03 - Cinta Sang Pendekar
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras
yang memecah kesunyian di pagi ini. Sesosok tubuh berkulit hitam yang tengah
bersemadi, membuka sepasang matanya dan memandang ke arah asal suara itu. Suara
tawa yang menggelegar, membuat isi dadanya terasa bergetar. Suatu bukti nyata
ketinggian tenaga dalam pemillk suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan
laki-laki berkulit hitam itu, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bibirnya
tampak tersenyum sinis, dan sepasang matanya berkilat tajam.
Pemuda itu berusia sekitar dua
puluh dua tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan, seperti juga warna pakaiannya.
Di kanan-kiri pinggangnya terselip sebatang kapak berwarna perak mengkilat.
"Kaget, Ular Hitam?"
tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada orang di
depannya.
Orang tua berjuluk Ular Hitam
itu, bangkit dari semadinya dengan sikap waspada. Pameran tenaga dalam yang
disalurkan lewat suara tadi membuatnya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya Ular Hitam tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu.
Seketika sepasang mata pemuda
berpakaian serba coklat itu berkilat, karena pertanyaannya sama sekali tidak
dipedulikan kakek di hadapannya. Raut wajahnya terpancar kemarahan.
"Kau kenal Ki
Jatayu?" tanya pemuda itu. Dingin dan datar suaranya.
"Hah ... ?! Apa
hubunganmu dengannya ... ?" tanya Datuk Barat ini dengan jantung berdebar
keras. Wajah Ular Hitam langsung berubah mendengar nama yang disebut pemuda
itu. Dia kenal betul siapa Ki Jatayu. Salah seorang pelayan kakaknya yang kabur
membawa kitab pusaka.
"Aku muridnya...,"
pelan dan tenang suara pemuda itu.
"Apa?!" sepasang
mata Ular Hitam terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Ular
Hitam? Aku yakin sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini,
bukan?"
Belum juga gema ucapannya
habis, murid Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Ular Hitam. Jari jari kedua
tangannya terbuka lurus. Tangan kanannya bergerak menusuk ke arah leher,
sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdecit tajam,
berdesing dan mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang amat tajam
mengibas-ngibas mencari sasaran.
Sebagai datuk yang telah
puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan, Ular Hitam mengenal betul
serangan berbahaya. Maka, buruburu digeser kakinya ke samping. Sehingga
serangan itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya. Tetapi sesuatu yang
mengejutkan kakek itu terjadi.
Brettt ... !
Baju di bagian dadanya robek
memanjang, seperti tersayat pisau atau pedang tajam. Tentu saja hal ini membuat
Datuk Barat ini kaget bukan main! Padahal kakek ini tahu pasti kalau serangan
itu telah dielakkan sebelum sempat mengenainya. Jadi, angin serangan itulah
yang telah menyerempet bajunya. Seketika Ular Hitam tersentak ketika teringat
akan ilmu yang mempunyai akibat begitu dahysat itu.
'"Tangan
Pedang'...!" teriak Datuk Barat itu keras.
'Tangan Pedang' adalah salah
satu ilmu milik Ki Gering Langit yang mempunyai keistimewaan membuat tangan
setajam pedang! Bahkan bagi yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, angin
serangannya pun tak kalah dahsyatnya dibanding babaran pedang tajam!
"Rupanya matamu belum
lamur, Ular Hitam!" ejek pemuda berpakaian coklat itu.
Ular Hitam menggeram.
Terdengar suara bergemeletuk keras dari sekujur tulang-tulang tubuhnya. Ketika
amarahnya meluap-luap, kakek ini mengeluarkan ilmu andalannya. ilmu 'Ular
Terbang'. Kedua tangannya yang membentuk kepala ular, berkelebatan cepat
melakukan sodokan-sodokan tak terduga ke bagian ulu hati dan tenggorokan.
Angin berdecit keras mengiringi
tibanya serangan serangan Ular Hitam itu. Suatu tanda kalau serangannya
ditunjang tenaga dalam tinggi. Tetapi pemuda berbaju coklat itu hanya tersenyum
mengejek. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, dijegalnya serangan-serangan
yang mengancam lewat tebasan-tebasan dengan sisi tapak tangan miring.
Takkk! Takkk!
Benturan antara dua tangan
yang samasama memiliki tenaga dalam tinggi pun tak terhindari lagi. Tubuh Ular
Hitam terhuyung dua langkah ke belakang, sementara tubuh pemuda murid Ki Jatayu
hanya bergetar saja.
Ular Hitam terperanjat melihat
kenyataan ini. Memang sudah diduga kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda
sombong di hadapannya cukup tinggi. Namun sungguh di luar dugaan kalau sampai
begitu tinggi, sehingga tidak kalah dahsyat dengan yang dimiliki anak asuhnya,
si Dewa Arak.
Rasa perih yang melanda,
membuat kakek itu melirik kedua tangannya yang tadi berbenturan dengan sisi
tangan pemuda itu. Pucat wajah Ular Hitam ketika melihat lengan bajunya robek
seperti tersayat pedang. Bahkan sepasang tangannya pun nampak bergaris tipis
memanjang, yang pelahan namun pasti muncul bintik-bintik merah. Darah!
Tapi kakek ini tidak
mempedulikan. Kembali diterjangnya murid Ki Jatayu itu dengan segenap kemampuan
yang dimiliki. Tentu saja pemuda berbaju coklat itu tidak tinggal diam.
Langsung dibalasnya serangan dahsyat itu dengan tak kalah dahsyat.
Baik Ular Hitam maupun murid
Ki Jatayu, sama-sama memiliki gerakan yang amat cepat. Sehingga tidak aneh,
kalau yang nampak hanyalah dua buah bayangan berwarna hitam dan coklat yang
saling sambar, dan terkadang saling terpental.
Dalam waktu sebentar saja
pertarungan itu telah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan selama itu,
beberapa kali sosok bayangan hitam terpental keluar dari arena pertarungan.
Tapi, hal itu berlangsung hanya sekejap saja karena sosok bayangan coklat
kemudian memburunya. Maka kembali kedua bayangan itu saling sambar.
Suara mendesing dan mengaung
menyemaraki pertarungan antara kedua orang sakti itu. Pepohonan bertumbangan,
batu-batu besar maupun kecil beterbangan. Dan debu pun ikut mengepul tinggi ke
udara.
Pada jurus kelima puluh tujuh,
untuk yang kesekian kalinya, sosok bayangan hitam kembali terpental ke
belakang. Tapi kali ini lebih parah dari sebelumnya. Sosok bayangan memang
adalah Ular Hitam, terjengkang dan terguling-guling di tanah. Namun dengan
sigap laki-laki tua itu mematahkan daya guling, kemudian melompat bangkit dan
kembali bersiap siaga.
Keadaan kakek ini sungguh
mengenaskan! Seluruh pakaiannya koyak bagai tersayat-sayat pedang. Bahkan pada
beberapa bagian tubuhnya terdapat garis memanjang samar-samar! .
Ular Hitam sekarang menyadari
kalau pemuda di hadapannya ini tidak mungkin dapat dikalahkan. Maka kakek itu
memutuskan untuk bertindak nekad. Pemuda ini akan diajaknya mengadu nyawa!
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya,
pemuda berpakaian coklat itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan.
Sementara Datuk Barat itu hanya menatap tanpa berkedip, penuh kewaspadaan.
Seluruh panca inderanya terpusat penuh.
Tiba-tiba telinganya menangkap
suara langkah-langkah kaki mendekat dari belakangnya. Sambil tetap tak
melepaskan pengawasan terhadap pemuda di hadapannya, kakek ini menengok ke
belakang.
Beberapa tombak di belakangnya
tertihat seorang wanita setengah baya. Pakaiannya serba kuning, dan di bagian
dada sebelah kiri terdapat sulaman bunga mawar berwarna merah. Dia berjalan
menghampirinya. Wanita itu adalah Nyi Sani, ibu Arya Buana atau Dewa Arak .
"Sani! Cepat pergi dari
sini! Cepat ... !" teriak Ular Hitam kalap.
Setelah berkata demikian,
kakek itu segera menerjang pemuda berbaju coklat di hadapannya dengan
serangan-serangan yang mematikan. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian
pemuda itu dari Nyi Sani.
Nyi Sani adalah seorang wanita
cerdik. Ia tahu, Ular Hitam tak akan menyuruhnya pergi dengan nada begitu
keras, kalau tidak ada sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas
dibalikkan tubuhnya dan berlari ke arah kedatangannya tadi.
Tapi baru beberapa langkah,
wanita itu teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan Aki
sendiri?!" tanya Nyi Sani sambil mengerahkan tenaga dalam. Sehingga,
suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya suara pertempuran.
"Jangan pikirkan aku! Aku
akan menyusul belakangan!"
Untuk sesaat Nyi Sani terdiam.
Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat rasanya meninggalkan kakek
itu sendirian yang menghadapi lawan tangguh. Digigit bibirnya untuk menguatkan
hati, baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Jangan harap dapat lolos
dari tanganku!"
Setelah berkata demikian,
sambil tetap melakukan desakan-desakan, tangan pemuda berbaju coklat yang
bernama Darba ini sudah menyelusup ke balik pinggang. Sementara Ular Hitam
hanya dapat mundur dan bertahan.
Dengan kecepatan gerak yang
sukar diikuti mata, tangan itu telah keluar lagi, lalu menyambar cepat ke arah
Ular Hitam.
Wuttt ... !
Datuk Barat ini kaget bukan
kepalang. Sekelebatan terlihat seleret sinar berwarna keperakan menyambar ke
arahnya. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, maka untung-untungan
sinar itu ditangkis dengan tangannya.
"Akh...!"
Seketika Ular Hitam menjerit
kesakitan. Darah langsung muncrat dari tangan kanannya yang buntung sebatas
pergelangan. Rupanya seleret sinar keperakan itu adalah kapak mengkilat yang
tergantung di pinggang pemuda itu.
Belum lagi kakek ini sempat
berbuat sesuatu, kaki kiri Darba telah kembali melayang. Rasanya kibasan kaki
itu memang sulit dihindari.
Buk!
"Hugh...!"
Dengan telak dan keras, kaki
itu menghantam perut Datuk Barat Kakek itu mengeluh pendek, dan tubuhnya
terbungkuk. Ada cairan merah menitik di sudut bibirnya. Jelas kalau Ular Hitam
terluka dalam.
Dan belum lagi kakek itu mampu
berbuat sesuatu, kembali tangan murid Ki Jatayu yang memegang kapak keperakan
itu berkelebat cepat bagai kilat
Crakkk...!
"Akh ... !"
Ular Hitam memekik sesaat,
sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Datuk ini
tewas seketika.
Dan rupanya kapak di tangan
Darba tidak bertugas sampai di situ saja. Kembali tangan pemuda ini bergerak,
mengayunkan kapak perak itu.
Singgg ... !
Seleret sinar keperakan
melesat ke arah Nyi Sani yang tengah berlari. Ibu Dewa Arak ini mencoba
berkelit, tapi sayang terlambat!
Crakkk...!
"Akh ... !"
Nyi Sani memekik tertahan.
Tanpa ampun lagi, kapak itu menembus punggungnya. Langkah kakinya pun langsung
terhenti seiring dengan lenyapnya nyawa dari badan. Seketika tubuh yang
bersimbah darah itu ambruk ke tanah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan dan
kepuasan yang berkepanjangan menggema di sekitar tempat itu. Dengan cepat,
pemuda itu melesat cepat meninggalkan tempat pembantaian. Suara itu pelahan
lenyap seiring lenyapnya tubuh Darba di kejauhan.
"Tidaaak...!"
Jeritan keras melengking
terdengar memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda berwajah jantan dan berambut
putih keperakan, tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya terengah-engah
seperti habis berlari jauh.
Wajah pemuda berpakaian ungu
itu basah oleh keringat. Di dalam mimpi tadi, pemuda itu melihat ada banjir
besar yang tiba-tiba melanda tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam. Kakek
itu dan ibunya pun tak luput dari amukan air bah. Betapapun kedua orang yang
disayanginya itu mencoba bertahan, tapi air itu terlalu kuat buat mereka. Maka
keduanya hanyut dilanda air bah itu!
"Ah ... !" pelahan
pemuda itu mengeluh. Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa saat
lamanya, dibiarkan kedua tapak tangannya hinggap di sana. Kemudian
pelahan-lahan diusap keringat yang membasahi wajah.
"Mimpi itu lagi...,"
keluh pemuda itu lagi pelan. "Mimpi yang sama. Aneh! Ataukah ini merupakan
suatu petunjuk dari Gusti Allah?" duga pemuda itu tiba-tiba.
Teringat hal itu, pemuda yang
tak lain adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak bergegas bangkit dari
pembaringan. Pemuda ini berbaring di sebuah dipan beralaskan tikar butut. Ia
memang tidak berada di dalam kamar sebuah rumah penginapan, melainkan di sebuah
gubuk kecil. Rupanya gubuk kecil itu memang tidak terpakai lagi, dan terletak
di tengah sawah.
Diraihnya guci yang diletakkan
di sampingnya, lalu didekatkan ke mulutnya. Dituangkan arak itu ke dalam
mulutnya. Seketika tubuh Dewa Arak terasa hangat. Baru kemudian guci itu diikat
di punggungnya. Kini pemuda itu bergegas bangkit melangkahkan kakinya
menghampiri pintu.
Begitu pintu terbuka, tampak
hamparan tanaman padi yang telah mengering, menyambutnya di tengah keredupan
malam yang hanya diterangi bulan sepotong.
Arya melangkahkan kakinya
melalui pematang-pematang sawah. Fikirannya terus menerawang memikirkan
mimpi-mimpi yang sama dan senantiasa mengganggu tidurnya setiap malam.
Malam hari itu juga, Arya
Buana melanjutkan perjalanannya. Mimpi-mimpi yang sama dan berturut-turut
dialami, membuat perasaannya tidak enak. Dia merasakan ada halhal yang tidak
beres terjadi pada diri Ular Hitam dan ibunya.
Dewa Arak segera menuju ke
arah Barat. Karena pemuda itu mendengar dari para perantau, kalau di sana
terjadi tindak kekacauan dan kejahatan. Karena mungkin saja Ular Hitam dan
ibunya memerlukan pertolongan saat ini, maka pemuda ini memutuskan untuk
menunda dulu urusannya mencari Melati.
Arya yang tengah gelisah
memikirkan nasib ibunya dan Ular Hitam, melakukan perjalanan dengan cepat,
tanpa menghentikan langkahnya sekali pun. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
memang sudah mencapai tingkat tinggi,
menjelang siang hari, Arya
sudah tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Tanah di daerah ini kering, bahkan
pecah-pecah. Tak ada satu pun tanaman yang tumbuh di sana.
"Hhh ... !"
Arya menghela napas panjang.
Panas matahari mulai terasa menyengat kulitnya. Matanya beredar ke sekelilingnya.
Tak nampak apa apa kecuali hamparan tanah lapang yang luas. Tidak nampak satu
pohon pun untuk berteduh dari sengatan panas yang amat terik ini.
Tengah pemuda berpakaian ungu
ini termenung bimbang, pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki
kuda di be lakangnya.
Dengan perasaan harap-harap
cemas, Dewa Arak menolehkan kepalanya ke belakang. Dia khawatir kalau suara itu
tercipta karena khayalannya semata-mata.
Tapi ternyata tidak. Ternyata
agak jauh di depan sana, tampak seekor kuda coklat yang menarik sebuah gerobak.
Setelah yakin dengan penglihatannya, Dewa Arak ini segera membalikkan tubuhnya.
Dihadapkan wajah dan tubuhnya ke arah kereta kuda itu berasal.
S e makin lama ke re ta kuda
itu se makin dekat jaraknya dari tempat Arya berada. Dan begitu berjarak
sekitar lima tombak, pemuda berambut putih keperakan ini melambaikan tangannya.
"Hooop...!"
Seketika si kusir menarik tali
kekang kudanya, maka kuda berwarna coklat kehitaman yang sejak tadi memang
berjalan lambat-lambat kontan berhenti. Arya menghampiri kusir kereta kuda itu.
Dalam jarak sekitar tiga tombak tadi, Dewa Arak segera dapat mengetahui kalau
kusir itu masih amat muda. Dan setelah melangkah mendekati, jelas terlihat
kalau wajah kusir itu sungguh tampan.
Kusir yang ternyata seorang
pria berusia sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, halus, dan mulus.
Rasanya terlalu tampan untuk seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya
merah.
Kalau saja Arya tidak melihat
sebaris kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya, pasti pemuda ini menduga
kalau kusir itu seorang wanita. Dandanan rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya
serba hitam, sehingga terlihat kontras sekali dengan kulitnya yang putih.
"Mengapa kau memandangiku
seperti itu, Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa jengah dipandangi Arya
Buana terus-menerus.
"Ah ... ! Fh..., maaf.
Maksudku, aku hanya terpana saja. Maaf," ucap Arya gugup. Kini pemuda
berpakaian ungu ini menyadari betapa tidak sopan sikapnya barusan.
"Ha ha ha...!"
pemuda tampan itu tertawa.
"Boleh aku mengenal
namamu? Namaku Gumala."
Arya tersenyum simpul. Entah
kenapa ia merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini.
Mungkin karena sikapnya yang
lucu, atau karena hal-hal lain yang kurang diketahuinya secara pasti. Yang
jelas, ia merasa tertarik pada pemuda tampan di hadapannya ini.
"Boleh saja...,"
sahut Dewa Arak.
"Benar?" tanya
Gumala meminta ketegasan.
"Tentu saja!" tegas
Arya. "Tapi ada syaratnya.... "
Wajah Gumala yang tadinya
berseri-seru kontan berubah.
"Untuk mengenal namamu saja,
ada syaratnya?"
"Tentu!" jawab Arya
dengan wajah dibuat sungguh-sungguh. Dia memang mencoba untuk memancing pemuda
itu.
"Apa syaratnya?"
tanya pemuda yang mengaku bernama Gumala lagi. Wajahnya yang tadi ceria kini
terlihat muram.
"Kau memberikan tumpangan
di keretamu! Bagaimana?"
"Ha ha ha...!"
Gumala tertawa. Wajahnya kembali berseri. "Kukira apa?! Tidak tahunya itu
syaratnya! Kalau hanya itu, dengan senang hati kuterima syaratmu! Nah, sekarang
perkenalkan siapa dirimu?"
"Namaku Arya Buana. Orang-orang
yang dekat denganku biasa memanggil Arya."
"Arya Buana? Cukup gagah
namamu!" puji Gumala.
"Tentu saja!" potong
Arya cepat "Nama harus disesuaikan dengan orangnya!"
"Ah! Bisa saja kau
ini!" cibir Gumala. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut seperti tengah
mengingat-ingat.
"Eh, tunggu dulu. Arya
Buana.... Sering kudengar, kalau orang membicarakan namamu. Apakah kau
orangnyayang selalu diperbincangkan itu? Kaukah yang dijuluki Dewa Arak itu?
Kalau melihat ciri-ciri yang ada, aku yakin kaulah orang yang berjuluk Dewa
Arak."
"Begitulah orang
menjulukiku. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku Arya saja," tegas Arya
Buana, disertai helaan napas.
Gumala manggut-manggut.
"Oh ya, berapa sih ... , umurmu?"
"Heh?! Mau apa
tanya-tanya umur segala? Atau... barangkali kau ingin menjodohkan aku dengan
adik atau kakakmu? Sayang sekali, aku sudah punya kekasih!" tegas Arya
menggoda sambil tertawa.
Tapi tawa Arya secara mendadak
berhenti, karena melihat wajah Gumala berubah hebat! Sekilas tadi rasanya
sepasang mata pemuda itu mencorong tajam. Ataukah ia salah lihat? .
"Ha ha ha...!"
Sekarang ganti Gumala yang
tertawa melihat tawa pemuda berambut putih keperakan itu yang lenyap secara
mendadak.
Sementara Arya yang tadi sudah
merasa cemas melihat perubahan wajah pemuda itu jadi ikut tertawa juga.
"Kau ini kelihatannya
terlalu genit. Kau tahu, maksudku bertanya demikian adalah untuk mengetahui,
siapa di antara kita yang lebih tua. Umurku sembilan belas tahun...."
"Aku dua puluh...,"
jawab Arya setengah hati.
"Nah! Kalau begitu,
bagaimana kalau aku memanggilmu Kakang Arya?" usul pemuda tampan mirip
wanita itu.
"Boleh saja," sahut
Arya. "Dan aku memanggilmu Adi Gumala."
"Ya! Bagus, bukan?"
Arya hanya tersenyum saja.
Sungguhpun sebenarnya perasaan bingung berkecamuk di benaknya. Rasanya dia
seperti pernah melihat wajah, mata maupun bibir pemuda itu. Tapi Arya lupa,
kapan dan di mana?
"Ayo, Kang Arya. Naiklah
cepat! Atau, kau memang senang tertawa-tawa di situ terus sampai kulit dan
rambutmu hitam terbakar sinar matahari?" ledek Gumala memenggal lamunan
pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Arya
segera naik ke atas kereta. Pemuda itu duduk di samping Gumala, seketika Gumala
menyentak tali kekang kudanya. Mulutnya mendecak pelan, dan kudanya pun berjalan
pelahan meninggalkan tanah lapang yang luas itu.
"Kau mau ke Barat juga,
Adi Gumala?" tanya Dewa Arak.
"Ya. Tak ada salahnya
kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"
"Tentu saja tidak!"
***
Sebuah kereta kuda yang
ditumpangi dua orang pemuda yang sama-sama tampan melaju pelahan-lahan memasuki
pintu gerbang Desa Jipang. Mereka adalah Arya Buana dan kawan barunya, Gumala.
Selama beberapa hari menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda berambut putih
keperakan ini banyak melihat keanehan terhadap pemuda itu.
Pernah suatu ketika mereka
singgah di penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar.
Dia selalu memaksa untuk
menyewa dua buah kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur berdua. Sejak kecil
sampai dewasa pemuda itu terbiasa tidur sendiri. Apabila dipaksa tidur berdua,
matanya tak akan bisa terpejam sampai pagi hari. Begitu alasannya jika didesak
Arya.
Mendengar alasan pemuda itu,
Arya tentu saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih mengherankan, Arya Buana
sering memergoki Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata aneh. Sampai saat
ini kelakuan Gumala memang menjadi beban pikiran Dewa Arak itu.
Dan sekarang ini Dewa Arak
memperhatikan ke adaan sekelilingnya. Sepi. Dalam hati pemuda ini mulai timbul
rasa curiga. Timbullah satu pertanyaan, mengapa Desa Jipang begini sepi ? .
Belum juga pemuda ini mendapat
jawaban dari pertanyaan yang bergayut di benaknya, penglihatannya yang tajam
menangkap banyak kelebatan gerakan tubuh, di balik pepohonan yang berjajar di
kanan kiri jalan utama desa ini. Kontan seluruh urat syaraf di sekujur tubuh
Arya menegang waspada. Dugaannya sebentar lagi pasti akan terjadi pertempuran.
Dan memang, dugaan Dewa Arak
tidak meleset. Belum berapa jauh kereta kuda yang ditumpangi memasuki desa,
terdengar suara berdesing nyaring.
Cappp!
Sebatang tombak menancap tepat
di depan kereta kuda itu. Kontan kuda itu menjadi terkejut, meringkik keras
sambil mengangkat kedua kakinya ke atas.
"Keparat ... !"
Gumala berteriak memaki.
Pemuda itu bergegas
menenangkan kudanya. Dan begitu kuda coklat kehitaman itu sudah tenang,
tubuhnya pun melesat keluar dari kereta. Gerakannya gesit dan indah. Arya
sendiri jadi terkejut dibuatnya.
Baru saja kedua kaki pemuda
tampan itu mendarat di tanah, di depannya telah bermunculan banyak sekali laki-laki
berwajah kasar dengan senjata terhunus di tangan.
"Siapa kalian?! Mengapa
menghadang perjalanan kami?! Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
ucap pemuda berbaju hitam ini keras.
Ternyata pertanyaan Gumala dij
awab dengan serbuan belasan sosok tubuh itu. Mereka menerjang pemuda tampan itu
dengan senjata terhunus. Seketika terdengar suara desing pedang dan golok yang
berkelebatan menyambar Gumala bagai hujan.
Tapi pemuda yang wajahnya
bagai wanita itu hanya tersenyum mengejek. Dengan enaknya dielakkan setiap
serangan yang menyambar ke arahnya. Tubuh Gumala menyelinap cepat di balik
kelebatan babatan sinar pedang dan golok.
Arya yang semula sudah
bersiap-siap membantu bila kawan barunya ini terancam bahaya, segera
mengurungkan niatnya begitu melihat gerakan kawannya. Sekali lihat saja, pemuda
berambut putih keperakan ini segera tahu bahwa Gumala sulit untuk dapat
dicelakakan lawan-lawannya.
Apa yang diperkirakan Dewa
Arak ini memang tidak salah. Ketika Gumala balas menyerang, satu demi satu lawannya
berjatuhan. Ke mana saja tangan atau kaki pemuda itu bergerak, di situ pasti
ada saja yang rubuh.
"Akh...!"
"Ugh...!"
Terdengar jerit kesakitan
saling sambut. Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan penghadang itu sudah
bergeletakan di tanah. Ada yang patah kakinya, ada yang patah tangannya, dan
ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak ada satu pun di antara mereka yang
terluka parah.
Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan terdengar
seiring rubuhnya penghadang terakhir. Gumala memandang ke arah kereta.
Ditatapnya Arya yang tengah duduk sambil bertepuk tangan. Dikebutkebutkannya
tangan dan pakaiannya sebelum berjalan menghampiri kereta.
"Tidak kusangka kau
selihai itu, Adi Gumala!" puji Arya tulus.
"Kau ini memuji atau
meledek, Kang Arya! Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan
dengan kepandaianmu?! Siapa yang tidak kenal Dewa Arak yang telah menewaskan
banyak lawan tangguh?" sergah Gumala sedikit me rah waj ahnya.
Kontan wajah Arya memerah.
"Ah! Sudahlah, Adi Gumala! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan ini.
Kurasa ada sesuatu yang tengah terjadi di desa ini. Rasanya aku harus berbuat
sesuatu."
"Sekarang akan ke mana,
Kang Arya?" tanya Gumala setelah duduk di samping pemuda berambut putih
keperakan itu, seraya menggenggam tali kekang kuda.
"Jalan saja terus, nanti
kutunjukkan jalannya!"
Gumala menghela tali kekang
kudanya. Mulutnya berdecak pelan. Dan kuda coklat kehitaman itu pun melangkah
pelahan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosoksosok tubuh yang
bergelimpangan di tanah merintih-rintih.
***
"Hooop ... !"
Gumala menarik tali kekang
kudanya, ketika Arya memberitahukan untuk berhenti. Dan te pat di de pan se
buah kedai, ke re ta kuda itu berhenti. Arya lalu melompat turun diikuti
Gumala. Ringan sekali gerakan tubuh mereka. S e cara be riringan ke duanya be
rj alan me masuki kedai itu. Suasana kedai tampak sepi-sepi saja.
Arya berjalan menghampiri
sebuah meja yang kosong, kemudian duduk di situ. Gumala pun mengi-kuti.
Pemilik kedai itu terkejut
bukan main melihat kdatangan Arya Buana. Tergopoh-gopoh ia berlari menyambut.
"Arya...!" teriak
laki-laki tua pemilik kedai itu gembira. "Syukur pada Gusti Allah kau
datang kemari."
"Memangnya ada apa,
Ki?" tanya Arya. Tenang saja terdengar suaranya.
Kakek pemilik kedai itu
merenung sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan Arya. Karena pemuda ini
pernah singgah di kedainya dan menginap di situ.
"Nanti saja Aki
ceritakan, Den. Sekarang mungkin Den Arya dan Den...."
"Gumala," sahut
Gumala singkat, begitu dilihatnya kakek pemilik kedai itu memandang ke arahnya.
"Oh ya..., Den Arya dan
Den Gumala mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu pesanan Aden berdua."
Arya yang memang sudah lapar,
segera saja memesan makanan untuk mereka berdua.
Kakek pemilik kedai itu segera
melangkah masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan makanan. Sambil menunggu
pesanan siap, Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari meja mereka, memang
dapat melihat bebas ke luar melalui pintu.
"Hei ... !"
tiba-tiba Gumala berteriak keras. Pandangannya yang tajam melihat seorang
lelaki mengendap-endap mendekati kudanya sambil menghunus golok. Kuda itu
memang ditambatkan Gumala di seberang jalan depan rumah makan.
Sadar akan bahaya yang
mengancam kudanya, Gumala cepat menggerakkan tangannya.
Krakkk!
Pinggiran meja kontan gompal
ketika tangan halus Gumala menekan pelan. Dan secepat kilat pemuda berpakaian
serba hitam itu melemparkan potongan kayu yang hanya selebar dua jari.
Singgg...!
Laksana lesatan sebatang anak
panah lepas dari busur, potongan daun meja itu melesat ke arah orang yang
menghampiri kuda. Bersamaan dengan melesatnya potongan daun meja itu, tubuh
Gumala melesat keluar pintu. Gerakannya cepat bukan main. Bahkan Arya yang
melihatnya jadi terlongong.
Takkk!
"Akh...!"
Potongan daun meja itu tepat
menghantam siku orang yang mengendap-endap mendekati kuda. Keras bukan main,
sehingga orang itu terpekik tertahan. Golok di tangannya pun terlepas dan jatuh
di tanah.
Baru saja orang itu memungut
goloknya kembali, di hadapannya telah berdiri Gumala.
"Pengecut ... !"
maki Gumala geram.
Seketika tangan kanan pemuda
itu bergerak menampar. Cepat bukan main gerakannya. Walaupun orang yang hendak
mencelakakan kuda itu bergerak mengelak, tetap saja tapak tangan Gumala
mendarat keras di pipi kanannya. Tubuh orang yang sial itu langsung terputar
sebelum akhirnya rubuh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Pemuda berpakaian serba hitam
ini memandang ke sekeliling, karena barangkali saja orang yang sial ini tidak
sendirian. Tapi tak ditemukannya tanda-tanda adanya teman-teman orang sial itu.
Maka setelah melempar pandang
sekali lagi pada sosok tubuh yang tergolek di tanah, Gumala beranjak
meninggalkan tempat itu menuju kedai.
"Luar biasa kau, Adi
Gumala," puji Arya begitu melihat pemuda tampan itu telah duduk kembali di
mejanya, menghadapi makanan yang telah terhidang. "Sekarang marilah kita
makan dulu!"
Setelah berkata demikian,
pemuda berpakaian ungu ini mulai menyantap pesanannya. Tanpa banyak cakap
Gumala pun mengikutinya. Beberapa saat kemudian kedua pemuda ini sudah sibuk
dengan santapannya masing-masing.
Dewa Arak diam-diam semakin
sering memperhatikan Gumala terutama tentang kepandaiannya. Dan tentu saja
tanpa sepengetahuan pemuda itu. Kepandaian Gumala memang belum dapat diketahui
secara pasti.
Semula sewaktu melihat
perkelahian pemuda itu dalam menghadapi kawanan penghadang, sedikit sudah bisa
diperkirakannya tingkat kepandaian pemuda ini. Tapi apa yang disaksikannya
waktu itu, berbeda dengan yang baru saja disaksikan tadi. Kecepatan gerakan
pemuda itu benar-benar mengejutkannya.
Namun Arya bersikap
biasa-biasa saja. Dari gelagatnya, pemuda ini tahu kalau Gumala memang berusaha
menyembunyikan kepandaiannya, Entah apa alasannya. Itulah sebabnya pemuda
berambut putih keperakan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hal
itu.
Setelah selesai menyantap
pesanannya, baru Arya Buana memanggil kakek pemilik kedai. Bergegas laki-laki
tua itu datang menghampiri.
"Sekarang kuharap Aki
bersedia menceritakan apa yang terjadi di desa ini," pinta Arya Buana
ketika kakek itu telah duduk.
Kakek pemilik kedai itu
menghela napas. Sebentar dipandanginya wajah Arya dalam-dalam.
"Kejadiannya belum lama
terjadi, Den. Beberapa pekan yang lalu muncul seorang pemuda tampan dan
berpakaian serba coklat ke desa ini. Ilmu kepandaiannya luar biasa. Hanya
seorang diri saja dia mampu membasmi Perguruan Garuda Emas, yang menjadi
pelindung desa ini dari kejahatan para penjahat yang hendak menjarah. Dan benar
saja. Setelah Perguruan Garuda Emas runtuh, penjahat-penjahat mulai menjarah
desa ini. Siapa yang menentang pasti akan merasakan akibatnya! Hanya Adenlah
yang kami harapkan akan dapat membebaskan desa ini dari belenggu kekejaman
mereka."
Dewa Arak tercenung, Perguruan
Garuda Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Perguruan
itu ternyata runtuh oleh seorang pemuda tidak dikenal.
"Bagaimana keadaan si
Paruh Garuda?" tanya Arya menyebut nama pemimpin Perguruan Garuda Emas.
"Beliau tewas di tangan
pemuda itu. Yang selamat dari maut hanya si Cakar Garuda. Itu pun karena
kebetulan ia tidak berada di tempat."
"Lalu, apakah pemuda itu
masih berada di sini, Ki?"
"Tidak! Sehabis
menghancurkan bangunan Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa ini. Yang
tinggal di sini hanya para penjahat yang menjadi anak buahnya," jelas
kakek pemilik kedai itu lagi.
"Bisa Aki tunjukkan di
mana markas penjahat itu?" pinta Arya.
"Den Arya tahu rumah
kepala desa?" kakek itu malah balik bertanya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahatpenjahat itu
bermarkas di sana?"
"Ya!" jawab kakek
pemilik kedai itu singkat.
"Kalau begitu, kami akan
ke sana sekarang, Ki!" ujar Dewa Arak cepat. "Mari, Adi Gumala!"
Setelah berkata demikian, Arya
membayar makan annya, lalu se ge ra me le sat ke luar kedai, diikuti Gumala
yang tak kalah gesitnya. Mereka melompat menaiki kereta kuda hampir bersamaan.
"Hiya...!"
Gumala segera menggebah
kudanya. Sesaat kemudian kereta kuda itu sudah bergerak cepat meninggalkan
kedai itu, diikuti pandangan mata kakek pemilik kedai hingga lenyap di
kejauhan.
Kereta kuda itu bergerak cepat
menyusuri jalan utama Desa Jipang. Rumah kepala desa itu memang jauh dari kedai
yang tadi disinggahi Arya.
"Adi Gumala," sapa
Dewa Arak ketika kereta kuda ini mulai melewati jalan yang agak sempit. Di
sebelah kanannya, nampak sungai mengalir. Melihat sungai itu timbullah
keinginan pemuda ini untuk mandi.
"Ada apa, Kang?"
tanya Gumala sambil menolehkan kepalanya sebentar.
Sesaat lamanya Arya terkesima.
Sementara itu tercium bau harum aneh yang menyergap hidungnya. Bau harum
seperti yang biasa keluar dari tubuh seorang wanita!
"Heh! Ditanya malah
melamun!"
"Oh..., eh..., apa Adi
Gumala?" tanya Arya
"Lho?! Yang mau bertanya
itu sebenarnya siapa? Aku atau Kakang Arya?"
Plak!
Arya menepak keningnya. Betapa
pelupanya dia! Diam-diam pemuda itu menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kenapa, Kang? Digigit
nyamuk?" goda Gumala lagi.
"Ya... eh, tidak!"
"Lalu, kenapa kepalanya
sendiri dipukul?"
"Tidak apa-apa! Aku hanya
ingin mandi saja. Bagaimana kalau kita mandi sama-sama, Adi Gumala?"
Sekelebat Arya melihat wajah
pemuda itu memerah. Tapi di lain saat kembali normal seperti sediakala.
"Kakang sajalah,"
tolak Gumala halus. "Aku masih belum ingin mandi. Biar aku menunggu saja
di sini."
Arya temnenung sejenak.
"Baiklah kalau begitu!"
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan ini segera melompat turun. Arya Buana kemudian
bergegas menuruni jalan itu, menuju sungai yang terletak di bawah jalan.
Sebentar kemudian, dia sudah sampai di pinggir sungai yang berair cukup jernih.
Pemuda ini segera meletakkan guci araknya di tanah, lalu membuka bajunya. Hanya
celananya saja yang tidak ditanggalkan. Sesaat kemudian....
Byurrr...!
Air muncrat tinggi ke atas
ketika Arya Buana terjun ke dalam air. Tubuh pemuda itu pun langsung tenggelam
ke dalam air. Beberapa saat lamanya me nye lam di air, baru se te lah itu
kepalanya muncul dari dalam air. Kemudian menyelam kembali beberapa saat, lalu
timbul lagi. Tapi tiba-tiba....
"Tolooong...!"
Terdengar jerit seorang wanita
mengusik keasyikan Arya dari mandinya. Pemuda berambut putih keperakan ini
kontan menolehkan kepalanya ke arah asal jeritan itu.
Beberapa tombak dari tempatnya
berada, tampak seorang wanita yang tengah timbul tenggelam terbawa arus sungai.
Melihat adanya cucian dan pakaian yang tercerai berai terbawa arus, Arya cepat
mengetahui kalau wanita itu tengah mencuci di situ. Kemudian tubuhnya
terpeleset tercebur ke sungai, dan terbawa arus. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa
Arak segera mengejar tubuh wanita yang tengah terbawa arus itu.
Tapi betapapun Arya telah
mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap harus diakui kalau
kemampuannya tak mampu menandingi arus sungai. Jarak antara Arya dengan wanita
itu nyaris tidak berubah. Arus air memang deras, apalagi di tempat hanyutnya
wanita itu.
Sesaat lamanya terjadi
kejar-kejaran antara Dewa. Arak yang sekuat tenaga berenang dibantu arus air
dengan wanita yang terbawa arus sungai.
Dan kini lambat laun jarak di
antara mereka kian mendekat. Dan hanya tinggal satu tombak lagi, maka wanita
itu pun akan terjangkau tangan Dewa Arak. Tapi tiba-tiba Arya Buana merasakan
adanya kelainan pada suasana di sekitarnya. Arus air sungai ini tiba-tiba
menjadi deras bukan main. Tubuhnya pun tanpa ampun terseret deras. Tentu saja
pemuda ini kaget bukan main.
Memang, pemuda berambut putih
keperakan ini masih muda dan kurang pengalaman. Maka tidak aneh, kalau belum
menyadari mengapa tiba-tiba arus sungai mendadak begitu deras.
Ketika terdengar gemuruh air,
baru pemuda ini sadar akan apa yang terjadi. Ternyata tubuhnya telah terseret
arus sungai menuju air terjun! Dan Arya tahu apa yang akan menantinya di bawah
sana. Apalagi kalau bukan batu-batu yang akan meremukkan sekujur tubuh dan
tulang-tulangnya.
Kini Arya berbalik arah.
Sekuat tenaga ia berenang melawan arus yang akan membawanya ke air terjun.
Dibatalkan niatnya untuk menolong wanita yang hanyut itu.
Tetapi di sini pemuda berambut
keperakan ini baru menyadari betapa sedikit ilmu yang dimilikinya bila
dibandingkan kekuasaan Allah. Tenaga dalam yang selama ini boleh dibilang belum
tertandingi, tidak berarti apa-apa menghadapi arus air yang akan membawa
tubuhnya untuk dirajam di bawah sana.
Sedikit demi sedikit tubuhnya
mulai terseret mendekati air terjun. Dan kekuatan arus air yang menariknya pun
semakin kuat.
Sementara itu, Gumala rupanya
tidak sabar menunggu Arya terlalu lama. Setelah lama mempertimbangkan, akhirnya
diputuskan untuk menyusul Dewa Arak. Dapat dibayangkan betapa kaget hati
Gumala, melihat pemuda berambut putih keperakan itu tengah berjuang keras
menghadapi arus air yang akan meluluhlantakkan tubuhnya di bawah sana.
Pemuda tampan ini segera
memutar otaknya, mencari jalan untuk menyelamatkan Arya. Sepasang matanya
berputar berkeliling. Akhirnya, pandang matanya segera tertumbuk pada sebatang
pohon yang mempunyai cabang yang melintang tepat di mulut air terjun.
Buru-buru Gumala berkelebat ke
sana. Rencananya, dengan bergelayut pada cabang pohon itu, tubuh Dewa Arak
hendak ditangkapnya.
Sementara itu Dewa Arak yang
sama sekali tidak melihat kedatangan temannya itu, seperti merasa pasrah atas
keadaan dirinya. Namun demikian dia tetap mencoba melawan tarikan arus air ini
dengan tenaganya. Yang jelas, harus dicari cara lain kalau ingin selamat. Dalam
waktu yang hanya beberapa detik itu otaknya bekerja keras.
Untunglah di saat terakhir,
Arya menemukan suatu jalan. Dan seperti merestui pilihannya, tiba-tiba sebuah
ranting pohon sebesar pergelangan tangan dan sepanjang hampir setengah tombak,
melayang deras ke arahnya.
Buru-buru Arya mengulurkan
tangan menangkapnya. Baru saja tangan pemuda itu berhasil mencekal cabang pohon
itu, tubuhnya telah sampai di bibir air terjun.
Saat Dewa Arak berhasil
menangkap ranting pohon, tubuh Gumala melesat ke arah cabang pohon.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cabang pohon itu bergoyang
keras ketika kedua kaki pemuda tampan itu hinggap. Landasan tempat untuk
melompat memang tidak memungkinkan. Apalagi perasaan hati pemuda itu dilanda
rasa cemas memikirkan keselamatan Arya.
Ketika kakinya telah berhasil
mengait cabang pohon itu, Gumala segera menjulurkan kedua tangannya berusaha
menangkap tubuh Arya. Tapi....
"Aaa ... !" Arus
yang membawa tubuh Arya ternyata lebih cepat dari pada tangkapan Gumala. Maka
tubuh Dewa Arak pun meluncur deras ke bawah....
Secepat kedua kakinya
menginjak cabang pohon itu, secepat itu pula Gumala merubah posisinya. Kini
tubuhnya bergantung di cabang pohon itu dengan kedua kakinya. Kepalanya
mengarah ke bawah. Kedua tangannya berusaha menangkap tubuh Arya yang terbawa
arus.
Tapi....
"Aaa ... !"
Terdengar jerit kengerian dari
mulut Dewa Arak yang tubuhnya melayang deras ke bawah sambil menggenggam
ranting pohon.
Pucat wajah Gumala! Beberapa
saat lamanya, dia terdiam dalam keadaan seperti itu. Gumala memandang ke bawah
sana, dengan sinar mata tidak percaya apa yang dilihatnya.
"Kakang ... !"
Tiba-tiba saja Gumala menjerit
keras. Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, pemuda tampan itu melompat turun
ke pinggir sungai dan mengikuti arah turunnya air terjun itu. Ingin diketahui
apakah Arya tewas atau tidak! Dan seandainya tewas, mayat pemuda itu harus
ditemukan!
***
Sungguhpun keadaannya bagai
telur di ujung tanduk, Arya berusaha agar pikirannya tetap jernih. Segera saja
disabetkannya ranting pohon yang digenggamnya ke air yang ikut tercurah
bersamanya.
Pyarrr ... !
Seketika kelompokair itu
terpecah muncrat ke sana kemari. Begitu kerasnya benturan itu, ranting pohon
yang digenggamnya pun terlepas dari pegangan. Dengan meminjam tenaga benturan
tadi, Dewa Arak bersalto ke depan. Dan sekarang Arya telah terpisah dari
curahan air terjun. Tetapi tentu saja begitu tenaga dorongnya habis, tubuhnya
langsung melayang deras ke bawah!
Beberapa saat lamanya tubuh
Arya melayang-layang di udara. Angin yang menderu keras di atas, membuat
rambutnya yang putih keperakan berkibaran. Dewa Arak bertahan sekuat tenaga
agar tidak jatuh pingsan saat melayanglayang. Betapapun rasa kengerian yang
amat sangat mencekam hatinya, tetap dikuatkan hati agar tetap sadar.
Dan berkat kemauannya yang
kuat, rasa takut yang melanda dapat ditekannya. Ia masih tetap sadar ketika
tubuhnya melayang deras ke bawah, ke air!
Byurrr...!
Beberapa saat lamanya Arya
gelagapan. Tubuhnya seketika tenggelam dalam air. Arus air sungai yang deras
itu segera melahap tubuhnya yang memang sudah setengah sadar. Pemuda berambut
putih keperakan yang memang sudah lelah ini tidak kuasa lagi melawan arus
sungai yang deras itu. Tubuhnya segera saja terombang ambing dipermainkan air.
***
"Ohhh ... !"
Arya mengeluh. Sepasang
matanya pelahan mulai terbuka. Beberapa saat lamanya dikerjapkerjapkan matanya
untuk lebih memperjelas pandangan.
Pemuda yang kini bertelanjang
dada ini membelalakkan matanya. Diperhatikan keadaan sekelilingnya. Kini baru
disadari kalau tubuhnya tergeletak di tanah yang basah dan lembab. Kembali riak
air menghantam kakinya.
Arya bergegas bangkit dan
memperhatikan sekelilingnya. Ternyata ia berada di pinggir sungai. Sekarang
Arya baru teringat kembali akan kejadian yang dialaminya. Jadi, rupanya arus
air itu telah menghempaskannya kemari!
Tiba-tiba hidung pemuda
berambut putih keperakan ini mencium bau harum daging panggang. Seketika leher
Arya menoleh ke sana kemari mencari asal bau harum itu. Dan dalam sekejap saja,
telah diketahui arahnya. Asap yang membumbung tinggi segera saja terlihat
olehnya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera menghampiri asal asap itu. Perutnya yang terasa lapar
sekali, membuatnya jadi bergegas menghampiri bau yang merangsang hidungnya itu.
Rupanya 'perjuangannya' menghadapi arus air sungai telah membuat perutnya
lapar.
Tak berapa lama kemudian, Arya
melihat seseorang yang tengah memanggang seekor ayam. Ternyata itulah yang
menjadi sumber bau harum itu. Pemuda ini bergegas mendekatinya. Dan rupanya
orang yang tengah memanggang ayam itu mengetahui kedatangannya. Kepalanya yang
sejak tadi tertunduk, kini terangkat memandang ke depan.
Dalam jarak yang hanya tinggal
sekitar tiga tombak, baik Arya maupun orang yang tengah memanggang ayam sama-sama
dapat melihat jelas diri masing-masing.
"Ahhh ... !"
Dewa Arak dan orang itu
sama-sama kaget. Langkah Arya langsung terhenti. Begitu pula orang itu.
Tangannya yang sejak tadi sibuk membolakbalik ayam panggang di tangannya agar
tidak hangus, berhenti bergerak.
Sementara itu, seketika Dewa
Arak mengerinyitkan keningnya. Orang yang tengah memanggang ayam itu
ciri-cirinya cocok betul dengan yang diceritakan kakek pemilik kedai. Pemuda
berwajah tampan, dengan raut wajah menyiratkan kekejaman. Pakaiannya serba
coklat. Dialah yang telah membasmi Perguruan Garuda Emas seorang diri.
Pemuda yang tak lain adalah
Darba itu juga terperanjat kaget ketika melihat Arya. Inikah orang yang
berjuluk Dewa Arak itu? Kalau memang benar demikian, kenapa tidak tampak guci yang
menjadi senjata andalannya?
"Kaukah Dewa Arak
itu?" tanya Darba bernada kasar.
"Begitulah julukan yang
diberikan padaku!" datar saja nada suara Arya
"Kau murid Ki Gering
Langit, bukan?" Arya menganggukkan kepalanya.
"Benar."
Darba menggeram.
"Kalau begitu, kau harus
mampus!"
Setelah berkata demikian,
Darba membanting ayam panggangnya. Secepat ayam itu jatuh ke tanah, secepat itu
pula tubuhnya melesat ke arah Arya. Jari jari kedua tangannya terbuka lurus
melakukan tusukan-tusukan dan bacokanbacokan bertubi-tubi. Inilah ilmu 'Tangan
Pedang'!
Arya terperanjat kaget bukan
main. Dirasakan beberapa helai rambutnya berguguran. Padahal serangan itu belum
mengenainya. Tahulah pemuda berambut putih keperakan itu kalau lawannya ini
memiliki sebuah ilmu dahsyat.
Dan Arya mengenal ilmu yang
digunakan pemuda baju coklat itu. Ilmu 'Tangan Pedang'. Salah satu ilmu milik
gurunya yang dicuri dua orang pelayan gurunya sendiri. Seketika itu juga
semangat pemuda ini timbul.
Pemuda itu pasti mempunyai
hubungan dengan salah satu dari dua orang pelayan gurunya. Mungkin pula
muridnya! Dan jika itu benar, dia tidak perlu bersusah-payah mencari Melati.
Dari pemuda ini pun bisa dikorek keterangan mengenai kedua pelayan itu. Dari
sini tugasnya dapat dimulai, untuk mengambil kembali kitab-kitab milik gurunya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi
Dewa Arak segera mengelak dengan menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Tanpa meminum arak seperti biasanya, pemuda ini kontan mengerutkan alisnya.
Dirasakan adanya perbedaan yang menyolok!
Di jurus jurus awal, pemuda
berambut putih keperakan ini tidak merasakan kelainan. Tapi menjelang jurus
kedua puluh, baru dirasakan akibatnya. Napasnya mulai terasa memburu. Bahkan
kepalanya pun terasa pusing.
Kini Arya baru menyadari bahwa
arak yang biasa diminum itu sebenarnya adalah sumber tenaga untuk ilmu
'Belalang Sakti'. Jika meminum arak, tidak ada kesulitan baginya untuk merubah
kuda-kuda, dari posisi sempoyongan seperti lemah tak berdaya ke posisi mantap
dan penuh tenaga .
Tapi sekarang, berkali-kali
pemuda ini mengalami kesulitan. Pelahan namun pasti kekuatannya mulai
mengendur. Jurus 'Belalang
Mabuk', dan jurus 'Delapan
Langkah Belalang' ternyata banyak menguras tenaga.
Seiring mulai lelahnya Arya,
desakandesakan Darba dirasakannya semakin berat. Lambat namun pasti Dewa Arak
terdesak.
"Ha ha ha...!"
pemuda berpakaian coklat itu tertawa bergelak. Suatu tawa kemenangan.
"Hanya sampai di sini sajakah kepandaianmu yang tersohor itu, Dewa Arak?!
Sungguh lucu sekali!"
Sambil berkata demikian, Darba
terus memperhebat serangan-serangannya. Akibatnya, Arya semakin kewalahan!
Pontang-panting Dewa Arak berjuang menyelamatkan selembar nyawanya.
Lewat empat puluh jurus,
keadaan Arya kian mengkhawatirkan. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak
lagi mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya. Melainkan hanya menggunakan
jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Jurus ini memang tidak terlalu membutuhkan
tenaga seperti halnya jurus 'Belalang Mabuk'.
'Delapan Langkah Belalang',
memang sebagian besar merupakan ilmu mengelak. Hanya sebagian kecil saja yang
mengandung bagian penyerangan. Dengan jurus ini, Arya memang dapat
menyelamatkan diri dari setiap serangan maut Darba. Tetapi sampai kapan dapat
bertahan?
Tiba-tiba Darba meraung. Murid
Ki Jatayu ini menjadi geram karena setelah sekian lamanya,
Dewa Arak yang sudah terdesak
ini masih mampu bertahan. Dan ini membuatnya marah bukan kepalang!
"Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju coklat ini
berteriak nyaring. Serangan-serangannya mendadak berubah secara tiba-tiba. Itulah
jurus 'Selaksa Pedang Menembus Benteng'.
Arya terperanjat kaget.
Kondisinya yang sudah lelah, tidak memungkinkan lagi untuk menghindari serangan
itu. Tak ada jalan lain kecuali menangkis serangan itu. Buru-buru pemuda
berambut putih keperakan ini mengempos seluruh tenaga yang dimiliki, kemudian
menangkis keras serangan lawan.
Plak ... ! Plak...!
Terdengar suara benturan keras
berkalikali, ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi bertemu!
Arya yang memang sudah lelah,
tak mampu menahan gempuran Darba yang memang memiliki tenaga dalam tinggi!
Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang. Sementara pemuda berpakaian coklat itu
hanya terhuyung dua langkah ke belakang.
Belum juga Dewa Arak sempat
berbuat sesuatu, serangan susulan telah menyusul lagi. Tak ada pilihan lain
bagi Arya kecuali mernbanting tubuh ke tanah dan bergulingan. Tentu saja Darba
tidak membiarkan lawannya lolos. Dikejarnya terus tubuh yang bergulingan itu
dengan serangan-serangan maut.
Dewa Arak sadar kalau keadaannya
amat berbahaya. Tidak mungkin dia harus terus berguling-gulingan untuk
menyelamatkan diri. Paling tidak harus dicari jalan untuk lolos dari keadaan
yang sulit ini!
"Haaat ... !"
Sambil berteriak keras, tubuh
Arya melenting ke udara. Berbareng dengan itu kaki kanannya menyapu pelipis
lawannya.
Darba terperanjat, kaget bukan
main. Sungguh di luar dugaan kalau Dewa Arak masih mampu berbuat seperti itu.
Pemuda baju coklat ini tidak tahu kalau itu adalah salah satu keistimewaan ilmu
'Belalang Sakti*. Dengan ilmu itu Dewa Arak dapat melakukan gerakan melompat
seperti apa pun dan dalam keadaan bagaimanapun.
Tepat saat kaki Arya melakukan
sapuan, Darba pun tengah melancarkan serangan bertubitubi pada bagian dada,
ulu hati, dan tenggorokan! Tentu kedua orang itu sama-sama terkejut bukan
kepalang! Sedapat mungkin masing-masing berusaha mengelakkan serangan. Tapi
terlambat!
Plak! Buk..!
"Akh ... !"
"Hugh...!"
Baik Arya maupun Darba
sama-sama terkena serangan masing-masing. Hanya saja berkat usaha terakhir
mereka, jatuhnya serangan
itu tidak tepat pada sasaran
semula! Sapuan kaki Dewa Arak mengenai pangkal lengan Darba. Sementara tusukan
dan bacokan tangan murid Ki Jatayu ini, mengenai bawah ketiak dan perut Arya.
Tubuh kedua pemuda yang
sama-sama berilmu tinggi itu, terhuyung-huyung. Darba meringis. Dirasakan
tulang pangkal lengannya seakan-akan patah. Untuk sesaat lamanya, tangannya
terasa lumpuh.
Sementara keadaan yang dialami
Arya lebih parah lagi!Pemuda berambut putih keperakan ini terjengkang ke belakang.
Seketika dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. Dan belum sempat Dewa
Arak menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba....
"Hiyaaa ... !"
Sambil berteriak nyaring,
Darba kembali menerjang Arya! Tangan kanannya menusuk ke arah leher Dewa Arak. Sebuah
serangan maut yang siap menghunjam tubuh lawan!
Arya terperangah. Disadari
kalau serangan itu tidak mungkin dihindari. Dua serangan beruntun pemuda baju
coklat itu tadi telah membuatnya terluka parah. Kini Dewa Arak hanya dapat
membelalakkan sepasang matanya, menanti maut tanpa mampu berbuat sesuatu.
Tepat ketika serangan itu
hampir menebas leher Arya, sebuah bayangan hitam berkelebat memotong serangan
itu.
Plak ... !
Tubuh Darba terhuyung dua
langkah ke belakang. Seketika tangannya bergetar hebat.
Pemuda murid Ki Jatayu ini
segera mengetahui kalau sosok bayangan hitam yang muncul dan menangkis
serangannya, ternyata memiliki tenaga dalam dahsyat.
Pemuda baju coklat ini meraung
keras. Ditatapnya tajam-tajam sosok tubuh hitam yang telah menangkis
serangannya itu. Matanya bersinar merah, memancarkan kemarahan yang amat
sangat.
Dan tahu-tahu sosok baju hitam
yang tak lain dari Gumala telah berdiri di depan Arya. Sikapnya nampak jelas
melindungi pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kau terluka,
Kakang?" tanya Gumala. Kecemasan tampak membayang di wajahnya.
Arya hanya menganggukkan
kepalanya. "Pergilah kau, Adi Gumala. Lekas! Pemuda itu hebat sekali.
Biar, aku yang menahannya...."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak terbatuk-batuk. Cairan merah kental seketika keluar dari mulutnya.
"Tidak, Kang. Kau terluka
cukup parah. Biar aku yang menghadapinya. Kau beristirahat saja...," ucap
pemuda tampan ini menenangkan.
"Tapi, Adi...," Arya
masih mencoba membantah. Gumala tidak menghiraukannya lagi karena dilihatnya
pemuda baju coklat itu telah siap menyerangnya.
Pemuda tampan ini tahu kalau
orang yang hampir menewaskan Arya ini memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak,
mana mungkin Dewa Arak terluka cukup parah? Juga, sudah dirasakan kekuatan
tenaga dalam yang dimiliki lawannya ini ketika tadi menangkis serangan yang
mengarah ke tubuh Dewa Arak. Bahkan tubuhnya sampai terhuyung dua langkah ke
belakang.
"Siapa kau, keparat!
Mengapa mencampuri urusanku!?" sentak Darba.
Darba yang cerdik ini tidak
mau langsung menyerang. Ia tahu kalau pemuda di hadapannya ini juga seorang
yang berilmu tinggi. Barangkali saja tanpa kekerasan dapat diusirnya calon
lawan ini.
"Siapa pun diriku, tidak
perlu kau tahu! Terpaksa aku ikut campur dalam urusan ini karena orang yang
hendak kau bunuh itu adalah temanku! Paham?!" sahut Gumala tak kalah
tegas.
"Keparat! Kalau begitu,
kau boleh ikut bersamanya ke neraka!"
Seiring selesainya ucapan itu,
tangan kanan Darba bergerak ke arah pinggangnya. Dan ketika tangan itu keluar
lagi, telah tergenggam sebuah kapak berwarna perak.
"Ah, kiranya kaulah
orangnya ... !" teriak Gumala.
Pemuda ini seketika teringat
akan penuturan kakek pemilik kedai tentang ciri-ciri Darba. Jadi inilah orang
yang telah membasmi Perguruan Garuda Emas seorang diri! Tapi
Gumala tidak bisa berbicara
lagi, karena kapak di tangan Darba telah melesat ke arahnya.
Wuk..!
Angin mengaung keras mengawali
tibanya serangan kapak itu. Gumala yang tahu betapa lihainya lawan di
hadapannya, tidak berani bertindak ceroboh.
Singgg ... !
Cepat-cepat Gumala menghunus
pedangnya. Dan begitu pedang itu digerakgerakkan, terdengar suara mendesing
dahsyat. Cring...!
Dua buah senjata yang berbeda
bertemu di tengah jalan, dalam sebuah benturan yang keras dan nyaring.
"Haaat...!"
Darba menggertakkan gigi,
menandakan kemarahannya yang memuncak. Kapak di tangannya segera berkelebatan
kian dahsyat seiring kemarahannya yang semakin berkobar.
Tapi Gumala mampu membendung
setiap serangan lawan. Pedang di tangannya mengeluarkan bunyi menggerung
dahsyat setiap kali digerakkannya. Sepertinya di dalam pedang itu mengandung
kekuatan seekor naga.
Pertarungan antara kedua orang
muda itu berlangsung sengit dan cepat. Sehingga sebentar saja belasan jurus
telah berlalu. Tapi sampai saat ini, belum nampak tanda-tanda yang akan
terdesak. Pertarungan masih berlangsung se imbang.
"Tahan!" teriak
Darba keras sambil melempar tubuh ke belakang, dan hinggap sekitar dua tombak
dari tempatnya semula.
Mendengar teriakan itu, Gumala
langsung menghentikan gerakannya. Tangan kanannya yang menggenggam pedang,
bersilangan dengan tangan kiri di depan dada. Pemuda itu bersiap menghadapi
kemungkinan adanya serangan gelap Darba.
Tapi pemuda baju coklat itu
memang tidak berniat licik.
"Katakan apa hubunganmu
dengan Ki Gering Langit?!" tanya Darba keras. "Aku yakin ilmu pedang
yang kau gunakan adalah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!"
Wajah Gumala memucat. Sorot
matanya mengandung kecemasan ketika sudut matanya melirik Arya. Tapi, ketika
nampaknya Dewa Arak sama sekali tidak mendengar percakapan itu karena tengah
tergeletak di tanah, sinar kecemasan pada wajahnya pun lenyap.
Tiba-tiba saja diluar dugaan,
tubuh Gumala melesat ke arah Darba dan langsung menghujaninya dengan
serangan-serangan dahsyat. Karuan saja hal itu membuat murid Ki Jatayu ini
kaget bukan main. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan
menjauh.
Gumala yang memang sebenarnya
tidak berniat mendesak lawannya, tanpa membuangbuang waktu lagi segera
menyambar tubuh Arya dan melesat kabur dari situ. Dikerahkan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki setinggi mungkin.
"Keparat!" maki
Darba begitu dilihat lawannya telah lenyap. Sesaat lamanya pemuda itu
kebingungan hendak mengejar ke mana. Beberapa saat lamanya ia termenung,
berpikir sambil memandang berkeliling, sebelum akhirnya memutuskan untuk
mengejar dari arah kedatangan Arya tadi.
***
Dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul tubuh Arya. Sesekali
kepalanya menoleh ke belakang, melihat barangkali Darba mengejarnya. Lega
hatinya ketika tak juga melihat bayangan pemuda itu di belakangnya. Pelahan
dikurangi kecepatan lari yang memhuat napasnya terengahengah. Sambil terus
berlari, ditatapnya wajah Arya yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda
berambut putih keperakan itu rupanya telah pingsan.
Gumala baru menghentikan
larinya ketika telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan tadi. S e ge
ra dicarinya te mpat yang te rse mbunyi di balik semak-semak, kemudian
direbahkannya tubuh pemuda itu di situ.
Sekali lihat saja Gumala dapat
mengetahui kalau luka-luka yang diderita Dewa Arak cukup parah. Bagian-bagian
yang terkena serangan itu memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri yang
terkena tusukan, tampak kulitnya sobek. Gumpalan darah yang telah mengering,
mengelilingi sekitar luka itu.
Sementara bagian perut yang
terkena sabetan sisi tangan miring Darba, tampak sebuah goresan halus tipis
memanjang. Bentuknya seperti terkena bacokan pedang. Tapi tentu bacokan sisi
tangan miring Darba jauh lebih berbahaya.
Bacokan pedang bila mengenai
kulit, paling tidak hanya melukai kulit dan daging. Tapi tidak demikian dengan
bacokan sisi tangan pemuda baju coklat itu. Bukan hanya kulit dan daging yang
dilukai, tapi juga bagian dalam dada.
Hal seperti itulah yang
dialami Arya. Pemuda ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan kini Gumala
mencoba mengobatinya. Tanpa ragu-ragu lagi, seperti orang yang sudah terbiasa,
Gumala membersihkan luka di bagian dada kiri Arya. Baru setelah itu,
dibalurinya dengan obat bubuk yang diambil dari buntalan di dalam kereta
kudanya.
"Ohhh ... !" Arya
mengeluh. Mulutnya menyeringai kesakitan. Dike rjap-kerjapkan matanya untuk
mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya, dan untuk memperjelas
pandangannya. Karena yang terlihat di depannya hanyalah bayang-bayang wajah
yang tidak jelas.
"Syukurlah kau sudah
sadar, Kakang," tegur sebuah suara.
"Siapa kau...? Di manakah
aku ... ?" tanya pemuda itu lirih.
"Tenanglah, Kakang. Aku
Gumala, dan kau berada di tempat aman."
"Gu... ma... la...,"
desah pemuda berambut putih keperakan itu.
Samar-samar Arya kembali
teringat semua kejadian yang dialaminya. Mulai dari mandi di sungai sampai
bertemu dan hampir celaka di tangan pemuda baju coklat. Kalau saja Gumala tidak
datang menolongnya, mungkin nasibnya lain lagi.
"Uhk... uhk..!"
Tiba-tiba Arya terbatuk-batuk.
Melihat hal ini, buru-buru Gumala mengeluarkan sebuah obat pulung berwarna
kecoklat-coklatan.
"Telanlah ini...,"
perintah Gumala seraya menyorongkan air dalam sebuah kendi ke mulut Arya.
Tanpa ragu-ragu Dewa Arak
menerima obat pulung itu dan menelannya. Juga segera diminumnya air yang
disodorkan Gumala, untuk lebih mempercepat hancurnya obat pulung itu di dalam
perutnya.
"Berbaringlah, Kang. Tak
lama lagi kau akan segera sembuh. Obat pulung ini sangat manjur untuk mengobati
segala macam luka dalam."
Arya hanya bergumam tidak
jelas. Ia sudah tidak sanggup lagi berkata-kata. Rasa kantuk yang amat sangat
telah menyerangnya. Tanpa disuruh pun pemuda ini sudah merebahkan tubuhnya.
Rasa kantuk itubegitu kuat menyerangnya. Sekilas masih dapat ditangkapnya
ucapan Gumala.
"Aku pergi dulu,
Kang."
Setelah itu semuanya menjadi
gelap.
Arya Buana tidak tahu berapa
lama telah terlelap. Yang diketahui hanyalah ketika tersadar, Gumala telah berada
di sisinya kembali. Di samping pemuda itu telah tergeletak guci arak dan
pakaiannya. Dewa Arak beranjak bangkit. Kini rasa sakit dan nyeri tidak lagi
menyerang dadanya. Benar seperti kata Gumala, obat pulung itu benarbenar
manjur.
"Bagaimana, Kang? Masih
ada yang terasa sakit?" sambut Gumala begitu pemuda berambut putih
keperakan itu bangun dari berbaringnya.
Arya tersenyum. "Obatmu
benar-benar manjur, Adi Gumala," pujinya tulus. "Sekarang aku merasa
sudah sehat lagi."
"Memangnya kalau kau
sudah sehat lagi kenapa, Kang?"
"Kenapa?!" Arya
membelalakkan matanya. "Ya, tentu saja meneruskan tugas kita yang
tertunda, Adi Gumala!"
"Oh, iya!" pemuda
tampan mirip wanita ini menepak kepalanya pelan. "Kalau begitu, tunggu apa
lagi, Kang? Bukankah kau ingin menengok ibu dan kake kmu?"
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dikenakan pakaian dan diikatkan kembali gucinya di punggung.
Sementara Gumala melangkah mendahului Arya meninggalkan tempat itu menuju
kereta kuda. Kemudian dia naik ke atasnya, diikuti Arya.
"Hiyaaa ... !"
Gumala menghela tali kekang
kudanya menuju rumah Kepala Desa Jipang.
Selagi kereta kuda itu
berjalan, tiba-tiba pandang mata Arya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan
putih yang bergerak cepat ke arah Barat.
Dewa Arak tersentak. Ingatannya
langsung melayang pada Melati yang selalu memakai pakaian serba putih. Tanpa
pikir panjang lagi, pemuda ini pun melompat dari kereta. Tubuhnya melesat cepat
ke arah bayangan putih tadi.
"Kau teruskan saja
perjalananmu, Gumala. Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar sepuluh
tombak dari situ, ada sebuah rumah yang paling besar dan bagus. Itulah rumah
kepala desa. Aku datang belakangan," jelas Arya dari kejauhan.
Memang dengan tingkat ilmu
kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Dewa Arak untuk mengirimkan pesan
jarak jauh ke orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya dapat mengangguk. Fntah
kepada siapa anggukan kepalanya itu ditujukan. Karena tubuh Arya sudah lenyap
dari situ.
Dewa Arak segera mengerahkan
ilmu meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan putih yang sekilas dilihatnya
tadi adalah Melati. Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya kecuali
mengerahkan segenap kemampuannya.
Tapi betapapun pemuda berambut
putih keperakan ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap
saja jaraknya dengan sosok bayangan putih itu tidak berubah.
Keruan saja hal ini membuat
Arya menjadi penasaran. Sepanjang pengetahuannya, tingkat kepandaian gadis
berpakaian putih itu, masih di bawahnya. Tapi mengapa, sampai sekian lamanya
mengejar tidak juga dapat menyusul? Jangankan menyusul, memperpendek jarak pun
tak mampu.
Setibanya di suatu tempat yang
di kanan kirinya banyak ditumbuhi semak lebat, Dewa Arak kehilangan jejak.
Pemuda berbaju ungu ini menghentikan larinya. Sepasang matanya menatap
semak-semak di sekitarnya penuh kewaspadaan.
Mendadak pendengaran Dewa Arak
yang tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan di belakangnya. Cepat-cepat
dibalikkan tubuhnya. Sementara seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang
waspada.
"Mengapa kau mengikutiku,
Anak Bagus?" Sebuah suara serak menyambut begitu Arya membalikkan
tubuhnya.
Dewa Arak menatap sosok tubuh
di hadapannya penuh perhatian. Tampak seorang nenek berusia sekitar enam puluh
tahun, berkulit putih pucat, dan berpakaian serba putih. Pada dahinya terdapat
benda kecil berbentuk bulan sabit yang diikat oleh tali melingkari kepalanya.
Di tangannya tergenggam sebatang tongkat yang berujung logam tipis berbentuk
bulan sabit.
Arya mengeluh dalam hati.
Tidak disangka kalau bayangan yang tadi dikejarnya bukan Melati, melainkan
nenek ini.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku, Anak Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi kali ini
suaranya mengandung ancaman maut. ''Tak ada seorang pun yang dapat hidup
setelah mempermainkan Dewi Bulan!"
Begitu selesai dengan
ucapannya, nenek yang berjuluk Dewi Bulan itu menggerakkan tangan yang
menggenggam tongkat bulan sabitnya.
Cappp!
Tongkat itu menancap dalam di
tanah. "Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!"
Didahului oleh sebuah teriakan
nyaring yang menggetarkan jantung, Dewi Bulan melompat menerjang Arya. Kedua
tangannya yang membentuk cakar aneh menyambar-nyambar dahsyat ke arah Arya,
sehingga menimbulkan suara angin berciutan.
Dewa Arak terperanjat kaget.
Pemuda ini tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah. Nenek aneh ini pasti
tidak akan mendengarkan ucapannya. Maka cepat-cepat digeser kakinya mengelakkan
serangan itu.
Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu
berbalik. Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, mengancam pelipis. Sebuah
serangan yang sama sekali tidak terduga!
Kali ini Arya tidak punya
pilihan lain lagi kecuali menangkis. Buru-buru diangkat tangan kirinya
melindungi pelipis
Plak!
Tubuh Arya terhuyung selangkah
ke belakang, sementara Dewi Bulan terhuyung dua langkah. Dari benturan tadi,
nenek itu sudah dapat mengetahui kalau tenaga dalam lawannya lebih unggul.
"Keparat!" maki si
nenek. Wajahnya terlihat merah bukan main. "Besar sekali nyalimu, bocah!
Kau telah berani membuatku terhuyung. Maka kali ini jangan harap kuampuni
nyawamu!"
Sambil meraung keras laksana
binatang terluka, Dewi Bulan kembali menerjang Arya. Kedua tangannya yang
membentuk cakar aneh berkelebatan cepat dan tiba-tiba, ke bagian-bagian tubuh
Arya yang mematikan.
Arya mengenal betul setiap
seranganserangan berbahaya. Tapi dia tidak ingin terkecoh seperti tadi. Pemuda
berambut putih keperakan ini kini telah tahu, sungguhpun serangan tangan nenek
itu amat berbahaya, tapi jelas kaki nenek itu jauh lebih berbahaya. Mirip
binatang kalajengking! Sabetan ekornya yang justru lebih berbahaya daripada
serangan jepitnya.
Maka, walaupun Arya seperti
terpaku terhadap serangan-serangan tangan nenek itu, tapi sepasang matanya tak
pemah lepas mengawasi kedua kaki lawan.
Selama beberapa gebrakan Arya
menggunakan ilmu warisan yang diperoleh dari ayahnya, yakni 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'. Tentu saja bila dibanding ayahnya, almarhum Tribuana,
ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang dimainkan Dewa Arak jauh lebih
dahsyat. Hal ini memang tidak aneh. Karena, baik dalam hal tenaga dalam maupun
ilmu meringankan tubuh, pemuda berambut putih keperakan ini telah mampu me nye
mpurnakannya.
Tapi setelah bertarung selama
beberapa jurus, yakinlah Dewa Arak kalau ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau', tidak dapat dipakai untuk menandingi lawannya. Pelahan-lahan pemuda
itu mulai terdesak.
"Sekarang kau baru tahu
rasa, bocah keparat!" Dewi Bulan berseru gembira melihat lawannya hanya
dapat menangkis dan main mundur, dan hanya sesekali balas menyerang.
Pada jurus kesebelas, Arya
tidak punya pilihan lain lagi. Dia harus segera menggunakan ilmu andalannya,
'Belalang Sakti'. Itulah sebabnya pada suatu kesempatan, dilentingkan tubuhnya
ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya
mendarat ringan di tanah, tangan kanannya telah menggenggam guci araknya.
Dewi Bulan yang sudah dicekam
amarah, tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos. Cepat dia melompat
mengejar, sambil mengirimkan serangkaian serangan maut. Sementara pemuda
berpakaian ungu itu mengangkat guci araknya ke atas kepalanya. Dan....
Gluk... gluk... gluk ... !
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu memasuki tenggorokannya. Tubuh pemuda itu sebentar kemudian
sempoyongan. Bersamaan dengan itu, serangan yang dilancarkan Dewi Bulan pun
meluncur tiba.
Si nenek sudah bersorak dalam
hati. Ia yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah
terbayang di benaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh
terkapar.
Dapat dibayangkan betapa
terkejut hari Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai
sasaran itu tahu -tahu hanya menyambar tempat kosong. Tubuh pemuda itu
tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum serangan itu
tiba pemuda berambut putih keperakan itu telah bergerak dengan langkah kaki
terhuyung seperti orang yang akan jatuh.
Selagi nenek itu kebingungan
mencari lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat
dilempar tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang
tertancap di tanah.
Tappp!
Disambarnya tongkat bulan
sabitnya, dan langsung diputar-putar seperti sebuah tameng yang akan melindungi
tubuhnya.
Wuk... wuk... wuk...!
Angin menderu-deru keras
ketika nenek itu memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja Dewi Bulan akan
menerjang Arya, terdengar lengkingan tinggi di kejauhan. Sepertinya suara itu
dikeluarkan dari mulut yang memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika wajah
perempuan tua itu berubah. Tongkat bulan sabitnya yang sudah diputar-putar, dan
siap diarahkan ke tubuh Arya, dihentikan. Matanya tajam menatap wajah pemuda
berambut putih keperakan di depannya.
"Kali ini kau mujur ini,
bocah! Tapi lain kali jangan harap akan semujur ini!"
Belum juga gema suaranya
hilang, nenek itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali gerakannya,
sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan
dan semak-semak yang terdapat di kanan kiri jalan.
Sementara itu Dewa Arak
menggelenggelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal karena telah membuat
bibit permusuhan dengan tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang cukup
tangguh.
Tiba-tiba Arya teringat Gumala
yang tadi dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih menjadi teka-teki itu
ternyata memiliki kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula. Kepandaian
Gumala ternyata sangat tinggi.
Kalau tidak, mana mungkin
mampu menyelamatkan dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki kepandaian
luar biasa itu? Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari
situ. Dia menyusul Gumala, menuju rumah Kepala Desa Jipang.
***
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu sebentar saja Dewa
Arak telah tiba di simpang tiga. Dari situ, tam-aklah Gumala tengah bertarung
melawan belasan orang kasar yang mengeroyoknya. Beberapa sosok tubuh nampak
bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup lama juga pemuda tampan itu
bertarung.
Mulanya Dewa Arak ingin
membantu Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh pemuda berbaju coklat
di atas atap, diurungkan niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas,
bersembunyi di sebuah cabang pohon. Dia mengintai gerak-gerik pemuda itu,
sambil memperhatikan keadaan Gumala.
"Tahan ... !"
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring. Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok Gumala berlompatan
mundur. Sehingga yang tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.
Berbareng habisnya gema
teriakan itu, dari dalam pintu gerbang muncul tiga sosok tubuh kasar,
berpakaian dan berdandan serupa. Mereka berpakaian rompi dari kulit buaya.
Gumala me mpe rhatikan me re ka seje nak. Ia tahu kalau ketiga orang itu adalah
pemimpin penjahat yang telah menguasai desa ini. Wajah maupun dandanan mereka
mirip satu sama lain. Yang membedakannya hanyalah warna ikat kepalanya yang
mempunyai warna berbeda. Hitam, totol totol, dan putih.
"Inikah orang yang telah
melukai temanteman kalian?" tanya seseorang berikat kepala putih kepada
anak buahnya yang telah mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya Putih.
"Benar, Kang," sahut
mereka.
"Hm...," si ikat
kepala putih menganggukangguk. Ditatap pemuda di hadapannya tajamtajam.
Sepasang matanya yang besar mengamati Gumala dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Sementara orang yang berikat
kepala totoltotol dan hitam yang sebenarnya masing-masing berjuluk Buaya
Belang dan Buaya Hitam, hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.
Baru saja Buaya Putih
melangkah mendekat, Gumala telah melompat menerjang. Melihat sikap lawan yang
terlalu memandang rendah dirinya, membuat kemarahan pemuda tampan itu bangkit.
Dalam kobaran hawa amarah yang meluap, Gumala menyerang tanpa sungkansungkan
lagi.
"Ahhh...!"
Buaya Putih memekik kaget.
Kecepatan gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya.
Sepasang matanya hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang
menyambar deras ke arah kepalanya. Angin bercicitan nyaring mengiringi tibanya
serangan itu.
Untung-untungan laki-laki
berjuluk Buaya Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan
menjauh dari arena.
Tapi Gumala yang tengah
dilanda luapan amarah itu tidak akan melepaskan lawannya. Tekadnya sudah bulat
untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah dirinya.
Sementara itu keringat dingin
mengucur deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan
hitam yang terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan paniklangsung
menghinggapinya.
Tubuhnya terus bergulingan,
berusaha menyelamatkan diri.
Buaya Belang dan Buaya Hitam
tentu saja menyadari bahaya maut yang mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh
yang telah mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan, segera saja kedua
orang ini sadar kalau lawan yang dikira empuk itu ternyata memiliki kepandaian
tinggi. Bahkan berada jauh di atas kepandaian Buaya Putih.
Maka, tanpa sungkan-sungkan
lagi Buaya Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata masing-masing, yang terbuat
dari kulit buaya. Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu saja sebagai
orang yang berwatak kejam, pada duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang
mematikan.
Ctar! Ctar!
Suara nyaring memekakkan
telinga terdengar ketika kedua orang itu melecutkan sabuk yang panjangnya lebih
dari setengah tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk kedua orang ini
pun sesuai julukannya.
Wut..! Wut ... !
Kedua buah sabuk itu
menyambarnyambar ke arah pelipis dan ubun -ubun Gumala yang tengah memburu
tubuh Buaya Putih.
Pemuda tampan mirip wanita ini
terpaksa membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih. Ditarik kepalanya ke
belakang, sehingga kedua serangan sabuk itu menyambar tempat kosong. Seketika
dikirimkan serangan balasan berupa sapuan kaki, untuk menahan laju desakan
lawan.
Harapan Gumala terpenuhi,
karena memang kedua orang itu melompat ke belakang. Maka kesempatan yang
sebentar ini, dipergunakan Gumala untuk memperbaiki posisinya.
***
Begitu terbebas dari desakan
Gumala, Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya bersalto sekali di
udara. Manis sekali kakinya hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya pucat
seperti kapas. Hampir saja nyawanya melayang!
Melihat kenyataan ini, Buaya
Putih tidak akan main-main lagi. Maka segera diloloskan sabuk kulit buaya
berwarna putih yang melilit pinggangnya.
Ctar!
Dilecutkannya sabuk itu sekali
ke udara. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap
ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan mengandung racun jahat. Sempat
tercium olehnya bau amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat ... !"
Buaya Putih mendahului
menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah
ubun-ubun Gumala.
"Hiyaaa ... !"
Buaya Hitam pun tak
ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat ... !"
teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua lutut.
Tiga buah serangan secara
bersamaan datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik.
Memang cukup berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk
kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal
ini jelas akan menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kali ini
adalah Gumala, yang memiliki kepandaian luar biasa. Terbukti, pemuda tampan ini
sanggup menghadapi Darba!
Gerakannya lincah laksana
seekor belut, tubuhnya menyelihap di antara hujan serangan sabuk.
Namun demikian, Gumala tampak
kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk itu benar-benar berbahaya.
Rupanya dengan maju bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara aneh, dan
terus mendesak Gumala.
Setiap serangan Gumala kini
selalu dapat ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga menghadapi setiap
serangan balasan lawannya. Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
memang berada amat jauh di atas lawanlawannya, sampai saat ini dia masih mampu
menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.
Belasan jurus telah berlalu.
Dan Gumala belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini membuat pemuda ini
penasaran bukan main. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang
lawannya ini berada jauh di bawahnya. Baik dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu
meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju bertiga mereka mampu membuatnya
kerepotan?
Otak cerdas pemuda berbaju
hitam ini segera saja dapat menebak apa penyebabnya. Pasti kare na me re ka
menye rang secara te ratur. Saling kerja sama, saling bantu, dan saling dukung.
Jadi, seolah-olah mereka terdiri dari satu pikiran saja.
Gumala yakin kalau saja mereka
mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya tiga orang, biar ditambah dua
kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami kerepotan seperti ini.
Jadi rupanya karena
keteraturan dalam penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh.
Kalau saja Gumala bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan
itu akan hancur.
Mendapat pikiran demikian,
Gumala mulai menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi
penyerangannya berpindah-pindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam
Buaya Hitam. Di lain saat, mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah
mengarahkan serangan pada satu orang saja.
"Haaat..!"
Kini Gumala mengarahkan
serangannya pada Buaya Putih yang memang sejak tadi diincarnya. Seperti yang
sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang bergegas datang
menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama.
Tapi kali ini tidak seperti
yang sudahsudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya bantuan itu.
Terus saja dicecarnya Buaya
Putih. Melihat hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang pontangpanting mengikuti
setiap serangan Gumala. Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya Putih.
Dalam beberapa gebrakan
selanjutnya, kekompakan kelompok itu pun membuyar. Namun demikian ketiga orang
itu berupaya untuk menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap tidak mampu
karena Buaya Putih memang tak mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran Gumala
benar-benar merepotkannya. Sampai pada suatu saat...
Crokkk!
"Akh ... !"
Buaya Putih memekik tertahan.
Tangan Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam telak pelipisnya. Pimpinan
tiga buaya ini terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun ambruk di tanah, diam
selama-lamanya. Mati.
"Kakang ... !" jerit
Buaya Hitam.
"Grrrh ... ! Kubunuh
kau!" geram Buaya Belang.
Kemarahan dua orang itu kini
semakin memuncak melihat kematian Buaya Putih. Seketika keduanya menerjang Gumala.
Cambuk di tangan kedua orang ini melecut nyaring di udara.
Gumala hanya tersenyum
mengejek. Tanpa kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak sulit
baginya untuk merubuhkan mereka. Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan
ketika jarak keduanya telah dekat, tiba-tiba dihentakkan kedua tangannya ke
depan.
Wuuuttt ... !
Angin yang amat kuat berhembus
keras ke depan akibat hentakan tangan Gumala.
Bressss...!
Tubuh Buaya Belang dan Buaya
Hitam yang tengah berada di udara, terlempar deras ke belakang bagai dilanda
angin ribut sejauh beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua tubuh itu baru
terhenti ketika menghantam pagar tembok hingga rubuh. Dan memang, Buaya Belang
dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun lagi.
Karuan saja kematian ketiga
orang pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang tadi mengurung Gumala menjadi
gentar.
"Kini giliran
kalian," tegas Gumala seraya menatap mereka satu persatu. Tentu saja hal
itu membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar melangkah mundur setindak.
Tapi tiba-tiba Gumala menoleh
ke samping kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya suara berkerisik pelan. Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar
tiga tombak, telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju coklat. Pada kedua
pinggangnya terdapat sebuah kapak.
"Kaget?" ucap pemuda
yang ternyata adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
"Pantang bagiku untuk
membokong lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering agar kau mengetahui
kehadhanku!"
"Aku tidak punya urusan denganmu!
Menyingkirlah!"
"Tidak punya urusan
denganku?! Lucu sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan musuh besarku.
Bahkan baru saja telah membunuh tiga orang anak buahku. Dan sekarang kau bilang
tidak punya urusan denganku?! Lucu sekali!"
"Jadi, apa maumu
sekarang?" tanya Gumala, bernada menantang.
"Sederhana saja...."
"Apa?"
"Membunuhmu!" tegas
kata-kata Darba. "Kau kira mudah membunuhku?" ejek Gumala sambil
tersenyum sinis.
"Ha ha ha...!" Darba
tertawa. "Dulu, guruku memang tidak menang melawan Ki Julaga, gurumu itu.
Tapi sekarang? Kita buktikan siapa di antara mereka yang lebih hebat!"
"Dari mana kau tahu
guruku?" tanya Gumala kaget.
"Ha ha ha..., mudah saja!
Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki Gering Langit, selain si tua
bangka itu. Dua orang lainnya adalah guruku yang bernama Ki Jatayu, dan Ki
Julaga! Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka itu. Jadi jelas kau
adalah murid Ki Julaga! Hanya yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa kau
malah akrab dengan murid si tua bangka itu? Padahal orang tua itulah yang telah
membuat gurumu sengsara!" jelas Darba. Pemuda itu memang sejak tadi
memperhatikan perkelahian
Gumala, sehingga berhasil
mengetahui dari siapa Gumala memperoleh ilmu itu.
"Bukan urusanmu!"
bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba.
Tahu kelihaian pemuda berbaju
coklat itu, Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya
yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya
dipalangkan di depan dada.
Melihat serangan itu, Darba
hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, didoyongkan tubuhnya
ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis serangan itu.
Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perut
Plak! Dughk ... !
Suara benturan keras antara
tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam
dahsyat, terdengar beberapa kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala
dengan tangan kiri yang terpalang dari atas ke bawah. Akibat benturan itu, baik
Gumala maupun Darba sama-sama terhuyung. Gumala terhuyung dua langkah ke
belakang. Sementara Darba terhuyung satu langkah.
Gumala menggertakkan gigi.
Begitu daya dorong yang membuatnya terhuyung habis, kembali diterjangnya Darba.
Kedua tangan Gumala menyambarnyambar
ke berbagai bagian tubuh yang mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang
ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-adiknya. Tingkat kepandaian pemuda baju
coklat ini amat tinggi.
Itulah sebabnya, walaupun
serangan Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, Darba tidak mengalami
kesulitan dalam menanggulanginya. Apalagi ketika dia mengeluarkan ilmu 'Tangan
Pedang' yang menjadi andalannya. Gumala tampak berkali-kali berteriak kaget .
Pertarungan antara kedua orang
muda ini berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, belasan jurus tebh
berialu. Meskipun demikian, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak.
Kelihatannya pertarungan masih berlangsung se imbang.
Memang dalam hal tenaga dalam,
Darba lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan pemuda baju coklat itu bisa
diredam oleh tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala. Itulah sebabnya,
selama belasan jurus pertarungan masih berjalan seimbang.
Dalam hati Gumala mengakui
kalau menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup berat baginya. Ilmu tangan
kosong murid Ki Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan main. Angin dari
setiap gerakan tangan pemuda itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak
Darba mengerutkan alisnya. Ada
perasaan heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga itu kelihatan begitu
takut terkena angin serangan tangannya? Memang, angin itu dapat merobek kulit
dan daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat pemuda di hadapannya ini. Gumala
mempunyai tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan itu tak akan mampu
melukai kulitnya. Paling tidak hanya akan mengoyak pakaian.
Tapi, kenapa pemuda itu
terlihat begitu khawatir?
Setelah tanpa hasil
menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Biarlah
pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin serangan tangannya. Maka
segera Darba meningkatkan serangannya.
Lewat jurus kedua puluh,
Gumala mulai terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin
serangan yang mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu. Pemuda ini
banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak
berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.
Memang berkat 'kerajinannya'
mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh.
Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas.
"Haaat ... !"
Tiba-tiba Gumala berteriak
nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa
kali di udara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah
menggenggam sebatang pedang.
Singgg ... ! Singgg...!
Baru saja kaki Gumala hinggap
di tanah, terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya dua berkas sinar
keperakan ke arahnya. Di belakang dua leret sinar itu tubuh Darba menerjang ke
arahnya dengan kecepatan tinggi.
Rupanya begitu melihat
lawannya melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang cerdik segera saja tahu
kabu Gumala hendak menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu segera dicabut
kedua buah kapaknya dan dilemparkan ke arah Gumala. Tak cukup hanya sampai di situ,
ia pun melompat menerjang di belakang kedua kapaknya.
Gumala kaget sekali. Tiga buah
serangan mendadak telah mengancamnya begitu kedua kakinya menjejak tanah. Dan
ini di luar dugaannya sama sekali.
Trang ... ! Trang...!
Dua kali terdengar suara berdencing
nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik dan jatuh ke tanah. Sementara
tangan Gumala yang menggenggam pedang pun bergetar hebat. Memang betapa kuatnya
tenaga dalam yang terkandung dalam lemparan kapak itu.
Namun sebelum Gumala dapat
memperbaiki posisinya, serangan susulan dari Darba telah menyambar tiba.
Bukkk!
"Hekh..!"
Tubuh Gumala melintir. Pukulan
sisi tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di saat terakhir masih sempat
dielakkan bacokan sisi tangan itu, sehingga tidak mengenai dada, melainkan
bahunya.
Putaran tubuh Gumala terhenti
ketika menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh yang sedang sempoyongan
itu jatuh terguling di tanah.
Belum juga pemuda berbaju
hitam ini menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas
tadi tiba-tiba bergerak. Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna
hitam itu melayang. Siapa lagi kalau bukan Buaya Hitam!
Wut ... ! Prattt...!
"Akh ... !"
Gumala mengeluh ketika ujung
cambuk berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya. Kontan rasa panas
menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa pusing.
Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh
dengan napas putus. Baru sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang
tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh
pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari Darba. Dicobanya untuk
bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala
memejamkan matanya ketika dirasakan ada sambaran angin yang berkesiur ke
arahnya. Dia hanya menunggu kematian!
Dapat dibayangkan, betapa
kaget hati pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang ditunggu-tunggunya
takjuga sampai. Malah justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang tangan kokoh.
Aneh sekali. Tapi, pikirannya yang masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya.
Bahkan samar-samar didengarnya teriakanteriakan penuh kemarahan dari Darba.
"Mau ke mana kau,
keparat!"
Memang, Gumala telah ditolong
seseorang! Kemudian dirasakan hembusan angin keras meniup dari arah depan.
Pertanda kalau orang yang menolongnya tengah membawanya kabur. Dibuka matanya
lebar-lebar mencoba melihat penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah yang
tak jelas. Tapi dari rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang meriap,
dapat dikenali siapa penolongnya ini.
"Kakang Arya...,"
bisik Gumala lemah sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.
Sang penolong yang memang tak
lain adalah Arya Buana, membawa lari Gumala dengan kecepatan tinggi. Pandangan
matanya yang tajam dapat melihat kalau kawannya itu terkena racun ganas. Kalau
tidak lekas ditolong, bukan mustahil kalau pemuda teman seperjalanannya ini
akan tewas.
Dewa Arak memang agak
terlambat menolongnya. Karena tadi begitu dilihatnya Gumala mampu mendesak
lawannya, pemuda ini masuk ke dalam gedung, mencari tahu barangkali guru pemuda
berbaju coklat itu ada di dalam. Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan
gawat. Buru-buru dia bergerak menolong dan membawanya kabur.
***
Arya menghentikan larinya
ketika merasa yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi. Diturunkannya tubuh
Gumala hati-hati di atas rumput, lalu diperhatikannya luka yang terdapat pada
tubuh pemuda itu.
Sekali pandang saja Dewa Arak
ini segera tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah yang lebih berbahaya,
karena mengandung racun ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat,
sehingga belum menjalar ke mana-mana.
Arya tidak mau membuang-buang
waktu lagi. Cepat tangannya bergerak.
Breeettt..!
"Akh ... !"
Arya Buana terpekik kaget!
Sepasang matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya.
Dibalik baju yang telah terobek lebar itu, pada bagian dada nampak terpampang
dua buah bukit kembar yang mulus menantang.
Darah kelaki-lakian Arya Buana
seketika bergolak. Jantungnya jadi semakin keras berdegup. Pemuda itu menelan
ludah dengan perasaan tegang. Ternyata kawannya yang disangka seorang pemuda
ternyata wanita! Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di hadapannya,
untuk lebih meyakinkan penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah
payudara wanita!
Perasaan penasaran membuat
Arya memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan sekarang jantungnya semakin berdebar
tegang, ketika kini dapat melihat wajah itu lebih jelas lagi. Wajah itu....
Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang mata itu..., mengingatkannya pada
seseorang. Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat dekat di hatinya.
Melati!
Melati! Jerit hati pemuda
berambut putih keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu. Benar! Wajah
itu adalah milik Melati. Wajah yang selalu dirindukannya. Dan kini wajah itu
berada dalam ancaman bahaya maut , Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa
yang harus dilakukannya sekarang? Tentu saja sudah pasti mengobati Melati.
Tapi, caranya....
Tidakkah gadis itu nanti akan
bertambah marah padanya?
Beberapa saat lamanya terjadi
perang batin dalam diri Arya. Antara mengobati gadis itu, dengan kemarahan yang
sudah pasti bakal diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk mengeluarkan
racun hanyalah dengan menyedot darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!
Setelah lama dilanda
kebimbangan, akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukannya. Biarlah! Marah
pun tak mengapa. Yang penting gadis itu dapat selamat. Kini walaupun dengan
setengah hati, Arya mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua bukit kembar itu.
Ditempelkan bibirnya dan disedotnya darah yang telah mengandung racun itu,
kemudian diludahkan.
Demikian dilakukannya
berkali-kali sampai akhirnya darah yang diludahkannya mulai memerah, tidak
hitam seperti sebelumnya.
"Ohhh ... !"
Terdengar keluhan dari mulut
Melati, ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang masih bersemayam
sampai diyakininya racun itu bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya
kalau Melati akan terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas
bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.
"Manusia kurang
ajar!" teriak Melati keras. Tangannya pun melayang.
Plak ... !
Dengan deras dan keras telapak
tangan gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi
pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna merah.
"Tunggu sebentar, Melati!
Akan kujelaskan...," ucap Arya gugup.
Tapi Gumala yang sebenarnya
Melati itu sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu
merapikan pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.
Bukkk!
Dengan telak, tendangan itu
menghantam Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau melawan.
Untungnya Melati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika
melihat pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengelak atau
menangkis. Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya yang terkena sasaran
pukulan dan tendangan itu jadi matang biru.
Tiba-tiba terdengar seruan
tertahan keluar dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian melesat dari situ,
meninggalkan Arya.
"Melati! Tunggu ...
!" teriak pemuda berbaju ungu itu keras tanpa berusaha mengejar.
Tapi gadis itu sama sekali
tidak mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak, la
terus saja berlari, sehingga sesaat kemudian tubuhnya lenyap diteian jalan.
"Melati..., ahhh
Melati...," keluh Dewa Arak. Sepasang matanya memandang kosong ke depan.
Sudah diduga kalau peristiwa
seperti ini akan terjadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan Melati. Memang
wajar kalau gadis itu bersikap demikian, karena tentu merasa malu.
Hanya satu hal yang disesali
Arya, mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya
itu selalu menimbulkan hal yang berakhir tidak menyenangkan.
"Hhh ... !"
Dewa Arak menghela napas
dalam-dalam. Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu diangkatnya ke atas
mulutnya. Dan....
Gluk... gluk... gluk..!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda ini pun
goyah. Tapi ia tidak peduli. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk
melanjutkan tugas yang tertunda, mengunjungi tempat kediaman pembimbingnya.
Ingin dibuktikan, apakah ada kejadian tidak enak yang menimpa guru dan ibunya,
seperti yang selalu muncul dalam mimpimimpinya.
***
Gumala yang kini ternyata
adalah Melati, melesat kabur dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki. Sebenarnya dia tidak menyalahkan tindakan Arya. Disadari kalau
Dewa Arak melakukan hal itu hanyalah untuk menyelamatkan nyawanya. Sama sekali
tidak untuk melakukan hal yang bersifat kurang ajar.
Memang sebenarnya Dewa Arak
itu tidak mengetahui kalau ia adalah seorang wanita. Bahkan wanita yang
dirindukan dan dicari-carinya selama ini. Memang selama melakukan perjalanan
bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita banyak tentang Melati. Tentu saja
juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati yang diutarakan pada Gumala,
kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.
Diceritakan pula oleh Dewa
Arak kalau Melati telah membencinya. Hampir saja Melati yang waktu itu menyamar
sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati sama sekali tidak
membenci pemuda itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan
beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Arya.
Salah satu hal yang paling
berat adalah janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang telah bersumpah untuk
memberi hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena
cintanya pada Arya Buana. Maka Melati memutuskan untuk menjauhi Arya saja.
Tapi ternyata rasa rindu untuk
melihat Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja
keras, akhirnya didapatkan satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa
diketahui. Apalagi kalau tidak dengan jalan me nyamar.
Tapi siapa sangka kalau
semuanya akan berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu telah berhasil
membongkar rahasianya. Bahkan dengan cara yang membuatnya malu besar. Dewa Arak
telah melihat bagian tubuhnya yang paling dirahasiakan! Payudaranya! .
Dan sekarang, bagaimana Melati
dapat bertemu dengan pemuda itu lagi? Rasanya setiap kali melihat Arya, kembali
teringat peristiwa memalukan itu.
Sambil terus berlari cepat,
pikiran Melati terus bekerja. Disadari kalau ia tidak mampu berpisah dengan
pemuda berambut putih keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa
menggigit hatinya, setiap kali berpisah dengan pemuda itu.
Begitu juga kali ini. Secara
diam-diam dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa sepengetahuan pemuda itu
sendiri.
***
Arya me lakukan pe rj alanan
dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Mimpi buruk yang
berturut-turut dan perasaan tidak enak yang selalu mengganggu hati, membuatnya
bertindak begitu.
Beberapa hari kemudian,
sampailah pemuda berambut putih keperakan ini di pintu gerbang sebelah Barat
Desa Jati Alas. Desa yang terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, Ular
Hitam.
Arya Buana memperlambat
langkahnya. Matanya memandang berkeliling, memperhatikan keadaan desa ini. Dan
kening pemuda ini seketika berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu
dan jendela jendela semua tertutup rapat .
Kening Dewa Arak berkerut.
Dugaannya, pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa desa yang baru
beberapa pekan ditinggalkan ini. Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak.
Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan ini? Bukankah Desa Jati Alas in!
adalah tempatnya memenuhi keperluan sehari-hari? Mustahil kalau tidak melihat
keadaan yang mencurigakan ini!
"Tuan Dewa Arak...!"
Sebuah panggilan menyadarkan
lamunan pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal suara. Tampaklah seorang
pemuda bertubuh tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah berlari-lari
menghampiri (Baca Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada apa?" tanya
Arya begitu tubuh Surya telah dekat.
"Gawat, Tuan Dewa
Arak..!" ujar Surya masih terengah-engah.
"Panggil saja aku
Arya...," pinta pemuda berambut keperakan itu. Risih rasanya mendapat
panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"
Sementara itu, Surya mengatur
napasnya sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang
pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."
"Pemuda? Bagaimana
ciri-cirinya?" tanya Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.
"Nggg..., tampan....
Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak berwarna
perak..."
Berubah wajah Dewa Arak
mendengarnya. Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya itu adalah Darba.
Arya pun sudah mengetahui pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya. Hal ini
membuat perasaan tidak enaknya semakin menjadi jadi.
"Lalu ... ?" tanya
Arya pelan. Ketegangan membuat suaranya se pe rti te rce kat di tenggorokan.
"Melihat sikapnya yang
mencurigakan, Ki Pandu tidak memberitahukannya. Tapi, akibatnya gawat! Pemuda
itu membunuh Ki Pandu! Tidak hanya itu saja. Semua penduduk yang tidak mau
menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam dibunuh tanpa kenal ampun."
"Ahhh ... !" desah
Arya kaget. "Akhirnya salah seorang penduduk memberitahukannya...,"
jelas Surya pelahan.
Sepertinya pemuda ini merasa
menyesal mengapa hal itu terjadi.
Arya hanya diam terpaku.
Dimaklumi kalau akhirnya ada penduduk yang memberitahukannya. Memang sebagai
seorang pendekar, Dewa Arak lebih mementingkan penduduk biasa daripada orang
yang pandai ilmu silat.
"Setelah mendapat
keterangan tentang tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun pergi. Aku
bergegas pergi ke sana, dengan meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan
beriari paling cepat. Maksudku, ingin memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada
orang jahat mencarinya."
"Lalu ... ?" tanya
Arya. Dadanya berdebar tegang.
Surya tampak ragu.
"Sayang kedatanganku terlambat, Den Arya."
"Lalu..., apa yang
terjadi dengan kakek dan ibuku ... ?!" desak Arya setengah berteriak.
Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap. Dicekalnya leher baju Surya dan
dihentakhentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang terjadi pada kakek dan
ibuku ... !"
Tubuh Surya gemetar. Apalagi
ketika menatap sepasang mata yang mencorong dari pemuda berambut putih
keperakan itu. Nyalinya kontan menciut
"Den Arya..., sadar, Den.
Sadar...," ucap Surya gemetar.
Ucapan Surya itu rupanya
berhasil menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya pada leher baju pemuda itu
mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan.
"Hhh ... !" Arya
menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. Ditekap
wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Arya lirih.
"Aku khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi pada
kakek dan ibu. Katakan, Kang. Sekalipun berita itu buruk, aku sudah siap untuk
mendengarnya."
Surya menelan Iudahnya
sebentar. Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana.
"Aku melihat..., Kakek
Ular Hitam, dan ibu Den Arya tergeletak di tanah...."
Arya memejamkan matanya. Sudah
dapat diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat dicintainya itu. Benaiiah
apa yang dilihatnya dalam mimpi-mimpinya itu.
"Bagaimana ke adaan
mereka?"
"Mereka tewas dengan cara
yang menyedihkan, Den...."
"Jahanam!" jerit
Dewa Arak keras.
"Kalau Aden ingin
menengoknya, silakan, Den. Mereka kukuburkan di halaman samping, dekat pohon
jambu."
Tapi Arya sudah tidak
mendengar ucapan Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya keluar dari mulut,
tubuhnya pun melesat dari situ. Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng‑gelengkan
kepalanya sambil menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan yang kian
mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
***
Arya duduk bersimpuh di depan
dua buah gundukan tanah yang masih baru. Pada dua buah gundukan itu terpancang
papan nisan yang bertuliskan nama orang-orang yang terkubur di dalamnya. Dalam
hati pemuda berambut putih keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan nisan
pada dua buah kuburan ini.
Sekuat tenaganya Arya berusaha
menahan jatuhnya air mata. Pantang baginya untuk menangis, betapapun beratnya
kesedihan yang ditanggung.
"Kakek..., Ibu...,"
ucap Arya pelan di depan dua kuburan itu. "Mengapa kalian pergi begitu
cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi kalian yang begitu besar terhadapku.
Aku berjanji, Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"
Dewa Arak menghentikan
ucapannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki
pelahan di belakangnya. Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang datang,
Arya buru-buru menoleh namun bersikap waspada.
Sekitar lima tombak di depannya
tampak berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara mereka telah
dikenalnya. Dialah nenek yang selalu berpakaian serba putih, berjuluk Dewi
Bulan.
Sementara orang yang berdiri
di sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek, bulat, dan berkepala
botak Sebuah rompi berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut yang juga
berwarna hijau, menutupi kulit tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang
Hijau, begitu julukan yang dimilikinya.
Si nenek mulanya terperanjat
ketika melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah membuatnya terhuyung belum
lama ini. Tapi di lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah yang
meluap-luap.
"Dia bocah yang
kuceritakan itu, Kelabang Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu kakek
gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan kubiarkan dia lolos lagi!"
"Sabar dulu, Dewi
Bulan!" cegah Kelabang Hijau sambil menarik tangan nenek yang sudah
bergerak maju itu.
"Apa hakmu
menghalangiku?!" tantang Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang dicekal
kakek gundul berkulit kehijauan itu.
"Aku memang tidak berhak
menghalangi tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas Kelabang Hijau.
"Heh?! Kenapa
begitu?" suara Dewi Bulan mulai melunak. Disadari adanya tekanan
kesungguhan pada nada suara kakek berompi hijau ini.
"Karena dia pasti
mempunyai hubungan dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin akan duduk
termenung di situ. Apakah kau tidak mendengar berita yang menghebohkan dunia
persilatan belakangan ini?"
"Berita apa itu?"
tanya Dewi Bulan tertarik.
"Ular Hitam memiliki seorang
murid yang telah menggemparkan dunia persilatan. Kudengar banyak tokoh tangguh
yang rubuh di tangannya!"
Nenek berpakaian putih itu
menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu
berjuluk Dewa Arak!"
"Tepat" Dewi Bulan
termenung.
"Dan ciri-ciri Dewa Arak
mirip pemuda ini!" sambung Kelabang Hijau lagi.
"Ahhh ... ! Kau
benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat.
Sementara itu, Arya juga
terkejut melihat nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah
dirasakannya. Sekarang dia datang berdua dengan kawannya yang sekali lihat saja
diketahui kalau kepandaiannya tidak rendah.
Dewa Arak sekarang tengah
dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar
yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, pemuda ini tidak meluapkan
amarahnya secara sembarangan. Maka Arya yang memang tidak ingin mencari
permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Dewi Bulan
terhadapnya.
Jelas terlihat kalau nenek itu
akan menyerangnya. Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit kehijauan di
sebelahnya.
Untuk beberapa saat lamanya
tampak kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu saja berkat
pendengarannya yang tajam, Arya dapat mendengar apa yang dipertengkarkan. Dan
hal ini membuatnya agak terkejut. Karena dari percakapan itu dapat diketahui
kalau kakek dan nenek ini seperti mengenal almarhum pembimbingnya, Ular Hitam.
Siapakah kedua orang ini sebenarnya?
Kini Kelabang Hijau dan Dewi
Bulan melangkah menghampiri. Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu berdiri diam
menanti. Sikapnya terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung berdebar
tegang.
"Anak Muda," tegur
kakek berkulit kehijauan itu. "Katakan secara jujur, apa hubunganmu dengan
almarhum Ular Hitam?"
Arya tidak mendengar adanya
nada permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik terhadapnya maupun terhadap
gurunya.
"Saya muridnya,
Kek," jawab Arya jujur. Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar secara
langsung, tapi Ular Hitamlah yang membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu sendiri tidak mau dianggap
guru, Arya tetap menganggapnya guru.
"Bisa kupercaya
kata-katamu, Anak Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.
"Dia bohong!" selak
Dewi Bulan sebelum Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun kulihat
ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku me lawannya! "
"Apa yang nenek katakan
memang benar!" sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini
membimbingku sehingga memiliki kepandaian seperti sekarang ini. Salahkah kalau
aku menganggapnya sebagai guru?"
"Apa yang dikatakannya
memang benar, Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung alasan Arya.
''Tapi perlu kau ketahui, Anak Muda. Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam.
Nah, sekarang bersediakah kau mewakilinya untuk menyelesaikan urusan itu?"
"Sepanjang urusan itu
tidak bertentangan dengan kebenaran, aku bersedia mewakili almarhum
guruku!" jawab Arya tegas.
"Ha ha ha...! Bagus! Kami
percaya, kau tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan telah banyak bercerita
tentang dirimu! Julukanmu pun telah membuat banyak tokoh berpikir beberapa kali
untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau dan Ular Hitam tidak ada
bedanya!"
Seketika berubah wajah Arya.
"Maksud, Kakek?"
tanya Dewa Arak.
Wajah Kelabang Hijau berubah
serius.
"Sejak puluhan tahun yang
lalu, kami adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan.Kami pun gemar
bertanding, sehingga tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami. Sampai
akhirnya, kami bertemu dengan Ular Hitam. Melalui suatu pertarungan yang
sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu saja hal ini membuat penasaran, di
samping malu yang besar. Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh tahun lagi
kami akan datang menantang untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi
rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. '
"Semenjak itu kami pun
kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di
waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular Hitam telah lebih
dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal? Untunglah ada dirimu yang
menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami beri kelonggaran. Kau kuberikan
kesempatan mencari kawan untuk menantang kami berdua. Kau kami tunggu bulan
purnama mendatang di Puncak Bukit Gading. Dekat pohon flamboyan kembar."
Setelah berkata demikian,
Kelabang Hijau segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan. Begitu cepatnya
mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya dua buah titik
yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh ... !" Arya
menghela napas panjang. Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, sampai
akhirnya tak terlihat lagi.
***
Arya yang tengah diamuk amarah
meluapluap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Dewa Arak memang ingin buru-buru sampai di rumah kediaman Kepala Desa
Jipang, yang kini ditempati Darba dan anak buahnya.
Beberapa hari. kemudian,
pemuda berambut putih keperakan ini pun telah sampai di mulut desa. Tapi, Dewa
Arak agak terperanjat ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu
gerbang rumah kepala desa itu tengah terjadi keributan. Di situ juga terlihat
beberapa orang yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka kini tengah
mengeroyok seseorang yang tidak jelas terlihat karena jarak yang agak jauh.
Bergegas Arya berlari
menghampiri. Sesaat kemudian Dewa Arak telah berada dalam jarak tiga tombak
dari arena pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah
dikeroyok itu. Dan ini membuat pemuda berbaju ungu ini menjadi agak terkejut.
Orang yang tengah dikeroyok
itu berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju
hitam bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari benang
emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar yang
dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam bergerak, di situ
pasti ada sesosok tubuh yang rubuh.
"Cakar Garuda...,"
desah Arya.
Tapi pemuda ini tidak bisa
berlama-lama mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan
tengah dicarinya, bergerak menghampiri.
"Heh?! Kau lagi, Dewa
Arak? Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini bersama-sama temanmu akan
mengeroyokku?" ejek Darba memanas-manasi.
Sepasang matanya berkeliaran
ke sekeliling mencari-cari Gumala. Diam-diam pemuda ini memang merasa cemas,
kalau pemuda murid Ki Julaga itu datang. Hatinya merasa lega ketika tidak
melihat bayangan pemuda berbaju hitam itu.
"Pembunuh biadab! Kau
harus menebus perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"
"Ha ha ha...!" tawa
mu rid Ki Jatayu itu meledak. "Syukurlah kalau kau telah mengetahuinya.
Sayang, waktu itu kau tidak berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja ada, tentu
aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
Arya menekan kemarahan yang
membakar dada. Walau perasaan marah yang melanda telah begitu besarnya, tapi
pemuda ini berusaha untuk tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya ke atas
kepala.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun mulai terasa hangat. Dewa
Arak sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. Maka kini
dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
Sret! Sret!
Darba pun mencabut kapak yang
terselip di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju coklat ini
melayangkannya ke arah Arya Buana.
Suara angin menderu keras
menyambar sebelum serangan kapak itu sendiri tiba. Arya tidak berani bertindak
gegabah. Segera saja kakinya bergerak melangkah terhuyung dan sempoyongan,
sehingga serangan kapak Darba mengenai tempat kosong.
Tapi pemuda baju coklat itu
tidak bingung. Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu 'Delapan Langkah
Belalang'. Terbukti walaupun serangan keduakapaknya mengenai tempat kosong,
tapi dengan kecepatan gerak tangan yang mengagumkan, diputarnya kedua kapak itu.
Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang melalui bawah ketiak.
Dugaan Darba sama sekali tidak
salah. Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari belakang, Dewa Arak
memapak menggunakan guci ke belakang punggung Darba.
Klanggg...! Klanggg ... !
Terdengar benturan nyaring
ketika kapak itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah pihak sama-sama
terhuyung dua langkah.
Bedanya, kalau Arya terhuyung
mundur, sedangkan Darba melangkah maju.
Meskipun tubuhnya masih
terhuyung, Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa gucinya. Benturan yang keras
itu membuatnya merasa khawatir kalau-kalau gucinya itu rusak. Legalah hatinya
ketika dilihatnya tidak ada kerusakan sedikit pun pada gucinya. Jangankan
rengat, gompal saja tidak!
Ketika tenaga yang mendorongnya
habis, cepat-cepat Arya memburu dengan totokantotokan ke arah kepala Darba.
Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, gerakan
yang dilakukan murid Ki Jatayu juga tak kalah cepat.
Wut! Wut ... !
Sambil membalikkan tubuh, Darba
mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan kiri Dewa Arak yang melakukan
totokan-totokan berbahaya ke kepalanya. Dan tentu saja pemuda berpakaian ungu
ini tidak bersedia tangannya terpapas putus oleh sepasang kapak di tangan
lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik pulang serangannya. Berbareng dengan
itu, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan menyambar ulu hati.
Seketika Darba terperanjat,
namun tidak menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di lain saat, tubuhnya
melenting, lewat di atas kaki yang mengarah ulu hatinya itu.
Wut ... !
Bersamaan dengan itu, kapak di
tangan kanannya disabetkan ke arah leher Arya. Sedangkan Dewa Arak yang tahu
akan keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk menangkisnya.
Klanggg...!
Lincah laksana seekor kera,
Darba menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat dia bangkit kembali, lalu
dengan kecepatan mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua kapak di tangannya
pun kembali berkelebat cepat mencari sasaran.
Arya yang memang tengah sakit
hati terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, dan
langkah-langkahnya sempoyongan. Tapi justru dengan beriingkah seperti itulah
letak kedahsyatannya.
Darba kini harus menelan
kenyataan pahit. Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu. Dengan guci di
tangan, kepandaian Dewa Arak kini luar biasa sekali. Sekarang pemuda berbaju
coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan Darba juga baru sadar kalau
kehebatan pemuda di hadapannya ini bertumpu pada gucinya.
Puluhan jurus telah berlalu,
tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Kepandaian keduanya
kelihatan masih seimbang.
***
Sementara itu pertarungan
antara Cakar Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah Darba, berlangsung tidak
seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu, memang terlalu
tangguh untuk para pengeroyoknya. Setiap kali besi berbentuk cakar di tangannya
bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit kematian terdengar
saling susul.
"Aaa ... !"
Pekik nyaring melengking
panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu.
Cakar Garuda memandangi
tubuh-tubuh yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan
antara Dewa Arak menghadapi Darba.
Terdengar suara bergemeletuk
dari gigi-gigi Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini. Amarahnya langsung
bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya, karena telah membasmi
perguruannya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi pekik kemarahan
laksana binatang terluka, Cakar Garuda melompat menerjang Darba, ketika pemuda
itu tengah melentingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan Dewa
Arak.
Arya kaget bukan main, ia tahu
kalau Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan
Garuda Emas itu masih terlalu rendah. Jadi, kalau dia menyerang pemuda baju
coklat itu sama saja dengan mencari mati.
"Tahan ... !" cegah
Arya be rte riak.
Tapi terlambat. Tubuh Cakar
Garuda telah melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi menunda serangannya.
Tubuh Cakar Garuda yang melayang itu jelas menghalangi gerakannya.
Darba hanya mendengus.
Tiba-tiba saja jari jari kedua tangannya yang terbuka, dihentakkan ke depan.
Wusss....
Bresss...!
"Hugh...!"
Angin yang amat kuat keluar
dari telapak tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk deras ke arah Cakar
Garuda. Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. Dicobanya untuk
mengelak. Tapi tubuhnya yang berada di udara itu menyulitkannya untuk
menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf
kesempurnaan.
Kontan serangan pukulan jarak
jauh itu menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga mengeluh tertahan.
Tubuhnya terpental kembali ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari mulut,
hidung, dan tehnganya mengalir darah segar. Pukulan jarak jauh Darba memang
mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.
Brukkk..!
Diiringi suara berdebuk keras,
tubuh Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh di tanah. Be be rapa saat
lamanya dia me ngge le par-ge le par di tanah, kemudian akhirnya diam tidak
bergerak lagi.
Arya Buana terpaku sesaat.
Tapi tak lama kemudian amarahnya melonjak.
"Hiyaaa ... !"
Sambil berteriak melengking
nyaring memekakkan telinga, Dewa Arak menerjang Darba.
Wut ... !
Ketika guci Dewa Arak terayun
deras ke arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu menarik kepalanya ke
belakang tanpa menarik kakinya.
Wusss...!
Guci itu meluncur deras
beberapa rambut di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga yang terkandung
dalam serangan itu, sehingga rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar
keras. Dan cepat-cepat pemuda berbaju coklat itu memberi serangan balasan yang
tidak kalah be rbahayanya.
Wut ... !
Cepat bagai kilat kakinya
melesat ke arah dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Arya
segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.
Takkk ... !
Tubuh Darba melintir. Memang
bila dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju coklat itu lebih tidak
menguntungkan. Namun demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera
memperbaiki posisinya. Bahkan kembali menerjang lawan dengan serangan-serangan
dahsyat.
Pertarungan sengit pun kembali
berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, memang tingkat
keduanya berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya pertarungan itu
berlangsung kembali, tetap belum nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak.
Memasuki jurus keseratus lima
puluh, mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak lawan. Ki Gering Langit
memang menciptakan ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal ilmu-ilmu yang
telah dibawa lari pelayanpe layannya!
Maka tidaklah aneh jika
memasuki jurus keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak. Sepasang kapak perak
mengkilat di tangannya kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi
malang-melintang seperti sebelumnya.
Dua senjata itu lebih banyak
dipakai untuk melindungi setiap serangan yang datang. Hanya sekali-sekali saja
sepasang kapak perak itu meluruk ke arah Arya. Itu pun tidak sedahsyat seperti
sebelumnya.
Sebaliknya serangan Dewa Arak
semakin dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' dan jurus 'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan desakan. Sampai
pada suatu saat...
"Hiyaaat..!"
Wut ... !
Darba kembali berteriak seraya
melancarkan serangan dahsyat pada suatu kesempatan baik. Kedua kapak perak
dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan. Tapi untuk yang kesekian kalinya,
dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Arya berusaha menghinda
rinya. Langkahnya terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak dari ancaman
kedua kapak perak itu. Dan tahutahu tubuh Arya telah berada di belakang Darba.
Sebelum pemuda berbaju coklat
itu sadar, Arya sudah mengayunkan guci araknya.
Wut..!
Dengan deras guci itu melayang
ke arah kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat kaget Maka sedapat
dapatnya dirundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran guci lawan.
Wusss ... !
Usaha untung-untungannya
berhasil juga. Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak tinggal diam.
Segera dilancarkan serangan susulan .
Bukkk...!
"Huakkk...!"
Telak sekali pukulan tangan
kiri Dewa Arak mendarat di punggung Darba. Keras bukan main, sehingga tubuh
pemuda itu terjerembab ke depan. Cairan merah kental terlontar keluar dari
mulutnya. Jelas pemuda berbaju coklat itu terluka dalam!
Namun kekuatan tubuh murid Ki
Jatayu ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka parah, dan posisinya
tidak memungkinkan, dia masih berusaha menghambat serangan susulan lawan.
Seketika disabetkan kedua kapaknya ke be lakang.
Wut..!
Begitu serangan Darba lewat,
kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan.
Bukkk ... !
"Hugh...!" Darba
mengeluh pendek. Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan kapak peraknya
pun terlepas dari genggaman!
Babatan kedua kapak itu hanya
mengenai tempat kosong, karena Dewa Arak memang belum mengirimkan serangan
susulan. Baru begitu serangan kedua kapak itu lewat, kaki kanan Dewa Arak me
ncuat ke de pan .
Bukkk ... !
"Hugh...!" Darba
mengehah pendek.
Untuk yang kedua kalinya
serangan Arya mengenai sasarannya. Tendangan itu telak mendarat di perut lawan.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari genggaman.
Mulutnya meringis menahan rasa sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun
menetes dari sela-sela bibirnya. Dan belum lagi pemuda berbaju coklat itu
memperbaiki posisinya, kembali tangan Arya berkelebat.
Wut..!
Prak!
"Aaakh ... !"
terdengar suara berderak keras, ketika guci pusaka di tangan Arya membentur
kepala pemuda baju coklat itu Darba mengeluh tertahan, kemudian ambruk ke
tanah. Pemuda itu tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.
Arya Buana memandangi tubuh
yang terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih ke tubuh Cakar Garuda,
dan belasan sosok tubuh anak buah Darba yang terbujur di tanah. Dan kini
kembali tatapannya beralih pada tubuh Darba. Sebentar kemudian pemuda berambut
putih keperakan ini menengadahkan kepalanya, menatap langit.
"Kakek..., Ibu...,
tenanglah kalian di dalam kubur ... ! "
Setelah berkata demikian,
tubuh Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi kebisingan dan
hiruk pikuk pertarungan. Di tempat itu kini hanya ada keheningan dan
kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si Dewa Arak lenyap ditelan jalan.
***
Seorang pemuda berwajah
jantan, dan berambut putih keperakan tampak terduduk di atas sebuah batu besar
yang lebar dan datar di Puncak Bukit Gading. Kepalanya tertunduk sepertinya ada
beban berat yang tengah menekan batinnya.
Pemuda yang memang adalah Arya
Buana, tengah merenung seperti ada yang menggayuti pikirannya. Dan itu bisa
ditebak permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan kedua dengan dua orarig
saingan gurunya yang mengajaknya bertarung.
Sepanjang perjalanan menuju
tempat ini, Arya tak lupa menanyakan kepada setiap orang tentang seorang gadis
cantik berpakaian putih atau seorang pemuda tampan berpakaian hitam. Tapi
sampai sekian jauh, keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya dia tiba
di tempat ini.
"Hhh ... !"
Pemuda berpakaian ungu itu
mendesah. Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat berwarna kuning keemasan
yang nampak di langit. Malam ini memang bulan purnama, malam yang dijanjikan
Kelabang Hijau. Memang, di tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu
menjanjikan pertarungan dengan Dewa Arak.
"Hi hi hi...!"
tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
Arya Buana yang tengah
menikmati indahnya purnama bergegas memalingkan kepalanya. Tanpa melihat pun
sebenarnya sudah dapat diduga kalau orang yang mengeluarkan tawa seperti itu
pasti Dewi Bulan!
Dugaan pemuda ini memang tidak
salah. Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak dua sosok tubuh yang
memang sudah ditunggutunggunya.
"Luar biasa!" teriak
Kelabang Hijau. "Dewa Arak! Rupanya kau ini memang terlalu sombong!
Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah terbiasa bertanding berdua? Bukankah
kau telah diberikan kebebasan membawa kawan untuk menghadapi kami. Berapa pun
jumlah kawanmu tak masalah. Tapi rupanya kau ini terlalu berani. Atau kau
terlalu sombong, sehingga saran kami sama sekali tidak digubris?!"
"Ada banyak alasan yang
membuatku tidak dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap Arya tenang seraya
bangkit dari batu yang didudukinya.
"Ya! Karena begitulah
bunyi perjanjian antara kami dengannya!" selak Kelabang Hijau.
"Hm.... Apa itu, Dewa
Arak!?" tanya Dewi Bulan. Kasar dan ketus suaranya.
"Pertama, kusadari kalau
urusan ini adalah urusan pribadi guruku, Kakek Ular Hitam. Jadi, tidak
sepantasnya kalau membawa-bawa orang luar dalam urusan pribadi ini. Dan kedua,
sangat sulit mencari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti kakek berdua.
Kalau kupaksakan, bukankah hanya akan mencelakakan orang itu?"
Kelabang Hijau
manggut-manggut.
"Bisa kuterima alasanmu,
Dewa Arak" "Terima kasih, Kek!"
"Jangan'terburu-buru
berterima kasih, Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan kami
denganmu kini tidak hanya satu macam!"
Arya mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Nek?"
"Tidak usah berpura-pura,
Dewa Arak! Bukankah kau yang telah membunuh majikan kami?!"
"Membunuh majikan
kalian?! Aneh?! Kalau boleh kutahu, siapa majikan kalian?" tanya Arya.
Kerut pada dahinya pun semakin
dalam.
"Seorang pemuda
bersenjata sepasang kapak warna perak mengkilat!"
"Dia majikan
kalian?" tanya Dewa Arak Nada suaranya mengandung keheranan yang be sar.
"Kami bertemu dan
bertempur. Dengan licik dia memancing kami ke dalam suatu perjanjian. Yaitu,
apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil merobohkannya, dia akan
menjadi majikan kami! Jadi, terpaksa kami harus membalaskan dendamnya
padamu,Dewa Arak!"
"Bagaimana? Bisa dimulai
sekarang? Atau kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa Arak?!" selak Dewi
Bulan keras. Nenek ini memang sudah merasa kurang suka terhadap Arya Buana,
karena telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga beberapa waktu yang lalu.
"Lebih cepat lebih baik,
Nek!" sambut Dewa Arak. Sadar akan kelihaian kedua orang yang berada di
hadapannya itu, pemuda ini segera memindahkan guci ke tangannya. Sebentar
kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh Arya pun mulai terasa
hangat dan agak limbung. Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan saat itulah
nenek berpakaian putih itu melesat ke arahnya. Gerakannya cepat bukan main.
"Hiyaaa ... !"
Dewi Bulan telah merasakan sendiri
kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi digunakan
tongkat bulan sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.
Wut..!
Tongkat berujung bulan sabit
itu meluncur cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring mengiringi tibanya
serangan itu. Hebat dan cepat bukan main serangan itu.
Tapi yang diserangnya kali ini
bukanlah tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah berkali-kali menghadapi
lawan yang teramat tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula terancam
serangan berbahaya. Maka menghadapi serangan tongkat berujung bulan sabit itu,
pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup karenanya.
Seperti biasa, dengan gerakan
tak lumrah dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan serangan itu.
Walaupun keadaan mengancam, berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah
berbalik mengancam.
Sekali mengelak, Dewa Arak
telah berada di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu sempat melepaskan
serangan, Kelabang Hijau telah terlebih dulu menyerangnya.
Terpaksa Arya mengurungkan
niat untuk menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula dielakkannya serangan
kakek itu. Dan belum juga sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan telah
mengancam. Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kewalahan menghadapi hujan
serangan dahsyat yang sating susul.
Beberapa gebrak kemudian,
keriga orang ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat sebelah. Dewa Arak
terus-menerus didesak lawannya, tanpa mampu balas menyerang.
Untunglah pemuda berambut
putih keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang sangat aneh
sehingga dapat mengelakkan serangan yang bagaimanapun sulitnya. Dan berkat
jurus inilah Dewa Arak mampu mengelak, sekalipun hujan serangan datang silih
berganti bagaikan hujan.
Untuk pertama kalinya, Arya
harus mengakui betapa beratnya tekanan kedua lawannya ini. Lebih berat
ketimbang Darba. Kerja sama kedua orang ini begitu rapi, saling bantu dan
saling melindungi.
Belasan jurus telah berlalu.
Dan selama itu, belum ada satu pun serangan balasan yang dilancarkan Arya.
Serangan silih berganti lawannya membuatnya tidak mempunyai kesempatan balas
menyerang. Sampai sekian lamanya, Dewa Arak hanya mampu mengelak dan bertahan.
Tempat pertarungan puri tanpa
terasa telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terusmenerus bermain mundur.
Pernah sesekali, pemuda ini mencoba balas menyerang menggunakan jurus 'Delapan
Langkah Belalang', tapi akibatnya ia sendiri yang hampir celaka. Karena begitu
serangannya hampir dilancarkan, serangan balasan dari lawan-lawannya telah
meluncur tiba.
Terpaksa Arya pontang-panting
menyelamatkan diri.
Sementara itu, tanpa
sepengetahuan ketiga orang yang tengah bertarung, sepasang mata indah milik
seorang wanita cantik berpakaian serba putih, mengamati jalannya pertarungan
dari balik semak-semak. Wajahnya yang cantik menyiratkan perasaan cemas yang
dalam. Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, pertanda hatinya tengah
dilanda perasaan tegang.
Empat puluh lima jurus telah
berlalu. Dan kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga akhirnya pada jurus
kelima puluh satu, serangan tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur deras
mengancam dadariya. Maka Dewa Arak memutuskan untuk menangkisnya.
Klanggg...!
"Hugh !?"
Tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat Kelabang Hijau
menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya memapak
serangan tusukan tombak berujung bulan sabit.
Melihat hal ini Dewa Arak
terperanjat. Dia tahu kalau kakek berkepala gundul itu tengah menyalurkan
tenaga dalam. Tenaganya disatukan dengan tenaga nenek itu, lalu bersama-sama
menghadapi tenaga Arya.
Tak pelak lagi, perpaduan dua
tenaga dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak. Untung saja beradunya
tenaga dalam tadi terjadi secara tidak langsung melainkan melalui
perantara. Sehingga akibatnya
tidak terlalu berarti bagi Dewa Arak. Pemuda berpakaian ungu ini hanya merasa
sedikit sesak pada dadanya.
Ilmu 'Belalang Sakti' memang
memiliki keistimewaan dalam hal meringankan tubuh. Gerakan sesulit apa pun akan
sama seperti gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada dalam keadaan kritis,
dan serangan Dewi Bulan kembali menyambar cepat, dia masih mampu
mengelakkannya.
"Keparat!" Nenek itu
berteriak memaki. Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya kembali berhasil
lolos.
Tapi tepat saat serangan Dewi
Bulan tiba, serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba. Arya terperanjat.
Padahal dia baru saja mengelakkan serangan nenek berpakaian putih. Tidak ada
lagi kesempatan baginya untuk mengelak ataupun menangkls, karena serangan itu
datangnya terlalu cepat .
Di saat yang kritis itu,
tiba-tiba melesat satu bayangan putih yang dengan kecepatan luar biasa
menangkis serangan itu.
Plak ... !
Tubuh sosok bayangan putih itu
terpental balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul berkulit kehijauan
terhuyung ke belakang. Tapi manis sekali sosok bayangan putih itu mematahkan
daya lontar pada tubuhnya. Kedua kakinya pun hinggap di tanah hampir tanpa
suara.
Kelabang Hijau langsung
menggeram. Kakek berkulit kehijauan ini murka bukan kepalang karena menyadari
ada orang yang sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu tenaga. Apa lagi
ketika melihat bahwa yang menangkisnya adalah seorang gadis yang masih sangat
muda.
"Siapa kau, Cah Ayu!
Menyingkirlah cepat sebelum aku terpaksa bertindak keras terhadapmu!"
ancam Kelabang Hijau. Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk bertindak kasar
terhadap seorang gadis yang masih begitu muda.
"Melati...!" teriak
Arya keras. Ditatapnya gadis yang telah menyelamatkannya penuh rasa rindu.
Tapi Melati hanya tersenyum
sekilas. Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan semangatnya pun bangkit
kembali.
"Kau hadapi nenek itu,
Melati!" teriak Arya seraya melompat mendekati Kelabang Hijau .
Tapi tiba-tiba kakek berkepala
gundul itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
.
"Tunggu, Dewa Arak!"
cegah Kelabang Hijau.
"Mengapa, Kek?"
tanya Arya. Tidak ada nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak tahu, kalau
kakek dan nenek ini menyerangnya bukan karena dendam.
"Urusan ini telah selesai
sampai di sini." "Heh?!" Arya tersentak kaget "Mengapa
begitu?"
Kelabang Hijau menghela napas.
"Kami telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu jika kau sanggup
menghadapi kami selama lima puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua
urusan."
Melati tersenyum mengejek.
"Lalu, mengapa tadi kalian masih menyerang terus? Padahal jelas jelas
pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"
"Maaf, kami khilaf!"
"Lalu maksudmu bagaimana,
Kek?" selak Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi berlarutlarut.
"Ya. Ternyata kaulah
pemenangnya. Kami berdua mengaku kalah! Selamat tinggal, Dewa
Arak!"
Setelah berkata demikian,
tubuh kakek berpakaian rompi hijau ini melesat diikuti sesosok bayangan putih.
Cepat sekali gerakan kedua bayangan itu. Dalam sekejap saja hanya tinggal dua
buah titik kecil hitam di kejauhan yang kemudian lenyap.
Kali ini Arya tidak ingin
kecolongan lagi! Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat dari situ,
buru-buru dialihkan perhatiannya ke arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis
itu hendak melesat kabur kembali, segera Dewa Arak melompat menghadang. Kini
mereka berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Melati...," tegur
Dewa Arak Suaranya terdengar gemetar.
Gadis yang dulu terkenal
berjuluk Dewi Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya berdiri diam.
Kepalanya pun ditundukkam dalamdalam. Memang sejak mengenal pemuda di
hadapannya ini, sifatnya telah benar-benar berubah. Hampir tidak pernah lagi
gadis itu menurunkan tangan maut pada lawannya, kalau tidak terpaksa sekali!
"Melati...," sapa
Arya lagi. Dilangkahkan kakinya mendekati gadis yang masih tetap diam tidak
bergeming.
"Aku ingin minta maaf
atas semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"
Tidak ada jawaban yang keluar
dari mulut gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar. Akhirnya setelah beberapa
saat lamanya, kepala gadis itu terangguk pelan.
"Ah ... ! Terima kasih,
Melati! Sudah kuduga, kau pasti gadis yang baik Nggg... Maukah kau melakukan
perjalanan bersamaku lagi..., seperti beberapa waktu yang lalu?"
Beberapa saat lamanya suasana
menjadi hening, begitu Arya menghentikan ucapannya .
"Untuk apa..,?"
akhirnya keluar juga suara dari mulut gadis itu.
"Aku ingin menemui gurumu
... ?"
Melati tersentak.
"Menemui guruku?!"
"Ya. Guruku, Ki Gering
Langit telah menugaskan agar aku mengambil kembali kitabkitab yang dulu..,
maaf... telah dicuri gurumu. Oh, ya.... Siapakah gurumu? Ki Julaga..., atau Ki
Jatayu?"
"Ki Julaga."
"Bagaimana, Melati?"
desak Dewa Arak. Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal gadis di
hadapannya inilah yang dapat menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang telah
membawa lari kitab-kitab pusaka gurunya. Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha
yang selama ini dilakukannya.
"Aku bersedia," ucap
Melati. "Guruku memang sudah lama ingin mengembalikan kitabkitab itu.
Beliau merasa bersalah telah mencurinya, dan sudah lama berniat ingin
mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat mengambilnya..., Kang."
Arya tersenyum simpul. Geli
juga hatinya melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya.
"Panggillah aku seperti
Gumala memanggilku."
Melati tersenyum. Arya pun
tersenyum. Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa kini alam jadi terasa
lebih indah dan berseri-seri. Pohon-pohon, batu-batu, rembulan di langit,
sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.
"Di sanalah selama ini
guruku tinggal, Kang Arya," jelas Melati. Tangannya menunjuk pada sebuah
gua yang cukup besar dan kelihatan gelap menghitam di kejauhan.
Dewa Arak menatap suasana di
sekitarnya. Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak mungkin baginya
dapat menemukan tempat tinggal Ki Julaga. Tempat kakek itu begitu tersembunyi,
terletak di sebuah gua yang terdapat di lereng bukit yang sukar didaki.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi mereka untuk mencapai gua.
Dalam beberapa kali lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada di mulut
gua.
Tapi tiba-tiba Melati
tersentak kaget, karena mendengar suara orang bertengkar dari dalam gua.
Bergegas gadis itu berkelebat memasuki gua itu, diikuti Arya yang sama sekali
tidak tahu-menahu.
Diam-diam Dewa Arak kaget juga
ketika mengetahui bagian dalam gua ini ternyata luas sekali.
Sekejap kemudian Arya melihat
Melati tengah menatap cemas pada dua orang kakek yang tengah berhadapan. Yang
seorang bertubuh kecil kurus dan kelihatan sudah tua sekali. Rambut, kumis,
alis, dan jenggotnya telah putih semua. Bahkan jenggot itu panjang sampai ke
dada. Fntah berapa usia kakek ini.
Sedangkan yang seorang lagi
juga kurus. Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak tinggi. Kumisnya
hanya beberapa lembar dan panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit
memancarkan kelicikan.
"Yang mana gurumu?"
tanya Dewa Arak lirih.
Melati menoleh. "Yang
kecil!"
"Kau harus serahkan
padaku, Kakang Julaga?!" kembali terdengar suara si tinggi kurus. Nada
suaranya penuh ancaman.
"Tidak! Sekali kukatakan
tidak, selamanya tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab lainnya akan
kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si kecil kurus.
"Kau bodoh, Kakang!"
"Tidak! Justru aku bodoh
kalau sampai terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"
"Kalau begitu terpaksa
akan kugunakan kekerasan!" teriak Ki Jatayu.
"Silakan. Aku tidak akan
melawan, dan kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap akan dapat mendapatkan
kitab-kitab yang bukan hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.
Ki Jatayu menggeram. Sepasang
matanya yang sipit seperti memancarkan api ketika menatap wajah guru Melati
itu.
"Kalau begitu, kau harus
kukirim ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Ki
Jatayu melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya. Baik Dewa Arak maupun
Melati sama-sama te rke sima me lihat kecepatan gerak yang belum pernah mereka
saksikan selama ini.
Ki Jatayu menyerang Ki Julaga
dengan tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit angin tajam membuat
Dewa Arak dan Melati mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga mereka
sakit.
"'Tangan
Pedang'...," desis Dewa Arak dan Melati bersamaan. Dan dapat dibayangkan
betapa kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil kurus itu sama sekali
tidak bergerak menangkis atau melawan serangan Ki Jatayu.
"Kakek ... !" Melati
menjerit pilu. Sementara itu Dewa Arak sendiri sudah melompat cepat, mencoba
menghambat serangan Ki Jatayu dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sadar
kalau kakek ini memiliki kepandaian yang sukar dibayangkan, Dewa Arak
mengerahkan seluruh te naganya.
Ki Julaga yang semula sudah
pasrah tidak berusaha menahan atau menangkis serangan itu, tersentak ketika
mendengar jeritan. Dikenali betul, siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid
yang amat disayanginya. Sekelebat benaknya bekerja keras. Kalau dirinya mati,
siapayang akan melindungi gadis itu dari Ki Julaga yang diketahuinya pasti
berwatak telengas. Selintasan pikiran itulahyang membuatnya merubah keputusan.
Segera diulurkan tangannya untuk menangkis serangan Ki Jatayu.
Tapi secara tiba-tiba Ki
Jatayu menarik pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang sukar dilihat mata
biasa, kakek bermata sipit ini menggerakkan tangannya, ke belakang, menangkis
serangan Dewa Arak.
Plak!
Tubuh Dewa Arak terpental ke
belakang. Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya pun terasa sesak
bukan main.
Brukkk...!
Dengan deras dan keras
punggung pemuda itu menghantam dinding gua sampai tergetar karena kerasnya
benturan.
"Kakang ... !"
Melati berteriak kaget. Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa Arak.
Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, didekatinya tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu.
Lega hatinya ketika pemuda itu
bangkit, tak nampak ada tanda-tanda terluka.
"Siapa kau, Anak Muda!
Menyingkirlah cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki Jatayu.
Diam-diam kakek ini kaget bukan main. Menurut perkiraannya, paling tidak tangan
pemuda itu patah-patah ketika membentur tangannya tadi.
"Ki Jatayu...," ujar
Dewa Arak. "Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskanku untuk mencari dan
memlnta kembali kitab-kitab yang telah kau larikan itu!"
Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga
berubah pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tapi,
hanya sesaat saja kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini. Di lain
saat, wajah itu memerah. Sepasang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi..., kau njpanya
orang yang telah membunuh muridku, heh?!" tanya Ki Jatayu. Keras dan kasar
suaranya. Memang telah didengar berita tentang tewasnya murid kesayangannya di
tangan Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar! Karena dia telah
membunuh guru dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah sepantasnya dilenyapkan
dari muka bumi!" tegas Dewa Arak.
"Keparat ... !" maki
Ki Jatayu. "Kau harus mati di tanganku, Dewa Arak!"
Dewa Arak sadar kalau lawan
yang kini dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti. Dugaan Arya Buana tepat
sekali! Tenaga dalam yang dimiliki kakek ini telah mencapai tingkatan yang
sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi diraihnya guci arak yang
terikat di punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah berada di atas kepalanya.
Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu pun limbung.
Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga
mengerutkan alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan pemuda ini?
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking
nyaring Dewa Arak mengayunkan guci di tangannya.
Wut ... !
Guci itu menyambar dahsyat ke
arah kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras menandakan tingginya tenaga
yang terkandung dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi kurus itu hanya
mendengus. Tanpa bergeming sedikit pun, diangkat tangan kirinya untuk
melindungi kepala.
Dukkk ... !
Tak pelak lagi guci perak itu
membentur tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu tergetar hebat.
Tapi tidak demikian halnya Dewa Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk
kerbau. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun kontan sesak.
Tapi berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi Arya untuk
segera memperbaiki posisinya.
Benturan yang kedua kali ini
menyadarkan Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan kekerasan kakek itu
dengan kekerasan pula. Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam kakek itu
yang luar biasa. Mengadu tenaga dengan kakek itu sama saja mencari penyakit.
Kalau saja kakek itu mendesak dan memojokkan mengadu tenaga dalam secara
langsung, ia mungkin sudah tewas!
"Ahhh ... !" Melati
terperanjat. Segera saja dia bergerak hendak membantu pemuda yang dicintainya.
Tapi, baru saja kakinya melangkah, sebuah tangan telah menyentuh pergelangan
tangannya.
Gadis berpakaian serba putih
ini menoleh. Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Biarkan pemuda itu
melaksanakan pesan gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan sembarangan
memberi tugas, kalau tidak diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja
dulu!"
"Tapi, Kek...,"
Melati mencoba membantah. "Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil
kurus itu.
Terpaksa Melati tidak
membantah lagi. Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah pertarungan.
Walaupun gurunya telah menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu tidak
mampu. Perasaan cemas akan keselamatan Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda
itu sangat dicintainya.
Sementara Arya kini merubah
siasatnya. Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam, bukanlah tandingan kakek
itu. Dan kalau memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu perbuatan bodoh.
Orang setua seperti Ki Jatayu, apalagi jika lama tidak berlatih, tentu
otot-ototnya agak kaku.
Apalagi, kelihatannya kondisi
tubuh Ki Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung lama.
Maka Dewa Arak kini memaksa
diri untuk tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang telah dikuasai amarahnya
terus menyerangnya kalang kabut. Sementara Dewa Arak terus mengelakkan setiap
serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
"Hiyaaa ... !"
Ki Jatayu berteriak nyaring.
Jari jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan tusukantusukan bertubi-tubi
ke arah leher, ulu hati, dan pusar. Cepat luar biasa gerakannya. Angin berdecit
nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus yang mencicit berbarengan.
Tapi lagi-lagi dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu. Meskipun
serangan itu berhasil dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya telah
compang camping tersayat-sayat di sana sini, akibat terkena angin serangan
tangan Ki Jatayu. Memang kakek tinggi kurus ini menggunakan ilmu 'Tangan
Pedang' dalam menghadapi Dewa Arak.
Ki Jatayu menggeram keras,
murka bukan kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak ada yang mengenai
sasaran. Padahal pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan
selama itu Arya hanya mengelak dan menghindar. Sesekali menyerang, tapi lekas
ditarik kembali begitu melihat kakek itu hendak menangkisnya.
Kemarahan membuat Ki Jatayu
kian memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua itu sampai bergetar hebat
akibat angin pukulan yang salah sasaran dari kakek ini.
Tak terasa lima puluh jurus
kembali telah berlalu. Dan selama itu, tetap saja belum ada satu pun serangan
kakek tinggi kurus ini yang mengenai sasaran. Hal ini membuat kemarahan Ki
Jatayu kian berkobar. Amarah, membuat napasnya kian cepat memburu. Kakek ini
memang sudah merasa lelah bukan main! .
Sebetulnya kalau saja Ki
Jatayu tidak terlalu bernafsu, tidak akan selelah itu. Tapi, karena bertarung
diiringi amarah yang meluapluap, kelelahan lebih cepat datang.
"Grrrrhhh ... !"
Tiba-tiba saja kakek itu
menggeram, disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Ki Jatayu memang
bermaksud merubuhkan Dewa Arak melalui serangan suara, seperti seekor harimau
yang mengaum untuk melumpuhkan mangsanya.
Akibatnya memang hebat sekali.
Tubuh Melati sendiri sampai terhuyung akan jatuh. Padahal bukan dirinya yang
diserang! Apalagi Dewa Arak yang menerima serangan itu secara langsung!
Wajah Dewa Arak memucat. Kedua
kakinya mendadak lemas secara tiba-tiba. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya pun
ambruk ke tanah. Dan saat itulah Ki Jatayu melompat menerkam.
Kedua tangannya mengembang,
dengan jari jari membentuk cakar. Serangan itu mengingatkan orang akan serangan
seekor harimau pada mangsa yang telah tidak berdaya lagi.
Wuttt ... !
Angin menderu dahsyat,
seolah-olah di tempat itu terjadi badai.
"Ah ... !" Melati
menjerit melihat bahaya maut mengancam Dewa Arak.
"Fhm...," Ki Julaga
berdehem untuk menutupi keterkejutan hatinya. Disadari kalau dia tidak mungkin
dapat menolong murid Ki Gering Langit ini. Serangan itu datang tiba-tiba
sekali, sementara jaraknya dari pemuda berambut putih keperakan itu cukup jauh.
Arya memang terperanjat bukan
main melihat serangan itu. Tapi, sebenarnya pemuda ini tidak gugup. Ilmu
'Belalang Sakti" memang memiliki banyak keistimewaan. Dalam posisi sesulit
apa pun dia dapat bergerak dan melompat. Di samping itu, dari keadaan lemah tak
bertenaga, mendadak akan menjadi kokoh kuat, dan mantap penuh tenaga.
Maka walaupun menurut
perkiraan serangan itu tidak akan dapat dielakkan, tapi Arya masih mampu
mengelak. Tubuhnya melenting ke atas.
Brakkk...!
Lantai gua hancur berantakan
ketika kedua tangan Ki Jatayu menghantamnya. Di saat
itulah, Dewa Arak yang tadi
melenting tepat di atas tubuh Ki Jatayu, mengayunkan gucinya. Dikerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam serangan ini .
Wusss...!
Prak ... !
"Aaakh ... !" Ki
Jatayu menjerit keras.
Memang, tanpa ampun lagi, guci
itu telak sekali menghantam kepala Ki Jatayu. Kakek ini memang sudah terlalu
lelah sehingga tak mampu mengelak. Apalagi kedua tangannya masih terhunjam
dalam di tanah. Terdengar suara keras berderak. Disusul ambruknya tubuh itu di
tanah.
Beberapa saat lamanya tubuh
itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
Arya hinggap di tanah. Belum juga pemuda berambut putih keperakan ini berbuat
sesuatu, terdengar seruan gembira disusul melesatnya sesosok bayangan putih
menghampirinya.
"Kakang ... !"
Dewa Arak mengembangkan
lengannya. Langsung didekapnya tubuh Melati erat-erat, begitu tubuh gadis berpakaian
putih itu telah berada di dalam pelukannya .
Sesaat lamanya mereka saling
berpelukan erat seperti melupakan ada orang lain di situ. Pelukan keduanya baru
mengendur ketika terdengar suara mendehem. Rupanya saking gembira, keduanya
lupa pada Ki Julaga!
"Ah ... ! Hampir aku
putus asa melihat keadaanmu itu, Kang Arya. Kau... kau..., hebat
sekali...," puji Melati dengan wajah memerah.
Pelahan namun pasti dilepaskan
pelukannya. Rasa gembiranya melihat pemuda itu selamat dari bahaya maut,
sungguh membuatnya lupa. Dan kini begitu teringat, timbullah rasa malunya.
Apalagi di situ ada Ki Julaga, gurunya. Dewa Arak pun melepaskan pelukannya.
"Kau hebat, Anak
Muda," puji Ki Julaga sambil melangkah mendekat .
Seketika wajah Dewa Arak
memerah. "Ah! Kakek membuat aku malu saja. Apalah artinya kepandaian yang
kumiliki bila dibandingkan dengan kepandaian Kakek."
Kakek kecil kurus ini hanya
tersenyum. Perasaan kagum timbul dalam hatinya, melihat sikap rendah hati yang
ditunjukkan pemuda itu.
"Siapa namamu, Anak
Muda?"
"Arya, Kek," jawab
Dewa Arak sopan.
Dari Melati Dewa Arak telah
tahu kalau kakek di hadapannya ini, sudah lama ingin mengembalikan kitab-kitab
Ki Gering Langit. Maka Arya memutuskan untuk tidak memerangi kakek ini. Apalagi
dari pembicaraan yang tadi didengarnya, diketahui kalau kakek ini telah sadar
dari kekeliruannya.
"Julukannya Dewa Arak,
Kek," selak Melati penuh rasa bangga.
Ki Julaga hanya
manggut-manggut. Tentu saja dia tidak pernah mendengar julukan itu, karena
selama ini bersembunyi di guanya.
"Oh ya, Arya. Semua
kitab-kitab yang kau cari, kebetulan ada di sini. Ki Jatayu telah membawa
kitab-kitab yang telah dicurinya kemari. Maksudnya, ingin ditukarkan dengan
kitab-kitab yang ada di sini."
Setelah berkata demikian kakek
ini lalu memberi semua kitab-kitab Ki Gering Langit yang telah dicuri, dan
diserahkan pada Dewa Arak .
"Inilah semua kitab-kitab
itu, Arya," ucap Ki Julaga.
Dewa Arak menerima kitab-kitab
itu. Diperhatikan sejenak satu persatu. Lalu diambilnya satu dari sekian banyak
kitab. Sebuah kitab yang sangat tipis dan pada sampulnya bertuliskan
huruf-huruf yang berbunyi, 'Jurus Membakar Matahari'! Jurus sakti yang
dipersiapkan khusus untuk 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang telah dimiliki
Arya. Kemudian kitab-kitab yang lainnya dikembalikan kepada kakek itu kembali.
"Heh?! Mengapa,
Arya?" tanya kakek itu heran. Melati pun kaget.
"Semula memang aku
berniat mengambilnya untuk dikembalikan ke tempat semula. Tapi karena kini
Kakek telah menyadari kesalahan Kakek, kuputuskan untuk meninggalkan semua itu
pada Kakek. Di tangan Kakek kitab-kitab itu akan aman. Tak mungkin kalau harus
kubawa sekian banyak kitab dalam pengembaraanku," jelas Arya.
Ki Julaga manggut-manggut
mengerti.
"Kalau begitu, aku mohon
diri, Kek," pamit Arya. "Banyak orang yang masih membutuhkan
pertolonganku."
"Aku ikut!" teriak
Melati. "Boleh, Kek?" tanya gadis itu sambil memandang penuh harap
pada Ki Julaga.
Ki Julaga termenung sejenak.
Kemudian pelahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Kenapa, Kek?" tanya
Melati. Rasa kecewa yang amat sangat membayang pada wajahnya.
"Kau baru saja datang.
Dan, rasa rinduku padamu belum juga hilang. Masa' sudah akan pergi lagi.
Tinggallah di sini sekitar sepekan, agar kerinduanku padamu terobati."
"Tapi, Kek...."
"Benar kata Kakek,
Melati," Dewa Arak memberi dukungan. "Setelah kerinduan Kakek padamu
terobati, kau bisa menyusulku. Tidak sulit kan mencari jejakku?"
Melati pun terdiam. Ucapan
Arya menyadarkan dirinya, untuk tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Waktu
untuknya dan untuk Dewa Arak masih sangat panjang. Tapi, bagi Ki Julaga? Kapan
lagi dapat membalas budi kakek kecil kurus ini selama ini kalau tidak sekarang?
"Pergilah, Melati....
Kakek tadi hanya bergurau saja," ucap kakek kecil kurus itu ketika
muridnya termenung.
Sesak dada gadis berpakaian
serba putih ini karena rasa haru yang mendalam. Melati tahu kalau ucapan
gurunya ini tidak sesuai dengan isi hati kakek itu sendiri. Kakek itu terlalu
menyayanginya dan tidak ingin membuatnya bersedih.
"Kakek...!"
Melati beriari ke arah Ki
Julaga. Kakek itu pun mengembangkan lengan dan memeluk tubuh gadis itu. Dibelai
belainya rambut gadis itu penuh kasih sayang. Tanpa dapat ditahan sebutir air
bening menggulir dari sepasang matanya. Namun gadis itu bergegas menghapusnya.
"Melati ingin tinggal...,
dan menemani Kakek...," ucap Melati terputus-putus. Air mata gadis ini pun
tumpah tanpa dapat ditahannya lagi.
"Tidak usah memaksakan
diri, Melati. Pergilah! Sungguh, Kakek tidak apa-apa."
'Tidak, Kek! Melati ingin
tinggal bersama Kakek!" tegas kata-kata gadis itu.
Dewa Arak tersenyum. Ada rasa
keharuan yang mendalam di hatinya melihat adegan yang mengharukan itu. Tapi
Dewa Arak tidak ingin mengusik mereka. Diguratkan jarinya pada dinding gua.
Melati.. aku pergi dulu. Jika kau
sudah merasa cukup menemani Kakek, carilah aku. Ingat, aku selalu menyayangimu.
Arya .
Dewa Arak melangkah pelahan
meninggalkan gua itu. Ada keharuan yang amat sangat menyelubungi hati melihat
adegan pertemuan yang baru saja disaksikannya. Dia sadar, Melati bukan miliknya
sendiri.
Lambat tapi pasti, sosok tubuh
Arya kian mengecil dan mengecil. Hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Masih
banyak tugas yang harus dikerjakan Dewa Arak. Tugasnya selaku seorang pendekar.
SELESAI