Bab 16 - Membunuh Ayah
˜Eh, Suci, mengapa kau
menangis?! tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak sucinya.
˜Adikku... aku girang
sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau...
menikah dan pergi, bagaimana dengan diriku? Sumoinya sudah menikah dan sucinya
belum, apa akan kata orang...?!
Tahulah kini Im Giok mengapa
Kim Lian menangis.
˜Suci, apa salahnya hal itu?
Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari
keluarga lain. Siapa yang lebih dulu keluar pintu tidak merupakan halangan
apa-apa.! Ia menghibur dan diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia
sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan
Tiauw Ki.
Anehnya, semenjak Im Giok
datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan setiap hari ia keluar
tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh
curiga dan diam-diam ia mengikuti sucinya, akan tetapi temyata setelah Im Giok
pulang, Kim Lian tidak berani main gila lagi dan kepergiannya hanya untuk
menunggang kuda keluar kota dan kembali lagi, hanya untuk memuaskan
keinginannya dan ketenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok
mengerti bahwa sucinya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena
hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan.
Setiap hari Im Giok menyuruh
seorang pelayan pergi ke rumah penginapan Liok-nam, mengantar makanan atau apa
saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenamya ia ingin
mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan terutama
sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!
Pada hari ke lima, menjelang
senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar
dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya bertemu di tengah
jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama sucinya itu. Wajah Kiang Liat
muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada
pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,
˜Im Giok, apa sih artinya
hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?! Suaranya
menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.
Im Giok kaget sekali dan
menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum
dan berkata kepadanya,
˜Benar, Sumoi. Sudah tak tahan
lagi hatiku dan aku menceritakan kabar girang itu kepada Suhu tadi...!
˜Kabar girang...?? Gila betul!
Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!! kata Kiang
Liat makin marah mendengar kata-kata ini Kim Lian membungkuk dan berkata,
˜Baiklah, Suhu.! Kemudian ia
keluar dari kamar itu dan dari pinggir Im Giok dapat melihat bayangan senyum di
sudut bibir sucinya.
Setelah Kim Lian pergi, Kiang
Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak
sabar,
˜Coba kauberi penjelasan, Im
Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau
mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang kini datang untuk
melamarmu?!
Muka Im Giok sebentar pucat
sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya.
Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya dan berkatalah ia dengan suara
tenang,
˜Ayah, harap kau suka
tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.!
˜Tidak peduli aku akan cerita
panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku
terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?!
Mata Im Giok menjadi merah. Ia
tahu bahwa kadang-kadang ayahnya juga suka marah-marah seperti itu, akan tetapi
belum pemah terhadap dia ayahnya marah-marah tanpa alasan. Sebaliknya dia sejak
kecil dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan setelah kembali bersama ayahnya, ia
dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah
ayahnya.
˜Ayah, bagaimana kau bisa
memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kaulihat dan kenal?! kini gadis
itu membantah marah. Biasanya kalau sudah melihat puterinya berdiri
menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi dan dada dibusungkan ini, hati
Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan
Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya kalau Im Giok sudah menentang dan marah,
Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi
sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,
˜Tak usah dilihat, tak usah
dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua
berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan
dia!!
˜Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai
bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk
mengantarnya ke Tiang-hai!!
Kiang Liat tertegun. Dia sudah
mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im
Giok memang diberi tugas mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan
Kaisar itu pemuda inikah?!
˜Hemmm, mana ada utusan Kaisar
kutu buku yang lemah?! ia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.
˜Ayah terlalu mengandalkan
kepandaian menggerakkan pedang! Sebetulnya di antara para penggerak pensil juga
tidak kurang terdapat orang-orang berjiwa kesatria dan bersemangat api!
Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar biarpun dia memang tidak mengerti ilmu
silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.! Melihat ayahnya diam saja,
Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika ia mengantar Gan Tiauw
Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Dituturkan semua pengalamannya itu dengan
singkat dan terutama sekali ia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani
dalam membelanya.
Kiang Liat tidak kelihatan
tertarik. Ia hanya beberapa kali menggeleng kepala, bahkan memberi komentar
tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.
˜Kalau dia bukan kutu buku,
kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin kau sampai dihina
orang, tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang
hendak melamarmu?!
Im Giok menundukkan mukanya,
lalu menjawab lirih. ˜Demikianlah kehendaknya.!
˜Tidak bisa! Kausuruh saja
pelayan memberi tahu dia bahwa dia boleh lekas-lekas pulang dan jangan
sekali-kali berani datang lagi ke sini!!
Im Giok mendengar kata-kata
ini menjadi pucat. ˜Ayaaaahhh...!! serunya, setengah marah setengah terkejut.
Ayahnya menggeleng-geleng
kepalanya. ˜Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan
dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang
bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah
tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi
suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah terkena angin
sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!!
Makin lama sepasang mata Im
Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya.
˜Tidak...!! katanya keras
sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini
mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam.
˜Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!!
˜Im Giok.!!
˜Aku yang hendak menikah,
bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!!
Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki
kamarnya di mana ia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan
muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.
Kiang Liat berdiri tak
bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu
kamar anaknya tak berkedip. Kata-kata lari minggat meninggalkannya amat menusuk
hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan
khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya.
Dengan langkah
terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja
ia terguling kalau tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah
kamar, dekat pembaringan anaknya.
Pikirannya tidak karuan
rasanya, matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu
terputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras amat nyeri dan telinganya
penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan
terdengar kata-katanya seperti mabuk,
˜Jangan tinggalkan aku...
jangan tinggalkan aku seorang diri...!!
Im Giok sudah duduk di atas
pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia
memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya
seperti ini, akan tetapi akhimya ia mengerti.
Selama ini ayahnya memang
bersikap aneh dan kadang-kadang mendekati sikap gila, menangis dan tertawa
seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggii-manggil nama ibunya. Dan
sekarang, ayahnya bersikap seperti ini karena dia hendak meninggalkan ayahnya!
˜Ayaah...! Im Giok menubruk
dan menangis di dada ayahnya ˜Ayaah, tidak. aku tidak akan meninggalkanmu,
Ayah.!
Dua titik air mata turun
membasahi pipi Kiang Liat ketika ia membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya
itu pada dadanya erat-erat, seperti orang merasa takut kalau-kalau mustikanya
dirampas orang.
˜Im Giok, anakku sayang
benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku...! tanyanya dengan suara berbisik.
Im Giok terisak menahan
tangisnya. ˜Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem
Sun Hauw murid Go-bi-pai itu...!
Kiang Liat menarik napas
panjang, lalu menarik anaknya berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk
tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.
˜Im Giok, kau serupa benar
dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas
menjadi suamimu...!
˜Tapi aku tidak mau menikah
dengan anak Go-bi itu, Ayah,! kata Im Giok manja.
Kiang Liat tersenyum pahit.
˜Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?!
Im Giok tidak berani menjawab,
hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu
menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,
˜Sebagai ayah aku harus
menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana
macamnya kutu buku itu...! Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang
duduk melamun di atas pembaringannya. Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan
ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan
cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka
dalam hati ayahnya.
Sekarang ayahnya masih belum
tenang, maka Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki, karena ia
pikir betum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu
Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya dan hati Im Giok menjadi
lega.
Pada keesokan harinya, Kiang
Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, ˜Im Giok, aku hendak pergi ke rumah
penginapan Liok-nam.!
˜Apakah tidak sebaiknya dia
kuundang ke mari, Ayah?! tanya Im Giok.
˜Tak usah. Kalau ia datang
berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik
kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.!
Kalau menurutkan kehendak
hatinya, ingin sekali Im Giok ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan
melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau ia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw
Ki di rumah penginapan. Terpaksa ia menanti di rumah dengan hati berdebar dan
ia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada sucinya itu tentu ada
kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebarnya hatinya.
Dengan langkah lebar Kiang
Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah
barat. Semalam suntuk Kiang Liat tidak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan
tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya. Dengkurnya bukan dengkur
sewajarnya dan dahulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya dan pergi
merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam ia mendengkur seperti
itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama
kambuh pula. Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan
biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi
persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya.
˜Dia harus aku usir jauh-jauh,
aku ancam agar jangan berani menemui anakku lagi!! Pikiran inilah yang semalam
tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan
orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang
jalan.
Setelah tiba di penginapan
Liok-nam Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu
amat terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan ramah tamah
dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,
˜Selamat pagi, Kiang-taihiap.
Sepagi ini Tai-hiap sudah mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah
penghormatan besar sekali. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Tai-hiap?!
˜Apakah di sini ada seorang
tamu bernama Gan Tiauw Ki?!
Pelayan itu mengerutkan
kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya selaku orang mengumpulkan
ingatan. Kemudian ia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan
gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.
˜Ah, ada... ada... Tai-hiap.
Tentu yang kaumaksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.!
˜Ya, lekas kau panggil dia
keluar menemuiku.!
˜Baik, silakan Tai-hiap
menanti di kamar tamu,! kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk
di ruangan depan. Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua
kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah
pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya?
Sementara itu, pelayan
mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat
memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,
˜Ah Gan-kongcu mengapa tidak
sejak dulu memberitahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari
Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentu kami akan memberi kamar yang lebih baik.
Harap Kongcu maafkan apabila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku
kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah
kerabat Kiang-taihiap.!
˜Eh, Lopek. Apakah kau
pagi-pagi buta mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan ini saja?! Tiauw
Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja sudah menunjukkan
jelas bahwa pelayan ini bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang
penjilat yang menjemukan.
˜Mana hamba berani begitu
kurang ajar memanggil Kongcu kalau tidak ada peristiwa amat penting?! Pelayan
itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. ˜Kongcu
didatangi oleh seorang tamu agung.!
˜Siapa dia?! Tiauw Ki bertanya
penuh gairah karena memang sudah lama ia mengharapkan kedatangan pelayan dari
Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.
˜Masa Kongcu tidak bisa
menduga siapa?! tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk
menyenangkan hati tamunya.
˜Dari keluarga Kiang?! tanya
Tiauw Ki tak sabar lagi. Pelayan itu tertawa dan mengeluarkan jempolnya.
˜Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!!
˜Suruh dia lekas ke sini!!
seru Tiauw Ki.
Pelayan itu melenggong. ˜Suruh
ke sini? Dia...!
Mendengar suara dan melihat
sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, ˜Bukankah dia itu
seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?!
˜Ah, bukan... bukan...! Dia
adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta supaya Kongcu keluar. Dia menanti di
ruangan tamu di depan!!
Kalau ada petir menyambarnya,
belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang
mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan
ini.
˜Harap Kongcu cepat
menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah kepadaku apabila Kongcu
terlambat,! kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.
Tiauw Ki yang ditinggal
sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Ia sudah sejak tadi bangun, akan tetapi
belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke
mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia
merasa malu. Maka cepat-cepat ia berganti pakaian yang paling baru dan menyisir
rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu.
Hatinya berdebar ketika ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh
tinggi tegap dan berwajah keren duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.
Ia cepat-cepat maju menjura
dengan amat hormat dan berkata,
˜Mohon dimaafkan banyak-banyak
bahwa boanpwe telah membuat Tai-hiap menanti sampai lama.!
Kiang Liat perlahan-lahan
berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun
terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok-gosok kedua
matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Akan tetapi
setelah ia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda
sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan
lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan
yang telah dibunuhnya! Baik wajah maupun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda
sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.
˜Kau... Cia Sun...! tak terasa
lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit.
Tiauw Ki memandang heran.
˜Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki...!
˜Jadi kau yang diantar oleh
anakku Im Giok ke Tiang-hai?!
˜Betul, Tai-hiap!
˜Dan kau... kau yang hendak
meminang anakku sebagai calon jodohmu...?! Suara Kiang Liat setengah berbisik
dan sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.
Tiauw Ki memandang dengan hati
berdebar gelisah. Kemudian ia dapat menetapkan hatinya dan berkata dengan suara
tegas,
˜Kalau Tai-hiap tidak menolak,
memang boanpwe mohon persetujuan Tai-hiap untuk meminang tangan Adik Kiang Im
Giok...!
˜Kau...? Kau Cia Sun jahanam
keparat telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku? Kau masih
belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih
hendak merusak hidup anakku?! Sambil berkata demikian, Kiang Liat berjalan maju
menghampiri Tiauw Ki perlahan-lahan, sikapnya mengancam dan menyeramkan.
Tiauw Ki melangkah mundur,
˜Kiang-taihiap, apa artinya kata-katamu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan
boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun...!
˜Jahanam! Biarpun kau memakai
nama siapapun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa
(berganti muka) seribu kali, aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan
membunuhmu!!
Setelah berkata demikian,
sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya
bergerak cepat bertubi-tubi memukut dada dan kepala Tiauw Ki.
Kasihan sekali nasib pemuda
ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekalipun belum
tentu akan dapat menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apalagi
seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki. Ia tak berdaya sama sekali dan sekali
terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan
lemah dan tubuhnya terlempar ke belakang, menumbuk dinding dan roboh tak
berkutik lagi. Nyawanya telah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!
˜Ha, ha, ha, anjing Cia Sun!
Anjing macam engkau ini hendak melamar puteriku? Ha, ha, ha!! Sambil
tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.
Para pelayan kaget dan
gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu telah
dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa
di atas lantai.
Di antara para penonton ini
terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa
gadis ini bukan lain adalah Giok-gan Niocu Song Kim Lian.
Kim Lian hanya memandang
sebentar dan mukanya berubah. Kemudian ia cepat berlari-lari pulang, napasnya
terengah-engah. Langsung ia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu
tengah bersisir menghadapi cermin.
˜Su-moi, celaka besar...!! Kim
Lian memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.
Im Giok biasanya memiliki
watak yang tenang dan tabah, akan tetapi akhir-akhir ini setelah bertengkar
dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah
pucat melihat keadaan sucinya itu, maka tanyanya tak sabar lagi,
˜Suci, apakah yang terjadi?!
Akan tetapi Kim Lian hanya
menangis terisak-isak sehingga Im Giok hilang sabar. Digoyang-goyangnya dua
pundak Kim Lian.
˜Apa yang terjadi?!
˜Celaka... Sumoi...
Gan-siucai... oleh Suhu...!
˜Apa? Gan-siucai mengapa?
Bagaimana Ayah...?! Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar
keras.
˜Suhu telah membunuh
Gan-siucai di rumah penginapan...!
Im Giok mengeluarkan suara
menjerit, akan tetapi cepat didekapnya mulutnya sendiri, lalu bagaikan kilat ia
melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam.
Ruangan depan atau ruangan
tamu dari rumah penginapan Liok-nam masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba
di situ.
˜Minggir...!! Serunya dan
kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke
kanan kiri. Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai
ketika ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan
itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah
ia bahwa kekasihnya telah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.
˜Gan-ko...! Bisiknya.
Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali
mengguncangkan jantungnya. Kalau tidak kuat-kuat ia menahan tentu Im Giok sudah
roboh pingsan! Sampai lama ia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian setelah
kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia membuka matanya. Bagaikan
hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan
ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air
mata di atas pipi, mayat pemuda itu seperti ikut menangis.
˜Koko...! kembali Im Giok
berbisik. Makin deras turunnya air matanya ketika ia teringat betapa besar
cinta kasih pemuda ini kepadanya, dan kini dalam menghadapi keputusan
perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.
˜Ayah...!! Im Giok menahan
isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya. Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga
orang pemuda terguling roboh ketika gadis itu mendesak keluar dengan cepat lalu
berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian dan
para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus
menuju kamar ayahnya.
Pintu kamar ayahnya terpentang
lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di situ dengan kedua
kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Ia melihat
ayahnya sedang duduk di atas kursinya dan memegang pedang terhunus yang
dipukul-pukulkan ke atas meja!
˜Ayah...!! Suara Im Giok
terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.
Ayahnya memandang. Dua pasang
mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapi-api
pandangannya.
Sunyi di situ. Hanya terdengar
ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat.
˜Kau mau apa??! akhirnya
terdengar suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakan-akan
lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
˜Ayah, mengapa kau membunuh
Gan-siucai?! Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.
Kiang Liat diam saja untuk
beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba ia bangkit berdiri, membacokkan pedangnya
ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara
berisik.
˜Ha, ha, ha, ha, memang
kubunuh mampus anjing itu! Ha, ha, betapa mudahnya, sekali pukul saja jahanam
keparat pemakan tinta itu mampus!!
˜Ayaahhh...!! Im Giok tak
dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu
pedangnya telah ia cabut dan tangan yang memegang pedang menggigil. ˜Kau... kau
pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak
tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak
mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!! Bagaikan gila Im Giok
memaki-maki ayahnya sendiri.
Untuk sejenak ayahnya
memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu meringis,
seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali.
Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran amat mengerikan.
Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak.
˜Ha, ha, ha, cacing buku yang
busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha, ha, ha, menjadi tukang
membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Ha, dia patut mampus,
anjing Cia Sun harus mampus biarpun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku
harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa...!
˜Tidak sudi! Kau manusia keji,
kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!!
Mendengar makian ini, Kiang
Liat menjadi marah sekali. Dalam pandangan matanya, yang berdiri di depannya
itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya.
˜Kau hendak membunuh aku dan
Sun Hauw? Ha, ha, ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus lebih dulu!!
Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri.
Im Giok pada saat itu juga
sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi, tahunya
hanya marah dan duka teraduk menjadi satu dalam hatinya. Melihat ayahnya
menyerangnya, ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Maka
terjadilah pertempuran yang hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak
gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah
memperoleh kemajuan pesat sehingga ia bahkan melampaui ayahnya.
Hal ini adalah karena
ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang
Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani
ia melatih diri dengan ilmu itu. Maka tentu saja Im Giok yang dapat memetik
sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya
tahu ˜kulitnya! belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak makin hebat,
gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan terdengar pekik, ˜Im Giok!!
Akan tetapi dua orang yang
sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan melanjutkan
pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.
˜Im Giok...!! Orang itu yang
bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia
menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekad. Pedangnya
menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke
belakang.
˜Im Giok... Sumoi... apakah
kau sudah gila melawan ayahmu sendiri...?! Kim Lian menegur dengan suara
nyaring.
Tangkisan dan jeritan ini
membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling
menempel. Apalagi seruan ini membuat Im Giok sadar dari keadaannya seperti
kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu
membunuhnya. Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan tangan kiri
terbuka jari-jarinya menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di
depan dada, dalam sikap hendak menusuk.
Adapun Kiang Liat juga berdiri
memasang kuda-kuda seperti patung, tangan kiri menempel di dada kiri dan tangan
kanan memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang
kesakitan dan hidungnya kembang kempis.
˜Sumoi, kau gila! Bagaimana
kau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!! teriak Kim Lian, akan tetapi
Im Giok seperti dalam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan memandang ke depan
dengan mata terbelalak marah.
˜Sumoi, lepaskan pedang! Kalau
tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!! teriak pula Kim
Lian dengan suara keras sambil melangkah maju dengan pedang di tangan. Ia
maklum bahwa kepandaiannya masih kalah kalau dibandingkan dengan sumoinya, akan
tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu suhunya.
Ketika Im Giok tetap tidak
bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, ˜Kau membandel? Baik,
lihat serangan pedangku!!
˜Traangg...!! Pedang di tangan
Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget.
˜Kim Lian, pergi kau! Jangan
ikut-ikut!! Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya sehingga
terlepas. Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan
diri keluar dari kamar itu.
Sementara, tadi ketika
menangkis pedang muridnya, Kiang Liat telah sadar kembali dari keadaan gilanya
sehingga mukanya menjadi biasa, bahkan nampak ia berduka bukan main. Sepasang
matanya memandang sayu dan mulai membasah dengan air mata, bibirnya bergerak
gemetar seperti menahan isak tangis. Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan
teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan terkejut
sekali mengapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya
seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tidak berani memandang
lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, air matanya
bercucuran bagaikan hujan.
˜Ayah... aku berdosa... kau
bunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku... biar aku ikut
kekasihku.! Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas
lantai, lalu ia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk
pedang.
˜Gan-koko... kau tunggulah
aku...! bisiknya sayu.
Akan tetapi tusukan yang
dinanti-nantinya tak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul
oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok
membuka matanya dan. ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir
darah yang dimuntahkannya tadi.
˜Ayaaaahhh...!! jerit Im Giok
menubruk dan memeluk tubuh ayahnya. Diangkat kepala ayahnya yang sudah lemas
itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang dimuntahkan oleh ayahnya
tadi menodai pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian dadanya.
˜Ayaaaahhh.!! Dunia serasa
gelap kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat
ayahnya yang ternyata telah putus nyawanya. Karena tekanan batin yang luar
biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya telah menderita sakit
jantung, tak kuat menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia di saat itu
juga.
Kim Lian datang berlari-lari
dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang Liat dan ia
pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.
˜Suhuuu...!! Kim Lian
benar-benar berduka kali ini. Di dalam hatinya ia memang memuja suhunya dan
menganggap suhunya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu,
dahulu pernah ia mengagumi suhunya dan ˜ada hati! kepadanya. Sekarang melihat
keadaan suhunya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana
hatinya tidak merasa hancur?
Setelah puas menangisi Kiang
Liat dan semua pelayan datang bertangisan pula, Kim Lian lalu menubruk dan
memeluki sumoinya. Ia amat sayang kepada Im Giok yang semenjak kecil menjadi
saudara seperguruan, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya
sendiri. Kini ia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu,
tidak berhandai taulan pula.
Dengan hati hancur Kim Lian
memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah
sempoyongan.
Setelah siuman dari pingsannya
dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas pembaringang,
Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan
bertanya,
˜Ayah.? Bagaimana.?!
Kim lian tidak dapat menjawab,
bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok seketika
menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan.
˜Ayaaaahhh!!
Akan tetapi Kim Lian cepat
memeluknya dan sambil menciuminya berkata, ˜Adikku. adikku sayang. tenangkanlah
hatimu, ayahmu sudah. meninggalkan kita dan sekarang sedang dirawat. Tenanglah
Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu.!
Im Giok memejamkan matanya. Ia
teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap desakan hati, maka
ia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling
berpelukan untuk beberapa diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah,
˜Suci, aku harus dekat dengan
jenazahnya.!
Kim Lian mengangguk dan dengan
masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah di mana
jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut memandang dengan wajah
pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar. Sampai
jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat
itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biarpun dibujuk-bujuk
oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah
para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di
ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian
berdua! Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian
pun api lilin, dan kemudian terdengar mereka berbisik-bisik,
˜Suci, sekarang aku tahu...!
Kim Lian memandang kepadanya,
matanya bertanya,
˜Aku tahu mengapa Ayah
membunuhnya.! Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia mempergunakan
saputangan untuk menyusut air matanya.
˜Mengapa, Sumoi?!
˜Aku ingat akan riwayat ibuku
dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah karena
perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Karena itu Ayah membenci para siucai
dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai hampir serupa dengan wajah Cia Sun.! Im
Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Kim Lian tidak berkata
apa-apa, karena ia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya. Ia
tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan hati sumoinya.
˜Aku berdosa besar terhadap
Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa
sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu.
Dan tadi... ah...! Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri
membayangkan kejadian tadi pagi, ˜biarpun ayah meninggal karena penyakit itu,
akan tetapi sebenarnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang
berdosa, Ayah...! Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis
tersedu-sedu.
Kim Lian memeluknya dan
menariknya. ˜Sudahlah, Sumoi, segala kejadian sudah ditentukan oleh Thian.!
Im Giok mengangguk-angguk dan
mengerahkan tenaga untuk menenteramkan hatinya yang berguncang keras.
˜Aku berdosa kepada Ayah...
akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko... kasihan sekali
Gan-koko yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan
penasaran. Ahhh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio
dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar arwah Gan-ko
tahu betapa aku menderita karena kematiannya...!
Kim Lian mengangguk dan
perlahan meninggalkan sumoinya untuk melakukan permintaan sumoinya itu. Adapun
Im Giok sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam
tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak karena
api lilin bergerak perlahan tertiup angin, yang dapat menerobos masuk ke dalam
ruangan itu.
***
Enam bulan telah lewat semenjak
peristiwa itu terjadi. Akan tetapi Im Giok masih saja berkabung, berpakaian
serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di
tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di
depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.
Kadang-kadang nampak ia
menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong seperti
orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama
sekali tidak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini,
Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya tidak
teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.
Sebaliknya, Kim Lian dengan
cepat dapat melupakan kesedihannya. Setelah lewat tiga bulan, ia telah melepas
pakaian berkabung dan kembali memakai pakaian yang indah-indah. Bahkan kini ia
kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhunya sudah
meninggal dan Im Giok orang satu-satunya yang disegani keadaannya seperti gila
dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian menyeleweng dan melakukan hal-hal yang
tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik.
Pada suatu hari pagi-pagi
sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di depan bong-pai (batu
nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong dan tidak pernah bergerak sehingga
kelihatan dari jauh seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam
lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.
Gadis ini, tak dapat melupakan wajah kekasihnya dan wajah ayahnya. Dua orang
ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah
meninggalkannya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Tiba-tiba terdengar suara
halus di belakangnya,
˜Im Giok, kau masih hidup
mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!! Kalimat
terakhir diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga dan pengaruh
yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan sadar
seketika itu juga. Gadis ini terkejut dan menengok.
˜Susiok-couw...!! Im Giok
menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain
adalah Bu Pun Su. Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka
memandang kepada gadis yang bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar
helahan napasnya sampai tiga kali.
˜Hemmm, memang banyak hal-hal
yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah dari kekuasaan
Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar
dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.!
Im Giok masih menangis
terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum
bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya,
tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi
dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada. Bu Pun Su sendiri
mengenang segala peristiwa yang ia hadapi selama enam bulan ini dan
berkali-kali ia menghela napas. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah-belahan di antara
orang-orang gagah agar tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara
dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke
Go-bi-pai, menemui Twi Mo Siansu.
Dia sendiri pergi ke Pulau
Pek-le-tho untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan
maksud yang sama, karena setelah itu ia pun mau pergi ke Kun-lun-pai. Dan
sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia menemui kekecewaan luar biasa di
Pulau Pek-le-tho, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le,
Pek Hoa Pouwsat telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh
Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-tho! Kemudian dalam marahnya, Bu Pun Su menghajar
Han Le dan mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh
keluar dari pulau itu selamanya.
Setelah ini dengan hati
mengkal sekali Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan
tetapi, baru saja ia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, ia bertemu dengan
serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia terus saja mengepung dan
menyerangnya!
Tosu-tosu Kun-lun-pai ini
adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada
tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.
˜Tahan...! Aku Bu Pun Su
mempunyai kesalahan apakah?! serunya akan tetapi ia harus mengelak ke sana ke
mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam
gerakan yang luar biasa cepatnya. Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar
tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tidak mau memberi hati, tidak mau
memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak.
Akan tetapi mereka kecele
kalau mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu
Pun Su begitu saja. Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya
dan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam
hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar
biasa. Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar
burung, yang aneh sekali gerakannya dan tiap kali menyambar dan menyambut
pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram
sampai patah-patah! Adapun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan
lagi lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi
dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan
terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya
menjerit kesakitan lalu melompat mundur! Inilah dua macam ilmu silat yang tiada
keduanya di dunia persilatan waktu itu.
Tangan kanan Bu Pun Su telah
bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak
Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan
bagian ilmu silat Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Sekaligus dua tangan
dapat mainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya,
benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!
Akan tetapi, sesuai dengan
sifatnya Bu Pun Su sama sekali tidak melukai para pengeroyoknya, kalaupun ada
yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Namun, tetap
saja para pengeroyok menjadi kacau-balau karena pedang dan golok mereka dengan
cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan ataupun dibikin terpental
entah ke mana.
Sedangnya ribut-ribut dengan
para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua.
Kakek ini seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya
sederhana dan kelihatannya seperti seorang tua renta yang amat lemah. Akan
tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran
karena biarpun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap takkan mungkin dapat
melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat,
seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di
belakangnya saking cepatnya ia lari.
˜Bu Pun Su, apakah kau hendak
memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?! Kakek itu menegur setelah tiba di
tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di
pinggiran sambil memberi hormat.
Bu Pun Su tertawa bergelak,
˜Ha, ha, ha, Keng Thian
Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai
sekali matamu.!
˜Kaupun datang-datang sudah
dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang
hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?!
˜Ha, ha, ha, Keng Thian
Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu
sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya
kau harus banyak belajar dari mendiang suhengmu Seng Thian Siansu itu, meneliti
diri sendiri sebelum menyalahkan lain.!
˜Apa maksudmu?!
˜Sudah puluhan tahun semenjak
Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Akan
tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Eh, tidak tahunya kau sudah
menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak
murid Kun-lun-pai, dan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang!
Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?!
Ucapan Bu Pun Su ini memang
merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin
tahu-tahu ia diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa
diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau dia tidak pandai menghindarkan diri
dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya
menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?
Keng Thian Siansu tersenyum
sindir sambil memukul-mukulkan tongkatnya di depan kakinya. Para tosu yang lain
juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Diam-diam
Bu Pun Su terkejut melihat ini dan tidak mau main-main lagi melainkan
mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua
Kun-lun-pai.
˜Bu Pun Su, sudah lama pinto
mendengar bahwa engkau adalah seorang penekar sakti yang bijaksana dan pembela
keadilan. Akan tetapi sekarang pinto kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang
harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?!
˜Benar, Kheng Thian Siansu.!
˜Kalau begitu mengapa kau
menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?!
Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.
˜Eh, eh, jangan kau main-main,
tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk
dosa? Akan tetapi kalau dosaku tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, apakah aku
harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu?
Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?!
˜Bu Pun Su, tak perlu kau
membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau telah membunuh murid
keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih bilang tidak mempunyai dosa
terhadap Kun-lun-pai?!
Bu Pun Su yang mempunyai
kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka
seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok
Sianjin di pantai Pulau Pek-le-tho! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai
demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal
yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu
oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapapun juga, Han Le ikut bersalah dalam
hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku
sabar.
˜Keng Thian Siansu, nanti
dulu. Tentang kematian Cin Giok Sianjin aku dapat memberi penjelasan. Akan
tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan
mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?!
˜Dari mana pinto mengetahui,
bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas
olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.! Bu Pun Su menarik napas
panjang. Ia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.
˜Hemm, tentu siluman betina
itu baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau
begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita
Pek Hoa) itu?! Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek
Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.
˜Apakah ketika dia bercerita
bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia bicara sambil menggoyang-goyang
tubuh seperti pohon yang liu tertiup angin musim chun, matanya
mengerling-ngerling seperti bintang-bintang di langit dan bibirnya
tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya
penuh?!
Wajah Keng Thian Siansu
menjadi merah sekali. Memang, biarpun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun
Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat
mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa
Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang
hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su!
˜Bu Pun Su, pinto sendiri
memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau,
siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh
Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat
datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini
benar-benar kesemuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan,
katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-tho. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin
terbunuh?!
˜Betul, sayang sekali karena
kedatanganku ke Pek-le-tho terlambat,! jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut
oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
˜Siapa yang membunuhnya?!
tanya Keng Thian Siansu.
˜Ketika aku mendarat di
Pek-le-tho, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah
jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan
orang yang tinggal di Pulau Pek-le-tho itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat sendiri!!
Keng Thian Siansu mengeluarkan
suara ketawa aneh,
˜Bu Pun Su, jangan kau
main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa
Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh
Siauw-lim-pai?!
˜Memang ada yang membantu...!
kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.
˜Siapa...! Keng Thian Siansu
mendesak.
Bu Pun Su menarik napas
panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.
˜Keng Thian Siansu, aku datang
dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini
saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ah,
benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang
tidak manis budi...!
Keng Thian Siansu tersadar dan
wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,
˜Maaf, maaf, pinto terlalu
pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tatasusila. Mari, Bu
Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!!
Bu Pun Su balas menjura.
˜Terima kasih!! Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke
puncak. Melihat ini semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum
menyaksikan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya.
Keng Thian Siansu berseru,
˜Kau memang hebat Bu Pun Su.!
Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua
orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling pandang dan
kemudian beramai-ramai naik ke puncak.
Setelah berada di kuil
Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di
ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga
orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini
yang dua orang adalah murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik
seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan
tentang peristiwa di Pulau Pek-le-tho.
Ia tidak menyembunyikan
kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga
mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan
seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-tho.
˜Hm, kalau begitu sutemu itu
yang menjadi pembunuh!! kata Keng Thian Siansu.
˜Bukan, sahabatku, bukan Han
Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok
Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah
Pek Hoa Pouwsat yang telah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku
membela suteku yang juga berdosa, akan tetapi harus diingat bahwa suteku telah
roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh pandainya ia bergaya,
melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah
siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat:
Kalau orang tidak memiliki
ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang kuat sekali, kiraku
pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le telah membantu
Pek Ho Mo-li dan membuat roboh tiga orang itu di Pulau Pek-le-tho dalam keadaan
tidak sadar seperti dibawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah
menghukum suteku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-tho. Apakah
kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?!
Kiang Thian Siansu dan
anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala dan mereka terpaksa mengaku
bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman
buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le takkan dapat melihat dunia
ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada
hakekatnya bahkan lebih berat daripada hukuman mati.
˜Bu Pun Su, kami memang sudah
mendengar penuturanmu dan kami percaya penuh kepadamu. Akan tetapi masih ada
satu hal yang kaulah orangnya yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa
Pouwsat. Kalau memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan
benar-benar telah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk bukti
kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!!
Bu Pun Su nampak terkejut.
˜Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!!
˜Kalau begitu cari dan tangkap
dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau
melakukan barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.!
Bu Pun Su tertawa bergelak,
˜Ha, ha, ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak
apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu
agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian
Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?!
Keng Thian Siansu juga
tersenyum dan berkata, ˜Saudara dari Siauw-lim-si berlaku sungkan-sungkan di
luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?!
Tiga orang tosu lain yang
hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng
Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu, juga tidak mendengar
sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat
bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat,
akan tetapi biarpun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika
menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar
hebat seakan-akan dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!
Semua orang memandang dan yang
orang ini adalah seorang hwesio gundul yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya
gundul licin, demikian pun mukanya licin limis seperti kedok. Kulit mukanya
berwarna putih seperti dikapur dan yang amat memburukkan rupanya adalah telinga
kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu
cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Usianya
sebetulnya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi oleh karena muka dan
kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.
Melihat hwesio ini, diam-diam
Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak
dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah ahli silat dari Siauw-lim-pai
akan tetapi siapakah dia ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak
mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua
Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.
Kalau yang datang ini seorang
anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apabila dua
orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lwee-kang dan gin-kang
yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah saja dilihat bahwa dia adalat
seorang yang berkepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan
saja dari Siauw-lim-pai.
˜Bu Pun Su,! kata hwesio itu
dengar muka tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan
anak telinga. ˜Biarpun kaum Kun-lun-pai berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari
Siauw-lim-pai tidak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk
pinceng bawa ke Siauw-lim-pai menerima hukuman atas dosa-dosamu!!
Kata-kata ini diterima oleh Bu
Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu dan
tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali. Apa
yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, mereka tidak ambil
pusing, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak
tuan rumah, benar-benar sudah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan
kesopanan antara partai-partai besar.
Hwesio itu telah masuk ke
Kun-lun-pai tanpa memberi tahu lebih dulu dan tentu telah mempergunakan
kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan sampai di ruangan
lian-buthia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.
Ke dua, hwesio ini sama sekali
tidak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini
benar-benar merupakan kekurangajaran yang menyinggung rasa kehormatan
ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio
hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini
berarti bahwa hwesio itu sama sekali tidak memandang mata kepada Kun-lun-pai
dan merupakan pelanggaran ke tiga.
Sun Giok Sianjin, murid
keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat
ia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi ia
menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,
˜Kami mengenal Hok Bin Taisu
Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan,
dan peraturan. Juga kami tahu betapa Siauw-lim-si adalah partai persilatan di
kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si
kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi mengapa kau
ini hwesio yang mengaku-aku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan
menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?!
Hwesio itu memandang kepada
Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, kemudian terdengar suaranya yang keras
dan parau,
˜Apakah kau ini yang bernama
Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?!
Sun Giok Sianjin tersenyum
mengejek,
˜Hwesio, kelirunya denganmu
ini saja membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal
di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi
selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok
Sianjin, dan kau ini siapakah?!
˜Pinceng Kong Mo Taisu. Orang
seperti kau ini mana mengenal pinceng?! Setelah berkata demikian hwesio itu
tertawa bergelak dan kagetlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa
sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai
hampir tak tertahankan lagi. Baiknya ia cepat-cepat mengerahkan lwee-kangnya
untuk menjaga keselamatan bagian halus dari telinganya dari kerusakan akibat
suara yang mengandung getaran tenaga lwee-kang ini.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara
ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya
yang halus, Bu Pun Su telah mengerahkan tenaganya dan dapat menolak tenaga
serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.
˜Pernah dahulu Suhuku Ang-bin
Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di
Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri kitab simpanan
peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah itu dapat mempelajari isi
kitab tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan
dijatuhi hukuman, yakni selamanya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk
memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil
dan bertapa seorang diri dalam gua di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang
hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng demikian tingginya. Eh,
hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?! Juga Keng Thian Siansu
mengeluarkan seruan kaget,
˜Pinto juga teringat akan
sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu.
Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu
dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tak
jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu
saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi.