-------------------------------
----------------------------
019 Pendekar Dari Gunung Naga
1
LEMBAH MERAK HIJAU yang
terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur dengan pemandangan
yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah
persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang ditanam telah masak menguning
hingga kemanapun mata memandang, seolah-olah hamparan permadani emaslah yang
kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang
melambai-lambai mengalun lemah gemulai.
Dipagi yang cerah ini diantara
desau tiupan angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang
merdu sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan
memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah gerangan yang
meniup seruling tersebut? Tentunya seorang seniman pandai yang dapat
menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat hembusan napas yang
disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi adalah diiuar dugaan
karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah seorang seniman, bukan pula
seorang dewasa. Melainkan seorang anak gembala yang baru berusia tujuh tahun
dan duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap berbulu bersih dan
berkilat.
Perlahan-lahan kerbau besar
itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau, kemudian
mendaki bibir lembah di sebelah selatan. Di atas punggungnya bocah berusia
tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak perduli lagi
ke mana pun kerbaunya membawanya.
Akan tetapi ketika binatang
itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta rnerta si bocah menghentikan
permainan serulingnya. Mulutnya ternganga dan sepasang matanya yang bening
melotot begitu dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua sosok tubuh yang
hanya merupakan bayang-bayang hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat,
terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.
Adalah aneh… memikir anak itu…
di tempat yang begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Memperhatikan
dengan mata tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri.
Beberapa kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka
lagi. Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya,
dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu tendangan
dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih dapat
mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus melabrak kepala kerbau yang
ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras.
Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di tanah, mati dengan
kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan nyangsrang dalam semak-semak.
Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling
Kesayangannya masih tergenggam di tangan kanannya. Dengan susah payah dia
keluar dari semak-semak itu sambil mengomel marah ketika mengetahui apa yang
terjadi dengan kerbau tunggangannya.
Di depan sana akibat kejadian
yang tak disangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama
melompat mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah
dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu
dapat melihat dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam dan
putih tadi.
Di depan sebelah kanan tegak
seorang kakekkakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang kilat-kilat
ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya jarang tapi
tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula
seorang kakek-kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia
memelihara kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya
memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya berkerut
seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat
bayangannya saja. namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah hitam itulah
yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang
mempunyai dasar watak yang berani. Dengan mata melotot dan air muka menunjukkan
kemarahan dia membentak pada kakek jubah hitam :
“Tua bangka botak! Kau telah
membunuh kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus
menggantinya kalau tidak…."
Seumur hidupnya baru kali itu
kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. apalagi anak-anak
yang masih ingusan pula! Tentu saja darahnya naik ke kepala
"Pergi kau dari sini.
kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti
dulu kerbau yang mati itu!’
"Bocah sundal! Kau
mampuslah!’ teriak kakek jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya dipukulkan
ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan seorang anak kecil seperti
pengembala itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak
jauh yang berkekuatan tenaga dalam Suar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan
kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu angin pukulan lain,
menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah!
Ternyata kakek berpakaian
putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si anak yang tidak sadar kalau
dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut. dengan marah mengangkat sulingnya
tinggi-tinggi dan lari ke arah kakek berjubah hitam.
"Tua bangka botak!
Kugebuk kau dengan sulingku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
Anak yang berani ini tidak menyadari
sama sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nyawa sendiri karena dalam
kemarahannya kakek jubah hitam memang sudah berniat membunuh anak itu. Tapi
lagi-lagi orang tua berpakaian putih menyelamatkannya Sekali bergerak, kakek
yang satu ini tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian bocah itu dan
menariknya ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanianmu luar
biasa dan mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu! Biar aku yang
mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam.
Kemudian dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-tua bangka tak tahu
diri.-Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa
gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak garang dan
menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi
bayangbayang hitam putih dan kembali pula si bocah menjadi sakit mata dan
pening kepalanya menyaksikan. Namun dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian
hebat itu sambi! tiada hentinya berteriak : Janggut putih, ayo kau hajar kepala
botak pembunuh kerbauku itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan
kepala binatang gembalaanku!"
Teriakan-teriakan anak ini
seolah-olah memberi semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya membuat si
botak jadi penasaran setengah mati!
Dari batik jubah hitamnya si
botak ini keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu berwarna hitam legam dan
memancarkan sinar menggidikkan. Setelah bertempur hampir dua ratus jurus
ternyata dia tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong maka kini dengan
senjata itu dia berharap bakai dapat mengalihkan kakek janggut putih.
Diiain pihak lawannya begitu
melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera keluarkan
senjatanya yakni sebatang tombak pendek terbuat dari baja putih yang kedua
ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian keduanya sudah
bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian mereka yang putih dan
hitam dibuntali oleh sinar dari senjata masing-masing dan menderu-deru dengan
dahsyatnya.
Bocah gembala yang berdiri
jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua senjata tersebut
membuat lututnya guyah dan tubuhnya bergetar menggigil Terpaksa dia menjauh
sampai satu tombak dari kalangan pertempuran sementara mata dan kepalanya
semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat
kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan
tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya dengan
satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget.
Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan tongkat
kayu mustika beradu dengan keras, me ngeluarkan suara nyaring. Tongkat kayu
mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan kakek janggut putih!
Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul
sedikit dari lawannya.
Selagi kakek janggut putih
melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua tangan di depan
dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Dari
ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan
harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan asap hitam itu
sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan yang amat besar, berbulu
dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung garuda dan mulai menggapaigapai
ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!"
teriak si janggut putih dengan wajah berobah. (Hoatsut ilmu sihir hitam).
Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat bagaimana pun
dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar
juga. Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si kepala botak itu lebih dulu
sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan. Dengan memutar tombak bajanya
sekeliling tubuh, dia menyusup diantara kepulan asap hitam!
Kapak Maut Naga Geni 2122
AKAN TETAPI SEBELUM tongkat
baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam sampai jarak tiga
jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah berserabutan menyerang
kakek janggut putih!
Si kakek tersentak dan
buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih
memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak bajanya, sekaligus melabrak
empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil menghantam
empat tangan mengerikan itu namun tombaknya lewat begitu saja seolah-olah
menghantam udara kosong! Dan dalam pada itu salah satu tangan tersebut telah
berkelebat dengan cepat dan bret!
Pakaian dibagian dada si kakek
robek besar. Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat baret daging dadanya
dan kontan orang tua ini merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru dia
salurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit panas dingin
berangsur-angsur berkurang.
Dalam pada itu di depan sana
kakek jubah hitam kembali keluarkan suara tawa mengekeh dan delapan tangan
siluman kembali menyerbu!
Kakek janggut putih maklum
bahwa segala pukulan sakti dan tombaknya tak akan mampu meng hadapi ilmu sihir
yang ganas itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang
sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa berbuat begitu? Seratus,
dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka? Dalam umurnya yang
sudah demikian lanjut, apakah dia mampu melaksanakannya? Cepat atau lambat dia
bakal celaka juga! Hal ini membuat dia nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi
ilmu siluman musuh betulbetul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja dia
sudah didesak habis-habisan!
Bocah penggembala yang
mengharapkan agar kakek janggut putih bisa menghajar si botak yang telah
membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan bagaimana
justru kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya karena
saat itu beberapa kali tangantangan iblis berkuku panjang telah memukul dan
mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah akibat
luka-luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki
itu mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan melempari kakek jubah
hitam dari belakang. Tapi semua batubatu yang dilemparkan jangankan mengenai,
mendekati tubuhnya saja pun tidak karena batu-batu itu mental kembali akibat
hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala botak!
Hebatnya kakek janggut putih
itu meskipun sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya sudah ditentukan
saat itu, namun dia masih saja bertahan dan melawan mati-matian, sama sekali
tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek
berjanggut putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu bakal
menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala. Tetapi
anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat ini. Malah untuk
menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil serulingnya dan mulai meniup. Lagu
yang dimainkannya sama sekali tak menentu. Rasa takut dan khawatir melihat
keselamatan si kakek janggut putih terancam membuat tiupan serulingnya
melengkinglengking tak karuan. Tetapi justru tiupan seruling inilah yang
mendadak sontak merubah keadaan di dalam kalangan perkelahian hidup mati itu!
Delapan tangan iblis yang
mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau. semakin
lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap hitam. Kakek jubah hitam
tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan pikirannya guna mengumpulkan kekuatan
bathin yang tercerai berai namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman itu
telah berubah jadi kepulan asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek
botak ini. Dia buka kedua matanya justru disaat itu musuhnya yang telah luka
parah laksana banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang mendadak dan
adanya kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan
mematikan yang bernama "Joan hun-kigwat" atau "menyusup awan
mengambil rembulan."
Tongkat baja bermata dua itu
menusuk laksana kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielakkan lagi
tepat menembus jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun kakek berkepala botak
itu minggat nyawanya ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya
mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan.
"Syukur! Mampuslah
pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang akan
dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara itu si janggut putih
yang tubuhnya penuh luka-luka, dalam keadaan megap-megap segera bersila di
tanah. Atur jalan darah dan napas serta salurkan hawa sakti tenaga dalam
keseluruh bagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua macam obat
yakni beberapa butir pel dan sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya sampai
habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian
kembali dia bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahanlahan orang tua
ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski kini dia telah selamat dari
kematian namun kesehatannya belum pulih keseluruhannya. ternyata cakar dari
jari-jari tangan siluman yang telah membuat dia cedera itu mengandung racun
yang berbahaya. Untung saja dia membawa persediaan obat, kalau tidak meskipun
dia berhasil membunuh musuh namun racun, yang mengendap bukan mustahil bakal
membuat dia menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka.
Orang tua ini kemudian ingat
pada anak gembala itu yang kini tengah duduk termangu-mangu di bawah sebatang
pohon. Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan karena kesalahannya dan si
pembunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya pasti tak mau perduli. Masih
mending kalau dia diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
Selagi dia termenung sudah
begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia merasakan tengkuk
pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya tubuhnya laksana terbang.
Memandang ke samping ternyata dia telah dipanggul oleh kakek berjanggut putih
dan membawa lari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang dan
ngeri.
"Orang tua kau mau bawa
aku ke mana?!" seru si bocah dengan suara gemetar.
"Budak… kau diam sajalah.
Tak usah banyak tanya!"
"Tapi aku harus kembali
pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu…."
Si kakek tertawa.
Kau anak baik yang tahu apa
artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan!
Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat bagus sekali! Sayang… sayang kalau
disiasiakan! Aku akan bawa kau ke puncak Liongsan! Kau dengar? Puncak
Liongsan!"
"Aku… aku…."
Si kakek mempercepat larinya
dan kerena ngeri si bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini dia
pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di atas pundak kakek
yang membawanya "terbang" itu!
Siapakah adanya kakek berambut
putih ini? Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tujuannya sampai anak
gembala tersebut hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini
dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang
menemui ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dikenal dengan
julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu
diantara tokohtokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong dianggap
tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai pimpinan. Dengan
sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu
antara Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih yang membawa lari anak
gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang
seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih berhasil mengalahkan
Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat sakit hati. Selama tlya
tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam ilmu silat, tenaga dalam dan
gingkangnya. Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam
atau sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup untuk melakukan penuntutan balas,
maka dicarinyalah kakek janggut putih tadi. Ternyata Paksa n Kwi-ong memang
berhasil menghadapi musuh besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja
dapat membunuh lawan. Namun tiada disangkasangka, ilmu sihirnya musnah
berantakan hanya karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau. Dan akhirnya
secara penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh!
Lalu siapa pulakah kakek
janggut putih itu?
Kapak Maut Naga Geni 2123
KALAU SEBELUMNYA telah
dijelaskan bahwa Paksan Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan hitam yang
paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari golongan
putih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang menjadi tokoh kelas
wahidnya. Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang, berusia 70 tahun dan
bergelar Sin-jiu Thung ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah
dianggap sebagai jago nomor satu pada masa itu, namun tokohtokoh persilatan
bukan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar
biasa kesaktiannya, yang sukar bahkan tak ada tandingnya diseluruh Tiongkok.
Namun sudah sejak lama orang ini mengundurkan diri dari urusan duniawi dan di
mana beradanya sekarang tak seorang pun yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa
tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo Hosiang.
Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih dari 80 tahun, bergelar
Kim-Bong-Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas. Diduga hanya Kiat Bo
Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu berada.
Sementara itu diketahui pula
bahwa Ik Bo Hosiang mempunyai dua orang pembantu rnasingmasing berusia 60 tahun
yang kepandaiannya hanya satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat Bo Hosiang.
Jika baru pembantunya saja sudah memiliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka
dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiang sendiri.
Sebagaimana lazimnya yang
terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa
mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula terlepas dari diri Ik Bo
Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya
wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa kakek sakti itu tidak sehat
pikirannya alias berotak miring atau setengah gila! Cuma untuk menyatakan
pendapat atau anggapan itu secara terang-terangan tentu saja tak satu pun yang
berani karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama saja
dengan mengundang "penyakit".
Setelah lari hampir seratus
iie dan siang telah berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru berhenti. Anak
kecil yang didukungnya ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya
di tanah. Dia sendiri kemudian menelan beberapa pil obat lalu duduk bersila di
tanah. Mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga dalam
ke bagian tubuh yang baru saja sembuh dari pada racun jahat ilmu siluman
Pak-san Kwi-ong. Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan perjalanan,
lari dalam gelapnya malam persis seperti setan yang berkelebat gentanyangan.
Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang
istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia meneruskan perjalanan
kembali.’
Seringai gembira tersungging
di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga (Liongsan) yang menjulang
tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap gunung itu angker, tak satu
orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo Hosiang seperti orang tak
perduli, dan terus mendaki gunung yang menjulang ini. Sampai pertengahan lereng
jalan yang menuju puncak gunung masih mu-dah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi
selewatnya pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar mulai rapat. Ular-ular
pohon kelihatan membelit dan bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang kena
dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit nkan mati akibat bisanya yang
jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya
tidak perduli akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah yang
menjauh ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek ini
mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam hutan, sama sekali
tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak
di atas pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan lereng,
perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana menghilang batu-batu
karang raksasa runcing menjulang langit, licin berlumut lembab. Disela
batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap sedang kabut
bertebar menutupi pemandangan!
Akan tetapi hebatnya,
seolah-olah dia berlari di jalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat
menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo Hosiang terus saja lari seenaknya.
Melompat dari atas batu karang yang satu ke batu karang yang lainnya; melayang
di atas jurang-jurang maut hingga akhirnya sampai di puncak Uongsan!
Saat itu di salah satu puncak
Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih asyik bermain tioki
(catur). Yang pertama berambut putih berbadan pendek. Usianya sekitar 60 tahun
dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang se-orang lagi kurus tinggi,
bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan lain adalah
pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara orang menyebut
mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu jauh tokoh
berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat mereka sebagai murid,
sekalipun se gala kepandaian silat yang diperdapat dari Ik Bo Hosiang sendiri.
Disamping itu mereka dari sejak dulu memang bertugas melayani dan memenuhi apa
apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti telah diterangkan
sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang boleh diKatakan
seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan sendirinya menular pula pada
kedua pembantunya, meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main
tioki dan ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah satu bidak
lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan berkata : "Heh
ada orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah
mendengar. Sesaat keduanya saling memandang heran. Memang sudah sejak lama
sekali tak pernah ada orang luar yang naik ke puncak Liongsan. Jika hari itu
ada orang yang datang ini merupakan suatu yang luar biasa.
Baru saja Lo Sam Hosiang
bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di depan mereka sudah
tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut serba putih. Di
pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki berusia 7 tahun.
Begitu melihat siapa adanya
kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri dan
berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana
kalau puncak Liongsan hari ini akan kedatangan tetamu yang bukan lain adalah
susiok kami sendiri!" (Susiok – paman guru). Yang berkata ini adalah Lo
Sam Hosiang.
Sang tetamu yang tentu saja
sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai.
Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang
ada?’
"Tentu saja ada. Sudah
sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liongsan ini “ menjawab Lo
Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang
bertanya dengan hormat: "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
"Tentu… tentu saja."
Eh. susiok. Siapakah bocah
yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo Sarn Hosiang pun
kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku
tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala!
Selama belasan tahun Kiat Bo
Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul membawa seorang anak lelaki tentu
saja ini mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang itu.
"Sekarang lekas kalian
beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia untuk utusan
penting!
Sekilas dua pembantu \k Bo
Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu susiok mereka dan
memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek serta
guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai kalian berdua tunggu
apa lagi? Cepat beri tahu!" Saat itu dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah
bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin memberikan
jawaban. Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak di ganggu. Jelasnya
siapapun yang datang beliau sekaii-kali tak boleh diganggu karena saat ini
sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang
aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan,"
sahut Toa Sin.
Kiat Bo Hosiang mendungak ke
langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga dalam yang luar biasa,
dengan sendirinya suara tawanya dahsyat sekali!
Dua pembantu Ik Bo Hosiang
terheran-heran. Keduanya saling pandang. Dan karena mereka memang kurang beres
jalan pikirannya maka lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak
Gunung Naga itu seolah-olah bergetar dilanda gelombang suara tertawa tiga
manusia sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang
hentikan tawanya. Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang matanya membeiiak
dan dari mulutnya keluar bentakan garang.
"Kalian berdua
kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui
suheng-ku sendiri?!"
Serta meria dua pembantu ini
hentikan pula tawa mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan kami melarang, susiok.
Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu. Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma
menuruti perintan."
Persetan dengan segala pesan
dan perintah! Aku tidak rnengenal segala aturan yang dibuat oleh suhumu yang
berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat
menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit kurang sehat
pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak miring dan tidak
sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting.
Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana,
susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek! Jangan bikin aku
marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!" Kiat Bo
Hosiang sudah tak dapat lag! menahan marahnya.
"Ah, susiok. Kau tentu
tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah tua bangka dan
menjalankan perintah dengan segala tanggung jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai.
"Jadi kalian
kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari
kuberi sedikit pelajaran!"
Habis berkata begitu Kiat Bo
Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar. Satu gelombang angin menggebu
dengari dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buruburu
menghindar ke samping. Namun tak urung sambaran angin pukulan itu masih membuat
mereka terhuyung-huyung ke belakang.
“Susiok, kau pun nyatanya
sinting! Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu suhengmu.
Tapi jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun kami bakal
hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!" Yang bicara begitu
adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada
rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.
Kutuk serapah menyembur dari
mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!
Kapak Maut Naga Geni 2124
MESKIPUN cuma
pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari Liongsan itu
memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika diukur maka kepandaian
mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang.
Kalau saat itu mereka maju berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan
terdesak dan kalah. Namun ada beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul dari
kedua lawannya.
Pertama sebagai
pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan jarang sekali
turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam pertempuran. Sekalipun
memiliki kepandaian tinggi namun kurang pengalaman merupakan hal yang ikut
menentukan. Kedua, sepasang kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya
yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau
menurunkan tangan jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti
main-main saja dan sambil tertawatawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat
Bo Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di atas pundak kirinya hingga dua
kakek dari Liongsan tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena khawatir
akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu
berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo Hosiang mulai
terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu teriakan keras dan
serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat Bo Hosiang
menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu
silat dari kakak seperguruannya. Namun permainan silat yang dikeluarkan oleh
dua lawannya saat itu aneh dan tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik
Bo Itu sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat Bo Hosiang
membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan silat
dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua bangka-tua bangka
Liongsan, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu silat kalian yang baru?
Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!" berseru Kiat Bo
Hosiang dengan penasaran. Dari balik pinggang pakaiannya dia segera keluarkan
senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercabang dua.
Dengan tong-kat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung bocah penggembala
Kiat Bo Hosiang yang bergelar Hln jiu Tlmng-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti
Itu mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus muai senjatanya dalam tempo
singkat dia sudah mendesak lawannya dengan hebat!
Haik Toa Sin maupun Lo Sam
Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang mematikan oleh
susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau
anggap musuhmusuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup mulutmu manusia
muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas menderu ke
arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan krak!
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia
melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil pegangi lengan kiri yang
kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah
gilakah," teriak Toa Sin namun kakek yang satu ini pun segera pula
mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri remuk
tulang kakinya sebelah kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi dasar
gila, sekali dia masih bisa juga tertawa hahahihi!
"Tua bangka-tua bangka
tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang kuremukkan! Lain kali
suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada kalian! Bagaimana
menghormat se-orang paman guru!"
"Paman guru sableng
macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pantatnya
dan kemudian kentut! Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat
itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah setengah mati dihina begitu
rupa!
Dengan beberapa kali lompatan
kilat Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liongsan. Anak pengembara yang ada
di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi
sebelumnya!
Kiat Bo melangkah menuju ke
sebuah pondok kayu Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam pondok mencari
suhengnya karena Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping tengah bersemedi
dengan cara yang luar biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di
atas sebuah batu hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di sebelah bawah, pada
batu hitam itu. Tubuhnya tak sedikit pun bergerak sedang dua tangannya
dirangkapkan dldepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang panjang, menjulai
menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam Kiat Bo menjadi
kagum juga melihat nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul di antara
tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak seperguruannyalah
yang sanggup melakukan hal itu.
Kalau tadi Kiat Bo ingin
buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah
bagaimana harus membangunkannya. Tiba-tiba anak yang didukungnya menggeliat dan
terbangun. membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat di mana dia berada.
Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki ke
utas kepala ke bawah.
“Hai. patung atau manusiakah
ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo Hosiang.
"Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik
keras-keras janggutnya. Jika
dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau patung pasti diam
saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah mendapat akal bagaimana harus
membangunkan suhengnya.
Bocah penggembala mendekati Ik
Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulur kan untuk menarik
janggut orang tua itu. Tapi mendadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah,
termasuk pula Kiat Bo Hosiang. Ketika tangan itu hampir hendak menjenggut
jenggot, tiba-tiba jang gut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian
tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!
"Hai!" si anak
kaget. Dia gerakkan tangan kirinya, namun tangan yang satu ini pun kemudian
kena dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha berontak untuk melepaskan
kedua tangannya tetapi sia-sia saja!
"Suheng! Kau
bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru. Jika janggut-janggutnya bisa bergerak
pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari samadinya, demikian Kiat Bo berpikir.
Tiba-tiba si anak menjerit
karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya telah
terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget, untung masih
sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh dengan keras
di atas sebuah batu besar. Untuk sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong.
Membuat mental seseorang dengan menggerakkan janggut yang tentunya dialiri
tenaga dalam betul-betul merupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah
yang telah dilakukan oleh suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun
kau tak muncul, begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteraman puncak
Liongsan ini saja!" terdengar suara halus yang bukan lain adalah suara Ik
Bo Hosiang. Memandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk
tenang-tenang di atas batu hitam di atas mana sebelumnya dia
bersemedi.-Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya. Pandangan
ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah suheng,"
menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan maksudku untuk
mengganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi aturan yang dibuat oleh
kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku keras…."
"Kekerasan itu memang
harus ada. Tapi pada waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu.
Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam dan
Toa Sin memang kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di puncak Liongsan
ini mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu, siapa pun
dia adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah yang membuat aturan,
bukan orang luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan
bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa
keperluanmu datang ke mari."
"Budak itu,
suheng…."
"Aku tidak tanya budak
itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau
melirik pada penggembala yang tegak di samping sutenya.
"Begini suheng…"
lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong (Raja
Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak ada bocah penggembala yang
pandai meniup suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku akan
melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak ini dan
wajib membalasnya!"
Memang betul apa yang
dikatakan oleh Kiat Bo Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong yang
mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja menemui
ajal jika saat itu di tempat tersebut tidak ada anak penggembala yang memainkan
sulingnya. Padahal suara tiupan seruling itu mengganggu pemusatan pikiran dan
bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku tidak tertarik pada
ceritamu." Tidak tertarik padamu ataupun budak tukang angon kerbau itu!
Nah sekarang silahkan angkat kaki dari puncak Liongsan ini!"
"Suheng…!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak
perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan menyanyi:
Puncak Liongsan tinggi sekali
Tapi lebih tinggi akal dan
budi
Laut Selatan hijau dan dalam
sekali
Namun lebih dalam perasaan
hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak
berguna
Jika perasaan lebih
menggelora.
Ik Bo Hosiang mengulang sekali
lagi lagu itu. Dilain pihak, bocah penggembala yang mendengar merasa nyanyian
itu cukup merdu dan terus saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi
nyanyian si kakek. Mengetahui nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo Hosiang
lantas saja mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali berturutturutl
Tiba-tiba tokoh aneh dari
Liongsan ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit dan tertawa gelak-gelak.
Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup suling merasakan lututnya goyah oleh
suara tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung jatuh ke tanah. Kiat Bo
Hosiang sendiri pun jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pasti
akan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu
dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek nyanyianmu bagus
sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak kurang ajar!
Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandiwara
keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba berkelebat jungkir-balik.
Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di atas batu di mana dia tadi
bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai budak! Kenapa kau
menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa kau kira aku ini
tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah ngambek dan balik
menyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir kalaukalau suhengnya bakai kumat
otak miringnya marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru saja membuka
mulut.
Suheng, kau tahu aku telah berhutang
nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus dibayar. Kau saksikan sendiri
keadaan budak ini. Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya amat baik.
Rasanya sulit mencari bocah seperti dia di delapan penjuru angin Tiongkok.
Sebetulnya aku berniat untuk mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu sendiri.
Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk
tidak akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau alasan apapun juga.
Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig
sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk membalas hutang nyawaku
padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!’
"Enak betul bicaramu.
Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu
asalusulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu
kau minta aku mengambilnya jadi murid! Kau sudah gila atau otakmu memang sudah
rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat
sendiri. Anak ini lain dari yang lain…."
"Apanya yang lain? Dia
bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut satu, telinga dua…. Itu
kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya betul-betul sudah gila! Kasihan…!"
"Suheng, aku memohon
padamu…!"
"Kau keblinger, Kiat Bo.
Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
"Kau boleh bunuh aku,
suheng!"
"Buset! Dua tiga bulan di
muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus menggali kuburmu
lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama berdebat begitu rupa
Kiat Bo Hosiang yang memang punya watak lekas jengkel jadi penasaran juga. Dia
berkata: "Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak
mengemis untuk jadi murid-mu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku
tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau masih belum
menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku Thian Ong, she
Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala itu
berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata: "Kakek, kau punya tanggung
jawab membawaku ke mari. Sekarang kau punya kewajiban membawaku turun dari
tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak
membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo Hosiang.
"Aku tak perlu segala
balas budi. Kalaupun…."
"Thian Ong anak kurang
ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil. Tapi si
bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang keluar dari tubuh si kakek
menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu. Aku sudah
lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada bagian-bagian yang tertutup.
Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam
merasa gembira mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya bocah yang
bernama Song Thian Ong berkata marah: "Kakek, kau betul-betul sudah gila,
menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang ajar! Kualat
kau!" teriak Ik Bo Hosiang. Dia mengulurkan kedua tangannya. Bret…. Bret….
Bret! Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong hingga dia kini telanjang bulat.
"Hem bagus…. Kau memang boleh!" Dan habis berkata begitu Ik Bo
Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melemparkannya ke udara, menyambutnya
dengan kedua kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong dipentalkan
kembali ke atas, disambut lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya. Anehnya
Thian Ong tidak merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia
ngeri. Dan anak ini tak hentihentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang
mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah bola,
tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan Toa Sin Hosiang. Masing-masing mereka
telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta mengganjalnya dengan potongan
kayu. Menyaksikan guru mereka "bermain-main" begitu rupa keduanya
tertawa gelakgelak.
"Suhu," seru Toa
Sin, "apakah kami berdua boleh Ikut main bersamamu?"
Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang
berseru: "Pendek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong sudah
melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakekkakek ini dengan gembira menyambut
tubuh yang terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong melayang ke arah
Lo Sam Hosiang. Dengan gembira kakek yang seorang ini menyambut pula dengan
tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang ko arah Ik Bo Hosiang.
Begitulah seterusnya. Tiga kakek-kakek keblinger dari gunung Naga itu telah asyik
dengan permainan "bolanya". Tidak perduli lagi akan jerit ketakutan
si bocah. Apalagi terhadap Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang
menyaksikan hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gila dasar manusia
manusia gila!" katanya dalam hati. Namun diam-diam dia gembira sekalipun
suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi
muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main bola" seperti itu,
Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu.
Dengan senyum puas Kiat Bo
Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.
Kapak Maut Naga Geni 2125
DUA BELAS TAHUN kemudian….
Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke dalam
cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun juga atas bangsa lain
pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang paling sengsara seperti biasanya
ialah rakyat jelata.
Di mana-mana kaum penjajah
yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan seribu satu macam
tindakan sewenang-wenang lainnya.
Pemerintah Tiongkok di selatan
yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi
kaum penjajah. Selain selatan memang memiliki balatentara dan persenjataan
lemah, roda pemerintahan pun sudah kacau-balau centangperentang. Mulai dari
kaisar sampai pada pejabatpejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk
kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah. Dalam pada itu mereka terlena pula
dalam bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana pula akan terpikir
untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah Mongol.
Pedih sakitnya penderitaan
yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk bersatu dan
secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan tersebut dibagi dua.
Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di utara dan kedua untuk
menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup, keji sewenang-wenang dan
sebagainya. Pada masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan rakyat yang
menderita ini secara diam-diam dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga akibat
yang ditimbulkannya makin hari makin hebat dan membuat kaum penjajah merasa
terancam.
Namun tidak jarang pula rakyat
yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka dihantam oleh
pasukan Mongol berjumlah besar atau diserang dan ditangkap oleh balatentara
Kaisar dari selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di tempat terbuka,
prajurit-prajurit yang tak lain adalah rakyat jelata biasa dibunuh secara
massal!
Gerakan rakyat yang ingin
membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekaligus
mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan memeras, dengan sendirinya
menghadapi dua lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh dikalangan
mereka, namun demikian semangat perjuangan mereka tak kunjung padam. Jangankan orang
lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan kaum wanita pun
ikut turun ke dalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu hari di bulan
kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan rakyat yang berjumlah
50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin
pasu kan, salah seorang diantara anggotanya adalah mata-mata. Pemerintah
selatan yang berhasil menyusup. Selagi pasukan itu tengah beristirahat di’ kaki
bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan tempat tersebut, langsung menuju
tempat rahasia di mana telah menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah yang
terdiri dari lebih seratus orang
Dalam waktu singkat pasukan
rakyat yang tengah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka diserbu
dengan sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan
diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali lipat disamping itu
serangan datangnya mendadak sekali.
Dalam waktu sebentar saja dua
puluh orang anggota pasukan rakyat gugur. Komandan pasukan seorang lelaki
separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak kepada anak buahnya untuk lari
menyelamatkan diri dan membiarkan dia sendiri menghadapi pasukan Pemerintah.
Tekadnya biar dia mati asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan.
Akan tetapi mana ada diantara mereka yang mau mengikuti perintah Pouw Keng In.
Malah pasukan rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10 orang lagi diantara
mereka menjadi korban.
"Bunuh semua
anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak
komandan pasukan Pemerintah. Dia menyeringai puas melihat bagaimana musuh
porak-poranda dan berguguran satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan
pandangan matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang
dapat dibunuh secara sewenang-wenang,
Pada saat yang gawat bagi
pasukan rakyat itu. dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan mandi
darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan hijau disertai gulungan sinar
coklat. Terdengar pekik susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat enam anggota
pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya, remuk dada.
bobol perut dan sebagainya.
Tentu saja pasukan Pemerintah
terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun tak kurang kagetnya.
Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah turun tangan membantu mereka
meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya orang itu karena saking
cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi bersemangat dan menempur iawan
berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis dari mana yang
berani mencari mati di sini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan.
Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata sedikit juling dan punya
tampang garang, lengkap dengan kumis melintang serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk
tidak menyahuti malah berkelebat makin cepat. Delapan orang lagi pasukan
Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar dan tak
berani
didekati bayangan hijau itu.
Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajuritprajurit
rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil ditewaskan
"Setan alas." maki
Cu La i Seng marah sekali. Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya.
Dengan tangan kanan dirampasnya pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu
diketahui Cu Lay Seng ini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyambitkan
berbagai macam senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah tak akan
melesat! Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini dilemparkan
dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah memporak-porandakan
pasukan Pemerintah.
Cu Lay Seng sudah dapat
membayangkan bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus oleh pedang yang
dilemparkannya. Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu
menyaksikan senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan dengan
tangan kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si bayangan
hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam waktu
singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay Seng maklum kini bahwa
dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian amat tinggi dan memiliki
gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas
melihat siapa adanya bayangan hijau itu.
"Mundur semua",
teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit Pemerintah
yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua kali terus
saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln memberi isyarat agar
anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat itu terluka
parah, amat kagum melihat kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah oleh seorang
anak buahnya dia menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Cu La y Seng telah
melompat turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng tahu-tahu sudah berada
lima langkah di hadapan bayangan hijau. Dan ketika bayangan hijau ini
menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan semua
orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua melengak kaget!
Be-tapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak bergerak di tengah
kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang gadis berparas elok jelita.
Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas kepala dengan sepasang cambang
halus meliuk dikedua pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis ini baru
berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda itu sudah memiliki kepandaian
yang hebat, siapa orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah
menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus
menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan nada
keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap
aku…?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak
mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi Cu Lay
Seng.
"Begundal penjilat pantat
kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru
dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah cantik. Jika kau bilang aku
menurunkan tangan jahat terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang
telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut apakah?! Dosamu besar sekali
Komandan! Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta ampun
di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu
ke akhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia
telah menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut.
Selain memiliki ilmu tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau baru gadis
binal begini saja kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau
menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan
kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang nona
dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat
sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki "pepesan
kosong" begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak buahnya
sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng. Dengan
didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona
berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar putih menyilaukan. Inilah
sinai senjata di tangan Cu Lay Seng yaitu sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!"
Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia lihay
sekali!"
Memang Pouw Keng In mengetahui
betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan dengan dirinya masih
ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah menyaksikan kehebatan si nona namun
tetap saja dia khawatir. Karena kalau sampai Cu Lay Seng menang bukan saja dia
dan seluruh anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh
lebih buruk. Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar
pada masa itu, apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona baju hijau justru
malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Keng in dan
berkata: "Terima kasih atas peringatanmu. Kau lihat sajalah bagaimana aku
menghajar manusia kecoak yang tidak berguna ini."
Sambil menjura tadi dengan tak
acuh nona itu gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas Cu Lay Seng yang
saat itu tengah melancarkan serangan hebat menjadi amat terkejut ketika
tiba-tiba dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu ke arah lengannya.
Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga
dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu Lay Seng robah
gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan serangan ruyung ke
arah kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah
mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak menyamber ke bawah
si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah yang sama
Selain tak menyangka kalau
lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng pun kelewat yakin bahwa
ruyung peraknya lebih ampuh. Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan
bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya terbuat dari kayu coklat.
Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat. Pada saat bentrokan
senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah dua dan mencelat
mental! Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay Seng ternyata tidak
cacat barang sedikit pun.
Dalam keadaan sang Komandan
masih kaget begitu rupa nona baju hijau yang sampai saat itu di tangan kirinya
masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu ke
depan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu Lay Seng menjerit keras. Darah
mancur dari tangan kanannya yang kini sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau
menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosamu.” berseru si nona
seraya tusukkan pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si Komandan.
Hanya satu senti saja lagi
ujung pedang akan menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar bentakan marah:
"Bwe Hun! Lagi-lagi kau!
Lagi -lagi kau!"
Satu bayangan putih berkelebat
dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke samping selamatlah
Cu Lay Seng dari kematian!
Kapak Maut Naga Geni 2126
NONA BERBAJU HIJAU palingkan
muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, berlutut pada
seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak dihadapannya.
"Suhu…!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku
sudah bilang jangan melakukan pengacauan! Jangan berani menentang alat-alat
kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama sekali
tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin mengikis kejahatan,
kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh
seenakmu?!"
"Orang-orang jahat dan
se-wenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rakyat untuk
membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan bangsa sendiri wajib
dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau
dan tidak tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas angkat kaki dari sini.
Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan begini, aku akan jatuhkan
hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li Bwe
Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab: "Suhu hukuman
berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan Suhu sendiri. Kau
menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam kemewahan luar biasa.
Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum penjajah
untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai murid aku…."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan
katakatanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya, membuat gadis itu
terhuyung ke belakang satu langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah
mengetam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya kalau suhunya sendiri-yang
telah mendidik dan merawati selama belasan tahun -tega-menamparnya seperti itu
dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah berubah sejak masuk ke dalam
bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani
bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu, aku tidak takut
mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi murid Kiat Bo Hosiang
yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan
semua orang yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa adanya nama kakek
di hadapan mereka saat itu. Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang
boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik Komandan pasukan Kaisar
maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing merasa gelisah dan berdebar.
Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang
sejak beberapa waktu belakangan ini telah membantu kaum penjajah Mongol. Jadi
sekaligus merupakan musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo
Hosiang berkilatkilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata muridnya
itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak: "Li Bwe Huni Mulai hari ini aku
bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan seluruh ilmu
yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak demikian Kiat
Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan darah
kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat di punggung muridnya. Dua
totokan ini bukan merupakan totokan maut akan tetapi amat berbahaya. Jika totokan-totokan
itu sampai menemui sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan
menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan
seluruh ilmu kepandaiannya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun kaget sekali melihat
bagaimana suhunya melancarkan totokan yang jahat itu. Kini nyata kalau gurunya
memang sudah gelap mata dan tidak tedeng aling-aling untuk menurunkan tangan
jahat. Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat menghindar selamatkan diri.
Melihat serangan dapat
dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu dengan
serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan senantiasa diserta
totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti ini
walaupun membuat sibuk muridnya namun masih belum sanggup merobohkan, ini
membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan sialan!
Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam ilmu
kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang kali.
"Aku malah seribu kali
lebih menyesal dan malu karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macammu! Dan
jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk dijadikan murid! Kau yang menculik
aku dari tangan orang tuaku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh
kau sekalian biar puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang lantas mempergencar
serangannya. Tubuhnya hanya tinggal bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun
dari segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhunya terpaksa gadis ini
kerahkan pula seluruh kepandaiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui
betul jurus-jurus silat yang dimainkan, termasuk tipu-tipu dan
kelemahan-kelemahannya maka dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan
dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah
suhunya. Namun dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak
kalah! Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat
apa-apa!
Bagaimanakah asal mulanya
sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan dan hendak membunuh murid nya sendiri! Dan
apakah betul tokoh silat golongan putih itu menjadi kaki tangan penjajah
Mongol?
Seperti sudah sama dimaklumi
jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri dari daya tarik
keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam ragamnya itu. Salah seorang
diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih memberi pelajaran silat
pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang memang mempunyai dasar watak suka akan hidup
mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam menghadapi perempuan cantik,
telah terjebak dalam bujuk rayu orang-orang Mongol.
Kepadanya diberikan sebuah
gedung besar bak istana layaknya di Undur Khan. Harta benda dan uang berlimpah
ruah. Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal
pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo Hosiang lupa
segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya. Memang banyak
gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah. Pertama, jika Kiat Bo berada dalam
genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari pihak Pemerintah Tiongkok
ataupun dari pergerakan rakyat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh
sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan untuk
menghadapi orang-orang Pemerintah dan rakyat. Dan kenyataannya memang Kiat Bo
Hosiang telah berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan oleh
bangsanya sendiri.
Disatu pihak Kiat Bo mendapat
imbal kehidupan yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak dia menjadi
momok kebencian rakyat dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari orang yang
membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah digemblengnya selama
lebih dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia
17 ini begitu memulai pengelanaannya di dunia kangouw telah dihadapkan dengan
kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang pengkhianat yang menjada
kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk menghancurkan rakyat serta
Pemerintahnya sendiri! Sedangkan dia sendiri yang walaupun masih muda tapi
dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah, telah memilih untuk
berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya, gadis ini
berulang kali membantu pasukan rakaat dan disamping itu setiap dia mendengar
ada pejabatpejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji serta semena-mena,
pastilah dia turun tangan untuk menghukum pejabat itu. Sekali dua diberi
peringatan, tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segansegan untuk
menebas batang lehernya.
Dalam melakukan hai yang
dianggapnya sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun mendapat tantangan
dan menghadapi lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya adalah gurunya
sendiri yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah memberi
peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang
berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia yakin apa
yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya
bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau berlepas tangan ataupun melakukan
perbuatanperbuatan yang salah, tapi justru guna menolong orang-orang yang
tertindas, untuk kebaikan dan membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya
hari ini kembali dia dipergoki oleh subangnya ketika membela pasukan rakyat
yang hendak dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya
yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang
sudah jauh tersesat hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelakakan muridnya
sendiri, membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena
sampai begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua totokan ganas itu
ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapanucapan
Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam sesatnya Kiat Bo
memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun tersirap darahnya
ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya yang hebat yakni
tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu…! Orang-orang
Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran!
Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi seruan itu justru membuat
Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat. Sinar putih
menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya
yang tadi telah diselipkannya di pinggang.
Namun dalam ilmu permainan
tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah amat luar
biasa, dihadapan Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus.
Selewatnya 5 jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhunya, dia segera
terdesak hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk menyelamatkan diri dari dua
ujung tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa bagian pakaiannya telah
robek disambar senjata sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka gadis ini
akan menemui kematian secara mengenaskan. Menyaksikan ini semua orang jadi
gelisah. Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung tongkat bersarang di dada
Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental
mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah,
murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan tusukkan ujung
tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua bangka keji!"
tiba-tiba terdengar bentakan. "Kau yang lebih dulu layak mampus!" Dua
orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng dan Pouw Keng In!"
Kapak Maut Naga Geni 2127
BAGAIMANA pula sampai kedua
Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan bertempur itu kini bersatu
menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka tiba-tiba saja
turun tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa memperduiikan keadaan dan
tingkat kepandaian mereka sendiri. Pertama bagaimana pun juga Li Bwe Hun
merupakan nona penolong bagi Pouw Keng In sewaktu tadi dia luka parah
menghadapi pasukan Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay
Seng maupun Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo
Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona celaka
lebih baik mereka lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu Lay Seng
seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi di negerinya selama ini memang membawa
penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa berdosa telah melakukan
pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini berjuang.
Akan tetapi, meski dibantu
oleh dua orang Komandan pasukan yang gagah berani Itu, keadaan Bwe Hun tidak
lebih baik Malah setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai
terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak, memerintah pada anak
buahnya untuk mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang
dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln
sebagai pelopornya. Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe Hun dan
kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan
Tongkat baja di tangan Kiat Bo
Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang kematian terdengar setiap
tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng menenun ajalnya pula dengan kepala
pecah. Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng In. Sesudah kedua orang ini roboh
anggota-anggota pasukan yang mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan diantara
mereka segera melarikan diri hingga pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya
mengandalkan tangan kosong, tinggal sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh
dikatakan ajalnya di depan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang
menderuderu untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri tiba-tiba terdengarlah
tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di
depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu, lain halnya dengan
Kiat Bo Hosiang, Serta merta kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan
berpaling ke arah datangnya suara suling itu
Dan kelihatanlah satu
pemandangan aneh tapi juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gombrang
mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah pohon yang tinggi hingga dia
tergantung-gantung dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Sambil ber gantung dia
meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu
yang dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo Hosiang hampir
menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini telah
berlalu demikian lama namun Kiai Bo Hosiang tak bisa pangling. Pasti inilah
bocah penggembala yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah dibawanya ke
puncak Liongsan untuk diserahkan pada suhengnya. Ternyata kini dia telah
dewasa. Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diamdiam membuat Kiat Bo
Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia telah pula mewariskan sifat gila
suhengku! Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia berseru :
"Thian Ong Kau! Ayo lekas
turun!’
Pemuda berpakaian gornbrong
yang berayunayun di cabang pohon sambil meniup suling itu memang adalah Song
Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat Bo kepada
suhengnya di puncak Liongsan! Selama bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu
silat dari seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada diantara
pembantu-pembantunya yang berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan Lo Sam
Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa,
ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta dua pembantu
suhunya itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah!
Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu ke puncak
Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!’
Tapi anehnya Thian Ong
bukannya turun malah terus saja mainkan serulingnya. Seolah-olah dia tidak
mendengar suruan susioknya itu. Sementara Itu Li Bwe Hun yang begitu mendengar
bahwa pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berkepandaian tinggi adalah murid
keponakan dari Kiat Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit kedudukannya.
Barusan dia hampir menemui kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang seorang diri.
Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya, pastilah tak ada harapan
baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru
memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li Bwe Hun segera berkelebat
kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar seruan:
"Nona baju hijau kau mau
ke mana? Kenapa buruburu? Aku belurn puas melihat kecantikan wajahmu!’ hampir
tak kelihatan Thian Ong jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara acuh tak
acuh. Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan jarang terlihat
dalam dunia persilatan di Tiongkok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah
sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya Kaku tak sanggup untuk dibawa
lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikit pun.
Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang
menyaksikan ha! itu diamdiam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihay an
suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kaiau murid suhengnya
sehebat ini; karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak jauh itu
selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa
kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba
terdengarlah nyanyian dari atas pohon :
Menghormati memang satu
kewajiban,
Dari vang muda kepada yang
tua.
Kehormatan adalah satu yang
berharga.
Terkadang lebih berharga dari
nyawa,
Tetapi menghormat harus
melihat orang dan tempat,
Karena terkadang si penghormat
bisa jadi penjilat,
Apakah wajib menghormat
seorang pengkhianat,
Apakah wajib menghormat
seorang sesat,
Apakah wajib menghormat penindas
dan pembunuh rakyat?
Ataukah penghormatan itu satu
hal yang bisa dipaksakan?
Siapakah orangnya yang bisa
membendung arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah orangnya yang bisa
memindahkah puncak gunung Thaysan?
Sekalipun, seorang Kaisar yang
gila hormat?
Mendengar nyanyian itu
berubahlah paras Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian yang
dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran langsung atas dirinya. Tetapi
dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat Bo Hosiang tertawa geiak-gelak lalu berkata;
"Bagua sekali nyanyianmu
itu, Thian Ong! Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian suhumu, lahir
dan bathin!"
Baru saja Kiat Bo Hosiang
habis berkata demikian, kembali terdengar Song Thian Ong bernyanyi:
Lahir dan bathin dua hal yang
berbeda,
Karenanya sering tidak sama
dan serupa,
Malah kerap bertolak belakang,
Yang satu memalsukan yang
lainnya,
lahir bagus belum tentu
batinnya baik,
Bathin baik belum tentu
lahirnya bagus,
Di luar kebijaksanaan di dalam
mungkin culas,
Di luar culas di dalam mungkin
bijaksana.
Menipu diri sendiri berarti
tolol,
Menipu orang lain berarti
jahat,
Menghormat orang lain adalah
wajib,
Minta keliwat dihormat adalah
otak rengat!
Kalau tadi Kiat 3o Hosiang
masih bisa menahan rasa dongkolnya maka kini sesudah sindiran Thian Ong
berterang-terangan begitu rupa, marahlah kakek-kakek ini. Langsung dia
membentak:
"Thian Ong! Apakah kau
begitu berani bicara lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?!"
Dan jawaban Thian Ong lagi
lagi berupa nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara panas.
Lancang adalah perbuatan
salah,
Tetapi masih bisa diperbaiki.
Tak ada yang terhina kalau
semua bersih,
Kekotoran itulah yang perlu
diperbaiki,
Hinanya si miskin hal yang
lumrah.
Tapi hinanya mereka yang
tersesat harus cepat diperbaiki,
Sudah tiba saatnya bertobat,
Sudah tiba saatnya mengambil
pikiran sehat,
Atau apakah mau menunggu hari
kiamat?
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang
lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah batang pohon di mana Thian bergelantungan
seenaknya Brak! Batang pohon besar itu patah, lalu tumbang dengan suara
gemuruh. Suara gemuruh ini disertai gelak tertawanya Thian Ong. Tubuhnya sesaat
terlihat membuat beberapa kali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap
dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di depan susioknya ini,
Thian Ong memandang dengan kening berkernyit dan salah satu tangan diletakkan
di atas alis, seolah-olah dia tengah memperhatikan sesuatu yang jauh
dikesilauan sinar matahari. Ditambah dencan bajunya serta celananya yang
gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul menggelikan. Anggota-anggota
pasukan kerajaan dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun tercekat
tegang namun tak dapat menahan suara tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun
kalau saja tidak dalam keadaan tertotok pastilah akan tertawa pula cekikikan.
"Ah, Susiok! Kau rupanya!
Kukira siapa!" tibatiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah baru tahu
kalau orang di depannya adalah susioknya! Tentu saja Kiat Bo Hosiang jengkel setengah
mati diperlakukan seperti itu.
"Anak setan! Kalau kau
tidak berlutut minta ampun atas semua kekurang ajaranmu ini, niscaya aku akan
menjatuhkan hukuman berat padamu!"
Air muka Song Thian Ong
mendadak berubah pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang ketakutan setengah
mati mendengar ancaman susioknya itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut.
Anehnya begitu kedua lututnya
menyentuh tanah itu jadi melesak dan merupakan lubang besar. Dan tubuh Thian
Ong lantas roboh jatuh. Tapi dia bangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang
rata lalu jatuhkan berlutut lagi. Namun begitu kedua lututnya mencium tanah hal
seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh. Hal
ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada akhirnya dia berdiri
terbungkuk-bungkuk di hadapan susioknya seraya berkata:
“Mohon maafmu, Susiok. Semua
tanah di sini tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut terus jatuh. Aku
tak dapat menghormatimu secara sempurna!"
Paras Kiat Bo Hosiang berubah
mengejam. Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu bukanlah
penghormatan melainkan kesengajaan untuk mengejek mempermainkannya. Dan
sekaligus hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya karena saat itu semua
tanah di tempat itu telah penuh dengan lobang-lobang dalam bekas hantaman lutut
Thian Ong! Tadipun Kiat Bo Hosiang merasakan betapa setiap kedua lutut pemuda
itu menyentuh tanah, tanah jadi bergetar keras!
"Thian Ong keparat! Yang
tak tahu membalas budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada Ik Bo Hosiang mana
mungkin kau berkepandaian sakti mandraguna dan berilmu silat tinggi! Dan
sekarang ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"
"Ah, Susiok, budi yang
bagaimanakah yang kau bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk mengharap
suatu pamrih dikemudian hari seperti yang kau lakukan saat ini dalam
kesempatanmu?" Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat itu masih saja
tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang ini zaman edan, banyak orang-orang
sinting macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang berbahaya ialah orang-orang
pandai tapi yang mempergunakan kepandaiannya untuk berbuat segala kesesatan
yang gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari kesesatan itu, kau
pasti akan dicap gila! Ketahuilah, aku diminta oleh suhu untuk membawamu ke
jalan yang benar!"
"Bangsat rendah! Kau
rupanya sudah lupa asal. Anak gembala jembel hina dina hendak memberi nasihat
pelajaran kepadaku! Ingusmupun kau belum mampu menyekanya!"
"Ah, kau salah susiok!
Apakah kau lihat saat ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya sudah
mulai buram!"
Saat itu Kiat Bo Hosiang sudah
tak dapat lagi membendung kemarahannya. Dia berteriak dahsyat dan gerakan
tangan kanannya ke pinggang. Dilain kejap berkiblatlah sinar putih menyilaukan
ke arah Thian Ong.
Kapak Maut Naga Geni 2128
TERNYATA Kiat Bo Hosiang telah
menyerang murid suhengnya itu dengan senjatanya yang paling dahsyat yakni
tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua.
Sebelumnya 12 tahun yang lewat
Thian Ong telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut, bahkan tadi pun Kiat Bo
Hosiang telah mempergunakannya melawan musuh-musuh tangguh serta hendak dipakai
membunuh muridnya sendiri. Dan kini senjata yang sama dipergunakan pula untuk
menghadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda itu telah terkurung sinar
tongkat namun dasar gendeng dia masih saja tertawa-tawa.
Penasaran Kiat Bo Hosiang
segera robah permainan tongkatnya. Kini senjata itu bergerak lebih cepat dan
suaranya menderu dahsyat. Selama 10 jurus dimuka Thian Ong masih melayani
seranganserangan susioknya dengan tangan kosong dan melancarkan serangan
balasan dengan mengandalkan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya yang
gombrangi Karena tenaga dalamnya yang luar biasa angin yang keluar dari
ujung-ujung lengan pakaiannya itu sanggup membuat mental tongkat di tangan Kiat
Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong. Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu
mulai kerepotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkatnya yang
terhebat dan bernama "sin eng-thunghoat" atau ilmu tongkat garuda
sakti.
Serangan tongkat datang
bertubi-tubi dan tidak beda seperti burung garuda yang menyambar-nyambar
keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadangkadang menukik seperti hendak mematuk
kepalanya, kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut atau dada dan tak jarang
berkelebat menggempur tubuhnya sebelah bawah!
Diam-diam dalam marah dan
penasarannya Kiat Bo Hosiang mengagumi pemuda ganteng itu. Se-lama ini jarang
sekali dia mengeluarkan ilmu tongkatnya dalam jurus-jurus yang lihay itu,
bahkan ketika menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya di puncak Liongsan 12
tahun silam dia sama. sekali tidak mengeluarkannya. Kini menghadapi murid dari
suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya yang paling
diandalkan itu! Meskipun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si pemuda
masih sanggup melayani sin-eng thonghoat sampai sepuluh jurus. Padahal
tokoh-tokoh silat ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua jurus
sudah pasti konyol di tangannya!
Mendapati kenyataan bahwa
susioknya kini berhasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang amat lihay,
Song Thian Ong anehnya malah perdengarkan suara tertawa gelak-gelak.
"Bret!" ujung
tongkat menyambar robek dada pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih
ke depan dengan pasti dada pemuda ini akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah terus pemuda
sedeng!" teriak Kiat Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu yang akan
kurobek!"
"Enak betul! Kamu musti
ganti dulu bajuku yang robek Tua bangka sesat!" balas berteriak Thian Ong.
Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik di udara tiga kali
berturut-turut. Bagi orang yang tidak berpengalaman, saat lawan berjungkir
balik seperti itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan mematikan. Tapi
Kiat Bo Hosiang yang sudah berilmu amat tinggi dan berpengalaman luas, serta mengetahui
pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya, mengerti betul adalah bahaya besar
jika dia melancarkan serangan saat itu.
Setelah jungkir balik Thian
Ong melayang turun dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih dahulu.
Sedetik kemudian dia sudah tegak lurus dengan kepala menempel tanah sedang
kedua kaki dikeataskan. Kakinya yang di ke ataskan ini membuat gerakan aneh dan
mendatangkan siuran angin keras. Kadang-kadang turun naik seperti orang
mengayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dahsyatnya, lalu berganti pula
berputar-putar. Dan lebih keblingernya lagi, sambil membuat gerakan aneh dengan
kedua kakinya itu, Thian Ong keluarkan serulingnya lalu mulai meniup lagu-lagu
yang tak karuan. Terkadang merdu lembut, terkadang melengking-lengking menyakitkan
telinga.
Melihat bagaimana tingkah
Thian Ong dalam pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mem permainkannya,
semakin mendidihlah amarah Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun
yang lalu ketika dia membawa Thian Ong ke puncak Liongsan lalu suhengnya dan
dua orang pembantupembantunya membuat Thian Ong seperti bola, ditendang kian
kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang main-main mereka tegak dengan kepala
di bawah kaki ke atas!
"Pemuda keparat! Asalmu
jembel tukang angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat Bo
Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi serta merta saja dia tersurut
kembali. Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu merupakan
benteng pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat menjalankan serangan
berbahaya!
Tapi Kiat Bo Hosiang masih
jauh dari rasa gentar. Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah atas
namun matanya yang tajam segera melihat bahwa ilmu silat aneh Thian Ong itu
memiliki kelemahan di sebelah bawah. Jika dia melancarkan serangan yang hebat
antara pinggang sampai ke bagian kepala lawan yang saat itu menempel di tanah
pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian Ong, sekurang-kurangnya membuat
cidera pemuda itu!
Maka setelah menunggu
kesempatan yang baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat gerakan yang bernama
"sin-eng-tian-ci" atau garuda sakti pentang sayap. Kaki kirinya
melesat menghantam ke arah selangkangan Thian Ong sedang dalam detik yang sama
tongkat bajanya menunjuk deras ke arah tenggorokan si pemuda. Memang dua serangan
yang dilancarkan oleh Kiat Bo Hosiang sekali ini betul-betul luar biasa.
Dua-duanya sulit dikelit saking cepatnya dan disamping itu merupakan serangan
maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari serangan itu pasti akan
mengenai sasarannya, ter utama tusukan tongkat ke arah leher.
Tetapi adalah kecele kalau
Kiat Bo berpikir demikian. Didahului oleh lengkingan seruling yang ditiup
gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong sebatas pinggang ke kaki melejit
ke samping. Ini membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai tempat
kosong.
Disaat yang sama suling di
tangan Thian Ong tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret! Robeklah pakaian
putih kakek-kakek itu di sebelah dada.
Kiat Bo Hosiang kaget sekali.
Dia cepat membuat gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang setengah melayang itu
dari lawan. Namun masih kurang lekas karena saat itu tubuh Thian Ong sudah
melejit lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah mendepak pantat si
kekek! Tak ampun Kiat Bo Hosiang mencelat mental sampai satu tombak. Untung
saja meskipun otaknya agak keblinger Song Thian Ong tidak bermaksud jahat
terhadap paman gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi akan membuat
Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya cacat seumur hidup.
Dilain pihak sambil tertawa
haha hihi, Thian Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di atas kedua kakinya
kembali.
"Susiok! Harap maafkan
aku. Kalau saja aku tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi dagingnya alias tulang
melulu, pastilah aku tak akan menendang pantatmu itu!"
"Anjing jadah!" maki
Kiat Bo Hosiang menggeledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!" Lalu kakek
ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya terhenti karena saat itu
mendadak terdengar suara tawa bergelak :
"Kiat Bo Hosiangl Ada
berapa nyawakah kau punya hingga hendak mengadu jiwa dengan pemuda itu?! Apa
kau tak malu sudah dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo Hosiang mengeram macam
harimau menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa pasukan Kaisar dan
pasukan rakyat yang tadi asyik menonton pertempuran hebat luar biasa yang tak
pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari berserabutan, ketakutan
seolah-olah melihat setan kepala sebelas!
Li Bwe Hun dan Thian Ong jadi
terheran-heran sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar kepala ke arah datangnya
seruan dan suara tertawa bergelak tadi. Memandang ke jurusan itu mendadak
wajahnya yang beringas gemas kelihatan gembira dan dia tertawa lebar. Kakek ini
lalu menjura.
"Ah, kiranya Pengho
lo-enghiong. Kukira siapa? Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku meringkus
pemuda pengacau ini!"
"Cuma meringkusnya?"
"Eh… tidak!
Membunuh!" sahut Kiat Bo Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu meminta
bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar suara tertawa
kembali. "Ahoi! Se-orang tokoh ternama yang katanya paling lihay di
seluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk menghadapi seorang pemuda otak
miring! Percuma saja kami orang-orang Mongol memeliharamu, memberikan uang dan
harta berlimpah, gedung mewah serta perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali
tidak berguna bagi kami!"
Merahlah paras Kiat Bo Hosiang
mendengar kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati kutu!
Kapak Maut Naga Geni 2129
SAAT itu di hadapannya Kiat Bo
Hosiang berdiri seorang kakek kakek berambut pirang dan bermuka merah macam
kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan dia mengenakan jubah biru gelap.
Dialah tokoh kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama Pengho.
Dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di samping Pengho tegak pula
seorang berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia memegang sebuah
tongkat di tangan kiri untuk menopang tubuhnya yang bungkuk tak seimbang itu.
Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho, bernama Wanglie dan bergelar
Pengemis Sakti Tangan Kidal, dan merupakan salah seorang tokohtokoh ternama
berasal dari Tibet.
Orang ketiga yang datang
bersama dua tokoh terdahulu itu ialah seorang pendek bermata juling yang
mukanya tembam selalu berkeringat. Yang hebat dari menusia ini ialah sepasang
lengannya yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah. Dia juga seorang
tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya masih satu tingkat di atas Kiat Bo
Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal dengan gelar Sepasang
Tangan Perenggut Jiwa!
Dengan hadirnya gembong-gembong
besar pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa pasukan Pemerintah dan rakyat
kontan ambil langkah seribu begitu melihat dan mengenali mereka!
Li Bwe Hun yang saat itu masih
tertegak mematung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok, yang juga mengenali
siapa adanya ketiga manusia itu, diam-diam terkejut dan mengeluh. Dia sudah
dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda berpakaian gombrong itu pastilah
akan kalah jika menghadapi Pengho, apalagi jika dikeroyok bersama-sama!
Sambil rangkapkan tangan di
muka dada, Pengho berpaling pada Thian Ong dan gelenggeleng kepala.
Hanya seorang pemuda gendeng
begini kau tak sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat Bo!"
"Dia memang sedeng,
Pengho Loenghiong," sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah. "Tapi
kunasihatkan jangan terlalu dianggap remeh. Dia adalah murid suhengku Ik Bo
Hosiang dari Liongsan!"
"Cuma muridnya saja? Itu
toh lebih memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau suhunya yang jadi pengacau.
Tentu kau sudah modar!" ejek Pengho pula. Memang pada masa itu bukan
rahasia lagi kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi bangsa Han yang
dipelihara oleh Kaisar Mongol secara mewah berlebih-lebihan untuk mengharapkan
imbal kepandaiannya dalam mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah pada kalangan orang-orang
Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay. Dalam pada Itu perlakuan
Kaisar Mongol terhadap orang-orang Han (Tiongkok) kelihatan menyolok
berlebih-lebihan.
Ejekan Pengho tadi membuat
dada Kiat Bo Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa berbuat lain dari
pada berdiam diri.
Pengho berpaling pada Sepasang
Tangan Perenggut Jiwa. Diantara mereka bertiga memang yang satu ini paling
rendah ilmunya tapi dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang masih lebih tinggi satu
tingkat.
"Sobatku Perenggut Jiwa,
apakah kau bersedia mengotorkan tanganmu membunuh monyet baju gombrang yang
katanya adalah murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka tembam Sepasang Tangan
Parenggut Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan ujung lidah. Dia melirik
dengan matanya yang juling ke arah Li Bwe Hun, kemudian berpaling pada Kiat Bo
Hosiang.
"Kiat Bo-Lo Jianpwe,
apakah aku ingin aku membunuh murid suhengmu ini?" bertanya si Perenggut
Jiwa.
"Betul, lakukanlah
cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya
ke arah Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi: "Nona cantik ini kalau aku tak
salah adalah muridmu, bukan?"
Kiat Bo Hosiang mengangguk.
"Ada satu syarat,
Lotjianpwe. Jika aku ingin aku turun tangan, upahnya kau harus hadiahkan nona
muridmu itu padaku!" Sepasang Tangan Perenggut Jiwa memang seorang tokoh
silat Mongol yang terkenal hidung belang. Habis berkata demikian dia melirik
pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu tertawa mengekeh.
Tiba-tiba suara tawanya itu
ditimpali lebih hebat oleh suara seorang lainnya ternyata adalah Song Thian
Ong! Dan mendengar suara pemuda itu, Pengho kernyitkan kening, Pengemis Sakti
Tangan Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa tertegun! Mereka sama
terkesiap mendapatkan bagaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka rasakan
membuat tanah bergetar.
Masing-masing saling pandang
sesaat, kemudian Pengho berbisik: "Hanya pemuda edan macam dia apa pula
artinya tak perlu ditakutkan!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa
menggaruk lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Bagaimana
Lotjianpwe?"
Kiat Bo Hosiang memang sudah
miring jalan pikirannya, ditambah pula saat itu dia disungkup amarah serta malu
luar biasa. Karenanya menceplos saja jawabannya:
"Terserah padamu kau mau
buat apa atas diri gadis laknat itu! Tadipun aku hendak membunuhnya!"
Mendengar jawaban ini si
Perenggut Jiwa ternyata puas.
"Ah rejekimu besar nian
hari ini, Sobat," berkata Pengho seraya menepuk bahu hambratnya itu.
Si Perenggut Jiwa basahi
bibirnya dengan ujung lidah. Sambil mengedipkan matanya yang juling pada Li Bwe
Hun dia berkata : "Nonaku, kau tunggulah sebentar. Saksikanlah bagaimana
aku menghajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua tinggalkan tempat ini,
pergi bersenang-senang di atas ranjang."
Li Bwe Hun benar-benar tak
menyangka kalau hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah dayanya? Harapannya
satu-satunya kini terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah pemuda berotak miring
ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas apakah dia mampu pula
melawan Pengemis Sakti Tangan Kidal serta Pengho? Bagaimana kalau orang-orang
itu kemudian mengeroyoknya? Betapapun lihaynya pemuda murid Ik Bo Hosiang itu
namun adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi musuh-musuh tangguh demikian
rupa. Dan ini berarti celakalah dirinya sendiri!
"Ah, mengapa Tuhan tidak
mencabut saja nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam hati dan air mata
mulai menggenangi pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam pada itu dengan
mengumbar suara tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah mendekati Thian
Ong. Sebaliknya Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang
datang mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo Hosiang dan dengan jari
telunjuk tangan kirinya diacungkannya tepat ke hidung orang tua ini.
"Tua bangka sedengl Kau
betul lebih sinting dari manusia edan manapun di dunia ini. Hatimu bejat dan
keji. Bukannya memberi hajaran malah menyerahkan bulat-bulat tubuh dan
kehormatan murid sendiri pada si pendek juling ini!"
Paras Kiat Bo Hosiang jadi
merah saga. Dia membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun bukan muridku lagi! Kau
hadapi saja musuh si Pendekar Perenggut Jiwa untuk menerima mampusmu!"
"Kaulah yang lebih dulu
layak mampus!" teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah dengan kaki kirinya
hingga tanah itu tenggelam sampai satu jengkal. Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan
hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat namun saat itu belakangnya
terdengar deru yang deras. Ternyata Sepasang Tangan Perenggut Jiwa telah
ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan kilat siap untuk menangkap batang
leher Thian Ong yang telah lengah membelakangi. Sekali leher itu kena
tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang yang agak berotak miring itu pastilah tak
akan tertolong!
Memang sesuai dengan gelarnya
yaitu Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh silat Mongol bermata juling itu
memang memiliki sepasang tangan yang luar biasa hebatnya. Selain cepat dalam
gerakan juga memiliki kekuatan atos dan ampuh.
Baik Kiat Bo Hosiang maupun
Wanglie (Pengemis Sakti Tangan Kidal) serta Pengho sudah dapat memastikan bahwa
dengan sekali gerakan kilat saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si
Perenggut Jiwa betul-betul akan dapat merenggut lepas nyawa Thian Ong.
Pada saat itu, ketika
merasakan sambaran angin di belakangnya, Song Thian Ong maklum kalau dirinya
tengah diserang orang secara pengecut. Dia menggerendeng dan rundukkan tubuh
sedikit sambil memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya yang tadi
dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo Hosiang kini dipakainya sebagai
kemplangan menebas ke arah datangnya serangan!
Buk!
Terdengar suara bergedebukan
yang keras ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan lengan kanan si Perenggut
Jiwa.
Tokoh lihay dari Mongol ini
merasakan tubuhnya terbanting ke kiri sampai empat langkah tapi lengannya sama
sekali tidak cedera bahkan terasa sakit pun tidak! Inilah kehebatan ilmu kebal
sepasang tangan yang dimilikinya. Padahal jangankan manusia, batang pohon pun
kalau sampai kena digebuk lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga-dalam
luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
Kini Pengho dan Pengemis Sakti
Tangan Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka matanya.
Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak cidera namun tubuhnya yang terlempar
sampai sejauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa Thian Ong meskipun
gendeng tapi betul-betul tak bisa dibuat main. Padahal sesungguhnya murid Ik Bo
Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat gerakan acuh tak acuh dan tidak pula
disertai kekuatan tenaga dalam yang berarti)
Walau dia tidak apa-apa, namun
Perenggut Jiwa merasa malu sekali karena lawan gila yang dianggapnya remeh dan
gila itu ternyata tak dapat dibereskannya dalam satu gebrakan saja.
Didahului dengan bentakan
galak dia sengaja keluarkan jurus silatnya yang terlihay untuk menebus rasa
malunya yakni jurus yang bernama siang-lui-guisan’ atau sepasang petir membelah
gunung!
Kehebatan jurus ini memang
luar biasa. Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini hanya merupakan bayangan
sinar putih dan mengeluarkan suara keras setiap serangan dilancarkan. Tampaknya
Thian Ong kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan serangan balasan
dengan kebutan ujung lengan pakaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran
semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaring dan tahu-tahu tubuhnya
melayang ke atas, turun lagi dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
Pemuda ini agaknya merobah
permainan silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah dipergunakannya dalam
menghadapi Kiat Bo. Namun setiap tendangan yang dilancarkannya selalu dapat
dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa.
Thian Ong jadi penasaran. Dia
jungkir balik kembali dan kini mainkan jurus silat baru. Memang, si Siperenggut
Jiwa jadi terdesak hebat namun sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat
mental selama dia masih sanggup mempergunakan sepasang tangannya yang benar-benar
ampuh untuk menangkis maka dia sama sekali tak mengalami cidera. Lama-lama
Thian Ong jadi beringas.
Murid Ik Bo Hosiang ini
mencak-mencak macam orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya digerakkan,
menghamburlah pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga dalam tinggi.
Berkali-kali si Perenggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan kosong itu.
Akan tetapi karena dia selalu mempergunakan kedua lengannya untuk menangkap
maka setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas menyerang!
20 jurus berlalu. Si Perenggut
Jiwa kelihatan mandi keringat, pakaian kusut masai dan muka celemongan karena
berulang kali jatuh atau terguling-guling di tanah. Sebaliknya Thian Ong masih
biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya keluar dari mulutnya. Selagi
dia berpikir-pikir bagaimana dapat merobohkan lawan yang memiliki sepasang
tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba terdengarlah siulan nyaring menusuk
telinga yang disusul dengan suara orang menyanyi.
20 jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi
buta
Dua tangan memang laksana
benteng baja
Untuk apa diserang
menghabiskan tenaga?
Semua orang yang ada di situ
terkejut, termasuk Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur dan mendongak ke atas
pohon, dari arah mana suara orang menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon
tampak duduk seorang pemuda asing tak dikenal, rambutnya gondrong dan mulutnya
penuh berisi buah apel yang digerogotinya.
Melihat pemuda di atas pohon,
Thian Ong tibatiba tertawa bergelak.
"Gondrong! Tampangmu
tolol dan lagakmu juga edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan dengan aku,
silahkan turun beri petunjuk!"
Tapi orang di atas pohon tidak
mau turun, malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi:
Segala sesuatunya tidak
sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak
gila
Untuk menduga dan menerka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras
baja
Diantara yang keras ada yang
lemah
Pada kelemahan terdapat
kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka.
Orang di atas pohon kunyah
terus buah apel dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ong ikut-ikutan
garuk-garuk kepalanya. Dia memandang lagi pada si gondrong di atas pohon, lalu
tertawa.
"Aku mengerti… aku
mengerti sekarang cihuy terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobat ku!
Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang sekali dan sampai-sampai dia membuat
gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali. Begitu kakinya menginjak tanah
kembali, langsung dia menuding si pendek Perenggut Jiwa dan berkata keras.
"Mata juling, ayo kita
bertempur lagi." Lalu dia berpaling pada Pengho, Pengemis Sakti Tangan
Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia penjajah, sekarang kalian
lihat bagaimana aku akan merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!’
Thian Ong tertawa lagi
gelak-geiak. Selagi dia tertawa begini si Perenggut Jiwa menyerbunya dengan
hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama lima jurus. Di jurus keenam,
Thian Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan serangan ganas dengan tangan kiri
ke arah batok kepala Thian Ong demikian rupa hingga tak bisa dikelit dan mau
tak mau si Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk menangkis.
"Buk!"
Lagi-lagi sepasang lengan
mereka beradu. Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan selusupan ke
arah perut lawan. Dan perut si Perenggut Jiwa tidaklah mempunyai ilmu kebal
seperti yang dimiliki kedua lengannya. Manusia ini menjerit setinggi langit
ketika tubuhnya terlempar empat meter, menggeletak tak berkutik lagi, mati
dengan perut bobol!
"Terima kasih! Terima
kasih! Terima kasih sahabatku?" teriak Thian Ong berulang kali sambil jingkrak-jingkrakan
lalu melesat ke cabang pohon di mana pemuda gondrong yang makan buah apel itu
nongkrong.
"Eh, apakah kau doyan
apel, Sahabatku!" berkata si gondrong.
"Thian Ong
manggut-manggut, lantas saja di keruk saku pakaian si gondrong dan sambar dua
buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian asyik mengunyah buah-buah apel
itu seolah-oleh tidak perduli di mana mereka berada, seolah-oleh tidak ada
terjadi apa-apa di situ!"
"Manusia-manusia sinting!
Gila!" maki Pengho dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau tidak karena
diberi tahu oleh si gondrong itu kambrat kita si Perenggut Jiwa tak bakal mati
di tangannya ‘Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal siapa bangsat gila yang
berambut gondrong itu?"
"Tak pernah kuketahui
siapa dia adanya. Mung-kin sute atau suheng dari keparat bernama Thian Ong
itu?"
Kiat Bo Hosiang gelengkan
kepala. Ik Bo Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari pada Thian Ong bocah
penggembala hina dina itu. Pemuda yang gondrong ini jelas bukan orang
Han!"
Sementara itu di atas pohon
saking girangnya Thian Ong begitu tenggak habis dua buah apel lantas keluarkan
serulingnya dan tiup benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah Sobat! Kau ternyata
pandai sekali main suling. Boleh aku ikut menimpali?!" bertanya si
gondrong.
"Tentu, tentu saja!"
sahut Thian Ong gembira sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan!
Silahkan!"
Si gondrong merogoh pinggang
pakaiannya sesaat kemudian terlihatlah sinar menyilaukan. Ternyata pemuda ini
keluarkan sebuah senjata berbentuk kapak bermata dua yang pada mata-matanya
yang menyilaukan itu tertera angka 212. Kapak aneh ini gagangnya terbuat dari
gading dengan ukiran kepala naga pada sebelah bawahnya, sedangkan pada batang
gagang terdapat lobang-lobang. Dan ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke
bibir naganagaan lantas meniup, maka membersitlah suara lengkingan seperti
tiupan seruling, dahsyat luar biasa.
Kiat Bo Hosiang, Pengho dan
Pengemis Sakti Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing bergetar sakit.
Buru-buru mereka tutup indera pendengaran. Tapi dada masing-masing masih saja
terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah mereka menyaksikan dan
mendengar tiupan-tiupan suling yang demikian luar biasa hingga. Menggetarkan
tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi mereka. Pengho, sebagai orang yang
paling tinggi ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawannya masih
merupakan jago silat kelas rendah pastilah telinga masing-masing telah rusak
berdarah mendengar tiupan suling yang luar biasa karena disertai aliran tenaga
dalam dahsyat itu!
"Merdu sekali! Merdu
sekali!" teriak Thian Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho tokoh silat kelas wahid
dari Mongol tak dapat lagi menahan kejengkelannya. Amarahnya meluap karena dia
merasa seolah dipermainkan . Di samping itu Thian Ong harus mati untuk menebus
nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian Ong pemuda
keparat! Turunlah untuk menerima kematian!" teriak Pengho menggelegar
diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.
Tapi Thian Ong dan juga si
gondrong tidak ambil perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus meniup
suling masing-masing dalam lagu tanpa nada tak karuan!
Mendidihlah amarah Pengho
tokoh dari Mongol ini angkat tangan kanannya dan menghantam ke atas pohon!
Kapak Maut Naga Geni 21210
SATU gelombang sinar hitam
menggebu ke arah cabang pohon di mana Thian Ong dan pemuda gondrong yang bukan
lain adalah Wiro Sableng si Pendekar 212 tengah duduk ongkang-ongkang kaki
enak-enakan sambil tiup suling.
Terdengar suara keras
hancurnya cabang pohon serta rontoknya dedaunan yang kemudian disusul oleh
tumbangnya pohon besar itu.
Tapi suara tiupan dua suling
sama sekali tidak berhenti dan baik Wiro maupun Thian Ong tidaklah menemui
celaka dihantam pukulan sakti tadi karena sebagai orang-orang berkepandaian
tinggi tentu saja mereka tahu bahaya dan siang-siang sudah berkelebat turun ke
tanah. Begitu sampai di tanah enak saja mereka duduk menjelepok dan terus
memainkan suling!
Kiat Bo Hosiang melengak,
Pengemis Sakti Tangan Kidal naik turun tenggorokannya sedang Pengho Lio Bwe Hun
yang saat itu masih berada dalam keadaan tertotok meskipun hatinya cemas
setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda yang agaknya sama-sama keblinger
itu dalam hati jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitu lihay keduanya
masih saja gila-gilaan, padahal maut sudah di depan mata!
"Thian Ong manusia
keparat. Lekas ke sini untuk menerima kematian!" teriak Pengho.
"Ah, di sini banyak
pengganggu. Bagaimana kalau kita main suling di tempat lain saja?" ujar
Thian Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan sulingnya ke balik pinggang
pakaiannya yang gom brong. Wiro pun hentikan permainannya, masukkan Kapak Naga
Geni 212 ke balik pakaiannya.
"Mari!" kata Wiro
pula seraya berdiri mengikuti Thian Ong.
"Bangsa!, kau mau pergi
ke mana?’" teriak Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan kidal
dan memerintah : "Bunuh dia!"
Pengemis Sakti Tangan Kidal
mendongak ke langit lalu tertawa melengking? Terima kasih Pengho – twako,
memang aku sudah lama tak membunuh orang. Hari ini tanganku yang sudah gatai
akan dapat bagian!"
Sambil melintangkan tongkat
kayu yang dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal maju
mendekati Thian Ong.
"Thian Ong, kaum
ditakdirkan mampus di tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh, Sobat," ujar
Thian Ong sambil menepuk bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu seperti
malaikat maut saja. Apakah begini tampangnya malaikat maut!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Entahlah, aku pun belum
pernah melihat. Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan dari tua
bangka keriputan ini’ sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua anak geblek itu lantas
tertawa terpingkalpingkal.
Wut!
Entah kapan dia bergerak
tahu-tahu tongkat di tangan kiri Pengemis Sakti Tangan Kidal sudah membabat
ganas ke batok kepala Thian Ong. Meskipun tadi kelihatannya acuh tak acuh namun
begitu diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada sekali. Secepat
kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan lebih dulu mencapai tanah. Sesaat
kemudian kedua kakinya telah melancarkan serangan balasan. Satu mendepak ke
arah perut sedang lainnya menendang ke tenggorokan lawan. Namun tingkat
kepandaian si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si Perenggut Jiwa. Ilmu
tongkatnya lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua serangan itu dikelitkannya
dengan mudah, bahkan kini tongkat di tangan kirinya menyapu-nyapu dahsyat
sekali.
Song Thian Ong dalam
tingkahnya yang gilagilaan itu beberapa kali hampir kena dihantam senjata
lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang bukan-bukan sambil tak lupa
mengejek dan mencaci maki lawannya sehingga Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan
Kidal penasaran setengah mati.
Dengan matanya yang tajam dan
pengalaman luas, Pengho si tokoh utama di Mongol segera melihat bahwa
sesungguhnya Thian Ong memiliki dasar ilmu silat yang iebih hebat dari Pengemis
Sakti Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka pemuda ini masih melayani
tokoh lihay yang berasal dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena
tingkahnya yang aneh dan gila-gilaan itulah yang membuat dia seolan-olah tak
mau menurunkan tangan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.
"Kiat Bo Hosiang! Kau
bantulah Pengemis Sakti!’ berseru Pengho setelah 20 jurus lagi berlalu tanpa
kambratnya itu bisa melakukan sesuatu terhadap Thian Ong.
Kiat Bo Hosiang cabut tongkat
bajanya dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!" teriak
Wiro marah.
"Orang asingi Tutup
mulutmu!’ sentak Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri urusan orang lain!
Lekas angkat kaki dari sini kaiau tidak ingin kugebuk!"
"Eit enak betui
memerintah orang. Kau kira aku ini kacungmukah?! Makan ini!" teriak Wiro
sambil keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya. buah ini
dilemparkannya dengan sebat. Pengho bergerak cepat tapi dia kecele karena Wiro
sama sekali tidak menyerangnya, melainkan melemparkan buah apel itu ke arah Li
Bwe Hun yang masih tegak tak berdaya karena ditotok.
"Buk!"
Buah apel itu mencerai tepat
di tengkuk Li Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai si gadis serta merta
buyar karena memang disitulah sebelumnya Thian Ong teiah menotok Bwe Hun yakni
sewaktu gadis ini hendak melarikan diri dari Kiat Bo Hosiang yang hendak
membunuhnya.
"Nona, tadi kau telah
diselamatkan oleh pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.
Li Bwe Hun katupkan bibirnya
rapat-rapat. Kemudian seolah-olah patuh, dia memungut sebilah golok milik bekas
seorang prajurit Kerajaan dan tanpa banyak bicara terus ke kalangan
pertempuran!
Sebenarnya Wiro merasa yakin
kalau Thian Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua orang oleh Pengemis
Sakti Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun Pendekar 212 ini yang sudah
gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam mendapat akal Maka dilepaskannya
totokan Bwe Hun lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian Ong. Mendapat bantuan
ini dengan sendirinya Thian Ong semakin sulit untuk dirobohkan malah
kebalikannya dua lawannyalah kini yang berada dalam kedudukan sulit!
Dan hal ini diketahui oleh
Pengho si tokoh lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatan Kiat Bo Hosiang. bahkan dia ingin sekali kakek-kakek bangsa Han
yang sejak lama dibencinya itu mampus saat itu juga. Namun dia sama sekali tak
ingin kalau kambratnya dari Tibet yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai
celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera menyerbu pula ke dalam
kancah pertempuran. Justru inilah yang dikehendaki Wiro!
"Tua bangka bermuka
kepiting rebus!" teriak Wiro memaki Pengho yang memang memiliki tam-pang
merah seperti kepiting rebus. "Aku lawanmu, jangan main keroyok!
Mendengar makian itu dan
melihat Wiro berkelebat ke arahnya serta merta Pengho lepaskan pukulan saktinya
yang tadi telah dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan Thian Ong di atas
pohon.
Sinar hitam menderu ganas ke
arah Pendekar
212. Wiro kaget juga karena
tak menyangka begitu mulai berkelahi lawan sudah lancarkan serangan pukulan
sakti itu. Memang Pengho tak mau kepalang tanggung menghadapi lawan yang sudah
diduganya tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena petunjuk Wirolah
sampai Thian Ong berhasil membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya den-dam
serta kebencian bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang kepalang.
Wiro keluarkan siulan
melengking lalu lepaskan pukulan sinar matahari ke depan. Sedangkan sinar putih
panas dan menyilaukan bergemuruh memapas sinar hitam serangan Pengho.
Bumi terasa bergetar ketika
dua pukulan sakti itu bentrokan di udara dengan mengeluarkan suara yang hebat!
Tubuh Pengho terhuyung sampai lima langkah ke belakang sedang tangan kanannya
sampai sebatas pangkal bahu terasa sakit berdenyut denyut. Diiain pihak
sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal dan
tubuhnya bergetar.
Paras Pengho berubah pucat.
Sebagai tokoh kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia mengalami
bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas sudah bahwa pemuda rambut gondrong
itu memiliki kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada di sebelah bawah
sobatnva si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka! Naga-naganya aku
bakal mendapat kesulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak. Dan
dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagaimana kambratnya Pengemis Sakti
lengan Kidal yang membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan terdesak,
bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang mempergunakan serulingnya sebagai senjata
dan mainkan jurus-jurus silat aneh berhasil memukul mental tongkat kayu
Pengemis Sakti!
"Tahan, seru Pengho
tiba-tiba seraya melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa
cukup sudah kita main-main dengan orang-orang ini. Kita masih ada urusan lain
yang lebih penting harus diselesaikan. Iain hari saja kita layani mereka
kembali. Mari!"
Pengemis Sakti Tangar» Kidal
yang maklum apa arti kata-kata Pengho itu dsn menyadari pula keadaan mereka
yang sulit bahkan bakal celaka jika bicara lagi segera meninggalkan tempat itu
menyusu! Pengho yang telah berkelahi pergi lebih dulu tanpa memperdulikan Kiat
Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang ditinggal
sendirian, sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur keadaannya terjepit
antara Thian Ong dan Bwe Hun. Dan saat itu sambil menyeringai Thian Ong datang
mendekati.
Kasihan kau tak mempunyai
kesempatan kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena suhu
telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan tobat adalah layak
untuk dibunuh’"
Sebagai penutup kata-katanya
Thian Ong lantas kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada Kiat Bo
Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun dia sempat berkelit tapi tak urung
bahunya masih kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. Dengan menggembor
marah Kiat Bo Hosiang mengirimkan serangan balasan. Tongkat bajanya bersuit
suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi bagaimana pun juga
tingkat kepandaian Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid keponakannya
itu. Kalau dalam pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak mengejek dan
main-main, maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betu! aneh dan tidak
main-main lagi. Setelah perkelahian berlangsung empat jurus tiba-tiba pendekar
aneh berbaju gombiong dari Gunung Naga ini berteriak: "Awas tongkat!"
Baru saja kata-katanya itu
berakhir, tahu-tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang sudah terlepas kena
dirampas.
"Lihat suling/’ terdengar
lagi seruan Thian Ong. Dan detik Itu pula suling di tangannya telah menyambar
ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi. Kiat Bo Hcsfanu hanya bisa
mendelik kaget melihat datangnya maut.
Sedetik lagi suling itu akan
menusuk amblas leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan Bwe Hun :
"Tahan! Jangan bunuh
dia!"
Thian Ong tersentak heran.
Masih untung dia sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga benda ini hanya
menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo Hosiang.
"Eh, apa-apaan kau Nona
Li?!" bertanya Thian Ong. Sedang Wiro juga heran sambil garuk-garuk
kepala.
Yang paling heran tentu saja
Kiat Bo Hosiang. Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
"Nona, tadi kau hendak
dibunuhnya dan malah mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya. Sekarang kenapa
kau mencegah aku membuat dia konyol?!" bertanya kembali Thian Ong.
"Ingat, manusia sesat pengkhianat semacam ini amat berbahaya. Ular
berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa pun sesat dan
jahatnya, dia tetap adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.
Kiat Bo Hosiang terkesiap.
Dadanya berdebar dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya kehendak Bwe Hun bekas
muridnya itu? Hendak membalasnya atau hendak turun tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!" tiba-tiba
Bwe Hun melangkah ke depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki.
Kurasa kau masih bisa keluar dari segala macam comberan busuk yang kau renangi
selama ini. Jika kau sadar dan berjanji untuk kembali ke jalan yang benar,
kurasa murid suhengmu ini pasti akan mengampunimu. Bagaimana…."
Semakin pucat wajah Kiat Bo
Hosiang. Tiba-tiba saja sepasang matanya berkaca-kaca. "Tak
mung-kin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam kesesatan. Aku
pengkhianat paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang. Aku.tak akan melawan.
Thian Ongl Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek lalu jatuhkan diri
dan buang tongkat bajanya, menangis tersedu-sedu.
"Suhu, tak ada dosa yang tak
berampun. Kalaupun kau merasa telah berbuat dosa dan kesalahan besar kurasa
masih ada jalan untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum
penjajah Mongol yang selama ini mendatangkan malapetaka."
"Itu betul!" seru
Thian Ong yang tiba-tiba saja kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi syaratnya
satu," menyelinap Wiro. "Asal jangan dia menipu kita. Kalau tidak
bisa berabe seumur-umur!"
"Kalau… kalau kalian
memang bersedia memberikan pengampunan dan ingin berjuang bersama, aku rasa
memang inilah kesempatan bagiku untuk menebus dosa…."
"Berdirilah suhu, mari
kita atur rencana," kata Bwe Hun pula seraya memegang bahu Kiat Bo Hosiang
dan memungut senjata kakek ini.
Menurut Kiat Bo Hosiang yang
paling tahu seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah sulit untuk menumpas
habis pasukan-pasukan Mongol yang kuat dan banyak disekitar perbatasan.
Sebenarnya bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika saja mereka bisa
memusnahkan pusat dan orang-orang yang mengatur semua kekuatan itu, yang
sekaligus menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan. Pusat kekuatan dan
pengaturan ini terletak di kota Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan. Di sini
terdapat sebuah gedung besar yang merupakan markas dari pada tokoh-tokoh
Mongol, terdiri dari "arsitek" dan "pelaksana" pejajahan.
Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho
sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang jenderal bernama Karfi Khan,
kemudian Penghu, sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti Tangan Kidal
dan kira-kira selusin perwira-perwira tinggi yang lihay.
"Terus terang saja,
sebelumnya aku pun menjadi salah seorang diantara mereka di sana. Namun syukur
kalian telah membuka kedua mataku. Jika kita sanggup mengobrak-abrik markas
mereka itu dan membunuh semua tokoh yang ada di situ kukira hancurlah induk
kekuatan kaum penjajah Mongol. Balatentara Mongol yang banyak tak ada artinya.
Tak lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan induk. Dalam pada itu aku
tahu betul bahwa prajuritprajurit Mongol telah muak dengan peperangan apalagi
kekejaman-kekejaman yang lewat batas kemanusiaan yang selama ini diperlihatkan
oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang diperhatikan, markas tokoh-tokoh
Mongol banyak alat rahasianya!"
Sesaat semua orang terdiam
setelah mendengar keterangan Kiat Bo Hosjang itu.
"Bagaimana…?" Bwe
Hun bertanya.
"Kita menyerbu ke
sana!" Thian Ong menyahut.
"Betul, kita menyerbu ke
sana! ujar Wiro pula.
‘Bagus! Sebaiknya kita
berangkat sekarang juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh semua
orang. Maka keempat menusia berkepandaian tinggi itu pun berkelebat
meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat itu suasananya hiruk-pikuk maka
kini jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana sini bertebaran
puluhan mayat.
Kapak Maut Naga Geni 21211
SETELAH melakukan perjalanan
yang cukup sulit hampir selama dua minggu akhirnya mereka sampai juga diluar
kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan Tiongkok pertama yang direbut oleh
bangsa Mongol sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah yang kini
dikuasai bangsa Mongol maka suasananya tenang dan aman, tak banyak
prajurit-prajurit yang kelihatan berkeliaran. Namun adalah berbahaya bagi Thian
Ong, Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota pada siang
hari sekalipun mereka bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk setempat
dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka mengatur
rencana dan baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
Bila senja berganti dengan
malam, gedung besar yang menjadi markas para tokoh Mongol kelihatan terang dan
tenang. Di pintu depan lima orang pengawal asyik bercakap-cakap sedang lainnya
melakukan perondaan sekeliling tembok halaman. Tadi sudah dikatakan bahwa
keadaan kota Ansi aman, namun untuk gedung penting seperti markas itu tentu
saja harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.
Di dalam gedung, pada sebuah
ruangan besar empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi meja. Mereka
adalah Pengho di kepala meja, Jenderal Karfi Khan di kepala meja yang lain,
lalu Penghu
sutenya Pengho, Wanglie alias
Pengemis Sakti Tangan Kidal ditambah 10 orang perwira tinggi bangsa Mongol.
Satu jam yang lalu Pengho dan
Pengemis Sakti baru saja kembali dan langsung mengumpulkan orang-orang itu
untuk mengadakan pembicaraan. Yang jelas tentu saja Pengho menuturkan apa yang
telah terjadi dua minggu lalu antara dia dan murid Ik Bo Hosiang.
"Pemuda itu lihay sekali
dan yang lebih bahaya adalah konconya, seorang pemuda asing berambut
gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana dengan Kiat Bo
Hosiang?" bertanya Jenderal Karfl Khan.
"Entahlah, kami
tinggalkan saja dia sendirian. Mungkin sudah mampus di tangan muridnya sendiri
atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis Sakti.
"Bagiku lebih baik dia
mampus. Aku tak begitu senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.
Setelah membicarakan susunan
dan keadaan pasukan Mongol di beberapa tempat di selatan, Pengho kemudian
berkata: "Dengan adanya pengacau-pengacau seperti Thian Ong dan pemuda
asing serta gadis murid Kiat Bo Hosiang itu pasti akan banyak mempengaruhi
keadaan kita. Dalam perjalanan kemari aku dan Pengemis Sakti telah membicarakan
rencana untuk mendatangkan beberapa tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau
sampai Ik Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita akan semakin sulit. Kita
basmi dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan ratusan
pasukan dan dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti kita masakan Ik Bo Hosiang
tak dapat kita gusur dan puncak Longsan?! AKU hanya menunggu persetujuan dari
para hohan di sini saja.’ (Hohan = orang gagah).
Kurasa semua kita di sini
dengan menyetujui rencana Pengho lo enghiong dan Wanglie loenghiong."
menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima kasih kalau
begitu aku dan Pengemis Sakti akan berangkat bes….
Pengho tak meneruskan
kata-katanya karena saat itu matanya melihat alat rahasia yang terletak di
dinding bergerak-gerak.
Ada orang di atas genteng!
Semua siap!" seru Pengho.
Orang-orang yang ada dalam
ruangan pertemuan itu serta merta melompat dari kursi masingmasing dan hunus
senjata Pada saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Kiat Bo
Hosiang.
"Eh, bukankah kau sudah
mampus di tangan murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum, masih belum
Pengho lo enghiong," sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi kau berhasil lolos
dari kepungan tiga orang muda lihay itu?!" Pengemis Sakti kini yang ajukan
pertanyaan. Sebelum Kiat Bo Hosiang sempat menjawab Pengho kembali buka mulut:
"Apakah kau masih punya muka untuk kembali kemari?!"
"Ah soal muka tak perlu
kita bicarakan. Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini tidak lebih baik dari
mukaku!"
"Wah kau bicara keren
amat Kiat Bo Hosiang!" tukas Jenderal Karfi Khan. Sementara Pengho melirik
pada alat rahasia di dinding yang sampai saat itu masih kelihatan bergerak sedikit.
"Ketahuilah aku datang
bukan sebagai Kiat Bo Hosiang yang dulu. Selama ini kalian orang-orang Mongol
telah memperdayaiku, membujuk dan merayu hingga aku lupa daratan dan menindas,
memusnahkan bangsa sendiri!"
"Kiat Bo Hosiang! Kau
bicara apakah! Dan apa maumu sebenarnya," membentak Pengho.
"Kalian kaum penjajah
terkutuk hari ini harus bertanggung jawab atas kejahatan dan kekejian apa yang
telah kalian lakukan terhadap tanah air dan bangsaku!" Habis berkata
begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru: "Kawan
kawan silahkan turun!"
Serentak dengan itu terdengar
suara ribut di atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol dan tiga sosok tubuh
melayang turun dalam gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang ajar!’ teriak
Pengho. Dia sudah maklum siapa-siapa adanya tiga manusia yang masuk menerobos
itu karenanya segera saja dia hantamkan kedua tangannya ke atas. Dua larik
sinar hitam menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro Sableng yang tengah
melayang di udara.
Terdengar suara tertawa Thian
Ong disusul dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke kiri dan laksana seekor
naga dia menukik ke arah Pengho sambil lancarkan satu jotosan. Tokoh dari
Mongol ini cepat membuang diri ke samping hingga serangan lawan mengenai tempat
kosong.
Di atas sana pukulan sinar
hitam Pengho telah menghancur leburkan atap ruangan sementara Pendekar 212 Wiro
Sableng yang membalas dengan pukulan sinar matahari telah membuat lantai
ruangan hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!
"Bangsat!" memaki
Pengho. "Penghu! Kau dan Jenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo
Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi menghadapi
bangsat berambut gondrong. Aku sendiri akan mencincang bangsat pengkhianat ular
kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas kepung gadis binal baju
hijau itu!"
Pengho sengaja mencari lawan
dan menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia merasa jerih terhadap Thian Ong
apalagi Wiro Sableng.
Di dalam ruangan besar yang
sudah porak poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat seru!
Dengan sebilah pedang berwarna
ungu, Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat Bo Hosiang dengan tongkat
bajanya. Namun hanya lima jurus saja Kiat Bo Hosiang segera terdesak hebat!
Li Bwe Hun yang menghadapi
lima pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-pengeroyoknya
terdiri dari perwira-perwira berkepandaian tinggi namun dengan mainkan
jurus-jurus ilmu tong-kat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tempo enam
jurus saja sudah membuat lima pengeroyok bergeletakan mandi darah.
Pada saat gadis ini hendak
menolong suhunya yang tengah didesak hebat oleh Pengho, tiba-tiba dari pintu
menyerbulah selusin pengawal dipimpin oleh seorang perwira tinggi. Terpaksa Bwe
Hun menghadapi mereka lebih dahulu. Setelah mengamuk hampir sepuluh jurus dan
membuat lawan roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup ambil langkah seribu,
maka Bwe Hun menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam keadaan terdesak tadi,
Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu ilmu
tongkat garuda sakti atau "sin-eng thunghoat". Namun Pengho yang jauh
lebih tinggi tingkat kepandaiannya hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh
ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah menggebu-gebu kembali melabrak ke
arah lawan dan di satu kesempatan berhasil membabat bahu kiri Kiat Bo Hosiang
hingga putus buntung dan darah menyerbu!
"Suhu!" seru Bwe
Hun. Dengan kalap gadis ini menyerbu ke arah Pengho sementara Kiat Bo Hosiang
menotok bahunya di beberapa tempat hingga darah berhenti memancur kemudian
dengan gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahu membahu dengan
muridnya.
"Bagus! Kalian datang
berdua! Hingga aku tak susah-susah membunuh guru dan murid sekaligus!"
seru Pengho dengan seringai maut lalu kiblatkan pedang ungunya menghadapi dua
lawan yang dia yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.
Thian Ong yang dikeroyok oleh
jago-jago lihay yakni Penghu (adik dari Pengho) dan Jenderal Kaili Khan untuk
beberapa lamanya dibikin repot. Hal ini terutama karena dia sesekali masih saja
kejangkitan penyakit keblingernya hingga menghadapi lawan lebih banyak
mempermainkan dan mengejek. Tetapi ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di
dadanya dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting aneh ini baru sadar. Serta
merta dia cabut sulingnya dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari
Liongsan yang dipelajarinya selama 12 tahun dari Ik Bo Hosiang!
Menghadapi ilmu silat yang tak
pernah dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya Penghu serta Jenderal Karfi
Khan kebingungan. Betapapun lihaynya mereka namun jurus demi jurus keduanya
mulai terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu tiba-tiba Thian Ong
keluarkan pekik nyaring. Serentak dengan itu tubuhnya berkelebat lenyap dan
tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu.
Tubuhnya mencelat lima
langkah. Keningnya kelihatan berlubang dan mengucurkan darah. Sekali lagi adik
dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu roboh. Thian Ong telah menghantam
keningnya dengan suling hingga berlobang dan membuat nyawanya lepas.
Melihat adiknya mati Pengho
menggembor marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang hebat dan sesaat
kemudian dia berhasil merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek ini terjungkal dihantam
tendangannya dan selagi sempoyongan pedang Pengho cepat menebas lehernya hingga
Kiat Bo mati dengan kepala menggelinding!
Li Bwe Hun terpekik ngeri
melihat kematian suhunya itu. Dengan kalap tanpa mempertimbangkan lagi
kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho seorang diri. Tapi sekali Pengho gerakkan
pedangnya maka patah mentallah pedang di tangan si nona. Dilain saat senjata
Pengho membacok ganas ke kepala si nona tanpa dapat dikelit lagi ataupun
ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat yang kritis itu
tahu-tahu melesat sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho yang
tengah turun dengan deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa
yang dilemparkan karena saking cepatnya lemparan dan di samping itu dia tak
dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Cras!"
Pedang Pengho membacok tepat
di pertengahan tubuh yang terlempar. Terdengar jeritan, tubuh itu terhampar ke
lantai tak berkutik lagi dengan pinggang terbabat putus. Ketika diperhatikan
ternyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal! Bwe
Hun sendiri selamat dan tertegun sedang Pengho dengan muka pucat berpaling ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu asyik "menggebuki"
perwira-perwira Mongol yang tengah mengeroyoknya!
Apakah sebenarnya yang telah
terjadi?
Seperti diketahui sebelumnya
Pengemis Sakti Tangan Kidal bersama dengan lima perwira tinggi Mongol telah
mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima perwira ini adalah lebih lihay dari lima
perwira lain yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin oleh Pengemis Sakti mereka
sempat membuat Wiro kalang kabut. Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat
yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun maka dalam satu
gebrakan saja dia berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia menendang
mental perwira yang ketiga matanya yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho
tengah melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala Bwe Hun tanpa si gadis
bisa berkata apa-apa.
Di saat yang sama Pengemis
Sakti Tangan Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya ke arah ulu
hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama "lo-han-ciang-yau" atau
malaikat menundukkan siluman, Wiro sambar lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik
demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar di atas kepalanya lalu dilempar
ke arah Pengho. Seperti yang diperhitungkan oleh Wiro dan malang bagi Pengemis
Sakti, tubuh kakek-kakek itu terlempar tepat antara kepala dan bacokan pedang
hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho menghantamnya tepat di pinggang I
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Pengho! Apakah kau sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek
pendekar sableng ini lalu tertawa gelak-gelak. Sementara Thian Ong mendengar
suara tertawa kambratnya itu ikut-ikutan pula tertawa dan membuat gerakan yang
bernama "koay-liong-hoan-in" atau naga aneh berjumpalitan. Tubuhnya
seperti terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendang ke muka lawan
dan begitu lawan mengelak tahu-tahu suling di tangan kanan memburu dengan
cepat. Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan sewaktu perutnya kena
dikoyak oleh Suling Thian Ong hingga ususnya berbusaian keluar!
Dengan matinya Jenderal Karfi
Khan maka kini Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini membuat
nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat ke pintu.
Wiro memburu disusul oleh
Thian Ong.
"Biang racun anjing
penjajah kau mau kabur ke mana!" teriak Thian Ong.
Saat itu, sebelum keluar
ruangan menghambur lari, Pengho masih sempat pergunakan tangannya untuk memutar
sebuah tapel (ukiran kayu) kepala manusia di dinding dekat pintu. Serta merta
terdengarlah suara mendesir di Seantero ruangan.
"Awas senjata
rahasia!" teriak Wiro memperingatkan.
"Lekas tiarap!" seru
Thian Ong.
Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun
segera jatuhkan diri di lantai ruangan. Detik itu pula dari empat tembok
ruangan yang dilapisi kayu melesatlah seratus pisau terbang berwarna hijau
gelap. Bagaimanapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah ruangan pastilah
tak bakal dapat menyelamatkan jiwanya! Begitu serangan pisau terbang berhenti,
Wiro cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai di sana dalam waktu
yang tepat karena masih sempat melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap
gedung sebelah kiri. Wiro segera memburu dan dalam waktu singkat berhasil
menyusul pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho sadar dia tak akan bisa
menang menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak mungkin. Apalagi waktu itu
berkelebat pula dua bayangan di atas genteng yakni Thian Ong dan Bwe Hun. Dan
si nona belum apa-apa lantas saja sudah menyerangnya dengan sebuah golok besar
yang diketahuinya adalah milik Jenderal Karfi Khan.
Tak ada hal lain yang bisa
dilakukan Pengho daripada melawan mati-matian. Sebenarnya dalam tingkat ilmu
kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol
itu. Namun saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau takut dan gugup.
Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa mengintai kelengahan lawan untuk
melarikan diri. Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro meskipun tidak langsung turut
pula ambil bagian dalam pertempuran.
Setiap Pengho mendesak Bwe Hun
atau lancarkan serangan berbahaya maka tahu-tahu pantatnya ditendang oleh Thian
Ong dari belakang. Terkadang Wiro menjambak rambutnya atau menarik turun
celananya. Sambil berbuat begitu kedua pemuda sableng itu tertawa-tawa tiada
henti.
Akhirnya dalam keadaan
penasaran, Pengho pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya sendiri! Tokoh utama
dari Mongol ini roboh, terguling dari atas genteng, jatuh ke tanah dengan
pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan Thian Ong, Wiro
Sableng, Li Bwe Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar pentolanpentolan
tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul menggemparkan baik empat kalangan
Pemerintah Mongol maupun Pemerintah Tiongkok.
Kalau orang Mongol merasa
sangat terpukul maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribuan tentara
Tiongkok dua minggu kemudian menyerbu ke perbatasan. Dan betullah seperti
kata-kata mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas sumber kekuatan penjajah itu
dihancurkan maka balatentara Mongol meskipun berjumlah besar namun tak lebih
dari anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Seluruh kekuatan Mongol disapu
bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari kaum penjajah yang selama ini telah
mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di kalangan rakyat. Namun agaknya tugas
Song Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum selesai karena di selatan masih
banyak pemimpinpemimpin yang tak tahu diri yang perlu disingkirkan. Sementara Pendekar
212 Wiro Sableng terus pula melakukan petualangannya.
TAMAT