Bab 12 - Kota Tiang-Hai
˜Suheng, jangan melukai dia...
aku cinta padanya...! jawab Han Le sambil menghadang di tengah.
˜Han-ko, dia bukan suhengmu
lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah
lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!! Pek Hoa berkata dan ia mulai
menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya. Kini Han Le tidak bicara lagi,
melainkan diputarnya pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa
dari serangan Bu Pun Su.
Kakek sakti itu menarik napas
panjang. ˜Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela
melihat suteku binasa dalam tanganku daripada melihat dia tersesat dan menjadi
seorang jahat!!
Begitu kata-kata ini habis
diucapkan, Bu Pun Su mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal
yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang
keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga mempunyai keistimewaan
masing-masing. Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti,
agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andaikata Pek Hoa
tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak
akan mudah mengalahkan mereka. Apalagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali
melihat sutenya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh
kepandaian untuk membela wanita jahat itu!
˜Han Le, mundur kau!!
berkali-kali Bu Pun Su berseru, akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak
mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan pedangnya.
˜Bagus, Han-ko, kekasihku.
Tikam dia, bunuh jahanam ini!! sebaliknya Pek Hoa berkali-kali membujuknya.
Setelah tiga kali Bu Pun Su
memberi peringatan kepada sutenya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi
marah dan membentak,
˜Han Le, kalau begitu robohlah
kau!! Ia mengirim serangan hebat ke arah sutenya sendiri. Han Le terkejut
menghadapi pukulan Pek-in-hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan
miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang. Akan tetapi akibatnya,
pedangnya terpental dan ia terguling roboh, tulang pundaknya terlepas
sambungannya karena pukulan Pek-in-hoat-sut yang lihai, Han Le meringis
kesakitan dan tak dapat bangun pula karena sambungan tulangnya terlepas, juga
ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.
˜Keparat, rasakan
pembalasanku!! Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu
Pun Su.
˜Siluman betina, kau harus
mampus!! bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini.
Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas
dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan
kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan
tulang siku, Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan
kirinya! Namun wanita ini memang sudah nekat. Bagaimana seekor singa betina, ia
menerjang maju, kini mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan
bertubi-tubi,
Namun sekali sampok dengan
ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat ia terguling dan
merintih-rintih kesakitan.
˜Kalau orang macam kau tidak
mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!! kata Bu Pun Su sambil melangkah maju,
agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.
˜Suheng, tahan...!! Sambil merangkak
dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut
di depan Bu Pun Su sambil menangis, ˜Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi
meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng
bernafsu hendak membunuh orang, biarlah siauwte saja Suheng bunuh sebagai
penebus nyawanya.!
Bu Pun Su serentak kaget. Baru
ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh
sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.
˜Dan kau tetap hendak pergi
bersama dia?!
Han Le menggeleng kepalanya.
˜Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan
akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte
merana di sini, biar siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan
meninggalkan pulau ini selamanya.! Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa,
berkata dengan suara perlahan, ˜Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau
meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya.
Kita tak usah bertemu lagi selamanya.!
Sebetulnya, ketika Pek Hoa
memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya ialah mencari kawan untuk
membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun sudah terlaksana dengan
terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil
lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le.
Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu-dombakan Han Le melawan Bu Pun Su.
Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan
dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek
Hoa menjadi dingin dan putus harapan. Ia menguatkan diri untuk bangun dan
berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su
dengan mata penuh kebencian.
˜Bu Pun Su, banyak aku
membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba
saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu
oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!! Setelah berkata demikian, ia
berpaling kepada Han Le dan berkata,
˜Kau jembel busuk, jembel tua,
kaukira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri
kepadamu dengan harapan agar kau dapat membalas budi kecintaanku, dapat
membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Tak tahunya, menghadapi
orang ini saja kau memperlihatkan ketidakgunaanmu. Hah, kau memualkan perutku!!
Setelah berkata demikian,
dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama
makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.
˜Wanita yang berbahaya sekali.
Hmmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega
menghancurkan hati Han-sute,! katanya perlahan dan tiba-tiba keningnya berkerut
ketika ia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran
keluar dari sepasang matanya.
˜Eh, Han-sute, kau sudah
dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa menghancurkan hatimu? Di mana
sifat jantanmu, Sute?!
Han Le menggeleng-geleng
kepalanya. ˜Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu
siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte belaka. Namun,
siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana siauwte bisa
membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu anakku...!
Bu Pun Su terkejut sekali,
sampai berubah air mukanya. ˜Apa katamu? Betul-betulkah begitu?!
Han Le mengangguk. ˜Siauwte
tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng,
siauwte sudah bersumpah takkan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini
sampai datang maut mencabut nyawa, untuk menebus dosa siauwte. Akan tetapi anak
itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa,
akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak
itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain
supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte
menambah dosa siauwte membuat siauwte tak dapat mati dengan mata meram.!
Bu Pun Su mengangguk-angguk.
Hatinya pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang
calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada
saat itu.
˜Baikiah, Han-sute. Tadinya
aku datang untuk minta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak
usahlah. Bahkan, setelah terjadi peristiwa antara kau dan tokoh-tokoh Kun-lun
dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang
akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. Kaurawat baik-baik tiga
jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Biarpun kau takkan meninggalkan
pulau ini selamanya, percayalah, aku akan datang sewaktu-waktu menemanimu
disini.!
Han Le menghaturkan terima
kasih dan tak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-tho dengan hati
penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tak pernah disangkanya bahwa Han Le
akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk daripada nasibnya sendiri.
Debu mengebul tinggi ketika
dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang
letaknya hanya tinggal beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya,
jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui
kuda atau kendaraan yang ditarik kuda. Pohon-pohon nampak mengering dan sawah
ladang kuning kosong. Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak
menimbulkan pemandangan indah, tidak mengurangi seri muka gembira dari dua
orang muda yang menunggang kuda.
Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki
dan Kiang Im Giok. Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai
untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama
keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan. Adapun Im Giok
mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini.
Di sepanjang perjalanan, Tiauw
Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi, hafal
akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot,
hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan
indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling sehingga
beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling
peraknya dan mainkan beberapa lagu. Im Giok tertarik sekali. Lebih suka hatinya
terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biarpun ramah tamah, dan
kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tak pernah
memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam
diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang bersemangat, berjiwa patriot dan
gagah, jujur, setia dan sopan-santun.
Sebaliknya, baru kali ini
selama hidupnya Tiauw Ki bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im
Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota besar, sudah banyak
melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik
jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh
oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita
dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini.
Oleh karena kedua pihak saling
tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang
amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak
memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, namun jauh di lubuk hati, mereka
tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apabila mereka berpisah.
Makin dekat dengan kota
Tiang-hai, makin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat
orang-orang mendatangi Tiang-hai.
˜Heran, mereka itu datang ke
Tiang-hai memang ada apa?! kata Tiauw Ki perlahan ketika melihat serombongan
orang berkuda mendahului mereka. Rombongan ini terdiri dari tujuh orang dan
melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah
orang-orang berkepandaian tinggi.
˜Mereka itu siapa?! tanya Im
Giok. Gadis ini lebih heran lagi karena ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah
orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki dapat
mengenal mereka?
˜Mereka itu adalah
panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti
orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?! kata Tiauw
Ki.
Ketika tidak mendapat jawaban,
Tiauw Ki menengok.
˜Ada apakah, Nona?! tanyanya
ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan.
˜Bagaimana kau dapat mengenal
orang-orang seperti itu?! tanya Im Giok.
Tiauw Ki tersenyum merendah.
˜Apa sukarnya? Badan penyelidik dari istana telah memperlihatkan gambar
tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang
memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakan-pemberontakan
atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari dua gubernur
itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku mengenal
mereka tanpa mereka tahu siapa aku.!
Im Giok mengangguk-angguk
kagum. ˜Gan-kongcu, otakmu benar-benar tajam sekali, dapat mengingat semua
orang dalam gambar.!
˜Bukan aku yang berotak tajam,
melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Dengan beberapa coretan
saja, ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin
kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu.!
Im Giok lalu bertanya tentang
pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik dan kembali Ang I Niocu
Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini kembali memiliki kepandaian
lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai
namun ia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa wataknya
memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri. Tiba-tiba terdengar seruan dari
belakang,
˜Minggir! Minggir!!
Im Giok terkejut. Suara ini
terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang
yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia
hanya berkata,
˜Datang orang kasar, baik kita
minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut.! Im Giok maklum bahwa tugas yang
amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya kalau mereka
tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu
menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan
orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.
Rombongan kali ini adalah
orang-orang dengan pakaian indah dan gagah, akan tetapi yang paling menarik
adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya
tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa
ia seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda
pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di
depan rombongannya sambil tertawa-tawa.
Kuda yang ditunggangi oleh Im
Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw
Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal
kawan dan mengenal bulu. Mendadak kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw
Ki mengeluarkan ringkikan keras dan mereka menjadi gembira, kedua kaki depan
diangkat tinggi dan mereka melompat di tengah jalan menghadang datangnya kuda
putih yang ditunggangi oleh pemuda tampan itu!
Terdengar Tiauw Ki memekik
kaget. Ternyata tubuh pemuda ini telah dilemparkan oleh kudanya, ketika kuda
itu berdiri diatas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat
sehingga Tiauw Ki tak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang. Tentu
tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak
cepat-cepat melompat dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan
seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan
tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya dan pemuda ini di lain saat sudah
berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.
˜Bagus sekali!! terdengar
suara orang memuji. Pada saat itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda
putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok
sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika
perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping. Akan
tetapi tak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil
meringkik keras, kedua kaki depan diangkat dan kaki belakangnya merendah hampir
berlutut! Im Giok kagum. Penunggang itu telah memperlihatkan kepandalannya,
tidak saja kepandaian menunggang kuda, juga kepandaian ilmu lwee-kang yang
tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya dan
mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri.
Tiauw Ki yang sudah lenyap
kagetnya, berkata sambil merengut,
˜Mengapa melarikan kuda
cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?!
Pemuda itu memandang sejenak
ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya
memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk. Kalau tadinya
Im Giok tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa
kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum
mengejek dan pandang mata yang membayangkan kesombongan besar, penuh penghinaan
kepada Tiauw Ki sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya
kepada pemuda tampan ini. Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda
asing ini jauh melebihi Tiauw Ki, lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya
lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni
kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan
kesetiaan.
Pemuda itu tak lama memandang
ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im
Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan
tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan,
dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.
˜Pek-in-ma (Kuda Awan Putih)
yang kutunggangi ternyata mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang
terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi
syarat paduan ini, bahkan melebihi, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan
kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru kali ini melihat
paduan yang demikian sempurna!!
Im Giok maklum akan pujian
ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
˜Apakah maksud kata-katamu
ini?!
Pemuda tampan ini tertawa
sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di situ pula. ˜Cuwi
(Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat
seorang yang begini cantik dan gagah?!
Lima orang yang mengawal
pemuda ini, kesemuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan
bersikap gagah, memandang dan tersenyum. ˜Memang cantik sekali akan tetapi
kegagahan, hmm... banyak sekali orang berlagak gagah akan tetapi tiada guna,
seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,! demikian kata
seorang di antara mereka.
Pemuda itu tertawa, nampak
giginya yang berbaris rapi dan putih bersih, ˜Ha, ha, ha, kau betul sekali,
Ciang-lopek, akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan
indah dan luar biasa telah menyelamatkan nyawa seorang yang betul-betul tiada
gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat
berarti aku kagum sekali melihatmu karena kau benar-benar cantik jelita dan
gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke
manakah?!
Ujung hidung yang kecil
mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya terlihat oleh orang yang
memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw
Ki seorang. Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu
katanya kepada pemuda tampan itu,
˜Tuan, harap jangan mengganggu
kami lagi dan hendaknya menjaga tatasusila antara pria dan wanita, pula memberi
kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan.
Nona ini tidak bersalah, mengapa diganggu?!
Pemuda itu menengok dan
memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
˜Hah! Siapa ajak bicara orang
macam engkau?!
Im Giok sementara itu sudah
dapat menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isarat Tiauw Ki dengan sentuhan
perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,
˜Cuwi sekalian hendak
mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tidak ternama. Aku hendak pergi
ke Tiang-hai...!
˜Ke Tiang-hai?! pemuda yang
mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, ˜Kiang-siocia, kebetulan sekali!
Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau
hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam
puluh ini, bukan?!
˜Ulang tahunnya yang ke enam
puluh?! Im Giok merdu.
˜Ya, benar, begitulah! Akan
tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.!
˜Ha, ha, alangkah lucu dan
janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan
aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Dia ini? Hm, biarpun
kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi
belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha, ha, ha!!
˜Tuan Lie, kau akan menjadi
tamu dari pamanku, mengapa kau menghina keponakannya?!
˜Kau keponakan Suma-huciang?!
tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.
˜Aku yang bodoh, memang
keponakan luar dari Suma-huciang,! jawab Gan Tiauw Ki dingin.
Pemuda yang mewah itu nampak
tercengang dan mukanya berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya,
kemudian ia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata,
˜Maaf, maaf, kami tidak tahu
bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.!
Setelah berkata demikian, Lie
Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul
di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan
hidung dengan ujung lengan baju.
˜Manusia sombong...!! kata Ang
I Niocu Kiang Im Giok.
˜Sombong juga sudah sepatutnya
karena dia adalah putera Gubernur Lie di Shansi,! jawab Tiauw Ki sambil
menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.
˜Gan-kongcu...!
˜Nona, harap kau jangan
menyebut kongcu kepadaku, aku hanya seorang pemuda miskin biasa saja aku malu
menerima sebutan ini.!
Im Giok tersenyum manis.
˜Habis, aku harus menyebut
bagaimana?! tanyanya.
˜Biarpun kita baru tiga hari
berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,! kata Tiauw
Ki.
˜Aduh, sudah berapa abadkah
usiamu?! Im Giok menggoda.
Tiauw Ki tersenyum.
˜Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah mengenalmu lama sekali.!
˜Aku pun demikian,
Gan-kongcu,! jawab Im Giok jujur. ˜Agaknya memang watak kita yang cocok.!
˜Kita seperti saudara saja,!
kata pula Tiauw Ki.
˜Memang kau baik sekali.!
˜Kalau begitu, mengapa kau tidak
menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku menyebutmu adik, bukanklah ini
lebih tepat dan lebih enak didengarnya?!
Im Giok memandang. Tiauw Ki
memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka
mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.
˜Baiklah, Gan. Twako. Eh, ya,
aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan
Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?!
˜Memang aku membohong. Nama
Suma-huciang amat disegani orang, biarpuh dia itu putera gubernur, tetap saja
saja ia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu,
melihat dia hendak kurang ajar kepadamu, aku terpaksa membohong untuk menutup
mulutnya dan mengusir dia pergi.!
Im Giok tersenyum ˜Bagaimana
nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?!
˜Tidak apa, selain aku tidak
takut, juga aku tidak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang
orang yang tak bernama?!
˜Gan-twako, lain kali kau tak
perlu mencoba melindungi aku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku
tidak takut akan gangguan she Lie itu, kalau tadi aku mau, hemm... aku dapat
membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!! kata Im Giok gagah.
˜Nona...!
˜Lho, kau sendiri yang merubah
sebutan, Twako...!
˜O, ya! Maaf, begini,
Siauw-moi...!
˜Kenapa kau menyebutku
Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twa-ko...!
˜Eh ya... Kiang-moi,
sebetulnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tak takut kepadanya. Akan
tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau
terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.!
Im Giok mengangguk-angguk.
˜Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, kalau aku tidak ingat akan tugasmu
yang amat penting, apakah kaukira aku masih dapat menahan sabar menghadapi
ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?!
Dua orang muda itu melanjutkan
perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tak lama kemudian mereka memasuki kota
itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak
makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda,
berkereta, banyak pula yang berjalan kaki. Mata Im Giok yang tajam dapat
melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi,
seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena dia sendiri belum terkenal, ia
tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.
˜Gan-twako, mengapa kau tidak
bilang bahwa Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh
tahun?! Im Giok menegur kawannya.
˜Aku sendiri pun baru tadi
mendengar dari mulut Lie Kian Tek,! jawab Tiauw Ki. ˜Akan tetapi hal ini lebih
baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat dan
menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya
Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk
mengetahui siapa lawan siapa kawan.!
Im Giok memuji kecerdikan Gan
Tiauw Ki.
˜Kalau begitu, kurasa kau akan
menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang di kota
ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak
yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi
hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Adapun untuk barang hantaran,
biarlah aku memberikan ini.!
Im Giok mencabut tusuk
kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah.
Melihat ini Tiauw Ki berubah
air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.
˜Eh, Gan-twako, kau
kenapakah?! tanyanya.
Muka Tiauw Ki makin merah.
˜Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa
dalam hatiku, kau sudah tahu!!
Im Giok tertawa. ˜Kau pun
tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she
Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.!
˜Mudah saja, kulihat ujung
hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau
merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap
orang she Lie itu.!
˜Begitukah? Apakah ujung
hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung
kuda tentu!!
˜Ah, tidak Kiang-moi, bahkan
lucu dan... dan manis sekali,! kata Tiauw Ki.
˜Aah, sudahlah. Kau memang
pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang
direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik
sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?!
˜Tusuk kondemu itu, Kiang-moi.
Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.!
˜Ah, ini benda tidak begitu
berharga, Twako.!
˜Mungkin harganya tidak begitu
tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi...
begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai
hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di
kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.!
Tiba-tiba muka Im Giok menjadi
merah dan gadis ini merasa amat girang
˜Twako, aku sendiri tidak
membawa uang. Dan aku tidak mau kalau kau memberikan barang hadiah itu untukku.
Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini daripada aku harus menyusahkanmu,
membeli di toko.!
˜Begini saja, Kiang-moi. Kalau
kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda
mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai
gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk
diberikan kepada Suma-huciang?!
Kembali dua pasang mata beradu
dan keduanya bermerah muka.
˜Sesukamulah, bagiku benda ini
jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja. kalau berada di
tanganmu lebih baik lagi.!
˜Mengapa lebih baik,
Kiang-moi?! Tiauw Ki mendesak.
˜Mengapa? Aah... kau mendesak
dengan pertanyaan yang bukan-bukan.!
˜Mengapa, Kiang-moi? Mengapa
lebih baik?! kembali pemuda itu mendesak.
˜Sstt, lihat, banyak orang
memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan berganti pakaian, lalu
mengunjungi rumah Suma-huciang.!
Keduanya lalu mencari rumah
penginapan, menyewa dua kamar, lalu ber kemas. Tak lama kemudian keduanya
keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih
dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar
merupakan pasangan yang amat sedap dipandang. Diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok
mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu
membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia
hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu
menolak dan mengatakan nanti saja.
Kemudian dua orang muda itu
pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu
besar dan bentuknya kuno, karena Suma-huciang memang sejak beberapa keturunan
telah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena
kedudukannya Suma-huciang disegani oleh pembesar-pembesar lain, akan tetapi
terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dahulu menjadi tokoh
besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.
Ketika mereka tiba di situ,
ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh
ramai, dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara
biduan pria yang parau dan nyaring. Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang
bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum
arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang
tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol
sambil menghadapi makanan minuman.
Tuan rumah, Suma-huciang yang
sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermka merah seperti
muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai
pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung di pinggang, duduk
di ruang sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai
golongan tinggi dan terhormat.
Banyak sekali pelayan hilir
mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang, tentu
disambut oleh pelayan yang berpakaian indah, tamu baru ini dibawa masuk dan
diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruang dalam. Tamu ini menghaturkan
selamat dan memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya,
kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya.
Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir
semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.
Barang-barang sumbangan
ditaruh di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur
berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita
yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit kalau
dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan. Ada pula
beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu pria. Tamu wanita
seperti ini tentu orang-orang kang-ouw dan ahli silat-ahli silat, mudah dilihat
dari gerak-gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah
biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam
pergaulan dengan kaum pria, sungguhpun hubungan ini amat terbatas oleh
tatasusila yang tetap dipegang teguh.
Tiauw Ki dan Im Giok disambut
oleh pelayan penyambut yang menjura dengan ramah-tamahnya.
˜Selamat datang, Tuan muda dan
Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberitahukan nama dan alamat agar dapat
melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.!
˜Terima kasih, Lopek. Tolong
beritahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang
berkunjung, bersama seorang sahabat, Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja
hendak menghaturkan selamat,! jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.
Ketika pelayan itu mendahului
mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai
jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.
˜Agar Suma-taijin mengerti
bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.!
Diam-diam Im Giok memuji
ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Setiap meja yang
dikelilingi tamu terdiam apabila mereka lewat dekat, kemudian terdengar
bisikan-bisikan dan suara ketawa ketika mereka telah lewat, tanda bahwa mereka
menjadi pusat perhatian. Baik Tiauw Ki maupun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi
yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan
tetapi gadis itu tidak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke
ruangan dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah
olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada
di dalam ruangan ini.
Ruangan ini paling lebar dan
luas, di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel di dinding,
dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan
pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan
perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan,
kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan
tangan.
˜Aha, kiranya Gan-hiantit yang
datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?!
Im Giok sampai menahan
berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah benar-benar Tiauw Ki keponakan
Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara
secara cerdik sekali?
˜Terima kasih, Paman, terima
kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun
Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Adapun siauwtit
sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk
sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.!
Pemuda itu mengeluarkan
bungkusan dari sakunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga
kepalan tangan orang.
Suma-huciang tertawa sambil
menerima bungkusan itu.
˜Aah, kau terlalu sungkan,
Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.! Suma-huciang lalu
memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di
situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh
bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.
Im Giok yang berpendengaran
tajam sekali tiba-tiba merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang
bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia
menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang
mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu! Akan tetapi ia mendengar suara
Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat ia menjura kepada
pembesar itu dan berkata,
˜Saya yang bodoh kebetulan
sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa
Suma-taijin merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri
ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak
berharga,! Ia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang
dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan
dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.
˜Terima kasih, Kiang-siocia.
Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk
yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima
tamu-tamu baru yang datang.!
Tiauw Ki dan Im Giok menjura,
kemudian mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di
ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,
˜Aku ingin duduk di ruangan
ini, dekat pamanku.! Pelayan itu tidak berani membantah karena pemuda ini
betapapun juga adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan
sudah patut disejajarkan dengan ˜orang-orang besar! di situ. Juga Im Giok sudah
memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang ia
duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di
seberang meja.
˜Kau lihat kalau-kalau
bungkusan tadi diambil orang,! bisiknya perlahan kepada Im Giok. Nona ini
maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Hal ini mudah saja baginya karena
memang ia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang
sumbangan.
Tamu-tamu baru masuk memberi
selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak, sehingga memenuhi meja.
Akhimya habis juga aliran tamu dan tempat-tempat sudah penuh oleh tamu.
Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan. Kemudian seorang
pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan
selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan
bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari
yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!
Pengumuman ini mendapat
sambutan gempar dari semua yang hadir, karena hal ini adalah sesuatu yang
istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini,
yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!
Suma-huciang menjadi gembira
sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri,
menjura dan berkata,
˜Saudara-saudara sekalian,
memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali
dari Hongsiang karunia yang amat mengharukan hatiku dan yang selama hidup
takkan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya
yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan
mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.!
Suma-huciang menghentikan
kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai menggetar saking harunya.
Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
˜Ada kabar baik sekali,
Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dirpulai, Lie-kongcu
putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan
menyumbangkan tarian silat di depan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah
mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah,
Lie-kongcu, silakan!!
Suma-huciang membungkuk ke arah
Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin
yang berada di situ. Para tamu wanita kini semua memandang ke arah pemuda
tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.
˜Sebetulnya siauwte malu
sekali memperlihatkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta
Suma-taijin, apa boleh buat!! katanya tersenyum manis dan tiba-tiba sekali ia
bergerak tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat ia
berdiri dan panggung ada enam puluh tombak dan ia dapat melompat sedemikian
rupa melewati kepala para tamu, benar-benar merupakan demonstrasi gin-kang yang
tak boleh dipandang ringan!
Tukang pemukul tambur, canang
dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan
tetapi Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba
suara musik dipukul perlahan sekali.
˜Cuwi sekalian, perkenankan
siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,! kata pemuda ini dengan lagak
dibuat-buat, kemudian ia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan
pemain musik.
Para tamu menjadi ribut,
berebutan memilih tempat dekat panggung.
˜Tamu wanita di depan!!
terdengar suara orang. Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja
tercium bau harum dan suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita
berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis
Im Giok terkurung di tengah-tengah.
Sebelum para tamu wanita itu
datang Tiauw Ki sudah berbisik,
˜Adik Im Giok, aku hendak
mendekati Suma-huciang,! dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ
ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang
meninggalkan tempat itu, juga tamu-tamu pria banyak yang meninggalkan tempat
duduknya untuk diberikan kepada tamu-tamu wanita, kecuali beberapa orang
laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ
bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh karena itu, maka kepergian atau kepindahan
Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.
Setelah semua orang mengambil
tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar
telah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah
kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus untuk tuan rumah.
Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu
menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di situ,
para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan
menjadi ramai sekali. Im Giok diam-diam memperhatikan Tiauw Ki dan ia melihat
pemuda itu menggerak-gerakkan tangan bercakap-cakap asik sekali dengan
Suma-huciang yang nampak mengangguk-angguk. Karena semua orang, atau hampir
semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer
itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga bicara tentang pemuda itu dengan
Suma-huciang. Apalagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka
sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.
Tak lama kemudian terdengar
tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok
memandang dan diam-diam gadis ini harus mengaku bahwa Lie Kian Tek kelihatan
gagah dan tampan sekali. Dandanan Lie Kidn Tek sebagai seorang pendekar besar
jaman dahulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan
potongan tubuhnya yang tegap berisi, Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan
pendekar benar, pendekar seperti yang seringkali dijadikan kembang mimpi oleh
para gadis remaja.
Irama musik berubah setelah
pemuda ini muncul, semua orang kini diam dan memandang penuh perhatian ketika
Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang,
kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para
penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok. Gadis ini membuang
muka, akan tetapi ia melihat semua wanita muda yang berada di situ tertawa
cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali.
Im Giok menjadi sebal. Ia
tahu, bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita
itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul
suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.
Musik ditabuh dengan irama
lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Gerakannya mula-mula lambat dan
pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan
berbakat sehingga tiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang-kadang
tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang dan bergerak
amat gagahnya.
Im Giok secara terus terang
harus mengaku bahwa ia amat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu,
juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu
silat yang mengandung dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai
sedap dipandang. Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati
yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari,
karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah
ia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.
Im Giok mendongkol sekali,
mengerutkan kening dan tak terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan
bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi ia dapat menekan perasaan
mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan ia tertarik
seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isarat-isarat kurang ajar
dari pemuda itu.
Lie Kian Tek bersilat makin
cepat dan tak lama kemudian di atas panggung seperti ada beberapa orang yang
bersilat. Gerakannya cepat sekali dan semua itu tambah indah menarik karena
diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya
yang memang indah.
Lie Kian Tek makin bangga.
Tiba-tiba ia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang
menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu telah mencabut pedangnya dan kini
bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah
menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya. Akan tetapi Im
Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biarpun ia harus
memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai
kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu
silat.
Tiba-tiba Lie Kian Tek berseru
keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan
Sin-liong-hian-bow (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar
dilakukan dan biasanya dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah
amat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir ialah dengan
menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan
tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang,
kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!
Tadinya semua orang terkejut
karena mengira bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi
segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil
bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu, menjadi pucat
dan ia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat
bertepuk tangan memuji, padahal tadi mengalami kekagetan yang cukup menegangkan
hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi
Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah
tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.
˜Kepandaian hebat,
Lie-kongcu.! Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih
membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. ˜Akan tetapi sayang,
timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada
tiang kayu. Kalau dipergunakan dalam perang, kiranya takkan dapat menembus baju
perang musuh yang terbuat dari besi!! Sambil berkata demikian, pembesar ini
berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari
tangan dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot
pedang itu telah tercabut keluar! Kemudian sambil tertawa ia memuji,
˜Pedang bagus! Pedang bagus!!
Dan sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk
kembali di kursinya.
Tepuk tangan riuh menyambut
demonstrasi tenaga lwee-kang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo
dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok
tertegun. Tenaga lwee-kang seperti itu tak mudah dilakukan oleh sembarang
orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ˜sahabat! Tiauw Ki
itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan
dengan Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek mengerutkan
kening dan wajahnya yang tampan itu mulai muram. Ia menerima pedangnya dari
tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada
pembesar itu,
˜Ah, nama besar Suma-taijin
bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah
hari gembira dan hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat
mengharap supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk memperlihatkan
kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami
orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara
kawan-kawan kita.!
Kata-kata ini sesungguhnya
bukan semata untuk menyatakan ketidak-senangan hati putera Gubernur ini karena
tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, melainkan pada hakekatnya
mengandung segi politis yang mendalam. Suma-huciang adalah seorang pembesar
yang amat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya
orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak,
karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan merupakan penghalang besar dan akan
membela negara dengan nyawa.
Dan para pemberontak itu pun
tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak
orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum
berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.
Adapun Lie Kiang Tek adalah
putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan
orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan apabila di
dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguhpun pada lahirnya
kedua pihak belum berani berterang menyatakan kebencian dan permusuhan. Kini
mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk
memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk
mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di
mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan
hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.
Suma-huciang bukan seorang
pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti
akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,
˜Terima kasih kepada Lie-kongcu
yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.! Ia lalu memberi
isarat kepada seorang tamu yang berdiri dan menjura kepada Suma-huciang.
Orang ini adalah seorang
laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya
tenang dan matanya bersinar tajam. Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal
barang) di kota Tiang-hai yang amat terkenal dan juga amat setia kepada Kaisar
maka selalu membela Suma-huciang. Setelah memberi hormat kepada Suma-huciang,
ia lalu berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik,
menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,
˜Hamba Chi Liok menerima tugas
dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba
takkan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.!
Lie Kian Tek tersenyum
mengejek, ˜Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus,
sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.!
Setelah berkata begitu, Lie
Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk
tak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh melirik sambil tersenyum kepada
gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga kini ia kembali memakai
pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung. Para wanita melirik-lirik
dan senyum-simpul menghujani pemuda itu, kerling memikat menyambar-nyambar ke
arahnya!
Kian Tek melempar senyum
membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu lalu duduk dengan
sikap angkuh, memandang ke arah panggung.
Sementara itu, musik telah
dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat
saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek
tadi, maka di sana-sini terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton
wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa
piauwsu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang tak boleh dipandang ringan.
Setiap gerak tangan mengandung tenaga lwee-kang yang cukup kuat, sedangkan
bhesi kakinya bukan main. Setelah menyelesaikan babak permainan ilmu silat
tangan kosong, Chi-piauwsu lalu mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang
joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam. Ia lalu bersilat dengan joan-pian
ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang
mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan
mengandung tenaga besar.