-------------------------------
----------------------------
025 Cinta Orang Orang Gagah (sequel episode Hancurnya Istana Darah)
SATU
SAAT ITU menjelang fajar
menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak seseorang. Orang ini
tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya bukantawa sembarangan.
Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang lainyang tengah
tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan tanah
pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini
berlari hingga dalamwaktu singkat dia sudah menempuh jarak ratusan tombak.
Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat diufuk timur merambas
sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri. Tandamalam telah
berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya
mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di sekitarnya, Setelah
merasakan kesegaran maka dia meneruskanperjalanan kembali. Seperti tadi
lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun sekaliini suara tawanya tidak
berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat.
Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan
apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian gembiranya?!"
Orang yang lari sambil tertawa
hentikan Jari danmemandang ke depan. Begitumelihat dua manusia berjubah hijau
yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya
serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu
adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenaldengan julukan Sepasang Kobra
Dewata.
Jubah mereka yang hijau,
kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar serta tampang-tampang yang
tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benarhampir menyerupai dua
ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa Timuryang tidak kenal
dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata ini?
Mereka bukan dari golongan
baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni SinggarManik merasa tidak enak
walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih danbaik!
Setelah berbasa basi dan
menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas berkata: "Di pagi begini
bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga.
Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur cakap.
Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua
dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di muka dada. Sambilmengulum
senyum dia berkata: "Angin kegembiraanmu Iah yang agaknya telah membawa
kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu menggembirakanmu hingga
tertawa bergelak sepanjang jalan? "
“Ah, sebenarnya tidak ada
apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin tidak enak. "Aku
tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan
kebahagiaan."
"Betul sekali!"
menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka Putubayan.
"Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan
kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami
berdua!"
Singgar Manik coba tersenyum.
"Jika kalian memang ingin
bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu makanan dan minuman yang
enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik untuk hiburan, tak usah
kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku Singgar Manik pasti
menyediakannya!"
Nyoka Gand ring mendehem
beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai.
" Aih, undanganmu sungguh
patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya waktu banyak. Karenanya
kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja sobatku Singgar Manik!?
Singgar Manik coba sembunyikan
rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan apakah yang musti kuberikan di
sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah, akupun tidak punya
banyak waktu . . . "
Singgar Manik menjura
dalam-dalam lalu siap untukmeninggalkan kedua orang itu. Tetapi Nyoka Putubayan
cepat bergerak menghadangnya seraya berkata: "Kenapa musti terburu-buru
Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum selesai"
"Harap maafkan aku
sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada seorang tamu
yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali
menyeringai lalu bertanya: "Apakah tamumu itu pemiliktusuk kundaimustika
yang kau curi dan sekarang berada di balik pakaianmu?!"
Kini Singgar Manik tak dapat
lagi menyembunyikan perubahan air mukanya.
Meskipun demikian diamasih
menjawab: "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kauini membicarakan soal
apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum
jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata:
"Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau
telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang
bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan.Merupakan
satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang pencuri
lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu, terutama
benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu. Sekarang
perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng
kepala sambil berdecak.
"Pendengaran dan
penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu lalu aku
berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusukkundai yang kau
katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblisterlalu tinggi
ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punyakemampuan? Daripada
mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku
akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan
senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali!
"sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali: "Juga puas
sekalimelihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisamenipu Sepasang Kora
Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu.
Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu
Nyoka Gandring ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandringl Apakah
aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betulbetul belum berhasil
mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus juga.
Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada setan! Ayo
serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan kesabaran!"
Nada suara Nyoka Gandringmengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima
sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan Sepasang Kobra. Dewasa
itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidakmengikuti berarti melawan yang pasti
disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang Kobra Dewata yang
terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring
mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada Singgar Manik. Kedua
kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di dada
perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika
tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar
dulu keteranganku..."
"Satu!"
Nyoka Gandring mulai
menghitung;
"Benda itu benar-benar
tak ada padaku!"
"Dua!"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur.
Nyoka Gandring membentak buas
lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik. Serangkumangin deras
datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir seraya berseru:
"Antara aku dan kalian
tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?! "
“Wus!”
Serangkum angin lagi menyapu
ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua kalinya Singgar Manikmelompat
dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beg
pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring. Bersama Nyoka
Putubayan maka diapun kembalimenyerbu Singgar Manik.
Menghadapi satu saja dari
Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit bagi Singgar Manik.
Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus bertindak cepat dan
hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun lagi serangan
lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak
Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang Kobra Dewatamenghentikan
serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil perduli. Malah
mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga setelah bertahan
susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak terdesak!
***
DUA
DUA KALI pukulan keras Nyoka
Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu satu jotosan Nyoka Putubayan
menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak terhuyung-huyung. Keningnya
mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa sakit yang amat sangat. Salah
satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat tubuhnya terluka di bagian
dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat
atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya SinggarManik sedapat
mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar dapat menerobos keluar dari
kurunganmereka lalu melarikan diri. Singgar Manik lepas dua pukulan tangan
kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata
rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat
jauh untukmengelakkan pukulan sedang untuk menangkis serangan senjata rahasia,
mereka kebutkan lengan jubah hijau masing-masing hingga senjata rahasia itu
mental berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah
yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat adanya kesempatan tanpa tunggu
lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar tubuh dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata
bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang dibuat lawan mereka sudah
maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik.
Karenanya begitu lawan ambil
ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan Putubayan cepat berkelebat
menghadang.
Melihat dirinya dihadang
begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran Singgar Manik lepaskan satu
pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang diserang
menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara keras.
Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan ketika
diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya sebaliknya
Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringaimengejek.
"Masih juga kau belum mau
menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka Gandring.
"Manusia keparat! Kalau
kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar
Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian sebuah benda, yakni sebuah
tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada dalam genggamannya. Dengan
mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun menyerang Nyoka Putubayan.
Sinar putih yang disertai
angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah benda yang biasanyamenjadi
hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi sebentuk senjata
mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata
menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yangmereka anggap sebagai
pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah
maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat menyingkir sambil
kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal diam. Dia
teruskan serangannya denganmembalikkan mata tusuk kundai ke arah tangan lawan.
Bret!
Lengan jubah hijau Nyoka
Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk kundai! Nyoka Putubayan
sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih untung hanya lengan
jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka oleh
senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah dirinya!
"Adikku hati-hati!"
Nyoka Gandring memberi ingat.
"Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan. Tapi terhadap tusuk
kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat
kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika kalian sudah tahu
kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas minggat dari sini? Apa
kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan
keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau terima pukulan ku
ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan tangan kannya ke
depan. Angin laksana badaimenggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya
tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan lawan Singgar Manik serta
merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan. Hebat! Angin pukulan
orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah! Kejut Nyoka Putubayan. bukan
kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang barusan
dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk. Merupakan salah satu pukulan
simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini ilmu pukulan itu selama
bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh tusuk kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk
kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang Kobra Dewata untuk
memilikinya. Keduanya saling kedipkan matamemberi isyarat. Lalu didahului
dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari samping
kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk
kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang lebih dulu dan lebih dekat di
hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari Bali ini tahu-tahu sudah
lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari samping menderu angin
pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar
Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh. Segera dia kiblatkan
tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak menghantam per gel
angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk kundai yang tadi
dipegangnya terlepas mental! Singgar Manik menjerit kesakitan.
Dia melompat untuk menyambar
tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan kiri. Namun tubuhnya segera
terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan kepandaiannya dia
berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru. Namun dadanya
sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat kemudian darah
kentalmengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat Nyoka
Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!"
kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan kanannya.
"Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu.
Berlalulah dari hadapan kami
sebelumkami berubah pikiran dan minta nyawamu. Singgar Manik semburkan darah
dan ludah darimulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa
lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka Gandring.
"Bangsat!" kertak
Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu Singgar Manik menyerang
ke depan.
"Manusia tolol!"
teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta
mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk kundai di tangan
kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan panjang. Tusuk
kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan darah mengucur.
Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke samping dan roboh tak
berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk
kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan jubahnya. Dia perhatikan Singgar
Manik sebentar lalu meludah dan berkata: "Diberi ampun minta racun! Diberi
hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang
Kobra Dewata inimemberi isyarat pada kakaknya. Kedua brahmana itu kemudian
berkelebat tinggalkan tempat itu.
***
TIGA
DI ATAS tempat tidur rotan itu
duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua kakinya buntung sebatas lutut
sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada. Kepalanya menghadap lurus-lurus
ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih melambai-lambai ditiup angin
yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu
Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras.
"Sampai kiamat
kaumenangis benda yang hilang itu tak bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk
sesenggukan didepan si orang tua menyusut air matanya dengan tepi pakaian.
Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan tangis yang seperti hendak
meledak.
"Tusuk kundai itu bukan
benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu!" berkata lagi si orang tua.
Sekali ini Lestari menyahuti
dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu semua salah saya....Saya
bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda itu bukan hanya
merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda perjodohanmu- Kini ketika aku
pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri orang. Dan kau tidak tahu siapa
pencurinya!"
Orang tua'berambut putih itu
diam sesaat lalumeneruskan kata-katanya:
"Bagaimana aku
mustimempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng! Tusuk kundai perak itu
diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda persetujuan ikatan jodoh
antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng, pemuda sakti bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan bagaimana akumusti
mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini tidak buntung pasti
sudah sejak lama akumeninggalkan pondok gua mengejar pencuri laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah
ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu," Lestari membuka mulut "Saya tak akan kembali sebelum
dapat...."
Orang tua itu usap-usap
dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata: 'Terserah padamu
apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap kau dapat menemukan
tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi bagaimanamenghadapi
Sinto Gendeng nanti.
Gadis bernama Lestari berdiri.
Dia masuk ke da- lam sebuah kamar. Ketika keluar sudah berganti pakaian. Kini
dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang merah.
Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini diikat buntut kuda. Meski wajahnya
murung dan kedua matanyamerah habis menangis namun kecantikannya masih terlihat
jelas.
"Eyang, saya sudah siap
untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua itu mengangguk dan
memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat. Sambil menepuk-nepuk bahu
Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika tusuk kundai itu kau
temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau
hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin kau dapat menyirap
keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka jika sewaktu-waktu
kau ditimpa mara-bahaya dan kau tak sanggup menghadapinya seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya
perhatikan.".
Setelah menjura tiga kali
berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan pondok itu.
Ratusan tombak meninggalkan
danau Jembangan, di satu tempat yang penuh dengan pepohonan rindang Lestari
berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah sebatang pohon sambil memikirkan
kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya dapat mengetahui siapa pencuri
tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang
dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar penghancuran Istana Darah beberapa
waktu yang lalu (baca serial Wiro Sableng Hancurnya Istana Darah) gadis itu tak
pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh gurunya dengan Wiro Sableng.
Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara kebetulan gurunya memberi tahu ,
mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari dia tak akan menolak hal apapun
yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa semua itu untuk kebaikan
dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng bersedia
mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya. Pemuda itu telah
menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah. Hutang nyawa
itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan
bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah dia
mencintai pemuda itu?
Memandang ke langit Lestari
melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah siang. Akhirnya sang dara
lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak jauhnya murid silat dari
danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat busuk menyambar hidungnya.
Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia dapatkan bau busuk itu
datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju sumber bau itu untuk
mengetahui lebih jauh. Mula-mula dia melihat burung-burung gagak hitam pemakan
bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian terbang kembali ke
udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh langkah lagi Lestari melihat
benda yang menjadi sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh manusia yang
terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat.
Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat itu hanya tinggal merupakan
dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya, bahkan hampir keseluruhan
daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang digerogoti burung-burung
gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni dada, perut dan kedua
kaki serta tangan. Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi
mayat ini. Matanya yang tajam dapatmelihat dua buah titik lobang pada kening mayat
serta darah yang telah keras membeku. Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan
lain adalah mayat Singgar Manik yang dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau
busuk yang amat sangat Lestari segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun
matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau. Lestari ambil
potongan kain ini danmenelitinya. Mungkin sekali ini sobekan ujung lengan
pakaian. Lengan pakaian siapa? Dia memandang padamayat. Mungkin lengan pakaian
orang yang membunuh? Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat
itu. Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika
kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu lalu dimasukkannya ke
balik pakaian merahnya. Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi
yang bisa ditemukannya di tempat itu sang dara segera berlalu.
***
EMPAT
SEBENARNYA TAMPANG pemuda itu
cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat pucat dan tubuhnya tidak tinggi
kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan putera seorang- bekas perwira
kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember akan menggelarinya "Si
Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat Kerempeng" atau
lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu
dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu pada
si pemuda.
Di samping itu pemuda ini juga
memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya; Sebagai
seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama dua puluh lima tahun
pada kerajaan, sang ayahmemiliki ilmu pedang yang sangat tinggi hingga semasa
jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang Kotaraja".
Meski sang anak belum mewarisi
seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat kepandaiannya cukupmengagumkan. Lima
orang perwira muda kerajaan yang mengeroyoknya sekaligus belum tentu
dapatmengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak
sampai diberi julukanmengejek oleh penduduk, namun rata-rata banyak penduduk
yang tidak suka padanya. Ini disebabkan kesombongannya. Dan kesombongan ini
berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia selain ayahnya maka
dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua orang harus hormat
dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto,
demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada di rumah makan paling
besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga orang kawan, asyik
menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong sampah yang telah
dua hari tidak dibersihkan hingga isinyameluber dan bau busuk menebar serta
lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak hanya mencari makanan
pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di atas
makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan
kawan-kawannya terganggu dengan adanya puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka
pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia berteriak memanggil pelayan.
Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata melotot danmulut
tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian makanan dalam
mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat
celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera
melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia mempergunakan dua buah serbet
sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir binatang-binatang ini kembali
datang, malah lebih banyak.
“Tolol! Coba kau pasang lampu
di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak Ronggo Bogoseto seraya
menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu
dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat yang ada di atas dan
sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu itu.
"Binatang sialan!"
makin salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan kedua
tangannyamenepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama. Banyak
lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak
berkurang.
Ronggo Bogoseto jadi marah.
Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai rumah makan. Sambil memandang
berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan, melihat
kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada cerita tentang seorang
yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai, apa kalian pernah
dengar cerita itu?!" Ketiga pemuda kawannya itu sama mengatakan pernah.
Ronggo tersenyum. Jelas adanya
bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
"Sekarang akan
kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di rumah makan
jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh ekor lalat
dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat
jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin
melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan semua orang di
sini!"menimpali kawannya yang seorang lagi. Sedang pemuda yang ketiga ikut
berkata: "Aku percaya! Kau pastimampu melakukan kehebatan itu
Ronggo!"
Ronggo berdiri dari kursinya.
Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda ini cabut pedang yang selalu
dibawanya.
"Lihat! Kalian lihat
semual" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya sangat cepat
Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan kehebatanku!"
Lalu wut!
Pedang di tangan kanan Ronggo
Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat terkaparan di lantai dan di
meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar biasa!'
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak
percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda
berseru seraya berdiri.
Ronggo Bogoseto menyeringai
dan lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak mau semua yang ada dalam
rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan dilakukan si pemuda memuji
kagum. Danmelihat semua orang mengaguminya bertambah sombonglah Ronggo. Dia
ingin semua orang'benar-benarmeyakini bahwa dialah jago pedang nomor satu
sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia kiblatkan pedangnya
kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Ini lagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto
berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum puas dia susul lagi dengan
lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan gerakannya, tak seekor lalat hidup
pun bersisa di atasmeja makan itu, Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari
kursimasing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata:
"Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak
mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu. Sambil duduk kembali ke kursinya
Ronggo berkata: "Sekarang kalian saksikan sendiri kehebatanku! Mari kita
teruskan makan!"
Keempat pemuda itu duduk
kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu meneguk minumannya, namun
gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata:
"Astaga ronggo! Bidadari
dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke
pintu. Semua orang kini ikut memandang ke jurusan itu. Seorang dara bertubuh
tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam buntut kuda tampak
memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para pemuda itu,
lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan memandanginya dengan
hati kagum.
"Amboi!" Ronggo
sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki sedang sepasang
matamenyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya.
"Tapi sekuntum bunga
mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang dihembuskan angin untuk
menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa.
Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain adalah Lestarimengambil tempat
duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau
tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan kawatir, kau tak usah
membayar makanan dan minuman. Kau bolehmakan dan minum sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada
Ronggo Bogoseto.
Dilirik begitu si pemuda
merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga temannya: "Lihat,
diamelirik padaku. Ah, taksangka hari ini aku bakal melihat bunga yang begini
cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari
tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia melambaikan tangan
memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis
itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang pergi duduk
kemejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi
itu tersenyum lebar.
"Kau betul sobatku. Tentu
saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia sendiri. Kalau sendiri lawan
sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya berdiri dan melangkah ke
meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir
sebentar pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat
dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu
cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang
dari mana dan siapa namamu?" Ronggo Bogoseto bertanya sementara semua orang
memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa.
Lestari palingkan wajahnya.
Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya
kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur. Pipinya kemerahan,
keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah seperti delima
merekah!" kata Ronggo dalamhati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa
terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?"
tiba-tiba Lestari balik bertanya.
"Ah! Namaku Ronggo
Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan. Dia merasa senang
ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara juga menaruh
perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku
adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja
Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku
memutar balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
"Betul, betul!"
salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya.
"Sayang kau terlambat
datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat menyaksikan
kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali membabatkan
pedangnya!"
"Ah, dia keliwat memuji.
Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo Bogoseta senang dan
cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata: "Kalau kau suka,
di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan permainan
pedangku!"
"Oo begitu . . . ?"
ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati dia menambahkan: "Pemuda
ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya
Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat kehebatanku denganmata kepala
sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang
tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk minuman
yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan
saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usapusap dada.
Lestari hampir tak melihat
kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia merasakan ada sambaran angin di belakang
kepalanya. Pita kecil yang mengikat rambutnya putus. Rambut sang dara yang
hitam panjang terlepas dari ikatannya dan tergerai di bahunya. Di saat yang
sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah kembali berada dalam sarungnya.
Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
"Hebat! Hebat luar
biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji. Meskipun
jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun sebagai
orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang
si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum
memberikan pendapatmumengenai gerakan ilmu pedangku tadi!" Ronggo berkata
dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola mata meliar.
"Pantas dikagumi!"
jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan
tertawa gelak-gelak.
“Tapi!" katanya kemudian.
"Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan ilmu pedangku. Nah,
kau duduklah tenang-tenang di kursimu!''
Habis berkata begitu Ronggo
Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sinar putih berkelebat
di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan terdengarlah suara tring . . .
tring . . . tring .... tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke
bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah putus tanggai hingga dadanya
yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo Bogoseto dan juga semua mata
lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan yang membuatmata mereka
mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat tutupkan pakaiannya dan melompat
dari kursi sementara Ronggo serta kawan-kawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang
ajar!" bentak Lestari.
''Benar! Pemuda kerempeng muka
mayat! Kaumanusia paling kurang ajar yang perlu diberi pelajaran!" Satu
suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari arah pintu rumah makan
***
LIMA
BESIUR angin menderu keras.
Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan. Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas
berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin deras tersebut!
Semua orang yang ada di
ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas perwira tinggi kerajaan
yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu. Di situ tegak
seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya gagah.
"Bangsat! Siapa
kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak membiru.
"Siapa aku bukan
urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang ajar yang
pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempu-an! Angkat
kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada pahlawan
pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang pemuda kawan
Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina! Kau bicara
keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa?!"
"Siapa kau dan dua
kawanmu itu tak lebih darimonyet-monyet! Lalu kawanmu yang satu lagi, yang
berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di Jawa itu, di
mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat
perempuan cantik!"
Tanpa perdutikan keempat
pemuda itu yang jadimendelik dan marah, si pemuda melangkah mendekati Lestari.
Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat pemuda ini tapi tidak ingat
entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda
menegur sambil tersenyum.
"Nggg . . . Bukankah kau
Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung
Raung?" tanya Lestari.
"Ah, ssyukur kau masih
ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega. (Baca serial Wiro Sableng
berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan bagaimana Panji Kenanga
bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama gurunya menghancurkan
Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah mengembalikan suling
perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat bernama Tapak
Biru).
Dimaki dan dihina begitu rupa
membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan marah bukan main. Namun karena
mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka mereka tak berani bergerak.
Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini menghardik.
"Bangsat baju putih!
Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak bermesraan dengan gadis itu
di depanku!"
Dengan tersenyum Panji Kenanga
menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira sudah minggat bersama
kawan-kawanmu!"
"Keparat! Kau belum tahu
siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo
Bogoseto bukan? Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan. Ayahmu berjuluk Raja
Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu pongah! Kau jadi
lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
“Oo . . . jadi gadis itu
kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang
layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji kawanku ini. Apa kau
kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa tentunya kau Pangeran? Hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Amarah Ronggo Bogoseto
meledak.
Sret!
Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak
seorang pun bolehmenghinamu!" salah seorang pemuda berteriak memberi
semangat
Ronggo luruskan pedangnya di
depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga.
"Kulihat kaupun membekal
pedang. Lekas cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah
mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka pucat itu. Karenanya tidak
sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya
"Gajah Biru", sebuah
senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading gajah.
Ketika melihat badan pedang
yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo Bogoseto agak bergeming juga.
Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya maka dia menyimpan rasa
takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang keterlaluan
danmenjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji Kenanga.
Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar.
Demikian sebatnya hingga benda
itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur deras dan bertabur ke arah
kepala Panji Kenanga. Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan
kepala, lalu berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan
lawan seperti itu Ronggo Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi
pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu tiga jurus kepalamu akan
ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas
mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku ini!" Lalu
dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan
tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap.
Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Bagaimana
lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda muka pucat itu benar-benar bukan sembarangan.
Dari gerakan dan letak tangan musuh dia sudah mengetahuimana serangan
sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan
lawan, Ronggomenerjang ke muka. Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu
pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga. Untung dia memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan semua serangan. Di sini
tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu pedang yang jauh
lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh. Sebaliknya Panji Kenanga
memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu meringankan tubuhnya
jauh melampaui lawan. Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru
tampak bertabur bergulunggulung.
Dia coba menerobos ke depan
untuk membuyarkan serangan pedang lawan yang seolah-olah membuntal dirinya.
Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia sudah mengerahkan seluruh
kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai menyadari bahwa sambaran
angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar ditambah dengan
kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus ke sepuluh Panji ambil
keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto
membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat di pangkal leher. Panji
Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
Trang!
Dua pedang saling bentrokan
mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik. Ronggo Bogoseto keluarkan
seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang pedang itu sendiri terlepas
mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit rumah makan. Dengan wajah
yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur.
Matanya membeliak tak percaya
memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya yang ada di langit-langit.
Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua orang yang ada di situ tidak
menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja* Pedang Kotaraja dapat dikalahkan
oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau
diam saja!" seru Panji.
"Jika kau anggap urusan kita
belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan teruskan
perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak
dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan malu. Dan yangmembuatnya
benar-benar terpukul saat itu justru rasamalu dan seperti tak punya muka lagi
saat itu!
"Keparat! Jika kau
benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar Ronggo
Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka menuju;
ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong!
Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau
apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang menghadangnya adalah
Lestari.
"Mauku ini!" sahut
Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar muka pemuda itu.
Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari membekas merah
di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki
Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun pukulannya ini dengan mudah dapat
dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali
ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh
ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di
tanah.
Mukanya berkelukuran, lecet
dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan
Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua tangannya terkepal.Matanya
berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu
pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu
ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu tak menoleh
lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala
sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu kemudian dekati si gadis.
"Lestari, bagaimana kau
sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah Iblis itu ada dalam
keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia
sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan
ceritakan apa yangmembuatmu meninggalkan danau Jembangan
"Panjang kisahnya. Tak
dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita
tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan datang bersama
seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau
takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu"
sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua yang terjadi
di sini bakalmempersulit urusan atau tugas yang harus kujalani. .
"Hemm... tugas'urusan
apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak
mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang itu datang
kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
***
ENAM
PANJI KENANGA memalingkan
kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul. Ronggo Bogoseto bersama
tiga kawannya muncul kembali,melangkah cepat ke arah rumah makan. Di depan
mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi, berbadan tegap.
Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna memutih.
Menurut taksiran Panji, lelaki
ini berusia paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah
Ronggo, manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu! Kelima orang itu sampai
di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus sesaat menatap wajah kedua
muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah makan dimana dilihatnya
menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo
tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke
arah Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya
sedikit lalu bertanya: "Apakah kami berhadapan dengan bekas perwira tinggi
berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
'Tepat! Tidak meleset dugaanmu
anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya
Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan bahwa orang inipun memiliki sifat
sombong walau tidak keterlaluan seperti puteranya. Panji Kenanga tersenyum. Dia
menoleh pada Ronggo dan berkata: "Kau sudah membawa ayahmu kemari. Mengapa
tidak membawa ibumu sekalian?!” Merahlah paras Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang
ayah.
"Keparat!" maki
Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian dan melompat
untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan mendorongnya ke
samping.
"Orang muda! Apa yang
telah kau lakukan terhadap puteraku merupakan penghinaan. Merupakan tindakan
kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih berani bicara kurang
ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah
menyelidik hinggamenimpakan tuduhan seenak perutmu sendiri?!" Lestari buka
mulut
Raja Pedang berpaling pada si
gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu cantik, tapi rupanya kaupun bukan
gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia
mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan.
"Kau ayah dan anak coba
berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat apakah kalian juga
orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang.
"Gadis lancang!
Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini layangkan
tamparan kemuka si gadis* Namun baru setengah jalan sebuah benda keras
membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan
menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget.
Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan seperti itu. Dengan
penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji. Namun serangannya hanya
mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah tempat.
Di saat ayahnya menampar
Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat mengambil pedangnya dari
langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia kemudian memburu ke arah
Lestari.
"Gadis liar! Ayo
keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu!"
"Rupanya hajaran kawanku
tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti menghajarmu? Memang kalau tidak
kuhajar kau sampai babak belur belum puas hatiku!"
Wut!
Pedang di tangan Ronggo
berkelebat. Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua
kaki kursi putus dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu .
. . . "
Ronggo tak sempat teruskan
ucapannya karena tiba-tiba kursi yangmasih dipegang oleh Lestari menusuk ke
arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti mukanya akan cidera berat
Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-gulung menguning
Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah
melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia juga mengetahui kalau
Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang tinggi, apalagi ilmu
meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan kelemahan lawan
dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan yang
dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus menyerang tanpa
hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnyamenggembung tanda marah.
Namun kursi di tangan lawan
merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkali-kali dia berusaha
menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya tidak membawa
hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan kanannya.
Trak!
Ronggo menjerit kesakitan.
Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh bergrompyangan di lantai. Dengan
sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat menyaksikan apa yang terjadi atas diri
puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu dia sendiri tengah mengeluarkan
seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga.
Orang tua ini memang lihay
sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan besar itu seperti sebuah
tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun seperti anaknya,
diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki
pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci Panji
Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan
dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya bukan senjata mustika pasti
sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh jurus lagi
Panji bertahan mati-matian.
"Kalau tidak ku barengi
dengan pukulan, sulitmembuyarkan serangan yang mengurung ini!" kata Panji
dalam hati.
Karenanya memasuki jurus
ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan garang dan lepaskan satu
pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Jago tua itu terkejut ketika
merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan
pedang untuk melindungi diri. Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah
bawah jadi terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan
pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan sinar biru.
"Celaka!" seru Raja
Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan lawan. Karena kawatir
masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua ini babatkan
pedangnya ke bawah.
Trang! Dua pedang beradu
keras.
Apa yang diduga bekas perwira
tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya mental, tangannya terasa
kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali dia menyurut beberapa
langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia dipecundangi oleh
seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul
tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati. Ketika dia berpaling ke
kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh benjut,
dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru
kembali. Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itumemberi isyarat. Lalu
keduanya melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu
dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap
kalian suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
"Untuk apa?" Kini
Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi
kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian berdua telah membuka
mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa membawa
bencana bagi diri sendiri!"
"Ah, aku yang tua ini
benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang muda. Mulai saat
ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!" Lalu orang tua
itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan puteranya yangmengalami
patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
"Ayah! Mereka mematahkan
lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi hukuman pada
mereka?!"
"Kaulah yang patut diberi
hukuman!" bentak sang ayah dan plak! Tamparannya melayang menghantam pipi
Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak tahan menanggung malu.dia
lari lebih dulumeninggalkan tempat itu. Tiga kawannya menyusul di belakang.
***
TUJUH
KUDA PUTIH polos bernama Angin
Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas punggungnya di sebelah
depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji Kenanga. Semula sang dara
menolak untuk menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga.
Di tepi sebuah telagamereka berhenti.
"Kita bermalam di sini
dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab.
"Di samping itu kau bisa
memberikan keteranganmengenai urusan dan tugas yang harus kau jalankan itu. . .
"
Setelah berpikir beberapa
lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji. Sementara Angin Salju merumput.
Panji segera mencari kayu untuk perapian. Setelah api menyala, keduanya duduk
berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis di hadapannya itu. Paras yang tak
pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama dahulu. Sebenarnya sudah sejak
lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat kediaman gurunya di danau
Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di Jember.
"Lestari!"
Dara itu mengangkat kepalanya.
Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah
lebih dekat ke perapian
"Cukup hangat di sini.
Panji'
"Sekarang coba ceritakan
apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api
yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan angin malam.
"Seseorang telah mencuri
senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru tidak di rumah. Ini
kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu walau dia tidak
memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat.
“Sebelum dapat aku tak akan
kembali."
"Senjata apakah yang
dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai.
Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang
berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan
Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi beberapa tokoh silat
golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat ini segala sesuatunya
masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya
seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita akan menyelidikinya
bersama-sama."
"Kita?" ulang
Lestari.
"Ya! Kau tak suka aku
bantu?"
"Terima kasih. Aku
berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh silat golongan hitam.
Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya...."
"Itulah yang harus kita
selidiki Lestari. . . . "
Sang dara hanya mengangguk
pelahan. Dia telahmenceritakan hilangnya tusuk kundai sakti itu. Namun sama
sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu adalah pertanda ikatan tali
perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan
dingin. Panji Kenangamengambil sehelai tikar kulit dan selimut tebal dari
kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu dibentangkannya dekat
perapian.
"Kau tidurlah di sini. .
. . " katanya pada Lestari.
"Aku belum
mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau
butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu mungkin kita
harusmengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga... ."
Lestari menyadari bahwa apa
yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan direbahkannya dirinya di atas
tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
“Terima kasih. Kau baik
sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji tersenyum. Dengan
bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan diri di seberang
perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum memejamkan
mata.Kesunyian malam kadang- kadang digemeretaki oleh suatu ranting kayu yang
berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di
Istana Darah dulu _ ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa
kau pernah bertemuWiro ? "
"Tidak. Memangnya
kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya
tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain bertukar pengalaman
siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu baru"
Yang dipikirkan Lestari saat
itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan hubungan jodohnya
dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka. Apakah Wiro
mengetahui hal itu? Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air
telaga terhembus angin.
"Lestari. . . "
"Hemm . . . Aku masih
ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
'Tubuhku memang agak letih.
Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan "
"Dalam kehidupanmu yang
mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah mencintai dan dicintai seseorang
. . . . ? "
Pertanyaan Panji Kenanga ini
membuat Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat itu pasti menjadimerah.
"Ada-ada saja yang kau
tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu __
"
"Soal cinta belum
terpikir olehku . . . . "
"Lalu soal seseorang yang
mencintaimu?"
"Mana aku tahu? Kalau ada
yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu
Panji tertawa.
"Bagaimana kalau andai
kata kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang mencintaimu dengan
sepenuh hati. . . . "
"Aku harus tahu yang
jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing
“. . . . Aih, malam-malam
begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau mencintaiku.....?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau
membicarakan hal itu lagi . . . ." Kata Lestari. Namun diam-diam dia ingin
tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa
orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu
katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat
sekali denganmu," kata Panji pula.
'Tak ada orang lain di
sini."
"Ada. Kau tak melihat?
Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui" jawab Panji
Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya.
Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak berkedip pada Panji Kenanga.
Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu.
"Kau tengah membanyol
Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa
yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya
berdebar.
"Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh
bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan
mencintaiku. Memangnya aku ini apa sih!"
"Cinta itu terkadang
memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta. Lalu bodoh seperti
katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya"
"Aih, pengalamanmu
tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin
benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau menyembunyikan sesuatu yang aku
rasakan "
Sunyi. Lestari tak bisa
berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu akhirnya picingkan kedua
matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa panas menghembus
wajahnya. Ketika keduamatanya dibuka dilihatnya sebuah wajah dekat sekali ke
mukanya. Wajah Panji.
"Lestari. . .
."bisik Panji. "Dengarlah _ " Sambil bicara dibelainya rambut
gadis itu.
"Aku benar-benar
mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat. Satu ciuman
menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Itulah
pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji . . . jangan . . .
. " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya.
"Jangan . . ." bisik
Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya. Ketika bibir pemuda
itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti terbang. Entah
sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
***
MENJELANG dinihari baru
Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji Kenanga masih duduk di
sampingnya, memandang dan menjaganya dengan perasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan
langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan melangkah ke telaga. Semalam
suntuk dia tidak memicingkan mata barang sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali
tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang dirasakannya laksana suatu
kekuatan dalam dirinya. Dia maklumkalau sang dara menyukainya, mungkin juga
mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi
di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping perapian yang telah padam.
Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya Panji berkecimpung di air
telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara. Serta merta dia
ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas memeluk pemuda
itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Teringat Lestari akan tugas
yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan kembali tusuk kundai perak yang
telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda perjodohannya dengan Wiro
Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan pengikatan jodoh bagi mereka.
Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra dengan Panji Kenanga. Apakah ini
berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu pengkhianatan terhadap calon
suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam hati gadis ini. Lalu apakah
dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga?
Bagaimana kalau terulang lagi
kejadian malamtadi. Terulang lagi malah mungkin lebih jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan
pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus meninggalkan Panji Kenanga dan
menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama dia segera lari
meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul
di ufuk timurmaka Lestari telah berada jauh dari telaga. Dia sengajamemasuki
rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji Kenanga dapat
menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas tombak
mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu teriakan keras.
"Randu Wongso! Lihat!
Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
***
DELAPAN
LESTARI terkejut dan cepat Wpaling
ke belakang. Kira-kira lima tombak di belakangnya dilihatnya dua orang lelaki.
Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak dikenalnya. Sedang orang kedua bukan
lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong yang kemarin dihajarnya di
rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu
mengejarnya denganmaksud yang tidak baik maka Lestari segera melarikan diri.
Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di belakang. Namun si tinggi
langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena dalam waktu dekat dia segera
dapat mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani
berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui
kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa Ronggo Bogoseto itu adalah
seorang berkepandaian tinggi. Siapakah adanya orang ini? Mari kita ikuti apa
yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah makan itu.
Meskipun ayahnya sudah
menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga serta Lestari namun ronggo
Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam kesumatnya terhadap kedua
muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh Jember. Semua orang
seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit
hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik pada kecantikan Lestari.
Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada yang secantik dan begitu
menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang
babak belur, dan tangannya yang patah, dengan menunggangi seekor kuda pemuda
ini meninggalkan kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah sebuah candi tua
yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu tinggi. Tokoh silat ini bukanlah
seorang baik-baik. Sering sekali diamempergunakan kepandaiannya untuk
maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan hadiah padanya maka
apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya sebagai tokoh silat
golongan hitam.
Hari telah malam ketika
Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau orang yang dicarinya
tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di candi tersebut. Namun
begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini
hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke dalam candi. Sebagian besar
bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut terletak sebuah
lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga membentuk
bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin. Ronggo
memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu . . . ." panggil
si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau ada di sini. . . . ?" Tak
ada jawaban.
Tetapi telinga Ronggo
tiba-tiba mendengar suara seseorang. Suara perempuan merintih!
Dia memandang tak berkedip ke
sudut kiri lalumelangkah ke arah tumpukan balok-balok tua yang seperti membatas
bagian depan candi dengan bagian belakang.
Ronggo sampai di susunan balok
setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan balok itu. Keduamatanya terpentang
lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di antara kesuraman sinar lampu
minyak.
Di sana, di lantai candi yang
hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu Wongso dalam keadaan tanpa
pakaian tengah menggagahi seorang perempuan!
Perempuan ini masih muda.
Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia memiliki bagian-bagian
tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!" rutuk
Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada
urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing
kurap!"
Lelaki bernama Randu Wongso
itu memaki.
"Anak setan! Siapa kau
yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau kurengkahkan batok
kepalamu?!"
"He . . . he . . . .
Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan
Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia tidak mau meninggalkan apa
yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia menjelang akan sampai ke puncak
kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun
urusanmu bisa menunggu!Malah kalau kau suka bisa kebagian! Eh, apakah
kaumembawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah
kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu itu!"
Ronggo benar-benar tidak
sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari jadi terlalu jauh untuk
dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!" Ronggo
melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu. Telinganya
terus menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas
Randu Wongso yang memburu.
Tiba-tiba terdengar suara
Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki
Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Rando
Wongso keluar dari balik tumpukan balok. Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya
mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan bejatmu masih
belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang kau rusak kehormatannya?
Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa kali kau
tiduri*?!"
Randu Wongso tertawa
gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
"Yang satu ini lain,
Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . . ha . . . ha . . . Sungguh luar
biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan
untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat.
Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu
memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang
sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan dua hari. Tak lebih.
Tapi dia . . . . sudah lima hari berada di sini. . . "
Sekilas Ronggo melirik ke
balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih terbaring tanpa pakaian. Melihat
keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus mengakui ucapan Randu tadi
bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan
memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan apa urusan
pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto
menuturkan apa yang telah dialami dia dan ayahnya di Jember. Tak lupa dia
memperlihatkan bibirnya yang luka akibat tamparan Lestari, lalu tangannya yang
dibalut.
"Lalu apa hubungan
kejadian itu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu Wongso.
"Kita harus cari kedua
orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku Ronggo tertawa
gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun
masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali hingga kau
inginmencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak
pernah sebelumnya akumelihat gadis secantik, itu. Ketika pedangku memutuskan
kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap... Mau mati rasanya aku
ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha . . . ha . . . hal
Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu Wongso
pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata begitu Randu
kembangkan telapak tangan kirinya dan mengangsurkannya kepada Ronggo Tanpa
banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan berikan
pada RanduWongso.
"Kita pergi
sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku berpakaian dulu.
Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak berhasrat terhadap perempuan
itu?"
"Urusanku lebih penting.
Kita harus cepat...."
"Cepat . . . . cepat!
Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu Wongso kau pasti akan
menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau? Urusan beginian kan tidak lama
Ronggo...."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia
melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh perempuan yang gempal
kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo Bogoseto. Memang bukan
satu. hal baru diamelakukan hal seperti itu bersama-sama Randu Wongso. Randu
yang menculik lalu mereka gagahi bergantian. Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu.
Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
"Pergilah, aku akan
menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke
balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
***
LESTARI berusaha mempercepat
larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya. Menyadari bahwa dia tak
mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya berbalik dan menunggu dengan
sikap siapmenyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui
juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu sementara RanduWongso tegak
tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak
Lestari.
"Wah Ronggo! Gadismu ini
galak sekali!" kata Randu Wongso.
"Brengsek! Enak saja kau
mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata melotot.
"Aih, melotot marahpun
kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin menggoda. Diam-diam
dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak kotornya mulai
bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
"Berani kau menyentuh
tubuhku akan kubunuh!"mengancam Lestari seraya tangan kanannya bergerak ke
pinggang d i mana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun
aku senang! Ha . . . ha. . . ha “ ujar Randu Wongso lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat
kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia
datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat
wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis cantik, aku dan
sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan seorang diri. Jika
terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas tangan. Kami
bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun kau pergi
"Manusia edan! Mulutmu
kotor! Kurang ajar!” damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa
gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan matanya membuat Lestari tambah
jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar tubuh.
"Hai! Kau mau kemana
gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat
kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak sabaran.
"Meringkus burung molek
ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap pinggangnya! Ah, betapa
nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan
satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu cepatnya gerakan orang ini
tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari sedang tangan kanan
menjamah dadanya!
"Bangsat kurang
ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut!
***
S E M B I L AN
SINAR putih menyambar ke arah
lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget lelaki ini bukan olah-olah.
Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau segera dia lepaskan
pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur.
Di hadapannya kini Randu
melihat Lestari berdirimemegang sebuah seruling terbuat dari perak. Benda ini
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi. Randu berpaling pada Ronggo lalu
bertanya.
"Sobatku, sebenarnya siapakah
si cantik berbajumerah ini? "Kulihat gerakan ilmu pedangnya boleh
juga!"
"Siapa dia nanti saja
kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya
kau sudah tidak sabaran!” Kembali Randu Wongo bergerak.
"Majulah kalau ingin
mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso
melangkah menghampiri si gadis. Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari
menghantamkan sulingnya ke arah dada lawan. Namun kali ini dia tertipu.
Serangan Randu Wongso hanya
pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah berpindah kedudukan dan
berkelebat ke jurusan lain. Lestari tak kalah cepat. Dia putar gerakan
tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika RanduWongso
berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan tangan
kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk kedua kalinya Randu
Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini kalau dara berbajumerah yang
tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng. Di balik wajahnya yang
jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu, tersembunyi satu
ilmu silat tinggi!
"Kalau tak segera
kuringkus gadis ini bisa berbahaya!' 'kata Randu Wongso dalam hati. Dengan
gerakan bernama pelangi menggelung langit dia menyambar dari samping, kiri.
Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak acuh dan sangat mudah untuk
balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman telah digembleng
oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak menunggu dengan
waspada. Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua langkah: Betul
saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan. Baru serangan
Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong mendahului dengan satu
tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya mengenai tempat
kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
Dengan penasaran Lestari
lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan tenaga dalamnya.Randu Wongso
juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu lawan.
Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan kosong pula. Dua larik angin
menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya
bergoyang gontai. Sertamerta dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Namun ternyata
tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali mendorongkan tangan kanannya ke
depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi dia coba mengimbangi diri
Randu Wongso menyergap.
"Celaka! "seru
Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas suling peraknya.
Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang dara.
Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari. Masih
untung gadis ini cepat mengelak hingga terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak
tadi menyaksikan perkelahian kedua orang itu dengan berdebar kinimulai was-was
apakah Randu Wongso akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa
cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
“Randu! Lakukan pekerjaanmu
dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya. Masakan menangkapnya saja kau
membutuhkan waktu begitu lama!"
"Aku tahu apa yang aku
kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik Nampak kesal. Lalu
diamenghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika
kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan mencideraimu.
Bagaimana...? Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang terpandang, memiliki
kekayaan. Jika kau ikut dengan dia pasti kau bahagia..."
"Baiklah, aku akan
menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini! "
Hampir tak terlihat kapan
Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan senjata rahasia berbentuk
jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu
ini!" memuji Randu
Wongso. "Terpaksa aku
memakai suling perakmu untuk menghadapinya!”
Randu Wongso sehatkan suling
perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tring . . . tring . . .
tring. . .
Semua senjata rahasia
berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah Lestari ketika
melihat kejadian itu.
“Manusia keparat ini tinggi
sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati sang dara kini. Dia menghantam
dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan. Tapi orang yang diserang
lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku di sini!
Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu.
Suaranya datang dari sebelah
kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai! Lagi-lagi kau
menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! " Kembali suara
RanduWongso terdengar dan sekali ini memang datang dari kiri.
"Setan!" rutuk
Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri. Justru di saat itu satu
totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya. Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya
tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun
tertutup!
Randu Wongso melangkah ke
hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo Bogoseto pun tak kurang
gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari. Ketika berhenti di depan
si gadis enak saja diamencuil dagu Lestari dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya
kau kami ringkus saja! Kalau tadi-tadi kau mau menurut secara baik-baik tentu
tak begini jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember! Aku akan
sediakan rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling pada
Randu. 'Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo, tangan kananmu
yang patah itu membuatmu sulit memanggul nya meski di bahu kiri. Biar aku yang
mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak
Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada lelaki itu.
"Kau tak usah cemburu
padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang dengan gadis ini. Tapi kalau
kau jadi tambah celaka sebelum sempat melakukannya apa enak? Candi kediamanku
lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita bawa ke sana saja? Nanti baru kau
pindah ke Jember. "
"Buset! Gadis secantik
ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu Jangan ngaco Randu!"
Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika diamau menuruti kemauanku aku akan
ambil dia jadi istri!' '
"WaIah! Jadi aku tidak
akan kebagian?! "
"Aku tidak suka mendengar
ucapanmu itu. Diamilikku sendiri! Kau boleh kembali ke Candi danmeneruskan
memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit hitam manis itu!"
“Tapi aturan macam begitu tak
ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu Wongso pula.
"Sudahlah! Kau jangan
bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang untukmu! "kata Ronggo.
Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh Lestari di bahu
kirinya. Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu
bentakan.
"Pemuda keparat! Turunkan
gadis itu! "
***
***
S E P U L U H
RONGGO terkejut. Rantu tak
kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian putih-putih dari balik semak-semak.
Di belakangnya mengikuti seeko kuda putih polos tinggi dan kekar.
"Hemm . . . Ronggo siapa
manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan pandangannya dari
pemuda berkuda putih itu.
"Dia kunyuk yang mengaku
sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti gadis ini miliknya. Ayo
Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung. Hajar dia sampai mampus!"
Randu Wongso seorang yang
banyak pengalaman.Walau jelas pemuda dihadapannya itu tampak sederhana namun
dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak rendah. Apalagi suara
bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah
mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih
tinggi dari yang dikuasai ayahnya. Padahal sang ayah bergelar Raja Pedang
Kotaraja!
"Orang muda!" tegur
Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak sayang kalau wajahmu
yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik lekas angkat kaki dari
hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias
Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya kalian berdua
berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku bersedia membatalkan niatku
untuk menghajar kalian berdua!"
Randu Wongso tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berkata.
"Baiklah! Baiklah orang
muda. Jika itu maupun akumenurut saja. Aku akan berlutut di depanmu. Lihat!
"
Kedua lutut Randu Wongso
menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah seperti orang yangmemang siap
berlutut. Namun sesaat sebelum kedua tempurung lututnya menyentuh tanah, di
dahului oleh bentakan yang menggetarkan Seantero belantara, tubuhnya mencelat
ke depan. Kaki kanannya kirimkan tendangan keras ke dada Panji Kenanga!
Murid mendiang brahmana
Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan sigap dia berkelit ke
samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan pukulan, juga tidak
berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua jotosan. Satu menghantam ke salah
satu tempurung lutut, lainnya ke sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu membuat
Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut. Kaki kirinya yangmasih
menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang masih menginjak
tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat tubuhnya miring ke belakang
dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia berhasil mengelakkan kedua serangan
balasan Panji Kenanga.
Si pemuda tahu betul bahwa
mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu Wongso adalah sangat
berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar berilmu
tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada Panji Kenanga bahwa Randu Wongso
siapapuri adanya, adalah seorang yang berkepandaian tinggi serta berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso
kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera menyambut dengan pukulan mega
putih.
Sinar putih keabu-abuan
melesat deras, bersiurmenghantam ke pertengahan tubuh Randu Wongso.
Yang diserang kaget bukan
main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan yang masih muda itumemiliki
pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit dan cepatnya dia mengelak membuang
diri ke samping kanan namun tak urung bahu kirinya kena juga disambar oleh
sinar pukulan lawan. Masih untung kenanya tidak begitu tepat. Inipun sudah
cukup membuat Randu Wongso kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa seperti
remuk sampai ke dalam.
Tampang Randu Wongso kelam
membesi menahan sakit dan juga oleh amarah yang menggelegak. Sebagai jago kelas
satu tak pernah dia mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dihantam lawan hanya
dalambeberapa jurus!
“Pemuda bangsat! Apa yang kau
lakukan terhadapku harus kau bayar dengan nyawa anjingmu! "menyumpah Randu
Wongso. Tangan kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya
berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak berkedip. Panji
Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki itu mulai dari ujung
jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin hitam dan gelap legam.
"Pukulan mengandung racun
jahat! "kata Panji dalam hati dan bersiap waspada.
Tiga perempat tenaga dalamnya
segera dialirkan ke tangan kanan. Diamenunggu tak berkedip.
Randu Wongso berteriak garang.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji. Murid Brahmana Lokapala itu
sertamerta angkat pula tangan kanannya dan menghantam sambuti pukulan lawan!
Dari tangan kanan Randu Wongso
menyemburmenggulung sinar hitam yang menyebarkan bau amat busuk. Dari tangan
Panji Kenanga membersit sinar putih kelabu yang segera menghantam dan menyapu
sinar hitam pukulan lawan. Randu Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga
dalam ampuh yang dapat menghancurkan sinar hitamnya.segera gerakkan tangan
kanan membentuk setengah lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam
sinar mega putih. Panji Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari hantaman
pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso secepatnya kembali menghantam dengan
tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut dipukulkan, mendorong pukulan tangan kanan
hingga kekuatannya jadi berlipat ganda. Serangan ini sama sekali tidak terduga
oleh Panji Kenanga!
Sinar hitam lawan menghantam
dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa apa-apa seolah-olah sinar pukulan
itu hanya merupakan sapuan angin belaka. Namun begitu rongga hidung Panji
Kenanga mencium bau busuk, yang terkandung dalam sinar, mendadak sontak sekujur
tubuhnya seperti kaku, tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu saja, nafasnyapun
menyesak. Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
“Celaka! Tamatlah
riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya yang menjadi
kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari melangkah
kehadapannya.
Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat! Hanya sampai
disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau membunuhmu saat ini! Tapi belum
puas hatiku sebelum melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo gerakkan kaki kanannya.
Tendangannyamenghantam muka Panji. Murid Brahmana Lokapala ini merasakan
kepalanya seperti meledak. Tubuhnyamencelat mental dan dia tak ingat apa-apa
lagi.
"Rasakan olehmu!"
kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga. Ketika dia
hendakmelangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
“Bawa saja gadis itu ke
candiku."
"Tadi aku sudah bilang,
gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku Randu!"
Ronggo melangkah pergi. Saat
itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga. Dari pada capai-capai jalan
kaki atau berlari ke Jember sambil memanggul tubuh Lestari, bukanlah lebih baik
memanfaatkan binatang itu. Segera Ronggo mendekati kuda ini dan siap naik ke
punggungnya. Namun baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba
menghentakkan kaki belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda
ini terpekik kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang
dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!"
maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak dan melangkah ke arah
Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu! Awas! Jangan
sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong dulu!" teriak
Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak memegang lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu
terpaksa Randumembatalkan niatnya menolong Lestari. Kini dia membantu Ronggo
berdiri.
"Nasibmu amat sial hari
ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup mulutmu!"
tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit. Untung saja
balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau tidak patahan
tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka kembali. Dengan susah payah
dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut dan menaikkan kembali gadis itu ke
bahu kirinya.
"Aku akan ikut kau ke
Jember!" Randu Wongomengambil keputusan.
"Aku tak butuh kau lagi
Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan pekerjaanmu menggeluti tubuh
perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo yang tak senang akan maksud Randu
mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau lupa
janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang karena aku telah bantu
meringkus gadis itu . . .”
Mendengar kata-kata Randu itu
Ronggo jadi jengkel. “Tahumu hanya uang dan perempuan . . . "
"Eh, apakah ada hal lain
yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang dan perempuan . . . ?"
ujar Randu pula.
Ronggo tak menjawab. Dia juga
tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.
***
S E B E L AS
D I LERENG bukit itu terdengar
suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara siulan ini akan aneh terasa jika
ada orang lain mendengarkan. Bukan saja karena lagu serta irama yang
disiulkannya tidak menentu, tetapi suara siulan itu sendiri demikian kencangnya
hingga mengalahkan deru angin yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang
pemuda berpakaian putih dan agak lusuh. Dia mengenakan ikat kepala putih dan
saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju puncak bukit.
Sampai di puncak bukit dia
hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling. Rambutnya yang gondrong
menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan.' Tak satu
bangunanpun kulihat!' 'pemuda ini memaki pada dirinya sendiri.
"Di mana sebenarnya letak
candi laknat itu . . . ?"
Pemuda ini menyelidik ke ujung
puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran sambil garuk-garuk kepala dia
kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja tak satu bangunanpun yang tampak dari
tempat itu. Dia lantas berpikir-pikir. Apakah sebaiknya dia menuruni bukit itu
dan langsung menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa mendapatkan keterangan
tentang letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso, seorang tokoh silat jahat
dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di
Jember, jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil keterangan pun, berarti aku
harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk kepalanya.
"Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan ini!
Bagusnya aku menyelidik dulu keputusan yang diambilnya ternyata tidak sia-sia.
Setelah menyelidik hampir sepenanakan nasi, candi yang dicarinya itu akhirnya
ditemuinya di lereng bukit sebelah timur, terletak di balik lindungan
pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak segera
memasuki candi. Diamemutari bangunan tua itu beberapa kali sambil memasang mata
dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga takkelihatan tanda-tanda ada
orang di dalam sana.
"Jangan-jangan bangsat
itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah mengelilingi
candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi dan langsung masuk
ke dalam bangunan tua ini. Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya
sebuah lampu minyak menyala, hampir padam karenaminyaknya tinggal sedikit.
Lampu itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi
tua tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya pasti
sudah lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja
di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke Jember. . . "
Ketika hendak melangkah
meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya menangkap suara seperti tarikan
nafas. Suara ini datang dari balik tumpukan balok-balok kayu. Sekali lompat
saja dia sudah berada di atas tumpukan balok itu. Memandang ke bawah berubahlah
paras pemuda ini.
Di sana, di atas lantai candi
yang beralaskan tikar jerami butut terbaring sosok tubuh perempuan muda tanpa
pakaian. Kedua matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak, dadanya turun naik
sedang wajahnyamembayangkan seperti menahan rasa sakit yang amat sangat.
Sebagai seorang lelaki pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya jadi panas
juga. Apalagi perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang payu dara
yang besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah seperti
bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi hati
si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut ruangan. Di sini
dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya pakaian itu lalu
ditutupkannya ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan ada sesuatu
diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua matanya. Mata itu kuyu
sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti ketakutan, lalu kuyu kembali.
"Jangan takut. Aku tak akan
menyakitimu. Aku ingin menolong . . . " berkata si pemuda.
“Ha .. . haus . . . Aku . . .
minum . . . " lapat lapat terdengar suara keluar dari sela bibir
perempuanmuda itu.
“Air, di mana akan kudapat air
di tempat ini. . . ?" Pemuda itu memandang berkeliling. Dilihatnya sebuah
kendi. Diambilnya dan diguncangnya. Terdengar suara air di dalam kendi itu.
Segera pemuda ini berlutut danmenempelkan bibir kendi ke bibir perempuan itu.
Setelah minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak segaran.
Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
"Kalau kau bisa bicara,
katakan apa yang terjadi..."
"Kau . . . kau . . .
siapa ?"
'Namaku Wiro Sableng. Kau tak
usah takut. . . "
“Kalau bukannya orang jahat?
Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam?”
"Siapa yangmemperkosamu .
. . ?"
"Ada dua orang. . .
"
"Ya, dua orang. Siapa
mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku
tidak ingat. . . "
"Kau harus ingat. Kalau
tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku sakit. Sekujur
badanku sakit . . . "
Perempuan itu meraba wajahnya,
lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai terisak menangis.
Si pemuda yakni murid Eyang
Sinto Gendongmenggigit bibir den garuk-garuk kepala.
"Kau mau minum
lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro
memberinya beberapa teguk lagi air kendi yang sejuk itu. .
"Siapa namamu . . .
"
"Warsih. . . "
Dari balik pakaiannya Wiro
keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya pada perempuan itu. Lalu
katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat siapa mereka itu. Paling tidak
keduanya satu sama lain tentu saling memanggil nama . . . "
"Sulit sekali
mengingatnya. Mereka.... Tunggu . . . Kudengar yang datang belakangan itu
menyebut satu nama. Randu . . . ya Randu . . . "
"Bagus, kau ingat kini
Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?
Perempuan itu pejamkan mata
mengingat-ingat.
"Ronggo . . . "
katanya kemudian sambil membukamata.”
"Di mana kedua orang itu
sekarang . . .T'
"Pergi..."
"Kau tahu pergi ke mana .
. ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. . . "
"Tadi malam. Ke mana
mereka pergi aku tidak tahu..."
"Orang yang bernama Randu
itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya . . . Aku diculiknya
dari desa . . . "
"Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau
kembali ke desa itu."
"Tidak, aku tak mau
kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan tahu apa yang
terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek
begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup . . . "
"Tapi hidup dengan
menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau sempat aku hamil . . .
" Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar Warsih. Kau harus
hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui bahwa manusia bernama Randu
serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah menerima pembalasan atas dosa-dosanya
. . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan . . . Siapa
yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak dulu pejabat-pejabat
kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama Randu itu pasti telah
sering melakukan perbuatan keji ini!" '
"Aku sudah bilang, aku
akan menolongmu. Akumemang sudah lama mencari manusia bernama Randu
itu..."
"Kalau begitu kau
temannya . . . " .
"Bukan. Justru aku mau
menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku bersumpah untuk menghajar
manusia itu sampai mati . . . Sekarang, kalau kau sudah cukup kuat berdirilah.
Kenakan pakaian mu kembali. Kita sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkan tempat
itu untuk memberi kesempatan pada Warsih berpakaian. Tetapi baru saja dia
berada di balik tumpukanbalok, mendadak didengarnya satu suara benturan,disusul
oleh suara jatuhnya sesosok tubuh ke lantai.
Pendekar 212 melompat ke balik
tumpukan balok.Namun terlambat. Di lantai dilihatnya tubuh Warsih— masih belum
berpakaian — terkapar dengan kepala rengkah bedarah. Perempuan malang ini
memutuskan lebih baik mati dari pada hidup menanggung aib. Dia telah
membenturkan kepalanya sendiri ke dinding candi!
Wiro tertegun beberapa saat.
Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami. Tak ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah
itu. Cepat-cepat pendekar ini tinggalkan candi.
***
D U A B E L A S
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tak
dapat memastikan berapa jauh dia telah meninggalkan candi kediaman Randu Wongso
ketika tiba-tiba dia mendengar suara ringkikan kuda. Wiro segera lari ke
jurusan datangnya suara binatang ini. Di tepi sebuah telaga berair jernih
tampak seekor kuda putih polos tegak tak bisa diam dan meringkik terus menerus.
Di bagian lain dari telaga kelihatan bekas perapian.
Murid eyang Sinto Gendeng ini
berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah melihat kuda putih itu. Tapi
di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk keningnya. Dia
ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid Brahmana Lokapala dari
gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu diamenghancur-kan Istana Darah. Kalau dia
tidak salah ingat, kuda ini bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ
pasti Panji Kenanga juga ada di tempat itu. Sambil memandang berkelilingWiro
melangkah mendekati Angin Salju. Binatang ini masih terus meringkik. Ketika
didekati dia merundukkan kepala dan menggeser-geserkan lehernya yang berbulu
tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak
gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengelus-elus leher Angin Salju.
Binatang itu memutar-mutarkan ekornya.
Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan kembali dia meringkik. Wiro menyelidik
lagi berkeliling. Tak ada tanda-tanda adanya Panji Kenangan di situ. Ini satu
hal yangmengherankan. Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak enak
bagi pendekar itu. Dia memandang ke tengah telaga. Apakah Panji tenggelam?
"Sesuatu telah terjadi
dengan majikan binatang ini," pikir Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju
meringkik keras. Lalu berputar dan lari meninggalkan telaga. Wiro Sableng
segera mengikuti binatang ini. Kuda putih itu lari masuk ke dalam hutan. Makin
dalam dan makin jauh. Di satu tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat
dekat sesosok tubuh yang menggeletak tak bergerak. Sekali lompat saja Wiro
sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!"
desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat yang lebih baik.
Muka Panji Kenanga penuh oleh
darah yang hampir mengering. Darah itu tampaknya mengucur keluar dari hidung.
Salah satu pipinya bengkak membiru.Mungkin bekas pukulan keras. Dari sela bibir
membuih cairan hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke cairan itu. Ada bau aneh.
Dirabanya tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi bukan tegang karena totokan.
"Dia keracunan . . .
" ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti keadaan sekitar
tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian. Setahunya Panji Kenanga
memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika dia dapat dikalahkan dan berada
dalam keadaan seperti ini pasti lawannya jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia
dikeroyok.
Wiro pegang per gel angan
tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun sangat perlahan. Dengan
pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid Sinto Gendeng itu segera
menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian. Adapun racun yangmenyerap dalam
tubuh pemuda itu harus cepat-cepat dikeluarkan. Jika sampai terlambat nyawanya
tak akan tertolong lagi.
Dengan sehelai daun keladi
hutan Wiro menampung air telaga. Air ini dicampurnya dengan sejenis bubuk obat
yang selalu dibawanya di balik pakaian. Setelah diaduk, cairan obat itu sedikit
demi sedikit dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah menunggu beberapa
saat Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak ditempelkannya pada
kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan tenaga
dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata kapak. Mulai dari kaki, betis,
paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketikamata kapak menyentuh mulut,
dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam banyak sekali. Wiro menekan
perut dan dada pemuda ini. Cairan hitammakin banyak keluar. Wiro baru berhenti
menekan setelah tak ada lagi cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan
kepala Panji Kenanga bergerak. Kedua matanya terbuka, tampak kuyu. Lama
diamemandang ke langit, ke arah cabang-cabang pohon dan dedaunan yang rapat.
Kemudianmatanya beralih memandang Wiro.
"Di . . . dimana aku . .
. Sakitnya kepala ini . . .Kau ... . kau siapa?" kata-kata itu meluncur
dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji.
Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng. Panji Kenanga menatap
Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat setelah pandangannya
mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih, perlahan-lahan pemuda itu
anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya . . . aku ingat kau.
Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji meraba mukanya lalu
memperhatikan tangannya. "Darah . . . " desisnya kemudian. Dia
mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas seolah-olah
tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring
sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saatsaat gawat
. . . "
"Bagaimana kau bisa
muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan menemui ajal seandainya kau tidak
datang? Kau pasti menolongku . . . "
"Soal nyawa adalah urusan
Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu saja. Harus berusaha. Aku
tengah mencari sarang mesum manusia dajal bernama Randu Wongso. Candinya
kudapati dalam keadaan kosong. . . "
"Ah! Kita berurusan
dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji Kenanga. Kini dikumpulkannya
seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba bangun. Wiro membantu dan
menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek. "Wiro . . kau tahu. Manusia
dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik Lestari.
. . "
Terkejutlah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka berbaju merah itu, yang dulu
pernah diselamatkannya dan kini ternyata diculik orang!
Hampir dua tahun dia tidak
pernah bertemu dengan dara jelita itu. Dalam kehidupannya Wiro telah menemui
banyak sekali gadis-gadis cantik. Namun entah mengapa dara yang satu ini begitu
menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus dari ingatannya. Berkali-kali
timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di tempat kediaman gurunya,
tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena merasa malu.
Gila! Biasanya dia selalu
bersikap berani terhadap setiap gadis atau perempuan yang ditemuinya. Hanya
pada yang satu ini dia sepertimerasa takut. Bukan, bukan takut tetapi mati
kutu! Rasanya dia melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat
dipungkirinya bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir
dalam dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari
Panji Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu oleh Randu Wongso,
tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada dalam
keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa depannya..
"Siapa Ronggo Bogoseto
itu?" tanya Wiro.
"Seorang pemuda brengsek,
putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di
Jember . . . "Dia
memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya dasar ilmu silat yang dapat
diandalkan . . . "
"Kau tahu ke mana
kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak dapat kupastikan.
Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng bukit..."
"Aku sudah menyelidik ke
candi itu. Kosong... "Wiro tidak menceritakan pertemuannya dengan Warsih
yang malang.
"Kalau begitu pasti
Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas perwira tinggi itu.
Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus
ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . . ?"
"Tak usah pikirkan
diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang penting selamatkan
gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus berterus terang padamu Wiro.
Akumencintai Lestari. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya. Tolong
selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku mencintai
Lestari!"
"Tiga rangkai kata itu
mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa menyesak. Jika
Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari jugamencintai pemuda ini?
"Katamu kau mencintai
Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
" Y a . . . "
"Apakah Lestari juga
mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tak pernah
hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga menyayangiku. Aku bisamelihat
dari gerak-geriknya . . . "
Wiro merasa dadanya makin
sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat tak bisa berkata apa-apa.
"Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan
Lestari," terdengar suara Panji Kenanga. "Jika terjadi apa-apa dengan
diri-nya, rasanya tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini..."
"Sahabatku Panji Kenanga
. . . " sahut Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar karena menahan gejolak
dalam dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu. Maksudku dengan cinta
murni, dengan setulus jiwa ragamu . . . ?"
"Demi dia aku rela
menyerahkan jiwa ragaku,Wiro. Aku bersumpah jika memang itu baru dapatmembuatmu
percaya. . . "
Perlahan-lahan Wiro berdiri.
Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu bagaimana Panji
Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak tertanyakan lagi bagaimana Panji
dan Lestari sampai bentrokan dengan Randu Wongso dan pemuda bernama Ronggo
Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro. Kau harus
bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat membaca apa sebenarnya
terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku
segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa kutinggalkan di sini.
Hati-hatilah . . . "
Semua kata-kata itu diucapkan
Wiro dengan peraaan bergalau. Dia ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena
permintaan yang disampaikan Panji Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat
gadis itu selamat. Karena diapun mencintai Lestari. Tetapi Panji
Kenangapunmencintai gadis itu. Bagaimana kalau kemudian diapunmengetahui bahwa
Lestari mencintai Panji? Akan sanggupkah dia menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia mengikuti bisikan
setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu mencelakakan Panji
Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai seorang pendekar berjiwa besar
pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun dia berhasil mendapatkan Lestari lalu
kemudian mengetahui bahwa gadis itu tidak mencintainya, apakah jadinya kelak
kehidupanmereka?
"Wiro! Kau melamun!"
seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti... tidak! Aku segera
pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya tempat itu, lari
secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.
***
T I G A B E L A S
SEPERTI yang dikatakan Panji
Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari gedung kedi akan
Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan mudah dia menemukan gedung itu,
terletak tak berapa jauh dari pusat keramaian kota. Bagian depan rumah besar
yang berhalaman luas ini dibatasi dengan pagar besi berwarna hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi
rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah terlihat sebuah kolamdengan
hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang dua ekor burung merpati.
Di samping bangunan besar
megah itu terdapat sebuah gedung kecil beratap merah. Tepat di depan gedung
besar behenti dua buah kereta. Suasana di tempat itu tampak sunyi-sunyi saja.
Lewat pintu halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk ke dalam. Ketika dia
sampai di dekat dua buah kereta,muncullah seorang lelaki tua.
"Bapak, siapakah raden
Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau
siapakah...?" tanya orangtua itu. Nada suaranya tidak menunjukkan
kecurigaan.
"Saya sahabat raden
Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau
pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman raden Ronggo."
Wiro tersenyum lalu malangkah
tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan kecurigaan. Seperti di rumah besar,
gedung kecil inipun tampak sunyi. Dia tegak meneliti sesaat. Terkadang
kesunyian bisa menipu seseorang. Matanya yang tajam melihat pintu depan gedung
kecil itu tidak dikunci, hanya ditutupkan dan itupun tidak rapat. Lewat celah
pintu, ketika Wiromendekat dia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi kurus
melangkah mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan ketidak
sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
Begitu Wiro sampai di langkan
gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat pada pakaian yang
terbuat dari jenismurahan, air muka yang kusam serta sikap yang kasarWiro
segera menduga orang ini bukan penghuni gedung itu, jadi bukan Ronggo Bogoseto.
Tampaknya diapun bukan penjaga atau pengawal gedung. Tetapi mengapa sikapnya
begini galak. Atau apakah ini ayah Ronggo yang berjuluk Raja Pedang Kotaraja
itu? Tak bisa jadi.Wiro segera mengatur siasat. Murid Sinto Gendeng itu cepat
menjura lalu ber- kata: "Aku ingin bertemu dengan Ronggo Bogoseto
"Hmm, Katakan dulu siapa
kau!”
"Aku sahabat lamanya. . .
"
"Dia tak ada di rumah.
Sedang keluar!' '
Wiro garuk kepalanya.
"Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini. Aku datang dari jauh.
Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya.”
“Tidak mungkin. . . "
kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
"Kalau kedatanganku tidak
diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini menyangkut urusan yang
benar-benar penting," ujar Wiro.
“Justru Ronggo saat ini sedang
ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau begitu biarlah aku
menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula. Lalu seperti tak acuh
enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalamgedung.
"Eit! Orang muda! Jangan
bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang'bagaimana?"
tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan
Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di sini tempatnya. Di sana, di
luar pagar halaman! "
"Ah, di luar sana panas
sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani
membantah perintahku .Mau kupuntir kepalamu?!" ancam Randu
"Jangan! Jangan sobat.
Jangan galak begitu . . . "Wiro pura-pura ketakutan. Randu Wongso
menyeringai.
"Kalau tak ingin kupuntir
kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan
siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan
menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa kau tak pernah
mendengar nama RanduWongso? Tokoh silat kelas satu yang ditakuti di delapan
penjuru Jawa Timur?!"
"Ah! Inilah dia keparat
yang kucari-cari!" kataWiro dalam hati. Tubuhnya bergetar.
Jika diturutkannya hawa amarah
yang merangsak dirinya saat itumaulah dia menghajar Randu Wongso detik itu
juga. Namun tujuan utamanya datang ke situ adalah untuk menyelamatkan Lestari.
Dan kini dia yakin gadis itu pasti berada di gedung kecil itu, berada dalam
sekapan Ronggo Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari
ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat terkenal ini. Harap maafkan
kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu menjura sampai
beberapa kali. Padahal dalamhati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu
siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik...baik...,"
kata Wiro. Sekali lagi diamenjura. Tetapi gerakannya kali ini bukan gerakan
menghormat sembarangan. Sambil merunduk tangan kanannya menyusup ke depan
dengan dua jari terpentang lurus.
Randu Wongso tak sempat
keluarkan seruan. Urat besar dipangkal lehernya sebelah kanan telah ditotok
pemuda yang mengaku sahabat Ronggo Bogoseto itu. Kontan detik itu juga Randu
Wongso tak dapat bergerak lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua matanya
membeliak. Seumur hidupnya baru hari itu dia bisa dibokong orang secara
berhadap-hadapan. Seribu caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada
lelaki ini.
Sambil tersenyum dan
tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng berkata. "Monyet
jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini. Kejahatanmu
sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi biar kuberikan
kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas..."
Dengan ujung jari tangan
kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi serta hawa amat panas, Wiro menggurat
tiga buah angka di kening Randu Wongso: 212. Lelaki ini merasa seperti ditoreh
dengan besi panas. Kalau saja dia tidak ditotok saat itu pastilah dia
akanmengeluarkan jerit kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah:
'Pemuda haram jadah! Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah
yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja
Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki itu ke luar pagar.
“Tubuhmu bau! Pakaianmu kumal!
Kau lebih layak berada di sini!" ujar Wiro lalu hempaskan RanduWongso ke
tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian dia segera masuk ke dalam gedung
kecil kembali. Setelah melewati ruangan depan dan ruangan tengah yang penuh
dengan berbagai macam perabotan dan lemari pajangan, Wiro sampai di sebuah
ruangan dimana berderet beberapa kamar dengan pintu dalam keadaan tertutup. Di
dalam kamar yang mana Lestari disekap? Dia melangkah perlahan-iahan, memasang
telinga serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan sebelah kiri pendekar ini
hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik.
Wiro tempelkan telinganya ke
daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali tendang pintu yang terbuat dari
kayu jati itu hancur berantakan. Secepat kilat Wiro melompat masuk ke dalam
kamar. Apa yang diperkirakannya tidak meleset.
Di atas sebuah tempat tidur
besar bekelambu biru muda berseperai putih serta penuh keharuman tampak seorang
pemuda bermuka pucat yang tangan kanannya dibalut, dan hanya mengenakan celana
dalam tengah menggeluti sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam
keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia keparat haram
jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke atas tempat
tidur.
"Wiro!" jerit
Lestari. Namun jeritan itu tependamdi tenggorokannya karena sampai saat itu
tubuhnyamasih tertotok, membuat dia tak bisa bergerak ataupun bersuara. Sejak
hancurnya pintu kamar kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat
seseorang melompat ke atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah
sendiri ditambah di luar sana ada RanduWongso maka dengan marah pemuda ini
membentak.
“Bangsat! Maling atau pencuri
kau?!"
"Aku memang maling yang
hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki kanannya menyambar ke
depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri. Pahanya tepat dihantam
tendangan. Terdengar suara krak! Dibarengi jerit kesakitan dan mentalnya tubuh
pemuda bermuka pucat itu!
Seperti diketahui Ronggo
Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh namun tidak mempunyai dasar
ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu dia diselimuti rasa terkejut
hingga sama sekali tak mampu membuat gerakan mengelak. Dia terbanting ke
lantai. Ketakutan setengah mati dia menggulingkan diri ke pintu kamar sambil
berteriak.
"Randu! Randu! Tolong . .
. !" Tak ada jawaban,
Ronggo Bogoseto berdiri dengan
susah payah. Baru saja dia setengah membungkuk, satu cengkeraman mencengkam
lehernya dari belakang. Cekikan itu makin keras, makin keras. Ronggo Bogoseto
tak dapat bernafas. Matanya mendelik, lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar
dari mulutnya. Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkanmuka pemuda itu ke
dinding kamar.
Prak! Darah muncrat.
Muka Ronggo Bogoseto remuk.
Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai.
Wiro tutup tubuh Lestari
dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dia kemudian
menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata: "Lekas cari dan
kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian
merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera mengenakannya.
"Bagaimana kau tahu aku
ada di sini Wiro?" tanya Lestari.
Ingin sekali dia menjatuhkan
tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan menciumnya sebagai pernyataan
terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan kehormatannya. Namun sekejap
bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan.
Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju keluar.
Di luar pagar di tepi jalan
tampak beberapa orangmengerumuni Randu Wongso yang terkapar di tanah.
"Orang ini gagu dan
lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki disampingnya menyahuti:
"Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak salah dia kawannya
Ronggo . . . "
"Kalau begitu beri tahu
pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru saja mereka ramai-ramai
bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah berkelebat. Empat orang
terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika memandang ke depan mereka lihat
sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa lari oleh seorang lelaki berpakaian putih.
Di belakangnya mengikuti seorang perempuan berpakaian merah.
***
E M P A T B E L A S
WIRO SABLENG membawa Randu
Wongso ke candi tua tempat kediamannya di mana sosok tubuh Warsih masih
terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak sanggup hidup menanggung
malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro, aku ingin membunuh
keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke Jember, sepanjang perjalanan
dia berlaku kurang ajar!" berkata Lestari begitu Wiro melemparkan tubuh
Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar Lestari. Jangan
berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus mengatur kematian paling
bagus hingga dia benar-benar merasakan pembalasan atas segala dosa-dosanya. Kau
tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya
dengan Panji Kenanga.
"Aku akan bawa pemuda itu
kemari. Kau bisamerawat luka-lukanya . . . "
Sesaat Wiro melihat wajah
Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura tidak tahu malah berkata:
"Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga sudah tahu. Kau harus merawatnya
baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
"Wiro, ada sesuatu yang
perlu kujelaskan. Yaitumengapa aku mengadakah perjalanan ini. . . "
"Itu bisa kau terangkan
jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah terlalu lama kutinggalkan. Aku
kawatir keadaannya akan lebih parah kalau tidak lekas ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi.
Tapi Wiro sudah berkelebat pergi.-"Heran, bagaimana dia tahu kalau Panji
mencintaiku...?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau
antara aku dan dia ada ikatan jodoh...? Ah bagaimana jadinya ini..." Gadis
itu geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannyamembentur sosok tubuh
Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan duk!
Tendangannya menghantam muka
Randu Wongso hingga terpental ke dinding. Hidungnya remuk mengucurkan darah.
Tiga buah giginya tanggal dan bibirnya pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat
sakit hatinyamau Lestari menggorok leher Randu Wongso saat itu. Namun sebelum
dia sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah muncul kembali mendukung tubuh
Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih bercelomotan darah di bagian
mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa pemuda itu tampak lega.
Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan berkata: "Syukur
kau selamat Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus berterima kasih pada Wiro .
. . "
Lestari tak menjawab. Jika
saja saat itu tak adaWiro di situ mungkin dia telah melompat untuk merangkul
tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan
urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia harus mampus di
tanganku!" jawab Lestari.Wiro melangkah. Dia menggeledah pakaian
RanduWongso. Di situ dia menemui beberapa buah kantong kain berisi uang dan
juga sebatang suling perak. Wiro menimang-nimang benda itu lalu menyerah-kannya
pada Lestari. Ini adalah kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada
si gadis. Pertama sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling
perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh Randu Wongso. Begitu
totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau mencelat
dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan Wiro Sableng!
Pendekar kita memang sudah
menduga hal itu. Karenanya dia bersikap penuh waspada dan ketika Randu Wongso
membuat gerakan yang mengawali serangan Wiro sudah lebih dulu menyingkir.
Tendangan lelaki itu mengenai tempat kosong. Marah dan penasaran serangan
mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada Lestari.
“Satu di antara kalian layak
mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso. Mulutnya komat-kamit. Tangan
kanannya mendadak berubah menjadi hitam. Melihat hal ini Wiro cepat melompat ke
hadapan Randu Wongso, sekaligus membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!"
memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan berbahaya! "
"Tak usah kawatir,"
jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian di sarang mesumnya
ini!"
"Kau yang mampus lebih
dulu!" teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan kanannya ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng. Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro cepat tutup jalan
pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya menghantam ke depan. Ruangan
candi menjadi terang benderang oleh sinar putih menyilaukan yang keluar dari
telapak tanganmurid eyang Sinto Gelung itu.
"Pukulan sinar
matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali. Cepat-cepat dia susupkan
pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar itu kini berbuntal-buntal seperti
gurita yang hendak merobek-robek tubuh Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah
mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso ini. Karenanya dia harus menghadapi tidak
kepalang tanggung. Dengan tangan kiriWiro lepaskan pukulan pemagar diri
sekaligus merupakan serangan ganas yakni pukulan dewa topan menggusur gunung!
Kembali Randu Wongso keluarkan
seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung tubuhnya mental
ke luar candi terseret hawa pukulan yang dilepaskan Wiro. Dengan dada berdenyut
keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan darahnya.
"Jadi kau adalah muridnya
nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu
Wongso. Sret! Dia cabut
sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan mengandung racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut
secara kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan dia bergerak tahu-tahu Randu
Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di dadanya, satu lagi di ulu
hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah. Yang menyembur
dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan keadaan dirinya yang
terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso membabat ganas ke arah Wiro. Golok
besarnya bersiuran. Namun dia hanya mampu membuat dua kali gerakan pulang
balik. Di kali yang ketiga terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya patah
disambar tepi telapak tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung disambar
Wiro. Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata: "Lestari,
selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari yang tahu apa maksud
ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu secepat kilat melompat ke arah
Randu Wongso. Golok di tangan kanannya menyambar ke arah leher lelaki itu.
Cras!
Lestari terpekik sendiri
ketika menyaksikan hasil tabasannya. Kepala Randu Wongso menggelinding dilantai
candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya terjungkal jatuh.
Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
***
MALAM itu udara dingin sekali.
Untuk menolak hawa yang membuat tubuh menggigil ini Wiro menyalakan api unggun.
Saat itu mereka berada di sebuahmata air kecil, di kaki sebuah bukit yang penuh
ditumbuhi pohon jati.
Sebenarnya ingin sekali
Lestari menuturkan persoalan yang tengah dihadapinya kepada Wiro. Namun dia
terpaksa menunggu sampai Panji Kenanga tertidur. Lewat tengah malam setelah
pemuda itu kelihatanmemejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekatiWiro dan
menceritakan tentang hilangnya tusuk kundai perak.
"Tusuk kundai itu, bukan
hiasan rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. Diberikan oleh gurumu pada
guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro kaget mendengar
keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun menanggapi: "Kalau tak
salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara angkat guruku. Eyang
tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang. Pasti ada tujuan
tertentu . . . "
Lestari terdiam sejenak.
"Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil keputusan.
"Mungkin kau masih belum
tahu Wiro."
"Belum tahu apa?"
bertanya Wiro.
"Tusuk kundai itu
diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita..."
Wiro Sableng sampai terbangkit
dari duduknyamendengar ucapan Lestari yang tidak disangka-sangka ini.
"Kau tidak bergurau
Lestari?"
Sang dara menggeleng.
"Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku sudah bertekad tak
akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali tusuk kundai itu . . .
"
Perlahan-lahan Wiro duduk
kembali di depan api unggun. Lama dia termenung.
"Ikatan jodoh itumemang
tak pernah kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara diam-diam. . . "
Wiro memandangi wajah Lestari.
Yang dipandangmenunduk lalu berpaling ke jurusan lain. Justru pandangannya
membentur Panji Kenanga yang tengah tertidur. Pada dasarnya Lestari lebih
tertarik pada Panji Kenanga yang wajahnya memang lebih tampan dari pada Wiro.
Namun mengingat dia telah dijodohkan dengan Wiro, apalagi mengingat Wiro baru
saja menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo Bogoseto maka terpaksa
dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji Kenanga. Kini
dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya setelah mengetahui
Panji Kenanga mencintai Lesdari dan dari gerak-gerik si gadis, Wiro meyakini
bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari dirinya, maka betapapun dia
menyayangi gadis ini dia harus melupakan perasaan itu. Dan ini merupakan satu
hal yang berat. Seolah-olah dia tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih
berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala ...," pikir Wiro
coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagimereka. Tapi urusan jodoh
yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat kalau pihak-pihak
berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah berpikir dalam-dalam
dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata. "Lestari, soal ikatan jodoh
kita sebaiknya kita tunda dulu untuk dibicarakan. Yang penting sekarang adalah
mencari tusuk kundai itu. Kita bertiga harus mencari seorang kenalan lamaku.
Aku tak tahu namanya, dia berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi
keterangan siapa pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan . . .
"
"Orang saktikah dia atau
tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya Lestari.
"Tak dapat kupastikan.
Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat melihat kejadian di masa
silam serta apa yang bakal terjadi di masamendatang. Nah, malam sudah larut.
Kau tidurlah . . . "
Baik Wiro maupun Lestari tak
satupun darimereka yang mengetahui kalau sementara mereka bicara tadi
sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur.
Segala apa yang dibicarakan
kedua orang itu didengar jelas oleh Panji Kenanga. Betapa remuk hati pemuda ini
sewaktu mengetahui bahwa gadis yang dikasihinya itu ternyata telah dijodohkan
dengan Wiro Sableng. Dia mengeluh, meratap dalam hati. Ingin sekali dia mati
saat itu juga!
***
"SEBAIKNYA kalian segera
saja berangkat tanpamenunggu kesembuhanku . . . " kata Panji Kenanga
keesokan harinya.
“Kau akan segera sembuh Panji.
Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku hanya kawatir
kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan pencuri," ujar Panji
Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji Kenanga telah pulih kembali.
Apalagi Wiro membantunya
dengan beberapa jenis obat dan aliran tenaga dalam. Sebenarnya sejak dia tahu
hubungan jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak ada lagi semangat untuk
meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja dirasakannya
kurang enak. Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan.
Panjimenolak keras ketika
disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih suka Lestarilah yang menaiki kuda
itu. Karena Lestari juga menolak akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung
kudanya.
Sesuai rencana mereka bergerak
ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut perkiraan di situ kemungkinan bisa
menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering berhenti, hampir seminggu kemudian
baru mereka sampai di tujuan.
***
L I M A B E L A S
DI SEBELAH timur gunung Lamongan
terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh kelihatanmemutih. Wiro, Lestari dan
Panji Kenanga segera menuju ke bukit kapur ini. Hawa sekitar bukit terasa
panas. Tiba-tiba Wiro memberi isyarat agar berhenti. Dia menunjuk ke puncak
bukit kapur. Di atas sana seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk.
Di tangan kirinya ada sebuah
tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung bukit
sebelah timur. Sesekali terdengar suara berkerontangan.
"Itu dia! Pasti
dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju puncak bukit
sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah bungkuk seenaknya, namun
cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil mengejarnya.
"Bapak segaia Tahu!
Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro. Dia sengaja mengerah-kan tenaga dalam
agar suaranya dapat didengar. Namun orang yang berjalan terus saja melangkah
sambil kerontangan kaleng buruk berisi batu kerikil di tangan kirinya. Terpaksa
Wiro dan Lestari mempercepat lari sementara Panji Kenanga membedal Angin Salju.
Sebelumnya Wiro telah pernah
bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran melihat perangai orang tua ini.
Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian compang camping dan memakai topi
lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada sebuah buntalan.
Tampak diamemindahkan tongkat
dari tangan kanan ke tangan kiri. Kaleng butut kini berada di tangan kanannya
dan terus menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua matanya buta. Tapi di
manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga dia tak pernah
nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu!
Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas begini siapa
yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang tengah menikmati pemandangan
indah di puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini menggerutu. Menikmati
pemandangan katanya padahal kedua matanya buta! Wiro sampai di hadapan si orang
tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di sampingnya.
"Bapak Segala Tahu, harap
manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu tamasyamu. Kami betul-betul
membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan penting yang harus kami tanyakan.
Kuharap kau bisa menolong."
"Aih, panas-panas begini
kau membicarakan soal penting. Soal apakah . . . ? Hai tunggu dulu! Kalau tak
salah ingat, delapan belas bulan lalu kita pernah bertemu. Kupingku hafal
suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum
lupa!" jawab Wiro.
"Waktu itu aku ramalkan
kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu yang mata keranjang,
tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat perempuan cantik . . .
Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi
mukanya merah. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau
mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut
Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan
kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak
tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu meraba-raba telapak
tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu
kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?"
Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi
persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali kerontangkan
kalengnya.
“Tersoalan pribadi apa
maksudmu pak?" tanyaWiro berdebar.
"Aih, kau jangan
berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan pribadi
menyangkut ihwal asmara!" -
Berubahlah paras Pendekar 212.
Dia tak beranimemandang ke arah Lestari ataupun Panji Kenanga. Si Segala Tahu
melanjutkan.
"Kau mencintai seorang
gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau bertekad memperlihatkan
pribadi dan jiwa besarmu yang luhur. Mengundurkan diri demi kebahagiaan orang
yang kau kasihi itu. Betul...?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa
yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani dia membenarkan.
"Entahlah pak tua. Aku
tak begitu mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa.
"Kau pandai menyembunyikan
rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati manusia-manusia berjiwa besar
sepertimu! Rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Nah, sekerang katakan
kau hendak tanyakan apa padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa
lenyapnya tusuk kundai perak sebagaimana yang didengarnya dari Lestari
sementara Panji Kenanga sudah turun dari punggung Angin Salju.
"Karena gadis murid si
Pemusnah Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang menceritakan sekali
lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan
kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib
perjalanan hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti akan
kukatakan."
"Terima kasih bapak
segala tahu," jawab Lestarimenolak secara halus. Dia kawatir ramalan orang
tua itu akan membuka rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu.
"Lebih penting kalau aku
dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik... Sekarang
terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalanan-mu sampai kemari. Jangan
satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi
keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya dituturkan Si Segala
Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang coba
keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat busuk pada petang
hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik
kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya pada Si Segala Tahu.
Sambil meremas-remas robekan
kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua ini mendongak ke langit dan
goyangkan kalengnya tiada henti. Lama sekali, setelah mukanya keringatan baru
dia hentikan kerontangan kalengnya dan berpaling pada Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah
baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri oleh seorang yang punya
kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling tingkat tinggi, Mayat yang ditemukan
oleh gadis ini itulahmayat si raja maling. Jika aku tidak salah hanya ada satu
raja maling di rimba persilatan masa ini yaknimanusia bernama Singgar Manik.
Mengapa dia jadimayat? Bukan
mati karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik bukan seorang berkepandaian
rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari satu orang yang juga
menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian. Singgar Manik jadi korban.
Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri baru . . . "
“Apakah kau tahu siapa
orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa mereka itu? Hemm .
. . Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah bukti cabikan kain hijau,
berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada di tangan dua bersaudara Nyoka
Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa mereka ini?"
tanya Wiro.
“Dua saudara kembar. Keduanya
brahmana sesat.Mereka berseragam pakaian hijau, bermuka seperti ular. Karena
itu mereka diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain berilmu tinggi juga
diketahui gemarmengumpulkan senjata atau benda-benda mustika!"
"Terima kasih. K eter
angan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin kami bisa menemukan
kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun mengucapkan terima
kasih berulang kali.
"Bapak Segala Tahu,
berapa kami harus membayarmu?1 tiba-tiba Lestari bertanya. Si orang tua tertawa
mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu
menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak perlu
menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kaliat tamatkan
riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia sepertimereka
harus dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini menjadi tenang tenteram . .
. "
"Budi baik dan
pertolonganmu tak akan kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalam-dalam.
Si Segala Tahu angkat bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu.
Kelihatannya dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada
jauh di ujung bukit. Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari
Sepasang Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga.
"Tak usah kawatir. Aku
tahu di mana sarangmereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi! jawab
Wiro Sableng.
***
ENAM BELAS
DUA BELAS hari mengadakan
perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke Banyuwangi, kota paling ujung
di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi tengah menyambut dengan upacara
besar-besaran kedatangan Adipati Surabaya yang berkunjung untuk meresmikan
pengangkatan Adipati pembantu di Banyuwangi.
Adipati Surabaya datang dengan
sebuah kapal layar. Karenanya suasana di pelabuhan Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut
keterangan yangmereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan, Sepasang
Kobra Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai. Rupanya kedua orang
ini bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya.Mungkin bukan sekedar
menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau ada benda berharga yang bisa
disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai
sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera dapat mengenali dua orang yang
mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka angker dan mengenakan pakaian
hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di tengah ruangan besar. Agaknya
para pengunjung yang lainmerasa segan atau mungkin takut duduk dekat-dekatmeja
mereka.
Nyoka Gandring dan Nyoka
Putubayan serta merta melayangkan pandangannya pada dara berbajumerah yang
barusan masuk bersama dua pemuda. Nyoka Putubayan menyentuh lutut kakaknya
seraya berkata perlahan. "Heh, lihat, gadis cantik berbaju merah itu
seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal dia?"
“Eh, betul. Siapa bidadari ini
adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila padanya!" sahut Nyonya
Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua
orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami berhadapan dengan Sepasang
Kobra Dewata?"
Baik Nyonya Gandring maupun
Putubayan saat itu hanya memandang ke pada Lestari. Tanpa mengalihkan
pandangannya Putubayan bertanya: "Kalian siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring
menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis jelita ini?"
Wiro tertawa lebar.
"Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya..."
"Ah, katakan cepat
syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah saja!" yang
menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak yang kau curi
dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
"Ah!" Sepasang Kobra
Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku tidak begitu sukamembicarakan
persoalan itu. Aku lebih suka kalian pergi dari sini tapi tinggalkan si cantik
ini!"
"Kawan-kawan ... . "
kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga dan kedipkan matanya.
"Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada dua manusia botak
ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa mereka?!"
"Setuju!" jawab
Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera keluarkan suling perak yang menjadi
senjatanya. Melihat benda ini Nyoka Putubayan menyeringai. "Hari ini
rejeki kita besar sekali. Dapat gadis cantik dan tambahan senjata baru . . .
!"
"Manusia ular jelek . . .
Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk kundai itu
atau nyawa kalian!"
"Bangsat kurang
ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa berdiri dari kursinya dia
pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin menerpa dahsyat.
Tiga muda-mudi itu cepat
menyingkir. Namun seorang tamu yang duduk jauh di belakang merekamenjadi
korban. Tubuhnya mencelat dengan kepala kelihatan membiru!
"Kalian memang minta
racun!" teriak murid Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia balikkan meja
besar di hadapan kedua brahmana sesat itu. Sertamerta kacaulah rumah makan
besar itu. Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur walau
Wiro dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan
Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di
pelabuhan begitu mengetahui perkelahian di rumah makan itu serta merta datang
berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan terhadap Adipati
Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan terkena
pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang Kobra Dewata
menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua jurus paling banyak mereka pasti akan
merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan Lestari. Namun dua saudara kembar
ini jadi terkejut ketika setelah tujuh jurus tak satu serangan merekapun yang
berhasil. Malah tekanan lawan mulai dirasakan dan ini membuat keduanya jadi
penasaran.
Nyoka Putubayan keluarkan jurus-jurus
simpanannya lebih dulu. Didahului bentakan keras dia menyerbu dengan jurus
kobra sakti mengamuk. Sejak jurus ke delapan itu hamburan serangannya membuat
gerakan Lestari dan Panji Kenanga seperti terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring
yang berkelahimenghadapi Wiro Sableng yang mulai terdesak hebat juga sejak
tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya. Beberapa kali dia
melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun Wiro yang sudah
mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga tak satu serangan
lawanpunmampu mencelakainya. Melirik ke kiri Nyoka Gandring melihat adiknya
mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan suling Lestari telah berhasil
menyerempet kepalanya. Hatinya jadi was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan
yang mereka hadapi bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh
silat tingkat tinggi. Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring
menjadi lengah. Akibatnya satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Bu k!
Nyoka Gandring terpental dan
terguling di atasmeja di belakangnya. Sambil menahan sakit dia kirimkan
tendangan untuk mencegah lawan mendekat. Tenggorokannya terasa panas
tanda-tanda darah yang hendak mengalir keluar. Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka
Putubayan adalah dua tokoh silat yang hanya mengandalkan kehebatan ilmu silat
tangan kosong termasuk tenaga dalam dan pukulan-pukulan sakti. Namun setelah
habis-habisan menghantam tak satu pun serangan mereka mengenai sasaran malah
kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk, maka keduanya benar-benar
jadimarah. Selama ini memang tak satu lawanpun dapat bertahan lama menghadapi
salah satu dari mereka, apalagi jika turun berdua sekaligus. Hari ini mereka
ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet gondrong!"
maki Nyoka Gandring.
"Jika kau inginkan benda
ini ambillah! " terdengar seruan Nyoka Gandring.
Satu sinar perak menyilaukan
disertai semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak mencari
maut!
Wiro sudah tahu kehebatan
benda rnilik gurunya itu cepat menyingkir. Dia tak mau menunggu lebih lama.
Senjata itu hanya bisa dihadapi oleh senjata gurunya yang lain yakni Kapak Naga
Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan senjata ini.
Ketika Kapak Maut Naga Geni
212 dikiblatkan ke depan terdengar suaraseperti seribu tawon mengamuk. Orang
banyak yang menonton tambah ketakutan dan tutup kuping mereka. Sinar putih
menggelombang menyongsong hantaman sinar perak. Rumah makan besar itu seperti
diguncang gempa.
Dentuman dahsyat meruntuhkan
sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari mulut Nyoka Gandring lenyap begitu
tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan kanannya yang terbabat putus oleh
Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai
masih tergenggam dalam kutungan tangan itu. Wiro segera ambil senjata mustika
itu. Setelah memperhatikan sejenak dengan perasaan getir benda lambang
perjodohannya itu Wiro lalu masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila
ketika menyaksikan kematian kakaknya. Diatinggalkan Lestari dan Panji Kenanga,
langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun mengalihkan serangan kepada Pendekar 212
justru hanya mempercepat kematiannya.
Setelah membuat gerakan
mengelak dua kali berturut-turut,Wiro yang masih memegang Kapak Naga Geni 212
segera hantamkan senjata itu ke kepala Nyoka Putubayan. Tak ada rasa belas
kasihan lagi di hati pemuda ini. Baginya Nyoka Putubayan dan Nyoka Gandring
disamping Singgar Manik adalah manusia-manusia penimbul bencana hingga tali
perjodohannya dengan Lestari berantakan begitu saja. Kalau tusukkundai itu
tidak mereka curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya, yang
akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga! Nyoka
Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah makan itu menjadi gempar.
Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara keramaian itu Panji berbisik.
“Lestari, aku tak melihat Wiro lagi. Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan
memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih dulu. Kita cari ke
tempat penambatan kuda . . . I"
Lestari dan Panji Kenanga
segera meninggalkan rumah makan. Orang banyakmenyingkir memberi jalan. Di
tempat Panji menambatkan Angin Salju juga tak kelihatan orang yang mereka cari.
Ada firasat tak enak dalam hati Panji dan dikatakannya terus terang pada
Lestari.
"Jangan-jangan Wiro sudah
pergi. Sengaja meninggalkan kita. . . "
"Panji, ada kertas di
leher kudamu . . . " Lestari berkata sambil menunjuk pada secarik kertas
yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju. Panji Kenanga
segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata sepucuk surat yang
kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun ikatan jodoh
tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih sayang murni yang kalian
tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian berbahagia dalam menghadapi
masa depan. Cinta murni lebih agung dan suci dari ikatan jodoh yang diatur:
Karenanya tusuk kundai perak terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada
guruku. Selamat tinggal. Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan
surat itu pada Lestari. Sang dara tak berani menerima surat itu. Kedua matanya
berkaca-kaca. Untuk beberapa lamanya tak satu pun diantara mereka bisa bicara.
Di pelabuhan kapal layar Adipati Surabaya telah merapat. Tapi orang banyak
masih saja berkerumun di dalam dan di luar rumah makan. :
Akhirnya Panji memegang lengan
Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya manusia berjiwa paling
besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus ke danau
Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang telah terjadi . . .
"
Lestari hanya mengangguk
perlahan lalu naik kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat
kemudian keduanya lenyap di tikungan jalan,meninggalkan kepulan debu yang
diterjang kaki kuda.
T A M A T