12 - Jamur Sisik Naga
Matahari telah condong ke
Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi ketika dua sosok tubuh melangkah
perlahan memasuki hutan. Kepala kedua sosok itu tertunduk menekuri tanah. Jelas
ada sesuatu yang merisaukan hati keduanya.
Perlahan kegelapan mulai sirna
ketika rembulan menampakkan diri di langit. Walaupun hanya remang-remang, tapi
sinarnya cukup untuk mengusir kegelapan di hutan itu.
Dua sosok tubuh itu terus saja
melangkah lesu dengan kepala tertunduk. Di bawah keremangan cahaya bulan, wujud
dua sosok tubuh itu terlihat cukup jelas. Yang seorang adalah pemuda tampan
berambut putih keperakan dengan sebuah guci arak tersampir di punggungnya.
Sedangkan sosok kedua adalah
seorang gadis cantik berpakaian jingga.
"Dewa Arak," ucap
gadis berpakaian Jingga itu. Suaranya pelan dan agak parau.
Pemuda berambut putih
keperakan yang ternyata adalah Dewa Arak, menoleh.
"Kumohon, kau tidak
memanggilku dengan sebutan itu, Karmila, " pinta Dewa Arak.
"Panggii saja Arya."
"Baiklah, De... eh...
Arya," sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Karmila,
mengalah (Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis ini bersama Arya, bacalah
serial Dewa Arak dalam episode "Memburu Putri Datuk").
Begitu Karmila menghentikan
ucapannya, suasana kembali hening. Kini keduanya melangkah tanpa berbicara
lagi.
"O ya... , di mana kau
akan mengobati lukamu, Arya?" tanya Karmila memecahkan keheningan. Matanya
yang bening menatap wajah tampan di sebelahnya.
"Nanti.., agak ke dalam
sedikit..," sahut Dewa Arak pelan.
Karmila hanya mengangguk.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah suara
kerosak rerumputan dan dahan-dahan kering yang terpijak kaki mereka. "Aku
menyesal sekali, Arya," kembali Karmila membuka percakapan. Suaranya sarat
dengan penyesalan.
"Apa yang kau sesali,
Karmila?" tanya Dewa Arak seraya menatap wajah gadis berpakaian jingga itu
lekat-lekat. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini belum mengerti maksud
ucapan Karmila.
"Diriku...," sahut
Karmila mendesah. Ada nada kesedihan yang dalam pada suaranya.
"Dirimu...?!" tanya
Arya heran. Dahi pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit dalam.
Karmila hanya mengangguk pelan
sebagai jawabannya.
"Mengapa kau sesali
dirimu sendiri, Karmila?" desak Dewa Arak "Apakah kau teringat pada
mendiang ayahmu lagi?"
Gadis berpakaian jingga itu
menggeleng. "Lalu, apa?" desak Arya. "Katakan yang jelas,
Karmila. Agar aku mengerti...."
"Hhh...!"
Karmila menghela napas berat
"Aku menyesal, mengapa hidupku selalu menimbulkan kesulitan bagi orang
lain. Ibu dan ayahku meninggal karena menyelamatkanku...."
"Sudahlah...! Tak perlu
kau sesali peristiwa yang telah terjadi. Yang lalu, biarlah berlalu...,"
hibur Arya.
"Dan kini..., aku telah
menyusahkanmu...," sambung Karmila. Seolah-olah tak didengarnya nasihat
Dewa Arak.
"Menyusahkanku. . . ? !
" tanya Arya dengan alis berkerut.
"Kau terlalu mengada-ada,
Karmila. Kau tahu, memang sudah menjadi tekadku untuk selalu ikut campur bila
ada tindak ketidakadilan. Jadi, kuharap kau tidak mengungkit-ungkit masalah ini
lagi."
"Tapi, aku telah membuat
hubunganmu dengan wanita cantik berpakaian putih jadi putus," lanjut gadis
berpakaian jingga itu. Ada rasa nyeri yang menggigit hatinya ketika teringat
Melati.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas berat. "Tak usah kau pikirkan masalah itu. Melati memang
berwatak agak keras.Tapi percayalah..., sebenarnya hatinya baik."
Karmila tercenung sejenak. Ada
rasa tidak enak yang menyeruak di hatinya mendengar Arya memuji Melati.
"Sebenarnya... , apa hubunganmu
dengan gadis itu, Arya?" tanya Karmila ingin tahu.
"Melati adalah
tunanganku...," sahut Dewa Arak mantap. Sepasang mata pemuda itu nampak
berbinar-binar ketika mengucapkannya.
Deg!
Karmila terhenyak. Jawaban
pemuda berambut putih keperakan itu tak ubahnya serudukan kerbau liar yang
menghantam dadanya. Terasa sesak dan sakit bukan main. Seketika itu juga wajah
gadis berpakaian jingga ini memucat. Untunglah malam itu suasananya
remang-remang, sehingga kepucatan wajahnya tak terlihat oleh Dewa Arak.
Karmila mengeluh dalam hati.
Tak disangkanya kalau benih-benih cintanya akan kandas secepat ini. Dewa Arak
sudah mempunyai seorang calon pendamping. Seorang gadis yang memang cocok untuk
menjadi jodoh pendekar muda yang tersohor ini. Seorang pendekar wanita cantik,
gagah dan juga kelihatannya merupakan orang penting di Kerajaan Bojong Gading.
Tidak seperti dirinya, putri bekas datuk sesat yang kejam. Perasaan rendah diri
pun menyeruak dalam hati Karmila.
"Ada apa, Karmila?"
tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan
langkahnya.
"Ti... tidak ada
apa-apa," sahut Karmila cepat. Buru-buru kakinya dilangkahkan kembali.
Arya yang tadi juga menghentikan langkahnya kembali meneruskan langkahnya.
Kedua orang itu terus
melanjutkan perjalanannya. Baru setelah tiba di sebuah rerimbunan semak-semak
yang agak terlindung, Dewa Arak menghentikan langkahnya.
"Sebentar, Karmila,"
ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Karmila pun menghentikan langkahnya.
Sebentar gadis itu memandangi Arya, tapi kemudian pandangannya segera dialihkan
lagi.
"Aku rasa tempat ini
cocok untuk bersemadi," sambung Dewa Arak lagi. Karmila hanya mengangkat
bahu.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera duduk bersila. Tak lama kemudian
Arya pun telah tenggelam dalam semadinya.
Karmila memandangi raut wajah
pemuda berambut putih keperakan itu dengan hari tersayat perih. Sesaat kemudian
ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat- kuat. Ada luka yang
mendera hatinya, begitu mengingat pemuda yang telah mencuri hatinya ini
ternyata telah dimiliki orang lain.
Suasana seketika menjadi
hening. Yang terdengar hanyalah desah napas teratur ketika
Dewa Arak mengatur
pernapasannya.
***
Entah sudah berapa lama Dewa
Arak tenggelam dalam semadinya Yang jelas, begitu pemuda ini membuka sepasang
matanya, malam telah berganti pagi. Sinar mentari telah menyinari bumi. Cicit
suara burung pun mulai riuh terdengar.
Yang pertama kali terlihat
oleh Arya adalah tubuh Karmila yang tergolek di depannya. Gadis itu tidur
dengan beralaskan ranting-ranting kering dan dedaunan semak- semak.
Perlahan Dewa Arak beranjak
bangkit. Terdengar suara berkeresekan dari ranting kering begitu pemuda
berambut putih keperakan ini bangkit berdiri. Meskipun pelan, tapi suara itu
sudah cukup untuk membuat Karmila terjaga dari tidurnya.
Perlahan-lahan sepasang
kelopak mata gadis itu membuka. Tapi kemudian segera menutup kembali begitu
matanya terasa silau oleh sorotan sinar matahari. Beberapa saat lamanya Karmila
mengerjap-nger japkan matanya, baru setelah terbiasa, sepasang matanya dibuka
lebar-lebar.
"Akan ke mana lagi kita,
Arya?" tanya Karmila.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
panjang. Sepasang alisnya hampir bertautan. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya. Sementara Karmila hanya memandanginya saja.
"Kau tidak mempunyai
tujuan, Karmila?" pemuda berambut putih keperakan itu balik bertanya.
"Semula tidak,"
sahut Karmila setelah termenung beberapa saat.
"Lalu sekarang, sudah
punya tujuan?"
Gadis berpakaian jingga itu
mengangguk.
"Ke mana?" tanya
Dewa Arak lagi.
"Danau Bagal," jawab
Karmila singkat.
"Danau Bagal?" ulang
Dewa Arak dengan alis berkerut.
"Di mana tempat itu,
Karmila?"
"Aku sendiri juga tidak
tahu, Arya," jawab gadis berpakaian jingga itu seraya menggelengkan
kepalanya.
"Aneh...," gumam
Arya. "Kau tidak tahu tempatnya, tapi ingin ke sana. Dari mana kau tahu
nama tempat itu, Karmila?"
"Dari ayahku."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Lalu mengapa kau hendak ke sana?" tanya Dewa Arak heran.
"Karena orang yang
tinggal di Danau Bagal itu adalah satu-satunya orang yang mempunyai hubungan
denganku," jawab gadis itu bernada sedih sehingga membuat hati Arya
terenyuh.
"Kalau boleh kutahu, apa
hubunganmu dengan orang yang tinggal di sana?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Karmila tercenung sejenak.
"Orang yang tinggal di sana adalah sahabat karib ayahku."
Kembali Dewa Arak
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebenarnya..., aku punya
sebuah rencana, Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan itu,
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Rencana apa, Arya?"
"Menyingkap misteri
pembunuhan dua orang murid Perguruan Pedang Ular."
"Aku rasa tidak perlu,
Arya," sahut Karmila.
"Mengapa, Karmila?"
dahi Dewa Arak berkernyit.
"Hal itu hanya
merepotkanmu saja. Apalagi akui memang tidak berniat membalas dendam. Ayah
sering sekali menasihatiku. Katanya, kalau sewaktu-waktu ada orang yang datang
membunuhnya, aku tidak boleh membalas kematiannya. Semua itu adalah buah dari
perbuatannya sendiri. Ayah telah terlalu banyak merugikan orang lain. Dan kalau
sekarang aku membalas kematiannya, arwah ayah pasti tidak akan tenangi di alam
baka," jelas gadis berpakaian jingga itu panjang lebar.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas panjang. "Kau salah dua kali, Karmila."
"Maksudmu?" tanya
gadis berpakaian jingga itu dengan alis berkerut.
"Pertama, kau salah bila
mengatakan kalau aku menjadi repot kalau mengusut persoalan ini. Bukankah sudah
kukatakan berkali-kali, aku melakukan semua ini karena memang sudah jadi
tekadku untuk turun tangan setiap kali ada tindak ketidakadilan. Sekali lagi
kutegaskan, Karmila ini memang sudah menjadi tekadku sejak aku mulai belajar
ilmu silat," tegas Dewa Arak tandas.
Karmila sama sekali tidak
menyahut Kepalanya tertunduk menekuri tanah.
"Dan yang kedua,"
sambung Dewa Arak lagi. "Kau salah mengerti maksud pesan ayahmu."
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Arya," ucap gadis berpakaian jingga itu seraya memandang wajah
pemuda berambut putih keperakan itu dengan sinar mata bodoh.
Dewa Arak membalas tatapan
Karmila. Sinar mata dan suara pemuda berambut putih keperakan ini nampak
bersungguh-sungguh.
"Ayahmu memang berpesan
begitu apabila dia terbunuh akibat kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Tapi,
kejadian ini berbeda, Karmila. Ayahmu tewas karena difitnah. Dan kalau kita
tidak menyingkap rahasia ini, nama ayahmu akan tetap rusak. Dan yang lebih
gawat lagi, seluruh orang-orang persilatan golongan putih akan terus
memburumu."
Arya menghentikan ucapannya
sejenak. Dilihatnya dahi gadis itu berkernyit, sebelum akhirnya menganggukkan
kepala.
"Sekalipun kau
bersembunyi ke Danau Bagal, aku yakin mereka akan tetap memburumu. Dan kau tahu
apa yang akan terjadi? Sahabat baik ayahmu itu mau tak mau akan terseret dalam
persoalan ini pula. Kau ingin hal itu terjadi, Karmila?"
Mendengar penjelasan panjang
lebar Dewa Arak, wajah gadis berpakaian jingga itu seketika memucat Kini baru
disadarinya keluasan wawasan berpikir pemuda berambut putih keperakan ini.
Semua yang dikatakan Arya benar. Selama misteri terbunuhnya dua orang murid
Perguruan Pedang Ular belum terungkap, tokoh-tokoh persilatan golongan putih
akan terus memburunya. Dan dirinya akan terus mengundang bahaya pada setiap
orang yang dikunjunginya.
"Bagaimana,
Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
terdiam.
"Kau benar, Arya,"
sahut Karmila setelah beberapa saat lamanya bimbang. "Jadi...?"
"Ya. Kita harus
menyingkap misteri pembunuhan ini!" jawab gadis berpakaian Jingga itu
tandas.
"Dan itu berarti kita
harus kembali ke Gunung Palanjar," ucap Dewa Arak.
"Mengapa harus ke sana
lagi, Arya?" tanya Karmila tak mengerti.
"Karena dari sanalah asal
muasal kejadian ini. Kita harus menelusuri perjalanan ketiga murid Perguruan
Pedang Ular mulai dari lereng Gunung Palanjar sampai ke perguruannya.
Barangkali saja kira dapat menemukan petunjuk di sana."
Karmila mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti. Dewa Arak benar-benar memiliki wawasan pengetahuan
yang luas, pikirnya. Dan seketika itu juga rasa kagumnya semakin menebal. Tapi
gadis berpakaian jingga ini segera sadar kalau perasaan itu harus dibuangnya
jauh-jauh. Sudah ada orang yang berhak memikirkan pemuda berambut putih
keperakan ini. Dan orang itu adalah Melati.
"Kapan kita berangkat,
Arya?" tanya Karmila.
"Secepatnya," sambut
Dewa Arak. "Aku tidak ingin masalah ini semakin berlarut-larut"
"Kalau begitu kita harus
berkemas-kemas dulu," ucap Karmila seraya meninggalkan tempat itu untuk
membersihkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, sehabis
membersihkan tubuh dan mengisi perut, kedua muda-muda itu pun meninggalkan
hutan.
***
"Hooop...!"
Seorang gadis berpakaian serba
putih mengangkat tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang
kudanya kuat-kuat. Seketika itu juga kuda tunggangannya berhenti melangkah.
Begitu pula puluhan kuda yang yang ditunggangi oleh orang-orang berseragam
prajurit kerajaan di belakangnya.
"Patih Rantaka,"
panggil gadis berpakaian putih itu pada penunggang kuda di belakangnya.
"Hamba, Gusti Ayu
Melati," sahut laki-laki setengah baya itu penuh hormat.
"Tugas yang diembankan
Ayahanda Prabu padaku telah selesai kukerjakan. Dan para perampok yang
menimbulkan kekacauan telah berhasil kita tumpas. Sekarang kau kuserahkan tugas
untuk mengambil alih pimpinan pasukan ini pulang ke kotaraja," ucap wanita
berpakaian putih yang ternyata bernama Melati itu.
"Lalu..., Gusti Ayu mau
ke mana?" tanya Patih Rantaka agak bingung.
"Aku masih punya urusan
lain, Paman Patih."
Patih Rantaka tersenyum. Tanpa
diberi tahu pun laki-laki setengah baya ini dapat menduga urusan yang dimaksud
putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Hamba mengerti, Gusti
Ayu. Tapi..., bagaimana kalau Gusti Prabu menanyakannya?" Patih Rantaka
meminta pendapat.
"Katakan saja apa
adanya!" tandas MelatI tegas. Dan sebelum laki-laki setengah baya itu
menyahut, gadis berpakaian putih itu telah menggebah kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara,
begitu kuda tunggangan Melati meninggalkan tempat itu. Patih Rantaka dan
pasukan khusus lainnya hanya terpaku memandangi gadis berpakaian putih itu
hingga lenyap ditelan kejauhan. Kepala laki- laki setengah baya ini
menggeleng-geleng.
Sementara itu Melati terus
menggebah kudanya agar berlari lebih cepat. Dari berita yang didapat,
diketahuinya kalau wanita yang ditolong Dewa Arak adalah putri seorang datuk
sesat. Melati bermaksud menyusul pemuda berambut putih keperakan itu untuk
menanyakan hubungan mereka. Apakah masih ingin diteruskan, atau memilih putri
datuk sesat itu.
Sepanjang perjalanan, Melati
terus mencari tahu arah yang dituju Dewa Arak dan Karmila. Memang tidak sulit
untuk mengikuti jejak kedua orang itu. Karena di samping ciri-ciri Arya yang
sangat menyolok, di sepanjang perjalanan pun banyak dijumpainya tokoh-tokoh
persilatan aliran putih yang dirobohkan Dewa Arak.
Mendengar semua ini, Melati
bertambah geram. Kekesalannya dilampiaskan dengan memaksa kuda nya berlari
secepat mungkin. Kini gadis berpakaian putih ini tahu kalau kedua buruannya
menuju ke Gunung Palanjar.
"Hooop...!"
Melati menarik tali kekang
kudanya ketika telah mendekati kaki Gunung Palanjar. Dan seketika itu juga,
binatang itu menghentikan larinya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu
melompat dari kudanya. Ringan tanpa suara kedua kakinya yang mungil mendarat di
tanah. Kudanya ditambatkan agak tergesa-gesa. Kemudian melesat cepat mendaki
lereng.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, mudah saja gadis berpakaian putih
itu mendaki lereng yang sebenarnya bermedan cukup berat itu. Tapi mendadak
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengikik yang
memecahkan kesunyian lereng Gunung Palanjar.
"Hup!"
Begitu kedua kakinya menjejak
tanah, Melati langsung bersikap waspada. Sepasang bola matanya menatap garang
ke arah tawa itu berasal. Urat-urat syaraf gadis itu seketika menegang tatkala
menyadari kehebatan tenaga dalam yang terkandung dalam suara tawa itu.
Sesaat kemudian, dari
rerimbunan pohon muncul dua sosok tubuh menghadang. Melati menatap kedua sosok
itu penuh selidik.
Orang pertama adalah pemuda
berbadan lebar yang berpakaian kuning. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Di
bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar sebatang pedang terhunus yang
tengah dililit seekor ular.
Sementara sosok kedua adalah
seorang wanita setengah baya yang berpakaian merah menyala. Rambutnya setengah
digelung ke atas, berhiaskan sebuah tusuk konde berujung kepala ular kobra.
"Ah! Ternyata dia gadis
yang amat cantik, Bu, " ucap pemuda berbadan lebar itu seraya merayapi
sekujur tubuh gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata liar. Tentu saja hal
ini membuat Melati bangkit kemarahannya.
"Memangnya kenapa kalau
gadis ini berwajah cantik, Waji?" tanya wanita berpakaian merah menyala
yang ternyata adalah ibu dari pemuda berbadan lebar itu. Mulutnya
menyunggingkan senyum ejekan.
Pemuda berbadan lebar yang
ternyata bernama Waji menelan ludahnya.
"Aku ingin Ibu
menangkapkannya untukku. Aku ingin bersenang-senang dengan dia sebentar saja.
Bu, " sahut Waji Sorot matanya semakin kurang ajar.
"Yang ada di otakmu hanya
itu saja, Waji!" cemooh wanita berpakaian merah menyala itu..
"Tidak tahukah kau kalau
gadis ini bukan orang sembarangan?! Sebelum kau sempat melaksanakan niat
kotormu nyawamu pasti sudah melayang terlebih dahulu!"
"Itulah sebabnya, aku
meminta Ibu menangkapkannya," tangkis Waji cepat.
Melati yang sejak tadi masih
berusaha memben dung amarahnya, akhirnya tidak tahan lagi. Kedua ibu dan anak
ini ternyata sama bejatnya. Enak saja mereka membicarakan diri seseorang di
depan yang bersangkutan.
"Kalian benar-benar
bermulut kotor!" umpat gadis berpakaian putih itu galak.
"Jaga mulutmu, Perempuan
Liar!" bentak wanita berpakaian merah menyala itu tak mau kalah.
Rupanya ibu Waji ini tergolong
wanita pemarah, dan pantang mendengar kata-kata kasar yang ditujukan kepadanya.
Begitu mendengar ucapan kasar tadi, kontan darahnya langsung mendidih.
"Apa hakmu menyuruhku
menjaga mulut, tua bangka bermulut kotor?!" Melati memang memiliki watak
keras dan tak mau kalah. Bentakan wanita berpakaian merah itu dibalasnya tak
kalah kasar.
"Kubilang jaga mulutmu!
Atau..., kau ingin aku menutupnya dengan kekerasan?.'" teriak wanita
berpakaian merah menyala itu dengan suara yang lebih keras lagi.
"Cobalah kalau kau mampu,
tua bangka tak tahu diri!" sambut gadis berpakaian putih itu tak kalah
gertak.
"Keparat! Kalau aku tak
mampu merobek mulutmu..., jangan panggil aku Dewi Pencabut Nyawa!"
Setelah berkata
demikian,wanita berpakaian merah menyala yang ternyata berjuluk Dewi Pencabut
Nyawa segera melangkah maju. Sikapnya terlihat penuh ancaman. Hal ini tentu
saja membuat Waji yang merasa tertarik pada Melati menjadi khawatir.
"Aku mohon kau tidak
membunuhnya, Ibu, " pinta pemuda berbadan lebar itu cepat. "Berilah
aku kesempatan untuk bersenang-senang dengannya. Ibu. Baru setelah itu kau
boleh merobek-robek mulut atau buat apa saja padanya."
Tapi Dewi Pencabut Nyawa hanya
mendengus saja. Tanpa mempedulikan ucapan putranya, wanita berpakaian merah
menyala itu menerjang Melati. Kedua tangannya mengembang membentuk cakar.
Tangan kanannya menyampok ke arah pelipis anak angkat Raja Kerajaan Bojong
Gading ini. Sementara tangan kirinya disilangkan di depan dada.
Wuuut!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serangan wanita berpakaian merah menyala itu. Melati kalau serangan
lawan ini tidak bisa dibuat main-main. Dari desir angin pukulannya saja sudah
bisa diukur kedahsyatan serangan itu.
Melati buru-buru mendoyongkan
tubuhnya seraya menarik kepalanya ke belakang. Sambaran cakar Dewi Pencabut
Nyawa berada setengah jengkal di depan wajahnya. Rambut dan pakaian gadis itu
berkibaran keras akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
itu.
Tapi tidak hanya itu saja yang
dilakukan Melati. Berbareng dengan menarik tubuhnya ke belakang, kaki kanannya
mencuat ke arah perut lawan.
Wuttt...!
"Hm...!"
Terdengar suara mendengus dari
mulut Dewi Pencabut Nyawa. Tangan kirinya yang disilangkan di depan dada,
dibacokkan ke bawah, menangkis tendangan yang mengancam
perutnya.
***
Takkk!
Suara berderak keras seperti
beradunya dua batang besi mengiringi benturan tangan dan kaki yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi itu.
Melati terdorong mundur satu
langkah, sedangkan Dewi Pencabut Nyawa terhuyung dua langkah ke belakang. Jelas
kalau dalam adu tenaga dalam tadi, gadis berpakaian putih itu lebih unggul dari
lawannya.
Dewi Pencabut Nyawa meringis.
Tangan yang berbenturan dengan kaki gadis berpakaian putih itu terasa sakit
bukan main. Dan hal ini tentu saja membuat kemarahan wanita berpakaian merah
menyala itu semakin berkobar.
"Pantas kau berani kurang
ajar di depanku, Perempuan Liar! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian!"
desis Dewi Pencabut Nyawa geram. "Tapi jangan bangga dulu! Aku belum
kalah!"
Setelah berkata demikian,
wanita berpakaian merah menyala itu menggosok- gosokkan kedua telapak tangannya
satu sama lain. Akibatnya, perlahan-lahan sepasang tangan itu mulai berubah
menghitam. Semakin lama tangan itu semakin hitam. Dan samar-samar tercium bau
amis yang memuakkan.
Melati memperhatikan semua itu
dengan sikap waspada. Gadis berpakaian putih ini menyadari kalau wanita di
hadapannya ini merupakan lawan yang amat tangguh. Dahinya sedikit berkernyit
ketika melihat kedua tangan wanita berpakaian merah menyala itu menghitam
sampai sebatas pergelangan. Apalagi begitu hidungnya yang berbentuk indah itu
samar-samar mencium bau amis.
"Racun...," desis
gadis berpakaian putih itu pelan. Melati tahu kalau Dewi Pencabut Nyawa telah
mengeluarkan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan
ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Dewi Pencabut Nyawa
terperanjat kaget begitu melihat kedua tangan Melati juga berubah warna sampai
ke pergelangan. Hanya saja warnanya tidak hitam seperti tangannya, tapi merah.
Semerah darah!
"Hiyaaa...!"
Seraya berteriak nyaring, Dewi
Pencabut Nyawa melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, kedua
tangannya tiba-tiba membentuk cakar garuda. Ibu jari dan kelingking dilipat ke
dalam, sementara jari- jari lainnya mengembang. Dan dari atas, kedua cakar
wanita berpakaian merah menyala itu mencengkeram bertubi-tubi ke arah pelipis
dan ubun-ubun Melati.
Wuttt!
Suara berciutan nyaring
bercampur bau amis yang memuakkan mengiringi tibanya serangan Dewi Pencabut
Nyawa.
Melatti tetap bersikap tenang.
Tanpa ragu- ragu lagi ditangkisnya sambaran cakar yang mengancamnya. Dengan
mengerahkan ilmu 'Cakar Naga Merah', gadis berpakaian putih itu sama sekali
tidak khawatir berbenturan dengan tangan lawan yang beracun. Warna merah pada
kedua tangannya, bukan hanya hiasan belaka. Tapi mampu menghalau racun yang
mencoba masuk ke dalam tubuhnya.
Takkk, plakkk!
Untuk yang kedua kalinya
terdengar suara berderak keras akibat benturan kedua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Kali ini lebih keras dari
sebelumnya, sehingga membuat tubuh Melati terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi keadaan yang dialami Dewi
Pencabut Nyawa lebih hebat lagi. Tubuh wanita berpakaian merah menyala yang
tadi sedang berada di udara, kontan terlontar kembali ke atas. Ada suara
pekikan halus keluar dari mulutnya.
"Hup!"
Hampir bersamaan dengan
hinggapnya Dewi Pencabut Nyawa di tanah, Melati telah mampu memperbaiki posisi
kuda-kudanya.
Sepasang mata Dewi Pencabut
Nyawa terbelalak lebar begitu melihat gadis berpakaian putih itu masih berdiri gagah.
Padahal selama ini setiap lawan yang berbenturan tangan dengannya pasti tewas
dengan sekujur tubuh hangus.
Semula, begitu melihat Melati
menangkis serangannya, wanita berpakaian merah menyala itu sudah girang bukan
main. Dia yakin sekali kalau gadis berpakaian putih ini akan tewas! Tapi
kenyataan yang dilihatnya berbeda. Melati masih berdiri segar bugar. Tak kurang
suatu apa!
"Kaget, Dewi Pencabut
Nyawa?" ejek Melati sambil tersenyum sinis. Gadis berpakaian putih ini
dapat merasakan keterkejutan lawannya. "Jangan harap racunmu akan mampu
melukaiku!"
Wanita berpakaian merah
menyala itu sama sekali tidak menanggapi ejekan Melati. Dia masih belum percaya
kalau racun 'Ular Karang' yang terkenal mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa
pada gadis berpakaian putih di hadapannya ini. Maka ditunggunya beberapa saat,
barangkali saja racunnya kali ini tidak bereaksi cepat seperti biasanya, hibur
Dewi Pencabut Nyawa pada dirinya sendiri.
Melihat lawannya hanya berdiri
diam, Melati jadi tidak sabaran. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda kalau
wanita berpakaian merah menyala itu akan kembali menyerang. Dan gadis
berpakaian putih itu tahu apa yang tengah ditunggu lawannya.
"Tunggu apa lagi, Dewi
Pencabut Nyawa? Percuma, racunmu sama sekali tidak ada artinya bagiku!"
"Keparat!" maki Dewi
Pencabut Nyawa gusar. Kini wanita berpakaian merah menyala itu yakin kalau
gadis ini memang benar-benar kebal terhadap racunnya. Maka wanita berpakaian
merah menyala itu kembali menerjang Melati. Kedua tangannya berkelebat cepat,
menyambar berbagai bagian tubuh Melati yang mematikan.
Tapi Melati bersikap tenang.
Gadis berpakaian putih ini memang bukan orang sembarangan. Bahkan masih
terhitung seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan berjuluk Dewi Penyebar
Maut (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Dewi
Penyebar Maut"). Tidak terlalu sulit bagi Melati untuk mengelak dan
membalas setiap serangan lawan.
Di jurus-jurus awal,
pertarungan kedua wanita yang sama-sama berilmu tinggi ini berlangsung imbang.
Keduanya sama-sama lincah. Namun masih terlihat jelas kalau dalam hal tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuh, tingkat kepandaian Melati masih unggul
satu tingkat ketimbang lawannya.
Tapi keunggulan Melati
tertutup oleh kelebihan-kelebihan yang dimiliki Dewi Pencabut Nyawa. Wanita
berpakaian merah menyala ini memiliki berbagai macam perubahan jurus yang penuh
tipuan. Penuh kecurangan.
Hebat bukan main akibat
pertarungan yang ditimbulkan kedua wanita sakti ini. Tanah terbongkar di
sana-sini. Pohon-pohon besar kecil yang terlanda angin pukulan mereka
bertumbangan tak tentu arah. Suara angin mencicit tajam mengiringi pertarungan
itu. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Pertarungan antara kedua
wanita yang sama- sama memiliki gerakan lincah itu berlangsung cepat. Sehingga
tak terasa tujuh puluh lima jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini belum
nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
"Keparat!"
Dewi Pencabut Nyawa menggeram
murka. Wanita berpakaian merah menyala ini memang marah bukan main. Seumur
hidupnya belum pernah dia bertempur sampai sekian lamanya tanpa mampu mendesak.
"Hih!"
Tiba-tiba saja, wanita
berpakaian merah menyala itu memekik keras. Dan seiring dengan lenyapnya
pekikan tadi, di tangan kanannya telah tergenggam sebatang cambuk berujung
tiga.
Ctarrr!
Secepat cambuk itu berada di
tangannya, secepat itu pula dilecutkan ke arah kepala Melati. Luar biasa!
Ketiga ujung cambuk itu masing-masing menuju sasaran yang berbeda- beda!
Pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung. Semuanya merupakan tempat-tempat jalani
darah yang mematikan.
Melati agak terkejut mendapat
serangan mendadak ini. Tapi meskipun begitu, gadis berpakaian putih itu tidak
menjadi gugup. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, kemudian bersalto
beberapa kali di udara.
Tapi mana mau Dewi Pencabut
Nyawa membiarkan lawan tangguhnya lolos? Begitu dilihatnya gadis berpakaian
putih itu melenting ke belakang, wanita berpakaian merah menyala itu segera
mengejar. Cambuk berujung tiga mencecar berbagai bagian berbahaya di tubuh
Melati.
Melati yang tahu kalau lawan
terus mengejarnya, terus saja bersalto di udara. Selagi tubuhnya berada di
udara, gadis berpakaian putih itu memutar otaknya untuk melepaskan diri dari
cecaran ujung cambuk Dewi Pencabut Nyawa.
"Hup!"
Begitu mendapat kesempatan,
buru-buru gadis berpakaian putih itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dan
bersamaan dengan hinggapnya Melati, di tangannya telah tergenggam sebilah
pedang telanjang.
Pada saat yang bersamaan,
lecutan cambuk berujung tiga dari Dewi Pencabut Nyawa menyambar ke arah
tenggorokan, bawah hidung, dan ulu hati. Lagi-lagi bagian mematikan yang
diincarnya.
Ctarrrr! Wuttt!
Wunggg!
Terdengar suara mengaung
dahsyat begitu Melati menggerakkan pedangnya. Inilah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!
Rrrttt... !
Tiga buah serangan itu kandas
begitu Melati menyabetkan pedangnya. Tapi tak urung ujung cambuk itu melilit
pedang gadis berpakaian putih yang pernah mendapat julukan Dewi Penyebar Maut
itu.
"Hih!"
Dewi Pencabut Nyawa segera
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membetot cambuknya. Tentu saja gadis
berpakaian putih itu tidak mau melepaskan pedangnya. Seluruh tenaga dalamnya
dikerahkan untuk balas menarik. Sesaat lamanya terjadi adu tarik- menarik.
Semula terlihat imbang. Tapi, beberapa saat kemudian mulai nampak keunggulan
Melati.
Di saat itulah Waji yang sejak
tadi menonton jalannya pertarungan, mendadak melompat menerjang.
Srattt!
Selagi tubuhnya berada di
udara, pemuda berbadan lebar itu mencabut pedangnya dan langsung membabatkannya
ke arah punggung Melati.
Wunggg!
Suara mengaung keras terdengar
begitu pedang Waji meluncur.
Melati yang tidak menyangka
kalau pemuda berbadan lebar itu akan bertindak selicik ini, menjadi terkejut.
Seketika itu juga perhatiannya terpecah. Dan dengan sendirinya tenaga
tarikannya berkurang. Akibatnya tubuh gadis berpakaian putih itu terbawa
tarikan Dewi Pencabut Nyawa ke depan. Tapi justru hal ini malah
menguntungkannya.
Wusss!
Serangan pedang Waji menyambar
lewat di belakang punggung Melati. Hanya setengah jengkal dari tubuh gadis berpakaian
putih itu.
Melati memang berhasil lolos
dari babatan pedang Waji. Tapi, hal ini bukan berarti dirinya sudah lolos dari
maut. Karena begitu tubuhnya tertarik oleh betotan Dewi Pencabut Nyawa, kaki
wanita berpakaian merah menyala itu melayang ke arah perutnya.
Bukkk! "Hugh!"
Telak dan keras sekali
tendangan itu menghantam perut Melati. Seketika itu juga gadis berpakaian putih
itu terjengkang ke belakang. Sekujur perutnya dirasakan mual dan mules bukan
main. Darah segar pun menetes deras dari sudut-sudut mulutnya.
Tapi hebatnya, meskipun
terjengkang, Melati mari mampu membebaskan pedangnya dari belitan cambuk lawan.
Dan begitu pedangnya bebas, tubuh gadis berpakaian putih ini segera melesat
kabur.
Dewi Pencabut Nyawa
menggertakkan gigi. Segera dia bergerak hendak mengejar. Wanita berpakaian
merah menyala ini yakin akan mampu mengejar gadis berpakaian putih itu. Apalagi
Melati sudah terluka!. Tapi....
"Ibu...! Tahan...!"
Wanita berpakaian merah
menyala itu terpaksa mengurungkan langkahnya. Kepalanya ditolehkan kearah
putranya. Sinar matanya tajam, penuh tuntutan.
"Kita masih ada urusan
yang lebih penting lagi, Ibu," ucap pemuda berbadan lebar itu sebelum Dewi
Pencabut Nyawa mengajukan pertanyaan.
"Ah...! Kau benar, Waji!
Urusan dengan gadis itu bisa ditunda nanti. Sedangkan urusan kita tidak bisa
ditunda lebih lama lagi!" sambut Dewi Pencabut Nyawa baru teringat.
"Itulah sebabnya aku
menahan Ibu," sahut Waji lagi seraya tersenyum lebar.
Dewi Pencabut Nyawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepasang matanya menatap jauh ke depan. Ke arah
Melati tadi melarikan diri. Tapi kini gadis berpakaian putih itu telah lenyap
ditelan jalan.
"Tunggulah, Gadis
Liar...," desis wanita berpakaian merah menyala itu penuh ancaman.
"Sekarang kau boleh lolos dari tanganku. Tapi..., lain kali jangan harap
akan semujur ini...!"
"Sudahlah, Ibu,"
potong Waji cepat "Nanti, Setan Kepala Besi akan marah jika kita
terlambat."
Di mulutnya, pemuda berbadan
lebar ini berkata begitu, tapi di hatinya terselip penyesalan yang besar.
Sungguh di luar dugaannya kalau gadis berpakaian putih yang telah membangkitkan
nafsunya itu berhasil meloloskan diri. Kalau saja tidak mengingat urusan
penting yang harus dilakukannya, tentu Waji tidak akan mencegah ibunya mengejar
Melati.
"Hhh...!" Dewi
Pencabut Nyawa menghela napas panjang. Kemudian melesat meninggalkan tempat
itu. Menyusul putranya yang telah berkelebat lebih dulu.
* * *
"Hhh...!"
Seorang laki-laki tinggi besar
berkepala botak menghela napas berat. Sepasang matanya kembali menatap ke bawah
lereng. Entah untuk yang ke berapa kalinya dia berbuat begitu.
Dan setiap kali menatap ke
arah lereng yang sunyi, desah kekesalan terlontar dari mulutnya. Jelas ada
sesuatu yang ditunggu orang yang berjuluk Setan Kepala Besi itu.
"Ke mana, si keparat
Waji," keluh laki- laki tinggi besar berkepala botak kesal. Rupanya Setan
Kepala Besi tengah menunggu pemuda berbadan lebar.
Baru saja keluar kekesalan
hatinya, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki mendekat.
Semula wajah laki-laki tinggi besar berkepala botak ini berseri-seri. Tapi
begitu tahu kalau langkah yang bergerak mendekat itu tidak hanya sepasang,
dahinya berkemyit dalam. Meskipun begitu, Setan Kepala Besi tetap saja berdiri
menunggu.
Sesaat kemudian berkelebat dua
sosok tubuh, yang kemudian mendarat ringan di depan laki-laki tinggi besar
berkepala botak itu.
Setan Kepala Besi menatap
kedua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Dan seketika itu juga senyumnya
mengembang begitu mengenali kedua sosok tubuh itu. Yang seorang adalah Waji.
Sedangkan seorang lagi, adalah wanita setengah baya berpakaian merah menyala.
Dandanannya terlihat begitu
seronok. Sementara di pinggangnya terselip sebatang cambuk.
"Ha ha ha...!" Setan
Kepala Besi tertawa bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau akan
datang ke sini, Dewi Pencabut Nyawa. Ha ha ha...!"
"Siapa yang tidak
tertarik dengan jamur ajaib itu, Setan Kepala Besi!" sahut wanita
berpakaian merah menyala yang ternyata adalah Dewi Pencabut Nyawa. "Tidak
percuma kau menjadi suamiku!"
"Ah, jangan terlalu
memujiku, Dewi Pencabut Nyawa. Yang paling berjasa adalah anakmu. Waji! Dialah
yang merencanakan semuanya," jawab Setan Kepala Besi mengelak.
Wajah Dewi Pencabut Nyawa
nampak merengut begitu mendengar ucapan Setan Kepala Besi.
"Jadi, kau masih belum
menganggap Waji sebagai anakmu sendiri? Bukankah kita telah sepuluh tahun lebih
menjadi suami istri, Setan Kepala Besi?!" tegur wanita berpakaian merah
menyala Itu bernada keras.
"Maafkan aku, Dewi
Pencabut Nyawa," ucap laki-laki tinggi besar berkepala botak itu cepat.
"Bukannya aku tidak mengakuinya. Tapi, mulutku yang ceplas-ceplos inilah
yang kadang membuatku lupa. Tapi, percayalah.... Aku telah menganggap Waji
sebagai anakku sendiri."
Seketika itu juga, wajah Dewi
Pencabut Nyawa kembali berseri-seri. Jelas kalau Setan Kepala Besi telah
berhasil membujuknya.
"Nanti malam, bulan akan
bersinar penuh, Setan Kepala Besi, " ucap wanita berpakaian merah menyali
itu bernada memberi tahu.
"Aku juga tahu, Dewi
Pencabut Nyawa," sambut laki-laki berkepala botak itu tak mau kalah.
"Dan itu berarti...,
jamur-jamur ajaib itu telah tumbuh. Bukankah begitu, Setan Kepala Besi?"
"Tidak salah, Dewi
Pencabut Nyawa," jawab laki-laki berkepala botak itu sambil
mengangguk-angguk.
"Kau sudah memeriksanya,
Setan Kepala Besi?" tanya wanita berpakaian merah menyala itu sambil
menatap tajam wajah laki-laki berkepala botak di hadapannya. Sorot matanya
menampakkan kecurigaan.
Setan Kepala Besi
menggelengkan kepala. "Aku menunggu kalian dulu agar kita bisa melihatnya
bersama-sama. Tadi aku sudah mengambil keputusan, kalau kutunggu kalian
sebentar lagi, tidak juga datang... aku akan melihatnya sendirian!"
"Untung kami segera
datang...," sahut Waji yang sejak tadi berdiam diri saja.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Mari kita ke sana!"
sambut Dewi Pencabut Nyawa tak
sabar. "He he he...!"
Setan Kepala Besi tertawa
terkekeh. "Kau ini masih seperti dulu saja, Dewi Pencabut Nyawa! Tidak
sabaran!" ucap laki-laki berkepala botak itu menyindir.
Tapi wanita berpakaian merah
menyala itu sama sekali tidak menanggapi sindiran itu. Hanya suara dengusan
dari hidungnya saja yang terdengar.
"Sekarang bukan waktunya
untuk bermain- main, Setan Kepala Besi!" tandas Dewi Pencabut Nyawa keras.
Tapi mulutnya menyunggingkan senyuman. Jelas kalau jawaban keras itu tak keluar
dari hatinya.
"Kalau begitu..., mari
ikut aku, Dewi Pencabut Nyawa," ajak Setan Kepala Besi seraya melesat
meninggalkan tempat itu. Sudah bisa diduga kalau laki-laki tinggi besar
berkepala botak ini akan menuju ke gua bekas tempat tinggal Kalapati.
Dewi Pencabut Nyawa hanya
tertawa mengikik sesaat. Kemudian tubuhnya pun telah menyusul Setan Kepala Besi
yang telah melesat lebih dulu.
Waji pun tak mau ketinggalan.
Pemuda berbadan lebar yang ternyata putra Dewi Pencabut Nyawa ini, segera
berlari menyusul kedua tokoh sesat itu.
***
Terdengar tawa keras bergelak
dari dalam sebuah gua di lereng Gunung Palanjar. Menilik dari tawa yang
menggelegar itu, dapat diperkirakan kalau pemiliknya memiliki tenaga dalam yang
amat tinggi.
Belum juga habis gema suara
tawa itu, sebuah tawa lain yang melengking nyaring terdengar menyahuti. Jelas
dapat diketahui kalau pemilik suara tawa yang kedua ini adalah seorang wanita.
Di dalam gua yang semula
merupakan tempat tinggal Kalapati, nampak tiga sosok tubuh berjongkok menatap
ke salah satu sudut gua. Jelas ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa keras
menggelegar. Suara tawa itu ternyata keluar dari mulut Setan Kepala Besi.
"Jamur ajaib ini akan
menjadi milik kita... ! Ha ha ha...!" teriak laki-laki tinggi besar
berkepala botak itu sambil tertawa bergelak. Pandangan matanya menatapi ke arah
jamur-jamur putih yang tumbuh berkelompok di salah satu sudut gua.
"Benar, Setan Kepala
Besi! Dan kita akan menjadi orang yang sakti yang tak terkalahkan!
Hi hi hi...!" sambut Dewi
Pencabut Nyawa seraya menatap wajah laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
"Sebenarnya..., apakah
kegunaan jamur itu selain untuk menambah tenaga dalam, Bu?" tanya seorang
pemuda berbadan lebar yang ternyata adalah Waji.
Dewi Pencabut Nyawa menatap
tajam wajah putranya.
"Memang hanya itulah
kegunaan jamur ini, Waji," jawab wanita berpakaian merah menyala itu
memberi tahu.
"Ah...! Khasiatnya
ternyata tidak sebesar namanya...," ucap Waji bernada mencemooh.
"Kau ini memang aneh,
Waji," selak Setan Kepala Besi. "Kadang-kadang kau bertindak cerdik
Cerdik sekali malah. Tapi..., tak jarang pula kau bodoh seperti kerbau!"
Merah wajah Waji mendengar
ucapan laki- laki tinggi besar berkepala botak itu.
"Atas dasar apa, kau
menuduhku demikian, Setan Kepala Besi?" tanya pemuda berbadan lebar itu.
Nada penasaran nampak jelas dalam suaranya.
"Ucapanmu yang
tadi," sahut Setan Kepala Besi tak acuh. Sepasang matanya kembali dialihkan
pada kelompok jamur putih.
"Hm .... Mengenai jamur
itu, Setan Kepala Besi?" tanya Waji memastikan.
"Memangnya, kau pikir
ucapanmu yang mana?" Setan Kepala Best balas bertanya lagi. Sementara Dewi
Pencabut Nyawa sama sekali tidak mempedulikan keributan itu. Wanita berpakaian
merah menyala ini masih saja sibuk dengan tanaman jamur itu.
"Bukankah ucapanku benar.
Setan Kepala Besi?!" sambut Waji tak mau kalah. "Tanaman itu hanya
besar di namanya saja. Jamur Sisik Naga! Tak tahunya kegunaannya hanya untuk
menambah tenaga dalam saja!"
"Kau memang berotak
kerbau, Waji!" akhirnya Dewi Pencabut Nyawa ikut angkat suara pula. Ucapan
pemuda berbadan lebar itu setidak-tidaknya telah menuduh dia dan Setan Kepala
Besi mengejar-ngejar sesuatu yang sama sekali tidak berharga.
Semakin merah wajah Waji
mendengar ibunya juga menyalahkannya. Bahkan makian dari wanita berpakaian
merah menyala itu malah lebih keras daripada makian Setan Kepala Besi.
"Di mana kau bisa
mendapatkan tambahan tenaga dalam?!" tanya Dewi Pencabut Nyawa dengan
suara keras.
"Apa susahnya, Bu?"
jawab Waji ringan. "Dengan semadi dan pemapasan, aku dapat menambah
kekuatan tenaga dalamku!"
"Anak berotak
kerbau!" maki Dewi Pencabut Nyawa. Rupanya makian yang baru saja
didapatkan Setan Kepala Besi, terasa enak diucapkan. Terbukti wanita berpakaian
merah menyala itu tidak bosan-bosannya memaki anaknya sendiri dengan makian
itu. "Berapa besar sih, tambahan tenaga dalam yang kau peroleh dari semadi
dan pemapasan?! Kau tahu, dengan makan sebuah jamur ini, kau akan mendapat
tambahan tenaga dalam yang sama seperti kau berlatih pernapasan dan semadi satu
tahun!"
"Hah...?!" Waji
melongo. "Bbb... benarkah apa yang Ibu katakan...?"
"Kalau tidak begitu, buat
apa jamur ini mempunyai nama begitu keren, Jamur Sisik Naga. Dan juga untuk apa
aku dan Setan Kepala Besi bersusah payah untuk mendapatkannya!" sahut Dewi
Pencabut Nyawa dengan raut wajah menyiratkan kemenangan.
"Pantas...," gumam
pemuda berbadan lebar itu pelan. Kepalanya mengangguk-angguk Jelas ada satu
kesimpulan yang telah didapatkannya.
"Apanya yang
pantas?" tanya Dewi Pencabut Nyawa Ingin tahu.
"Setan Kepala Besi sangat
takut rahasia ini tercium oleh orang persilatan.... Kiranya khasiat jamur ini
begitu hebat..."
Setan Kepala Besi hanya mendengus.
Sama sekali tidak disahutinya ucapan pemuda berbadan lebar itu.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Mari kita petik jamur-jamur ini!" ucap Waji tiba-tiba sambil
menghampiri kelompok tanaman jamur itu.
Tapi belum juga kedua tangan
pemuda berbadan lebar itu menjangkau tanaman jamur itu, sebuah tangan berotot
kekar telah mencekal pergelangan tangannya.
"Diam di situ dulu,
Waji!" ucap Setan Kepala Besi bernada perintah.
"Mengapa, Setan Kepala
Besi? Apakah aku tidak boleh memakannya? Dan Jamur Sisik Naga itu hanya untukmu
semua?!" sahut pemuda berbadan lebar itu bernada menuduh.
Setan Kepala Besi menatap
tajam wajah Waji. "Tutup mulutmu, Waji! Sebelum aku yang menutupnya!"
ancam laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Setan Kepala Besi ini memang
tersinggung sekali mendapat tuduhan seperti tadi. "Kau tahu, saat ini
Jamur Sisik Naga belum bisa dimakan. Tapi kalau sudah bosan hidup, kau boleh
memakannya."
"Mengapa begitu, Setan
Kepala Besi?" tanya Waji. Suaranya kini mulai pelan kembali. Keterangan
laki-laki tinggi besar berkepala botak itu membuat emosi nya mereda.
"Memang begitulah
keanehan Jamur Sisik Naga ini, Waji," jawab Setan Kepala Besi memberi
tahu. "Selagi berwarna putih, jamur ini mengandung racun mematikan!
Jangankan termakan, tersentuh pun sudah berbahaya."
"Lalu..., kapan jamur itu
akan berguna untuk menambah tenaga?" tanya Waji lagi.
"Besok. Setelah bulan
purnama telah lenyap."
"Jadi.., sewaktu masih
ada bulan purnama, Jamur Sisik Naga mengandung racun mematikan? sambut Waji
yang mulai mengerti.
"Dan besok.., apabila
jamur ini telah berubah jadi hijau dan bersisik seperti naga, baru kita bisa
memakannya," sambung laki-laki tinggi besar berkepala botak itu cepat.
"Jamur ini akan berubah
seperti itu?!" tanya Waji setengah tak percaya.
"Benar," sahut Dewi
Pencabut Nyawa. "Itulah sebabnya diberi nama Jamur Sisik Naga!"
"Kitalah yang beruntung
mendapatkannya, Waji," sambung Setan Kepala Besi
"Dan. . . kita akan
menjadi tokoh tak terkalahkan! Ha ha ha...!" Dewi Pencabut Nyawa ikut
menimpali.
Sesaat kemudian, di dalam gua
tempat tinggal Kalapati itu terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa yang
sambung menyambung seperti tidak akan pernah berhenti.
***
3
Seorang pemuda berambut putih
keperakan dan seorang gadis berpakaian jingga melangkah perlahan menuju mulut
sebuah desa. Keduanya tak lain adalah Dewa Arak dan Karmila yang tengah dalam
perjalanan menuju Gunung Palanjar.
Tapi ketika jarak antara kedua
orang itu dengan tembok batas desa telah tinggal sekitar belasan tombak, Dewa
Arak dan Karmila menolehkan kepalanya ke arah semak-semak di sekeliling mereka.
Pendengaran kedua muda-mudi yang terlatih baik itu menangkap adanya suara
berkeresekan dari arah itu.
Belum lagi kedua muda-mudi itu
berbuat sesuatu, dari balik kerimbunan semak-semak itu melesat belasan sosok
tubuh dengan senjata terhunus. Dan secepat sosok-sosok tubuh itu keluar dari
semak-semak, secepat itu pula bergerak mengurung Arya dan Karmila.
Dewa Arak dan Karmila terpaksa
menghentikan langkahnya. Sepasang mata kedua orang itu menatap berkeliling.
Ternyata mereka telah terkurung!
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa kaget melihat kejadian
ini. Hal seperti ini memang kerap terjadi setelah dia melibatkan diri dalam
persoalan ini. Dan pandang mata Arya yang tajam, langsung mengenal kalau
sebagian besar dari mereka adalah pengeroyoknya beberapa hari yang lalu.
"Sekarang kita bebas
untuk bertarung kembali Dewa Sesat!" teriak laki-laki gagah bersenjataka
sepasang tombak pendek. Suaranya keras dan kasar. Jelas kalau orang ini masih
memendam rasa penasaran pada Dewa Arak.
"Ya. Kini kita sudah
berada di luar wilayah Kerajaan Bojong Gading!" sambung tokoh persilatan
lainnya.
Suara-suara bernada cemoohan
terhadap Dewa Arak terdengar susul-menyusul. Tapi, pemuda berambut putih
keperakan itu hanya tersenyum getir. Semua cemoohan itu sama sekali tidak
ditanggapinya.
"Kalian tidak percaya,
kalau kukatakan bahwa, gadis ini sama sekali tidak bersalah?" sahut Arya
begitu suara-suara riuh itu telah mereda.
"Bicaralah dengan nenek
moyangmu!" sergah laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek keras
"Kawan-kawan...! Serang...!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki ini lalu menerjang Dewa Arak. Sepasang tombak pendeknya berkelebat
cepat ke berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Belum juga sergapan sepasang
tombak itu tiba, serangan tokoh-tokoh persilatan lainnya juga meluncur tiba.
Sebagian di antara mereka menyerang Dewa Arak Sedangkan yang sebagian lagi
menyerbu Karmila.
Sesaat kemudian, hujan senjata
pun berhamburan di sekujur tubuh Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih
keperakan itu tidak menjadi gugup. Dari desir angin yang mengiringi serangan
senjata itu, sudah dapat diukur kekuatan tenaga dalam para pengeroyoknya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi
segera ditangkis dengan tangan dan kakinya. Itu pun hanya serangan yang menuju
ke arah mata.
Takkk, takkk!
Terdengar suara keras beberapa
kali ketika Dewa Arak menangkis hujan senjata yang menuju mata dengan
tangannya. Hebat akibatnya! Senjata-senjata itu terpental balik ke arah
asalnya. Sementara tangan pemiliknya tergetar hebat.
Sementara itu serangan yang
menuju ke arah berbagai bagian tubuh yang lain, dibiarkan saja. Luar biasa!
Setiap kali sambaran senjata itu mengenai tubuh pemuda itu, tak secuil pun
kulitnya terluka. Bahkan sebaliknya senjata-senjata itu sendiri yang membalik.
Bukan hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa
sakit-sakit.
Sebaliknya, setiap kali Arya
balas menyerang, sudah dapat dipastikan ada tubuh pengeroyok yang roboh ke
tanah.
Berlainan dengan Dewa Arak
yang begitu mudah menghadapi pengeroyoknya, Karmila terlihat repot sekali.
Pedangnya berkelebatan cepat menangkis setiap serangan lawannya. Terdengar
suara berdentangan keras berkali- kali setiap pedang gadis ini berbenturan
dengan senjata lawannya.
Sebenarnya, tingkat kepandaian
gadis berpakaian jingga itu jauh di atas para pengeroyoknya. karena lawan
terlalu banyak, tak urung gadis ini terdesak juga. Meskipun begitu, sulit bagi
para pengeroyoknya untuk menyarangkan senjatanya ke tubuh Karmila.
"Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi.
Pedangnya berputar-putar membentuk lingkaran di depan dada. Kemudian membabat
cepat ke leher salah seorang pengeroyoknya.
Crattt! "Aaakh...!"
Suara jerit lengking kematian
terdengar, begitu ujung pedang Karmila mengoyak leher pengeroyok yang sial itu
Seketika itu juga, tubuh tokoh persilatan itu roboh ke tanah.
Menggelepar-gelepar sejenak kemudian diam tidak bergerak lagi.
Kematian salah seorang
rekannya, tentu saja mengakibatkan para pengeroyok itu semakin beringas. Dan
dengan sendirinya, serangan mereka pun semakin berbahaya.
"Hiyaaa...!"
Karmila memekik nyaring. Gadis
berpakaian jingga itu mengamuk dahsyat. Pedang di
tangannya berkelebatan cepat
mencari sasaran.
***
Dewa Arak berbeda dengan
Karmila yang demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya tidak segan-segan
menjatuhkan tangan maut pada para pengeroyoknya. Pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak menggunakan ilmu andalannya. Ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' pun sudah lebih dari cukup untuk menghadapi para
pengeroyoknya.
Memang menggiriskan akibat
sepak terjang pemuda berambut putih keperakan itu. Ke mana saja tangan atau
kakinya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang roboh dan kemudian
tak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Meskipun begitu, tak seorang pun di
antara mereka yang tewas atau terluka berat. Tak sampai delapan jurus,
pengeroyok Dewa Arak yang tadi berjumlah belasan, kini tinggal dua orang, salah
seorang di antaranya adalah laki- laki gagah bersenjatakan sepasang tombak
pendek. Dan memang Dewa Arak sengaja menjatuhkannya belakangan. Arya Ingin
memberi pelajaran yang lebih keras pada laki-laki yang bermulut dan berpikiran
kotor itu.
"Akh...!"
Lagi-lagi terdengar suara
pekikan tertahan diiringi robohnya salah seorang pengeroyoknya ketika tangan
Dewa Arak berkelebat. Kini hanya tinggal laki-laki gagah bertombak pendek yang
masih mampu berdiri tegak.
Walaupun hanya tinggal
sendiri, dan yakin kalau dirinya tak akan mungkin menang menghadapi lawan yang
amat tangguh ini, laki- laki bertombak pendek itu tidak menjadi gentar. Dia
masih tetap mengadakan perlawanan sengit. Dan hal ini tentu saja membuat Dewa
Arak menjadi kagum. "Haaat..!"
Sepasang tombak pendeknya meluruk
deras. Yang kanan disabetkan ke arah leher, sementara yang kiri ditusukkan ke
perut Dewa Arak.
Wukkk, wuttt!
Arya hanya tersenyum hambar.
Tangan kirinya bergerak memapak serangan tombak yang menuju ke lehernya dengan
menggerakkan tangannya dari dalam keluar. Sementara serangan yang menuju ke
perurnya ditangkapnya.
Takkk, tappp!
"Akh...!"
Laki-laki gagah bersenjata
tombak pendek itu memekik tertahan. Tangan kanannya terasa lumpuh seketika
begitu tombaknya berbenturan dengan tangan kiri Dewa Arak.
Belum lagi laki-laki itu sadar
dari keterkejutannya, Dewa Arak telah menggertakkan tombak yang tadi telah
dicengkeramnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar laki-laki gagah
bertombak pendek itu memekik tertahan, begitu tubuhnya melayang tinggi ke
udara.
Brukkk!
Suara berdebuk keras terdengar
begitu tubuh laki-laki itu terbanting keras di tanah, lalu menggeliat-geliat
kesakitan di tanah.
Selesai membereskan
pengeroyoknya, Dewa Arak
segera melompat ke arah
Karmila yang masih sibuk menghadapi hujan senjata lawan. Dan begitu pemuda
berambut putih keperakan itu turun tangan, dalam beberapa gebrakan saja
pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar- kacir tak tentu arah. Pekik-pekik
kesakitan diiringi dengan berpentalannya tubuh-tubuh, segera terdengar
susul-menyusul.
Dewa Arak memandangi
sosok-sosok tubuh yang bergeletakan di tanah sejenak. Kemudian pandangannya
dialihkan pada Karmila.
"Mari kita lanjutkan
perjalanan kita, Karmila," ajak Arya.
Tanpa berkata apa-apa, Karmila
segera melangkah meninggalkan tempat itu. Mengikuti
Dewa Arak yang telah berjalan
lebih dulu.
***
Akhirnya, setelah melalui
berbagai hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua muda-mudi itu tiba di kaki
Gunung Palanjar. Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati telah tiba di
sini lebih dulu, dan hampir celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa.
Arya mengedarkan pandangannya
berkeliling. Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala membayangkan kalau
seandainya dia gagal menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid Perguruan
Pedang Ular. Seumur hidupnya Dewa Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh
tokoh- tokoh persilatan golongan putih. Dia akan dianggap mencemarkan nama
pendekar.
Tapi Dewa Arak tidak bisa
termenung lebih lama lagi karena Karmila telah bergerak mendaki lereng. Tubuh
gadis itu melesat cepat ke atas. Sesekali kakinya memijak batu-batu yang
menonjol, sebagai landasan untuk melompat. Sesaat kemudian tubuhnya melenring
ke atas. Dan begitu seterusnya.
Arya segera bergerak
mengikuti. Sengaja pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengerahkah
seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar tetap berada di belakang gadis itu.
Cukup lama juga Dewa Arak
mendaki lereng Gunung Palanjar. Melesat ke sana kemari. Menotong sana-sini.
Sampai akhirnya pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa menghentikan
larinya begitu melihat Karmila berdiri termenung. Arya bergegas menghampiri.
"Ada apa, Karmila?"
tanya Dewa Arak lembut. "Ah... aku..., aku lupa jalannya, Arya,"
sahut gadis berpakaian jingga itu gugup. Menilik dari raut wajahnya yang merah
padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu. Maka Dewa Arak tidak mendesaknya.
"Sudahlah, Karmila. Tidak
usah kau pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar, apabila seseorang lupa,"
sahut pemuda berambut putih keperakan itu bernada menghibur.
"Tapi, mana bisa aku
lupa, Arya. Aku telah tinggal di sini selama belasan tahun. Dan aku tahu betul
jalannya. Aku yakin kalau telah menempuh jalan yang benar. Tapi..., rasanya
jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah Karmila tidak mau dianggap
lupa.
"Aku belum paham maksudmu,
Karmila?" sambut Arya yang merasa bingung mendengar ucapan gadis
berpakalan jingga itu.
"Jalan ini tidak pernah
ada sebelumnya...," sambut Karmila setengah bergumam.
Mendengar ucapan gadis itu,
Dewa Arak jadi penasaran. Bergegas dihampirinya tempat yang membuat gadis itu
bingung. Kemudian diperiksanya.
"Kau benar, Karmila,
" ucap Dewa Arak setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada perubahan
yang terjadi di sekitar tempat ini.
Mungkin karena tanahnya
longsor... , atau terjadi pergeseran tanah di sini."
"Lalu, kalau begitu...
bagaimana, Arya?" tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dewa Arak tercenung sejenak.
Jelas tampak kalau Arya tengah berpikir.
"Lebih baik kita kembali
dulu, Karmila," usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di tempat
yang kau kenali, kita ambil jalan memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju
tempat tinggal ayahmu?" tanya Dewa Arak meminta kepastian.
Karmila menganggukkan
kepalanya. "Tapi..., kita akan menempuh jalan yang agak jauh, Arya,"
sahut gadis berpakaian jingga itu bernada ragu-ragu.
"Tidak mengapa,
Karmila," sambut Dewa Arak cepat "Yang penting..., masalah ini akan
cepat Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu bergegas menuruni lereng.
Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju bekas tempat
tinggal Kalapati melalui jalan memutar.
Dewa Arak baru menyadari
alasan Karmila segan melalui jalan memutar. Jalan ini terlalu sulit untuk
dilalui. Jalan-jalannya licin, bahkan kadang-kadang harus menembus rerimbunan
semak-semak berduri yang lebat. Dan masih banyak lagi kesulitan yang mereka
alami.
"Hup!"
Karmila melompat lalu hinggap
di atas sebongkah batu besar. Tapi baru saja hendak melompat lagi
pendengarannya yang tajam mendengar adanya suara rintihan samar-samar. Tentu saja
hal ini membuat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya. Dan segera
dicarinya asal rintihan lirih itu.
"Hup!"
Indah dan manis sekali tubuh
Dewa Arak melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya telah mendarat tanpa suara
di sebelah Karmila.
"Ada apa, Karmila?"
tanya pemuda berambaut putih keperakan itu. Arya sudah merasa curiga begitu
melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya. Apalagi ketika
melihat Karmila seolah-olah tengah mencari- cari sesuatu.
"Entahlah, Arya,"
sahut Karmila dengan suara mengambang. "Tadi sepertinya aku mendengar
suara orang merintih. Tapi...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Apakah kau yakin, Karmila? Tidakkah suara itu tercipta karena khayalanmu
sendiri?" tanya Arya meminta kepastian.
"Aku tidak tahu,"
jawab gadis berpakaian jingga itu sambil mengangkat bahu. "Tapi, suara itu
sepertinya benar-benar nyata. Bukan khayalan...."
"Kalau begitu... kita
harus menyelidiki tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan. "Aku yakin
kalau apa yang kau dengar itu benar... orang itu pasti tidak jauh dari
sini."
"Tapi, Arya...,"
bantah Karmila ragu. "Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu. Nada suaranya masih tetap sabar.
"Bagaimana kalau suara
yang kudengar itu hanya khayalanku saja, Arya? Bukankah itu berarti...
perjalanan kita akan semaian terhambat?"
Dewa Arak hanya tersenyum
sabar. Dia tahu kalau ucapan yang tadi akan dilanjutkan oleh Karmila, bukan
itu. Kalimat yang akan dilanjutkan Karmila sudah bisa diduganya. Apa lagi kalau
bukan merasa merepotkan dirinya?
Memang, setelah melakukan
perjalanan bersama beberapa lama, pemuda berambut putih keperakan itu sudah
bisa menebak sifat Karmila. Gadis itu memiliki sifat tak mau merepotkan orang!
"Tidak apa-apa, Karmila!
Sebaliknya, kalau ternyata suara itu memang benar ada, lalu kita melewatkannya.
Bukankah itu berarti kita telah menyia-nyiakan orang yang berniat meminta
pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Karmila,"
potong Arya cepat. "Mari kita cari asal suara rintihan itu."
Setelah berkata dmikian,
pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan pandangannya
berkeliling.
Dan selagi Dewa Arak sibuk
mencari-cari, terdengar suara rintihan lemah tadi. Kali ini bukan hanya Karmila
saja yang mendengar, tapi juga Dewa Arak. "Nah, itulah rintihan yang tadi
kudengar, Arya, " seru gadis berpakaian jingga itu sambil menoleh ke arah
asal suara.
Hanya anggukan kepala pemuda
berambut putih keperakan saja yang menjawab ucapan Karmila. Arya sendiri sudah
sibuk mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melompat
dari batu besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke
bawah.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat di tanah. Cepat pemuda berambut putih keperakan menoleh ke
sana kemari. Dan belum lagi Arya menemukan pemilik suara rintihan itu, Karmila
telah mendarat di sebelahnya. Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung
mengawasi sekelilingnya begitu tiba di tanah.
"Aaah...!"
Rintihan memilukan itu kembali
terdengar. Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya. Jelas kalau kedua
muda-mudi itu semakin dekat dengan asal suara rintihan itu.
"Suara rintihan itu
berasal dari bawah sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke arah bawah.
Memang Arya dan Karmila berada di tempat yang agak tinggi. Tanah di depan kedua
muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah sana terhampar rerimbunan
semak-semak dan pohon-pohon yang cukup lebat.
"Benar, Arya,"
dukung gadis berpakaian jingga itu Kepala gadis itu mengangguk pelan.
Setelah yakin akan kebenaran
dugaannya, Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak menuju ke sana. Dan semakin
mereka mendekat, suara rintihan itu semakin jelas terdengar. "Itu
dia...!"
Karmila berseru keras saking
gembiranya. Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa Arak mengikuti arah
telunjuk gadis berpakaian jingga itu.
Sekitar tiga tombak dari
tempat mereka berdiri, tergolek sesosok tubuh berpakaian kuning. Sekujur
tubuhnya penuh luka-luka. Darah yang telah mengering nampak di sekujur
tubuhnya.
Bergegas Dewa Arak dan Karmila
menghampiri sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ihhh...!"
Terdengar seruan kaget dari
mulut Karmila ketika melihat wajah sosok tubuh berpakaian kuning itu. Dewa Arak
sampai terjingkat saking kagetnya.
"Ada apa, Karmila?"
tanya pemuda berambut putih keperakan begitu melihat keterkejutan gadis
berpakaian Jingga itu.
"Dia... dia salah seorang
dari tiga murid Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan itu, Arya," jawab
karmila memberi tahu.
"Jadi, inikah orang yang
katanya telah terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak balas bertanya. Dahi
pemuda berambut putih keperakan berkerut. Jelas ada sesuatu yang tengah
dipikirkannya.
"Ya," sahut Karmila
singkat.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu penuh perhatian. Sosok
tubuh itu ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata
sipit. Dan memang apa yang dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang tergolek
itu adalah Rupangki. Salah seorang murid utama Perguruan Pedang Ular.
Beberapa saat lamanya, Dewa
Arak meneliti pemuda berpakaian serba kuning yang tergolek di hadapannya. Baru
setelah itu, tubuhnya dibungkukkan untuk memeriksa luka-luka di sekujur tubuh
pemuda itu.
Ternyata hampir tidak ada luka
yang terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah kering yang menempel di sekujur
tubuhnya, jelas bukan karena terkena senjata tajam. Tapi jelas karena tersayat
duri atau ranting pohon. Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja sambungan
kedua tulang lututnya lepas. Begitu pula dengan sambungan sikut tangan kirinya.
Melihat keadaan yang
dideritanya, tidak aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek tanpa daya.
Tubuh pemuda itu yang memang
sudah kurus, kini hanya tinggal tulang dan kulit. Rupanya, Rupangki sudah cukup
lama berada di tempat ini. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu hanya makan
seadanya. Kalau saja Karmila tidak melihat lambang pedang terhunus terlilit
seekor ular, tentu sudah tidak mengenalinya lagi.
"Benar, kau murid
Perguruan Pedang Ular?" tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah
Rupangki.
"Benar," sahut
pemuda bertubuh tinggi kurus itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu,
siapakah namamu, Kisanak?"
"Rupangki," sahut
pemuda tinggi kurus itu pelan.
Dewa Arak hanya
manggut-manggut .
"Dan. . . , kau sendiri
siapa, Kisanak?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula.
"Panggillah aku
Arya," sahut Dewa Arak memperkenalkan diri. "Apakah kau yang
mengunjungi tempat kediaman Kalapati?"
"Ya. Kami bertiga memang
mengunjungi tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu adalah keinginan Kakang
Waji. Aku dan Kakang Jalasa hanya ikut saja."
"Lalu, ke mana perginya
teman-temanmu yang lain?" desak pemuda berambut putih keperakan itu lebih
jauh. Berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Jalasa telah
tewas ....... "
"Tewas?! Lalu...
bagaimana dengan Waji?" Arya berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Waji?!" Ada
kegeraman terkandung dalam suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu. "Justru
keparat Waji itulah yang telah melakukan semua ini!"
"Maksudmu bagaimana,
Rupangki? Aku belum mengerti," tanya Dewa Arak lagi, sebenarnya Arya yang
cerdik ini sudah bisa menduganya.
Rupangki menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Mulanya kami mengira
Kakang Waji cukup parah... sehingga aku bersama Kakang Jalasa memapahnya,"
ucap pemuda bertubuh tinggi itu memulai ceritanya seraya menatap wajah Karmila.
Gadis yang telah memikat hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Hanya saja
Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa bercakap-cakap dan lebih su!ka
memendam perasaannya di hati.
"Hm...," Dewa Arak
hanya bergumam tak jelas. Sementara Karmila mendengarkan semua cerita Rupangki
dengan jantung berdebar tegang.
"Sungguh sama sekali
tidak kami sangka..., begitu tiba di sebuah lereng terjal, Kakang Waji
berontak. Kuat sekali rontaannya, sehingga aku yang sama sekali tidak menduga
apa-apa, terpental bergulingan."
Kembali pemuda tinggi kurus
itu menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, mungkin untuk
melonggarkan dadanya yang terasa sesak begitu mengingat semua kejadian yang
dialaminya.
"Aku terpental deras ke
arah jurang. Tapi untunglah kedua tanganku sempat menggapai bibir jurang. Di
saat itulah kulihat pemandangan yang sampai mati pun tidak akan
kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. Sepasang matanya
nampak merembang berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin buru-buru
mengetahui akhir cerita itu jadi agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa
kesal itu terpaksa ditahannya.
"Apa yang kau lihat,
Rupangki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Kakang Waji menusukkan
pedangnya ke perut Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-huyung. Dan kemudian
menendang mayatnya ke dalam jurang," ucap Rupangki terputus-putus.
"Bahkan bukan hanya itu saja. Begitu dilihatnya aku belum masuk ke jurang,
dia pun lalu menghampiriku. Akhirnya, tanpa peduli pada keselamatanku lagi,
kuputuskan untuk melompat ke dalam jurang. Dan... inilah akibatnya...."
"Jadi..., kiranya pemuda
keparat itulah biang keladinya. . . ! Awas kau, Waji! Akan kucincang
tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan kasar suaranya. Bahkan sepasang mata
gadis itu memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis berpakaian jingga ini
dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Tenangkan hatimu dulu,
Karmila," ucap Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting, kita harus
menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu. Karena dialah satu-satunya saksi yang
dapat menyelamatkan kita dari buruan orang-orang persilatan golongan putih. Di
samping itu juga..., untuk membersihkan nama baik ayahmu."
Karmila langsung terdiam.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat.
Dicobanya meredakan kemarahan
yang bergolak.
"Sebenarnya..., apa yang
terjadi, Arya?" tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu tidak bertanya kepada Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada gadis
berpakaian jingga itu mengingat sikap yang tidak pantas dari kakak
seperguruannya.
Dewa Arak pun menceritakan
semua yang dialami Karmila.
"Ahhh...!" seru
Rupangki terkejut begitu Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau begitu, aku
harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang Ular."
"Untuk apa?" tanya
Karmila.
"Untuk memberitahukan
kejadian yang sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu tandas.
"Keterlaluan sekali, Kakang Waji. Jangan khawatir, Nini. Aku akan
membantumu menangkapnya!"
"Terima kasih,
Rupangki," hanya itu yang diucapkan Karmila.
"Tapi, sebelum kita ke
Perguruan Pedang Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan dulu, Rupangki, ucap Dewa
Arak.
"Tapi... tidakkah hal itu
jadi terlalu lama? Dan..., urusan Nini Karmila akan semakin
berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah. Dia kini telah mendapat
kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya pada gadis berpakaian jingga yang
telah menarik hatinya itu.
"Tidak mengapa,
Rupangki," sahut Karmila cepat.
"Kalau begitu...,
terserah kalian saja," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengalah.
Dewa Arak bersyukur dalam hati
melihat hal ini. Arya tahu kalau Rupangki mempunyai perasaan lain terhadap
Karmila. Bahkan berharap semoga saja gadis berpakaian jingga itu akan membalas
rasa simpati pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
"Kalau begitu..., mari
kita cari tempat yang layak untuk mengobati luka Rupangki, Karmila," ajak
Dewa Arak sambil memondong tubuh Rupangki.
Tak lama kemudian, ketiganya
sudah meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk mengobati luka-luka murid
Perguruan Pedang Ular itu.Plak, plak, plak.. !
Suara kelepak sayap kelelawar,
mengusik keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh nampak di langit. Memang,
malam ini adalah malam bulan purnama. Di bawah keremangan sinar rembulan,
nampak berkelebat sesosok tubuh berpakaian kuning. Gerakannya cepat bukan main,
sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan kekuningan yang membelah
keremangan malam.
Sosok berpakaian kuning itu
terus melesat cepat. Menilik dari kecepatan geraknya, bisa diperkirakan kalau
sosok bayangan kuning ini memiliki kepandaian tinggi.
Kecepatan lari sosok bayangan
kuning itu baru berkurang, ketika mulai mendekati bangunan besar berhalaman
luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu bulat.
"Hup!"
Tepat di depan pintu gerbang,
bayangan kuning itu menghentikan larinya. Sekilas sepasang matanya menatap
sebuah papan tebal berukir yang terpampang di atas pintu gerbang. Tampak jelas
huruf-huruf yang tertera di papan berukir itu, Perguruan Golok Maut.
Perlahan sosok bayangan kuning
itu mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya diulurkan mengetuk.
Tok, tok, tok!
Kelihatan perlahan saja,
tangan sosok berpakaian kuning itu mengenai daun pintu gerbang. Tapi akibatnya
luar biasa! Terdengar suara keras, seolah-olah pintu gerbang itu dipukul dengan
sebuah balok besar.Tentu saja suara berisik dari pintu gerbang itu membuat
beberapa murid Perguruan Golok Maut yang tengah bertugas jaga, berhamburan ke
arah pintu gerbang.
"Sepertinya ada tamu yang
datang," sahut salah seorang di antara mereka yang berperut gendut.
"Buka pintu
gerbang," perintah salah seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah yang
bertugas menjadi kepala jaga.
"Tapi, Kang Tarji,"
salah seorang yang bertubuh kecil kurus mencoba membantah. "Bagaimana
kalau orang yang baru datang, bermaksud tidak baik?"
"Aku yang bertanggung
jawab!" tandas laki- laki berwajah hitam yang ternyata bernama Tarji.
Bukan karena kesombongan kepala jaga ini berkata begitu, tapi karena
keyakinannya kalau orang yang datang secara terang-terangan begitu, tidak
mungkin bermaksud jelek.
Murid Perguruan Golok Maut
yang bertubuh kecil kurus, tidak membantah. Segera saja dia beranjak ke pintu
gerbang. Mengangkat palang pintu gerbang dan kemudian menarik daun pintu-
gerbang yang besar dan berat .
Kriiit..!
Terdengar suara berderit tajam
begitu pintu gerbang itu membuka.
"Ketua kalian ada?"
tanya sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ah, kiranya Ki Gambala.
. . ! " seru murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil kurus, begitu
melihat orang yang berdiri di balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek"
"Bisa mengantarku
padanya?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata Gambala itu.
"Ooo. . . , bisa. Bisa,
Kek," sahut Tarji mendahului menjawab. "Mari kuantar."
Setelah berkata demikian,
kepala jaga ini pun meninggalkan tempat itu.
Sementara murid yang bertubuh
kecil kurus, kembali menutup pintu gerbang. Lalu bersama rekan-rekan lainnya
meneruskan penjagaan kembali.
Tarji membawa Ketua Perguruan
Pedang Ular itu ke ruang semadi si Golok Emas. Memang sejak kematian adik
seperguruannya beberapa hari yang lalu, Ketua Perguruan Golok Maut itu lebih
suka mengurung diri di ruang semadinya.
Tok, tok, tok... !
Laki-laki berwajah hitam itu
mengetuk pintu ruang semadi si Golok Emas.
Ruangan itu hanya kecil saja.
Ukurannya paling banyak tiga kali tiga tombak.
"Siapa di luar?"
tanya sebuah suara. Baik Tarji maupun Gambala mengenali siapa pemilik suara
itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua Perguruan Golok Maut, Si Golok Emas!
"Tarji, Guru," sahut
laki-laki berwajah hitam itu cepat.
Hening sejenak. Tak terdengar
sahutan setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok Emas.
"Apa keperluanmu,
Tarji?" kembali terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Anu, Guru.., Ketua
Perguruan Pedang Ular ingin bertemu Guru."
Sesaat kemudian, pintu ruangan
itu pun terkuak. Dan dari balik daun pintu itu muncul seraut wajah seorang
kakek berjenggot putih panjang. Itulah Ketua Perguruan Golok Maut
"Silakan masuk,
Gambala," ucap si Golok Emas mempersilakan. Raut wajahnya terlihat muram.
Rupanya kakek berjenggot panjang ini masih terpukul dengan kematian adik
seperguruannya.
"Aku mohon diri dulu,
Guru," ucap Tarji seraya menjura hormat. Dan segera berlalu begitu. Ketua
Perguruan Golok Maut itu menganggukkan kepalanya.
Gambala melangkah masuk. Dan
setelah kakek bermata sayu itu telah berada di dalam, si Golok Emas segera
menutup pintu.
"Apakah keperiuanmu
datang malam-malam begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan Golok Maut itu
begitu keduanya telah bersila. Nada suara kakek berjenggot panjang ini
terdengar datar.
"Kau tidak ingin
membalaskan sakit hati adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek bermata sayu
itu balas bertanya. Langsung pada pokok persoalan. Sama sekali tidak
dipedulikannya pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi.
Si Golok Emas menggelengkan
kepalanya.
"Mengapa?" desak
Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Lupakah kau,
Gambala?!" sergah kakek berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati
telah tewas?!"
"Kalapati memang benar
telah tewas. Tapi tidakkah kau ingin membalaskan dendammu pada putrinya?! Kau
tahu putrinya itu tak kalah jahat ketimbang ayahnya!" sahut Gambala
bernada membakar.
"Sayang sekali, Gambala.
Aku sama sekali tidak berminat..," jawab kakek berjenggot panjang itu
pelan.
"Hhh...!" Ketua
Perguruan Pedang Ular itu menghela napas berat.
"Mengapa tidak kau
sendiri saja yang melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?" tanya si Golok
Emas bernada menyelidik.
"Ada orang kuat yang
berdiri di belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu bernada
keluhan.
"Dewa Arak,
maksudmu?" tebak kakek berjenggot panjang itu.
Gambala menganggukkan
kepalanya.
"Dia memang seorang
pemuda yang luar biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu itu tulus.
"Aku yakin, kalau Kalapati masih hidup..., belum tentu datuk sesat itu
mampu mengalahkannya ..."
"Ya, " Gambala
menganggukkan kepalanya "Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada
kecantikan putri Kalapati. Dan kini..., Dewa Arak akan jadi ancaman besar bagi
dunia persilatan. Khususnya untuk tokoh-tokoh golongan putih. Kalau tidak
buru-buru dilenyapkan, bukan tidak mungkin kelak akan membunuh kita
semua...."
"Aku kira hal itu tidak
mungkin terjadi, Gambala," bantah si Golok Emas.
"Menurut berita yang
kudengar, Dewa Arak tidak pernah membunuh tokoh-tokoh persilatan golongan putih
yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara berat pun tidak juga."
Seketika itu juga, wajah Ketua
Perguruan Pedang Ular itu berubah merah padam.
"Mungkin sekarang tidak,
Golok Emas. Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala dengan suara
mengambang.
Si Golok Emas sama sekali
tidak menyahuti ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua Perguruan Golok Maut itu
hanya mengangkat bahu saja.
Setelah Gambala menghentikan
ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"Jadi..., kau tidak
berniat melenyapkan iblis betina itu, Golok Emas?" tanya Ketua Perguruan
Pedang Ular itu meminta ketegasan.
"Ya," jawab kakek
berjenggot panjang itu. "Berita yang kudengar selama ini membuatku ragu
akan kebenaran berita kalau Dewa Arak tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda
itu berada di jalan yang benar."
Gambala sama sekali tidak
menanggapi ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Kalau begitu..., aku
permisi saja, Golok Emass!" ucap kakek bermata sayu itu seraya bangkit
berdiri.
"Ah...! Mengapa
terburu-buru, Gambala," sahut kakek berjenggot panjang itu agak terkejut.
"Masih banyak urusan yang
harus kuselesaikan, Golok Emas."
Setelah berkata demikian,
Ketua Perguruan Pedang Ular segera melangkah keluar. Si Golok Emas
mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua perguruan besar beraliran putih ini
sudah melangkah berdampingan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ketua Perguruan Golok Maut
mengantar tamunya sampai keluar pintu gerbang perguruannya. Kemudian setelah
tamunya lenyap ditelan kegelapan malam, diperintahkannya murid peronda untuk
menutup pintu gerbang kembali.
***
Untuk kesekian kalinya sang
surya kembali muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang lembut menyorot persada.
Burung-burung bercicit riang menyambut terbitnya bola api besar yang masih
berwarna merah itu. Binatang-binatang pun tahu, telah tiba saatnya bagi mereka
untuk mencari makan.
Tiga sosok bayangan berkelebat
cepat menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata gerakan mereka cepat dan gesit
bukan main. Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan jingga, ungu, dan
biru.
Dua di antara tiga bayangan
itu berlari berdampingan. Sementara sosok yang berwarna ungu, berlari di
belakang mereka.
Tiga sosok tubuh yang sedang
menuruni lereng Gunung Palanjar adalah Karmila, Rupangki, dan Dewa Arak Berkat
kemahiran Arya dan terutama sekali karena Karmila mempunyai obat yang mujarab,
Rupangki kembali sembuh seperti sediakala, setelah beristirahat selama dua
hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini memutuskan untuk pergi ke Perguruan
Pedang Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Aku turut berduka cita
atas kematian ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke berapa kalinya
kata-kata itu keluar dari mulut Rupangki. Memang pemuda bertubuh tinggi kurus
itu kurang bisa mencari bahan percakapan, padahal dia ingin sekali selalu berdekatan
dan berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga yang berwajah molek dan
bertubuh ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja yang diulang-ulangnya.
Arya yang berlari di belakang,
sengaja memberi kesempatan pada Rupangki berbincang- bincang dengan Karmila,
diam-diam tersenyum geli. Ucapan itu selalu diulang-ulang oleh pemuda bertubuh
tinggi kurus itu, setiap kali hendak mengajak Karmila berbincang-bincang.
Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang hampir keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Rupangki,"
sahut Karmila sambil terus berlari. Gadis berpakaian jingga ini tentu saja
dapat merasakan kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian lain
terhadapnya. Tapi bagaimana dengan Dewa Arak yang dikaguminya? Seorang pemuda
yang matang, bijaksana, dan berani memegang prinsip meskipun harus berhadapan
dengan apa pun! Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya semakin lama semakin
bertambah!
Sehabis gadis berpakaian
jingga itu menghentikan ucapannya, suasana pun kembali hening. Kaki-kaki mereka
terus bergerak. Tapi pikiran mereka melayang-layang entah ke mana. Sementara di
belakang kedua orang itu, Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Rasa geli dan
kasihan melilit hari Arya begitu melihat Rupangki yang ingin sekali
berbincang-bincang dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan percakapan.
Berkat pengalamannya
menghadapi berbagai ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu kalau gadis seperti
Karmila haus akan kasih sayang dan perhatian. Gadis berpakaian jingga itu
adalah gadis yang manja dan biasa mendapat kasih sayang dan pematian penuh dari
ayahnya. Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan sendirinya apa yang biasa
didapatkan kini tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila pasti merindukan
kasih sayang dan perhatian seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja kini
bukan dari ayahnya lagi, tapi dari seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan
juga bukan keluarga atau temannya.
"Untuk menaklukkan hati
Karmila, berikan perhatian penuh kepadanya, Rupangki."
Rupangki terlonjak kaget
begitu mendengar suara yang amat dikenal menggema di telinganya. Saking
kagetnya, langkah kaki pemuda ini sampai terhenti seketika. Suara itu adalah
suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh tinggi kurus itu menoleh ke belakang.
"Ada apa, Rupangki?"
tanya Karmila seraya menghentikan larinya pula. Gadis berpakaian jingga itu
memang terkejut melihat pemuda tinggi kurus itu tiba-tiba menghentikan larinya.
"Apakah masih ada rasa sakit yang kau rasakan?"
"Ah.. ., eh. .. ti. ..
tidak ada apa-apa, " sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita lanjutkan
perjalanan kita."
Setelah berkata demikian,
Rupangki kembali melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau Karmila pun melangkahkan
kakinya pula. Gadis berpakaian jingga itu tahu kalau ada sesuatu yang membuat
Rupangki terkejut. Hanya sayangnya, pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mau
berterus-terang.
"Tanyakanlah padanya
tentang bunga kesenangannya..., pakaian kesukaannya..., ilmu silatnya..., dan
masih banyak lagi...."
Lagi-lagi suara Arya bergema
di telinga pemuda bertubuh tinggi kurus itu. Seketika wajah Rupangki
berseri-seri. Kini pikirannya telah terbuka. Dia sudah mendapat bahan
pembicaran untuk berbincang-bincang dengan gadis berwajah molek dan bertubuh
ramping yang telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa Arak telah membuka
pikirannya. Diam-diam pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa sangat berterima
kasih sekali atas petunjuk pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Rupangki segera mempraktekkan semua ajaran Arya. Dan memang setelah itu
pembicaraan pun menjadi berlangsung panjang. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
kini telah bisa mengembangkan bahan pembicaraan sendiri. Sepanjang perjalanan
menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu terus terlibat pembicaraan.
Dewa Arak tak henti-hentinya
memberi petunjuk pada Rupangki untuk bersikap bagaimana terhadap Karmila.
Bahkan atas anjuran pemuda berambut putih keperakan itu pula, pada saat mereka
beristirahat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu mencarikan bunga kesukaan
Karmila.
Dan memberikannya pada gadis
berpakaian jingga itu. Hampir-hampir Rupangki melompat girang dan memeluk Arya
sebagai tanda rasa terima kasih yang amat sangat, begitu dilihatnya Karmila
menerima bunga pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki lebih gembira
adalah ketika gadis pujaannya menerima bunga itu dengan senyum ceria.
***
Ketiga orang itu melakukan
perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan harinya, barulah tampak
bangunan Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
"Itu dia Perguruan Pedang
Ular, Karmila," ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan jari
telunjuknya.
Karmila dan Dewa Arak
mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Mari kita bergegas ke
sana," ajak pemuda tinggi kurus itu lagi sambil menarik tangan Karmila.
Memang, kini hubungan antara Rupangki dan gadis berpakaian jingga itu sudah
semakin akrab.
Karmila tidak banyak
membantah. Meskipun begitu, ada segumpal rasa khawatir yang mencekam hati gadis
berpakaian jingga itu. Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan Pedang Ular
langsung menyerangnya. Tapi, Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat
menjelaskan permasalahannya. Dan lagi..., bukankah ada Dewa Arak di situ?
Bukan hanya Karmila saja yang
dilanda rasa khawatir. Dewa Arak pun dilanda perasaan serupa. Tapi seperti
biasa, pemuda berambut putih keperakan itu mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
Dia percaya penuh kalau Rupangki akan berundak cepat begitu melihat gelagat
yang tidak baik. Memang, selagi mereka melakukan perjalanan kemari, pemuda
tinggi kurus itu berjanji akan menjernihkan persoalan.
Apa yang dikhawatirkan Arya
dan Karmila tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga pintu gerbang Perguruan
Pedang Ular melihat kedatangan Karmila dan Dewa Arak, mereka segera menghunus
senjata masing-masing dan bersikap waspada. Sedangkan salah seorang di
antaranya segera berlari ke dalam, memberi tahu kedatangan musuh-musuh mereka
kepada Gambala.
Kedua murid penjaga pintu
gerbang Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat mengenali Rupangki. Karena
pemuda tinggi kurus itu kini sudah tidak mengenakan seragam perguruan lagi.
Pakaian seragam Perguruan Pedang Ular telah dibuangnya karena telah kotor dan
habis terkoyak-koyak. Yang segera langsung dikenali oleh penjaga pintu gerbang
itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki ciri-ciri menyolok.
Baru setelah ketiga orang itu
semakin dekat dengan pintu gerbang, murid-murid Perguruan Pedang Ular yang
semuanya sudah bergerak keluar menjadi terkejut. Mereka mengenali Rupangki yang
menurut cerita Waji telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja hal ini
membuat mereka semua terkejut.
"Kakang Rupangki! Kaukah
itu?!" seru salah seorang murid Perguruan Pedang Ular kaget bercampur
gembira.
"Ya. Aku Rupangki!
Lupakah kalian semua?!" sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu
membenarkan.
"Rupangki! Apa yang kau
lakukan ini?!" tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan berambut kepang.
Inilah salah seorang dari empat murid kepala Perguruan Pedang Ular. Setingkat
dengan Waji. Nama orang ini adalah Jirin. "Bukankah kau telah tewas?!
Mengapa tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar kita?!"
"Ceritanya panjang,
Kakang Jirin. Tapi percayalah, kedua orang ini bukanlah musuh. Kang. Bahkan
sebaliknya..., merekalah yang telah menyelamatkan aku dari kematian," ucap
pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu.
"Omongan macam apa
itu?!" sergah Jirin keras.
"Rupangki! Rupanya kedua
orang itu telah menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat membedakan mana kawan dan
mana lawan!"
"Percayalah, Kang Jirin.
Kedua orang ini bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi seraya terus
melangkah maju. Tangan kirinya masih tetap menggenggam tangan kanan Karmila.
Dan dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu ikut melangkah ke depan.
Mau tidak mau Dewa Arak
terpaksa ikut melangkah maju. Arya khawatir akan terjadinya sesuatu yang sama
sekati tidak diharapkan. Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap Rupangki
yang tidak tahu gelagat dengan terus melangkah maju. Padahal saudara-saudara
seperguruannya telah siap dengan senjata terhunus.
"Kau telah tidak waras
lagi, Rupangki!" bentak
Jirin keras. "Serang...!"
Tentu saja murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang sejak tadi telah siaga dengan senjata terhunus,
segera menerjang Rupangki. Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada
Karmila.
Rupangki terkejut bukan main
mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu. Apalagi yang menyerang bukan
hanya seorang, melainkan belasan. Hujan senjata kontan meluruk ke arah Karmila.
"Kakang! Tahan...!"
Di saat-saat terakhir,
Rupangki masih mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak seperguruannya, dan juga
rekan-rekannya sama sekali tidak mempedulikannya. Mereka yakin kalau pemuda
bertubuh tinggi kurus itu telah dipengaruhi oleh putri Kalapati. Entah ilmu
sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu.
Melihat saudara-saudara
seperguruannya sama sekali tidak mempedulikan teriakannya, Rupangki menjadi
kalap. Secepat kilat pedangnya dicabut, dan ditangkisnya serangan yang
mengancam gadis ber pakaian jingga itu. Berbarengan dengan itu, pegangangnya
pada tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu tangannya terlepas, putri Kalapati
itu segera melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan menjauh.
Trang, trang...!
Suara berdentang nyaring
segera terdengar begitu pedang Rupangki berbenturan dengan senjata
saudara-saudara seperguruannya. Tak pelak lagi, pemuda bertubuh tinggi kurus itu
pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah, hujan senjata meluruk ke arah
Karmila yang tengah bergulingan. Melihat banyaknya serangan yang menyambar ke
arah tubuh gadis berpakaian jingga itu, sudah bisa diperkirakan kalau Karmila
akan sulit lolos dari maut
"Karmila...!"
Rupangki menjerit melihat
bahaya maut mengancam keselamatan gadis yang dicintainya. Suara pemuda bertubuh
tinggi kurus itu melengking bercampur isak. Suara yang keluar dari mulut
seorang yang melihat kekasihnya terancam maut tanpa mampu menolongnya, karena
tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-huyung.
Di saat-saat kritis bagi
keselamatan Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah putri Kalapati itu. Dan
begitu tiba, pemuda berambut putih keperakan ini segera memutar- mutarkan kedua
tangannya.
Hebat bukan main! Dari kedua
tangan yang berputaran di depan dada itu, timbul angin keras yang membuat
murid-murid Perguruan Pedang Ular berpentalan seperti dilanda angin topan.
Brukkk!
Suara berdebukan keras segera
terdengar begitu belasan sosok tubuh itu berjatuhan di tanah.Senjata-senjata
mereka telah berpentalan entah ke mana.
"Ah...!" Rupangki
berseru kaget bercampur girang. Cepat laksana kilat pemuda bertubuh tinggi
kurus itu menghambur ke arah Karmila yang kini telah bangkit dari bergulingnya.
Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau tadi pun gadis berpakaian jingga
itu telah dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau tidak apa-apa,
Karmila?" tanya Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh sekali pertanyaan
itu. Sudah jelas kalau gadis itu sama sekali tidak apa-apa. Tapi masih juga
ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang masih tersisa, membuat kata-kata
yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi.
"Untung, Dewa Arak cepat
bertindak," sahut Karmila bernada mendesah. Seketika itu juga ada rasa
rendah diri di hati Rupangki, mendengar ucapan itu. Mengapa harus Dewa Arak
yang menolong Karmila? Kenapa tidak dia saja? Sesalnya dalam hati.
"Kau harus hati-hati,
Rupangki," ucap Dewa Arak memberi nasihat "Rekan-rekanmu kati ini
tidak segan-segan untuk membunuhmu."
"Mengapa begitu,
Arya?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti.
"Mungkin mereka mengira
kalau kau sudah kami pengaruhi," jelas Arya.
"Ahhh...! Kiranya
begitu...," sahut Rupangki mulai paham masalahnya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa
melanjutkan ucapannya lagi karena murid-murid Perguruan Pedang Ular yang
dirobohkannya telah bangkit kembali. Memang pemuda berambut putih keperakan itu
tadi hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan mereka saja. Arya tidak bermaksud
melukai mereka. Dewa Arak hanya ingin menyelamatkan Karmila.
"Tahan...!"
Terdengar teriakan mencegah
begitu murid- murid Perguruan Pedang Ular kembali hendak menyerang. Serentak
semua murid itu menghentikan gerakan dan memandang ke arah asal teriakan itu.
Tak terkecuali juga Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki. Dari dalam pintu gerbang,
melangkah dengan sikap gagah seorang kakek bermata sayu.
"Guru...," seru
semua murid Perguruan Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak terkecuali
Rupangki.
"Gambala...," desis
Dewa Arak yang segera mengenali kakek itu.
Orang yang baru datang memang
Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan tatapan sayu, dipandangnya
sekeliling tempat itu. Dan terakhir ke arah Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki.
"Guru...," ucap Rupangki
begitu melihat sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular tertuju padanya.
"Kemarilah,
Rupangki," ucap Gambala sambil melambaikan tangannya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu segera menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu tindak kakinya melangkah,
sebuah tangan telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu,
Rupangki," cegah sang pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa Arak.
"Mengapa, Arya?"
tanya pemuda tinggi kurus itu dengan alis berkerut. Hatinya menjadi heran
melihat pemuda berambut putih keperakan itu mencegah tindakannya.
"Aku hendak menemui
guruku."
"Untuk apa,
Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Menjelaskan
kesalahpahaman ini." "Dari sini saja, Rupangki!" tandas Dewa
Arak tegas.
"Tapi...," Rupangki
masih mencoba membantah.
"Kau ingin berpisah
dengan Karmila, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu
menggertak. Sementara Gambala memperhatikan saja ribut mulut yang terjadi di
depannya.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Arya," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu masih dengan alis
berkerut. "Kau tidak ingat peristiwa yang baru saja terjadi?" ucap
Dewa Arak bernada mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki. Kau sama
sekali tidak dipercaya! Kau dianggap berada dalam pengaruh sihir! Jadi, begitu
kau mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan. Dan..., kami berdua akan
dikeroyok kembali, jelas Dewa Arak panjang lebar.
"Jadi, bagaimana aku
harus menjelaskan kesalah pahaman ini?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus
itu lagi. Nada suaranya terdengar putus asa.
"Dari sini saja,
Rupangki!" sahut Dewa Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya
dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka mengerti dan sadar...."
Rupangki mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari kebenaran ucapan Arya.
Dan kembali rasa kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun masih muda tapi
memiliki wawasan berpikir yang demikian luas.
"Kau mengerti,
Rupangki?" tanya Dewa Arak begitu melihat pemuda bertubuh tinggi kurus itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut Rupangki
singkat.
"Kau bisa menjelaskan
semuanya dari sini?" tanya Dewa Arak lagi.
Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak memandang ke
sekelilingnya begitu melihat kesediaan Rupangki. Dilihatnya Gambala dan
murid-murid Perguruan Pedang Ular, masih berdiri terpaku. Rupanya mereka ingin
mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.
"Kalian semua
dengarkan!" teriak Arya seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya menggema
sampai ke tempat yang jauh.
Seketika itu juga suasana
menjadi hening. Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar- benar membuat
mereka terpaku kaku. Tak terkecuali Gambala.
***
"Guru..., dan juga
saudara-saudaraku semua...!" ucap Rupangki memulai keterangan.
Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap satu persatu wajah murid-murid
Perguruan Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu..., Kakang Waji mengajak
Kakang Jalasa dan aku mencari tempat penyepian Kalapati...."
Rupangki menghentikan
ceritanya sejenak begitu mendengar seruan-seruan kaget dari mulut beberapa
murid Perguruan Pedang Ular. Cerita yang didengar dari mulut Rupangki berbeda
dengan yang mereka denngar dari Waji. Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat
terkejut. Alis kakek bermata sayu ini berkernyit dalam, pertanda sedang
berpikir keras. Mana cerita di antara kedua muridnya itu yang benar? pikir
kakek ini bingung. Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita Rupangki lebih
lanjut.
"Semula aku dan Kakang
Jalasa keberatan. Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau maksudnya hanya
untuk sekadar berbincang- bincang dengan datuk itu, kami akhirnya mengalah.
Kami pun ikut mencari tempat penyepian Kalapati."
Pemuda bertubuh tinggi kurus
Ini menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Kembali pandangannya
diedarkan berkeliling. Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya nampak serius
mendengar penjelasannya. Dan dengan sendirinya, Rupangki semakin bersemangat
melanjutkan ceritanya.
"Di hari pertama, kami
tidak berhasil. Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua, begitu pula. Baru
pada hari ketiga, kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga yang
tengah berlatih ilmu 'Totokan Penghancur Tulang'. Dan itulah awal kami
menemukan tempat penyepian Kalapati. Tempat itu begitu tersembunyi. Kalau saja
tidak mendengar teriakan-teriakan gadis itu, tentu kami tidak berhasil
menemukan tempat Kalapati."
Lagi-lagi Rupangki
menghentikan ceritanya. Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan beberapa
orang murid Perguruan Pedang Ular semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka
dengar dari mulut Rupangki jelas-jelas berbeda dengan apa yang diceritakan
Waji.
Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai. Semua kejadian diceritakannya
dengan gamblang. Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya.
"Begitulah semua
kejadiannya, Guru," ucap Rupangki menutup ceritanya. "Jadi, tidak
benar kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh Kakang Jalasa dan aku."
"Hhh...!"
Setelah tercenung beberapa
saat lamanya akhirnya Gambala menghela napas berat. Sambil mendengarkan cerita,
kakek bermata sayu ini sibuk membandingkan cerita yang didengar dari kedua
muridnya.
Baru dirasakan adanya
kejanggalan pada cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini disadarinya. Dari mana
Waji tahu tempat tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan dirinya, adik
seperguruannya, dan juga kedua ketua Perguruan Golok Maut? Kini, dari cerita
Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti kalau Waji pernah ke sana sebelumnya!
Rupangki menunggu dengan
perasaan tegang. Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua Perguruan Pedang Ular
itu menghela napas dan tercenung kembali. Memang Gambala tengah berpikir keras.
Benaknya sibuk mengingat-ingat semua kata-kata dan kejadian yang telah terjadi,
berkenaan dengan peristiwa Kalapati.
Dan semakin benaknya
mengingat-ingat, semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji. Kalau saja dulu dia
tidak terlalu dikuasai amarah, mungkin dapat melihat kejanggalan- kejanggalan
ini. Sikap Kalapati dalam pertempuran tempo hari, jelas-jelas mengalah. Padahal
dalam cerita Waji dikatakan kalau Kalapati telah menantangnya.
"Jadi, Waji telah
menipuku. . . , " desah Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Tapi...,
untuk apa dia melakukan semua ini?"
Perlahan kakinya dilangkahkan
mendekati tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki berdiri. Gadis berpakaian
jingga itu segera memasang sikap waspada. Tapi, Dewa Arak dan Rupangki sama
sekali tidak bersikap demikian. Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan
yang berbeda.
Rupangki tidak bersikap
waspada, karena yakin kalau gurunya tidak akan mencelakakan dirinya. Di samping
itu kurang pantas rasanya kalau dia mencurigai Gambala.
Sedangkan Dewa Arak sama
sekali tidak menaruh curiga. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin kalau
Ketua Perguruan Pedang Ular telah sadar dari kekeliruannya.
***
Gambala menghentikan
langkahnya tepat di depan Karmila. Kemudian tangannya diulurkan ke arah gadis
berpakaian jingga itu.
"Aku minta maaf,
Nini," ucap kakek bermata sayu itu. Nada suaranya menyiratkan penyesalan
yang mendalam. "Aku mengaku salah.... Dan tidak akan melawan seandainya
kau berniat membalaskan dendam ayahmu."
Mengalami hal yang sama sekali
tidak diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau menuruti perasaan hatinya,
gadis itu ingin membalaskan kematian ayahnya. Kedua tangannya sudah mengejang.
Tapi, putri Kalapati itu teringat pesan mendiang ayahnya. Maka ditekannya
keinginan untuk membalas dendam itu.
Karena perasaan bingung yang
melanda, wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak. Sepasang matanya menatap wajah
pemuda berambut putih keperakan itu penuh permohonan. Dewa Arak menggeleng
pelan.
Pertanda melarang Karmila
membalas sakit hatinya.
Masih tidak puas dengan
jawaban yang diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun mengalihkan pandangannya
pada Rupangki. Tapi seperti juga Dewa Arak. Pemuda bertubuh tinggi kurus ini
menggeleng kan kepalanya.
Keyakinan hati Karmila
bertambah. Pesan ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak dan Rupangki telah
memperkuat keinginan untuk melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata sayu
itu sama sekali tidak bersalah. Ketua Perguruan Pedang Ular termakan hasutan
muridnya yang culas, Waji.
"Aku sama sekali tidak
memendam dendam pada mu, Kek," ucap gadis berpakaian Jingga itu lirih.
"Ayah melarang aku membalaskan dendam kematiannya. Tapi selama aku yakin
kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap membalaskan dendamnya. Tapi....
Tidak padamu, Kek! Kau tidak bersalah!"
Gambala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam hari
kakek ini terharu melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga itu.
"Aku harap Kakek tidak
menghalangi niatku untuk membalas dendam pada orang yang memang benar-benar
bersalah atas kematian ayahku," sambung Karmila tegas.
"Maksudmu pada Waji,
Nini?" tanya Gambala meminta kepastian "Benar, Kek!"
"He he he...!"
Gambala tertawa pelan, lenyap sudah rasa haru di hatinya.
Ucapan Karmila membuat nya
geli. "Kau terlalu berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya kau saja yang
ingin membunuh murid murtad itu!"
"Jadi, Kakek..?"
"Ya!" sahut Ketua
Perguruan Pedang Ular cepat.
"Aku pun ingin menghukum
murid murtad itu!"
"Mengapa, Kek?"
tanya Karmila tak mengerti.
"Mengapa?!" ulang
Gambala dengan alis berkerut. "Murid murtad itu telah menyebabkan
kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di perguruanku saja, tapi Juga di dunia
persilatan!"
Ketua Perguruan Pedang Ular
itu menghentikan sebentar ucapannya untuk mengambil napas. Ucapan yang
dikeluarkannya terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya memburu.
"Dan bukan hanya itu
saja!" sambung Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama baik orang
lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama baik seorang pendekar tenar berjiwa besar
seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak bisa diampuni lagi! Waji harus
mati!"
Setelah berkata demikian,
kakek bermata sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian setelah berada di depan
pemuda berambut putih keperakan itu tangannya diulurkan.
"Aku minta maaf atas
semua ucapan tidak pantas yang telah kutuduhkan padamu, Dewa Arak Ternyata kau
benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya pemikiranku, sehingga tidak bisa mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, " ucap kakek bermata sayu itu
menyesali dirinya.
Arya buru-buru menyambut
uluran tangan Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu
menggenggamnya erat-erat.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Kek," sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya
kesalahpahaman belaka."
"Kau memang berhati
mulia, Dewa Arak. Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata benar.
Ahhh...! Dasar aku saja yang bodoh. Padahal sahabat ku, si Golok Emas, telah
tahu kalau kau berada di jalan yang benar. Mataku memang buta! Semakin tua,
bukannya semakin arif, tapi malah semakin memperbesar emosi."
"Kakek terlalu
menyalahkan diri sendiri, seandainya aku menjadi Kakek, mungkin aku akan
bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut Dewa Arak merendah.
Setidak-tidaknya sekadar untuk menghilangkan rasa risihnya mendapat pujian
bertubi-tubi dari Ketua Perguruan Pedang Ular.
Begitu Dewa Arak menyelesaikan
kata- katanya, seketika suasana menjadi hening.
"Tapi..., untuk apa
sebenarnya Kakang Waji melakukan semua ini, Guru?" tanya Rupangki,
memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Gambala
menghela napas berat. "Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki."
"Kalau kulihat...,
sepertinya Kakang Waji memendam dendam yang amat besar pada Kalapati,
Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu lagi.
Ketua Perguruan Pedang Ular
itu mengerutkan alisnya.
"Entahlah...! Aku tidak
tahu, Rupangki," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil mengangkat bahu.
"Sekarang..., yang paling penting adalah mencari di mana murid murtad itu!
Kau bisa mengira-ngira di mana adanya dia, Rupangki?"
Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu menggelengkan kepalanya.
"Jadi..., Waji tidak
pernah kembali ke perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak bingung.
"Tidak, Dewa Arak,"
sahut kakek bermata sayu itu sambil menggelengkan kepalanya. "Entah ke
mana perginya murid murtad itu."
"Apakah kau tidak tahu
tempat yang biasa dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu lagi.
Gambala hanya menggelengkan
kepalanya. "Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa Arak
bertanya. Tapi kali ini ditujukan pada pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Lagi-lagi hanya gelengan
kepala yang menyambut pertanyaan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Guru...," tiba-tiba
salah seorang murid Perguruan Pedang Ular berucap pelan, bernada ragu-ragu.
Gambala menolehkan kepalanya. "Ada apa, Pardi?" tanya kakek bermata
sayu itu pelan.
"Beberapa hari yang
lalu..., sewaktu aku pergi mencari kayu bakar... aku melihat Kakang Waji
bersama-sama seorang wanita. Semula aku hendak memanggilnya. Tapi melihat sikap
dan tindak-tanduk wanita setengah baya yang berada bersamanya, aku jadi
ragu-ragu. Untung dia tidak melihatku."
"Kau tahu dia menuju ke
mana, Pardi?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular yang merasa tertarik
dengan cerita muridnya.
Pardi menggelengkan kepalanya.
"Tapi...,ada yang
membuatku heran, Guru."
"Hm Apa itu, Pardi?"
tanya Gambala tidak bersemangat lagi mendengar muridnya itu tidak mengetahui
tempat yang dituju Waji.
"Kakang Waji memanggil
wanita setengah baya itu dengan sebutan ibu, Guru," jawab Pardi.
"Apa?!" sergah Ketua
Perguruan Pedang Ular keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang di wajah
kakek bermata sayu itu. Bahkan sepasang mata yang biasanya sayu itu tiba-tiba
membelalak. "Kau tidak salah dengar, Pardi?"
"Aku mendengarnya dengan
jelas sekali, Guru," tegas Pardi meyakinkan gurunya. "Jadi..., aku
yakin tidak salah dengar."
"Aneh...," gumam
Ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Padahal, sewaktu kupungut sekitar dua
puluh tahun lalu, dia mengatakan ayah dan ibunya telah tewas di tangan seorang
tokoh sesat... "
"Tokoh sesat...?!"
selak Dewa Arak cepat. "Mengapa Dewa Arak? Ada yang menarik pada
ucapanku?" Gambala yang merasa heran melihat keterkejutan pemuda berambut
putih keperakan itu segera bertanya.
"Bukankah Kalapati
dulunya adalah seorang tokoh sesat, Kek?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Ah...! Kau benar, Dewa
Arak! Jadi..., kalau begitu, tokoh sesat yang katanya telah membunuh orang
tuanya adalah Kalapati!" sambut kakek bermata sayu yang kini mulai
mengerti.
"Jadi, dugaanku benar,
Guru. Kakang Waji benar mendendam pada Kalapati!" sahut Rupangki pula.
"Itu baru dugaan saja,
Rupangki," ralat Dewa Arak buru-buru. "Kita belum memperoleh
kepastiannya."
"Aku rasa dugaan itu
benar, Dewa Arak," sergah Pardi cepat.
"Heh...?! Kenapa kau
yakin begitu, Pardi?" Gambala yang malah menyambut! ucapan muridnya.
"Karena sebagian dari
pembicaraan yang kudengar, adalah ucapan Kakang Waji yang mengatakan kalau dia
telah berhasil menewaskan Kalapati...."
Gambala, Dewa Arak, dan
Rupangki mengang- guk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Jadi, ibu Waji belum
tewas...," gumam Gambala lirih. "Berarti waktu itu dia berbohong....
O ya, Pardi. Bisa kau ceritakan ciri-ciri ibu Waji itu?"
Pardi mengernyitkan keningnya
beberapa saat. Jelas terlihat kalau dia tengah berusaha keras mengingat-ingat.
"Seorang wanita setengah
baya berpakaian merah menyala. Rambutnya agak digulung, dihias tusuk konde yang
berujung kepala ular kobra...," jawab Pardi terputus-putus.
"Dewi Pencabut
Nyawa...," desah Gambala.
Nampak jelas keterkejutan di
wajahnya. Kini kakek itu tahu siapa ayah Waji. Karena Gambala mengenal Dewi
Pencabut Nyawa. Suami wanita berpakaian merah menyala itu berjuluk Serigala
Hitam.
"Siapa itu Dewi Pencabut
Nyawa, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Seorang wanita sesat
yang kejam dan berkepandaian tinggi," jawab Ketua Perguruan Pedang pelan.
"Mereka memperbincangkan
tentang Jamur Sisik Naga, Guru," tambah Pardi lagi.
"Jamur Sisik Naga?!"
ulang Gambala dengan muka berubah. Sementara Dewa Arak yang memang tidak
tahu-menahu, hanya menatap kakek bermata sayu itu dengan sorot mata penuh
pertanyaan. Ketua Perguruan Pedang Ular itu mengerti arti pandangan Arya.
"Jamur Sisik Naga adalah
jamur yang tumbuh dua puluh lima tahun sekali. Dan tanaman itu tumbuh menjelang
malam bulan purnama. Tapi..., sepanjang yang kuketahui.... tanaman itu hanya
tumbuh di sebuah gua yang bernama Gua Naga. Hanya sayangnya, aku sendiri tidak
tahu di mana adanya gua itu."
"Gua Naga?!"
Rupangki menyahuti dengan alis berkerut. "Apakah memang benar di gua itu
ada naganya, Guru?"
Gambala mengangkat bahunya.
"Mana aku tahu,
Rupangki?" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu. "Yang jelas...,
sejak puluhan tahun lalu, gua itu bernama begitu. Mungkin..., dulu ada naga
yang tinggal di gua itu."
"Gua Naga?!" Karmila
yang sejak tadi mengikuti percakapan itu mengulang nama gua itu dengan bibir
bergetar hebat.
Tentu saja sikap gadis
berpakaian jingga itu menarik perhatian semua yang hadir di situ. Dengan sorot
mata penuh pertanyaan, mereka menatap ke arah Karmila.
"Ya, Gua Naga," ucap
Gambala lagi menekankan. "Kau pernah mendengar atau setidak-tidaknya
mengetahui di mana gua itu, Nini?"
Karmila menganggukkan
kepalanya.
"Ah! Kalau begitu, cepat
katakan, Nini. Biar kita dapat segera meringkus murid murtad itu," ucap
Gambala agak terburu-buru. "Kau tahu di mana letak Gua Naga itu, atau...
hanya sekadar mendengarnya saja?"
"Aku tahu
tempatnya."
"Kau tahu? Di mana,
Nini?" desak Gambala bernada tak sabar.
"Di lereng Gunung
Palanjar."
"Ah... ! Kira-kira... di
sebelah mana gua tempat tinggal ayahmu?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular
bernafsu.
"Gua tempat tinggal Ayah
itulah yang bernama Gua Naga...," lirih jawaban yang keluar dari mulut
gadis berpakaian Jingga itu.
"Ah...!"
Terdengar seruan-seruan
terkejut dari semua yang hadir di situ. Sementara Dewa Arak dan Gambala hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya .Pantas saja kalau Waji bertekad untuk
melenyapkan Kalapati dan putrinya. Di samping untuk membalaskan dendamnya dia
juga menginginkan jamur ajaib itu.
"Kalau begitu mari kita
ke sana!" ajak Ketua Perguruan Pedang Ular pada Rupangki, Dewa Arak, dan
Karmila. "Jirin, kau ambil alih jabatanku selama aku pergi!"
"Baik, Guru," sahut
murid kepala itu.
Dewa Arak sebenarnya ingin
mengetahui lebih jelas tentang Gua Naga dan Jamur Sisik Naga. Tapi karena
kelihatannya Gambala begitu tergesa-gesa, pemuda berambut putih keperakan ini
menahan pertanyaannya.
"Mari kita
berangkat!" ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
Setelah berkata demikian,
kakek bermata sayu itu segera melesat dari situ.
Rupangki, Karmila dan Dewa
Arak pun mengikuti. Tentu saja baik Gambala maupun Dewa Arak tidak mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya, mereka tahu kalau Rupangki dan Karmila tidak
akan mampu mengikuti.
Sesaat kemudian, keempat orang
itu pun sudah lenyap dari situ. Tujuan mereka Jelas, menangkap biang keladi
yang telah mengacaukan dunia persilatan.
***
Di saat matahari siang
menyorotkan sinarnya yang hangat ke bumi, tampak empat sosok tubuh berkelebat
cepat mendaki lereng Gunung Palanjar.
Empat orang itu adalah Dewa
Arak, Gambala, Karmila, dan Rupangki yang hendak menuju Gua Naga. Dewa Arak dan
Gambala berada paling depan. Sementara Karmila dan Rupangki mengikuti di
belakang.
"Aku khawatir, Dewa
Arak," terdengar suara kakek bermata sayu itu. Walaupun tengah berlari dan
mendaki, suara Gambala terdengar biasa saja. Tidak memburu.
"Mengenal apa, Kek?"
tanya Dewa Arak seraya menolehkan kepalanya. Suara pemuda ini terdengar lembut
Dan memang sudah menjadi sikap pemuda berambut putih keperakan itu untuk
bersikap seperti itu. Bersikap hormat pada orang yang lebih tua, dan bersikap
melindungi pada yang lebih muda.
"Jamur Sisik Naga itu,
Dewa Arak..," sahut Gambala bernada keluhan.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Arya masih belum dapat menangkap maksud pembicaraan kakek bermata sayu itu.
Tapi meskipun begitu, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mau menyelak
pembicaraan. Dengan sabar ditunggunya kelanjutan ucapan Ketua Perguruan Pedang
Ular itu.
"Aku khawatir... , Dewi
Pencabut Nyawa telah memakannya, Dewa Arak," sambung Gambala lagi.
"Sebenarnya..., apa
khasiat Jamur Sisik Naga, Kek?" tanya Dewa Arak Dikeluarkannya pertanyaan
yang sejak tadi disimpannya.
"Menambah tenaga
dalam," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan.
"Maksudmu, Kek... Bila
ada orang yang memakan jamur itu... tenaga dalamnya akan bertambah?"
Gambala menganggukkan kepalanya. "Kalau saja Dewi Pencabut Nyawa sudah
memakan Jamur Sisik Naga itu, tenaga dalamnya akan menjadi semakin berlipat
ganda," sahut kakek bermata sayu itu bernada mengeluh.
"Kalau boleh kutahu,
sampai seberapa besarkah kegunaan Jamur Sisik Naga itu, Kek?" tanya Arya
lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu masih belum jelas pada keterangan
yang baru didengarnya.
"Memakan satu buah
jamur..., sama dengan melakukan semadi dan pernapasan selama setahun,"
sahut Gambala memberitahu.
"Hebat...!" ucap
Dewa Arak takjub. "Yahhh... kira-kira begitulah, Dewa Arak," sambut
Ketua Perguruan Pedang Ular itu lesu.
"Lalu..., kira-kira
apakah mereka telah memakannya, Kek?" desak pemuda berambut putih
keperakan itu lagi.
"Entahlah...;"
Gambala mengangkat bahu. "Tapi, kemungkinan besar, mereka sudah
memakannya, Dewa Arak."
"Dari mana kau
mendapatkan kesimpulan demikian, Kek?" tanya Dewa Arak ingin tahu seraya
terus berlari cepat.
"Bulan purnama sudah
berlalu dua hari yang lalu, Dewa Arak," sahut Gambala. "Sedangkan
jamur itu sudah bisa dimakan, sehari setelah bulan purnama."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda menyetujui.
Setelah itu mereka meneruskan
perjalanan tanpa berkata-kata lagi.
Keempat orang itu sama sekali
tidak menyadari kalau ada seorang gadis berpakaian putih yang mengikuti
perjalanan mereka. Gadis berpakaian putih itu adalah Melati. Selama
berhari-hari gadis berpakaian putih itu mengelilingi seluruh Gunung Palanjar.
Baru pada hari ini dia melihat adanya empat orang yang bergerak cepat mendaki
lereng.
Meskipun jaraknya masih cukup
jauh, tapi karena ciri-ciri Dewa Arak amat menyolok, Melati segera
mengenalinya. Rasa gembira bercampur marah pun melanda hatinya. Gembira karena
akhirnya menemukan pemuda yang telah susah payah dicari-carinya. Marah, karena
mengingat begitu besarnya pembelaan Arya pada gadis berpakaian jingga itu.
Marah yang
sebenarnya adalah rasa
cemburu.
***
Melati mengerutkan alisnya
melihat Dewa Arak ternyata berlari berdampingan dengan seorang kakek bermata
sayu. Rasa heran melanda hati gadis berpakaian putih itu. Bukankah kakek itu
yang tempo hari mengeroyok Arya? Mengapa kini mereka berdua tampak akur?
Keheranan Melati semakin
bertambah besar begitu melihat gadis yang dicemburuinya, berlari berdampingan
dengan pemuda bertubuh tinggi kurus. Keduanya kelihatan mesra sekali.
Rupanya Karmila yang haus
kasih sayang, timbul juga rasa simpatinya pada Rupangki. Perlahan namun pasti,
gadis berpakaian jingga itu akhirnya mampu mengusir bayang-bayang wajah Dewa
Arak dari lubuk hatinya. Kini dicobanya mengukir bayangan baru Seorang pemuda
bernama Rupangki.
"Mengapa jamur itu
mempunyai nama demikian aneh, Kek?" tanya Arya lagi yang belum juga puas
dengan keterangan yang diberikan Gambala.
"Jamur Sisik Naga
maksudmu. Dewa Arak?" tanya kakek bermata sayu itu. Mulutnya
menyunggingkan senyuman Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan
kepalanya.
"Aku sendiri tidak tahu
pasti, Dewa Arak," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan.
"Mungkin karena gua tempat tanamam itu tumbuh yang bernama Gua Naga.
Atau..., mungkin juga karena warna jamur itu sendiri."
"Memangnya warna jamur
itu bagaimana, Kek?" desak Dewa Arak penasaran.
"Aku sendiri belum pernah
melihatnya, Dewa Arak Tapi..., menurut cerita yang kudengar, jamur itu berwarna
hijau dan bersisik seperti ular. Aku juga heran, kenapa jamur itu tidak diberi
nama Jamur Sisik Ular?!"
Dewa Arak tersenyum lebar
mendengar guyonan kakek bermata sayu itu. Rupanya Ketua Perguruan Pedang Ular
itu bisa juga melucu, ucap pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Sekarang kau yang jadi
penunjuk jalan, Karmila," ucap Arya sambil menoleh ke arah Karmila.
Sebelum dia dan Gambala tiba di tempat yang entah mengapa tiba-tiba muncul dan
membuat gadis itu kebingungan "Heh...?! Ada apa, Dewa Arak ?" tanya
kakek bermata sayu itu heran. "Aku masih ingat tempat itu, kok?! Dan
lagi..., bukankah kau sendiri juga pernah ke sana?"
"Sekarang jalan menuju ke
sana telah berubah, Kek, " jawab Arya kalem. "Jangankan aku yang baru
satu kali kemari. Karmila yang sudah belasan tahun tinggal di sini pun tidak
mengetahuinya."
"Jadi..., bagaimana kita
ke sana?" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu agak bingung.
"Ambil jalan memutar,
Kek," Karmila yang menyahuti.
Gambala mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti. Dan kini, Karmila dan Rupangki yang berada di
depan.
"Kalau begitu..,
jangan-jangan Waji dan Dewi Pencabut Nyawa tidak pernah sampai ke sini pula?"
gumam Rupangki pelan Karmila mengangkat bahunya. Kemudian Arya menyahuti.
"Menilik dari keadaannya,
aku yakin perubahan tempat ini belum lama terjadi. Mungkin, terjadi sehari
sebelum aku tiba di sana. Jadi..., kemungkinan besar Waji dan ibunya telah tiba
di sana sebelum perubahan itu terjadi."
"Ah. . . ! Kini aku
ingat! " sambut Gambala agak keras sehingga membuat Dewa Arak, Rupangki,
dan Karmila terkejut.
"Ingat apa, Kek?"
Ketua Perguruan Pedang Ular
itu tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sambil terus melangkahkan kaki,
ditatapnya wajah Arya yang berlari di sebelahnya lekat-lekat.
"Aku pernah dengar cerita
dari almarhum guruku," akhirnya keluar juga jawaban dari mulut kakek
bermata sayu itu.
"Mengenai apa, Kek?"
tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Mengenai Jamur Sisik
Naga itu," jawab Gambala. "Menurut cerita guruku... apabila tiba
waktunya jamur itu tumbuh, jalan menuju ke Gua Naga akan tertutup."
"Jadi... , dengan kata
lain benar kalau Jamur Sisik Naga itu telah tumbuh, Kek?"
"Yahhh...! Begitulah
kira-kira, Arya. Padahal, semula kukira semua itu hanya dongeng belaka,"
ucap Ketua Perguruan Pedang Ular itu setengah mengeluh.
Suasana jadi hening, begitu
Gambala menghentikan ucapannya. Kini perhatian empat orang itu tertuju pada
medan yang harus mereka lalui. Medan yang sulit bukan main. Melalui jalan
setapak yang licin dan berjurang terjal. Semak-semak yang rapat dengan tumbuhan
berduri, dan masih banyak kesulitan lainnya.
Bagi Dewa Arak dan Gambala,
tentu saja medan itu tidak terlalu sulit. Tapi tidak demikian halnya dengan
Karmila dan Rupangki. Tingkat ilmu meringankan tubuh mereka jauh di bawah kedua
orang itu. Keduanya harus berusaha keras untuk menaklukkan sulitnya medan.
Tak lama kemudian, keempat
orang itu pun sudah tiba di tempat Karmila dulu berlatih ilmu 'Totokan
Penghancur Tulang'. Keempat orang itu segera bersembunyi begitu mendengar tawa
menggelegar dari dalam gua tempat tanggal Kalapati. "Ha ha ha...!"
Gambala saling pandang dengan
Dewa Arak Kedua alis kakek bermata sayu itu nampak berkerut.
"Aneh, suara tawa itu
sepertinya..., bukan suara tawa seorang wanita," desah Ketua Perguruan
Pedang Ular itu pelan. Gambala mengira yang berada dalam gua itu hanya Dewi
Pencabut Nyawa dan Waji.
Dewa Arak mengangguk, pertanda
sepaham dengan dugaan Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Apakah suara tawa Waji
seperti itu, Rupangki?" tanya Gambala. Kini ucapan itu ditujukan pada
muridnya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus
itu menggelengkan kepalanya.
"Aku yakin itu bukan
suara Kakang Waji, Guru," jawab pemuda bertubuh tinggi kurus itu penuh
hormat.
"Jangan panggil dia
kakang lagi, Rupangki!" tegur kakek bermata sayu itu keras. "Dia
sudah tidak kuanggap lagi sebagai murid! Kau mengerti?!"
"Mengerti, Guru."
"Rasanya... aku seperti
pernah mendengar suara tawa itu, Kek," selak Dewa Arak setelah termenung
beberapa saat. Dahi pemuda berambut putih keperakan itu nampak berkernyit.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Ah. . . ! Kau benar,
Dewa Arak! " gumam Gambala menyahuti ucapan Dewa Arak "Sepertinya...,
aku sudah beberapa kali mendengar suara tawa itu. Tapi aku lupa. Kapan dan di
mana aku mendengarnya?"
Dewa Arak terus berpikir
keras. Diyakininya kalau tawa itu belum lama didengarnya. Seluruh pikirannya
dipusatkan untuk mengingat di mana pemah mendengar suara tawa itu. Tapi....
"Bukankah pemilik tawa
itu adalah kakek berkepala botak yang hampir saja membunuhmu, Arya?"
tiba-tiba Karmila menyelak.
"Ah...! Kau benar,
Karmila!" sentak Dewa Arak. Tubuhnya sampai terjingkat saking kagetnya.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu teringat pada seorang bertubuh tinggi
besar, berkepala botak yang telah membuatnya terluka dan mungkin binasa, kalau
saja Melati tidak datang menolongnya.
"Setan Kepala
Besi...," desis Gambala dengan raut wajah berubah. Kakek bermata sayu itu
kini telah mengenali suara tawa itu. Memang, Ketua Perguruan Pedang Ular itu
telah dua kali mendengar suara tawa itu. Pertama kali didengarnya puluhan tahun
yang lalu, ketika laki-laki tinggi besar berkepala botak itu mendatangi
Perguruan Pedang Ular, dan hampir saja berhasil membunuh Gambala kalau saja
tidak muncul Kalapati menolongnya. Dan yang kedua, sewaktu dia bersama si Golok
Emas, dan tokoh persilatan lainnya mengeroyok Dewa Arak (Untuk jelasnya,
bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Memburu Putri Datuk").
Gambala menatap wajah Dewa
Arak lekat- lekat. "Mengapa Setan Kepala Besi bisa ada di sini?"
tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan. Entah bertanya pada siapa.
"Lalu..., ke mana perginya Waji dan Dewi Pencabut Nyawa?"
Jawaban bagi pertanyaan
Gambala adalah melesatnya tiga sosok tubuh dari dalam gua milik Kalapati.
"Waji...," Karmila
mendesis tajam. Sepasang mata bening dan indah milik gadis berwajah cantik
bertubuh ramping ini, menatap penuh amarah pada pemuda berbadan lebar dan
berpakaian kuning yang baru keluar dari gua.
"Setan Kepala
Besi...," Gambala berdesis tak kalah tajam. Wajahnya menampakkan kekagetan
yang amat sangat. Sungguh tidak disangkanya kalau Setan Kepala Besi bisa
bersama-sama dengan bekas muridnya.
"Wanita berpakaian merah
itu mungkin ibu Waji," ucap Rupangki pelan.
"Ya, " Gambala
menyahuti. "Dialah Dewi Pencabut Nyawa. Sungguh di luar dugaanku kalau
mereka bertiga bisa berkumpul di sini...."
Belum juga gema suara ucapan
kakek bermata sayu itu lenyap. Karmila sudah melesat keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Waji! Manusia terkutuk!
Sekarang terimalah pembalasanku!"
"Karmila!" seru
Rupangki yang sama sekali tidak menduga kenekatan gadis itu. Tapi, seruan
pemuda bertubuh tinggi kurus itu terlambat...
Singgg... !
Suara mendesing nyaring
mengiringi tibanya serangan Karmila.
Waji terkejut bukan main
mendengar bentakan itu. Apalagi begitu melihat sebatang pedang meluncur deras
ke arah lehernya. Tapi meskipun begitu, pemuda berbadan lebar itu tidak menjadi
gugup. Inilah kesempatan untuk menguji khasiat Jamur Sisik Naga yang telah
dimakannya, ucap Waji dalam hati.
Pikiran itulah yang membuat
pemuda berbadan lebar itu ini segera meloloskan pedangnya. Dan langsung
menangkis serangan Karmila.
Wunggg!
Tranggg!
Bunga api berpijar, begitu
kedua senjata itu beradu. Dan akibatnya, tubuh Karmila yang tengah berada di
udara terjengkang ke belakang. Sementara Waji hanya terhuyung dua langkah.
Karmila menggertakkan gigi.
Gadis berpakaian jingga ini merasakan betapa tangannya yang menggenggam pedang
tergetar hebat Terasa agak pegal-pegal dan kesemutan. Padahal, beberapa hari
yang lalu tidak seperti ini. Jelas kalau tenaga dalam pemuda berbadan lebar itu
telah meningkat pesat. Dan Karmila tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan
karena Jamur Sisik Naga?! "Hup!"
Angin berkesiur pelan. Sesaat
kemudian, di sebelah gadis berpakaian jingga itu telah berdiri Rupangki.
"Kau tidak apa-apa,
Karmila?" tanya pemuda tinggi kurus itu penuh kekhawatiran.
"Tidak, Rupangki,"
sahut Karmila seraya tersenyum manis.
"Syukurlah...!"
sambut Rupangki gembira.
***
"Ha ha ha...!" Setan
Kepala Besi tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya yang besar menatap dua
sosok tubuh yang berdiri di sebelah Karmila dan Rupangki.
"Kiranya Dewa Arak dan
Gambala!" ucap laki-laki tinggi besar dan berkepala botak itu, keras.
"Sungguh kebetulan sekari! Aku baru saja hendak mencari kalian!"
Gambala sama sekali tidak
mempedulikan ucapan Setan Kepala Besi. Ditatapnya wajah Waji lekat-lekat. Tapi
sungguh di luar dugaan, pemuda berbadan lebar itu ternyata malah balas menatap
tak kalah tajam.
"Sungguh tak kusangka
kalau kau ternyata bersekongkol dengan Setan Kepala Besi, Waji!" ucap
Ketua Perguruan Pedang Ular itu pelan tapi tajam. Ada kegetiran dalam nada
suaranya.
"Kau terkejut, Tua
Bangka?!" sahut Waji sambil tersenyum sinis. Tak ada nada penghormatan
sama sekali baik pada suara, maupun sikapnya kepada bekas gurunya.
"Keparat!" maki
Gambala keras. Sudah dapat dipastikan kalau kakek bermata sayu ini akan
menyerang bekas muridnya. Tapi sebelum itu terjadi, sebuah tangan kekar telah
menyentuh bahunya. Perlahan saja.
Gambala menoleh. Orang yang
menyentuhnya adalah Dewa Arak.
"Biarkan Karmila yang
menyelesaikannya, Kek," ucap Arya mengingatkan. "Kita sudah mempunyai
lawan."
Ketua Perguruan Pedang Ular
itu menghembuskan napas berat Diam-diam Gambala bersyukur ketika Dewa Arak
mengingatkannya. Memang, Karmila lebih berhak membunuh Waji.
"Karmila..., kau
selesaikan urusanmu. Biar aku dan Kakek Gambala yang menghadap! dua iblis
itu," ucap Arya pada Karmila.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak menghampiri Setan Kepala Besi. Sementara
Gambala bergerak mendekati
Dewi Pencabut Nyawa sambil meloloskan pedang lentur yang melilit pinggangnya.
Kedua tokoh sesat ini sejak tadi hanya diam saja. Mereka yakin akan mampu
mengatasi Dewa Arak dan yang lain-lain karena telah memakan Jamur Sisik Naga.
Tenaga dalam mereka kini telah dapat diandalkan untuk memainkan jurus-jurus
andalan.
"Ha ha ha...!" Setan
Kepala Besi tertawa bergelak melihat Arya menghampirinya. "Kali ini kau
tidak akan lolos lagi dari tanganku, Dewa Arak!"
Arya sama sekali tidak
menanggapi ucapan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Tenang saja Dewa
Arak mengambil guci yang tersampir di punggungnya. Kemudian diangkatnya ke atas
kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk... !
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu juga ada hawa hangat
menyebar di perut pemuda berambut putih keperakan ini. Dan perlahan hawa itu
naik ke kepalanya.
"Hup!"
Arya kembali menyampirkan
gucinya di punggung. Kemudian membentuk posisi kuda-kuda rendah. Sepasang
matanya mencorong tajam ke depan. Kaki kiri Dewa Arak ditekuk ke belakang,
sementara kaki kanan menjulur ke depan dengan bertumpu pada ujung kaki. Kedua
sikutnya yang tertekuk, diangkat ke kiri kanan kepala. Jari telunjuk mengacung
ke bawah. Sementara ibu jarinya yang terjulur ke depan, menempel di pertengahan
jari telunjuk Sedangkan jari-jari yang lain mengepal. Sekujur tangan mulai dari
pangkal sampai pergelangan, mengejang dan tampak bergetar.
Pertanda telah dialiri tenaga
dalam tinggi. Inilah pembukaan ilmu 'Belalang Sakti'.
Kemudian beberapa saat tubuh
Dewa Arak berkelojotan, seperti orang demam. Seluruh tubuh Arya mulai dari
pinggang ke atas bergoyang-goyang. Bahkan kedudukan kakinya pun oleng! Inilah
pembukaan jurus 'Belalang Mabuk'!
"Hiyaaa...!"
Seraya berteriak keras
melengking nyaring, Dewa Arak menerjang Setan Kepala Besi. Kedua tangannya yang
mengejang bergerak-gerak aneh, menyerang beruntun ke arah ulu hati dan leher!
Wuttt!
Suara hembusan angin keras
mengiringi tibanya serangan Dewa Arak. Tapi Setan Kepala Besi hanya
mengeluarkan suara dengusan mengejek Laki-laki tinggi besar berkepala botak ini
memang yakin betul akan kekuatan tenaga dalamnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
segera dipapaknya serangan Dewa Arak Tahu kalau pemuda berambut putih keperakan
itu adalah lawan tangguh, Setan Kepala Besi mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. "Hlh!"
Plak, plak plak!
Terdengar suara keras
berkali-kali, begitu kedua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi berbenturan. Akibatnya hebat bukan main! Tubuh Dewa Arak terlempar ke
belakang. Sementara Setan Kepala Besi hanya terhuyung-huyung dua langkah.
Arya terkejut bukan main
menyadari hal ini. Sama sekali di luar dugaannya kalau tenaga dalam lawan bisa
sekuat ini. Sekujur tangannya dirasakan sakit bukan main. Bahkan isi dadanya
pun terguncang hebat. Jelas, kalau tenaga dalam laki-laki tinggi besar
berkepala botak itu lebih kuat darinya.
"Ha ha ha...!"
Setan Kepala Besi tertawa
bergerak melihat keunggulannya. Kini dia benar-benar yakin pada khasiat Jamur
Sisik Naga yang telah dimakannya. Walaupun baru sekali ini bentrok tenaga dalam
dengan Dewa Arak, laki-laki tinggi besar berkepala botak ini tahu kalau sebelum
memakan jamur ajaib, tenaga dalamnya masih setingkat dengan Dewa Arak.
Setelah puas tertawa bergelak
Setan Kepala Besi segera menerjang Dewa Arak. Kaki kanannya menendang lurus ke
arah dada Arya.
Wuttt!
Walaupun Arya masih
terhuyung-huyung, tapi berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Saka', tidak sulit
mematahkan serangan itu. Segera dilangkahkan kakinya ke kanan sambil mendoyongkan
tubuh, sehingga tendangan itu lewat di samping kiri pinggangnya.
Setan Kepala Besi mendengus
seraya melancarkan serangan susulan. Telapak kaki kirinya segera diputar tanpa
berpindah tempat Kemudian kaki kanannya mengirimkan tendangan miring ke arah
kepala.
Lagi-lagi dengan keunikan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelak. Dan sekali pemuda
ini melangkah mengelak, seketika itu juga sudah berbalik mengancam lawan.
Tak lama kemudian, kedua tokoh
berkepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewa Arak menggertakkan gigi.
Setan Kepala Besi ternyata memang memiliki kepandaian luar biasa. Ilmu
'Tendangan Angin Topan dan Badai' yang menjadi andalan tokoh sesat itu, benar-
benar membuat Arya kewalahan.
Beberapa kali sewaktu tangan
atau kaki mereka berbenturan, Dewa Arak selalu terhuyung-huyung ke belakang.
Tenaga dalam Setan Kepala Besi memang lebih unggul daripada Arya. Tapi
untunglah ilmu meringankan tubuh Dewa Arak tidak kalah. Di samping itu Arya
masih mempunyai keunggulan lain, yaitu jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Sehingga sedikit banyak jurus ini bisa menutupi keunggulan lawannya.
Pertarungan antara Dewa Arak
dan Setan. Kepala Besi berlangsung cepat Sehingga dalam waktu singkat, lima
belas jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini, belum nampak tanda- tanda ada
yang terdesak
***
Sementara di arena lainnya,
tampak Karmila tengah berjuang keras menaklukkan Waji. Pedang gadis itu telah
berkali-kali menyambar tubuh pemuda berbadan lebar itu. Namun sampai sekian
jauh, belum ada satu pun yang mengenai sasaran.
Telah lebih lima belas jurus
Karmila menyerang kalang kabut. Tapi Waji masih mampu menahannya. Semua ini
adalah berkat tenaga dalamnya yang kini sudah meningkat jauh lebih kuat dari
tenaga dalam Karmila.
Berlainan dengan keadaan Dewa
Arak dan Karmila yang masih mampu mengimbangi lawan, Gambala berada dalam
keadaan mengkhawatirkan. Lawan yang dihadapi Ketua Perguruan Pedang Ular ini
adalah Dewi Pencabut Nyawa! Seorang tokoh sesat yang berkepandaian tinggi dan
bertenaga dalam kuat. Apalagi setelah memakan beberapa buah Jamur Sisik Naga.
Tenaga dalamnya jadi berlipat ganda.
Gambala menggertakkan gigi.
Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk mendesak lawan. Tapi tetap saja kakek
bermata sayu ini tidak berhasil. Gambala memang kalah segala-galanya dibanding
Dewi Pencabut Nyawa Kalah tenaga dalam dan juga dalam hal ilmu meringankan
tubuh.
Menginjak jurus ke lima puluh,
Ketua Perguruan Pedang Ular itu mulai terdesak Cambuk berujung tiga milik
wanita berpakaian merah menyala itu membuatnya repot bukan main.
Rupangki mengawasi semua
pertarungan itu dengan hati berdebar tegang. Apalagi ketika melihat Dewa Arak
Gambala, dan Karmila berkali-kali dibuat terhuyung-huyung. Terutama yang paling
sering terhuyung adalah Gambala.
Sampai suatu saat...
Ctarrr! Rrrttt!
"Alih!"
Gambala memekik kaget ketika
pedang lenturnya, tahu-tahu sudah terlilit cambuk berujung tiga milik lawannya.
Kakek bermata sayu ini sama sekali tak menduga kalau Dewi Pencabut Nyawa bisa
berbuat demikian. Pedang bagi Gambala adalah nyawa keduanya. Oleh karena itu
segera saja tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan pedang dari belitan
cambuk.
Dewi Pencabut Nyawa tentu saja
tidak mau membiarkannya. Dia pun balas menarik Sehingga untuk beberapa saat
lamanya terjadi adu tenaga dalam yang menegangkan.
"Uh... uh...!"
Wajah Gambala merah padam
ketika mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik pedangnya. Tapi karena
tenaganya memang kalah kuat, perlahan namun pasti tubuh Ketua Perguruan Pedang
Ular itu mulai condong ke depan. Terbawa tarikan tenaga Dewi Pencabut Nyawa.
Dewi Pencabut Nyawa menggeram
murka. Meskipun sedikit demi sedikit berhasil memenangkan adu tarik-menarik,
namun wanita berpakaian merah menyala ini tetap tidak puas. Dia sudah tidak
sabar lagi menunggu. Cara apa pun akan digunakan untuk mempercepat
kemenangannya.
Cuhhh... !
Tiba-tiba saja Dewi Pencabut
Nyawa menyemburkan ludahnya ke wajah Gambala. Tentu saja bukan sembarangan
ludah. Tapi ludah yang dilepaskan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ludah
itu pun melesat cepat seraya mengeluarkan desingan nyaring. Jangankan kulit
manusia. Tembok batu pun akan berlubang bila terkena semburan ludah itu.
Gambala yang sama sekali tidak
menduga serangan itu menjadi terkejut. Meskipun dalam keadaan terjepit kakek
bermata sayu ini membuktikan kalau dirinya adalah seorang ketua perguruan silat
besar. Cepat-cepat kepalanya diegoskan ke karian, sehingga serangan ludah itu
lewat setengah jengkal dari wajahnya.
Meskipun begitu, semburan
ludah tadi membuat perhatian Gambala jadi terpecah. Dan hal itulah yang
diinginkan Dewi Pencabut Nyawa! Tanpa membuang-buang waktu lagi, cambuknya
dihentakkan. Ketua Perguruan Pedang Ular yang sama sekali tidak menduga hal
itu, tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya kontan tertarik ke depan. Dan di
saat itulah kaki kanan wanita sesat itu menendang lurus ke perut Gambala.
Bukkk!
"Hugh!"
Telak dan keras sekali
tendangan Dewi Pencabut Nyawa menghantam perut Gambala. Seketika tubuh kakek
itu terjengkang ke belakang. Terdengar keluhan pelan dari mulutnya. Bahkan ada
cairan merah menitik di sudut-sudut mulutnya. Gambala terluka dalam!
Dewi Pencabut Nyawa memang
sudah bertekad untuk menghabisi lawannya. Oleh karena itu segera saja wanita
sesat ini menerjang hendak melancarkan serangan terakhir yang mematikan. Tapi
tiba-tiba....
"Tahan! Dewi Pencabut
Nyawa...!"
Wanita berpakaian merah itu
menghentikan serangannya begitu mendengar bentakan keras mengandung tenaga
dalam tinggi. Segera kepalanya ditolehkan, ke arah bentakan tadi berasal.
Sekitar beberapa tombak di
hadapan Dewi Pencabut Nyawa, berdiri seorang gadis cantik jelita berpakaian
putih. Rambutnya yang hitam dan panjang dibiarkan tergerai dipermainkan angin.
Menambah kecantikannya.
"Kau...?!" desis
Dewi Pencabut Nyawa begitu mengenali orang yang mengeluarkan bentakan itu.
"Kali ini kau tidak akan kubiarkan lolos!"
Gadis yang sebenarnya adalah
Melati itu, tersenyum. Manis sekali senyumnya. Apalagi bila Arya yang
melihatnya.
"Kita lanjutkan
pertarungan kita yang tertunda, Dewi Culas!" ejek Melati.
Gadis berpakaian putih Ini
mempunyai watak aneh. Mudah marah dan mudah meminta maaf, tapi juga... suka
mengejek!
"Kubunuh kau, Gadis
Liar!" teriak Dewi Pencabut Nyawa. Wanita sesat ini memang mempunyai sifat
pemarah. Ejekan Melati tadi membuatnya kalap bukan kepalang.
Ctarrr!
Cambuk berujung tiga di
tangannya dilecutkan ke udara. Lalu menyambar deras ke berbagai bagian yang
berbahaya di tubuh Melati. Tapi, gadis berpakaian putih ini segera melempar
tubuhnya ke belakang sambil tersenyum mengejek. Bersalto beberapa kali di
udara. Dan ketika Melati mendarat, di tangannya tergenggam sebilah pedang
pusaka.
Terdengar suara menggerung
seperti ada seekor naga yang tengah murka ketika Melati memainkan 'Ilmu Pedang
Seribu Naga'. Gadis berpakaian putih ini langsung menerjang Dewi Pencabut Nyawa
dengan sabetan-sabetan pedang yang mematikan. Sesaat kemudian kedua wanita
sakti ini sudah terlibat dalam pertarungan sengit dan imbang.
"Karmila...!"
Rupangki berseru keras ketika
gadis itu terhuyung ke belakang sambil menekap wajahnya. Pengalaman yang dulu
terulang kembali pada Karmila. Waji kembali menggunakan abu untuk membuat
sepasang mata gadis itu tak berdaya.
Dan selagi Karmila melangkah
mundur sambil menekap wajahnya, Waji melompat tinggi ke udara. Dan dari atas,
pedangnya membabat ke arah leher putri Kalapati itu.
"Hiyaaa...!"
Singgg! Singgg!
Kalap melihat keselamatan
kekasihnya, tanpa pikir panjang lagi Rupangki segera melemparkan beberapa pisau
terbang ke arah bekas kakak seperguruannya itu. Tidak hanya itu saja, pemuda
bertubuh tinggi kurus ini pun menyusul tubuh Waji yang tengah berada di udara.
Pedang di tangannya ditusukkan ke depan.
Waji terkejut bukan main
melihat serangan beruntun ini. Padahal saat itu tubuhnya tengah berada di
udara. Dengan agak gugup disampoknya pisau terbang itu dengan sabetan
pedangnya. Serangan pada Karmila terpaksa dibatalkan.
Trang, trang!
Pisau-pisau terbang itu
terpental balik begitu tertangkis pedang Waji.
Tapi sebelum pemuda berbadan
lebar ini sempat menjejak tanah, serangan Rupangki telah tiba.
Cappp!
"Akh...!"
Waji menjerit tertahan ketika
pedang Rupangki menghunjam pangkal lengannya. Seketika itu juga pedangnya
terlepas dari pegangan.
Tubuh pemuda berbadan lebar
itu meluncur deras ke tanah, dan hinggap dengan agak terhuyung-huyung. Dan saat
itulah Karmila yang sudah bisa melihat lagi, menusukkan pedangnya ke arah
perut.
"Aaakh...!"
Waji menjerit memilukan begitu
pedang Karmila bersarang di perutnya hingga tembus ke punggung. Seketika itu
juga tubuhnya ambruk ke tanah. Berkelojotan beberapa saat. Dan kemudian diam
tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Karmila...!
Rupangki berlari menghambur ke
arah gadis berpakaian jingga itu.
"Kau tidak apa-apa?"
tanya pemuda tinggi kurus itu. Sepasang matanya menatap putri Kalapati penuh
kekhawatiran.
Karmila menggeleng pelan.
Bibirnya yang semerah delima tersenyum.
"Ah, syukurlah...,"
desah Rupangki seraya memeluk gadis berpakaian jingga itu erat-erat. Karmila
membiarkan saja pemuda tinggi kurus itu memeluknya. Gadis itu merasa aman
berada dalam pelukan pemuda itu.
"Ehm. .. ehm.. ., "
suara mendehem yang keluar dari mulut Gambala menyadarkan kedua muda-mudi ini
dari keasyikannya. Seketika itu juga keduanya saling melepaskan pelukan dengan
wajah merah padam. Terutama sekali Karmila. Betapa bodohnya! maki kedua
muda-mudi itu dalam hati. Mengapa mereka sampai melupakan orang-orang yang
berada di sekitar situ?
Dengan pandangan malu-malu,
Rupangki dan Karmila menatap Gambala. Tapi kakek bermata sayu itu rupanya
kembali sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Kini tinggal dua pertarungan
lagi yang tersisa. Pertarungan antara Melati menghadapi Dewi Pencabut Nyawa,dan
antara Dewa Arak dengan Setan Kepala Besi.
***
Melati mengerutkan alisnya.
Gadis berpakaian putih ini merasa heran begitu menyadari kalau tenaga dalam
lawan meningkat jauh lebih kuat. Kini tenaga dalam Dewi Pencabut Nyawa sudah
berimbang dengan tenaga dalamnya! Melati rupanya sama sekali tidak tahu kalau
semua itu adalah khasiat Jamur Sisik Naga!
Pertarungan antara kedua
wanita sakti itu berlangsung cepat. Seratus jurus telah berlalu. Dan selama itu
pertarungan masih berlangsung imbang. Tingkat kepandaian Melati dan Dewi
Pencabut Nyawa memang berimbang. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh maupun
tenaga dalam. Sehingga tidak aneh kalau pertarungan antara kedua orang itu
berlangsung seru.
Suara ledakan yang berasal
dari lecutan cambuk, dan suara menggerung keras seperti naga murka dari gerakan
pedang Melati, menyemaraki jalannya pertarungan itu.
Dewi Pencabut Nyawa menggerung
murka. "Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan lengkingan
nyaring, wanita berpakaian merah menyala itu melompat ke atas. Dan dari atas,
ujung cambuk perempuan sesat itu menyambar deras ke pelipis, ubun- ubun, dan
bawah hidung. Tiga jalan darah kematian.
"Hih!"
Melati menggertakkan gigi.
Pedang di tangannya kembali
mengeluarkan suara
menggerung, seperti seekor
naga marah.
Prat! Rrrt ...... !
Seketika itu juga tiga buah
ujung cambuk itu melilit mata pedang Melati. Gadis berpakaian putih ini
cepat-cepat membetotnya.
Terdengar pekikan lirih dari
mulut Dewi Pencabut Nyawa, begitu tubuhnya yang masih berada di udara tertarik
turun. Tapi wanita sesat ini tidak gugup. Bersamaan dengan tubuhnya turun, kaki
wanita berpakaian merah menyala ini dijejakkan ke dada Melati.
Pada saat yang bersamaan,
cakar kiri yang berwarna kemerahan menyambar ke dada Dewi Pencabut Nyawa yang
meluncur turun.
Dewi Pencabut Nyawa tersenyum
lebar. Dalam hatinya berkata, sebelum cakar gadis berpakaian putih itu mengenai
dadanya, tentu jejakan kakinya akan lebih dulu mendarat di dada Melati.
Sungguh di luar dugaan Dewi
Pencabut Nyawa. Tangan Melati tiba-tiba memanjang, hampir dua kali lipat
semula. Wanita sesat ini sama sekali tidak tahu kalau Melati menggunakan jurus
'Naga Merah Mengulur Kuku'. Maka ......
Desss!
"Akh...!"
Dewi Pencabut Nyawa terpental
tinggi ke atas. Seketika itu juga cambuknya terlepas. Darah segar bermuncratan
dari mulut, hidung, dan telinga wanita berpakaian merah menyala ini.
Bruk!
Tubuh Dewi Pencabut Nyawa
roboh di tanah tanpa bergerak lagi. Ilmu 'Cakar Naga Merah' memang dahsyat!
Sekali terkena lawan akan berakibat fatal!
Melati memandangi tubuh yang
telah tidak bernyawa lagi itu sejenak Kemudian pandangannya dialihkan pada pertarungan
antara Dewa Arak melawan Setan Kepala Besi.
***
Pertarungan antara Dewa Arak
melawan Setan Kepala Besi sudah berlangsung lebih dari dua ratus jurus.
Sungguhpun sebenarnya Arya kalah dalam hal tenaga dalam, tapi Dewa Arak masih
memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Jurus yang membuat pemuda itu mampu
bergerak cepat dalam posisi apa pun.
Napas Setan Kepala Besi sudah
memburu. Usia laki-laki tinggi besar ini memang cukup tua, sehingga tidak
mengherankan kalau tenaganya cepat terkuras habis. Apalagi jurus yang
dimainkannya adalah jurus 'Tendangan Angin Topan dan Badai'. Jurus yang sangat
banyak menguras tenaga.
Kagum juga hati tokoh sesat
ini, begitu melihat lawannya sedikit pun tidak terlihat lelah. Bahkan
serangan-serangan pemuda berambut putih keperakan itu masih sedahsyat semula.
Bukan hanya Setan Kepala Besi
saja yang merasa kagum. Dewa Arak pun dilanda perasaan yang sama. Baru sekali
ini ditemuinya tokoh yang sanggup memecahkan keistimewaan jurus 'Delapan
Langkah Belalang'. Meskipun tadi Dewa Arak selalu dapat mengelakkan serangan,
tapi Setan Kepala Besi dapat membaca ke mana arah elakan Dewa Arak. Hal inilah
yang membuat pertarungan kedua tokoh sakti ini berlangsung lama.
Tiba-tiba Setan Kepala Besi
melempar tubuh ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara, tubuhnya
hinggap beberapa tombak menjauhi lawan.
Dewa Arak sama sekali tidak
mengejarnya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan akan
mengeluarkan ilmu lain. Dan tak terasa jantung Dewa Arak berdebar tegang. Sudah
bisa diperkirakan kalau ilmu yang akan dikeluarkan kali ini lebih dahsyat dari
sebelumnya.
"Kau memang hebat, Dewa
Arak! Tapi..., jaga seranganku ini!"
Setelah berkata demikian,
tiba-tiba Setan Kepala Besi berlari kencang sambil menjulurkan kepalanya.
Rupanya laki-laki tinggi besar berkepala botak ini menyeruduk dengan
menggunakan kepalanya. Seperti layaknya kerbau atau banteng!
Wusss!
Angin berhembus keras sebelum
serudukan kepala Setan Kepala Besi tiba. Dewa Arak kaget bukan kepalang melihat
jurus aneh lawannya ini. Ada pengaruh aneh yang membuat Arya sukar untuk
mengelakkan serangan itu. Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali
menangkisnya.
"Hiyaaa...!"
Untuk pertama kalinya Dewa
Arak berteriak keras dalam upaya mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya. Luar
biasa akibat teriakan pemuda itu. Rupangki dan Karmila seketika jatuh terduduk.
Lutut mereka seketika terasa lemas. Bahkan tubuh Gambala sampai menggigil.
Dan sebelum gema teriakan itu
habis, dengan kecepatan sukar diikuti mata, tangan Dewa Arak menjumput guci
arak di punggungnya. Bersamaan dengan itu seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
untuk memberatkan tubuh. Inilah ilmu 'Pasak Bumi' yang membuat kedua kaki Dewa
Arak seperti berakar di tanah.
Rambut dan seluruh pakaian
Dewa Arak berkibaran keras. Batu-batu besar kecil beterbangan, dan debu pun
mengepul tinggi ke udara. Keadaan di tempat itu seperti dilanda angin topan
ketika serudukan Setan Kepala Besi itu mendekat.
"Hih!"
Klanggg!
Terdengar suara berdentang
memekakkan telinga, ketika Dewa Arak menangkis serudukan kepala lawan dengan
guci araknya.
Hebat akibatnya! Tubuh Dewa
Arak terseret lima tombak dari tempat semula. Gucinya terpental entah ke mana
karena sekujur kedua tangannya kontan seperti lumpuh! Bahkan isi dadanya
terguncang keras. Tapi anehnya, kedua kakinya tetap tidak terlepas dari tanah.
Inilah kehebatan ilmu 'Pasak Bumi'.
Sementara keadaan Setan Kepala
Besi tidak lebih baik dari Dewa Arak Kali ini laki-laki tinggi besar itu kena
batunya. Kepalanya memang kebal, tapi yang kali ini dibenturnya bukan benda
main-main. Sebuah guci pusaka! Kepalanya pun dirasakan pening bukan main. Setan
Kepala Besi sadar kalau kekebalan kepalanya kemungkinan telah lenyap akibat
benturan ini. Dan ini belum pernah dialaminya. Sekalipun menghadapi Kalapati.
Tak terasa dalam hati Setan Kepala Besi timbul perasaan sayang, kalau seorang
pemuda yang memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak ini harus mati di
tangannya.
Terlebih lagi dia pun sadar
kalau Dewa Arak belum tentu bisa dikalahkannya. Setan Kepala Besi ini memang
tidak terhitung tokoh sesat yang terlalu jahat. Tidak sama sekali. Bahkan bila
dibanding Kalapati, masih lebih jahat ayah Karmila daripada Setan Kepala Besi.
Maka sambil menahan rasa
pusing dan sakit yang amat sangat pada kepalanya, Setan Kepala Besi menghampiri
Dewa Arak.
"Aku mengaku kalah, Dewa
Arak" "Kau tidak kalah olehku," Setan Kepala Besi. Malah aku
harus kagum pada kekebalan kepalamu yang sangat keras itu," jawab Arya
jujur. Karena dia pun merasakan sakit yang amat sangat pada kedua tangannya,
ketika menahan serudukan kepala Setan Kepala Besi tadi.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Setan Kepala Besi pun segera menghampiri mayat Dewi Pencabut Nyawa dan
Waji. Kemudian kedua mayat itu sekaligus dipanggulnya. Lalu segera melesat meninggalkan
tempat itu.
Melati bergerak ingin
mencegahnya. Tapi...
"Biarkan dia pergi,
Melati," cegah Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, tak
seorang pun di tempat ini yang mampu menandingi kesaktian Setan Kepala Besi.
Dewa Arak bersyukur ketika tokoh sesat itu tidak berniat memperpanjang urusan
lagi.
Gadis berpakaian putih itu pun
menghentikan gerakannya. Ditatapnya bayangan Setan Kepala Besi hingga lenyap di
kejauhan.
"Kau tidak apa-apa, Kang
Arya?" tanya Melati sambil berlari menghambur ke arah Dewa Arak.
Arya menggelengkan kepalanya.
Walaupun sebenarnya ada rasa sakit yang mendera kedua tangan dan dadanya, tapi
Dewa Arak tidak ingin memperlihatkan kepada tunangannya. Dihampainya guci arak
yang tergeletak agak jauh dari tempat pemuda Itu berdiri.
"Kami pergi dulu,
Kek," pamit Arya pada Gambala setelah menyampirkan guci arak di
punggungnya. Beberapa saat kemudian pemuda berambut putih keperakan itu sudah
bergerak melesat dari situ bersama Melati.
"Tunggu dulu, Dewa
Arak!" cegah Gambala.
"Ada apa, Kek?" Arya
menghentikan langkahnya.
"Bulan purnama depan, aku
mengundangmu datang ke Perguruan Pedang Ular."
"Memangnya ada apa,
Kek?" kali ini Melati yang bertanya.
Gambala tidak langsung
menjawab. Ekor matanya melirik ke arah Rupangki dan Karmila.
"Pernikahan Rupangki dan
Karmila!" jawab kakek bermata sayu itu seraya tertawa bergelak. Karuan
saja wajah Rupangki dan Karmila jadi merah padam. Rupangki hanya bisa tersenyum
bingung. Walaupun sebenarnya hati pemuda ini gembira sekali. Sementara Karmila
hanya menundukkan kepalanya saja.
Dewa Arak dan Melati tersenyum
lebar melihat tingkah kedua muda-mudi itu.
"Kami pasti datang,
Kek," sahut Arya. Dan sebelum Gambala berkata lagi, tubuh pemuda berbaju
ungu itu telah berkelebat dari situ. Gambala hanya dapat menggeleng-gelengkan
kepala.
"Mari kita kembali ke
perguruan!" ajak kakek bermata sayu itu pada Rupangki dan Karmila. Sesaat
kemudian ketiga orang itu berkelebat menuruni lereng Gunung Palanjar.
***
Setelah cukup jauh dari tempat
Gambala, Arya menghentikan ayunan kakinya. Tentu saja Melati pun menghentikan
langkah.
"Kau tidak marah lagi,
Melati?" goda Arya sambil memegang jari-jemari gadis berpakaian putih itu.
Melati hanya menggelengkan
kepalanya. Sementara sepasang matanya yang bening dan bidah itu merayapi wajah
tampan yang berdiri di hadapannya.
Arya menelan ludah melihat
wajah cantik yang berada di hadapannya. Dirayapi wajah gadis berpakaian putih
itu dengan sorot mata penuh kasih sayang.
"Melati...," panggil
Arya. Suaranya agak serak. "Hm...," gumam gadis berpakaian putih itu
manja. "Nggg..., aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Melati...,"
ujar Arya terbata-bata. Jari-jari tangannya meremas-remas jemari Melati yang
lentik dan halus. "Katakanlah, Kang," sahut Melati memberi angin.
"Kau..., kau janji tidak akan marah...?" "Mengapa harus marah,
Kang?" Melati balas bertanya.
"Betul?" tanya Arya
masih kurang yakin. "Betul," Melati menganggukkan kepalanya.
"Katakanlah, Kang."
"Nggg...," Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin... ingin
..."
"Katakan cepat,
Kang," selak Melati tak sabar. "Aku jadi sakit perut nih, gara-gara
kelakuanmu itu."
"Aku ingin..., tapi kau
janji tidak akan marah, kan?"
Melati menghentak-hentakkan
kakinya kesal.
"Kalau kau begitu terus, aku
akan marah!" gertak gadis itu kesal. Rupanya gadis itu sudah tak sabar
menunggu ucapan yang tidak kunjung keluar dari mulut Dewa Arak
"Baiklah, Melati,"
sambut Arya menguatkan hati. "Aku ingin... ingin menciummu, Melati."
Hampir meledak tawa gadis berpakaian
putih itu mendengar ucapan Arya. Hanya ingin mengucapkan kata seperti itu saja,
telah membuatnya sakit perut.
"Bagaimana, Melati?
Boleh?" tanya Arya dengan harap-harap cemas begitu melihat gadis itu diam
tak menjawab.
Bukannya menjawab, Melati
malah memejamkan kelopak matanya. Sesaat lamanya pemuda berambut putih
keperakan ini kebingungan, sebelum akhirnya mengerti. Rupanya bagi wanita
menyatakan persetujuannya tidak perlu dengan mengucapkan 'iya' atau
menganggukkan kepala. Diam saja pun telah berarti setuju.
Perlahan tangan Arya berpindah
ke kuduk Melati. Dan dengan perlahan pula ditariknya wajah itu mendekat. Pemuda
berambut putih keperakan itu menelan ludahnya tatkala mencium keharuman khas
seorang gadis. Dengan agak gemetar, dikecupnya bibir gadis itu.
Melati pun balas melingkarkan
tangannya di leher Arya. Dan dibalasnya ciuman pemuda berambut putih keperakan
itu tak kalah hangat Beberapa saat lamanya mereka berdiri berpelukan dan saling
berciuman.
Tak mereka sadari, matahari
telah condong ke Barat. Dan kegelapan pun perlahan mulai turun menyelimuti
bumi. Tak lama lagi rembulan akan menjelang, menggantikan tugas matahari yang
sudah seharian penuh menyinari bumi. Dan dalam suasana yang mulai gelap itu,
nampak dua sosok tubuh berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Tangan mereka
bergandengan Kedua sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Arak dan Melati, yang
akan terus melanjutkan perjalanan untuk memenuhi tugas mereka sebagai pendekar
pembela kebenaran.
SELESAI