Serial Dewa Arak Eps 25 - Penghuni Lembah Malaikat

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Dewa Arak Eps 25 - Penghuni Lembah Malaikat
Eps 25 - Penghuni Lembah Malaikat

Siang ini suasana di mayapada panas sekali. Matahari telah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang, seolah-olah hendak memanggang semua yang ada di permukaan mayapada ini.

"Hhh...!" terdengar helaan napas panjang.

Tampak seorang gadis yang berambut panjang, tengah mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher dengan saputangan. Sebentar kepalanya menengadah ke atas. Sorot matanya memancarkan kejengkelan terhadap bola raksasa yang menyilaukan di atas sana.

Gadis itu memiliki wajah cantik bukan main. Kulit wajah, leher, dan punggung tangannya yang tidak ter-bungkus pakaian putihnya tampak putih, halus, dan mulus. Sehingga kian menambah kecantikannya. Apalagi dandanan rambutnya yang terurai sampai ke bawah bahu.

Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, gadis berpakaian putih itu memasuki sebuah kedai. Sejenak langkahnya tertahan di ambang pintu, memperhatikan suasana dalam kedai.

Ternyata kedai itu cukup ramai oleh pengunjungnya. Dari sekian meja yang terdapat di sana, hanya dua yang masih kosong.

Gadis berwajah cantik itu melangkah menghampiri meja yang masih kosong. Tidak dipedulikannya pandang mata liar dari semua pengunjung kedai. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang bersuit-suit.

Tapi, gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia tahu kalau sebagian besar orang yang berada di dalam kedai ini adalah tokoh persilatan. Hal itu bisa diketahui dari gerak-gerik, dan senjata yang tersandang.

Maka, dimakluminya saja semua itu. Selama dirinya tidak diganggu, dia akan bersikap wajar saja. Begitu keputusan yang diambilnya.

Tenang dan penuh percaya diri gadis itu duduk di kursinya. Dengan hati-hati, pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung diletakkan di atas meja. Jelas, gadis ini adalah seorang tokoh persilatan pula. Sepasang matanya yang tajam, dan sesekali tampak mencorong, kian memperjelas dugaan itu.

Seorang bertubuh pendek, gemuk, dan berperut gendut melangkah tergopoh-gopoh menghampiri gadis berpakaian putih itu. Usianya sukar ditaksir. Wajahnya yang tembem, memang menyulitkan orang untuk memperkirakan usianya. Tapi yang jelas, tak kurang dari tiga puluh lima tahun.

"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya laki-laki berperut gendut ramah. Rupanya, dia adalah pemilik kedai ini.

"Ayam panggang dan teh manis, Ki...," sahut gadis berpakaian putih itu.

"Randu...," potong laki-laki bertubuh pendek itu cepat, begitu gadis berpakaian putih itu menghentikan ucapannya.

Gadis berambut panjang itu tersenyum manis. "Aku Melati...."

"Akan segera kuambil pesananmu, Nini Melati," kata Ki Randu yang merasa senang mendapat sambutan yang begitu baik dari seorang gadis berwajah begitu cantik jelita laksana bidadari.

Setelah berkata demikian, pemilik kedai itu segera beranjak untuk menyediakan pesanan gadis berpakaian putih itu. Dia ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.

"Tunggu sebentar, Ki...."

Cegahan Melati membuat pemilik kedai itu meng-hentikan langkah, dan memalingkan wajahnya.

"Ada yang bisa kubantu, Ni?" tanya Ki Randu seraya menghampiri gadis berpakaian putih itu.

"Apakah kau pernah melihat seorang pemuda berambut putih keperakan lewat sini, Ki? Pakaiannya ungu, dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak," kali ini ucapan Melati terdengar pelan.

Mungkin dia tidak ingin ada orang lain yang mendengar pertanyaannya kecuali laki-laki berperut gendut itu.

Ki Randu mengernyitkan keningnya sejenak, seakan akan tengah mengingat-ingat. Beberapa saat lamanya dia bersikap demikian, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.

"Sayang sekali, Ni. Aku tak melihatnya," suara pemilik kedai ini terdengar penuh penyesalan.

Dan memang, laki-laki bertubuh pendek itu merasa menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan gadis yang telah bersikap begitu ramah padanya.

Melati segera mengembangkan senyum.

"Tidak apa-apa, Ki," ujar Melati, seolah-olah me-mahami dengan ketidaktahuan Ki Randu atas perta-nyaannya. "O, ya. Apa nama desa ini?"

"Desa Garu, Ni."

Melati mengangguk-anggukkan kepala.

Ki Randu tidak langsung berlalu, dan masih berdiri di situ beberapa saat lamanya. Barangkali saja gadis yang berpakaian putih Itu masih hendak mengajukan pertanyaan.

Baru setelah yakin kalau Melati tidak bertanya lagi, lalu kakinya melangkah untuk mengambil pesanan gadis itu.

Tak lama kemudian, Ki Randu sudah kembali sambil membawa makanan yang dipesan putri angkat Raja Bojong Gading itu.

Tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya, Melati lalu menyantap pesanannya. Perlahan-lahan sekali, karena dia sudah terbiasa hidup di istana yang penuh tata krama.

Rupanya, gadis berpakaian putih itu makan sambil melamun. Hal ini diketahui dari pandangan matanya yang terpaku pada satu titik. Menilik dari raut wajahnya yang muram, bisa diperkirakan kalau yang mengganggu pikirannya adalah sesuatu yang menyedihkan hatinya.

Memang tidak salah! Melati kini teringat gurunya yang bernama Ki Julaga. Dia telah tewas di tangan Ruksamurka. Dan di saat dia tengah memikirkan cara membalas dendam pada kakek yang sakti luar biasa itu, didengar kabar kalau Ruksamurka tewas di tangan Dewa Arak (Untuk jelasnya, silakan ikuti Serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh Buangan").

Tapi sampai sekarang melacak jejak pemuda itu, tetap saja belum diketemukannya. Memang beberapa kali, Melati berhasil menemukan petunjuk tentang kekasihnya. Tapi setelah sampai di sana, orang yang dicarinya telah lenyap! Dan kini dia telah kehilangan jejak sama sekali!

Melati sama sekali tidak tahu kalau beberapa pasang mata tengah mengawasi semua gerak-geriknya. Dan andaikata tahu, tidak akan dipedulikannya. Memang dia saat ini tidak berminat terlibat keributan.

Kematian gurunya yang mengerikan, dan kegagalan-nya mencari jejak kekasihnya membuat semangat gadis itu merosot jauh. Saat ini, Melati tengah membutuhkan seseorang untuk menumpahkan seluruh ganjalan hatinya.

Tak lama kemudian. Melati pun menyelesaikan makannya. Setelah beristirahat sejenak, buru-buru makanannya dibayar. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan kedai, diiringi tatapan berpasang-pasang mata liar yang berada di situ.

***

Tanpa peduli pada sinar terik matahari yang me-manggang kulitnya yang putih mulus, Melati terus me-langkah. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tampak jelas, betapa loyo dan tidak bersemangat sikapnya.

Gadis itu sama sekali tidak peduli pada pandangan orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. Kakinya terus saja melangkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki tak jauh di belakangnya. Tapi, gadis berpakaian putih itu tetap saja tidak peduli.

Selangkah demi selangkah rumah-rumah penduduk yang semula padat mulai jarang. Kini, Melati telah mulai melewati tanah lapang luas yang hanya ditumbuhi sedikit rumput dan semak-semak yang tidak begitu tinggi.

Mendadak langkah-langkah kaki yang sejak tadi terdengar pelan, kini mulai agak keras dan bertubi-tubi. Tanpa melihat pun. Melati tahu kalau pemilik langkah-langkah yang sejak tadi mengikuti kini berusaha me-nyusulnya.

Tak lama kemudian, di hadapan Melati telah berdiri berjajar empat orang berwajah kasar, mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar dan senyum memuakkan.

"He he he...!"

Seorang di antara mereka yang bercambang lebat terkekeh-kekeh. Pandangan mata mereka menjilati sekujur tubuh gadis berpakaian putih itu. Sorot mata mereka bagai seekor serigala kelaparan yang melihat anak kambing gemuk.

Melati mengangkat kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam penuh kemarahan ketika menatap keempat sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Meskipun sewaktu di ambang pintu kedai hanya mengamati sekilas, tapi bisa dikenali kalau merekalah yang tadi berada di kedai.

Amarah Melati memang telah bangkit. Dan seperti biasa, kemarahannya tidak akan reda bila sebelum menemukan pelampiasan. Maka, sudah bisa dipastikan kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.

"Ha ha ha...! Bila melotot seperti itu, kau malah terlihat lebih cantik, Manis." Seorang yang berkumis jarang-jarang menggoda kurang ajar. Tangan kanannya sibuk memilin-milin kumis yang hanya beberapa lembar.

Terdengar suara gemeretak dari mulut Melati ketika kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Ejekan laki laki berkumis jarang-jarang itu seperti api disiram minyak tanah.

"Hih...!"

Gigi Melati bergemerutuk menahan marah. Jari-jari tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar, diulurkan ke depan. Arahnya jelas pada laki-laki berkumis jarang-jarang.

Melihat hal ini, laki-laki berkumis jarang-jarang dan ketiga orang rekannya malah tertawa bergelak. Mereka semua merasa geli melihat tindakan Melati. Jarak antara mereka hanya dapat dijangkau tangan manusia, yang panjangnya paling sedikit satu setengah kali ukuran biasa.

Tapi ternyata tawa mereka kontan terhenti, dan berganti keterkejutan! Ternyata tangan gadis berpakaian putih itu benar-benar berhasil menangkap leher baju laki-laki berkumis jarang-jarang.

Mereka tak habis pikir. Salahkah perhitungan mereka? Sehingga, jarak yang sebenarnya hanya sejangkauan tangan, terlihat jadi satu setengah jangkauan? Ataukah gadis itu diam-diam melangkah maju? Tapi, jelas-jelas terlihat kalau Melati sama sekali tidak bergeming dari tempatnya semula! Mereka sama sekali tidak tahu kalau murid Ki Julaga itu mengeluarkan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', dalam juluran tangannya tadi.

Tapi ketiga orang itu tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, begitu Melati telah berhasil mencengkeram leher baju laki-laki berkumis jarang-jarang itu, secepat itu ditariknya.

Sebelum keempat orang itu berbuat sesuatu, tangan kiri Melati telah bergerak menampar ke arah pipi.

Plak, plak, plak...!

Suara nyaring terdengar ketika telapak tangan yang bentuknya kecil dan halus mendarat di pipi laki-laki berkumis jarang-jarang beberapa kali.

Melihat dari kepala laki-laki berkumis jarang-jarang yang berpaling ke sana kemari mengikuti arah tamparan, bisa diperkirakan kalau tamparan itu keras sekali.

Untung saja Melati mengerahkan sebagian kecil tenaganya. Kalau sedikit saja ditambah pengerahan tenaga dalamnya, laki-laki berkumis jarang-jarang itu pasti tewas dengan sekujur tulang-tulang pipi remuk!

Meskipun begitu, tak urung darah muncrat keluar dari mulut laki-laki itu. Kedua pipinya langsung bengkak dan membiru, sehingga membuat sepasang matanya hampir tak terlihat lagi.

"Hmh...!"

Sambil mengeluarkan dengusan di hidung, Melati mengayunkan tangan yang mencekal leher baju. Kelihatan pelan saja gerakan itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki itu terlempar jauh seperti diseruduk banteng!

Brukkk...!

Dibarengi berdebuk keras, tubuh laki-laki kasar yang sial itu mendarat di tanah berjarak sekitar enam tombak dari tempatnya semula.

"Keparat...!"

Laki-laki berkumis jarang-jarang itu berseru memaki setelah beberapa saat lamanya mengaduh-aduh kesakitan. Suaranya terdengar aneh, karena pipinya bengkak menggembung. Dan begitu gema ucapannya habis, dia lalu bangkit berdiri. Kini goloknya langsung dicabut.

Ketiga orang rekannya yang sejak tadi terdiam seperti terpaku, langsung sadar begitu mendengar makian rekannya.

"Perempuan liar! Perempuan tak tahu diuntung...!" maki laki-laki berkumis jarang-jarang itu. "Kau rupanya tidak suka diperlakukan baik-baik! Kalau begitu maumu, kuturuti! Jangan menyesal bila kau kami telanjangi dan kami perkosa sampai mati!"

Sepasang mata Melati langsung mencorong tajam. Kemarahan amat sangat seketika melanda hatinya.

Dan semua ini terjadi akibat ucapan lelaki berkumis jarang-jarang itu.

Tapi baik laki-laki berkumis jarang-jarang maupun ketiga rekannya sama sekali tidak merasa gentar. Mereka tahu kalau gadis berpakaian putih telah begitu marah. Dan mereka pun tahu kalau Melati memiliki ilmu kepandaian. Tapi, seberapa sih tingginya kepandaian seorang gadis yang masih muda? Mustahil kalau gadis ini tidak bisa ditundukkan.

Diiringi pekikan nyaring, keempat orang itu menyerbu Melati. Karena masih ingin menikmati kemolekan tubuh putri angkat Raja Bojong Gading itu, mereka tidak menggunakan senjata dalam serangan ini.

Melati yang telah dilanda kemarahan, tidak ingin bertindak tanggung-tanggung lagi. Disadarinya kalau orang-orang macam ini amat berbahaya. Tampak jelas kalau mereka sulit disadarkan. Kalau dibiarkan hidup pun pasti hanya akan menimbulkan korban bagi orang lain. Maka gadis berpakaian putih ini bertekad melenyapkan empat orang itu selama-lamanya.

Tapi sebelum gadis berpakaian putih bertindak....

"Manusia-manusia tidak tahu malu! Bisanya hanya mengeroyok seorang wanita!"

Berbarengan terdengarnya bentakan itu, melesat sesosok bayangan keemasan. Langung dipapaknya serangan empat orang kasar itu.

Maka sesaat kemudian, terdengar pekikan-pekikan disusul berpentalannya tubuh-tubuh empat orang pengeroyok Melati.

Diiringi suara berdebuk keras, tubuh-tubuh mereka jatuh di tanah. Mereka kontan tidak bergerak lagi untuk selamanya. Karena saat tubuh mereka terpental, nyawa mereka pun ikut melayang

"Orang-orang seperti mereka sudah seharusnya dikirim ke neraka selama-lamanya...," kata sosok bayangan keemasan itu sambil membalikkan tubuhnya menghadap Melati, setelah teriebih dahulu mengebut-ngebutkan pakaiannya.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap Melati pelan tidak bersemangat.

Tidak nampak adanya kegembiraan pada wajah Melati, karena mendapatkan pertolongan. Memang, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membutuhkannya. Tanpa dibantu pun, dia mampu melenyapkan keempat orang itu.

"Lupakanlah. Tolong-menolong antara sesama manusia adalah merupakan hal biasa," elak sosok tubuh keemasan itu merendah sambil tersenyum lebar.

Dia ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Sebaris bulu-bulu halus dan tipis di atas bibirnya kian menambah ketampanannya. Pakaiannya indah dan mewah menandakan kalau dia adalah orang berada. Atau paling tidak, putra seorang pejabat kerajaan. Melati tersenyum hambar sebagai tanggapannya.

Gadis itu mengenalinya sebagai orang yang tadi berada di kedai juga.

"O, ya. Siapakah namamu, Nisanak? Dan mengapa berada di sini? Lalu, hendak ke manakah tujuannya?" Bertubi-tubi pemuda tampan berpakaian terbuat dari benang-benang emas itu mengajukan pertanyaan. "Aku Palguna."

"Aku Melati dan tengah mencari kawanku," sahut Melati mulai agak bersemangat. Sekilas, timbul harapan di hatinya. Barangkali saja, pemuda tampan berpakaian warna emas ini mengetahui Dewa Arak berada.

"Kalau boleh tahu..., siapakah kawanmu itu, Nini Melati?" tanya Palguna sigap. "Dan, bagaimana ciri-cirinya?"

"Namanya Arya Buana. Dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun. Pakaiannya berwarna ungu, menyandang guci di punggung...."

"Dan memiliki rambut yang berwarna putih kepe-rakan...?!" potong Palguna.

"Benar! Apakah kau melihatnya, Palguna?" tanya Melati cepat. Semangatnya kontan bangkit begitu mendengar sambutan Palguna.

Palguna menganggukkan kepala.

"Di mana, Palguna?" tanya Melati cepat. Keinginannya untuk bertemu kekasihnya memang sudah menggebu-gebu.

"Mengenai tempatnya, aku tidak bisa menunjukkan secara pasti. Dan andaikata kuberitahukan, kau juga tidak akan mengetahuinya."

"Hm...! Lalu...?" Suara Melati mulai pelan kembali. Seri di wajahnya pun kontan lenyap.
"Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama ke sana?" usul Palguna.

Melati tercenung sejenak. Dahinya tampak berkernyit dalam pertanda, kalau tengah berpikir keras.

"Baiklah kalau begitu," kata gadis berpakaian putih itu setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Tapi, ingat. Kalau kau menipuku... jangan harap akan membiarkanmu hidup!"

"Ha ha ha...!" Palguna tertawa bergelak. "Siapa sih yang tega menipu seorang gadis secantikmu, Melati?!"

Sepasang mata Melati berkilat mendengar ucapan Palguna. Kontan wajah pemuda berpakaian mewah itu berubah.

"Maaf. Aku bukan bermaksud kurang ajar. Melati," ucap Palguna buru-buru memperbaiki ucapan sebelumnya. "Aku hanya mengatakan apa adanya."

Melati sama sekali tidak menanggapinya.

"Kurasa, kita harus secepatnya menuju tempat ka-wanku itu sebelum dia pergi...," kata Melati, mengalihkan pembicaraan.

"Kau benar, Melati," sambut Palguna cepat.

Lega hatinya melihat Melati tidak melanjutkan persoalan tadi. Watak gadis berpakaian putih ini memang sukar diduga.

Setelah berkata demikian, Palguna segera melesat ke depan. Tahu kalau gadis berpakaian putih itu adalah seorang persilatan juga, pemuda berpakaian mewah itu tanpa ragu-ragu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam beberapa kali langkah saja, dia sudah berjarak belasan tombak dari tempat semula.

Melati hanya menggerakkan bagian bibir atasnya saja melihat hal itu. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu. Berbarengan kembalinya bibir atasnya ke tempat semula, tubuhnya pun melesat ke depan.

Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali langkah saja, gadis itu telah hampir berhasil menyusul Palguna yang telah berkelebat lebih dahulu. Sekejap kemudian. Melati telah berlari mensejajari Palguna.

Begitu mereka telah berlari berdampingan. Melati pun mengurangi kecepatan larinya. Gadis itu yakin kalau seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dikerahkan, Palguna akan tertinggal jauh.

"Kau.... Kau ternyata hebat juga, Melati." kata Palguna kaget. Napasnya terdengar memburu. Jelas kalau seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.

"Hm...!' gumam Melati perlahan.

Kedua orang itu berlari cepat meninggalkan tempat mereka tadi bertemu. Sama sekali tidak dipedulikan lagi mayat empat orang kasar yang hendak mengganggu Melati.

2

Melati dan Palguna masih saja berlari walau suasana gelap menyelimuti bumi. Malam memang telah tiba. Rembulan yang tampak di langit laksana berbentuk alis seorang gadis manis, tampak begitu tidak berdaya menerangi persada.

"Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu, Melati?" usul Palguna seraya menolehkan kepala menatap wajah cantik yang berada di sebelahnya.

Kedua alis Melati hampir bertautan mendengar usul yang diajukan pemuda berpakaian mewah itu. Meskipun begitu, langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Sehingga, mau tidak mau Palguna terus juga berlari kalau tidak ingin tertinggal.

"Baiklah," ucap Melati memutuskan. "Tapi, di mana tempat berisirahat?"

Sambil berkata demikian, dan tanpa menghentikan larinya, gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Tak jauh di depan kita ada sebuah rumah kosong. Aku tahu persis, karena pernah tinggal di sana," sambut Palguna penuh gairah.

Tampak jelas kalau pemuda itu ingin sekali beristirahat. Maka begitu mendengar persetujuan Melati, langkahnya yang semula sudah mengendur jadi cepat kembali.

Ucapan Palguna ternyata bukan bualan belaka. Tak lama kemudian, pandangan Melati telah tertumbuk pada sebuah bangunan besar dan megah di kejauhan.

Dalam suasana malam remang-remang dan lebih cenderung gelap karena di langit hanya diterangi bulan sabit, bangunan megah itu jadi terlihat menyeramkan. Lebih mirip rumah hantu daripada rumah manusia!

Karena Melati dan Palguna berlari mempergunakan ilmu lari cepat, dalam waktu sebentar saja bangunan yang semula terlihat jauh di depan kini telah dekat.

Melati menghentikan larinya ketika jarak antara mereka dengan bangunan megah yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kumuh itu tinggal satu tombak lagi. Melihat Melati berhenti, Palguna pun menahan langkahnya pula.

"Ada apa, Melati?" tanya pemuda berpakaian mewah itu ketika melihat Melati memperhatikan sekeliling bangunan megah di depannya.

"Apakah kau tidak salah, Palguna? Kita akan beristirahat di tempat seperti ini?" tanya Melati bernada teguran.

Palguna mengangguk.

"Memangnya kenapa, Melati?" Pemuda berpakaian mewah itu malah balas bertanya.

"Tidak bisa kubayangkan, bagaimana di dalam rumah itu, Palguna. Keadaan di luarnya saja sudah demikian tidak terurus."

"Ha ha ha...! Yang tampak di luar, belum tentu sama dengan dalamnya, Melati," jawab Palguna setengah menggurui. "Kujamin, begitu melihat bagian dalamnya kau akan betah tinggal di sana!"

"Maksudmu...?" meskipun sudah cukup jelas, tapi Melati masih juga mengajukan pertanyaan.

"Bagian dalam bangunan itu bersih, Melati. Obor-obornya pun bertengger di sana-sini. Jadi kalau kau tidak betah gelap, tinggal nyalakan obor-obor itu saja. Beres, kan?"

Melati terdiam.

"Ayolah," ajak Palguna sambil mengulurkan tangan, memegang tangan Melati untuk mengajak masuk ke dalam.

"Tidak usah menuntunku, Palguna," ketus suara gadis berpakaian putih itu seraya menepiskan tangan pemuda berpakaian mewah yang akan menggandengnya. "Aku bukan kambing!"

"Maaf. Maaf," Palguna buru-buru meminta pengertian, sebelum amarah putri angkat Raja Bojong Gading itu kian menjadi-jadi. "Aku lupa diri karena ingin buru-buru menunjukkan bagian dalam bangunan ini "

"Lupakanlah, Palguna," Melati mengulapkan ta-ngannya. Jelas kalau tidak ingin memperpanjang masalah itu.

Palguna tidak berani bersikap sembrono lagi. Dia pun mendahului melangkah masuk gerbang yang sudah memiliki pintu.

Melati melangkah mengikuti di belakang Palguna. Pemuda berpakaian mewah itu kelihatan melangkah tanpa memperhatikan sekelilingnya. Namun, Melati malah bersikap waspada. Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur urat syaraf dan ototnya pun menegang, bersikap menghadapi segala kemungkinan.

Tapi ternyata semua kecurigaan Melati sama sekali tidak beralasan. Sampai mereka melewati halaman depan yang cukup luas, dan tiba di teras bangunan itu, sama sekali tidak terjadi apa-apa.

Krittt...!

Suara bergerit tajam terdengar ketika Palguna mendorongkan daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir. Menilik dari bunyinya, sudah bisa diketahui kalau daun pintu itu sudah lama tidak dipergunakan.

Begitu daun pintu terkuak, Palguna segera melangkah masuk ke dalam diikuti Melati. Suasana gelap menyergap begitu daun pintu itu tertutup kembali.

Tentu saja hal ini membuat Melati tegang. Di tempat gelap seperti ini, pandangan matanya sama sekali tidak berguna. Yang diandalkan hanya pendengarannya untuk berjaga-jaga terhadap serangan gelap yang datang.

Ketegangan yang melanda Melati tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berdetak dari beradunya dua buah batu disusul memerciknya bunga-bunga api, sehingga, keadaan sekelilingnya agak terlihat, meskipun hanya sekejap.

Tanpa melihat pun, Melati tahu, siapa yang mengadu batu-batu itu. Siapa lagi kalau bukan Palguna? Pemuda berpakaian mewah itu ternyata tengah sibuk membuat api untuk menyalakan obor.

Tak sampai tiga kali membenturkan batu, suasana di sekitar tempat itu sudah terang benderang oleh obor yang teipampang di dinding dekat pintu.

Palguna mengulurkan tangan dan mengambil obor itu.

"Mari, Melati. Kita cari kamar-kamar yang paling baik untuk tempat beristirahat...."

Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika mendengar ucapan Palguna. Dalam jilatan sinar obor yang cukup terang, terlihat kalau wajah Melati menegang. Sementara sepasang matanya pun berkilat-kilat.

"Maksudmu.... Kita tinggal dalam satu kamar, Palguna? Kau kira aku wanita apa?!" kata Melati. Suaranya bergetar, karena tegang.

Ada nada kemarahan dalam ucapan gadis itu. Sudah dapat dipastikan, kalau saja Palguna mengangguk, gadis berambut panjang itu akan menyerang kalang kabut.

Palguna bukan orang bodoh. Jelas dia menangkap adanya kemarahan dalam ucapan itu.

"Jangan salah mengerti, Melati," ucap Palguna buru-buru. "Tentu saja, tidak demikian. Kau salah mengartikan ucapanku tadi."

"Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Maafkan aku, Palguna. Aku terlalu cepat terbawa amarah."

"Tidak mengapa. Lupakanlah," sambut pemuda berpakaian mewah itu bijaksana.

Sebuah senyum lebar tampak mengembang di bibir Palguna. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak tersinggung atas sikap kasar Melati.

"Mari kutunjukkan kamar untuk beristirahat."

Setelah memperhatikan satu demi satu kamar yang ada di bangunan itu, Melati memilih sebuah kamar yang berada di tingkat dua. Sementara Palguna memilih sebuah kamar di sebelahnya.

"Ah…!"

Sebuah desah kelegaan keluar dari mulut Melati ketika tubuhnya direbahkan di pembaringan. Kemudian sepasang matanya dipejamkan. Tak lama kemudian, desah napas Melati pun mulai pelan dan teratur.

Tapi baru juga mulai terlelap, sebuah suara men-desing yang tidak begitu keras, telah membuat Melati terjaga. Cepat laksana kilat, gadis itu melompat dari pembaringan dan bergulingan di lantai.

Cappp...!

Benda yang ternyata sebatang ranting sepanjang sejengkal, menghunjam di dinding bagian atas sampai setengahnya lebih.

Melati sempat tersentak melihat kehebatan tenaga dalam orang yang melemparkan ranting itu. Buktinya, ranting sebesar kelingking itu mampu menembus tembok yang keras! Kalau saja tidak bertindak sigap, mungkin gadis itu sudah celaka tadi!

Alis Melati hampir bertautan ketika melihat ada kelainan pada ranting itu. Pada bagian tengahnya nampak tergantung segulungan kain yang terikat.

Perasaan heran dan ingin tahu membuat Melati bangkit dari berbaringnya. Diperhatikannya suasana sekelilingnya sejenak. Baru setelah diyakini tidak ada bahaya yang akan mengancam, gadis berpakaian putih itu berjalan menghampiri tempat ranting itu tertancap.

Meskipun yakin kalau keadaan telah aman, Melati tetap tidak menghilangkan kewaspadaan. Sambil melangkah mendekati tempat ranting, matanya diedarkan ke sekeliling. Ada sebuah kesimpulan yang didapat. Ranting itu diluncurkan lewat jendela yang daunnya terbuka!

Hanya dengan mengerahkan sebagian tenaga da-lamnya, Melati segera mencabut ranting itu. Mudah saja dia melakukannya.

Sambil tetap mengedarkan pandangan ke daun Jendela, Melati mengambil gulungan kain itu, lalu membukanya. Dan seperti yang sudah diduga, tampak tertera huruf-huruf di atas gulungan kain itu. Melati pun membacanya dalam hati.

Cepat tinggalkan tempat ini kalau kau masih sayang dirimu. Ada bahaya besar yang tengah mengancammu. Maaf, hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa membantu lebih jauh.

Dahi melati berkernyit membaca pesan yang terkandung dalam gulungan kain itu. Benarkah apa yang dikatakan pengirim surat ini? Benarkah ada bahaya besar yang tengah mengancamnya? Tapi kalau ingin memberitahukan ada bahaya, kenapa musti mengirim serangan maut. Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak?

Berpikir hal itu, membuat Melati melayangkan pandangan kembali ke pembaringan. Seketika itu juga hatinya tersentak tatkala pandangannya dialihkan ke arah tempat ranting itu terhunjam.

Letak tertancapnya ranting terlalu tinggi. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak. Sementara, tinggi pembaringan itu tidak sampai setengah tombak. Begitu bodohkah orang yang telah mengirim serangan gelap itu? Padahal menilik hunjaman pada dinding, bisa diperkirakan kalau orang yang telah mengirim serangan itu adalah tokoh lihai!

Tentu saja Melati tidak begitu mudah percaya. Meskipun begitu, peringatan tadi sama sekali tidak di-kesampingkan. Gadis berpakaian putih itu mengambil jalan tengah, yang diyakininya benar. Dia akan tetap berada di dalam bangunan ini, tapi tetap waspada penuh.

Dengan bertindak seperti itu, Melati mendapat dua buah keuntungan. Kalau peringatan itu memang benar, dia telah bersiap-siap menghadapi bahaya yang datang mengancam. Sedangkan andaikata tidak benar dan merupakan perangkap, dia tidak masuk perangkap yang dipasang pengirim pemberitahuan itu.

Melati menghela napas lega setelah mengambil keputusan. Setelah menyimpan gulungan kain yang berisikan pesan untuknya, kakinya melangkah menghampiri jendela dengan kewaspadaan penuh.

Tapi sampai Melati menutupkan jendela yang da-unnya terbuka, tidak terjadi apa-apa.

Gadis berpakaian putih itu kembali ke pembaring-annya dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah orang yang telah mengirimkan peringatan itu? Benarkah ada bahaya mengancam?

Dengan adanya kejadian tadi, Melati tidak ingin lertidur kembali. Memang, dia kembali menghampiri pembaringan. Tapi tidak untuk tidur, melainkan bersemadi.

Gadis berpakaian putih itu lalu duduk bersila. Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dengan jari-jari terbuka dipertemukan di depan dada. Sementara arah ujung-ujung jarinya menuding ke langit.

Tak lama kemudian, putri angkat Raja Bojong Gadis itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang

Daun pintu itu dihajar dari luar. Dan pada saat itulah dari balik pintu yang tertutup rapat terlihat sesosok bayangan hitam melangkah masuk. Melati terkejut bukan main melihat hal ini!

Belum berapa lama tenggelam dalam keheningan semadinya, pendengaran Melati yang tajam mendengar adanya suara pelan dari luar pintu. Kalau saat itu Melati tidak tengah bersemadi, mungkin tidak akan mendengarnya. Dari sini saja, bisa diketahui kelihaian pemilik langkah itu.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, gadis ber-pakaian putih itu langsung menghentikan semadinya. Benaknya sibuk menduga-duga. Siapakah orang itu? Yang pasti, bukan Palguna. Pemuda berpakaian mewah itu tidak memiliki kepandaian sampai setinggi pemilik langkah itu!

Ringan tanpa suara, Melati melompat turun dari pembaringan dan berjalan mendekati pintu. Tapi belum juga tiba di sana, mendadak....

Brakkk...!

Daun pintu itu hancur berkeping-keping. Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Gadis itu segera melompat ke belakang. Dan pada saat itulah dari balik pintu yang tertutup rapat, melesat sesosok bayangan hitam.

Dalam suasana kamar Melati yang remang-remang, karena hanya ada obor kecil yang dipancarkan di dinding ruangan, tampak samar-samar sosok tubuh yang tengah menghancurkan pintu itu.

Sosok bayangan itu bertubuh tegap. Kulit wajahnya coklat, dipenuhi kumis dan cambang bauk lebat.

Melati tidak bisa memperhatikan lebih lama lagi karena laki-laki berpakaian hitam itu langsung melancarkan serangan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.

Melati tidak berani bertindak ceroboh. Dari angin berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang bauk lebat itu.

Itulah sebabnya, gadis berpakaian putih itu cepat melempar tubuh ke pembaringan.

Laki-laki berpakaian hitam itu menggeram keras begitu melihat serangannya dielakkan lawan. Tapi secepat itu pula dilancarkan serangan susulan lain. Kali ini, berupa hentakan kedua tangan yang terkepal ke arah tubuh Melati di pembaringan.

Wuttt...! Brakkk...!

Pembaringan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan jarak jauh yang dilancarkan laki-laki bercambang bauk lebat. Untung Melati telah lebih dulu melenting menjauhi pembaringan.

"Hup...!"

Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula Melati mempersiapkan ilmu andalan. Ilmu 'Cakar Naga Merah'! Kedua tangannya memerah sampai sebatas pergelangan ketika jari-jarinya dikembangkan membentuk cakar naga. Sekarang, gadis berpakaian putih itu telah siap menghadapi serangan lanjutan.

"Haaat...!"

Sambil mengeluarkan pekikan mengguntur yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, laki-laki berpakaian hitam itu kembali menyerang Melati. Sementara gadis itu kini telah bersiap langsung menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun terjadi.

Pertarungan antara kedua orang itu ternyata hebat bukan kepalang. Suara angin berciut dan mencicit ikut menyemaraki pertarungan. Udara seperti terobek oleh setiap serangan yang dilancarkan.

Karena kedua tokoh yang bertarung sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, maka pertarungan itu berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.

Melati menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat sangat menggayuti dada. Dia yakin, lawannya sanggup dikalahkan. Karena, dia memang lebih unggul dalam segala hal. Baik dalam hal ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Tapi tempat pertarungan yang sempit

membuatnya sedikit mengalami kesulitan. Memang ilmu 'Cakar Naga Merah', membutuhkan tempat luas untuk dapat berkembang.

Ada satu tambahan lagi yang membuat Melati ke-sulitan mengalahkan lawan. Rasa khawatirnya kalau bangunan ini roboh bila seluruh kemampuannya dikerahkan, membuat serangan gadis ini jadi setengah-setengah.

Memang, keadaan ruangan itu sudah semrawut. Semua perabotan yang berada di situ tetah porak-poranda. Dinding-dinding bangunan pun telah retak di sana-sini. Kalau pertarungan itu berlangsung terus, tidak mustahil bangunan itu akan runtuh.

"Hih...!"

Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu mengger-takkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang.

Melati yang ingin membekuk lawan, tidak ingin memberi kesempatan. Dia ingin tahu, alasan laki-laki bercambang bauk itu menyerangnya. Maka, gadis berpakaian putih itu pun segera melesat memburu.

Tapi, rupanya laki-laki berpakaian hitam itu sudah memperkirakannya. Terbukti ketika tubuhnya berada di udara, kedua tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan kembali, tangan itu bergerak mengibas.

Singgg...!

Suara berdesing nyaring, diikuti berkeredepnya beberapa buah benda berkilau yang tidak lain pisau terbang, meluncur cepat ke arah tubuh Melati.

Putri angkat Raja Bojong Gading ini terperanjat. Serangan seperti ini memang sama sekali di luar dugaannya. Dan hal ini terjadi karena nafsunya terlalu terburu untuk merobohkan lawan. Tapi meskipun begitu, Melati tidak menjadi gugup karenanya.

Untuk mengelakkan serangan memang merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Tubuhnya tengah berada di udara saat ini. Tidak ada tempat yang dapat dijadikan landasan untuk mengelak. Menggeliatkan tubuh pun tidak mungkin, karena pisau-pisau terbang itu meluncur berjajar.

Jalan satu-satunya hanyalah menangkis serangan itu. Maka dengan kecepatan gerakan seorang ahli pedang, dalam sekejapan mata Melati telah menghunus pedangnya. Langsung disabetnya pisau-pisau terbang itu.

Trang, bang, trang...!

Dentang nyaring suara benda logam beradu seketika terdengar. Maka pisau-pisau terbang itu pun berpentalan tak tentu arah.

Kesempatan yang hanya sekejap itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam itu. Tubuhnya melesat ke arah pintu. Rupanya, dia tahu gelagat kalau gadis berpakaian putih itu tak akan bisa dikalahkannya. Maka, ia memilih kabur sebelum mari konyol!

3

"Hup...!"

Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Melati segera bergerak mengejar. Tapi begitu tiba di ambang pintu, langkah kakinya dihentikan. Suasana di luar ternyata gelap. Jadi, tidak ada gunanya melakukan pengejaran dalam kadaan gelap.

Untuk sesaat, benak gadis berpakaian putih itu berputar sebelum akhirnya teringat pada Palguna.

Melati terjingkat bagai disengat kalajengking ketika teringat pemuda berpakaian mewah itu. Ya! Siapa tahu Palguna pun mendapat serangan serupa. Menilik dari kepandaian laki-laki bercambang bauk lebat itu, bisa diperkirakan kalau Palguna bukan tandingannya.

Teringat akan Palguna membuat Melati kembali ke kamarnya. Dijumputnya obor kecil yang terpancang di dinding Dan dengan obor di tangan, gadis itu keluar dari kamarnya. Tujuannya sudah jelas. Kamar Palguna!

Melati melangkah, bersikap waspada penuh. Pen-dengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat menangkap suara sekecil apa pun.

Selangkah demi selangkah gadis berpakaian putih itu melangkah maju. Dan dengan demikian, selangkah demi selangkah pula, jaraknya dengan kamar Palguna semakin dekat

Hampir Melati terpekik ketika melihat pintu kamar Palguna! Ambang pintu itu kini sudah tidak memiliki daun lagi. Sehingga, sinar obor yang terpancang di dinding kamar membias sampai ke depan kamar.

Dengan perasaan khawatir, putri angkat Raja Bojong Gading ini melangkah menghampiri. Meskipun keinginan untuk segera mengetahui nasib Palguna demikian menggebu-gebu namun masih bisa ditahannya. Disadari kalau sikap sembrono dan buru-buru malah akan mencelakakan dirinya.

Tapi lagi-lagi kekhawatiran Melati sama sekali tidak terbukti. Sampai di ambang pintu kamar Palguna, tidak ada kejadian apa pun yang menimpa.

"Palguna...!" jerit Melati keras oleh perasaan kaget ketika melihat tubuh pemuda berpakaian mewah itu tergeletak di lantai.

Setelah berkata demikian, Melati bergerak meng-hampiri tubuh Palguna. Meskipun begitu, kewaspadaan gadis itu sama sekali tidak berkurang. Sepasang matanya beredar ke sekeliling ruangan itu.

Walau hanya sekilas, tapi cukup bagi Melati untuk mengetahui keadaan kamar ini. Yang jelas tak berbeda dengan kamarnya. Porak-poranda! Jelas, kalau di tempat ini telah terjadi sebuah pertarungan sengit.

Dengan sepasang mata yang tetap memperhatikan suasana sekelilingnya, Melati berjongkok begitu telah berada di dekat tubuh Palguna yang tergolek. Gadis berpakaian putih itu ingin memeriksa keadaan Palguna.

Di saat itulah, tanpa diduga-duga, tangan Palguna bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Tambahan lagi, jaraknya terlampau dekat dengan Melati. Lagi pula, hal ini sama sekali tidak disangka-sangka. Maka, kejadian yang terjadi pun seperti yang sudah diduga.

Tukkk...!

Telak dan tepat sekali jari telunjuk Palguna menotok jalan darah di bahu kanan Melati. Kontan tubuh gadis berpakaian putih itu pun terkulai lemas, seperti sehelai karung basah.

Kini Melati tidak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya lemas seketika.

"Ha ha ha...!"

Palguna tertawa bergelak seraya bangkit berdiri, begitu tubuh Melati merosot dan jatuh di lantai. Dalam keremangan sinar obor, wajah pemuda berpakaian mewah itu ternyata terlihat menyeramkan.

"Palguna! Apa yang kau lakukan?!" tanya Melati keras. Ada nada kemarahan dalam pertanyaan yang lebih mirip teguran itu.

"Ha ha ha...!"

Palguna kembali tertawa bergelak. Karuan saja hal itu membuat kemarahan Melati semakin berkobar. Tapi, apa dayanya sekarang? Jangankan menyerang, menggerakkan ujung jari pun tidak mampu!

"Kau belum mengerti juga, Manis?" Palguna malah balas bertanya.

Kali ini tampak jelas kekurangajaran baik pada suara maupun sikap pemuda itu. Sungguh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan sebelumnya.

"Hanya satu hal yang telah kumengerti sekarang...," pelan, tapi tajam ucapan Melati.

"Apa itu. Manis?" tanya Palguna ingin tahu.

"Kau adalah seekor serigala berbulu domba! Seorang pengecut yang tidak berani berhadapan langsung denganku!" tandas Melati tegas. "Masih lebih baik empat orang yang menghadangku kemarin!"

"Ha ha ha...!"

Palguna kembali tertawa. Menilik gerak-geriknya, tampak kalau dia tengah dilanda perasaan gembira. Tapi, mendadak saja tawa itu dihentikan.

"Rupanya hanya wajahmu saja yang cantik. Manis. Tapi, otakmu bebal! Tidakkah kau duga kalau semua ini sudah kurencanakan?!"

Wajah Melati kontan berubah hebat.

"Maksudmu...?"

"Empat orang yang menghadangmu adalah suruh-anku! Dengan cara itu, bagiku mudah untuk dapat berkenalan denganmu dan memancingmu kemari!"

Palguna menghentikan ucapan sejenak untuk me-narik napas.

"Terus terang, aku tidak berani menantangmu secara langsung. Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku memang, tidak menjadi masalah karena langsung bisa menangkapmu. Tapi kalau aku kalah? Itulah sebabnya, aku menyerangmu secara menyamar menjadi orang bercambang bauk lebat."

"Jadi.... Orang berpakaian hitam itu kau?!" tanya Melati, kaget.

"Kau tidak menyangka bukan?!" ejek pemuda berpakaian mewah itu, merasa menang.

Melati terdiam. Kini jelas sudah kalau semua itu sudah direncanakan Palguna secara rapi. Seketika itu pula, ingatan gadis berpakaian putih itu melayang pada pesan yang diberikan orang yang tidak diketahui tadi. Satu hal yang diketahuinya adalah, orang yang mengirim pesan itu telah

mengetahui akan adanya bahaya yang mengancam. Ini berarti orang yang mengirim pesan itu tahu tentang Palguna.

"Satu hal yang perlu kau ketahui, Manis," sambung Palguna lagi "Aku telah tahu, siapa adanya orang yang kau cari itu. Bukankah Dewa Arak?!"

Pemuda berpakaian mewah itu menghentikan ucapannya untuk menunggu jawaban Melati. Tapi, ternyata gadis berpakaian putih itu sama sekali, tidak menanggapinya. Palguna yang tengah mabuk kemenangan, sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memang tidak membutuhkan jawaban gadis itu.

"Aku telah dapat menduga, siapa orang yang kau cari, sewaktu kau menanyakannya pada laki-laki gendut pemilik kedai. Pertanyaanmu itulah yang mendorongku untuk merencanakan semua ini. Dari pertanyaan itu, bisa kutebak. Kalau kau adalah wanita yang kudengar selalu bersama Dewa Arak! Itulah sebabnya, aku bersikap hati-hati. Sungguh sama sekati tidak kusangka-sangka kalau sekali bertindak, aku langsung mendapat dua umpan. Kau, dan Dewa Arak!"

"Apakah kau mempunyai urusan dengan Dewa Arak?!" tanya Melati dengan suara kering.

Disadari kalau seorang seperti kekasihnya lebih banyak mempunyai musuh daripada teman. Tak terhitung sudah, lawan-lawan pemuda berambut putih keperakan itu terbunuh. Padahal setiap lawan yang dibunuh, sudah pasti mempunyai guru, murid, atau kerabat yang akan mendendam karena kematiannya.

Palguna menganggukkan kepala.

"Lalu... mengapa kau menawanku?" pancing Melati.

"Ha ha ha...! Ada dua hal yang membuatku mena-hanmu, Manis," jawab pemuda berpakaian mewah itu.

"Apa itu?" tanya Melati sekenanya.

Gadis berpakaian putih ini berusaha mengulur-ulur waktu selama mungkin. Dan selama mengajak pemuda berpakaian mewah itu berbicara, tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan jalan darah yang tertotok.

"Pertama, karena kau dapat kugunakan untuk memancing Dewa Arak. Dan kedua, ini yang penting. Wajahmu yang cantik molek dan tubuhmu yang menggiurkan, dapat kumanfaatkan selama menunggu kedatangan Dewa Arak."

Terdengar suara menggertakkah dari mulut Melati ketika mendengar ucapan terakhir Palguna.

"Kalau kau berani menyentuh tubuhku... akan kuhancurkan semua tulang tubuhmu!" pelan dan bergetar ucapan yang keluar dari mulut Melati. Jelas kalau perkataan itu dikeluarkan penuh perasaan.

Orang seperti Palguna mana bisa ditakut-takuti? Apalagi pada saat itu tengah dirasuki nafsu! Pemuda berpakaian mewah itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman gadis berpakaian putih itu.

"Kau kira, orang sepertiku bisa kau takut-takuti, Manis? Keliru besar kalau menyangka begitu."

Wajah Melati pucat pasi. Seketika, rasa takut yang amat sangat terhadap sesuatu yang mengerikan melanda pada dirinya. Putri angkat Raja Bojong Gading yang belum pernah mengenal rasa takut, untuk pertama kalinya dilanda perasaan takut yang hebat.

"Jangan harap akan bisa mati enak, apabila berani menyentuh tubuhku, Palguna," dalam cekaman rasa takut yang memuncak, hanya ancaman yang bisa dilakukan Melati.

Seperti juga sebelumnya, ancaman Melati yang kali ini pun hanya ditanggapi tawa bergelak Palguna. Dan seiring selesai tawa itu, tangan pemuda berpakaian mewah itu mulai terulur.

Palguna rupanya memang hendak membuat hati Melati tersiksa oleh rasa takut menggelegak. Walaupun nafsu yang bergelora dalam dadanya mendesak-desak untuk melampiaskan hasrat tapi hal itu tidak langsung dilakukannya.

Tangan Palguna hinggap di dahi Melati yang mulus, kemudian perlahan-lahan merayap turun ke pelipis, pipi, mulut, dan beranjak ke leher. Selama tangan pemuda berpakaian mewah itu berkeliaran, Melati tak henti-hentinya berteriak memaki. Deru napasnya bersaing dengan deru napas Palguna. Hanya saja, napas Palguna memburu karena dilanda nafsu. Sedangkan napas Melati karena cekaman rasa takut yang bergelora.

Kini tangan Palguna telah tiba di leher. Dan sekali tangan itu bergerak turun dan merenggut pakaian, nasib Melati selanjutnya sudah bisa diduga.

Melati pun menyadari hal itu. Suaranya sudah serak karena terlalu banyak melontarkan ancaman yang sama sekali tidak ditanggapi Palguna. Karena cekaman rasa takut yang memuncak akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, tanpa sadar tetes-tetes air bening menggulir turun di pipinya yang putih.

Meskipun suasana remang-remang, tapi Palguna tentu saja melihat. Hatinya pun semakin gembira. Memang aneh watak orang-orang jahat. Dia akan senang melihat orang lain menderita. Semakin besar penderitaan yang dialami orang lain, semakin gembira hatinya.

Mendadak gerakan tangan Palguna terhenti. Ke-palanya pun menoleh ke belakang. Sikapnya tampak waspada sekaii, karena mendengar adanya suara mencurigakan di belakangnya.

Melati yang sama sekali tidak mendengar apa pun karena tenggelam oleh rasa takut yang menggelegak, mencoba memasang pendengarannya. Padahal, air matanya masih menganak sungai di pipinya.

Palguna benar! Ada seseorang yang berada di luar kamar. Mudah-mudahan saja, orang itu bukan kawan Palguna. Itu harapan Melati. Mendadak saja terlintas dugaan di benaknya. Apakah orang yang berada di luar kamar itu adalah orang yang telah mengirim pesan untuknya?

"Keparat...! Berarti kau mempermainkan aku, Pe-ngecut...!"

Palguna yang merasa geram karena kesenangannya terganggu, membentak keras seraya bangkit berdiri. Dia lalu melangkah keluar ruangan dengan sikap hati-hati.

Tapi sebelum berhasil ke ambang pintu, dari balik dinding sebelah kanan melesat sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga ketika melewati pintu, hanya berupa sekelebat bayangan hitam saja.

"Hei...!"

Palguna segera melesat mengejar. Tapi, ternyata sosok bayangan itu memiliki gerakan gesit. Sehingga, dalam beberapa kali lesatan saja, sudah lenyap di keremangan rumah itu.

"Keparat...!" maki Palguna dengan kegeraman yang tampak jelas dalam suaranya. Dengan obor di tangan, kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari sosok bayangan hitam tadi.

Mendadak langkah pemuda itu terhenti ketika teringat sesuatu. Melati! Jangan-jangan sosok bayangan itu telah menipunya, kemudian membawa lari tahanannya.

Mendapat dugaan seperti itu, membuat Palguna khawatir bukan kepalang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan melesat kembali ke kamarnya.

Palguna tiba di ambang pintu kamarnya bertepatan dengan melompat masuknya sosok bayangan hitam dari jendela. Dugaan pemuda berpakaian mewah itu ternyata benar!

Rupanya, sosok bayangan hitam tidak menyangka kalau Palguna akan kembali secepat itu. Terbukti, dia kelihatan kaget bukan kepalang. Meskipun tidak tampak jelas karena wajahnya dipenuhi coreng-moreng arang hitam, tapi dari langkahnya yang secara mendadak berhenti, tampak jelas perasaan kaget bagai melanda hatinya.

Begitu melihat sosok bayangan hitam itu, tanpa membuang-buang waktu lagi. Palguna segera meng-hentakkan kedua kepalannya ke depan. Langsung di-lepaskannya serangan pukulan jarak jauh.

Wuttt...!

Deru angin keras mengiringi tibanya serangan pukulan itu. Bisa diperkirakan kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan Palguna ini.

Sosok tubuh berwajah coreng-moreng yang menilik dari bentuk tubuhnya adalah seorang laki-laki, rupanya juga bisa memperkirakan kedahsyatan serangan itu. Hal ini bisa dilihat dari ketidakberaniannya memapak pukulan jarak jauh itu dengan pukulan jarak jauh pula. Bahkan tubuhnya malah dilempar ke samping dan bergulingan.

Dengan mengelaknya laki-laki berwajah coreng moreng itu, maka serangan pukulan jarak jauh Palguna terus meluncur ke belakang, jendela yang memang tepat di belakang laki-laki berpakaian hitam itu kontan terhantam.

Brakkk...!

Jendela itu kontan hancur berantakan mengeluarkan suara hiruk pikuk memekakkan telinga.

Baik Palguna maupun laki-laki berwajah penuh coreng-moreng itu sama sekali tidak sempat memper-hatikannya.

Palguna begitu melihat serangannya berhasil die-lakkan, segera saja menyusulnya dengan serangan berupa pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan. Jelas, kalau dia berkeinginan untuk secepatnya merobohkan lawan.

Laki-laki berpakaian hitam itu tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menangkis. Memang pada saat itu, dia baru saja bangkit dari bergulingnya. Tidak ada lagi kesempatan mengelak baginya.

Plak, plak, plak...!

Keras bukan main ledakan yang terjadi akibat ber-adunya dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Ternyata, tenaga dalam kedua orang itu berimbang.

Palguna menggeram menyadari kalau lawan mampu menandingi tenaga dalamnya. Padahal, tadi seluruh tenaga yang dimilikinya telah dikerahkan. Apalagi, saat itu hatinya tengah dilanda perasaan amarah yang menggelora.

Tapi secepat kedudukannya diperbaiki, secepat itu pula Palguna melompat menerjang lawan.

Sadar akan ketangguhan lawan, tanpa ragu-garu lagi Palguna mengeluarkan senjata andalan dari pinggang, sebuah ruyung berbatang tiga. Dan dengan senjata itu di tangan dia meluruk ke arah laki-laki berpakaian hitam itu.

Kali ini pemuda berpakaian mewah itu kalah cepat. Laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah lebih dulu lari meninggalkannya. Dia melesat kabur, melalui jendela yang telah hancur berantakan. Rupanya begitu tubuhnya terhuyung karena benturan tadi, laki-laki berpakaian hitam itu memanfaatkannya untuk melesat kabur dari situ.

Palguna segera berkelebat menyusul ke arah jendela. Dan dengan sikap waspada, kepalanya dilongokkan keluar. Ditelusurinya suasana di bawah sana dengan pandangan matanya. Tapi sampai lelah pandangannya beredar, hanya kesunyian yang dilihatnya. Tak terlihat sepotong makhluk pun di bawah sana.

Dengan wajah masih menampakkan kemarahan hebat, Palguna melangkah meninggalkan jendela. Dahinya berkemyit dalam memikirkan laki-laki berwajah coreng-moreng tadi. Siapakah sebenarnya laki-laki yang ternyata lihai itu? Mengapa berada di sini? Dan mengapa hendak menyelamatkan tahanannya? Mengapa dia melatikan diri, padahal hanya baru bertarung segebrakan saja? Bukankah jika bertarung sungguhan belum tentu kalah? Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Palguna.

Dan dengan kepala masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Palguna menghempaskan pantatnya di pembaringan, setelah menyimpan kembali ruyungnya di pinggang. Dibiarkan saja Melati terbaring di lantai.

Keinginannya untuk memperkosa gadis berpakaian putih itu telah berkurang banyak, karena adanya gangguan yang sama sekali tidak disangka-sangka. Palguna khawatir, laki-laki berpakaian hitam itu datang lagi di saat dirinya lengah. Dan bila itu terjadi, mungkin dirinya akan celaka. Laki-laki berwajah coreng-moreng itu terbukti memiliki kepandaian seimbang dengannya.

Dalam keadaan biasa pun, Palguna tidak yakin akan bisa mengalahkan laki-laki berwajah coreng-moreng. Apalagi, kalau dirinya berada dalam keadaan lengah.

Itulah sebabnya, kini Palguna tidak mengganggu Melati. Pemuda berpakaian mewah itu sibuk berjaga-jaga terhadap kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang luar biasa.

Kini Palguna tidak tidur. Dia duduk di atas pem-baringan, bersikap waspada. Sementara benaknya masih dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai laki-laki berwajah coreng-moreng tadi.

4

Palguna merasa waktu begitu lama sekali berlalu. Seolah-olah, malam begitu lambat seperti seekor keong merayap. Pemuda itu berusaha keras untuk tidak tertidur, atau berbuat tidak senonoh terhadap Melati

Hal itu mau tidak mau harus dilakukan Palguna, karena kekawatirannya atas kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang tangguh.

Bukan hanya Palguna saja yang tidak ingin tertidur. Melati pun demikian pula. Gadis berpakaian putih itu tengah menunggu jalan darahnya lancar sendiri. Tapi untuk tidak membuat curiga, matanya dipejamkan agar disangka tidur.

Sedikit demi sedikit Melati merasakan jalan darah yang tertotok mulai bebas. Hanya memakan waktu yang tidak begitu lama lagi, gadis itu akan kembali bebas seperti sediakala.

Namun harapan Melati kandas. Palguna rupanya bukan orang bodoh. Dia tahu pengaruh totokan itu lama-kelamaan akan punah sendiri. Apalagi kalau yang ditotok adalah orang seperti Melati yang memiliki tenaga dalam tinggi.

Pemuda berpakaian mewah itu bangkit dari pem-baringannya dan kembali menotok Melati, baru kemudian kembali ke pembaringan lagi dan bersikap waspada.

Palguna sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu untuk berbuat tidak senonoh terhadap Melati. Dan khawatir akan terlupa, sehingga laki-laki berwajah coreng-moreng muncul, dan langsung menyerangnya.

Tidak bisa dibayangkan, betapa dongkolnya hati Melati ketika Palguna kembali menotoknya. Usahanya pun dihentikan untuk membebaskan pengaruh totokan itu dengan tenaga dalamnya. Dalam kungkungan rasa kesal itu, Melati memejamkan matanya. Dia bermaksud tidur saja.

Tak lama kemudian, terdengar desahan halus napas Melati ketika tertidur.

Palguna hanya dapat mengawasi dengan perasaan dongkol melihat tahanannya dapat tertidur nikmat. Sedangkan dirinya sibuk berjaga-jaga terhadap kemunculan laki-laki berwajah coreng-moreng itu. Berkali-kali dalam

penantiannya, pemuda berpakaian mewah itu memaki sejadi-jadinya.

Tapi sampai matahari muncul di ufuk Timur dan sorotnya yang lembut menyinari mayapada ini, laki-laki berwajah coreng-moreng itu sama sekali tidak muncul batang hidungnya.

Karuan saja hal ini membuat Palguna kian bertambah geram. Sejak malam hingga pagi, matanya turus dipasang dengan kewaspadaan tidak pernah kendur. Tapi orang yang ditunggu-tunggunya sama sekali tidak datang. Maka, jengkelnya tidak bisa diperkirakan lagi.

Bukan hanya itu saja. Sejak malam tadi, beberapa kali ludahnya harus ditelan melihat tubuh molek meng-giurkan tertidur pulas di lantai. Melati seperti sengaja menantangnya! Dada gadis berpakaian putih itu terlihat turun naik dalam helaan napas yang teratur sewaktu tidur.

Perlahan-lahan Melati membuka sepasang kelopak matanya setelah terlebih dahulu mengerjap-ngerjapkannya.

Melihat gadis berpakaian putih itu telah bangun. Palguna lalu melompat turun dari pembaringan. Dijumputnya sebuah rantai baja yang tebal dan kelihatan kuat, yang terletak di bawah pembaringan.

Rantai baja itu berjumlah dua julur. Panjang masing-masing hampir mencapai setengah tombak. Dan pada ujung-ujung rantai, terpasang gelang-gelang yang juga terbuat dari baja tebal dan terlihat kuat.

Dengan sikap kasar, Palguna memasangkan gelang-gelang baja itu pada pergelangan tangan dan kaki Melati. Baru setelah itu totokan pada gadis itu dilepaskan.

Melati hanya bisa memaki-maki dalam hati. Dia sudah bosan melakukannya. Suaranya telah serak dan tenggorokannya terasa sakit-sakit karena terlalu banyak memaki. Dan gadis berpakaian putih itu tidak mau menambah penderitaannya dengan memaki-maki Palguna kembali.

"Bangun, Wanita Sial!" seru Palguna keras seraya menarik tangan Melati kasar.

"Laki-laki pengecut...!" Melati akhirnya tidak kuat lagi menahan kemarahan yang melonjak-lonjak dalam dada. "Kalau kau benar laki-laki, bebaskan aku! Dan kita bisa bertarung sampai ada yang mati!"

"Kau kira bisa membodohiku dengan kata-kata usang itu, Wanita Liar?!" sindir Palguna sinis.

Perasaan tegang sewaktu berjaga-jaga terhadap kedatangan laki-laki berwajah coreng-moreng, dan rasa jengkel, membuatnya tidak bisa menyambut ucapan Melati dengan kata-kata bernada ejekan dan penuh tawa.

Melati terdiam mendengar sambutan itu.

"Kau tahu, Wanita Sial. Aku akan menggunakanmu untuk memancing kedatangan Dewa Arak! Tokoh sombong itu telah berhutang nyawa padaku! Dan, nyawanyalah sebagai tebusannya! Dengan adanya kau di tanganku, tidak sulit menaklukkan Dewa Arak!" jelas Palguna.

"Kau memang manusia pengecut, Palguna! Orang sepertimu tidak pantas menjadi manusia. Tapi lebih pantas sebagai anjing kurap!" maki Melati keras.

"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" bentak Palguna, keras. "Kalau tidak mau menutup mulutmu juga, kau akan kutelanjangi!"

Merah padam wajah Melati seketika mendengar ancaman yang tidak senonoh itu. Tapi, rupanya ancaman itu cukup ampuh. Terbukti gadis berpakaian putih itu tidak berkata-kata lagi ketika Palguna menyeretnya keluar.

Rupanya bangunan megah yang terlihat tua itu banyak menyimpan peralatan Palguna. Dari dalam gudang, dikeluarkan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.

Dengan kasar, Palguna menarik Melati masuk ke dalam kereta kuda. Sementara, dia sendiri duduk di depan, di bangku kusir. Khawatir kalau gadis berpakaian putih itu bertindak macam-macam, pemuda berpakaian mewah itu telah kembali menotok lumpuh Melati.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Palguna melecutkan cambuknya ke pantat dua ekor kuda ttu. Seketika itu juga binatang itu mulai bergerak menarik kereta.

Tanpa diketahui Palguna, di atas atas gerobak itu nampak tertelungkup sesosok tubuh berpakaian hitam. Menilik dari kedua telapak tangannya yang dirapatkan pada atap kereta, bisa diperkirakan kalau tenaganya dikerahkan agar tidak terbanting jatuh. Apalagi, bila jalan yang dilalui buruk.

5

Seorang pemuda tampan berambut putih keperakan dan berpakaian ungu melangkah perlahan melalui jalan utama Desa Gede. Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Menilik dari ciri-cirinya, sudah bisa ditebak sosok pemuda berambut putih keperakan itu. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.

Desa Gede ternyata terhitung sebuah desa ramai, meskipun saat itu hari sudah agak siang. Jalan utama desa ini banyak dilalui orang-orang lalu lalang. Setiap orang yang melihat Arya Buana selalu akan menoleh dengan kening berkemyit dalam. Rupanya, mereka merasa heran melihat seorang pemuda sudah memiliki warna rambut demikian.

Tapi Arya Buana sendiri berpura-pura tidak tahu. Dengan sikap tidak peduli dia terus saja melangkah. Sempat juga terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang menilik gerak-geriknya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu silat. Pelan saja. Tapi karena pendengaran pemuda berpakaian ungu ini memang luar biasa tajam, bukan hal yang aneh bila ucapan itu bisa didengarnya.

"Mungkinkah dia itu Dewa Arak...?!" sebuah suara parau dari mulut seorang laki-laki bergigi tonggos terdengar.

"Kalau melihat ciri-ciri, tidak salah. Tapi mungkinkah orangnya semuda itu?" jawab kawannya. Dia pemuda berwajah hitam.

"Tapi menurut berita yang kudengar, Dewa Arak memang seorang pemuda...," bantah laki-laki bergigi tonggos lagi

Hanya itu ucapan terakhir yang terdengar Arya Buana. Itu pun hanya samar-samar saja. Ucapan selanjutnya tidak tertangkap telinganya lagi Memang, seiring semakin menjauhnya Dewa Arak dari orang yang mempercakapkannya, suara itu dengan sendirinya semakin tidak terdengar.

Pemuda berpakaian ungu itu terus saja melangkah. Sehingga, semakin lama semakin menjauhi tempat orang yang mempercakapkannya.

"Tuan Dewa Arak...!"

Panggilan keras dari arah samping membuat Arya Buana menolehkan kepala tanpa sadar. Suara itu terdengar kecil dan melengking. Jelas, orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang lelaki yang belum dewasa.

Dari depan sebuah kedai, tampak berlari-lari seorang anak lelaki. Paling banyak, usianya baru dua belas tahun. Pakaiannya kumal dan lusuh. Jelas, kalau dia bukan berasal dari keluarga berada.

Arya Buana tidak melanjutkan langkahnya, dan hanya berdiri diam menunggu kedatangan anak itu. Ingin diketahui, mengapa anak itu memanggilnya. Adalah merupakan sebuah hal yang mengherankan kalau seorang anak bisa mengenal julukannya. Dari manakah anak itu mengetahuinya? Apakah orang tua anak itu adalah seorang tokoh persilatan yang telah mendengar julukannya? Macam-macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.

Tak lama kemudian, anak berpakaian kumal itu telah berada di dekat Arya Buana. Napasnya terdengar agak terengah.

"Ada apa?" tanya pemuda berpakaian ungu dengan suara dibuat sepelan mungkin, agar anak itu tidak menjadi takut.

"Apakah, Tuan Dewa Arak?" tanya anak lelaki berpakaian kumal itu. Sepasang matanya tertuju pada rambut Arya Buana.

"Benar," jawab Arya Buana sambil menganggukkan kepala. "Kau siapa, Anak Baik? Dan dari mana tahu julukanku?"

"Namaku Jumadi."

"Jumadi? Nama yang bagus," puji Dewa Arak. "Nah, Jumadi. Sekarang katakan, dari mana kau tahu julukanku?"

"Dari orang yang menyuruhku menitipkan ini," jawab Jumadi polos sambil menyerahkan segulungan kain pada Arya Buana.

Pemuda berpakaian ungu itu segera menerima angsuran gulungan kain dengan dada berdebar tegang. Tanpa melihat pun sudah bisa diketahui kalau di dalam

gulungan kain itu terdapat pesan. Entah permohonan pertolongan, tantangan, atau ancaman.

"Terima kasih, Jumadi," ucap Dewa Arak ketika gulungan kain itu telah diterimanya.

Kemudian Dewa Arak menjumput uang yang ada di buntalan kainnya. Lalu, diberikannya pada bocah lelaki itu.

"Ini untukmu."

"Maaf, Tuan Dewa Arak. Aku tidak bisa menerimanya," tolak Jumadi sopan.

"Heh...?! Kenapa?" Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan.

"Orang yang menitipkan itu telah memberi upah padaku."

"Kalau kau tidak mau menerima uang ini, aku pun tidak mau menerima gulungan kain ini," gertak pemuda berpakaian ungu itu seraya mengangsurkan gulungan kain kembali.

Jumadi kebingungan sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan menerimanya.

"Terima kasih, Tuan," ucap bocah lelaki berbaju lusuh itu.

Arya Buana hanya tersenyum. Dan dengan dada berdebar tegang, dibukanya gulungan kain itu, dan langsung dibaca isinya. Sedangkan Jumadi yang rupanya tahu diri, segera beranjak meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu.

Dewa Arak....

Melati, kekasihmu ada di tanganku. Silakan datang untuk mengambilnya, bila kau menginginkan dia selamat. Aku menunggumu di Lembah Malaikat.

"Melati...," desah Dewa Arak.

Seketika perasaan Arya Buana resah karena khawatir akan keselamatan kekasihnya. Berbagai macam dugaan berkecamuk dalam benaknya. Benarkah Melati ditawan orang yang bertempat tinggal di Lembah Malaikat? Dan di manakah gerangan letak Lembah Malaikat?

Arya Buana menggerakkan jari-jari tangannya me-remas gulungan kain itu. Kontan kain itu hancur berkeping-

keping, mengeluarkan suara gemerisik pelan. Karena, Arya Buana mengerahkan tenaga pada remasannya.

"Jumadi! Tunggu sebentar...!"

Jumadi yang telah berjalan sekitar lima tombak, menghentikan langkah dan menoleh.

Hanya sekali langkah, Dewa Arak telah berada di hadapan Jumadi.

"Kau tahu, siapa orang yang mengirimkan pesan ini untukku?" tanya Arya Buana tanpa mempedulikan keheranan bocah berpakaian lusuh itu. Rupanya, Jumadi merasa heran melihat hanya dengan sekali langkah pemuda berpakaian ungu itu telah berada di hadapannya.

Jumadi menggelengkan kepala.

"Bisa kau beritahukan ciri-cirinya?" desak pemuda berambut putih keperakan itu. Dewa Arak memang ingin mengetahui, siapa sebenarnya orang yang telah mampu menyandera Melati.

Jumadi mengernyitkan dahinya dalam usaha mengingat-ingat orang yang telah mengirimkan pesan itu untuk Dewa Arak.

"Orangnya masih muda, Tuan.... Tampan, berkulit putih, dan berpakaian mewah...."

Sepasang alis Dewa Arak hampir bertautan mendengar ciri-ciri yang disebutkan bocah berpakaian lusuh itu. Arya Buana mencoba mengingat-ingat, barangkali saja pernah bertemu orang yang dimaksud. Tapi sampai lelah mengingat, diyakininya kalau tidak pernah bertemu orang itu sebelumnya.

"O, ya, Tuan.... Masih ada lagi titipan untuk Tuan."

Sambil berkata demikian, Jumadi yang rupanya baru teringat mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian, diangsurkannya pada Dewa Arak.

Wajah Arya Buana langsung berubah ketika melihat benda yang dipegang Jumadi. Dewa Arak kenal betul pemilik benda yang ternyata adalah sebuah pita yang berujung bunga melati. Itu adalah hiasan yang tergantung di pedang Melati! Tidak salah lagi! Kekasihnya telah ditawan!

Dengan tangan agak gemetar, Dewa Arak mengambil pita berwarna merah yang di ujungnya tergantung bunga melati. Ditatapnya bunga itu beberapa saat lamanya. Berbagai macam perasaan bercampur aduk dalam hati pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa rindu, cemas, dan marah bercampur aduk menjadi satu.

"Apakah orang itu memberitahukan padamu, di mana letaknya Lembah Malaikat itu, Jumadi?" tanya Arya Buana

Jumadi menganggukkan kepala pertanda membenarkan.

"Orang itu memang memberitahukannya. Lembah Malaikat terletak di Bukit Jambul. Tuan tahu letaknya?"

Arya Buana menggelengkan kepala. Dan memang, sebenarnya dia tidak tahu letak Bukit Jambul itu.

"Orang yang menitipkan pesan mengatakan. Tuan harus melakukan perjalanan ke arah Timur. Lama perjalanan ke sana, selama satu hari menunggang kuda. Bukit itu akan tampak dari kejauhan, Tuan. Warnanya putih. Begitulah keterangan yang diberikan orang itu."

Arya Buana mengernyitkan kening. Sungguh tidak diduga kalau perjalanan menuju Lembah Malaikat cukup jauh juga.

"Terima kasih, Jumadi."

Setelah berkata demikian, Arya Buana membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat ini. Dalam keinginannya untuk segera tiba dan menyelamatkan kekasihnya, pemuda berpakaian ungu itu langsung mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Hanya sekali langkah saja, Dewa Arak telah berada dalam jarak sebelas tombak dari tempatnya semula.

"Wahhh...!"

Jumadi berseru takjub. Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat dalam sekejapan saja, tubuh Dewa Arak telah mengecil menjadi sebesar kepalan tangan. Kemudian, akhirnya lenyap ditelan kejauhan.

Bukan hanya Jumadi saja yang terperanjat. Orang-orang yang kebetulan melihat pun berdecak penuh kagum.

Arya Buana melakukan perjalanan cepat. Dia hanya menghentikan larinya apabila kedua kakinya telah tidak kuat lagi melangkah.

Karena melakukan perjalanan seperti itu, maka keesokan harinya Dewa Arak telah memasuki mulut sebuah desa yang terletak dekat Lembah Malaikat.

Dengan rambut kusut masai, dan kedua kaki yang terasa lelah bukan kepalang, pemuda berpakaian ungu itu melangkah perlahan memasuki sebuah kedai.

Arya Buana tertegun di ambang pintu kedai ketika melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa buah meja dan kursi yang terdapat di situ, tampak kosong dari pengunjung. Hanya ada seorang pengunjung kedai yang tengah sibuk menyantap makanan.

Dia adalah seorang kakek yang memiliki kumis dan jenggot sedikit, tapi berwarna putih. Rambutnya panjang dan berwarna putih pula. Pakaiannya longgar, dan berwarna coklat.

Rupanya kakek berpakaian coklat itu mengetahui pula, kedatangan Dewa Arak. Buktinya, perhatian pada santapannya dialihkan. Kemudian kepalanya terdongak.

Terkesiap hati Arya Buana ketika melihat sepasang mata kakek berpakaian longgar itu. Yang mencorong tajam, berwarna kehijauan. Mirip mata seekor kucing dalam gelap. Dari sepasang mata itu saja, sudah bisa diperkirakan kalau kakek itu bukan orang sembarangan. Dia adalah tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata yang tajam mencorong itu telah membuktikannya.

Tapi hanya sesaat saja dua pasang mata yang sama-sama tajam mencorong itu bertemu. Karena, Arya Buana telah beranjak menuju sebuah meja kosong. Sedangkan kakek berpakaian coklat itu telah disibukkan kembali oleh makanannya.

"Akan pesan apa, Den?" tanya seorang kakek kecil kurus berjenggot panjang sopan. Rupanya dia pemilik kedai itu.

"Arak seguci besar dan ayam panggang," sebut Arya Buana.

Kakek kecil kurus itu melangkah ke dalam untuk mempersiapkan pesanan Dewa Arak.

Sambil duduk menanti pesanannya, Arya Buana mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi, kembali pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang mencorong tajam dari kakek berpakaian coklat.

Anehnya, begitu pandangan mereka bertemu, kakek berpakaian coklat longgar itu menundukkan kepala. Rupanya, dia tidak ingin diketahui kalau tengah memperhatikan Arya Buana.

Tentu saja sikap kakek itu membuat Arya Buana merasa curiga, dan seketika itu pula sikapnya berubah waspada. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin, kakek berpakaian coklat itu memperhatikannya.

Perasaan curiga yang timbul membuat Arya Buana diam-diam memperhatikan kakek itu pula.

Arya Buana terpaksa mengalihkan perhatian ketika pemilik kedai itu telah kembali sambil membawa pesanannya. Pemuda berpakaian ungu itu menunggu sampai kakek berjenggot panjang itu meletakkan pesanan di mejanya.

"Apakah nama desa ini, Ki?" tanya Arya Buana sambil meraih salah satu guci arak, dan menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas bambu.

"Desa Jambul," jawab kakek kecil kurus itu.

"Hm...," sebuah gumaman tak jelas dari mulut Dewa Arak menyambut! jawaban pemilik kedai.

"Memangnya Aden hendak ke mana?" tanya kakek berjenggot panjang itu.

"Lembah Malaikat...," jawab Dewa Arak kalem. Tapi, tanggapan kakek berjenggot panjang itu tidak sesederhana sahutan Arya Buana.

"Lembah Malaikat...?!" pemilik kedai itu bertanya dengan suara bergetar. Nada suara, maupun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan hebat

"Benar, Ki. Kenapa?" Pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya ketika melihat keterkejutan kakek kecil kurus.

"Mau apa kau ke sana, Anak Muda?" Mendadak nada suara kakek berjenggot panjang itu berubah. Tidak lagi sopan dan ramah seperti semula, tapi keras dan kasar.

Arya Buana bukan orang bodoh. Pemuda itu tentu saja bisa merasakan perubahan sikap pemilik kedai itu. Dan ini terjadi, setelah mengatakan hendak menuju Lembah Malaikat. Pasti ada apa-apanya di sana.

"Meskipun sudah tua, dan hanya memiliki sedikit ilmu bela diri, tapi tak akan kubiarkan kau mengusik tempat suci itu!" sambung kakek kecil kurus mantap, begitu melihat Dewa Arak tercenung.

"Tenanglah, Ki," Arya Buana yang sama sekali tidak mau terpancing dalam amarah, buru-buru menenangkan pemilik kedai itu. "Duduklah dulu, dan kita bicarakan masalah ini secara baik-baik."

*****

Kakek berjenggot panjang itu tercenung sejenak dan tidak langsung menanggapi ajakan Dewa Arak. Ditatapnya sejenak wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Baru ketika dijumpai adanya kesungguhan pada wajah itu, kakek itu duduk di kursi di hadapan Dewa Arak. Hanya meja persegi yang membatasi tubuh-tubuh mereka.

"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Lembah Malaikat itu, Ki?" tanya Dewa Arak memulai pembicaraan.

"Maaf, Anak Muda. Bukannya aku tidak ingin memberitahukannya. Tapi sebelum kau mengatakan tujuanmu ke sana, aku tidak bisa menceritakannya," tolak kakek kecil kurus itu.

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Disadari kalau tidak ada gunanya meminta keterangan dari kakek berjenggot panjang itu. Arya Buana melihat adanya sorot pantang mundur pada sepasang mata pemilik kedai ini.

"Baiklah, K'!," ujar pemuda berpakaian ungu itu, mengalah. "Perlu kau ketahui. Aku pun baru sekali ini mengetahui bahwa ada tempat yang bernama Lembah Malaikat. Dan itu pun dari orang yang bersangkutan."

"Apa maksud ucapanmu itu, Anak Muda?!" tanya kakek berjenggot panjang, tak mengerti.

"Ceritanya cukup panjang, Ki. Kau bersedia men-dengarkannya?" tanya Arya Buana. Dia memang berniat menerangkan semua, agar kakek kecil kurus ini mengerti.

"Ceritakanlah," sambut pemilik kedai ini.

Arya Buana mengerling ke arah meja kakek bungkuk berpakaian coklat longgar. Lirikan matanya mengandung arti, karena khawatir pembicaraannya terdengar. Kakek berjenggot panjang itu pun rupanya mengerti.

"Tidak perlu khawatir. Dia bisu dan tuli," jelas kakek kecil kurus itu.

"Hm...," pemuda berpakaian ungu itu hanya menggumam pelan.

"Aku adalah seorang pengelana, Ki," Arya Buana memulai. "Masuk hutan dan desa adalah kegemaranku. Tapi,

kemarin aku mendapat surat dari seseorang yang menitipkannya pada bocah lelaki"

Arya Buana menghentikan ceritanya sejenak untuk melihat tanggapan pemilik kedai ini. Tapi, kakek kecil kurus itu ternyata diam saja, tidak menanggapi sedikit pun.

"Isi surat itu, memintaku untuk datang ke Lembah Malaikat. Apabila aku tidak ke sana, kawanku yang diculiknya akan dibunuh!"

"Bohong! Kau mengada-ada, Anak Muda!" Kakek berjenggot panjang itu bangkit dari duduknya. Seketika wajahnya merah padam. Kemarahan yang hebat tampak memancar pada wajahnya.

"Aku tidak bohong, Ki," masih tetap tenang ucapan Dewa Arak. Bahkan masih tetap duduk di kursi sambil menenggak minumannya.

"Cabut ucapanmu, atau ingin kuusir keluar seperti anjing geladak?!"

Berkilat sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu mendengarnya. Memang, Arya Buana merasa tersinggung juga atas sikap yang ditunjukkan kakek itu. Maka, perlahan-lahan dia bangkit dari duduknya.

"Aku tidak akan mencabut ucapanku! Malah, aku akan mengobrak-abrik Lembah Malaikat. Akan kuhancurkan tempat itu kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku!"

Keras sekali ucapan Dewa Arak karena disertai amarah yang meluap-luap. Kekhawatiran akan nasib Melati-lah yang menyebabkannya bersikap demikian. Saat hatinya benar-benar cemas memikirkan nasib kekasihnya, eh malah dimaki-maki! Siapa yang tidak kesal? Padahal, dia telah berusaha keras berbicara baik-baik.

Setelah mengeluarkan ancaman demikian, Arya Buana duduk kembali di kursinya. Kemudian guci arak perak di punggung dijumputnya, dan diletakkan di atas meja. Baru setelah itu, arak pesanan dituangkan ke guci peraknya yang hanya tinggal sedikit isinya. Dan kini guci arak itu disampirkan kembali di punggungnya.

"Ini bayarannya, Ki," kata Arya Buana sambi! me-letakkan uang pembayaran makanan dan minuman itu di atas meja, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.

"Anak Muda! Tunggu...!"

Terpaksa Dewa Arak menghentikan langkahnya begitu mendengar panggilan kakek kecil kurus. Belum juga kepalanya menoleh, kakek itu telah bergerak cepat menghampiri.

"Benarkah semua yang kau katakan tadi? Sebe-narnya, teman atau kekasihmu orang yang diculik itu?" tanya kakek pemilik kedai ini.

Kali ini suara kakek kecil kurus itu tidak keras seperti sebelumnya, tapi sudah mulai melunak. Ucapan keras Dewa Arak tadi memang telah membuatnya bersikap demikian. Tambahan lagi, dia melihat adanya nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.

Amarah pemuda berpakaian ungu sedikit mereda tatkala mendengar ucapan pemilik kedai yang mulai melunak.

"Aku mengatakan apa adanya, Ki. Dan orang yang diculik itu sebenarnya adalah kekasihku!" jelas Dewa Arak.

"Ada hal yang mencurigakan kalau begitu," kata kakek kecil kurus itu seraya mengangguk-anggukkan kepala.

"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Ki?" Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu hampir bertautan. Raut ketidakmengertian tampak jelas di wajahnya.

"Apa yang kau ketahui tentang Lembah Malaikat?" kakek berjenggot panjang itu malah balas bertanya.

Arya Buana menggelengkan kepala. Pemuda ber-pakaian ungu itu sama sekali tidak tahu tentang Lembah Malaikat.

"Sudah kuduga," keluh kakek kecil kurus, mendesah. "Kau mau kuceritakan?"

Pemuda berpakaian ungu itu mengangguk.

"Kalau begitu, dengarkan baik-baik," kakek pemilik kedai itu memulai ceritanya.

6

"Sekitar sepuluh tahun yang lalu, desa ini diserbu segerombolan perampok yang ingin menjarah. Para penduduk tentu saja tidak membiarkan, sehingga harus angkat senjata mengadakan perlawanan."

Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya se-jenak. Dahinya nampak berkernyit. Jelas kalau dia tengah berusaha mengingat-ingat rentetan kejadian yang pernah diketahuinya.

"Tapi usaha kami seperti membenturkan telur ke batu. Para perampok itu terlalu kuat. Satu demi satu, penduduk berguguran. Padahal jumlah kami lebih banyak. Akhir dari pertarungan sudah bisa diterka. Penduduk akan tewas semua dan para perampok akan berhasil menjarah isi desa ini."

Kembali kakek berjenggot panjang itu menghentikan ceritanya sejenak. Tapi, kali ini untuk mengambil napas.

"Saat itulah muncul seorang kakek berpakaian putih yang membantu kami melawan rombongan perampok itu. Dia ternyata sakti bukan kepalang. Hanya dengan kibasan-kibasan tangan saja, para perampok itu dibuat pontang-panting. Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan hidup. Begitu pula dengan pimpinannya."

Kakek pemilik kedai itu menghentikan ceritanya kembali. Tenggorokannya terasa kering sehingga harus dibasahi. Dia memang terlalu semangat bercerita.

"Kakek sakti itu kemudian tinggal di sebuah lembah di Bukit Jambul. Penduduk desa ini menamakannya Lembah Malaikat, karena kakek itu memang seperti malaikat saja. Beliau selalu datang menolong kami tepat pada saat yang diperlukan. Berkali-kali dia datang dan mengusir setiap orang jahat yang hendak datang kemari. Di samping itu, dia pun sering pula mengobati penduduk desa ini yang sakit," tutur kakek berjenggot panjang itu menutup ceritanya.

Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala.

"Oleh karena itu, aku tidak senang ketika kau me-nyatakan ingin pergi ke Lembah Malaikat, Anak Muda."

"Mengapa, Ki?" tanya Arya Buana. "Bukankah sekarang kau tahu maksud kedatanganku ke sana?"

"Hhh...!" Kakek kecil kurus itu menghela napas berat. "Lembah Malaikat adalah sebuah tempat suci, Anak Muda. Aku tidak ingin kau pergi ke sana. Karena, kau adalah seorang pemuda pemabukan! Kami tidak ingin arakmu mengotori tempat suci itu."

Merah wajah Arya Buana mendengar ucapan itu.

Meskipun begitu, Dewa Arak tidak marah. Dia tahu kalau kakek berjenggot panjang itu tidak bermaksud mengejek, tapi hanya mengatakan yang sebenarnya.

"Apalagi ketika mendengar ucapanmu selanjutnya. Aku menjadi lebih marah lagi!" sambung kakek pemilik kedai itu berapi-api.

Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Aku tidak menuduh kalau pelaku penculik kekasihku adalah penghuni Lembah Malaikat, Ki" pelan ucapan pemuda berpakaian ungu itu.

"Hm...," hanya gumam tak jelas kakek itu yang menyambuti ucapan Dewa Arak.

"Aku datang hanya untuk memenuhi pesan penculik itu. Dan kebetulan, tempat yang diinginkannya adalah Lembah Malaikat"

"Hhh...!"

Kakek berjenggot panjang itu hanya mampu menghela napas berat. Disadari kalau sikapnya tidak patut bila terus melarang pemuda berambut putih keperakan itu menyelamatkan kekasihnya.

"Aku berjanji akan menjaga kesucian Lembah Ma-laikat semampuku, Ki," janji Arya Buana tulus.

Kakek kecil kurus itu hanya bisa tersenyum getir mendengar ucapan Arya Buana. Kemudian, kedua bahunya diangkat. Pasrah.

"Terima kasih, Ki," ucap Arya Buana gembira. "O. ya. Aku ingin beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Apakah ada kamar kosong?"

"Ada, Anak Muda. Mari...!"

Sambil berkata demikian, kakek berjenggot panjang itu berjalan mendahului Arya Buana. Diantarkannya pemuda berambut putih keperakan itu ke tempat yang akan dipesannya.

"Inilah kamar itu, Anak Muda," ujar kakek kecil kurus itu sambil membuka pintu sebuah kamar.

Arya Buana memperhatikan ruangan dalam kamar itu sejenak. Memang sebuah kamar yang cukup rapi. Kemudian, kakinya melangkah masuk ke dalam.

Kakek pemilik kedai segera melangkah meninggalkan tempat ini. Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu lalu, membaringkan tubuh di balai-balai bambu. Tak lama kemudian. Dewa Arak sudah tertidur pulas.

Matahari telah tergelincir dari titik tengahnya ketika Arya Buana telah berada di atas puncak Bukit Jambul. Pandangannya tertuju ke bawah, tempat yang ditunjukkan orang yang telah menculik Melati. Lembah Malaikat.

""Hih...!"

Pemuda berambut putih keperakan itu mengger-takkan gjgi. Tubuhnya pun melayang ke bawah. Indah dan manis gerakannya.

Tukkk!

Kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mendarat ringan di batu yang menonjol. Kemudian, tubuhnya melenting. Kembali ditotoknya tonjolan batu lain. Dengan cara itu Arya Buana menuruni puncak dan menuju ke Lembah Malaikat.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah, dan langsung mengedarkan pandangan berkeliling.

Sikap waspada Dewa Arak tidak percuma. Mendadak terdengar suara mendesing nyaring, disusul berkelebatnya benda-benda berwarna putih berkilat ke arahnya.

Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dari suara mendesing yang mengiringi tibanya serangan, sudah bisa diperkirakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.

Buru-buru Dewa Arak membanting tubuh, kemudian bergulingan di tanah. Sehingga, benda-benda berkilat yang ternyata adalah pisau-pisau terbang itu menyambar tempat kosong.

"Ha ha ha...!"

Sebuah suara tawa keras bergelak terdengar ketika Dewa Arak bangkit dari bergulingnya.

Arya Buana menatap sosok tubuh yang berdiri dalam jarak lima tombak di hadapannya. Semua cocok dengan apa yang dikatakan Jumadi. Seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan berpakaian yang terbuat dari benang-benang emas.

"Kaukah orang yang telah mengirimkan pesan untukku?" tanya Arya Buana. Sengaja hal itu ditanyakannya, untuk memastikan kebenaran.

"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian mewah yang tidak lain dari Palguna, pongah.

"Mengapa kau menawan Melati, Kisanak?!"

"Karena aku punya urusan denganmu, Dewa Arak!" tandas Palguna tegas.

Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan men-dengar jawaban itu.

"Kalau kau mempunyai urusan denganku, mengapa harus menawan orang yang tidak bersalah?!" desak pemuda berpakaian ungu itu. Ada nada kegeraman dalam suaranya.

Sambil berkata demikian. Dewa Arak melangkah maju. Dengan sendirinya, jarak mereka pun bertambah dekat.

"Hmh...!"

Palguna tidak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan mendengus. Sikapnya terlihat begitu meremehkan Arya Buana.

"Semula aku tidak berniat membawanya dalam persoalan kita, Dewa Arak! Tapi kupikir, dengan menahan dia, tidak terlalu sulit memancing kedatanganmu untuk menyelesaikan urusan kita. Dan ternyata, cara itu manjur. Kau datang begitu cepat. Bahkan melebihi perkiraanku semula."

Arya Buana menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Sebenarnya..., apa urusan itu, Kisanak?!" tanya Dewa Arak mencoba tenang. Dan memang, setelah hal seperu itu dilakukan harinya jadi lebih tenang.

"Kau ingat dengan Gerda, Dewa Arak?!" tanya Palguna.

Kini tidak ada lagi tawa dan canda di wajahnya. Yang tampak hanyalah sorot dendam yang membara. Bahkan nada suaranya pun mengandung kemarahan hebat.

Tanpa perlu mengingat-ingat lebih lama lagi, Dewa Arak langsung mengerti orang yang dimaksud Palguna. Gerda alias Bomantara, si Siluman Tengkorak Putih adalah lawan tangguh yang pertama sekali dihadapinya. Saat itu, dia baru mendapat julukan Dewa Arak (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya "Pedang Bintang").

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Nah! Aku adalah adik kandung Gerda! Namaku Palguna! Kini sudah jelas, mengapa aku mencari-carimu, bukan?"

Arya Buana tidak terlampau kaget mendengar ja-waban pemuda berpakaian mewah itu. Begitu Palguna menyebutkan nama Gerda, sudah bisa diperkirakan kalau pemuda berpakaian mewah itu memiliki hubungan dengan tokoh sesat itu.

"Sungguh sama sekali tidak kusangka. Aku akan mendapat dua keuntungan sekaligus dengan tertawannya Melati, kekasihmu itu," sambung Palguna lagi. Kali ini dengan sinar mata memancarkan kekejian.

Arya Buana diam saja. Sama sekali tidak diselak semua ucapan pemuda berpakaian mewah itu.

"Aku tidak akan percaya kalau tidak mengalaminya sendiri, Dewa Arak. Kekasihmu itu ternyata masih gadis! Ha ha ha...! Sampai sekarang tubuhnya masih terasa nikmat. Luar biasa! Kau bodoh, Dewa Arak! Bunga sesegar itu tidak buru-buru dipetik. Dan, akulah orang yang mendapat keberuntungan mencicipi kemolekan tubuh kekasihmu itu. Orang yang pertama, Dewa Arak!"

Terdengar suara bergemerutuk dari mulut Dewa Arak ketika gigi-giginya beradu keras. Bukan hanya itu saja. Suara berkerotokan nyaring pun terdengar ketika dalam kemarahan yang meluap, tenaga dalam Arya Buana bergolak sendiri. Dari atas kepalanya seketika mengepul asap putih tipis. Ini menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari', yang jarang digunakan telah keluar sendiri tanpa disadari Dewa Arak.

"Iblis! Manusia jahanam...!"

Setelah beberapa saat lamanya, Arya Buana terdiam dalam keterkejutan dan kemarahannya, akhirnya keluar juga ucapan itu.

Dalam kemarahannya, Arya Buana tampak berubah begitu mengerikan! Sepasang matanya mencorong tajam memancarkan hawa maut. Wajahnya pun membesi. Rambutnya yang berwarna putih keperakan membuat wajahnya terlihat kian menyeramkan.

"Kau... akan kuhancurkan seluruh tulang-tulang tubuhmu...!"

Terdengar bergetar dan tersendat-sendat ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak. Hal ini karena perasaan amarah yang bergelora. Sekujur tubuhnya tampak menggigil hebat.

Palguna terperanjat melihat keadaan Dewa Arak. Tanpa dapat ditahan lagi, sekujur bulu-bulu di tubuhnya berdiri semua karena perasaan ngeri yang mencekam. Dia memang sengaja membakar hati pemuda berambut putih keperakan itu, namun tidak disangka kalau akibatnya akan seperti ini.

Tapi Palguna bukan seorang bocah yang mudah untuk ditakut-takuti. Pemuda berpakaian mewah ini segera menekan perasaan ngerinya, dan bersiap-siap menghadapi Dewa Arak.

"Haaat...!"

Sambil berteriak menggelegar sehingga membuat seluruh lembah bergetar hebat, Arya Buana melompat menenang Palguna. Dalam kemarahan amat sangat, Dewa Arak sampai tidak sempat menyambar gucinya. Langsung dilancarkan serangan lewat ilmu' Sepasang Tangan Penakluk Naga'.

Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangan kanan Dewa Arak yang jari-jarinya membentuk cakar, menyambar ke arah pelipis.

Hati Palguna tercekat menyaksikan kecepatan gerakan Dewa Arak. Apalagi ada sambaran angin berhawa panas luar biasa, sebelum serangan itu sendiri tiba. Dalam jarak setengah tombak saja, angin serangan itu sudah terasa menyengat kulit. Panas bukan kepalang!

Palguna tidak berani mencari penyakit. Buru-buru senjata andalannya dikeluarkan. Sebuah ruyung berbatang tiga. Dan secepat senjata itu dikeluarkan, secepat itu pula disabetkan ke arah tangan Dewa Arak.

Takkk...!

Bagaikan dua batang logam keras berbenturan, terdengar bunyi beradunya tangan Arya Buana dengan ruyung Palguna.

"Ahhh...!"

Palguna menjerit keras ketika sekujur tangannya terasa tergetar hebat hampir lumpuh! Sehingga, ruyungnya hampir-hampir terlepas dari pegangan. Hawa panas merayap dari ujung ruyung ke telapak tangannya.

Meskipun demikian pemuda berpakaian mewah tidak menjadi gentar karenanya. Sambil menggertakkan gigi, ruyung di tangannya di ayunkan ke arah kepala Dewa Arak.

Arya Buana tidak berani bertindak main-main. Dia tahu, sambaran ruyung itu mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun. Maka buru-buru direndahkan tubuhnya, sehingga serangan Palguna menyambar di atas kepalanya.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya Buana. Kaki kanannya meluncur ke arah lutut kanan Palguna. Tapi dengan manis pemuda berpakaian mewah itu mengelakkannya. Lalu melancarkan serangan balasan.

Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah terlibat dalam pertarungan sengit.

Arya Buana yang tengah dilanda kemarahan hebat, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Palguna. Pemuda berambut putih keperakan itu telah benar-benar lupa segala-galanya. Yang ada di benaknya hanya satu. Membunuh Palguna!

Dewa Arak sama sekali tidak menyadari kalau terjadi sebuah keanehan. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga', dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' ternyata mampu digabungkan dengan pemakaian 'Tenaga Sakti Inti Matahari'! Padahal selama ini, hanya ilmu 'Belalang Sakti' saja yang bisa digabungkan dengan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'! Itu pun hanya terkadang saja. Karena, 'Tenaga Sakti Inti Matahari' mempunyai ilmu sendiri yang terdapat dalam jurus 'Membakar Matahari'! Rupanya, kemarahan hebatlah yang membuat kedua ilmu itu bisa disatukan!

Yang menjadi tersiksa adalah Palguna. Dia terpon-tang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Dalam beberapa jurus saja, dia telah terdesak hebat. Dewa Arak dalam kemarahannya, benar-benar mampu menggilas habis semua pertahanan Palguna.

Kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Palguna memang masih di bawah Dewa Arak. Pemuda berpakaian mewah itu kalah dalam segala-galanya. Apalagi, Arya Buana dalam kemarahannya tidak bersikap setengah-setengah lagi. Tak aneh kalau dalam beberapa gebrakan saja, Palguna terdesak hebat

Sekujur tubuh pemuda berpakaian mewah itu telah basah oleh peluh yang keluar akibat hawa panas yang keluar dari setiap serangan Dewa Arak. Wajah Palguna telah merah padam, karena hawa panas yang menyengat

Sudah dapat diperkirakan kalau tidak sampai lima belas jurus, Palguna akan tewas di tangan Dewa Arak.

"Sungguh tidak bijaksana sekali. Mengandalkan kepandaian hanya untuk bertindak sewenang-wenang...."

Seiring lenyapnya gema ucapan itu, melesat sesosok bayangan putih ke arah kancah pertarungan. Langsung dipapaknya serangan Dewa Arak yang mengancam ke arah Palguna. Angin dingin meresap ke tulang sumsum ketika tangan sosok bayangan itu bergerak memapak tangan Arya Buana.

Cesss...! Cesss...!

Terdengar suara seperti besi panas dicelupkan dalam air dingin ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan dengan tangan sosok bayangan putih.

Baik Dewa Arak maupun sosok bayangan putih itu sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam kedua orang itu berimbang.

Arya Buana menghentikan gerakannya. Dia tidak ingin bertindak sembrono dengan langsung menyerang lagi. Dari benturan tadi, sudah bisa diketahui kalau sosok bayangan putih itu memiliki tenaga dalam tinggi yang mengandung hawa dingin. Jadi, berlawanan dengan tenaga dalam yang dimilikinya.

Di hadapan Dewa Arak, tampak seorang kakek berkepala botak mengenakan pakaian putih longgar.

Kumis, jenggot, dan cambangnya telah memutih se-mua.

"Guru...!" sebut Palguna seraya memberi hormat

"Ada apa ini, Palguna?" tanya kakek berpakaian putih yang ternyata adalah guru pemuda berpakaian mewah itu.

"Dia adalah orang yang telah membunuh kakak kandungku, Guru," jelas Palguna

"Hm...! Jadi, dia Dewa Arak...?" tanya kakek berkumis putih itu.

"Benar, Guru."

Kakek berpakaian putih itu mengalihkan tatapan pada Arya Buana yang sejak tadi juga tengah memper-hatikannya.

"Tidak kusangka kau akan sekejam itu, Anak Muda," kata kakek berjenggot putih itu sambil menggelengkan kepala. "Dulu, sewaktu kau membunuh kakak kandungnya, aku tidak ingin ikut campur. Karena, aku tahu kalau Gerda memang bukan orang baik-baik. Tapi sekarang di depan mataku, kau hendak membunuh adiknya pula. Aku, Jasuri guru dari pemuda ini, ingin menjajal kelihaianmu. Mari, Dewa Arak. Kita bermain-main sebentar. Ingin kulihat, sampai di mana kelihaianmu sehingga sampai bertindak sesombong itu!"

"Muridnya setan. Gurunya pun pasti iblis!" desis Arya Buana dengan suara bergetar.

Kemarahan yang masih bergelora di dalam dada karena kegagalannya membunuh Palguna, kini dilampiaskan pada Jasuri.

Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menjumput guci arak, dan menuangkan ke dalam mulutnya.

7

Gluk... Gluk... Gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak yang dituangkan melewati kerongkongan Arya Buana. Sesaat kemudian, ada hawa hangat yang menyebar dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu hawa hangat itu perlahan merayap naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak mulai limbung.

"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang membuat kau jadi manusia sombong, Dewa Arak...?! Ingin kuketahui, mampukah ilmu 'Belut Salju' milikku menghadapi ilmumu!"

Setelah berkata demikian, Jasuri meletakkan kedua tangan di sisi-sisi pinggangnya. Jari-jarinya terbuka lurus, dan telapak tangan menghadap ke langit. Kemudian, perlahan-lahan tapi penuh tenaga, tangannya dijulurkan ke depan, seraya membalikkan telapak tangan jadi menghadap ke bumi.

Seketika itu pula ada hawa dingin berhembus dari kedua tangan yang dijulurkan.

"Hihhh...!"

Kakek berpakaian putih itu menarik kembali kedua tangannya yang terjulur. Berbeda dengan sewaktu menjulurkan, sewaktu menarik, Jasuri melakukannya secara cepat dan seketika. Maka secepat kedua tangan itu ditarik, secepat itu pula dilancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Kedua tangan itu melakukan totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.

Cit, cit, cit...!

Suara bercicitan nyaring, diiringi hawa dingin yang membekukan tubuh mengiringi ribanya serangan totokan-totokan Jasuri.

Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau lawan yang dihadapi amat tangguh. Dan itu bisa diketahui dari benturan yang terjadi sebelumnya. Maka buru-buru kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.

Sehingga, serangan lawan lewat sejengkal di samping kiri pinggangnya.

Hawa dingin yang amat sangat berhembus. Untung saja, Dewa Arak telah mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Kalau tidak, mungkin sudah menggigil seluruh tubuh saking dinginnya udara yang berhembus.

Tidak hanya mengelak saja yang dilakukan Dewa Arak. Nyatanya, dia langsung melancarkan serangan balasan. Tangan kirinya meluncur cepat ke arah pelipis.

Tapi Jasuri bukan orang sembarangan. Meskipun tidak dikenal dalam rimba persilatan, karena tidak pernah melakukan tindakan yang menggemparkan, kepandaian yang dimilikinya benar-benar luar biasa.

Menghadapi serangan balasan Dewa Arak, tubuhnya hanya direndahkan dengan cara menekuk kaki kanan dalam-dalam. Sedangkan kaki kirinya dijulurkan merapat tanah.

Wuttt...!

Serangan Arya Buana mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Melihat rambut Jasuri yang berkibar keras, bisa di perkirakan kekuatan yang terkandung dalam serangan itu.

Pada saat yang bersamaan tangan kiri Jasuri menotok ke arah ulu hati Dewa Arak. Maka tidak ada jalan lain bagi Arya Buana kecuali menangkisnya. Dia tidak memilih mengelak, karena hal itu akan membuatnya terus terdesak. Dan Dewa Arak tidak ingin hal itu terjadi.

Plakkk...!

Untuk kedua kalinya, terjadi benturan keras antara kedua tangan tokoh sakti itu. Kembali tubuh kedua tokoh yang berbeda usia itu terhuyung mundur satu langkah ke belakang.

Tapi, baik Dewa Arak maupun Jasuri sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Berkat kemampuan yang dimiliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkan kekuatan yang mendorong tubuh mereka. Dan, kembali mereka saling melancarkan serangan berikutnya.

Pertarungan yang berlangsung memang dahsyat bukan kepalang. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya, terlihat trengginas sekali. Gerakan dan kembangan ilmunya sulit diterka lawan, karena memiliki perubahan yang begitu mendadak dan tiba-tiba. Dari lemas dan meliuk-liuk

seperti orang akan jatuh, menjadi keras dan kasar. Kemudian, kembali lemas dan meliuk-liuk. Begitu seterusnya.

Tapi bukan hanya ilmu Dewa Arak saja yang bersifat demikian. Jasuri pun memiliki ilmu yang memiliki sifat serupa. Dengan ilmu 'Belut Salju'nya, gerakannya pun meliuk-liuk. Lalu secara tak terduga-duga, meluncur cepat ke arah sasaran. Gerakannya mengingatkan orang pada ular!

Semua itu masih ditambah lagi dengan keistimewaan ilmu masing-masing. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya mengeluarkan hawa panas menyengat saat tangan atau kakinya bergerak. Sedangkan ilmu 'Belut Salju' milik Jasuri mengeluarkan hawa dingin yang membekukan tubuh.

Akibatnya bisa diduga. Dalam jarak tak kurang sepuluh tombak dari arena pertarungan, berhembus angin panas menyengat dan hawa dingin yang membekukan kulit silih berganti.

Berkali-kali terdengar suara seperti ada besi panas yang direndam dalam air dingin, setiap kali terjadi benturan antara tangan-tangan Dewa Arak dengan Jasuri.

Palguna yang telah bisa memperkirakan kedahsyatan pertarungan yang terjadi, sudah sejak tadi menjauh dari arena pertarungan. Diperhatikannya pertarungan itu dalam jarak dua belas tombak dari arena.

Pertarungan antara Dewa Arak dan Jasuri memang menggiriskan hati. Daun-daun pohon yang terlanda angin pukulan Arya Buana kontan layu. Sementara daun-daun pohon yang terkena hawa serangan Jasuri, kontan berembun.

Bukan hanya itu saja. Keadaan kancah pertarungan sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah, tempat itu telah dibajak oleh belasan ekor kerbau. Tanah terbongkar, dan pohon-pohon bertumbangan. Itu pun masih ditambah debu yang mengepul tinggi. Belum lagi suara mencicit dan menderu yang mengiringi setiap serangan Arya Buana atau Jasuri.

Seratus jurus telah berlalu. Tapi sampai selama itu, tak nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik dalam hal tenaga dalam ataupun ilmu meringankan tubuh, keduanya berada dalam satu tingkat.

Meskipun tidak terdesak oleh lawannya, tapi Jasuri tahu kalau lama-kelamaan akan dirobohkan Dewa Arak. Usianya sudah tua, sedangkan Arya Buana masih sangat mudah. Lambat laun, jelas dia akan kalah oleh kodrat alam. Maka akan lebih dulu lelah ketimbang Dewa Arak.

Jika hal itu terjadi, Dewa Arak tidak akan terlalu sulit menggilasnya. Dan Jasuri tidak ingin hal itu terjadi. Keselamatannya memang tidak terlalu dipikirkan. Tapi, keselamatan Palguna-lah yang menjadi beban.

Maka kakek berpakaian putih itu bertekad untuk mengadu nyawa. Disadarinya kalau Dewa Arak tidak akan mungkin bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu memang memiliki kepandaian luar biasa!

Setelah mendapat keputusan itu, serangan-serangan Jasuri pun semakin dahsyat. Sekarang serangan-serangannya selalu memojokkan Dewa Arak. Memang, kakek berpakaian putih itu berniat mengadu nyawa!

Dewa Arak terkejut bukan kepalang begitu merasakan perubahan mendadak dalam serangan-serangan lawan. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya Buana tentu saja menyadari maksud tersembunyi lawan dengan perubahan serangannya. Dan dia tidak ingin meladeninya.

Oleh karena itu, Dewa Arak selalu menghindar setiap kali lawan melakukan serangan yang bersifat memojokkan dengan maksud mengadu nyawa.

Tapi berapa lawan Dewa Arak dapat bersikap seperti itu, dengan bermain kucing-kucingan? Padahal orang yang menyerangnya adalah tokoh yang berkepandaian setaraf dengannya dalam segala hal!

"Haaat..!"

Diiringi suara melengking nyaring, Jasuri melompat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk jari-jari terbuka lurus menghentak cepat ke arah dada Dewa Arak.

Wajah Arya Buana berubah seketika. Hal yang di-khawatirkannya ternyata terjadi juga. Apalagi, dia tidak memiliki kesempatan mengelak. Memang, Jasuri telah memojokkannya dalam keadaan sedemikian rupa. Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menyambut serangan lawan dengan gerakan serupa.

"Hiyaaat..!"

Dengan teriakan tak kalah keras, Dewa Arak me-lompat menyambuti. Kedua tangannya lurus ke depan membentuk jari-jari terkembang. Ada hawa panas menyambar di sekitar tempat itu, seiring terhentaknya kedua tangan itu.

Blaggg...!

Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama ter-jengkang ke belakang dan terguling di tanah. Lalu....

"Huakh...!"

Dari mulut Dewa Arak dan Jasuri keluar darah kental. Kedua tokoh mi sama-sama teriuka dalam, karena terkena serangan satu sama lain. Arya Buana menggigil kedinginan, sementara Jasuri menggeliat-geliat kepanasan.

Jasuri yang sudah bertekad mengajak Dewa Arak mati bersama, segera berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak mampu, dan terguling di tanah. Jelas, kalau luka yang dideritanya parah bukan main.

Berbeda dengan Jasuri, Dewa Arak langsung ber-usaha untuk bersila, kemudian bersemadi. Disadari kalau luka dalam yang dideritanya amat parah. Maka, dia akan mengobatinya dengan penyaluran hawa murni.

Jasuri pun akhirnya menyadari hal itu pula. Beta-papun kuat keinginannya untuk membalas dendam, tapi kalau keadaan tidak memungkinkan bagaimana bisa melakukannya? Maka, kakek berpakaian putih lalu bersemadi!

Memang akibat benturan tenaga dalam secara langsung itu hebat sekali! Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama menderita luka dalam karena kuatnya tenaga dalam satu sama lain.

Palguna terkekeh. Meskipun tidak memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak atau Jasuri, tapi dia pun mengerti kejadian yang diderita Dewa Arak dan gurunya. Maka dengan senyum keji menghias mulut, dihampirinya Dewa Arak yang tengah bersemadi untuk memulihkan luka dalamnya.

"Ha ha ha...! Kini saat kematianmu telah tiba, Dewa Arak...!" kata pemuda berpakaian mewah itu sambil tertawa bergelak.

Dewa Arak sama sekali tidak merasa terkejut, karena sudah menduga kalau Palguna akan bertindak licik. Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya tubuh pemuda yang licik itu diterjangnya. Tapi apa dayanya? Dia tengah menderita luka dalam! Jangankan menyerang, untuk bangkit berdiri pun sulit! Maka yang dapat dilakukannya hanyalah memandang semua yang akan dilakukan Palguna dengan sepasang mata terbelalak.

Berlainan dengan Dewa Arak yang tidak merasa kaget dengan apa yang akan dilakukan Palguna, Jasuri justru kaget bukan kepalang.

"Palguna! Apa yang akan kau lakukan?!" tanya kakek berpakaian putih itu setengah membentak. Terpaksa semadinya ditunda.

"Membalas dendam pada orang yang telah membunuh kakak kandungku. Guru," kalem saja jawaban Palguna. "Mumpung dia tidak berdaya."

"Tidak malukah kau, Palguna? Membunuh lawan yang tidak berdaya? Kelakuanmu seperti seorang, pengecut?!" tegas Jasuri dengan suara semakin tinggi, dan sepasang mata semakin membelalak.

Palguna hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak disambuti ucapan keheranan gurunya itu.

Dewa Arak yang juga jadi menunda semadinya, mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Jasuri. Sekali lihat saja, dia tahu kalau kakek berpakaian putih itu benar-benar tidak menyukai tindakan yang akan dilakukan Palguna! Serentetan perasaan tidak enak melanda hati pemuda berambut putih keperakan ini. Jangan-jangan Palguna telah mengadu domba antara dirinya dengan Jasuri untuk mengeruk keuntungan? Perasaan penasaran ini membuat Arya Buana berminat mengungkapnya.

"Mengapa musti malu, Ki," kata Dewa Arak pelan tapi terdengar jelas. "Jangankan terhadapku. Pada seorang wanita saja, dia berlaku licik. Dengan cara curang, dia telah menawan kekasihku dan menyuruhku datang ke tempat ini. Kalau aku tidak mau datang, kekasihku akan dibunuh! Tapi apa yang kudengar dari mulutnya, membuatku jadi marah besar, Ki. Kekasihku yang ditahan telah diperkosanya...."

"Ahhh...!" Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Jasuri. Wajahnya tampak berubah-ubah. Sebentar pucat, dan sebentar merah. "Benarkah semua ucapan Dewa Arak itu, Palguna?"

Palguna hanya tersenyum mengejek tersungging di bibirnya untuk mengiyakan pertanyaan itu.

"Manusia terkutuk...!" maki Jasuri keras seraya berusaha bangkit dari duduk bersilanya. Sudah bisa diduga maksudnya. Dia hendak menyerang Palguna.

Tapi baru juga kedua kakinya berdiri, tubuhnya langsung terjungkal roboh. Darah segar memancur deras dari mulutnya. Rupanya, kakek berpakaian putih ini terhitung orang yang keras hati. Dengan bertelekan pada kedua tangan, dia berusaha bangkit dari telungkupnya. Beberapa saat lamanya, kedua tangan itu mengejang dan bergetar. Kemudian, akhirnya tubuh itu roboh di tanah. Jasuri tidak mampu untuk bangkit lagi.

"Ki...!" seru Dewa Arak terkejut. Ada nada ke-khawatiran dalam suaranya.

"Ha ha ha...!"

Palguna tertawa bergelak.

"Palguna! Manusia iblis! Kau boleh membunuhku, karena aku adalah pembunuh kakakmu. Tapi gurumu itu harus kau tolong kalau tidak akan tewas!" teriak Dewa Arak.

"Apa peduliku dengan nasib tua bangka itu?!" sergah Palguna keras. "Dia pun sama sekali tidak pernah peduli pada sakit hatiku karena kematian kakakku di tanganmu, Dewa Arak! Di waktu aku menyatakan hasrat untuk membalas dendam padamu, dia malah melarangku. Katanya, kakakku memang bersalah! Huhhh! Guru macam apa itu?! Jangankan untuk membantu, merestui kepergianku saja tidak! Dia boleh mampus bersama-sama denganmu!"

"Benarkah semua yang kau katakan itu, Den Palguna?" terdengar sebuah suara serak menyelak pembicaraan, ketika Palguna menghentikan ucapannya.

Palguna, Dewa Arak, dan Jasuri mengalihkan pan-dangan ke arah asal suara. Tampak seorang kakek bertubuh bungkuk, berpakaian lusuh, dan berwajah buruk berdiri tak jauh dari mereka.

Arya Buana mengernyitkan dahi karena memang tidak mengenal kakek berwajah buruk itu. Tapi alisnya mengernyit dalam memperhatikan kakek bungkuk berwajah buruk. Dirasakan dia pernah melihatnya di sebuah kedai yang akan menuju Lembah Malaikat ini. Sebaliknya Palguna dan Jasuri rupanya mengenalnya. Terbukti, kakek bertubuh bungkuk itu mengenal Palguna.

"Hm..., Ki Pancar...! Apa maksud ucapanmu, Ki?" tanya Palguna dengan sikap waspada. Karena, Ki Pancar adalah salah seorang dari dua pelayan tempat tinggal Jasuri.

"He he he...! Tenang, Den. Aku berada di pihakmu. Percayalah. Kau boleh puaskan hatimu pada Dewa Arak. Dan aku akan mengurus Jasuri. Hampir sepuluh tahun aku menanti kesempatan untuk membalas sakit hati ini. Seperti juga kau, muridku pun mati terbunuh. Tapi bukan oleh Dewa Arak, melainkan oleh Jasuri"

"Siapa muridmu itu, Ki?" tanya Palguna denga perasaan curiga yang masih bergelora.

Pemuda berpakaian mewah itu tidak begitu bodoh dengan langsung percaya begitu saja pada semua keterangan yang diberikan kakek bertubuh bungkuk itu.

"Kepala rampok yang akan menghancurkan Desa Jambul."

8

"Apa?!" sepasang mata Palguna terbelalak lebar karena rasa tidak percaya yang begitu besar.

"Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini, Den," kata Ki Pancar. "Dan apabila mencoba menghalangiku, kau pun akan menerima akibat yang sama. Menyingkirlah, Den. Kau urus saja Dewa Arak. Biar aku yang mengurus Jasuri."

Palguna melihat adanya kesungguhan dalam ucapan dan sikap Ki Pancar. Maka, dia pun bergerak menyingkir memberi jalan pada kakek bertubuh bungkuk itu untuk mendekati Jasuri. Walaupun begitu, pemuda berpakaian mewah itu bukan orahg bodoh.

Dia tidak langsung percaya, walau telah melihat semua kesungguhan itu. Sepasang matanya memperhatikan semua gerak-gerik kakek berwajah buruk itu.

"Jasuri! Sekarang tiba saatnya bagiku untuk mem-balas dendam atas kematian muridku...!"

Tapi sebelum kakek bertubuh bungkuk itu sempat berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan abu-abu ke arahnya. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah leher kakek itu.

Ki Pancar terperanjat melihat hal ini. Terpaksa urusannya dengan Jasuri ditunda. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang dan bergulingan menjauh.

Ternyata bukan hanya kakek bertubuh bungkuk itu saja yang melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di tanah. Palguna pun demikian pula. Rupanya, seperti juga Ki Pancar, pemuda berpakaian mewah itu juga mendapat serangan mendadak. Hanya saja bukan sosok bayangan abu-abu, melainkan sosok bayangan putih!

Begitu Ki Pancar dan Palguna bangkit berdiri, di hadapan kedua calon korban mereka telah berdiri sosok penyerang itu. Baik Palguna maupun Ki Pancar rupanya mengenal penyerang masing-masing.

Berdiri membelakangi Dewa Arak, tampak seorang gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang. Siapa lagi kalau bukan Melati?

Sedangkan yang berdiri membelakangi Jasuri adalah seorang perempuan tua bertubuh sedang. Dia mengenakan pakaian abu-abu. Kulit wajahnya belum berkeriput, meskipun semua rambutnya yang panjang telah memutih.

Palguna menatap wajah Melati dan nenek berpakaian abu-abu silih berganti. Raut keterkejutan tampak di wajahnya yang tampan, karena melihat kedatangan Melati yang bisa berbarengan dengan nenek berwajah segar itu.

"Kau..?! Bagaimana bisa lolos?" tanya Palguna. Sorot rata pemuda itu memancarkan kebingungan melihat Melati bisa berdiri di situ. Bukankah gadis berpakaian putih itu telah ditotoknya, setelah disembunyikan di salah satu gua di Lembah Malaikat?

"Aku yang menyelamatkannya, Den," nenek ber-pakaian abu-abu yang menyahuti.

"Jadi,kau rupanya Nyi Pari?! Berani benar menentang tindakanku?! Kau tidak ingat siapa dirimu? Kau hanya pelayan! Dan aku adalah tuanmu!" tandas pemuda berpakaian mewah penuh rasa geram.

"Tapi sekarang kau bukan lagi tuanku, Palguna!" tandas nenek berwajah segar yang ternyata bernama Nyi Pari. "Kau menjadi tuanku, karena kau sebagai murid Ki Jasuri. Dialah tuanku yang sebenarnya. Sekarang karena kau hendak membunuh tuanku, aku terpaksa menentangmu?!"

Palguna menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Perasaan gelisahlah yang menyebabkannya bersikap demikian. Dia tahu keadaan kini telah berbalik. Semula menguntungkan pihaknya, tapi kini tak lagi. Melati adalah seorang lawan yang tangguh. Belum lagi Nyi Pari! Mampukah Ki Pancar menandingi nenek yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Jasuri? Sementara, Ki Pancar baru datang belum sepuluh tahun. Belajar ilmu silat dari Jasuri pun belum sampai lima tahun. Itu pun tak penuh.

"Bagaimana kau bisa menemukan tempat persem-bunyian gadis itu, Nyi Pari?" tanya Palguna setelah kebingungan beberapa saat lamanya.

"Hi hi hi…!

Nyi Pari tertawa terkikih. Sama sekali tidak buru-buru disahutinya pertanyaan pemuda berpakaian mewah itu. Dia terus saja tertawa geli sambil menutup mulut.

"Ternyata aku lebih cerdik darimu, Palguna. Kau tahu, akulah orang yang telah membuatmu tidak bisa tidur semalaman di dalam bangunan tempat kau menyimpan kereta kuda," jelas nenek berpakaian abu-abu itu setelah rasa gelinya hilang.

"Jadi... jadi... kau...?!" terdengar ucapan gagap yang keluar dari mulut Palguna.

"Aku mengikuti perjalananmu sejak kau keluar dari Lembah Malaikat, Palguna. Karena khawatir kau akan membalas dendam pada Dewa Arak. Jadi, tidak perlu heran kalau aku tahu semua sepak terjangmu di luar sana."

Kini Palguna pun mengerti semuanya, tapi tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, Melati yang rupanya sangat mendendam padanya, tidak akan tahan lagi menahan kesabaran.

"Hihhh...!"

Gadis berpakaian putih itu melompat menerjang Palguna. Dan dalam sekali serang saja, tanpa ragu-ragu sudah dikeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Naga Merah'!

Begitu tubuhnya telah berada di udara, dan dekat dengan Palguna, mendadak gadis berpakaian putih itu memutar tubuhnya sambil mengibaskan kaki. Inilah jurus 'Naga Merah Menyabetkan Ekor'.

Wuttt…!

Angin keras menderu tatkala kaki Melati menyambar cepat ke arah pelipis Palguna. Andaikata mengenai sasaran, kepala pemuda berpakaian mewah itu pasti akan pecah.

Palguna tentu saja tahu kedahsyatan serangan itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Pada saat yang sama, tangan kirinya menyodok cepat ke arah perut diiringi suara mencicit nyaring.

Tapi Melati memang sudah memperhitungkan hal itu. Maka tangan kanannya yang berbentuk cakar disampokkan ke bawah.

Prattt...!

Palguna meringis begitu jari-jari tangan Melati yang berbentuk cakar menghantam punggung tangannya. Kulit tangannya langsung terkelupas. Bahkan darah segar pun merembes keluar.

"Hup...!"

Tepat saat Palguna melompat mundur, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula dilancarkan serangan susulan ke arah Palguna. Sesaat kemudian kedua anak muda itu sudah terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.

"Menyingkirlah dari situ, Nyi Pari. Sebelum perasaan sabarku hilang dan turun tangan membunuhmu."

Sambil berkata demikian, Ki Pancar melangkah menghampiri Nyi Pari. Ada sorot ancaman dalam raut wajah dan suaranya.

"Kaulah yang akan kulenyapkan, Pancar. Sudah sejak dulu aku merasa curiga padamu. Hanya karena Ki Jasuri terlalu baik hati, aku tidak mengutarakan kecurigaanku. Tapi, diam-diam aku selalu memperhatikan semua gerak-gerikmu. Dan ternyata, kecurigaanku benar."

''Ha ha ha...! Hebat permainan sandiwaraku, bukan?" sambut Ki Pancar sambil tertawa lebar.

"Hmh...!" Nyi Pari mendengus. "Jangan terlalu yakin, Pancar. Aku tahu, sosok bayangan hitam yang muncul dan menyerang Ki Jasuri adalah kau. Itu terjadi setelah beberapa bulan kedatanganmu. Tidak salah bukan, dugaanku?"

Tawa kakek berwajah buruk lenyap mendengar ucapan Nyi Pari.

"Tapi, kau pasti tidak tahu, mengapa aku menyerang dengan cara menyamar dan menyembunyikan wajah!"

"Hi hi hi...! Kau kira aku sebodoh Palguna, Pancar?!" Nyi Pari tertawa mengejek.

"Aku tahu alasanmu. Apa lagi kalau bukan karena takut kedokmu terbongkar? Bukankah begitu, Pancar?!"

Kakek berwajah buruk tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua yang dikatakan nenek berpakaian abu-abu itu memang benar!

"Aku pun tahu, siapa adanya dirimu. Pancar. Itu setelah kau mengatakan kalau Turangga, kepala rampok yang tewas di Desa Jambul adalah muridmu," sambung Nyi Pari lagi.

Ki Pancar terdiam tak menyambuti. Tapi dari sikapnya terlihat jelas kalau dia tengah menunggu kelanjutan ucapan nenek berpakaian abu-abu itu.

"Kau adalah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa!" tandas nenek berpakaian abu-abu tegas.

Ki Pancar tertawa bergelak.

"Ha ha ha...! Akhirnya kau tahu juga. Pari. Tapi sayang, sudah terlambat. Tidak ada lagi orang yang akan bisa menghalangi tindakanku."

Setelah berkata demikian, kakek berwajah buruk itu kembali melangkah maju. Seketika, hal ini membuat Nyi Pari terkesiap. Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan, bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Memang, setelah yakin kalau Ki Pancar adalah tokoh yang berjuluk Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, Nyi Pari jadi bersikap hati-hati. Dia telah mendengar sepak terjang tokoh ini. Dia adalah tokoh yang amat ditakuti di daerah Utara. Telah puluhan, bahkan ratusan kali bertarung tanpa terkalahkan. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Karena wajahnya yang buruk dan tubuhnya yang bungkuk, dia dijuluki Hantu Bungkuk. Dan karena tidak pernah ada orang yang mampu mengalahkannya, dia mendapat julukan Tanpa Nyawa.

Telah belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh tahun, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bercokol di daerah Utara tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek berwajah buruk ini. Namun ketika mendengar banyak tokoh hitam yang di atas tingkatannya mati oleh Ki Jasuri, maka dia mengatur siasat untuk melenyapkannya. Salah satunya, menyamar jadi pembantu Ki Jasuri.

"Kuberikan kesempatan bagimu untuk pergi. Pari. Cepat, sebelum keputusanku berubah!"
"Tidak! Sekali kubilang tidak, selamanya akan tetap tidak!" tegas nenek berpakaian abu-abu itu.

"Kau mencari penyakit sendiri, Pari!" Setelah berkata demikian, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa segera menyerang Nyi Pari dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada.

Wuttt..!

Didahului desiran angin kuat, kaki Ki Pancar me-luncur deras.

Nyi Pari tidak berani bersikap sembarangan. Buru-buru dia melompat ke belakang, sehingga kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mengenai dadanya, masih berjarak sekitar dua jengkal dari sasaran semula.

Tapi serangan Ki Pancar tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera dilancarkan serangan susulan berupa tendangan miring ke arah leher dengan kaki yang sama. Dan untuk itu, kaki kiri kakek berwajah buruk itu terpaksa harus bergeser di tanah. Suara bergesekan keras terdengar ketika alas kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bergesekan dengan tanah.

Nyi Pari terperanjat melihat serangan yang seperti itu dapat dilancarkan lawan dalam waktu demikian cepat. Khawatir kalau mengelak akan ada serangan susulan lain, ditangkisnya serangan kaki itu dengan kedua tangannya.

Plak...!
"Aih...!"

Nyi Pari memekik tertahan begitu sambungan pergelangan tangannya terasa seperti terlepas akibat berbenturan dengan kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa. Sekujur tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang.

Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa benar-benar hendak melenyapkan Nyi Pari. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, kembali dilancarkannya serangan susulan pada nenek berpakaian abu-abu itu.

Kini Nyi Pari harus berjuang keras untuk menye-lamatkan selembar nyawanya dari serangan ganas lawan. Seluruh ilmu yang diwariskan Ki Jasuri padanya dikerahkan. Sesaat kemudian, pertarungan sengit terjadi antara kedua orang itu.

9

Di arena lain, pertarungan yang berlangsung pun tak kalah serunya. Palguna harus mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi setiap serbuan Melati.

Gadis berpakaian putih yang tengah dilanda kema-rahan hebat itu menguras seluruh kemampuannya untuk bisa merobohkan Palguna secepat mungkin. Apalagi mengingat semua yang dilakukan pemuda berpakaian mewah itu. Maka, ilmu 'Cakar Naga Merah' dikerahkan sampai ke puncaknya. Serangannya susul-menyusul tak henti-hentinya seperti gelombang laut

Tapi betapapun pemuda berpakaian mewah itu telah mengerahkan seluruh kemampuan, tetap saja tidak mampu membendung gelombang serangan Melati. Putri angkat Raja Bojong Gading itu memang lebih unggul dalam segala hal. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Tak aneh kalau Palguna terdesak hebat.

Pertarungan baru berlangsung lima puluh jurus, tapi Palguna sudah terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Akhir pertarungan ini sudah bisa ditebak. Pemuda berpakaian mewah ini akan roboh di tangan lawan.

Palguna kini sudah tidak berdaya lagi mengadakan perlawanan. Serangannya hampir tidak pernah dikirimkan, karena keadaannya memang sudah terjepit sama sekali. Yang lebih banyak dilakukan adalah mengelak. Menangkis pun jarang sekali dilakukan, kecuali kalau dalam keadaan yang sangat memaksanya berbuat demikian.

"Hih...!"

Di jurus keenam puluh satu, Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna. Buru-buru pemuda berpakaian mewah itu menjejakkan kaki, lalu melompat ke atas. Hasilnya, tendangan Melati lewat di bawah kakinya.

Tapi saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati. Begitu tubuh lawan berada di atas, tangan kirinya diluncurkan ke arah dada Palguna.

Palguna mengernyitkan dahinya kebingungan. Sebuah pertanyaan besar menggayuti kepalanya. Mengapa gadis berpakaian putih itu melancarkan serangan. Padahal, jelas-jelas bagian yang menjadi sasarannya, tidak akan terjangkau serangan itu.

Akhirnya Palguna mengambil keputusan untuk tidak menangkis serangan. Hatinya yakin kalau serangan Melati tidak akan mencapai sasaran. Tambahan lagi, keadaan tubuh Palguna tengah berada di udara. Dan ini menyulitkan untuk mengelakkan serangan itu. Dua alasan itulah yang menyebabkan pemuda berpakaian mewah itu tidak mengelakkan serangan lawannya.

Dan, inilah kesalahan Palguna! Dia tidak tahu kalau Melati dengan keistimewaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya mampu membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih panjang. Maka....

Bukkk...!
"Akh...!"

Palguna menjerit memilukan ketika tangan Melati menghantam sasaran secara telak dan keras. Seketika itu juga, tubuh pemuda berpakaian mewah itu terjungkal ke atas. Darah segar sekehka menyembur deras dari mulut.

Brukkk...!

Setelah terlempar setinggi empat tombak dari permukaan tanah, tubuh pemuda berpakaian mewah itu jatuh di tanah menimbulkan suara keras. Hanya sesaat saja, tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi ketika nyawanya telah pergi meninggalkan raga.

Melati menatap mayat Palguna dengan sinar mata puas. Sementara, Jasuri menatapnya dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa lega, sedih, dan terpukul. Karena betapapun jahatnya, Palguna adalah muridnya dan sudah belasan tahun bersamanya. Pemuda berpakaian mewah itu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Wajar jika kematian Palguna menimbulkan kesedihan mendalam di hari kakek berpakaian putih itu.

"Kang Arya...!" seru Melati keras sambil berlari menghampiri Arya Buana.
"Hih...!" Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna.

Pemuda berpakaian mewah itu segera menjejakkan kakinya sambil melompat ke atas, sehingga tendangan Melati lewat di bawah kakinya. Tetapi, saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati!

Dewa Arak tersenyum lebar, walaupun ada rasa sakit yang mendera hatinya. Benarkah gadis yang dicintainya itu

telah dinodai Palguna? Di samping rasa sakit itu, ada pula rasa kasihan yang amat sangat. Rasa kasihan pada Melati! Itulah sebabnya, Arya Buana berusaha untuk tetap tersenyum.

"Syukur kau selamat dari tangan pemuda terkutuk itu, Melati," kata Arya Buana.

Leher Dewa Arak terasa dicekik ketika Melati telah duduk pula di hadapannya. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah putri angkat Raja Bojong Gading dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam hati.

"Nyi Pari yang menyelamatkanku. Kang. Kalau tidak ada wanita yang baik hati itu, mungkin aku sudah jadi korban nafsu setan si keparat Palguna!"

"Jadi... jadi... dia belum memperkosamu...?" Dengan susah payah, kata-kata itu berhasil keluar dari mulut Dewa Arak. Melati tersenyum.

"Untung saja, Nyi Pari selalu datang tepat pada waktunya. Di saat, pemuda keparat itu mulai menampakkan tanda-tanda akan bersikap kurang ajar, Nyi Pari datang dan menyerangnya."

Rupanya, Nyi Pari orangnya yang selalu menyelamatkan Melati secara diam-diam. Bahkan dia pula yang mengirimkan surat peringatan, saat gadis itu tengah berbaring di dalam sebuah kamar dalam bangunan tua milik Palguna.

Kemudian, Melati pun menceritakan pertemuannya dengan Palguna.

"Lalu, aku dibawanya pergi dengan kereta, Kang," lanjut Melati setelah sedikit bercerita. "Di tengah perjalanan, dia yang rupanya masih merasa penasaran, sehingga mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya. Untung Nyi Pari datang dan menyerang sehingga usahanya gagal."

Melati menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam Sementara Dewa Arak mendengarkan cerita kekasihnya penuh perhatian.

"Jadi, Nyi Pari berhasil mengalahkan Palguna?" tanya pemuda berpakaian ungu itu. Melati menggeleng.

"Atau, Nyi Pari yang dikalahkan?" Dahi Arya Buana berkernyit

"Tidak juga, Kang. Mereka bertarung hanya beberapa gebrakan saja. Nyi Pari tidak berani melawan Palguna, karena termasuk majikannya. Dia hanya menyerang di saat Palguna hendak berbuat tak senonoh padaku. Beberapa gebrak menyerang, kemudian kabur," jelas Melati.

Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala. Entah karena mengerti, atau karena alasan lain. Hanya dia sendiri yang tahu.

"Hm.... Jadi, Nyi Pari mengikuti perjalanan Palguna yang membawamu?" tanya Arya Buana mulai mengerti.

"Ya. Baru ketika Palguna pergi, Nyi Pari membebaskanku. Lalu kami datang kemari," tutur Melati menutup ceritanya.

"Hm... tidak bisa kubayangkan kalau seandainya Nyi Pari tidak ada, Melati," kata Dewa Arak lirih. Ditatapnya wajah gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.

"Jangan berkata begitu, Kang," selak Melati. "Aku ngeri mendengarnya. "

"Hhh...!"

Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sepasang matanya dilayangkan ke depan.

Sementara itu di arena pertarungan, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa terlalu sakti untuk bisa ditandingi Nyi Pari. Setelah pertarungan berlangsung empat puluh lima jurus, nenek berpakaian abu-abu itu sudah terdesak hebat.

Yang dapat dilakukan Nyi Pari hanya mengelak saja. Berbeda dengan di awal-awal pertarungan. Dia selalu menyerang Ki Pancar. Semakin lama mereka bertarung, semakin jarang serangan yang dilancarkan nenek berpakaian abu-abu itu. Sampai akhirnya, Nyi Pari tidak bisa melancarkan serangan lagi, karena sibuk menyelamatkan diri. Dia hanya mengelak dan menangkis serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan.

Padahal, Nyi Pari telah mengeluarkan senjata andalannya berupa sebuah kipas baja yang berujung runcing. Senjata itu bisa digunakan untuk mengebut, di samping itu juga sebagai pedang karena ujungnya runcing.

"Hih...!"

Tukkk...!

"Akh...!"

Nyi Pari terpekik pelan ketika ujung kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menghantam sikunya. Seketika itu pula sekujur tangannya lumpuh, dan kipas baja itu pun terjatuh pula dari cekalan.

Nenek berpakaian abu-abu itu terperanjat. Pada saat itu, tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kembali meluncur ke arah dada kanannya.

Nyi Pari terkejut bukan kepalang. Disadari kalau sampai terkena serangan itu, nyawanya akan melayang ke alam baka. Maka buru-buru tubuhnya bergerak mengelak, dengan melangkah dan menggeser tubuh.

Plakkk...!

Nyi Pari memekik kesakitan ketika tangan Ki Pancar menghantam bahunya. Nenek berpakaian abu-abu ini kalah cepat. Maka meskipun telah mengelak, tetap saja serangan lawan mengenai tubuhnya. Untung saja, tidak mengenai sasaran yang diharapkan. Tapi meskipun begitu, tak urung tubuh Nyi Pari terhuyung-huyung. Darah segar memercik keluar dari mulut nenek berpakaian abu-abu itu.

Dewa Arak yang saat itu memperhatikan pertarungan, langsung tersentak. Di saat itulah, Arya Buana memberitahukan pada Melati agar membantu Nyi Pari. Maka gadis berpakaian putih itu langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.

Wusss...!

Serentetan angin pukulan menyambar ke arah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang siap melancarkan serangan susulan ke arah Nyi Pari.

Kakek berwajah buruk itu terperanjat begitu me-rasakan angin keras meluncur. Disadari kalau serangannya diteruskan, maka pukulan jarak jauh itu akan menghantam tubuhnya, sebelum serangannya sendiri bersarang di tubuh Nyi Pari.

Terpaksa Ki Pancar membatalkan serangan, dan langsung melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan di tanah menyelamatkan diri.

Ketika Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa ini bergerak bangkit dari bergulingan, Melati telah berada di depan Nyi Pari.

"Menyingkirlah, Nyi," ujar gadis berpakaian putih itu bernada perintah.

Nyi Pari tidak berani membantah. Dia tahu, dirinya bukan tandingan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang lihai itu. Maka kakinya melangkah, menjauhi pertarungan. Tak lupa, tubuh majikannya diangkat, dan dibawa ke tempat aman.

Nenek berwajah segar itu akan mengobati luka dalam majikannya. Tapi, tentu saja lukanya harus diobati terlebih dahulu.

Sementara Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tahu, gadis yang berdiri di hadapannya ini tidak bisa disamakan dengan Nyi Pari. Terbukti, Melati telah berhasil membinasakan Palguna. Padahal, pemuda berpakaian mewah itu memiliki tingkat kepandaian tidak di bawah Nyi Pari.

Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Pancar segera menyerang Melati. Gadis berpakaian putih yang memang telah bersiap itu segera menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua orang tokoh sakti ini pun tidak bisa dihindari lagi.

Meskipun yakin akan kepandaian Melati, tapi mengingat kelihaian kakek berwajah buruk itu, Dewa Arak merasa khawatir juga. Maka begitu melihat Melati mulai berhadapan dengan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, dia pun bergegas kembali bersemadi. Arya Buana buru-buru ingin menyembuhkan luka dalam yang diderita, agar bisa segera membantu apabila diperlukan.

Pertarungan antara Melati menghadapi Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa memang berlangsung seru bukan kepalang. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang. Baik Melati maupun Ki Pancar memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang setingkat.

Tak heran meskipun pertarungan telah berlangsung lebih dari tujuh puluh jurus lamanya, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih terlihat seru dan seimbang.

"Keparat...!"

Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menggertakkan gigi. Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketangguhan gadis berpakaian putih itu. Perasaan geram yang timbul akibat dari rasa malu dan terhina, karena gadis berpakaian putih itu sanggup mengimbanginya.

Mendadak tangan kakek berwajah buruk itu bergerak, dan....

Srattt...!

Sinar terang berkeredep ketika di tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa telah tergenggam sebilah golok besar yang matanya bergerigi mirip gergaji. Dan begitu golok itu terhunus, langsung saja diluncurkan cepat ke arah dada Melati.

"Hih...!"

Melati menggigit bibirnya kuat-kuat. Dan sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah terlempar ke belakang. Sehingga, serangan golok Ki Pancar tidak mengenai sasaran.

Selagi tubuhnya berada di udara, tangan Melati bergerak ke arah punggung. Dan begitu kedua kakinya mendarat, di tangan gadis berpakaian putih itu telah tergenggam pedang.

Wunggg...!

Suara menggerung dahsyat seperti seekor naga murka terdengar ketika Melati menggerakkan pedangnya.

Kembali kedua belah pihak melanjutkan pertarungan. Tapi, kali ini masing-masing telah menggenggam senjata. Dengan sendirinya pertarungan jadi berlangsung lebih seru. Suara menggerung, mencicit, dan mengaung menyemaraki pertarungan.

Di jurus-jurus awal sewaktu menggunakan senjata, pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung seru. Baik Melati maupun Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, saling serang dengan hebatnya. Berkali-kali bunga api memercik ke udara setiap kali pedang dan golok itu berbenturan.

Tapi menginjak jurus ketujuh puluh tiga dalam permainan senjata. Melati mulai terdesak. Dan hanya karena kehebatan ilmu 'Pedang Seribu Naga'nya, yang membuat Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mampu merobohkan Melati. Memang ilmu 'Pedang Seribu Naga' mempunyai pertahanan kuat.

Hampir Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa putus asa menyadari kenyataan ini. Dia, datuk yang amat terkenal tidak mampu mengalahkan seorang gadis belia yang sudah berhasil didesaknya!

Rasa malu dan penasaran membuat Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyerang semakin kalang kabut. Dia menyerang tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di benaknya hanya satu Melati harus bisa di tewaskan!

"Haaat...!"

Sambil berteriak melengking nyaring, kakek berwajah buruk itu menusukkan goloknya ke arah perut Melati.

"Hih...!"

Dengan sebuah gerakan aneh, Melati menjejakkan kakinya ke tanah. Mendadak bagian tubuhnya yang mulai dari pinggang ke bawah, terangkat naik. Kini, dia seperti tertelungkup di udara, dengan bagian tubuh bawah lebih tinggi daripada atas. Inilah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor'.

Singgg...!

Golok Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyambar lewat di bawah dada Melati, hanya berjarak beberapa jari saja.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Melati. Pada saat tubuhnya terangkat, pedang di tangannya dibabatkan ke arah leher lawan.

Ki Pancar kaget bukan kepalang melihat serangan ini. Dicobanya untuk mengelak, tapi karena serangan itu demikian cepat. Tambahan lagi, perasaan kalap yang melanda membuat kewaspadaannya agak berkurang. Maka....

Cappp...!

Kepala Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kontan terlepas dari tubuhnya ketika pedang Melati dengan telak menyambar sasaran. Darah langsung menyembur deras dari bagian yang terluka.

Tanpa sempat bersambat lagi, tubuh kakek berwajah buruk itu roboh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!

"Hup...!"

Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pada saat yang sama. Dewa Arak pun telah selesai mengobati lukanya. Begitu pula Nyi Pari dan Ki Jasuri.

Seperti diberi aba-aba ketiga orang itu berjalan menghampiri Melati.

"Kau hebat, Melati," puji Nyi Pari kagum. Sepasang matanya menatap takjub wajah gadis berpakaian putih itu.

"Terima kasih atas pujian dan juga atas pertolonganmu, Nyi," balas Melati.
"Benar, Nyi," sambung Dewa Arak. "Tanpa pertolonganmu, entah apa yang akan terjadi pada kekasihku. "
"Lupakanlah," Ki Jasuri yang menyambuti. "Di antara sesama manusia, memang musti tolong-menolong."

"Kalau begitu, kami pamit dulu, Ki, Nyi," pamit Dewa Arak buru-buru. "Masih ada urusan yang akan kami selesaikan."

"Oh! Silakan, Dewa Arak," sambut Ki Jasuri. "Tapi jangan lupa, singgahlah kemari nanti."
"Akan kuusahakan, Ki," sahut Arya Buana tak berani memastikan.

Setelah berkata demikian, Arya Buana dan Melati meninggalkan Lembah Malaikat, diiringi tatapan mata penuh kagum dari Ki Jasuri dan Nyi Pari. Kini bayangan tubuh sepasang pendekar itu lenyap di kejauhan.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar