Eps 26 - Raja Tengkorak
Hari masih pagi sekali. Tampak
matahari menyembul dari ufuk Timur. Bentuknya laksana, sebuah bola besar
berwarna merah menyala.
Di pagi yang cerah itu, suara
kecipak air laut terdengar ketika seorang pemuda berambut putih keperakan
mengayuhkan dayungnya. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam untuk menghirup
udara laut yang sejuk.
"Sebenarnya kita hendak
menuju kemana, Kang Arya?" tanya gadis cantik yang duduk di sebelah pemuda
berambut putih keperakan.
Pemuda itu tidak lain adalah
Arya Buana atau yang dikenal dengan julukan Dewa Arak. Dia, bertubuh kekar dan
berotot. Sepasang matanya menatap lembut ke wajah gadis berkulit, putih di
sampingnya.
Kemudian dia, melingkarkan
tangannya perlahan ke bahu gadis berpakaian putih. Ada perasaan aman yang
menyelinap di hati gadis berambut panjang dan berwarna hitam itu.
"Coba tebak, Melati. Akan
ke mana tujuan kita sebenarnya," ujar pemuda berambut putih keperakan
tanpa menjawab pertanyaan gadis yang ternyata bernama Melati. Putri angkat Raja
Bojong Gading. Arya mengetatkan lingkaran tangannya yang mengitari pangkal
lengan gadis berkulit putih itu. Sehingga membuat tubuh mereka makin rapat.
Melati merasakan kehangatan dalam dekapan Arya.
"Sayang sekali, Kang. Aku
lagi malas menebak," elak Melati sambil menyandarkan kepalanya di bahu
Arya.
Arya mengelus-elus rambut
Melati beberapa saat lamanya. Dijumputnya beberapa helai, dan dibawa ke arah
hidungnya. Sementara tangan yang satunya sibuk mengayuh dayung.
Pemuda berpakaian ungu itu tidak
mengetahui bila gerak-geriknya diawasi sosok tubuh yang berlindung di balik
pepohonan. Kemudian sosok tubuh yang mengenakan seragam tengkorak itu melesat
cepat mendahului Arya. Pelan tapi pasti perahu itu melaju membelah permukaan
laut yang tenang.
"Ayolah, Kang. Beri tahu
aku, ke mana tujuan kita sebenamya?" desak Melati tanpa mengangkat
kepalanya.
"Kita menuju Pulau Ular,
Melati," jawab Arya pelan.
"Apa ... ?! Pulau
Ular?!"
Melati terjingkat bagai
disengat kalajengking. Bola matanya terbelalak lebar, dan menatap wajah Arya
lekat-lekat.
Arya mengangguk seraya
mengulas senyum.
"Memangnya kenapa,
Melati?" kalem pemuda berpakaian ungu itu mengajukan pertanyaan.
"Untuk apa kita ke tempat
yang mengerikan itu, Kang?"
Arya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau ingat ceritaku
tentang Kemamang Danau Neraka?" Dewa Arak malah balas bertanya.
Melati menganggukkan kepala.
Dia sedikit paham tempat itu. Karena Arya pemah menceritakan kepadanya ketika
pemuda itu berada di Pulau Ular untuk mencari obat bagi kesembuhan dirinya
(Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Perjalanan Menantang
Maut").
"Nah, aku datang untuk
memenuhi janjiku, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan itu.
"Aku telah berjanji untuk menemuinya, setelah kau sembuh. Janji seorang
gagah harus ditepati. Ingat, Melati. Seorang gagah sekali berkata hitam, tetap
hitam. "
"Ooo ... ! Jadi, kau
adalah orang gagah, Kang?!" goda Melati seraya mencibirkan mulutnya.
Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh...! Aku tidak
bermaksud begitu..., maksudku ......
"Ah...! Tidak usah
pura-pura, Kang!" sergah Melati cepat. Raut wajahnya dibuat
sungguh-sungguh. Seakan-akan dia memang tidak bermaksud menggoda Arya.
"Tidak malu memuji-muji diri sendiri!"
Semakin merah wajah Arya
mendengar ucapan itu. Dia tahu Melati menggodanya. Dan, dia ingin meloloskan
diri dari godaan gadis cantik yang duduk manja di sebelah dirinya. Tapi dia tak
mampu menghindari godaan Melati.
Di tengah kebingungan
menghadapi ulah kekasihnya, mendadak langit berubah gelap. Halilintar menyambar
tak henti-henti. Laut pun bergolak dahsyat Tak pelak lagi, perahu mereka
terombangambing dipermainkan gelombang.
Karuan saja perubahan cuaca
yang mendadak itu membuat pasangan pendekar Sakti itu terperanjat kaget.
"Ada apa, Kang?!"
teriak Melati keras mengatasi suara riuh, agar suaranya dapat didengar oleh
Arya. Wajah gadis berpakaian putih ini tampak pucat. Gentar dan ciut juga
nyalinya melihat alam mempertunjukkan kekuatannya.
"Entahlah, Melati,"
jawab Arya berteriak. "Mungkin akan terjadi badai!"
Brakkk ... !
Dengan diiringi suara
hiruk-pikuk yang memekakkan telinga, perahu itu hancur dihantam segulung ombak
besar. Tubuh Dewa Arak dan Melati terpelanting, lalu tercebur ke laut.
"Kang Arya...!"
Melati menjerit keras ketika
tubuhnya terpental ke dalam laut dan jatuh dipermainkan gelombang. Sesaat
kepalanya timbul di dalam air. Tapi sekejap kemudian, tenggelam kembali diterpa
segulung gelombang.
"Melatii ... !"
teriak Arya kalap melihat tubuh kekasihnya lenyap. Tubuh pernuda berambut putih
keperakan itu juga timbul tenggelam dalam alunan gelombang laut yang bergelora.
Hatinya lega ketika melihat
kepala Melati kembali timbul di permukaan taut. Dewa Arak berusaha sekuat
tenaga berenang ke arah Melati, yang terpisah jauh dari dirinya. Dalam
kekalutan hati, Arya berenang dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tapi apalah artinya kekuatan
manusia, dibandingkan dengan kekuatan alam? Meskipun Arya berupaya sekuat
tenaga mendekati Melati, tapi ombak besar telah menyeret putri angkat Raja
Bojong Gading itu. Arya dan Melati makin jauh terpisah.
Dewa Arak dan Melati sadar
walaupun mereka memiliki kesaktian, tak mungkin dapat bertahan di taut yang
berombak besar tanpa alat bantu.
Arya kemudian mengalihkan
perhatian ke sekeliling. Dia melihat papan pecahan perahu yang berserakan
berada tak jauh dari dirinya. Tapi, tak sepotong papan pun berada di dekat
Melati. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera meraih sepotong papan yang
agak besar.
"Melati...! Ambil papan
ini ... !"
Arya berteriak keras sambil
melemparkan kepingan papan ke arah Melati, yang tubuhnya timbul tenggelam
dipermainkan gelombang taut.
Singgg ... ! Pyarrr ... !
Tak tanggung-tanggung lagi,
seluruh tenaga dalam dikerahkan Dewa Arak ketika melempar kepingan papan ke
arah putri angkat Raja Bojong Gading itu. Air laut memercik ke sana kemari
tatkala terlanda papan yang dilontarkan Arya.
Prasss ... !
Kepingan papan itu, mendarat
di permukaan laut dekat dengan Melati. Buru-buru Melati berenang menuju ke arah
papan, yang dapat dipergunakan sebagai pelampung.
Karena, kekhawatiran yang amat
sangat akan keselamatan gadis yang dicintainya, tak hanya satu potong saja
papan yang dilemparkan Arya. Dalam gulungan gelombang yang semakin menggila,
dia terus mengambil papan-papan itu dan melemparkannya ke arah Melati.
Pemuda berambut putih
keperakan itu baru menghentikan kesibukannya, karena papan tinggal sekeping
lagi. Dia segera meraihnya, dan berpegangan erat-erat sambil mengapungkan
tubuhnya di permukaan taut
Badai terus mengamuk. Laut pun
bergolak. Halilintar tak henti-hentinya menyambar. Arya jatuh pingsan. Tapi,
kedua tangannya mencengkeram erat papan itu. Entah karena naluri untuk
menyelamatkan nyawanya. Atau, karena tangannya telah menjadi kaku. Sehingga
mencekal erat kepingan papan yang berfungsi sebagai pelampung.
Arya tidak tahu sama sekali
kalau sewaktu pingsan, dirinya dipermainkan ornbak. Terkadang, tubuhnya dibawa
oleh segulung ombak hingga ke puncak, lalu dihempaskan ke bawah. Dewa Arak yang
terkenal menggemparkan dunia persilatan itu kini sama sekali tidak berdaya.
Tubuhnya terapung mengikuti arah gelombang.
ooOWKNBROoo
"Uhhh...!"
Arya mengeluh perlahan. Air
menerpa wajahnya berkali-kali. Dan sinar matahari terik membakar tubuhnya, membuat
dia siuman kembali.
Pemuda berpakaian ungu itu
mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Kepalanya dirasakan agak pusing. Arya
beranjak bangkit ketika air laut kembali menerpa tubuhnya yang tergolek di
pantai. Kontan sepasang matanya beredar berkeliling.
"Ah ... ! Mengapa aku
bisa berada di sini... kata pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
Arya segera berdiri. Benaknya
berputar keras mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya. Sedangkan kedua
tangannya sibuk membersihkan butiranbutiran pasir yang melekat di pakaiannya.
"Melati...," gumam
Arya setelah mampu mengingat semua peristiwa yang menimpa dirinya dan Melati.
Kepalanya menoleh ke sana kemari. Tapi, tetap tidak menemukan gadis berpakaian
putih yang ikut pergi bersamanya. Ada rasa khawatir yang menyelinap di dalam
hati kecilnya. Perasaan itu segera dibuangnya, dan dia berdoa dalam hati semoga
Tuhan menyelamatkan kekasihnya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menyusuri tepian pantai. Sepasang matanya tertumbuk sebuah
bongkahan. Sepercik harapan terbetik di hatinya. Dia segera mempercepat langkah
kakinya. Namun tatkala jaraknya makin dekat, dia baru tahu kalau bongkahan itu
sepotong kayu yang sudah lapuk.
Arya sadar pantai tempat
dirinya terdampar cukup luas. Lalu, disusurinya tepian pantai dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sampai matahari tenggelam di Barat, tak
juga dia menemukan Melati. Bahkan tidak ada sama sekali tanda-tanda kalau gadis
berpakaian putih itu ter-dampar di situ.
"Melati...," desah
Arya pilu. Sepasang matanya menerawang jauh menatap laut yang sudah tenang.
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah tempat dirinya terdampar.
Perlahan-lahan kakinya melangkah memasuki hutan, mencari kayu untuk membuat
rakit yang akan digunakan untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Ular, dan
mencari Melati.
Arya bertindak hati-hati.
Pulau itu berbeda dengan pulau-pulau yang pernah. dikunjunginya. Urat-urat
syaraf di sekujur tubuhnya menegang, pertanda dia senantiasa waspada dengan
segala kemungkinan. Suasana di pulau itu mulai gelap, tapi tak menghalangi
niatnya melanjutkan perjalanan.
2
"Aunggg ... !"
Lolongan anjing hutan
terdengar mengaung panjang, membuat suasana malam makin menyeramkan. Tampak
beberapa sosok bayangan berkelebat cepat menuju mulut hutan. Menilik gerakan
yang ringan dan gesit, dapat dipastikan kalau bayangan itu adalah orang-orang
persilatan yang mempunyai kepandaian cukup tinggi. Tujuan mereka cuma satu,
Hutan Jambak.
"Kau percaya dengan
berita yang tersebar itu, Juriga?" tanya seorang dari dua sosok tubuh yang
bergerak cepat memasuki Hutan Jambak.
DI bawah siraman sinar
rembulan di langit, tampak jelas sosok bayangan yang berbicara itu. Seorang
laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Pada wajahnya terdapat kumis dan jenggot
yang tak terurus. Urat tangannya tampak menonjol keluar.
"Maksudmu..., tentang
pemimpin besar kita, Dulimang?" sahut Juriga yang bertubuh kecil kurus.
Sepasang matanya seperti orang mengantuk. Sedangkan wajahnya tampak pucat
seperti orang berpenyakitan.
"Ya...," sahut
laki-laki kekar berotot yang ternyata bernama Dulimang.
Sambil berkata demikian,
Dulimang terus melangkahkan kakinya. Tak terdengar deru napas memburu ketika
laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu menjawab pertanyaan Juriga. Dari sini
dapat diketahui kalau Dulimang memiliki kepandaian yang cukup tinggal
Dulimang memalingkan kepalanya
ke arah suara yang berasal dari mulut Juriga. Memang rekannya ingin menanggapi
ucapan laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu. Tapi karena dia diliputi rasa
khawatir, tetap saja dia melangkah ke depan.
"Kau percaya kalau orang
yang menyuruh kita datang ke tempat ini adalah pemimpin besar kita,
Juriga?" Dulimang tidak sabar menunggu jawaban rekannya.
"Hentikan pertanyaanmu,
Dulimang. Jika kau masih sayang dengan nyawamu!" sergah Juriga.
Kontan wajah Dulimang pucat
pasi. Untung saja suasana remang-remang, sehingga warna pucat pada wajahnya tak
nampak. Bentakan pelan itu telah menimbulkan rasa takut di hati laki-laki kekar
berotot itu. Dia tahu Juriga tidak sembarangan bicara, karena dia sendiri telah
mendengar keke jaman dan kesadisan pemimpinnya.
"Tidak cukupkah surat
yang ditancapi dengan pisau berkepala tengkorak sebagai bukti, Dulimang,"
ujar Juriga.
Ucapan yang mengandung teguran
keras itu membuat Dulimang terkesima.
"Bukan aku tidak percaya,
Juriga," Dulimang memperbaiki kata-kata yang diucapkan sebelumnya. Jelas
laki-laki berkumis dan berjenggot lebat itu diliputi rasa gentar.
"Tapi, bukankah menurut
kabar yang kudengar, beliau telas tewas dalam sebuah pertempuran?!" suara
yang keluar dari mulut Dulimang terdengar berhati-hati, pertanda ucapan
rekannya tadi berpengaruh.
"Siapa tahu beliau
mempunyai murid atau keturunan, Dulimang. Apakah kau tidak berpikir sampai ke
sana?"
Dulimang terdiam mendengar
dugaan yang dilontarkan Juriga. Disadari ucapan rekannya itu mengandung
kebenaran.
"Ya! Siapa tahu, tokoh
yang mengundang mereka adalah murid atau keturunan pemimpin besar. Kenapa aku
tak berpikir sampai ke situ?" rutuk Dulimang dalam hati.
Melihat rekannya membisu
seribu bahasa, Juriga melanjutkan langkahnya. Dia merasa sudah cukup berbicara,
dan tidak ingin berbincang-bincang lagi. Lalu, mereka berdua melanjutkan
perjalanan tanpa berkata-kata sepatah pun.
Juriga berjalan tanpa dibebani
perasaan apa pun. Sedangkan Dulimang melangkah dengan segumpal rasa takut
Ucapan rekannya telah membuat laki-laki kekar berotot itu diliputi rasa
khawatir bukan kepalang.
Perasaan itu muncul bukan
tanpa penyebab. Dulimang telah mendengar kekejaman dan kesadisan pemimpin besar
itu bila memperlakukan orang yang tak disukainya. Apalagi orang yang
membicarakan tentang kejelekan dan keburukan dirinya. Dapat dipastikan ia akan
menerima hukuman yang mengerikan dari pemimpin besar itu. Tak mengherankan bila
perasaan takut menyergap diri Dulimang.
Rasa takut dalam diri laki-laki
yang bertubuh kekar dan berotot itu makin mendalam, bila diingat kalau ilmu
yang dimiliki pemimpin besar mampu mengetahui orang yang berniat buruk, atau
membicarakan dirinya.
Kedua orang itu makin dalam
memasuki hutan. Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat dari berbagai
jurusan. Mereka bergerak ke arah lapang an luas. Ternyata sudah banyak para
tokoh persilatan berkumpul di sana. Dulimang dan Juriga segera membaur dalam
kerumunan itu.
Dulimang yang tengah dilanda
rasa takut, memperhatikan suasana sekelilingnya. Sepasang matanya mengamati
para tokoh persilatan yang hadir di situ. Jumlah mereka sekitar tiga puluh
orang. Menilik gerak-gerik mereka, bisa diperkira-kan kalau para tokoh
persilatan itu berasal dari aliran hitam.
Aneh! Tak seorang pun yang
berani membuka suara. Mereka semua diam membisu. Dari sikap yang ditunjukkan
tokoh persilatan golongan hitam itu sudah bisa diperkirakan betapa besar
pengaruh orang yang disebut pemimpin besar itu.
Di sebuah lapangan luas,
tampak gundukan batu sebesar kerbau setinggi satu tombak. Sekilas tampak wajah
Dulimang pucat ketika menatap sebatang tongkat bergagang kepala tengkorak yang
tertancap di puncak gundukan batu. Begitulah ciri khas pemimpin besar mereka.
"Aunggg...!"
Tiba-tiba saja terdengar
lolongan serigala. Wajah-wajah yang sejak tadi tenang mulai berubah menegang.
Mereka sudah tahu, jika serigala mengaung maka muncul sang pemimpin besar.
Tapi, mereka tak mengerti hubungan kedua peristiwa itu.
Begitu suara lolongan serigala
lenyap, sebagian dari tokoh persilatan melihat sosok tubuh yang melintas di
atas kepala mereka. Kemudian setelah itu sosok bayangan itu melakukan salto di
udara. Dan....
Tappp...
Gerakan yang indah dari sosok
bayangan itu mengundang rasa kagum tokoh persilatan yang hadir di situ. Namun,
yang lebih membuat tokoh-tokoh aliran hitam itu terpesona, ketika melihat sosok
bayangan yang melakukan salto di udara tadi mendarat dengan mulus di atas
tongkat berujung tengkorak kepala manusia, dalam posisi duduk bersila.
Puluhan pasang mata tak
berkedip menatap ke arah pemimpin besar mereka. Sungguh luar biasa kekuatan
sorot mata tokoh persilatan yang duduk bersila di atas tongkat berujung
tengkorak kepala manusia itu. Karena pandangannya yang tajam telah membuat rasa
gentar para tokoh persilatan beraliran hitam.
Bagaikan kerbau yang dicucuk
hidungnya, tokoh-tokoh persilatan golongan hitam itu menundukkan kepalanya,
tatkala sang pemimpin memandang tajam ke arah mereka. Hanya beberapa gelintir
saja Yang berani menentang pandang pemimpin besar itu, termasuk Juriga dan
Dulimang.
Dulimang memperhatikan terus
sang pemimpin itu. Tinggi tubuhnya sukar ditebak. Lantaran dia duduk dengan
posisi bersila. Sedangkan wajahnya tak dapat dikenali sama sekali, karena
tertutup kain bergambar tengkorak.
Dulimang mengalihkan pandangan
ketika sang pemimpin yang lebih patut disebut manusia tengkorak itu, menatap
tajam ke arah dirinya. Dan, buru-buru kepalanya ditundukkan. Sebab sepasang
mata Yang tajam itu memancarkan cahaya berwarna kehijauan.
Setelah mengedarkan pandangan,
pemimpin besar yang mengenakan pakaian tengkorak itu menurunkan kedua tangannya
yang semula terlipat di depan dada. Lalu, kedua tangan itu digerakkan ke
belakang punggungnya.
Gerakan yang dilakukan sang
pemimpin itu perlahan sekali. Seolah-olah tidak ada pengerahan tenaga dalam
sama sekali. Anehnya, tubuh laki-laki berpakaian tengkorak itu melesat cepat
tanpa mampu ditangkap mata. Lalu, dia berdiri di atas gundukan batu besar.
Tampak sosok tubuhnya yang agak kurus dan jangkung.
"Di antara semua yang
hadir di sini, ternyata masih ada, yang meragukan diriku sebagai Raja
Tengkorak!" Cetus laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Terdengar suara yang aneh dari
mulut laki-laki berjuluk Raja Tengkorak itu. Keanehan suara itu mungkin
disebabkan selubung bergambar tengkorak yang menutupi seluruh kepalanya.
Barangkali juga dia mengerahkan tenaga dalam, sehingga suaranya bergema.
"Aku tahu, ada beberapa
gelintir di antara kalian yang tidak mempercayai diriku. Dan, mereka berbicara
di belakangku," Raja Tengkorak kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi,
itu masih bisa kumaklumi."
Laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu menghentikan ucapannya. Sepasang matanya yang bercahaya kehijauan,
terpaku pada wajah Dulimang. Karuan saja laki-laki kekar berotot itu menjadi
cemas dan pucat.
"Benarkah kabar yang
tersebar bahwa Raja Tengkorak memiliki ilmu yang mampu mengetahui orang yang
membicarakan dirinya?" tanya Dulimang dalam hati sambil tergesa-gesa
menundukkan kepalanya.
Laki-laki kekar berotot itu
baru berani mengangkat kepalanya kembali ketika sang pemimpin besar itu
melanjutkan ucapannya.
"Perlu kalian ketahui,
aku tidak dapat mengampuni seseorang yang secara terang-terangan
menentangku!" tandas dan jelas sekali ucapan yang dikeluarkan Raja
Tengkorak.
Belum lenyap gema. ucapan Raja
Tengkorak, tiba-tiba beberapa sosok tubuh melesat dan langsung mendarat di
bawah batu besar tempat Raja Tengkorak berdiri.
"Memang, kami tidak
percaya kau adalah Raja Tengkorak!" seru seorang dari tiga sosok tubuh
yang kini berdiri di bawah Raja Tengkorak. Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar dan berhidung besar. Sebuah rompi terbuat dari kulit
buaya membungkus tubuhnya yang berwarna coklat kehitaman.
Dua orang yang mengenakan
rompi yang sama, juga menganggukkan kepala pertanda mendukung ucapan laki-laki
berhidung besar tadi.
"Siapa kau, Anjing
Kecil?!" tanya Raja Tengkorak tenang. Sepasang matanya beredar
berkeliling. Menatapi satu persatu wajah yang berdiri di, bawahnya.
"Kami bejuluk Tiga Buaya
Sungai Rampoa!" jawab laki-laki yang memiliki tahi lalat besar di pipi
kiri. Dari nada suara dan dada yang dibusungkan ketika menjawab pertanyaan Raja
Tengkorak, dapat diketahui kalau laki-laki bertahi lalat besar itu bangga
dengan julukannya.
"Hmh ...!"
Raja Tengkorak mendengus. Dan
begitu suara dengusannya lenyap, tubuhnya telah melayang ke bawah. Padahal
tidak terlihat sedikit pun kalau dia menggerakkan kaki. Tiba-tiba dia telah
berada dalam jarak satu setengah tombak di hadapan Tiga Buaya Sungai Rampoa.
Kini Raja Tengkorak dan Tiga
Buaya Sungai Rampoa saling berhadapan. Kedua tangan laki-laki bermata kehijauan
itu dilipatkan di depan dada. Sementara kepalanya menatap ke tanah. Dia pun
melangkah kecil-kecil, tai peduli dengan kehadiran Tiga Buaya Sungai Rampoa.
Jelas sikap Raja Tengkorak ini meremehkan calon lawannya.
Melihat tingkah laki-laki
bertubuh tinggi kurus itu, membuat hati Tiga Buaya Sungai Rampoa menjadi panas.
Sebab, ketiga tokoh yang dijuluki Tiga Buaya Sungai Rampoa ini cukup ditakuti
lawan dan disegani kawan di sepanjang Sungai Rampoa. Yang dari hulu sampai
hilir, merupakan wilayah kekuasaannya.
"Keparat ... !"
laki-laki berhidung besar berteriak memaki. "Rupanya semua tulang-tulangmu
ingin kupatahkan!"
Ucapan itu mengenai
sasarannya. Terbukti kepala Raja Tengkorak yang sejak tali tertunduk, tiba-tiba
mendongak. Ada suara gemeretak keras yang keluar dari mulut laki-laki bertubuh
tinggi kurus itu.
"Cecak-cecak kudisan
berani berlagak menjadi buaya sungguhan?!" Cetus Raja Tengkorak.
Ucapan bemada tantangan telah
dikeluarkan Raja Tengkorak. Rupanya meskipun kemarahan melanda hatinya, dia
tidak ingin kehilangan kewibawaannya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tetap
bersikap tenang, seperti layaknya seorang tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi menghadapi tokoh yang tingkatannya masih berada di bawah.
Laki-laki bertahi lalat besar
tidak sanggup lagi menahan kemarahannya. Sambil mengeluarkan pe-kik melengking,
dia melompat menerjang Raja Tengkorak. Sekali menyerang, tokoh Tiga Buaya
Sungai Rampoa ini telah melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada, ulu
hati, dan pusar lawannya,
"Hmh ... !"
Raja Tengkorak mengeluarkan
suara dengusan dari hidung. Melihat dari gelagatnya, seolah-olah laki-laki
tinggi kurus ini sama sekali tidak berniat mengelak atau menangkis serangan.
Malah membiarkan setiap serangan lawan mengenai sasarannya.
Sikap meremehkan itu, tentu
saja membuat laki-laki bertahi lalat menggelegak amarahnya.
"Raja Tengkorak palsu ini
benar-benar telah merendahkan diriku!" pekik hati salah seorang Tiga Buaya
Sungai Rampoa gusar.
Bukkk, bukkk, bukkk..!
Laki-laki bertahi lalat besar
memukul bertubi-tubi dan tepat mengenai sasarannya. Tapi, bukan Raja Tengkorak
yang merasa kesakitan, malah yang memukul menjerit menahan rasa sakit. Seolah-olah
yang dipukul bukan tubuh manusia, melainkan sebongkah baja yang amat keras.
Dua orang anggota Tiga Buaya
Sungai Rampoa terkejut melihat kelakuan rekannya. Tapi, sebagai tokoh
persilatan yang telah mempunyai banyak pengalaman bertarung, segera menyadari
apa yang telah terjadi. Maka....
Srettt...!
Anggota Tiga Buaya Sungai
Rampoa yang berhidung besar segera mencabut senjata andalannya yang berupa
sebilah golok besar! Sedangkan rekannya, laki-laki berbibir tebal mencabut
senjatanya yang berupa gada panjang dan berduri. Mereka dengan kemampuan
masing-masing segera memainkan senjatanya.
Sementara itu, laki-laki
bertahi lalat besar yang melihat kedatangan rekan-rekannya sambil membawa
senjata, segera mencabut senjatanya pula yang berupa sebuah bola besi bulat
sebesar kepala manusia, berduri, dan memiliki tangkai. Dia segera membuka jurus
dengan memutar senjatanya bagai baling-baling. Sehingga menimbulkan suara
mendesing merobek udara.
"Hmh ...!”
Raja Tengkorak mendengus dan
menyunggingkan senyuman sins melihat gerakan-gerakan lawannya. Tidak terlihat
tanda-tanda kalau laki-laki berpakaian tengkorak ini mewaspadai serangan yang
bakal dilakukan Tiga Buaya Sungai Rampoa. Jelas, dia memandang remeh ketiga
laki-laki kasar itu. Tentu saja hal itu membuat darah tiga orang laki-laki
berompi kulit buaya itu menjadi mendidih. Dan....
"Haaat...
Serangan yang diiringi suara
pekikan keras dari laki-laki berhidung besar, melesat ke arah leher Raja
Tengkorak, setelah terlebih dahulu memutar-mutarkan senjatanya di atas kepala.
Sehingga menimbulkan suara mengaung keras pertanda kuatnya tenaga, yang
terkandung dalam putaran golok besar itu.
Sedangkan kedua rekannya
segera membuka jurus serangan. Mereka bergerak menyongsong Raja Tengkorak dari
arah yang berbeda. Dan kemudian melancarkan serangan dengan senjata andalan
masing-masing.
Raja Tengkorak tetap dengan
sikapnya yang semula. Kedua tangannya masih berlipat di depan dada. Kepalanya
menunduk menghadap ke tanah. Seolah-olah tak ada musuh yang akan menyerangnya.
Dia tetap saja memandang remeh ketiga orang laki-laki kasar berompi kulit buaya
itu.
Ketika serangan datang dari
tiga jurusan itu menyambar dekat, tokoh yang mempunyai dandanan mendirikan bulu
kuduk ini, menggerakkan kakinya.
Sederhana saja gerakan yang
dilakukan Raja Tengkorak. Tapi anehnya, tidak ada satu pun serangan lawan yang
mampu mengenai anggota tubuhnya.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan laki-laki berpakaian tengkorak itu. Setelah berhasil
mengelakkan serangan ketiga orang lawan, kedua tangannya bergerak cepat.
Sehingga, tangan yang sebenamya berjumlah dua itu jadi terlihat berjumlah
puluhan.
Kontan Tiga Buaya Sungai
Rampoa merasakan Pandang mata mereka berkunang-kunang. Tapi, mereka berusaha
menahan serangan yang akan di lancarkan Raja Tengkorak, dengan mengelak
sebisa-bisanya, tapi....
Tuk, tuk, tuk. !
Suara-suara pelan terdengar
disusul dengan lumpuhnya tangan Tiga Buaya Sungai Rampoa yang memegang senjata,
disusul berjatuhannya senjata-senjata mereka ke tanah. Ternyata totokan Raja
Tengkorak tepat sekali mendarat di belakang sikut mereka. Sehingga membuat
tangan itu lumpuh untuk beberapa saat.
Wajah Tiga Buaya Sungai Rampoa
kontan memucat, mereka sadar lawan yang dihadapi kali ini, memililki kepandaian
yang tidak terukur. Tapi mereka telah terlambat. Raja Tengkorak tak akan
membiarkan mereka hidup. Kekejaman tokoh sesat itu terhadap lawannya sudah
sering didengar. Tiga Buaya Sungai Rampoa menyadari hal itu. Tapi, sebagai
tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, mereka lebih suka mati sebagai seekor
harimau ketimbang hidup sebagai seekor anjing. Itulah sebabnya, meskipun tidak
adanya senjata andalan di mereka tetap mengadakan perlawanan.
Tiga Buaya Sungai Rampoa
segera melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong ke arah tubuh
Raja Tengkorak. Tapi serangan itu dengan mudah dapat digagalkan dengan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki pemimpin besar itu. Tampaknya, dia ingin
memperlihatkan tingkat ilmu yang dimilikinya di hadapan ketiga tokoh Sungai
Rampoa itu.
Hampir sepuluh jurus lamanya
Raja Tengkorak mempermainkan lawan-lawannya. Dia sama sekali tidak mengadakan
perlawanan, kecuali mengelakkan serangan yang datang. Laki-laki berpakaian
tengkorak ini rupanya bermaksud mempermainkan lawan sebelum membunuhnya.
Ketika napas lawan telah
memburu karena rasa capek dan amarah yang menggelegak di dalam dada, baru Raja
Tengkorak bertindak cepat. Kedua tangannya yang masih menggenggam senjata milik
Tiga Buaya Sungai Rampoa, bergerak cepat membentuk pusingan. Sehingga mata
tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan itu menjadi nanar. Begitu Pula
yang dialami Tiga Buaya Sungai Rampoa.
"Aaakh...!"
Jerit kematian terdengar
susul-menyusul diiringi dengan tumbangnya satu persatu anggota Tiga Buaya
Sungai Rampoa. Sungguh mengerikan kematian mereka. Seluruh tubuh
tercabik-cabik, dan senjata andalan mereka sendiri tertancap di batok kepala
masing-masing.
3
"Siapa di antara kalian
yang berminat menyusul mereka, silakan maju!" ujar Raja Tengkorak sambil
mengedarkan pandangan berkeliling.
Tegas dan jelas ucapan yang
keluar dari mulut sosok berpakaian tengkorak itu. Sambil berkata begitu, jari
telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah tiga sosok mayat yang tergeletak
berlumuran darah.
Tak satu pun tokoh yang berani
membuka suara. Mereka merasa ngeri melihat kesaktian yang dipamerkan Raja
Tengkorak. Tiga Buaya Sungai Rampoa adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup
tangguh. Tapi, tak berdaya menghadapi Raja Tengkorak
Kini semua kepala tokoh
persilatan yang menyaksikan pertarungan tadi serentak tertunduk ke bawah. Tak
satu pun yang berani mengangkat kepala. Kegentaran merayapi hati masing-masing
to-koh persilatan yang berkumpul di sebuah tanah lapang itu.
"Perlu kalian semua
ketahui ...” ujar Raja Tengkorak setelah melihat tidak ada orang yang menentang
pandangannya. "Aku sengaja mengumpulkan kalian semua, demi kepentingan
kalian juga. "
Tokoh yang menggiriskan itu
menghentikan ucapannya sebentar. Kembali pandangannya diedarkan ke sekeliling
untuk mengenali raut-raut wajah yang tertunduk.
"Selama ini, kulihat
golongan kita selalu diruntuhkan oleh tokoh persilatan aliran putih. Apalagi
ketika muncul seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak!"
Sampai di sini, Raja Tengkorak
kembali menghentikan ucapannya. Dia menoleh dan menatap tokoh-tokoh yang ada di
sekelilingnya, untuk melihat reaksi ucapannya. Dan memang, meskipun tidak ada
suara-suara ribut yang terdengar. Tapi tampak wajah-wajah mereka memancarkan
keterkejutan. Kepala mereka yang sejak tadi tertunduk, kontan terdongak
mendengar nama Dewa Arak disebut
"Aku tidak menginginkan
golongan kita senantiasa menjadi permainan golongan putih. Dan, itu tak akan
terjadi bila kita bersatu!" Raja Tengkorak menghentikan ucapannya sejenak
untuk mengambil napas.
"Aku telah melihat Dewa
Arak datang ke daerah ini. Dan, sepanjang yang kudengar, setiap kali dia
datang, pendekar yang usilan itu pasti menghancurkan golongan kita. Dan, aku
tidak mau hal itu terjadi! Kalian mengerti?!"
Kepala semua tokoh yang berada
di situ terangguk.
"Nah! Sebelum Dewa Arak
menggilas kita. Dia harus kita dahului. Kita semua harus bersatu untuk
melenyapkan Dewa Arak, agar golongan kita berjaya!" sambung laki-laki
berpakaian tengkorak itu dengan suara yang lebih keras. Lantaran semangatnya
terbangkit melihat sambutan dari orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Aku yakin apabila kita
bersatu, jangankan cuma ada satu Dewa Arak, biarpun ada puluhan Dewa Arak kita
dapat melenyapkannya! Bagaimana! Kalian semua setuju dengan usulku?!"
"Setuju ... !"
Serempak puluhan tokoh
persilatan itu menyahut. Menilik jawaban mereka yang begitu bersemangat dan
berapi-api, dapat diketahui kalau mereka semua memang setuju dengan rencana
itu.
"Kita cincang Dewa
Arak...!" teriak Dulimang keras sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Hancurkan semua tokoh
golongan putih...!" sambut tokoh lainnya.
"Kita rajai dunia
persilatan...!" tokoh lainnya pun tak mau kalah.
Dalam waktu sebentar saja,
suasana di sekitar tempat itu sudah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan teriakan
tokoh persilatan golongan hitam itu.
Di balik selubung bergambar
tengkorak, pemimpin baser itu tersenyum gembira. Dibiarkan puluhan tokoh-tokoh
persilatan itu berteriak semaunya. Setelah dirasanya cukup, tangan kanannya
diangkat ke atas.
Luar biasa! Seketika itu juga
suara-suara berisik itu kontan lenyap. Dari pertunjukan ini sudah bisa
diketahui kalau tokoh-tokoh persilatan aliran hitam yang hadir di situ, telah
tunduk sepenuhnya pada Raja Tengkorak.
"Untuk pertemuan kali
ini, aku bisa memaklumi kalau yang hadir hanya beberapa orang. Untuk menambah
pengikut, aku akan mengadakan pertemuan lagi. Kuminta kalian mengabarkan kepada
tokoh-tokoh golongan kita lainnya. Kalian mengerti?!"
"Mengerti ... !"
sahut puluhan tokoh-tokoh persilatan itu serempak.
"Perlu kalian ketahui,
sekarang lawan yang paling berat dan harus kita taklukkan adalah Dewa Arak!
Kita bungkam dia untuk selama-lamanya! Nah! Cukup sampai di sini pertemuan
kita!"
Setelah berkata demikian, Raja
Tengkorak segera melesat dari tempat situ. Luar biasa! Hanya dalam beberapa
langkah saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan
semak-semak.
Sepeninggal tokoh yang
menggiriskan itu, suasana kembali menjadi riuh. Masing-masing tokoh persilatan
berbicara, sehingga membuat suasana di tempat itu menjadi berisik bukan
kepalang.
Cukup lama juga tokoh-tokoh
persilatan itu saling berbicara. Baru beberapa saat kemudian, mereka mulai meninggalkan
tempat itu.
Suasana kembali menjadi hening
seperti sediakala. Kini yang terdengar hanyalah suara kerik jangkerik dan
binatang malam lainnya.
ooOWKNBROoo
"Uhhh ... !"
Arya membuka mulutnya
lebar-lebar. Kedua kaki dan tangannya dijulurkan sejauh-jauhnya. Semua itu
dilakukannya untuk membuang rasa kantuk yang masih melanda.
Perlahan-lahan sepasang
kelopak matanya terbuka. Tapi langsung ditutup kembali. Karena merasa silau
terkena sinar matahari pagi yang menyorot lewat celah-celah dedaunan. Memang,
pemuda berambut putih keperakan itu tertidur di atas sebatang pohon besar, yang
batangnya saja memerlukan empat orang dewasa untuk mengukurnya.
“Uaaah ... !"
Arya kembali membuka mulutnya
lebar-lebar. Jelas kalau perasaan ngantuk yang menderanya masih cukup kuat
Kemudian setelah mengerjap-ngerjapkan sepasang kelopak matanya, dia bangkit
dari berbaringnya.
Pemuda tampan yang mengenakan
pakaian berwarna ungu itu lalu mengulurkan tangan, untuk menjumput guci araknya
yang tergantung di dahan pohon.
Setelah menyampirkan gucinya
di punggung, Arya lalu melompat turun. Gila! Cabang pohon yang tingginya dua
setengah tombak dari tanah itu dilompatinya dengan ringan sekali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah. Hal ini tidak aneh
karena ilmu meringankan tubuh pemuda berpakaian ungu itu memang amat tinggi.
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, Arya lalu melangkah cepat meninggalkan pohon itu. Dia sengaja
menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena perutnya yang lapar segera minta
diisi.
Arya tak mengetahui letak desa
yang paling dekat dari hutan ini. Padahal, rasa lapar telah begitu melilit
perutnya.
Itulah sebabnya Arya
memutuskan untuk mencari makanan sendiri. Maka dia pun hendak mengisi perutnya
dengan binatang-binatang penghuni hutan. Sekaligus mencari jejak Melati,
walaupun sudah ada perasaan tidak akan bertemu dengan gadis itu di pulau ini.
Karena tidak adanya tanda-tanda kalau Melati juga terdampar di sini.
Arya mengedarkan pandangannya
ke sana kemari. Tidak hanya itu saja, semak-semak pun dihampiri dan disibaknya.
Tapi tetap saja tidak ditemukannya binatang-binatang buruan.
Hutan yang disinggahi Dewa
Arak kali ini memang lain dari biasanya. Banyak pohon-pohon besar berbatang
coklat dan licin. Tak satu pun terdengar suara binatang-binatang yang biasanya
menghuni hutan.
Setelah lama mencari-cari dan
tidak bertemu, Arya putus asa. Diambilnya keputusan untuk menghentikan
pencarian. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu tanpa mengedarkan pandang
seperti sebelumnya.
Perut yang lapar mendorong
Dewa Arak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat cepat keluar dari
hutan. Sesaat kemudian, yang tampak hanya sekelebatan bayangan ungu yang
melesat cepat.
Entah sudah berapa lama pemuda
berambut putih keperakan ini berlari. Yang jelas, tak lama kemudian, di
hadapannya terlihat sebuah sungai.
Wajah Arya seketika
berseri-seri. Tak bisa menyantap daging hewan penghuni hutan pun, tak mengapa.
Karena kini ada makanan pengganti yang tak kalah lezatnya. Binatang-binatang
penghuni sungai! Apa lagi kalau bukan ikan?
Seketika itu juga Arya
mempercepat larinya. Semangatnya seketika bangkit membayangkan perutnya akan
terisi penuh binatang-binatang peng-huni sungai itu.
Sekejap kemudian Dewa Arak
telah berada di pinggir sungai. Diamat-amatinya sejenak permukaan sungai yang
berair jernih, sehingga sampai terlihat ke dasarnya.
Senyum di mulut pemuda
berpakaian ungu itu semakin lebar tatkala melihat ikan besar dan kecil
berseliweran di bawah permukaan air.
Tapi senyum itu perlahan mulai
memudar, ketika menyadari dirinya tidak membawa alat untuk menangkap ikan!
Lalu, Arya memutar otak, bagaimana caranya menangkap ikan tanpa menggunakan
kail, jala, atau bubu?
Cukup lama juga Dewa Arak
memutar otaknya. Kemudian dia menemukan sebuah cara menangkap ikan. Dengan kayu
panjang yang berujung runcing! Matra bergegas pandangannya diedarkan ke
sekeliling mencari-cari benda yang dapat dipergunakan menangkap ikan.
Mendadak Arya tersentak.
Pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh, yang tengah duduk di pinggir sungai,
dan bersandar pada pohon besar di belakangnya. Sebuah kail yang gagangnya
ditancapkan di tanah, berada di depannya. Rupanya sosok tubuh itu tengah
mengail!
Pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan alisnya. Dia kebingungan sejenak. Mengapa tadi
sewaktu menuju ke sungai ini dia tidak melihat sosok tubuh di situ? Tapi begitu
pandangannya tertumbuk pada pohon yang disandari sosok tubuh itu, Arya jadi
maklum mengapa tadi tidak melihatnya. Orang itu terhalang batang pohon yang
disandarinya.
Seketika itu juga Dewa Arak
lupa dengan maksudnya semula. Sepasang matanya menatap sosok tubuh yang tengah
duduk bersandar itu.
Sosok tubuh itu berpakaian
hitam. Wajahnya tidak tampak jelas karena tertutup oleh taping lebar.
Mendadak kayu kail itu
terangguk-angguk. Talinya pun menegang. Jelas ada sesuatu yang telah menariknya
dari dalam sungai. Apa lagi kalau bukan ikan?
Arya mengerutkan alisnya
ketika melihat orang berpakaian hitam itu tidak menarik pancingannya sama
sekali.
"Tertidurkah dia?" tanya
Arya dalam hati.
Kayu pancingan itu semakin
keras teranggukangguk. Tapi, orang berpakaian hitam itu tidak juga menariknya.
Maka Arya melangkah menghampirinya, dan berniat memberi tahu orang itu kalau
umpan pada kailnya telah dimakan ikan.
Selangkah demi selangkah Arya
mendekati sosok tubuh berpakaian hitam itu. Tapi, sampai jaraknya tinggal satu
batang tombak lagi, tetap saja orang berpakaian hitam itu sama sekali tidak
bergerak
"Matikah orang itu?"
duga Arya lagi dalam hati.
Dewa Arak memperhatikan perut
orang itu, kontan sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini terbelalak
karena tak ada gerak sama sekali di perut orang berbaju hitam itu.
Bergegas Dewa Arak menghampiri
orang bercaping lebih dekat lagi. Sepasang alisnya berkerut ketika melihat
pakaian orang itu tidak hitam seluruhnya. Tapi ada lukisan aneh berwarna putih.
Begitu telah berada di dekat
orang itu, Arya segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang berpakaian
hitam itu.
Mendadak orang berpakaian
hitam itu bangkit dari sandarannya, dan langsung mengirimkan totokan tangan
bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Dewa Arak. Jari-jari kedua tangan orang
itu lures dan menegang kaku. Kedudukan jari-jari tangannya mirip jurus 'Ular'.
Wuttt ... !
Angin yang berkesiut nyaring
pertanda kalau serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam yang kuat.
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang. Serangan itu benar-benar di luar dugaannya. Dia sama sekali tidak
siap untuk menghadapi serangan yang tiba-tiba seperti itu.
Meskipun begitu, karena sudah
terbiasa mendapat serangan mendadak, Dewa Arak bergerak cepat Kedua tangannya
dihentakkan ke bawah untuk mematahkan serangan itu.
Plak, plak ... !
Benturan kedua tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam itu menimbulkan suara yang amat keras. Usaha
yang dilakukan Arya memang tidak sia-sia. Serangan lawan berhasil
dimentahkannya.
Tapi meskipun din mampu
mengelakkan serangan mendadak itu, tak urung bajunya di bagian dada berlobang
sebesar jari tangan.
Begitu telah berhasil
memunahkan serangan itu, Dewa Arak segera bersalto ke belakang beberapa kali
untuk memperbaiki keadaannya yang tidak menguntungkan.
"Hih...!"
Orang berpakaian hitam itu
menjumput capingnya dan kemudian melontarkannya ke arah Dewa Arak.
Wunggg...
Dengan diiringi suara mengaung
keras, caping bambu itu meluncur deras ke arah kepala Arya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu terkejut bukan kepalang. Saat caping lawan meluncur, tubuhnya
tengah berada di udara. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu. Menangkis
dengan tangan kosong merupakan tindakan gegabah. Dari suara mengaung keras
dapat diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemiliknya. Arya berusaha mengelakkan
serangan itu. Tubuhnya digeliatkan ke camping. Dan....
Crass... !
Meskipun sudah berusaha
mengelakkan serangan itu, tak urung sebagian rambut Dewa Arak terserempet.
Akibatnya rambut yang berwarna putih keperakan itu pun putus!
"Hup ...!"
Tanpa suara Dewa Arak
mendaratkan kedua kakinya di tanah, berbarengan dengan orang berpakaian hitam
menangkap capingnya. Rupanya caping yang dilempar ke arah tubuh Arya tadi dapat
berbalik kembali.
Arya menatap wajah orang
berpakaian hitam yang kini tidak mengenakan caping lagi. Seketika itu Pula
sepasang mata pemuda berpakaian ungu ini terbelalak. Wajah dan pakaian orang
berpakaian hitam itulah yang membuatnya terperanjat.
Memang wajar kalau pemuda
berambut putih keperakan ini merasa terkejut. Sosok berpakaian hitam itu
ternyata mengenakan seragam tengkorak. Terlihat jelas gambar semua
tulang-belulangnya. Tubuh yang tinggi kurus semakin menambah keangkerannya.
"Siapa kau, Kisanak?
Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak penasaran. Sementara benaknya sibuk
menduga-duga dan mengingat-ingat siapa gerangan tokoh yang memiliki, ciri-ciri
seperti itu.
"Hmh ... !"
Laki-laki berpakaian hitam
yang tak lain adalah Raja Tengkorak mendengus sebelum menjawab pertanyaan Arya.
"Agar kau tidak mati
penasaran, kuperkenalkan diriku. Aku adalah Raja Tengkorak! Dan maksudku
menghadangmu di sini adalah untuk melenyapkan orang usilan sepertimu!"
Setelah berkata demikian,
kembali tangan lakilaki berpakaian tengkorak itu bergerak Dan....
4
Wunggg ... !
Suara berdengung keras
mengiringi serangan caping bambu. Belum lagi serangan itu mengenal sasaran,
Raja Tengkorak telah melepaskan ikatan rantai berujung tengkorak kepala manusia
yang membelit pinggangnya.
Begitu rantai yang panjangnya
tak kurang dari dua tombak tidak lagi membelit pinggangnya, laki-laki bertubuh
tinggi kurus itu segera memutar-mutarkannya di atas kepala. Kemudian
melontarkan ke arah Dewa Arak
Meskipun mendapat serangan
beruntun, Dewa Arak tidak gugup. Dia sudah dapat memperkirakan kekuatan tenaga
dalam lawannya ketika tangan mereka saling berbenturan tali.
Arya segera mengerahkan tenaga
dalam ke tangan kanannya. Dengan keberanian luar biasa, luncuran caping bambu
itu ditangkap.
Tappp ... !
Caping bambu berhasil dipegang
Dewa Arak, tapi pemuda berambut putih keperakan ini merasakan getaran hebat
pada tangannya.
Bukan hanya itu saja. Tanpa
mampu ditahan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari sini saja, sudah bisa
diperkirakan betapa dahsyat tenaga dalam yang terkandung pada lemparan caping
bambu itu.
Ngunggg...
Di saat itulah, serangan
rantai berkepala tengkorak menyambar cepat ke arah kepala Dewa Arak. Jangankan
kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur apabila terkena
hantaman rantai itu.
“Hih ...!"
Sambil menggertakkan gigi,
Dewa Arak melemparkan caping bambu ke rantai tengkorak yang mengarah ke
tubuhnya.
Prakkk .. !
Caping bambu itu hancur
berkeping-keping tatkala berbenturan dengan kepala tengkorak yang terdapat di
ujung rantai baja.
Raja Tengkorak menggeram marah
melihat serangannya berhasil dipatahkan Dewa Arak. Rantai berujung kepala
tengkorak berputar-putar di atas kepalanya. Lalu, diluncurkan kembali ke arah
kepala Arya.
Dewa Arak tidak berani
bertindak main-main lagi. Dia sadar tokoh berjuluk Raja Tengkorak ini memiliki
kepandaian luar biasa. Maka buru-buru dijumput guci arak yang tersampir di
punggungnya. Lalu, ditenggak isinya.
Gluk.. gluk... gluk...!
Suara tegukan arak yang
melewati tenggorokkan pemuda berambut putih keperakan itu terdengar. Hanya
dalam sekejap saja, hawa hangat menyebar di perutnya. Kemudian perlahan-lahan
naik ke atas kepala.
Di saat itulah, tengkorak yang
berada di ujung rantai baja meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak. Dengan
langkah terhuyung seperti akan jatuh, Arya memapak serangan itu dengan guci
araknya.
Klanggg ... !
Suara berdentang keras
terdengar ketika tengkorak itu berbenturan dengan guci.
Raja Tengkorak ternyata sangat
ahli memainkan rantai berujung kepala tengkorak. Terbukti, begitu senjata
andalannya tertangkis, langsung ditarik kembali dan diluncurkan cepat ke arah
leher Dewa Arak.
Jarak antara mereka terlalu
jauh. Arya tahu keadaan itu sangat menguntungkan lawan. Sehingga dia sulit
melancarkan serangan-serangan balasan. Sementara lawan dengan mudah mengirim
serangan ke arahnya. Senjata lawan yang panjang memungkinkan untuk melakukan
gempuran yang membahayakan.
Maka, pemuda berambut putih
keperakan ini berusaha keras memperpendek jarak.
Sebagai seorang yang mempunyai
tingkat ke-pandaian amat tinggi, tentu saja Raja Tengkorak tahu maksud Arya.
Dia tidak menghendaki lawan mencapai jarak serang. Bila pemuda berambut putih
keperakan itu berhasil memperkecil jarak, senjata rantai bajanya akan
kehilangan keampuhan.
Menyadari kelemahan senjata
rantai bajanya, berbagai cara dilakukannya untuk mencegah maksud Arya. Serangan
pun bertubi-tubi dilancarkan, agar bisa melompat mundur untuk mempertahankan
jarak. Ketika Raja Tengkorak melompat ke belakang, serangan berikut segera
menyusul untuk membuat pemuda berambut putih keperakan Itu tidak mampu
mencecarnya terus-menerus.
Arya mengeluh dalam hati.
Disadari kalau keadaan seperti itu berlangsung terus, dia dapat dilumpuhkan
lawan. Menilik sikap laki-laki berpakaian tengkorak ini, sudah bisa
diperkirakan, kalau seandainya kalah, dia akan dibunuh! Padahal pemuda berambut
putih keperakan itu masih mempunyai tugas yang teramat penting. Mencari Melati,
baik hidup ataupun mati.
Karena didorong oleh keinginan
itulah Dewa Arak mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya dikeluarkan seluruhnya. Guci, kedua
tangan, langkah kaki yang aneh, dan juga semburan-semburan arak semua
dikeluarkan.
Meskipun begitu, tetap saja
usaha yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu belum membuahkan
hasil. Raja Tengkorak benar-benar merupakan seorang tokoh sakti luar biasa. Dia
mampu membuat semua usaha Arya untuk mende-katinya kandas.
Arya menggertakkan gigi. Lima
puluh jurus telah berlalu, tapi tetap saja dia tidak mampu memperpendek jarak
Dengan sendirinya, dia selalu menjadi pihak yang diserang dan didesak Untung
saja dia memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang aneh, sehingga membuat
setiap serangan rantai Raja Tengkorak selalu dapat dikandaskan. Tapi berapa
lama dia akan mampu bertahan?
Akhirnya ketika telah berlalu
enam puluh lima jurus dan dia belum mampu juga memperpendek jarak, Arya jadi
tidak sabar lagi.
"Hih...!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, meluncurkan pukulan
jarak jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss ... !
Angin keras berhawa panas
menyengat dan menyambar deras ke arah Raja Tengkorak. "Hm ...!"
Laki-laki berpakaian tengkorak
itu bergumam untuk menutupi perasaan kaget, setelah menerima pukulan jarak jauh
yang dilancarkan Dewa Arak.
Menyadari kedahsyatan pukulan
jarak jauh Dewa Arak, Raja Tengkorak tidak berani bertindak sembarangan.
Buru-buru dia melompat ke samping dan bergulingan di tanah.
Dan, keadaan itu memang
ditunggu-tunggu Dewa Arak. Begitu melihat lawannya melompat, dia segera
memburu.
"Hmh ... !"
Raja Tengkorak mendengus.
Jelas bukan dengus karena penyakit bengek, tapi dengus mengandung cemoohan.
Berbarengan dengan keluarnya dengusan itu, tangan kirinya bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Beberapa buah benda mirip
pisau terbang menyambar cepat ke arah Dewa Arak.
Arya kaget bukan kepalang.
Tidak menduga sama sekali kalau lawan ternyata cerdik dan lihai. Dalam keadaan
terjepit, dia masih mampu mengirim serangan yang membahayakan lawan.
Semula pemuda berambut putih
keperakan ini bermaksud menangkap benda mirip pisau yang menuju ke arahnya.
Tapi niat itu diurungkan, tatkala mencium bau amis yang menyebar seiring
serangan pisau-pisau terbang itu.
Dengan kecepatan gerak seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, tangan Dewa Arak segera bergerak ke arah
punggung. Kontan guci arak yang tadi tersampir di punggung ketika dia
melancarkan jurus 'Pukulan Belalang', sudah terpegang kembali di tangan, dan
kini berada di depan dada.
Trang, trang, trang...
Suara berdentang keras,
diiringi bunga api yang memercik ke udara menyemaraki benturan antara guci
dengan pisau-pisau terbang. Akibatnya sudah bisa diduga, pisau-pisau terbang
akan berpentalan tak tentu arah.
"Hup ...!"
Raja Tengkorak bangkit
berdiri, bersamaan dengan kedua kaki Dewa Arak yang menjejak di tanah. Secepat
itu pula, tokoh sesat yang menggriskan itu kembali mengayunkan rantai bajanya.
Wunggg ... !
Suara mengaung keras terdengar
seiring dengan rantai baja yang meluncur ke arah kepala Arya. Untuk kesekian
kali, pemuda berambut putih keperakan itu gagal memperpendek jarak.
Arya buru-buru menundukkan
kepala seraya merendahkan tubuh. Maka....
Wusss ... !
Rambut dan pakaian pemuda itu
berkibar keras, ketika rantai berujung tengkorak manusia lewat di atas
kepalanya. Jelas kalau sambaran rantai itu ditopang tenaga dalam yang amat
kuat.
Terdengar suara menggertak
keras dari mulut Raja Tengkorak Laki-laki berpakaian hitam ini memang geram
terhadap Dewa Arak. Karena selalu berhasil mematahkan serangannya.
'Hih ... ! "
Gila! Dengan sentakan yang
cepat, rantai baja berujung tengkorak kepala manusia itu telah meluncur kembali
ke arah Arya. Kali ini serangannya ditujukan pada kedua paha Arya.
Tidak ada pilihan lain bagi
pemuda berpakaian ungu itu, kecuali menjejakkan kaki ke tanah, dan melompat ke
atas. Memang, hal itulah yang dilakukan Arya.
"He he he...
Raja Tengkorak tertawa
terkekeh. Tangan kiri nya langsung bergerak. cepat ke balik baju. Dan,
tiba-tiba melesat sejumlah pisau bergagang kepala tengkorak.
Sing, sing, sing...
Sebelum pisau-pisau terbang
itu berhasil mendarat pads sasarannya, tangan laki-laki berpakaian tengkorak
itu kembali bergerak. Dan, beberapa bilah pisau kembali menyambar ke arah Arya.
Karuan saja serangan itu
membuat Dewa Arak kaget bukan kepalang. Keadaan yang dihadapinya kurang
menguntungkan. Karena ia masih berada di udara, dan sukar sekali menghindari
pisau yang meluncur dalam posisi seperti itu. Yang dapat dilakukan pemuda
berpakaian ungu ini hanyalah menangkis serangan itu.
Arya memutar gucinya di depan
dada untuk memapak serangan pisau. Setiap kali pisau membentur guci, terdengar
suara dentingan nyaring.
"Akh...!"
Arya memekik tertahan tatkala
sebatang pisau berkepala tengkorak mengenai bahu kirinya. Rasa panas dan
gatal-gatal, kontan menyengat di bagian tubuhnya yang terluka. Sesaat kemudian,
pandangan pemuda berambut keperakan itu berkunang-kunang.
"Hup ...!"
Dengan tubuh agak terhuyung,
Arya menjejakkan kakinya di tanah. Namun rasa posing yang mendera, membuat apa
pun yang dilihatnya berputar.
"He he he...!"
Raja Tengkorak tertawa
terkekeh. Dia tahu apa yang diderita Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu, dia
segera mengayunkan kembali rantai bajanya.
Wunggg ... ! Bukkk..
Tubuh Arya terlempar ke
belakang ketika tengkorak kepala manusia membentur bahu kanannya. Tak ayal
lagi, sungai yang tak jauh dari tempat dia berdiri semula segera menampung
tubuhnya.
Byurrr...!
Dewa Arak tercebur ke dalam
sungai yang berarus cukup deras. Tak pelak lagi, tubuhnya diseret arus. Arya
masih sadar, memang sengaja dia tidak melawan arus sungai.
"Habisi dia...!"
teriak Raja Tengkorak keras seraya jari telunjuk kirinya menunjuk ke arah tubuh
Arya yang terapung di permukaan air.
Arya merasa heran dan
Samar-Samar mendengar perintah itu. Tidak salahkah pendengarannya? Sesaat
kemudian rasa kagetnya lenyap, kesadarannya mulai pulih. Kendati pandangan
masih ber kunang-kunang, tapi masih mampu menangkap beberapa sosok tubuh yang
melompat dari atas ke sungai.
Byurrr... ! Byurrr....!
Byurrr...
Air memercik tinggi ke atas
tatkala beberapa sosok tubuh berjatuhan di sungai. Ternyata mereka, adalah
tokoh-tokoh aliran hitam, anak buah Raja Tengkorak. Mereka berenang dengan
cepat dan berusaha menyusul Dewa Arak.
Walaupun sepasang mata Arya
hanya mampu menangkap sosok bayang-bayang dengan kabur. Tapi, dia berusaha
meloloskan diri dari sergapan lawannya. Tak dihiraukannya lagi rasa gatal,
sakit dan panas yang mendera bagian tubuhnya. Yang terpikir dalam benaknya,
bagaimana menghindarkan dirinya dari ancaman bahaya.
Dalam usaha untuk
menyelamatkan dirinya dari kejaran pihak lawan, Dewa Arak meluncurkan jurus
'Pukulan Belalang'nya. Serangan itu dilakukan sekenanya. Sebab pandangan
matanya masih kabur dan tak mampu menangkap sosok lawannya.
Deru angin keras berhawa panas
susul-menyusul dilancarkan Dewa Arak. Tanpa dia tahu apakah serangan itu
berhasil mengenai sasaran atau tidak.
Sebetulnya dalam keadaan
terluka seperti itu, menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' terlalu ba nyak
mengandung risiko. Karena jurus tersebut banyak menguras tenaga. Padahal,
keadaan pemuda berambut putih keperakan ini sudah payah. Akibatnya, luka yang
dideritanya pun semakin parah.
Tapi, Arya terus saja
mengirimkan jurus'Pukulan Belalang'nya. Tentu saja kedahsyatan pukulan itu
makin berkurang karena kekuatannya pun semakin melemah.
Serangan-serangan 'Pukulan
Belalang' yang dilancarkan Dewa Arak terhenti, ketika pemuda berambut putih
keperakan ini jatuh pingsan, tak sadarkan diri.
Dewa Arak tidak tahu sama
sekali kalau orang-orang yang mengejarnya, sebagian tewas terkena 'Pukulan
Belalang'. Sedangkan sebagian lagi mengurungkan niatnya karena serangan pemuda
berambut putih keperakan itu datangnya bertubi-tubi. Sehingga memaksa mereka
mundur dan naik ke darat
"Maafkan kami, Ketua.
Kami gagal memenuhi perintah Ketua," ucap Dulimang, salah seorang Yang
selamat dari serangan pukulan jarak jauh Dewa Arak.
"Hm ... !" hanya
gumaman pelan menyambut ucapan laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu.
Sepasang matanya tertuju pada
hulu sungai yang telah membawa tubuh Dewa Arak.
“Tidak jadi soal, Dulimang.
Yang jelas, belum ada orang yang berhasil selamat dari keganasan racun pisauku.
"
"Tapi..., mengapa Ketua
menyuruh kami membinasakannya?" tanya Dulimang penuh keheranan mendengar
ucapan Raja Tengkorak.
"Aku ingin melihat dia
mati dengan mata kepalaku sendiri," ucap laki-laki berpakaian serba hitam
itu.
Setelah berkata demikian, Raja
Tengkorak melangkah meninggalkan tempat itu. Diikuti Dulimang dan
rekan-rekannya.
5
Suara senandung bernada
gembira keluar dari mulut seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian
longgar berwarna hitam Dia duduk bersila di atas sebongkah batu besar yang
menonjol melewati permukaan sungai.
Di tangan kakek bertubuh
tinggi kurus yang berwajah tirus, tergenggam sebatang joran. Jelas, kakek yang
berpakaian hitam itu sedang memancing ikan.
Sepintas perbuatan yang
dilakukan kakek bertubuh tinggi kurus itu tidaklah aneh. Sebagian orang kerap
berbuat serupa itu bila memancing. Namun, jika diamati secara cermat, akan
terlihat keanehannya.
Kakek bertubuh tinggi kurus
itu duduk di atas permukaan batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Lebar
sungai tak kurang dari sepuluh tombak Jadi, batu itu terletak dalam jarak lima
tombak dari tepi sungai. Bagaimana kakek ini dapat duduk di situ? Padahal tidak
ada batu yang menonjol dan dapat dijadikan perantara untuk tiba di situ.
Dari keanehan itu sudah dapat
diduga kalau kakek berpakaian hitam itu bukanlah tokoh sembarangan. Tidak semua
tokoh persilatan mampu melompat dalam jarak seperti itu. Apalagi, tempat
sasaran sulit dijangkau, seperti letak batu, tempat kakek bertubuh kurus
memancing ikan.
"Hup ... !"
Kakek berwajah tirus itu
menarik jorannya. Di ujung joran tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya,
joran milik kakek bertubuh tinggi kurus itu tak pantas disebut joran. Karena
tidak ada tali, pelampung dan mata kail. Ternyata benda itu hanya sebatang kayu
yang bentuknya mirip joran. Sungguh luar biasa cara kakek berbaju hitam itu
memancing ikan.
Sambil bersiul-siul, kakek
bertubuh tinggi kurus itu menjumput ikan yang menggeliat di ujung joran. Lalu,
dimasukkan ke dalam keranjang yang telah berisi ikan hasil tangkapan.
Setelah memasukkan ikan ke
dalam keranjang, kakek berwajah tirus itu kembali bermaksud mencelupkan
jorannya ke dalam sungai. Tapi mendadak gerakan tangannya terhenti di udara,
tatkala melihat sesosok tubuh yang terapung terbawa arus sungai, sekitar dua
tombak di depannya.
Semula tidak ada guratan
perasaan apa pun di wajah kakek yang mengenakan pakaian berwarna hitam itu.
Tapi, ketika sosok tubuh itu makin mendekat, bola matanya segera terbelalak.
Perasaan kaget tampak jelas di wajah kakek yang mulai keriput itu.
Sosok tubuh yang terapung itu
mengenakan pakaian warna ungu. Rambutnya tampak berwarna putih keperakan. Siapa
lagi kalau bukan Dewa Arak!
Tidak salahkah penglihatanku
... ?" kata kakek berwajah tirus dengan suara bergetar. "Benarkah itu
Kuku Tengkorak?"
Sepasang mata kakek tinggi
kurus itu menatap tak berkedip pada benda yang menancap di bahu kiri Arya.
Pisau bergagang kepala tengkorak!
Makin lama tubuh Dewa Arak
makin mendekati tempat kakek berpakaian hitam. Begitu tubuh Arya lewat di dekat
batu besar, tangan kakek berwajah tirus cepat menyambarnya.
Tappp ... !
Baju bagian leher Arya dicekal
kakek berpakaian hitam. Dan sekali tangannya bergerak, tubuh pemuda berambut
putih keperakan terangkat naik dan diletakkannya di batu.
Dan secepat tubuh itu
tergeletak di atas batu, segera pandangannya tertuju lekat pada bahu kiri Arya,
tempat pisau bergagang tengkorak kepala tertancap.
"Ya, Tuhan ... !"
delis kakek bertubuh tinggi kurus sambil mendekapkan tangan ke arah wajahnya.
"Benar-benar Kuku
Tengkorak! Mungkinkah ini.,.?! Mustahil ... ! Apakah aku bermimpi?"
Sambil berkata begitu, kakek
berpakaian hitam mencabut pisau bergagang kepala tengkorak yang ternyata
bernama Kuku Tengkorak. Diamatinya gagang dan mata pisau itu dengan cermat.
Keadaan mata pisau menyeramkan
bukan kepalang. Warnanya yang putih dan berkilat-kilat mencerminkan ketajaman
yang luar biasa. Gagang pisau bertengkorak kepala manusia makin menambah
keangkeran senjata yang membuat Arya tak berdaya.
"Kuku Tengkorak...!"
ujar kakek berpakaian hitam seraya menyipitkan matanya. "Andaikata kau
bisa bercerita, pasti aku akan bertanya padamu. Kenapa kau bisa muncul kembali,
sedangkan pemilikmu tak pernah terjun lagi ke dunia persilatan."
Kakek berpakaian hitam menghentikan
sejenak ucapannya. Raut kebingungan tampak tergambar di wajahnya.
"Entah siapa pula pemuda
ini," gumam kakek berwajah tirus itu sambil merayapi sekujur tubuh Dewa
Arak. Kemudian diperiksanya denyut jantung dan nadi Arya.
Mendadak tangan kakek
berpakaian hitam itu ditarik kembali begitu memegang kulit Arya.
"Gila...!" desis
keterkejutan terlontar dari mulutnya. Betapa tidak? Sekujur tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu panas bukan main. Dia, merasakan ada
getaran-getaran kuat di balik permukaan kulit.
Sepasang mata kakek yang
mengenakan pakaian berwarna hitam itu menatap wajah Dewa Arak Dia tak percaya
dengan pandangannya.
"Tidak kelirukah aku?
Tadi kurasakan ada getaran-getaran kuat di balik kulit tubuhnya? Mungkinkah
orang semuda ini telah memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi? Kalau benar
demikian, dia pasti seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!"
Mulut kakek bertubuh tinggi
kurus mengucapkan kata-kata demikian, tapi sepasang matanya tercenung. Jelas
ada sesuatu yang dipikirkannya. Kemudian diperiksanya lagi keadaan Arya.
Kelopak mata Arya yang
terpejam dibuka. Mulut pun dingangakan dan dengan teliti diperhatikan oleh
kakek berpakaian hitam itu.
"Sekujur tubuhnya telah
terkena racun. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam yang bersih dan kuat,
dia mungkin sudah tewas. Aku harus menyelamatkannya. Dialah saksi hidup yang
bisa bercerita padaku mengenai ihwal Kuku Tengkorak ini!"
Usai mengucapkan kata-kata
demikian, kakek bertubuh tinggi kurus itu menatap kembali pisau yang bergagang
tengkorak kepala.
"Nasibmu baik, Anak
Muda," bisik kakek berwajah tirus itu, seolah-olah berbicara dengan
seseorang yang tidak pingsan. "Kau terjatuh ke tangan yang tepat "
Kemudian kakek berpakaian
hitam itu memanggul tubuh Dewa Arak Tanpa mempedulikan lagi joran dan hasil
tangkapannya.
"Hih ... !"
Sekali menggenjotkan kaki,
tubuh kakek berwajah tirus itu telah melayang, dan mendarat di pinggir sungai
dengan mantap tanpa menimbulkan suara. Ringan sekali kakek itu melakukannya,
padahal kedua tangannya memondong tubuh Arya.
Begitu tiba di darat, kakek
berpakaian hitam segera melesat dari situ. Gerakannya cepat sekali, sehingga
yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam. Jelas kalau kakek bertubuh
tinggi kurus itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Dalam waktu sekejap saja,
tubuh kakek berwajah tirus itu telah mengecil, dan lamat-lamat hilang dari
pandangan mata.
ooOWKNBROoo
"Uhhh...”
Arya menggeliat dan
mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Begitu kelopak matanya terbuka, tampak
sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu bertaut Dia mulai sadar bahwa
dirinya terbaring di balai-balai di sebuah ruangan yang sederhana.
"Mengapa aku bisa berada
di sini?" tanya Arya dalam hati.
Matanya menatap ke sekeliling
ruangan. Sepasang alisnya masih tetap saling bertaut, karena pemuda berpakaian
ungu ini tengah mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai dia bisa berada di
sini.
Arya berusaha bangkit, tapi
terpaksa diurungkan. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit. Yang sangat Memang,
ada luka di bagian bahu kirinya.
Pemuda berpakaian ungu itu
menyibak bajunya. Tampak kain putih membalut bagian bahu yang terluka. Noda
merah pada kain itu membantu Arya mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya.
Kini dia teringat semua kejadiannya, sejak bertarung menghadapi Raja Tengkorak
sampai dia tercebur di sungai. Melihat dari keadaannya, bisa diketahui ada
orang yang telah menolongnya.
"Hmh ...!"
Sebuah deheman pelan membuat
Arya terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Mengapa suara langkah sama
sekali tidak terdengar? Diakui kalau dia tengah sibuk mengingat peristiwa yang
menimpa dirinya.
Di ambang pintu berdiri
seorang kakek berwajah tirus dan berpakaian hitam. Tubuhnya tinggi kurus, dan
kumis menghiasi bagian tengah atas bibir yang membuat angker.
"Kau sudah sadar, Anak
Muda?" tanya kakek berwajah tirus seraya tersenyum lebar. Lalu, dia
melangkah ke arah tempat Arya terbaring.
"Mengapa aku bisa berada
di sini, Ki?" tanya Arya setelah terlebih dulu menganggukkan kepalanya
membenarkan pertanyaan kakek berpakaian hitam itu.
****
Begitu melihat bentuk tubuh
kakek berwajah tiros itu, ada terselip rasa curiga di hati Arya. Bentuk tubuh
kakek itu mirip sekali dengan Raja Tengkorak. Begitu pula dengan sepasang
matanya, meski sedikit mencorong tajam dan berwana kehijauan laksana mata
seekor harimau dalam gelap!
Arya bergerak dan ingin
bangkit.
"Jangan bangkit dulu,
Anak Muda," cegah kakek bertubuh tinggi kurus buru-buru. "Kau masih
lelah dan perlu istirahat yang banyak.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan
maksudnya. Kembali ia berbaring. Di samping masih terasa lelah dan sakit pada
bahu kirinya, dia pun tak ingin mengecewakan kakek berpakaian hitam yang telah
menolongnya.
Kakek berwajah tirus itu
tersenyum lebar melihat Arya mengikuti nasihatnya.
"Aku menemukan tubuhmu
terbawa arus sungai. Kau terluka, dan kebetulan aku menguasai sedikit ilmu
pengobatan. Karena itu kau kubawa ke rumah dan kurawat"
"Ah ... ! Aku telah
merepotkanmu, Ki," ucap Arya malu-malu.
Kakek bertubuh tinggi kurus
mengulapkan tangannya. Baru saja akan berbicara, terdengar suara berkeruyuk
pelan. Tapi karena kakek berpakaian hitam mempunyai pendengaran yang tajam,
suara itu mudah dicerna.
Wajah Arya kontan memerah. Dia
tahu, mengapa kakek itu menghentikan percakapan. Apa lagi kalau bukan karena,
suara perutnya yang lapar. "Perut tak tahu malu!" umpat Arya dalam
hati.
Plak!
Kakek berwajah tirus menepak
keningnya. Karuan saja tindakan itu membuat Arya merasa heran. Sebelum pemuda
berpakaian ungu itu bertanya, terlebih dahulu kakek berbaju hitam itu berkata,
"Tuan rumah macam apa aku ini? Tamu sudah dua hari tidak makan, belum juga
disuguhi makanan."
Setelah berkata, demikian,
kakek berpakaian hitam itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Arya yang
tercenung sendirian di balai-balai bambu yang beralaskan selembar tikar lusuh.
Tidak salah dengarkah
aku?" tanya Arya dalam hati.
Ucapan kakek berpakaian hitam
itu tadi bermakna bahwa dirinya tidak sadarkan diri selama dua hari.
"Aku yang salah dengar
atau kakek itu yang salah ucap? Kalau benar aku tidak sadarkan diri selama dua
hari, wajar saja perutku dirasakan begin keroncongan," bisik hati Arya
lagi.
Tak lama kemudian, kakek
berpakaian hitam itu muncul kembali dengan baki berisi makanan dan minuman yang
masih hangat. Diletakkannya baki itu dekat Arya terbaring.
"Makan dulu, Anak Muda.
Nanti kita bicara lagi," kata kakek berwajah tirus seraya melangkah
meninggalkan Arya.
"Terima kasih, Ki,"
sahut Arya. "Aku hanya merepotkanmu saja."
Tapi ucapan pemuda berambut
putih keperakan itu tidak mendapat jawaban, karena kakek berwajah tirus telah
berlalu dari ruangan itu.
Arya segera bangkit dari
pembaringan, meskipun ada rasa nyeri yang menggigit. Arya menyantap bubur yang
berisi racikan bermacam-macam sayuran hijau dan segelas teh hangat.
ooOWKNBROoo
"Kalau boleh kutahu,
siapakah kakek sebenarnya? Maaf, bukan bermaksud lancang, tapi aku ingin
mengenal orang yang telah menyelamatkan nyawaku," ujar Arya setelah kakek
tinggi kurus berpakaian hitam kembali, dan duduk di sebuah kursi dekat
balai-balai bambu. "Aku Arya, Ki. Arya Buana. "
"Ha ha ha...
Kakek berwajah tirus tertawa
pelan mendengar pertanyaan Dewa Arak. Arya merasa lega mendengar kakek itu
tidak merasa terkejut mendengar namanya. Biasanya setiap tokoh persilatan,
langsung bisa menduga setelah dia memperkenalkan Nama.
"Baiklah kalau kau rasa
hal itu perlu, Arya," sahut kakek berpakaian hitam yang kini memanggil
Dewa Arak dengan namanya. "Memang lebih baik kalau kita saling mengenal
satu sama lain. Agar pembicaraan kita dapat berlangsung lebih menyenangkan.
Namaku Kalpa Reksa. Seorang kakek yang tengah menunggu maut di tempat
ini."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala, tampak dia mulai paham kenapa kakek yang bernama Kalpa Reksa itu belum
mendengar julukannya. Rupanya dia telah lama mengasingkan diri dari rimba
persilatan. Padahal, gelar yang disandangnya baru beberapa bulan muncul di
dunia persilatan.
"Sekarang ceritakanlah
siapa dirimu sebenarnya, dan mengapa bisa terkena senjata ini," ucap Kalpa
Reksa seraya menunjuk pisau bergagang tengkorak kepala manusia.
Arya menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan Kalpa Reksa.
"Ceritanya cukup panjang,
Ki." "Ceritakanlah," sambut Kalpa Reksa bijaksana. "Aku
bersedia mendengarkan. Kau tahu, Arya. Pisau ini hanya dimiliki oleh seorang
tokoh yang aku tahu tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. "
"Jadi, kau mengenal
pemiliknya, Ki?" tanya Dewa Arak. Perasaan terkejut dan ingin tahu, tampak
tergambar jelas di wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Lebih dari sekadar
mengenalnya, Arya. Karena itu ceritakan semuanya sejelas mungkin. Percayalah,
aku akan mendengarkan ceritamu dengan sabar. "
Arya bukan orang bodoh. Dia
tahu kakek bertubuh tinggi kurus ini merasa keberatan menceritakan tentang
pemilik pisau itu, karena itu dia tidak mendesaknya. Semua kejadian yang
dialami, dituturkan Arya secara rinci.
Kalpa Reksa mendengarkan
cerita itu dengan penuh perhatian. Tak satu pun cerita pemuda berambut putih
keperakan diselaknya. Dahinya berkernyit ketika Dewa Arak melukiskan mengenai
orang yang dijuluki Raja Tengkorak.
"Begitulah ceritanya,
Ki," tutur Arya, menutup ceritanya.
Dahi Dewa Arak berkerut
tatkala melihat sikap Kalpa Reksa kebingungan. Sepasang matanya menatap
lekat-lekat pada wajah kakek yang duduk di sampingnya. Jelas cerita Arya telah
memaksanya berpikir keras.
"Selain senjata rantai
baja berkepala tengkorak dan pisau ini, senjata apa lagi yang
dipergunakannya?" tanya Kalpa Reksa setelah beberapa saat terdiam.
"Hanya itu, Ki," jawab
Arya yang tengah diliputi perasaan heran. Tapi, ia tidak berani lancang
menanyakan penyebab kakek berpakaian hitam itu kebingungan.
"Hhh ... !" Kalpa
Reksa menghembuskan papas berat "Semua ciri-ciri yang kau sebutkan itu,
mirip dengan tokoh yang tidak pernah terdengar lagi namanya, karena ia telah
menarik diri dari rimba persilatan. Bahkan julukan Raja Tengkorak persis
sama."
"Barangkali tokoh itu
telah keluar dari pengasingannya, Ki?" kata Dewa Arak menduga.
Kalpa Reksa menggelengkan
kepala, pertanda menyangkal dugaan Arya.
"Mengapa kau begitu
yakin, Ki?" Arya heran melihat keyakinan kakek tinggi kurus itu.
Kalpa Reksa diam. Tidak
menjawab pertanyaan pemuda berpakaian ungu itu.
"Mungkin benar, kau
mengawasi gerak-geriknya. Tapi, boleh jadi dia memanfaatkan kelengahanmu, Ki.
Lalu, dia keluar dari pengasingan dan terjun kembali ke rimba persilatan."
Kalpa Reksa tercenung sejenak
Dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Di dalam hati,
diakuinya ucapan pemuda berambut putih keperakan itu mengandung kebenaran.
"Ada baiknya
kuberitahukan padamu mengenai Raja Tengkorak yang telah tidak pernah terdengar
beritanya itu. Agar kau tahu kalau dugaanmu itu keliru," ujar Kalpa Reksa.
"Aku tidak menuntut agar
kau menceritakan tentang tokoh itu, Ki," Arya yang merasa tidak enak hati,
buru-buru menyelak. "Aku hanya mengajukan dugaan saja, Ki. "
Kalpa Reksa mengulapkan
tangannya. Dia memahami apa yang membuat gundah hati dan pikiran Dewa Arak.
"Aku mengerti, Arya.
Tapi, agar tidak timbul prasangka buruk terhadap Raja Tengkorak. Aku kira perlu
menceritakan padamu."
Arya terdiam. Disadari kalau
tidak mungkin mencegah kakek tinggi kurus itu menuturkan masalah sesungguhnya.
Sebab niat Kalpa Reksa sudah demikian bulat untuk menceritakan tentang diri
Raja Tengkorak. Yang dapat dilakukan pemuda berpakaian ungu ini hanya berdiam
diri.
"Hhh... !"
Kalpa Reksa menghela napas
berat sebelum berkisah. Seolah-olah ada beban berat yang menekan batinnya.
6
“Puluhan tahun yang lalu,
dunia persilatan digemparkan dengan munculnya Raja Tengkorak Tokoh yang
mempunyai ciri-ciri seperti yang kau sebutkan, memiliki ilmu silat yang tinggi.
Tak satu pun tokoh persilatan yang mampu menandinginya," ujar Kalpa Reksa
membuka cerita. Sementara Arya hanya diam dan mendengarkan penuh perhatian.
"Sayang, Raja Tengkorak
lupa diri. Kepandaian yang tinggi itu disalahgunakan untuk menyiksa, membunuh,
dan memperkosa. Sehingga di mana dia berada, pasti timbul kekacauan. Masyarakat
pun diliputi ketakutan dan rasa khawatir. "
Kakek berpakaian hitam itu
menghentikan sejenak ceritanya untuk mengambil napas. Arya memperhatikan
perubahan pada wajah kakek bertubuh tinggi kurus itu. Dia melihat ada rasa
kesedihan yang mendalam pada wajah dan sorot mata Kalpa Reksa.
"Karuan saja tindakan
Raja Tengkorak yang brutal itu menimbulkan amarah tokoh-tokoh persilatan aliran
putih. Banyak tokoh yang bangkit dan menentang, tapi semua digilas habis. Raja
Tengkorak terlalu kuat untuk mereka."
Kembali Kalpa Reksa
menghentikan ceritanya. Kali ini sepasang bola matanya tampak berkaca-kaca.
Jelas kalau cerita selanjutnya menyedihkan hatinya.
"Meskipun dia dikenal
jahat dan sadis, Raja Tengkorak mempunyai rasa kasih sayang yang besar. Dia
sangat mengasihi istrinya. Sang istri pun sebenarnya tidak suka dengan
perbuatan suaminya. Tapi apa dayanya, meskipun, telah berkali-kali melarang,
Raja Tengkorak tetap saja menyebarkan maut," kembali Kalpa Reksa
menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Raja Tengkorak ingin
mempunyai seorang anak dari istri yang sangat dicintainya itu. Karena ia akan
mewariskan kesaktian yang dimilikinya. Tapi keinginan itu tidak pernah
terkabul. Buah hati yang dirindukannya tidak pernah muncul ke dunia," ujar
Raja Tengkorak dengan suara tersendat
Arya mengernyitkan dahi.
Benaknya sibuk menduga-duga hubungan Kalpa Reksa dengan Raja Tengkorak.
"Akhimya, hadir juga
seorang anak yang sudah lama mereka rindukan. Raja Tengkorak bahagia sekali.
Dia berjanji akan memenuhi permintaan istri nya.
Lagi-lagi Kalpa Reksa menghentikan
ceritanya Tampak bibirnya yang kering itu bergetar hebat Jelas kalau kakek
tinggi kurus itu tengah menahan gejolak perasaan.
"Sungguh di luar
dugaan," sambung Kalpa Reksa. "Istri Raja Tengkorak minta agar
suaminya menghentikan tindakan kejahatan, dan mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Meskipun permintaan itu berat, Raja Tengkorak tetap memenuhinya.
Sejak itulah Raja Tengkorak tidak pernah lagi membuat onar. Dan menarik diri
dari rimba persilatan."
Arya tidak menyangka kehidupan
Raja Tengkorak sangat menarik.
"Pada bulan ketiga, sejak
Raja Tengkorak menarik diri, muncul adik seperguruannya dengan membawa kabar
kalau Raja Tengkorak ditantang Pendekar Pedang Kilat di Lembah Gandar."
"Jadi, Raja Tengkorak
mempunyai saudara seperguruan?" tanya Arya tak tahan memendam rasa ingin
tahunya.
"Ya," cetus kakek
berpakaian hitam seraya menganggukkan kepala.
"Dari mana dia tahu kalau
yang menjadi saudara seperguruannya adalah Raja Tengkorak?" kejar Dewa
Arak.
"Dari berita-berita yang
tersebar mengenai ilmu dan senjata yang digunakan Raja Tengkorak," jelas
Kalpa Reksa.
"Lalu, bisa mengetahui
tempat tinggalnya?" "Tentu saja dengan mencarinya, Arya," sahut
Kalpa Reksa setengah menggoda.
Arya pun diam. Tidak bertanya
lagi.
'Walaupun sang istri melarang,
Raja Tengkorak tetap pergi juga. Pantang menolak tantangan. Begitulah prinsip
dalam dunia persilatan. Setelah anak dan istrinya dititipkan pada adik
seperguruannya, Raja Tengkorak pergi ke Lembah Gandar. Sampai di sana, dia
tidak menemukan orang yang menantangnya. Maka dengan rasa heran, dia pun
kembali ke rumahnya," Kalpa Reksa sejenak menghentikan ceritanya. Sepasang
matanya yang cekung berkaca-kaca. Suara laki-laki berbaju hitam itu terdengar
bergetar.
"Hampir saja Raja
Tengkorak pingsan ketika tiba di rumah. istri dan anaknya tewas dalam keadaan
menyedihkan. Wajah anak yang dicintainya rusak, dan sulit dikenali. Kecuali
pakaian yang dikenakan bocah malang itu. Sementara, adik seperguruannya tidak
dijumpai di situ. Dia menghilang," Kata Kalpa Reksa dengan suara tinggi
dan penuh amarah.
"Orang yang paling dungu
pun bisa memperkirakan pelaku kejadian itu. Apalagi Raja Tengkorak,"
sambung Kalpa Reksa dengan nada suara masih meninggi. "Dia yakin kalau
pelaku semua kekejian itu adalah adik seperguruannya."
Arya tercenung. Sungguh tidak
disangka kalau riwayat kehidupan Raja Tengkorak sangat tragis.
"Berbulan-bulan Raja
Tengkorak mencari adik seperguruannya yang bernama Turgawa. Ketika mereka
bertemu, tak terhindarkan lagi pertarungan pun berlangsung sengit Raja
Tengkorak berhasil membuntungi tangan kanan Turgawa. Sayang, sebelum nyawanya
dihabisi, tubuh adik seperguruannya jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam.
Setelah dia berhasil membalas dendam kesumatnya, Raja Tengkorak tidak pernah
muncul lagi. Sejak itu, julukan Raja Tengkorak pun lenyap. Orang yang tidak
mengetahui, menduga kalau Raja Tengkorak telah tewas," ucap Kalpa Reksa,
menutup ceritanya.
"Jadi, karena peristiwa
itu Raja Tengkorak menyadari jalan yang ditempuhnya selama ini sesat"
komentar Arya memberikan dugaan.
Kalpa Reksa mengangguk.
"Kematian istri dan
anaknya telah menyadarkan Raja Tengkorak. Dia merasa sedih dan sepi ditinggal
orang yang mencintai dan mengasihi dirinya."
Arya diam. Ucapan kakek
berpakaian hitam itu tak dihiraukannya lagi. Dia sibuk memikirkan makna cerita
si kakek tentang Raja Tengkorak.
"Dari cerita itu, aku
dapat memperkirakan siapa sebenarnya Raja Tengkorak," ucap Arya tiba-tiba.
Kalpa Reksa tersenyum getir
menyambut ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Boleh aku mengutarakan
dugaanku, Ki?"
"Silakan, Arya,"
kalem terdengar sambutan kakek berpakaian hitam itu. Tidak nampak lagi
kesedihan dalam suaranya.
"Tokoh yang berjuluk Raja
Tengkorak tidak lain bernama Ki Kalpa Reksa," sebut Arya. "Kaulah
orang yang berjuluk Raja Tengkorak itu, Ki."
"Hhh ...!"
Dengan menghela napas berat,
kakek berwajah tiros itu menganggukkan kepala.
"Dugaanmu tidak salah,
Arya. Akulah Raja Tengkorak itu," terdengar pelan dan mirip desahan suara
Kalpa Reksa.
"Kini aku paham kenapa
kau bersikeras bahwa Raja Tengkorak tidak pernah keluar sama sekali dari
pengasingan, karena kaulah orangnya," Arya mengerti mengapa kakek tinggi
kurus itu membela mati-matian Raja Tengkorak
"Yahhh...., begitulah,
Arya...."
'’Lalu, siapakah tokoh yang kini
menjadi Raja Tengkorak itu?" tanya Dewa Arak bingung.
"Seharusnya aku yang
pantas lebih bingung daripada dirimu, Arya. Orang yang menguasai ilmu seperti
yang kumiliki, tak lain adik seperguruanku. Tapi dia telah tewas. Sedangkan
guruku sudah lama meninggal. Lalu, siapakah orang yang telah menyamar sebagai
Raja Tengkorak?" tanya Kalpa Reksa bernada mengeluh.
"Mungkin gurumu telah
mengambil murid tanpa sepengetahuanmu, Ki," duga Arya setelah beberapa
saat lamanya termenung.
Kakek berpakaian hitam itu menggelengkan
kepalanya.
"Atau, mungkin tokoh itu
adalah murid adik seperguruanmu?" ujar pemuda berpakaian ungu menduga.
"Hm ... !" Kalpa
Reksa bergumam menyambut ucapan Dewa Arak.
"Boleh aku bertanya
sesuatu, Ki?" ujar Arya memecah keheningan.
"Silakan, Arya ......
sambut Kalpa Reksa memberi kesempatan.
"Apakah dulu sewaktu Raja
Tengkorak melakukan tindakan mempunyai pengikut?"
Kalpa Reksa menggeleng.
"Raja Tengkorak selalu
bertindak sendiri, Arya. Kesombongan membuatnya berpikir tak perlu memiliki
pengikut Ada apa, Arya?" kakek berpakaian hitam itu balas bertanya.
"Raja Tengkorak yang
telah melukai tubuhku banyak pengikutnya, Ki," ujar Dewa Arak.
Kalpa Reksa terdiam sejanak
Dahinya berkernyit Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya,
"Bila benar dia memiliki
pengikut.., barangkali dapat ditarik kesimpulan ......
"Dia pasti mempunyai
tujuan, Ki?" tebak Arya. "Tepat!"
"Kira-kira tujuan mereka
apa, Ki?" tanya Arya ingin tahu pendapat kakek berpakaian serba hitam itu.
"Kurasa tidak jauh berbeda
dari keinginanku, ketika masih menyandang julukan Raja Tengkorak," jawab
Kalpa Reksa sambil mengelus-elus dagunya.
"Apa itu, Ki!"
"Merajai dunia
persilatan! Dan mengangkat diri sendiri sebagai jagoan nomor satu!" tandas
kakek bertubuh tinggi kurus. "Begitulah perasaan yang melandaku puluhan
tahun lalu."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Dia memaklumi keinginan seperti itu menguasai para tokoh persilatan
tingkat tinggi.
"Tapi, mereka pasti akan
mengalami banyak hambatan dalam tindakannya," sambung Kalpa Reksa.
"Mengapa, Ki?" kejar
Dewa Arak.
"Seorang tokoh sakti yang
mengasingkan diri di Gunung Jawul, tergerak hatinya ketika mendengar kekacauan
dan keonaran yang ditimbulkan Raja Tengkorak waktu dulu. Lalu, dia mengangkat
dua orang murid."
Kalpa Reksa diam sejenak, dan
menarik napas dalam-dalam.
"Kedua murid itu
masing-masing memiliki sebuah perguruan silat Yang satu bernama Perguruan Gajah
Putih, dan lainnya bernama Perguruan Banteng Sakti. Kedua perguruan silat itu
telah banyak mencetak pendekar yang membela kebenaran. Raja Tengkorak itu pasti
menemui kesukaran untuk mewujudkan cita-cita merajai dunia persilatan,"
sambung Kalpa Reksa.
Arya menganggukkan kepala.
"Pembicaraan kali ini
kurasa cukup dulu, Arya. Nanti, kita rundingkan lagi. Kau belum sembuh benar.
Lebih baik kau beristirahat, agar kesehatanmu cepat pulih kembali."
Setelah berkata demikian,
kakek berwajah tirus itu meninggalkan Dewa Arak.
Arya menyadari bahwa dirinya
memang memerlukan istirahat Meskipun luka-luka akibat hantaman tengkorak kepala
sudah sembuh, tapi tenaganya belum begitu pulih. Dan, dia harus sering
bersemadi, agar tubuhnya segar kembali seperti semula.
Pemuda berambut putih
keperakan itu segera duduk bersila. Punggungnya ditegakkan, kedua tangannya
terbuka lurus di depan dada. Lalu, Arya tenggelam dalam semadi.
Sekejap kemudian suasana
menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara desah napas halus, keluar dan
masuk dari mulut dan hidung Dewa Arak.
ooOWKNBROoo
"Aunggg ..."
Suara lolong anjing mengusik
kesenyapan ma-lam. Bulan bulat muncul dan memancarkan sinar. Langit yang bersih
dari awan membuat cukup benderang.
Dalam suasana malam seperti
itu, tampak berkelebatan sosok-sosok bayangan. Yang bergerak paling depan
adalah laki-laki bertubuh tinggi kurus dan berpakaian tengkorak. Dialah yang
dijuluk Raja Tengkorak. Terlihat pula sosok Juriga, Dulimang, dan sosok
bayangan lainnya. Jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang. Mereka
bergerak dari arah yang berbeda, tapi menuju satu arah.
"Dulimang ...... panggil Juriga
pelan sambil terus melangkah.
"Hm.... Ada apa ... ?''
tanya Dulimang.
"Dia benar-benar seorang
pemimpin. Di bawah perintahnya, kita akan berjaya. Tidak disangka setelah
lenyap belasan tahun, dia muncul dengan cara baru," puji Juriga.
"Ya," sahut Dulimang.
"Dulu kita menganggap dia sebagai pemimpin, tapi bukan dalam arti yang
sebenarnya. Sebab dia memang tak pernah menjadi pemimpin kita. Hm.... Apa yang
membuatmu yakin kalau golongan kita akan berjaya di bawah pimpinannya?"
Juriga tidak langsung menjawab
pertanyaan itu Dia terus melangkahkan kakinya. Begitu pula dengan Dulimang.
"Kau masih ingat, Dewa
Arak yang terkenal telah berhasil dilenyapkan. Dan kini, kita akan menyerbu
Perguruan Gajah Putih. Padahal perguruan itu adalah perguruan yang besar dan
terkenal memiliki murid-murid yang berilmu tinggi. Bila Perguruan Gajah Putih
roboh, maka tinggal satu lagi tugas kita. Dan, jika kita berhasil menaklukkan
yang terakhir, maka dunia persilatan berada di tangan kita!"
Dulimang tidak lagi menyahuti
ucapan rekannya. Dia tidak terlalu yakin kalau rencana Raja Tengkorak akan
berhasil. Dia menyadari kehebatan ilmu yang dimiliki murid Perguruan Gajah
Putih. Tapi dia tidak berani bicara, khawatir terdengar Raja Tengkorak.
Kini kedua orang itu berlari
cepat tanpa berbicara lagi. Benak mereka dirasuki pikiran sendiri-sendiri.
Tak lama kemudian, mereka
memperlambat gerakan larinya ketika berada di batik pohon dan semak-semak yang
lebat
Dalam jarak sekitar sepuluh
tombak dari tempat mereka bersembunyi, tampak sebuah bangunan besar dan
berpagar kayu tinggi. Mereka tahu di atas pintu gerbang, terpampang sebuah
papan lebar, tebal dan berukir bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan
Gajah Putih'.
Meskipun suasana di sekeliling
tampak sunyi, Dulimang dan Juriga sadar betul di sekitar daerah itu banyak
tokoh persilatan yang memiliki ilmu tinggi. Karena itu sambil menunggu saat
penyerangan, mereka tetap waspada.
Waktu terasa lama berlalu bagi
pengikut Raja Tengkorak. Seolah-olah waktu bergerak seperti keong merayap.
"Kaaak, kaaak, kaaak..
Mendadak suara berkaokan
terdengar keras. Sekilas mirip suara burung gagak, tapi bagi orang yang jeli
dapat mengetahui perbedaannya. Suara itu mempunyai irama, seperti sebuah sandi.
Dan itu memang benar, seiring
suara berkaokan keras lenyap, tampak dari balik semak-semak, sosok bayangan
bergerak cepat menuju ke arah Perguruan Gajah Putih. Temyata suara berkaokan
itu berasal dari Raja Tengkorak sebagai tanda penyerangan dimulai.
Sosok-sosok tubuh itu bergerak
cepat Tapi, kalah cepat dari sosok bayangan hitam yang tidak lain adalah Raja
Tengkorak. Walaupun dia bergerak belakangan, dan telah tertinggal sekitar enam
tombak, tapi dia mampu melewati tubuh belasan sosok bayangan yang menuju ke
arah bangunan berpagar kayu.
Raja Tengkorak terus melesat
cepat menuju pintu gerbang Perguruan Gajah Putih. Dan.... Brakkk..
Pintu gerbang perguruan hancur
dengan me-ngeluarkan suara gaduh, ketika kedua tangan Raja Tengkorak menghantam
pintu yang terbuat dari kayu jati tebal.
Karuan saja suara ribut-ribut
itu mengejutkan empat orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah bejaga-jaga
di pos. Mereka serentak melompat keluar, dan bergerak cepat ke arah pintu
gerbang.
Tapi salah seorang dari mereka
tidak langsung menuju ke arah pintu gerbang, melainkan memukul kentongan yang
berada di depan pos penjagaan.
Tong, tong, tong...!"
Riuh suara kentongan sebagai
tanda bahaya mengusik keheningan malam.
Dua orang murid Perguruan
Gajah Putih yang tengah memeriksa sudut-sudut perguruan, terkejut ketika
mendengar suara berderak keras dan bunyi kentongan yang bertalu-talu.
Buru-buru kedua orang murid
ini berlari ke arah pintu gerbang. Sambil berlari, yang satunya lagi terus
memukul kentongan yang dibawa untuk memberitahukan adanya ancaman bahaya.
Akibatnya sudah bisa diduga.
Seisi Perguruan Gajah Putih pun gempar. Mereka semua bergegas keluar dari
bangunan masing-masing sambil menyambar senjata.
7
Sementara itu tiga orang murid
Perguruan Gajah Putih yang telah melompat keluar dari gardu penjagaan, terkejut
bukan kepalang ketika melihat sosok bayangan hitam melesat cepat. Dan, kepingan
dawn pinto gerbang yang tebal meluncur berhamburan.
"Raja Tengkorak...
!" desis salah seorang dari tiga murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis
tebal, seraya menghentikan langkah. Tangan mereka yang menggenggam gagang
pedang sejak tadi, tampak bergetar hebat.
"Ha ha ha...
Laki-laki berpakaian tengkorak
itu tertawa tergelak. Suara tawanya terdengar aneh, meskipun pelan, berat, dan
bergema. Raja Tengkorak pun menghentikan langkah. Sehingga mereka berdiri
berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak.
"Serang...!" seru
murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis tipis. Rupanya dialah yang menjadi
kepala jaga hari itu.
Seiring dengan teriakan itu,
tiga orang murid Perguruan Gajah Putih bergerak cepat Mereka langsung
berpencar, melangkah maju dengan sikap waspada. Kemudian....
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan suara
teriakan melengking nyaring, tiga orang murid Perguruan Gajah Putih menyerang
Raja Tengkorak. Sadar lawan yang dihadapi sangat tangguh, ketiga orang itu
menyerang serentak dari tiga jurusan.
Sing, sing, sing... !
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika pedang-pedang itu meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak.
"Hmh...
Laki-laki berpakaian tengkorak
itu mendengus. Tidak tampak tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia akan
menyerang atau menangkis.
Baru ketika serangan menyambar
dekat ke arah tubuhnya, kedua tangan Raja Tengkorak bergerak cepat
Tak, tak, tak..
Suara berdetak keras terdengar
berkali-kali tatkala kedua tangan Raja Tengkorak berbenturan dengan senjata
ketiga murid Perguruan Gajah Putih.
Sungguh luar biasa! Ketiga
pedang itu patah dan jatuh berserakan di tanah!
Belum sempat ketiga orang
murid Perguruan Gajah Putih berbuat sesuatu, kedua tangan Raja Tengkorak
bergerak cepat
"Akh .. !"
Jerit kematian terdengar
saling susul, ketika jari telunjuk Raja Tengkorak amblas ke dalam dahi ketiga
orang murid Perguruan Gajah Putih yang bernasib malang itu.
Tubuh mereka berkelojotan dan
menggelepar. Lalu, diam dan tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dengan dahi
berlubang.
Bertepatan dengan robohnya
tiga murid Perguruan Gajah Putih, bermunculan tokoh-tokoh persilatan yang
menjadi pengikut Raja Tengkorak.
Dua orang murid Perguruan
Gajah Putih yang baru tiba di pintu gerbang, terkejut bukan kepalang begitu
melihat banyak tokoh persilatan yang berada. di dalam perguruan mereka. Rasa
kaget berganti dengan kemarahan bercampur rasa gentar, ketika melihat mayat
rekan mereka tergeletak di hadapan kaki Raja Tengkorak.
Raja Tengkorak bertepuk tangan
satu kali. Tampak pelan tepukannya. Tapi, sesaat kemudian terdengar suara
dentuman keras laksana halilintar yang menggelegar.
Seketika itu pula, sekitar dua
puluh pengikut laki-laki berseragam tengkorak itu meluruk maju, dan
mengeluarkan seruan-seruan keras.
Keadaan itu membuat dua orang
murid Perguruan Gajah Putih tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
mempertahankan nyawa. Meskipun sadar kalau lawan terlalu banyak, dan didampingi
Raja Tengkorak, tapi mereka setapak pun tidak mundur. Perguruan Gajah Putih
harus dipertahankan sekalipun nyawa sebagai taruhannya.
Pada saat yang bersamaan
dengan para pengikut Raja Tengkorak menyerbu dua orang murid Perguruan Gajah
Putih, tangan laki-laki berpakaian tengkorak itu bergerak mengibas.
Singgg...
Sinar terang berpendar ketika
pisau bergagang tengkorak kepala meluncur cepat ke arah murid Perguruan Gajah
Putih yang masih memukul kentongan tanda bahaya.
Cappp...
"Akh ... !"
Murid Perguruan Gajah Putih
yang tengah memukul kentongan itu memekik keras sebelum tubuhnya roboh dan
jatuh ke tanah. Pisan bergagang tengkorak kepala menancap di dahinya.
Nasib yang sama menimpa dua
orang murid Perguruan Gajah Putih lainnya. Perlawanan mereka mudah dikandaskan
pengikut Raja Tengkorak. Sekali gebrak mereka sudah roboh dengan sekujur tubuh
penuh luka. Lawan yang dihadapi terlampau banyak, dan mereka memiliki
kepandaian yang tinggi.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat
murid Perguruan Gajah Putih, Raja Tengkorak dan pengikutnya bergerak masuk ke
dalam perguruan. Tapi di tengah jalan, mereka berpapasan dengan muridmurid
Perguruan Gajah Putih. Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari.
ooOWKNBROoo
Suara denting senjata yang
beradu, terdengar gaduh. Suasana malam yang semula sepi, kontan berubah bising.
Murid-murid Perguruan Gajah
Putih berjuang keras menghalau tamu-tamu yang tidak mereka undang. Tak
mengherankan bila pertarungan yang terjadi sengit dan seru luar biasa.
Perguruan Gajah Putih memiliki
murid yang cukup banyak. Tak kurang dua puluh orang murid yang terlibat
pertarungan. Kepandaian mereka rata-rata cukup tinggi. Sehingga pertarungan
berlangsung imbang.
Raja Tengkorak mengawasi
dengan cermat jalannya pertarungan. Laki-laki berpakaian tengkorak ini sama
sekali tidak ikut terjun dalam pertarungan. Dia adalah seorang tokoh sesat yang
memiliki keangkuhan dan kesombongan. Lantaran mempunyai ilmu yang tinggi.
Tak lama kemudian, korban di
kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah muncrat dari tubuh-tubuh yang roboh,
dan diiringi jerit kematian.
Raja Tengkorak mulai tidak
sabar menyaksikan Pertarungan yang berlangsung lama, tapi ketua Perguruan Gajah
Putih belum juga muncul.
"Ranjana...! Keluar
kau...! Hadapi aku ... ! Kalau tidak, semua muridmu kubantai sekarang juga...
Aku, Raja Tengkorak menantangmu ..."
Suara Raja Tengkorak keras
bukan kepalang. Hal itu hanya bisa dilakukan bila disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Memang, tokoh sesat itu menggunakan tenaga dalam. Agar
suaranya terdengar sampai ke seluruh bangunan Per-guruan Gajah Putih.
Belum hilang gema suara
tantangan laki-laki berseragam tengkorak, tiba-tiba terdengar suara penuh
wibawa menyambut ucapan Raja Tengkorak
"Kuterima tantanganmu,
Raja Tengkorak....!”
Seiring dengan lenyapnya suara
itu, tampak sosok bayangan putih melesat keluar dari salah satu bangunan yang
ada di Perguruan Gajah Putih.
"Hup ...!"
Tanpa menimbulkan suara, sosok
bayangan putih itu mendaratkan sepasang kakinya dengan ringan. Tak jauh dari
tempat Raja Tengkorak berdiri.
"Ha ha ha ... !"
Laki-laki berseragam tengkorak
itu tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya merayapi wajah dan sekujur tubuh
orang yang berdiri di hadapannya. Yang tidak lain adalah Ranjana, Ketua
Perguruan Gajah Putih.
Ranjana bertubuh tegap dan
berisi. Kumis, jenggot, dan cambang yang terawat rapi menghiasi wajahnya.
Pakaiannya yang serba putih, dan Sulaman seekor gajah yang terbuat dari benang
emas menempel pada dada kirinya, semakin menambah kegagahannya.
"Kukira kau sudah kabur
meninggalkan tempat ini, Ranjana," ejek Raja Tengkorak seraya tersenyum
sinis.
"Aku bukan orang
sepertimu, Raja Tengkorak!" sergah Ranjana keras. Suaranya ternyata
seperti juga penampilannya, keras dan berwibawa. "Kau akan lari begitu
melihat keadaan tidak menguntungkan. Jangan samakan aku dengan dirimu!"
"Sombong ... !" Raja
Tengkorak memaki keras. "Raja Tengkorak pantang dihina orang!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam itu langsung menyerang dengan tendangan terbang ke
arah leher Ranjana., Cepat dan berbahaya bukan main serangan Raja Tengkorak
Ranjana tidak berani bersikap
main-main. Nama besar Raja Tengkorak sudah lama didengarnya. Meskipun tokoh itu
pernah menghilang belasan tahun. Tapi, ilmu dan kepandaiannya amat tinggi. Dan,
kini tokoh sesat yang menggiriskan itu berada di hadapannya, dan tengah
melancarkan serangan.
Tahu betapa berbahayanya
serangan serupa itu, laki-laki berwajah jantan itu tidak berani menangkis. Dia
tahu dirinya akan rugi bila serangan itu ditangkis. Sebab tenaga lawan makin
kuat dengan menerjang. Bila serangan itu ditangkis, maka kaki yang satu lagi
dengan mudah menghajar dada, tanpa sempat terlindungi. Karena menangkis
tendangan terbang seperti itu, lebih menguntungkan bila menggunakan dua buah
tangan.
Oleh karena itu, Ranjana tidak
menangkis tendangan itu. Buru-buru dia melompat ke samping. Ketua Perguruan
Gajah Putih itu tidak ingin mengambil risiko. Dia membuat gerakan menjauhi
tubuh lawan. Karena kaki Raja Tengkorak yang satu lagi, belum dipergunakan.
Dan, sangat berbahaya kalau dia mengelak tanpa menjauhkan diri.
Berbareng dengan mendaratnya
kedua kaki, Raja Tengkorak di tanah, Ranjana sudah siap menghadapi serangan
lawan selanjutnya.
Dan, memang serangan Raja
Tengkorak meluncur secara tiba-tiba, cepat dan bertubi-tubi. Kedua tangannya terkembang
membentuk cakar dan melesat ke arah ulu hati Ketua Perguruan Gajah Putih.
Dengan diiringi suara mendecit
nyaring dari udara yang terobek, cakar tangan Raja Tengkorak meluncur cepat.
Ranjana sama sekali tidak menghindari serangan itu. Dia mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki, dan menyongsong serangan itu dengan jari-jari yang
sama dengan lawan.
Prat...
"Akh ...!"
Ketua Perguruan Gajah Putih
memekik tertahan. Kedua tangannya terasa sakit-sakit bukan main. Terutama
sekali jari-jari tangannya yang seakan-akan telah patah-patah tulangnya. Bukan
hanya itu saja, tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya terhuyung dua langkah ke
belakang. Jelas kalau tenaga dalam Raja Tengkorak lebih kuat dari tenaga dalam
yang dimiliki Ranjana.
Belum lagi Ketua Perguruan
Gajah Putih itu sempat memperbaiki kedudukannya, kaki kanan Raja Tengkorak
kembali meluncur deras ke arahnya dengan tendangan lures ke arah dada.
"Hih ...!"
Meskipun dalam keadaan yang
tidak menguntungkan, Ranjana masih mampu menunjukkan kalau dirinya bukan tokoh
sembarangan yang gampang dipecundangi. Sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah
melompat ke belakang. Sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
Raja Tengkorak tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat tendangannya berhasil dielakkan, secepat
itu pula tubuhnya melesat memburu tubuh Ranjana yang sedang melompat. Maksud
laki-laki berseragam tengkorak ini sudah bisa diduga. Apa lagi kalau bukan
menyerang tubuh yang akan mendarat di tanah. Begitu tubuh itu mendarat,
serangan pun akan tiba. Jadi, sulit bagi laki-laki berwajah jantan itu untuk
mengelak.
Rupanya Ranjana juga sudah
memperhitungkan hal itu. Sewaktu tubuhnya berada di udara, benaknya berputar
cepat. Dan, dia segera. mencabut pedangnya.
"Hup ...!"
Ketika kedua kakinya mendarat
di tanah, pedang di tangannya dikelebatkan cepat. Dan....
Cappp ... !
Telak dan keras sekali pedang
itu membabat leher Raja Tengkorak. Tak pelak lagi kepala tokoh sesat yang
menggiriskan itu pun terbabat buntung. Kepalanya jatuh dan menggelinding di tanah.
Sedangkan tubuhnya, tetap tegak berdiri dengan kedua kaki.
Ranjana terkejut bukan
kepalang melihat kenyataan ini. Mimpikah dia? Tidak salahkah penglihatannya?
Mengapa begitu mudah membinasakan tokoh yang terkenal Sakti dan ditakuti itu?
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benaknya.
Karena dilanda perasaan
bingung, beberapa saat lamanya Ranjana terpaku kaku. Dia menatap mata
pedangnya. Jelas dilihatnya ada darah yang membekas di sana.
Tapi Ketua Perguruan Gajah
Putih ini menjadi curiga. Karena kematian lawan begitu mudah. Apalagi tubuh itu
tidak roboh ke tanah, tapi tetap berdiri tegak.
Rasa curiga membuat Ranjana
berusaha keras menenangkan pikirannya. Kini perhatiannya dialihkan pada tubuh
tanpa kepala yang masih berdiri tegak .
Sepasang mata Ranjana
terbelalak begitu melihat kenyataan di hadapannya. Betapa tidak? Kepala yang
semula tergolek dengan bagian wajah menempel ke tanah, mendadak bergerak-gerak
sendiri. Kepala itu hidup! Dan mendadak, kepala itu berbahk. Kini leher yang
terbabat pedang tadi menempel dengan tanah. Dan mendadak kepala itu melayang.
Karuan saja hal itu membuat Ketua Perguruan Gajah Putih terkejut bukan
kepalang. Buru-buru dia melompat mundur, seraya memutarmutarkan pedangnya di
depan dada.
Berjaga-jaga terhadap serangan
kepala itu.
Ternyata kekhawatirannya lama
sekali tidak terbukti. Kepala itu tidak melayang ke arahnya, melainkan ke arah
tubuh Raja Tengkorak yang masih berdiri tegak. Dan....
Tappp ... !
Begitu kepala itu menempel ke
tempat semula, tangan Raja Tengkorak bergerak ke atas. Kemudian mengusap
sambungan leher yang putus tertebas pedang.
Ajaib! Ketika kedua tangan itu
kembali diturunkan, sambungan pada bagian leher itu telah tidak terlihat lagi.
"Ha ha ha...!"
Raja Tengkorak tertawa
bergelak-gelak Tawa kemenangan. Sementara Ranjana menatapnya dengan pandang
mata memancarkan kengerian.
"Jangan mimpi bisa
mengalahkanku, Ranjana," kata laki-laki berpakaian tengkorak itu. Mulutnya
yang terlindung dalam sebuah selubung bergambar tengkorak, tersenyum mengejek,
"llmu iblis ... !"
desis Ketua Perguruan Gajah Putih dengan perasaan ngeri melihat kedahsyatan
ilmu lawannya. Dia pemah mendengar ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati.
ilmu 'Rawa Rontek'. Tapi, sungguh tidak diduga sama sekali kalau Raja Tengkorak
memiliki ilmu seperti itu. Dengan ilmu 'Rawa Rontek', bagian tubuh yang
terpisah mudah bersatu kembali. Hanya dengan mengetahui kelemahannya, lawan
yang memiliki ilmu itu baru bisa dibinasakan.
"Ha ha ha... !"
Raja Tengkorak tertawa
terbahak-bahak. Sebuah tawa yang panjang, tapi mendadak berhenti seketika.
"Hmh ... ! Saat
kematianmu sudah tiba, Ranjana! Kini aku tidak akan main-main lagi!"
Setelah berkata demikian,
tokoh sesat yang menggiriskan itu meluruskan kedua jari-jari tangan nya. Suara
aneh mirip desah ular mengiringi terbentuknya kedudukan jari-jari seperti itu.
Ranjana bersikap waspada. Dia
sadar kalau Raja Tengkorak telah siap menggunakan ilmu andalannya.
Sepasang mata Ketua Perguruan
Gajah Putih menatap tak berkedip pada kedua tangan lawannya, yang tampak
bergetar penuh kekuatan.
"Haaat ... !"
Laki-laki berwajah jantan ini
berusaha tidak kalah gertak. Pedang di tangannya diputar-putarkan di depan dada
sehingga menimbulkan suara berderit nyaring yang menyakitkan gendang telinga.
"Hiyaaat..!"
Diiringi suara teriakan
melengking nyaring, Raja Tengkorak melompat menerjang Ranjana. Kedua tangannya
yang terbuka lurus dan menegang kaku itu, menotok bertubi-tubi ke arah leher
lawan. Ada suara bercicitan nyaring yang mengawali tibanya serangan itu.
Ranjana tahu betapa
berbahayanya serangan itu, maka buru-buru dia memutar pedangnya di depan dada.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang tampak hanyalah segulungan sinar
putih yang mendindingi tubuhnya. Bila Raja Tengkorak memaksakan diri untuk
meneruskan serangan, sebelum mencapai sasaran, pedang di tangan Ketua Perguruan
Gajah Putih itu sudah terlebih dulu memenggal kedua tangannya.
Aneh! Raja Tengkorak sama
sekali tidak menarik pulang serangannya. Kedua tangannya tetap saja diluncurkan
ke arah sasaran.
Tak, tak, tak..!
Suara berderak keras terdengar
berkali-kali, tatkala kedua tangan itu berbenturan dengan pedang. Seakan-akan
yang berbenturan itu dua batang logam keras.
"Ah…!"
Tubuh Ranjana terhuyung-huyung
ke belakang. Tangan yang menggenggam pedang terasa ngilu bukan kepalang.
Terutama sekali jari-jari kedua tangannya. Terasa sakit-sakit bukan main.
Sementara kedua tangan lawannya sama sekali tidak terluka.
Tapi Ketua Perguruan Gajah
Putih ini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Raja Tengkorak yang
memang sudah ingin melenyapkannya, kembali maju menyerang. Pertarungan sengit
pun tak terhindarkan.
Ranjana melawan mati-matian.
Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tapi tetap saja dia tidak mampu
menandingi lawan. Kepandaian Raja Tengkorak memang berada di atasnya.
Ketua Perguruan Gajah Putih
ini memang kalah segala-galanya. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga
dalam, maupun mutu ilmu silat Belum lagi kelebihan Raja Tengkorak yang memiliki
ilmu- ilmu aneh. Di antaranya, ilmu 'Rawa Rontek' yang membuatnya mampu hidup
kembali. Meskipun seluruh anggota tubuhnya telah dipisahkan satu sama lain.
Bukan hanya itu saja, Raja
Tengkorak masih memiliki ilmu yang membuat kedua tangannya, kebal terhadap
segala macam senjata. 'Ilmu Baju Ular Emas' namanya.
Tak sampai tiga puluh jurus,
Ketua Perguruan Gajah Putih itu sudah terdesak hebat Kalau semula dia mampu
balas menyerang, kini dia tidak mampu melakukannya lagi. Ranjana hanya mampu
mengelak. Menangkis pun jarang dilakukannya, karena hal itu bisa merugikan
dirinya. Memang dengan kekuatan tenaga dalam yang berada di bawah lawannya,
menangkis hanya akan menguntungkan lawan.
Tappp ... !
Di jurus keempat puluh satu,
pedang Ranjana tertangkap lawan. Dia berusaha menariknya, tapi sia-sia, karena
Raja Tengkorak memiliki tenaga dalam yang lebih kuat daripadanya. Ketua
Perguruan Gajah Putih itu melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa
kali.
"Hmh ...!"
Raja Tengkorak mendengus
seraya melemparkan pedang lawan yang berhasi dirampasnya.
Dengan diiringi suara
mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, pedang itu melesat ke arah tubuh
Ranjana yang tengah berada di udara.
Ranjana sama sekali tidak
terkejut melihat hal itu, karena dia sudah memperkirakannya. ltuah sebabnya,
begitu pedang itu meluncur ke arahnya, segera dia memapak dengan sarung
pedangnya.
Pyarrr ... !
Sarung pedang itu hancur
berkeping-keping ketika berbenturan dengan pedang.
Saat itulah Raja Tengkorak
melancarkan serangan susulan. Memang, begitu melemparkan pedang pada Ranjana,
tokoh sesat yang menggiriskan itu melompat mengirim serangan susulan. Kedua
tangannya yang menegang kaku dan lurus, membentuk kedudukan jurus 'Ular',
bertubi-tubi ditusukkannya ke arah dada lawan.
Wajah Ranjana pucat seketika.
Dia tahu kalau tidak mungkin lagi mengelakkan serangan itu. Jalan satu-satunya,
hanya menangkis. Dan, itulah yang dilakukan Ketua Perguruan Gajah Putih ini.
Plak plak .. ! Crottt ... !
"Akh ... !"
Beberapa serangan bertubi-tubi
itu berhasil ditangkisnya. Namun hasilnya membuat sambungan kedua pergelangan
tangannya terlepas. Itulah sebabnya serangan lanjutan dari Raja Tengkorak tidak
bisa ditangkisnya lagi.
Akibatnya, kedua tangan Raja
Tengkorak amblas ke dalam dadanya. Cairan merah kental muncrat-muncrat di
bagian yang tertembus tangan.
Brukkk ... !
Seiring dengan jatuhnya tubuh
Ranjana, Raja Tengkorak mendaratkan kedua kakinya ke tanah.
Tokoh sesat yang menggiriskan
itu menatap tubuh lawan yang masih menggeliat-geliat beberapa saat, sebelum
akhimya diam dan tak bergerak lagi.
"Hih...
Raja Tengkorak melesat ke arah
pertarungan antara pengikut-pengikutnya melawan murid-murid Perguruan Gajah
Putih yang masih berlangsung sengit.
Hebat luar biasa sepak terjang
Raja Tengkorak. Ke mana saja tangannya bergerak, di situ ada tubuh murid
Perguruan Gajah Putih yang roboh di tanah untuk selamanya.
Suara lolong kesakitan yang
disertai robohnya tubuh-tubuh murid Perguruan Gajah Putih, terdengar dan saling
susul-menyusul.
Hanya dalam waktu sekejap,
tidak ada lagi murid Perguruan Gajah Putih yang masih berdiri tegak. Semua
tergeletak di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
"Geledah seluruh tempat
ini ... ! Siapa pun yang kalian temukan segera dibunuh. Jangan disisakan
seorang pun!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, tokohtokoh persilatan itu bergerak ke arah bangunan-bangunan yang ada di
dalam markas Perguruan Gajah Putih. Mereka memasuki dan memeriksa setiap
bangunan yang ada.. Sementara Raja Tengkorak menunggu di luar.
Tak lama kemudian, belasan
orang itu telah kembali.
"Bagaimana?" tanya
Raja Tengkorak cepat .
"Semua tempat telah kami
periksa, Ketua. Dan, beberapa orang pelayan yang ada di dalam telah kami
bunuh!" lapor seorang yang berkepala botak dan bertubuh pendek. Dunia
persilatan menjulukinya Setan Botak.
Belasan tokoh persilatan itu
bergerak cepat meninggalkan bangunan Perguruan Gajah Putih sambil meraih
obor-obor yang terdapat di sudutsudut rumah. Kemudian dilemparkan ke arah ba
ngunan. Ada yang melempar ke dalam, ke atap, dan ada juga yang ke jendela.
Sesaat kemudian, api pun
berkobar di setiap bangunan yang ada di situ. Mula-mula kecil, kemudian
membesar dan membumbung tinggi.
Raja Tengkorak dan
pengikut-pengikutnya melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah diamuk api.
Mereka memandang dari tempat yang agak jauh. Setelah seluruh bangunan itu
dipastikan terbakar habis, Raja Tengkorak melesat cepat meninggalkan tempat itu
diikuti oleh pengikutnya.
Kini, tinggal bangunan
Perguruan Gajah Putih yang masih diamuk api dan puluhan sosok tubuh yang
tergolek tanpa nyawa. Tidak ada lagi suara denting senjata terdengar. Malam
kembali hening, sepi, dan senyap.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa pelan, berat tapi
bergaung, mengejutkan Kalpa Reksa yang tengah termenung di depan rumahnya.
Kakek berpakaian hitam ini memang tengah dilanda kebimbangan. Cerita Dewa Arak
mengenai Raja Tengkoraklah yang menyebabkan dia bersikap demikian. Haruskah dia
kembali ke dunia persilatan lagi?
"Kau terkejut, Kalpa
Reksa?!" ejek pemilik tawa yang tak lain adalah Raja Tengkorak.
Jantung kakek berpakaian hitam
ini berdebar keras ketika melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Raja Tengkorak...!"
desis Kalpa Reksa. Meskipun agak lama, akhimya keluar juga sebutan itu dari
mulutnya.
"Ha ha ha...!"
laki-laki berseragam tengkorak itu tertawa menyambuti ucapan Kalpa Reksa.
"Tidak mungkin!"
Cetus Kalpa Reksa ketika akhinya bisa menenangkan hatinya yang terguncang hebat
Memang, pemandangan yang terlihat oleh kakek itu mengejutkan hatinya.
"Raja Tengkorak sudah
lama mati! Aku tahu betul hal itu! Kau pasti sengaja menggunakan nama besar
Raja Tengkorak untuk kepentingan dirimu!" sambung Kalpa Reksa.
"Keluarkan seluruh
perasaan yang mengganjal di hatimu, Kalpa Reksa. Agar kau tidak mati penasaran!
Aku datang kemari ingin menjemput nyawamu. Ingat! Kau telah membuat kesalahan
besar! Kau masih ingat pada Turgawa?"
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Kalpa Reksa ketika mendengar ucapan Raja Tengkorak Setiap kali nama
Turgawa disebut, hatinya terasa dicabik-cabik dengan sebilah pedang tajam.
"Tidak! Aku tidak akan
melupakan manusia jahanam itu!" tegas kakek berwajah tirus dengan suaranya
yang bergetar, karena menahan geram. Kalpa Reksa menghentikan ucapannya
sejenak, untuk menenangkan deru napas yang penuh diliputi rasa amarah.
"Jangan kau katakan kalau
dirimu adalah Turgawa," kata Kalpa Reksa, seraya sepasang matanya menatap
ke arah tangan Raja Tengkorak. Dilihatnya kedua tangan laki-laki berseragam
tengkorak itu tampak masih utuh. Padahal, dia yakin kalau tangan Turgawa sudah
tidak lengkap lagi. Karena dia telah menewasnya dalam pertarungan belasan tahun
yang lalu.
"Siapa bilang Raja
Tengkorak itu adalah Turgawa?" tanya laki-laki berbaju tengkorak dengan
suarra parau dan keras. "Kau telah salah mendengar berita, atau
pendengaranmu sudah tak sempurna lag!?"
Kontan Kalpa Reksa terguncang
mendengar ucapan itu. Bukan kata-kata itu yang menjadi penyebabnya. Tapi suara
itu amat dikenalnya betul meskipun telah belasan tahun tidak didengarnya lagi.
Bagaimana mungkin dia bisa melupakan suara orang yang amat dibencinya? Kalpa
Reksa tahu betul kalau pemilik suara itu adalah Turgawa!
"Apa kabarmu, Kakang
Reksa?!"
Kembali pemilik suara yang
mirip dengan suara Turgawa itu terdengar.
Tengkuk Kalpa Reksa terasa
dingin mendengar teguran itu. Tidak salah lagi. Pemilik suara itu adalah
Turgawa, adik seperguruannya. Memang hanya Turgawa seorang yang memanggilnya
dengan panggilan seperti itu.
'’Mimpikah aku?!" tanya
Kalpa Reksa dalam hati. "Tak mungkin.... Turgawa sudah tewas......
Untuk meyakinkan hati,
tangannya dicubit. Tercekat hati kakek berpakaian hitam ini tatkala rasa sakit
mendera bagian tubuh yang dicubitnya.
Ini menjadi pertanda kalau dia
tidak bermimpi. Oleh karena itu, dengan jantung berdebar tegang, kepalanya
ditolehkan ke arah asal suara.
Kontan hati Kalpa Reksa
tercekat, tatkala melihat sosok yang berdiri di sebelah kanan Raja Tengkorak
dalam jarak sekitar dua tombak.
"Kau.... Turgawa. ?!
Tapi..., tak mungkin kau masih hidup ... ?!" ujar Kalpa Reksa dengan suara
terputus-putus.
"Begitulah, Kang Reksa.
Hampir dua puluh tahun aku menanggung dendam ini. Dan sekarang tibalah saatnya
pembalasan dendam itu, Kalpa Reksa!"
Setelah berkata demikian,
Turgawa menoleh ke arah Raja Tengkorak.
"Ayo, Sengkala! Balaskan
dendamku...
Raja Tengkorak yang temyata
bernama Sengkala segera bergerak cepat menerjang Kalpa Reksa. Dan sekali
menyerang, tokoh sesat yang menggiriskan itu telah menyerang dengan ilmu
andalannya, 'llmu Baju Ular Emas' yang membuat kedua tangannya kebal terhadap
segala jenis senjata tajam.
Suara mencicit nyaring
terdengar ketika kedua tangan Raja Tengkorak meluncur deras ke arah dada dan
ulu hati Kalpa Reksa.
"Hehhh ... ?! 'Ilmu Baju
Ular Emas'?!" seru kakek berpakaian hitam terkejut "Dari mana kau
curi ilmu itu, Raja Tengkorak Palsu?!"
Sambil berkata begitu, Kalpa
Reksa segera menyusun kedudukan jari yang mirip dengan jari-jari lawannya.
Memang, dia juga menggunakan 'llmu Baju Ular Emas'.
Lucu dan unik sekali
pertarungan yang terjadi antara dua orang yang sama-sama memiliki ilmu serupa
itu.
Jalannya pertarungan sudah
bisa ditebak. Karena kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama, pertarungan
berjalan tidak menarik. Hal ini tidak aneh karena baik Kalpa Reksa maupun Raja
Tengkorak telah mengetahui perkembangan gerakan lawan.
Suara mencicit nyaring
mengiringi setiap gerakan kedua tokoh yang tengah bertarung itu. Jelas, kalau
gerakan kedua orang itu selalu dilandasi dengan tenaga dalam tinggi.
Seratus jurus telah berlalu.
Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan
masih berjalan seimbang. Hal ini membuat Turgawa jadi kehilangan kesabaran.
"Sengkala ... ! Cepat
robohkan dia...!"
"Hih...
Tubuh Raja Tengkorak melenting
ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Kalpa Reksa yang memang merasa
marah bukan kepalang pada Raja Tengkorak palsu ini bergegas mengejar.
Saat itulah, tangan Raja
Tengkorak mengibas. Sing, sing, sing... !
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika beberapa batang pisau melesat dari tangan yang mengibas itu.
Kalpa Reksa terkejut.
Kemarahan yang membakar hatinya, dan keinginannya untuk segera menewaskan
rekannya ini membuatnya kurang waspada sehingga lupa kemungkinan lawan akan
mengirimkan serangan.
Meskipun berada dalam keadaan
sulit, di mana serangan datang pada saat tubuhnya tengah berada di udara, Kalpa
Reksa masih mampu memunahkan serangan itu. Cepat-cepat kedua tangannya
diturunkan, dan dengan berlandasan pada kedua tangan itu, tubuhnya melenting ke
atas sehingga serangan-serangen pisau itu meluncur lewat di bawahnya.
Tapi rupanya serangan dari
Raja Tengkorak tidak hanya itu saja. Begitu, serangan pisau-pisaunya melesat ke
arah lawan, tangannya bergerak cepat Dan....
Wunggg ...
Rantai berujung tengkorak
kepala itu meluncur cepat ke arah Kalpa Reksa.
Kontan wajah kakek berpakaian
hitam ini memucat Serangan susulan itu datang begitu tiba-tiba dan pada saat
tubuhnya tengah melayang. Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan, seraya
menggerakkan tangan menangkap rantai itu. Kalpa Reksa bertindak nekat
Tappp....!Bukkk..
"Hugh...!"
Rantai baja itu berhasil
ditangkap oleh Kalpa Reksa. Tapi tengkorak kepala itu tetap saja meluncur.
Hanya saja meleset dari sasaran semula. Tidak lagi mengenai kepala melainkan
bahu!
Meskipun begitu tidak berarti
akibatnya ringan buat kakek berpakaian hitam itu. Tubuhnya terpental. Dan ada
cairan merah kental keluar dari mulutnya. Jelas Kalpa Reksa terluka dalam.
"Hup ...!"
Hebatnya dalam keadaan seperti
itu, Kalpa Reksa masih mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun
dengan agak terhuyung-huyung. Darah kental menetes di sudut-sudut bibimya.
Belum juga Kalpa Reksa berbuat sesuatu, rantai berujung tengkorak kepala milik
Raja Tengkorak kembali meluncur. Dan....
Bukkk ..
Telak dan keras sekali
tengkorak kepala itu menghantam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi, tubuh kakek
itu terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar
memancar deras dari mulut kakek berwajah tirus itu.
"Biar aku yang memberikan
pukulan terakhir, Sengkala ... !" sera Turgawa.
Raja Tengkorak mengurungkan
niatnya. Dibiarkannya Turgawa melangkah maju menghampiri tubuh Kalpa Reksa yang
tergolek.
"He he he...!"
Turgawa tertawa terkekeh.
Tapi sebelum kakek bertangan
carat itu menjatuhkan pukulan maut, sesosok bayangan ungu berkelebat Dan....
Tappp ...
Hey... !"
Turgawa terpekik kaget Tanpa
sadar dia melompat mundur, karena sosok bayangan itu juga melancarkan kibasan
ke arah kepalanya.
"Grrrhhh ... !"
Raja Tengkorak menggeram
keras. Dan sekali kakinya bergerak menggenjot, tubuhnya telah melesat mengejar
sosok bayangan ungu yang telah membawa lari Kalpa Reksa.
Tapi sosok bayangan ungu itu
sudah memperhitungkan hal itu. Tubuhnya berbalik sebentar. Dan Langan kanannya
yang bebas, karena tubuh Kalpa Reksa dipanggul di bahu kiri, dihentakkan.
Wusss ... !
Angin keras berhawa panas
menyengat menyambar ke arah Raja Tengkorak.
Tokoh sesat yang menggiriskan
itu terperanjat Dia tahu kalau lawan telah mengirimkan sebuah pukulan jarak
jauh yang dahsyat Maka dia tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru dia
melompat ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sedikit
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh sosok bayangan ungu itu. Tubuhnya melesat
cepat ke batik kerimbunan pepohonan.
"Keparat...!"
Begitu bangkit, Raja Tengkorak
memaki lawannya yang telah lenyap. Lebatnya hutan menyulitkannya untuk
mengetahui arah sosok bayangan ungu itu melarikan diri .
"Menilik dari pakaian dan
rambutnya, aku yakin dia adalah Dewa Arak..! Tapi begitu saktikah dia sehingga
tidak tewas oleh pisau beracunku...!" kata Raja Tengkorak pelan. Memang,
dia telah melihat sekilas ciri-ciri, sang penolong itu.
"Aku lebih condong
menduga kalau dia diselamatkan oleh Kalpa Reksa, Sengkala ... !"
"Hm ... !" Raja
Tengkorak hanya bergumam pelan.
"Sudahlah ... ! Mari kita
kembali. Masih banyak waktu lagi untuk membereskannya!". Turgawa mencoba
menenangkan hati tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Hhh ...!"
Raja Tengkorak menghela napas
berat sebelum akhimya melangkah meninggalkan tempat itu bersama Turgawa.
ooOWKNBROoo
"Cukup, Arya... !"
kata Kalpa Reksa.
Dan Dewa Arak yang duduk
bersila sambil menempelkan kedua tapak tangannya untuk menyembuhkan luka dalam
kakek berpakaian hitam itu, dengan cara menyalurkan tenaga dalam secara
per-lahan-lahan menarik kedua tangannya.
Kalpa Reksa membalikkan tubuh.
Kini dia berhadapan dengan Arya.
"Kau telah melihat Raja
Tengkorak itu, Ki?" tanya Arya dengan nada menuntut.
"Yahhh ... !" jawab
Kalpa Reksa dengan suara mendesah. "Dia benar-benar memiliki kesaktian
luar biasa. Entah siapa yang berada di balik seragam tengkorak itu. Tapi yang
jelas, dia murid Turgawa!"
"Turgawa?! Adik
seperguruanmu itu, Ki?! Jadi, dia masih hidup?!" tanya Arya dengan
sepasang mata membelalak.
"Ya," jawab Kalpa
Reksa singkat
"Ah ... ! Pasti kakek
berpakaian kuning itu! Betulkan, Ki?" Arya yang mulai teringat langsung
saja menduga.
Kakek berwajah tirus itu hanya
menganggukkan kepalanya.
"Hm ... !" Arya
bergumam pelan.
"Ada satu hal yang
membuatku agak bingung, Arya.
"Apa itu, Ki?!"
"Ilmu 'Baju Ular Emas'
yang dimiliki Raja Tengkorak palsu itu," ucap Kalpa Reksa lagi.
"Kenapa dengan ilmu itu,
Ki!"
"llmu itu bukan ilmu
sembarangan, Arya. Tapi ilmu yang terhitung aneh. Bila orang yang diwarisi ilmu
itu tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik 'llmu Baju Ular Emas' sebelumnya,
ilmu itu tidak akan memiliki kemampuan ke puncaknya."
Kalpa Reksa menghentikan
ucapannya. Sejenak untuk mengambil napas.
"Pada Raja Tengkorak
palsu itu, kulihat 'llmu Baju Ular Emas'nya telah mencapai puncak
kesempurnaan!"
"Berarti dia memiliki
hubungan darah dengan Turgawa," ucap Arya sekenanya.
"Hal itu sepertinya
mustahil, Arya," bantah Kalpa Reksa.
"Mengapa, Ki?"
"Turgawa tidak mampu
melakukan tugas sebagaimana layaknya seorang lelaki normal terhadap seorang
wanita. Dia mandul. ltulah sebabnya, sewaktu kami masih sama-sama berguru, dia
sering merasa iri padaku. Lalu, bagaimana dia bisa mempunyai anak?!" jelas
kakek berwajah tirus panjang lebar.
Karuan saja hal itu membuat
Arya tercenung. Benaknya berputar keras untuk mencari jawaban. Tapi sampai
lelah dia memikirkannya, tak juga jawaban bagi pertanyaan itu diketemukannya.
"Kurasa lebih baik kita
menyelidikinya nanti, Ki," usul Dewa Arak akhimya setelah beberapa saat
lamanya tidak juga menemukan jawaban.
Kalpa Reksa sama sekali tidak menyambuti
ucapan itu. Dia masih saja tercenung.
"Lalu, apa yang akan kau
lakukan, Ki?" tanya pemuda berpakaian ungu itu ingin tahu.
"Hhh ... !" Kakek
berwajah tirus itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Mungkin aku akan menjadi Raja Tengkorak kembali, Arya. "
"Aku belum mengerti
maksudmu, Ki," ucap Dewa Arak dengan alis berkerut.
"Aku akan terjun kembali
ke dunia persilatan dengan memakai seragam Raja Tengkorak."
"Mengapa mesti begitu,
Ki?!" Dengan perasaan heran pertanyaan itu diajukan Arya.
"Nama Raja Tengkorak
telah tercemar. Musti muncul Raja Tengkorak asli untuk memberitahukan pada
dunia persilatan kalau kekacauan ini dilakukan oleh Raja Tengkorak palsu untuk
menjelek-jelekkan julukan Raja Tengkorak. Aku yakin itulah maksud Turgawa
memakaikan seragam tengkorak pada seorang tokoh yang entah siapa itu,"
jelas Kalpa Reksa panjang lebar.
Arya terdiam. Disadari ada
kebenaran dalam ucapan itu.
"Mari ikut aku, Arya.
Setelah berkata demikian,
Kalpa Reksa segera beranjak meninggalkan tempat itu. Melewati kelebatan
pepohonan. Sampai akhirnya tiba di depan sebatang pohon beringin yang telah
tumbang.
Sampai di sini, Kalpa Reksa
menghentikan langkahnya. Kemudian dia berjongkok, dan menggali tanah di dekat
pohon itu.
Dengan tenaga dalamnya yang
sudah mencapai tingkatan tinggi, mudah saja bagi kakek berwajah tirus itu untuk
menggali. Sekalipun tanah di situ keras.
Tak lama kemudian terlihat
sebuah peti. Kalpa Reksa bergegas mengangkatnya.
"Di sinilah peralatan
Raja Tengkorak kusimpan," ucap kakek berpakaian hitam itu sambil membuka
tutup peti. Dan memang, di dalam peti itu terdapat pakaian seragam tengkorak,
pisau, rantai baja berujung kepala tengkorak dan pedang.
Tanpa mempedulikan Dewa Arak
yang keheranan, Kalpa Reksa segera mengambil pakaian seragam tengkorak itu dan
mengenakannya. Sekejap kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Raja Tengkorak
Pemuda berpakaian ungu itu
menelan ludah ketika menyadari tidak ada perbedaan sedikit pun antara Raja
Tengkorak palsu dengan Raja Tengkorak Kalpa Reksa. Baik tinggi tubuhnya maupun
seragamnya.
"Kini Raja Tengkorak
telah siap untuk membersihkan namanya yang dicemarkan ......
Suara yang keluar dart mulut
Kalpa Reksa mirip sekali dengan suara Raja Tengkorak palsu. Benar-benar tidak
ada bedanya sedikit pun.
"Lalu, bagaimana aku bisa
membedakanmu dengan Raja Tengkorak palsu itu, Ki? Semuanya begitu mirip,"
tanya Arya bingung.
Tidak usah khawatir, Arya.
Kita buat sebuah kata rahasia.
"Maksudmu, Ki?" Arya
masih belum mengerti.
"Begini. Apabila kau
bertemu dengan Raja Tengkorak. Kau harus menyapanya, Raja Tengkorak. Nah, nanti
aku akan menjawab, 'lenyapkan'. Bagaimana paham? Ingat, kalau jawaban yang kau
terima beda, dia adalah Raja Tengkorak palsu!"
Arya mengangguk pertanda
mengerti. Sungguh tidak disangka kalau Kalpa Reksa demikian cerdik.
"Nah! Kalau begitu, aku
pergi dulu. Kita bekerja sandiri-sendiri Arya. "
Belum juga habis kata-katanya,
tubuh Raja Tengkorak alias Kalpa Reksa telah melesat cepat meninggalkan pemuda
berambut putih keperakan itu.
Arya hanya bisa memandangi
kepergian Kalpa Reksa. Sama sekali tidak disangka kalau dirinya bisa terlibat
dalam masalah yang begini pelik. Dipandanginya bayangan tubuh Raja Tengkorak
asli itu hingga lenyap ditelan kerimbunan pepohonan. Kemudian kakinya
dilangkahkan menempuh arah yang berbeda.
Berhasilkah Kalpa Reksa
melenyapkan Raja Tengkorak Palsu alias Sengkala? Dan siapakah sesungguhnya
Sengkala itu? Apa hubungannya dengan Turgawa, sehingga tokoh sesat yang
menggiriskan itu terlihat sangat patuh kepadanya? Lalu, bagaimanakah nasib
Melati yang belum diketahui sampai sekarang?
Untuk jelasnya, silakan para
pembaca mengikuti serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode "Kembalinya
Raja Tengkorak".
SELESAI