-------------------------------
----------------------------
003 Dendam Orang Orang Sakti
1
LUKA besar di bekas kutungan
tangan kanannya itu membuat tenaganya semakin lama semakin mengendur. Kalau
tadi dengan segala tenaga yang ada macam manusia dikejar setan dia melarikan
diri dari pekuburan Djatiwalu itu, maka kini jangankan lari, berjalan
melangkahpun dia sudah tidak sanggup. Tubuhnya terhuyung-huyung. Nafasnya
megapmegap seperti mau sekarat!
Saat itu dia berada di tepi
sebuah jurang. Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan lagi ke mana tujuannya
sehingga di mana dia berada saat itu adalah satu tempat yang jarang didatangi
manuisia. Sunyi senyap mencengkam menegakkan bulu roma. Matanya yang
berkunang-kunang, pemandangannya yang semakin mengelam dan daya tenaga yang
sudah habis sampai ke batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi jatuh terperosok
ke dalam jurang ketika salah satu kakinya terserandung di bebatuan yang
menonjol di tepi jurang.
Masih untun jurang itu bukanlah
jurang batu, tapi jurang yang penuh ditumbuhi semak belukar. Tubuhnya
menggelinding ke bawah membentur semak belukar mengait ranting-ranting
pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan main, apalagi bekas luka kutungan di
tangan kanannya. Ketika dia terhampar di dasar jurang, dia tiada sadarkan diri
lagi!
Bila dia sadarkan diri maka
saat itu matahari sudah hamper tenggelam. Keadaan di dasar jurang sunyi itu
gelap dan dingin karena pantulan sinar matahari yang terakhir tidak sampai
menyaputi dasar jurang di mana dia berada. Dia berpikir-pikir di mana dia
terbujur saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang amat sangat pada bahu
kanannya yang bunting dan masih melelehkan darah itu, membuat dia ingat segala
sesuatunya apa yang telah terjadi.
Dia – Kalingundil – beberapa
jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda sakti bernama Wiro
Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa melarikan diri tapi juga
terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah dibetot puntung oleh lawannya!
Dan mengingat ini, diantara
rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula rasa dendam kesumat yang amat
sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat meneruskan hidupnya, meski cuma
bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus dapat membalaskan dendam
kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah membuat dia cacat
seumur hidup itu.
Ketika kedua matanya melihat
bintang-bintang yang bermunculan di langit di atasnya barulah disadarinya bahwa
hari sudah menjadi malam. Kalingundil tahu bahwa semalammalaman itu dia tak
akan bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya kepalanya ke kanan. Hanya
semak belukar dan pohon-pohon berdaun lebar yang dilihatnya dalam kegelapan.
Kemudian dipalingkannya pula kepalanya ke samping kiri. Mula-mula juga hanya
kegelapan yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar kemudian diantara semak
belukar dalam kegelapan itu matanya masih dapat melihat satu legukan batu di
dasar jurang. Jaraknya dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira sepuluh
tombak. Dari pada terbujur di tempat terbuka begitu, Kalingundil berpikir lebih
baik pindah tempat ke cegukan batu itu.
Tapi dengan keadaan dan
kekuatan badan seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil untuk berpindah tempat.
Jangankan untuk berdiri, merangkakpun tidak bisa. Jangankan utnuk beringsut, bergerak
sedikitpun sekujur tubuhnya terasa sakit bukan main, tulang-tulang anggotanya
serasa bertanggalan! Namun dengan keyakinan penuh untuk bisa menyelamatkan
diri, dengan mengumpulkan segala sisa tenaga yang masih ada, seingsut demi
seingsut akhirnya berhasil juga Kalingundil mencapai legukan batu itu. Ternyata
legukan ini adalah mulut sebuah goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai
mulut goa itu, untuk kedua kalinya Kalingundil jatuh pingsan kembali.
Kalingundil sadarkan diri pada
keesokan paginya. Beberapa jam sesudah matahari terbit. Anehnya tubuhnya terasa
lebih mendingan dibandingkan dengan keadaan hari kemarin. Kalingundil tak habis
pikir, kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika dia coba menggerakkan badan
dirasakannya kekuatannya yang malam tadi sudah habis sampai ke batas terakhir
kini mulai berangsur kembali. Dia duduk bersandar ke dinding goa. Pada saat
itulah dirasakannya bahwa dari dalam goa keluar semacam hawa yang lembab
ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah agaknya yang telah mempengaruhi keadaan diri
Kalingundil yang telah memberikan kepulihan kekuatan kepadanya.
Kemudian sewaktu dia memandang
meneliti ke dinding goa di sekelilingnya, samarsamar, tertutup oleh debu yang
menebal, tergugus oleh ketuaan zaman, Kalingundil melihat banyak sekali
tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan ini kacau balau tak teratur, tapi bila dibaca
dan disambung satu persatu, akan merupakan rentetan kalimat yang memberi
pengertian pelajaran ilmu silat! Semakin lebar Kalingundil membuka kedua
matanya. Apa yang dibaca olehnya itu memang sulit dimengerti mula-mula, ini
lain tidak karena tulisan itu menerangkan tentang pelajaran silat yang memang
mempunyai dasar-dasar aneh serta tak diketahui dari cabang aliran mana. Semakin
naik matahari, semakin baikan terasa oleh Kalingundil keadaan badannya.
Dengan mebungkuk-bungkuk dan
tertatih-tatih, setelah habis dibacanya sekalian apa yang tertulis dibagian goa
sebelah luar itu maka Kalingundil memasuki goa lebih jauh. Semakin ke dalam
semakin terasa hawa lembab yang hangat-hangat ngilu-ngilu kuku tadi. Menghirup
udara itu Kalingundil merasakan tubuhnya segar, dadanya lega. Dan semakin ke
dalam semakin banyak banyak dilihat Kalingundil tulisan-tulisan. Apa yang
tertulis kini adalah mengenai pelajaran ilmu pedang yang aneh dan tak pernah
didengar oleh Kalingundil sebelumnya. Tapi sayang sebagian besar
tulisan-tulisan yang bersifat pelajaran itu sudah tidak kelihatan atau kabur
tak dapat dibaca lagi.
Hawa hangat ngilu-ngilu kuku
semakin santar terasa. Kalingundil terus juga masuk ke dalam goa itu sampai
akhirnya langkahnya terhenti pada satu pemandangan yang hampir tak dapat
dipercayainya.
Goa itu berakhir pada sebuah
telaga kecil. Telaga ini lebih tepat disebut kolam karena tepinya dikelilingi
oleh batu-batu. Air telaga berwarna biru gelap dan mengepulkan asap kebiruan.
Asap inilah yang berhawa hangat ngilu-ngilu kuku dam mempunyai kekuatan ajaib
yang menyegarkan tubuh Kalingundil! Di tengah kolam itu terdapat sebuah batu
licin yang juga berwarna biru dan diatas batu ini terletak sebuah pedang yang
telah buntung, yang panjangnya cuma dua jengkal. Seperti air kolam dan batu
licin, senjata ini juga berwarna dan memancarkan sinar biru. Mengapa pedang itu
tinggal buntung sedemikian rupa, kemana bagian yang lancip lainnya? Dan mengapa
sampai benda itu berada di situ?
Berdiri beberapa lama di tepi
kolam itu Kalingundil merasakan badannya semakin segar. Sedang ketika diteliti
luka di bahu kanannya yang buntung itu, luka itupun kelihatannya lebih sembuhan
dari saat-saat sebelumnya.
“Air kolam ini mengandung
khasiat yang hebat..,” pikir Kalingundil. Dia membungkuk untuk menyiduknya dan
sekaligus untuk melihat lebih dekat pedang buntung yang di atas batu. Namun
setengah membungkuk, gerakannya terhenti. Di dinding goa di sebelah belakang
kolam, di balik kepulan asap samar-samar terlihat barisan huruf-huruf yang
sudah agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat dikira-kirakan oleh Kalingundil.
Di situ tertulis:GOA INI “GOA
SILUMAN BIRU”
KOLAM INI “KOLAM SILUMAN
BIRU,”
PEDANG DI ATAS BATU “PEDANG
SILUMAN BIRU,”
CUMA SAYANG KINI HANYA TINGGAL
HULU DAN BUNTUNG,
SIAPA BISA MENDAPATKAN UJUNG
PEDANG YANG HILANG DAN MENYAMBUNGNYA,
SIAPA YANG MEMPELAJARI ILMU
PEDANG DALAM GOA INI, AKAN MENJADI “RAJA PEDANG” SEUMUR HIDUPNYA.
Membaca rangkaian kalimat itu,
Kalingundil kemudian memandang berkeliling. Apaapa yang telah dibacanya tadi
sejak dari mulut goa sampai ke tepi kolam yaitu tulisan-tulisan di dinding goa
semuanya memang merupakan suatu ilmu silat dan ilmu pedang yang aneh. Segala
sesuatu yang ditemuinya di dalam goa itu memberikan kenyataan kepada
Kalingundil bahwa dulunya goa itu adalah tempat kediaman seorang sakti yang
bersenjatakan pedang bernama “Pedang Siluman Biru” itu. Tapi kenapa pedang itu
kini hanya tinggal begitu rupa, dan ke mana buntungnya yang lain?
Untuk keda kalinya Kalingundil
membungkuk. Dengan tangan kirinya dijangkaunya pedang Siluman Biru. Pada detik
jari-jari tangannya memegang hulu senjata itu maka aneh sekali mengalirlah
suatu aliran yang membuat kekuatan Kalingundil dan keadaan tubuhnya benar-benar
pulih seperti sediakala! Bahkan bukan itu saja, kini tubuhnya juga terasa lebih
enteng. Dan ketika dicobanya menyiduk air kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan
dan keanehan-keanehan baru yang dialaminya!
Kalingundil gembira sekali.
Tanpa menunggu lebih lama dia
berlutut di tepi kolam dan berkata: “Pemilik Goa Siluman Biru, dimanapun kau
berada, siapapun kau adanya, aku Kalingundil mengucapkan terima kasih karena
apa yang ada dalam goamu ini telah menyembuhkan aku dari sakit dan luka yang
aku alami. Hari ini aku – Kalingundil – mengharapkan segala kerelaanmu untuk
sudi mengangkat kau sebagai guru. Apa-apa yang tertulis di goamu ini akan
kupelajari dengan tekun…”
Demikianlah mulai hari itu
dengan seorang diri dia menekuni setiap apa yang tertulis di dinding goa. Ilmu
silat dan ilmu pedang yang coba dipelajarinya seorang diri itu yang hilang dan
tak terbaca sehingga dari keseluruhan Ilmu Pedang Siluman yang dipelajari
Kalingundil, hanya sepertiganya saja yang berhasil didapat dan difahami oleh
Kalingundil. Namun demikian itupun sudah luar biasa sekali. Sehingga empat
bulan kemudian ketika dia keluar dari Goa Siluman itu, maka Kalingundil yang
kini sudah berobah seratus delapan puluh derajat dalam ilmu persilatan! Dan ini
menambah keyakinan Kalingundil bahwa dia akan berhasil menuntutkan sakit
hatinya terhadap pendekar 212, Wiro Sableng!
–== 0O0 == —
2
MENCARI seorang musuh di
daratan pulau Jawa yang luas bukan suatu pekerjaan mudah. Ratusan kilometer
harus dijalani, puluhan bukit harus didaki dan dituruni, belasan sungai musti
diarungi, diseberangi belasan rimba belantara harus dimasuki dan diantara semua
itu puluhan halangan harus dihadapi. Halangan atau bahaya yang ditimbulkan alam
sendiri serta yang ditimbulkan oleh manusia-manusia yang hidup dalam itu,
terutama sekali dalam rimba dunia persilatan! Mungkin berbulan-bulan, mungkin
pula bertahun-tahun baru musuh besar itu berhasil dicari. Tapi sebaliknya
mungkin pula itu tak pernah berhasil, mungkin si pencari musuh besar itu akan
tertimpa bahaya lebih dahulu dalam perjalanan dan meregang nyawa sebelum dendam
kesumat terbalaskan.
Kalingundil tahu semua itu.
Tapi dia tidak khawatir. Dengan ilmu baru yang kini dimilikinya, meski tidak
sempurna, dia yakin akan sanggup untuk menghadapi segala sesuatu dalam
perjalanannya mencari Wiro Sableng pendekar 212, musuh besar yang telah membuat
tangannya buntung, yang telah membuat dia cacat seumur hidup! Disamping itu
Kalingundil memang sudah punya rencana tersendiri untuk menjelaskan persoalan
dendamnya dengan pendekar 212. Dia yakin akan dapat menemui pemuda sakti itu
dan dia yakin pula bahwa rencana besarnya untuk menuntut balas akan berhasil!
Pertama sekali ditemuinya
Mahesa Birawa atau Suranyali di Pajajaran karena terakhir sekali diketahuinya bekas
pemimpin dan guru silatnya itu tengah berada di kerajaan itu. Namun sampai di
sana Kalingundil kecewa besar. Bahkan juga dendam yang ada di dalam hatinya
jadi tiada terkirakan bahwa Mahesa Birawa telah menemui ajalnya, mati ditangan
Wiro Sableng, sewaktu terjadi pemberontakan besar-besaran tempo hari.
Dengan segala dendam kesumat
yang semakin dalam berurat berakarnya itu Kalingundil meninggalkan Pajajaran.
Diseberanginya sungai Kendang, diteruskannya perjalanan ke bukit Siharuharu
yang terletak tak berapa jauh dari kaki gunung.
Pada masa itu di puncak bukit
Siharuharu terdapat sebuah perguruan silat yang bernama Perguruan Teratai
Putih. Perguruan ini baru tiga tahun berdiri tapi sudah mendapat nama tenar di
di sapanjang daerah perbatasan Jawa barat dan Jawa Timur. Bukan saja karena
Perguruan Teratai Putih ini didirikan untuk menolong kaum yang lemah dan
menghancurkan golongan hitam penimbul segala kebejatan dan malapetaka serta
kemaksiatan tapi juga adalah karena perguruan silat ini dipimpin oleh seorang
tokoh yang sejak sepuluh tahun belakangan ini mendapat nama tenar dalam dunia
persilatan. Tokoh ini ialah Wirasokananta, seorang tokoh silat yang berumur
lebih dari setengah abad.
Pada saat itu Wirasokananta
berada di puncak Gunung Galunggung tengah bertapa memperdalam ilmu bathin dan
dan mempersuci diri dari segala kekhilafan-kekhilafan dan dosa-dosa yang pernah
dibuatnya selama hidupnya. Pimpinan perguruan diserahkannya pada murid tertua,
terpandai dan yang paling dipercayainya yaitu Gagak Kumara.
Perguruan Teratai Putih saat
itu kelihatan diselimuti suasana ketenangan. Di dalam rumah besar murid-murid
perguruan yang berjumlah delapan orang, enam laki-laki dan dua perempuan duduk
bersila dengan khidmat mendengarkan apa uyang tengah dibacakan oleh Gagak
Kumara yaitu sebuah kitab yang ditulis oleh guru mereka, mengenai sastra hidup,
kerohanian, kebathinan dan keduniaan.
Suara Gagak Kumara terang dan
jelas, sedap didengarnya sehinga setiap nasihat dan pelajaran yang dibacakannya
dapat segera dimengerti oleh saudara-saudara seperguruannya yang tujuh orang
itu.
“Dalam hidup ini…,” membaca
Gagak Kumara, “setiap manusia akan dan musti melalui tiga tahap kehidupan.
Pertama saat atau dimana dia dilahirkan dari rahim ibunya ke atas dunia ini.
Kedua tahap selama umur kehidupannya di dunia dan ketiga tahap dia meninggalkan
dunia ini, kembali pada asalnya atau mati….”.
Samapi di situ pembacaan Gagak
Kumara maka di luar rumah besar terdengar suara tertawa bergelak yang disusul
dengan ucapan: “Tepat… tepat… sekali! Lahir, hidup dan mati! Dibrojotkan ke
duni malang melintang di dunia ini, dan akhirnya mampus! Ha… ha… ha….”.
Tentu saja suara yang lantang
mengumandang berisi tenaga dalam yang tinggi dan yang bernada menghina ini
mengejutkan semua anak murid Perguruan Teratai Putih, termasuk Gagak Kumara
sendiri! Semuanya sama memalingkan kepala ke pintu pada saat mana seorang
laki-laki berpakaian lusuh, kotor, bermuka angker dan tangna kanannya buntung
berdiri diambang pintu.
“Sasudara, kau siapa…?” Tanya
Gagak Kumara sesudah meneliti sebentar diri tamu tak dikenal itu. Dia tetap
duduk tenang di tempatnya dengan kitab masih terus di atas pangkuannya.
“Tak perlu tanya dulu!,”
menyahuti laki-laki diambang pintu seraya menyeringai buruk. “Bicaraku belum
habis…!”
Beberapa orang diantara
murid-murid Perguruan Teratai Putih kelihatan menjadi penasaran dan menggeser
duduk mereka. Namun dengan membrei isyarat diam-diam Gagak Kumara memberi
kisikan agar jangan bertindak dulu.
Dan orang yang diambang pintu
meneruskan ucapannya. Terlebih dahulu dengan jari telunjuk tangan kirinya
ditunjukkannya kitab yang ada dipangkuan Gagak Kumara. “Apa yang tertulis di
sana, apa yang kau baca tadi betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi apa kalian
di sini tahu bahwa segala apa yang tertulis dan apa yang dibaca tadi itu hari
ini akan kalian alami sendiri…?”
“Apa maksudmu saudara?,” tanya
Gagak Kumara. Masih tetap dengan tenang dan tidak beringasan.
Si tangan buntung tertawa
mengekeh. “Percuma saja kalau kalian memiliki kitab itu, percuma saja kalian
memilikinya kalau kalian tidak tahu apa mkasud kata-kataku! Kalian sudah
dilahirkan, kalian sudah pernah hidup malang melintang di dunia ini, tapi
kalian masih belum pernah merasakan kematian, belum pernah mencoba mampus! Nah…
hari ini, untuk membuktikan kebenaran isi kitab butut itu, aku –Kalingundil –
akan bersedia menolong kalian untuk mengetahui bagaimana rasanya mampus itu!
Ha… ha… ha…!”
Maka kini berdirilah Gagak
Kumara dari duduknya. Kitab yang dipangkuannya dilipat dan diserahkan pada
salah seorang saudara seperguruannya.
“Saudara,” kata Gagak Kumara
pula. “Di dunia ini memang banyak orang-orang yang berotak miring. Aku khawatir
kau adalah salah seorang dari mereka dan kesasar datang ke sini!”
Kekehan Kalingundil terhenti.
Mukanya membesi. Rahang-rahangnya bergemeletuk. Tangan kirinya bergerak ke
pinggang dan sekejapan mata kemudian tangan itu telah memegang sebilah pedang
buntung yang memancarkan sinar biru. Pedang Siluman Biru!
Sekali lihat saja, meski
senjata itu buntung, namun murid-murid Perguruan Teratai Putih sama memaklumi
bahwa pedang yang ditangan manusia tak dikenal dan mengaku bernama Kalingundil
itu adalah sejenis senjata sakti, sekalipun puntung tapi tetap berbahaya!
Tiba-tiba Kalingundil
berteriak nyaring. Tubuhnya melompat ke muka, pedang buntung bergerak, sinar
biru membabat ke samping dan kini tidak sungkan-sungkan lagi melepaskan pukulan
tangan kosong yang mengandung tenaga dalam yang tinggi. Namun betapa
terkejutnya Gagak Kumara ketika sambaran pedang buntung di tangan lawannya
membuat angin pukulan tenaga dalamnya terpental ke samping!
“Saudara-saudara!,” seru salah
seorang anak murid Perguruan Teratai Putih. “Manusia kesasar macam begini tak
perlu dihadapi satu demi satu. Mari kita tumpas beramai-ramai!”
“Semuanya tetap ditempat!,”
teriak Gagak Kumara. “Walau bagaimanapun kita harus jaga naman Perguruan dan
jangan mencemarkan nama guru! Pegang teguh sifat ksatria dunia per…”. Kata-kata
Gagak Kumara tak dapat diteruskan karena saat itu Kalingundil kembali datang
menyerang dalam satu jurus yang aneh. Bagaimanapun Gagak Kumara yang sudah
berilmu tinggi ini mengelak namun tetap saja ujung yang buntung dari pedang
biru di tangan lawan berhasil membabat pakaiannya dan menggores kulit dadanya!
Pada detik goresan itu maka Gagak Kumara merasakan badannya menjadi panas.
Kalingundil terkekeh.
“Pedang buntung ini Pedang
Siluman Biru… mengandung racun yang jahat. Dalam tiga jam nyawamu akan
melayang! Ha… ha… ha…!”.
Terkejutlah Gagak Kumara.
Demikian juga saudara-saudara seperguruannya yang lain. Gagak Kumara cabut
sebilah keris dari pingganngnya. Saudara-saudara seperguruannya yang lainpun
segera cabut keris pula dan kali ini Gagak Kumara tidak berkata apa-apa lagi.
Maka delapan anak murid Perguruan Teratai Putih dengan sebilah keris di tangan
masingmasing mengurung Kalingundil yang bersenjatakan sebilah pedang buntung
sakti itu!
Kalingundil hanya tertawa
buruk melihat hal ini.
“Sebaiknya kalian bunuh diri
saja dari pada mampus di ujung patahan Pedang Siluman-ku ini!”
“Pedang Siluman…,” desis
anak-anak murid Perguruan Teratai Putih dalam hati. Mereka pernah mendengar
tentang kehebatan pedang ini dari guru mereka. Tapi dikabarkan sejak beberapa
tahun yang silam pedang itu lenyap dan kini muncul dalam keadaan buntung, tapi
benar-benar tidak mempengaruhi kehebatannya! Namun apapun senjata yang di
tangan lawan saat itu anak-anak murid Wirasokananta tidak mempunyai rasa gentar
atau kecut sedikitpun!
Kedelapannya menyerbu ke muka.
Delapan keris berkiblat kearah delapan bagian dari tubuh Kalingundil! Yang
diserang menyeringai lalu membentak keras. Tubuhnya berkelebat, sinar biru dari
pedangnya menderu seputar badan! Tiga jeritan terdengar hampir bersamaan dan
tiga saudara seperguruan Gagak Kumara roboh mandi darah, nyawanya putus di situ
juga!
Gagak Kumara kertakkan
geraham. Darahnya mendidih oleh amarah. Namun goresan luka telah membuat
tubuhnya menjadi kehilangan tenaga. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam yang ada
di tubuhnya. Dan mengamuklah gagak Kumara dengan segala kehebatannya. Namun
permainan pedang lawan benar-benar hebat, sulit dan sukar diduga
jurus-jurusnya. Satu jurus dimuka, dua orang saudara seperguruannya lagi roboh
tanpa nyawa. Melihat ini Gagak Kumara segera berseru pada dua orang saudara
seperguruannya yang perempuan.
“Wurnimulan, Nyiratih… kalian
segeralah tinggalkan tempat ini! Cepat lari selamatkan diri…!”
Tapi kedua gadis itu meski
betina adalah betina yang berhati jantan! Wurnimulan menyahuti: “Hidup mati
kita bersama kakak Gagak Kumara!.” Gadis ini itu berkelebat cepat dan kirimkan
satu tusukan cepat ke leher lawan.
Kalingundil tertawa.
Dielakkannya tusukan keris itu dengan miringkan badan dan di saat itu pula kaki
kirinya bergerak.
“Bluk!”
Saudara seperguruan Gagak
Kumara laki-laki yang terakhir terpelanting ke dinding. Tulang dadanya melesak
ke dalam dihantam tendangan Kalingundil. Jantung dan paruparunya pecah!
Nyawanya lepas!
Gagak Kumara sendiri saat itu
sudah kehabisan tenaga. Luka di dadanya dan racun pedang siluman sangat
mempengaruhi keadaan tubuhnya ke segenap pembuluh darah! Dia tahu sebentar lagi
dia pasti akan menyusul saudara-saudara seperguruannya yang lain. Karena itu
sekali lagi dia berseru memberi ingat: “Wurnimulan! Nyiratih! Larilah sebelum
terlambat!”
“Gadis-gadis caritik ini tak
akan bisa pergi jauh! Nasib kematian kalian sudah ada di ujung Pedang
Siluman-ku! Tapi sebelum mati keduanya akan kuhadiahkan dunia terlebih dahulu!”
Kalingundil tertawa mengekeh!
Gagak Kumara yang tahu maksud dan arti kata-kata lawannya itu untuk kesekian
kalinya berteriak memberi ingat namun kedua gadis itu tak mau ambil perduli
malahan menyerang dengan hebat! Kalingundil mengelak gesit beberapa kali.
Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa, dengan mempergunakan hulu belakang
senjata di tangan kirinya laki-laki itu menotok Wurnimulan dan Nyiratih!
Keduanya kini kaku tak bergerak. Tahu malapetaka apa yang bakal menimpa kedua
saudara seperguruannya itu, dengan sisa tenaga yang ada, dengan segala
kehebatan yang masih dimilikinya Gagak Kumara menyerbu Kalingundil dari
samping.
Yang diserang sambil putar
badan berkata: “Ajalmu sudah di depan mata, maut sudah di depan hidung! Baiknya
bunuh diri saja…!”
“Terima kerisku lebih dulu,
manusia durjana! Kami tidak ada permusuhan dengan kau. Kenapa kekejamanmu lewat
takaran macam begini…?!”
“Akh… sudahlah! Biar mulutmu
kututup saja saat ini!,” kata Kalingundil pula.
Pedang Siluman Biru membabat
ke perut Gagak Kumara, dialakkan dengan melompat oleh murid Wirasokananta itu
namun begitu melompat, senjata lawan kembali memburu lebih cepat, kini menderu
ke muka Gagak Kumara, tak sanggup lagi dikelit oleh laki-laki ini!
–== 0O0 == —
3
USAHA terakhir yang dilakukan
Gagak Kumara untuk menyelamatkan dirinya ialah melintangkan keris dimukanya.
Pedang Siluman Biru buntung terus membabat, senjata masing-masing beradu keras,
bunga api memercik dan keris Gagak Kumara patah dua sedang senjata lawan terus
membabat mukanya!
Murid tertua dari Perguruan
Teratai Putih itu terhuyung ke belakang. Mukanya banjir oleh darah dan mengerikan
sekali. Perlahan-lahan lututnya tertekuk dan pinggangnya meliuk. Gagak Kumara
terduduk di lantai, sebelum tergelimpang dan menghembuskan nafas penghabisan,
buntungan keris yang masih tergenggam di tangannya dengan segala tenaga yang
ada dilemparkannya ke arah Kalingundil. Tapi serangan yang hampir tiada artinya
ini dengan mudah dielakkan oleh Kalingundil.
Kalingundil tertawa mengekeh.
Noda darah yang membasahai Pedang Siluman Biru yang buntung itu disekakannya
kembali ke balik pinggang. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh. Sepasang
matanya kini berkilat-kilat memandangi tubuh dan paras Wurnimulan serta
Nyiratih yang saat itu berdiri kaku tak berdaya karena ditotok tadi.
“He… he… he… kalian berdua tak
perlu mati buru-buru….,” kata Kalingundil. Ujung lidahnya dijulurkannya untuk
membasahi bibirnya. Dia melangkah mendekati Wurnimulan. Tangan kirinya bergerak
dan “bret!” Robeklah baju perguruan yang dipakai oleh gadis itu. Dadanya
terbuka lebar, putih dan mulus padat. Kalingundil menjadi terbakar tubuhnya
oleh nafsu yang menggelegak. Tangan kirinya bergerak lagi…. bergerak lagi…
bergerak lagi….
SEMENTARA itu di puncak Gunung
Galunggung…
Dalam tapanya yang sudah
berjalan sembilan belas hari itu tiba-tiba saja Wirasokananta tak dapat
meneruskan memusatkan segenap jalan pikirannya. Satu demi satu panca inderanya
mulai terganggu. Walau bagaimanapun usahanya untuk memusatkan pikiran dan
tenaga bathin serta menutup segenap pancainderanya namun sia-sia saja. Semuanya
membuyar kembali. Semakin dipaksanya semakin sulit. Mau tak mau akhirnya tokoh
silat yang sudah setengah abad ini umurnya terpaksa buka kedua matanya yang
sejak sembilan belas hari telah dipejamkannya.
Kedua matanya itu memandang
jauh ke muka, memandang ke luar pintu goa dimana dia bertapa. Segala apa yang
dilihatnya saat itu, rimba belantara, bukit sunga, matahari, langit dan awan…
semuanya masih seperti sebelumnya dia datang ke situ, tak ada perubahan. Namun
hatinya tidak enak, nalurinya membawanya ke satu hrasat yang mendebarkan dada
dan menggelisahkan dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari benda-benda
dihadapannya yang dapat dilihatnmya dari puncak Gunung Galunggung itu tiada
perubahan, namun orang tua yang sudah banyak pengalaman dan mengecap ragam
kehidupan itu tahu, bahwa dibalik semua itu pasti telah terjadi apa-apa di
dunia luar sana. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merenung,
sejurus kemudian perlahan-lahan turun dari batu hitam di mana dia sebelumnya
duduk bertapa. Batu hitam yang diduduki orang tua ini kelihatan berbekas leguk.
Ini cukup memberi pertanda bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar
Wirasokananta.
Diusapnya lagi mukanya.
“Mungkin ada apa-apa terjadi di Perguruan…,” kata Wirasokananta dalam hatinya.
Dengan mempergunakan ilmu lari “seribu angin” maka sekali berkelebat lenyaplah
sosok tubuh orang tua itu dari mulut goa dan kemudian kelihatanlah dia berlari
menuruni puncak Gunung Galunggung cepat sekali laksana angin!
Karena sangat terkejutnya, di
ambang pintu rumah besar itu sampai-sampai Wirasokananta berdiri mematung untuk
beberapa lamanya! Kemudian tubuh yang mematung ini sekujurnya jadi bergetar.
“Demi Tuhan… siapakah yang
punya pekerjaan ini?,” desisnya.”Dosa besa apakah yang telah kami perbuat
sampai menerima malapetaka begini rupa…?”
Murid-muridnya bergeletakan di
mana-mana. Semuanya tanpa nyawa dan bergelimang darah. Namun apa yang sangat
menusuk mata Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah akan keadaan diri dua
orang murid perempuannya, Wurnimulan dan Nyiratih. Keduanya menggeletak di
lantai rumah besar tanpa tertutup selembar benangpun. Keris milik masingmasing
menancap ditenggorokan dan darah mengelimangi hampir sekujur tubuh kedua gadis
itu, dari leher sampai ke dada terus ke selangkangan….
Wirasokananta pejamkan kedua
matanya, tak tahan memandangi lebih lama apa yang membentang dihadapannya itu.
Bagaimana juga.dikuatkannya hatinya, namun air mata meleleh juga dari.
sela-sela kelopak mata yang dipejamkannya itu. Tenggorokannya turun naik
menahan keluarnya suara isakan. Beberapa tahun dia telah mendidik kedelapan
muridnya itu, beberapa tahun mereka telah berjuang bersama-sama untuk
menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebathilan beberapa tahun mereka
bersama-sama telah berjuang untuk menghancurkan kemaksiatan dan memusnahkan
kebejatan serta kejahatan. Namun hari ini mereka semua menemui nasib semacam
itu. Menemui kematian dengan cara yang mengenaskan di luar dugaan
Wirasokananta.
Dalam masih pejamkm kedua
matanya itu. Ketua Perguruan Teratai Putih ini coba berpikir dan menduga-duga
siapakah kiranya manusia yang telah menjatuhkan malapetaka yang begini kejam
terhadap anak-anak muridnya, tak bisa diduganya, tak bisa dipikirkannya karena
seingatnya dia tak pernah mempunyai seorang musuhpun dalam dunia persilatan.
Wirasokananta membuka kedua
matanya kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan matanya yang masih
digenangi air mata itu pandangannya membentur buku besar buah tulisannya
sendiri yang dipantek dengan sebilah keris milik salah seorang muridnya!
Serentetan kalimat — yang ditulis dengan darah –tertera dikulit buku itu.
Kepada Ketua:
“ Perguruan Teratai Putih “
Kalau ingin menuntut balas
kematian murid-muridmu datanglah ke puncak Gunung Tangkuban perahu pada hari 13
bulan 12.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
______212______
WIRO SABLENG
Mata yang digenangi air mata
dari Wirasokananta menyipit, membuat air mata yang tadi mengambang menjadi
turun meleleh membasahi pipinya.
Ingatannya kembali pada masa
puluhan tahun yang silam: Dulu, dunia persilatan memang pemah dibikin geger
oleh seorang tokoh utama yang digjaya tiada tandingan. Tokoh yang telah merajai
dunia persilatan selama bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto Gendeng, seorang
pendekar perempuan yang bersenjatakan sebuah kapak sakti bernama Kapak Maut
Naga Geni 212. Namanya harum dikalangen tokoh-tokoh silat golongan putih karena
Pendekar 212 adalah pembasmi kejahatan dan penolong kaum lemah. Sedang bagi
golongan hitam, tokoh ini sudah barang tentu menjadi momok besar yang sangat
ditakuti!.
Pada masa kehidupan Pendekar
212 itu, di mana saat itu Wirasokananta masih belum mendirikan Perguruan
Teratai Putih, karena sama-sama dari golongan putih yang sehaluan dalam
perjuangan maka dengan sendirinya tiada permusuhan atau silang sengketa antara
dia dengan Pendekar 212.
Tapi hari ini terjadi peristiwa
berdarah itu, peristiwa maut yang diakhiri dengan meninggalkan pucuk surat
tantangan, dan surat ini justru ditandatangani dengan nama “Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212”…! Tentu saja ini satu hal yang tidak dimengerti Wirasokananta.
Kemudian apa pula arti dan hubungannya nama. “Wiro Sableng” itu ?!
Ketua Perguruan Teratai Putih
itu coba merenung.
Renungannya ini menyangkut
pada masa puluhan tahun yang silam itu. Di masa dunia persilatan geger oleh
kehebatannya Pendekar 212, tiba-tiba entah kemana perginya Pendekar 212 lenyap!
Tentang kelenyapannya ini banyak tokoh-tokoh persilatan memberikan tanggapan,
Mungkin Pendekar 212 sendiri yang sengaja lenyap mengundurkan diri dari dunia
persilatan, mungkin juga tokoh itu telah menemui kematiannya dengan cara yang
tak bisa diduga, meski tanggapan yang kemudian ini agak diselimuti rasa
keraguraguan.
Tapi kini dengan adanya
kejadian maut di Perguruan Teratai Putih itu, Wirasokananta merasa yakin bahwa
sesuatu memang telah terjadi dengan diri Eyang Sinto Gendeng atas Pendekar 212.
Dia berkesimpulan bahwa Pendekar 212 dalam satu pertempuran hebat dan tak
diketahui oleh dunia luar telah dikalahkan oleh seorang pendatang baru bernama
Wiro Sableng. Kemungkinan sekali Pendekar 212 menemui ajalnya di tangan Wiro
Sableng itu, merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang kemudiannya malang
melintang di dunia persilatan dengan memakai gelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!
Dan kelanjutan renungan Ketua
Perguruan Teratai Putih itu ialah siapa manusia Wiro Sableng ini sebenarnya.
Nama itu satu nama baru baginya. Namun meski nama baru satu hal diyakini oleh
Wirasokananta bahwa dengan itu manusia baik dia maupun Perguruan Teratai Putih,
tak pernah mempunyai permusuhan dan menanam dendam kesumat! Apa yang menjadi
latar belakang pembunuhan besar-besaran atas murid-muridnya benar-benar sangat
gelap bagi Wirasokananta. Dan bila matanya membentur lagi tulisan berdarah yang
menyatakan tantangan itu, benar-benar Ketua Perguruan Teratai Putih ini merasa
dibakar hatinya! Bulan 12 masih sembilan bulan lagi! Apakah dia akan menunggu
sampai sekian lama untuk kemudian baru bertemu muka dan membuat perhitungan
dengan Wiro Sableng? Ataukah detik itu juga ia meninggalkan Perguruan dan
mencari musuh durjana itu ?
Namun, Wirasokananta tahu,
bahwa apa yang musti dilakukannya saat itu ialah menguburkan jenazah-jenazah ke
delapan orang muridnya di halaman Perguruan.
–== 0O0 == —
4
ANTARA sungai Cidangkelok di
sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah barat, terbentanglah satu daerah
yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh hasil yang menakjubkan.
Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas. Lumbung-lumbung padi
petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua tahun. Penduduknya sendiri
hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah dan rajin bekerja.
Desa Bojongnipah adalah desa
yang paling utama pada daerah yang membentang antara sungai Cidangke!ok dan
sungai Cimanuk itu. Hasil ladang, hasil sawah dan hasil tebattebat
pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada terkirakan dan desa ini dikepalai
oleh seorang Lurah yang bijaksana dan cakap bernama Ki Lurah Kundrawana. Begitu
bijaksana dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur desa dan penduduknya
sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain yang datang untuk meminta bantuan
Kundrawana dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan penduduk , dan
pengaturan hidup agar bisa makmur serta tenteram.
Di satu malam yang mendung
gelap dan berangin kencarig dingin, Ki Lurah Kundrawana masih kelihatan
duduk-duduk di langkan rumahnya yang sederhana, bercakapcakap dengan isterinya
Warih Sinten. Di sela bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah berumur empat puluh
lima tahun itu terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. “Dingin
di luar ini, kakang…,” kata Warih Sinten sambil, merapatkan kainnya yang agak
menyingkapkan betisnya yang putih bagus.
“Ya. Tampaknya mau hujan. Kita
masuk saja…,” sahut Ki Lurah Kundrawana seraya berdiri.
Namun belum lagi kedua suami
isteri itu melangkah ke pintu mendadak sekali tiga sosok bayangan hitam
berkelebat. Tubuh mereka rata-rata tinggi kekar dan tampang-tampang mereka
buruk serta angker !
Melihat ini, Ki Lurah
Kundrawana yang tahu gelagat segera ulurkan tangan kanan ke pinggang di mana
kerisnya tersisip. Namun dengan kecepatan yang luar biasa salah seorang dari
manusia-manusia berpakaian hitam itu tahu-tahu sudah melintangkan sebatang
golok di batang leher. Ki Lurah Kundrawana! Warih Sinten yang hendak berteriak
ditekap mulutnya oleh laki-laki yang laini Ki Lurah Kundrawana maklum bahwa
ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan rampok terkutuk. Tapi ini adalah
untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok macam begini pada hal
sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman tenteram.
Namun demikian Ki Lurah
Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara.
“Kalian siapa, ada maksud apa
datang ke sini…?!”
Orang yang melintang golok di
leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai menggidikan. Giginya yang tersungging
kelihatan hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya.
“Aha… bagus kau tanya begitu.
Tapi sebelum aku berikan jawaban kau musti ingat satu hal. Jika kau banyak
tingkah dan membantah segala apa yang kami perintahkan, jangan menyesal bila
melihat anak laki-lakimu yang tidur di dalam sana ku pantek di tiang rumah!”
Terkejutlah Ki Lurah
Kundrawana. Warih Sinten sendiri menggigil. Laki-laki berpakaian hitam
menyeringai lagi.
“Sekarang tentang siapa kami.
Kau pernah dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel?”
Paras Ki Lurah Kundrawana
memucat.
“Saat ini kau berhadapan
dengan mereka, Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah pemimpin mereka !”
Ki Lurah Kundrawana tahu betul
dan sering mendengar tentang Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu. Mereka
adalah tiga rampok jahat dan ganas yang malang melintang disepanjang Kali Comel
bahkan sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh sekali dari desa Bojongnipah,
kenapa tiga manusia bejat ini bisa sampai ke sini, demikian pikir Kundrawana.
‘Tapak Luwing! Kalau kau mau
merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil dan berlalu dari sini
dengan cepat !”
Kepala Komplotan Tiga Hitam
itu tertawa. “Kami selama ini memang dikenal sebagai perampok. Tapi dengan Ki
Lurah Kundrawana, hari ini kami datang bukan untuk melakukan perampokan!”
Tentu saja ucapan ini
mengherankan Ki Lurah Kundrawana. “Jadi apa mau kalian ?!” tanyanya.
“Kami datang untuk bikin
perjanjian dengan kau !”
“Perjanjian apa…?”
“Mulai hari ini, kau musti
tunduk kepada segala apa yang kami atur dan perintahkan, mengerti!”
Ki Lurah Kundrawana menelan
ludahnya. “Aturan dan perintah macam mana maksudmu?” tanyanya. Sementara itu
diam-diam tangan kanannya kembali bergerak dan menyusup ke pinggangnya: Kepala
desa Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk melakukan perlawanan meski saat
itu golok Tapak Luwing masih menempel di batang lehernya sedang isterinya
sendiri masih disekap oleh salah seorang anak buah Tapak Luwing”.
Ki Lurah Kundrawana berhasil
memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke perut Tapak
Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini tidaklah sebodoh dan selengah
yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana. Sekali tangan kanannya bergerak
turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara beradunya senjata dan percikan
bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari Warih Sinten, yang mulutnya
disekap.
Golok Tapak Luwing membuat
mental keris di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari laki-laki ikut
terbabat putus ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana merintih kesakitan.
Darah mengucur dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu golok Tapak Luwing
telah menempel kembali pada batang lehernya !
“Agaknya kau minta batang
lehermu cepat-cepat ditebas huh?,” bentak Tapak Luwing.
“Tebaslah, aku tidak takut!
Kalian manusia, manusia lak….”
Tamparan tangan kiri Kepala
Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi Kundrawana. Pandangannya berkunang,
pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!
“Masih mau buka mulut?!” tanya
Tapak Luwing.
Ki Lurah Kundrawana menggeram
dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.
“Kau mau dengar dan turut
perintahku atau pilih mati?!”
“Aku tidak takut mati!
Isteriku juga tidak takut mati” jawab Ki Lurah pula.
Tapak Luwing menyeringai.
“Kalian memang tak takut mati. Tapi apa kalian sanggup menyaksikan anakmu yang
di dalam sana kubikin menggelinding kepalanya di lantai ini?!”
Ki Lurah Kundrawana terdiam.
Tapak Luwing kemudian
mendorong, laki-laki itu ke dalam dan memerintahkan duduk di kursi. “Demi
nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya kita bicara baikbaik Ki Lurah!
Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya kapan
pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?”
Ki Lurah Kundrawana tak
mengerti maksud pertanyaan ini tapi dia menjawab juga: “Hari Senin minggu
pertama”. “Bila pajak-pajak itu sudah terkumpul, ke mana kau serahkan?,” tanya
Tapak Luwing lagi. “Pada Adipati di Linggajati dan Adipati itu kemudian
meneruskannya ke Kotaraja”.
“Hem… begitu … Itu satu aturan
yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan yang akan datang jumlah pajak yang
harus dipungut adalah sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah…!”
Ki Lurah Kundrawana terkejut.
Dia tambah terkejut lagi
ketika Tapak Luwing menyambung kalimatnya tadi: “Pajak itu harus kau pungut tiga
kali dalam satu bulan! Mengerti…?!”
“Aturan macam mana ini ?!”
“Tak usah tanya aturan macam
mana, yang penting lakukan perintahku!,” sahut Tapak Luwing, “Kau tak bisa
berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa berurusan dengan Adipati
Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!” “Urusan dengan Adipati, itu
urusanmu, juga urusan dengan Kerajaan. Tapi jika kau berani mengadukan hal ini
kepada siapa saja, kulabrak seluruh keluargamu! Mengerti?!” “Kalian bisa
melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian tak bisa melabrak Adipati dan
Kerajaan!” “Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu, juga dengan
Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan aku harus terima
sejumlah
uang yang besarnya sepuluh
kali besar pajak yang kau pungut selama ini dari penduduk desa!”
“Keterlaluan! Keterlaluan kau
Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang sanggup membayar pajak sekian besarnya
itu !”
“Penduduk di sini kaya-kaya!
Punya sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing dan ayam serta itik!!”
“Tapi sepuluh kali, mana
mereka…”
Tapak Luwing memotong dengan
cepat: “Apa aku musti paksa kau memungut lima belas kali lebih banyak, atau dua
puluh kali?!”
“Aku tak akan lakukan
perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak sanggup memeras rakyat!”
“Perduli amat! Kalau tak
saggup memeras rakyat apa kau sanggup menyaksikan kematian anak laki-laki mu?”
Kalau Kepala Komplotan Tiga
Hitam itu sudah mengancam demikian rupa, mau tak mau Ki Lurah Kundrawana
terdiam bungkam.
Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya
pada anak buahnya yang berdiri dekat pintu. Melihat isyarat ini laki-laki itu
segera masuk ke dalam kamar tidur Ki Lurah Kundrawana. Kundrawana berdiri dari
kursinya. “Kau mau buat apa…!,” bentaknya.
Tapak Luwing mendorong
laki-laki itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke kursi. Tak lama kemudian
anak buah Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di ruangan itu kembali dengan
mendukung anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini baru berumur
empat tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak, tak tahu apa yang
terjadi atas dirinya. Kecemasan segera terbayang diparas Warih Sinten dan
Kundrawana.
“Kalian mau bikin apa dengan
anakku?!” tanya Kundrawana.
“Selama kau mengikuti
perintahku, anakmu akan selamat tak kurang suatu apa.
Dia kubawa untuk sementara
sebagai jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan persoalan ini pada siapa pun!
Kau dengar Ki Lurah Kundrawana!”
Laki-laki itu tak menjawab.
“Dengar?!” ulang Tapak Luwing
membentak. Ki Lurah Kundrawana mau tak mau terpaksa mengangguk pelahan.
“Hasil-hasil pungutan pajak
itu selambat-lambatnya harus kau serahkan kepadaku satu hari sesudah
terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua di persimpangan jalan yang menuju ke
Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu kau di sana pada tengah hari tepat!”
“Aku tak akan
mengantarkannya!” kata Ki Lurah Kundrawana. “Silahkan datang sendiri kesini!”
Tapak Luwing tertawa dingin.
“Jangan lupa keselamatan anakmu, Ki Lurah,” katanya. Kemudian Kepala Komplotan
Tiga Hitam dari. Kali Comel ini berikan isyarat dan bersama kedua anak buahnya
segera meninggalkan rumah Ki Lurah. Kundrawana.
–== 0O0 == —
5
SEMALAM-MALAMAN itu Warih
Sinten tiada hentinya menangis. Matanya sudah merah dan bengkak. Ki Lurah.
Kundrawana sendiri yang juga tak bisa tidur, melangkah mundar mandir tak
berketentuan. Hatinya gelisah dan cemas, memikirkan diri anaknya yang telah
dibawa oleh komplotan Tapak Luwing. Tapi hatinya juga gemas dan geram tiada
terperikan!
Baginya keselamatan diri dan
isterinya tidak begitu penting jika dia ingat nasib anak lakilakinya itu, anak
satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal pajak itu, benar-benar membuat Ki
Lurah Kundrawana seperti mau gila memikirkannya. Dia tak akan bisa mengadukan
persoalan ini pada Adipati di Linggajati atau kepada Raja demi keselamatan
anaknya. Satu-satunya jalan hanyalah mengikuti aturan dan perintah gila Tapak
Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap rakyat terhadapnya? Bukan saja pajak itu
sangat berat bagi mereka, tapi penduduk .pasti akan mencapnya sebagai tukang
peras dan mungkin akan timbul kemarahan di kalangan penduduk!
Kalau dia musti memungut
sepuluh kali jumlah pajak yang harus diserahkan pada Tapak Luwing, maka
ditambah dengan yang harus diserahkan pada Adipati di Linggajati akan menjadi
sebelas kali dari yang sudah-sudah! Kalau tidak ingat-ingat kepada Tuhan maulah
Lurah Bojongnipah itu ambil kerisnya dan menusuk diri dengan senjata itu! Namun
dia tahu ini bukanlah penyelesaian yang baik.
Keesokan paginya terpaksa juga
dia melalui seorang pembantunya mengirimkan kabar berkeliling penduduk desa
bahwa mulai bulan depan pemungutan pajak besarnya sebelas kali dari yang
sudah-sudah. Ini adalah sesuai dengan garis kebijaksanaan Raja demi untuk,
pembangunan dan memelihara balatentara yang kuat, demikian alasan yang dibuat-buat
oleh Ki Lurah Kundrawana untuk menutupi apa yang sebenarnya.
Bila berita itu sudah sampai
ke seluruh pelosok maka dalam sikap penduduk Bojongnipah mulai kelihatan
pertentangan-pertentangan. Rata-rata mereka mengatakan bahwa ini adalah satu
penindasan. satu pemerasan terang-terangan. Demi pembangunan dan demi
balatentara yang kuat apakah rakyat harus dkekik lehernya dengan pajak yang
besar tiada terkirakan lihat gandanya itu?!
Beberapa orang tua-tua desa
menemui Ki Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia berhadapan dengan
mereka. Orang tua-tua desa tentu saja heran kali melihat sikap Lurah mereka
yang dulunya itu begitu baik bijaksana dan ramah tapi kini, jangankan untuk
bicara tentang persoalan kenaikan pajak itu, bahkan untuk bertemu sajapun dia
tidak mau! Disamping itu ketika mereka berada di rumah Ki Lurah, telinga mereka
mendengar terus-terusan suara tangis Warih Sinten, isteri Lurah. Ada apa pula
dengan diri perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang tidak mengerti orang
tua-tua desa saat itu! Dan ketika tiba saat pemungutan pajak yang pertama,
banyak di antara.penduduk yang tak mau membayar. Dengan menekan pertentangan
yang senantiasa melekat dihatinya Ki Lurah terpaksa mengancam orang-orang itu.
Siapa-siapa penduduk yang tak mau membayar pajak dalam jumlah yang telah
ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga
penduduk membayar.
Dalam pemungutan pajak-yang
kedua terjadi kekacauan namun masih sanggup diatasi oleh Ki Lurah Kundrawana.
Menjelang pemungutan pajak yang ketiga Ki Lurah Kundrawana mendengar kabar
bahwa penduduk akan mengadakan pemberontakan! Lakilaki ini tak bisa
menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan diam-diam pergilah Ki Lurah Kundrawana
ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga Seta. Kepada Adipati ini dilaporkannya
segala apa yang terjadi. Boga Seta kelihatan terkejut sekali. Ketika Ki Lurah
Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji akan mengirimkan serombongan pasukan
Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang semakin dekatnya hari pemungutan pajak
yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun yang muncul!
Ki Lurah Kundrawana kehabisan
akal, betul-betul bingung. Sementara itu tandatancia bakal terjadinya
pemberontakan semakin jelas dan santar. Dalam kebingungannya di waktu yang
sempit itu Ki Lurah Kundrawana akhimya berhasil menemui Tapak Luwing di luar
desa.
“Ada keperluan apa, kau
menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambil menggerogoti daging
panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya. Saat itu Tiga Hitam
dari kali Comel berada di pinggiran hutan.
“Ada kesulitan katamu ? Hem…
Apa kau tahu bahwa besok adalah hari pemungutan uang pajak itu dan lusanya
menyerahkan pada kami di persimpangan jalan yang menuju ke Linggajati?”
“Aku tahu Tapak Luwing. Justru
kesulitan ini ada sangkut pautnya dengan pemerasanmu!” jawab Ki Lurah
Kundrawana pula.
Tapak Luwing tertawa dan
melemparkan tulang daging yang dimakannya ke dekat kaki kepala desa Bojongnipah
itu.
“Tentang kesulitan ini, apakah
kau sudah pergi kepada Adipati Boga Seta di Linggajati?,” Tanya Tapak Luwing
seraya tertawa dan berdiri dari duduknya di batang kayu tumbang.
Ki Lurah Kundrawana terkejut
dan berubah parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah kepala perampok ini
mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati Boga Seta itu?
Suara tertawa Tapak Luwing
semakin keras. Tampangnya kelihatan tambah angker dan tiba-tiba, tak terduga
oleh Ki Lurah Kundrawana, tamparan tangan kanan kepala rampok itu mendarat di
pipinya.
“Tapak Luwing kau…”
“Plak!”
Untuk kedua kalinya tamparan
Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana. “Berbacot lagi,” bentaknya, “Kurobek
mulutmu!”.
“Tapi Tapak Luwing…”
“Aku sudah bilang agar jangan
mengadukan persoalan ini kepada siapapun! Dan kau telah pergi kepada Adipati
Boga Seta! Apa kau lupa hukuman yang bakal diterima anakmu?!”
Maka pucatlah muka Ki Lurah
Kundrawana!
“Kau… kau apakan anakku, Tapak
Luwing…?
“Sekarang kau ketakutan
sendiri ya? Sialan! Adipati Boga Seta telah rnengirimkan lima orang prajuritnya
ke Bojongnipah, tapi aku telah mencegatnya ditengah jalan dan kelimanya telah
menemui ajal akibat kebodohanmu!”
“Anakku… anakku bagaimana…?”
tanya Ki Lurah Kundrawana setengah menangis setengah merengek!
“Aku masih berbaik hati untuk
kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari, jangan harap aku bakal mau
memaafkan kau…”
Legalah dada Ki Lurah
Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir panjang sedikit dan tidak keliwat
gelisah maka dia akan melihat adanya keganjilan dengan ucapan Tapak Luwing hari
ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak Luwing mengancam akan membunuh
anaknya bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja. Dan dia telah mengadukan hal
itu kepada Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing mau memberikan ampun
kepadanya, padahal dengan demikian persoalan kejahatannya bukan saja telah
sampai ke tangan Adipati tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja, apalagi
sesudah pembunuhan atas lima prajurit Kadipaten itu !
“Sekarang terangkan mengenai
kesulitan yang kau katakan itu, Ki Lurah!,” kata Tapak Luwing pula.
“Penduduk desa akan melakukan
pemberontakan besok kalau aku masih juga memungut pajak gila itu!,” kata Ki
Lurah Kundrawana pula.
“Begitu? Dulu kau bilang tidak
takut mampus! Kini ada bahaya yang mengancam jiwamu kenapa terbirit mencari
aku…?!”
Ki Lurah Kundrawana mengatupkan
rahangnya rapat-rapat.
“Kembalilah ke Bojongnipah. Ki
Lurah, Besok kami akan datang ke sana…” berkata Tapak Luwing.
“Kuharap jangan sampai terjadi
kekerasan”.
“Soal itu urusan kami. Kau tak
perlu ikut campurl,” kata Tapak Luwing pula.
“Bisa aku ketemu anakku, Tapak
Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana.
“Kali ini tidak dulu,” jawab
kepala rampok itu. Kepala desa Bojongnipah itu termenung sejurus. Kemudian
dengan langkah gontai dia berjalan ke kudanya dan naik ke atas punggung
binatang itu
Sebelum berlalu Ki Lurah
Kundrawana bertanya, ‘Tapak Luwing, sampai kapan kebejatanmu ini kau timpakan
padaku…?”
Tapak Luwing tertawa. “Tak
usah banyak tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu besok hari. Mungkin penduduk
desa sudah mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!”
***
DI pelosok-pelosok desa
terdengar kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. Puncak dinginnya malam telah
lewat dan kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya langit di ufuk timur
menyatakan bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk
digantikan kini oleh kehadiran
pagi.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan
tembakau pipanya. Mukanya sudah cekung dan matanya kelihatan kuyu sedang
parasnya pucat. Namun dibalik keredupan wajahnya itu tersembunyi sesuatu yang
seperti menyala. Sesuatu itu ialah amarah dan rasa geram yang tiada terperikan!
Di sedotnya pipa itu. Mulutnya
terasa tak enak. Dia meludah ke tanah lewat langkan. Sejak dulu apalagi sejak
beberapa hari terakhir ini lidahnya memang terasa tidak enak, pahit. Makannya
boleh dikatakan dapat dihitung suapnya. Semakin terang hari semakin gelisah
dia, semakin kuatir Lurah Bojongnipah ini. Yang dikhawatirkannya ialah
kalau-kalau penduduk akan datang lebih dahulu dari pada Tiga Hitam dari Kali
Comel! Sebentar-sebentar matanya memandang ke luar halaman. Namun segala
sesuatunya dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan kesunyian ini pula
justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah Kundrawana !
Ditempelkannya lagi ujung pipa
ke bibirnya. Disedotnya dalam-dalam kemudian dihembuskannya asap pipa itu.
Sekali lagi dia meludah ke tanah lalu mengusap-usap bibimya.
Dia terkejut dan memutar
kepalanya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya. Yang datang temyata
isterinya sendiri. Badan perempuan ini sudah jauh susut, lebih kurus dari
dahulu. Seperti suaminya, parasnya juga pucat. Warih Sinten seorang perempuan
berwajah ayu, namun keayuan itu kini tiada kelihatan lagi karena tertutup
mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan nasib anaknya, gelisah memikirkan nasib
suaminya jika sebentar lagi pen.duduk benar-benar datang.
Hari itu adalah hari
pemungutan pajak yang ketiga. Semestinya pembantu Lurah Bojongnipah yang biasa
berkeliling di seluruh desa memungut pajak itu sudah datang. Tapi kali ini tak
kelihatan mata hidungnya. Bagaimana dia akan berani memunculkan diri jika sudah
tahu kalau hari ini penduduk akan berontak!.
“Mudah-mudahan saja penduduk
tidak datang…”
Ki Lurah Kundrawana menggigit
bibirnya. Dia tahu bicara isterinya itu hanya sekedar bicara saja. Memang apa
yang diharapkan isterinya itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu betul
bahwa harapan itu adalah satu hal yang mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk
akan datang! Dia tahu, dia pasti!
Warih Sinten memandang lagi ke
luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka datang, kurasa kita tak bisa
lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia terkutuk itu, Kakang! Kita musti
katakan terus terang pada penduduk sebelum penduduk membunuh kita
beramai-ramai!”
“Nyawaku tak ada harganya,
Warih…,” ujar Ki Lurah Kundrawana. “Demi segala-galanya aku rela mati! Tapi
percuma saja arti kematian jtu, kalau keselamatan jiwa anak tunggal kita
sendiri akan tersia-sia pula….”
Kesepian berjalan beberpa
lamanya.
Tiba-tiba.
“Kakang…”. Warih Sinten
memegang lehernya dengan kedua tangan. “Mereka… mereka datang…”
Ki Lurah Kundrawana mengangkat
kepalanya dan memandang ke luar halaman. Apa yang dikatakan isterinya memang
betul. Serombongan laki-laki penduduk, desa kelihatan rnuncul di tikungan jalan
dibalik pohon-pohon bambu. Rombongan yang muncul ini merupakan kepala saja dari
barisan penduduk yang jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dari jauh tak
kelihatan mereka membawa senjata. Tapi Ki Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara
mereka pasti, ada yang membawa dan menyembunyikan senjata!
Sesaat kemudian halaman luas
itupun penuhlah oleh penduduk desa. Suasana menjadi bising kini. Ki Lurah
Kundrawana dan isteranya berdiri mematung di atas fangkan. Hanya kedua bola
mata mereka yang berputar memandangi penduduk Bojongnipah itu.
Seorang di antara penduduk
kemudian menyeruak ke muka dan naik ke langkan, berdiri beberapa langkah
dihadapan Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan laki-laki ini. Dia adalah
seorang petani yang diam di desa sebelah timur. Namanya Kratomlinggo. Sewaktu
laki-laki ini bertindak naik ke langkan, maka suasana di tempat itu sehening di
pekuburan.
“Ki Lurah…, Kratomlinggo buka
mulut merobek keheningan itu. “Kau tentu sudah tahu maksud kedatangan kami
bukan…?”
Kundrawana tak menjawab. Pada
wajah Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek. “Ketahuilah bahwa aku berdiri
dihadapanmu saat ini adalah, sebagai wakil dari sekian banyak penduduk
Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding ke belakang lalu meneruskan: “penduduk
Bojongnipah yang sejak satu bulan belakangan ini telah menjadi korban
pemerasan, korban penindasan, korban pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali
lipat! Penduduk Bojongnipah…”
“Saudara Kratomlinggo,”
memotong Ki Lurah Kundrawana. “Ringkaskan saja bicaramu. Katakanlah apa yang
kalian mau”.
Dan lagi-lagi Kundrawana
melihat senyum mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.
“Apa mau kami…? Itu semua
sudah kami katakan pada saat pertama kali kau memungut pajak gila itu!”
“Aku pribadi memang tak ingin
berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan. Perintah Raja, untuk
pembangunan dan pemeliharaan pasukan…”
“Perintah atasan tinggal
perintah atasan! Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur ke sumur lantas kau
akan berbuat begitu? Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah harus berdasarkan
pertimbangan otak Ki Lurah!”
Merah muka Kundrawana.
Sementara itu Warih Sinten
mulai menangis terisak-isak.
“Saudara Krato, mungkin
pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…”
“Ya sementara! Sementara! Baru
dihentikan bila semua penduduk Bojongnipah ini mati dkekik pajak ?1”.
“Aku tahu pajak sebesar itu
memang berat…”
“Kalau berat mengapa
dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo.
Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi
menggigit bibirnya. lngin saja saat itu dia mengatakan apa sesungguhnya yang
menjadi latar belakang dari pemungutan pajak itu. Ingin saja saat itu dia
menerangkan siapa sebenarnya yang menjadi dalang pemungutan pajak gila itu!
Tapi bila diingatnya anak tunggalnya yang ada di tangan Tiga Hitam dari Kali
Comel itu…
“Kami penduduk desa
Bojongnipah ingin agar peraturan pajak gila itu dkabut kembali!” berkata
Kratomlinggo.
“Aku tak punya wewenang untuk
melakukan hal itu, saudara Krato”.
“Kau bisa menyampaikan kepada
Adipati di Linggajati. Adipati meneruskannya ke Kotaraja. Dan kalau kau tidak
mau melakukan hal itu, kami tidak ragu-ragu untuk bertindak berdasarkan apa
yang kami rasa benar…!”
“Apakah ini suatu ancaman?”
“Kau boleh bilang begitu., Ki
Lurah!”
“Saudara Krato…,” terdengar
suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk Bojongnipah tidak tahu… tidak
tahu…”
“Kami lebih dari tahu!”
geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui itu adalah hal yang
tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki Lu.rah Kundrawana tak lebih
dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan menggilas ke bawah! Yang
cari nama ke atas dan menjerat leher penduduk di bawah! Kami lebih dari ta….”
“Kuharap bicara sepantasnyalah
Kratomlinggol” memotong Ki Lurah Kundrawana karena panas hati dan telinganya
mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras demikian rupa.
Kratomlinggo berpaling ke arah
orang banyak. Kemudian dia tertawa bergelak. Sementara itu salah seorang
pendduk berteriak: “Buat apa bicara sepanjang lebar dengan biang lintah darat
itu?! Sumpal saja mulutnya dengan golok !”
Kratomlinggo berpaling pada
Kundrawana kembali. “Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?” tanyanya.
Mulut Kundrawana komat kamit.
“Kalau kalian ingin pajak itu dkabut, silahkan. pergi sendiri menghadap Raja di
Kotaraja…”
“Lantas, apa perlunya kau jadi
Lurah di sini’?!” teriak seorang penduduk pula.
“Apa hanya untuk ongkang-ongkang
?!” teriak penduduk yang lain.
“Ongkang-ongkang dan
memeras?!” teriak yang lain lagi.
“Kemudian penduduk lainnya
berteriak pula: “Kami tidak percaya ini aturan dari Raja! Bukan mustahil pajak
itu adalah aturan gila yang, kau buat sendiri !” .
Masih banyak lagi
teriakan-teriakan yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan tebal rasanya:
Telinganya berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah orang-orang itu
meninggalkan tempat ini,” kata Kundrawana.
“Begitu …?,” ujar Kratomlinggo
dengan lontarkan senyum sinis. “Kami semua baru akan pergi sesudah kau
menyatakan blak-b!akan bahwa mulai saat ini aturan pajak gila itu dkabut!”
“Tak satupun yang bisa
mencabut segala keputusan Raja!,” jawab Kundrawana. Suaranya saja yang keras
namun ucapannya itu sama sekali tiada dengan kesungguhan hati.
“Kalau begitu agaknya kami
terpaksa menggunakan kekerasan…”
“Kau menentang Kerajaan,
Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang setengah menggertak
ini dimaksudkannya untuk dapat ke luar dari keadaan yang terdesak saat itu.
Namun jawaban Kratomlinggo
adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti penduduk Bojongnipah dengan
kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin bahwa pajak gila itu adalah kau
punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak adil dan bijaksana…!”
Kratomlinggo melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua tinju
terkepal. Beberapa penduduk Bojongnipah melangkah pula naik ke atas langkan.
Ki Lurah Kundrawana mundur
beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.
“Kratomlinggo, kau… kalian mau
bikin apa…?”
“Kami coba minta keadilan
dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab Kratomlinggo. Tangan
kanannya bergerak.
Tiba-tiba terdengar ringkikan
kuda dan suara hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka berhamburan.cerai berai.
“Atas nama Kerajaan, yang
tidak mau mati, minggirlah !”
Terdengar jeritan beberapa
orang yang terserampang kuda !
***
TIGA penunggang kuda melompat
dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka enteng sekali dan sekejapan mata
saja ketiganya sudah berada antara Kratomlinggo dan Ki Lurah Kundrawana.
Ketiganya berpakaian seragam prajurit dan tampang-tampang mereka angker buruk.
Baik Ki Lurah Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya
sama terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega juga
karena dia segera mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan
dua orang anak buahnya! Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah Bojongnipah
itu ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu mengenakan pakaian
keprajuritan.
Sementara itu Tapak Luwing
yang berdiri tepat dihadapan Kratomlinggo dengan bertolak pinggang dan
membentak maju ke muka: “Kami prajurit-prajurit Kadipaten Linggajati! Kamu jadi
biang keribuan di sini ya?!”
Terkejutlah Kratomlinggo dan
penduduk Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana dan isterinya merutuk dalam
hati melihat betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam itu menjalankan peran
sebagai prajurit-prajurit Kadipaten palsu untuk mengelabui mata penduduk dan juga
menyembunyikan rahasia besar latar belakang pemerasan mereka! Kratomlinggo
menindih rasa terkejutnya. Dia merasa tak perlu takut terhadap ketiga prajurit
Kadipaten itu bahwa bukankah ini kesempatan di mana dia bisa sekaligus
menerangkan pemerasan pajak yang dilakukan oleh Kundrawana itu?
“Saudara,” kata Kratomlinggo,
“jika kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan sekali kalau
begitu…!
“Kebetulan apa maksudmu?!”
bentak Tapak Luwing.
Kratomlinggo kemudian
menerangkan sejelas-jelasnya mengenai soal pajak itu kepada Tapak Luwing. Namun
dia begitu kaget ketika mendengar jawaban Tapak Luwing.
“Jadi kau sengala pimpin
penduduk Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?! Untuk menepuh jalan
kekerasan! Ini namanya, satu pemberontakan! Ini namanya satu penantangan
terhadap Kerajaan, satu pembangkangan terhadap peraturan-perraturan Raja karena
soal pajak itu memang datang dari Raja disampaikan melalui Adipati di
Linggajati!”
“Tapi mengapa hanya penduduk
Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata salah seorang penduduk yang
berdiri di samping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa lain tidak!” seru yang lain
dari luar halaman.
“Kamu semua tahu apa!” semprot
Tapak Luwing. “Ini adalah keputusan Raja! Bojongnipah yang subur tak bisa
disamakan dengan desa-desa lain. Karenanya sudah pantas kalau dibebani pajak
yang agak besaran…”
“Agak besaran…,” gerendeng
seorang penduduk mengejek.
Kratomlinggo kemudian
mengetengahi suasana panas itu. “Kami merasa sama sekali tidak menentang Raja,
sama sekali tidak membangkang apalagi memberontak. Kami hanya inginkan agar
pajak dikembalikan sebesar yang lama…”
“Tapak Luwing meludah ke
lantai langkan. “Kau memang biang racun pemberontak yang pintar omong! Terhadap
Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar dan seenaknya, tapi terhadap kami
prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba! Pimpin seluruh penduduk untuk
angkat kaki dari sini ! Cepat!”
Maka berkatalah Kratomlinggo:
“Kami penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk menegakkan keadilan. Kalau kami
harus angkat kaki dari sini maka keadilan itu musti sudah berhasil ditegakkan!”
“Hem… begitu…?”. Tapak Luwing
menyeringai. Gigi-giginya yang hitam kecoklatan serta besar-besar ketihatan
menjijikkan. “Sebelum kau dan yang lain-lainnya menegakkan keadilan itu, coba
terima tangan kananku ini !”
Sesudah berkata demikian Tapak
Luwing hantamkan tangan kanannya ke dada Kratomlinggo. Yang dipukul dengan
cepat melompat ke samping.
Namun ! “Buukk !”
Tangan kiri Tapak Luwing
bersarang di perut Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan kanan Tapak Luwing
tadi hanyalah satu tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan terjajar ke
belakang. Perutnya sakit- sekali, mual seperti mau muntah, nafasnya menyesak.
Laki-laki ini rupanya bukanlah
hanya sekedar seorang petani saja, namun juga seorang yang pernah mempelajari
ilmu silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah. Lalu dengan sebat
rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai serangannya inir Maka
dengan demikian pertempuranpun pecahlah.
Empat penduduk terjerongkang
ke lantai langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang iganya serta terlepas
sambungan sikunya. Sedang Kratomlinggo terhempas ke tiang langkan. Dadanya kena
dipukul oleh Tapak Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi badan kembali dan
siap melancarkan serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi kakinya menindak
pemandangannya sudah gelap dan dari mulutnya bermuntahan darah kental
berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh laki-laki ini tergelimpang ke lantai!
Melihat ini sebagian penduduk
menjadi kalap. Mereka menyerbu berserabutan ke atas langkan dengan berbagai
macam senjata.
“Siapa yang mau mampus,
majulah!” teriak Tapak Luwing seraya melintangkan golok.
Mereka yang menyerbu menjadi
ragu-ragu kini namun beberapa orang diantaranya yang tetap kalap menyerang
dengan membabi buta. Maka terjadilah hal yang mengerikan. Orang-orang ini
bergelimpangan bermandikan darah, dibabat dan dipapas oleh senjata Tapak Luwing
dan anak-anak buahnya! Yang lain-lainnya kini tak berani lagi bertindak lebih
jauh meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak!
Warih Sinten sudah sejak lama
lari ke dalam rumah sambil menjerit-jerit ketakutan sedang Kundrawana menggigit
bibir dan pejamkan mata melihal kengerian itu. Kalau saja tidak ingat akan
keselamatan anaknya, sudah sejak tadi dia mencabut keris dan turut menyerbu!
“Siapa lagi yang mau
berkenalan dengan golokku, silahkan maju!,” kata Tapak Luwing tolakkan tangan
kirinya ke pinggang kiri.
Tapak Luwing tertawa. “Nah,
kalau kalian masih belum punya nyali untuk masuk ke liang kubur, gotong
kunyuk-kunyuk yang malang melintang di langkan rumah ini kemudian angkat kaki
dari sini cepat !”
Kemarahan penduduk
meluap-luap. Namun apa yang terjadi di depan mata mereka membuat nyali mereka
menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana sendiri berdiri mematung.
Rahangnya terkatup rapat-rapat. Kegeramannya tiada terlukiskan. Kebenciannya
terhadap Tiga Hitam dari Kali Comel tiada terkirakan lagi! Namun seperti
penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat berbuat suatu apa!
Penduduk menggotong
Kratomlinggo dan korban-koban lainnya. Sebelum mereka berlalu berserulah Tapak
Luwing.
“Aku tak ingin melihat
keonaran macam begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau kalian sendiri yang
sengaja minta dibereskan macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang mau berontak
boleh saja! Golakku memang sudah sejak lama haus darah!”
Tak ada yang menyahuti ucapan
Tapak Luwing itu.
Dan Tapak Luwing yang menyamar
sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: “Jangan lupa, paling lambat tengah
hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak itu! Jika ada yang
membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!” ketika seturuh
penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak Luwing
menyarungkan goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.
“Kau harus berterima kasih
padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher, Ki Lurah…!” Ki Lurah
Kundrawana berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak Luwing tertawa
mengekeh. “Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak harus sudah kau
antarkan ke pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju ke Linggajati!”
Kundrawana masih diam.
“Eh, apa kau sudah tuli!”
tanya Tapak Luwing.
Dan Lurah Bojongnipah itu
masih juga diam. Maka membentaklah Tapak Luwing. “Kamu tuli hah?!”
“Aku tidak tuli, Tapak
Luwing…”
“Lalu mengapa ditanya diam
saja? Mungkin gagu?!”
Dua orang anak buah Tapak
Luwing cengar cengir.
“Sesenja-senjanya hari uang
itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” .
“Bagaimana kalau penduduk tak
mau membayamya ?”
“Aku tak perlu pertanyaan itu!
Bayar atau tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu terima uang!”
Tapak Luwing memberi isyarat
pada kedua anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan rumah dan melangkah menuju
ke kuda masing-masing.
Malam itu, dengan segala daya
dan sedikit ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Kratomlinggo berhasil
menyembuhkan luka di dalam yang dideritanya akibat pukulan Tapak Luwing. Pada
dasarnya bukan daya dan pengetahuan silat Kratomlinggolah yang menolong
melainkan adalah karena pukulan Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan
keseluruhan tenaga dalamnya.
Dendam terhadap Tapak Luwing
dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan terhadap Ki Lurah
Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok hari, semuanya itu
bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja sembuh dari luka
namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat ke Kotaraja! Niatnya ini
diberitahukannya pada beberapa kawannya. Dan malam itu bersama empat orang
lainnya, dengan menunggangi kuda maka berangkatlah Kratomlinggo ke Kotaraja.
Malam gelap. Sinar bintang dan
cahaya bulan sabit tak dapat mengalahkan kegelapan itu. Kratomlinggo dan empat
orang kawannya memacu kuda masing-masing, melewati sebuah tikungan dan sampai
di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua tepi sebuah anak sungai.
Pada saat itu pulalah
Kratomlinggo dan kawan-kawannya melihat serombangan penunggang kuda di seberang
jembatan. Mereka berjumlah tiga orang dan ketiganya menghentikan kuda di
seberang jembatan itu. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Kratomlinggo segera
hentikan kudanya.di tengah-tengah jembatan dan memberi isyarat pada keempat
kawannya. Malam memang gelap namun mata Kratomlinggo masih sanggup, mengenali
penunggang kuda yang paling depan dihadapannya. Manusia itu ternyata adalah
prajurit Kadipaten yang siang tadi menanganinya!.
“Celaka,” bisik Kratomlinggo.
“Bagaimana bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa tahu keberangkatanku ke
Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya sama sekali masih
tidak mengetahui siapa ketiga manusia yang menghadang di ujung jembatan itu!
Penunggang kuda sebelah muka
yang tiada lain dari Tapak Luwing adanya tertawa mengekeh. “Rupanya pelajaran
dan peringatanku siang tadi masih belum cukup huh!,” sentak Tapak Luwing.
Kratomlinggo -tak menjawab. Namun dia diam tangan kanannya menyelinap ke balik
pinggang meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan juga oleh keempat kawannya.
Dan di seberang jembatan kembali terdengar kekehan Tapak Luwing.
Begitu kekehannya berhenti
maka terdengar bentakannya. “Kalian kunyuk-kunyuk mau ke mana?!”
“Kami tak ada permusuhan
dengan kalian. Karena itu minggirlah, beri jalan…” kata Kratomlinggo pula.
“Minta jalan? Boleh…
lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula sambil pinggirkan kudanya. Dipersilahkan
begitu rupa malah membuat Kratomlinggo dan kawan-kawannya menjadi terpatung,
tak bergerak di punggung kuda masing-masing. “Ayo, kenapa tidak mau lewat?!,”
tanya Tapak Luwing.
Kratomlinggo bimbang.
Dan Tapak Luwing buka suara
lagi: “Kalau begttu roh busuk kalian yang akan lewat jembatan ini !”
“Sret !”
Tapak Luwing cabut goloknya.
Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari golok-golok yang dkabut oleh
anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo dan kawan-kawannya segera pula
menghunus golok masing-masing !
“Aku tahu kalian hendak ke
Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing seraya larik tali kudanya, “Tapi ketahuilah
hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja di istana!”
Dalam jarak dua tombak, dengan
satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat ke muka. Dua anak buahnya
menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya redup bulan sabit. Lima golok
menyambutinya !
“Trang ….. trang ….. trang….!”
Bunga api memercik. Suara
beradunya golok-golok itu disusul oleh seruan kesakitan. Dua kawan Kratomlinggo
rebah dari atas punggung kuda. Yang satu terbabat perutnya, yang lain puntung
lengan kanannya!
Dalam gebrakan kedua, Tiga
Hitam dari Kali Comel yang saat itu masih mengenai pakaian, prajurit-prajurit
Kadipaten, kembali mengirimkan serangan hebat tanpa memberikan kesempatan pada
lawan! Dua orang lagi menjerit dan roboh, tubuh salah satu dari padanya
kemudian kecebur ke dalam sungai. Kratomlinggo sendiri dibikin terjerongkang
dari atas punggung kuda, goloknya lepas. Masih untung sarripai saat itu dia
belum cidera apa-apa. Dan memaklumi bahwa untuk melawan terus adalah satu
kesia-siaan maka laki-laki ini segara putar tubuh ambil langkah seribu!
Tapak Luwing tertawa bergelak.
“Dasar manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!” Dari balik sabuknya kepala
Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel ini keluarkan sebilah pisau belati.
Senjata ini melesat dengan mengeluarkan suara berdesing! Kratomlinggo yang tak
tahu dirinya tengah dikejar maut, terus juga lari.
Hanya satu jengkal saja lagi
belati yang mengandung racun itu akan menancap di punggungnya maka pada saat
itu pulalah dari jurusan semak belukar gelap di tepi sungai melesat sebuah
benda berbentuk bintang berwarna putih perak !
“Tring !”
Bunga api memercik.
Bukan saja benda berbentuk
bintang ini berhasil membuat pisau beracun Tapak Luwing mental, tapi juga
membuat pisau itu patah dua !
Terkejutlah Tapak Luwing. Lupa
dia pada niatnya hendak membunuh Kratomlinggo. Dengan serta merta diputarnya
tubuhnya. Matanya yang tajam telah melihat dari arah mana datangnya sambaran
benda putih perak berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala Komplotan Tiga
Hitam dari Kali Comel itu.
“Setan alas yang ikut campur
urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima pisaupisau ku ini !”
Habis bilang demikian Tapak
Luwing lemparkan sekaligus tiga bilah pisau beracunnya ke arah semak belukar di
kegelapan.
Terdengar suara siulan yang
disusul oleh suara tertawa bergelak.
“Aku di sini bung! Kenapa
serang tempat kosong?!,” kata, manusia yang muncukan diri itu dengan nada
mengejek.
“Bangsat betul!,” maki Tapak
Luwing. Di lemparkannya lagi dengan tangan kiri sepasang pisau belati ke arah
laki-laki yang berdiri sekira enam tombak di tepi sungai.
–== 0O0 == —
6
ORANG yang berdiri di tepi
sungai sambuti serangan itu dengan melambaikan tangan kirinya. Sekali lambai
saja maka kedua pisau beracun itupun mentallah.
Kaget Tapak Luwing
membuat-laki-laki ini keluarkan seruan tertahan.
“Manusia yang sengaja cari
penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam memberikan isyarat pada
kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil posisi mengurung.
Yang ditanya. “Ada ribut-ribut
apa di sini?!”.
“Ee kunyuk gondrong!,” maki
salah seorang, anak buah Tapak Luwing. “Kau berani. bicara edan sama
prajurit-prajurit Kadipaten?!”
“Oh…. jadi kalian
prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki di tepi sungai, keluarkan suara
mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka urusan kekerasan,
apalagi membunuh manusia begini rupa…!”.
Sementara itu. Kratomlinggo
yang tadi hendak larikan diri, mendengar ada keributan baru di belakangnya
perlahan-lahan palingkan kepala lalu putar tubuh dan berhenti di belakang
sebuah pohon. Apa yang disaksikannya kemudian sungguh tidak diduganya.
“Kita tak perlu sembunyikan
siapa kita terhadap monyet bermuka manusia ini!”, kata Tapak Luwing.
“Nah, terus terang lebih
bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja siapa kalian!”.
“Sebelum tahu siapa kami
sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak Luwing pongah.
“Eh, kenapa begitu?”.
Karena menyangka bahwa
Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat itu, maka berkatalah
Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali Comel tidak pernah
membiarkanterusbernafasnya seorangbiangrunyamyang ikut campururusan!”
“Ooo… jadi kalian Tiga Hitam
dari Kali Comel, rampok-rampok ganas tiada kernanusiaan itu? Pantas… pantas
tampang-tampang kalian hitam macam arang…”
“Haram jadah! Terima
golokku!,” teriak anak buah Tapak. Luwing yang di samping kanan. Dengan gerakan
enteng dia melompat dari punggung kuda, derngan sebat goloknya berkelebat ke
arah batok kepala laki-laki muda yang berdiri tetap tenang malahan dengan
tertawa-tawa!
Tiba-tiba dengan kecepatan
yang luar biasa laki-laki muda itu melompat ke belakang. Serangan anak buah
Tapak Luwing mengenai tempat kosong. Karena begitu kesusu dan sebatnya maka
laki-laki itu jadi terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia sempat mengimbangi
badan, satu tendangan menghantam pantatnya!
“Manusia tidak tahu peradatan!
Orang bicara dipotong seenaknya! Rasakan sendiri olehmu!”
Melihat kawan dan anak buahnya
dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur di tanah. Tapak Luwing dan anak
buahnya yang satu lagi segera loncat dari kuda.
“Beri tahu namamu lebih dulu,
kunyuk!,” bentak Tapak Luwing. “Kalau tidak rohmu akan minggat percuma!”
“Bicaramuterlalutinggi!Kalau
mau tahunamakumajulah…!”.
Dengan tertawa bergelak Tapak
Luwing menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras sedang tangan kirinya laksana
palu godam membabat ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus “angin mengamuk pohon
tumbang” yang memang bukan olah-olah dahsyatnya.
“Ah, rupanya kau punya ilmu
yang diandalkan juga eh?” ejek lawan yang diserang. Dia merunduk untuk elakkan
sambaran golok lalu lompat ke samping guna hindarkan sodokan tinju lawan dan
dengan secepat kilat kemudian tangan kanannya yang terbuka menyeruak di antara
kedua serangan lawan tadi, menderas ke arah kening Tapak Luwing.
Kepala Tiga Hitam dari Kali
Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak percuma saja dia menjadi
kepala komplotan yang ditakuti selama bertahun-tahun disepanjang Kali Comel dan
perbatasan.
Dengan sebat, dengan keluarkan
bentakan dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan yang luar biasa. Tubuhnya
mencelat satu tombak ke atas dan dalam lompatan itu kaki kanannya menderu muka
lawan dan disaat yang sama pula dari sebelah belakang menderu golok anak buah
Tapak Luwing ke arah punggung laki-laki muda itu.
Yang diserang bersiul. “Akh…
kalian rupanya betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa saat ini belum waktunya!”.
Pemuda ini berkelebat. Lututnya menekuk kedua tangannya berputar seperti kitir
dan: “bluk ……. buk”!.
Anak buah Tapak Luwing
terjerongkang ke belakang, muntah darah dan menggeletak,di tanah. Tapak Luwing
sendiri merintih kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam tepat tulang
keringnya!
Di saat itu anak buah Tapak
Luwing yang tadi ditendang pantatnya sudah bangun kembali- dan dengan ganas
lancarkan serangan dahsyat. Namun nasibnya juga sial. Sekali lawannya
berkelebat maka goloknya kena dihantam sikut lawan! Yang satu inipun roboh pula
menyusul kawannya
Merasakan sakit pada kakinya,
melihat kedua anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar Tapak Luwing
hampir-hampir merasa seperti orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini komplotan
yang dipimpinnya menemui “batunya”? Selama bertahun-tahun bertualang dan
menjadi Pemimpin Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel baru hari itu dia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua anak buahnya dibikin menggeletak
hanya dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia sendiri merasakan pula bekas tangan
lawannya. Lawan yang masih muda belia dan sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan penuh geram_Tapak
Luwing salurkan tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus kegolok sedang tangan
kirinya saat itu sudah memegang tiga pisau beracun. Kedua kakinya terpentang,
pinggangnya sedikit membungkuk ke muka. Tangan yang memegang pisau dinaikkan ke
atas agak ke belakang sedang tangan kanan memegang golok lurus-lurus ke muka.
“Kenalkah kau jurus ini,
pemuda keparat?!”.
“Ah… hanya jurus –menyebar
bunga menusuk buah –nenek-nenek keriputpun bisa mengenalnya!,” sahut si pemuda.
Bukan saja Tapak Luwing
menjadi geram diajek demikian rupa namun dia juga kaget melihat bahwa lawannya
bisa menerka jurus yang bakal dikeluarkannya itu!
Untuk menutupi keterkejutannya
Tapak Luwing berkata: “Kau sudah tahu nama jurus ini, baik sekali!. Tapi juga
ketahuilah ini adalah jurus kematianmu! Bagusnya kasih tahu namamu sekarang
juga agar kau mampus tidak dengan penasaran!”.
“Sudahlah…. jangan banyak
bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan itu!”.
Tapak Luwing tertawa dingin.
Tubuhnya semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan dia menggerakkan tangan
kirinya maka tiga pisau yang dipegangnya tahu-tahu sudah meluncur sebat sekali
ke arah si pemuda. Yang pertama menjurus batang leher, yang kedua mencuit ke
dada dan yang terakhir menggebubu ke bawah perut!
Bukan saja daya lesat pisau
itu hebat sekali mengingat hanya di lemparkan dengan tangan kiri, namun juga
tempat-tempat yang diserangnya juga adalah tempat-tempat yang berbahaya
mematikan.
Pada detik pisau-pisau beracun
itu melesat ke muka, pada saat itu pulaTapak Luwing menerjang dan putar
goloknya dengan sebat. Dorongan angin golok yang. menderu menambah kencangnya
daya lesat tiga pisau itu. Maka itulah jurus “menyebar bunga rnenusuk buah”.
Pisau dan golok datang susul menyusul!
“Akh jurusmu ini boleh juga!,”
kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak tanganku!”.
Si pemuda pukulkan tangan
kirinya ke muka. Angin dahsyat melanda dan mementalkan ketiga pisau. Tapak
Luwing berseru kaget karena dua dari pisau itu akibat dorongan angin pukulan
lawan berbalik menyerang ke arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing terpaksa
pergunakan goloknya untuk meruntuhkan dua pisau itu.
“Tring….. tring!”
Dua pisau beracun patah-patah
dan terlempar jauh. Gerakan untuk menangkis dua pisau ini membuat Tapak L.uwing
melupakan pertahanan dirinya seketika. Ketika dia memasang kuda-kuda baru maka
telapak tangan kanan lawan sudah berada dekat sekali ke kepalanya. Kepala Tiga
Hitam dari Kali Comel ini pergunakan goloknya untuk membabat lengan lawan namun
kurang cepat karena lengan kiri si pemuda lebih cepat menyusup membentur
sambungan sikunya.
“Krak”!
“Plak”!
Tapak Luwing mengeluh dan
huyung kebelakang.
Lengannya patah.
Keningnya yang kena dihantam telapak
tangan lawan sakit dan panas bukan main. Pada kulit kening itu kini kelihatan
tertera angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga dalam dan atur jalan
darahnya. Namun kekuatannya seperti punah. Keringat dingin membasahi sekujur
tubuhnya. Keningnya panas, sakit dan pemandangannya berkunang, lututnya gontai!
“Keparat…,” desis Tapak
Luwing.
“Ee… masih bisa memaki?”
“Kalau hari ini aku kena kau
celakai jangan anggap kau sudah mempecundangi aku, orang muda. Suatu hari kelak
aku akan mencarimu dan mematahkan batang lehermu!”.
Tapak Luwing ambil tiga pisau
terbang dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata itu dilemparkannya ke arah
si pemuda lalu secepat itu pula dia putar tubuh untuk larikan diri. Si pemuda
melompat ke samping. Dua pisau lewat di kiri kanannya. Pisau ketiga
diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri! Kemudian sambil totokkan dua jari
tangan kanannya mengirimkan totokan jarak jauh berserulah si pemuda: “Kenapa
pergi buru-buru?! Bicaraku tadi padamu belum habis!”
Kontan saat itu juga tubuh
Tapak Luwing menjadi kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Si pemuda tertawa dan
berpaling pada pohon besar di tepi sungai.
“Saudara yang sembunyi di
belakang pohon. keluarlah. Aku mau bicara juga dengan kau!”.
Kratomlinggo, yang berdiri di
belakang pohon itu terkejut. Namun karena tahu bahwa itu pemuda bukanlah dari
golongan jahat maka tanpa ragu-ragu dia segera keluar. Lagi pula penuturan
Tapak Luwing tadi yang mengaku bahwa dia.dan kawan-kawannya adalah Komplotan
Tiga Hitam dari Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan penyelidikan lebih
jauh.
“Saudara, apakah yang telah
terjadi di sini sebelumnya dengan kau dan kawankawan…?”.
“Panjang ceritanya, saudara.
Tapi sebelumnya kalau aku boleh tahu siapa namamu…?”
“Aku Wiro…,” jawab si pemuda.
“Aku Kratomlinggo. Aku dan
kawan-kawanku yang malang itu sama-sama dari desa Bojongnipah. Kami bermaksud
pergi ke Kotaraja…”
Maka Kratomlinggopun
menuturkan segala sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang dilarik oleh Ki
Lurah Kundrawana sampai dengan kematian keempat kawannya itu.
Wiro atau Wiro Sableng alias
Pendekar 212 geleng-gelengkan kepalanya. “Aku memang sudah lama dengar nama
Komplotan bejat mereka. Yang satu ini kalau tak salah bernama Tapak Luwing.
Pantas saja selama beberapa waktu terakhir ini tak kelihatan mereka malang
melintang di sepanjang Kali Comel. Rupanya tengah bikin kejahatan di sini…”.
“Dan pastilah
penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi-kaki tangan Ki Lurah Kundrawana…”.
“Boleh jadi,” sahut pendekar
212. “Tapi mungkin juga merekalah biang runyam yang melakukan pemerasan
terhadap Ki Lurah!”
Kratomlinggo mengangguk.
“Supaya jelas biar bangsat
yang satu ini kita tanyai,” kata Wiro Sableng pula. Dia melangkah mendekati
Tapak Luwing untuk melepasakan totokan di tubuh kepala Komplotan Tiga Hitam
itu. Namun baru saja satu tindak dia melangkah tiba-tiba sekali berkelebatlah
satu sosok tubuh dari kegelapan. Makhluk ini langsung meraih pinggang Tapak
Luwing dan membopong melarikannya!
Kratomlinggo terkejut
Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 berteriak: “Maling tengik! Berhenti!”.
Sebagai jawaban, terdengar
suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak Luwing itu.
“Wiro Sableng, pemuda gendeng!
Jangan sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti di jagat ini! Aku tunggu kau
besok siang di Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali unhuk menerima undangan
kematianmu ini! Ha… ha… ha …!”
“Sompret betul! Siapa kau!
Berhentil”.
“Besok siang. Wiro!” “
Dengan, geram pendekar 212
lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”! ke arah manusia tak dikenal itu! Deru
angin yang tiada terkirakan dahsyatnya menyerang si orang asing. Pada saat itu
pula terlihat selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro Sableng terbendung
laksana membentur dinding baja! Terkejutlah pendekar 212. Pukulan yang dilancarkannya
tadi disertai hampir sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun manusia yang tak
dikenal itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut!
Besarlah dugaan Wiro Sableng
bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah guru Tapak Luwing.,
setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin juga seorang sakti dari
golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing.
–== 0O0 == —
7
HALAMAN rumah lurah
bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang benderang oleh puluhan
obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi
untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa, kedua manusia yang
saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain daripada anak-anak
buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212. Keduanya telah
siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga berada dalam pengaruh
totokan Wiro Sableng.
Kratomlinggo berdiri di
samping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka berdiri tenang-tenang
Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa yang diketahuinya
tentang kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah terjadi di tepi
sungai dekat jembatan.
Bola mata Ki Lurah Kundrawaana
pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak buah Tapak Luwing. Saat itu
Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati dan mengendalikan amarahnya.
Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada di dalam tawanan Tapak Luwing
dan Tapak Luwing sendiri saat itu tidak berhasil ditangkap!
“Saudara-saudaraku
se-Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke hadapan
penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang kurasa sudah waktunya untuk
menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak gila
itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu kepahitan telah terpaksa menerima
segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan padaku! Kalian mencap aku
sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah darat,
sebagai tukang tindas… sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima! Namun
hari ini, malam ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu kenyataan
yang menyebabkan terjadinya pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata
bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja! Untuk pembangunan dan pemeliharaan
balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya dusta
besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga
menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak
ketahui …”
PendudukBojongnipah saling
pandang memandang satu sama lain penuh ketidak mengertian. Ki Lurah Kundrawana
menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan bicaranya.
“Tadi kalian sudah dengar
semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus yang dengan sendirinya
telah mencuci diriku. Tapi biar aku beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia
yang terikat itu adalah anak buah Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel,
komplotan rampok-rampok bejat yang dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil
melarikan diri ditolong oleh seorang tak dikenal. Jadi ketiganya sama sekali
bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang mereka sengaja menyamar pagi
tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam mereka telah datang ke rumahku dan
memaksaku untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah.
Jadi berarti aku harus menarik pajak sebanyak sebelas kali terhadap kalian.
Yang sepuluh bagian harus kuserahkan pada mereka sedang yang satu bagian
sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di mana Adipati Linggajati kemudian
meneruskan ke Kotaraja…
Aku coba untuk melawan. Tapi
di samping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat apa-apa karena
anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau pajak itu tidak
aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan mengetahui sendiri
kini. Tak ada jalan lain bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin putera
tunggalku rnenemui kematiannya…!”.
Suasana malam sesepi
dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan terlongong-longong. Tentu saja hal
ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan serentak pula dengan itu maka
menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara mereka berseru:
“Cincang dua bangsat ini!,” maka menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan
senjata masing-masing. Namun disaat itu pendekar 212 maju ke muka danberseru
nyaring. Sengaja seruannya itu disertaitenaga dalam untuk mempengaruhi.
penduduk yang tengah marah itu.
“Saudara-saudara, jangan
ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi kalian harus ingat
pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar dengan
salah satu dari mereka… !”
Kalau saja penduduk tidak
mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda berambut gondrong
itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil perduli akan ucapan Wiro Sableng,
lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap mempengaruhi mereka!
Wiro mendekati anak buah Tapak
Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.
“Namamu siapa, sobat?,”
tanyanya.
Laki-laki itu diam saja. Hanya
kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan pandangan sangat membenci dan
mendendarn.
“Eeeh rupanya bekas tanganku
membuat kau jadi tuli, huh!”.
“Keparat! Tak usah banyak
bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing akan tiba! Kalian
semua di sini akan dikirim ke neraka!”.
Wiro Sableng menyeringai.
“Mungkin kau dan kawanmu yang
akan lebih dahulu dkincang penduduk sampai lumat!” kata Wiro Sableng pula. “Tak
usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama seorang kawannya!”.
Keterangan ini mengejutkan
kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman tadi mereka tidak
melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana.
Dan Wiro berkata lagi: “Aku
mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan Adipati di Linggajati.
Katakan saja terus terang …. Anak buah Tapak Luwing diam.
“Katakan!,” bentak Wiro.
Sebaliknya laki-laki itu
meludah ke lantai. “Beset saja mulutnya!,” teriak Kratomlinggo yang sudah tak
sabaran.
“Kau tak mau kasih
keterangan?” tanya pendekar 212.
Anak buah Tapak Luwing itu
meludah sekali lagi ke lantai langkan!
Wiro tertawa.
Dijangkaunya sebuah obor yang
dipegang oleh seorang penduduk.
“Pernah rasa panasnya api?,”
tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa. “Tampangtampang macammu ini akan lebih
keren bila disundut begini rupa!”.
Wiro Sableng lantas
menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak Luwing tak sanggup
gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan terdengar tiada henti.
Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan sebagian rambut laki-laki
itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar.
“Mau sekali lagi?!,” tanya
Wiro dengan tertawa-tawa.
“Aku bersumpah kalau lepas
akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!,” kata anak buah Tapak Luwing penuh
penasaran.
“Jangan ngaco! Kau tak akan
lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu saja! Dan aku belum punya
keturunan…!”. Pendekar muda itu tertawa mengekeh. Mau tak mau orang banyak yang
menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli.
“Ayo, katakan apa hubunganmu
dengan Adipati Linggajatit,” bentak Wiro seraya mendekatkan api obor ke muka
laki-laki itu.
“Tak ada hubungan apa-apa…!,”
jawab anak buah Tapak Luwing.
“Ah… ini satu kebohongan atau
kedustaan?!”.
“Aku tidak dusta. Tidak
bohong!”.
“Lantas apa perlumu pagi tadi
menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit Kadipaten…?”.
“Itu bukan urusanmu!”.
“Oh begitu? Memang bukan
urusanku. Tapi urusan api obor ini!”. Dan sekali lagi api obor menjilati muka
laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro rnenunggu sampai beberapa detik di
muka. “Mau kasih keterangan apa tidak?” tanyanya.
“Aku akan terangkan… !”
berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.
Wiro tersenyum. Dilariknya
obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua orang dengar!”.
Maka anak buah Tapak Luwing
itupun memberikan penuturan: “Adipati Seta Boga dari Linggajati mengirimkan
seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana untuk melakukan pemerasan
di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak itu dengan perjanjian
hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya dan… dan…”.
“Sudah. Itu sudah cukup
terang!” kata Wiro Sableng pula.
Ki Lurah Kundrawana maju ke
muka. “Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga …?”.
“Ya…”.
“Kita harus tangkap Adipati
itu!” teriak penduduk.
“Gantung saja bersama
kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain.
Pendekar 212 angkat tangan
kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya. “Yang penting kini ialah
menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”.
Tersiraplah darah Ki Lurah
Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya. Dijambaknya rambut anak buah
Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian sekap?!” tanyanya.
Laki-laki itu tertawa buruk.
Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus dan merah mengelupas. “Jangan
harap anakmu akan selamat Kundrawana!”
Kundrawana menyentakkan kepala
laki-laki itu. “Dimana?!”.
“Mungkin sudah mampus di
tangan pemimpinku!”
Kundrawana mengambil obor dari
tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit keras ketika obor itu
disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan darah meleleh di kulit mukanya yang
mengelupas hangus!
“Kedua matanya akan kubikin
buta keparat! Kecuali, kalau kau segera menerangkan di mana anakku kalian
sekap!”.
Laki-laki itu sebenarnya
menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa dirinya tak akan mungkin
lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk memberikan keterangan.
Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah Tapak Luwing saat
itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat sekelumit harapan untuk bisa
menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan dibutakan kedua-duanya itu mau
tak mau mengerikannya juga!
Maka diapun memberikan
keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit Kulon…”.
Lega sedikit hati Kundrawana.
“Tapi,” katanya, “bila aku datang ke sana anakku tidak ada atau kutemui dia
dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa melihat dunia ini sampai esok
lusa!”. Kini pendekar 212 yang buka suara : “Saudara-saudara apapun yang kalian
lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi sedapatdapatnya
jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam keadaan
selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian
bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten Linggajati. Cuma aku tak dapat
memastikan apakah dalam keadaan masih bernafas atau tidak. Itu tergantung pada
sikapnya sendiri! Sekiranya dia masih hidup, ada baiknya kalian giring saja ke
Kotaraja… Nah, selamat tinggal!”.
“Saudara tunggu dulu!” seru
Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat kepala-kepala penduduk
Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
***
HANYA sebentar suasana sepi
menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan
kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan pesan pendekar itu.
Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing yang berada dalam
keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok. Puluhan senjata
laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada
terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka telah
menemui nasib pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan nafas
dengan tubuh mandi darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi. _
Ki Lurah Kundrawana tidak
menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah itu. Bersama
Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi kuda, dia meninggalkan
Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang jarang didatangi
manusia, terletak kira-kira ernpat kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan
di Parit Kulon adalah kuil tua yang diterangkan anak buah Tapak Luwing.
Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan
obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia masuk ke dalam kuil
tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan menyedihkan namun Kundrawana
merasa. lega dan gembira karena anak satu-satunya itu ternyata masih bernafas.
Anaknva tidur di ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor. Tubuhnya kurus dari
parasnya pucat karena tak terurus. Tangan dan kakinya diikat. Kundrawana
bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo membuka tali yang mengikat
tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah bangun. Tetesan air mata mengalir
di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah air mata gembira.
Sementara itu di tempat lain
….
Tapak Luwing merasa tubuhnya
yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam kegelapan malam oleh seseorang.
Bila sinar bulan yang tidak begitu terang menyeruaki pohon-pohon sepanjang
jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu samar-samar. Tapak
Luwing terheran dan berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu tidak
dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan ke mana manusia ini mau membawanya! Kemudian
apakah dia seorang yang akan menolongnya atau bukan? Tapi melihat gelagat dan
ucapannya terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak Luwing bisa sedikit
memastikan bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam
hatinya merasa lega. Maka bertarryalah dia: “Sobat, kau siapakah?”.
“Jangan banyak tanya dulu!”
menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan parau, larinya laksana
angin.
“Kita ini kemanakah?,” tanya
Tapak Luwing lagi.
“Aku bilang jangan bertanya
apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!”
Tapak Luwing penasaran sekali.
Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang perjalanan itu, satu hal saja
yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang orang yang memanggul dan membawa
larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan kanannya sampai sebatas bahu!
Ketika sampai di sebuah telaga
kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu menghentikan larinya. Tapak
Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga. Kemudian
dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing.
“Atur nafas dan jalan darahmu.
Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung.
Tapak Luwing segera melakukan
hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya dia sudah bermaksud demikian,
sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran dan golongan manapun.
Kemudian dengan tangannya yang
cuma satu laki-laki itu dangan cekatan mengobati lengan Tapak Luwing yang patah
dan membalutnya dangan secarik kain.
“Aku berhutang budi dan nyawa
padamu sobat,” kata Tapak Luwing.
Laki-laki yang menolongnya
tertawa. “Ada hutang ada piutang…,” katanya di antara tertawanya, “ada budi ada
balas”.
“Maksudmu sobat?” tanya Tapak
Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang kuberikan padamu ini akan
kutagih…”.
Tapak Luwing kerenyitkan
kening. “Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti akan membalasnya.
Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut ke Kali Comel, aku akan
hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa saja kau suka”
Si tangan buntung menyeringai.
Gigi-giginya hitam kecoklatan. “Aku tidak butuh semua itu,” desisnya.
Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat kemudian Tapak Luwing
merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam tubuhnya. Tubuhnya
menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang patah itu berkurang.
“Terima kasih,” kata Tapak
Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak Luwing…”
“Aku tahu siapa kau. Aku sudah
lama dengar tentang komplotanmu yang malang melintang di sepanjang Kali Comel.
Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar sini, timbul satu maksud untuk
menemuimu”.
“Apakah maksud itu?” bertanya
Tapak Luwing. “Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada piutang, ada budi ada
balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!”.
“Jangan kawatir, aku pasti
bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”.
“Kau tak usah tahu untuk
keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada hari tigabelas
bulan dua belas kau harus dating ke Gunung Tangkuban Perahu…”
“Gunung Tangkuban Perahu…?”.
“Ya. Masih kira-kira delapan
bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat. Jangan sekali-kali coba
kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan dengan Ki Lurah Kundrawana,
salah-salah kau bisa ketemu dangan bangsat yang telah mencelakaimu tadi! Walau
bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu menghadapinya! Ada saat untuk
menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu kau musti datang ke Tangkuban
Perahu pada hari tiga belas bulan dua belas nanti. Dengar?”
Tapak Luwing mengangguk. “Kau
tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya.
“Angka pengenalnya telah
dituliskannya dikeningmu”.
Terkejutlah Tapak Luwing.
Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit kening itu agak kesat
dari sebelumnya.
“Berkacalah ke telaga itu”.
Tapak Luwing merangkak ke tepi
telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang jernih itu dan di bawah
penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit samar-samar dilihatnya
tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing memandang keheran-heranan
pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi mukanya di air telaga. Diusapnya
keningnya.
Diusapnya lagi sampai beberapa
kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya keningnya dangan air
telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu tidak mau
hilang!
“Dengan. apapun dan cara
bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu Tapak Luwing! Angka
itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam dan kesaktian
yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke batok kepalamu
maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!”
“Siapa sesungguhnya manusia
muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212 itu…” tanya Tapak Luwing pula.
“Namanya Wiro Sableng. Dia
sakti sekali…” jawab si tangan buntung. “Tapi,” katanya kemudian menambahkan,
“dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak ajalnya akan sampai!”.
Diam-diam, meskipun si tangan
buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, kini bahwa antara si tangan
buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah mencelakainya itu terdapat
sangkut paut dendam kesumat.
“Selama waktu delapan bulan
mendatang,” berkata lagi si tangan buntung, “kuanjurkan kepadamu untuk berlatih
ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat.” Tapak Luwing mengangguk.
Si tangan buntung berkata:
“Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan dua belas itu. Dan
jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku ini…”
“Kau mau kemana sobat?”
“Urusanku masih banyak…”
“Tapi kau masih belum
menerangkan namamu”.
“Namaku Kalingundil!”
–== 0O0 == —
8
LINGGARJATI sudah agak sepi
ketika dia sampai ke sana karena hari sudah menjelang larut malam dan udara
dingin mencucuki kulit tubuh sampai ke tulang-tulang. Di sebuah kedai dia
berhenti untuk membasahi tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya dengan segelas
bandrek. Di kedai ini juga dia telah menanyakan di mana letak tempat kediaman
Adipati Seta Boga.
Tak sukar mencari tempat
kediaman Adipati Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah gedung yang paling bagus dan
paling besar di Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada dalam suasana
tenang tenteram. Dua orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang tamu
kelihatan beberapa orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima
beberapa orang tamu.
Laki-laki itu melangkah
seenaknya di depan kedua pengawal Kadipaten. “Di sini rumahnya Adipati Seta
Boga ?” tanyanya pada salah seorang pengawal.
“Betul. Ada apa…?” balik
menanya si pengawal.
“Ah tidak apa-apa. Aku cuma
tanya…,” jawab si pemuda. Digaruknya rambutnya yang gondrong.
“Adipatinya ada …. ?”
“Ada sedang merierima tamu.
Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?”
“Cuma tanya,” jawab si pemuda.
Digaruknya lagi rambutnya lalu tanpa bilang apaapa dia melanjutkan langkahnya.
“Sialan . . . ,” maki pengawal
itu.
Yang dimaki jalan terus.
Pengawal yang satu berkata
“orang gendeng…” Keduanya memandang sampai pemuda tadi lenyap di tikungan jalan
yang gelap.
Setengah jam kemudian, ketika
pemuda itu kembali maka tamu-tamu di Kadipaten sudah tak kelihatan lagi. Lampu
besar di ruang depan sudah diganti dengan lampu kecil. Melihat kedatangan si
pemuda dan yang seperti tadi berhenti di depan mereka maka membentaklah salah
seorang dari pengawal.
“Orang sinting! Ada apa kau
datang lagi ke sini?!”
“Pergi sebelum kepalamu
kupentung dengan gagang tombak ini!,” menghardik yang seorang lagi.
Si pemuda menyeringai.
“Dengar sobat-sobatku,”
katanya. Kedua tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari telunjuk dan jari jari
tengah diluruskan. “Kalian lihat jari-jari tanganku ini …. ?,” tanyanya.
“Kunyuk gendeng! Berlalulah
atau kuremukkan kepalamu!” bentak pengawal sambil acungkan tombaknya.
“Ah… jangan buru-buru marah
tak karuan. Bicaraku masih belum habis!,” menyahuti si pemuda tanpa acuhkan
ancaman pengawal. Jari jari tangannya masih diluruskan. “Coba kalian hitung
jari-jari tangan yang kuacungkan ini,” katanya.
Tentu saja kedua pengawal jadi
tambah mengkal melihat tingkah dan mendengar ucapan si pemuda. Maka dua gagang
tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda itu. Namun lebih cepat lagi dari
luncuran kedua tombak itu, maka kedua tangan si pemuda tahutahu sudah menotok
urat di pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan keduanya menjadi gagu dan kaku
menegang.
Si pemuda tertawa. Kedua
pengawal itu sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan kemudian dimasukinya
halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal yang dipanggul kemudian dilemparkannya ke
kandang kuda di belakang rumah. Lewat pintu belakang dia masuk ke dalam gedung
Kadipaten yang saat itu belum dikunci. Seorang perempuan separuh umur, yang
bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan yang saat itu tengah mencuci piring
terkejut melihat munculnya seorang pemuda berambut gondrong yang tak
dikenalnya. Dan pemuda itu tersenyum kepadanya.
“Kau… kau siapa…?” tanyanya.
Si pemuda masih senyum. Tangan
kirinya dilambaikan. Selarik angin tajam menyambar ke leher si perempuan.
Perempuan ini hendak berteriak. Namun saat itu mulutnya sudah gagu, lidahnya
sudah kelu sedang tubuhnya tak bisa lagi digerakkan akibat totokan jarak jauh
yang lihay sekali. Si pemuda kemudian memasukkan perempuan itu ke dalam sebuah
bilik kosong di bagian belakang gedung.
Saat itu Adipatit Seta Boga
tengah membuang hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia masuk kembali ke dalam
gedung maka terkejutlah Adipati Linggarjati ini. Betapa tidak!
Di atas kursi goyang, di mana
dia sering dudak bila melepaskan lelah, kini dilihatnya duduk enak-enakan
sambil memejam-mejamkan mata seorang pemuda berbadan kekar dan berambut
gondrong yang sama sekali tidak dikenalnya!
“Setan atau manusia dari mana
yang kesasar ke gedungku ini…?” ujar Adipati Seta Boga di dalam hati. Dan
pemuda di atas kursi terus juga menggoyang-goyangkan badannya dan kedua matanya
masih dipejamkan.
“Siapa kau?!” bentak Adipati
itu dengan suara menggeledek dan menggema di empat dinding ruangan.
Kursi goyang itu
bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di atasnya masih terus duduk
enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya. Dengan
langkah besarbesar dia maju mendekat kursi goyang dan orang yang mendudukinya.
Telapak tangan kanan terkembang dan detik itu juga maka melayanglah
tamparannya!
Beberapa saat lagi tangan
kanan itu akan mendarat di pipi si pemuda tiba-tiba si pemuda bukakan kedua
matanya. Dan seperti alas kursi itu mempunyai per yang melesatkan si pemuda ke
atas demikianlah tubuh pemuda itu melayang enteng sampai dua tombak dari kursi
yang didudukinya! Dan sebagai akibatnya maka tangan kanan Adipati Seta Boga
kini menghantam sandaran kursi goyang. Sandaran kursi itu pecah. Kayunya
berkeping-keping berantakan. Dapat dibayangkan bagaimana jika seandainya
tamparan itu mendarat di pipi si pemuda karena tamparan itu tidak boleh tidak
tentu mengandung tenaga dalam yang luar biasa!
“Ah…. kau rupanya Seta Boga…,”
kata si pemuda sambil mengusap matanya. “Aku sedang enak-enakan tidur, kau
mengganggu saja…!”
“Anjing kurap kenapa kau bisa
kesasar ke mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!,” radang Adipati Seta Boga.
Geram sekali dia. Selama menjadi Adipati baru hari ini ada seseorang yang
memanggilnya dengan “Seta Boga,” saja !
Sipemuda tertawa dan seperti
tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas kursi goyang, kembali
bergoyang-goyang dan memejamkan matanya.
“Setan alas betul!,” damprat
Seta Boga. Sekali kaki kanannya bergerak maka mental dan hancurlah kursi goyang
itu. Tapi si pemuda sekejapan sebelum itu sudah melompat dan berdiri di sudut
ruangan dekat sebuah meja kecil.
“Kursi bagus ditendang sampai
hancur. Kau sudah sinting rupanya Seta Boga?,” tanya si pemuda sambil
menyengir.
Sementara itu karena suara
ribut-ribut di ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan disamping heran
dia juga terkejut melihat apa yang terjadi.
“Kakang ada apakah? Siapa
manusia ini?!” tanya perempuan itu.
“Pergi, panggil pengswal!,”
teriak Seta Boga pada istrinya. Perempuan itu berteriak memanggil pengawal.
Namun tiada pengawal yang datang. Dua pengawal Kadipaten sebelumnya sudah
dibikin “mendengkur” oleh si pemuda di kandang kuda!
Kegeraman Seta Boga tak
terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong itu mengambil
sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak di atas meja
kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya sekaligus!
Rahang-rahang Seta Boga
bertonjolan. Jari-jari tangan kanannya diremas-remaskannya satu sama lain.
Sesaat kemudian kelihatanlah jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna merah
terus menjalar sampai sebatas siku.
“Anjing kurap yang kesasar,
hari ini terima nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi geniku!” Tangan kanan
yang merah itu dipukulkan ke muka. Selarik angin yang tidak terkirakan panasnya
menggebubu ke arah si pemuda.
Tubuh si pemuda berkelebat.
“Wuss!”
“Brak!”
Istri Seta Boga menjerit.
Dinding di muka mana pemuda
itu tadi berdiri hancur berlubang dan menjadi hitam hangus! Orang yang diserang
kelihatan disudut ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan menyedot serutu!
Dada Seta Boga menjadi sesak
oleh amarah yang meluap. “Siapa kau sebenarnya ?!” bentak Adipati Linggarjati
ini,
Si pemuda batuk-batuk lalu
cabut serutunya dari sela bibir. “Namaku … ?,” ujarnya. “Masakan kau tidak tahu
?!”
“Setan alas …. !”
Si pemuda tertawa menanggapi
makian itu.
“Namaku Tapak Luwing,”
katanya. “Aku datang untuk menyerahkan sebagian dari uang pungutan pajak di
desa Bojongnipah. Ini terimalah…!”
Si pemuda mengeruk saku
bajunya. Sesuatu dalam genggamannya kemudian dilemparkannya ke arah Adipati
Seta Boga. Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan tangan kanannya. Benda
yang dilemparkan ternyata adalah kira-kira selusin kalajengking yang saat itu
sudah mati dan bertebaran di lantai. Istri Seta Boga memekik lalu lari ke dalam
kamar. Si pemuda tertawa bekakakan!
Adipati Seta Boga tak menunggu
lebih lama menyambar sebuah tombak yang dipanjang di dinding. Dengan senjata
ini dia kemudian menyerang si pemuda! Si pemuda tenang-tenang selipkan
serutunya ke bibir, menghisapnya dengan cepat lalu menghembuskan asapnya ke
arah Seta Boga. Adipati ini terpaksa melompat ke samping sekali lagi karena
asap serutu itu mengandung tenaga dalam dan menyambar ke arah kedua matanya!
Dari samping kini Seta Boga
melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian kemari. Tangan kiri
melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali
berturutturut! Inilah jurus “kitiran dan alu sabung menyabung” Jurus ini
biasanya dilaksanakan dengan memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya
tidak olah-olah.
Tapi betapa terkejutnya Seta
Boga ketika si pemuda dengan tertawa-tawa berkata : “Ah, cuma jurus kitiran dan
alu sabung menyabung, siapa takut? Sambuti serangan balasan ini, Seta Boga!”
Demikianlah, meskipun diserang
tapi si pemuda bukannya mengelak malahan menyambut dengan serangan pula!
“Ini jurus membuka jendela
memanah rembulan Seta Boga!,” kata si pemuda. Lengan kirinya dipukulkari
melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan meluncur ke atas dalam gerakan
yang cepat sekali dan sukar dilihat oleh mata !
“Ngek”
“Buk !”
Tombak di tangan Seta Boga
terlepas mental karena lengannya kena dibabat oleh lengan lawan. Suara ngek
yang ke luar dari tenggorokannya adalah akibat urat besar di bawah dagunya
telah kena ditotok oleh sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya tak bergerak lagi
alias kaku tegang! Karena sebelum ditotok Seta Boga telah menyeringai kesakitan
akibat benturan lengan lawan maka di saat tubuhnya menjadi kaku itu, mimik
parasnya sungguh tak sedap untuk dipandang!
Si pemuda cabut serutu dari
sela bibirnya don meniupkan asap serutu itu ke muka Seta Boga. “Sayang sekali,”
katanya. “Jurus kitiran dan alu sabung menyabungmu terpaksa bertekuk lutut di
bawah jurus membuka jendela memanah rembulan-ku…”.
Ditiupkannya lagi asap serutu
ke muka Seta Boga. Totokan pada urat besar di bawah dagu Seta Boga tetah
melumpuhkan tubuhnya, membuat mulutnya menjadi gagu dan, perasaannya menjadi
tumpul. Cuma telinganya saja saat itu yang masih sanggup mendengar. Maka
berkatalah si pemuda. “Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah Kundrawana dan penduduk
Bojongnipah akan datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau akan mereka seret ke
hadapan Raja di Kotaraja. Tapi kalau nasibmu buruk, mereka akan mengeremusmu
beramairamai! Dan sebelum aku pergi, terima hadiah kenang-kenangan ini
dariku….”.
Si pemuda acungkan jari
telunjuk tangan kanannya. Dengan mempergunakan ujung jari itu diguratnya tiga
buah angka di kening Seta Boga, 212 …!
Ketika pada keesokan harinya
Ki Lurah Kundrawana dan dua lusin penduduk Bojongnipah bersenjata lengkap
datang ke gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka heran menemui gedung itu
dalam keadaan kosong. Tak satu manusiapun ada di dalamnya.
“Pasti Adipati keparat itu
sudah melarikan diri!,” Kata Kundrawana geram.
Tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak dari belakang gedung. Ketika Kundrawana dan yang lain-lainnya pergi
ke belakang gedung mereka hampir tak percaya dengan penglihatan mereka. Lima
orang kelihatan berdiri tak bergerak-gerak di kandang kuda. Di sebelah muka
adalah Adipati Seta Boga dan istrinya. Di kiri kanan mereka pengawalpengawal
Kadipaten dan di sebelah belakang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga!
Ketika diperiksa kelimanya masih dalam keadaan bernafas dan ditotok urat darah
mereka.
Ki l:urah Kundrawana memandang
pada angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta Boga. “Dua satu dua . . . .
,” desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala lalu memerintah:
“Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga kita seret ke
Kotaraja!”
***
Pendekar kapak maut naga geni
212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi sungai. Di tempat yang agak
kelindungan dia membuka pakaian dan mandi membersihkan diri Sambil mandi itu
kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat kejadian malam tadi di Kadipaten
Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah sampai di Linggajati, mungkin
masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu kejahatan telah berakhir. Tapi
pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang, selama itu pula kejahatan tak
pernah akan berakhir !
Selesai mandi badannya terasa
segar. Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke luar dari sela bibirnya
sedang pikirannya mengingat-ingat pertempurannya dengan Tapak Luwing dan
laki-laki yang telah melarikan Tapak Luwing serta menantangnya itu.
Tantangan ini mengingatkannya
pada pertempurannya di Gua Sanggreng dengan Bergola Wungu tempo hari. Kali ini
untuk kedua kalinya dia ditantang. Siapa pula gerangan kali ini yang
menantangnya ?
“Hidup ini memang penuh
tantangan? Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri dan dari diri
manusia-manusia lain… Sungguh gila kehidupan ini! Tapi kegilaan inilah yang
mendatangkan kenikmatan…”. Maka siulan pendekar 212 itu semakin meninggi dan
melengking membawakan lagu tak menentu.
Tentang diri manusia yang
telah melarikan Tapak Luwing itu hanya dua hal yang diketahui oleh Wiro
Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam dia melihat bahwa manusia itu buntung
tangan kanannya. Kedua, ketika dia melancarkan pukulan kunyuk melempar buah
dengan mempergunakan sepertiga bagian dari tenaga dalamnya, manusia bertangan
buntung itu telah menyambuti pukulan tersebut dengan selarik sinar biru! Dan
pukulan kunyuk melempar buah telah terbendung oleh selarik sinar biru itu! Ini
membawa pertanda bahwa si tangan buntung itu siapapun adanya pastilah memiliki
ilmu yang tinggi. Pendekar 212 menduga manusia ini mungkin sekali guru atau
kakak seperguruan Tapak Luwing.
Dikenakannya pakaiannya
kembali dan diteruskannya perjalanannya.
Rawasumpang satu daerah tandus
penuh rawa-rawa maut yang menghisap setiap benda apa saja yang masuk ke
dalamnya. Daerah ini terletak empat kilo di sebelah timur Linggajati. Kesinilah
Wiro Sableng menuju.
Angin dari utara bertiup
kencang membuat pakaian dan rambutnya yang gondrong berkibar-kibar. Dia
memandang ke bawah. Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu sunyi sepi. Tak
satu manusiapun yang dilihatnya. Wiro memandang ke langit. Matahari tengah
bergerak dalam gerakan yang tidak kelihatan menuju ke titik tertingginya.
Tiba-tiba dari arah timur
terdengar suara bergelak yang santar sekali! Pendekar kita berpaling ke arah
itu. Sesosok tubuh laksana anak panah berlari kencang sekali di pedataran luas
di sela-sela tebaran rawa-rawa. Begitu suara gelaknya hilang maka tubuhnya
sudah berada di bawah bukit di mana pendekar 212 berada. Bukit itu tidak berapa
tinggi dan dalam jarak sejauh itu Wiro Sableng segera dapat mengenali siapa
adanya manusia yang bertangan buntung itu.
“Kalau dia yang menjadi
penantangku malam tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu yang tinggi dan sangat
diandalkan…,” kata Wiro Sableng dalam hati. “Tapi…,” ujarnya lagi, “bagaimana
mungkin dalam tempo beberapa bulan saja kepandaiannya sudah seluar biasa
ini…?”.
“Manusia yang merasa bernama
Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, turunlah! Atau
aku yang musti naik ke atas bukit itu?!”. Terdengar suara laki-laki di bawah
bukit.
Pendekar kita keluarkan suara
bersiul.
“Tikus buduk cacingan kalau
sudah jadi kucing dapur memang berabe!,” katanya. “Ada kabar apa kau mengundang
aku ke sini kucing dapur…?”.
Paras Kalingundil kelam
membesi. Dengan suara keras dia menyahuti: “Tadinya aku kira kau tak punya
nyali untuk datang ke sini pendekar edan! Hitungan kita tempo hari masih belum
selesai…”
“Oho, jadi untuk maksud itukah
kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali Kalingundil. Memang urusan yang belum
selesai harus diselesaikan. Benang kusut harus diurai baik-baik kembali!”.
“Tepat sekali,” jawab
Kalingundil. “Cuma satu hal pendekar gila. Kalingundil yang dulu tidak sama
dengan yang kau lihat hari ini!”.
Wiro Sableng tertawa bergelak.
“Tentu saja. Tadipun aku sudah bilang bahwa dari tikus buduk cacingan kau sudah
berubah menjadi kucing dapur. Tapi kau tak banyak berbeda Kalingundil! Tanganmu
yang dulu buntung sekarang masih tetap buntung! Seharusnya kau cari tukang kayu
yang pandai untuk membuat tangan palsu…!”.
Mendidih darah di kepala
Kalingundil. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. Setiup angin biru deras
menyambar ke arah Wiro Sableng. Pendekar itu lompat ke samping dengan sebat dan
menyaksikan bagaimana tanah bukit tempatnya berdiri tadi terpupus berhamburan
laksana longsor dihantam angin pukulan Kalingundil! Diam-diam Wiro Sableng
menjadi kagum juga terhadap lawannya itu. Kepada siapakah Kalingundil telah
menuntut ilmu selama beberapa bulan ini?
“Pendekar gila, jangan
petatang peteteng juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa ini!,” teriak
Kalingundil. “Turun untuk terima kematianmu!”.
“Setiap undangan baik dan
buruk pantang kuelakkan, Kalingundil,” sahut Wiro Sableng. Laksana seekor
burung garuda dia melompat ke bawah.
Dalam keadaan tubuh melayang
di udara itu, Kalingundil kirimkan tiga pukulan tangan kosong sekaligus,
beruntun hebat sekali. Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan pukulan “benteng
topan melanda samudera”!
Maka beradulah pukulan-pukulan
dahsyat yang mengandung tenaga dalam yang tinggi itu sehingga menimbulkan suara
meletus hebat. Untuk sesaat pendekar 212 merasakan tubuhnya yang melayang di
udara laksana tertahan oleh sebuah dinding yang tak kelihatan sedang di bawah
sana Kalingundil melesak kedua kakinya sampai dua dim ke dalam tanah!
Sungguh pendekar 212 tidak
menyangka kehebatan tenaga dalam Kalingundil berlipat ganda banyak sekali dari
beberapa bulan yang lalu! Di lain pihak Kalingundil sendiri mengeluh dalam
hati. Waktu melancarkan tiga pukulan beruntun tadi dia telah mengerahkan tiga
perempat bagian tenaga dalamnya: Meski dia telah memiliki ilmu silat, yang aneh
dan tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu masih lebih tangguh!
Kalingundil kertakkan geraham.
“Pemuda gila, terima pukulan
jotos siluman biru ini!,” bentak Kalingundil. Tangan kanannya dipukulkan ke
muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar 212 yang saat itu baru
saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!
Pendekar kita lompat setinggi
empat tombak dan dari atas ganti mengirimkan pukulan balasan yang tak kalah
hebatnya.
Pukulan angin menimbulkan
suara seperti ratusan seruling yang ditiup secara bersamaan. Debu
berputar-putar ke udara, lumpur rawa-rawa seperti mendidih. Kalingundil
kerahkan tenaga dalamnya ke kaki untuk mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar
dilanda angin pukulan lawan namun sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan
ditempatnya. Penasaran sekali, dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan tenaga
dalamnya dalam pukulan itu!
Kini Kalingundil tak dapat
lagi bertahan dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu. Kedua kakinya
laksana akar pohon berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari pertahanannya.
Tubuhnya terhuyung keras ke belakang ke arah rawa-rawa maut. Dihantamkannya
tangannya ke muka untuk membendung angjn pukulan lawan dan serentak dengan itu
dia jungkir balik di udara melompati sebuah rawa kecil dan berdiri di bagian
lain dari pedataran! Dengan demikian kedua manusia itu berhadapan satu sama
lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa!
Laki-laki bertangan buntung
itu tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik pakaian.. Sesaat kemudian
di tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung yang berwarna biru.
Meskipun buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari senjata itu Wiro
Sableng maklum bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang mustika.
“Kau lihat pedang ini, pemuda
edan?!” bentak Kalingundil. “Nyawamu ada diujung senjata ini!”. Pendekar 212
tertawa mengekeh.
“Orang dan. senjatanya sama
saja! Sama-saama buntung!” mengejek murid Eyang Sinto Gendang itu,
Merah padam muka Kalingundil.
“Mengejek memang mudah. Tapi
ketahuilah, membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih mudah lagi!,” kata
Kalingundil pula. “Buka matamu lebar-lebar orang gila dan lihat ini!”.
Kalingundil menyapukan pedang
buntungnya ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur rawa itu muncrat ke atas
sampai tujuh tombak. Sebagian besar menyibak laksana terbelah sehingga dasar
rawa yang hitam legam terlihat jelas beberapa detik lamanya !
“Senjata hebat,” ujar Wiro
Sableng dalam hati. “Dalam keadaan buntung demikian luar biasanya. Apalagi
kalau dalarn keadaan. Sempurna. Bagaimana ini kucing dapur dapatkan senjata
itu…?”
“Kau sudah lihat pendekar
gila?!,” terdengar bentakan Kalingundil.
“Senjatamu boleh juga,
Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih baik ditempa untuk
membikin sambungan tangan palsumu!”.
Marahlah Kalingundil.
Disapukannya senjata itu ke arah pendekar 212. Maka berkiblatlah sinar biru
yang menyilaukan!
Pendekar 212 tidak bodoh.
Dengan cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan. Dia melompat
ke udara.
“Ciat!”
Didahului oleh bentakan yang
menggeledek itu maka Wiro Sableng lepaskan pukulan dinding angin berhembus tindih
menindih. Begitu pukulan ini melesat memapasi serangan lawan maka Wiro susul
dengan pukulan kunyuk melempar buah yang perbawanya disertai aliran tenaga
dalam sampai setengah bagian dari yang dimilikinya!
Pukukan yang pertama membuat
serangan Kalingundil tertahan laksana menumbuk dinding karang yang atos.
Pukulan yang kedua bukan saja membuat buyar sinar biru dari pukulan
Kalingundil, tapi sekaligus melabrak pukulan tersebut sehingga kini Kalingundil
yang berada dalam keadaan diserang! Ini memaksa Kalingundil menyingkir dua
tombak ke samping. Kemudian tanpa membuang waktu lebih lama laki-laki ini
menerjang ke muka. Pedangnya membabat deras, sinar biru yang menghamburkan hawa
dingin serta tajam menyambar ke arah pendekar 212!
Wiro Sableng membentak nyaring!
Suara bentakannya ini membuat gendang-gendang telinga Kalingundil tergetar.
Pedangnya melabrak ke arah perut lawan tapi dalam kejapan itu pula lawannya
berkelabat dan lenyap dari pemandangan! Penasaran sekali Kalingundil putar
pedang buntungnya demikian rupa. Maka sinar birupun bergulung-gulung mengurung
Wiro Sableng!.
Sebagaimana kebiasaan pendekar
212, dalam setiap pertempuran yang mulai menghebat maka disaat itu pula mulai
terdengar suara siulannya melengking-lengking membawakan lagu tak menentu!
Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini. Karena sukar untuk menentukan mana
tubuh yang sebenarnya dan mana yang hanya baying-bayang, maka hampir
keseluruhan serangan-serangan Kalingundil menghantam tempat kosong. Namun
demikian memang permainan silat siluman yang didapat Kalingundil di Gua Siluman
tempo hari meskipun cuma sepertiganya saja yang dikuasainya, benar-benar patut
dikagumi.
Pendekar 212 tahu bahwa
lawannya sampai dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat mendesaknya, apalagi
melukainya. Tapi di samping itu, pihaknya sendiri sukar pula melakukan serangan
balasan karena setiap serangan yang dilancarkan Kalingundil merupakan jurus
pertahanan! Demikianlah kehebatan ilmu silat siluman yang dimiliki oleh manusia
bertangan buntung itu!
Tapi adalah percuma saja Wiro
Sableng menjadi murid dan digembleng selama tujuh belas tahun oleh nenek-nenek
sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak bisa menghadapi lawan begitu rupa satu
lawan satu!
Maka Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus yang tak terduga dari
Kalingundil dihadapinya dengan jurus-jurus tak teratur yang gerabak gerubuk
kian kemari. Kedua tangannya terkembang di kedua sisi laksana sayap burung
garuda sedang dari mulutnya senantiasa terdengar suara siulan melengking yang
menyamaki liang telinga Kalingundil!
Saat itu kedua orang ini sudah
bertempur sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat! Tiga puluh jurus seperti
tidak terasa! Dan kini kentara sekali bagaimana Kalingundil terdesak hebat.
Bagaimanapun Kalingundil
mempercepat jurus-jurus permainan silatnya, bagaimanapun dia merobah
gerakan-gerakannya dan mengamuk laksana banteng terluka, namun tetap saja dia
berada dibawah angin, malahan kini terdesak ke arah rawa-rawa maut!
“Ha… ha…. rupanya jalan ke
nerakamu harus melalui rawa-rawa maut ini, Kalingundil!”.
“Budak hina dina jangan ngaco!
Sambut bintang silumanku ini!”.
Sambil melompat jauh, dengan
masih memegang pedang buntung, Kalingundil gunakan tangan kirinya untuk
mengirimkan selusin benda berbentuk bintang yang berwarna biru ke arah
lawannya.
“Akh… mainan anak-anak ini
kenapa musti dipertontonkan?!” ejek pendekar 212. Tangan kanannya diputar ke
udara. Serangkum angin puyuh menggebubu dan bintangbintang siluman itupun
berhamburanlah kian ke mari tiada mengenai sasarannya.
Pada detik Wiro Sableng
gunakan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia lawan maka kesempatan ini
dipergunakan oleh Kalingundil untuk melompat ke seberang rawa-rawa kecil.
“Kucing dapur! Kau mau lari ke
mana….?!” teriak Wiro Sableng.
Sebagai jawaban Kalingundil
lemparkan segulung benda putih ke arah pendekar 212. Mulanya Wiro menyangka
benda itu sebuah senjata rahasia, tapi ketika diketahuinya hanya secarik kertas
putih yang digulung maka segera ditangkapnya dan di saat itu pula Kalingundil
pergunakan kesempatan sekali lagi untuk melompat jauh lalu dengan ilmu larinya
yang lihay ditinggalkannya tempat itu.
Wiro tidak punya maksud untuk
mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan penuh tanda tanya dibukanya
gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar surat yang ditujukan oleh
Kalingundil kepadanya.
Cacat di tubuhku tak akan
terlupa seumur hidup. Kematian kawan-kawanku dan kematian Mahesa Birawa tak
akan terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi biang sebab.
Hari pembalasan akan tiba!
Berani berbuat berani tanggung jawab! Hari tiga belas bulan dua belas kutunggu
kau di puncak Gunung Tangkuban Perahu. Kalau kau tak punya nyali untuk datang
lebih baik bunuh diri sekarang juga!
Pendekar 212 penasaran sekali.
Diremasnya surat itu. “Sialan betul kucing dapur itu!,” gerendang Wiro Sableng.
Dia lari ke bukit. Namun bayangan Kalingundil sudah tak kelihatan lagi.
Tantangan yang dibuat
Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk menjajaki sampai di mana
kehebatan ilmu silat silumannya bisa menghadapi musuh besarnya itu. Nyatanya
Wiro Sableng masih tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun dia tidak kecewa.
Pada hari yang telah direncanakannya itu, kelak dendam kesumatnya akan
kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu dia te!ah menyampaikan surat
undangan kematian bagi musuh besamya itu. Dia yakin pendekar 212 akan datang ke
puncak Gunung Tangkuban Perahu!
–== 0O0 == —
9
PUNCAK Gunung Halimun….
Puncak gunung ini kelihatan
diselimuti awan putih. Bila angin barat bertiup maka beraraklah awan itu
kejurusan timur dan Puncak Gunang Halimun kembali kelihatan dengan jelas dan
megah.
Selewatnya tengahari, sesosok
tubuh berlari laksana angin, menuju ke puncak gunung. Semakin ke puncak udara
semakin sejuk serta segar. Laki-laki itu mempercepat larinya seakan-akan tak
sabar untuk lekas-lekas sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat sepeminuman
teh sarnpailah dia ke puncak tertinggi dari gunung itu.
Dia memandang berkeliling.
Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang kelihatan. Mulai dari
kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan batu besar sebesarbesar
rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata licin berlumut itu tumbuh
rumput-rumput liar. Laki-laki itu bertangan bunting. Dia tak lain adalah Kalingundil.
Mengapa dia berada di puncak gunung ini ialah dalam meneruskan rencana besarnya
yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap pendekar 212 Wiro Sableng.
Kalingundil dengan gerakan
yang enteng melompat ke salah satu batu besar. Seseorang yang tidak memiliki
ilmu meringani tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup mernbuat lompatan lihay
itu, kalaupun dapat mungkin begitu menginjak batu, kakinya akan terpeleset
karena lincinnya lumut! Kalingundil memandang keseantero puncak gunung yang
telah mati itu. Di antara unggukanunggukan batu-batu rnaka di tengah-tengah
kelihatanlah kawah yang besar yang sudah padam.
Kawah ini berbentuk kerucut
dan dalarn sekali. Kalingundil melompat lagi ke batu besar yang lebih tinggi.
Sekali lagi dilayangkannya pandangannya ke seantero puncak gunung. Bila dia
sudah yakin betul bahwa tempat kediaman orang yang hendak ditemuinya itu
bukalah di permukaan puncak gunung maka segeralah dia melompat ke tepi kawah.
Dari sini dia terus turun ke dalam kawah.
Selain dalam, kawah Gunung Halimun
sukar sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil dengan cekatannya lompat sana
lompat sini sehingga dalam waktu yang singkat dia sudah berada di dasar kawah.
Udara di dalam dasar kawah
gunung ini pengap dan menyesakkan pernafasan. Karenanya Kalingundil segera atur
jalan nafasnya. Begitu dirinya dapat menguasai kepengapan, itu maka dia segera
meneliti keadaan dasar kawah di mana dia berada. Luas dasar kawah yang
merupakan pusat kerucut itu hanya beberapa kali lebih besar dari sebuah sumur.
Seluruh dasar kawah merupakan pasir campur tanah yang sudah membeku den
mengeras selama berabad-abad sesudah gunung itu meletus. Putaran bola mata
Kalingundil terhenti pada sebuah lobang yang besarnya selebar bahu manusia.
Laki-laki ini segera mendekati
lobang itu. Menelitinya sesaat lalu tanpa ragu-ragu segera memasukinya.
Mula-mula dia hanya bisa merangkak. Tapi semakin ke dalam lobang itu semakin
besar sehingga dari merangkak kini dia dapat membungkuk-bungkuk dan akhirnya
berjalan seperti biasa.
Kalingundil sampai ke sebuah
ruang empat persegi berdindingkan batu-batu hitam yang kasar. Dari keempat
sudut ruangan ini keluar empat liukan asap tipis yang berwarna hitam. Begitu, hidungnya
mencium bau yang disebar oleh asap ini mendadak sontak kepala Kalingundil
menjadi pusing. Cepat-cepat Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan tutup jalan
nafasnya.
Kalingundil tahu bahwa ruangan
batu itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat adanya pintu atau
sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka kelihatanlah di
langitlangit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang berkeliling lalu
enjot kedua kaki dan melompat ke tepi liang, terus menaiki tangga batu. Anehnya,
bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi tubuh yang dimilikinya namun setiap
iangkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi dan bergema keras!
Begitu sampai di anak tangga
yang teratas maka sampailah Kalingundil ke satu ruangan putih yang sangat bersih.
Demikian bersih dan berkilatan putihnya dinding-dinding serta lantai dan
langitlangit ruangan itu, sehingga tak ubahnya seperti berada di satu ruangan
kaca.
Tepat di tengah-tengah ruangan
terdapat sebuah batu besar dan di atas batu besar ini sesosok tubuh laksana
patung tengah bersemedi jungkir balik, kaki ke atas kepala ke bawah di atas
batu. Sosok tubuh ini mengenakan sehelai kain putih yang dibalutkart sekujur
badan mulai dari betis sampai ke dada. Kepala dan paras orang yang bersemedi
tiada kelihatan karena tertutup oleh janggut putih yang panjang, hampir
menyamai panjangnya rambut yang menjulai di lantai dan juga berwarna putih!
Sungguh hebat cara manusia ini bersemedi!
Namun pandangan Kalingundil
segera terbagi pada seekor harimau besar belang tiga yang berbaring di samping
laki-laki yang tengah bersemedi. Begitu melihat kemunculan Kalingundil, makhluk
ini berdiri dan menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi dan taringnya
kelihatan besarbesar serta runcing mengerikan. Didahului dengan auman yang
dahsyat dan menggetarkan ruangan putih itu maka melompatlah binatang itu. Kedua
kaki terpentang ke muka, kuku-kuku yang tajam dan panjang siap merobek tubuh
Kalingundil!
Kalingundil yang maklum bahwa
harimau itu bukan binatang biasa tapi peliharaan seorang sakti dengan cepat
segera melompat ke samping hindarkan diri. Namun meskipun demikian cepatnya,
sang harimau lebih cepat lagi! Laksana seorang jago silat kawakan, masih
melayang di udara binatang itu putar tubuh, ekornya berkelebat!
Ekor yang panjang laksana
cambuk itu menghantam bahu Kalingundil yang buntung. Pakaiannya robek. Bahunya
sakit tiada terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan disaat itu
terpaksa segera melompat pula ke samping karena si belang sudah menyerangnya
kembali!
Hanya dengan
berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah maka Kalingundil berhasil mengelakkan
setiap serangan. Dia menghitung-hitung, sampai saat itu telah dua puluh jurus
dia bertempur menghadapi sang harimau. Dan selama itu Kalingundil terus-terusan
bersikap mengelak, sama sekali tak mau menyerang! Kalau dia mengelak terus, di
satu ketika mungkin sekali harirmau itu berhasil juga mengoyak daging tubuhnya!
Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu adalah peliharaan orang sakti dengan
siapa dia ingin bertemu dan bicara! Inilah yang menyulitkan Kalingundil! Dan
sementara dia bertempur demikian rupa, orang yang bersemedi masih juga terus
bersemedi, seperti tiada terganggu, seperti tak mengetahui adanya pertempuran
yang dahsyat itu!
Satu-satunya jalan bagi
Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai ialah meninggalkan
ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara, menunggu sampai orang
yang bersemedi menyelesaikan semedinya.
Maka ketika harimau itu
mengaum dan menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai lalu bergulingan ke
arah tangga. Pada saat harimau itu hendak menubruknya sekali lagi. Kalingundil
sudah lenyap ke bawah tangga…
Telah tiga hari Kalingundil
menunggu di dasar kawah itu. Telah tiga kali pula dia masuk ke dalam ruang
putih dan mengintai dari balik anak tangga teratas, namun sampai saat itu orang
yang bersemedi masih juga belum meninggalkan batu persemediannya.
Menunggu sampai satu minggupun
bagi Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang menyusahkannya ialah untuk
mendapatkan bahan makanan selama hari-hari penungguan itu.
Empat hari kemudian, pada kali
yang ke tujuh Kalingundil mengintai dari balik anak tangga, orang itu
dilihatnya masih juga bersemedi. Dengan hati kesal Kalingundil menuruni tangga
kembali. Tapi begitu dia keluar dari liang tangga dan sampai di ruang bawah
maka mendadak terdengar suara menggema dari ruang putih.
“Manusia yang berani-beranian
menginjakkan kaki kotor di tempatku cepat datang menghadap untuk terima
hukuman!”.
Terkesiap Kalingundil
mendengar ini.
“Ayo cepat! Tunggu apa
lagi?!,” kata suara dari ruang putih.
Kalingundil memutar langkahnya
kembali. Dalam melangkah kembali ke liang tangga, terdengar lagi suara tadi.
“Hemm… seorang bertangan
buntung macammu sungguh tak pantas masuk ke tempatku! Hukumanmu lipat ganda hai
manusia!”.
Tentu saja Kalingundil
terkejut mendengar ini. Bagaimana orang di dalam ruangan putih itu bisa
mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski dia sakti luar biasa tapi mereka belum
pernah bertemu muka dan tak mungkin menurut pikiran Kalingundil orang itu
mengetahui hal keadaan dirinya! Kalingundil lupa bahwa dinding dan
langit-langit ruangan putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca sehingga
orang yang ada di ruangan putih akan mudah melihat siapa saja yang ada di ruang
bawah!
Kalingundil melompat ke atas
dengan gerakan enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia muncul di ruangan putih
anehnya harimau yang berbaring tidak lagi menyerangnya. Sedang manusia
berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di atas batu kaki ke
atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya masih tertutup oleh julaian janggut
putihnya yang panjang menjela-jela.
Meski. harimau belang tiga itu
tidak rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri dengan waspada. “Kau siapa?!”
membentak si kepala ke bawah kaki ke atas.
“Namaku Kalingundil. Apakah
saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga?,” tanyaKalingundil setelah
terangkan dia punya nama.
Yang ditanya tak menjawab
melainkan ajukan pertanyaan: “Perlu apa kau datang mengotori tempatku ini,
manusia tangan buntung?!”.
“Harap dimaafkan kalau
kedatanganku rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya aku tiada maksud demikian,”
kata Kalingundil pula. “Aku…”
“Sudah! Jangan berbacot juga!
Melangkahlah lebih dekat untuk terima hukumanmu!”.
Sebaliknya justru Kalingundil
hentikan langkah. Diperhatikannya manusia yang berdiri jungkir balik di atas
batu itu.
“Melangkah lebih dekat!”
bentak orang itu. Suaranya menggaung di ruangan putih sedang harimau di
sampingnya menggeram tak kalah hebat. “Begawan…”.
Kalingundil putuskan kalimatnya.
Kaki kiri manusia dihadapannya dilihatnya bergerak. Serangkum angin yang sangat
deras melanda ke arah Kalingundil. Ruangan itu bergetar. Dengan jungkir balik
secepat yang bisa dilakukannya Kalingundil berhasil elakkan serangan dahsyat
itu!
Terdengar suara gelak
mengekeh. “Pantas… pantas kau berani petatang peteteng datang ke sini untuk
bikin kotor tempatku. Rupanya kau memiliki ilmu yang diandalkan juga! Aku mau
lihat apakah kau juga sanggup mempertahankan diri dengan jurus kaki selaksa
baja ini?!”.
Kepala yang di atas batu itu
berputar. Kedua kaki bergerak. Tahu kalau dirinya hendak diserang lagi dengan
tendangan jarak jauh yang lebih dahsyat dari tadi, Kalingundil cepat mendahului
berseru.
“Begawan! Tahan! Aku datang
membawa kabar untukmu!”.
Oleh ucapan yang lantang ini
maka orang. itu hentikan maksudnya untuk kirimkan serangan: “Aku tidak kenal
padamu! Kabar apa yang kau bawa?! Cepat katakan!” hardiknya. Dia masih juga
berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke atas seperti tadi.
“Kabar ini kabar buruk
Begawan…”
“Sialan! Buruk atau baik cepat
katakan! Jangan habiskan, kesabaranku monyet alas!”
Kalingundil pada dasarnya
sangat tidak senang mendengar kata-kata makian seperti itu. Namun dia menjawab
juga. “Sobat kentalmu Mahesa Birawa menemui kematiannya di tangan seorang
manusia keparat…”
Tubuh di atas batu kelihatan
bergerak dan tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak dengan kedua kakinya di
atas batu. Maka kini kelihatannya parasnya yang sejak tadi tertutup oleh
geraian janggut putih panjang. Kulit mukanya sangat pucat seperti tiada
berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya lebih cekung lagi membuat wajahnya
angker sekali untuk dipandang. Rambutnya putih panjang sampai ke bahu sedang
janggutnya menjulai sampai ke perut.
Kalingundil menjura memberi
hormat. “Jadi betul saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga..?”
tanyanya.
Si muka pucat. tidak ambil
perduli pertanyaan itu.
“Siapa yang bunuh dia dan dari
mana kau bisa tahu?!”
Kalingundil segera buka mulut
berikan keterangan. “Mahesa Birawa dan beberapa orang Adipati memimpin sejumlah
batatentara untuk memerangi Pajajaran. Tapi mereka kalah. Semua Adipati menemui
ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan seorang pemuda sakti “
Maka kelihatanlah
kerutan-kerutan muncul di paras Begawan Sitaraga yang membuat parasnya menjadi
tambah angker. Kedua matanya menyipit, pandangannya setajam mata pedang!
Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia sudah tahu lama bahkan sebagaimana
perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia sendiri telah menjanjikan akan turun
tangan membantu pemberontakan Mahesa Birawa karena memang sejak lama dia
mempunyai dendam kesumat dengan keluarga istana Pajajaran! Di puncak Gunung
Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa Birawa kapan penyerangan
dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa kabar bahwa
pemberontakan gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian! Tehtu saja ini
tak bisa dipercayainya.
“Aku tidak percaya pada kau
punya bicara, manusia tangan buntung!” bentak Begawan Sitaraga.
“Demi apapun aku berani sumpah
bahwa aku tidak dusta, Begawan” jawab Kalingundil dengan suara merendah
meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama “manusia tangan buntung”
itu.
“Namamu siapa…”
“Kalingundil”.
“Punya hubungan apa kau dengan
Mahesa B irawa?”.
“Dia adalah pemimpin dan sobat
kentalku sejak tahunan, Begawan…”
“Baik! Tapi aku tidak tahu apa
itu betul atau tidak. Jawab pertanyaanku untuk membuktikan kebenaran
keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa sebenarnya…?”.
Kalingundil tertawa. “Kau keliwat
tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…”.
“Siapa akui kau pihakku…?
Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!”.
Kalingundil menggerutu dalam
hati.
“Ayo jawab pertanyaanku! Siapa
nama asli Mahesa Birawa?!”.
“Suranyali!” jawab Kalingundil.
“Hem…” Sitaraga merenung,
“Mahesa Birawa seorang berkepandaian tinggi. Tidak semudah itu untuk merenggut
nyawanya…”
“Di luar langit ada langit
lagi Begawan! Kesaktian pemuda tandingannya melebihi kesaktiannya…”.
Begawan Sitaraga kerutkan
kening.
Dan Kalingundil teruskan
ucapannya. “Aku sendiri pernah menghadapinya. Masih untung cuma tanganku yang
dimintanya, bukan nyawaku!”
“Ho-o… jadi maksudmu datang ke
sini untuk mengadu dan merengek macam anak kecil agar aku turun tangan…?”.
Merah muka Kalingundil. “Itu
adalah terserah padamu Begawan. Sebagai sobat dan bekas pemimpinku, aku telah
cari pemuda yang membunuh Mahesa Birawa. Namun dia lebih tinggi ilmu silatnya
dan lebih tinggi…”.
“Siapa nama bangsat itu?!”
tanya Sitaraga pula.
“Wiro Sableng. Tapi dia lebih
dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
Mendengar ini maka terkejutlah
Begawan Sitaraga. “Kau bilang dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212…?”.
“Ya…”
“Kalau begitu dia adalah
nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!”.
“Tidak… dia adalah seorang
pemuda. Masih sangat muda, bahkan tampangnya macam anakanak, berambut gondrong
dan berotak miring sinting!”
Sitaraga merenung lagi.
Kemudian desisnya: “Kalau begitu mungkin sekali dia adalah murid nenek-nenek
itu yang diam di puncak Gunung Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng tidak punya
murid sejak puluhan tahun berselang…” Sitaraga tarik nafas dalam. “Kalau betul
dia murid Sinto Gendeng, tidak salah Mahesa Birawa dipecundangi…” Sitaraga
memandang jauh ke muka seperti pandangannya itu mau menembus dinding putih di
belakang Kalingundil.
Melihat ini maka Kalingundil
mulai masukkan jarum hasutannya. “Sewaktu aku bertempur dengan dia di
Rawasumpang aku beri peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa Birawa yang
terdiri dari tokoh-tokoh silat utama akan turun tangan untuk menuntut balas.
Dan Wiro Sableng mengumbar bahwa terhadap siapapun dia tidak takut! Bahkan dia
menantang untuk bikin perhitungan di puncak Gunung Tangkuban Perahu pada hari
tigabelas bulan duabelas nanti!”.
Mata Begawan Sitaraga menyipit
lagi. “Pongah betul,” desisnya. “Rupanya sudah kepingin cepat-cepat merasakan
gelapnya liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin minggat ke neraka!”.
“Betul Begawan. Bukan saja
kepongahannya itu yang menyakitkan hati, tapi tantangannya itu adalah juga
sangat menghina dan tiada memandang sebelah matapun terhadap tokoh-tokoh silat
utama macam Begawan….”.
Sitaraga manggut-manggut.
“Manusia-manusia macam begitu musti dilenyapkan dengan lekas. Kalau tidak akan
menjadi biang runyam golongan dan aliran kita….”
Hati Kalingundil menjadi
gembira karena tahu hasutannya sudah menyamaki dan mengobari dendam serta
amarah Begawan itu.
“Tantangan itu…,” kata
Kalingundil pula meneruskan hasutannya, “sekaligus menghina terhadap guru
Mahesa Birawa yang diam di Gunung Lawu… Aku bermaksud untuk menemuinya dan
meminta langkah-langkah yang segera akan kita laksanakan”.
“Kalau cuma untuk memecahkan
batok kepala pemuda sedeng itu, aku sendiripun menyanggupinya!”
“Betul Begawan. Tapi untuk
tidak mengecewa kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari, ada baiknya kematian
muridnya itu diberi tahu…”
“ltu urusanmu,” jawab
Sitaraga. Matanya. memandang tepat-tepat ke pinggang Kalingundil. Sesungguhnya
sejak tadi matanya itu memperhatikan secara diam-diam ke pinggang Kalingundil.
“Coba aku mau lihat apa yang kau simpan di balik pinggangmu,” katanya
tiba-tiba.
Kalingundil kaget sekali. Dia
melirik ke pinggangnya. Dia telah menyimpan senjatanya baikbaik namun mata
Sitaraga yang tajam masih sanggup mengetahuinya.
“Ah, tidak apa-apa Begawan.
Cuma…”
“Cuma apa?!” Sitaraga
pelototkan mata.
“Cuma sebilah pedang buruk…”
sahut Kalingundil.
“Keluarkan!”
“Begawan….”
“Jangan banyak bicara.
Keluarkan!”
Kalau bukan berhadapan dengan
Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada rencana besarnya, maka
pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia yang dihadapannya itu.
Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya dianggap remeh
terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa yang bisa sabarkan diri?!
.
“Kau membangkang
Kalingundil?!”
Penasaran sekali Kalingundil
cabut Pedang Siluman buntungnya. Maka sinar birupun memancarlah di ruangan
putih itu. Begawan Sitaraga terkejut.
“Pedang Siluman Biru..,”
desisnya. Dia di samping terkejut juga heran melihat pedang sakti itu kini
hanya merupakan sebuah puntungan belaka. “Dari mana kau dapat senjata itu?
Bagaimana bisa buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!”
Kalingundil menyeringai
mendengar pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. “Itu semua adalah urusanku
Begawan. Yang penting hari ini kita telah berjumpa dan kau telah mengetahui
nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban Perahu!”.
Kalingundil berkelebat ke arah tangga.
“Tunggu!” teriak Sitaraga.
Tapi Kalingundil tak mau ambil
perduli.
Maka marahlah Begawan
Sitaraga. “Kalau tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa Birawa, sudah terlalu
pantas aku minta nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini cukup kau tinggalkan saja
salah satu dari daun telingamu!”
Sebuah senjata rahasia melesat
ke arah telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini segera lambaikan tangan
kirinya. Tapi celaka senjata rahasia itu tak sanggup dibuat mental dengan
pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil cabut pedang saktinya kembali. Namun
gerakan ini tentu saja sudah terlambat!
Kalingundil mengeluh
kesakitan. Darah membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun telinganya sebelah
kanan terbabat buntung oleh senjata rahasia Sitaraga! Kalau tidak
mengingat-ingat akan rencana pembalasan dendamnya, maulah Kalingundil menyerang
Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika didengarnya kekehandak Sitaraga
yang menusuk liang telinganya!
Dalam waktu yang singkat
Kalingundil sudah berada di luar Kawah Gunung Halimun. Dibersihkannya darah
yang membasahi pipi kemudian dengan sehelai kain dibalutnya kepalanya tepat
pada batasan telinga yang buntung. Kemudian diambilnya sebuah pil lalu ditelan
untuk menolak racun senjata rahasia Sitaraga itu.
Di dasar kawah Gunung Halimun,
tak lama sesudah Kalingundil lenyap, kembali Sitaraga merenung.
Siapa Kalingundil sebenarnya
masih agak samar baginya. Tapi itu tidak begitu penting. Yang menjadi tanda
tanya besar ialah siapa itu pemuda yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212? Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau Kalingundil telah menghadapinya
dengan Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh si pemuda, maka sudah dapat
dijajaki oleh Sitaraga sampai di mana ketinggian ilmu pendekar 212 itu! Ini
membuat dia ingin lekas-lekas berhadapan dengan sang pendekar muda. Namun dia
musti menunggu beberapa bulan di muka sampai saat yang ditentukan yaitu hari
tigabelas bulan duabelas!
***
SIAPA penduduk desa bukit
tunggul yang tidak tahu dengan Asih Permani. Tanyakan pada yang tua-tua, mereka
akan tahu, tanyakan pada yang muda-muda mereka akan lebih dari tahu. Tanyakan
pada anak-anak kecil yang mengangon bebek atau menggembala kerbau, mereka juga
akan tahu. Jika.ditanyakan bagaimana paras Asih Permani maka semua mulut akan
memuji. Semua mulut akan mengatakan: Asih Permani gadis yang tercantik se-Bukit
Tunggul. Mukanya bujur telur. Hidungnya kecil mancung bak daun tunggal.
Bibirnya seperti delima merekah, merah dan segar. Matanya bening bercahaya
laksana bintang di angkasa raya. Dagunya seperti lebah bergantung, leher
jenjang dan suaranya halus merdu, serasa digelitik liang telinga jika kita
mendengar suara Asih Permani. Dan keseluruhan tubuhnya yang montok padat itu
dibungkus oleh kulit yang halus mulus.
Asih Permani memang cantik
seperti perbandingan di atas. Kawannya sesama gadis di desa Bukit Tunggul
banyak yang merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki gadis itu. Pemuda-pemuda
banyak yang tergila. Tapi semua mereka bertepuk sebelah tangan. Karena pada
bulan di muka, tepat di waktu bulan rembulan empat belas hari. Asih Permani
akan dinikahkan dengan Ranggasastra, anak lurah Bukit Tunggul. Memang di
samping kaya raya, banyak harta dan sawah berlimpah kerbau berkandang, maka
Ranggasastra cocok dan pantas menjadi suami Asih Permani. Pemuda ini gagah.
Badannya tegap, hatinya polos dan ramah kepada setiap orang. Sehingga kalau
bersanding dengan Asih Permani di pelaminan nanti tentulah tak ubahnya seperti
pinang dibelah dua!
Semakin lama, semakin dekat
juga hari pernikahan itu. Tentu sama dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua
calon pengantin itu menjelang hari perkawinan mereka. Hari yang bersejarah dan
tak dilupakan seumur hidup mereka. Hari di mana mereka akan sama-sama membuka
suatu “rahasia kebahagiaan hidup”.
Saat itu Ranggasastra tengah
duduk-duduk di depan rumahnya memandangi bintang-bintang yang bertaburan. Entah
mengapa malam itu hatinya gelisah saja. Dan dia tak tahu apa sebenarnya yang
digelisahkannya itu. Larut matam baru dia dapat tertidur. Tapi menjelang fajar
dia tersentak. Ranggasastra adalah seorang yang pernah menuntut ilmu silat dan
kesaktian pada seorang guru di pantai utara. Nalurinya menyatakan bahwa ada
seseorang lain di dalam kamarnya saat itu. Dibukanya kedua kelopak matanya. Dia
terkejut melihat sesosok tubuh manusia sangat kate berdiri dekat tempat tidur.
Manusia ini berkepala botak sudah licin berkilat ditimpa kelap-kelip sinar
lampu pelita dalam kamar.
Manusia kate ini memiliki
hidung yang sangat besar. Hidungnya yang besar itu seperti mau menutupi mukanya
yang kecil. Ketika dia menyeringai dan mengeluarkan suara mendesau, maka
kelihatanlah giginya yang cuma satu di sebelah atas.
Ranggasastra segera melompat
dari tempat tidur.
“Manusia kate! Siapa kau?!”
bentak si pemuda. Matanya meneliti manusia dihadapannya dengan tajam. Dan
meskipun cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak begitu terang, namun
Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia kate itu mempunyai telapak kaki yang
lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu sampai sebatas mata kaki sama sekali
tidak merupakan tapak kaki manusia, tapi seperti kaki seekor gajah!
“He… he… he…”. Manusia kate
berkaki besar tertawa berkemik. “Kau manusianya yang bernama Ranggasastra, yang
bakal jadi penganten minggu depan…?!”.
Tentu saja apa yang ditanyakan
manusia itu, mengejutkan Ranggasastra. “Itu bukan urusanmu! Jawab dulu siapa
kau!”
“He… he… he…”. Tamu tak
diundang itu mengekeh lagi. “Maksudmu untuk menjadi penganten, untuk menjadi
suami Asih Permani tidak akan kesampaian Ranggasastra…!”.
“Manusia kate, jangan ngaco
pagi-pagi buta!,” bentak Ranggasastra dengan marah. “Keluar dari kamarku!”.
Pemuda itu kepalkan tinjunya.
“Kau tak akan pernah menjamah
tubuh Asih Permani, anak muda. Karena mulai detik ini ke atas, dia adalah
milikku dan akan kubawa ke mana aku suka, akan kuperbuat apa aku senang!”.
Manusia kate ini mengekeh lagi.
“Kalau kau mau mengigau,
pergilah mengigau di liang kubur!”. Habis berkata demikian Ranggasastra menerjang
ke muka. Tinju kanannya menderu! Tapi dia hanya memukul tempat kosong. Hampir
tak terlihat oleh matanya, manusia kate itu telah berkelebat dan lenyap dari
pemandangannya!
Tinggal seorang diri di dalam
kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur dan tersentak oleh mimpi.
Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak tangan berulang kali. Tidak, dia
tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi! Dan ketika dia memandang ke
lantai kamar yang terbuat dari papan, maka pada lantai itu jelas dilihatnya
bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.
Ketika ingat akan
ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah tadi maka khawatirlah Ranggasastra.
Segera dijangkaunya tongkat besi berujung runcing yang tersisip di dinding.
Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda ini
segera tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur di mana terletak rumah
orang tua Asih Permani.
Sepuluh tombak akan sampai ke
halaman muka rumah gadis calon isterinya, mendadak Ranggasastra melihat sesosok
tubuh melompat keluar dari jendela samping rumah! Sosok tubuh ini tak lain dari
manusia kate yang telah mendatanginya tadi. Dan pada bahu manusia itu kelihatan
sosok tubuh seorang perempuan. Meskipun halaman samping gelap tapi Ranggasastra
tahu betul, perempuan yang dipanggul itu adalah calon isterinya. Asih Permani!
“Bangsat rendah! Pencuri
busak! Lepaskan perempuan itu!,” bentak Ranggasastra.
Si kate kepala sulah tertawa
dingin. “Sekali aku bilang bahwa gadis ini jadi milikku, tak satu manusia
lainpun yang bisa menghalanginya!”.
“Kalau begitu terpaksa
kukermus kepalamu!”. Maka tongkat besi di tangan Ranggasastra menderu ke kepala
si kate. Gesit sekali yang diserang melompat ke samping. Ranggasastra susul
dengan satu tusukan ke dada kiri. Namun dengan kecepatan yang luar biasa orang
kate itu gerakkan kaki kanannya!
Tendangan yang keras menghajar
tangan kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas. Tangannya hancur dan jeritan
kesakitan keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini terhuyung sebentar lalu
mental sampai beberapa tombak ketika tendangan lawan terus menyerempet
perutnya! Perut si pemuda robek besar. Tubuhnya menggeletak tanpa nyawa. Si
kate tertawa buruk.
“Maling hina dina!! Nyawamu di
ujung golokku!” teriak seseorang yang melompat dari dalam rumah lewat jendela.
Si kate berkepala botak cepat
putar badan pada saat sebuah golok berkiblat memapasi batok kepalanya!
“He… he… Kau juga inginkan
mampus Ki Lurah!” ujar si kate. Manusia yang menyerangnya itu adalah Tanuwira,
ayah Asih Permani.
“Kau yang akan mampus lebih
dahulu manusia laknat!”. Golok Tanuwira berkelebat lagi. Tapi si kate sungguh
luar biasa. Serangan itu dihadapinya dengan tertawa tawar. Sekali dia gerakkan
kaki kanannya maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira.
Si kate tertawa mengekeh.
“Calon mantu dan calon mertua
sama-sama bernasib sial! Kasihan…”. Dihirupnya udara segar menjelang pagi itu
sejurus lenyaplah dia dari tempat itu.
***
KETIKA dia sampai
kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka terkejutlah manusia kate berkepala
botak itu sewaktu melihat ada seorang bertangan buntung yang tak dikenalnya
berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan buntung agaknya juga terkejut melihat
kedatangan si kepala botak yang membawa seorang gadis cantik di pundak kirinya.
Tapi dia cepat-cepat menjura.
“Pastilah saat ini aku
berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak Gajah…”
Laki-laki kate yang memang
bernama Tapak Gajah turunkan tubuh Asih Permani dari pundaknya. Matanya
meneliti tajam orang di hadapannya lalu bertanya: “Kau sendiri siapa? Apakah
datang kesini membawa maksud baik atau buruk?”. Sambil bertanya demikian Tapak
Gajah memperhatikan telinga kanan tamunya yang juga buntung tiada berdaun.
“Namaku Kalingundil. Aku
datang dengan maksud baik, tapi membawa berita buruk”.
“Aku tidak kenal padamu
sebelumnya. Berita buruk apakah yang kau bawa…?” tanya Tapak Gajah.
Maka Kalingundil segera mulai
pasang jarum penghasutnya. “Pembunuhan atas diri seorang murid adalah satu hal
yang pahit bagi gurunya! Begitu pahit sehingga menanamkan dendam kesumat…”.
“Jangan bicara berbelit!,”
potong Tapak Gajah. “Katakan langsung berita buruk itu!”
“Muridmu dibunuh orang, Tapak
Gajah…”
Berubahlah paras si tubuh kate
kepala sulah. Sedang Kalingundil saat itu melirik memperhatikan Asih Permani
yang berdiri tak bergerak, “Pastilah tubuhnya ditotok”, pikir Kalingundil dan
dalam hatinya dia bertanya-tanya: “Siapa gerangan gadis cantik ini…”. Sesak
nafas Kalingundil melihat kejelitaan Asih Permani.
“Aku mempunyai beberapa orang
murid yang telah turun ke dalam rimba persilatan. Murid yang mana yang kau
maksudkan?!” tanya Tapak Gajah.
Kalingundil memalingkan
mukanya kepada laki-laki itu kembali. “Mahesa Birawa…”
“Aku tak punya murid bernama
Mahesa Birawa!” berkata Tapak Gajah.
Kalingundil kaget. Dia
berpikir-pikir seketika. Kemudian dia ingat. “Maksudku muridmu Suranyali…”
Sekali lagi berubah paras
Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan. “Apakah kau bicara, ngelantur
atau bagaimana…?”.
“Demi setan dan iblis aku
tidak bicara dusta, Tapak Gajah!”.
“Suranyali bukan manusia
sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!”
“Tapi manusia yang membunuhnya
lebih sakti lagi!”.
“Siapa ?!”
“Pendekar 212….”.
Tapak Gajah merenung. Kedua
tangannya terkepal. “Kau dusta Pendekar 212 Sinto Gendeng sudah sejak puluhan
tahun lenyapkan diri dari dunia persilatan!”.
“Tapi….”
“Tutup mulut! Terima hukuman
dariku bangsat bermulut bohong!”.
Tapak Gadjah hantamkan kaki
tangannya ke muka.
“Wutt !”
Angin sedahsyat badai yang ke
luar dari tendangan itu lebih dahulu menyerang ke arah Kalingudil sebelum
tendangannya sendiri sampai !
Kalingundil tak mau ambil
risiko. Dia berteriak nyaring dan lompat delapan tombak ke udara.
“Byur!”
Kaligundil palingkan kepala ke
belakang. Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu melihat bagaimana angin
tendangan Tapak Gadjah menghancurkan batu besar di belakangnya!
Sewaktu manusia kate itu
hendak lancarkan serangan kedua Kalingundi cepat berseru: “Tahan! Kita berada
di pihak yang sama!”
Tapak Gadjah tarik
serangannya.
“Apa maksudmu kita di pihak
yang sama huh?”
“Aku adalah bekas anak buah
Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di Jatiwalu!”
“Jangan coba kelabui aku!,”
membentak Tapak Gadjah.
“Perlu dan untung apa aku
mengelabuimu!” baias membentak Kalingundil dengan beringas.
“Berikan bukti bahwa muridku
yang satu itu benar-benar dibunuh orang!”
Kalingundil tertawa dingin.
“Tidak mau percaya pada orang sepihak akan merugikan diri sendiri Tapak
Luwing…” Lalu Kalingundil memberikan keterangan selengkapnya.
Kini mulai kelihatan bayangan
rasa percaya di paras Tapak Gadjah. Namun apa yang meragukannya ialah
keterangan Kalingundil mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng. Satusatunya
kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa pemuda bernama Wiro Sableng itu adalah
murid Sinto Gendeng.
“Golongan hitam memang sejak
dulu menaruh dendam pada itu nenek-nenek sialan…,” ujar Tapak Gadjah pula.
“Tapi sebelum kami bersepakat untuk menghabiskan jiwanya, dia sudah lenyapkan
diri! Kini muridnya muncul dan membunuh muridku! Benarbenar laknat!”
“Aku sendiri telah tantang dia
di Rawasumpang demi untuk menuntut balas kematian Suranyali atau Mahesa Birawa.
Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa tinggi ilmunya. Kalau aku kalah
dalam pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu apa tapi ada satu hal yang
benar-benar menyakiti hatiku Tapak Gadjah…”
Kalingundil menunjukkan paras
yang mengandung dendam. Sepasang matanya memandang lurus-lurus jauh ke muka. .
“Katakan apa yang menyakiti
hatimu itu!,” kepingin tahu Tapak Gadjah.
“Sebelum mengundurkan diri
dari Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda keparat bahwa kelak pembalasan dari
guru Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa bekakakan dan berkata bahwa
sekalipun ada seribu guru Suranyali, akan diterabasnya sama rata dengan tanah!”
Rahang-rahang TapakGadjah
mengembung. “Begitu keparat itu bilang…?”
Kalingundil manggut.
“Meski dia murid si Sinto
Gendeng, tapi jangan merasa sudah setinggi langit kepandaiannya! Katakan di
mana bangsat itu berada! Aku Tapak Gadjah akan pecahkan kepalanya!”
“Kau tak perlu susah-susah
mencarinya Tapak Gadjah,” menjawab Kaligundil. “Bukankah tadi aku sudah katakan
bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya dia tunggu kau pada hari
tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban Perahu!”
“Anjing kurap betul itu
manusia!”. Tapak Gadjah meludah ke tanah.
Dan Kalingundil berkata lagi:
“Beberapa tokoh silat utama yang ditantang pendekar 212 itu juga telah kuberi
tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke Tangkuban Perahu guna mengkeremus
si pemud !”
“Seribu tokoh utama boleh
datang ke sana. Namun kematian anjing kurap itu aku yang tentukan!” Kaligundil
manggut-manggut. Hatinya gembira. Memang itulah yang diharapkannya. Sudah
terbayang bagaimana akan berhasilnya dia purrya rencana nanti. Seorang diri dia
memang tak sanggup untuk menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak Gadjah,
Begawan Sitaraga, Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang berkumpul jadi satu
untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal sanggup!
“Aku gembira mendengar
keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan datang ke puncak
Tangkuban Perahu…”
Tapak Gadjah tertawa dingin.
“Kalau kau punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk diandalkan sebaiknya tak
usah datang ke sana!”
Merah padam paras Kalingundil.
“Sekarang aku tak ada urusan
lagi dengan kau! Silakan angkat kaki dari sini!” bentak Tapak Gadjah.
Kelingundil melirik pada Asih
Permani. Kemudian katanya pada Tapak Gadjah: “Jangan terlalu memandang rendah
terhadap sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang tidak dikenal dalam dunia
persilatan tapi untuk menghancurkan batu besar sepertimu tadi, aku masih
sanggup!”. Kalingundil gerakkan tangan kanannya ke pingaang. Kemudian selarik
sinar biru melesat ke arah batu besar yang terletak sekira sembilan tombak dari
hadapannya.
“Byur!”
Batu itu hancur
berkeping-keping dan bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu lenyap dari
pemandangan!
Terkejutlah Tapak Gadjah!
Tiada disangkanya kalau manusia bertangan buntung bertelinga sumpung itu
memiliki kehebatan demikian rupa! Tapi manusia kate ini tidak berpikir lebih
lama. Begitu matanya membentur paras dan tubuh Asih Permani maka lupalah dia
pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis itu ke dalam pertapaan. Apa yang
kemudian dilakukannya terhadap gadis suci itu tak seorang manusiapun yang tahu.
Namun pada hari itu satu kesucian telah lenyap dirampas oleh kebejatan!
–== 0O0 == —
10
PUNCAK gunung tangkuban
perahu. Hari tigabelas bulan duabelas…
Angin dari utara bertiup
kencang, mengalahkan tiupan angin barat yang menghembus sepoi-sepoi basah. Puncak
Gunung Tangkuban Perahu diselimuti kesunyian abadi. Tapi hari itu agaknya
kesunyian abadi itu akan sirna oleh kedatangan manusia-manusia pembuat
perhitungan. Akan pupus di landa dendam kesumat orang sakti! Kawah gunung yang
lebar mengepulkan tiada henti asap tipis berbau belerang.
Beberapa puluh kaki dari tepi
kawah berderet pohpn-pohon cemara berdaun lebat subur, menjulang tinggi dan
lurus! Saat itu matahari pagi sudah naik tepat antara titik tertinggi dan titik
permulaan terbitnya.
Angin utara bertiup lagi
dengan kencang, Daun-daun pohon cemara melambai-lambai. Dan diantara
kerisikan-kerisikan geseran daun pohon-pohon cemara itu maka terdengarlah suara
siulan yang mengumandangi seluruh puncak Gunung Tangkubanperahu. Suara siulan
itu juga seperti mau menggelegaki kawah belerang dan menampar-nampar kabut
belerang yang meliuk-liuk kepermukaan kawah. Suara siulan itu tidak teratur,
tidak membawakan sebuah lagu atau tembang, nadanya tak menentu. Namun
ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu anehnya bila didengar dengan seksama
akan merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib! Suara siulan itu membuat
pendengarnya akan terkatung-katung ke dalam satu dunia khayal. Tapi di pagi
yang menjelang siang itu di puncak Gunung Tangkuban Perahu itu tak satu orang pun
yang ada selain manusia yang mengeluarkan suara siulan tadi. Dan siapakah
manusia ini adanya?
Suara siulan itu datang dari
pohon cemara yang paling tinggi tanda bahwa manusianyapun berada di sana. Dan
manusia ini tiada lain dari pada Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212! Mengapa dia sampai berada di puncak gunung itu adalah sehubungan dengan
tantangan musuh lamanya Kalingundil. Namun pendekar muda itu sampai saat itu
tak pernah menyangka bahwa yang bakal ditemuinya di puncak gunung itu kelak
bukan hanya Kalingundil seorang tapi juga beberapa tokoh dunia persilatan yang
terkenal serta sakti!
Wiro terus juga bersiul-siul
sambil sekali-sekali layangkan pandangannya ke seantero puncak gunung. Sepi dan
suasana tenang-tenang saja. Dilayangkannya pandangan ke kaki dan lereng gunung.
Juga segala sesuatunya masih diselimuti kesunyian dan ketenangan. Dua kali
sepeminuman teh lewat. Telinga pendekar 212 yang tajam dan terlatih baik itu
sayup-sayup mendengar suara sesuatu. Segera pemuda ini hentikan siulannya.
Kepalanya diputar ke arah timur puncak gunung dari mana datangnya suara itu.
Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara yang didengarnya tambah nyaring.
Beberapa ketika kemudian dari balik gundukan tanah keras tepi kawah sebelah
timur kelihatan muncul kepala seseorang, menyusul dada dan badannya. Sosok
tubuh manusia ini ternyata bukanlah Kalingundil karena tangannya tidak buntung!
“Lain yang ditunggu, lain yang
datang !” desis Wiro Sableng dalam hati. Kedua matanya terus memandang tak
berkesip pada manusia yang baru datang ini. Orang ini dilihatnya memandang
berkeliling agaknya mencari-cari sesuatu, mungkin mencari seseorang. Umurnya
sudah lanjut. Menurut taksiran Wiro paling rendah lima puluh tahun. Meskipun
tua tapi tubuhnya kekar. Pada pinggangnya kelihatan tersisip sebilah keris
emas. Dari gerak geriknya yang enteng dan tenang Wiro tahu bahwa orang tua ini
pastilah seorang yang menguasai ilmu silat dari tingkat tinggi.
“Mungkin sekali dia diam di
sekitar puncak gunung Tangkuban Perahu atau mungkin pula kedatangannya ke situ
hanya satu kebetulan saja dengan hari di mana aku akan membuat perhitungan
dengan Kalingundil…,” demikianlah Pendekar 212 berpikir-pikir di dalam hatinya.
Sementara itu si orang tua tak dikenal dilihatnya berdiri di tepi kawah memandang
ke bawah lalu memutar tubuh dan menjelajahi seluruh permukaan gunung dengan
sepasang matanya yang kecil tetapi tajam. Kemudian orang tua ini pada akhirnya
melangkah ke arah deretan pohon-pohon cemara dan di sini duduk melepaskan
lelah. Wiro maklum kini bahwa orang tua ini datang ke situ adalah mencari
seseorang dan ketika orang itu tak ditemuinya dia memutuskan untuk menunggu.
Karena merasa tak punya urusan dengan si orang tua. Wiro tetap saja berada di
tempatnya, di atas pohon cemara tinggi.
Matahari bergerak juga menuju
ke puncak tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan si orang tua. Mendadak
diputarnya kepalanya ke arah selatan. Sesosok tubuh kelihatan berkelebat.
Kedatangan manusia ini boleh dikatakan tidak terdengar atau tak tertangkap oleh
telinga Wiro Sableng. Nyatanya kehebatan ilmu lari dan ilmu mengentengkan
tubuhnya. Apa yang menarik pendekar 212 ialah bahwa manusia ini bukanlah
Kalingundil yang tengah ditunggunya!
Orang ini berbadan kate.
Kepalanya sulah licin dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Kedua telapak
kakinya bukan saja lebar tapi juga tebal seperti kaki gajah. Tiba-tiba pendekar
212 ingat akan keterangan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Menurut gurunya itu di
puncak Gunung Lawu berdiam seorang tokoh silat utama bernama Tapak Gadjah.
Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak pada sepasang kakinya yang berbentuk kaki
gajah. Jangankan manusia, batupun kalau ditendang akan hancur lebur. Dan memang
pada saat itu Wiro menyaksikan sendiri bagaimana tanah gunung yang diinjak
kedua kaki laki-laki itu meninggalkan bekas amblas sampai setengah dim!
“Mungkin sekali manusia ini
adalah Tapak Gadjah,” membatin Wiro Sableng. “Tapi kenapa pula dia jauh-jauh
bisa muncul di sini…?”
Selagi dia membatin begitu
rupa Wiro Sableng terkejut pula melihat bagaimana siorang tua? yang duduk di
bawah pohon cemara tiba-tiba berdiri tegak menyambuti kedatangan simanusia
kate! kedua orang itu saling pandang seketika. Sekali melompat maka si kate
sudah berada dua tombak di hadapan si orang tua berkeris emas! Kembali keduanya
saling pandang dan meneliti. Kemudian terdengar suara si kate membentak.
“Jadi kau sudah datang duluan
pendekar gila Wiro sableng?! Rupanya memang kau betulbetul ingin mati
lekas-lekas!” Kemarahan yang meluap membuat Tapak Gadjah lupa akan keterangan
Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah seorang muda! Bukan saja siorang tua
nampak terkejut dan heran, tapi Pendekar 212 di atas puncak pohon cemara jedi
kernyitkan kulit kening waktu mendengar bentakan si manusia kate itu !
Sebelum si orang tua sempat
bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak: “Mampus cara mana yang kau
kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera melaksanakannya!”
“Kalau betul aku berhadapan
dengan Tapak Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung Lawu saat ini…,” menyahuti
si orang tua, “maka dugaanmu meleset sekali!”
Tapak Gadjah pelototkan mata.
“Meleset bagaimana maksudmu?” Dan Tapak Gadjah ingat akan keterangan
Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: “Apakah kau bukannya Wiro Sableng si
manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu…?!”
Si orang tua gelengkan kepata.
“Aku adadalah Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai Putih di bukit
Siharuharu…”
“Ah… tak disangka datang dari
jauh kiranya akan berjumpa dengan tokoh silat ternama,” Tapak Gadjah pula
ramah. Mengingat Wiasokananta adalah tokoh silat dari golongan putih dating dia
sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak Gadjah: “Gerangan apakah
yang membuat Ketua Perguruan Teratai Putih sampai datang ke sini…”
“Panjang ceritanya Tapak
Gadjah,” menyahuti si orang tua berkeris emas. “Ringkasrrya adalah untuk
mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar 212!”
“’Ah… ah… ah…! Kalau begitu
kita sama-sama datang untuk maksud yang serupa. Dan pastilah mempunyai tujuan
terakhir yang serupa-pula yaitu menamatkan riwayat manusia terkutuk itu.
Bukankah demikin?”
Meskipun heran bagaimana Tapak
Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta mengangguk juga.
“Maksud sama, tujuan terakhir
sama tapi latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh tanya, apakah sebabnya
Ketua Perguruan Teratai Putih sampai turun tangan dan bukan menyuruh anak-anak
murid Perguruan…?”
“Semua murid-muridku musnah di
tangan manusia laknat itu! Dua diantaranya diperkosa!” jawab Wirasokananta.
Suaranya bergetar. Kemudian dituturkannyalah apa yang telah menimpa Perguruan
dan murid-muridnya.
Di atas pohon cemara Pendekar
212 Wiro Sableng pentang telinga buka mata tak berkesip. Penuturan
Wirasokananta tentu saja sangat mengejutkannya.
Semenjak turun gunung bukan saja
dia tidak pernah mendengar nama Perguruan Teratai Putih, bahkan bertemu muka
dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini pula Ketua Perguruan itu
menuturkan bahwa dia –Wiro Sableng –telah melakukan pembunuhan besar-besaran
atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih! Ini adalah satu hal yang sama
sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan tentu ini adalah fitnah.
Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang telah menyebabkan Wirasokananta
merasa yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah memusnahkan Perguruannya ?
“Nasibmu dan nasibku rupanya
tidak banyak beda Ketua Teratai Putih,” terdengar suara Tapak Gadjah. “Muridku
Suranyali juga kunyuk sedeng itu yang membunuh!”
Kini tahulah Wiro Sableng.
Tapak Gadjah rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa Birawa ! “Tapi muridmu
cuma seorang yang mati di tangannya sedang aku keseluruhannya,” menjahuti
Wirasokananta.
“Yang penting bukan soal
jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa kunyuk sedeng itu seorang
manusia bejat yang musti kita lenyapkan dari muka bumi ini!”
Wirasokananta mengangguk.
Tapak Gadjah hendak buka
mulutnya kembali. Tapi batal karena saat itu sudut matanya melihat sesosok
tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka.
“Siapa lagi yang datang ini…?”
membatin Wiro Sableng.
Sedang sesat kemudian
didengarnya suara Tapak Gadjah berkata sambil menjura: “Sungguh pertemuan yang
tak terduga. Tokoh silat dari Gunung Halimun kenapa bisa muncul di sini…?”
Orang yang baru datang tertawa
lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang diriap seperti perempuan,
janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut dan janggut itu berwarna putih dan
melambai-lambai tertiup angin.
“Kau sendiri mengapa bisa
nongkrong di sini…?” balik menanya si janggut putih, dia melirik pada
Wirasokananta.
Tapak Gadjah mula-mula
perkenalkan si janggut putih pada Wirasokananta. Ternyata si janggut putih itu
adalah Begawan Sitaraga, seorang sakti dari Gunung Halimun.
Setelah mendengar penuturan
Tapak Gadjah yang juga sekalian menuturkan tentang Wirasokananta maka Sitaraga
tarik nafas dalam dan berkata “Betul-betul tak bisa diduga kalau kedatangan
kita ke sini tiga-tiganya adalah membawa maksud yang sama! Aku kenal baik
dengan Mahesa Birawa. Aku telah berjanji untuk membantu perjuangannya
menghancurkan Pajajaran karena memang aku tejak lama punya permusuhan dengan
itu Kerajaan! Tapi nyatanya Mahesa mendahului aku! Ini kuketahui dari seorarg
anak buahnya yang datang ke tempatku! Rupanya sebelum pecah perang Mahesa ada
mengirim kurir. Kurir itu tertangkap peronda Pajajaran!”
Kesunyian menyeling seketika.
Di atas pohon camera Wiro Sableng masih tak bergerak di tempatnya. Dengan
munculnya ketiga orang itu dan dengan penuturan masingmasing mereka Wiro kini
bisa menjajaki bahwa ada sesuatu yang tak bares. Dan ketidak beresan ini
ditimpakan kepadanya. Siapa yang menjadi dalang ketidakberesan ini tak susah
untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi Kalingundil sendiri ke mana mana? Yakin
bahwa bukan hanya tiga orang itu saja yang bakal muncul maka Wiro memutuskan
untuk menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat sepeminum teh maka dari jurusan
barat kelihatanlah dua soaok tubuh berlari cepat laksana angina! Yang satu
bertangan buntung dan segera dikenali oleh Wiro Sableng sebagai Kalingundil
adanya. Yang seorang lagi pendekar 212 lupa-lupa ingat. Tapi metihat angka 212
pada keningnya Wiro baru ingat bahwa manusia ini adalah Tapak Luwing, kepala
komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel yang tempo hari bertempur melawannya tapi
kemudian dilarikan oleh Kalingundil!
Begitu sampai dihadapan Tapak
Gadjah, Wirasokananta dan Begawan Sitaraga keduanya segera menjura. Kalingundil
memandang berkeliling. “Harap maafkan kalau kami datang agak terlambat”. Dia
memandang lagi berkeliling. Orang-orang yang diundangnya sudah lengkap.
“Pendekar gila itu masih belum muncul!”
Tapak Luwing berdehem. “Aku
mempunyai firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk datang antarkan nyawa
kemari!”
“Kalau dia berani menantang,
dia berani datang,” menyahuti Kalingundil.
“Kita tunggu saja,” buka suara
Begawan Sitaraga.
“Dan kalaupun nanti ternyata
silaknat itu tidak muncul, ke pintu nerakapun aku akan cari dia!” berkata Ketua
Perguruan Teratai Putih.
Gembira sekali Kalingundil
mendengar katakata Wirasokananta itu. Nyatalah bagaimana dendam kesumat si
orang tua terhadap Wiro Sableng.
Sementara itu dari atas pohon
cemara pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan ke bawah dengan seksama. Kini
tak ada keragu-raguan lagi bahwa segala sesuatunya sampai tiga tokoh silat
utama itu berada di sana adalah Kalingundil yang punya rencana. Lima orang yang
akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah bisa dijajakinya
ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga orang lainnya?
Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212 diam-diam
tarik nafas dalam. Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke puncak
tertingginya. Apakah dia segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat yang
dirasakannya tepat?
Di saat itu di bawah
didengamya suara Tapak Gadjah berkata: “Aku masih belum yakin kalau kunyuk
ingusan itu benar-benar murid Sinto Gendeng. Itu nenek-nenek keriput sudah
sejak lama minggat dari dunia persilatan…!”
Panaslah hati Wiro Sableng
mendenger gurunya, disebut demikian rupa. Tiada terasakan lagi, didorong oleh
naluri yang telah membuat dia menjadi bisa maka keluarlah suara siulan dari
sela bibirnya.
Lima manusia di bawah pohon
terkejut dan.menengadah ke atas.
“Kurang ajar, rupanya kunyuk
sedeng itu sudah lama mendekam di atas!,” maki Kalingundil.
“Pendekar gila turunlah untuk
terima mampus!” teriak Wirasokananta.
Pendekar 212 tertawa bergelak.
“Ketua Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada kau! Tidak tahu bahwa kau
telah kena dikelabui oleh manusia tangan buntung itu!”
Kalingundil cepat membentak.
“Agaknya kau memilih kematian di atas pohon itu. Wiro Sableng?! Memang pohon
itu cukup tinggi untuk mempercepat roh busukmu terbang ke neraka!”
Wiro tertawa lagi seperti
tadi.
“Biar aku paksakan dia turun
!” buka mulut Tapak Luwing. Tangan kanannya bergerak. Maka tiga pisau terbang
beracun melesat ke puncak pohon cemara di mana pendekar 212 herada !
***
TAPAK Luwing! Kalau merasa
sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan pisaumu!” teriak Wiro dari atas pohon.
Sesaat sesudah dia berkata
begitu maka menderulah angin deras. Tiga pisau terbang kembali ke bawah
menyerang pemiliknya sendiri!
Dua buah masih sanggup
dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat cepat sekali meleset ke
arah batok kepalanya.
“Awas!” seru Begawan Sitaraga.
Sekali dia lambaikan tangan maka mentallah pisau itu dan Tapak Luwing yang
diam-diam keluarkan. keringat dingin terlepaslah dari bahaya kematian!
Wiro Sableng kini tertawa
membahak. “Kau terlalu bodoh untuk ikut-ikutan datang ke mari Tapak Luwing !
Seharusnya saat ini kau cuci kaki dan pergi tidur!”
Saat itu Wirasokananta tak
dapat lagi menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan dipukulnya batang pohon
cemara.
“Kraaak!”
Pohon itu tumbang.
Wiro melompat ke samping dan
melayang ke bawah dengan gerakan enteng. Sambil melayang itu dia berkata:
“Musuh penantang cuma satu, mengapa sekarang bisa jadi lima? Apakah kau bisa
beranak, Kalingundil?” Lalu pada tiga tokoh silat utama itu Wiro berseru:
“Kalian sudah tua bangka masih saja mau derigan urusan dunia dan nafsu
membunuh! Apa tidak malu kena dihasut oleh kunyuk tangan buntung itu?”
“Jangan banyak bacot manusia
gelo! Ajalmu hanya tinggal sekejapan mata saja!” bentak Tapak Gadjah. Dia maju
ke muka dan kirimkan tendangan kaki kanan di saat Pendekar 212 masih juga belum
menjejakkan kaki di tanah!
Angin tendangan kerasnya bukan
main. Debu beterbangan. Untuk menjajaki sampai kemana kehebatan tenaga dalam
lawan Wiro sengaja tidak mengelak tapi memapasi serangan tersebut dengan
lancarkan pukulan “kunyuk melernpar buah”. Ketika dua angin pukulan itu beradu
terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua kakinya melesak sampai tiga senti ke tanah
sedang angin tendangannya yang sanggup menghancurkan batu itu buyar! Ternyata
tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya!
Dengan membuat dua kali
jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro sudah berdiri di atas
kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.
“Kalian kunyuk-kunyuk tua
bangka apa tidak malu main keroyok begini rupa?!” Pendekar 212 masih sanggup
bertanya sambil sunggingkan senyum mengejek.
“Seekor anjing kurap macam kau
sudah terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!” menyahuti Wirasokananta.
“Ah, kau orang tua… Rupanya
masih belum tahu kalau dikelabui orang lain! Demi kebenaran aku sama sekali tak
pernah mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi di Perguruanmu aku tidak tahu
menahu. Itu semua adalah fitnah. Seseorang lain yang bertanggung jawab. Kurasa
manusianya adalah si tangan buntung ini!,” Wiro menuding ke arah Kalingundil.
“Ha… ha! Bukan saatnya untuk
cuci tangan pendekar gila!” seru kalingundil seraya main-mainkan pedang buntung
di tangan kirinya. “Tak perlu kambing hitamkan orang lain! Tak perlu lempar
batu sembunyi tangan….!”
“Aku memsng tak
mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi eoba berkaca di cermin Begawan
Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu memang persis seperti kambing!”.
Merah padam muka Kalingundil.
Wiro tertawa mengekeh.
Begawan Sitaraga yang merasa
dihina segera maju ke muka. “Sobat-sobat, tak perlu bicara panjang lebar dengan
orang sedeng ini! Mari kita kermus dia!”. Habis berkata begitu Sitaraga
gerakkan tangannya. Sinar putih yang panas dan menyilaukan menyambar ke arah
muka Wiro Sableng. Begitu matanya tersambar sinar tersebut gelaplah pemandangan
pendekar 212.
“Celaka!” kata Wiro dalam
hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke kepala dan dia melompat cepat ke salah satu
pohon cemara untuk berlindung dari serangan lawan.
Tapak Gajah juga tidak berdiam
diri. Tendangannya menggebubu. Pohon cemara patah dah disaat itu Wiro sudah
berpindah ke tempat lain. Dengan mata masih terpejam dia putar kedua tangannya
di udara. Maka menderulah angin pukulan “benteng topan melanda samudera”. Meski
pukulan ini hanya mempergunakan sebagian tenaga dalam karena yang sebagian
masih tetap dialirkan ke muka tapi kehebatannya cukup membuat lima penyerang
hindarkan diri ke samping. Ketika matanya dibuka kembali maka pemandangannya
sudah terang seperti semula.
Begawan Sitaraga terkejut
ketika melihat kedua mata lawannya tidak menjadi buta oleh kilapan sinar cerminnya.
Di lain pihak Wiro menganggap bahwa senjata yang paling berbahaya di antara
penyerang-penyerangnya ialah cermin di tangan Sitaraga itu. Maka dia memutuskan
untuk menghancurkan senjata itu terlebih dahulu.
Namun dikurung lima begitu
rupa tidak mudah bagi Wiro Sableng untuk melaksanakan niatnya. Serangan lima
tawan bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk menghancurkan senjata di tangan
Sitaraga maka pedang Kalingundil atau golok Tapak Luwing atau keris emas
ataupun tendangan Tapak Gajah datang pula menyerangnya, kadangkala berbarengan
sekaligus! Dengan bergerak gesit, dengan lancarkan seranganserangan balasan,
dengan hanya bertangan kosong itu, pendekar 212 cuma sanggup bertahan sampai
duabelas jurus. Jurus-jurus selanjutnya dia didesak hebat Golok besar empat
peregi berkali-kali membabat ke arah dada dan perutnya. Sinar biru Pedang
Siluman di tangan Kalingundil tiada henti berkiblat ke sekujur tubuhnya sedang
keris emas Wirosokananta laksana hujan mengirimkan tusukan-tusukan mematikan.
Dan di antara itu tendangantendangan Tapak Gajah tiada terkirakan ditambah
yang paling berbahaya cermin di tangan Sitaraga berkata-kali menyambar
kemukanya, masih untung sanggup dialakkannya!
Jurus kelima belas murid Eyang
Sinto Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar cermin menyambar kemukanya. Di
saat itu pula tendangan Tapak Gajah menyeruak ke arah selangkangan. Dari atas
menderu Pedang Siluman Biru, keris emas menikam ke dada dan golok besar Tapak
Luwing menggebubu ke perut!
“Tamatlah riwayatmu pemuda
gila!” teriak Kalingundil.
“Jangan lupa sampaikan salamku
pada setan-setan neraka!” menimpali Wirasokananta.
“Bret”!
Ujung Pedang Siluman Biru
menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212!
“Sialan!” maki Wiro Sableng.
“Memakilah sekenyangmu setan
alas! Setan-setan neraka memang paling suka pada manusia-manusia tukang maki
macammu!” teriak Kalingundil.
Wiro Sableng kertakkan
geraham. Kedua pipinya menggembung. Sedetik kemudian meledaklah bentakan yang
keras, demikian kerasnya sehingga menggema sampai ke dasar kawah Gunung
Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan itu terdengarlah
suara siulan yang melengking-lengking. Dan di antara lengkingan siulan itu
menderu suara laksana ratusan tawon, mendengung menyamaki liang telinga! Sinar
putih bergulung-gulung! Lima penyerang tersurut mundur.
“Kapak Naga Geni!” seru
Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro Sableng. Belum lagi
habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan setinggi langit.
Satu tubuh angsrok
terpelanting di tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban Maut Naga Geni
212 yang pertama itu ialah Tapak Luwing!
“Kurung biar rapat!” teriak
Tapak Gajah. Dia melompat tinggi. Kedua kakinya menendang susul menyusul. Dua
senjata lainnya menderu pula ke arah Wiro Sableng.
“Ketua Perguruan Teratai
Putih!” berseru pendekar 212. “Antara kau dan aku tak ada permusuhan. Sebaiknya
undurkan diri saja!”
“Jangan bicara melangit pemuda
sedeng! Delapan arwah muridku minta roh busukmu!”. Wirasokananta percepat
tusukan kerisnya. Maka keris emas, Pedang Siluman Biru dan Kapak Naga Geni 212
beradu dengan mengeluarkan suara nyaring.
Wirasokananta berseru kaget.
Tangannya tergetar hebat dan pedas panas. Keris saktinya terlepas mental.
Cepat-cepat Ketua Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur. Kalingundil
sendiri tak kalah kagetnya. Bagian yang tajam dari pedang buntungnya gompal
sedang tangannya menjadi seperti kaku. Kalau tidak sinar cermin Sitaraga
menyambar ke arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni 212 membabat perutnya. Kalingundil
keluarkan keringat dingin!
Suara siulan Pendekar 212 kini
sekali-sekali diselingi oleh suara tawa mengekeh! Tubuhnya hampir tak kelihatan
lagi. Kapak Naga Geni mengaung mencari maut. Keempat lawan menjadi sibuk.
Merasa mulai terdesak, Tapak Gadjah segera keruk saku pakaiannya. Tanpa memberi
peringatan lagi tokoh silat ini segera lepaskan seratus senjata rahasia yang
berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro Sableng. Tapi angin putaran Kapak Naga
Geni yang ampuh sekaligus meluruhkan jarum-jarum beracun itu. Malahan Tapak
Gajah dan kawankawan menjadi sibuk karena harus mengelakkan jarum-jarum hitam
yang terdorong berbalik menyerang mereka sendiri!
“He.. he.. he..,” Pendekar 212
tertawa mengekeh. “Wirasokananta, untuk penghabisan kali aku kasih peringatan
padamu. Mundur atau mampus dengan percuma!”.
Ketua Perguruan Teratai Putih
menjadi bimbang. Dia membatin “Adakah seorang musuh yang sehebat ini sampai
memberi dua kali peringatan kepadaku?”.
“Wirasokananta jangan bodoh!”
teriak Kalingundil. “Manusia yang telah membunuh delapan muridmu, ape hendak
kau lepaskan begitu sa… akh…..”
Kata-kata Kalingundil tak
sampai pada ujungnya. Salah satu dari mata kapak di tangan Wiro Sableng
membabat putus lengan kirinya. Tangan dan pedang buntung mental masuk kawah.
Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung ke belakang kesakitan. Akhirnya ketika
dia kehabisan darah nafasnya megap-megap dan dia jatuh menelentang di tanah
tapi belum mati!
Tapak Gajah dan Begawan
Sitaraga tertegun seketika. Namun sesaat kemudian serentak pula keduanya
menyerang sebat. Serangan ini disambut dengan siutan dan tawa mengejek oleh
Wiro Sabteng. “Kalian berdua adalah tokoh-tokoh silat dari golongan hitam!
Manusia-manusia macam kalian pantas menjadi umpan cacing di liang neraka!”.
Pendekar 212 putar kapaknya.
“Buyar!”
Cermin di tangan Sitaraga
pecah berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan tertahan dan memandang
senjatanya yang hancur dengan rasa tak percaya.
“Begawan awas!” teriak Tapak
Gajah. Tapi terlambat!
Kapak Maut Naga Geni 212
datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan.
“Crras”!
Putuslah leher Begawan
Sitaraga. Darah seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala yang buntung
mengelinding seperti bola terus masuk ke dalam kawah Gunung Tangkuban Perahu!
Melihat kematian sobatnya ini,
si kate kepala sulah Tapak Gajah menciut nyalinya! Tanpa buang waktu dia segera
putar tubuh.
“Eit orang kate, mau minggat
ke mana?!” Wiro Sableng berseru. “Ayo berhenti!”.
Tapi mana Tapak Gajah mau
berhenti. Malahan ini manusia tancap gas dan lari lintang pukang. Wiro
menyeringai. Tangan kanannya bergerak menekan bagian dekat hulu kapak yang
berbentuk kepala naga-nagaan. Maka mengaunglah 212 batang jarum putih beracun
ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah coba melompat ke samping namun dia kurang
cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum putih itu menembus daging tubuhnya. Tapak
Gajah meraung setinggi langit! Begitu racun jarum merembas jantungnya maka
tubuhnya kelojotan seketika lalu menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi!
Wirasokananta leletkan lidah
melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu tengkuknya merinding karena
ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar itu, dilihatnya Wiro Sableng
berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong! Wiro tarik nafas dalam lalu
putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta. “Ketua Perguruan Teratai Putih,”
katanya. “Kenyataan yang kita tidak saksikan dengan mata kepala sendiri adalah
terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian juga dengan peristiwa di perguruanmu.
Sama sekali tak ada sangkut
pautnya denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi biang racun!”.
Wiro mendekati Kalingundil
yang tengah megap-megap. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sebuah pil. Dia
senyum-senyum dan menimang-nimang obat itu. “Kau masih inginkan hidup
Kalingundil?” tanyanya.
Kalingundil diam saja.
“Obat ini bisa menyembuhkan
lukamu dan memunahkan racun Kapak Naga Geni yang mengalir di darahmu. Aku akan
berikan kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku bahwa kaulah yang telah
membunuh delapan anak murid Perguruan Teratai Putih…”.
Kalingundil masih diam.
“Kau tak mau hidup….. ?”.
Kalingundil memandang dengan
matanya yang berbinar-binar pada pil di tangan Wiro. Dalam diri setiap manusia
yang tengah meregang nyawa akan selalu datang harapan untuk dapat terus hidup.
Demikian juga dengan Kalingundil.
“Masukkan dulu pil itu ke
dalam mulutku,” katanya.
Wiro memasukkan obat itu ke
dalam mulut Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat menelannya. “Sekarang
terangkan cepat!”.
Kalingundil buka mulut
mengakui apa-apa yang telah diperbuatnya terhadap Perguruan Teratai Putih. Akan
Wirasokananta begitu mendengar penuturan tersebut, tak dapat lagi menahan
luapan amarahnya. Tanpa banyak cerita dengan kaki kanan ditendangnya
Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak ampun lagi tubuh Kalingundil mencelat
beberapa tombak ke udara dan malang baginya tubuhnya terlempar tepat ke kawah.
Masih terdengar jeritan laki-laki itu menggaung ketika tubuhnya melayang ke
bawah sebelum amblas di dalam kawah belerang!
Sekali lagi pendekar 212 hela
nafas dalam dan berpaling pada Wirasokananta. Satu senyum terlukis di bibir
pendekar muda itu. Ketua Teratai Putih belas tersenyum.
“Orang muda, apakah kau
betul-betul muridnya Sinto Gendeng?”.
“Ah…. murid siapapun aku butan
menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih” menyahuti Pendekar 212.
“Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila, geblek… Kurasa memang suatu
ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia gila semacam kita
inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia bejat dan menghancurkan kebejatan.
Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau membunuh sesama manusia…?”.
Wirasokananta tertawa.
“Ucapanmu benar juga, pendekar,” katanya.
Wiro mendongak ke langit. “Ah,
matahari sudah tinggi. Banyak urusan baru yang menunggu kita. Ketua Perguruan
Teratai Putih, pertemuan kita hanya sampai di sini. Aku senang bisa berkenalan
dengan kau. Semoga kita bisa jumpa lagi….”.
“Pendekar 212, tunggu dulu…!”
seru Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang pendekar saat itu sudah berkelebat
dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala. “Pemuda hebat sikapnya seperti
betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya……. ah, aku yang sudah tua ini
mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi yang dimilikinya. Belum lagi
sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap…”
Wirasokananta memandang ke
dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng meninggalkan tempat itu.
TAMAT