10 - Tiga Macan Lembah
Neraka
Hari masih pagi. Matahari pun
belum naik tinggi ketika tiga sosok tubuh berkelebat mendaki Lereng Gunung
Jawi. Menilik dari gerakan mereka yang rata-rata gesit dan cepat, bisa
diperkirakan kalau tiga orang ini memiliki kepandaian tinggi.
Lincah dan ringan laksana
kera, tiga sosok itu ber- lompatan ke sana kemari. Gerakan mereka baru terhenti
ketika tiba di sebuah tempat yang lapang.
"Benarkah di sini tempat
tinggal tua bangka itu, Macan Tutul?" tanya salah seorang dari mereka.
Orang itu ber- tubuh kekar berkulit kuning. Pakaiannya berupa rompi yang
terbuat dari kulit macan loreng. Dunia persilatan men- julukinya Macan Loreng
Lembah Neraka.
Orang yang dipanggil Macan
Tutul menganggukkan kepalanya. Dia adalah seorang yang bertubuh pendek, gemuk,
berkepala botak dan berkulit merah. Pakaiannya serupa dengan Macan Loreng
Lembah Neraka. Hanya saja dari kulit macan tutul.
"Tapi, di sebelah mana,
Macan Tutul?" tanya salah seorang lagi. Berbeda dengan kedua orang tadi,
orang ketiga ini bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam legam. Sepasang matanya
jauh di da lam rongga. Pakaiannya berupa rompi dari kulit macan kumbang.
Julukan orang yang angker ini adalah Macan Kumbang Lembah Neraka.
Dalam dunia persilatan, nama
ketiga orang ini dikenal sebagai dedengkot-dedengkot aliran hitam. Tiga Macan
Lembah Neraka, begitu julukan mereka.
Macan Tutul Lembah Neraka
mendongakkan kepalanya menatap wajah Macan Kumbang. Baru setelah itu tangannya
yang gemuk dan pendek serta berkulit merah itu menuding ke arah Selatan.
"Di sanalah tempat tua
bangka itu! Mari! Kita diburu waktu!" ajak Macan Tutul Lembah
Neraka.Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka melesat. Lucu sekali
kelihatannya, seperti bukan seorang manusia yang tengah bertari. Melainkan
sebuah bola yang menggelinding. Tapi sungguhpun Macan Tutul Lembah Neraka
bertubuh pendek, sementara kedua rekannya bertubuh tinggi, tetap saja dia
mampu mengimbangi lari kedua rekannya.
Berkat ilmu meringankan tubuh
mereka yang luar biasa, tak lama kemudian, tampak oleh ketiga orang itu sebuah
bangunan yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal si
tua bangka!" teriak Macan Tutul Lembah Neraka seraya menudingkan
tangannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara tubuh
pendek Macan Tutul Lembah Neraka hinggap di depan pintu gubuk itu. Hanya
berjarak sekitar tiga tombak dari pintu. Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah
Neraka pun menghentikan larinya.
"Tapakjati! Keluar
kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk itu lantang. Suara yang
dikeluarkannya didorong dengan pengerahan tenaga dalam, membuat sekeliling
tempat itu bergetar hebat.
Macan Tutul Lembah Neraka
menghentikan teriakan- nya. Ditunggunya beberapa saat jawaban dari dalam. Tapi
sampai sekian lama menunggu, tak juga didengar sahutan.
"Tapakjati! Keluar! Atau
kubakar habis gubukmu!" ancam laki-laki pendek gemuk itu lagi. Kulit
wajahnya yang memang sudah merah, menjadi kian merah tatkala teriakannya sama
sekali tidak digubris.
Kali ini teriakan Macan Tutul
jauh lebih keras dari yang pertama. Tak pelak lagi, teriakan itu menggema ke
seluruh tempat itu. Gema yang bersahut-sahutan terbawa angin.
Terdengar suara gemeretak dari
murut Macan Tutul Lembah Neraka setelah sekian lamanya menunggu, tidak juga
muncul orang yang sejak tadi dipanggil-panggilnya.
Tapi baru saja dia hendak
berbuat sesuatu, di ambang pintu gubuk telah berdiri seorang kakek bertubuh
kurus berkepala botak, berpakaian abu-abu. Kumis dan jenggot yang menghias
wajahnya berwarna dua, panjang sampai ke dada.
Seperti tidak mengetahui kemarahan
ketiga orang di depannya, kakek kurus berkepala botak itu menghampiri pelahan.
"Mengapa kalian
berteriak-teriak memanggilku? Meski- pun usiaku telah lanjut, tapi aku belum
tuli..." tenang- tenang saja kakek yang dipanggil Tapakjati itu berkata.
"Tidak usah berbasa-basi,
Tapakjati!" sergah Macan Loreng Lembah Neraka keras. "Kami datang
untuk menagih hutang nyawa!"
"He he he...!"
Tapakjati tertawa terkekeh-kekeh sehingga mulutnya yang sudah ompong tidak
bergigi terlihat.
"Sekarang kau boleh
tertawa, Tapakjati! Tapi, sebentar lagi kau akan merintih dan meratap minta
dikasihani!" ancam Macan Tutul Lembah Neraka.
"Aku tertawa karena
merasa lucu mendengar ucapan kalian," sahut kakek kurus berkepala botak
itu. Suaranya masih terdengar tenang. Rupanya ancaman Macan Tutul Lembah Neraka
tidak membuatnya gentar sama sekali.
"Mana ucapan kami yang
kau katakan lucu itu, Kakek Peot?!" sergah Macan Loreng setengah
membentak.
"Ucapan tentang maksud
kedatangan kalian kemari."
Macan Tutul Lembah Neraka
mengernyitkan alisnya.
"Menagih hutang nyawa
yang kau anggap lucu, Tapakjati?" tebak laki-laki pendek gemuk setengah
tak percaya.
"He he he...!" hanya
tawa terkekeh saja yang menyambut ucapan Macan Tutul Lembah Neraka.
"Keparat kau, Tapakjati!" maki Macan Loreng Lembah Neraka. "Di
mana letak kelucuannya?! Cepat katakan! Sebelum lehermu kupuntir!"
"He he he.... sungguh
gagah sekali! Bukankah kau, Macan Loreng Lembah Neraka?!" tebak Eyang
Tapakjati sambil menatap tajam tubuh kekar dan berkulit kuning itu. "Dan
kalau aku tidak salah duga, kalianlah yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka?!"
"Rupanya matamu masih
belum lamur, Tapakjati! Memang kamilah yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka sambil tersenyum lebar. Memang
sudah menjadi kebiasaan di kalangan tokoh hitam, mereka akan merasa bangga
apabila ada orang yang mengenal nama atau julukannya.
"Nah, kalau kalian benar
Tiga Macan Lembah Neraka, kapan aku berhutang nyawa pada kalian?!" sambung
Eyang Tapakjati lagi. "Seingatku, aku tidak pernah berurusan dengan
orang-orang Lembah Neraka! Apalagi sampai mem- bunuh!"
"Kau memang tidak
bersalah pada kami! Tapi orang yang ada hubungannya denganmu telah membunuh
sahabat kami!" selak Macan Kumbang Lembah Neraka. Suaranya berat, penuh
wibawa. Memang dibanding kedua saudaranya, laki-laki berkulit hitam ini yang
paling pendiam dan jarang sekali bicara. Prinsipnya memang aneh. Pukul dulu,
urusan bicara belakangan!
Eyang Tapakjati mengerutkan
alisnya. Dia yang sudah lama menyepi di Lereng Gunung Jawi, mana tahu lagi
urusan dunia persilatan.
"Siapa sahabat
kalian?" tanya kakek kurus berkepala botak ini. Suaranya tidak lagi
terdengar riang. Agaknya Eyang Tapakjati mulai menyadari keseriusan masalah
yang dihadapinya. Dia tahu betul sifat tokoh yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka ini. Mereka tidak akan mengusik orang yang tidak mempunyai urusan dengan
mereka. Tapi, apabila orang mempunyai urusan dengan mereka, celakalah orang
itu. Sampai kapan dan di mana pun, Tiga Macan Lembah Neraka ini akan terus
memburu!
"Sahabat kami yang
berjuluk Raksasa Rimba Neraka!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka lantang.
"Raksasa Rimba
Neraka?" gumam Eyang Tapakjati pelahan.
"Ya!" jawab Macan
Tutul Lembah Neraka singkat.
"Lalu. siapa pembunuhnya
yang kalian tuduh mempunyai hubungan denganku?" desak Tapakjati ingin
tahu.
"Dewa Arak," jawab
Macan Loreng Lembah Neraka lambat-lambat penuh tekanan.
"Dewa Arak?!" ulang
kakek kurus berkepala botak itu.
Dahinya berkernyit dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya
"Ya, Dewa Arak!"
tegas Macan Tutul Lembah Neraka. "Kau mengenalnya, kan?"
"Tidak!" sahut Eyang
Tapakjati tegas.
"Bohong!" sentak
Macan Tutul Lembah Neraka keras.
"Buat apa repot-repot
berdebat segala, Macan Tutul. Bunuh saja, habis perkara!" selak Macan
Kumbang Lembah Neraka cepat.
Merah wajah Eyang Tapakjati
mendengar ucapan yang sangat merendahkan dirinya itu.
"Jangan kalian kira aku
takut dengan kalian! Aku mengatakan tidak mengenal orang yang berjuluk Dewa
Arak, karena memang aku tidak mengenalnya! Bukan karena aku takut pada
kalian!" ucap kakek kurus berkepala botak itu menjelaskan. Tegas dan
mantap sekali kata-katanya.
Tiga Macan Lembah Neraka
terdiam seketika. Mereka mendengar adanya nada kesungguhan dalam suara itu.
Macan Tutul Lembah Neraka merayapi sekujur wajah Eyang Tapakjati, seolah-olah
dari situ dapat diketemu- kannya kebenaran ucapan itu.
"Benar kau sama sekali
tidak mengenalnya, Tapakjati?!" tanya laki-laki pendek gemuk ini mulai
lunak suaranya.
Eyang Tapakjati menggelengkan
kepalanya.
"Mendengar julukannya pun
baru kali ini," jawab kakek kurus berkepala botak itu jujur.
"Hhh...! Kalau begitu,
kami salah alamat..." desah Macan Tutul Lembah Neraka pelan. "Mari
kita pergi...!"
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul Lembah Neraka melangkahkan kakinya yang pendek dan gemuk
meninggalkan tempat itu. Macan Loreng Lembah Neraka pun membalikkan tubuh dan
bersiap melangkah meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Macan
Tutul!"
Terdengar teriakan keras yang
amat dikenal oleh Macan Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka. Suara berat dan
bergaung penuh wibawa itu hanya dimiliki oleh Macan Kumbang Lembah Neraka!
"Ada apa, Macan
Kumbang?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka, seraya menghentikan langkah,
dan membalikkan tubuhnya. Macan Loreng Lembah Neraka pun menghentikan langkah,
dan membalikkan tubuhnya.
"Ada sesuatu yang kau
lupakan, Macan Tutul," ucap laki- laki berkulit hitam itu.
"Apa?" tanya Macan
Tutul Lembah Neraka ingin tahu.
Tapi Macan Kumbang Lembah
Neraka tidak mem- pedulikannya. Pandangannya dialihkan, menatap sekujur wajah
Eyang Tapakjati lekat-lekat. Hal ini tentu saja membuat kakek kurus berkepala
botak yang sudah menarik napas lega, kembali merasa tidak enak.
Macan Tutul Lembah Neraka
menahan perasaan men- dongkolnya. Dialihkan perhatiannya pada Eyang Tapakjati.
Macan Loreng Lembah Neraka pun tidak ketinggalan.
"Tapakjati..."
"Hm..." hanya
gumaman yang menyahuti panggilan Macan Kumbang Lembah Neraka.
"Kau kenal dengan Ki
Wanayasa dan Pendekar Ruyung Maut?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka
dengan suaranya yang khas.
"Wanayasa aku kenal, tapi
Pendekar Ruyung Maut aku tidak kenal," jawab Eyang Tapakjati.
"Apa hubunganmu dengan
Wanayasa?" kejar Laki-laki berkulit hitam legam itu.
"Dia muridku... "
"Dan Pendekar Ruyung
Maut?" desak Macan Kumbang Lembah Neraka lagi.
Merah wajah Eyang Tapakjati.
Tulikah Macan Kumbang Lembah Neraka ini? Bukankah sudah dikatakan kalau dia
sama sekali tidak mengenal orang yang ditanyakan itu?
"Sudah kukatakan ladi.
Aku sama sekali tidak mengenainya! Titik!" sahut kakek kurus berkepala
botak ini tanpa berusaha menyembunyikan emosinya.
"Aneh...! Kau ini memang
tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, Tapakjati?" tanya Macan Kumbang
Lembah Neraka lagi. Secercah senyum sinis menghias wajahnya.
"Aku tidak sepengecut
itu, Macan Kumbang!" sentak Eyang Tapakjati keras.
"Begitukah?!" ejek
Macan Tutul Lembah Neraka yang kini sudah mengerti. "Mungkin memang kau
tidak tahu, Tapakjati. Tapi biarlah kuberitahu. Pendekar Ruyung Maut itu adalah
adik seperguruan Wanayasa."
"Mustahil!" sergah
Eyang Tapakjati keras. "Wanayasa hanya mempunyai satu orang adik
seperguruan. Tribuana namanya!"
Macan Tutul Lembah Neraka
tersenyum mengejek.
"Sekarang kau tentu sudah
bisa memperkirakan siapa Pendekar Ruyung Maut itu, Tapakjati?!"
Wajah Eyang Tapakjati berubah
hebat.
"Maksudmu... dia...,
Pendekar Ruyung Maut itu adalah Tribuana?"
"Tepat!" sahut Macan
Tutul Lembah Neraka. "Apakah sekarang kau masih mau mengatakan tidak
mengenal Pendekar Ruyung Maut alias Tribuana itu?"
"Aku tidak sepengecut
itu, Macan Tutul! Kalau benar Pendekar Ruyung Maut adalah Tribuana, jelas kalau
pendekar itu adalah muridku!" tandas Eyang Tapakjati.
"Sekarang masalahnya
sudah jelas, Tapakjati! Mau tidak mau kau harus tersangkut urusan ini. Kami
harus menagih hutang nyawa sahabat kami!" tegas Macan Tutul Lembah Neraka
sambil menatap tajam wajah kakek kurus berkepala botak itu.
Eyang Tapakjati membisu. Tidak
membantah sedikit pun. Benar atau tidak dia tersangkut masalah ini, tidak
dipedulikan lagi. Harga dirinya telah tersinggung. Sikap Tiga Macan Lembah
Neraka begitu meremehkan dirinya. Dan ini membuat amarahnya bergolak.
Agak heran hati Macan Tutul
Lembah Neraka ketika melihat kakek kurus berkepala botak itu diam saja.
"Perlu kau ketahui,
Tapakjati. Dewa Arak adalah putra dari Tribuana, muridmu!"
"Apa?!" sepasang
mata Eyang Tapakjati terbelalak lebar. "Dewa Arak putra Tribuana?!
Jadi..., Jadi... dia adalah cucu muridku!"
"Benar! Dan karena
itulah, kami harus menagih hutang nyawa sahabat kami padamu, Tapakjati!"
tandas laki-laki bertubuh pendek gemuk itu keras.
"Akan kuturuti apa maumu,
Macan Tutul! Aku malah bangga seandainya Dewa Arak benar-benar cucuku! Dan
seandainya benar, dia yang membunuh Raksasa Rimba Neraka pun, aku akan
membelanya! Karena dia berada di pihak yang benar!"
"Keparat! Kau cari
mampus, Tapakjati!" selak Macan Tutul Lembah Neraka seraya melompat
menerjang. Cepat bukan main gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah bayangan
hitam yang berkelebat ke arah Eyang Tapakjati.
Macan Tutul Lembah Neraka
membuka serangan dengan sampokan tangan kanan yang membentuk cakar naga ke
pelipis Eyang Tapakjati. Sementara tangan kirinya disilangkan di dada. Bersiaga
terhadap serangan balasan lawan.
Serangan itu datang begitu
cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan yang dilakukan Eyang Tapakjati.
Segera tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga sampokan itu menyambar lewat di
depan mukanya. Tidak hanya sampai di situ saja, yang dilakukan kakek kurus
berkepala botak itu. Secepat kilat kaki kanannya menyambar deras ke perut
lawan.
Macan Tutul Lembah Neraka
tentu saja tidak mau perutnya tertendang. Segera saja tangan kirinya yang
disilangkan di dada, dibacokkan ke bawah.
Takkk!
Benturan antara tangan dan
kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.
Akibatnya, baik Macan Tutul Lembah Neraka maupun Eyang Tapakjati sama-sama
terhuyung mundur satu langkah. Dari hasil benturan ini dapat diketahui kalau
tenaga dalam kedua tokoh itu berimbang.
Eyang Tapakjati terkejut juga
mengetahui hal ini. Memang sebelumnya laki-laki kurus berkepala botak ini
pernah mendengar kelihaian Macan Tutul Lembah Neraka. Tapi sungguh di luar
dugaannya kalau sampai selihai itu. Kalau satu orang di antara mereka saja
sudah begitu lihai, bagaimana kalau mereka maju berbareng? Diam-diam Eyang
Tapakjati mengkhawatirkan nasib cucu muridnya bila terpaksa harus berhadapan
dengan mereka sekaligus.
Tapi kakek kurus berkepala
botak ini tidak bisa berpikir lama-lama, karena serangan dari Macan Tutul
Lembah Neraka telah menyambar lagi. Tahu kalau lawan memiliki kepandaian yang
amat tangguh, Eyang Tapakjati pun mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga'!
Macan Tutul Lembah Neraka
menggeram hebat. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar, menyambar- nyambar
dahsyat mencari sasaran.
Eyang Tapakjati berusaha
mempertahankan selembar nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Kakek
kurus kepala botak ini menyadari kalau lawan yang akan dihadapinya bukan hanya
Macan Tutul seorang, tapi masih ada dua lawan tangguh lagi yang menunggunya.
Kalau mengulur-ulur waktu, dia khawatir akan keburu lelah sebelum menghadapi
lawan yang lainnya.
Pertarungan antara kedua tokoh
yang sama-sama sakti itu berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu sekejap saja,
dua puluh jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh ini, belum nampak tanda-tanda
ada yang akan terdesak.
Macan Tutul Lembah Neraka
meraung. Laki-laki pendek gemuk ini marah bukan main. Sungguh tidak disangka
kalau lawannya begitu lihai, sehingga sampai sekian lamanya dia belum mampu
mendesak.
"Haaat..!"
Macan Tutul meraung murka.
Tubuhnya melompat menerjang Eyang Tapakjati. Dan selagi berada di udara,
tubuhnya dibalikkan seraya mengibaskan kaki kanannya.
Eyang Tapakjati bersikap
tenang. Kibasan kaki yang mengancam kepalanya itu, segera dibuat mati kutu
dengan hanya merundukkan sedikit tubuhnya. Tapi, tak disangka- sangka kalau
mendadak tubuh Macan Tutul Lembah Neraka berputar sekali lagi di udara. Dan
dari atas, kedua tangan yang berbentuk cakar itu menyampok ke belakang kepala
lawannya.
Eyang Tapakjati terperanjat
kaget. Namun tidak menjadi gugup. Buru-buru dia melompat ke depan kemudian ber-
gulingan menjauh.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Macan Tutul Lembah Neraka menjejak tanah. Dan secepat kedua kaki itu mendarat,
secepat itu pula laki-laki bertubuh pendek gemuk ini memburu tubuh Eyang
Tapakjati yang sedang bergulingan menjauh.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka
memekik keras seraya mengkelebatkan cakarnya ke arah tubuh Eyang Tapakjati.
Crab, Crab!
Jari-Jari Macan Tutul Lembah
Neraka amblas ke dalam tanah, ketika tubuh Eyang Tapakjati telah bergulingan
menghindar. Tapi laki-laki pendek gemuk ini tidak putus asa. Kembali tubuh yang
bergulingan itu dikejar, dan dihujani dengan serangan-serangan cakarnya yang
menimbulkan desir angin bercicitan.
Beberapa saat lamanya terjadi
adegan yang lucu dan menarik. Tubuh Eyang Tapakjati terus bergulingan, men-
coba melepaskan diri dari sambaran cakar Macan Tutul Lembah Neraka yang terus
mencecarnya bertubi-tubi.
"Hiyaaa...!"
Mendadak Eyang Tapakjati
memekik nyaring. Belum lagi habis gema teriakan itu, tahu-tahu tubuhnya sudah
melenting laksana seekor ikan.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka
tentu saja tidak mem- biarkan lawannya lolos. Cepat dia pun melompat, mengejar
tubuh Eyang Tapakjati yang telah melenting lebih dulu.
"Hiaaat...!"
Seraya mengeluarkan bentakan
nyaring, Macan Tutul Lembah Neraka mengirim serangan ke arah ulu hati. Kedua
cakarnya, menyambar ganas menuju sasaran.
Eyang Tapakjati tidak punya pilihan
lain lagi. Tubuhnya masih berada di udara. Dan merupakan suatu hal yang
mustahil bila harus mengelak selagi kedua kakinya tidak mempunyai landasan
untuk berpijak. Terpaksa dipapaknya serangan itu dengan kedua tangan yang
membentuk cakar.
Prattt...!
Benturan antara dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu tidak bisa terelakkan.
Dan akibatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama terjengkang. Rasa nyeri
merayapi sekujur tangan mereka.
"Hup...!"
Hampir bersamaan kedua tokoh
itu mendarat di tanah. Tampak jelas betapa Macan Tutul Lembah Neraka dan Eyang
Tapakjati sama-sama terhuyung, begitu kedua kakinya hinggap di tanah.
Macan Tutul Lembah Neraka
meraung murka. Begitu selesai memperbaiki posisi kuda-kudanya, seketika itu
juga tangannya bergerak. Dan entah dari mana, tahu-tahu sebuah ruyung terbuat
dari perak telah tergenggam di tangannya.
"Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan pekikan
melengking, Macan Tutul Lembah Neraka berlari menyerbu Eyang Tapakjati. Ruyung
perak di tangannya diayunkan ke arah kepala tokoh ber- usia lanjut itu.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras
mengawali tibanya serangan ruyung. Tapi, Eyang Tapakjati tidak menjadi gugup.
Segera dilempar tubuhnya ke belakang, bersalto beberapa kali di udara. Dan
begitu kedua kakinya menjejak tanah, pada kedua tangannya juga telah tergenggam
sepasang tongkat pendek berwama hitam mengkilat. Tanpa ragu-ragu lagi, Eyang
Tapakjati segera menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Sepasang Tongkat Pembunuh
Naga'!
Angin menderu-deru keras
begitu Eyang Tapakjati meng- gerak-gerakkan sepasang tongkat pendek di
tangannya. Kini dengan dua tongkat di tangan, kakek kurus berkepala botak ini
menghadapi serbuan Macan Tutul Lembah Neraka yang menggunakan ruyung perak!
Pertarungan kembali berlangsung
sengit. Dengan senjata andalan di tangan, akibat yang ditimbulkan oleh
pertarungan kedua tokoh itu menjadi semakin dahsyat. Debu mengepul tinggi ke
udara. Tanah terbongkar di sana- sini.
Sebentar saja puluhan jurus
telah berlalu. Dan sampai selama itu, belum ada tanda-tanda siapa yang akan
ter- desak. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang. Baik dalam hal
tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh.
Tapi menginjak jurus ke
serarus dua puluh, napas Eyang Tapakjati mulai terengah-engah. Maklum, usia
kakek ini sudah sangat tua. Di samping itu, sudah lama sekali tidak berlatih,
kecuali hanya bersemadi. Itu pun hanya seperlunya saja. Maka tidak aneh kalau
saat ini kakek kurus berkepala botak itu sudah kelelahan.
Seiring dengan rasa lelah yang
timbul, gerakan-gerakan Eyang Tapakjati pun mulai menjadi lambat. Tenaganya
mulai merosot jauh. Serangan-serangannya sudah ber- kurang, Beberapa kali
sewaktu mengadu senjata, tubuh tokoh berusia lanjut ini terhuyung-huyung.
Tentu saja hal ini membuat
Macan Tutul Lembah Neraka menjadi girang. Serangan-serangan ruyungnya pun
semakin ditingkatkan. Karuan saja hal ini membuat Eyang Tapakjati semakin
kerepotan.
Pada jurus ke seratus tiga
puluh satu, Macan Tutul Lembah Neraka mengayunkan ruyungnya ke pelipis Eyang
Tapakjati. Bergegas kakek kurus berkepala botak itu mengangkat tongkatnya
menangkis.
Trak!
"Akh...!"
Eyang Tapakjati memekik
tertahan. Kondisinya yang sudah lelah, dan tenaganya yang sudah jauh berkurang,
membuat tubuhnya terhuyung-huyung sewaktu menangkis serangan itu. Tongkat
pendek di tangannya pun kontan terlepas dari genggaman. Dan sebelum kakek kurus
itu sempat berbuat sesuatu. Macan Tutul Lembah Neraka kembali mengirimkan
serangan susulan.
"Hiyaaa...!"
Senjata ruyung milik laki-laki
pendek gemuk itu menyambar bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Eyang
Tapakjati.
Buk! Buk!
"Akh...!"
Kakek kurus itu memekik
tertahan. Tubuhnya yang sudah lelah membuatnya tidak mampu mengelak, sehingga
dengan telak dan kerasnya semua sambaran ruyung Macan Tutul Lembah Neraka
bersarang di sasaran- nya. Seketika itu juga tubuh Eyang Tapakjati terjungkal,
dan jatuh berdebuk keras di tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir
darah segar.
"Ha ha ha..!"
Macan Tutul Lembah Neraka
tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan. Ditatapnya wajah Eyang
Tapakjati yang sudah tak mampu bangkit lagi. Sekali pandang saja, laki-laki
bertubuh pendek gemuk ini tahu kalau kakek kurus itu tidak akan mampu bertahan
lebih lama lagi. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah.
Setelah melepaskan pandang
mata mengejek, Macan Tutul Lembah Neraka lalu melangkah pelahan meng- hampiri
kedua rekannya.
"Mari kita pergi."
ucap laki-laki pendek gemuk ini pelan. Setelah berkata demikian, tubuhnya
melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya. Sungguh tidak sesuai dengan
potongan tubuhnya yang gemuk dan pendek.
Macan Kumbang dan Macan Loreng
Lembah Neraka pun melesat kabur dari situ. Mereka tak menyadari kalau sedari
tadi ada sepasang mata yang mengintip semua kejadian itu. Sepasang mata dari
seorang pemuda berwajah tampan, berpakaian merah muda!
***
Sesosok bayangan ungu
berkelebat cepat mendaki Lereng Gunung Jawi. Cepat bukan main gerakannya.
Rambutnya yang putih keperakan nampak berkibaran tersapu angin.
"Eh...?!"
Sosok bayangan ungu memekik
kaget, ketika di sebuah tikungan hampir saja bertabrakan dengan orang yang ber-
pakaian serba hitam. Untung dia sempat menahan langkahnya, kemudian kakinya
dijejakkan sehingga tubuhnya melenting ke atas. Sosok ungu itu lewat di atas kepala
orang itu, berputar sekali di udara kemudian hinggap ringan di belakang sosok
serba hitam tadi
Sosok serba hitam, itu pun
tidak kalah kagetnya ketimbang sosok bayangan ungu tadi. Sosok hitam itu tentu
saja tahu kalau tadi hampir terjadi tabrakan, namun batal karena orang itu
mampu mengelak dengan cara yang luar biasa sekali!
Sosok serba hitam ini segera
menghentikan langkahnya Tapi, salah seorang dari dua rekannya segera memegang
tangannya.
"Jangan cari perkara,
Macan Kumbang," ucap rekannya yang bertubuh pendek dan gemuk, yang
ternyata adalah Macan Tutul Lembah Neraka.
Macan Kumbang Lembah Neraka
mendengus.
"Aku hanya penasaran dan
ingin tahu siapa orang itu. Gerakannya sewaktu mengelakkan tubrukan,
benar-benar mengejutkan hatiku."
"Lupakanlah...! Kita
mempunyai urusan yang jauh lebih penting. Membalas dendam kematian sahabat kita
pada Dewa Arak!" selak Macan Loreng Lembah Neraka ikut campur tangan.Tanpa
berkata apa-apa, Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat dari situ.
Macan Tutul dan Macan Loreng
Lembah Neraka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama kemudian
keduanya pun sudah melesat, menyusul rekan mereka.
Bukan hanya Macan Kumbang
Lembah Neraka yang menghentikan larinya. Sosok bayangan ungu itu pun
menghentikan larinya. Di bawah jilatan sinar matahari yang cukup terik, tampak
jelas sosok ungu itu. Sosok ungu itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah
tampan dengan rambut putih keperakan tergerai sampai ke bahu. Sebuah guci arak
perak tersampir di punggungnya. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa
Arak!
Tapi hanya sejenak saja Dewa
Arak menghentikan larinya. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah kembali melesat.
Sungguhpun begitu, benaknya berputar keras. Siapakah gerangan tiga sosok yang
menitik dari gerakannya adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi? duga
Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Arya pun
tiba di tanah lapang yang luas. Sebelum tewas, almarhum ayahnya telah mem-
beritahu kepadanya tempal tinggal kakek gurunya. Sehingga kini Arya tidak
mengalami kesulitan untuk men- carinya.
Memang niat Arya mendaki
Lereng Gunung Jawi ini adalah untuk menengok kakek gurunya. Sekaligus mem-
perkenalkan dirinya. Sudah sejak lama sebenarnya Arya mempunyai maksud
demikian, hanya saja selalu tertunda- tunda, karena selama dalam perjalanannya
selalu men- jumpai berbagai masalah.
Sekarang kebetulan dalam
pengembaraannya Dewa Arak melewati Gunung Jawi, maka Arya pun tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini. Segera saja ditunaikan niat yang telah lama tertunda,
mengunjungi kakek gurunya.
Begitu tiba di tanah lapang
yang luas ini, Dewa Arak kian mempercepat larinya. Pemuda berambut putih
keperakan ini tahu kalau tidak lama lagi, dia akan tiba di tempat kediaman
kakek gurunya.
Apa yang diduganya memang
tidak salah. Dari kejauhan, bangunan tempat tinggal Eyang Tapakjati pun sudah
terlihat. Hati Arya berdebar tegang. Rasa gembira dan keinginan untuk segera
bertemu membuatnya, jadi agak gelisah.
Tapi kegembiraan yang melanda
hati Arya lenyap seketika. Mendadak pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh
yang tergolek di tanah. Perasaan tidak enak pun berkecamuk dalam dada Dewa
Arak.
Sesaat kemudian pemuda
berambut putih keperakan ini telah berada di dekat tubuh Eyang Tapakjati yang
tergolek lemah tak berdaya.
Sepasang mata Dewa Arak membelalak
lebar. Pelahan tubuhnya membungkuk. Diperhatikannya raut sosok wajah yang
tergolek Itu. Ternyata ciri-ciri yang dimiliki kakek botak yang terbaring ini,
persis seperti yang diceritakan ayahnya.
Pelahan tangan Dewa Arak
diulurkan. Dirabanya detak jantung dan denyut nadi kakek kurus berkepala botak
itu. Ah, ternyata kakek itu belum mati! Sungguhpun begitu, sekali lihat saja
Arya telah mengetahui kalau Eyang Tapakjati tidak bisa diselamatkan lagi.
"Eyang...," panggil
Arya. Pelahan sekali suaranya. Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih
kaget melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangkanya kalau perjumpaan pertama
dengan kakek gurunya adalah perjumpaan untuk yang terakhir kalinya. Perjumpaan
sekaligus perpisahan!
Mendadak kelopak mata Eyang
Tapakjati yang semula terpejam rapat, membuka. Tapi sorot mata itu begitu
kosong, seolah-olah tidak menampakkan sinar kehidupan.
"Siapa kau?" tanya
Eyang Tapakjati dengan suara ter- putus-putus. Sepasang matanya menatap wajah
Dewa Arak lekat-lekat "Sepertinya aku pernah mengenalmu...."
Tentu saja Eyang Tapakjati
merasa mengenal Dewa Arak, karena wajah pemuda ini memang sangat mirip dengan
ayahnya, Tribuana.
"Aku Arya, Eyang. Arya
Buana...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu memberitahu.
"Arya Buana...?"
gumam kakek kecil kurus itu mengulang.
"Ya, Eyang. Aku cucu
murid Eyang, Ayahku Tribuana."
"Ahhh...! Jadi, kaukah
yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Eyang Tapakjati setengah tidak percaya.
"Benar, Eyang, Kini aku
datang menemui Eyang. Katakanlah, siapa yang telah melakukan semua ini pada
Eyang?"
Kakek bertubuh kurus itu
menggelengkan kepalanya.
"Lebih baik kau tidak
usah mengetahuinya, Arya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang amat sakti. Cepatlah
menyingkir dari sini. Mereka tengah mencarimu...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Mereka? Siapa mereka,
Eyang? Mengapa mencariku?" tanya Arya. Nada suaranya menyiratkan
keingintahuan yang dalam.
Napas Eyang Tapakjati mulai
tersengal-sengal.
"Mereka... hendak
membalas dendam padamu, Arya," sahut kakek itu terputus-putus.
"Membalas dendam
padaku?" tanya Arya meminta kepastian.
"Benar."
"Mengapa, Eyang?"
desak Arya.
"Karena kau telah
membunuh sahabat mereka," jawab Eyang Tapakjati memberi penjelasan.
Arya menarik napas dalam-dalam
dan menghembus- kannya kuat-kuat. Wajahnya menyorotkan ketidak- mengertian yang
amat sangat. Siapakah orang yang tengah mencari-carinya? Dan, siapakah orang
yang telah dibunuh- nya? Dua pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak.
"Eyang tahu siapa sahabat
mereka?" tanya Arya.
"Ya," sahut Eyang
Tapakjati seraya menganggukkan kepalanya. "Mereka mengatakannya."
"Siapa, Eyang?"
"Raksasa Rimba
Neraka."
"Ahhh...!" seru Arya
terkejut
"Kau mengenalnya,
Arya?" tanya Eyang Tapakjati ketika dilihatnya Dewa Arak terkejut begitu
mendengar nama Raksasa Rimba Neraka.
Pelahan kepala Arya
mengangguk.
"Benar kau yang telah
membunuhnya?" tanya kakek bertubuh kurus itu lagi.
Kembali kepala Arya
mengangguk.
"Kalau begitu, cepatlah
kau menyingkir, Arya. Kalau perlu, cari paman gurumu. Dan mintalah perlindungan
padanya," saran Eyang Tapakjati. Raut wajahnya memancarkan kecemasan.
Wajah Arya memerah mendengar
ucapan itu.
"Maaf, Eyang. Bukannya
aku tidak menghargai saran Eyang. Tapi, aku bukanlah seorang pengecut, yang
akan lari dari tanggung jawab. Lagi pula paman guru telah tiada, Eyang."
"Apa katamu, Arya?!"
tanya Eyang Tapakjati kaget. "Paman gurumu telah tewas?"
"Benar, Eyang,"
sahut Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian secara singkat
diceritakannya tentang kematian paman gurunya. Juga kematian ayahnya (Untuk
jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Hhh...! Sungguh tidak
kusangka kalau umur mereka tenyata begitu singkat," keluh Eyang Tapakjati.
Suaranya terdengar kian lemah, bahkan napasnya pun tersengal- sengal.
Melihat hal ini karuan saja
Arya menjadi khawatir. Pemuda berambut putih keperakan ini takut, kakek kurus
itu keburu tewas sebelum memberitahukan siapa orang yang tengah mencarinya.
"Eyang, katakanlah! Siapa
orang yang tengah mencari- cariku...?"
"Lebih baik kau tidak
usah tahu, Arya. Mereka sangat sakti...."
"Tapi, Eyang. Bagaimana
bisa aku menjaga diri kalau tidak tahu siapa orang yang tengah mencariku,"
ucap Arya memberi alasan.
Eyang Tapakjati kontan
termenung. Disadari kebenaran ucapan cucu muridnya itu.
"Mereka berjuluk Tiga
Macan Lembah Neraka... akh...!" kepala kakek itu pun terkulai.
"Eyang...!" seru
Arya tersentak kaget Diguncang- guncangnya tubuh Eyang Tapakjati yang telah
tidak bernyawa lagi. Tapi, betapa pun keras guncangan Arya, dan betapa pun
keras mulutnya menjerit-jerit memanggil kakek itu, tetap saja kakek itu diam
tidak menjawab. Diam untuk selama-lamanya.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun
sadar, tidak ada gunanya lagi dia berteriak-teriak dan menguncang-guncangkan
tubuh itu. Arya pun lalu membopong mayat Eyang Tapakjati. Kemudian beranjak
bangkit dan berjalan pelahan meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa
tindak melangkah, terdengar suara bentakan nyaring.
"Pencuri keparat! Jangan
lari kau...!"
Seketika itu juga Dewa Arak menghentikan
langkahnya. Dibalikkan tubuhnya, menghadap bangunan tempat tinggal kakek
gurunya, tempat asal suara bentakan itu. Dilihatnya seorang pemuda berlari
cepat ke arahnya. Dewa Arak pun berdiri menunggu. Ingin diketahuinya, siapa
pemuda yang datang dari rumah tempat tinggal kakek gurunya.
Tak lama kemudian, pemuda itu
pun telah berada di depan Dewa Arak, dalam jarak sekitar tiga tombak. Arya
memperhatikan pemuda itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Seorang pemuda
bertubuh agak pendek, berwajah tampan, berpakaian merah muda.
"Siapa kau, Kisanak? Dan
mengapa menuduhku pencuri?" tanya Arya. Nada suaranya terdengar agak
ketus. Pemuda ini tidak senang dimaki seperti itu.
"Seharusnya aku yang
bertanya seperti itu, Kisanak," sergah pemuda berbaju merah muda itu
sinis.
Kalau saja saat itu Dewa Arak
berada dalam keadaan biasa, mungkin emosinya masih bisa dikuasai. Tapi karena
perasaan pemuda berambut putih keperakan ini sedang kacau, sikap pemuda baju
merah muda itu membuat
amarahnya meledak.
"Tidak usah
berbelit-belit, Kisanak!" potong Arya keras. "Katakan, apa maksudmu
sebenarnya?"
"Kau adalah
pencuri!" tandas pemuda berbaju merah muda itu keras.
"Keparat! Jelaskan
maksudmu, sebelum habis kesabaranku!"
Pemuda berpakatan merah muda
itu tersenyum sinis.
"Mayat yang kau bawa itu
adalah mayat guruku! Apakah bukan pencuri namanya kalau seseorang membawa kabur
hak milik orang lain?"
Seketika itu juga kemarahan
Dewa Arak mereda. Urat- urat syarafnya yang tadi menegang kini mulai mengendur.
"Jadi, kau murid Eyang
Tapakjati?" tanya Arya meminta kepastian.
Pemuda berbaju merah muda itu
mengangguk. Secercah senyuman sinis tersungging di mulutnya.
"Benar! Namaku
Jayalaga!"
"Ah! Kalau begitu ada
kesalahpahaman di sini," ucap Arya pelan, lebih mirip desahan.
Senyum sinis pemuda berpakaian
merah muda yang ternyata bemama Jayalaga semakin melebar.
"Kesalahpahaman?!
Sandiwara macam apa lagi yang kau mainkan, Pencuri?! Ayo, katakan siapa kau
sebenar- nya!"
Wajah Dewa Arak kembali
memerah. Lagi-lagi dia mendapat makian seperti itu. Kalau saja tidak ingat
pemuda yang berdiri di hadapannya ini adalah murid kakek gurunya, sudah sejak
tadi diberinya hajaran. Tapi, Arya menyabarkan diri.
"Aku bukan pencuri,
Kisanak! Dan aku juga tidak sedang bersandiwara. Aku Arya, Arya Buana. Ayahku,
Tribuana adalah murid Eyang Tapakjati. Jadi, aku terhitung cucu murid
gurumu!" Jelas Arya panjang lebar.
Senyum sinis di wajah Jayalaga
belum juga sirna, kendati Dewa Arak telah memperkenalkan dirinya.
"Lalu, mengapa kau hendak
mencuri mayat guruku?"
"Ehm...!" Dewa Arak
berdehem untuk meredakan amarah yang bergelora di hatinya. Murid kakek gurunya
ini benar-benar keterlaluan. Diam-diam Arya bingung sendiri. Tidak salahkah
kakek gurunya ini mengangkat murid? Mengapa sikapnya begitu kasar dan sombong?
Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini menelan kemarahannya. Biar
bagaimanapun, pemuda di hadapan- nya ini masih terhitung paman gurunya dan dia
harus menghormatinya.
"Mungkin kau lupa.
Bukankah tadi sudah kukatakan kalau aku bukan pencuri?!" ucap Arya
setengah memprotes. Perasaan tidak senangnya pada pemuda baju merah muda ini
membuatnya enggan untuk memanggil Jayalaga, paman guru.
"Mana ada pencuri
mengaku?!" dengus Jayalaga.
"Dengar dulu
penjelasanku!" selak Arya agak keras.
"Ahhh...! Kau berani
membentakku?! Aneh..! Mana ada murid keponakan bersikap kurang ajar pada paman
gurunya! Sikapmu semakin membuatku yakin kalau kau ini adalah seorang
pencuri!"
"Aku terpaksa bicara
kasar karena kau tidak mau mendengar penjelasanku!" semakin meninggi
ucapan Dewa Arak.
Lagi-lagi Jayalaga tersenyum
sinis.
"BaiKiah, kudengarkan
alasanmu. Bicaralah!"
Terdengar suara gemeretak
ketika seluruh tulang-tulang Dewa Arak berkerotokan. Kemarahannya yang berkobar
membuat tenaga dalamnya bergolak sendiri, dan membuat tulang-tulangnya
bergemeretakan.
Pemuda berbaju merah muda itu
terkejut juga begitu mendengar suara berkerotokan keras. Sesaat sepasang
matanya menatap Dewa Arak penuh kekaguman, tapi di lain saat sudah kembali
seperti biasa, memandang penuh ejekan.
"Semula kukira almarhum
Eyang Tapakjati tidak mempunyai murid lagi selain ayahku dan Paman Wanayasa.
Maka begitu kulihat dia telah tewas, kubawa dia pergi. Beliau akan kukuburkan
di tempat yang layak." jelas Arya.
"Pintar juga kau memberi
alasan! Tapi, aku perlu bukti kebenaran ucapanmu!"
"Maksudmu?" tanya
Arya masih belum mengerti.
"Kau harus membuktikan
kalau kau benar cucu murid Eyang Tapakjati!" tandas pemuda baju merah muda
itu tegas.
"Bagaimana caranya?"
"Kita bertarung!"
sahut Jayalaga tegas.
"Bertarung?!" Arya
mengerutkan alisnya.
"Ya! Jaga seranganku!
Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian,
tanpa mempedulikan Dewa Arak yang belum bersiap, dan juga tubuh Eyang Tapakjati
yang masih berada dalam pondongan Arya, Jayalaga telah menerjang. Tangan
kanannya menyampok keras ke arah pelipis.
Wuukkk...!
Angin berhembus keras sebelum
serangan itu sendiri tiba.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Perasaan heran kian menyelimuti hatinya. Benarkah pemuda berbaju merah muda ini
murid kakek gurunya? Kalau memang benar, kenapa sikapnya mencurigakan sekali?
Tindak-tanduknya mencerminkan sikap tokoh persilatan beraliran hitam! Menyerang
pun tidak mempedulikan siap atau tidaknya Lawan.
Tapi, sungguh pun begitu, Dewa
Arak tidak menjadi gugup. Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang, sehingga
serangan itu lewat sejengkal di depan wajahnya.
Jayalaga menggeram keras
tatkala mengetahui serangannya begitu mudah dielakkan lawan. Tangan kirinya pun
segera menyusuli dengan sebuah sapuan dari bawah ke atas, ke arah rahang Dewa
Arak.
Melihat hal ini, kecurigaan
Dewa Arak kian bertambah besar. Benarkah Jayalaga ini murid kakek gurunya?
Rasanya mustahil! Tidak sadarkah pemuda itu kalau serangan-serangan yang
dilakukannya dapat mengenai gurunya sendiri?
Dewa Arak tidak punya pilihan
lain. Mayat kakek gurunya harus diselamatkan dulu. Pemuda berambut putih
keperakan ini tidak ingin mayat kakek gurunya terkena sasaran serangan nyasar
Jayalaga yang nampaknya tidak mempedulikan mayat gurunya itu.
"Hih...!"
Dewa Arak melempar tubuhnya ke
belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Tapi, Jayalaga rupanya
tidak ingjn memberi kesempatan pada lawannya. Begitu dilihatnya tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu melenting ke udara, bergegas melompat menyusul
seraya mengirimkan serangan-serangannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Arya menjejak tanah. Tapi secepat itu pula, tubuhnya kembali dilempar ke
belakang. Karena begitu kedua kakinya mendarat, Jayalaga pun telah mendaratkan
kedua kakinya, seraya mengirimkan sebuah tendangan melingkar.
Wuuuttt..!
Tendangan kaki Jayalaga
mengenai tempat kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tidak ada lagi di situ.
Pemuda berpakaian merah muda itu menggeram keras. Sekilas dilihatnya Arya telah
meletakkan mayat Eyang Tapakjati di tanah.
"Rupanya kau menginginkan
nyawaku, Jayalaga," gumam Arya pelan, tapi terdengar cukup keras di
telinga Jayalaga. Dalam kedongkolannya, Arya tidak memanggil Paman Guru kepada
Jayalaga. Tambahan lagi memang Dewa Arak masih meragukan pengakuan pemuda itu.
Pelahan-lahan kakinya dilangkahkan menghampiri Jayalaga.
"Tidak usah banyak bacot,
Pencuri Busuk! Keluarkan seluruh kemampuanmu, kalau kau tidak ingin mati
sia-sia di tanganku!"
"Orang sepertimu harus
diberi pelajaran, Jayalaga! Agar kau sadar, bahwa tidak hanya kau saja yang
memlliki kepandaian di dunia ini!"
"Tutup mulutmu, Pencuri!
Hiyaaa...!"
Jayalaga melesat menerjang
Dewa Arak. Tubuhnya meluncur cepat di udara, seraya melontarkan tendangan ke
dada Arya.
Dewa Arak hanya tersenyum kecut.
Pemuda berbaju ungu ini ingin membuktikan pada Jayalaga kalau dia adalah cucu
murid Eyang Tapakjati. Maka segera dimainkan ilmu yang telah diwarisi dari
ayahnya, ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', dan ilmu 'Sepasang Tangan
Penakluk Naga'.
Begitu serangan kaki itu telah
menyambar dekat, segera Dewa Arak memapak dengan kedua tangan terkepal
disilangkan di depan dada. Dewa Arak tidak bersikap main- main lagi. Segera
dikeluarkannya tiga perempat bagian tenaga dalamnya.
Bukkk!
Suara benturan keras
terdengar, begitu kaki dan tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi
itu beradu. Seketika itu juga tubuh Jayalaga terpental kembali ke belakang.
Sekujur kaki yang tertangkis tangan Dewa Arak terasa sakit bukan main.
Seolah-olah tulang-tulangnya berpatahan.
Meskipun begitu, dengan sebuah
gerakan indah dan manis, Jayalaga mampu mematahkan tenaga yang membuat tubuhnya
terlempar ke belakang. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, kemudian
mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Tampak mulutnya menyeringai
kesakitan. Rupanya kaki yang tertangkis tangan Dewa Arak tadi masih terasa
ngilu bukan maiin.
Jayalaga terperanjat kaget.
Pemuda berbaju merah muda ini pun sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam yang
jauh lebih kuat darinya. Maka dia tidak mau bertindak bodoh untuk mengadu
tenaga dalam lagi dengan Dewa Arak.
"Hiaaat...!"
Sambil memekik nyaring,
Jayalaga kembali menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya yang bergerak cepat
memainkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga', menyambar-nyambar mencari
sasaran.
Jayalaga tidak tahu kalau
lawan yang dihadapinya adalah Dewa Arak. Maka meskipun telah dikerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya, mudah saja bagi Dewa Arak untuk mengkandaskan semua
serangan Jayalaga. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang jauh berada di atas
lawannya, tidak sulit bagi Arya untuk mengelakkan setiap serangan.
Sebaliknya setiap serangan
balasan Dewa Arak membuat Jayalaga kalang kabut. Bahkan beberapa kali serangan
Arya hampir mengenai sasaran. Hanya dengan terpontang-panting saja pemuda baju
merah muda itu berhasil mengelakkannya.
Pertarungan antara kedua orang
yang menggunakan jurus-jurus yang memiliki kemiripan satu sama lain itu
berlangsung cepat. Tapi pertarungan jadi kurang menarik, karena kedua belah
pihak telah cukup mengenal jurus masing-masing. Dan dengan sendirinya telah
bisa memperkirakan arah serangan yang dituju, dan ke mana arah serangan
selanjutnya akan dilancarkan.
Jayalaga mengerahkan segenap
kemampuan yang dimilikinya. Pemuda berbaju merah muda ini nampaknya bersemangat
sekali untuk bisa menjatuhkan lawannya. Tapi, setelah pertarungan berlangsung
tiga puluh lima jurus, pelahan namun pasti murid Eyang Tapakjati ini terdesak.
Memang dalam hal mutu ilmu
silat, Jayalaga tidak kalah. Tapi dalam hal kekuatan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh, pemuda berbaju merah muda ini berada di bawah lawannya. Maka
tidak mengherankan kalau pemuda ini segera saja terdesak. Berkali-kali, karena
terpaksa dan tidak ada jalan lain lagi, Jayalaga terpaksa menangkis serangan Dewa
Arak. Dan akibatnya sudah bisa diduga. Tubuhnya pun terjengkang ke belakang,
dengan dada terasa sesak.
Tapi meskipun begitu, Jalayaga
yang memang terhitung orang yang mempunyai sifat keras hati, tidak mau
menyerah. Tetap saja dia menyerang semakin dahsyat.
Tentu saja hal ini membuat
Dewa Arak menjadi jengkel. Jayalaga terhitung pemuda yang tidak tahu dikasih
hati, pikirnya. Sungguh pun pemuda yang ini, menilik ilmu-ilmu yang
dimainkannya, benar murid kakek gurunya. Dan dengan sendirinya terhitung paman
guru Dewa Arak, perlu diberi pelajaran agar tidak bersikap seperti itu lagi
pada orang lain.
"Hiaaat..!"
Jayalaga mengirimkan serangan
berupa tinju kanan ke arah dada Dewa Arak. Kali ini Arya yang memang bermaksud
memberi hajaran, segera bertindak. Segera tubuhnya didoyongkan ke kanan, seraya
mengangkat tangan kiri menangkis.
Wuuuttt..! Plakkk!
Untuk yang kesekian kalinya.
Jayalaga menyeringai kesakitan. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, kaki
kanan Dewa Arak telah melayang ke arah dada. Buru-buru diletakkan tangan
kirinya ke bawah, menangkis tendangan itu.
Takkk! Bukkk...!
"Hugh...!"
Tubuh Jayalaga tenengkang ke
belakang ketika tendangan Dewa arak menghantam perutnya. Keras bukan main
tendangan itu. Sehingga beberapa saat lamanya, pemuda berbaju merah muda ini
hanya mampu mem- bungkukkan tubuh sambil memegang perutnya
Diam-diam di dalam hati.
Jayalaga takjub akan kejadian yang terjadi begitu cepat. Sungguh tidak
disangkanya kalau kaki pemuda berambut putih keperakan itu mampu mengirimkan
tendangan berantai yang begitu cepat. Begitu tendangannya ke arah dada
tertangkis, Dewa Arak menarik pulang kakinya sedikit. Dan secepat itu pula
menyusulinya dengan tendangan ke perut.
"Bagaimana?" tanya
Arya seraya menghampiri Jayalaga yang masih membungkukkan tubuh. "Masih
perlukah bukti kalau aku termasuk cucu murid Eyang Tapakjati?"
Pelahan-lahan Jayalaga
meluruskan kembali tubuhnya. Mulutnya menyeringai, begitu merasakan sakit yang
mendera ketika tubuhnya diluruskan.
"Tidak, tidak perlu lagi.
Kau memang jelas cucu murid guruku." sahut pemuda berpakaian merah muda
itu cepat. Sejak tadi pun sudah diketahuinya kalau pemuda berambut putih
keperakan itu adalah cucu murid Eyang Tapakjati. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga' yang dimainkan pemuda berambut putih keperakan itu telah membuat
persoalannya menjadi jelas.
***
"Kalau begitu, mari kita
urus mayat Kakek Guru dulu," usul Dewa Arak.
"Usul yang baik
sekali." sahut Jayalaga cepat. Lega hati Dewa Arak melihat sambutan pemuda
berbaju merah muda itu yang kini sudah tidak sinis seperti sebelumnya. Sesaat
kemudian. Arya segera beranjak menuju tempat mayat Eyang Tapakjatl tergolek.
Dengan mulut masih
menyeringai, Jayalaga segera melangkah di belakang Dewa Arak.
Arya membungkukkan tubuhnya,
dan membopong kembali mayat kakek gurunya. Dibawanya mayat itu ke sebuah tempat
di bawah pohon yang rindang. Tempat yang diperkirakannya cocok untuk menjadi
peristirahatan ter- akhir Eyang Tapakjati.
Setelah meletakkan mayat itu
kembali di tanah, Dewa Arak mulai sibuk menggali sebuah lubang di bawah
kerimbunan pepohonan yang lebat. Berkat tenaga dalamnya yang memang sudah
mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk menggali.
Sesaat kemudian sebuah lubang
untuk mengubur mayat manusia telah siap. Segera Jayalaga menaruh mayat Eyang
Tapakjati di dalam lubang itu. Kemudian Dewa Arak ber- sama pemuda berpakaian
merah muda itu bersama-sama menimbuninya dengan gumpalan tanah dan batu-batu.
Dewa Arak menatap wajah
Jayalaga tajam-tajam. Dalam jilatan cahaya matahari yang sudah agak tergelincir
ke Barat, dilihatnya pemuda itu tertunduk sedih. Bahkan sepasang matanya
merembang berkaca-kaca. Sepertinya kematian gurunya membuat pemuda itu
terpukul! Kematian Eyang Tapakjatikah yang membuat sikap pemuda berbaju merah
muda ini jadi aneh? duga Dewa Arak dalam hati."Sudahlah, Paman. Kematian
Eyang Tapakjati tidak perlu kita sesali. Yang sudah berlalu biarkan berlalu.
Walaupun kita mengeluarkan air mata darah, yang telah mati tidak akan bangkit
kembali," hibur Dewa Arak. Kini pemuda berambut putih keperakan itu
memanggil Jayalaga dengan panggilan menghormat.
"Aku menyesal sekali,
Arya. Kau bisa berkata begitu karena tidak melihat sendiri kematian Eyang
Tapakjati, sedangkan aku? Aku melihat dengan mata kepala sendiri ketika salah
satu dari tiga orang sakti itu membantainya! Kalau saja tidak mengingat pesan
Guru, sudah sejak tadi aku terjun ke kancah pertempuran membantunya meng-
hadapi orang-orang biadab itu!" bantah Jayalaga keras. Memang Dewa Arak
telah memberitahukan namanya selagi mereka mengubur mayat Eyang Tapakjati.
"Jadi, Paman melihat
semua kejadian itu?" tanya Arya terkejut.
"Yahhh ..." Jayalaga
menganggukkan kepalanya.
"Paman kenal orang yang
telah membunuh Eyang?" tanya Arya lagi.
Agak ragu-ragu pemuda
berpakaian merah muda itu menganggukkan kepalanya.
"Aku hanya tahu kalau
kedatangan mereka hendak mencari seorang pemuda yang berjuluk Dewa Arak. Mereka
berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka. Kedatangan mereka untuk menuntut balas atas
kematian Raksasa Rimba Neraka."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Cerita Jayalaga sudah didengarnya dari mulut Eyang Tapakjati.
"Apakah kau dapat
mengingat ciri-ciri ketiga orang itu, Paman?" tanya Dewa Arak lagi.
"Aku ingat, Arya,"
sahut Jayalaga sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian diceritakannya
ciri-ciri ketiga orang yang berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka itu.
"O ya, Paman. Aku masih
belum mengerti dengan sikap Paman tadi," ucap Dewa Arak tak kuat menyimpan
perasaan itu.
"Hhh...!" Jayalaga
menghela napas panjang. "Lupa- kanlah, Arya. Tadi aku masih terpukul
dengan kematian Eyang Tapakjati"
"Lalu sikap Paman yang
menyerang tanpa mempedulikan mayat Kakek Guru tadi?" tanya Arya lagi.
Jayalaga tersenyum.
"Itu memang kusengaja,
Arya. Aku hanya ingin mengetahui kebenaran pengakuanmu. Kalau kau memang benar
cucu murid Eyang Tapakjati, tentunya kau akan melindungi mayat itu mati-matian.
Tapi bila kau hanya mengaku-aku saja, pasti kau tidak akan mempeduli-
kannya," jelas Jayalaga.
"Ah...!" Dewa Arak
berseru kaget. Kini baru di- mengertinya mengapa pemuda berpakaian merah muda
ini menyerang kalang-kabut. Sesaat suasana pun menjadi hening.
"Kalau begitu, aku pergi
dulu, Paman. Aku akan mencari mereka," ucap Arya tiba-tiba.
"Tunggu dulu, Arya,"
cegah Jayalaga cepat "Kita pergi sama-sama. Setelah kematian Guru, rasanya
aku sudah tidak betah lagi tinggal di sini."
"Kalau begitu, cepatlah,
Paman," sambut Dewa Arak tidak sabar.
"Tunggu sebentar,
Arya."
"Ada apa lagi,
Paman?"
"Ada yang ingin
kubicarakan denganmu, Arya."
"Apa itu, Paman?"
Jayalaga terdiam. Ditatapnya
wajah Dewa Arak dalam- dalam.
"Apakah kau yang berjuluk
Dewa Arak, Arya?" tanya pemuda berbaju merah muda itu. Sejak tadi sewaktu
Dewa Arak memberitahukan namanya, Jayalaga telah berpikir keras.
Mengingat-ingat di mana pernah didengamya nama itu. Dan baru sekarang saja dia
teringat kembali.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas dalam-dalam. "Begitulah orang menjulukiku, Paman."
"Julukan yang aneh,"
desah Jayalaga sambil tersenyum. Sepasang matanya menatap sekilas pada guci
arak yang tersampir di punggung Dewa Arak.
"Mungkin karena aku
selalu meminum arak sebelum bertarung," kilah Arya begitu dilihatnya
sepasang mata paman gurunya melirik ke arah guci arak di punggungnya,
"Mengapa begitu,
Arya?" tanya Jayalaga lagi.
Tanpa sungkan-sungkan lagi
Dewa Arak pun men- ceritakan semuanya. Mulai dari keistimewaan guci itu, sampai
pada ilmunya yang akan menjadi lumpuh jika tidak minum arak sebelum bertarung.
Jayalaga mengangguk-anggukkan
kepalanya pertanda mengerti.
"Bagaimana, Paman? Sudah
cukup jelas?" tanya Arya setelah mengakhiri penjelasannya.
"Cukup, Arya."
"Kalau begitu, mari kita
berangkat." ajak Dewa Arak, seraya melesat dari situ. Tentu saja Arya
tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Pemuda berambut putih
keperakan ini hanya mengerahkan separuh ilmu meringankan tubuhnya, agar
Jayalaga tidak tertinggal terlalu jauh.
***
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa bergelak dari
mulut seorang laki-laki bertubuh pendek dan gemuk berkulit merah. Pakaiannya
berupa rompi dari kulit macan tutul. Siapa lagi kalau bukan Macan Tutul Lembah
Neraka! Salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka.
Macan Tutul Lembah Neraka
berdiri di tengah-tengah halaman yang luas, di depan sebuah gedung yang
dikelilingi pagar kayu bulat yang tinggi. Di sekeliling laki-laki bertubuh
gemuk pendek ini berdiri berpuluh-puluh orang berseragam sebuah perguruan
silat. Rata-rata raut wajah pengepung itu memancarkan kemarahan yang amat
sangat. Sementara di belakang orang-orang ini, bergeletakan belasan sosok tanpa
nyawa.
Seorang laki-laki berusia
setengah baya bertubuh sedang, mendekati Macan Tutul Lembah Neraka yang masih
saja tertawa-tawa. Di punggung tangannya terlihat rajahan bergambar sebuah
kapak. Laki-laki ini adalah Ketua Perguruan Kapak Sakti. Ki Gelagar namanya.
"Siapa kau, Kisanak? Dan
mengapa mengacau per- guruanku?" tanya Ki Gelagar penuh wibawa.
Macan Tutul Lembah Neraka
tertawa bergelak.
"Aku? Ha ha ha.... Orang
persilatan mengenalku sebagai Macan Tutul Lembah Neraka! Dan kedatanganku
kemari adalah untuk menanyakan di mana orang yang berjuluk Dewa Arak! Katakan
padaku, di mana dia berada! Kalau tidak "
Ki Gelagar terkejut bukan
main. Sebagai seorang tokoh persilatan, tentu saja Ketua Perguruan Kapak Sakti
ini memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai dunia persilatan. Dia tahu
betul siapa itu tokoh yang berjuluk Macan Tutul Lembah Neraka.
Salah seorang dari Tiga Macan
Lembah Neraka! Tokoh- tokoh yang berwatak ganjil, dan juga berkepandaian
tinggi. Tapi, orang yang dicari Macan Tutul Lembah Neraka ini pun adalah
seorang tokoh yang tidak kalah terkenal. Nama Dewa Arak telah bergaung ke
seluruh penjuru desa, kadipaten-kadipaten, bahkan ke kotaraja.
"Sayang sekali, Macan
Tutul Lembah Neraka. Aku tidak tahu di mana orang yang kau cari itu."
jawab Ki Gelagar mencoba bersikap tenang.
"Apa kau bilang?!"
sentak Macan Tutul Lembah Neraka keras. "Berani kau bilang tidak tahu? Apa
kau sudah bosan hidup?!"
Ki Gelagar menarik napas
panjang, dan meng- hembuskannya kuat-kuat.
"Aku memang tidak
mengetahui di mana Dewa Arak berada, Macan Tutul Lembah Neraka. Tapi
percayalah, apabila aku bertemu dengannya, akan kukatakan kalau kau tengah
mencarinya. Bagaimana? Kau menerima usulku?"
Macan Tutul Lembah Neraka
menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali. Aku tidak
bisa menerima usulmu. Aku tidak sabar menunggu terlalu lama."
"Jadi...?" tanya Ki
Gelagar dengan jantung berdegup keras. Firasat Ketua Perguruan Kapak Sakti itu
mengata- kan ada bahaya yang mengancam. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya
mendadak menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kedua
tangannya telah menyentuh gagang kapaknya.
"Aku akan menggunakan
cara lain yang kutahu pasti sangat ampuh untuk memancing pemuda itu mencariku!
Kau ingin tahu...?!"
"Apa itu?" tanya Ki
Gelagar setengah hati. Tapi Macan Tutul Lembah Neraka seolah-olah tidak
mendengar pertanyaan itu. Enak saja dilanjutkan ucapannya.
"Dari salah seorang
penduduk, kudengar Dewa Arak ada di desa ini. Sekarang aku hanya tinggal
memancing kedatangannya saja! Akan kubuat kekacauan di seluruh desa ini. Pasti
dia akan datang! Dan aku memilih perguruanmu!"
"Keparat!" maki Ki
Gelagar. Seketika itu juga kedua tangannya bergerak. Sesaat kemudian, di kedua
tangannya telah tergenggam sepasang kapak berwarna hitam mengkilat.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan seruan
nyaring, Ki Gelagar memutar-mutarkan kedua senjatanya. Angin menderu keras,
mengiringi putaran kapak itu.
"Hiyaaa...!"
Ki Gelagar menerjang Macan
Tutul Lembah Neraka. Kapak hitam mengkilat di tangan kanannya diayunkan ke arah
kepala laki-laki pendek gemuk itu. Sebenamya sasaran serangan kapak itu adalah
ke leher. Tapi karena tubuh Macan Tutul Lembah Neraka yang terlalu pendek,
serangan kapak itu jadi mengarah ke kepala.
Wuuuttt..!
Sebelum serangan itu tiba,
Macan Tutul Lembah Neraka telah terlebih dulu melompat, membuat serangan kapak
Ki Gelagar mengenai tempat kosong dan lewat di bawah kakinya lawannya.
Begitu tubuhnya berada di
udara, laki-laki pendek gemuk itu langsung menerkam Ki Gelagar dengan kedua
tangan mencengkeram ke arah leher.
"Ah...!" Ketua
Perguruan Kapak Sakti terpekik kaget. Serangan itu datang tak terduga sama
sekali. Sebisa- bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan menjauh.
Tapi Macan Tutul Lembah Neraka
yang memang berwatak kejam, tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Segera
dia melompat memburu.
Para murid Perguruan Kapak
Sakti yang melihat keadaan guru mereka terancam, tidak tinggal diam. Bagai
dikomando, serentak mereka menghadang.
Suara desing kapak yang saling
berkelebatan, mengancam tubuh Macan Tutul Lembah Neraka. Sehingga membuat
laki-laki pendek gemuk ini terpaksa menunda serangannya terhadap Ki Gelagar.
Kedua tangannya berkelebatan cepat.
Hebat bukan main akibatnya.
Para penyerang Macan Tutul Lembah Neraka berpentalan, sebelum serangan mereka
mengenai tubuhnya. Ada hembusan angin keras keluar dari tangan yang berputaran
itu, angin yang membuat tubuh murid-murid Perguruan Kapak Sakti berpentalan tak
tentu arah.
Terdengar suara berdebukan
keras hampir berbarengan, begitu tubuh para pengeroyok yang sial itu
berjatuhan. Beberapa saat lamanya mereka tak mampu bangkit. Dada mereka terasa
sesak bukan main. Padahal tidak sedikit pun mereka tersentuh tangan Macan Tutul
Lembah Neraka.
"Haaattt..!"
Ki Gelagar yang kini telah
dapat memperbaiki posisinya, kembali menerjang lawannya. Sepasang kapak
hitamnya kembali berkelebat cepat mengancam berbagai bagian tubuh Macan Tutul
Lembah Neraka. Sesaat kemudian kedua orang ini pun sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit kembali.
Serangan sepasang kapak di
tangan Ki Gelagar memang luar biasa. Sungguh tidak terlalu berlebihan kalau
perguruan yang dipimpinnya dinamakan kapak sakti. Serangan sepasang kapaknya
datang susul-menyusul seperti gelombang laut. Angin berkesiutan tajam mengiringi
setiap gerakan kapak itu.
Tapi lawan yang dihadapi Ki
Gelagar adalah seorang tokoh rimba persilatan aliran hitam yang memiliki
kepandaian luar biasa. Tingkat kepandaian laki-laki pendek gemuk ini memang
jauh di atas Ketua Perguruan Kapak Sakti. Baik dalam hal tenaga dalam maupun
ilmu meringankan tubuh. Hasilnya, sungguh pun kedua kapak di tangan Ki Gelagar
datang laksana gelombang, tetap saja laki-laki pendek gemuk ini mampu mengelak
tanpa mengalami kesulitan.
Ki Gelagar menggertakkan gigi.
Sejak semula sudah diduganya kalau dia bukanlah tandingan tokoh dari Lembah
Neraka ini. Tapi, meskipun begitu Ketua Perguruan Kapak Sakti ini tetap
mengerahkan seluruh kemampuan untuk mempertahankan selembar nyawanya.
Belasan jurus telah berlalu.
Dan sampai sejauh ini tak ada satu pun serangan Ki Gelagar yang mengenai
sasaran. Jangankan mengenai sasaran, tanda-tanda mendesak pun belum tampak.
Padahal hingga saat ini Macan Tutul Lembah Neraka belum balas menyerang.
"Sekarang
giliranku...!" seru Macan Tutul Lembah Neraka begitu Ki Gelagar kembali
mengayunkan kapak ke arah kepalanya. Laki-laki pendek gemuk ini mengangkat
tangan kirinya menangkis serangan itu.
Tuk..!
"Akh...!"
Ki Gelagar memekik tertahan.
Pergelangan tangannya yang membentur tangan Macan Tutul Lembah Neraka terasa
sakit bukan main. Seolah-olah yang berbenturan dengan tangannya bukan tangan
manusia yang terdiri dari tulang dan daging, tapi potongan baja yang keras
bukan main.
Tak pelak lagi kapak Ki
Gelagar pun terlepas dari pegangan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, kaki
laki- laki pendek itu telah dikibaskan ke arah lututnya. Cepat bukan main
gerakan Macan Tutul Lembah Neraka ini
Tukkk!
"Akh...!"
Ki Gelagar memekik tertahan
ketika lututnya terhantam ujung kaki lawan. Seketika itu juga sambungan tulang
lututnya terlepas! Kontan tubuh Ketua Perguruan Kapak Sakti ini oleng. Dan di
saat itulah, Macan Tutul Lembah Neraka meluruk menyerbu. Kedua tangannya
menyambar deras ke arah dada dan ulu hati Ki Gelagar.
Ki Gelagar terkejut bukan
main. Tak terasa mulutnya memekik kaget. Disadari kalau dirinya tidak akan
mampu mengelakkan serangan itu. Dan maut sudah berada di ambang pintu Ketua
Perguruan Kapak Sakti ini tidak mampu berbuat apa-apa lagi, selain
membelalakkan sepasang matanya, menanti datangnya maut.
Tapi di saat gawat bagi
keselamatan Ki Gelagar, dari arah kanan terdengar suara mencicit nyaring,
disusul dengan melesatnya benda berkilat ke arah pelipis Macan Tutul Lembah
Neraka.
Sekilas Macan Tutul Lembah
Neraka mengenal serangan maut. Dari suara desingannya, sudah bisa diukur
kekuatan tenaga dalam pengirimnya. Maka laki-laki bertubuh gemuk pendek itu
tidak berani bertindak gegabah. Cepat dibatalkan serangannya terhadap Ki
Gelagar, lalu tubuhnya dibanting ke tanah. Kemudian bergulingan menjauh. Secara
refleks, sudut matanya melirik benda yang menyambarnya tadi.
Laki-laki pendek gemuk ini
terkejut bukan main tatkala melihat benda yang mengancam pelipisnya ternyata
adalah benda cair. Entah air atau arak, dia tidak bisa memastikan.
Tapi yang jelas hal ini
membuatnya terkejut bukan main. Seseorang yang dapat membuat air atau benda
cair menjadi sebuah senjata rahasia, membuktikan kelihaian si pengirim serangan
itu sendrri.
"Hih...!"
Tubuh Macan Tutul Lembah
Neraka melenting ke atas, lalu mendarat dengan sikap waspada. Beberapa tombak
di depannya, di sebelah Ki Gelagar, telah berdiri dua orang pemuda. Yang
seorang berpakaian merah muda, sementara yang seorang lagi berpakaian ungu,
berambut putih keperakan. Sebuah guci arak terbuat dari perak terpegang di tangan
kanannya. Kedua orang ini adalah Dewa Arak dan Jayalaga. Dewa Araklah yang tadi
telah menyelamatkan nyawa Ki Gelagar dengan semburan araknya.
Beberapa saat lamanya Dewa
Arak dan Macan Tutul Lembah Neraka saling tatap.
"Dialah salah seorang
dari Tiga Macan Lembah Neraka itu, Arya," bisik Jayalaga ke telinga Arya.
"Ehm...," Dewa Arak
hanya berdehem untuk menutupi amarahnya yang bergolak di dalam dada. Kemudian
diangkatnya guci araknya, lalu dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan itu. Tiba- tiba
Macan Tutul Lembah Neraka menggeram.
"Kaukah orang yang
berjuluk Dewa Arak?!" tanya salah seorang tokoh Tiga Macan Lembah Neraka
ini keras. Sorot matanya menyiratkan hawa maut.
Arya menurunkan kembali guci
araknya.
"Begitulah orang-orang
menjulukiku. Kaukah orang yang telah membunuh Eyang Tapakjati?!" Dewa Arak
balik bertanya. Dalam suara pemuda itu terkandung ancaman.
"Ha ha ha...! Sungguh
tidak kusangka kalau begitu mudahnya aku bisa menemukanmu, Dewa Arak! Kuakui,
memang akulah yang membunuh Eyang Tapakjati. Aku Macan Tutul Lembah Neraka.
Lalu kau mau apa?!" tantang laki-laki pendek gemuk itu.
"Aku akan membalaskan
dendamnya padamu! Kau kejam, Macan Tutul Lembah Neraka! Kau telah membunuh
orang yang sama sekali tidak tahu-menahu dengan urusanmu!"
Macan Tutul Lembah Neraka
mendengus.
"Aku tidak peduli!"
sergah laki-laki pendek gemuk itu keras. "Pokoknya, siapa pun yang
mempunyai hubungan denganmu harus mampus!"
"Kaulah yang harus mati,
Macan Tutul Lembah Neraka! Sebagai balasan atas kekejianmu pada Eyang
Tapakjati!"
"Kaulah yang harus
mampus, Dewa Arak! Kau telah membunuh sahabatku, Raksasa Rimba Neraka! Kini aku
meminta nyawamu sebagai gantinya! Hiya...!"
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul Lembah Neraka, meloncat menerjang Dewa Arak. Tubuhnya yang pendek
dan gemuk ini sama sekali tidak mempengaruhi kelincahan gerakannya. Kedua
tangannya melakukan sampokan beruntun ke arah ubun-ubun, dan pelipis.
Dewa Arak bersikap tenang.
Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit baginya untuk mengelakkan
setiap serangan itu. Dan dengan gerakan unik, langkah kaki sempoyongan dan
tubuh terhuyung-huyung dielakkan serangan itu. Di lain saat, tubuhnya sudah tidak
berada lagi di situ. Sehingga semua serangan Macan Tutul Lembah Neraka mengenai
tempat kosong.
Laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu terkejut bukan main tatkala mendengar desiran angin keras menyambar
di belakang tubuhnya. Ternyata Dewa Arak telah mengayunkan guci ke arah
kepalanya. Buru-buru Macan Tutul Lembah Neraka melempar tubuh ke depan kemudian
bergulingan, sehingga ayunan guci itu mengenai tempat kosong.
Dewa Arak yang tengah diamuk
dendam, tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Segera diburunya tubuh
yang bergulingan itu. Cepat laksana kilat, gucinya disampirkan kembali ke
punggung. Dan begitu guci itu telah kembali di punggung, dengan gerakan aneh
dan tidak terduga-duga kedua tangannya melancarkan serentetan serangan ke arah
tubuh yang sedang bergulingan itu.
Dalam keadaan kritis itu,
Macan Tutul Lembah Neraka masih sempat membuktikan kalau dirinya adalah tokoh
yang pantas menjadi salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka. Sambil terus
bergulingan, kedua tangannya melakukan tangkisan beruntun.
Plak, plak, plak... !
Suara benturan keras terdengar
berulang-ulang begitu dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi beradu. Macan Tutul Lembah Neraka menyeringai. Dirasakan sekujur
tangannya terasa lumpuh. Bahkan dadanya pun dirasakan sesak bukan main.
Laki-laki pendek gemuk ini pun sadar kalau tenaga dalam Dewa Arak lebih unggul
darinya. Kenyataan ini membuatnya tidak berani lagi mengadu tenaga dalam dengan
pemuda berambut putih keperakan itu.
Saat-saat selanjutnya Macan
Tutul Lembah Neraka hanya mengelakkan diri terus dari hujan serangan Dewa Arak.
Tubuhnya bergulingan terus, menghindarkan diri dari cecaran serangan Arya. Tapi
sampai kapan laki-laki bertubuh pendek gemuk ini dapat terus bertahan dengan
hanya mengelak terus-menerus?
Hal itu pun disadari oleh
Macan Tutul Lembah Neraka, sehingga pada suatu saat...
"Hih...!"
Tiba-tiba saja seleret sinar
keperakan menyambar ke perut Dewa Arak yang masih terus mencecar tubuh Macan
Tutul Lembah Neraka yang bergulingan. Ternyata, sambil bergulingan tadi tangan
laki-laki bertubuh pendek gemuk itu menyelinap ke balik pinggangnya. Dan dari
situ, dikeluarkan senjata andalannya, sebuah ruyung perak! Begitu keluar dari
tempatnya, langsung saja disabetkan ke perut Dewa Arak.
"Ah...!" Dewa Arak
memekik tertahan seraya melenting ke belakang. Arya terkejut bukan main karena
serangan ruyung itu datang begitu tiba-tiba.
Wuuuttt..!
Serangan ruyung itu mengenai
tempat kosong. Tapi, itu tidak dipedulikan oleh Macan Tutul Lembah Neraka.
Memang tujuan dari serangan ini hanyalah ingin mem- bebaskan diri dari cecaran
serangan Dewa Arak. Maka begitu tubuh Dewa Arak melenting menjauh. Segera Macan
Tutul Lembah Neraka bersalto beberapa kali dan mendarat ringan tiga tombak di
depan Dewa Arak.
Wuk, wuk, wuk...!
Macan Tutul Lembah Neraka
memutar ruyungnya. Suaranya menderu keras, seolah-olah di tempat itu terjadi
badai. Murid-murid Perguruan Kapak Sakti pun bergegas menjauh.
"Hiyaaa...!"
Macan Tutul Lembah Neraka
berteriak keras. Ruyung di genggamannya diayunkan ke kepala Dewa Arak.
Wuuukkk...!
Sambaran ruyung itu mengenai
tempat kosong. Lewat setengah jengkal di atas kepala Dewa Arak begitu pemuda
berambut putih keperakan ini menundukkan kepalanya. Ram but dan pakaian Dewa
Arak berkibaran keras, pertanda betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam babatan ruyung itu.
Tapi Dewa Arak tidak tinggal
diam. Dengan ilmu 'Belalang Sakti', dihadapinya lawan dengan tangan kosong.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit.
Pertarungan antara kedua tokoh
yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu berlangsung cepat. Sehingga tak
terasa lima puluh jurus telah berlalu. Dan sampai sejauh itu Dewa Arak masih
saja melayani Macan Tutul Lembah Neraka dengan tangan kosong. Guci peraknya
tetap tersampir di punggung.
Hebat memang akibat yang
ditimbulkan oleh dua orang tokoh sakti yang tengah bertarung ini. Pagar kayu
bulat yang mengelilingi halaman itu, porak-poranda tersambar angin pukulan yang
nyasar. Di sana-sini tanah terbongkar, bagaikan habis dibajak. Pohon-pohon yang
berada dekat situ bertumbangan. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
"Hih...!"
Tiba-tiba Dewa Arak memekik
keras. Sesaat kemudian guci araknya telah tergenggam di tangan kanannya. Dan
dengan guci di tangan, pemuda berambut putih keperakan ini, kini menghadapi
lawan.
Begitu Dewa Arak mempergunakan
gucinya, Macan Tutul Lembah Neraka mulai merasakan serangan-serangan lawannya
begitu berat. Apa lagi, Dewa Arak terkadang menyerang lawannya dengan
semburan-semburan arak dari mulutnya.
Lewat tujuh puluh Jurus Macan
Tutul Lembah Neraka mulai terdesak. Laki-laki pendek gemuk itu diam-diam
mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangkanya kalau kepandaian Dewa Arak
begitu tinggi. Pantaslah kalau Raksasa Rimba Neraka sampai tewas di tangan
pemuda berambut putih keperakan ini, pikirnya memaklumi.
Pelahan namun pasti gerakan
ruyung perak di tangan Macan Tutul Lembah Neraka mulai terbatas ruang geraknya.
Beberapa kali, sewaktu ruyung beradu dengan guci, tubuh laki-laki pendek gemuk
itu terhuyung-huyung ke belakang. Macan Tutul Lembah Neraka juga merasakan
sekujur tangannya seperti lumpuh, dadanya pun terasa sesak setiap kali terjadi
benturan pada kedua senjata mereka.
Pada jurus ke sembilan puluh
dua, Dewa Arak meng- ayunkan gucinya ke arah kepala Macan Tutul Lembah Neraka.
Laki-laki pendek gemuk itu segera merundukkan kepalanya, sehingga ayunan guci
itu lewat di atas kepalanya. Tapi sungguh tak disangka kalau di saat itu kaki
Dewa Arak bergerak cepat mengarah ke perutnya.
Bukkk!
"Hugh...!"
Telak dan keras bukan main
tendangan itu menghantam perut Macan Tutul Lembah Neraka. Seketika laki-laki
pendek gemuk itu membungkukkan tubuhnya. Perutnya dirasakan mual dan mules
bukan main. Sadarlah Macan Tutul Lembah Neraka kalau dia bukan tandingan Dewa
Arak.
Baru saja Dewa Arak bergerak
hendak melancarkan serangan susulan Macan Tutul Lembah Neraka segera memijit
salah satu bagian ruyung peraknya.
Serrrr! Serrr... !
Terdengar suara berdesir
begitu dari ujung ruyung yang tiba-tiba terbuka itu melesat puluhan jarum-jarum
halus ke arah Dewa Arak.
Melihat hal ini, Dewa Arak
tidak berani bersikap gegabah. Bukan tidak mungkin kalau jarum-jarum itu
mengandung racun ganas. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera pemuda
berambut putih keperakan ini melompat ke samping.
Dan di saat Dewa Arak tengah
sibuk menghadapi jarum- jarum beracun itu, Macan Tutul Lembah Neraka segera
melesat pergi dari situ. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang sudah
mencapai tingkatan tinggi, dalam beberapa kali lompatan saja laki-laki pendek
gemuk itu sudah berada jauh dari situ.
"Kalau kau masih
penasaran, kau boleh mencariku di Hutan Parigi, dekat Bukit Tombok...!"
terdengar suara keras berkumandang di sekitar halaman Perguruan Kapak Sakti
itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang.
Disadarinya kalau tidak mungkin lagi baginya dapat mengejar lawannya. Macan
Tutul Lembah Neraka telah berada jauh dari situ. Dibiarkan saja Macan Tutul
Lembah Neraka lenyap di kejauhan. Toh, laki-laki pendek gemuk itu telah mem-
beritahukan tempat tinggalnya.
Dengan langkah lesu, Dewa Arak
menghampiri Jayalaga yang berdiri di samping Ki Gelagar.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Anak Muda," ucap
Ketua Perguruan Kapak Sakti
itu sambil mengulurkan tangan pada Dewa Arak. Arya pun segera menjabatnya erat-erat.
"Kalau tidak karena pertolonganmu, mungkin saat ini aku sudah tewas di
tangan Macan Tutul Lembah Neraka. Hhh...! Iblis itu benar-benar lihai
sekali!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan merah. Sesaat kemudian di hadapan Dewa Arak telah berdiri seorang
gadis cantik berambut panjang, berpakaian merah menyala.
"Terima kasih atas
pertolonganmu... nggg... boleh aku memanggilmu, Kakang?" tanya gadis
berpakaian merah menyala itu sambil tersenyum manis.
"Boleh saja," sahut
Dewa Arak tersenyum. "Kalau boleh kutahu siapa namamu, Nini?"
Wajah gadis berpakaian merah
menyala itu memerah.
"Aku Puspa Rani, Ki
Gelagar adalah ayahku...," lembut suara gadis itu.
"Lupakanlah, Puspa.
Manusia hidup harus saling tolong menolong. Dan hanya kebetulan saja, aku yang
kali ini menolong ayahmu. Bukan tidak mungkin kalau esok atau lusa, ayahmu atau
malah kau sendiri yang menolongku. Siapa tahu?"
Tanpa sepengetahuan Dewa Arak,
ada sepasang mata yang memandang penuh kebencian ke arahnya, begitu melihat
pemuda berambut putih keperakan itu berbincang- bincang dengan Puspa Rani.
Sepasang mata milik Jayalaga.
"O ya, Ki, Puspa. Aku
permisi, dulu. Aku harus mengejar musuh-musuhku sebelum mereka pergi. Mari,
Paman." setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melesat dari situ, diikuti
oleh Jayalaga.
"Sering-seringlah mampir,
Kang," teriak Puspa Rani keras.
"Mudah-mudahan,
Puspa," sahut Dewa Arak.
Ki Gelagar, Puspa Rani dan
seluruh murid Perguruan Kapak Sakti memandangi kepergian Dewa Arak hingga
bayangan pemuda itu lenyap di kejauhan.
"Siapakah pemuda itu,
Ayah?" tanya Puspa Rani sambil berjalan ke dalam rumah bersama ayahnya.
Pelan sekali suaranya, lebih mirip bisikan.
"Yang mana?" goda Ki
Gelagar.
"Yang mana lagi?!"
sergah Puspa Rani masih dengan suara berbisik. "Kalau yang satu lagi sih,
aku sudah kenal, Ayah. Bukankah dia murid Eyang Tapakjati?"
"Jadi, maksudmu..."
Ki Gelagar sengaja menahan ucapannya.
"Tentu saja pemuda yang
telah menolong Ayah!" sentak gadis pakaian merah menyala ini agak keras.
"Ooo... dia?!" ucap
Ki Gelagar pura-pura baru mengerti.
"Ya. Dia. Ayah."
sambut Puspa Rani dengan wajah mem- berengut.
Ki Gelagar terdiam. Ditatapnya
wajah putrinya lekat- lekat. Karuan saja hal itu membuat gadis berpakaian merah
menyala itu menjadi malu, dan menundukkan kepalanya.
"Dia bernama Arya Buana.
Dunia persilatan lebih mengenalnya dengan julukan Dewa Arak!" jawab Ki
Gelagar. Sikapnya seolah-olah seperti telah tahu betul mengenai pemuda berambut
putih keperakan itu. Padahal dia sendiri pun baru saja mendengarnya dari
pembicaraan Macan Tutul Lembah Neraka dengan pemuda berbaju ungu itu.
"Ah...! Jadi, pemuda itu
adalah tokoh yang meng- gemparkan itu, Ayah?!" tanya Puspa Rani setengah
tidak percaya. "Sungguh tidak kusangka, orang yang begitu terkenal itu
ternyata masih muda..."
Ki Gelagar sama sekali tidak
menanggapi ucapan putrinya. Kepala Ketua Perguruan Kapak Sakti ini tertunduk
menekuri lantai. Dla mengerti perasaan yang berkecamuk dalam benak putri
tunggalnya ini. Puspa Rani telah menaruh simpati yang mendalam pada Dewa Arak.
Padahal laki-laki setengah baya ini tahu kalau Dewa Arak bukanlah orang yang
cocok untuk putrinya. Orang seperti Dewa Arak akan lebih mengutamakan
kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Hal inilah yang membuat
Ki Gelagar agak bingung.
Puspa Rani agak heran melihat
ayahnya sama sekali tidak menanggapi ucapannya. Bahkan masuk ke ruang
khususnya. Gadis berpakaian merah menyala ini tidak berani mengusik Dia pun
melangkah meninggalkan tempat itu. Hatinya bernyanyi riang. Mulutnya bersiul-siul.
Perjumpaannya dengan Dewa Arak membuat hatinya berbunga-bunga.
***
Tidak seperti biasanya, kali
ini Dewa Arak berlari dengan mengerahkan separuh ilmu meringankan tubuhnya. Hal
ini terpaksa dilakukannya. Karena kalau seluruh ilmu meringankan tubuhnya
dikeluarkan, sudah dapat dipasti- kan kalau Jayalaga akan tertinggal jauh.
"Kau tahu di mana markas
mereka, Paman?" tanya Arya tanpa menghentikan larinya. Sepasang matanya
menatap tajam wajah paman gurunya.
Jayalaga menganggukkan
kepalanya. Pemuda berpakaian merah muda ini sama sekali tidak menyahut. Arya
pun terus berlari. Sementara Jayalaga juga terus saja berlari di sebelah Dewa
Arak.
Tak terasa ma lam pun datang
menjelang ketika Dewa Arak dan Jayalaga telah tiba di sebuah hutan.
"Kita bermalam di sini
dulu, Arya." ucap Jayalaga memberi saran.
"Baik, Paman. Tapi kita
harus mencari makanan dulu untuk mengisi perut," usul Arya.
"Sebuah usul yang
bagus!" puji Jayalaga sambil meng- acungkan jempol.
"Biar aku saja yang
mencari makanan, Paman." ucap Arya menawarkan diri.
"Dan aku yang
memasaknya," sambung Jayalaga tidak mau kalah. "Bagaimana? Adil
kan?"
"Terserah Paman
sajalah." sahut Arya mengalah.
"Kalau begitu, cepat kau
cari makanan itu, Arya!"
Tanpa menunggu dipenntah dua
kali, Dewa Arak segera melesat dari situ. Tujuannya sudah jelas. Mencari
makanan untuk mengganjal perut. Entah itu ayam hutan atau kelinci. Yang penting
dapat digunakan sebagai obat lapar.
Cukup lama juga Arya pergi.
Dan ketika kembali, di tangannya terjinjing dua ekor kelinci dan seekor ayam
hutan.Jayalaga segera menerimanya begitu Arya meng- angsurkan binatang hasil
buruannya. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian merah muda ini sudah sibuk dengan
masakannya.
Perut Arya yang memang sudah
berkeroncongan, men- jerit-jerit minta diisi begitu mencium bau harum daging
panggang.
Tak lama kemudian, mereka pun
sudah sibuk dengan santapannya masing-masing. Baik Arya maupun Jayalaga makan
daging panggang itu dengan lahap.
Beberapa saat kemudian,
binatang panggangan itu pun habis. Yang tinggal hanyalah tulang-tulangnya.
Arya menguap. Mulutnya terbuka
lebar-lebar. Seiring dengan habisnya daging panggang itu, rasa kantuk yang amat
sangat pun menyerangnya. Begitu dahsyat sekali serangan kantuk kali ini.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Aneh sekali rasa kantuknya kali ini. Rasanya nikmat sekali kalau tubuhnya
direbahkan.
"Aku sudah mengantuk
sekali, Paman. Maaf, aku tidur duluan," ucap Arya.
"Tidurlah, Arya. Aku
masih balum mengantuk. Nanti kalau aku mengantuk, aku pun akan tidur "
"Hup..!"
Dewa Arak menggenjotkan
kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas. Dan tanpa menimbulkan
getaran sedikit pun pemuda berambut putih keperakan ini hinggap di cabang
pohon.
Dewa Arak segera menjumput
guci araknya yang tersampir di punggung. Kemudian digantungkannya di cabang
pohon. Baru setelah itu tubuhnya direbahkan. Tak lama kemudian Dewa Arak pun
tertidur lelap.
Arya tidak menyadari kalau
semua gerak-geriknya diperhatikan sepasang mata milik seorang pemuda
berpakaian merah muda. Bibir pemuda itu mengulas senyuman tipis begitu melihat
Dewa Arak telah merebahkan tubuhnya.
Dan senyumnya pun semakin
melebar tatkala di dengarnya suara dengkur halus, pertanda pemuda berambut
putih keperakan itu telah tertidur lelap.
Tapi meskipun begitu, Jayalaga
tetap menunggu beberapa saat lamanya. Baru setelah diyakininya Arya benar-
benar telah tertidur lelap, kedua kakinya digenjotkan.
"Hih...!"
Sesaat kemudian tubuh Jayalaga
melayang ke atas. Dan hinggap di cabang pohon tempat Dewa Arak merebahkan
tubuhnya. Dengan gerakan hati-hati, di ambilnya guci arak yang tergantung di
cabang pohon itu.
Tappp...!
Sesaat kemudian, guci arak itu
pun telah berpindah tempat. Kini guci pusaka Dewa Arak telah berada di tangan
Jayalaga.
Jayalaga merayapi sekujur wajah
Dewa Arak. Sorot matanya memancarkan kebencian. Pelahan-lahan tangannya
tergetar pertanda telah dialiri tenaga dalam.
"Hih..!"
Jayalaga menggertakkan gigi
seraya mengayunkan tangannya ke kepala Dewa Arak. Angin keras berkesiur
mengiringi tibanya serangan itu.
Tapi sebelum pukulan itu
menghantam sasaran. Jayalaga menghentikan gerakannya.
"Aku bukan pengecut! Yang
hanya berani membunuh lawan yang tidak berdaya." desis pemuda berpakaian
merah muda itu pelan seperti bicara pada dirinya sendiri.
Setelah berkata demikian.
Jayalaga segera melompat turun dari cabang itu. Indah dan manis sekali
gerakannya.
"Hup..!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya telah berada dl tanah,
secepat itu pula tubuh murid Eyang Tapakjati melesat dari situ. Terus berlari
masuk ke dalam hutan. Sementara itu, Arya masih tertidur lelap. Pemuda berambut
putih keperakan ini baru tersadar dari tidur nyenyaknya ketika pen- dengarannya
yang tajam menangkap adanya suara ribut- ribut di dekatnya. Bergegas pemuda ini
membuka matanya dan memandang ke arah asal suara.
Di bawah pohon, tampak berdiri
tiga sosok tubuh yang membuat jantung Dewa Arak berdenyut cepat. Betapa tidak?
Di bawah pohon tempatnya tidur, telah berdiri tiga orang yang mendongakkan
wajah ke arah nya. Tiga orang itu ciri-cirinya mirip sekali dengan Tiga Macan
Lembah Neraka yang diceritakan oleh Eyang Tapakjati maupun oleh Jayalaga.
Apalagi di antara mereka dilihatnya Macan Tutul Lembah Neraka yang kemarin
dipecundanginya.
"Dewa Arak! Turun kau...!
Dan mari selesaikan urusan kita'" teriak Macan Tutul Lembah Neraka.
Sejak tadi, amarah Dewa Arak
sudah berkobar-kobar begitu melihat tiga orang yang memang tengah dicari-
carinya. Bergegas Arya menoleh ke tempat dia meng- gantungkan gucinya.
Wajah Dewa Arak kontan berubah
ketika melihat guci yang semalam digantungkannya telah lenyap! Cabang pohon,
tempat dia menggantungkan gucinya kosong. Perasaan penasaran mendorong Arya
untuk memeriksa punggungnya. Ternyata di situ pun tidak ditemukan gucinya.
Perasaan bingung bercampur was-was pun melandanya. Betapa tidak? Tanpa guci
pusaka itu, ilmu andalannya menjadi hilang kemampuannya? Dan hal seperti ini
juga pernah dialami oleh pemuda itu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar")
Tapi Dewa Arak tidak mempunyai
pilihan lain lagi. Lawan telah mengajukan tantangan, dan pantang baginya
menolak. Apa pun alasannya. Maka walaupun pikirannya masih digayuti berbagai
macam pertanyaan, Arya tetap melompat turun dari pohon untuk memenuhi tantangan
itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di tanah, sekitar tiga tombak di hadapan ketiga lawannya.
Macan Tutul Lembah Neraka
menatap Arya. Ada sorot kegentaran pada sepasang matanya. Memang, sebenar-
nyalah laki-laki pendek gemuk ini merasa gentar bukan main pada pemuda berambut
putih keperakan di hadapannya ini. Telah dirasakannya sendiri kelihaian Dewa
Arak yang menggiriskan itu.
Dewa Arak memandang ke
sekelilingnya. Sepasang matanya berputar liar, seolah-olah ada sesuatu yang
tengah dicarinya. Dan memang, Arya tengah mencari-cari Jayalaga. Ke mana
perginya paman gurunya itu? tanya Arya dalam hati.
Mendadak Dewa Arak tersentak
ketika tiba-tiba muncul sebuah dugaan. Apakah Jayalaga yang telah membawa lari guci
araknya? Sepertinya dugaaan itu mustahil. Untuk apa pemuda berpakaian merah
muda itu membawa lari guci peraknya. Tapi, kalau bukan, kenapa tiba-tiba saja
pemuda itu lenyap begitu saja? Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama
lagi karena lawan-lawannya tampak sudah tidak sabar lagi. Macan Kumbang Lembah
Neraka, orang yang paling beringas di antara Tiga Macan Lembah Neraka segera
melangkah maju.
"Inikah orang yang kau
ceritakan itu, Macan Tutul?" tanya laki-laki berkulit hitam itu seraya
berpaling menatap rekannya.
Macan Tutul Lembah Neraka
menganggukkan kepalanya.
"Ya! Dialah Dewa
Arak." jawab laki-laki bertubuh pendek gemuk itu pelan.
"Dan kau
dikalahkannya?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka lagi. Nada suaranya
menyiratkan ketidak- percayaan.
Kembali Macan Tutul Lembah
Neraka menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati, Macan
Kumbang. Kepandaian pemuda itu tinggi sekali," ujar Macan Tutul Lembah
Neraka menasihati.
"Ha ha ha...!" Macan
Kumbang Lembah Neraka hanya tertawa bergelak. "Ingin kuketahui, sampai di
mana tingkat kepandaiannya."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berkulit hitam itu mengalihkan perhatiannya kembali pada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu memang sejak tadi hanya mendengarkan
pembicaraan antara Macan Tutul dan Macan Kumbang Lembah Neraka. Sementara
benak- nya berputar terus, memikirkan di mana guci araknya dan ke mana pula
perginya Jayalaga.
Mendadak saja hatinya berdebar
keras tatkala teringat kejadian aneh semalam. Kecurigaan pada paman gurunya itu
semakin membesar. Semalam dia terserang rasa kantuk yang amat sangat. Kantuk
yang belum pemah dialami seumur hidupnya. Dan itu dialaminya setelah dia makan
daging panggang yang dibuat oleh Jayalaga. Mungkinkah daging panggang itu telah
dicampuri racun pembius?
Namun Arya tidak bisa berpikir
terlalu lama lagi. Macan Kumbang Lembah Neraka telah menghampirinya dengan
sorot mata beringas.
"Bersiaplah, Dewa
Arak...!" seru laki-laki berkulit hitam itu bernada memperingatkan.
Arya memang sudah sejak tadi
bersikap waspada. Disadari kalau kini tidak bisa menggunakan ilmu andalannya.
Ilmu 'Belalang Sakti' membutuhkan arak untuk memainkannya. Sehingga mau tak mau
Dewa Arak terpaksa menggunakan ilmu warisan ayahnya. Ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau', dan Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan suara
melengking nyaring. Macan Kumbang Lembah Neraka menyerang Dewa Arak dengan
totokan-totokan dua jari tangan ke arah ulu hati dan dada bertubi-tubi.
Suara berciutan nyaring bagai
ada sesuatu yang robek, terdengar mengiringi tibanya serangan itu.
Dewa Arak tidak berani
main-main. Dari suara angin yang berciutan itu, dapat diukur ketinggian tenaga
dalam milik laki-laki berkulit hitam itu. Buru-buru didoyongkan tubuhnya ke
kanan sehingga serangan itu lewat di samping tubuhnya. Sewaktu mengelak, tak
lupa pemuda berambut putih keperakan ini mengirim sampokan ke pelipis
lawannya.
Macan Kumbang Lembah Neraka
terperanjat kaget. Dari gerakan mengelak Dewa Arak, bisa di perkirakannya
ketinggian ilmu pemuda di hadapannya. Hanya orang-orang yang berkepandaian
tinggi sajalah yang berani mengelakkan serangan tanpa menggeser kaki. Karena
hal seperti itu membutuhkan perhitungan yang matang.
Bukan hanya itu saja, yang
membuat laki-laki berkulit hitam itu terkejut. Balasan serangan yang begitu
tiba-tiba dari pemuda itu juga membuatnya terkejut. Apalagi ketika didengarnya
desiran angin nyaring sebelum serangan itu sendiri tiba.
"Hup...!"
Macan Kumbang Lembah Neraka
segera merendahkan tubuhnya sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya.
Rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras menjadi bukti kehebatan tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan Dewa Arak. Dan ini membuat laki-laki
berkulit hitam itu diam-diam mengakui pemberitahuan Macan Tutul Lembah Neraka.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Macan Kumbang Lembah Neraka. Seraya merendahkan tubuh, tangan kirinya
melakukan totokan ke arah dada lawannya. Walaupun totokan itu hanya dilakukan
dengan menggunakan dua jari, namun batu karang yang paling keras pun akan
tembus!
Dewa Arak memuji kelihaian
laki-laki berkulit hitam itu dalam hati. Kecepatan gerak laki-laki berkulit
hitam itu memang mengagumkan. Apalagi ditambah dengan ilmu totokan yang
dimilikinya. Ilmu totokan itu benar-benar menggiriskan hati. Rasa penasaran
mendorong Arya untuk menjajaki kekuatan tenaga dalam lawannya. Maka
ditangkisnya totokan yang mengarah ke dadanya itu dengan bacokan tangan
kirinya.
Takkk!
Tak pelak lagi, benturan dua
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielakkan.
Macan Kumbang Lembah Neraka memekik tertahan. Laki- laki berkulit hitam itu
merasakan sekujur tangannya ngilu. Apalagi pada bagian yang berbenturan
langsung dengan tangan Dewa Arak. Seolah-olah tangannya berbenturan dengan
sebatang baja yang keras bukan kepalang. Jelas kalau tenaga dalamnya masih
belum dapat mengimbangi tenaga dalam Arya.
Tapi tentu saja hal itu tidak
membuat Macan Kumbang Lembah Neraka gentar. Bahkan sebaliknya, penasaran bukan
main. Dan sebagai akibatnya serangan-serangannya pun kian dahsyat. Tapi,
meskipun begitu Dewa Arak masih dapat mengimbanginya. Walaupun pemuda berambut
putih keperakan ini tidak menggunakan ilmu 'Delapan Langkah Belalang', tapi
tidak berarti kalau Dewa Arak menjadi seorang yang lemah tidak berdaya. Dengan
ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga', dihadapinya kedahsyatan semua serangan Macan Kumbang Lembah Neraka.
Pertarungan antara kedua tokoh
sakti itu berlangsung sengit dan cepat. Sehingga tidak terasa lima belas jurus
telah berlalu. Dan saat ini belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Sungguh pun Dewa Arak unggul dalam tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,
tapi tidak berarti pemuda berambut putih keperakan ini akan mudah merobohkan
lawannya.
Ilmu totokan yang dimiliki
oleh Macan Kumbang Lembah Neraka ternyata memiliki ciri khas yang sama dengan
ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Sama-sama menitikberatkan pada
penyerangan. Maka tidak aneh jika pertarungan antara keduanya berlangsung
menarik.
Tapi lewat delapan puluh
jurus, tampaklah keunggulan Dewa Arak. Pelahan namun pasti Macan Kumbang Lembah
Neraka mulai terdesak.
Tentu saja hal itu diketahui
oleh kedua rekannya. Macan Tutul Lembah Neraka menatap Macan Loreng Lembah
Neraka dengan sinar mata memancarkan kemenangan.
"Aku tidak berlebihankan
menceritakannya pada kalian." ucap laki-laki bertubuh pendek gemuk itu
tiba-tiba. "Pemuda itu memang memiliki kepandaian luar biasa."
Macan Loreng Lembah Neraka
hanya diam. Sepasang matanya masih memandang ke arah pertarungan.
"Pantas saja kalau
Raksasa Rimba Neraka bisa tewas di tangannya," gumam Macan Loreng Lembah
Neraka pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pertarungan. "Ah...!
Kalau saja tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. Orang semuda dia bisa
memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh seperti itu. Sulit
dipercaya!"
Macan Tutul Lembah Neraka sama
sekali tidak menanggapi keheranan Macan Loreng Lembah Neraka. Pertarungan yang
berlangsung di hadapan mereka jauh lebih menarik. Kapan lagi dapat menyaksikan
pertarungan seseru ini.
"Tak lama lagi, Macan
Kumbang akan roboh di tangan pemuda itu," kembali Macan Tutul Lembah
Neraka yang memang bawel menyela, tanpa mengalihkan pandangannya dari
pertarungan.
"Yahhh...," sahut
Macan Loreng mendesah pelan. Juga tanpa mengalihkan pandangannya dari
pertarungan. "Pemuda itu memainkan jurus yang mirip dengan jurus- jurus
Eyang Tapakjati."
***
Sementara itu pertarungan
semakin mendekati penyelesaian. Macan Kumbang Lembah Neraka kelihatannya amat
terdesak. Berkali-kali tubuhnya terhuyung. Dadanya dirasakan sesak bukan main.
Sekujur tangannya pun terasa ngilu, setiap kali berbenturan dengan tangan Dewa
Arak.
"Hiaaat...!"
Dewa Arak berteriak nyaring.
Kaki kirinya menendang lurus ke dada Macan Kumbang. Laki-laki berkulit hitam
itu segera mendoyongkan tubuhnya, sehingga serangan itu lewat di samping
tubuhnya. Tapi, Arya yang memang sudah memperkirakan hal itu segera
menyusulinya dengan tendangan menyamping kaki kanannya ke arah leher yang
dilakukannya sambil menggeser kaki.
Kali ini Macan Kumbang Lembah
Neraka tidak bisa mengelak lagi. Posisinya memang sejak tadi sudah terjepit.
Terpaksa ditangkisnya serangan kaki itu dengan tangan bersilang seraya
merundukkan sedikit kepalanya.
Plak!
Seketika itu juga kuda-kuda
Macan Kumbang Lembah Neraka tergoyah. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Dan saat itulah Dewa Arak kembali melompat menerkam. Inilah jurus 'Harimau
Lapar Menerkam Kambing'!
Wajah Macan Kumbang Lembah
Neraka mendadak pucat. Disadari kalau dia tidak akan mampu mengelakkan serangan
yang datang begitu mendadak. Menangkis pun sudah tidak sempat lagi. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menanti ajal dengan sepasang mata terbelalak lebar.
Tapi di saat gawat bagi
keselamatan Macan Kumbang Lembah Neraka, dari arah samping kanan dan kirinya
melesat dua sosok bayangan yang memotong laju lompatan Dewa Arak.
Plak, plak, plak... !
Suara benturan keras terdengar
berkali-kali. Disusul dengan berpentalannya tiga sosok tubuh. Tubuh Dewa Arak
dan dua sosok yang memotong laju lompatannya.
"Hup...!"
Dewa Arak bersalto beberapa
kali di udara, kemudian mendarat ringan di tanah. Tanpa melihat pun sudah bisa
diduga, siapa yang telah menangkis serangannya. Siapa lagi kalau bukan Macan
Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka!
"Hup... ! Hup...!"
Hampir berbareng dengan
mendaratnya kedua kaki Dewa Arak, kedua penolong Macan Kumbang pun mendaratkan
kedua kakinya. Dan memang benar! Kedua orang itu tak lain adalah Macan Loreng
dan Macan Tutul Lembah Neraka!
Dewa Arak bersikap waspada.
Dari semula sudah diduganya kalau dia pasti akan menghadapi keroyokan tiga
orang tokoh ini. Oleh karena itu pemuda berambut putih keperakan ini tidak
terkejut lagi. Ditatapnya ketiga lawan yang masih berdiri di hadapannya satu
persatu.
"Kau memang lihai!, Dewa
Arak! Tapi bila kau mampu menghadapi kami bertiga selama tujuh puluh jurus,
kami berjanji tidak akan mengusikmu lagi!" tegas Macan Tutul, yang selalu
menjadi juru bicara dari Tiga Macan Lembah Neraka.
Arya mengerutkan alisnya
mendengar penawaran yang menarik itu. Dengan Jurus 'Delapan Langkah Belalang',
tidak sulit baginya untuk menghadapi pengeroyokan ketiga datuk golongan hitam
ini. Tapi sayang, kini dia tidak bisa menggunakan jurus itu. Guci araknya lenyap
entah ke mana. Dan bila dia bersikeras menggunakan ilmu 'Belalang Sakti',
percuma saja. Ilmu itu tidak akan berarti apa-apa tanpa pancingan arak dari
guci pusakanya.
Tantangan Macan Tutul Lembah
Neraka bukanlah tanpa perhitungan. Semalam, Jayalaga datang menemuinya. Pemuda
berbaju merah muda itu memberitahukan tempat Dewa Arak serta membuka rahasia
kelemahannya. Itulah sebabnya mengapa Macan Tutul Lembah Neraka mau berjanji
seperti itu.
"Tidak usah banyak
basi-basi, Macan Tutul Lembah Neraka! Aku mencari kalian untuk membalaskan
kematian Eyang Tapakjati! Aku hanya punya dua pilihan. Aku atau kalian yang
harus mati!" tandas Arya.
"Ha ha ha...!
Sombongnya!" Macan Loreng Lembah Neraka tertawa terbahak-bahak "Kalau
begitu bersiaplah kau, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
Macan Loreng Lembah Neraka segera melompat menerjang Dewa Arak. Belum juga
serangan laki-laki bermuka kuning itu tiba, Macan Tutul dan Macan Kumbang
Lembah Neraka juga telah melompat menyerang. Kini sibuklah Dewa Arak.
Menghadapi seorang saja, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mengalahkannya. Apalagi menghadapi tiga orang sekaligus.
Tapi, meskipun begitu Dewa
Arak tidak menjadi gentar. Kalau saja pemuda berambut putih keperakan ini
bersikap pengecut, sudah dari tadi melarikan diri. Dengan ketinggian ilmu
meringankan tubuh yang berada di atas lawannya, tidak sulit bagi Dewa Arak
untuk melakukan itu. Tapi Arya sama sekali tidak melakukannya! Dan bahkan malah
menantang ketiga lawannya bertarung sampai mati!
Sesaat kemudian, pertarungan
sengit pun terjadi. Kali ini Dewa Arak harus berjuang lebih keras untuk
melumpuhkan lawannya. Padahal Arya baru saja menguras seluruh kemampuannya
sewaktu menghadapi Macan Kumbang Lembah Neraka.
Dan kini kembali harus
mengerahkan seluruh kemampuannya kalau tidak ingin mati sia-sia.
Tapi betapa pun Arya telah
mengerahkan seluruh kemampuannya. Tetap saja pemuda berambut putih keperakan
ini harus mengakui kalau ketiga tokoh ini terlalu berat baginya.
Tidak sampai dua puluh jurus,
Dewa Arak sudah terdesak.
Pemuda berambut putih
keperakan ini menggertakkan gigi. Dikeluarkannya gabungan ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. Tapi, tetap saja
usaha kerasnya ini tidak menampakkan hasil. Arya tetap saja terdesak.
"Haaat..!"
Seraya mengeluarkan teriakan
nyaring, Dewa Arak mengibaskan kaki kanannya ke arah Macan Kumbang Lembah
Neraka seraya memutar tubuh.
Wusss...!
Angin berhembus keras
mengiringi tibanya serangan kaki Dewa Arak.
"Hih...!"
Macan Kumbang Lembah Neraka
menggertakkan gigi. Diangkat tangan kanannya ke samping kanan kepalanya.
Melindungi kepala itu dari kibasan kaki Dewa Arak.
Plak!
Benturan keras antara tangan
dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu terjadi. Akibatnya
hebat! Kuda-kuda Macan Kumbang Lembah Neraka tergoyah. Dan tubuhnya terhuyung
ke samping. Sementara tubuh Dewa Arak bergetar, dan posisinya agak goyah.
Sebelum Arya mengirimkan
serangan susulan. Macan Tutul Lembah Neraka telah menyerang dengan sampokan
yang mengarah ke pelipisnya. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak yang belum
sempat memperbaiki kuda- kudanya, berusaha mati-matian menyelamatkan diri.
Buru-buru Arya merundukkan
tubuhnya sehingga sampokan itu lewat di atas kepalanya. Tapi di saat itulah
serangan kaki Macan Loreng Lembah Neraka meluncur tiba.
Bukkk!
"Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh pendek
ketika tendangan laki-laki bermuka kuning itu mendarat telak dan keras di
perutnya. Seketika itu juga tubuh Arya terbungkuk, karena perutnya terasa mual
dan mules yang amat sangat. Dan belum lagi Dewa Arak mengatasi rasa sakit itu,
Macan Kumbang Lembah Neraka telah memburunya dengan sapuan kaki.
Dukkk!
"Akh...!"
Kembali Dewa Arak memekik
tertahan. Sapuan kaki laki- laki berkulit hitam itu tepat mengenai kakinya. Tak
pelak lagi, tubuhnya terjungkal ke belakang. Tapi, sungguhpun rasa sakit yang
amat sangat mendera kakinya. Arya masih berusaha memperbaiki posisinya.
Kali ini giliran Macan Tutul
Lembah Neraka yang men- cecar Dewa Arak. Laki-laki pendek gemuk itu segera melancarkan
pukulan ke arah perut Dewa Arak.
Wuuttt..!
Angin yang menderu keras
menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam pukulan itu. Dewa
Arak terkesiap kaget. Sebisa-bisanya pemuda berambut putih keperakan ini
berusaha mengelak.
Bukkk!
"Hugh...!"
Untuk yang kedua kaliny perut
Arya terkena serangan lawan. Tapi sungguhpun hanya berupa pukulan, akibatnya
tidak kalah hebat dengan tendangan Macan Loreng Lembah Neraka tadi. Akibatnya
kembali Arya mengeluh tertahan. Tubuhnya ambruk seketika di tanah. Dari mulut
pemuda berambut putih keperakan itu meleleh cairan merah kental Dewa Arak
pingsan!
"Ha ha ha...!"
Macan Tutul Lembah Neraka
tertawa bergelak melihat lawan tangguhnya roboh. Ditatapnya tubuh yang tergolek
lemah di tanah itu. Kemudian pelahan dihampirinya. Dengan ujung sepatunya wajah
Dewa Arak dihadapkan ke arahnya.
Macan Kumbang hanya mendengus
melihat kelakuan Macan Tutul Lembah Neraka. Dengan perasaan tidak sabar,
dihampirinya tubuh Arya. Diraihnya kaki Dewa Arak kemudian diseretnya tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa menggelegar kembali
menggema di sekitar tempat itu. Suara tawa yang berasal dari mulut Tiga Macan
Lembah Neraka. Sesaat kemudian tiga datuk sesat itu pun melesat meninggalkan
tempat Itu. Meninggalkan gema suara yang masih bergaung memekakkan telinga.
Dari balik rerimbunan semak,
sepasang mata milik seorang pemuda yang sejak tadi mengawasi semua peristiwa
itu, tersenyum lebar. Pemuda itu berpakaian warna merah muda. Siapa lagi kalau
bukan Jayalaga.
Sungguhpun Tiga Macan Lembah
Neraka telah tidak berada lagi di situ, pemuda berpakaian merah muda ini tetap
diam dl tempat persembunyiannya. Baru setelah merasa yakin kalau tidak ada lagi
orang yang berada di situ, Jayalaga keluar dari persembunyiannya.
***
Tiga Macan Lembah Neraka
membawa Dewa Arak ke sebuah bangunan tua yang sudah tidak dihuni lagi di dalam
hutan. Dan memang di situlah markas mereka.
Brukkk!
Sembarangan saja Macan Kumbang
melemparkan tubuh Dewa Arak ke lantai. Tentu saja Dewa Arak yang sudah tidak
sadar, sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Keadaan pemuda berambut putih
keperakan itu menyedihkan sekali. Pakaiannya banyak yang koyak. Sekujur
tubuhnya penuh luka-luka akibat terseret-seret. Memang Macan Kumbang Lembah
Neraka membawa Dewa Arak hanya sebelah kakinya saja.
"Ikat dia...!"
perintah Macan Kumbang Lembah Neraka.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali. Macan Loreng segera mencekal kaki Dewa Arak. Dan lagi-lagi pemuda
berambut putih keperakan itu harus menerima kenyataan pahit. Diseret ke ruangan
dalam.
Macan Loreng membawa Dewa Arak
ke sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari tembok batu tebal. Pintunya pun
terbuat dari jeruji-jeruji baja. Rupanya ruangan ini juga pernah dipergunakan
sebagai tempat tahanan.
Kriiit..!
Terdengar derit nyaring,
begitu Macan Loreng membuka jeruji pintu itu. Lalu diseretnya tubuh Dewa Arak
masuk ke ruangan itu. Ruangan lembab yang lantainya dipenuhi lumut.
Macan Loreng terus menyeret
tubuh Dewa Arak sampai ke dinding. Di dinding itu tertanam rantai-rantai baja
besar yang pada ujungnya terdapat gelang-gelang baja yang juga besar.
Sesampainya di sini, dengan
kasar Macan Loreng menegakkan tubuh Dewa Arak. Kemudian dimasukkannya kedua
pergelangan tangan dan kaki Dewa Arak padagelang-gelang baja itu, kemudian
dikuncinya .
Setelah menyelesaikan
pekerjaannya. Macan Loreng Lembah Neraka berlalu meninggalkan ruangan itu.
Dilangkahkan kakinya ke arah pintu. Kemudian dibuka dan ditutupkannya kembali.
Dan melangkah menuju ruang tengah. Ruangan tempat Macan Kumbang dan Macan Tutul
Lembah Neraka tadi duduk.
"Bagaimana?" tanya
Macan Kumbang begitu melihat Macan Loreng telah kembali tanpa Dewa Arak.
Macan Loreng hanya
menggerakkan sedikit bagian atas mulutnya.
Rupanya isyarat seperti itu
telah cukup dimengerti Macan Kumbang Lembah Neraka. Terbukti dia tidak bertanya
lagi. Kepalanya ditolehkan kembali ke luar. Seperti ada sesuatu yang tengah
ditunggunya.
"Mengapa dia belum juga
datang...." desah laki-laki berkulit hitam itu bernada keluhan.
"Sabarlah, Macan Kumbang!
Aku yakin tak lama lagi dia akan kembali. Anak itu memang punya sifat aneh.
Tapi, aku percaya dia akan menepati janjinya," sahut Macan Tutul Lembah
Neraka bernada menghibur.
"Betul, Macan
Kumbang!" Macan Loreng Lembah Neraka ikut menimpali. "Aku percaya,
Utari bukan termasuk gadis yang suka ingkar janji. Percayalah kata- kataku.
Utari pasti datang!"
"Hhh...!" Macan
Kumbang hanya menghembuskan napas berat sebagai jawaban atas nasihat kedua
rekannya. Sesaat sepasang matanya menatap berganti-ganti Macan Tutul dan Macan
Loreng. Tapi sesaat kemudian, pandangannya dialihkan kembali keluar. Dan
tiba-tiba saja sepasang matanya berbinar-binar. Wajahnya kontan berseri-seri.
Di kejauhan, dilihatnya
sesosok bayangan kebiruan yang bergerak cepat menuju ke markas mereka. Macan
Kumbang Lembah Neraka kenal betul siapa pemilik pakaian berwarna biru itu.
Siapa lagi kalau bukan Utari? Gadis yang mereka tunggu-tunggu!
Macan Tutul dan Macan Loreng
Lembah Neraka tentu saja melihat perubahan mendadak pada wajah laki-laki
berkulit hitam itu. Bagai dikomando, keduanya berbareng menatap ke luar. Dan
seketika itu juga wajah keduanya pun berseri gembira.
"Apa kataku, Macan
Kumbang! Benar kan? Utari selalu menepati janjinya. Kau saja yang terlalu
berprasangka bukan-bukan." ucap Macan Tutul Lembah Neraka bernada
menyalahkan.
"Ya, sudah! Aku mengaku
salah. Dan kalianlah yang benar!" sergah laki-laki berkulit hitam itu
seraya bangkit dari duduknya.
Tak lama kemudian, sosok
berbaju biru itu pun telah mulai mendekati markas mereka. Bergegas Tiga Macan
Lembah Neraka melangkah keluar, menyambut kedatangan sosok berbaju biru itu.
Dan di halaman, Tiga Macan
Lembah Neraka bertemu dengan sosok berbaju biru itu.
"Ah...!" sosok
berbaju biru yang ternyata adalah seorang gadis berwajah cantik jelita,
terpekik kaget. Dia nampak terkejut ketika tahu-tahu tiga sosok yang amat
dikenalnya, melesat keluar dan menyongsong kedatangannya.
"Apakah ada berita
gembira sehingga Paman bertiga tidak sabar menungguku masuk ke dalam?"
tanya gadis yang bernama Utari itu seraya merayapi wajah Tiga Macan Lembah
Neraka dengan sepasang matanya yang bening dan indah.
"Bukan hanya
menggembirakan saja, Utari. Tapi juga mengejutkan," selak Macan Tutul
Lembah Neraka, orang yang paling pandai bicara.
"Berita apa Paman?"
tanya Utari seraya mengerutkan dahinya yang berkulit putih halus dan mulus itu.
Macan Tutul Lembah Neraka
tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah gadis berpakaian biru itu
tajam-tajam.
"Pembunuh gurumu telah
kami tangkap!" ucap laki-laki gemuk pendek itu memberitahu. Pelan Macan
Tutul Lembah Neraka mengucapkannya.
"Apa?!" sentak
Utari. Tubuhnya sampai terjingkat ke belakang. Sepasang matanya terbelalak
lebar, seolah-olah melihat hantu di siang bolong "Coba ulangi sekali lagi,
Paman!"
Macan Tutul Lembah Neraka
tertawa terkekeh.
"Mungkin kalau aku yang
memberitahu, kau tidak akan percaya. Karena aku sering membohongimu, kan? Nah,
sekarang kau boleh tanyakan pada Macan Kumbang! Kau tahu kan, Utari? Macan
Kumbang adalah pamanmu yang selalu serius jika berbicara "
Utari, yang sebenamya adalah
murid Raksasa Rimba Neraka ini menoleh ke arah Macan Kumbang Lembah Neraka.
Laki-laki berkulit hitam itu menganggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan Macan
Tutul benar. Pembunuh gurumu telah kami tangkap!"
"Maksud Paman, Dewa
Arak...?!" tanya Utari masih tidak percaya.
"Siapa lagi Utari?"
selak Macan Loreng Lembah Neraka.
"Sungguh? Paman bertiga
tidak bohong?!" tanya Utari lagi masih kurang yakin. Memang ketiga
pamannya ini sering kali mempermainkan dirinya. Terutama sekali Macan Tutul
Lembah Neraka.
"Kalau kau tak percaya,
kau boleh lihat sendiri di ruang tahanan. Kau tahu kan tempatnya?" ucap
Macan Kumbang Lembah Neraka lagi.
Utari menganggukkan kepalanya.
Seketika itu juga tubuhnya melesat ke dalam. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka
menatap punggung gadis itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gadis berpakaian biru itu
melesat cepat ke dalam bangunan. Berita tentang tertangkapnya Dewa Arak telah
membuat dendam gadis ini semakin berkobar. Utari memang sangat mendendam kepada
Dewa Arak. Betapa tidak? Raksasa Rimba Neraka adalah orang yang telah
merawatnya sejak bayi.
Hubungan Utari dengan datuk
golongan hitam itu bukan lagi sekadar hubungan antara murid dengan guru, tetapi
antara anak dengan ayah. Maka begitu mendengar gurunya tewas di tangan Dewa
Arak, gadis itu keluar dari Rimba Neraka untuk membalas dendam.
Rupanya Tiga Macan Lembah
Neraka, yang merupakan sahabat-sahabat Raksasa Rimba Neraka, tidak tinggal
diam. Mereka ikut keluar dari Lembah Neraka, dan mem bantu gadis itu menemukan
Dewa Arak. Memang antara Raksasa Rimba Neraka dengan Tiga Macan Lembah Neraka
terjalin hubungan erat. Bahkan Tiga Macan Lembah Neraka menganggap Utari
seperti anak mereka sendiri. Dan gadis berpakaian biru itu memanggil ketiga
orang itu paman.
Sesaat kemudian, Utari telah
berada di depan pintu ruang tahanan yang tak terkunci. Tampak olehnya sesosok
berpakaian ungu terkulai lemah di dinding, dengan gelang- gelang baja melilit
pergelangan tangan dan kakinya. Dengan jantung berdebar tegang, didorongnya
pintu itu.
Kriiittt...!
Suara berderit nyaring
terdengar begitu pintu baja itu terkuak. Dan secepat pintu itu terbuka, secepat
itu pula Utari menghambur masuk. Dilangkahkan kakinya menuju sosok yang
terborgol di dinding.
Bulu tengkuk Utari meremang
begitu melihat keadaan Dewa Arak! Seluruh pakalan pemuda itu koyak-koyak.
Sekujur kulitnya dipenuhi luka-luka yang masih mengalirkan darah. Seketika itu
juga tahulah Utari kalau Dewa Arak telah diseret oleh Tiga Macan Lembah Neraka.
"Uhhh...!"
Tiba-tiba saja terdengar
keluhan dari mulut Dewa Arak. Dan kepala yang terkulai itu pun mendongak,
menatap Utari yang berdiri dalam jarak dua tombak di hadapannya.
"Ih...!"
Sebuah pekik keterkejutan keluar
dari mulut Utari. Dan memang sewajarnyalah kalau gadis berpakaian biru ini
terkejut. Kekagetan yang melanda hatinya terlampau banyak.
Semula sewaktu melihat rambut
yang telah memutih itu. Utari mengira kalau yang terbelenggu adalah seorang
kakek berusia lanjut. Maka dapat dibayangkan, betapa kaget hatinya ketika
melihat orang yang berambut putih itu adalah seorang pemuda. Dan hal kedua yang
mengejutkan- nya adalah sinar mata Dewa Arak! Sinar mata itu begitu tajam
mencorong.
Bagaikan mata harimau dalam
gelap! Hal ketiga yang membuat Utari terpekik adalah wajah pemuda itu.
Entah mengapa, tanpa disadari
oleh gadis itu sendiri, ada rasa aneh yang menyelinap di dalam dadanya begitu
terpandang wajah Dewa Arak! Sebuah perasaan aneh yang sulit dimengertinya, dan
belum pemah dialaminya. Dan seketika itu juga, rasa dendamnya pada pemuda ini
memudar pelahan-lahan.
"Hhh...!"
Utari menghela napas panjang.
Ada apa dengan dirinya? Mengapa kini begitu bertemu pembunuh gurunya, rasa
dendamnya pupus? Padahal selama ini dia bersama tiga pamannya telah bersusah
payah mencari jejak Dewa Arak. Membunuh Dewa Arak setelah terlebih dulu
menyiksanya! Mengapa sekarang dendamnya tidak ada lagi? Aneh! .
Tiba-tiba pendengaran Utari
menangkap banyak langkah kaki mendekati ruang tahanan. Tanpa melihat pun gadis
berpakaian biru ini sudah bisa menduga siapa pemilik langkah kaki itu. Siapa
lagi kalau bukan Tiga Macan Lembah Neraka? Aneh! Mendadak saja, timbul perasaan
khawatirnya atas keselamatan pemuda berambut putih keperakan ini.
Utari khawatir ketiga pamannya
itu akan menyiksa Dewa Arak habis-habisan! Utari, Utari...apa yang terjadi pada
dirimu? tanya gadis itu pada dirinya sendiri dengan perasaan bingung.
Cepat laksana kilat Utari
melesat mendekati Dewa Arak.
"Maaf, demi keselamatanmu...."
bisik gadis berpakaian biru itu pelan, seraya mengayunkan tangan ke tengkuk
Dewa Arak.
"Hugh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan.
Seketika itu juga tubuhnya kembali terkulai. Pemuda berambut putih keperakan
ini pingsan untuk kedua kalinya.
Begitu kepala Dewa Arak
terkulai, Utari pun melesat kembali ke tempat semula. Sekejap kemudian
terdengar derit pintu yang terbuka.
Gadis berpakaian biru itu
menoleh. Ditenangkan debaran jantungnya yang mendadak berdegup keras.
"Kau belum mulai
menyiksanya, Utari?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka, yang memang
berwatak paling beringas.
Utari menggelengkan kepalanya.
"Belum, Paman,"
jawab gadis berpakaian biru itu pelan.
"Mengapa, Utari?"
tanya Macan Tutul Lembah Neraka. Sepasang alis laki-laki bertubuh gemuk pendek
itu berkerut.
"Aku tidak berselera
menyiksa orang yang tengah pingsan, Paman" jawab Utari cepat. Dan
diam-diam gadis ini bersyukur, tatkala menyadari ketepatan jawaban pertanyaan
itu.
"Ha ha ha...!" Macan
Tutul Lembah Neraka tertawa bergelak.
"Mengapa kau tertawa,
Paman?" sergah Utari dengan wajah merengut.
"Aku tertawa karena
sikapmu itu, Utari!"
Jantung gadis berpakaian biru
ini berdegup kencang. Apakah laki-laki pendek gemuk itu ini tahu perasaan yang
terkandung dalam hatinya? tanya gadis itu dalam hati.
"Sikapku, Paman?"
tanya Utari lagi .
"Ya!" jawab Macan
Tutul Lembah Neraka tandas. "Kau kelihatan bingung menyiksanya karena dia
pingsan, bukan?"
Pelahan kepala Utari terangguk
pelan.
"Ha ha ha...!"
kembali laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa sebelumnya tidak kau beritahukan padaku?! Tapi, tunggulah
sebentar, Paman akan membuat pembunuh gurumu ini sadar."
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul bergegas melangkah keluar. Utari menatap kepergian laki-laki pendek
gemuk itu itu dengan perasaan tegang. Apa yang akan dilakukan Macan Tutul
Lembah Neraka? tanyanya dalam hati. Diliriknya Macan Kumbang dan Macan Loreng.
Macan Loreng hanya tersenyum-senyum. Sedangkan Macan Kumbang, seperti biasanya,
diam memasang wajah angker.
Tak lama kemudian, Macan Tutul
Lembah Neraka telah kembali. Di tangannya terjinjing sebuah ember. Tercekat
hati Utari melihat perbuatan pamannya ini. Kini dia tahu, laki-laki pendek
gemuk itu hendak menyadarkan Dewa Arak secara paksa.
"Bangun, Dewa Arak!"
bentak Macan Tutul Lembah Neraka seraya mengguyurkan cairan dari dalam ember
itu.
Byurrr...!
Seketika itu juga Dewa Arak
gelagapan. Pemuda berambut putih keperakan ini kontan tersadar dari pingsannya.
Seketika Arya menggelepar-gelepar. Sementara mulutnya mendesis-desis seperti
merasakan kenyerian yang amat sangat.
Tentu saja hal ini membuat
Utari terperanjat kaget! Mengapa hanya diguyur air saja, Dewa Arak menggeliat-
geliat seperti cacing kepanasan? pikirnya bingung.
Tapi kebingungan gadis
berpakaian biru ini segera terjawab, begitu Macan Tutul Lembah Neraka kembali
tertawa bergelak.
"Bagaimana, Dewa Arak?
Nikmat, bukan? Kapan lagi kau akan mandi air cuka kalau tidak sekarang, heh?!
Ha ha ha...!"
Air cuka? jerit Utari dalam
hati. Pantas saja Dewa Arak sampai menggelepar-gelepar begitu. Sungguhpun gadis
ini belum pernah merasakan. Tapi sudah bisa diperkirakannya sendiri. Luka-luka
diguyur air cuka! Betapa nyerinya!
"Ah...! Kurasa masih
belum terlalu nikmat, Macan Tutul! Biariah aku ikut menyumbangkan
tenaga...," sambut Macan Kumbang Lembah Neraka seraya melangkah maju
menghampiri Dewa Arak yang masih menggeliat-geliat karena dilanda rasa nyeri
yang amat sangat.
"Hentikan...!"
teriak Utari keras.
Tentu saja bentakan gadis
berpakaian biru itu membuat Tiga Macan Lembah Neraka terkejut bukan main.
Bahkan Macan Kumbang sampai menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang.
"Mengapa kau mencegahku
menghukum keparat ini, Utari?" tanya laki-laki berkulit hitam itu. Nada
suaranya penuh tuntutan. Sementara Macan Tutul dan Macan Loreng pun menatap
heran pada murid Raksasa Rimba Neraka ini.
Utari pun segera tersadar.
Disadari kalau sikapnya ini menimbulkan kecurigaan Tiga Macan Lembah Neraka.
Untung di saat kritis itu otaknya kembali menemukan jalan keluar.
"Aku tidak ingin Paman
bertiga menyiksanya, sebelum aku menyiksanya! Nanti, setelah aku puas, baru
Paman boleh melanjutkannya," sahut Utari tandas.
"Ooo ...!"
Berbareng Tiga Macan Lembah
Neraka menganggukkan kepalanya, maklum. Macan Kumbang pun segera mengurungkan
niatnya. Dilangkahkan kakinya kembali ke tempatnya.
"Kalau begitu, silakan
kau puas kan hatimu menyiksanya, Utari," ucap Macan Tutul Lembah Neraka
mempersilakan. "Tapi ingat, jangan kau bunuh dia! Sisakan untuk kami!
Sekarang kami ingin beristirahat!"
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul pun melangkah meninggalkan ruangan itu Macan Loreng dan Macan
Kumbang Lembah Neraka mengikuti di belakang laki-laki bertubuh pendek gemuk itu
tanpa banyak bicara.
"Hhh...!"
Utari menghela napas lega
setelah ketiga pamannya berlalu. Kemudian bergegas dihampirinya Dewa Arak yang
masih menggeliat-geliat.
"Ssst..!" Utari
menaruh jari telunjuknya di bibir.
"Tenanglah.... aku tidak
bermaksud jelek padamu. Aku ingin menyelamatkanmu... "
Sebelum Dewa Arak sempat
mengerti ucapan gadis itu, tangan halus Utari telah mencengkeram rantai baja
yang membelenggunya.
Trak, trak, trak, trak !
Seketika itu juga keempat
rantai baja putus! Kontan tubuh Dewa Arak terkulai. Memang Arya lemah bukan
main. Letih dan lemah yang belum pemah dirasakan seumur hidupnya.
"Hup...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Utari
segera memondong pemuda itu di bahunya. Kemudian melangkah keluar dari situ.
Sepasang matanya menatap liar ke sekelilingnya. Sementara pendengarannya
dipasang tajam-tajam. Gadis berpakaian biru ini khawatir kalau Tiga Macan
Lembah Neraka memergoki perbuatannya.
Dengan mengendap-endap, Utari
membawa kabur Dewa Arak melalui pintu belakang. Dan begitu telah berada di
luar, gadis berpakaian biru ini segera melesat cepat. Utari segera mengerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Gadis berpakaian biru ini
sadar, sewaktu-waktu bisa saja salah seorang dari Tiga Macan Lembah Neraka
datang menjenguk ruang tahanan Dewa Arak. Dan bila hal itu terjadi, gadis ini
berharap dia telah berada jauh dari situ.
***
Utari terus berlari
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Gadis berpakaian biru
ini sudah mempunyai tempat tujuan untuk merawat luka-luka Dewa Arak yang telah
membuatnya dilanda perasaan aneh yang sama sekali sulit dipahaminya.
Tak lama kemudian. Utari tiba
di tempat yang ditujunya. Sebuah gua yang tersembunyi dan hanya diketahui
olehnya sendiri.
Utari menengok ke kiri kanan,
untuk memastikan kalau tidak ada orang yang melihatnya menuju ke gua itu. Sesudah
yakin tidak ada yang mengetahuinya, gadis berpakaian biru ini melesat masuk.
Ternyata gua itu cukup panjang
juga. Semakin ke dalam, ruangan di dalam gua itu semakin luas. Utari terus saja
melangkah semakin ke dalam. Baru sesampainya di bagian ujung gua yang beruangan
luas, Utari menghentikan langkahnya. Hati-hati sekali tubuh Dewa Arak
direbahkan di tanah.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Nisanak," ucap Dewa Arak pelan.
Utari hanya melemparkan
senyuman manis sebagai tanggapannya.
"Istirahatlah dulu. Kau
masih lemah. Biar kuperiksa luka- lukamu," ujar gadis cantik itu memberi
saran. Setelah berkata demikian, tangan putih, halus, dan mulus yang
berjari-jari lentik itu mulai memeriksa sekujur tubuh Dewa Arak.
"Sebagian besar luka-luka
luar. Hanya ada sedikit luka dalam," ucap Utari memberitahu.
Seketika tangan kanan gadis
itu bergerak ke pinggang. Dan dari situ dikeluarkan obat bubuk yang kemudian
ditaburkannya ke seluruh luka-luka luar Dewa Arak.
Dewa Arak meringis. Seketika
rasa nyeri yang hebat menggigit sekujur kulitnya, begitu obat bubuk itu
ditaburkan ke seluruh luka-lukanya.
"Memang agak nyeri
sedikit. Tahanlah sebentar..."
Arya menatap wajah gadis yang
duduk bersimpuh dl hadapannya tajam-tajam.
"Mengapa kau menolongku,
Nini? Bukankah perbuatan- mu ini akan membuatmu terancam bahaya? Tiga Macan
Lembah Neraka pasti akan mencarimu. Dan aku tidak bisa membantumu menghadapi
mereka selama guci arakku belum ada di tanganku."
"Jadi, kalau guci arakmu
telah kembali..., kau akan mampu menghadapi pa. eh... Tiga Macan Lembah
Neraka?" tanya Utari seraya menatap Dewa Arak lekat- lekat.
"Mungkin...." sahut
Dewa Arak tidak mau menyombongkan diri.
"Memangnya ke mana guci
arakmu.. eh...."
"Arya, Arya Buana
namaku," sahut Dewa Arak memberitahu. "Namamu Utari kan?"
Gadis berpakaian biru itu
menganggukkan kepalanya. Dia tidak merasa heran, mendengar pemuda berambut
putih keperakan itu menyebut namanya. Ketika di ruang tahanan tadi, sudah
berkali-kali namanya disebut-sebut oleh Tiga Macan Lembah Neraka.
"Guciku dicuri oleh
Jayalaga. Orangnya masih muda, kira-kira seusia denganku. Baju yang dipakainya
berwarna merah muda," jelas Arya, menerangkan ciri-ciri Jayalaga.
Utari mengerutkan alisnya.
Pemuda berpakaian merah muda? tanya nya dalam hati. Bukankah dalam perjalanan
ke markas Tiga Macan Lembah Neraka, dia berpapasan dengan pemuda itu? Dan
memang di tangan pemuda berpakaian merah muda itu dilihatnya sebuah guci. Jadi,
orang itukah yang telah mencuri guci Dewa Arak? Lalu Utari pun menceritakan
pertemuannya dengan Jayalaga kepada Dewa Arak.
"Kalau begitu, biar aku
saja yang mencarinya, Kang Arya," usul Utari setelah menyelesaikan
ceritanya.
Sebelum Dewa Arak sempat
berbicara lagi, gadis berpakaian biru itu telah melesat keluar gua. Dewa Arak
hanya bisa memandangi kepergian Utari dengan benak dipenuhi berbagai
pertanyaan. Seorang gadis cantik telah menyelamatkannya. Apakah Utari jatuh
cinta padanya?
"Hhh...!" desah Dewa
Arak. Mudah-mudahan saja dugaannya kali ini keliru. Pemuda berambut putih
keperakan itu berharap agar Utari tidak menaruh hati pada ya.
Tak lama kemudian, setelah
luka-luka luarnya mulai tidak terasa mengganggu lagi, Dewa Arak segera duduk
bersila. Kedua tangannya yang terbuka, dirapatkan di depan dada, bersemadi. Tak
lama kemudian pemuda berambut putih keperakan ini sudah tenggelam dalam
semadinya.
***
"Keparat..!" teriak
Macan Kumbang begitu melihat ruang tahanan yang kosong melompong. Tidak ada
lagi Utari dan Dewa Arak di situ. Yang ada hanya putusan rantai di tembok.
Tentu saja teriakan Macan
Kumbang yang mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Macan Tutul dan Macan
Loreng Lembah Neraka, yang masih tenang-tenang di ruang depan terlonjak kaget.
Bergegas mereka melesat ke ruang tahanan. Pasti ada sesuatu yang telah membuat
rekannya berteriak-teriak seperti itu, pikir kedua orang itu.
Sekejap kemudian, kedua orang
itu telah tiba di pintu ruang tahanan. Sesaat lamanya mereka terpaku melihat
ruang tahanan yang kosong. Kemudian Macan Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka
melangkah ke dalam. Pandangan mereka kini dalihkan pada Macan Kumbang yang
masih termangu-mangu, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Di mana Dewa Arak dan
Utari, Macan Kumbang?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka. Pelahan suaranya.
Rupanya laki-laki pendek gemuk itu terpukul juga melihat hal ini.
"Mengapa kau tanyakan
padaku, Macan Tutul?!" sergah laki-laki berkulit hitam itu keras.
"Sewaktu aku tiba, ruangan ini sudah seperti yang kau lihat!"
Tiga Macan Lembah Neraka
saling pandang beberapa saat lamanya.
"Sungguh sulit dipercaya.
Mungkinkah Utari yang telah menyelamatkan Dewa Arak?" tanya Macan Loreng
Lembah Neraka pelan, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri. "Tapi,
mengapa?"
Macan Tutul Lembah Neraka
mendengus. "Kau memang bodoh, Macan Loreng! Apa lagi alasannya kalau bukan
karena cinta! Utari pasti telah terpikat oleh ketampanan Dewa Arak!"
tandas laki-laki bertubuh pendek gemuk itu keras.
"Pantas... dia tidak
mengijinkan kita menyiksa Dewa Arak," gumam Macan Kumbang sambil
mengangguk- anggukkan kepalanya, pertanda mulai paham dengan masalah yang
dihadapi.
"Mereka pasti belum pergi
jauh!" ucap Macan Loreng Lembah Neraka keras. "Mari kita kejar!"
"Kau benar Macan
Loreng!" sambung Macan Tutul Lembah Neraka mendukung.
Setelah berkata demikian. Tiga
Macan Lembah Neraka segera melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah
jelas. Mencari Utari yang telah melarikan Dewa Arak!
***
Sambil bersiul-siul, Jayalaga
melangkah pelahan meninggalkan tempat di mana Dewa Arak berhasil ditangkap oleh
Tiga Macan Lembah Neraka. Kini legalah hatinya. Memang sudah sejak semula dia
tidak suka pada pemuda berambut putih keperakan itu. Bukankah gara- gara pemuda
itu gurunya tewas?
Ketidaksukaannya pada Arya
semakin bertambah tatkala diketahuinya kalau pemuda yang terhitung murid
keponakannya itu, memiliki kepandaian jauh di atasnya.
Memang Jayalaga mempunyai
watak yang aneh. Dia tidak suka kalau ada orang lain memiliki kelebihan dari-
padanya. Apalagi kalau orang itu adalah seorang pemuda. Jayalaga ingin dialah
pemuda yang paling hebat. Ketidaksukaannya berubah menjadi benci ketika
dilihatnya Puspa Rani, gadis yang sejak dulu dicinta dan dirindukan- nya, malah
terlihat bersimpati pada Dewa Arak.
Pemuda berpakaian merah muda
ini memang sudah mempunyai rencana tersendiri. Jayalaga ingin menyingkir kan
Dewa Arak. Dan rencana itu segera dikerjakannya sewaktu kemarin dia memanggang
daging santapan malam mereka. Tanpa sepengetahuan Dewa Arak, semua daging
panggang itu dibubuhi racun pembius. Tapi sebelumnya tentu saja Jayalaga tidak
lupa untuk menelan obat penawar.
Rupanya racun itu bekerja
cepat, sehingga Dewa Arak jadi tertidur pulas seperti orang mati. Sayang dia
gagal untuk membunuh Arya dengan tangannya sendiri. Betapapun liciknya
Jayalaga, tapi ajaran Eyang Tapakjati tetap diingatnya. Pemuda berpakaian merah
muda ini tidak mau disebut pengecut, bila membunuh lawan yang tidak
berdaya.Maka Jayalaga hanya membawa kabur guci Dewa Arak. Baru setelah itu dia
memberitahu tempat Dewa Arak kepada Tiga Macan Lembah Neraka. Dan kejadian selanjutnya
berjalan sesuai dengan rencananya.
Jayalaga tersenyum lebar.
Ditimang-timangnya guci Dewa Arak. Kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Tujuannya adalah Perguruan Kapak Sakti. Dia ingin menjumpai Puspa Rani di sana.
Tapi baru juga kakinya melangkah,
terdengar bentakan keras yang membuat gerakannya terhenti.
"Jayalaga! Jangan lari
kau, Pengecut..!"
Pemuda berpakaian merah muda
ini segera menoleh. Suara itu sama sekali belum dikenalnya. Tapi, kenapa
pemilik suara itu memakinya pengecut?
Sekitar belasan tombak di
depan Jayalaga, nampak sesosok bayangan biru bergerak cepat ke arahnya. Pemuda
berpakaian merah muda ini mengerutkan alisnya. Sungguh pun masih cukup jauh
darinya, sudah bisa diduganya kalau bayangan itu adalah seorang wanita.
Semakin dekat bayangan biru
itu semakin jelas terlihat. Dan begitu jarak di antara mereka tinggal tiga
tombak lagi, sosok itu menghentikan langkahnya.
Jayalaga menatap sosok
bayangan biru yang telah berdiri di hadapannya. Pemuda berpakaian merah muda
ini masih mengerutkan keningnya. Dia ternyata tidak mengenal sosok yang
ternyata adalah seorang wanita cantik jelita. Rambutnya digelung ke atas dan
berpakaian biru. Lalu, mengapa gadis ini mengenalnya? tanya murid Eyang
Tapakjati ini dalam hati.
"Bukankah kau yang
bernama Jayalaga?" tanya gadis berpakaian biru yang ternyata adalah Utari.
Sepasang matanya menatap pakaian pemuda yang berdiri di hadapannya. Dan
kemudian beralih pada guci arak perak yang berada dalam genggaman Jayalaga.
"Benar, Nisanak,"
sahut Jayalaga sambil menganggukkan kepalanya. "Siapakah Nisanak ini? Dan
dari mana mengenal namaku?"
"Kau tak perlu tahu
namaku! Tapi yang jelas, kedatanganku adalah untuk membunuh orang yang berjiwa
pengecut sepertimu!" tandas Utari keras.
Merah wajah Jayalaga mendengar
ucapan itu. Kemarahannya pun bergolak. Sudah berkali-kali wanita itu memakinya
pengecut. Dan ini membuat Jayalaga murka.
"Nisanak!" ucap
murid Eyang Tapakjati ini keras. "Aku sama sekali tidak mengenalmu.
Bertemu pun baru kali ini. Tapi mengapa kau memusuhiku? Bahkan berkali-kali kau
menyebutku pengecut! Cepat jelaskan maksud ucapanmu, sebelum habis
kesabaranku!"
Utari hanya mendengus.
"Tidak usah banyak
basa-basi, Jayalaga!"
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian biru itu menjulurkan kedua tangannya ke depan. Kemudian
terdengar suara berkerotokan begitu jari-Jari tangan Utari pelahan-lahan
mengepal. Suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang patah itu
semakin keras terdengar, begitu Utari menarik tangannya yang terkepal ke sisi
pinggang.
Jayalaga bergidik ngeri
melihat perbuatan gadis ini. Tapi dia tidak terlalu lama tenggelam dalam
perasaan ngerinya itu, karena serangan dari Utari telah menyambar tiba.
Utari membuka serangan dengan
melontarkan kepalan kanannya ke arah dada Jayalaga. Ada suara berkeresekan
keras seperti ada geledek menyambar bumi, begitu gadis berpakaian biru itu
mengayunkan tinjunya. Bahkan bukan itu saja, angin berhawa panas pun mengiringi
tibanya serangan itu.
Sepasang mata Jayalaga
membelalak lebar, Ilmu macam apa ini? tanya murid Eyang Tapakjati ini dalam
hati. Ilmu yang sangat menggiriskan! Jayalaga sama sekali tidak tahu, kalau itu
adalah Ilmu 'Tinju Geledek'! Ilmu yang dimiliki oleh Raksasa Rimba Neraka.
Jayalaga tidak berani
bertindak gegabah. Buru-buru dilempar tubuhnya ke samping. Tidak berani dia
menentang bahaya untuk memapak pukulan si gadis. Terlalu besar resikonya,
karena dia belum dapat mengukur ketinggian tenaga dalam lawan.
Brakkk... !
Sebatang pohon sepelukan orang
dewasa tumbang seketika, begitu pukulan Utari yang berhasil dielakkan Jayalaga
menghantamnya. Sepasang mata Jayalaga terbelalak melihat akibat yang
ditimbulkan pukulan nyasar itu. Bagian batang yang tersambar pukulan Utari
hancur berkeping-keping. Sungguh tidak disangkanya kalau gadis itu bisa berbuat
demikian.
Tapi Jayalaga tidak bisa
berlama-lama larut dalam kekagumannya. Serangan susulan dari Utari telah tiba.
Pemuda berpakaian merah muda ini tidak punya pilihan lagi, kecuali menghadapi
lawan dan balas menyerang.
Sadar akan kelihaian Utari,
Jayalaga segera mengeluarkan jurus andalannya, jurus 'Sepasang Tangan Penakluk
Naga'! Sesaat kemudian kedua orang yang masih sama-sama muda ini sudah terlibat
dalam pertarungan sengit.
Utari merasa dendam sekali
atas perbuatan Jayalaga terhadap Dewa Arak. Terbukti, seriap serangan gadis ini
selalu mengarah pada bagian-bagian tubuh yang memati- kan. Tapi, Jayalaga
bukanlah lawan lemah. Meskipun guru Jayalaga tidak sesakti Raksasa Rimba
Neraka, tapi tidak berarti pemuda berpakaian merah muda ini mudah dipecundangi.
Jayalaga menggertakkan gigi.
Untuk kesekian kalinya dia harus menerima kenyataan kalau dia bukanlah satu-
satunya pemuda yang berkepandaian tinggi di dunia ini. Terbukti kini kembali
Jayalaga berhadapan dengan orang muda yang berkepandaian tinggi. Wanita, lagi!
Dan kenyataan ini membuat pemuda berpakaian merah muda ini agak terpukul. Tapi,
sungguhpun begitu, Jayalaga tetap mengadakan perlawanan sengit.
Tiga puluh jurus telah
berlalu. Dan tampak jelas kalau Jayalaga mulai terdesak. Pemuda berpakaian
merah muda ini hanya mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan selebihnya adalah
hujan serangan dari Utari.
Jayalaga mengeluh dalam hati.
Sekujur tubuhnya telah mandi keringat. Hawa panas menyengat yang keluar dari
setiap sambaran lawan, benar-benar membuatnya tersiksa. Hampir-hampir dia tidak
kuat menahannya.
"Haaat..!"
Utari berteriak nyaring. Dan
belum lagi gema teriakannya habis, gadis berpakaian biru itu sudah melesat
menerjang Jayalaga. Kedua tangannya yang terkepal, dilontarkan bertubi-tubi ke
arah dada, ulu hati, dan perut pemuda berpakaian merah muda itu.
Jayalaga memekik tertahan.
Murid Eyang Tapakjati ini memang terkejut bukan main Serangan itu datang begitu
tiba-tiba. Tak sempat dielakkan lagi. Tak ada jalan lain kecuali menangkis
serangan itu untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Plak. plak. plak... !
"Aaakh...!"
Terdengar suara keras
beruntun, begitu dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi
itu berkali-kali berbenturan. Jayalaga memekik nyaring. Tubuhnya
terhuyung-huyung dua langkah, sementara Utari terhuyung satu langkah. Jelas
terlihat kalau dalam adu tenaga dalam tadi, Utari masih lebih unggul ketimbang
lawannya.
Jayalaga masih
menggeliat-geliatkan tubuhnya. Rasa panas yang menyengat menjalar ke sekujur
tubuhnya begitu tangannya berbenturan dengan tangan lawannya. Dan belum lagi
pemuda ini sempat berbuat sesuatu, Utari melancarkan pukulan susulan ke arah
dada.
Buk!
"Aaa...!"
Jayalaga menjerit memilukan.
Keras dan telak sekali pukulan Utari bersarang di dadanya. Suara berderak keras
dari tulang-tulang dada yang berpatahan segera terdengar. Seketika itu juga
pemuda berpakaian merah muda ini terjengkang. Darah segar mengalir deras dari
mulut, hidung, dan telinganya.
Suara berdebukan keras
terdengar begitu tubuh Jayalaga terbanting ke tanah. Sesaat lamanya pemuda ini
menggelepar-gelepar meregang nyawa. Lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Hhh...!"
Utari menghela napas lega.
Sesaat sepasang matanya terpaku pada mayat pemuda berpakaian merah muda itu.
Kemudian bergegas menghampiri guci perak yang tadi diletakkan Jayalaga di bawah
pohon angsana.
Utari kemudian mengambil guci
itu. Memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya melesat meninggalkan tempat
itu. Sesaat kemudian, suasana di situ pun kembali hening.
Utari berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dia ingin cepat-cepat tiba dan
menyampaikan berita gembira pada Dewa Arak, bahwa gucinya telah berhasil
ditemukan.
Saking tergesa-gesanya untuk
segera berjumpa dengan Dewa Arak, membuat kewaspadaan gadis berpakaian biru ini
berkurang. Utari sama sekali tidak menyadari kalau tak begitu jauh setelah
meninggalkan mayat Jayalaga, tiga sosok berpakaian rompi dari kulit macan,
memandanginya. Ketiga orang ini tak lain adalah Tiga Macan Lembah Neraka! .
"Itu Utari..." bisik
Macan Tutul Lembah Neraka pada kedua rekannya seraya menunjuk bayangan biru
yang berkelebat di depan mereka.
Macan Kumbang dan Macan Loreng
Lembah Neraka mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk laki- laki bertubuh
pendek gemuk itu. Berbareng keduanya mengangguk.
"Mau ke mana dia?"
tanya Macan Loreng pelan seperti bicara pada dirinya sendiri .
"Entahlah." sahut
Macan Tutul seraya menggelengkan kepalanya "Tapi lebih baik kita ikut
saja. Siapa tahu dia akan membawa kita pada Dewa Arak!"
"Mudah-mudahan
saja," sahut Macan Kumbang Lembah Neraka mendukung "Mari kita kejar
dia, sebelum pergi Jauh."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berkulit hitam itu segera melesat dari situ. Macan Tutul dan Macan
Loreng Lembah Neraka pun segera mengikuti.
Tiga Macan Lembah Neraka
membuntuti Utari dari jarak yang cukup jauh. Sehingga gadis berpakaian biru itu
sama sekali tidak menyadarinya. Terus saja gadis itu berlari menuju gua
persembunyiannya.
Utari baru memperlambat
larinya setelah mendekati mulut gua. Macan Tutul yang paling cerdik di antara
Tiga Macan Lembah Neraka, dapat menduga kalau di gua itulah Utari
menyembunyikan Dewa Arak. Maka laki-laki bertubuh pendek gemuk itu pun
menganggukkan kepala pada kedua rekannya.
Macan Kumbang dan Macan Loreng
Lembah Neraka rupanya mengerti isyarat rekannya. Terbukti begitu Macan Tutul
Lembah Neraka menganggukkan kepalanya, Macan Kumbang dan Macan Loreng
mempercepat larinya. Akibatnya sudah dapat diduga. Sebelum gadis berpakaian
biru itu memasuki mulut gua, Tiga Macan Lembah Neraka berdiri menghadang .
"Ah... ! "
Utari memekik kaget begitu
mengenali tiga orang yang telah berada di hadapannya. Tak terasa gadis
berpakaian biru itu melangkah mundur. Sepasang matanya terbelalak lebar, bagaikan
melihat hantu
"Mana Dewa Arak,
Utari?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka pelan. Tapi di dalam suaranya
terkandung ancaman.
"Aku tidak tahu!"
sahut gadis pakaian biru itu ketus. Suaranya bergetar, pertanda Utari tengah
dilanda perasaan tegang.
"Ha ha ha...! Kau kira
kami bodoh, Utari?" sahut Macan Tutul seraya tertawa mengejek. "Tanpa
kau beritahu pun kami sudah tahu kalau Dewa Arak berada di dalam gua ini! Macan
Kumbang! Macan Loreng! Periksa ke dalam! Biar gadis liar ini aku yang urus!"
Tanpa banyak membantah, Macan
Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka melangkah ke dalam gua. Sadar kalau yang
berada di dalam adalah orang yang berbahaya, kedua orang ini bersikap waspada.
Selagi melangkah, urat- urat syaraf mereka menegang. Bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Utari yang melihat hal ini
menjadi khawatir. Tanpa memandang kalau tiga orang di hadapannya memiliki
kepandaian di atasnya, gadis berpakaian biru ini berusaha mencegah masuknya
kedua orang tokoh Tiga Macan Lembah Neraka itu.
Tapi belum lagi niat Utari
terlaksana, Macan Tutul telah lebih dulu bergerak menghadang. Melihat hal ini
Utari pun mentadi cemas bukan main.
"Kang Arya...!
Hati-hati..! Macan Kumbang dan Macan Loreng masuk ke gua, dan hendak
membunuhmu...!" teriak Utari keras dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya!
"Keparat!" Macan
Tutul Lembah Neraka menggeram "Rupanya kau sudah tergila-gila pada
ketampanan Dewa Arak, Utari! Lupakah kau pada tekadmu dulu?! Lupakah kau akan
kebaikan gurumu?! Kau tahu, tanpa kebaikan gurumu, kau tidak akan jadi manusia
seperti sekarang! Tapi sekarang apa balasanmu?! Bukannya kau bantu kami, tapi
malah melindungi pembunuh gurumu!"
Seketika wajah gadis
berpakaian biru itu pucat Dalam batinnya terjadi peperangan hebat. Kini Utari
dihadapkan pada dua pilihan, antara membalaskan dendam gurunya atau
menyelamatkan Dewa Arak! Sukar sekali untuk memilih salah satu di antaranya.
Kepala gadis itu seakan ingin pecah rasanya.
***
Sementara itu Macan Kumbang
dan Macan Loreng Lembah Neraka terkejut mendengar teriakan Utari yang
memberitahu kedatangan mereka pada Dewa Arak. Kedua tokoh yang sudah pernah
merasakan kelihaian Dewa Arak ini agak ngeri juga seandainya pemuda berambut
putih keperakan itu mengetahui kedatangan mereka.
Dewa Arak yang tengah
bersemadi, sayup-sayup mendengar teriakan Utari. Dan hal ini tentu saja membuat
Arya terkejut. Dari pemberitahuan gadis berpakaian biru itu diketahuinya kalau
dua di antara Tiga Macan Lembah Neraka telah masuk ke dalam gua. Dan itu
berarti yang seorang lagi berada di luar. Hal ini tentu saja membuat Dewa Arak
menjadi cemas akan keselamatan Utari.
Utari harus diselamatkan dulu!
Begitu keputusan Dewa Arak. Tapi bila dia memaksa keluar melalui jalan depan,
rasanya tidak mungkin. Karena sebelum dia keluar, pasti akan dihadang Macan
Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka terlebih dahulu. Harus dicarinya jalan
keluar lain, pikir Dewa Arak. Dan Dewa Arak telah menemukannya.
Memang, tanpa sepengetahuan
Utari, Dewa Arak telah menemukan jalan keluar lain dari gua ini. Tadi, sepeninggal
Utari, Arya sempat memeriksa sekeliling gua. Dan secara kebetulan, pemuda ini
menemukan jalan keluar lainnya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri
sebatang tongkat kecil yang menempel di dinding gua. Tongkat yang semula
dikiranya untuk menaruh tangkai obor. Tanpa ragu-ragu lagi Arya segera menekan
tongkat itu ke bawah.
Suara berderak keras
terdengar, disusul dengan bergesernya dinding gua. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera menyelinap selagi dindng itu menggeser membuka.
Tentu saja Macan Loreng dan
Macan Kumbang Lembah Neraka mendengar suara berderak keras itu. Dan kontan
keduanya menjadi terkejut. Seketika itu pula langkah mereka dihentikan.
"Apa itu, Macan
Loreng?" tanya Macan Kumbang yang memang agak kurang cerdas dibanding
rekannya. "Jangan- jangan gua ini akan runtuh."
Macan Loreng mengerutkan
alisnya. Diperhatikannya bagian atas gua, dan kemudian dindng-dindingnya.
"Tidak mungkin,"
bantah laki-laki berkulit kuning ini. "Nah! Getarannya sudah berhenti.
Seandainya gua ini akan runtuh, mestinya getaran itu akan terus berlangsung,
tidak berhenti seperti ini."
Macan Kumbang mengangguk.
Disadarinya kebenaran ucapan Macan Loreng.
"Cepat, Macan
Kumbang!" ucap Macan Loreng lagi. "Aku mempunyai firasat yang tidak
enak dengan suara bunyi itu."
Setelah berkata demikian,
Macan Loreng Lembah Neraka mempercepat langkahnya. Macan Kumbang pun tidak mau
ketinggalan. Bergegas pula langkahnya diper- cepat. Meskipun begitu,
kewaspadaan mereka sama sekali tidak mengendur.
Tatkala Macan Loreng dan Macan
Kumbang Lembah Neraka telah tiba di bagian paling ujung gua. Keduanya
terperanjat. Suasana tempat itu memang agak terang, karena di bagian atap gua
ada celah-celah yang dapat diterobos sinar matahari.
"Keparat itu tidak ada,
Macan Loreng!" seru Macan Kumbang Lembah Neraka keras. Sepasang matanya
berkeliling, mencari kemungkinan ada tempat ber- sembunyi. Tapi laki-laki
berkulit hitam ini kecewa. Tidak ada sama sekali tempat untuk bersembunyi di
situ.
Macan Loreng mengerutkan
alisnya. Benaknya berputar keras. Ruangan dalam gua ini memang kosong. Apakah
pemuda itu sudah keluar gua? Tapi, kalau pemuda itu memang sudah keluar, pasti
akan berpapasan dengan mereka di lorong gua! Ataukah ada jalan rahasia yang
menuju keluar? duga laki-laki berwajah kuning itu.
Plak!
Macan Loreng Lembah Neraka
menepuk kepalanya. Mengapa dia begitu bodoh? Sudah pasti Dewa Arak telah keluar
melalui jalan rahasia! Dan suara derak keras tadi, sudah pasti terjadi sewaktu
pemuda berambut putih keperakan itu keluar melalui jalan itu!
"Ada apa, Macan
Loreng?" tanya Macan Kumbang Lembah Neraka. Agak heran hatinya melihat
laki-laki berwajah kuning itu menepak kepalanya sendiri.
"Dewa Arak pasti keluar
melalui jalan rahasia!" sahut Macan Loreng memberitahu.
"Kalau begitu mari kita cari
jalan itu," sambut Macan Kumbang lagi.
"Tidak perlu, Macan
Kumbang!" bantah Macan Loreng cepat.
"Mengapa?" tanya
laki-laki berkulit hitam itu bingung.
"Terlalu memakan banyak
waktu. Lebih baik kita segera keluar lewat mulut gua di depan! Aku khawatir telah
terjadi sesuatu pada Macan Tutul!"
Setelah berkata demlkian,
Macan Loreng segera melesat ke mulut gua. Macan Kumbang tak bisa berbuat
apa-apa selain mengikuti laki-laki berwajah kuning itu.
Sementara di luar gua, Macan
Tutul Lembah Neraka menjadi meluap amarahnya begitu melihat Utari malah berdiri
termenung. Kemarahannya yang memang sudah timbul tatkala mengetahui murid
Raksasa Rimba Neraka ini membebaskan Dewa Arak, semakin memuncak.
"Kalau begitu, lebih baik
kau mampus saja, Utari!"
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul Lembah Neraka pun menerjang Utari. Kedua tangannya yang berbentuk
cakar menyerang bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar murid Raksasa
Rimba Neraka itu
Cepat dan dahsyat bukan main
serangan laki-laki bertubuh pendek gemuk itu. Sekali pun Utari dalam keadaan
waspada pun, rasanya sulit bagi gadis itu untuk mengelak. Apalagi dalam keadaan
bingung seperti ini. Akibatnya....
Buk! Buk... !
"Aaa...!"
Utari menjerit memilukan.
Seketika itu juga tubuhnya melayang tiga tombak ke belakang. Dari mulut,
hidung, dan telinganya, mengalir darah segar. Tulang-tulang dada Utari remuk
seketika itu juga. Hebat bukan main akibat pukulan yang dilancarkan Macan Tutul
Lembah Neraka.
"Utari.!"
Terdengar panggilan keras,
disusul dengan ber- kelebatnya sesosok bayangan ungu.
"Hup.!"
Dengan kecepatan yang luar
biasa, bayangan ungu itu menangkap guci arak yang terlepas dari pegangan Utari.
Begitu guci arak itu telah ditangkap, bayangan ungu itu melesat ke arah tubuh
Utari yang tergolek di tanah.
"Utari...," desah
sosok ungu itu serak.
Utari membuka kelopak matanya.
Sepasang matanya terlihat begitu kosong. Tidak nampak sinar kehidupan di
dalamnya.
"Kang Arya...,"
pelahan sekali suara gadis itu. Cairan merah kental kembali keluar dari bibir
mungil yang kini pucat pias itu.
Sosok ungu yang ternyata
adalah Arya Buana alias Dewa Arak itu menatap Utari. Rasa sesal yang amat
sangat, bergayut di hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dewa Arak tahu
kalau gadis itu menjadi seperti ini karena ingin menyelamatkan dirinya.
"Maafkan aku, Utari.
Gara-gara aku, kau jadi celaka," ujar Arya dengan suara serak.
"Kau..., sama sekali
tidak bersalah, Kang,..," ucap gadis berpakaian biru itu terputus-putus.
Dan kembali cairan merah kental keluar dari mulut, dan hidung Utari. Dewa Arak
segera menyeka dengan pakaiannya. Sesak dada Arya oleh keharuan yang
menggelegak, melihat keadaan gadis ini. Kelopak matanya merembang berkaca-kaca.
"Kau..., kau bersedih,
Kang Arya? Kau..., kau menyayangiku...?" tanya murid Raksasa Rimba Neraka
itu lagi dengan suara terputus-putus. Kembali cairan merah kental mengalir
keluar dari mulut dan hidung gadis itu. Dan lagi-lagi Dewa Arak menyekanya.
Dewa Arak mencoba tersenyum.
Tapi karena rasa haru tengah melandanya, senyumnya terlihat sebagai seringai
kepedihan.
"Aku puas, Kang, Aku puas
dapat menolongmu.., aku... aku..., mencintaimu, Kang...."
"Utari...," desah
Dewa Arak serak. Dipeluknya kepala gadis itu erat-erat, dan dibenamkan ke
dadanya. Arya tak mempedulikan darah yang membasahi pakaiannya.
"Se... selamat tinggal,
Kang Arya...." Dan kepala gadis berpakaian biru itu pun terkulai. Utari
telah pergi untuk selamanya.
"Utari...," panggil
Dewa Arak setengah berteriak. Kemudian dikatupkan kedua kelopak mata gadis itu.
Bibir Utari menyunggingkan senyuman. Utari meninggalkan dunia ini dengan
perasaan puas, karena dapat meninggal di pelukan pemuda yang dicintainya. Dewa
Arak tidak menyadari kalau sejak tadi ada tiga pasang mata yang
memperhatikannya.
Tiga Macan Lembah Neraka hanya
bisa memandangi dan mendengar kan pembicaraan antara Dewa Arak dan Utari.
Ketiga datuk golongan hitam ini telah lupa pada tujuan mereka semula. Kematian
Utari telah membuat gairah mereka untuk membalas dendam pada Dewa Arak, telah
sirna seketika.
Dan memang, keinginan untuk
membalaskan kematian Raksasa Rimba Neraka pada Dewa Arak adalah semata- mata
hanya untuk membantu mewujudkan keinginan Utari.
Tiga Macan Lembah Neraka tetap
berdiri terpaku melihat Dewa Arak mengatupkan kedua kelopak mata Utari. Memang
Tiga Macan Lembah Neraka sebenarnya sangat menyayangi gadis berpakaian biru
itu. Mereka telah menganggap Utari seperti anak mereka sendiri. Rasa sayang
yang amat besar itulah yang mendorong mereka rela meninggalkan Lembah Neraka.
Tiga Macan Lembah Neraka merasa
terpukul sekali menerima kenyataan ini. Terutama sekali Macan Tutul Lembah
Neraka yang tanpa sadar telah menurunkan tangan maut. Laki-laki pendek gemuk
itu merasa menyesal bukan main. Sungguh tidak disangka kalau Utari tidak mampu
mengelakkan serangannya. Kini Macan Tutul hanya dapat berdiri terpaku dengan
wajah dan sepasang mata yang memancarkan penyesalan yang amat sangat.
Baru setelah Dewa Arak
beranjak bangkit sambil mengangkat tubuh Utari, Tiga Macan Lembah Neraka
tersadar. Berbareng mereka menghampiri Arya.
"Berikan mayat Utari pada
kami, Dewa Arak," pinta Macan Tutul Lembah Neraka. Suaranya terdengar agak
parau.
Dewa Arak menatap wajah Macan
Tutul dalam-dalam.
"Apa kau masih belum
puas, Macan Tutul. Apakah membunuhnya saja belum cukup bagimu?!" sentak
Dewa Arak keras.
"Hhh...!"
Macan Tutul hanya menghela
napas dalam-dalam. Laki- laki bertubuh pendek gemuk itu tidak marah mendapat
perlakuan yang kasar itu. Dendamnya telah pupus seketika, seiring dengan
kematian Utari. Bahkan Macan Tutul Lembah Neraka merasa seluruh semangat
hidupnya telah hilang entah ke mana.
Dewa Arak mengalihkan
perhatiannya pada Macan Loreng. Ditatapnya laki-laki berwajah kunlng itu
lekat-lekat. Macan Loreng pun sama sekali tidak membalas pandangan Arya.
Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Sorot matanya memancarkan kepedihan yang
teramat sangat.
Kini Arya mengalihkan
pandangannya pada Macan Kumbang Lembah Neraka. Laki-laki berkulit hitam yang
biasanya bersikap garang, angker, dan galak ini pun ternyata kehilangan
keangkerannya. Dan memang sebenarnya, di antara Tiga Macan Lembah Neraka, Macan
Kumbang Lembah Nerakalah yang paling menyayangi Utari.
"Utari keponakan kami,
Dewa Arak," ucap Macan Kumbang. Suara laki-laki berkulit hitam ini
terdengar lemah, seperti orang yang minta dikasihani. Suara yang biasanya
terdengar garang dan berat itu kini mendadak sirna.
Dewa Arak yang masih emosi
akibat kematian Utari yang mengenaskan itu, kian meledak emosinya.
"Jadi, mentang-mentang
Utari keponakan kalian, lalu seenaknya saja kalian menyiksanya?!" sahut
pemuda berambut putih keperakan itu. Kasar dan keras suaranya. "Kini, aku
akan membuat dua buah perhitungan dengan kalian!" ucap Dewa Arak lagi
sambil menatap wajah Tiga Macan Lembah Neraka berganti-ganti.
Tapi tak seorang pun dari Tiga
Macan Lembah Neraka yang menyahuti ucapan Dewa Arak. Tatapan mata mereka
kosong. Sepertinya ucapan Arya sama sekali tidak mereka dengar.
"Pertama, urusan Eyang
Tapakjati yang telah kalian bunuh, dan yang kedua adalah kematian Utari!"
tandas Dewa Arak keras.
Seperti sebelumnya, Tiga Macan
Lembah Neraka juga tidak meladeni ucapan Dewa Arak. Mereka masih saja bersikap
seperti semula. Menatap dengan mata kosong.
"Bersiaplah! Atau kalian
akan mati sia-sia di tanganku...!" teriak Arya lagi. Setelah berkata
begitu tubuh Utari dipindahkan ke bahu sebelah kiri. Kemudian pemuda berambut
putih keperakan itu menerjang ke arah Macan Tutul. Tangan kanannya menyambar ke
pelipis laki-laki bertubuh pendek gemuk itu dengan menggunakan jurus 'Belalang
Sakti'.
Wuuut..!
Angin menyambar keras
mengiringi tibanya serangan Dewa Arak. Tapi Macan Tutul Lembah Neraka sama
sekali tidak mempedulikan serangan itu. Tidak mengelak ataupun menangkis.
Sepertinya rasa berdosa atas kematian Utari telah membuatnya pasrah menerima
kematian di tangan Dewa Arak.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau
membunuh orang yang sama sekali tidak melawan. Buru-buru serangannya ditarik
pulang.
"Ayo lawan dan hadapi
aku, Macan Tutul!" bentak Dewa Arak keras. Tapi laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu kembali tidak menyahutinya. Kepalanya masih tertunduk menekuri tanah.
Dewa Arak pun mengalihkan
perhatiannya pada Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka.
"Ayo, Macan Tutul! Macan
Kumbang! Lawanlah aku! Bukankah itu yang kalian inginkan!"
"Kau boleh membunuh kami,
Dewa Arak! Percayalah, kami tidak akan melawan," ucap Macan Tutul lemah.
"Tapi kami mohon kau sudi memenuhi permintaan terakhir kami. Sudilah
kiranya kau membawa mayat Utari ke Lembah Neraka, dan menguburnya di
sana."
Dewa Arak terlongong mendengar
ucapan laki-laki bertubuh pendek gemuk itu. Kemarahannya pun pelahan mereda.
Apalagi setelah kini pikirannya mulai normal. Baru kini pemuda berpakaian ungu
itu menyadari kalau sejak tadi Tiga Macan Lembah Neraka sama sekali tidak
berniat melawannya.
"Aku tidak bisa membunuh
orang yang tidak mau melawan," keluh Dewa Arak pelan.
"Kalau begitu, maukah kau
memenuhi permintaan kami?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka lagi.
"Apa itu?" tanya
Dewa Arak tak bergairah.
"Kami mohon, kau sudi
menyerahkan mayat Utari kepada kami. Dia adalah keponakan kami, Dewa Arak. Kami
akan mengurus mayat Utari sebaik-baiknya. .."
Dewa Arak tercenung mendengar
permintaan itu. Disadari kalau Tiga Macan Lembah Neraka amat menyesali kematian
Utari. Tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu sempat melihat kalau
laki-laki bertubuh pendek gemuk itu terpaku dengan wajah sepucat mayat, begitu
melihat tubuh Utari menggelepar-gelepar. Sikap mereka pun kian mempertebal
kepercayaannya. Dan memang Tiga Macan Lembah Neraka lebih berhak atas mayat
Utari. Tiga Macan Lembah Neraka adalah paman- paman dari gadis berpakaian biru
ini.
Tanpa banyak bicara Dewa Arak
segera menyerahkan mayat Utari pada Macan Tutul Lembah Neraka. Laki-laki
bertubuh pendek gemuk itu menerimanya. Tampak hati- hati sekali, tokoh Tiga
Macan Lembah Neraka itu menerima mayat keponakannya.
"Terima kasih atas
kebaikanmu, Dewa Arak!" ucap Macan Tutul Lembah Neraka serak.
"Percayalah, kami akan selalu mengingat kebaikan hatimu ini"
Setelah berkata demikian,
Macan Tutul melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Macan Kumbang dan
Macan Loreng Lembah Neraka melangkah pelan dengan kepala tertunduk di
belakangnya.
Dewa Arak memandangi punggung
tiga datuk golongan hitam yang berjalan meninggalkannya. Pemuda berpakaian ungu
yang kini di pakaiannya banyak terdapat noda darah itu terus memandangi
kepergian tiga tokoh itu. Akhirnya tubuh Tiga Macan Lembah Neraka semakin lama
semakin mengecil, dan lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pemuda berambut
putih keperakan itu mengambil arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh
Tiga Macan Lembah Neraka. Pelahan-lahan saja Arya melangkah-kan kakinya.
Meneruskan perjalanannya. Masih banyak tugas- tugas yang menantinya. Tugas
selaku pendekar pembela kebenaran.
SELESAI