-------------------------------
----------------------------
012 Pembalasan Nyoman Dwipa
1
KETIKA dia memasuki
Klung-kung, kota itu masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi dipecah oleh
derap kaki kuda yang ditungganginya. Sesampainya di depan pura besar yang
terletak dipersimpangan jalan seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena hari
masih terlalu pagi diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan secangkir
kopi lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di
dalam kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk
di tempat yang masih lowong sementara pemilik kedai melayaninya. Beberapa orang
tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup
minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti
karena kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung
kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata seorang
laki-laki sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima
puluhan.
"Sudah seminggu ini
tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau."
menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda
yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua begini, ampun .
. . " Dicabutnya rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya
jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama
tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal beberapa
saja sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku.
Kecantikan seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk membicarakannya.
Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu
benar-benar cantik luar biasa. Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang
secantik dia."
"Apakah dia secantik
bidadari?"
"Ah sobat!" kata
laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu dengan dia.
Nantilah …. kalau kau lihat anak gadisnya I Krambangan itu hem … Kau akan
menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke dunia ini hingga ketika dia muncul
di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam
terong rebus!"
Beberapa orang
tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi
kata-katanya sementara tamu yang baru datang, sambil menikmati kopi hangatnya
tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang telinga.
"Kau tanya apakah dia
secantik bidadari. Sobat … meski aku belum pernah lihat bidadari, tapi aku
yakin mungkin dia lebih cantik dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya
kuning langsat, potongan tubuhnya besar diatas besar di bawah dan langsing di
tengah-tengah. Matanya . . . hem … pernah kau lihat bintang timur? Sepasang
mata anak gadis I Krambangan itu lebih bagus dari bintang timur. Lehernya
jenjang, pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis macam
pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring, hidungnya
mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti lebah bergantung … pokoknya
segala macam oerumpamaan yang diberikan orang cocok melekat pada darinya. Dan
kalau dia tersenyum sobatku, hem … rasa di awan kita melihatnya …"
"Sudahlah," memotong
kawannya. "Habiskan saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak gadis
I Krambangan itu mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat
pekerjaan!"
Setelah kedua orang tua itu
pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang kecantikan anak gadis I
Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke pelosok kota Klungkung. Jangankan
orang-orang muda, orang-orang tua seperti yang dua tadipun masih punya minat
untuk membicarakannya. Dia memandang ke luar kedai. Matahari telah agak tinggi.
Dihabiskannya kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang
dimakannya orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi kudanya dengan tidak
tergesa-gesa menuju ke selatan.
Di tepi jalan seorang
laki-laki separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan rumahnya.
Penunggang kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya.
Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan. Rumah itu
kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia berhenti dan turun
dari kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-laki berpakaian bersih keluar,
ketika melihat orang yang turun dari kuda ini, orang itupun berseru gembira,
"Made Trisna!"
"I Krambangan!"
"Sahabat lama!
Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau bisa
tahu aku tirggal di sini?"
"Secara kebetulan saja.
Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia yang menerangkan bahwa kau
pindah dan menetap di sini."
"Oh!." I Krambangan
manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat. Tadinya aku
hendak ke ladang. Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita akan bicara panjang
lebar!"
Kedua sahabat lama itupun naik
kegatas rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke timur maka Made Trisna
mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya.
"Sahabatku I Krambangan,
di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud kedatanganku ini
membawa pula satu maksud yang sangat baik."
"Gembira sekali aku
mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa
maksudmu yang sangat baik itu."
Setelah batuk-batuk beberapa
kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih ingat dengan
Tjokorda Gde Anyer."
"Oh, siapa yang akan lupa
pada manusia pemberani itu!"
"Nah justru kedatanganku
kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya."
"Hem, begitu? Sangkut
paut bagaimana, Made?"
"Dialah yang meminta aku
ke sini untuk menyampaikan salam hormat."
"Ah, aku yang rendah ini
mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan.
"Kau tahu sendiri sifat
Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak ada tinggi dan rendah tak ada
bangsawan dan rakyat jelata. Nah sahabatku, dia menyuruh aku kemari untuk
tolong menyampaikan salam hormat di mana dia berhajat untuk meminang anakmu . .
."
"Maksudmu Ni Ayu
Tantri?"
"Tentu! Kau kan tak punya
anak lain dari pada si tunggal Tantri itu."
I Krambangan meneguk ludahnya.
"Sungguh satu kehormatan luar biasa. Tjokorda Gde Anyer mempunyai hasrat
baik untuk melamar anakku. Setahuku dia juga cuma punya seorang anak!"
"Betul namanya Tjokorda
Gde Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari anak gadismu.
Ringkas kata, kalau anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok sekali laksana
pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari."
Sejak sepuluh tahun yang lalu
I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde Anyer. Sewaktu anak
Tjokorda Gde Anyer masih kecil dia memang pernah melihatnya dan menurut
pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya, mukanya senantiasa pucat macam
orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya nakal bengal luar biasa. Tapi itu dulu
selagi masih kanakkanak. Sekarang sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah
berubah dan parasnya menjadi gagah. Karena I Krambangan lama tak bersuara maka
berkatalah Made Trisna,
"Apa lagi yang kau
pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran itu. Tjokorda Gde Jantra pemuda gagah
anak bangsawan dan kaya raya. Pasti hidup anakmu akan terjamin dan
bahagia!"
"Memang betul kata-katamu
itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat perbedaan darah
turunan antara kami dan dialah maka rasanya agak malu juga aku menerima
lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin berbesan dengan orang bangsawan,
sekalipun sebelumnya sudah saling mengenal."
Made Trisna tertawa.
"Sekarang bukan jamannya berpikir sekolot itu, I Krambangan. Apalagi kau
ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer yang tak mau membeda-bedakan di antara
manusia."
Kembali I Krambangan berdiam
diri beberapa lamanya.
Lalu: "Anakku Ni Ayu
Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia mengambilnya
jadi kawan hidup …?"
"Kau keliwat merendah,
sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung sebatang rokok kaung.
"Kecantikan paras anak gadismu laksana bunga harum semerbak yang
dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum ke sini aku mampir di sebuah
kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu tamu-tamu di situ sudah bicara
tentang kecantikan paras anakmu. Bayangkan!"
I Krambangan mengusap-usap
dagunya, memandang ke arah jalan di mana meluncur sebuah pedati menarik
tumpukan kayu-kayu bakar. Suara klenengan sapi-sapi penarik pedati itu
terdengar sepanjang jalan.
"Walau bagaimanapun
gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi Tjokorda Gde Jantra sendiri
belum pernah bertemu muka dengan anakku. Jangan-jangan begitu lamaran kuterima,
setelah bertemu tahu-tahu pemuda itu kecewa dan menyesal!"
"Kalau dia tak pernah
melihat paras anakmu dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan ayahnya sampai
memaksaku agar datang kemari!" kata Made Trisna pula.
Kembali I Krambangan menelan
ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu barang seminggu
dua minggu untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku sendiri pada
dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula pertimbangan istriku.
Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus diberi tahu."
Made Tisna manggut-manggut.
"Aku yakin istrimu serta
Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua minggu terlalu lama
sobat, biar aku datang minggu depan kemari untuk meminta jawabanmu. Akur…"
"Baiklah Made. Karena
istriku sudah menyiapkan hidangan pagi di dalam, marilah kita masuk."
Kedua orang itu berdiri lalu masuk ke ruang tengah.
2
SEPERTI yang dikatakan Made
Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke Klungkung menemui I Krambangan
untuk meminta kabar atau jawaban mengenai pinangan yang disampaikannya tempo
hari. Dia yakin betul I Krambangan akan menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer.
Begitu sampai di rumah sahabatnya itu langsung Made Krisna menanyakan
persoalan.
"Minumlah dulu,
Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made Trisna sudah
meneguk minuman yang disuguhkan maka I Krambangan baru membuka persoalan.
"Seperti yang kukatakan
tempo hari, pada dasarnya aku bisa menerima lamaran Tjokorda GdeAnyer. Bukan
saja menerimanya tapi malah menganggapnya itu satu penghormatan yang luar biasa
mengingat dia bangsawan kaya raya mau mengulurkan tangan pada keluargaku bangsa
rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia terkejut dan hampir tak
percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran itu. Namun setelah
kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu persoalan, Made. Hal ini
memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak kau mengemukakan lamaran satu
minggu yang lalu itu."
"Persoalan apakah yang
menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula.
"Dua tahun sebelum kami
pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai pilihan hati sendiri. Kau
tentu mengerti maksud ucapanku …."
"Maksudmu Tantri telah
mempunyai kekasih?"
I Krambangan mengangguk.
"Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana untuk menikah sesudah Hari
Raya Galungan beberapa bulan dimuka. Meski aku orang tuanya, tapi kau tentu
dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak bisa memaksa Tantri untuk memutuskan
hubungannya dengan itu pemuda yang dicintainya. Terlalu besar dosanya
memutuskan tali kasih seseorang. Aku kawatir tak akan dirakhmati Dewa-dewa lagi
jika aku berani memutuskan hubungan kasih anakku."
Lama Made Trisna termenung.
Kemudian berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak kawatir, sahabatku.
Masakan Dewadewa di kayangan tidak akan merakhmatimu. Bukankah dengan
menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra berarti kita membuat satu
kebajikan dan pahala besar?"
"Itu betul Made. Tapi
bagaimana dayaku untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda yang dikasihinya?
Aku sebagai orang tua benar-benar tidak tega . . . "
"Apakah kau sudah
terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer? Apakah kau
terangkan pula orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya itu?"
"Sudah." jawab I
Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk mau
menerima lamaran tersebut. Tapi sia-sia belaka, Made."
Untuk kedua kalinya Made
Trisna termenung. Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya kemudian
bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau tak melihat cara atau jalan lain agar
Tantri menyetujui perjodohannya dengan Tjokorda Gde Jantra?"
"Sudah kutempuh berbagai
cara Made. Agaknya memang sukar melembutkan hati yang sudah diberikan pada
seorang lain yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun pernah muda
…"’
"Sebagai orang tua,
apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan bagaimana
anakmu tidak berbakti padamu …?"
I Krambangan menggigit
bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan baginya. Tapi dia tersenyum
sewaktu menjawab, "Meski aku orang tuanya. Made, tapi aku juga bisa
melihat sampai batas-batas mana seorang tua bisa mencampuri urusan pribadi
anaknya. Penolakan yang dikemukakan Tantri bukan kuanggap sebagai satu
keingkaran atau satu kenyataan bahwa dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa
siapa saja mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya mengenai. urusan
pribadinya. Apalagi urusan yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan
istriku menyetujui lamaran Tjokorda Gde Anyer. Tapi kita musti sadar pula bahwa
bukan aku atau istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde Anyer yang akan
dijodohkan dan akan menempuh hidup baru berumah tangga itu, tapi Tantri."
"Betul, betul
sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I Krambangan itu
menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa yang kau katakan itu, sahabat.
Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih belum terbalik. Kita
orang-orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara anak kita dan
kalau sudah besar membuat dia berbakti pada kita, mengikuti apa mau kita karena
niscaya orang tua itu tak ada yang berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih
belum terbalik sahabatku. Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya
anak kita, justru anaklah yang harus patuh dan mengikuti kemauan orang
tuanya!"
"Menyesal sekali, rupanya
jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I Krambangan.
"Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini telah terbalik hanya karena aku
memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada anakku. Dan aku juga
menyadari bahwa memang bukan adat atau pun kebiasaan kita untuk berlaku seperti
itu. Tapi harus disadari Made, dunia kita di masa lalu tidak sama dengan dunia
orang-orang sekarang. Dunia orang-orang sekarang tak sama pula dengan dunia
orang-orang di masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan
kehendaknya jaman . . . "
"Dimana orang tua-tua
tidak mempunyai daya apa-apa lagi terhadap anaknya? Dimana anak-anak sanggup
mengatur orang tuanya dan bukan orang tuanya yang mengatur diri mereka? Sungguh
lucu jaIan pikiranmu. Jika memang itu pendirianmu, memang sungguh berbeda jalan
pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau kau sampai mau
menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika perjodohan ini
jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah rumah gedung dan disuruh pindah ke
Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu memikirkan, kau hanya
ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan dijamin oleh Tjokorda Gde
Anyer. Tentang anakmu … dia akan hidup bahagia bersama Tjokorda Gde
Djantra!"
"Memang sudah kubayangkan
betapa kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan anak Tjokorda Gde
Anyer. Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri."
Made Trisna menjadi putus asa
dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau aku boleh bertanya,"
katanya, "siapa gerangan pemuda yang dikasihi oleh anakmu itu? Apakah dia
tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya sawah ladang berhektar-hektar,
punya ternak berkandang-kandang dan punya harta bergudang-gudang, hingga mata
dan hati anakmu tak dapat dialihkan kepada yang lain lagi?"
"Pemuda itu bernama
Nyoman Dwipa. Dia tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi Tantri, sawah
ladang atau ternak atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau dibandingkan
dengan nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman Dwipa."
Rasa putus asa dan penasaran
yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah menjadi kejengkelan dan
rasa muak yang akhirnya berubah pula menjadi rasa benci terhadap sahabat
lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan keterlaluan tolol!
"Baiklah I Krambangan,"
kata Made Trisna seraya berdiri, "kalau begitu putusanmu memang tak bisa
aku memaksa. Tapi terus terang kukatakan bahwa sebagai manusia hidup kau
terlalu bodoh untuk tidak mau menerima lamaran Tjokorda Gde Anyer."
"Terserahlah kau mau
bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan. "Mungkin
aku memang orang tolol. Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada
kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa diganggu gugat!"
Made Trisna memacu kudanya
dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I Krambangan!
***
Denpasar sebuah kota besar dan
bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura besar yang sangat indah bangunannya
terdapat di sana. Di tengah-tengah kota terdapat sebuah gedung besar yang
atapnya berbentuk candi. Tak ada satu orangpun di Denpasar yang tidak tahu
siapa pemilik gedung bagus dan besar itu. Bahkan penduduk yang tinggal di
pinggiran kotapun tahu bahwa itu adalah gedung kediaman bangsawan kaya raya
Tjokorda Gde Anyer.
Waktu itu hari telah rembang
petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di pintu gerbang gedung, langsung
masuk ke halaman dalam, dan menemui Tjokorda Gde Anyer. Sebelum dia membuka
pembicaraan, Tjokorda Gde Djantra sudah muncul pula hingga dapatlah ia memberi
keterangan sekaligus pada kedua beranak itu.
Betapa terkejutnya bangsawan
dan anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made Trisna, tatkala
mengetahui bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak perduli alasan
apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata ini adalah merupakan satu
penghinaan besar!
"I Krambangan manusia tak
tahu diri! Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer. Lalu dia berpaling
pada anaknya dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar
ini, di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang jauh lebih cantik dari
anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya raya!"
Tjokorda Gde Djantra termanggu
beberapa lamanya. Mukanya yang senantiasa pucat macam orang mau mati besok,
saat itu kelihatan makin tambah pucat! Seperti ayahnya, pemuda inipun merasa
terhina. Tapi hatinya benar-benar sudah terpaku pada gadis itu hingga tak
mungkin baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan ayahnya.
"Kita sudah diberi malu
Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan memberi
malu yang kedua kalinya.
"Tapi ayah aku tak
sanggup hidup bersama gadis lain."
"Kenapa tidak sanggup?
Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa kau ambil jadi istri
sekaligus!" Tjokorda Gde Djantra berdiri dari kursinya.
"Walau bagaimanapun aku
musti dapatkan gadis itu, ayah. Tidak dengan cara baik-baik dengan jalan
burukpun bisa. Rasa malu yang kita terima akan kubalas malam ini juga!"
Tjokorda Gde Djantra lantas berlalu dari situ. Tjokorda Gde Anyer dan Made
Trisna saling berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga apa yang bakal
dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna, "Kalau
betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra, kurasa tak ada salahnya.
Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."
3
HARI itu sejak petang
lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti kemendungan. Gumpalan awan
hitam datang bergulung-gulung tiada hentinya dari arah barat. Menjelang senja
angin keras mulai bertiup, menerbangkan debu di segala pelosok, membuat kota
tenggelam dalam udara pengap. Tepat sewaktu sang surya lenyap di ufuk barat
maka hujan deraspun turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru angin.
Setiap telinga yang mendengarnya merasa ngeri. Sekali-sekali menggelegar
guntur, berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan selokan di seluruh
kota telah luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil banjir menerpa segala apa
saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda sebentar lalu turun
lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti merembas dan mencucuk sampal
ke tulang-tulang sungsum!
Dalam lebatnya curahan hujan,
dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana malam yang sangat dingin
itu, dari jurusan timur laksana bayangan setan, kelihatanlah empat penunggang
kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di persimpangan jalan di depan pura,
keempatnya membelok ke kiri tanpa mengurangi kecepatan kuda masing-masing. Air
hujan dan lumpur bercipratan di belakang kaki-kaki ke empat binatang itu.
Hampir mencapai ujung jalan,
salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan dan berkata, "Yang itu
rumahnya! Pergilah, aku menunggu di sini."
Tiga penunggang kuda lainnya
segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan besar yang berwarna hitam dan
menutupi paras mereka dengan sapu tangan itu sebatas mata ke bawah kemudian
ketiganya segera bergerak ke rumah kecil yang ditunjuk tadi.
Seperti keadaan rumah-rumah di
sekitarnya, rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap, tak satu lampupun yang
menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak dalam kehangatan selimut
masing-masing. Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah meneliti keadaan
sekeliling mereka langsung ketiganya menuju ke pintu depan. Dengan
mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil dibuka. Hampir tanpa
suara sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam rumah. Mata mereka terpentang
lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah demi selangkah ketiganya bergerak.
"Kurasa yang ini
kamarnya," berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului
kawan-kawannya maju ke pintu dan mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main,
tapi matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang terbaring
bergelung diatas tempat tidur.
"Biar aku yang
masuk," berkata laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu. Pintu
itu mengeluarkan suara berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan
angin deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus siap untuk
menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat tidur.
Tiba-tiba orang yang tidur di
atas pembaringan menbalikkan badannya, selimut yang menutupi sebagian wajahnya
terbuka dan ketika dia bangun dengan cepat orang ini segera membentak,
"Siapa kau?!"
"Keparat! Bukan
dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara dua orang
kawannya yang berdiri di ambang pintu berjaga-jaga juga terkejut sekali.
Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas pembaringan itu adalah Ni Ayu
Tantri, gadis yang hendak mereka culik. Tapi suara bentakan itu nyata sekali
suara laki-laki! Tak dapat tidak yang tidur di situ adalah ayah dari gadis itu!
"Maling rendah! Kau
berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah suara
bentakannya I Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke dalam kamar itu
adalah maling! Segera laki-laki itu melompat menyambar sebilah parang yang
tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya mencapai senjata itu satu pukulan
menyambar dari samping!
I Krambangan dulunya adalah
seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan sendirinya memiliki ilmu silat
yang cukup bisa diandalkan, apalagi kalau cuma menghadapi seorang maling!
Mendapat serangan itu dengan cepat dia melompat ke samping, berkelit dan
menyusupkan satu tendangan ke dada lawan!
Tapi yang dihadapi I
Krambangan bukan "maling biasa". "Maling" itupun ternyata
memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan mudahnya dia mengelakkan serangan I
Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk". Tahu-tahu jotosannya
melanda dada I Krambangan.
Orang tua itu mengeluh tinggi.
Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan dadanya sakit bukan main.
Tapi karena dia tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan
baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang cepat. Sebelum tangannya
berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan dua pasang tangan yang kuat-kuat
telah mencekal kedua lengannya. Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat
kemudian satu pukulan yang amat keras mendarat di keningnya. I Krambangan coba
mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi pukulan itu terlalu
keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya melepaskannya,
laki-laki ini terhempas ke lantai tanpa sadarkan diri!
Di kamar sebelah, mendengar
suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun dari tidur masing-masing. Mereka
adalah Ni Ayu Tantri dan ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan
tapi karena malam itu ibunya diserang demam panas, si gadis sengaja tidur
bersama sekalian untuk menjaga perempuan itu.
"Ada apa, nak …?"
bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
"Seperti suara orang
berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah … Biar aku lihat
keluar."
Ni Warda menarik pakaian
anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat.
Kalau kau keluar…."
"Tapi ayah bu," ujar
Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini berkata demikian pintu
kamar itu terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu
Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki bertutupkan kain hitam
paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!
***
Baru saja matahari pagi
tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh berita yang
disampaikan dari mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik yang
belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik orang malam
tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-malaman itu telah
berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia belaka. Rata-rata penduduk
menduga bahwa yang menculik Ni Ayu Tantri itu adalah gerombolan rampok yang
bersarang di Bukit Jaratan karena rampok-rampok itu memang selalu mengenakan
kain hitam penutup muka bila menjalankan kejahatannya.
Tapi I Krambangan sendiri
mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan menunggangi kuda pagi
itu dia berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari gedung kediaman
Tjokorda Gde Anyer. Akan Tjokorda Gde Anyer ketika melihat kedatangan I
Krambangan berubahlah parasnya. Tapi seseat kemudian bangsawan ini tertawa
lebar dan berkata: "Sungguh tak disangka-sangka kedatanganmu ini, I
Krambangan. Mari silahkan masuk."
"Cukup kita bicara disini
saja, Tjokorda Gde Anyer. . ."
"Eh, kenapa begitu? Tak
pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri …"
"Jangan bicara segala
macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I Krambangan pula dengan
suara keras. "Panggil anakmu! Aku ingin bicara dengan dia!"
Tjokorda Gde Anyer memandang
tajam-tajam pada tamunya. "Sobat lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti
dirimu. Bicaralah dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu,
dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam pada itu kuharap
kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik."
Seseorang keluar dari dalam
gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan lain Made Trisna.
Dia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan.
Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun lantas tertawa dan menegur
laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini melainkan memandang
menyorot pada Tjokorda Gde Anyer.
"Agaknya ada sesuatu yang
tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah.
"Ya, memang ada sesuatu
yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi biang ketidak
beresan ini!"
"I Krambangan, tuduhanmu
agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah terjadi sampai kau
bicara begini rupa!"
"Kurasa kau dan juga Made
Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa mengetahui pada pertama kali aku
melihat air muka kalian! Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam
perahu! Suatu ketika aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu
kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah memasuki rumahku
dan menculik Ni Ayu Trisna!"
"Oh! Lalu saat ini hendak
kau tuduhkan bahwa anakkulah yang telah menculik anak gadismu? Sungguh tuduhan
yang sangat rendah dan tanpa bukti sama sekali!"
"Memang tuduhanku tidak
ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan
dimana anakmu itu?"
"Dia tak ada di sini, I
Krambangan."
"Itu satu bukti bahwa
memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu Trisna!"
"Jangan menuduh
sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun
lamaranku ditolak apa perlunya anakku menculik anakmu? Sepuluh gadis-gadis yang
lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde Djantra!"
I Krambangan menyeringai.
"Katakan saja di mana anakmu berada!"
"Sejak siang kemarin dia
meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu. Kalau kau tidak percaya
silahkan tanya pada Made Trisna."
"Dengar Tjokorda Gde
Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam. "Jika aku mendapat
bukti-bukti dan kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan
terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia! Siapa saja yang
berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka bumi ini! Termasuk
kau dan Made Trisna!"
Habis berkata begitu I
Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera meninggalkan gedung
itu.
4
DALAM hujan lebat di malam
buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan rumah I Krambangan dengan
cepat. Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan kota Klungkung.
Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti. Laki-laki bertopeng kain hitam
yang membawa sesosok tubuh perempuan di pangkuannya berkata pada tiga orang
lainnya, "Kita berpisah di sini."
"Baik Tjokorda Gde
Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka. Bersama dua orang
kawannya laki-laki ini segera meninggalkan persimpangan itu sedang yang seorang
tadi menyentakkan tali kekang kudanya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam
lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar menyingsing dia
sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil menunggangi
kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala memandang paras jelita dari
gadis yang berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di puncak bukit
laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah sementara kuda tunggangannya
menjilati air empun dan memakan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sana.
Tak lama kemudian orang itu meneruskan perjalanannya kembali.
Di tepi sebuah telaga berair
bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan lima belas kilo dari
Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi
karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati, meski tak terurus,
keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.
Tjokorda Gde Djantra
menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan yang diculiknya ke
dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang dibuat
demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup nyaman. Dibukanya kain
hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah gadis itu beberapa
lamanya dengan seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan
membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia keluar dari
telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah siuman dan
duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang berkeliling dengan perasaan
takut bercampur heran.
"Kau sudah siuman Tantri
… ?"
Ni Ayu Tantri terkejut oleh
suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan cepat. Dia tak kenal
dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia
ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa manusia ini pastilah salah
seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis ini berdiri.
"Kelihatannya kau takut
sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang mengherankan Ni Ayu
Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya. Melihat kepada pakaiannya yang
bagus kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa
telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa dimengerti oleh Ni Ayu Tantri
sementara rasa takutnya semakin bertambah besar detik demi detik. "
"Siapa kau? Mengapa
menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.
Tjokorda Gde Djantra
tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali terdengar di liang
telinganya.
"Kau tak usah takut
Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi aku kenal
padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam beberapa hari belakangan
ini."
"Aku tak perduli siapa
kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke Klungkung
dengan cepat!"
"Kau tak akan kembali ke
Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa
takut semakin mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan kembali ke
Klungkung?!" tanyanya.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum
lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau akan kembali ke
Denpasar.
Kerumahku. Dan kita akan
tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang berbahagia!"
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri.
Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah
pemuda bermuka pucat ini Tjokorda Gde Djantra, anak bangsawan yang telah
ditolak lamarannya satu hari yang lewat! Dan ketika Tantri menyadari apa maksud
penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde Djantra sesudah lamarannya ditolak itu,
merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke
pintu. Tjokorda Gde Djantra memegang lengan gadis itu dan menariknya ke tengah
pondok.
"Tak ada yang harus kau
takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira karena
kita akan hidup bahagia! "
"Lepaskan aku!"
teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan Tjokorda Gde Djantra
terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah dulu ditumpukan
jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik …"
"Aku tak ingin bicara
dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tertawa
pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?" ujarnya. "Justru
perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati jantan! Justru hal ini
dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!"
"Lepaskan aku manusia
keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda itu berulang
kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga terbaring di atas
tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan memalangnya
sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang menjerit-jerit
dan ketakutan setengah mati.
"Aku tak mengerti,"
kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka dada, "tak
mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku …"
"Manusia keji keluarkan
aku dari sini!"
"Kudengar kau sudah
mempunyai seorang kekasih, Betul?"
"Itu bukan urusanmu!
Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"
"Tak ada gunanya
berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri."
Ni Ayu Tantri melompat ke
pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja karena untuk kedua
kalinya pemuda bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya
kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama pemuda kekasihmu
itu Nyoman Dwipa bukan?"
Tantri tak menjawab melainkan
menangis dan berteriak-teriak.
"Dengar Tantri,"
berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga bersamaku pasti
kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan hidupmu kujamin
penuh."
"Aku tak perlu semua itu!
Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang cinta itu
memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi berpikiran sehat.
Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan seorang pemuda desa yang tak
punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang masih panjang ini hanya
karena kasih sayang gilamu …?!"
"Diam!" jerit Ni Ayu
Tantri.
"Kekasihku memang tak
punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari pada kekejian yang
kau lakukan ini! Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau
adalah pemuda bangsawan yang paling rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah kau kubawa
kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih akan menolak nanti
untuk kawin denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan seringai
mengejek.
"Aku lebih baik bunuh
diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-blakan!
"Tolol sekali mau mati
muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah maju.
"Pergi!" teriak
Tantri!
"Tantri, kau sudah
dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar … aku tak akan melakukan
apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima lamaranku."
"Lebih baik aku kawin
dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab Tantri pula seraya
mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu
Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah diterima pemuda bangsawan itu
selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi
kelam merah. Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba
laksana seekor harimau yang kelaparan pemuda ini melompat ke muka. Kedua
tangannya bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet! Breet …!"
Suara robekan pakaian
terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri mengumandang melengking
tinggi. Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari
keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang merobek-robek pakaiannya
itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah seperti tak
berpakaian lagi.
Auratnya yang kuning langsat
penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di tubuh Tjokorda Gde
Djantra laksana mendidih!
"Ini kemauanmu sendiri
Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik padamu!"
"Bunuh aku! Bunuh
saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan menjerit
terus-terusan.
Tjokorda Gde Djantra
menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya mendorong ke muka,
Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami!
"Terlalu gila kalau aku
mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang bersinar-sinar
penuh nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya.
Cepat-cepat dia melompat tapi kembali tangan pemuda itu membuatnya jatuh
tertelentang di atas tumpukan jerami!
"Jika kau sudah tidak
perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku, Tantri⁄" Suara
Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada
ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. Gadis ini coba menghantamkan
salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra telah
menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi selain dari pada
menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai
dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang laksana sudah
berubah menjadi binatang buas!
Di luar pondok hujan
rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam ciptaan Tuhan
di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa yang telah terjadi di dalam
pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di
atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu
tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini telah jatuh
pingsan.
Di lantai pondok, di samping
tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan tubuh mandi
keringat, hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya
kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa luar
biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu. Dengan apa
yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde Djantra jelas
sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa lagi
menolak lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu,
lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh Tjokorda
Gde Djantra. Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak
sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah sadar dia
rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada tubuhnya
sebentar lalu ketika sepasang matanya membentur Tjokorda Gde Djantra, dari
mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra
sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih
termanggu-manggu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang
mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding
kayu jati.
"Tantri! Jangan!!"
teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan sebat. Tapi nasib!
Terlambat sudah!
Kepala Ni Ayu Tantri telah
membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya. Terdengar suara pecahnya
batok kepala perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi.
Meski bunuh diri bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah
memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri adalah jauh lebih berharga
daripada jiwanya!
5
DI daerah sekitar Denpasar,
Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang masing-masing terdiri dari sepuluh
orang telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri yang telah
diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I Krambangan menyelidik daerah
sekitar Denpasar. Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa, kekasih Ni Ayu
Tantri, menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang terakhir
dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang bernama I Gusti Wardana.
Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan penyelidikan namun
sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan
daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini
sengaja I Krambangan menempuh daerah sebelah timur laut, menyusur rimba
belantara dan kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena matahari
bersinar dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I Krambangan melihat
kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya yang
berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya bergerak-gerak. I
Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam keadaan seperti itu, ini
merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau
perduli dengan binatang itu. Lebih cepat kembali ke Klungkung adalah lebih baik
baginya. Siapa tahu rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa atau I Gusti
Wardana telah berhasil menemukan anak gadisnya.
"I Krambangan,"
tiba-tiba seorang anggota rombongan yang berada di samping I Krambangan
menegur. "Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat barang
beberapa ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah telaga
berair jernih . . . "
Atas ajakan ini akhirnya I
Krambangan membawa rombongan ke arah telaga yang dikatakan anggota rombongan
tadi. Semakin dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar
menyambar hidung setiap anggota rombongan.
"Adakah kalian membaui
sesuatu?" tanya I Krambangan.
"Ya. Bau busuk apa
ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang berkeliling. Akhirnya
rombongan itu sampai di tepi telaga.
"Hai lihat!" seru
seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!"
Memang benar di seberang
telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok inilah agaknya santar
sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya.
Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak orang tua ini. Dadanya berdebar.
Disentakkannya tali kekang kudanya. I Krambangan memacu binatang itu memutari
telaga hingga akhirnya sampai di depan pondok. Laki-laki ini melompat turun
dari kudanya dan lari ke pintu pondok. Pintu itu tidak dikunci. Ketika didorong
segera terpentang lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana
tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk
menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup hidung I
Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu
matanya membentur sesosok tubuh perempuan yang menggeletak di atas lantai.
Hanya seketika I Krambangan
terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras yang rusak itu
terpekiklah dia!
"Dewa Agung!"
I Krambangan melompat dan
berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa orang anggota rombongan kemudian
memasuki pula pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat
pemandangan di depan mata mereka! Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok
bukan lain adalah sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak
selembar benangpun yang menutupi auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah
membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang
cantik jelita kini hanya merupakan satu benda yang mengerikan untuk dipandang.
Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental beku itu
sebagiannya telah busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung
yang berjalan kian kemari!
"Dewa Agung⁄" rintih
I Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air mata karena tak
sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku buat,
kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini rupa . .
?"
Rintih atau jeritan hati itu
tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan
seolah-olah muncul sebuah titik merah yang makin lama makin besar, makin besar
… makin besar dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati
dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang menyelimuti dirinya
membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya terkatup.
Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletukan. Tibatiba berteriaklah I
Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ
menjadi kaget sekali.
"Tjokorda Gde Anyer! Ini
semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi Dewa Agung aku
bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup darah anakmu yang
jahanam itu!"
Bersarnaan dengan berakhirnya
teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap. Langit mendung.
Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun_
turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-dewa
di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan tadi!
***
Saat itu memang musim hujan.
Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar. Di belakangnya
kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda masing-masing. Sejak dari Klungkung
keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan
yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut jalan wajar. Mereka telah
menasihatkan agar perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota
Klungkung yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam
memimpin rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam
keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat
pada I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan itu!
Sambil menyisipkan sebilah
keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata pada tetangga-tetangga yang
ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan anak gadisku harus dibayar oleh
seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer keparat itu! Aku belum puas kalau tidak
dapat menghirup darah anaknya yang durjana! Kalian tak usah ikut campur! Ini
adalah urusan pribadiku!"
Semua orang segera maklum
pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk berusaha agar jangan sampai
terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat
pula sengaja mengikuti I Krambangan ke Denpasar. Pintu gerbang besar rumah
gedung Tjokorda Gde Anyer terkunci. Tanpa turun dari kudanya I Krambangan
menggedor pintu itu. Tak berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang
pelayan laki-laki memunculkan kepalanya.
"Bangsat yang bernama
Tjokorda Gde Anyer dan anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde Djantra itu
ada di dalam?!" bentak I Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak
membuat si pelayan kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut.
Pelayan ini ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata,
"Sayang sekali, majikanku
dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau berpesan kalau ada
tamu agar kembali saja minggu depan."
"Hem . . . begitu
pesannya?" ujar I Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan
kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan kaki kanannya, menendang
dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan
kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh tak sadarkan diri
lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang pintu hingga pintu itu
terpentang lebar.
Di depan tangga langkan gedung
kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini melompat turun. Empat orang
laki-laki lainnya melakukan hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan.
Setelah memandang berkeliling dengan mata yang merah laksana dikobari nyala
api, maka berteriaklah I Krambangan.
"Anjing busuk yang
bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!"
Tak ada jawaban I Krambangan
berteriak lagi, lagi dan lagi sampai berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak
ada jawaban maka menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak! Pot
bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan itu pecah berantakan
dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan yang ada di ruangan muka
itu hancur musnah dirusak I Krambangan sementara empat orang kawannya tak bisa
berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya memperhatikan saja dengan hati
cemas.
Satu-satunya benda yang masih
utuh di ruang depan gedung mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung
di langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah
dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah berantakan, minyaknya
tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu di sudut kanan terbuka.
Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut
oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna! Mana majikanmu si
anjing Tjokorda Gde Anyer itu?!"
Paras Made Trisna berubah.
Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara lunak, "Sahabatku,
I Krambangan."
"Tikus kotor! Berlalu
dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak ingin mampus!
"
"Apa-apaan ini sebenarnya
I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di rumah orang …
?!"
"Keparat laknat! Anakku
diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing kurap bernama Tjokorda
Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran…!"
" Krambangan, kau jangan
menuduh yang bukan-bukan!"
"Manusia bedebah! Kau
cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I Krambangan. Sambil
melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik
sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I
Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar
meminta nyawanya, Made Trisna cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai
tempat kosong membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia
membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan serangan maut untuk kedua
kalinya, maka menggemalah satu teriakan lantang, "Tahan!"
I Krambangan hentikan
serangannya dan berpaling dengan cepat.
"Anjing busuk! Akhirnya
kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan.
Paras Tjokorda Gde Anjer
mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang kau perbuat
di sini benar-benar membuat aku terkejut!"
I Krambangan mendengus keras.
"Apakah hati anjingmu
juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan merusak kehormatan
Tantri dan membuhuhnya?!"
"A … apa?!" seru
Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu kepura-puraan. Sesungguhnya
dari Made Trisna dia telah tahu apa yang terjadi atas diri Tantri.
"Anjing! Kau tak perlu
berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas tanggung jawab yang harus kau pikul
perlu apa kau memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar
sana?!"
"Aku sedang tak enak
badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe …"
"Sudahlah! Dihadapanku
kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang kubur!"
Habis berkata demikian I
Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya berkiblat mencari
maut!
"I Krambangan! Lebih baik
kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer.
"Aku sudah bilang
bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan serangannya makin
ganas. Di serang bertubitubi begitu rupa Tjokorda Gde Anyer tak bisa berdiam
diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera mencabut sebilah keris bereluk dua
belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang seru!
Baik Made Trisna maupun keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau
menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma memperhatikan jalannya
pertempuran dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah
dapat dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya
serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran itu namun
sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah tandingannya.
Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali sekitar dua
puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira Kerajaan yang memiliki kepandaian
tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa perwira lainlah kaum pemberontak
berhasil ditumpas, takhta kerajaan berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri
sewaktu pertumpahan darah itu terjadi hanya memegang jabatan sebagai Kepala
Prajurit Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu
sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing.
Lima jurus berlalu.
Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu mulai ditanan
dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan Tjokorda Gde Anver vang
nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu kabarnya
Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus kesembilan, dalam
satu serangan yang sangat kalap dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan
berhasil melukai bahu kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau
tadi dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas senjata lawan
maka kini diapun tak mau main-main lagi. Keris ditangannya diputar demikian
rupa, gerakangerakannya berubah dan dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi
dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan menjadi
cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh
lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka diapun mengeluarkan segala
kepandaian yang ada.
Memasuki jurus keduapuluh
sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali saling benturan
senjata dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat
pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama tiga jurus lagi,
laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
"I Krambangan, kalau kau
menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!"
berseru Tjokorda Gde Anyer.
"Seluruh keluargamu
mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk
kalianl" jawab I Krambangan.
Tjokorda Gde Anyer jadi
penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan menggeledek dia membuka jurus
ketiga puluh dengan satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan lengan
dewa merangkul awan." Mula-mula kerisnya kelihatan menusuk tajam ke arah
batok kepala lawan. Ketika lawan menangkis, mendadak lengannya bergerak
menghantem ke leher dalam kecepatan yang luar biasa dan sukar diduga. Mana
diduga kalau serangan senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah
dengan satu pukulan tangan kosong yang lihay!
I Krambangan tau bahwa dia tak
punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan untuk mengelak. Karenanya
dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke dada lawan. Tapi
posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu! Bahkan
baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan Tjokorda Gde Anyer
membabat deras dan "krak"! Patahlah batang leher I Krambangan!
Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya sudah lepas!
Kalau tadi keempat orang
kawan-kawan I Krambangan hanya berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan
kawatir, kini bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi marah
sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa nyawa, Tanpa menunggu
lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam
pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua yang teramat seru tapi
yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh mandi
darah dan mati!
6
DALAM melarikan kuda hitamnya
laksana diburu setan itu, masih terbayang di pelupuk matanya upacara pembakaran
jenazah Ni Ayu Tantri. Masih terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I
Krambangan. Lalu terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan.
Lalu terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala
ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di
mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti di puncak bukit itu
dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari balik pakaiannya.
Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda ini telah
memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam kotak yang indah
itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, "Tantri, aku bersumpah
untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila manusia-manusia keji itu
berhasil kutumpas, akupun rela untuk menyusulmu!"
Perlahan-lahan dimasukkannya
kotak itu ke balik pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda hitam hendak
disentakkannya, matanya melihat seorang penunggang kuda keluar dari hutan,
memasuki jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke arah timur. Entah
karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas puncak bukit terhadap
penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia bergerak cepat,
sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu dan menunggunya di
tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah mempertimbangkan sebentar
niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah kudanya menuju ke
timur.
Kira-kira setengah jam
kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan. Tikungan itu
selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya terdapat jurang
batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi kanan jalan pemuda
ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda yang tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh
telinga pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan.
Makin lama suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan penunggangnya sudah
tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu tinggal beberapa tombak saja,
pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu.
Orang yang dihadang, seorang
pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh curiga akan kemunculan seorang
penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satu jalan yang
menghubungkan Denpasar jengan daerah luar kota. Jadi adalah biasa saja kalau
berpapasan dengan orang lain. Namun sewaktu melihat pemuda berkuda hitam itu
sengaja berhenti di tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. Pemuda
berpakaian bagus itu menghentikan kudanya dalam jarak lima belas langkah.
Keduanya saling pandang
sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut, "Saudara,
harap kau suka memberi jalan."
"Saudara! Apa kau tak
dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus, berbadan tinggi
kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras tanda gusar.
"Jalan ini bukan milikku!
Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali tidak
menepikan kuda tunggangannya!
Melihat ini pemuda berpakaian
bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa maksudmu menghadang
perjalanan orang!!"
Satu seringai tersungging di
mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang manusia muka pucat! Kau
tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra dari Denpasar!"
Ucapan ini membuat pemuda
berpakaian bagus menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu
dia harus berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda Gde Djantra!
"Katakan dulu kau siapa,
baru aku menerangkan tentang diriku!"
Sebagai jawaban pemuda berkuda
hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh berwarna coklat tua. Sinar matahari
yang terik membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman!
"Silahkan cabut keris di
pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama Tjokorda Gde
Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat
ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah kau lakukan terhadap
gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I Krambangan serta empat orang
kawan-kawannya!"
Kejut Tjokorda Gde Djantra
bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa gelak-gelak kemudian
berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha
. . . ha … ha! Tampangmu boleh juga sobat! Tapi kalau kau punya rencana untuk
membunuhku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannyal Apakah kau punya
kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya
pulang saja kembali ke desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat
sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi terbahak-bahak!
Nyoman Dwipa kertakkan
rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah.
"Tertawalah sepuasmu
manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan tertawa
menyambutmu di liang kubur!"
Tjokorda Gde Djantra mendengus
lalu berkata,
"Aku yakin tentu kau
berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh kekasihmu itul Semua
orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh kurang ajar sekali menuduh
orang lain berbuat jahat tanpa punya bukti-bukti kuat dan nyata!"
"Pemuda keji! Lamaranmu
ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu Tantri!"
Tjokorda Gda Djantra kembali
mendengus dan menjawab,
"Kau kira cuma gadis itu
saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh gadis-gadis lebih cantik bisa kuambil
sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa aku sampai menculik perempuan tak
berguna dan hina dina itu!"
"Jadi kau tidak mau
mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan kejahatan kotor
terkutuk itu!"
"Aku katakan padamu
sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde Djantra.
Nyoman Dwipa menggerakkan
tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu keluar lagi kelihatan
memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah sebuah kancing baju yang
terbuat dari perak.
"Manusia laknat pengecutl
Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing ini sama bentuknya
dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih
mau mungkir!’
Tjokorda Gde Djantra terdiam.
Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah direnggut putus oleh Ni
Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan gadis itu!
"Kau terdiam dan
tampangmu tambah pucatl Sekarang bersiaplah untuk mampus!" teriak Nyoman
Dwipa. Tali kekang disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris berluk tujuh
di tangan kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu tusukan ke arah
dada kanan Tjokorda Gde Djantra!
"Trang!!!"
Terdengar suara beradunya
senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan dengan keris
Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kudanya
Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar biasa hingga
bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnyapun terhuyung-huyung.
Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang pada tali kekang kuda mungkin sekali
dia terpelanting jatuh! Dan yang lebih mengejutkan serta membuat pemuda ini
mengeluh dalam hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari
kerisnya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam keris lawan dalam
bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai dimana
tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra berkakakan seraya
melontarkan ejekan,
"Manusia yang ilmunya
cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di hadapanku!"
"Iblis bermuka manusia
pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau tidak
dapat mencincang seluruh tubuhmu!"
Tjokorda Gde Djantra ganda
tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman untuk kedua kalinya
melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya
hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde Djantra menggerakkan tangan untuk
menangkis, keris di tangan Nyoman Dwipa berkelebat turun dan membabat ke arah
perut!
"Keparat!" maki
Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang itu
melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini berhasil
mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya tidak kepalang
tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu tendangan kaki kanan!
Masih untung Tjokorda Gde
Djantra sempat berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib sial. Tendangan
Nyoman Dwipa mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras,
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat penunggangnya
terpelanting jatuh ke tanah!
Tjokorda Gde Djantra seorang
pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan kebatinan serta
kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di
pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang tokoh silat kawakan yang sangat
tinggi ilmu silat dan kesaktiannya. Salah seorang di antaranya ialah
Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang diam di Danau Batur. Karena dia
sering mengembara maka jarang sekali dia berada di Danau tersebut.
Tokoh silat ketiga bernama
Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua persilatan di Pulau
Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh silat yang
berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia persilatan, entah mengundurkan
diri entah telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh silat itu Menak
Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa
saja yang berbentuk tongkat, baik beberapa helai lidi atau daun bambu ataupun
ranting kering atau besi, bila berada di tangannya pasti akan menjadi senjata
yang dahsyat. Karena itulah Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat
Penjuru Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu
bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan pertandingan persahabatan,
menguji ilmu kepandaian masing-masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan
dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di Pulau Bali maka Menak Putuwengi keluar
sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut mengalahkan Sorablungbung dan
Walalang Tjarda. Setelah lima belas tahun berlalu tak dapat lagi dipastikan
siapa sesungguhnya yang lebih hebat karena di samping ketiga orang tokoh itu
tak pernah lagi mengadakan pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta
Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masingmasing hingga mencapai tingkat
yang sangat tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja tak diketahui
kemana perginya!
Sebagai salah seorang murid
Sorablungbung yang pernah digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya
Tjokorda Gde Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan
Nyoman Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang tingkat kepandaiannya
jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya Nyoman Dwipa bukan apa-apa
bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra kena juga dihantam lawan
meski kudanya yang menjadi korban!
Tjokorda Gde Djantra
terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi dia
jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya
seperti mendidih.
"Setan alas! Kematianmu
tak dapat ditawar-tawar lagi!"
Tjokorda Gde Djantra melompat
ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam satu jurus yang hebat! Nyoman
Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya membuat tubuh
Tjokorda Gde Djantra laksana lenyap. Dia cuma merasakan sambaran angin yang
deras dari kiri kanan maka cepat-cepat pemuda ini melompat turun dari kudanya.
"Breet!"
"Buuk!"
Dua suara itu terdengar hampir
bersamaan. Yang pertama suara robeknya pakaian Nyoman Dwipa di sambar ujung
keris Brajaloka sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam
kepala kuda hitam milik Nyoman Dwipa. Binatang ini rubuh dengan kepala pecah,
melejang-lejang beberapa ketika lalu tak bergerak lagi!
"Kudamu sudah duluan,
Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke neraka!" ejek
Tjokorda Gde Djantra!
Sebenarnya sejak bentrokan
senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi bahwa tingkat kepandaian
ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk
membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja pemuda itu tidak sudi! Lebih baik
mati secara jantan dari pada lari atau menyerah secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan
yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti tadi kedua tangannya
bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil
mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus berikutnya, satu sampokan
yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat lagi mempertahankan kerisnya!
Senjata itu terlepas mental dihantam senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan
sambil melangkah mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke tepi jurang, Tjokorda
Gde Djantra berkata, "Kau akan segera mampus sobat! Dan kau tahu …? Betapa
mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka yang terbuat dari emas di
tanganku ini? He … he..! Sebentar lagi sobat! Beberapa detik lagi kau akan
segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . . ha …!"
Tjokorda Gde Djantra
mengangkat tangan kanannya yang memegang keris tinggi-tinggi sementara dalam
keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman Dwipa berusaha mencari jalan agar
dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah nekat untuk menyerbu
ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan sama-sama
menghambur masuk jurang! Itu adalah cara yang paling baik menurut Nyoman Dwipa
asal saja dia benar-benar bisa melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin
pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi. Antara Nyoman dengan tepi
jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. Nyoman Dwipa
memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu dengan kedua tangan
terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke muka, menunggu kesempatan yang
ada!
Mendadak Tjokorda Gde Djantra
hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara tertawa itu
dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan membunuhmu dengan
keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa sobat! He … he … he,
pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh ke dalam jurang di
belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-batu cadas di bawah sana, tapi
selagi tubuhmu melayang menuju detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung
kengerian yang luar biasa!"
Nyoman Dwipa menggeram
mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas itu. Dia tak bisa
menunggu lebih lama! Saat itu
juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh lawannya walau apapun
yang
terjadi! Maka tanpa menunggu
lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan lawannya. Tjokorda Gde
Djantra mendengus. Dengan seringai maut tersungging di mulutnya pemuda ini
memukulkan tangan kirinya ke depan! Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin
yang laksana badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu
angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam
tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi suara kumandang tertawa
Tjokorda Gde Djantra.
7
DALAM tubuhnya melayang jatuh
ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya memang merasa ngeri sekali! Siapa
yang tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa ajalnya akan sampai
begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas besar di dasar jurang! Namun bila
dia ingat bahwa kematian yang bakal dihadapinya itu adalah kematian secara
jantan, ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di
alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya
kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat hal itu akan
kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin
cepat jatuhnya tubuh pemuda itu. Di atas jurang masih mengumandang suara
tertawa Tjokorda Gde Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman Dwipa namun ketika
sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar yang cuma
tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan tulang-tulang
ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap
kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa sebelum ajal berpantang
mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri Nyoman Dwipa.
Sewaktu tubuh pemuda itu hanya
tinggal enam tombak saja lagi dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat
besar berkelebatlah satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan,
"Dewa Agung!!!"
Yang berseru ini adalah
seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih. Rambutnya yang panjang terurai
macam rambut perempuan, janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan kedua
alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya sudah lebih dari 70
tahun tapi kakek-kakek ini memiliki tubuh yang masih kekar dan kegesitan yang
luar biasa. Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang
kejutnya bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia yang jatuh itu
masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera mengangkat
kedua tangannya dan mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat
bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik tubuh pemuda itu
tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh pemuda itu si
orang tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh Nyoman Dwipa
terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan ketika jatuh kembali ke
bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua tangan! Sungguh luar biasa apa
yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh Nyoman Dwipa dipanggul
di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang tua itu sudah lenyap dari
pemandangan. Si orang tua membawa Nyoman Dwipa ke dalam sebuah goa batu dan
setelah diperiksa ternyata pemuda itu masih bernafas. Kakek-kakek ini mengurut
dada dan kening Nyoman Dwipa beberapa kali hingga akhirnya pemuda itu sadar
dari pingsannya. Setelah membuka kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian memandang
berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di
alam baka, pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur tubuh dan paras
seorang tua berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih heranlah
pemuda ini. Orang tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua
telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua matanya terpejam.
Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi.
Tapi anehnya begitu Nyoman
Dwipa menyalangkan mata dan memandang terheran-heran berkeliling, tanpa membuka
matanya si orang tua berkata: "Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada
di tempat aman."
"Di manakah saya, bapa?
Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini …?" tanya Nyoman Dwipa seraya
bangun dari tempat tidur yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya
kembali si orang tua berkata: "Kau berada di tempat yang aman orang muda.
Ketika aku berada di dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling
suara tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku keluar dari goa tepat
pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar jurang. Selanjutnya
Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari kematian . . .".
Kini ingatlah Nyoman Dwipa
akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur dengan Tjokorda Gde
Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental
dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua berambut putih meski dia tadi
mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah menyelamatkan jiwanya tapi
Nyoman Dwipa sadar bahwa orang tua inilah yang telah menolongnya dari renggutan
maut. Segera Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan
kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang tua, aku Nyoman Dwipa
menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi pertolonganmu. Semoga
aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan semoga Dewa Agung merakhmatimu.
Sudilah kau memberi tahu namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar
mencarimu."
Si orang tua tertawa dan
menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya
menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita manusia ditugaskan Yang
Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda, cobalah kaus terangkan apa
yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang."
Nyoman Dwipa lalu menuturkan
pertempurannya dengan Tjokorda Gde Djantra bahkan diterangkannya juga pangkal
sebab pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang penduduk
Klungkung.
Si orang tua menghela nafas
dalam dan untuk pertama kalinya dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit
sekali macam mata orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh
wibawa!
"Cinta itu pada dasarnya
adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu membuatnya menjadi hal yang kotor.
Seringkali menusia buta karena cinta, karena kecantikan paras perempuan. Kalau
sudah begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi hingga tidaklah
aneh lagi kalau manusia tega membunuh manusia lain bahkan sahdara kandungnya
sendiri hanya karena cinta."
Nyoman Dwipa termangu diam
beberapa lamanya. Kemudian katanya: "Orang tua beritahulah namamu. Sebelum
meninggalkan tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk
padaku."
"Kau hendak pergi dan
kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu, Nyoman?"
"Benar, orang tua." jawab
Nyoman Dwipa terus terang.
"Kau tak akan kuat
menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu pula secara terus
terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke
liang maut jika saja Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup. Kau
mungkin tidak tahu siapa adanya Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang murid
Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung Agung."
Terkejutlah Nyoman Dwipa
mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan Tjokorda Gde
Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam dengan tingkat
kepandaian yany jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia belaka dan diam-diam
pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang ditundukkan dan
berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua.
"Aku yang bodoh ini mohon
petunjukmu orang tua."
Kakek-kakek itu tertawa.
Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa sesungguhnya dia
berhadapan. Kakek kakek berambut dan berjanggut putih itu bukan lain Menak Putuwengi
itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu kesaktiannya di antara tokoh-tokoh
silat lainnya sekitar belasan tahun yang silam!
"Aku tak bisa memberi
petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi pula.
Pemuda itu merasa kecewa tapi
juga heran ketika melihat dalam berkata itu si orang tua tersenyum. Dan Menak
Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa mengajukan satu tawaran. Sudikah
kau mempelajari permainan silat ilmu tongkat? Bukan aku sombong, dalam tempo
dua-tiga bulan saja pasti kau dapat mengalahkan murid Sorablungbung itu."
Bukan alang kepalang
gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan menjawab:
"Tentu saja mau. Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan
memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon agar kau sudi memberitahu namamu, orang
tua…"
"Ah, soal namaku …"
kata Menak Putuwengi, "Sudah sejak belasan tahun dilupakan dunia
persilatan di Pulau Bali ini. Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah
sekarang mari kita berangkat …"
"Berangkat kemana
guru?" tanya Nyoman tak mengerti.
"Goa ini terlalu sempit
dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat pedataran tinggi di
sebelah, timur sana ….?" ujar Menak Putuwengi seraya menunduk keluar goa.
"Disitu lebih cocok tempatnya."
"Baiklah guru",
jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa. Ternyata
bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah daerah pesawangan
yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi kelihatannya berjalan
lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun Nyoman Dwipa mengerahkan ilmu
larinya, tetap saja dia ketinggalan belasan tombak di belakang!
Sesampainya di pedataran
tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya pemandangan di
sekelilingnya.
"Kita mulai saja
pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan dan
perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki."
Atas perintah gurunya itu maka
Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus.
"Sudah . . . sudah
cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada lumayan.
Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak Putuwengi
lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu diberikannya kepada Nyoman
Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini kuberikan kau dasar-dasar ilmu
tongkat. Kemudian kau harus melatih diri dalam tenaga dalam dan meringankan
tubuh."
Demikianlah, mulai saat itu
Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak Putuwengi.
8
BERDIRI di tepi danau yang
dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang panas terik itu membuat
pemuda pengelana itu ingin sekali mandi merasakan kesejukan air danau. Sambil
bersiul-siul pemuda ini lalu membuka pakaiannya. Sesaat kemudian diapun sudah
mencebur masuk ke dalam air danau. Sengaja dia menyelam dalam-dalam lalu muncul
lagi dipermukaan air danau untuk bernafas lalu menyelam lagi. Gemikian sampai
beberapa kali. Pada kali yang keenarn dia memunculkan kepala di permukaan air
danau mendadak sontak berubahlah parasnya oleh rasa kaget yang bukan alang
kepalang!
Dari seluruh tepi danau
dilihatnya meluncur ular hitam berbelang-belang kuning sebesar betis dan
rata-rata panjangnya satu sampai satu setengah meter! Binatang-binatang itu
dengan sangat cepat berenang ke tengah danau di mana pemuda berada!
"Gila!" seru pemuda
itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya yang hebat dari dalam air pemuda ini sanggup melesatkan
tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia berhasil melompat ke daratan
cepat-cepat dia hendak mengambil pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya pemuda
ini menjadi melengak kaget karena dari balik semak belukar, puluhan ekor ular
jenis yang sama telah menyerbunya pula hingga dia tak punya kesempatan untuk
mencapai pakaiannya!
Dengan memaki dalam hati
pemuda ini melompat ke sebuah pohon. Tapi au! Kakinyamenginjaksesuatu yang
bulat dan licin hingga kalau saja ilmu meringankan tubuhnya tidak sempurna
pastilah dia akan jatuh! Ketika dia memandang ke bawah, pemuda ini kertakkan
rahang karena benda bulat licin yang tadi dipijaknya nyatanya adalah seekor
ular hitam berbelang-belang kining. Dan ketika dia memandang berkeliling,
seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat itu penuh dengan ular-ular
tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke tanah dan ke danau
seluruhnya penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa mengerti dari mana
datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari lidahnya yang bercabang dan
berwarna hijau nyatalah bahwa ular-ular itu mengindap racun yang amat jahat.
Meskipun dia kebal segala macam racun namun menyaksikan itu mau tak mau
merinding juga bulu tengkuknya! Dan menyadari dirinya tanpa pakaian begitu rupa
pemuda ini merutuk habis-habisan dalam hati.
Sementara itu dia tak dapat
berdiri lebih lama di cabang pohon karena sebentar saja belasan ekor ular telah
menyerbunya pula! Tak ada tempat yang kosong lagi untuk tempat berpindah!
Sambil melompat turun pemuda ini pukulkan kedua tangannya ke bawah! Angin deras
menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda berhasil turun di tanah yang kini
kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya binatang-binatang yang kena dihantam
dan dibuatnya mental tadi sama sekali tidak cedera ataru mati dan dalam waktu
yang singkat bersama kawan-kawannya segera menyerbu pemuda itu kembali.
Kini pemuda tersebut segera
maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu bukan ular-ular biasa.
Mungkin binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun ular itu adanya dia musti
bisa menyelamatkan diri. Tiga ekor ular hitam berbelang kuning berhasil melilit
kakinya. Seekor diantaranya mematuk betis pemuda itu hingga menoeluarkan darah
kehitaman bercampur racun yang tertekan ke luar akibat hawa tenaga dalam yang
ada di tubuh si pemudar. Sekali dia menggerakkan tubuh rnaka ketiga ular itu
berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan dahsyat laksana air
bah! Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu pukulan sakti yang
sangat diandalkannya. Sepasang tangannya kelihatan putih memerah, sepuluh kuku
jarinya mengeluarkan sinar yang menyilaukan!
"Wuus! Wuuss!"
Dua larik sinar putih yang panas
menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar matahari yang hebat luar biasa! Puluhan
ekor ular menemui ajalnya mati terkuntung-kuntung dalam keadaan hangus! Yang
masih hidup agaknya marah sekali melihat kematian kawankawan mereka.
Binatang-binatang ini dengan mengeluarkan suara mendesis menyerbu si pemuda dan
si pemuda menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat.
Binatang-binatang yang masih hidup bukannya takut tapi malah terus menyerbu
dengan kalap sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang bulat itu
menjadi sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali di tempat itu, tapi
melihat si pemuda mencak-mencak telanjang begitu rupa ada juga kelucuannya!
Menurut dugaan si pemuda sudah
lebih dari seratus ular yang dibunuhnya tapi yang datang menyerangnya seperti
tak ada kurang-kurangnya malah makin lama makin banyak! Dalam pada itu
ular-ular yang berjalaran di pohon dengan melilitkan ekorekor mereka di cabang
atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan menyambar si pemuda hingga si
pemuda bukan saja diserang dari bawah tapi juga dari atas!
"Benar-benar edan!"
maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar matahari ke
atas dan ke bawah!
Dalam seru-serunya pertempuran
antara ular lawan manusia itu tiba-tiba terdengarlah seruan, "Sobat!
Bertahanlah terus! Aku akan membantu!"
Baru saja seruan itu berakhir
maka disitu muncullah seorang pemuda berpakaian biru. Di tangan kanannya ads
seikatan jerami tebal yang ujungnya dibakar. Kobaran api jerami ini membuat
puluhan ular hitam berbelang kuning menjadi terbiritbirit ketakutan. Tapi tidak
semua binatang itu lari. Puluhan lainnya menyerbu pemuda baju biru ini. Si
pemuda menghadapinya dengan tenang-tenang saja. Di tangan kiri pemuda ini ada
sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu kuning.
Dengan memutar-mutar tongkat
kecil itu maka setiap ular yang berani mendekatinya pasti akan mati dalam
keadaan tubuh terkuntungkuntung! Hebat sekali permainan tongkat bambu kuning si
pemuda hingga dalam tempo yang singkat puluhan ular hitam berhasil
dimusnahkannya!
"Hebat!" kata pemuda
yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan cepat mengenakannya
kemudian bersama-sama pemuda baju biru terus memusnahkan ular-ular yang
mengamuk itu. Lebih dari separoh ular hitam berbelang kuning yang ads di tempat
itu telah musnah menemui kematiannya. Sementara itu dalam berlangsungnya
pemusnahan binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan antara kedua
pemuda.
"Namaku Nyoman
Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu kuningnya.
Dua ekor ular rubuh dengan kepala pecah. "Darimana ular sebanyak ini!
Bagaimana kau sampai diserang mereka?!"
"Aku sedang asyik-asyikan
mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih. "Ketika menyelam dan
muncul di atas air danau kulihat puluhan ekor ular, entah dari mans datangnya
berenang menyerangku! Sewaktu aku naik kedaratan ternyata puluhan binatang itu
telah menungguku pula disana. Gila betul!"
"Hai kau belum
menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru.
"Namaku Wiro
Sableng!"
"Kau bukan penduduk sini
agaknya!"
"Betul" sahut pemuda
baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng adanya! "Terima
kasih atas pertolonganmu, Nyoman!"
"Ular-ular ini
benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana binatang
itu masih terus menyerbu mereka dengan beraninya! "Sebaiknya mari kita
tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman Dwipa sampai berada di tempat itu
baiklah kita tuturkan sedikit.
Sebagaimana yang telah
diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah diselamatkan oleh
seorang kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi. Orang tua ini kemudian
mengambil pernuda itu menjadi muridnya. Setelah tiga bulan lebih menggembleng
Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda itu sudah menguasai pelajaran silat
ilmu tongkat si kakek cuma tentu saja dia musti banyak berlatih agar mencapai
tingkat kesempurnaan. Memasuki pertengahan bulan yang keempat Menak Putuwengi
mengizinkan muridnya untuk pergi mencari orangorang yang bertanggung jawab atas
kematian kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa penduduk Klungkung lainnya.
Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar pemuda itu jangan terlalu mengikuti
nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan tangan maut terhadap
siapa pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang baik!
Demikianlah maka Nyoman Dwipa
dengan bekal ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari Menak Putuwengi
meninggalkan tempat kediaman si orang sakti yang nyatanya masih hidup, jadi
tidak benar seperti yang diduga dunia luaran bahwa kakek-kakek sakti itu telah
meninggal dunia. Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu dengan
persoalan-persoalan duniawi karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia
persilatan, membersihkan diri dari dosa dan kesalahan-kesalahan di masa mudanya
serta memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di
dasar jurang itu.
Dalam perjalanannya menuju
Denpasar pemuda itu sengaja melewati hutan belantara mengambil jalan singkat
agar lebih lekas sampai ke tempat tujuan. Karena melewati rimba belantara
itulah maka dia sampai bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Mulanya dia merasa heran dan
kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong basah kuyup dalam
keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan ratusan ekor ular yang
sebesar-besar betis. Dilihat pada gerakan-gerakan serta pukulan-pukulan yang
dilancarkannya dalam memusnahkan binatang-binatang itu nyatalah dia memiliki
kepandaian tinggi. Tapi mengapa sampai bertempur telanjang bul!at begitu rupa?!
Nyoman tidak tahu bahwa sewaktu diserang, Wiro tengah mandi dalam danau.
Sebenarnya Nyoman Dwipa maklum
bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang itu pasti akan sanggup
memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi bukankah lebih baik dia turun
tangan menolong seraya mempraktekkan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Menak
Putuwengi? Maka setelah mengumpulkan lalang serta jerami kering dan membakarnya
dengan tongkat bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa menyerbu ke dalam
pertempuran binatang lawan manusia itu!
"Wiro! Ayo kita
tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali.
"Tunggu dulu sobat!"
sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa ular-ular ini bukan
binatang biasa! Mungkin binatang jadi-jadian, mungkin pula ada pemiliknya.
Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama?!"
Baru saja Wiro berkata begitu
maka dari dalam hutan mengumandanglah suara bentakan menggeledek!
"Manusia-manusia kotor
dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku?!" Wiro mengeluarkan
suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa.
"Nah, apa kataku!"
ujarnya.
9
BEGITU bentakan lenyap maka
dari dalam hutan belantara keluarlah seorang laki-laki yang memiliki tampang
dahsyat. Kepalanya panjang, kening menjorok ke depan sedang leher kecil
singkat. Rambutnya hitam legam tapi cuma sedikit tumbuh di atas batok kepalanya.
Kulit mukanya berwarna hitam dan berminyak hingga bila disorot sinar matahari
mukanya itu jadi berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular, tampang manusia
ini memang hampir tidak beda! Dia mengenakan pakaian berbentuk jubah yang
terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya melilit dua
ekor ular besar yang sudah mati dan dikeringkan!
Begitu sampai di hadapan Wiro
Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan ekor ular musnah berkaparan di
mana-mana marahlah manusia yang punya tampang macam ular itu!
"Keparat-keparat laknat!
Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang peliharaanku!"
Sementara Wiro dan Nyoman
masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning maka manusia aneh itu
telah menyerbu dan membagi serangan pada kedua pemuda itu! Wiro dan Nyoman
kaget bukan main karena serangan si orang aneh sebelum sampai sudah didahului
oleh sambaran angin yang sekaligus mengarah dua belas jalan darah kematian di
tubuh pemuda-pemuda itu! Baik Wiro maupun Nyoman Dwipa cepat-cepat melompat
menyelamatkan diri!
Siapakah manusia aneh yang
baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai pemelihara ular-ular yang
menyerang kedua pemuda itu? Di Bali namanya belum dikenal karena dia seorang
pendatang dari pulau Jawa yang diam-diam menyelusup ke pulau untuk maksud
tertentu. Ki Sawer Balangnipa, demikian nama orang ini selain memiliki ilmu
silat yang tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor ular hitam
belang-belang kuning yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi marah setengah
mati ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal berani membunuh
binatang-binatang
peliharaannya. Maka dengan
serta merta dia melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat yaitu yang bernama
"dua raja ular menyerbu ke langit". Kehebatan jurus serangan ini
sudah kita ketahui di muka yaitu sebelum pukulan sampai, sambaran angin telah
mendahului menggempur dua bela: jalan darah kematian di tubuh kedua pemudal
Dengan melancarkan serangan hebat itu Ki Sawer Balangnipa bermaksud untuk membuat
pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik itu juga! Tapi betapa terkejutnya dia
sewaktu menyaksikan bagaimana Wiro dan Nyoman berhasil mengelakkan dua
serangannya itu!
Ki Sawer Balangnipa
mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga! Anehnya ular-ular
yang ada di situ, mendengar suara suitan itu segera berserabutan lari ke dalam
hutan. Ki Sawer Balangnipa berdiri dengan bertolak pinggang!
"Kunyuk-kunyuk bermuka
manusia! Nyatanya kalian memiliki ilmu yang diandalkan hingga aku tahu sampai
dimana kelebatan kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!"
Nyoman Dwipa marah sekali
mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan menjawab, "Kawanku ini
memang berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal tak perlu dipidatokan
di sinil Tapi kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk bermuka manusia, berarti kau
sama saja dengan monyet-monyet bermuka setan!". Habis berkata begitu Wiro
tertawa berkakan hingga menggetarkan seantero tempat! Sekaligus dia hendak
memperlihatkan bahwa suitan yang menyakitkan telinga dari Ki Sawer Balangnipa
itu cukup bisa ditandinginya dengan suara tertawanyal Diam-diam Ki Sewer
Balangnipa sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga dalam si pemuda, tapi dia
sama sekali jauh dari gentar!
"Enam puluh tahun hidup
baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer Balangnipa!"
"Ah, nyatanya kau juga
bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir seenaknya. "Sekarang
kau katakan aku tikus busuk, betul-betul keterlaluan! Tapi supaya kau tahu diri
memang namamu sesuai dengan tampangmu macam raja ular penyakitan!" (Sawer
= ular, bhs. Jawa, pen.)
"Bangsat rendah! Kau
benar-benar minta kubikin lumat!"
Tubuh Ki Sawer Balangnipa
berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak kelihatan dan tahu-tahu sepuluh
jari tangannya sudah mencengkeram ke perut dan ke muka Pendekar 212 Wiro
Sableng! Ini adalah jurus serangan yang bernama "sepasang cengkeram
kehancuran". Sekali cengkeram itu bersarang di muka Wiro pasti muka pemuda
itu akan hancur mengerikan.
Jika perutnya kena direnggut
lima jari tangan lainnya pasti akan robek dan ususnya berserabutan keluar!
Begitulah kehebatan jurus "sepasang cengkeram kehancuran"!
Pendekar 212 Wino Sableng
memang masih muda dalam usia tapi sudah cukup punya pengalaman dalam berbagai
pertempuran menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di pelbagai penjuru rimba
persilatan! Sewaktu menerima serangan pertama kali dari Ki Sawer Balangnipa
tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan seorang yang bisa dibuat main.
Maka dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping seraya lancarkan satu
tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan!
Melihat dua cengkeramannya
yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer Balangnipa penasaran bukan main.
Di lain pihak Wiro Sableng merasakan adanya satu ancaman yang tersembunyi sewaktu
menyaksikan bagaimana tendangannya yang hampir menemui sasarannya itu sama
sekali tidak diperdulikan oleh lawan! Mustahil manusia itu tidak mengetahui
bahaya yang mengancam dirinya!
Satu detik lagi kaki kanan
Pendekar 212 akan mendarat dan menghancurkan tulang-tulang rusuk lawan,
Pendekar 212 Wiro Sableng yang punya firasat tidak enak mendadak sontak segera
menarik pulang kakinya dan melancarkan satu pukulan tangan kosong yang
dinamakan pukulan "kunyuk melempar buah"!
Satu hal yang hebatpun terjadilah!
Adalah satu keuntungan besar
bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya tadi karena di saat yang hampir
bersamaan Ki Sawer Balangnipa membab)atkan tepi telapak tangan kanannya ke
bawah dengan deras! Bukan saja ini satu pukulan tangan yang amat dahsyat tapi
juga diisi dengan kekuatan sakti yang sanggup membuat batu karang paling
ataspun bisa hancur lebur! Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan itu
mengenai kaki kanan Wiro Sableng! Karena pukulannya mengenai tempat kosong
dengan dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah! Pasir dan batu-batu
berhamburan sampai beberapa tombak ke samping dan ke atas. Bumi bergetar dan
etika Wiro memandang ke depan dilihatnya bagaimana tanah yang kena angin
pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam Pendekar 212
kaget juga karena sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu pukulan yang begitu
hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga perempat tenaga dalamya untuk
menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara suitan keras dan pada detik itu
juga tubuhya lenyap!
Kalau tadi Wiro yang dibikin
terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer Balangnipalah yang
terkejut bukan main! Didengamya suitan pemuda itu, lalu tubuh si pemuda lenyap
dari hadapannya dan sesaat kemudian dirasakannya sambaran angin serangan yang
tajam dari kiri kanan!
Ki Sawer Balangnipa melompat
mundur sampai lima langkah membentak keras dan maju lagi dalam satu kelebatan
cepat menyambuti serangan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Nloman Dwipa yang menyaksikan
pertempuran diam-diam memuji kehebatan kedua belah pihak yang bertempur. Kalau
saja dia tidak mendapat gemblengan dari Menak Putuwengi pastilah matanya akan
sakit dan kepalanya akan pusing melihat kelebatan-kelebatan mereka yang
bertempur yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dari jubah yang dikenakan Ki
Sawer Balangnipa dan bayangan putih pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini
semakin terbuka mata Nyoman Dwipa bahwa di atas jagat ini banyak sekali
terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti kedua orang itu! Dan
diam-diam Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat kepandaian Tjokorda Gde Djantra
setingkat dengan kedua orang itu. Kalau betul tentu masih bukan suatu hal yang
mudah baginya untuk bisa mengalahkan musuh besamya itu dalam tempo sepuluh
sampai duapuluh jurus!
Nyoman Dwipa kembali
memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu telinganya mendengar
lengking siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah mengerahkan tenaga dalam dan
menutup pendengarannya barulah rasa sakit yang menyamaki gendang-gendang telinganya
akibat suara siutan aneh itu menjadi lenyap! Dan di muka sana dilihatnya
bagaimana Ki Sawer Balangnipa mulai terdesak oleh serangan-serangan gencar
Pendekar 212.
Dalam jurus keempat puluh Ki
Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia terus bertahan dalam posisi
demikian rupa naga-naganya paling lama sepuluh jurus lagi pasti dia akan kena
dihantam lawannya! Keringat telah membasahi tubuh lakilaki ini, apalagi karena
dia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit ular yang tak tembus air!
"Pemuda gelo! Jika kau
sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berseru
dan habis berseru demikian dia lepaskan dua ekor ular yang telah dikeringkan
dari lehernya! Sepasang binatang yang sudah mati itu, di tangan Ki Sawer
Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar dan meliuk, mematuk dan
menjabat ke arah Pendekar 212.
Dari tubuh ular-ular yang
sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang menyesakkan rongga pernafasan
sedang dan mulutnya yang membuka menyambar sinar hijau menggidikkan. Itulah
sinar racun yang jahat sekali. Menghadapi ini Wiro segera tutup jalan
pernafasannya dan berkelebat lebih cepat untuk menghindarkan serangan- serangan
sepasang ular kering di tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi berlalu. Agaknya Ki
Sawer Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat simpanannya kanena
kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah. Tubuhnya bergerak gesit
laksana seekor ular besar, meliuk kesana meliuk kesini!
Pendekar 212 Wiro Sableng
mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia semakin terdesak ke tepi
danau membuat pemuda ini memaki dalam hati.
Dia tengah berpikir-pikir
untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya
dari Tua Gila ketika salah satu dari senjata di tangan Ki Sawer Balangnipa
menghantam dadanya!
Pendekar 212 menjerit keras!
Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk danau!
Dadanya sakit bukan main dan
laksana hancur remuk! Pemandangannya berkunang-kunang! Untuk beberapa lamanya
dia apungkan diri di permukaan air danau sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke
bagian yang kena dihantam lawan!
Di lain pihak Ki Sawer
Balangnipa adalah hampir tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Seorang
yang kena digebuk ular kering yang menjadi senjatanya, tak ampun lagi pasti
akan menemui kematian dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya pemuda itu masih
hidup dan mengapungkan diri di atas air danau!
"Ki Sawer Balangnipa
hadapi aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman Dwipa dengn
tongkat bambu kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer Balangnipa!
Manusia yang punya tampang
seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!" katanya, "kaupun
minta digebuk! Ayo majulah!"
Nyoman Dwipa bolang-balingkan
tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil saja tapi deru angin yang
keluar akibat putarannya deras bukan main. Sinar kuning menjulang panjang
hingga diam-diam Ki Sawer Balangnipa segera maklum bahwa lawannya yang kedua
inipun bukan orang sembarangan pula!
"Silahkan mulai, Ki Sawer
Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula. Dia sudah siap dengan kuda-kuda
pertahanan sambil membolang-balingkan tongkat kecilnya!
"Sialan! Disuruh mulai
menyerang lebih dulu malah menantang sombong!" damprat Ki Sawer
Balangnipa. Dia maju satu langkah untuk melancarkan sebuah serangan yang
dahsyat.
Di saat pertempuran antara
Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-tiba dari arah danau
terdengar seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan pertempuranku dengan
manusia bermuka ular penyakitan itu!" Seruan itu disertai dengan melayangnya
kira-kira selusin ular-ular yang telah mati ke arah Ki Sawer Balangnipa! Jika
saja laki-laki itu tak lekas menyingkir pasti kepala dan tubuhnya akan dihantam
binatang-binatang peliharaannya itu sendiri! Ki Sawer Balangnipa menjadi lupa
terhadap Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat melompat ketepi danau.
Tenaga dalam dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya dan sekali dia menyapukan
ular di tangan kanannya itu, maka menderulah satu gelombang angin yang deras ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung di tengah danau! Air danau
muncrat sampai setinggi delapan tombak dilanda derasnya pukulan tangan kosong
tersebut tapi Wiro sendiri saat itu sudah melesatkan tubuhnya ke tepi danau
sebelah kiri. Dadanya sebenamya masih sakit tapi karena-yakin bahwa dirinya tak
mengalami luka di dalam maka begitu sampai di daratan pemuda itu berseru
lantang, "Muka ular! Terima pukulanku ini!"
Terlalu cepat bagi Ki
Balangnipa untuk bisa melihat pukulan apa yang dilepaskan lawan tahu-tahu
"wuus" satu larik sinar putih yang panas dan menyilaukan matanya
menerpa dahsyat ke arahnyal Manusia yang mukanya seperti ular itu berseru keras
lalu melompat cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular kering yang
ditangan kirinya masih tempat disambar pukulan sinar matahari yang dilepaskan
Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya bagian ekornya saja yang
masih tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa!
"Keparat rendah!"
maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang matanya laksana api
berkobar! Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng belum menjejakkan kedua kakinya di
tanah, dia segera melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Tangan kiri dipukulkan ke
depan. Satu gelombang angin menggebu laksana topan, siap untuk menyapu dan menghancur
leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki Sawer Balangnipa adalah pukulan
sakti yang sangat diandalkannya dan yang jarang sekali dikeluarkannya jika
tidak menghadapi lawan yang teramat tangguh! Itulah pukulan yang bernama
"sejagat baju".
Jangan kata manusia, batu
karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu! Serangan yang dilancarkan
Ki Sawer Balangnipa tak kepalang tanggung karena sehabis memukul itu tubuhnya
melesat ke depan dan menyusul serangan pertama tadi dengan serangan ular kering
di tangan kanannya yang menderu ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
Pukulan "sejagat
baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun menjejak tanah
Betapapun dia mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul ke muka dengan ilmu pukulan
"dinding angin berhembus tindih menindih"
tetap saja tubuhnya tersapu
sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat membuang diri ke samping dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, pastilah dia akan
menghantarn pohon besar di belakang sana! Pukulan sejagat baju melanda pohon
besar itu dan pohon-pohon serta semak belukar di sekitarnya, membuat semuanya
itu tumbang dan tersapu sampai sepuluh tombak lebih dengan mengeluarkan suara
berisik luar biasa. Air danau yang turut terserempet pukulan tersebut muncrat
setinggi dua tombak!
Setelah jungkir balik dua kali
berturut-turut Wiro Sableng berhasil mencapai tanah dengan kedua kaki lebih
dahulu. Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa tanggal sedang
dari sela bibirnya kelihatan darah kental! Pemuda ini ternyata telah terluka di
dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil merah lalu duduk tak bergerak,
meramkan mata mengatur jalan nafas dan tenaga dalam serta mengalirkan hawa
sejuk dari pusarnya ke dada!
Ki Sawer Balangnipa tertawa
gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha! ha! Sekarang kau baru tahu
kehebatan Ki Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke neraka, budak hina
dina!"
Ki Sawer Balangnipa mengangkat
tongkat ularnya tinggi-tinggi lalu dihantamkan secepat kilat ke arah batok
kepala Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Pengecut! Beraninya
menyerang lawan yang sudah tak berdaya!".
Satu bentakan menggeledek dan
selarik sinar kuiing menderu menangkis ular kering di tangan Ki Saver
Balangnipa. Itulah tongkat bambu kuningnya Nyoman Dwipa. Pemuda ini ketika
menyaksikan bagaimana Ki Sawer Balangnipa hendak menamatkan riwayat Wiro
Sableng dalam keadaan pemuda itu tak berdaya, menjadi sangat geram dan menyerbu
ke muka! Namun sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa saling beradu
dengan ular kering di tangan kanan Ki Sawer Balangnipa, terdengar suara
menggembor yang disusul dengan bentakan lantang.
"Siapa bilang aku tak
berdaya, Nyoman!"
Dan "wuut"!
Selarik sinar putih yang amat
menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara mengaung macam ratusan tawon
mengamuk!
Dan "cras"!
Terdengar kemudian pekik
setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa. Tangan kanannya sebatas
pergelangan lengan buntung dan memuncratkan darah! Telapak dan jari-jari tangan
yang masih memegang ular kering tadi, kelihatan mental ke udara lalu jatuh ke
dalam danau, membuat air danau di tempat jatun berwrrna kemerah-merahan oleh
darahl Apakah yang telah terjadi?
Sewaktu Ki Sawer Balangnipa
siap untuk menamatkan riwayat Wiro Sableng, sebelum Nyoman Dwipa sempat
menangkis senjata Ki Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang duduk diam
mematung itu tiba-tiba membuat gerakan cepat luar biasa, mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas senjata
lawan tapi tak terduga serangannya itu justru membuat buntung pergelangan Ki
Sawer Balangnipa! Laki-laki ini menotok jalan darah di bahu kanan hingga darah
berhenti memancur!
"Pemuda keparat! Kali ini
kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika aku muncul
kembali di depan hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer Baangnipa
berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau!
Wiro Sableng masukkan Kapak
Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan perlahan-lahan. Nyoman
Dwipa memegang bahunya.
"Kau tak apa-apa,
Wiro?"
"Aku terluka di
dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu berbahaya.
Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!"
"Tapi kau jauh lebih
hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda Bali ini menyadari
sepenuhnya kalau saja dia yang berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa pasti akan
lebih cepat dirobohkan, bahkan mungkin akan memenuhi ajal secara mengenaskan!
"Aku kebetulan lewat di
sini dan mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki kutemui kau
mencak-mencak telanjang bulat melawan puluhan ular!"
Wiro tertawa sambil
garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang pemuda itu lalu
menuturkan riwayat masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala
mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat sekali riwayatmu, Nyoman. Juga
menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut dihajar Sayang
aku ada urusan yang perlu diselesaikan dengan cepat Kalau tidak pasti aku akan
seiring denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku segera akan menyusulmu, Nyoman!
Ingin sekali aku melihat tampangnya itu pemuda yang bernama Tjokorda Gde
Jantra!"
"Terima kasih yang kau
ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa pula.
Wiro Sableng sekali lagi
mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu saling menjura lalu
berpisah.
10
SEPERTI telah dituturkan untuk
mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja menempuh rimba belantara.
Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang
didatangi manusia bahkan lewat di sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani
karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan rampok yang dipimpin oleh seorang
bernama Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga
saja. Namun kemudian ditambah di tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi Nyoman Dwipa, bila dia
mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang perjalanannya selama setengah hari.
Meskipun dia sendiri tahu bagaimana besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut
namun karena ingin cepat-cepat sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat
melunaskan sakit hati dendam kesumat yang telah diindapnya selama beberapa
bulan di lubuk hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh
bukit tersebut.
Beberapa jam kemudian dia
sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan. Sekurang-kurangnya menjelang
magrib dia pasti sudah sampai ke kota tujuannya. Dia harus memasuki satu rimba
belantara sebelum mencapai kaki bukit di mane membujur jalan yang menuju ke
Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak mengalami
kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat bersarangnya
gerombolan rampok Warok Gde Jingga.
Sewaktu Nyoman Dwipa telah
menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara itu, mendadak di sebelah
muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Tak dapat
tidak itu pastilah suara orang yang tengah bertempur. Pemuda ini percepat
larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju birunya dikait semak belukar.
Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar kelihatanlah satu pemandangan yang
hebat!
Empat orang laki-laki
berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur mengeroyok seorang
perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di tepi jalan sebelah sana
berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh mengigil sedang dibelakangnya, di
tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta, seorang kusir tua
duduk dengan paras pucat pasi!
Perempuan yang parasnya
ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali. Pedang perak di tangan
kanannya berkelebat kian kemari, menangkis serangan-serangan golok panjang ke
empat pengenyok bahkan juga sekaligus balas menyerang dengan gencarnya!
Namun betapapun hebatnya ilmu
pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya adalah prajurit-prajurit
klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman Dwipa datang mereka telah
bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju hitam berada dalam keadaan
terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba salah satu ujung
golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang menjadi kerudung si
baju hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman
Dwipa, keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking tidak menyangka
kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras seorang dara yang
jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan yang hampir
saja membelah batok kepalanya!
Salah seorang prajurit
melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau tak segera
mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat matahari tenggelam sore
nanti!"
Dara jelita berpakaian hitam
mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia kiblatkan pedang peraknya
hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini seperti tadi, lagi-lagi si
baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke empat prajurit itu tak mau
memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara benar-benar terancam!
Meski dia tak ada sangkut paut
dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa merasa kasihan dan
tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat celaka di ujung
golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak di mana dia bersembunyi
mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan pertempuran
seraya berseru,
"Hentikan
pertempuran!"
Karena suara itu disertai
aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke seantero rimba. Keempat
prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah melihat seorang pemuda
tak dikenal mengganggu serta mencampuri jalannya pertempuran!
Salah seorang dari mereka
memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa. Maka keempatnya
kemudian kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa terkejutnya
mereka ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada lagi dihadapan mereka,
sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka tertumpah pada Nyoman
Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu tertuju pada diri
Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara mereka kiblatkan
golok panjang menyerang pemuda itu!
Karena sudah menyaksikan kehebatan
permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman segera pula bertindak cepat.
Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima
jari tangan kirinya yang dilipat sudah menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru
kesakitan! Goloknya terlepas sedang sambungan sikunya putus dihantam pukulan
Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa
itu, Nyoman Dwipa dengan cepat menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok
itu Nyoman membabat golok-golok di tangan ketiga lawannya hingga satu demi satu
bermentalan di udara!
Keempat prajurit itu kagetnya
bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki habis-habisan. Bahkan salah
seorang dari mereka secara blak-blakan berkata dengan suara keras penuh amarah.
"Pemuda tak tahu diri!
Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga mencampuri urusan
orang lain?!"
Prajurit yang kedua membuka
mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis berbaju hitam
tadi?!"
"Aku memang tak ada
sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga tidak tahu
siapa kalian, apalagi gadis yang kabur itu!"
"Tindakanmu ceroboh
lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan melarikan
patung emas yang kami bawa!"
"Patung emas?!" ujar
Nyoman.
"Ya, patung emas! Dan kau
musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan clihadapkan pada Adipati
Surabaya untuk menerima hukuman!" kata prajurit yang lain.
"Jadi kalian adalah
prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak usah banyak tanya!
Lekas serahkan dirimu!"
"Sobat, sebaiknya kau
terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu. Jika memang
dari keteranganmu nanti aku telah melakukan kesalahan, percayalah aku akan
menebus kesalahanku itu."
Salah seorang dari keempat
prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah utusan dari Kadipaten
Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk melamar seorang gadis anak
bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati Surabaya telah
memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si gadis sebagai
tanda penghormatan. Setelah menyeberangi lautan, sesampainya di Bali mereka
melanjutkan perjalanan dengan kereta. Perempuan tua yang ikut bersama keempat
prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati Surabaya
kepada si gadis.
Sebagai orang asing tentu saja
mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah sekitarnya adalah tempat
malang melintangnya gerombolan rampok yang dikepalai oleh Warok Gde Jingga.
Ketika mereka lewat di kaki bukit di sepanjang tepi hutan, mereka telah dicegat
oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam. Kusir kereta yang pernah
mendengar tentang ciriciri perempuan itu segera memberi tahu bahwa dia adalah
Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok Gde Jingga yang sangat
ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki ilmu silat yang tinggi
maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri. Rupanya rampok betina ini
sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya itu ada membawa benda
berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan cepat dia menerobos
masuk ke dalam kereta dan berhasil merampas patung emas! Keempat prajurit
Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah diberi
kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi
segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika mereka sudah hampir
berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah Nyoman Dwipa
memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti berhasil kabur
dengan membawa serta patung emas!
Kini tahulah Nyoman Dwipa akan
kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa yang bisa menduga kalau
gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang perampok? Dan pemuda manakah
yang tega membiarkan seorang dara jelita terancam bahaya mautl! Setelah
merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang besar salahku! Kurasa
sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan pengejaran. Kalau perlu
kita datangi sarangnya!"
Keempat prajurit Kadipaten
Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi berdiam diri karena
ketakutan untuk pertama kalinya buka suara, "Mendatangi sarang Warok Gde
Jingga berarti mencari mati!"
"Kalau begitu kalian
tidak menginginkan patung emas itu kembali?"
"Tentu saja menginginkanl"
jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya gerombolan rampok itu
besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya gara-gara maka kau sendiri
yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di sini! Kami tak perduli apakah untuk
mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan kepalamu!"
"Kalau aku pergi seorang
diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap aku akan
membawanya ke sini….," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau begitu …."
kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya, "aku, kau
dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal di sini."
Nyoman menyetujui pendapat
itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat orang itu untuk segera
berangkat. Kusir kereta mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar
nasihatku. Adalah sia-sia kalian pergi mengambil kembali patung emas itu! Warok
Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia memiliki anak
buah yang banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian
berjumlah lima kali lebih besar, jangan harap kalian akan berhasil. Kataku
kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda biang runyam
itu ke hadapan Adipati Surabaya!"
"Bagiku kemarahan Adipati
Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian semua juga tak
luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan menyesal kalau
patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian mendapat hukuman dari Adipati
kalian!"
Nyoman Dwipa cepat berlalu
dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya setelah mengambil
senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah, ketiganya segera menyusul
Nyoman Dwipa.
"Mereka akan mati
percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan kepergian
orang-orang itu.
11
SEORANG anggota rampok yang
berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat kedatangan keempat orang
itu. Cepatcepat dia turun dari atas pohon dan memberikan laporan pada
pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan saat itu Luh Bayan Sarti ada pula
di situ.
"Coba terangkan ciri-ciri
mereka!" kata Luh Bayan Sarti.
"Yang tiga orang
berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda
berpakaian biru."
"Hem …." gadis itu
mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?"
tanyanya.
"Biarkan saja mereka
datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala rampok.
"Memang pendapatkupun
demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada anggota
rampok yang melapor.
Setelah anggota rampok itu pergi
berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan kembali dengan tuan
penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu yang kau inginkan, Sarti?"
Luh Bayan Sarti menjadi merah
parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut kedatangan mereka!"
Warok Gde Jingga tertawa lalu
mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di langkan.
Karena telah dipesankan agar
keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika memasuki perkampungan, tak
ada seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa dan ketiga prajurit-prajurit
kadipaten itu. Di halaman rumah besar keempatnya berhenti.
Nyoman melirik sekilas pada
Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang hanya
mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup oleh bulu sedang
wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat kaku.
"Apakah kami berhadapan
dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah terlebih dahulu
menjura.
"Orang muda," kata
Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang ke mari!
Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit hina dina
itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak minta hadiah imbalan?!"
Nyoman Dwipa tertawa, lalu
menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini untuk menebus
kesalahanku terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya
jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta kesudianmu untuk mau
menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh adikmu ini."
Nyoman lalu menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.
Gadis itu tertawa cekikikan.
Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras Nyoman Dwipa yang
gagah cakap itu.
"Enak betul bicaramu.
Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah kau bersedia
menyerahkan selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas itu?!"
Nyoman tertawa lebar. Dalam
tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti sungguh jelita.
Kulitnya halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita ini hidup
menjadi perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah manusia-manusia
kasar!
Sementara itu Warok Gde Jingga
mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar nyawaku bukan
apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan Luh Bayan Sarti
tadi. "Yang penting patung emas itu harus diserahkan pada ketiga prajurit
ini."
"Kalau begitu biar
kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan kuberikan
pada manusiamanusia jelek ini!"
"Serahkan dulu patung
emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti mendelikkan
kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya.
"Tahan dulu, Sarti!"
kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika gadis itu hendak
melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini saja orang
muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik ketiga kunyuk-kunyuk
Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan sendiri. Jika
mereka bertiga berhasil mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali pada
mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung emas itu tetap milikku dan mereka
kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga prajurit Kadipaten
Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga, sepuluh orangpun mereka
belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang kesaktian dan ilmu
silatnya sangat tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok Gde Jingga,"
kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka biarlah aku
mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu tadi."
Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak.
"Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi kelonggaran padamu! Kau boleh maju
bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna itu!"
"Walau ilmuku sangat
dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku biarlah aku
menghadapimu seorang diri."
"Baik … baik … baik! Jika
itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga seraya melompat ke
halaman.
Tubuhnya yang tirrggi besar
dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun menimbulkan suara
ketika kedua kakinya menjejak tanah halaman. Satu pertanda bahwa ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat yang tinggi! Nyoman Dwipa tak mau
kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap dan sedetik kemudian
sudah berdiri enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok Gde Jingga
terkejut bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya sepele itu
memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di
bawahnya!
Melihat kedua orang itu sudah
siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba melompat dan berseru, "Kak
Gde Jingga! Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah
bagaimana adikmu akan memberi pelajaran padanya!"
Tanpa menunggu jawaban
kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa, tersenyum sekilas lalu
berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya. "Silahkan kau
mulai lebih dulu!".
"Ah, tuan rumahlah yang
lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap kau
benar-benar memberi pelajaran berguna pada orang bodoh macamku ini,
saudari!"
Luh Bayan Sarti tertawa
kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena pedangku ini tidak
bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu serangan setengah
melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan selarik sinar putih
yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa
telah melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu Luh Bayan Sarti bertempur
melawan prajurit-prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini dilihatnya si
gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang lain hingga Nyoman Dwipa
tak mau bersikap memandang enteng, cepat mencabut tongkat bambu kuningnya yang
kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan tabasan yang mengincar
pinggangnya!
Setengah jalan tiba-tiba
sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi satu tusukan
tajam ke arah dada. Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat
bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut! Ketiga prajurit
Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si gadis adalah
serangan hebat luar biasa.
Melihat dekatnya
tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa cemas
kalau-kalau si pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinya!
"Hebat!" Justru
dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji. Tubuhnya
lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu bekelebatlah
selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa.
Melihat lawan memiliki ilmu
meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan pula ilmu
meringankan tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah merupakan
baying-bayang saja!
Nyoman tersenyum melihat
kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan bambu kuningnya dalam jurus
"gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam
yang dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah hal yang
sangat mengejutkan Warok Gde Jingga.
Sewaktu dalam jurus kedua Luh
Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang hebat, bambu kuning di tangan
Nyoman sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung"
itu.
Luh Bayan Sarti heran ketika
merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula meluncur pesat tahu-tahu
dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh satu angin yang luar
biasa dahsyatnya. Belum habis rasa herannya itu, bambu kuning di tangan Nyoman
tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di samping pedang peraknya!
Luh Bayan Sarti seorang
berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui bahwa tenaga
dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa hendak memukul badan
pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan memungkinkan pedang perak itu
terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan tangannya
ke atas lalu membabat ke samping, menaebas ke arah batang leher Nyoman Dwipa!
Di lain pihak Nyoman Dwipa
tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan tangan dan senjata
lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri justru itulah yang
dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini menerpa ke atas Dan tahu-tahu
Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang pedang menjadi kesemutan. Dia
melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu bambu kuning di tangan lawan
laksana seekor ular seakan-akan telah membelit pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa
memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di tangan gadis itupun ikut
berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali
kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan tanggal dari persendiannya!
Warok Gde Jingga bukan
olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang berkepandaian tinggi itu
hanya mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua jurus saja. Bahkan dalam dua
jurus itu bukan saja dia dikalahkan tapi senjatanya sekaligus kena dirampas!
Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan berada digenggaman
Nyoman Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan paras merah
sambil banting-banting kaki gadis ini memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Eh, saudari tunggu dulu!
Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti tak mau
berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke langkan rumah
Karena orang tak mau menerima kembali senjatanya maka Nyoman Dwipa menggerakkan
tangan kirinya yang memegang pedang. Senjata itu lepas dan mendesing di udara
lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh Bayan Sarti berada di
samping tiang itu!
Luh Bayan Sarti berbalik dan
mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa. Sebaliknya pemuda itu hanya
tersenyum saja, membuat si gadis benar-benar penasaran setengah mati. Di
cabutnya pedang itu dari tiang langkan lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah!
Nyoman berpaling pada Warok
Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang. Karena dia bertindak
sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati janjimu Warok. Harap kau
segera mengembalikan patung emas itu pada ketiga prajurit ini…. "
Warok Gde Jingga mengusap-usap
dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingatanmu selalu pada
patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan kemenanganmu! Terangkan
dulu namamu dan siapa kau sebenarnya …"
"Kalau sudah kuterangkan
lantas kau akan mengembalikan patung itu?!"
Kembali kepala rampok itu
tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri mengeliling halaman
lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama dan siapa kau adanya,
kita main-main sebentar . . . "
Nyoman tahu apa yang
dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu. Maka dia
berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib sama dengan
adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak menyerahkan patung emas
itu?!"
Merahlah paras Warok Gde
Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda sontoloyo!"
katanya keras.
"Ah kalau begitu baiklah.
Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah kini kita bisa memulai
permainan yang kau maksudkan itu?!"
Warok Gde Jingga menggeram.
Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar keluarlah seorang pelayan
membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang bentuknya aneh dan dahsyat!
Belum pernah Nyoman Dwipa melihat senjata semacam itu. Anak-anak buah Warok Gde
Jingga sendiri kelihatan saling berbisik karena setahu mereka, Warok Gde Jingga
jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam keadaan terpaksa atau
ketika menqhadapi lawan yang tangguh luar biasa!
12
SENJATA di tangah Warok Gde
Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua ujungnya digantungi
masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga berwarna hitam. Setiap ujung
kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan lagi dan masing-masing ujungnya
tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun. Sekali manusia
yang tidak memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki tenaga dalam bagaimanapun
tingginya pasti akan menemui kematian bila sampai kena tertusuk oleh ujungujung
kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut merupakan senjata yang
berbahaya karena sanggup membetot daging atau urat seorang lawan! Menurut
taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima puluh kati. Tapi
Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang sebuah ranting kering
belaka!
Nyoman Dwipa tahu benar
kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih tinggi dari ilmu
silat Luh Bayan Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada senjata
di tangan Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum bahwa senjata itu amat
berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa pasang kuda-kuda
pertahanan yang bernama "elang menukik laut". Kedua kaki merenggang
agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang ke samping sedang
tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan di muka dada.
"Ayo majulah!" kata
Warok Gde Jingga.
"Silahkan tuan rumah
memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.
Kepala rampok dari bukit
Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota rampok yang mengelilingi
tempat tersebut membuka mata masing-masing selebar mungkin untuk menyaksikan
pertempuran yang bakal berlangsung yang tidak bisa tidak pasti sangat hebat!
"Awas perut!" teriak
Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan berkelebatnya
tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah perut
Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk membetot dan membusaikan
isi perut pemuda itu!
Nyoman Dwipa melompat ke
belakang untuk mengelak. Di’saat itu pula dengan tak terduga, cepat sekali
ujung toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda itu! Kejut
Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras pemuda gemblengan
Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan menggerakkan tongkat
bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di tangan Gde Jingga.
Melihat lawan hendak memukul
senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia beranggapan bahwa
sekali tongkat bambu kuning itu membentur toya besinya pastilah akan patah dua!
Tapi betapa terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu melihat bukan saja tongkat
lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi, toya besinya terpukul keras
hampir saja terlepas dari genggamannya!
Dengan menggertakkan rahang
Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya laksana titiran, menderu dan
mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara itu dari satu tempat
yang terlindung di balik jendela rumah besar, sepasang mata menyaksikan
pertempuran itu dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada diri Nyoman
Dwipa. Kecemasan itu adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi korban mendapat
celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana Nyoman
Dwipa dengan tenang melayani lawannya, orang yang mengntai itu merasa lega
sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik Warok Gde Jingga yang
telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh jurus telah berlalu.
Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas. Toyanya lenyap dalam
sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin dingin serta bersiutan.
Debu dan pasir beterbangan di sekeliling orang-orang yang bertempur itu!
Semakin bertambah jurus demi jurus, semakin meluap kemarahan Warok Gde Jingga.
Sebagai kepala rampok yang ditakuti dan punya nama besar dikalangan rimba
persilatan di Pulau Bali, baru kali ini dia menghadapi lawan yang demikian
tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak buahnya pula maka
tentu saja rasa malu membuat amarahnya tambah menggelegak! Amarah yang
menggelegak ini tak bisa lagi dikendalikan karena bagaimana pun dia menggempur
lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kosong
yang hebat tetap saja menemui kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang
menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur macam kerbau gila atau celeng
kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini melompat sana!
Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian. Gerakan-gerakannya
yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi sewaktu dia dengan kalap terus
menggempur marah karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil
memukul ikatan kaitan di ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu
terlepas dan mental!
Tiga puluh lima jurus telah
berlalu kini.
"Warok Gde Jingga apakah
masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di sini saja?!"
berseru Nyoman Dwipa.
Seruan ini membuat darah
kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak, "Aku belum kalah!
Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku baru pertempuran berhenti!"
Nyoman Dwipa tertawa kecil.
Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dan ketika
tongkat itu membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di tangan
Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi, Warok Gde Jingga merasa
tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi mempertahankan toya
itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke udara! Sewaktu toya itu
menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga. Badan toya yang
kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan genting hampir
putus!
Nyoman Dwipa tersenyum kecil
lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik pinggang kembali.
"Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu, menyerahkan
kembali patung emas yang telah dirampok oleh adikmu!"
Meskipun saat itu Warok Gde
Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia seorang yang sudah terkenal
kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini patut dipuji. Hal itu ialah
sifatnya yang memegang teguh segala janji yang diucapkannya. Maka dia
memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung emas dari dalam rumah.
Benda itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa
selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya. Bukan main
gembira prajurit-prajurit itu.
Di hadapan Warok Gde Jingga
Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas segala pelayanan yang
kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka mengembalikan patung emas
itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri sekarang."
"Prajurit-prajurit itu
boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde Jingga.
"Eh, kenapa begitu
Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.
"Aku mau bicara
denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah berpikir dengan cepat,
Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan berpaling pada prajurit-prajurit
di sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap di sini dulu."
Setelah mengucapkan terima
kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian meninggalkan sarang
perampok tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau mendapat kesulitan
baru pula di tempat itu.
"Nah, mereka sudah pergi.
Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa.
"Kita bicara di dalam,
Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa masuk ke
dalam rumah besar.
Sampai di dalam Nyoman
dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan serba mewah. Warok Gde
Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan makanan dan minuman
yang tezat-lezat, Setelah menyantap hidangan itu barulah Warok Gde Jingga
menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu silatmu tinggi
sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan gerak yang kau
keluarkan, dan mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada seorang tokoh sakti
yang memiliki ilmu tongkat yang hebat luar biasa, apakah kau bukannya murid
orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman Dwipa tertawa.
"Orang sakti manakah
maksudmu?" tanyanya.
"Ah, kau pura-pura
bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu tentunya!"
Kembali Nyoman Dwipa tertawa.
"Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama seperti Menak Putuwengi
itu mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde Jingga meneguk
tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal siapa gurumu tak
perlu kita bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu silatmu amat
tinggi dan membuat aku benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita bekerja sama
memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini? Segala hasil yang
kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku yang
ada sekarang akan kuberikan separohnya padamu!"
"Rupanya inilah maksud
kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam hati.
"Terima kasih atas
tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat
menerimanya…."
"Ah! Mari, kau lihatlah
dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau sudah melihat, pasti kau
tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde Jingga seraya hendak
berbangkit dari duduknya. Nyoman melambaikan tangannya dan berkata, "Aku
percaya harta kekayaanmu banyak sekali dan tak ternilai harganya,"
kata pemuda ini, "namun
sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan. Untuk saat ini aku
benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain ketika." Lalu
pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde Jingga kecewa
sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh Bali akan
berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa memaksa.
Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan tamunya ke ujung
halaman.
***
Belum lewat sepeminuman teh
lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan telinganya dan perasaannya yang
tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu tengah menguntitnya. Di satu tikungan
jalan pemuda ini menghentikan larinya dan menyelinap bersembunyi di balik
sebatang pohon besar yang bagian bawahnya ditumbuhi semak belukar lebat. Dia
menunggu dan selang beberapa ketika lamanya penguntit itupun muncul di tikungan
jalan. Betapa terkejutnya Nyoman ketika melihat bahwa orang itu ternyata bukan
lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung Warok GdeJingga adanya! Maka dengan
penuh heran pemuda inipun keluar dari persembunyiannya.
"Selamat berjumpa kembali
saudari." kata Nyoman.
Luh Bayan Sarti terkejut.
Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum dan berkata, "Aku
tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di sini."
Nyoman berpikir apakah ucapan
gadis itu bukan kedustaan belaka?
"Aku sendiri juga tengah
menuju ke sana," kata Nyoman.
"Betul? Kalau kau tak
keberatan . . . . "
Nyoman Dwipa sudah tahu
kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong. "Tentu saja aku tak
keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam hatinya
Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya ke Denpasar adalah
untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama gadis itu, tentu
akan mencari tambanan pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari urusan baru!
Dipandanginya paras gadis itu. Cantik memang. Dan sungguh disayangkan kalau
dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula
menjadi perampok!
"Agaknya kau menyesal mengeluarkan
ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya mengerling pada si
pemuda.
Nyoman tertawa lebar-lebar.
"Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan adalah satu hal yang
menyenangkan," katanya. "Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"
"Hendak mengunjungi
seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan atau
kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras sang dara kembali
menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya kemudian.
"Oh….!"
"Dan kau sendiri perlu
apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh Bayan Sarti.
"Ada urusan
penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata. "Kita
harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di
Denpasar."
13
MEREKA memasuki Denpasar
ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk tidak menarik
perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki biasa.
"Aku akan mencari
penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan
terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku letih sekali,"
sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di sebelah barat luar
kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup jauh juga untuk mencapai
tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga mencari penginapan. Besok baru
meneruskan perjalanan kerumahnya."
Nyoman menganggukkan kepala.
Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan Sarti yang katanya
hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan belaka. Sepanjang
jalan dari bukit Jaratan sampai ke Denpasar banyak sekali sikap gadis itu yang
dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh Bayan Sarti memperhatikannya
secara diam-diam. Bila sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras
gadis itu berubah kemerah-merahan dan kepalanya ditundukkan atau dipalingkan
kejurusan lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai perasaan
lain yang membuat hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh-jauh
bila dia ingat pada almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni Ayu Tantri.
Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga
kematian ayah dan kawan-kawannya.
Dan kini hati yang mendendam
kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut membuat Nyoman merasa bahwa
seolah-olah dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Ni Ayu Tantri!
Di sebuah rumah penginapan
yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar.
Satu untuknya sendiri dan yang
lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu masuk ke kamar terus
berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman Dwipa terlebih dulu pergi mandi
membersihkan diri. Habis mandi rasa letihnya agak hilang berganti dengan
kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi. Yang satu porsi
disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya
Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga akan dilakukannya penyelidikan di
mana letak tempat kediaman musuh besamya yang bemama Tjokorda Gde Jantra itu
dan sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan dendam kesumat yang dipendamnya
selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya sampai besok?
Tengah dia menyantap makanan
dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk orang. Nyoman Dwipa
meletakkan piringnya di atas meja lalu membuka pintu. Pelayan penginapan
berdiri di muka pintu itu dan menerangkan bahwa ketika dia mengantarkan hidangan
ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong melompong, si gadis tak ada
di dalamnya.
"Saya rasa terjadi hal
yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.
Mulanya Nyoman Dwipa menyangka
Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi mendengar keterangan pelayan itu dia
jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang tak beres?"
"Jendela terpentang
lebar, engselnya rusak!"
Tanpa menunggu lebih lama
Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa yang di terangkan oleh
pelayan temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka lebar dan sebuah
engselnya rusak. Buntalan pakaian milik Luh Bayan Sarti masih tergeletak di
atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian di kamar
itu. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana perginya Luh Bayan Sarti?
Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari telah malam. Udara dingin
oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di langit.
Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan tak berhasil menemui
Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan tadi dan berpesan agar
tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri kemudian
meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelidiki ke mana lenyapnya gadis
itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis
itu sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu
urusan baru padahal urusannya yang lebih penting yaitu melakukan pembalasan
terhadap Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum dilaksanakan!
Hampir dua jam lamanya Nyoman
Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar bahkan sampai
ke-pelosokpelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka.
Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinyal Bayan
Sarti-pun tak dapat dicarinya!
"Berabe kalau
begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda ini
kembali ke penginapan.
***
Apakah sebenarnya yang telah
terjadi dengan Luh Bayan Sarti?
Ketika petang itu Nyoman dan
Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat, seorang penunggang kuda
yang tangan kanannya buntung memapasi mereka. Karena jalan yang ditempu memang
banyak dilewati orang dan lagi pula saat itu hari sudah agak gelap maka baik
Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang mereka
papasi, termasuk penunggang kuda tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah orang
yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan lain dari Ki Sawer
Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular yang telah pemah bertempur
melawan Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu! Karena manusia
pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata keranjang maka setiap melihat
perempuan pasti tak akan luput dari pandangan matanya! Begitu juga ketika dia
berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti yang jetita, timbullah
niat terkutuk dalam hati dan benaknya!
Namun sewaktu dia
memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara, kagetlah Ki Sawer
Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah
bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang lalu! Jika gadis itu ada
hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali untuk
melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi sebagai seorang yang licik, Ki Sawer
Balangnipa punya seribu satu macam akal. Sengaja dia melewati kedua orang itu
sampai beberapa jauhnya kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta
Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun rencana sebagai berikut. Mula-mula
akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat rnenarik hati dan merangsang
nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan dihubunginya
beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu bersama-sama mereka
akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan atas kekalahannya tempo
hari dalam pertempuran di tepi danau!
Sewaktu melihat kedua orang
itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa berpendapat inilah
kesempatan yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat busuknya itu.
Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer Balangnipa berhasil
memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur keletihan
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur nyenyak
mudah sekali bagi manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk menotok
urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu kemudian
dilarikannya keluar kota.
Kuda yang ditunggangi Ki Sawer
Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya dalam gelapan malam. Menjauhi
kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis itu. Akhirnya dia ingat
sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat Denpasar. Kuil itu sudah sejak
lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas memakainya sebagai tempat
beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera laki-laki ini memutar kudanya ke
jurusan barat. Di langit buan sabit muncul setelah beberapa lamanya bersembunyi
di balik awan hitam tebal. Sinar bulan sabit ini tak sanggup mengalahkan
gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya sebuah pesawangan
Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan berbatu dan mendaki.
Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer Balangnipa
menghentikan kudanya karena di antara persimpangan itulah letak kuil tua yang
ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil tua itu ramai
dilewati orang-orang yang lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada malam
hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani lewat kecuali
prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering kali
menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari Bukit
Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa beberapa hari
yang lalu.
Dengan memanggul Luh Bayan
Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula dia hendak
menurunkan tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir sejenak
akhirnya dia masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih gelap, tapi
dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer
Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan
terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang
mencicir di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan
totokan ditubuh gadis itu.
Luh Bayan Sarti membuka kedua
matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian ketika sepasang matanya
menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini. Di manakah aku berada,
pikirnya. Dia memandang sekali lagi berkeliling. Tiba-tiba tersentaklah dia
karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali di hadapannya duduk
mencangkung sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat
dipastikan oleh gadis ini apakah yang dihadapannya itu manusia atau setan tapi
yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan paras
seekor ular!
"Mungkin aku
bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan
pada saat itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya
hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang
menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat
pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa kau?!" bentak
Luh Bayan Sarti seraya melompat.
Orang dihadapannya berdiri
perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Jangan bertanya segalak
itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa!"
"Aku tak kenal kau! Lekas
angkat kaki dari dapanku!" Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak.
"Gadis galak biasanya
juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat tidur . . .
"
"Bangsat rendah! Kau kira
berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu cabut pedangnya dari
balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat dan pedang di tangan
kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana kilat cepatnya ke batok kepala
Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang Luh Bayan Sarti
menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah bagaimana mendadak
sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan gadis itu hingga
serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong dan terus melanda tembok kuil!
Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu dirasakannya sambaran angin
datang disamping kanannya, gadis ini cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya.
Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong dan sebelum dia bisa berbuat suatu
apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat sekujur tubuhnya mendadak
sontak menjadi kaku tegang dalam keadaan masih memegangi pedang!
Didahului oleh suara tertawa
mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul di hadapan Luh Bayan Sarti
dengan cengar-cengir seenaknya.
"Senjata ini tak boleh
dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa lalu diambilnya
pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat kau lepaskah
totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa yang mau ambil
risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa. "Sudahlah, kau tak
usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan setan-setan penghuni kuil tua
ini saja! Di samping itu tak baik berdiri terus-terusan. Mari kutolong kau
berbaring di lantai sini."
"Setan alas! Kau mau
bikin apa?!"
"Mau bikin apa …?"
Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau lihat saja
nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana pandainya aku merubah malam
yang dingin ini menjadi malam yang hangat bagi kita!" Habis berkata begitu
dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang si gadis dan
membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat kalau kau tidak
lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup bahkan menyesal
sarnpai ke hang kubur!"
"Ha …. ha, siapa yang
akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu! Siapa yang menyesal
merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan, seorang perawan?! Ha …
ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis berkata begitu Ki
Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju si gadis! Luh Bavan
Sarti laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan bagaimana jari-jari
tangan laki-laki itu menyentuh buah dadanya!
"Manusia dajal! Rupanya
kau belum tahu siapa aku!"
"Ah sudahlah jangan
mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh geram nafsu
dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya berputusan.
"Keparat! Nyawamu tak
akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan!" Ki
Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian
kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh, jadi kau adiknya
kepala rampok hina dina itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh manusia macam dia
dijejer di hadapan Ki Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!" Lalu
tangan laki-laki itu berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti untuk kemudian
dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat! Kalau tidak
kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!"
"Hem siapakah kawanmu
itu?"
"Nyoman Owipa! Dia murid
Menak Putuwengi!"
"Jangan menipuku! Menak
Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan gerakan tangan Ki
Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur! Namun sebelum tangan
terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh, satu bentakan menggeledek dari ruang
depan.
"Terkutuk! Di tempat suci
berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking langit dan
berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin menggidikkan menyambar ke
arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
14
KAGETNYA Ki Sawer Balangnipa
laksana melihat dan mendengar petir menyambar di puncak hidungnya! Kalau saja
dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan di lantai kuil pastilah
kepalanya tak bisa diselamatkan dari hantaman angin dahsyat tadi! Begitu
berdiri begitu dia membentak!
"Bangsat rendah yang
menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!". Tiba-tiba Ki Sawer
Balangnipa melengak karena baru saja dia habis membentak di belakangnya
terdengar suara tertawa mengekeh.
"Silahkan putar tubuh dan
kau akan melihat tampangku manusia muka ular!"
Ki Sawer Balangnipa
membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali gerakan manusia itu
hingga dia tak sempat melihat bayangannyapun dan tahu-tahu sudah berada di
belakangnya! Ketika berhadap-hadapan dengan manusia itu mendadak menciutlah
nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan tidak. Orang yang kini berdiri di depannya
bukan lain pemuda yang tempo hari telah membunuh puluhan ekor ularnya di tepi
danau! Tapi rasa ngerinya itu tidak diperlihatkannya. Malah dia menyembunyikan
dengan membentak garang!
"Kau rupanya bangsat
haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri mengantar nyawa!"
Orang dihadapannya
mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang buntung sudah
disambung hingga kau bernyali besar sekali?!"
Ki Sawer Balangnipa marah
sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini kau bakal terima
balasannya bangsat Wiro Sableng!"
Habis berkata begitu Ki Sawer
Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat kemudian sebuah senjata yang
dibuat dari ular kering menderu ganas ke depan.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tahu kelihayan lawan meskipun saat itu tangannya cuma tinggal satu, dengan
tidak ayal segera bergerak menyelamatkan kepalanya. Dilain pihak Ki Sawer
Balangnipa yang sudah pernah berhadapan dengan si pemuda dan suclah tahu betapa
tingginya ilmu silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera mengeluarkan
jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Ular kering di tangan kirinya laksana
hidup menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke seluruh bagian tubuh Pendekar
212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut ular itu setiap
saat menyambar racun hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal segala macam
racun namun Wiro menutup penciumannya.
Pertempuran berjalan demikian
serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan sampai-sampai lupa diri di mana
dia berada dan apa sesungguhnya yang telah terjadi sebelumnya atas dirinya. Juga
lupa nasib apa yang bakal menimpa dirinya jika pemuda berambut gondrong
berpakaian putih itu tidak muncul di saat yang sangat kritis itu!
Untuk menghadapi
serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh yang
dilancarkan lawan, Wiro Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan ilmu
silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila. Jurus-jurus
pertahanan tersebut diselingnya dengan jurus-jurus serangan warisan gurunya
Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau bagaimanapun hebatnya Ki Sawer Balangnipa,
untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu juruspun dia belum tentu bisa
melakukannya. Di lain pihak WiroSablengsendiri maklum pula yang dia tidak pula
akan bisa mempecundangi lawannya dengan mudah! Karena itu kedua tangannya kiri
kanan mulai melancarkan pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam
teramat tinggi! Ki Sawer Balangnipa mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak
gesit sudah tiga kali kepalanya hampir dilanda pukulan lawan!
Jurus kedua puluh ke atas Ki
Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika lengan kirinya kena terpukul dan
ular kering yang menjadi senjatanya mental jauh, nyali manusia ini benar-benar
meleleh! Didahului dengan bentakan dahsyat laki-laki ini harttamkan tangan
kirinya ke depan. Satu gelombang angin yang amat keras menderu menyambar ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Itulah pukulan sejagat bayu! Sewaktu Wiro
Sableng berdiri limbung diterpa angin pukulan, kesempatan itu dipergunakan oleh
Ki Sawer Balangnipa untuk melesat ke ruangan luar dan sebelum Wiro sempat
mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di kegelapan malam!
Pendekar 212 Wiro Sableng
merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer Balangnipa tukang rusak
kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan, apalagi mengingat pertempuran
tempo hari di tepi danau. Tapi saat itu dia tak bisa berbuat suatu apa karena
lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa berhasil pula melarikan diri.
Wiro Sableng masuk ke dalam
kuil tua kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh Bayan Sarti terbujur
dengan dada tiada tertutup dan celana panjangnya merorot turun. Meskipun
keadaan dalam kuil itu gelap namun sepasang mata Pendekar 212 masih sanggup
menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan Sarti. Dengan
mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro kemudian melepaskan totokan di
tubuh sang dara.
Begitu tubuhnya terlepas dari
totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat, merapikan baju dan celana
hitamnya.
"Pemuda tak dikenal,
terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi tahukan nama …"
kata Luh Bayan Sarti bila pakaiannya sudah rapi.
"Aku Wiro Sableng. Kau
siapa?"
"Luh Bayan Sarti,"
jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi terima kasih".
Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil.
"Hai tunggu dulu!"
seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan
gadis itu.
"Ada apa?!" tanya
Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa bicara lama-lama
dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu diri dan tak menghargai pertolonganmu,
tapi karena aku harus cepat-cepat kembali ke kota."
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya yang berambut gondrong.
"Waktu aku sampai ke sini
tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa sangkut pautmu dengan
pemuda itu?"
Luh Bayan Sarti tak segera
menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar, Nyoman Dwipa menuturkan kepadanya
tentang dendam kesumatnya terhadap seorang pemuda yang telah membunuh
kekasihnya. Nyoman tidak menerangkan siapa nama pemuda itu. Tak bukan mustahil
pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini adalah musuh besar Nyoman Dwipa.
Kalau tidak mengapa dia bertanya apa sangkut pautnya dengan Nyoman Dwipa?
"Katakan dulu apa
hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti.
Wiro kerenyitkan kening dan
kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi malah dijawab dengan balik
bertanya.
"Dia sahabatku,"
jawab Wiro.
"Betul?! "
Wiro tertawa dan berkata,
"Ada alasan yang membuat kau tak percaya ucapanku?!"
"Walau bagaimanapun baru
kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan penolongku!"
"Ah, jangan sebut-sebut
soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana Nyoman Dwipa berada saat
ini. Aku ingin bertemu dengan dia."
"Kenapa ingin
bertemu?"
"Eh, kau sangat curiga
terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada larangan? Kalau aku seorang
gadis cukup pantas kau tidak menyukai pertemuanku dengan pemuda itu. Tapi toh
aku ini laki-laki, sama seperti Nyoman?!"
"Kau tahu, sahabatku itu
datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya. Seorang pemuda yang telah
membunuh kekasihnya . . . "
"Dan kau menduga aku
orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!" Wiro Sableng lantas
tertawa gelakgelak. Lalu diceritakannya pada Luh Bayan Sarti bagaimana pertama
kali dia bertemu dengan Nyoman dan sama-sama bertempur melawan Ki Sawer
Balangnipa. "Justru aku dalam perjalanan ke Denpasar mencari dia untuk
menanyakan bagaimana penyelesaian persoalannya itu."
"Kalau begitu kita
sama-sama saja ke Denpasar," kata Luh Bayan Sarti. Wiro menyetujui. Kedua
orang itu kemudian berangkat ke Denpasar.
***
Mereka sampai di Denpasar menjelang
tengah malam. Penginapan sunyi senyap, hanya dibeberapa bagian saja kelihatan
lampu masih menyala. Seorang pelayan membukakan pintu depan sewaktu diketuk
oleh Luh Bayan Sarti. Setengah mengantuk, pelayan itu berkata. "Semua
kamar terisi. Harap cari saja penginapan lain."
"Aku memang menginap di
sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya bahwa dia dari
luar kota menemui seorang kawan.
"Dan saudara ini …?"
tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng.
"Dia bisa tidur sekamar
dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini." sahut Luh Bayan
Sarti.
Pelayan penginapan kemudian
membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua orang itu masuk. Nyoman
Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi pembaringan dalam kamarnya penuh
gelisah memikirkan Luh Bayan Sarti yang lenyap tak tahu ke mana perginya. Dalam
kegelisahan itu pemuda ini mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati
kamarnya. Dia menyangka itu adalah langkah tamu yang menginap dipenginapan itu
dan hendak pergi ke belakang. Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu kamarnya
diketuk orang dari luar. Begitu pintu dibuka kejut Nyoman Dwipa lebih lagi
karena yang berdiri diambang pintu adalah Luh Bayan Sarti sendiri dan
dibelakang gadis itu dilihatnya berdiri Wiro Sableng! Rasa terkejut Nyoman
Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena kurang baik bicara
bertiga-tigaan di dalam kamar maka Nyoman mengajak kedua orang itu ke tempat
penerimaan tamu dan di sini dia minta agar Luh Bayan Sarti menceritakan apa
sesungguhnya yang telah terjadi.
Bukan main geram dan marahnya
Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer Balangnipalah yang telah membuat
gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan hampir berhasil merusak kehormatan
gadis itu jika sekiranya Wiro Sableng tidak kebetulan lewat di depan kuil tua
dalam perjalanannya ke Denpasar.
"Bangsat bermuka ular itu
tidak sukar untuk mencarinya," kata Wiro. "Tapi bagaimanakah
persoalanmu dengan orang yang bernama Tjokorda Gde Djantra itu … ?"
"Sebenarnya aku bermaksud
mengadakan penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi peristiwa yang
menimpa Luh Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari keterangan di mana
tempat kediamannya! Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang satu itu tak bakal
lepas dari kematian!"
Karena hari sudah jauh malam
ketiga orang itu meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan Sarti kembali ke kamarnya
sedang Wiro menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.
15
MENJELANG Dinihari hujan
rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan alang kepalang
membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun saat itu, menyelimuti
tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian fajarpun
menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur hujan
rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan cerah terang benderang. Suasana
dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya yang segar. Di jalanjalan
dalam kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan
kendaraan-kendaraan yang lalu lintas.
Di bagian barat kota dua orang
pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah cepat menuju ke pusat Denpasar
yang ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda
yang berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kecantikan paras Luh Bayan
Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut yang menjela bahu
dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang yang memapasi
mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi bahwa ketiga orang muda itu adalah
orang-orang dari dunia persilatan. Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam
kota Denpasar bukan soal baru lagi karena memang banyak dari mereka yang
memasuki kota untuk mengurus keperluan. Bahkan di Denpasar sendiri terdapat
beberapa perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah gedung besar
tempat berkumpul tokohtokoh silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-lain
kota di Pulau Bali.
Nyoman Dwipa telah mendapatkan
keterangan dimana letak rumah kediaman musuh besarnya yang bernama Tjokorda Gde
Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari itu. Pintu halaman yang
merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman Tjokorda Gde Djantra
masih dikunci.
"Kita dobrak saja!"
kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang besar itu dengan
kaki kanannya.
"Jangan!" kata Wiro
cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa di Denpasar
ini terdapat juga tokohtokoh silat klas satu …"
"Siapa takutkan
mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran untuk segera
melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan itu soalnya, Nyoman.
Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil membalaskan sakit hatimu,
berarti cukup besar juga halangan bagimu. Sebaiknya selagi tak ada orang
sekitar sini kita melompat saja. Tembok itu tak seberapa tinggi."
Nyoman menyetujui pendapat Wiro.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh masing-masing ketiga orang itupun
melompati tembok dan sampai di halaman dalam tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan
suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
Gedung besar tempat kediaman
Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap. Mungkin penghuninya
masih tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka dan seorang
laki-laki separuh baya berpakaian bagus muncul membawa dua ekor ayam jago yang
dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan langkah dan memandang
heran campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia mengerling
sekilas pada pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu masih dipalang dari
dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti memasuki halaman gedung
dengan jalan melompat.
"Orang-orang muda, kalian
siapa?!" orang ini bertanya.
"Katakan dulu dengan
siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku Tjokorda Gde Anjer,
pemilik gedung ini."
Rahang Nyoman Dwipa terkatup
rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau bangsawan yang bernama
Tjokorda Gde Anjer itu …?" ucapan ini disertai dengan suara mendengus.
"Harap kalian menerangkan
siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki rumah orang pagi-pagi begini
secara tidak terhormat?!"
Nyoman Dwipa menyeringai.
"Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai kehormatan, Gde
Anjer!" ParasTjokorda Gde Anjer berubah.
"Apa maksudmu, orang
muda?" dia bertanya.
"Masih ingat pembunuhan
yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang kawan-kawannya
sekitar lima bulan yang lewat?!"
Tjokorda Gde Anjer terkejut.
Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama sekali tak diduganya.
Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan ini merasa menyesal sekali.
Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan dua orang kawannya mengungkap kembali
persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya, sekurang-kurangnya diusahakannya
untuk melupakan!
"Apa sangkut pautmu
dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut. Matanya
mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I
Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!"
"Jadi kau siapa?!"
"Pembalasan juga bisa
dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar Tjokorda Gde Anjer?!
Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas nyawa-nyawa manusia
yang pernah kau bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau kau tak ada
sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk minta
pertanggungan jawab segala?!" ujar Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap kebenaran selalu
mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman Dwipa seraya
melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda Gde Anjer tertawa.
Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun berkata:
"Sebenarnya aku menyesal terjadinya hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk
berbuat begitu …"
"Penyesalan selalu datang
terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya bukan
penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan yang dilontarkan
Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan berat yang
menghunjam bathin bangsawan itu.
"Sekarang apa maumu orang
muda?!"
"Apakah kau sebagai
seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk bertempur sampai beberapa
puluh jurus guna mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari?!" Tjokorda
Gde Anjer tertawa getir.
Sebagai jawaban bangsawan itu
melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi dikempitnya. "Sebelum kita
bertempur katakan dulu siapa kau adanya!"
"Namaku Nyoman Dwipa. I
Krambangan adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma baru calon?"
ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi merah.
"Kedatanganku ke sini
juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Karena dialah
kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak kehormatannya! Di mana
anakmu itu sekarang?!"
Tjokorda Gde Anjer memutar
otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di Gedung Putih. Jika
kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika seandainya kau masih
punya nyawa setelah bertempur denganku!"
Nyoman Dwipa tertawa menggeram
lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda Gde Anjer sendiri segera pula
mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning ber-eluk duabelas.
"Apakah kau akan maju
bertiga?!" tanya bangsawan itu.
"Aku tidak sepengecut
yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I Krambangan bersama
seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil biar dapat
kubereskan sekaligus!"
"Jangan terlalu congkak
orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau hadapi! Mulailah!"
"Kau yang hendak mampus
silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh penasaran karena
ucapan ayah musuh besamya itu.
Senyum mengejek lenyap dari
bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang kemuka. Keris di
tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah dada Nyoman Dwipa lalu membabat
ketenggorokan dengan teramat cepatnya hingga hanya sinar senjata itu saja yang
kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde Anjer ini. Itu
adalah jurus serangan yang bernama "menusuk bukit membabat puncak
gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat si pemuda
kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua yang
mematikan!
Nyoman Dwipa meskipun muda
belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia persilatan tapi dia adalah
murid gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan dahsyat Tjokorda Gde
Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan membuat langkah
mengelak ke samping dia berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.
Dan di saat itu pula dengan
kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas menyerang. Tongkat bambu kuningnya
bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut lawan.
Tjokorda Gde Anjer terkejut
bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan susulannya yang sudah
direncanakan tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya menyapukan kerisnya ke
muka dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan dengan maksud
memotongnya jadi dua!
Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu
untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga sesaat kemudian bambu dan
keris itupun saling bentrokanlah!
Tangan kanan Tjokorda Gde
Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup membabat buntung bambu
kuning itu tapi senjatanya sendiri hampir terlepas mental karena licinnya bambu
dan kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer memercikkan keringat
dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang menjadi lawannya memiliki
tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata lawan yang cuma sebilah
bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa dibuat main!
Menyadari semua itu Tjokorda
Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya
yang terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya lenyap merupakan
bayang-bayang. Di lain pihak dengan mengertakkan geraham Nyoman Dwipa
mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan jurus telah
berlalu. Sinar bamboo kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar itu semakin
rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer.
Pada jurus keduapuluh lima
Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan merasa tak ada gunanya
lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh satu hentakan
yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde Anjer, bambu kuning di
tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran lalu laksana kilat
menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda Gde Anjer terpekik!
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang kedua tangannya memegangi
perutnya yang robek besar dan memancurkan darah. Sekali lagi bangsawan ini
menjerit lalu tubuhnya tergelimpang roboh di tanah, ususnya menggelegak
membusai keluar!
Di saat itu pula diambang
pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda Gde Anjer.
Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang saat itu
megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar menyayat hati. Namun
semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang
menghendakinya!
16
KEMANA kita sekarang?"
Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari gedung kediaman
Tjokorda Gde Anjer.
"Ke Gedung Putih!"
sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu dulu
Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu hingga
sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212
Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik lengannya.
"Ada apa?" tanya
Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya kita jangan
pergi kesana, Nyoman…"
"Memangnya kenapa? Justru
musuh besarku berada di sana!"
"Aku mengerti. Kita tunggu
saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat perhitungan. Pergi ke
sana besar bahayanya!"
Nyoman tertawa.
"Aku memang pemah
mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di situ
tempar berhimpunnya tokohtokoh silat kawakan di seluruh Bali. Jika Tjokorda Gde
Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula beberapa tokoh silat temama
lainnya . . ."
"Aku tidak takut masuk ke
sana!" kata Nyoman.
"Memang, hitung-hitung
untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada Luh Bayan
Sarti.
"Aku cuma mengawatirkan
kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia sempat membalaskan
sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra …. "
Wiro tersenyum kecil.
"Sepatutnya kau mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata Pendekar
ini sehingga baik Nyoman maupun gadis itu menjadi sama-sama kemerahan paras
mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi akhirnya ketiga orang itupun meianjutkan
perjalanan. Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota
sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro Sableng, memang gedung itu
manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga menjadi tempat
menguji kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu silat tingkat tinggi
kepada orang-orang yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah seorang di antaranya
adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah tinggi ilmu silatnya
tapi dari beberapa tokoh silat lainnya dia masih memerlukan untuk menambah
pelajaran silatnya hingga dibandingkan dengan waktu lima bulan yang lalu
kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda
Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima latihan-latihan dari beberapa tokoh
silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-kawannya menuju.
Sesungguhnya keterangan
Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di Gedung Putih adalah
mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan keyakinan bahwa
kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti
sama saja masuk ke dalam perangkap karena di Gedung Putih banyak sekali
tokohtokoh silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan
bahwa Nyoman Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih!
Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.
Luh Bayan Sarti menunjuk ke
bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang keseluruhannya
berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar matahari.
"Itulah Gedung
Putih" kata gadis itu.
Nyoman memandang dengan mata
disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin cepat
kita sampai di sana makin baik!"
Dengan mempergunakan ilmu lari
cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju ke Gedung Putih. Kira-kira
setengah peminuman teh merekapun sampai di hadapan gedung besar itu. Dua orang
laki-laki yang berdiri di ambang pintu gedung yang tertutup menyambut
kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya setelah melirik dulu pada Luh
Bayan Sarti bertanya dengan nada keren.
"Siapa kalian dan
maksudapa datang ke mari?!"
Nyoman Dwipa yang sudah
berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang berotak
cerdik cepat mendahului.
"Kami bertiga mencari
sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di antara mereka
terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua orang penjaga pintu
tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap hormat. Nyatalah bahwa
Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih itu.
"Sahabat yang kau cari
memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai nanti siang atau kembali
saja nanti siang jika ingin bertemu dengan dia…."
"Agaknya ada pertemuan
penting di dalam gedung?" tanya Wiro.
"Betul. Di dalam tengah
diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda Gde Djantra adalah
Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai siang nanti, jadi kalian
bertiga kembali saja nanti siang kalau sekiranya tak bersedia menunggu di
sini."
"Karena kami datang dari
jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya
menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari tempat
duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak saja Wiro
berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu
kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang terdapat tak jauh dari
pintu depan tersebut.
Dengan mudah pintu besar
dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan Sarti dan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus
berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap tak seorangpun yang kelihatan. Di
ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara ke
dekat tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke
ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah tangga batu mar-mar yang menuju ke
sebuah pintu kayu jati yang berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu
berdiri dua orang laki-laki berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing
sebilah pedang. Di samping mereka terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari
perunggu. Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro tengah memikirkan satu
akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia mempunyai pikiran bahwa
gong yang terletak di samping keduanya adalah gong tanda bahaya. Namun sebelum
dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan melangkah cepat ke hadapan kedua
orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti cepat-cepat mengikuti.
"Hai siapa kalian?!"
seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya cepat bergerak ke
hulu pedang.
"Jangan bertindak ceroboh
Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya!
Wiro lantas maju ke hadapan
kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata, "Dua orang kawanmu di
luar sana telah mengizinkan kami untuk masuk ke dalam menemui Tjokorda Gde
Djantra!"
"Tak mungkin!" kata
penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah diberi tahu untuk
tidak memberi izin masuk siapapun …" lalu dia melangkah mendekati gong
perunggu.
"Teman-temanmu juga
bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang membawa
gadis ini mereka telah memberi izin."
"Siapa gadis ini?!"
"Kekasih Tjokorda Gde
Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian tidak memberi izin
menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari Tjokorda Gde Djantra . .
. "
Kedua penjaga itu saling
pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah memberi izin masuk
terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro Sableng untuk melompat
ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga tersebut hingga mereka
berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku tegang di tempatnya
masingmasing! Di ruangan di balik pintu kayu jati …
Dua puluh orang tokoh-tokoh
silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di ujung meja berdiri
seorang pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya. Di hadapannya
terdapat sebuah kotak kayu yang beriobang bagian atasnya. Ke dalam kotak itulah
nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama calon. Ketua
Gedung Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja hendak
membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka dan tiga
sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras Nyornan
Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan ketiga orang itu
tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua orang yang ada di
ruangan pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar berani-beranian
mengizinkan mereka masuk? Atau mungkin ketiga orang ini telah mempreteli
penjaga-penjaga Gedung Putih?! Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya nyatalah
bahwa mereka orangorang dari dunia persilatan!
"Para hadirin yang ada di
sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu acara di sini…
"
"Kunyuk-kunyuk kotor!
Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!" membentak seorang
kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah ketua Gedung
Putih yang segera akan meletakkan jabatannya bila calon Ketua baru terpilih.
Wiro berpaling dan menjura
pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.
"Orang tua, kedatangan
kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk dengan kau orang
tua maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini mempunyai silang
sengketa dendam kesumat dengan seorang pemuda bemama Tjokorda Gde Djantra yang
katanya berada di sini!"
Semua mata memandang pada
Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra yang saat itu berdiri tak
bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang bulat-bulat pada Nyoman
Dwipa dengan penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah bertempur melawan pemuda
ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang?! Tapi kenapa sekarang
hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal lainnya?! Benar-benar dia
tak mengerti dan tak bisa percaya!.
Sementara itu Luh Bayan Sarti
yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer Balangnipa diantara para
hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia segera menyambungi, "Aku
sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula diantara para hadirin! Itu …
manusia yang punya tampang macam ular!"
Merahlah paras Ki Sawer
Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya dan membentak,
"Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama kawan-kawanmu!"
Prakata Gandara berdiri dari
kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah dendam kesumat apa
yang kau pendam terhadap salah seorang anggota Gedung Putih!"
"Aku tidak mendendam dia
sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia busuk yang bemama
Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik, katakan urusanmu
hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar Prakata
Gandara.
"Dia telah menculik calon
istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu akhirnya mati bunuh diri secara
penasaran!" jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng aling-aling.
"Betul?!" tanya Prakata
Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua, aku menculik anak
gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya. Dan cara itu
sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali ini!" sahut Tjokorda Gde
Djantra.
"Lidahmu tidak bertulang
pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau bemiat baik
terhadap gadis itu setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan busuk
di tepi telaga? Dan kau juga punya hutang jiwa yang belum terselesaikan
terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa.
"Dan kau gadis cantik,
apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani datang ke sini dan
menghinanya di depan mata hidung kami?!"
"Menghina ular tua itu
bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang benar-benar berjiwa satria
dan berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya karena beberapa hari yang
lalu dia menculik dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer Balangnipa
berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum Prakata Gandara
menanyainya:
"Ketua, pertama sekali
ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di sini bahwa gadis
berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik kandung perampok ganas yang
bernama Warok Gde Djingga dari Bukit Jaratan! Puluhan manusia tak berdosa telah
mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga banyaknya
harta kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat
membekuknya dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja berarti kita membuati
pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang leher
kakaknya!"
"Soal mencari pahala
untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam kesumat itu
selesai Ki Sawer!"
kata Wiro Sableng
mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-rapat penuh geram.
Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat itu hanya mengutuk
dalam hati habis-habisan.
Prakata Gandara berpaling pada
Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut gondrong? Apakah juga
punya urusan dendam kesumat dengan salah seorang di sini?!"
"Ah, aku orang buruk ini
cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro Sableng.
"Kalau kau cuma kacung
pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara. Disemprot begitu
Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan! Kejut Ketua Gedung
Putih dan semua orang di situ bukan main karena suara siulan Wiro Sableng yang
cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga mereka! Maklumlah
semua orang kalau pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu memiliki ilmu
tinggi.
Prakata Gandara membuka mulut
kembali. "Karena nyatanya memang ada anggota-anggota Gedung Putih yang
membuat sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku dan para toa Gedung Putih
yang akan menjatuhkan hukuman setimpal atas diri mereka!"
Nyoman tersenyum mendengar
ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung Putih yang mau
turun tangan terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan untuk
memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun tangan sendiri."
"Baiklah jika memang
demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya diangkat ke
arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak antara tirai dan tempatnya
berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya dengan kekuatan tenaga dalamnya
Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang sana
kelihatanlah sebuah panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang
seraya tersenyum pada Nyoman Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap
menunggu. Tapi terus terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami
di sini tentu tak akan berlepas tangan saja …"
"Kalau begitu
naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala,
"sebagai kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku
tangan!" Habis berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke
arena. Dan mengikuti tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata
mereka. Betapakan tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya
menginjak batu mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman
dalam bentuk telapak-telapak kakinya!
Wiro Sableng sampai di atas
arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa sudah berada pula di
sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat juga hatinya. Pemuda
gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi bukan main, apalagi yang
bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di antara ketiga manusia
yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah yang paling berbahaya!
"Bangsat yang bernama
Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui ayahmu lebih
cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah Tjokorda Gde
Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau perbuat terhadap
ayahku?!" teriaknya.
"Bapak moyangmu itu
bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa orang kawannya! Aku
telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu, mengerti?!"
"Anjing kurap!"
teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik sinar kuning
menderu ke arah Nyoman Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh belas
di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir bersamaan, selarik sinar
kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat bambu kuning
milik Nyoman Dwipa.
Tjokorda Gde Djantra terkejut
dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan tinggi. Sinar kuning
senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja ujung bambu kuning itu
menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra mengerahkan tenaga
dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja selaksa angin. Dengan
pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa ke dalam jurang!
Nyoman Dwipa yang pernah di
serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia sewaktu dilihatnya
lawan menarik tangan kiri ke belakang.
Pada saat Gde Djantra memukul
ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman tangan kiri.
Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat selarik
sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi" yang
dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini
memusnahkan pukulan "raja selaksa angin" tapi sinar putih terus
meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda Gde Djantra! Yang diserang
kaget bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu saat itu tongkat
bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu ke arah kepalanya! Dalam saat yang
kritis ini satu sambaran angin datang dari samping hingga tongkat Nyoman Dwipa
melenting ke kiri dan selamatlah kepala Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan dengan itu terdengar
bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau main kayu mari hadapi
aku!"
Prakata Gandara menggeram.
Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan menyelamatkan nyawa
Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro marahlah dia dan dengan
gerakan amat enteng melompat ke atas arena. Begitu sampai di atas arena Prakata
Gandara kebutkan ujung lengan jubah putihnya. Ujung lengan jubah ini sengaja
dibuat amat lebar dan merupakan senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu.
Sambaran ujung lengan keras sekali dan mengarah jalan darah di dada Wiro
Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit ke sarang dan dalam
gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke muka! Kalau saja
Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik tangannya pastilah ujung lengan
jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang tua itu juga
kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan sembarangan. Angin kebutan lengan
jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu, tapi lavwannya yang bertampang
tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang. Tak ayal lagi Ketua Gedung
Putih ini segera mencabut senjatanya yang teramat aneh yaitu sebuah lonceng
perak!
Begitu lonceng tersebut berada
di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan yang memekakkan dan
menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya tajam luar
biasa, berkeltbat kian kemari menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus!
Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu
kekuatan yang tak kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa.
Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di situ;ah
kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera tutup
jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng perak tersebut
semakin keras!
"Sialan!" maki Wiro.
Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang yang ada di
situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan berakhir tubuh
Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat tajam membawakan lagu
hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan dan gema lonceng
berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana suara klanang-kleneng
lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi sirna di telan suara siulan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian yang lain
pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra berkecamuk dengan
hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling keluarkan kepandaian
untuk dapat merobohkan lawan masing-masing. Saat itu pertempuran telah
berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda Gde Djantra
telah menciut sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja selaksa angin"
tidak sanggup merobohkan lawannya padahal di samping permainan silatnya yang
tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan! Nyalinya tambah
meleleh sewaktu jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat tekanan-tekanan
serangan yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah dia masih bisa
bertahan sampai jurus yang kelima puluh!
Pada jurus kelima puluh dua,
Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat "raja tongkat empat
penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra semakin
kepepet dan musti bertahan mati-matian!
Pertempuran antara Wiro dan
Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih, Prataka Gandara
merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh jangankan sanggup untuk
merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk menghadapi serangan
lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba terdenyar seruan Ki
Sawer Balangnipa.
"Saudara-saudara
sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku tangan
saja?! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar seruan itu, semua
orang yang ada di situ segera cabut senjata dan laksana air bah menyerbu ke
atas arena! Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu saja Prataka
Gandara tidak sudi main keroyok begitu rupa. Tapi karena maklum dalam sepuluh
jurus di muka belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang itu malah
menggembirakannya!
"Bangsat rendah, berani
main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya menderu
ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal perempuan!
Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah lapang luas!"
bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam sebuah ular
kering yang rupanya baru saja dibuatnya. Betapapun hebatnya dan besarnya
keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan lawannya.
Apalagi beberapa orang anggota Gedung Putih yang berkepandaian tinggi ikut pula
membantu manusia bermuka Ular itu!
Wiro Sableng tidak mengira
kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika didengarnya komando Ki Sawer
Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di situ menyerbu ke atas arena,
menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro Sableng! Tangan kanannya bergerak
kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara menggaung macam ribuan tawon
mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan melompat mundur. Yang satu
tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi dadarya yang mandi darah!
Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan
Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian keduanya roboh di lantai arena
tanpa nyawa lagi!
Kejut Prataka Gandara dan
semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang menemui kematian
itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun dalam satu kali
gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung yang rapat!"
teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng peraknya.
"Trang!"
Ketua Gedung Putih itu
menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya berlumuran darah! Gemparlah
semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka bisa mendapat cidera
begitu rupa adalah gila untuk meneruskan pertempuran. Tapi untuk mengundurkan
diri tentu saja mereka tidak berani.
Prataka Gandara keluar dari
kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil mengerahkan tenaga
dalamnya. Dia telah menelan dua butir pil namun hawa panas, yang mengalir dari
luka di tangan kanannya tak kuasa dibendungnya. Akhirnya sebelum hawa maut itu
mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan kirinya untuk membetot
seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah lengan kanan Ketua
Gedung Putih itu.
Di atas arena Wiro Sableng
mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat untuk dapat melindungi
kedua kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan orang-orang itu. Dalam
tempo singkat tokoh-tokoh Gedung Putih roboh satu demi satu menemui kematiannya
dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban pihaknya yang semakin lama
semakin banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka
Gandara memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat ini segera mengikutinya
lari meninggalkan ruangan itu!
"Siapa yang mau lari
silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda Gde
Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar ini
melompat ke ambang pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang berani mendekati
pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde Diantra sudah
terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer Balangnipa sudah
melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua Gedung tih yang
luka parah dengan muka pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar jeritan
Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke atas sana. Kelihatan
bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh
terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya yang pecah dihantam ujung
tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang kemasukan setan lari
sana lari sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke
lantai, masih berkutik-kutik beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi tanda
nyawanya lepas sudah!
Suasana di ruangan itu sesunyi
dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh Bayan Sarti dan Nyoman
sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detik-detik kematian Tjokorda Gde
Djantra tadi!
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa
berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro Sableng seraya menangis
tersedusedu.
"Pendekar gagah! Aku
mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular
itu.
"Soal ampun jangan minta
padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa lalu dia berpaling
pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh Gedung Putih lainnya yang masih
hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan kuharap berlalu dari sinil".
Meski marah dan penasarannya
bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-benar mati kutu. Tanpa
banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan itu.
Sesudah semua orang pergi Ki
Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di hadapan Wiro.
"Manusia banci! Bangun!
Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer Balangnipa bangun
perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali mohon ampun pada Wiro dan
Luh Bayan Sarti, juga pada Nyoman.
Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju
dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup lebih lama. Tak ada gunanya
kau meratap minta ampun!"
Ki Sawer Balangnipa menggerung
lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan Sarti, hingga lemah juga hati
gadis ini pada akhirnya.
"Kuampuni jiwamu!"
katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa kau benarbenar
tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti bergerak
kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer Balangnipa hingga manusia
itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa menjerit
kesakitan dan terhampar di lantai.
"Sekarang kau pergilah
sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer Balangnipa berdiri
-dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah huyung serta
mulut tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!
***
Di puncak pedataran tinggi itu
Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman Dwipa dan Luh Bayan
Sarti.
"Sahabat-sahabatku, aku
tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu saja ini tidak di
sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah, Wiro?"
tanya Nyoman Dwipa.
"Aku masih ada urusan
lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi sebaiknya kita
sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro tertawa dan berkata pada
Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang itu,
Nyoman."
"Eh, apa maksudmu?"
tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh Bayan Sarti
memandang ke jurusan lain.
Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang dulu,
Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti?! Nah,
selamat tinggal sahabat-sahabatku . . . "
Nyoman Dwipa hendak mengatakan
sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah
berada dua puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari. Bahkan mengucapkan
terima kasihpun aku sampai lupa!"
Luh Bayan Sarti menarik nafas
dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa jadi diriku
sekarang ini . . . "
Dari puncak pedataran itu keduanya
memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat ke arah utara, makin lama
makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Nyoman memutar kepalanya pada
saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula kepadanya. Sepasang mata mereka saling
bertemu. Dan seulas senyum sama-sama muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa
menyadari kini betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan
ganti kekasihnya yang hilang itu.
TAMAT