05 - Banjir Darah Di
Bojong Gading
"Auuunggg...!"
Lolongan anjing hutan
terdengar menggaung panjang, membuat suasana malam yang sudah menyeramkan,
menjadi semakin seram.
Dalam suasana malam yang agak
gelap itu, nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan menilik dari
gerakannya, bisa diketahui kalau bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi.
Sosok bayangan kuning itu
berlari terus dengan kecepatan tinggi. Ketika kebetulan cahaya sinar obor
menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan kuning itu adalah seorang kakek
berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, dan wajahnya kecil
mirip wajah seekor tikus. Kumisnya hitam dan jarang-jarang.
Si wajah tirus itu baru
memperlambat langkahnya ketika mendekati sebuah bangunan besar yang berhalaman
luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat yang kokoh kuat mengelilingi bangunan
itu. Di atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal yang berukir indah.
Di situ tertulis huruf-huruf yang ber- bunyi "Perguruan Naga Api".
Kakek berwajah tirus itu
menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang perguruan yang tertutup rapat
itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang itu.
Tok...! Tok...!
Kelihatannya pelan saja kakek
itu mengetuk, tapiAkibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang dari jati
tebal itu digedor oleh balok kayu yang besar. Dan karuan saja suara berisik itu
membuat para murid Perguruan Naga Api yang tengah bertugas jaga, berlarian
mendekati pintu gerbang.
"Buka pintu
gerbang...!" perintah salah seorang dari mereka yang bercambang bauk
lebat.
"Tapi, Kang Somali,"
bantah seorang yang bertahi lalat besar di pipinya. "Bagaimana kalau orang
yang mengetuk itu tidak bermaksud baik?"
Si cambang bauk lebat yang
bernama Somali menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan itu.
"Tidak mungkin, Adi
Prawira! Kalau orang itu bermaksud tidak baik, tak mungkin datang terang-
terangan begitu."
Orang yang dipanggil Prawira
mengangguk- anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan Somali.
Segera Prawira melangkah maju.
Diangkatnya palang kayu yang mengunci pintu gerbang itu, kemudian baru
ditariknya daun pintu gerbang itu.
Kriiittt...!
Suara bergerit tajam terdengar
mengiringi ter- bukanya pintu gerbang itu.
"Ah...! Kiranya Ki
Temula...!" kata Prawira kaget. "Silakan masuk, Ki!"
Kakek berwajah tirus yang
dipanggil Ki Temula hanya tersenyum. Kemudian dilangkahkan kakinya masuk ke
dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira segera menutup pintu kembali.
"Apakah Adi Gayadi
ada?" tanya Ki Temula, seraya memalingkan wajah ke arah Somali.
"Ada, Ki. Guru ada di
dalam," jawab Somali.
"Apakah Aki ada keperluan
dengan Guru?"
"Benar!" sahut kakek
berwajah tirus itu singkat.
"Kalau begitu, mari
kuantar untuk menemui beliau!"
Setelah berkata demikian,
Somali segera bergerak melangkah mendahului. Ki Temula pun mengikutinya
Sementara para murid yang tengah mendapat giliran jaga, kembali pada tugasnya
masing-masing. Ki Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan Naga Api. Sering
mereka mengadakan pertemuan. Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali
di perguruan yang dipimpin Ki Temula ini. Tidak jarang pula, di hutan-hutan
sunyi, atau di puncak- puncak gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang
mengejutkan kalau malam ini kakek berwajah tirus itu datang berkunjung.
Somali mengantarkan Ki Temula
sampai di depan sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi biasa ber- semadi. Biar ada
peristiwa penting apa pun, biasanya Somali tidak akan berani memberitahukan
pada gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki Temula merupakan suatu
pengecualian.
Tok...! Tok...!
Somali menunggu sejenak
sehabis mengetuk daun pintu pondok kecil itu.
"Siapa?!"
Terdengar sahutan dari dalam
pondok itu. Nada- nya terdengar agak kasar, seperti orang yang merasa
terganggu.
"Aku, Guru..!"
sambut Somali cepat.
"Siapa?!" Kian keras
suara dari dalam pondok itu.
"Somali, Guru."
"Hm.... Ada keperluan apa
sehingga kau berani membangunkan aku, Somali?!"
Somali menelan ludahnya untuk
membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang merasa tidak enak
juga, karena telah mengganggu ketenangan semadi gurunya.
"Aku mengantarkan Ki
Temula yang ingin bertemu guru ..... "
Hening sejenak, setelah si
cambang bauk itu menyelesaikan perkataannya. Tidak ada suara sahutan yang
terdengar dari dalam pondok.
Somali dan Ki Temula menanti.
Kriiittt..!
Terdengar suara bergerit agak
nyaring, disusul terbukanya pintu pondok kecil itu. Nampak di balik pintu itu
berdiri sesosok tubuh pendek gemuk berwajah cerah, penuh senyum. Usianya paling
banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang bernama Ki Gayadi, Ketua Perguruan
Naga Api.
"Ha ha ha...! Kakang
Temula, mari.... Silakan masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi mempersilakan.
Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh keceriaan.
"Terima kasih, Adi
Gayadi," sambut kakek berwajah tirus itu sambil melangkah masuk ke dalam.
Begitu Ki Temula telah
melangkah masuk, Ki Gayadi kembali menutup pintu pondoknya. Somali yang tahu
diri sudah lebih dahulu pergi, setelah memberi penghormatan pada kedua orang
tua itu.
"Urusan apa yang membawa
Kakang ke sini? Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan Kita tiga purnama
mendatang?" tanya Ki Gayadi begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di
depan tamunya. Memang, kakek pendek gemuk ini merasa heran melihat kedatangan
Ki Temula yang tidak diduga-duga itu.
Kakek berwajah tirus itu
menundukkan kepalanya sebentar.
"Memang, aku mempunyai
keperluan padamu, Adi Gayadi Makanya, malam-malam begini kupaksakan datang
menemuimu."
"Kalau boleh kutahu, apa
keperluan itu, Kang?"
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian,
dengan cepat Ki Temula menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss...!
Ki Gayadi terkejut bukan main.
Serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba dan tidak tersangka- sangka. Apalagi,
Ketua Perguruan Naga Api ini tengah duduk bersila dan tidak bersikap waspada.
Bahkan jarak antara mereka terlalu dekat. Maka, walaupun kakek bertubuh pendek
gemuk ini berusaha mengelak, tetap saja terlambat!
Bresss... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi berteriak keras
memilukan. Pukulan jarak jauh itu telak dan kerasnya menghantam perutnya.
Seketika itu juga tubuh kakek pendek gendut itu lerlempar jauh ke belakang
menabrak dinding pondok yang terbuat dari papan.
Brak... !
Seketika itu juga dinding
papan itu jebol, terlanda tubuh laki-laki tua Ketua Perguruan Naga Api.
Brukkk.. !
Terdengar suara berdebuk keras
ketika tubuh Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh ke tanah.
"Huakkk. .!"
Segumpal cairan kental
berwarna merah keluar dari mulut kakek pendek gemuk yang berusaha bangkit dari
terbaringnya.
"Hup...!"
Ki Temula melompat keluar,
menyusul tubuh Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana. Ringan tanpa
suara, kedua kakinya mendarat di tanah, di depan Ki Gayadi.
Laki-laki tua pendek gemuk itu
berusaha bangkit, tapi luka dalam yang dideritanya terlalu parah, sehingga tak
mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan Ki Temula memang hebat sekali, karena
disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seluruh tulang- belulangnya seolah-olah
hancur berantakan semuanya.
"Pergilah ke neraka,
Gayadi...!" dengus Ki Temula. Dingin dan datar suaranya. Dan tiba tiba
saja kakinya bergerak menyepak.
Prak... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi memekik tertahan.
Kepala kakek pendek gemuk ini pecah ketika kaki Ki Temula telak menghantamnya.
Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi
untuk selamanya.
***
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa
terbahak-bahak melihat Ketua Perguruan Naga Api itu tewas. Sama sekali tidak
dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke tempatnya berdiri. Memang suara
jebolnya dinding papan itu telah didengar murid-murid Perguruan Naga Api.
Mereka segera memburu ke arah asal suara itu.
"Guru...!" teriak
Somali keras. Laki-laki bercambang bauk ini memang merupakan satu-satunya orang
yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya terbantai. Memang, ruang semadi
Ki Gayadi letaknya agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat itu
tidak jauh dari situ.
Sepasang mata Somali menatap
penuh rasa tidak percaya, pada sosok tubuh yang tergolek di tanah. Kemudian
tatapannya berpindah pada Ki Temula yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Ki Temula menghentikan tawanya
ketika melihat kehadiran Somali. Sepasang matanya nampak beringas, memandang
pemuda bercambang bauk lebat itu. Tapi Somali sama sekali tidak gentar.
Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang berdiri di hadapannya ini,
benar-benar membuatnya terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya.
"Keparat..! Kau harus
mengganti nyawa guruku dengan nyawamu!"
Srat.. !
Somali mencabut pedangnya,
lalu....
"Heyaaat..!"
Didahului sebuah pekik
melengking nyaring, pemuda bercambang bauk lebat ini melompat menerjang Ki
Temula. Pedangnya diputar-putar- kannya di atas kepala sebelum dibabatkannya ke
leher kakek pembunuh gurunya itu.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring
mengawali tibanya serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya mendengus.
"Susullah arwah gurumu ke
neraka, manusia dungu...!" desis laki-!Aki berwajah tirus itu tajam.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan kanannya.
Tappp...!
Dengan sigap, pedang Somali
ditangkap laki-laki tua berwajah tirus itu. Dan sebelum pemuda itu berbuat
sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu saja Somali yang tidak ingin
pedangnya terebut, berusaha menahan sekuat tenaga. Tapi tenyata tenaganya kalah
kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat itu tengah berada di udara. Maka tak pelak
lagi, tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan.
Pada saat tubuh Somali
mendekat, dengan cepat, Ki Temula menyodokkan ujung pedang ke perut Somali .
Ceppp...!
"Aaakh...!"
Somali menjerit ngeri. Gagang
pedang itu tembus hingga ke punggungnya. Memang hebat tenaga dalam kakek itu.
Dalam posisi terbalik, pedang itu mampu menembus perut pemuda bercambang bauk
lebat itu.
Tapi, daya tahan tubuh Somali
patut dipuji. Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih mampu bertahan.
Padahal, kedua kakinya tampak menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki
Temula jadi kehilangan kesabarannya. Maka tangannya pun terayun menampar ke
arah pipi.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras
ketika kepala pemuda bercambang bauk itu pecan terhantam tangan laki-laki tua
itu. Tanpa sempat mengeluh lagi tubuh Somali terjerembab jatuh.
Tepat saat tubuh Somali
ambruk, murid-murid Perguruan Naga Api yang lain pun tiba. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya hati mereka melihat dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah.
Berkat sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka dapat melihat jelas
dua sosok tubuh yang tergeletak diam tidak bergerak itu.
"Guru...!" teriak
mereka berbareng. Beberapa saat lamanya berpasang-pasang mata terpaku menatap
tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Melihat kesempatan yang baik
itu, Ki Temula tidak menyia-nyiakannya.
"Hup...!"
Kakek kecil kurus berwajah
tirus ini segera melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya, sehingga dalam
sekejap mata saja tubuhnya sudah berjarak sepuluh tombak dari tempat semula.
Melihat Ki Temula melarikan
diri, para murid perguruan itu pun tersadar.
"Pembunuh keparat itu
kabur...!" teriak Prawira.
"Kejar...!" sambut
yang lain.
Tak pelak lagi, sebagian besar
dari mereka berlari mengejar Ki Temula. Sementara sisanya menghampiri mayat Ki
Gayadi dan Somali.
Mereka segera mengangkat
tubuh-tubuh yang telah kaku itu ke ruang utama perguruan.
Sementara itu, sepertinya
Prawira dan beberapa murid perguruan tak mampu mengejar Ki Temula. Ilmu
meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu berada jauh di atas mereka. Maka,
tanpa mengalami kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari kayu bulat
dan kuat yang mengelilingi bangunan besar berhalaman luas itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Ki Temula mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini melesat,
tubuhnya pun lenyap ditelan kegetapan malam.
"Keparat..!" maki
Prawira yang kalang kabut melihat buronannya berhasil kabur dari situ.
***
Beberapa saat lamanya, Prawira
dan murid-murid lainnya menatap ke arah kepergian Ki Temula. Wajah mereka
menyiratkan perasaan dendam dan kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat
kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua melesat ke ruang utama perguruan
tempat Ki Gayadi dan Somali dibaringkan.
"Bagaimana, Kakang
Branta?" tanya Prawira pada seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun.
Napas pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu.
Orang yang dipanggil Branta
tersenyum getir.
"Beliau telah
tewas...," sahui Branta lirih.
"Keparat..!" Prawira
berteriak keras. "Keparat kau. Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!"
"Tutup mulutmu,
Prawira...!" bentak Branta keras .
Seketika sepasang mata Branta
tampak berKilat penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seper- guruannya itu.
Memang, di Perguruan Naga Api hanya tinggal satu orang murid kepala, yaitu
Branta. Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu Somali dan Prawira.
Sebenarnya, masih ada tokoh
yang terhitung sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia adalah kakak seperguruan Ki
Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya sayangnya beliau jarang ikut campur dalam
urusan perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan menyepi.
Mendengar bentakan Branta,
Prawira langsung melengak kaget .
"Mengapa, Kang?! Tidak
bolehkah aku membalas dendam pada orang yang membunuh Guru secara licik
itu?!" sergah pemuda Itu. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Branta menatap Prawira tajam,
tapi yang ditatap malah membalas tidak kalah tajamnya pula. Beberapa saat
lamanya kedua pasang mata itu saling tatap.
"Hhh...!"
Setelah Branta menghela napas
panjang, dialihkan pandangannya dari Prawira. Dia tahu kalau diterus- kan
mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan ucapan Prawira yang berani
menentangnya secara jelas di depan murid-murid lainnya membuat amarah- nya
bangkit. Hanya saja, Branta tidak ingin menambah suasana yang sudah rusuh ini
menjadi semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira.
Maka, walaupun dadanya terasa
sesak oleh hawa amarah yang membakar. Branta tetap menyabarkan hatinya.
Dialihkan pandangannya pada wajah adik- adik seperguruan yang lain. Sudah bisa
diduga kalau di wajah mereka tersirat adanya ketidakpuasan pada sikapnya yang
membentak Prawira.
"Kuharap kalian semua
bisa menahan diri, dan jangan mudah terpancing oleh peristiwa ini. Yang paling
penting bagi kalian adalah berpikir secara jernih. Buangiah jauh-jauh perasaan
amarah yang melanda hati kalian," ujar Branta menenangkan adik- adik
seperguruannya.
"Kakang. Guru telah
dibunuh orang! Dan sekarang kau menyuruh kami bersabar?! Bahkan melarang kami
untuk membalas dendam. Murid macam apa kau ini?!" sergah Prawira keras.
"Jaga mulutmu, Prawira!
Redakan amarahmu! Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam atas kematian
Guru!" tegas Branta.
Prawira pun terdiam. Disadari
kebenaran ucapan kakak seperguruannya ini. Tapi amarah yang ber- kobar di dalam
dada, membuatnya menuduh kehati- hatian kakak seperguruannya itu, sebagai sikap
pengecut! Hanya saja, perasaan segan pada kakak seperguruannya, memaksanya
untuk diam, dan tidak membantah lagi. Dia bertekad akan membalaskan dendam ini
secara diam-diam.
"Sudahlah...! Kita
pikirkan hal itu nanti. Sekarang yang penting, uruslah mayat-mayat ini,"
ucap Branta lagi mengalihkan persoalan.
Pemuda bermata sayu ini sudah
merasa lega melihat usahanya meredakan amarah Prawira telah berhasil. Dia tidak
tahu bahwa sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan bertekad akan mencari
pembunuh gurunya itu.
Setelah berkata demikian,
Branta lalu mengangkat mayat gurunya dan membawanya masuk ke dalam. Prawira pun
mengikutinya sambil memanggul tubuh Somali.Seorang pemuda berambut putih
keperakan dan dibiarkan meriap, melangkah pelahan memasuki mulut sebuah hutan.
Di punggungnya tersampir sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
Baru saja beberapa langkah, kening
pemuda ini mendadak berkerut. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya banyak
langkah kaki yang menuju ke arahnya. Tapi pemuda yang tak lain Arya Buana atau
lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, tidak mempedulikannya. Dewa Arak
pura-pura tidak tahu dan terus saja melangkahkan kakinya.
Benar saja. Beberapa langkah
kemudian, Dewa Arak sudah melihat serombongan orang yang rata- rata berusia
muda.
Jumlah mereka tak kurang dari
dua puluh orang, dan semuanya berpakaian warna putih-putih. Di bagian dada
sebelah kiri, ada sulaman gambar kepala naga yang tengah menyemburkan api.
Sekali lihat saja Dewa Arak
tahu kalau rombongan itu berasal dari sebuah perguruan beraliran putih. Hal ini
bisa diketahui dari sikap mereka yang rata-rata tidak menampakkan keliaran dan
kecongkakan.
Hanya saja yang membuat Dewa
Arak tidak habis pikir, adalah wajah mereka yang rata-rata mem- bayangkan
kemarahan hebat. Dewa Arak pun mem- pertajam pendengarannya untuk mencuri
dengar pembicaraan mereka, walaupun jaraknya cukup jauh dengan mereka.
"Kita harus membalas
dendam..! Semalam aku ragu mendengar kata-kata yang diucapkan KakangBranta.
Tapi, tak lama kemudian aku teringat. Ternyata pembunuh itu menggunakan ilmu
'Cakar Garuda' ketika membunuh Kakang Somali."
"Benar, Kakang Prawira!
Kau harus membalas dendam pada kakek itu!" sambut yang lainnya.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Dia seketika menduga kalau rombongan ini pasti hendak ber- tarung.
Semakin lama jaraknya dengan
rombongan itu semakin dekat. Dan dengan sendirinya percakapan mereka pun
semakin jelas terdengar telinganya. Tak lama kemudian Dewa Arak berpapasan
dengan mereka pada sebuah jalan kecil yang di kanan kirinya ditumbuhi
semak-semak dan pohon-pohon rimbun.
Kekaguman Dewa Arak semakin
bertambah, ketika melihat rombongan itu menghentikan langkah- nya. Bahkan
menggeser tubuh mereka ke pinggir, memberi jalan padanya untuk lewat. Baru
setelah Arya lewat, mereka kembali melanjutkan langkahnya.
Arya ragu-ragu untuk
meneruskan langkahnya. Simpatinya seketika timbul melihat sikap mereka. Ingin
diketahui, masalah apa yang membuat pemuda- pemuda gagah itu hendak bertarung.
Memang dari ucapan yang tadi sempat didengar, diketahui kalau rombongan itu
ingin membalas dendam. Tapi pada siapa?
Beberapa saat lamanya batin
pemuda ini ber- perang, antara melanjutkan perjalanannya ataukah mengikuti
rombongan pemuda gagah itu tadi. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti
rombongan berseragam putih-putih itu. Langkahnya segera dihentikan dan berbalik
ke arah yang tadi ditinggalkan. Sesaat matanya menatap ke arah pohon di
depannya, dan
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua
kakinya hinggap di cabang sebatang pohon, kemudian melompat ke cabang lainnya.
Begitu seterusnya. Sehingga tak lama kemudian, rombongan orang berseragam
putih-putih itu terlihat kembali.
Kening Dewa Arak berkernyit
ketika melihat rombongan pemuda itu mulai mendaki lereng gunung. Pemuda
berambut putih keperakan itu tahu kalau yang mereka daki itu adalah Gunung
Munjul, yang pada salah satu lerengnya terdapat sebuah perguruan yang bernama
Perguruan Garuda Sakti. Apakah rombongan orang itu hendak menuju ke sana? Maka
perasaan tidak enak pun menjalari hati Dewa Arak. Karena yang diketahuinya,
Perguruan Garuda Sakti adalah sebuah perguruan beraliran putih.
Dugaan Dewa Arak tidak
meleset. Rombongan itu ternyata benar menuju Perguruan Garuda Sakti, dan
rata-rata gerakan mereka cukup gesit ketika mendaki lereng gunung itu.
Tak lama kemudian, rombongan
itu pun sudah mendekati pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti. Dan rupanya dua
orang murid Perguruan Garuda Sakti yang tengah menjaga pintu gerbang itu
melihat kehadiran rombongan itu. Nampak jelas kalau dua orang penjaga itu agak
bingung melihatnya.
Tapi sebelum mereka sempat
bertindak, tiba-tiba saja rombongan murid Perguruan Naga Api yang dipimpin
Prawira itu meluruk menyerbu.
"Serbuuu...!"
Maka serentak dua puluh orang
murid Perguruan Naga Api itu meluruk ke arah pintu gerbang.
Singgg...! Singgg...!
Suara desing golok dan pedang
yang melesat keluar dari sarungnya, menyemaraki suasana yang hening dan sepi
itu. Melihat hal ini, karuan saja dua orang murid Perguruan Garuda Sakti yang
menjaga pintu gerbang itu terkejut. Serentak keduanya mencabut senjatanya
masing-masing, mencoba meng-halau serbuan dua puluh orang itu.
Sementara Dewa Arak yang
melihat hal itu tidak berani gegabah ikut campur, karena belum tahu masalahnya.
Ikut campur tangan sebelum tahu masalahnya merupakan perbuatan tidak bijaksana.
Lagi pula, dua puluh orang itu
kelihatannya ber- sikap ksatria. Jelas mereka kelihatan tidak bermain curang.
Buktinya dua orang penjaga itu tidak di- keroyok melainkan diserang oleh dua di
antara mereka. Sedangkan sisanya menyerbu masuk. Dewa Arak memutuskan untuk
menonton saja sambil ber- tengger di atas sebuah cabang pohon.
Trang..! Trang...!
Denting suara senjata beradu
terdengar ketika dua orang penjaga pintu gerbang itu menangkis dua buah
serangan yang mengancam nyawa mereka. Sesaat kemudian keempat orang itu sudah
terlibat pertarungan mati-matian.
Sementara itu, Prawira dan
rekan-rekan lain menerobos masuk. Mereka segera berhadapan dengan murid-murid
Perguruan Garuda Sakti. Tak pelak lagi. pertarungan massal pun terjadi .
Mulanya pertarungan itu
berjalan seimbang. Tapi lama-kelamaan, mulal nampak kalau Prawira dan rekan-rekannya
lebih unggul katimbang mereka. Memang rombongan yang menyerbu adalah murid-
murid pilihan, walau bukan murid-murid kepala. Sementara di Perguruan Garuda
Sakti, hanya ter- dapat murid-murid rendahan.
"Aaa...!"
Jerit kematian pertama
terdengar dari mulut penjaga pintu gerbang ketika golok murid Perguruan Naga
Api menembus perutnya hingga ke punggung.
"Aaakh...!"
Kembali salah seorang murid
Perguruan Garuda Sakti memekik tertahan ketika pedang di tangan lawan memenggal
lehernya hingga buntung. Beberapa saat lamanya tubuhnya menggelepar- gelepar
sebelum akhirnya, diam tidak bergerak lagi.
Belum lama tubuh orang kedua
itu roboh ke tanah, terdengar lagi jerit kematian dari mulut murid Perguruan
Garuda Sakti Satu persatu tubuh mereka berguguran ambmk ke tanah.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Pandangan matanya yang tajam, dapat melihat adanya sosok tubuh yang bersembunyi
di balik wuwungan rumah. Dan hal ini membuat Dewa Arak heran. Menilik dari
pakaiannya yang berwarna kuning, dapat diper- kirakan kalau yang bersembunyi
itu adalah orang Perguruan Garuda Sakti. Tapi mengapa tidak mem- bantu
murid-murid perguruan yang dalam keadaan kritis itu?
Belum lagi Dewa Arak menemukan
jawabannya, dari dalam salah satu bangunan berkelebat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu,
di arena pertarungan telah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan
berwajah mirip kuda.
"Mundur semua...!"
teriak kakek muka kuda itu.
Seketika itu juga, murid-murid
Perguruan Garuda Sakti yang tengah bertarung berlompatan mundur. Sedangkan
murid-murid Perguruan Naga Api tidak mengejar, dan hanya berlompatan mundur
untuk berkumpul.
Kakek muka kuda itu memandang
berkeliling. Wajahnya nampak beringas melihat murid-murid Perguruan Garuda
Sakti yang bergeletakan tanpa nyawa di sana-sini.
"Kalian semua harus
mati...!" dengus kakek itu dingin.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek muka kuda melesat
ke arah kumpulan murid-murid Perguruan Naga Api. Sasaran pertama adalah seorang
murid bernama Kelana yang berada paling depan.
Wut.. !
Tangan kakek muka kuda itu
melayang deras ke arah kepala pemuda berkuping caplang itu. Tentu saja Kelana
tidak membiarkan kepalanya hancur ditampar tangan mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Buru-buru disabetkan pedangnya pada tangan yang menampar itu.
Trak...!
Pedang itu langsung patah
begitu tertangkis tangan si kakek muka kuda. Karuan saja hal ini membuat Kelana
kaget bukan main. Belum lagi pemuda ini sadar, kaki kanan kakek itu sudah
melayang ke arah dadanya.
Buk... !
"Aaakh...!"
Dengan deras dan keras, kaki
itu menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Kelana terlempar jauh ke
belakang dan jatuh di tanah menimbulkan suara berdebuk nyaring. Darah segar
langsung berhamburan dari mulut, hidung dan telinganya. Saat itu juga nyawa
pemuda itu melayang meninggalkan raganya. Tulang dadanya remuk seketika.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan si kakek muka kuda. Patahan pedang Kelana yang berada di
tangannya langsung dilesatkan ke arah lawannya.
Singgg...!
Cappp.. !
"Aaa...!"
Seorang yang bertubuh pendek
menjerit panjang ketika patahan pedang itu menancap di perutnya hingga tembus
ke punggung. Beberapa saat lamanya tubuh laki-laki itu menggelepar-gelepar di
tanah sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Serbuuu...!"
perintah Prawira keras. Pemuda ini sadar kalau lawan di hadapannya memiliki
kepandaian tinggi. Jadi kalau dihadapi seorang demi seorang hanya akan
mengantarkan nyawa sia-sia.
Kini delapan belas orang murid
Perguruan Naga Api itu, menyerbu kakek muka kuda secara ber- bareng. Belasan
senjata tajam berkelebat meng- ancam sekujur tubuhnya.
Tapi si kakek muka kuda itu
hanya mendengus. Bahkan enak saja menyelinap di antara hujan senjata yang
menyambar tubuhnya. Sehingga, tak satu pun serangan pengeroyoknya yang mengenai
sasaran.
Selama beberapa gebrakan,
kakek muka kuda ini hanya mengelak. Dan pada saat mempunyai kesempatan, mulai
balas menyerang. Tangan dan kakinya segera berkelebat, mencari sasaran yang
mematikan.
Plak! Buk!
"Aaakh... !"
"Aaa...!"
Dua orang pengeroyoknya
menjerit tertahan dan langsung roboh ke tanah, tidak bergerak lagi untuk
selamanya.
Tamparan dan tendangan yang
ditunjang tenaga dalam tinggi itu memang tidak mungkin bisa ditahan, sehingga
dada dan perut mereka hancur!
Tentu saja hal ini membuat
Prawira dan rekan- rekannya semakin marah. Akibatnya, serangan yang dilancarkan
pun semakin dahsyat Tapi, karena tingkat kepandaian mereka memang terpaut jauh,
maka tidak sulit bagi kakek muka kuda untuk mengelakkan setiap serangan.
Dewa Arak kaget bukan main
melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau kakek muka kuda itu bersikap
begitu telengas. Seperti tidak berperasaan, begitu enaknya dia membunuhi
murid-murid Perguruan Naga Api yang telah bersikap begitu ksatria.
Jiwa kependekaran Dewa Arak
pun bangkit, karena tidak suka melihat kekejaman kakek Itu. Masalahnya, dia
sendiri hampir tidak pernah membunuh sembarangan orang, sekalipun lawannya itu
seorang penjahat! Tapi, kakek muka kuda itu begitu gampangnya membunuhi murid
Perguruan Naga Api. Padahal dari sikap yang ditunjukkan, jelas kalau mereka
adalah golongan penentang ketidakadilan.
Segera saja Dewa Arak melompat
turun dari cabang pohon yang sejak tadi didudukinya, dan langsung meluruk ke
arena pertempuran. Sempat dilihatnya orang yang bersembunyi di balik wuwungan
itu melesat kabur.
Saat itu, Prawira tengah
menyerang kakek muka kuda dengan sebuah tusukan ke arah perut. Seketika kakek
muka kuda melangkahkan kakinya ke belakang. Sehingga tusukan pedang itu tidak
menemui sasaran. Sebelum Prawira menarik pulang serangan, tangan kakek itu
telah lebih dulu menangkap pedangnya.
Prawira yang mengetahui adanya
bahaya besar yang mengancam, tidak berani bersikap malu-malu. Buru-buru
dilepaskan pedangnya, dan secepat itu pula dilempar tubuhnya ke belakang.
Tapi kakek muka kuda itu
ternyata tidak mem- biarkannya lolos. Begitu Prawira melempar tubuh ke belakang
segera dihentakkan kedua tangannya ke depan.
Wut!
Angin berhembus keras ke arah
tubuh pemuda bertahi lalat besar itu. Tentu saja wajah Prawira memucat, karena
menyadari adanya bahaya maut mengancam. Jelas, dia tidak mampu mengelak-
kannya.
Tapi di saat kritis itu, dari
arah yang berlawanan tiba-tiba berhembus angin keras yang memapak angin pukulan
kakek muka kuda. Tak dapat dicegah lagi, dua angin pukulan itu kini bertemu di
udara.
Blarrrr...!
Ledakan keras seketika
terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu. Sekitar tempat itu sampai
bergetar Akibat ledakan itu.
Bukan hanya itu saja. Bahkan
para murid Perguruan Naga Api yang berada dekat situ kontan berpentalan ke
belakang, Akibat pengaruh getaran tadi.
"Keparat..!" maki
kakek muka kuda.
Sebagai orang yang telah
mempunyai pengalaman luas, kakek ini tahu kalau ada orang berkepandaian tinggi
yang telah menyelamatkan korbannya. Dan tentu saja hal ini membuatnya geram
bukan main.
Dengan pandang mata marah,
diarahkan sepasang matanya ke arah asal angin pukulan tadi.
Di sebelah kanan Prawira yang
kini telah selamat hinggap di tanah, tampak seorang pemuda berambut putih
keperakan yang tengah berdiri tenang. Di tangan kanannya telah tergenggam
sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
"Siapa kau?!" tanya
kakek muka kuda. Kasar dan keras suaranya. "Mengapa mencampuri
urusanku!"
Pemuda yang tak lain dari Dewa
Arak itu ter- senyum getir.
"Aku Arya. Sudah menjadi
watakku untuk tidak membiarkan melihat kekejaman berlangsung di depan
mataku!" sahut Dewa Arak, keras dan tegas suaranya.
"Ketidakadilan?! Apa
maksudmu, Anak Muda?! Apakah yang kau maksud dengan ketidakadilan itu? Apakah
tindakanku yang telah menghukum orang- orang yang telah mengacau dan membunuhi
murid- muridku salah?!"
"Kau terlalu kejam,
Ki!" tandas Arya tajam.
"Kuperingatkan padamu,
Anak Muda. Ini adalah urusan dalam perguruan. Perguruanku dikacau, dan
murid-muridku dibantai! Adalah hakku untuk menghukum si pengacau. Dan ini
tidak ada sangkut pautnya denganmu!" tegas kakek muka kuda, langsung merah
mukanya.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya.
"Sayang sekali, Ki. Sejak
mulai mempelajari ilmu silat, aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan adanya
kekejaman berlangsung di depan mataku!" tegas Arya.
"Kau keras kepala, Anak
Muda! Tapi..., tunggu dulu! Katamu tadi namamu Arya?" tanya kakek muka
kuda. Sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh selidik. Kemarahannya pun
seketika mereda, ketika mengingat nama Arya Buana.
"Begitulah nama yang
diberikan orang tuaku, Ki."
"Arya?!" ulang kakek
itu. Sepasang alisnya berkerut "Rasanya aku pernah mendengar orang yang
mempunyai nama seperti itu?! Kalau tidak salah..., Arya Buana. Apa betul itu
namamu?!"
"Benar, Ki. Namaku adalah
Arya Buana. Aki sendiri siapa?" tanya Dewa Arak yang kemarahannya juga
telah mereda.
"Aku? Namaku tidak
sekondang dirimu, Anak Muda! Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak? Aku tahu,
orang sering membicarakanmu!" ujar orang tua itu, yang mulai merendah. Dia
memang merasa tidak mungkin mampu berhadapan dengan tokoh yang telah terkenal
kedigdayaannya.
"Ah...! Berita itu
terlalu berlebih-lebihan, Ki," ucap Arya merendah. "Apakah Aki
bernama Ki Temula, Ketua Perguruan Garuda Sakti itu?!"
Kakek muka kuda itu menggelengkan
kepalanya.
"Bukan. Namaku Ki Matija.
Sedangkan Ki Temula adalah kakak seperguruanku. Sayang sekali dia sudah enam
hari masuk ruang semadi, sehingga tidak bisa keluar sekarang. Dan kalau tidak
salah, besok baru bisa keluar."
"Bohong! Kau bohong, Ki
Matija!" teriak Prawira. Keras sekali suaranya.
Wajah kakek muka kuda yang
bernama Ki Matija itu memerah. Sepasang matanya memancarkan kemarahan ketika
menatap pemuda bertahi lalat besar itu.
"Tutup mulutmu, pengacau!
Kalau tidak me- mandang Dewa Arak, sudah kubunuh kau!"
"Demi membela kehormatan,
bagiku mati tidak berarti apa-apa, Ki Matija! Tidak seperti kau,
pengecut!" teriak Prawira sambil menuding ke arah laki-laki tua muka kuda
itu.
"Keparat...! Akan
kuadukan sikapmu yang tidak pantas ini pada gurumu!" bentak Ki Matija.
"Tidak perlu berpura-pura
bodoh, Ki Matija!"
Ki Matija yang memang
mempunyai sifat pemberang, seketika wajahnya merah padam. Sikap Prawira
dirasakan sudah keterlaluan. Bahkan Dewa Arak pun terkejut melihatnya. Tapi
belum sempat Ki Matija dan Dewa Arak berbuat sesuatu, Prawira telah melanjutkan
ucapannya.
"Kau pikir untuk apa kami
semua ke sini mem- pertaruhkan nyawa, Ki Matija?! Dengarlah baik-baik! Kami
datang untuk membalaskan kematian guru kami! Kau tahu, Ki Gayadi telah dibunuh
Ki Temula secara licik! Maka, demi budi baik dan kehormatan Ki Gayadi, kami
semua rela mati di sini!"
"Apa?!" sepasang
mata Ki Matija membelalak lebar. "Ki Gayadi tewas?! Benarkah apa yang kau
ucapkan ttu, Anak Muda? Kapan dia tewas?"
Nampak jelas kalau kakek muka
kuda itu kaget bukan main. Bahkan Dewa Arak sendiri terkejut mendengarnya.
Pemuda ini sadar kalau persoalan yang dihadapi bukan persoalan kecil. Bahkan
bisa terjadi pertumpahan darah antara dua perguruan ini!
"Semalam!" sahut
Prawira keras.
Sesaat lamanya keheningan
melanda tempat itu. Berita yang dikatakan Prawira memang membuat terkejut semua
orang yang ada di situ.
"Benarkah apa yang
kudengar ini? Benarkah Adi Gayadi telah mendahuluiku?" tiba-tiba
keheningan itu dipecahkan oleh sebuah suara.
Dan belum lagi gema suara itu
lenyap, sesosok bayangan berkelebat dan telah berdiri di tengah- tengah mereka.
Tampak di situ seorang kakek kecil kurus berwajah tirus mirip tikus.
"Kakang...!" seru Ki
Matija kaget melihat kehadiran kakak seperguruannya.
Prawira mendesis melihat
kehadiran kakek itu. Perasaan geram yang hebat tersirat di wajahnya. Tapi baru
saja dia hendak bergerak. Dewa Arak telah lebih dulu memegang pergelangan
tangannya.
"Tenangiah, Kisanak.
Dalam persoalan sebesar ini, tidak baik bersikap ceroboh. Lebih baik, dengar
dulu apa yang dikatakan Ki Temula," ucap Arya menasehati.
Prawira menoleh, dan menatap
Dewa Arak lekat- lekat. Pemuda berambut putih keperakan itu ter- senyum lalu
menganggukkan kepalanya.
"Hhh."
Prawira menghela napas
panjang. Kedua tangannya yang semula sudah menegang penuh kemarahan, pelahan
mengendur. Dilangkahkan kakinya ke belakang. Dia memang telah percaya penuh
pada Dewa Arak. Sebab tanpa pertolongan pendekar kondang itu, mungkin dia dan
seluruh rekannya telah tewas di tangan Ki Matija.
"Ah...! Tidak salahkah
pengilhatanku ini? Benarkah Dewa Arak yang telah menggemparkan dunia persilatan
itu, yang berkunjung ke sini?" ucap kakek kecil kurus itu. Pandangan
matanya memancarkan ketidakpercayaan melihat kehadiran Dewa Arak di sini.
Wajah Arya memerah karena
merasa malu.
"Ah! Berita itu terlalu
dilebih-lebihkan, Ki." elak Dewa Arak malu. "Mana bisa dibandingkan
dirimu, Ki. Hampir semua orang tahu siapa dirimu, Ki. Bahkan para prajurit dan
Panglima pilihan Kerajaan Bojong Gading berasal dari perguruan ini!"
"Aku dan rekan-rekanku
datang kemari untuk membalaskan kematian guruku. Ki Temula!" selak
Prawira. Pemuda bertahi lalat besar ini menjadi tidak sabar melihat orang yang
dicari malah terlibat pembicaraan dengan Dewa Arak.
Ki Temula segera megnalihkan
perhatiannya.
"Semua pembicaraanmu
telah kudengar, Anak Muda," sahut kakek kecil kurus yang bernama Ki Temula
ini. Suaranya terdengar pelan. "Mungkin perlu kuberitahukan padamu, bahwa
telah enam hari lamanya aku tidak keluar dan ruang semadi. Kalau tidak percaya
pada ucapanku, kau boleh bertanya pada semua muridku yang ada di sini. Mungkin
perlu kau ketahui, Anak Muda.... Ki Gayadi adalah segala- nya bagiku. Dia tidak
hanya sekedar seorang sahabat. Bahkan boleh dikatakan kami seperti kakak adik.
Jadi kesedihanmu atas kematian gurumu itu mungkin tidak sebesar kesedihanku.
Hanya ini yang bisa kukatakan padamu. Sekarang terserah bagaimana penilaianmu.
Tapi yang jelas, aku tidak akan tinggal diam. Aku juga akan mencari orang yang
telah memakai namaku, dan membunuh sahabat terbaik- ku."
Prawira dan rekan-rekannya
terdiam. Mereka melihat adanya nada kesungguhan pada suara dan wajah kakek
kecil kurus itu. Keragu-raguan kembali melanda hati mereka. Tentu saja hal ini
membuat bingung. Kalau bukan kakek ini lalu siapa orang yang telah datang
kemarin malam itu?
Dalam kebingungannya. Prawira
menatap satu persatu rekan-rekannya. Tapi semua rekannya malah menundukkan
kepala. Makin bingungiah hati pemuda ini. Dipandangnya Dewa Arak. Dari sinar
matanya, jelas kalau dia meminta pendapat pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak mulanya tidak ingin
ikut campur, karena ini adalah urusan dalam kedua perguruan itu. Tapi ketika
Prawira memandangnya dengan sorot mata penuh permohonan, terpaksa Dewa Arak
ikut campur.
"Kalau menurut
pendapatku, jelas ada orang yang sengaja mengadu domba dengan jalan membunuh Ki
Gayadi," ucap Arya mengemukakan pendapat.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
Memang dugaan Dewa Arak masuk akal. Tapi yang masih menjadi pertanyaan, untuk
apa si pengadu domba itu melaku- kan semua ini?
"Kau yakin kalau yang
membunuh gurumu adalah aku, Anak Muda?" tanya Ki Temula pada Prawira.
Prawira yang kini sudah mereda
amarahnya menganggukkan kepala.
"Jelas sekali aku
melihatmu, Ki. Bahkan bukan hanya aku saja. Masih ada tiga orang lagi yang
melihatnya. Sayang, dua di antara mereka sudah tewas. Yang tersisa hanya aku
dan Sentanu," jawab pemuda itu sambil menunjuk pemuda berhidung besar di
sebelahnya.
Lagi-lagi kakek kecil kurus
itu menghela napas panjang.
"Matija," panggil Ki
Temula pada kakek muka kuda itu.
"Ya, Kang"
"Kau kutugaskan untuk
menyelidiki peristiwa ini. Cari, siapa pembunuh Ki Gayadi! Siapa pun dia, kalau
bisa kau tangkap hidup-hidup, bawa dia ke hadapanku! Tapi, kalau dia mati di
tanganmu, bawa mayatnya pun tidak apa-apa. Yang perlu kutegaskan adalah, kau
harus bertindak tegas. Sekalipun orang itu aku sendiri. Ingat, kebenaran tidak
mengenal tali persaudaraan! Mengerti, Matija!"
"Mengerti, Kang," sahut
kakek muka kuda itu seraya menganggukkan kepalanya.
"Bagus!"
"Kapan aku harus
berangkat, Kang?"
"Sekarang juga! Aku tidak
ingin persoalan ini menjadi berlarut-larut!" tegas Ki Temula.
"Baik, Kang!"
Setelah berpamitan pada kakak
seperguruannya dan pada Dewa Arak, Ki Matija berkelebat dari situ. Cepat bukan
main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap di balik
pagar. Memang ilmu meringankan tubuh kakek muka kuda itu hampir mencapai
tingkat kesempurnaan.
"Sekarang masalah ini
sudah kita selesaikan. Aku harap, kalian kembali ke perguruan. Aku yakin,
kedatangan kalian kemari tanpa seijin Ki Santa!" tebak Ki Temula pelan.
Prawira dan rekan-rekannya
memasukkan kembali senjata-senjata yang digenggam ke dalam sarung masing-masing
"Kami pergi dulu,
Ki," pamit Prawira.
"Silakan. O, ya. Kalau
murid-murid utamaku telah kembali, aku akan datang menjenguk ke sana. Sampaikan
salamku pada Ki Santa!"
"Akan kusampaikan,
Ki!"
Ki Temula dan Dewa Arak
memandangi kepergian murid-murid Perguruan Naga Api itu hingga lenyap di balik
pagar.
"Terima kasih, Dewa Arak.
Tanpa campur tanganmu, mungkin persoalan ini kian membesar. Dan Akibatnya
bukan hanya bagi dua perguruan saja, tapi kemungkinan besar akan merembet ke
Kerajaan Bojong Gading. Karena, banyak murid Perguruan Naga Api dan Perguruan
Garuda Sakti yang menjadi prajurit dan panglima di sana! Syukurlah, kau telah
bertindak tepat'"
"Ah! Kau terlalu
berlebihan memuji, Ki!" sambut Dewa Arak merendah.
"Ha ha ha...! Semua
berita yang kudengar cocok sekali dengan apa yang kulihat. Kau memang
mengagumkan, Dewa Arak! Mari, mari masuk...!"
Ki Temula melangkah mendahului
masuk ke dalam salah satu bangunan, diikuti Dewa Arak.Murid-murid Perguruan
Naga Api berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Lincah laksana kera,
mereka melompat ke sana kemari, menuruni lereng. Dan tak lama kemudian, mereka
pun telah memasuki hutan. Karena medan ini lebih mudah ditempuh, maka
perjalanan pun jadi lebih cepat.
Tapi, ketika mereka sampai di
tempat saat ber- papasan dengan Dewa Arak, langkah mereka serentak terhenti.
Pandangan mata mereka ter- tumbuk pada sosok tubuh yang berdiri menghadang
jalan.
Prawira dan kawan-kawannya
kaget seketika. Jelas sekali mereka mengenali sosok tubuh yang menghadang
jalan itu. Seorang kakek kecil kurus ber- pakaian kuning. Wajahnya tirus mirip
wajah seekor tikus. Siapa lagi kalau bukan wajah Ki Temula.
Melihat sikap yang dttunjukkan
Ki Temula, Prawira merasakan adanya bahaya mengancam.
Srat.. !
Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda
bertahi lalat besar di wajah itu menghunus pedangnya.
Srat.. ! Srat.. !
Adik-adik seperguruan Prawira
pun segera mengikuti tindakannya. Prawira melangkah waspada. Selangkah demi
selangkah pemuda bertahi lalat besar ini berjalan. Dan dengan demikian, jarak
di antara mereka pun semakin bertambah dekat."Maai, Ki. Mengapa kau menghadang
perjalanan kami? Apakah ada sesuatu yang hendak dibicara- kan?" tanya
Prawira. Dicobanya mengusir dugaan jelek yang muncul.
"Ha ha ha...!" kakek
kecil kurus itu tertawa. Dan secara mendadak pula dihentikan tawanya.
"Enak saja! Sehabis mengacau, dan membunuh ingin pergi begitu saja, heh!
Orang seperti kalian harus mati!"
Wajah murid-murid Perguruan
Naga Api kontan berubah hebat!
"Apa maksudmu, Ki?
Bukankah baru saja kau telah mengutus Ki Matija untuk membuat masalah ini jadi
jelas? Tapi, mengapa sekarang bersikap lain? Kami jadi tidak mengerti!"
tanya Prawira keras.
"Kalian tidak perlu
mengerti!" sergah kakek kecil kurus itu. "Yang jelas, kalian harus
mampus! Habis perkara! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Ki
Temula melesat menerjang. Kedua jari tangannya mengembang membentuk cakar
burung. Ibu jari dan kelingkingnya dilipat ke dalam. Seketika angin tajam
bersiutan nyaring mengi-ringi tibanya serangan itu.
Prawira kaget bukan main! Dia
tahu betapa dahsyatnya serangan itu. Pengalaman ketika hampir tewas di tangan
Ki Matija, telah membuatnya lebih berhati-hati. Telah dibuktikan sendiri,
betapa dahsyatnya kepandaian kakek muka kuda itu. Apalagi kepandaian kakek di
hadapannya, yang merupakan kakak seperguruan Ki Matija.
Dengan demikian, pemuda ini
tidak boleh berlaku sembrono. Serangan-serangan yang datang itu tidak
ditangkisnya, melainkan dihindari. Cepat-cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan
terus bergulingan menjauh.
Tapi Ki Temula ternyata tidak
membiarkannya lolos. Dikejarnya tubuh yang bergulingan itu dengan serangan
cakar garudanya.
Untunglah di saat kritis bagi
Prawira, datang bantuan dari adik-adik seperguruannya. Secara berbareng, tiga
orang murid Perguruan Naga Api menyerang kakek kecil kurus itu dengan tusukan
pedang.
Singgg...! Singgg...!
Singgg...!
"Keparat...!"
Ki Temula dongkol bukan main.
Terpaksa diurung- kan serangannya ke arah Prawira. Tubuhnya segera digeliatkan
sedikit, agar serangan itu tidak mengenai bagian-bagian tubuh yang berbahaya.
Kemudian secara berbareng kedua tangannya mengibas.
Takkk...! Takkk...! Takkk...!
Pedang-pedang itu meleset
ketika telak mengenai dada dan perut Ki Temula. Sepertinya yang ditusuk itu
bukanlah tubuh manusia, melainkan sebuah benda licin.
Ketiga murid Perguruan Naga
Api itu terkejut ketika tangan mereka bergetar hebat dan terasa sakit-sakit.
Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu, kibasan cakar kakek kecil kurus itu
telah menyambar ke arah mereka.
Wut.. !
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian
terdengar saling susul. Kibasan cakar Ki Temula telak merobek leher mereka.
Darah seketika menyembur dari leher mereka yang terluka. Beberapa saat lamanya
mereka menggelepar-gelepar meregang nyawa di tanah, sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi.
Prawira bangkit berdiri.
Wajahnya pucat melihat kematian tiga orang adik seperguruannya yang hanya
sekali gebrak saja. Pemuda itu tahu kalau mereka tewas karena hendak
menyelamatkannya. Hal ini membuatnya geram bukan main. Tanpa mempeduli- kan
keselamatannya lagi, Prawira segera melompat menerjang Ki Temula.
Tapi Prawira kalah cepat.
Ternyata adik-adik seperguruannya yang lain telah mendahuluinya. Secara
serentak mereka menyerang kakek kecil kurus itu dengan senjata terhunus.
Suara desing senjata mereka
mengiringi tibanya hujan serangan ke arah Ki Temula. Tapi laki-laki tua
berwajah tirus itu tenang-tenang saja, dan malah membiarkan saja serangan itu.
Baru setelah serangan itu hampir menyambar, cepat laksana kilat dia mengelak.
Tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata lawannya.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tak sulit bagi kakek kecil kurus ini
untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Sebaliknya setiap serangan balasannya,
selalu mengenai sasaran. Dan sudah dapat dipastikan, setiap serangannya selalu membuat
nyawa lawan melayang ke akhirat.
"Aaakh...!"
Suara Jerit kematian terdengar
saling susul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa nyawa. Dalam waktu sebentar
saja, sudah tujuh orang murid Perguruan Naga Api yang roboh bergelimpangan tak
bernyawa.
Memang sudah dapat diduga
kalau akhirnya hampir semua murid Perguruan Naga Api akan tewas di tangan kakek
kecil kurus yang sakti ini. Dan untung saja tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat cepat memasuki kancah pertarungan yang langsung menghujani Ki Temula
dengan serangan bertubi-tubi.
Plak...! Plak...!
Berturut turut Ki Temula
menangkis serangan orang yang baru datang itu. Akibatnya, tubuh bayangan itu
terjengkang ke belakang, sementara tubuh Ki Temula terhuyung-huyung dua langkah
ke belakang.
"Ah...!"
Ki Temula berseru kaget.
Disadari kalau penyerangnya itu memiliki tenaga dalam yang tidak kalah dahsyat
darinya.
"Mundur semua !"
teriak orang yang menyerang Ki Temula kepada sisa murid-murid Perguruan Naga
Api. Maka serentak Prawira dan sembilan rekannya berlompatan mundur. Mereka
mengenali betul pemilik suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan
Ki Temula, telah berdiri seorang kakek bungkuk berusia sekitar tujuh puluh
tahun. Kumis, Jenggot. dan cambangnya berwarna hitam. Hanya alisnya saja yang
kelihatan berwarna putih.
"Apa kabar, Santa?"
tanya Ki Temula. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman mengejek. Keter-
kejutan hatinya pun sirna tatkala mengetahui orang yang telah menangkis
serangannya. Tidak aneh kalau orang yang menyerangnya itu memiliki tenaga dalam
tinggi, karena dia adalah kakak seperguruan Ki Gayadi!
Ki Santa mengedarkan
pandangannya ke sekitar- nya. Tampak sosok-sosok tubuh murid Perguruan Naga Api
yang telah berserakan tanpa nyawa. Karuan saja hal ini membuatnya marah bukan
kepalang.
"Tidak usah banyak
basa-basi. Temula! Aku menyesal sekali, tidak mempercayai ucapan murid-
muridku. Akibatnya, kembali mereka berguguran Akibat kekejianmu! Kau harus
membalas semua kekejianmu ini dengan nyawamu, Temula!"
"Ha ha ha..! Mampukah kau
melakukannya. Santa?!" ejek kakek kecil kurus itu tajam.
"Kita lihat saja
buktinya!" sergah kakek beralis putih, yang ternyata tidak pandai
berdebat.
Setelah berkata demikian.
tubuh Ki Santa berkelebat menerjang. Sepasang kakinya melayang- kan tendangan
bertubi-tubi ke arah dada dan perut Ki Temula.
Ki Santa mengawalinya dengan
tendangan lurus kaki kanannya ke arah perut. Namun Ki Temula kelihatannya
bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi ditangkisnya tendangan itu dengan sabetan
tangan kanan. Tapi di luar dugaan, Ki Santa menarik kembali kakinya di tengah
jalan. Dan secepat itu pula dirubah menjadi sebuah tendangan miring ke arah
dada.
"Heh?!" dengus Ki
Temula.
Cepat-cepat laki-laki berwajah
tirus itu men- doyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan lawan hanya
mengenai tempat kosong. Dan saat itulah tangan kanannya bergerak cepat
melakukan totokan ke arah mata kaki Ki Santa. Keras bukan main totokan itu
sehingga menimbulkan suara angin bersiutan nyaring.
Ki Santa tentu saja tidak
ingin mata kakinya hancur oleh totokan lawan. Buru-buru ditarik kakinya
kembali, dan secepatnya mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.
Tampaknya kedua tokoh sakti itu semakin bertarung sengit. Masing-masing
berusaha menjatuhkan lawan secepatnya.
Suara angin mencicit dan
menderu, menyemaraki pertarungan dua tokoh sakti lain perguruan itu. Batu- batu
besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Ranting-ranting berpatahan di
sana-sini. Dan debu mengepul tinggi ke udara. Prawira dan kawan- kawannya
buru-buru menjauh, karena tidak berani menonton pertarungan itu dalam jarak
dekat. Jangankan terkena pukulan mereka, bahkan angin pukulannya saja sudah
cukup membuat nyawa terancam!
Ki Santa mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki, seperti ingin buru-buru mengakhiri per- kelahian ini.
Kakek ini sadar kalau lawannya mempunyai banyak keunggulan dibanding dirinya.
Memang kelihatannya Ki Temula
masih giat berlatih diri. Sedangkan Ki Santa sendiri, hampir tidak pernah lagi
melatih ilmu-ilmu yang dimiliki, kecuali hanya bersemadi. Itu pun hanya
sekedarnya saja.
Memang kakek ini sudah tidak
berniat lagi untuk mengotori tangannya dengan darah. Tapi melihat keselamatan
murid-muridnya terancam, guru mana yang sampai hati?
Memang tidak aneh jika
menginjak jurus ke seratus, napas Ki Santa mulai memburu. Otot-otot tubuhnya
yang sudah tua dan tidak pernah terlatih lagi itu, tidak kuat lagi untuk
dipakai bertanding demikian lama.
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa
terbahak-bahak melihat keadaan lawannya yang mulai kepayahan. Kakek kecil kurus
ini yakin, tak lama lagi akan dapat merobohkan lawannya.
Saking merosotnya kondisi
tubuh, maka per- lawanan Ki Santa pun semakin mengendur. Perlahan
namun pasti, kakek beralis
putih ini mulai terdesak.
Prawira dan adik-adik
seperguruannya tentu saja melihat kenyataan ini. Beberapa kali terlihat tubuh
Ki Santa terhuyung ke belakang, setiap kali menangkis serangan Ki Temula.
Sampai akhirnya....
Plak...!
"Akh...!" Ki Santa
mengeluh tertahan.
Tubuh laki-laki tua beralis
putih itu terjajar ke belakang ketika sebuah tamparan Ki Temula meng- hantam
bahunya. Seketika dirasakan sekujur tulang- tulang tangannya terasa
remuk-redam.
"Hiyaaa...!"
Ki Temula melompat menerjang.
Tangan kanannya yang berbentuk cakar Garuda dijulurkan ke depan, ke arah ulu
hati Ki Santa. Terdengar angin bersiutan nyaring mengiringi tibanya serangan
cakar itu.
Sepasang mata Ki Santa
terbelalak lebar. Kelihatannya kondisi tubuhnya yang sudah lelah. Tidak
memungkinkan untuk menangkis atau mengelakkan serangan itu. Yang dapat dilakukan
hanyalah menanti datangnya maut dengan mata terbuka lebar.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
"Hih... "
Sambil berteriak nyaring, tiga
sosok tubuh berkelebat memotong laju serangan Ki Temula. Mereka tidak lain
adalah murid-murid Perguruan Naga Api yang secara nekad menyerang kakek
berwajah tirus. Tampak tiga batang pedang pun berkelebat cepat mencari sasaran,
menuju ke bagian- bagian tubuh yang mematikan.
"Jangan...!" teriak
Ki Santa mencegah. Kakek beralis putih ini tahu akibat yang akan dihadapi tiga
orang muridnya bila mencoba memotong serangan Ketua Perguruan Garuda Sakti.
Sementara itu, Ki Temula
kelihatan geram dan marah bukan main melihat tindakan tiga orang itu. Terpaksa
diurungkan niatnya menyerang Ki Santa. Segera kedua tangannya berputaran cepat.
Maka...
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
"Aaa.!"
Terdengar jerit kematian yang
saling susul. Sedangkan Ki Santa memandang dengan mata membelalak. Hampir saja
air matanya menetes melihat robohnya tiga sosok tubuh murid yang telah
menyelamatkan nyawanya. Kepala mereka semua remuk terkena cakar maut Ki Temula.
"Ha ha ha...! Kini
giliranmu, Santa! Ingin kulihat, siapa yang akan menyelamatkanmu kali ini!
Hiya...!"
Ki Temula meluruk menerjang Ki
Santa. Kedua tangannya yang berbentuk cakar menyerang ke arah ubun-ubun dan
dada kakek beralis putih itu.
Tapi sebelum Ki Santa berbuat
sesuatu, sesosok bayangan ungu telah lebih dulu melesat memapak serangan itu.
Prarrt...!
Tubuh kedua orang itu
sama-sama terjengkang ke belakang. Sedangkan Ki Temula kaget bukan main. Sekujur
tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan dadanya pun terasa sesak. Sadarlah
kakek kecil kurus berwajah tikus itu kalau orang yang baru datang ini memiliki
tenaga dalam sangat tinggi.
"Dewa Arak...!"
dengus Ki Temula tajam ketika melihat sosok pemuda berambut putih keperakan di
hadapannya.
Ki Temula sadar, keberadaan
Dewa Arak di situ jelas akan membuat kedudukannya tidak menguntungkan. Rasanya
bodoh kalau dia masih memaksakan diri untuk melawan pemuda berbaju ungu itu.
Mungkin kalau menghadapi Dewa Arak saja, dia tidak gentar. Tapi di sana masih
ada Ki Santa!
Maka, sebelum Dewa Arak sempat
berbuat sesuatu, tangannya segera bergerak ke balik jubah- nya. Dan secepat
tangan itu keluar, secepat itu pula berhamburan puluhan batang jarum halus ke
arah Arya. Bersamaan dengan itu, tubuh kakek berwajah tirus itu melesat pergi
dari situ.
Dewa Arak kaget bukan main.
Serangan itu sama sekali di luar dugaannya. Memang, bagi Dewa Arak tidak sulit
untuk mengelakkan serangan itu dan terus mengejar Ki Temula. Tapi, Dewa Arak
tidak ingin mengambil resiko. Kalau serangan itu dielakkan, bukan tidak mungkin
akan membawa korban murid- murid Perguruan Naga Api, atau Ki Santa. Dan Arya
tidak ingin hal itu terjadi. Segera dikeluarkan jurus yang jarang digunakannya,
jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss..!
Angin berhawa panas menyambar
deras dan langsung memukul runtuh jarum-jarum yang dilepaskan Ki Temula. Tapi
begitu jarum-jarum itu jatuh ke tanah, kakek kecil kurus itu telah lenyap dari
situ.
Dewa Arak memang tidak berniat
mengejarnya, karena disadari kalau hal itu tidak ada gunanya. Hutan ini cukup
lebat, lagi pula lawannya telah lenyap. Merupakan suatu pekerjaan amat sulit
dan berbahaya jika melakukan pengejaran, karena lawan dapat saja membokongnya
dari belakang!
Ki Santa memandang takjub
terhadap Dewa Arak Dari adu tenaga tadi, dan pukulan berhawa panas yang
dilepaskan, dapat diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan ini memiliki
kepandaian tinggi.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Ki Santa.
Walaupun kakek ini belum
pernah melihat Arya, tapi dia segera dapat mengenalinya. Memang, nama besar
Dewa Arak telah sampai ke Kerajaan Bojong Gading. Kini rasa lelahnya telah
menghilang. "Kalau tidak ada dirimu, mungkin hari ini aku hanya tinggal
nama saja," sambung Ki Santa merendah.
"Ah! Jangan berterima
kasih kepadaku, Ki. Berterima kasihlah pada Gusti Allah. Aku hanya
perantara-Nya. Gusti Allah-lah yang telah menuntun langkahku kemari."
Ki Santa tersenyum.
Kekagumannya pada Dewa Arak pun semakin bertambah tebal. Jelas, pemuda ini
tidak mempunyai sifat sombong! Ini nampak dari tindak-tanduknya.
"Kau benar, Dewa
Arak," dukung Ki Santa. "Hhh...! Sungguh tidak kusangka kalau Ki
Temula bisa sekeji ini... "
"Maaf, Ki Aku tidak
sependapat denganmu," sergah Arya pelan, seraya mengerutkan keningnya.
"Aku yakin bukan Ki Temula pelaku semua pem- bunuhan keji ini. Masalahnya
belum lama ini aku juga habis dari Perguruan Garuda Sakti dan berbincang-
bincang dengan Ki Temula."
Mendengar pernyataan ini, Ki
Santa tersentak. Rasanya memang ada yang tak beres dalam persoalan ini. Ingatan
laki-laki beralis putih itu tiba- tiba terarah pada seorang tokoh hitam yang
menjadi musuh Ki Gayadi, adik seperguruannya itu. Namun di lain hal, dia malah
jadi sangsi. Ya! Mengapa orang itu begitu sempurnanya memainkan ilmu 'Cakar
Garuda'? Sungguh suatu persoalan yang rumit!
"Hhh.. !" Ki Santa
menghela napas.
"Bisa kuterima
ketidakpercayaanmu, Dewa Arak. Semula aku juga tidak percaya ketika mendengar
berita itu dari Branta. Bahkan Branta juga telah melarang mereka untuk
bertindak brutal seperti ini. Tapi sungguh tidak kusangka kalau mereka pergi
juga secara sembunyi- sembunyi. Khawatir masalah itu akan bertambah runyam,
maka aku segara menyusul kemari. Untung saja kedatanganku tepat pada waktunya.
Kalau tidak... , hhh... ! Sukar dpercaya ... "
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Tadi, Aki mengatakan
kalau mulanya tidak percaya bahwa pembunuh Ki Gayadi itu adalah Ki
Temula?"
"Benar," jawab kakek
berahs putih itu singkat "Apa alasannya untuk tidak mempercayai?"
kejar Dewa Arak lagi.
"Karena aku tahu kalau Ki
Temula adalah sahabat akrab adik seperguruanku "
"Hanya itu saja,
Ki?"
"Masih ada satu alasan
lagi, Dewa Arak," sahut Ki Santa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
"Apa itu, Ki," desak
Dewa Arak penuh gairah.
"Kami. Maksudku, Ki
Gayadi dan Ki Temula dulu mempunyai musuh yang mempunyai keahlian menyamar.
Sudah lama dia mendendam pada kedua orang itu, tapi tidak pernah berhasil
terlampiaskan"
"Siapa dia, Ki?"
tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Peri Muka Seratus."
"Peri?" kening Dewa
Arak berkernyit.
"Benar!" tegas kakek
beralis putih itu. "Kabarnya dulu dia adalah seorang wanita berwajah
cantik, sehingga orang memberi julukan peri."
"Hm...," gumam Dewa
Arak. Kepalanya terangguk- angguk. "Lalu mengapa sekarang pendirianmu
berubah, Ki? Maaf, bukannya aku sok tahu. Tapi dari nada bicaramu, sepertinya
kini kau percaya kalau pembunuh Ki Gayadi justru adalah Ki Temula."
Ki Santa menatap wajah Dewa
Arak tajam-tajam. Sepasang bola matanya merayapi sekujur wajah pemuda tampan
berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya ini.
"Peri Muka Seratus memang
memiliki kepandaian tinggi. Tapi rasanya tidak mungkin kalau sampai menguasai
ilmu milik Perguruan Garuda Sakti. Apalagi memainkan ilmu 'Cakar Garuda' begitu
sempurna. Menyamar wajah orang dia memang bisa. Tapi memainkan ilmu orang yang
disamarinya dengan begitu sempurna, jelas tidak mungkin dapat
dilakukannya!" tandas Ki Santa.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Perlu kau ketahui, Dewa Arak," sambung kakek alis putih
itu lagi. "Hanya ada dua orang yang menguasai Ilmu 'Cakar Garuda'. Yang
pertama Ki Matija, dan kedua Ki Temula!
Sementara, orang yang tadi
bertempur denganku mempergunakan Ilmu 'Cakar Garuda'. Dan memainkannya demikian
sempurna. Nah! Dari pertempuran tadi, aku yakin kalau Ki Temula pembunuh adik
seperguruanku!"
Dewa Arak menghela napas
panjang. Memang dia sendiri pun tadi melihat jelas kalau orang yang menyerang
Ki Santa adalah Ki Temula. Tapi, bukankah belum lama ini dia habis berbincang-
bincang dengan Ki Temula? Dan kelihatannya, kakek muka tirus itu menolak
mentah-mentah jika dituduh membunuh Ki Gayadi.
"Prawira...'"
panggil Ki Santa keras.
"Ya, Paman Guru,"
sahut pemuda bertahi lalat itu cepat, seraya melangkah mendekati kakek beralis
putih itu.
"Kau dan Sentanu kembali
ke perguruan. Katakan pada Branta agar segera kemari bersama seluruh murid.
Kita akan menyerbu Perguruan Garuda Sakti untuk membalas dendam!"
"Ki..!" teriak Arya
kaget. Ditatapnya tajam-tajam wajah kakek berahs putih itu. Tapi Ki Santa sama
sekali tidak mempedulikannya.
"Cepat, Prawira...!"
perintah Ki Santa lagi.
Pemuda bertahi lalat ini tidak
bisa membantah. Bersama Sentanu, dia segera melesat meninggalkan tempat itu.
Tapi belum begitu jauh mereka pergi, tiba- tiba sesosok bayangan ungu melesat
menghadang. Sesaat kemudian, di hadapan kedua orang muda itu telah berdiri Dewa
Arak.
"Tunggu
sebentar...!" seru Dewa Arak mencegah. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Seketika Prawira dan Sentanu
menahan langkahnya. Dengan pandangan meminta pertimbangan, mereka menoleh ke
arah Ki Santa. Kakek beralis putih ini melangkah maju.
"Kuakui, aku dan seluruh
murid Perguruan Naga Api yang ada di sini, berhutang nyawa padamu, Dewa Arak.
Tapi, hal itu tidak berarti kau seenaknya ikut campur urusan ini! Ini urusan
dalam perguruan, Dewa Arak. Urusan kehormatan! Kehormatan bagi kami lebih
daripada nyawa. Aku berjanji, atas nama Perguruan Naga Api, akan membalas
budimu!"
Keras dan tajam sekali
kata-kata yang keluar dari mulut kakek beralis putih itu. Bahkan wajah Dewa
Arak pun jadi merah padam. Arya memang paling tidak suka kalau ada orang yang
mengungkit-ungkit pertolongan yang diberikan tanpa pamrih itu. Apalagi dengan
nada kasar begitu!
"Aku kecewa sekali
melihat sikapmu, Ki. Jadi memang pantas kalau adik seperguruanmu yang menjadi
Ketua Perguruan Naga Api, dan bukan dirimu! Sebab, wawasan pikiranmu terlalu
sempit! Hanya amarah dan dendam saja yang kau ikuti! Kau tentu tahu, Akibat apa
yang terjadi karena keputusanmu ini. Perang saudara! Apakah kau ingin hal itu
terjadi? Kalau ingin, silakan! Silakan turuti amarahmu itu! Dan si pembunuh
sebenarnya, pasti akan bersorak-sorak di belakang tengkukmu!"
Napas Dewa Arak
terengah-engah. Ucapan yang didorong karena harga dirinya tersinggung, dan
kecemasan akan terjadinya sesuatu yang mengeri- kan, membuat ucapannya begitu
berapl-api. Bahkan terdengar kasar dan keras.
Kepala Ki Santa bagai tersiram
seember air es. Ucapan Dewa Arak menyadarkan dan meredakan amarahnya yang
menggelegak.
Amarahnya memang telah sampai
ke ubun-ubun. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat
untuk mendinginkan kepalanya yang dirasakan panas terbakar amarah.
"Jadi menurutmu...,
kudiamkan saja semua peng- hinaan yang dilakukan Ki Temula itu padaku?!"
Dewa Arak tersenyum pahit.
"Jangan salah mengerti,
Ki. Terus terang ku- katakan padamu, aku tidak membela pihak mana pun dalam hal
ini Aku hanya ingin meluruskan keadaan yang sebenarnya. Kalau ternyata terbukti
Ki Temula yang bersalah, terserah tindakanmu. Kau berhak melakukan pembalasan,
dan aku akan berada di belakangmu! Tapi dalam persoalan ini. aku melihat adanya
banyak kejanggalan. Terutama pertarungan- mu dengan orang yang kau anggap
sebagai Ki Temula!"
"Kejanggalan?!"
tanya Ki Santa. Kening kakek ini berkernyit dalam. "Boleh kutahu, di mana
kejang- galannya, Dewa Arak?"
"Tentu saja, Ki, Malah
kau harus tahu. Karena kaulah orang yang paling berkepentingan dalam hal
ini!"
Kakek beralis putih itu hanya
tersenyum hambar.
"Boleh kutahu, sudah
berapa jurus kau dan Ki Temula bertempur?"
Ki Santa mengerutkan alisnya
yang putih. Nampak jelas kakek ini tengah mengingat-ingat.
"Kira-Kira... seratus
jurus."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Waktu yang cukup lama.
Apalagi, sebelum bertempur denganmu pembunuh itu juga telah bertempur dengan
murid-muridmu. Berarti sudah lama sekali dia berada di sini. Padahal.... aku
baru saja pamit pada Ki Temula untuk mencoba menyingkap rahasia ini."
Wajah Ki Santa seketika
berubah hebat.
"Jadi..., kau baru saja
dari sana, Dewa Arak?!"
"Benar!"
"Lalu..., kalau bukan Ki
Temula, siapa orang yang membunuh adik seperguruanku dan murid-murid-
nya?" tanya kakek beralis putih ini. Kedengarannya, memang bodoh sekali
pertanyaan itu.
"itulah yang harus kita
selidiki, Ki!" sahut Dewa Arak tegas. "Sekarang kau bisa memaklumi
tindakanku yang mencegah keputusanmu tadi, Ki?"
"Hhh...!" Ki Santa
menghela napas panjang. "Maafkan atas kekasaran ucapanku tadi, Dewa
Arak."
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Tidak ada yang perlu di
maafkan, Ki. Seharusnya akulah yang meminta maaf padamu. Ucapanku terlalu
kasar tadi."
"Tapi, kadang-kadang
sikap kasar pun diperlukan juga, Dewa Arak."
"Ya, Kira-Kira
begitu...," desah Arya. "O, ya. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan,
Ki?"
Ki Santa termenung beberapa
saat lamanya.
"Menyuruh semua muridku
kembali ke perguruan dan tidak melakukan perbuatan apa pun sampai keadaan
menjadi tenang. Hhh...! Terpaksa aku harus turun tangan untuk menyingkap
rahasia ini."
"Apakah tidak sebaiknya
diwakilkan padaku, Ki?" tanya Dewa Arak menawarkan bantuan.
"Bersantai-santai saja di
perguruan, sementara kau bersusah payah menyelidikinya? Tidak, Dewa Arak! Sudah
terlalu banyak kau menanam budi pada kami! Dan, aku tidak ingin menumpuk
budimu, sehingga kami tidak mampu membayarnya."
Dewa Arak menghembuskan napas
panjang. "Aku mohon, jangan sebut-sebut lagi tentang budi, Ki! Aku
menolong secara sukarela, tanpa pamrih!" tandas Arya tegas.
Ki Santa menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu Dewa Arak.
"Sikapmu inilah yang
lebih menimbulkan ke- kaguman di hatiku daripada kepandaian yang kau miliki,
Dewa Arak. Jarang orang seusiamu yang memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus
mempunyai sifat arif sepertimu!" puji kakek beralis putih itu.
"Ah! Kau memang pandai
sekali memuji orang, Ki," elak Arya malu-malu. "O, ya. Aku pergi
dulu, Ki!"
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak meng- gerakkan tubuhnya. Kelihatannya seperti melangkah saja. Tapi
hebatnya, dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah berada lebih sepuluh tombak
dari tempat semula. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan
semak-semak dan pepohonan yang lebat.
"Bukan main...!"
desah Ki Santa dengan mata memancarkan kekaguman. Sepasang matanya masih saja
menatap lurus ke depan, sekalipun tubuh Dewa Arak telah tidak terlihat lagi.
"Pemuda luar
biasa...," desah kakek itu lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sebentar kemudian, Ki Santa
telah memerintah- kan murid-murid Perguruan Naga Api yang masih tersisa untuk
menguburkan eman teman mereka yang tewas. Dan setelah pekerjaan itu selesai. Ki
Santa dan murid-muridnya pun berkelebat meninggal- kan tempat itu.Siang baru
saja merambat menuju senja, ketika sosok bayangan ungu berkelebat cepat
menyusuri Lereng Gunung Munjul. Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, tidak berapa lama kemudian bayangan ungu yang
ternyata Dewa Arak sudah berada di depan pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti.
Dan tentu saja kedatangannya segera diketahui oleh dua orang murid perguruan
yang tengah berjaga-jaga.
"Ah...! Kiranya Dewa
Arak. .," desah salah seorang penjaga. Nada suaranya menyiratkan perasaan
lega. Memang, semula begitu melihat sesosok tubuh yang melesat cepat ke arah
perguruan, hati dua orang murid ini sudah merasa tegang. Tidak aneh, karena
baru saja perguruan mereka telah diserbu.
"Ki Temula ada?"
tanya Arya cepat.
"Ada Silakan masuk, Dewa
Arak." sahut salah seorang penjaga, kemudian mengantarkan Arya ke dalam.
Mereka lalu bersama-sama menuju ruang utama perguruan.
Tentu saja kedatangan Dewa
Arak mengejutkan Ki Temula, yang saat itu tengah duduk menyendiri di ruang
utama. Sebuah ruangan yang tertata apik, walaupun berdinding papan. Pada tiap
sisi dinding, dihiasi senjata-senjata kebanggaan perguruan.
Sementara itu, Ki Temula
bergegas menghampiri Dewa Arak dengan benak dipenuhi tanda tanya. Masalahnya,
pemuda berambut keperakan itu belum lama pamit dari sini. Dan sekarang, dia
kembali lagi.Apakah ada sesuatu yang tertinggal?
"Ada apa, Arya?
Bukankah..."
"Aku ingin bicara, Ki.
Ada persoalan yang amat penting," potong Dewa Arak, melihat keheranan yang
membayang di wajah kakek kecil kurus itu tatkala melihat kedatangannya.
"Mari. Kita bicara di
dalam," ajak Ketua Perguruan Garuda Sakti ini seraya melangkah masuk lebih
dulu. Tanpa banyak bicara, Arya segera mengikutinya.
"Sekarang katakan apa
yang ingin kau bicarakan, Arya?" tanya Ki Temula setelah mereka duduk
berdua di sebuah ruangan dalam yang sepi. Dewa Arak memang telah meminta agar
kakek kecil kurus itu memanggil nama saja, bukan julukannya.
Dewa Arak mendehem sebentar,
kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi di hutan di kaki Gunung Munjul
ini. Dari mulai pertarungan antara Ki Santa dengan kakek kecil kurus yang
wajahnya mirip Ki Temula, sampai pada keputusan Ki Santa yang hendak menyerang
markas Perguruan Garuda Sakti secara besar-besaran. Untunglah niatan itu
berhasil dicegahnya.
"Ahhh...!" desah Ki
Temula.
Perasaan kaget yang amat
sangat nampak jelas di wajah laki-laki berwajah tikus itu. Tapi meskipun
demikian, sorot matanya memancarkan kegembiraan. Bukankah kini dia telah bebas
dari tuduhan?
"Sungguh tidak kusangka,
persoalan telah menjadi segawat ini.... Untung ada kau, Arya. Sehingga,
kesalahpahaman ini dapat diatasi. Bukankah dari kejadian ini mereka tahu kalau
aku bukan pelaku pembunuhan itu?" lanjut Ki Temula.
"Memang, kecurigaan
mereka padamu sudah agak pupus, Ki. Tapi, tetap saja masih ada satu ganjalan
lagi yang membuatku dan Ki Santa merasa heran...," ujar Arya seraya
mengerutkan keningnya.
"Apa itu, Arya?
Katakanlah...! Barangkali saja dapat kubantu," pinta Ki Temula. Kembali
perasaan tidak enak melanda hatinya. Sikap Dewa Arak itulah yang membuatnya
demikian.
Dewa Arak menatap kakek kecil
kurus di depannya tajam-tajam. Sepasang matanya merayapi sekujur wajah kakek
itu, seolah-olah dengan cara begitu masalah yang membingungkan hatinya bisa
ter- singkap.
"Pembunuh itu menguasai
seluruh ilmu per- guruanmu, Ki. Bahkan ilmu 'Cakar Garuda' pun dikuasainya.
Padahal Ki Santa mengatakan bahwa hanya kau dan adik seperguruanmu yang
menguasai ilmu itu. Ini yang masih menjadi teka-teki buatku, Ki."
"Benar kata-katamu ini,
Arya?" tanya kakek kecil kurus ini meminta kepastian.
Dewa Arak mengernyitkan
keningnya. Tidak enak hatinya mendapat pertanyaan seperti itu. Terasa seperti
adanya nada ketidakpercayaan dalam suara kakek itu.
"Perlukah bersumpah,
Ki?" sindir Dewa Arak
Wajah Ki Temula memerah. Bisa
dimaklumi ketidaksenangan hati pemuda di hadapannya ini.
"Maaf, Arya. Tentu saja
tidak perlu sampai seberat itu. Ahhh...! Tapi.... maksudku. kuharap kau bisa
memakluminya. Berita yang kudengar ini terlalu mengejutkan hatiku "
"Jadi, benar yang
dikatakan Ki Santa itu, Ki?" desak Dewa Arak.
Perlahan-lahan kepala Ki
Temula mengangguk.
"Jadi..., Kini tinggal Ki
Matijalah sebagai tertuduh itu, Ki," ujar Dewa Arak.
"Bisa kumaklumi
kecurigaanmu itu, Arya," ucap kakek itu pelan.
"Ada satu hal lagi yang
membuatku curiga pada nya, Ki!" sambung Arya.
"Apa itu, Arya. Katakan
saja, jangan ragu-ragu...," desak Ki Temula.
"Sikap Ki Matija yang
terlalu telengas! Aku melihat sendiri, Ki. Betapa mudahnya dia menurunkan
tangan maut pada murid-murid Perguruan Naga Api!"
"Memang sudah menjadi
sifatnya, Arya," jelas Ki Temula. "Adik seperguruanku itu memang
mempunyai sifat aneh. Apabila orang berbuat baik padanya, dia akan membalas
dengan kebaikan melebihi yang diterimanya. Demikian pula jika orang
menyakitinya, pembalasan yang dilakukannya lebih pula. Dia mempunyai sifat
angin-anginan. Mudah marah, tapi mudah pula memaafkan orang."
"Jadi..., dengan kata
lain... Aki tidak sependapat denganku?" tanya Dewa Arak meminta ketegasan.
Ki Temula termenung sejenak.
"Yahhh.... Kira-kira
begitu, Arya. Tidak mungkin kalau Matija adalah pelaku semua pembunuhan keji
itu," Jawab Ki Temula tegas.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
panjang dan berat, dan keningnya berkernyit. Ketegasan kata-kata kakek kecil
kurus itu membuatnya agak bingung.
"Kalau bukan Aki atau Ki
Matija..., lalu siapa lagi? Masih adakah orang lain yang menguasai ilmu 'Cakar
Garuda' selain dirimu dan Ki Matija, Ki?"
Ki Temula menggelengkan
kepalanya.
"Tidak ada. Hanya aku dan
Matija yang menguasai ilmu 'Cakar Garuda'. Eh, tapi..!"
"Ada apa, Ki?" tanya
Dewa Arak. Kaget juga pemuda ini, melihat kakek kecil kurus ini menghentikan
ucapannya begitu tiba-tiba. Wajah Ki Temula berubah dan keningnya berkernyit
dalam. Rupanya memang ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
Ki Temula menatap tajam Dewa
Arak. Sedangkan yang ditatap bersikap tenang-tenang saja.
"Kau mau berjanji untuk
tidak memberitahukan pada orang lain, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu.
Pelan sekali suaranya.
Dewa Arak tercenung sebentar.
Dibalasnya pandang mata Ketua Perguruan Garuda Sakti ini tak kalah tajam. Ada
perasaan curiga di hatinya, melihat sikap Ki Temula yang seperti menyembunyikan
sesuatu. Sementara itu Ki Temula juga menyadari adanya kecurigaan pemuda
berambut putih keperakan di depannya.
"Jangan salah paham,
Arya. Bukan maksudku ingin menyembunyikan sesuatu. Tapi..., ini lain... Rahasia
perguruan. Tanpa adanya janjimu, aku terpaksa tidak berani mengatakannya."
"Meskipun karena sikapmu
itu akan semakin banyak korban berjatuhan, Ki?" sindir Dewa Arak.
Ki Temula tersentak sehingga
mengerutkan alisnya.
"Korban?! Apa maksudmu,
Arya?" tanya Ki Temula. Sepasang matanya merayapi wajah Dewa Arak penuh
selidik.
"Maaf, Ki. Tanpa Aki
teruskan pun sudah dapat kuduga bahwa ada orang ketiga yang menguasai ilmu-ilmu
Perguruan Garuda Sakti, termasuk 'Cakar Garuda'! Dan orang itu adalah, apa yang
dijadikan sebagai rahasia perguruan," tebak Arya. "Bukan tidak
mungkin kalau orang ketiga itulah yang memfitnah Aki selama ini!"
"Tidak mungkin!"
bantah Ki Temula keras seraya bangkit dari duduknya.
"Mengapa tidak mungkin?
Aki terlalu menutup- nutupi persoalan. Padahal masalah ini sudah terlalu
berlarut-larut. Bahkan pertumpahan darah hanya tinggal menunggu waktu saja.
Pembunuh itu jelas, orang dalam Perguruan Garuda Sakti!" tegas Dewa Arak
bernada menuduh.
"Jaga mulutmu, Dewa
Arak!" teriak Ki Temula keras. Sepasang mata kakek ini berkilat-kilat
memancarkan sinar kemarahan. Dalam kemarahan- nya, Ki Temula tidak memanggil
pemuda di hadapannya dengan namanya.
"Lalu kalau bukan orang
dalam Perguruan Garuda Sakti, siapa lagi yang mampu memainkan semua ilmu
perguruan ini? Terutama sekali ilmu 'Cakar Garuda'! Pikirlah, Ki!" balas
Dewa Arak tak kalah keras.
Ki Temula terdiam.
Perlahan-lahan kakek kecil kurus ini kembali duduk di tempatnya.
"Bukan hanya kau yang
bingung, Arya. Aku pun dilanda perasaan yang sama," keluh Ki Temula, mulai
reda amarahnya.
"Hanya dengan
keterusterangan Aki, persoalan ini mungkin bisa terungkapkan. Mengapa Aki yakin
kalau orang ketiga ini tidak mungkin melakukannya?" tanya Dewa Arak. Juga
lunak dan pelan suaranya.
Ki Temula menghela napas
panjang. Nampak jelas kakek ini merasa berat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Baiklah, Ki. Aku
berjanji tidak akan memberitahu- kan cerita ini kepada siapa pun," desah
Dewa Arak mengalah.
Ki Temula tersenyum mendengar
janji Dewa Arak.
"Puluhan tahun yang
lalu," tutur kakek itu memulai ceritanya. "Guruku mempunyai tiga
orang murid. Kerpala sebagai murid tertua, lalu aku, dan Matija. Kami bertiga
memang memiliki bakat menonjol. Tak aneh, kalau semua ilmu guru bisa dikuasai
dengan cepat. Tapi sayang, Kakang Kerpala tergelincir ke jalan sesat, sehingga
Guru terpaksa mengutusku dan Matija untuk membawanya pulang. Hanya sayang
Kakang Kerpala waktu itu menolak, sehingga terpaksa aku dan Matija membawanya
pulang dengan kekerasan. Maka Guru pun menghukumnya dengan hukuman seumur
hidup."
"Jadi...," gumam
Dewa Arak yang mulai paham keadaan sebenarnya.
"Ya. Sampai sekarang dia
masih berada dalam ruang hukuman," keluh Ki Temula.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Itulah sebabnya, mengapa
aku tidak percaya ketika kau menyatakan kecurigaanmu padanya," sambung
kakek itu lagi .
"Bisa kulihat ruang
hukuman itu, Ki?" tanya Arya meminta.
Ki Temula tersentak kaget dan
beberapa saat lamanya termenung. Tampak jelas kalau kakek ini tengah
menimbang-nimbang. Ditatapnya lagi wajah Dewa Arak tajam-tajam, kemudian
pelahan tapi pasti kepalanya terangguk pelan.
"Mari kuantar ke sana,
Arya," ajak Ki Temula pada pemuda berambut putih keperakan itu sambil
bangkit dari duduknya. Maka Dewa Arak pun bangkit dan berjalan mengikuti Ki
Temula.
"Inilah ruang tahanan
itu, Arya," jelas Ki Temula menunjukkan sebuah ruangan berukuran dua
tombak kali dua tombak yang terpisah jauh dari bangunan- bangunan lainnya.
Dinding-dindingnya terbuat dari batu cadas yang amat tebal. Sementara pintunya
terbuat dari batangan baja bulat sebesar paha.
Dewa Arak memperhatikan ruang
tahanan ini. Ruang tahanan ini ternyata tidak dibuat manusia, melainkan secara
alami. Hanya pintu ruang tahanan itu saja yang dibuat tangan manusia.
Setelah memeriksa beberapa
saat, tahulah Dewa Arak kalau tidak mungkin membobol ruang tahanan ini dengan
kekerasan. Dinding ruang itu terlalu tebal, dan tak akan mungkin dapat
dihancurkan tangan manusia.
Begitu pula pintunya yang
terbuat dari baja yang amat kuat. Mungkin orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi bisa mendobraknya. Hanya saja, sebelum pintu ini didobrak, terlebih
dahulu atap ruangan itu yang runtuh. Dan, orang yang hendak menjebol pintu itu
lebih dulu akan mati terkubur.
Perhatian Dewa Arak ini. Kini
beralih pada jeruji- jeruji baja itu. Dengan seksama, diamat-amatinya
jeruji-jeruji itu karena barangkali ada tanda-tanda pernah dibengkokkan secara
paksa. Tapi kembali Arya kecewa. Ternyata batang-batang jeruji itu mulus semua,
tidak ada tanda-tanda pernah dibengkokkan secara paksa.
Di dalam ruang tahanan yang
lebih patut disebut gua tahanan itu, tampak meringkuk seorang kakek kecil
kurus. Wajahnya berwarna hitam. Dan tangan dan kakinya terlilit gelang-gelang
baja yang disambung dengan rantai baja yang besar dan kuat. Sepertinya, yang
diikat itu bukan manusia melainkan binatang tak berdaya.
"Bagaimana, Arya?"
tanya Ki Temula yang sejak tadi memperhatikan Dewa Arak meneliti tempat itu.
Ada nada kemenangan dalam suaranya.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas panjang. "Rasanya memang tidak mungkin Ki Kerpala bisa
keluar dari sini...."
"Itulah sebabnya mengapa
aku tidak sependapat denganmu, Arya!"
"O ya, Ki. Apakah kau
sering menjenguknya?" tanya Dewa Arak tiba-tiba.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Tidak. Aku datang
menjenguknya tiga hari sekali. Itu pun hanya untuk membawakan makanan."
"Kapan, Ki?" kejar
Dewa Arak lagi.
"Malam atau siang?"
"Pagi," jawab kakek
itu singkat.
Sekali lagi Dewa Arak menatap
ke dalam ruang tahanan. Tampak kakek kecil kurus berwajah hitam itu masih saja
memejamkan mata. Mungkin sedang tidur.
"Aku rasa sudah cukup,
Ki," ucap Dewa Arak "Dan terima kasih atas kesediaan Aki memenuhi
per- mintaanku."
"Tidak perlu berterima
kasih, Arya. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Kau yang sama sekali
tidak mempunyai sangkut-paut dalam hal ini, tapi secara suka rela campur
tangan...," sergah Ki Temula sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Memang itu sudah menjadi
tekadku sejak mempelajari ilmu silat, Ki," jelas Dewa Arak
"Ha ha ha...!" Ki
Temula tertawa terbahak-bahak. "Kau luar biasa, Arya. Sebenarnya bukan
hanya kau saja yang mempunyai tekad seperti itu. Tapi sayangnya begitu telah
merasa cukup, mereka pun lupa akan tekadnya!"
Dewa Arak hanya tersenyum
saja.
"Aku pergi dulu,
Ki," pamit Dewa Arak. Lama-lama rasanya memang risih juga dipuji
terus-menerus. Seketika tubuhnya pun melesat. Cepat bukan main gerakannya,
sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya sebuah titik yang semakin lama
semakin mengecil dan akhirnya
lenyap di kejauhan.
***
Malam mulai jatuh menyelimuti
bumi ketika dari lereng Gunung Munjul, melesat sesosok bayangan kuning. Cepat
sekali gerakannya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan kuning yang
bergerak cepat ke kaki gunung.
Suasana malam yang gelap membuat
wajah sosok bayangan kuning itu sukar dikenali. Yang terlihat hanyalah tubuhnya
yang kecil kurus.
Cukup lama juga tubuh kecil
kurus ini berlari, sehingga hutan di kaki Gunung Munjul pun telah jauh di
belakangnya. Dan tiba-tiba larinya dihentikan di depan sebuah rumah berdinding
bilik. Kemudian dilangkahkan kakinya mendekati pintu rumah itu. Tapi baru saja
kakinya melangkah masuk sebuah suara telah menyambutnya.
"Mengapa lama sekali,
Kakang?"
Sosok tubuh kecil kurus itu
menatap ke arah pemilik suara. Tampak seorang wanita setengah baya berpakaian
biru tengah duduk di sebuah bangku. Rambutnya digelung ke atas, dan di
punggungnya tersampir sebatang pedang. Orang itu dikenal betjuluk Peri Muka
Seratus. Di samping wanita itu juga duduk seorang laki-laki.
"Keadaan menghendaki
demikian, Komala," jawab laki-laki kurus itu sambil memandang Peri Muka
Seratus. Wanita itu memang mempunyai nama asli Komala. Kemudian sepasang
matanya beralih, pada seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun dan berpakaian
indah. Dia juga tengah duduk di sebelah Peri Muka Seratus.
"Bagaimana usahamu, Kang?
Berhasil...?" tanya laki-laki berpakaian indah itu, sambil menatap sosok
tubuh kecil kurus yang kemudian duduk di hadapannya.
Laki-laki kecil kurus hanya
menghela napas panjang.
"Sayang sekali, Adi
Pradipta," desah laki-laki kurus yang ternyata seorang kakek, pelan
bernada keluhan.
Wajah laki-laki setengah baya
yang dipanggil Pradipta seketika berubah. Dia adalah seorang adipati di
Kadipaten Tasik.
"Jadi..., usahamu gagal,
Kang?" terdengar ada nada kekecewaan dari ucapan Pradipta.
"Gagal sih, tidak. "
"Lalu...?" desak
Pradipta.
"Tidak berjalan sesuai
rencana kita," jelas kakek kecil kurus.
"Hm...," gumam
Adipati Pradipta sambil meng- angguk-anggukkan kepalanya.
"Seseorang telah ikut
campur tangan dalam urusan ini! Kalau tidak, mungkin semua berjalan sesuai
rencana!" tambah si kakek kecil kurus.
"Keparat!" maki Peri
Muka Seratus. "Siapa orang yang usilan itu, Kang? Sudah kau singkirkan
dia?"
"Belum, Komala,"
jawab kakek kecil kurus itu seraya menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Kang?! Bereskan
saja orang itu, sebelum mengacaukan rencana Kita selanjutnya!" selak
Pradipta.
"Orang itu memiliki
kepandaian tinggi, Adi. Aku sendiri ragu, apakah sanggup menghadapinya."
"Kau kenal orang itu,
Kang?" tanya Pradipta. Mulai melunak suaranya.
"Kenal sih, tidak. Tapi
berita mengenai kepandaiannya yang tinggi, sudah sering kudengar," jelas
kakek itu,
"Jadi, kau belum pernah
bertempur dengannya, Kang?!"
"Sudah! Satu kali. Dan
kabar itu tidak berlebihan. Tenaga dalam yang dimilikinya cukup tinggi!"
"Ah...!" keluh
Pradipta kaget. "Kalau begitu orang itu hebat sekali! Siapa dia,
Kang?!"
Kakek kecil kurus itu bangkit
berdiri, lalu melangkah pelahan ke arah jendela. Pandangannya menatap kosong ke
luar beberapa saat lamanya. Baru setelah itu dibalikkan tubuhnya.
"Dewa Arak...!"
jawab kakek kurus itu lambat- lambat tapi penuh tekanan.
"Dewa Arak...?!"
ulang Pradipta dan Peri Muka Seratus terkejut. Memang nama besar Dewa Arak
sudah sering terdengar, sebuah julukan yang telah menggoncangkan dunia
persilatan, dengan banyak tewasnya tokoh sakti di tangannya.
"Ya! Dewa Arak...!"
tegas kakek itu lagi. Kemudian diceritakan pertarungannya waktu menghadapi Dewa
Arak, selagi dia hampir berhasil membasmi murid- murid Perguruan Naga Api.
Tampak jelas Pradipta
kebingungan mendengar berita itu. Adipati ini melangkah mondar-mandir di
ruangan itu. Keningnya berkernyit dalam dan rupanya tengah berpikir keras.
"Aku ada usul,
Kang...!" ucap adipati itu keras. Sepasang matanya nampak berseri-seri.
Melihat sikap adipati itu,
kakek kecil kurus menatap tajam ke arah laki-laki berusia tiga puluh lima tahun
itu. Ada rasa keingintahuan yang mendalam pada sorot matanya.
"Coba kemukakan usulmu,
Adi Pradipta," pinta kakek itu penuh gairah.
Adipati Pradipta berdehem
sebentar.
"Tidak ada jalan lain
lagi, Kakang. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera merebut Istana
Bojong Gading. Kita langsung saja pada puncak rencana," tegas Adipati
Pradipta.
"Maksudmu bagaimana,
Pradipta?" tanya Peri Muka Seratus. Wanita licik ini memang masih belum
mengerti.
"Ya, Adi. Aku dan gurumu
belum paham maksudmu," tambah kakek kecil kurus itu. Memang, Peri Muka
Seratus adalah guru Adipati Pradipta.
"Begini, Kang. Kakang dan
seluruh murid kakang malam ini juga menyerbu Perguruan Naga Api. Bantai semua
yang ada di sana, tapi sisakan seorang saja. Sudah bisa kuperkirakan kalau
orang yang tak terbunuh itu pasti ingin mengadakan pembalasan. Dugaanku, kalau
tidak ke Panglima Jumali, dia tentu mengadu ke Panglima Gotawa. Dan paling
tidak, pasti panglima itu membalas dendam dengan membawa pasukannya. Bila ini
benar, aku akan mengutus anak buahku untuk memberitahu Panglima Jatalu. Maka
dapat dipastikan akan terjadi bentrok antar pasukan. Bagaimana, Kang? Bisa kau
terima usulku ini?" jelas adipati itu. Ada senyum terkembang di bibirnya.
Kakek kecil kurus ini
mengacungkan ibu jarinya.
Bahkan Peri Muka Seratus pun
tersenyum lebar.
"Dan selagi mereka semua
saling bentrok, Kita akan menyerbu Istana Bojong Gading. Begitu bukan maksudmu,
Pradipta?" tebak Peri Muka Seratus.
"Benar, Guru."
"Otakmu memang selalu
cemerlang, Adi," puji kakek berpakaian kuning itu. "Memang mulanya
sudah terpikir olehku untuk segera memajukan rencana Kita, lebih cepat dari
semula. Hanya saja, aku tidak tahu dari mana harus memulai. Kau memang cerdik,
Adi Pradipta!"
"Ha ha ha...!"
Adipati Pradipta tertawa terbahak- bahak. "Tak lama lagi Kerajaan Bojong
Gading akan jatuh ke tanganku! Ha ha ha...!"
Kakek kecil kurus berpakaian
kuning itu mengerutkan alisnya ketika teringat sesuatu.
"Tunggu, Adi. Bagaimana
dengan seragam Perguruan Garuda Sakti untuk murid-muridku?"
Adipati Pradipta tersenyum
lebar.
"Tidak perlu kau
pusingkan masalah itu, Kang. Semuanya sejak jauh-jauh hari sudah kupersiapkan.
Kakang tinggal menyuruh mereka untuk mengena- kannya. Dan..., menghancurkan
Perguruan Naga Api!"
"Ha ha ha...!"
Suara gelak tawa langsung
pecah dari rumah kecil berdinding bilik. Mereka memang tidak pertu merasa
khawatir terdengar orang, karena tempat itu letaknya amat jauh dari tempat
lainnya.Glaar... !
Kembali untuk yang kesekian
kalinya halilintar menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya, suasana malam
yang tersetimut awan hitam dan tebal sehingga menutupi bulan, menjadi terang
benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan turun membasahi bumi, diiringi
hembusan angin dingin membekukan tulang.
Dalam suasana malam seperti
itu, rasanya orang lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi, tidak demikian
halnya dengan sosok bayangan serba kuning yang tengah berkelebatan. Tubuhnya
kecil kurus, namun gerakannya cepat bukan main.
Glarr...!
Halilintar menggelegar lagi.
Untuk beberapa saat lamanya keadaan kembali menjadi terang benderang. Cahaya
terang yang sekilas itu cukup untuk menerangi wajah sosok bayangan kuning yang
ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan berwajah mirip
tikus.
Dan ternyata tidak hanya kakek
kecil kurus berpakaian kuning itu saja yang berkeliaran di malam gelap dan
dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat puluhan sosok tubuh berpakaian
kuning yang bergerak gesit bukan main. Rupanya kakek kecil kurus berpakaian
kuning itu adalah pemimpin orang berseragam kuning yang mengikuri di
belakangnya.Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu meng- hentikan gerakannya,
dan cepat menyelinap ke batik sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang,
melihat rombongan orang berseragam kuning yang masih berlarian agak jauh di
belakang.
Sebentar kemudian, sepasang
matanya dialihkan ke depan, menatap sebuah bangunan besar dan megah yang
dikelilingi pagar kayu bulat yang kelihatan kokoh kuat Pada bagian atas pintu
gerbang, terpampang sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan huruf-huruf
yang berbunyi, Perguruan Naga Api.
Tak lama kemudian, rombongan
orang berseragam kuning itu pun tiba. Mereka pun bergerombol bersembunyi.
Sementara kakek kecil kurus berpakaian kuning itu segera membalikkan tubuhnya,
menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang.
"Ingat! Jangan kalian
bunuh semua! Sisakan satu orang, agar mengabarkan penyerbuan Kita! Kalian
mengerti?!" desis kakek pakaian kuning seraya menatap tajam.
"Mengerti...!" desah
mereka serempak.
"Bagus! Mari Kita
mulai!"
Tanpa diperintah dua kali,
puluhan sosok tubuh itu berkelebat cepat menuju markas Perguruan Naga Api.
Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah terlebih dulu melesat pergi.
Keadaan alam saat itu memang menguntungkan orang-orang berseragam kuning.
Laksana iblis bergentayangan, mereka berkelebatan cepat mendekati sasaran.
Kakek berpakaian kuning
merupakan orang pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat laksana
kilat, sebelum kedua penjaga itu menyadari, tubuhnya telah melesat cepat ke
arah mereka.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian panjang
seketika terdengar susul- menyusul mengikuti robohnya dua sosok penjaga itu ke
tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan suasana yang semula hening itu. Dan
suara jeritan yang memang sudah keras, jadi bertambah keras. Seketika suasana
di perguruan itu menjadi gempar.
Sesaat kemudian, dari dalam
bangunan-bangunan yang terdapat dalam markas Perguruan Naga Api, berkelebatan
beberapa orang yang bergerak cepat ke arah asal jeritan tadi. Tapi, belum juga
mereka mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan kuning berkelebatan cepat menghadang.
Di antara mereka yang
berkelebat keluar, tampak Prawira dan Sentanu. Mereka nampak geram dihadang
orang-orang berseragam kuning itu. Sinar lampu obor yang terpancang hampir di
setiap tempat, cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga mereka dapat
melihat jelas orang-orang yang menghadang.
"Keparat..! Kalian
murid-murid Perguruan Garuda Sakti...!" sentak Prawira kaget melihat
orang-orang itu berseragam kuning.
Dan seketika itu juga,
orang-orang berseragam kuning serentak menyerang. Maka, denting senjata beradu
pun mulai menyemaraki suasana malam yang semula hening dan sunyi mencekam itu.
Sesekali diselingi jerit tertahan orang yang terkena serangan lawan.
Tampak kakek berpakaian kuning
dan bertubuh kecil kurus tengah mengamuk hebat. Ke mana saja tangan atau
kakinya bergerak, sudah dapat dipasti- kan di situ ada tubuh yang roboh tanpa
nyawa. Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang
tewas di tangannya.
Murid-murid Perguruan Naga Api
yang kepandaian- nya jauh di bawah kakek itu, terdesak hebat. Apalagi ditambah
para pengikutnya memang dalam hal jumlah tidak kalah. Tapi banyak hal yang
merugikan mereka. Salah satu di antaranya adalah ketidak- siapan dalam
menghadapi lawan yang tidak disangka- sangka itu. Apalagi ketika beberapa saat
kemudian, terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang Perguruan Garuda
Sakti di atas mereka.
Tampak satu persatu murid
Perguruan Naga Api berguguran. Apalagi yang dihadapi kini juga kakek kecil
kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak ubahnya semut-semut menerjang api
yang langsung roboh tanpa daya.
"Keparat..! Temula,
akulah lawanmu!"
Berbareng selesainya ucapan
itu, sesosok tubuh berjubah putih masuk ke tengah arena dan langsung menerjang
kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki Temula. Dia mengenal serangan yang
berbahaya itu. Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke belakang, sehingga
serangan itu mengenai tempat kosong.
"Mengapa tidak sejak tadi
kau keluar, Santa?!" ejek kakek berwajah tirus tajam.
Tapi si penyerang yang
ternyata Ki Santa tidak mempedulikan ejekan Ki Temula, dan cepat menyerang
lawannya. Amarahnya memang sudah sejak tadi berkobar-kobar, melihat banyak
murid Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa.
Jari-jari tangannya terkembang
membentuk cakar naga. Tangan kanannya meluruk deras ke arah ulu hati, sementara
cakar tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Posisi tangan itu ter-
palang di depan dada.
Ki Temula yang sudah tahu
kelihaian kakek beralis putih itu, tanpa sungkan-sungkan lagi mengeluarkan ilmu
andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan kelingkingnya dilipat ke dalam,
membentuk cakar garuda. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dipapaknya serangan cakar
itu.
Prattt!
Tubuh Ki Santa terdorong dua
langkah, sementara Ki Temula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Tapi,
begitu daya dorong yang membuat tubuh mereka terhuyung habis, mereka pun saling
gebrak kembali.
Ki Santa bertarung bagai macan
luka. Kemarahan yang amat sangat berkobar-kobar dalam hatinya. melihat satu
persatu murid Perguruan Naga Api berguguran.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan
menyayat. Kali ini terdengar dari mulut Prawira! Pemuda bertahi lalat besar ini
berdiri tertatih-tatih sambil memegangi perutnya yang robek memanjang. Darah
mengalir deras dari luka lewat sela-sela jarinya. Kemudian, tubuhnya roboh
untuk selama-lamanya. Mati.
Gigi Ki Santa bergemeletuk
menahan geram. Pilu hatinya melihat murid-muridnya terbantai di depan mata
tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka kemarahannya pun ditumpahkan pada Ki
Temula. Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerah- kan segenap
kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh,
Ki Santa mulai terdesak. Sampai akhirnya pada jurus ke tujuh puluh tiga, sebuah
pukulan Ki Temula telak bersarang di perutnya.
"Hukh...!" keluh Ki
Santa tertahan dan tubuhnya kontan terbungkuk. Di saat itulah, kembali kaki
kakek kecil kurus itu bergerak menendang.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras
ketika tendangan itu menghantam kepala Ki Santa.
"Aaakh...!"
Kakek beralis putih itu
memekik tertahan. Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung- huyung,
sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan kepala pecah. Ki Santa tewas seketika
itu juga.
"Ha ha ha...!" tawa
bergelak penuh kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula. "Bakar habis
semua bangunan ini...!" Tanpa diperintah dua kali, orang- orang berseragam
kuning itu melemparkan beberapa obor ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api
pun mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga Api.
"Ada yang berhasil
meloloskan diri?" tanya kakek berpakaian kuning itu pada salah seorang
anak buahnya.
"Ada, Guru," jawab
orang itu.
"Bagus...! Dan kita hanya
tinggal menunggu api pertempuran meletus. Sebentar lagi, Kerajaan Bojong Gading
akan Kita kuasai. Bojong Gading akan dibanjiri darah!" desis kakek kecil
kurus itu tajam.
"Benar, Guru...,"
sahut si murid membenarkan.
"Kumpulkan mereka semua
cepat, dan segera pergi dari sini! Api itu akan menarik perhatian orang untuk
menuju kemari! Cepat laksanakan!"
"Baik, Guru...!"
sahut murid itu. Segera kawan- kawannya diperintahkan untuk meninggalkan tempat
itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu melesat dari situ.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua
kakinya hinggap di luar pagar yang mengelilingi bangunan Perguruan Naga Api. Tapi
baru saja kakinya akan melangkah, sebuah teguran telah menyapanya.
"Mau ke mana, Kang?"
Kakek berwajah tirus mirip
tikus itu seketika mengangkat kepalanya. Di depannya dalam jarak sekitar tiga
tombak, berdiri seorang kakek berpakaian kuning dan wajahnya mirip kuda. Siapa
lagi kalau bukan Ki Matija.
"Matija...," desis
kakek bertubuh kurus itu.
"Ya. Aku, Kang,"
desah Ki Matija pelan.
"Mau apa kau kemari,
Matija?!" tanya Ki Temula.
Keras dan tajam nada suaranya.
"Seharusnya aku yang
bertanya seperti itu, Kang. Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api?!
Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah pelakunya!" tandas kakek
beimuka kuda itu seraya tersenyum mengejek.
Ki Temula menghela napas
panjang.
"Kau salah paham, Matija.
Perlu kau ketahui, aku... eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki
Temula kalap.
Ki Matija terkejut bukan main
mendengar peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke belakang,
bersiap untuk menghadapi segala kemung- kinan. Tapi ternyata di belakangnya
tidak ada apa- apa. Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu.
Buru-buru Ki Matija berbalik,
tapi terlambat! Ki Temula yang telah menemukan kesempatan, tidak
menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu membalikkan tubuh. Cepat laksana
Kilat, dia melompat menerjang. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya
dalam penyerangan ini.
Prattt..!
"Aaakh...!"
Ki Matija memekik tertahan.
Serangan Ki Temula dalam jurus 'Cakar Garuda', telah menghantam pelipisnya.
Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dengan tulang pelipis retak.
Ki Matija tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah segar langsung
membasahi bumi.
"Ha ha ha...!"
Kembali tawa kemenangan
terdengar dari mulut Ki Temula. Kemudian diangkatnya tubuh kakek muka kuda itu,
lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah berkobar. Tanpa ampun lagi, tubuh
wakil ketua Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api. Sementara Ki Temula
segera melesat kabur dari situ.
"Sayang waktuku tidak
banyak, Matija! Kalau saja waktuku banyak, tak akan kubiarkan kau mati secara
demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu pelahan.
Setelah berkata demikian,
tubuh Ki Temula melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Sesosok bayangan ungu melesat
cepat mendaki Lereng Gunung Munjul. Gerakannya gesit bukan main. Suasana malam
begitu gelap, sehingga wajahnya tersembunyikan. Dan yang terlihat hanyalah
sekelebat sinar ungu dan putih keperakan.
Rupanya bayangan itu menuju
ruang tahanan tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju ruang tahanan
yang lebih mirip gua itu. Langkahnya terhenti di sebuah ruang yang depannya
berjeruji besi baja bulat, dan berdinding baru cadas yang amat tebal. Jelas,
itu adalah ruang tahanan untuk Ki Kerpala.
Glarrrr...!
Halilintar menggelegar
kembali. Sesaat sinarnya yang terang menyinari bumi. Tapi waktu yang hanya
sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah bayangan ungu itu dan ruang
tahanan Ki Kerpala.
"Kosong...," desis
si bayangan ungu yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Ruangan
tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di dalamnya. Yang ada hanya
rantai-rantai baja yang berserakan di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak melesat dari situ. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki,
sehingga yang terlihat hanya bayangan ungu saja yang berkelebatan cepat. Dan
tak lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang Perguruan
Garuda Sakti.
"Ki Temula ada?"
tanya Arya pada murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang.
"Ada. Silakan masuk, Dewa
Arak!" ucap salah seorang di antara mereka.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Arya melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari dua penjaga pintu
gerbang itu. Dan kini mereka tiba di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu
meninggalkan Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu sebentar, Arya segera masuk
ketika mendapat sahutan dari dalam.
"Arya! Silakan
masuk," kata Ki Temula, seraya berdiri menyambut Arya.
"Aku membawa berita buruk
untukmu, Ki," jelas Arya.
"Penting sekalikah berita
itu, Arya? Sehingga di malam selarut ini kau datang mengunjungiku?" tanya
Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di dalam ruang semadinya.
"Sangat penting,
Ki," sahut Arya cepat.
Ki Temula mengerutkan alisnya.
"Hm..., urusan orang yang
menyamar sebagai aku kan?" tebak kakek berwajah tirus itu.
"Benar, Ki. Dan aku telah
tahu sekarang, siapa orang yang telah memfitnahmu itu!" tandas Dewa Arak.
Wajah Ki Temula berubah.
Sepasang matanya menyipit merayapi wajah Dewa Arak.
"Benarkah apa yang kau
katakan, Arya. Yakinkah kau kalau kali ini dugaanmu tidak meleset?" tanya
Ki Temula kurang yakin.
"Yakin, Ki," sahut
Arya seraya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu,
Arya?" tanya kakek kecil kurus itu. Agak bergetar suaranya karena perasaan
tegang yang melanda hatinya.
"Hhh...!" desah Dewa
Arak sebelum memulai ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki Kerpala,
Ki."
"Tidak mungkin!"
sentak Ki Temula. Sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. "Tarik
kembali ucapanmu, Arya! Atau..., terpaksa Kita berhadapan sebagai musuh!"
Dewa Arak menatap tajam Ki
Temula.
"Apakah memang sudah
menjadi sifatmu untuk tidak mempercayai ucapan setiap orang, Ki?" sindir
Arya tajam.
"Apakah kau tidak
berkeinginan untuk membuktikan kebenaran berita yang kubawa ini. Mari Kita
cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani mempertaruhkan kepalaku
seandainya ucapanku tidak benar!"
"Baik! Mari Kita
melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak. Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak
benar. Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku lagi!"
"Baik! Mari Kita
buktikan! Cepat, sebelum dia kembali lagi ke sana!"
Setelah berkata demikian,
tubuh Dewa Arak melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula tentu tak mau
kalah. Tubuhnya berkelebat cepat menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih
dulu.
***
"Mustahil...!"
teriak Ki Temula ketika melihat ruang tahanan sudah kosong, dan rantai-rantai
baja yang berserakan di lantai dalam keadaan utuh. Bergegas diambilnya kunci
pintu jeruji baja itu, kemudian dibukanya.
Dewa Arak tidak berkata
apa-apa dan hanya mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang telah masuk
ke dalam ruangan itu. Ki Temula membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang
baja yang melilit pergelangan tangan dan kaki Ki Kerpala. Diperhatikannya
sejenak, kemudian diper- lihatkan pada Arya.
"Tidak ada tanda-tanda
dibuka dengan kekerasan," desah Dewa Arak. Alisnya berkerut pertanda
tengah berpikir keras. Memang Arya telah mendengar, bahkan telah menjumpai
tokoh-tokoh yang memiliki berbagal ilmu yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini membuat
Dewa Arak bingung.
Ki Temula tampak tercenung.
Wajahnya menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya lagi seruruh ruangan
tahanan itu.
"Hhh...!" kakek
kecil kurus ini menghela napas panjang. "Maafkan atas kekasaran sikapku,
Dewa Arak. Ahhh..., betapa tololnya aku! Padahal dulu telah kuketahui kalau
Kakang Kerpala gemar mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu yang
digunakan- nya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari gelang-gelang baja
itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi, ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos
sela- sela jeruji baja ini? Hhh...! Kecerobohanku telah menyebabkan peristiwa
ini terjadi."
"Sudahlah, Ki. Tidak ada
gunanya lagi menyesal dan mengeluh sekarang. Yang harus Kita lakukan adalah
mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya," usul Dewa Arak.
Ki Temula menatap tajam Dewa
Arak.
"Apa yang kau ucapkan
sama sekali tidak salah, Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan itu yang sulit. Apalagi
kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang Kerpala. Dulu sewaktu aku dan
Adi Matija menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna Raga'. Hhh...! Aku
khawatir kalau sekarang ilmu itu telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana
menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bernada mengeluh.
'"Sirna Raga'?!"
tanya Dewa Arak Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat. Telah
didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan ilmu itu, seseorang akan
mampu menghilang. Jadi bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti itu?
"Yang masih kubingungkan.
Dengan ilmu apa dia sanggup meloloskan diri dari celah-celah jeruji baja yang
sempit ini? Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih' juga?" tanya Ki Temula
seperti untuk dirinya sendiri.
Dewa Arak tercenung.
Keistimewaan aji 'Welut Putih' memang sudah pernah didengarnya. Ilmu itu mampu
membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut, dan mampu membuat tubuh seolah
tak bertulang. Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan serangan karena
kelicinan kulitnya itu.
"Sudahlah, Ki. Lagi pula
bukan maksudku membuat pusing Aki dengan menunjukkan hal ini. Aku hanya ingin
memberitahu ada orang yang telah mencemarkan nama Aki."
Ki Temula sama sekali tidak
menyahut. Kakek ini masih dibingungkan dengan lolosnya Ki Kerpala dari dalam
kurungan itu.
"Lebih baik Kita tunggu
saja, Ki. Bukan tidak mungkin, setelah selesai dengan aksinya Ki Kerpala akan
kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua bisa mencoba untuk
menangkapnya," usul Dewa Arak.
"Hhh...!" Lagi-lagi
Ki Temula menghela napas panjang. "Jadi merepotkanmu saja, Arya."
"Sama sekali tidak,
Ki," sergah Dewa Arak cepat "Memang sudah menjadi sifatku yang suka
menyelesaikan urusan yang tidak wajar."
"Terima kasih,
Arya," ucap kakek itu pelahan.
"Lupakanlah, Ki,"
sahut Dewa Arak risih.
Setelah itu suasana pun
hening. Tidak terdengar lagi ada yang berbicara. Keduanya tenggelam dalam
lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian, sepasang mata dan pendengaran
mereka dipasang tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala ke dalam
kurungan.Seorang pria berseragam putih-putih melangkah tersuruk-suruk menembus
kepekatan malam yang gelap gulita.
Glaar... !
Ketika kilat menyambar dan
menerangi bumi, tampaklah kalau sosok tubuh itu adalah seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh tahun. Di baju bagian dada kirinya yang putih, tersulam
gambar kepala seekor naga yang tengah menyemburkan api.
Dari sini sudah bisa ditebak
kalau pemuda ini adalah salah seorang murid Perguruan Naga Api. Memang, pemuda
itu adalah Sentanu yang sengaja dibiarkan lolos oleh kawanan penyerang
berseragam kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri.
"Hhh... hhh...
hhh...!"
Napas Sentanu nampak
terengah-engah, tapi sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya
berlari menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
Setelah cukup jauh dari
bangunan perguruannya, Sentanu menolehkan kepala. Dan terkejutlah hati pemuda
ini ketika melihat api membumbung tinggi dari arah yang ditinggalkannya. Tanpa
ke sana pun pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang tengah dilalap oleh api itu
adalah bangunan perguruannya.Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah dan
haru yang mendalam. Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin rasanya dia kembali
ke sana dan mengadu nyawa dengan orang-orang yang telah membumi-hanguskan
perguruannya. Tapi kalau diri- nya juga tewas, siapa yang akan membalas
kekejian ini?
Entah berapa lama Sentanu
berlari, dan pemuda ini tidak mempedulikannya. Langkahnya semakin dipercepat
ketika tak jauh di depannya sudah nampak sebuah bangunan besar dan megah.
Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
"Berhenti...! Siapa
kau?!" cegat salah seorang penjaga pintu gerbang, begitu melihat Sentanu
bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya. Tombak di tangannya ditodongkan
ke perut Sentanu. Sentanu mengatur napasnya sejenak .
"Tolong... tolong
antarkan aku menghadap Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-engah.
"Ada urusan apa hendak
menemui beliau?" tanya penjaga itu. Todongan tombaknya tidak juga dijauh-
kan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang matanya merayapi wajah pemuda di
hadapannya, dalam keremangan cahaya obor yang terpancang dekat situ.
"Aku adalah adik
seperguruannya. Katakan saja pada Panglima Jumali bahwa ada murid Perguruan
Naga Api yang ingin bertemu."
"Ahhh...!" seru
penjaga itu terkejut. Dijauhkannya todongan tombaknya dari perut Sentanu.
Penjaga itu rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid Perguruan Naga Api.
"Maaf... aku tidak tahu."
"Tidak mengapa...,"
desah Sentanu. Dimakluminya perlakuan penjaga itu padanya.
"Kalau begitu, harap
Kisanak menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, penjaga
itu berlari masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu berdiri di depan pintu gerbang
ditemani seorang penjaga lain.
Tak lama kemudian, penjaga
yang melapor itu telah kembali bersama seorang pria tinggi besar bercambang
bauk lebat dan berpakaian seragam Panglima.
"Benarkah kau dari
Perguruan Naga Api?" tanya Panglima yang bernama Jumali itu ketika sampai
di depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap tajam sosok tubuh yang berdiri
di hadapannya.
"Benar, Panglima. Hamba
bernama Sentanu," jelas pemuda itu. Tak berani Sentanu memanggil orang
yang berdiri di hadapannya dengan panggilan keakraban. Bagaimana pun juga, dia
adalah seorang Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan prajurirnya.
Harus dijaga martabat orang itu, meskipun juga berasal dari Perguruan Naga Api.
"Sentanu? Kau adik
seperguruan Adi Branta?" tanya Panglima Jumali mulai teringat. Memang dia
pernah kenal orang yang bernama Sentanu, tapi itu lima tahun yang lalu. Wajar
kalau sekarang telah agak lupa.
"Benar, Panglima,"
sahut Sentanu.
"Ahhh...! Silakan masuk,
Adi Sentanu. Dan tidak usah terlalu banyak peradatan. Panggil saja aku seperti
layaknya seseorang memanggil kakak seperguruannya. Mari!...! Mari, silakan
masuk...!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi
Panglima Jumali menarik tangan Sentanu dan membawanya masuk. Panglima itu tahu
kalau pemuda di hadapannya ini pasti membawa berita yang sangat penting. Kalau
tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah malam begini.
Sentanu melangkah mengikuti
Panglima itu yang sudah berjalan cepat menuju bangunan tempat untuk menerima
tamu penting.
"Sekarang katakan, apa
maksudmu datang menemuiku malam-malam begini, Adi Sentanu," tagih Panglima
itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di dalam.
Wajah Sentanu berubah muram.
"Bencana menimpa
perguruan Kita, Kang" tutur Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu lagi
memanggil Panglima itu dengan panggilan kekerabatan.
"Bencana? Apa maksudmu.
Adi Sentanu. Aku masih tidak mengerti!" tegas Panglima itu, langsung
berkernyit dahinya.
"Perguruan Naga Api
sekarang telah musnah, Kang," sahut Sentanu. Perlahan sekali suaranya
seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima Jumali tidaklah demikian.
"Apa?!" pekik
Panglima itu. Tubuhnya sampai terlonjak dari duduknya. "Apa katamu, Adi
Sentanu?!"
Sentanu menundukkan kepalanya,
tidak sanggup melihat wajah kakak seperguruannya yang begitu tegang. Bahkan
suaranya terdengar gemetar.
"Guru dan semua murid
perguruan telah tewas, Kang. Hanya aku yang selamat. Dan itu pun karena
melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku berbuat ini. Tapi
terpaksa, Kang. Aku harus mem- beritahukan berita ini padamu."
"Ya Tuhan...!" keluh
Panglima Jumali. Kedua tangannya ditekapkan ke wajah, dan sesaat kemudian
diturunkan kembali. Terdengar suara ber- gemeretak keras ketika Panglima ini
mengepalkan kedua tangannya.
"Betapa berdosanya aku.
Di sini aku enak-enakan saja, dan tak pernah menengok perguruan. Sementara Guru
dan yang lainnya dibunuh orang. Hhh...! Murid macam apa aku ini!"
Sentanu membiarkan saja. Dia
tahu kalau Panglima Jumali tengah terpukul.
"Katakan, Adi Sentanu!
Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?!" desak Panglima itu. Ada ancaman
hebat yang tersembunyi dalam kata- katanya.
"Perguruan Garuda Sakti,
Kang...."
"Apa?! Sentanu! Sadarkah
kau akan apa yang telah kau ucapkan itu?!"
"Aku sadar, Kang. Dan
semula pun aku ragu. Tapi kejadian kemarin malam telah menghapus semua
keragu-raguanku."
Kemudian Sentanu menceritakan
semua yang terjadi.
Panglima Jumali mendengarkan
penuh seksama. Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian memerah mendengar
hal-hal yang menggiriskan. Baru setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya,
Panglima ini menarik napas panjang.
"Kita harus membalas
dendam, Adi Sentanu!" desis Panglima itu tajam. "Jaladi!"
teriaknya keras.
Sesaat kemudian terdengar
derap langkah mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang segera memberi hormat
padanya.
"Panglima
memanggilku?" tanya pengawal yang bernama Jaladi itu.
"Ya! Berikan surat ini
pada Panglima Gotawa dan Panglima Mantaya! Cepat..!" perintah Panglima Jumali
sambil memberikan surat yang saat itu juga dibuatnya.
"Baik, Panglima,"
sahut prajurit itu sambil menerima surat yang disodorkan Panglima Jumali.
"Sekarang mari Kita
berangkat, Adi Sentanu. Kita basmi Perguruan Garuda Sakti. Aku rela, sekalipun
akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!"
***
"Biadab! Terkutuk! Harus
kubalaskan perbuatan keji ini!" teriak Panglima Jumali. Begitu melihat
keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah menjadi puing-puing.
"Benar, Kang," sahut
Panglima Gotawa yang juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Kita harus hancurkan
Perguruan Garuda Sakti!" sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid
Perguruan Naga Api.
"Mari berangkat! Kita
hancurkan markas mereka seperti mereka menghancurkan perguruan Kita!"
Setelah berkata demikian,
rombongan yang dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak. Jumlah mereka
ratusan orang, dan kini bergerak menuju markas Perguruan Garuda Sakti.
Menjelang pagi, rombongan itu
telah tiba di tujuan. Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung menyerbu.
Tentu saja murid-murid
Perguruan Garuda Sakti menjadi terkejut bukan kepalang melihat serbuan pasukan
Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa mereka melawan, karena tidak ingin mati
konyol. Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal.
Tapi karena jumlah mereka yang
hanya sekitar tiga puluh lima orang, sementara jumlah pasukan penyerbu itu
tidak kurang dari dua ratus orang, maka dalam waktu sebentar saja mereka sudah
terdesak hebat. Apalagi di antara para penyerbu terdapat bekas murid Perguruan
Naga Api.
Bagi yang berhadapan dengan
prajurit masih untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu Panglima Jumali,
Panglima Gotawa, maupun Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas
murid kepala Perguruan Naga Api.
Dan walaupun telah lama
keluar, mereka tetap rajin melatih diri. Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian
mereka semakin lihai karenanya. Ke mana saja ketiga Panglima ini bergerak,
pasti ada satu tubuh yang roboh ke tanah.
Dan mendadak saja sepak
terjang Panglima- Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang murid kepala
Perguruan Garuda Sakti.
"Apa maksudmu menyerang
perguruan kami, Panglima Jumali?!" tanya salah seorang dari dua orang
murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras nada suaranya.
"Tidak usah berpura-pura
bodoh...!" sentak Panglima Jumali. "Aku datang untuk membalaskan
dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang kalian bantai!"
"Apa?! Gilakah kau,
Jumali?" sergah salah seorang lagi yang berkulit muka merah.
"Tidak usah banyak bacot!
Awas serangan...!" selak Panglima Gotawa seraya menusukkan tombak
pendeknya ke perut si wajah kuning.
Wut.. !
Si muka kuning tidak bisa
berkata apa-apa lagi Cepat-cepat dielakkan serangan tombak itu dengan menggeser
kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu dengan menyabetkan pedang secara
mendatar ke leher Panglima itu.
Melihat kawannya sudah
menyerang, Panglima Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat diputar pedangnya
laksana baling-baling. Kemudian secara tidak terduga-duga, ditusukkan ke arah
kerongkongan si muka merah.
Si muka merah cepat menarik
kepalanya ke belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di tangannya,
segera disabetkan ke tangan Panglima Jumali yang menghunus pedang.
"Eh...!"
Panglima Jumali berseru kaget.
Cepat-cepat ditarik pulang serangannya. Tak lupa, dilontarkannya tendangan
lurus ke arah perut lawan.
Si muka merah melompat ke
belakang seraya mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sesaat kemudian
keduanya sudah terlibat per- tempuran sengit, dan berjalan seimbang. Sedangkan
pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda Sakti melawan pasukan kerajaan
berlangsung berat sebelah. Dan tampak, satu demi satu mereka roboh. Sudah dapat
dipastikan kalau tak lama lagi mereka semua akan tewas di tangan pasukan
kerajaan itu.
Mendadak saja terdengar suara
sorak sorai, disusul munculnya pasukan kerajaan di bawah pimpinan Panglima
Jatalu. Tanpa bicara apa-apa, pasukan itu segera menyerbu pasukan yang tengah
membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Panglima Mantaya kaget. Dia
tahu, siapa Panglima Jatalu itu. Seorang Panglima bekas murid kepala Perguruan
Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan ke perguruan ini sampai juga ke
telinganya. Maka dia langsung buru-buru membawa pasukan untuk membela
perguruannya.
Tak dapat dihindarkan lagi,
terjadilah pertempuran antara kedua pasukan dari kerajaan yang sama, Kerajaan
Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa ragu-ragu lagi segera menyongsong
datangnya Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam
pertempuran sengit. Dan kini, kembali korban berjatuhan.
Tapi sebelum pertempuran
semakin berlarut-larut Terdengar bentakan nyaring. "Hentikan
pertempuran...!"
Belum lagi gema suara bentakan
itu lenyap, melesat dua sosok tubuh ke arena pertempuran. Sosok tubuh berwarna
ungu dan kuning. Rupanya bentakan yang dikeluarkan disertai pengerahan tenaga
dalam itu, membuat semua orang yang ada di situ terpaku. Dada mereka semua
terasa tergetar. Bahkan lutut pun terasa lemas . Seketika itu juga pertarungan
terhenti. Begitu juga pertarungan antara dua Panglima melawan dua murid kepala
Perguruan Garuda Sakti. Dari suara bentakan, keempat orang itu sudah bisa
memperkirakan kesaktian pemiliknya. Segera semua mata tertuju pada asal suara
itu.
Di tengah-tengah arena
pertempuran, telah berdiri dua sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahun dan berambut putih keperakan, yang tak lain adalah Dewa
Arak. Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek berpakaian kuning berwajah
tirus mirip tikus. Siapa lagi kalau bukan Ki Temula.
Memang, semula kedua orang
sakti ini menunggu kembalinya Ki Kerpala. Tapi setelah lelah menunggu, sampai
hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada tanda-tanda kemunculannya. Dan pada
saat itulah mereka malah mendengar suara denting senjata dan lengking kematian
di kejauhan.
Ki Temula dan Dewa Arak
menjadi curiga. Suara ribut-ribut itu sepertinya berasal dari sekitar Perguruan
Garuda Sakti. Maka, cepat mereka melesat meninggalkan tempat itu menuju ke
sana.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati kedua orang sakti ini, melihat pertempuran massal yang terjadi di
situ. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera berteriak mencegah
pertempuran itu berlanjut.
"Keparat..!" teriak
Panglima Jumali ketika mengenali salah satu dari dua orang yang baru datang
itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil bertenak melengking
nyaring, panglima itu menyerang kakek kecil kurus itu. Pedang di tangannya
melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu hati.
"Sabar dulu, Panglima.
Tahan dulu amarahmu," desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya
mendorong ke depan.
Wuuussa... !
Serangkum angin keras
berhembus ke arah tubuh Panglima Jumali. Dan tusukan pedang itu pun melenceng
arahnya, seperti tertahan oleh dinding yang tidak nampak.
Tubuh Panglima Jumali
terhuyung. Meskipun demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari kalau
kakek di hadapannya ini bukan tandingannya. Tapi hal itu tidak membuatnya
menjadi gentar. Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang, Dewa Arak telah
melangkah maju dan berdiri di tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki
Temula.
"Sabar, Panglima,"
bujuk Arya pelan.
"Siapa kau?! Mengapa
mencampuri urusanku!? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
"Namaku Arya, Panglima.
Kehadiranku di sini hanya untuk menghilangkan kesalahpahaman yang
terjadi," jelas Dewa Arak, masih tetap tenang suaranya.
"Arya?!" kata
Panglima itu mengulang perkataan Dewa Arak. Keningnya berkernyit. Nama itu
seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana? Dia terus
mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat, karena pernah mendengarnya dari
mulut Sentanu. Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid- murid
Perguruan Naga Api.
"Benar, Panglima.
Mengapa?"
Panglima Jumali
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak! Tidak apa-apa.
Hm.... bukankah kau yang telah menolong murid-murid Perguruan Naga Api dari
ancaman maut orang-orang jahat ini? Tapi kenapa sekarang kau malah bersama
dengan gembong penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil menunjuk Ki
Temula. Dia benar-benar tidak mengerti.
Dewa Arak menganggukkan
kepalanya. "Menolong murid-murid Perguruan Naga Api memang benar. Tapi Ki
Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti bukanlah orang jahat
Panglima."
Wajah Panglima Jumali berubah.
"Ucapan apa ini?! Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti telah
membumihanguskan Perguruan Naga Api. dan membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan
jahat katamu, Arya?! Lalu, perbuatan manakah yang kau anggap jahat?"
"Apa?! Benarkah apa yang
kau ucapkan itu, Panglima? Benarkah Perguruan Naga Api telah
dibumihanguskan?!" tanya Dewa Arak. Wajah pemuda ini memancarkan
keterkejutan yang amat sangat. Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak
tahu harus berbuat apa.
Panglima Jumali hanya
tersenyum sinis. Tak dijawabnya pertanyaan Dewa Arak. Sebaliknya perhatiannya
malah dialihkan pada rombongan prajurit di belakangnya.
"Sentanu...! Kemari
kau!" teriak Panglima Jumali sambil melambaikan tangannya.
Pemuda berhidung besar itu
melangkah maju.
"Nah, Dewa Arak. Inilah
satu-satunya murid Perguruan Naga Api yang berhasil lolos dari pembantaian Ki
Temula dan orang-orang Perguruan Garuda Sakti! Sentanu! Ceritakanlah apa yang
kau alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh penjahat culas itu!" teriak
Panglima Jumali sambil menuding Ki Temula.
"Tutup mulutmu, Panglima
Jumali!" teriak Panglima Jatalu keras. Tidak senang hatinya melihat
gurunya berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan pada gurunya,
sudah diterjangnya Panglima itu.
"Tenanglah, Jatalu,"
bujuk Ki Temula, pelan sekali. Memang, berita yang didengarnya dari mulut
Panglima Jumali terlalu mengejutkan hatinya, sehingga membuatnya agak terpukul.
Panglima Jatalu pun terdiam.
Bisa dimaklumi kata- kata gurunya. Kalau perasaan harinya dituruti, bisa jadi
persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal, gurunya telah bersusah-payah
berusaha meluruskan persoalan.
"Maafkan aku, Guru,"
ucap Panglima Jatalu pelan.Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata
Sentanu.
Pemuda berambut putih
keperakan ini mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah seorang yang
pernah menyerbu Perguruan Garuda Sakti.
"Benar yang dikatakan
Panglima Jumali, Sentanu?" tanya Dewa Arak. Sepasang matanya yang tajam
mencorong dan bersinar kehijauan merayapi sekujur wajah pemuda di hadapannya.
Sentanu bergidik melihat sorot
mata Dewa Arak. Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan mata manusia
saja, tapi lebih cocok mata harimau!
"Semua yang dikatakan
Panglima Jumali benar. Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid Perguruan
Garuda Sakti menyerbu. Ki Santa tewas di tangannya. Sementara, semua murid
Perguruan Naga Api, tewas pula di tangan murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Tidak itu saja yang dilakukan, mereka juga membakar habis bangunan perguruan
kami!"
Dewa Arak tepekur. Terasa ada
kesedihan yang mendalam pada suara pemuda di hadapannya. Dia tahu Sentanu
berkata benar. Tapi, Ki Temula juga tidak salah. Yang masih menjadi tanda tanya
baginya, siapa puluhan orang yang diyakini Sentanu sebagai murid-murid
Perguruan Garuda Sakti?
Dengan pandang mata penuh
pertanyaan, ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap tengah tercenung
bingung. Keningnya berkernyit dalam Kakek ini memang tengah berpikir
keras."Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid- murid Perguruan
Garuda Sakti, Sentanu?" tanya Dewa Arak lagi meminta ketegasan.
Sentanu menatap tajam wajah
Dewa Arak. "Jangan salah paham, Sentanu. Yakinkah kau kalau mereka bukan
orang-orang persilatan golongan hitam?"
"Hhh...!" Sentanu
menghela napas panjang. "Kau tidak mempercayaiku, Dewa Arak?" tanya
Sentanu. Nada suaranya terdengar kesal.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya. Mulutnya menyunggingkan senyum.
"Aku mempercayaimu.
Sentanu. Hanya saja, aku butuh keterangan yang sejelas-jelasnya. Maka, aku
mohon agar kau bersedia memberikan keterangan yang jelas," tegas Arya.
Mendengar ucapan Dewa Arak,
wajah Sentanu kembali berseri.
"Aku tidak akan begitu
sembarangan menuduh, Arya. Orang orang yang menyerbu Perguruan Naga Api semalam
berseragam kuning, dan di dada kiri ada sulaman gambar kepala seekor burung
garuda.
"Hanya itu saja,
Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya mengernyitkan keningnya. Dan memang,
kalau hanya atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan pemuda ini Sentanu
menggelengkan kepalanya.
"Tidak hanya itu saja,
Arya. Mereka juga memainkan semua ilmu Perguruan Garuda Sakti, kecuali ilmu
'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata rata tinggi, sehingga tidak aneh kalau
semua murid perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat kepandaian mereka
rata-rata setingkat dengan Kakang Prawira."
"Ahhh...!" desah
Arya terkejut bukan main.
Ditatapnya wajah Ki Temula
tajam. Sudah dapat diduga kalau orang-orang itu adalah didikan Ki Kerpala. Dan
mendengar kelihaian mereka, sudah bisa diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama
men- didiknya. Luar biasa! Sekian tahun Ki Kerpala telah mampu keluar tanpa
diketahui Ki Temula. Diam-diam Dewa Arak menyalahkan keteledoran Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak.
Masih tidak percaya akan semua ucapannya? Cepat Menyingkirlah dari situ, Dewa
Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!" tegas Panglima Jumali.
Dewa Arak tersenyum.
"Terima kasih atas
nasihatmu, Panglima. Aku percaya akan keterangan Sentanu, Tapi, ketahuilah Aku
telah lama menyelidiki peristiwa ini."
"Lalu bagaimana akhirnya,
Dewa Arak?" tanya Panglima Jumali penuh gairah dan berusaha melunakkan hatinya.
"Aku berhasil menemukan
pelaku semua kejahatan ini."
"Siapa dia, Dewa Arak? Ki
Temula kan?" tebak Panglima itu langsung.
Dewa Arak menggelengkan
kepalanya
"Bukan, Panglima. Bukan
Ki Temula pelakunya."
"Ahhh...!" terdengar
seruan-seruan terkejut dari mulut Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima
Mantaya dan Sentanu.
"Bukan dia pelakunya?
Lalu, siapa?" desak Panglima Jumali keras.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat
menjawab, seorang prajurit berseru keras.
"Panglima, istana
kerajaan diserbu!"
"Apa?!" teriak
Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu
berbareng.
Bagai berlomba mereka berlari
ke arah prajurit yang berteriak itu. Dan apa yang dikatakan prajurit itu memang
benar. Dari ketinggian lereng gunung, nampak terlihat serombongan orang
bergerak cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Cepat kembali ke
istana!"
Serentak seluruh rombongan
bergerak menuruni lereng menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
***
Dua orang prajurit penjaga
pintu gerbang Kerajaan Bojong Gading mengernyitkan kening, melihat di kejauhan
debu tebal mengepul tinggi di udara.
"Apa itu, Badrun?"
tanya salah seorang dari mereka.
Orang yang dipanggil Badrun
menyipitkan matanya.
"Astaga...! Itu
serombongan pasukan berkuda!"
"Apa?!" sahut temannya
kaget "Mengapa prajurit penjaga perbatasan tidak memberi kabar?"
Setelah berkata demikian,
kawan Badrun itu berlari masuk memberitahukan hal itu.
Sesaat kemudian, gegerlah
suasana dalam istana. Apalagi tatkala diketahui, pasukan prajurit di bawah
pimpinan empat orang Panglima tidak berada di tempat. Yang tinggal hanya
sepasukan prajurit di bawah pimpinan Panglima Dampu.
Memang, pasukan berkuda itu
tak lain dari pasukan prajurit Kadipaten Tasik, dibantu murid- murid Ki Kerpala
dan tak ketinggalan pula Peri Muka Seratus. Mereka memang bermaksud mengadakan
pemberontakan di bawah pimpinan Adipati Tasik, Pradipta.
Di bawah pimpinan Panglima
Dampu dan Patih Rantaka, prajurit Kerajaan Bojong Gading berusaha keras
mempertahankan istana. Satu keuntungan bagi pasukan Kerajaan Bojong Gading
adalah, mereka mempunyai tempat berlindung yang amat kuat. Dan kelebihan itu
dimanfaatkan oleh mereka. Segera saja dipersiapkan pasukan panah untuk mencegah
pasukan penyerang mendekati istana.
Dan siasat itu berhasil baik.
Pasukan pemberontak yang mencoba maju segera berguguran dibantai pasukan panah,
sebelum sempat mendekat. Berkali- kali mereka maju, tapi berkali-kali terpaksa
mundur kembali dengan membawa banyak korban.
"Keparat!" Peri Muka
Seratus menggeram melihat banyaknya korban di pasukan mereka. "Kakang
Kerpala, lebih baik kita yang lebih dulu masuk ke sana. Kita hancurkan dulu
pasukan panah itu. Karena kalau tidak, sampai kapan pun pasukan Kita tidak akan
mampu masuk!"
"Usulmu baik sekali,
Komala. Mari Kita habisi mereka!" sahut Ki Kerpala gembira.
Maka kedua tokoh sakti ini
segera melesat ke arah benteng Istana Bojong Gading.
Pasukan panah prajurit Bojong
Gading yang memang sejak tadi sudah siap siaga, segera menjepretkan gendewanya
begitu melihat dua sosok tubuh melesat cepat mendekati benteng.
Twang...! Twang...!
Puluhan batang anak panah
melesat menyambar ke arah Ki Kerpala dan Peri Muka Seratus. Tapi kali ini yang
menjadi sasaran anak panah itu bukanlah tokoh yang gampang tewas begitu saja,
melainkan dua tokoh tingkat tinggi. Maka begitu melihat sambaran puluhan anak
panah yang melesat ke arah mereka, keduanya tidak menjadi gugup.
Peri Muka Seratus segera
mencabut pedangnya, kemudian memutar-mutarnya laksana baling baling.
Trang...! Trang...! Trang...!
Akibatnya, puluhan anak panah
yang menyambar ke arahnya, kandas di tengah jalan. Tak satu pun yang mampu
mengenai sasarannya. Memang hebat tindakan Peri Muka Seratus! Tapi, masih lebih
hebat lagi apa yang dilakukan Ki Kerpala! Kakek ini sama sekali tidak menggunakan
senjata. Dibiarkan saja hujan anak panah yang menyambar tubuhnya.
Tasss...! Tasss !
Puluhan anak panah yang
menyambar sekujur tubuhnya meleset begitu mengenai sasaran. Seolah- olah yang
dipanah itu bukanlah tubuh manusia, melainkan batang logam yang licin! Inilah
keistimewaan aji 'Welut Putih' milik kakek kecil kurus ini.
Sementara anak panah yang
menyambar ke arah matanya, ditepis dengan tangan kosong. Maka, kontan anak-anak
panah itu berpentalan dalam keadaan patah. Dari peragaan ini saja, sudah bisa
diperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki kakek ini.
"Hup...!"
Tanpa mengalami halangan yang
berarti, Ki Kerpala mendaratkan kedua kakinya di atas tembok benteng itu.
"Hup...!"
Peri Muka Seratus pun menyusul
tiba. Tak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang terluka. Jangankan terluka.
Lecet pun tidak.
Dan begitu berhasil mendarat,
kedua tokoh tingkat tinggi itu segera mengamuk dahsyat.
Setiap kali tangan atau kaki
mereka bergerak, sudah dapat dipastikan akan ada tubuh yang rubuh dalam keadaan
tidak bernyawa lagi. Jerit lengking kematian terdengar saling susul. Dalam
sekejap mata saja, lebih dari separuh pasukan panah itu yang tewas.
Dan di saat itulah pasukan
pemberontak itu maju menyerbu. Kali ini, tanpa ada penghalang mereka dapat
mencapai pintu gerbang. Adipati Pradipta adalah orang yang pertama kali
mencapai pintu gerbang istana. Laki-laki setengah baya itu terdiam sejenak di
depan pintu gerbang istana yang tertutup rapat. Seluruh tenaga dalamnya kini
dikumpulkan. Sambil mengeluarkan pekik nyaring, Adipati Pradipta memukulkan
kedua tangannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Brakkk... !
Terdengar suara keras ketika
pintu gerbang itu hancur berantakan. Dan begitu pintu gerbang itu hancur,
pasukan pemberontak itu pun maju menyerbu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan
liar. Maka tak dapat dicegah lagi, pertempuran massal pun terjadi. Pasukan
Kerajaan Bojong Gading di bawah pimpinan Panglima Dampu dan Patih Rantaka,
mati-matian melawan.
Tapi karena di pihak lawan
banyak terdapat tokoh cukup tinggi ilmunya yang merupakan murid Ki Kerpala,
maka sebentar saja pasukan kerajaan sudah terdesak hebat. Satu persatu mereka
berguguran.
Adipati Pradipta tertawa
tergelak. Dengan perasaan tak sabar dia terus bergerak mendahului pasukannya
menuju istana. Hatinya benar-benar tak sabar lagi untuk segera masuk ke dalam
istana itu, dan membunuh Raja Bojong Gading, Prabu Nalanda.
Tapi di saat-saat gawat bagi
keutuhan Kerajaan Bojong Gading, terdengar derap langkah kuda. Itu pun masih
disusul dengan munculnya, pasukan kerajaan yang dipimpin empat orang Panglima.
Munculnya bantuan tak
terduga-duga ini, tentu saja mengejutkan pihak Adipati Pradipta. Tapi
sebaliknya, menggembirakan pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Dewa Arak dan Ki Temula tanpa
membuang-buang waktu lagi segera menerjang Ki Kerpala dan Peri Muka Seratus
yang tengah menyebar maut.
Ki Temula segera menghadang Ki
Kerpala, sementara Dewa Arak menghadang Peri Muka Seratus.
"Cukup, Kakang! Hentikan
semua kekejaman ini Tanganmu sudah terlalu banyak berlumur darah!" geram
kakek kecil kurus bermuka tikus ini pelan tapi penuh wibawa.
Ki Kerpala menghentikan
gerakannya. Ditatapnya wajah adik seperguruannya tajam-tajam.
"Menyingkirlah, Temula.
Aku tidak ingin mem- bunuhmu. Jangan sampai pikiranku berubah!"
"Aku bersedia menyingkir.
Tapi dengan satu syarat! Kau harus ikut aku. Kita kembali ke Perguruan Garuda
Sakti!" tandas Ki Temula tegas.
"Keparat..! Rupanya kau
memilih mati, Temula! Kalau begitu, mampuslah!"
Setelah berkata demikian, Ki
Kerpala melompat menerjang. Jari-jari tangannya terkembang mem- bentuk cakar
garuda. Serangannya lurus ke arah kepala dengan tangan kiri, sementara tangan
kanan menyilang di depan dada.
Wut...!
Ki Temula mendoyongkan
tubuhnya ke belakang.
Tangan kanannya digerakkan dari
dalam ke luar untuk menangkis serangan itu. Sadar kalau lawan di hadapannya ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi, tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya ilmu
'Cakar Garuda'
Takkk...!
"Akh...!"
Ki Temula terpekik kaget.
Sekujur tangannya terasa sakit-sakit. Bahkan seluruh tubuhnya pun tergetar
hebat. Belum lagi kekagetannya hilang, kaki kanan kakak seperguruannya lelah
menyusul tiba-tiba dengan sebuah tendangan miring ke arah kepala.
Cepat-cepat Ki Temula
merendahkan tubuhnya membentuk kuda-kuda rendah, sehingga serangan itu lewat di
atas kepalanya. Beberapa saat kemudian, kedua kakak beradik seperguruan ini
sudah terlibat pertempuran sengit. Pertempuran yang hampir seimbang karena satu
sama lain telah mengetahui ilmu masing-masing.Sementara di tempat terpisah.
Peri Muka Seratus menatap Arya lekat-lekat. Tokoh hitam yang ahli dalam
penyamaran ini teringat akan cerita Ki Kerpala.
"Hm..., kaukah yang
berjuluk Dewa Arak itu?" tanya perempuan itu sambil tersenyum sinis.
Tapi Dewa Arak sama sekali tidak
mempedulikan ucapan lawannya. Dengan sikap tenang, diambilnya guci yang
tersampir di punggung. Kemudian diangkat- nya ke atas kepala, dan dituangkan ke
dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki kerongkongannya. Sesaat kemudian, hawa yang hangat pun mulai
naik dari perut dan terus ke atas kepalanya.
Peri Muka Seratus geram bukan
kepalang melihat sikap Dewa Arak yang seperti tidak mempedulikannya Sambil
mengeluarkan pekik melengking nyaring, diterjangnya pemuda berambut putih
keperakan di depannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah leher.
Tapi dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', mudah saja bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu.
Bahkan sekaligus berbalik mengancam lawannya. Sesaat kemudian keduanya sudah
terlibat pertarungan cukup sengit.Tapi lama kelamaan, nampaklah keunggulan Dewa
Arak. Dan pertarungan pun berlangsung berat sebelah. Kepandaian yang dimiliki
Peri Muka Seratus itu sebenarnya tinggi. Tapi lawan yang dihadapinya adalah Dewa
Arak, seorang pendekar muda yang memiliki ilmu lebih tinggi. Dengan
keistimewaan ilmu 'Delapan Langkah Belalang', setiap serangan perempuan yang
bernama asli Komala itu kandas percuma. Sebaliknya setiap serangan Dewa Arak
membuatnya terpontang-panting menyelamatkan diri.
Tak heran belum sampai tiga
puluh jurus, Peri Muka Seratus sudah terdesak hebat. Dan sudah dapat dipastikan
kalau tak lama lagi tokoh hitam yang ahli dalam penyamaran ini akan roboh di
tangan Arya.
Berbeda dengan keadaan Dewa
Arak yang berada di atas angin, keadaan Ki Temula malah sebaliknya. Kakek ini
malah terdesak hebat. Ki Kerpala dengan keistimewaan aji 'Welut Putih', membuat
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu terdesak hebat.
"Haaat..!"
Ki Temula berteriak nyaring.
Dengan kuda-kuda rendah dan saling bersilang, tangan kanannya menyambar deras
ke arah ulu hati lawannya. Dan sungguh di luar dugaan, Ki Kerpala sama sekali
tidak mempedulikan serangan itu. Dibiarkan saja serangan itu, dan sebaliknya
kaki kanannya menendang ke arah lutut adik seperguruannya.
Prattt..! Rrrttt..! Tukkk...!
"Akh...!"
Kejadian yang berlangsung
terlalu cepat. Serangan cakar Ki Temula yang tepat mengenai ulu hati langsung
meleset seperti menghantam sebuah benda licin. Tak sedikit pun jari-jari tangan
yang biasanya mampu menembus baru karang keras itu mampu melukai kulit Ki
Kerpala. Tangan itu langsung terpeleset membawa serta baju kakak seperguruannya
yang koyak terkena cakaran tangan.
Sebaliknya tendangan Ki
Kerpala tak mampu dielakkan Ki Temula. Telak dan keras sekali tendangan itu
mengenai lutut. Seketika itu juga sambungan tulang lutut Ki Temula terlepas dan
tubuhnya kontan terhuyung.
"Hiyaaa...!"
Ki Kerpala melompat memburu.
Tangan kanannya menyampok deras ke arah pelipis.
Wajah Ki Temula pucat. Disadari
kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengelak atau menangkis serangan itu.
Yang dapat dilakukannya hanya membelalakkan sepasang matanya sambil menanti
datangnya maut.
Sementara itu, Dewa Arak yang
bertanding dengan Peri Muka Seratus, sesekali perhatiannya terarah pada
pertarungan Ki Temula melawan kakak seperguruannya. Maka begitu melihat ancaman
maut yang mengancam laki-laki berwajah tirus itu, Arya langsung menghentikan
desakan pada lawannya.
"Hih...!"
Dewa Arak memekik keras sambil
menghentakkan kedua tangannya ke depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Belalang'
yang jarang digunakannya.
Wuttt...!
Serangkum angin berhawa panas
menyembur keras mencegat tubuh Ki Kerpala yang tengah memburu Ki Temula. Maka
laki-laki berwajah hitam itu kaget bukan main. Dia sadar betul kalau pukulan
jarak jauh itu begitu dahsyat. Segera diurungkan serangannya, kemudian langsung
dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
Peri Muka Seratus tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Begitu melihat lawan perhatiannya terpecah,
segera wanita licik ini melompat menerjang.
Pedang di tangannya diayunkan
membacok kepala Dewa Arak dari atas ke bawah.
Tapi Peri Muka Seratus
kecelik. Sungguh tidak dikira kalau Dewa Arak telah memperhitungkan hal itu.
Arya segera membalikkan tubuh dan meng- hentakkan kedua tangannya menyambut
serangan Peri Muka Seratus.
Wusss... ! Bressss... !
"Aaa...!"
Peri Muka Seratus melengking
panjang. Serangan jurus 'Pukulan Belalang' yang dilontarkan Dewa Arak telak
menghantam dadanya. Seketika itu juga. Tubuhnya yang tengah berada di udara
terpental jauh ke belakang. Sekujur tubuh wanita sesat ini hangus. Tampak
cairan merah berhamburan keluar dari mulut, hidung, dan telinganya. Tamatlah
riwayat Peri Muka Seratus.
"Jahanam...!" Ki
Kerpala menggeram hebat melihat kematian bekas kekasihnya. Memang puluhan tahun
yang lalu. Peri Muka Seratus adalah kekasih Ki Kerpala.
Tanpa mempedulikan adik
seperguruannya lagi, tubuh Ki Kerpala melesat ke arah Arya. Kakek ini melambung
tinggi ke udara. Kemudian dari atas tubuhnya menukik turun, menyerang ubun-ubun
Dewa Arak dengan jari-jari tangan terpentang lebar.
Karena tak ada kesempatan
mengelak, Dewa Arak terpaksa menangkisnya. Sadar akan kesaktian lawan, tanpa
sungkan-sungkan lagi dikerahkan seluruh tenaga dalamnya yang telah mencapai
taraf kesempurnaan.
Plak...!
Maka benturan dua buah tangan
yang sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi terjadi. Tubuh Ki Kerpala terpental
balik ke udara. Sedangkan Dewa Arak tidak bergeming sedikit pun, tapi kedua
kakinya me- nimbulkan jejak cukup dalam di tanah. Rupanya tekanan dari atas
yang terlalu berat, tak dapat ditahan tanah.
"Hiyaaa...!"
Dewa Arak segera bergerak
mendahului. Guci yang tadi digenggamnya, kini telah kembali tersampir di
punggung. Kedua tangannya yang berisi ilmu 'Belalang Sakti', bergerak-gerak
aneh, dan secara tidak terduga-duga menyerang lawannya yang kini telah melayang
turun.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya menapak
tanah, secepat itu pula Ki Kerpala menggerakkan tangan menangkis serangan itu.
Kakek ini masih merasa penasaran bukan main. Benturan tenaga dalam sebelumnya
masih belum membuatnya puas. Mungkinkah Dewa Arak mampu menandingi tenaga dalam
yang dimilikinya?
Dan kini, tak pelak lagi
benturan antara sepasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi,
tidak tercegah lagi.
Plakkk...!
Baik tubuh Dewa Arak maupun
tubuh Ki Kerpala sama-sama terhuyung mundur dua langkah ke belakang. Keduanya
merasakan sekujur tangan mereka sakit dan nyeri.
Dewa Arak kaget bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki kakek berwajah hitam
ini setingkat dengannya. Padahal, selama ini Dewa Arak tidak pernah lalai
berlatih. Baik berlatih dengan cara bersemadi maupun pernapasan untuk menambah
kekuatan tenaga dalamnya. Dan pemuda ini juga tahu pasti kalau tenaga dalam
yang dimilikinya kini telah maju pesat. Jauh lebih kuat daripada saat pertama
kali terjun ke dunia persilatan. Tapi sekarang kenyataannya? Kakek ini mampu
membendungnya!
Tapi kekagetan yang dialami
Dewa Arak, tidak separah yang dialami Ki Kerpala. Kakek ini kaget sekaligus
terpukul bukan main, melihat kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda
itu mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Padahal sejak dikurung gurunya, dia
selalu berlatih.
Tanpa diketahui kedua orang
adik seperguruannya, Ki Kerpala terus berlatih keras. Baik semadi, pernapasan,
bahkan ilmu-ilmu hitam. Dugaannya, kini tidak akan ada seorang pun yang mampu
menandingi kekuatan tenaga dalamnya. Tapi kenyataannya? Lawan yang masih muda
itu mampu mengimbangi!
Tapi perasaan amarah Ki
Kerpala ketika teringat kematian kekasihnya, telah mengusir perasaan terkejut
itu. Dengan amarah meluap-luap, kembali diterjang lawannya. Sedangkan Arya
tanpa sungkan sungkan lagi cepat menyambut tenangan itu. Sesaat kemudian
keduanya sudah lertibat dalam pertarungan sengit.
Melihat kakak seperguruannya
telah bertarung melawan Dewa Arak, Ki Temula segera melangkah menghampiri Prabu
Nalanda. Raja Bojong Gading ini kini sudah tidak khawatir lagi.
Sementara itu pertempuran
antara pasukan pemberontak dengan pasukan Kerajaan Bojong Gading telah
berakhir. Dengan datangnya bantuan pasukan dari empat orang Panglima itu,
pasukan pemberontak pimpinan Adipati Pradipta berhasil dilumpuhkan. Bahkan sang
adipati sendiri tewas.
Panglima Jumali, Panglima
Gotawa, Panglima Mantaya, dan Panglima Jatalu, segera menjatuhkan diri di
hadapan Prabu Nalanda.
"Kami siap menerima
hukuman atas kesalahan kami, Gusti Prabu." ucap mereka serentak.
Prabu Nalanda tersenyum.
"Semula aku marah sekali
atas tindakan kalian ini. Tapi, Ki Temula telah menceritakan semuanya pada ku.
Dan aku memakluminya. Kalian semua ku- maafkan. Bangkitlah..." tutur Prabu
Nalanda bijaksana.
"Ahhh...! Terima kasih,
Gusti Prabu," sahut keempat Panglima itu sambil bangkit berdiri.
"Jadi, pemuda itukah
orang yang kau ceritakan itu, Ki?" tanya Prabu Nalanda sambil menatap Dewa
Arak yang tengah bertarung melawan Ki Kerpala. Dan kini semua pasang mata
tertuju pada pertarungan antara Dewa Arak melawan kakek bermuka hitam itu.
"Benar, Gusti
Prabu." sahut Ki Temula. Memang, laki-laki berwajah tirus itu sudah
menceritakan pada Prabu Nalanda, mengenai semua kesalahpahaman yang terjadi.
Demikian pula tentang kerja keras Dewa Arak untuk menyelesaikan pertikaian itu.
"Rasanya tidak pantas
kalau Kita tidak membalas semua jasa-jasanya yang besar ini, Ki. Dialah yang
telah menyelamatkan Kerajaan Bojong Gading dari kehancuran," tegas Prabu
Nalanda lagi. Pelan suaranya.
Ki Temula mengernyitkan
alisnya.
"Maaf, Gusti Prabu.
Bukannya hamba tidak setuju. Tapi sepengetahuan hamba, pemuda itu benar-benar
tidak suka jika pertolongannya itu dianggap jasa-jasa yang perlu dibalas,"
bantah Ki Temula dengan nada halus.
"Kita kan punya akal
untuk mengatasinya, Ki," tegas Prabu Nalanda kalem, seraya tersenyum.
"Maksud, Gusti
Prabu?" tanya Ki Temula, masih belum dapat menangkap maksud ucapan Prabu
Nalanda.
"Sudahlah, Ki. Serahkan
saja semuanya padaku," potong Raja Bojong Gading itu cepat sambil
mengulapkan tangan.
Ki Temula tidak bisa membantah
lagi, dan hanya mengalihkan pandangannya ke arah pertempuran.
Tampak gigi Dewa Arak
bergemeletuk. Seluruh kemampuannya telah dikeluarkan, tapi tak juga mampu
mendesak kakek di hadapannya ini. Seratus jurus telah berlalu, tapi belum
nampak ada tanda- tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung
seimbang.
Sebetulnya dengan keistimewaan
Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak beberapa kali hampir berhasil
menyarangkan pukulan atau tendangan ke sekujur tubuh lawan. Dan memang, setiap
pukulan itu selalu meleset dan tergelincir setiap mengenai sasaran. Itulah
keistimewaan aji 'Welut Putih' yang mampu membuat kulit tubuh menjadi licin
sekali.
Prabu Nalanda mengerutkan
alisnya. Kecepatan gerak kedua tokoh sakti itu, membuatnya tidak dapat melihat
jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan keunguan
dan kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang terpisah.
Ki Temula sejak tadi tengah
menunggu-nunggu Ki Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna Raga'. Tapi, sampai sekian
lamanya menanti, ternyata tak juga nampak ada tanda-tanda akan dikeluarkan.
Jadi, rupanya kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat- kan ilmu
dahsyat itu.
"Bagaimana, Ki? Siapa
kira-kira yang akan menang?" tanya Prabu Nalanda sambil menolehkan
kepalanya menatap Ki Temula.
"Dewa Arak memang luar
biasa," desah kakek kecil kurus itu sambil menggeleng-gelengkan kepala,
penuh kekaguman.
"Jadi, kakak
seperguruanmu itu akan dapat dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda
berseri-seri. Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu Nalanda sukar
membayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak
itu. Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki Kerpala.
"Sebenarnya Dewa Arak
memang mampu mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seperguruan hamba memiliki
aji 'Welut Putih'. Sehingga, setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak
berarti apa-apa," jelas Ki Temula.
"Jadi... bagaimana,
Ki?"
Ki Temula menghela napas
panjang.
"Rasanya sulit bagi
pemuda itu untuk mengalahkannya. Sayang, dia masih kurang berpengalaman dalam
menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal, dia memiliki ilmu yang dapat
melumpuhkan aji 'Welut Putih' itu."
"Ahhh..., jadi ..."
suara Prabu Nalanda terputus di tengah jalan.
"Yahhh.... Kita hanya
tinggal menunggu waktu saja, Gusti. Mudah-mudahan Dewa Arak berhasil menemu-
kan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di tangan kakak seperguruan
hamba. Lambat laun Dewa Arak akan kelelahan karena setiap serangannya hanya
sia-sia. Sementara kakak seper- guruan hamba nampaknya menyimpan tenaga, karena
jarang melakukan serangan. Hamba dapat menduga siasatnya. Dia menunggu Dewa
Arak kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak begitu sulit untuk
menjatuhkan Dewa Arak"
"Kau tahu, bagaimana
seharusnya Dewa Arak menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu Nalanda yang
gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek kecil kurus itu.
Ki Temula menganggukkan
kepalanya, "Cepat beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu Nalanda penuh
gairah.
"Maaf, Gusti Prabu.
Bukannya hamba membantah perintah Gusti. Tapi hamba tidak bisa bersikap seperti
itu. Biar mereka bertarung secara jantan."
"Ahhh...!" Prabu
Nalanda menghela napas. Alasan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu memang bisa
diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak mendesak lagi. Dialihkan
pandangannya ke depan, ke arah pertarungan.
Sementara itu pertarungan
sudah berlangsung hampir seratus tujuh puluh lima jurus. Dan selama itu, entah
berapa kali pukulan, tendangan, dan gebukan guci Dewa Arak bersarang di sekujur
tubuh Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa. Sementara setiap serangan Ki
Kerpala, belum ada satu pun yang mengenai sasarannya. Memang dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan
setiap serangan itu.
Pada jurus keseratus delapan
puluh, Dewa Arak melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali
di udara. Sementara Ki Kerpala yang sejak menginjak jurus keseratus tujuh puluh
lima, telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak telah mengendur, segera
melompat memburu. Tidak dibiarkan lawannya memulihkan tenaga.
"Hiyaaa...!"
Tapi Dewa Arak sudah
memperhitungkan hal itu. Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan,
supaya lawan mengira dirinya lelah. Padahal, berkat keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti', Arya hampir tidak pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia
segera meminum araknya, dan seketika itu juga pulih kembali. Dia berlaku
seperti itu untuk menghilangkan kewaspadaan lawan.
Ternyata usahanya berhasil,
karena Ki Kerpala sudah mulai terpancing dan memburunya penuh emosi. Di saat
itulah, kedua tangan Dewa Arak dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Pukulan
Belalang'!
Wuuusss... !
Angin berhawa panas berhembus
keras ke arah tubuh Ki Kerpala yang tengah berada di udara. Kakek berwajah
hitam ini berteriak ngeri. Dan....
Bresss... !
"Aaa...!"
Pukulan jarak jauh itu telak
bersarang di dada Ki Kerpala. Seketika itu juga tubuhnya terhempas jauh ke
belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Sekujur
tubuhnya hangus. Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan telinganya.
"Hhh...!" Arya
menghela napas lega. Diangkatnya guci arak yang sejak tadi digenggam ke atas
kepala, lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu memasuki tenggorokannya.
Prabu Nalanda dan Ki Temula
bergegas meng- hampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas semua
pertolonganmu, Arya," ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu.
"Ah! Jangan berterima
kasih padaku, Gusti Prabu. Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa
Arak.
Memang pemuda ini sudah bisa
menduga kalau orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang raja.
"Apa yang kau katakan
tidak salah, Arya. Tapi, sebagai seorang yang telah menerima pertolongan begitu
besar, wajar kalau aku memberi sesuatu, sebagai tanda syukurku atas pertolongan
Gusti Allah," ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar.
"Tapi, Gusti.. ,"
Arya mencoba membantah.
"Kau harus menerimanya,
Arya. Atau kau ingin mempermalukanku di hadapan seluruh prajuritku?"
Dewa Arak tidak bisa membantah
lagi.
"Nah! Sebagai tanda
terima kasihku pada Gusti Allah, kau akan kunikahkan dengan putriku,
Arya," tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun terdengar buru-buru.
"Hah...?!" Dewa Arak
melengak kaget. Ucapan Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir di tengah hari.
"Tapi, Gusti Prabu..."
"Ingat, Arya. Jangan
membantah perintah seorang raja...!" potong Prabu Nalanda cepat.
Dewa Arak tertegun
kebingungan. Dengan pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki Temula.
Tapi kakek itu malah mengangkat bahu, lalu menghindari pandangan mata Dewa
Arak.
Di saat gawat itu, tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh, dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri seorang
gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak cantik laksana dewi. Rambutnya panjang
terurai.
"Ayahanda..." sapa
gadis itu lirih sambil memberi hormat pada Raja Bojong Gading itu.
Prabu Nalanda menoleh ke arah
Ki Temula.
"lnilah wanita yang
kuceritakan itu, Ki. Wanita perkasa yang telah menyelamatkanku beberapa minggu
lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus ketika aku tengah berburu." jelas
Raja Bojong Gading itu. "Sebagai tanda terima kasihku, kujadikan dia
anakku."
"Melati...," desah
Dewa Arak terkejut. Sepasang matanya terbelalak melihat gadis yang dicintainya
itu telah menjadi putri seorang raja.
"Inilah putriku yang akan
kujodohkan denganmu, Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya Prabu Nalanda
sambil tersenyum dikulum. Dia telah tahu ada pertalian cinta antara Melati,
anak angkatnya dengan si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-ragu lagi untuk
memutuskan demikian.
Wajah Dewa Arak seketika
memerah. Sungguh terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan pertanyaan seperti
itu. Bahkan Melati sendiri sampai menundukkan wajahnya yang mendadak menyem-
burat merah.
"Itu..., eh! Anu...
terserah Gusti Prabu saja...," jawab Dewa Arak terbata-bata.
"Jawablah sebagaimana
seorang lelaki memberi jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda dengan suara
penuh wibawa.
Kian merah wajah Dewa Arak
"Hamba setuju, Gusti
Prabu." tegas Arya Buana .
"Bagus! itu baru jawaban
seorang lelaki sejati!" puji Raja Bojong Gading ini dengan wajah
berseri-seri.
"Tapi hamba punya satu
permintaan, Gusti," sambung Dewa Arak cepat.
"Apa itu, Arya? Katakan
saja, jangan malu-rnalu."
"Hamba ingin usul agar
pernikahan dilaksanakan nanti saja. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan,
Gusti Prabu."
Prabu Nalanda mengernyitkan
keningnya, tapi sesaat kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Disadari banyak
orang yang membutuhkan pertolongan Dewa Arak.
"Aku tidak keberatan,
Arya."
"Ayahanda...," ucap
Melati yang sejak tadi menundukkan kepalanya. Suaranya pelan sekali.
"Ada apa, Anakku,"
sahut Prabu Nalanda.
"Maafkan Ananda,
Ayahanda. Ananda datang terlambat sehingga tidak bisa membantu Ayahanda
menghadapi para pengacau itu "
"Tidak mengapa, Anakku.
Ayah pun memaklumi- nya," jawab Prabu Nalanda sambil tersenyum. Memang,
Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama ini Melati sibuk mencari Dewa Arak,
setelah didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Terima kasih,
Ayahanda," ucap Melati seraya memberi hormat. "Ayahanda...."
"Ada apa lagi, Anakku?
Katakanlah...," tegas Prabu Nalanda, masih dengan senyum di bibir.
"Hamba mohon pamit,
Ayahanda. Hamba khawatir akan keselamatan guru hamba."
Prabu Nalanda tersenyum
maklum. Diusap-usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu.
"Pergilah, Anakku. Tapi
ingat, jangan lupakan Ayahmu ini. Sekali-sekali mampirlah kemari."
"Akan kuusahakan,
Ayahanda," sambut Melati gembira mendapat persetujuan itu.
"Hamba juga mohon diri,
Gusti Prabu," pamit Dewa Arak pula.
"Silakan, Arya. O, ya.
Kalau sempat, sering- seringlah datang kemari!"
Dewa Arak hanya menganggukkan
kepalanya, lalu segera melesat dari situ bersama Melati. Dalam sekejap saja
tubuh keduanya sudah lenyap meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan
Bojong Gading.
"Bagaimana kau bisa
sampai kemari, Melati?" tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat
kemunculan Melati di sini.
Melati menghela napas.
Wajahnya yang semula cerah, mendadak muram. Tentu saja hal ini membuat Arya
merasa tidak enak.
"Sejak kita datang waktu
itu, sebenarnya Kakek sudah terluka dalam. Tapi, Kakek tidak ingin aku
mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya sendiri. Maka cepat-cepat aku
pergi mencarimu, karena kaulah yang telah membawa obat pulung itu."
Arya terdiam. Ingatannya
melayang pada Ki Julaga yang selalu dipanggil kakek oleh gadis itu (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta Sang Pendekar")
Perlahan diambilnya sebuah gulungan kain dari jepitan sabuk di pinggangnya,
kemudian diberikan pada Melati.
"O ya, Kang. Kita kan
sekarang sudah dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan perasaannya
sejak tadi. Ditatapnya lekat-lekat wajah Dewa Arak.
"Benar! Seharusnya aku
berterima kasih pada Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada beliau, mungkin aku
belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.
"Apa?!" pekik
Melati. Sepasang matanya melotot "Enaknya!"
Setelah berkata demikian,
dicubitnya pinggang Arya, namun tidak keras. Arya malah membiarkannya dan
menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya tangan itu ke mulutnya, dan
dikecup lembut. Lama sekali baru dilepaskan kecupan itu.
"Pergilah, Melati. Kakek
menantikanmu," ucap Arya pelan, namun cukup jelas terdengar.
"Tapi aku masih kangen,
Kang," rajuk Melati sambil merangkul pinggang Arya.
"Ya. Tapi di lain saat
Kita kan masih bisa bertemu lagi," bujuk Arya dengan perasaan haru melihat
Melati sangat membutuhkannya.
Setelah puas melepas
kerinduan, akhirnya Melati meninggalkan tempat itu.
"Nanti kau mampir ya,
Kang...," teriak Melati di kejauhan.
"Pasti..., pasti
Melati," teriak Arya pula sambil memperhatikan kepergian gadis yang
disayanginya itu.
Setelah bayangan Melati lenyap
di kejauhan, Arya baru melangkahkan kakinya untuk menyongsong tugas-tugas lain
yang telah menunggunya. Tugas selaku seorang pendekar pembela keadilan.
SELESAI