Eps 25 - Penghuni Lembah
Malaikat
Siang ini suasana di mayapada
panas sekali. Matahari telah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang,
seolah-olah hendak memanggang semua yang ada di permukaan mayapada ini.
"Hhh...!" terdengar
helaan napas panjang.
Tampak seorang gadis yang
berambut panjang, tengah mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher dengan
saputangan. Sebentar kepalanya menengadah ke atas. Sorot matanya memancarkan
kejengkelan terhadap bola raksasa yang menyilaukan di atas sana.
Gadis itu memiliki wajah
cantik bukan main. Kulit wajah, leher, dan punggung tangannya yang tidak
ter-bungkus pakaian putihnya tampak putih, halus, dan mulus. Sehingga kian
menambah kecantikannya. Apalagi dandanan rambutnya yang terurai sampai ke bawah
bahu.
Dengan langkah tenang dan
penuh percaya diri, gadis berpakaian putih itu memasuki sebuah kedai. Sejenak
langkahnya tertahan di ambang pintu, memperhatikan suasana dalam kedai.
Ternyata kedai itu cukup ramai
oleh pengunjungnya. Dari sekian meja yang terdapat di sana, hanya dua yang
masih kosong.
Gadis berwajah cantik itu
melangkah menghampiri meja yang masih kosong. Tidak dipedulikannya pandang mata
liar dari semua pengunjung kedai. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang
bersuit-suit.
Tapi, gadis itu sama sekali
tidak peduli. Dia tahu kalau sebagian besar orang yang berada di dalam kedai
ini adalah tokoh persilatan. Hal itu bisa diketahui dari gerak-gerik, dan
senjata yang tersandang.
Maka, dimakluminya saja semua
itu. Selama dirinya tidak diganggu, dia akan bersikap wajar saja. Begitu
keputusan yang diambilnya.
Tenang dan penuh percaya diri
gadis itu duduk di kursinya. Dengan hati-hati, pedangnya yang sejak tadi
tersampir di punggung diletakkan di atas meja. Jelas, gadis ini adalah seorang
tokoh persilatan pula. Sepasang matanya yang tajam, dan sesekali tampak
mencorong, kian memperjelas dugaan itu.
Seorang bertubuh pendek,
gemuk, dan berperut gendut melangkah tergopoh-gopoh menghampiri gadis
berpakaian putih itu. Usianya sukar ditaksir. Wajahnya yang tembem, memang
menyulitkan orang untuk memperkirakan usianya. Tapi yang jelas, tak kurang dari
tiga puluh lima tahun.
"Mau pesan apa,
Nisanak?" tanya laki-laki berperut gendut ramah. Rupanya, dia adalah
pemilik kedai ini.
"Ayam panggang dan teh
manis, Ki...," sahut gadis berpakaian putih itu.
"Randu...," potong
laki-laki bertubuh pendek itu cepat, begitu gadis berpakaian putih itu
menghentikan ucapannya.
Gadis berambut panjang itu
tersenyum manis. "Aku Melati...."
"Akan segera kuambil
pesananmu, Nini Melati," kata Ki Randu yang merasa senang mendapat
sambutan yang begitu baik dari seorang gadis berwajah begitu cantik jelita
laksana bidadari.
Setelah berkata demikian,
pemilik kedai itu segera beranjak untuk menyediakan pesanan gadis berpakaian
putih itu. Dia ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Tunggu sebentar,
Ki...."
Cegahan Melati membuat pemilik
kedai itu meng-hentikan langkah, dan memalingkan wajahnya.
"Ada yang bisa kubantu,
Ni?" tanya Ki Randu seraya menghampiri gadis berpakaian putih itu.
"Apakah kau pernah
melihat seorang pemuda berambut putih keperakan lewat sini, Ki? Pakaiannya
ungu, dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak," kali ini ucapan
Melati terdengar pelan.
Mungkin dia tidak ingin ada
orang lain yang mendengar pertanyaannya kecuali laki-laki berperut gendut itu.
Ki Randu mengernyitkan
keningnya sejenak, seakan akan tengah mengingat-ingat. Beberapa saat lamanya
dia bersikap demikian, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali, Ni. Aku
tak melihatnya," suara pemilik kedai ini terdengar penuh penyesalan.
Dan memang, laki-laki bertubuh
pendek itu merasa menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan gadis yang
telah bersikap begitu ramah padanya.
Melati segera mengembangkan
senyum.
"Tidak apa-apa, Ki,"
ujar Melati, seolah-olah me-mahami dengan ketidaktahuan Ki Randu atas
perta-nyaannya. "O, ya. Apa nama desa ini?"
"Desa Garu, Ni."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala.
Ki Randu tidak langsung
berlalu, dan masih berdiri di situ beberapa saat lamanya. Barangkali saja gadis
yang berpakaian putih Itu masih hendak mengajukan pertanyaan.
Baru setelah yakin kalau
Melati tidak bertanya lagi, lalu kakinya melangkah untuk mengambil pesanan
gadis itu.
Tak lama kemudian, Ki Randu
sudah kembali sambil membawa makanan yang dipesan putri angkat Raja Bojong
Gading itu.
Tanpa mempedulikan suasana
sekelilingnya, Melati lalu menyantap pesanannya. Perlahan-lahan sekali, karena
dia sudah terbiasa hidup di istana yang penuh tata krama.
Rupanya, gadis berpakaian
putih itu makan sambil melamun. Hal ini diketahui dari pandangan matanya yang
terpaku pada satu titik. Menilik dari raut wajahnya yang muram, bisa
diperkirakan kalau yang mengganggu pikirannya adalah sesuatu yang menyedihkan
hatinya.
Memang tidak salah! Melati
kini teringat gurunya yang bernama Ki Julaga. Dia telah tewas di tangan
Ruksamurka. Dan di saat dia tengah memikirkan cara membalas dendam pada kakek
yang sakti luar biasa itu, didengar kabar kalau Ruksamurka tewas di tangan Dewa
Arak (Untuk jelasnya, silakan ikuti Serial Dewa Arak dalam episode "Dendam
Tokoh Buangan").
Tapi sampai sekarang melacak
jejak pemuda itu, tetap saja belum diketemukannya. Memang beberapa kali, Melati
berhasil menemukan petunjuk tentang kekasihnya. Tapi setelah sampai di sana,
orang yang dicarinya telah lenyap! Dan kini dia telah kehilangan jejak sama
sekali!
Melati sama sekali tidak tahu
kalau beberapa pasang mata tengah mengawasi semua gerak-geriknya. Dan andaikata
tahu, tidak akan dipedulikannya. Memang dia saat ini tidak berminat terlibat
keributan.
Kematian gurunya yang
mengerikan, dan kegagalan-nya mencari jejak kekasihnya membuat semangat gadis
itu merosot jauh. Saat ini, Melati tengah membutuhkan seseorang untuk
menumpahkan seluruh ganjalan hatinya.
Tak lama kemudian. Melati pun
menyelesaikan makannya. Setelah beristirahat sejenak, buru-buru makanannya
dibayar. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan kedai, diiringi tatapan
berpasang-pasang mata liar yang berada di situ.
***
Tanpa peduli pada sinar terik
matahari yang me-manggang kulitnya yang putih mulus, Melati terus me-langkah.
Kepalanya tertunduk ke bawah. Tampak jelas, betapa loyo dan tidak bersemangat
sikapnya.
Gadis itu sama sekali tidak
peduli pada pandangan orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. Kakinya
terus saja melangkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki
tak jauh di belakangnya. Tapi, gadis berpakaian putih itu tetap saja tidak
peduli.
Selangkah demi selangkah
rumah-rumah penduduk yang semula padat mulai jarang. Kini, Melati telah mulai
melewati tanah lapang luas yang hanya ditumbuhi sedikit rumput dan semak-semak
yang tidak begitu tinggi.
Mendadak langkah-langkah kaki
yang sejak tadi terdengar pelan, kini mulai agak keras dan bertubi-tubi. Tanpa
melihat pun. Melati tahu kalau pemilik langkah-langkah yang sejak tadi
mengikuti kini berusaha me-nyusulnya.
Tak lama kemudian, di hadapan
Melati telah berdiri berjajar empat orang berwajah kasar, mereka semua
memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar dan senyum memuakkan.
"He he he...!"
Seorang di antara mereka yang
bercambang lebat terkekeh-kekeh. Pandangan mata mereka menjilati sekujur tubuh
gadis berpakaian putih itu. Sorot mata mereka bagai seekor serigala kelaparan
yang melihat anak kambing gemuk.
Melati mengangkat kepalanya
yang sejak tadi ditundukkan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam penuh
kemarahan ketika menatap keempat sosok tubuh yang berdiri di hadapannya.
Meskipun sewaktu di ambang pintu kedai hanya mengamati sekilas, tapi bisa
dikenali kalau merekalah yang tadi berada di kedai.
Amarah Melati memang telah
bangkit. Dan seperti biasa, kemarahannya tidak akan reda bila sebelum menemukan
pelampiasan. Maka, sudah bisa dipastikan kalau pertarungan tidak akan bisa
dielakkan lagi.
"Ha ha ha...! Bila
melotot seperti itu, kau malah terlihat lebih cantik, Manis." Seorang yang
berkumis jarang-jarang menggoda kurang ajar. Tangan kanannya sibuk
memilin-milin kumis yang hanya beberapa lembar.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Melati ketika kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Ejekan laki laki
berkumis jarang-jarang itu seperti api disiram minyak tanah.
"Hih...!"
Gigi Melati bergemerutuk
menahan marah. Jari-jari tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar,
diulurkan ke depan. Arahnya jelas pada laki-laki berkumis jarang-jarang.
Melihat hal ini, laki-laki
berkumis jarang-jarang dan ketiga orang rekannya malah tertawa bergelak. Mereka
semua merasa geli melihat tindakan Melati. Jarak antara mereka hanya dapat
dijangkau tangan manusia, yang panjangnya paling sedikit satu setengah kali
ukuran biasa.
Tapi ternyata tawa mereka
kontan terhenti, dan berganti keterkejutan! Ternyata tangan gadis berpakaian
putih itu benar-benar berhasil menangkap leher baju laki-laki berkumis
jarang-jarang.
Mereka tak habis pikir. Salahkah
perhitungan mereka? Sehingga, jarak yang sebenarnya hanya sejangkauan tangan,
terlihat jadi satu setengah jangkauan? Ataukah gadis itu diam-diam melangkah
maju? Tapi, jelas-jelas terlihat kalau Melati sama sekali tidak bergeming dari
tempatnya semula! Mereka sama sekali tidak tahu kalau murid Ki Julaga itu
mengeluarkan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', dalam juluran tangannya tadi.
Tapi ketiga orang itu tidak
bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, begitu Melati telah berhasil
mencengkeram leher baju laki-laki berkumis jarang-jarang itu, secepat itu
ditariknya.
Sebelum keempat orang itu
berbuat sesuatu, tangan kiri Melati telah bergerak menampar ke arah pipi.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring terdengar ketika
telapak tangan yang bentuknya kecil dan halus mendarat di pipi laki-laki
berkumis jarang-jarang beberapa kali.
Melihat dari kepala laki-laki
berkumis jarang-jarang yang berpaling ke sana kemari mengikuti arah tamparan,
bisa diperkirakan kalau tamparan itu keras sekali.
Untung saja Melati mengerahkan
sebagian kecil tenaganya. Kalau sedikit saja ditambah pengerahan tenaga
dalamnya, laki-laki berkumis jarang-jarang itu pasti tewas dengan sekujur
tulang-tulang pipi remuk!
Meskipun begitu, tak urung
darah muncrat keluar dari mulut laki-laki itu. Kedua pipinya langsung bengkak
dan membiru, sehingga membuat sepasang matanya hampir tak terlihat lagi.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan
di hidung, Melati mengayunkan tangan yang mencekal leher baju. Kelihatan pelan
saja gerakan itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki itu terlempar jauh seperti
diseruduk banteng!
Brukkk...!
Dibarengi berdebuk keras,
tubuh laki-laki kasar yang sial itu mendarat di tanah berjarak sekitar enam
tombak dari tempatnya semula.
"Keparat...!"
Laki-laki berkumis jarang-jarang
itu berseru memaki setelah beberapa saat lamanya mengaduh-aduh kesakitan.
Suaranya terdengar aneh, karena pipinya bengkak menggembung. Dan begitu gema
ucapannya habis, dia lalu bangkit berdiri. Kini goloknya langsung dicabut.
Ketiga orang rekannya yang
sejak tadi terdiam seperti terpaku, langsung sadar begitu mendengar makian
rekannya.
"Perempuan liar!
Perempuan tak tahu diuntung...!" maki laki-laki berkumis jarang-jarang
itu. "Kau rupanya tidak suka diperlakukan baik-baik! Kalau begitu maumu,
kuturuti! Jangan menyesal bila kau kami telanjangi dan kami perkosa sampai
mati!"
Sepasang mata Melati langsung
mencorong tajam. Kemarahan amat sangat seketika melanda hatinya.
Dan semua ini terjadi akibat
ucapan lelaki berkumis jarang-jarang itu.
Tapi baik laki-laki berkumis
jarang-jarang maupun ketiga rekannya sama sekali tidak merasa gentar. Mereka
tahu kalau gadis berpakaian putih telah begitu marah. Dan mereka pun tahu kalau
Melati memiliki ilmu kepandaian. Tapi, seberapa sih tingginya kepandaian seorang
gadis yang masih muda? Mustahil kalau gadis ini tidak bisa ditundukkan.
Diiringi pekikan nyaring,
keempat orang itu menyerbu Melati. Karena masih ingin menikmati kemolekan tubuh
putri angkat Raja Bojong Gading itu, mereka tidak menggunakan senjata dalam
serangan ini.
Melati yang telah dilanda
kemarahan, tidak ingin bertindak tanggung-tanggung lagi. Disadarinya kalau
orang-orang macam ini amat berbahaya. Tampak jelas kalau mereka sulit
disadarkan. Kalau dibiarkan hidup pun pasti hanya akan menimbulkan korban bagi
orang lain. Maka gadis berpakaian putih ini bertekad melenyapkan empat orang
itu selama-lamanya.
Tapi sebelum gadis berpakaian
putih bertindak....
"Manusia-manusia tidak
tahu malu! Bisanya hanya mengeroyok seorang wanita!"
Berbarengan terdengarnya
bentakan itu, melesat sesosok bayangan keemasan. Langung dipapaknya serangan
empat orang kasar itu.
Maka sesaat kemudian,
terdengar pekikan-pekikan disusul berpentalannya tubuh-tubuh empat orang
pengeroyok Melati.
Diiringi suara berdebuk keras,
tubuh-tubuh mereka jatuh di tanah. Mereka kontan tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Karena saat tubuh mereka terpental, nyawa mereka pun ikut melayang
"Orang-orang seperti
mereka sudah seharusnya dikirim ke neraka selama-lamanya...," kata sosok
bayangan keemasan itu sambil membalikkan tubuhnya menghadap Melati, setelah
teriebih dahulu mengebut-ngebutkan pakaiannya.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Kisanak," ucap Melati pelan tidak bersemangat.
Tidak nampak adanya
kegembiraan pada wajah Melati, karena mendapatkan pertolongan. Memang, gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak membutuhkannya. Tanpa dibantu pun, dia
mampu melenyapkan keempat orang itu.
"Lupakanlah.
Tolong-menolong antara sesama manusia adalah merupakan hal biasa," elak
sosok tubuh keemasan itu merendah sambil tersenyum lebar.
Dia ternyata seorang pemuda
berwajah tampan. Sebaris bulu-bulu halus dan tipis di atas bibirnya kian
menambah ketampanannya. Pakaiannya indah dan mewah menandakan kalau dia adalah
orang berada. Atau paling tidak, putra seorang pejabat kerajaan. Melati
tersenyum hambar sebagai tanggapannya.
Gadis itu mengenalinya sebagai
orang yang tadi berada di kedai juga.
"O, ya. Siapakah namamu,
Nisanak? Dan mengapa berada di sini? Lalu, hendak ke manakah tujuannya?"
Bertubi-tubi pemuda tampan berpakaian terbuat dari benang-benang emas itu
mengajukan pertanyaan. "Aku Palguna."
"Aku Melati dan tengah
mencari kawanku," sahut Melati mulai agak bersemangat. Sekilas, timbul
harapan di hatinya. Barangkali saja, pemuda tampan berpakaian warna emas ini
mengetahui Dewa Arak berada.
"Kalau boleh tahu...,
siapakah kawanmu itu, Nini Melati?" tanya Palguna sigap. "Dan,
bagaimana ciri-cirinya?"
"Namanya Arya Buana. Dia
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun. Pakaiannya berwarna ungu,
menyandang guci di punggung...."
"Dan memiliki rambut yang
berwarna putih kepe-rakan...?!" potong Palguna.
"Benar! Apakah kau
melihatnya, Palguna?" tanya Melati cepat. Semangatnya kontan bangkit
begitu mendengar sambutan Palguna.
Palguna menganggukkan kepala.
"Di mana, Palguna?"
tanya Melati cepat. Keinginannya untuk bertemu kekasihnya memang sudah
menggebu-gebu.
"Mengenai tempatnya, aku
tidak bisa menunjukkan secara pasti. Dan andaikata kuberitahukan, kau juga
tidak akan mengetahuinya."
"Hm...! Lalu...?"
Suara Melati mulai pelan kembali. Seri di wajahnya pun kontan lenyap.
"Bagaimana kalau kita
pergi bersama-sama ke sana?" usul Palguna.
Melati tercenung sejenak.
Dahinya tampak berkernyit dalam pertanda, kalau tengah berpikir keras.
"Baiklah kalau
begitu," kata gadis berpakaian putih itu setelah beberapa saat lamanya
terdiam. "Tapi, ingat. Kalau kau menipuku... jangan harap akan
membiarkanmu hidup!"
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak. "Siapa sih yang tega menipu seorang gadis
secantikmu, Melati?!"
Sepasang mata Melati berkilat
mendengar ucapan Palguna. Kontan wajah pemuda berpakaian mewah itu berubah.
"Maaf. Aku bukan
bermaksud kurang ajar. Melati," ucap Palguna buru-buru memperbaiki ucapan
sebelumnya. "Aku hanya mengatakan apa adanya."
Melati sama sekali tidak
menanggapinya.
"Kurasa, kita harus
secepatnya menuju tempat ka-wanku itu sebelum dia pergi...," kata Melati,
mengalihkan pembicaraan.
"Kau benar, Melati,"
sambut Palguna cepat.
Lega hatinya melihat Melati
tidak melanjutkan persoalan tadi. Watak gadis berpakaian putih ini memang sukar
diduga.
Setelah berkata demikian,
Palguna segera melesat ke depan. Tahu kalau gadis berpakaian putih itu adalah
seorang persilatan juga, pemuda berpakaian mewah itu tanpa ragu-ragu segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam beberapa kali langkah
saja, dia sudah berjarak belasan tombak dari tempat semula.
Melati hanya menggerakkan
bagian bibir atasnya saja melihat hal itu. Entah apa maksudnya, hanya dia
sendiri yang tahu. Berbarengan kembalinya bibir atasnya ke tempat semula,
tubuhnya pun melesat ke depan.
Luar biasa! Hanya dalam
beberapa kali langkah saja, gadis itu telah hampir berhasil menyusul Palguna
yang telah berkelebat lebih dahulu. Sekejap kemudian. Melati telah berlari mensejajari
Palguna.
Begitu mereka telah berlari
berdampingan. Melati pun mengurangi kecepatan larinya. Gadis itu yakin kalau
seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dikerahkan, Palguna akan
tertinggal jauh.
"Kau.... Kau ternyata
hebat juga, Melati." kata Palguna kaget. Napasnya terdengar memburu. Jelas
kalau seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
"Hm...!' gumam Melati
perlahan.
Kedua orang itu berlari cepat
meninggalkan tempat mereka tadi bertemu. Sama sekali tidak dipedulikan lagi
mayat empat orang kasar yang hendak mengganggu Melati.
2
Melati dan Palguna masih saja
berlari walau suasana gelap menyelimuti bumi. Malam memang telah tiba. Rembulan
yang tampak di langit laksana berbentuk alis seorang gadis manis, tampak begitu
tidak berdaya menerangi persada.
"Apakah sebaiknya kita
beristirahat dulu, Melati?" usul Palguna seraya menolehkan kepala menatap
wajah cantik yang berada di sebelahnya.
Kedua alis Melati hampir
bertautan mendengar usul yang diajukan pemuda berpakaian mewah itu. Meskipun
begitu, langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Sehingga, mau tidak mau
Palguna terus juga berlari kalau tidak ingin tertinggal.
"Baiklah," ucap
Melati memutuskan. "Tapi, di mana tempat berisirahat?"
Sambil berkata demikian, dan
tanpa menghentikan larinya, gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
"Tak jauh di depan kita
ada sebuah rumah kosong. Aku tahu persis, karena pernah tinggal di sana,"
sambut Palguna penuh gairah.
Tampak jelas kalau pemuda itu
ingin sekali beristirahat. Maka begitu mendengar persetujuan Melati, langkahnya
yang semula sudah mengendur jadi cepat kembali.
Ucapan Palguna ternyata bukan
bualan belaka. Tak lama kemudian, pandangan Melati telah tertumbuk pada sebuah
bangunan besar dan megah di kejauhan.
Dalam suasana malam
remang-remang dan lebih cenderung gelap karena di langit hanya diterangi bulan
sabit, bangunan megah itu jadi terlihat menyeramkan. Lebih mirip rumah hantu
daripada rumah manusia!
Karena Melati dan Palguna
berlari mempergunakan ilmu lari cepat, dalam waktu sebentar saja bangunan yang
semula terlihat jauh di depan kini telah dekat.
Melati menghentikan larinya
ketika jarak antara mereka dengan bangunan megah yang dikelilingi pagar tembok
tinggi dan kumuh itu tinggal satu tombak lagi. Melihat Melati berhenti, Palguna
pun menahan langkahnya pula.
"Ada apa, Melati?"
tanya pemuda berpakaian mewah itu ketika melihat Melati memperhatikan
sekeliling bangunan megah di depannya.
"Apakah kau tidak salah,
Palguna? Kita akan beristirahat di tempat seperti ini?" tanya Melati
bernada teguran.
Palguna mengangguk.
"Memangnya kenapa,
Melati?" Pemuda berpakaian mewah itu malah balas bertanya.
"Tidak bisa kubayangkan,
bagaimana di dalam rumah itu, Palguna. Keadaan di luarnya saja sudah demikian
tidak terurus."
"Ha ha ha...! Yang tampak
di luar, belum tentu sama dengan dalamnya, Melati," jawab Palguna setengah
menggurui. "Kujamin, begitu melihat bagian dalamnya kau akan betah tinggal
di sana!"
"Maksudmu...?"
meskipun sudah cukup jelas, tapi Melati masih juga mengajukan pertanyaan.
"Bagian dalam bangunan
itu bersih, Melati. Obor-obornya pun bertengger di sana-sini. Jadi kalau kau
tidak betah gelap, tinggal nyalakan obor-obor itu saja. Beres, kan?"
Melati terdiam.
"Ayolah," ajak
Palguna sambil mengulurkan tangan, memegang tangan Melati untuk mengajak masuk
ke dalam.
"Tidak usah menuntunku,
Palguna," ketus suara gadis berpakaian putih itu seraya menepiskan tangan
pemuda berpakaian mewah yang akan menggandengnya. "Aku bukan
kambing!"
"Maaf. Maaf," Palguna
buru-buru meminta pengertian, sebelum amarah putri angkat Raja Bojong Gading
itu kian menjadi-jadi. "Aku lupa diri karena ingin buru-buru menunjukkan
bagian dalam bangunan ini "
"Lupakanlah,
Palguna," Melati mengulapkan ta-ngannya. Jelas kalau tidak ingin
memperpanjang masalah itu.
Palguna tidak berani bersikap
sembrono lagi. Dia pun mendahului melangkah masuk gerbang yang sudah memiliki
pintu.
Melati melangkah mengikuti di
belakang Palguna. Pemuda berpakaian mewah itu kelihatan melangkah tanpa memperhatikan
sekelilingnya. Namun, Melati malah bersikap waspada. Pendengarannya dipasang
setajam mungkin. Sekujur urat syaraf dan ototnya pun menegang, bersikap
menghadapi segala kemungkinan.
Tapi ternyata semua kecurigaan
Melati sama sekali tidak beralasan. Sampai mereka melewati halaman depan yang
cukup luas, dan tiba di teras bangunan itu, sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Krittt...!
Suara bergerit tajam terdengar
ketika Palguna mendorongkan daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan
berukir. Menilik dari bunyinya, sudah bisa diketahui kalau daun pintu itu sudah
lama tidak dipergunakan.
Begitu daun pintu terkuak,
Palguna segera melangkah masuk ke dalam diikuti Melati. Suasana gelap menyergap
begitu daun pintu itu tertutup kembali.
Tentu saja hal ini membuat
Melati tegang. Di tempat gelap seperti ini, pandangan matanya sama sekali tidak
berguna. Yang diandalkan hanya pendengarannya untuk berjaga-jaga terhadap
serangan gelap yang datang.
Ketegangan yang melanda Melati
tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berdetak dari
beradunya dua buah batu disusul memerciknya bunga-bunga api, sehingga, keadaan
sekelilingnya agak terlihat, meskipun hanya sekejap.
Tanpa melihat pun, Melati
tahu, siapa yang mengadu batu-batu itu. Siapa lagi kalau bukan Palguna? Pemuda
berpakaian mewah itu ternyata tengah sibuk membuat api untuk menyalakan obor.
Tak sampai tiga kali
membenturkan batu, suasana di sekitar tempat itu sudah terang benderang oleh
obor yang teipampang di dinding dekat pintu.
Palguna mengulurkan tangan dan
mengambil obor itu.
"Mari, Melati. Kita cari
kamar-kamar yang paling baik untuk tempat beristirahat...."
Langkah gadis berpakaian putih
itu terhenti ketika mendengar ucapan Palguna. Dalam jilatan sinar obor yang
cukup terang, terlihat kalau wajah Melati menegang. Sementara sepasang matanya
pun berkilat-kilat.
"Maksudmu.... Kita
tinggal dalam satu kamar, Palguna? Kau kira aku wanita apa?!" kata Melati.
Suaranya bergetar, karena tegang.
Ada nada kemarahan dalam
ucapan gadis itu. Sudah dapat dipastikan, kalau saja Palguna mengangguk, gadis
berambut panjang itu akan menyerang kalang kabut.
Palguna bukan orang bodoh.
Jelas dia menangkap adanya kemarahan dalam ucapan itu.
"Jangan salah mengerti,
Melati," ucap Palguna buru-buru. "Tentu saja, tidak demikian. Kau
salah mengartikan ucapanku tadi."
"Hhh...!" Melati
menghela napas berat. "Maafkan aku, Palguna. Aku terlalu cepat terbawa
amarah."
"Tidak mengapa.
Lupakanlah," sambut pemuda berpakaian mewah itu bijaksana.
Sebuah senyum lebar tampak
mengembang di bibir Palguna. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak tersinggung
atas sikap kasar Melati.
"Mari kutunjukkan kamar
untuk beristirahat."
Setelah memperhatikan satu
demi satu kamar yang ada di bangunan itu, Melati memilih sebuah kamar yang
berada di tingkat dua. Sementara Palguna memilih sebuah kamar di sebelahnya.
"Ah…!"
Sebuah desah kelegaan keluar
dari mulut Melati ketika tubuhnya direbahkan di pembaringan. Kemudian sepasang
matanya dipejamkan. Tak lama kemudian, desah napas Melati pun mulai pelan dan
teratur.
Tapi baru juga mulai terlelap,
sebuah suara men-desing yang tidak begitu keras, telah membuat Melati terjaga.
Cepat laksana kilat, gadis itu melompat dari pembaringan dan bergulingan di
lantai.
Cappp...!
Benda yang ternyata sebatang
ranting sepanjang sejengkal, menghunjam di dinding bagian atas sampai
setengahnya lebih.
Melati sempat tersentak
melihat kehebatan tenaga dalam orang yang melemparkan ranting itu. Buktinya,
ranting sebesar kelingking itu mampu menembus tembok yang keras! Kalau saja
tidak bertindak sigap, mungkin gadis itu sudah celaka tadi!
Alis Melati hampir bertautan
ketika melihat ada kelainan pada ranting itu. Pada bagian tengahnya nampak
tergantung segulungan kain yang terikat.
Perasaan heran dan ingin tahu
membuat Melati bangkit dari berbaringnya. Diperhatikannya suasana sekelilingnya
sejenak. Baru setelah diyakini tidak ada bahaya yang akan mengancam, gadis
berpakaian putih itu berjalan menghampiri tempat ranting itu tertancap.
Meskipun yakin kalau keadaan
telah aman, Melati tetap tidak menghilangkan kewaspadaan. Sambil melangkah
mendekati tempat ranting, matanya diedarkan ke sekeliling. Ada sebuah
kesimpulan yang didapat. Ranting itu diluncurkan lewat jendela yang daunnya
terbuka!
Hanya dengan mengerahkan
sebagian tenaga da-lamnya, Melati segera mencabut ranting itu. Mudah saja dia
melakukannya.
Sambil tetap mengedarkan
pandangan ke daun Jendela, Melati mengambil gulungan kain itu, lalu membukanya.
Dan seperti yang sudah diduga, tampak tertera huruf-huruf di atas gulungan kain
itu. Melati pun membacanya dalam hati.
Cepat tinggalkan tempat ini
kalau kau masih sayang dirimu. Ada bahaya besar yang tengah mengancammu. Maaf,
hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa membantu lebih jauh.
Dahi melati berkernyit membaca
pesan yang terkandung dalam gulungan kain itu. Benarkah apa yang dikatakan
pengirim surat ini? Benarkah ada bahaya besar yang tengah mengancamnya? Tapi
kalau ingin memberitahukan ada bahaya, kenapa musti mengirim serangan maut.
Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak?
Berpikir hal itu, membuat
Melati melayangkan pandangan kembali ke pembaringan. Seketika itu juga hatinya
tersentak tatkala pandangannya dialihkan ke arah tempat ranting itu terhunjam.
Letak tertancapnya ranting
terlalu tinggi. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak. Sementara,
tinggi pembaringan itu tidak sampai setengah tombak. Begitu bodohkah orang yang
telah mengirim serangan gelap itu? Padahal menilik hunjaman pada dinding, bisa
diperkirakan kalau orang yang telah mengirim serangan itu adalah tokoh lihai!
Tentu saja Melati tidak begitu
mudah percaya. Meskipun begitu, peringatan tadi sama sekali tidak
di-kesampingkan. Gadis berpakaian putih itu mengambil jalan tengah, yang
diyakininya benar. Dia akan tetap berada di dalam bangunan ini, tapi tetap
waspada penuh.
Dengan bertindak seperti itu,
Melati mendapat dua buah keuntungan. Kalau peringatan itu memang benar, dia
telah bersiap-siap menghadapi bahaya yang datang mengancam. Sedangkan andaikata
tidak benar dan merupakan perangkap, dia tidak masuk perangkap yang dipasang
pengirim pemberitahuan itu.
Melati menghela napas lega
setelah mengambil keputusan. Setelah menyimpan gulungan kain yang berisikan
pesan untuknya, kakinya melangkah menghampiri jendela dengan kewaspadaan penuh.
Tapi sampai Melati menutupkan
jendela yang da-unnya terbuka, tidak terjadi apa-apa.
Gadis berpakaian putih itu
kembali ke pembaring-annya dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah
orang yang telah mengirimkan peringatan itu? Benarkah ada bahaya mengancam?
Dengan adanya kejadian tadi,
Melati tidak ingin lertidur kembali. Memang, dia kembali menghampiri
pembaringan. Tapi tidak untuk tidur, melainkan bersemadi.
Gadis berpakaian putih itu
lalu duduk bersila. Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dengan jari-jari
terbuka dipertemukan di depan dada. Sementara arah ujung-ujung jarinya menuding
ke langit.
Tak lama kemudian, putri
angkat Raja Bojong Gadis itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini
yang
Daun pintu itu dihajar dari
luar. Dan pada saat itulah dari balik pintu yang tertutup rapat terlihat
sesosok bayangan hitam melangkah masuk. Melati terkejut bukan main melihat hal
ini!
Belum berapa lama tenggelam
dalam keheningan semadinya, pendengaran Melati yang tajam mendengar adanya
suara pelan dari luar pintu. Kalau saat itu Melati tidak tengah bersemadi,
mungkin tidak akan mendengarnya. Dari sini saja, bisa diketahui kelihaian
pemilik langkah itu.
Tanpa menunggu waktu lebih
lama lagi, gadis ber-pakaian putih itu langsung menghentikan semadinya.
Benaknya sibuk menduga-duga. Siapakah orang itu? Yang pasti, bukan Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu tidak memiliki kepandaian sampai setinggi pemilik
langkah itu!
Ringan tanpa suara, Melati
melompat turun dari pembaringan dan berjalan mendekati pintu. Tapi belum juga
tiba di sana, mendadak....
Brakkk...!
Daun pintu itu hancur
berkeping-keping. Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang.
Gadis itu segera melompat ke belakang. Dan pada saat itulah dari balik pintu
yang tertutup rapat, melesat sesosok bayangan hitam.
Dalam suasana kamar Melati
yang remang-remang, karena hanya ada obor kecil yang dipancarkan di dinding
ruangan, tampak samar-samar sosok tubuh yang tengah menghancurkan pintu itu.
Sosok bayangan itu bertubuh
tegap. Kulit wajahnya coklat, dipenuhi kumis dan cambang bauk lebat.
Melati tidak bisa
memperhatikan lebih lama lagi karena laki-laki berpakaian hitam itu langsung
melancarkan serangan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.
Melati tidak berani bertindak
ceroboh. Dari angin berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang bauk lebat itu.
Itulah sebabnya, gadis
berpakaian putih itu cepat melempar tubuh ke pembaringan.
Laki-laki berpakaian hitam itu
menggeram keras begitu melihat serangannya dielakkan lawan. Tapi secepat itu
pula dilancarkan serangan susulan lain. Kali ini, berupa hentakan kedua tangan
yang terkepal ke arah tubuh Melati di pembaringan.
Wuttt...! Brakkk...!
Pembaringan itu hancur
berkeping-keping terkena pukulan jarak jauh yang dilancarkan laki-laki
bercambang bauk lebat. Untung Melati telah lebih dulu melenting menjauhi
pembaringan.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya hinggap
di tanah, secepat itu pula Melati mempersiapkan ilmu andalan. Ilmu 'Cakar Naga
Merah'! Kedua tangannya memerah sampai sebatas pergelangan ketika jari-jarinya
dikembangkan membentuk cakar naga. Sekarang, gadis berpakaian putih itu telah
siap menghadapi serangan lanjutan.
"Haaat...!"
Sambil mengeluarkan pekikan
mengguntur yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, laki-laki
berpakaian hitam itu kembali menyerang Melati. Sementara gadis itu kini telah
bersiap langsung menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun terjadi.
Pertarungan antara kedua orang
itu ternyata hebat bukan kepalang. Suara angin berciut dan mencicit ikut
menyemaraki pertarungan. Udara seperti terobek oleh setiap serangan yang
dilancarkan.
Karena kedua tokoh yang
bertarung sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, maka pertarungan
itu berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, pertarungan telah berlangsung
lima puluh jurus. Dan selama itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda yang akan
keluar sebagai pemenang.
Melati menggertakkan gigi.
Rasa penasaran yang amat sangat menggayuti dada. Dia yakin, lawannya sanggup
dikalahkan. Karena, dia memang lebih unggul dalam segala hal. Baik dalam hal
ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Tapi tempat
pertarungan yang sempit
membuatnya sedikit mengalami
kesulitan. Memang ilmu 'Cakar Naga Merah', membutuhkan tempat luas untuk dapat
berkembang.
Ada satu tambahan lagi yang
membuat Melati ke-sulitan mengalahkan lawan. Rasa khawatirnya kalau bangunan
ini roboh bila seluruh kemampuannya dikerahkan, membuat serangan gadis ini jadi
setengah-setengah.
Memang, keadaan ruangan itu
sudah semrawut. Semua perabotan yang berada di situ tetah porak-poranda.
Dinding-dinding bangunan pun telah retak di sana-sini. Kalau pertarungan itu
berlangsung terus, tidak mustahil bangunan itu akan runtuh.
"Hih...!"
Mendadak laki-laki berpakaian
hitam itu mengger-takkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang.
Melati yang ingin membekuk
lawan, tidak ingin memberi kesempatan. Dia ingin tahu, alasan laki-laki
bercambang bauk itu menyerangnya. Maka, gadis berpakaian putih itu pun segera
melesat memburu.
Tapi, rupanya laki-laki
berpakaian hitam itu sudah memperkirakannya. Terbukti ketika tubuhnya berada di
udara, kedua tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan kembali,
tangan itu bergerak mengibas.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring,
diikuti berkeredepnya beberapa buah benda berkilau yang tidak lain pisau
terbang, meluncur cepat ke arah tubuh Melati.
Putri angkat Raja Bojong
Gading ini terperanjat. Serangan seperti ini memang sama sekali di luar
dugaannya. Dan hal ini terjadi karena nafsunya terlalu terburu untuk merobohkan
lawan. Tapi meskipun begitu, Melati tidak menjadi gugup karenanya.
Untuk mengelakkan serangan
memang merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Tubuhnya tengah berada di udara
saat ini. Tidak ada tempat yang dapat dijadikan landasan untuk mengelak.
Menggeliatkan tubuh pun tidak mungkin, karena pisau-pisau terbang itu meluncur
berjajar.
Jalan satu-satunya hanyalah
menangkis serangan itu. Maka dengan kecepatan gerakan seorang ahli pedang,
dalam sekejapan mata Melati telah menghunus pedangnya. Langsung disabetnya
pisau-pisau terbang itu.
Trang, bang, trang...!
Dentang nyaring suara benda
logam beradu seketika terdengar. Maka pisau-pisau terbang itu pun berpentalan
tak tentu arah.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam itu. Tubuhnya
melesat ke arah pintu. Rupanya, dia tahu gelagat kalau gadis berpakaian putih
itu tak akan bisa dikalahkannya. Maka, ia memilih kabur sebelum mari konyol!
3
"Hup...!"
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, Melati segera bergerak mengejar. Tapi begitu tiba di ambang pintu,
langkah kakinya dihentikan. Suasana di luar ternyata gelap. Jadi, tidak ada
gunanya melakukan pengejaran dalam kadaan gelap.
Untuk sesaat, benak gadis
berpakaian putih itu berputar sebelum akhirnya teringat pada Palguna.
Melati terjingkat bagai
disengat kalajengking ketika teringat pemuda berpakaian mewah itu. Ya! Siapa
tahu Palguna pun mendapat serangan serupa. Menilik dari kepandaian laki-laki
bercambang bauk lebat itu, bisa diperkirakan kalau Palguna bukan tandingannya.
Teringat akan Palguna membuat
Melati kembali ke kamarnya. Dijumputnya obor kecil yang terpancang di dinding
Dan dengan obor di tangan, gadis itu keluar dari kamarnya. Tujuannya sudah
jelas. Kamar Palguna!
Melati melangkah, bersikap
waspada penuh. Pen-dengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat menangkap
suara sekecil apa pun.
Selangkah demi selangkah gadis
berpakaian putih itu melangkah maju. Dan dengan demikian, selangkah demi
selangkah pula, jaraknya dengan kamar Palguna semakin dekat
Hampir Melati terpekik ketika
melihat pintu kamar Palguna! Ambang pintu itu kini sudah tidak memiliki daun
lagi. Sehingga, sinar obor yang terpancang di dinding kamar membias sampai ke
depan kamar.
Dengan perasaan khawatir,
putri angkat Raja Bojong Gading ini melangkah menghampiri. Meskipun keinginan
untuk segera mengetahui nasib Palguna demikian menggebu-gebu namun masih bisa
ditahannya. Disadari kalau sikap sembrono dan buru-buru malah akan mencelakakan
dirinya.
Tapi lagi-lagi kekhawatiran
Melati sama sekali tidak terbukti. Sampai di ambang pintu kamar Palguna, tidak
ada kejadian apa pun yang menimpa.
"Palguna...!" jerit
Melati keras oleh perasaan kaget ketika melihat tubuh pemuda berpakaian mewah
itu tergeletak di lantai.
Setelah berkata demikian,
Melati bergerak meng-hampiri tubuh Palguna. Meskipun begitu, kewaspadaan gadis
itu sama sekali tidak berkurang. Sepasang matanya beredar ke sekeliling ruangan
itu.
Walau hanya sekilas, tapi
cukup bagi Melati untuk mengetahui keadaan kamar ini. Yang jelas tak berbeda
dengan kamarnya. Porak-poranda! Jelas, kalau di tempat ini telah terjadi sebuah
pertarungan sengit.
Dengan sepasang mata yang tetap
memperhatikan suasana sekelilingnya, Melati berjongkok begitu telah berada di
dekat tubuh Palguna yang tergolek. Gadis berpakaian putih itu ingin memeriksa
keadaan Palguna.
Di saat itulah, tanpa
diduga-duga, tangan Palguna bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Tambahan
lagi, jaraknya terlampau dekat dengan Melati. Lagi pula, hal ini sama sekali
tidak disangka-sangka. Maka, kejadian yang terjadi pun seperti yang sudah
diduga.
Tukkk...!
Telak dan tepat sekali jari
telunjuk Palguna menotok jalan darah di bahu kanan Melati. Kontan tubuh gadis
berpakaian putih itu pun terkulai lemas, seperti sehelai karung basah.
Kini Melati tidak berdaya
lagi. Sekujur tubuhnya lemas seketika.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak
seraya bangkit berdiri, begitu tubuh Melati merosot dan jatuh di lantai. Dalam
keremangan sinar obor, wajah pemuda berpakaian mewah itu ternyata terlihat
menyeramkan.
"Palguna! Apa yang kau
lakukan?!" tanya Melati keras. Ada nada kemarahan dalam pertanyaan yang
lebih mirip teguran itu.
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa
bergelak. Karuan saja hal itu membuat kemarahan Melati semakin berkobar. Tapi,
apa dayanya sekarang? Jangankan menyerang, menggerakkan ujung jari pun tidak
mampu!
"Kau belum mengerti juga,
Manis?" Palguna malah balas bertanya.
Kali ini tampak jelas
kekurangajaran baik pada suara maupun sikap pemuda itu. Sungguh berbeda dengan
sikap yang ditunjukkan sebelumnya.
"Hanya satu hal yang
telah kumengerti sekarang...," pelan, tapi tajam ucapan Melati.
"Apa itu. Manis?" tanya
Palguna ingin tahu.
"Kau adalah seekor
serigala berbulu domba! Seorang pengecut yang tidak berani berhadapan langsung
denganku!" tandas Melati tegas. "Masih lebih baik empat orang yang
menghadangku kemarin!"
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa.
Menilik gerak-geriknya, tampak kalau dia tengah dilanda perasaan gembira. Tapi,
mendadak saja tawa itu dihentikan.
"Rupanya hanya wajahmu
saja yang cantik. Manis. Tapi, otakmu bebal! Tidakkah kau duga kalau semua ini
sudah kurencanakan?!"
Wajah Melati kontan berubah
hebat.
"Maksudmu...?"
"Empat orang yang
menghadangmu adalah suruh-anku! Dengan cara itu, bagiku mudah untuk dapat
berkenalan denganmu dan memancingmu kemari!"
Palguna menghentikan ucapan
sejenak untuk me-narik napas.
"Terus terang, aku tidak
berani menantangmu secara langsung. Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi.
Kalau aku memang, tidak menjadi masalah karena langsung bisa menangkapmu. Tapi
kalau aku kalah? Itulah sebabnya, aku menyerangmu secara menyamar menjadi orang
bercambang bauk lebat."
"Jadi.... Orang
berpakaian hitam itu kau?!" tanya Melati, kaget.
"Kau tidak menyangka
bukan?!" ejek pemuda berpakaian mewah itu, merasa menang.
Melati terdiam. Kini jelas
sudah kalau semua itu sudah direncanakan Palguna secara rapi. Seketika itu
pula, ingatan gadis berpakaian putih itu melayang pada pesan yang diberikan
orang yang tidak diketahui tadi. Satu hal yang diketahuinya adalah, orang yang
mengirim pesan itu telah
mengetahui akan adanya bahaya
yang mengancam. Ini berarti orang yang mengirim pesan itu tahu tentang Palguna.
"Satu hal yang perlu kau
ketahui, Manis," sambung Palguna lagi "Aku telah tahu, siapa adanya
orang yang kau cari itu. Bukankah Dewa Arak?!"
Pemuda berpakaian mewah itu
menghentikan ucapannya untuk menunggu jawaban Melati. Tapi, ternyata gadis
berpakaian putih itu sama sekali, tidak menanggapinya. Palguna yang tengah
mabuk kemenangan, sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memang tidak
membutuhkan jawaban gadis itu.
"Aku telah dapat menduga,
siapa orang yang kau cari, sewaktu kau menanyakannya pada laki-laki gendut
pemilik kedai. Pertanyaanmu itulah yang mendorongku untuk merencanakan semua
ini. Dari pertanyaan itu, bisa kutebak. Kalau kau adalah wanita yang kudengar
selalu bersama Dewa Arak! Itulah sebabnya, aku bersikap hati-hati. Sungguh sama
sekati tidak kusangka-sangka kalau sekali bertindak, aku langsung mendapat dua
umpan. Kau, dan Dewa Arak!"
"Apakah kau mempunyai
urusan dengan Dewa Arak?!" tanya Melati dengan suara kering.
Disadari kalau seorang seperti
kekasihnya lebih banyak mempunyai musuh daripada teman. Tak terhitung sudah,
lawan-lawan pemuda berambut putih keperakan itu terbunuh. Padahal setiap lawan
yang dibunuh, sudah pasti mempunyai guru, murid, atau kerabat yang akan
mendendam karena kematiannya.
Palguna menganggukkan kepala.
"Lalu... mengapa kau
menawanku?" pancing Melati.
"Ha ha ha...! Ada dua hal
yang membuatku mena-hanmu, Manis," jawab pemuda berpakaian mewah itu.
"Apa itu?" tanya
Melati sekenanya.
Gadis berpakaian putih ini
berusaha mengulur-ulur waktu selama mungkin. Dan selama mengajak pemuda
berpakaian mewah itu berbicara, tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan
jalan darah yang tertotok.
"Pertama, karena kau
dapat kugunakan untuk memancing Dewa Arak. Dan kedua, ini yang penting. Wajahmu
yang cantik molek dan tubuhmu yang menggiurkan, dapat kumanfaatkan selama
menunggu kedatangan Dewa Arak."
Terdengar suara menggertakkah
dari mulut Melati ketika mendengar ucapan terakhir Palguna.
"Kalau kau berani
menyentuh tubuhku... akan kuhancurkan semua tulang tubuhmu!" pelan dan
bergetar ucapan yang keluar dari mulut Melati. Jelas kalau perkataan itu
dikeluarkan penuh perasaan.
Orang seperti Palguna mana
bisa ditakut-takuti? Apalagi pada saat itu tengah dirasuki nafsu! Pemuda
berpakaian mewah itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman gadis berpakaian
putih itu.
"Kau kira, orang
sepertiku bisa kau takut-takuti, Manis? Keliru besar kalau menyangka
begitu."
Wajah Melati pucat pasi.
Seketika, rasa takut yang amat sangat terhadap sesuatu yang mengerikan melanda
pada dirinya. Putri angkat Raja Bojong Gading yang belum pernah mengenal rasa
takut, untuk pertama kalinya dilanda perasaan takut yang hebat.
"Jangan harap akan bisa
mati enak, apabila berani menyentuh tubuhku, Palguna," dalam cekaman rasa
takut yang memuncak, hanya ancaman yang bisa dilakukan Melati.
Seperti juga sebelumnya,
ancaman Melati yang kali ini pun hanya ditanggapi tawa bergelak Palguna. Dan
seiring selesai tawa itu, tangan pemuda berpakaian mewah itu mulai terulur.
Palguna rupanya memang hendak
membuat hati Melati tersiksa oleh rasa takut menggelegak. Walaupun nafsu yang
bergelora dalam dadanya mendesak-desak untuk melampiaskan hasrat tapi hal itu
tidak langsung dilakukannya.
Tangan Palguna hinggap di dahi
Melati yang mulus, kemudian perlahan-lahan merayap turun ke pelipis, pipi,
mulut, dan beranjak ke leher. Selama tangan pemuda berpakaian mewah itu
berkeliaran, Melati tak henti-hentinya berteriak memaki. Deru napasnya bersaing
dengan deru napas Palguna. Hanya saja, napas Palguna memburu karena dilanda
nafsu. Sedangkan napas Melati karena cekaman rasa takut yang bergelora.
Kini tangan Palguna telah tiba
di leher. Dan sekali tangan itu bergerak turun dan merenggut pakaian, nasib
Melati selanjutnya sudah bisa diduga.
Melati pun menyadari hal itu.
Suaranya sudah serak karena terlalu banyak melontarkan ancaman yang sama sekali
tidak ditanggapi Palguna. Karena cekaman rasa takut yang memuncak akan
terjadinya sesuatu yang mengerikan, tanpa sadar tetes-tetes air bening menggulir
turun di pipinya yang putih.
Meskipun suasana
remang-remang, tapi Palguna tentu saja melihat. Hatinya pun semakin gembira.
Memang aneh watak orang-orang jahat. Dia akan senang melihat orang lain
menderita. Semakin besar penderitaan yang dialami orang lain, semakin gembira
hatinya.
Mendadak gerakan tangan
Palguna terhenti. Ke-palanya pun menoleh ke belakang. Sikapnya tampak waspada
sekaii, karena mendengar adanya suara mencurigakan di belakangnya.
Melati yang sama sekali tidak
mendengar apa pun karena tenggelam oleh rasa takut yang menggelegak, mencoba
memasang pendengarannya. Padahal, air matanya masih menganak sungai di pipinya.
Palguna benar! Ada seseorang
yang berada di luar kamar. Mudah-mudahan saja, orang itu bukan kawan Palguna.
Itu harapan Melati. Mendadak saja terlintas dugaan di benaknya. Apakah orang
yang berada di luar kamar itu adalah orang yang telah mengirim pesan untuknya?
"Keparat...! Berarti kau
mempermainkan aku, Pe-ngecut...!"
Palguna yang merasa geram
karena kesenangannya terganggu, membentak keras seraya bangkit berdiri. Dia
lalu melangkah keluar ruangan dengan sikap hati-hati.
Tapi sebelum berhasil ke
ambang pintu, dari balik dinding sebelah kanan melesat sesosok bayangan. Cepat
bukan main gerakannya. Sehingga ketika melewati pintu, hanya berupa sekelebat
bayangan hitam saja.
"Hei...!"
Palguna segera melesat
mengejar. Tapi, ternyata sosok bayangan itu memiliki gerakan gesit. Sehingga,
dalam beberapa kali lesatan saja, sudah lenyap di keremangan rumah itu.
"Keparat...!" maki Palguna
dengan kegeraman yang tampak jelas dalam suaranya. Dengan obor di tangan,
kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari sosok bayangan hitam tadi.
Mendadak langkah pemuda itu
terhenti ketika teringat sesuatu. Melati! Jangan-jangan sosok bayangan itu
telah menipunya, kemudian membawa lari tahanannya.
Mendapat dugaan seperti itu,
membuat Palguna khawatir bukan kepalang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan
melesat kembali ke kamarnya.
Palguna tiba di ambang pintu
kamarnya bertepatan dengan melompat masuknya sosok bayangan hitam dari jendela.
Dugaan pemuda berpakaian mewah itu ternyata benar!
Rupanya, sosok bayangan hitam
tidak menyangka kalau Palguna akan kembali secepat itu. Terbukti, dia kelihatan
kaget bukan kepalang. Meskipun tidak tampak jelas karena wajahnya dipenuhi
coreng-moreng arang hitam, tapi dari langkahnya yang secara mendadak berhenti,
tampak jelas perasaan kaget bagai melanda hatinya.
Begitu melihat sosok bayangan
hitam itu, tanpa membuang-buang waktu lagi. Palguna segera meng-hentakkan kedua
kepalannya ke depan. Langsung di-lepaskannya serangan pukulan jarak jauh.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serangan pukulan itu. Bisa diperkirakan kuatnya tenaga yang terkandung
dalam serangan Palguna ini.
Sosok tubuh berwajah coreng-moreng
yang menilik dari bentuk tubuhnya adalah seorang laki-laki, rupanya juga bisa
memperkirakan kedahsyatan serangan itu. Hal ini bisa dilihat dari
ketidakberaniannya memapak pukulan jarak jauh itu dengan pukulan jarak jauh
pula. Bahkan tubuhnya malah dilempar ke samping dan bergulingan.
Dengan mengelaknya laki-laki
berwajah coreng moreng itu, maka serangan pukulan jarak jauh Palguna terus
meluncur ke belakang, jendela yang memang tepat di belakang laki-laki
berpakaian hitam itu kontan terhantam.
Brakkk...!
Jendela itu kontan hancur
berantakan mengeluarkan suara hiruk pikuk memekakkan telinga.
Baik Palguna maupun laki-laki
berwajah penuh coreng-moreng itu sama sekali tidak sempat memper-hatikannya.
Palguna begitu melihat
serangannya berhasil die-lakkan, segera saja menyusulnya dengan serangan berupa
pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan. Jelas, kalau dia
berkeinginan untuk secepatnya merobohkan lawan.
Laki-laki berpakaian hitam itu
tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menangkis. Memang pada saat itu, dia
baru saja bangkit dari bergulingnya. Tidak ada lagi kesempatan mengelak
baginya.
Plak, plak, plak...!
Keras bukan main ledakan yang
terjadi akibat ber-adunya dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga
dalam tinggi. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Ternyata, tenaga dalam kedua orang itu berimbang.
Palguna menggeram menyadari
kalau lawan mampu menandingi tenaga dalamnya. Padahal, tadi seluruh tenaga yang
dimilikinya telah dikerahkan. Apalagi, saat itu hatinya tengah dilanda perasaan
amarah yang menggelora.
Tapi secepat kedudukannya
diperbaiki, secepat itu pula Palguna melompat menerjang lawan.
Sadar akan ketangguhan lawan,
tanpa ragu-garu lagi Palguna mengeluarkan senjata andalan dari pinggang, sebuah
ruyung berbatang tiga. Dan dengan senjata itu di tangan dia meluruk ke arah
laki-laki berpakaian hitam itu.
Kali ini pemuda berpakaian
mewah itu kalah cepat. Laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah lebih dulu
lari meninggalkannya. Dia melesat kabur, melalui jendela yang telah hancur
berantakan. Rupanya begitu tubuhnya terhuyung karena benturan tadi, laki-laki
berpakaian hitam itu memanfaatkannya untuk melesat kabur dari situ.
Palguna segera berkelebat
menyusul ke arah jendela. Dan dengan sikap waspada, kepalanya dilongokkan
keluar. Ditelusurinya suasana di bawah sana dengan pandangan matanya. Tapi
sampai lelah pandangannya beredar, hanya kesunyian yang dilihatnya. Tak
terlihat sepotong makhluk pun di bawah sana.
Dengan wajah masih menampakkan
kemarahan hebat, Palguna melangkah meninggalkan jendela. Dahinya berkemyit
dalam memikirkan laki-laki berwajah coreng-moreng tadi. Siapakah sebenarnya
laki-laki yang ternyata lihai itu? Mengapa berada di sini? Dan mengapa hendak
menyelamatkan tahanannya? Mengapa dia melatikan diri, padahal hanya baru
bertarung segebrakan saja? Bukankah jika bertarung sungguhan belum tentu kalah?
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Palguna.
Dan dengan kepala masih
dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Palguna menghempaskan pantatnya di
pembaringan, setelah menyimpan kembali ruyungnya di pinggang. Dibiarkan saja
Melati terbaring di lantai.
Keinginannya untuk memperkosa
gadis berpakaian putih itu telah berkurang banyak, karena adanya gangguan yang
sama sekali tidak disangka-sangka. Palguna khawatir, laki-laki berpakaian hitam
itu datang lagi di saat dirinya lengah. Dan bila itu terjadi, mungkin dirinya
akan celaka. Laki-laki berwajah coreng-moreng itu terbukti memiliki kepandaian
seimbang dengannya.
Dalam keadaan biasa pun,
Palguna tidak yakin akan bisa mengalahkan laki-laki berwajah coreng-moreng.
Apalagi, kalau dirinya berada dalam keadaan lengah.
Itulah sebabnya, kini Palguna
tidak mengganggu Melati. Pemuda berpakaian mewah itu sibuk berjaga-jaga
terhadap kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang luar biasa.
Kini Palguna tidak tidur. Dia
duduk di atas pem-baringan, bersikap waspada. Sementara benaknya masih dipenuhi
berbagai pertanyaan mengenai laki-laki berwajah coreng-moreng tadi.
4
Palguna merasa waktu begitu
lama sekali berlalu. Seolah-olah, malam begitu lambat seperti seekor keong
merayap. Pemuda itu berusaha keras untuk tidak tertidur, atau berbuat tidak
senonoh terhadap Melati
Hal itu mau tidak mau harus
dilakukan Palguna, karena kekawatirannya atas kedatangan laki-laki berpakaian
hitam yang tangguh.
Bukan hanya Palguna saja yang
tidak ingin tertidur. Melati pun demikian pula. Gadis berpakaian putih itu
tengah menunggu jalan darahnya lancar sendiri. Tapi untuk tidak membuat curiga,
matanya dipejamkan agar disangka tidur.
Sedikit demi sedikit Melati
merasakan jalan darah yang tertotok mulai bebas. Hanya memakan waktu yang tidak
begitu lama lagi, gadis itu akan kembali bebas seperti sediakala.
Namun harapan Melati kandas.
Palguna rupanya bukan orang bodoh. Dia tahu pengaruh totokan itu lama-kelamaan
akan punah sendiri. Apalagi kalau yang ditotok adalah orang seperti Melati yang
memiliki tenaga dalam tinggi.
Pemuda berpakaian mewah itu
bangkit dari pem-baringannya dan kembali menotok Melati, baru kemudian kembali
ke pembaringan lagi dan bersikap waspada.
Palguna sama sekali tidak
menggunakan kesempatan itu untuk berbuat tidak senonoh terhadap Melati. Dan
khawatir akan terlupa, sehingga laki-laki berwajah coreng-moreng muncul, dan
langsung menyerangnya.
Tidak bisa dibayangkan, betapa
dongkolnya hati Melati ketika Palguna kembali menotoknya. Usahanya pun
dihentikan untuk membebaskan pengaruh totokan itu dengan tenaga dalamnya. Dalam
kungkungan rasa kesal itu, Melati memejamkan matanya. Dia bermaksud tidur saja.
Tak lama kemudian, terdengar
desahan halus napas Melati ketika tertidur.
Palguna hanya dapat mengawasi
dengan perasaan dongkol melihat tahanannya dapat tertidur nikmat. Sedangkan
dirinya sibuk berjaga-jaga terhadap kemunculan laki-laki berwajah coreng-moreng
itu. Berkali-kali dalam
penantiannya, pemuda
berpakaian mewah itu memaki sejadi-jadinya.
Tapi sampai matahari muncul di
ufuk Timur dan sorotnya yang lembut menyinari mayapada ini, laki-laki berwajah
coreng-moreng itu sama sekali tidak muncul batang hidungnya.
Karuan saja hal ini membuat
Palguna kian bertambah geram. Sejak malam hingga pagi, matanya turus dipasang
dengan kewaspadaan tidak pernah kendur. Tapi orang yang ditunggu-tunggunya sama
sekali tidak datang. Maka, jengkelnya tidak bisa diperkirakan lagi.
Bukan hanya itu saja. Sejak
malam tadi, beberapa kali ludahnya harus ditelan melihat tubuh molek
meng-giurkan tertidur pulas di lantai. Melati seperti sengaja menantangnya!
Dada gadis berpakaian putih itu terlihat turun naik dalam helaan napas yang
teratur sewaktu tidur.
Perlahan-lahan Melati membuka
sepasang kelopak matanya setelah terlebih dahulu mengerjap-ngerjapkannya.
Melihat gadis berpakaian putih
itu telah bangun. Palguna lalu melompat turun dari pembaringan. Dijumputnya sebuah
rantai baja yang tebal dan kelihatan kuat, yang terletak di bawah pembaringan.
Rantai baja itu berjumlah dua
julur. Panjang masing-masing hampir mencapai setengah tombak. Dan pada
ujung-ujung rantai, terpasang gelang-gelang yang juga terbuat dari baja tebal
dan terlihat kuat.
Dengan sikap kasar, Palguna
memasangkan gelang-gelang baja itu pada pergelangan tangan dan kaki Melati.
Baru setelah itu totokan pada gadis itu dilepaskan.
Melati hanya bisa memaki-maki
dalam hati. Dia sudah bosan melakukannya. Suaranya telah serak dan
tenggorokannya terasa sakit-sakit karena terlalu banyak memaki. Dan gadis
berpakaian putih itu tidak mau menambah penderitaannya dengan memaki-maki
Palguna kembali.
"Bangun, Wanita
Sial!" seru Palguna keras seraya menarik tangan Melati kasar.
"Laki-laki
pengecut...!" Melati akhirnya tidak kuat lagi menahan kemarahan yang
melonjak-lonjak dalam dada. "Kalau kau benar laki-laki, bebaskan aku! Dan
kita bisa bertarung sampai ada yang mati!"
"Kau kira bisa
membodohiku dengan kata-kata usang itu, Wanita Liar?!" sindir Palguna
sinis.
Perasaan tegang sewaktu
berjaga-jaga terhadap kedatangan laki-laki berwajah coreng-moreng, dan rasa
jengkel, membuatnya tidak bisa menyambut ucapan Melati dengan kata-kata bernada
ejekan dan penuh tawa.
Melati terdiam mendengar
sambutan itu.
"Kau tahu, Wanita Sial.
Aku akan menggunakanmu untuk memancing kedatangan Dewa Arak! Tokoh sombong itu
telah berhutang nyawa padaku! Dan, nyawanyalah sebagai tebusannya! Dengan
adanya kau di tanganku, tidak sulit menaklukkan Dewa Arak!" jelas Palguna.
"Kau memang manusia
pengecut, Palguna! Orang sepertimu tidak pantas menjadi manusia. Tapi lebih
pantas sebagai anjing kurap!" maki Melati keras.
"Tutup mulutmu, Wanita
Liar!" bentak Palguna, keras. "Kalau tidak mau menutup mulutmu juga,
kau akan kutelanjangi!"
Merah padam wajah Melati
seketika mendengar ancaman yang tidak senonoh itu. Tapi, rupanya ancaman itu
cukup ampuh. Terbukti gadis berpakaian putih itu tidak berkata-kata lagi ketika
Palguna menyeretnya keluar.
Rupanya bangunan megah yang
terlihat tua itu banyak menyimpan peralatan Palguna. Dari dalam gudang,
dikeluarkan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.
Dengan kasar, Palguna menarik
Melati masuk ke dalam kereta kuda. Sementara, dia sendiri duduk di depan, di
bangku kusir. Khawatir kalau gadis berpakaian putih itu bertindak macam-macam,
pemuda berpakaian mewah itu telah kembali menotok lumpuh Melati.
"Hiya...!
Hiyaaa...!"
Palguna melecutkan cambuknya
ke pantat dua ekor kuda ttu. Seketika itu juga binatang itu mulai bergerak
menarik kereta.
Tanpa diketahui Palguna, di
atas atas gerobak itu nampak tertelungkup sesosok tubuh berpakaian hitam.
Menilik dari kedua telapak tangannya yang dirapatkan pada atap kereta, bisa
diperkirakan kalau tenaganya dikerahkan agar tidak terbanting jatuh. Apalagi,
bila jalan yang dilalui buruk.
5
Seorang pemuda tampan berambut
putih keperakan dan berpakaian ungu melangkah perlahan melalui jalan utama Desa
Gede. Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Menilik
dari ciri-cirinya, sudah bisa ditebak sosok pemuda berambut putih keperakan
itu. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Desa Gede ternyata terhitung
sebuah desa ramai, meskipun saat itu hari sudah agak siang. Jalan utama desa
ini banyak dilalui orang-orang lalu lalang. Setiap orang yang melihat Arya
Buana selalu akan menoleh dengan kening berkemyit dalam. Rupanya, mereka merasa
heran melihat seorang pemuda sudah memiliki warna rambut demikian.
Tapi Arya Buana sendiri
berpura-pura tidak tahu. Dengan sikap tidak peduli dia terus saja melangkah.
Sempat juga terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang menilik gerak-geriknya
adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu silat. Pelan saja. Tapi karena
pendengaran pemuda berpakaian ungu ini memang luar biasa tajam, bukan hal yang
aneh bila ucapan itu bisa didengarnya.
"Mungkinkah dia itu Dewa
Arak...?!" sebuah suara parau dari mulut seorang laki-laki bergigi tonggos
terdengar.
"Kalau melihat ciri-ciri,
tidak salah. Tapi mungkinkah orangnya semuda itu?" jawab kawannya. Dia
pemuda berwajah hitam.
"Tapi menurut berita yang
kudengar, Dewa Arak memang seorang pemuda...," bantah laki-laki bergigi
tonggos lagi
Hanya itu ucapan terakhir yang
terdengar Arya Buana. Itu pun hanya samar-samar saja. Ucapan selanjutnya tidak
tertangkap telinganya lagi Memang, seiring semakin menjauhnya Dewa Arak dari
orang yang mempercakapkannya, suara itu dengan sendirinya semakin tidak
terdengar.
Pemuda berpakaian ungu itu
terus saja melangkah. Sehingga, semakin lama semakin menjauhi tempat orang yang
mempercakapkannya.
"Tuan Dewa Arak...!"
Panggilan keras dari arah
samping membuat Arya Buana menolehkan kepala tanpa sadar. Suara itu terdengar
kecil dan melengking. Jelas, orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang lelaki
yang belum dewasa.
Dari depan sebuah kedai,
tampak berlari-lari seorang anak lelaki. Paling banyak, usianya baru dua belas
tahun. Pakaiannya kumal dan lusuh. Jelas, kalau dia bukan berasal dari keluarga
berada.
Arya Buana tidak melanjutkan
langkahnya, dan hanya berdiri diam menunggu kedatangan anak itu. Ingin
diketahui, mengapa anak itu memanggilnya. Adalah merupakan sebuah hal yang
mengherankan kalau seorang anak bisa mengenal julukannya. Dari manakah anak itu
mengetahuinya? Apakah orang tua anak itu adalah seorang tokoh persilatan yang
telah mendengar julukannya? Macam-macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Tak lama kemudian, anak
berpakaian kumal itu telah berada di dekat Arya Buana. Napasnya terdengar agak
terengah.
"Ada apa?" tanya pemuda
berpakaian ungu dengan suara dibuat sepelan mungkin, agar anak itu tidak
menjadi takut.
"Apakah, Tuan Dewa
Arak?" tanya anak lelaki berpakaian kumal itu. Sepasang matanya tertuju
pada rambut Arya Buana.
"Benar," jawab Arya
Buana sambil menganggukkan kepala. "Kau siapa, Anak Baik? Dan dari mana
tahu julukanku?"
"Namaku Jumadi."
"Jumadi? Nama yang
bagus," puji Dewa Arak. "Nah, Jumadi. Sekarang katakan, dari mana kau
tahu julukanku?"
"Dari orang yang
menyuruhku menitipkan ini," jawab Jumadi polos sambil menyerahkan
segulungan kain pada Arya Buana.
Pemuda berpakaian ungu itu
segera menerima angsuran gulungan kain dengan dada berdebar tegang. Tanpa
melihat pun sudah bisa diketahui kalau di dalam
gulungan kain itu terdapat
pesan. Entah permohonan pertolongan, tantangan, atau ancaman.
"Terima kasih,
Jumadi," ucap Dewa Arak ketika gulungan kain itu telah diterimanya.
Kemudian Dewa Arak menjumput
uang yang ada di buntalan kainnya. Lalu, diberikannya pada bocah lelaki itu.
"Ini untukmu."
"Maaf, Tuan Dewa Arak.
Aku tidak bisa menerimanya," tolak Jumadi sopan.
"Heh...?! Kenapa?"
Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan.
"Orang yang menitipkan
itu telah memberi upah padaku."
"Kalau kau tidak mau
menerima uang ini, aku pun tidak mau menerima gulungan kain ini," gertak
pemuda berpakaian ungu itu seraya mengangsurkan gulungan kain kembali.
Jumadi kebingungan sejenak,
sebelum akhirnya mengulurkan tangan menerimanya.
"Terima kasih,
Tuan," ucap bocah lelaki berbaju lusuh itu.
Arya Buana hanya tersenyum.
Dan dengan dada berdebar tegang, dibukanya gulungan kain itu, dan langsung
dibaca isinya. Sedangkan Jumadi yang rupanya tahu diri, segera beranjak
meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak....
Melati, kekasihmu ada di
tanganku. Silakan datang untuk mengambilnya, bila kau menginginkan dia selamat.
Aku menunggumu di Lembah Malaikat.
"Melati...," desah
Dewa Arak.
Seketika perasaan Arya Buana
resah karena khawatir akan keselamatan kekasihnya. Berbagai macam dugaan
berkecamuk dalam benaknya. Benarkah Melati ditawan orang yang bertempat tinggal
di Lembah Malaikat? Dan di manakah gerangan letak Lembah Malaikat?
Arya Buana menggerakkan
jari-jari tangannya me-remas gulungan kain itu. Kontan kain itu hancur
berkeping-
keping, mengeluarkan suara gemerisik
pelan. Karena, Arya Buana mengerahkan tenaga pada remasannya.
"Jumadi! Tunggu
sebentar...!"
Jumadi yang telah berjalan
sekitar lima tombak, menghentikan langkah dan menoleh.
Hanya sekali langkah, Dewa
Arak telah berada di hadapan Jumadi.
"Kau tahu, siapa orang
yang mengirimkan pesan ini untukku?" tanya Arya Buana tanpa mempedulikan
keheranan bocah berpakaian lusuh itu. Rupanya, Jumadi merasa heran melihat
hanya dengan sekali langkah pemuda berpakaian ungu itu telah berada di
hadapannya.
Jumadi menggelengkan kepala.
"Bisa kau beritahukan
ciri-cirinya?" desak pemuda berambut putih keperakan itu. Dewa Arak memang
ingin mengetahui, siapa sebenarnya orang yang telah mampu menyandera Melati.
Jumadi mengernyitkan dahinya
dalam usaha mengingat-ingat orang yang telah mengirimkan pesan itu untuk Dewa
Arak.
"Orangnya masih muda,
Tuan.... Tampan, berkulit putih, dan berpakaian mewah...."
Sepasang alis Dewa Arak hampir
bertautan mendengar ciri-ciri yang disebutkan bocah berpakaian lusuh itu. Arya
Buana mencoba mengingat-ingat, barangkali saja pernah bertemu orang yang
dimaksud. Tapi sampai lelah mengingat, diyakininya kalau tidak pernah bertemu
orang itu sebelumnya.
"O, ya, Tuan.... Masih
ada lagi titipan untuk Tuan."
Sambil berkata demikian,
Jumadi yang rupanya baru teringat mengambil sesuatu dari balik bajunya.
Kemudian, diangsurkannya pada Dewa Arak.
Wajah Arya Buana langsung
berubah ketika melihat benda yang dipegang Jumadi. Dewa Arak kenal betul
pemilik benda yang ternyata adalah sebuah pita yang berujung bunga melati. Itu
adalah hiasan yang tergantung di pedang Melati! Tidak salah lagi! Kekasihnya
telah ditawan!
Dengan tangan agak gemetar,
Dewa Arak mengambil pita berwarna merah yang di ujungnya tergantung bunga
melati. Ditatapnya bunga itu beberapa saat lamanya. Berbagai macam perasaan
bercampur aduk dalam hati pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa rindu,
cemas, dan marah bercampur aduk menjadi satu.
"Apakah orang itu
memberitahukan padamu, di mana letaknya Lembah Malaikat itu, Jumadi?"
tanya Arya Buana
Jumadi menganggukkan kepala
pertanda membenarkan.
"Orang itu memang
memberitahukannya. Lembah Malaikat terletak di Bukit Jambul. Tuan tahu
letaknya?"
Arya Buana menggelengkan
kepala. Dan memang, sebenarnya dia tidak tahu letak Bukit Jambul itu.
"Orang yang menitipkan
pesan mengatakan. Tuan harus melakukan perjalanan ke arah Timur. Lama
perjalanan ke sana, selama satu hari menunggang kuda. Bukit itu akan tampak
dari kejauhan, Tuan. Warnanya putih. Begitulah keterangan yang diberikan orang
itu."
Arya Buana mengernyitkan
kening. Sungguh tidak diduga kalau perjalanan menuju Lembah Malaikat cukup jauh
juga.
"Terima kasih,
Jumadi."
Setelah berkata demikian, Arya
Buana membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat ini. Dalam
keinginannya untuk segera tiba dan menyelamatkan kekasihnya, pemuda berpakaian
ungu itu langsung mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Hanya sekali
langkah saja, Dewa Arak telah berada dalam jarak sebelas tombak dari tempatnya
semula.
"Wahhh...!"
Jumadi berseru takjub.
Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat dalam sekejapan saja, tubuh
Dewa Arak telah mengecil menjadi sebesar kepalan tangan. Kemudian, akhirnya
lenyap ditelan kejauhan.
Bukan hanya Jumadi saja yang
terperanjat. Orang-orang yang kebetulan melihat pun berdecak penuh kagum.
Arya Buana melakukan
perjalanan cepat. Dia hanya menghentikan larinya apabila kedua kakinya telah
tidak kuat lagi melangkah.
Karena melakukan perjalanan
seperti itu, maka keesokan harinya Dewa Arak telah memasuki mulut sebuah desa
yang terletak dekat Lembah Malaikat.
Dengan rambut kusut masai, dan
kedua kaki yang terasa lelah bukan kepalang, pemuda berpakaian ungu itu
melangkah perlahan memasuki sebuah kedai.
Arya Buana tertegun di ambang
pintu kedai ketika melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa buah meja dan
kursi yang terdapat di situ, tampak kosong dari pengunjung. Hanya ada seorang
pengunjung kedai yang tengah sibuk menyantap makanan.
Dia adalah seorang kakek yang
memiliki kumis dan jenggot sedikit, tapi berwarna putih. Rambutnya panjang dan
berwarna putih pula. Pakaiannya longgar, dan berwarna coklat.
Rupanya kakek berpakaian
coklat itu mengetahui pula, kedatangan Dewa Arak. Buktinya, perhatian pada
santapannya dialihkan. Kemudian kepalanya terdongak.
Terkesiap hati Arya Buana
ketika melihat sepasang mata kakek berpakaian longgar itu. Yang mencorong
tajam, berwarna kehijauan. Mirip mata seekor kucing dalam gelap. Dari sepasang
mata itu saja, sudah bisa diperkirakan kalau kakek itu bukan orang sembarangan.
Dia adalah tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata yang tajam
mencorong itu telah membuktikannya.
Tapi hanya sesaat saja dua
pasang mata yang sama-sama tajam mencorong itu bertemu. Karena, Arya Buana
telah beranjak menuju sebuah meja kosong. Sedangkan kakek berpakaian coklat itu
telah disibukkan kembali oleh makanannya.
"Akan pesan apa,
Den?" tanya seorang kakek kecil kurus berjenggot panjang sopan. Rupanya
dia pemilik kedai itu.
"Arak seguci besar dan
ayam panggang," sebut Arya Buana.
Kakek kecil kurus itu
melangkah ke dalam untuk mempersiapkan pesanan Dewa Arak.
Sambil duduk menanti
pesanannya, Arya Buana mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi, kembali
pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang mencorong tajam dari kakek
berpakaian coklat.
Anehnya, begitu pandangan
mereka bertemu, kakek berpakaian coklat longgar itu menundukkan kepala.
Rupanya, dia tidak ingin diketahui kalau tengah memperhatikan Arya Buana.
Tentu saja sikap kakek itu
membuat Arya Buana merasa curiga, dan seketika itu pula sikapnya berubah
waspada. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin, kakek berpakaian coklat itu
memperhatikannya.
Perasaan curiga yang timbul
membuat Arya Buana diam-diam memperhatikan kakek itu pula.
Arya Buana terpaksa
mengalihkan perhatian ketika pemilik kedai itu telah kembali sambil membawa
pesanannya. Pemuda berpakaian ungu itu menunggu sampai kakek berjenggot panjang
itu meletakkan pesanan di mejanya.
"Apakah nama desa ini,
Ki?" tanya Arya Buana sambil meraih salah satu guci arak, dan menuangkan
isinya ke dalam sebuah gelas bambu.
"Desa Jambul," jawab
kakek kecil kurus itu.
"Hm...," sebuah
gumaman tak jelas dari mulut Dewa Arak menyambut! jawaban pemilik kedai.
"Memangnya Aden hendak ke
mana?" tanya kakek berjenggot panjang itu.
"Lembah
Malaikat...," jawab Dewa Arak kalem. Tapi, tanggapan kakek berjenggot
panjang itu tidak sesederhana sahutan Arya Buana.
"Lembah
Malaikat...?!" pemilik kedai itu bertanya dengan suara bergetar. Nada
suara, maupun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan hebat
"Benar, Ki. Kenapa?"
Pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya ketika melihat keterkejutan kakek
kecil kurus.
"Mau apa kau ke sana,
Anak Muda?" Mendadak nada suara kakek berjenggot panjang itu berubah.
Tidak lagi sopan dan ramah seperti semula, tapi keras dan kasar.
Arya Buana bukan orang bodoh.
Pemuda itu tentu saja bisa merasakan perubahan sikap pemilik kedai itu. Dan ini
terjadi, setelah mengatakan hendak menuju Lembah Malaikat. Pasti ada apa-apanya
di sana.
"Meskipun sudah tua, dan
hanya memiliki sedikit ilmu bela diri, tapi tak akan kubiarkan kau mengusik
tempat suci itu!" sambung kakek kecil kurus mantap, begitu melihat Dewa
Arak tercenung.
"Tenanglah, Ki,"
Arya Buana yang sama sekali tidak mau terpancing dalam amarah, buru-buru
menenangkan pemilik kedai itu. "Duduklah dulu, dan kita bicarakan masalah
ini secara baik-baik."
*****
Kakek berjenggot panjang itu
tercenung sejenak dan tidak langsung menanggapi ajakan Dewa Arak. Ditatapnya
sejenak wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Baru ketika dijumpai adanya
kesungguhan pada wajah itu, kakek itu duduk di kursi di hadapan Dewa Arak.
Hanya meja persegi yang membatasi tubuh-tubuh mereka.
"Bisa kau ceritakan
padaku mengenai Lembah Malaikat itu, Ki?" tanya Dewa Arak memulai
pembicaraan.
"Maaf, Anak Muda.
Bukannya aku tidak ingin memberitahukannya. Tapi sebelum kau mengatakan
tujuanmu ke sana, aku tidak bisa menceritakannya," tolak kakek kecil kurus
itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
berat. Disadari kalau tidak ada gunanya meminta keterangan dari kakek
berjenggot panjang itu. Arya Buana melihat adanya sorot pantang mundur pada
sepasang mata pemilik kedai ini.
"Baiklah, K'!," ujar
pemuda berpakaian ungu itu, mengalah. "Perlu kau ketahui. Aku pun baru
sekali ini mengetahui bahwa ada tempat yang bernama Lembah Malaikat. Dan itu
pun dari orang yang bersangkutan."
"Apa maksud ucapanmu itu,
Anak Muda?!" tanya kakek berjenggot panjang, tak mengerti.
"Ceritanya cukup panjang,
Ki. Kau bersedia men-dengarkannya?" tanya Arya Buana. Dia memang berniat
menerangkan semua, agar kakek kecil kurus ini mengerti.
"Ceritakanlah,"
sambut pemilik kedai ini.
Arya Buana mengerling ke arah
meja kakek bungkuk berpakaian coklat longgar. Lirikan matanya mengandung arti,
karena khawatir pembicaraannya terdengar. Kakek berjenggot panjang itu pun
rupanya mengerti.
"Tidak perlu khawatir.
Dia bisu dan tuli," jelas kakek kecil kurus itu.
"Hm...," pemuda
berpakaian ungu itu hanya menggumam pelan.
"Aku adalah seorang
pengelana, Ki," Arya Buana memulai. "Masuk hutan dan desa adalah
kegemaranku. Tapi,
kemarin aku mendapat surat
dari seseorang yang menitipkannya pada bocah lelaki"
Arya Buana menghentikan
ceritanya sejenak untuk melihat tanggapan pemilik kedai ini. Tapi, kakek kecil
kurus itu ternyata diam saja, tidak menanggapi sedikit pun.
"Isi surat itu, memintaku
untuk datang ke Lembah Malaikat. Apabila aku tidak ke sana, kawanku yang
diculiknya akan dibunuh!"
"Bohong! Kau mengada-ada,
Anak Muda!" Kakek berjenggot panjang itu bangkit dari duduknya. Seketika
wajahnya merah padam. Kemarahan yang hebat tampak memancar pada wajahnya.
"Aku tidak bohong,
Ki," masih tetap tenang ucapan Dewa Arak. Bahkan masih tetap duduk di
kursi sambil menenggak minumannya.
"Cabut ucapanmu, atau
ingin kuusir keluar seperti anjing geladak?!"
Berkilat sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan itu mendengarnya. Memang, Arya Buana merasa
tersinggung juga atas sikap yang ditunjukkan kakek itu. Maka, perlahan-lahan
dia bangkit dari duduknya.
"Aku tidak akan mencabut
ucapanku! Malah, aku akan mengobrak-abrik Lembah Malaikat. Akan kuhancurkan
tempat itu kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku!"
Keras sekali ucapan Dewa Arak
karena disertai amarah yang meluap-luap. Kekhawatiran akan nasib Melati-lah
yang menyebabkannya bersikap demikian. Saat hatinya benar-benar cemas
memikirkan nasib kekasihnya, eh malah dimaki-maki! Siapa yang tidak kesal?
Padahal, dia telah berusaha keras berbicara baik-baik.
Setelah mengeluarkan ancaman
demikian, Arya Buana duduk kembali di kursinya. Kemudian guci arak perak di
punggung dijumputnya, dan diletakkan di atas meja. Baru setelah itu, arak
pesanan dituangkan ke guci peraknya yang hanya tinggal sedikit isinya. Dan kini
guci arak itu disampirkan kembali di punggungnya.
"Ini bayarannya,
Ki," kata Arya Buana sambi! me-letakkan uang pembayaran makanan dan
minuman itu di atas meja, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.
"Anak Muda!
Tunggu...!"
Terpaksa Dewa Arak
menghentikan langkahnya begitu mendengar panggilan kakek kecil kurus. Belum
juga kepalanya menoleh, kakek itu telah bergerak cepat menghampiri.
"Benarkah semua yang kau
katakan tadi? Sebe-narnya, teman atau kekasihmu orang yang diculik itu?"
tanya kakek pemilik kedai ini.
Kali ini suara kakek kecil
kurus itu tidak keras seperti sebelumnya, tapi sudah mulai melunak. Ucapan
keras Dewa Arak tadi memang telah membuatnya bersikap demikian. Tambahan lagi,
dia melihat adanya nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu.
Amarah pemuda berpakaian ungu
sedikit mereda tatkala mendengar ucapan pemilik kedai yang mulai melunak.
"Aku mengatakan apa
adanya, Ki. Dan orang yang diculik itu sebenarnya adalah kekasihku!" jelas
Dewa Arak.
"Ada hal yang
mencurigakan kalau begitu," kata kakek kecil kurus itu seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku sama sekali tidak
mengerti maksudmu, Ki?" Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu
hampir bertautan. Raut ketidakmengertian tampak jelas di wajahnya.
"Apa yang kau ketahui
tentang Lembah Malaikat?" kakek berjenggot panjang itu malah balas
bertanya.
Arya Buana menggelengkan
kepala. Pemuda ber-pakaian ungu itu sama sekali tidak tahu tentang Lembah
Malaikat.
"Sudah kuduga,"
keluh kakek kecil kurus, mendesah. "Kau mau kuceritakan?"
Pemuda berpakaian ungu itu
mengangguk.
"Kalau begitu, dengarkan
baik-baik," kakek pemilik kedai itu memulai ceritanya.
6
"Sekitar sepuluh tahun
yang lalu, desa ini diserbu segerombolan perampok yang ingin menjarah. Para
penduduk tentu saja tidak membiarkan, sehingga harus angkat senjata mengadakan
perlawanan."
Kakek kecil kurus itu
menghentikan ceritanya se-jenak. Dahinya nampak berkernyit. Jelas kalau dia
tengah berusaha mengingat-ingat rentetan kejadian yang pernah diketahuinya.
"Tapi usaha kami seperti
membenturkan telur ke batu. Para perampok itu terlalu kuat. Satu demi satu,
penduduk berguguran. Padahal jumlah kami lebih banyak. Akhir dari pertarungan
sudah bisa diterka. Penduduk akan tewas semua dan para perampok akan berhasil
menjarah isi desa ini."
Kembali kakek berjenggot
panjang itu menghentikan ceritanya sejenak. Tapi, kali ini untuk mengambil
napas.
"Saat itulah muncul
seorang kakek berpakaian putih yang membantu kami melawan rombongan perampok
itu. Dia ternyata sakti bukan kepalang. Hanya dengan kibasan-kibasan tangan
saja, para perampok itu dibuat pontang-panting. Hanya sebagian kecil saja yang
dibiarkan hidup. Begitu pula dengan pimpinannya."
Kakek pemilik kedai itu
menghentikan ceritanya kembali. Tenggorokannya terasa kering sehingga harus
dibasahi. Dia memang terlalu semangat bercerita.
"Kakek sakti itu kemudian
tinggal di sebuah lembah di Bukit Jambul. Penduduk desa ini menamakannya Lembah
Malaikat, karena kakek itu memang seperti malaikat saja. Beliau selalu datang
menolong kami tepat pada saat yang diperlukan. Berkali-kali dia datang dan
mengusir setiap orang jahat yang hendak datang kemari. Di samping itu, dia pun
sering pula mengobati penduduk desa ini yang sakit," tutur kakek
berjenggot panjang itu menutup ceritanya.
Arya Buana
mengangguk-anggukkan kepala.
"Oleh karena itu, aku tidak
senang ketika kau me-nyatakan ingin pergi ke Lembah Malaikat, Anak Muda."
"Mengapa, Ki?" tanya
Arya Buana. "Bukankah sekarang kau tahu maksud kedatanganku ke sana?"
"Hhh...!" Kakek
kecil kurus itu menghela napas berat. "Lembah Malaikat adalah sebuah
tempat suci, Anak Muda. Aku tidak ingin kau pergi ke sana. Karena, kau adalah
seorang pemuda pemabukan! Kami tidak ingin arakmu mengotori tempat suci
itu."
Merah wajah Arya Buana
mendengar ucapan itu.
Meskipun begitu, Dewa Arak
tidak marah. Dia tahu kalau kakek berjenggot panjang itu tidak bermaksud
mengejek, tapi hanya mengatakan yang sebenarnya.
"Apalagi ketika mendengar
ucapanmu selanjutnya. Aku menjadi lebih marah lagi!" sambung kakek pemilik
kedai itu berapi-api.
Arya Buana menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Aku tidak menuduh kalau
pelaku penculik kekasihku adalah penghuni Lembah Malaikat, Ki" pelan
ucapan pemuda berpakaian ungu itu.
"Hm...," hanya gumam
tak jelas kakek itu yang menyambuti ucapan Dewa Arak.
"Aku datang hanya untuk
memenuhi pesan penculik itu. Dan kebetulan, tempat yang diinginkannya adalah
Lembah Malaikat"
"Hhh...!"
Kakek berjenggot panjang itu
hanya mampu menghela napas berat. Disadari kalau sikapnya tidak patut bila
terus melarang pemuda berambut putih keperakan itu menyelamatkan kekasihnya.
"Aku berjanji akan
menjaga kesucian Lembah Ma-laikat semampuku, Ki," janji Arya Buana tulus.
Kakek kecil kurus itu hanya
bisa tersenyum getir mendengar ucapan Arya Buana. Kemudian, kedua bahunya
diangkat. Pasrah.
"Terima kasih, Ki,"
ucap Arya Buana gembira. "O. ya. Aku ingin beristirahat sebentar untuk
melepaskan lelah. Apakah ada kamar kosong?"
"Ada, Anak Muda.
Mari...!"
Sambil berkata demikian, kakek
berjenggot panjang itu berjalan mendahului Arya Buana. Diantarkannya pemuda
berambut putih keperakan itu ke tempat yang akan dipesannya.
"Inilah kamar itu, Anak
Muda," ujar kakek kecil kurus itu sambil membuka pintu sebuah kamar.
Arya Buana memperhatikan
ruangan dalam kamar itu sejenak. Memang sebuah kamar yang cukup rapi. Kemudian,
kakinya melangkah masuk ke dalam.
Kakek pemilik kedai segera
melangkah meninggalkan tempat ini. Sementara, pemuda berambut putih keperakan
itu lalu, membaringkan tubuh di balai-balai bambu. Tak lama kemudian. Dewa Arak
sudah tertidur pulas.
Matahari telah tergelincir
dari titik tengahnya ketika Arya Buana telah berada di atas puncak Bukit
Jambul. Pandangannya tertuju ke bawah, tempat yang ditunjukkan orang yang telah
menculik Melati. Lembah Malaikat.
""Hih...!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu mengger-takkan gjgi. Tubuhnya pun melayang ke bawah. Indah dan
manis gerakannya.
Tukkk!
Kedua kaki pemuda berambut
putih keperakan itu mendarat ringan di batu yang menonjol. Kemudian, tubuhnya
melenting. Kembali ditotoknya tonjolan batu lain. Dengan cara itu Arya Buana
menuruni puncak dan menuju ke Lembah Malaikat.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah, dan langsung mengedarkan
pandangan berkeliling.
Sikap waspada Dewa Arak tidak
percuma. Mendadak terdengar suara mendesing nyaring, disusul berkelebatnya
benda-benda berwarna putih berkilat ke arahnya.
Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Dari suara mendesing yang mengiringi tibanya serangan, sudah
bisa diperkirakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak membanting
tubuh, kemudian bergulingan di tanah. Sehingga, benda-benda berkilat yang
ternyata adalah pisau-pisau terbang itu menyambar tempat kosong.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras
bergelak terdengar ketika Dewa Arak bangkit dari bergulingnya.
Arya Buana menatap sosok tubuh
yang berdiri dalam jarak lima tombak di hadapannya. Semua cocok dengan apa yang
dikatakan Jumadi. Seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan berpakaian yang
terbuat dari benang-benang emas.
"Kaukah orang yang telah
mengirimkan pesan untukku?" tanya Arya Buana. Sengaja hal itu
ditanyakannya, untuk memastikan kebenaran.
"Tidak salah!" sahut
pemuda berpakaian mewah yang tidak lain dari Palguna, pongah.
"Mengapa kau menawan
Melati, Kisanak?!"
"Karena aku punya urusan
denganmu, Dewa Arak!" tandas Palguna tegas.
Sepasang alis Arya Buana
hampir bertautan men-dengar jawaban itu.
"Kalau kau mempunyai
urusan denganku, mengapa harus menawan orang yang tidak bersalah?!" desak
pemuda berpakaian ungu itu. Ada nada kegeraman dalam suaranya.
Sambil berkata demikian. Dewa
Arak melangkah maju. Dengan sendirinya, jarak mereka pun bertambah dekat.
"Hmh...!"
Palguna tidak langsung
menjawab pertanyaan itu, melainkan mendengus. Sikapnya terlihat begitu
meremehkan Arya Buana.
"Semula aku tidak berniat
membawanya dalam persoalan kita, Dewa Arak! Tapi kupikir, dengan menahan dia,
tidak terlalu sulit memancing kedatanganmu untuk menyelesaikan urusan kita. Dan
ternyata, cara itu manjur. Kau datang begitu cepat. Bahkan melebihi perkiraanku
semula."
Arya Buana menarik napas
panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Sebenarnya..., apa
urusan itu, Kisanak?!" tanya Dewa Arak mencoba tenang. Dan memang, setelah
hal seperu itu dilakukan harinya jadi lebih tenang.
"Kau ingat dengan Gerda,
Dewa Arak?!" tanya Palguna.
Kini tidak ada lagi tawa dan
canda di wajahnya. Yang tampak hanyalah sorot dendam yang membara. Bahkan nada
suaranya pun mengandung kemarahan hebat.
Tanpa perlu mengingat-ingat
lebih lama lagi, Dewa Arak langsung mengerti orang yang dimaksud Palguna. Gerda
alias Bomantara, si Siluman Tengkorak Putih adalah lawan tangguh yang pertama
sekali dihadapinya. Saat itu, dia baru mendapat julukan Dewa Arak (Untuk
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya "Pedang
Bintang").
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Nah! Aku adalah adik
kandung Gerda! Namaku Palguna! Kini sudah jelas, mengapa aku mencari-carimu,
bukan?"
Arya Buana tidak terlampau
kaget mendengar ja-waban pemuda berpakaian mewah itu. Begitu Palguna
menyebutkan nama Gerda, sudah bisa diperkirakan kalau pemuda berpakaian mewah
itu memiliki hubungan dengan tokoh sesat itu.
"Sungguh sama sekali
tidak kusangka. Aku akan mendapat dua keuntungan sekaligus dengan tertawannya
Melati, kekasihmu itu," sambung Palguna lagi. Kali ini dengan sinar mata
memancarkan kekejian.
Arya Buana diam saja. Sama
sekali tidak diselak semua ucapan pemuda berpakaian mewah itu.
"Aku tidak akan percaya
kalau tidak mengalaminya sendiri, Dewa Arak. Kekasihmu itu ternyata masih
gadis! Ha ha ha...! Sampai sekarang tubuhnya masih terasa nikmat. Luar biasa!
Kau bodoh, Dewa Arak! Bunga sesegar itu tidak buru-buru dipetik. Dan, akulah
orang yang mendapat keberuntungan mencicipi kemolekan tubuh kekasihmu itu.
Orang yang pertama, Dewa Arak!"
Terdengar suara bergemerutuk
dari mulut Dewa Arak ketika gigi-giginya beradu keras. Bukan hanya itu saja.
Suara berkerotokan nyaring pun terdengar ketika dalam kemarahan yang meluap,
tenaga dalam Arya Buana bergolak sendiri. Dari atas kepalanya seketika mengepul
asap putih tipis. Ini menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari', yang
jarang digunakan telah keluar sendiri tanpa disadari Dewa Arak.
"Iblis! Manusia
jahanam...!"
Setelah beberapa saat lamanya,
Arya Buana terdiam dalam keterkejutan dan kemarahannya, akhirnya keluar juga
ucapan itu.
Dalam kemarahannya, Arya Buana
tampak berubah begitu mengerikan! Sepasang matanya mencorong tajam memancarkan
hawa maut. Wajahnya pun membesi. Rambutnya yang berwarna putih keperakan
membuat wajahnya terlihat kian menyeramkan.
"Kau... akan kuhancurkan
seluruh tulang-tulang tubuhmu...!"
Terdengar bergetar dan
tersendat-sendat ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak. Hal ini karena
perasaan amarah yang bergelora. Sekujur tubuhnya tampak menggigil hebat.
Palguna terperanjat melihat
keadaan Dewa Arak. Tanpa dapat ditahan lagi, sekujur bulu-bulu di tubuhnya
berdiri semua karena perasaan ngeri yang mencekam. Dia memang sengaja membakar
hati pemuda berambut putih keperakan itu, namun tidak disangka kalau akibatnya
akan seperti ini.
Tapi Palguna bukan seorang
bocah yang mudah untuk ditakut-takuti. Pemuda berpakaian mewah ini segera
menekan perasaan ngerinya, dan bersiap-siap menghadapi Dewa Arak.
"Haaat...!"
Sambil berteriak menggelegar
sehingga membuat seluruh lembah bergetar hebat, Arya Buana melompat menenang
Palguna. Dalam kemarahan amat sangat, Dewa Arak sampai tidak sempat menyambar
gucinya. Langsung dilancarkan serangan lewat ilmu' Sepasang Tangan Penakluk
Naga'.
Dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata, tangan kanan Dewa Arak yang jari-jarinya membentuk cakar,
menyambar ke arah pelipis.
Hati Palguna tercekat
menyaksikan kecepatan gerakan Dewa Arak. Apalagi ada sambaran angin berhawa
panas luar biasa, sebelum serangan itu sendiri tiba. Dalam jarak setengah
tombak saja, angin serangan itu sudah terasa menyengat kulit. Panas bukan
kepalang!
Palguna tidak berani mencari
penyakit. Buru-buru senjata andalannya dikeluarkan. Sebuah ruyung berbatang
tiga. Dan secepat senjata itu dikeluarkan, secepat itu pula disabetkan ke arah
tangan Dewa Arak.
Takkk...!
Bagaikan dua batang logam
keras berbenturan, terdengar bunyi beradunya tangan Arya Buana dengan ruyung
Palguna.
"Ahhh...!"
Palguna menjerit keras ketika
sekujur tangannya terasa tergetar hebat hampir lumpuh! Sehingga, ruyungnya
hampir-hampir terlepas dari pegangan. Hawa panas merayap dari ujung ruyung ke
telapak tangannya.
Meskipun demikian pemuda
berpakaian mewah tidak menjadi gentar karenanya. Sambil menggertakkan gigi, ruyung
di tangannya di ayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Arya Buana tidak berani
bertindak main-main. Dia tahu, sambaran ruyung itu mampu menghancurkan batu
yang paling keras sekalipun. Maka buru-buru direndahkan tubuhnya, sehingga
serangan Palguna menyambar di atas kepalanya.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Arya Buana. Kaki kanannya meluncur ke arah lutut kanan Palguna. Tapi
dengan manis pemuda berpakaian mewah itu mengelakkannya. Lalu melancarkan
serangan balasan.
Sesaat kemudian, kedua belah
pihak sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Arya Buana yang tengah dilanda
kemarahan hebat, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Palguna. Pemuda
berambut putih keperakan itu telah benar-benar lupa segala-galanya. Yang ada di
benaknya hanya satu. Membunuh Palguna!
Dewa Arak sama sekali tidak
menyadari kalau terjadi sebuah keanehan. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga',
dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' ternyata mampu digabungkan dengan
pemakaian 'Tenaga Sakti Inti Matahari'! Padahal selama ini, hanya ilmu
'Belalang Sakti' saja yang bisa digabungkan dengan 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'! Itu pun hanya terkadang saja. Karena, 'Tenaga Sakti Inti Matahari'
mempunyai ilmu sendiri yang terdapat dalam jurus 'Membakar Matahari'! Rupanya,
kemarahan hebatlah yang membuat kedua ilmu itu bisa disatukan!
Yang menjadi tersiksa adalah
Palguna. Dia terpon-tang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Dalam beberapa jurus saja, dia telah terdesak hebat. Dewa Arak dalam
kemarahannya, benar-benar mampu menggilas habis semua pertahanan Palguna.
Kalau dibandingkan, tingkat
kepandaian Palguna memang masih di bawah Dewa Arak. Pemuda berpakaian mewah itu
kalah dalam segala-galanya. Apalagi, Arya Buana dalam kemarahannya tidak
bersikap setengah-setengah lagi. Tak aneh kalau dalam beberapa gebrakan saja,
Palguna terdesak hebat
Sekujur tubuh pemuda
berpakaian mewah itu telah basah oleh peluh yang keluar akibat hawa panas yang
keluar dari setiap serangan Dewa Arak. Wajah Palguna telah merah padam, karena
hawa panas yang menyengat
Sudah dapat diperkirakan kalau
tidak sampai lima belas jurus, Palguna akan tewas di tangan Dewa Arak.
"Sungguh tidak bijaksana
sekali. Mengandalkan kepandaian hanya untuk bertindak sewenang-wenang...."
Seiring lenyapnya gema ucapan
itu, melesat sesosok bayangan putih ke arah kancah pertarungan. Langsung
dipapaknya serangan Dewa Arak yang mengancam ke arah Palguna. Angin dingin
meresap ke tulang sumsum ketika tangan sosok bayangan itu bergerak memapak
tangan Arya Buana.
Cesss...! Cesss...!
Terdengar suara seperti besi
panas dicelupkan dalam air dingin ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan
dengan tangan sosok bayangan putih.
Baik Dewa Arak maupun sosok
bayangan putih itu sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Dari sini saja
sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam kedua orang itu berimbang.
Arya Buana menghentikan
gerakannya. Dia tidak ingin bertindak sembrono dengan langsung menyerang lagi.
Dari benturan tadi, sudah bisa diketahui kalau sosok bayangan putih itu memiliki
tenaga dalam tinggi yang mengandung hawa dingin. Jadi, berlawanan dengan tenaga
dalam yang dimilikinya.
Di hadapan Dewa Arak, tampak
seorang kakek berkepala botak mengenakan pakaian putih longgar.
Kumis, jenggot, dan cambangnya
telah memutih se-mua.
"Guru...!" sebut
Palguna seraya memberi hormat
"Ada apa ini,
Palguna?" tanya kakek berpakaian putih yang ternyata adalah guru pemuda
berpakaian mewah itu.
"Dia adalah orang yang
telah membunuh kakak kandungku, Guru," jelas Palguna
"Hm...! Jadi, dia Dewa
Arak...?" tanya kakek berkumis putih itu.
"Benar, Guru."
Kakek berpakaian putih itu
mengalihkan tatapan pada Arya Buana yang sejak tadi juga tengah
memper-hatikannya.
"Tidak kusangka kau akan
sekejam itu, Anak Muda," kata kakek berjenggot putih itu sambil
menggelengkan kepala. "Dulu, sewaktu kau membunuh kakak kandungnya, aku
tidak ingin ikut campur. Karena, aku tahu kalau Gerda memang bukan orang
baik-baik. Tapi sekarang di depan mataku, kau hendak membunuh adiknya pula.
Aku, Jasuri guru dari pemuda ini, ingin menjajal kelihaianmu. Mari, Dewa Arak.
Kita bermain-main sebentar. Ingin kulihat, sampai di mana kelihaianmu sehingga
sampai bertindak sesombong itu!"
"Muridnya setan. Gurunya
pun pasti iblis!" desis Arya Buana dengan suara bergetar.
Kemarahan yang masih bergelora
di dalam dada karena kegagalannya membunuh Palguna, kini dilampiaskan pada
Jasuri.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak lalu menjumput guci arak, dan menuangkan ke dalam mulutnya.
7
Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak yang dituangkan melewati kerongkongan Arya Buana. Sesaat kemudian, ada
hawa hangat yang menyebar dalam perut pemuda berambut putih keperakan itu. Lalu
hawa hangat itu perlahan merayap naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, tubuh
Dewa Arak mulai limbung.
"Inikah ilmu 'Belalang
Sakti' yang membuat kau jadi manusia sombong, Dewa Arak...?! Ingin kuketahui,
mampukah ilmu 'Belut Salju' milikku menghadapi ilmumu!"
Setelah berkata demikian,
Jasuri meletakkan kedua tangan di sisi-sisi pinggangnya. Jari-jarinya terbuka
lurus, dan telapak tangan menghadap ke langit. Kemudian, perlahan-lahan tapi
penuh tenaga, tangannya dijulurkan ke depan, seraya membalikkan telapak tangan
jadi menghadap ke bumi.
Seketika itu pula ada hawa
dingin berhembus dari kedua tangan yang dijulurkan.
"Hihhh...!"
Kakek berpakaian putih itu
menarik kembali kedua tangannya yang terjulur. Berbeda dengan sewaktu
menjulurkan, sewaktu menarik, Jasuri melakukannya secara cepat dan seketika.
Maka secepat kedua tangan itu ditarik, secepat itu pula dilancarkan serangan ke
arah Dewa Arak. Kedua tangan itu melakukan totokan bertubi-tubi ke arah dada
dan ulu hati.
Cit, cit, cit...!
Suara bercicitan nyaring,
diiringi hawa dingin yang membekukan tubuh mengiringi ribanya serangan
totokan-totokan Jasuri.
Dewa Arak tidak berani
main-main. Disadari kalau lawan yang dihadapi amat tangguh. Dan itu bisa
diketahui dari benturan yang terjadi sebelumnya. Maka buru-buru kakinya
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.
Sehingga, serangan lawan lewat
sejengkal di samping kiri pinggangnya.
Hawa dingin yang amat sangat
berhembus. Untung saja, Dewa Arak telah mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'. Kalau tidak, mungkin sudah menggigil seluruh tubuh saking dinginnya
udara yang berhembus.
Tidak hanya mengelak saja yang
dilakukan Dewa Arak. Nyatanya, dia langsung melancarkan serangan balasan.
Tangan kirinya meluncur cepat ke arah pelipis.
Tapi Jasuri bukan orang
sembarangan. Meskipun tidak dikenal dalam rimba persilatan, karena tidak pernah
melakukan tindakan yang menggemparkan, kepandaian yang dimilikinya benar-benar
luar biasa.
Menghadapi serangan balasan
Dewa Arak, tubuhnya hanya direndahkan dengan cara menekuk kaki kanan
dalam-dalam. Sedangkan kaki kirinya dijulurkan merapat tanah.
Wuttt...!
Serangan Arya Buana mengenai
tempat kosong, lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Melihat rambut Jasuri
yang berkibar keras, bisa di perkirakan kekuatan yang terkandung dalam serangan
itu.
Pada saat yang bersamaan
tangan kiri Jasuri menotok ke arah ulu hati Dewa Arak. Maka tidak ada jalan
lain bagi Arya Buana kecuali menangkisnya. Dia tidak memilih mengelak, karena
hal itu akan membuatnya terus terdesak. Dan Dewa Arak tidak ingin hal itu
terjadi.
Plakkk...!
Untuk kedua kalinya, terjadi
benturan keras antara kedua tangan tokoh sakti itu. Kembali tubuh kedua tokoh
yang berbeda usia itu terhuyung mundur satu langkah ke belakang.
Tapi, baik Dewa Arak maupun
Jasuri sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Berkat kemampuan yang dimiliki,
bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkan kekuatan yang mendorong tubuh
mereka. Dan, kembali mereka saling melancarkan serangan berikutnya.
Pertarungan yang berlangsung
memang dahsyat bukan kepalang. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya,
terlihat trengginas sekali. Gerakan dan kembangan ilmunya sulit diterka lawan,
karena memiliki perubahan yang begitu mendadak dan tiba-tiba. Dari lemas dan
meliuk-liuk
seperti orang akan jatuh,
menjadi keras dan kasar. Kemudian, kembali lemas dan meliuk-liuk. Begitu
seterusnya.
Tapi bukan hanya ilmu Dewa
Arak saja yang bersifat demikian. Jasuri pun memiliki ilmu yang memiliki sifat
serupa. Dengan ilmu 'Belut Salju'nya, gerakannya pun meliuk-liuk. Lalu secara
tak terduga-duga, meluncur cepat ke arah sasaran. Gerakannya mengingatkan orang
pada ular!
Semua itu masih ditambah lagi
dengan keistimewaan ilmu masing-masing. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang
Sakti'nya mengeluarkan hawa panas menyengat saat tangan atau kakinya bergerak.
Sedangkan ilmu 'Belut Salju' milik Jasuri mengeluarkan hawa dingin yang
membekukan tubuh.
Akibatnya bisa diduga. Dalam
jarak tak kurang sepuluh tombak dari arena pertarungan, berhembus angin panas
menyengat dan hawa dingin yang membekukan kulit silih berganti.
Berkali-kali terdengar suara
seperti ada besi panas yang direndam dalam air dingin, setiap kali terjadi
benturan antara tangan-tangan Dewa Arak dengan Jasuri.
Palguna yang telah bisa
memperkirakan kedahsyatan pertarungan yang terjadi, sudah sejak tadi menjauh
dari arena pertarungan. Diperhatikannya pertarungan itu dalam jarak dua belas
tombak dari arena.
Pertarungan antara Dewa Arak
dan Jasuri memang menggiriskan hati. Daun-daun pohon yang terlanda angin
pukulan Arya Buana kontan layu. Sementara daun-daun pohon yang terkena hawa
serangan Jasuri, kontan berembun.
Bukan hanya itu saja. Keadaan
kancah pertarungan sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah, tempat itu telah
dibajak oleh belasan ekor kerbau. Tanah terbongkar, dan pohon-pohon
bertumbangan. Itu pun masih ditambah debu yang mengepul tinggi. Belum lagi
suara mencicit dan menderu yang mengiringi setiap serangan Arya Buana atau
Jasuri.
Seratus jurus telah berlalu.
Tapi sampai selama itu, tak nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung imbang. Karena baik dalam hal tenaga
dalam ataupun ilmu meringankan tubuh, keduanya berada dalam satu tingkat.
Meskipun tidak terdesak oleh
lawannya, tapi Jasuri tahu kalau lama-kelamaan akan dirobohkan Dewa Arak.
Usianya sudah tua, sedangkan Arya Buana masih sangat mudah. Lambat laun, jelas
dia akan kalah oleh kodrat alam. Maka akan lebih dulu lelah ketimbang Dewa
Arak.
Jika hal itu terjadi, Dewa
Arak tidak akan terlalu sulit menggilasnya. Dan Jasuri tidak ingin hal itu
terjadi. Keselamatannya memang tidak terlalu dipikirkan. Tapi, keselamatan
Palguna-lah yang menjadi beban.
Maka kakek berpakaian putih
itu bertekad untuk mengadu nyawa. Disadarinya kalau Dewa Arak tidak akan
mungkin bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu memang memiliki
kepandaian luar biasa!
Setelah mendapat keputusan
itu, serangan-serangan Jasuri pun semakin dahsyat. Sekarang
serangan-serangannya selalu memojokkan Dewa Arak. Memang, kakek berpakaian
putih itu berniat mengadu nyawa!
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang begitu merasakan perubahan mendadak dalam serangan-serangan lawan.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya Buana tentu saja menyadari maksud
tersembunyi lawan dengan perubahan serangannya. Dan dia tidak ingin
meladeninya.
Oleh karena itu, Dewa Arak
selalu menghindar setiap kali lawan melakukan serangan yang bersifat memojokkan
dengan maksud mengadu nyawa.
Tapi berapa lawan Dewa Arak
dapat bersikap seperti itu, dengan bermain kucing-kucingan? Padahal orang yang
menyerangnya adalah tokoh yang berkepandaian setaraf dengannya dalam segala
hal!
"Haaat..!"
Diiringi suara melengking
nyaring, Jasuri melompat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk
jari-jari terbuka lurus menghentak cepat ke arah dada Dewa Arak.
Wajah Arya Buana berubah
seketika. Hal yang di-khawatirkannya ternyata terjadi juga. Apalagi, dia tidak
memiliki kesempatan mengelak. Memang, Jasuri telah memojokkannya dalam keadaan
sedemikian rupa. Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menyambut
serangan lawan dengan gerakan serupa.
"Hiyaaat..!"
Dengan teriakan tak kalah
keras, Dewa Arak me-lompat menyambuti. Kedua tangannya lurus ke depan membentuk
jari-jari terkembang. Ada hawa panas menyambar di sekitar tempat itu, seiring
terhentaknya kedua tangan itu.
Blaggg...!
Baik Dewa Arak maupun Jasuri
sama-sama ter-jengkang ke belakang dan terguling di tanah. Lalu....
"Huakh...!"
Dari mulut Dewa Arak dan
Jasuri keluar darah kental. Kedua tokoh mi sama-sama teriuka dalam, karena
terkena serangan satu sama lain. Arya Buana menggigil kedinginan, sementara Jasuri
menggeliat-geliat kepanasan.
Jasuri yang sudah bertekad
mengajak Dewa Arak mati bersama, segera berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak
mampu, dan terguling di tanah. Jelas, kalau luka yang dideritanya parah bukan
main.
Berbeda dengan Jasuri, Dewa
Arak langsung ber-usaha untuk bersila, kemudian bersemadi. Disadari kalau luka
dalam yang dideritanya amat parah. Maka, dia akan mengobatinya dengan
penyaluran hawa murni.
Jasuri pun akhirnya menyadari
hal itu pula. Beta-papun kuat keinginannya untuk membalas dendam, tapi kalau
keadaan tidak memungkinkan bagaimana bisa melakukannya? Maka, kakek berpakaian
putih lalu bersemadi!
Memang akibat benturan tenaga
dalam secara langsung itu hebat sekali! Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama
menderita luka dalam karena kuatnya tenaga dalam satu sama lain.
Palguna terkekeh. Meskipun
tidak memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak atau Jasuri, tapi dia pun
mengerti kejadian yang diderita Dewa Arak dan gurunya. Maka dengan senyum keji
menghias mulut, dihampirinya Dewa Arak yang tengah bersemadi untuk memulihkan
luka dalamnya.
"Ha ha ha...! Kini saat
kematianmu telah tiba, Dewa Arak...!" kata pemuda berpakaian mewah itu
sambil tertawa bergelak.
Dewa Arak sama sekali tidak
merasa terkejut, karena sudah menduga kalau Palguna akan bertindak licik. Kalau
menuruti perasaan hati, ingin rasanya tubuh pemuda yang licik itu diterjangnya.
Tapi apa dayanya? Dia tengah menderita luka dalam! Jangankan menyerang, untuk
bangkit berdiri pun sulit! Maka yang dapat dilakukannya hanyalah memandang
semua yang akan dilakukan Palguna dengan sepasang mata terbelalak.
Berlainan dengan Dewa Arak
yang tidak merasa kaget dengan apa yang akan dilakukan Palguna, Jasuri justru
kaget bukan kepalang.
"Palguna! Apa yang akan
kau lakukan?!" tanya kakek berpakaian putih itu setengah membentak.
Terpaksa semadinya ditunda.
"Membalas dendam pada
orang yang telah membunuh kakak kandungku. Guru," kalem saja jawaban
Palguna. "Mumpung dia tidak berdaya."
"Tidak malukah kau,
Palguna? Membunuh lawan yang tidak berdaya? Kelakuanmu seperti seorang,
pengecut?!" tegas Jasuri dengan suara semakin tinggi, dan sepasang mata
semakin membelalak.
Palguna hanya tersenyum saja.
Sama sekali tidak disambuti ucapan keheranan gurunya itu.
Dewa Arak yang juga jadi
menunda semadinya, mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Jasuri. Sekali
lihat saja, dia tahu kalau kakek berpakaian putih itu benar-benar tidak
menyukai tindakan yang akan dilakukan Palguna! Serentetan perasaan tidak enak
melanda hati pemuda berambut putih keperakan ini. Jangan-jangan Palguna telah
mengadu domba antara dirinya dengan Jasuri untuk mengeruk keuntungan? Perasaan
penasaran ini membuat Arya Buana berminat mengungkapnya.
"Mengapa musti malu,
Ki," kata Dewa Arak pelan tapi terdengar jelas. "Jangankan
terhadapku. Pada seorang wanita saja, dia berlaku licik. Dengan cara curang,
dia telah menawan kekasihku dan menyuruhku datang ke tempat ini. Kalau aku
tidak mau datang, kekasihku akan dibunuh! Tapi apa yang kudengar dari mulutnya,
membuatku jadi marah besar, Ki. Kekasihku yang ditahan telah
diperkosanya...."
"Ahhh...!" Seruan
keterkejutan terdengar dari mulut Jasuri. Wajahnya tampak berubah-ubah.
Sebentar pucat, dan sebentar merah. "Benarkah semua ucapan Dewa Arak itu,
Palguna?"
Palguna hanya tersenyum
mengejek tersungging di bibirnya untuk mengiyakan pertanyaan itu.
"Manusia
terkutuk...!" maki Jasuri keras seraya berusaha bangkit dari duduk
bersilanya. Sudah bisa diduga maksudnya. Dia hendak menyerang Palguna.
Tapi baru juga kedua kakinya
berdiri, tubuhnya langsung terjungkal roboh. Darah segar memancur deras dari
mulutnya. Rupanya, kakek berpakaian putih ini terhitung orang yang keras hati.
Dengan bertelekan pada kedua tangan, dia berusaha bangkit dari telungkupnya.
Beberapa saat lamanya, kedua tangan itu mengejang dan bergetar. Kemudian,
akhirnya tubuh itu roboh di tanah. Jasuri tidak mampu untuk bangkit lagi.
"Ki...!" seru Dewa
Arak terkejut. Ada nada ke-khawatiran dalam suaranya.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak.
"Palguna! Manusia iblis!
Kau boleh membunuhku, karena aku adalah pembunuh kakakmu. Tapi gurumu itu harus
kau tolong kalau tidak akan tewas!" teriak Dewa Arak.
"Apa peduliku dengan
nasib tua bangka itu?!" sergah Palguna keras. "Dia pun sama sekali
tidak pernah peduli pada sakit hatiku karena kematian kakakku di tanganmu, Dewa
Arak! Di waktu aku menyatakan hasrat untuk membalas dendam padamu, dia malah
melarangku. Katanya, kakakku memang bersalah! Huhhh! Guru macam apa itu?!
Jangankan untuk membantu, merestui kepergianku saja tidak! Dia boleh mampus
bersama-sama denganmu!"
"Benarkah semua yang kau
katakan itu, Den Palguna?" terdengar sebuah suara serak menyelak
pembicaraan, ketika Palguna menghentikan ucapannya.
Palguna, Dewa Arak, dan Jasuri
mengalihkan pan-dangan ke arah asal suara. Tampak seorang kakek bertubuh
bungkuk, berpakaian lusuh, dan berwajah buruk berdiri tak jauh dari mereka.
Arya Buana mengernyitkan dahi
karena memang tidak mengenal kakek berwajah buruk itu. Tapi alisnya mengernyit
dalam memperhatikan kakek bungkuk berwajah buruk. Dirasakan dia pernah
melihatnya di sebuah kedai yang akan menuju Lembah Malaikat ini. Sebaliknya
Palguna dan Jasuri rupanya mengenalnya. Terbukti, kakek bertubuh bungkuk itu
mengenal Palguna.
"Hm..., Ki Pancar...! Apa
maksud ucapanmu, Ki?" tanya Palguna dengan sikap waspada. Karena, Ki
Pancar adalah salah seorang dari dua pelayan tempat tinggal Jasuri.
"He he he...! Tenang,
Den. Aku berada di pihakmu. Percayalah. Kau boleh puaskan hatimu pada Dewa
Arak. Dan aku akan mengurus Jasuri. Hampir sepuluh tahun aku menanti kesempatan
untuk membalas sakit hati ini. Seperti juga kau, muridku pun mati terbunuh.
Tapi bukan oleh Dewa Arak, melainkan oleh Jasuri"
"Siapa muridmu itu,
Ki?" tanya Palguna denga perasaan curiga yang masih bergelora.
Pemuda berpakaian mewah itu
tidak begitu bodoh dengan langsung percaya begitu saja pada semua keterangan
yang diberikan kakek bertubuh bungkuk itu.
"Kepala rampok yang akan
menghancurkan Desa Jambul."
8
"Apa?!" sepasang
mata Palguna terbelalak lebar karena rasa tidak percaya yang begitu besar.
"Sudah lama aku
menantikan saat-saat seperti ini, Den," kata Ki Pancar. "Dan apabila
mencoba menghalangiku, kau pun akan menerima akibat yang sama. Menyingkirlah,
Den. Kau urus saja Dewa Arak. Biar aku yang mengurus Jasuri."
Palguna melihat adanya
kesungguhan dalam ucapan dan sikap Ki Pancar. Maka, dia pun bergerak menyingkir
memberi jalan pada kakek bertubuh bungkuk itu untuk mendekati Jasuri. Walaupun
begitu, pemuda berpakaian mewah itu bukan orahg bodoh.
Dia tidak langsung percaya,
walau telah melihat semua kesungguhan itu. Sepasang matanya memperhatikan semua
gerak-gerik kakek berwajah buruk itu.
"Jasuri! Sekarang tiba
saatnya bagiku untuk mem-balas dendam atas kematian muridku...!"
Tapi sebelum kakek bertubuh
bungkuk itu sempat berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan abu-abu ke
arahnya. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah leher kakek itu.
Ki Pancar terperanjat melihat
hal ini. Terpaksa urusannya dengan Jasuri ditunda. Buru-buru tubuhnya dilempar
ke belakang dan bergulingan menjauh.
Ternyata bukan hanya kakek
bertubuh bungkuk itu saja yang melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di
tanah. Palguna pun demikian pula. Rupanya, seperti juga Ki Pancar, pemuda
berpakaian mewah itu juga mendapat serangan mendadak. Hanya saja bukan sosok
bayangan abu-abu, melainkan sosok bayangan putih!
Begitu Ki Pancar dan Palguna
bangkit berdiri, di hadapan kedua calon korban mereka telah berdiri sosok
penyerang itu. Baik Palguna maupun Ki Pancar rupanya mengenal penyerang
masing-masing.
Berdiri membelakangi Dewa
Arak, tampak seorang gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang.
Siapa lagi kalau bukan Melati?
Sedangkan yang berdiri
membelakangi Jasuri adalah seorang perempuan tua bertubuh sedang. Dia
mengenakan pakaian abu-abu. Kulit wajahnya belum berkeriput, meskipun semua
rambutnya yang panjang telah memutih.
Palguna menatap wajah Melati
dan nenek berpakaian abu-abu silih berganti. Raut keterkejutan tampak di
wajahnya yang tampan, karena melihat kedatangan Melati yang bisa berbarengan
dengan nenek berwajah segar itu.
"Kau..?! Bagaimana bisa
lolos?" tanya Palguna. Sorot rata pemuda itu memancarkan kebingungan
melihat Melati bisa berdiri di situ. Bukankah gadis berpakaian putih itu telah
ditotoknya, setelah disembunyikan di salah satu gua di Lembah Malaikat?
"Aku yang
menyelamatkannya, Den," nenek ber-pakaian abu-abu yang menyahuti.
"Jadi,kau rupanya Nyi
Pari?! Berani benar menentang tindakanku?! Kau tidak ingat siapa dirimu? Kau
hanya pelayan! Dan aku adalah tuanmu!" tandas pemuda berpakaian mewah
penuh rasa geram.
"Tapi sekarang kau bukan
lagi tuanku, Palguna!" tandas nenek berwajah segar yang ternyata bernama
Nyi Pari. "Kau menjadi tuanku, karena kau sebagai murid Ki Jasuri. Dialah
tuanku yang sebenarnya. Sekarang karena kau hendak membunuh tuanku, aku
terpaksa menentangmu?!"
Palguna menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Perasaan gelisahlah yang
menyebabkannya bersikap demikian. Dia tahu keadaan kini telah berbalik. Semula
menguntungkan pihaknya, tapi kini tak lagi. Melati adalah seorang lawan yang
tangguh. Belum lagi Nyi Pari! Mampukah Ki Pancar menandingi nenek yang telah
mewarisi hampir seluruh kepandaian Jasuri? Sementara, Ki Pancar baru datang
belum sepuluh tahun. Belajar ilmu silat dari Jasuri pun belum sampai lima
tahun. Itu pun tak penuh.
"Bagaimana kau bisa
menemukan tempat persem-bunyian gadis itu, Nyi Pari?" tanya Palguna
setelah kebingungan beberapa saat lamanya.
"Hi hi hi…!
Nyi Pari tertawa terkikih.
Sama sekali tidak buru-buru disahutinya pertanyaan pemuda berpakaian mewah itu.
Dia terus saja tertawa geli sambil menutup mulut.
"Ternyata aku lebih
cerdik darimu, Palguna. Kau tahu, akulah orang yang telah membuatmu tidak bisa
tidur semalaman di dalam bangunan tempat kau menyimpan kereta kuda," jelas
nenek berpakaian abu-abu itu setelah rasa gelinya hilang.
"Jadi... jadi...
kau...?!" terdengar ucapan gagap yang keluar dari mulut Palguna.
"Aku mengikuti
perjalananmu sejak kau keluar dari Lembah Malaikat, Palguna. Karena khawatir
kau akan membalas dendam pada Dewa Arak. Jadi, tidak perlu heran kalau aku tahu
semua sepak terjangmu di luar sana."
Kini Palguna pun mengerti
semuanya, tapi tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, Melati yang rupanya
sangat mendendam padanya, tidak akan tahan lagi menahan kesabaran.
"Hihhh...!"
Gadis berpakaian putih itu
melompat menerjang Palguna. Dan dalam sekali serang saja, tanpa ragu-ragu sudah
dikeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Naga Merah'!
Begitu tubuhnya telah berada
di udara, dan dekat dengan Palguna, mendadak gadis berpakaian putih itu memutar
tubuhnya sambil mengibaskan kaki. Inilah jurus 'Naga Merah Menyabetkan Ekor'.
Wuttt…!
Angin keras menderu tatkala
kaki Melati menyambar cepat ke arah pelipis Palguna. Andaikata mengenai
sasaran, kepala pemuda berpakaian mewah itu pasti akan pecah.
Palguna tentu saja tahu
kedahsyatan serangan itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
direndahkan. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal di atas kepalanya.
Pada saat yang sama, tangan kirinya menyodok cepat ke arah perut diiringi suara
mencicit nyaring.
Tapi Melati memang sudah
memperhitungkan hal itu. Maka tangan kanannya yang berbentuk cakar disampokkan
ke bawah.
Prattt...!
Palguna meringis begitu jari-jari
tangan Melati yang berbentuk cakar menghantam punggung tangannya. Kulit
tangannya langsung terkelupas. Bahkan darah segar pun merembes keluar.
"Hup...!"
Tepat saat Palguna melompat
mundur, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Secepat kedua kakinya
hinggap, secepat itu pula dilancarkan serangan susulan ke arah Palguna. Sesaat
kemudian kedua anak muda itu sudah terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
"Menyingkirlah dari situ,
Nyi Pari. Sebelum perasaan sabarku hilang dan turun tangan membunuhmu."
Sambil berkata demikian, Ki
Pancar melangkah menghampiri Nyi Pari. Ada sorot ancaman dalam raut wajah dan
suaranya.
"Kaulah yang akan
kulenyapkan, Pancar. Sudah sejak dulu aku merasa curiga padamu. Hanya karena Ki
Jasuri terlalu baik hati, aku tidak mengutarakan kecurigaanku. Tapi, diam-diam
aku selalu memperhatikan semua gerak-gerikmu. Dan ternyata, kecurigaanku
benar."
''Ha ha ha...! Hebat permainan
sandiwaraku, bukan?" sambut Ki Pancar sambil tertawa lebar.
"Hmh...!" Nyi Pari
mendengus. "Jangan terlalu yakin, Pancar. Aku tahu, sosok bayangan hitam
yang muncul dan menyerang Ki Jasuri adalah kau. Itu terjadi setelah beberapa
bulan kedatanganmu. Tidak salah bukan, dugaanku?"
Tawa kakek berwajah buruk
lenyap mendengar ucapan Nyi Pari.
"Tapi, kau pasti tidak
tahu, mengapa aku menyerang dengan cara menyamar dan menyembunyikan
wajah!"
"Hi hi hi...! Kau kira
aku sebodoh Palguna, Pancar?!" Nyi Pari tertawa mengejek.
"Aku tahu alasanmu. Apa
lagi kalau bukan karena takut kedokmu terbongkar? Bukankah begitu,
Pancar?!"
Kakek berwajah buruk tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Semua yang dikatakan nenek berpakaian abu-abu itu
memang benar!
"Aku pun tahu, siapa
adanya dirimu. Pancar. Itu setelah kau mengatakan kalau Turangga, kepala rampok
yang tewas di Desa Jambul adalah muridmu," sambung Nyi Pari lagi.
Ki Pancar terdiam tak
menyambuti. Tapi dari sikapnya terlihat jelas kalau dia tengah menunggu
kelanjutan ucapan nenek berpakaian abu-abu itu.
"Kau adalah Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa!" tandas nenek berpakaian abu-abu tegas.
Ki Pancar tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Akhirnya
kau tahu juga. Pari. Tapi sayang, sudah terlambat. Tidak ada lagi orang yang
akan bisa menghalangi tindakanku."
Setelah berkata demikian,
kakek berwajah buruk itu kembali melangkah maju. Seketika, hal ini membuat Nyi
Pari terkesiap. Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan, bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Memang, setelah yakin kalau Ki
Pancar adalah tokoh yang berjuluk Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, Nyi Pari jadi bersikap
hati-hati. Dia telah mendengar sepak terjang tokoh ini. Dia adalah tokoh yang
amat ditakuti di daerah Utara. Telah puluhan, bahkan ratusan kali bertarung
tanpa terkalahkan. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh persilatan golongan
putih yang tewas di tangannya. Karena wajahnya yang buruk dan tubuhnya yang
bungkuk, dia dijuluki Hantu Bungkuk. Dan karena tidak pernah ada orang yang
mampu mengalahkannya, dia mendapat julukan Tanpa Nyawa.
Telah belasan, bahkan mungkin
lebih dari dua puluh tahun, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bercokol di daerah Utara
tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya. Dari sini saja sudah bisa
diperkirakan kelihaian kakek berwajah buruk ini. Namun ketika mendengar banyak
tokoh hitam yang di atas tingkatannya mati oleh Ki Jasuri, maka dia mengatur
siasat untuk melenyapkannya. Salah satunya, menyamar jadi pembantu Ki Jasuri.
"Kuberikan kesempatan
bagimu untuk pergi. Pari. Cepat, sebelum keputusanku berubah!"
"Tidak! Sekali kubilang
tidak, selamanya akan tetap tidak!" tegas nenek berpakaian abu-abu itu.
"Kau mencari penyakit
sendiri, Pari!" Setelah berkata demikian, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa segera
menyerang Nyi Pari dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah dada.
Wuttt..!
Didahului desiran angin kuat,
kaki Ki Pancar me-luncur deras.
Nyi Pari tidak berani bersikap
sembarangan. Buru-buru dia melompat ke belakang, sehingga kaki Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa tidak mengenai dadanya, masih berjarak sekitar dua jengkal dari
sasaran semula.
Tapi serangan Ki Pancar tidak
hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan,
segera dilancarkan serangan susulan berupa tendangan miring ke arah leher
dengan kaki yang sama. Dan untuk itu, kaki kiri kakek berwajah buruk itu
terpaksa harus bergeser di tanah. Suara bergesekan keras terdengar ketika alas
kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bergesekan dengan tanah.
Nyi Pari terperanjat melihat
serangan yang seperti itu dapat dilancarkan lawan dalam waktu demikian cepat.
Khawatir kalau mengelak akan ada serangan susulan lain, ditangkisnya serangan
kaki itu dengan kedua tangannya.
Plak...!
"Aih...!"
Nyi Pari memekik tertahan
begitu sambungan pergelangan tangannya terasa seperti terlepas akibat
berbenturan dengan kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa. Sekujur tangannya terasa
sakit dan ngilu bukan kepalang. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung
dua langkah ke belakang.
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa
benar-benar hendak melenyapkan Nyi Pari. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun,
kembali dilancarkannya serangan susulan pada nenek berpakaian abu-abu itu.
Kini Nyi Pari harus berjuang
keras untuk menye-lamatkan selembar nyawanya dari serangan ganas lawan. Seluruh
ilmu yang diwariskan Ki Jasuri padanya dikerahkan. Sesaat kemudian, pertarungan
sengit terjadi antara kedua orang itu.
9
Di arena lain, pertarungan
yang berlangsung pun tak kalah serunya. Palguna harus mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi setiap serbuan Melati.
Gadis berpakaian putih yang
tengah dilanda kema-rahan hebat itu menguras seluruh kemampuannya untuk bisa
merobohkan Palguna secepat mungkin. Apalagi mengingat semua yang dilakukan
pemuda berpakaian mewah itu. Maka, ilmu 'Cakar Naga Merah' dikerahkan sampai ke
puncaknya. Serangannya susul-menyusul tak henti-hentinya seperti gelombang laut
Tapi betapapun pemuda
berpakaian mewah itu telah mengerahkan seluruh kemampuan, tetap saja tidak
mampu membendung gelombang serangan Melati. Putri angkat Raja Bojong Gading itu
memang lebih unggul dalam segala hal. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh,
maupun tenaga dalam. Tak aneh kalau Palguna terdesak hebat.
Pertarungan baru berlangsung
lima puluh jurus, tapi Palguna sudah terpontang-panting ke sana kemari untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Akhir pertarungan ini sudah bisa ditebak.
Pemuda berpakaian mewah ini akan roboh di tangan lawan.
Palguna kini sudah tidak
berdaya lagi mengadakan perlawanan. Serangannya hampir tidak pernah dikirimkan,
karena keadaannya memang sudah terjepit sama sekali. Yang lebih banyak
dilakukan adalah mengelak. Menangkis pun jarang sekali dilakukan, kecuali kalau
dalam keadaan yang sangat memaksanya berbuat demikian.
"Hih...!"
Di jurus keenam puluh satu,
Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna. Buru-buru
pemuda berpakaian mewah itu menjejakkan kaki, lalu melompat ke atas. Hasilnya,
tendangan Melati lewat di bawah kakinya.
Tapi saat inilah yang memang
ditunggu-tunggu Melati. Begitu tubuh lawan berada di atas, tangan kirinya
diluncurkan ke arah dada Palguna.
Palguna mengernyitkan dahinya
kebingungan. Sebuah pertanyaan besar menggayuti kepalanya. Mengapa gadis
berpakaian putih itu melancarkan serangan. Padahal, jelas-jelas bagian yang
menjadi sasarannya, tidak akan terjangkau serangan itu.
Akhirnya Palguna mengambil
keputusan untuk tidak menangkis serangan. Hatinya yakin kalau serangan Melati
tidak akan mencapai sasaran. Tambahan lagi, keadaan tubuh Palguna tengah berada
di udara. Dan ini menyulitkan untuk mengelakkan serangan itu. Dua alasan itulah
yang menyebabkan pemuda berpakaian mewah itu tidak mengelakkan serangan
lawannya.
Dan, inilah kesalahan Palguna!
Dia tidak tahu kalau Melati dengan keistimewaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya
mampu membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih panjang. Maka....
Bukkk...!
"Akh...!"
Palguna menjerit memilukan
ketika tangan Melati menghantam sasaran secara telak dan keras. Seketika itu
juga, tubuh pemuda berpakaian mewah itu terjungkal ke atas. Darah segar sekehka
menyembur deras dari mulut.
Brukkk...!
Setelah terlempar setinggi
empat tombak dari permukaan tanah, tubuh pemuda berpakaian mewah itu jatuh di
tanah menimbulkan suara keras. Hanya sesaat saja, tubuhnya berkelojotan,
kemudian diam tak bergerak lagi ketika nyawanya telah pergi meninggalkan raga.
Melati menatap mayat Palguna
dengan sinar mata puas. Sementara, Jasuri menatapnya dengan berbagai macam
perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa lega, sedih, dan terpukul. Karena
betapapun jahatnya, Palguna adalah muridnya dan sudah belasan tahun bersamanya.
Pemuda berpakaian mewah itu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Wajar jika
kematian Palguna menimbulkan kesedihan mendalam di hari kakek berpakaian putih
itu.
"Kang Arya...!" seru
Melati keras sambil berlari menghampiri Arya Buana.
"Hih...!" Melati
mengirimkan sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu
segera menjejakkan kakinya sambil melompat ke atas, sehingga tendangan Melati
lewat di bawah kakinya. Tetapi, saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati!
Dewa Arak tersenyum lebar,
walaupun ada rasa sakit yang mendera hatinya. Benarkah gadis yang dicintainya
itu
telah dinodai Palguna? Di
samping rasa sakit itu, ada pula rasa kasihan yang amat sangat. Rasa kasihan
pada Melati! Itulah sebabnya, Arya Buana berusaha untuk tetap tersenyum.
"Syukur kau selamat dari
tangan pemuda terkutuk itu, Melati," kata Arya Buana.
Leher Dewa Arak terasa dicekik
ketika Melati telah duduk pula di hadapannya. Sepasang mata pemuda berambut
putih keperakan itu menatap wajah putri angkat Raja Bojong Gading dengan
berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam hati.
"Nyi Pari yang
menyelamatkanku. Kang. Kalau tidak ada wanita yang baik hati itu, mungkin aku
sudah jadi korban nafsu setan si keparat Palguna!"
"Jadi... jadi... dia
belum memperkosamu...?" Dengan susah payah, kata-kata itu berhasil keluar
dari mulut Dewa Arak. Melati tersenyum.
"Untung saja, Nyi Pari
selalu datang tepat pada waktunya. Di saat, pemuda keparat itu mulai
menampakkan tanda-tanda akan bersikap kurang ajar, Nyi Pari datang dan
menyerangnya."
Rupanya, Nyi Pari orangnya
yang selalu menyelamatkan Melati secara diam-diam. Bahkan dia pula yang
mengirimkan surat peringatan, saat gadis itu tengah berbaring di dalam sebuah
kamar dalam bangunan tua milik Palguna.
Kemudian, Melati pun
menceritakan pertemuannya dengan Palguna.
"Lalu, aku dibawanya
pergi dengan kereta, Kang," lanjut Melati setelah sedikit bercerita.
"Di tengah perjalanan, dia yang rupanya masih merasa penasaran, sehingga
mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya. Untung Nyi Pari datang dan menyerang
sehingga usahanya gagal."
Melati menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam Sementara Dewa Arak mendengarkan
cerita kekasihnya penuh perhatian.
"Jadi, Nyi Pari berhasil
mengalahkan Palguna?" tanya pemuda berpakaian ungu itu. Melati menggeleng.
"Atau, Nyi Pari yang
dikalahkan?" Dahi Arya Buana berkernyit
"Tidak juga, Kang. Mereka
bertarung hanya beberapa gebrakan saja. Nyi Pari tidak berani melawan Palguna,
karena termasuk majikannya. Dia hanya menyerang di saat Palguna hendak berbuat
tak senonoh padaku. Beberapa gebrak menyerang, kemudian kabur," jelas
Melati.
Arya Buana
mengangguk-anggukkan kepala. Entah karena mengerti, atau karena alasan lain.
Hanya dia sendiri yang tahu.
"Hm.... Jadi, Nyi Pari
mengikuti perjalanan Palguna yang membawamu?" tanya Arya Buana mulai
mengerti.
"Ya. Baru ketika Palguna
pergi, Nyi Pari membebaskanku. Lalu kami datang kemari," tutur Melati
menutup ceritanya.
"Hm... tidak bisa
kubayangkan kalau seandainya Nyi Pari tidak ada, Melati," kata Dewa Arak
lirih. Ditatapnya wajah gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"Jangan berkata begitu,
Kang," selak Melati. "Aku ngeri mendengarnya. "
"Hhh...!"
Arya Buana menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sepasang matanya dilayangkan ke
depan.
Sementara itu di arena
pertarungan, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa terlalu sakti untuk bisa ditandingi Nyi
Pari. Setelah pertarungan berlangsung empat puluh lima jurus, nenek berpakaian
abu-abu itu sudah terdesak hebat.
Yang dapat dilakukan Nyi Pari
hanya mengelak saja. Berbeda dengan di awal-awal pertarungan. Dia selalu
menyerang Ki Pancar. Semakin lama mereka bertarung, semakin jarang serangan
yang dilancarkan nenek berpakaian abu-abu itu. Sampai akhirnya, Nyi Pari tidak
bisa melancarkan serangan lagi, karena sibuk menyelamatkan diri. Dia hanya
mengelak dan menangkis serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan.
Padahal, Nyi Pari telah
mengeluarkan senjata andalannya berupa sebuah kipas baja yang berujung runcing.
Senjata itu bisa digunakan untuk mengebut, di samping itu juga sebagai pedang
karena ujungnya runcing.
"Hih...!"
Tukkk...!
"Akh...!"
Nyi Pari terpekik pelan ketika
ujung kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menghantam sikunya. Seketika itu pula
sekujur tangannya lumpuh, dan kipas baja itu pun terjatuh pula dari cekalan.
Nenek berpakaian abu-abu itu
terperanjat. Pada saat itu, tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kembali meluncur
ke arah dada kanannya.
Nyi Pari terkejut bukan
kepalang. Disadari kalau sampai terkena serangan itu, nyawanya akan melayang ke
alam baka. Maka buru-buru tubuhnya bergerak mengelak, dengan melangkah dan
menggeser tubuh.
Plakkk...!
Nyi Pari memekik kesakitan
ketika tangan Ki Pancar menghantam bahunya. Nenek berpakaian abu-abu ini kalah
cepat. Maka meskipun telah mengelak, tetap saja serangan lawan mengenai
tubuhnya. Untung saja, tidak mengenai sasaran yang diharapkan. Tapi meskipun
begitu, tak urung tubuh Nyi Pari terhuyung-huyung. Darah segar memercik keluar
dari mulut nenek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak yang saat itu
memperhatikan pertarungan, langsung tersentak. Di saat itulah, Arya Buana
memberitahukan pada Melati agar membantu Nyi Pari. Maka gadis berpakaian putih
itu langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan jari-jari tangannya
terkembang membentuk cakar. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...!
Serentetan angin pukulan
menyambar ke arah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang siap melancarkan serangan
susulan ke arah Nyi Pari.
Kakek berwajah buruk itu
terperanjat begitu me-rasakan angin keras meluncur. Disadari kalau serangannya
diteruskan, maka pukulan jarak jauh itu akan menghantam tubuhnya, sebelum
serangannya sendiri bersarang di tubuh Nyi Pari.
Terpaksa Ki Pancar membatalkan
serangan, dan langsung melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan di tanah
menyelamatkan diri.
Ketika Hantu Bungkuk Tanpa
Nyawa ini bergerak bangkit dari bergulingan, Melati telah berada di depan Nyi
Pari.
"Menyingkirlah,
Nyi," ujar gadis berpakaian putih itu bernada perintah.
Nyi Pari tidak berani
membantah. Dia tahu, dirinya bukan tandingan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang
lihai itu. Maka kakinya melangkah, menjauhi pertarungan. Tak lupa, tubuh
majikannya diangkat, dan dibawa ke tempat aman.
Nenek berwajah segar itu akan
mengobati luka dalam majikannya. Tapi, tentu saja lukanya harus diobati
terlebih dahulu.
Sementara Hantu Bungkuk Tanpa
Nyawa tahu, gadis yang berdiri di hadapannya ini tidak bisa disamakan dengan
Nyi Pari. Terbukti, Melati telah berhasil membinasakan Palguna. Padahal, pemuda
berpakaian mewah itu memiliki tingkat kepandaian tidak di bawah Nyi Pari.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki
Pancar segera menyerang Melati. Gadis berpakaian putih yang memang telah
bersiap itu segera menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua orang
tokoh sakti ini pun tidak bisa dihindari lagi.
Meskipun yakin akan kepandaian
Melati, tapi mengingat kelihaian kakek berwajah buruk itu, Dewa Arak merasa
khawatir juga. Maka begitu melihat Melati mulai berhadapan dengan Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa, dia pun bergegas kembali bersemadi. Arya Buana buru-buru ingin
menyembuhkan luka dalam yang diderita, agar bisa segera membantu apabila
diperlukan.
Pertarungan antara Melati
menghadapi Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa memang berlangsung seru bukan kepalang.
Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang. Baik Melati maupun Ki Pancar
memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang setingkat.
Tak heran meskipun pertarungan
telah berlangsung lebih dari tujuh puluh jurus lamanya, tidak nampak ada
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih terlihat seru
dan seimbang.
"Keparat...!"
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa
menggertakkan gigi. Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketangguhan
gadis berpakaian putih itu. Perasaan geram yang timbul akibat dari rasa malu
dan terhina, karena gadis berpakaian putih itu sanggup mengimbanginya.
Mendadak tangan kakek berwajah
buruk itu bergerak, dan....
Srattt...!
Sinar terang berkeredep ketika
di tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa telah tergenggam sebilah golok besar yang
matanya bergerigi mirip gergaji. Dan begitu golok itu terhunus, langsung saja
diluncurkan cepat ke arah dada Melati.
"Hih...!"
Melati menggigit bibirnya
kuat-kuat. Dan sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah terlempar ke belakang.
Sehingga, serangan golok Ki Pancar tidak mengenai sasaran.
Selagi tubuhnya berada di
udara, tangan Melati bergerak ke arah punggung. Dan begitu kedua kakinya
mendarat, di tangan gadis berpakaian putih itu telah tergenggam pedang.
Wunggg...!
Suara menggerung dahsyat
seperti seekor naga murka terdengar ketika Melati menggerakkan pedangnya.
Kembali kedua belah pihak
melanjutkan pertarungan. Tapi, kali ini masing-masing telah menggenggam
senjata. Dengan sendirinya pertarungan jadi berlangsung lebih seru. Suara
menggerung, mencicit, dan mengaung menyemaraki pertarungan.
Di jurus-jurus awal sewaktu
menggunakan senjata, pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung seru. Baik
Melati maupun Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, saling serang dengan hebatnya.
Berkali-kali bunga api memercik ke udara setiap kali pedang dan golok itu berbenturan.
Tapi menginjak jurus ketujuh
puluh tiga dalam permainan senjata. Melati mulai terdesak. Dan hanya karena
kehebatan ilmu 'Pedang Seribu Naga'nya, yang membuat Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa
tidak mampu merobohkan Melati. Memang ilmu 'Pedang Seribu Naga' mempunyai
pertahanan kuat.
Hampir Hantu Bungkuk Tanpa
Nyawa putus asa menyadari kenyataan ini. Dia, datuk yang amat terkenal tidak
mampu mengalahkan seorang gadis belia yang sudah berhasil didesaknya!
Rasa malu dan penasaran
membuat Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyerang semakin kalang kabut. Dia menyerang
tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di benaknya hanya satu Melati
harus bisa di tewaskan!
"Haaat...!"
Sambil berteriak melengking
nyaring, kakek berwajah buruk itu menusukkan goloknya ke arah perut Melati.
"Hih...!"
Dengan sebuah gerakan aneh,
Melati menjejakkan kakinya ke tanah. Mendadak bagian tubuhnya yang mulai dari
pinggang ke bawah, terangkat naik. Kini, dia seperti tertelungkup di udara,
dengan bagian tubuh bawah lebih tinggi daripada atas. Inilah jurus 'Naga Merah
Mengangkat Ekor'.
Singgg...!
Golok Hantu Bungkuk Tanpa
Nyawa menyambar lewat di bawah dada Melati, hanya berjarak beberapa jari saja.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Melati. Pada saat tubuhnya terangkat, pedang di tangannya
dibabatkan ke arah leher lawan.
Ki Pancar kaget bukan kepalang
melihat serangan ini. Dicobanya untuk mengelak, tapi karena serangan itu
demikian cepat. Tambahan lagi, perasaan kalap yang melanda membuat
kewaspadaannya agak berkurang. Maka....
Cappp...!
Kepala Hantu Bungkuk Tanpa
Nyawa kontan terlepas dari tubuhnya ketika pedang Melati dengan telak menyambar
sasaran. Darah langsung menyembur deras dari bagian yang terluka.
Tanpa sempat bersambat lagi,
tubuh kakek berwajah buruk itu roboh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi
untuk selamanya. Mati!
"Hup...!"
Melati mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Pada saat yang sama. Dewa Arak pun telah selesai mengobati
lukanya. Begitu pula Nyi Pari dan Ki Jasuri.
Seperti diberi aba-aba ketiga
orang itu berjalan menghampiri Melati.
"Kau hebat, Melati,"
puji Nyi Pari kagum. Sepasang matanya menatap takjub wajah gadis berpakaian
putih itu.
"Terima kasih atas pujian
dan juga atas pertolonganmu, Nyi," balas Melati.
"Benar, Nyi,"
sambung Dewa Arak. "Tanpa pertolonganmu, entah apa yang akan terjadi pada
kekasihku. "
"Lupakanlah," Ki
Jasuri yang menyambuti. "Di antara sesama manusia, memang musti
tolong-menolong."
"Kalau begitu, kami pamit
dulu, Ki, Nyi," pamit Dewa Arak buru-buru. "Masih ada urusan yang
akan kami selesaikan."
"Oh! Silakan, Dewa
Arak," sambut Ki Jasuri. "Tapi jangan lupa, singgahlah kemari
nanti."
"Akan kuusahakan,
Ki," sahut Arya Buana tak berani memastikan.
Setelah berkata demikian, Arya
Buana dan Melati meninggalkan Lembah Malaikat, diiringi tatapan mata penuh
kagum dari Ki Jasuri dan Nyi Pari. Kini bayangan tubuh sepasang pendekar itu
lenyap di kejauhan.
SELESAI