-------------------------------
----------------------------
036 Dewi Dalam Pasungan
SATU
MATAHARI baru saja tenggelam.
Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan dipekuburan Jati anom nampak
diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah
yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di u jung kanan
tanah pekuburan, dibawah sepokok batang Kemboja kecil tampak seungguk tanah
makam yang masih merah ditaburi oieh bunga-bunga aneka warna. Dikejauhan
terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan
udara semakin gelap.
Pada saat itulah tiga sosok
berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah pekuburan.Ketiganya sesaat
tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak seorangpun kelihatan di tempat
itu, ketiganya melangkah bergegas menuju kuburan baru. Dua dari tiga orang ini
memanggul pacul. Satunya membawa linggis.
"Ini kuburannya! Kita
harus bekerja cepat!" terdengar orang yang membawa linggis berucap.
"Tak usah kawatir.
Kuburan baru tanahnya masih lembek. Sebentar saja kita pasti menemukan peti
itu!" menjawab pemanggul pacul di sebelah kanan. Lalu bersama temannya dia
mulai memacul dan menggali tanah kuburan. Keduanya bekerja keras dan cepat,
tidak berhenti-henti menggali sampai akhirnya salah satu mata pacul terasa dari
terdengar menghantam benda keras.
"Peti jenazah!" seru
orang yang memacul di sebelah kanan. Dengan tangannya dia menggeser tumpukan
tanah, kawannya ikut membantu.
Dalam gelapnya malam kemudian
terlihat kayu tutup peti jenazah.
"Berikan linggis!"
orang di dalam lobang berteriak.
Lelaki yang memegang linggis
menyahuti : "Biar aku yang membuka tutup peti!" Lalu dia melompat
turun ke dalam liatv» kubur yang barusan dibongkar itu. Dengan uji ng linggis
dia mulai mengungkit tepi penutup peti. Terdengar suara berkereketan ketika
kayu penutup peti jenazah mulai terkuak.
"Ganjal dengan paculmu!
Aku akan mengungkit ujung sebelah sana!" si tukang linggis berkata.
Kawannya lalu mengganjalkan
paculnya dibawah penutup peti yang terkuak. Ketika ujung yang lain berhasil
diungkit pula maka penutup peti itupun dengan mudah bisa ditarik lepas.
"Hai!"
Orang yang membuka penutup
peti berseru kaget tapi juga keheranan. Dua kawannya sama-sama besarkan mata,
terperangah. Salah seorang dari mereka malah berjongkok dan memasukkan kedua
tangan ke dalam peti, meraba-raba.
"Kosong …!" desisnya
sambil menengadah ke arah kedua temannya. "Petinya kosong! Kalian lihat
sendiri!"
Kami sudah melihat! Ini adalah
aneh! Mana jenazah puteri hartawan itu…. ?!"
"Edan! Kita kemari bukan
untuk mencari mayat!
Tapi mencuri harta yang
kabarnya ikut dikuburkan bersama jenazah Yuniarti putri bungsu hartawan
Tampakjati!"
Untuk beberapa lamanya ketiga
orang itu tertegun saling pandang.
"Ada suatu rahasia
dibalik semua ini! Rahasia yang kita tidak mengerti!"
"Kau betul! Putri
hartawan itu diketahui mati.
Lalu dikubur di tempat ini!
Tapi ketika dibuka petinya ternyata kosong! Tak ada jenazah, apa lagi
harta!"
"Mungkinkah jenazah itu
gaib…. ?"
"Atau seseorang telah
mendahului kita. Tapi gila!
Mustahil! Tidak mungkin!"
"Lalu. . . . ? Jangan
jangan " Yang berkata adalah lelaki yang tadi memcongkel penutup peti
jenazah dengan linggis. Belum lagi ucapannya berakhir tiba-tiba terdengar
bentakan garang.
"Bagus! Jadi ini kerja
kalian! Membongkar makam mencari harta! Kalian tahu makam siapa yang kalian
bongkar?! Benar-benar mencari mampus!"
Tiga lelaki berpakaian serba
hitam di dalam lobang sama mendongak ke atas. Di tepi kuburan mereka melihat
seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah garang dan membekal sebatang golok di
pinggangnya tegak bertolak pinggang. Mereka segera mengenali siapa adanya orang
ini. Salah seorang dari ketiganya segera menjawab.
"Lancang Item! Kau tidak
lebih baik dari kami.
Mengapa mencampuri pekerjaan
kawan segolongan, . . .?!"
Orang yang tegak ditepi
kuburan mendengus.
"Aku berhak melakukan apa
saja disini karena aku ditugasi mengawasi makam ini!"
"Siapa yang
menugasimu?"
"Bangsat! Kau tak layak
bertanya!" hardik Lancang Item "Kalian telah melakukan satu kesalahan
besar! Membongkar kuburan dan punya niat jahat untuk mencuri!"
"Kau linat sendiri! Peti
ini kosong! Tak ada mayat apa lagi harta!"
"Sudahlah! Mengapa harus
ribut-ribut di tempat ini.
Mari kita pergi saja. …"
Kata lelaki yang memegang linggis.
"Tidak! Kalian akan tetap
di lobang itu!" Lancang Item maju satu langkah.
"Apa maksudmu?!"
orang dalam kubur bertanya.
Sreett!
Lancang item hunus goloknya.
Dalam gelapnya malam benda itu masih tampak seperti berkilau tanda selalu
diasah. Melihat gelagat tidak baik ini tiga orang didalam kubur segera memanjat
keatas. Saat itulah golok di tangan Lancang Item berkelebat. Terdengar dua
pekikan berturut-turut.
Dua orang di samping kanan
yang tengah berusaha memanjat dan keluar dari dalam kubur kembali jatuh dengan
punggung luka besar dan satu lagi hampir putus pangkal lehernya. Lelaki ketiga
lindungi dirinya dengan linggis besi sewaktu golok di tangan Lancang Item
kembali membabat.
Trang!
Bunga api memercik ketika
golok tajam dan besi linggis beradu. Yang memegang linggis merasakan tangannya
bergetar keras. Saat itu kembali dilihatnya golok datang menyambar! Untuk kedua
kalinya dia angsurkan linggis ke atas. Tapi sekali ini Lancang Item tidak mau
melakukan bentrokan lagi. Golok ditangannya diputar. Senjata ini berubah dari
membabat menjadi membacok. Terdengar pekik ketiga. Lelaki yang memegang linggis
rubuh ke dalam kubur dengan kepala hampir terbelah!
"Maling-maling picisan
mau berlagak melawanku!" ujar Lancang item. Lalu dia masukkan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ke dalam mulut. Terdengar suitan nyaring.
Sesaat kemudian dua orang bergegas muncul dari arah barat.
"Lekas kalian timbun
makam ini!" berkata Lancang Item begitu dua orang tadi sampai
dihadapannya. Keduanya mengangguk. "Kalian bisa pergunakan dua pacul yang
ada di dalam sana!"
Kembali dua orang itu
mengangguk. Tapi ketika hendak mengambil pacul mereka melihat tiga sosok tubuh
yang saling timpang tindih di dalam lobang. Dua mungkin sudah mati, satu masih
terdengar mengerang. Lancang item segera maklum keraguan mereka. Maka diapun
menghardik.
"Kalau aku perintahkan
kalian menimbun kuburan berarti apapun yang ada didalamnya harus kalian timbun!
Lakukan cepat!" Lancang Item memandang berkeliling. Dia kawatir
kalau-kaiau ada orang lain berada disekitar situ dan sempat menyaksikan apa
yang terjadi.
Mendengar bentakan Lancang
Item dua orang tadi segera mengambil dua pacul di dalam kubur lalu dengan cepat
kembali menimbun dan menguruk kuburan yang tadi sempat digali oleh tiga orang
pencuri harta. "Pekerjaan kami telah selesai Lancang,"
seorang penimbun memberi tahu.
Lancang Item mengangguk. Lalu
keluarkan sebuah kantong dari balik pakaiannya. Kantong itu dilemparkannya pada
orang yang tegak disebelah kanan.
"Bagi dua uang itu. Dan
mulai saat ini kalian harus meninggalkan daerah ini! Tidak boleh kembali dengan
alasan apapun! Bila rahasia ini tersebar diluaran berarti kalian yang membuka
dan menyebarkannya! Aku akan mencari dan membunuh kalian! Mengerti?!"
"Kami mengerti Lancang…
"
"Nah pergilah! Bawa
pacul-pacul itu, buang di tempat jauh!"
Untuk beberapa lamanya Lancang
Item masih tegak di tempat itu memperhatikan kepergian dua orang yang membawa
pacul. Setelah keduanya lenyap dikegelapan malam baru dia beranjak meninggalkan
tempat itu.
* * *
TIGA ORANG putera Raden
Tambakjati Kalidiningrat duduk mengelilingi ayah mereka sementara ibunda
ketiganya berada di kamar tidur dalam suasana duka. Ketiga putera yang datang
dari jauh ini sama menyesalkan mengapa adik mereka begitu cepat dimakamkan
tanpa menunggu kedatangan mereka hingga tak dapat melihat si adik untuk
penghabisan kali.
"Adik kalian meninggal
karena penyakit sampar,"
Raden Tambakjati berkata
dengan menundukkan kepala. "Jika tidak segera dimakamkan bisa-bisa banyak
orang yang akan ketularan, termasuk seisi rumah besar ini. . . . Kalian
puteraputeraku yang kucintai.. . . .Aku dapat merasakan apa yang ada dilubuk
hati kalian. Besok, pagi-pagi sekali kalian bertiga bisa menyambangi makamnya
di pekuburan Jatianom. …"
"Dua tahun lalu. . . .
" yang bicara adalah Tubagus Kalidiningrat, putera tertua yang datang dari
Solotigo, "ketika adik Yuni mencapai usia empat belas tahun, saya
mendengar kabar dirinya menderita semacam penyakit aneh. Penyakit seperti
kurang ingatan "
Raden Tambakjati angkat
kepalanya dan menatap paras putera sulungnya itu.
"Dari mana kau mendengar
kabar itu? Siapa yang mengatakan begitu padamu… ?"
"Saya tidak ingat dengan
pasti ayah. Hanya saja…. apakah kabar itu betul?"
"Kabar fitnah! Fitnah
busuk yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka pada kita! Jangan kau
percayai hal yang memalukan itu Tubagus ..
"Saya memang tidak pernah
mempercayainya ayah," jawab Tubagus Kalidiningrat.
"Kalian bertiga datang
dari jauh, tentu, sangat letih. Pergilah beristirahat dulu. Sehabis ba’dal Isya
akan diadakan pengajian. Kuharap kalian bertiga turut hadir…."
Ketiga putera Tambakjati sama
mengiyakan lalu meninggalkan tempat itu, tepat pada saat Lancang Item datang
menghadap. Hartawan Tambakjati menunggu sampai ke tiga puteranya meninggalkan
tempat itu lalu berdiri dan memberi isyarat agar mengikutinya.
"Katakan cepat apa yang
menyebabkanmu baru saat ini sampai kemari?" bertanya Tambakati.
Lancang Item lalu menuturkan
apa yang terjadi dipekuburan Jatianom "Apa yang kau lakukan sudah cukup
baik.
Hanya saja masih ada yang
kurasa mengganjal. .."
"Hal apakah itu
Raden?" tanya Lancang Item.
"Dua orang tukang timbun
itu seharusnya kau bereskan juga hingga semua rahasia tidak bisa bocor!"
"Saya sudah memberinya
uang, menyuruhnya pergi dari. daerah ini dan mengancamnya! Mereka tak mungkin
akan membocorkan rahasia itu Raden.
Lagi pula saya sudah kenal
lama keduanya. Mereka bisa dipercaya…."
Raden Tambakjati tatap merasa
tidak enak didalam hatinya. Lalu dia berkata : "Mulai hari ini, paling
tidak satu kali seminggu kau menjenguk tempat itu Lancang… "
"Itu menjadi tugas saya
Raden. Apakah saya juga harus membawa obat-obatan dari perempuan tua bernama
embah Gromboh itu ?"
"Tidak perlu. Sejak lama
aku dan istriku sudah menduga perempuan itu tidak mampu mengobati.
Hanya saja selama ini kita
memakainya karena mengharapkan ada kebaikan. Kenyataannya memang tidak.. Tempat
yang kau pilih itu benar-benar baik dan aman Lancang?"
Lancang Item mengangguk.
"Tempatnya sangat kelindungan. Tak ada manusia yang pernah mendekati
tempat itu. Sama sekali tidak dijejak binatang buas. Sumber air terdekat tidak
jauh dari situ .
"Sewaktu-waktu saya akari
mengantarkan Raden, " ujar Lancang.
"Kau boleh pergi. Jangan
lupa menyirap-nyirap segala cerita dan desas desus diluaran. . . . . "
"Akan saya lakukan Raden.
"Lancang Item membungkuk hormat lalu tinggalkan hartawan Tambakjati
Kalidiningrat.
DUA
BUKIT JATIPADANG hanya
merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki penduduk yang tinggal
sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak ada binatang buas,
tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai bukit yang
ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena mengejar rusa
buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang. Namun
binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk sekitarnya.
Di puncak bukit, tak berapa
jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, secara tidak terduga tampak
berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hutan, beratap rumbia dan sama sekali
tidak berdinding.
Mendapatkan adanya bangunan
ini saja ditempai itu sudah merupakan suatu keanehan.
Ditambah dengan apa yang
terdapat dibawah atap gubuk itu maka tampaklah satu keluar biasaan.
Dibawah atas rumbia, diatas
lembaran-lembaran papan jati kasar tampak duduk seorang dara berusia sekitar
enam belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu, mengenakan pakaian
berbentuk jubah panjang terbuat dari kain kasar tegai dan berlapis dua.
Kelihatannya dara ini duduk termenung, tetapi sepasang bola matanya sesekali
tampak berputar aneh. Lalu mulutnya menyunggingkan senyum. Dari mulut itu acap
kali terdengar suara seperti mendesah kedinginan. Ada kalanya dara ini tertawa
melengking-lengking. Kadang-kadang tanpa diketahui sebabnya dijambaknya rambutnya
yang hitam.
Di lantai di hadapannya,
sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai buah-buahan. Sebagian telah
banyak yang busuk. Lalu ada sebuah kendi tanah berisi air yang tergoleh dan
tumpah sebagian isinya. Dara di dalam gubuk ini hanya mampu menggeser tubuhnya
sedikit saja karena kedua kakinya dijepit pada dua buah lobang diantara dua
balok jati. Kedua balok ini diikat erat dengan dua untai besi yang
ujung-ujungnya dikunci dengan kura-kura besi! Jelas dara ini diasingkan dan
dipasung di bukit terpencil itu. Wajahnya yang pucat jelas menunjukkan dia
kurang makan atau tidak perduli dengan makanan. Tubuhnya kuyu lemas tanda
kurang minum. Kulitnya yang kuning langsat tertutup debu dan daki yang mulai
menebal.
Semua itu menunjukkan bahwa
paling tidak sang dara telah dipasung di tempat itu lebih dari lima hari lalu.
Siapakah dara yang malang ini,
Lalu siapa pula yang begitu sampai hati membawanya ke puncak bukit Jatipadang
dan memasung kedua kakinya dalam balok jati? Dara berwajah panjang yang tersembunyi
kecantikannya dibawah keadaan dan penderitaan itu adalah Yuniarti
Kalidiningrat, putri tunggal atau anak bungsu hartawan Tambakjati.
Lima hari lalu dia diberitakan
meninggal dunia karena menderita penyakit sampar. Jenazahnya dikuburkan dengan
terburu-buru sampai-sampai tiga orang kakaknya tidak sempat melihatnya untuk
penghabisan kali. Namun apa yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa dara itu
tidak pernah meninggal dunia. Acara kematian dan penguburan semua adalah
sandiwara belaka, diatur oleh sang ayah ibu dan orang kepercayaan hartawan
Tambakjati yaitu Lancang Item.
Sejak dua tahun sebelumnya
Yuniarti yang waktu itu berusia empat belas tahun ditimpa malapetaka
mengenaskan. Dara yang beranjak remaja putri ini tiba-tiba saja menunjukkan
kelainan pada sikap dan gerak gerik nya. Sikap dan keadaan Yuniarti adalah
sikap seorang yang kurang waras, kurang ingatan alias gila! Berbagai usaha
telah dilakukan secara diam-diam oleh kedua orang tuannya untuk mengobati putri
tunggal mereka itu. Namun sia-sia belaka. Sang dara tidak dapat disembuhkan.
Sebagai turunan istana, tentu
saja Tambakjati Kalidiningrat dan istrinya akan mendapat malu besar kalau
gilanya putri mereka sampai diketahui orang luar. Karena merasa mereka tidak
dapat lagi menjaga dan mengasuh anaknya, ditambah entah setan dari mana yang
datang merasuk, dibantu oleh Lancang Item maka disusunlah satu rencana diluar
batas kemanusiaan. Yuniarti harus keluar dari rumah besar, disembunyikan disatu
tempat dan ditempat itu dia harus dipasung hingga tidak mungkin melarikan diri.
Lancang Item ditugaskan paling tidak satu kali seminggu mengurus keperluan
gadis itu, mengantarkan makanan dan sebagainya. Agar lengkapnya sang dara tidak
menimbulkan kecurigaan, maka disusun lah sandiwara kematian dan pemakaman Yuniarti.
Padahal peti mati tidak berisi
apa-apa alias kosong. Tiga orang pencuri bernasib malang ketika mereka ketahuan
membongkar kuburan dan mendapatkan peti mati dalam keadaan kosong. Agar rahasia
peti kosong itu tidak sampai diketahui orang Lancang Item yang memang
ditugaskan untuk menjaga segala kemungkinan langsung membunuh ke tiga pencuri
itu!
Pada hari ke enam, tak ada
lagi buah-buahan atau makanan lain yang bisa dimakan. Air dalam kendi tanah
sudah lama kering. Tetapi sang dara yang tidak waras pikirannya itu sama sekali
tidak acuh. Sepanjang hari dia tertawa atau mengeluarkan suara seperti menangis
hingga suaranya menjadi parau. Pakaian dan tubuhnya semakin kotor.
Rambutnya berlapis debu pada
siang hari dan berlapis embun pada malam hari. Berkali-kali dia menyentak-
nyentakkan kedua kakinya seperti berusaha melepaskan jepitan balok kayu jati
tetapi sia-sia saja. Kedua pergelangan kakinya tampak luka dan lecet. Lantai
papan kotor dan menghampar bau amis dan bau kotoran. Dan karena si dara membaringkan
tubuhnya di lantai yang sama jika mengantuk maka pakaiannyapun ikut menjadi
kotor dan bau. Sungguh mengenaskan penderitaan gadis enam belas tahun ini.
Tetapi justru dia sendiri tidak menyadari apa sebenarnya yang tengah
dialaminya.
Pada pagi hari ke tujuh, belum
lama matahari muncul menerangi bumi, disaat Yuniarti duduk sambil mengeluarkan
suara mencaci maki tiada henti dan tangan kiri kanan menjambaki rambutnya
sendiri, dari rerumpunan semak belukar dekat mata air tiba-tiba terdengar suara
mendesis panjang disusul dengan muncul dan meluncurnya dua ekor ular hijau
berkepala besar pipih. Seperti tertarik oleh bau busuk yang datang dari gubuk,
kedua binatang ini, satu jantan satunya betina, meluncur cepat ke arah
Yuniarti. Di depan gubuk tanpa dinding kedua binatang itu berhenti. Sebagian
tubuhnya sebelah bawah terus menempel ke tanah, sebagian yang sebelah atas
berdiri tegak, lidah terjulur
keluar masuk, mulut membuka
memperlihatkan gigi dan taring-taring runcing sedang sepasang mata merah pekat
tidak berkedip. Dua ular ini adalah dua kobra hutan yang ganas dan sangat
berbisa. Sekali seseorang atau binatang sempat digigit atau dipatuknya pastilah
akan menemui kematian dalam waktu beberapa kejapan mata! Tetapi anehnya di
hadapan gubuk dua ekor ular kobra hutan itu sama sekali tidak menyerang,
apalagi mematuk Yuniarti. Binatang ini tegak lama sekali, tidak bergerak. Sang
dara sendiri dalam ke tidak warasannya sama sekali tidak menyadari bahaya apa
sebenarnya yang dihadapinya saat itu. Malah sambil tertawa cekikikan dia
menjentik-jentikan jari-jari tangan kiri dan kanannya ke arah dua ekor ular
kobra hutan. Binatang-binatang ini menarik kepalanya masing-masing ke belakang,
sikapnya seperti hendak mematuk. Tapi tidak. Setiap jentikan yang dibuat
Yuniarti diikuti kedua ular itu dengan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri
atau ke kanan, semakin cepat sang dara menjentik, semakin cepat pula goyangan
kepala ular, jika lambat jentikan maka lambat pula gerakan kepala kedua
binatang itu. Yuniarti tertawa pula gerakan selain menjentik- jentik
mengeluarkan suara tiik. . . tiik. . . . tiik di ujung-ujung jarinya, dara itu
juga mengerakgerakkan tangannya. Dan terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya.
Kedua ekor ular kobra menggerak gerakkan tubuh mereka sebatas pinggang ke atas
kian kemari seperti menari.
Entah berapa lama hal itu
berlangsung, sampai akhirnya Yuniarti merasa letih dan berhenti
menjentik-jentik. Dara ini letakkan kedua tangannya diatas paha tangannya
kemudian dipukulpukulkan ke paha. Mulutnya berucap: "Kawankawanku. . .
anak anak manis berkepala besar yang lucu, bermata merah yang bagus mari
mendekat.
Mari kita lanjutkan permainan.
Aku banyak permainan dan aku akan ajarkan pada kalian. Mari mendekat, letakkan
kepala kalian di telapak tanganku!"
Aneh sungguh aneh! Seolah-olah
mengerti apa yang diucapkan sang dara. Kedua binatang berbisa dan mematikan itu
meluncur mendekat, naik ke atas lantai papan jati lalu menjulur dan mendekatkan
kepalanya di telapak tangan sang dara. Satu ditelapak kiri, lainnya di telapak
tangan kanan!
"Ah. . . . wajah-wajah
kalian ternyata tidak cakap!
Tapi lucu! Aku suka pada
kalian! Aku mau berteman dengan kalian!" kata Yuniarti pula.
Lalu tangannya kiri kanan
mengusap-usap kepala kedua ular kobra hutan itu. Binatang binatang ini kedip
kedipkan kedua mata masing-masing seperti senang dan keenakan. Ketika Yuniarti
berhenti mengusap, kini dua ekor ular kobra itu yang ganti mengusap tangan sang
dara yakni menjilati telapak tangan yang terkembang. Kedua telapak tangan yang
tadinya kotor berdebu dan penuh daki itu, sebentar saja menjadi putih bersih!
"Hai. . . . Hi. . . . hik
hik . . .! Kalian mencuci tanganku yang kotor! Hik. . . . hik. . . . hik. ..
Terima kasih. Kalian sahabat yang baik… "
Dua ekor ular kobra
mengibas-ngibaskan ekor masing-masing seolah-olah senang mendengar katakata
Yuniarti . Kedua binatang ini lalu menjilati bagian tubuh sang dara yang lain.
Lengannya, kedua kaki, lalu leher dan wajahnya. Sesekali terdengar suara tawa
cekikian Yuniarti karena kegelian.
Selagi dua ekor ular itu
menyisiri rambut sang dara dengan ujung-ujung ekor mereka, tiba-tiba terdengar
suara langkah mendatangi. Semak belukar tersibak dan tampaklah seorang lelaki
bertubuh tinggi muncul membawa sebuah buntalan kain.
Orang ini bukan lain adalah Lancang
Item yang datang membawa makanan dan buah-buahan aru untuk Yuniarti. Lancang
Item hentikan langkahnya begitu kedua matanya melihat dua ekor ular kobra
berada di dekat sang dara. Yuniarti tak bergerak dalam duduknya. Matanya
memandang tajam ke arah Lancang Item. Dua ekor ular kobra juga tampak tegak
dengan kepala terpentang menghadap Lancang Item kedua kobra ini berubah
memperlihatkan sikap ganas dan siap menyerang.
Perlahan lahan Lancang Item
turunkan bun talan yang dipanggulnya. Matanya tidak lepas dari memperhatikan
dua eKor ular yang kfnf terdengar mulai mendesis desis. Begitu buntalan
diturunkan, tangan kanan Lancang Item cepat menempel ke hulu golok di pinggang.
"Ra. . . . raden Ayu.
…" suara Lancang Item bergetar karena ketakutan. Dia tak berani mendekat.
"Bagaimana. . kau. . .
kau bersahabat dengan ular-ular jahat dan berbisa itu "
"Manusia gila!"
teriak Yuniarti. Lalu dia melengking tinggi. Dua ekor ular disebelahnya ikut
mendesis panjang. Membuat Lancang Item ketakutan dan mundur satu langkah.
"Dua orang berbaju hijau ini sahabat-sahabatku! Mereka tidak jahat!
Mereka tidak seperti kalian
manusia-manusia laknat!"
"Dua orang berbaju hijau.
. . ?" ujar Lancang Item terheran . "Dua orang siapa maksudmu. . . .
den ayu?"
"Mereka! Mereka sahabat-sahabatku!"
teriak Yuniarti sambil menunding pada sepasang ular kobra hutan berwarna hijau.
Lancang Item sesaat terdiam
sambil gigit bibirnya.
"Kalau . . . kalau mereka
sahabat-sahabatmu suruh mereka pergi dulu. Suruh Keduanya menjauh Aku datang membawa
makanan dan buah-buahan untukmu…."
"Manusia gila!"
teriak Yuniarti. Dua ekor ular kobra kembali keluarkan suara mendesis.
"Jangan berani menyuruh pergi mereka! Kau yang harus pergi! Aku tidak
butuh makanan! Pergi… pergi.."
"Raden ayu. . . dengar baik-baik.
. . Dua ekor ular itu sangat ganas dan berbisa. Kau bisa dibunuh nya…."
"Tidak! Mereka tidak akan
membunuhku. Tapi akan membunuhmu!" teriak Yuniarti. Lalu dia berpaling
pada kedua binatang itu dan berkata: "Sahabat- sahabatku. Bunuh manusia
jelek itu! Hik. . .hik .. . hik!"
Dua ekor kobra hutan tarik
kepala masing-masing kebelakang. Mulut mendesis. Lalu laksana terbang kedua
binatang itu melompat ke arah Lancang Item. Lancang Item yang sejak tadi memang
sudah berjaga-jaga, melihat dua ekor ular melesat ke arahnya cepat bertindak
mundur sambil mencabut golok dan menyabat ke depan. Tapi lelaki ini kalah
cepat. Goloknya baru mampu keluar setengah badan saja dari dalam sarung ketika
dua ekor ular kobra mematuk tubuhnya, satu di dada, satu lagi di bagian perut!
Lancang Item keluarkan pekik setinggi langit. Golok dibuang ke tanah. Dia
membalikkan tubuh lalu lari sekencang yang bisa dilakukannya ke bagian lereng
bukit dimana dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai di tempat kuda tertambat,
lelaki ini langsung melepaskan ikatan kuda, melompat ke punggung binatang ini
dan memacunya sekencang-kencangnya.
Lancang Item tahu kalau bahaya
maut tengah menghadangnya. Meskipun demikian dia berusaha menyelamatkan diri
dengan mengeluarkan bisa ular yang mulai menjalar di tubuhnya. Dengan sebilah
pisau kecil dia menoreh dua patukan ular lalu memencetnya kuat-kuat hingga
darah menyembur.
Apa yang dilakukan Lancang
Item hanya mampu menunda kematiannya beberapa ketika.
Ditengah jalan, jauh sebelum
mencapai gedung kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat, lelaki ini
menghembuskan nafas. Ketika kuda sampai di pintu gerbang halaman kediaman
Tambakjati, binatang ini hanya tinggal membawa mayat penunggangnya!
Hartawan Tambakjati jatuh
terduduk di kursi nya dengan kedua tangan ditutupkan ke wajahnya yang pucat.
Istrinya telah lebih dulu jatuh pingsan dan dibawa masuk ke dalam kamar,
dibaringkan diatas tempat tidur. Penyebab nya tidak lain ketika kedua suami
istri ini menerima kabar kematian Lancang Item, yang berarti sangat sulit bagi
mereka untuk dapat menemukan kembali puteri mereka yang dipasung dan
dikucilkan. Karena kecuali Lancang item, tak ada lagi orang lain yang
mengetahui dimana Yuniarti disembunyikan dan diasingkan!
TIGA
MALAM ITU hujan turun lebat
sekali menyirami bumi. Suaranya menegakkan bulu roma. Apalagi sesekali
terdengar guruh menggelegar disertai kilat menyambar. Dinginnya udara bukan
alang kepalang terutama di daerah yang tinggi seperti bukit Jatipadang.
Dalam keadaan cuaca seperti
itu lapat-lapat terdengar suara seperti orang menyanyi. Lagu yang dibawakannya
sama sekali tidak berujung pangkal.
Dan nyanyian itu seringkali
diseling oleh suara tawa cekikikan atau suara seperti orang menangis pilu.
Suara nyanyian ini datang dari arah gubuk tanpa dinding beratap rumbia. Dan
yang nyanyi bukan lain adalah gadis malang dalam pasungan.
"Hujan. . . hujan air. .
. .
Bukan hujan batu. . . .
Bukan hujan duit hik. . . hik.
. . hik!
Bukan hujan tai. . . Ha. . .
ha. . .ha!
Hujan. . . hujan . . . turun
biar lebat. . .
Lebih lebat!
Biar hanyut tempat ini
Biar aku sampai ke sorga. Hik.
. . hik!
Apa sih sorga.. .. ?
Hujan . .. Mengapa hujan air?
Mengapa tidak banjir?
Aduh. . aku ingin kencing. ..
!
Mau beser aih . . . Hik.. .
hik… hik!"
Yuniarti goyang-goyangkan
kedua kakinya yang dijepit balok kayu, lalu kencing di tempat itu.
"Ih. . . panas. . .
Kencingku panas!" si dara gila berteriak. Sesaat kemudian dia kembali
berteriak: "Uh. . . . dingin. . . udara dingin! Sedingin di kuburan? Tapi
mati bohong bohongan! Mati purapura!
Hik. . hik. . hik! Orang orang
tolol itu bermain sandiwara. Aku dibilang mati. Padahal ini aku! Masih hidup!
Tolol. . . tolol. …" Sang dara hentikan nyerocosnya dibawah hujan lebat
itu.
Dia ingat sesuatu. "Heh.
….?" Di mana mereka … Dimana mereka…. ?"
Gadis itu garuk-garuk
rambutnya dan memandang berkeliling. Lalu dia berseru sambil bertepuk tangan
tiada henti.
"Sahabat-sahabatku!
Dimana kalian! Malam celaka ini dingin sekali. Aku kedinginan! Apa kalian juga
kedinginan. … Hai! Lekas datang kemari.
Mari kita tidur
berhimpit-himpitan! Biar hangat … Sahabat-sahabatku! Dimana kalian?!"
Didalam gelapnya malam,
dibawah hujan lebat tiba-tiba meluncur dua sosok tubuh panjang.
Sesaat kemudian dua sosok
tubuh yang melata di tanah ini naik ke atas lantai jati, terus meluncur ke
pangkuan Yuniarti. Sang dara bersorak gembira.
"Aih. . . kalian
kebasahan! Hujan jahat! Mari kukeringkan tubuh kalian!"
Dalam gelapnya malam dan
dinginnya udara Yuniarti lalu mengusap-usap sosok tubuh dua ekor ular kobra
hutan. Kedua binatang ini merunduk bergelung di pangkuan sang dara, tak
bergerakgerak, diam kesenangan.
"Nah. . nah! Sekarang
kalian berdua pasti sudah enak kehangatan. Sekarang kalian boleh tidur!
Kita boleh tidur sama-sama!
Besok bangun pagi… pagi. Bukankah kita harus ke sekolah. … ?!
Hik. . . hik. . hik! Hanya
manusia – manusia tololah yang pergi berguru ke rumah Romo! Kita tidak mau jadi
orang tolol! Jadi tak usah belajar.
Lagi pula . . . hik. . . hik .
. hik! Mana ada tempat belajar untuk kalian dua sahabatku? Tempat pengajianpun
tidak ada bagi kalian berdua. . . ! Hik. . . hik.. hik! Ha…. ha.. ha… !"
Yuniarti lalu merebahkan
tubuhnya diatas lantai kayu jati yang lembab dan kotor. Kedua matanya
dipincingkan. Tapi dari sela bibirnya terdengar suara nyanyian perlahan. Dua
ekor ular kobra hutan bergelung diatas perutnya. Ketika dara ini hampir
tertidur, kedua binatang itu perlahan-lahan bergerak.
Satu meluncur disepanjang
tangan kiri sang dara, satunya di sepanjang lengan kanan.
Sampai di ujung tangan,
beberapa saat lamanya kedua binatang ini menjilati telapak tangan Yuniarti
hingga membuat gadis ini tambah mengantuk dan mulai tertidur pulas. Dua ekor
ular kobra hutan menggerakkan kepala masing-masing ke arah jari-jari tangan si
gadis. Keduanya mula-mula menjilati ujung-ujung lima jari Yuniarti. Lalu dengan
gerakkan sangat perlahan hingga tidak menjagakan si gadis dari tidurnya apalagi
sampai merasa kesakitan, dua ular kobra ini mematuki satu demi satu ujung-ujung
jari Yuniarti. Demikian dilakukan binatang-binatang ini berulang kali sampai
sepuluh jari tangan si gadis tampak berwarna kehijauan dan membengkak.
Keesokan paginya ketika si
gadis terbangun dua ekor ular itu tak ada lagi di gubuk. Sang dara sejenak
memperhatikan lima jari tangannya yang membengkak. Pada setiap ujung jari kini
tampak adanya lima titik kecil sebesar ujung lidi berwarna kehijauan. Karena
otaknya tidak waras, gadis ini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan
tangannya. Apakah jari-jari tangan itu sebelumnya memang besar bengkak seperti
mengambang, ringan dan ada hawa panas aneh menjalar dalam pembuluh-pembuluh
darahnya.
Kejadian kedua ular itu
mematuki jari-jari Yuniarti berlangsung selama tujuh malam berturut turut.
Keduanya selalu mematuk pada tanda bintik hijau yang sama. Pada malam ke tujuh,
menjelang pagi, secara aneh sepuluh jari tangan yang bengkak tampak berubah
kempis dan kembali ke bentuk semula. Hanya titik titik hijau pada masingmasing
ujung jari yang tidak mau hilang dan tampak lebih hijau, lebih jelas. Hawa
panas yang selama ini menguasai tubuh Yuniarti tujuh hari tujuh malam berangsur
surut namun suhu badan sang dara kini sedikit tetap lebih panas dari
sebelumnya.
Hawa panas ini membuat
sepasang matanya seperti mengeluarkan sorotan aneh yang akan menggetarkan
setiap siapa saja berani memandangnya.
Pada hari ke delapan, yakni
sehari setelah ularular itu mematuki jari-jari tangan sang dara tujuh malam
berturut-turut, waktu bangun dari tidurnya Yuniarti dapatkan kedua
"sahabatnya" telah tegak setengah badan di depan gubuk. Sikap dua
ekor ufar ini agak aneh, tidak seperti biasanya bergerak lincah kian kemari.
Binatang-binatang ini tegak menatap ke jurusan Yuniarti dengan sepasang mata
merah tak berkesip. Kepala melebar pipi dan ditarik kebelakang. Mulut menganga
memperlihatkan lidah hijau berbisa’ dan gigi-gigi runcing mengerikan.
"Hai! Mengapa kalian
diam-diam saja disitu?
Apa kalian sudah minum kopi. .
. . ? Hik. . . hik.. hik… ! "Yuniarti menegur lalu tertawa cekikikan.
Dua ekor ular kobra keluarkan
suara mendesis Tubuh yang tegak tertarik ke belakang. Tiba-tiba keduanya
melesat ke arah Yuniarti. Jelas kedua binatang ini melancarkan serangan.
Mematuk ke arah dada dan leher sang dara!
Karena otaknya tidak waras
Yuniarti sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya.
Malah gadis ini tertawa-tawa
gembira, gerak-gerakkan kedua tangan, goyangkan kepala seperti menari!
Ketika kepala dua ekor ular
yang mematuk hanya tinggal seujung jari dari sasaran yang diserang, mendadak
dua kepala itu tampak berhenti mematuk dan tertarik jauh ke belakang. Tapi
hanya sesaat saja. Di lain kejap dua ekor ular kobra itu kembali menyerang. Dan
begitu patukan mereka hanya tinggal sedikit saja lagi akan menghunjam di kepala
atau bagian tubuh sang dara, gerakan mereka berhenti, kepala masing-masing
ditarik lagi kebelakang. Demikian berulang kali. Terus menerus.
Semakin lama kelamaan gadis
ini merasa letih dan turunkan kedua tangannya.
"Aku capai! Mari kita
istirahat sebentar sambil minum kopi hangat dari angin. Hik.. hik. .. hik.. !
Tapi sepasang ular kobra hutan
tidak mau berhenti.
Terus saja pulang balik
mendesis dan menyerang.
"Hai! Kalian tidak dengar
apa yang aku bilang? Yuniarti membentak karena mulai jengkel.
Lalu dia jambak-jambak
rambutnya sendiri.
Sssssssssss…….
Sepasang ular mendesis. Uap
hijau menyambar.
Lalu keduanya kembali
menyerang berulang kali hampir tiada henti.
"Sahabat-sahatku! Kalian
pasti sudah gendeng!
Jangan bikin aku marahi"
Ssssssssss….!
Dua ekor ular kembali mendesis
dan melanjutkan serangan-serangan, "Sahabat-sahabat kurang ajar! Kalian
tidak kugebuk kalian tentu belum kapok!"
Habis berkata begitu Yuniarti
kibaskan tangan kanannya. Kali ini lebih keras karena lebih marah.
Dan seperti tadi lima sinar
hijau tampak melesat keluar dari lima jari tangannya. Sekali ini lebih terang.
Yuniarti tertawa cekikikan.
Sesaat itu ular betina disamping kiri terdengar mendesis dan mematuk ganas.
Yuniarti meninju dengan tangan kirinya.
Selarik sinar hijau menderu
kearah ular kobra betina. Binatang ini rundukkan kepalanya ke tanah lalu
meluncur bergabung dengan ular kobra jantan.
Dari satu arah keduanya
kemudian sama-sama menyerang.
Yuniarti kibaskan tangannya
kiri kanan.
Sepuluh larik sinar hijau
berkiblat!
Dua ekor ular kobra hutan
cepat jatuhkan diri.
Larikan sinat hijau melesat
menghantam sebatang pohon. Terjadilah satu hal yang luar biasa. Lima lobang
kecil tampak menembus kulit pohon. Dan batang pohon itu sendiri serta merta
berubah menjadi kehijauan! Seperti layaknya orang gembira, kedua ular kobra
meliuk-liukkan tubuh masingmasing ke atas, berputar-putar dan menggoyangkan
kepala tiada henti. Kedua binatang ini kemudian meluncur kepangkuan Yuniarti,
menggelung tubuh sang dara dan menjilatinya dengan mulut dan lidahnya.
Apakah sebenarnya yang telah
terjadi dan dialami oleh Yuniarti si gadis enam belas tahun dalam pasungan dan
berontak tidak waras itu?
Ternyata dua ekor ular kobra
hutan bukanlah ularular biasa. Kedua binatang ini secara aneh dan sulit
dipercaya telah memindahkan racun ganas yang ada di dalam tubuh mereka ke dalam
peredaran darah si gadis. Setelah tujuh kali terjadi pemindahan racun itu maka
racun telah menjadi satu dalam dada Yuniarti dan setiap saat dia memukul,
mengibaskan atau menjentikan jari-jari tangannya maka larikan-larikan atau
gulungan sinar hijau yang mengandung racun mematikan akan melesat ke luar dari
tubuhnya melalui sepuluh lobang kecil pada ujung-ujung jari tangannya! Hal ini
tidak mungkin terjadi kalau dua ekor ular kobra hutan hijau itu bukanlah sepasang
binatang sakti!
Yuniarti tertawa cekikikan
karena geli ketika sepasang ular kobra menjilati leher dan mukanya.
Pada saat itulah tiba-tiba
semak belukar di sebelah kanan tak berapa jauh dari pohon yang kini menjadi
mati akibat endapan racun, tersibak dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi
semampai, berjanggut, berkumis dan berambut putih muncul sambil menaptap tajam
ke arah Yuniarti.
"Ketika memukul kedua
matanya belum kelihatan hijau. …" orang tua itu membatin.
"Tapi sinar yang keluar
dari jari-jari tangannya sudah cukup mantap. Mungkin seminggu—dua lagi racun
itu baru benar-benar dapat berbaur sempurna dalam darahnya. …" Sambil
terus memandang ke arah sang dara orang tua ini usapusap janggutnya. "Anak
malang. . . Tak banyak yang dapat kulakukan untukmu. Mudah-mudahan kau salamat
dan ada seseorang yang mampu mengobati penyakitmu. Ya Tuhan, ya Gusti Allah
lindungi anak itu. Aku mohon disembuhkan dia dari segala penyakitnya "
Sehabis berkata begitu orang
tua ini tepukkan kedua tangannya. Ternyata seperti Yuniarti, orang tua ini juga
memiliki sepuluh jari tangan yang ujung ujungnya bertanda titik berwarna hijau!
"Anak-anak. . . ! Tugas
kalian sudah selesai!
Kita harus segera pergi dari
tempat ini. Jika kalian ingin bertemu dengan gadis itu hanya sekali-sekali saja
bisa kalian lakukan. Ayo ikut aku. . . !"
Orang tua itu berhenti
bertepuk lalu angkat kedua tangannya lurus-lurus ke depan. Dua ekor ular kobra
mencium wajah Yuniarti terakhir kali lalu kedua binatang ini meluncur ke atas
si orang tua, naik ke atas kaki dan tubuhnya, terus bergelung pada lengan
kanan. Ketika berjalan pergi orang tua itu tak ubahnya seperti memakai sepasang
gelang hijau.
Melihat dua sahabatnya dibawa
pergi, Yuniarti berteriak marah. Dia melompat bangun. Tapi sepasang kakinya
terbelenggu dalam jepitan balok besar.
"Janggut putih ! Hai!
Orang tua jelek! Kau bawa kemana sahabat-sahabatku! Hai… ! Setan. .. Kambing
tua! Mereka bukan anak-anakmu! Mengapa menyebut mereka anak-anak?! Apakah kau
kawin dengan ular?! Hik. . hik! Hai kambing tua!
Bawa kemari sahabat-sahabatku
itu!"
Orang tua berjanggut putih
tentu saja mendengar teriakan teriakan Yuniarti. Namun dengan tenang dia
melangkah terus ke arah semak belukar di mana tadi dia menyembul. Ketika dia
menyibak semak belukar itu Yuniarti kepalkan jari-jari tangan kanannya lalu
sambil memaki-maki dia tinjukan tangan itu ke arah orang tua berambut putih.
Wuss!
Sinar hijau melesat tebal dan
jelas tanda yang memukul mengerahkan tenaga dan berada dalam keadaan marah.
Meskipun tidak melihat tapi orang tua itu tahu kalau dirinya mendapat serangan
sangat berbahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Sinar hijau
menghantam semak belukar.
Serta merta semak belukar ini
menjadi rambas dan mati setelah terlebih dulu berubah menjadi hijau!
"Ah, hebat sekali!"
memuji si orang tua yang menyaksikan kejadian itu. Lalu dia gulingkan diri dan
dilain kejap tak kelihatan lagi di tempat itu.
Tinggal kini Yuniarti yang
terus berteriak-teriak.
Ketika suaranya menjadi parau
baru gadis ini berhenti berteriak dan kini ganti menangis terisak-isak.
EMPAT
RADEN ANCORO MURTI menghisap
rokok daun ganja dalam-dalam. Sepasang matanya meredup seperti orang mengantuk.
Wajahnya pucat kuyu. Rokok itu membuatnya merasa nikmat dan mengendurkan rasa
dinginnya udara. Sambil menghembuskan asap rokok dia menatap ke arah tiga ekor
kuda yang tertambat dibawah pohon, disirami hujan lebat yang turun sejak
beberapa waktu lalu.
Lalu dia berpaling pada dua
orang pengiring yang tegak di sebelah kirinya. Saat itu mereka berteduh dibawah
sebuah teratak reyot di timur hutan dimana bukit Jatipadang terletak. Lalu
sambil mengusap- usap tombak, busur dan bumbung panah pemuda itu berkata.
Suaranya datar lesu karena dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh rokok ganja
yang dihisapnya.
"Sial betul nasib kita
berburu sekali ini! Jangan kan babi hutan, kecoak busukpun tidak bertemu!"
Gento, pengiring yang tegak
disampingnya menganggukkan kepala. Sambil mengusap dagu dia menjawab:
"Mungkin ini gara-gara cuaca yang buruk Raden "Aku tidak percaya! Apa
sangkut pautnya cuaca buruk dengan segala babi hutan atau celeng keparat!
Bukankah mereka tidak akan
keluar dari hutan ini walaupun ada hujan lebat?! Dan kau Jamaning Kau yang
membawa kesialan pertama kali!"
Pengiring bernama Jamaning
kerutkan kening.
"Saya tidak mengerti
maksud Raden. .. "
"Dua hari lalu aku minta
kau menghubungi gadis desa bertubuh sekal bernama Taminten itu!
Kau tak berhasil menemuinya,
padahal pondok peristirahatan di Kaliwongso sudah disiapkan untukku bersenang-senang
dengannya! Apa itu namanya tidak sial ?!"
Jamaning terdiam sesaat. Namun
kemudian memberi jawaban. "Waktu saya datangi kerumahnya, gadis itu tak
ada. Maaf Raden, saya mendengar kabar tidak enak. Ternyata Taminten tidak hanya
pergi dengan Raden, tapi juga sering dibawa lelaki lain. Maaf Raden, gadis itu
tidak lebih dari seorang pelacur. . . . Saya kawatir nanti Raden terkena
penyakit…."
"Sudah lama aku
berhubungan secara diamdiam dengan Taminten. Ternyata aku tak pernah sakit
sampai hari ini!" menyahuti Ancoro Murti.
Jamaning kembali terdiam.
Gento kini yang ganti bicara. "Maaf Raden, jika Raden mau saya bisa
mencarikan perempuan lain yang tak kalah cantik dan mulus dari Taminten "
"Mengapa baru sekarang
kau berkata begitu?
Setelah aku setengah mati
kedinginan di tempat celaka ini?!"
"Sebaiknya kita pulang
saja Raden. Dalam udara seperti ini kita tak akan mendapatkan binatang
perburuan.
Ancoro Murti diam saja. Dia
menghisap dalamdalam rokok ganjanya yang tinggal kecil hampir membakar jarinya
lalu mencampakkan puntung rokok ke tanah. Dia memberi isyarat pada Gento.
"Nyalakan sebatang rokok
baru untukku. .. "
"Maaf Raden. . . . Saya
dipesan oleh ayah Raden agar mengawasi Raden "Maksudmu?!" tanya
Ancoro Murti. Untuk pertama kalinya kedua matanya yang kuyu terbuka lebar.
"Ayah Raden memesan agar
Raden jangan terlalu banyak merokok ganja. Bahaya bagi Kesehatan Raden… .
"
"Ayahku! Ayahku!"
ujar Ancoro Murti sambil bantingkan kakinya ke tanah. "Orang itu terlalu
banyak peraturan. Tetapi tidak dikatakan langsung padaku. Harus lewat orang
lain! Harus lewat kau!
Sudah! Berikan rokok
itu!"
"Saya tidak berani
melanggar pesan ayamu Raden "
"Jadi kau berani menolak
permintaanku Gento?! Saat ini kau berhenti jadi pembantuku!
Kau boleh pergi !"
Mendengar itu Gento jadi
kecut. Orang ini bimbang sesaat. Akhirnya dia mengeruk sakunya, mengeluarkan
kelintingan rokok ganja, menyalakannya lalu memberikannya pada Raden Ancoro
Murti. Ketika pemuda ini siap menyedot rokok ganja
itu, tiba-tiba dilihatnya ada
sesuatu bergerak dibalik semak belukar belasan langkah di hadapannya.
"Aku melihat sesuatu!
Jangan ada yang bergerak!"
pemuda itu berkata setengah
berbisik. Tangannya bergerak menyiapkan tombak. Tapi menurut perhitungannya,
lemparannya tak akan menemui sasaran. Semak belukar itu berada diluar
jangkaitan lemparan tombak. Maka dia cepat-cepat mengambil anak panah dan
busur.
Benda yang bergerak di balik
semak belukar makin lama makin jelas. Dan ternyata adalah seekor rusa coklat
bertotol-totol putih. Tanduknya masih pendek tanda binatang ini masih muda.
Raden Ancoro rentangkan busur.
"Bidik yang tepat Raden.
Arah bagian lehernya. …" bisik Jamaning.
Busur di rentang, jari-jari
yang menjepit ekor anak panah dilepas. Anak panah melesat ke arah semak belukar
dimana rusa muda tegak mengendap- endap. Suara disingan anak panah yang sampai
ke telinga rusa yang berpendengaran cukup tajam itu, membuat binatang ini
sesaat tegakkan kepala lalu melompat. Anak panah hanya sempat menyerempet
telinga rusa sebelah kiri. Binatang ini mengeluarkan pekik kesakitan lalu
melarikan diri!
‘Kurang ajar! Ini gara-garamu
Jamaning!
Kalau kau tidak menggangguku
dan mengajari segala pasti sudah kutancap leher binatang itu!"
Raden Ancoro Murti memaki
jengkel. Lalu dia melompat keluar dari bawah teratak, berlari ke arah kudanya.
Dia memutuskan untuk mengejar rusa yang lari itu.
"Raden. . . . ! Masih
hujan lebat!" berseru Gento. Tapi Ancoro Murti nama mau mendengar.
Pemuda ini sudah duduk di
punggung kudanya.
Mau tak mau Gento dan Jamaning
terpaksa pula lari ke kuda masing-masing dan mengejar si pemuda yang telah
lebih dulu membedal kudanya ke arah larinya rusa muda tadi.
********
"Raden! Binatang itu lari
ke arah bukit Jatipadang!" berseru Gento ketika dilihatnya rusa yang mereka
kejar melarikan diri ke jurusan barat, memasuki kaki bukit Jatipadang.
"Aku tahu dan aku akan
kejar!" jawab Raden Ancoro Murti.
"Jangan dikejar Raden!
Jangan memasuki bukit itu!" berteriak Jamaning.
"Kalian berdua ini
terlalu banyak memberikan aturan padaku!" Dengan marah Raden Ancoro Murti
hentikan kuda dan memandang membeliak pada kedua pengiringnya.
"Maaf Raden. Jangan salah
sangka," kata Jamaning.
"kami tidak bermaksud
melarang ataupun memberikan aturan ini itu. Tapi ketahuilah bukit itu tak
pernah didatangi orang karena angker.
Lagi pula jalan ke atas sana
sangat sulit. Banyak pohon-pohon berduri. …"
"Kalau kalian takut pada
pohon berduri, silahkan pulang saja! Aku tidak butuh manusiamanusia pengecut
macam kalian!" Raden Ancoro siap membedal kudanya kembali.
Tapi Gento cepat memegang
leher kuda tunggangan si pemuda dan berkata. "Kami tidak takut pada
pohon-pohon berduri itu Raden. Sungguh mati tidak. Tapi yang kami takutkan
ialah bahwa di bukit Jatipadang ada silumannya!"
"Siluman? Aku tidak
takut!"
"Betul Raden. Ada
silumannya. Siluman perempuan!" menegaskan Jamaning.
"Aku bilang tidak takut!
Apalagi cuma siluman perempuan! Aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia cantik
malah aku mau tidur bersamanya!"
Pucatlah wajah kedua pengiring
itu mendengar ucapan majikan mereka yang dianggap sangat tabu itu. Karena tak
bisa berbuat lain, ketika Ancoro Murti meninggalkan tempat itu keduanya
terpaksa mengikuti. Ketiga orang ini bergerak menuju bukit Jatipadang. Walaupun
hujan sudah mulai reda tapi bukan berarti perjalanan menuju ke bukit enak dan
mudah. Dan rusa yang mereka kejar seperti memberi semangat, karena sesekali
binatang ini terlihat jelas di sebelah depan, lalu lari lagi menuju atas bukit.
Begitu seterusnya. Disatu tempat jejak rusa itu lenyap sama sekali!
"Sialan! Benar-benar
sialan!" maki Ancoro Murti. Pakaiannya basah dan kotor serta robekrobek
dibeberapa bagian karena tersangkut duri pepohonan.
Kulit tubuhnya juga tampak
tergurat luka. Tapi rokok ganja masih mencantel disela bibirnya.
"Kita tak mungkin lagi
mengejar rusa itu Raden.
Binatang itu lenyap. Dan jalan
ke sebelah atas bukit semakin sulit. Saya kawatir kalau tidak turun sekarang,
sebelum senja kita tak akan sampai ke bawah… "
Raden Ancoro Murti tidak
perdulikan katakata Gento. "Binatang itu terluka! Dia pasti tak lari jauh
dan mendekam disekitar sini. Pasang mata dan telinga kalian baik-baik! Sekali
lagi ada yang mengatakan agar kita turun kebawah atau pulang saja akan kuhantam
dengan tombak!"
Ancaman itu memang membuat
kecut Gento dan Jamaning. Tetapi sebenarnya kedua pengiring ini jauh lebih
takut pada cerita yang mereka dengar bahwa di bukit Jatipadang itu terdapat
siluman yang suka membunuh mati siapa saja seenak perutnya! "Raden. ..
" Gento membuka mulut kembali.
"Bangsat! Diam kau!"
hardik Ancoro Murti.
"Aku mendengar suara
sesuatu "
Raden Ancoro Murti pasang
telinga tajamtajam.
Dua pengiringnya mengikuti dan
wajah mereka tampak semakin pucat. Sayup-sayup mereka mendengar suara orang
menyanyi. Suara perempuan!
"Si. . siluman perempuan
itu. …" bisik Gento.
"Pasti . . . pasti.
…" balas berbisik Jamaning.
Selagi kedua pengiring itu
dilanda ketakutan, majikan mereka Raden Ancoro Murti sudah turun dari kudanya,
menyibak semak belukar dan melangkah menuju bukit sebelah atas.
"Raden. . . . Jangan. . .
. ! Berhenti!" seru Jamaning.
"Kembali!" berteriak
Gento.
Tapi Ancoro Murti melangkah
terus bahkan lenyap dibalik semak belukar.
"Kita pulang saja!"
ajak Gento.
Mauku begitu " kata
Jamaning, "tapi kalau terjadi apa-apa dengan putra Tumenggung itu kita
berdua pasti akan digantung!"
"Kalau begitu kita harus
mengejarnya. . .!"
Akhirnya kedua pengiring itu
terpaksa mengikuti Raden Ancoro Murti yang ada di sebelah depan, dalam keadaan
basah kuyup, pakaian serta lengan tergurat duri-duri pepohonan. Dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk, membuatnya mual dan hampir
muntah.
"Setan, bau busuk apa
ini. . . !" maki Ancoro Murti. Saat itu kedua pengiringnya telah berada di
sampingnya. Keduanya menutup hidung tak tahan bau busuk.
Satu tangan menutup hidung,
satu lagi menyibak semak belukar, Ancoro Murti melangkah maju.
Saat itulah terdengar kembali
nyanyian tadi. Dekat sekali. Namun bukan suara nyanyian itu yang membuat si
pemuda seperti dipantek kedua kakinya di tanah hutan yang becek, melainkan apa
yang disaksikannya bertebaran beberapa langkah di hadapannya!
LIMA
"RA. . . . RADEN
mayat-mayat itu!
Masya Allah! Bau busuk dan
mengerikan. Kita segera pergi saja dari sini raden " bisik Gento dengan
lutut gemetar, tubuh menggigil dan lidah hampir kelu.
Di hadapan ke tiga orang itu
berhamparan malang melintang hampir selusin mayat manusia yang kebayakan sudah
sangat rusak, menebar bau busuk luar biasa, membentang pemandangan mengerikan.
Beberapa diantara mayat-mayat
itu bahkan hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak saja. Entah habis
digerogoti binatang hutan, entah dipatuk burung-burung pemakan mayat!
"Betul sekali Raden. Mari
kita tinggalkan tempat angker celaka ini. Lihat… mayat-mayat busuk itu. Daging
mereka yang masih utuh tampak berwarna hijau aneh "
Raden Ancoro Murti belum lagi
sempat membuka mulut berikan jawaban, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara
nyanyian perempuan.
Yang mampus biarlah mampus
Yang sudah mati biarlah mati
Yang barusan datang mencari
mati
Hendak lari kaki dipantek
Hutan menjadi saksi kematian
Hutan menjadi pembasuh jenazah
Kaki dipantek tak bisa lari.
Hik.. .hik… hik !
"Raden. . . Lekas
lari!" bisik Gento lagi. Tapi anehnya dia tak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Demikian juga kawannya
Jamaning sedang Ancoro Murti seperti orang kena sirep memandang tak berkedip
pada sosok tubuh dara yang duduk dipasung di dalam gubuk tanpa dinding ‘Gento,
Jamaning. …" terdengar suara Ancoro Murti.
"Kalian lihat anak perawan
itu. . . ."
"Itu bukan anak perawn
Raden! Itulah siluman yang saya katakan tadi, …" ujar Gento dengan suara
tercekat "Manusia tolol!" maki ancoro Murti dengan suara perlahan
mendesis. "Jelas-jelas itu seorang anak gadis! Matamu terbalik menyebutnya
siluman Lihat! Gadis itu berparas cantik! Hanya sayang rambut dan pakaiannya
sangat kotor. Dan lihat lagi! Kedua kakinya dipasung pada balok besar!
Kasihan! Aku akan menolongnya!
Melepaskan pasungannya lalu memandikannya disungai! Lalu memboyongnya ke pondok
peristirahatan di Kaliwongso…!"
"Raden! Jangan bicara dan
berpikir yang bukan-bukan. Ini tempat angker! Siluman bisa merubah diri seperti
apa saja! Seperti gadis yang dipasung itu…. Lekas kita pergi dari sini
Raden….!"
"Tidak aku akan
melepaskan gadis itu. Lalu memboyongnya…. !"
"Demi Tuhan! Dia tidak
pantas bagimu Raden!
Kalaupun dia memang manusia,
lihat tubuhnya yang kotor dan baunya sebusuk mayat yang bertebaran.
Kalau Raden masih
menganggapnya manusia, maka dia adalah gadis gila! Perawan edan!"
Dari arah pondok beratap rimba
tiba-tiba meledak suara tawa melengking menggidikkan bulu roma yang diakhiri
dengan satu bentakan keras.
"Yang barusan mengatakan
tubuhku sebusuk mayat! Yang barusan mengatakan aku gadis gila, perawan edan!
Cepat datang kepadaku!" Yang membentak adalah sang dara dalam pasungan.
Wajahnya yang cantik tapi
terselimuti debu dan pucat nampak bengis. Sepasang matanya berputar liar
Jamaning merasakan nyawanya terbang. Sekujur tubuhnya menggigil, bukan karena
dinginnya udara di tempat itu atau dingin karena dia kehujanan, tapi karena
ketakutan. Dialah tadi yang mengatakan gadis itu gila, busuk, perawan edan.
Ketakutan setengah mati
Jamaning tak kuasa bergerak dari tempatnya tegak di balik semak belukar.
"Tidak mau datang!"
sang dara mendengus.
Mulutnya menyunggingkan senyum
aneh. "Kalau begitu biar maut yang menjemputmu!" Habis berkata begitu
sang dara jentikkan jari telunjuk tangan kanannya.
Satu sinar hijau setipis lidi
berkiblat. Menerobos udara dingin dengan kecepatan kilat, merambas semak
belukar. Di lain kejap terdengar pekik Jamaning. Orang itu terpental roboh,
menggeletak di tanah hutan yang becek tak bergerak lagi. Sekujur tubuhnya
berubah menjadi hijau. Pada keningnya tampak sebuah bintik hijau pekat!
"Gusti Allah!" desis
Gento dan jatuh terduduk di samping mayat kawannya saking takutnya.
Mukanya pucat pasi. Ancoro
Murti sendiri tak kalah pucat wajahnya. Kalau tadi dalam hatinya masih ada
keinginan yang bukan-bukan terhadap sang dara kini nafsu itu lenyap sama sekali
berubah menjadi rasa ngeri. Ingin dia kabur dari tempat itu detik itu juga
tetapi aneh, seperti yang diucapkan sang dara dalam nyanyiannya, kedua kakinya
laksana dipantek tak bisa bergerak apalagi lari!
Kembali sang dara di dalam
pondok keluarkan suara tawa cekikikan. Saat itu hujan telah reda dan beberapa
bagian dari puncak bukit termasuk di dekat-dekat pondok disaput oleh kabut
tipis, membuat tambah seramnya suasana.
"Yang tadi mengatakan aku
bukan perawan tapi siluman! Giliranmu maju ke hadapanku!" Gadis di dalam
pondok berteriak.
Ancoro Murti berpaling pada
pengiringnya yang masih duduk menjelepok di tanah.
"Celaka kau Gento. . . .
Kau tadi yang bilang gadis itu siluman. Padahal "
"Ra. . . Raden. . .
Tolong. . . tolong saya. Si. . siluman itu pasti akan membu.. "
"Tidak ada yang dapat
menolongmu anak manusia!" terdengar suara dari arah pondok. "Mulut
kamu harimau kamu! Mampuslah!"
Belum habis Gento
menyelesaikan ucapan ketakutannya, kembali sinar hijau berkelebat. Kali ini dua
larik sekaligus. Sinar-sinar maut yang ganas ini melesat hanya satu jengkal
dari tubuh Ancoro Murti, terus melabrak tubuh Gento. Satu menghantam dada, satu
lagi menembus leher!
Dua titik hijau tampak pada
dua bagian tubuh itu. Gento sendiri terbanting ke tanah. Ajalnya telah sampai
duluan sebelum punggungnya menyentuh tanah. Sekujur badannya sampai pada bagian
matanya yang berwarna putih membeliak tampak menjadi hijau!
Melihat kejadian ini Raden
Ancoro Murti tak kuasa lagi menahan takutnya. Dia segera kabur meninggalkan
tempat itu tetapi lagi-lagi kedua kakinya tak mau diajak berkompromi! Kedua
kaki itu benar-benar seperti di pantek ke tanah!
Selagi dia dilanda ketakutan
setengah mati seperti itu dari arah pondok kedengaran suara sang dara, menggema
tantang.
"Orang muda! Sekarang
giliranmu datang kehadapanku! Ayo jalan!"
Sungguh aneh! Kalau tadi untuk
lari Raden Ancoro Murti tidak sanggup menggerakkan kedua kakinya sedikitpun,
tapi kini seolah-olah berada dibawah satu pengaruh kekuatan gaib, pemuda ini
perlahan-lahan melangkah menuju pondok, datang ke hadapan sang dara.
"Berhenti disitu!"
sang dara memerintah lalu tertawa dan jambak-jambak rambutnya. Kedua matanya
lagi-lagi berputar liar.
Ancoro Murti berhenti lima
langkah di hadapan pondok. Berhadap-hadapan begitu dekat dengan sang dara yang
duduk terpasung, Pemuda ini dapat melihat wajah yang cantik dibalik semua
kekotoran dan bau busuk yang amat sangat.
"Hemm. . . tampangmu
lumayan. Lebih bagus dari kucing peliharaanku di rumah dulu. Hik. . . hik. . .
hik. Bukankah kau yang tadi mengatakan ingin memboyongku ke satu pondok di
Kaliwongso…. ?!"
Ancoro Murti tak berani
membuka mulut. Tak berani menjawab.
"Ayo jawabi" sentak
sang dara dalam pasungan "Maksud saya tadi. . . . Saya tidak bermaksud
jahat.Saya hanya bicara main-main. .. Maafkan kalau. …"
Tawa sang dara membuat Ancoro
hentikan ucapannya. "Main-main. . . . Kau pasti sudah terlalu sering
mempermainkan orang-orang perempuan!
Pasti! Hik. . hik! Aku dapat
melihat nafsu bejat tersembunyi dalam pancaran kedua matamu yang ketakutan itu!
Aku dapat mencium bau aliran darah kotor dalam tubuhmu!" Sang dara
mendongak ke atas sambil mencium-cium lalu kembali dia memandang dengan tajam
pada si pemuda.
"Apakah aku cantik
menurutmu !"
"Kau. … kau memang,
memang cantik " Jawab Ancoro Murti.
"Dan kau suka
padaku….?!"
Si pemuda tak berani menjawab.
"Ayo buka mulut berikan
jawaban!"
"Terus terang saya heran
mendapatkan dirimu dalam keadaan seperti ini, di puncak bukit terpencil ini. .
. "
"Itu bukan jawaban yang
kuminta! Pertanyaanku apakah kau suka padaku. …?!"
"Sa.. . saya memang suka.
…"
"Hik. . hik. . . Kau suka
padaku. Dan mau membawaku ke pondok di Kaliwongso itu. Benar Ancoro Murti
anggukkan kepala. Mendadak saja dia merasakan bulu kuduknya tambah merinding.
Lalu didengarnya dara dalam
pondok berkata: "Bagus. . . bagus. . . Aku suka pergi bersamamu ke pondok
itu. Kita bersenang-senang disana. Nah, kau pergilah duluan!"
Sang dara jentikkan telunjuk
tangan kirinya.
Wuut!
Ada sinar hijau pekat
berkiblat. Raden Ancoro Murti tundukkan kepala. Tapi terlambat. Sinar lurus
hijau itu menyambar pertengahan keningnya.
Satu lobang hijau tampak
berbekas di kening.
Pemuda ini terpelanting.
Tubuhnya yang jadi mayat kelihatan menghijau begitu tergelimpang di tanah yang
becek.
"Tiga mayat lagi
bertambah. . . . Tiga manusia lagi mampus di puncak bukit ini! Hik. . hik. .
hik!"
Dara dalam pasungan bertepuk
tangan seperti anak kecil kegirangan. Tiba-tiba dia berhenti tertawa dan
berhenti bertepuk tangan. Kepalanya diputar setengah lingkaran. Hidungnya
kembang kempis.
Dia seperti mencium-cium
sesuatu. Sepasang matanya berputar liar, sesekali pandangannya menyambar ke
arah pepohonan tinggi besar berdaun lebat di sekitar pondok. Tiba-tiba dara ini
kembali keluarkan tawa bergelak dan berseru: "Mayat ke empati Mengapa
bersembunyi?!" Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya sekaligus!
Terjadi hal yang dahsyat! Lima sinar hijau berkelebat menyilaukan, menebar hawa
panas, menyambar ke arah pohon paling besar dan tinggi di sebelah kanan
disertai suara menderu mengerikan!
Dari atas pohon terdengar
suara seruan! Satu sosok tubuh melayang turun jungkir balik. Kepulan asap
membungkus bagian bagian pohon di sebelah atas. Ranting-rantingnya tampak
gosong tetapi berwarna kehijauan. Dedaunannya rontok berguguran. Sebagian pohon
itu kini tampak hijau sampai ke pertengahan batang!
"Hik. . . hikk. hikk. . .
. Rasakan! Rasakan!
Itu bagian orang yang suka
bersembunyi! Hik. . hik. . hik! Hai . . Rupanya kau tidak mampus hah!
Bersembunyi dimana kau sekarang?!"
Sang dara angkat tangan
kanannya. Siap untuk mengirimkan serangan jentikan lima jari maut. Tiba tiba
dari balik pohon yang kini berada dalam keadaan mati dan berubah warna menjadi
hijau melompat tubuh berpakaian serba putih, berambut gondrong.
"Tahan! Jangan serang!
Aku bukan musuhmu!
Aku bukan kawan dari tiga
orang yang barusan kau bunuh!" Si rambut gondrong ternyata seorang pemuda
bertampang keren tapi tampak seperti tolol dan jadi kocak ketika dia
garuk-garuk kepalanya.
Namun wajahnya sama sekali
tidak dapat menyembunyikan rasa cemas.
"Kalau begitu kau siapa?!
Setan! Monyet…?!"
"Aku bukan setan! Bukan
monyet! Aku manusia seperti mu! Aku sahabatmu!"
"Aku tidak pernah punya
sahabat selain dua sahabat berbaju hijau yang sudah lama tidak muncul di tempat
ini! Jangan mengada-ada! Jangan menipu!"
"Aku tidak menipu!
Aku…."
"Ah! Kau layak mampus
seperti tiga orang tadi!" Lalu gadis itu jentikkan lima jari tangannya.
Seperti tadi lima larik sinar
hijau berkiblat. Pemuda yang diserang berseru kaget lalu jatuhkan diri ke
tanah, berguling ke arah semak belukar. Sebelum dia mencapai semak belukar,
tiga larik sinar maut kembali memburunya.
Terpaksa pemuda itu membuang
diri ke jurusan lain sambil pukulkan tangan kanan ke depan. Satu gelombang angin
keras menderu menyongsong tiga serangan sinar hijau!
Wutt. . . ! Wuttt! Wuttt!
"Celaka!" seru si
gondrong ketika dia menyaksikan bagaimana pukulan saktinya yang bernama
"benteng topan melanda samudera" berhasil diterobos oleh tiga sinar
hijau yang kemudian terus menderu ke arahnya! Tidak membuang waktu lagi di
gondrong berguling ke kiri. Di sini dia kembali menghantam dengan tangan kanan.
Kali ini terdengar suara bergaung disertai menyambarnya sinar putih perak
menyilaukan dan menebar hawa panas!
Luar biasa! Sinar-sinar hijau
yang menyerang tetap saja tak dapat ditangkis ataupun dibuat musnah!
Tiga sinar itu menderu dahsyat
menerobos sinar putih perak, lewat hanya dua jengkal dari batok kepala si
pemuda!
"Gila! Aku tak mau mampus
konyol!" runtuk si pemuda dalam hati. Tubuhnya digulingkan lagi.
Dalam satu gerakan sangat
cepat, tubuhnya berkelebat lenyap sementara tempat itu ditebar bau sangit
terpanggangnya pepohonan yang terkena hantaman sinar putih dan larikan sinar
hijau!
"Lari kemana kau? Lari kemana
kau?! Apa kira kau bisa sembunyi. . . . ?!" Si gadis dalam pondok
memandang berkeliling. Kedua tangannya diangkat tanda dia siap untuk kembali
lancarkan serangan maut. Namun sekian lama mencari-cari dia tak berhasil
melihat atau menduga-duga dimana pemuda tadi bersembunyi!
Sebenarnya orang yang
dicarinya tidak berada jauh dari situ. Hanya saja si pemuda kini berlaku
cerdik. Dalam keadaan terpasung seperti itu sang dara tidak akan dapat
memandang berkeliling sampai ke belakang. Karena itulah pemuda tadi kini
sengaja bersembunyi diatas cabang sebatang pohon yang terletak tepat di jurusan
punggung dara di dalam pondok. Lagi pula atap pondok itu tidak terlalu tinggi
hingga menutupi pemandangannya.
Di cabang pohon si pemuda
geleng-geleng kepala sambil usap keringat dingin yang membungkus wajahnya yang
pucat.
"Benar-benar gila! Tapi
sungguh luar biasa!
Belum pernah aku melihat
pukulan sinar sakti seperti itu. Sanggup menerobos dan tak dapat dibikin musnah
oleh pukulan yang diajarkan guru! Pukulan "benteng topan melanda
samudera" dan pukulan "sinar matahari"! Kalau tidak berlaku
cepat sudah tadi-tadi aku jadi bangkai! Gila!" Pemuda itu garuk garuk
kepalanya lalu kembali mengusap wajahnya.
"Siapa sebetulnya gadis
itu? Dari mana dia mendapatkan kesaktian itu? Siapa yang memecilkan dan
memasungnya di bukit Jatipadang ini. . . . Aku harus menyelidiki! Aku harus
mengintai dirinya terus-terusan "
Sang dara di dalam pondok
masih memandang berkeliling, berusaha mencari kemana lenyapnya pemuda tadi
diserangnya. Akhirnya dia letih sendiri.
"Pasti dia sudah kabur!
Hebat juga monyet satu itu! Sanggup menyelamatkan diri dari seranganku!
Hebat tapi dia bukan kawanku!
Aku tidak punya kawan kecuali dua ekor ular kobra hijau itu.
Ah. . . merekapun sudah lama
tidak muncul disini . . . . Makanan sudah habis. … Air di kendi sudah kering
Sahabat-sahabatku, dimana kalian. . .?’
Di atas pohon pemuda yang
bersembunyi mendengar jelas apa-apa yang barusan diucapkan dara dalam
pasungan.Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengeruk kebalik pakaiannya dimana
dia menyimpan dua buah ubi rebus sebesar kepalan tangan.
Dua ubi itu ditimang-timangnya
beberapa kali. Pemuda ini berpikir-pikir bagaimana cara yang baik menyerahkan
makanan itu pada sang dara.
"Tujuanku baik!
Memberinya makanan penangsal perutnya yang lapar. Kalau kuserahkan tentu dia
tak akan menyerangku. Aku bisa bersahabat padanya dan mungkin bisa mendapat
keterangan siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu maka dengan
hati-hati, tanpa mengeluarkan suara si pemuda meluncur turun dari atas pohon.
Lalu dia melangkah mendekati pondok dari jurusan kanan. Dia sama sekali tidak
mengeluarkan suara sedikitpun ketika melangkah Tetapi pendengaran dan perasaan
tajam si dara tidak bisa ditipu. Baru saja dia membuat gerakan dua langkah, dara
itu sudah palingkan kepalanya ke kanan.
"Hai! Datang lagi manusia
ini! Benar-benar minta mampus!" Sang dara membentak. Tangan kanannya
diangkat ke atas.
"Tahan! Tunggu! Jangan
serang! Aku sahabatmu!"
"Sudah kubilang aku tak
punya sahabat!
Mampuslah!"
"Tunggu! Tunggu
dulu!" si pemuda berteriak.
Karena dia mengerahkan tenaga
dalamnya maka teriakannya membawa pengaruh juga pada sang dara. Gerakan tangan
yang diangkat ke atas tertahan setengah jalan.
"Dengar, aku .tahu kalau
kau sedang lapar.
Lihat, aku membawa dua buah
ubi rebus. Enak dan manis. Ini kuberikan keduanya untukmu. …"
Pemuda berambut gondrong itu
melangkah maju lebih dekat sambil unjukkan dua ubi yang dipegangnya di tangan
kiri kanan.
"Siapa bilang aku lapar!
Aku tak pernah lapar!" jawab dara dalam pondok. Lalu dia tutup ucapannya
dengan menjentikkan lima jari tangan kanan ke arah si pemuda!
"Celaka! Mati aku!"
seru si pemuda. Begitu sinar hijau berkiblat secepat kilat dia jatuhkan diri ke
tanah, berguling ke balik semak belukar. Dua buah ubi rebus yang tadi
dipegangnya lepas jatuh dan berguling di tanah! Untuk menyelamatkan diri dari
serangan yang mungkin akan dilancarkan lagi oleh dara berontak tidak waras itu,
si pemuda terpaksa kembali ke tempat persembunyiannya semula yaitu pohon besar
di belakang pondok.
Di atas pohon jelas tampak
wajahnya masih pucat. Kalau saja dia sampai terlambat menjatuhkan diri ke tanah
tadi pasti saat itu dia sudah terkapar mati dengan sekujur tubuh menjadi hijau!
"Gadis itu … " si
pemuda geleng-geleng kepala. "Dua kali aku hampir mati di tangannya!
Cantik memiliki pukulan sakti
luar biasa.
Sayang otaknya tidak waras
" Sekali pemuda ini berkata-kata pada dirinya sendiri seperti itu
tiba-tiba didengarnya suara desisan keras dibalik semak belukar sebelah kanan.
Sesaat kemudian dari balik
semak belukar itu ke luar dua ekor ular kobra berwarna hijau yang langsung
meluncur ke arah pondokan.
Tentu saja pemuda diatas pohon
jadi terkejut.
"Gadis itu! Dia akan mati
dipatuk dua ekor ular berbisa itu! Aku harus melakukan sesuatu!"
Namun sebelum dia sempat
melakukan apa-apa pemuda itu menjadi melengak kaget serta heran sekali ketika
melihat bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa tadi meluncur ke
dalam pangkuan sang dara, memagutnya dan menjilati sekujur tubuhnya mulai dari
tangan sampai ke leher dan kemuka. Sang dara sendiri terdengar tertawa girang,
bersorak gembira.
"Sahabat-sahabatku!
Kalian kemana saja! Kukira kalian sudah lupakan diriku. . . . ! Hai banyak yang
akan kuceritakan pada kalian. Tapi, hik. . . .hik. . hik. . . Ada pertolongan
yang perlu kuminta pada kalian. Lihat.. .. disebeiah sana ada dua buah ubi
rebus. Perutku lapar sekali, Tolong ambilkan, berikan padaku…."
"Dasar orang gila!
Masakan ular bisa disuruh mengambil ubi!" pemuda diatas pohon mengomel
sendiri. Namun sesaat kemudian matanya terbelalak melihat apa yang terjadi.
ENAM
SEPERTI MANUSIA yang mendengar
dan mengerti apa yang diucapkan dara dalam pasungan, dua ekor ular kobra
meluncur turun dari atas tubuh dara itu lalu keduanya menuju ke tempat dimana
dua buah ubi yang tadi dibawa di pemuda kini berada di tanah. Dengan
menggelungkan ekornya pada ubi sebesar kepalan itu, dua ekor ular lalu melata
membawa ubi-ubi tersebut ke pangkuan sang dara!
"Luar biasa! Ini bukan
sulap bukan ilmu gaib!
Tapi kenyataan yang tak bisa
kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" Pemuda di atas pohon garuk-garuk
kepalanya. Dia tak habis pikir siapa adanya gadis dalam pasungan itu. Sakti,
mampu bicara dengan ular tapi kenapa dipasung? Dan dua ekor uiar itu apanya?
Pesuruh? Guru-guru atau memang sahabat seperti yang dikatakannya berulang kali.
Dalam waktu sebentar saja dua
buah ubi rebus itu sudah amblas ke dalam perut sang dara bersama tanah liat
yang menempel.
Sang dara elus-elus perutnya.
Dia mengusapusap tubuh dua ekor ular. Binatang-binatang itu membalas dengan
menjilati wajah si gadis hingga menjadi bersih sekali dan lebih kentara
wajahnya yang cantik meskipun agak pucat dan cekung kedua pipinya.
"Sehabat-sahabatku . . .
Kalian sudah datang.
Hatiku senang. Aku akan
menyanyi untuk kalian.
Kalian tentu suka mendengar
aku menyanyi bukan? Hik … hik … hik . . .!"
Sebagai jawaban dua ekor ular
kobra keluarkan suara mendesis. Lalu sang darapun mulai menyanyi yang
sekali-kali diselingi suara tawa cekikikan.
Perutku kenyang
Para sahabat telah datang
Hatiku senang
Hik … hik .. . hik
Hari-hari siang
Hari-hari malam
Tinggal sendirian dalam hutan
Betulkah aku gila …?
Hik . . . hik .. . hik!
Betulkah aku cantik . ..?
Hik … hik .. . hik!
Perutku sudah kenyang
Dua sahabat sudah datang
Hatiku senang….
Hik … hik … hik …
Nyanyian itu diulang terus
menerus sampai pemuda gondrong di. atas pohon menjadi bosan dan sebal
mendengarnya. Tapi dibawah sana dilihatnya dua ekor ular kobra hijau tampak
meliuk- liukkan tubuh mereka seperti menari mengikuti nyanyian si gadis.
Tiba-tiba pemuda itu ingat sesuatu lalu meraba ke pinggangnya. Dari balik
pakaian dikeluarkannya sebuah benda yang memancarkan sinar berkelauan. Ternyata
sebuah kapak bermata dua, berhulu berbentuk kepala naga. Pada gagang senjata
itu terdapat lobanglobang menyerupai lobang suling. Si pemuda dekatkan mulut
naga ke bibirnya lalu meniup.
Mula-mula perlahan-lahan, lalu
makin keras, makin keras. Ternyata si pemuda meniup "serulingnya" mengikuti
suara nyanyian si gadis.
Gadis dalam pondok tersentak
begitu mendengar suara suling. Kepalanya mendongak dan matanya berputar liar.
Dua ekor ular kobra berhenti meliuk-liuk. Sang dara tutup mulutnya rapat-rapat.
Di atas pohon si gondrong hentikan
tiupan sulingnya.
"Hai! Mengapa
berhenti?!" terdengar suara sang dara. Dia palingkan kepala ke belakang,
tapi pandangannya tertutup atap pondok. Ucapannya itu jelas menunjukkan bahwa
dia menyukri suara seruling tadi. Hal ini diketahui pula oleh pemuda di atas
pohon. Maka diapun kembali meniup "suling"nya. Begitu tiupan seruling
menggema, dua ekor ular kobra tegakkan kepala, sama-sama mendesis lalu
tiba-tiba sekali kedua binatang ini meluncur turun dari tubuh sang dara dan
melesat ke arah pohon di atas mana pemuda yang meniup suling berada, terus naik
ke atas pohon sambil keluarkan suara mendesis beringas buas!
"Celaka! Dua kobra itu
hendak menyerangku!"
Si gondrong di atas pohon
tersentak kaget. Senjata mustika yang tadi ditiupnya kini dipegang eraterat di
tangan kanan. Baginya tak mungkin meluncur turun atau memanjat lebih ke atas
karena dua kobra itu pasti tetap akan mengejarnya.
Karena itu dia menunggu dengan
hati tercekat dan senjata siap ditangan.
Hanya beberapa jengkal lagi
ular itu akan siap mematuk dan si pemuda siap ayunkan senjatanya, dari arah
pondok terdengar suara sang dara berseru.
"Dua sahabatku, jangan
bunuh orang itu! Dia orang gila yang membawa ubi yang tadi kumakan!"
Mendengar seruan itu, dua ular
kobra yang meluncur ke atas pohon besar serta merta hentikan gerakan mereka.
Keduanya tegakkan kepala sesaat, mendesis lalu meluncur turun ke bawah!
Pemuda yang memegang kapak
mustika tarik nafas lega. Rasa tegangnya lenyap kini. Namun justru disaat itu
pula, dibawah sana tiba-tiba muncul seorang lelaki bertubuh tinggi besar,
memelihara berewok dan kumis melintang yang liar, berpakaian serba hitam,
memiliki sepasang mata besar berwarna kemerahan. Dia tegak di depan pondok
dengan mata memandang tak berkesiap ke arah dara yang terpasung. Di tangan
kanannya ada sebuah tongkat yang ujungnya ditekankan ke tanah dan tingginya
hampir sebatas kepalanya.
Tongkat ini berwarna
kekuningan, terbuat dari sejenis tembaga.
"Betul rupanya cerita
yang aku dengar . . . ."si tinggi besar berkata dalam hati. "Masih
begini belia, memiliki ilmu luar biasa, sayang kalau tidak dimanfaatkan!"
Dara di dalam pondok memandang
menyorot sambil tangannya mengusap-usap tubuh dua ekor ular kobra. Dua binatang
ini begitu tahu ada orang yang datang, segera angkat kepala dan mendesis siap
untuk menyerang.
"Sahabatku, tenang saja
kalian. Aku mau tahu manusia kesasar dari mana yang mencari mati berani datang
kemari!"
Mendengar ucapan sang dara, si
berewok segera membuka mulut.
"Aku tidak kesasar datang
kemari! Aku justru sengaja datang untuk bertemu dan bicara denganmu!"
"Sengaja datang dan ingin
bertemu serta bicara? Hik . . . hik . . . hik! Setahuku yang datang kemari
hanyalah orang-orang yang ingin mati!"
"Aku datang bukan mencari
mati, tapi mencarimu! Aku punya rencana besar!"
"Rencana besar! Hik . . .
hik . .. hik! Rencana berbau maut! Tidakkah kau melihat mayat-mayat
bergeletakan di sekitar tempat ini? Sebagian sudah membusuk. Ada tiga yang
masih segar. Tidakkah hidungmu mencium busuknya bau bangkai?! Hik .,.. hik . .
. hik … .!"
"Gadis, dengar baik-baik
apa yang akan kukatakan.
Aku adalah Ronggo Munggul,
bergelar Tongkat Setan "
"Aih.. kau setan rupanya!
Hik . . . hik . .. hik!"
Orang berpakaian serba hitam
tampak geram mendengar ucapan dan tawa si gadis. Tapi dia meneruskan
kata-katanya. "Aku adalah datuk segala rampok yang menguasai sembilan
hutan di daerah ini, termasuk hutan dan bukit Jatipadang ini.. . ."
"Walah . . . Kowe rampok
rupanya! Muncul disini apa yang hendak kau rampok! Aku tak punya uang tak punya
barang! Apa mau merampok kotoranku yang bertebaran dibawah lantai papan?! Hik .
. . hik . .. hik!"
"Tidak anak gadis, aku
tidak akan merampokmu. Tapi hendak menjadikanmu kawanku . . ."
"Aku tidak punya kawan
selain dua ekor ular ini!" sentak sang dara.
"Baik .. . .baik jika kau
tak mau menganggapku kawan! Tapi dengar. Kau akan kuambil jadi istri
"Istri . . .?!"
"Betul!" Aku punya
kepandaian silat, ilmu tongkat yang hebat, puluhan anak buah dan kesaktian.
Tapi apa yang kumiliki tak
akan mampu menunjang rencana besarku! Kau cantik dan punya kesaktian luar
biasa. Kita bergabung!
Kita berdua bisa menguasai
seluruh daratan Jawa Tengah, bahkan lebih luas dari itu …."
"Hik . . . hik . . . hik!
Yang datang ini orang gila rupanya!" ujar sang dara pula. Membuat Ronggo
Munggul menggeram tapi tak berucap apa-apa hanya pelipisnya saja yang kelihatan
menggembung. "Kau ingin mengambilku jadi istri karena kecantikanku atau
kesaktianku . . .?" Si gadis ajukan pertanyaan.
"Dua-duanya!" jawab
Ronggo Munggul.
"Tidak! Kau harus memilih
satu dari dua itu!" Ronggo Wunggu terdiam. Dalam hatinya dia membatin,
biasanya perempuan lebih suka dipuji.
Maka diapun menjawab:
"Aku mengambilmu jadi istri karena kau cantik. Ya, karena parasmu cantik
"
"Ha. . . ha… ! Jadi kau
bernafas pada diriku..
"Aku suka padamu "
"Kalau begitu majulah
tiga langkah "
Ronggo Munggul maju tiga
langkah, kini jaraknya dengan sang dara hanya terpisah empat langkah.
"Kau betul suka padaku….
?" Ronggo Munggul mengangguk.
"Jongkoklah. Lihat
baik-baik apakah kau suka pada tubuhku? Apakah tubuhku bagus. . . . ?"
Habis berkata begitu sang dara
tarik lepas bajunya di bagian dada. Sepasang mata Ronggo Munggul terbeliak,
tenggorokannya turun naik. Dara tak waras itu ternyata memiliki sepasang payu
dara yang putih dan besar padat.
"Aku suka tubuhmu.
Tubuhmu bagus.. Mulus. . . " Sang dara tertawa panjang mendengar katakata
Ronggo Munggul itu.
"Aku mau tahu apakah kau
mampu melepaskan pasungan kedua kakiku ?!"
"Apa sulitnya! Akan
kuhancurkan balok kayu itu. Sebentar saja kau akan bebas dan kuboyong ke
markasku!" kata Ronggo Munggui pula. Lalu dia siapkan tongkatnya. .
"Tidak . . . Kau tidak
boleh menghancurkan kayunya. Tapi harus memutus rantai besi atau membuka dua
buah gembok, atau menghancurkannya!"
"Akan kulakukan!
Lihat!" Ronggo angkat tongkatnya tinggi-tinggi. Lalu dengan ujung tongkat
dihantamnya rantai besi di sebelah kanan.
Traang… . !
Tongkat tembaga menghantam
rantai besi dengan keras. Tapi rantai itu tidak putus, rusak pun tidak.
Sebaliknya ujung tongkat Ronggo Munggul tampak bengkok dan ada yang somplak
salah satu bagiannya.
Terkejutlah si Tongkat Setan
itu. Sebelumnya jangankan rantai besi, tiang besi sanggup dibuat putus oleh
tongkat tembaganya itu.
Si gadis keluarkan suara
tertawa mengejek.
Penasaran Ronggo balikkan
tongkatnya. Kini dia menghantam salah satu dari gembok besi.
Kembali terdengar suara
traang!
Untuk kedua kalinya Ronggo
Munggul kaget dan berubah parasnya. Dan lagi-lagi ujung tombak nya tampak
rusak. Sebenarnya baik rantai besi maupun gembok atau kura-kura yang mengikat
dan mengunci balok dimana kedua kaki sang dara dipasung dijepit adalah besi
biasa, bukan benda sakti atau benda mustika. Karenanya rantai dan gembok itu
dapat dirusak atau diputus oleh benda atau senjata yang terbuat dari benda
keras seperti tongkat andalan datuk rampok yang menguasai sembilan hutan itu.
Akan tetapi rantai dan gembok telah dialiri kekuatan aneh yang berasal dari
tubuh sang dara. Kekuatan itu dimilikinya sejak sepasang ular kobra memasukkan
racun berbisa ke dalam aliran darahnya lewat ujung-ujung sepuluh jari!
Sang dara tertawa panjang.
"Manusia sombong, ternyata kowe hanya satu mahluk tak berguna!
Dua sahabatku, bunuh orang
itu!"
Dua ekor ular kobra mendesis
sambil tegakkan kepala. Rpnggo Munggul mundur dua langkah.
Tongkat tembaga disilangkan di
depan dada.
Kalau rantai dan gembok celaka
itu tidak mampu dihancurkannya maka dua ular jahat itu dianggapnya
sasaran-sasaran empuk. Begitu dua kobra melesat hendak mematuknya maka dia
sapukan tongkat tembaganya ke depan.
Memang tongkat sang datuk
ternyata merupakan senjata hebat. Dari tubuh tongkat memancar sinar kuning
tembaga disertai suara deru angin amat dahsyat. Dua ekor ular yang melesat di
udara seperti membentur tembok tebal. Bukan saja gerakan mereka mematuk tampak
tertahan, tapi keduanya juga ikut tersapu mental ke samping!
Kedua binarang ini jatuh ke
tanah, bangkit tegakkan tubuh dan .mendesis. Sang dara memekik marah. Tangan
kanannya diangkat ke atas. Ronggo Munggul yang telah mendengar banyak tentang
kehebatan sekaligus keganasan dara dalam pasungan itu putar tongkatnya dengan
sebat lalu membuat dua kali lompatan dan tahu-tahu sudah berada di belakang
tubuh sang dara!
"Gadis gila! Jika tak mau
diajak bekerjasama memang kau layak mampus dari pada menebar keganasan!"
gertak Ronggo Munggul marah.
Tombak tembaganya ditusukkan ke batok kepala sang dara, tepat ditertengahan
sebelah belakang. Sebenarnya mudah saja bagi gadis itu untuk melakukan pukulan
atau jentikan maut ke belakang dan membuhuh datuk rampok itu juga. Tetapi
ternyata Ronggo Munggul memiliki limu aneh yang dapat menipu si gadis. Ilmu itu
adalah ilmu "yang disebut" memindah raga meninggalkan sukma"
Tubuh kasarnya bergerak atau berpindah atau melompat ke tempat lain yakni ke
belakang si gadis yang duduk dipasung di lantai pondok sementara
"bayangan" tubuhnya yang menyerupai bentuk asli tetap berada di
tempat semula.
Bayangan tubuh itulah yang
dilihat oleh sang dara dan langsung menghantamnya dengan lima larik sinar
hijau. Namun seperti menembus udara kosong seolah-olah hanya menghantam angin,
lima larik sinar maut itu lewat menembus tubuh palsu yang sebenarnya hanya
bayang-bayang belaka!
Dua ekor ular mendesis. Sang
dara berteriak marah.
Di sebelah belakang Ronggo
Munggul menyeringai. Ujung tombak dihantamkannya ke batok kepala sang dara.
Di atas pohon dimana dia
bersembunyi, pemuda berambut gondrong yang tidak berada dibawah pengaruh
sirapan ilmu kesaktian si datuk rampok, sama sekali tidak melihat adanya dua
sosok tubuh Ronggo Wulung. Tak ada Ronggo Wulung bayangan. Yang dilihatnya
tetap sosok tubuh lelaki itu, sosok tubuh asli atau badan kasarnya yang
mengirimkan serangan membokong dari belakang!
"Datuk sialan!
Curang!" teriak si gondrong marah. Tangan kanannya mematahkan ranting
pohon lalu secepat kilat patahan ranting ini dilemparkannya ke arah Ronggo
Munggul yang tegak di bagian belakang pondok, dibawah ujung atap rumbia!
"Ketika ujung tombak
hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala sang dara, patahan ranting
melesat deras dan menancap tepat di bahu kanan Ronggo Munggul. Raja rampok ini
menjerit kesakitan. Tongkat tembaganya lepas dan tubuhnya miring ke kanan,
terhuyung-huyung lalu jatuh terjerambab di lantai pondokan, tepat di depan
balok besar dimana sang dara dipasung!
Ronggo Munggul berusaha
bangkit Namun saat itu sang dara sudah jentikkan lima jari tangan kanannya
sedang dua ekor ular kobra telah pula melesat menyerang. Lima larik sinar hijau
menembus tubuh Ronggo Munggul di lima bagian sementara dua ekor ular mematuk di
leher dan perut orang ini. Ronggo Munggul menjerit setinggi langit. Tubuhnya
mencelat jauh. Ketika jatuh ke tanah ajalnya sudah melayang dan tubuhnya tampak
berwarna hijau!
Sang dara tertawa mengkekeh.
Dua ekor ular kobra telah kembali ke dekatnya dan duduk dipangkuannya.
Perutku kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang
Sang dara hentikan
nyanyiannya. Dia memandang berkeliling. Dua ekor ular yang siap untuk menari
mengiringi nyanyian gadis itu hentikan gerakan mereka, ikut-ikutan memangang
berkeliling.
"Eh . . . mengapa kali
ini tak ada suara seruling mengiring. . . ? Apakah pemuda gila itu sudah pergi.
. . , Aneh, mungkin dia tidak gila! Kalau tidak mana mengerti dia menolongku
tadi. . . .Ah, dia pasti marah…."
Sesaat wajah sang dara yang
pucat tampak murung. Namun dilain kejap dia kembali tertawa cekikikan dan
menyanyi lagi.
Perutku sudah kenyang
Para sahat telah datang
Hatiku senang
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara seruling.
Sang dara tampak gembira. Dua
ekor ular menari menjadi-jadi. Sang dara tarik suara lebih keras.
"Hai! Mengapa tidak
meniup suling di hadapan ku sini! Mengapa cuma sembunyi. .. . !" sang dara
berseru.
Dari atas pohon suara seruling
berhenti sesaat, berganti jawaban si gondrong.
"Aku takut ular-ular itu.
Juga kawatir kau akan menyerangku lagi dengan sinar hijau mematikan itu!"
"Hik. . . hik. . hik. .
Kali pemuda banyak takutnya! Tidak, sahabatku tidak akan menyerangmu! Aku juga
tidak akan membunuhmu! Ayo turun kemari "
Mendengar ucapan sang dara, pemuda
di atas pohon cepat meluncur turun. Sesaat kemudian dia sudah tegak di depan
pondok di hadapan sang dara.
"Duduk di tanah,
dekat-dekat di hadapanku …" sang dara berkata.
Si gondrong mengikuti. Dia
duduk bersila di depan pondok, tiga langkah di hadapan sang dara.
"Hai! Jawab dulu
sebetulnya kau ini gila atau tidak…?"
Si gondrong terkesiap dan
garuk-garuk kepala.
Dalam hati dia membatin.
"Orang gila akan marah kalau dikatakan gila. Tapi kalau melihat orang yang
dianggapnya juga gila pasti dia senang Maka pemuda itupun menjawab : "Aku
memang gila. Aku gendeng! Sableng! Otakku tidak waras!"
"Hik . . . hik . . .
hik!" sang dara tertawa gembira.
"Ha … ha … ha …!" si
pemuda ikut-ikutan tertawa.
"Sahabatku vang gila,
siapa namamu?!" sang dara bertanya.
"Aku Wiro Sableng "
"Aih . .. Aku betul
percaya kalau kau memang orang gila. Namamu saja Sableng! Hik . . . hik … hik …
Aih, suling yang kau pegang itu kok begitu? Aneh bentuknya …?"
"Suling orang gila memang
begini.."
Sang dara kembali tertawa.
Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu kembali ikut tertawa.
"Jadi aku ini sudah kau
anggap sahabatmu?" Wiro tiba-tiba bertanya.
"Ya . . . ya! Kini aku
punya tiga sahabat! Dua ular kobra, satu lagi kau! Hai dua sahabatku berbaju
hijau ayo lekas berkenalan dengan pemuda gila itu!"
Mendengar ucapan sang dara
maka dua ekor ular meluncur ke arah si pemuda, naik ke atas tubuhnya. Yang satu
menggelung leher dan menjilati seluruh wajahnya termasuk kedua telinga dan
tengkuk si pemuda. Ular satunya lagi menggelung perut, menyusup ke balik baju
putih lalu menjilati dada dan perut serta pusar di pemuda!
Kegelian setengah mati tapi
juga ketakutan setengah mati membuat Wiro tak berani bergerak barang
sedikitpun! Mukanya pucat, matanya melotot. Karena tak sanggup bertahan
akhirnya sang pendekar kebobolan di sebelah bawah! Selangkangan pakaiannya
tampak basah kuyup! Hal ini terlihat oleh sang dara yang langsung tertawa
cekikikan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut di pemuda.
"Hik . . . hik . . . hik
. . . hik! Kau ngompol! Kau beser!
Wiro Sableng tetap tak berani
bergerak.
Sang dara bertepuk tangan.
"Dua sahabatku berbaju hijau! Cukup! Sudah cukup perkenalan kalian dengan
sahabat baru itu. Kembali ke pangkuanku!"
Maka dua ekor ular kobra lalu
kembali ke pangkuan sang dara. Wiro yang merasa nyawanya terbang, tarik nafas
lega berulang kali. Dadanya turun naik. Dia menyengir dan malu sendiri ketika
melihat celana putihnya yang basah.
Setelah batuk-batuk beberapa
kali dan mengusap mukanya yang keringatan, Wiro berkata : "Sahabat, terima
kasih kau dan ular-ularmu itu mau bersahabat denganku. Aku sudah menerangkan
namaku. Kau sudah tahu kalau aku pemuda gila bernama Wiro Sableng. Apakah aku
boleh tahu siapa kau ini sebenarnya? Siapa namamu .. .?"
Sang dara cekikikan. Tapi hanya
sebentar.
Setelah menjambak rambutnya
beberapa kali dia berkata : "Mana aku tahu namaku sendiri. Apakah aku
punya nama, apakah ada orang yang memberiku nama! Aku tidak tahu! Aku lupa Wiro
garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia membatin. Orang gila betapapun tidak
warasnya tetap senang akan sesuatu yang bagus. Dan seorang perempuan suka akan
pujian! Maka murid Sinto Gendeng inipun berkata. "Jika kau memang tidak
bernama atau lupa namamu sendiri, maukah jika aku memberikan nama bagus padamu
. .?"
Sang dara yang bernama
Yuniarti, puteri hartawan Tambakjati Kalidiningrat itu tertawa geli.
"Dasar orang gila! Apa kau kira aku ini orok yang baru lahir lalu diberi
nama . . .?"
"Tentu saja tidak
sahabatku yang cantik," jawab Wiro seraya memuji. "Tapi rasanya tidak
enak kalau seseorang tak punya nama. Percayalah aku akan memberikan nama bagus
dan cocok untukmu!"
"Kalau tidak cocok dan
bagus, akan kubunuh kau!"
"Ah . . . ah . . .!
Bukankah kita bersahabat? Sesama sahabat tak boleh membunuh. Betul kan ..
.?!"
"Baiklah! Katakan nama
apa yang akan kau berikan padaku, sahabatku yang gila!"
"Dewi! Nama itu cocok dan
bagus untukmu! Kau suka nama Dewi itu? Pasti suka!"
Sang dara terdiam sejenak.
Seperti berpikirpikir.
Lalu meledak tawanya.
"Baik . . . baik . . . Aku terima nama itu. Memang bagus tapi aku tidak
tahu apa cocok untukku!"
"Tentu cocok. Kau pandai
dan kau cantik!
Hanya seorang Dewi yang
berkemampuan seperti itu! Nah, aku masih ada pertanyaan. Sahabatku Dewi, kau
ini sebenarnya berasal dari mana? Siapa yang membawamu ke tempat ini
"Pertanyaanmu susah! Aku tak mampu menjawab!"
"Kau pasti mampu! Kau
seorang Dewi!"
Sang dara menarik nafas
panjang. "Baiklah, aku akan menjawab. Aku berasa! dari Kerajaan Majapahit.
Dibawa ke mari oleh para dayangdayang dan dijadikan ratu di hutan Jatipadang
ini! Hik . . . hik . . . hik
Wiro hanya bisa garuk garuk
kepala mendengar jawaban ngawur itu. Daiam hatinya dia merasa sangat hiba.
Bagaimana gadis sebelia ini, berparas jelita dipasung dan dikucilkan di tempat
ini. Dia berpikir keras. Kalau saja dia bisa menyembuhkan penyakit sahabatnya
itu hatinya akan sangat bahagia. Sang dara pasti punya kampung halaman, punya
orang tua. Dan kalau dia bisa kembali ke orang tuanya …. Tiba tiba dia ingat
sahabatnya kakek aneh sakti berpengetahuan sangat luas bernama Si Segaia Tahu.
"Aku harus menemui orang
tua itu. Mencarinya sampai dapat. Meminta bantuannya. Mudahmudahan saja kakek
itu belum mati . . .!"
"Hai! Orang gila! Kenapa
kau melamun? Ayo aku mau menyanyi! Kau meniup suling dan dua sahabat berbaju
hijau menari!"
Wiro menganggukkan kepala lalu
berkata : "Sehabis puas menyanyi aku akan mohon diri.
Tapi aku berjanji akan kembali
ke mari lagi. Boleh ya … ?"
TUJUH
TUMENGGUNG GIRI JOLO lebih
muda penampilannya dari usianya yang sebenarnya. Dalam usia hampir enam puluh
Tumenggung ini kelihatan masih tegap, gesit gerak geriknya, pendengaran maupun
kedua matanya masih tajam. Saat itu Giri Jolo duduk di pendopo rumah besar
kediamannya yang terletak di luar Kotaraja, pada sebuah bukit yang halamannya
luasnya ditumbuhi rumput.
Wajahnya jelas tampak gelisah.
Sebetar-sebentar dia tegak dari kursi, melangkah mundar mandir, menyulut rokok
tapi tidak menghisap malah membuangnya.
"Tinggal satu bulan lagi
Sri Baginda akan mengambil keputusan. Aku atau si Boyolali! Heran!
Mengapa Sri Baginda bisa
berubah pikiran seperti itu! Dulu dia menyatakan secara tak langsung bahwa
kedudukan itu hanya aku calon tunggalnya.
Tahu-tahu kini beliau
mengatakan akan memilih aku atau Kalidiningrat Heran benar-benar
mengherankan!"
"Pasti ada yang menghasut
Tumenggung," berkata lelaki tua yang duduk bersila dilantai. Dia adalah
Kali Roso orang kepercayaan sang Tumenggung yang telah ikut Giri Jolo sejak
tiga puluh tahun lalu.
"Kalidiningrat. . . .
Kalidiningrat! Tahu apa dia urusan Kerajaan dan Kadipaten! Dia hanya sibuk
mengurus harta benda dan kekayaan! Mencari uang! Kalau dia jadi Adipati pasti
rakyat akan dipajakinya tinggi-tinggi. Bisa celaka! Dan saat ini dia telah
menggunakan kekayaannya untuk memiliki ilmu, membayar jago-jago silat bahkan
orang-orang sakti. Di rumahnya bertumpuk berbagai senjata keramat! Semua untuk
memagari dirinya dan keluarganya! Berkali-kali aku berusaha untuk
menyingkirkannya tapi gagal. Bahkan orang-orangku menemui kematian! Benar-benar
keparat si Kalidiningrat itu .. .."
"Tapi jika Embah Jaliteng
berhasil dengan rencana besarnya. Tumenggung tak usah kawatir.
Kalidiningrat akan kita
singkirkan. Dan jabatan Adipati Boyolali akan jatuh ke tangan Tumenggung!"
"Embah Jaliteng! Dua
bulan yang lalu kita menghubunginya! Sampai saat ini kabarpun tidak, apalagi
muncul!" sungut Tumenggung Giri Jolo.
"Embah Jaiiteng bukan
orang sembarangan Tumenggung. Tiga puluh tahun Samanya dia bertapa di pantai
selatan. Kesaktiannya luar biasa.
Akalnya seribu satu. Dan ini
yang penting. Dalam bertindak dia selalu menyirap kabar, mematamatai calon
korban, bertindak hati-hati dan matang agar tujuan tercapai dengan
sebaik-baiknya "Nama besarnya sudah kudengar. Tapi tak ada gunanya kalau
dia tak pernah muncul disini Jauh di kaki bukit terdengar suara derap kaki
kuda. Makin tinggi kuda itu mendaki menuju tempat kediaman Giri Jolo makin
jelas kelihatan binatang itu bersama penunggangnya.
"Tumenggung! Lihat siapa
yang datang!" berseru Kali Roso seraya berdiri.
Tumenggung Giri Jolo memandang
ke arah lereng bukit rumput. Matanya melihat penunggang kuda itu. Seorang kakek
berpakaian serba putih, memelihara janggut dan kumis panjang putih, tetapi
kepalanya plontos alias botak licin berkilat.
"Embah Jaliteng! Beliau
datang Tumenggung!" seru Kali Roso.
Paras Tumenggung Giri Jolo
tampak qembira.
"Ah, akhirnya datang juga
orang pandai ini!"
ujar sang Tumenggung Sslu
turun dari pendopo guna menyambut kedatangan tamu yang memang menjadi
harapannya terakhir.
*******
DI DALAM ruangan terkunci itu
Kali Roso duduk di tikar sedang Embah Jaliteng dan Tumenggung Giri Jolo duduk
di kursi berhadaphadapan.
"Nah, rencana yang
barusan saya tuturkan itu, sudah jelaskah bagi Tumenggung?" bertanya Embah
Jaliteng.
"Jelas sekali dan saya
setuju sekali!" sahut Giri Jolo. "Tapi apakah Embah yakin betul bahwa
gadis gila yang dipasung dan memiliki kesaktian luar biasa itu adalah
benar-benar puteri tunggal Kalidiningrat yang dikabarkan meninggal satu
setengah tahun lalu … ?"
"Saya sudah menyelidik
Tumenggung. Saya sudah mendapat petunjuk bagaimana menjinakkan gadis berbahaya
itu. Kita akan memperalatnya untuk membunuh ayahnya sendiri!"
"Aku percaya Embah akan
berhasil." Tumenggung Giri Jolo merasa puas.
"Saya perlu enam orang
pembantu yang bertubuh kekar Tumenggung "Untuk apa Embah?"
"Tumenggung akan tahu
sendiri nanti!" jawab Jaliteng.
DI DALAM pondok Yuniarti yang
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng diberi nama Dewi, sambil menyanyi-nyanyi kecil.
Hari itu adalah hari ke dua puluh Wiro meninggalkannya. Kira-kira seratus
langkah ke bawah bukit, di satu tempat Embah Jaliteng yang ditemani oleh enam
orang lelaki berbadan tegap kekar duduk mencangkung membakar kemenyan dan
menaburnya pada api pedupaan yang diletakkan di tanah. Kedua matanya terpejam,
mulutnya berkomat kamit melafalkan mantera. Asap pedupaan yang menebar bau
harumnya kemenyan membubung ke udara. Makin lama makin tinggi.
Sambil membuka kedua matanya
Embah Jaliteng bangkit berdiri perlahan-lahan.
"Asap harum membubunglah
tinggi! Naik ke puncak bukit, pergi ke pondok itu. Saputi empat penjuru pondok.
Saputi tubuh anak manusia yang ada di dalamnya. Mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Sirap-sirap-sirap. Semua akan sirap dalam keharuman asap mu. Yang
ganas jadi jinak.
Yang jahat jadi baik. Darah
panas jadi beku. Sirapsirap sirap " Lalu Embah Jaliteng meniup ke depan
tiada putus-putusnya. Ketika api pendupaan padam dan asap tak ada lagi yang
mengepul maka orang tua ini memberi isyarat pada enam lelaki yang ada di
belakangnya.
"Ikuti aku!"
Enam orang lelaki bertubuh
kekar itu mengikuti si orang tua mendaki ke puncak bukit Jatipadang.
Hingga akhirnya sampai di
pondok dimana Dewi dipasung. Saat itu sang dara tampak terbaring seperti tidur.
Asap berbau kemenyan tampak mengambang di tempat itu. Sang dara sebenarnya
bukan sedang tidur tapi berada di bawah pengaruh sirap yang dibuat Embah
Jaliteng. Hanya dengan membuat Dewi berada dalam keadaan lumpuh tak berdaya
seperti itu orang tua ini mampu melakukan apa yang akan direncanakannya. Selama
si gadis berada dalam keadaan sadar, tak satu kekuatanpun sanggup menghadapi
sinar hijau berbisa yang setiap saat bisa dijentikkannya. Hai ini diketahui
betul oleh kakek yang cerdik itu.
"Tanggalkan tiang-tiang
pondok! Lemparkan atap rumbia!" Embah Jaliteng memerintah.
Enam orang lelaki bekerja
cepat. Sebentar saja pondok itu hanya tinggal lantainya saja.
"Dengar baik-baik,"
kata Embah Jaliteng pula. "Gadis ini akan kita bawa ke rumah hartawan
Kalidiningrat di selatan Kotaraja. Jika kita berangkat saat ini juga, besok
sebelum matahari terbit kita sudah bisa sampai di sana! Empat orang dari kalian
harus memanggul gadis itu bersamasama lantai tempat ketidurannya! Dua lainnya
bertugas merabas semak belukar membuka jalan!"
"Orang tua, aku sanggup
mendukung gadis ini sendirian. Mengapa tidak dilepaskan saja ikatan rantai besi
itu? Bukankah lebih mudah mendukungnya dari pada menggotong bersama lantai
papan yang kotor dan bau ini?” Salah seorang dari enam lelaki itu berkata.
Embah Jaliteng tersenyum.
"Anak muda bertubuh kekar. Mauku seperti maumu juga. Tapi rantai besi dan
gemboknya itu berada dalam pengaruh kekuatan tenaga dalam si gadis. Walaupun
dia dalam keadaan tak berdaya, kekuatan tenaga dalam itu tak bisa sirna selama
tujuh hari tujuh malam.
Kalau kau tak percaya silahkan
coba sendiri!" Embah Jaliteng lalu menyerahkan sebilah golok
besar kepada lelaki muda yang
tadi bicara. Begitu menerima golok, si pemuda langsung membacok rantai besi
yang mengikat balok besar tempat menjepit sepasang kaki Dewi.
Traang!
Golok itu patah dua dan
mental. Si pembacok merasakan tangannya panas dan tubuhnya bergerar hebat.
Mukanya pucat. Dia mundur beberapa langkah sambil urut-urut tangan kanannya
dengan tangan kiri.
Embah Jaliteng kembali
tersenyum. Dia menunjuk pada mayat-mayat membusuk yang sebagian besar hanya
tinggal tulang belulang.
"Mereka adalah
orang-orang berkepandaian tinggi, memiliki tenaga dalam dan kesaktian.
Nyatanya mereka dipaksa
meregang nyawa oleh kekuatan gadis dalam pasungan itu! Nah, kita tidak punya
waktu banyak. Panggul lantai papan itu.
Begitu sampai di tempat
kediaman hartawan Kalidiningrat letakkan di halaman depan lalu cepat-cepat
kalian tinggalkan tempat itu! Mengerti!"
Semua menjawab mengerti. Maka
empat orang lelaki lalu mengangkat lantai papan di mana Dewi alias Yuniarti
terlelap di bawah pengaruh sirapan Embah Jeliteng.
DELAPAN
DINI HARI, Jum’at Kliwon.
Udara dingin mencucuk..tulang sungsum. Enam orang lelaki berlari cepat
memanggul lantai papan diatas mana masih menggeletak sosok tubuh Yuniarti atau
Dewi.
Gadis tidak waras itu berada
diujung pengaruh sirap Embah Jaliteng, antara sadar dan tiada. Keenam orang itu
melarikan Dewi menuju ke luar Kotaraja sebelah selatan.
Embah Jaliteng yang mengikuti
dengan menunggu kuda merasa sangat kawatir kalau-kalau sang dara lebih dulu
sadar sebelum mencapai tempat kediaman Tambakjati Kalidiningrat. Kalau hal ini
sampai terjadi mereka semua akan menemui kematian! Pasti dibunuh oleh dara
berotak miring berilmu sangat tinggi itu. Karenanya si orang tua tiada henti
berteriak agar ke enam penggotong lantai papan mempercepat lari mereka.
Ketika ayam berkokok di
sebelah timur, mereka akhirnya sampai juga di pintu gerbang rumah besar
kediaman hartawan Kalidiningrat. Seorang pengawal yang bei tugas malam itu dan
tengah terkantuk- kantuk serta merta bangkit dari tempak penjagaannya sewaktu
melihat ada enam orang tak dikenal di iringi seorang kakek menunggang kuda,
lari memasuki pintu gerbang, menggotong sesosok tubuh yang menggeletak diatas
papan.
"Hai! Berhenti! Siapa
kalian!Apa yang kalian bawa itu!" pengawal berteriak seraya mencabut
goloknya. Tetapi kesiap siagaan pengawai ini hanya sampai disitu. Walau dia
memiliki ilmu silat luar yang cukup tangguh namun ketika kaki kanan Limbah
Jaliteng menghantam batang lehernya terdengar suara kraak! Pengawal itu roboh
tanpa nyawa lagi!
Lekas letakkan gadis itu di
depan tangga sana!" berkata Embah Jaliteng.
Sesuai perintah ke enam
penggotong Dewi yang masih terpasung pada balok besar, meletakkan lantai papan
di depan tangga. Dari balik pakaian putihnya Embah Jaliteng keluarkan sebuah
kantong yang mengeluarkan suara berdering. Kantong berisi uang itu
dilemparkannya ke hadapan enam orang lelaki bertubuh kekar. "Ambil uang
itu!
Bagi-bagi yang rata! Dan lekas
minggat dari tempat ini!" lalu mendahului ke enam orang tersebut Embah
Jaliteng bedal kuda tunggangannya. Ketika anjing terdengar menyalak di kejauhan
tempat itu kembali dibungkus kesunyi-senyapan. Justru saat itulah Dewi yang
berada diatas lantai papan mulai siuman dan membuka matanya. Dia merasa heran
melihat langit biru diatasnya. Dara ini memandang berkeliling lalu bangkit
perlahan-lahan dan memandang lagi kian kemari. Dia tidak mengetahui berada
dimana saat itu. Bahkan dia tidak mengenal rumah besar dimana dulu dia pernah
tinggal disitu.
Gadis ini jambak-jambak
rambutnya. Menggeliat beberapa kali. Ketika dikejauhan terdengar lagi anjing
menyalak panjang dia menirukan suara salakan itu. Sewaktu di kejauhan terdengar
suara ayam berkokok diapun lalu menirukan kokok ayam itu!
Karena sang dara memiliki
kekuatan gaib di dalam tubuhnya maka tentu saja suara lolongan anjing dan kokok
ayam yang ditirunya menggena keras bahkan menggidikkan siapa saja yang
mendengar.
Di timur mulai tampak cahaya
kekuningan tanda sang suirya sebentar lagi akan segera muncul.
‘Saat itulah dari dalam rumah
besar berkelebat tiga bayangan. Gerakan mereka gesit sekali dan dengan cepat
sudah berada di tangga depan, mengurung Dewi yang masih kebingungan terduduk di
lantai papan.
"Kukuruyukkkkkkkkkkkkk .
. . Kukuruyukk. .
Aung… aung. .. aunggg.: . ..
"
"Gembel gila! Bagaimana
kau bisa berada di tempat ini?!" Salah satu dari tiga orang itu membentak.
Ketiganya adalah para pengawal
hartawan Kalidiningrat yang memiliki kepandaian silat dan tenaga dalam tinggi.
"Kau menyebutku gembel
gila?" Dewi dalam pasungan menegur lalu tertawa cekikikan.
Salah seorang pengawal
berbisik pada kawannya. "Lihat, kedua kakinya terjepit dalam balok besar
yang diikat rantai dan gembok besi. Tak mungkin dia sampai sendiri kemari.
Pasti ada yang membawanya. Hai lihat. . . . Disebelah sana petugas jaga malam
kulihat menggeletak!" Orang ini cepat berlari ke pintu gerbang sementara
Dewi masih terus mengumbar suara tertawa. Orang yang menyelidiki ke pintu gerbang
kembali dengan nafas mengengah. "Petugas jaga itu mati. Lehernya
patah!"
"Gembel gila! Hentikan
tertawamu!"
Suara tawa Dewi lenyap. Bukan
karena bentak kan itu tapi karena otak tidak warasnya mulai berpikir tentang
maut! Dara menyeringai.
"Dua kali kau menyebut
aku gembel gila Sudah lebih dari cukup! Mampuslah!"
Dua jari tangan kirinya
dijentikkan. Dua sinar hijau menderu dalam udara terang tanah. Pengawal yang
menjadi sasaran serangan terpekik. Tubuhnya terpental lalu roboh dengan dua
bintik hijau dikening. Seperti kejadian yang sudah-sudah pengawal ini mati
dengan tubuh berwarna hijau!
Melihat hal ini, dua kawannya
berteriak marah.
Satu melompat sambil ulurkan
tangan, maksudnya hendak menjambak rambut sang dara. Satunya lagi dengan kalap
sudah lebih dulu kirimkan tendangan ke dada Dewi "Gembel gila! Mampus
kau!"
Sang dara perdengarkan kembali
suara tawanya yang melengking cekikikan. Bersama dengan itu tangannya kiri
kanan dijentikkan. Lima larik sinar hijau berkiblat dari masing-masing tangan.
Dan terdengarlah pekik dua pengawal berkepandaian tinggi itu. Tubuh keduanya
terpental. Satu terlempar ke langkan rumah, satunya lagi terguling dihalaman.
Keduanya mati dengan cara yang sama.
Lima bintik maut pada tubuh
masing-masing yang kini berwarna hijau!
Embok Guminten bekerja sebagai
pelayan di rumah kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat.
Dia merupakan satu dari empat
pelayan yang bekerja disitu dan yang paling lama yakni seumur Yuniarti. Karena
sejak kecil’di a juga dipercayai untuk mengasuh Yuniarti maka bagaimanapun
keadaan sang dara pelayan ini tak balak bisa pangling.
Pagi itu embok Guminten
seperti biasanya bangun lebih dahulu dari pelayan-pe layan lainnya, tentunya
juga lebih dahulu dari suami istri Kalidiningrat.
Mendengar suara ribut-ribut di
halaman depan pelayan ini setengah berlari segera membuka pintu depan. Bukan
tiga sosok mayat pengawal yang membuatnya menjerit ketakutan, tapi sosok tubuh
gadis yang terpasung di dekat tangga depan yang membuat perempuan ini berteriak
dan menggigil.
Wajah gadis itu adalah wajah
mendiang Yuniarti, putri majikannya yang meninggal dunia satu setengah tahun
lalu akibat sakit sampar. Kini gadis itu muncul dalam keadaan seperti itu.
Tidak dapat tidak pasti itu adalah setannya! Arwahnya yang gentayangan!
Embok Guminten menjerit lagi
lalu menghambur lari ke dalam rumah. Hampir saja dia bertabrakkan dengan
majikan perempuannya di ruang tengah.
"Embok Guminten. . . Ada
apa kau seperti orang dikejar setan. …" menegur istri hartawan
Kalidiningrat.
"Setan. . . memang ada
setan Jeng Ayu. Setan setannya Den Ayu Yuniarti…." jawab si pelayar,
seraya menunjuk-nunjuk ke bagian depan rumah.
"Jangan bicara melantur
pagi-pagi begini embok Guminten!" ujar istri hartawan Kalidiningrat.
"Kau membuat kacau saja..
. " "Demi Tuhan Jeng Ayu. Silahkan Jeng Ayu melihat sendiri ke depan.
.. .!"
Antara percaya dan tidak
akhirnya sang majikan melangkah juga menuju bagian depan rumah dan membuka
pintu yang tadi dibantingkan si pelayan. Saat itu hari telah mulai terang karena
di timur matahari telah terbit. Pintu terbuka lebar.
Istri hartawan Kalidiningrat
melangkah ke langkan depan dan saat itu pula langkahnya tertahan.
"Ya Gusti Allah. . .
betulkah itu . . . betulkah itu dia. . . ? Anakku Yuniarti… Yuniarti!"
Perempuan itu menjerit tapi tak berani mendekat. Dia menjerit lagi, membuat
Tambakjati suaminya terbangun. Lelaki ini segera menyambar beberapa senjata
pusaka dan menyisipkan di pinggang baru membuka pintu kamar dan menghambur ke
luar.
Saat itu beberapa orang pengawal
telah pula berdatangan dan segera mengurung Dewi sementara beberapa orang
lainnya menggotong empat mayat yang bergelimpang di halaman depan itu.
"Apa yang terjadi? Ada
apa?! Hartawan Tambakjati Kalidiningrat bertanya tegang. Sang istri yang masih
menjerit-jerit langsung menubruk suaminya.
Sebelum sempat mengatakan
sesuatu perempuan ini sudah rubuh pingsan Tambakjati berteriak memanggil
pelayan perempuan. Istrinya segera dibawa masuk dan dibaringkan diatas ranjang.
Tambakjati sendiri segera
melompati anak tangga dan menyeruak diantara kerumunan para pengawal. Sepasang
mata hartawan ini terpentang lebar. Tubuhnya menggigil. Ada rasa kerinduan yang
menusuk yang membuatnya ingin memeluk gadis yang duduk terpasung itu. Tetapi
perasaannya yang lain mengatakan bahwa gadis itu bukanlah Yuniarti, melainkan
hantu atau setannya.
Namun apakah ada setan atau
hantu yang menunjukkan diri seperti itu dipagi hari yang mulai terang itu?
Untuk memperkuat hatinya Tambakjati pegang keris pusaka di pinggangnya. Dia melangkah
lebih dekat. Gerakannya tertahan ketika tiba-tiba terdengar suara tawa panjang
mengerikan. Para pengawal bersibak. Kemudian terjadilah hal yang hebat.
Tambakjati sempat melihat ada beberapa larik sinar hijau berkiblat. Lalu tiga
pengawal terbanting ke tanah. Tubuh mereka berwarna hijau.
Tak berkutik lagi alias mati!
Melihat ini para pengawal lainnya segera berhamburan lari. Namun hanya seorang
yang bisa selamat. Empat lainnya roboh hampir bersamaan ketika larikan-larikan
sinar hijau yang keluar menyambar dari ujung-ujung jari sang dara menghantam
tubuh mereka.
Kini tinggal Tambakjati
Kalidiningrat tegak sendiri sambil memegang sebilah keris keramat berluk tujuh
yang memancarkan sinar hitam redup.
"Manusia memegang keris!
Giliranmu mati sekarang! Makin banyak yang kubunuh makin senanghatiku!
Sayang kawan-kawanku tak ada
ditempat ini! Sayang mereka tak bisa menyaksikan!
Hik. .hik. .hikk. . .!"
"Yuniari! Yuniarti!"
teriak Tambakjati. Tubuhnya terduduk berlutut di hadapan anaknya sendiri.
"Yuniarti anakku! Aku
ayahmu nak! Aku ayahmu!"
"Ayah. … ?! Hik. . .hik.
. .hik! Apa itu ayah?
Aku tak punya ayah tak punya
ibu! Aku hanya punya tiga orang sahabat! Mereka tak ada disini!
Kau dengar itu lelaki yang
memegang keris ?"
"Yuniarti. . . ‘Gusti
Allah Ampuni segala dosaku Tuhan! Anakku ampuni dosa ayahmu ini!
Semua ini terjadi karena
kebodohanku! Karena hatiku yang terlalu sombong dan pongah tapi tak berani
menghadapi kenyataan. Yuniarti " Tambakjati ulurkan kedua tangannya hendak
me rangkul anak gadisnya.
Tapi sang dara sendiri hanya
tertawa cekikikan lalu mengangkat tangan kanannya. "Kau layak mampus! Kau
layak mampus siapapun kau adanya!"
"Aku bersedia mati
ditanganmu Yuniarti! Aku ikhlas kau bunuh! Dosaku terhadapmu terlalu besar
anakku! Tapi biar kuambil dulu kunci gembok itu. Biar kubuka?"
SEMBILAN
DUA BAYANGAN putih tampak
berkelebat menuju puncak bukit Jatipadang. Di sebolah depan adalah seorang
pemuda gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Di belakangnya
mengikuti seorang kakek berpakaian putih, mengenakan kopiah putih berbentuk
aneh dan memanggul sebuah kantong besar terbuat dari kain putih. Di tangan
kanannya kakek ini memegang sebatang tongkat kecil. Sambil berlari tongkat itu
selalu diayunkannya kian ke mari hingga pakaian dan kulit tubuhnya tidak
sekalipun kena terkait duri pepohonan atau semak belukar. Berlainan dengan Wiro
yang lari laksana dikejar setan, pakaiannya habis robek-robek dan kulitnya
bergurat- gurat diserandung onak dan duri.
Begitu sampai di puncak bukit murid
Sinto Gendeng itu jadi terperangah dan memandang berkeliling sampai
pandangannya membentur si kakek.
"Heh … eh! Mana gadis
cantik berotak tidak waras yang katamu dipasung di puncak bukit ini. ..?!"
si kakek bertanya.
"Aneh!" sahut Wiro.
"Apa yang aneh?!"
tanya si kakek.
"Lihat di bagian sana. Di
situ sebelumnya berdiri pondok beratap rumbia itu. Kini hanya tampak tiangnya
malang melintang. Lalu atapnya terhampar di sebelah sana. Gadis itu sendiri
lenyap!
Lenyap bersama lantai papan
dan balok pasungannya!"
"Kau tidak bergurau atau
main-main padaku anak muda?" si kakek bertanya dengan nada tidak enak.
"Disambar petir aku kalau
berani mempermain kanmu Raja Obat! Lima hari lima malam aku mencari sahabatku
Si Segala Tahu. Dia menunjukkan tempat di mana aku bisa menemuimu. Satu minggu
lebih aku mencarimu! Kalau ingin mempermainkan mengapa aku mau bersusah payah
mengadakan perjalanan jauh dan selama itu? Pasti ada yang telah menculik Dewi
sahabatku itu!"
Si kakek gelengkan, “Enak
betul, bau busuk di tempat ini," lalu dia menyambung : "Dengar anak
muda kalau ada yang menculik gadis sahabatmu itu, tentu membawanya bersama sama
balok pasungannya, bukankan gadis itu katamu dipasung pada sebuah balok besar
dan diikat dengan rantai besi . . .?!"
"Aku tak tahu bagaimana
kejadiannya tapi jelas sahabatku itu dilarikan orang! celaka kemana aku harus
mencari. Ah kasihan! Gadis itu tak akan pernah bisa disembuhkan!"
Si kakek yang bergelar Raja
Obat bantingan kantong besar yang dibawanya ke tanah lalu duduk di atas kantong
itu. Tiba-tiba dia terlompat. Dari arah semak belukar sebelah kanan terdengar
suara mendesis. Lalu muncullah dua ekor utar kobra berwarna hijau!
"Sahabat-sahabatku!"
seru Wiro ketika melihat munculnya dua binatang itu. Langsung saja dia mendatangi,
berlutut di tanah dan ulurkan kedua tangannya. Si kakek terheran-heran dan juga
ngeri ketika menyaksikan bagaimana dua ekor ular kobra yang sangat berbisa itu
naik ke atas lengannya kiri kanan lalu bergelung di bahu sambil menjilati leher
dan wajahnya.
"Sahabat-sahabatku,
dengar. Kita kehilangan Dewi. Gadis sahabat kita itu lenyap! Tak tahu entah ke
mana! Kita harus mencarinya! Kalian berdua punya penciuman tajam! Kalian pasti
bisa membaui jalan yang dilewati Dewi. Kita harus mengejarnya, kita harus
menemukannya!"
Sepasang ular kobra
goyang-goyangkan kepala tanda mengerti. Kedua binatang ini meluncur turun,
tegak setengah badan di tanah, menatap ke arah kakek yang duduk di atas
kantong.
"Orang tua itu sahabatku.
Jadi sahabat kalian juga. Jangan diserang! Dia Raja Obat yang akan menolong
menyembuhkan Dewi Dua ekor ular kembali goyang-goyangkan kepala.
Lalu turunkan tubuh dan
meluncur ke arah semak-semak. Wiro memberi isyarat pada si Raja Obat dan
berkata : "Ayo, tunggu apa lagi! Dua sahabatku itu pasti tahu ke arah mana
perginya Dewi!"
Raja Obat geleng-geleng kepala
tapi berdiri juga. "Dunia ini sungguh aneh! Tapi hari ini baru aku tahu
kalau ada ular berbahaya jadi sahabat anak manusia sepertimu. Dan pandai pula
menjadi penunjuk jalan!"
*********
MENJELANG pagi Wiro dan si
Raja Obat semula menduga dua ular kobra itu akan membawa mereka memasuki
Kotaraja. Ternyata sepasang binatang ini di luar Kotaraja membelok ke arah
selatan. Kedua orang itu terus mengikuti sepasang ular yang meluncur di tanah,
bergerak dalam kecepatan luar biasa.
Di selatan Kotaraja dua
binatang itu masuk ke sebuah rumah besar berhalaman luas berumput.
Saat itu hari telah terang
tanah hingga baik si Raja Obat maupun Wiro dengan cepat dapat menyaksikan
keadaan di tempat itu dengan jelas.
Lebih dari setengah lusin
mayat bergelimpangan malang melintang mulai dari pintu gerbang sampai tangga
depan rumah besar. Dan di depan tangga itu pula Wiro melihat Dewi duduk di atas
papan tengah bersilat kata dengan seorang laki-laki yang dari ucapan orang itu
jelas dia adalah ayah Dewi. Karena pikirannya yang tidak waras, si gadis tidak
perduli siapa adanya lelaki itu bahkan siap untuk membunuhnya dengan pukulan
maut larikan-larikan sinar hijau!
"Dewi! Kami
sahabat-sahabatmu datang!" Wiro berseru. Seruan ini membuat Dewi hentikan
gerakan tangannya. Hartawan Tambakjati Kalidiningrat yang semula hendak masuk
ke dalam rumah guna mengambil kunci gembok hentikan gerakan langkahnya dan
berpaling memperhatikan kedatangan dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit
ngeri ketika melihat dua orang tak dikenal. Namun dia mengerenyit ngeri ketika
melihat dua ekor ular kobra yang sangat berbahaya meluncur di atas tubuh
puterinya, memagut gadis itu dan menjilati wajahnya!
"Kalian datang …. Kalian
datang! Hatiku senang! Ayo bawa aku pulang!"
"Anakku! Ini rumahmu. Di
sini tempat tinggalmu.
Hanya ke rumah ini kau akan
pulang Yuniarti!"
"Manusia banyak mulut!
Namaku bukan Yuniarti tapi Dewi! Hai tadi aku hendak membunuhmu!
Biar kuteruskan
maksudku!" si gadis angkat tangan kanannya.
Wiro cepat pegang lengan gadis
itu seraya berkata : "Sahabatku, dengar … Kau tak boleh membunuh orang
itu. Dia ayahmu . .
"Perduli amat! Aku tidak
punya ayah! Dia harus kubunuh!"
"Jangan . . . Jangan
bunuh! Orang itu sahabatku. Berarti sahabatmu juga .. . ."
Dewi terdiam sesaat. "Kau
bohong!" bentaknya tiba-tiba.
"Tidak, aku tidak
boliong! Kau tak boleh membunuhnya. Dengar, ikuti kata-kataku. Nanti akan
kubawa kau kembali ke pondok di bukit Jatipadang . . . ."
"Pondok itu sudah dirusak
orang-orang jahat!
Aku sempat melihat sebelum aku
tertidur "Aku akan buatkan pondok baru untukmu.
Lebih bagus …. Asal kau tidak
membunuh lelaki yang memegang keris itu . . . ."
"Hik . . . hik . . .
Baiklah, aku menurut katamu.
Eh sahabat, apakah kau masih
suka ngompol seperti dulu . . .?"
"Tidak , . . aku tak
pernah ngompol lagi. Aku sudah besar sekarang!" Kedua orang itu lalu
tertawa gelak-gelak sementara Tambakjati tak habis pikir menyaksikan kejadian
itu sedang si Raja Obat hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kalian ini siapa . .
.?" Tambakjati akhirnya bertanya.
"Bukan saatnya berbincang
bincang!" menjawab Wiro. Lalu dengan suara lebih perlahan dia berkata :
"Tadi kau hendak mengambil kunci gembok ini! Pergilah ambil! Kawanku kakek
tua bertopi putih itu akan mencoba menyembuhkan penyakit anakmu!"
Bagi Tambakjati Kalidiningrat
sulit dipercaya kalau kakek tak dikenalnya itu akan sanggup ..mengobati
puterinya. Sebelumnya sudah banyak dukun besar, para ahli pengobatan dan
orangorang sakti telah mencoba mengobati Yuniarti tapi semua sia-sia belaka.
Tak seorangpun berhasil.
Wiro berpaling pada si Raja
Obat dan bertanya : "Kau telah melihat keadaan sahabatku ini! Bagaimana
pendapatmu! Kau sanggup menyembuhkannya …?"
Raja Obat usap-usap pipinya
lalu jatuhkan kantong kainnya dan duduk di atasnya. Dia merenung beberapa lama.
Tambakjati datang mendekat dan memegang bahu si orang tua.
"Orang tua, aku tak kenal
padamu. Apakah benar kau akan mengobati anakku? Apakah kau sanggup
melakukannya…. ?"
"Dengan izin Allah aku
akan mencoba! Mudahmudahan Tuhan memberkati putrimu. Ketahuilah anak gadismu
itu memang tidak waras. Tapi dia begitu bukan karena diobati atau diguna-guna
orang. Kedua matanya memancarkan sinar murni pertanda jiwanya tidak sakit. Hanya
kurasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya disebelah dalam. Biar aku
merenung untuk mengetahui dimana sumber penyakit putrimu!"
Tambakjati anggukkan kepala.
Dia melangkah mendekati Yuniarti, maksudnya hendak mengusap kepala putrinya itu
tapi Wiro memberi isyarat agar dia jangan mendekat.
Si Raja Obat pejamkan kedua
matanya. Kedua tangannya diacungkan kemuka dengan telapak membuka. Tubuh dan
kedua tangan orang tua ini kemudian tampak bergetar. Keringat mengucur di
wajahnya yang keriput. Dia merasakan satu aliran dingin meluncur dari kaki
kanannya. Aliran dingin ini naik ke bagian atas tubuh, mula-mula ke paha lalu
ke perut, terus ke pinggang, dada, leher, muka dan ketika aliran itu meluncur
ke bagian kepala sebelah belakang, orang tua merasakan bagaimana hawa yang
tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi panas!
Perlahan-lahan Raja Obat buka
kedua matanya dan turunkan kedua tangan.
"Tuhan telah memberi
petunjuk! Putrimu menderita gangguan di kepala bagian belakang.
mungkin ada syaraf atau pembuluh
darahnya yang terjepit hingga hawa segar tidak dapat masuk ke dalam otaknya.
Apakah putrimu pernah jatuh sewaktu masih kecil hartawan?"
Hartawan Tambakjati terkesiap
kaget. "Benar sekali orang tua. Anak itu waktu kecil nakal sekali dan suka
memanjat. Dia pernah jatuh dari atas pohon. Kepalanya sebelah belakang benjol
besar.
Tubuhnya panas. Beberapa hari
kemudian benjolan di kepalanya hilang dan panasnya turun. Tak ada gejala
apa-apa setelah dia jatuh itu. Tapi beberapa tahun kemudian dia mulai menunjukkan
kelainankelainan.
Aku orang tuanya tak pernah
menghubungkan soal kejatuhan itu dengan kelainan yang kemudian dideritanya…
"
"Justru kejatuhan itulah
sumber malapetakanya…" kata Raja Obat pula.
"Kau berhasil mengetahui
sumber penyakit anakku. Terima kasih orang tua. Tapi yang lebih penting, apakah
benar kau sanggup mengobatinya?"
Raja Obat bangkit berdiri dan
berkata pada Wiro: "Aku akan mengobati gadis sahabatmu itu.
Tapi jika tidak kau totok dulu
Rubuhnya, tak berani aku melakukan. Tangannya bisa menjetikkan maut setiap saat
secara tak terduga!" Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Dewi, kau sudah siap
untuk pulang ke bukit Jatipadang. . .. .?"
"Pulang. . .pulang!
Itulah yang aku inginkan!
Tempat ini tidak sedap baunya
di hidungku! Hik. .hik. .hik.
Wiro membelai punggung gadis
itu. Lalu secepat kilat dia menotok urat besar di pangkal leher si gadis. Detik
itu juga Dewi menjadi kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara, hanya sepasang
matanya saja yang tampak berputar-putar liar.
"Tugasku selesai Raja
Obat! Giliranmu sekarang!" kata Wiro memberitahu.
"Bagaimana dengan dua
ular yang masih bergelung dibahunya! Aku tak mau mati konyol dipatuknya!"
"Raja Obat takut pada
bisa ular!"
"Sialan kau anak muda!
Aku bukan segalagalanya.
Aku tidak membekal obat
penangkal racun ular!" sahut Raja Obat pula.
"Sudahlah, lakukan
pekerjaanmu. Aku jamin sahabat-sahabatku itu tidak akan mencelakaimu!"
"Meskipun hatinya bimbang
namun akhirnya si Raja Obat melangkah juga ke belakang tubuh Dewi. Dari kantong
pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain putih.
Lalu dari dalam kantong kain
ini dikeluarkannya sebuah benda kecil halus berkilat bet bentuk jarum yang
ujungnya sangat runcing.
"Wiro aku sudah siap.
Awasi sahabat-sahabatmu itu!" si Raja Obat memberi tahu.
"Lakukan tugasmu Raja
Obat. Dua sahabatku tak akan mengganggumu!" jawab Wiro.
Dengan jari telunjuk dan ibu
jari tangan kirinya si Raja Obat menjengkal-jengkal bagian belakang kepala Dewi
beberapa kali hingga dia menemukan satu titik yang dipastikannya paling tepat.
Lalu pada titik itu jarum ditangan kanannya ditusukkan.
Terjadi satu hal yang luar
biasa. Meskipun saat itu Dewi berada dalam keadaan tertotok namun tususan jarum
sempat membuat tubuh dan kepalanya tersentak. Bersamaan dengan itu kedua bola
matanya yang selalu berputar-putar liar kini menatap tenang. Lalu sepasang mata
yang bening itu tampak berkaca-kaca. Dilain saat tampak ada air mata yang
menetes melewati tanggul kelopak mata sebelah bawah.
"Dia menangis "
bisik Wiro sambil menggamit tangan si Raja Obat.
"Alhamdulillah. Itu
pertanda pikiran dan perasaannya sudah pulih walaupun belum sepenuhnya,’’sahut
orang tua itu pula.
"Luar biasa! Secepat itu
kau menyembuhkan nya!" Wiro memuji dan memandang pulang balik pada Raja
Obat dan hartawan Tambakjati. Hartawan ini juga tampak tersenyum walau tak
kuasa membendung air mata.
Raja Obat menunggu beberapa
lama lalu perlahan-lahan jarum yang ditusukkannya ke bagian belakang kepala
Dewi ditarik dan disimpan kembali dalam kantong kain. Dari dalam kantong besar
yang selalu dibawanya kemana pergi Raja Obat mengeluarkan tujuh helai daun
kering. Daun daun ini diserahkannya pada hartawan Tambakjati disertai pesan:
"Godok tujuh daun itu. Minumkan airnya selama tujuh hari berturut-turut
pada putrimu.
Mudah-mudahan kesembuhannya
akan sempurna!"
Tambakjati mengambil daun-daun
itu lalu berkata: "Pertolonganmu besar sekali. Hutang budi ini. .. "
"Jangan menyebut segala
hutang budi. Aku Raja Obat memang tugasku berbakti untuk menyembuhkan segala
macam penyakit. Tapi kesembuhan bukan aku yang membuat melainkan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Berterima kasih pada Nya."
Raja Obat berpaling pada Wiro.
"Anak muda, saatnya kau
melepaskan totokan di tubuh sahabatatmu itu. Tapi sebelum melepaskan, alirkan
tenaga dalammu ketubuhnya agar kedua kakinya mampu digerakkan. Selama beberapa
hari dia tak akan mampu berdiri dan berjalan. Tapi semampu berdiri dan kembali
berjalan…."
Wiro anggukkan kepala .Dia
menoleh ke arah Tambakjati dan berkata: "Saatnya untuk mengambil kunci
gembok dan membuka rantai besi itu. .." Tambakjati Kalidiningrat melompat
masuk ke dalam rumah. Di ruangan tidur istrinya masih berada dalan keadaan
pingsan. Begitu kunci gembok didapat, dia kembali keluar. Dia sendiri yang
membuka dua buah gembok. Rantai besi terbuka.
Balok besar yang memasung
kedua kaki si gadis ikut lepas. Dengan air mata berlinang Tambakjati
mengusap-usap kedua kaki anaknya.
"Dosaku besar sekali
terhadapmu anakku, Ampunilah ayahmu yang jahat ini. . .Juga ibumu . . . .
" Ingin lelaki itu merangkul dan mencium putrinya. Tapi sepasang ular
kobra yang masih melingkar di bahu Dewi membuat hatinya kecut.
Wiro melangkah kebelakang si
gadis. Mengusap punggungnya sambil mengerahkan tenaga dalam lalu melepaskan totokan
pada pangkal leher Dewi.
Begitu totokan terlepas, pekik
dahsyat meledak keluar dari mulut gadis itu. Kesadaran rupanya membuat dia
sangat takut pada dua ular yang memagut bahunya. Dia berusaha bangkit tapi
jatuh kembali karena kedua kakinya masih lemah "Sahabatku, tak usah takut.
Ular-ular itu tak akan menggigitmu. Bukankah mereka sahabatsahabatmu. . . .
?"
Meskipun Wiro berkata begitu,
si gadis masih saja menggigil ketakutan. Tapi melihat dua ekor ular itu begitu
jinak, meskipun agak takut-takut si gadis membelai-belai tubuh keduanya.
"Sahabatsahabatku…." bisiknya berulang kali dengan mata terus
berkaca-kaca. Dia memandang pada Wiro.
"Kau. . kau siapa? Aku
kenal wajahmu tapi kau siapa?"
"Aku Wiro! Aku juga
sahabatmu. Apa kau lupa.. .?"
"Wira . .Wiro Anak
Sableng itu?!"
"Betul sekali! Ha ha
ha!"
Dewi tertawa cekikikan. Suara
tawa yang biasa dikumandangkannya ketika masih berada di bukit Jatipadang.
Suara tawa yang membuatnya merinding. Wiro melirik pada Raja Obat dan berbisik:
"Katamu pikiran dan perasaannya sudah pulih.
Tapi tawanya tadi menunjukkan
dia masih sakit Raja Obat " Raja Obat hanya tegak mengulum senyum.
Suara tawa si gadis semakin
tinggi dan panjang.
Tiba-tiba gadis ini melompat
ke punggung Wiro yang saat itu tengah bicara dengan Raja Obat dan
membelakanginya.
"Wiro! Sahabatku! Gendong
aku! Bawa aku kembali ke hutan Jatipadang! Kita pergi sekarang juga
bersama-sama dengan dua sahabatku berbaju hijau ini!"
"Celaka! Gadis ini sama
sekali belum sembuh!
Jangan-jangan Raja Obat menipuku!"
Wiro mengomel dalam hati.
"Ayo jalan! Lari Wiro!
Jika kau tak mau menggendongku dan lari dari sini, aku akan suruh ularular
sahabatku ini mematukmu!"
Mendengar ancaman itu Wiro
segera berteriak.
"Jangan! Jangan! Aku akan
membawamu ke mana kau suka! Jangan suruh ular itu mematuk!
Aku masih mau hidup!"
"Kalau begitu lari!
Dukung aku!"
"Ya … ya! Aku segera
lari!"
Sebelum meninggalkan tempat
itu Wiro Sableng berpaling pada Raja Obat.
"Kau lihat sendiri! Dia
masih belum sembuh!
Kini aku ketiban celakai Kau
Raja Obat tolol!"
Dimaki begitu si kakek hanya
ganda tertawa malah lambaikan tangan. "Selamat jalan anak muda …!"
katanya.
"Selamat jalan segala!
Edan!" maki Wiro. Lalu dia mulai berlari meninggalkan tempat itu sementara
Tambakjati Kalidiningrat bersiap untuk mengejar tapi dipegang bahunya oleh si
Raja Obat.
"Biarkan saja …. Mereka
tak akan pergi ke mana-mana Ucapan itu tambah membuat Tambakjati tidak
mengerti. Dia hendak mengibaskan tangannya yang dipegang, tapi cekalan si Raja
Obat kuat sekali, dia tak mampu melepaskan bahunya.
"Kurang kencang Wiro ….
Kurang kencang!
Ayo lari yang kencang!"
terdengar ucapan Dewi berulang-ulang sementara dua ekor ular ikut
mendesis-desis.
"Aku sudah lari
sekencangku bisa! Nafasku sudah megap-megap "Ah … kau berdusta!"
"Gila! Rasanya sudah mau
mati! Tubuhmu berat sekali!" teriak Wiro yang lari sambil mendukung Dewi
di punggungnya.
Tiba-tiba si gadis keluarkan
suara tertawa "Ha … ha … ha … ha . . .!" Suara tawa yang lain sekali
dengan tawa-tawanya sebelumnya.
Bukan suara tawa cekikikan
itu!
"Heh . . .?" Wiro
berpaling. Dilihatnya Dewi tertawa lebar malah mencibirkan mulutnya.
"Jika kau memang letih,
berhenti saja di bawah pohon sana "Dan kau tidak akan menyuruh ular-ular
itu mematukku?!"
"Tidak!"
"Dan kau tidak akan
memintaku mendukungmu ke hutan Jatipadang itu?!"
"Tidak!"
"Heh?!"
Wiro hentikan larinya dan
menarik si gadis hingga kini mendukungnya di sebelah depan.
"Kalau begitu kau
sebenarnya sudah sembuh!"
Gadis dalam dukungan tertawa gelak-gelak.
"Karena pertolonganmu aku
memang sudah sembuh! Hanya kedua kakiku masih lemah karena terlalu lama
dipasung! Aku hanya menggodamu!
Berpura-pura masih sakit dan
mengancammu agar mendukungku ke puncak Jatipadang!"
"Edan!"
Wiro turunkan Dewi dan
sandarkan ke batang pohon rindang di tepi jalan. Keduanya lalu tertawa
gelak-gelak dan saling berangkulan. Sepasang ular kobra hijau mendesis-desis
berulang kali seolah-olah juga ikut tertawa gembira.
TAMAT