02 - Dewi Penyebar Maut
"Ayah...," suara
pelan mengandung isak terdengar memecah kesunyian pagi. Suara itu berasal dari
sebuah mulut mungil berpakaian serba putih yang duduk bersimpuh di depan sebuah
gundukan tanah merah.
Wajah sosok tubuh ramping ini
tidak terlihat karena kepalanya tertunduk .
"Aku menyesal sekali,
Ayah...," kembali suara mengandung isak itu terdengar. Menilik suaranya
yang begitu menyayat, dapat diperkirakan kalau sosok tubuh ramping ini adalah
seorang wanita.
"Kalau aku tidak datang
terlambat, mungkin Ayah tidak meninggal. Aku menyesal sekali. Tapi, tenanglah
di dalam kuburmu. Akan kubalaskan sakit hatimu. Akan kubunuh mereka yang telah
secara curang mengeroyok mu. Dengar janjiku ini, Ayah. Kalau tidak berhasil
memenuhi janjiku ini, maka akan kuganti namaku, Ayah. Akan kubuang nama
Melati!"
Tegas dan mantap sekali ucapan
terakhir yang keluar dari mulut sosok yang berpakaian serba putih, dan ternyata
bernama Melati itu. Apalagi kata-kata itu ditutup dengan kepalan tangannya di
depan dada, sambil mengangkat wajah! Tangan yang terkepal itu begitu indah!
Jari jemarinya terlihat lentik, halus, dan berkulit putih mulus.
Punggung tangannya yang tidak
tertutup baju bertangan panjang itu pun putih, halus, dan mulus! Tetapi bila
dibandingkan dengan wajah yang kini nampak jelas itu, tangan itu tidak berarti
apa-apa. Wajah sosok serba putih itu begitu cantik
jelita, laksana Dewi! Kulit
wajahnya putih, halus, dan mulus. Hidungnya mbangir, dan bibirnya yang tipis
dan mungil itu berwarna merah segar.
Hanya satu yang menyeramkan
pada gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Sepasang matanya yang
tajam mencorong, dan bersinar kehijauan! Persis seperti sorot mata kucing dalam
gelap.
Setelah mengucapkan sumpahnya,
Melati bangkit dari duduknya, kemudian melesat dari situ. Cepat sekali
gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja, hanya terlihat sebuah titik di
kejauhan yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
***
Seraut wajah cantik jelita
berpakaian serba putih, dengan sikap tak acuh melangkah memasuki sebuah kedai
di Desa Waringin. Dihampirinya sebuah meja yang masih kosong. Dan dengan malas
dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Tak dipedulikan berpasang-pasang mata yang
menatap liar ke arahnya.
Sang pemilik kedai, seorang
setengah tua yang berwajah totol-totol hitam, tergopoh-gopoh datang
menghampirinya.
"Mau pesan apa,
Nisanak?" tanya pemilik kedai ramah.
Wanita yang tidak lain dari
Melati ini lalu memesan makanan yang disukainya. Suaranya begitu merdu.
Sang pemilik kedai mengangguk-angguk
mengerti, kemudian berlalu untuk menyiapkan pesanan itu. Sebelum berlalu,
mulutnya sempat berbisik pelahan pada Melati.
"Hati-hati, Nisanak. Di
sini banyak orang jahat. Kalau bisa, cepatlah pergi dari sini..."
Melati hanya tersenyum sinis.
Sama sekali tidak digubris peringatan. pemilik kedai itu.
Tidak lama, pemilik kedai itu
sudah kembali sambil membawa makanan pesanan Melati. Setelah mempersilakan, ia
pun berlalu dari situ.
Baru beberapa langkah pemilik
kedai itu meninggalkan meja Melati, dua orang berwajah kasar yang sejak tadi
menatap liar pada Melati, bangkit dari kursinya. Tampaknya mereka melangkah
mendekati meja Melati.
"Nisanak...," ucap
salah seorang di antara mereka yang berkulit hitam dan berwajah penuh
bercakbercak putih. Lagaknya membuat Melati merasa perutnya mual. "Makan
sendirian tidak enak. Lebih baik pindah ke meja kami, dan kita makan
bersamasama."
"Benar, Nisanak,"
sambut seorang lagi, yang bermulut lebar.
"Lalat-lalat kotor
menyebalkan!" ucap Melati tak acuh. Tanpa mempedullkan mereka, gadis itu
terus saja melanjutkan makannya. "Aku heran, kenapa di kedai sebersih ini
masih ada dua ekor lalat busuk yang menjemukan?!"
"Keparat!" teriak si
muka hitam berang. "Perempuan tak tahu diuntung! Berani benar kau menghina
Sepasang Setan Hitam?! Kau harus dihukum atas kekurangajaranmu itu! Kecuali
kalau kau mau meminta maaf dan mencium kami masingmasing sepuluh kali."
"Ya, betul," sambut
si mulut lebar. Sudah terbayang di benaknya betapa nikmat dicium gadis secantik
wanita berpakaian serba putih ini.
Sepasang mata Melati mencorong
mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Tangannya yang tengah menyuap nasi,
terhenti di depan mulut.
"Lalat-lalat busuk
bermulut kotor! Orang seperti kalian tidak pantas hidup lebih lama lagi!"
bentak gadis itu geram.
"Ha ha ha...!" si
mulut lebar tertawa bergelak. "Kau dengar apa yang dikatakannya, Kang?
Lucu! Sungguh lucu! Kelinci hendak mengalahkan harimau!"
Si muka hitam yang berangasan
tidak menyahuti gurauan rekannya. Sambil mendengus seperti kerbau marah, kedua
tangannya begitu kurang ajar hendak mencengkeram ke arah dada Melati.
Wajah gadis itu langsung
memerah melihat serangan yang kurang ajar ini. Seketika itu juga tangannya
cepat bergerak menyambut. Dan di lain saat, dua tangan yang mungil dan indah
itu sudah mencekal pergelangan kedua tangan si muka hitam yang terarah ke dada.
Pelahan sekali tangan gadis itu meremas, tetapi akibatnya hebat bukan kepalang!
Terdengar suara gemeretak tulang patah dari pergelangan si muka hitam. Kelihatannya
tulangtulang itu hancur diremas tangan mungil yang mengandung tenaga dalam
tinggi itu.
"Akh ... !" si muka
hitam berteriak kesakitan. Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di
wajahnya karena menahan rasa sakit pada kedua tangannya.
Si muka hitam kaget bukan
main. Sekuat tenaga ditarik kedua tangannya yang dipegangi Melati. Tapi betapa
pun telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja dia tidak mampu membebaskan
kedua tangannya dari cekalan tangan halus itu. Belum lagi sempat berbuat sesuatu,
tangan kiri gadis berpakaian serba putih itu sudah bergerak menampar pelipis si
muka hitam.
Prakkk...!"
"Akh ... !"
Terdengar suara berderak keras
ketika tangan halus gadis itu menghantam pelipis si muka hitam. Orang pertama
dari Sepasang Setan Hitam ini mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke tanah dengan
napas putus.
Si mulut lebar meraung murka
melihat temannya tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa kematian rekannya yang
begitu mudah menjadi suatu tanda betapa tingginya kepandaian yang dimiliki
gadis berpakaian serba putih itu. Dengan amarah meluap-luap, dicabut senjatanya
yang berupa sebuah kapak dari baja putih. Seketika diayunkannya senjata itu ke
kepala Melati. Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu.
Wuttt..!
Angin keras berhembus sebelum
serangan kapak itu tiba. Tetapi, Melati sama sekali tidak gugup melihat
serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya sedikit, maka kapak itu lewat
beberapa rambut di depan mukanya. Dan sebelum kapak itu menghantam meja, tangan
Melati sudah bergerak cepat menotok pergelangan tangan si mulut lebar.
Si mulut lebar mengeluh
tertahan. Pergelangan tangannya terasa lumpuh, sulit digerakkan lagi. Dan
sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah berpindah ke tangan Melati.
Begitu tangan gadis yang kini telah menggenggam kapak itu bergerak, si mulut
lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya sendiri. Beberapa saat lamanya
tubuh salah satu dari Sepasang Setan Hitam itu menggelepar-gelepar sebelum
akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selamalamanya.
Setelah menewaskan si mulut
lebar, Melati kembali duduk menghadapi mejanya. Sikapnya tak acuh, seolah-olah
tidak pernah terjadi apa-apa. Para pengunjung yang melihat keganasan gadis itu
menjadi ngeri.
Beberapa di antara mereka
secara diam-diam meninggalkan kedai itu setelah membayar makanannya. Tentu saja
Melati mengetahuinya. Tapi, gadis itu tidak mempedulikan. Terus saja
dilanjutkan makannya yang tertunda.
Tak lama kemudian, Melati
menyelesaikan makannya. Diletakkan pembayarannya di atas meja. Dengan sikap
tidak peduli, dilangkahkan kakinya berjalan ke luar kedai.
Sepeninggal Melati, maka
terdengarlah suarasuara bergumam mirip kerumunan lebah di dalam kedai itu.
Semuanya sibuk membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Sayang sekali!"
ucap salah seorang pengunjung menyayangkan. "Siapa sangka kalau di balik
wajah cantik seperti Dewi, tersembunyi hati yang kejam."
"Benar!" sambut yang
lain. "Begitu mudah dan enaknya ia menyebar maut di sini!"
"Tindakannya seperti
Malaikat Pencabut Nyawa saja!" orang pertama menyahuti lagi.
"Ah, tidak cocok
dong!" sergah yang lain.
"Mana ada malaikat
wanita! Kalau menurutku, julukan yang pantas baginya adalah Dewi Penyebar
Maut!"
"Benar ... !" sahut
salah seorang.
"Akur ... !"
Sejak peristiwa di kedai itu,
tanpa sepengetahuan Melati sendiri, ia telah dijuluki orang Dewi Penyebar Maut.
Dalam waktu sebentar saja, julukan itu telah menyebar ke seluruh pelosok desa.
Bahkan sampai ke desa-desa sekitar.
Dewi Penyebar Maut, sebuah
julukan bagi seorang gadis cantik yang berpakaian serba putih, tapi berhati
kejam.
***
"Perguruan Elang
Sakti," gumam Melati sinis, membaca tulisan pada sebuah papan besar dan
tebal yang tergantung di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar yang
dikelilingi tembok tinggi.
"up !".
Melati melompati tembok yang
tingginya tidak kurang dari satu tombak itu. Tanpa suara, kakinya mendarat
seperti seekor kucing.
Tetapi belum juga gadis itu
berbuat sesuatu, terdengar sebuah bentakan keras.
"Berhenti!"
Melati menoleh ke arah asal
suara itu. Nampak di depannya berdiri seorang pemuda gagah dengan kedua tangan
bersedekap. Tatapan matanya penuh selidik. Tetapi, sepasang mata yang semula
tajam itu mendadak lunak begitu melihat wajah Melati.
"Eh! Nggg..., siapa Nini?
Mengapa masuk secara gelap-gelapan?" tanya pemuda itu gagap.
"Siapa pun aku, tidak
perlu kau tahu. Yang jelas, kedatanganku ke sini adalah karena mempunyai
keperluan yang sangat penting dengan gurumu!" sahut Melati sambil
tersenyum sinis.
"Ahhh.... Ada keperluan
apakah, sehingga Nini ingin bertemu guruku?"
"Aku ingin mengirimnya ke
akherat!" lantang dan tegas kata-kata Melati.
"Apa?!" Sepasang
mata pemuda itu terbelalak. Kini sikapnya seketika berubah kembali.
"Jangan harap mampu melakukannya sebelum melangkahi mayatku!"
"Hi hi hi...! Berapa sih,
susahnya melangkahi mayatmu?!" ejek Melati tajam, setelah tawa mengikiknya
selesai.
"Boleh kau coba!"
tantang pemuda itu.
"Manusia dungu yang suka
mencari penyakit sendiri! Jangan salahkan aku kalau kau mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian,
tubuh Melati berkelebat ke arah sasaran. Pemuda itu kaget sekali. Yang terlihat
hanya sekelebat bayangan yang cepat meluruk ke arahnya. Dengan sebisanya,
pemuda itu bergerak menangkis. Tapi usahanya sia-sia.
Crokkk!
"Aaakh...!"
Pemuda malang itu langsung
rubuh sambil berteriak keras menyayat. Darah segar seketika membasahi
ubun-ubunnya yang pecah!
Tanpa mempedulikan keadaan
pemuda itu lagi, Melati bergerak menghampiri pintu gerbang. Tepat di depan
pintu gerbang itu langkahnya terhenti seraya bertolak pinggang.
"Satria, Mega..., keluar!
Kalian harus menerima kematian!" teriak Melati lantang.
Teriakan Melati yang disertai
pengerahan tenaga dalam, langsung menggema ke sekitar tempat itu. Akibatnya
sudah bisa diduga. Belasan murid Perguruan Elang Sakti bermunculan, dan
bersikap waspada.
"Iblis dari mana yang
tersesat ke sini?!" tanya salah seorang murid kepala, bernada kasar.
Kemudian dengan amarah meluap-luap, dihampirinya Melati. Untuk sesaat hatinya
terperangah melihat kecantikan si pengacau yang luar biasa itu. Tapi, sekejap
kemudian perasaannya sudah bisa dikuasai.
Tetapi sebelum Melati
menjawab, terdengar sebuah suara dari arah belakang para murid itu.
"Mundur, Kusna!"
Si murid kepala yang ternyata
bernama Kusna, segera mengenali suara gurunya. Maka buru-buru dia melangkah
mundur. Seiring mundurnya Kusna, dari belakang kerumunan murid itu menyeruak
dua orang pria berusia tiga puluhan.
"Kaliankah yang bernama
Satria dan Mega itu?" tanya Melati sinis.
"Tidak salah! Aku Satria,
dan ini temanku, Mega," jawab Satria yang kini bersama Mega menjadi Ketua
Perguruan Elang Sakti (Untuk mengetahui kisah tentang Satria dan Mega
sebelumnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang
Bintang").
"Ada urusan apakah,
sehingga Nini datang mencari kami? Bahkan dengan cara yang sangat tidak
sopan!"
Wajah Melati berubah beringas
melihat orang yang dicarinya telah di depan mata.
"Hutang nyawa!"
sahut gadis itu keras, bernada penuh kebencian.
Berkerut kening Satria
mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu.
"Hutang nyawa? Aku tidak
mengerti maksudmu, Nini. Apakah kau tidak salah alamat?"
"Tidak!" bentak
Melati lagi. "Bersiaplah kalian berdua untuk menerima kematian!"
"Tunggu dulu, Nini!"
cegah Satria cepat. "Kalau boleh tahu, siapakah yang telah kami
bunuh?"
Semakin beringas wajah Melati.
Kini sepasang matanya mencorong tajam bersinar kehijauan.
"Ayahku," jawab
Melati, agak ditekan suaranya.
"Ayahmu? Siapa nama
ayahmu?" tanya Mega cepat.
"Ayahku berjuluk Raja
Racun Pencabut Nyawa! Jelas?! Atau masih mau mungkir?" Geraham Melati
bergemeletuk, karena menahan amarah (Bila ingin jelas tentang Raja Racun
Pencabut Nyawa, silakan baca serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang
Bintang").
"Tidak mungkin!"
potong Satria cepat. "Raja Racun itu tidak mempunyai anak, lagipula..."
"Terimalah kematianmu,
manusia pengecut!" potong gadis itu cepat sambil menyerang Satria dengan
mendorongkan tangannya ke depan.
Wuuuttt ... !
Angin kuat berhembus menyambar
ke arah Satria. Ketua Perguruan Elang Sakti ini buru-buru melempar tubuh ke
samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Akibatnya serangan itu lewat
terus ke belakang dan kontan menghantam murid-murid Satria yang tidak sem pat
mengelak lagi.
Suara jerit kesakitan
terdengar saling susul, ketika pukulan jarak jauh Melati menghantam mereka.
Tidak kurang dari lima orang terjengkang rubuh ke belakang dengan dada pecah!
Satria dan Mega terkejut bukan
main. Dalam segebrakan saja dapat diketahui kalau gadis berpakaian serba putih
ini memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera
mencabut senjatanya dan menyerang secara berbareng.
"Hi hi hi...,"
Melati tertawa mengikik. "Keroyoklah aku, manusia-manusia pengecut! Tapi,
kali ini jangan harap akan semujur dulu!" berbareng dengan selesainya
Melati mengucapkan ancamannya, serangan dua batang pedang itu telah menyambar
kembali. Tetapi, gadis itu hanya tersenyum sinis.
Kemudian, tangannya yang
telanjang segera memapak bacokan kedua pedang itu.
Satria dan Mega kaget sekali.
Apa yang diperbuat gadis berpakaian serba putih ini benar-benar membuat mereka
terkejut. Menangkis serangan pedang dengan tangan telanjang, membutuhkan tenaga
dalam yang amat tinggi. Dan selama ini hanya Bargolalah yang berani menangkis
seperti itu (Baca; Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Mungkinkah gadis yang mengaku putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu mempunyai
tenaga dalam setingkat Bargola? Tapi....
Trakkk! Trakkk!
Satria dan Mega menyeringai.
Tangan dua orang Ketua Perguruan Elang Sakti yang menggenggam pedang, terasa
lumpuh ketika tangan telanjang gadis itu menangkis pedang mereka. Hampir saja
pedang mereka terlepas dari genggaman. Kini, terbukti bahwa tenaga dalam yang
dimiliki gadis itu benarbenar setingkat dengan Bargola.
"Hi hi hi...,"
kembali Melati tertawa mengikik.
Hati gadis itu kelihatan
gembira melihat kedua lawannya kaget. Sengaja dia tidak terburu-buru
membinasakan, karena ingin melihat mereka ketakutan sebelum maut menjemput.
"Kini, terimalah kematian
kalian!"
Setelah berkata demikian,
tubuh Melati melesat cepat menerjang kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu.
Jari jari kedua tangannya berkelebat cepat, membentuk cakar naga. Angin tajam
berciutan mengiringi tibanya serangan itu.
Satria dan Mega kebingungan.
Gerakan lawan yang terlalu cepat membuat mereka tidak dapat menduga, ke arah
mana dan dengan cara bagaimana gadis itu menyerang. Dengan cara untung-untungan
mereka memutar pedang bagai baling-baling untuk membuat pertahanan.
Tapi, mendadak putaran pedang
itu lenyap. Sedangkan pedang-pedang itu sendiri sudah berpentalan jatuh ke
lantai, sehingga menimbulkan suara berkerontangan. Satria dan Mega tidak tahu
bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, tiba-tiba sekujur tangan mereka terasa
lumpuh. Tetapi diyakini, pasti tangan gadis berpakaian serba putih itu telah
menotok pergelangan tangan mereka. Dan belum lagi dapat berbuat sesuatu, tangan
Melati telah menyambar pelipis dan ubun-ubun mereka, yang merupakan dua bagian
tubuh yang mematikan.
Crokkk! Plakkk!
Terdengar suara berderak dua
kali berturut-turut Dan seiring lenyapnya suara itu, tubuh Satria dan Mega
rubuh ke tanah, tanpa bersuara lagi. Mati.
Tentu saja kematian kedua
pemimpin Perguruan Elang Sakti itu membuat para muridnya menjadi terkejut
bercampur marah. Dengan serentak mereka yang kini berjumlah tiga belas orang,
mencabut senjata masing-masing.
Srattt! Srattt! Srattt!
Melati hanya tersenyum sinis.
"Aku tidak mempunyai
urusan dengan kalian. Kuperingatkan, jangan ikut campur dalam masalah ini,
kalau tidak ingin bernasib seperti guru kalian," ancam gadis itu.
"Perempuan keparat! lblis
berwajah manusia! Kau kira kami takut mati? Serbuuu ... !" teriak salah
seorang dari mereka.
Tiga belas orang murid itu pun
serentak menerjang Melati. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan
golok berkelebat menyambar sekujur tubuh gadis itu. Tapi Melati melayani hanya
dengan senyum sinis.
Dan seketika kedua tangannya
yang lembut dan halus itu memapak semua serangan lawannya, sekaligus memberikan
sera ngan-serangan balasan.
Akibatnya sudah bisa diduga.
Ke mana tangan atau kaki Melati bergerak, berarti di situ ada korban. Dan dalam
waktu yang singkat, tidak ada seorang pun murid Perguruan Elang Sakti yang
masih berdiri. Semua telah terkapar tanpa nyawa.
Melati memandangi hamparan
mayat-mayat di sekelilingnya beberapa saat. Pandang matanya berhenti agak lama
pada tubuh Satria dan Mega. Kepalanya pun kemudian menengadah.
"Ayah...," desis
gadis itu pelan tapi tajam. "Lihatlah! Telah kubalaskan dendammu. Telah
kubunuh dua dari empat orang yang telah secara pengecut mengeroyokmu! Kini
tinggal dua orang lagi, Ayah. Dan setelah itu tenanglah kau di alam sana!"
Belum habis gema suaranya,
Melati sudah melesat dari situ. Tujuannya jelas, mencari pembunuh Raja Racun
Pencabut Nyawa. Masih tinggal dua orang lagi yang dicarinya. Ningrum, dan Ular
Hitam.
Tanpa sepengetahuan Melati,
ada sepasang mata yang mengintai semua perbuatannya. Dan begitu dilihatnya
gadis itu telah pergi, baru si pemilik sepasang mata itu berani keluar.
Ditatapnya belasan sosok tubuh yang terkapar bergelimpangan disertai perasaan
ngeri.
"Sungguh ganas dan kejam
sekali, Dewi Penyebar Maut itu...," desahnya bergidik. Memang, dia juga
sudah melihat peristiwa di kedai beberapa hari yang lalu, sewaktu Melati
menewaskan Sepasang Setan Hitam. Oleh karena itu, begitu melihat, langsung
dikenalinya.
"Tolooong ... ! Tolooong
... ! Ada pembunuhan!" teriaknya sambil berlari ke luar.
Dalam waktu sebentar saja,
halaman depan Perguruan Elang Sakti dipenuhi penduduk yang berkumpul karena
mendengar teriakan itu! Dan julukan Dewi Penyebar Maut pun, kembali digumamkan
orang dengan perasaan ngeri.
Suara irama napas teratur,
tetap, dan berulang-ulang terdengar memecah keheningan pagi dalam sebuah hutan
di luar Desa Kemukus. Suara itu ternyata berasal dari hidung dan mulut seorang
gadis yang tengah bersemadi.
Gadis itu berwajah cantik
manis, dan berpakaian serba hijau. Di pipi kirinya bertengger sebuah tahi
lalat, yang membuat wajahnya yang memang cantik itu kian bertambah menarik.
Gadis itu adalah Ningrum, putri Raja Pisau Terbang. Sudah beberapa hari ini,
gadis itu berada di hutan. Dia memang dalam perjalanan mengikuti jejak Arya
Buana, si Dewa Arak yang telah membuat hatinya terguncang pada pandangan
pertama.
Selama beberapa hari di dalam
hutan ini, Ningrum berlatih keras. Gadis ini merasa kecewa menyadari betapa
kepandaiannya masih terlalu rendah. Sehingga sewaktu menghadapi Raja Racun
Pencabut Nyawa, ia terdesak. Padahal, waktu itu ia dibantu dua orang murid
kepala Perguruan Tangan Sakti! Hal ini membuatnya penasaran sekali.
Maka, dalam perjalanannya
menyusuri jejak pemuda berambut putih keperakan, ia selalu menyempatkan diri
untuk berlatih. Tapi bila situasinya tidak memungkinkan, dia hanya bersemadi
dan latihan pemapasan saja. Dan bila situasinya memungkinkan, ia pun melatih
pula jurus jurus pisau terbang dan tangan kosong.
Pelahan-lahan sang mentari
mulai meninggi.
Sinarnya yang hangat pun mulai
menerpa sekujur tubuh dan wajah Ningrum. Tapi, sedikit pun gadis itu tidak
terganggu, dan tetap tenggelam dalam semadinya. Napasnya keluar masuk dengan
irama tetap.
Putri Raja Pisau Terbang ini
baru menghentikan semadi, ketika pendengarannya yang tajam menangkap
suara-suara langkah kaki menuju ke arahnya.
Baru saja Ningrum membuka
mata, di depannya, telah berdiri beberapa sosok tubuh berwajah kasar sambil
menatap liar. Bergegas gadis yang bertahi lalat di pipi kiri ini bangkit dari
bersilanya. Melihat dari gelagatnya, Ningrum tahu bahwa saat ini tengah
berhadapan dengan orang-orang yang tidak berniat baik.
"Ha ha ha...! Sungguh
tidak disangka di dalam hutan ini aku dapat bertemu seorang bidadari! Ha ha
ha...! Mimpi apa aku semalam?!" seru orang paling depan yang bertubuh
tinggi besar, berwajah kasar. Di lehernya tergantung seuntai kalung bermatakan
tengkorak kepala bayi. Tampaknya dia gembira sekali.
Ucapan si tinggi besar ini
segera disambut gelak tawa tujuh sosok tubuh yang berada di belakangnya.
"Bagaimana? Cocokkah bila
kujadikan permaisuriku?" tanya si tinggi besar yang rupanya pemimpin
gerombolan itu sambil menoleh ke belakang.
"Ha ha ha...! Kakang
memang pintar memilih. Wanita ini memang pantas menjadi permaisuri Kakang. Dan
kelihatannya dia menguasai sedikit ilmu silat. Dunia persilatan akan memuji
Kakang, karena pandai memilih istri," sahut salah seorang dari mereka.
Ningrum tak kuat lagi menahan
kemarahannya mendengar pembicaraan mereka.
"Manusia-manusia bermulut
kotor! Pergilah kalian sebelum hilang kesabaranku!"
"Ha ha ha...!"
kembali laki laki tinggi besar yang berjuluk Raksasa Kulit Baja itu tertawa
bergelak. "Kalian lihat! Bukan hanya wajahnya saja, sikapnya pun memenuhi
persyaratan untuk menjadi permaisuriku. Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya
tujuh orang yang berada di belakang Raksasa Kulit Baja itu tertawa bergelak.
Kali ini amarah Ningrum pun meledak.
"Tutup mulutmu yang bau
itu, raksasa busuk!" bentak gadis itu keras.
Kontan berubah merah wajah si
tinggi besar mendengar makian pedas itu. Tawanya pun seketika terhenti.
"Rupanya kau tidak senang
diperlakukan baik-baik, Cah Ayu! Kau lebih suka diperlakukan secara kasar dulu,
baru mau tunduk, heh?! Akan kuturuti bila itu yang diinginkan!"
Setelah berkata demikian,
Raksasa Kulit Baja menggerakkan ujung telunjuk, pada salah seorang yang berdiri
di belakangnya.
Sambil tertawa-tawa, si muka
kuning, yang diberi isyarat Raksasa Kulit Baja ini melangkah maju. Sepasang
matanya liar menatap Ningrum. Sekejap kemudian, dia telah bergerak menyerang
gadis itu. Tangannya menangkap lengan kanan gadis yang bertahi lalat di pipi
kirinya ini. Dikiranya, gadis ini pasti tak akan dapat mengelakkan sergapannya.
Tetapi, si muka kuning
tertipu. Dengan sebuah gerakan sederhana, Ningrum telah membuat tangkapan itu
hanya mengenai tempat kosong.
Sebaliknya adalah ujung kaki
putri Raja Pisau Terbang ini telah mendarat di perut si muka kuning.
Bukkk..!
"Hugh!"
Si muka kuning mengeluh
tertahan. Sodokan ujung kaki Ningrum memang keras sekali. Tak pelak lagi, tubuh
si muka kuning terbungkuk-bungkuk seraya memegangi perutnya yang tiba-tiba
terasa mulas bukan main. Dan selagi si muka kuning sibuk merasakan sakit pada
perutnya, kaki Ningrum kembali bergerak menendang bahunya. Tentu saja gadis itu
tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Sebab kalau hal itu dilakukan, si muka
kuning ini pasti tewas.
Desss!
Tubuh si muka kuning terpental
ke belakang dan keras sekali mencium tanah. Laki-laki itu tergulingguling
sesaat, untuk kemudian tidak bergerak lagi. Pingsan.
Tentu saja hal ini membuat
Raksasa Kulit Baja dan anak buahnya yang lain terperanjat kaget. Dengan mata terbelalak,
mereka menatap Ningrum. Sungguh sulit dipercaya dengan apa yang terjadi di
depan mereka ini. Benarkah gadis yang mereka sangka seekor domba ternyata
adalah singa betina?
Raksasa Kulit Baja tentu saja
merasa penasaran sekali. Dengan gerak kepalanya, diperintahkan sisa anak
buahnya untuk menyerang berbareng. Maka keenam orang anak buahnya melangkah
maju mengepung Ningrum. Sadar kalau gadis itu bukanlah lawan empuk, mereka pun
tidak mau bersikap main- main lagi.
"Mengapa
tanggung-tanggung, raksasa busuk? Majulah! Biar urusan ini cepat selesai!' ejek
Ningrum sambil tersenyum sinis.
Mendengar ejekan itu, Raksasa
Kulit Baja meraung murka.
"Kau terlalu sombong,
perempuan keparat! Kalau nanti sudah tertangkap, kau akan kutelanjangi dan
kuperkosa sampai aku puas. Tidak sampai di situ saja, tubuhmu akan kuberikan
pada mereka, agar dapat dinikmati sampai kau mati kelelahan!"
Ningrum bergidik mendengarnya,
dan wajahnya langsung memerah. Ucapan Raksasa Kulit Baja itu benar-benar
membuat kemarahannya berkobar. Orang seperti dia memang tidak patut untuk
dibiarkan hidup. Tetapi putri Raja Pisau Terbang itu tidak bisa berlama-lama
termenung.
Seranganserangan anak buah
Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar cepat ke arahnya .
Ningrum tersenyum mengejek.
Dari gerakan dan serangan mereka, sudah dapat dinilai kekuatan lawannya.
Jangankan hanya tujuh orang, biar ditambah dua kali lipat lagi pun masih
sanggup menghadapinya. Maka, sikapnya pun tenang menghadapi hujan serangan itu.
Ningrum yang tidak sudi
bersentuhan tangan dengan mereka, tidak menangkis serangan-serangan itu. Dengan
ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, dihindari setiap
serangan yang datang.
Serta-merta, dibalas
serangan-serangan yang datang dengan sepasang kakinya yang berkelebatan ke sana
kemari. Terdengar suara berdebuk berulang ulang, disusul berpentalannya tubuh
para pengeroyoknya. Hanya beberapa gebrakan saja, semua lawan telah
bergeletakan di tanah dalam keadaan pingsan.
Beberapa di antaranya
mengalami patah kaki, maupun patah tangan. Bahkan ada pula yang benjol-benjol
kepalanya.
"Kini giliranmu, raksasa
busuk!" tantang Ningrum sambil berkacak-pinggang.
Raksasa Kulit Baja menggeram.
Wanita ini sungguh keterlaluan! Berkali-kali menghinanya. Maka dengan wajah
merah, dilangkahkan kakinya menghampiri Ningrum.
"Hiyaaa ... !"
manusia bertubuh raksasa itu membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ke arah
bahu Ningrum. Bagaimanapun juga Raksasa Kulit Baja ini merasa sayang untuk
memukul mati gadis yang telah membangkitkan gairahnya ini.
Wut...!
Sambaran angin keras mengawali
tibanya cengkeraman itu. Dari angin serangan ini, Ningrum dapat mengetahui
kalau lawannya ini memiliki tenaga dalam tinggi.
Tetapi, walaupun serangan itu
mengandung tenaga dalam tinggi, tapi gerakannya kelihatan terlalu lambat. Mudah
saja bagi putri Raja Pisau Terbang ini untuk mengelakkannya. Bahkan menyusuli
dengan totokan ujung kakinya pada punggung Raksasa Kulit Baja.
Tukkk...!
"Aih ... !"
Ningrum menjerit kaget, ketika
ujung kakinya membentur kulit daging yang keras, sehingga tendangannya
membalik. Dirasakan, jari jari kakinya terasa nyeri bukan main. Dan ini
membuatnya kaget tak terkirakan, juga penasaran. Maka dikirimkan serangan
bertubi-tubi pada bagian tubuh Raksasa Kulit Baja yang lainnya.
Namun tetap saja hasilnya sama
saja. Ningrum menjadi bingung. Laki-laki tinggi besar itu ternyata memiliki
ilmu kebal! Bahkan pisau terbang gadis itu pun tidak mampu melukai kulit
lawannya ini.
"Ha ha ha...! Silakan kau
pilih kulitku yang paling empuk, Manis," ejek Raksasa Kulit Baja
menantang.
Ningrum sadar, bahwa tidak ada
gunanya lagi melawan Raksasa Kulit Baja yang ternyata memiliki ilmu kebal ini.
Maka gadis ini memutuskan untuk melarikan diri saja. Dan memang, adalah suatu
perbuatan bodoh untuk melawan terus. Karena sudah dapat dipastikan,
lama-kelamaan gadis itu akan kehabisan tenaga. Dan apabila hal itu terjadi,
bahaya yang mengerikan akan diterima dari si tinggi besar ini.
Setelah berpikir demikian,
Ningrum segera melesat kabur. Tentu saja Raksasa Kulit Baja menjadi terkejut
bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya ini melarikan diri. Buru-buru
manusia bertubuh bagai raksasa itu berlari mengejar. Tapi karena ilmu
meringankan tubuhnya masih berada jauh di bawah putri Raja Pisau Terbang itu,
jarak antara mereka semakin bertambah jauh saja. Sampai akhirnya tubuh gadis
itu lenyap di kejauhan.
Raksasa Kulit Baja memaki-maki
dan menyumpah serapah. Dipandangi arah tubuh Ningrum menghilang, kemudian
bergerak mengikutinya. Tak dipedulikan lagi anak buahnya yang tergeletak di
dalam hutan dalam keadaan pingsan.
"Akan kucari ke mana pun
kau pergi, perempuan keparat!" teriaknya keras. "Sekalian akan kucari
pembunuh saudara angkatku, si Harimau Mata Satu. Ya, akan kucari si Dewa Arak
alias Arya Buana...." (Harimau Mata Satu terbunuh oleh Arya Buana dalam
serial Dewa Arak, episode "Pedang Bintang").
***
Ningrum mengerahkan segenap
kemampuannya. Hatinya benar-benar ngeri membayangkan kalau sampai bisa
ditangkap Raksasa Kulit Baja itu. Ancaman si tinggi besar itu tidak main-main
dan benar-benar membuat bulu tengkuknya meremang.
Legalah hati Ningrum ketika
tidak melihat lagi bayangan tubuh Raksasa Kulit Baja yang mengejarnya.
"Hhh ... !" desah
Ningrum pelan.
Gadis itu menghentikan
larinya, dan untuk beberapa saat hanya berdiri termenung. Otaknya berpikir
keras, apakah terus melanjutkan perjalanan atau kembali ke tempat ayahnya. Jika
kembali ke tempat ayahnya, dia bisa kembali berlatih. Disadari kalau dengan
tingkat kepandaian sekarang ini, akan banyak mengalami kekecewaan-kekecewaan
dalam petualangannya.
Setelah lama mempertimbangkan,
Ningrum memutuskan untuk kembali pulang ke tempat kediaman ayahnya. Tekadnya,
harus berlatih keras, dan tidak malas-malasan seperti dulu. Setelah
keputusannya bulat, gadis berpakaian serba hijau ini pun melesat dengan tujuan
pasti. Tempat kediaman ayahnya.
Beberapa hari kemudian,
sampailah gadis ini di mulut sebuah hutan yang menjadi tempat menyepi ayahnya.
Dan baru saja hendak melangkah masuk, sebuah seruan keras membuatnya terpaksa
mengurungkan langkah.
"Nisanak yang di depan!
Tunggu sebentar!" Ningrum menoleh ke belakang. Tampak di kejauhan, sesosok
bayangan putih melesat cepat menuju ke arahnya. Dalam waktu sekejap saja sosok
bayangan itu telah berada di depannya.
Ningrum memperhatikan sosok
tubuh di hadapannya ini dengan pandangan mata kagum. Betapa tidak? Sosok tubuh
di hadapannya ini ternyata adalah seorang wanita cantik jelita. Walaupun
Ningrum menyadari kalau dirinya terhitung cantik, tapi secara jujur diakui
kalau wanita di hadapannya ini memiliki kecantikan yang mengunggulinya.
"Ada apa, Kak?"
tanya Ningrum ramah.
"Ah, tidak. Aku hanya
ingin bertanya. Apakah betul di sini tempat tinggal Raja Pisau Terbang?"
tanya wanita yang tidak lain adalah Melati.
Ningrum mengerutkan alisnya
yang indah. Dari mana wanita di hadapannya ini mengetahui kalau ayahnya tinggal
di sini? .
"Kalau boleh tahu, Kakak
ini sebenarnya siapa?"
"Panggil saja aku
Melati," jawab gadis berpakaian serba putih ini pelan. Dari raut wajah dan
nada suaranya, nampak kalau gadis itu tidak suka mendapat pertanyaan itu.
"Hm... Begini, Kak. Ada
urusan apa sehingga Kakak menanyakan tempat tinggal Raja PisauTerbang?"
tanya Ningrum lagi, bernada tidak enak. Tentu saja dia pun mengetahui kalau
wanita di hadapannya ini tidak senang mendapat pertanyaan seperti itu. Perasaan
simpatinya pun pupus seketika.
"Apa urusannya hal itu
denganmu?!" sambut Melati ketus.
"Apa urusannya?!"
pekik Ningrum keras. Meluap sudah kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya.
"Perlu kau ketahui,
wanita liar! Aku adalah putri dari orang yang kau cari itu!"
Terbelalak sepasang mata
Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut itu.
"Apa?! Kau putri Raja
Pisau Terbang? Kau..., kau yang bernama Ningrum itu? Ah ... ! Mengapa aku begitu
bodoh?! Gadis cantik bertahi lalat di pipi kiri, dan berpakaian serba hijau!
Tololnya aku...!Sungguh aku tidak tahu kalau musuhku berada di depan
mata!"
Kini ganti sepasang mata
Ningrum yang terbelalak. "Apa katamu?! Siapa dan apa maksudmu sebenar nya?"
tanya Ningrum tak mengerti.
"Ingatkah kau pada Raja
Racun Pencabut Nyawa yang telah kau bunuh secara curang?!" tanya Melati
dengan kasar sambil mencorongkan matanya.
Tak terasa Ningrum mengangguk.
"Nah! Perlu kau ketahui,
Ningrum. Raja Racun Pencabut Nyawa itu adalah ayahku. Sengaja aku datang ke
sini untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah, Ningrum. Agar kau tidak mati secara
percuma!"
"Ayahnya iblis, anaknya
pun pasti kuntilanak! Jadi, sudah kewajibanku untuk melenyapkan bibit penyakit
yang ada di dunia!" balas Ningrum tak kalah gertak.
"Terimalah kematianmu,
Ningrum!"
Dibarengi ucapannya, Melati
menerjang putri Raja Pisau Terbang dengan jari jari tangan berbentuk cakar naga
ke arah ulu hati.
Suara bercicitan terdengar
mengawali serangan Melati. Dari bunyi angin itu, Ningrum sudah dapat mengetahui
betapa tingginya tenaga dalam yang mengarah dadanya itu.
Buru-buru gadis bertahi lalat
ini melangkahkan kaki kanannya ke kiri belakang, sehingga serangan itu lewat di
depan dadanya. Dengan cepat Ningrum mengirimkan serangan balasan ke arah
pelipis Dewi Penyebar Maut itu.
Gadis berpakaian serba putih
itu memiringkan kepalanya, sambil tangan kirinya menangkis serangan itu.
Plakkk...!
"Aih ... !"
Ningrum menjerit. Dirasakan
jari jari tangannya yang beradu dengan jari jari tangan lawan sakit bukan main.
Bahkan sekujur tangannya terasa lumpuh. Suatu bukti kalau tenaga dalam Dewi
Penyebar Maut jauh lebih kuat darinya.
Tetapi bukan Ningrum namanya
kalau baru beradu tangan sekali, sudah kapok. Malah sebaliknya, rasa penasaran
segera timbul. Mana mungkin gadis itu lebih lihai darinya. Gurunya saja belum
jelas.
Mungkinkah guru gadis itu
lebih lihai dari ayahnya? Karena belum dibuktikan, jadi tidak ada alasan
baginya untuk tidak melawan gadis itu. Dan kini Ningrum menyerang dahsyat.
Dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Tetapi, lagi-lagi untuk yang
kesekian kalinya, Ningrum harus menerima kenyataan pahit. Setiap serangannya
selalu mudah dapat dielakkan Dewi Penyebar Maut. Sebaliknya, setiap serangan
balasan yang dilakukan gadis itu, memaksanya pontangpanting untuk
menyelamatkan diri.
Setelah beberapa jurus
bertarung, sadarlah Ningrum kalau gadis yang bernama Melati itu memiliki
kemampuan beberapa tingkat di atasnya. Baik dalam tenaga, maupun kecepatan gerak.
Dan dalam waktu sebentar saja Ningrum sudah terdesak hebat, sehingga hanya
mampu bertahan tanpa berani balas menyerang.
Ningrum sadar. Kalau keadaan
ini terus berlangsung, sudah pasti akhirnya ia akan rubuh di tangan putri Raja
Racun Pencabut Nyawa ini. Maka taktik harus dirubah, kalau ingin selamat.
"Cabut senjatamu, gadis
jahat! Kalau kau tidak mau mati sia-sia di tanganku!" dengus Ningrum.
Belum habis ucapannya, tubuh
Ningrum sudah melenting ke belakang. Dan ketika hinggap di tanah dengan manis,
pada kedua tangannya telah tergenggam sebuah pisau putih berkilat.
"Menghadapi
pengecut-pengecut seperti kau dan dua orang temanmu yang telah kukirim ke
akherat, tidak perlu mengeluarkan senjata!" dengus Dewi Penyebar Maut tak
kalah garangnya.
Putri Raja Pisau Terbang ini
kaget mendengar ucapan gadis berpakaian serba putih itu. Sudah bisa ditebak,
siapa yang dimaksud dua orang temannya itu. Pasti Satria dan Mega! Jadi, iblis
wanita ini telah membunuhnya!
Menilik kepandaiannya, memang
merupakan suatu hal yang mudah bagi gadis itu untuk membunuh kedua murid kepala
Perguruan Tangan Sakti.
"Kuntilanak sombong! Kau
harus mati di tanganku untuk menebus nyawa kedua orang temanku yang telah kau
bunuh itu! Haaat ... !"
Sambil berteriak nyaring,
Ningrum melompat menerjang Melati. Dua buah pisau putih berkilat di tangannya,
mengeluarkan suara berdesing ketika berkelebat cepat mencari sasaran-sasaran di
tubuh gadis berpakaian serba putih itu.
Melati tahu betapa
berbahayanya sepasang pisau terbang itu. Juga, betapa kuatnya tenaga yang
terkandung dalam setiap sabetan, atau tusukan pisau itu. Maka gadis itu tidak
berani bertindak ceroboh.
Apalagi untuk memapak kedua
pisau itu dengan tangan telanjang. Sekarang ini Ningrum tidak bisa disamakan
dengan Satria dan Mega!
Beberapa saat lamanya, Dewi
Penyebar Maut hanya menghindar terus. Gadis ini tidak ingin bertindak gegabah.
Diperhatikan baik-baik setiap serangan Ningrum. Memang, dengan tingkat ilmu
meringankan tubuh yang berada cukup jauh di atas Ningrum tidak sukar baginya
untuk mengelakkan setiap serangan.
Ningrum menggertakkan giginya
dengan perasaan geram. Hatinya dongkol bukan kepalang, melihat lawannya itu
hanya mengelak tanpa balas menyerang. Jelas dia merasa diremehkan.
Hal ini membuat amarahnya kian
meluap. Dan sebagai akibatnya, serangan kedua pisau terbangnya pun semakin
bertubi-tubi.
Melati yang merasa sudah cukup
mengetahui perkembangan gerak dan ciri khas pada setiap serangan lawan, kini
mulai balas menyerang.
Pelahan namun pasti, putri
Raja Pisau Terbang itu mulai terdesak. Serangan-serangan pisau terbangnya mulai
mengendor. Sampai akhirnya sepasang pisau berwarna putih berkilat itu hanya
dipakai untuk mempertahankan diri dari setiap serangan Melati.
Tak terasa Ningrum mengeluh
dalam hati. Diakui kalau kepandaian Melati memang berada jauh di atasnya. Dan
rasa-rasanya, kepandaian gadis ini tak kalah dengan kepandaian Raja Racun
Pencabut Nyawa!
"Akh...!"
Ningrum memekik ketika sebuah
totokan ujung kaki Dewi Penyebar Maut menyerang pergelangan tangan kirinya.
Kontan sekujur tangannya terasa lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, pisau
terbangnya pun terlepas dari pegangan.
Belum lagi gadis itu berbuat
sesuatu, serangan susulan dari Melati telah menyusul tiba. Tangan kanan
menyampok pelipis, sedangkan tangan kiri dari arah bawah, mengancam dagu.
Ningrum kaget bukan main.
Serangan itu datang begitu cepat. Sudah bisa diperkirakan kalau akhirnya ia
akan tewas di tangan putri Raja Racun Pencabut Nyawa ini.
Mendadak saja, ada sesuatu
yang menarik tubuhnya ke belakang. Dan untunglah, kedua serangan maut itu hanya
mengenai tempat kosong. Buru-buru Ningrum menoleh ke belakang, melihat sosok
yang telah menolongnya.
Tampak di belakangnya telah
berdiri sosok tubuh tua dari seorang kakek berusia enam puluh tahun. Sepasang
matanya tampak tajam berkilat. Raut mukanya menampakkan kesabaran. Ningrum
kenal betul siapa pemilik wajah ini.
"Ayah...," desah
gadis itu dengan suara lemah.
Kakek penolong yang ternyata
adalah Raja Pisau Terbang itu hanya tersenyum getir. Ditarik tubuh putrinya ke
belakang, kemudian dilangkahkan kakinya beberapa tindak.
"Ada urusan apa dengan
anakku, sehingga sedemikian tega hendak menurunkan tangan maut padanya,
Nisanak?" tanya Raja Pisau Terbang, bernada sabar. Tidak tampak ada nada
kemarahan, baik pada suara maupun wajahnya.
"Dia adalah putri Raja
Racun, Ayah!" selak Ningrum cepat.
"Ahhh ... ! Benarkah
demikian?" tanya Raja Pisau Terbang memastikan.
"Benar!" jawab
Melati ketus.
Melati mengangkat dagunya,
seperti menantang. Memang, begitu geram hatinya melihat pada saat terakhir
Ningrum berhasil lolos dari maut. Dan gadis ini tahu betul orang yang telah
menyelamatkan gadis itu.
Raja Pisau Terbang! Ini
diketahui karena Ningrum memanggil orang itu dengan sebutan ayah.
"Dan aku datang untuk membalaskan
kematian ayahku pada anakmu itu!" tegas Melati.
Raja Pisau Terbang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun berkali-kali Melati bersikap kasar
padanya, tetap saja ia tidak menampakkan kemarahan.
"Putri Raja Racun
Pencabut Nyawa? Aneh! Tidak salahkah pendengaranku, Nisanak. Sepanjang
pengetahuanku, almarhum Raja Racun tidak mempunyai anak seorang pun. Yang
justru kudengar adalah keponakannya, yang bernama Arya Buana alias si Dewa
Arak!" bantah Raja Pisau Terbang, seperti tidak mengerti.
"Aku tidak butuh
keterangan darimu, Orang Tua! Yang kuinginkan adalah melenyapkan anakmu untuk
membalas kematian ayahku! Menyingkirlah dari situ! Aku tidak mau membunuh orang
yang tidak punya urusan apa-apa denganku!" tandas Melati tegas.
"Bagus! Aku hargai pendirianmu.
Berarti, kau bukanlah seorang gadis jahat. Marilah kita berbincang-bincang. Aku
yakin ada kesalahpahaman dalam hal ini..."
"Jaga seranganku, Orang
Tua!" teriak Melati tibatiba sambil menyerang bagian dada kakek itu
dengan jari jari tangan berbentuk cakar naga. Jari jari tangan yang membentuk
cakar itu nampak berwarna merah.
Raja Pisau Terbang hanya
tersenyum. Ia tahu kalau serangan cakar itu tidak akan mencapai sasaran. Jarak
antara dirinya dengan gadis itu sekitar satu setengah tombak. Jadi, mustahil
dapat dijangkau tangan manusia.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya kakek ini ketika melihat cengkeraman itu terus menjulur menyambar
dadanya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang dapat memanjangkan tangan! Dan
Raja Pisau Terbang ini tahu, siapa pemilik ilmu itu. Ki Gering Langit!
"Jurus 'Naga Merah
Mengulur Kuku'...!" teriak kakek itu dengan hati kaget bukan kepalang.
Jelaslah kalau ilmu yang
digunakan gadis itu adalah ilmu 'Cakar Naga Merah'! Buru-buru kakek ini
menangkis serangan maut itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Prattt ... !
Tubuh Raja Pisau Terbang
terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara tubuh Melati hanya terhuyung satu
langkah. Tangannya yang tadinya mulur, langsung memendek lagi seperti
sediakala.
Seketika pucat wajah Raja
Pisau Terbang! Dari adu tenaga itu tadi sudah dapat diketahui kalau tenaga
dalam yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu, masih lebih tinggi
darinya. Suatu hal yang nampaknya amat mustahil!
"Tahan ... !" teriak
Raja Pisau Terbang untuk mencegah gadis itu menyerangnya lebih lanjut.
"Ada hubungan apa kau dengan Ki Gering Langit?"
Seketika Melati pun
menghentikan gerakannya. Sikap kakek itu membuat gadis itu jadi menghormatinya,
sehingga tanpa sadar dihentikan gerakannya.
"Aku tidak mengenalnya!"
tandas gadis itu, setelah mengerutkan alisnya sesaat.
"Tidak mungkin! Bukankah
jurus itu adalah 'Naga
Merah Mengulur Kuku'? Salah
satu jurus dari ilmu 'Cakar Naga Merah'?" desak kakek berwajah sabar ini
penasaran.
Melati menganggukkan
kepalanya.
"Memang betul apa yang
kau katakan itu, Orang Tua. Tapi, aku sama sekali tidak kenal terhadap orang
yang kau sebutkan tadi!"
"Aneh! Lalu dari mana kau
mendapatkan ilmu itu? Apakah kau menemukan kitab-kitab peninggalannya?"
"Kau ini aneh, Orang Tua.
Tentu saja ilmu itu kupelajari dari guruku. Beliaulah yang telah mengajarkan
aku...."
"Siapa nama gurumu?"
selak Raja Pisau Terbang cepat.
Gadis berpakaian serba putih
itu menggelengkan kepalanya.
"Ia melarangku untuk
menyebutkan namanya. Jadi, terpaksa tidak dapat kuberitahukan padamu."
Alis Raja Pisau Terbang nampak
berkerut. Ia bingung memikirkan masalah ini. Tapi yang sudah jelas, gadis itu
sama sekali tidak mengenal Ki Gering Langit!
"Jaga seranganku,
Nisanak!" tiba-tiba Raja Pisau Terbang menyambitkan beberapa buah pisau
terbangnya ke arah Melati.
Karuan saja serangan tiba-tiba
itu membuat Melati terkejut bukan main. Apalagi yang melepaskan adalah seorang
ahli pisau, sehingga berjuluk Raja Pisau Terbang. Sudah dapat diperkirakan
kedahsyatan serangan pisau-pisau itu.
Dewi Penyebar Maut melempar
tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan beberapa kali di tanah. Maka semua
serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Dan cepat-cepat gadis itu bangkit
berdiri, tapi menjadi terlongong. Kakek itu dan Ningrum telah lenyap dari
tempatnya semula.
Melati menggertakkan giginya
menahan rasa geram. Secara untung-untungan dia mengejar masuk ke dalam hutan
itu. Cukup lama juga gadis itu berada di dalam hutan. Dan sewaktu kembali ke
luar, wajah gadis itu merah padam.
"Kali ini kau boleh
mujur, Ningrum! Tapi, kelak apabila kita berjumpa lagi, jangan harap akan
semujur ini!" Dewi Penyebar Maut itu berteriak sambil mengerahkan tenaga
dalamnya, sehingga suaranya bergema ke seluruh pelosok hutan.
Puas dengan ancamannya, Melati
melesat meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya yang mungil itu terdengar suara
desahan. "Dewa Arak, kau pun harus bertanggung jawab atas kematian ayahku.
Meskipun bukan kau yang membunuhnya, tapi jika tidak kau biarkan, Ayah tidak
mungkin mati. Ya, kau harus mendapat hukuman pula. Apalagi kau tidak berniat
membalas dendam atas kematiannya. Padahal, ia pamanmu sendiri..."
Seorang pemuda yang berwajah
tampan, berahang kokoh, berambut putih keperak-perakan, dan berpakaian berwarna
ungu tengah melangkah memasuki pintu gerbang Desa Canting.
Pemuda itu berusia sekitar dua
puluh tahun. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak yang terbuat dari
perak. Dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, pemuda itu mengayun kakinya
memasuki desa yang kelihatan sepi. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan
setiap bangunan yang ditemukan.
Langkah pemuda yang tak lain
adalah Dewa Arak atau Arya Buana ini baru terhenti ketika sepasang matanya
tertumbuk pada sebuah papan tebal, dan lebar. Di situ tertulis huruf-huruf yang
berbunyi 'Perguruan Mawar Merah'. Papan tebal itu bergantung pada pintu gerbang
sebuah bangunan yang dikelilingi tembok cukup tinggi.
Arya mengerutkan alisnya yang
tebal. Ada perasaan curiga yang timbul di hati ketika melihat keadaan papan
nama perguruan yang begitu kumuh, dan tak terurus. Bahkan huruf-huruf yang
membentuk nama Perguruan Mawar Merah itu pun sudah banyak yang terkelupas.
"Kalau tidak salah,
inilah yang dimaksud Paman Lindu itu," gumam Arya pelan.
Sebelum tewas, Raja Racun
Pencabut Nyawa memang sempat memberitahu Ular Hitam tentang keberadaan ibu
kandung Arya Buana (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Pedang Bintang").
Dan berdasarkan pesan itulah,
pemuda berpakaian ungu ini memasuki Desa Canting dan mencari Perguruan Mawar
Merah.
Beberapa saat lamanya Dewa
Arak termenung di depan pintu gerbang perguruan itu. Sedikit pun tidak ada
suara yang terdengar dari dalam. Sepi sekali. Dari celah pintu gerbang yang
tidak tertutup rapat itu, pemuda berambut putih keperakan ini mengintai ke
dalam. Tetap sepi. Perasaan curiga dan penasaran memaksa Arya melangkahkan
kakinya memasuki pintu gerbang itu.
Tapi, baru beberapa langkah
kakinya melewati ambang pintu, terdengar sebuah teguran halus.
"Apa yang kau cari, Anak
Muda?"
Arya menoleh ke arah asal
suara itu. Tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun, berjalan
menghampirinya. Tubuhnya kecil dan kurus, sehingga membuatnya terlihat lebih
tua.
"Betulkah ini Perguruan
Mawah Merah, Nyi?" tanya Arya Buana sopan.
"Betul," wanita itu
menganggukkan kepalanya. "Kau siapa, Anak Muda?"
"Aku Arya Buana, Nyi.
Orang-orang biasa memanggil Arya. Lalu, kalau boleh tahu, siapa namamu,
Nyi?"
"Aku? Panggil saja Nyi
Parti," jawab nenek itu memperkenalkan diri. "Ada urusan apa kau ke sini,
Nak Arya?"
Pemuda berambut putih
keperakan ini termenung sejenak.
"Betulkah ini Perguruan
Mawar Merah, Nyi?" tanya Arya ingin memastikan.
"Betul," Nyi Parti
menganggukkan kepalanya, tapi hatinya heran. Memang pertanyaan itu sudah
dijawabnya tadi.
Arya memperhatikan
sekelilingnya sekilas. Keraguraguan nampak terbayang pada wajahnya.
"Mengapa begitu sepi,
Nyi?"
Wanita yang bernama Nyi Parti
itu menghela napas.
"Sudah bertahun-tahun
perguruan ini bubar, Anak Muda. Yahhh..., sejak pemimpin kami diculik
orang."
"Diculik?!" Sepasang
mata Arya terbelalak. Perasaan tidak enak seketika menjalari hatinya.
Pemimpin Perguruan Mawar Merah
diculik! Bukankah menurut penururan Raja Racun Pencabut Nyawa sebelum
meninggal, Ketua Perguruan Mawar Merah adalah ibunya? Jadi ibunya.... Tidak
berani pemuda berpakaian ungu ini melanjutkan dugaannya.
"Ya, diculik. Oleh
seorang datuk sesat...." "Bukankah Ketua Perguruan Mawar Merah adalah
Nyi Sani?" tanya Arya memastikan.
"Memang. Padahal Nyi Sani
memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi tidak berdaya juga menghadapi
lawannya..."
Lemaslah tubuh Arya. Benar.
Ibunya telah diculik orang yang disebut datuk kaum sesat oleh Nyi Parti. Datuk
kaum sesat? Arya terlonjak bagai disengat kalajengking. Datuk kaum sesat hanya
ada dua. Ular Hitam dan Bargola. Tidak mungkin kalau Ular Hitam yang
melakukannya. Jadi, tinggal satu tertuduh lagi. Bargola!
"Tadi, Nyi Parti katakan
I..., eh! Nyi Sani diculik datuk kaum sesat. Bagaimana ciri-cirinya, Nyi?"
tanya Arya.
Beberapa saat lamanya, kening
Nyi Parti berkerut.
Tampaknya tengah berpikir
keras.
"Penculik itu bertubuh
tinggi besar. Dan berkulit hitam legam. Di telinga kirinya terdapat sebuah
anting, anting yang berukuran sebesar gelang dan berwarna putih."
"Bargola...," desis
Arya Buana pelan.
Tiba-tiba Nyi Parti terlonjak.
"Ya. Nama itu pula yang
diucapkan Den Lindu. Beberapa waktu yang lalu, Den Lindu bersama temannya yang
selalu berselubung putih itu juga mencari-cari ke mana Bargola membawa Nyi
Sani."
"Ketemu?" Arya tiba-tiba
merasa bodoh mengajukan pertanyaan itu.
"Tidak!"
"Sudah lamakah kejadian
itu, Nyi?" tanya Arya lagi.
Kembali Nyi Parti mengerutkan
keningnya. Rupanya begitulah yang dilakukan kalau sedang mengingat-ingat.
"Kalau tidak salah...,
sudah empat belas tahun!"
"Empat belas tahun!"
pemuda berambut putih keperakan ini terpekik kaget. Apakah dalam waktu yang
selama itu ibunya masih hidup? Perasaan raguragu yang hebat melanda hari Arya
Buana. Tetapi hidup atau mati, harus ditemuinya. Paling tidak, jika ibunya
sudah meninggal, harus ditemukan kuburannya!
Setelah mengambil keputusan
begitu, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dulu
berpamit pada Nyi Parti.
Nyi Parti memandangi kepergian
pemuda berambut putih keperakan itu sambil menggelenggelengkan kepalanya.
Sampai bayangan tubuh pemuda itu lenyap ditelan jalan, dia masih terpaku di
situ.
***
Arya bergerak cepat
meninggalkan Perguruan Mawar Merah dengan perasaan resah. Ke mana harus mencari
Bargola? Mencari seseorang di dunia yang luas ini laksana mencari sebuah jarum
di tumpukan jerami! Apalagi, tokoh ini sudah terlalu lama tidak terdengar
beritanya. Jelas kalau datuk itu telah mengasingkan diri.
Hanya ada satu patokan yang
bisa dijadikan pegangan Dewa Arak ini. Bargola adalah datuk yang merajai daerah
Timur. Jadi, kemungkinan besar tetap berada di wilayah kekqasaannya. Tapi
wilayah Timur sangat luas. Apalagi, jangan jangan dia telah menyepi. Perasaan
putus asa mulai merayapi hari Arya Buana. Ke mana ia harus mencari datuk itu?
Plakkk!
Arya menepak kepalanya
sendiri. Betapa bodohnya ia! Mengapa bingung-bingung? Bukankah di antara dua
datuk, hanya Bargola yang mempunyai perguruan? Mengapa harus pusing-pusing? Ya,
datangi saja perguruan itu!
Wajah pemuda berambut putih keperakan
ini pun kembali cerah. Dengan langkah penuh semangat, kembali dilanjutkan
pencariannya.
Beberapa hari kemudian, pemuda
ini sudah sampai pada sebuah desa yang termasuk dalam wilayah Timur. Rasa lelah
yang menyerang kedua kaki, membuatnya memutuskan untuk beristirahat. Pandangan
mata Arya liar mengawasi sekelilingnya. Dan senyumnya pun melebar ketika
menemukan apa yang dicari.
Dengan langkah lebar,
dihampirinya sebuah pohon
yang cukup besar. Dan...
" up ".
Sekali mengenjotkan kaki,
tubuh Dewa Arak ini melayang ke atas dan hinggap ringan pada sebuah cabang
besar. Diambilnya guci yang bertengger di punggung, kemudian digantungkan pada
sebuah ranting. Baru setelah itu dibaringkan tubuhnya.
Tanpa sengaja pandangan mata
Arya menerawang jauh ke arah rumah-rumah penduduk yang berada di depannya. Dan
seketika matanya yang sudah meremmelek itu membelalak lebar.
Dari ketinggian di atas cabang
pohon itu, pemuda ini melihat asap tebal dan hitam yang membumbung tinggi.
Sekali lihat saja Arya tahu kalau asap itu berasal dari rumah yang terbakar.
Dan tidak hanya satu buah! Jelas, ada kejanggalan di sini!
Naluri Dewa Arak sebagai
seorang pendekar langsung bangkit. Lenyap seketika rasa lelahnya. Segera
disambarnya guci arak yang baru saja digantungkan di ranting pohon, lalu
diikatkan lagi ke punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun.
Ringan sekali kedua kaki Dewa
Arak hinggap di tanah, sehingga tak terdengar suara sedikit pun. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuhnya melesat ke arah asap itu berasal.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Arya tidak membutuhkan waktu
yang terlalu lama untuk tiba di tempat asal api itu.
Seperti yang diduga Arya, api
itu memang tidak wajar. Di depan rumah yang terbakar itu, tampak tengah terjadi
pertempuran yang tidak seimbang.
Arya memperhatikan orang-orang
yang bertempur itu sejenak. Tampak seorang yang bertubuh bagai raksasa,
berwajah kasar, dan memakai kalung bermatakan tengkorak kepala bayi, tengah
dikeroyok belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang mereka gunakan, Dewa
Arak itu dapat menduga kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa yang
rata-rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Si tinggi besar yang tidak
lain dari Raksasa Kulit Baja ini tertawa-tawa. Dibiarkan saja hujan senjata
menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang mengenai tubuh raksasa ini, selalu
terpental balik.
Sebaliknya, setiap Raksasa
Kulit Baja ini melakukan serangan balasan, sudah dapat dipastikan ada satu
tubuh yang tumbang. Beberapa di antaranya, dengan tulang tangan atau kaki
patah. Malah ada pula yang menyemburkan darah dari mulut.
Sekali lihat saja Arya tahu,
jika hal ini terus dibiarkan, tidak akan ada lagi penduduk yang berdiri tegak.
Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih keperak-perakan ini bangkit. Apalagi
si tinggi besar ini juga bertangan telengas. Setiap kali melakukan serangan,
selalu menimbulkan akibat yang parah bagi para pengeroyoknya.
"Manusia keji! Akulah
lawanmu!" Sambil berkata demikian, Arya bergerak memasuki kancah
pertempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah serangan berupa tepakan ke arah
hahu Raksasa
Kulit Baja ini. Dewa Arak yang
memang tidak pernah menurunkan tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, sengaja
mengarahkan serangan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Pemuda ini memang tahu kalau
lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan
separuh dari tenaga dalamnya.
Plakkk!
Arya Buana terperanjat kaget.
Tepakan tangannya seolah-olah bukan menghantam tubuh manusia, melainkan seperti
menghantam gumpalan karet keras yang membuat tenaganya berbalik!
"Hebat...," puji
Dewa Arak dalam hati.
Sementara itu, Raksasa Kulit
Baja juga dilanda kekagetan serupa. Walaupun tepakan tangan Arya tidak
membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi karena kuatnya tenaga dalam
lawan, tubuhnya tak urung terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"Menyingkirlah, Kisanak
semua!" perintah Arya pada para penduduk yang masih berdiri di situ.
"Tapi.... Orang ini
sangat berbahaya, Kisanak," bantah salah seorang penduduk, memberitahu
pemuda berambut putih keperak-perakan di depannya.
"Saya akan mencoba
menjauhkan dia dari desa ini, Paman," jawab Arya merendah, sambil
tersenyum tipis.
"Tapi...."
"Sudahlah, Paman. Lebih
baik, padamkanlah api yang membakar rumah itu sebelum seluruh desa ini musnah
dilalap api!"
Ucapan itu menyadarkan para
penduduk desa akan ancaman bahaya lain. Kontan mereka serentak meninggalkan
arena pertarungan.
"Groahhh..!"
tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu menggeram hebat. Sejak tadi ia memang
menatap Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, seperti sedang
mengingat sesuatu.
"Jahanam! Kaukah yang
berjuluk Dewa Arak itu?!" tanya manusia tinggi besar itu dengan suara
keras. Sepasang matanya memerah karena amarah yang meluap-luap.
Belum lagi Arya memberikan
tanggapan, Raksasa Kulit Baja itu telah menyelak lagi. "Ya. Kau pasti Dewa
Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di punggungmu! Grrrhhh ... !
Kau harus mati di tanganku, keparat!"
"Tunggu ... !" cegah
Arya begitu melihat manusia raksasa itu akan menyerangnya. "Siapa kau? Dan
mengapa ingin membunuhku?! Padahal kita bertemu pun baru kali ini?"
"Groahhh...!" dengus
Raksasa Kulit Baja menggeram.
"Baiklah! Agar tidak mati
penasaran, akan kuberitahu padamu, keparat! Aku, Raksasa Kulit Baja. Saudara
angkat Harimau Mata Satu yang telah kau bunuh! Dan aku membakar rumah itu,
karena orangorang keparat itu tidak mau memberitahu di mana dirimu. Sungguh
tidak kusangka kalau kau datang sendiri mencari mati. Orang lain boleh takut
padamu. Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!"
Arya manggut-manggut. Disadari
kalau tidak mungkin lagi menghindari pertempuran. Raksasa Kulit Baja tidak
mungkin akan menghabiskan persoalan sebelum salah satu di antara mereka tewas.
Tentu saja pemuda berambut putih keperakperakan ini tidak ingin mati. Masih
banyak tugas yang belum diselesaikan.
"Mampuslah kau,
keparat!" teriak Raksasa Kulit Baja disertai suara mengguntur seraya
menyerang dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak.
Angin keras bertiup mengawali
serangan itu. Dari sini saja Dewa Arak dapat menilai kekuatan yang terkandung
dalam serangan itu. Hanya saja gerakan itu terlalu lambat.
Dewa Arak mencondongkan
tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di depan dadanya. Dan cepat bagai
kilat kaki kanannya terayun deras ke arah perut lawan.
Tukkk ... !
Tendangan cepat yang dilakukan
Dewa Arak tidak mampu dielakkan Raksasa Kulit Baja yang memiliki gerakan
terlampau lambat. Dengan telak tendangan itu mengenai perutnya.
Tapi lagi-lagi tendangan Dewa
Arak tidak menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia raksasa itu hanya terhuyung dua
langkah ke belakang. Kini ia kembali menerjang dengan serangan-serangan buas
dan brutal.
Sadarlah Arya kalau lawannya
ini benar-benar memiliki kekebalan tubuh. Pemuda itu kini tidak raguragu lagi
untuk menyarangkan serangan pada sasaran-sasaran yang berbahaya dan bertenaga
dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum ingin menggunakan ilmu
andalannya. Untuk menghadapi Raksasa Kulit Baja ini, hanya digunakan ilmu
warisan ayahnya saja.
Beberapa jurus telah berlalu.
Dan entah sudah berapa kali serangan Dewa Arak mendarat di berbagai bagian
tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak nampak tanda tanda sedikit pun kalau
serangan Arya itu dirasakannya.
Diam-diam pemuda berpakaian
ungu ini terkejut bukan kepalang melihat kekuatan tubuh lawannya ini. Sepanjang
pengetahuannya, kekebalan hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah memiliki
tenaga dalam tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya terbatas pada
bagian-bagian yang tidak berbahaya saja.
Tapi kekebalan yang dimiliki
Raksasa Kulit Baja ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini tidak
memiliki tenaga dalam, tapi hanya memiliki tenaga luar yang besar.
Dewa Arak segera sadar kalau
Raksasa Kulit Baja ini mendapatkan ilmu kekebalan tubuh lewat cara yang tidak
wajar. Ular Hitam pernah menceritakan kepadanya tentang berbagai macam ilmu
yang terdapat di dunia persilatan.
Sebagai seorang yang telah
lama malangmelintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular Hitam memiliki
pengetahuan luas. Pengalamannya yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi
lawan. Ular Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa didapat dengan dua cara.
Dengan meningkatkan tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam. Dari sini
Arya menduga bahwa orang macam Raksasa Kulit Baja pasti mendapatkannya dari
ilmu hitam.
Tak terasa dua puluh jurus
telah berlalu. Dan pertarungan antara kedua orang itu telah bergeser jauh dari
tempat semula. Itu memang disengaja Dewa Arak, karena ingin menghindari dari
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Plakkk!
Kibasan kaki Dewa Arak yang
dilakukan sambil berputar itu telak menghantam pelipis Raksasa Kulit Baja.
Kibasan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya itu membuat tubuh lawannya terlempar,
melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian tubuh besar itu jatuh, dan terguling
guling di tanah.
Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit
Baja kembali bangkit tanpa kurang suatu apa pun.
"Gila...!" teriak
Arya putus asa. Pemuda berambut putih keperak-perakan ini jadi hilang
kesabarannya. Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil guci araknya.
Gluk... gluk... gluk....
Terdengar suara berceglukan
ketika arak itu memasuki tenggorokan. Arya mengusap mulutnya dengan punggung
tangan, lalu disimpan lagi guci araknya di punggung.
Tak berapa lama kemudian,
tubuhnya pun mulai sempoyongan. Pemuda berbaju ungu ini terpaksa menggunakan
jurus 'Belalang Mabuk'-nya.
"Haaat ... !"
Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya. Tampak sebuah rantai baja berujung mata
arit tajam berkilat, yang sejak tadi melilit pinggang, kini berputar-putar
mencari mangsa.
Wukkk... wukkk... wukkk ... !
Seketika disabetkan rantai
baja itu ke arah kepala Dewa Arak.
Singgg. .!
Suara mendesing nyaring
terdengar ketika rantai baja itu menyambar ke arah kepala Arya.
Tubuh pemuda berambut putih
keperak-perakan yang semula sempoyongan itu, mendadak berubah kokoh. Dan
secepat posisi tubuh itu berubah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke
arah Raksasa Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak persis seperti seekor
belalang yang tengah mempermainkan kakikakinya.
Prattt...!
Pralll. .!
Rantai baja yang menyambar
kepala itu tertangkis tangan Arya, dan kontan putus berantakan!
Belum lagi, Raksasa Kulit Baja
berbuat sesuatu, tubuh Arya telah berada di mukanya. Dan...
Prattt! Prattt! Desss. !
Bertubi-tubi dan hampir
bersamaan, tiga buah serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran. Kedua
tangannya menghantam pelipis dan ubunubun.
Disusul kedua kakinya
menggedor dada. Kelihatannya itu adalah serangan maut!
Jangankan ketiga-tiganya. Satu
saja serangan itu diterima seorang seperti datuk sesat sekalipun, cukup membuat
orang itu pergi ke alam kubur! Kini ketiga tiganya diterima sekaligus oleh
Raksasa Kulit Baja!
Tanpa ampun lagi, tubuh
Raksasa Kulit Baja terlempar jauh, tidak kurang dari delapan tombak!
Luncuran tubuhnya baru
berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar hingga tumbang, menimbulkan suara
gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa tubuh Raksasa Kulit Baja yang tergolek
di bawahnya.
Arya menghentikan gerakannya.
Dengan posisi kaki tidak tetap, dia masih bergerak sempoyongan. Kedua tangannya
terus bergerak-gerak liar di depan dada.
Beberapa saat lamanya pemuda
berambut putih keperakan ini menunggu. Sepertinya tidak ada tandatanda kalau
lawannya yang luar biasa itu akan bangkit kembali.
Lalu Arya pun membalikkan
tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, walaupun langkahnya sempoyongan. Tapi
tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari arah belakangnya. Segera Arya
menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang sudah sayu itu ketika melihat
pemandangan di belakangnya.
Tampak batang pohon itu
bergerak-gerak, kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke arahnya. Suara
yang ditimbulkan begitu bergemuruh.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan,
mengirimkan pukulan jarak jauh.
Wuttt ... ! Brakkk ... !
Batang pohon itu hancur
berkeping-keping sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-daunnya langsung mengering
layu.
Arya Buana menatap sosok tubuh
yang kini bangkit dari tindihan pohon tadi. Siapa lagi kalau bukan sosok
Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata Dewa Arak membelalak. Ternyata
manusia raksasa itu tidak terluka sama sekali!
"Ilmu iblis!" desah
Arya, antara takjub dan ngeri.
"Ha ha ha...! Keluarkan
semua ilmumu, dewa keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa pongah.
"Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng Waja'ku! Kalau saja ilmu
ini sudah kumiliki sejak dulu, mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum
sesat! Ha ha ha...!"
Dewa Arak menarik napas
dalam-dalam. Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian...
"Hiyaaa ... !" Arya
Buana berteriak keras, kemudian mendorongkan kedua tangannya ke depan.
W uttt...!
Angin panas berhembus keras
menyambar tubuh Raksasa Kulit Baja yang tengah melangkah menghampirinya.
Bresss ... !
Pukulan jarak jauh yang
dilepaskan pemuda berambut putih keperakan itu telak menghantam dada saudara
angkat Harimau Mata Satu.
Akibatnya hebat sekali! Tubuh
Raksasa Kulit Baja melayang jauh bagai dihempas angin ribut, dan jatuh belasan
tombak dari tempat semula.
"Iblis!" pekik Arya
ketika melihat lawannya itu bangkit kembali.
Sungguh tidak ada tanda-tanda
sedikit pun kalau tokoh itu terpengaruh pukulan yang merupakan usaha terakhir
Dewa Arak. Hanya satu yang membuktikan kalau pukulan Arya tepat menghantam
sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus, dan pelahan-lahan hancur
berkeping-keping ketika angin meniupnya. Dan kini, si tinggi besar ini jadi
telanjang bulat!
"Keparat!" Raksasa
Kulit Baja berteriak memaki. "Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan
harap lain kali akan seberuntung ini!"
Setelah berkata demikian,
Raksasa Kulit Baja melesat kabur dari situ. Dia merasa malu melanjutkan
pertarungan tanpa penutup tubuh.
Arya menghela napas lega.
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa lelah bukan main. Sungguh bingung
memikirkan bagaimana caranya menghadapi Raksasa Kulit Baja itu. Dengan langkah
lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan mencari jejak Bargola.
Siang ini udara begitu panas.
Matahari menyengat kulit sejuruh makhluk yang ada di permukaan mayapada ini.
Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda itu tengah mempercepat langkahnya
ketika beberapa tombak di depannya membentang sebuah sungai. Ingin rasanya
segera mandi atau setidak-tidaknya membasuh muka untuk menyegarkan diri.
Sekujur tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat pertarung-annya melawan
Raksasa Kulit Baja. Apalagi udara demikian panasnya.
Pertarungannya yang alot tadi
benar-benar membuat tenaga Dewa Arak terkuras. Tetapi diamdiam pemuda itu
mengakui kehebatan ilmu Tameng Waja' milik Raksasa Kulit Baja. Bahkan
pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih seperti tidak berarti apa-apa
bila dibandingkan dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu.
"Hhh ... !" Arya
menghela napas berat.
Dia memang baru menyadari
kalau kepandaian yang tinggi tidak menjamin kemenangan dalam suatu pertarungan.
Ternyata pengalaman dan pengetahuan luas juga tidak kalah pentingnya. Dan ini
telah dialaminya sendiri.
Pemuda berbaju ungu ini yakin,
masih banyak lagi hal baru yang akan dijumpai dalam petualangannya.
Ia memang belum berpengalaman,
sehingga banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan Ular Hitam.
Pembimbing Dewa Arak itu banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin
kalau Ular Hitam yang menghadapi, Raksasa Kulit Baja belum tentu akan mampu
menandingi.
Arya terus menyusuri sepanjang
sungai itu. Melihat betapa jernihnya air itu, maka dia berniat mandi untuk
menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, harus dicari tempat yang tersembunyi
sehingga tidak dapat dilihat orang.
Hampir saja pemuda itu
bersorak ketika melihat ada tempat tersembunyi, yang terletak di kelokan
sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat menutupinya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri
tempat itu. Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan disibak, mendadak wajah
Arya memerah. Ternyata di dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah
mandi! Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, tapi cukup membuat pemuda
ini memerah wajahnya. Tubuh wanita itu terlindung sebuah baru besar yang datar,
dan tengah menundukkan kepalanya.
Rupanya bunyi semak-semak dan
pepohonan yang tersibak tangan Arya cukup keras. Terbukti wanita itu
mendongakkan kepalanya, memandang ke arah suara itu berasal. Sesaat lamanya
sepasang mata wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat sangat nampak pada
wajahnya.
"Manusia kurang
ajar!" teriak wanita itu keras seraya lebih menyembunyikan tubuhnya ke
dalam air. Kontan wajah Arya kian memerah.
"Celaka! Bisa-bisa aku
dituduh sebagai lelaki hidung belang yang hendak mengintip wanita mandi!"
ujar Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih
keperakan itu langsung membatalkan niatnya untuk mandi, dan buru-buru berlalu
dari situ dengan wajah memerah. Jantung dalam dadanya berdetak keras. Ada perasaan
aneh menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang memandang kepadanya dengan
terbelalak itu.
Wajah itu demikian cantik.
Belum pernah Arya melihat wajah secantik itu. Ada sesuatu yang terselip dalam
dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu yang belum pernah dirasakan ketika
melihat wanitawanita cantik lainnya.
Pemuda berbaju ungu ini
meninggalkan tempat itu dengan perasaan berat. Seketika ada sesuatu yang hilang
dan dalam rongga dadanya. Hal ini membuat Arya merasa bingung sendiri. Apa yang
terjadi pada dirinya? Baru kali ini Arya mengalami hal seperti itu. Dan ini
tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tanpa sadar Arya menghentikan
larinya. Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja ditinggalkan. Ada
dorongan kuat yang seolah-olah membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana.
Selagi Dewa Arak ini dilanda
perasaan bimbang, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat mendekatinya.
Cepat sekali gerakan bayangan itu, sehingga dalam sekejap saja telah berdiri di
depannya.
Arya menatap sosok bayangan
putih di hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah sangat cantik.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi
mendadak tersentak kaget. Memang! Wajah wanita di depannya adalah wanita yang
tadi tengah mandi!
"Mau lari ke mana kau,
manusia kurang ajar?!" tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis.
Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. "Manusia semacam kau tidak pantas
dibiarkan hidup!"
Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh anu ... Kau
salah paham, Nini. Nggg... sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu....
Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba menerangkan yang sebenarnya.
"Pengecut!" desis
sosok serba putih itu.
Walaupun wanita itu
mendamprat, namun tak urung memperhatikan Arya sekilas. Diam-diam dipuji
kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang ada di depannya ini. Dan memang
ada perasaan aneh yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap wajah pemuda
ini. Dan perasaannya ini pula yang telah mencegahnya untuk menurunkan tangan
maut pada pemuda di hadapannya.
Gadis yang berpakaian serba
putih ini ternyata Melati. Kalau saja tidak terpengaruh perasaan aneh yang
menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini
adalah orang yang dicari-carinya untuk diberikan hukuman! Arya Buana, si Dewa
Arak yang juga keponakan ayahnya!
Merah padam wajah Arya dimaki
seperti itu. Kalau saja bukan gadis ini yang mengatakan demikian, mungkin sudah
turun tangan menghajarnya. Pantang baginya dimaki seperti itu.
Sementara itu, si gadis
setelah memaki Arya segera melesat kabur dari situ. Tercekat hati Dewa Arak
melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini dipujinya dalam hati. Mata pemuda
itu terus menatap punggung gadis yang habis memakinya hingga lenyap di
kejauhan.
"Huh...!" Arya
mendesah pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menyerang.
Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring dengan perginya
gadis berpakaian putih itu.
***
Arya memasuki sebuah kedai
dengan langkah lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya
di sungai, Arya jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun.
Kadang-kadang tersenyum sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu
sewaktu dipergoki tengah mandi di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut
keperakan ini menjadi murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi
membencinya karena persoalan itu.
"Hhh ... !" desah
Arya pelan.
Pemuda itu menghenyakkan
tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering dicobanya untuk mengusir
bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak mampu. Selalu terbayang
kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga, keterkejutannya sewaktu
dipergokinya tengah mandi.
Apalagi sikapnya yang begitu
dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa,
Tuan?" sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Arya dari lamunan. Dengan
suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan pemilik kedai itu pun bergegas
masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu.
"Ha ha ha...!"
tiba-tiba terdengar tawa terbahakbahak dari meja yang terletak di sebelah kiri
Arya.
Dengan sudut mata, Arya
melirik ke arah asal suara itu. Dilihatnya tiga orang laki-laki kasar tengah
tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka memandang ke satu arah.
Sambil lalu Arya mengikuti
arah pandangan ketiga
orang kasar itu. Kontan
sepasang matanya terbelalak. Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa
tidak? Di sebuah meja di sudut sana duduk tenang sesosok tubuh yang selama ini
mengganggu pikirannya.
Jadi, rupanya orang-orang
kasar itu tengah mengganggu gadis itu Perasaan tegang melanda hatinya. Dan ini
disadari Arya. Diam-diam pemuda itu merasa heran, karena tidak pernah merasa
tegang seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi begitu gawat. Tapi sekarang?
Salah seorang dari tiga
laki-laki kasar itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Sambil tertawa-tawa
dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang ternyata Melati.
Jantung dalam dada Arya kian
keras berdetak. Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh urat syaraf di
tubuhnya menegang, untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sungguh
bertolak belakang keadaan pemuda ini dengan keadaan Melati. Gadis itu nampak
tenang-tenang saja menikmati makanannya.
Perasaan tegang yang melanda
Dewa Arak memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah diletakkan di atas
meja.
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki tenggorokan. Sesaat kemudian hawa arak yang hangat menyerbu,
membuat perasaan tegangnya berkurang.
Suara tegukan yang timbul
sewaktu Arya meminum arak, rupanya terdengar tiga orang kasar itu. Terbukti
ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika pandangan mereka tertumbuk
pada sesosok tubuh yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah mereka
memucat.
"De..., Dewa Arak?!"
desis mereka dengan suara bergetar. Tentu saja mereka telah mendengar berita
yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang dalam pemunculannya telah
membuat dunia persilatan gempar.
Sebenarnya mereka tadi juga
telah melihat Arya. Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian serba
putih, mereka tidak teringat akan tokoh itu. Baru setelah pemuda berambut putih
keperakperakan itu mengeluarkan suara tegukan yang keluar dari mulutnya,
mereka semua tersadar.
Ketiga pasang mata milik
orang-orang kasar itu berputar liar, mencari jalan untuk kabur. Begitu ada
kesempatan, bergegas mereka bergerak saling mendahului untuk melarikan diri.
Sedangkan Arya sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan saja ketiga orang
kasar itu melarikan diri.
Tetapi baru saja Dewa Arak
hendak menikmati araknya kembali, terdengar bunyi kursi tarseret. Sebentar
kemudian disusul suara langkah kaki mendekati mejanya. Arya mengangkat
kepalanya, dan tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah berdiri di
hadapannya. Pandangan matanya begitu menusuk.
"Kau yang berjuluk Dewa
Arak?!" tanya Melati dengan suara merdu.
Dan sebenarnya diam-diam gadis
ini merasa heran terhadap kelakuannya kali ini. Tidak biasanya ia bersikap
seperti ini jika berhadapan dengan orang yang diduga sebagai musuh. Biasanya,
Melati selalu mengharapkan anggukan kepala dari orang yang ditanya. Namun kali
ini, gadis itu berharap agar pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Betapa kecewanya hati gadis
itu ketika dilihatnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Namamu Arya Buana?"
tanya Melati lagi.
Kembali Arya menganggukkan
kepalanya.
"Begitulah nama yang
diberikan orang tuaku, Nini..."
"Kalau begitu, bersiaplah
kau, Dewa Arak ... !" teriak Melati dengan suara yang diusahakan keras.
Berat rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di hadapannya ini. Tapi, hal itu
mau tidak mau harus dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya sendiri dikhianati.
Srattt!
Dicabut pedangnya, dan
ditodongkan ke dada Arya.
"Keluarkan senjatamu,
Dewa Arak! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!" teriak Melati
yang dijuluki Dewi Penyebar Maut itu. Namun demikian, suaranya terdengar agak
gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang melawan
perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk lebih
menguatkan hatinya.
"Nini," ucap Arya
sambil menengadahkan kepala.
Sesaat tak ada suara yang
keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah cantik yang berdiri di
depannya. Pandangan matanya sayu. Memang pemuda ini merasa terpukul melihat
gadis yang dikagumi ini nampak membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya.
"Bukankah telah kukatakan
padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja. Aku...."
"Aku tidak meributkan
masalah itu lagi!" potong Melati cepat. Wajahnya seketika menyemburat
merah.
"Lalu masalah apa, Nini?
Rasanya baru dua kali kita bertemu. Dan sepengetahuanku, belum pernah aku
berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di sungai itu...," sahut pemuda
ini setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Kau memang tidak salah
padaku, Dewa Arak.
Tapi, pada ayahku kau
mempunyai kesalahan besar." Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan
gadis
itu.
"Ayahmu? Siapa
ayahmu?"
Melati menghela napas berat.
Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati.
"Raja Racun Pencabut Nyawa..."
Pelan dan lambat-lambat gadis
itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya tidak demikian bagi Arya.
"Apa?!" Arya
terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena getaran
tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya.
"Siapa nama ayahmu,
Nini...?" pemuda berambut putih keperakan ini mengulangi pertanyaannya
dengan suara gemetar.
"Raja Racun Pencabut
Nyawa!" ulang Melati. Kali ini suaranya lebih keras.
"Tidak mungkin!"
teriak Arya lantang. Benda-benda yang terletak di atas meja, bergetaran keras.
Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam
dahsyat.
"Paman Lindu tidak punya
anak!"
*******
Melati sama sekali tidak
mengacuhkan bantahan Arya. Sambil meletakkan tangan kirinya di pinggang, tangan
kanannya yang menggenggam pedang menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.
"Paman?! Kau memanggil
ayahku paman?! Aneh sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi si Keponakan
membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya berkeliaran! Aneh sekali! Keponakan
macam apa kau ini, Dewa Arak?!"
Merah muka Arya mendengar
sindiran tajam itu. Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini
lekat-lekat.
"Banyak hal yang tidak
kau mengerti, Nini. Paman Lindu bukan orang baik-baik. Tindakannya banyak
merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di tangannya. Dan adalah wajar
kalau akhirnya tewas di tangan orang-orang yang telah dirugikannya itu.
Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman Lindu memiliki itikad baik, yakni
memusnahkan sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya.
"Aku tidak peduli orang
macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh secara pengecut. Dan telah
menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya. Pikirlah, Dewa Arak! Kapan
lagi aku membalas budinya, kalau tidak sekarang?"
Suara gadis itu kian pelan.
Dan Arya menangkap ada isak tertahan di dalamnya, sehingga membuat hatinya
tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung dalam hati gadis itu, karena
dia sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Hal ini membuatnya terdiam.
"Bersiaplah, Dewa
Arak," tegas Melati lagi. Kini suaranya sudah kembali terdengar seperti
biasa. Dingin.
"Eh! Apa maksudmu,
Nini?" tanya Arya kaget.
"Tidak usah banyak cakap,
Dewa Arak! Aku harus membuat perhitungan padamu atas kematian ayahku!
Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"
"Tahan dulu, Nini!"
teriak pemuda ini mencegah. Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di
tangan kanannya berkelebat menebas leher Arya.
Suara berdesing nyaring
mengawali tibanya serangan itu. Buru-buru Arya melempar tubuhnya ke belakang
seraya tangan kanannya menyambar guci arak yang terletak di atas meja.
Wut...!
Tappp!
Pedang Melati hanya menyambar
tempat kosong, karena tubuh pemuda berambut putih keperakan itu telah agak jauh
dari situ.
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, Arya segera melompat ke luar kedai. Tak lupa dilemparkan uang
pembayaran pesanannya ke meja tempat dia tadi duduk.
"Mau kabur ke mana kau,
pengecut! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" sambil berkata
demikian, Melati melompat mengejar.
Dewa Arak tentu saja tidak
suka dianggap pengecut Sesampainya di luar kedai, dihentikan langkahnya.
Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti Melati.
Baru juga Arya membalikkan
tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya. Dalam hati, Arya memuji kecepatan
gerak gadis ini. Sulit dibayangkan kepandaian dan tenaga dalam gadis itu. Dan
jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis berpakaian serba putih ini
merupakan seorang lawan yang amat berat dan berbahaya!
"Rupanya kau tidak
pengecut, Dewa Arak. Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan putrinya! Sebelum
berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara licik. Mudah-mudahan
kau tidak sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.
Berubah wajah Arya. Benarkah
apa yang dikatakan gadis ini. Rasanya mustahil Raja Pisau Terbang dapat
dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau benar gadis itu telah
mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian gadis
berpakaian serba putih itu.
"Kau..., kau telah
menemui mereka? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya pemuda berambut putih
keperakan ini dengan suara tersendat.
Memang, Arya Buana kaget juga
mendengar ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau
Terbang, karena anaknya terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana
gadis itu mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya?
"Lho, apa susahnya
mengetahui siapa pengecutpengecut yang membunuh ayahku? Saksi sangat
banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, Ningrum bisa lolos
dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah itu
tugasku pun selesai!"
"Jadi..., jadi..."
Arya tergagap, karena tercekat hatinya.
"Ya. Dua orang yang ikut
andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan," selak Melati sambil
menganggukkan kepalanya.
"Maksudmu, Kakang Satria
dan Kakang Mega?" tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi.
Gadis berpakaian serba putih
itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil. Tapi anggukan itu sudah cukup
bagi Arya.
"Kau keterlaluan,
Nini!" bentak Arya Buana keras.
Tapi gadis itu hanya
menyambutnya dengan tawa sinis.
Srakkk!
Melati memasukkan pedang ke
dalam sarungnya.
"Sekarang giliranmu, Dewa
Arak!"
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian serba putih ini menerjang Arya. Kaki kanannya melangkah ke
depan membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri mengancam pelipis,
sedangkan tangan kanan terpalang di depan perut. Melati yang sebenarnya tidak
sampai hati mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak
mengerahkan seluruh tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga perempat
dari tenaganya.
Angin berciut keras menyambar
Arya sebelum serangan itu tiba. Pemuda berambut putih keperakan ini pun segera
tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga dalam cukup kuat.
Dewa Arak cepat menarik kaki
kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke belakang. Berbarengan dengan
itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah ke pelipis. Arya
yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya ini, hanya mengerahkan
separuh dari tenaganya.
Plakkk!
Dua buah tangan yang
mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu. Arya terhuyung dua langkah ke
belakang. Sedangkan Melati hanya terhuyung satu langkah.
Pemuda berambut putih
keperakan ini terkejut. Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga.
Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak
ini, ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding
tenaga dalamnya. Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan
selanjutnya.
Sedangkan Arya yang merasakan
betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa menambah tenaga untuk
pertarungan selanjutnya. Dalam pertarungannya melawan gadis ini, pemuda
berambut putih keperakan ini hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'. Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu andalannya.
Dalam waktu sebentar saja,
mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran bukan main
ketika menyadari tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama
semakin kuat.
Semula dengan tiga perempat
dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung. Tapi kini sampai mengeluarkan
hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu menangkisnya tanpa terhuyung. Kini
gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak bersungguhsungguh dalam menangkis
serangannya.
Hal ini membuat Dewi Penyebar
Maut yang memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung. Gadis ini merasa
diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam
serangan selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-nyambar buas ke
arah Arya.
"Tahan ... !" Dewa
Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang menghindari
serangan Melati yang bertubi-tubi.
Gadis berpakaian serba putih
yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan serangannya. Dengan napas
masih memburu, ditatapnya Arya.
"Mengapa berhenti, Dewa
Arak? Takut?"
Pemuda berpakaian ungu itu
sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati. Wajahnya terlihat tegang
bukan main.
"Dari mana kau dapatkan
ilmu itu, Nini?" tanya Dewa Arak dengan suara gemetar.
Sepasang mata putri Raja Racun
Pencabut Nyawa itu seketika membelalak.
"Apa hubunganmu dengan
ilmu yang kumiliki?! Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu
urusanku. Dan tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" jawab gadis itu ketus.
"Memang ada hubungannya,
jika dugaanku benar. Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan
itu adalah 'Cakar Naga Merah'," tandas Arya tegas.
"Kalau memang benar ilmu
itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?" tantang Melati.
"Harus kau katakan dari
mana memperolehnya! Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"
Wajah Melati memerah.
Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di hadapannya ini
terlalu usilan dan sombong.
"Apa hakmu dengan ilmuku
ini, Dewa Arak?!" "Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?"
desak Arya, tidak menggubris ucapan gadis itu.
Kemarahan yang sejak tadi
membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi.
"Keparat! Kau terlalu
sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"
Setelah berkata demikian,
gadis itu kembali menerjang Arya. Tidak dipedulikannya lagi teriakanteriakan
mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah sangat tersinggung terhadap sikap
pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap dirinya.
Dewa Arak tidak punya pilihan
lagi. Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan dibalasnya dengan serangan yang
tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak terpaksa menggunakan ilmu andalannya.
'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'. Tak lupa, diambilnya guci
arak yang berada di punggungnya. Dan diangkat ke atas mulutnya.
Gluk... gluk... gluk ... !
Terdengar suara berceglukan
dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian tubuhnya
mulai sempoyongan.
Melati mulai menyerang secara ganas.
Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap kemampuannya. Disadari
kalau kepandaian pemuda di hadapannya ini tidak serendah dugaannya.
Berkalikali tubuhnya terhuyung setiap kali pemuda itu menangkis serangannya.
Hal ini membuat amarah gadis
itu kian meluap. Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas
serangannya. Lebih sering Arya mengelakkan serangan atau menangkisnya.
Delapan puluh jurus telah
terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Diamdiam Arya
memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah kalau Raja Pisau Terbang harus
melarikan diri dari hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian serba putih ini
memang sangat tinggi.
Melati menggertakkan gigi.
Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya Buana. Diiringi sebuah
keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut segera melesat
meninggalkan Dewa Arak.
Tentu saja Arya yang tidak
menduga hal itu menjadi kaget bukan main.
"Nini!" teriak Arya
keras. "Tunggu ... !"
Tetapi gadis berpakaian serba
putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus saja berlari. Dalam sekejap
tubuhnya sudah lenyap di kejauhan.
Arya hanya termenung
memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada gunanya mengejar gadis
itu.
"Hhh ... !" Arya
menghela napas berat. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, untuk
menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.
Pandangan mata pemuda berbaju
ungu itu terpaku pada sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Dia
adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Setelah cukup lama bersikap seperti itu,
baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.
Di ambang pintu itu, langkah
kaki Arya terhenti. Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati
kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di bawah kakinya. Pada tiap
kepingan papan tebal itu tertera tulisan.
Dewa Arak lalu menyusun tiap
kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah dugaannya. Kepingan papan tebal itu
memang mulanya adalah papan nama perguruan, yang kini sudah hancur berantakan.
"Perguruan Beruang
Hitam," gumam pemuda itu pelan.
Perguruan itu memang didirikan
Bargola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda itu datang ke sini dengan
harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu mengasingkan diri.
Dengan langkah setengah hati-hati,
Arya melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan
kesunyian saja yang dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di
sana-sini.
"Hhh ... !" Arya
menghembuskan napas kecewa. Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang
yang mengobrak-abrik perguruan ini. Siapa lagi kalau bukan Raja Racun Pencabut
Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih?
Kali ini Arya tidak
menyalahkan tindakan pamannya itu. Wajar bila pamannya melampiaskan kekesalan
atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya. Tidak tanggung-tanggung,
dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.
Tengah pemuda itu termenung
bingung, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah
bangunan yang tidak terbakar.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya
melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah cabang pohon yang terletak tidak
jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak mengintai ke arah suara langkah kaki tadi
berasal.
Tampaklah seorang laki-laki
tengah melangkah keluar dari bangunan itu. Wajah maupun potongan tubuhnya tidak
jelas, karena jarak yang cukup jauh. Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke
kanan dan ke kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya. Baru setelah itu,
sosok tubuh itu melangkah ke luar dengan berindap-indap.
Melihat tindak-tanduk orang
itu, Arya menjadi curiga. Keadaan tempat itu sebenarnya sudah membuat orang
berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya. Kalau sosok tubuh itu tetap
tinggal di situ, berarti ada satu dugaan. Dia sengaja bersembunyi di situ.
Setelah sosok tubuh itu lenyap
ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat persembunyiannya.
Rasa ingin tahu memaksanya
untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.
Dengan sikap waspada, Arya
melangkah masuk. Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu.
Begitu kotor, kumuh dan tak terurus.
Debu dan sarang laba-laba
berserakan di sana-sini. Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah orang
itu tinggal?
Sungguh pun jaraknya cukup
jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu bersih. Padahal di seluruh
ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada tempat yang bersih. Aneh!
Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini?
Pemuda berambut putih
keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat lama, kalau mencoba
mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling mudah adalah menunggu lelaki tadi
kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu. Kalau memang benar
ruang rahasia itu ada.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Arya segera keluar dari gedung itu. Diintainya keadaan di depan sebelum
dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang yang tadi diintainya telah
kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini kembali ke tempat
persembunyiannya semula. Menunggu.
Cukup lama juga pemuda
berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di
kejauhan.
Kini nampak jelas, kalau
kelakuan orang itu yang aneh. Sebelum melangkahkan kakinya memasuki pintu
gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu menoleh ke kanan dan ke
kiri dengan sikap penuh curiga.
Baru setelah yakin tidak ada
yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam. Kelihatennya setengah
berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja ditinggalkan Arya.
Bergegas Dewa Arak melompat
turun dari cabang pohon itu. Dan dengan hati-hati diikutinya orang itu.
Orang yang ternyata adalah
seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh sedang, dan
berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau tengah diikuti. Bahkan
tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.
Sampai di sebuah ruangan,
diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di situ, lalu, berdiri di
atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.
Arya yang mengintip dari balik
pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang dilakukan orang itu. Si kumis
tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang tadi juga dilihatnya.
Anehnya, cecak itu diam saja.
Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari ancaman tangan si kumis tebal.
Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang mengancam.
Kreppp!
Tangan si kumis tebal dengan
tepatnya mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi di lain saat,
pemuda ini sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti
alat rahasia menuju ruangan tersembunyi.
Dugaan Arya tidak salah. Begitu
si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba terdengar suara berderak keras.
Sesaat kemudian lantai di tengahtengah ruangan bergeser. Dan begitu bunyi
berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal terlihat sebuah lubang
berukuran setengah tombak kali setengah tombak.
Begitu melihat lantai ruangan
itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera melesat dan melompat
masuk ke dalam. Untuk berjaga jaga terhadap sesuatu yang tidak diinginkan,
pemuda
berambut putih keperakan ini mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya.
Ringan dan hampir tanpa suara,
kedua kaki Arya hinggap di tanah. Belum lagi pemuda ini berbuat sesuatu,
terdengar sebuah teguran keras.
"Kaukah itu,
Sentaka?"
Tercekat hati Arya mendengar
teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik tiang.
Baru saja Arya bersembunyi,
terdengar suara yang cukup keras. Pemuda berbaju ungu ini mengintai dari balik
tiang. Tampak si kumis tebal itu kini telah turut pula. Rupanya suara itu
berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di dalam ruangan ini.
Sekilas Arya memperhatikan
sekelilingnya. Segera saja dapat diketahui, kalau dirinya kini berada di dalam
sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini hanya remang-remang saja, karena
hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut ruangan ini.
Arya memperhatikan arah asal
suara teguran itu. Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari
ruangan yang terang benderang di sebelah sana.
Kini Arya mengalihkan
perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui bernama Sentaka.
Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu
ditarik ke bawah. Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di ruangan atas
yang tadi terbuka itu pun bergerak menutup kembali.
Tiba-tiba pendengaran Arya
yang tajam menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi suara langkah yang
pelan hampir tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau
orang yang akan hadir ini memiliki kepandaian tinggi. Dengan demikian dia harus
bersikap waspada.
Bahkan suara napasnya pun
ditahan.
Sesaat kemudian terlihat
sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam tiba di situ.
Sungguhpun suasana di situ
remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh itu adalah orang yang
tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan Bargola! Ciri-ciri orang itu
persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.
"Sentaka," sapa
orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.
"Ada apa, Guru?"
sahut Sentaka.
"Tahukah kau, ada orang
lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba? Kuakui ilmu meringankan tubuh orang
itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak mungkin aku
mendengarnya."
"Tapi, Guru. Aku yakin
betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri. Bagaimana mungkin ada
orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal yang bernama Sentaka itu.
"Tapi aku mendengar
suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!" tandas Bargola.
"Barangkali saja hanya
suara kucing melompat..."
Dan seperti hendak membela
Sentaka, terdengar suara mengeong lirih. Sebentar kemudian muncullah? seekor
kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.
Dengan sorot mata penuh
kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya. Bargola tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
Arya menunggu sampai tubuh
Bargola lenyap di balik ruangan. Kemudian, dipungutnya sebuah batu sebesar
kacang kedelai dan dijentokkan ke arah
Sentaka.
Singgg .!
Tukkk!
Tubuh Sentaka mengejang ketika
batu itu mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu
pingsan. Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih
keperakan itu telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang
hendak rubuh. Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah
itu dengan hati-hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi
lenyap.
Pemuda berpakaian ungu ini
melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang terpancang di kanan kiri
dinding. Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong, terdengar suara-suara
bernada marah dari arah depannya. Buru-buru Dewa Arak mempercepat langkahnya,
seraya tetap mendengarkan suara itu.
"Sampai kapan lagi aku
harus bersabar, Sani," pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah
itu. Suara itu segera dikenal sebagai suara Bargola!
Arya merasa tengkuknya
tiba-tiba dingin mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada pemilik suara
itu. Tapi, karena isi ucapan itu. Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama
Sani! .
"Sani? Ibukukah?"
tanya Arya dalam hati.
Tak terasa pemuda itu
mempercepat langkahnya. Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang
dilalui.
"Empat belas tahun bukan
waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun lamanya aku menunggu
kesediaanmu, untuk sukarela
menyerahkan diri padaku. Tapi
kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal, karena kaulah aku rela
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga kutahan rasa penasaranku
untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh ... ! Kini kesabaranku sudah
habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih suka dikasari
daripada diperlakukan baik-baik!"
"Jangan harap dapat
menyentuh tubuhku, Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau menjamah
tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"
"Ha ha ha...! Boleh kau
coba kalau bisa, Sani!" tantang Bargola.
Tepat pada saat itu, Arya
berada di ambang pintu. Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri
seorang wanita setengah baya berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya
terdapat sulaman bunga mawar merah. Dan pemuda berambut putih keperakan ini
melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan tangan kanannya untuk
memukul ubun-ubunnya sendiri.
Wut...!
Serasa terbang semangat Arya
melihat hal ini. Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak
terlambat, membuatnya tidak berdaya untuk mencegah.
Tapi sebelum niat wanita itu
terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak memutar-mutar kedua tangannya
di depan dada dari luar ke dalam. Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup
angin keras yang langsung menyerbu ke arah wanita setengah baya itu.
Wanita berpakaian kuning itu
memekik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlontar ke belakang, dan jatuh
di pembaringan. Untung Bargola tidak berniat mencelakainya, sehingga dalam
serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya terlempar.
Sambil terkekeh-kekeh, Datuk
Timur itu melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat
sulaman bunga mawar merah. Pandang matanya nampak liar penuh nafsu. Tapi
sebelum datuk yang menggiriskan ini mengoyakngoyak pakaian wanita yang
dipanggil Sani, tiba-tiba...
"Bargola, manusia rendah!
Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!" terdengar bentakan
keras menggeledek.
"Heh!" Bargola
sangat terkejut mendengar teriakan itu. Dengan amarah yang meluap karena
kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara.
Di ambang pintu, tampak
berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan, berwajah jantan, dan
berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam sebuah guci arak yang terbuat dari
perak.
"Ha ha ha...!"
kembali Bargola tertawa bergelak. Tidak salahkah penglihatanku? Bukankah kau
yang berjuluk Dewa Arak itu? Ha ha ha...! Pucuk dicinta. ulam tiba! Bahkan
lebih dari yang kuharapkan. Mari, mari Dewa Arak. Ingin kulihat, sampai di mana
kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan Siluman Tengkorak Putih yang tersohor
itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang
Bintang").
Arya sudah bisa mengukur
kelihaian lawan di hadapannya ini. Memang, kemungkinan besar kepandaian datuk
ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih. Tapi biar
bagaimanapun,datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah memiliki pengalaman
luas. Dan itu kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.
Sekilas Dewa Arak menatap
wajah wanita berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan. Kontan
hatinya bergetar. Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat
ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan.
Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benarbenar ibunya!
Amarah Arya pun bangkit.
Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya. Bahkan kalau ia tadi terlambat,
mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan datuk sesat ini tidak dapat diampuni
lagi. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini bertekad untuk melenyapkan
datuk ini selama-lamanya.
°Hm ... !"
Diawali sebuah dengusan yang
menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat menerjang Arya. Tanpa
sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'. Kedua
tangannya dengan jari jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah ulu
hati dan pusar Dewa Arak. Seketika hawa panas berhembus keras sebelum serangan
itu tiba.
Arya yang tahu betapa
berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu menyerangnya, telah
menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk ... !
Begitu serangan Bargola tiba,
Arya mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kakinya bergerak
sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.
Hebatnya, kedua serangan itu
dapat dielakkan seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh Dewa Arak ini telah berada
di belakang datuk itu. Dengan cepat pemuda berambut putih keperakan ini pun
mengayunkan gucinya menghantam punggung Bargola.
Bargola terperanjat. Sungguh
di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti itu dalam tempo yang cepat!
Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah kenyang pengalaman. Telah puluhan
bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar ini berhasil meloloskan diri dari
ancaman maut.
Maka, pada saat yang kritis
itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar nyawanya. Cepat dibanting
tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada kedua tangan dan ujung
kakinya.
Wuttt!
Sambaran guci Arya lewat di
atas tubuhnya.
Sementara itu, saat kedua
tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola menendang ke belakang,
mengarah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih
keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu. Tidak ada waktu lagi untuk
menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan Bargola datangnya hampir
bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung datuk itu.
Tidak ada jalan lain bagi
Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan kirinya yang bebas.
Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.
Plakkk!
Tubuh Datuk Timur itu terputar
dan terpelanting. Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke
belakang.
Bargola meraung murka. Selama
puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung, baru kali ini sewaktu adu tenaga
dalam, tubuhnya sampai terpelanting. Apalagi oleh seorang lawan yang masih
sangat muda. Rasa penasarannya pun semakin memuncak.
Sebagai akibatnya,
serangan-serangannya seketika bertambah dahsyat! Datuk ini mengamuk membabi
buta. Kedua tangannya yang berisi ilmu 'Tapak Bara', dan mengandung tenaga
panas itu menyambar-nyambar ganas mencari sasaran.
Tetapi yang dihadapi Bargola
kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering Langit. Bagi pemuda berambut
putih keperak-perakan itu, hawa panas yang mengiringi setiap serangan Bargola
seperti tiupan angin sejuk. Karena, dia sendiri memiliki tenaga yang mengandung
hawa panas. Bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk
itu.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti',
Arya menghadapi setiap serangan Bargola. Setiap serangan yang datang dielakkan
secara mudah, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu
sekaligus mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan
jurus 'Belalang Mabuk'.
Nyi Sani bergegas menghindar
dari tempat itu. Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi,
terpaksa dia bersembunyi di balik sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga
jaga dari sambaran pukulan yang nyasar.
Sebentar saja sekujur tubuh
Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh keringat. Hawa di dalam
ruangan ini terasa panas bukan main, dan terasa menyengat kulit.
Sementara itu pertarungan
antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan terlihat seimbang. Tapi lewat
enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak. Datuk sesat ini memang kalah
segala-galanya dibanding Dewa Arak. Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh,
maupun kalah dalam mutu ilmunya.
Hanya berkat pengalaman
bertarung saja yang membuat Arya agak mengalami sedikit kesulitan untuk
mendesak laki-laki kasar itu.
Keadaan sekitar arena
pertempuran. itu sudah kacau-balau. Dinding ruangan itu tak henti-hentinya
bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola melepaskan pukulan. Dan setiap kali
kedua tangan atau kaki mereka beradu, lantai dan dinding ruangan bergetar lebih
kuat lagi.
Pada jurus ke delapan puluh
satu, Bargola menggerakkan kaki kanannya menyapu kaki Arya.
Wut...!
"Hup ... !" Dewa
Arak melompat ke belakang dengan langkah sempoyongan.
Bargola memang sudah menunggu
saat ini. Begitu dilihatnya Arya melompat ke belakang, segera disusulnya tubuh
Arya dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam penuh. Seketika didorongkan
ke arah dada pemuda berambut putih keperak-perakan itu.
Wut..!
Angin berhawa panas luar biasa
kerasnya, menderu hebat. Dalam perkiraan Datuk Timur ini, Dewa Arak tidak akan
sanggup mengelak lagi. Jalan satu-satunya hanya menangkis, karena serangannya
itu begitu tiba-tiba. Dan melihat posisi lawan yang kurang menguntungkan, ia
banyak menerima keuntungan dalam adu tenaga ini.
Tetapi, Bargola lupa pada satu
hal. Ilmu yang dimiliki Arya adalah ilmu 'Belalang Sakti'. Dan belalang adalah
binatang yang dapat terbang. Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak
mungkin dapat terbang, tapi keistimewaan binatang itu dimiliki juga. Dewa Arak
memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa! Dalam
posisi yang seburuk apa pun, ia dapat melompat atau melenting sempurna.
Baru datuk ini terperanjat
kaget ketika tiba-tiba Dewa Arak melompat melewati atas kepalanya. Bukan itu
saja yang diperbuat pemuda berambut putih keperakan itu. Sambil melompat,
diayunkan guci araknya ke kepala Datuk Timur itu.
Wuuuttt!
Bargola terperanjat kaget
bukan main. Serangan guci itu berbarengan dengan serangan kedua tangannya yang
hanya menghantam tempat kosong. Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari
situ. Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya.
Bukkk ... !
Bargola menyeringai. Tubuhnya
terhuyung-huyung jauh ke depan. Kepalanya memang dapat diselamatkan dari
ancaman maut guci Dewa Arak, tapi tak urung guci itu berhasil juga menghantam
bahunya. Terdengar suara berderak keras, ketika guci itu menghantam sasaran.
Suatu bukti kalau tulangtulang bahu itu patah.
Datuk Timur ini berusaha
memperbaiki posisi, dan secepat itu pula membalikkan tubuhnya. Tapi, sayangnya
terlambat. Arya yang melihat tubuh datuk sesat itu terhuyung-huyung jauh ke
depan, segera melesat mengejar.
Dewa Arak kembali mengayunkan
gucinya ke arah. kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik.
Kali ini serangan susulan Arya
tidak dapat dielakkan lagi. Dan....
Wut...!
Prakkk...!
"Akh ... !"
Telak dan keras sekali guci
perak itu menghantam kepala Bargola. Terdengar suara berderak keras ketika
kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Darah seketika muncrat dari
kepala yang pecah. Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, baru kemudian
ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya.
Arya memandangi sosok tubuh
tinggi besar berkulit hitam legam yang kini terkapar di depannya. Sebentar
kemudian pandangannya dialihkan pada sesosok tubuh wanita setengah baya yang
masih bersembunyi di balik lemari.
Dada Arya berdebar keras
menatap wanita berpakaian serba kuning itu. Wajah ibunya yang telah sekian
belas tahun dirindukan.
Wanita berpakaian serba kuning
yang bernama Nyi Sani, memperhatikan pemuda berambut putih keperakan itu tanpa
berkedip. Wajah Arya memang mirip wajah suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi
Sani merasa mengenali.
"I... Ibu...," Arya
memanggil dengan suara serak. "Si... siapa kau?" tanya Nyi Sani
tersentak. Nada suaranya terdengar menggigil.
" aku... aku Arya, Bu.
Arya Buana...," jawab pemuda berpakaian ungu itu.
"Arya... Arya Buana ...
?" ulang Ketua Perguruan Mawar Merah itu. Nada suaranya terdengar
raguragu.
" benar, Bu. Ayahku
bernama Tribuana, dan berjuluk Pendekar Ruyung Maut..."
"Tidak mungkin!"
sentak Nyi Sani. "Wajahmu memang mirip suamiku. Juga, warna pakaianmu
memang warna kesenangan anakku. Tapi.., kau bukan Arya Buana! Kau bukan
anakku!"
"Ibu...," lirih
suara pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku benar-benar Arya Buana
anakmu ... "
"Bukan! Kau bohong!
Anakku tidak memiliki rambut mengerikan seperti itu! Juga tidak pemabukan! Arya
adalah anak yang baik!" Nyi Sani masih mencoba menyangkal.
"Percayalah, Bu. Aku
memang benar Arya Buana, anakmu. Rambutku menjadi seperti ini karena pengaruh
ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang selalu menemaniku."
Nyi Sani hanya terdiam saja.
Ia sebenarnya sudah menduga keras kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini
adalah anaknya. Nalurinya sebagai seorang ibu menyatakan demikian. Tapi melihat
keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu, walaupun bukti-bukti telah cukup
meyakinkan.
Melihat wanita yang diduga
ibunya itu diam saja, Arya buru-buru melanjutkan ucapannya.
"Aku mencari Ibu atas
perintah Ayah, dan petunjuk Paman Lindu..."
Kini wanita berpakaian serba
kuning ini tidak raguragu lagi. Mulutnya yang gemetar nampak komatkamit
seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang ke luar. Beberapa
saat lamanya, baru keluarlah kata-kata yang sejak tadi hendak diucapkannya.
"Arya..., Arya
anakku..."
"Ibu ... !" seru
Arya. Tubuhnya pun meluruk ke arah ibunya. Dijatuhkan tubuhnya bersimpuh di
hadapan ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat.
"Bu.... betapa rindunya
aku pada Ibu...."
Nyi Sani mengusap-usap rambut
anaknya yang putih keperak-perakan itu penuh kasih sayang.
"Aku pun merindukanmu,
Arya...," ucap Nyi Sani lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam rongga
dadanya. "Bagaimana keadaan ayahmu? Apakah baik-baik saja?"
Tangan pemuda yang memeluk
kedua kaki wanita itu menegang seketika. Didongakkan kepalanya dan ditatapnya
wajah ibunya dengan pandangan sedih.
"Ada apa, Arya? Katakan,
apa yang terjadi terhadap ayahmu?" desak wanita berpakaian kuning itu
dengan perasaan tidak enak.
Dari sikap yang diperlihatkan
anaknya, wanita itu merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Hatinya kini
dalam perasaan yang tidak menentu.
Pelahan-lahan Arya bangkit
dari beriututnya. Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin melihat
kekecewaan dan kesedihan yang akan dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di
ujung kaki ibunya.
"Ayah sudah tiada,
Bu..."
"Apa katamu, Arya?"
walau sudah dapat menduga, tak urung berita yang didengar dari mulut anaknya
ini membuatnya kaget bukan kepalang. Tanpa sadar dicengkeram kedua bahu Arya
dan diguncangguncangnya.
"Ayahmu tewas? Siapa yang
membunuhnya, Arya?"
Pemuda berambut putih
keperak-perakan ini lalu menceritakan semuanya. Mulai dari perpisahan dengan
ayahnya, sampai menerima pesan dari pamannya tempat di mana ibunya berada.
"Walau Paman telah
mengetahui bahwa Ibu telah tidak berada lagi di Perguruan Mawar Merah, Paman
tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud Paman agar aku dapat melacak jejak
Ibu," ucap Arya Buana menutup ceritanya.
Nyi Sani tercenung setelah
putranya itu mengakhiri cerita. Raut wajahnya nampak memancarkan kesedihan yang
hebat. Baru saja ia merasa gembira dapat bertemu putranya kembali, kini harus
mendengar berita mengenai kematian suami dari kakak kandungnya.
"Sungguh tidak kusangka,
kalau umur ayah dan pamanmu begitu singkat, Arya," keluh Nyi Sani.
Mendengar keluhan ibunya, Arya
tersadar. Tidak sepantasnya kalau mereka tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut.
Yang mati tidak akan hidup kembali, sekalipun mereka menangis hingga
mengeluarkan air mata darah.
"Sudahlah, Bu. Tidak ada
gunanya kita menangisi kepergian mereka. Ini akan merugikan diri kita sendiri
Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi."
Mendengar ucapan putranya, Nyi
Sani tersadar. Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum ditakapnya wajah
Arya. Senyumnya terlihat getir.
"Nah! Begitu dong,
Bu," puji pemuda berpakaian ungu ini. "Sekarang, aku ingin mendengar
pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu meninggalkan aku dan Ayah."
Istri Pendekar Ruyung Maut itu
menghela napas sebelum memulai bicara.
"Ceritanya panjang, Arya.
Panjang dan sama sekali tidak menarik."
"Tak apa, Bu. Aku ingin
mendengarnya," sahut pemuda berambut putih keperakan ini mendesak.
"Baiklah, kalau itu
maumu." Nyi Sani terpaksa mengalah. Pandang matanya menerawang ke atas.
"Lebih dari lima belas
tahun lalu, karena tidak punya pilihan lain lagi, aku terpaksa pergi mengikuti
kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia membawaku ke sebuah tempat yang jauh.
Di sana,
kami tinggal berdua. Tapi itu
hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena pamanmu kembali pergi dan lama
tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu luang yang membuatku bosan, aku
mendirikan perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama Perguruan Mawar
Merah."
Sampai di sini, wanita
setengah baya ini menghentikan ceritanya. Arya yang memang tidak berniat
memotong cerita itu, tetap diam mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi
hening.
"Lebih dari setengah
tahun suasana tenang-tenang saja. Sampai suatu hari muncul seorang kakek tinggi
besar berkulit hitam legam...
"Bargola...," desis
Arya
"Benar. Sialnya kakek itu
tertarik padaku. Wajahku, katanya, mengingatkan pada istrinya. Ia pun lalu
meminta agar aku bersedia menjadi istrinya."
"Dan Ibu mau?" selak
Arya.
"Tidak! Dengan tegas
permintaannya kutolak!" tandas wanita berpakaian kuning ini. "Tapi
ternyata, itu tidak membuatnya putus asa. Tahu kalau lewat cara baik-baik
gagal, dia lalu menggunakan cara kasar. Maka dengan paksa aku dibawanya kabur.
Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku jadi tidak berdaya sehingga
dibawa ke sini. Setiap hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi istrinya.
Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai akhirnya kesabarannya habis. Untung
engkau datang, Arya," ucap Nyi Sani menutup ceritanya.
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini pemuda itu mengerti, mengapa Bargola tidak terdengar kabar
beritanya lagi. Rupanya datuk itu disibuki oleh urusan asmara! Hatinya telah
terpincuk pada seorang wanita. Terpikir begitu, tak terasa jantung dalam dada
pemuda berambut putih keperakperakan ini berdebar keras.
Terbayang kembali di benaknya
wajah seorang gadis berpakaian serba putih yang telah membuat pikirannya tak
karuan. Wajah seorang wanita yang telah mencuri sekeping hatinya. Tak terasa
wajah pemuda ini berubah mendung.
"Ada apa, Arya?"
tanya ibunya yang tentu saja melihat perubahan wajah putranya. Karena memang
sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu. Dari sepasang mata pemuda di
hadapannya yang tengah memandang kosong pada satu titik, Nyi Sani tahu kalau
putranya ini tengah melamun. Hanya saja ia tidak tahu, apa yang dilamunkan Arya
Buana.
Dewa Arak tersentak. Teguran
itu mengingatkan kalau dirinya tidak sendirian di tempat ini.
"Ah ... ! Tid..., tidak
ada apa-apa, Bu," jawab Arya gagap.
"Ibu tahu ada sesuatu
yang sedang memberatkan pikiranmu. Katakanlah, barangkali Ibu bisa
membantumu. Atau..., Ibu tidak
boleh mengetahuinya? Rahasia pribadimu barangkali?" tanya Nyi Sani sambil
tersenyum maklum.
Seketika wajah Arya
menyemburat merah.
"Sama sekali bukan,
Bu."
"Lalu, kenapa kau
tampaknya berat untuk mengatakannya?"
Dewa Arak menghembuskan
napasnya. Sepertinya dangan menghembuskan napas, dia berharap dapat membuang beban
yang bersarang di dadanya.
"Ini menyangkut Paman
Lindu, Bu."
"Paman Lindu?! Memangnya
ada apa dengan pamanmu?!"
"Bu, apakah Paman Lindu
mempunyai anak?"
"Anak? Pamanmu? Tidak,
Arya. Pamanmu tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin mempunyai anak kalau
beristri pun tidak. Dari mana kau mendapat berita seperti itu, Arya?"
tanya Nyi Sani penasaran.
"Itulah masalahnya,
Bu," keluh Arya.
"Katakan Arya, dari mana
kau mendapat fitnah seperti itu?" desak ibunya lagi.
Pemuda berambut putih
keperakan ini ragu. Tapi ketika melihat pandangan mata ibunya, ia tidak dapat
menghindar lagi.
"Dari orang yang
bersangkutan, Bu," ujar Arya lemah.
"Dari orang yang
bersangkutan? Apa maksudmu, Arya? Ibu tidak mengerti! Katakanlah yang jelas!
Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk mengatakannya," desak Nyi
Sani sambil mengerutkan dahinya.
Merah wajah pemuda itu.
Teguran ibunya telak betul mengenai sasaran. Segera dikuatkan hatinya untuk
mengucapkan sesuatu.
"Dari anak Paman Lindu
sendiri, Bu."
"Anak Paman Lindu?
Baiklah. Rupanya kau perlu tahu juga, Arya. Tapi janganlah berprasangka buruk
pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga dia mempunyai istri gelap. Kau
tahu, pamanmu itu mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun yang akhirnya
mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya mandul saja. Pamanmu itu sama
sekali tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi, bagaimana mungkin
mempunyai seorang anak? O ya..., orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu
laki-laki?" jelas Nyi Sani yang diakhiri dengan pertanyaan.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Wanita?"
Kali ini Arya menganggukkan
kepalanya.
"Berapa kira-kira
usianya?" tanya Nyi Sani lagi.
Dan memang, sedikit banyak
istri Pendekar Ruyung Maut ini sudah bisa menduga, kalau putranya ini mempunyai
perasaan lain terhadap wanita yang mengaku anak kakak kandungnya. Sebenarnya
tanpa diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah dapat
memperkirakan usia wanita itu. Tapi dia ingin memastikan kebenaran dugaannya
lebih dahulu.
"Kira-kira..., sembilan
belas atau delapan belas, Bu...," jelas Arya, yang wajahnya kian memerah.
Bahkan dahinya pun berkerut.
Nyi Sani menahan senyum yang
hampir saja tercipta dari mulutnya. Tepat dugaannya! Putranya ini pasti sudah
terpincuk pada gadis itu.
"Cantik?" goda Nyi
Sani.
Semakin merah wajah Arya.
"Begitulah kira-kira,
Bu."
"Siapa namanya?"
tanya wanita itu dengan senyum dikulum.
"Entahlah, Bu,"
jawab Arya sambil menggeleng kan kepalanya.
"Lho, aneh?! Kau tidak
tahu namanya?" sepasang mata Nyi Sani terbelalak.
"Bagaimana mungkin ia
akan memperkenalkan namanya, Bu. Begitu bertemu, dia marah-marah. Bahkan hendak
membunuhku."
"Heh?! Ini lebih gila
lagi! Apakah tidak kau katakan kalau kau adalah keponakan orang yang dianggap
ayahnya?"
"Dia sudah tahu, Bu. Justru
karena itulah ia hendak membunuhku. Katanya, aku keponakan yang sama sekali
tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, sama sekali tidak berniat membalaskan
kematiannya. Begitu katanya."
Bekas Ketua Perguruan Mawar
Merah ini tercenung. Bisa diterima alasan gadis itu menyerang Arya. Tapi, Arya
pun sama sekali tidak bersalah. Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat
kesalahan. Adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang yang dendam
padanya.
Sesaat lamanya suasana menjadi
hening. Arya telah selesai dengan ceritanya. Sementara ibunya sibuk dengan
pikirannya sendiri. Wanita ini tengah mencoba memeras seluruh ingatannya
terhadap setiap perkataan yang diucapkan kakaknya dulu. Tapi, tetap saja dia
tidak mampu mengingatnya.
"Bu, apa tidak sebaiknya
kalau kita keluar dari tempat ini dulu ... ?" usul Arya memenggal lamunan
ibunya. Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya.
"Kau benar, Arya. Memang
sebaiknya kalau kita keluar dari tempat terkutuk ini. Aku sudah bosan tinggal
di sini, dan ingin melihat dunia luar yang bebas lepas!"
Di lain saat ibu dan anak ini
sudah beranjak dari ruangan itu. Masing-masing melangkahkan kakinya dengan
benak yang dipenuhi pikiran send iri-sendiri.
Sementara itu, Sentaka masih
tergeletak pingsan.
"Haaat ... !
Hiyaaa...!"
Wut!
Brakkk...!
Teriakan-teriakan melengking
tinggi, diselingi angin menderu-deru keras, terdengar dari dalam sebuah hutan.
Itu pun masih ditingkahi suara bergemuruh, Semua itu ternyata berasal dari
tindakan seraut wajah cantik. Usianya sekitar sembilan belas tahun, dan
berpakaian serba putih. Rambutnya panjang terurai, hampir mencapai pinggang.
Siapa lagi kalau bukan Melati.
Gadis ini rupanya sedang
marah. Di dalam hutan ini, kekesalan hatinya dilampiaskan pada pepohonan dan
semak-semak belukar.
"Mampus kau, pemuda
sombong!" teriak gadis itu keras. Tangan kanannya dengan jurus 'Naga Merah
Membuang Mustika' didorongkan ke depan.
Wuuusss ... !
Angin keras berhembus keluar
dari tangan yang mendorong itu. Desiran angin itu terus melesat ke depan dan
menghantam sebatang pohon sebesar dua pelukan tangan orang dewasa.
Brakkk ... !
Pohon itu hancur
berkeping-keping menimbulkan suara bergemuruh dahsyat!
"Hhh ... !" Melati
menghela napas. Lega sudah dadanya sekarang.
Kegagalannya mengalahkan Arya
Buana alias Dewa Arak, dan melihat sikap pemuda itu membuatnya mendongkol bukan
kepalang. Rasa kemangkelan hatinya itu pun dilampiaskan dengan mengamuk di
dalam hutan ini.
Kini kedongkolannya telah
sirna. Yang tinggal sekarang hanyalah akibat dari pelampiasan kedongkolannya.
Dipandangi keadaan sekelilingnya. Pohon-pohon bertumbangan, semak-semak yang
centang perenang, dan tanah yang terbongkar di sana sini.
"Semua ini gara-gara Dewa
Arak!" sangkal gadis itu membela diri, dalam hati.
Dengan punggung tangan,
disusuti peluh yang membasahi dahi dan lehernya yang mulus. Kemudian
dihampirinya sebatang pohon, lalu direbahkan tubuhnya di situ untuk
beristirahat.
Setelah cukup lama berbaring
seperti itu, Melati beranjak bangkit. Kemudian sekali menggerakkan kaki,
tubuhnya sudah melesat dari situ. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap
bagai ditelan bumi.
***
Tubuh Melati berkelebatan
cepat. Kini tinggal satu lagi tujuannya. Menuju tempat Ular Hitam! Dari berita
yang didapat, dia tahu kalau tanpa bantuan Datuk Barat itu, ayahnya tidak akan
bisa dikalahkan lawanlawannya. Jadi, bila dihitung-hitung, kakek itulah yang
menjadi penyebab utama ayahnya tewas.
Kalau saja gadis berpakaian
serba putih ini mencari tempat tinggal Ular Hitam sepuluh tahun yang lalu,
sampai kapan pun tidak akan bisa menemukan. Untungnya, ia mencarinya sekarang.
Sejak kemunculan Arya Buana alias Dewa Arak, tempat tinggal Ular Hitam sudah
bukan merupakan rahasia lagi.
Maka, mudah saja bagi gadis
yang berjuluk Dewi Penyebar Maut ini mendapat petunjuk tempat tinggal Ular
Hitam.
Beberapa hari kemudian, ia pun
sudah melewati Desa Jati Alas. Desa yang paling dekat dengan tempat tinggal
Ular Hitam.
Sesampai di luar Desa Jati
Alas, menurut petunjuk yang diterima, dia hanya tinggal melalui sebuah hutan.
Dan setelah itu akan sampai di tempat kediaman Ular Hitam.
Petunjuk yang diterimanya itu
benar. Beberapa lama kemudian setelah ia keluar dari mulut Desa Jati Alas,
dijumpai sebuah hutan. Bergegas dipercepat langkahnya.
Sesaat kemudian Melati telah
tiba di mulut hutan itu. Tapi baru saja hendak melangkahkan kakinya memasuki
mulut hutan, dari depan terlihat sesosok bayangan hitam melesat cepat menuju
mulut hutan.
Seketika Melati menahan
langkahnya. Gerakan sosok bayangan hitam itu cepat bukan main. Sampaisampai tercekat
hati gadis ini melihatnya. Kecurigaannya pun mendadak timbul. Sosok bayangan
hitam ini ternyata datang dari arah tempat tinggal Ular Hitam. Bukan tidak
mungkin kalau justru sosok bayangan hitam itu adalah orang yang dicaricarinya.
Berpikiran demikian, Melati
bergegas menghadang jalan sosok bayangan hitam itu.
"Kisanak yang di depan,
pelahan dulu!" seru Melati keras dan tegas. Berbareng dengan itu kedua
tangannya didorongkan ke depan, mengirimkan sebuah serangan jarak jauh. Melati
yang berjuluk Dewi Penyebar Maut memang berwatak telengas.
Langsung saja mengerahkan
seluruh tenaga dalam serangannya itu.
Wuuuttt ... !
Angin menderu keras keluar
dari sepasang tangan yang mendorong itu.
Seketika terdengar seruan
kaget dari sosok bayangan hitam di depan. Sama sekali tidak diduga, kalau di
depannya disambut sebuah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
Tahu betapa berbahayanya
serangan itu, sosok bayangan hitam itu menghentikan larinya. Berbareng dengan
itu, kedua tangannya didorongkan pula ke depan disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya.
Wuuuttt...!
Blarrr ... !
Dua pukulan jarak jauh yang
sama-sama dahsyat itu beradu di tengah jalan. Udara sampai bergetar hebat
akibat pertemuan dua buah tenaga dahsyat itu.
Akibatnya bagi kedua orang itu
hebat sekali! Baik Melati maupun sosok bayangan hitam itu sama-sama terjengkang
keras ke belakang, kemudian bergulingguling di tanah.
Tapi dengan sigap keduanya
bergegas bangkit berdiri. Sikap mereka sama-sama waspada. Baik Melati maupun
sosok bayangan hitam, sama-sama menyadari kalau mereka satu sama lain adalah
lawan yang amat tangguh.
Dewi Penyebar Maut merasa
penasaran bukan main melihat sosok bayangan hitam itu mampu membuatnya
bergulingan. Dengan rasa penasaran yang meluap-luap, diperhatikan sosok tubuh
di hadapannya yang berjarak sekitar sepuluh tombak.
Gadis berpakaian serba putih
ini mengerutkan alisnya. Di depannya berdiri seorang kakek bertubuh tinggi
kurus, berkulit hitam legam, dan sorot mata mencorong kehijauan.
"Ular Hitam!" jerit
Melati keras. "Kau..., kau Ular Hitam, bukan?!"
Kakek yang ternyata memang
Ular Hitam itu hanya tersenyum.
"Siapa kau, Nisanak? Dan
mengapa tiba-tiba menyerangku tanpa sebab? Dari mana kau tahu julukanku?"
berondong kakek itu.
"Kau tidak perlu tahu
siapa aku! Kedatanganku untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah kau, Ular
Hitam!"
"Eit ... ! Tunggu dulu,
Nisanak! Katakan, mengapa kau ingin membunuhku?" Ular Hitam
menggoyanggoyangkan kedua tangannya di depan dada mencegah gadis itu yang
sudah bersiap menyerangnya.
"Karena kau telah
membunuh ayahku!" jerit Melati penuh kemarahan.
"Fitnah!" teriak
Ular Hitam tak kalah keras. "Siapa nama ayahmu?!"
"Raja Racun Pencabut
Nyawa!"
Wajah Ular Hitam berubah. Rasa
keterkejutan yang amat sangat terpancar di wajahnya.Jadi, gadis ini putri orang
yang sangat memusuhinya itu? .
"Bagaimana, ular kepala
dua? Masih ingin menyangkal lagi?!" ejek Melati tajam.
Ular Hitam menghela napas
panjang.
"Tak bisa kupungkiri hal
itu. Ayahmu memang mati di tanganku."
"Heh?! Mengaku juga? Kau
ini memang jantan, atau ingin dianggap jantan, manusia pengecut!" Merah
wajah Ular Hitam.
"Jaga mulutmu, 'Nisanak!
Aku bukan orang semacam itu!"
"Bukan orang semacam
itu?! Hm..,! Lalu bukan pengecutkah namanya kalau bertarung dengan orang lain
secara keroyokan?"
Ular Hitam terdiam. Kembali
tidak bisa disangkal perkataan gadis itu.
"Kini terimalah
kematianmu, ular pengecut!"
Setelah berkata demikian,
Melati melompat menerjang Datuk Barat itu. Kedua tangannya berputar di samping
kiri tubuhnya, kemudian berbareng terayun ke arah kepala kakek itu.
Wuuuttt ... !
Angin menderu keras mengawali
tibanya serangan Melati.
Ular Hitam merendahkan tubuh
sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Tapi tak urung
rambutnya berkibaran keras juga. Suatu tanda kalau serangan kedua cakar itu
mengandung tenaga dalam tinggi.
Ular Hitam mulanya merasa tak
sampai hati menurunkan tangan besi pada gadis yang masih muda belia ini. Tapi,
melihat betapa telengasnya gadis berpakaian serba putih ini, membuat kakek ini
memutuskan untuk tidak bertindak sungkan-sungkan.
Bersikap lunak hanya akan
mencelakakan diri sendiri. Itulah sebabnya, sambil merendahkan tubuh, kedua
tangan Ular Hitam dengan telapak terbuka, melakukan sodokan bertubi-tubi pada
dada dan perut lawannya yang telengas ini.
Hebat dan berbahaya sekali
serangan Ular Hitam ini. Apalagi serangan itu dilakukan dengan kecepatan gerak
luar biasa, yang menjadi ciri khas ilmu 'Ular Terbang'. Akibatnya, serangan
sodokan bertubi-tubi itu menjadi amat berbahaya!
Tapi apa yang dilakukan Dewi
Penyebar Maut, tidak kalah hebatnya! Dengan sebuah gerakan yang tidak masuk
akal, karena posisi kakinya begitu sulit untuk mengenjotkan tubuh. Digerakkan
tubuhnya secara aneh. Akibatnya seluruh tubuhnya dari mulai dada ke bawah
terangkat ke atas. Dan dengan posisi seperti itu, kedua tangannya menyampok
bagian belakang kepala Ular Hitam dari atas ke bawah.
Wuuuttt. !
Ular Hitam terkejut bukan main
melihat hal ini. Dikenali betul gerakan yang dilakukan gadis berpakaian serba
putih ini. Itu adalah jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor', salah satu jurus dari
ilmu 'Cakar Naga Merah'! Siapa lagi pemilik ilmu itu kalau bukan kakak
kandungnya, Ki Gering Langit.
Tetapi datuk ini tidak dapat
berpikir lebih lama lagi. Serangan maut yang mengancam belakang kepalanya telah
menyambar tiba. Maka cepat-cepat dielakkan serangan itu kalau tidak ingin mati
konyol. Karena, untuk menangkis sudah tidak memungkinkan lagi. Cepat-cepat
Ular Hitam melompat ke depan, dari langsung bergulingan di tanah. Dan
selamatlah dia dari serangan maut itu.
Tetapi Dewi Penyebar Maut yang
hatinya tengah dilanda dendam membara, tentu saja tidak berhenti sampai di
situ. Setelah kelihatan lawannya berhasil lolos, segera disusulinya dengan
serangan-serangan dahsyat!.
Tentu saja Ular Hitam pun tak
tinggal diam, dan segera menyambutnya. Di lain saat kedua tokoh yang sama-sama
sakti itu sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Dua puluh jurus telah berlalu,
namun belum ada tanda-tanda yang terdesak. Sementara itu Ular Hitam kini
semakin yakin kalau ilmu yang digunakan lawannya adalah 'Cakar Naga Merah'!
Maka pada suatu kesempatan, kakek itu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang,
dan bersalto beberapa kali di udara. Manis sekali kakinya hinggap beberapa
tombak dari tempat semula.
"Tahan ... !" teriak
Ular Hitam keras mencegah Dewi Penyebar Maut yang sudah bergerak mengejarnya.
Gadis berpakaian serba putih
ini memang seorang yang tidak suka menyerang lawan yang belum siap. Maka begitu
mendengar teriakan itu, gerakannya seketika terhenti. Dengan napas agak
memburu, ditatapnya wajah orang yang dibencinya ini tajamtajam.
"Apa hubunganmu dengan Ki
Gering Langit?" tanya Ular Hitam cepat sebelum Melati sempat membuka
mulut.
Berkilat sepasang mata putri
Raja Racun Pencabut Nyawa ini mendengar pertanyaan itu. Gadis ini marah bukan
main. Sudah tiga orang bertanya serupa, dan hal ini membuatnya terasa muak.
Karena memang, ia sama sekali tidak mengenal tokoh itu.
"Aku sama sekali tidak
mengenalnya!" jawab gadis itu ketus. "Jangan coba-coba mengalihkan
persoalan, Ular Hitam!"
Merah wajah Ular Hitam.
Kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu memang pedas bukan main.
"Aneh ... ! Lalu dari
mana kau mendapatkan ilmu 'Cakar Naga Merah' itu?" tanya Ular Hitam lagi
dengan perasaan bingung.
"Aku datang ke sini bukan
untuk berbincangbincang denganmu, Ular Hitam. Bersiaplah! Aku tidak
segan-segan lagi membunuhmu sekarang, sekalipun kau belum siap!"
Setelah berkata demikian,
Melati kembali menyerang Ular Hitam. Tidak ada pilihan lain lagi bagi kakek ini
kecuali meladeni serangan gadis yang telah kalap oleh pengaruh dendam itu.
Sebentar saja mereka sudah kembali bertarung sengit. Keduanya sama-sama
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Hebat sekali akibat pertarungan
dua orang sakti itu. Suara menderu hebat diseling suara bercicitan dari udara
yang terobek akibat gerakan 'Cakar Naga Merah' milik Melati, mewarnai
pertarungan itu. Pohonpohon bertumbangan terlanda angin pukulan yang tidak
mengenai sasaran. Batu-batu besar dan kecil berpentalan tak tentu arah seperti
dilanda angin topan.
Tak terasa delapan puluh jurus
telah berlalu. Tapi, masih belum nampak tanda-tanda siapa, yang akan terdesak.
Pertarungan masih berjalan berimbang.
Sebenarnya bila dibandingkan, Melati
masih sedikit lebih unggul dalam hal tenaga dalam dan mutu ilmu silat. Dalam
hal kecepatan gerak, keduanya berimbang. Hanya saja, Ular Hitam menang
pengalaman. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya, pertarungan masih
berlangsung seimbang.
Hal ini membuat Melati yang
mempunyai watak pemberang, jadi tidak sabar. Dengan serangan bertubi-tubi
berusaha dipojokkannya Ular Hitam. Gadis ini memang berniat mengadu keras lawan
keras.
Dan begitu kelihatan lawannya
telah tersudut, gadis berpakaian serba putih ini segera meluruk menerjang,
sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Ular Hitam terperanjat kaget.
Posisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengelakkan serangan itu. Sungguh
tidak diduga kalau gadis itu memaksanya untuk mengadu tenaga dalam secara
langsung. Berarti dia mengajak mengadu nyawa!
Sebagai seorang yang telah
kenyang pengalaman, Datuk Barat ini tahu betul kalau adu tenaga dalam semacam
ini amat berbahaya. Bagi lawan yang kalah kuat, kemungkinan besar akan tewas.
Tapi walaupun demikian, bukan berarti kalau yang lebih kuat tenaganya tidak
menderita apa-apa. Apalagi jika tenaga dalam antara keduanya tidak berbeda
jauh. Paling tidak, dia akan teriuka parah!
Karena tidak ada pilihan lain
lagi, Ular Hitam mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kemudian sambil
mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kakek itu melompat dengan kedua
tangan didorongkan ke depan. Rupanya Ular Hitam benarbenar nekad menyambut
serangan Melati.
"Tahan ... !"
Terdengar suatu teriakan
nyaring bernada mencegah. Dan belum habis gema suara itu, sesosok bayangan ungu
berkelebat ke arena pertarungan.
"Hiyaaa...!"
"up".
Dengan kecepatan gerak
menakjubkan, sosok bayangan itu telah memotong lompatan Ular Hitam. Dan sebelum
Datuk Barat ini sadar, sosok bayangan ungu itu mendorongkan tangan ke bahu
sehingga tubuhnya terlempar ke samping.
Pada saat tangan orang itu
mendorong tubuh Ular Hitam, sosok bayangan ungu itu membarengi dengan egosan
tubuhnya, untuk mengelakkan serangan Melati. Tapi terlambat! Kedua tangan gadis
itu lebih dulu tiba.
Bukkk...!
Kedua tangan Melati begitu
telak menghantam tubuh sosok bayangan ungu itu. Untungnya, karena si bayangan
ungu itu sempat mengegoskan tubuh, serangan itu menyimpang dari sasaran semula.
Tidak mengenai dada, tapi mengenai bahunya. Meskipun demikian, akibat yang
diderita si bayangan ungu itu cukup dahsyat juga.
Tubuhnya terlempar beberapa
tombak, kemudian jatuh berdebuk di tanah, lalu terguling-guling. Gulingan itu
baru berhenti ketika tubuh itu akhirnya membentur sebatang pohon.
"Arya ... !" jerit
Ular Hitam keras. Wajah kakek ini
pucat pasi ketika mengenali
sosok bayangan ungu yang terguling-guling di tanah itu. Pakaian, rambut, dan
terutama sekali guci arak yang terlempar dari punggungnya, membuat Ular Hitam
segera mengenali pemuda itu.
"Arya...!" teriak
kakek itu lagi. Dengan lari laksana terbang, dihampirinya sosok bayangan ungu
yang tak lain adalah Arya Buana. Pemuda itu kini tergolek seperti tidak
bergerak lagi. Cairan kental berwarna merah mengucur keluar dari mulut dan hidungnya.
"Arya...?!" sentak
Melati. Gadis itu terpaku kaku di tempatnya. Bibirnya yang telah menggumamkan
nama pemuda itu nampak menggigil keras. Ditatapnya tubuh pemuda itu yang diam
tidak bergerak lagi. Kemudian dengan pandangan mata jijik ditatap kedua
tangannya yang tadi menghantam tubuh pemuda itu.
Beberapa saat lamanya Melati
terpaku. Kemudian sambil mengeluarkan isak tertahan dari kerongkongannya dia
berlari meninggalkan tempat itu. Tidak dihiraukan air bening yang menggulir
membasahi pipinya.
Seorang wanita selengah baya
berpakaian serba kuning, yang tiba di situ hampir berbarengan dengan kedatangan
Arya Buana, sempat melihat air mata yang bercucuran dari sepasang mata gadis
itu. Tapi, segera hal itu terlupakan ketika melihat sosok tubuh Dewa Arak yang
terkapar tidak bergerak.
Wanita itu adalah Nyi Sani.
Arya Buana memang sengaja mengajak ibunya ke tempat tinggal Kakek Ular Hitam,
untuk diperkenalkan. Dia juga meminta agar ibunya bisa tinggal di situ Tapi
siapa sangka di tengah perjalanan, pemuda itu melihat Ular Hitam tengah
bertarung melawan gadis yang telah mencuri
sekeping hatinya. Pada saat
pertarungan itu dalam keadaan kritis, ia pun segera melesat mendahului ibunya
untuk mencegah terjadinya korban nyawa. Usaha pemuda ini memang berhasil, tapi
membawa akibat yang tidak ringan. Dia kini tergolek tanpa. mampu berbuat
apa-apa lagi.
Nyi Sani ikut jongkok di
sebelah Ular Hitam yang telah jongkok lebih dulu. Kakek itu tengah memeriksa
detak jantung dan denyut nadi Arya.
"Bagaimana, Kek?"
tanya Nyi Sani. Tanpa dijelaskan pun ia sudah bisa menduga, siapa kakek ini.
Arya telah bercerita banyak mengenai pembimbingnya.
"Bersyukurlah kepada
Gusti Allah, Nyi!" hanya itu yang diucapkan Ular Hitam.
"Jadi ... ?" sebuah
senyuman tersungging di wajah wanita tua yang sejak tadi cemas itu.
"Arya masih
hidup..." lanjut kakek berkulit hitam itu.
"Ahhh ... !" Nyi
Sani mendesah lega
***
Sepekan lebih Arya Buana alias
si Dewa Arak terkapar di pembaringan. Untungnya di saat-saat terakhir, masih
sempat diegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Melati hanya bersarang di bahu.
Tapi walaupun demikian, karena
dashyatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, tak urung luka dalamnya
cukup parah. Padahal Arya telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
tubuhnya.
Pada hari ke delapan, Arya
baru dijinkan Kakek Ular Hitam meninggalkan pembaringan. Pemuda
berambut putih keperakan ini
merasa sekujur tubuhnya terasa lemas sekali. Pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini
segera mengambil tempat untuk duduk bersila, sesaat kemudian sudah tenggelam
dalam semadinya.
Selama tiga hari setelah
diijinkan meninggalkan pembaringan, Arya berusaha memulihkan tenaga dalam
dengan semadi, dan melatih ilmu andalan. Baru pada hari yang keempat, pemuda
itu meminta ijin Ular Hitam dan ibunya untuk melanjutkan perjalanan, karena
masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Terutama tugas dari gurunya, Ki
Gering Langit.
"Arya...," ujar Ular
Hitam sebelum Arya berangkat meninggalkan dirinya dan ibunya. Nyi Sani memang
telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular Hitam.
"Ya, Kek...."
"Sebelum kau pergi, aku
akan memberitahukan sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai gadis yang berpakaian
serba putih itu."
"Maksud, Kakek?"
tanya Arya tidak mengerti.
"Selama di sini, aku dan
ibumu terus memikirkan gadis itu. Dan, syukurlah! Akhirnya kami berhasil
mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui asal-usulnya, sedangkan aku
mengetahui siapa gu ru nya."
Pemuda berambut putih
keperakan ini merasa jantung dalam dadanya berdetak kencang. Entah kenapa, ia
sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada pembicaraan mengenai gadis berpakaian
serba putih itu, jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasa.
"Benar, Arya,"
sambung Nyi Sani. "Berhari-hari di sini Ibu memeras ingatan tentang semua
perkataan
yang diucapkan almarhum
pamanmu. Beruntung sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat melihatnya. Dan hal itu
yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil mengingatnya."
"Jadi..., benarkah gadis
itu putri dari Paman, Bu?" tanya Arya dengan suara gemetar.
Nyi Sani tersenyum. Bisa
dimaklumi ketegangan yang melanda hari putranya itu.
"Sebenarnya bukan."
"Jadi ... ?"
"Ia adalah seorang anak
yang diselamatkan pamanmu ketika masih bayi. Orang tuanya telah tewas dalam
keadaan menyedihkan. Mungkin dibunuh orang jahat. Sejak masih bayi pamanmu
merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur lima tahun. Anak itu diberi
nama Melati. Karena kesukaannya pada pakaian serba putih yang terdapat sulaman
bunga melati pada dada kiri. Pada suatu hari, ketika pamanmu pergi entah untuk
urusan apa, anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak itu telah
lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya anak itu. Pamanmu mencari-cari,
bahkan sampai meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak berhasil
ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi," urai Nyi Sani
menutup ceritanya.
"Kenapa Paman tidak
menitipkannya pada Ibu?" tanya Arya heran.
Nyi Sani menghela napas
panjang. Sejenak ditatap anaknya dalam-dalam.
"Aku sendiri juga tidak
mengerti, Arya. Pamanmu tidak pernah menjawab setiap kali Ibu
menanyakannya."
Pemuda berbaju ungu ini
terdiam beberapa saat. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Kakek menemukan suatu
hal yang mengejutkan, Arya," selak Ular Hitam memenggal lamunan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Apa, Kek?" tanya
pemuda itu ingin tahu.
"Kau sudah pernah
bertarung melawan gadis itu kan?" Ular Hitam malah balik bertanya.
"Sudah, Kek," Arya
menganggukkan kepalanya. "Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejutkanmu?"
desak kakek itu lagi.
"Ada, Kek," sahut
Arya membenarkan. "Jurus 'Cakar Naga Merah'!"
"Tepat!"
"Apa tidak mungkin kalau
Melati adalah murid Guru, Kek?" tebak Dewa Arak.
"Bukan, Arya. Gadis itu
sama sekali tidak mengenal Kakang Gering Langit!"
"Jadi ... ?" desak
Arya.
"Heh?!" Sepasang
alis Ular Hitam berkerut. "Kau tidak dapat menduganya, Arya?"
Pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk berpikir, tapi tetap
saja tidak dapat menduga apaapa. Pikirannya benar-benar seperti buntu!
"Hhh ... !" Ular
Hitam menghela napas. "Rupanya ada sesuatu yang memberati pikiranmu, Arya.
Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak mampu menduga hal yang
sebenarnya sangat mudah!"
Wajah Arya memerah. Memang
secara jujur diakui, kalau benaknya diganggu bayangan Melati. Sikap gadis itu
yang selalu memusuhi, membuatnya hampir gila. Otaknya buntu, tidak bisa diajak
berpikir.
Melihat keadaan Arya, Ular
Hitam tidak tega untuk mendesak lebih lama.
"Gadis yang bernama
Melati itu adalah murid orang yang hendak kau cari atas perintah gurumu!"
jelas Ular Hitam.
"Ahhh ... !" Dewa
Arak tersentak.
Arya jadi merasa begitu bodoh.
Dalam Kitab Belalang Sakti, Ki Gering Langit telah memberi tugas untuk mencari
dua orang yang sebenarnya pelayan di rumah kakek itu. Mereka telah kabur
membawa lari kitab-kitab milik Ki Gering Langit. Waktu itu puluhan tahun yang
lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah yang selama ini ditempati Pendekar
Ruyung Maut.
"Jadi ... ?"
"Ya!" selak Ular
Hitam. "Melati adalah satu-satunya kunci yang dapat menunjukkan kepadamu
di mana dua orang pengkhianat itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Satu yang perlu kau
perhatikan, Arya," sambung kakek itu lagi. "Kau harus berhati-hati!
Aku tidak bisa membayangkan sampai di mana kepandaian pengkhianat-pengkhianat
itu. Bayangkan! Muridnya saja sampai selihai itu! Hhh ... ! Kau harus
seringsering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga dalammu, Arya. Aku
khawatir, pengkhianat-pengkhianat itu kini telah memiliki tingkat tenaga dalam
yang sukar diukur tingginya!"
"Akan kuingat baik-baik
nasihat Kakek. O ya, Kek. Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada
Kakek." Kemudian Arya menceritakan tentang Raksasa Kulit Baja yang
memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.
Setelah mendengar penuturan
pemuda berambut putih keperakan ini Ular Hitam mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Setiap ilmu memiliki
kelemahan, Arya. Apalagi ilmu yang didapat dengan cara tidak wajar. Mengenai
ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak sekali yang kuketahui
penangkalnya. Mungkin salah satunya ada yang benar."
Lalu Ular Hitam memberitahu
macam-macam cara menaklukkan ilmu kekebalan tubuh. Arya mendengarkan dan
mencatat di otaknya semua petunjuk yang diberikan Ular Hitam.
Setelah semua petunjuk kakek
bertubuh tinggi kurus itu dihapalnya, Arya pun pamit pada ibu dan kakeknya.
Mereka melepas kepergian pemuda berambut putih keperakan itu dengan pandang
mata berkaca-kaca.
***
Arya kini melakukan perjalanan
mencari berita tentang Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut. Karena
ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, pemuda berambut putih keperakan ini
sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran. Hampir di
setiap tempat berita mengenai Melati selalu didapat. Dan berita yang didapatnya
membuat Arya mengerutkan dahinya.
Betapa tidak? Hampir di setiap
desa dan tempat yang dikunjunginya, Melati selalu menyebar maut! Tidak ada
orang yang masih hidup apabila telah berurusan dengannya. Satu hal yang
melegakan Arya, Melati menimbulkan korban karena ia diusik. Tak pernah gadis
itu yang memulai lebih dulu.
Arya mempercepat langkahnya.
Dari desa yang baru saja ditanyainya, didapat keterangan bahwa orang yang
tengah dicarinya belum lama melalui desa
itu. Dan sudah pasti telah
menimbulkan korban nyawa! Perkara biasa. Bergajul-bergajul itu pasti hendak
berbuat kurang ajar padanya.
Setelah melewati perbatasan
desa, dan mendekati mulut sebuah hutan, pendengaran Arya yang tajam menangkap
adanya suara-suara pertarungan di depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh
pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara pertempuran.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, dalam waktu sebentar saja Arya
sudah melihat orang yang bertarung. Dan mendadak pemuda berambut putih
keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua orang yang sedang bertarung itu.
Tidak jauh darinya, sekitar
sepuluh tombak di depan, nampak seorang gadis cantik berpakaian serba putih dan
bersenjatakan pedang, tengah bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi besar,
dan berwajah kasar. Di lehernya tergantung kaking yang bermatakan tengkorak
kepala bayi. Siapa lagi kalau bukan Melati yang tengah bertarung melawan
Raksasa Kulit Baja.
Pandangan mata Dewa Arak yang
tajam segera saja dapat mengetahui kalau Melati terlihat kelelahan.
Peluhnya yang membanjiri tubuh
dan gerakannya yang sudah tidak gesit lagi, menjadi bukti dugaan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!"
terdengar tawa terbahak-bahak dari mulut Raksasa Kulit Baja itu.
Pemuda ini tahu kalau Melati,
seperti dirinya juga dulu, kebingungan dan habis daya melawan kehebatan ilmu
lawannya. Dan Dewa Arak yang telah mendapat petunjuk cara menghadapi Raksasa
Kulit Baja, segera melompat ke arena pertempuran. "Mundur, Melati!"
perintah Dewa Arak.
Terdengar seruan kaget dari
mulut gadis itu. Dan memang sebenarnya Melati mengalami kekagetan yang
bertumpuk-tumpuk. Dari mana Arya Buana mengetahui namanya? Tapi dalam kekagetan
yang melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira yang tak terperikan. Arya
Buana ternyata masih hidup! Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya tak
menentu itu ternyata tidak mati akibat pukulannya! Oh, mengapa dia tidak pernah
merasa segembira seperti sekarang? Inikah yang dinamakan cinta? Mengapa pemuda
itu ada di sini? Apakah Arya juga memperhatikan dirinya?
Tanpa sadar gadis itu melompat
mundur. Arya yang melihat hal ini menjadi tersentak sekaligus gembira. Berarti
benarlah dugaan ibunya. Gadis ini adalah Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya
sewaktu masih bayi!
"Grrroah ... !"
Raksasa Kulit Baja meraung murka begitu melihat siapa yang masuk ke arena
pertempuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil menuangkan arak ke dalam
mulut.
Gluk... gluk... gluk ... !
"Sungguh besar nyalimu,
Dewa Arak! Kali ini jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian,
manusia raksasa itu melolos rantai berujung arit yang melilit pinggangnya.
Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan dilemparkannya ke arah Arya.
Singgg ... !
Suara mendesing nyaring
terdengar ketika rantai berujung arit itu meluncur cepat ke arah kepala Dewa
Arak. Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah sempoyongan sehabis menenggak
araknya, seolaholah tidak menyadari adanya bahaya mengancam. Tapi begitu
serangan rantai itu menyambar dekat, Dewa Arak cepat menggerakkan tangan
memapak, setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di punggung.
Pralll ... !
Rantai yang terbuat dari baja
itu putus berantakan ketika mengenai tangan kanan Dewa Arak. Berbareng dengan itu,
tangan kiri pemuda itu menangkap ujung rantai yang tersisa.
Kreppp! !
up"
Hanya sekali sentak, tubuh
Raksasa Kulit Baja terbetot dan melayang ke arah Dewa Arak. Hal ini memang
disengaja. Pemuda itu ingin mencoba salah satu cara yang diberikan Ular Hitam.
Menurut Ular Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh kekebalan dengan cara
melumuri ramuan-ramuan ke tubuhnya, pasti ada bagian tubuh yang tidak terkena
ramuan itu. Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya terlumuri ramuan. Dan bagian
yarig tidak terkena ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa Kulit Baja. Arya
tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar ini hanya satu anggota tubuh yang
belum pernah diserangnya. Telapak kaki! Kini pemuda berambut putih keperakan
itu akan mencobanya.
Wuuuttt ... !
Begitu tubuh Raksasa Kulit
Baja itu telah menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan kakinya. Maka dengan ujung
kaki, disodoknya telapak kaki manuka bertubuh raksasa itu.
Tukkk ... !
Tubuh Raksasa Kulit Baja
terpental ke atas.
Pegangannya pada rantai
langsung terlepas. Sesaat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, kemudian
jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara berdebuk keras.
Dengan hati berdebar tegang,
Arya menunggu hasil percobaannya itu. Tapi betapa kecewa hatinya ketika
lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Berarti manusia raksasa ini
tidak mempergunakan ramu-ramuan untuk mendapatkan kekebalan.
Srattt ... !
Arya mencabut sesuatu dari
balik punggungnya Cara kedua yang diajarkan Ular Hitam untuk menaklukkan
kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja.
"Ha ha ha...!"
manusia raksasa itu tertawa bergelak ketika melihat senjata yang tergenggam di
tangan Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan panjang sebatang pedang.
"Rupanya kau ini sudah
jadi gila karena bingung, Dewa Arak! Jangankan bambu, baja pun tidak akan
membuat kulitku lecet!"
Tapi Arya tidak mempedulikan
ejekan itu. Sambil mengeluarkan pekik melengking, Dewa Arak melompat menyerang
lawannya.
Raksasa Kulit Baja yang
mempunyai gerakan lambat, tidak mungkin menghindari serangan Dewa Arak yang
sangat cepat itu? Bertubi-tubi bambu kuning di tangan Arya mengenai sasarannya.
Ditusuk, disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu hancur!
"Ha ha ha...!"
kembali Raksasa Kulit Baja tertawa bergelak.
"Masih ada lagi
senjatamu, Dewa Arak? Keluarkan! Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di
tanganku!"
Arya membuang sisa bambu yang
masih digengamnya. Sesaat kemudian matanya liar mengawasi sekelilingnya. Dan
seketika matanya berseri ketika melihat sebuah pohon yang memang dicarinya.
Pohon kelor!
Cepat laksana kilat, tubuh
Arya melesat ke atas. Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun. Kini di
tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat.
Secepat kedua kakinya hinggap
di tanah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja.
Daun kelor yang tergenggam di tangannya disabetkan ke tubuh manusia raksasa
itu.
Prattt!
"Akh...!"
Dengan telak sabetan itu
mengenai badan Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari
mulut manusia raksasa yang kebal ini. Jerit yang lebih menyerupai raungan
binatang buas terluka.
Dewi Penyebar Maut tersentak
kaget melihat hal ini. Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya barusan.
Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar biasa itu meraung-raung hanya
dengan sabetan daun kelor!
Dan sebaliknya, begitu Arya
melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh lawan dengan
sabetan-sabetan daun kelor yang digenggamnya.
Prattt! Prattt!
"Akh ... ! Aduh!
Ahhh...!"
Jerit kesakitan terdengar
susul-menyusul. Tubuh Raksasa Kulit Baja ini menggeliat-geliat, bahkan
terguling-guling. Tapi, Dewa Arak tidak memberi kesempatan. Tubuh yang
bergulingan di tanah itu terus dihujaninya dengan daun kelor.
Baru setelah ranting yang
digenggamnya hancur, Arya menghentikan sabetan. Dibuangnya ranting itu, lalu
ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih berguling-guling. Kemudian
sambil mengumpulkan seluruh tenaga, didorongkan kedua tangannya dengan jari
jari terbuka ke depan. Dewa Arak menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' dalam
lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'!
Wuuuttt ... !
Angin yang berhawa panas
menderu keras ke arah tubuh Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan.
Bresss...!
Tubuh Raksasa Kulit Baja
terpental keras ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak
menghantam tubuhnya.
Suara jerit menyayat keluar
dari mulut si tinggi besar ini. Tubuhnya bergulingan jauh. Dari mulut, hidung,
mata, dan telinga mengalir darah segar. Dan begitu gulingan itu terhenti,
berhenti pulalah riwayat tokoh menggiriskan ini. Sekujur tubuhnya nampak
menghitam hangus!
Sambil mengumpulkan seluruh
tenaganya, Dewa Arak mendorongkan kedua tangannya ke arah Raksasa Kulit Baja
yang masih berguling kesakitan!
Arya Buana tercenung memandang
sosok tubuh yang kini tergolek di hadapannya. Dalam hati, dikagumi juga
kehebatan ilmu yang dimiliki orang bertubuh seperti raksasa itu.
Cukup lama juga pemuda itu
tercenung, dan baru sadar ketika mendengar suara gerakan halus di belakangnya.
Dalam sekelebatan, benaknya teringat pada Melati. Buru-buru ditolehkan
kepalanya ke belakang.
Dapat dibayangkan betapa
terperanjatnya hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika tidak melihat
siapa-siapa di situ. Dengan perasaan cemas, diedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap saja tidak dijumpai sosok tubuh yang dirindukan dan yang selalu
mengganggu ingatannya.
"Melati...!" teriak
Arya kalap. Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergaung,
menggema ke sekitarnya.
Sesaat pemuda berbaju ungu ini
menunggu sambutan. Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada tanda-tanda akan
adanya sahutan. Hanya gema suaranya sendiri yang menyambut panggilannya.
"Melati...!" teriak
Dewa Arak lagi. Dan memang, suaranya terdengar bernada putus asa. Dia seperti,
kehilangan sesuatu yang amat dicintainya. Tanpa pikir lagi, Dewa Arak bergerak
mengejar ke dalam hutan. Tujuannya jelas, mencari Melati! Selain untuk
ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas gurunya.
Seperti diketahui, gadis ini
adalah satusatunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab milik Ki Gering
Langit.
Tanpa sepengetahuan Arya, dari
balik pohon, seraut wajah cantik berpakaian serba putih menatap kepergiannya
dengan mata merembang berkacakaca. Gadis itu merasa malu menemui Arya, karena
sejak pertama kali selalu bentrok dengannya. Tapi gadis itu juga merasa sedih
tidak bisa bersama-sama dengan Arya, pemuda yang diam-diam dicintainya. Dia
hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap di kejauhan....
Nah, apakah kelak Melati mau
menjumpai Dewa Arak lagi? Berhasilkah Arya mencari Melati? Dan memenuhi tugas
dari gurunya untuk mengambil kitab‑kitab yang dicuri oleh pelayan Ki
Gering Langit? Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah selanjutnya,
silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar".
SELESAI