormat. Dengan
senyum yang dipaksakan dia berkata: “Satu kehormatan lagi bahwa kalian
orang-orang gagah sudi datang ke tempatku. Sebenarnya rumah makan masih belum
buka dan masih kotor. Jika orang-orang gagah tidak keberatan dengan keadaan
ini, Silahkan masuk.”
Kakek-kakek bermuka putih
bernama Sumo Kebalen yang menjadi pemimpin Empat teratai Darah anggukkan kepala
sedikit lalu masuk diikuti ketiga adik seperguruannya.
“Suasana begini tak jadi apa,”
kata Sumo Kebalen seraya duduk. “Yang penting cepat hidangkan makanan dan
minuman yang lezat!”
“Orang gagah Sumo Kebalen.
Jangan khawatir. Apa yang kau minta akan segera di hidangkan,” jawab Sura
Gandara. “Mungkin ini suatu kelancangan. Tapi jika aku yang hina buruk ini
boleh bertanya, gerangan apakah yang membuat empat orang gagah muncul pagi-pagi
begini di Jepara?”
“Kami tengah menunggu
seseorang. Karenanya selagi kami makan kuharap kau berdiri di depan pintu.
Larang setiap orang yang mau masuk. Kecuali orang yang kami tunggu itu ….”
“Celaka, pasti akan terjadi
lagi keonaran di tempat ini,” keluh Sura Gandara ketika mendengar keterangan
Sumo Kebalen tadi. Namun dia masih kepingin tahu. Karenanya dia bertanya
kembali. “Maaf Sumo. Siapakah manusianya yang orang gagah tunggu ini?”
“Seorang lelaki bermata buta
sebelah. Namanya Rangga Lelanang. Sudah. Kau jangan banyak tanya Sura! Lekas
hidangkan makanan. Kami sudah lapar!”
“Baik, baik….” Jawab Sura
sambil manggut-manggut. Lalu dia berteriak memanggil pelayan. Selesai memberi
perintah, sesuai yang dikatakan Sumo Kebalen, pemilik rumah makan ini kemudian
pergi berdiri di pintu masuk, berjaga-jaga.
Orang kedua dalam Empat
Teratai Darah adalah seorang nenek-nenek berbadan tinggi kurus bernama Supit
Inten. Nenek-nenek ini merupakan saudara seperguruan Sumo Kebalen. Dalam dunia
persilatan bukan rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini menjalani hidup bersama
tanpa kawin alias kumpul kebo.
Orang ketiga dan keempat
adalah dua gadis kembar berbadan langsing. Paras mereka sebenarnya tidak begitu
cantik. Tetapi karena pandai memoles muka berhias berlebihan maka jadinya
lumayan juga. Gadis pertama bernama Inang Pini sedang adiknya Inang Resmi.
Pada dasarnya Empat Teratai
Darah tidak dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh silat golongan putih. Mereka
seringkali diketahui bersekutu dengan jago-jago golongan hitam. Dalam malang
melintang di rimba persilatan mereka tak pernah berpisah. Hari itu mereka
datang ke rumah makan Sura Gandara untuk menunggu Kedatangan seorang musuh
bernama Rangga Lelanang, yaitu kakek-kakek lihay yang pernah menghina almarhum
guru mereka sewaktu diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh silat golongan hitam
di puncak gunung Merapi dua tahun yang lalu.
Tidak seorangpun dari Empat
Teratai Darah sebelumnya pernah melihat atau bertemu dengan Rangga Lelanang.
Namun ciri-ciri si kakek ini sudah mereka ketahui jelas dari sang guru sebelum
menutup mata delapan belas bulan yang lalu. Dengan memakai seorang perantara
Empat Teratai darah mengirimkan sepucuk surat undangan kepada Rangga Lelanang
guna datang ke rumah makan itu, untuk menyelesaikan soal malu besar penghinaan
tempo hari.
Selagi Empat Teratai Darah
sedang asyik menyantap makanan lezat di atas meja, pada saat itu pulalah Wiro
Sableng dan si kakek mata picak bernama Lor Gambir Seta sampai di tempat itu.
Si kakek sebenarnya tak ingin
singgah karena ingin lekas-lekas sampai ke tempat tujuan. Tapi Wiro sudah tak
tahan lapar dan memaksa masuk ke rumah makan. Dengan jengkel si kakek terpaksa
mengikuti. Tetapi baru saja mereka sampai di depan pintu, Sura Gandara sudah
menyongsong dengan sikap menghadang.
“Harap dimaafkan, rumah makan
belum buka. Datang saja nanti kalau matahari sudah mulai naik,” berkata Sura
Gandara.
Wiro Sableng melirik ke dalam
rumah makan. Lalu menyeringai dan berkata: “Kalau betul rumah makan ini belum
buka kenapa kulihat ada empat kunyuk sedang enak-enakan makan di dalam sana?!”
Paras Sura Gandara berubah.
Kalau saja ucapan Wiro tadi sempat terdengar oleh Empat Teratai Darah bisa
berabe.
“Orang muda, harap kau jangan
bicara seenaknya. Empat orang itu adalah tamu-tamu istimewa…”
“Hai, tamu-tamu istimewa macam
bagaimana?” tanya Wiro. “Kulihat mereka biasa-biasa saja. Cuma mungkin memang
sedikit aneh. Si kakek itu bermuka putih seperti singkong rebus. Si nenek sudah
peot tapi agak genit. Dua gadis seperti topeng yang diberi pupur tebal….!”
Si gemuk Sura Gandara maju dan
mencekal kerah kemeja Wiro. “Gondrong! Jaga mulutmu kalau tak mau Celaka….”
Lor Gambir Seta menepuk bahu
Wiro dan berkata agar mereka mencari rumah makan lain saja. Tetapi pendekar
kita tetap tak bergerak. Pemilik rumah makan itu menjadi marah. Ketika dia
hendak menampar, tiba-tiba pandangannya lekat pada wajah Lor Gambir Seta yang
bermata picak. Agaknya manusia inilah musuh besar yang tengah di tunggu-tunggu
Empat Teratai Darah. Maka cepat-cepat dia melepaskan cekalannya dan membungkuk
dalam-dalam.
“Mohon dimaafkan. Aku tidak
melihat dalamnya laut tingginya gunung. Kalian berdua Silahkan masuk…”
Wiro tersenyum sedang Lor
Gambir Seta kerenyitkan kening. Perubahan sikap Sura Gandara yang tiba-tiba ini
pasti ada apa-apanya. Namun dia tak bisa berpikir panjang karena Wiro sudah
melangkah masuk ke dalam rumah makan sambil bersiul-siul.
Mendengar suara siulan, Empat
Teratai Darah yang asyik bersantap angkat kepala. Dua sosok tubuh tampak masuk mengikuti
pemilik rumah makan. Ketika melihat Lor Gambir Seta, Sumo Kebalen serta merta
hentikan makannya. Begitu juga tiga saudara seperguruannya.
“Orang yang kita tunggu telah
datang,” bisik pemimpin Empat Teratai Darah itu.
Sementara itu Wiro serta Lor
Gambir Seta telah mengambil tempat duduk di bagian lain rumah makan. Ketika
pelayan datang untuk melayani mereka tiba-tiba Sumo Kebalen berseru: “Tak ada
seorang tamu lain boleh dilayani tanpa izinku!”
Pelayan terkejut dan
cepat-cepat masuk ketika dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan mata.
Wiro Sableng pencongkan mulut
dan batuk-batuk. Sementara orang tua bermata picak duduk tenang-tenang saja,
memandang keluar jendela.
“Kakek, kau kenal empat kunyuk
itu…?” bisik Wiro.
Tanpa palingkan kepalanya dari
jendela si kakek mata satu menjawab: “Mereka Empat Teratai Darah”.
Wiro manggut-manggut. Saat itu
pandangannya membentur sebuah kaleng kosong di dekat meja. Maka pendekar ini
mulai bertingkah batuk-batuk, mengeluarkan suara seperti orang mau muntah dan
meludah beberapa kali ke dalam kaleng itu.
Sumo Kebalen tahu kalau apa
yang dilakukan Wiro itu tidak lain hanya untuk menghinanya. Wajahnya yang putih
tampak mengelam. Tanpa berdiri dari duduknya dia berkata: “Adik-adikku. Kurasa
terlalu banyak meja dan kursi malang melintang dalam ruangan ini. Coba kalian
tolong rapikan!”
Dari tempat duduk
masing-masing, Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi memukulkan telapak
tangan ke arah meja dan kursi yang ada disitu. Hebat sekali. Benda-benda itu
berpentalan ke tepi ruangan hingga bagian tengah rumah makan itu kini terbuka
lapang.
“Bagus!” seru Sumo Kebalen.
Lalu dia berdiri dan melangkah ke tengah ruangan. Sambil bertolak pinggang dia
memandang ke jurusan kakek mata picak yang duduk di dekat Wiro.
“Rangga Lelanang! Jangan kau
pura-pura tidak tahu kami!”
Wiro berpaling pada Lor Gambir
Seta. Orang jelas bicara padanya tapi si kakek ini duduk tenang-tenang saja
tanpa berpaling sedikitpun.
Merasa dianggap remeh tak
diperdulikan, Sumo Kebalen melompat ke hadapan Wiro dan Gambir Seta. Tangan
kanannya menggebrak meja hingga hancur berkeping-keping. Gilanya Lor Gambir
Seta masih saja tak bergeming dari tempat duduknya sementara Wiro mulai naik
darah.
Wiro menatap wajah Sumo
Kebalen sesaat lalu berkata: “Pangeran tua bermuka putih dari mana yang
pagi-pagi begini mengamuk di rumah makan orang? Kau kemasukan atau mabuk
tuak?!”
Sepasang mata Sumo Kebalen
seperti hendak melompat keluar. Rahangnya menggembung. Wiro berdiri dari
kursinya. Lor Gambir Seta masih seperti tadi. Diam tak bergerak. Supit Inten
dan dua gadis kembar berdiri dari kursi masing-masing.
"Bocah bau apek. Kau
menyingkirlah dari hadapanku. Sekali lagi kau berani buka mulut, kubanting
tubuhmu sampai melesak di lantai rumah makan ini!"
Habis berkata begitu Sumo
Kebalen lalu gerakan tangan kirinya mendorong bahu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dorongan itu kelihatannya biasa-biasa saja. Tetapi nyatanya mengandung tenaga
dalam dahsyat yang sanggup merobohkan tembok batu Sumo Kebalen sengaja hendak
memberi pelajaran pada pemuda yang dianggapnya kurang ajar itu. Sekali dorong
pasti si gondrong ini mencelat mental. Tetapi betapa kagetnya manusia muka
putih ini!
Wiro sudah maklum kalau dari
getaran hawa yang keluar dari telapak tangan Sumo Kebalen, orang itu bukan hanya
sekedar mendorong biasa saja. Tapi bermaksud hendak mencelakakannya!
"Orang tua," kata Wiro seraya menghadang tangan dengan tangan
kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai pegang-pegang segala. Aku bukan
perempuan!"
Sesaat kemudian, telapak
tangan Pendekar 212 saling beradu dengan telapak tangan Sumo Kebalen. Kagetlah
kepala Empat Teratai Darah ini. Telapak tangannya terasa panas, lengannya
bergetar keras.
Satu tenaga dorongan yang
hebat membuat tubuhnya terhuyung tiga langkah. Paras Sumo Kebalen membesi. Kalau
tadi dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya saja maka kini dia
lipatkan gandakan menjadi dua kali atau setengah dari seluruh kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya. Tapi celakanya malah kini dia dibuat terjajar empat
langkah!
"Keparat!" maki Sumo
Kebalen. Dia tak mau dibuat malu dipecundangi seorang pemuda tak di kenal yang
bertampang gendeng. Maka kini dia alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Tapi untuk ketiga kalinya pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak
terhuyung. Malah kini sampai enam langkah. Wiro telah kerahkan dua pertiga
tenaga dalamnya.
Meski sadar kini kalau pemuda
itu bukan sembarangan namun Sumo Kebalen tetap membentak untuk menutup malunya:
"Bangsat! Apa kau muridnya manusia bernama Rangga Lelanang ini?!"
Kalau sang murid memiliki kepandaian yang begitu tinggi tentu sang guru lebih
hebat lagi.
"Aku bukan
muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau mau tanya apa lagi?!"
Sumo Kebalen kini palingkan
kepalanya pada kakek yang duduk di samping Wiro.
"Tua bangka mata picak!
Jangan kau pura-pura tuli! Empat Teratai Darah datang ke sini untuk membalas
sakit hati penghinaan yang kau lakukan terhadap guru kami dua tahun lalu di
puncak Merapi!"
Si orang tua mata satu tetap
tak bergerak atau memalingkan kepala. Mendidihlah amarah Sumo Kebalen. Seumur
hidup belum pernah dia di hina orang begitu rupa, apalagi di hadapan adik-adik
seperguruannya.
"Edan!" maki Sumo
Kebalen. Kaki kanannya bergerak menendang. "Kau makan kakiku ini Rangga
Lelanang"
Karena tendangan kepala Empat
Teratai Darah itu adalah tendangan maut, tentu saja kali ini si kakek mata satu
tak bisa berdiam diri lagi. Dengan gerakan enteng tapi cepat dia melompat dari
kursi. Tendangan menghantam kursi yang tadi didudukinya hingga hancur
berantakan. Ketika kembali hendak mengejar, Sumo dapatkan si kakek mata satu
sudah berdiri menghadang gerakannya. Untuk pertama kali dia membuka mulut.
"Sumo Kebalen! Aku bukan
Rangga Lelanang. Namaku Lor Gambir Seta. Aku sama sekali tak ada urusan dengan
kalian ataupun guru kalian. Atau juga dengan nenek moyang kalian!"
"Bangsat tua! Jangan dusta!" Sesosok tubuh melompat ke hadapan Lor
Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang Resmi dan nenek-nenek bernama Supit
Inten. "Kami yakin kaulah yang telah menghina guru kami di puncak Merapi
dua tahun lalu!"
Lor Gambir Seta tersenyum.
"Gadis, parasmu cukup cantik. Tapi tidak berkesesuaian dengan mulutmu yang
kurang ajar! Aku jauh lebih tua darimu. Apa gurumu sebelum mampus tidak pernah
memberi pelajaran budi pekerti padamu?!"
Inang Pini yang memang sudah
dirasuk nafsu balas dendam menjawab dengan mencabut pedangnya.
"Mulutku tak seberapa
kurang ajarnya, mata picak! Pedangku justru lebih kurang ajar!"
Habis berkata begitu Inang
Pini gerakkan pergelangan tangan kanannya dan mata pedang berkiblat ganas ke
arah batang leher Lor Gambir Seta.
Si kakek goleng-goleng kepala.
"Bakatmu rupanya memang untuk jadi orang kurang ajar. Jangan salahkan aku
kalau terpaksa harus memberi pelajaran!"
Lor Gambir Seta bergerak
sewaktu pedang lawan hanya tinggal seperempat jengkal dari batang lehernya.
Tubuhnya lenyap. Pedang lawan menebas tempat kosong. Bersamaan dengan itu
terdengar keluhan Inang Pini. Gadis itu kini tampak tertegun kaku tak bisa
bergerak lagi. Satu totokan lihay telah bersarang di tubuhnya.
"Bagus! Kau sudah beri
pelajaran pada adikku mata picak! Kini aku yang ganti memberi pelajaran
padamu!"
Yang berseru adalah Supit
Inten. Dia tutup ucapannya dengan satu pukulan mengemplang ke batok kepala Lor
Gambir Seta.
"Ah, kau pun nenek sama
saja tololnya dengan adikmu tadi! Biar aku sekalian beri pelajaran
padamu!" jawab Lor Gambir Seta. Tubuhnya berkelebat. Tangannya bergerak
dan terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula tubuhnya tampak kaku tegang
seperti Inang Pini!
"Ada lagi yang minta
diberi pelajaran?!" tanya Lor Gambir Seta.
Baru saja orang tua ini
berkata Inang Resmi datang menyerbu. Dia menghantamkan kedua tangannya
sekaligus. Dari telapak tangan kanan melesat sinar merah sedang dari telapak
tangan kiri menghambur dua lusin senjata rahasia berbentuk paku rebana berwarna
hitam. Senjata rahasia ini sebelumnya telah di rendam dalam racun ular selama
satu tahun. Siapa saja yang terkena paku rebana ini pasti akan menemui kematian
dalam waktu satu jam!
Menurut Sumo Kebalen, paling
tidak enam dari dua lusin senjata rahasia adik seperguruannya akan dapat
menghantam tubuh Lor Gambir Seta yang dianggapnya Rangga Lelanang itu. Memang
dalam ilmu melemparkan senjata rahasia Inang Resmi telah di gembleng khusus
selama tiga tahun dan merupakan yang terlihay di antara Empat Teratai Darah.
Lor Gambir Seta maklum kalau
bahaya besar mengancamnya. Si gadis benar-benar inginkan nyawanya. Sambil
melompat dan berseru nyaring, kakek itu pukulkan tangan kirinya. Dua lusin paku
rebana hitam mencelat ke atas, menancap pada langit-langit rumah makan yang
terbuat dari papan. Sinar merah yang tadi juga di lepaskan si gadis, mengenai
tempat kosong, terus melabrak dinding rumah makan hingga hancur berhamburan.
Sura Gandara, si pemilik rumah makan menyumpah panjang pendek dalam hati. Hari
itu bukan keuntungan yang didapatnya, malah bencana yang merugikan!
Inang Resmi gigit bibirnya.
Dua lusin paku rebana tidak berhasil. Dia akan coba tiga lusin sekaligus.
Masakan tak ada yang dapat menghantam tubuh lawan? Gadis ini sudah siap melepaskan
senjata rahasianya sebanyak tiga puluh enam buah ketika tiba-tiba dia terkesiap
karena dilihatnya lawannya lenyap dari hadapannya.
"Bangsat tua, kau
bersembunyi di mana?!" bentak Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini mengeluh
pendek. Tubuhnya terhuyung ke depan lalu tak bergerak lagi. Punggungnya dilanda
totokan lihay. Membuat dia kaku tegang dengan masih menggenggam tiga lusin paku
rebana hitam.
Ketua Empat Teratai Darah
mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya kakek mata picak ini begitu lihaynya. Namun
menyerah tidak ada dalam kamusnya.
"Rangga Lelanang! Kalau
tidak ku bunuh kau hari ini biar aku mati bunuh diri!" teriak Sumo
Kebalen.
Si kakek ganda tertawa.
"Tak pernah kulihat manusia setololmu!" katanya. Lalu dengan sikap
tak perduli dia menarik sebuah kursi dan duduk seenaknya.
Sumo Kebalen menggereng. Lalu
keluarkan suara bentakan dahsyat. Seluruh bangunan rumah makan bergetar.
Pemilik rumah makan yang gemuk macam kerbau bunting itu ketakutan, apa lagi
pelayan-pelayan.
Lor Gambir Seta melompat ke
samping. Dinding di belakangnya hancur berantakan. Sumo Kebalen potong gerakan
lawan dengan satu tendangan ke arah perut. Tetapi tendangan ini hanya tipuan
belaka karena secepat kilat dia susupkan satu jotosan ke pangkal leher lawan.
Namun Lor Gambir Seta agaknya memang bukan tandingan kakek muka putih ini.
Sewaktu tendangan lawan
dilihatnya mengapung Lor Gambir Seta segera maklum kalau serangan itu tipuan
belaka. Kemudian ketika dilihatnya jotosan datang dengan deras, si picak ini
cepat tundukkan kepala dan sekaligus menghantam paha kanan lawan dengan
lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia bergulingan di lantai lalu cepat tegak
kembali. Namun belum sempat dia mengimbangi diri satu totokan hinggap di
dadanya, membuat dia kini kaku tak berdaya. Empat Teratai Darah kini tertegak
di tengah rumah makan dalam keadaan kaku tegang tak bisa bergerak. Cukup lucu
menyaksikan keadaan mereka saat itu.
Sumo Kebalen kerahkan tenaga
dalamnya ke dada untuk membuyarkan totokan. Tapi totokan itu bukan totokan
sembarangan. Kalau bukan Lor Gambir Seta sendiri yang memusnahkannya, totokan
itu baru lenyap setelah tiga jam.
"Keparat kau Rangga
Lelanang! Pengecut!" maki Sumo Kebalen. "Lepaskan totokan ini. Mari
kita berkelahi sampai seribu jurus!" Lor Gambir Seta tidak perdulikan
ucapan orang, sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mencibir ke arah
Sumo Kebalen. "Kambing muka putih," katanya. "Lagakmu hebat
betul. Hendak berkelahi seribu jurus. Nyatanya kau sudah jadi pecundang di
bawah sepuluh jurus!" Saking marahnya Sumo Kebalen lantas meludahi Wiro
Sableng. Meski sudah mengelak namun tampiasan air ludah masih sempat memercik
di muka pendekar ini. "Sialan. Benar-benar sialan!" maki Wiro.
Dibetotnya ujung jubah Sumo Kebalen hingga robek. Kakek muka putih ini
terbanting ke lantai dan memaki panjang pendek. Wiro seka ludah di mukanya
dengan robekan pakaian si kakek. Lalu robekan pakaian itu diludahinya
berulang-ulang, setelah itu dibuntalnya bulat-bulat dan disumpalkannya ke mulut
Sumo Kebalen hingga kakek ini megap-megap, tercekik dan sulit bernapas.
"Pendekar 212," kata Lor Gambir Seta, "Kalau kau hendak mengisi
perut cepatlah! Kita tak punya waktu banyak."
Wiro berteriak memanggil
pelayan yang datang dengan ketakutan. Makanan dan minuman yang di pesan segera
di hidangkan. Wiro langsung menyantapnya. Lalu dia ingat pada orang tua di
sebelahnya. "Hai, kau tidak makan?"
Yang ditanya menggeleng.
"Kau saja yang makan. Dan cepat"
Sementara itu Supit Inten,
Inang Pini dan Inang Resmi tidak hentinya berteriak memaki-maki. Tapi baik Wiro
maupun Lor Gambir Seta tidak perdulikan.
"Rangga Lelanang!"
teriak Supit Inten. "Aku bersumpah akan memisahkan kepala dan
tubuhmu!"
"Nenek-nenek tolol!
Namanya bukan Rangga Lelanang, tapi Lor Gambir Seta!" jawab Wiro.
"Rupanya si mata picak itu
terlalu pengecut untuk mengakui namanya yang asli!" menukas Inang Resmi.
"Kalian bertiga
perempuan-perempuan cerewet. Tak bisa diam! Mengganggu makanku saja!"
damprat Wiro. Lalu dari dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah melinjo dan
dilemparkannya ke arah ke tiga perempuan itu. Langsung saja ketiganya jadi
terbungkam tak bisa bicara lagi!
Sumo Kebalen yang megap-megap
di lantai jadi terbeliak. Kini disaksikannya sendiri, nyatanya pemuda rambut
gondrong yang dianggapnya tolol itu memiliki kepandaian menotok yang luar
biasa. Pasti ilmunya tidak kalah dari si mata picak itu.
Selesai makan Wiro melangkah
mendekati Sumo Kebalen dan memeriksa pakaian kakek muka putih ini. Dan kantong
jubah sebelah kanan Wiro menemukan beberapa keping uang emas dan perak. Wiro
mengambil sekeping uang perak menyodorkannya pada Sura Gandara.
"ini pembayar harga
makanan dan minuman. Lebih dan cukup" Lalu diangsurkannya lagi sekeping
uang perak. "Dan ini untuk pembayar ganti kerusakan rumah makanmu!"
Si gemuk Sura Gandara yang
tahu jelas dari mana asal uang itu tentu saja tidak berani menerimanya.
"Hai, ambillah!"
kata Wiro.
"Aku tak berani, itu uang
Sumo Kebalen. Nanti aku dihajarnya" jawab Sura Gandara.
"Kalau dia berani berbuat
begitu, beritahu aku. Aku akan ganti menghajarnya!" sahut Wiro pula. Lalu
dua keping uang perak itu disusupkannya ke dalam saku pakaian pemilik rumah
makan. Sura Gandara merasa seolah-olah mengantongi bara panas!
9
SANG surya telah jauh
menggelincir ke barat. Sinarnya yang sebelumnya putih memerah dan memerihkan
jagat kini telah berubah redup kekuning-kuningan. Pada saat itu Wiro Sableng
dan orang tua bermata satu sampai di sebuah pedataran berumput liar. Di ujung
pedataran menunggu sebuah hutan belantara. Sejauh itu berjalan baik Wiro maupun
si orang tua tak satu pun pernah bicara.
Wiro mengikuti saja si mata
satu itu memasuki rimba belantara. Setelah masuk sejauh perjalanan dua kali
peminuman teh, di pertengahan rimba nampak sebuah pondok kecil. Dinding dan
atap bangunan ini sudah bolong-bolong. Keadaan pondok reyot ini hanya menunggu
roboh saja lagi. Dugaan Wiro bahwa si kakek akan menuju ke pondok tersebut
tidak meleset. Pintu pondok mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka.
Kedua orang ini masuk dan si kakek menutupkan pintu kembali.
Wiro memandang berkeliling.
Tak ada jendela atau lobang angin. Lama-lama terasa pengap di dalam situ. Di
mana-mana abu menebar. Di sudut-sudut pondok tampak labah-labah membuat
sarangnya.
"Perlu apa kita masuk ke
sini kalau cuma tegak dan membisu begini rupa?" tanya Wiro akhirnya kesal.
Orang tua itu tak menjawab.
Dia berdiri tanpa bergerak dengan kepala setengah mendongak. Kelihatannya dia
seperti tengah memasang telinga tajam-tajam.
"Kita menunggu seseorang
di sini?" tanya Wiro lagi.
Tetap tidak ada jawaban, ini
menjengkelkan murid Sinto Gendeng. Ketika dia hendak membuka mulut kembali
tiba-tiba Lor Gambir Seta melangkah ke salah satu sudut pondok. Dilihatnya
orang tua ini menggerakkan jari-jari tangannya, menekan salah satu bagian dari
tiang pondok yang sudah lapuk dimakan bubuk.
Wiro terkejut dan hampir tak
percaya ketika tiba-tiba lantai pondok yang terbuat dari papan itu membuka di
sebelah tengah dan di bawahnya kelihatan sebuah tangga batu, menurun menuju
sebuah gang.
Lor Gambir Seta melangkah menuruni
tangga setelah terlebih dulu memberi isyarat pada Wiro agar mengikuti. Melihat
sikap si mata satu ini yang terus-terusan terasa aneh, mau tak mau lama-lama
pendekar kita jadi curiga. Dia tak mau mengikut turun dan tetap di tempatnya.
"Lekas masuk!" kata
Lor Gambir Seta ketika dilihatnya Wiro tak bergerak.
Wiro menggeleng.
"Terus terang aku mulai
curiga terhadapmu, orang tua!"
"Curiga atau tidak lekas
masuk. Aku tak punya waktu lama!"
"Soal waktu itu urusanmu.
Cukup aku mengikutimu sampai di sini. Selamat tinggal" Wiro putar tubuh
dan siap melangkah keluar pondok. Namun ucapan si kakek membuatnya kemudian
batalkan niat.
"Kau ingin melihat dunia
persilatan musnah di tangan manusia jahat itu? Kau ingin pembunuhan, penculikan
dan pemerkosaan berlangsung terus sampai kiamat? Hingga kelak pada suatu ketika
aku dan juga kau bakal menjadi korban keganasannya?"
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Lalu menjawab: "Kakek aneh, kalau kau memang punya maksud baik, kenapa kau
terlalu banyak merahasiakan segala sesuatunya padaku? Kau selalu menutup mulut.
Tak pernah menjawab setiap kutanya. Bukan mustahil kau memang Rangga Lelanang
seperti yang dikatakan oleh Empat Teratai Darah!"
"Siapa diriku setiap
orang boleh menduga seribu cara seribu macam. Maksud baikku terhadap dunia
persilatan tak ada artinya. Tidak beda dengan setetes air yang dicemplungkan ke
dalam lautan. Kalau kau tak mau ikut aku, perduli setan. Asal jangan kau nanti
menyesal seumur hidup sampai ke liang kubur!"
Habis berkata begitu Lor
Gambir Seta kembali menuruni tangga batu. Wiro bersiul, garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba dari mulut gang
sebelah bawah tangga batu menggema satu suara halus tapi amat jelas.
"Pendekar 212 jangan
terlalu banyak bercuriga. Kau berada di tengah-tengah orang-orang yang satu
haluan…"
"Heh… siapa pula yang
bicara itu?" tanya Wiro Sableng. Dilihatnya Lor Gambir Seta terus
melangkah menuruni tangga. Akhirnya pendekar kita melangkah juga mengikuti
kakek mata satu itu. Begitu sampai di anak tangga terakhir, bagian atas lobang
tertutup dengan sendirinya. Keadaan kini jadi gelap gulita. Tapi Lor Gambir
Seta melangkah cepat seperti dalam terang saja, seolah-olah dia punya mata
lebih dari satu! Wiro setengah memaki tetapi juga penuh rasa ingin tahu
mengikuti terus. Lorong itu ternyata amat panjang. Akhirnya mereka sampai di
hadapan sebuah pintu batu berwarna putih. Wiro berpikir-pikir siapa gerangan
orang yang tadi mengeluarkan suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya ada di
belakang pintu itu. Dan pastilah dia seorang manusia luar biasa karena sanggup
mengirimkan suara sedemikian jauh.
Lor Gambir Seta mengetuk pintu
batu itu. Pintu bergeser ke samping secara aneh. Di belakang pintu kelihatan
sebuah lorong panjang diterangi lampu-lampu minyak. Keduanya memasuki lorong.
Pintu batu putih di belakang mereka menutup dengan sendirinya. Pada ujung
lorong muncul sebuah pintu batu yang kali ini berwarna merah. Seperti tadi
kembali Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu ini tiga kali. Pintu terbuka.
Di hadapan Wiro tampak sebuah
ruangan amat besar yang keseluruhan lantai, dinding dan langit-langitnya
tertutup permadani berbunga-bunga. Di ujung kamar terdapat sebuah jendela. Jauh
di belakang jendela tampak sebuah sungai dengan air terjun yang tinggi. Segala
sesuatunya di luar jendela itu adalah rimba belantara yang tak pernah dijejaki
manusia.
Yang menarik perhatian Wiro
saat itu ialah dua orang yang berada di samping kanan ruangan besar. Yang satu
seorang kakek berbadan gemuk macam gentong, tetapi mengenakan pakaian yang
kekecilan.
Orang ini berbaring melunjur
di atas sebuah kursi malas. Sebatang pipa terselip di sela bibirnya. Asap pipa
itu menaburkan bau yang tidak sedap.
Di sebelah si gemuk duduklah
seorang tua berjanggut putih. Di pangkuannya terletak dua buah bumbung tuak.
Meskipun orang ini agak membelakang, tapi Wiro segera mengenalinya.
"Dewa Tuak!" Wiro
berseru memanggil.
Orang yang dipanggil tidak
berpaling, melainkan keluarkan suara tertawa bergelak, lalu berkata:
"Cepatlah masuk Wiro. Agar kita bisa lebih lekas berunding mengatur rencana."
Wiro kerenyitkan kening.
Sesaat dia memandang pada Lor Gambir Seta. Selagi si mata satu ini menutup
pintu batu merah, Wiro melangkah ke hadapan kakek janggut putih yang
dipanggilnya Dewa Tuak, lalu menjura dalam, dan juga menjura pada Si gemuk di
kursi malas. Menurut dugaan Wiro si gemuk inilah tadi yang telah mengirimkan
suara jarak jauh.
"Duduk…" si gemuk
mempersilahkan. Suaranya halus. Wiro duduk di kursi yang terletak di samping
Dewa Tuak sementara Lor Gambir Seta mengambil kursi lain.
"Guru, harap
maafkan," kata Lor Gambir Seta pada si gemuk yang menghisap pipa.
"Dua bulan mencari baru aku berhasil menemui pemuda ini."
"Ah, ternyata si gemuk
ini guru si picak," kata Wiro dalam hati.
Si gemuk menyedot pipanya
dalam-dalam, lalu meniupkan asap tampak dia membuka mulut. Wiro menyangka si
gemuk ini hendak mulai bicara. Ternyata dia menguap lebar-lebar dan lama
sekali.
"Jika satu jam saja
kalian terlambat, pasti aku sudah tidur lagi. Dan segala sesuatunya akan
percuma saja karena aku tak akan bangun dalam tempo enam kali bulan
purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya halus dan sember.
"Dapatkah kita mengatur
rencana sekarang?” tanya Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung tuaknya.
Si gemuk untuk kedua kalinya
menguap lebar dan panjang hingga matanya tampak berair.
"Dewa Tuak," Wiro
menyeling. "Mohon dijelaskan dengan orang gagah dari manakah saat ini aku
berhadapan dan siapa nama atau gelarnya. Lalu bagaimana pula kita sampai bisa
bertemu di sini."
"Semuanya telah
diatur," memberitahu Lor Gambir Seta.
"Ya, ya. Diatur untuk
satu rencana besar," sambung Dewa Tuak.
"Jelasnya rencana besar
apa?" tanya Wiro kembali.
Si gemuk berdehem beberapa
kali. "Aku akan terangkan anak muda. Aku akan terangkan." Dia menoleh
pada Dewa Tuak. "Coba terangkan dulu siapa aku ini padanya…."
Dewa Tuak mengangguk lalu
berkata, "Wiro, saat ini kita berada di tempat kediaman tokoh paling tua
di dunia persilatan. Umurku lebih dari delapan puluh tahun. Tapi si gemuk ini
berusia dua kali umurku…."
"Buset!" terlompat
kata-kata itu dari mulut Wiro secara tak sengaja saking kagetnya. Menyadari
ketidaksopanannya buru-buru pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak melanjutkan
penjelasannya. "Dia tokoh silat paling tua. Juga paling gemuk. Beratnya
hampir dua setengah kwintal. Di samping itu dia mendapat cap sebagai manusia
paling malas di seluruh dunia karena sifatnya yang doyan tidur, itu sebabnya
dalam dunia persilatan dia diberi nama Si Raja Penidur!"
Terbelalaklah Wiro Sableng
ketika mendengar siapa adanya si gemuk itu. Selagi di gembleng di puncak gunung
Gede oleh gurunya Eyang Sinto Gendeng, sang guru pernah menerangkan bahwa
satu-satunya manusia yang dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya dalam dunia
persilatan ialah seorang lelaki gemuk bergelar Si Raja Penidur. Usianya sudah amat
lanjut. Karena sifatnya yang pemalas dan suka tidur, dia jarang muncul dalam
rimba parsilatan, karenanya kurang di kenal. Menurut Eyang Sinto Gendeng kalau
sekali Raja Penidur ini tidur maka tiga sampai empat bulan mungkin belum
bangun-bangun sekalipun gunung meletus dibawah ranjangnya.
Kini Wiro tahu itulah sebabnya
Lor Gambir Seta selalu mendesak agar cepat-cepat dalam perjalanan. Wiro
benar-benar tidak menduga kalau hari itu dia bakal bertemu muka dengan tokoh
nomor satu itu.
"Sekarang soal rencana,"
kata Si Raja Penidur. Tapi ucapannya terputus karena lagi-lagi menguap dan
kucak-kucak mata. "Meskipun aku bisanya cuma tidur dan malas-malasan di
sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan tidak luput dari perhatianku.
Beberapa tokoh silat berkunjung ke sini tiga bulan lalu dan menerangkan semua
kejadian di luar sana. Kejadian-kejadian yang benar-benar menggegerkan, biadab
terkutuk serta tak mungkin dibiarkan lebih lama." Si gemuk ini berhenti
sesaat untuk menguap, baru meneruskan.
"Menurut hematku hanya
ada satu manusia yang memiliki ilmu siluman dan mampu terbuat seperti itu yakin
Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku Lor Gambir Seta untuk
melakukan penyelidikan. Siapa sebenarnya keparat biang bencana itu dan di mana
dia bercokol. Ternyata diketahui Datuk Siluman sudah mati. Tertembus di bawah
runtuhan rumahnya, atau dibunuh orang atau bunuh diri. Ini memberi pengertian
bahwa ada seorang lain yang jadi penimbul malapetaka itu, dengan ilmu mirip
sekali seperti yang di miliki Datuk Siluman. Dan penyelidikan muridku ternyata
tidak sia-sia…. Ah… aku mengantuk. Tak tahan beratnya mata ini. Aku mau
tidur…."
"Guru!" berkata Lor
Gambir Seta. "Jika kau tidur percumalah semua ini!"
Si Raja Penidur menguap, lalu
mengulet dan geleng-gelengkan kepalanya berulang kali untuk membuang kantuk.
Setelah menyedot pipanya dalam-dalam baru dia melanjutkan: "Bangsat
penimbul malapetaka keji itu bernama Sonya. Dia bercokol di sebuah goa yang
bangunan dalamnya tidak beda dengan tempatku ini. Goa itu terletak di Teluk
Gonggo!" Si gemuk kembali menguap. "Sonya memiliki ilmu siluman yang
luar biasa. Mungkin dia bukan murid Datuk Siluman karena sejauh kuketahui Datuk
Siluman tidak punya murid. Tetapi tidak bisa tidak manusia biadab ini pasti memiliki
hubungan dengan Datuk Siluman. Ilmu hitamnya lebih tinggi dari langit, lebih
dalam dari lautan. Dan celakanya dia tidak bisa mati, tidak bisa dibunuh!"
Wiro batuk-batuk lalu berkata:
"Raja Penidur, aku tolol ini mohon penjelasanmu. Bagaimana ada manusia
yang tidak dapat dibunuh, tidak bisa mati! Setiap makhluk hidup pasti mati. Itu
hukum Yang Kuasa!"
Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta
tersenyum. Rupanya kedua orang ini sudah tahu banyak tentang manusia bernama
Sonya itu.
"Apa yang kau katakan itu
memang benar, orang muda," jawab Raja Penidur. "Tapi Sonya bukan
manusia biasa lagi, tak dapat disebutkan manusia. Dia malah sudah melebihi
siluman. Dan hanya akan mati bila kita mengetahui titik kelemahannya atau
pantangannya. Kabarnya dia punya dua pantangan. Aku cuma tahu satu, sialan
betul!" Raja Penidur kembali menguap. Dia memandang pada Lor Gambir Seta
dan berkata: "Muridku, jelaskan padanya pantangan itu."
Lor Gambir Seta mengangguk.
"Ketinggian ilmu kesaktian dan kehebatan ilmu kebal manusia siluman ini
akan punah bilamana tubuhnya terkena air hujan."
Wiro garuk-garuk kepala sedang
Dewa Tuak kerenyitkan kening sambil usap-usap janggutnya yang putih.
"Aneh dan hampir tak
masuk akal…" kata Dewa Tuak.
"Memang setiap ilmu
siluman selalu diselimuti keanehan," kata Lor Gambir Seta.
Raja Penidur menyambung.
"Rasanya Sonya tidak sendirian. Selain memelihara puluhan perempuan
culikan, dia juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat baik dari golongan putih
maupun hitam. Mereka menjadi budaknya di luar sadar. Perempuan-perempuan malang
itu harus diselamatkan. Juga tokoh-tokoh silat golongan putih. Terhadap mereka
dari golongan hitam kalian tak usah ragu-ragu bertindak. Jika selama ini mereka
sukar diatur dan sulit dibasmi, kali ini kalian punya kesempatan untuk turun
tangan. Persoalannya kuserahkan pada kalian bertiga…."
"Raja Penidur,"
berkata Wiro. "Kau bilang persoalannya kini pada kami bertiga. Jika
tokoh-tokoh silat kawakan sebelumnya tak berhasil membekuk manusia siluman itu,
bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini bisa turun tangan?"
Si gemuk tertawa mengekeh.
"Jangan terlalu merendahkan diri orang muda. Siapa yang tidak tahu Sinto
Gendeng? Siapa yang tidak pernah dengar muridnya yang berjuluk Pendekar 212?
Aku yakin kalian bertiga bisa bekerjasama membantai manusia siluman terus lagi
pula ingat akan satu ujar-ujar. Kapal besar belum tentu tenggelam oleh ombak
besar. Tetapi mungkin tenggelam oleh bocor kecil. Dewa Tuak, ingat, kau
bertugas membawa air hujan dalam bumbung bambumu itu!"
Dewa Tuak usap-usap bumbung bambunya.
"Ah, malang nian nasibku kali ini. Agaknya aku terpaksa puasa minum tuak
selama menjalankan tugas ini!"
"Lor Gambir Seta, kau
punya tugas menyelamatkan tokoh-tokoh golongan putih yang disekap di Teluk
Gonggo. Dan Wiro, kau berkewajiban membasmi mereka yang dari golongan
hitam!"
"Lalu bagaimana dengan
perempuan-perempuan yang puluhan itu dan kabarnya cantik-cantik? Siapa yang
dapat tugas menyelamatkan?" tanya Wiro.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
Lor Gambir Seta senyum-senyum sedang Si Raja Penidur kembali menguap.
"Mereka sudah barang
tentu harus diselamatkan. Aku percaya kau bisa mengaturnya Wiro," jawab Si
Raja Penidur kemudian.
"Kau sendiri tidak ambil
bagian dalam tugas besar ini?”
"Aku…?" ujar Raja
Penidur ketika mendengar pertanyaan Wiro itu. Dihembuskannya asap pipanya
jauh-jauh. "Perlu apa aku turun tangan mencapaikan diri. Lebih enak tidur
di sini!" Dia menguap kembali.
"Kalian saksikan
sendiri," kata Lor Gambir Seta sambil menggoyangkan kepala ke arah gurunya
yang sudah pulas. "Baru delapan minggu yang lalu dia bangun setelah tidur
selama empat bulan. Dan kini sudah pulas lagi. Untung kita lekas sampai di
sini. Kalau tidak berarti dunia persilatan akan terus tenggelam dalam
malapetaka sampai beberapa bulan dimuka!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala.
Telah banyak dilihatnya tokoh-tokoh silat bersifat aneh. Tapi si gemuk satu ini
nomor satu aneh!
10
ANGIN bertiup kencang,
memapasi lari tiga ekor kuda yang dipacu menuju ke utara. Dari debu yang
melekat di tubuh kuda serta para penunggangnya nyata bahwa mereka telah
menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya dari rimba belantara mereka memasuki
daerah berpasir yang ditumbuhi pohon kelapa. Orang-orang ini adalah Pendekar
212 Wiro Sableng, Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak. Mereka menghentikan kuda masing-masing
di ujung bukit pasir yang terjal.
"Kita berhenti di sini.
Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki," kata Lor Gambir Seta seraya
melompat turun dari punggung kuda, diikuti dua orang lainnya.
"Tapi ada beberapa hal
penting yang harus kuterangkan pada kalian. Sonya manusia siluman berhati iblis
itu memiliki ilmu-ilmu luar biasa. Tiga di antaranya amat berbahaya. Pertama
yang disebut Cakar Siluman. Karenanya dalam menghadapinya nanti jangan terlalu
dekat. Ilmunya yang kedua bernama Asap Jalur Penidur. Jika seseorang sampai
terlingkar oleh asap tersebut pasti akan menjadi lemah dan jatuh tidur, ilmu
ketiga, ini yang paling berbahaya ialah Asap Tenung Siluman. Siapa yang sampai
menciumnya pasti berubah jalan pikirannya dan merasa bahwa dia adalah budak
atau hamba sahaya Sonya. Dengan demikian Sonya bisa menyuruhnya berbuat apa
saja! Karenanya begitu berhadapan dengan manusia siluman itu harus dapat
menyiramkan air pantangan berupa air hujan ke tubuhnya!"
Setelah memandang berkeliling
sejenak Lor Gambir Seta memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan. Pada saat
dia dan Wiro mulai melangkah, di sebelah belakang Dewa Tuak keluarkan dua
buli-buli kecil dari balik pakaiannya. Seperti telah diketahui, karena dua
bumbung bambu yang dibawanya kini di isi air hujan maka dia terpaksa membawa
tuak kegemarannya di dalam buli-buli tersebut. Dibukanya tutup buli-buli lalu
mendongak dan mulai meneguk minuman itu.
Tiba-tiba Dewa Tuak turunkan
buli-bulinya dan menyemburkan air minuman dalam mulutnya ke depan. Delapan buah
pisau terbang yang meluncur ke arah Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng runtuh ke
tanah.
"Bangsat! Siapa yang
berani membokong!" bentak Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta terkejut,
cepat berpaling dan baru menyadari bahwa keduanya baru saja diselamatkan oleh
kakek janggut putih itu.
"Pisau itu melesat dari
arah bawah tebing pasir! Pasti pembokong itu ada di sana" kata Dewa Tuak.
Buli-buli tuaknya di simpan lalu dia melompat ke bawah bukit pasir, diikuti
Wiro dan Lor Gambir Seta.
Selagi ketiganya melayang di
udara. Tiga lusin pisau terbang menderu lagi ke arah mereka.
"Keparat!" maki
Wiro. Tangan kanannya dlpukulkan ke depan. Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak juga
dorongkan telapak tangan kanan. Tiga puluh enam pisau maut itu mental, jatuh ke
pasir.
"Bangsat! Lekas keluar
dari balik batu" teriak Wiro. Dia melihat jelas, serangan pisau itu keluar
dari balik sebuah batu besar. Ketika ditunggu tak ada yang keluar, Wiro
lepaskan pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu gumpal angin keras
laksana batu karang menghantam batu besar itu dengan dahsyatnya hingga hancur
berantakan. Di saat itu pula terdengar suara jeritan. Di balik batu besar yang
telah hancur tampak tiga lelaki bermuka hitam.
Yang satu menggeletak dengan
dada hancur. Dua lainnya masih untung hanya menderita luka dalam. Setelah
terhuyung sesaat, keduanya lantas cabut senjata dan menyerbu ke arah Wiro dan
kawan-kawan.
"Mereka pasti budak-budak
Sonya" seru Lor Gambir Seta dan berkelebat menotok lawan yang
menyerangnya. Sebaliknya Wiro tak memberi ampun. Orang yang coba menebaskan
senjatanya ke lehernya dihantam di bagian dada dengan jotosan tangan kiri
hingga muntah darah dan terkapar di pasir.
"Muka hitam!" sentak
Lor Gambir Seta seraya menjambak rambut orang yang berhasil ditotoknya.
"Sebelum kau jadi budak manusia siluman bernama Sonya, apakah kau dari
golongan hitam atau putih?!"
"Apa perdulimu, mata
picak?!" jawab si muka hitam.
Lor Gambir Seta menggereng.
Dewa Tuak membisikkan sesuatu kepadanya. Lor Gambir Seta lalu berkata:
"Nyawamu kuampuni. Tapi lekas beri tahu di mana sarangnya Sonya I"
Si muka hitam tertawa.
"Baik, tapi lepaskan dulu totokanmu!"
Tanpa curiga Lor Gambir Seta
lepaskan totokan di tubuh si muka hitam. Tetapi begitu totokannya terlepas
secepat kilat si muka hitam hantamkan tinjunya ke batok kepala sendiri! Dia
menggeletak mati dengan kepala rengkah.
"Kalian saksikan
sendiri!" ujar kakek mata picak itu antara terkesiap dan juga penasaran.
"Dia sudah menjadi kerbau yang sangat, patuh pada Sonya. Lebih suka bunuh
diri dari pada berkhianat!"
Ketiganya lalu melanjutkan
perjalanan menempuh pedataran pasir penuh pohon kelapa. Selang beberapa lama
mereka sampai di tepi pantai berbentuk cekung setengah lingkaran. Angin laut
bertiup lembut dan air laut tampak tenang. Burung elang beterbangan di udara.
Pemandangan di sini indah sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di sini pulalah manusia
siluman Sonya membuat markasnya. Tapi di sebelah mana?
Ketiga orang itu bergerak
dengan hati-hati. Bukan mustahil mereka bakal mendapat rintangan-rintangan maut
lainnya dari budak-budaknya Sonya. Mereka mendekati daerah berbatu-batu di
bagian teluk sebelah kanan. Biasanya di tempat seperti Ku terdapat lobang atau
celah yang dijadikan pintu masuk. Di bagian yang menghadap ke laut, mereka
tidak menemukan apa-apa. Ketiganya berputar menyelidiki bagian belakang
bebukitan batu ini.
"Hai, itu ada
lobang!" Wiro tiba-tiba berseru dan menunjuk pada sebuah lobang di
sela-sela dua batu besar. Ketiganya segera menuju ke situ. Ternyata mulut
lobang tertutup oleh satu sarang gonggo (labah-labah) yang luar biasa besarnya.
"Lobang buntu. Tak
mungkin ada yang memakai sebagai jalan masuk!" kata Wiro garuk-garuk
kepala.
"Celaka! Perangkap setan
apa pula ini!" kata Lor Gambir Seta. Tubuhnya dan juga tubuh Wiro sudah
terhisap sampai sebatas pinggul.
Melihat kedua kawannya itu
menghadapi bahaya besar Dewa Tuak cepat keluarkan benang sutra putih saktinya
yang selalu dibawanya.
"Bertahanlah! Lihat
benangku ini!" seru Dewa Tuak. Benang itu meluncur ke bawah langsung
melibat pinggang serta dada Wiro dan si kakek. Untuk dapat menarik keduanya
dari hisapan pasir maut itu Dewa Tuak kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam.
Sekali sentak, tubuh Wiro dan Lor Gambir Seta berhasil di tarik keluar.
"Kurang ajar!
Licik!" maki Wiro begitu selamat.
"Dewa Tuak, dua kali kau
menyelamatkan jiwa kami. Kami menghaturkan terima kasih," kata Lor Gambir
Seta sementara Wiro cengar-cengir.
Dewa Tuak angkat bahu dan
menjawab: "Bukan saatnya kita berbasa basi dengan segala peradatan!
Lor Gambir Seta menghela nafas
panjang. Dia memandang ke lobang batu yang ada sarang gonggonya.
"Aku yakin, inilah pintu
masuk ke sarangnya Sonya."
"Tapi ada serang
gonggonya begitu, mana mungkin?" ujar Wiro.
"itu bukan sembarang
gonggo. Aku akan buktikan," kata Lor Gambir Seta. Diikuti oleh kedua orang
itu dia menghampiri mulut lobang. Membaui manusia di dekatnya, gonggo besar itu
mulai menggerakkan kaki-kakinya. Pandangan matanya membuas dan dari mulutnya
keluar sebentuk lidah aneh bercabang dua berwarna hijau berkilat-kilat tanda
mengandung racun jahat.
Lor Gambir Seta mengambil
sehelai sapu tangan. Benda ini di buntalnya lalu dilemparkan ke serang gonggo.
Secepat kilat binatang ini menyambar dan menghancur luluhkannya.
Wiro membungkuk mengambil
sebuah batu sebesar setengah kepalan. Batu ini dilemparkannya ke sarang gonggo.
Seperti sapu tangan tadi, batu ini pun di lumat hancur oleh gonggo itu dalam
waktu singkat! Mata Pendekar 212 membeliak menyaksikan hal ini.
"Hebat…! Hebat!"
kata Dewa Tuak. "Aku mau tahu apakah binatang ini doyan tuakku!" Lalu
diteguknya tuak dalam buli-buli. Tiga teguk berturut-turut. Tegukan pertama dan
kedua ditelannya. Tegukan ketiga tetap dalam mulut dendengan mengerahkan tenaga
dalam tuak itu disemburkannya ke arah gonggo di lobang batu.
Kepala binatang itu hancur.
Tubuhnya remuk berkeping-keping. Kaki-kakinya menggelepar dan putus-putus.
Sarangnya musnah. Sesaat kemudian terjadilah hal yang aneh. Baik gonggo maupun
sarangnya berubah menjadi asap hitam untuk kemudian musnah tak berbekas.
"Gonggo siluman!"
desis Wiro.
Lor Gambir Seta memberi
isyarat. Ketiganya segera menyelinap ke dalam lobang dengan sangat hati-hati.
Ternyata lobang itu tidak seberapa dalam. Langkah mereka terhenti oleh sebuah
pintu papan.
"Awas, kurasa ini pintu
siluman dengan berbagai senjata rahasia," kata Dewa Tuak memperingatkan.
Lor Gambir Seta mengangguk.
Dia memberi tanda agar kedua orang itu bertiarap. Lalu tangan kanannya di
pukulkan ke depan.
"Braak!"
Pintu papan hancur berantakan.
Dikejap itu pula beralur lima puluh batang golok terbang di atas tubuh ketiga
orang yang bertiarap itu. Begitu senjata-senjata maut itu lewat, ketiga orang
tersebut cepat melompat dan menerobos masuk lewat pintu yang hancur. Mereka
sampai ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan puluhan manusia. Di hadapan
mereka berdiri kira-kira dua puluh orang lelaki dan setengah lusin perempuan
yang kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat golongan putih
dan hitam yang telah diculik dan di jadi kan budak oleh Sonya. Dengan muka hitam
begitu rupa sulit bagi Wiro dan kawan-kawan untuk mengenali mereka. Ini berarti
mereka tidak mengetahui yang mana tokoh golongan hitam dan mana tokoh golongan
putih yang harus mereka selamatkan.
Di belakang jejeran
orang-orang Itu, di satu lantai yang agak tinggi, duduklah seorang lelaki
berusia setengah abad, berwajah luar biasa seramnya. Rambutnya awut-awutan,
kumis dan cambang bawuk tidak terurus. Sepasang matanya menyorot ganas. Dia
mengenakan pakaian buruk dekil penuh tambalan. Tubuh dan pakaiannya ini menebar
bau yang sangat busuk!
Di sekeliling si bau busuk
ini, duduk bersimpuh lima belas orang perempuan. Karena muka mereka tidak hitam
maka dapat di saksikan bahwa mereka semua adalah gadis-gadis berwajah cantik.
Dan yang membuat Pendekar 212 jadi sesak nafas sedang Dewa Tuak serta Lor
Gambir Seta menjadi jengah ialah bahwa kelima belas gadis itu tak satu pun
mengenakan pakaian alias bertelanjang bulat!
Dari balik sebuah ruangan
tiba-tiba muncul seorang gadis yang parasnya cantik di antara semua gadis di
ruangan itu. Dia melangkah tanpa pakaian menghampiri lelaki berpakaian buruk
dekil itu dan langsung duduk di pangkuannya.
"Gila betul!" kata
Wiro dalam hati.
Gadis itu bukan lain adalah
Dwiyana, murid Akik Mapel. Akik Mapel sendiri saat itu duduk di sudut ruangan
bersama yang lain-lainnya. Mereka siap menyerbu tiga orang yang baru datang
itu, hanya menunggu perintah majikan mereka.
Lor Gambir Seta berbisik pada
Wiro dan Dewa Tuak: "Keparat yang berpakaian rombeng busuk Sonya yang
harus kita lenyapkan. Kita harus bertindak cepat!"
Sebelum ketiga orang ini
bergerak tiba-tiba di antara orang banyak menyeruak empat manusia bermuka
hitam. Satu laki-laki dan tiga perempuan.
Meski tidak dapat mengenali
wajah mereka tetapi dari jubah putih berbunga teratai merah yang mereka
kenakan, Wiro Sableng serta Lor Gambir Seta segera mengetahui bahwa keempat
orang ini bukan lain adalah Empat Teratai Darah yang beberapa hari lalu pernah
bentrokan dengan mereka di sebuah rumah makan. Bagaimana keempat orang ini
tahu-tahu sudah berada di sarangnya Sonya?
Tiga jam setelah ditotok oleh
Lor Gambir Seta, totokan di tubuh Empat Teratai Darah punah dengan sendirinya.
Penuh rasa dendam, keempatnya bermaksud untuk menemui seorang tokoh silat
golongan hitam guna minta bantuan. Dalam perjalanan itulah mereka berpapasan
dengan Sonya. Mengetahui bahwa Empat Teratai Darah merupakan kelompok
berkepandaian tinggi dan cukup terkenal dalam dunia persilatan maka Sonya
segera menyerang mereka dengan asap tenung siluman. Dalam keadaan tak sadar
keempat orang itu kemudian dibawanya ke Teluk Gonggo.
"Rangga Lelanang! Dan kau
pemuda gondrong sedeng" membentak kepala Empat Teratai Darah yakni Sumo
Kebalen. "Dicari-cari tidak ketemu. Akhirnya hari ini kalian datang
mengantar nyawa!"
"Hai! Kau rupanya “sahut
Wiro seraya mencibir.
"Kalau aku tidak salah
dulu mukamu putih macam kain kafan. Sekarang kenapa berubah jadi pantat
dandang?!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak dan diam-diam tangan kanannya
meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Di sampingnya Dewa Tuak
keluarkan buli-bulinya dan "gluk-gluk-gluk”, dia meneguk minuman itu
seenaknya seolah-olah sedang berada di tempat perjamuan. Lor Gambir Seta
sendiri sejak tadi sudah siapkan pukulan tangan kosong di tangan kiri sedang di
tangan kanannya kini tergenggam sebuah senjata aneh yakni sebuah tanduk kerbau
yang amat besar dan runcing salah satu ujungnya.
"Pendekar 212” bisik Lor
Gambir Seta. "Ingat, kita harus bertindak cepat. Musuh-musuh golongan
hitam harus disingkirkan dulu sebelum Sonya turun tangan."
Wiro mengangguk.
Sumo Kebalen menggereng marah
mendengar ucapan Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga adik seperguruannya. Wiro
dan Lor Gambir Seta siap menyongsong.
Wiro cabut senjatanya. Sinar
putih berkiblat ketika Kapak Maut Naga Geni 212 mulai beraksi. Terdengar suara
mengaung laksana seribu tawon mengamuk. Dilain kejap Empat Teratai Darah sudah
menggeletak di lantai. Mereka menemui ajal tanpa mengeluarkan sedikit suara pun
saking cepatnya sambaran senjata Wiro. Dan mereka tidak pernah tahu senjata apa
yang telah menamatkan riwayat mereka.
Lor Gambir Seta tertegun
melihat gebrakan kilat yang dibuat Wiro. Orang tua mata satu ini sudah sejak
lama mendengar kehebatan pendekar gondrong ini, tapi baru hari ini dia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jika saja bukan di tempat itu
terjadinya, pastilah dia akan berseru memuji.
Sementara itu Dewa Tuak yang
sudah tahu banyak tentang Wiro tertawa gelak-gelak dan teguk tuaknya. Begitu
suara tawanya lenyap tempat itu telah berubah jadi kacau balau. Gadis-gadis
yang telanjang berpekikan, lelaki-lelaki bermuka hitam menggembor marah.
Sonya bertepuk tiga kali dan
berteriak: "Hamba Sahayaku! Bunuh tiga bangsat pangacau itu!" Laksana
air bah orang-orang bermuka hitam serta merta menyerbu. Dewa Tuak semburkan
tuak dari mulutnya. Dua orang penyerang berteriak roboh dengan tubuh
bergelimpangan darah. Teman-temannya yang berhasil menyelamatkan diri segera
mengeroyok Dewa Tuak. Tokoh silat berusia 80 tahun ini putar kedua bumbung
bambunya. Tiga orang musuh lagi terjelepak oleh serangan yang tidak mereka duga
ini.
Baik Wiro maupun Dewa Tuak
serta Lor Gambir Seta tidak dapat mengetahui mana para penyerang yang berasal
dari golongan hitam dan mana dari golongan putih. Karenanya sebelum pertempuran
berlangsung lebih jauh Lor Gambir Seta berteriak: "Manusia-manusia muka
hitam berasal dari golongan putih dengar. Kami tidak mau kesalahan tangan.
Lekas mundur, selamatkan diri kalian!"
Tapi otak manusia-manusia
golongan putih itu telah terjebak dalam Ilmu siluman Sonya hingga tak satu dari
mereka yang ambil peduli dan mendengar perintah itu.
Dewa Tuak menyemburkan tuaknya
terus menerus. Tabung bambu dihantamkannya kian kemari. Selagi musuh menghindar
Dewa Tuak pergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sonya.
Sonya melompat ke samping
kiri. Matanya tidak lepas pada genangan air di lantai. Dari tempat yang
dirasakannya aman, dia keluarkan ilmu silumannya yang bernama "Asap Jalur
Penidur. Asap kecil hitam melesat bergulung-gulung, melejit ke arah Dewa Tuak,
Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng.
"Lekas menyingkir"
teriak Lor Gambir Seta.
11
SAMBIL berteriak Lor Gambir
Seta melompat keluar menjauhi kalangan pertempuran. Dalam mundur menjauh ini
dia sempat menotok dua lawan bermuka hitam yang menurut dugaannya adalah dari
golongan putih.
Pendekar 212 babatkan kapak
saktinya ke depan. Asap siluman yang menyerbunya terpental dan buyar hingga dia
selamat dari malapetaka. Lain halnya dengan Dewa Tuak. Tokoh kawakan ini
hantamkan tangan kirinya ke atas. Asap hitam buyar namun dari samping membalik
kembali dan menyerbu ke arahnya!
"Celaka!" keluh Dewa
Tuak ketika dirasakannya kepalanya mendadak pusing dan sepasang matanya menjadi
berat laksana dicantoli batu Dia menahan nafas dan kerahkan tenaga dalam.
Lututnya goyah dan tubuhnya mulai menghuyung. Namun dia masih sanggup bertahan
dengan menutup seluruh inderanya.
Melihat Dewa Tuak dalam bahaya
Wiro segera bertindak cepat. Didahului teriakan menggelegar murid Eyang Sinto
Gendeng ini berkelebat. Tiga orang terjungkal. Dua bobol perutnya, satu lagi
hampir tanggal lehernya. Selagi tubuhnya mengapung di udara, Wiro lepaskan
pukulan sinar matahari yang panas dan menyilaukan. Asap siluman yang hampir
menguasai Dewa Tuak musnah. Dewa Tuak sendiri terpental dan jadi kalang kabut
ketika sebagian janggut putihnya terbakar oleh pukulan sinar matahari.
"Gila! Edan! Ooala”
teriak Dewa Tuak dan cepat padamkan janggutnya yang terbakar.
"Kurang ajar!" kutuk
Sonya geram. Sedang matanya membersitkan sinar maut. Tak dapat dipercayanya
kalau hari itu semua asap-asap ilmu silumannya dapat di musnahkan lawan, satu
hal yang tak pernah kejadian sebelumnya.
Sonya mengangkat tangannya
tinggi-tinggi ke udara lalu kedua telapak tangannya disatukan dan saling
digesek.
“Gorda! Keluarlah! Bunuh
pemuda berambut gondrong itu!"
Serangkum asap hitam keluar
dari celah kedua telapak tangan manusia siluman itu mengeluarkan suara
mendesis. Asap itu kemudian berubah menjadi sesosok makhluk yang luar biasa
seram dan besarnya. Kepalanya menyondok langit-langit ruangan yang tingginya
hampir tiga meter itu. Sepasang matanya yang merah hampir sebesar buah kelapa.
Mulutnya menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi raksasa. Dia melangkah
mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya menggoyangkan lantai ruangan!
Tiba-tiba makhluk bernama
Gorda ini ulurkan kedua tangannya yang besar dan panjang, berbulu dan berkuku
runcing. Wiro meskipun agak tergetar tapi cepat babatkan Kapak Naga Geni 212.
Didahului sinar putih perak, senjata mustika itu membabat salah satu tangan
Gorda. Makhluk ini menggerung dan melangkah mundur. Tangan kirinya hampir putus
dan anehnya mengeluarkan darah seperti darah manusia.
Menyadari bahwa senjatanya
hanya mampu menciderai lawan maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera
menggenjot tubuhnya dan melayang ke udara. Sekali lagi Kapak Maut Naga Geni 212
berkilat.
"Craass!"
Terdengar seperti suara
ratusan srigala melolong serentak. Kepala makhluk siluman itu menggelinding.
Darah bergenangan. Namun sesaat kemudian sosok tubuh siluman itu lenyap.
Darahnya yang membasahi lantai pun ikut lenyap tiada bekas!
Sonya terkesiap melihat apa
yang terjadi hingga dia lengah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng kini menerjang
ke arahnya dan membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sonya tak punya kesempatan
untuk mengelak. Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng itu mendarat di dadanya dan
"trang!" Terdengar bunyi keras. Tubuh Sonya tak bergerak sedikit pun.
Kapak Naga Geni 212 laksana menghantam dinding baja yang maha atos. Inilah
untuk pertama kalinya senjata mustika sakti itu tidak mempan menghadapi
kehebatan ilmu kebal siluman yang di miliki Sonya. Dewa Tuak dan Lor Gambir
terbeliak.
Saking kagetnya Wiro sampai
lupa penjagaan dirinya. Dia. terkesiap dengan mulut ternganga. Justru saat itulah
Sonya melompatinya dengan tangan kanan lancarkan serangan "Cakar Siluman
yang sudah sama diketahui kehebatannya. Jangankan tubuh manusia, tembok besi
pun pasti hancur dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah yang tidak punya kesempatan
untuk selamatkan diri.
Satu detik lagi muka Wiro
Sableng akan hancur remuk diremas cakaran siluman itu, tiba-tiba dari samping
menderu air hujan yang disemburkan Dewa Tuak! Ketika air hujan itu menyirami
tubuhnya, terdengar suara seperti air disiramkan di atas bara panas. Pakaiannya
melepuh, kulit dan dagingnya mengelupas matang mengepulkan asap dan mengumbar
bau menjijikkan!
Dewa Tuak semburkan sekali
lagi air hujan dalam mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat. Mukanya yang angker
kelihatan seperti membesar. Pipinya menggembung dan mulutnya tertutup
rapat-rapat. Tiba-tiba mulut itu membuka dan terdengarlah jeritannya yang
mengerikan sepasang matanya membeliak. Dia lari bangun jatuh seputar ruangan,
kadang-kadang bergulingan. Orang-orang bermuka hitam yang keseluruhannya telah
ditotok oleh Lor Gambir Seta tampak berdiri gelisah. Sementara dari ruangan
sebelah di mana gadis-gadis cantik tadi berkumpul, terdengar suara mereka
memekik aneh.
"Lekas kau selesaikan
manusia siluman itu Wiro!" kata Lor Gambir Seta.
Pendekar kita ragu sejenak.
Sambil pandangi Sonya dan kapaknya.
"Tak usah ragu.
Hantamlah!" kata kakek mata picak itu.
Wiro bergerak. Kapak Naga Geni
212 berkelebat. Untuk kedua kalinya senjata itu menghantam tubuh Sonya. Kalau
tadi sama sekali tidak mempan, maka sekarang kelihatan bagaimana senjata itu
hampir membabat putus pinggang Sonya. Anehnya dari luka besar di tubuhnya itu
sama sekali tidak mengeluarkan darah.
Sonya terhuyung-huyung, lantai
yang diinjaknya laksana roboh. Tubuhnya terjungkal. Dari tubuh itu kini mengepul
asap, makin tebal dan makin hitam. Dari mulutnya menggelepar jeritan dahsyat.
Jeritan yang tidak beda dengan lolongan srigala. Begitu lolongan itu berhenti
maka putuslah nyawa manusia siluman ini.
Bersamaan dengan matinya
Sonya, maka lenyap pulalah segala macam ilmu siluman yang menguasai tokoh-tokoh
silat yang ada di ruangan itu, yang selama ini menjadi budak Sonya, disuruh
membunuh dan menculik. Wajah-wajah yang tadinya hitam berkilat secara aneh kini
perlahan-lahan berubah menjadi muka manusia wajar. Mereka tampak terheran-heran
begitu lepas dari kungkungan ilmu siluman. Memandang wajah-wajah mereka, Wiro,
Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta segera mengenali mana-mana tokoh silat dari
golongan putih. Murid Si Raja Penidur itu segera melepaskan totokan di tubuh
mereka.
Begitu bebas dari totokan,
mereka semua menjura dalam-dalam dan tiada hentinya mengucapkan terima kasih.
Beberapa di antara mereka ada yang berkaca-kaca matanya.
Wiro memandang pada empat
tokoh golongan hitam yang ada di tempat itu masih dalam keadaan tertotok.
"Apa yang akan kita lakukan terhadap mereka?" tanya Wiro.
"Jika mereka menyesal
atas segala perbuatan mereka di masa lampau dan selanjutnya mau menempuh hidup
baik, aku akan beri ampunan pada mereka!" jawab Lor Gambir Seta.
Tanpa ditanya lagi empat tokoh
silat itu serempak membuka mulut, mohon ampun dan berjanji untuk menempuh hidup
baru yang benar. Lor Gambir Seta lalu lepaskan totokan mereka. Keempatnya
menjura, mengucapkan terima kasih lalu tinggalkan tempat itu.
Dewa Tuak menghela nafas dalam
lalu teguk tuaknya. Dia menyumpah dan bantingkan buli-buli itu ke lantai.
"Sialan! Tuakku
habis!" keluhnya. "Mati aku…!"
Wiro tertawa gelak-gelak
sedang Lor Gambir Seta cuma mengulum senyum.
"Aku tak betah lagi di
sini. Aku harus pergi. Aku harus dapatkan tuak! Kalau tidak bisa mati!"
"Aku pun harus pergi
sekarang," berkata Lor Gambir Seta.
"Hai tunggu!" Wiro
tiba-tiba berseru.
"Ada apa lagi
pendekar?" tanya Lor Gambir Seta sementara Dewa Tuak terus-terusan
menggerutu.
"Bagaimana dengan
gadis-gadis cantik di ruangan sebelah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak memandang sebentar
pada Lor Gambir Seta. Dewa Tuak kedipkan mata lalu kedua tokoh silat itu
sama-sama tertawa mengekeh. Kakek yang kebakaran janggut itu lantas berkata:
"Kami sudah tua bangka, mana pantas mengurusi boneka-boneka itu. Kau
uruslah mereka. Tapi ingat, jangan main gila. Jangan berbuat apa yang dilakukan
manusia siluman bernama Sonya itu"
Selesai berkata begitu Dewa
Tuak berkelebat pergi. Disusul oleh Lor Gambir Seta.
"Tunggu dulu!" seru
Wiro. Tapi kedua tokoh itu sudah lenyap.
Wiro garuk-garuk kepala.
Perlahan-Lahan dia melangkah ke ruangan sebelah. Ruangan itu di tutup oleh
sebuah pintu. Wiro membuka daun pintu. Begitu pintu terbuka berpekikkanlah
keenam belas gadis cantik tanpa pakaian di dalam sana. Kalau sebelumnya mereka
tidak merasa malu sama sekali, setelah Sonya mati dan ilmu silumannya sirna,
maka kini setelah kesadarannya pulih, gadis-gadis itu jadi kalang kabut. Mereka
berusaha menutupi aurat masing-masing dengan kedua tangan. Tentu saja mereka
tak dapat menyembunyikan banyak. Wiro menutup pintu dan kembali ke ruangan
semula. Dia memandang pada tokoh-tokoh silat golongan putih yang masih di situ.
"Dengar, kita butuh
pakaian untuk gadis-gadis itu…" kata Wiro.
Seorang lelaki bermuka putih
maju. Dia bukan lain adalah Akik Mapel alias Malaikat Berambut Kelabu.
"Pendekar," katanya,
"Di bawah ruangan ini ada sebuah gudang. Sonya menyimpan segala macam
barang di situ, termasuk pakaian gadis-gadis itu. Aku akan segera
mengambilnya."
"Cepatlah agar
gadis-gadis itu tidak kedinginan," kata Wiro pula.
Akik Mapel menekan sebuah
tombol rahasia. Lantai ruangan terbuka. Tampak sebuah tangga menuju ke sebuah
ruangan. Orang tua ini segera masuk. Di sini dia mengambil enam belas potong
pakaian perempuan. Ketika hendak keluar kepalanya membentur sesuatu. Mendongak
ke atas dilihatnya burung Nuri Merah dalam sangkar tulang. Akik Mapel tahu
betul binatang ini adalah peliharaan kesayangan Sonya. Tak dapat membalas
dendam terhadap pemiliknya, sebagai gantinya Akik Mapel membanting sangkar
tulang Itu ke lantai dan menginjak mati burung di dalamnya.
Setelah mengenakan pakaian,
enam belas orang gadis itu keluar dari dalam ruangan. Rata-rata mereka
mengucurkan air mata, termasuk Dwiyana, murid Akik Mapel. Gadis ini kemudian
memimpin kawan-kawan senasibnya menghaturkan terima kasih pada Wiro Sableng.
Pendekar kita jadi jengah dan
sambil garuk-garuk kepala berkata: "Aku tak berani menerima ucapan terima
kasih kalian. Ada orang lain yang lebih pantas menerimanya. Dialah yang
mengatur rencana penyelamatan ini. Orangnya berjuluk Si Raja Penidur!
Tentu saja gadis-gadis itu
tidak tahu siapa adanya Raja Penidur. Sebaliknya para tokoh silat yang ada
tampak melengak kaget. Mereka tidak menyangka kalau manusia paling lihay di
dunia persilatan itu masih hidup.
"Kalau begitu sebaiknya
kita menyambanginya di tempat kediamannya," mengusulkan Akik Mapel.
Semuanya setuju. Akik Mapel memimpin jalan, diikuti para tokoh silat, lalu Wiro
Sableng yang diapit oleh keenam belas dara-dara cantik itu. Dia berjalan sambil
senyum-senyum.
"Eh, ada apakah?"
berpaling Akik Mapel.
"Ah, kalian orang-orang
tua jalan terus sajalah. Biarkan kami orang-orang muda berjalan di belakang
sini seenaknya," jawab Wiro Sableng.
Akik Mapel hanya bisa angkat
bahu. Yang lain-lainnya mengulum senyum. Dan mereka berjalan terus. Teluk
Gonggo semakin jauh di belakang mereka.
TAMAT