Bab 17 - Pegunungan Min-San
Hwesio keparat ditegur dan
terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio
itu memiliki sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya, hwesio itu dapat
dikalahkan oleh Suheng dan sahabat-sahabatnya dan biarpun tidak dapat
dibinasakan, sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga
sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang
sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!!
Hwesio itu mukanya tidak
berubah akan tetapi sinar matanya makin berapi-api. Tiba-tiba Sun Giok Sianjin
tertawa bergelak, ˜Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh
Suhu!!
˜Sun Giok Sianjin, awas!!
teriak Bu Pun Su dan tosu ini cepat melompat ke belakang ketika merasa ada
angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerangnya dengan
pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali. Sun
Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi,
setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin dan lebih tinggi tingkatnya
daripada kepandaian murid-murid Keng Thian Siansu.
Akan tetapi menghadapi pukulan
dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main. Biarpun ia dapat menghindarkan
diri, namun ia maklum bahwa lwee-kang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui
tingkatnya. Cepat tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu ia telah mencabut
pedang yang tadinya menggemblok di punggugnya. Sun Giok Sianjin terkenal lihai
dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.
Memang tosu ini adalah seorang
kidal yakni seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil menggunakan tangan
kiri daripada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga
selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi
lawan memang merupakan suatu kesukaran menghadapi seorang yang mainkan senjata
dengan tangan kiri.
Terdengar Kong Mo Taisu
tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka dari hwesio telinga buntung
ini. Biarpun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang
terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tidak memperlihatkan
gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!
˜Tosu bulukan kau mengandalkan
pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng.
Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi baru menghadapi pinceng!!
Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.
˜Hwesio siluman lihat pedang!!
Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar, dengan gerak tipu Hek-in-koan-goat
(Awan Hitam Menutup Bulan) gerakan ini disusul oleh gerakan berantai
Ngo-cu-sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai). Akan tetapi sambil mengeluarkan
suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke
arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu
bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg
serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.
Sun Giok Sianjin terkejut
sekali dan setelah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa
pukulan ahli lwee-kang I-kin-keng ini, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba
pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher dari samping! Sambil
melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya
sehingga apabila hwesio itu berani menangkis, sungguhpun tidak dapat ia
menangkan tenaga lwee-kang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan
ketajaman pedang setidaknya tentu akan melukai tubuh lawannya!
Akan tetapi hwesio itu
benar-benar lihai sekali. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi berat itu, ia
mengelak cepat dan begitu pedang menyambar lewat, tangan kirinya menyusul
pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong macam
Siok-lui-kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi
bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang.
Sungguh luar biasa sekali.
Biarpun hanya didorong oleh
hawa pukulan, betapapun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tak dapat
ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri
hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lwee-kang dikerahkan dan ˜krakk!!
pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai! Di lain saat kaki
kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting
pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!
Kong Mo Taisu tertawa bergelak
sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun
dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah kalah oleh
hwesio itu, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan, memalukan dan juga
membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.
Hal ini diketahui pula oleh
Keng Thian Siansu. Dia sendiri biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi
daripada murid keponakannya itu, namun kalau disuruh mengalahkan Sun Giok
Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia
tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.
Akan tetapi sebagai seorang
ciangbunjin ia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apalagi
yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio
Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit ia bangkit dari kursinya dan
menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.
˜Hwesio, harap kau bicara
terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?!
Kong Mo Taisu memandang tajam.
˜Kau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?!
˜Betul dugaanmu. Kau ini
hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran,
sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang
kuat dan alasan yang tepat.! Keng Thian Siansu menyeringai.
˜Bagus, Keng Thian Siansu, kau
masih tanya-tanya lagi? Kau tidak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid
terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang kau
karena takut kepadanya bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa
maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai
di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus
hinaan waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas
kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!!
Orang yang tidak tahu, tentu
akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang
tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua
dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai, sebagai cucu
muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar. Memang
Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya
daripada Hok Bin Taisu sendiri dan kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat
mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya. Hal ini
adalah karena Kong Mo Taisu yang sudah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan
Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai
dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut
sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang
membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu
Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh
disebut cucu-cucu muridnya.
Keng Thian Siansu mendengar betapa
hwesio ini terus terang menyatakan hendak mengetahui sampai di mana tingginya
puncak Kun-lun-san, menjadi mendongkol sekali. Kata-kata ini mengandung
sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, melainkan
puncak kepandaiannya, yakni tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh
dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya
dengan menantangnya, apalagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan
hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan hinaan potong
telinga oleh mendiang suhengnya, Seng Thian Siansu.
˜Hwesio, kau sombong sekali.
Pantas saja mendiang suhengku membuntungi telinga kirimu. Kau mau membalas
dendam dahulu? Baikiah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk
menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga
keledaimu yang sebelah lagi!!
Keng Thian Siansu biasanya
tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan
menghina orang. Kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja
untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja hendak
memanaskan hati dan membuat hwesio itu marah, karena hanya kalau hwesio itu
marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.
Bagi para ahli silat tinggi
yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga
lwee-kang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat
mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sukar sekali untuk mengumpulkan hawa
di dalam tubuh dan karenanya hawa sin-kang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat
terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.
Ejekan tentang telinga itu
benar-benar tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan
main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras ia yang
tadinya tidak mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni
sebatang ring rantai yang dibuat ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja
lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.
˜Tosu keparat, mampuslah kau
menyusul suhengmu!! bentaknya sambil mengirim serangan. Bukan main hebatnya
serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung
rantai menghantam lantai dan debu berhamburan ke atas karena lantai yang
terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain
yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.
˜Traangg...!! Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat di tangan
Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu
kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat
menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.
Kiranya tidak sembarang orang
kang-ouw dapat menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga
lwee-kang, maupun gin-kang yang sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali
ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum
bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo
Couwsu yang luar biasa hebatnya.
Telapak tangannya menjadi
panas sekali dan kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang kuat tentu kulit
dan daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran
tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas
bagaikan api membara. Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah
kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga
rantai itu lewat di bawah kakinya, tahu-tahu rantai itu sudah menghadang pula
dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin
kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan
kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar
luar biasa dan berbahaya sekali.
Keng Thian Siansu tidak berani
berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu
silat Kun-lun-kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering
dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian. Pertempuran menjadi
makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah, mengeluarkan
seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Karena maklum bahwa tenaganya
kalah jauh, Keng Thian Siansu mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran
tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan
ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah
karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia dapat menangkis
serangan lawan yang tentu saja mempergunakan sistim setengah bertahan setengah
menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua
Kun-lun-pai itu hanya berada di pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali
melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.
Seratus jurus telah lewat
dengan cepatnya dan kini tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang-orang
Kun-lun-pai yang datang menonton dan siap sedia menghadapi semua perintah ketua
mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi
mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana. Akan tetapi di antara
mereka sudah ada kesepakatan, bahwa kalau sampai Ketua Kun-lun-pai roboh
binasa, tentu hwesio gundul itu takkan dapat keluar dari situ dalam keadaan
selamat.
Biarpun hwesio itu lebih kosen
lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia dapat menghadapi
pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi
itu.
Mereka pun tidak akan
ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai
ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang
tamu terhormat, melainkan sebagai seorang pencuri yang datang secara
sembunyi-sembunyi. Kalau tamu mereka itu terhormat dan pertandingan itu adalah
pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup takkan dipersoalkan lagi
oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka
mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.
Adapun Kong Mo Taisu yang sampai
seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main.
Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena
dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu dan empat orang lain yang
kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang
maju, dahulu juga Seng Thian Siansu pasti kalah olehnya. Padahal setelah
menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih
I-kin-keng sampai hampir sempurna.
Kini ia mendapat kenyataan
bahwa ia telah salah duga. Kiranya, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang
luar biasa saja ia takkan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak
mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya, ia dapat
menangkan Keng Thian Siansu hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari
Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!
Aku harus menangkan dengan
tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan
sodokan ke arah dada, ia tidak mengelak, bahkan sodokan tongkat itu dengan
pengerahan tenaga lwee-kang dan dengan ujung rantai melibat ujung tongkat.
˜Buk!! ujung tongkat menotok
dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga
meleset tanpa mendatangkan akibat apa-apa, dan sebaliknya, ujung tongkat itu
telah kena dilibat oleh rantai. Betapapun Keng Thian Siansu mencoba untuk
membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dari mulut
Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan tangan kirinya yang menyerang
dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!
Keng Thian Siansu tadinya
telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang
kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu kehilangan tongkat terampas
lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa. Akan tetapi sekarang melihat
datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan
kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau)
menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu
jari-jarinya telah saling cengkeram!
Kini pertandingan dilanjutkan
mengandalkan lwee-kang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai,
tarik-menarik dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio tetap tidak berubah,
hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin
lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan
Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya
sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah
berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan
lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
Tenaga lwee-kang dari hwesio
itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang
masih menang setingkat lebih, maka setelah kini pertandingan dilakukan dengan
cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai
itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang biarpun dilakukan tanpa
mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya melebihi silat.
Dalam pertandingan silat,
setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau mengenai tubuh juga,
asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang,
orang bertanding mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ˜tidak
kelihatan! namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan
kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka
parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.
Bu Pun Su maklum akan hal ini.
Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan
kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya
cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun tongkatnya lenyap, berarti ia
akan selamat nyawanya. Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun
Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng Thian Siansu yang lebih
menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar daripada nyawanya!
Sambil batuk-batuk Bu Pun Su
bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini
meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang
mengerahkan tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu. Kong Mo
Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu
seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan
dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak
karuan!
˜Ayaaaa...! Ia berteriak
sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dah melompat ke
belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tosu
tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu
duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan
lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat
ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan
nyawanya.
Kini Kong Mo Taisu menghadapi
Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis
yang marah sekali.
˜Bu Pun Su, kau memang
pengecut dan tak tahu malu!! Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi
tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan
kata-kata! Bu Pun Su tersenyum mengejek,
˜Kong Mo Taisu, kalau roh suci
dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan
seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu
beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat
suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan
kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah
menjadi ilmu hitam yang keji!!
˜Bu Pun Su manusia rendah!
Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri
seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku dan sekarang kau masih
berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi
juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding
dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah
itu perbuatan laki-laki?!
Bu Pun Su tidak marah
mendengar ejekan ini. ˜Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya
dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus diadakan
aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhah nyawa! Akan
tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul,
atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula.!
˜Jahanam, kau memaki aku
anjing?!
˜Siapa memaki? Aku hanya
menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah
kau datang ini untuk menangkap aku karena kaubilang aku membunuh dua orang cucu
muridmu?!
˜Bukan hanya menangkap,
sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu
ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk menyembahyangi roh kedua orang
cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.!
Bu Pun Su tertawa geli. ˜Aduh,
alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa
kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih
dulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya mana ada setan yang
suka?!
Kong Mo Taisu menggerakkan
rantainya. ˜Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!!
Bu Pun Su mengangkat tangannya
menyetop. ˜Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang hendak kaubunuh tidak
tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang
aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau
yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh
Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan
pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh
Siauw-lim-pai itu?!
˜Tak usah banyak cerewet.
Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga
membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng adalah seorang
Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.!
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa
bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan lapat-lapat suara ini yang
mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, dijawab oleh auman
binatang-binatang buas!
˜Kong Mo Taisu, kau kira aku
tidak dapat menduga? Kiranya siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi
Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tidak
mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian
siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening
dan bibirnya yang merah. Dan kau... ah, mana bisa lain? Kau dengan segala
senang hati melaksanakan permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok
sekali?!
Untuk sesaat hwesio itu
berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su, seakan-akan kakek sakti
ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat
sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, lalu
langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar ia hanya
diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di mana wanita ini
mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng
Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-tho. Akan tetapi,
ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio
Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan
ketidakpercayaannya.
˜Apapun juga yang terjadi,
pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh
perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!! kata Hek Bin Taisu.
Demikianlah, tepat seperti
dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat
pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar
omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu
sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke guanya
di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si. Tentu saja
tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan untuk menolong wanita itu
membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang
wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan
merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Kong Mo Taisu
biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa bertahun-tahun akan
tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang
cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apalagi ketika
dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah
membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu
menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!
Demikianlah, dan sekarang Bu
Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata
sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang menimbulkan
marahnya.
˜Bu Pun Su, jangan mencoba
berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid
Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!! Setelah berkata
demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.
Bu Pun Su maklum bahwa hwesio
ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lwee-kang dan
ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu amat berbahaya. Akan tetapi di
samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu
silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut
cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya
Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudiah berkatalah Bu Pun
Su,
˜Kong Mo Taisu, satu kali kau
sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan sehingga kau dihukum oleh
Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat sehingga
telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum
bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu
sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!!
Kata-kata yang panjang ini
diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan
oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau
pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan
dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja. Sekali saja kakek ini menggeser
kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala, menekuk lutut atau menggoyang
pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat kosong, dan hanya sejari
terpisah dari anggauta tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai,
seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti
kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak
mengenai sasaran.
˜Kong Mo Taisu, tahukah kau
apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?! Bu Pun Su bicara terus dan cepat
menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali
ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat
dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga aneh sehingga
arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
˜Rambut merupakan bagian
penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan
dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati,
maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu berahi didahului dengan
penggundulan rambut kepala.!
Kembali Bu Pun Su mengibaskan
ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat
pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
˜Akan tetapi kau biarpun
kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa
Pouwsat, benar-benar amat memalukan!!
Dengan kemarahan makin meluap,
rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala
Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia telah
memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si,
kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu
Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus lebih
serangan-serangannya tak pernah berhasil? Apalagi Bu Pun Su masih ada
kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!
Pukulan rantai ke arah kepala
kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan tenaga I-kin-keng
sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasai
sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.
˜Siancai... sayang sekali ilmu
hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...! kata kakek sakti ini dan cepat ia
mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya.
Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya,
karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat
saia, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya
maut yang nyata!
Akan tetapi Bu Pun Su bukan
manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada
keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka
Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh besar
di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca
Pendekar Sakti).
Dalam menerima dan menangkap
rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya gerakannya biasa saja, namun lengan
yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk
cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar cepat itu dapat ditangkapnya
dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu
berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan
ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai itu biarpun terbuat dari
baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat
berbengkok-bengkok.
Anehnya, ketika dua orang
sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang
seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lwee-kang tinggi yang
membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biarpun yang dipegang itu
sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.
Pertempuran ini benar-benar
menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa
artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh tangan kaki, bahkan
dengan senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti pertempuran
adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada
saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam,
kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!
Akan tetapi bagi Bu Pun Su
tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki tingkat yang tak dapat diukur
lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia dapat menundukkan Kong Mo
Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
˜Kong Mo Taisu, insyaflah kau
akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak takkan melakukan
pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan melupakan
hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!! Sambil berkata demikian,
Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi
kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan
seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa
kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga
dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada
padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara
seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling
banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu
ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik
kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan
menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su
mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini
dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan segenap tenaga yang ada
dalam dirinya! Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar
mengancam diri Bu Pun Su.
˜Curang...!! Keng Thian Siansu
Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan
tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su,
kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu
Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya
ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada.
Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah,
melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar
dan mau merubah wataknya. Diam-diam ia telah menyediakan tenaganya di pundak.
Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong dengan seluruh tenaga,
Bu Pun Su menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan, menyambut datangnya
tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga
raksasa ini hebat sekali. Terdengar suara ˜krek. krek... krek....!! dan satu
demi satu mata rantai itu hancur! Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik
mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan
tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk, wajahnya pucat
sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya
meram.
˜Siancai... siancai... Kong Mo
Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.! kata Bu Pun Su menarik napas panjang,
Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan
menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu amat jahat dan
tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh
tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang
berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua
Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan
perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya
mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk
melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah musuh-musuh
negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su
menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai
untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu
Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke
Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok Bin Taisu Ketua
Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai tentang kematian
dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum
siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah
pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su untuk menggalang
persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam
bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam
kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan segera berpamit pergi,
diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang
terjadi.
***
Demikianlah
pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu
melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua
Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk
diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam
perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat
telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum
pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran. Bagaimana
siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang
mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali.
Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan,
selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga
hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar
itu.
Akan tetapi, alangkah terkejut
dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di Sian-koan ia mendengar
tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian ia mencari
makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok
yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan
di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu mencurahkan seluruh
kesedihan hatinya.
˜Susiok-couw... teecu seorang
yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya
Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...! Ia terisak-isak sampai
suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan
matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia menjumpai Im Giok, lebih dulu
kakek ini telah mencari keterangan tentang terjadinya peristiwa itu, maka
tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.
˜Susiok-couw... harap
Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi
ini. teecu tidak kuat menanggung dosa...! gadis ini melanjutkan kata-katanya
yang dicampur dengan tangis.
˜Kiang Im Giok, omongan apakah
yang kaukeluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi
kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua kelemahan yang menyelubungi
kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkat muka dan dada, arahkan
pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang
hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?!
Kata-kata Bu Pun Su
benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan
kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuatnya
sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang
awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa
cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya dengan mata penuh
harap dan tanya. Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia
harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang
secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
˜Im Giok, seperti kukatakan
tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri
semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan dibandingkan dengan aku,
nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga
bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini
dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup? Setiap pertemuan pasti akan
diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan
pertemuan lain.!
Im Giok yang mendengarkan
ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali,
lalu menjawab,
˜Teecu mengerti, Susiok-couw.
Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang
telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw
Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada Ayah, akan
tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal
dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu...! Mata yang sudah
dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
˜Semua itu hanya dijadikan
lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau
terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu,
kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang mengakibatkan
akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh
bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab
dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita terbuka dan
dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Kau semenjak
kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus memiliki kegagahan lahir batin,
berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat
batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan
berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang
gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di
dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah
lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata?
Beginikah sikap seorang pendekar?!
Kata-kata ini membangkitkan
semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,
˜Susiok-couw, maafkan
kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon
petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi
petunjuk.!
˜Banyak sekali yang dapat kau
lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu akan melakukan
banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan
tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan,
membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.!
˜Teecu mohon diberi tugas
tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu,
Susiok-couw.!
Bu Pun Su mengerti akan
kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas penting, tugas yang sukar,
merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan orang akan kedukaannya,
mendatangkan, perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang
banyak.
˜Baiklah, Im Giok. Aku pun
sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali kalau kau menyediakan
tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan kepandaian lahir, juga
perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu
sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi hal yang
amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai
terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan
berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah seorang berwatak gagah
dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin
oleh orang-orang pandai dan terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai
welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih.
Aku sendiri masih sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan
tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau
selidiki tentang pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan
sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan
mereka dengan jalan damai.!
Im Giok merasa terhibur
mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
˜Teecu akan segera berangkat
memenuhi perintah Susiok-couw,! katanya, kemudian dengan hati lega ia
bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga di depan kuburan
Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi
kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia bertemu dan
bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya.
˜Di mana adanya sucimu?!
tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai bersembahyang.
˜Kalau tidak pergi, tentu ada
di rumah,! jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan sucinya
itu.
˜Hemm, aku ingin bertemu
dengan dia.!
Maka pergilah kakek dan gadis
itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya
ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa
orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata
Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi dua
hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberitahu kepada siapapun
juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa sucinya itu
telah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa sucinya itu pergi jauh
dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar
lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
˜Im Giok, disamping tugasmu ke
Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati sucimu itu. Jangan sampai
dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan
menyemarkan nama baik kita. Betapapun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu
dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le,
berarti bahwa dia itupun anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab
pula atas sepak-terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya
kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.!
Setelah banyak-banyak memberi
nasi hat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu
Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Setelah kakek ini pergi, Ang I Niocu lalu
menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya
kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.
Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya
mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang
yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi
dunia yang masih asing baginya, disamping memperluas pengetahuannya, juga untuk
melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.
***
Kalau semenjak ayahnya
meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan
pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam perjalanannya, ia kembali
mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Pulih kembali
kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis
baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang
gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing
manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan, merah sewajarnya yang
membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana
dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang itu masih ada
sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung
rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dahulu selalu
dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam
mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih
cemerlang dengan dasar rambut hitam itu. Sepasang telinganya yang sebagian atas
tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas
bermata kemala. Anting-anting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara
leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu
yang selalu menarik pandang mata orang, penuh kemanisan dan keindahan yang
tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan
kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu. Mata ini sekarang
agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu membayangkan kejenakaan,
kegembiraan, dan kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi
cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah
mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dahulu orang masih
berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti sinar mata
kanak-kanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masak-masak dulu
sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang
I Niocu. Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat sesuatu yang
merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati
ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap kekerasan
hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi, kekerasan ini
tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil
mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana
kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu
bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah
ditentukan mana yang lebih indah matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya, yang nampak
hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru. Kemudian bajunya terbuat
dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan membayangkan bentuk tubuhnya
yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada
pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias
benang emas.
Ikat pinggang ini yang membuat
pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata,
mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapapun menariknya
gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan berlaku kurang ajar karena Ang
I Niocu selain bersikap agung, juga selalu membawa pedang yang gagangnya
kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua
barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih kesayangannya. Dalam
perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini
meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya
kudanya. Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu dibeli ayahnya
dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang
ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.
Ketika dahulu Ang I Niocu
masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya ini yang agaknya mengenal
semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di
kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda
yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu makin sayang
kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari ketika ia tiba
di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki
memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju
ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti,
maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada
pohon.
Ternyata bahwa yang
ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri
menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang
pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
˜Perempuan tak tahu malu! Aku
sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk merengek-rengek? Benar-benar
anjing yang tidak tahu malu!! laki-laki itu memaki dan kakinya menendang
sehingga perempuan itu roboh terguling. Akan tetapi perempuan itu merangkak
kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata,
˜Suamiku, mengapa kau begini
kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku?
Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak
meminangku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup
sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi
isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?!
˜Cukup! Tutup mulutmu dan
pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak
sudi melihat macammu lagi!!
Perempuan itu terisak-isak dan
sambil berlutut ia berkata, ˜Suamiku, mengapa kau begitu keji...?!
˜Siapa keji? Kaulah yang
mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau
mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!! Kembali laki-laki itu menendang,
dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling dan
mengaduh-aduh. Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan
sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
˜Laki-laki berhati iblis, kau
berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian
Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh
Thian...!!
˜Jangan banyak cerewet....!
Kata-kata si suami ini
terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia melihat seorang gadis baju
merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahu-tahu telah berdiri di
depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu
belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang
tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini
adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan! Gadis itu adalah Ang I
Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
˜Toaci yang baik, bajingan ini
telah berbuat apakah?!
Perempuan itu pun kaget
melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun
ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa
dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
˜Ampunkan hamba... dia itu,
adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu
mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba menggunakan
alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai turunan setelah menikah lima
tahun, sekarang hendak mengusir hamba...!
Sejak tadipun Ang I Niocu
sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu
terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh
suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu
bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu bahwa kalau ia melakukan
hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau
suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah
mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan
menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?
˜Toaci, apakah kau masih suka
menjadi isterinya?!
˜Hamba memang isterinya yang
sah, bagaimana tidak suka?! perempuan itu bertanya heran.
˜Biarpun andaikata ia menjadi
buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekalipun?!
˜Apapun juga yang terjadi dengan
dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...! jawab isteri
yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada
laki-laki itu dengan mata marah
˜Jahanam berhati binatang!
Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam
busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau harus diberi hajaran.
Rasakan ini!!
Tiba-tiba laki-laki yang sejak
tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia
menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali
pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke
bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah
mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun
telinganya telah menggeletak di atas tanah.
˜Lihat baik-baik daun
telingamu!! kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali pedangnya.
˜Lain kali kalau kau masih
hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!!
Sementara itu, isteri yang
melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju.
Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan
itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan
bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis itu sambil berkata, ˜Aku
sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain
itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan
belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu
baik kembali.!
Tanpa memberi kesempatan
kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat
pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul
seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti
kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di atas kudanya
yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan semua peristiwa yang tadi
dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan dari bibirnya yang merah
itu keluar keluhan-keluhan pendek,
˜Hemmm, ngeri kalau melihat
suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia
hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara,
Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku. Perempuan tadipun karena
cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji.! Memikirkan ini semua,
makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah
terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam ia
mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk hidup sebatang
kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang li-hiap
(pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta
kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa
cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak
cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak
mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik kalau ia teringat akan
peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju ke Kim-san,
gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan
antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini adalah daerah Pegunungan
Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar
dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak
terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun
tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan perampok ini
dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san
Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara
ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki kepandaian tinggi dan
keistimewaan masing-masing. Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw
yang mendatangi Min-san dan menyerbu Min-san Sam-kui ini, akan tetapi para
pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita
luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.
Orang-orang yang kepandaiannya
tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui.
Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu mereka oleh karena memang
tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal) yang gagah
perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim dan kang-ouw. Mereka
melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah Min-san
saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san
Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti
Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan
mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang amat hebat.
Dengan kedua tangannya, Ang
Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang
dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari
seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang
dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian
beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan
Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga
puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya
berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia dijuluki Si Tangan Putih.
Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak
dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah.
Sifatnya yang lemah lembut
berubah beringas dan ia kejam sekali. Berbeda dengan suhengnya, Ang Kim, pemuda
ini adalah seorang ahli lwee-kang dan pedangnya amat tangguh dan lihai. Memang
dahulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang
berdasarkan gwa-kang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong,
menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lwee-kang kepada pemuda tampan ini.
Adapun orang ke tiga adalah
adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua
puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik
dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian
yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, kalau Kwan Liong
kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak
dan telengas.
Hanya dalam satu hal gadis dan
kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Biarpun kakak
beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti
kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi kalau Kwan
Liong mainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa mainkan sepasang pedang dan
karenanya ia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang
Pedang!
Agaknya kehidupan tiga orang
pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani
mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja
Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!
Ketika Ang I Niocu menjalankan
kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di
pegunungan Min-san, gadis ini tertarik sekali akan keindahan pemandangan alam
di sekitar tempat ini. Ia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak
yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah-putih kemudian
ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk
yang bermain-main dengan rambutnya.
˜Indah nian tempat ini...!
pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas
sebuah batu. Keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya
menggugah jiwa seninya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Serangkaian
sajak tidak terasa telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona oleh
keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan
air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan
hati!
Ang I Niocu merasa betapa
kata-kata ini cocok sekali maka dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata
itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia
sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari
balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ. Makin lama orang-orang yang
mengintainya ini makin mendekat, menyelinap diantara pohon-pohon. Setelah
mereka datang dekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpemandangan tajam itu
dapat melihat mereka.
Dengan tenang gadis ini
tersenyum seorang diri, lalu berkata, suaranya merdu akan tetapi nyaring dan
tinggi menusuk telinga,
˜Siapakah kalian yang
mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah
dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!!
Sampai lama suara ini tidak
ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik
batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh
tegap dan bersikap kasar.
˜Kalian ini siapakah dan apa
maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?!
Seorang diantara mereka,
agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, tertawa
bergelak, cengar-cengir, seperti monyet memandang kepada kawan-kawannya.
˜Seorang tamu menegur dan
bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu
kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah kalau kau yang bertanya siapa
kami. Sepatutnya kau yang mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki
wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah
gurumu dan dari golongan manakah kau?!
Mendengar pertanyaan ini, Ang
I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena
memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai
menelan ludah dengan hati penuh gairah. Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan
kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi, maka kini ditanya nama dan asal
usulnya, ia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati
Kau masih bertanya maksud.keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon
Terbang ke sini berkehendak apakah ?
Dua belas orang itu adalah
anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja
mereka ini adalah bangsa kasar yang tidak peduli tentang sajak, akan tetapi
mereka pun sudah banyak tahu tentang keanehan orang-orang kang-ouw, maka
biarpun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih
menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang
parau,